Makalah Sinema - Entre Les Murs

20
Multikulturalisme dalam film Entre les murs karya sutradara Laurent Cantet 1 Oleh Rozan Fauzan 2 Latar belakang Berkat keberhasilan Lumière bersaudara mengembangkan alat yang dapat merekam dan memutar gambar sekaligus (cinématographe) dan juga inisiatif mereka untuk memutarkan gambar-gambar bergerak tersebut kepada khalayak ramai. Mereka menciptakan publik dan sistem dengan cara membayar sebelum menonton film, sehingga kini masyarakat dunia dapat menikmatinya dan mengenal seni pertunjukan yang bernama sinema. Melalui keberhasilan tersebut, Prancis menjadi negara tempat kelahiran sinema dan juga banyak berkontribusi pada perkembangan sinema. Film itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun dalam urutan waktu tertentu membentuk suatu cerita, penceritaan yang disampaikan mengatur gerakan urutan peristiwa dalam film (Maillot). Melalui film masyarakat diharapkan dapat menangkap apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, yaitu pesan baik tersurat atau tersirat. 1 Ditujukan untuk memenuhi Tugas Akhir Semester matakuliah Pengkajian Sinema Prancis dan Frankofon 2 Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sastra Prancis FIB UI angkatan 2008. NPM 0806355746.

Transcript of Makalah Sinema - Entre Les Murs

Page 1: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Multikulturalisme dalam film Entre les murs karya sutradara

Laurent Cantet1

Oleh Rozan Fauzan2

Latar belakang

Berkat keberhasilan Lumière bersaudara mengembangkan alat yang dapat merekam dan

memutar gambar sekaligus (cinématographe) dan juga inisiatif mereka untuk memutarkan

gambar-gambar bergerak tersebut kepada khalayak ramai. Mereka menciptakan publik dan

sistem dengan cara membayar sebelum menonton film, sehingga kini masyarakat dunia dapat

menikmatinya dan mengenal seni pertunjukan yang bernama sinema. Melalui keberhasilan

tersebut, Prancis menjadi negara tempat kelahiran sinema dan juga banyak berkontribusi pada

perkembangan sinema.

Film itu sendiri merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun dalam urutan waktu

tertentu membentuk suatu cerita, penceritaan yang disampaikan mengatur gerakan urutan

peristiwa dalam film (Maillot). Melalui film masyarakat diharapkan dapat menangkap apa yang

ingin disampaikan oleh pembuatnya, yaitu pesan baik tersurat atau tersirat.

Dalam perkembangannya film menjadi ajang kreatifitas dan penyaluran bakat bagi para

seniman. Film-film yang diciptakan membawa angin baru bagi masyarakat, sehingga membuat

mereka berbondong-bondong datang ke tempat dimana film ditayangkan untuk mencari hiburan.

Namun, kini film bukan hanya berfungsi sebagai hiburan semata, tetapi juga merupakan media

yang efektif dalam menyalurkan atau memprovokasi pemikiran (ideologi), penguatan terhadap

identitas suatu individu ataupun kelompok, kritik sosial dan juga representasi keragaman budaya.

Di Prancis, sekolah atau institusi pendidikan lainnya merupakan salah satu media

pertemuan keragaman budaya yang ada. Di sana tidak hanya penduduk lokal yang bisa

mengenyam bangku sekolah, tetapi senua orang termasuk juga penduduk keturunan dan imigran.

Sebelum merambah ka masyarakat yang lebih luas, sekolah merupakan tempat pertama mereka

1 Ditujukan untuk memenuhi Tugas Akhir Semester matakuliah Pengkajian Sinema Prancis dan Frankofon

2 Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sastra Prancis FIB UI angkatan 2008. NPM 0806355746.

Page 2: Makalah Sinema - Entre Les Murs

untuk saling berinteraksi serta saling memelajari nilai, watak, adat, serta budaya bawaan mereka

masing-masing

Dalam film Entre Les Murs (dalam versi bahasa Inggris The Class) semua keragaman

yang ada di sekolah, khususnya di kelas, ditampilkan secara gamblang. Bagaimana interaksi

yang terjadi di antara mereka, bagaimana mereka menanggapi perbedaan yang ada, dan juga

pengelompokan yang terjadi diantara mereka. Semua itu ditampilkan dalam film ini, sehingga

film ini sarat akan unsur multikulturalisme.

Sinopsis

Pada awal tahun ajaran baru di suatu sekolah menengah pertama (collége) di Paris, para

guru berkumpul untuk berkenalan dan mempersiapkan materi ajar selama satu tahun serta

membahas beberapa siswa yang perlu mendapatkan pendekatan khusus. Diantara guru-guru

tersebut, ada seorang guru bahasa Prancis yang juga merupakan wali kelas 4eme/3 yang bernama

François Marin (yang diperankan oleh François Bégaudeau), ia menemukan banyak kesulitan

dalam menghadapi berbagai murid di kelasnya. Kelas tersebut memiliki berbagai siswa dengan

latar belakang yang berbeda, seperti suku, agama, dan ras.

François selalu memperlakukan murid-muridnya selayaknya teman diskusi, seakan

tidak ada jarak yang jauh antara guru dengan muridnya. Para siswa diberi kebebasan untuk

mengungkapkan pendapat atau gagasan mereka. Namun kebebasan tersebut justru menjadi

bumerang bagi dirinya, kebebasan tersebut memicu terjadinya perilaku yang di luar batas, seperti

pada saat salah satu muridnya, Souleyman, menanyakan orientasi seksualnya atau ketika terjadi

tindakan anarkis. Selain itu, kemajemukan latar belakang murid-murid di kelasnya, juga menjadi

salah satu faktor terjadinya hal tersebut. Ketika hal tersebut terjadi, François akan mencoba

menuntun siswanya kembali bertindak sesuai dengan aturan tanpa mendoktrin dan menghakimi

pola pikir mereka, tetapi mengarahkan perilaku murid-muridnya untuk dapat berpikir tenang dan

logis.

Lalu, untuk mengenal lebih dekat dengan murid-muridnya dan memberikan pandangan

tentang diri sendiri, François memberikan suatu tugas, yaitu menulis self-potraits yang

mendeskripsikan apa aspirasi mereka, personality mereka, apa saja yang mereka sukai dan tidak

sukai, apa yang membuat mereka malu, apa hobi mereka, dsb.

Page 3: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Kemudian sama halnya dengan sekolah lain, sekolah ini pun mengundang orang tua

murid pada waktu tertentu. Hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dengan orang tua

murid sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan dalam pengajaran maupun pembentukan

karakter anak. Kepedulian yang ditunjukkan oleh guru dalam film ini semakin terasa ketika salah

satu orang tua Wey, salah satu muridnya yang tergolong cerdas, terancam dideportasi, tanpa

segan para guru pun menggalang dana untuk orang tuanya.

Pada suatu ketika François, yang awalnya digambarkan sebagai sosok yang ideal, secara

tidak sengaja melakukan suatau tindakan yang salah dan berdampak sangat besar terhadap

dirinya. Ia menghina salah satu muridnya, Esmeralda, dengan kata « petasse » yang memiliki

makna prostitusi, namun hal itu terjadi karena tingkah laku muridnya yang sudah keteraluan dan

ia sebenarnya tidak bermaksud menghina muridnya, ia hanya ingin menjelaskan bahwa kelakuan

muridnya itu sudah keteraluan. Akibat dari tindakannya itu, terjadi keributan besar dan tindakan

anarkis dari Souleymane.yang menyebabkan Khumba terluka cukup parah.

Karena hal itu Souleymane harus berurusan dengan Kepala Sekolah dan terancam

dikeluarkan, sedangkan François, walaupun tidak mendapatkan tindakan yang serius dari Komite

Sekolah, harus menerima kenyataan bahwa kredibilitas dan wibawanya telah turun dimata anak

didiknya, meski hanya sementara waktu.

Di akhir tahun ajaran, François menanyakan apa yang mereka pelajari selama mereka

belajar di sekolah, pelajaran apa yang mereka sukai dan juga ia membagikan tugas self-potraits

yang dibuat oleh murid-muridnya. Hampir seluruh murid-muridnya merasa sangat antusias dan

mengungkapkan banyak hal akan apa yang mereka dapet di sekolah, tetapi ternyata ada seorang

muridnya, Henriette, yang merasa selama ini ia merasa bahwa sekolah menengah pertama

bukanlah pilihannya, ia baru menyadari bahwa ia tidak cocok dengan sekolah menengah pertama

dan ia merasa lebih tertarik ke sekolah kejuruan. François pun tidak memaksakan pilihan

muridnya itu akan tetapi ia tetap memberikan masukan terhadap muridnya.

Kemudian cerita ini diakhiri dengan berkumpulnya semua elemen sekolah di lapangan,

mulai dari murid-murid, guru-guru, sampai kepala sekolah. Mereka bermain bola bersama-sama

tanpa membeda-bedakan identitas mereka, baik guru, murid, kulit hitam, kulit putih, orang

Prancis asli, imigran, laki-laki, perempuan, semua bermain menjadi satu.

Page 4: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Analisis naratif dan sinematografis

Dalam film ini latar tempat dan latar sosial sangatlah terlihat jelas dari awal film sampai

film ini selesai. Film Entre les murs yang berlatar tahun 2008 (jika dilihat dari tahun

pembuatannya) memperlihatkan keadaan sosial Prancis yang kontemporer, hal tersebut

direpresentasikan melalui gaya berpakaian para murid dan guru. Gaya berpakaian guru-guru

terlihat lebih casual-formal memberikan kesan berwa muda, semangat, dan tetap berwibawa,

sedangkan murid-murid keturunan imigran terlihat lebih mencolok daripada mereka yang

keturunan Prancis asli, mereka mengenakan aksesoris yang cukup banyak dan warna baju yang

menyolok, salah satunya ada yang mengenakan sepatu Nike dunk (jenis sepatu dari merk Nike

dengan tipe dunk, biasa dipakai untuk olahraga tetapi kini lebih sering digunakan untuk bergaya).

Situasi kontemporer juga tercermin melalui penggunaaan teknologi yang modern

(komputer, telepon genggam, iPod) dan aksesoris perlengkapan lainnya. Selain dari gaya

berpakaian dan penggunaan teknologi yang modern, potongan rambut, terutama potongan

rambut para siswa (rambut dengan model ‘spike’ dan ‘emo’).

Gambar 1. Penggunaan telepon genggam Gambar 2. Gaya berpakaian yang modern

dan penggunaan iPod

Gambar 3. Penggunaan Nike dunk Gambar 4. Gaya berpakaian yang modern

dan gaya rambut ‘emo’

Page 5: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Sementara itu, latar tempat film ini adalah sebuah sekolah di pinggiran kota Paris di mana

banyak terdapat para warga keturunan imigran. Lebih spesifik lagi, latar yang sangat dominan

dan mengisi hampir keseluruhan film adalah sebuah ruang kelas yang tidak terlalu besar.

Ruang kelas menjadi latar utama film ini, terlihat dengan penggunaan ruang kelas sebagai

latar berulang-ulang kali, kurang lebih enam kali. Ruang kelas ini berada dilantai dua atau tiga

dan memiliki sebuah jendela besar yang menghadap ke lapangan (diperlihatkan melalui adegan

ketika kamera mengambil pandangan ke lapangan dari jendela saat murid-murid lain sedang

bermain bola dengan bird-eyes view).

Penggunaan warna turquoise pada dinding kelas dapat menyimbolkan kesejukan,

semangat, ketenangan dan kemudaan. Warna turquoise bukanlah warna yang monoton, warna

tersebut perpaduan antara hijau dan biru, warna biru dan hijau itu sendiri dapat memberikan

kesan kesejukan dan kedalaman. Penggunaan warna turquoise dalam kelas tersebut bertujuan

untuk memberikan kesan yang sejuk, tenang, muda, dan semangat, hal tersebut dikarenakan

kelas merupakan tempat dimana para murid saling berinteraksi, di dalam kelas itu mereka

berbaur dengan identitas diri mereka masing-masing, keceriaan dan semangat anak-anak jelas

terlihat dari tingkah laku mereka yang tercermin dalam warna turquoise tersebut.

Gambar 5. Warna turquoise pada dinding kelas dan

semangat para murid

Gambar 6. Pengambilan gambar lapangan

dengan bird-eyes view

Selain latar, hal yang menarik dalam film ini adalah penggunaan teknik kamera yang

close-up, bird-eyes view, panning dan still. Penggunaan close-up sering sekali digunakan, hal

tersebut bertujuan untuk memberikan fokus dan ekspesi tokoh. Seperti contoh ketika kamera

mengambil gambar close-up murid yang sedang belajar, hal tersebut ingin memberikan kesan

Page 6: Makalah Sinema - Entre Les Murs

keseriusan dalam belajar. Lalu ketika François sedang mewawancarai orang tua Wey, close-up

pada ayah Wey memberikan kesan bahwa orang tuanya senang anaknya dapat mengikuti

pelajaran disekolah, walaupun sebenarnya ayah Wey tidak dapat menguasai bahasa prancis

dengan baik, tetapi ekspresi yang ditunjukan menandakan kepuasan dan kebanggaan terhadap

anaknya.

Kemudian juga foto-foto hasil jepretan Souleymane menggunakan telepon genggam, foto

ibunya yang tidak ingin di foto dengan muka yang datar memberikan kesan bahwa adanya

ketakutan ibu Souleymane terhadap sesuatu yang baru dan juga bisa diartikan ketakutanya akan

Prancis karena perbedaan yang ada, dari warna kulit yang berbeda, keyakinan yang berbeda,

dudaya yang berbeda, ras yang berbeda, dan bahasa yang digunakan pun juga berbeda, diketahui

pula bahwa ibu Souleymane tidak bisa berberbahasa Prancis. Ketakutan inilah yang juga

melanda para imigran disana, mereka mencoba peruntungan kehidupan di Prancis, bukannya

mendapatkan kehidupan yang lebih baik tetapi justru malah termarjinalkan.

Foto ia bersama dengan teman-temannya berbanding terbalik dengan ibu Souleymane, ia

bersama teman-temannya asik berfoto ria, diantara teman-temannya todak hanya teman-

temannya yang berkulit hitam, tetapi juga ada yang berkulit putih. Hal tersebut menandakan

adanya usaha untuk mengintregasikan perbedaan yang ada. Souleymane sebagai anak seorang

imigran dari Mali, tidak malu menunjukan identitasnya sebagai orang Islam dan berkulit hitam

terhadap teman-temanya.

Gambar 7. Close-up ayah Wey Gambar 8. Close-up murid yang sedang belajar

Page 7: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Gambar 9. Close-up teman-teman Souleymane Gambar 10. Close-up ibu Souleymane

Perbedaan ia dengan ibunya sangatlah jauh, Souleymane yang bisa berbahasa Prancis

mencoba mengalkuturasikan budaya prancis dengan budaya asalnya, hal tersebut terlihat dengan

pakaian yang ia pakai, pakian ia yang ia gunakan sangatlah kontemroper bila dandingkan dengan

ibunya. Kemudian juga penggunaan tato yang bertuliskan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, hal

terseut menandakan bahwa ia masih memegang identitasnya sebagai orang Islam, budaya asli

yang ia bawa itu tidak malu-malu ia tunjukan terhadap teman-temannya.

Gambar 11. Perbedaaan gaya pakaian Souleymane

dengan Ibunya

Gambar 12. Close-up tato Souleymane

Penggunaan bird-eyes view memberikan kesan dalam dan lebih mendetail, dengan teknik

ini gambar dapat mencakup keseluruhan, selain itu juga menambah kesan lebih mendramatisir,

seperti contoh ketika para murid sedang bermain di lapangan, disitu terlihat keceriaan anak

dengan segala tingkag lakunya dan juga ketika Souleymane dengan orang tuanya pergi keluar

sekolah melewati lapangan, pengambilan bird-eyes view memberikan kesan ikut terhanyut dalam

Page 8: Makalah Sinema - Entre Les Murs

kesedihan yang dialami Souleyman dan juga memberikan efek kedalaman akan hal yang terjadi

pada dirinya, mereka terlihat kecil ditengah-tengah bangunan sekolah yang besar.

Gambar 12. Anak-anak yang sedang bermain di

lapangan

Gambar 13. Bird-eyes view ketika Souleymane dan

Ibunya dikelilingi bangunan sekolah

Selain penggunaan teknik yang telah disebutkan, penggunaan teknik panning dan still

juga menjadi cirri khusus dalam film ini. Penggunaan teknik tersebut memberikan kesan semi-

dokumenter, gambar yang dihasilkan menjadi lebih natural dan lebih berasa nyata, sehingga

penonton juga ikut merasakan apa yang terjadi di dalam cerita film ini.

Penggunaan teknik still pada akhir film yang mengambil adegan ruangan kelas yang

kosong tanpa orang, memberikan kesan yang mendalam. Kelas yang biasa digunakan untuk

belajar menjadi sepi, kosong, dan tenang. Hal ini seperti roda yang berputar, ketika awalnya

kelas yang kosong di isi oleh anak-anak dengan segala keributannya, kembali menjadi sepi dan

nantinya akan diisi kembali oleh anak-anak baru dengan segala kegiatan yang baru pula.

Keceriaan dan semangat ruang kelas tidak akan ada matinya, walaupun untuk sesaat akan

kesepian, tetapi akan kembali ceria dengn hal hal yang baru.

Gambar 9. Still kelas kosong Gambar 10. Still kelas kosong

Multikulturalisme

Page 9: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Ruang kelas dalam film Entre les murs ini seakan-akan menjadi sebuah miniatur

masyarakat Prancis di mana di dalamnya terdapat banyak individu dengan latar belakang ras dan

budaya yang berbeda, namun tetap disatukan oleh bahasa yang sama, yaitu bahasa Prancis.

Dalam film ini terlihat bentuk konsep interaksi budaya yaitu Salad bowl. Berbagai

perbedaan budaya tetap ada, tetapi semuanya diletakkan dalam satu kerangka budaya nasional

yang dominan. Dalam film ini, berbagai macam karakter dan latar belakang yang berbeda dari

setiap murid-murid dapat diasosiasikan sebagai salad. Sedangkan kelas yang menampung siswa-

siswa tersebut dapat diasosiasikan sebagai bowl. Setiap siswa tetap membawa identitas masing-

masing, tetapi tetap berada di bawah satu budaya dominan yaitu, budaya Prancis.

Film ini menampilkan keadaan suatu sekolah, khususnya kelas 4eme/3, yang sangat

multikultural. Dalam kelas tersebut terdiri dari berbagaimacam etnis, yaitu Black, Blanc, Beurre.

Black untuk orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Afrika bagian selatan (baik imigran,

maupun keturunan), diwakili oleh tokoh Souleyman, Boubacar, Khoumba, dan Carl; Blanc untuk

para penduduk asli Prancis, diwakili oleh tokoh Lucie, Justine, dan Arthur; dan Beurre untuk

para imigran atau keturunan negara-negara Magribie atau Afrika bagian utara yang diwakili oleh

Rabah. Namun tidak hanya ketiga etnis tersebut yang ditampilkan, salah satu etnis lainnya yang

ada adalah Cina. Orang Cina dalam film ini digambarkan kurang dapat “bergabung” dengan

orang Prancis lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari pemosisian tempat duduk di kelas, Wey,

salah satu murid yang beretnis Cina, duduk sebangku dengan murid Cina lainnya. Tidak seperti

etnis-etnis lainnya yang cenderung bergabung dan tidak duduk berdampingan hanya dengan

rekannya yang berasal dari etnis yang sama, seperti Khoumba yang berasal dari Afrika Selatan

duduk berdampingan dengan Esmeralda yang berasal dari Tunisia.

Latar belakang budaya masing-masing murid sangat ditonjolkan dalam film ini,

contohnya ketika François memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk

mengungkapkan hal apa yang membuat mereka malu, Wey, murid beretnis Cina, mengatakan

bahwa para anak muda jaman sekarang tidak memiliki rasa enggan dan malu, yang ia maksud

adalah para murid yang ada di kelas tersebut, ia mengatakan hal tersebut dengan alasan bahwa

para murid lainnya saling mengolok, mengucapkan kata-kata kotor, berteriak dan lain

sebagainya, karena hal-hal tersebut tidak sama dengan keadaan di daerah asalnya yang penuh

sopan santun dan tata krama. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan adat dan budaya

yang ada di daerah-daerah asal masing-masing etnis.

Page 10: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Kemudian pada adegan lainnya, ketika François membuat suatu kalimat. Khoumba

mengkritik nama yang digunakan oleh guru tersebut. François menggunakan nama Bill dalam

kalimat tersebut. Khoumba mengkritik guru tersebut selalu menggunakan nama-nama “kulit

putih”. Ia mengusulkan nama-nama lain yang lebih “Noir”, seperti Fatou dan Aissata. Hal

tersebut menunjukkan bahwa Khoumba ingin mengatakan bahwa, di Prancis tidak hanya ada

orang-orang berkulit putih tapi juga ada orang-orang beretnis lain, ini menunjukan bahwa adanya

keinginan untuk mengakui eksistensi etnis-etnis yang lain.

Selain itu, ketika François meminta kepada para muridnya untuk menceritakan tentang

diri mereka dan jawabannya pun kembali berbeda. Beberapa siswa menunjukkan rasa

nasionalismenya dengan menceritakan kebanggaannya terhadap klub sepak bola dari negara

asalnya. Nassim, yang berasal dari Maroko membanggakan klub sepak bola dari negara asalnya,

sedangkan Souleymane membanggakan klub sepak bola Mali. Perbedaan pendapat ini

menimbulkan gesekan diantara keduanya. Sering kali perbedaan yang ada menjadi suatu

pengganggu, seperti salah satu perkataan orang Prancis “Difference Dérange” (perbedaan

mengganggu). Perbedaan tersebut dapat memancing konflik sehingga hubungan terjalin diantara

mereka cenderung ke arah yang negatife.

Namun dalam film ini, selain kelas, sepak bola juga menjadi media pemersatu

keragaman yang ada di Prancis. Seperti pada saat malam kemenangan Prancis pada piala dunia,

semua orang dari etnis apapun tanpa pandang bulu, baik dia suka sepakbola atau tidak, semua

turun ke jalan Champs Elysée untuk merayakan kemenangan Prancis. Dan itu juga tercermin

dalam film ini, pertandingan sepakbola menjadi penutup cerita menjadi pemersatu

keberanekaragaman budaya yang ada. Dalam pertandingan tersebut yang bermain tidak hanya

golongan etnis tertentu, atau jenis kelamin tertentu, atau hanya golongan profesi tertentu. Baik

laki-laki maupun perempuan, guru ataupun murid, penduduk lokal atau imigran, semua ikut

bermain. Adegan tersebut seakan-akan merupakan simbolosasi dari keintergrasian perbedaan

yang ada di Prancis. Semua perbedaan dapat tertutup karena pada dasarnya kita semua ini sama.

Page 11: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Kesimpulan

Kesimpulan dalam analisis ini yaitu kemajemukkan di Prancis memang tidak dapat

dihilangkan, dan kadang dapat menyebabkan konflik karena perbedaan cara berpikir. Kemudian

demokrasi dan kebebasan sering kali disalah gunakan sehingga dapat menimbulkan perpecahan.

Namun diantara semua perbedaaan itu pasti tetap ada sesuatu persamaan, entah itu faham,

kesukaan, atau cara pandang, yang dapat menyatukan mereka dan membuat mereka menjadi

suatu kesatuan yang utuh, yaitu Prancis.

Konsep bentuk interaksi yang terjadi dalam film ini adalah salad bowl, yang mana kelas

dan sepak bola menjadi media pemersatu keberagaman yang ada. Untuk mendukung suatu

integrasi, dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati untuk dapat hidup

berdampingan.

Page 12: Makalah Sinema - Entre Les Murs

II. Daftar Pustaka

http://movies.nytimes.com/2008/09/26/movies/26clas.htmlhttp://www.viewlondon.co.uk/films/the-class-film-review-22644.htmlhttp://www.variety.com/index.asp?layout=festivals&jump=review&id=2531&reviewid=VE1117937264

Page 13: Makalah Sinema - Entre Les Murs

Lampiran

Page 14: Makalah Sinema - Entre Les Murs