Makalah PBL
Dengue Shock Syndrome
Natalia Angreini Gunawan
102010016/A6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta
2011
1
Daftar Isi
Halaman Judul…………………………………………………………………………….1
Daftar Isi………………………………………….…………………………………….....2
Pendahuluan……………………………………………………………………………....3
Tinjauan Pustaka
1. Anamnesis…………………………………………………………………………4
2. Pemeriksaan ...…………………………………………………………………….5
3. Diagnosis……………………………………………………………………….….7
4. Epidemiologi……………………………………………………………………....9
5. Patofisiologi…………………………………………………………………..….11
6. Gejala…………………………………………………………………………….13
7. Penatalaksanaan……………………………………………………………….....14
8. Komplikasi……………………………………………………………………….20
9. Pencegahan………………………………………………………………………23
Penutup…………………………………………………………………………………..32
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………33
2
Pendahuluan
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis yang menyerang
berbagai wilayah termasuk Indonesia. Penyakit DBD disebabkan virus dengue yang
ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti. Gejala khas dari penyakit ini adalah demam
yang naik turu, nyeri otot dan timbulnya ruam pada kulit.
Penyakit DBD dapat menimbulkan berbagai komplikasi bahkan kematian bagi
penderita. Oleh karena itu pasien harus segera mendapat penanganan tepat dan segera
sesuai derajat penyakitnya.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui anamnesa, pemeriksaan,
diagnosis, epidemiologi, patofissiologi, gejala, penatalaksanaan, komplikasi dan
pencegahan penyakit DBD.
3
Tinjauan Pustaka
Dilakukan secara aloanamnesis yaitu dengan keluarga pasien.
Keluhan utama
Apakah keluhan utama pasien?
Demam, mual dan nyeri otot sejak 5 hari lalu
Riwayat perjalan penyakit
Apakah pasien mengalami demam, sejak kapan?
Demam disertai menggigil atau tidak?
Demam terjadi sepanjang hari atau hanya di waktu tertentu?
Suhu pasien stabil atau naik turun?
Apakah pasien mengalami mual dan muntah, sejak kapan?
Apakah pasien mengalami batuk atau pilek,sejak kapan?
5 hari SMRS pasien mengalami demam terus menerus, mual dan nyeri otot. Tidak
ada batuk atau pilek.
1 hari SMRS pasien mengeluarkan darah dari lubang hidung kira-kira satu
sendok makan.
Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya?
Apakah pasien pergi ke daerah endemis demam berdarah?
Apakah pasien sebelumnya melakukan kontak fisik dengan pasien positif demam
berdarah?
Riwayat penyakit keluarga
Apakah sebelumnya ada keluarga yang mengalami sakit seperti yang dialami
pasien?
4
Pemeriksaan
1. Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama kali
untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta
bilangan denyut nadi.
Pemeriksaan fisik lainnya adalah vokal fremitus, auskultasi dan perkusi. Auskultasi
penting untuk mengetahui keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya. Adakah
mempunyai bunyi tambahan, bradicardi atau tachycardia dan peristaltik usus. selain
itu 1
o Keadaan umum : tampak sakit
o Kesadaran : somnolen
o Tekanan darah : 60mmHg per palpasi
o Nadi : lemah dan cepat
o Vokal fremitus : pada paru kanan melemah
o Perkusi : pada paru kanan redup
o Auskultasi : pada paru kanan melemah
2. Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit ,jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai
mulai hari ke-3 demam. Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau
5
Untuk membuktikan etiologi DHF, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologimolekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama
(lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini,
seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi
genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih
cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal
serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserolog berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah
60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2. Salah satu metode pemeriksaan
terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue,
yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan
sel yang terinfeksivirus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur
mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai
hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas danspesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1
sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer. Pemeriksaan radiologis (foto toraks
PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya
efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma
hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan USG.2,3
Diagnosis Kerja
6
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut:
uji bendung positif
petekie, ekimosis, atau purpura
perdarahan mukosa
hematemesis dan melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml)
Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuaiumur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapicairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,hipoproteinemia,
Dari keterangan diatas terlihat perbedaan utama antara DD dan DBD adalah ditemukan kebocoran plasma pada DBD.4
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue4
7
Langkah diagnosis
Pemeriksaan klinis: panas, manifestasi perdarahan, tanda efusi,hepatomegali,
tanda kegagalan sirkulasi.
Pemeriksaan laboratorium: uji torniquet, hematokrit dan hitungtrombosit secara
berkala serta pemeriksaan serologi, pemeriksaanLPB, albumin darah, CT, BT,
PT, PTT, gambaran darah tepi padakecurigaan DIC.
Pemeriksaan penunjang: foto thorak pada dispneu untuk menelusuri penyebab
lain disamping efusi pleura, USG bila ada, dapat dipakaiuntuk memeriksa efusi
pleura minimal
Indikasi rawat
Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari atau lebih
sangat dianjurkan untuk dirawat.
Tersangka demam berdarah derajat I disertai hiperpireksia atau tidak mau makan
atau muntah-muntah atau kejang-kejang atau Ht cenderungmeningkat dan
trombosit cenderung turun harus dirawat.
Penderita demam berdarah derajat I pada follow up berikutnyaditemukan status
mental berubah, nadi menjadi cepat dan kecil, kakitangan dingin, tekanan darah
menurun , oligouria harus dirawat.
Seluruh derajat II, III, IV
Diagnosis Banding
8
Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa
seperti demam tifoid, campak, influenza , hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis
dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi membedakan
DBD dari penyakit lain. Diagnosis banding lain adalah sepsis, meningitis, idiophatic
trombositopeni purpura (ITP), leukemia dan anemia aplastik.
Demam chikungunya sangat menular dan biasanya seluruh keluarga terkena dengan
gejala demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu
diikuti dengan ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan nyeri sendi. Proporsi uji
bending positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada demam
chikungunya tidak ditemukan pendarahan gastrointestinal dan syok.
Pada hari-hari pertama ITP dibedakan dengan DBD dengan demam yang cepat
menghilang dan tidak dijumpai adanya hemokonsentrasi, sedangkan pada proses
penyembuhan jumlah trombosit pada DBD lebih cepat kembali.
Pendarahan juga dapat terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia,
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pada anemia
aplastik anak sangat anemis dan demam timbul akibat infeksi sekunder.1
Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995), dan
pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk tahun
1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun
1999. Penularan terjadi melalui vector nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus).
Peningkatan kasus setiap tahuuya berkaitan dengan sanitasi lingkungan.4
9
Gambar 1. Penyebaran demam berdarah dengue
Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di lingkungan
perumahan, dimana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi ataupun
tempayan. Oleh karena itu, jenisini bersifat urban, bertolak belakang dengan Aedes
albopictus yang cenderung berada di alam atau kawasan hutan.
Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Aedes aegypti yang
menggigit kulit manusia adalah nyamuk Aedes aegypti betina. Nyamuk Aedes aegypti
jantan tidak menghisap darah tetapi memakan nektar (sari bunga). Nyamuk betina ini
membutuhkan darah karena ia membutuhkan banyak protein sebagai nutrisi bagi
telurnya.
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti meliputi beberapa proses yaitu : nyamuk betina
bertelur di permukaan air. Kemudian, telur berubah bentuk menjadi larva. Dalam satu
hingga dua minggu, larva kemudian akan berubah menjadi pupa (kepompong). Saat fase
pupa, nyamuk tidak makan, tetapi tetap aktif berenang di atas permukaan air . Dalam
beberapa hari, pupa akan membuka dan keluarlah nyamuk dewasa. Nyamuk betina
10
dewasa bisa hidup hingga 2 bulan, sedangkan nyamuk jantan dewasa hanya berumur
seminggu saja.5
Gambar 2. Nyamuk Aedes aegypti
Patofisiologi
Demam dengue dan demam be rda rah dengue d i s ebabkan o l eh v i ru s
dengue, yang termasuk dalam flavivirus, keluarga flaviridae. Flavivirus merupakan
virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai t ungga l
dengan be ra t mo leku l 4x10 6. Te rdapa t empa t s e ro type v i ru s ya i t u
DEN-1 , DEN-2 , DEN-3 dan DEN-4 yang s emuanya dapa t
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di I ndones i a dengan DEN-3 merupakan s e ro type t e rbanyak .
Te rdapa t r e aks i s i l ang an t a r a s e ro type dengue dengan f l av iv i ru s l a i n
s epe r t i yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak
didapatkan antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, s ap i dan bab i .
Pene l i t i an pada a r t ropoda menun jukkan v i ru s dengue dapa t bereplikasi
pada nyamuk Aedes (Stegomya) dan Toxorhynchites.4
11
Gambar 3. Virus dengue
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan sel manusia
terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat bergantung pada daya
tahan manusia. Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen
sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular ;
(2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan
kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi trombosit muda dari sumsum tulang;
dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan mengaktivasi faktor pembekuan.1,6
Ketiga faktor diatas akan menyebabkan penibgkatan permeabilitas kapiler dan kelainan
homeostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia dan koagulopati.1
12
Gambar 4. Patofisiologi infeksi dengue
Gejala
Infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang bervariasi mulai dari
asimtomatik, penyakit paling ringan, demam dengue, demam berdarah dengue sampai
sindrom syok dengue, Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi
pada awal penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau berat.
Biasanya ditandai dengan demam tinggi, fenomena pendarahan, hepatomegali, dan
kegagalan sirkulasi. Demam dengue pada bayi dan anak berupa demam ringan disertai
timbulnya ruam makulopapular. Pada anak besar dan dewasa dikenal sindrom trias
dengue berupa demam tinggi mendadak, nyeri pada anggota badan dan timbul ruam
makulopapular. Tanda lain menyerupai demam dengue yaitu anoreksia, muntah dan nyeri
kepala. 1
13
Gambar 5. Manifestasi infeksi virus dengue
Gambar 6. Kurva suhu DBD
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
14
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan,
hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya
terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang
diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian
makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau
bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan
dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarahdengue: 1. jenis cairan 2.jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan
cairan diruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer
asetat,cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid
lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi
tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.Secara umum, penggunaan kristaloid
dalam tata laksana DHF aman dan efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan
terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas
hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di
dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
15
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml
yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.
Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan
kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang
menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki
beberapa keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di
ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang
mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan
biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping
koagulopati danalergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid
dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan.1,4
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DHF Dewasa Tanpa Syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikanpertolongan pertama pada
penderita DHF atau diduga DHF di Instalasi Gawat Daruratdan juga bisa dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorangyang tersangka menderita DHF di
ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaanhemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan
trombosit bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosittiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.
16
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.4
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DHF Dewasa di RuangRawat
Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif fantanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut 1500 + {20 x
(BB dalam kg – 20)} Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24
jam:
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlahpemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dantrombosit dilakukan tiap 12
jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberiancairan sesuai
cairan sesuai dengan protokol penatalaksaan DHF dengan Ht> 20%.4
Protokol 3. Penatalaksaan DHF dengan Peningkatan ht > 20%
Meningkatknya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisitcairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalahdengan memberikan infus
cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasienkemudian dipantau setelah 3-4 jam
pemberian cairan. Bila terjadi perbaikanyang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit
turun, frekuensi nadi turun,tekanan darah stabil, produksi urine meningkat maka jumlah
cairan infusdikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauankembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah
cairaninfus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantuan keadaan
tetapmembaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.Apabila
setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadikeadaan tetap tidak membaik,
yang ditandai dengan hematokrit dan nadimeningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg,
produksi urin menurun, makakita harus menaikkan jumlah cairan infus mejadi 10
ml/kgBB/jam. Dua jamkemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
17
menunjukkanperbaikan maka jumlah pemberian cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jamtetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah
pemberiancairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila
dalamperkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tandasyok
maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana DSS padadewasa. Bila syok
telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi sepertiterapi pemberian cairan awal.4
Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DHF Dewasa
Perdarahan spontan masif pada penderita DHF dewasa adalah:perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun talah diberikantampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atauhematoskesia), perdarahan
saluran kemih (hematuria), perdarahan otak atauperdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan 4-5 ml/kgBB/jam. Padakeadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap sepertikeadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasandan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht
dantrombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht
dantrombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.Pemberian heparin diberikan apabila
secara klinis dan laboratorisdidapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata
(KID). Transfusikomponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkandefisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanyadiberikan pada
pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif denganjumlah trombosit
<100.000/mm3> disertai atau tanpa KID.4
Protokol 5. Penatalaksaan Sindrom Syok Dengue pada DHF Dewasa
Bila kita berhadapan dengan dengue shock syndrome (DSS) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa rejatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.Angka kemtian DSS sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa rejatan, dan rejatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda rejatan dini,
18
danpenatalaksanaan rejatan yang tidak adekuat.Pada kasus DSS cairan kristaloid adalah
pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberi oksigen 2-4
liter/menit.Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
darahperifer lengkap, hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium danklorida,
serta ureum dan kreatinin
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah
15-30 menit. Bila rejatan telah teratasi jumlah cairandikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60-120 menit keadaan tetapstabil pemberian cairan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60-120 menitkeadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jamsetelah rejatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta
diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi
cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi ditandai dengan turunnya
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaanhipervolemi, edema paru atau gagal
jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya rejatan berulang harus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi rejatan (karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsungm ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk
mengetahui apakah rejatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital
secara ketat. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar Hb, Htm dan
jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata rejatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 10-30 ml/KgBB,dan kemudian dievaluasi
setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belumteratasi, maka perhatikan nilai hematokrit.
Bila nilai Ht meningkat, berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian
cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai Ht menurun, berarti terjadi
perdarahan(internal bleeding ) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
19
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-
1,5 liter/hari)dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap
belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemi, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral
penderita sudah sesuai dengan target tetapi rejatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.4
Komplikasi
Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun, untuk
orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-
bulan. Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock
syndromes dapat berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal
ini tentu dapat mengancam jiwa.7
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi
(dibandingkan standar sesuai umur), kulit dingin dan lembab serta gelisah.4
Pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama beberapa
hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan
darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80
mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam
fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok
timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di
daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya
perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam
20
biasanya mempunyai prognosis buruk. 1
Tatalaksana sindrom syok dengue sama dengan terapi DBD, yaitu pemberian cairan ganti
secara adekuat. Pada sebagian besar penderita, penggantian dini plasma secara efektif
dengan memberikan cairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma, atau plasma,
memberikan hasil yang baik. Nilai hematokrit dan trombosit harus diperiksa setiap hari
mulai hari ke-3 sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan inilah
yang menentukan perlu tidaknya penderita dirawat dan atau mendapatkan pemberian
cairan intravena.1
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus
dengue dapat menembus sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati
berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- danjumlah cairan harus
segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5
mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya
kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
21
Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu
dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai
pendek.1
Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok
belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok
berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.8
Udem paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan
gambaran udem paru pada foto rontgen dada.8
Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi
dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga
kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk
menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah
22
hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri
tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya
perdarahan.8
Gangguan neurogik (kejang, ensephalopati)
Pencegahan
Pencegahan penyakit demam berdarah (DBD) sangat tergantung dengan pengendalian
pada vektornya, yaitu nyamuk aedes aegypti, karena vaksin dan obat untuk membasmi
virusnya belum tersedia.
Pemberantasan nyamuk dewasa dengan pengasapan/fogging dengan menggunakan
malathion , fenthion, piretroid sintetik dan karbamat.
Pemberantasan jentik dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dilakukan dengan cara :
1. Kimiawi : Pemberantasan larva dengan larvasida yang dikenal dengan istilah
abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos.
2. Biologis : Memelihara ikan pemakan jenti, misalnya ikan guppy
3. Fisik : Menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya
seminggu sekali, dikarenakan perkembangan telur nyamuk menetas sekitar 7-10 hari.
Menutup rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak menggunakannya sebagai
tempat berkembang biak. Mengubur barang-barang bekas yang tidak digunakan.
Vektor potensial DHF adalah Aedes albopictus yang sepintas tampak mirip dengan
Aedes aegypti. Larva Aedes albopictus lebih menyukai tempat perindukan alamiah yaitu
di kelopak daun atau tempurung kelapa yang mengandung air hujan. Nyamuk Aedes
albopictus dewasa lebih suka beristiarahat di luar rumah.5
23
Penutup
Penyakit demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue. Virus dengue terdiri dari 4 serotipe yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Infeksi oleh salah satu dari keempat serotipe tersebut tidak menimbulkan kekebalan
protektif silang, artinya jika seseorang pernah terinfeksi oleh DEN 1,maka di kemudian
hari mungkin saja orang tersebut akan terinfeksi oleh serotipe lainnya, sehingga orang-
orang yang tinggal di daerah endemis dengue, bisa menderita keempat jenis infeksi
dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak.
Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina, yang lebih menyukai untuk
menyimpan telurnya di dalam wadah yang berisi air bersih dan terletak di sekitar habitat
manusia. Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari.
Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi membedakan Demam
Berdarah dengue (DBD) dari penyakit lain. Tidak ada terapi spesifik untuk DBD, prinsip
utama adalah terapi suportif dan simptomatis. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DHF, asupan cairan
pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak
mampu dipertahankan, maka dibutuhkan asupan cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
DBD yang disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan
lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi ,kulit dingin dan lembab serta
gelisah disebut Dengue Shock Syndrome (DSS). Pada kasus DSS cairan kristaloid adalah
pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberi oksigen 2-4
liter/menit. Angka kematian DSS sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD.
Hipotesis diterima. Tn A mengalami dengue shock Dengue Shock Syndrome
yang dibuktikan dengan demam, mual dan nyeri otot yang dialami pasien. Hasil
pemeriksaan darah menunjukan penurunan kadar trombosit hingga 40.000/ul dan
peningkatan hematokrit sebanyak 54%.
24
25
Daftar Pustaka
1. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran.
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2003.
2. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 2005
3. Hoffbrand AV,Petit JE, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta :
EGC,2005
4. Sudoyo AW, Setiyohadi D. Alwi I, Simadibrata WI, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing, 2010
5. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi 4.
Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2009
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006
7. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005.
8. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Sumanjuntak G, Umar AI, Pitoyo PD, dkk.
Penyakit Demam Berdarah Dengue dan Demam Berdarah Dengue. WHO dan Depkes
RI, Jakarta 2000.
26