BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I. 1 PROSTAT
I.1.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Prostat merupakan organ fibromuskular yang mengelilingi leher vesika dan bagian
proksimal uretra pada pria. Beratnya sekitar 20 gram pada pria dewasa dan terdiri dari bagian
anterior dan bagian posterior. Secara embriologi prostat berasal dari lima evaginasi epitel
uretra posterior. Suplai darah prostat diberikan oleh arteri vesikalis inferior dan masuk pada
sisi posterolateral leher vesika. Drainase vena prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam
pleksus Santorini.(5)
Persarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipogastrikus dan serabut
yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe
prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka interna, iliaka eksterna dan presakralis, serta sangat
penting dalam mengevaluasi luas penyebaran penyakit dari prostat.(5)
Gambar 1. Anatomi Prostat
1
Fungsi prostat yang normal tergantung pada testosteron, yang dihasilkan oleh sel
Leydig testis dalam respon terhadap rangsangan oleh hormon luteinisasi (LH) tosteron
dimetabolisme menjadi dihidrotestosteron oleh 5α- reduktase di dalam prostat dan vesikula
seminalis. (5)
Walaupun prostat dibagi menjadi 5 lobus (lobus posterior, medius, anterior dan dua
lateralis), prostat terpisah secara fungsional ke dalam 2 struktur terpisah. Jaringan kelenjar
periuretra inferior menimbulkan hiperplasia dan bertanggung jawab untuk pembesaran jinak
prostat yang terlihat pada pria usia lanjut. Segmen luarnya merupakan struktur
muskuloglandula, dari sini muncul keganasan prostat. Secara histologi prostat terdiri dari
jaringan ikat, serabut otot polos dan kelenjar epitel yang dilapisi oleh sel thorax tinggi dan
lapisan sel basal gepeng. (5)
Prostat menghasilkan cairan basa yang dapat menetralisasi keasaman pH sekret
vagina, karena sperma tidak tahan akan lingkungan asam, memproduksi enzim, serta
menghasilkan prostat spesifik antigen (PSA). PSA hanya dihasilkan oleh kelenjar prostat,
karena itu pengukuran kadar PSA dalam darah dapat dijadikan skrining tes untuk mendeteksi
adanya kanker prostat. Peningkatan kadar PSA dalam darah dapat mengindikasikan adanya
kanker prostat, benigna prostat hyperplasia, serta infeksi prostat (Sherwood, 2010)
I.2 BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA
I.2.1 DEFINISI
BPH adalah hiperplasi kelenjar periuretral prostat, yang terlibat tanpa fungsi penting
prostat atau tanpa asal keganasan.(3) BPH paling sering terjadi pada laki-laki dan berhubungan
dengan usia, jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Sebagian besar hiperplasia
prostat terdapat pada zona transisional.(1)
2
Gambar 2. Benign Prostatic Hypertrophy
I.2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini hanya terjadi pada laki-laki dengan gejala-gejala awal muncul pada
usia 30-an. Pada usia 50-an, sekitar 50% laki-laki mengalami penyakit ini dan gejalanya
akan terus tampak seiring bertambahnya usia (Kapoor, 2012). Berdasarkan angka
autopsy, perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 – 40
tahun (De Jong, 2003)
I.2.3 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging.(1)
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: (1)
1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat oleh enzim 5a-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berkaitan dengan reseptor androgen (RA)
3
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada BPH kadar DHT tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal.
Hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak dibandingkan dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia semakin tua kadar testosteron semakin menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testostron relatif
meningkat. Diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Jadi meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat
yang telah ada mempunyai umur lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung di kontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor). Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma sehingga menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel-sel
stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
4
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel
prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori reawakening embrio dan teori sel stem
Dua hipotesis ini yaitu hipotesis reawakening embrio dan hipotesis sel stem, fokus
pada fenomena selular intrinsik. Hipotesis reawakening embrio mengusulkan bahwa
interaksi antara kelenjar jaringan asal prostat dan stroma berhubungan dengan kandung
kemih yang menghasilkan kebangkitan interaksi induktif embrio, sehingga
menghasilkan jaringan dengan karakteristik pertumbuhan dan mengarah pada
perkembangan BPH.(6)
Sel stem adalah sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi secara ekstensif.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas
sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun epitel.
I.2.4 PATOFISIOLOGI
Saat prostat membesar terjadi proses penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesika. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor. (1)
Sebagai akibat dari penebalan serat detrusor, terjadi penonjolan serat detrusor ke
dalam mukosa buli-buli, yang akan terlihat sebagai balok-balok dengan menggunakan
sistoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi yang apabila berlanjut
detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk kontraksi sehingga akan terjadi retensio urine total. (3) Perubahan struktur pada
buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS). (1)
5
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh buli-buli tidak terkecuali pada
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.(1)
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-
buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. (1)
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya
meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos
prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik
sebagai penyebab obstruksi prostat. (1)
I.2.5 GEJALA KLINIS(1)
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sahingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor
yaitu :
6
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga
meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos
prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7
Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
1. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi
spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula
dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal
sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas
normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk
melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
2. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah
urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow
dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka
normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average
flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan
pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi
infravesikal.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal
karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan
diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara
teratur.1,3,11
7
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna
pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Pemeriksaan Clinical
grading ini dilakukan pada pagi hari atau setelah pasien disuruh BAK sampai habis, dengan
kateter ukur sisa urine dalam buli.
Untuk menentukan derajat besar obstruksi dapat dilakukan dengan menentukan jumlah
sisa urin setelah miksi spontan lalu diukur dengan kateter/ USG setelah miksi (uroflowmetri),
jika terdapat sisa >100 cc, maka itu adalah batas indikasi melakukan intervensi pada BPH. Pada
pencitraan, pembesaran prostat akan terlihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih/ dasar VU pada sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok keatas
berbentuk seperti mata kail (De Jong, 2003)
Adapun derajat BPH berdasarkan Wim De Jong (2003) adalah :
Derajat Rectal Toucher Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas
atas mudah diraba
< 50 ml
II Penonjolan prostat jelas,
batas atas dapat dicapai
50 – 100 ml
III Batas atas prostat tidak
teraba
>100ml
IV - Retensi urin total
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat
keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala
iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan
8
pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nokturia, hal ini disebabkan oleh
menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra.
Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila
vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih
ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika
keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak
mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila
tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia
paradoks (over flow incontinence).
Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi
ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter
dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat
dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra
abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia,
hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan
didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi
sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.
I. 2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap
dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang
dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International
Consultation on BPH (IC-BPH)3 membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH
menjadi: pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU12 membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory,
recommended, optional, dan not recommended.
9
I.2.6.1 Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara
yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis
itu meliputi13,14.
1. Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
2. Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami
cedera, infeksi, atau pem-bedahan)
3. Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
4. Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
5. Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala
obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS).
WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah
distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5
dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien
mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan.
Internasional ProstateSymtom Score
Dalam 1 bln terakhir Tidak
perna
h
< dari
sekali
dalam 5
kali
Kurang
dari
setengah
Kadang –
kadang
(sekitar
50% )
> dari
setenga
h
Hampi
r
selalu
Skor
Seberapa sering anda
merasa masih ada sisa
selesai kencing
0 1 2 3 4 5
10
Seberapa sering anda
harus kembali,kencing
dalam waktu < 2 jam
setelah selesai
kencing
0 1 2 3 4 5
Berapa sering anda
mendapatkan bahwa
anda kencing terputus
- putus
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering
pancaran kencing
anda lemah
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering anda
harus mengejan untuk
mulai kencing
0 1 2 3 4 5
Seberapa sering anda
harus bangun untuk
kencing,sejak mulai
tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi
hari
0 1 2 3 4 5
11
Kualitas Hidup Sehubungan Masalah diatas
Sangat
senang
Senang Puas Puas dan
tidak puas
Sangat
tidak puas
Tidak
bahagia
Buruk
sekali
Bila harus menjalani
sisa hidup dengan
keadaan seperti ini
0 1 2 3 4 5 6
Dari skor IPSS dapat dikelompokkan 3 derajat: Ringan (skor 0-7), sedang (8-19), berat (20-35)
SKOR MADSEN IVERSEN
Pertanyaan 0 1 2 3 4
Pancaran Normal Berubah-ubah Lemah Menetes
Mengedan
saat berkemih
Tidak Ya
Harus
menunggu
saat akan
kencing
Tidak Ya
BAK
terputus-putus
Tidak Ya
BAK tidak
lampias
Tidak tahu Berubah-ubah Tidak
lampias
1 x retensi > 1 x
retensi
Inkontinensia Ya
Kencing sulit
ditunda
Tidak ada Ringan Sedang Berat
12
Kencing
dimalam hari
0 – 1 2 3 – 4 > 4
Kencing di
siang hari
> 3 jam/x Setiap 2 – 3
jam/x
Setiap 1 –
2 jam/x
< 1 jam
sekali
Jumlah nilai : 0= baik sekali, 1=baik, 2=kurang baik, 3=kurang, 4=buruk, 5=buruk sekali.
Derajat skor IPSS dan Madsen Inversen
Derajat Gejala ringan Gejala sedang Gejala berat
IPSS 0 – 7 8 – 18 19 - 35
Madsen Inversen 0 -10 10 - 20 > 20
I.2.6.2 Pemeriksaan fisik
Untuk nmenilai pembesaran prostat dilakukan pemeriksaan bimanual. Pemeriksaan
colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum
dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
13
Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada BPH
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada karcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan
diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah
terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya
hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba
masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan
supra simfisis.
14
I.2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Perlu dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi atau hematuria dan pemeriksaan serum kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.
Insulfisiensi renal perlu diobservasi pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan
pencintraan saluran kemih bagian atas (intravenous pyelogram atau USG ginjal). (4) Kultur
urine diperiksa untuk mencari jenis kuman dan menentukan sensitifitas. Dapat pula
dilakukan pemeriksaan gula darah untuk mencari kemungkinan adanya diabetes melitus
yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik). Jika
dicurigai adanya keganasan prostat perlu di periksa kadar penanda tumor PSA.(1)
b. Gambaran Radiologis
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukan bayangan buli-buli yang
penuh terisi urine, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
Ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan untuk mengetahui besar atau
volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai
petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residual urine.
Disamping itu ultrasonografi transabdominal mampu untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
Pembesaran prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.
Pemeriksaan sistografi dilakukan bila pada anamnesis ditemukan hematuria atau
pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini untuk mengetahui
asal dari perdarahan yang ada, selain itu untuk mengetahui besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan penonjolan prostat ke dalam uretra.
c. Uroflowmetri(1)
Dengan uroflowmetri dapat diukur: (1) pancaran urin maksimal (maximal flow
rate-Qmax); (2) volume urin yang keluar (voided volume); (3) lama waktu miksi.
15
Pengukuran sisa urin yang tertinggal dalam buli-buli setelah buang air kecil diukur
dengan memasang kateter setelah buang air kecil.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/ detik dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik,
sedang pancaran maksimal menjadi 15 ml/detik atau kurang.
b. Cystoscopy
Cystocopy tidak direkomendasikan untuk menentukan terapi tetapi untuk
menentukan jenis operasi pada pasien yang membutuhkan terapi invasif. (4)
I.2.7 DIAGNOSA BANDING
Kondisi obstruksi lainnya dari traktus urinarius bagian bawah seperti striktur uretra,
kontraktur leher buli-buli, batu buli-buli atau ca prostat, harus dipikirkan saat mengevaluasi
pasien dengan BPH. (4)
Yang harus diketahui dalam menilai pria dengan dugaan BPH yaitu adanya riwayat
urethritis atau trauma untuk menyingkirkan adanya striktur uretra atau kontraktur leher buli-
buli. Hematuri dan nyeri biasanya merupakan gejala adanya batu buli-buli. Carsinoma prostat
dapat diketahui saat melakukan rectal touche atau adanya kenaikan serum PSA. (4)
Suatu infeksi pada traktus urinarius dapat memberikan gambaran gejala iritasi BPH,
untuk mengetahui adanya infeksi maka dilakukan kultur urine dan urinalisis, walaupun begitu
infeksi traktus urinarius dapat merupkan komplikasi dari BPH. Walaupun gejala iritasi dapat
berhubungan dengan carsinoma prostat, terutama carsinoma in situ, urinalisa biasanya
menunjukkan adanya hematuria. (4)
Pasien dengan gangguan neurologik pada kandung kemih akan menunjukkan gejala
seperti BPH, tetapi dari anamnesis akan didapatkan adanya riwayat penyakit neuroogik,
seperti stroke, diabetes mellitus, atau trauma spinal. Pada pemeriksaan juga akan didapatkan
hilangnya sensasi pada ekstremitas bawah atau perubahan pada tonus spincter ani atau refleks
bulbocavernosus. Adanya konstipasi juga dapat menunjukkan kelainan neurologik. (4)
16
I.2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang dibiarkan tanpa pengobatan: Pertama,
trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan intra vesika yang selalu
tinggi akibat obstruksi. Kedua, dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di
antara serat-serat detrusor. Ketiga, bila sakulasi menjadi besar dapat menjadi divertikel. (1)
Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin
setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang
selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan
hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.(1)
I.2.8 PENATALAKSANAAN
Terapi spesifik dapat direkomendasikan pada pasien-pasien tertentu. Untuk BPH
dengan gejala ringan (score 0-7) terapi hanya berupa ”Watchful Waiting”. Disamping itu
terapi spesifik lainnya berupa adanya indikasi untuk tindakan operasi yaitu retensio urine
kronik (sedikitnya 1 kali percobaan menggunakan kateter yang gagal), infeksi traktus
urinarius berulang akibat BPH, gross hematuri berulang akibat BPH, batu buli-buli akibat
BPH, insufisiensi ginjal atau divertikula buli-buli yang besar.(4)
1. Watchful Waiting
Pilihan terapi ini hanya untuk pasien BPH dengan gejala ringan(score 0-7). Pasien dengan
gejala sedang dapat dilakukan terapi ini jika pasien menginginkan.
Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, seperti: (1)
Jangan mengkonsumsi alkohol atau rokok setelah makan malam
Kurangi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli
Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
Kurangi makanan pedas atau asin
Jangan menahan kencing terlalu lama
17
2. Terapi Medis
I. Alpha Bloker (4)
Prostat dan kandung kemih manusia mengandung alpha-1-adrenoreseptor, dan
prostat menunjukkan respon kontraktil untuk agonis yang sesuai. Sifat kontraktil dari
prostat dan leher kandung kemih tampaknya dimediasi terutama oleh subtipe alfa-1a
reseptor. Alpha-blokade telah menunjukkan hasil baik secara objektif maupun subjektif
derajat peningkatan gejala dan tanda-tanda BPH di beberapa pasien. Alphablockers
dapat diklasifikasikan berdasarkan selektivitas reseptor sesuai dengan masa paruh
mereka.
Phenoxybenzamine dan prazosin memiliki khasiat yang sebanding sehubungan
dengan pengobatan simptomatik (obat-obat ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan
miksi dan laju pancaran urin), tetapi lebih tinggi efek samping dari phenoxybenzamine,
terkait dengan kurangnya spesifitas reseptor alfa, sehingga menghalangi penggunaannya
pada pasien BPH. Dosis titrasi diperlukan pada prazosin, dengan terapi tipical dimulai
dengan 1 mg sebelum tidur selama 3 malam, kemudian meningkat menjadi 1 mg dua kali
sehari, yang dititrasi sampai 2 mg dua kali sehari jika diperlukan. Pada dosis yang lebih
tinggi, didapati sedikit tambahan perbaikan gejala dan efek samping yang memburuk.
efek samping umum termasuk hipotensi ortostatik, pusing, kelelahan, ejakulasi
retrograde, rhinitis, dan sakit kepala. (4)
Alpha-blocker tipe Long-acting (Terazosin dan Doxazosin) membuat dosis sekali
sehari, tapi dosis titrasi masih diperlukan. Terazosin dimulai dengan1 mg setiap hari
selama 3 hari dan meningkat menjadi 2 mg setiap hari selama 11 hari dan kemudian 5 mg
/ hari. Dosis dapat meningkat sampai 10 mg sehari jika diperlukan. Terapi dengan
doxazosin dimulai pada 1 mg sehari selama 7 hari dan meningkat menjadi 2mg sehari
selama 7 hari, dan kemudian sampai 4 mg per hari. Dosis dapat meningkat sampai 8 mg
sehari jika diperlukan. Efek samping mirip dengan prazosin.(4)
Kemajuan terbaru dalam terapi alfa-blocker berkaitan dengan identifikasi subtipe
alpha-1-reseptor. Blokade selektif reseptor alfa-1a, yang dilokalisasi dalam prostat dan
18
leher kandung kemih, ternyata memiliki lebih sedikit efek samping sistemik. Tamsulosin
dimulai dengan 0,4 mg perhari dan dapat meningkat menjadi 0,8 mg perhari jika perlu.
Alfuzosin adalah fungsional uroselective antagonis alpha-1-adrenergik. Seperti
tamsulosin, tidak diperlukan dosis titrasi dan agen ini memiliki lebih sedikit efek samping
kardiovaskular dibandingkan dengan terapi alpha-blocker nonspesifik. (4)
II. Inhibitor 5 alpha-reduktase
Finasteride adalah merupakan inhibitor 5 alpha-reduktase yang memblok
perubahan hormon testosteron menjadi dihydrotestosteron. Obat ini mempengaruhi
komponen epitel dari kelenjar prostat yang mengakibatkan pengurangan ukuran dari
kelenjar dan memberikan perbaikan gejala. Enam bulan terapi diperlukan untuk
mengetahui efek maximum dari ukuran prostat.(1)
Dutasteride berbeda dari Finasteride karena menghambat kedua isoenzymes dari
5-alpha-reduktase. Namun dutasteride mirip dengan Finasteride, berguna untuk
mengurangi serum antigen spesifik prostat dan volume total prostat. Dari beberpa
penelitian menunjukkan keberhasilan dutasteride dalam mengurangi gejala-gejala, laju
alir puncak kemih, dan mengurangi risiko dari retensi urin akut dan kebutuhan operasi.
Namun ada pula efek sampingnya yaitu disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia,
dan gangguan ejakulasi. (4)
III. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuhan-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala-gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai : anti-androgen, menurunkan kadar
sex hormon binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (BFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti
inflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara
fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah : Pygeum africanum, serena repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya. (1)
19
3. Terapi Operasi Konvesional
I. Transurethral Resection Of The Prostat (TURP)(4)
95% dari simple prostatektomi dapat dilakukan secara endoskopi yang di
masukan melalui penis atau uretra. Kebanyakan dari prosedur ini memerlukan pemakaian
anestesi spinal serta membutuhkan 1-2 hari perawatan di RS. Keuntungan dari TURP
tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi terjadinya infeksi. Resiko pada TURP
termasuk didalamnya berupa ejakulasi retrograd, impoten, dan inkontinensia.
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan
irigasi (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan
agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai yaitu H2O
steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke saluran sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi, yang jika berlebih dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP.
Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat , dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan
mengalami edema otak yang akhirnya jatuh kedalam koma dan meninggal.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP, dipakai cairan isotonik
yaitu glisin dan harus membatasi untuk tidak melakukan reseksi lebih dari satu jam.
Terapi standar sindrom ini terdiri dari pemberian diuretik dan penggunaan salin hipotonik
intravena
20
Gambar 4. TURP
II. Transurethral Inscision Of The Prostat (TUIP)
Sering pada pria dengan gejala BPH sedang sampai berat serta kelenjar prostat
yang kecil, sering mempunyai hyperplasia pada komisura posterior (leher buli-buli
terangkat). Pada pasien-pasien ini akan sangat bermanfaat, cara ini lebih cepat dan
sedikit mengalami kesalahan daripada TURP.
Pada cara ini melibatkan 2 potongan menggunakan pisau Colinns pada arah jam 5
dan jam 7. kedua potongan ini dimulai dari arah distal sampai mulut uretra dan meluas
keluar sampai ke verumontirium.
21
Sebelum melakukan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya Ca prostate
dengan melakukan colok dubur, melakukan USG Transrektal, dan pengukuran kadar
PSA. Komplikasi yang terjadi perdarahan, infeksi, penyempitan uretra, dan impontensi.
III. Open Simple Prostatektomi
Jika ukuran prostat terlalu besar untuk dipindahkan secara endoskopi, maka
diperlukan suatu enukleasi terbuka. Kelenjar prostate lebih dari 100 g biasanya dilakukan
suatu enukleasi terbuka. Open prostatektomi mungkin dapat pula berguna, yaitu dengan
seiring adanya divertikula buli-buli atau batu buli-buli atau jika posisi litotomi tidak
memungkinkan untuk dilakukan operasi. (4)
Pembesaran kelenjar prostat bukan indikasi prostatektomi. Pada open
prostatektomi dapat dilakukan 2 cara yaitu: suprapubik dan retropubik. Simple
suprapubik prostatektomi dilakukan secara transvesical dan merupakan operasi pilihan
dalam menangani masalah kelainan dalam buli-buli. Setelah buli-buli di buka kemudian
dibuat satu potongan semisirkuler pada mukosa buli-buli, distal dari trigonum.
Pemotongan pada bidang datar harus sangat tajam, kemudian pada potongan tumpul
dengan menggunakan jari dibuat untuk memindahkan adenoma. Pada potongan apical
juga dibuat setajam mungkin untuk menghindari injuri terhadap distal spingter
mekanisme. Setelah adenoma di angkat, setelah hemostasis dicapai dengan melakukan
penjahitan, dimana sebelumnya telah dipasang kateter uretra dan suprapubik sebelum di
lakukan penutupan.(1)
Gambar 5. Insisi suprapibuk
22
Pada simple retropubik prostatektomi buli-buli tidak di masuki. Kemudian insisi pada
daerah kapsul prostate yang akan di operasi, lalu adenomanya di enukleasi. Pada simple
retropubik hanya digunakan 1 kateter.(4)
4. Terapi Invasif Minimal
I. Terapi Laser
Ada 4 sumber tenaga yang digunakan pada terapi ini yaitu : Nd YAG, Holmium
YAG, KTP YAG, dan diode yang dipancarkan melalui bare fibre, right angle fibre,
interstitial fibre.
Beberapa perbedaan tehnik Necro coagulation telah diketahui :
Transurethral Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Dilakukan dengan cara menggunakan panduan memakai USG Transurethral. Alat-
alat pada TULIP diletakkan di dalam uretra dan USG Transurethral digunakan untuk
menuntun alat TULIP, perlahan mungkin ditarik dari leher buli-buli sampai ke apex.
Untuk mengetahui kedalamannya dapat dilihat melalui USG.
Visual Contact Ablative
Cara ini merupakan cara yang membutuhkan waktu yang lama, karena di lakukan
dengan cara meletakkan serat dari lasernya langsung berada didalam jaringan prostat
yang dapat menguap.
Terapi Laser Intersitiel
Pada cara ini seratnya diletakkan langsung pada prostat, dan biasanya dibawah
kendali cytoskopi. Pada setiap penusukan, lasernya ditembakan langsung, sehingga
mengakibatkan lapisan submukosanya mengalami nekrosis koagulasi. Penggunaan
cara ini hanya dapat mengurangi sedikit gejala iritasinya saja, karena mukosa dari
uretera berbeda dan sisa dari jaringan prostatnya dipisahkan serta jaringan dari
prostatnya diresobpsi.
23
Gambar 6. Terapi laser
Keuntungan dari penggunaan bedah laser adalah (1) perdarahannya minimal, (2)
gejalanya jarang timbul lagi, (3) berguna pada pasien – pasien yang menggunakan terapi
antikoagulan, (4) dapat dilakukan pada pasien- pasien rawat jalan.
Kerugiannya adalah : (1) kurangnya jaringan patologik yang tersedia, (2) membutuhkan
waktu saat kateterisasi post operasi, (3) bertambahnya gejala iritasi.
II. Transuretral Elektrovaporasi of The Prostat
Sama dengan TURP, hanya teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan
mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat.
Teknik ini cukup aman, perdarahan minimal, masa rawat di RS lebih singkat. Namun
hanya dapat dilakukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan butuh waktu
operasi lebih lama.(4)
III. Termoterapi
Energi panas bersamaan gelombang mikro dipancarkan melalui kateter transuretra. Besar
dan arah pancaran energi diatur sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang
membuntu uretra. Morbiditas rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dapat dijalani oleh
pasien dengan kondisi kurang baik jika menjalani pembedahan. Direkomendasikan bagi
prostat yang ukurannya kecil.(4)
IV. Transurethral needle ablation of the prostate (TUNA)
Metode ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai 100o,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri dari kateter TUNA
24
yang dihubungkan dengan generator. Metode ini tidak dapat digunakan pada terapi
pembesaran lobus medial dan leher buli -buli pasien seringkali masih mengeluh
hematuria, disuria, kadang retensi urine dan epididimo-orkitis.(4)
Gambar 7. Terapi TUNA
V. High – intensity focused ultrasound (HIFU)
Metode ini merupakan bentuk lain dari ablasi thermal jaringan. Alat ini didesain khusus
sebagai USG dengan dual fungsi yang diletakkan direktum. Probenya dapat digunakan
untuk memberikan gambaran prostat dan juga dapat menghantarkan ledakan kecil dari
energi USG yang terfokus dengan kekuatan tinggi yang mana dapat mengakibatkan
panasnya jaringan prostat dan dapat mengakibatkan suatu nekrosis koagulasi. Pada
pembesaran lobus medial dan leher buli – buli tidak dapat menggunakan metode ini.
Metode ini memerlukan anestesi umum.(4)
Gambar 8. HIFU
25
VI. Intrauretrhal stenting
Intrauretrhal stenting merupakan suatu alat yang secara endoskopi diletakkan didalam
fossa prostatika dan dibuat untuk menahan bentuk dari uretrha pars prostatika. Alat ini
dibuat secara khusus digunakan pada pasien pasien dengan angka harapan hidup terbatas
dan bukan pada pasien – pasien dengan indikasi operasi. Namun setelah pemasangan
kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan
uretra, rasa tidak enak di daerah penis.(4)
Gambar 9. Intrauretral Stent
VII.Transurethral balloon dilatation of the prostate(7)
Dilatasi balon dari kelenjar prostat dibentuk secara khusus dengan suatu kateter
yang mampu mendilatasi fossa prostatika saja atau fossa prosatika dan leher buli –buli.
Metode ini sangat efektif pada prostat – prostat dengan ukuran kecil ( < 40 cm3 ).
Keuntungannya : mudah digunakan, aman, hospitalisasi yang minimal, sejauh ini tidak
menimbulkan impotent.
Gambar 10. Transuretral ballon dilatation of the prostate
26
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1 Identitas Pasien
Nama : Tn.WR
Usia : 95 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Ngasem 07/02 Jetis Bandungan Kab. Semarang
Agama : Islam
Status Pernikahan : Duda
Tanggal Masuk : 21 April 2014
Tanggal Pulang : 26 April 2014
Tempat Pemeriksaan : Ruang Melati
Nomor RM : 048024-2014
II.2 Anamnesa
Keluhan utama
Nyeri di perut
Keluhan Tambahan
Nyeri pada bagian penis
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada perut dirasakan sejak 3 hari SMRS. Pasien sudah memakai kateter selama 2
minggu terakhir, dan belum diganti sejak terakhir dirawat di rumah sakit. Keluhan
disertai nyeri pada bagian penis. Demam (-), nyeri BAK (+), pasir (-), panas ketika BAK
(-).
27
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hiperplasia prostat sejak satu tahun terakhir. Sudah keluar masuk rumah sakit ±3
kali, tapi tidak mau dioperasi dan hanya minta di pasang kateter saja.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama.
Riwayat Pengobatan
(-)
Perhitungan Skor International Prostate Symptom Score
No Pertanyaan Tidak
pernah
<1x
Dlm
5x
Kurang
dr
setengah
Kadang-
kadang
sktr
(50%)
>1/2 Hampir
selalu
skor
1. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
merasa tidak
lampias saat
selesai
berkemih ?
0 1 2 3 4 5 2
2. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
harus kencing
dalam waktu
kurang dari
2jam stlh
0 1 2 3 4 5 2
28
selesai
berkemih?
3. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
mendapatkan
bahwa pipis
anda terputus-
putus ?
0 1 2 3 4 5 2
4. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
merasakan
sulit untuk
menahan
kencing ?
0 1 2 3 4 5 2
5. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
merasa
pancaran
kencing anda
lemah?
0 1 2 3 4 5 2
6. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
harus
0 1 2 3 4 5 2
29
mengedan
untuk mulai
berkemih ?
7. Selama
sebulan
terakhir, brp
srg anda
harus bangun
untuk
berkemih
sejak mulai
tidur pada
malam hari
hingga
bangun di
pagi hari ?
Tidak
ada1x 2x 3x 4x 5x/lebih 3x
0 1 2 3 4 5 3
Total : 15 (Obstruksi Sedang)
II.3 Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4V5M6)
Tanda Vital : - Tekanan Darah 150/90 mmHg
- Nadi 80 x/menit
- RR 20 x/menit, regular
- Suhu 36,8oC (axilla)
Kepala : mesocephal, rambut merata, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
30
Hidung : simetris, deviasi septum (-), sekret (-/-), keluar darah (-/-),napas
cuping hidung (-),
Mulut : sianosis (-), mukosa normal, gusi berdarah (-), tonsil (T1/T1),
faring hiperemis (-)
Leher : trakea di tengah, pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-), JVP tidak
meningkat
Thorax : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : ekspansi dinding dada simetris
Palpasi : fremitus taktil simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), massa (-), luka bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defense muskular (-)
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
II.4 Diagnosa Banding
Tumor Prostat
a. suspect jinak :Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
b. suspect ganas :Ca Prostat
31
II.5 Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium :
Tanggal : 8 Januari 2014
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
darah rutin :
Hemoglobin 13,4 14,0 – 18,0 g/dl
Leukosit 11 4,0 – 10 ribu
Eritrosit 4,47 4,0 – 6,2 juta
Hematokrit 41,7 40 – 58 %
Trombosit 266 200 – 400 ribu
MCV 92,0 80 – 90 mikro m3
MCH 30 27 – 34 pg
MCHC 32,5 32 – 36 g/dl
RDW 14,1 10 – 16 %
MPV 7,7 7 – 11 mikro m3
Limfosit 1,8 1,7 – 3,5 103/mikroL
Monosit 0,6 0,2 – 0,6 103/mikroL
Granulosit 4,1 2,5 – 7 103/mikroL
Limfosit % 27,2 25 – 35 %
Monosit % 9,0 4 – 6 %
Granulosit % 63,8 50 – 80 %
PCT 0,18 0,2 – 0,5 %
PDW 12,3 10 – 18 %
Golongan Darah O
Clotting Time 4 : 00 3-5 (menit:detik)
Bleeding Time 2: 00 1-3 (menit:detik)
Kimia Klinik
GDS 77 60 – 100 mg/dl
Ureum 39,0 10 – 50 mg/dl
32
Creatinin 1,29 0,62 – 1,1 mg/dl
SGOT 19 0 – 50 U/L
SGPT 17 0 – 50 IU/L
Serologi
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Hasil USG Abdomen :
1. Pembesaran prostat dengan volume 74,07 ml
2. Tak tampak kelainan pada organ intraabdomen lainnya secara pemeriksaan usg.
3.
33
II.6 Diagnosa Kerja
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dengan skor IPSS = 15
II.7 Terapi
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 3x1 gram
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Finasteride tab 5 mg 1x1
Konsul ke Sp.B untuk dilakukan tindakan pembedahan
II.8. Prognosis
Dubia ad bonam
BAB III
ANALISA KASUS
III.1 S (Subjective)
Nyeri perut dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Ketika asuk pasien
sudah memakai kateter yang terpasang sejak 2 minggu yang lalu ketika selesai rawat inap
di rumah sakit dan belum pernah diganti. Selain itu pasien juga merasakan nyeri pada
bagian penisnya. Pasien merasa nyeri ketika BAK dan terasa panas. Pasein punya riwayat
hiperplasia prostat sejak 1 tahun terakhir, sudah serin masuk rumah sakit tapi tidak au di
operasi dan hanya minta di pasang kateter saja. Keluhan BAK tidak lancar secara tiba-
tiba bisa disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena batu saluran kemih ataupun masalah
34
prostat. Di antara keluhan pasien tersebut terdapat beberapa gejala obstruksi pada BPH
seperti straining (mengedan) dan residual urin (masih terasa ada sisa). Disuria (nyeri saat
berkemih) merupakan salah satu gejala dari iritasi saluran kemih pada BPH.
III.2 O (Objective)
Hasil pemeriksaan fisik dan status generalis pada pasien ini dalam batas normal.
Dari hasil USG abdomen didapatkan adanya pembesaran prostat dengan volume 105 cc
dan berat 110 gram. Untuk dapat mengetahui derajat keparahan penyakit pasien
dilakukan tanya jawab dengan menggunakan panduan tanya jawab IPSS. Dari
penjumlahan kriteria- kriteria tanya jawab IPSS didapatkan skor 15, yang berarti pasien
masuk kedalam kategori sedang.
III.3 A (Assesment)
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat ditegakkan diagnosis Benign Prostat Hiperplasia dengan derajat keparahan gejala
BPH yang dirasakan pasien masuk ke dalam kategori sedang.
III.4 P (Planning)
Infus RL 20 tpm
Untuk mengatasi fungsi sirkulasi yang terganggu akibat perdarahan yang terus
menerus. Komposisi dari RL (Ringer Laktat) ini sama dengan cairan sel tubuh,
karena itu disebut juga larutan isotonik.
Inj Cefotaxime 2x500 mg
Cefotaxime adalah antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin generasi ketiga
yang mempunyai efek bakterisidal dengan cara menghambat sintesis mukopeptida
dinding sel bakteri. Cefotaxime merupakan pilihan lini pertama terhadap bakteri
yang resisten terhadap penisilin karena cefotaxime stabil terhadap hidrolisis beta-
laktamase
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Pemberian ranitidin adalah untuk penyeimbang efek samping dari pemberian
ciprofloxacin, karena ciprofloxacin dapat mengakibatkan gangguan GIT serta
35
menyebabkan mual. Ranitidin adalah obat golongan antasida yang diindikasikan
untuk status hipersekresi setelah OP, hipersekresi patologis, dan tukak peptik.
Dosisnya adalah 50 mg tiap 6-8 jam dengan pemberian secara iv.
Inj Ketorolac 3x10 mg
Ketorolac adalah salah satu dari obat anti inflamasi non steroid (NSAID), yang biasa
digunakan untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Indikasi penggunaan
ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal
selama 5 hari. Obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam
arakidonat menjadi PG2 terganggu. Ketorolak merupakan penghambat
siklooksigenase yang non selektif. Selain menghambat sintese prostaglandin, juga
menghambat tromboksan A2.
Finasteride tab 5 mg 1x1
Obat ini diindikasikan untuk terapi simtomatik hyperplasia prostat jinak. Obat ini
bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat.
Konsul ke Sp.B untuk dilakukan tindakan pembedahan
Jenis pembedahan yang dapat dilakukan ada banyak, bisa dengan prostatektomi
terbuka, TURP (Trans Uretra Resection Prostatektomi), TUIP (Trans Uretra Insision
Prostatektomi), TULP (Trans Uretra Laser Prostatektomi).
III.5. Follow Up
Selasa, 7 Januari 2014
S : Nyeri saat BAK (+), sakit dan nyeri tekan pada inguinal dextra (+)
O : Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
Vital sign : TD: 150/90mmHg Nadi: 80x/min RR: 20x/min S: 36°c
Status generalis : Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : cor/pulmo (DBN)
Abdomen : supel, BU (+) normal, nyeri tekan inguinal dextra
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Benign Prostat Hiperplasia
36
Rabu, 8 Januari 2014
S : Sakit kepala (+), Nyeri saat BAK (+), sakit dan nyeri tekan pada inguinal dextra (+)
O : Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
Vital sign : TD: 120/60mmHg Nadi: 95x/min RR: 24x/min S: 36,5°c
Status generalis : Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : cor/pulmo (DBN)
Abdomen : supel, BU (+) normal, nyeri tekan inguinal dextra
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Benign Prostat Hiperplasia
Kamis, 9 Januari 2014
S : Sakit kepala (-), Nyeri saat BAK (-), sakit dan nyeri tekan pada inguinal dextra (-)
O : Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
Vital sign : TD:130/100mmHg Nadi: 64x/min RR: 20x/min S: 36,5°c
Status generalis : Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : cor/pulmo (DBN)
Abdomen : supel,BU (+) DBN, nyeri tekan inguinal dextra(-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Post op TVP (Transvesical Prostatectomy) H1, drain +/- 50cc
Jumat, 10 Januari 2014
S : Sakit kepala (-), Nyeri saat BAK (-), sakit dan nyeri tekan pada inguinal dextra (-)
O : Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
Vital sign : TD:120/90mmHg Nadi: 80x/min RR: 22x/min S: 37°c
Status generalis : Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
37
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : cor/pulmo (DBN)
Abdomen : supel,BU (+) DBN, nyeri tekan inguinal dextra(-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Post op TVP (Transvesical Prostatectomy) H2
Sabtu, 11 Januari 2014
S : Sakit kepala (-), Nyeri saat BAK (-), sakit dan nyeri tekan pada inguinal dextra (-)
O : Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5
Vital sign : TD:120/90mmHg Nadi: 78x/min RR: 20x/min S: 36°c
Status generalis : Mata : konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : cor/pulmo (DBN)
Abdomen : supel,BU (+) DBN, nyeri tekan inguinal dextra(-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-)
A : Post op TVP (Transvesical Prostatectomy) H3
DAFTAR PUSTAKA
Arlina, P dan Evaria. 2013. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 12. PT. Medidata
Indonesia; Jakarta
Basuki B. Purnomo. 2011. Dasar – dasar Urologi. CV. Sagung Seto : Jakarta
Guess.1995. Epidemiology and Natural History of Benign Prostatic Hiperplasia.
Urological clinic of north America, volume 22, no 2. Mei. 1995.
Junqueira, L.C and Carneiro, J. 2007. Basic Histology Text and Atlas 11th Edition.
McGraw-Hill’s Access Medicine.
38
Kapoor, A. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) Management in the Primary Care
Settings. Can J Urol 2012;19(Suppl 1) 10-17
National Kidney and Urologic Diseases Informatioan Clearinghouse
(NKUDIC). 2006. Prostat Enlargement : Benign Prostatic Hiperplasia. NIH 2006. Publication
no.06-3012. URL : http://www.kidney.niddk.nih.sor. Diakses 6 Januari 2014
Rahardjo D. 1999. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. 1st ed.
Jakarta: Asian Medical;1999.
Rizki, A. 2008. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Pembesaran Prostat Jinak. Studi kasus
di RS dr. Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung Semarang. [Tesis]
Roehborn, Calus G, McConnell, John D. 2002. Etiology, Pathophysiology, and Natural
History of Benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed. W.B. Saunders ; p.
1297-1330
Sherwood, L. 2010. Human Physiology : From Cells to Systems, Seventh Edition.
Brooks/Cole:USA
39