Lapsus Interna Bph

52
BAB I PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti

description

free to download

Transcript of Lapsus Interna Bph

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh

adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

keduanya.

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes

setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai

8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah

21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka

menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.

Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya

kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif

menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular

seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan

juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan

komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti

BAB II

KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 38 tahun

Suku bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Pekerjaan : Karyawan PT.KL

Status Marital : Menikah

Alamat : Ds. Pohsangit Kidul-Kademangan

Tanggal Masuk : 24 September 2013

No/ RM : 136497

II. ANAMNESA

Keluhan Utama : nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang:

nyeri perut dirasakan mulai kemarin malam (23/9/2013), nyeri diseluruh area perut terutama

di uluhati, pasien juga merasa perut sebah/kembung, tidak bisa buang air besar dan buang air

kecil mulai kemarin malam, pasien merasa mual (+), muntah (+) 3 kali keluar air, pasien

tidak mau makan dan minum selama 3 hari, pasien tidak bisa kentut sejak 2 hari,

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus dan Hipertensi

Riwayat Keluarga:

Dikeluarga pasien ada yang menderita Hipertensi, yaitu ayah kandung pasien.

Riwayat Sosial:

Sebelum sakit pasien kurang memperhatikan pola makan, sering ngemil dan makan-makanan

yang berlemak, pasien suka minum kopi

Riwayat Alergi:

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun makanan

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : lemah

Kesadaran : somnolen GCS: E3 V4 M5

Vital sign

Tekanan Darah : 179/101

Nadi : 106 kali per menit

RR : 24 kali per menit

Suhu : 36,80 C

Kepala / Leher:

a/i/c/d : - / - / - / -

Pembesaran kelenjar getah bening : -

Pupil : isokor 3mm/3mm, RC +/+

Thorax:

Cor :

Inspeksi: ictus cordis tidak tampak

Palpasi: ictus cordis di ICS IV-V midclavicular line sinistra

Heaves (-), Thrill (-)

Perkusi: batas jantung dalam batas normal

Auskultasi: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:

Inspeksi: retraksi otot-otot pernapasan (-)

Palpasi: gerak napas simetris, tactile fremitus +/+

Perkusi: sonor/sonor

Auskultasi: suara paru vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

Inspeksi : flat, soefl

Palpasi :Nyeri tekan epigastrium (+)

Perkusi :timpani

Auskultasi :Bising usus (+) Normal

Ekstremitas:

Superior : akral hangat +/+, edema -/-

Inferior : akral hangat -/-, edema -/-

Motorik : Lateralisasi (-)

Reflex fisiologis: BPR : +N/+N, TPR : +N/+N

KPR: +N/+N, APR: +N/+N

Reflex patologis : Babinsky -/-, Chaddock -/-

IV. DIAGNOSIS

DM Hiperglikemi + gastropathy diabetic + penurunan kesadaran

V. DIAGNOSIS BANDING

VI. PLANNING

Diagnosis

Laboratorium: 24 September 2013

GDA 491mg/dL

DARAH LENGKAP

Hemoglobin 10,3 g/dL

Leukosit 23.160/cmm

PCV( Hematokrit) 24 %

Trombosit 518.000/cmm

FUNGSI HATI (LFT)

Alkali Phophatase 195 U/l

Bilirubin Direct 0,20 mg/dL

Bilirubin Total 0,50 mg/dL

SGOT 132 U/l

SGPT 85 U/l

RFT

BUN 45 mg/dL

Creatinin 2,0 mg/dL

UA 8,9

Penatalaksanaan

VII. FOLLOW UP

Tanggal 25 September 2013

S: pasien hanya bisa mengerang dan menangis, tidak bisa diajak bicara

O: Kesadaran: Delirium GCS: 4 2 5

TD: 120/70mmHG Nadi: 100kali/menit, reguler

RR: 28 kali/menit Temp: 36,50C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: slight distended

P: Nyeri tekan (+) epigastrium

P: Meteorismus

A: Bising usus (+) meningkat

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

Lab: GDA (25/9/2013)

Pukul 01.25: 57 mg/dL

pukul 02.45 : 88 mg/dL

A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. D5%

Lasix 2x1

Gootropil 3 x 2gram

Lapibal 3x1

Per oral : Lagesil Puresco

Aminoral

Tanggal 26 September 2013

S: pasien sulit diajak bicara, hanya bisa mengerang, gelisah, tidak bisa tidur, tidak bisa

makan, hanya minum sedikit

O: Kesadaran: Delirium GCS: 4 2 5

TD: 130/70mmHG Nadi: 100kali/menit, reguler

RR: 28 kali/menit Temp: 370C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: slight distended

P: Nyeri tekan (+) epigastrium

P: Meteorismus

A: Bising usus (+) meningkat

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

Lab: GDA (26/9/2013) : 146 mg/dL

A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Lasix 1x1

Gootropil 3 x 2gram

Lapibal 3x1

Per oral : Lagesil

Puresco

Tanggal 27 September 2013

S: pasien menunjuk perutnya sambil mengerang, sulit menelan, tidak bisa makan

O: Kesadaran: Somnolen GCS: 3 X 5

TD: 140/80mmHG Nadi: 112kali/menit, reguler

RR: 32 kali/menit Temp: 370C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: slight distended

P: Nyeri tekan (+) epigastrium

P: Meteorismus

A: Bising usus (+) menurun

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Lasix 2x1

Gootropil 3 x 1gram

Lapibal 3x1

Tanggal 28 September 2013

S: pasien tidak sadarkan diri sejak kemarin malam

O: Kesadaran: Delirium GCS: 2 1 1

TD: 155/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler

RR: 32 kali/menit Temp: 360C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

terpasang O2 nasal 3 lpm

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: flat

P: Nyeri tekan : sde

P: Meteorismus

A: Bising usus (+) menurun

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

GDA : 191 mg/dL

A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Cefaflox

Gootrophyl 3 x 1gram

Lapibal 3x1

Tanggal 29 September 2013

S: pasien tidak sadarkan diri sejak kemarin malam

O: Kesadaran: Coma GCS: 1 1 1

TD: 150/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler

RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

terpasang O2 masker 8 lpm

terpasang NGT

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: flat

P: Nyeri tekan : sde

P: timpani

A: Bising usus (+) menurun

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Cepaflox

Gootrophyl 3 x 1gram

Lapibal 3x1

Ceftriaxon inj.1x1gram

Molesco 1x1

Miniten 1x1

RC: 3x8 iucek GDA pagi

Cek Lab: BUN, Creatinin dan Elektrolit CITO:

Hasil : Natrium 119,0 135 – 155 mmol/t

Kalium 22,4 3,6 – 5,5 mmol/t

Calsium 0,8 1,12 – 1,32 mm

Chlorida 76,7 96,0 – 106,0 mm

BUN 45 mg/dL

Creatinin 2,1 mg/dL

GFR = 27, 2 ml/menit/1,73m2

Tanggal 30 September 2013

S: pasien masih tidak sadarkan diri

O: Kesadaran: Coma GCS: 2 1 1

TD: 180/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler

RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

terpasang O2 masker 8 lpm

terpasang NGT

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: flat

P: Nyeri tekan : sde

P: timpani

A: Bising usus (+) menurun

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Gootrophyl 3 x 1gram

Lapibal 3x1

Ceftriaxon inj.1x1gram

Molesco 1x1

Miniten 1x1

Tanggal 31 September 2013

S: pasien mulai bisa membuka mata, tidak bisa diajak biacara, tidak bisa menoleh

O: GCS: 2 1 1

TD: 160/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler

RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C

Kepala Leher:

a/i/c/d: -/-/-/-

pembesaran KGB : -

terpasang O2 masker 8 lpm

terpasang NGT

Thorax:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen:

I: flat

P: Nyeri tekan : sde

P: timpani

A: Bising usus (+) menurun

Ekstremitas:

Akral : Hangat +/+ edem: -/-

+/+ -/-

Urogenital : terpasang Catheter (+)

A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum

P: Inf. RL

Gootrophyl 3 x 1gram

Lapibal 3x1

Ceftriaxon inj.1x1gram

Molesco 1x1

Miniten 1x1

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan

bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang

merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

gangguan fungsi insulin.

3.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,

yaitu1 :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari

sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),

sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal

atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat

normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa

tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi

hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan

biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

4. DM Gestasional

A

3.3 Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita

diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes

mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia

akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari

bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan

secara teratur.

3.4Patogenesis

3.4.1Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas sudah

rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998

DM TIPE 1:

Defisiensi

insulin absolut

akibat destuksi

sel beta,

karena:

1.autoimun

2. idiopatik

DM TIPE 2 :

Defisiensi insulin

relatif :

1, defek sekresi

insulin lebih

dominan daripada

resistensi insulin.

2. resistensi insulin

lebih dominan

daripada defek

sekresi insulin.

DM TIPE LAIN :

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity onset diabetes of the young

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

Pankreatektomy

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

hipertiroidisme

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

5.Akibat virus: CMV, Rubella

6.Imunologi: antibodi anti insulin

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

DM

GESTASIONAL

samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik

terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu

mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,

sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap

keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah

perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk

antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah

perusakan sel beta dan penampakan diabetes.

3.4.2Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan

resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak

diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,

glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat.

Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin

meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase

ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan

hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.

3.5 Manifestasi Klinik

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa

yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan

tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit .

Kriteria diagnostik :

Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan

hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir, atau

Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan

sedikit nya 8 jam, atau

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan

dalam air.

Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan.

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam 250

ml air dan diminum dalam 5 menit.

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai

Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan

ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa

terganggu) dari hasil yang diperoleh

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

3.6 Komplikasi

a. Komplikasi akut

1. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon

pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan

penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.

Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-

A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb

cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi

untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan

mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu

glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect

menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35,

HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa

anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah

pernapasan kussmaul dan berbau aseton.

2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg% tanpa

ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang

mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada

keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana

kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat

mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia

3. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau

GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,

tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan

kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka,

bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala

neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.

b. Komplikasi Kronis

1. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

Retinopati Diabetik

Nefropati Diabetik

Neuropati diabetik

2. Makroangiopati

• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

• Pembuluh darah tepi

3.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup dengan

menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang

normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan

pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan

modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c) Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah <130/80

3. Profil lipid :

a) Kolesterol LDL <100 mg/dl

b) Kolesterol HDL >40 mg/dl

c) Trigliserida <150 mg/dl

4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan

diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas fisik

dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa

pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi

berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian

nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,

lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan

petugas kesehatan yang ada.

1. obat hipoglikemik oral

a. insulin secretagogue :

sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan

utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,

nateglinid.

b. insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen pada

target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah

protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ

yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.

c. glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake

glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien

dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak

menimbulkan efek hipoglikemi

Hal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar glukosa

darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum

makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum

makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase α bersama makan

suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.

2. Insulin

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial. Terapi

insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan

puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang

terjadi.

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja

pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap

(premixed insulin)

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia

yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang hampir

maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM

Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal

yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO

dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah

atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan

terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin

yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa

keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

KRISIS HIPERGLIKEMIA

Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD),

status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan

diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton

yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa

serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.

KAD mengandung triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan

asidemia.Konsensus diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD

adalah pH arterial < 7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dl

disertai ketonemia dan ketonuria moderate.

SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi

dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Osmolalitas serum dihitung

dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) + glucose (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8.

Nilai normalnya adalah 290 ± 5 mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan

pemeriksaan metoda nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial >

7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600

mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau

pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat.

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah,

terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan

hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh

ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia

dan perubahan osmolaritas extracellular

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormone kontrainsulin

pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose

(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-

hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia

dan asidosis metabolik.

Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormone insulin plasma

yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin,

tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis

dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah.

KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik,

sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar.

Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :1.Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan olehInfeksi.

Infeksinya dapat berupa :

Pneumonia

Infeksi traktus urinarius

Abses

Sepsis, lain-lain.

2.Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler

Infark miokard akut

Emboli paru

Thrombosis V.Mesenterika

3.Trauma, luka bakar, hematom subdural.

4.Heat stroke

5.Kelainan gastrointestinal:

Pankreatitis akut

Kholesistitis akut

Obstruksi intestinal

6.Obat-obatan :

Diuretika

Steroid, lain-lain

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala diabetes

yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan kabur, poliuria,

polidipsia dan penurunan berat badan.

KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH

cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas. Dehidrasi

akan bertambah berat bila disertai pemakaian diurétika.Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah

membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia.Pada pasien tua

mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama

mungkin menunjukkan respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat

bervariasi dari sadar penuh , letargi, sampai koma.

Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan

ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi terhadap

asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang

mungkin merupakan gejala klinik yang dominan.

Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan SHH.

Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa

merupakan akibat ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA.

Evaluasi laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi

penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion

gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan

sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah,

dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika

dicurigai ada infeksi

TERAPI

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan

faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat.

Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan

dengan baik.

Terapi cairan:

Pasien Orang dewasa.

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan

extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar

glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin

(dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan

jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam

pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).

Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit

darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika

sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na

serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l

kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.

Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik

(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.

Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan

osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien

dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung,

ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari

overload yang iatrogenik .

Pasien berusia < 20 tahun

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan

extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan volume

vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena pemberian cairan

yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–

20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal

pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan

selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl,

0.45–0.9% ( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari

kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi,

dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jika fungsi

ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium ( 2/3

KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan

harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di

atas.

Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat

mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat mengakibatkan

edema cerebral.

Terapi Insulin

Pada keadaan KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus intravena secara

kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l,

maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian

insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7

unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien

pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infuse intravena secara kontinu dengan dosis 0.1

unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada pasien-pasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada

umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1,

sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi .

Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama,

periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai

penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai. Ketika glukosa plasma

mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu

diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–10%)

ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau konsentrasi dextrose perlu

disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau status

mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.

Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.

Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk

pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.

Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah terukur

dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang

membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh karena itu, penilaian

benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu

indikator terapi.

Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam untuk

memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk

DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada

umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor

resolusi asidosis. Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun

intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan

glukosa darah dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6 units/kg

bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular .

Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1 insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.

Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum > 18 mEq/l,

dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per Oral), insulin

intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah dengan suplemen

insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.

Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan

kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk

mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam

setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.

Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan

memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan

secara bersamaan.

Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis

seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan

penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0

unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja

pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu

diingat bahwa dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM

tipe 2 yang bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan diit.

Kalium

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar

dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium

( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan konsentrasi

kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan keadaan

hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus dimulai

bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3

mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan.

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang

sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan

penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.

Bikarbonat

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH >

7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan

bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau

perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita

KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1 . Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan

bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.

Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat

bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat. Tidak perlu

tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.

Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh karena

itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus

dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH

mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.

Fosfat

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat

berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan

adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD , dan pemberian fosfat yang berlebihan

dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa adanya gejala tetani . Bagaimanapun, untuk

menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena

hipofosfatemia, penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan

jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0

mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan

pengganti.Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS.

NEFROPATI DIABETIK

Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal

pada diabetes melitus. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan

disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran

basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya

area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya

glomerulosklerosis dan dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada

pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( > 300 mg/24 jam atau >200

ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.

Faktor risiko

Adapun beberapa faktor etiologis yang paling sering menimbulkan nefropati diabetik

adalah:

1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140-160 mg/dl (7.7 –

8.8 mmol/l); A1C > 7-8 %.

2. Faktor-faktor genetis. Fakta bahwa seseorang yang menderita diabetes melitus

memiliki kecenderungan untuk menderita nefropati diabetik di waktu onset

penyakit yang berbeda-beda membuktikan bahwa faktor genetis juga memiliki

peranan. Seseorang dengan diabetes cepat atau lambat pasti akan mengalami

komplikasi baik makrovaskular ataupun mikrovaskular . Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Saat ini, belum ditemukan faktor gen

yang memiliki efek yang cukup besar mengenai kecenderungan kejadian nefropati

diabetik ini. Akan tetapi, dalam beberapa studi dilaporkan bahwa orang yang

memiliki gen dengan alel DD angiotensin converting enzyme (ACE)

kemungkinan memiliki fungsi glomerulus yang lemah dan kurang berespon

terhadap pemberian ACE inhibitor sehingga memiliki kecenderungan yang lebih

cepat untuk menderita nefropati diabetik dibandingkan orang yang tidak memiliki

gen dengan alel D ACE tersebut.

3. Hipertensi

Hipertensi merupakan penyakit primer dan dapat menyebabkan kerusakan pada

ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan

hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan air, pengaruh vasopresor dari sistem

renin angiotensin, dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Hipertensi

yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di

seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) pembuluh darah.

Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata.

Orang yang secara genetik berisiko menderita nefropati diabetik memiliki tekanan

darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat

keluarga, bahkan sebelum mereka terdiagnosis menderita nefropati diabetik.

Sekitar 80 % pasien, hipertensi terdiagnosis bersamaan dengan diabetes melitus.

Hipertensi memiliki pengaruh yang kuat dengan kejadian albuminuria.

4. Sindrom metabolik /Sindrom resistensi insulin.suatu kondisi dimana terjadi

penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi

peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas.

Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi

klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskular atau DM tipe 2, sindrom

ovarium polikistik, dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit-penyakit

lainnya.

5. Hiperlipidemia. Peningkatan kadar trigliserida dalam plasma dan rendahnya kadar

HDL berhubungan dengan progresifitas kejadian nefropati diabetik maupun

meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini dapat menyebabkan

penyumbatan arteria dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan

atrofi tubulus, sehingga menyebabkan seluruh nefron rusak.

Protein intake. Diet tinggi protein memiliki pengaruh yang tidak signifikan dalam

risiko kejadian nefropati diabetik dan progresifitas gagal ginjal. Namun, pasien dengan

DM tipe 1 yang mengurangi intake proteinnya, memiliki prevalensi rendah untuk

mengalami mikroalbuminuria

Patologi dan patofisiologi

A. Patologi

Ditemukan tiga kelainan penting pada ginjal yang telah mengalami

gangguan akibat hiperglikemia, yaitu :

1. Lesi glomerulus

Lesi glomerulus terpenting adalah penebalan membran basal kapiler,

glomerulosklerosis difus, dan glomerulosklerosis nodular (lesi Kimmelstiel-

Wilson). Membran basal kapiler glomerulus menebal diseluruh panjangnya.

Glomerulosklerosis difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium

dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini sitemukan

pada sebagian besar pasien yang telah mengidap penyakit lebih dari 10 tahun.

2. Lesi vaskular ginjal, terutama arteriosklerosis

Merupakan suatu perubahan sistemik yang dialami oleh seluruh pembuluh

darah di seluruh tubuh pada pasien diabetes. Namun, ginjal adalah salah satu

organ yang paling sering dan paling parah terkena. Arteriosklerosis hialin

pada ginjal tidak saja mempengaruhi arteriol aferen, tetapi juga arteriol eferen.

Arteriosklerosis eferen ini jarang ditemukan pada orang yang tidak mengidap

diabetes.

3. Pielonefritis, termasuk papilitis nekroticans

Pielonefritis adalah peradangan akut atau kronis ginjal yang biasanya berawal

di jaringan interstitium kemudian menyebar untuk mempengaruhi tubulus dan

pada kasus ekstrem, glomerulus. Salah satu pola khusus pielonefritis akut,

papilitis nekroticans, jauh lebih prevalen pada pengidap diabetes daripada

pasien nondiabetes. Papilitis nekroticans merupakan nekrosis akut pada papila

ginjal.

B. Patofisiologi

Patogenesis dan perkembangan nefropati diabetik merupakan hasil

interaksi antara gangguan metabolik dan gangguan hemodinamik yang terjadi

pada penderita diabetes melitus. Lebih dari satu dekade yang lalu telah dilakukan

berbagai penelitian menyangkut topik ini sehingga telah banyak kemajuan yang

dicapai mengenai patomekanisme terjadinya nefropati diabetik.

Patofisiologi nefropati diabetik

Glukosa

AGE

Metabolik Genetik Hemodinamik

Aliran/tekanan darah Aktivasi Protein kinase C

Hormon-hormon vasoaktif

(angiotensin II, endotelin)

Permeabilitas pembuluh darah

Sitokin

Transforming vascular

Growth endothelial

Factor β growth factor

ECM cross linking

ECM

Penimbunan ECM

Proteinuria

Pembentukan nodul, fibrosis tubulointerstitialis Glomerulosklerosis noduler

Laju filtrasi glomerulus meningkat pd nefron yg sehat

Perjalanan klinis

Secara tradisional nefropati diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

Tahap I. LFG meningkat sampai 40 % diatas normal yang disertai pembesaran

ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih

reversibel dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan.

Pengendalian glukosa darah dapat menormalkan fungsi maupun struktur ginjal.

Tahap II (silent stage). LFG masih meningkat. Albuminuria meningkat setelah

latihan jasmani, keadaan stress, atau kendali metabolik yang memburuk. Terjadi

setelah 5 – 10 tahun diagnosis DM ditegakkan dan perubahan struktur ginjal tetap

berlanjut. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya keadaan metabolik.

Tahap III (incipient nephropathy diabetic). Mikroalbuminuria telah nyata. LFG

masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah meningkat juga. Biasanya terjadi 10 -15

tahun sejak diagnosis DM. Masih dapat dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan

darah yang ketat.

Tahap IV. Merupakan tahap dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis

dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, LFG sudah menurun

dibawah normal (10 ml/menit/tahun). Terjadi 15-20 tahun setelah diagnosis DM.

Penyulit diabetes sudah dapat dijumpai : retinopati, neuropati, gangguan profil lemak,

dan gangguan vakular umum. Progresifitas ke arah gagal ginjal dapat diperlambat

dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.

Tahap V. Tahap ini adalah tahap gagal ginjal dimana LFG sudah sedemikian

rendahnya sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan

memerlukan terapi pengganti.

Gejala klinis pasien dengan nefropati diabetik meliputi16 :

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya yaitu diabetes melitus

b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,

perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c) Gejala komplikasi : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis

metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Gambaran laboratorium pasien dengan nefropati diabetik meliputi :

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya : diabetes melitus

b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG.

c) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, asidosis metabolik

d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetes akibat DM tipe 1 atau DM

tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang menunjang

penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (nefropati

diabetes).

Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada

pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Pada penderita dengan DM tipe 1,

pemeriksaan dilakukan setelah pubertas atau setelah 5 tahun didiagnosis

menderita DM. Sedangkan pada penderita dengan DM tipe 2 dimana onset

penyakit terkadang tidak bisa ditentukan maka pemeriksaan harus dimulai saat

diagnosis DM ditegakkan.

Pemeriksaan mikroalbuminuria disarankan dilakukan setiap tahun setelah

pemeriksaan pertama kali. Sekali mikroalbuminuria diidentifikasi, penderita harus

melakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan sekali.

Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per

hari.Berikut tabel laju ekskresi albumin urin:

Kondisi

Laju ekskresi albumin urin

Perbandingan albumin

urin-kreatinin (µg/mg)24 jam

(mg/hari)

Sewaktu

(µg/menit)

Normoalbuminuria < 30 <20 < 30

Mikroalbuminuria 30 - 300 20 – 200 30 – 300 (299)

Makroalbuminuria >300 >200 > 300

Berikut adalah alur penegakan diagnosis nefropati diabetik :

Penatalaksanaan

Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu

dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor

risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko

Pasien dengan DM tipe 1 atau tipe 2

Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Negatif Positif

Tes untuk mikroalbumin

(30 – 300 mg/hari )

Nefropati yang jelas

Tentukan jumlah ekskresi protein

Memulai terapi

Jika 2 dari 3 tes (+)

Jika (+), di ulang 2 kali dalam 3 bulan

Memulai terapi

lainnya adalah konsumsi rokok. Maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan

adalah merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas

dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan

kendali lemak darah. Disamping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup

seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, juga

tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.

Pengendalian kadar gula darah

Menurut kepustakaan, pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah

progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM

tipe 1 ataupun tipe 2. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah

pencapaian kadar HbA1c < 7 %, kadar gula darah pre prandial 90 – 130 mg/dl, post-

prandial < 180 mg/dl.

Pengendalian tekanan darah

Pengendalian tekanan darah ditujukan untuk memberikan efek perlindungan

yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ

kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula

renoproteksi. Pada umumnya target tekanan darah adalah < 130/90 mmHg, akan

tetapi bila proteinuria lebih berat, > 1gr/24 jam maka target harus lebih rendah, yaitu

< 125/75 mmHg. Untuk mencapai target ini tidaklah mudah sehingga harus memakai

kombinasi berbagai macam obat dengan berbagai efek samping yang dapat timbul.

Yang paling penting adalah, apapun jenis obatnya, target tekanan darah yang

diinginkan harus tercapai.

Obat jenis angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) dan

angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun

renoproteksi yang baik, sehingga obat-obat ini sering digunakan sebagai awal

pengobatan hipertensi pada pasien DM.

Penggunaan ACE inhibitor dan ARB

ACE inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi

vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan

Ya

Ya

Screening albuminuria

Kontrol glukosa memuaskan ? Perbaiki kontrol glukosa

Mengkaji dan memodifikasi faktor risiko :

Kolesterol total < 5 mmol/L

LDL < 3 mmol/L

Stop merokok

BMI < 25 kg/m2

Pemberian ACE inhibitor bila tidak ada kontraindikasi

Apakah tekanan darah terkontrol ?

( < 130/80 mmHg atau < 125/75 mmHg bila proteinuria (+))

Target :

LFG stabil

Mikroalbuminuria stabil atau menurun

TD < 130/80 mmHg (< 125/75 mmHg apabila proteinuria (+))

Kontrol tekanan darah :

Diet rendah garam

Aktivitas fisik

Dapat dibantu dengan obat anti hipertensi

Tidak

Tidak

Ya

Tidak

ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Di ginjal, ACE inhibitor menyebabkan

vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum

akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus (LFG).

Pada sirkulasi glomerulus, ACE inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih

dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan

tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada

nefropati diabetik dan juga dapat memperlambat progresivitas nefropati diabetik.18

Obat ini juga menunjukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi

resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemi,

dan obesitas.

Dalam JNC VII, pemberian ACE-inhibitor harus hati-hati terutama bila ada

hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selam pemberian obat ini.

Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.

Dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral.

ARB bekerja selektif pada reseptor AT1 yang terdapat terutama pada otot

polos pembuluh darah dan di otot jantung. Pemberian obat ini akan menghambat

semua efek AngII, seperti : vasokonstriksi, sekresi aldosteron, dll. ARB sangat

efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang

tinggi seperti hipertensi renovaskular, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan

aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa

mempengaruhi frekuensi denyut jantung.

Algoritme penanganan nefropati diabetik

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit

dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai

penerbit FKUI, 2006; 1857.

2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008 [ diakses

tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id

3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.

4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia

2011. Jakarta : PERKENI, 2011

5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie,

A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006

7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi

Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam

FKUI; 2006; hal. 1920

8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873

9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi :

Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa,

Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259