LP DAN ASKEP
SISTEM PENCERNAAN
“GASTRO ENTERTIS”
Skenario 3
Oleh Kelompok 7 :
1. JENER J.
2. KHOLID K.
3. MARTINA
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SATRIA BHAKTI NGANJUK
2011/2012
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan yang berjudul “Gastoenteritis” ini
telah disetujui dan disahkan oleh dosen pembimbing pada :
Hari :
Tanggal :
Mengesahkan/ menyetujui
Dosen Pembimbing
Erni Tri Indarti. S. Kep. Ns
LAPORAN PENDAHULUAN
GASROENTERITIS
I. Tinjauan umum
A. Pengertian
Gastroententeritis atau diare adalah peradangan pada lambung, usus
kecil, dan usus besar dengan berbagai kondisi patologis dari saluran
gastrointestinal dengan manifestasi diare, dengan atau tanpa disertai mual
muntah serta ketidak nyamanan abdomen. (Mutaqin, 2011).
Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi
dan lebih dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat
berwarna hijau atau dapat bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997).
Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih
dari tiga kali sehari.
Bakteri penyebab.
B. Tanda dan Gejala
1. Diare yang berlangsung lama (berhari-hari atau berminggu-minggu) baik
secara menetap atau berulang
2. Penderita akan mengalami penurunan berat badan
3. Berak kadang bercampur dengan darah
4. Tinja yang berbuih
5. Konsistensi tinja tampak berlendir
6. Tinja dengan konsistensi encer bercampur dengan lemak
7. Penderita merasakan sekit perut
8. Rasa kembung
9. Kadang-kadang demam
Gambar gangguan
Gangguan pada gastro
gastroenteristis
C. WOC
Toksitas makanan, efek obat, keracunan bahan laut, makanan dan minuman
Akumulasi air di lumen intestinal
Iritasi saraf lokal
Diare
Masuknya nutrisi
Gastroenteristis
Enterotoksin agen infeksi
Nyeri abdominal
asam organik, tekanan osmotik, dan motilitas usus
Stimulasi dari c-AMP, c-GMP
Sekresi air dan elektrolit
Invasi pada mukosa, memproduksi enterotosiin, dan atau memproduksi sitotosin
Invasi virus dan bakteri ke saluran gastointestinal
Nutrisi tidak dapat diabsorsi
Proses infeksi
Proses autoimun
Hipertermi (MK)
Resiko kerusakan integritas jaringan anus(MK)
Cairan tidak seimbang
B2 B3B1 B4 B6B5B
Sekresi cairan dan elektrolit
Penurunan perfusi ke ginjal
Penurunan perfusi otak
Intoleransi aktivitas (MK)
Resiko syok hivopolemik(MK)
Gangguan gastrointestinal
Oligori anuria
Mual muntah, kembung ,anoreksia
Resiko gagal ginjal (MK)
Resiko penurunan perfusi
serebral(MK)
Cairan tidak seimbang
Resiko gangguan pola nafas (MK)
Resiko asidosis metabolik
Ketidak seimbangan asam basa
Ketidak seimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan(
MK)
Asupan nutrisi tidak adekuat Asupan
nutrisi tidak adekuat
Ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit(MK)
Sekresi cairan dan elektrolit
Lemah, gelisah, penurunan aktivitas
Nutrisi ke otak/O2
Fungsi Duktus lomelusl
Suplai nutrisi Peristaltik usus
Sekresi HCL
Lemas, lemah
D. Penatalaksanaan
1. Rehidrasi
a. Pada anak yang mengalami diare tanpa dehidrasi (kekurangan
cairan).
Tindakan: - Untuk mencegah dehidrasi, beri anak minum lebih
banyak dari biasanya - ASI (Air Susu Ibu) diteruskan - Makanan
diberikan seperti biasanya - Bila keadaan anak bertambah berat,
segera bawa ke Puskesmas terdekat.
b. Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi ringan/sedang
Tindakan: - Berikan oralit - ASI (Air Susu Ibu) diteruskan -
Teruskan pemberian makanan - Sebaiknya yang lunak, mudah
dicerna dan tidak merangsang - Bila tidak ada perubahan segera
bawa kembali ke Puskesmas terdekat.
c. Pada anak yang mengalami diare dengan dehidrasi berat
Tindakan: - Segera bawa ke Rumah Sakit / Puskesmas dengan
fasilitas Perawatan - Oralit dan ASI diteruskan selama masih bisa
minum
d. Takaran Pemberian Oralit.
Umur Jumlah
<1 tahun 3jam pertama 1,5gelas selanjutnya 0,5
setiap kali mencret
Di bawah 5 thn (anak
balita)
3 jam pertama 3 gelas, selanjutnya 1 gelas
setiap kali mencret
Anak diatas 5 thn 3 jam pertama 6 gelas, selanjutnya 1,5
gelas setiap kali mencret
Anak diatas 12 thn &
dewasa
3 jam pertama 12 gelas, selanjutnya 2
gelas setiap kali mencret (1 gelas : 200
cc)
e. Ada 4 hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan
rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:
1) Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan
karena tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah
kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja.
Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%)
yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml
pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut
awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah
dehidrasi dengan segala akibatnya.
2) Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan
harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
Jumlah kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan
cara/rumus:
Mengukur BJ Plasma
Kebutuhan cairan dihitung dengan rumus:
BJ Plasma - 1,025
———————- x BB x 4 ml
f. Tahapan dehidrasi dari ashill dan drose (1997):
1) Dehidrasi ringan: berat badan menurun 3%-5%, dengan volume
cairan yang hilang kurang dari 30ml/kg.
2) Dehidrasi sedang; berat badan menurun 6%-9%, dengan volume
cairan yang hilang 30-90 ml/kg
3) Dehidrasi berat; berat badan yang hilang lebih dari 10% dengan
volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kg
g. Pemberian cairan:
1) Belum terjadi dehidrasi
Cairan rumah tanga(air tajin, air the manis dan lain-lain)
sepuasnya atau deengan perkiran 10ml/kg BB setiap kali BAB.
2) Dehidrasi ringan
Beri cairan oralit 30 ml/kg BB dalam 3 jam pertama selanjutnya
10 ml/kg BB atau sepuasnya setiap kali BAB.
3) Dehidrasi sedang
Beri cairan oralit 300 ml/kg BB dalam 3 jam pertama selanjutnya
oralit 10 ml/kg BB atau sepuasnya setiap kali BAB
4) Dehidrasi berat
a) 0-2 tahunRinger laktat 70 ml/kg BB dalam 3 jam pertama, bila dehidrasi dari cairan oralit 40 ml/kg BB setelah 10 ml/kg satiap BAB.
b) Lebih dari 2 tahunRinger laktat 110 ml/kg BB dalam 3 jam pertama, bila syok guyur sampai nadi teraba. Bila masih dehidrasi beri cairan oralit 200-300 ml/kg BB tiap jam. Seterusnya cairan oralit 10 ml/kg BB. (Ngastiyah, 1997 :143-149).
2. Terapi Farmakologis
3. Kausal, pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun noninfeksi.
Pada diare dengan penyebab infeksi , obat diberikan berdasarkan
etiologinya.
E. Pemeriksaan Laboratorium dan penunjang lainnya
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik
adalah sebagai berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes) : Merupakan pemeriksaan awal
terhadap diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya
inflamasi intestinal. Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit
diindikasikan untuk menentukan adanya infeksi. Jika pasien dalam
keadaan immunocompromisedd, penting sekali kultur organisma yang
tidak biasa seperti Kriptokokus,Isospora dan M.Avium . Intracellulare.
Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difficle harus
diperiksa.
2. Volume Feses : Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit,
infeksi enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab
diare. Feses 24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian.
Sekali diare harus dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga
ditentukan apakah terjadi steatore atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam : Jika berat
feses >300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari
1000-1500 gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari
10g/24h menunjukkan proses malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan
suatu steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak
merak orange per ½ lapang pandang dari sample noda sudan adalah
positif. False negatif dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test
standard untuk mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan
pada tahap akhir. Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan
malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan
diare osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas
harus diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic
gap feses adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit
faeces (Na&K) dimana nilai normalnya <50 mosm. Anion organic yang
tidak dapat diukur, metabolit karbohidrat primer (asetat,propionat dan
butirat) yang bernilai untuk anion gapterjadi dari degradasi bakteri
terhadap karbohidrat di kolon kedalam asam lemak rantai pendek.
Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi yang terkumpul dalam suatu
tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas diperiksa,
osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap yang
rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebalinya osmotic gap
tinggi menunjukkan suatu diare osmotic.
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya
Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan
cyclospora yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED
yang meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah
akan mengesankansuatu protein losing enteropathy akibat inflamasi
intestinal. Skrining awal CBC,protrombin time, kalsium dan karotin
akan menunjukkan abnormalitas absorbsi. Fe,VitB12, asam folat dan
vitamin yang larut dalam lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi
menjadi penunjuk defak absorbsi lemak pada stadium luminal, apakah
pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik postmukosa. Protombin
time,karotin dan kolesterol mungkin turun tetapi Fe,folat dan albumin
mengkin sekali rendaah jika penyakit adalah mukosa primer dan normal
jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.
8. Tes Laboratorium lainnya : Pada pasien yang diduga sekretori maka
dapat diperiksa seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison
Syndrome), calcitonin (medullary thyroid carcinoma), cortisol
(Addison’s disease), anda urinary 5-HIAA (carcinoid syndrome)
9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan
alkalinisasi feses dengan NaOH yang kan berubah warna menjadi
merah. Skrining laksatif feses terhadap penyebab lain dapat dilakukan
pemeriksaan analisa feses lainnya. Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat
mendeteksi katartik osmotic sepertiMgSO4,mgcitrat Na2 SO4 dan Na2
PO4.
ASKEP
GASTROENTERISTIS
I. Tinjauan kasus
A. Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa data dan
penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara
intervensi,observasi,psikal assessment. Kaji data menurut Cyndi Smith
Greenberg,1992 adalah :
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh
meningkat,anoreksia kemudian timbul diare.
3. Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak
air dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada
bayi ubun-ubun besar cekung,tonus dan turgor kulit berkurang,selaput
lendir mulut dan bibir kering,frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan
konsistensi encer.
4. Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita,riwayat pemberian imunisasi.
5. Riwayat psikososial keluarga.
Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi
keluarga,kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui
prosedur dan pengobatan anak,setelah menyadari penyakit
anaknya,mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
6. Pemeriksaan fisik
a. Pernafasan
Klien mengeluh sesak di dada
RR: 14X/menit
b. Kardiovaskuler / sirkulasi
TD : 100/70 mmHg
Nadi cepat dan lemah : 125 x/menit
c. Persarafan / neurosensori
Terjadi kerusakan perfusi serebral
d. Perkemihan
Eliminasi urin : oliguri urinari
e. Pencernaan
elimunasi alvi : +
f. Muskuloskeletal : kelemahan otot,lemah.
B. Diagnosa
1. Resiko gangguan pola nafas b.d penurunan pH pada cairan
serebrospinal, penekanan pacu pernafasan, pernafasan kusmanul.
2. Resiko penurunan perfusi serebral b.d penurunan pH pada cairan
serebrospinal sekunder dari asidosis metaholik
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d diare, kehilangan cairan
pada gastrointestinal, gangguan absorbsi usus besar, pengeluaran
elektrolit dari muntah.
4. Resiko tinggi syok hipovolemik b.d penurunan volume darah, efek
sekunder kehilangan cairan dari gastrointestinal.
5. Resiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat.
6. Resiko kerusakan integritas jaringan anus b.d pasase feses yang encer
dengan asam tinggi dan mengiritasi mukosa anus.
7. Nyeri b.d iritasi saluran gastrointestinal.
8. Hipertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
C. Perencanaan dan Evaluasi
1. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d diare, kehilangan cairan dari gatroitestinal, gangguan absorbsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari
muntah.
Tujuan :Dalam waktu 3x24 jam cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
b. Membrane mukosa lembab, tugor kulit normal, CRT <2detik
c. Keluhan diare , mual, muntah berkurang.
d. Laboratorium : nilai elektrolit normal, analisis gas darah normal...............
Intervensi Rasional
Intervensi pemenuhan cairan :
1. Indentifikasi faktor penyebab, awitan (onset), spesifikasi usia
dan adanya riwayat penyakit lain.
2. Kolaborasi skor dehidrasi
3. Lakukan rehidrasi oral :
a. Berikan cairan secara oral
b. Jelaskan tentag hidrasi oral
c. Berikan cairan oral sedikit demi sedikit
4. Lakukan pemasangan IVFD (intravenous fluid drops)
5. Parameter dalam menentukan intervensi kedaruratan . Adanya riwayat
keracuna dan usia anak atau lanjut usia memberika tingkat keparaha
dari kondisi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit.
6. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan sesuai dengan derajat
dehidrasi dari individu
a.Pemberian cairan oral dapat diberikan apabila tingkat toleransi pasien
masih baik.WHO memberikan rekomendasi tentang cairan oral yang
berisi 90 mEq/L Na+, 20 mEq/ L K+, 80 mEq/L Cl-. 20 g/L glukosa,
osmolaritaaaas 310; CHO: Na = 1,2:1; diberikan 250 mL setiap 15
5. Dokumentasi secara akurat mengenai input dan output cairan
6. Bantu pasien jika muntah
menit sampai keseimbangan cairan terpenuhi dengan tanda klinik yang
optimal atau pemberian 11/2 liter air pada setiap 1 liter feses (Diskin,
2009)
b.Penting perawat disampaikan pada pasien dan keluarga bahwa
rehidrasi oral tidak menurunkan durasi dan volume diare
c.Pemberian cairan oral sedikit demi sedikit mencegah terjadinya
respon muntah apabila diberikan secara simultan..
7. Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut maka lakukan pemasnagan
IVDF. Pemberian cairan IV disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan ringer laktat secara tetesan cepat sebagai
kompensaasi awal hidrasi cairan diberikan untuk mencegah syok
hipovolemik (lihat intervensi kedaruratan syok hipovolemik.
8. Sebagai evaluasi penting dan intervensi hidrasi dan mencegah
terjadinya overhidrasi.
9. Aspirasi muntah dapat terjadi trauma pada usia lanjut dengan
perubahan kesadaran. Perawat mendekatkan tempat muntah dan
memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan
resppon nyeri dari muntah.
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit.
1. Evaluasi kadar elektrolit serum
2. Dokumentasikan perubahan klinik dan
laporan dengan tim medis
3. Anjurkan pasien unutk minum dan makan makanan yang
banyak mengandung natrium seperti susu, telur, daging, dan
sebagainya
4. Monitor khusus ketidakseimbangan elektrolit pada lansia
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit.
1.Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi dan hipokalemik
sekunder dari hilangnya elektrolit dari plasma.
2.Peruahan klinik seperti penurunan urine output secara akut perlu
diberikan kepada rekan medis untuk mendapatkan intervensi
selanjutnya dan menurunkan resiko terjadinya asidosis metabolic.
3.Pemberian cairan dan makanan tinggi natium dilakukan sesuai dengan
tingkat toleransi. Kekurangan natrium menyebabkan gejala serius
yang perlu diberikan intravenous segera, selain itu pasien juga
dianjurkan untuk mencoba intake natrium peroral dan hidari
pebatasan garam.
4.Individu lansia dapat dengan cepat mengalami dehidrasi dan menderita
kadar kalium rendah (hipokalamia)sebagai akibat diare. Individu juga
di instruksikan untuk tanda-tanda hipokalemia karena kadar kalium
rendah memperberat kerja digitalis yang dapat menimbulkan
tokdiditasi digitalis.
Antimikriba diberikan sesuai dengan pemeriksan feses agar pemberian
antimikroba dapat rasional diberikan dan mencegah terjadinya resistensi
obat.
Kolaborasi dengan tim medis terapi farmakologis
o Antimikroba
o Antiemetic
Antidiare/antimotilitas
Agen ini diberikan untuk mengontrol respon muntah. Agen ini
berhubungan dengan ekstrapiramidal dan memengaruhi, serta menekan
respon muntah (King, 2003). Contoh antiemetic sperti metoklotpamide
dan procnlorperazine yang bersifat antikolagenik.
2. Aktual/resiko tinggi sok hipovolemik b.d penurunan volume darah, efek sekunder kehilangan cairan dari gastrointestinal
Tujuan : dalam waktu 1x24jam tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria evaluasi :
a. Tidak terdapat tanda-tanda pasien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, kesaddaran optimal, urine >600 ml/hari
b. Membrane mukosa lembab, tugor kulit normal, CRT <2detik
c. Laboratorium: nilai elektrolit normal, nilai hematokrit normal dan protein serum meningka, BUN/kreatinin menurun.
Intervensi Rasional
Intervensi kedaruratan pemenuhan cairan:
Identifikasi adanya tanda-tanda syok dan status dehidrasi Parameter penting dalam menetukan intervensi sesuai dengan kondisi klinis
individu. Pada pasien dengan perubahan TTV dan dehidrasi berat, maka
pemulihan hidrasi menjadi parameter utama dalam melakukan tindakan.
Kolaborasi skor dehidrasi Pasien yang mengalami dehidrasi berat ditandai dengan sok dehidrasi 7-12
dan mempunyai resiko tinggi terjadinya syok hipovolemik.
Lakukan pemasangan IVFD Pemasangan IVFD secara dua jalur harus dapa dilakkukan untuk mencegah
syok yang bersifat irefesibel.
Pada saat melakukan pemasangan IVFD dengan kondisi kolaps dperlukan
keterampilan dan emahaman struktur anatomi vena karena pada kondisi klinik
sangat sulit dilakukam oleh perawat pemula.
Perawat dapat menggunakan manset tekanan daraj untuk membendung darah
agar dapat mengisi vena sehingga memudahkan dalam melakukan fungsi
vena.
Lakukan pemasangan dan pemberian infuse intraoseus Pemasangan ifus intraosues sudah dilakukan pada manusia sejak 1934 dan
popular dilakukan pada 1940. Intervensi ini hanya bersifat sementra sebagai
bagian resusitasi vaskuler apabila akses vena tidak bias dilakukan setelah
melakukan penusukan pada 3 tempat dan dalam waktu 90 menit (vreede,
2000). Kontraindikasi pemasangan ini bila pasien mengalami fraktur femur
pada sisi ipsifattoral, fraktur tipia proksimal, dan osteomielitis tiia. (woodall,
1992).
Pada kasus diare yang lebih berat dimana pemasangan pada vena tidak isa
dilakukan lagi karena syok sirklasi tidak bisa menghadirkan akses vena,
perawt harus melakuka pemasangan infuse secara intraoseus(dalam tulang).
Intervensi pemasangan infuse intraosesus lebih mudah dilakukan
dibandingkan intervensi vena seksi yang termasuk intervensi medik.
Tidak sperti pemberian cairan intravena, akses intraoseus pada pembeerian
cairan hanya dilakukan dalam kondisi gawat darurat dengan kondisi syok
yang nyata dan perawat tidak bisa lagi melakukan pemasangan infuse secara
intravena.
Cara pemasangan dan pemberian infuse secara intraoseus adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan set infuse
Seluruh set infuse dipersiapkan seperti bias, tetapi dengan menggunakan
jarum dengan diameter besar(biasanya terdapat dalam set transfusi)
2. Letakan infuse minimal 30cm di atas are pungsi
3. Pasang manset tekanan darah pada flabot infuse dan uat tekanan
200mmHg dan tahan agar kekuatan fiksasi dari dalam flabot infuse
mempunyai tekanan yang tinggi ungtuk mengalirkan cairan
4. Lakukan pungsioseus
Tulang yang paling mudah untuk dilakukan pungsi adalah tulang tibia
dengan alas an tulang tersebut lebih di permukan dan mudah untuk
melakukan pungsi.
Desinfesksi bagian proksimal tibia dan lakukan penusukan dengan jaru
besar dengan teknik memutar. Parameter masuknya jarum kedalam
intraoseus adalah terasanya jarum dari bagian keras ke bagian yang
lebih lunak.
Setelah yakin jarum sudah masuk kedalam intraoseus maka pasang
jarum yang sudah terhuung dengn set infuse bertekanan tinggi.
Periksa kecepatan tetesan infuse, apabila tetesan masih lambat maka
periksa kepatenan selang infus, tekanan pada manset apakah kurrrrang
dari 200 mmHg atau pngsi intraoseus masih belum optimal dan jarum
pungsi harus dimasukanlebih dalam.
5. Fiksasi jarumm dngan plester dan fiksasi pasien yang gelisah afar
tidak menyebabkan injuri lainya.
6. Beri cairan ringer lakta sebanyak satu liter dengan tetesan cepat dan
evalasi kondisi vaskuler.
7. Setelah pemberian cairan 1 literterdapat perbaikan sirkulasi ditandai
dengan terdapatnya atau terlihatnya bendungan vena, maka lakukan
pungsi vena sebagai jalan masuk ciran secar intravena. Apabila dua
jalur maka pemasang intraoseus dilepas. Akan tetapi apabila setelah
pemberian cairan 1 liter tidak menunujukan peraikan sirkulasi dengan
tidak menujukan perbaikan sirkulasi maka pemberian cairan
dilanjutkan atau jika perlu kolaborasi pemberian infuse seksi dengan
tim medis.
Kolaborasi rehidrasi cairan. Indikasi untuk rehidrasi cairan, meliputi gastrointestinal dengan gejala muntah
berat, perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi berat, dan pemberian oral yang
tidak kondusif. Pemberian 1-2 lier laruan dekstrosa 5% dalam 0 NaCl disertai
50 mEq NaHCO3 dan 10-20 mEq KCl selama 30 45 menit sangat penting
dilakukan pada dehidrasi berat (Banks, 2005).
Pad pemberian cairan secara cepat, maka KCl harus diberikan secara oral atau
intravena 20mEq KCl dalam 100 mL cairan dalam 1 jam (DuPont, 1997).
Monitor rehidrasi cairan Rehidrasi cairan harus diperhatikan dan diberikan sampai didapatkan
perbaikan status mental dan perfusi jaringan sufah membaik untuk
menghindari komplikasi terutama pada pasien usia lanjut dan penyakit gagal
jantung korigesif.
Dokumentsikan dengan akurat tentang intake dan output cairan Sebagai evaluasi penting dan intervensi hidrasi mencegah terjadinya over
hidrasi
Lakukan monitoring ketat pada seluruh system organ Pasien yang mengalami sok hipovolemik dari gastrointestinal setelah
mendapatkan resusitasi digawat darurat sebaiknya mendpat perawatan di
ruang intensif untuk memudahkan dalam memonitor seluruh kondisi organ.
3. Resiko gangguan pola nafas b.d penurunan pH pada cairan serebrospinal, penekanan pacu pernafasan, pernafasan kussmaul.
Tujuan :dalam waktu 1x24jam tidak terjadi perubahan pola nafas
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-21x/menit
b. Pemeriksaan gas arteri pH 7,4 ± 0,005, HCO3 24±2 mEq/L, dan PaCO2 40mmHg.
Intervensi Rasional
Kaji faktor penyebabasidosis metabolic Mengidentifikasi untuk mengatasi penyebab dari asidosis metabolic.
Monitor ketat TTV Perubahan TTV akan memberikan dampak fisik asidosis yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi
asidosis.
Istirahatkan pasien dengan posisi fowler Posisi fowler akan meningkatkan akspansi paru optimal. Istirahat akan
mengurangi kerja jantung meningkatkan tenaga cadangan, dan
meningkatkan tekanan darah.
Ukur intake dan output Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
Manajemen lingkungan: lingkungan yang tenang dan batasi
pengunjung
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulasi neri aksternal dan
pembatasan pengu jung akan membantu meningkatkan kondisi oksigen
ruang yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di
ruangan.
Kolaborasi :
Berikan oksigenasi
Berikan bikarbonat
Pantau data laboratorium analisa gas darah berkelanjutan
Jjika penyebab masalah adalah masuknya klorida, mak pengobatanya
adalah ditujukan pada penghilangan sumber klorida.
Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolic adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yang aman dan
menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya.
Monitoring perubahan dari analisa gas darah berguna untuk menghindari
komplikasi yang tidak diharapkan.
4. Actual/resiko tinggi perubahan perfunsi jaaringan b.d penurunan pH pada cairan serebropial, efek seekunder dari asidosis metabolic.
Tujuan :dalam waktu 2x24jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, dan kejang.
b. GCS 15, pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal (nadi 60-100 kali per menit, suhu 36-36,7˚C. pernafasan 16-20 kali permenit).
c. Pasien tidak mengalami deficit neurologist sperti kejang, lemass, agitasi, iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi akhir timbul koma,
kejang.
Intervensi Rasional
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS Dapat mengurangi kerusakan otak lanjut.
Monitor TTV seperti TD,nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada
hipertensi sistolik.
Pada keadan normal autoreguler mempertahankan keadan tekanan darah
sistemik berubah secara fluktusi. Kegagalan autoregurel akan
menyebabkan kerusakan vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolic,
sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkann perjalanan infeksi.
Bantu pasien untuk mebatasi muntah dan batuk. Anjurkan pasien
untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di
tempat tidur.
Aktifitas ini dapat meniggalkan tekanan intracranial dan intraabdomen.
Mengeluarkan napa sewaktu bergerrrak atau mengubah posisi dapat
melindungi diri dari efek valsava.
Anjurkanpasien menghindari batuk dan mengejang berlebihan. Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intracranial dan potensi
terjadinya perdarahan ulang.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung. Rangsangan aktifitas yang meningkatkan dapat meningkat kenaikan TIK,
istirahaat total dan ketenangan mungkindiperlkan untuk pencegahan
terhadap perdarahan dalam kasus stroke homolog/ perdarahan lainya.
Monitor kalium serum Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan kaliium kembali ke sel.
5. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakadekuatan intake nutrisi , efek sekunder darei nyeri, ketidaknyamanan
labung dan intestinal.
Tujuan :dalam waktu 3x24jam pasien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat criteria evaluasi.
Kriteria hasil :
a. Membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi individu, menunjukan peningkatan BS.
Intervensi Rasional
Kaji pengetahuan tentang nutrisi Tingkat pengetahuan di pengaruhi oleh kondisi social ekonomi pasien.
Perawatmenggunakann pendekatan yang sesuai dengan kondisi individu
pasien. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut perawat dapat
lebih terarah dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan terarah
dalam meberikan ddengan pengetahuan pasien secar efisisen dan efektif.
Berikan nutrisi oral secepatnya setelah rrehidrasi dilakukan. Pemberian nuttrisi sejak awal setelah intervensi rehidrasi dilakukan
dengan memberikann makanan lunak yang mengandung kompleks
karbohidrat seperti nasi lembek, roti, kentang, an sedikit daging khususnya
ayam (Levine, 2009).
Monitor perkembangan berat badan Penimbangan berat badan dilakukan sebagai evaluasi terhadap intervensi
yang diberikan.
6. Nyeri b.d iritasi gastrointestinal, adanya mules dan muntah
Tujuan : dalam waktu 1x24jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi.
Criteria evaluasi :
a. Secare subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi
b. Skala nyeri 0-4
c. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
d. Pasien tidak gelisah
Intervensi Resional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan noninvasive
Pendekatann dengann menggunakan relaksasi non farmakologi lainya
telah menujukan kefektifann dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri :
Istirahatkan pasien saat nyeri muncul
Ajarkan teknik relaksasi pernafasn dalam pada saat nyeri
muncul
Ajarkan distraksi saat rasa nyeri muncul
Manajemen lingkungan .
Istirahat secara sisiologi akan menurunkam kebutuhan oksigen untuk
memenuhu kebutuhan metabolism basal.
Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan mengurangi nyeri.
Lingkungan tenang akan mengurangi rangsangan nyeri
Tingkatkan pengatahuan tentang sebab-sebab nyeri, dan
hubungkan nyeri berapa lama nyeri berlangsung.
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan
dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien.
7. Hipertermi b.d respon inflamasi sistemik
Tujuan : dalam waktu 1x24jam terjadi penurunan suhu tubuh
Evaluasi hasil :
a. Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan, pasien mampu termotifasi untuk melakukan penjelasan yang
diberikan.
Intervensi Rasional
Kaji pengetahuan pasien dan keluarga cara menurunkan suhu
tubuh
Sebagai data untuk memberikan intervensi selanjutnya
Lakukan tirah baring pada fase akut Penurunan aktifitas akan menurunkan laju metabolism yang tinggi pada
fase akut .
Atur lingkungan yang kendusif Kondisikan ruangan kamar yang tidak panas, tidak bising, dan sedikit
pengunjung memberikan efektifitas penyemnuhan pasien. Pada suhu
ruangan kamar yang tidak panas maka akan terjadi perpindahan suhu
tubuh dari tubuh pasien ke ruangan.
Berikan kompres ir dingin pada daerah aksila, lipa paha, dan
temporal bila terjadi panas
Secara konduktif dan konversi, panas tubuh akan berpindah dari tubuh ke
materi yang dingin. Pengeluaran suhu tubuh dengan cara kenduktif
berkisar antar 3%dengan objek 15%.
Berikan dan anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang
dapat menyerap keringat sperti katun
Pengeluaran suhu tubuh dengan cara evaporasi berkisar 22% dari
pengeluarn suhu tubuh. Pakaian yang mudah menyerap keringat sangat
efektif.
Lakukan dan anjurkan keluarga melakukan masase pada
kestremitas pasien
Masase berguna untuk meningkatkan aliran darah ke ara ekstremitas.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat Antipiretik bertujuan memblok respon tubuh untuk memanaskan tubu.
8. Risiko kerusakan kerusakan integritas jaringan anus b.d pasase feses yang encer dengan asam tinggi dan mengiritasi mukosa anus.
Tujuan : dalam waktu 3x24jam terjadi peningkatan mukosa anus.
Kriteria evaluasi :Anus lembabt, bersih, tidak ada inflamasi pada anus
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang cara dan takhnik
peningkata membrane mukosa
Tingkatkan pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi pasien.
Perawat menggunakan pendekatan yang sesuaidengan kondisi pasien.
Dengan mengtahui tingkrat pengetahuan tersebut perawat perawat dpat
lebih mudah mengarahkan pasien.
Lakukan perawtan kulit Are perianal mengalami ekskoriasi akibat feses diare yang mengandung
enzim yang dapat megiritasi kulit. Pasien di didik untuk menjaga
kebersihan anus.
Monitor kusus pada lansia Kulit lansia sangat rentan karena penurunan tugor kulit. Jadi perlu di
perhatikan karena beresiko tinggi menalami kerusakan integritas kulit.
F. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah
sebagai berikut:
1. Melaporkan pola defeksi normal.
2. Mempertahankan keseimbangan cairan.
a. Mengkonsumsi cairan peroral dengan akurat.
b. Melaporkan tidak ada keletihan dan kelemahan otot.
c. Menunjukkan membrane mukosa lembab dan tugor jaringan
normal.
d. Mengalami keseimbangan intake dan output.
e. Mengalami berat jenis urine normal
3. Mengalami penurunan ansietas.
4. Mempertahankan integritas kulit.
a. Mempertahankan kulit tetap bersih seteleh defeksi
b. Menggunakan pelembap atau salep sebagai barier kulit
5. Tidak mengalami komplikasi.
a. Elektolit tetap dalam rentan normal
b. Tanda vital normal
c. Tidak ada disritmia atau perubahan tingkat kesadaran
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan danTutik Rahayu Ningsih. (2010). Keperawatan medikal bedah. Yogyakarta: Goeyen publishing.
Mutaqien, arif dan Kumala Sari. ( 2010). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi asuhan Keperawatan medikal bedah . Jakarta: Salemba Medika.
Sukarmin. (2010). Keperawatan pada sistem pencernaan . yogyakarta: pustaka pelajar.
Taylor, Cyntia M dan Sheila Sparks ralph. (2002). Diagnosa Keperawatan dengan Rencana keperawatan. Jakarta: EGC.
Pdf. LP GE