LAPORAN KASUS INDIVIDU
TUBERKULOSIS
DISUSUN OLEH:
SYARIFA NURAZAIN
H1A006048
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/PUSKESMAS
NARMADA
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995 menunjukkan angka
kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan
(2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan kematian mencapai
140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penduduk baru dengan BTA positif. Kriteria yang menyatakan bahwa di suatu negara
tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah bila hanya
terdapat satu kasus BTA (+) per satu juta penduduk. Sampai hari ini belum ada satu
negarapun di dunia yang telah memenuhi kriteria tersebut, artinya belum ada satu
negarapun yang bebas tuberkulosis. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya
angka tuberkulosis telah menurun, tetapi belakangan ini naik lagi sehingga tuberkulosis
disebut sebagai salah satu reemerging diseases. Untuk Indonesia tuberkulosis bukanlah
“reemerging diseases”, penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara kita,
dan bukan tidak mungkin meningkat (Suradi, 2001).
Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukkan Indonesia adalah
“penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di dunia sesudah Cina dan
India” dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000
pertahun (Lembar Fakta Tuberkulosis, 2008).
Kasus Penyakit TB paru di Kecamatan Narmada yang terdeteksi pada tahun
2010 yaitu, BTA (+) adalah 35 kasus dan klinis sebesar 433 kasus. Angka kesembuhan
Penderita TB Paru BTA (+) adalah setelah penderita menerima pengobatan anti TB Paru
dinyatakan sembuh, dimana hasil pemeriksaan dahak menunjukkan 2 kali negatif. Di
Kecamatan Narmada terdapat 28 orang penderita yang sembuh. Angka kesembuhan
kasus BTA (+) pada tahun 2010 mencapai 80 %, sedangkan target Indonesia Sehat
angka kesembuhan TB Paru BTA (+) yang dicapai sebesar 85%
(Profil Puskemas, 2010). Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak
terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah.
Berdasarkan semua data tersebut di atas, maka perlu ditelaah lebih lanjut
mengenai aspek yang menyebabkan mengapa angka kejadian tuberkulosis masih saja
tinggi dan faktor-faktor yang memungkinkan penularannya sehingga dapat dilakukan
2
pencegahan dan angka kejadian penyakit ini pun dapat ditekan. Maka dari studi kasus
ini, diharapkan didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TB
tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Penyakit Tuberkulosis di Puskesmas Narmada
Berdasarkan data program TB Paru Puskemas Narmada didapatkan data sebagai
berikut:
DATA HASIL CAKUPAN P2 TBC PUSKESMAS NARMADA TAHUN 2009
Kriteria Hasil Kegiatan
Klinis 418 orang
BTA (+) 31 orang
Diobati 31 orang
Sembuh 90 orang
DATA HASIL CAKUPAN P2 TBC PUSKESMAS NARMADA TAHUN 2010
Kriteria Hasil kegiatan Total
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
Suspek 133 108 124 68 433
BTA 11 5 10 9 35
Sembuh 6 8 10 4 28
Konversi 7 6 8 7 28
DATA HASIL CAKUPAN P2 TBC PUSKESMAS NARMADA TAHUN 2011
Kriteria Hasil kegiatan Total
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
Suspek 146 139 144 120 549
BTA 13 12 9 9 43
Ro Positif 8 7 4 7 26
Sembuh 12 11 11 12 46
Konversi 12 14 8 5 39
4
Dari tabel di atas terlihat bahwa kejadian tuberkulosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Narmada setiap tahun cenderung meningkat. Terjadinya peningkatan kasus
tuberkulosis ini berkaitan dengan perilaku, ekonomi dan tingkat sosial budaya
masyarakatnya.
2.2. Konsep Penyakit Tuberkulosis
2.2.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit
parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius
yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular dari
penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009).
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2.2.2. Epidemiologi
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993
menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2-0,65%.
Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO
pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256
kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.
Perkiraan prevalensi, insidensi dan kematian akibat TBC dilakukan berdasarkan analisis
dari semua data yang tersedia, seperti pelaporan kasus, prevalensi infeksi dan penyakit,
lama waktu sakit, proporsi kasus BTA positif, jumlah pasien yang mendapat pengobatan
dan yang tidak mendapat pengobatan, prevalensi dan insidens HIV, angka kematian dan
demografi.
Saat ini Survei Prevalensi TBC yang didanai GFATM telah dilaksanakan oleh
National Institute for Health Research & Development (NIHRD) bekerja sama dengan
National Tuberculosis Program (NTP), dan sedang dalam proses penyelesaian. Survei
ini mengumpulkan data dan dilakukan pemeriksaan dahak dari 20.000 rumah tangga di
30 propinsi. Studi ini akan memberikan data terbaru yang dapat digunakan untuk
5
memperbarui estimasi insidensi dan prevalensi, sehingga diperoleh perkiraan yang lebih
akurat mengenai masalah TBC.
Dari data tahun 1997-2004 terlihat adanya peningkatan pelaporan kasus sejak
tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat pelaporan kasus
TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan pelaporan kasus BTA
positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk. Sedangkan berdasarkan
umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak ke arah kelompok umur
tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini sebagian besar kasus masih
terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun (tbindonesia, 2011)
2.2.3. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki
konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman
ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
2.2.4. Diagnostik TB Paru
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB,
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS) (Depkes, 2007).
6
2.2.5. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di
tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi
penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia
bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
negative menjadi positif (Depkes, 2007).
2.2.6. Penemuan Penderita TB Baru
Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan
penyembuhan penderita TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Pemeriksaan terhadap
kontak penderita TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang
7
menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan
secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes,2007).
2.2.7. Pengobatan TB Paru
Tujuan Pengobatan TB paru yaitu untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu
tahap intensif dan lanjutan, Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar penderita TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan penderita
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama, tahap
lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
2.2.8. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori
Anak: 2HRZ/4HR
2. Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.
3. Paket Kombipak: Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
8
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami
efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam
satu (1) masa pengobatan (Depkes RI, 2008 dan Wibisono et al, 2010).
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB (Depkes RI, 2008):
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
2.2.9. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA Positif
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan: sembuh, pengobatan
lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out dan gagal. Sembuh
yaitu penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan Lengkap adalah penderita yang telah
menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan
sembuh atau gagal. Meninggal adalah penderita yang meninggal dalam masa
pengobatan karena sebab apapun. Pindah adalah penderita yang pindah berobat ke unit
dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. Default
(Putus berobat) adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai. Gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
2.3. Program Penanggulangan TB Paru di Puskemas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas
menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah program pemberantasan
penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru yang dilakukan
9
dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional
penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas
secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di
seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang diintegrasikan
dalam pelayanan kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes, 2007).
2.3.1 Strategi DOTS
Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB tipe
menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan
insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara
terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi
DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia
menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif.
Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan
efektifitasnya (Depkes, 2007).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu dengan mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
Komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan
termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk
menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan adanya
dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan terhadap
penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain adalah
penempatan program penanggulangan TB Paru dalam reformasi sektor kesehatan secara
umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan
kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan
cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program
10
penanggulangan TB Paru harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi
sektor kesehatan.
Komponen kedua yaitu penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena
keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Hal ini
dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopis merupakan cara yang paling cost
effective dalam menemukan kasus TB Paru. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat
dilakukan pemeriksaan radiografi, seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit
pelayanan kesehatan yang memilikinya.
Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus
sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh penderita tuberkulosis
yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah
makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan penderita menghilang, ia merasa
dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem
yang menjamin penderita mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai.
Harus ada yang melihat penderita TB Paru menelan obatnya, ini dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan, oleh pemuka masyarakat setempat, oleh tetangga penderita atau
keluarganya sendiri.
Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara
teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini
adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini
diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah
kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu (untuk
forecasting), data akurat stok di masing-masing gudang yang ada.
Komponen kelima yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Setiap penderita
TB Paru yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian
tercatat di catatan TB Paru yang ada di kabupaten. Kemanapun penderita ini pergi dia harus
menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak sampai
tercatat dua kali (Depkes RI, 2007; Aditama, 2002).
11
2.3.2 Pengawas Minum Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal, dipercaya dan
disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan penderita, bersedia
membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan
bersama-sama dengan penderita.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI
(Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar
mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban
penderita mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan.
Petugas kesehatan harus memberikan informasi penting yang perlu dipahami
PMO untuk disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB disebabkan kuman
bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, cara
penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya, cara pemberian
pengobatan penderita (tahap intensif dan lanjutan), pentingnya pengawasan supaya
penderita berobat secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya
segera meminta pertolongan ke UPK (Depkes, 2007).
12
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun Karang Anyar, Desa Gerimak Indah, Kecamatan
Narmada Lombok Barat
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Tani
Waktu Pemeriksaan : 10 Desember 2011
3.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Batuk Darah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh batuk darah sejak 3 hari sebelum pemeriksaan di Puskesmas (tgl 7 Desember
2011). Batuk berdahak, dahak bercampur lendir dan darah. Selain itu pasien juga mengeluh
nyeri dada. Nyeri dada dikeluhkan pada dada kanan. Sesak kadang juga dikeluhkan. Selain itu
pasien juga mengeluh demam sejak 3 hari sebelum pemeriksaan. Demam dikeluhkan sejak os
menderita batuk darah ini. Demam naik turun dengan pola yang tidak tentu. Keringat pada
malam hari disangkal. Nafsu makan pasien menurun (+). Pasien menjadi sangat lemas dan tidak
bertenaga. Karena lemas yang dirasakan, pasien tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa.
BAK (+) normal dengan frekuensi 3-4x sehari warna kuning jernih. BAB 2 hari sekali
konsistensi padat warna kuning kecoklatan.
Batuk berdahak awalnya dikeluhkan os sejak 1 bulan yang lalu, os selalu berobat ke puskesmas
dan diberikan obat batuk. Dengan obat batuk tersebut, batuk pasien membaik, tapi tidak lama
setelah itu muncul kembali. Dan puncaknya dalam 3 hari ini, os mengalami batuk darah.
13
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan batuk darah sebelumnya (-) , riwayat dirawat di Puskesmas/RS disangkal,
riwayat penyakit jantung (-), hipertensi (-), sesak nafas (-), riwayat batuk lama (-), Riw. OAT(-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien saat ini yaitu
sepupu pasien. Pasien sering berinteraksi, kerja dan makan bersama dengan sepupunya tersebut.
Namun sepupunya tersebut sudah menuntaskan OATnya 1 bulan yang lalu dan dinyatakan
sembuh.
Ikhtisar Keluarga:
Ket :
: laki-laki
: perempuan
: pasien
: Pasangan suami istri
Pasien tinggal di rumah di lingkungan Dusun Karang Anyar, Desa Gerimak Indah, Kecamatan
Narmada Lombok Barat bersama dengan istri dan 1 orang cucunya. Anak-anaknya telah
menikah dan mempunyai rumah sendiri-sendiri. Anggota keluarga pasien dapat dilihat pada
skema di atas. Garis putus-putus merah menunjukkan anggota keluarga yang tinggal bersama
dengan pasien.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien merupakan pasien lanjut usia. Dulunya os bekerja sebagai buruh tani. 5 tahun terakhir Os
sudah tidak bekerja. Biaya untuk makan dan keperluan sehari-hari didapatkan dari kiriman anak-
Anak II Anak III Anak IV
Tn. S Ny. I
Cucu Tn. S
Anak I Anak V
14
anaknya. Per bulan sekitar Rp 150.000 – Rp 200.000,00. Penghasilan ini dirasa kurang untuk
membiayai kehidupan sehari-hari.
Os memiliki kebiasaan merokok sejak muda. Dalam 1 hari os bisa menghabiskan hampir 2
bungkus rokok. Semenjak os sering batuk dan sakit ini, os menghentikan kebiasaannya tersebut.
Pasien tinggal di sebuah rumah yang berukuran ± 7 x 4 m2, Pasien tinggal bersama istri dan satu
orang cucu perempuannya. Rumah os terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dan 2 kamar tidur.
Dapur terletak di luar rumah. Rumah pasien ini beratap genteng, terdapat flavon kayu,
berdinding tembok, terdapat jendela di setiap ruang. Tapi os dan keluarga mengaku jarang
membuka jendela tersebut karena penghuni rumah tidak banyak dan jika jendela dibuka maka
akan mengganggu tetangga yang letak rumahnya hanya berjarak 0,5 meter dari rumah pasien.
Rumah ini berlantai keramik pada ruang tamu dan ruang keluarga, namun berlantai semen pada
kamar tidur. Dapur terletak di samping rumah pasien. Letak dapur dan kamar tidur dipisahkan
oleh dinding rumah. Batas rumah pasien di sebelah selatan adalah gang dusun, sebelah utara
adalah halaman belakang rumah tetangga, sedangkan di sebelah timur rumah pasien berbatasan
dengan rumah tetangga yang berjarak ± 1 meter dari rumah pasien dan sebelah barat rumah
pasien berbatasan juga dengan rumah tetangga.
Rumah pasien tidak memiliki jamban, WC ataupun kamar mandi. Untuk kebutuhan sehari-hari
pasien mengambil air bersih dari sumur di dekat rumahnnya. Namun menurut pasien dan
keluarga pasien, air tersebut langsung dikonsumsi dan tidak dimasak terlebih dahulu, dengan
alasan sudah terbiasa dengan hal seperti itu dan mereka mengatakan rasa air yang dimasak tidak
segar dan berbeda dengan air yang langsung dikonsumsi. Sedangkan untuk keperluan BAB dan
BAK, pasien dan keluarga pasien melakukannya di sungai kecil yang berjarak ± 10 m dari
rumahnya.
15
Skema Denah Rumah Pasien:
Dokumentasi rumah pasien:
Rumah Pasien tampak depan
4 m
7 m
b
cd
a
Keterangan
a : Ruang tamu
b : ruang keluarga
c : Kamar tidur I
d : Kamar tidur II
: Pintu
: Jendela
16
Ruang tamu
Kamar tidur I
17
Kamar Tidur 2
Ruang keluarga
18
Dapur yang terletak di sebelah selatan rumah
Sumur tempat mengambil air untuk keperluan masak dan mencuci
19
Sumber air pasien
Lokasi sungai tempat Cuci dan Kakus
20
3.3. PEMERIKSAAN FISIK (10 Desember 2011)
Pemeriksaan umum
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : CM
Tanda vital :
TD : 90/60 mmHg
HR : 94x/menit, irama teratur
RR : 26 x/menit
T ax : 38 oC
Status Gizi BB: 45
TB: 160
Status Gizi : Kurang
Status General :
o Kepala :
1. Ekspresi wajah : lelah
2. Bentuk dan ukuran : normal
3. Rambut : uban (+)
4. Udema (-)
5. Parese N VII (-)
o Mata :
1. Simetris
2. Alis : normal
3. Exopthalmus (-)
4. Ptosis (-)
5. Nystagmus (-)
6. Strabismus (-)
7. Udema palpebra (-)
8. Mata cowong :-/-
9. Konjungtiva : anemia (-/-), hiperemia (-)
10. Sclera : ikterus (-/-), hyperemia (-), pterygium (-)
21
11. Pupil : isokor, bulat, miosis (-), midriasis (-)
12. Kornea : normal
13. Lensa : normal, katarak (+)
o Telinga :
1. Bentuk : normal,
2. Lubang telinga : normal, secret (-)
3. Nyeri tekan (-)
4. Pendengaran : normal
o Hidung :
1. Simetris, deviasi septum (-)
2. Perdarahan (-), secret (-)
o Mulut :
1. Bibir : sianosis (-)
2. Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)
3. Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-)
4. Mukosa : Normal
o Leher :
1. Simetris (-)
2. Kaku kuduk (-)
3. Scrofuloderma (-)
4. Pemb.KGB (-)
5. Trakea : ditengah
6. Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-)
7. Pembesaran thyroid (-)
o Thorax :
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba ICS 5 midklavikula sinistra
Perkusi : -
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
22
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Iga dan sela iga : retraksi (-), penggunaan otot bantu intercostal (-),
Pelebaran sela iga (–)
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba dan vokal simetris
Nyeri tekan (–)
Perkusi : Redup di dinding dada kanan atas. Sonor di lapang paru kiri
Nyeri ketok (–)
Auskultasi : Suara nafas vesikuler /+
Suara tambahan rhonki -/-
Suara tambahan wheezing -/-
o Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
Palpasi :Turgor normal
Nyeri tekan (+)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Perkusi : timpani
o Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa
o Vertebrae : kelainan bentuk (-), Gibus (-), nyeri tekan (-)
o Ekstremitas atas :
Pucat -/-
Akral hangat : +/+
Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
Kekuatan-tenaga : normal
23
o Ekstremitas bawah:
Pucat -/-
Akral hangat : +/+
Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema: (-/-)
Sianosis : (-)
Kekuatan-tenaga : normal
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG : BTA (+1) dilakukan di puskemas
3.5. DIAGNOSIS KERJA
Tuberkulosis Kasus Baru dengan BTA (+)
3.6. PENATALAKSANAAN
Terapi rawat jalan
- OAT FDC
- PCT tab 500mg bila demam maksimal 3x1
- Vitamin B1 1x1
- Vitamin B6 2x1
3.7. PROGNOSIS
Dubia
3.8. KONSELING
Konseling yang diberikan pada pasien :
1. Penyakit yang diderita adalah penyakit TB yang menular dan bisa menyerang siapa saja
2. Pasien harus minum obat minimal selama 6 bulan secara teratur
3. Membuang dahak pada wadah tertutup yang berisi pasir dan air sabun, diganti minimal
1x sehari, kemudian menguburnya di tempat yang jarang dilewati orang
4. Rajin kontrol sesuai waktu yang ditetapkan
24
5. Jagalah kebersihan rumah dan pencahayaan di dalamnya, buka jendela setiap hari pagi
dan siang hari.
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien dalam laporan kasus ini yaitu pasien laki-laki usia 65 tahun datang dengan
keluhan batuk darah. Demam (+), Sesak (+), Nafsu Makan Berkurang (+), riwayat keluhan
yang sama sebelumnya (-). Dari Pemeriksaan fisik didapatkan redup pada lobus paru kanan
atas dan suara vesikuler menurun. Pemeriksaan Penunjang BTA menunjukkan hasil positif
1, maka dapat ditegakkan diagnosis pasien ini adalah Tuberkulosis kasus baru dengan BTA
Positif.
Berdasarkan hasil penelusuran kasus ini, jika mengacu pada konsep kesehatan
masyarakat, maka dapat ditelaah beberapa faktor yang mempengaruhi atau yang menjadi
faktor resiko terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dalam kasus ini.Adapun faktor-
faktor yang berperan atau yang mempengaruhi terjadinya tuberkulosis pada pasien ini
antara lain:
1. Faktor Genetik/Biologis
Pasien dalam kasus ini (Tn. S) adalah seorang laki-laki lansia dengan umur 65
tahun. Dari usianya tersebut, Tn. S termasuk dalam usia yang rentan mengalami penyakit,
terutama penyakit infeksi karena pada usia lanjut, daya tahan tubuh seseorang akan mulai
menurun, sehingga mudah terserang penyakit. Selain itu pasien berjenis kelamin laki-laki.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996
jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita
TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun
1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan
penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai
resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status
gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
26
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. Pasien dalam kasus
ini memiliki BB 45 kg n TB 160kg, didapatkan Indeks Massa Tubuh Pasien setelah
dihitung adalah 17,57 artinya pasien dalam kondisi berat badan dibawah normal. Ini
menandakan status gizi pasien dalam kondisi tidak baik. Hal ini menjadi salah satu faktor
mudahnya pasien terjangkit penyakit terutama penyakit infeksi.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan memegang peranan yang sangat penting dalam terjadinya sebuah
penyakit, apalagi penyakit tersebut adalah penyakit berbasis lingkungan. Hal ini tentu saja
dapat menyebabkan mudahnya terjadi infeksi apabila tidak ada keseimbangan dalam
lingkungan. Dalam kasus ini, lingkungan tempat tinggal Tn. S mendukung terjadinya
penyakit tuberkulosis yang dialaminya tersebut. Lingkungan rumah merupakan salah satu
faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003). Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1 – 2 jam
bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni
rumah.
Pencahayaan Rumah
Keadaan rumah pasien pada kasus ini tergolong lembab dan kurang cahaya. rumah ini
hanya memiliki satu buah jendela dan satu buah pintu untuk semua ruangan. Jendela
terletak hanya pada bagian belakang rumah, dan pintu hanya terletak di depan rumah.
Pasien dan keluarga mengaku jarang membuka jendela, terutama jendela kamar karena
rumah tetangga yang terlalu dekat dengan rumah pasien. Cahaya yang masuk sangat
kurang. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dapat berkembang dengan pesat,
termasuk kuman dan bakteri penyebab tuberkulosis.
Kepadatan Hunian Rumah
Rumah tempat tinggal pasien dalam kasus ini memiliki jarak yang sangat dekat dengan
rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Bahkan sebagian besar rumah di lingkungan
tempat tinggal pasien ini tidak memiliki halaman. Jarak antar rumah satu dan lainnya ±
27
0,5-1 meter. Hal ini tentu saja dapat menjadi faktor pendukung untuk tersebarnya
penyakit dengan mudah
Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila
pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar
akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis
udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala
penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru. Pasien dalam kasus ini punya
riwayat bekerja sebagai buruh tani sebelum sakit. Buruh tani memiliki resiko terpapar
partikel padi, pupuk dan pestisida selama bekerja. Hal ini memperbesar resiko pasien
terkena penyakit saluran napas.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang
akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan,
pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan
rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah
UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang
dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal
jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi
rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah
terjadinya penularan penyakit TB Paru.
3. Faktor Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh
terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber
penular bagi orang disekelilingnya.
28
Pengetahuan yang kurang tentang TB
Pasien dan keluarga sebelumnya tidak mengetahui tentang TB, pengertian, faktor
resiko, penularan, akibat dsb. Pengetahuan yang rendah ini mempengaruhi
tindakanya yang menjadi kurang tepat. Pasien dan keluarga mengaku jarang
membuka jendela rumah, memasak menggunakan kayu bakar dan tidak segera
memeriksakan diri ketika sudah ada gejala sakit yang mengarah ke TB.
Kebiasaan Merokok
Pasien dalam kasus ini termasuk mempunyai riwayat perokok berat. Dalam satu
hari os bisa menghabiskan lebih dari 10 batang rokok. Kebiasaan merokok
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50%
terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan
adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat yang
diadakan oleh puskesmas seperti Posyandu Lansia, padahal jika dilihat dari usia,
pasien termasuk dalam sasaran program tersebut.
4. Faktor Pelayanan Kesehatan
Kurangnya penyuluhan tentang PHBS dan TB.
Pasien dan keluarga mengaku belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang
cara hidup bersih dan sehat serta TB dari PKM. Pasien juga mengatakan tidak
ada posyandu lansia di desanya. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya
informasi yang didapatkan pasien mengenai kegiatan yang diadakan oleh
puskesmas atau karena memang desa tempat pasien tinggal tidak diadakan
posyandu lansia.
Dari beberapa uraian faktor tersebut di atas, dapat diketahui bahwa banyak hal yang
dapat menyebabkan pasien dalam kasus ini menderita tuberkulosis. Ketidakseimbangan
antara faktor penjamu, agen dan lingkungan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit.
29
Selain itu adanya faktor-faktor dalam empat determinan kesehatan, seperti faktor biologis,
lingkungan, perilaku, dan faktor pelayanan kesehatan dapat menjadi penyebab timbulnya
suatu penyakit dalam masyarakat.
Jika dilihat dari empat determinan tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa penyebab
terbesar tuberkulosis pada pasien dalam kasus ini apabila dilihat dari aspek kesehatan
masyarakatnya yaitu dari aspek perilaku. Aspek perilaku untuk hidup bersih dan sehat
sering menjadi penyebab suatu penyakit muncul dan tidak dapat diberantas dalam
lingkungan seseorang.
Berikut ini digambarkan secara skematis faktor-faktor penyebab terjadinya
tuberkulosis pada pasien dalam kasus ini dilihat dari konsep kesehatan masyarakat:
30
BAB V
TB
BIOLOGIS
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
DIABETES
MELITUS
LINGKUNGANPERILAKU
PELAYANAN
KESEHATAN
USIA DAN IMUNITAS
Usia 65 tahun termasuk usia dengan resiko penyakit infeksi (virus,
bakteri) yang besar karena imunitas pada usia lanjut makin rendah
Pencahayaan Rumah
Kebersihan Lingkungan
Kebiasaan Merokok
Tingkat pengetahuan serta
pendidikan yang kurang
mengenai TB dan pola hidup
bersih dan sehat
Penyuluhan yang kurang
tentang TB dan PHBS
Kepadatan Hunian Rumah
JENIS KELAMIN
Laki-laki lebih beresiko untuk
menderita TB daripada perempuan
31
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Faktor yang menjadi faktor resiko terjadinya TB pada pasien dalam kasus ini yaitu faktor
usia, jenis kelamin, pencahayaan rumah, pengetahuan, kebiasaan merokok dan kurangnya
akses terhadap pelayanan kesehatan.
2. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan determinan masalah kesehatan yang dikemukakan
oleh H.L. Bloom yaitu determinan biologis, lingkungan, perilaku dan pelayanan
kesehatan.
5.2 Saran
Upaya promosi dan preventif terutama dari aspek peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) sebagai salah satu upaya dalam menurunkan angka kejadian penyakit TB
di Kecamatan Narmada masih perlu terus dilakukan
32
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI, 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Menular. Direktorat Jenderal PPM & PLP:
Jakarta.
Tbindonesia. 2009. Epidemiologi tb di Indonesia. Available from
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-indonesia/article/
55/000100150017/2. access on Desember 20,2011
Tbindonesia. 2008. Lembar Fakta Tuberkulosis. Available from
www.tbindonesia.or.id/pdf/Lembar_Fakta_TB.pdf. access on Desember 20,2011
Tim Penyusun, 2010. Profil Kesehatan Puskesmas Narmada Tahun 2010. Dinas Kesehatan
Kabupaten Lombok Barat
Suradi. Diagnosis dan pengobatan TB paru. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta. 2001.
33