BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hadis merupaka sumber ajaran Islam, di samping al-qur`an. Bila dilihat dari sudut
periwayatannya jelas berbeda antara al-qur`an dengan hadis. Untuk al-qur`an semua
periwayatan berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadis sebagian
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara aahaad. Berawal dari
hal tersebut sehingga timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadis
sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang akibatnya bukan kesepakatan yang
didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.
Mayoritas ulama berbeda pendapat dalam pengkajian hadis. Hadis yang sering
dijumpai tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadis yang di dapati perlu
adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk dijadikan landasan hidup.
Oleh karena itulah kami mencoba mengkaji tentang pembagian hadist
berdasarkan kuantitas dan kualitas, sebagai suatu metode untuk mengklasifikasikan
hadist.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dengan uraian latar belakang di atas, maka penulis ingin menyajikan makalah
yang berkisar pada permasalahan hadis ditinjau dari kualitasnya yang bertitik tolak pada
permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Bagaimanakah pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya?
1.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui ada klasifikasi hadist bila
ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas sanadnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HADIS DITINJAU DARI KUANTITAS PERAWI
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada
juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama
golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke
dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar
ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits
masyhur bukan merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan
bagian hadits ahad. Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir
dan ahad.1
2.1.1 Hadis Mutawatir
a. Pengertian
Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi` yang berarti yang
datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan
lainnya tanpa adanya jarak.2
Adapun pengertian hadist mutawatir menurut istilah, Nur Ad-Din
mendefinisikan :
ا لذ ي رواه جمع كثير ال يمكن توا طؤهم على الكذب عن مثلهمانتهاءالسند و كان مستندهم الحس
Artinya: “hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada pancaindera”.
Berdasarkan defenisi di atas dapat kita pahami bahwa hadis mutawatir
adalah hadis yang bersifat indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang pada
1 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.2 Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia, 1999. hlm 113
2
setiap tingkatan sanadnya, yang secara tradisi dan akal sehat mustahil mereka
besepakat untuk berusta dan memalsukan hadis.
b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin
tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa
hadits mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena
ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau
tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah
tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir,
maka wajib diyakini dan diamalkan.3
Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Bilangan para perawi hadis harus mencapai jumlah yang menurut
tradisi mustahil untuk besepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama
berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat untuk untuk berdusta. Abu Thayib menentukan sekurang-
kurangnya 4 orang. hal tersebut diqiyaskan dengan jumalah saksi yang
diperlukan oleh hakim. Ashabus Syafi` menentukan minimal 5 orang. hal
ini diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul
Azmi.
Adanya keseimbangan thabahat pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah perawi pada tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai
akhir sanad. Jika jumlah perawi tersebut hanya pada sebagian sanad saja
maka tidak dinamakan mutawatir tetapi dinamakan ahad. Persamaan
jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlahya, mungkin saja
jumlahnya berbeda namun nilainya sama. Misalnya, pada awal tingkatan
10 orang, tingkatan berikutnya 20 orang, 40 orang dan seterusnya. Jumlah
seperti ini tetap dinamakan sama dan tergolong mutawatir.
Mustahil bersepakat untuk berbohong
Misalnya para perawi dalam sanad itu memiliki latar belakang
yang berbeda-beda baik Negara, jenis dan pendapat yang berbeda pula.
Sehingga dengan jumlah seperti ini secara logika mustahil terjadi adanya
kesepakatan untuk berbohong dan memalsukan hadis. Pada masa awal
pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan jaman
3 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
3
sekarang ini, di samping kejujuran, dengan daya memori mereka yang
masih handal sehingga sangat sulit besepakat untuk berbohong dalam
suatu periwayatan.
Berdasarkan tanggapan panca indera.
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan panca indera. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan itu
harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.4
Sandaran panca indera adalah berita tersebut didengar atau dilihat oleh
pemberitanya, tidak disandarkan pada logika atau akal sebagaimana sifat
barunya alam, berdasarkan kaedah logika; setiap yang baru itu berubah.
Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya.
Sehingga apabila hadis itu logis atau tidak inderawi. Sandaran berita pada
panca indera misalnya ungkapan:
Sami`na (kami mendengar) dari Rasulullah bersabda begini
Ra`aina (kami melihat ) Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk
menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan karena ia memberikan
keyakinan yang qat`i (pasti) dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan
sedikitpun bahwa Rasulullah SAW, betul-betul menyabdakan atau mengerjakan
sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi hadis mutawatir tentang keadilan
dan kedhabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas atau jumlah rawi-
rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat untuk
berbohong. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadis mutawatir. Tidak ada perselisihan dikalangan para
ulama tentang keyakinan faedah hadis mutawatir ini. Al-Hafidz mengatakan:
khabar mutawatir member faedah dharuri, seseorang harus menerima dan tidak
dapat menolaknya.5
4 Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia, 1999. hlm 118
5 Ibid, hlm. 123
4
d. Macam-macam Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawi. Sebagian ulama hadis lainnya membagi
hadis mutawatir menjadi tiga macam, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir
ma`nawidan mutawatir amali.
1. Mutawatir Lafzhi
Mutawatir lafzhi menurut Nur Ad-Din Atsar adalah “Hadis yang
mutawatir dalam satu lafadh”. Sedangkan menurut Muhammad At-Tahhan:
ماتواترلفظه ومعناهArtinya : “Hadis yang mutawatir lafadh dan ma`nanya”.
Dan menurut Tawjih An-Nadzar adalah “Hadis yang sesuai lafal para
perawinya, baik menggunakan satu lafal atau lafal lain yang sama makna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas”.
Contoh mutawatir lafzhi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار“Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari api neraka”.(HR.Bukhari, Muslim, Ahmad,
At-Tirmizi, An-Nasa`i, dan Abu Daud)
2. Mutawatir Ma`nawi
Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai berikut:
كلي لمعنى رجوعه مع ومعناه لفظه في اجتلفوا ماHadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu makna
yang umum.
Dari defenisi di atas, maka mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir
pada makna, yaitu beberapa riwayat yang berlainan tetapi memiliki makna
yang sama atau satu tujuan. Misalnya, Hatim diriwayatkania memberi
seseorang seekor unta, periwayatan lain ia memberi seekor kuda dan riwayat
lain pula ia memberi hadiah dinar. Maka disimpulkan makna periwayatannya
bahwa ia seorang dermawan.
3. Mutawatir Amali
Sebagian ulama memberikan defenisi mutawatir amali sebagai berikut:5
ما علم من الد ين با لضرورة وتواتر بين المسلمين أن النبي صلى ا اللهعليه وسلم فعله أو أمر به أو غير ذلك
“sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah
mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw. Mengerjakannya atau
menyuruhnya dan atau selain itu”.
Dengan demikian hadis mutawatir amali adalah hadis mutawatir yang
menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan dan ditiru tanpa
perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan contoh pada generas-
generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.6
Kitab-kitab tentang hadis mutawatir antara lain:
Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
Qahtful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
Al-La`ali Al-Mutanatsirah filAhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
NazhmulMutanatsirahminal Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad
bin Ja`far Al-Kittani
2.1.2 Hadist Ahad
a. Pengertian
Ahad merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal.
Sedangkan menurut istilah menurut ulama, Hadis Ahad adalah :
“Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah
khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan
seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa
khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”.
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid
berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu
sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan
oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup
syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits
ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir.7
6 Ibid, hlm 1237 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 90
6
Dengan pengertian di atas hadis ahad memberi faedah ilmu Nazhari,
artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu,
apakah jumlah perawi yang sedikit memiliki sifat-sifat kreadibilitas yang
mampu dipertanggungjawabkan atau tidak.
b. Pembagian Hadits Ahad
Hadis Ahad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan Gharib.
1. Hadis Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau
menampakkan. Dikatakan masyur karena telah menyebar luas dikalangan
msyarakat.8 Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam
yaitu:
Masyhur Ishthilaahi.
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih
pada setiap tingkatan (tabaqaqh) sanad dan belum mencapai tingkat
mutawatir.
Contoh hadis :
“ sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan
dari dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan
dengan mengambil para ulama, sehingga apabila tidak terdapat
serang yang alim maka orang yang bodoh akan dijaikan sebagai
pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat
dan menyesatkan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu Amru,
Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur
dikalangan sahabat, karena terdapat tiga orang sahabat yang
meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian lebih dari tiga orang
tapi tidak mencapai tingkat mtawatir.
Masyhur Ghayr Ishthilahi
8 Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia, 1999. hlm 128
7
Hadis Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadis yang popular atau
terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun
jumlah perawinya tidak mencapai tiga orang atau lebih.
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan
kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan
bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama
satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R.
Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang
keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam, seperti :
ويده لســــانه من المسلمون ســـــلم من المسلم
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
الغرر بيع عن م وسل عليــــه الله صلي الله رسول نهي
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu
daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
أجر فلـه أخــــطأ ثم فاجتهد حكــــم واذا أجران فلـــه فـــأصاب اجتهد ثم الحاكم حكم اذا
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
عرفوني فبي الخلق فخلـقت أعرف أن فأحببت ا مخفي كنزا كنت
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
8
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-
orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari
golongan Quraisy”.9
2. Hadis `Aziz
Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti kuat.
Hadis diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya. Dari segi istilah
terdapat beberapa defenisi antara lain adalah : “hadis yang diriwayatkan
dua atau tiga orang disemua tingkatan (tabaqah) sanad”. contoh hadis
`aziz10
اليوءمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه من ولده ووالده والناسأجمعين )متفق عليه(
hadis diriwayatkan dari Abu Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah
saw bersabda: “tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku
lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya”.
(HR.Muttafaq `Alaih)
Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas dan Abu
Hurairah.Kemudian Anas memberitakan kepada dua orang yaitu Qatadah
dan Abdul Aziz ibn Shuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada dua
orang yaitu Syu`bah dan Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula
kepada dua orang yaitu Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Waris.
3. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti “menyendiri” atau “ jauh dari
kerabatnya” menurut istilah ialah “ hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”. Ibnu Hajar
mendefenisikan sebagai berikut:“hadis yang dalam sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian sanad itu terjadi”.11
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi
dua macam:
9 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 9310 Ibid, hlm 13211 Ibid, hlm 134
9
Gharib Mutlak
Yaitu “hadis yang garabah-nya (perawi satu orang) terletak pada
pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanad yaitu seorang
sahabat”.
Pokok sanad atau disebut asal sanad karena sahabat yang menjadi
referensi utama dalam periwayatan hadis meskipun banyak jalan dan
tingkatan dalam sanad. Contoh hadis Nabi SAW :.
عن عمرابن الخطاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: انما االعمال با لنيات و انما لكل امرئ ما نوى )رواه
البخارى ومسلم وغرهما(“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya,…….”
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab saja.
Kemudian diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Waqqash kemudian
Muhammad bin Ibrahim. Dengan demikian hadis tersebut gharib
mutlak karena hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari
kalangan sahabat.
Gharib Nisbi
Yaitu apabila keghariban (perawi satu orang ) terjadi pada
pertengahan sanad bukan pada awal sanadnya. Maksudnya satu hadis
yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal
sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadis ini diriwayatkan oleh
satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Adapun berbagai keghariban atau ketersendirian yang dianggap
sebagai gharib nisbi adalah sebagai beikut:
Seorang perawi terpercaya secara sendiriran meriwayatkan
hadis (muqayyad bi ats-tsiqah)
Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara sendiriran dari
seorang perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
Penduduk negeri atau penduduk daerah secara tersendiri
meriwayatkan hadis (muqayyad bi al-balad).
10
2.2 HADIS DITINJAU DARI KUALITAS SANADNYA
Bila ditinjau dari segi kualitasnya, maka hadis terbagi menjadi dua macam:
1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq
( yang dibenarkan atau diterima),sedangkan menurut istilah adalah hadis yang unggul
pembenaran pemberitanya.12
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis untuk menjadi hadis yang maqbul, yaitu
bila sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan matan-
nya tidak syadzdan tidak ber-illat.
Dengan demikian hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima atau pada
dasarnya dapat dijadikan hujjah dan panduan pengamalan syari`at. Berdasarkan
penjelasan di atas maka para ulama membagi hadis maqbul menjadi dua bagian
utama yaitu ; hadis shahih dan hasan.
a. Hadis shahih
Shahih menurut bahasa berarti sehat (lawan sakit). Kata sahih juga telah
menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan sah, benar, sempurna, sehat (tiada
celanya). Sedangkan menurut istilah dikalangan ulama ialah :
وذ شذ غير من بطين الضا ول لعد با سنده اتصل ما
والعلة“hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit
(kuat daya ingatan), selamat dari keganjalan (syadzdz) dan cacat (illat)”
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan, bahwa hadis shahih memiliki lima
kreteria persyaratan sebagai berikut:
Bersambungnya sanad yaitu, setiap perawi telah mengambil hadis secara
langsung perawi sebelumnya dari permulaan sampai akhir sanad.
Perawinya adil: Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, seseorang dikatakan
adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya
ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan mninggalakan
larangannya, dan senantiasa berakhlak baik dalam segalah tingkah lakunya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam
periwayatan sanad-hadis adalah bahwa semuah perawinya disamping harus
islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :12 Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia, 1999. hlm 142
11
a) Senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua
larangannya.
b) Senantiasa menjauhi dosa kecil.
c) Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai
muru’ah.
Perawinya dhabit, kata dhabit menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat.
Seseorang dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna
terhadap hadis yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani,
perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hapalannya terhadap segala
sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaiakan hapalan
tersebut manakalah diperlukan.Yang dicakup dalam pengertian dhabit pada
periwayatan disini terdiri atas dua kategori, yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi
Al kitab yang dimaksud dengan dhabit fi As-sadr ialah terpeliharanya
periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkan
kepada orang lain; sedangkan dhabitfil Al-kitab ialah terpeliharanya
kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Tidak syadzdz , menurut Imam Iyafi’i yang dimaksud dengan syadz atau
syudzudz (bentuk jamak dari syadzdz ) disini ialah suatu hadis yang
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih
kuat atau lebih tsiqah. Pengertian inilah yang paling banyak diikuti ulama
hadis lainnya. Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa hadis
yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis
lain yang lebi kuat atau lebitsiqah.
Tidak berillat, kata illat bentuk jamaknya adalah Ilal atau Al-Ilal yang
menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca.
Dengan pengertian ini yang disebut hadis ber-illat adalah hadis-hadis yang
mengandung cacat atau penyakit. Menurut istilah, illat berarti suatu sebab
yang tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak kesahihan hadis.
Dikatakan samar-samar di sini karena jika dilihat dari shahihnya, hadis
tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada hadis tersebut, mengakibatkan
nilai kualitasnya menjadi tidak sahih, dengan demikian, maka yang
dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak
terdapat kesamaran atau keragu-raguan. Illat hadis dapat terjadi baik pada
sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama - sama.
12
Namun demikian, illat yang paling banyak, yaitu yang terjadi pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.13
Para ulama ahli hadis membagi membagi hadis sahih menjadi dua bagian,
Yaitu sahih li dzatih dan sahih li ghairih. Perbedaan antara keduanya terletak
pada segi hapalan atau ingatan perawinya. Pada hadis shahih lighairih ingatan
perawinya kurang sempurna.
Yang dimaksud dengan sahih li dzatihi, ialah hadis yang tidak memenuhi
secara sempurna persyaratan hadis sahih khususnya yang berkaitan dengan
ingatan atau hafalan perawi. Definisi hadis sahihlidzatih:
“Hadits shahih Lidzatihi yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan
penukilan perawi yang ‘adil dan dhabith dari yang semisalnya sampai akhir
sanad tersebut serta hadits tersebut bukan hadits yang syadz dan bukan hadits
yang mu’allal (cacat)”.
contoh hadis sahih li ghairih adalah hadis riwayat turmudzi melalui jalur
Muhammad bin Amr
“seandainya tidak memberatkan ummatku, niscaya akan kuperintahkan
bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”
Ibnu umar ash-shalah menyatakan bahwa Muhammad bi Amr terkenal
sebagai orang yang jujur, tetapi kedhabitannya kurang sempurna sehingga hadis
riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan.14
b. Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
Seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla
(mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya
dibawah tingkat pertama diatas. Seperti periwayatansanad dari Hammad bin
Salamah dari Tsabit dari Anas.
13 Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in, Kairo : Maktabah Ibnu Taymiyah. 1997. Terjemah Abah Zacky. Hlm 14. 14 Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia, 1999. hlm 149
13
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih
rendah dari tingkatan kedua. Seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.15
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai
berikut:
Shahih Al-Bukhari (w.250 H)
Shahih Muslim (w. 261 H).
Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H)
Mustadrok Al-hakim (w. 405).
Shahih Ibn As-Sakan.
Shahih Al-Abani.
c. Hadist Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga
berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia
meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian
ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
a) definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah
mashurrawi-rawisanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan
yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha’
b) definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh
yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan
tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-
dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.16
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya
dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an
perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih
unggul.17
1. Macam-Macam Hadis Hasan15 Ibid, hlm 15116 Ibid, hlm 15317 Ibid, hlm 154
14
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn
pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis
hasan yang telah ditentukan.pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Adapun Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan
rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan
syahid. Hadis dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’ru al-
hifdzih),tidak dikenal identitasnnya (mastur)dan mudallis (menyembunyikan
cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi dibantu oleh hadis–
hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang
meriwayatkannya.
Contoh hadis hasan:
Artinya ; Telah menceritakan kepda kami yahya bin Al-tamimi dan
qutaibah bin said –ucapan yahya- telah berkata qutaibah kepada kami dan
telah berkata yahya bahwasanya Ja’far bin Sulaiman memberitakan kepada
kami dari bapaknya Imran Al-Jauan dari bapaknya Abu Bakar bin Abdillah
bin Qaeis dari bapaknya ;saya perna mendengar bapak saya berkata, ketika
itu sedang berhadapan dengan musuh, bahwasanya Rasulullah SAW ;
sesungguhnya pintu-pintu surga dibawah kilatanpedang,” lalu berdirilah
seseorang yang berpakaian compang-camping seraya berkata; “ wahai abu
musa apakah anda mendengar Rasulullah bersabda seperti yang anda
ucapkan ini “ya” lalu orang itu kembali kepadaa sahabat-sahabatnya seraya
berkata “aku mengucapkan salam kepada kalian kemudian orang ini
memecahkan sarung pedangnya, lalu membuangnya dan dengan serta merta
dia pergi menuju musuh dengan membawa pedangnya terus bertempur
hingga gugur.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong
tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
2. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan
15
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
Paraulama hadis, ulama ushulfiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan
hadis hasan.
3. Kitab-kitab hadis hasan
Ulama yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih,
hadis hasan, hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam
At-Tirmitdzi memiliki peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara
kitab-kitab yang menghimpun hadis hasan adalah;
a. Sunan At-tirmitdzi
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan Ad-Dar Quthny
2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
sedangkan menurut istilah hadis mardud adalah hadis yang tidak unggul pembenaran
pemberitanya. Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad seperti perawi
harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal as-sanad) maupun yang menyangkut
matan seperti isi matan tidak bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat dijadikan hujjah
dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib dijadikan hujjah dan wajib di
amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah hadis dha’if (lemah) .
a. Hadis Dho`if
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang
lemah lawan dari Qawi (yang kuat).Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa
hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut
tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi
hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat atau
menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat
hadits hasan”.
Fatchur Rahman mengutip pendapat al-‘Iraqi, bahwa hadis adaif bisa
dibagi menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif
terdiri atas 129 macam, bahkan bisa lebih dari itu.18 Dalam makalah ini penulis
hanya akan mengemukakan sebagian hadis daif menurut Ajjaj al-Khatib, sebagai 18 Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. cet.VIII; Bandung : PT.Almaarif,.1995 hlm. 140.
16
berikut19 :
1. Hadis-hadis daif karena ketidak muttashilan sanad: a. Hadis Mursal
Hadits mursal yaitu: hadits yang dimarfu’kan oleh seoarng tabi’iy kepada rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak menyebutkan orang yang menceritakan kepadanya : contoh hadis berikut ini:
AbdAbdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabi’i, sedangkan seorang tabi’i tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan tetapi di tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga dinamakan mursal.
b. Hadis Munqathi’Hadits munqathi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu
tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham.
Dari segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja,
kalu hadis mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat,
sementara dalam hadits munqathi seperti itu. Jadi setiap hadits yang
sanadnya gugur satu orang perawi baik awal, ditengah ataupun diakhir-
disebut munqathi. Adapun contohnya sebagai berikut:
Berkata Ahmad bin Syu’ib; telah mengabarkan kepada kami.
Qutaibah bin Sa’id, telah ceritakan kepada kami. Abu ‘Awanah, telah
menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti
Mundzir, dari Ummi Salamah , ummil Mu’minin, ia berkata; telah
bersabda Rasul Saw:
Pada hadis tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadis
tersebut dari Ummu Salamah, waktu Ummu salamah meninggal Fatimah
ketika itu masih kecil dan tidak bertemu dengannya.
c. Hadis Mu’dhal
yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara
19 Dikutip dari Makalah Hadits Dhaif & Maudhu’ oleh Syamsulbahri Salihima.17
berturut- turut.hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi.
Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila munqathi’annya lebih dari
satu tempat. Contohnya sebagai berikut:
kata Syafi’I; telah mengabarkan kepada kami, Sa’id bin Salim, dari Ibnu
Juraij, bahwa:
Ibnu Juraij pada hadis tersebut tidak sesaman dengan Nabi, bahkan
masanya itu di bawah tabi’in, jadi antara dia dengan Rasul Saw diantarai oleh
dua perantara yaitu tabi’in dengan sahabat.
d. Hadis Mudallas
Kata “tadlis” secara etimologis berasal dari akar kata “ad-Dalas” yang berarti
“adz-Dzhulman” (kedzaliman). Tadlis dalam jual-beli berarti
menyembunyikan aib barang adri pembelinya. Dari sinilah disinilah diambil
dalam pengertian dalam sanad. Karena keduanya memiliki kesamaan alasan,
yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkan. Tadlis
terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
1. Tadlis al- isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan
sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu,
atau pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang
tersebut, dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung.
Diriwayatkan oleh an-Nu’man oleh an-Nu’man bin Rasyid, dari Zuhri,
dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa:
Imam Abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidak pernah mendengar hadis
ini dari Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri.
Sehingga menjadi samar.
2. Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad. Karena
perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak
sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan
ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya
menyebut gurunya, memberi kun-ya atau memberikan nisbat ataupun
memberikan sifat yang tidak lazim dikenal. Contohnya:
Berkata Ibnu Adi; telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi
Nashr al-Humaidi, telah mengabarkan kepada kami, Abdurrahim bin
18
Ahmad an-Najjari, telah megabarkan kepada kami, Abdul Ghani bin
Sa’id al-Hafish, telah menceritakan kepada kami, Abu Hasan Ali bin
Abdillah bin Fadil at-Tamimi, telah meceritakan kepada kami, Abdullah
bin Zaidan, telah menceritakan kepada kami, Harun bin Abi Burdah,
telah menceritakan kepada ku, Saudaraku Husain, dari Yahya bin Ya’la,
dari Abdullah bin Musa, dari Zuhri dari Sa-ib bin Yazid , Nabi bersabda:
Dalam sanad tersebut ada seorang rawi bernama ‘Abdullah bin
Musa. Namanya yang sebenarnya dan yang masyhur adalah ‘Umar
bin Musa ar-Rahibi. Maksudnya agar riwayatnya dapat diterima, karena
jika disebut Umar bin Musa maka tentu orang tidak akan menerima
karena dia seorang pemalsu hadis.
2. Hadis-hadis daif karena sebab selain ketidak muttashilan sanad:
a. Hadis Mudha’af
Yaitu hadis yang tidak disepakati kedaifannya. Sebagian ahli hadis
menilainya mengandung kedaifan, baik di dalam sanad maupun matan, dan
sebagian lainnya menilainya kuat. Akan tetapi penilaian daif itu lebih kuat.
b. Hadis Mudhtharib
Yaitu hadis yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling
berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas bagian yang
lainnya. Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadis, karena
menunjukkan ketidakdhabitan.
c. Hadis Maqlub
Yaitu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri perawi,
kadang-kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama
seorang perawi. Msialnya Murrah ibn Ka’b dan Ka’b bin Murrah.
d. Hadis Syadz
Imam Syafi’ilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini
menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat bahwa
hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan
menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
e. Hadis Munkar
Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi daif yang 19
banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya. Oleh
karena itu kriteria hadis munkar adalah penyendirian perawinya daif dan
mukhalafah.
f. Hadis Matruk dan Mathruh
Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh
berdusta dalam hadis nabawiy, atau sering bersdusta dalam pembicaraannya,
atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun kata-katanya. Atau
yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya hadis-hadis Amr ibn Syamr dari
Jabir al-Ja’fiy. Sedangkan hadis mathruh ialah hadis yang terlempar hadisnya
karena cacatnya perawinya.
b. Kehujahan Hadits dhaif
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan, Namun para ulama
melakukan pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis
dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara mereka20:
Para ulama berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali,
baik berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib
maupun dalam fadha’ilula’mal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-
imam besar hadis seperti Yahya bin Ma’in, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini
juga dikuti oleh Ibnu Arabi ulama fikih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah
Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah,dan Ibnu Hazm.
Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan
memakai hadis dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam
permasalahan yang sama. Dikutip dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafi’I,
Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad
bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut terminology ulama-
ulama terdahulu.
Sebagian ulama membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam
targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadilah-
fadilah amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta haram,
mereka tidak membolehkannya.
20 M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 165
20
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan hadis ditinjau dari
kuantitas dan kualitas sanadnya sebagai berikut :
Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan
hadits ahad
Hadits mutawatir terbagi menjadi tiga macam yaitu: mutawatir lafzhi,
mutawatir ma’nawi, dan mutawatir ‘amali
Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga yaitu: masyhur, ‘azis, gharib
(gharib mutlak dan gharib nisbi)
Hadits ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi Hadist Maqmul dan Mardud :
Hadist Maqbul terbagi menjadi tiga, yaitu hadits shahih dan hadits hasan,
Hadist Mardud adalah hadist dha’if, yang mana terdapat banyak klasifikasi
untuk membedakan hadist dha’if .
1.2 SARAN
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya kita
lebih yakin dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu
hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits.
21
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman, Moh. Noor.2008. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press.
Mudasir, Drs. H..1999. Ilmu Hadist, Bandung : Pustaka Setia.
Rahman, Fathur, 1995. Ikhstisar Mushthalahul Hadits. cet.VIII, Bandung : PT.Almaarif.
Mun'im Salim, Amr Abdul, 1997. Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in, Kairo : Maktabah Ibnu Taymiyah. Terjemah Abah Zacky.
Makalah Hadits Dhaif & Maudhu’ oleh Syamsulbahri Salihima.
22