Kelas A
Anggota Kelompok :
Fajar Nasruloh 170110130045
Framma Adennis S. 170110130051
Firas Muhammad H. 170110130057
Felix Ezekiel S. 170110130073
Mugihandoyo 170110130085
Analisis Kasus Pengesahan APBD Kabupaten Ponorogo
Dalam hal ini Kami mengambil Contoh kasus Pengesahaan APBD yang
terjadi di kabupaten Ponorogo di Jawa Timur yang berbau Gratifikasi, Gratifikasi
Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1), Gratifikasi
adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pada UU 20/2001 setiap
gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Dalam kasus Pengesahaan
APBD di Ponororgo ini diduga terjadi penyerahaan sejumlah Dana kepada
beberapa anggota DPRD agar turut serta untuk memenuhi Kourum atau jumlah
minimal kehadiran peserta sidang. Hal ini diakui oleh salah satu anggota DPRD
dari Parti Amanat Nasional (PAN) yang saat itu sedang berada di Bojonegoro
untuk mengikuti bimbingan teknis (bimtek) anggota PAN yang menjadi anggota
DPRD mendapat sejumalah uang sebesar Rp.1 Juta untuk mengikuti pengesahaan
APBD untuk meninggalkan dari hotel tempatnya melaksanakan bimtek menuju
hotel Griya Darma Kusuma untuk mengikuti sidang paripurna pengesahan APBD.
Namun sejauh ini, anggota DPRD yang enggan disebut namanya ini belum mau
menyebut pihak yang memberinya uang saku dan bungkam soal besaran uang
saku yang diterima anggota DPRD lain yang memiliki posisi seperti ketua fraksi
atau ketua komisi. Sementara itu, anggota DPRD Ponorogo dari Fraksi PDI
Perjuangan, Budi Purnomo mengaku sempat dikirimi uang yang dibungkus dalam
sebuah amplop beberapa waktu sebelum terjadinya boyongan rapat paripurna
tersebut. Beliau menyatakan didatangi oleh seseorang yang tiba-tiba memberinya
amplop yang berisi uang namun beliau mengembalikan amplop tersebut dan
memerintahkan orang tersebut untuk meberikanya kembali kepada orang yang
menyuruh orang tersebut untuk memberikan amplop kepadanya. Beliau
membenarkan adanya semacam perpecahan di tengah anggota DPRD Ponorogo
saat ini ia melihat ada dua kubu yang berseberangan. Yaitu kubu senior atau
incumbent dan berpengalaman dalam ‘bermain’ proyek dan kubu yunior atau
anggota DPRD baru yang tidak berpengalaman dalam bermain proyek. Sehingga
kalau ada anggota DPRD yang di beri uang saku,kemungkinan untuk
pengkondisian. sebanyak 31 dari 45 anggota DPRD melakukan rapat paripurna
pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ponorogo
tahun 2015 di Bojonegoro. Dari kabar yang beredar di susul oleh 6 Anggota
DPRD dari PAN yang sedang bimtek di daerah tersebut
Tinjauan Kritis
Dalam kasus ini terlihat bahwa praktik suap atau gratifikasi terjadi lagi di
DPRD dalam hal pengesahan anggaran. Hal ini mencoreng nama DPRD yang
disebut sebagai wakil rakyat, dimana seharus nya bisa bekerja secara professional
akan tetapi tidak menunjukan bagaimana sikap seorang pejabat publik, Dalam
kasus diatas, saat pengesahaan APBD ponorogo, para anggota DPRD nya
menerima uang saku, hanya untuk bisa memenuhi quorum untuk pengesahan
APBD. Gaji yang lumayan besar beserta tunjangan untuk mereka masih saja
belum bisa dipertanggung jawabkan karena masih saja ingin diberikan dana hanya
untuk menghadiri kourum pengesahaan APBD. Disini seharusnya lembaga
pengawasan harus bisa benar – benar mengawasi para anggota DPRD agar tidak
bisa mendapatkan dana lebih, dan harus diberikan sanksi yang tegas apabila
terdapat anggota DPRD yang menerima dana tersebut.
Keterkaitan dengan Regulasi
Bila ditinjau dari UU No.17 Tahun 2003 Pasal 20 dijelaskan bahwa dalam
penetapan APBD, DPRD bertugas untuk menetapkan anggaran yang diajukan.
Pemerintah mengajukan Rancangan Perda tentang APBD, disertai nota keuangan
dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada bulan Agustus tahun
sebelumnya. Pembahasan Rancangan Perda tentang APBD dilakukan sesuai
dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD. Dalam
pengesahan anggaran, DPRD memiliki hak untuk tidak menyetujui seperti tertulis
dalam ayat 6. Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah
untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan
pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.
DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan
dan pengeluaran dalam Rancangan Perda tentang APBD. Tetapi dalam kasus
pengesahan APBD Kabupaten Ponorogo, pihak eksekutif tidak ingin mengikuti
arahan dalam UUKN seperti di atas. Beliau ingin memuluskan proses pengesahan
APBD agar beberapa anggaran fiktif dapat disahkan oleh DPRD.
Dalam kasus pengesahan APBD di Ponorogo ini, adanya semacam
perpecahan di tengah anggota DPRD Ponorogo saat ini yang terbagi menjadi dua
kubu yang berseberangan. Kubu senior atau incumbent dan berpengalaman dalam
‘bermain’ proyek dan kubu yunior atau anggota DPRD baru yang tidak
berpengalaman dalam bermain proyek. Kelompok minoritas yakni 6 orang
anggota DPRD ini lebih memilih untuk tidak menyetujui rancangan anggaran
tersebut. Namun disini DPRD bersikeras untuk mengesahkan RAPBD tersebut
bahkan saat beberapa anggota DPRD tidak setuju mereka diberi gratifikasi agar
setuju dan meloloskan RAPBD tersebut.
Berdasarkan regulasinya, kasus suap atau gratifikasi ini jelas melanggar
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yakni pada Pasal 12 B ayat (1) dan (2)
UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
1) "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya" dengan ketentuan:
a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan kasus ini terlihat bahwa masih banyak kasus korupsi yang
terjadi di negara ini, dalam hal ini adanya kasus suap dalam pengesahan anggaran,
yang mana kasus suap dan gratifikasi jelas melanggar UU Tipikor. Selain itu,
pengambilan keputusan di bidang keuangan dan anggaran tersebut dilakukan di
luar Ponorogo (Kab. Bojonegoro), dimana waktu pelaksanaannya juga cukup
singkat. Suatu hal yang janggal, aneh dan tidak masuk akal karena pengesahan
anggaran yang menyangkut hajat hidup warga Ponorogo tapi pengesahannya
dilakukan di Bojonegoro. Waktu pelaksanaan rapat paripurna juga terbilang tidak
masuk akal karena dilakukan secara singkat dimana ketuk palu pengesahan
dilakukan hanya satu jam setelah rombongan tiba di Bojonegoro. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak adanya pembahasan ataupun pengkritisan dalam
pengesahan tersebut. Pengesahan APBD ini juga menyedot dana anggaran hingga
200 juta karena dilakukan di luar Kabupaten Ponorogo. Memang secara hukum
APBD tetap sah, tetapi alangkah baiknya pengesahaan APBD tersebut di lakukan
di lingkungan Kabupaten Ponorogo saja untuk menghemat Anggran Pengesahaan
APBD tersebut.
Referensi:
http://www.lensaindonesia.com/2014/12/06/pengesahan-apbd-ponorogo-di-
bojonegoro-berbau-gratifikasi.html (Diakses pada 15 Maret 2016 Pukul
14.17 WIB)
http://jdih.kepriprov.go.id/index.php/informasi-kegiatan/tulisan-hukum/118-
larangan-gratifikasi-dalam-birokrasi-pemerintah
Top Related