BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di dunia, namun kurang mendapat prioritas dalam
penanggulangannya. Data surveilans dan epidemiologi tuberkulosis pada anak
jarang didapat. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain sulitnya diagnosis
tuberkulosis anak, meningkatnya tuberkulosis ekstra paru pada anak, tidak adanya
standar baku definisi kasus, dan prioritas yang kurang diberikan pada tuberkulosis
anak di banding tuberkulosis dewasa.11
Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi tuberkulosis anak tinggi, namun
umumnya tanpa konfirmasi pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) positif. Salah
satu indikator untuk menilai situasi tuberkulosis di komunitas adalah dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), merupakan indeks epidemiologi
yang dipakai untuk evaluasi dan monitor keadaan tuberkulosis di suatu komunitas
atau negara. Perbedaan angka morbiditas dan mortalitas tuberkulosis di berbagai
negara dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, dibedakan antara risiko infeksi
tuberkulosis dan sakit tuberkulosis.11
Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus tuberkulosis baru dan 2 juta di
antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru di seluruh dunia, 1 juta adalah anak
usia 25%. Mayoritas anak tertular tuberkulosis dari pasien tuberkulosis dewasa,
sehingga dalam penanggulangan tuberkulosis anak, penting untuk mengerti
gambaran epidemiologi tuberkulosis pada dewasa. Infeksi tuberkulosis pada anak
dan pasien tuberkulosis anak terjadi akibat kontak dengan orang dewasa yang
menderita tuberkulosis aktif. Sulitnya konfirmasi diagnosis tuberkulosis pada
anak mengakibatkan penanganan tuberkulosis anak terabaikan, sehingga sampai
beberapa tahun tuberkulosis anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat
di banyak negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi beberapa tahun terakhir
dengan penelitian yang dilakukan di negara berkembang, penanggulangan
tuberkulosis anak mendapat cukup perhatian.6
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Ada 2 macam mycobacteria
yang menyebabkan penyakit tuberkulosis yaitu tipe human ( yang berada dalam
ludah dan droplet ) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi. Sebagian besar
basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui udara.9
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagosit bakteri tuberkulosis
justru menjadi tempat bagi bakteri tersebut karena banyak mengandung lipid.
Mereka yang paling beresiko terpajan tuberkulosis adalah mereka yang tinggal
berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif. mencangkup para tuna wisma yang
tinggal di tempat penampungan dimana terdapat orang yang terinfeksi
tuberkulosis, serta anggota keluarga pasien tuberkulosis.2
2.2 Etiologi
Ciri-ciri kuman Mycobacterium tuberculosis adalah berbentuk batang
lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, dengan ukuran
panjang 1 – 4 μm dan tebal 0.3 – 0.6 μm, tidak berspora sehingga mudah dibasmi
dengan pemanasan sinar matahari dan ultra violet. Mereka dapat tampak sendiri –
sendiri atau berkelompok pada spesimen klinis yang diwarnai atau media biakan,
tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol sumber karbon dan garam
ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada
suhu 37 – 41 ºC, menghasilkan niasin dan tidak berpigmentasi. Dinding sel yang
kaya akan lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan
komplemen.1,2
Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat kuman, asam
strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid dan protein yang terdiri dari
tuberkuloprotein (tuberkulin). Tuberkulosis paru pada orang dewasa biasanya
2
disebabkan oleh reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak
menunjukkan penularan aktif oleh Mycobacterium tuberculosis.
Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil
tuberkulosis, yaitu:
Populasi A, yang terdiri atas bakteri yang secara aktif berkembang biak
dengan cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam
lesi yang mempunyai pH netral.
Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada
dalam lingkungan pH yang rendah. Lingkungan asam ini yang
melindunginya terhadap obat anti-tuberkulosis tertentu.
Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam
keadaan dormant hampir sepanjang waktu. Kuman yang terdapat dalam
dinding kavitas ini jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam
waktu yang singkat.
Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant
sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat anti
tuberkulosis.4
2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab
morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun
diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta
kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh
kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara dengan beban TB
tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua
kasus TB pada Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat
pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis
tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak
dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6)
mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.2
3
2.4 Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan
spesifik tehadap basil tersebut. Pembagian tuberkulosis paru primer:5
1. Tuberkulosis primer yang potensial (potential primary tuberculosis) telah
terjadi kontak, tetapi uji tuberkulin masih negatif.
2. Tuberkulosis primer laten (latent primary tuberculosis). Tanda – tanda
infeksi sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit tidak diketahui.
Uji tuberkulin masih negative. Radiologis tidak tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary tuberculosis), uji
tuberkulin positif dan terlihat kelainan radiologis.
Penyulit tuberkulosis paru primer1,5
1. Pembesaran kelenjar servikal superficial, Penyebaran langsung
tuberkulosis ke kelenjar limfe mediastinum bagian atas dan paratrakea
yang berasal dari kelenjar hilus, selain itu juga menyerang kelenjar limfe
supraklavikula dan servikal anterior. Kelainan di kelenjar tersebut bereaksi
sangat lambat terhadap obat anti tuberkulosis. Bila terjadi abses pada
kelenjar dilakukan pembedahan.
2. Pleuritis tuberkulosis merupakan penyakit dini tuberkulosis primer dan
terjadi 6 – 8 bulan setelah serangan awal sering disertai kelainan pada kulit
yaitu eritema nodosum.
3. Efusi pleura biasanya jernih, prognosa masih baik, reaksi tehadap obat anti
tuberkulosis sering kali dramatis karena dapat memberi resolusi sempurna
dalam 1 – 2 minggu. Kemungkinan untuk menderita tuberkulosis post
primer di kemudian hari lebih besar.
4. Tuberkulosis millier merupakan kelainan paling dini dibanding dengan
penyakit tuberkulosis primer yang lain. Proses tuberkulosis milier terjadi 8
bulan setelah timbul tuberkulosa primer. Gambaran radiologi tampak 2
minggu setelah gejala klinis.
4
5. Meningitis tuberkulosis dapat terjadi sebagai akibat penyebaran
hematogen atau fokus perkijuan yang pecah di rongga subarachnoid pada
tahap akhir dari tuberkulosis millier.
Tuberkulosis paru post primer
Tuberkulosis paru post primer adalah peradangan paru yang disebabkan
oleh basil tuberkulosis pada tubuh yang telah peka tehadap tuberkuloprotein.
Dari luar ( eksogen ) infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita
tuberkulosis.
Dari dalam ( endogen ) infeksi berasal dari basil yang sudah berada
dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya tenang dan
oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali. Adapun pembagian primer
paru post primer adalah :
a. Tuberkulosis minimal terdapat adanya sebagian kecil infiltrat non-
kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak
melebihi satu lobus paru.
b. Moderately advanced tuberkulosis, terdapat kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari
satu bagian paru, bila bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian
pada satu paru.
c. Far advanced tuberculosis, terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberkulosis.
2.5 Patogenesis Tuberkulosis pada Anak
Paru merupakan port d entrée pada lebih dari 98 % kasus infeksi
tuberkulosis. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman tuberkulosis
dalam droplet yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus,
bakteri Tuberkulosis dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
non-spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
5
makrofag alveolus akan memfagosit bakteri tuberkulosis yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman tuberkulosis yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya bakteri membentuk lesi di tempat
tersebut3.
Dari parenkim paru yang terinfeksi, bakteri tuberkulosis menyebar melalui
aliran pada saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang
mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak diapeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis
dinamakan kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri tuberkulosis hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.
Masa inkubasi tuberkulosis berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-
8 minggu.6
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi tuberkulosis primer
dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh
terhadap tuberkulosis terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama
masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang,
proliferasi bakteri tuberkulosis terhenti. Akan tetapi sebagian kecil akan dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, bakteri
tuberkulosis baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis pengkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
6
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Bakteri tuberkulosis
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi
tidak menimbulkan gejala penyakit tuberkulosis.2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus primer di paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis pengkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan tuberkulosis endobronkial atau membentuk
fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.6
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan tuberkulosis
disebut sebagai penyakit sistemik.3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, bakteri tuberkulosis
menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. bakteri tuberkulosis kemudian mencapai berbagai organ diseluruh
tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di
apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
7
di organ lain seperti otak, hepar, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya,
kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan
proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi tuberculosis pada apeks
paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi tuberkulosis. Menurut Wallgren, ada
tiga bentuk dasar tuberkulosis paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen,
tuberkulosis endobronkial, dan tuberkulosis paru kronik. Tuberkulosis paru kronik
adalah tuberkulosis pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus
yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak
tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi
tuberkulosis pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
tuberkulosis. Tuberkulosis pada sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang
terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun pertama, tetapi dapat juga 2-3
tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun
setelah infeksi primer.
3
8
Gambar 1. Patogenesis tuberkulosis.
Gambar 2. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer.3
Proses infeksi tuberkulosis tidak langsung memberikan gejala. Uji
tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan bakteri
tuberkulosis. Pada awal terjadinya infeksi tuberkulosis, dapat dijumpai demam
yang tidak tinggi dan eritema nodusum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung
singkat sehingga jarang terdeteksi. tuberkulosis primer dapat terjadi kapan saja
pada tahap ini.2
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi tuberkulosis, begitu juga dengan
meningitis tuberkulosis. Tuberkulosis pada pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama
setelah infeksi tuberkulosis. Tuberkulosis pada sistem skeletal terjadi pada tahun
pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian
besar manifestasi klinis sakit tuberkulosis terjadi pada 5 tahun pertama, terutama
9
pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena tuberkulosis terjadi pada tahun
pertama setelah diagnosis tuberkulosis.3
2.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis
Manifestasi klinis tuberkulosis sangat bervariasi yang bergantung pada
faktor bakteri tersebut, penjamu, dan interaksi diantara keduanya. Faktor patogen
bergantung pada jumlah bakteri dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu
bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal
terjadinya infeksi.2
Anak-anak sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.
Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan
sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan
clinically silent dissease.3
Manifestasi sistemik
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa
manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:3
1. Demam lama (>2 minggu) atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai dengan keringat malam. Demam pada umumnya tidak
tinggi. Temuan demam pada pasien tuberkulosis berkisar antara 40-80%
kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik
pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya > 1
kelenjar getah bening.
10
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi
pada anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise.
Manifestasi Spesifik Paru
Tuberkulosis Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulin dan tes tuberkulin positif tanpa
gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran
nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-
kadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak
berkontak dengan individu dengan tuberkulosis menular yang tes tuberkulin
positif, diagnosis tuberkulosis asimptomatis harus segera disingkirkan setelah foto
rontgen thorak dan pemeriksaan fisik yang telah diteliti.4
Tuberkulosis Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan
limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis
yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak
berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas
paratrakeal sering dinilai paling terdampak.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan
terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis.
Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan
hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit
ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis
segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perubahan
diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling
11
sering adalah batuk non-produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang
dikeluhkan.6
Tuberkulosis Paru Progresif
tuberkulosis paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari
tuberkulosis paru primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang
tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous centre
yang kemudiannya meleleh ke dalam bronkus membentuk kavitas primer.
Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil tuberkulosis,
merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan
bakteri tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil
tuberkel ke lobus lain danke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini
adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat,
keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4
Tuberkulosis Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan obat anti tuberkulosis, tuberkulosis paru kronis sangat
jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak
yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan, dan pada
anak dengan diagnosis tuberkulosis yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering
ditemukan pada remaja dibanding anak-anak dengan gambaran radiologis mirip
pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak
dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan
berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.3
Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura tuberkulosis jarang ditemukan
pada anak kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia
dibawah 5 tahun. Onset dari pleuritis berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri,
dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan
bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa
minggu.7,8
12
2.6 Penegakan Diagnosa Infeksi Tuberkulosis pada Anak
Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein pada bakteri tuberkulosis yang
mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada
seseorang yang telah terinfeksi tuberkulosis, maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin dengan cara mantoux dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali
hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2,5
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian
besar disebabkan oleh infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi mycobacterium atipik. Pada anak
balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh pasca imunisasi BCG, namun bila ukuran
indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter
indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan
positif meragukan. Pada keadaan immunocompromised atau pada pemeriksaan
foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi tuberculosis
dan sakit tuberkulosis, klasifikasi tuberculosis yang dibuat oleh American
Thoracoc Society (ATS) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika agaknya dapat membantu.
Kelas Pajanan(kontak dengan
pasien tuberculosis aktif)
Infeksi(uji tuberkulin
positif)
Sakit(uji tuberculin,
klinis, dan penunjang positif)
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +
Tabel 1 : Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosis3
13
Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada tuberkulosis tidak khas, kelainan-
kelainan radiologis pada tuberkulosis dapat juga dijumpai pada penyakit lain.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif tuberkulosis adalah:
1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate
2. Konsolidasi segmental/lobar
3. Milier
4. Kalsifikasi dengan infiltrate
5. Atelektasis
6. Kavitas
7. Efusi pleura
8. Tuberkuloma
Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan
mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan
bakteri Mycobacterium tuberkulosis dan pemeriksaan PCR (Protein Chain
Reaction). Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena
sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil
bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada
kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter
spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum
digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5
Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel
datia langerhans.2
14
Untuk memudahkan diagnosis tuberkulosis paru pada anak, IDAI
merekomendasikan diagnosis tuberkulosis anak dengan sistem skoring, yaitu
penjumlahan skor terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.9,10
Tabel 2. Skoring Tuberkulosis pada anak3
2.8 Penatalaksanaan Tuberkulosis
Medikamentosa
Obat tuberkulosis yang digunakan
Isoniazid
INH adalah obat anti tuberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam.
Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam
seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa dan angka timbulnya reaksi simpang
15
(adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15
mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer,
tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada
2 bulan pertama. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena
metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang
menggunakan INH tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak
diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling
sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin
diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH.
Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi.
Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada
pasien dengan defisiensi enzim G6PD (Glucose 6 Phosphat Dehidrogenase),
dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat
dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam
2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis
10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian
perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi
15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya
INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris.
Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping
rifampisin lebih sering terjadi daripada INH.
16
Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah)
dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh
peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat
menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan
kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan
pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada
intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan.
Pemberian pirazinamid (PZA) secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari
dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500mg. efek samping pirazinamid (PZA) adalah hepatotoksisitas, anoreksia,
dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang
timbul pada anak.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada
mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan
dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. Etambutol
tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan
berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-
obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi
dengan terapi intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian
juga pada keadaan meningitis. Etambutol ditoleransi dengan baik pada dewasa
dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali
sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada
keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.
Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam
17
waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung
(tinismus) dan pusing.
Panduan obat tuberkulosis
Prinsip dasar pengobatan tuberkulosis adalah minimal 2 macam obat dan
diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan tuberkulosis dibagi
dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase
lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler.
Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman, juga
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. Obat anti tuberkulosis pada
anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan
mengurangi ketidak-teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari. Obat-obat baku untuk seagian besar kasus tuberkulosis pada
anak adalah paduan rifampisin, INH dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan
rifampisin, INH, dan pirazinamid, sedangkan fase lanjutan hanya diberikan
rifampisin dan INH.
Tabel 3. Dosis obat anti-tuberkulosis pada anak
Tabel 4. Kombinasi Dosis Tetap obat anti-tuberkulosis
18
Evaluasi hasil pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis tuberkulosis pada
anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan
baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka
pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala
masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat anti-tuberkulosis
tetap diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan
paru anak.
Gambar 3. Skema evaluasi pasca pemberian obat
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikkan klinis, seperti
berat badan mengingkat, napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya
menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan
gambaran radiologis maka dianjurkan pemeriksaan radiologis ulangan.
Non medika mentosa
Pendekatan DOTS
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) adalah strategi yang
telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
tuberkulosis. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS
terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut.
Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan
dana.
Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
19
Pengobatan dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat
(PMO).
Kesinambungan persediaan obat anti-tuberkulosis jangka pendek dengan
mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penganggulangan tuberkulosis.
Sumber penularan dan case finding
Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif
dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan
cara pemeriksaan radiologis dan BTA (Basil Tahan Asam) sputum. Selain itu
perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan
menggunakan uji tuberkulin. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin.
Aspek sosial ekonomi
Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena
pengobatan tuberkulosis memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi
ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis.
Pasien tuberkulosis anak tidak perlu diisolasi. Aktifitas fisik pasien tuberkulosis
anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada tuberkulosis berat.
Pencegahan
Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin) diberikan pada usia sebelum 2
bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml diberikan
intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia
lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. Kontra indikasi
pemberian imunisasi BCG adalah defisiensi imun, infeksi berat, dan luka bakar.
Efektivitas suatu vaksin diukur dalam lingkup persentase reduksi penyakit
antara individu-individu yang telah divaksinsi yang berhubungan dengan
vaksinasi. Pada banyak penelitian telah menunjukan hasil yang konsisten akan
peranan BCG dalam memproteksi meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis milier.
Proteksi BCG bervariasi antara 0%-80%. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi
20
BCG terhadap tuberkulosis paru pada anak tidak terlalu konsisten, namun
ditemukan hasil yang cukup baik pada negara berkembang maupun negara maju.13
Kemoprofilaksis
Proteksi terhadap Efek proteksi 95% CI efek proteksi
Kasus Tuberkulosis (studi prospektif)
0,742 (0,616 – 0,826)
Kasus Tuberkulosis (studi kontrol)
0,524 (0,379 – 0,635)
Kematian karena tuberkulosis
0,648 (0,118 – 0,860)
Konfirmasi Laboratorium 0,826 (0,582 – 0,928)Meningitis tuberkulosis 0,644 (0,300 – 0,820)Tuberkulosis diseminata 0,780 (0,581 – 0,883)Tabel 5. Estimasi efek proteksi BCG terhadap tuberkulosis3
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
tuberkulosis pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya
infeksi sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH
dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Obat dihentikan jika
sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi
(setelah uji tuberkulin ulangan). Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada
anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin
positif, klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis
sekunder adalah usia balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat
obat imunosupresif yang lama (sitostatik, dan kortikosteroid) usia remaja dan
infeksi tuberkulosis baru. Konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12
bulan.
2.9 Komplikasi Tuberkulosis
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan
nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran
mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.
21
2.10 Prognosis Tuberkulosis
Prognosis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama
setelah mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi
keluarga, diagnosa dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan adanya
infeksi lain seperti morbilli, pertusis, diare yang berulang dan lain – lain.
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan obat
anti-tuberkulosis memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan.
Jika bakteri sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan
gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan
hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi,
yang resisten terhadap berbagai regimen terapi, yang berespon buruk terhadap
terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi terhadap obat anti-
tuberkulosis jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena
para dokter meresepkan regimen terapi yang tidak adekuat ataupun
ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan
Rifampicin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi.
Dengan obat anti-tuberkulosis (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati
100% pada pasien dengan tuberkulosis milier. Tanpa terapi obat anti-tuberkulosis
pada tuberkulosis milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.
22
Kesimpulan
Tuberkulosis paru pada anak masih menjadi masalah kesehatan dunia
khususnya di Negara –negara berkembang. Peningkatan jumlah penderita
diperkirakan masih akan terus terjadi ditahun berikutnya. rendahnya sosial
ekonomi disebagian daerah di Negara berkembang, keterbatasan sarana kesehatan,
dan rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan menjadi hambatan dalam
memberantas penyakit ini.
Sistem skoring digunakan dalam menegakkan diagnosa tuberkulosis pada
anak, dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis yang memiliki hasil BTA positif
ataupun negatif, riwayat demam ≥ 2 minggu, batuk ≥ 3 minggu, pembesaran
kelenjar getah bening, uji tuberculin positif, penurunan berat badan,
pembengkakan tulang atau sendi dan foto rontgen thoraks menjadi penilaian
dalam system skoring ini, hasil ≥ 6 beararti positif tuberculosis paru, sedangkan <
6 berarti negatif.
Pencegahan penyakit dengan imunisasi BCG cukup baik walaupun pada
tuberkulosis anak tidak begitu konsisten. Pengobatan diberikan dalam dua fase,
yaitu fase intensif selama 2 bulan (Ripamfisin, Isoniazid, Pyrazinamid) dan fase
lanjutan selama dari 4 bulan (Ripamfisisn dan Isoniazid). Dosis pemberian
disesuaikan dengan berat badan pasien.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2,
Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1997, hal 573 – 761.
2. World Health Organization (WHO). Guidance for national tuberculosis
programme on the management of tuberculosis in children.
WHO/HTM/2006.371.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Tuberkulosis Paru Pada Anak dalam Buku
Ajar Respirologi anak, Edisi Pertama Tahun 2013.
4. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K)
et al: Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2000, hal 1028
– 1042.
5. Corry, S., Wahidiyat, I., Sastroasmoro, S. Diagnosis Fisis pada Anak. CV
Sagung Seto, Jakarta. 2003
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI, 2005
7. Extensive Transmission of Mycobacterium tuberculosis from a Child.
http://www.cdc.gov/TB/pubs/sledeset/pediatricTB/defailt.htm..Last
Modified: 2006.
8. Extensive Transmission of Mycobacterium tuberculosis from a Child.
http://www.nejm.com. Last Modified 11/11/1999.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberculosis Paru dalam IPD’s
Compedium of Indonesia Medicine 1st Edition. Jakarta : PT.
Medinfocomm Indonesia ; 2009. h. 122-142
10. Price, Sylvia A; Wilson, Lorraine M. : Patofisiologi Klinik, edisi ke 5,
Tuberkulosis, 2005 hal 753 – 761.
11. SariPediatri.. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Padjadjaran/RS Hasan Sadikin, Bandung, Vol 11, 2009, hal 124-129
24
Top Related