IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB
PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS BAH
BIAK KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018
SKRIPSI
Oleh
ELIVIA KUMALA
NIM. 151000506
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA 2020
Universitas Sumatera Utara
IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB
PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS BAH
BIAK KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara
Oleh
ELIVIA KUMALA
NIM. 151000356
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA 2020
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji dan dipertahankan
Pada tanggal: 10 Oktober 2019
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : dr. Fauzi, S.K.M.
Anggota : 1. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes.
2. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H.
ii
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Tuberculosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia yang
menyebabkan morbiditas pada jutaan orang setiap tahunnya termasuk Indonesia, pemutusan rantai penularan TB paru sudah dilaksankan oleh Indonesia dengan
pengobatan secara DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Pada tahun
2017 angka kesembuhan tuberkulosis di Puskesmas Bah Biak yaitu sebesar
33,33% dan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 85%. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam
terhadap 8 orang informan yaitu Staff Pengendalian Penyakit Menular Dinas
Kesehatan Kota Pematangsiantar, Kepala Puskesmas Bah Biak, Petugas TB, PMO tidak sembuh, PMO sembuh, Penderita TB Paru tidak sembuh, Penderita TB Paru
sembuh dan Penderita dropout. Implementasi dengan strategi DOTS belum
berjalan maksimal. Komitmen politis dari pemerintah untuk mendukung pengawasan TB Paru belum begitu menjadi prioritas, kurangnya edukasi yang
mendalam diberikan kepada PMO mengenai tugas dan penyakit TB Paru sehingga
terdapat penderita TB Paru yang dropout, kualitas tenaga kesehatan yang tidak
diberi pelatihan lanjutan dan transportasi yang belum memadai menyebabkan Puskesmas Bah Biak dalam penjaringan suspek TB Paru masih belum maksimal
atau masih secara pasif dan pemantauan terhadap penderita TB Paru belum efektif,
belum adanya tindakan dalam penanganan hambatan yang berupa efek samping obat TB Paru yang menjadikan alasan penderita TB Paru untuk dropout.
Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan masukan dan proses belum
dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah sehingga angka kesembuhan di
Puskesmas Bah Biak tidak mencapai target nasional yang sudah ditetapkan. Kepada Dinas Kesehatan Kota pematangsiantar untuk meningkatkan pengawasan
dan pemantauan terhadap P2TB di wilayah puskesmas secara khusus dan
berkelanjutan. Kepada Kepala Puskesmas Bah Biak menjalin kerja sama lintas sektor dan menyediakan fasilitas laboratorium karena ditemukan penemuan kasus
TB terus meningkat dalam 3 tahun terakhir. Kepada petugas TB Paru agar lebih
mengedukasi kepada PMO tentang tugasnya sebagai PMO dan penderita TB Paru
serta masyarakat mengenai penyakit TB.
Kata kunci: Implementasi, TB Paru, DOTS
iv Universitas Sumatera Utara
Abstract
Tuberculosis (TB) is a major health problem in the world that cause morbidity in
millions of people each year, including Indonesia, breaking the chain of transmission of pulmonary tuberculosis has been undertaken by Indonesia with
treatment DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). In 2017 the cure
rate of tuberculosis in Puskesmas Bah Biak in the amount of 33.33% and has not
yet reached the target set at 85%. This study uses a qualitative approach depth interviews with 8 informants Staff Communicable Disease Control Health
Department Pematangsiantar, Head of Puskesmas Bah Biak, Officer TB, PMO
does not recover, PMO cured, sufferers of pulmonary TB is not cured, sufferers of pulmonary TB cured and Patients dropout. Implementation of the DOTS strategy
has not run optimally. Political commitment from the government to support the
monitoring of pulmonary TB has not been so become a priority, the lack of educational depth given to the PMO on the tasks and disease Pulmonary TB so
that there are patients with pulmonary TB who dropout, the quality of health
workers who were not given further training and inadequate transportation cause
health center Bah Biak in networking with suspected pulmonary TB still not up or still passively and monitoring of patients with pulmonary TB has not been
effective, yet their actions in handling obstacles in the form of pulmonary TB drug
side effects that make the reasons for dropout with pulmonary tuberculosis. Based on this research, the implementation of the input and the process has not been
implemented to the maximum by the government so that the cure rate in
Puskesmas Bah Biak not achieve national targets that have been defined. The
Health Department Pematangsiantar to improve the supervision and monitoring of health centers P2TB in the region in particular and sustainable. PHC Chief
Bah Biak to collaborate across sectors and provide laboratory facilities for
tuberculosis case is found growing in the last 3 years. Pulmonary TB to officers to better educate the PMO about his duties as a PMO and with pulmonary
tuberculosis and the public about TB disease.
Keywords: Implementation, pulmonary TB, DOTS
v Universitas Sumatera Utara
Kata Pengantar
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “Implementasi Program Penanggulangan TB
Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas Bah Biak Kota Pematangsiantar
Tahun 2018” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat meraih gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik secara moril maupun
materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes., selaku Ketua Departemen Administrasi Kebijakan
Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. dr. Fauzi, S.K.M., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, perbaikan, dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes., selaku Dosen Penguji I yang telah
memberikan masukan demi kesempurnaan tulisan ini.
6. Puteri Citra Cinta Asyura Nasution, S.K.M., M.P.H., selaku Dosen Penguji II
yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan tulisan ini.
vi Universitas Sumatera Utara
7. Drs. Tukiman, M.K.M., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini.
8. Seluruh Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan bekal ilmu dan bersedia memberikan kritik juga saran
demi kesempurnaan tulisan ini.
9. Seluruh Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
yang telah banyak membantu dalam mengurus segala administrasi.
10. Kepala Dinas Kesehatan dan seluruh Pegawai Dinas Kesehatan Kota
Pematangsiantar yang telah memberi izin dan membantu penulis selama
menjalani penelitian skripsi ini.
11. Kepala Puskesmas dan seluruh Pegawai Puskesmas Bah Biak yang telah
membantu dan memberikan arahan kepada penulis selama menjalani
penelitian skripsi di Puskesmas Bah Biak.
12. Teristimewa kepada kedua orangtua (Sukarto dan Sarinah) atas motivasi,
dukungan dan semangat yang telah memberikan kekuatan kepada penulis
dalam masa perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.
13. Saudara kandung karena telah membantu, memberikan saran dan dukungan
kepada penulis.
14. Teman-teman sejawat FKM USU 2015 khususnya Departemen Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan dan semua pihak yang telah berjasa yang namanya
tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuan dan kerjasamanya dalam
penyelesaian skripsi ini.
vii
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Daftar Isi
Halaman
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
Daftar Istilah xv
Riwayat Hidup xvi
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 8
Tujuan Penelitian 8
Tujuan umum 8
Tujuan khusus 9
Manfaat Penelitian 9
Tinjauan Pustaka 10
Kajian Teoritis 10
Pengertian tuberkulosis 10
Penyebab tuberkulosis 10
Penularan tuberkulosis (TB) 10
Gejala-gejala tuberkulosis 11
Pencegahan tuberkulosis 12
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) 13
Pengertian puskesmas 13
Prinsip penyelenggaraan puskesmas 13
Tugas dan fungsi puskesmas 14
Wewenang puskesmas 14
Upaya kesehatan masyarakat 16
Upaya kesehatan perorangan 17
Puskesmas dalam program penanggulangan TB Paru 17
Pengendalian TB 18
Pengendalian manajerial 18
Pengendalian administratif 19
Pengendalian lingkungan 20
ix Universitas Sumatera Utara
Pengendalian dengan alat pelindung diri 20
Kebijakan pengendalian TB 20
Program Penanggulangan TB (P2TB) 22
Program nasional penanggulangan TB Indonesia 22
Tujuan penanggulangan TB 23
Kegiatan Penanggulangan TB 26
Evaluasi Program Penanggulangan TB 27
Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse) 29
Tata Laksana Program Penanggulangan TB Paru 34
Penemuan kasus tuberkulosis 34
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis 35
Diagnosis tuberkulosis 36
Pengobatan tuberkulosis 37
Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 38
Pengawas Menelan Obat (PMO) 39
Pemantauan dan hasil pengobatan TB 40
Hasil pengobatan TB Paru 41
Monitoring dan evaluasi 42
Hasil Penelitian yang Relevan 43
Landasan Teori 43
Kerangka Berpikir 44
Metode Penelitian 45
Jenis Penelitian 45
Lokasi dan Waktu Penelitian 45
Subjek Penelitian 46
Definisi Konsep 46
Metode Pengumpulan Data 48
Metode Pengukuran 48
Metode Analisis Data 49
Hasil Penelitian dan Pembahasan 50
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 50
Geografi 50
Demografi 50
Tenaga kesehatan 50
Sarana pelayanan kesehatan 51
Karakter Subjek Penelitian 51
Masukan (Input) 52
Komitmen politis 53
Tenaga kesehatan yang berkompeten 55
Sarana dan prasarana 58
Pendanaan 61
Proses (Process) 63
Penjaringan suspek 63
x Universitas Sumatera Utara
Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis 67
Pengobatan TB dengan OAT yang diawasi PMO yang terlatih 69
Penjamin ketersediaan OAT 73
Pencatatan dan pelaporan 74
Keluaran (Output) 77
Keterbatasan Penelitian 78
Kesimpulan dan Saran 79
Kesimpulan 79
Saran 80
Daftar Pustaka 82
Lampiran 86
xi Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel
No Judul Halaman
1 Jenis, Sifat, dan Dosis OAT 38
2 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Bah Biak
Tahun 2018 50
3 Data Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bah Biak Tahun 2018 51
4 Data Sarana Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas
Bah Biak Tahun 2018 51
5 Karakteristik Subjek Puskesmas Bah Biak 52
xii Universitas Sumatera Utara
Daftar Gambar
No Judul Halaman
1 Kerangka berpikir 44
xiii Universitas Sumatera Utara
Daftar Lampiran
Lampiran Judul Halaman
1 Pedoman Wawancara Mendalam 86
2 Form Checklist Sarana dan Prasarana 90
3 Surat Permohonan Izin Penelitian 91
4 Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan 92
5 Surat Keterangan Selesai Penelitian Dinas Kesehatan 93
6 Surat Keterangan Selesai Penelitian Puskesmas Bah Biak 94
7 Matriks Pernyataan Informan 95
8 Dokumentasi Penelitian 105
xiv Universitas Sumatera Utara
Daftar Istilah
BCG Basil Calmette Guerin
BP4 Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA Basil Tahan Asam
CNR Cross Notification Rate
DOTS Directly Observed Therapy Shortcouse
DPM Dokter Praktek Mandiri
DPS Dokter Praktek Swasta FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
GERDUNAS Gerakan Terpadu Nasional
HIV Human Imunodeficiency Virus
KEMENKES RI Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
KIE Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
KNCV Koninklijke Nederlandse Centrale Vereniging
KPP Kelompok Puskesmas Pelaksana
LED Laju Endap Darah
MDG Millenium Development Goal
OAT Obat Anti Tuberkulosis
P2TB Program Penanggulangan Tuberkulosis
PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
PMO Pengawas Menelan Obat PPI Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PPM Puskesmas Pelaksana Mandiri
PPTI Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
PRM Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PS Puskesmas Satelit
RSP Rumah Sakit Paru
SPS Sewaktu Pagi Sewaktu
TB Tuberkulosis
UKM Upaya Kesehatan Masyarakat
UKP Upaya Kesehatan Perorangan
UPK Unit Pelayanan Kesehatan
WHO World Health Organization
xv
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TBC menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2002). TB dapat diderita oleh siapa saja, orang dewasa atau
anak-anak. TB berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan
mangancam keselamatan jiwa manusia (WHO, 2014).
Tuberculosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia yang
menyebabkan morbiditas pada jutaan orang setiap tahunnya. TB menyebabkan
angka kesakitan yang tinggi setiap tahunnya dan koinfeksi dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab utama kematian di seluruh
dunia. Setiap detiknya terdapat satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia
ini, dan dalam dekade mendatang tidak kurang dari 300 juta orang akan terinfeksi
oleh tuberkulosis (WHO, 2015).
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report (2017), sebaran kasus
TB pada tahun 2016 banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara (45%), Afrika
(25%), Timur Mediternia (7%), Eropa (3%), dan yang terakhir adalah di wilayah
Amerika (3%). Laporan dari WHO juga menyatakan bahwa terdapat 30 negara di
dunia yang mempunyai status angka TB tertinggi di dunia yang menyumbang
87% dari semua perkiraan kasus insiden di seluruh dunia. Berdasarkan data 2017
menyatakan bahwa dari 10,4 juta kasus baru TB, hanya 6,1 juta yang diobati dan
49% diantaranya yang berhasil diobati (success rate), 95% kematian akibat TB
1 Universitas Sumatera Utara
2
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Global Tuberculosis
Report, 2017).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2016), ditemukan jumlah kasus
Tuberkulosis (TB) sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan semua
kasus TB yang ditemukan pada Tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus. Jumlah
kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk
yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus TB di tiga
provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Pada
Tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan semua kasus TB sebesar 85%. Angka
Kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85% sedangkan angka
keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90% (Kementerian Kesehatan RI,
2017).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2017), ditemukan jumlah kasus
Tuberkulosis (TB) sebanyak 425.089 kasus, meningkat bila dibandingkan semua
kasus TB yang ditemukan pada Tahun 2016 yang sebesar 360.565 kasus. Jumlah
kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk
yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus TB di tiga
provinsi tersebut sebesar 43% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Pada
Tahun 2017 angka keberhasilan pengobatan semua kasus TB sebesar 85,7%.
Angka kesembuhan semua kasus yang dicapai minimal 85% sedangkan angka
keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90% (Kemenkes RI, 2018).
Pemberantasan penyakit Tuberkulosis (TB) harus segera dilaksanakan agar
dapat menurunkan angka kesakitan atau kematian pada masyarakat, oleh karena
Universitas Sumatera Utara
3
itu diperlukan adanya program penanggulangan penyakit TB Paru. Sejak Tahun
1995, program pemberantasan TB telah dilaksanakan secara bertahap di
Puskesmas dengan penerapan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO (World Health Organization).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB Paru tipe menular. Strategi ini akan memutuskan
rantai penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam
upaya pencegahan penularan TB. Kemudian berkembang seiring dengan
pembentukan gerakan terpadu nasional (GERDUNAS) TB yang dibentuk oleh
pemerintah pada tanggal 24 Maret 1999, maka pemberantasan penyakit TB telah
berubah menjadi program penanggulangan TB Paru. Ada lima komponen dalam
strategi DOTS yaitu : 1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan
program TB, 2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis,
3.Pengobatan TB dengan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) yang diawasi
langsung oleh pengawas minum obat (PMO), 4. Kesinambungan persediaan OAT,
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB Paru (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Penelitian Putry dan Hisyam (2014) menunjukkan bahwa pengobatan
dengan strategi DOTS di RS Haji Abdoel Madjid Batoe memiliki tingkat
kesembuhan dan tingkat keberhasilan pengobatan yang lebih besar dibandingkan
pengobatan dengan strategi non-DOTS.
Universitas Sumatera Utara
4
Berdasarkan Profil Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2016, dalam
catatan CNR (Cross Notification Rate) kasus baru TB Paru BTA (+) di Sumatera
Utara baru mencapai 105,02/100.000 penduduk. Pencapaian per Kabupaten/Kota,
3 (tiga) tertinggi adalah Kota Medan sebesar 3.006/100.000, Kabupaten
Deliserdang sebesar 2.184/100.000 dan Simalungun sebesar 962/100.000).
Sedangkan 3 (tiga) Kabupaten/Kota terendah adalah Kabupaten Nias Barat
sebesar 50/100.000, Pakpak Bharat sebesar 67/100.000 dan Gunung Sitoli sebesar
68/100.000. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate) rata-rata ditingkat
provinsi mencapai 92,19%, dengan perincian persentase kesembuhan 85,52%,
namun hal ini mengalami penurunan sebesar 2,58% dibandingkan Tahun 2015
(89,61%). Angka succes rate pada Tahun 2016 ini telah mampu melampaui target
nasional yaitu 85%, dari 33 Kabupaten/Kota, terdapat 2 Kabupaten/Kota yang
belum mampu mencapai angka success rate 85% antara lain Medan & Padang
Sidempuan (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun, 2016).
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi DOTS yang mampu
mengendalikan penyakit TB karena dapat memutuskan rantai penularan
penyakitnya. Walaupun program penanggulangan TB Nasional telah berhasil
mencapai target angka kesembuhan (Cure Rate) dan angka keberhasilan
pengobatan (Success Rate), namun penatalaksanaan TB di sebagian besar
puskesmas maupun rumah sakit belum sesuai dengan strategi DOTS dan
penerapan standar pelayanan berdasarkan Internasional Standards for
Tuberculosis Care (ISTC) (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Universitas Sumatera Utara
5
Keberhasilan pengobatan TB dapat tercapai bila penderita teratur dan
patuh dalam mengkonsumsi obat. Waktu pengobatan TB cukup lama sekitar 6-8
bulan sehingga banyak penderita yang putus berobat dan mengakibatkan resisten
terhadap obat yang telah dikonsumsi. Penerapan pengawasan minum obat juga
merupakan strategi untuk menjamin keberhasilan serta kesembuhan penderita
(Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Zubaidah (2013), penderita yang kurang
mendapatkan pengawasan dari Pengawas Menelan Obat (PMO) akan berisiko
1,83 kali untuk tidak sembuh dibandingkan dengan pasien yang diawasi dengan
baik oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar Tahun (2017),
ditemukan jumlah kasus BTA (+) pada Tahun 2015 sebanyak 429 kasus dan
Tahun 2016 mengalami penurunan sebanyak 381 kasus serta pada Tahun 2017
juga mengalami penurunan sebanyak 324 kasus. Angka keberhasilan pengobatan
TB BTA (+) di Kota Pematangsiantar sudah mencapai target angka keberhasilan
pengobatan (Success Rate) yang telah ditetapkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis yaitu ≥
85%. Pada Tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan sebesar 96,59% lebih
besar dibandingkan Tahun 2015 yaitu sebesar 93,94% dan pada Tahun 2017
keberhasilan pengobatan mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya
yaitu sebesar 93,12%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pelaksanaan P2TB
yang belum maksimal (Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar Tahun 2017).
Universitas Sumatera Utara
6
Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas Bah Biak (2017), pada Tahun
2015 dan 2016 Puskesmas Bah Biak mencapai angka kesembuahan sebesar 100%,
tetapi pada Tahun 2017 Puskesmas Bah Biak mengalami penurunan angka
kesembuhan sebesar 33,33% dan Puskesmas Bah Biak merupakan peringkat
pertama untuk angka keberhasilan yang paling rendah dari semua puskesmas yang
ada di kota Pematangsiantar.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 8 November
2018 di Puskesmas Bah Biak dengan petugas TB Paru diperoleh informasi bahwa
puskesmas Bah Biak merupakan kategori puskesmas satelit (PS) yang tidak
melaksanakan penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak, pemeriksaan dahak di
laksanankan pada puskesmas rujukan mikroskopik (PRM) yaitu puskesmas
Tomuan. Puskesmas Bah Biak hanya melakukan pengambilan dahak, pembuatan
sediaan sampai fiksasi dahak, pengobatan dan pemantauan perkembangan
penderita TB Paru. Pelaksanaan program penanggulangan TB di Puskesmas Bah
Biak dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS.
Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
meliputi kegiatan penemuan penderita TB Paru, pengumpulan dahak (sputum),
pengobatan, dan pemantauan perkembangan penderita. Alur diagnosis TB Paru
yaitu penderita suspek TB Paru yang memiliki gejala batuk berdahak lebih dari
dua minggu memeriksakan kesehatan ke puskesmas, dikarenakan puskesmas tidak
memiliki laboratorium sendri maka dari itu pihak puskesmas mengambil dahak,
pembuatan sediaan sampai fiksasi dahak, kemudian sediaan dahak dikirim ke
Puskesmas Rujukan Mikroskopis, kemudian pihak Puskesmas Rujukan
Universitas Sumatera Utara
7
Mikroskopismelakukan pemeriksaan BTA (+) sebanyak tiga kali. Jika dari ketiga
hasil pemeriksaan sputum terdapat dua BTA (+), maka suspek TB Paru dapat
dinyatakan sebagai penderita TB Paru. Penderita TB Paru menjalani pengobatan
dan ditunjuk seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) yang berasal dari anggota
keluarga penderita.
Petugas TB di Puskesmas Bah Biak lebih banyak melakukan penemuan
kasus secara pasif yaitu menunggu penderita suspek TB Paru datang ke puskesmas
dari pada penemuan kasus secara aktif yaitu dengan cara turun ke setiap
lingkungannya. Menurut petugas TB Paru, rendahnya angka keberhasilan
pengobatan, diakibatkan oleh masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
TB Paru, sehingga banyak pasien TB Paru yang pengobatannya tidak tuntas, serta
transportasi menuju puskesmas sulit di dapatkan. Bertambahnya penularan TB
Paru di lingkungan tersebut juga disebabkan penderita yang tidak mengikuti
anjuran atau tidak melaksanakan pencegahan penularan ke orang lain seperti,
menggunakan masker, menutup hidung dan mulut menggunakan sapu tangan saat
batuk serta bersin.
Berdasarkan keterangan dari petugas TB Paru diketahui bahwa Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) juga selalu tersedia untuk penderita TB Paru di puskesmas
dan setiap penderita memiliki kartu identitas penderita agar penderita tidak
terdaftar juga di fasilitas kesehatan lain. Pencatatan dilakukan petugas TB Paru
yaitu melalui pencatatan suspek yang diperiksa dahaknya, kasus BTA positif dan
hasil pengobatannya. Namun banyak penderita yang memiliki jaminan kesehatan
dengan fasilitas kesehatannya di Puskesmas Bah Biak tetapi alamat penderita
Universitas Sumatera Utara
8
diluar kecamatan bahkan diluar kabupaten/kota. Sehingga petugas TB susah untuk
memantau pengobatan penderita TB tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai implementasi program penanggulangan TB Paru dengan
strategi DOTS di Puskesmas Bah Biak, Kota Pematangsiantar Tahun 2018.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Komitmen Politis dalam pelaksanaan program penanggulangan
TB agar berjalan dengan baik, penyediaan tenaga kesehatan yang
berkompeten, semua sarana dan prasarana serta pendanaan dalam
pelaksanaan program penanggulangan TB (P2TB)?
2. Bagaimana tata pelaksanaan penjaringan suspek TB dan pelaksanaan
diagnosis TB?
3. Bagaimana tata pelaksanaan pengawasan pengobatan pasien TB dengan PMO
yang terlatih?
4. Bagaimana jaminan ketersediaan OAT dalam penanggulangan TB?
5. Bagaimana sistem pencatatan dan pelaporan untuk monitoring dan evaluasi
pelaksanaan P2TB?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Mendeskripsikan implementasi program penanggulangan
TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Bah Biak, Kota Pematangsiantar
Tahun 2018.
Universitas Sumatera Utara
9
Tujuan khusus. Tujuan khusus meliputi dari :
1. Komitmen Politis dalam pelaksanaan program penanggulangan TB agar
berjalan dengan baik, penyediaan tenaga kesehatan yang berkompeten, semua
sarana dan prasarana serta pendanaan dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB (P2TB).
2. Penjaringan suspek TB dan diagnosis TB.
3. Pengawasan pengobatan pasien TB dengan PMO yang terlatih.
4. Penjaminan ketersediaan OAT yang bermutu dalam penanggulangan TB.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku untuk monitoring dan evaluasi
P2TB.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai informasi kepada stakeholder dalam hal ini bagi Dinas Kesehatan
Kota Pematangsiantar mengenai penanggulangan penyakit TB.
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Bah Biak dalam melaksanakan
program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan kepada penderita TB Paru.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan wawasan keilmuan bagi peneliti
lain, khususnya mengenai penanggulangan TB Paru.
Universitas Sumatera Utara
Tinjauan Pustaka
Kajian Teoritis
Pengertian tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu
penyakit menular yang bersifat kronis dan sudah lama menjadi permasalahan
kesehatan di dunia. Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh kuman turbekulosis yang dalam istilah latin disebut
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan,
akan tetapi kuman tersebut ditularkan dari seseorang ke orang lain dan menyerang
organ paru-paru manusia (Aditama, 2002).
Penyebab tuberkulosis. Tuberkulosis disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri berbentuk batang (basil) yang tahan terhadap asam sehingga disebut
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Basil tuberkel (Mycobacterium Tuberculosis)
merupakan penyebab utama dari tuberkulosis di seluruh dunia. Tipe basil lainnya
yaitu:
1. Mycobacterium Africanum yang terdapat di Afrika. Basil ini sering resisten
terhadap tiasetazon.
2. Mycobacterim Bovis yang terdapat pada ternak di Eropa dan Amerika. Infeksi
ini sering diteruskan kepada manusia lewat susu. Infeksi pada manusia oleh
basil ini tampaknya tidak terjadi di India atau negara lainnya yang ada di Asia
karena dibanyak negara di Asia susu direbus dulu sebelum diminum (Crofton,
2002).
Penularan tuberkulosis (TB). Tuberkulosis ditularkan dari penderita
yang TB BTA positif melalui percikan dahak (droplet), melalui udara yang
10 Universitas Sumatera Utara
11
tercemar oleh Mycobacterium Tuberculosis yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si
penderita TB saat batuk dan bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M. Tuberculosis.
sedangkan saat bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500–1.000.000 M.
Tuberculosis (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016).
Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang
menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah),
bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau
kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain
seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang kelenjar getah bening dan lainnya meski
yang paling banyak adalah organ paru (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Gejala-gejala tuberkulosis. Tuberkulosis memiliki tanda dan gejala yang
sangat bervariasi bagi setiap masing-masing penderita, mulai dari tanpa gejala
hingga gejala akut.
1. Demam
Biasanya subfebris, menyerupai demam influenza tetapi kadang-kadang
suhunya 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
2. Batuk
Batuk berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya iritasi pada bronkus,
sifat batuk mulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lebih
Universitas Sumatera Utara
12
lanjut adanya dahak bercampur darah bahkan sampai batuk darah (hemaptoe)
karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
3. Sesak Napas
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise
Sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
meriang, dan keluar keringat di malam hari tanpa melakukan aktifitas.
Aditama (1994).
Pencegahan tuberkulosis. Tuberkulosis dapat dicegah pertama kali yaitu
dengan mengurangi jumlah penderita TB di masyarakat. Semua penderita yang
dahak positif dipastikan menyelesaikan pengobatannya. Pencegahan lain yaitu
pencegahan terhadap populasi yang rentan dengan penyakit TB, seperti
berperilaku hidup bersih dan sehat, makan makanan bergizi, tidak merokok dan
tidak mengkonsumsi alkohol serta vaksinasi BCG. Pencegahan terhadap
lingkungan juga perlu dilaksanakan seperti menjaga lingkungan agar tetap
sehatdan melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan sesuai
persyaratan baku rumah sehat (Crofton, 2002).
Universitas Sumatera Utara
13
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
Pengertian puskesmas. Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014).
Prinsip penyelenggaraan puskesmas. Prinsip penyelenggaraan
berdasarkan :
1. Paradigma Sehat
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen
dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi
individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Pertanggung jawaban wilayah
Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya.
3. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat.
4. Pemerataan
Puskemas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat di akses dan
terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa
membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.
Universitas Sumatera Utara
14
5. Teknologi tepat guna
Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan
teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah
dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
6. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM
dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan
yang didukung dengan manajemen puskesmas. (Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 75 Tahun 2014).
Tugas dan fungsi puskesmas. Tugas puskesmas yakni Puskesmas
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat. Sedangkan dalam melaksanakan tugas, Puskesmas
menyelenggarakan fungsi :
1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya
2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. (Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014)
Wewenang puskesmas. Upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan
oleh puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014,
adalah :
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
Universitas Sumatera Utara
15
3. Melaksanakn komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdyaan masyarakat
dalam bidang kesehatan
4. Menggerakkan masyarakat untuk mengindentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait
5. Melaksanakan pembina teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat
6. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas
7. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
8. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan
cakupan pelayanan kesehatan
9. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit
10. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu
11. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif
12. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang beroentasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat
13. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakn keamanan dan
keselamatan pasien, petugas, dan pengunjung
Universitas Sumatera Utara
16
14. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan pronsip koodinatif dan
kerjasama inter dan antar profesi
15. Melaksanakan rekam medis
16. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan
17. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembina fasilitas pelayanan ksehatan
tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Upaya kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan Masyarakat yang
disingkat UKM adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan dengan sasaran keluarga,
kelompok dan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat meliputi upaya kesehatan
masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya
Kesehatan Masyarakat esensial yang dilaksanakan puskesmas menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014, adalah :
1. Pelayanan promosi kesehatan
2. Pelayanan kesehatan lingkungan
3. Pelayanan kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana
4. Pelayanan gizi
5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
Sedangkan upaya kesehatan masyarakat pengembangan adalah upaya
kesehatan masyarakat yang kegiatannya bersifat inovatif atau bersifat
ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah
kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di
masing-masing puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
17
Upaya kesehatan perorangan. Upaya kesehatan perorangan yang
disingkat menjadi UKP adalah suatu kegiatan untuk peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan pengurangan penderita akibat penyakit dan memulihkan
kesehatan perorangan. Upaya Kesehatan Perorangan tingkat pertama yang
dilaksanakan :
1. Rawat jalan
2. Pelayanan gawat darurat
3. Pelayanan satu hari (one day care)
4. Home care
5. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014).
Puskesmas dalam program penanggulangan TB Paru. Menurut
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2014, KPP atau kelompok puskesmas
pelaksana dibagi menjadi tiga kelompok sebagai upaya penanggulangan
tuberkulosis yaitu :
1. Puskesmas satelit (PS)
Puskesmas Satelit adalah puskesmas yang tidak memiliki laboratorium
sendiri. Puskesmas ini hanya melakukan pengambilan dahak, pembuatan
sediaan sampai fiksasi dahak. Kemudian sediaan dahak dikirim ke Puskesmas
Rujukan Mikroskopis. Kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari satu dokter dan satu petugas TB.
2. Puskesmas rujukan mikroskopis (PRM)
Puskesmas Rujukan Mikroskopis adalah puskesmas yang sudah memiliki
Universitas Sumatera Utara
18
laboratorium sendiri. Puskesmas ini biasanya dikeliling oleh lima puskesmas
satelit. Fungsi dari PRM adalah puskesmas rujukan dalam pemeriksaan slide
sediaan dahak dan pelaksana pemeriksaan dahak. Kebutuhan minimal tenaga
pelaksana terlatih terdiri dari satu dokter, satu petugas TB, dan satu tenaga
laboratorium.
3. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM)
Puskesmas Pelaksana Mandiri berfungsi seperti puskesmas rujukan
mikroskopis, hanya saja pada puskesmas ini tidak bekerja sama dengan
puskesmas satelit. Kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari
satu dokter, satu petugas TB, dan satu tenaga laboratorium.
Pengendalian TB
Pelayanan kesehatan merupakan tempat yang menjadi salah satu risiko
utama penularan TB. Maka semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan
upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI TB). PPI TB pada
kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas,
rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi,
asrama dan sebagainya. Menurut Kementerian Kesehatan RI Tahun 2014 dalam
menerapkan upaya PPI TB terdapat empat pilar pengendalian infeksi terdiri dari :
Pengendalian manajerial. Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas
palayanan kesehatan, kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota atasan
dari institusi terkait. Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang
efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang
meliputi :
Universitas Sumatera Utara
19
1. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
2. Membuat SPO (Standar Prosedur Operasional) mengenai alur pasien untuk
semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans
3. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
4. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya sesuai
PPI TB
5. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga,
anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan
6. Monitoring dan evaluasi
7. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
8. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat
terkait PPI TB
Pengendalian administratif. Pengendalian administratif adalah upaya
yang dilakukan untuk mencegah/menanggulangi pajanan kuman M. tuberculosis
kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan dengan
menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan standar prosedur dan
alur pelayanan. Upaya ini mencakup :
1. Strategi TEMPO (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati
secara tepat).
2. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.
3. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan
dahak yang benar.
Universitas Sumatera Utara
20
4. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE).
5. Skrinning bagi petugas yang merawat pasien TB.
Pengendalian lingkungan. Pengendalian lingkungan adalah upaya
peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi
untuk mencegah penyebaran dan mengurangi atau menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik ke arah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagi
germisida.
Pengendalian dengan alat pelindung diri. Penggunaan alat pelindung
diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk
menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangan
dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas kesehatan menggunakan
respirator dan penderita menggunakan masker bedah. Petugas kesehatan dan
pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama pasien TB
diruangan tertutup. Penderita tidak perlu menggunakan respiratori tetapi cukup
menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Kebijakan pengendalian TB. Menurut Kementerian Kesehatan RI Tahun
2014 kebijakan penanggulangan TB Paru terdiri dari :
1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi
dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
Universitas Sumatera Utara
21
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana
dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai
kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB.
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi : Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (BB/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter
Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB
dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksanakan di FKTP akan
dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit
telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
Universitas Sumatera Utara
22
masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB
(Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara
Cuma-Cuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi
menjamin ketersediaannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompoten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB Lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global
pengendalian TB.
Program Penanggulangan TB (P2TB)
Program nasional penanggulangan TB Indonesia. Berdasarkan
Kementerian Kesehatan RI (2014), strategi nasional dalam penanggulangan TB
Paru di Indonesia antara lain :
1. Visi
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”
2. Misi
a. Meningkatkan peemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat dan madani dalam pengendalian TB.
Universitas Sumatera Utara
23
b. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu
dan berkeadilan
c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
d. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
3. Tujuan
Tujuan dalam pengendalian TB Paru adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan
kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
4. Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun. Pada RPJMN 2015-2019
maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk dari 297
menjadi 245, Presentase kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan dari 73%
menjadi 90% dan Presentase kasus baru TB paru BTA (+) yang disembuhkan dari
85% menjadi 88%. Target utama pengeendalian TB pada Tahun 2015-2019 adalah
penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1 - 2% pertahun
menjadi 3 - 4% pertahun dan penurunan angka mortalitas > 4 - 5% pertahun.
Diharapkan pada Tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidens
sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidens Tahun 2015.
Tujuan penanggulangan TB. Adapun tujuan program
penanggulanganTB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan angka
Universitas Sumatera Utara
24
kematian yang diakibatkan penyakit TB Paru tidak lagi merupakan masalah
kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah (1)
Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA
positif yang ditemukan, dan (2) Tercapainya cakupan penemuan penderita secara
bertahap sehingga pada Tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua
penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat
prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium
development goal (MDG) pada Tahun 2015. Kebijakan penanggulangan
Tuberkulosis Paru menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) mencakup :
1. Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga sarana dan prasarana).
2. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB.
4. Strategi DOTS dan pengembangannya ditunjukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga
mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya Multi Drug
Resistance Tuberculosis (MDR-TB).
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan
oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah
Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek
Swasta (DPS).
Universitas Sumatera Utara
25
6. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama
dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah
dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB
(Gerdunas TB).
7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan
ditunjukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada
pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.
9. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang
memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
10. Penanggulangan TB lebih dipriotitaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan terhadap TB.
11. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millenium
Development Goals (MDGs).
Sedangkan strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan program
P2 TB Paru adalah memalui, (1) Peningkatan komitmen politis yang
berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan
penanggulangan TB suatu prioritas, (2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi
DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis, (3) Peningkatan
kerjasama dan mobilisasi sosial, (4) kerjasama dengan mitra internasional untuk
mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya, dan (5) Peningkatan kinerja
Universitas Sumatera Utara
26
program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang
berkesinambungan. (Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Kegiatan Penanggulangan TB
Kegiatan pada program penanggulangan TB Paru yaitu kegiatan pokok dan
kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita
(case finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan
penemuan tersangka TB Paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus
menerus selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit
pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis
atau tersangka TB Paru dengan passive promotive case finding (penemuan
penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal
(intesif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat
ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai
jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang
dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir
pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir
pengobatan.
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly
Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek
dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka
proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya
pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara
Universitas Sumatera Utara
27
teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS memberikan
angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%. Strategi DOTS
direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi TB. Strategi
DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a) komitmen politis dan para pengambil
keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c) kesinambungan persediaan OAT
jangan pendek untuk penderita, dan (d) pengobatan TB dengan panduan obat anti
TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang
baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang
dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus
dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat
menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk
mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT
dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing
komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapknan dengan
penggunaan OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan,
meminimalkan kesehatan pemberian obat, dan mengurangi efek samping.
(Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Evaluasi Program Penanggulangan TB
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara
berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam
Universitas Sumatera Utara
28
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanaka, supaya dapat dilakukan tindakan
perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih
lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh
mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam
mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat
berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat
pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat) bertanggung
jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing.
Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses maupun
keluaran (output). (Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan
langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat
sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem
pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar.
Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator-indikator
program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan.
Indikator merupakan alat yang paling efekif untuk melakukan evaluasi dan
merupakan variabel yang menunjukan keadaan dan dapat digunakan untuk
mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat-
syarat tertentu antara lain : valid, sensitif dan spesifik, dapat dimengerti, dapat
diukur dan dapat dicapai. (Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Indikator program Penanggulangan TB Paru dapat dianalisa dengan cara
(1) Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya
Universitas Sumatera Utara
29
perbedaan, dan (2) Menganalisis kecendurungan (trend) dari waktu ke waktu.
Unttuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan (marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat
tertentu seperti: Sahih (valid), sensitif dan spesifik (sensitive and specific), Dapat
dipercaya (realiable), dapat diukur (measureable), dapat dicapai (achievable).
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Strategi DOTS (Directly observed treatments shortcourse). Berdasarkan
Permenkes RI Nomor 67 Tahun 2016 Strategi DOTS merupakan strategi
penanggulangan TB Nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO pada
Tahun 1995. Pada Tahun 2000 secara bertahap strategi DOTS mulai
dikembangkan di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). Dengan strategi
DOTS diharapkan adanya keberhasilan program dimana angka keberhasilan
pengobatan yang ditargetkan minimal 85 %.
Strategi DOTS merupakan pengobatan dengan pasuan OAT yang telah
ditentukan selama minimal enam bulan. Strategi ini merupakan strategi
komprehensif yang dilakukan di seluruh pelayanan kesehatan primer untuk
mendeteksi dan menyembuhkan TB dengan harapan menurunkan insiden TB
dimasyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Strategi DOTS adalah pengawasan langsung pengobatan jangka pendek
dengan keharusan setiap pengelola program TB untuk memberi perhatikan
(directattention) dalam usaha menemukan penderita dengan pemeriksaan
mikroskopis. Setiap penderita harus di observasi (observed) dalam menelan obat
dimana setiap obat yang ditelan penderita harus didepan seorang pengawas. Setiap
Universitas Sumatera Utara
30
penderita harus menerima pengobatan (treatment) yang tertata dalam sistem
pengelolaan, dan distribusi penyediaan obat agar setiap daerahnya tersedia obat
yang cukup. Kemudian setiap penderita harus mendapatkan obat yang baik,
artinya pengobatan jangka pendek (shortcourse) yang terstandart dan telah
terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang
membuat program penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam
pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).
Menurut Kementerian Kesehatan RI Tahun 2014 ada lima komponen
dalam strategi DOTS yaitu 1. Komitmen politis dari pemerintah untuk
menjalankan program TB, 2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara
mikroskopis, 3. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO), 4. Kesinambungan
persediaan OAT, 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru.
1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB
Komitmen politis dari pemerintah secara umum dibangun atas
kesadarantentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang program
penanggulangan TB yang telah terbukti ampuh. Komitmen itu dimulai dengan
keputusan pemerintah untuk menjadikan TB sebagai prioritas utama dalam
program kesehatan. Komitmen politik juga harus membuat suatu program
nasional menyeluruh yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat
diimplementasikan. Kemudian diperlukan dukungan pendanaan serta tenaga
Universitas Sumatera Utara
31
pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata
di masyarakat. Pendanaan untuk Program TB dapat berasal dari :
a. APBN (Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan
kegiatan program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas
program di daerah, Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB
melimpahkan kewenangan untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan
pemerintah daerah dengan mekanisme sebagai berikut :
1) Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang
diberikan kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang
digunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi
untuk program pengendalian TB digunakan untuk memperkuat jejaring
kemitraan di daerah melalui lintas program dan lintas sektor,
meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi
petugas TB melalui pelatihan tatalaksana program TB.
2) Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan
yang ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan
di Daerah. Dana ini diserahkan kepada daerah melalui pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
32
diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat.
3) Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas
pelayanan kesehatan untuk membiayai operasioal petugas, dan dapat
digunakan sebagai transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam
rangka pelacakan kasus yang mangkir TB, dan pencarian kontak TB.
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan
kegiatan program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Berdasarkan
tugas pokok dan fungsi dari pemerintah daerah.
c. Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah
satu program yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri.
Saat ini berbagai keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun
sebagian besar pembiayaan masih tergantung kepada donor (PHLN).
d. Asuransi Kesehatan dan Swasta
Dalam upaya keberlanjutan pembiayaan Pengendalian TB, perlu
meningkatkan dana tambahan dari sumber daya lain seperti asuransi kesehatan dan
sektor swasta melalui dukungan dari dana pertanggung jawaban sosial perusahaan
(Corporat Social Responsibility Funds), karena pengendalian TB bukan hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) namun juga merupakan tanggung jawab sektor swasta dan
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
33
Pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB sangat
bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah di era desentralisasi
sekarang. Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum masih rendah
dikarenakan tingginya pendanaan yang ditanggung pemerintah dan banyaknya
masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Pembiayaan
program TB saat ini masih mengandalkan pendanaan dari donor internasional dan
aloasi pendanaan pemerintah pusat untuk pengadaan obat. Alokasi anggaran
pengadaan obat ini menurun dalam beberapa tahun terakhir sehingga
menimbulkan stock-out. Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB
merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB. Program
pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah (Kemenkes,
2011).
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis ini
terutamadilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan
paru dan pernapasan. Pendekatan itu disebut passive case finding. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan kriteria yang jelas yang
dapat diterapkan di masyarakat.
3. Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi
langsung oleh Pengawasan Minum Obat (PMO)
Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obat, yang dapat
mengawasi penderita itu dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, keluarga atau
Universitas Sumatera Utara
34
tetangga penderita. Obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan secara
gratis pada seluruh penderita TB yang menular dan kambuh. Pengobatan TB
memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan
penderita menghilang, sehingga banyak penderita merasa sudah sehat dan
menghentikan pengobatnnya.
4. Kesinambungan persediaan OAT
Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu.
Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada
berbagai tingkat daerah. Maka dari itu diperlukan pencacatan dan pelaporan
penggunaan obat yang baik. Seperti jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan,
kasus yang ditangani dalam waktu lalu.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB Paru
Setiap penderita TB yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas
penderita yang kemudian tercatat di catatan TB di kabupaten/kota. Kemanapun
penderita pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama, sehingga dapat
melanjutkan pengobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (Aditama, 2005).
Tata Laksana Program Penanggulangan TB Paru
Penemuan kasus tuberkulosis. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari
penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe
pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Kegiatan ini membutuhkan adanya
pasien yang memahami dan sadar akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap
fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
35
pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien TB
merupakan langkah pertama dalam tatalaksana pasien TB (Kementerian
Kesehatan RI, 2014). Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara
bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB. Penemuan secara aktif
dapat dilakukan terhadap :
1. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau beresiko tinggi sakit TB seperti
pada pasien HIV, Diabetes melitus, dan malnutrisi.
2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti: lapas/rutan, tempat pengungsian, daerah
kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo.
3. Anak di bawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
Tahap awal penemuan pasien TB Paru dilakukan dengan menjaring
mereka yang memiliki gejala utama batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Diagnosis pasti TBC melalui
pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Pemeriksaan kultur memerlukan waktu
lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen
(SPS) dahak secara mikroskopis langsung nilainya identik dengan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
36
dahak seara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit
laboratorium dapat melaksanakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis bersifat
spesifik dan cukup sensitif. Tujuan pemeriksaan dahak yaitu :
1. Menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi/tip
2. Menilai kemajuan pengobatan
3. Menentukan tingkat penularan
Diagnosis tuberkulosis. Berikut pemeriksaan untuk mendiagnosis TB
menurut Kementerian Kesehatan RI Tahun 2014 :
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis, Pemeriksaan ini berfungsi untuk
menegakkan diagnosis, menilai pengobatan yang telah dilakukan, dan
menentukan potensi penularan TB. Dilakukan dengan mengumpulkan tiga
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
a. S (Sewaktu) : Dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali dan pada saat pulang diberi sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.
b. P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari. Pada saat
bangun tidur segera dikumpulkan dan diserahkan sendiri ke petugas di
Fasyankes.
c. S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat mengumpulkan dahak
pagi.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Pemeriksaan penunjang
a. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux): Dilakukan dengan cara
penyuntikan pada intakutan. Bila positif, menunjukkan adanya infeksi TB.
b. Reaksi cepat BCG (Bacille Calmette-Guerin): Disuntikkan ke kulit. Bila
dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka orang tersebut telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis.
c. Pemeriksaan Radiologi: Pada pemeriksaan ini sering menunjukkan adanya
TB, tetapi hampir tidak dapat mendiagnosis karena hampir semua
manifestasi klinis TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya.
d. Pemeriksaan Bakteriologik: Pada pemeriksaan ini yang paling penting
adalah pemeriksaan sputum.
Pengobatan tuberkulosis. Dalam pengobatan Tuberkulosis terdapat dua
tahapan meliputi pengobatan tahap awal dan pengobatan tahap lanjutan, dimana
maksud dari tahap awal dan tahap lanjutan pengobatan yaitu:
1. Tahap awal yaitu pengobatan yang diberikan kepada penderita setiap hari
dengan syarat penderita harus makan obat tiap hari selama 2 bulan.
Pengobatan pada tahap ini dimaksudkan untuk menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin telah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan.
2. Tahap lanjutan yaitu pengobatan yang diberikan setelah pengobatan tahap
awal dengan syarat penderita harus minum obat sejak bulan ketiga sampai
Universitas Sumatera Utara
38
bulan keenam dengan cara minum obat berjarak satu hari. Pada pengobatan
tahap lanjutan ini merupakan tahap penting untuk membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Tujuan pengobatan TB paru adalah untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis
yang digunakan untuk TB paru sebagaimana tertera dalam Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 1
Jenis, Sifat, dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg) Dosis (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniasid ( H ) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) Rifampicin ( R ) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid ( Z ) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Steptomycin ( S ) Bakterisid 15 (12-18) 30 (25-35)
Etambutol ( E ) Bakteriostatik 15 (15-20) 15 (12-18)
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis (2014)
Berdasarkan tabel diatas diketahui OAT yang digunakan dalam
pengobatan TB dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pengobatan lini pertama dan
pengobatan lini kedua. Pengobatan TB pada lini pertama, yaitu rifampisin,
isoniazid, etambutol, pirazinamid dan streptomisin.
Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Menurut Kementerian Kesehatan
RI (2014), OAT yang digunakan dalam program penanggulangan TB dengan
DOTS terdiri dari :
1. Isoniasid / INH (H)
Isoniasid bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman
Universitas Sumatera Utara
39
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Dosis harian yang diajurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10mg/kg BB.
2. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister ) yang
tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama
untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB diberikan sama
untuk pengobatan interminan 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 53
mg/kg BB.
4. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang diajurkan15 mg/kg BB
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg.
Pengawas Menelan Obat (PMO). Untuk mencegah munculnya kuman
resisten obat maka sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat
yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang
PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resisten obat. Pilihan
tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan, Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya
bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila
Universitas Sumatera Utara
40
tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader
kesehatan, guru, anggota PPTI (Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Persyaratan PMO menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) adalah :
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan-sama dengan pasien.
Tugas seorang PMO menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) adalah :
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan Pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.
Pemantauan dan hasil pengobatan TB. Pemantauan hasil pengobatan
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
Universitas Sumatera Utara
41
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh
uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kementerian Kesehatan
RI, 2014).
Hasil pengobatan TB Paru. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014),
dalam hasil pengobatan TB dibagi 6 kriteria, antara lain :
1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif
pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
42
2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir
pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau
kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium
yang menunjukkan adanya resistensi OAT.
4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
5. Putus berobat (loss to follow-up), yaitu pasien TB yang tidak memulai
pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
6. Tidak dievakuasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah “pasien pindah (transfer
out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu
fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Kegiatan
monitoring dilaksanakan secara berkala dan terus-menerus, untuk dapat segera
mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi
dilakukan setelah suatu jarak waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan
Universitas Sumatera Utara
43
- 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah
ditetapkan sebelumnya dicapai dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan
indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program
(Kementerian Kesehatan RI, 2013)
Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil studi kepustakaan terdapat berbagai penelitian yang
relevan mengenai program penanggulangan TB dengan strategi DOTS seperti
penelitian yang dilakukan oleh Anggraini dan Pujiyanto yang berjudul Analisis
manajemen program TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat
Tahun 2014. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa adanya kendala pada
anggaran serta sistem pencatatan dan pelaporan yang belum terlaksana dengan
baik.
Landasan Teori
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang bersifat kronis, teradapat
berbagai tanda atau gejala terjadinya tuberkulosis, penyakit ini juga dapat dicegah.
Dalam upaya penanggulangan TB maka tidak bisa dilakukan hanya pada
perorangan saja, akan tetapi ada berbagai pihak yang terkait dalam proses
pemberantasan dan penanggulangannya. Ada beberapa elemen yang harus
terpenuhi dalam penanggulangan TB yaitu pertama input yang meliputi komitmen
politis, tenaga kesehatan yang berkompeten, sarana dan prasarana, serta
pendanaan. Berikutnya ialah proses yaitu seluruh upaya ataupun program yang
dirancang untuk memutus mata rantai penyebaran TB Paru. Terakhir yaitu output
atau hasil dari upaya yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
44
Kerangka Berpikir
Masukan Proses Keluaran
(Input) (Process) (Output)
1. Komitmen 1. Penjaringan Kesembuhan TB
politis suspek TB Paru :
2. Tenaga 2. Diagnosis TB 1. Sembuh
kesehatan 3. Pengobatan 2. Tidak
berkompeten TB dengan Sembuh 3. Sarana dan OAT yang
prasarana P2TB diawasi PMO
4. Pendanaan yang terlatih
4. Penjaminan
persediaan
OAT
5. Pencatatan
dan pelaporan
dalam
monitoring
dan evaluasi
Gambar 1. Kerangka berpikir
Universitas Sumatera Utara
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan
wawancara mendalam terhadap subjekagar diketahui secara jelas dan mendalam
tentang implementasi program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS di
Puskesmas Bah Biak. Pendekatan kualitatif adalah untuk meneliti pada objek
alamiah, dimana peneiliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan cara triangulasi (gabungan). Analisis data bersifat induktif
atau kualitatif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna daripada generalisasi
(Sugiyono, 2012).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Bah Biak
Kota Pematangsiantar, dengan pertimbangan yaitu :
1. Puskesmas Bah Biak merupakan Puskesmas di Kota Pematangsiantar yang
telah menerapkan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS
dan mempunyai tenaga kesehatan yang telah terlatih.
2. Puskesmas Bah Biak memiliki angka keberhasilan pengobatan TB Paru
terendah yaitu sebesar 33,33 % atau belum mencapai target yang ditetapkan
oleh pemerintah yaitu minimal 85% (Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar,
2017).
Waktu penelitian. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini terhitung
sejak 5 November 2018 sampai 8 Oktober 2019.
45 Universitas Sumatera Utara
46
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah orang yang memberikan informasi tentang situasi
dan kondisi latar penelitian. Pemilihan subjek dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive yaitu memilih subjek yang dipandang tahu dan menguasai
tentang program penanggulangan TB Paru, dan dengan cara snowball sampling
yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya
sedikit, lama-lama menjadi banyak. Hal ini dilakukan karena jumlah data yang
sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari
orang lain sebagai sumber data, dengan demikian jumlah sampel sumber data
akan semakin besar (Moleong, 2016)
Subjek dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu subjek kunci dan
pendukung. Subjek kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah Kepala
Pengelola Program TB, Kepala Puskesmas, Petugas TB Paru di Puskesmas
sedangkan subjekpendukung dalam penelitian ini terdiri dari 1 Penderita TB Paru
tidak sembuh, 1 Penderita TB Paru sembuh, 1 Penderita Dropoutdan 1 PMO
Penderita TB Paru tidak sembuh, 1 PMO Penderita TB Paru sembuh.
Definisi Konsep
1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS
agar dapat berjalan dengan baik, meliputi : Komitmen Politis, Tenaga
Kesehatan yang berkompeten, Sarana dan Prasarana dan Pendanaan.
a. Komitmen Politis adalah bentuk tanggungjawab pemerintah untuk
menjadikan pelaksanaan Penanggulangan Program TB berjalan dengan
Universitas Sumatera Utara
47
baik, meliputi pelaksanaan program TB sesuai dengan pedoman TB dan
kerja sama lintas sektor dan struktural.
b. Tenaga Kesehatan yang Berkompeten adalah kontribusi petugas kesehatan
yang telah mendapatkan pelatihan dan memiliki kompetensi dalam
penatalaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS.
c. Sarana dan Prasarana termasuk didalamnya yaitu : tersedianya OAT,
peralatan untuk penemuan BTA (+) (pot dahak, kaca sediaan), family
folder untuk mengetahui penderita TB yang terdeteksi dan pencatatan dan
pelaporan untuk menunjang keberhasilan pengobatan TB Paru dengan
strategi DOTS.
d. Pendanaan adalah adanya materi dalam bentuk uang yang digunakan untuk
pelaksanaan program penanggulangan TB Paru.
2. Proses (Process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
pelaksanaan strategi DOTS yang maksimal, meliputi: Diagnosis TB
(penjaringan suspek penderita TB paru yang aktif, pemeriksaan pasien BTA
(+), klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB), pengobatan TB Paru dengan
PMO yang terlatih ( pengambilan sputum/dahak yang tepat, tata pelaksanaan
pemberian OAT), penjaminan untuk ketersediaan OAT, serta sistem
pencatatan dan pelaporan untuk pemantauan serta hasil pengobatan pasien TB
(monitoring dan evaluasi).
3. Keluaran (output) adalah hasil langsung pada pencapaian pengobatan di
lokasi penelitian yaitu sembuh dan tidak sembuh.
Universitas Sumatera Utara
48
Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam,
observasi dan dokumentasi. Wawancara mendalam dilakukan terhadap para
subjekyang dilengkapi dengan pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam
alur, urutan dan penggunaan kata (Herdiansyah, 2012). Observasi yaitu suatu
proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikhologis. Dua di antara
yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. (Sugiyono, 2012).
Observasi disini yaitu mengamati bagaimana penatalaksanaan program
penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas Bah Biak dan menggunakan form checklist untuk mengamati
penyediaan sarana dan prasarananya. Teknik pengumpulan data dengan dokumen
yaitu dengan cara mengumpulkan data dari dinas kesehatan Kota Pematangsiantar,
data dari Puskesmas Bah Biak mengenai implementasi dan penatalaksanaan TB
Paru, dan referensi buku serta hasil penelitian yang terkait denganImplementasi
TB Paru.
Instrumen penelitian. Instrumen atau alat pengumpul data adalah alat
yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Instrumen
untuk memperoleh, mengelola, dan menginteprasikan informasi dari subjek
(Nasir, 2011). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat
perekam suara (voice recorder), kamera dan pedoman wawancara.
Metode Pengukuran
Metode pengukuran dalam penelitian ini menggunkan triangulasi.
Triangulasi yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu triangulasi
Universitas Sumatera Utara
49
sumber. Triangulasi sumber yang berarti mendapatkan data dari sumber yang
berbeda dengan teknik yang sama, yakni dengan memilih subjek yang dianggap
dapat memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan (Sugiyono,
2012).
Metode Analisis Data
Menurut Seiddel dalam Moleong (2016) analisis data kualitatif dimulai
dengan melakukan pencatatan dari hasil catatan lapangan, lalu diberi kode agar
sumber datanya dapat ditelusuri, kemudian mengumpulkan, memilah-milah,
mengklasifikasikan. Setelah itu diuraikan dalam bentuk narasi dan melakukan
penyimpulan terhadap analisa yang telah didapat secara menyeluruh.
Universitas Sumatera Utara
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Geografi. Puskesmas Bah Biak terletak di Jalan Melanthon Siregar Km2
Manunggal Karya Pematangsiantar. Secara geografis luas wilayah kerja
Puskesmas Bah Biak yaitu 3,5 Km2 yang memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Siantar Selatan
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecatamatan Simarimbun
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kabupaten Simalungun
Demografi. Berdasarkan Profil Puskesmas Bah Biak Tahun 2018, jumlah
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Bah Biak adalah sebesar 6.486 jiwa dengan
jumlah KK sebanyak 1.736 KK. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2
Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Bah Biak Tahun 2018
Kelurahan Jumlah KK Jumlah Penduduk
Pematang Marihat 841 3.152
Marihat Jaya 895 3.334
Total 1.736 6.486 Sumber: BPS, Monografi Kelurahan Kota Pematangsiantar
Tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Bah
Biak yaitu sebanyak 24 orang. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel 3 berikut.
50 Universitas Sumatera Utara
51
Tabel 3
Data Tenaga Kesehatan di Puskesmas Bah Biak Tahun 2018
Tenaga Kesehatan Jumlah
Dokter Umun 1 Dokter Gigi 1
Kesehatan Masyarakat 1
Keperawatan 10
Tenaga Keformasian 1
Kebidanan 7
Perawat Gigi 1
KTU 1
Sumber: Profil Puskesmas Bah Biak Tahun 2018
Sarana pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan di wilayah
kerja Puskesmas Bah Biak Kota Pematangsiantar terdiri dari : 1 Puskesmas Induk,
6 Posyandu dan tidak memiliki Poskesdes. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel 4
berikut.
Tabel 4
Data Sarana Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Bah Biak Tahun 2018
Sarana Kesehatan Jumlah
Puskesmas 1 Posyandu 6 Sumber: Profil Puskesmas Bah Biak Tahun 2018
Karakteristik Subjek Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara
terhadap subjek penetilitian yang dijadikan narasumber penelitian. Jumlah subjek
penetilitian dalam penelitian ini adalah 6 orang. Adapun subjek penetilitian
tersebut yaitu: 1 orang Kepala Puskesmas Bah Biak, 1 Orang Penanggung jawab
Program TB Paru di Puskesmas Bah Biak, 1 Orang Penderita TB Paru yang sudah
sembuh, 1 Orang Penderita TB Paru yang masih menjalankan proses pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
52
1 Orang Pengawas Menelan Obat (PMO) dari penderita yang sudah sembuh, 1
Orang Pengawas Menelan Obat (PMO) dari penderita TB Paru yang masih
menjalankan proses pengobatan dan 1 Orang Penderita Drop Out. Adapun
karakteristik subjek penetilitian berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada
tabel 5 berikut.
Tabel 5
Karakteristik Subjek penetilitian Puskesmas Bah Biak
Informan
Jenis Umur
Pendidikan
Jabatan
Kelamin (Tahun)
Watini Staf pengendalian penyakit Simatupang,S. Perempuan 42 S1 menular Dinkes Kota
K.M. Pematangsiant-ar
Rumondang RJ
Perempuan 50 S2
Kepala Puskesmas
Sirait, M.Kes.
Lasma
Perempuan 40 D3
Penanggungja-wab Program
Romestika.S. TB Paru
M. Harahap Laki-laki 59 SD
Penderita TB Paru tidak
sembuh
Friska Siburian Perempuan 19 SMA Penderita TB Paru sembuh
Ahmad Sitepu Laki-laki 55 SD Penderita TB Paru Dropout
Sumiati Pengawas Menelan Obat
Perempuan 56 SD (PMO) TB Paru tidak
sembuh
Rosita Pasaribu Perempuan 62 SD
Pengawas Menelan Obat
(PMO) TB Paru sembuh
Masukan (Input)
Masukan merupakan elemen yang diperlukan untuk berfungsinya sebuah
sistem (Notoatmodjo, 2011). Terdapat beberapa aspek yang dikategorikan sebagai
masukan (input) dalam program penanggulangan TB Paru dengan strategi
khususnya dalam pelaksanaan program TB Paru yaitu komitmen politis, tenaga
kesehatan, sarana dan prasarana dan pendanaan.
Universitas Sumatera Utara
53
Komitmen politis. Komitmen politis yaitu adanya kesepakatan untuk
melaksanakan Gerakan Terpadu Nasional penanggulangan TB (GERDUNAS TB)
yang terdiri atas : Puskesmas Satelit (PS), Puskesmas Rujukan Mikroskopis
(PRM), dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).
Komitmen politis dari pemerintah secara umum dibangun atas kesadaran
tentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang program penanggulangan
TB yang telah terbukti ampuh. Komitmen itu dimulai dengan keputusan
pemerintah untuk menjadikan TB sebagai prioritas utama dalam program
kesehatan. Komitmen politis juga harus membuat suatu program nasional
menyeluruh yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam
sistem kesehatan umum yang ada (WHO, 1999).
Bentuk pelaksanaan komitmen politis harus diterjemahkan menjadi aksi
nyata seperti kebijakan-kebijakan pengendalian TB sebagai dukungan untuk
program penanggulangan TB Paru secara nasional, penyusunan buku pendoman
atau buku saku untuk pelaksanaan program penanggulangan TB agar pelaksanaan
program TB lebih sistematis dan struktur, menjalin kerja sama struktural maupun
lintas sektor (Aditama, 2005).
Hasil wawancara mendalam tentang komitmen politis yang berkaitan
dengan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak Kota
Pematangsiantar diperoleh informasi :
“Untuk Komitmen sendiri yah kita sampai sekarang selalu
berkomitmen menanggulangi penyakit TB ini. Sebagai Dinkes kami wajib menyelesaikan segala masalah kesehatan yang ada termasuk juga TB sesuai dengan pedoman dari Kemenkes RI, dan kami juga
punya target yang harus dicapai untuk P2TB ini, ya dengan cara memantau dan mengevaluasi setiap pelaksanaan P2TB di setiap
Universitas Sumatera Utara
54
faskes termasuklah itu untuk penjaringan suspek di semua faskes”. (Subjek penelitian 1)
“Saya disini sebagai manajemen, karena itu saya pastikan sampai sekarang untuk pelaksanaan P2TB masih berjalan karena pasien TB
diwilayah kerja kita juga lumayan banyak, yah jadi perlu lah
komitmen kita dalam pelaksanaan P2TB. Yah untuk saat ini saya
memakai strategi DOTS untuk P2TB dan sudah dikoordinasikan sama semua tenaga kesehatan yang ada di sini. Saya selalu berikan arahan
ke semua yang terkait P2TB ini untuk memantau pelaksanaan P2TB
dari penemuan suspek sampai kesembuhan, tetap melakukan kerja sama dengan kepala desa dan perangkat-perangkatnya, dan
mengikuti pelatihan dengan baik”. (Subjek penelitian 2)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pemerintah Kota
Pematangsiantar menyatakan bahwa para stakeholder telah berkomitmen dalam
P2TB dengan sudah melaksanakan kebijakan program TB Nasional yaitu Strategi
DOTS dan sudah menerapkan kebijakan program TB tersebut di semua Fasilitas
Kesehatan termasuk puskesmas di kota Pematangsiantar sesuai dengan pedoman
tuberkulosis yang disusun oleh Kementerian Kesehatan Indonesia. Pemerintah
juga sudah melakukan kerja sama dengan pihak swasta/mitra kerja seperti rumah
sakit, klinik dll dan Kerja sama lintas sektor di tingkat kecamatan, kepala desa,
perangkat desa dan donatur internasional KNCV (Koninklijke Nederlandse
Centrale Vereniging Tot Bestrijding Der Tuberculose), serta kerja sama
terstruktur dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara.
Program penangggulangan TB Paru bukan hanya menjadi program
nasional tetapi telah menjadi program internasional. Upaya dalam pengendalian
TB Paru dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS yang memberi
penekanan pada penemuan kasus dan kesembuhan pasien. Komitmen politis dari
Universitas Sumatera Utara
55
pemerintah pusat maupun daerah sangat penting dalam mencapai keberhasilan
pengendalian TB Paru.
Pemerintah Kota Pematangsiantar sudah menerapkan dan melakukan kerja
sama dengan pihak swasta, lintas sektor atau program serta lintas struktural dalam
pelaksanaan program penanggulangan TB Paru sehingga dapat dinyatakan bahwa
pemerintah sudah menjadikan program tersebut sebagai program prioritas daerah.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rarun dkk (2017) menyatakan bahwa sangat
penting untuk menjaga keberlangsungan program dengan diperlukannya
komitmen politis yang kuat dalam pelaksanaannya.
Tenaga kesehatan yang berkompeten. Salah satu faktor keberhasilan
suatu program yaitu tersedianya sumber daya manusia yang cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Sumber daya manusia adalah peran utama suatu
organisasi dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program. Tenaga
kesehatan adalah sumber daya manusia dalam organisasi dan menjadi faktor yang
mempengaruhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pengembangan SDM
merupakan kegiatan yang dapat menjaga kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan
yang berkompeten dalam melaksanakan program kesehatan (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
Hasil wawancara mendalam tentang tenaga kesehatan dalam program
penanggulangan TB paru di Puskesmas Bah Biak Kota Pematangsiantar diperoleh
informasi :
“Untuk SDM yang melaksanakan P2TB ini kami masih berusaha memadai tenaga kesehatan yang berkompeten di semua puskesmas di kota pematangsiantar, kami akui tidak semua puskesmas memiliki kecukupan SDM dalam pemenuhan tenaga kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
56
berkompeten untuk pelaksanaan P2TB. Untuk pelatihan sendiri biasanya kan dari KNCV dan Dinkes Provinsi, semua petugas
puskesmas sudah pernah dapat pelatihan. Biasanya pelatihan itu untuk programnya setahun sekali ya jadi nanti mereka yang membuat pelatihannya, kita yang kirimkan petugasnya yah memang
tidak semua tenaga kesehatan yang ikut dalam pelatihan terkadang hanya perwakilan atau beberapa tenaga kesehatan yang dapat
mengikuti pelatihan”. (Subjek penelitian 1)
“Perkembangan dalam penyediaan SDM masih kurang yah
termasuk juga SDM untuk program TB. Kami disini kerjanya masih merangkap-rangkap dan petugas TB juga merangkap untuk program
kusta. Pelaksana P2TB disini cuman ada satu orang paling yah ada
juga membantu tapi tidak sepenuhnya jadi tugas mereka. Petugas kita di sini sudah mendapatkan pelatihan sekali dari Dinas Kota
Pematangsiantar tapi untuk saat ini belum ada panggilan lagi untuk
pelatihan, biasanya itu wasornya yang kasih perintah pengiriman
tenaga kesehatan untuk pelatihan. Kadang yang dikirim semua tenaga kesehatan dan kadang hanya perwakilan saja”. (Subjek
penelitian 2)
“Untuk saat ini belum ada perkembangan untuk SDM, karena kami
kerjanya masih merangkap. Saya aja selain program TB ini juga jadi
penanggungjawab program kusta. Untuk pelaksanaan program TB ini cuman saya sendiri yang bertanggungjawab, yah ada tenaga
kesehatan yang lainnya membantu saya tapi saya harus nunggu
mereka selesaikan tugas mereka barulah saya dibantu sama mereka. Pelatihan saya yang terakhir di tahun 2009, saat ini saya belum
mendapatkan pelatihan lagi tapi saya ikut tuh dalam seminar
seminar yang diadakan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)”. (Subjek penelitian 3)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa SDM di Puskesmas
Bah Biak untuk standar ketenagaan program sudah memenuhi batas minimal
jumlah tenaga kesehatan di puskesmas tipe satelit tetapi dari aspek kualitas belum
sesuai dengan Kemenkes RI Tahun 2011 tentang pengembangan sumber daya
manusia dari memiliki serta mempertahankan kompetensi dan pelaksanaan
pelatihan.
Universitas Sumatera Utara
57
Tenaga kesehatan sebaiknya memiliki sertifikasi kompetensi sebagai bukti
pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki di bidangnya dan menjadi landasan
lisensi untuk melakukan pekerjaan profesi seperti dokter yang mendiagnosa
penyakit TB Paru dan tenaga kesehatan lainnya yang mampu memberikan
pencegahan secara promotif dan preventif seperti mampu memberikan
penyuluhan ataupun edukasi kepada masyarakat terutama kepada penderita TB
Paru dan PMO mengenai P2TB.
Tenaga kesehatan Puskesmas Bah Biak sudah memiliki sertifikasi
kompetensi di bidangnya dan sudah melaksanakan peningkatan kinerja untuk
mempertahankan kompetensi dan motivasi yang dilakukan secara langsung dalam
supervisi yang diselenggarakan Dinkes Kota Pematangsiantar per triwulan. Untuk
kinerja tenaga kesehatan dalam pemberian edukasi kepada masyarakat masih
belum maksimal karena kurangnya penyuluhan-penyuluhan dalam melakukan
edukasi TB dan kurangnya kreatifitas dalam pemberian penyuluhan yang efektif
dan efisien kepada masyarakat serta tidak adanya masyarakat yang mau menjadi
kader TB dapat juga menyebabkan kinerja petugas TB kurang maksimal.
Pemberian pelatihan dasar dan pelatihan lanjutan sangat diperlukan tenaga
kesehatan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai program
P2TB. Pelatihan dasar termasuk didalam nya yaitu On the Job Training (OJT)
yaitu telah mengikuti pelatihan sebelumnya akan tetapi masih ditemukan masalah
dalam kinerjanya dan cukup diatasi hanya dengan melakukan supervisi. Pelatihan
lanjutan yaitu pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
program yang lebih tinggi, materi ini berbeda dengan pelatihan
Universitas Sumatera Utara
58
dasar. Pelatihan ini dilaksanakan agar petugas TB khususnya dapat menyusun
rencana kerja, melakukan penyuluhan, dapat membuat laporan dan
mengumpulkan kasus TB Paru dalam P2TB.
Pelatihan yang diberikan untuk tenaga kesehatan umumnya dari KNCV
dan Dinkes Provinsi. Berdasarkan hasil wawancara, pelatihan dasar sudah
diberikan oleh pihak Dinkes Kota Pematangsiantar tetapi untuk pelatihan lanjutan
tidak didapatkan lagi oleh petugas TB, pelatihan terakhir petugas dilaksanakan
pada Tahun 2009. Pihak puskesmas tidak ada mendapatkan panggilan pengiriman
tenaga kesehatan untuk melakukan pelatihan oleh Dinkes Kota Pematangsiantar.
Sesuai dengan penelitian Murti (2010), Dengan adanya perkembangan tenaga
kesehatan yang berkompeten mempengaruhi tingkatnya angka penemuan
penderita TB Paru dan mencegah sedini mungkin terhadap kemungkinan
menularnya TB Paru ke orang lain.
Sarana dan prasarana. Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari kegiatan program
penanggulangan TB Paru. Sarana merupakan segala sesuatu yang digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan Prasarana adalah segala
sesuatu yang digunakan sebagai penunjang dalam melaksanakan suatu kegiatan.
Fasilitas tersebut harus ada pada setiap puskesmas dan dalam kondisi yang baik
atau tidak rusak, lengkap berkualitas dan jumlahnya yang mencukupi sehingga
dapat membantu petugas dalam melaksanakan pekerjaannya dengan baik
(Depatemen Kesehatan RI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
59
Menurut Kemenkes RI Tahun 2011 dalam Manajemen Program
Pengendalian TB, logistik dikelompokkan menjadi dua jenis pertama, logistik
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yaitu ketersediaan OAT di pukesmas. Kedua,
logistik non OAT yaitu alat laboratorium (mikroskop, pot dahak, kaca sediaan, oli
emersi, tisu, lampu spiritus, ose, pipet, kertas saring, dan lain-lain) bahan
diagnostik (reagensia ZN, PPD, RT), dan bahan cetakan (buku pedoman, fomulir
pencatatan dan pelaporan, booklet, brosur, poster, lembar balik, kertas, map, dan
lain-lain). Adapun Form Checklist penyediaan sarana dan prasarana berdasarkan
hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6
Form Checklist Penyediaan Sarana dan Prasarana di Puskesmas Bah Biak
Sarana dan Prasarana AdaTidak Ada Keterangan
Sarana dan prasarana habis pakai
Pot dahak √ Stok yang dimiliki
masih banyak
Obat Anti Tuberkulosis √ Stok yang dimiliki
masih banyak
Formulir pencatatan dan √ Stok yang dimiliki
pelaporan TB: TB.01 s/d masih banyak
TB.13
Sarana dan prasarana tidak habis
pakai
Kotak penyimpanan pot dahak √ 2 lemari/rak
Lemari/rak penyimpanan OAT √ 1 lemari/rak
Barang cetakan lainnya: buku √ Stok yang dimiliki
pedoman,buku petunjuk masih minim
teknis, leaflet, brosur,
poster, dll
Hasil wawancara mendalam penyediaan sarana dan parasarana untuk
pelaksanaan program penanggulangan TB diperoleh informasi :
“Kalau sarana prasarana disini sudah cukup baik. TB kan program pemerintah jadi OAT dan non OAT itu pemerintah yang
Universitas Sumatera Utara
60
menanggulangi. Paling yang kurang disini itu kendaraan untuk ke lapangan itu kita gak ada, maunya ada lah dari pemerintah
disediakan mobil untuk kami ke lapangan. Tapi kemarin kita ada
pengajuan proposal untuk perluasaan puskesmas dan itu u dah di
setujui oleh Dinkes pusat terus dananya dikasih ke Dinkes provinsi dulu baru ke Dinkes Kota Pematangsiantar, barulah kita bisa
menerima dana tersebut. Jadi sekarang ini kita sedang pada tahap
pembangunan untuk perluasan puskesmas dan saya juga mau mengajukan penyediaan laboratorium biar kami gak usah lagi jauh-
jauh ke Puskesmas Tomuan untuk pemeriksaan dahak”. (Subjek
penetitian 2)
“Untuk sarana dan prasarana saya rasa masih belum terpenuhi ya dek, emang OAT kita disini stoknya banyak, tapi yang non OAT
masih ada stok nya yang minim. Kalau harapan saya sih di puskesmas kita ini ada laboratoriumnya jadikan kami gak mesti lagi
ngantar-ngantar dahak itu ke Puskesmas Tomuan, memang sih rencananya kita mau mintak pengadaan laboratorium di sini. Kalo
bisa ya disediainla kami kendaraan biar kami gak susah untuk ke lapangan. saya kalau ke lapangan gitu, maunya ada lah kendaraan gitu kan jadi kami mau ke lapangan gak susah karena kekurangan
transportasi.”. (Subjek penelitian 3)
Berdasarkan tabel 6 form checklist sarana dan prasarana dan wawancara
mendalam yang telah dilakukan diketahui bahwa Puskesmas Bah Biak telah
memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai. Logistik OAT sudah
tersedia banyak di puskesmas dan untuk non OAT seperti pot dahak, formulir
pencatatan dan pelaporan TB.01 s/d TB.13 juga sudah banyak tersedia dan
tersedianya lemari/rak penyimpanan pot dahak dan OAT. Tetapi ketersediaan
logistik seperti buku pedoman, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster dan
lainnya masih minim di puskesmas, sehingga dapat menyebabkan masyarakat
kurang mendapatkan informasi yang benar mengenai penyakit TB.
Penyediaan transportasi masih belum ada diberikan kepada Puskesmas
Bah Biak untuk melakukan penjaringan suspek TB dan pemantauan pasien TB di
setiap wilayah kerjanya sehingga dapat menghambat pelaksanaan P2TB.
Universitas Sumatera Utara
61
Penyediaan laboratorium yang akan direncanakan oleh pihak puskesmas
dimaksudkan untuk pemenuhan akreditas dan meningkatnya penemuan kasus baru
sebesar 23 orang dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya atau setiap tahunnya
angka penemuan kasus baru ini terus meningkat sehingga Puskesmas Bah Biak
memerlukan penyediaan laboratorium untuk pemeriksaan sputum.
Hal ini di dukung oleh penelitiam Rarun dkk (2017) yang menyatakan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan terhambat seiring tidak tersedia fasilitas
yang cukup atau rusak akibat bencana.
Pendanaan. Kondisi saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara
dengan beban TB yang tertinggi diantara 22 negara kasus TB terbanyak. Oleh
karena itu diperlukan pembiayaan yang optimal untuk menurunkan permasalahan
TB di Indonesia. Pembiayaan program TB dapat diidentifikasi dari berbagai
sumber mulai dari anggaran pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga
semua potensi sumber dana dapat dimobilisasi. Mobilisasi alokasi sumber dana
secara tepat, baik di tingkat pusat maupun daerah harus dilaksanakan melalui
komitmen pembiayaan pemerintah pusat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dan penerimaan dana hibah (Kemenkes RI, 2014).
Hasil wawancara mendalam tentang pendanaan dalam program
penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak diperoleh informasi :
“Soal dana kita ada dari donatur Internasional KNCV untuk
pengadaan pelatihan, ada dana APBD Daerah dan Provinsi untuk penyedian OAT dan non OAT, dana DAK untuk penyediaan sarana dan prasarana, dana BOK untuk Home visit. Tapi yah gitu semua
dana itu perlu pengajuan lagi terus perlu di setujui dulu oleh pusat, kadang kita gak bisa bilang ya langsung keluar dananya karena itu
butuh waktu untuk diterima ataupun ditolak. Dana kita masih minim dan pemerintah pun bukan hanya memfokuskan untuk program
Universitas Sumatera Utara
62
penanggulangan TB melainkan masih banyak program lainnya yang harus ditanganin jadi dana paling yang didahului itu untuk OAT. Tiap kota yah beda-beda lah masalahnya tapi untuk disini kalau OAT kita gak ada masalah”. (Subjek penelitian 1)
“Pendanaan kita disini semuanya dari pemerintah, tidak ada dari dana pribadi. Kayak OAT dan non OAT itu dari APBD, kalau untuk
kunjungan ke rumah rumah itu dari dana BOK. Kami ini kemarin baru saja ngajukan pendanaan untuk sarana dan prasarana ke Dinkes Kota Pematagsiantar, yah alhamdulillah proposal kami
diterima sama Dinkes Pusat dan sekarang kami sedang dalam tahap pembangunan infrastruktur puskesmas ini”. (Subjek penelitian 2)
Berdasarkan penelitan diketahui bahwa yang menjadi sumber pendanaan
untuk pelaksanaan P2TB di Puskesmas Bah Biak adalah :
1. APBD, dana yang diberikan sebesar 5-15%. Dana digunakan untuk
pelaksanaan program TB Paru dalam penyediaan OAT untuk semua tipe
pasien TB dan Non OAT, namun dana tersebut dalam penyediaan non OAT
seperti buku pedoman, buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster dan
lainnya masih minim ketersediaannya.
2. BOK, dana yang diberikan ke petugas pelaksanaan P2TB di Puskesmas setiap
melakukan perjalanan atau kunjungan rumah atau ketuk pintu atau home visit,
bahwasannya setiap satu orang tenaga kesehatan yang ikut melaksanakan
P2TB akan diberikan dana sekitar Rp. 75.000,00.
3. DAK, dana yang diserahkan kepada daerah melalui pemerintah
kabupaten/kota untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yaitu perbaikan atau perluasan infrastruktur Puskesmas Bah Biak yang sedang
berlangsung dan perencanaan penyediaan laboratorium dalam rangka
diagnosis TB yaitu diberikan dana sebesar 10-30% yang diberikan oleh
pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
63
4. Dana Hibah, saat ini dana hibah yang didapatkan berasal dari donatur
internasional KNCV yang sebesar 69% untuk memberikan pelatihan-
pelatihan ataupun kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan P2TB.
Alokasi APBD untuk pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan
tingginya pendanaan dari donatur internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Pembiayaan program TB saat ini
masih mengandalkan pendanaan dari donatur internasional dan alokasi pendanaan
pemerintah pusat maupun daerah lebih digunakan untuk pengadaan obat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Budiman (2012) yang mengatakan
bahwa pelaksanaan pengendalian TB dari aspek pendanaan dari pemerntah sangat
minim, sumber dana yang berasal dari donatur internasional sangat berkontribusi
signifikan terhadap berjalannya kegiatan pengendalian TB di kota Padang
dikarenakan pemerintah daerah menganggap dana untuk kegiatan TB sudah cukup
besar.
Proses (Process)
Proses merupakan suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah
masukan sehingga menghasilkan suatu (keluaran) yang direncanakan
(Notoatmodjo, 2011). Terdapat beberapa aspek dalam proses pelaksanaan program
penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak terdiri dari penemuan kasus,
pemberian OAT yang diawasi secara langsung, kesinambungan persediaan OAT,
dan pencatatan dan pelaporan.
Penjaringan suspek TB. Penemuan penderita TB merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru. Penemuan penderita
Universitas Sumatera Utara
64
TB Paru akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB
yang paling efektif di masyarakat. Penemuan penderita TB ini bertujuan untuk
mendapatkan penderita TB dengan serangkai kegiatan mulai dari penjaringan
terhadap terduga penderita TB, pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan
klasifikasi penyakit serta tipe penderita TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan
agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Penjaringan suspek TB Paru dengan strategi DOTS dalam program
penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak diperoleh informasi melalui
wawancara mendalam yaitu :
“Kalau kendala pasti ada. Yang paling berat itu dalam penjaringan suspek yang belum maksimal dan pemantauan penderita TB yang
belum efektif. Semua hambatan yang kami hadapi itu ya pelan pelan lah kami perbaiki, dimana yang belum maksimal kami coba perbaiki
semaksimal mungkin. Semua harapan yang kami inginkan kami usahakan agar bisa terealisasikan lah dek”. (Subjek penelitian 1)
“Masyarakat disini kalau kita mau ambil sputum untuk pemeriksaan bakteri TB ini mereka agak susah, karena mereka malu, selain itu
mereka berpikir itu jorok karena dilihatin sama petugasnya saat pengambilan dahak jadi kami suruh mereka ngambil dahak nya sendiri ”. (Subjek penelitian 2)
“Saya ini kan baru 2 tahun dek menjabat jadi penanggung jawab TB
nya, sejak tahun 2017 lah uda mulai saya ngerjain P2TB, jadi yah
selama ini pasien saya ada yang menuruskan pengobatan dari yang
sebelum nya tapi ini kan udh tahun 2019 jadi uda banyak pasien baru. Kalau saya kebanyakan menemukan pasien TB baru, mereka
langsung yang datang ke puskesmas untuk mintak diperiksa atau uda
ada pasien yang uda dari rumah sakit mintak pengobatan lanjutan ke kita. Tugas saya sebagai petugas TB yah ngambil dahak ke
terduga TB tapi kadang pun mereka malu kalau ngasih dahaknya itu
di depan saya, home visit ke penderita TB Paru agak sulit yah saya karena saya gak bisa bawak kendaraan, di sini juga gak ada fasilitas
Universitas Sumatera Utara
65
transportasi untuk ke rumah pasien TB, palingan saya nunggu lah bantuan dari tenaga lain tapi yah gitu dek saya harus nunggu
mereka selesaikan tugas mereka dulu baru bantu saya. saya disini
juga ngerangkap untuk program kusta, jadi kerjaan saya pun selain
TB juga uda banyak. Kewalahan juga sih saya, makanya saya kalau kelapangan gitu agak jarang ya dek, saya akui karena saya sendiri
gak ada kader juga agak susah saya nemuin kasusnya kalau terjun
ke lapangan gitu. Kebanyakan mereka sendiri yang datang untuk diperiksa atau melaporkan hasil rongent dari rumah sakit”. (Subjek
penelitian 3)
Beberapa hasil wawancara mendalam dengan penderita TB tentang
penjaringan suspek TB Paru didapatkan informasi :
“Saya awalnya itu batuk-batuk dulu, saya pikir itu hanya batuk
biasa aja karena saya setiap batuk saya obati sembuh, terus lama-lama batuk saya uda saya obati pun gak hilang-hilang, badan saya
juga panas dingin tiba-tiba, keringatan juga saya kalau malam itu
sampai basah baju saya, yang gak tahannya itu sesaknya ini. Uda
lah karena gak bisa lagi saya tahankan saya berobat ke rumah sakit, diperiksa lah saya itu kan, keluar hasilnya kata dokternya saya
positif kenak TB di suruh saya lanjutin pengobatan ke puskesmas.
Saya pun langsung melapor ke puskesmas kalau saya mau berobat TB disini, dilihatlah hasil rongent saya, lalu di timbang berat badan
sama tinggi saya baru lah disitu saya di kasih arahan dan mulai
pengobatan TB di puskesmas”. (Subjek penelitian 4)
“Pertamanya saya kemarin kak sesak napas terus menerus, terus
berat badan saya pun menurun kak, gak nafsu makan juga, batuk
saya juga gak sembuh sembuh uda minum obat pun gak hilang hilang kak, saya belik obatnya di kede kak dekat rumah. Karena saya
gak sembuh sembuh juga kak, nenek saya nyuruh saya berobat ke
puskesmas kak. Makanya saya langsung berobat di puskesmas
dikawanin nenek kak. Pas kami uda di puskesmas diperiksala kak sama dokternya, terus dokternya nyuruh saya untuk ngeluarin dahak
saya tapi saya gak mau karena malu kak makanya saya disuruh
bawak botol kecik gitu kak kerumah. Besok paginya dahak saya keluar dan saya taruk dahak itu ke botol, ya pagi itu juga saya antar
kepuskesmas kak. Kata pihak puskesmas tunggu 3 hari hasilnya baru
keluar. Pas uda 3 hari nya saya kesana lagi kak, terus ibu itu bilang saya positif TB langsung la saya kak ditimbang berat badan sama
tinggi bada saya abis itu saya langsung dikasih obat”. (Subjek
penelitian 5)
Universitas Sumatera Utara
66
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Puskesmas Bah Biak sudah
melakukan home visit untuk penjarinagn suspek TB ke daerah yang memiliki
angka kejadian TB yang tinggi tetapi Puskesmas Bah Biak dalam penjaringan
suspek TB belum maksimal karena penjaringan belum dilaksanakan secara merata
di seluruh wilayah kerjanya sehingga masih lebih banyak melakukan penjaringan
suspek TB secara pasif yaitu menunggu penderita datang sendiri memeriksakan
diri ke puskesmas.
Petugas TB dan tenaga kesehatan yang ikut membantu dari segi aspek
kuantitas dan kualitas yang belum maksimal dalam pelaksanaan P2TB dengan
cukup banyaknya penemuan kasus baru sebesar 23 orang dan terus meningkatnya
penemuan kasus baru tiap tahunnya menyebabkan kinerja petugas TB menjadi
kurang maksimal. TB juga belum dijadikan prioritas oleh puskesmas sebagai
masalah kesehatan yang utama dan kurangnya pemberian informasi ataupun
konsultasi keluarga/kontaks rumah yang dijalankan oleh petugas TB kepada
masyarakat ataupun penderita TB untuk mengatasi penularan penyakit TB
sehingga penjaringan suspek TB tidak merata dan masih terus terjadi penularan
TB di sekitar masyarakat ataupun keluarga.
Dinkes Kota Pematangsiantar, yang menjadi tantangan adalah pemantauan
penderita TB Paru yang belum maksimal memiliki hubungan dengan adanya
pasien TB Paru yang dropout.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Tuharea dkk (2014) menunjukkan
bahwa rendahnya angka penemuan kasus TB Paru di Puskesmas Kota Semarang
disebabkan karena penemuan kasus hanya dilakukan secara pasif, malasnya
penderita memeriksakan dirinya walaupun telah mengalami batuk lebih dari dua
Universitas Sumatera Utara
67
minggu, peralatan kurang lengkap sehingga kesediaan dahak harus dikirim ke
puskesmas lain untuk diperiksa sehingga membutuhkan waktu untuk
memberitahukan hasil laboratorium, penderita malas kembali ke puskesmas untuk
menyerahkan sediaan dahak sehingga tidak mengikuti pemeriksaan sputum secara
lengkap.
Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Penatalaksanaan program TB Paru dengan strategi DOTS dilakukan dengan cara
menemukan pasien TB Paru, pemeriksaan dahak serta melakukan diagnosa kepada
penderita TB Paru. Penatalaksana ini bertujuan untuk mendapatkan pasien TB
Paru melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien
TB, pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan
klasifikasi penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan
agar sembuh dan tidak sampai menularkan ke orang lain. Kegiatan ini
membutuhkan adanya kesadaran dan pemahaman pasien akan keluhan dan gejala
TB Paru, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan harus
yang berkompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan
tersebut (Kemenkes RI, 2014).
Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam kapasitas
diagnosis program pengendalian TB nasional. Meskipun demikian mutu
pelayanan diagnosis masih menjadi tantangan. Sistem jaminan mutu eksternal
masih terbatas oleh karena masih banyak laboratorium yang belum mengikuti
cross-check secara rutin akibat keterbatasan kapasitas Balai Latihan Kerja (BLK)
dalam melakukan supervisi, umpan balik yang tidak tepat waktu dan belum
Universitas Sumatera Utara
68
tersedianya laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Rencana penguatan
laboratorium telah disusun sebagai arahan bagi subdit TB dan BPPM.
Laboratorium rujukan masional dan provinsi harus segera ditetapkan secara
formal dengan garis wewenang yang jelas. Pengurangan kesenjangan (kuantitas
dan kualitas) dalam SDM laboratorium perlu diupayakan secara terus menerus
(Kemenkes RI, 2014).
Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk
penjaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan
strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi
baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan
pengobatannya. Pemeriksaan mikroskopis ini merupakan pendekatan penemuan
kasus secara pasif yang merupakan cara paling efektif dan menemukan kasus
tuberkulosis (WHO, 2010).
Hasil wawancara mendalam tentang diagnosis TB melalui pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dalam program penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Bah Biak diperoleh informasi:
“Puskesmas kita ini kan masih termasuk puskesmas satelit dek jadi kami disini belum ada laboratorium untuk pemeriksaan dahak, biasanya untuk pemeriksaan dahak ini nanti kami rujuk ke
puskesmas mandiri yaitu Puskesmas Tomuan”. (Subjek penelitian 2)
“Kami disini gak bisa dek mendiagnosis dahak yang diduga sebagai suspek TB, jadi tugas kami disini yaa hanya mengambil dahak melalui pot dahak yang terduga menderita TB aja, terus kami
kirimkan ke Puskesmas Tomuan untuk pemeriksaan”. (Subjek penelitian 3)
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Puskesmas Bah Biak yang
merupakan puskesmas satelit telah menjalankan prosedur pemeriksaan dahak bagi
Universitas Sumatera Utara
69
terduga TB Paru dengan mengambil dahak terduga dengan menggunakan pot
dahk dan mengirimkan sputum tersebut ke puskesmas mandiri atau puskesmas
tomuan untuk dilaksanakan pemeriksaan sputum terduga TB Paru. Setalah hasil
keluar dari puskesmas tomuan, jika hasilnya positif pihak puskesmas bah biak
akan langsung memberikan pengobatan OAT terhadap penderita BTA (+).
Jika hasilnya negatif biasanya dokter akan mendiagnosis ulang pasien
tersebut bahwasannya penyakit apa yang terjadi pada pasien jika bukan kasus TB
Paru kemudian dokter akan memberikan obat sesuai diagnosis barunya tentang
penyakit yang di derita pasien ataupun merujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan
secara lengkap seperti rotgent/foto dada untuk mendapatkan hasil yang lebih
signifikan karena mungkin telah terjadi kesalahan dalam pengambilan sputum
yang tidak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) melainkan air liur (saliva) dan purum
yang bercampur dengan darah.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Soetedjo (2005) yang mengatakan
bahwa hasil dahak didapatkan negatif dimungkinkan masih sensitif bakteri
Mycobakterium tuberculosis terhadap OAT sehingga sebagian besar bakteri mati
atau sampel dahak yang didapat masih banyak tercampur saliva atau sulit untuk
mendapatkan sampel dahak yang benar-benar berasal dari sekret trakea atau
bronkus.
Pengobatan TB dengan OAT yang diawasi PMO yang terlatih.
Kesembuan penyakit TB yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan
peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit
TB, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
70
ulang dahak hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu
pemeriksaan follow up sebelumnya negatif (Depkes RI, 2010).
Dalam mencapai kesembuhan, penderita TB sangat membutuhkan
dukungan dari berbagai pihak terkait. Diantaranya adalah dukungan dari pihak
keluarga untuk mengingatkan dan mengawasi penderita dalam meminum obat
atau yang lebih dikenal dengan Pengawas Minum Obat (PMO). Pengobatan
dengan paduan OAT jangka pendek melalui pengawasan langsung oleh PMO
untuk menjamin keteraturan meminum obat merupakan salah satu komponen
DOTS yang sangat penting.
Menurut Kemankes RI Tahun 2014 sebaiknya PMO adalah petugas
kesehatan seperti bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan
lain-lain. Namun bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO
dapat berasal dari kader kesehatan, guru, tokoh masyarakat atau anggota keluarga.
Hasil wawancara mendalam dengan penderita TB Paru tentang pengobatan
TB dengan OAT yang diawasi PMO yang terlatih dalam penanggulangan TB Paru
di Puskesmas Bah Biak diperoleh informasi :
“Kalau PMO itu ya dari istri saya sendiri dek, dia lah nanti yang ingatin saya tiap pagi minum obat dan kalo waktu nya mengambil obat ke puskesmas selalu diingati juga”. (Subjek penelitian 4)
“PMO ya nenek saya kak, karena keluarga saya satu-satunya cuman
nenek saya kak, yauda kak nanti nenek saya lah kak yang perhatiin saya selama saya sakit dari ingatin minum obat, makan saya, dan ingatin ambil obat. Palingan kak ibu itu mantau saya dari nanyak
nanyak ke nenek saya kak pas saya sama nenek saya mau ambil obat kepuskesmas”. (Subjek penelitian 5)
“Kalau PMO ada, istri saya. ya paling istri saya cuman ingatin minum obat sama ambil obat ke puskesmas cuman ya gitu dek kendala saya selama masa pengobatan itu karena efek obatnya ya
Universitas Sumatera Utara
71
dek, saya gak tahan sama efeknya itu yang buat saya mual mual, terus kepala saya sakit juga, dan saya rasa pas minum obat itu
bawaan saya pengen tidur aja. Tapi yang paling buat saya gak tahan itu mual mualnya ya dek, makanya saya berhenti minum obat dek. Istri saya yang jadi PMO responnya karena lihat saya gak
tahan gitu jadi kasihan sama saya jadi ya dia gak marah sama saya dek”. (Subjek penelitian 6)
Beberapa hasil wawancara mendalam dengan PMO tentang pengawasan
meminum obat didapatkan informasi :
“Karena kemarin saya yang ngawanin bapak ke puskesmas jadi saya
aja yang ditunjuk sama petugas TB nya. Yang setahu saya itu tugas nya paling di suruh ingatin bapak minum obatnya rutin, jaga pola makan, jangan bergadang sama jangan lupa ambil obat seminggu
sekali, itu aja lah dek yang di bilang sama petugasnya. Ya saya setiap pagi langsung saya bawak obat sama minumnya jadi biar
langsung di minum sama bapak di depan saya. masalah pelatihan gak ada dek saya dikasih, penyuluhan khusus TB selama ini pun saya
juga gak ada dapat”. (Subjek penelitian 7)
“Awalnya pihak puskesmasnya gak mau saya yang jadi PMO, tapi
karena cuman saya satu-satunya keluarga dari cucu saya, yauda
saya lah akhirnya yang jadi PMO. Ibu itu nyuruh saya ingatin cucu saya minum obat rutin selama 6 bulan, ambil obat ke puskesmas,
cucu saya gak boleh bergadang, gak bole kecapekan, tapi cucu saya
pun ngerti sendiri kok dia sama penyakitnya itu kalo badan nya gak enak dirasa dia, dia langsung tidur. Gak ada di kasih penyuluhan-
penyuluhan TB gitu dek, palingan dikasih tahu aja sama saya pas
ngambil obat kalau alat-alat makan minum itu jangan bercampur
sama cucu nenek ya, karena nenek juga uda tua takutnya ketularan, cuc u saya di suruh pake masker kalau keluar tapi cucu saya gak
pernah di kasih masker gratis sama puskesmas nya. Pelatihan pun
saya gak dapat dek dari siapa-siapa”. (Subjek penelitian 8).
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Puskesmas Bah Biak sudah
melaksanakan pengobatan pasien TB didampingi oleh PMO. Puskesmas Bah Biak
memilih PMO dari anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan pasien
namun usia para PMO diatas 40 tahun, salah satu subjek penetilitianmenyatakan
alasan terpilihnya PMO diatas 40 tahun karena hanya satu-satunya keluarga yang
Universitas Sumatera Utara
72
dimiliki oleh pasien TB. Menurut hasil wawancara mendalam dengan penderita
dropout alasannya putus berobat dikarenakan mengalami efek samping obat atau
tidak adanya transportasi menuju puskesmas karena jarak yang ditempuh sangat
jauh untuk dijangkau dan PMO yang bertugas untuk memastikan pengobatan
tidak menjalankan tugasnya dengan baik.
PMO di Puskesmas Bah Biak hanya diberikan arahan ketika memulai
masa pengobatan. PMO tidak diberikan edukasi mendalam mengenai tugasnya
dan pengetahuan tentang penyakit TB. Kepala puskesmas dan petugas TB
seharusnya melakukan pengawasan secara langsung terhadap pasien TB setiap
sebulan sekali untuk memastikan, mendukung ataupun memotivasi penderita TB
maupun PMO nya selama pengobatan berlangsung agar tidak ada terjadinya
pasien dropout.
Pemberian edukasi yang mendalam kepada PMO akan menjadikan PMO
yang dapat dikatakan layak untuk mendampingi penderita TB dan akhirnya tidak
akan ada lagi penderita TB Paru yang dropout di Puskesmas Bah Biak karena
kesalahan PMO yang tidak dapat memberi dukungan atau motivasi kepada si
penderita TB Paru untuk tetap melanjutkan pengobatannya sampai selesai karena
jika tidak ditakutkan akan mengalami TB-MDR yang efek samping obatnya lebih
besar dibandingkan obat TB sebelumnya.
PMO memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan
P2TB sehingga perlunya menjaga kualitas dan integritas PMO. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Puri (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang
Universitas Sumatera Utara
73
kuat dan bermakna antara kinerja PMO dengan kesembuhan TB Paru dengan
Strategi DOTS.
Penjaminan ketersediaan OAT. Pengadaan OAT menjadi
tanggungjawab pusat mengingat OAT merupakan obat yang sangat-sangat
esensial (SSE). Kabupaten/kota maupun provinsi yang akan mengadakan OAT
perlu berkoordinasi dengan pusat Dirjen PP & PL Depkes RI sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Obat yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat
sesuai dengan rencana kebutuhan masing-masing daerah, OAT disimpan di
instalasi gudang farmasi maupun gudang obat provinsi sesuai persyaratan
penyimpanan obat. Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu, sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. (Kemenkes RI, 2014)
Hasil wawancara mendalam tentang penjaminan ketersediaan OAT dalam
program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak diperoleh informasi :
“OAT di sini selalu tersedia dek, belum pernah kita ngalami kehabisan OAT, saat ini kita punya banyak stok OAT jadi penderita
TB gak perlu khawatir kehabisan OAT. Selama ini kalau kita mintak OAT ke Dinkes Kota Pematangsiantar juga gak dipersulit sama
mereka, pengirimannya juga cepat kok dek, gak dilama-lamain”. (Subjek penelitian 3)
“Ada obatnya selalu di puskesmas, dan gratis obatnya juga dek”. (Subjek penelitian 4)
“Setiap ambil obat ke puskesmas selalu ada kok kak, gak pernah saya ngambil obat ke sana habis obatnya”. (Subjek penelitian 5)
“Selalu ada nak obatnya di puskesmas. Kita tinggal ngambil aja gak dipersulit, ya pokoknya gak pernah sampai gak ada obatnya pas mau ngambil”. (Subjek penelitian 7)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
Puskesmas Bah Biak sudah memiliki persediaan obat yang baik sehingga
Universitas Sumatera Utara
74
penderita TB Paru belum pernah kehabisan stok obat. Perencanaan obat selalu
dibuat dan diajukan ke provinsi untuk penyediaannya dan dana penyediaan berasal
dari APBD daerah atau provinsi. Penderita TB Paru ataupun PMO tidak memiliki
masalah dalam memperoleh obat yang diambil setiap seminggu sekali oleh
puskesmas, hanya dengan menunjukkan kartu berobat TB Paru, pihak puskesmas
akan langsung memberikan obat TB Paru kepada Penderita TB Paru dan PMO.
Sistem ini dilaksanakan agar petugas TB Paru dapat memantau perkembangan
penderita TB Paru selama masa pengobatan berlangsung.
Hasil diatas sesuai dengan apa yang ditemukan Rarun dkk (2017) bahwa
monitoring dan evaluasi ketersediaan Logistik OAT dan non OAT bisa
menghindari terjadinya kekurangan dan kelebihan stok. Ketersediaan logistik yang
berkualitas dan berkesinambugan harus dijamin supaya pengobatan tidak terputus.
Pencatatan dan pelaporan. Seluruh kegiatan program harus di monitor
dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output)
dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas
kesehatan maupun masyarakat yang menjadi sasaran. Salah satu komponen utama
untuk melakukan monev adalah pencatatan dan pelaporan (Kemenkes RI, 2011).
Keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa indikator. Indikator
penanggulangan TB secara Nasional di Puskesmas Bah Biak Tahun 2017 ada 2
yaitu :
1. Angka penemuan penderita baru BTA positif (Case Detection Rate = CDR),
di Puskesmas Bah Biak sebanyak 1 orang dan
Universitas Sumatera Utara
75
2. Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR), di Puskesmas Bah Biak
sebesar 66,66%.
Disamping itu beberapa indikator proses untuk mencapai indikator
nasional yaitu :
a. Angka penjaringan suspek, di Puskesmas Bah Biak sebanyak 23 orang.
b. Proporsi penderita TB Paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya, di Puskesmas Bah Biak sebesar 4,35%
c. Proporsi penderita TB Paru BTA positif diantara seluruh penderita TB
Paru, di Puskesmas Bah Biak sebanyak 9 orang.
d. Proporsi penderita TB anak diantara seluruh penderita, di Puskesmas Bah
Biak sebesar 11,11%.
e. Angka kesembuhan, di Puskesmas Bah Biak sebesar 33,33%. (Kemenkes
RI, 2014).
Hasil wawancara mendalam tentang pencatatan dan pelaporan dalam
program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak diperoleh informasi :
“Kalau untuk sistem pencatatan dan pelaporan kita sudah ada
standarisasinya dan sudah disosialisasikan ke petugas TB. Biasanya itu waktu pelaporan nya per triwulan, jadi pihak puskesmas nanti
kirimkan laporan mereka ke dalam sistem online gitu namanya
SITT(Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu), kami pun pihak Dinkes mengrimkan laporan ke Dinkes Provsunya melalui sistem
STTI ini juga. Tapi menurut saya sistem pelaporan saat ini juga
masih belum lengkap dan saya rasa juga belum efektif untuk sistem online karena kami terkadang harus minta lagi sama pihak
puskesmasnya baru dikirim datanya sama mereka.”. (Subjek
penelitian 1)
“Kalau di puskesmas kita untuk pencatatan setiap hari dibuat dibuku baru nanti kami ada laporan triwulan bersama dinkes di supervisi, disinilah dicatat semua pasien TB termasuk pemeriksaanya. Setalah laporan triwulan di supervisi kami membuat
Universitas Sumatera Utara
76
laporan triwulan ke SITT. kedalam bentuk laporan triwulan yang kami kirimkan ke Dinkes dalam SITT. Kemudian laporan pertahun
kami buat setelah semua laporan triwulan selesai dalam bentuk word. Kalau laporan triwulan itu dari di supervisi, nanti wasor yang ngabari ke kita, di sinilah dicatat semua pasien TB termasuk
pemeriksaannya”. (Subjek penelitian 2)
“Setiap hari saya catat kok, tiap pasien yang di sini sudah saya kasih buku dan form nya. Yauda nanti pas mereka datang seminggu sekali untuk ngambil obat di saat itu lah saya isi form nya. Ada juga nanti laporan yang saya buat kayak jumlah suspek, yang diobati,
yang sembuh, laporan TB-DM dan TB-HIV”. (Subjek penelitian 3)
Pihak Dinkes Kota Pematangsiantar berdasarkan hasil wawancara
mendalam menjelaskan bahwa sistem online masih belum efektif karena
terkadang data yang ada di sistem belum lengkap dan pihak Dinkes Kota
Pematangsiantar masih harus meminta laporan tersebut ke pihak puskesmas. Hal
ini sejalan dengan penelitian Anggraeni dan Pujiyanto (2014), dalam penyerahan
pencatatan dan pelaporan, terkadang ditemukan data yang belum terisi dengan
lengkap sehingga belum dapat dilaporkan.
Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa Puskesmas Bah Biak telah
melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan sesuai dengan 13 format (TB 0.1
sampai TB 13) yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar dan
juga laporan sistem online dengan SITT (Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu)
yang dilaporkan per triwulan, baik laporan offline dan online semuanya
dilaporkan dan dikirim ke Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar.
Pihak Dinkes Kota Pematangsiantar juga melaksanakan monitorng dan
evaluasi kinerja puskesmas dalam P2TB dengan melakukan supervisi yang
langsung turun ke puskesmas untuk mengecek langsung kinerja puskesmas dan
mengadakan rapat evaluasi dengan pihak puskesmas dan petugas TB yang
Universitas Sumatera Utara
77
dilaksanakan per triwulan. Namun supervisi yang selama ini dilaksanakan tetap
belum bisa mencari solusi agar angka penjaringan suspek TB Paru,
keberhasilangan pengobatan dan angka kesembuhan mencapai target di tahun
berikutnya.
Untuk saat ini solusi yang didapatkan ketika pelaksanaan supervisi tidak
bisa direalisasikan karena solusi tersebut membutuhkan dana yang besar seperti
penjaringan suspek, pemantauan pengobatan ke rumah penderita langsung,
penyuluhan khusus TB, mengaktifkan kader TB di setiap desa wilayah kerja
Puskesmas Bah Biak.
Keluaran (Output)
Keluaran adalah hal yang dihasilkan oleh proses (Notoadmodjo, 2011).
Hasil akhir dari program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS adalah
untuk meningkatkan angka kesembuhan yang disebabkan oleh penyakit TB Paru.
Upaya untuk meningkatkan angka kesembuhan TB Paru tersebut dapat dilakukan
dengan meningkatkan angka penemuan kasus TB Paru sehingga mencegah
penularan akibat TB Paru, memadainya sarana dan prasarana yang ada untuk
mempermudah penemuan suspek TB, dan pengobatan TB Paru selama 6-9 bulan
secara teratur, serta adanya komitmen politis dalam pembuatan kebijakan serta
pengadaan dana pelaksanaan program TB Paru yang bekerjasama dengan lintas
sektor dan lintas program yang terkait dalam upaya penanggulangan masalah TB
Paru.
Penderita yang telah sembuh berarti telah mendapatkan pengobatan yang
lengkap dengan pemeriksaan dahak BTA (+) menjadi BTA (-). Angka
Universitas Sumatera Utara
78
kesembuhan penderita TB di Puskesmas Bah Biak tahun 2017 yaitu 33,33% dan
kurang dari target nasional sebesar >85% serta angka keberhasilan pengobatan
paru sebesar 66,67% juga masih kurang dari target nasional yaitu 85% serta
membuktikkan bahwa seluruh aspek mulai dari masukan (input) dan proses sangat
menentukan sembuh atau tidak sembuhnya penderita TB Paru.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program P2TB belum maksimal
dikarenakan komitmen pemerintah belum dilaksankan dengan baik dalam
penyediaan dana yang masih terbatas, penjaringan suspek TB Paru yang masih
pasif, penyediaan sarana dan prasarana yang belum terpenuhi, kurangnya tenaga
kesehatan dalam pelaksanaan P2TB dan PMO yang tidak mendapat pelatihan
serta tidak mengaktifkan kader sebagai penyambung tangan antara puskesmas dan
masyarakat.
Keterbatasan penelitian
Adapun keterbatasan dalam peneilitian ini ialah disebabkan akses menuju
Puskesmas yang jauh dari masyarakat sehingga sulit untuk diakses. Keterbatasan
berikutnya ialah sarana dan prasarana serta akses yang sulit dijangkau peneliti
untuk bertatap muka dengan informan, serta penelitian hanya dilakukan pada
informan yang benar-benar memenuhi kriteria dalam penelitian guna menghindari
adanya bias.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai implementasi program
penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS di Puskesmas Bah Biak diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Komitmen politis dari pemerintah Kota Pematangsiantar untuk mendukung
pengawasan TB sudah menerapkan P2TB dengan strategi DOTS ke semua
fasilitas kesehatan dan sudah bekerja sama dengan pihak swasta, lintas sektor
atau program dan litas struktural, namun Puskesmas Bah Biak tidak ada
melakukan kerja sama dengan LSM dan tidak ada masyarakat yang mau
menjadi kader. Komponen sumber daya dalam implementasi program
penanggulangan TB Paru belum optimal. Secara kuantitas tenaga kesehatan
untuk program TB di Puskesmas Bah Biak tidak memadai dan secara kualitas
tidak sesuai Kemenkes RI Tahun 2011 karena tenaga kesehatan tidak
mendapatkan pelatihan lanjutan terutama pada petugas TB itu sendiri sudah
lama tidak didapat pelatihan. Sarana dan prasarana sudah memadai untuk
logistik OAT sudah tersedia dan kalau untuk logistik non OAT persediannya
masih minim. Pendanaan masih lebih mengutamakan dari donatur
internasional dibandingkan dengan dana nasional yang hanya lebih
dialokasikan ke penyediaan OAT.
2. Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
dalam Penjaringan Suspek TB belum berjalan dengan maksimal. Penemuan
penderita TB Paru yang terdapat di Puskesmas Bah Biak lebih banyak
79 Universitas Sumatera Utara
80
menunggu penderita datang sendiri memeriksakan diri ke puskesmas
(penemuan kasus secara pasif). Pasien yang datang berobat yang diduga
suspek (orang yang diduga TB) diambil dahak nya lalu di periksakan di
Puskesmas Mandiri (Puskesmas Tomuan).
3. Pemberian OAT sudah diawasi secara langsung dengan ditunjuknya PMO
sebagai pengawas untuk penderita yang sedang menjalani tahap pengobatan,
akan tetapi masih kurangnya informasi mengenai apa saja tugas sebagai PMO
dan kurangnya edukasi yang diberikan mengenai penyakit TB untuk
meningkatkan pengetahuannya karena PMO sangat mempengaruhi proses
pengobatan penderita TB.
4. Ketersedian OAT di Puskesmas Bah Biak sudah baik, karena puskesmas
sudah banyak memiliki stock OAT yang diberikan oleh pihak Dinas
Kesehatan Kota Pematangsiantar. Sehingga penderita TB tidak pernah
kekurangan OAT disaat jadwal pengambilan OAT.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Bah Biak baik, karena
penanggung jawab TB nya rajin untuk mencatat setiap kegiatan program
penanggulangan TB secara teliti dan tersusun rapi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai implementasi program
penanggulangan TB Paru dengan strategi di Puskesmas Bah Biak terdapat saran
yang perlu disampaikan sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar meningkatkan
pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan
Universitas Sumatera Utara
81
TB Paru dengan Strategi DOTS di wilayah puskesmas secara khusus dan
berkelanjutan.
2. Diharapkan kepada Kepala Puskesmas Bah Biak menjalin kerjasama lintas
sektor dan lintas program seperti membentuk kader khusus untuk penyakit TB
agar lebih maksimal dalam melakukan penemuan kasus TB Paru, kerja sama
lintas sektor agama yang dilakukan melalui kegiatan pengajian atau sektor
pendidikan yaitu di sekolah-sekolah.
3. Diharapkan kepada petugas TB Paru untuk lebih mengedukasi kepada PMO
tentang tugasnya sebagai PMO dan penderita TB Paru serta masyarakat
mengenai penyakit TB sehingga dapat meningkatkan pencapaian angka
penemuan kasus.
4. Diharapkan kepada Kepala Puskesmas Bah Biak untuk menyediakan fasilitas
laboratorium karena ditemukan penemuan kasus TB di Puskesmas Bah Biak
terus meningkat dalam 3 tahun terakhir.
Universitas Sumatera Utara
Daftar Pustaka
Aditama, T. Y. (1994). Tuberkulosis paru : masalah dan penanggulangannya.
Jakarta : UI Press.
Aditama, T. Y. (2002). Tuberkulosis: diagnosis, terapi, dan masalahnya (Edisi
ke-4). Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Aditama. T. Y. (2005) Tuberkulosis dan kemiskinan. Jakarta : Majalah Kedokteran Indonesia.
Anggraeni, N., & Pujiyanto. (2014). Analisis manajemen program TB Paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat Tahun 2014 (Skripsi, Universitas Indonesia). Diakses dari http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/
Budiman, H. (2012). Analisis pelaksanaan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial dalam pengendalian tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Padang Tahun 2011 (Tesis, Universitas Andalas). Diakses dari https://www.scribd.com/document/177675329/Analisis-Pelaksanaan-Advokasi-Komunikasi
Crofton, J., Norman, H., & Fred, M. (2002). Tuberkulosis klinis (Edisi ke-2).
Jakarta : Widya Medika.
Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Diakses dari https://www.slideshare.net/mbagiansah/pedoman -nasional-penanggulangan-tuberculosis-cet-8-2002
Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberculosis. Diakses dari http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokum
en/DEPKES-Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TBC-2011-
Dokternida.com.pdf
Departemen Kesehatan RI. (2010). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Diakses dari http://ditjenpp.kemenkumham.go.idarsip/bn/ 2011/bn169-2011.htm
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2014). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013. Diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVIN SI_2014/02_Sumut_2014.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. (2017). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016. Diakses dari http://dinkes.sumutprov.go.id/v2/download.html
82 Universitas Sumatera Utara
83
Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar. (2018). Profil Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar Tahun 2017. Diakses dari https://www.kemkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVI NSI_2017/02_Sumut_2017.pdf
Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu sosial.
Jakarta : Salemba Humanika.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2002). Kamus besar bahasa Indonesia (Edisi Ke-3). Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Kebijakan Penanggulangan Tuberkulosis
Paru. Diakses dari https://id.scribd.com/doc/127006223/DEPKES-RI-2011-
Pedoman-Penanggulangan-TB-di-Indonesia-pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Penanggulangan Tuberkulosis. Diakses dari https:// docplayer.Info/130094-Pedoman-nasional-pelayanan-kedokteran-tata-laksana-tuberkulosis.html
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Diakses dari https://www.Slideshare.net/patenpisan/pedoman –nasiaonal–penyakit -tb-2014
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Diakses dari http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf
Moleong, L. J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Murti, B., Santoso., & Sumardiyono. (2010). Evaluasi program pengendalian tuberkulosis dengan strategi DOTS di Eks Karesidenan Surakarta (Skripsi, Universitas Sebelas Maret). Diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=257014
Nasir, A. B. D., Abdul, M., & Ideputri M. E. (2011) Buku ajar : metodeologi
penelitian kesehatan. Yogyakarta : Muha Medika.
Notoatmodjo, S. (2011). Kesehatan mayarakat: ilmu dan seni. Jakarta : Rineka Cipta.
Universitas Sumatera Utara
84
Oktavianus, L., Suhartono., & Tjahjono, K. (2015). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian drop out penderita TB Paru di Puskesmas Kota Sorong. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, 3(3), 18-45. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/112804-ID-none.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Mayarakat.
Puri, N. A. (2010). Hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan kesembuhan pasien TB Paru kasus baru strategi DOTS (Tesis, Kedokteran Universitas Sebelas Maret). Diakses dari https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/13213/Mjc4MTg=/Hubungan-kinerja-pengawas-minum-obat-pmo-dengan-kesembuhan-pasien-tb-paru-kasus-baru-strategi-dots-abstrak.pdf
Putry, G. F., & Hisyam, B. (2014). Hubungan tingkat kesembuhan Tuberkulosis Paru dewasa dengan pengobatan metode DOTS dan non DOTS di Rumah Sakit Haji Abdoel Madjid Batoe Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi Tahun 2011. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, 6(2), 12-36. Diakses dari https://journal.uii.ac.id/JKKI/article/view/3383
Rarun, K. R., Kepel, B. J., & Mandey, L. C. (2017). Analisis implementasi kebijakan pengendalian tuberkulosis resisten obat ditinjau dari aspek komitmen politis pada Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Utara (Tesis, Universitas Sam Ratulangi). Diakses dari http://scholar.google.co.id/citations?user=nRad5NkAAAAJ&hl=id
Soetedjo, E., Rosita, Y., & Irawanda, V. (2013). Implementasi terapi DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) pada TB Paru di RS Muhammadiyah Palembang Syifa’ Medika. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 3(2), 1-35. Diakses dari http://jurnal.um-palembang.ac.id/syifamedika/article/view/1434
Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&B. Bandung :
Alfabeta.
Tuharea, R., Anneke, S., & Ayun, S. (2014). Analisis faktor-faktor yang
berhubungan dengan implementasi penemuan pasien TB Paru dalam program penanggulangan TB di Puskesmas Kota Semarang. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, 2(2), 1-12. Diakses dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jmki/article/download/10380/8257
Universitas Sumatera Utara
85
Wahab, I. (2002). Penggunaan strategi DOTS dalam penanggulangan TB Paru di Puskesmas Padang Bulan Selayang Tahun 2002 (Skripsi, Universitas Sumatera Utara). Diakses dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/ 32395
World Health Organization. (1999). World disease Tuberculosis (TB) control: the
five element of DOTS. Bordeaux, Perancis : WHO Press.
Zubaidah, T. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita tuberculosis paru di Puskesmas Depok. Jurnal Penelitian Kesehatan, 4(4), 31-38. Diakses dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/ index.php/BPK/article/view/2120
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Pendoman Wawancara Mendalam
IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU DENGAN STRATEGI DOTS DI PUSKESMAS BAH BIAK
KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2018
I. Daftar Pertanyaan untuk Informan Staf bidang Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kota Pematangsiantar
A. Identitas Informan
Nama Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
:
:
:
: B.
Pertanyaan
1. Apakah ada program-program nasional khusus TB yang diprogramkan oleh Dinas Kesehatan?
2. Bagaimana kerjasama Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan P2TB? 3. Bagaimana penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia terkait
P2TB? 4. Apakah ada pelatihan yang diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang
bekerja dalam pelaksanaan P2TB? 5. Bagaimana sumber pendanaan terkait segala keperluan pelaksanaan
P2TB? 6. Bagaimana sistem pencatatan dan pelaporan selama P2TB? 7. Bagaimana keberhasilan yang telah didapat, apakah ada hambatan atau
kendala dalam pelaksanaan P2TB?
II. Daftar Pertanyaan untuk Informan Kepala Puskesmas Bah Biak
A. Identitas Informan Nama Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
:
:
:
: B.
Pertanyaan
1. Apakah tupoksi Bapak/Ibu dalam pelaksanaan penanggulangan TB ? 2. Sebagai Kepala Puskesmas kebijakan apa yang Bapak/Ibu lakukan dalam
menanggulangi TB? Jika Ada, apakah kegiatan tersebut ada dikoordinasikan?
3. Apakah ada kerjasama lintas sektor dalam mendukung pelaksanaan penanggulangan TB di Puskesmas ini?
4. Apa-apa saja arahan Bapak/Ibu berikan kepada penanggungjawab program TB atau pihak-pihak yang membantu dalam program penanggulangan TB Paru ?
86 Universitas Sumatera Utara
87
5. Bagaimana penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia terkait P2TB?
6. Apakah ada pelatihan yang diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang bekerja dalam pelaksanaan P2TB?
7. Bagaimana penyediaan dan penggunaan semua sarana dan prasarana untuk pelaksanaan program penanggulangan TB ?
8. Bagaimana sumber pendanaan terkait segala keperluan pelaksanaan P2TB?
9. Bagaimana penjaringan suspek TB yang dilaksanakan untuk P2TB?
10. Bagaimana diagnosis TB dan pemeriksaan sputum terduga TB? 11. Apakah puskesmas selalu memberikan laporan kasus TB secara rutin?
Kapan saja dilaporkan? Bagaimana sistem pencatatan dan pelaporan tersebut?
12. Dalam penanggulangan program TB Paru apakah ada hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya?
III. Daftar Pertanyaan untuk Informan Penanggung jawab program/petugas TB Paru di Puskesmas Bah Biak
A. Idetintas Informan
Nama Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
:
:
:
: B.
Pertanyaan
1. Apakah tupoksi Bapak/Ibu dalam pelaksanaan penanggulangan TB ? 2. Bagaimana penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia terkait
P2TB? 3. Apakah ada pelatihan yang diberikan kepada semua tenaga kesehatan yang
bekerja dalam pelaksanaan P2TB? Kapan Bapak/Ibu mendapatkan pelatihan?
4. Bagaimana penyediaan dan penggunaan semua sarana dan prasarana untuk pelaksanaan program penanggulangan TB ?
5. Bagaimana penjaringan suspek TB yang dilaksanakan untuk P2TB?
6. Bagaimana diagnosis TB dan pemeriksaan sputum terduga TB?
7. Apakah puskesmas memiliki ketersediaan OAT dalam menanggulangi TB
? 8. Apakah puskesmas selalu memberikan laporan kasus TB secara rutin?
Kapan saja dilaporkan? Bagaimana sistem pencatatan dan pelaporan tersebut?
9. Dalam penanggulangan program TB Paru apakah ada hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya?
Universitas Sumatera Utara
88
IV.
Daftar Pertanyaan untuk Informan Penderita TB Paru A. Identitas Informan
Nama Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
:
:
:
: B.
Pertanyaan
1. Bagaimana awal mula Bapak/Ibu menderita TB ? 2. Bagaimana proses pemeriksaan dahak yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di Puskesmas Bah Biak ? 3. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan arahan/informasi mengenai proses
pengobatan TB ? 4. Apakah ada ditunjuk seorang PMO yang mengawasi Bapak/Ibu dalam
meminum obat ? 5. Apakah Bapak/Ibu selama tahap pengobatan selalu dipantau oleh petugas
TB yang ada di Puskesmas ? 6. Bagaimana menurut Bapak/Ibu tentang ketersediaan dan penyediaan OAT
di Puskesmas ini?
V. Daftar Pertanyaan untuk Informan Penderita DropOut
A. Identitas Informan
Nama Umur Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
: :
:
: B.
Pertanyaan
1. Apakah Bapak/Ibu selama tahap pengobatan selalu dipantau oleh petugas TB yang ada di Puskesmas ?
2. Apakah petugas puskesmas memberikan informasi kesehatan kepada Bapak/Ibu ?
3. Apakah ada ditunjuk seorang PMO yang mengawasi Bapak/Ibu dalam meminum obat ?
4. Apakah ada kendala/hambatan dalam menjalani pengobatan ?
5. Bagaimana respon PMO ketika Bapak/Ibu DropOut ?
VI.
Daftar Pertanyaan untuk Informan Pengawasan Menelan Obat (PMO) A. Identitas Informan
Nama Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
:
:
:
:
:
Universitas Sumatera Utara
89
B. Pertanyaan 1. Kenapa Bapak/Ibu ditunjuk sebagai PMO? Apakah dari anjuran pasienkah
atau pihak puskesmas ? 2. Apa saja tugas Bapak/Ibu sebagai PMO ? 3. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan penyuluhan/informasi mengenai proses
pengobatan TB ? 4. Apakah Bapak/Ibu dilatih oleh pihak puskesmas tentang PMO? Jika Ada,
dilatih oleh siapa? 5. Bagaimana menurut Bapak/Ibu tentang ketersediaan dan penyediaan OAT
di Puskesmas ini?
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2. Form Checklist Sarana dan Prasaran
Tabel 6 form checklist mengenai sarana dan prasarana yang
diperlukan dalam program penanggulangan TB Paru
I. Sarana dan Prasarana yang ada di Puskesmas Satelit (Puskesmas Bah
Biak Pematangsiantar)
Sarana dan Prasarana Ada Tidak AdaKeterangan a. Sarana dan Prasarana habis
pakai 1. Pot dahak 2. Obat Anti Tuberkulosis 3. Formulir pencatatan dan
pelaporan TB: TB.01 s/d TB.13
b. Sarana dan Prasarana tidak
habis pakai 1. Kotak penyimpanan
pot dahak 2. Lemari/rak penyimpanan
OAT 3. Barang cetakan lainnya:
buku pedoman,buku petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, dll
90 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Penelitian
91 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian Dinas Kesehatan
92 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5. Surat Keterangan Selesai Penelitian Dinas Kesehatan
93 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian Puskesmas Bah Biak
94 Universitas Sumatera Utara
Lampiran 7. Matriks Pernyataan Informan
1. Pernyataan Informan Mengenai Komitmen Politis dalam Program
Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 1 Untuk Komitmen sendiri yah kita sampai sekarang
(Staff P2M Dinkes) selalu berkomitmen menanggulangi penyakit TB ini. Sebagai Dinkes kami wajib menyelesaikan segala masalah kesehatan yang ada termasuk juga TB sesuai
dengan pedoman dari Kemenkes RI, dan kami juga
punya target yang harus dicapai untuk P2TB ini, ya
dengan cara memantau dan mengevaluasi setiap
pelaksanaan P2TB di setiap faskes termasuklah itu
untuk penjaringan suspek di semua faskes, pendanaan
P2TB dari dana BOK, DAK, APBD Daerah dan
Provinsi dan kerja sama kita antara Dinkes Provinsi
Sumatera Utara, KNCV, stakeholder tingkat
kecamatan dan perangkat desa.
Informan 2 Tupoksi saya disini sebagai manajemen namanya juga
(Kepala Puskesmas kepala puskesmas ya tugas saya mengelola puskesmas Bah Biak) ini agar berjalan dengan baik sesuai dengan standart
kesehatan indonesia, karena itu saya pastikan sampai sekarang untuk pelaksanaan P2TB masih berjalan
karena pasien TB di wilayah kerja kita juga lumayan
banyak, yah jadi perlu lah komitmen kita dalam
pelaksanaan P2TB. Yah untuk saat ini saya memakai
strategi DOTS untuk P2TB dan sudah dikoordinasikan
sama semua tenaga kesehatan yang ada di sini. Saya
selalu berikan arahan ke semua yang terkait P2TB ini
untuk memantau pelaksanaan P2TB dari penemuan
suspek sampai kesembuhan, tetap melakukan kerja
sama dengan kepala desa dan perangkat-perangkatnya,
dan mengikuti pelatihan dengan baik.
95 Universitas Sumatera Utara
96
2. Pernyataan Informan Mengenai Tenaga Kesehatan yang Berkompeten dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 1 Untuk SDM yang melaksanakan P2TB ini kami masih
(Staff P2M Dinkes) berusaha memadai tenaga kesehatan yang berkompeten di semua puskesmas di kota pematangsiantar, kami akui tidak semua puskesmas
memiliki kecukupan SDM dalam pemenuhan tenaga
kesehatan yang berkompeten untuk pelaksanaan
P2TB.
Untuk pelatihan sendiri biasanya kan dari KNCV dan
Dinkes Provinsi, semua petugas puskesmas sudah
pernah dapat pelatihan. Biasanya pelatihan itu untuk
programnya setahun sekali ya jadi nanti mereka yang
membuat pelatihannya, kita yang kirimkan petugasnya
yah memang tidak semua tenaga kesehatan yang ikut
dalam pelatihan terkadang hanya perwakilan atau
beberapa tenaga kesehatan yang dapat mengikuti
pelatihan.
.
Informan 2 Perkembangan dalam penyediaan SDM masih kurang
(Kepala Puskesmas termasuk juga SDM untuk program TB. Kami disini Bah Biak) kerjanya masih merangkap-rangkap dan petugas TB
juga merangkap untuk program kusta. Makanya saya usahakan untuk tenaga kesehatan di puskesmas ini
kerjanya harus sebaik mungkin biar tercapai semua
program yang kami jalanin di puskesmas ini.
Pelaksana P2TB disini cuman ada satu orang paling
yah ada juga membantu tapi tidak sepenuhnya jadi
tugas mereka. Petugas kita di sini sudah mendapatkan
pelatihan dari Dinas Kota Pematangsiantar tapi untuk
saat ini belum ada panggilan lagi untuk pelatihan,
biasanya itu wasornya yang kasih perintah pengiriman
tenaga kesehatan untuk pelatihan. Kadang yang
dikirim semua tenaga kesehatan dan kadang hanya
perwakilan saja.
Informan 3 Yah kalau tupoksi saya disini membuat rencana kerja
(Penanggung Jawab program TB Paru, melakukan kunjungan rumah TB) penderita TB Paru dan memantau pengobatan. Untuk
saat ini belum ada perkembangan untuk SDM, karena kami kerjanya masih merangkap. Saya aja selain
program TB ini juga jadi penanggungjawab program
kusta. Makanya kalau dibilang kewalahan ya
kewalahan dek. Tapi mau gimana lagi dek karena ini
Universitas Sumatera Utara
97
juga uda tanggungjawab saya, ya harus dijalanin dek. Untuk pelaksanaan program TB ini cuman saya
sendiri yang bertanggungjawab, yah ada tenaga
kesehatan yang lainnya membantu saya tapi saya
harus nunggu mereka selesaikan tugas mereka barulah saya dibantu sama mereka. Pelatihan saya yang
terakhir di tahun 2009, saat ini saya belum
mendapatkan pelatihan lagi tapi saya ikut dalam seminar seminar yang diadakan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI). Kalau pun ada lagi
pelatihan dari Pemerintah ya saya mau lah ikut
pastinya dek. 3. Pernyataan Informan Mengenai Sarana dan Prasarana dalam Program
Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 2 Kalau sarana prasarana disini sudah cukup baik. TB
(Kepala Puskesmas kan program pemerintah jadi OAT dan non OAT itu Bah Biak) pemerintah yang menanggulangi. Paling yang kurang
disini itu kendaraan untuk ke lapangan itu kita gak ada, maunya ada lah dari pemerintah disediakan mobil
untuk kami ke lapangan. Tapi kemarin kita ada
pengajuan proposal untuk perluasaan puskesmas dan
itu udah di setujui oleh Dinkes pusat terus dananya
dikasih ke Dinkes provinsi dulu baru ke Dinkes Kota
Pematangsiantar, barulah kita bisa menerima dana
tersebut. Jadi sekarang ini kita sedang pada tahap
pembangunan untuk perluasan puskesmas dan saya
juga mau mengajukan penyediaan laboratorium biar
kami gak usah lagi jauh-jauh ke Puskesmas Tomuan
untuk pemeriksaan dahak.
Informan 3 Untuk sarana dan prasarana saya rasa masih belum
(Penanggung Jawab terpenuhi ya dek, emang OAT kita disini stoknya TB) banyak, tapi yang non OAT masih ada stok nya yang
minim contohnya kayak brosur, poster ya kayak gitu lainnya la dek. Yang adek tau sendiri lah disini kami
pun masih meriksa dahak ke puskesmas tomuan
karena kami belum ada laboratorium sendiri. Kalau
harapan saya sih di puskesmas kita ini ada
laboratorium nya jadikan kami gak mesti lagi ngantar-
ngantar dahak itu ke Puskesmas Tomuan, memang sih
rencananya kita mau mintak pengadaan laboratorium
di sini. Saya rasa untuk transportasi disini juga susah
karena angkot pun gak ada masuk dek selain itu saya
pun gak bisa naik kereta jadi kalo pun saya mau
Universitas Sumatera Utara
98
kelapangan ataupun ada disuruh rapat ke dinkes ya saya harus nunggu kawan saya selesai kerjaan nya
dulu baru dia nagawanin saya dek. Kalo bisa ya disediainla kami kendaraan biar kami gak susah untuk ke lapangan. saya kalau ke lapangan gitu, maunya ada
lah kendaraan gitu kan jadi kami mau ke lapangan gak susah karena kekurangan transportasi.
4. Pernyataan Informan Mengenai Pendanaan dalam Program
Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 1 Soal dana kita ada dari donatur Internasional KNCV
(Staff P2M Dinkes) untuk pengadaan pelatihan, ada dana APBD Daerah dan Provinsi untuk penyedian OAT dan non OAT, dana DAK untuk penyediaan sarana dan prasarana,
dana BOK untuk Home visit. Tapi yah gitu semua
dana itu perlu pengajuan lagi terus perlu di setujui
dulu oleh pusat, kadang kita gak bisa bilang ya
langsung keluar dananya karena itu butuh waktu untuk
diterima ataupun ditolak. Makanya harus sabar
menunggu untuk di balas oleh pusat lah dek. Dana kita
masih minim dan pemerintah pun bukan hanya
memfokuskan untuk program penanggulangan TB
melainkan masih banyak program lainnya yang harus
ditanganin jadi dana paling yang didahului itu untuk
OAT. Tiap kota yah beda-beda lah masalahnya tapi
untuk disini kalau OAT kita gak ada masalah.
Informan 2 Pendanaan kita disini semuanya dari pemerintah, tidak
(Kepala Puskesmas ada dari dana pribadi. Kayak OAT dan non OAT itu Bah Biak) dari APBD, kalau untuk kunjungan ke rumah rumah
itu dari dana BOK. Kami ini kemarin baru saja ngajukan pendanaan untuk sarana dan prasarana ke
Dinkes Kota Pematagsiantar, yah alhamdulillah
proposal kami diterima sama Dinkes Pusat dan
sekarang kami sedang dalam tahap pembangunan
infrastruktur puskesmas ini.
Universitas Sumatera Utara
99
5. Pernyataan Informan Mengenai Penjaringan Suspek TB dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 2 Masyarakat disini kalau kita mau ambil sputum untuk
(Kepala Puskesmas pemeriksaan bakteri TB ini mereka agak susah, Bah Biak) karena mereka malu, selain itu mereka berpikir itu
jorok karena dilihatin sama petugasnya saat pengambilan dahak jadi kami suruh mereka ngambil
dahak nya sendiri. Terus dek penderita TB disini juga
susah untuk memakai masker keluar rumah karena
mereka merasa pake masker itu orang penyakitan jadi
takut dijauhi sama orang disekitarnya dek.
Informan 3 Saya ini kan baru 2 tahun dek menjabat jadi
(Penanggung Jawab penanggung jawab TB nya, sejak tahun 2017 lah uda TB) mulai saya ngerjain P2TB, jadi yah selama ini pasien
saya ada yang menuruskan pengobatan dari yang sebelum nya tapi ini kan udh tahun 2019 jadi uda
banyak pasien baru. Kalau saya kebanyakan
menemukan pasien TB baru, mereka langsung yang
datang ke puskesmas untuk mintak diperiksa atau uda
ada pasien yang uda dari rumah sakit mintak
pengobatan lanjutan ke kita. Tugas saya sebagai
petugas TB yah ngambil dahak ke terduga TB tapi
kadang pun mereka malu kalau ngasih dahaknya itu di
depan saya, home visit ke penderita TB Paru agak
sulit yah saya karena saya gak bisa bawak kendaraan,
di sini juga gak ada fasilitas transportasi untuk ke
rumah pasien TB, palingan saya nunggu lah bantuan
dari tenaga lain tapi yah gitu dek saya harus nunggu
mereka selesaikan tugas mereka dulu baru bantu saya.
saya disini juga ngerangkap untuk program kusta, jadi
kerjaan saya pun selain TB juga uda banyak.
Kewalahan juga sih saya, makanya saya kalau
kelapangan gitu agak jarang ya dek, saya akui karena
saya sendiri gak ada kader juga agak susah saya
nemuin kasusnya kalau terjun ke lapangan gitu.
Kebanyakan mereka sendiri yang datang untuk
diperiksa atau melaporkan hasil rongent dari rumah
sakit.
Informan 4 Saya awalnya itu batuk-batuk dulu, saya pikir itu
(Penderita TB Paru hanya batuk biasa aja karena saya setiap batuk saya Tidak Sembuh) obati sembuh, terus lama-lama batuk saya uda saya
obati pun gak hilang-hilang, badan saya juga panas dingin tiba-tiba, keringatan juga saya kalau malam itu
Universitas Sumatera Utara
100
sampai basah baju saya, yang gak tahannya itu
sesaknya ini. Uda lah karena gak bisa lagi saya
tahankan saya berobat ke rumah sakit, diperiksa lah
saya itu kan, keluar hasilnya kata dokternya saya
positif kenak TB di suruh saya lanjutin pengobatan ke
puskesmas. Saya pun langsung melapor ke puskesmas
kalau saya mau berobat TB disini, dilihatlah hasil
rongent saya, lalu di timbang berat badan sama tinggi
saya baru lah disitu saya di kasih arahan dan mulai
pengobatan TB di puskesmas.
Informan 5 Pertamanya saya kemarin kak sesak napas terus
(Penderita Paru menerus, terus berat badan saya pun menurun kak, Sudah Sembuh) gak nafsu makan juga, batuk saya juga gak sembuh
sembuh uda minum obat pun gak hilang hilang kak, saya belik obatnya di kede kak dekat rumah. Karena
saya gak sembuh sembuh juga kak, nenek saya
nyuruh saya berobat ke puskesmas kak. Makanya saya
langsung berobat di puskesmas dikawanin nenek kak.
Pas kami uda di puskesmas diperiksala kak sama
dokternya, terus dokternya nyuruh saya untuk
ngeluarin dahak saya tapi saya gak mau karena malu
kak makanya saya disuruh bawak botol kecik gitu kak
kerumah. Besok paginya dahak saya keluar dan saya
taruk dahak itu ke botol, ya pagi itu juga saya antar
kepuskesmas kak. Kata pihak puskesmas tunggu 3
hari hasilnya baru keluar. Pas uda 3 hari nya saya
kesana lagi kak, terus ibu itu bilang saya positif TB
langsung la saya kak ditimbang berat badan sama
tinggi bada saya abis itu saya langsung dikasih obat.
6. Pernyataan Informan Mengenai Diagnosis TB Melalui Pemeriksaan
Dahak Secara Mikroskopis dalam Program Penanggulangan TB Paru di
Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan Informan 2 (Kepala Puskesmas
Bah Biak)
Puskesmas kita ini kan masih termasuk puskesmas
satelit dek jadi kami disini belum ada laboratorium untuk pemeriksaan dahak, biasanya untuk pemeriksaan
dahak ini nanti kami rujuk ke puskesmas mandiri yaitu
Puskesmas Tomuan. Ya tapi setelah pembangunan untuk
perluasan puskesmas ini kami ada rencana untuk
mengajukan pengadaan laboratorium agar mandiri dan
tidak bergantungan dengan puskesmas lainnya.
Informan 3 Kami disini gak bisa dek mendiagnosis dahak yang
(Penanggung Jawab diduga sebagai suspek TB, jadi tugas kami disini yaa
Universitas Sumatera Utara
101
TB) hanya mengambil dahak melalui pot dahak yang terduga menderita TB aja, terus kami kirimkan ke Puskesmas Tomuan untuk pemeriksaannya. Lalu tunggu 3 hari baru
mereka mengirimkan kita hasil pemeriksaannya.
7. Pernyataan Informan Mengenai Pengobatan TB Dengan OAT Yang
diawasi PMO yang Terlatih dalam Program Penanggulangan TB Paru
di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 4 Selama ini ibu itu belum pernah ke rumah untuk (Penderita TB Paru memantau pengobatan saya. Yah paling jumpa di Tidak Sembuh) puskesmas aja lah dek, nanti pas ngambil obat saya
sama istri di tanya-tanya sama ibu itu cemana kondisi saya gitu aja dek. Kalau PMO itu ya dari istri saya
sendiri dek, dia lah nanti yang ingatin saya tiap pagi
minum obat dan kalo waktu nya mengambil obat ke
puskesmas selalu diingati juga.
Informan 5 Pas lagi pengobatan kemarin belum ada kak ibu itu
(Penderita Paru datang kerumah, mantau-mantau yang kayak kakak Sudah Sembuh) bilang tadi. PMO ya nenek saya kak, karena keluarga
saya satu-satunya cuman nenek saya kak, yauda kak nanti nenek saya lah kak yang perhatiin saya selama
saya sakit dari ingatin minum obat, makan saya, dan
ingatin ambil obat. Palingan kak ibu itu mantau saya
dari nanyak nanyak ke nenek saya kak pas saya sama
nenek saya mau ambil obat kepuskesmas.
Informan 6 Belum pernah petugas datang ke rumah lihat saya.
(Penderita TB Paru Kalau PMO ada, istri saya. ya paling istri saya cuman Dropout) ingatin minum obat sama ambil obat ke puskesmas
cuman ya gitu dek saya gak tahan sama mual-mualnya itu, ngerih kali efeknya itu, jadinya gak rutin saya
minum obat. Istri saya pun kasihan lihat saya kek gitu
terus tiap minum obat dek.
Informan 7 Karena kemarin saya yang ngawanin bapak ke
(PMO untuk puskesmas jadi saya aja yang ditunjuk sama petugas
Penderita TB Paru TB nya. Yang setahu saya itu tugas nya paling di Tidak Sembuh) suruh ingatin bapak minum obatnya rutin, jaga pola
makan, jangan bergadang sama jangan lupa ambil obat seminggu sekali, itu aja lah dek yang di bilang sama
petugasnya. Ya saya setiap pagi langsung saya bawak
obat sama minumnya jadi biar langsung di minum
Universitas Sumatera Utara
102
sama bapak di depan saya. masalah pelatihan gak ada
dek saya dikasih, penyuluhan khusus TB selama ini
pun saya juga gak ada dapat.
Informan 8 Awalnya pihak puskesmasnya gak mau saya yang jadi
(PMO untuk PMO, tapi karena cuman saya satu-satunya keluarga Penderita TB Paru dari cucu saya, yauda saya lah akhirnya yang jadi Sudah Sembuh) PMO. Ibu itu nyuruh saya ingatin cucu saya minum
obat rutin selama 6 bulan, ambil obat ke puskesmas, cucu saya gak boleh bergadang, gak bole kecapekan,
tapi cucu saya pun ngerti sendiri kok dia sama
penyakitnya itu kalo badan nya gak enak dirasa dia,
dia langsung tidur. Gak ada di kasih penyuluhan-penyuluhan TB gitu dek, palingan dikasih tahu aja
sama saya pas ngambil obat kalau alat-alat makan
minum itu jangan bercampur sama cucu nenek ya, karena nenek juga uda tua takutnya ketularan, cucu
saya di suruh pake masker kalau keluar tapi cucu saya
gak pernah di kasih masker gratis sama puskesmas
nya. Pelatihan pun saya gak dapat dek dari siapa-siapa.
8. Pernyataan Informan Mengenai Penjaminan Ketersediaan OAT dalam
Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 3 OAT di sini selalu tersedia dek, belum pernah kita
(Penanggung Jawab ngalami kehabisan OAT, saat ini kita punya banyak TB) stok OAT jadi penderita TB gak perlu khawatir
kehabisan OAT. Selama ini kalau kita mintak OAT ke Dinkes Kota Pematangsiantar juga gak dipersulit sama
mereka, pengirimannya juga cepat kok dek, gak
dilama-lamain.
Informan 4 Ada obatnya selalu di puskesmas, dan gratis obatnya
(Penderita TB Paru juga dek. Jadi saya pun gak mengeluarkan uang dek, Tidak Sembuh) itula kelebihannya berobat dipuskesmas ini.
Informan 5 Setiap ambil obat ke puskesmas selalu ada kok kak,
(Penderita Paru gak pernah saya ngambil obat ke sana habis obatnya. Sudah Sembuh)
Informan 7 Selalu ada nak obatnya di puskesmas. Kita tinggal
(PMO untuk ngambil aja gak dipersulit, ya pokoknya gak pernah Penderita TB Paru sampai gak ada obatnya pas mau ngambil. Tidak Sembuh)
Universitas Sumatera Utara
103
9. Pernyataan Informan Mengenai Pencatatan dan Pelaporan dalam Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 1 Kalau untuk sistem pencatatan dan pelaporan kita
(Staff P2M Dinkes) sudah ada standarisasinya dan sudah disosialisasikan ke petugas TB. Biasanya itu waktu pelaporan nya per triwulan, jadi pihak puskesmas nanti kirimkan laporan
mereka ke dalam sistem online gitu namanya
SITT(Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu), kami
pun pihak Dinkes mengrimkan laporan ke Dinkes
Provsunya melalui sistem STTI ini juga.
Informan 2 Kalau di puskesmas kita untuk pencatatan setiap hari
(Kepala Puskesmas dibuat dibuku baru nanti kami ada laporan triwulan Bah bersama dinkes di supervisi, disinilah dicatat semua Biak) pasien TB termasuk pemeriksaanya. Setalah laporan
triwulan di supervisi kami membuat laporan triwulan ke SITT. kedalam bentuk laporan triwulan yang kami
kirimkan ke Dinkes dalam SITT. Kemudian laporan
pertahun kami buat setelah semua laporan triwulan
selesai dalam bentuk word. Kalau laporan triwulan itu
dari di supervisi, nanti wasor yang ngabari ke kita, di
sinilah dicatat semua pasien TB termasuk
pemeriksaannya.
Informan 3 Setiap hari saya catat kok, tiap pasien yang di sini
(Penanggung Jawab sudah saya kasih buku dan form nya. Yauda nanti pas TB) mereka datang seminggu sekali untuk ngambil obat di
saat itu lah saya isi form nya. Ada juga nanti laporan yang saya buat kayak jumlah suspek, yang diobati,
yang sembuh, laporan TB-DM dan TB-HIV.
10. Pernyataan Informan Mengenai Hambatan atau Kendala dalam
Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bah Biak
Informan Pernyataan
Informan 1 Kalau kendala pasti ada. Yang paling berat itu dalam (Staff P2M Dinkes) penjaringan suspek yang belum maksimal dan
pemantauan penderita TB yang belum efektif. Oiya untuk sistem pelaporan juga masih belum lengkap dan
saya rasa juga belum efektif untuk sistem online
karena kami terkadang harus minta lagi sama pihak
puskesmasnya baru dikirim datanya sama mereka.
Semua hambatan yang kami hadapi itu ya pelan pelan
lah kami perbaiki, dimana yang belum maksimal kami
Universitas Sumatera Utara
104
coba perbaiki semaksimal mungkin. Semua harapan
yang kami inginkan kami usahakan agar bisa
terealisasikan lah dek.
Informan 2 Kendala kita selama ini saya rasa itu lebih ke
(Kepala Puskesmas pasiennya ya dek, karena pasiennya ini masih ada Bah Biak) yang gak patuh minum obat, PMO nya pun bukan
ngelarang mereka malah yauda dibiarin aja gitu sama mereka karena katanya kasihan mual mula aja karena
obatnya, padahal itu kan lebih bahaya lagi kalau gak
sampai selesai. Kadang sifat pasien yang kayak gitu
itu susah kali dibilangin, makanya kami ini terus cari
solusi agar gak ada lagi pasien yang dropout.
Informan 3 Kalau menurut saya hambatan yang pertama itu dari
(Penanggung Jawab kesadaran masyarakatnya. Mereka ada yang gak tahan TB) karena efek obatnya dan ada juga yang merasa sudah
sembuh dipertengahan pengobatan karena udah gak terasa sakit lagi padahalkan sudah saya bilang harus
jalanin pengobatan selama 6 bulan. Yang kedua itu
kalau saya dari jumlah tenaga kesehatan yang belum
memadai, karena pekerjaan kami disini banyak yang
merangkap jadi saya pun sangat kewalahan dalam
melaksanakan program ini dengan beban kerja yang
sangat banyak. Yang ketiga itu kendaraan ya dek,
disini untuk cari transportasi kayak angkutan umum
gitu susah dek, makanya pasien itu untuk ke
puskesmas susah kalau gak ada kendaraan sendiri.
Kami pun juga susah dek, kendaraan kami di sini juga
belum memadai untuk ke lapangan, saya pun gak
pande bawak kendaraan dek jadi saya nunggu lagi
tenaga kesehatan yang lain selesai kerja baru kami
pergi ke lapangan.
Informan 6
(Penderita TB Paru Kendala saya selama masa pengobatan itu karena efek Droput) obatnya ya dek, saya gak tahan sama efeknya itu yang
buat saya mual mual, terus kepala saya sakit juga, dan saya rasa pas minum obat itu bawaan saya pengen
tidur aja. Tapi yang paling buat saya gak tahan itu mual mualnya ya dek, makanya saya berhenti minum obat dek. Istri saya yang jadi PMO responnya karena lihat saya gak tahan gitu jadi kasihan sama saya jadi ya dia gak marah sama saya dek.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Dokumentasi bersama Kepala Puskesmas Bah Biak
Gambar 2. Dokumentasi bersama Penanggung Jawab P2TB Puskesmas Bah Biak
105 Universitas Sumatera Utara
106
Gambar 3. Dokumentasi bersama Penderita TB Paru tidak sembuh dan PMO nya
Gambar 4. Dokumentasi bersama Penderita TB Paru sudah sembuh
Universitas Sumatera Utara
107
Gambar 5. Dokumentasi bersama PMO Penderita TB Paru sudah sembuh
Universitas Sumatera Utara