6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susu
Susu adalah hasil sekresi kelenjar mamae mamalia yang sedang
mengalami masa laktasi. Susu dari beberapa hewan seperti sapi, kerbau, kambing
dan domba digunkan untuk konsumsi manusia, baik dikonsumsi secara langsung
maupun dalam bentuk produk olahan susu (Walstra, Wouters, & Geurts, 2006).
Susu merupakan bahan pangan yang dianggap paling lengkap nutrisinya tapi
dengan keadaan tersebut membuat susu rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme yang membuat produk susu mudah rusak.
Dari perspektif molekular susu adalah fluida yang memiliki sistem fisiko-
kimia yang kompleks (Nieuwenhuijise & Van Boekel, 2003). Fase kontinyu pada
susu bukanlah sepenuhnya air tetapi merupakan suspensi dari beberapa jenis
agregat seperti, protein koloidal, lipid yang teremulsi, protein globular, laktosa
terlarut, vitamin dan mineral (Walstra dkk., 2006). Selain itu, susu juga
mengandung peptida bioaktif, enzim, oligosakarida dan imunnoglobulin (Walstra
dkk., 2006). Struktur dan sifat dari komponen penyusun susu ini sangat
mempengaruhi karakteristik susu dan memiliki konsekuensi penting untuk
pengolahan susu (Singh & Bennet, 2002).
2.1.1 Komposisi Susu
Susu terdiri dari beberapa komponen yang dapat diklasifikasikan menjadi
dua bagian yakni bagian makro seperti air, lemak, laktosa dan protein dan
komponen mikro yakni mineral, protein darah yang spesifik, enzim dan vitamin.
7
Komponen-komponen ini dapat mempengaruhi karakteristik susu selama
penyimpanan dan pengolahan (Singh & Bennet, 2002). Rata-rata komposisi susu
terdiri dari air (87,20%), protein (3,50%), lemak (3,70%), laktosa (4,90%), abu (
0,70%) dan bahan kering (12,80%). Komposisi tersebut dapat berbeda-beda di
setiap susu yang dihasilkan tergantung dari beberapa faktor seperti jenis pakan,
tahap laktasi, musim, usia sapi dan jenis ras sapi (Debela, Eshetu, & Regasa,
2015). Komposisi utama pada susu sapi segar berdasarkan penelitian Bylund
(1995) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Utama Susu Sapi Segar
Komposisi Utama (%) Presentase Range
Keberadaan Komponen
Rata-rata
Air 85,5 – 89,5 87,5
Total Padatan 10,5 – 14,5 13
Lemak 2,5 – 6,0 3,9
Protein 2,9 – 5,0 3,4
Laktosa 3,6 – 5,5 4,8
Mineral 0,6 – 0,9 0,8
Sumber : Bylund (1995)
1) Laktosa
Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu. Laktosa merupakan
disakarida yang tersusun atas komponen D-glukosa dan D-galaktosa yang
dihubungkan oleh ikatan β-1,4-glikosidik (Walstra dkk., 2006). Monosakarida
dalam laktosa dapat muncul dalam tiga struktur yang berbeda, dua bentuk
diantaranya merupakan bentuk piranosa siklik yakni α dan β anomer dan satu
lainnya dapat berbentuk rantai yang terbuka.
Ketiga struktur tersebut dapat ditemukan dalam susu karena adanya proses
mutarotasi pada glukosa. Mutarotasi merupakan proses konversi dari dua siklik
8
anomer yang menghasilkan bentuk rantai laktosa terbuka. Proses mutarotasi dapat
terjadi karena adanya peningkatan suhu yang membuat ikatan O-C dari bagian
glukosa siklik putus dan kemudian membentuk rantai terbuka saat menciptakan
kelompok aldehid seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1
Gambar 1. Proses Mutarotasi Glukosa (Janson, 2014)
Bentuk laktosa dengan rantai terbuka merupakan bentuk yang tidak stabil
dan mengandung kelompok aldehid tereduksi yang dapat membuat laktosa
mereduksi karbohidrat dalam susu (Walstra dkk., 2006). Susu segar mengandung
kurang dari 0,1% laktosa dalam bentuk rantai terbuka, namun saat temperatur naik
dan pH pembentukan rantai terbuka terpenuhi akan terjadi peningkatan reaktivitas
gula (Walstra dkk., 2006).
Kadar laktosa dalam susu bervariasi tergantung dari jenis hewan, kondisi
hewan, kondisi ambing hewan dan tahap laktasi saat susu diproduksi. Konsentrasi
laktosa cenderung menurun secara signifikan selama masa laktasi dan konsentrasi
laktosa juga berbandung terbalik dengan konsentrasi lipid dan protein dalam susu.
Laktosa memiliki 2 fungsi utama dalam susu yaitu sebagai sumber energi dan juga
berperan dalam tekanan osmotik antara darah dan susu (Fox, Uniacke-Lowe,
McSweeney, & O’Mahony, 2015).
9
2) Protein
Susu segar sapi mengandung sekitar 3,5% protein. Konsentrasi protein ini
berubah secara signifikan selama masa laktasi, terutama selama 1 minggu pertama
masa laktasi (Fox dkk., 2015) Susu mengandung berbagai macam protein yang
mampu melindung susu dari mikroorganisme patogen dan sangat penting dalam
pembuatan dan penentuan karakteristik produk susu olahan yang dihasilkan
(Korhonen & Pihlato, 2004). Kebanyakan protein susu antara lain kasein,
laktoglobulin, laktoalbumin dan diklasifikasikan menjadi kasein dan whey
protein.
Kasein mewakili 80% total protein dalam susu, yang membuatnya menjadi
komponen protein utama pada susu sapi. Kasein bersifat hidrofobik dan
merupakan protein yang memiliki muatan negatif, kasein pada susu dapat
mengandung prolin dan beberapa grup sistein. Kasein dapat diklasifikasikan
menjadi 4 tipe yang berbeda ; αs1-kasein (αs1-CN) sebanyak 40% dari total kasein,
αs2-kasein (αs2-CN) sebanyak 10% dari total kasein , β-kasein (β-CN) sebanyak
35% dari total kasein dan κ-kasein (κ-CN) sebanyak 15% dari total kasein
(Walstra dkk., 2006)(Dalgleish dan Corredig, 2012). Gugus αs1-kasein mampu
mengikat kalsium dan Zn yang berperan untuk menghasilkan curd yang kuat dala
proses pengolahan keju. Gugus β-kasein merupakan fraksi yang memiliki sifat
hidrofobik yang paling tinggi dibandingkan ketiga gugus lainnya. Gugus κ-kasein
merupakan gugus kasein yang mengandung komponen karbohidrat
(oligosakarida) di dalamnya. Sebanyak 95% kasein dalam susu teragregasi di
10
dalam klaster yang diikat oleh ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik dan
interaksi hidrofobik. Klaster ini disebut misel kasein yang mengandung sekitar
94% protein dan 6% kalsium fosfat koloid yang terdiri dari kalsium, fosfat,
sejumlah kecil magnesium, sitrat dan logam lainnya (Walstra dkk., 2006)
Whey protein merepresentasikan 20% dari total protein dalam susu.
Whey protein memiliki sifat yang lebih tahan panas dibandingkan dengan
kasein karena memiliki sturuktur sekunder dan tersier tingkat tinggi. Selain
itu whey protein memiliki kelarutan yang tinggi di dalam susu karena tingginya
kandungan sistein dan komponen hidrofilik di permukaannya (Dissanayake &
Vasiljevic, 2009). Struktur globular whey protein ini dibentuk dari ikatan
disulfide, interaksi hidrofobik, gaya Van der Waal’s, ikatan hidrogen dan ikatan
ion pasangan (Walstra dkk., 2006). Whey protein yang ada pada susu terbagi
menjad 4 komponen ; β-laktoglobulin (β-Lg) sebanyak 40% dari total whey
protein susu, α-laktoglobulin (α-Lg) sebanyak 20% dari total whey protein
susu, immunoglobulin sebanyak 10% dari total whey protein susu dan serum
albumin sebanyak 10% dari total whey protein susu. Enzim dan protein
membran dalam globula lemak susu menyumbang 10% dari total whey
protein yang ada di dalam susu (Farrel dkk., 2004).
Protein dapat berubah seiring dengan adanya proses pengolahan pada
bahan. Proses peengolahan yang biasanya digunakan pada susu adalah proses
pemanasan. Proses pemanasan berupa pasteurisasi pada susu tidak mengubah
kualitas protein susu. Selama proses pasteurisasi, protein whey akan terdenaturasi
hingga batas tertentu namun hal ini hanya mengubah nilai fungsional protein pada
11
susu tanpa merubah nilai gizi dan kualitas protein susu itu sendiri. Hal ini terjadi
karena nilai gizi protein susu ditentukan oleh daya cerna dan juga ketersediaan
asam amino esensial di dalamnya. Asam amino dalam susu selama proses
pasteurisasi mengalami penurunan 1-4%. Selain itu juga, proses pasteurisasi tidak
menyebabkan perubahan kimia yang signifikan atau perubahan struktur sekunder
negatif yang berarti (Jesse dan Gregory, 1982). Proses pengolahan lain seperti
ozonasi pada susu juga dapat mempengaruhi secara langsung asam amino yang
menyusun protein susu. Asam amino dapat dirusak oleh ozon dengan cara
merubah struktur pada atom nitrogen amina primer atau pada Grup R (O’Donnell,
Tiwari, Cullen, & Rice, 2012a)
3) Lemak
Susu adalah emulsi lemak yang terdispersi dalam fase air yang diketahui
sebagai emulsi minyak dalam air. Trigliserida merupakan 98% dari komponen
lemak penyusun susu, 1% lainnya adalah fosfolipida polar dan sisanya berupa
monogliserida, digliserida, kolesterol, dan ester kolesterol (Fox dkk., 2015).
Hampir semua lemak susu terdapat di dalam globula lemak susu dengan diameter
sekitar 4,5 µm di dalam susu segar. Lemak dalam susu selain mempengaruhi
komponen gizi produk juga mempengaruhi karakteristik sensori seperti flavor dan
aroma. Selain itu lemak dalam susu juga mempengaruhi kualitas produk olahan
susu seperti keju, mentega dan krim yang dipengaruhi oleh kandungan lemak di
dalamnya (Nateghi, Morvarid, Etham, Gholamian, & Mohammadzadeh, 2014).
Trigliserida dalam susu ditemukan di dalam inti hidrofobik globula lemak
susu, sementara itu di bagian luar globula lemak susu terdapat lipid polar dan
12
protein yang berfungsi sebagai pengemulsi. Lipid polar yang terkandung di dalam
globula lemak susu biasanya tersusun oleh fosfolipid dan spingolipid (Dewettinck,
Rombaut, Thienpont, Messens, & Camp, 2008). Protein membran dan lipid ini
membantu menstabilkan emulsi lewat struktur ampifatik yang dimilikinya,
struktur ampifatik adalah struktur yang memiliki bagian yang hidrofilik dan
bagian yang hidrofobik. Selain membantu dalam proses emulsi lemak di dalam
susu, membran globula lemak susu juga berperan dalam mencegah degradasi
enzimatis (Dewettinck dkk., 2008). Di dalam susu terdapat 65% asam lemak
jenuh dan 35% asam lemak tak jenuh (Samkova, Spicka, Pesek, Pelikanova, &
Hanus, 2012).
Selama proses pengolahan, lemak pada susu mengalami beberapa
perubahan seperti ukuran globula lemak. Proses pasteurisasi membuat globula
lemak lebih kecil akibat dari suhu tinggi yang mendorong lipolisi lemak karena
adanya akses positif lipase pada globula lemak. Selain itu, proses pasteurisasi juga
menyebabkan membran globula lemak terganggu. Saat membran globula lemak
susu terganggu maka asam lemak akan terdegradasi dan menjadi mudah
teroksidasi. Reaksi oksidasi lemak dapat mempengaruhi karakteristik susu seperti
kehilangan nutrisi pada susu, off-flavor pada susu dan perubahan aroma pada
produk olahan susu (Adachi, 2001). Proses pengolahan lain pada susu seperti
ozonasi juga dapat mempengaruhi lemak sama seperti halnya proses pasteurisasi.
Ozonasi pada susu akan membuat lemak pada susu mengalami oksidasi yang
membuat lemak pada susu bertranformasi menjadi peroksida (Adachi, 2001).
13
4) Mineral dan Vitamin
Susu mengandung komponen mineral. Mineral yang ada pada susu
terdapat pada serum dan senyawa kasein susu. Mineral makro yang terkandung
dalam susu antara lain kasium, natrium, kalium dan magnesium. Sementara
mineral mikro yang terkandung dalam susu antara lain tembaga, besi, timah,
boron, mangan, seng, yodim, dll. Mineral pada susu ini penting dalam proses
persiapan, pengolahan dan penyimpanan priduk susu karena perannya yang
mempengaruhi konformasi dan stabilitas protein susu terutama kasein, bahkan
bisa berpengaruh dalam stabilitas lipid dalam susu (Fox dkk., 2015)
Proses pengolahan pada susu tidak berpengaruh signifikan pada mineral
yang ada di dalam susu. Hal ini disebabkan karena mineral merupakan komponen
yang stabil di suhu tinggi. Proses pasteurisasi pada susu tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap bioavailbilitas kalsium dan fosfor yang merupakan
mineral utama pada susu. Namun proses pasteurisasi menyebabkan konsentrasi
yodium pada susu menurun sebanyak 20% (Cifelli, Maples, & Miller, 2010).
Namun proses pengolahan dapat mempengaruhi beberapa interaksi
mineral dengan senyawa lain dalam susu, salah satunya protein. Kalsium dan
fosfor anorganik merupakan koloid bersama kasein misel. Selain itu, mineral
kalsium merupakan mineral yang memiliki ion spesifik, hal ini dapat
mempengaruhi pembentukan gelasi pada whey protein yang dapat terjadi selama
proses pemanasan (Legowo, 2002) Selain itu , mineral dalam susu juga dapat
mempengaruhi proses pengolahan salah satunya , proses ozonasi. Mineral pada
14
susu dapat berperan sebagai promotor dalam pembentukan rantai radikal, atau ,
dapat mempengaruhi laju perpindahan masa. Dengan adanya peningkatan
kekuatan ionik karena adanya mineral, pembentukan gabungan gelembung udara
yang dapat memperkecil luas pemukaan antar muka selama ozonasi berkurang
sehingga luas permukaan antar muka dan laju perpindahan massan selama ozonasi
meningkat (Gottschalk, Libra, & Saupe, 2000).
Vitamin adalah salah satu substansi organik yang biasanya diklasifikasikan
berdasarkan kelarutannya. Vitamin A, D, E dan K merupakan kelompok vitamin
yang larut lemak sementara vitamin B kompleks dan vitamin C adalah kelompok
vitamin yang larut air (Graulet, 2010). Susu dan produk olahan susu biasanya
mengandung vitamin B2, B6, B12 dan A. Data mengenai vitamin dalam susu dan
kebutuhan vitamin sehari-hari dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Vitamin dalam Susu dan Kebutuhan Harian Vitamin
Vitamin Jumlah dalam 1 liter susu
(mg)
Kebutuhan vitamin sehari-hari
orang dewasa (mg)
A 0,2 – 2 1 – 2
B1 0,4 1 – 2
B2 1,7 2 – 4
C 5 – 20 30 – 100
D 0,002 0,01
Sumber : Bylund (1995)
Selama proses pengolahan susu berupa pasteurisasi, vitamin B12 , vitamin
C, B6, dan B1 menurun sebanyak kurang dari 10%. Sementara vitamin B2 dan
vitamin yang larut lemak seperti vitamin A, D, E dan K adalah vitamin yag sangat
stabil pada suhu tinggi sehingga proses pasteurisasi tidak mempengaruhi kadar
vitamin-vitamin ini secara signifikan (Cifelli dkk., 2010).
15
2.1.2 Jenis Susu
1) Whole milk
Susu merupakan salah satu produk pertanian yang diekstrak dari mamalia
selama atau sesaat setelah masa kehamilan yang biasanya dimanfaatkan dan
dikonsumsi oleh manusia. Perbedaan pada susu cenderung bervariasi sesuai
dengan cara susu tersebut diproduksi dan kandungan lemak dari susu tersebut.
Kandungan lemak dari susu bervariasi tergantung pada produk susu, misalnya
whole milk memiliki kandungan lemak sekitar 4%, susu yang ada di pasaran
biasanya mengandung kadar lemak mnimum sekitar 3,5%, susu semi skim
mengandung sekitar 1,7% lemak dan susu skim mengandung 0,1% lemak (Food
and Agriculture Organization of United Nations, 2011).
Natural whole milk atau susu murni adalah susu tanpa adanya penambahan
dan penghilangan komponen yang ada di dalamnya. Whole milk, atau yang biasa
disebut susu full cream biasanya dikonsumsu oleh anak-anak dan remja. Whole
milk disebut juga susu full cream karena mengandung seluruh lemak yang ada
pada susu. Selain itu, whole milk juga memiliki rasa yang lebih creamy dan lebih
kaya rasa. Whole milk harus mengandung 3,25% lemak susu dan 8,25% padatan
susu (Food and Agriculture Organization of United Nations, 2011).
2) Skim milk
Skim milk biasa juga disebut non-fat milk karena merupakan susu yang
telah mengalami penghilangan lemak hingga kandungan lemaknya tidak akan
lebih dari 0,5% lemak. Skim milk biasanya mengandung tidak kurang dari 8,25%
16
padatan yang dihomogenisasi. Produk skim milk memiliki densitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan whole milk. Standar densitas skim milk adalah
setidaknya 1,030 dengan standar pH antara 6,6 - 6,8 (Dadgostar, Jariteh, Nateghi,
& Yousefi, 2013). Skim milk juga memiliki nilai konduktivitas thermal yang lebih
besar dibandingkan dengan whole milk karena kandungan total padatan yang lebih
rendah. Sebagaimana yang tercantum dalam (Muramatsu, Tagawa, & Kasai,
2005), konduktivitas termal akan menurun seiring dengan meningkatnya total
padatan pada sampel. Konduktivitas termal pada susu dapat dimodelkan dengan
persamaan berikut ini , dimana 𝜆 adalah konduktivitas termal (W/moC), C adalah
total padatan (wt%), dan T adalah temperatur (oC) (R. . Singh, 1992).
𝜆 = (326.58 + 1.0412 𝑇 − 0.00337 𝑇2) × (17.30 × 10−4 − 9.342 × 10−6 𝐶)
Skim milk dibuat dari whole milk yang diproses dengan tujuan untuk
menghilangkan lemak. Salah satu proses pengolahan untuk pembuatan skim milk
adalah dengan menggunakan alat cream separator. Alat ini memiliki prinsip
dengan mengikuti gaya sentrifugal. Hasil dari proses separasi ini akan
menghasilkan skim dan krim. Skim susu mengandung semua zat makanan dari
susu kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim masih
mengandung laktosa protein, mineral, vitamin yang larut air. Sedangkan krim
merupakan bahan pangan berlemak yang bersifat asam, memiliki tekstur yang
lembut dan sering digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan produk
olahan susu yang lainnya. Susu skim mempunyai nilai kalori yang lebih rendah
karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu (Sulistyowati, 2010).
17
2.2 Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah proses pengolahan yang bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme patogen, menjaga kualitas produk tanpa merubah sifat fisik dan
kimiawi produk, serta dapat mengontrol pertumbuhan bakteri. Proses pasteurisasi
dilakukan dengan menggunakan media panas yang bersuhu dibawah titik didih
produk sehingga komponen susu tidak mengalami perubahan selama pasteurisasi.
Pasteurisasi bertujuan untuk membunuh bakteri patogen, mempertahankan
kualitas tanpa mengalami perubahan fisik dan kimiawi dan mampu berperan
dalam kontrol pertumbuhan bakteri (Budiyono, 2009).
Proses pasteurisasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode
yakni Low Temperature Low Time (LTLT) dan High Temperature Short Time
(HTST). LTLT merupakan metode yang menggunakan suhu yang relatif rendah
dalam rentang waktu yang cukup panjang, biasanya dilakukan dengan pemanasan
pada suhu 63oC selama 30 menit. Sedangkan HTST merupakan metode
pasteurisasi yang menggunakan suhu yang tinggi dengan durasi yang singkat,
biasanya dilakukan pada suhu 72oC selama 15 detik (Budiyono, 2009).
Proses pasteurisasi diharapkan mampu membunuh mikroorganisme dan
bakteri patogen. Mikroorganisme secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan
suhu pertumbuhan optimalnya menjadi :
a. Psikotropik, mikroorganisme yang tumbuh optimal pada suhu dingin
berkisar 14 – 20oC namun masih dapat bertahan hidup pada suhu 4
oC
b. Mesofilik, mikroorganisme yang tumbuh optimal pada shu 30 – 37oC serta
mampu tumbuh di suhu ruang
18
c. Termofilik, mikroorganisme yang tumbuh optimal pada suhu diatas 45oC
(Sukarminah, Sumanti, & Hanidah, 2008)
Pasteurisasi dapat membunuh bakteri psikotropik, mesofilik dan beberapa
bakteri termofilik Salah satu bakteri yang dapat dibunuh selama proses
pasteurisasi adalah Listeria monocytogenes. Pasteurisasi tidak mampu membunuh
spora bakteri terutama bakteri yang termoresisten atau tahan suhu tinggi (Sabil,
2015). Proses pasteurisasi biasanya dibantu dengan menggunakan beberapa alat
seperti pasteurisizer atau plate heat exchanger.
2.3 Ozonasi
Ozon adalah gas yang cenderung tidak stabil yang harus dikonsumsi
secara langsung sesaat sebelum penggunaan. Ozon dapat bereaksi ke dalam air
dengan dua cara yakni secara langsung dan tidak langsung. Perbedaan cara ini
menyebabkan perbedaan reaksi oksidasi yang berbeda pada produk dan perbedaan
jenis kinetika reaksi yang terjadi (Gottschalk dkk., 2000). Ozon merupakan salah
satu antimikroba yang kuat dengan banyak potensi aplikasi di industri pangan.
Ozon ini teah disetujui di AS dan diklasifikasikan sebagai aditif pada makanan.
Ozon telah banyak digunakan untuk proses pengolahan pada air minum yang
berguna untuk mereduksi mikroorganisme (bakteri, jamur, dan virus) dan
protozoa pada air minum (Kang, Kui-Jin, Park, & Ok-Hwan, 2013). Selain itu,
kemampuan antimikroba pada ozon juga didasarkan pada keefektifan biosidal
yang tinggi dan spektrum antimikroba yang luas dan aktif melawan bakteri jamur,
virus, protozoa, dan spora bakteri dan jamur (Khadre, Yousef, & Kim, 2001).
19
Keberhasilan suatu proses ozonasi didasarkan pada efek dari mekanisme reaksi
langsung dan tidak langsung yang bergantung dari komposisi air dari produk yang
diozonasi terutama pH, jenis dan kandungan bahan organik yang ada dan
alkalinitas produk (Greene, Annel K, Guzel, & Atif Can, 2012).
2.3.1 Sifat Fisik, Kimia dan Molekular Ozon
Ozon (O3) adalah molekul oksigen triatomik yang dibentuk karena adanya
penambahan radikal bebas oksigen ke dalam oksigen molekuler (O’Donnell,
Tiwari, Cullen, & Rice, 2012b). Ozon merupakan gas berwarna biru pada suhu
biasa bila dihasilkan pada dari udara kering, namun bila dihasilkan dari oksigen
kemurnian tinggi ozon akan terlihat tidak berwarna. Pada suhu -112oC ozon akan
mengembun menjadi cairan biru gelap. Ozon cair dapat diledakkan bila lebih dari
20% kadarnya merupakan campuran zon dan oksigen (Greene dkk., 2012).
Pengaplikasian ozon pada makanan, sebesar apapun konsentrasinya ozon yang
digunakan merupakan ozon yang tidak memiliki warna atau transparan.
Ozon dibentuk dari tiga molekul oksigen yang disuse pada sudut tumpul
dimana atom oksigen pusat melekat pada dua atom oksigen yang berjarak sama.
Sudut yang dibentuk kira kira 116o 49’ dengan panjang ikatan sebesar 1,278 Å.
Ozon memiliki titik didih sebesar -111,9 ± 0,3oC dan titik leleh -192,5 ± 0,4
oC,
suhu kritis ozon adalah -12,1oC dan tekanan kritis 54,6 atm. Ozon memiliki
kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan udara pada suhu 0oC dimana ozon
memiliki kerapatan 2,14 g/L dan udara memiliki kerapatan 1,28g/L (Greene dkk.,
2012).
20
Kelarutan ozon dalam air dipengaruhi oleh suhu, dimana kelarutannya
akan menurun saat suhu naik. Pada suhu 0oC kelarutan ozon dalam air sebesar
0,6401 ozon/L air, namun pada suhu 60oC ozon tidak larut dalam air (Hill dan
Rice, 1982). Ozon adalah gas yang tidak stabil pada suhu ruang dan cenderung
mudah terdegradasi (Beltran, 2004)(Manley dan Niegowsk, 1967).
Ozon memiliki reaktivitas yang kuat yang disebabkan karena struktur
molekul yang terdiri dari tiga atom oksigen. Dalam kulit valensi setiap atom
oksigen terdapat dua elektron tak berpasangan yang masing masing menempat
satu orbital 2p. Hal ini berarti selama pembentukannya tiga atom oksigen
digabungkan dengan oksigen sentral yang ditempatkan pada susunan sp2 dengan
2s dan 2p atom orbital di pita valensi (Beltran, 2004). Dengan penyusunan
kembali ini ketiga orbital hibrida sp2 baru membentuk segitiga dengan inti
oksigen di pusatnya dengan sudut sebesar 116o 49’ seperti yang dapat dilihat pada
gambar.
Gambar 2. Struktur Molekuler Ozon
(O’Donnell dkk., 2012a)
21
2.3.2 Pembentukan Ozon
Ozon yang digunakan untuk pengolahan pangan biasanya diproduksi dari
sumber radiasi ultraviolet (UV) atau medan listrik berenergi tinggi. Metode
produksi ozon dari sumber radiasi ultraviolet disebut metode fotokimia sedangkan
metode yang bersumber dari medan listrik berenergi tinggi disebut corona
discharge atau kadang disebut teknik plasma.
a. Radiasi Ultraviolet (UV)
Cahaya dapat diukur dengan menggunakan skala yang disebut spektrum
elektromagnetik yang skalanya menggunakan satuan nanometer. Bila dilihat pada
gambar skala elektromagnetik, lokasi UV-light memiliki posisi yang lebih tinggi
frekuensinya dibanding cahaya tampak (kisaran cahaya tampak oleh mata
manusia). Panjang gelombang 185 nm dan 254 nm biasanya digunakan untuk
produksi ozon
Gambar 3. Skala Elektromagnetik Radiasi UV
(O’Donnell dkk., 2012a)
Panjang gelombang 254 nm disebut juga sebagai setilisator UV karena
dapat menonaktifkan mikroorganisme dengan mempengaruhi DNA yang akan
mengganggu kemampuan mereka untuk bereproduksi. Sementara panjang
gelombang 185 nm dapat menyebabkan proses photodisassociation terjadi yang
22
menyebabkan sebagian molekul oksigen (O2) pecah dan menghasilkan oksigen
atom radikal (O1). O1 ini bersifat tidak stabil dan dapat mengikat molekul O2 dan
terjadilah pembentukan ozon (O3) ((O’Donnell dkk., 2012a)
b. Corona Discharge
Gambar 4. Skema Metode Corona Dscharge
(Rice & Bollyky, 1981)
Metode ozonasi ini dilakukan dengan menggunakan generator ozon yang
beroperasi dengan cara melewatkan bahan yang mengandung oksigen melalui
medan listrik berenergi tinggi yang berada diantara 2 elektroda, satu elektroda
dinamakan elektroda dasar dan yang lainnya dinamakan dengan media dielektrik.
Saat oksigen pada bahan melewati medan listrik akan menyebabkan oksigen (O2)
pecah dan menghasilkan oksigen radikal yang akan aktif mencari pasangan
dengan mengikatkan diri pada O2 yang stabil, hal inilah yang akan membentuk
ozon (O3) (Langlais, Reckhow, & Brink, 1991).
2.3.3 Mekanisme Ozonasi
Ozon adalah gas yang tidak stabil yang harus dihasilkan dan igunakan
sesegera mungkin pada titik pengaplikasian. Untuk menerapkan ozon ke dalam
target, ozon perlu ditransfer dengan menggunakan reaktor. Reaksi yang terjadi
23
selama ozonasi tidak dapat dijelaskan dengan pasti karena banyaknya reaksi kimia
yang berlangsung secara bersamaan dan juga karena ozon dapat bereaksi secara
tidak langsung (dekomposisi melalui mekanisme reaksi berantai yang
menghasilkan produk radikal bebas hidroksil) atau langsung (via reaksi selektif
dengan zat dalam matriks target) (Masschelein, 1992). Efek langsung dan tidak
langsung ozon ini menjadikan ozon menjadi pengoksidasi yang baik dibandigkan
bahan kimia lain. Ozonasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, jenis
target, komposisi target, kandungan organik dan alkalinitas (Hoigne, 1998).
1) Mekanisme ozon dalam ruang lingkup makromolekul
Dalam ruang lingkup makro molekul, ozon dapat bereaksi dalam berbagai
senyawa kompleks, ozon juga akan menyerang ikatan C-H dan S-H dari alkana,
alkena, amina dan senyawa sulfhidril. Ozonasi pada lipid dapat menyebabkan
pembentukan peroksida dan bila ozon menyerang asam amino maka ozon akan
langsung bereaksi dengan atom nitrogen pada amina primer (Adachi, 2001).
2) Mekanisme ozon dalam inaktivasi mikroba
Sebagai bakterisidal, ozon sangat efektif menghambat pertumbuhan
bakteri walaupun dengan konsentrasi yang sangat rendah. Ozon dapat
menghancurkan mikroorganisme dengan dua mekanisme utama yakni ; (1) ozon
mengoksidasi gugus sulfhidril dan asam amino enzim, peptide dan protein yang
lebih kecil, (2) oksidasi ozon asam lemak tak jenuh menjadi peroksida. Kedua
mekanisme ini menyebabkan sel mikroorganisme inaktif karena adanya
disintegrasi dalam sel yang menyebabkan sel lisis. Selain sel mikroorganisme,
24
ozon juga dapat menghentikan kemampuan spora untuk germinasi yang
disebabkan karena kerusakan membran dalam (Greene dkk., 2012).
Ozon mereduksi mikroorganisme dengan cara oksidasi komponen seluler
vital. Dinding sel adalah target ozonasi yang pertama, pada dinding sel ozon akan
mengoksidasi asam lemak tak jenuh yang menyebabkan permeabilitas pada
dinding sel hilang dan terjadi gangguan sel. Ozon juga dapat menyebabkan
oksidasi gugus sulfhidril dan asam amino dari enzim, peptide dan protein
termasuk asam nukleat dan enzim vital lainnya (Cavalcante dkk., 2013)
Bakteri khususnya bakteri gram positif lebih sensitif terhadap pengaruh
ozon bila dibandingkan dengan kapang dan khamir. Metabolit hasil reaksi
oksidasi senyawa organik oleh ozon seperti aldehid, keton, atau asam karboksilat
belum dilaporkan memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehinngga ozon dapat
dianggap sebagai alteralternative untuk mencegah pembentukan senyawa organik
terhalogenasi. Namun, fungsi dan efisiensi ozon pada produk pangan dipengaruhi
oleh sifat fisikokimia (Greene dkk., 2012).
3) Mekanisme ozonasi pada fluida
Penggunaan ozon pada fluida biasanya dimaksudkan untuk keperluan
pemurnian air atau untuk persiapan larutan ozon. Metode yang dapat digunakan
untuk ozonasi fluida adalah venture injection dan fine bubble diffusion.
a. Venture injection
Metode venture injection dilakukan dengan menggunakan alat yang
didalamnya terdapat dua bagian dasar yakni injektor cairan di chamber nozzle
yang mengubah energi tekanan air menjadi energy kinetik dan ruang hisap
25
(diffuser section) dimana di dalam ruangan ini terjadi hisapan yang mengandung
gas ozon, pemasukan dan juga pencampuran yang dapat dijelaskan pada Gambar
5.
Gambar 5. Skema Diagram Alat Ventury Injector
(O’Donnell dkk., 2012a)
Performansi dari metode ini dikarakterisasi dengan penentuan tekanan
diferensial saat penghisapan dimulai, karakteristik saat pencampuran dan berbagai
persyaratan tekanan dan energy dari tiap manufaktur. Injektor bekerja efisien pada
berbagai variasi tekanan dan memerlukan diferensiasi tekanan sebesar 15% antara
sisi inlet dan outlet untuk memulai penghisapan sampel.
Keuntungan dari metode ini adalah venturi yang kontak dengan ozon
memiliki tekanan hidrolik yang rendah. Hal ini berarti, walaupun terjadi
kebocoran dalam pipa, udara ruangan akan ditarik ke dalam air mengalir dan
bukan ozon, sehingga cairan yang bocor ke ruangan bukanlah cairan yang
mengandung ozon. Saat kebocoran terjadi monitor tekanan hidrolik juga akan
memperlihatkan data dan akan merasakan jika adanya perubahan dan
penyimpanan yang kemudian akan mematikan system secara otomatis (O’Donnell
dkk., 2012a).
26
b. Fine bubble diffusion
Pada metode fine bubble diffusion, ozon keluar dari generator dengan
tekanan dan melewati pori (diffuser) hingga sampai ke dalam fluida target.
Diffuser digunakan untuk mendistribusikan disperse gelembung halus ozon ke
bagian bawah kolom fluida, diffuser biasanya terbuat dari batu berpori, keramik
atau stainless steel. Tekanan aliran gas ozon harus lebih besar dari tekanan yang
diberikan oleh kolom air di atas diffuser. Umumnya aliran gas ozon bertekanan
hingga 15 psig. Semakin halus porositas difusser, ukuran dan kecepatan
geembung untuk naik akan semakin kecil. Mengecilnya ukuran dan kecepatan
gelembung untuk naik menyebabkan peningkatan jumlah ozon yang ditransfer ke
fluida target sehingga luas permukaan dan waktu kontak ozon meningkat
(O’Donnell dkk., 2012a).
Gambar 6. Difusser pada Metode Fine Bubble Difussion (O’Donnell dkk., 2012a)
Metode ini dianggap kurang aman karena penggunaan ozon dibawah
tekanan positif yang dapat meningkatkan potensi kebocoran dalam sistem. Oleh
karena itu, perlu diperhatikan barometric jalur ozon dan diffuser untuk mencapai
27
ketinggian maksimum fluida dan mencegah adanya aliran balik ke generator ozon
(O’Donnell dkk., 2012a).