4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi Adsorben
Perlakuan awal kaolin dan limbah padat
tapioka yang dicuci dengan akuades,
bertujuan untuk membersihkan pengotor-
pengotor yang bersifat larut dalam air.
Selanjutnya kaolin diaktivasi menggunakan
H2SO4 30%, sedangkan limbah padat tapioka
diaktivasi menggunakan H3PO4 30%.
Aktivasi kaolin menggunakan H2SO4 30%
dilakukan karena H2SO4 merupakan asam dengan ekuivalen H+ lebih banyak jika
dibandingkan dengan HCl maupun HNO3
(Suarya 2008). Proses aktivasi ini bertujuan
melarutkan komponen-komponen seperti
Fe2O3, Al2O3,CaO dan MgO yang mengisi
ruang antar lapisan kaolin (Gambar 2),
sehingga aktivasi dengan asam akan
menambah luas permukaan adsorben (Ketaren
1986). Ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang berada
pada permukaan adsorben berangsur-angsur
akan digantikan oleh ion H+ dari H2SO4 (Gambar 3).
Akuades hangat yang digunakan untuk
mencuci kaolin setelah proses aktivasi,
dilakukan dengan tujuan mengeluarkan sisa
asam, sedangkan ion SO42- dideteksi dengan
BaCl2. Apabila di dalam kaolin hasil aktivasi
masih mengandung asam, maka filtrat hasil
pencucian dengan akudes hangat akan
membentuk endapan BaSO4 berwarna putih.
Oleh karena itu proses pencucian harus
dilakukan hingga tidak terbentuk endapan
BaSO4 (berwarna putih). Aktivasi limbah
padat tapioka menggunakan H3PO4 30%
dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa selain polisakarida, seperti mineral,
protein, maupun lemak yang larut dalam
asam, agar tidak menutupi pori-pori adsorben
dan tidak ikut berperan dalam mekanisme
adsorpsi.
Menurut Victoria (2009), campuran
kaolin-limbah padat tapioka dengan
perbandingan (75:25), total bobot adsorben
0.5 g, serta waktu kontak optimum selama 30
menit memberikan hasil yang terbaik untuk
menjerap biru metilena, dengan kapasitas
penjerapan sebesar 9.8 mg/g. Pada saat penggunaan bobot adsorben 0.5 g hampir
seluruh permukaan adsorben terikat oleh
adsorbat (biru metilena), sedangkan pada
bobot yang lebih tinggi masih terdapat banyak
tapak aktif yang belum berikatan dengan
adsorben.
Kaolin merupakan mineral yang tersusun
atas material lempung atau material liat
dengan kandungan besi yang rendah dan
umumnya berwarna putih (Bakri et al.2008),
sedangkan limbah padat tapioka berwarna kecokelatan. Ketika keduanya dicampur
dengan perbandingan (75:25), warna
campuran menjadi putih kecokelatan dan
menandakan keduanya telah tercampur
dengan baik.
Permukaan kristal kaolinit mempunyai
muatan negatif yang tetap dan tidak
bergantung pH. Muatan negatif tersebut
berasal dari substitusi atom pada struktur
kristal tersebut, misalnya dengan adanya atom
Al yang bermuatan +3 yang menggantikan atom Si yang bermuatan +4 menyebabkan
kerangka kaolinit kekurangan muatan positif
atau kelebihan muatan negatif (Faruqi et al.
1967).
Modifikasi Adsorben dengan Surfaktan
Penentuan konsentrasi misel kritis (KMK)
pada penelitian ini dilakukan dengan
mengukur tegangan permukaan surfaktan
(NDS dan HDTMA-Br) menggunakan
metode pipa kapiler. Sebelum digunakan, pipa kapiler dan tabungnya dicuci terlebih
dahulu menggunakan larutan asam sulfat-
kromat agar senyawa organik yang
tersisadapat hilang, kemudian dikeringkan
menggunakan aseton. Densitas air dan jari-
jari kapiler ditentukan terlebih dahulu
Gambar 2 Struktur kimia kaolin.
Gambar 3 Skema interaksi proton dengan
struktur kaolin (Dudkin et al.
2005).
5
sebelum menentukan tegangan permukaan
surfaktan. Hasil pengukuran densitas air dan
jari-jari kapiler yang didapat pada penelitian
ini masing-masing sebesar 0.9813 g/mL dan
0.0315 cm (Lampiran 2 dan 3).
KMK adalah konsentrasi saat misel mulai terbentuk. Nilai KMK diperoleh dari
perpotongan dua garis pada kurva hubungan
antara konsentrasi dan tegangan permukaan
masing-masing surfaktan (Gambar 4), selain
itu perolehan nilai KMK juga dapat
dibuktikan lebih lanjut yaitu pada titik
minimum dari kurva hubungan antara
konsentrasi dengan dlogγ/dlog[surfaktan]
(Gambar 5 dan 6).
Berdasarkan Gambar 4, didapatkan bahwa
variasi konsentrasi surfaktan berbanding
terbalik dengan tegangan permukaannya. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan akan
semakin kecil tegangan permukaannya. Hal
ini juga menunjukkan bahwa larutan
surfaktan yang diukur dapat menurunkan
tegangan permukaan (Shaw 1993).
Nilai KMK untuk larutan NDS dan
HDTMA-Br yang diperoleh pada penelitian ini masing-masing sebesar 1150.00 dan
473.80 mg/L (Lampiran 4 dan 5). Menurut
(Muherei & Junin 2009), KMK NDS sebesar
1250.00-2300.00 mg/L, sedangkan KMK
HDTMA-Br sebesar 473.798 mg/L(MSDS
2009). Nilai KMK dari surfaktan yang tidak
berbeda jauh dengan literatur ini
menunjukkan bahwa metode pipa kapiler
telah dapat digunakan dengan baik dalam
menentukan KMK dari surfaktan.
Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa
terjadi penurunan tegangan permukaan yang cukup besar pada tiga konsentrasi pertama
dari larutan NDS (575.00; 690.00; 920.00
mg/L) dan juga HDTMA-Br (236.90; 284.28;
379.04 mg/L), namun setelah KMK tercapai,
penurunan tegangan permukaannya hanya
sedikit. Hal ini terjadi karena pada
konsentrasi diatas KMK, hampir seluruh
molekul telah membentuk misel dan hanya
sedikit yang teradsorpsi pada permukaan.
Akibatnya, surfaktan tidak lagi efektif dalam
menurunkan tegangan permukaan (Holmberg et al. 2003). Berikut adalah struktur NDS dan
HDTMA-Br yang digunakan pada penelitian
ini.
0,0000
10,0000
20,0000
30,0000
40,0000
50,0000
60,0000
70,0000
80,0000
0,00 2000,00 4000,00 6000,00 8000,00
Teg
an
ga
n p
erm
uk
aa
n (d
yn
e/c/
cm)
Konsentrasi (mg/L)
Larutan SDS
Larutan HDTMA-Br
-0,0008
-0,0007
-0,0006
-0,0005
-0,0004
-0,0003
-0,0002
-0,0001
0,0000
0,0001
0,00 2000,00 4000,00 6000,00 8000,00
d l
og
γ/
d l
og
[S
DS
]
Konsentrasi SDS (mg/L)
-0,5000
-0,4000
-0,3000
-0,2000
-0,1000
0,0000
0,00 1000,00 2000,00 3000,00
d l
og
γ/d
log
[H
DT
MA
-Br]
Konsentrasi HDTMA-Br (mg/L)
Gambar 8 Struktur kimia heksadesiltrimetil
amonium bromida.
Gambar 7 Struktur kimia natrium
dodesilsulfat.
Gambar 4 Tegangan permukaan larutan
NDS dan HDTMA-Br.
Gambar 5 Kurva hubungan konsentrasi
NDS dengan
dlogγ/dlog[NDS].
Gambar 6 Kurva hubungan konsentrasi HDTMA-Br dengan
dlogγ/dlog[HDTMA-Br].
Br-
6
Nilai KMK NDS lebih besar daripada
HDTMA-Br, semakin panjang rantai
hidrokarbon maka semakin kecil nilai KMK,
karena jumlah molekul yang diperlukan untuk
mencapai kejenuhan pada permukaan dengan
luas permukaan yang sama semakin sedikit (Ferrer et al. 2002). Nilai KMK yang
diperoleh dari kedua surfaktan kemudian
digunakan pada penentuan dosis surfaktan
untuk memodifikasi adsorben. Berdasarkan
Gambar 9, terlihat bahwa tegangan
permukaan tertinggi terjadi pada filtrat hasil
perendaman menggunakan larutan NDS
(dengan pencucian) (Lampiran 6). Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi larutan di
dalam filtrat tersebut konsentrasinya lebih
rendah jika dibandingkan konsentrasi larutan
NDS awal. Adanya penurunan konsentrasi dari larutan NDS awal dengan filtrat
perendaman (tanpa dan dengan pencucian),
menunjukkan terjadinya penjerapan NDS
pada permukaan adsorben yang digunakan.
Besarnya persentase bobot NDS yang terjerap
pada perlakuan tanpa pencucian lebih besar
daripada dengan pencucian, karena pada
proses pencucian ada sebagian NDS yang
terbawa pada filtrat hasil perendaman,
sehingga semakin sedikit yang terjerap pada
adsorben (Lampiran 8).
Semakin besar konsentrasi NDS awal yang
digunakan untuk perendaman, maka semakin
besar juga persentase bobot NDS yang
terjerap pada permukaan adsorben. Pada
penggunaan konsentrasi NDS awal 3450.00
mg/L dan 6900.00 mg/L memiliki persentase
bobot NDS terjerap (tanpa pencucian) masing-masing sebesar 63.44% dan 81.08%,
sedangkan dengan pencucian masing-masing
sebesar 50.11% dan 74.78% (Lampiran 8).
Fenomena yang serupa juga terjadi pada
larutan HDTMA-Br (Gambar 10 dan
Lampiran 7). Pada konsentrasi HDTMA-Br
awal 1421.39 mg/L dan 2842.79 mg/L
memiliki persentase bobot HDTMA-Br
terjerap (tanpa pencucian) masing-masing
sebesar 74.79% dan 87.06%, sedangkan
dengan pencucian masing-masing sebesar 66.12% dan 81.96% (Lampiran 8).
Aplikasi Adsorben Modifikasi Surfaktan
terhadap Biru Metilena
Kurva standar larutan biru metilena yang
diukur pada panjang gelombang 664 nm,
memiliki linearitas yang tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai R2 yang mendekati 1
(Lampiran 9). Berdasarkan kurva standar
tersebut diperoleh persamaan garis y =
0.1829x + 0.0458 dengan R2 = 99.73%.
0,0000
10,0000
20,0000
30,0000
40,0000
50,0000
60,0000
70,0000
80,0000
0,00 575,00 1150,00 3450,00 6900,00
Teg
an
ga
n p
erm
uk
aa
n (
dy
ne/c
m)
Konsentrasi NDS (mg/L)
SDS awal
SDS setelah perendaman (tanpa pencucian)
SDS setelah perendaman (dengan pencucian)
0,0000
10,0000
20,0000
30,0000
40,0000
50,0000
60,0000
70,0000
80,0000
0,00 236,90 473,80 1421,39 2842,79
Teg
an
ga
n p
erm
uk
aa
n (
dy
ne/c
m)
Konsentrasi HDTMA-Br (mg/L)
HDTMA-Br awal
HDTMA-Br setelah perendaman (tanpa pencucian)
HDTMA-Br setelah perendaman (dengan pencucian)
Gambar 9 Tegangan permukaan larutan NDS
setelah perendaman (tanpa dan dengan pencucian).
Gambar 10 Tegangan permukaan larutan
HDTMA-Br setelah
perendaman (tanpa dan
dengan pencucian).
7
Tabel 2 Kapasitas dan efisiensi penjerapan adsorben dengan modifikasi surfaktan.
Surfaktan yang bermuatan negatif (NDS)
akan bersama-sama dengan adsorben
(campuran kaolin-limbah padat tapioka)
menjerap biru metilena yang bermuatan
positif (Gambar 13), atau dengan kata lain
muatan permukaan adsorben akan semakin
negatif dengan adanya NDS yang terjerap
pada proses perendaman. Semakin tinggi
konsentrasi NDS yang digunakan untuk
perendaman adsorben, maka semakin banyak
juga jumlah NDS yang terjerap di permukaan
adsorben dan meningkat pula kapasitas serta
efisiensi penjerapan adsorben dalam
menjerap biru metilena (Gambar 11 dan 12).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kapasitas dan efisiensi penjerapan pada
adsorben dengan perendaman NDS tanpa maupun dengan pencucian (Lampiran 10)
mengalami kenaikan yang berbeda nyata jika
dibandingkan dengan adsorben kontrol (0%
KMK). Pada adsorben dengan perendaman
NDS (tanpa pencucian), kapasitas dan
efisiensi penjerapannya mengalami kenaikan
yang tidak berbeda nyata setelah konsentrasi
penggunaan NDS untuk perendamannya
melebihi 50% KMK (Gambar 11). Pada
penggunaan NDS dengan pencucian,
kapasitas dan efisiensi penjerapannya tidak
lagi mengalami kenaikan yang berbeda nyata setelah melewati 100% KMK (Gambar 12).
Hal ini terjadi karena pada 100% KMK
merupakan konsentrasi saat misel mulai
terbentuk sehingga setelah konsentrasi NDS
melebihi 100% KMK, adsorben dengan
perendaman NDS telah mencapai titik jenuh
dan hanya dapat meningkatkan sedikit
kapasitas penjerapan.
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan
(Lampiran 13), didapatkan bahwa jenis
perlakuan (tanpa dan dengan pencucian) pada larutan NDS tidak berbeda nyata terhadap
kapasitas adsorpsi. Berdasarkan uji yang
sama didapatkan juga bahwa ada interaksi
yang berbeda nyata antara jenis perlakuan
(tanpa dan dengan pencucian) dengan variasi
konsentrasi NDS yang digunakan (Lampiran
13).
[Surfaktan] NDS HDTMA-Br
Q (mg/g) E (%) Q (mg/g) E (%)
(% KMK) Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan
0 7.50 7.50 76.66 76.66 7.50 7.50 76.66 76.66
50 9.55 8.32 97.55 85.05 7.18 7.23 73.46 73.97
100 9.57 9.44 97.79 96.59 7.11 7.17 72.66 73.24
300 9.58 9.46 97.96 96.70 7.04 7.15 71.98 73.10
600 9.61 9.49 98.30 97.06 6.97 7.06 71.28 72.20
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
0,00 50,00 100,00 300,00 600,00
Efi
sien
si p
en
jera
pa
n (
%)
Ka
pa
sita
s p
en
jera
pa
n (
mg
/g)
Konsentrasi SDS (% KMK)
Kapasitas adsorpsi (mg/g) Efisiensi penjerapan (%)
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
0,00 50,00 100,00 300,00 600,00
Efi
sien
si p
en
jera
pa
n (
%)
Ka
pa
sita
s p
en
jera
pa
n (
mg
/g)
Konsentrasi NDS (% KMK)
Kapasitas adsorpsi (mg/g) Efisiensi penjerapan (%)
Gambar 11 Kapasitas dan efisiensi
penjerapan adsorben
dengan perendaman NDS
(tanpa pencucian).
Gambar 12 Kapasitas dan efisiensi
penjerapan adsorben
dengan perendaman NDS
(dengan pencucian).
8
68,00
69,00
70,00
71,00
72,00
73,00
74,00
75,00
76,00
77,00
78,00
6,70
6,80
6,90
7,00
7,10
7,20
7,30
7,40
7,50
7,60
0,00 50,00 100,00 300,00 600,00
Efi
sien
si p
en
jera
pa
n (
%)
Ka
pa
sita
s p
en
jera
pa
n (
mg
/g)
Konsentrasi HDTMA-Br (% KMK)
Kapasitas adsorpsi (mg/g) Efisiensi penjerapan (%)
Surfaktan jenis kationik (HDTMA-Br)
juga digunakan sebagai bahan pemodifikasi
adsorben pada penelitian ini. Berdasarkan
Gambar 14, adsorben dengan perendaman
HDTMA-Br (tanpa pencucian) dapat
menurunkan kapasitas dan efisiensi
penjerapan hingga 6.97 mg/g dan 71.28%
(Lampiran 11). Semakin besar konsentrasi
HDTMA-Br yang digunakan, semakin
menurun pula kapasitas dan efisiensi penjerapan adsorben (Tabel 2).
Adsorben yang direndam dengan
HDTMA-Br dengan pencucian (Gambar 15),
juga mengalami penurunan kapasitas dan
efisiensi penjerapan jika dibandingkan
dengan adsorben kontrol, namun nilai
kapasitas dan efisiensi penjerapannya lebih
besar jika dibandingkan dengan perlakuan
adsorben dengan perendaman HDTMA-Br
tanpa pencucian (disetiap variasi
konsentrasinya) (Tabel 2).
Semakin besar konsentrasi HDTMA-Br
yang digunakan, maka semakin banyak juga
HDTMA-Br yang terjerap pada adsorben.
Pada penggunaan HDTMA-Br tanpa
pencucian, jumlah HDTMA-Br yang
memodifikasi adsorben jumlahnya lebih
banyak jika dibandingkan dengan HDTMA-
Br dengan pencucian (Lampiran 8). Hal ini
dapat terjadi karena pada proses pencucian
terdapat HDTMA-Br yang ikut tercuci dan tidak terjerap pada adsorben.
Gambar 16, merupakan mekanisme
terjerapnya HDTMA-Br pada permukaan
adsorben yang bermuatan negatif. Adsorben
(campuran kaolin-limbah padat tapioka)
yang bermuatan negatif akan menjerap
surfaktan kationik (HDTMA-Br) yang bermuatan positif, sehigga permukaan
adsorben yang semula bermuatan negatif
akan berubah muatannya menjadi positif.
Semakin banyak HDTMA-Br yang terjerap
maka muatan permukaan adsorben pun
semakin bermuatan positif sehingga
kapasitas penjerapan untuk zat warna yang
Surfaktan anionik
(NDS)
69,00
70,00
71,00
72,00
73,00
74,00
75,00
76,00
77,00
6,80
6,90
7,00
7,10
7,20
7,30
7,40
7,50
7,60
0,00 50,00 100,00 300,00 600,00
Efi
sien
si p
en
jera
pa
n (
%)
Ka
pa
sita
s p
en
jera
pa
n (
mg
/g)
Konsentrasi HDTMA-Br (% KMK)
Kapasitas adsorpsi (mg/g) Efisiensi penjerapan (%)
Gambar 13 Model adsorpsi biru metilena oleh adsorben dengan perendaman surfaktan
anionik (NDS).
Biru
metilena
Permukaan
adsorben
(campuran
kaolin-limbah
padat tapioka)
Gambar 14 Kapasitas dan efisiensi
penjerapan adsorben
dengan perendaman
HDTMA-Br (tanpa
pencucian).
Gambar 15 Kapasitas dan efisiensi
penjerapan adsorben
dengan perendaman
HDTMA-Br (dengan
pencucian).
9
bermuatan positif (biru metilena) akan
semakin menurun.
Menurut Li & Hong (2008), penambahan
surfaktan kationik diatas KMK, akan
membuat permukaan adsorben menjerap
surfaktan kationik dan akan terbentuk lapisan bilayer yang bermuatan positif (Gambar 17),
sehingga adsorptivitas untuk menjerap
adsorbat yang bermuatan positif menurun
dan dapat mengubah muatan adsorben yang
semula bermuatan negatif menjadi bermuatan
positif dan dapat menjerap adsorbat lain yang
bermuatan negatif.
Molekul HDTMA-Br memiliki dua bagian
dengan karakter yang berbeda, dimana bagian
ekornya merupakan rantai alkil (orde C-16)
yang bersifat nonpolar dan bagian kepalanya
bersifat polar dengan muatan +1. Bagian
polar yang bermuatan +1, merupakan bagian yang berinteraksi dengan permukaan
adsorben yang bermuatan -1 (Sullivan 1999).
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan,
didapatkan bahwa jenis perlakuan (tanpa dan
dengan pencucian) pada HDTMA-Br memiliki
perbedaan yang nyata dapat menurunkan
kapasitas penjerapan dari adsorben yang diuji.
Selain itu didapatkan juga bahwa variasi
konsentrasi HDTMA-Br yang diberikan
berpengaruh nyata dapat menurunkan kapasitas penjerapan adsorben yang diuji, dan
tidak terdapat interaksi yang nyata antara jenis
perlakun (tanpa dan dengan pencucian)
dengan variasi konsentrasi HDTMA-Br yang
digunakan (Lampiran 13).
Permukaan adsorben
Surfaktan kationik
(HDTMA-Br)
Jenis adsorbat lain
yang mungkin dijerap
bila permukaan
adsorben berubah
menjadi positif
Biru
metilena
Permukaan adsorben
Permukaan adsorben
Gambar 18 Perubahan intensitas warna biru
metilena setelah dijerap oleh
adsorben tanpa (a) dan dengan modifikasi surfaktan NDS 600%
KMK (b).
Gambar 16 Model penjerapan HDTMA-Br pada permukaan adsorben.
Gambar 17 Permukaan adsorben yang membentuk bilayer saat konsentrasi melebihi KMK.
(a) (b)
10
Berdasarkan Gambar 18, terlihat
perbedaan intensitas warna biru metilena
setelah dijerap dengan adsorben (campuran
kaolin-limbah padat tapioka) tanpa modifikasi
surfaktan dan adsorben dengan perendaman
600% KMK NDS tanpa pencucian. Pada larutan biru metilena setelah dijerap dengan
adsorben (tanpa modifikasi surfaktan)
memilki warna yang lebih pekat daripada
adsorben yang direndam dengan 600% KMK
NDS tanpa pencucian. Hal ini juga akan
berpengaruh pada kapasitas dan efisiensi
penjerapan, Gambar 18 (a) memilki kapasitas
dan efisiensi penjerapan yang lebih rendah
daripada Gambar 18 (b) (Lampiran 10).
Isoterm Adsorpsi
Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan
untuk mempelajari mekanisme penjerapan.
Adsorpsi fase cair-padat pada umumnya
mengacu pada tipe isoterm Langmuir dan
Freundlich (Atkins 1999). Lampiran 12
menunjukkan hasil penentuan isoterm dari
biru metilena oleh campuran kaolin-limbah
padat tapioka dengan perendaman 600% KMK
NDS (tanpa pencucian).
Isoterm adsorpsi biru meetilena
ditunjukkan pada Gambar 19 dan 20. Berdasarkan dua gambar tersebut, dapat dilihat
bahwa linearitas tipe isoterm Langmuir
sebesar 93.86%, sedangkan tipe isoterm
Freundlich sebesar 98.67%.
Berdasarkan nilai linearitas kedua
persaman isoterm tersebut, dapat ditentukan
bahwa adsorpsi biru metilena mengikuti tipe
isoterm Freundlich, karena linearitasnya yang
lebih besar. Selain itu dapat diasumsikan pula
bahwa permukaan adsorben dengan perendaman 600% KMK NDS bersifat
heterogen, dan lapisan adsorbat membentuk
lapisan multimolekular (Anggaraningrum
1996).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Victoria (2009), isoterm adsorpsi biru
metilena menggunakan campuran kaolin-
limbah padat tapioka (tanpa modifikasi
surfaktan) mengikuti tipe isoterm Langmuir.
Hal tersebut menunjukkan bahwa adsorben
yang digunakan pada penelitian tersebut
memiliki permukaan yang homogen. Penggunaan surfaktan untuk memodifikasi
muatan permukaan adsorben pada penelitian
ini diduga dapat mengubah permukaan
adsorben menjadi bersifat heterogen, yaitu
ditunjukkan dengan pola penjerapan yang
berbeda tersebut.
Nilai konstanta n, k, α, dan β dapat
dihitung dari persamaan regresi isoterm
Freundlich dan Langmuir (Lampiran 12). Nilai
n dan k yang diperoleh pada penelitian ini
masing-masing sebesar 2.1267 dan 160.6571. Nilai n menggambarkan intensitas dari
adsorpsi, sedangkan nilai k menunjukkan
kapasitas adsorpsi dari adsorben. Pada isoterm
Freundlich nilai 𝑥
m menunjukkan massa
adsorbat yang dijerap oleh pergram adsorben,
C menunjukkan konsentrasi kesetimbangan
adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi
(mg/L). Persamaan isoterm Freundlich
menunjukkan jumlah zat warna yang dijerap
oleh adsorben (log 𝑥
m ) berbanding terbalik
dengan nilai konstanta n dan berbanding lurus
dengan konstanta k. Artinya jumlah zat warna
yang dijerap akan semakin besar jika nilai
konstanta n kecil dan nilai konstanta k besar.
Nilai n pada adsorben yang baik berkisar
antara 0.1 sampai 0.5 (Atkins 1999),
sedangkan nilai yang diperoleh pada penelitian
ini lebih besar dari kisaran tersebut, karena
suhu yang digunakan selama penelitian
dianggap konstan, sedangkan nilai n dan k
pada isoterm Freundlich tergantung pada suhu,
jenis adsorben, dan unsur-unsur yang dijerap (Atkins 1999). Nilai α dan β yang diperoleh
pada penelitian ini masing-masing sebesar
0.1389 dan 1000. Nilai α pada isoterm
Langmuir menggambarkan jumlah yang
dijerap atau kapasitas adsorpsi untuk
y = 0.0010x + 0.0072
R² = 0.9386
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0 10 20 30 40 50
c/(
x/m
) (g
/L)
c (mg/L)
y = 0,4702x + 2,2059
R² = 0,9867
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
-1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2
log
(x
/m)
(g/L
)
log c (mg/L)
Gambar 19 Isoterm Langmuir adsorpsibiru
metilena.
Gambar 20 Isoterm Freundlich adsorpsi biru
metilena.
Top Related