Definisi
Pre eklampsia adalah gangguan multisistem spesifik pada kehamilan, di definisikan
sebagai hipertensi pada ibu hamil setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan dengan adanya proteinuria dan atau edema. Dapat terjadi lebih awal misalnya pada
mola hidatidosa.1
Eklampsia pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-
tanda pre eklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang
dapat diikuti oleh koma.1,2
Patofisiologi
Eklampsia terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dan merupakan komplikasi dari
pre eklampsia berat. Progresi dari pre eklampsia berat ke kejang dan koma diduga
berhubungan dengan hipertensi ensefalopati, edema vasogenik akibat iskemia kortikal, edema
serebri dan perdarahan.
Penyebab pre eklampsia dan eklampsia masih tidak jelas. Genetik, immunologik,
endokrin, dan nutrisi diduga memiliki peranan dalam proses yang rumit. Beberapa penelitian
memperkirakan bahwa iskemia plasenta dan uterus dan pelepasan zat tertentu menyebabkan
vasokonstriksi yang luas. Penyebab langsung aktivitas kejang pada penderita eklampsia
masih tidak diketahui. Iskemia serebri, infark, perdarahan edema diketahui terjadi pada
penderita dengan eklampsia.1,3
Frekuensi
Di Amerika serikat, kejadian eklampsia mendekati 0,05%-0,2% dari semua
kehamilan.1
Eklampsia sering terjadi pada pasien dengan usia reproduksi yang ekstrim, Resiko
eklampsia lebih besar terjadi pada wanita usia kurang dari 20 tahun.1
Gejala dan Tanda 1,4
Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre eklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,mual, nyeri
epigastrium dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan
timbul kejang, yang sangat berbahaya terutama pada persalinan.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni :
1. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita
terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya, dan kepala
diputar ke kanan atau ke kiri.
2. Kemudian timbul tingkat kejang tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik.
Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya keliatan kaku, tangan
menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai
menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung antara
1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang
dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi.
Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan
kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.Kejangan klonik ini dapat
demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya
kejangan terhenti dan penderita menarik nafas secara mendengkur.
4. sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.
Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula
bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam
keadaan koma.
Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai
400 celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti lidah
tergigit, perlukaan dan fraktur, gangguan pernafasan, solusio plasenta dan perdarahan
otak.
Diagnosis1,5
Diagnosis eklampsia umumnya tidak sulit. Dengan adanya tanda dan gejala pre
eklampsia yang disusul oleh serangan kejang seperti telah diuraikan, maka diagnosis
eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari
epilepsi atau kejang akibat proses intra kranial yag lain, atau koma akibat sebab lain seperti
diabetes, perdarahan otak, meningitis, ensefalitis dan lain-lain.
Komplikasi2
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre eklampsia dan eklampsia. Komplikasi
yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre eklampsia berat dan eklampsia.
1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
akut dan lebih sering terjadi pada pre eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia.
3. Hemolisis. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati
atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada
autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan terjadinya ikterus.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelaianan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasospasme arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi
ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui
dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, elevated liver enzim dan low platelet.
9. Kelaianan ginjal. Kelainan ini berupa endotheliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endothel tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul adalah anuria sampai gagal ginjal.
10. DIC (Disseminated intravascular coagulation)
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra uterin.
Prognosis2
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui kematian ibu berkisar
antara 9,8% - 25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%.
Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih kecil. Tingginya kematian ibu dan
anak di negara-negara yang kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan
antenatal dan natal; penderita-penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan
yang tepat. Kematian ibu bisanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensatio kordis
dengan edema paru, payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernafasan waktu
kejang.
Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia intra uterin dan prematuritas
Pencegahan 2
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :
1. Mengusahakan agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre eklampsia dan mengobatinya segera
apabila ditemukan.
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda pre eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
Penatalaksanaan6
Prinsip pengobatan ;
1. Menghentikan dan mencegah kejang
2. Memperbaiki keadaan umum ibu/janin seoptimal mungkin
3. Mencegah komplikasi
4. Terminasi kehamilan/persalinan dengan trauma seminimal mungkin pada ibu.
I. Obat-obatan anti kejang
MgSO4
Dosis awal : 4 g 20 % iv pelan (3 menit atau lebih), disusul dengan 10 g 40%
im terbagi pada bokong kanan dan bokong kiri.
Dosis ulangan : tiap 4 jam diberikan 4 g 40% im diteruskan sampai 24 jam
paska persalinan atau 24 jam bebas kejang.
Apabila ada kejang lagi, diberikan 2 g MgSO4 20% iv pelan. Pemberian iv
ulangan ini hanya sekali saja, apabila masih timbul kejang lagi, maka
diberikan penthotal 5 mg/kgbb/iv pelan.
Bila ada tanda-tanda keracunan MgSO4, diberikan antidotum glukonas kalikus
10%, 10 ml iv pelan (selama 3 menit atau lebih).
Diazepam
Dosis awal : 20 mg iv pelan (selama 4 menit atau lebih), disusul dengan 40 mg dalam
500 ml D5% infus dengan kecepatan 30 tetes/menit.
Pengobatan diberikan sampai dengan 12 jam paska persalinan atau 12 jam bebas
kejang.
Apabila ada kejang ulangan, diberikan 10 mg iv. Pemberian ulangan ini hanya sekali
saja, bila masih terjadi kejang diberikan penthotal 5 mg/kgbb/iv pelan.
Apabila sudah diberikan pengobatan diazepam di luar, maka :
Kalau pemberian belum lewat 3 jam (iv/im), maka dosis diazepam yang telah
diberikan diperhitungkan, dan pengobatan dengan diazepam dalam dosis penuh.
Kalau pemberian sudah 3 jam atau lebih, maka diberikan pengobatan dengan MgSO4
atau diazepam dalam dosis penuh.
Bila diazepam tidak tersedia, maka pengobatan dengan MgSO4 10 mg im, bila timbul
kejang lagi maka diberikan MgSO4 2 g iv.
Perawatan kalau kejang
Kamar isolasi yang cukup tenang
Pasang sudep lidah ke dalam mulut
Kepala direndahkan dan orofaring dihisap
Oksigenasi yang cukup
Fiksasi badan di tempat tidur harus cukup longgar agar tidak terjadi fraktur.
Perawatan kalau koma
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dan tentukan skor tanda vital
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama bila nutrisi parenteral tidak mungkin maka berikan dalam
bentuk per NGT.
II. Memperbaiki keadaan umum ibu
Infus D5%
Pasang CVP untuk :
- Pemantauan keseimbangan cairan (pertimbangan pemberian low molekul
Dextran)
- Pemberian kalori (D10%)
- Koreksi keseimbangan asam basa (pada asidosis maka diberikan Na
Bic/Meylon 50 meq iv)
- Koreksi keseimbangan elektrolit (didasarkan atas hasil pemeriksaan lain)
III. Mencegah Komplikasi
Obat-obatan hipertensi, diberikan pada penderita dengan TD 180/110
mmHg atau lebih. Dapat diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah
1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin
ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau
3 jam sesuai kebutuhan.
Diuretika, hanya diberikan atas indikasi edema dan kelainan fungsi
ginjal (apabila faktor pre renal sudah diatasi)
Kardiotonika, diberikan atas indikasi ; ada tanda-tanda payah jantung,
edema paru, nadi 120 x/menit, sianosis, diberikan digitalis cepat
dengan cedilanid
Antibiotika spektrum luas.
Antipiretika dan atau kompres alkohol
Kortikosteroid
IV. Terminasi kehamilan/persalinan. Stabilisasi : 4-8 jam setelah salah satu atau lebih
keadaan berikut ini :
Setelah kejang terakhir
Setelah pemberian antikejang terakhir
Setelah pemberian antihipertensi terakhir
Penderita mulai sadar
Untuk koma, yang ditentukan skor tanda vital
- STV > 10, boleh terminasi
- STV < 9 tunda 6 jam kalau tidak ada perubahan terminasi
Skor Tanda Vital
1 2 3 4
Tekanan Darah Berat
S > 200
D 110-150
Sedang
S 140-200
D 90-110
Ringan
S 100-140
D 50-90
Nadi (x/menit) > 120 100-119 10-99
Suhu rektal (oC) > 40 38,5-39,9 < 38,4
Pernafasan
(x/menit)
> 40 atau
< 16
Tak terukur 29-40 16-26
GCS 3-4 5-7 > 8
Jumlah skor
Daftar Pustaka1. Morris, S C. Pregnancy, Eklampsia. 2006. http;//www. Emedicine.com2. Prawirohardjo, S. Pre Eklampsia dan Eklampsia. Dalam : Ilmu Kebidanan. Yayasan
Bina pustaka Prawirohardjo, Jakarta. 1999.3. Stephani, R. Eklampsia. 2005. http;//www. Emedicine.com4. Shuman, T. Pregnancy : Pre Eklampsia and Eklampsia. 2005.
http;//www.Google.com.5. Wikipedia Foundation. Eklampsia. 2007. http;//www.Yahoo.com.6. Sutarinda, Z. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Obstetri Ginekologi.
Banjarmasin, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUD ULIN-FK UNLAM
Emboli air ketuban
Definisi
Emboli cairan amnion adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai
oleh terjadinya hipotensi, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak.
Insidensi dan Epidemiologi
Pada tahun 1979, penelitian yang dilakukan oleh Morgan dari 272 kasus, dilaporkan
insidensi AFE berkisar antara 1 : 8000 dan 1 : 80000, dengan mortalitas maternal sebesar
86%. AFE juga merupakan penyebab kematian maternal sebesar 10% di USA. Burrow dan
Khoo (1995) mempublikasikan 10 kasus AFE dengan angka mortalitas maternal sebesar
22%.
Di samping kemajuan teknologi dalam critical care life support, angka mortalitas
maternal AFE tetap tinggi, sekitar 61%; sebagian besar yang selamat mengalami kerusakan
neurologis permanen akibat hipoxia. Angka mortalitas fetal, meskipun lebih baik daripada
angka maternal, adalah sekitar 21% dan 50% dari yang bertahan hidup mengalami kerusakan
neurologis permanen.
Faktor risiko
Banyak faktor yang dipertimbangkan berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian
AFE, antara lain :
1. Overdistensi uterus akibat his/kontraksi persalinan berlebih, yang umumnya terjadi
pada penggunaan obat-obatan perangsang persalinan yang tidak terkontrol.
2. Rupture uteri
3. Multiparitas
4. Kehamilan lewat waktu
5. Fetal distress, ditemukannya mekonium atau tinja janin dalam air ketuban, di mana
janin dalam keadaan kekurangan oksigen. Air ketuban yang penuh dengan kotoran
bayi inilah yang sering kali menimbulkan kefatalan pada kasus-kasus AFE.
6. Persalinan buatan
7. Janin laki-laki
8. Usia maternal yang lanjut
9. Sectio caesaria
10. Polihydramnion
11. Laserasi serviks yang luas
12. Solusio plasenta dan plasenta previa
13. IUFD
14. Bayi besar
15. Eklampsia
Patogenesis
AFE pertama kali dilaporkan secara klinis oleh Steiner dan Lushbaugh tahun 1941,
yang mendapatkan bukti adanya debris janin berupa sel skuamous dan mucin di sirkulasi
paru-paru sekelompok wanita yang meninggal saat bersalin. Namun, studi-studi selanjutnya
jelas memperlihatkan bahwa cairan amnion itu sendiri tidak berbahaya, bahkan apabila
diinfuskan dalam jumlah besar.
AFE merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-komponennya ke dalam
sirkulasi darah ibu. Komponen tersebut berupa unsur-unsur yang ada dalam air ketuban,
misalnya lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin atau
cairan kental.
Baik persalinan normal atau sectio tidak dijamin 100% aman dari risiko AFE, karena
pada saat proses persalinan, banyak vena-vena yg terbuka, yang memungkinkan air ketuban
masuk ke sirkulasi darah ibu akibat rusaknya sawar fisiologis yang biasanya terdapat antara
kompartemen ibu dan janin. Emboli air ketuban merupakan kasus yang berbahaya yang dapat
membawa pada kematian. Selain itu dapat terjadi komplikasi berupa gangguan saraf.
Umumnya AFE terjadi pada tindakan aborsi. Terutama jika dilakukan setelah usia
kehamilan 12 minggu. Bisa juga saat amniosentesis (tindakan diagnostik dengan cara
mengambil sampel air ketuban melalui dinding perut). Ibu hamil yang mengalami
trauma/benturan berat juga berpeluang terancam AFE. Namun kasus AFE paling sering
terjadi, saat persalinan atau beberapa saat setelah ibu melahirkan (postpartum). Ibu mungkin
terpajan ke berbagai elemen janin sewaktu terminasi kehamilan, setelah amniosintesis atau
trauma, atau yang lebih sering selama persalinan atau pelahiran saat berbentuk laserasi-
laserasi kecil di segmen bawah uterus atau serviks. Selain itu seksio sesaria memberikan
banyak kesempatan terjadinya percampuran darah ibu dan jaringan janin. Pada sebagian besar
kasus, kejadian-kejadian ini tidak membahayakan. Namun, pada sebagian wanita, pemajanan
ini memicu serangkaian reaksi fisiologis kompleks yang mirip dengan yang dijumpai pada
anafilaksis dan sepsis. Proses serupa juga dibuktikan terjadi pada emboli lemak traumatic,
suatu proses yang semula diperkirakan hanya melibatkan obstruksi vascular sederhana setelah
trauma. Kaskade patofisologi kemungkinan besar disebabkan oleh sejumlah kemokin dan
sitokin.
Gambar 2.1 Patogenesis Emboli Air Ketuban
(Sumber:http://jficmexam.medbrains.net/files/2008/12/amniotic-fluid-embolism.pdf)
2.5.2 Patofisiologi
Gei dan Hankins (2000) membuat suatu patofisiologi AFE berupa tiga respon atau
kombinasi respon klinis terhadap debris fetal yang bersirkulasi. Repson inisial respirasi
dimulai dengan transient pulmonary vasospasm yang mungkin disebabkan oleh amniotic
microemboli yang mencetuskan pelepasan metabolit asam arachidonat dan akhirnya terjadi
hipertensi pulmonal, intrapulmonary shunting, bronkokonstriksi, dan hipoksia berat.
Komponen dari air ketuban yang menyebabkan efek tersebut tidak diketahui secara pasti.
Namun Clark (1990) dengan penjelasan konvensional menyatakan komponen abnormal
seperti sel skuamous fetal, lanugo, dan meconium yang terdapat dalam air ketuban
menyebabkan obstruksi vascular paru-paru yang pada akhirnya mengakibatkan hipertensi
pulmonal, gagal jantung kanan dan kiri, hipotensi, dan kematian. Bukti baru-baru ini
menyarankan bahwa penyebabnya lebih mungkin karena reaksi imunologis akibat pengaruh
mediator-mediator maternal.
Manifestasi kedua mencakup inotropisme negatif dan left ventricular failure yang
mengakibatkan meningkatnya edema pulmonal dan hipotensi yang akhirnya terjadi syok.
Manifestasi ketiga merupakan respon neurologis terhadap kerusakan sistem respiratorik dan
kerusakan hemodinamik, berupa kejang, konfusi, atau koma. Sekitar 40%-50% pasien yang
bertahan hidup sampai titik ini akan mengalami koagulopati berat, biasanya disseminated
intravascular coagulation (DIC), mengakibatkan perdarahan uterus yang tidak terkontrol
serta perdarahan dari tempat tusukan seperti tempat insersi untuk jalur intravena dan kateter
epidural. Proses koagulopati ini dicetuskan oleh beberapa komponen procoagulan dari air
ketuban, yaitu tromboplastin yang menginisiasi jalur ekstrinsik dari cascade pembekuan
darah dan mengakibatkan aktivitas fibrinolitik yang berlebihan.
Gambar 2.2 Patofisiologi Emboli Air Ketuban
(Sumber: http://ccn.aacnjournals.org/cgi/reprint/24/4/54.pdf)
Sebelum onset tanda dan gejala maternal, perubahan inisial pada pola denyut jantung
janin menjadi jelas pada monitor fetal. Perubahan ini terjadi karena penurunan perfusi uterus
yang mengakibatkan penurunan aliran darah plasenta yang berhubungan dengan hipotensi
maternal. Cadangan fetal yang diperlukan untuk menngkompensasi penurunan perfusi ini
dengan cepat akan hilang dan fetus akan menunjukkan tanda-tanda hypoxia-induced stress.
Denyut jantung janin yang normal berkisar antara 110-160/menit dengan variabilitas
6-25/menit. Penurunan oksigenasi fetal akibat hipotensi dan hipoksia maternal akan
menyebabkan non-reassuring pattern pada denyut jantung janin seperti pada tabel di bawah
ini.
Setiap pola yang terdapat pada tabel di atas mempunyai lebih dari satu penyebab,
beberapa diantaranya jinak dan mudah dikoreksi.
2.6 Gejala Klinik
Manifestasi klasik AFE digambarkan sebagai dyspnea yang tiba-tiba, dan tidak
terduga, kegagalan respiratorik, hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskular, DIC dan
kematian. Menurut Morgan, gejala klinik distress pernafasan terjadi pada 51% pasien,
hipotensi 27%, abnormalitas koagulopati 12%, dan kejang 10%. Analisis Clarke’s national
registry (1995) menunjukkan gejala klinik AFE yang terjadi sebelum persalinan adalah
kejang (30%), dyspnea (27%), bradikardi fetal (17%), dan hipotensi (13%). Gejala klinik
AFE yang terjadi setelah persalinan, 54% menunjukkan koagulopati yang mengakibatkan
perdarahan postpartum.
Terdapat tiga fase AFE yang diidentifikasi pada manusia. Fase pertama meliputi :
1. Sistim respirasi berupa distress pernafasan dan sianosis
2. Hemodinamik berupa edema pulmonal dan syok hemoragik
3. Neurologis berupa konfusi dan koma
Jika pasien bertahan hidup melewati fase kardiorespiratorik, 40%-50% akan masuk
ke dalam fase kedua, yang dikarakteristik oleh koagulopati, perdarahan, dan syok. Pada fase
kedua, gagal jantung kiri merupakan tanda yang jelas dan yang paling sering dilaporkan.
Peningkatan tekanan kapiler pulmonal dan central venous pressure merupakan karakteristik
edema pulmonal.
Pada fase ketiga, gejala akut telah dilewati dan kerusakan terhadap sistim otak, paru-
paru, dan ginjal telah terjadi. Pasien meninggal akibat kerusakan otak dan paru-paru berat.
Infeksi dan kegagalan multi organ dapat menyebabkan kematian.
Berikut adalah kriteria cardinal AFE.
Tabel 2.3 Kriteria Kardinal Emboli Air Ketuban
(Sumber : http://www.ejgm.org/files/EJGM-54.pdf
2.7 Diagnosis
Pengenalan dan diagnosis AFE dengan segera sangat penting untuk memperbaiki
prognosis maternal dan fetal. Sampai saat ini, diagnosis pasti AFE dibuat hanya setelah
otopsi maternal menunjukkan adanya sel skuamous, lanugo, atau material fetal dan air
ketuban lainnya di dalam vaskulatur arterial pulmonal. Meskipun data laboratorium mungkin
menunjukkan kemungkinan AFE, tidak ada hasil laboratorium atau tanda klinis yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis AFE.
Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah diagnosis klinis. Karena secara garis
besar air ketuban menyerbu pembuluh darah paru-paru, maka amat penting untuk mengamati
gejala klinis si ibu. Apakah ia mengalami sesak napas, wajah kebiruan, terjadi gangguan
sirkulasi jantung, tensi darah mendadak turun, bahkan berhenti, dan atau adanya gangguan
perdarahan.
Dampak yang ringan biasanya hanya sebatas sesak napas, tapi yang berat dapat
mengakibatkan kematian ibu. Dahulu, ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang
berasal dari janin di sirkulasi paru sentral dianggap patognomonik untuk emboli cairan
amnion. Selain itu beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sel skuamosa, trophoblast dan
debris lain yang berasal dari janin mungkin sering ditemukan disirkulasi sentral wanita
dengan kondisi selain emboli cairan amnion.
Dengan demikian, temuan ini tidak sensitif atau spesifik dan diagnosis umumnya
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis yang khas.
Pemeriksaan Penunjang:
1. Electrocardiogram dan pulse oximeter
Tanda klinik pertama sering terlihat pada ECG dan pulse oximeter. ECG
menunjukkan takikardia dengan perubahan gelombang ST-T. Pulse oximeter
menunjukkan penurunan saturasi oksigen tiba-tiba.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Analisa gas darah untuk menentukan ventilasi adekuat atau tidak dan derajat
hipoksemia.
3. Foto rontgen thorax
Menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, serta oedem pulmonum (24%-
93%).
4. CVP (Central Venous Pressure)
Pada awalnya CVP meningkat disebabkan hipertensi pulmonal, kemudian pada
akhirnya mengalami penurunan karena perdarahan yang hebat
5. Penilaian faktor pembekuan darah
Normalnya pada wanita hamil akan terjadi peningkatan dari factor pembekuan darah.
Di mana pada AFE akan terjadi peningkatan angka kejadian DIC disertai kegagalan
pembekuan darah, penurunan hitung trombosit, penurunan kadar fibrinogen,
pemanjangan protrombin time. Pemeriksaan untuk mengevaluasi terjadinya DIC
adalah kadar AT-III, fibrinopeptide A, D-dimer, prothrombin fragment 1.2 (PF 1.2),
thrombin precursor protein, dan trombosit.
2.8 Diagnosis Banding
Tabel 2.5 Diagnosis Banding Emboli Air Ketuban
(Sumber : http://ccn.aacnjournals.org/cgi/reprint/24/4/54.pdf)
2.9 Penatalaksanaan
2.10 Upaya Preventif :
Upaya preventif dengan memperhatikan indikasi induksi persalinan. Memecah ketuban saat akhir his sehingga tekanannya tidak terlalu besar dan mengurangi masuk ke dalam pembuluh darah, tangan tetap di dalam untuk mengurangi aliran air ketubannya. Saat seksio sesarea dilakukan pengisapan air ketuban perlahan sehingga dapat mengurangi asfiksia intrauterine dan emboli air ketuban melalui perlukaan lebar insisi operasi.
Pengobatan
Tindakan umum yang dilakukan adalah segera memasang infuse di dua tempat sehinga cairan segera dapat diberikan untuk mengatasi syok. Selain itu memberikan oksigen dengan tekanan tinggi sehingga dapat menambah oksigen dalam darah. Untuk jantung dapat diberikan resusitasi jantung dengan masase dan mesin kardipulmonari, pemberian digitalis, atropine untuk mengurangi vasokontriksi pembuluh darah dan paru, vasopresor ( isoprotrenol ), dan diuretic untuk mengurangi edema. Untuk paru, obat spasmolitik papaverin yang mengurangi spasme bronkus dan pembuluh darah paru. Untuk syok anafilaksis diatasi dengan pemberian antihistamin ( prometazine ) dan kortison dosis tinggi. Untuk koagulasi intravaskuler dipertimbangkan untuk memberikan heparin.
2.11 Prognosis
Pasien dengan AFE memiliki prognosis yang buruk. Sampai saat ini, AFE tidak dapat
diprediksi maupun dicegah. AFE tetap menjadi salah satu komplikasi kehamilan yang paling
ditakuti dan yang paling lethal. Prognosis dan mortalitas AFE telah membaik secara
signifikan dengan early diagnosis dan penanganan resusitasi yang cepat dan tepat. Meskipun
mortalitas telah menurun, morbiditas tetap tinggi dengan sequel yang berat, terutama
kerusakan neurologis.
Daftar pustaka
Seto Martohoedoso, Marsianto. Perlukaan dan Peristiwa Lain pada Persalinan, In: Ilmu
Kebidanan, 3rd edition, Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifuddin, Trijatmo
Rachimhadhi, eds. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008 :
672-673.
Suwardjono Surjaningrat, Abdul Bari Saifuddin. Kematian Maternal, In: Ilmu Kebidanan, 3 rd
edition, Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifuddin, Trijatmo Rachimhadhi, eds.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008 : 22-27.
Perozzi, Katherine J., Englert, Nadine C. 2004. Amniotic Fluid Embolism An Obstetric
Emergency. Aacnjournals. http://ccn.aacnjournals.org/cgi/reprint/24/4/54.pdf.
Diambil tanggal 04/10/10
Skerman, Jonathan H, Rajab, Khalil E. 2003. Amniotic Fluid Embolism. Kuwait Medical
Journal. http://www.kma.org.kw/KMJ/Issues/jun2003/KMJ%20June
%202003.PDFs/Review%20Article/Amniotic%20Fluid%20Embolism.pdf. Diambil
tanggal 04/10/10
Toy, Harun. 2009. Amniotic Fluid Embolism. European Journal of General Medicine.
http://www.ejgm.org/files/EJGM-54.pdf. Diambil tanggal 05/10/10