Draf Proposal Tesis dengan Judul :
KOMPARASI KEAKTIFAN, MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DALAM PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
DAN TIPE SNOWBALL TRHOWING
Oleh:
AHMAD BUDI SUTRISNO
12B07024
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKAPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR2013
LEMBAR PENGESAHAN
Judul :
Nama : AHMAD BUDI SUTRISNO
Nim : 12B07024
Prodi : Pendidikan Matematika
Program : Pascasarjana UNM Tahun 2013
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Dr.Awi Dassa, M.Si Dr.Hisyam Ihsan, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui:
Ketua Direktur
Program Studi Program Pascasarjana
Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Makassar,
Prof. Dr. Nurdin Arsyad, M.Pd Prof. Dr. Jasruddin, M. Si
NIP 19670424 199203 1 002 NIP 19641222 199103 1 002
Komparasi Keaktifan, Motivasi dan Hasil Belajar
Matematika dalam Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe NHT dan Tipe Snowball Throwing
A. Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sedangkan
kualitas sumber daya manusia tergantung pada kulaitas pendidikannya. Peran pendidikan
sangat penting untuk menciptakan manusia yang cerdas, damai, terbuka dan demokratis.
Oleh karena itu pembaruan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan suatu bangsa. Kemajuan bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan
cara menata pendidikan yang baik, dengan adanya berbagai peningkatan mutu pendidikan
diharapkan dapat menaikkan derajat, harkat dan martabat manusia baik dimata
masyarakat, bangsa dan agama. Untuk mencapainya, pembaharuan pendidikan di
Indonesia tentunya harus dilakukan terus menerus seiring dengan perkembangan zaman.
Berbagai daya dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam
meningkatkan kualiatas pendidikan antara lain pembaharuan kurikulum, pengembangan
model pembelajaran, perubahan system evaluasi dan sebagainya. Salah satu aspek yang
selalu dikaji dalam kaitannya dengan keaktifan, motivasi, dan hasil belajar adalah model
pembelajaran yang diterapkan di sekolah. Selama ini dalam kegiatan pembelajaran
dikelas berpusat kepada guru, sehingga siswa cenderung tidak aktif. Pada dasarnya
banyak cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk menjadikan siswa aktif, salah satunya
dengan merubah paradigma pembelajaran. Guru bukan sebagai pusat pembelajaran tapi
sebagai mitivator, dan fasilitator. Selama pembelajaran berlangsung, siswalah yang
dituntut untuk aktif sehingga guru bukan lagi sebagai pemeran utama dalam
pembelajaran. Oleh karena itu, perlu dikembangkan satu model pembelajaran yang
mampu meningkatkan keaktifan dan motivasi siswa dalam pembelajaran matematika,
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pemilihan model
pembelajaran harus mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam berfikir logis,
kritis, dan kreatif.
Pada umumnya proses pelaksanaan belajar mengajar matematika di sekolah
hanya mentransfer apa yang dipunyai guru kepada siswa dalam wujud pelimpahan fakta
matematis dan prosedur penghitungan, Bahkan sering terjadi, dalam menanamkan konsep
hanya menekankan bahwa konsep–konsep itu merupakan aturan yang harus dihafal, tidak
perlu tahu dari mana asal–usul rumus tersebut. Siswa diprogram hanya untuk bisa
menghafal rumus dan mengerjakan soal tanpa harus tahu apa makna dan fungsi soal
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan adanya pembelajaran matematika yang tidak bermakna serta hanya
sebatas menghafal rumus dan mengikutinya untuk mengerjakan soal, penalaran siswa
menjadi kurang berkembang yang berakibat pemahaman siswa terhadap konsep materi
matematika sangat lemah. Padahal kemampuan penalaran siswa merupakan aspek
penting, karena dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah lain, baik
masalah matematika maupun masalah kehidupan sehari-hari. Karena dengan adanya
penalaran, siswa akan mampu mengaplikasikan hal yang dipelajarinya kedalam dunia
nyata. Kemampuan penalaran merupakan aspek kunci dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan kreatif dari siswa. Dengan demikian pembelajaran di
sekolah akan lebih bermakna jika guru mengaitkan pengetahuan dengan pemahaman
yang telah dimiliki siswa.
Pembelajaran matematika yang hanya berorientasi pada proses transfer dari
guru ke siswa merupakan pandangan behaviorisme. Matematika dipandang sebagai
barang jadi yang dapat dipindahkan dari seorang keorang lain. Menurut pandangan
behaviorisme siswa bersifat pasif dan pembelajaran lebih berpusat pada guru. Bagi
behavioris pengetahuan itu statis dan sudah jadi dan belajar hanya merupakan suatu
proses mekanik untuk mengumpulkan fakta.
Selanjutnya lahirlah pandangan konstruktivisme yang beranggapan bahwa
pengatahuan tidak dapat ditransfer tetapi harus dibangun sendiri oleh siswa di dalam
pikirannya. Inti dari pembelajaran konstruktivis adalah keaktifan siswa pada proses
pembelajaran. Penekanan belajar siswa aktif ini sangat penting dan perlu dikembangkan
dalam dunia pendidikan kita. Karena dengan keaktifan dan kreatifitas, siswa akan dapat
mandiri dalam kehidupan. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis
suatu hal karena mereka berpikir dan mencipta, bukan meniru saja.
Berdasarkan pengamatan dilapangan, diperoleh informasi bahwa matematika
merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa. Anggapan ini
mengakibatkan siswa menjadi malas belajar matematika, sehingga beberapa siswa masih
enggan untuk berperan aktif pada saat pembelajaran berlangsung. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Selama ini model
pembelajaran yang digunakan oleh guru di sekolah dalam mengajar adalah model
pembelajaran langsung.
Pada pembelajaran model langsung guru merupakan subjek utama kegiatan
pembelajaran. Guru dalam menyampaikan dan menyajikan materi pembelajaran tidak
disertai dengan penggunaan bermacam-macam penggunaan metode pembelajaran lain
seperti diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dll. Guru menjelaskan materi yang
diajarkan dengan contoh, kemudian siswa diminta untuk menyebutkan kembali dan
menerapkan ke soal lain sesuai dengan contoh tersebut, guru merupakan subjek utama
dalam proses pembelajaran. Siswa dalam proses pembelajaran hanya mendengarkan
semua hal yang dijelaskan oleh guru, mencatat materi, dan mengerjakan segala sesuatu
yang dipertintahkan oleh guru. Sehingga selama pembelajaran siswa menerima suatu
materi yang sudah jadi. Siswa tidak ikut berfikir dan menggunakan pengalaman
belajarnya.
Ada beberapa siswa yang kurang antusias mengikuti pelajaran dikarenakan tidak
adanya motivasi belajar dari diri mereka. Siswa tersebut masih pasif, enggan, takut, dan
malu untuk bertanya. Mereka hanya memilih diam jika ada sesuatu hal yang tidak mereka
mengerti atau pahami daripada harus bertanya kepada guru yang mengajar. Menurut
beberapa siswa, hal ini disebabkan mereka tidak berani bertanya karena takut salah dan
lebih senang bertanya kepada temannya. Motivasi siswa untuk mengerjakan pekerjaan
rumah (PR) masih kurang, beberapa siswa mengatakan alasan mereka tidak
menegerjakan pekerjaan rumah karena tidak biasa mengerjakan, lupa, malas, dan lain
sebagainya. Keadaan tersebut apabila didiamkan akan menyebabkan siswa semakin
mengalami kesulitan dalam mempelajari dan memahami konsep-konsep matematika
berikutnya.
Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar matematika siswa, perlu
dikembangkan sutu pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memberikan kesempatan
bagi siswa untuk bertukar pikiran, pendapat, bekerja sama dengan teman, berinteraksi
dengan guru, menggunakan maupun mengingat kembali konsep yang dipelajari.
Mengingat pentingnya pelajaran matematika untuk pendidikan, guru
diharapkan mampu merencanakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa akan
tertarik dengan pelajaran matematika. Terdapat bebrapa model pembelajaran yang
mampu meningkatkan keaktifan, motivasi dan hasil belajar siswa salah satunya adalah
model pembelajaran koopeeratif tipe NHT dan tipe Snowball Throwing.
Model pembelajaran tersebut melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa ada
perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur
permainan. Aktvitas siswa dirancang sedemikian sehingga memungkinkan siswa dapat
belar lebih santai, di samping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan
sehat, dan keterlibatan belajar. Dengan demikian pembelajaran ini mampu meningkatkan
keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa.
Dalam pembelajaran matematika, seringkali rendahnya motivasi belajar siswa
disebabkan karena siswa memiliki beban belajar yang banyak. Tinggi rendahnya
motivasi belajar sering kali dikaitkan dengan keberhasilan atau kegagalan belajar siswa
dalam belajar. Motovasi yang tinggi dan sedang selalu berusaha menyelesaikan tugas
dengan baik, serta membandingkan hasilnya dengan orang lain. Dalam hal ini dapat
diduga bahwa motivasi belajar siswa terhadap matematika merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap hasil belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti hendak meneliti tentang “komparasi
keaktifan, motivasi dan hasil belajar matematika dalam model pembelajaran tipe NHT
dan tipe Snowball Throwing”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas yang telah dikemukakan, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 22
Bantimurung dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2. Bagaimana keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 10
Bantimurung dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball
Throwing.
3. Apakah ada perbedaan keaktifan, motivasi, dan hasil belajar Siswa kelas VIII SMP
22 Bantimurung dan SMPN 10 Bantimurung dengan menggunakan model
pembelajaran tipe NHT dan tipe Snowball Throwing.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 22
Bantimurung dengan menggunakan Model Pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2. Untuk mengetahui keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMP 10
Bantimurung dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball
Throwing.
3. Apakah ada perbedaan keaktifan, motivasi, dan hasil belajar Siswa kelas VIII SMP
22 Bantimurung dan SMPN 10 Bantimurung dengan menggunakan model
pembelajaran koopertif tipe NHT dan tipe Snowball Throwing.
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 22
Bantimurung dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2. Dapat mengetahui keaktifan, motivasi, dan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 10
Bantimurung dengan menggunakan model Pembelajaran koopreatif tipe Snowball
Throwing.
3. Dapat mengetahui perbedaan keaktifan, motivasi, dan hasil belajar Siswa kelas VIII
SMP 22 Bantimurung dan SMPN 10 Bantimurung dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dan tipe Snowball Throwing.
E. Batasan Istilah
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka batasan istilah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Model Pembelajaran Koopertif Tipe NHT
Model pembelajaran tipe NTH adalah model pembelajaran yang
mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipersentasekan di depan kelas.
2. Model Pembelajaran Koopertif Tipe Snowball Throwing
Model pembelajaran koopertif tipe Snowball Throwing melatih siswa untuk
lebih tanggap menerima pesan dari siswa lain dalam bentuk bola salju terbuat dari
kertas, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok.
Pembelajaran model snowball throwing menggunakan tiga penerapan pembelajaran
antara lain pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas
memalui konteks yang terbatas melalui pengalamn nyata (construvisme), hasil dari
temuan sendiri (inquiri), bertanya (questioning).
3. Keaktifan Belajar
Aktif belajar dalam hal ini adalah memposisikan guru sebagai orang yang
menciptakan suasana belajar yang kondusif atau sebagai fasilitator dalam
pembelajaran sementara siswa yang harus aktif. Dalam proses pembelajaran yang
aktif itu terjadi dialog yang interaktif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
atau siswa dengan sumber belajar lainnya. Adapun indikator keaktifan pada
penelitian ini di tinjau dari aspek:
a) Aspek keaktifan visual
b) Aspek keaktifan lisan
c) Aspek keaktifan tulisan
4. Motivasi
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subyek belajar itu dapat tercapai.
Indikator motivasi dalam penelitian ini adalah:
a. Cita-cita / aspirasi siswa
b. Kemampuan belajar
c. Kondisi siswa
d. Unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran
e. Upaya guru membelajarkan siswa
5. Hasil belajar
Hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa setelah
mengikuti proses pembelajaran, sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
hal ini ditunjukkan dari skor perolehan tes hasil belajar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab kajian pustaka ini peneliti akan menguraikan kajian teori dan
pustaka yang diambil dari bermacam-macam sumber. Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan gagasan yang mendasari penelitian yang hendak dilakukan. Adapun
yang peneliti bahas dalam tinjauan pustaka ini meliputi pembelajaran matematika,
keaktifan, pembelajaran aktif, motifasi, model kooperatif tipe NHT, model
pembelajaran kooperatif tipe snowball throwing, materi pembelajaran, kerangka pikir,
dan hipotesis penelitian.
A. Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Matematika Sekolah
Menurut Herman Hudojo (1988) matematika merupakan suatu ilmu yang
berhubungan atau menelaah bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak dan
hubungan-hubungan di antara itu, tentu saja diperlukan pemahaman tentang
konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika itu.
James dan James ( Erman Suherman, 2003) mengatakan bahwa matematika
itu adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, dan konsep-konsep yang
berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi
kedalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, geometri. Matematika tumbuh dan
berkembang karena proses berfikir, oleh karena itu logika adalah dasar
terbentuknya matematika.
Berikut ini definisi oleh beberapa pakar tentang pengertian matematika yang
diungkapkan oleh Robert E.Reys (2008):
a. Matematika adalah studi atau kajian tentang pola dan hubungan.
b. Matematika adalah suatu cara berfikir.
c. Matematika adalah seni, digolongkan dengan tata urutan dan kejelasan
didalamnya.
d. Matematika adalah suatu bahasa, menggunakan istilah dan symbol tertentu
dengan hati-hati.
e. Matematika adalah suatu alat.
Matematika sekolah menurut Erman Suherman matematika (2003) sekolah
adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matermatika yang diajarkan
pada jenjang SD dan SLTP dan pendidikan menengah (SLTA dan SMK).
Matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih
guna,menumbuh kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi
serta berpadu dengan perkembangan IPTEK. Matematika sekolah tetap memiliki
ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta
berpola pikir deduktif konsisten.
Fungsi pelajaran matematika sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau
pengetahuan. Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat
untuk memahami atau menyampaikan informasi dalam model-model matematika
yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal uraian matematika
lainnya. Belajar matematika bagi para siswa juga merupakan pembentuk pola pikir
dalam pemahaman suatu pengertian maupiun dalam penalaran suatu hubungan
antara pengertian-pengertian. Dari ketiga fungsi tersebut, guru berperan sebagai
motivator dan pembimbing siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah.
Dari beberapa pernyataan di atas, maka yang dimaksud dengan matematika
sekolah dalam penelitian adalah matematika yang diajarkan di tingkat sekolah
dasar maupun menengah. Dimana dalam belajar matematika, siswa dapat
membentuk pola pikir dalam memahami suatu pengertian maupun penalaran
tentang permasalahan matematika yang dihadapinya, sedangkan guru merupakan
motivator dan fasilitator mereka.
2. Proses Pembelajaran Matematika
Dalam konsep sosiologi, belajar merupakan jantungnya dari proses sosialisasi,
sedangkan pembelajaran adalah rekayasa sosiopisikologis untuk memelihara
kegiatan belajar sehingga setiap individu yang belajar akan belajar secara optimal
dalam mencapai tingkat kedewasaan dan dapat hidup sebagai anggota masyarakat
yang baik. Sedangkan arti sempit, proses pembelajaran adalah proses sosialisasi
individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti guru, sumber, dan teman sesame
siswa. Menurut konsep komunikasi, pembelajaran adalah proses komunikasi
fungsional antara siswa dengan siswa, dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir
yang akan menjadi kebiasaan bagi siswa yang bersangkutan (Herman Suherman
2003).
Peristiwa belajar yang disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah
dan sistematik daripada belajar yang hanya pengalaman dari kehidupan sehari-hari.
Dalam proses pembelajaran, selain kegiatan belajar ada kegiatan lain yaitu
mengajar, dikatakan mengajar jika ada subjek yang diberi pelajaran dalam hal ini
siswa dan ada subjek yang mengajar yaitu pengajar dalam hal ini guru.
Siswa:Kemampuan KesiapanSikapMinatIntelegensi
Guru :PengalamanKepribadianKemampuanMotivasi
Sarana & prasaranaRuanganAlat bantu belajarBuku teks,dll
Proses pembelajaran
Hasil Belajar
Penilaian proses pembelajaran
siswa
siswa guru Alat peragaa
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses belajar dan mengajar
digambarkan dalam skema berikut:
Sumber: Erman Suherman (1993)
2.1 Grafik Faktor-Faktor Terjadinya Proses Pembelajaran
B. Keaktifan
Kegagalan atau keberhasilan belajar sangat tergantung kepada siswa, seperti
bagaimana kemampuan dan kesiapan siswa untuk mengikuti kegiatan belajar
matematika, bagaimana sikap dan minat siswa terhadap matematika. Di samping itu,
kondisi fisiologis dan psikologis siswa serta intelegensi berpengaruh terhadap
kelancaran belajar. Kondisi fisiologis misalnya orang yang dalam keadaan segar
jasmaninya akan lebih baik belajarnya daripada orang yang dalam keadaan lemah
sedangkan kondisi psikologis seperti perhatian, pengamatan, ingatan dan sebagainya
berpengaruh terhadap kegiatan belajar seseorang.
Suasana yang mestinya tercipta dalam proses pembelajaran adalah bagaimana
siswa yang belajar benar-benar berperan aktif dalam pembelajaran. Tidak jarang
ditemukan bahwa pembelajaran disekolah terkesan ibarat seseorang yang
menuangkan air dari cerek ke gelas. Air ditempatkan begitu saja hingga digelas,
bakna ada yang sudah tumpah tetap diisi, lalu air itu diminum. Dikasus yang lain ada
cerek yang tumpah ternyata saluran air dicerek ada sumbatan sehingga air sulit
keluar, kalau tetap keluar akibat sumbatan itu, maka airnya mengalir kearah lain
bukan gelas karena ada tekanan yang mendorong lewat saluran yang tersumbat tadi
yang mengakibatkan air malah keluar dari mulut gelas. Ilustrasi diatas
menggambarkan bagaimana proses pembelajaran kita.
Paul B.Diedrich (Hamzah Uno, 2013) membuat sebuah daftar yang berisi 177
macam kegiatan siswa yang anatar lain digolongkan kedalam:
a. Visual activities, yang termasuk didalamnya misalnya membaca,
memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
b. Oral Activities seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, member saran,
mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi dan interupsi.
c. Listening activities sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan,
diskusi, music, pidato.
d. Writing activities, misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket,
menyalin.
e. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta,
diagram.
f. Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain melakukan
percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun,
beternak.
g. Mental activities, sebagai contoh misalnya menaggapi, mengingat,
memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, mengambil
keputusan.
h. Emotional activities, misalnya menaruh minat, merasa bosan, gembira,
bersemangat, bergairah, berani, tenag, gugup.
C. Pembelajaran yang Aktif
Keberhasilan pencapaian kompetensi suatu mata pelajaran bergantung pada
beberapa aspek. Salah satu aspek yang sangat berpengaruh adalah bagaimana cara
seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kecenderungan guru sebagai pusat
pembelajaran menjadikan siswa kurang aktif terlibat dalam proses pembelajaran
yang akhirnya berakibat pembelajaran kurang bermakna
Beberapa ciri dari pembelajaran aktif yang dikukakan dalam panduan
pembelajaran model ALIS (active learning in school) adalah:
1. Pembelajaran berpusat pada siswa
2. Pembelajaran terkait dengan kehidupan nyata
3. Pembelajaran mendorong siswa untu brpikir tingkat tinggi.
4. Pembelajaran melayani gaya belajar anak-anak yang berbeda-beda
5. Pembelajan mendorong siswa berinteraksi mendorong siswa
multi arah
6. Pembelajaran menggunakan lingkungan sebagai sebagai media atau sumber
belajar
7. Pembelajaran berpusat pada anak
8. Gutu memantau proses belajar siswa
9. Memberikan umpang balik terhadap pekerjaan atau tugas siswa
Untuk menciptakan pembelajaran aktif, beberapa penelitian (Hamzah Uno
2013) menemukan salah satunya adalah anak belajar dari pengalamannya, selain
anak harus belajar memecahkan masalah yang mereka peroleh. Anak-anak dapat
belajar dengan baik dari pengalaman mereka. Mereka belajar dengan cara
melakukan, menggunakan indera mereka, menjelajahi lingkungan, baik lingkungan
berupa benda, tempat, atau peristiwa-peristiwa disekitar mereka. Mereka belajar dari
pengalaman langsung dan kejadian nyata. keterlibatan yang aktif dengan objek-objek
ataupun gagasan-gagasan tersebut dapat mendorong aktivitas mental mereka untuk
berfikir, menganalisa, menyimpulkan, dan menemukan pemahaman konsep baru dan
mengintegrasikannya dengan konsep yang mereka ketahui sebelumnya.
Anak-anak juga belajar dengan baik dan memahami bila apa yang mereka
pelajari terkait dengan apa yang sudah diketahui dan metode pembelajaran yang
digunakan sesuai dengan gaya belajar mereka (gaya belajar mendengarkan, melihat,
dan bergerak atau melakukan) dan bagi kecerdasan yang mereka miliki (Hamzah Uno
2013) seperti bahasa, musik, gerak, logika, dll.
Strategi pembelajaran yang aktif dalam proses pebelajaran adalah siswa
diharapkan aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran untuk berfikir, berinteraksi,
berbuat untuk mencoba, menemukan konsep baru atau menghasilkan suatu karya.
Sebaliknya, anak tidak diharapkan pasif menerima layaknya gelas kosong yang
menunggu diisi, siswa bukanlah gelas kosong yang pasif yang hanya menerima
kucuran ceramah sang guru tentang pengetahuan atau informasi sebagaimana
digambarkan di atas.
D. Motivasi
1. Pengertian
Banyak sekali, bahkan sudah umum orang menyebut dengan “ motif “ untuk
menunjukkan mengapa seseorang itu berbuat sesuatu. Kata motif diartikan sebagai
daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat
dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subjek untuk melakukan
aktivitas- aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan
sebagai suatu kondidsi intern (kesiap siagaan). Berawal dari kata “motif” itu, makna
motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif
menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan
sangat dirasakan mendesak.
Menurut Mc.Donald (Sardiman,2012) motivasi adalah perubahan energy
dalam diri seseorang yang ditandai dngan munculnya “feeling” dan didahului dengan
tanggapan adanya tujuan. Dari pengertian Mc.Donald ini mengandung makna bahwa:
a) Motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu
manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di
dalam sistem “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia.
b) Motivasi ditandai dengan munculnya , rasa “feeling”, efeksi seseorang. Di
dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan kejiwaan, efeksi dan emosi
yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
c) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan, jadi motivasi dalam hal ini
sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang
muncul dari dalam diri manusia, tapi kemunculannya karena adanya
rangsangan/terdorong karena ada unsur lain dalam hal ini tujuan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Echols (Dimyati,2006) bahwa motivasi kata
kerja “to motivate” yang berarti mendorong, menyebabkan dan merangsang , berarti
alasan, sebab dan daya penggerak. Menurut Suryabrata (Djaali,2007) adalah
keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu tersebut untuk melakukan
aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai tujuan yang didinginkan. Secara serupa
Winkels, (Dimyati 2006) mengatakan bahwa motif adalah adanya penggerak dari
dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai
suatu tujuan tertentu.
Dalam pembelajaran, dikenal motivasi belajar, menurut Winskel (Mudjiono
2008) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri siswa
yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar itu demi
mencapai satu tujuan. Menurut Slavin (Hamzah Uno, 2011;193) motivasi merupakan
prasyarat yang paling penting dalam belajar. Bila tidak ada motivasi, maka proses
pembelajaran tidak akan terjadi dan motivasi dapat mempengaruhi proses dan hasil
belajar. Wlodkowsky,1985 (Hamzah Uno, 2011;194), mengatakan bahwa motivasi
yang dimiliki dan dibawa oleh siswa berpengaruh kuat terhadap apa dan bagaimana
mereka belajar. Winne dan Marx 1989 (Hamzah Uno, 2011;194) mengatakan bahwa
motivasi adalah suatu kondisi dari suatu pembelajaran, bila siswa memiliki motivasi
selama pembelajaran berlangsung, maka segala usahanya akan berjalan dengan lancar
dan kecemasan akan menurun. Sedangkan menurut Palardi,1975 (Dimyati 2006)
motivasi belajar memegang peran penting dalam memberikan gairah, semangat, dan
rasa senang dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi mempunyai
energi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Siswa yang mempunyai
motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal belajarnya dan sangat sedikit pula
kesalahan dalam belajarnya.
Dari beberapa pandangan pakar di atas maka yang dimaksud dengan motivasi
dalam penelitian ini adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar
dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subyek belajar itu dapat tercapai.
2. Jenis-jenis motivasi
Jenis-jenis motivasi belajar, menurut Sardiman motivasi dibagi menjadi
dua tipe atau kelompok yaitu intrinsik dan ekstrinsik :
a) Motivasi intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu
sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu, contohnya seseorang yang
senang membaca tidak usah disuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin
membaca buku-buku untuk dibacanya.
b) Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik merupakan motif-motif yang aktif dan
berfungsinya karena adanya perangsang dari luar, contohnya seseorang itu
belajar karena tahu besok pagi ada ujian dengan harapan akan mendapatkan
nilai baik, atau agar mendapatkan hadiah.
3. Fungsi motivasi dalam belajar
Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak
sebenarnya telah dilatar belakangi oleh motivasi, dan motivasi telah bertalian
dengan tujuan. Sehubungan dengan itu ada empat fungsi motivasi menurut
Sardiman antara lain:
a) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi.
b) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
c) Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
d) Sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan
suatu usaha karena adanya motivasi.
Selain itu ada pula fungsi lain dari motivasi belajar menurut Purwanto bahwa
fungsi motivasi adalah menggerakan, mengarahkan, dan meneropong tingkah laku
manusia.
Fungsi motivasi menurut Hamalik (2007) meliputi berikut ini.
1) Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan tanpa motivasi maka tidak
akan timbul sesuatu perbuatan seperti belajar.
2) Motivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan
kepencapaian tujuan yang diinginkan.
3) Motivasi berfungsi sebagai penggerak. Ia berfungsi sebagai mesin bagi mobil.
Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Berdasarkan dari beberapa pendapat pendidikan tersebut dapat disimpulkan
bahwa motivasi berfungsi sebagai perbuatan, pengarah serta penggerak bagi
seseorang atau peserta didik yang menimbulkan upaya keras untuk melakukan
aktivitas mereka sehingga dapat mencapai tujuan belajar.
Pada penelitian ini yang menjadi indikator dari motivasi belajar siswa adalah
cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan belajar, kondisi siswa, unsur-unsur dinamis
dalam belajar dan pembelajaran, upaya guru dalam membelajarkan siswa.
(a) Cita-cita atau aspirasi siswa
Memberikan motivasi kepada siswa berarti menggerakkan siswa untuk
melakukan sesuatu yang penting dalam kegiatan belajar. Motivasi belajar tampak
pada keinginan belajar berjalan, makan makanan yang lezat, dapat bernyanyi, dapat
membaca, keinginan tersebut dapat menumbuhkan kemauan bergiat, bahkan
dikemudian hari menimbulkan cita-cita dibarengi oleh perkembangan akal, moral,
kemauan, bahasa dan nilai-nilai kehidupan ( Dimyati 2002).
Dari segi emansipasi kemandirian, keinginan yang terpuaskan dapat
memperbesar kemauan dan semangat belajar. Contoh: siswa ingin mendapatkan nilai
yang terbaik, selalu mengerjakan soal dengan gigih dalam meraih cita-cita dan
mengungkapkan perasaan senang terhadap pelajaran misalnya matematika. Cita-cita
akan memepengaruhi motivasi belajar intrinsic maupun ekstrinsik.
(b) Kemampuan belajar
Setiap siswa memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Hal ini diukur
melalui taraf perkembangan berpikir siswa, dimana siswa yang taraf perkembangan
berpikirnya konkrit tidak sama dengan siswa yang sudah sampai pada taraf
perkembangan berpikir rasional. Siswa yang merasa dirinya memiliki kemampuan
untuk melakukan sesuatu, maka akan mendorong dirinya berbuat sesuatu untuk dapat
mewujudkan tujuan yang ingin diperolehnya dan sebaliknya yang merasa tidak
mampu akan merasa malas untuk berbuat sesuatu, (Dimayati, 2002). Setiap siswa
memiliki kemampuan belajar yang berbeda. Hal ini diukur melalui taraf
perkembangan berpikir siswa, dimana siswa yang taraf perkembangan berpikirnya
konkrit tidak sama dengan siswa yang sudah sampai pada taraf perkembangan
berpikir rasional. Siswa yang merasa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan
sesuatu, maka akan mendorong dirinya berbuat sesuatu untuk dapat mewujudkan
tujuan yang ingin diperolehnya dan sebaliknya yang merasa tidak mampu akan
merasa malas untuk berbuat sesuatu.
Kemampuan belajar adalah bagaimana seorang anak bisa memahami, mengikuti dan
melaksanakan apa yang ia peroleh dalam pendidikan. Hal ini menyangkut bisa atau
tidaknya anak tersebut mempelajari sesuatu.
(c) Kondisi siswa
Setiap mempunyai kondisi jasmani dan rohani yang sangat mempengaruhi
motivasi belajar. Seorang siswa yang sedang sakit, lapar, atau marah-marah akan
mengganggu perhatian belajar. Sebaliknya seseorang siswa yang sehat, kenyang, dan
gembira akan mudah memusatkan perhatian. Anak yang sakit akan enggan belajar,
bahkan ada yang tidak masuk sekolah. Sebaliknya setelah siswa itu sehat, ia akan
mengejar ketinggalan pelajaran dengan bertanya tugas maupun catatan yang diberikan
oleh guru. Dengan kata lain kondisi jasmani dan rohani siswa berpengaruh pada
motivasi belajar siswa ( Dimyati, 2002).
(d) Unsur Dinamis Dalam Pembelajaran
Siswa memiliki perasaan, perhatian, kemauan, ingatan dan pikiran yang
mengalami perubahan berkat pengalaman hidup. Pengalaman dengan teman sebaya
berpengaruh pada motivasi dan perilaku belajar. Contoh, siswa akan bersemangat
menerima penjelasan dari guru dan akan bertanya jika ada materi yang kurang
dipahami, adapun unsur dinamis dalam belajar dapat menganggu kegiatan belajar
adalah pikiran, tidak mau berusaha untuk memahami pelajaran dan selalu
menganggapnya pelajaran sulit dan masalah baik dari keluarga maupun dari
lingkungan sekitar, (Damayati 2002).
Unsur-unsur dinamis adalah unsur-unsur yang keberadaannya didalam proses
belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang
sama sekali misalnya gairah belajar, emosi siswa dan lain-lain. Siswa memiliki
perasaan, perhatian, kemauan, ingatan, dan pikiran yang mengalami perubahan
selama proses belajar, kadang-kadang kuat atau lemah.
(e) Upaya guru dalam membelajarkan siswa
Guru adalah seorang pendidik professional. Ia bergaul setiap hari dengan
puluhan atau ratusan siswa. Interaksi pergaulannya sekitar lima jam sehari. Tatap
muka guru dengan siswa SD misalnya, berkisar antara 10 samapai 20 menit per siswa.
Intensitas pergaulan tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa
siswa. Upaya guru dalam membelajarkan siswa yaitu memberikan pujian kepada
siswa jika dapat mengerjakan soal latihan yang diberikan, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya jika ada materi yang belum dipahami, jika memberikan
hukuman bukan berupa pukuan tetapi berupa soal yang harus dikerjakan di papan
tulis. Guru adalah pendidik yang berkembang. Tugas profesionalnya mengharuskan
dia belajar sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat tersebut sejalan dengan
masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah yang juga dibangun. Guru tidak sendirian
dalam belajar sepanjang hayat. Lingkungan sosial guru, lingkungan budaya guru, dan
kehidupan guru perlu diperhatikan oleh guru. Sebagai pendidik, guru dapat memilih
yang baik. Partisipasi dan teladan memilih perilaku yang baik tersebut sudah
merupakan upaya membelajarkan siswa.
E. Pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah kegiatan belajar mengajar dalam kelompok-
kelompok kecil, siswa belajar dan bekerjasama untuk sampai pada pengalaman
belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun kelompok (Arends,). Dalam
pembelajaran kooperatif para peserta didik dikelompokkan secara arif dan
proporsional. Pengelompokan peserta didik dalam suatu kelompok dapat didasarkan
pada: fasilitas yang tersedia, perbedaan individu dalam minat belajar dan kemampuan
belajar, jenis pekerjaan yang diberikan, wilayah tempat tinggal peserta didik, jenis
kelamin, dan berdasarkan lotre atau random. Dalam pembagian kelompok ini,
kelompok dibagi secara heterogen baik dari segi kemampuan belajar maupun jenis
kelamin agar terjadi dinamika kegiatan belajar yang lebih baik dari kelompok,
sehingga tidak terkesan ada kelompok yang kuat dan ada kelompok yang lemah
(Mulyani Sumantri, 2001).
Bekerja sama berarti melakukan sesuatu bersama saling membantu dan
bekerja sebagai tim (kelompok). Jadi, pembelajaran kooperatif berarti belajar
bersama, saling membantu pembelajaran agar setiap anggota baik. Dalam
pembelajaran kooperatif, siswa dikelompokkan secara variatif (beraneka ragam)
berdasarkan prestasi siswa mereka sebelumnya, kesukaan/kebiasaan, dan jenis
kelamin. Selanjutnya Slavin (azizahwati, 2010) menjelaskan belajar kooperatif
mempunyai kelebihan yang tidak ditemukan dalam kegiatan individual seperti
interaksi sosial, pertanggungjawaban individu dan kerja sama dengan kelompok.
Dalam kegiatan belajar individual cenderung mementingkan pribadi dan tidak
memperhatikan lingkungan sekitarnya. Menurut Devies kegiatan belajar individual
maupun belajar bersama dalam kelompok harus didukung oleh inisiatif dari masing-
masing pribadi karena kegiatan belajar menyangkut apa yang harus dikerjakan oleh
mereka.
Metode kooperatif disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan
sebagai berikut:
1. Perlu persiapan yang rumit dalam pelaksanaannya.
2. Siswa yang tidak cocok dengan anggota kelompoknya kurang bisa bekerja sama
dalam memahami materi maupun dalam menyelesaikan tugas.
3. Bila terjadi persaingan negatif maka hasilnya akan buruk.
4. Ada siswa yang kurang memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam kelompok
belajar.
5. Bila dalam anggota kelompok dalam memahami materi maupun untuk
memperoleh penghargaan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keberhasilan dari proses belajar kooperatif adalah karena ada 5 prinsip, yaitu:
a). Adanya sumbangan dari ketua kelompok
Tugas dari seorang ketua kelompok adalah memberikan sumbangan
pengetahuannya untuk anggota kelompoknya, karena ketua kelompoknya adalah
seseorang yang dinilai berkemampuan lebih dibandingkan dengan anggota yang
lainnya. Dalam hal ini anggota kelompok diharapkan dapat memperhatikan,
mempelajari informasi/penjelasan yang diberikan oleh ketua kelompok jika ada
anggota kelompok yang merasa belum jelas, walaupun tugas ini bisa dilakukan
oleh anggota yang lain.
b). Keheterogenan kelompok
Kelompok belajar yang efektif adalah yang mempunyai anggota
kelompok yang heterogen, baik dalam hal jenis kelamin, latar belakang sosial,
ataupun tingkat kecerdasan.
c). Ketergantungan pribadi yang positif
Setiap anggota kelompok belajar untuk berkembang dan bekerja satu
sama lain. Ketergantungan pribadi ini dapat memberikan motivasi bagi setiap
individu karena pada awalnya mereka harus bisa membangun pengetahuannya
sendiri terlebih dahulu sebelum bekerja sama dengan temannya.
d). Keterampilan bekerja sama
Dalam proses bekerja sama perlu adanya ketrampilan khusus sehingga
kelompok tersebut dapat berhasil membawa nama kelompoknya. Proses yang
dibutuhkan adalah adanya komunikasi yang baik antar anggota kelompok.
e). Otonomi kelompok
Setiap kelompok mempunyai tujuan agar bisa membawa nama
kelompoknya untuk menjadi yang terbaik. Jika mereka mengalami kesulitan
dalam pemecahan masalah setelah melampaui tahap kegiatan kelompok maka
mereka akan bertanya kepada gurunya bukan kepada kelompok lain.
F. Model Pembelajaran Number Head Together ( NHT)
1. Pengertian
Model kooperatif tipe NTH adalah model pembelajaran yang mengedepankan
kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari
berbagai sumber yang akhirnya dipersentasekan didepan kelas.
NHT dikembangkan oleh Spencer Kagan tahun 1992 (Ibrahim, 2000), teknik
ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling mengembangkan ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Teknik ini juga mendorong siswa
untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka dan melibatkan lebih banyak siswa
dalam menelaah materi dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran
tersebut.
NHT bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural yang
menghendaki agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok kelompok
kecil secara kooperatif. Ibrahim mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai
dalam pemebelajaran kooperatif tipe NHT yaitu:
a) Hasil akademik struktural : bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam
tugas-tugas akademik.
b) Pengakuan adanya keragaman bertujuan agar siswa dapat menerima teman-
temannya yang mempunyai beragam latar belakang.
c) Pengembangan keterampilan sosial: bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan social siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi
tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan idea tau
pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya. Penerapan pembelajaran
kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen (Ibrahim, 2000) dengan tiga
langkah yaitu:
1) Pembentukan kelompok
2) Dikusi masalah
3) Tukar jawaban antar kelompok
2. Langkah- Langkah Model Pembelajaran NHT
Langkah- langkah NHT dikembangkan oleh Ibrahim menjadi enam langkah
sebagai berikut:
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rencana pelajaran dengan membuat
scenario pembelajaran (SP), lembar kerja siswa ( LKS) yang sesuai dengan model
pembelajaran NHT.
Langkah2. Pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model kooperatif tipe
NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5
orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok yang
berbeda. Penomoran adalah adalah hal yang paling utama dalam NHT. Kelompok
yang dibentuk merupakan kelompok homogen, selain itu pembentukan kelompok
berdasarkan nilai tes awal ( pre test) sebagai dasar dalam pembentukan kelompok.
Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan
Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket
atau buku panduan agar mempermudah siswa dalam menjawab LKS atau masalah
yang diberikan oleh guru
Langkah 4. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru memberikan LKS kepada setiap siswa sebagai
bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok setiap siswa berfikir bersama
untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban dari
pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh
guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang bersifat spesifik sampai yang bersifat
umum.
Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban
dan di persentasikan hasilnya di depan kelas.
Langkah 6. Member kesimpilan
Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan
yang berhubungan dengan materiyang disajikan.
3. Manfaat dan Kelebihan Model Pembelajaran NHT
a. Manfaat Model NHT
Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap
siswa yang hasil belajarnya rendah yang dikemukakan ole Lundren dalam Ibrahim,
antara lain adalah:
1) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi.
2) Memperbaiki kehadiran.
3) Penerimaan individu menjadi lebih besar.
4) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil.
5) Konflik antar pribadi berkurang.
6) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan tolerangsi.
7) Hasil belajar lebih tinggi.
b. Kelebihan Model Pembelajaran NHT
Sebagaimana dijelaskan oleh Hill, 1993 (Tirana, 2008) bahwa model
NHT memiliki kelebihan diantaranya dapat meninhkatkan prestasi belajar
siswa, mampu memperdalam pemehaman siswa, menyenangkan siswa dalam
belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan sikap
kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa, mengembangkan
rasa percaya diri siswa, mengembangkan rasa saling memiliki, serta
mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
G. Model pembelajaran Snowball
1. Pengertian
Snowball secara etimologi berarti bola salju, sedangkan throwing adalah
melempar. Snowball throwing secara keseluruhan dapat diartikan melempar bola
salj. Dalam pembelajaran snowball throwing, bola salju merupakan kertas yang
berisi pertanyaan yang dibuat oleh siswa kemudian dilempar kepada teman sendiri
untuk dijawab. Menurut Mohib Asrori,2010 (Entin T. Agustina, 2013), snowball
Throwing merupakan salah satu model pembelajaran aktif (active Learning) yang
dalam pelaksanaanya banyak melibatkan siswa. Peran guru di sini hanya sebagai
pemberi arahan awal mengenai topik pembelajaran dan selanjutnya penertiban
terhadap jalannya proses pembelajaran.
Menurut Rachmad Widodo, 2009 (Entin T. Agustina, 2013), model
pembelajaran snowball throwing disebut juga model pembelajaran gulungan bola
salju. Model pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih tanggap menerima pesan
dari siswa lain dalam bentuk bola salju terbuat dari kertas, dan menyampaikan
pesan tersebut kepada temannya dalam satu kelompok.
Pembelajaran model snowball throwing menggunakan tiga penerapan
pembelajaran antara lain pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang
hasilnya diperluas memalui konteks yang terbatas melalui pengalamn nyata
( construvism ), pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tapi hasil dari temuan sendiri
( inquiri), pengetahuan yang dimiliki seseorang , selalu bermula dari bertanya
(questioning) dari bertanya siswa menggali informasi, mengkomfirmasi apa yang
sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui. Di
dalam model pembelajaran snowball throwing strategi memeperoleh dan
pendalaman pengetahuan lebih diutamakan dibanding seberapa banyak siswa
memperoleh dan mengingat pengetahuan tersebut.
Pembelajaran dengan model snowball throwing merupakan modifikasi
dari teknik bertanya yang menitikberatkan pada kemampuan merumuskan
pertanyaan yang dikemas dalam sebuah permainan yang menarik yaitu salimg
melempar bola salju ( snowball throwing) yang berisi pernyaaan kepada sesama
teman. Model yang dikemas dalam sebuah permainan yang sangat sederhana yang
biasa dilakukan oleh hampir semua siswa dalam mengemukakan pertanyaan
sesuai dengan materi yang dipelajari.
2. Sintaks Snowball Throwing
Adapun sintaks model pembelajaran snowball throwing menurut Herdian
adalah:
a. Guru menyampaikan materi.
b. Siswa dibagi dlam beberapa kelompok,dan memanggil ketua kelompok untuk
diberikan penjelasan tentang materi yang akan dipelajari.
c. Masing-masing ketua kelompok kembali kekelompoknya untuk
mendiskusikan materi tersebut.
d. Tiap siswa diberi selembar kertas dan manulis pertanyaan apa saja tentang
materi tersebut, lalu kertas itu di gulung hingga menyerupai bola.
e. Kertas yang berbentuk bola tersebut dilempar dari satu siswa ke siswa yang
lain lalu menjawab pertanyaan yang tertera dalam kertas itu.
f. Evaluasi.
3. Kelebihan Model Pembelajaran Snowball Throwing
Adapun kelebihan model pembelajaran snowball throwing menurut Herdian
adalah:
a. Melatih kesiapan siswa dalam merumuskan pertanyaan dengan bersumber
pada materi yang diajarkan serta saling memberikan pengetahuan.
b. Siswa lebih memahami dan mengerti secara mendalam tentang materi
pembelajaran yang dipelajari. Hal ini disebabkan karena siswa mendapat
penjelasan dari teman sebaya secara khusus disiapkan oleh guru serta
mengarahkan penglihatan, pendengaran, menulis dan berbicara mengenai
materi yang didiskusikan dalam kelompok.
c. Dapat membangkikan keberanian siswa dalam memgemukakan pertanyaan
kepada teman atau kepadfa guru.
d. Melatih siswa dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya
dengan baik.
e. Merangsang siswa siswa mengemukakan pertanyaan sesuai dengan topic
yang dibicarakan
f. Siswa akan lebih mengerti makna kerjasama dan menemukakan pemecahan
suatu masalah.
g. Siswa akan memahami makna tanggung jawab.
h. Siswa akan lebih bisa menerima keragaman atau heterogenitas suku, social,
budaya, bakan, dan intelegensia
i. Siswa akan terus termotivasi untuk meningkatkan kemampuannya.
4. Kekurangan Model Pembelajaran Snowball Throwing
Adapun kekurangan model pembelajaran snowball throwing adalah
sebagai berikut:
a. Terciptanya suasana kurang kondusif.
b. Adanya siswa yang
c. bergantung pada siswa lain.
5. Pentingnya Pembelajaran Snowball Throwing
Melalui penggunaan model pembelajaran snowball throwing pada
pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa mampu
mengembangkan potensi intelektual, social, dan emosional yang ada dalam
dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi social
lebuh matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga akan terlatih
mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu
menemukan dan menggunakan kemapuan analitis dan imajenatif yang ada dalam
dirinya untuk menhadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak kala penting. Siswa juga akan mampu berkominikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik dengan lisan maupun
tulisan, dan mampu mengahargai orang lain. Oleh karena itu model pembelajaran
snowball throwing ini penting bagi siswa.
H. Materi pembelajaran
I. Kerangka Pikir
1. Keaktifan Belajar Siswa Pada Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
dan tipe Snowball Throwing.
Model pembelajaran kooperatif tipe tipe NHT dan tipe Snowball
Throwing dipandang efektif karena akan memberikan peluang kepada siswa untuk
lebih termotivasi yang akan berdampak pada keaktifan mereka dalam
pembelajaran.
Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan model pembelajaran yang
mengedepankan aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipersentasikan di depan kelas.
Selain itu pada model NHT peluang setiap siswa untuk mempersentasikan hasil
diskusi, atau temuannya di depan kelas itu sama. Ini terlihat dari sintaksnya dengan
adanya penomoran setiap siswa sehingga mengurangi bahkan hampir tidak ada
penunjukan secara subjektif oleh guru. Berbeda dengan tipe lain yang tingkat
penunjukan atau pemilihannya dalam mempersentasikan hasil temuannya secara
subjektif, mungkin hanya siswa yang kemampuannya menegah ke atas saja.
Fakta ini diperkuat dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Astri Kumarawati dengan judul “ Peningkatan Keaktifan, Hasil Belajar Siswa pada
Pembelajaran Kewirausahaan Dengan Model Number Head Together SMK 8
Purwerejo”, 2012. Yang mengalami peningkatan keaktifan belajar yang signifikan
yaitu sebesar 70,8%.
Hal ini senada dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Snowbal throwing yang memicu keaktifan belajar siswa, juga terlihat dari sintaks
model kooperatif tipe Snowball Throwing yang suguhi dalam bentuk permainan
bola salju. Model kooperatif tipe Snowball Throwing merupakan modifikasi dari
tekhnik bertanya yang menitik beratkan pada kemampuan merumuskan pertanyaan
yang dikemas dalam sebuah permainan yang menarik yaitu saling melempar bola
salju ( snowball throwing) yang berisi pernyaaan kepada sesama teman. Model
yang dikemas dalam sebuah permainan yang sangat sederhana yang biasa
dilakukan oleh hampir semua siswa dalam mengemukakan pertanyaan sesuai
dengan materi yang dipelajari. Ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Isti Dwi Iriani dengan Judul “ Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing
dalam Meningkatkan Keaktifan Belajar IPS Siswa Kelas VIII A SMPN 1
KALIKAJAR KAbupaten Wonosobo”, 2012. Yang mengalami peningkatan
keaktifan belajar yang signifikan yaitu sebesar 27%.
2. Motivasi Belajar Siswa dalam Model Pembelajaran NHT dan Snowball Throwing.
Melihat dari keaktifan masing-masing dari kedua tipe model
pembelajaran di atas maka dengan sendirinya akan membangkitkan motivasi
belajar siswa. Ini disebabkan karena kedua model ini menyuguhkan pembelajaran
yang menyenangkan, tidak monotong mendorong siswa untuk meningkatkan
semangat kerja sama dan tentunya dikemas dalam bentuk permainan.
Ini terbukti dari bebrapa penelitian terdahulu oleh Vivi Ria Lancarwati
dengan judul ” Peningkatan Motovasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII dengan
Menggunakan Metode Snowball Throwing Di SMP Satuatap Bawamg
Banjarnegara.yang mengatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode
Snowball Throng mampu meningkatkan Motivasi Belajar Siswa yaitu pada pra
tindakan atau sebelum di terapkan Model Kooperatif tipe ini yaitu 68,80% . Pada
siklus 1 naik menjadi 74,76%, pada siklus II meningkat menjadi 80,36%. Hal ini
berarti bahwa motivasi belajar siswa telah mampu melampauhi kriteria
keberhasilan yang ditetapkan yaitu 75%.
Penelitian lain di ungkapkan oleh Siti Istiyati, A. Dakir, Jenny ISP
dengan judul ” Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar”, 2009/2010 mengatakan bahwa ada peningkatan
rata-rata 23,32% per siklusnya
3. Hasil Belajar Siswa dalam Model Pembelajaran NHT dan Snowball Throwing.
Bertolak dari karakteristik kedua model pembelajaran di atas dan beberapa
hasil penelitian maka jika keaktifan dan motivasi anak maksimal dalam belajar
maka hasil belajarnya pun akan maksimal. Berikut beberapa hasil penelitian yang
relevan:
a) Setya Sipranata dengan Judul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran
Perbaikan Motor Otomotif Kelas XI Tekhnologi Kendaraan Ringan Di SMK
Muhammadiayah 1 Salam”,
b) Implementasi Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Dalam Membuat Produk Kria Kayu Dengan Peralatan
Manual. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat peningkatan
hasil belajar pembelajaran standar kompetensi (SK) membuat produk kria kayu
dengan peralatan manual materi membuat produk kriya kayu dengan konstruksi
sambungan melalui model pembelajaran Snowball Thorwing. Hal tersebut
diindikasikan dari perolehan rata-rata pada siklus I yaitu sebesar 56,70 dan
siklus II yaitu sebesar 81,09. Sedangkan pencapaian ketuntasan belajar individu
pada siklus I sebesar 35,48% dan pada siklus II sebesar 90,32%, sehingga
indikator kinerja penelitian tindakan kelas ini sudah tercapai pada siklus II.
Setiap tipe dari model pembelajaran kooperatif, seperti yang dibahas pada
kajian pustaka dan kerangka fikir, yang memiliki fase atau sintaks yang berbeda-
beda. Perbedaan fase juga menunjukkan perbedaan perlakuan yang berimplikasi
pada perbedaan keaktifan, motivasi dan hasil belajar. Meskipun begitu, belum
ada dasar teoretik untuk menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
tertentu lebih efektif. Bertolak dari itu maka peneliti bermaksud melakukan
penelitian “Komparasi Keaktifan, Motivasi dan Hasil Belajar Matematika
dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Tipe Snowball
Throwing”.
J. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka fikir di atas , maka dapat dirumuskan
hipotesis yaitu
a. Ada perbedaan keaktifan siswa pada penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe NHTdengan tipe Snowball Throwing.
H0 : μ1= μ.2 dan H1 : μ1 ≠ μ.2
Keterangan:
μ1= keaktifan belajar siswa pada kelompok esperimen I (NHT)
μ2= keaktifan belajar siswa pada kelompok esperimen II ( snowball Throwing)
b. Ada perbedaan Motivasi siswa pada penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe NHT dengan tipe Snowball Throwing.
Secara statistik dapat dituliiskan sebagai berikut:
H0 : μ3= μ4dan H1 : μ3≠ μ4
μ3= Motivasi belajar siswa pada kelompok esperimen I (NHT)
μ4= Motivasi belajar siswa pada kelompok esperimen II ( snowball Throwing)
c. Ada perbedaan hasil belajar siswa pada penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT dengan tipe Snowball Throwing.
Secara statistik dapat dituliskan sebagai berikut:
H0 : μ5= μ6dan H1 : μ5≠ μ6
μ5= Hasil belajar siswa pada kelompok esperimen I (NHT)
μ6= Hasil belajar siswa pada kelompok esperimen II ( snowball Throwing)
d. Ada perbedaan keaktifan, motivasi dan hasil belajar siswa pada penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan tipe Snowball Throwing.
Secara statistic dapat dituliiskan sebagai berikut:
H0 : μ7= μ8dan H1 : μ7≠ μ8
μ7= Keaktifan, motivasi dan hasil belajar siswa pada kelompok esperimen I
(NHT)
μ8= Keaktifan, motivasi dan hasil belajar siswa pada kelompok esperimen II
(snowball Throwing)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Jenis Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian kuantitatif setting eksperimen
dengan memberikan perlakuan pada dua sekolah di SMPN 22 Bantimurung dan
SMPN 10 Bantimurung. Perlakuan untuk kelas kelompok I adalah pembelajaran
matematika melalui model pembelajaran kooperatif yakni tipe Number Head
Together, kelas kelompok II adalah pembelajaran matematika melalui model
pembelajaran kooperatif yakni tipe Snowball Throwing. Mengingat taraf tercapainya
syarat penelitian eksperimen sebagian tidak terpenuhi karena adanya asumsi yang
tidak bisa dikontrol, maka penelitian ini dikategorikan penelitian eksperimen semu
(quasi eksperimen).
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMPN 22 Bantimurung dan SMP 10 Bantimurung
Kab.Maros. penelitian dengan mempertimbangkan antara lain:
1. Di sekolah ini belum pernah dilaksanakan pembelajaran dengan menggunakan
NHT, dan Sowball Throwing
2. Merupakan tempat mengajar penulis sehingga memudahkan dalam pengurusan
perizinan meneliti.
3. Adanya dukungan dari kepala sekolah dan dewan guru terhadap pelaksanaan
penelitian ini .
B. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Menurut Babbie ( 1983 ) populasi tidak lain adalah elemen penelitian yang
hidup dan tinggal bersama – sama dan secara teoritis menjadi target hasil penelitian.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia populasi adalah sejumlah orang atau
hewan yang berdiam di suatu tempat.
Sedangkan menurut penulis populasi adalah suatu subjek pembicaraan yang
memiliki sifat yang sama atau mirip dan berada pada wilayah penelitian yang
kemudian dapat me nghasilkan suatu kesimpulan.
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua siswa kelas VIII SMP
Negeri 22 Bantimurung dan SMPN 10 Bantimurung yang menempati 4 kelas yang
berjumlah 125 orang tahun pelajaran 2013 – 2014.
b. Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah tekhnik cluster random
sampling. Teknik penentuan sampel dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Memilih secara random dua sekolah negeri dari seluruh sekolah negeri yang ada
di Kabupatem Maros. Dalam penelitian ini terpilih sekolah SMP 22 Bantimurung
dan SMPN 10 Bantimurung dengan melihat kondisi siwa yang relative sama dan
akreditasi sekolah yang sama.
2. Menentukan secara cluster masing-masing satu kelas. SMPN 22 Bantimurung
terdiri dari 4 kelas yang homogen dan SMPN 10 Bantimurung terdiri dari 4 kelas
yang homogen. Dari dua sekolah yang terpilih tersebut, diacak lagi untuk
menentukan kelas yang terpilih sebagai kelas eksperimen I dan kelas eksperimen
II. Masing-masing kelas diberi perlakuan yang berbeda yakni, kelas sebagai kelas
eksperimen I diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head
Together sedangkan kelas yang lain sebagai kelas eksperimen II diterapkan
model pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing
C. Definisi oprasional Variabel Penelitian
Variabel merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi perhatian suatu
penelitian (suharsimi Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini variabel meliputi empat
variabel yang terdidiri dari pembelajaran kooperatif, keaktifan,motovasi,hasil belajar
siswa kelas VIII.
a) Penerapan model pembelajaran kooperatif adalah prosedur kerja secara kelompok
dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar kelompok tipe NHT dan Snowball
Throwing.
b) Keaktifan belajar siswa adalah data yang diperoleh dari lembar observasi dan
menggunakan angket setelah dilaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
dan Snowball throwing.
c) Motivasi belajar adalah data yang diperoleh dengan menggunakan angket setelah
dilaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan Snowball throwing.
d) Hasil belajar adalah skor yang diperoleh melalui tes akhir atau post tes setelah
dilaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan Snowball throwing.
D. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan postest Only design dengan menggunakan pola rancangan:
Table 3.1 Desain penelitian post tes only design
KelasPerlakuan Postes
Kelas NHTX O1
Kelas Snowball throwingY O2
Keterangan:
X : pembelajaran kooperatif tipe NHT
Y : pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing
O1 : postest pada kelas NHT
O2 : postest pada kelas Snowball Throwing
Rancangan penelitian sebagai berikut:
1. Memili 2 kelas sebagai sampel terdiri dari 1 kelas NHT dan satu kelas Snowball
throwing.
2. Membuat perangkat tes
3. Kedua kelompok diberi pre tes
4. Pembagian kelompok yang heterogen
5. Pelaksanaan pembelajaran
a. Pembelajaran pada kelas NHT
Pembelajaran untuk kelas NHT adalah prosedur pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yang akan dilakukan empat
kali pertemuan dengan langkah-langkah pembelajaran seperti yang telah dijelaskan di
atas.
b. Pembelajaran pada kelas snowball throwing
Pembelajaran untuk kelas Snowball throwing adalah prosedur pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Snowball throwing yang
akan dilakukan empat kali pertemuan dengan langkah langkah pembelajaran seperti
yang telah dijelaskan diatas
6. Kedua kelompok diberi post tes yang sama berupa tes tentang materi yang diberikan
pada pembelajaran kooperatif
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah, lembar observasi
keaktifan siswa, angket Motivasi siswa dan tes hasil belajar. Berikut uraian tentang
instrumen tersebut.
1. Lembar Observasi Keaktifan Siswa
Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan data keaktifan siswa terhadap
kegiatan pembelajaran dengan perlakuan eksperimen yang diberikan. Pengisian lembar
onservasi ini dengan cara menuliskan tanda () pada tempat yang sesuai. Komponen-
komponen yang diobservasi berkaitan dengan aktivitas siswa yang diajar melalui model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dan Snowball Throwing yaitu sebagai berikut:
a) Siswa aktif mencari atau memberikan informasi atau member informasi,bertanya
bahkan dalam membuat kesimpulan.
b) Adanya interaksi aktif secara terstruktur dangan siswa
c) Adanya kesempatan bagi siswa untuk menilai hasil karyanya sendiri
d) Adanya pemanfaatan sumber belajar secara optimal
2. Angket Motivasi Siswa
Lembar angket motivasi siswa digunakan untuk memperoleh informasi dari
siswa tentang pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dan Snowball Throwing. Lembar angket Motivasi
siswa diberikan kepada setiap siswa setelah pembelajaran matematika. Setiap
pernyataan mempunyai alternatif-alternatif yang diberi skor sebagai berikut:
Table 3.2 Pernyataan dan skor angket
NoPilihan
Skor pernyataan
positif
Skor pernyataan
negative
A Sangat Setuju ( SS) 5 1
B Setuju ( S ) 4 2
C Ragu-Ragu (R) 3 3
D Tidak Setuju (TS) 2 4
E Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5
(sumber: Sugiono, 2008)
3. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar pada penelitian ini dikembangkan dalam bentuk tes uraian
sesuai dengan materi. Mengacu pada desain penelitian. Tes ini digunakan untuk
mengukur tingkat penguasaan materi pembelajaran matematika dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan Snowball Throwing. Tes hasil belajar pada
penelitian ini berbentuk pilihan ganda sebanyak 30 butir sesuai dengan materi. Tes ini
akan diberikan di akhir pertemuan setelah diterapkannya perlakuan untuk kelas
eksperimen I dan eksperimen II.
Sebelum digunakan, instrument tes hasil belajar matematika terlebih dahulu
divalidasi oleh para validator kemudian di uji cobakan untuk melihat validitas item dan
reliabilitas instrument tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa tes hasil belajar layak
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data.
F. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan dua jenis analisis statistik
yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial yang dalam hal ini adalah
analisis uji-t (independan sample t- test). Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis
deskripsi keaktifan belajar, Motifasi Dan hasil belajar siswa.. Teknik analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan pengolah data SPSS.
1. Analisis data hasil validasi instrument dan perangkat pembelajaran
Data hasil validasi para ahli untuk masing-masing instrument penelitian dianalisis
dengan mempertimbangkan masukan, komentar, dan saran-saran dari validator. Hasil
analisis tersebut dijadikan sebagai pedoman untuk merevisi instrument penelitian.
Analisis dilakukan terhadap semua butir penilaian yang telah dilakukan oleh masing-
masing validator, dengan membuat rekapitulasi skor dan kemudian menentukan rata-rata
tiap aspek penilaian berdasarkan rata-rata setiap butir penilaian semua validator.
Selanjutnya menentukan rata-rata total berdasarkan rata-rata setiap aspek penilaian.
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam proses analisis data kevalidan
sebagaimana digunakan Nurdin (2007: 143) adalah sebagai berikut;
a) Melakukan rekapitulasi hasil penilaian ahli dan praktisi ke dalam tabel yang meliputi:
aspek (Ai), kriteria (Ki), hasil penilaian validator (Vji).
b) Mencari rerata hasil penilaian ahli dan praktisi untuk setiap kriteria dengan rumus:
K i=∑j=1
n
v ij
n
, dengan
Keterangan:
K i = rerata kriteria ke i
v ij= skor hasil penilaian terhadap kriteria ke-i oleh penilai ke-j
n=¿banyaknya penilai
c) Mencari rerata tiap aspek dengan rumus:
Ai=∑j=1
n
K ij
n
, dengan
Keterangan:
Ai = rerata aspek ke i
K ij= rerata untuk aspek ke-i kriteria ke-j
n=¿banyaknya kriteria dalam aspek ke-i
d) Mencari rerata total (x) dengan rumus:
x=∑j=1
n
Ai
n
, dengan
Keterangan:
x = rerata total
Ai= rerata aspek ke-i
n=¿banyaknya aspek
e) Menentukan kategori validitas setiap kriteria atau aspek atau keseluruhan aspek
dengan mencocokkan rerata kriteria (K i) atau rerata aspek ( Ai ¿ atau rerata total x
dengan kategori validitas yang ditetapkan.
f) Kategori validitas setiap kriteria, setiap aspek, atau keseluruhan aspek ditetapkan
sebagai berikut:
3,5 ≤ M ≤ 4 sangat valid
2,5 ≤ M < 3,5 valid
1,5 ≤ M < 2,5 cukup valid
M < 1,5 Tidak valid
Keterangan :
GM = K i, untuk mencari validitas setiap kriteria,
M = Ai, untuk mencari validitas setiap aspek,
M = X untuk mencari validitas keseluruhan aspek.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat dan instrumen
memiliki derajat validitas yang memadai adalah (1) nilai X untuk keseluruhan aspek
minimal berada dalam kategori cukup valid, dan (2) nilai Ai untuk setiap aspek minimal
berada dalam kategori valid. Apabila tidak demikian, maka perlu dilakukan revisi
berdasarkan saran para validator atau dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya
kurang. Selanjutnya dilakukan validasi ulang lalu dianalisis kembali. Demikian
seterusnya sampai memenuhi nilai M minimal berada di dalam kategori valid.
Uji reliabilias perlu dilakukan juga untuk mengetahui tingkat reliabilitas format
perangkat pembelajaran dan semua instrumen penelitian, khususnya instrumen non tes.
Untuk memenuhi uji ini, Grinnel (1988) dalam Nurdin (2007: 140) memberikan rumus
untuk mengihutng persentase agreements dari beberapa penilai atau pengamat. Rumus
itu adalah sebagai berikut:
Percentage of Aggrements ( R )= Agreements ( A )Disagreements ( D )+ Agreements ( A )
x 100 %
Dengan A adalah frekuensi kecocokan antara dua atau lebih penilai, D adalah besarnya
frekuensi yang tidak cocok antara dua atau lebih penilai, dan R adalah koefisien (derajat)
reliabilitas instrumen. Dalam bentuk lain Nurdin (2007:141) meringkas rumus tersebut
menjadi:
R=d ( A)
d ( A)+d (D)
Keterangan:
R = koefesien reliabilitas
d ( A) = rerata Derajat Agreement dari penilai
d (B) = rerata Derajat Disagreement dari penilai
Instrumen dinyatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya (R) ≥ 0,75 (Borich, 1994:
385 dalam Nurdin, 2007: 141).
2. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif adalah statistika yang membahas cara-cara penyajian data,
sehingga data tersebut mudah dimengerti. Data tersebut diajukan dalam bentuk grafik,
diagram, kurva, tabel dan lain sebagainya. Dalam Pramudjono (2006). Statistik
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan keadaan variabel-variabel dalam
penelitian. Statistik deskriptif yaitu data mengenai frekuensi, persentase, rata-rata,
standar deviasi, skor terendah dan tertinggi. Hal ini dilakukan untuk mengungkapkan
distribusi skor dari masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun variabel
terikat.
Adapun distribusi skor dan pengkategorian dari masing-masing variabel dalam
penelitian ini, seperti tampak pada tabel berikut:
Tabel 3.3 Kategori interval motivasi belajar
Skor Kategori
17 – 34
35 – 45
46 – 57
58 – 68
69 – 85
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
(Sumber: Modifikasi Azwar: 2004)
Terlihat pada tabel kategori interval motivasi belajar diatas bahwa apabila skor
berada pada interval 17 – 34 maka dapat dikategorikan motivasi belajar sangat
rendah, skor berada pada interval 35 – 45 dikategorikan motivasi belajar rendah, skor
berada pada inerval 46 – 57 dikategorikan motivasi belajar sedang, skor berada pada
interval 58 – 68 dikategorikan motivasi belajar tinggi, skor berada pada interval 69 –
85 dikategorikan motivasi belajar sangat tinggi.
Adapun criteria dari keaktifan siswa sebaga berikut:
Table 3.3 Tabel criteria keaktifan siswa
PERSENTASE CRITERIA
80%-100% Sangat tinggi
60%-79,99% Tinggi
40%-59,99% Sedang
20%-39,99% Rendah
0%-19,99% Sangat rendah
Sumber: Setya Sipranata (2009)
Terlihat pada tabel kategori interval keaktifan belajar diatas bahwa apabila
skor berada pada interval 80%-100% maka dapat dikategorikan keaktifan belajar
siswa yang tinggi, skor berada pada interval 60%-79,99% dikategorikan keaktifan
belajar siswa tinggi, skor berada pada inerval 40%-59,99% dikategorikan keaktifan
belajar yang sedang, skor berada pada interval 20%-39,99% dikategorikan keaktifan
belajar siswa yang rendah, skor berada pada interval 0%-19,99% dikategorikan
keaktifab belajar siswa sangat rendah.
Sedangkan untuk kategori interval hasil belajar adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5 Kategori interval hasil belajar
Skor Kategori
0 – 39
40 – 59
60 – 69
70 – 79
79 – 100
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
(Sumber: Modifikasi Azwar: 2004)
Terlihat pada tabel kategori interval hasil belajar diatas bahwa apabila skor
berada pada interval 0 – 39 maka dapat dikategorikan hasil belajar sangat rendah, skor
berada pada interval 40 – 59 dikategorikan hasil belajar rendah, skor berada pada
inerval 60 – 69 dikategorikan hasil belajar cukup sedang, skor berada pada interval 70
– 79 dikategorikan hasil belajar tinggi, skor berada pada interval 79 – 100
dikategorikan hasil belajar sangat tinggi.
3. Analisis Inferensial
Analisis tahap akhir ini dilakukan setelah semua data yang diperlukan terkumpul. Data
yang sudah lengkap kemudian disusun dan dikelompokkan kemudian diseleksi sehingga
diperoleh data yang berhubungan dengan penelitian. Setelah itu data hasil tes dianalisis
dengan melakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians
kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis untuk mengetahui keefektifan kedua metode
pembelajaran dengan menggunakan uji-t (one sample t-test). Adapun rumus untuk
keperluanuji-t adalah sebagai berikut
t=X−µ0
S
√n
keterangan:
X= nilai rata-rata
µ0= nilai yang dihipotesiskan
S= Standar deviasi sampel yang dihitung
n= jumlah anggota sampel
Kriteria keputusannya adalah hipotesis nol ditolak jika thitung > ttabel dengan db = n -1
(Walpole, R. E, 1982: 215).
Untuk menguji perbedaan hasil belajar siswa yang diberikan metode NHT dan
metode Snowball throwing digunakan uji-t (independent sample test) dengan rumus
sebagai berikut
t=
x1−x2
√ S12
n1
+S2
2
n2
keterangan :
x1 = rata-rata kelompok I
x2 = rata-rata kelompok II
n1 = besar sampel dari kelompok I
n2 = besar sampel dari kelompok II
S1= Variansi dari kelompok I
S2= Variansi dari kelompok II
Kriteria keputusannya adalah hipotesis nol ditolak jika thitung > ttabel (db,∝2
) dengan db = n1 +
n2 - 2 (Walpole & Myers). Untuk keperluan ini disusun hipotesisnya sebagai berikut
H0 :µ1= µ2
H1 : µ1≠ µ2taraf signifikansi α = 0,05
DAFTAR PUSTAKA
Anas Sudijono, 2011, Pengantar Evalaluasi Pembelajaran, Raja Grafindo, Jakarta.
Agustina,Entin.2013. Implementasi Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Membuat Produk Kria Kayu dan Peralatan Manual,Bandung.
Azizahwati. 2010. Keterampilan Pasikomotor Fisika Siswa Melalui Model Pembelajaran Number Head Together. Pekanbaru
Dewi Nurhani, 2008, Matematika dan Konsep Aplikasinya, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Djaali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Dimyati dan Mudjono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rienka Cipta
Gene E Hall, 2008, Mengajar Dengan Senang, Indeks, Jakarta.
Herdian.2009, Number Head Together (Http: Herdy Wordpress.com / 2009/04/22/Model-Model Pembelajaran NHT-Number Head Together/.
Hujodo,Herman.1988. Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud, Jakarta.
Ibrahim, M., Rachmadiarti, F., M. Nur, dan Ismono, 2000. Pembelajaran Kooperati.University Press UNESA, Surabaya
Ima Ernawaty Sardin, 2010, Peningkatan Kreatifitas Siswa Melalui Teknik Diagram "Pohon" Matematika pada Materi Luas Bangun Datar Siswa Kelas V Madrasah Ibtidaiyah Swasta Matajang Kec.Camba Kab. Maros, Yapim Maros.
Made Wena, 2011, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontenporer, Bumi Aksara, Malang.
M.Arif Tiro, 2007, Statistik Terapan, Andira Publisher, Makassar.
Mulyana, 2010, Rahasia Menjadi Guru Hebat, Kompas Gramedia, Jakarta.
M.Rauf, 2003, UURI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Dharma Bakti, Jakarta.
Punaji Setyosari, 2010, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Kencana, Jakarta
Purwanto, 2008, Evaluasi Hasil Belajar, Pustaka Pelajar, Surakarta.
Purwanto, M. N. 1992. Teori-teori Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Robert E. Reys,2008, Jobs in Mathematics Education
Sardiman, 2012, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers, Jakarta.
Suherman, E. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Suherman, Erman & Winataputr, Udin, S. 1993. Strategi Belajar Mengajar Matematika Depdikbud Dirjend..Jakarta
Sumantri,Sumarni.2001.Strategi Belajar Mengajar, CV.Mulyana. Bandung
Sunaryati, 2005, efektifitas Penerapan Kooperatif Tipe Jigsaw Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas 2 SMUN 11 Manassar, UNM.
Syamsul Ardi, 2010, Metodologi Penelitian Matematika, Pangkep.
Sukardi, 2003, Metode Penelitian Pendidikan, Bumi Aksara, Yogyakarta.
Tauhid, Jauhar, Meningkatkan Keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas IV SDN I Ujumbou Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. PGSD FKIP,Univ. Tadulako.2010
Uno,Hamzah dan Mohamad, Nurdin,2013, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM,Bumi Aksara Jakarta.
Wahidmurni, 2010, Evaluasi Hasil Pembelajaran, Nuha Litera, Malang
....................2004.Kamus Basar Bahasa Indonesia, Bintang Usaha Jaya, Jakarta.