1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Peribahasa mengatakan bahwa “ tak kenal maka tak sayang “,
demikian halnya dengan ilmu yang akan diuraikan dalam diktat ini. Diktat ini
berisikan rangkuman mengenai mata kuliah hukum perdata. Sebelum
menguraikan dan mempelajari mengenai hukum perdata, maka perlu bagi
para pembaca sekalian untuk terlebih dahulu mengenal dan tahu tentang
pengertian hukum perdata atau yang disebut juga sebagai hukum sipil.
Para ahli hukum banyak mengemukakan pendapatnya tentang
hukum perdata atau hukum sipil ini. Berikut ini, penulis mengemukakan
beberapa pendapat para ahli hukum tentang hukum perdata atau hukum
sipil :
1. Mr. L.J. Van Apeldorn :
Hukum sipil adalah peraturan – peraturan hukum yang mengatur
kepentingan seseorang dan yang pelaksanaannya terserah kepada
maunya yang berkepentingan sendiri.
2. Mr. H.J. Hamaker :
Hukum sipil adalah hukum yang pada umumnya berlaku, yaitu yang
memuat peraturan – peraturan tentang tingkah laku orang – orang
dalam masyarakat pada umumnya
3. Prof. Mr. E.M. Mejers :
Hukum sipil adalah hukum yang mengatur hak – hak yang diberikan
kepada perorangan ( individu ), yang diserahkan sepenuhnya untuk
menetapkan dengan merdeka, apabila ia akan mempergunakan hak –
hak itu, sepenuhnya dapat melulu memperhatikan kepentingan sendiri.
2
4. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen, SH :
Hukum perdata ialah hukum yang mengatur kepentingan antara
warganegara perseorangan yang satu dengan warganegara
perseorangan yang lain.
Berdasarkan definisi yang ada, penulis masih melihat kekurang
sempurnaan mengenai definisi hukum perdata. Hal ini disebabkan, dalam
definisi di atas, para ahli hukum hanya menyebutkan “ orang perorang
(naturlijk person) yang dapat mengadakan hubungan hukum “. Padahal
dalam kenyataan sehari – hari, akan dapat ditemui bahwa ada pihak yang
selain orang ----- yang disebut dengan badan hukum (rechtsperson) ------
yang bisa mengadakan hubungan hukum perdata.1 Berdasarkan kenyataan
demikian ini maka menurut penulis hukum perdata adalah :
Pada akhirnya penulis berkesimpulan, bahwa hukum perdata atau
yang dikenal sebagai hukum sipil atau hukum privat memiliki unsur – unsur :
1. aturan – aturan hukum
2. kepentingan subyek hukum yang bersangkutan.
3. kewenangan yang dimiliki.
Hukum perdata seringkali dikatakan menitikberatkan pada kepentingan
pribadi.2 Lebih lanjut, istilah hukum perdata dapat diartikan secara sempit
1 Pada kenyataan sehari – hari, badan hukum merupakan subyek hukum, yang juga memiliki kewenangan hukum yakni kewenangan melakukan perbuatan hukum. 2 Sifat yang menitik beratkan pada kepentingan pribadi inilah yang menjadi ciri khas dari hukum perdata sekaligus membedakannya dengan hukum pidana yang bersifat umum (publik), artinya apabila ada konflik dalam perkara perdata, karena ada pihak yang tidak mentaati aturan hukum perdata ( atau juga karena wanprestasi ), pihak yang berwenang ---- dalam hal ini pengadilan / hakim tidak akan mengambil tindakan terhadap pihak yang melenggar ketentuan tersebut apabila tidak ada gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Inilah sebabnya mengapa hukum perdata dikatakan bersifat PASIF
Hukum perdata adalah aturan – aturan ( hukum ) yang mengatur hubungan privat antara satu subyek hukum ( orang perorang ataupun badan hukum ) dengan subyek hukum yang lain, yang berlandaskan pada kepentingan privat ( pribadi ) dari subyek hukum yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki.
3
dan luas. Hukum perdata secara sempit adalah Hukum Perdata
sebagaimana yang tertulis dalam kitab Undang – Undang Hukum Perdata
(KUHPdt) atau yang dikenal dengan Burgerlijk Wetboek (BW), sedangkan
hukum perdata dalam arti luas, meliputi hukum dagang, hukum adat, hukum
pengangkutan dan sebagainya.
Hukum perdata dilihat dari cara mempertahankannya, dibedakan
menjadi 2 ( dua ), yaitu :
1. Hukum perdata materiil.
Peraturan – peraturan hukum yang mengatur hak – hak dan kewajiban –
kewajiban dalam bidang hukum perdata. Hukum perdata materiil
merupakan materi dari hukum perdata.
2. Hukum perdata formil.
Peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara
mempertahankan hukum perdata materiil tersebut. Hukum perdata formil
merupakan materi hukum acara perdata.
B. SEJARAH DAN BERLAKUNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM
PERDATA (KUHPdt / BW) di INDONESIA.
Sumber hukum yang menjadi landasan dalam hukum perdata adalah
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHPdt ).3 KUHPdt ini berlaku di
Indonesia berdasarkan Staatblad No. 23 Tahun 1847 dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Mei 1848. Sampai saat ini KUHPdt ini masih berlaku, menurut pasal II
aturan peralihan UUD 1945.
Pada saat ini KUHPdt ( BW ) sudah tidak berlaku penuh sesuai dengan
bab – bab dan pasal – pasal pada saat permulaan KUHPdt tersebut berlaku.
3 Beberapa ahli hukum menyebut KUHPdt sebagai Kitab Undang – Undang Hukum Sipil (KUHS) atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek ( BW ), yakni kitab undang – undang hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda. Berlakunya KUHPdt di Indonesia ini berdasarkan ASAS KONKORDANSI / ASAS KESELARASAN yakni persamaan berlakunya hukum yang dasar hukumnya diatur dalam pasal 131 (2) IS yang berbunyi : “ Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang – Undang di Negeri Belanda…….”
4
Banyak bab – bab, pasal – pasal dan bidang – bidang hukum tertentu dari
KUHPdt yang tidak berlaku karena telah dicabut oleh Perundang –
undangan RI. Mahkamah Agung RI dengan surat edaran / Sema No. 3 Tahun
1963 dengan terperinci menyatakan tidak berlaku pasal – pasal tertentu dari
KUHPdt, yakni pasal – pasal sebagai berikut :4
1. Pasal 108.
2. Pasal 110.
3. Pasal 284.
4. Pasal 1238.
5. Pasal 1460.
6. Pasal 1579.
7. Pasal 1603.
8. Pasal 1682.
Perubahan besar yang terjadi pada KUHPdt adalah saat berlakunya
Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok
Agraria ( selanjutnya akan disingkat UUPA ). Sejak berlakunya UUPA tersebut,
memberikan pengaruh besar terhadap BUKU II KUHPdt, karena sebagaimana
tercantum dalam dictum dari UUPA tersebut, mencabut :5
Berdasarkan dictum tersebut maka ketentuan hipotik6 menurut KUHPdt masih
berlaku meskipun ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dalam
Buku II KUHPdt tersebut sudah dicabut oleh UU No. 5 / 1960. Akan tetapi 4 Lihat dan baca KUHPdt tentang pasal – pasal yang bersangkutan. 5 Lihat dan baca UU No. 5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dan UU No. 4 / 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Melekat Pada Tanah. Kemudian bandangkan seluruh pasal – pasal yang ada di kedua undang – undang tersebut dengan pasal –pasal yang ada di Buku II KUHPdt. 6 Hipotik adalah jaminan atas tanah.
Buku ke II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya, kecuali ketentuan – ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai
berlakunya undang – undang ini.
5
dengan dikeluarkannya UU No. 4 / 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda – Benda Yang Melekat Pada Tanah, maka ketentuan
mengenai hipotik ini sepanjang mengenai hipotik atas tanah menjadi tidak
berlaku lagi. UU No. 4 / 1996 telah mencabut ketentuan mengenai hipotik
atas tanah dalam Buku II KUHPdt tersebut.
Selanjutnya dengan berlakunya UUPA, maka berlakunya pasal – pasal
/ ketentuan – ketentuan dalam BUKU II KUHPdt dapat diperinci sebagai
berikut :
a. Ada pasal – pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai
bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.
b. Ada pasal – pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal – pasal
yang melulu mengatur tentang bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
c. Ada pasal – pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti
bahwa ketentuan – ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang
mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda –
benda lainnya.
Berdasarkan perincian tersebut, maka menurut penulis, pasal – pasal yang
termasuk dalam ketiga kategori diatas adalah pasal :
a. Pasal – pasal yang masih berlaku penuh :
1. Pasal – pasal tentang benda bergerak, pasal 505, 509 – 518 KUHPdt.
2. Pasal – Pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, pasal
613 KUHPdt.
3. Pasal – pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826
– pasal 827 KUHPdt.
4. Pasal – pasal tentang hukum waris pasal 830 – 1130 KUHPdt. Walaupun
ada beberapa pasal dalam hukum waris yang juga mengenai tanah,
tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris.
6
5. Pasal – pasal tentang piutang yang diistimewakan ( previlegie ) pasal
1131 – pasal 1149 KUHPdt.
6. Pasal – pasal tentang gadai, karena gadai hanya melulu mengenai
benda bergerak, pasal 1150-pasal 1160 KUHPdt
b. Pasal – Pasal yang tidak berlaku lagi :
1. Pasal – pasal tentang benda tidak bergerak yang melulu
berhubungan dengan hak – hak mengenai tanah.
2. Pasal – pasal mengenai hipotik.
3. Pasal – pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai
tanah.
4. Pasal – pasal mengenai penyerahan benda – benda tak bergerak,
tidak pernah berlaku.
5. Pasal tentang kerja rodi, pasal 673 KUHPdt.
6. Pasal – pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan
bertetangga pasal 625 – pasal 672 KUHPdt.
7. Pasal – pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid)
pasal 674 – 710 KUHPdt.
8. Pasal – pasal tentang hak opstal pasal 711 – 719 KUHPdt.
9. Pasal – pasal tentang hak Erfpacht pasal 720 – 736 KUHPdt.
10. Pasal – pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh pasal 737 –
755 KUHPdt.
c. Pasal – pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak
berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai
benda – benda lain, ialah :
1. Pasal – Pasal tentang benda pada umumnya.
2. Pasal – pasal tentang cara membedakan benda, pasal 503 – pasal
505 KUHPdt.
7
3. Pasal – pasal tentang Benda sepanjang tidak mengenai tanah,
terletak di antara pasal – pasal 529 – 568 KUHPdt.
4. Pasal – pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah,
terletak diantara pasal 570 KUHPdt.
5. Pasal – pasal; tentang hak memungut hasil ( Vruchtgebruuk) sepajang
tidak mengenai tanah pasal 756 KUHPdt.
6. Pasal – pasal tentang hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah,
pasal 818 KUHPdt.
Perubahan yang juga mempengaruhi berlakunya KUHPdt juga terjadi
sejak diberlakukannya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Hukum
perkawinan yang selama ini diatur BUKU I KUHPdt, sejauh telah diatur dalam
UU No. 1 / 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal demikian ini dinyatakan
dengan jelas dan tegas dalam pasal 66 UU No. 1 / 1974 :
C. PEMBIDANGAN KUHPdt
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHPdt ) yang berlaku di
Indonesia, terdiri dari 4 ( empat ) buku dengan rincian sebagai berikut :
1. BUKU I
Bertitle “ TENTANG ORANG “ ( Van Personen ), yang memuat hukum
perorangan dan hukum Keluarga.
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang – undang ini, maka dengan berlakunya undang – undang ini ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( HuwelijksOrdonnantie
Christen Indonesiers S. 1933 No. 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158 ), dan
peraturan – peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
8
2. BUKU II
Bertitle “ TENTANG KEBENDAAN “ ( Van Zaken ), yang memuat hukum
benda dan hukum waris.
3. BUKU III
Bertitle “ TENTANG PERIKATAN “ ( Van Verbintennissen ), yang memuat
hukum harta kekayan yang berkenaan dengan hak – hak dan kewajiban
yang berlaku bagi orang – orang atau fihak – fihak tertentu.
4. BUKU IV
Bertitle “ TENTANG PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA “ ( Van Bewijs en
Verjaring ), yang memuat perihal alat – alat pembuktian dan akibat –
akibat lewat waktu terhadap hubungan – hubungan hukum.
Satu hal yang menarik perhatian adalah, letak hukum waris yang oleh
pembuat kodifikasi pada waktu itu, dimasukkan dalam hukum benda yang
merupakan bagian BUKU II KUHPdt. Mengenai hal ini, pembuat kodifikasi
mempunyai pertimbangan sebagai berikut :
1. Bahwa hak waris itu adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak
kebendaan atas “ boedel “ dari orang yang telah meninggal dunia.
Oleh karena itu dianggap sebagai hak kebendaan, jadi diatur dalam
BUKU II KUHPdt.
2. Bahwa pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak
milik, sedangkan hak milik sendiri diatur dalam BUKU II KUHPdt.
Berdasarkan pertimbangan di ataslah pembuat kodifikasi memasukkan
hukum waris dalam bagian dari hukum benda.
9
BAB II
HUKUM PERORANGAN
A. SUBYEK HUKUM
Hukum itu adalah untuk manusia. Kaedah – kaedah yang berisi
perintah, larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota – anggota
masyarakat. Hukum itu mengatur hubungan antara anggota – anggota
masyarakat atau subyek hukum.
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak
dan kewajiban. Kata “ subyek hukum “ digunakan untuk menerjemahkan
istilah rechtspersoon. Kemampuan untuk mendukung hak dan kewajiban
yang dipunyai oleh subyek hukum disebut dengan kewenangan hukum
(rechtsbevoegd). Menurut L.J. Van Apeldorn kewenangan hukum diberikan
kepada tiap – tiap orang. Beliau menegaskan bahwa walaupun
kewenangan hukum diberikan oleh hukum obyektif, kekuasaanpembentuk
undang – undang untuk memberikannya dibatasi oleh keadaan
sebenarnya. Hukum obyektif hanya dapat memberikannya kepada
manusia, karena hanya manusialah yang dapat mempunyai hak – hak
subyektif, artinya kewenangan dan kewajiban.
Pada perkembangan selanjutnya, selain memberikan kewenangan
kepmanusia, hukum juga memberikan kewenangan kepada sesuatu selain
manusia. Sesuatu ini yang kemudian dikenal sebagai badan hukum. Pada
akhirnya dapat dikatakan bahwa subyek hukum ada 2, yaitu :
1. Manusia ( natuurlijke persoon ).
2. Badan Hukum ( rechts persoon ).
10
1. MANUSIA SEBAGAI SUBYEK HUKUM
Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban ( subyek
hukum ) terjadi mulai manusia itu dilahirkan dan berakhir pada saat manusia
itu meniggal dunia. Jadi setiap manusia yang dilahirkan hidup dan menjadi
subyek hukum dan berkaitan dengan itu mempunyai kewenangan hukum.
Hak yang diperoleh karena kelahiran ini menurut KUHPdt berlaku surut
untuk keuntungan dari janin yang belum lahir ( masih berada dalam
kandungan ). Hal ini diatur dalam pasal 2 ( i ) KUHPdt yang berbunyi :
“ Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai
telah dilahirkan apabila kepentingan si anak menghendaki “.
Apakah seorang bayi dapat dianggap mempunyai kemungkinan dapat
hidup, bukan persoalan. Asalkan pada waktu dilahirkan dia hidup sudah
cukup untuk si bayi memperoleh hak – hak dan kewajiban sebagai subyek
hukum. Lain halnya bilamana pada waktu lahir dia langsung meninggal
dunia, maka si bayi dianggap tidak pernah ada.7 Hal ini diatur dalam pasal 2
( 2 ) KUHPdt :
“ Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”
1.a. Kecakapan
Di atas dikatakan bahwa setiap orang tiada terkecuali sejak dilahirkan
merupakan subyek hukum, yang berarti memiliki kewenangan hukum,
namun tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam
melaksanakan kewenangan hukumnya. Hanya orang – orang yang
mempunyai kecakapan bertindak saja ( bekwaamheid ) menurut hukum
saja yang dapat melaksanakan atau mewujudkan hak dan kewajibannya.
Orang yang tidak cakap bertindak ( onbekwaamheid ) menurut
hukum tidak dapat melaksanakan atau mewujudkan sendiri hak dan
kewajibannya. Ia tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam jual – beli,
hibah, sewa – menyewa, perkawinan dan lain – lain. 7 Pasal 2 ( 1 ) dan ( 2 ) inilah yang juga menjadi dasar dalam hukum waris, untuk mengadakan perhitungan waris bagi setiap ahli waris yang masih berada dalam kandungan.
11
Ada beberapa orang yang digolongkan sebagai orang yang tidak
cakap melakukan tindakan hukum, yakni seperti yang dicantumkan dalam
pasal 1330 KUHPdt.8 Orang – orang tersebut yaitu :
1. Orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ( curatele ).
3. Orang – orang perempuan ( yang sudah berkeluarga ).9
Guna melakukan perbuatan hukum, orang – orang yang tidak cakap
bertindak diwakili oleh pengampunya atau kuratornya.10 Orang – orang
yang berada dibawah pengampuan adalah orang dewasa yang berada
dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelapmeskipun kadang –
kadang cakap mempergunakan pikirannya atau pemboros.11
Ada 2 syarat kumulatif agar seseorang dianggap cakap bertindak
menurut hukum. 2 syarat itu adalah :
1. Telah dewasa atau telah cukup umur;
2. Tidak berada di bawah pengampuan ( curatele ).
Mengenai orang yang belum dewasa ( minderjarige ) adalah mereka
yang belum mencapai umur 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.12
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.13
Ukuran dewasa sampai saat ini menurut hukum yang berlaku di
Indonesia adalah berbeda – beda, hal ini disebabkan masih adanya
pluralisme hukum yang ada di Indonesia.
8 Lihat selengkapnya bunyi pasal 1330 KUHPdt. 9 Pasal ini ( 1330 KUHPdt ) sama dengan pasal 110 KUHPdt, yang menegaskan bahwa seorang isteri tidak dapat melaksanakan atau mewujudkan hak dan kewajibannya, dengan kata lain, menurut KUHPdt seorang isteri dianggap tidak cakap bertindak. Pada perkembangannya saat ini pasal ini SUDAH TIDAK BERLAKU LAGI. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, Mahkamah Agung menganggap beberapa pasal di dalam KUHPdt tidak berlaku lagi, antara lain pasal : 108, 110, 184( 3 ), 1238,1460, 1579, 1603x dan 1862. 10 Pengampu atau kurator disebut juga sebagai wali. Wali ini bias orang tua dari orang yang bersangkutan, atau orang lain yang ditunjuk secara sah untuk mewakili orang yang dianggap tidak cakap tersebut. 11 Lihat selengkapnya bunyi pasal 433 KUHPdt. 12 Lihat selengkapnya bunyi pasal 330 ( 1 ) KUHpdt. 13 Lihat selengkapnya bunyi pasal 330 ( 2 ) KUHPdt.
12
Menurut UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan, seorang laki – laki dapat
melangsungkan perkawinan apabila ia telah berusia 19 tahun. Sementara itu
seorang perempuan dapat melangsungkan perkawinan apabila ia telah
berusi 16 tahun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ( 1 ). Mengenai
kedewasaan, UU No. 1/ 1974 menentukan sebagai berikut :
Pasal 47 ( 1 ) :
“ Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. ”
Pasal 47 ( 2 ) :
“ Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.”
Kesimpulan yang dapat diambil dari pasal 47 UU No. 1 / 1974 ini adalah
seseorang dianggap dewasa apabila ia telah berusia 18 tahun atau telah
melangsungkan perkawinan.
Menurut hukum adat, seseorang yang dianggap dewasa tidak dapat
diketemukan angka – angka / umur – umur yang pasti, melainkan dengan
tanda – tanda atau peristiwa – peristiwa yang lazimnya bersifat monumental,
misalnya perkawinan atau yang telah mempunyai pekerjaan. Menurut
penulis keadaan yang demikian adalah menyulitkan bagi kepastian hukum,
karena tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa usia kedewasaan
seseorang.
Batas dewasa menurut hukum Islam juga tidak ditegaskan secara
pasti, pada usia keberapa seseorang dianggap telah dewasa. Hanya saja
hukum Islam telah memberikan “ penanggalan “ ( tanda ) seseorang telah
dapat dikatakan dewasa apabila seorang laki – laki telah mengalami masa
akil balig dengan tanda – tanda telah mengalami mimpi indah atau mimpi
melakukan persetubuhan sehingga mengeluarkan sperma. Seorang
perempuan dianggap telah akil baliq atau dewasa jika ia telah
mendapatkan menstruasi atau haid. Kedewasaan di dalam hukum Islam ini
13
lebih dikaitkan dengan kecakapan bertindak untuk melangsungkan
perkawinan.
Sehubungan dengan sangat relatifnya seseorang dianggap dewasa
oleh hukum Islam dan sulit ditentukan waktunya, maka Instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Jo. Keputusan Menteri agama
No. 154 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991,
menentukan lain. Di dalam pasal 98 ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan
bahwa batas usia anak yag mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
KUHPdt sendiri mengatur batas usia kedewasaan seseorang adalah
apabila orang tersebut mencapai usia 21 tahun maka ia sudah dianggap
dewasa. Hal ini secara implisit dapat dilihat dari bunyi pasal 330 KUHPdt.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang telah
dianggap cakap dalam hukum apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh
dalam pengampuan. Kedewasaan dapat diukur dari dari : usia yang telah
mencapai 21 tahun, karena perkawinan dan karena pendewasaan
(handelicting).
14
TABEL PERBANDINGAN UKURAN DEWASA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI
INDONESIA
1. b. Pendewasaan
Di samping tolok ukur yang telah disebutkan diatas, masih terdapat
satu cara agar seseorang dapat disebut dewasa, yakni dengan cara
mengajukan permohonan kepada pengadilan. Cara inilah yang disebut
dengan pendewasaan ( Handlichting ). Dimana handelicting ini adalah
suatu upaya hukum yang dicapai untuk meniadakan keadaan belum
dewasa, baik secara keseluruhan maupun dalam hal – hal tertentu.
Meskipun batas usia dewasa 21 tahun merupakan batas dari
seseorang disebut dewasa dan mempunyai kebebasan serta kewenangan
Hukum Tolok Ukur
KUHPdt
v Usia 21 tahun atau telah melangsungkan perkawinan
v Dasar hukum : Pasal 330 KUHPdt
UU No. 1 / 1974
v Laki – laki = 19 tahun v Perempuan = 16 tahun v Telah melangsungkan
perkawinan v Dasar hukumnya : pasal 7 ( 1 ),
pasal 47
Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam
v Akil Baligh laki – laki = mimpi bersetubuh.
v Perempuan = menstruasi / haid v KHI = usia 21 tahun, tidak cacat
fisik maupun mental v Dasar hukum = 98 ( 1 )
Hukum Adat
v Dewasa = peristiwa monumental seperti perkawinan, punya pekerjaan.
v Tidak ada batasan pasti berapa usia seseorang dianggap dewasa.
15
bertindak dalam hukum, namun undang – undang masih
menetapkanbatasan usia yang lebih rendah dari 21 tahun dan memungkin
kan kepada orang yang bersangkutan untuk bertindak sendiri dan
menjalankan hak – hak istimewa yang ditetapkan oleh undang – undang.
Misalnya saja adalah sebagai berikut :
1. UU No. 1 / 1974, wanita harus berusia 16 tahun dan laki – laki berusia 19
tahun.
2. Untuk membuat wasiat / testamen, umur 18 tahun (pasal 897
KUHPdt).14
3. Untuk memberi kesaksian, umur 15 tahun ( pasal 1912 KUHPdt ).15
4. Untuk pengakuan oleh seorang bapak terhadap anak – anak di luar
perkawinan, umur 19 tahun ( pasal 282 KUHPdt ).16
Demikianlah pendeasaan yang diberikan oleh undang – undang kepada
subyek hukum manusia guna menjalankan kebebasab dan kewenangan
dalam hukum.
1.c. Pengampuan ( Curatele )
Pengampuan merupakan lawan dari pendewasaan, apabila dalam
hal pendewasaan seseorang yang belum mencapai usia dewasa dapat
dinyatakan ikut serta dalam melakukan tindakan – tindakan hukum sendiri,
maka dalam pengampuan seseorang yang sudah dewasa akan tetapii
berada dalam kondisi tertentu,17 maka harus dinyatakan sama dengan
orang yang belum dewasa dalam wewenang bertindak dalam hukum.
Pengampuan diatur dalam pasal 433 s/d 462 KUHPdt. Orang yang
diampu ( diwakili ) disebut dengan curandus, sedangkan bagi orang yang
mewakili disebut dengan curatele. Berdasarkan pasal 436 KUHPdt, yang
berkuasa menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri dalam
14 Lihat bunyi selengkapnya pasal 897 KUHPdt. 15 Lihat selengkapya bunyi pasal 1912 KUHPdt. 16 Lihat selengkapnya bunyi pasal 282 KUHPdt. 17 Kondisi tertentu dalam hal ini antara lain, gila atau gangguan otak, dungu, cacat fisik, cacat mental, pemboros.
16
daerah hukum berdiamnya orang yang akan diletakkan di bawah
pengampuan.18
Pengampuan itu mulai berlaku terhitung sejak diucapkannya /
diumumkannya putusan pengadilan yang mempuyai kekuatan yang tetap.
Pada saat seseorang diletakkan dibawah pengampuan maka kedudukan
orang tersebut sama dengan kedudukan orang yang belum dewasa.
Segala perbuatan hukum yang dilakukannya adalah dapat dibatalkan.
Mengenai berakhirnya pengampuan, dapat dilihat dari 2 cara yakni :
1. Berakhirnya dalam arti absolut / mutlak.
a. Karena kematian pihak curandus.
b. Apabila dalam suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan pasti dinyatakan bahwa sebab musabab dan alasan –
alasan penempatan di bawah pengampuan telah hapus. Proses
berakhirnya pengampuan ini sama dengan proses penempatan di
bawah pengampuan.
2. Berakhirnya dalam keadaan relatif
a. Karena kematian dari pengampu / curator.
b. Dipecatnya atau dibebas tugaskannya curator.
18 Lihat selengkapnya bunyi pasal 436 KUHPdt. Untuk mendapatkan atau mengajukan penempatan dibawah pengampuan, lihat pasal 437 – 451 KUHPdt.
17
2. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM
Selain manusia, pihak lain yang termasuk sebagai subyek hukum
adalah badan hukum ( rectspersoon = orang yang diciptakan oleh hukum ),
contohnya Negara, Propinsi, PT, CV dan lain sebagainya. Berikut ini adalah
pengetian badan hukum menurut para ahli :
1. Utrech badan hukum adalah tiap pendukung hak yang tidak berjiwa
(yang bukan manusia).
2. N.E. Algra badan hukum adalah himpunan orang atau bentuk organisasi
kepada siapa diberikan sifat subyek hukum secara tegas.
3. Hugo de Groot dan P.A. Stein menyatakan bahwa badan hukum adalah
bentukan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri
sebagaimana halnya dengan orang – orang pribadi.
Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak dalam lalu lintas
hukum, jadi dapat melakukan perbuatan – perbuatan hukum seperti halnya
manusia, misalnya dapat memiliki kekayaan sendiri, dapat melakukan jual
beli, dapat digugat dimuka hakim. Namun perlu dipahami bahwa badan
hukum pada dasarnya tidak dapat menyandang hak dan kewajiban
(tertentu) yang lahir dari hukum tentang orang dan hukum kekeluargaan,
misalnya : badan hukum tidak bisa melangsungkan perkawinan.
Baik manusia maupun badan hukum bisa melakukan perbuatan
hukum atas tanggungjawab sendiri. Perbedaannya terletak pada keluasan
kemampuan mendukung hak dan kewajiban. Kemampuan mendukung hak
dan kewajiban yang dimiliki oleh manusia lebih luas daripada kemampuan
mendukung hak dan kewajiban yang dimiliki oleh badan hukum.
Ada kriteria tertentu atau persyaratan tertentu agar badan hukum
dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Adapun kriteria agar badan
hukum berstatus sebagai badan hukum adalah :
1. Ada harta kekayaan yang terpisah.
2. Mempunyai tujuan tertentu.
3. Mempunyai kepentingan sendiri.
18
4. Ada organisasi yang teratur.
Harta kekayaan yang dimiliki badan hukum berasal dari para
anggotanya. Meskipun demikian, setelah dimiliki oleh badan hukum, harta
kekayaan ini sama sekali terpisah dari kepemilikan anggotanya. Segala
perbuatan hukum yang bersifat pribadi oleh para anggotanya terhadap
pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan
badan hukum.
Perbuatan hukum oleh sebuah badan hukum, hanya dapat dilakukan
oleh organnya atau pengurusnya. Pada saat melakukan perbuatan hukum,
organ – organ yang terdapat dalam badan hukum dibatasi oleh :
1. Anggaran dasar.
2. Perundang – perundangan.
3. Tujuan.
Perbuatan hukum organ di luar pembatasan ini, berarti di luar batas
kewenangannya, pada dasarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada badan hukum. Terkait hal ini ali Rido mengatakan bahwa tindakan
hukum yang dilakukan oleh organ di luar batas wewenangnya, badan
hukum hanya terikat dan dapat dipertanggungjawabkan jika :
1. Kemudian ternyata dari tindakan itu menguntungkan badan hukum.
2. Suatu organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui
tindakan itu.
Terkait dengan kedudukan badan hukum sebagai subyek hukum, ada
beberapa teori yang mendukungnya. Adapun teori – teori tersebut adalah :
1. Teori Fiksi ( Fictie Teorie )
Teori fiksi yang dipelopori oleh Von Safigny dan Ph. A.N Houwing.
Menurut teori fiksi ini badan hukum diilustrasikan sebagai suatu subyek
hukum, tetapi bukan merupakan subyek hukum yang benar – benar ada,
melainkan merupakan subyek hukum fiksi, yang sengaja diciptakan oleh
hukum.
19
Teori ini berpangkal tolak dari pikiran bahwa sesungguhnya subyek
hukum hanyalah manusia saja. Subyek hukum selain manusia hanyalah
ada di pikiran ( angan – angan ) saja. Ia diciptakan ( dikonstruksi ) karena
diperlukan.
Teori ini populer hingga akhir abad ke 19, akan tetapi saat ini
pengikutnya sudah hampir – hampir tidak ada. Van Apeldorn dan Hugo
de Groot adalah dua ahli hukum di antara beberapa ahli hukum yang
menentang teori fiksi ini. Kelemahan teori ini tidak dapat menjawab
permasalahan : siapa yang digugat kalau karena tindakan – tindakan
badan hukum seseorang dirugikan, atau siapa yang berhak menggugat
apabila seseorang merugikan badan hukum.
2. Teori Organ ( Orgaan Teorie )
Teori yang dipelopori oleh Otto Von Gierke berpendapat bahwa
badan hukum adalah suatu yang sungguh – sungguh ada di dalam
pergaulan hukum yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan
alat – alat ( organ – organ ) yang ada padanya ( pengurusnya ). Teori ini
mengutarakan bahwa peraturan – peraturan hukum yang menurut teori
fiksi tidak dapat diperlakukan bagi badan hukum berlaku juga untuk
badan hukum. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa keadaan jiwa
organ badan hukum, seperti seorang ketua, sekretaris atau lain anggota
pengurus dianggap juga sebagai keadaan jiwa badan hukum sendiri.
3. Teori Kekayaan Tujuan
Teori kekayaan yang dipelopori oleh A. Brinz berpendapat bahwa
badan hukum itu bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat
pada tujuannya. Setiap hak tidak ditentukan oleh suatu subyek tetapi
ditentukan oleh suatu tujuan. Teori ini hanya dapat menerangkan dasar
yuridis dari yayasan.
20
4. Teori Milik Kolektif ( Propriete Collective )
Teori milik kolektif yang dipelopori oleh Planiol dan Molengraaf
berpendapat bahwa hak dan kewajiban hukum itu pada hakekatnya
hak dan kewajiban anggota bersama – sama. Oleh karena itu badan
hukum adalah konstitusi yuridis saja, jadi pada hakekatnya abstrak.
Teori milik bersama ini berlaku untuk korporasi, badan hukum yang
mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori ini tidak banyak berarti.
21
B. DOMISILI ( TEMPAT KEDIAMAN )
Domisili atau dikenal dengan tempat kediaman, dalam arti hukum
adalah tempat dimana seseorang dianggap senantiasa berada / selalu
hadir untuk melaksanakan hak – haknya dan untuk menunaikan kewajiban –
kewajibannya.
Tempat kediaman hukum pada umumnya adalah sama dengan tempat
kediaman senyatanya, akan tetapi tidak perlu selalu demikian. Domisili ini
penting bagi subyek hukum, karena :
1. Untuk menentukan dimana seseorang harus melakukan perkawinan.
Hal ini berhubungan dengan suatu peraturan bahwa perkawinan
harus dilaksanakan di tempat salah satu pihak ( Pasal 76 KUHPdt ).19
2. Untuk menentukan dimana subyek hukum harus dipanggil dan ditarik
di muka pengadilan.20
3. Untuk menentukan Pengadilan mana yang berkuasa terhadap
subyek hukum tersebut. Hal ini berhubungan dengan suatu peraturan
bahwa pengadilan yang berwenang mengadili seseorang dalam
perkara perdata adalah pengadilan dalam wilayah hukum dimana
penggugat / tergugat berdomisili ( Pasal 118 ayat 1 & 2 HIR ).21
Domisili diatur dalam pasal 17 sampai pasal 25 KUHPdt. Menurut pasal
17 KUHPdt, bahwa setiap orang dianggap bertempat tinggal dimana dia
terutama hidupnya atau dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
Apabila sulit ditetapkan maka tempat tinggal senyatanya dapat dianggap
sebagai domisilinya. Kemudian pasal 18 KUHPdt menyatakan bahwa
perpindahan tempat tinggal dilakukan dengan memindahkan rumah
kediamannya ke tempat lain dengan maksud akan menempatkan pusat
kediamannya di tempat yang baru itu.
19 Lihat bunyi selengkapnya pasal 76 KUHPdt 20 Hal ini nantinya berkaitan dnegan Hukum Acara Perdata. 21 Lihat bunyi selengkapnya pasal 118 ( 1 & 2 ) HIR.
22
Macam – macam domisili / tempat kediaman :
1. Domisili terikat / domisili wajib ialah tempat kediaman yang tidak
tergantung pada keadaan – keadaan orang yang bersangkutan itu
sendiri, akan tetapi tergantung pada keadaan – keadaan orang lain
yang dalam arti hukum ada hubungannya dengan orang yang
pertama itu. Orang – orang yang memiliki domisili terikat, misalnya :
v Anak yang belum dewasa mempunyai domisili di tempat
tinggal orang tuanya.
v Istri mempunyai domisili di tempat tinggal suaminya.
v Para buruh mempunyai domisili ditempat tinggal majikannya
jika mereka ikut diam di rumah si majikan.
v Orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai
donisili di tempat tinggal curatornya.
2. Domisili bebas / domisili sukarela/ domisili berdiri sendiri, ialah tempat
dimana seseorang dengan bebas dan menurut pendapatnya sendiri
dapat menciptakan keadaan – keadaan di tempat tertentu atau
rumah tertentu. Domisili bebas ini terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Domisili yang sesungguhnya, yaitu tempat yang bertalian
dengan hal melakukan wewenang perdata pada umumnya
(tempat kediaman seseorang sehari – hari).
b. Domisili pilihan, yaitu tempat yang ditunjuk sebagai tempat
kediaman oleh satu fihak atau lebih dalam hubungannya
dengan melakukan perbuatan tertentu.
Misalnya : Dalam perjanjian jual beli dipilih sebagai tempat
pembayaran di kantor Notaris tertentu. Hal ini untuk
menghindari kesulitan harus menggugat debitur di
tempat domisili debitur> Jadi dapat mengajukan
perkara ( bila ada sengketa ) di tempat tinggal
yang dipilih.
Pasal 23 KUHPdt mengatur tentang tempat / rumah kematian orang
yang meninggal dunia, dianggap terletak dimana si meninggal mempunyai
23
tempat tinggalnya terakhir. Penentuan tentang rumah kematian itu penting
bagi berbagai ketentuan yang menyangkut hukum waris.
24
D. KEADAAN TAK HADIR
Keadaan tak hadir merupakan hal khusus dalam dunia hukum
perdata. Seseorang dikatakan dalam keadaan tak hadir apabila
meninggalkan tempat kediamannya sehingga tidak melaksanakan hak –
haknya dan menunaikan kewajibannya. Jadi seseorang yang meninggalkan
tempat yang agak lama, tetapi telah menunjuk seseorang lain untuk
memelihara kepentingannya ( melaksanakan hak dan menunaikan
kewajibannya ), tidak dapat dinyatakan sebagai tidak hadir.
Agar dapat dinyatakan dalam keadaan tidak hadir, harus memenuhi
unsur – unsur yang ditetapkan dalam pasal 463 KUHPdt sebagai dasar dari
ketidakhadiran, yakni :
1. Meninggalkan tempat kediaman.
2. Tanpa memberi kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya.
3. Tidak menunjuk atau memberi kuasa pada orang lain untuk mengatur
pengelolaan kepentingannya.
4. Bilamana pemberian kuasa telah gugur.
5. Bilamana timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi
pengurusan dari harta benda atau seluruhnya atau untuk sebagian.
6. Untuk mengangkat seorang wakil, maka harus diadakan tindakan –
tindakan hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat
ketidakhadiran tersebut.
Apabila memenuhi unsur – unsur tersebut, maka seseorang dapat
dinyatakan dalam keadaan tak hadir, sehingga perlu ditunjuk seorang wakil
yang akan melaksanakan hak dan menunaikan kewajiban yang
bersangkutan. Pihak – pihak yang berhak untuk minta diadakan
penunjukkan wakil adalah :
1. Orang – orang yang berkepentingan, misalnya kreditur.
2. Fihak kejaksaan.
3. Ditetapkan sendiri oleh Pengadilan Negeri karena jabatannya.
25
Sedangkan pihak yang dapat ditunjuk sebagai wakil adalah :
1. Balai Harta Peninggalan ( BHP ).
2. Keluarga sedarah atau semenda yang terdekat atau suami / istri dari
orang yang “ tidak hadir “, bilaman harta kekayaaan mempunyai nilai
yang tidak berarti.
Kewajiban BHP sebagai wakil orang yang tidak hadir adalah :
1. Mengadakan penyegelan bilamana diperlukan.
2. Mengadakan pencatatan dari pada barang – barang yang
dipercayakan untuk disimpan / diurus.
3. Membuat laporan dan pertanggungjawaban tahunan kepada fihak
kejaksaan.
Sedangkan kewajiban pihak keluarga sedarah atau semenda
terdekat atau suami / istri dari orang yang tidak hadir apabila ditunjuk
sebagai wakil adalah untuk pada waktunya menyerahkan harta benda
yang ditinggalkan atau nilainya dalam bentuk uang kepada pemiliknya.
Tahapan – tahapan tindakan hukum untuk mengisi kekosongan yang
disebabkan oleh karena tidak hadirnya seorang adalah :
1. Menetapkan ketidakhadiran dan menunjuk wakil yang mewakili dan
memelihara kepentingan orang yang tidak hadir, yang meliputi
kepentingan harta kebendaan dan kepentingan – kepentingan
mengenai pribadinya, misalnya berti9ndak sebagai wakil dalam suatu
proses perceraian. Tindakan ini merupakan sementara bila terjadi
ketidakhadiran.
2. Penetapan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia.
3. Menetapkan pewarisan secara definitif.
Tindakan penetapan tentang dianggapnya seseorang telah
meninggal dunia, dapat diambil baik dalam hal ini telah atau belum
diperintahkan tindakan – tindakan sementara, dan cukup kalau sudah
beberapa lama ia tidak pulang.
26
Tentang waktu berapa lama itu ditentukan dalam pasal 467 dan
pasal 470 KUHPdt, sebagai berikut :
1. Lima tahun sejak keberangkatan dari tempat tinggal itu, atau lima
tahun setelah diperoleh kabar terakhir, bila yang tak hadir tidak
mengangkat seorang kuasa untuk mengurusi harta kekayaannya
atau ia tidak mengatur urusan – urusannya dan kepentingannya.
2. Sepuluh tahun bila yang tidak hadir meninggalkan kuasa atau
mengatur pengurusannya.
3. Satu tahun bila yang tidak hadir bepergian ke tempat yang
berbahaya, atau merupakan penumpang kapal yang dinyatakan
hilang atau mengalami kecelakaan.
Sebelum diambil keputusan Pengadilan tentang dianggapnya
seseorang telah meninggal dunia, maka terlebih dahulu harus diadakan 3
kali pemanggilan orang yang bersangkutan. Pemanggilan – pemanggilan
tersebut dicantumkan di tempat yang ditetapkan khusus untuk
pengumuman – pengumuman di Kantor Pengadilan dan Kantor Pemerintah
daerah dari tempat tinggal terkhir orang yang tidak hadir, serta diumumkan
dalam surat kabar. Agar khalayak ramai mengetahui adanya keputusan
Pengadilan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia, maka
keputusan itu harus diumumkan dalam surat – surat kabar yang dahulu telah
memuat berita panggilan. Akibat dari keterangan asumsi kematian :
1. Hak – hak orang yang tidak hadir itu beralih secara sementara
kepada ahli warisnya.
2. Untuk menuntut dari pengurus harta benda ( BHP ) penyerahan
barang – barang dan perincian perhitungan serta
pertanggungjawaban.
3. Kepada suami atau istri yang ditinggalkan dan telah kawin dalam
perkawinan harta perkawinan bersama atau dengan perjanjian kawin
diberi dua pilihan :
a. Untuk meneruskan keadaan yang telah ada untuk waktu yang
tertentu ( paling lama 10 tahun ).
27
b. Untuk langsung mengadakan pembagian harta kekayaan.
Hak – hak orang yang tidak hadir akan beralih kepada ahjli waris
secara definif / pasti sesudah 30 tahun dianggapnya seseorang telah
meninggal dunia itu tercantum dalam keputusan Pengadilan atau juga
sebelum itu telah lewat 100 tahun sejak kelahiran orang yang tidak hadir itu.
28
BAB III
HUKUM KELUARGA
A. DASAR PERKAWINAN
Pada saat ini kita sudah memiliki hukum nasionalk yang merupakan
unifikasi dalam bidang hukum perkawinan, yaitu UU No. 1 / 1974 tantang
Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP No. 9 / 1975. Dengan berlakunya
UU tersebut maka semua peraturan hukum yang mengatur perkawinan
sepanjang telah diatur dalam UU No. 1 / 1974 menjadi tidak berlakulagi.
Demikian juga Hukum Perkawinan yang diatur dalam Buku I KUH Pdt. Hukum
Perkawinan tersebut tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU No.
1 / 1974. Sebaliknya, masih berlaku sepanjang belum diatur dan memang
ditunjuk masih berlaku oleh UU No. 1 /1974.
Sebelum kita mempelajari materi dari Hukum Perkawinan, maka
terlebih dahulu kita harus mengerti definisi tentang perkawinan itu sendiri.
Menurut UU No. 1 / 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa : Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagaii
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut
UU No. 1 / 1974, Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama / kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir / jasmani, tetapi unsur bathin / rokhani juga mempunyai peranan yang
penting membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan
keturunan pemeliharaan dan pendidikan terhadap keturunan yang
menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Berbeda dengan dasar perkawinan menurut UU No. 1 / 1974, dalam
KUH Pdt pasal 26 menyatakan bahwa KUH Pdt memandang perkawinan itu
hanya dari sudut hubungannya dengan hukum perdata saja. Antara pria
dan wanita dikatakan ada suatu perkawinan dengan segala akibat
hukumnya apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan tata cara
29
yang sah. Menurut pasal 2 ( 1 ) UU No. 1/1974, perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dengan demikian, meskipun UU No. 1/1974 merupakan
unifikasi dalam hukum perkawinan. Tetapi dalam hal sahnya perkawinan
masih terdapat pluralisme.
Menurut Hukum Islam, suatu perkawian adalah suatu perjanjian
antara mempelai laki – laki di satu pihak dan wali mempelai perempuan
di lain pihak, perjanjian mana terjadi dengan suatu ijab, dilakukan oleh
wali bakal isteri dan diikuti suatu kabul dari bakal suami, dan
disertai sekurang – kurangnya dua orang saksi. Sedang sahnya perkawinan
penduduk Indonesia yang beragama Kristen adalah apabila dilakukan di
muka Pegawai Catatan Sipil atau Pendeta agama Kristen yang ditentukan
menurut Undang – Undang dua mempelai sendiri ( in person ), atau apabila
ada alasan penting menunjuk seorang kuasa menghadap di muka Pegawai
Catatan Sipil. Kedua – duanya menerengkan kepada pegawai itu bahwa
mereka dengan suka rela saling menerima satu sama lain sebagai suami
isteri, dan bahwa mereka akan secara tepat memenuhi segala kewajiban,
yang menurut Undang – Undang melekat pada suatu perkawinan.
Kemudian Pegawai Catatan Sipil atau Pendeta agama tersebut
mengatakan atas nama Undang – Undang dua belah pihak terikat satu
sama lain dalam suatu perkawinan. Perkawinan dimuka Pegawai Catatan
Sipil atau Pendeta agama ini harus dilakukan dimuka Pendeta dan dengan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Penduduk Indonesia yang beragamalain, misalnya Hindu,Budha, dan
aliran kepercayaan, tidak dapat ditunjuk suatu kejadian atau suatu
perbuatan tertentu yang sama atau seragam antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, yang menentukan bahwa dengan kejadian atau
perbuatan itu terjadilah perkawinan yang sah. Untuk menjamin kepastian
hukum menurut pasal 2 ( 2 ) UU No. 1/1974,Tiap – tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Dalam UU No.
1/1974 ditentukan prinsip – prinsip atu azas – azas mengenai perkawinan
30
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
UU No.1/1974 menganut azas monogami tetapi tidak mutlak. Hal
ini dapat disimpulkan dari pasal 3 s/d 5 sebagai berikut : Pada azasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan
dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
( berpoligami ) apabila dikehendaki oleh pihak – pihak yang bersangkutan
dan ketentuan – ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan
poligami dengan alasan – alasan :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
2. Isteri mendapat cacat badan / atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
3. Isteri tidak dapat melahirkan seorang keturunan.
Selain harus memenuhi alasan tersebut poligami harus memenuhi
syarat – syarat :
1. Adanya perjanjian ( persetujuan ) dari isteri / isteri – isteri.
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan –
keperluan hidup isteri – isteri dan anak – anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan selalu adil terhadap isteri –
isteri dan anak – anak mereka.
Ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5 UU No. 1/1974 tersebut bertujuan
untuk mempersulit poligami, karena menurut pandangan masyarakat,
keluarga yang ideal adalah keluarga yang monogami. Menurut hemat
penulis ketentuan. Tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena
jiwa dan maksud sebenarnya dari hukum Islam ialah untuk mempersulit
seorang lelaki beristeri lebih dari seorang. Menurut Hukum Islam beristeri lebih
dari seorang hanya diperbolehkan apabila si suami mampu dan berniat
sungguh – sungguh untuk memperlakukan semua isterinya secara yang
sama dan sepantasnya.
31
Hukum perkawinan yang diatur dalam KUH Pdt berdasarkan agama
Kristen yang berdasarkan azas monogami. Artinya dalam waktu yang sama
seorang laki – laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan
sebagai isterinya, satu orang perempuan hanya satu orang laki – laki
sebagai suaminya ( Pasal 27 KUH Pdt ). Azas monogami ini tidak dapat
disimpangi, jadi bersifat mutlak dan memaksa. Setelah berlakunya UU No.
1/1974, pasal 27 KUH Pdt ini masih berlaku, karena menurut penjelasan pasall
3 ( 2) UU No. 1/1974 tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan dalam memberi
putusan boleh tidaknya suami berpoligami, selain memeriksa apakah syarat
– syarat dan alasan – alasan telah dipenuhi harus mengingat pula apakah
ketentuan – ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengijinkan
adanya poligami.
B. SYARAT – SYARAT PERKAWINAN
Untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi
syarat – syarat perkawinan. Syarat – syarat perkawinan dibedakan dalam :
1. Syarat – syarat Materiil, yaitu syarat mengenai orang – orang yang
hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan
, ijin dan kewenangan untuk memberi ijin.
2. Syarat – syarat Formil, yakni syarat – syarat yang merupakan formalitas
yang berkaitan dengan upacara nikah.
C. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN.
1. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan ialah hak yang diberikan oleh Undang –
undang kepada orang – orang tertentu untuk atas dasar - dasar tertentu
menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara
orang – orang tertentu.
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan
32
memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat meteriil baik
yang absolut dan salah seorang mempelai di bawah pengampuan
maupun yang relatif.
2. Pembatalan Perkawinan
Para ahli hukum berpendapat bahwa tiap perkawinan hanya dapat
dinyatakan “vernietigbaar” ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa
perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim
atas dasar – dasar yang diajukan oleh penuntut yang ditunjuk oleh
undang – undang. Jadi perkawinan tidak dapat dinyatakan “ nietigbaar
“ ( batal demi hukum ), karena kalau demikian halnya maka tak
menjamin kepastian hukum. Perkawinan dinyatakan batal sesudah
dilangsungkan perkawinan.
Perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan – alasan sebagai
berikut :
1. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat – syarat untuk
melangsungkan perkawinan. ( pasal 6 – 11 UU No. 1 / 1974 ).
2. Perkawinan diajukan pada Pegawai Pencatat yang tidak berwenang.
3. Perkawinan dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
4. Perkawinan dilaksanakan tanpa dihadiri 2 orang saksi.
5. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum.
6. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau isteri.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
dalam wilayah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat
tingal kedua suami isteri, suami atau isteri ( Pasal 25 UU No. 1 / 1974 ).
Pihak – pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut
pasal 23 UU No. 1 / 1974 adalah sebagai berikut :
33
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh UU.
4. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
D. HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN DAN PERJANJIAHN KAWIN
1. Harta Kekayaan Dalam Perkawian
Ada perbedaan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan
menurut UU No. 1 / 1974 dengan KUHPdt. Perbedaan tersebut dapat
dilihat pada bagan di halaman selanjutnya :
34
BAGAN PERBEDAAN HARTA PERKAWINAN MENURUT UU No. 1 / 1974 DAN
KUHPdt
2. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian kawin dalam UU No. 1 / 1974 hanya diatur secara singkat
dalam 1 pasal, yaitu pasal 29. Pasal tersebut hanya mengatur :
a. Perjanjian perkawinan dapat diadakan pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan.
b. Perjanjian perkawinan harus tertulis, yang sahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan.
UU No. 1 / 1974 KUHPdt
Pasal 35 UU No. 1 / 1974 Pasal 119 KUHPdt
Ada 2 macam harta kekayaan dalam perkawinan : 1. Harta benda bersama,
adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Penguasaan dan pengurusan harta benda bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Harta bawaan, adalah harta bawaan dari masing – masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan. Penguasaan dan pengurusan harta bawaan masing – masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami atau isteri. Jadi hukum perkawinan dalam KUHPdt menganut asas persatuan / percampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh penyimpangannya.
35
c. Perjanjian tidak boleh melanggar batas – batas hukum, agama dan
kesusilaan.
d. Perjanjian kawin berlaku terhadap pihak ketiga setelah perjanjian
tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sedangkan
berlaku terhadap kedua belah pihak, sejak perkawinan tersebut
dilangsungkan.
e. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dalam KUH Pdt dinyatakan dengan tegas bahwa perjanjian perkawinan
dimaksudkan untuk mengadakan penyimpangan terhadap persatuan harta
kekayaan dalam perkawinan ( pasal 139 ). Dengan berlakunya UU No.
1/1974, maka syarat – syarat dan proses mengadakan perjanjian kawin harus
sesuai dengan pasal 29 UU tersebut. Namun ketentuan – ketentuan tentang
perjanjian perkawinan dalam KUH Pdt yang tidak diatur dalam UU No. 1/1974
masih berlaku.
Menurut ketentuan KUH Pdt calon suami isteri bebas menentukan isii
perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Namun dalam menentukan isi
perjanjian perkawinannya dibatasi oleh ketentuan – ketentuan sebagaii
berikut :
a. Perjanjian yang dibuat dengan tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum.
b. Perjanjian yang dibuat tidak boleh menyimpang dari :
1. Hak – hak yang timbul dari kekuasaan suami, misalnya hak
menentukan domisili.
2. Hak – hak yang timbul dari kekuasaan orang tua, misalnya hak
mendidik anak – anaknya.
3. Hak – hak yang ditentukan oleh Undang – Undang bagi mempelai
yang hidup terlama, misalnya hak menjadi wali.
c. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian yang mengandung pelepasan
hak atas harta peninggalan orang – orang yang menurunkannya.
36
d. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian bahwa salah satu pihak akan
memikul hutang datipada bagiannya dalam aktiva.
e. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan kata – kata umum
yang mengatakan bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh Undang –
Undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia
atau di Nederland.
Bentuk – bentuk perjanjian kawin :
a. Perjanjian perkawinan dengan persatuan keuntungan dan kerugian.
b. Perjanjian perkawinan dengan persatuan penghasilan dan pendapatan.
c. Segala pencampuran harta benda dikesampingkan.
E. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka tumbuhlah hak dan
kewajiban suami isteri seperti yang ditentukan dalam pasal 30 sampai pasal
34 UU. No. 1 / 1974 sebagai berikut :
1. Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling mencinta mencintai, hormat menghormati
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal atau domisili. Tempat
tinggal tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan suami isteri.
4. Suami dan isteri mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
5. Suami dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum.
6. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup rumah tangga (nafkah) sesuai dengan
kemampuannya.
8. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik – baiknya.
37
Berdasarkan hak dan kewajiban suami isteri seperti tersebut diatas
maka hak dan kewajiban suami isteri menurut KUH Pdt yang ketentuannya
bertentangan dengan ketentuan UU No. 1/1974 tidak berlaku lagi. Ketentuan
– ketentuan tersebut terutama ketentuan yang sangat merugikan pihak isteri,
yang diantaranya adalah :
1. Kekuasaan marital dari suami, artinya suami mempunyai kekuasaan
penuh dan bertanggung jawab terhadap harta kekayaan bersama
dan harta benda kepunyaan isteri pribadi ( pasal 105 KUH Pdt )
2. Isteri wajib mengikuti domisili atau tinggal bersama suami ( pasal 106
KUH Pdt )
3. Isteri menjadi tidak cakap bertindak dalam hukum ( pasal 1330 dan
pasal 108 dan 110 KUH Pdt )
F. KEDUDUKAN ANAK, KEKUASAAN ORANG TUA DAN PERWALIAN
1. Kekuasaan Orang Tua ( Ouderlijke macht )
Dalam hukum, terutama perdata barat, kalau belum dewasa ada 2
kemungkinan :
1. anak di bawah kekuasaan orang tua.
2. anak dibawah peralian.
Kekuasaan orang tua menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 47 menetapkan :
1. anak belum berumur 18 tahun.
2. belum pernah kawin.
Ada kemungkinan seorang anak baru 16 tahun, namun sudah kawin
(melakukan perbuatan hukum) berarti ia cakap melakukan perbuatan
hukum, tetapi ia tidak termasuk dewasa. Terhadap kekuasaan orang tua ini,
B.W. masih berlaku sepanjang tidak / belum diatur ( pasal 66 UU No.1 tahun
1974 )
Dasar hukumnya adalah :
1. Terhadap kekuasaan orang tua, berdasarkan pasal 66 UU No. 1 tahun
1974 tidak diatur juga oleh PP No. 9 tahun 1975, sehingga tetap diatur
oleh B.W.
38
2. Petunjuk Mahkamah Agung : Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 dan PP
No. 9 tahun 1975, yaitu tentang :
a. Kedudukan anak
b. Harta benda
c. Kekuasaan orang tua
d. Perwalian
Kekuasaan orang tua menurut B.W. terjadi kekuasaan orang tua
sepanjang perkawinanbapak dan ibu ( pasal 299 B.W. ) . Jadi apabila orang
tua cerai, tidak ada kekuasaan orang tua, melainkan di bawah perwalian.
Demikian pula, apabila salah satu dari oarang tua meninggal dunia, maka
anak di bawah perwalian. Tegasnya, menurut B.W. kekuasaan orang tua
berada di tangan orang tua, sedang yang melaksanakan adalah bapak (
pasal 300 B.W. ) .Disamping kekuasaan orang tua terjadi sepanjang
perkawinan bapak dan ibu, ketentuan lainnya adalah sampai dewasa dan
tidak dibebaskan / dipecat dari kekuasaan orang tua.
Isi kekuasaan :
1. Terhadap diri anak ( orang tua wajib memelihara dan mendidik anak –
anak )
2. Terhadap harta benda anak meliputi :
a. Pengurusan ( dilakukan orang tua )
b. Menikmati hasil ( orang tua berhak menikmati hasil atas harta benda
tersebut )
Berakhirnya kekuasaan orang tua
1. Pencabutan ( pemecatan ) lihat pasal 319 B.W. pasal 49 UU No. 1 tahun
1974.
2. Pembebasan
Adapun alasannya adalah karena tindakannya terlalu keras, orang tua
melanggar kewajiban sebagai orang tua ( pencabutan ) atau apabila
orang tua tidak mampu / kurang cakap sebagai orang tua ( alasan
pembebasan )
39
2. Perwalian ( Voogdij ) pasal 50 UU No. 1 / 1974
Selain diatur dalam UU No. 1 / 1974, sama seperti dalam kekuasaan
orang tua, ketentuan masih berlaku , karena PP 9 tahun 1975 belum
mengatur.
Ketentuan pasal 50 UU No. 1 tahun 1974 ayat 1 “Anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Ayat 2 menyatakan perwalian itu mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya. Perlu diingat bahwa apabila walii
hanya ada satu orang wali, sedangkan kekuasaan orang tua pasti ada 2
orang, sehingga apabila salah satu dari orang tua meninggal dunia dii
bawah perwalian yang masih hidup. Apabila cerai ( berdasarkan putusan
pengadilan ) salah satu dari kedua orang tua tersebut.
Ada 3 macam perwalian :
1. Bapak/ ibu yang hidup terlama ( otomatis )
2. Dengan wasiat
3. Diangkat oleh hakim
Tugas ( isi perwalian ) sama dengan kekuasaan orang tua, yaitu :
1. Mengurus kepentingan diri anak.
2. Mengurus kepentingan harta kekayaan anak.
Seorang wali juga mempunyai hak menikmati hasil apabila anak mempunyai
harta benda. Apabila seorang wali tidak mampu, maka kekuasaan sebagai
wali dapat dipecat. Dalam perwalian ada seorang pengawas yang
melakukan pengawasan dan pengurusan. Jadi kekuasaan orang tua
mempunyai kesamaan Fungsi dengan perwalian.
Perbedaan ( pokok ) adalah :
1. Dalam kekuasaan orang tua
Hanya terjadi jika perkawinan orang tuanya utuh dan hanya orang tua
yang dapat menjadi kekuasaan orang tua.
40
2. Dalam perwalian
Dimungkinkan orang lain menjadi wali dan cara mendapatkan perwalian
ada 3 cara :
a. Bapak / ibu yang hidup terlama
b. Dengan wasiat
c. Diangkat oleh hakim
3. Kedudukan Anak ( pasal 42 UU No. 1 / 1974 )
Pada hukum perdata, ada 4 macam anak, yaitu :
a. anak sah.
b. Anak luar kawin.
c. Anak zina.
d. Anak sumbang.
Keterangan :
a. Anak sah : anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. ( pasal 42 UU No. 1 / 1974 ).
b. Anak luar kawin : istilah anak luar kawin hanya ada dalam KUHPdt.
Hukum Islam dan Hukum Adat tidak mengenal
istilah demikian ini, sebab dalam hukum Islam
hubungan kelamin antara laki – laki dan
perempuan tanpa perkawinan adalah zina. Dalam
hukum adat apabila ayah tidak diketahui maka
akan dicarikan bapaknya ( perkawinan tembelan ).
Anak luar kawin ada 2, yaitu :
1. Anak luar kawin yang diakui, mempunyai hubungan hukum dengan
orang tua yang mengakui. Konsepsi KUHPdt, ibu si anak tidak secara
otomatis sebagai ibunya, apabila tidak melakukan pengakuan
terhadap anak luar kawin tersebut. Anak luar kawin yang diakui ini
juga TIDAK mempunyai hubungan hukum dengan kerabat orang
yang mengakuinya ( bandingkan dengan UU No. 1 / 1974 ).
41
2. Anak luar kawin yang tidak diakui, tidak mempunyai hubungan
hukum dengan siapapun.
c. Anak Zina ( KUHPdt ) : anak yang dilahirkan dari perbuatan zina antara 2
orang ( laki – laki dan perempuan ), dimana salah satu atau keduanya
telah terikat perkawinan. Terhadap anak zina ini, tidak diakui oleh hukum,
dia juga tidak mempunyai hak waris.
d. Anak sumbang : anak yang dilahirkan dari perkawinan dua orang yang
masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat dimana hukum
mereka melarang untuk dikawini. Terhadap anak sumbang ini tidak diakui
hukum, seperti halnya anak zina, anak sumbang tidak berhak mewaris.
Bagaimana terhadap anak luar kawin menurut hukum perkawinan
(UU No. 1 / 1974) ???? ...........................
Kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan demikian
menurut UU No. 1 / 1974, tanpa pengakuan dari ibunya dan keluarga ibunya
secara otomatis si anak mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan
keluarga ibunya. Hal ini BERBEDA dengan KUHPdt.
Ketentuan pasal 44 UU No. 1 / 1974 identik dengan pasal 252 KUHPdt.
Pasal 44 UU No. 1/ 1974 : Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan
anak itu akibat dari perzinahan tersebut.
Pasal 252 KUHPdt : Suami boleh mengakui keabsahan si anak, apabila
dapat membuktikan, bahwa ia sejak tiga ratus
sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahirnya
anak itu, baik karena perpisahan, berbeda dalam
ketakmungkinan yang nyata, untuk mengadakan
hubungan dengan istrinya.
Untuk membuktikan asal usul anak, dibuktikan dengan akta kelahiran ( pasal
55 UU No. 1 / 1974 ).
42
Hak dan kewajiban orang tua dan anak :
Pasal 298 KUHPdt : Tiap – tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib
menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak
dan ibunya. Si bapak dan ibu, keduanya berwajib
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang
belum dewasa.
Pasal 104 KUHPdt : Suami dan istri dengan mengikat diri dalam suatu
perkawinan, dan hanya karena itupun terikatlah
mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan
memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.
Pasal 321 KUHPdt : Tiap – tiap anak berwajib memberi nafkah kepada orang
tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke
atas, apabila mereka miskin.
Pasal 46 UU No. 1 / 1974
Ayat 1 : Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
Ayat 2 : Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Ketentuan ini merupakan alimentasi nafkah. Undang – undang
menentukan pasal ini sebagai perjanjian yang lahir karena undang –
mundang. Oleh karena sebagian perjanjian timbal balik antara orang tua –
anak, maka apabila dipungkiri dapat menuntut. Kewajiban demikian
mempunyai akibat hukum.
Pasal 47 UU No. 1 / 1974 identik dengan pasal 229 KUHPdt tentang kekuasaan
orang tua.
Pasal 229 KUHPdt : Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap – tiap anak,
sampai ia menjadi dewasa tetap bernaung di bawah
kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan
atau dipecat dari kekuasaan itu.
43
Pasal 47 ayat 1 UU No. 1 / 1974 : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
G. PUTUSNYA PERKAWINAN ( pasal 38 UU No. 1 / 1974 )
Ada 3 sebab yang dapat memutuskan perkawinan :
1. Kematian.
2. Perceraian.
3. Putusan Pengadilan (pasal 38 UU No. 1 / 1974 )
Mengenai perceraian, diatur dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1974 dan
KUHPdt pasal 209. Untuk dapat bercerai harus melalui permohonan ke
Pengadilan Negeri.
Alasan – alasan perceraian sebagai berikut :
1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, yang sukar disembuhkan.
Zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki – laki dengan
perempuan di mana salah seorang atau kedua – duanya sudah terikat
perkawinan ( pengertian menurut hukum ). Dalam Islam tidak perlu ada
klausula terikat perkawinan. Terhadap alasan pemabuk, pemadat dan
penjudi sifatnya alternatif bukan kumulatif.
2. Meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut – turut.
3. Mendapat hukuman perjara 5 tahun / lebih.
4. Kekejaman / penganiayaan berat.
5. Cacat badan / penyakit.
6. Perselisihan dan pertengkaran.
Pada umumnya alasan No. 6 yang sering dipakai dalam praktek, karena
pembuktian mudah. Sedangkan alasan no. 1 ( zina ) sangat sulit untuk
dibuktikan.
44
Perceraian dibedakan atas 2 macam, yaitu :
1. Cerai Talak
Cerai talak adalah perceraian atas permintaan suami yang beragama
Islam untuk menceraikan istrinya.
Dasar hukum : pasal 14 PP No. 9 th. 1975 jo. Pasal 66 UU No. 7 th. 1989.
Cerai talak terutama berlaku bagi yang beragama Islam. Dalam Islam
yang dapat menceraikan adalah suami. Cara untuk menjatuhkan cerai
talak adalah dengan cara mengajukan permohonan ( pasal 66 UU No. 7
th. 1989 ) dan bukan dengan gugatan seperti dalam cerai gugat ke
Pengadilan Agama.
DAHULU, sebelum UU No. 7 / 1989, pengajuannya cukup dengan
pemberitahuan. Pengadilan Agama menyaksikan talak ini sangat
janggal, karena hanya sebagai pemberitahuan, sehingga tidak sesuai
dengan asas umum Hukum Acara Perdata. Oleh karena diajukan
dengan cara permohonan, maka hasil akhirnya berupa penetapkan.
2. Cerai gugat ( Putusan Pengadilan )
Perceraian ini dilakukan oleh seorang istri ( Islam ) dan suami atau istri
(bukan Islam). Pengajuannya harus melalui gugatan, bukan permohonan.
Perbedaannya adalah bagi seorang istri ( Islam ) ke Pengadilan Agama,
sedangkan suami atau istri ( non Islam ) ke Pengadilan Negeri.
Persamaannya adalah keduanya disebut sebagai cerai gugat. Oleh karena
itu, hasil akhirnya berupa putusan ( vonnies ).
Dasar hukum cerai gugat diatur dalam pasal 20 PP No. 9 th. 1975 dan pasal 3
UU No. 7 th. 1989. Baik pada cerai talak maupun cerai gugat, keduanya
harus beralasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 PP No. 9 th. 1975.
Akibat Putusnya Perkawinan ( Masa Tunggu )
Bagi seorang perempuan yang putusan perkawinan berlaku jangka
masa tunggu ( pasal 11 (1) UU No. 1 / 1974 ). Suami tidak mengenal masa
tunggu.
45
Waktu tunggu bagi seorang janda seperti yang dimaksud pasal 11 (2) UU No.
1 / 1974 adalah sebagai berikut :
1. Karena kematian, waktu tunggunya 130 hari.
2. Karena perceraian ( hidup ) : bagi yang haid ditetapkan 3 kali suci,
sekurang – kurangnya 90 hari. Apabila
tidak ada haid ditetapkan 90 hari.
3. keadaan hamil, sampai melahirkan.
KUHPdt mengatur masalah ini seperti dalam pasal 34 KUHPdt, yaitu 300 hari
(seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi melainkan setelah lewat
waktu tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan).
46
BAB IV
HUKUM BENDA
A. BERLAKUNYA BUKU II KUHPdt SETELAH UUPA
Buku II KUHPdt mengatur tentang hukum benda, diatur tersebar dalam
pasal 499 – 1232 KUHPdt. Pada buku II KUHPdt ini sebagian besar sudah tidak
berlaku, karena berisikan hak – hak atas tanah. Bagian dalam buku II KHUPdt
yang dinyatakan tidak berlaku lagi adalah :
1. Dengan berlakunya UU No. 5 / 1960 : Bumi, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku ( hukum tanah
tidak berlaku ) kecuali hipotik. ( UU No. 6 / 1960 ini dikenal dengan
nama UUPA )
2. Dengan berlakunya UU No. 4 / 1996 : hipotik atas tanah ( sepanjang
atas tanah )
Perubahan fundamentil di dalam hukum tanah di Indonesia terjadi
karena tadinya terdapat hukum tanah yang bersumberkepada hukum
barat6 dan hukum tanah yang bersumber pada hukum adat diganti dengan
hukum tanah yang diatur dalam Undang – Undang Pokok agraria beserta
peraturan – peraturan pelaksanaannya. Sehingga meniadakan dulisme
yang ada dalam hukum tanah dan menciptkan Unifikasi hukum dalam
hukum tanah Indonesia. Dengan adanya unifikasi itu hukum tanah barat
yang tadinya tertulis dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis
kedua – duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan
MPRS No. II / MPRS / 1960
Dengan berlakunya UU No. 4 / 1996, maka ketentuan mengenai hipotik
dalam buku II KUHPdt yang oleh UUPA masih dinyatakan berlaku sepanjang
mengenai tanah menjadi tidak berlaku lagi. Akan tetapi ketentuan hipotik
tersebut masih berlaku sepanjang mengenai benda tidak bergerak selain
tanah, misalnya hipotik atas mesin – mesin pabrik.
47
Sistem yang dianut dalam BUKU II KUHPdt adalah SISTEM TERTUTUP,
artinya orang dilarang mengadakan hak kebendaan baru selain yang sudah
ditentukan undang – undang. Berdasarkan ini, maka termasuk sifat Dwingen
Rech (memaksa). Sistem demikian berlawanan dengan yang dianut oleh
BUKU III tentang perikatan dan menganut sistem terbuka.
B. PEMBEDAAN MACAM - MACAM BENDA
Sebelum lebih jauh membahas macam – macam benda, maka terlebih
dahulu penulis akan mengemukakan pengertian benda.
Menurut bunyi Pasal 499 KUHPdt :
“ menurut paham undang – undang, yang dinamakan kebendaan ialah tiap
– tiap barang dan tiap – tiap hak yang dapat dikuasaai oleh hak milik. “
Jadi benda terdiri dari barang dan hak. Dari pasal itu berarti barang tidak
identik dengan benda. Kebendan terdiri dari barang dan hak, sedangkan
barang sudah tentu banda.
Barang : berwujud ( segala sesuatu yang berwujud )
Hak : Segala sesuatu yang tidak berwujud.
Jadi, zaak adalah barang dan hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.
Pengertian awam, barang sama dengan benda. Pengertian hukum benda
adalah barang dan hak.
Pasal – pasal dalam KUHPdt buku II mengatur mengenai benda
dalam arti barang yang berwujud. Berikut ini pembedaan benda menurut
KUHPdt.
Pengertian benda, yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi obyek eigendom. Kata “ segala sesuatu”
ini mempunyai pengertian yang luas.
48
BAGAN PEMBEDAAN MACAM – MACAM BENDA MENURUT KUHPdt
Benda berwujud
Benda tidak berwujud
Benda bergerak Benda bergerak karena sifatnya
Ex. Mobil, tv dll
Benda bergerak karena ketentuan -
ketentuan undang – undang yang –
berupa hak atas benda bergerak.
Ex. Hak memungut hasil, hak pakai atas -
Benda bergerak, surat – surat berharga
misalnya saham.
Benda tidak bergerak Benda tak bergerak menurut sifatnya
Ex. Tanah dan sesuatu yang melekat
Di atasnya seperti rumah.
Benda tidak bergerak karena tujuan
Ex. Mesin yang dipakai di pabrik
Benda tidak bergerak menurut –
Ketentuan undang – undang yang
Berupa hak – hak atas benda tidak
bergerak
Ex. Hak pakai atas benda tidak
bergerak
Benda yang habis dipakai
Benda yang tidak habis dipakai
Benda yang sudah ada
Benda yang masih akan ada secara absolut
Ex. Panen yang akan datang
Benda yang masih akan ada secara relatif
Ex. Benda yang sudah dibeli tapi belum diserahkan
49
Benda dalam perdagangan
Benda diluar perdagangan
Benda yang dapat dibagi
Barang yang tidak dapat dibagi
Pembagian yang terpenting adalah benda bergerak dan benda
tidak bergerak, karena berkaitan dengan :
1. Penyerahan / Levering : terhadap benda bergerak secara langsung,
benda tidak bergerak dengan balik nama.
2. Pembebanan / Bezwaring : Pembebanan benda bergerak dengan
gadai ( pasal 1150 KUHPdt ) benda tetap dengan hipotik.
3. Bezit : berlaku ketentuan pasal 1977 KUHPdt terhadap benda
bergerak. Pembuktiannya terbalik.
4. Verjaar terhadap benda bergerak seketika benda tetap ada
bermacam – macam. Ada yang 20 tahun ada yang 30 tahun.
Secara garis besar pembagian benda tetap ada 3 macam, yaitu :
1. Karena sifatnya : tanah ( pasal 506 KUHPdt )
2. Tujuan / pemakaian ( pasal 507 KUHPdt ), sebenarnya benda
bergerak tetapi karena pemakaian yang lama dan dilektakkan pada
benda tidak bergerak.
3. Karena penetapan undang – undang, yaitu berupa hak – hak ( pasal
508 KUHPdt )
C. HAK KEBENDAAN
Pengertian dari hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda
dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan
dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepada orang yang mempunyai hak kebendaan dapat
menikmati hak kebendaan sepuas – puasnya atau dapat berbuat apa saja
terhadap hak kebendaan itu.
50
Hukum perdata, pada prinsipnya mengenal ada 2 hak, yaitu :
1. Hak mutlak / absolut : hak yang dimiliki setiap orang, dan harus dihormati
oleh setiap orang.
Hak mutlak dibedakan atas :
a. Hak pribadi / hak kemerdekaan.
b. Hak dalam hukum keluarga.
c. Hak kebendaan.
Jadi hak kebendaan adalah salah satu macam dari hak mutlak
2. Hak relatif / nisbi adalah hak yang timbul karena hubungan individu yang
satu dengan yang lain, hak ini hanya dapat dipertahankan oleh orang –
orang tertentu ( timbul dari hukum perikatan )
D. HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN KENIKMATAN
1. Hak Milik ( EIGENDOM ------ Pasal 570 KUHPdt )
Eigendom atau hak milik adalah hak menikmati suatu benda dengan
sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu sebebas – bebasnya.
Hak milik adalah hak yang paling sempurna dibandingkan dengan hak – hak
lainnya. Hal ini dapat disimpulkan dari :
a. yang mempunyai benda berhak menikmati.
Ex. Memungut hasil buah diatas pohon
b. yang mempunyai benda berhak untuk menguasai.
Ex. Dapat berbuat apa saja terhadap benda tersebut.
Hal ini berbeda dengan hak kebendaan lain, misalnya hak tanggungan
(gadai, hipotik), dalam hal ini haknya terbatas yaitu hanya memberikan
penguasaan kepada orang tertentu untuk mengambil pelunasan hutang.
Akan tetapi meskipun hak milik dapat dikuasai sebebas – bebasnya
ada batas yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Undang – undang
2. Kepentingan orang lain.
3. Lingkungan
51
Ex. A mempunyai tanah kemudian membangun tembok tinggi. Hal ini berarti
telah terjadi penyalagunaan hak ( misbruik van rech/abus-du-droit ).
Ciri – ciri hak milik adalah sebagai berikut :
1. Merupakan hak induk terhadap hak kebendaan yang lain.
Ex. Dari hak milik akan melahirkan hak pakai, hak memungut hasil dan
hak gadai.
2. Merupakan hak yang selengkap – lengkapnya.
Artinya orang yang mempunyai hak milik suatu benda dapat dengan
bebas untuk melakukan perbuatan hukum maupun perbuatan materiil
terhadap bendanya.
3. Hak milik mempunyai sifat yang tetap.
Artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan lain.
Ex. Hak milik yang dibebani hak memungut hasil, maka hak milik itu tetap
ada.
4. Hak milik mengandung benih dari semua hak kebendaan lain.
Penggunaan hak milik ini mempunyai pembatasan – pembatasan
tertentu, yaitu :
1. Penggunaan hak milik tidak boleh bertentangan dengan undang –
undang dan peraturan – peraturan umum ( pasal 570 KUHPdt ).
2. Penggunaan hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan ( pasal 570
KUHPdt ).
3. Adanya kemungkinan pencabutan hak milik untuk kepentingan umum
(pasal 570 KUHPdt).
4. Pembatasan oleh hukum tetangga, misalnya adanya kewajiban untuk
menerima aliran air dari tanah yang lebih tinggi ke tanah yang lebih
renda, jadi tidak boleh membendungnya.
5. Dalam mempergunakan hak milik tidak boleh melakukan
penyalagunaan hak.
Cara untuk memperoleh hak milik ( Eigendom ) ini diatur dalam pasal
584 KUHPdt. Dimana ada 5 cara untuk memperoleh hak milik, yaitu :
1. Pendakuan / pemilikan / pengambilan ( toeeigening).
52
2. Perlekatan / ikutan ( natrekking ).
3. Daluarsa / lewat waktu ( verjaring ).
4. Pewarisan ( erf op volging ).
5. Penyerahan ( levering ).
Setelah berlakunya UU No. 5 / 1960, khusus terhadap tanah sudah tidak bisa
lagi orang memperoleh tanah secara ikutan. Demikian juga terhadap
pendakuan dan daluarsa.
KETERANGAN :
1. Pendakuan
Pendakuan diatur dalam pasal 585 KUHPdt, yaitu pendakuan dari barang
– barang bergerak yang belum ada pemiliknya / tidak ada pemiliknya
(Res Nullius).
2. Perlekatan / ikutan.
Benda itu melekat pada benda lain, sehingga benda itu menjadi satu.
Ikutan ( natrekking ) ini diatur dalam pasal 588 – 605 KUHPdt, yaitu
memperoleh benda itu karena benda itu mengikuti benda yang lain.
Misalnya : hak atas tanam tanaman, itu mengikuti tanah yang sudah
menjadi hak milik dari orang yang menanami itu.
INGAT !!!!!!
Sistem KUHPdt : Vertikal = tanah dan rumah jadi satu
Sistem agraria : Horizontal Scheiding ( pemisahan )
Contoh : rumah saja, pohon saja.
3. Daluarsa / lewat waktu.
Lampau waktu diatur dalam pasal 610 KUHPdt dan Buku IV KUHPdt.
Daluarsa ini hanya berlaku terhadap barang tetap.
Ada 2 macam verjaring, yaitu :
1. Acquisitive verjaring : hak memperoleh kebendaan.
2. Extinctive verjaring : dibebaskan dari suatu perutangan
53
Hak milik diperoleh dalam daluarsa hanya terhadap barang tetap, batas
waktunya ada dua, yaitu :
1. selama 20 tahun : apabila ada alas hak.
2. selama 30 tahun : tanpa alas hak
Syarat memperoleh hak milik dengan acquisitive verjaring, yaitu :
1. harus ada bezit sebagai pemilik / menguasai barang.
2. Bezitter itu harus te goeder trouw ( dengan itikat baik )
3. penguasaan terus menerus
4. tidak ada gangguan
5. diketahui oleh umum / orang banyak.
6. dikuasai selama 20 tahun atau 30 tahun
7. 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah.
8. 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak.
4. Pewarisan
Pewarisan ( erf op volging ) adalah salah satu cara untuk mendapatkan
hak kebendaan.
5. Penyerahan
Penyerahan / levering, harus ada alas hak / titel atau dasar ikatan hukum,
yaitu :
- jual beli
- tukar menukar
- pemberian / hibah
- warisan
- pendakuan
54
2. KEDUDUKAN BERKUASA ( BEZIT )
Kedudukan berkuasa atau yang lebih dikenal dengan bezit menurut
pasal 529 KUHPdt adalah keadaan memegang atau menikmati sesuatu
benda dimana seseorang menguasainya baik sendiri maupun dengan
perantaraan orang lain, seolah – olah itu adalah kepunyaannya sendiri.
Persoalan bezit ini berkaitan dengan pasal 1977 KUHPdt :
“ Terhadap benda bergerak tidak berupa bunga, maupun piutang yang
tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. “
Dalam bezit, ada dua unsur, yaitu :
1. Kekuasaan atas benda ( corpus ) orang itu harus menguasai benda
dengan itikad baik. Corpus mempunyai arti harus ada hubungan antara
orang yang bersangkutan dengan bendanya.
2. Animus, yaitu ada kemauan untuk memiliki. Suatu saat setelah dikuasaai
harus dimiliki. Hubungan antara orang dengan benda tersebut harus
dikehendaki oleh orang tersebut. Kehendak ini adalah kehendak yang
sempurna, artinya bukan kehendak dari anak kecil atau orang gila.
Bezitter yang beritikat baik dan yang beritikad buruk sama – sama
mendapat perlindungan hukum, namun perlindungan hukum terhadap bezit
yang beritikat baik lebih banyak dari bezitter yang beritikat buruk.
Perlindungan hukum terhadap bezitter yang beritikat baik adalah :
1. Bahwa bezitter sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di
muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik benda.
2. Bezitter mendapat penggantian ongkos – ongkos yang sudah
dikeluarkan untuk benda dibezitnya.
3. Hak mendapat buah dari bendanya.
4. Kemungkinan bahwa bezitter akhirnya menjadi pemilik dengan jalan
verjaring.
Sedangkan bagi bezitter yang beritikad buruk, hanya mendapat
perlindungan hukum yang pertama dan kedua saja. Apabila ia menikmati
55
segala hasil kebendaan, maka wajib mengembalikannya kepada yang lebih
berhak. Selain itu tidak ada kemungkinan bagi bezitter yang beritikad buruk
untuk menjadi pemilik kebendaan dengan cara verjaring.22
Bezit sendiri mempunyai 2 fungsi, yaitu :
1. Fungsi polisionil, yaitu orang yang menguasai dengan itikad baik
mendapat perlindungan hukum atas barang yang dikuasainya.
2. Fungsi zakenrechtelijk, merupakan fungsi hukum yaitu suatu ketika orang
yang menguasai itu akan menjadi pemilik dari benda yang dikuasainya
(pasal 545 KUHPdt)
Mengenai cara memperoleh bezit, menurut ketentuan pasal 538 KUHPdt,
bezit atas sesuatu benda itu diperoleh dengan tindakan berupa
menempatkan sesuatu benda itu di dalam kekuasaannya dengan maksud
untuk tetap mempertahankannya bagi diri sendiri :
Cara memperoleh bezit pada asasnya dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Cara Occupatio ( mendaku ) menduduki benda.
Cara ini dikatakan memperoleh bezit bersifat orisinil, ( asli ), artinya
memperolehnya sendiri tanpa bantuan dari orang yang membezit lebih
dahulu. Tertuju pada benda bergerak yang tidak ada pemiliknya.
Dengan cara ini dapat berlaku terhadap benda bergerak maupun tidak
bergerak.
2. Cara Traditio ( penyerahan bendanya ).
Sifatnya bukan lagi orisinil, tetapi bersifat derivatief, artinya
memperolehnya dengan bantuan dari orang yang membezit lebih
dahulu. Diperoleh dari tangan bezitter lama ke tangan bezitter yang
baru.
22 Hak kebendaan yang dapat dimiliki dengan cara verjaring oleh bezitter adalah hanya benda yang tidak bergerak selain tanah, seperti mesin – mesin pabrik yang pemakaiannya yang pemakainya diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.
56
Mengenai membezit benda tetap, ada beberapa pendapat, yaitu :
1. Ajaran Anaal Bezit
Seseorang yang membezit benda tak bergerak, baru menjadi bezitter
dari benda itu setelah mendudukinya selama 1 tahun terus menerus
(pasal 545).
2. Seseorang yang membezit langsung menjadi bezitter ( seperti benda
bergerak ).
3. Langsung menjadi bezitter, tetapi orang yang sebenarnya berhak masih
dapat menggugat / meminta kembali barang tersebut.
3. HAK MEMUNGUT HASIL
Menurut pasal 756 KUHPdt hak memungut hasil dari barang orang lain
seolah – olah seperti pemilik dengan kewajiban untuk memelihara barang itu
supaya tetap adanya. Apabila sesorang mempunyai hak memungut hasil
atas benda orang lain, maka orang tersebut memiliki hak :
1. Hak untuk memungut hasilnya atau buahnya barang.
Ex. Ternak, tanah, rumah adalah barang – barang yang mengahsilkan
buah.
2. Hak untuk memakai barang tersebut.
Ex. Memakai / mempergunakan perkakas rumah, kendaraan, pakaian
dan lainnya. Jadi sesuai dengan istilahnya VRUCHT ialah hasil, sedang
GEBRUIK ialah memakai / mempergunakan.
Hak memungut hasil dapat meletak atas benda bergerak maupun
tidak bergerak, tetapi seperti di tentukan dalam pasal 756 KUHPdt bahwa
barang yang dibebani hak memungut hasil itu harus tetap adanya. Pada
waktu hak memungut hasil itu berakhir, barang tersebut harus dikembalikan
kepada pemilik seperti keadaan semula. Hak memungut hasil tidak boleh
mengubah tujuan – tujuan dari benda – benda tersebut dan harus menjaga
supaya barang – barang tetap dalam keadaan baik. Dengan demikian hak
memungut hasil itu hanya dapat dibebankan atas barang, yang tidak dapat
57
dipakai habis. Dari pasal 763 KUHPdt dapat disimpulkan bahwa hak
memungut hasil bisa meletak atas barang – barang yang tidak berwujud
seperti piutang.
Menurut pasal 759 KUHPdt seseorang dapat memperoleh hak memungut
hasil benda milik orang lain karena undang – undang atau karena kehendak
di pemilik. Namun demikian KUHPdt tidak mengatur lebih lanjut dalam hal
apa dan bagaimana menurut undang – undang seseorang memperoleh
hak memungut hasil tersebut. Dalam hal pemilik benda menghendaki orang
lain memperoleh hak memungut hasil atas bandanya, maka ia dapat
menghibahkan atau mewasiatkannya.
Apabila orang mempunyai hak memungut hasil, maka ia memiliki
kewajiban – kewajiban sebagai berikut :
a. Mengadakan inventarisasi ( membuat catatan / daftar ) terhadap benda
– benda itu atas biaya sendiri.
b. Menunjuk penanggung – penanggung atau mengadakan jaminan –
jaminan guna menjamin bendanya akan digunakan sebaik – baiknya
dan menjamin pula bahwa pada saat haknya berakhir, benda itu akan
dikembalikannya.
c. Pada waktu menggunakan hak memungut hasil,harus mengadakan
perbaikan – perbaikan atas bendanya, memikul biaya dan pajak yang
diperlukan dalam melakukan pengawasan bendanya dan bertindak
sebagai bapak rumah tangga yang baik.
d. Mengembalikan benda seperti keadaan semula pada waktu terjadinya
hak memungut hasil. Kalau terjadi kerusakan – kerusakan atau kerugian
atas benda tersebut harus diganti.
Menurut pasal 807 KUHPdt hak memungut hasil hapus karena :
1. Meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut.
2. Habisnya waktu yanng diberikan untuk hak tersebut.
3. percampuran ( tadinya mempunyai hak memungut hasil kemudian
berubah menjadi pemilik ).
4. Adanya pelepasan hak oleh orang yang mempunyai hak itu.
58
5. Verjaring yaitu apabila selama 30 tahun si pemilik hak tidak
menggunakannya.
6. binasanya benda.
4. HAK PAKAI DAN HAK MENDIAMI
Pasal 818 KUHPdt menyatakan bahwa hak pakai dan hak mendiami
itu adalah merupakan hak kebendaan yang cara terjadinya dan hapusnya
adalah sama seperti hak memungut hasil. Hak mendiami merupakan hak
pakai kediaman, jadi intinya hak pakai dan hak mendiami adalah sama
hanya obyeknya berbeda. Menurut pasal 821 KUHPdt, hak pakai ini hanya
diperuntukkan terbatas pada diri si pemakai dan keluarganya ( keluarga
dalam rumah tangga ). Si pemakai tidak boleh menyerahkan atau
menyewakan haknya kepada orang lain ( 823 KUHPdt ). Menurut pasal 819
KUHPdt kewajiban si pemakai benda sama dengan kewajiban orang yang
mempunyai hak memungut hasil, yakni :
1. Kewajiban untuk membuat catatan / daftar terhadap bendanya.
2. Mengadakan jaminan atau memakai bendanya sebaik – baiknya.
3. Memelihara bendanya sebagai bapak rumah tangga yang baik.
4. Memikul semua biaya guna perbaikan – perbaikan dan pajak terhadap
benda.
5. Mengembalikan barangnya pada waktu berakhirnya hak pakai.
E. HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN
1. Jaminan Gadai
Gadai ialah suatu hak yang diperoleh kreditur atau suatu barang
bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas
namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan
kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih
dahulu dari kreditur – kreditur lainnya, kecuali biaya – biaya untuk melelang
59
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda
itu, biaya – biaya mana yang harus didahulukan ( pasal 1150 KUH Pdt ).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Subyek gadai :
Pemegang atau penerima gadai adalah kreditur. Pemberi gadai adalah
debitur atau orang lain atas namanya.
b. Obyek gadai adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak
berwujud yaitu yang berupa surat – surat piutang atas bawa, atas tunjuk
dan atas nama.
c. Pemegang gadai menjadi kreditur prefeken, artinya dalam mengambil
pelunasan dari penjualan barang gadai didahulukan daripada kreditur –
kreditur lainnya kecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu
didahulukan.
Hak gadai diadakan dengan memenuhi syarat – syarat tertentu yang
berbeda menurut jenis dan barangnya :
a. Cara mengadakan hak gadai benda bergerak yang berwujud dan surat
piutang atas bawa :
1. Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai. Perjanjian inii
bentuknya dalam KUH Pdt tidak diisyaratkan apa – apa, oleh
karenanya bentuk perjanjian gadai dapat bebas tak terikat oleh suatu
bentuk yang tertentu. Artinya perjanjian bisa diadakan secara tertulis
dengan akte notaris ( jadi merupakan akte otentik ), bisa juga
diadakan dengan akte di bawah tangan saja.
2. Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan
/ berada diluar kekuasaan dari si pemberi gadai ( inbezitstelling ).
Dengan kata lain perkataan barangnya itu harus berada dalam
kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUH
Pdt bahwa gadaiitu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada
dalam kekuasaan si pemberi gadai ( pasal 1152 KUH Pdt )
60
b. Cara mengadakan hak gadai piutang atas nama :
1. Harus ada perjanjian gadai.
2. Harus ada pemberitahuan kepada debitur dari piutang yang
digadaikan itu.
c. Cara mengadakan hak gadai piutang atas tunjuk :
1. Harus ada perjanjian gadai
2. Harus ada endossmen ( menulis dibalik surat piutang tersebut )
kemudian surat piutang itu diserahkan kepada pemegang gadai.
Dengan adanya perjanjian gadai, maka menimbulkan hak dan kewajiban
pada pemegang gadai sebagai berikut :
a. Hak – hak pemegang gadai :
1. Apabila debitur wanprestasi, pemegang gadai berhak untuk menjual
benda yang digadaikan atas kekuasaannya sendiri kemudian
mengambil sebagian untuk melunasi utang debiturdan sisanya
dikembalikan kepada debitur ( pasal 1155 KUH Pdt )
2. Si pemegang gadai berhak mendapatkan pengembalian ongkos
yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnnya ( pasal 1157
ayat 2 KUH Pdt )
3. Si pemegang gadai mempunyai hak refensi yakni menahan benda
yang digadaikan. Hak refensi ini terjadi apabila setelah adanya
perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian utang yang kedua
antara para pihak dan utang yang kedua ini sudah dapat ditagih
sebelum pembayaran utang pertama, maka si pemegang gadai
menang untuk menahan benda itu sampai kedua macam utang itu
dilunasi ( pasal 1159 ayat 2 KUH Pdt)
b. Kewajiban pemegang gadai :
1. Si pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau
merosotnya harga benda yang digadaikan, apabila semua itu terjadi
atas kelalaiannya ( pasal 1157 ayat 1 KUH Pdt )
2. Si pemegang gadai tidak diperbolehkan untuk menggunakan barang
gadai untuk keperluannya sendiri. Jika si pemegang gadai menyalah
61
gunakan barang tersenut maka barang itu dapat diminta kembali
oleh pemberi gadai.
Perjanjian gadai merupakan perjanjian accesoir yakni perjanjian selalu
bersandar pada perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjam meminjam
uang. Oleh karena itu apabila utang yang dijamin dengan gadai sudah
lunas, maka hak gadai itu hapus apabila barang gadai keluar
dari kekuasaan si pemegang gadai.
2. JAMINAN FIDUCIA
a. Pengertian Fiducia.
Jaminan fiducia ini diatur dalam UU No. 42 tahun 1999. Menurut pasal
1 ayat 2 UU tersebut, jaminan fiducia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam UU no. 4 tahun 1996 tentang hak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fiducia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fiducia terhadap kreditur
lainnya.
Menurut UU No. 42 tahun 1999, pemberi fiducia adalah orang
perseorangan atau kerjaorasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan
fiducia. Penerima fiducia adalah orang atau kerjaorasi yang mempunyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fiducia. Obyek
fiducia adalah benda bergerak berwujud dan tidak berwujud serta
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan misalnya bangunan
di atas tanah milik orang lain kecuali diperjanjikan lain, jaminan fiducia
meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fiducia serta meliputi
klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fiducia
diasuransikan. Benda – benda yang dijadikan obyek jaminan fiducia tersebut
tetap dikuasai oleh pemberi fiducia.
62
b. Sifat Jaminan Fiducia
Jaminan itu sebagaimana halnya pada gadai merupakan perjanjian
yang accesoir, merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
yang berupa perjanjian pinjam meminjam ( pasal 4 ). Jadi adanya dan
hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. Jaminan fiducia mempunyai
sifat KAAKSGEVOLG yakni tetap mengikuti benda yang menjadi obyek
jaminan fiducia dalam tangan siapapun benda tersebut berada kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fiducia
(pasal 20).
c. Cara Mengadakan Hak Jaminan Fiducia
Jaminan fiducia itu menganut asas publiciteit yaitu asas yang
mengharuskan bahwa jaminan fiducia itu harus didaftarkan supaya dapat
diketahui oleh umum. Selain itu juga menganut asas specialiteit yaitu asas
yang menghendaki bahwa jaminan fiducia hanya dapat diadakan atas
benda – benda yang ditujukan secara khusus. Cara mendaftarkan jaminan
adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian jaminan fiducia yang berisi pembebanan benda dengan
jaminan Fiducia harus dibuat dengan akta notaris ( akta otentik ) dalam
bahasa Indonesia.
2. Penerima Fiducia, kuasa akan wakilnya wajib mendaftarkan jaminan
Fiducia pada kantor pendaftaran Fiducia dengan melampirkan
pernyataan pendaftaran jaminan Fiducia.
3. Kantor pendaftaran Fiducia mencatat jaminan Fiducia dalam buku
daftar Fiducia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran.
4. Kantor pendaftaran Fiducia menerbitkan dan menyerahkan kepada
penerima Fiducia sertifikat jaminan fiducia pada tanggal yang sama
dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.
63
5. Jaminan Fiducia habis pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya jaminan Fiducia dalam buku daftar Fiducia.
d. Hak dan Kewajiban Para Pihak
1. Hak dan kewajiban penerima fiducia.
Hak penerima fiducia :
a. Mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek
jaminan fiducia atas kekuasaannya sendiri apabila debitur
wanprestasi.
b. Apabila benda jaminan fiducia berupa benda persediaan dan
benda tersebut dialirkan oleh pemberi jaminan, maka apabila
pemberi fiducia wanprestasi, hasil pengalihan dan atau tagihan
yang timbul karena pengalihan demi hukum menjadi obyek
fiducia pengganti dari obyek jaminan fiducia yang dialihkan.
c. Mempunyai hak didahulukan pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan benda jaminan fiducia, terhadap kreditur lainnya.
Jadi penerima fiducia menjadi kreditur preferen. Hal ini tidak hapus
karena adanya kepailitan dan likuidasi pemberi fiducia.
d. Mendapat klaim asuransi bila benda jaminan fiducia yang
diasuransikan musnah.
Kewajiban Penerima Fiducia :
a. Wajib mendaftarkan jaminan fiducia ke kantor pendaftaran
fiducia.
b. Bila terjadi perubahan mengenai hal – hal yang tercantum dalam
sertifikat jaminan fiducia, wajib mengajukan permohonan
pendaftaran perubahan tersebut ke kantor pendaftaran fiducia.
c. Memberitahukan hapusnya jaminan fiducia kepada kantor
pendaftaran fiducia dengan melampirkan pernyataan mengenai
hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang
menjadi obyek jaminan fiducia.
64
d. Wajib mengembalikan kelebihan uang kepada pemberi fiducia
apabila hasil eksekusi benda jaminan fiducia melebihi nilai
penjaminan.
2. Hak dan kewajiban pemberi fiducia.
Hak Pemberi fiducia:
Pemberi fiducia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi
obyek jaminan fiducia dengan car dan prosedur yang lazim dilakukan
dalam usaha perdagangan.
Kewajiban Pemberi Fiducia:
a. Dilarang melakukan fiducia ulang terhadap benda jaminan
fiducia yang sudah terdaftar
b. Wajib mengganti benda persediaan yang telah dialihkan dengan
obyek yang setara.
c. Dilarang mengalihkan,menggadaikan, atau menyewakan kepada
pihak lain benda yang mejadi obyek jaminan fiducia yang tidak
merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis
dari penerima fiducia.
d. Wajib menyerahkan benda obyek jaminan fiducia dalam rangka
pelaksanaan eksekusi.
e. Bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar apabila hasil
eksekusi benda jaminan fiducia tidak mencukupi untuk pelunasan
utang.
f. Hapusnya Jaminan Fiducia
Menurut pasal 25 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999, jaminan fiducia hapus
karena hal -hal sebagai berikut :
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fiducia.
2. Penerima Fiducia melepaskan hak atas jaminan fiducia.
3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fiducia. Penerima
fiducia memberitahukan kepada kantor pendaftaran.
65
Fiducia mengenai hapusnya jaminan fiducia dengan melampirkan
pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau
musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fiducia tersebut ( pasal
25 ayat 2 ). Berdasarkan pemberitahuan tersebut, kantor pendaftaran
fiducia mencoret pencatatan jaminan fiducia dari buku daftar fiducia.
Kemudian kantor pendaftaran fiducia menerbitkan surat keterangan
yang menyatakn sertifikat jaminan fiducia tidak berlaku lagi.
3.JAMINAN HIPOTIK
a. Pengertian dan sifat Hipotik
Menurut pasal 1162 KUH Pdt, hipotik adalah suatu hak kebendaan
atas benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan perutangan. Setelah berlakunya UU Ps, ketentuan – ketentuan
mengenai hipotik atas tanah menurut KUH Pdt ini masih berlaku meskipun
pasal – pasal atau ketentuan – ketentuan yang mengatur bumi, air serte
kekayaan yang terkandung di dalamnya telah dicabut. Namun ketentuan –
ketentuan mengenai hipotik atas tanah tersebut kemudian dicabutoleh UU
No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan. Dengan demikian setelah
berlakunya UU No. 4 Tahun1996, ketentuan – ketentuan mengenai Hipotik
dalam KUH Pdt hanya berlaku terhadap benda tidak bergerak selain tanah,
misalnya hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3
atau lebih.
Hipotik merupakan perjanjian yang accesoir ( perjanjian sampiran ),
yakni perjanjian yang selalu bersandar pada perjanjian pokok yang berupa
pinjam meminjam uang. Dengan demikian adanya dan hapusnya
tergantung pada perjanjian pokok. Hipotik mempunyai sifat zaaksgevolg,
yaitu senantiasa mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu
berada ( pasal 1163 ayat 2 KUH Pdt ). Piutang yang dijamin dengan hipotik
merupakan piutang preferen yaknilebih didahulukan pelunasannya dari
piutang yang lain ( pasal 1133,1134 ayat 2 KUH Pdt ). Sebagaimana jaminan
gadai dan fiducia, menurut pasal 1178 KUH Pdt, hak hipotik hanya berisi hak
66
untuk pelunasan utang saja dan tidak mengandung hak untuk
menguasai/memiliki bendanya, namun diberi hak untuk memperjanjikan
menjual atas kekuasaan sendiri bendanya apabila debitur wanprestasi.
b. Cara Mengadakan Jaminan Hipotik
Hipotik menganut asas publiciteit yaitu asas yang mengharuskan
hipotik itu harus didaftarkan supaya dapat diketahui oleh umum. Perjanjian
Hipotik harus diadakan dengan akta notaris ( pasal 1171 KUH Pdt ). Menurut
KUH Pdt akta – akta dari hipotik harus didaftarkan kepada kantor kadaster (
kantor pertanahan ). KUH Pdt menentukan demikian karena hipotik menurut
KUH Pdt meliputi hipotik atas tanah. Permasalahannya setelah berlakunya UU
No. 4 tahun 1996 tantang hak tanggungan dimana obyek hipotik hanya
benda tidak bergerak selain tanah, belum ada ketentuan yang mengatur
karena akta hipotik tersebut harus didaftarkan. Hipotik juga menganut asas
specialiteit yakni asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat
diadakan atas benda – benda yang ditujukan secara khusus.
Sebuah benda tak bergerak ( selain tanah ) itu dapat dihipotikkan
lebih dari satu kali. Bila terjadi demikian, maka para pemegang hipotik itu
lalu diberi nomor urut misalnya pemegang hipotik I, pemegang hipotik II dan
seterusnya. Nomor urut berdasarkan tanggal pendaftaran masing – masing
hipotik. Jika debitur wanprestasi, maka pelunasannya menurut urutan
terjadinya hipotik. Hipotik yang lebih dahulu terjadi itulah yang dillunasi lebih
dahulu, jika hipotik I sudah lunas maka hipotik II menjadi hipotik I, dan
seterusnya.
Isi dari akta hipotik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Isi yang wajib
Berisi hal – hal yang wajib dimuat, yakni pertelaan ( perincian ) mengenai
benda apa yang dibebani hipotik.
2. Isi yang fakultatif
Berisi hal – hal yang secaar fakultatif dimuat, yaitu yang berisi janji – janji /
beding yang diadakan antara pihak – pihak ( debitur dan kreditur ).
67
c. Hapusnya HIpotik
Menurut pasal 1209 KUHPdt, hipotik itu hapus karena alasan – alasan
sebagai berikut :
1. piutang kreditur yang dijamin dengan hipotik sudah lunas.
2. kreditur melepaskan hipotik.
3. penetapan tingkat oleh hakim, cara ini dinamakan juga adanya
pembersihan benda dari beban – beban hipotik.
Selain menurut ketentuan seperti tersebut di atas, di luar KUHPdt masih ada
cara – cara hapusnya hipotik menurut Volmar karena adanya pencampuran
utang, kreditur menjadi pemilik dari benda yang dihipotikkan dan karena
adanya verjaring dalam waktu tertentu.
4. HAK TANGGUNGAN
a. Pengertian dan Sifat Hak Tanggungan
Hak tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjutnya disebut hak tanggungan debitur dalam UU
No. 4 tahun 1996. Menurut pasal 1 ayat 1 UU tersebut hak tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria
( UUPA ), berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur – kreditur yang lain.
Pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan
hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Pemegang hak
tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Jenis utang yang dapat dijamin dengan hak tanggungan adalah :
1. Utang yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu.
68
2. Utang yang jumlahnya dapat ditentukan pada saat eksekusi berdasarkan
perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang
piutang.
Obyek hak tanggungan menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 4 tahun 1996
adalah :
1. Hak milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan tangankan.
b. Cara Pemberian Hak Tanggungan
Hak tanggungan menganut asas publiciteit, artinya pemberian hak
tanggungan tersebut harus didaftarkan, yang didaftarkan adalah akta
pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT ( Pejabat Pembuat Akta
Tanah ) kepada Kantoir Pertanahan. Selain itu juga menganut asas
specialiteit artinya bahwa hak tanggungan hanya dapat diadakan atas
obyek hak tanggungan secara khusus. Misalnya : tanah yang dipakai
sebagai tanggungan itu dimana letaknya, berapa luasnya, dimana
pembatasannya dan sebagainya.
Cara pemberian hak tanggungan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
hak tanggungan sebagai jaminan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan. Pemberian hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan ( APHAT ) oleh
PPAT.
2. Paling lambat 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib
mengirimkan APHAT kepada kantor Pertanahan.
3. Oleh Kantor Pertanahan hak tanggungan didaftar denganh
membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam
69
buku tanah hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hak tanggungan lahir pada
hari dan tanggal tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat – surat yang diperlakukan bagi
pendaftarannya.
4. Kantor pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak tanggungan
dengan kepala : demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,
dan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan. Sertifikat hak
tanggungan ini mempunyai kekuasaan eksekutorial seperti grosse akte
hipotik. Sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan hak
tanggungan dikembalikan kepada pemilik / pemegang hak kecuali
diperjanjikan lain.
c. Eksekusi Hak Tanggungan.
Apabila debitur wanprestasi atau pailit, maka pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak
tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dengan hak
mendahului dari pada kreditur – kreditur lainnya ( pasal 6 6, 20 ayat 1, 21 UU
No. 4 tahun 1996 ). Titel eksekutorial ini terdapat dalam sertifikathak
tanggungan. Atas kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak
tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di
bawah tangan jika akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak. Pelaksanaan penjualan demikian hanya dapat dilakukan
setelah lewat 1 ( satu ) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
dan atau pemegang hak tanggungan kepada pihak – pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta
tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Pelaksanaan eksekusi yang
bertentangan dengan cara seperti tersebut di atas adalah batal demi
hukum ( pasal 20 ayat 4 UU No. 4 tahun 1996 ).
70
D. Hapus Hak Tanggungan
Menurut pasal 18 UU No. 4 tahun 1994, hak tanggungan hapus karena
hal – hal sebagai berikut :
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.
2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan yang
harus dinyatakan secara tertulis.
3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
ketua pengadilan.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, namun hal
demikian tidak menghapuskan utang yang dijamin.
71
BAB V
HUKUM PERIKATAN
A. PERIKATAN PADA UMUMNYA
I. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan Dalam KUHPdt
Pengaturan hukum perikatan pada KUHPdt Buku II terdiri dari 18 bab,
bagian – bagian dan pasal – pasal. Berikut ini rincian bab yang mengatur
mengenai hukum perikatan, yaitu :
Bab I : Ketentuan Umum : pasal 1352
Bab II : Perikatan lahir dari perjanjian : pasal 1313
Bab III : Perikatan lahir dari undang – undang : pasal 1352 dan 1353
Bab IV : Hapusnya perikatan
Bab V – XVIII : Ketentuan Khusus : Perjanjian Khusus
Ketentuan umum merupakan asas, prinsip – prinsip dasar dari perikatan.
Semua ketentuan umum berlaku bagi ketentuan khusus, sepanjang dalam
ketentuan umum tidak diatur secara khusus.
Buku III KUHPdt pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap,
maka buku III KUHPdt menganut sistem “ terbuka “, artinya orang dapat
mengadakan perjanjian – perjanjian lain selain dari yang diatur dalam
KUHPdt. Lain dengan buku II yang menganut sistem “ tertutup “, artinya
orang tidak dapat membuat atau memperjanjikan hak – hak kebendaan
lain, selain dari yang diatur dalam KUHPdt.
2. Pengertian Perikatan
Perikatan adalah hubungan hukum di dalam lapangan hukum
kekayaan antara 2 orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas
suatu prestasi dan pihak lain berkewajiban melaksanakan prestasi.
Pihak yang berhak atas suatu prestasi disebut sebagai kreditur, sedangkian
pihak yang berkewajiban melaksanakan prestasi disebut debitur.
72
Istilah kreditur dan debitur merupakan istilah hukum dalam arti luas. Kreditur
sebagai orang yang berpiutang ( taguhan ) mempunyai hak tagih. Debitur
sebagai orang yang berhutang, yaitu mempunyai kewajiban untuk
membayar, melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu.
Ada 3 unsur yang harus ada dalam perikatan, yaitu :
1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan antara 2 orang yang
mempunyai akibat hukum. Cirinya : apabila dilanggar, maka pihak lain
dapat menuntut. Tidak semua hubungan adalah hubungan hukum.
Ex. Pasal 1774 KUHPdt ( perjudian termasuk natuurlijk verbitenissen ), tidak
dapat dituntut, demikian juga terhadap pasal 1359 ( 2 ) KUHPdt tentang
perikatan alam / bebas.
2. Lapangan hukum kekayaan : hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang.
3. Ada 2 pihak, yaitu kreditur dan debitur.
4. Isi dan tujuan, yaitu prestasi.
Pada perkembangannya, istilah perikatan mempunyai beberapa
padanan, yaitu :
1. Hukum perutangan
2. Hukum perjanjian
3. Verbintenis / hukum perikatan
Hukum perikatan itu hubungan hukum yang bersifat abstrak, hanya ada
dalam pikiran kita. Selain perikatan terdapat istilah perjanjian, yaitu
perbuatan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara 2 orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi, sedang pihak yang
lain berkewajiban melaksanakan prestasi. Ada kalanya dipergunakan istilah
kontrak, hal ini untuk menunjukkan bahwa perjanjian tersebut bentuknya
tertulis.
Perbedaan antara perikatan dan perjanjian adalah apabila perikatan
merupakan suatu hubungan hukum, sedangkan perjanjian adalah
perbuatan hukum ( bersifat konkrit – nyata ). Oleh karena itu, salah satu
73
sumber perikatan adalah perjanjian. Dengan lain kata perjanjian ini
menimbulkan hubungan hukum.
Perikatan belum tentu perjanjian, tetapi apabila perjanjian sudah pasti
perikatan.
Pendapat Sudikno : antara perjanjian dan perikatan sudah tidak ada jarak.
Kontrak adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Dalam
praktek pengertian kontrak dipersempit, misal kontrak pemborongan, misal
pemborongan kerja.
Perjanjian menurut bentuknya :
a. perjanjian dibuat secara lisan.
b. Perjanjian dibuat secara tertulis
Kekuatan hukum terhadap perjanjian secara lisan sama dengan perjanjian
tertulis.
3. Subyek dan Obyek Perikatan
Obyek perikatan adalah prestasi, yaitu kewajiban yang harus
dilakukan oleh debitur sesuai dengan telah diperjanjikan. Sebenarnya tujuan
atau hakekat perikatan adalah pelaksanaan prestasi. Adapun wujud
prestasi adalah seperti yang diatur oleh pasal 1234 KUHPdt, yaitu :
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu
Subyek dalam perikatan adalah kreditur dan debitur. Subyek harus
memenuhi syarat – syarat ( pasal 1320 KUHPdt ), yaitu cakap melakukan
perbuatan hukum. Di dalam perjanjian barter, kedua pihak berposisi sebagai
kreditur dan debitur apabila belum dilaksanakan. Tetapi jika salah satu sudah
menyerahkan, maka posisi berbeda.
74
4. Jenis – Jenis Perikatan
Jenis – jenis perikatan dapat dibedakan menurut :
a. Sifat daripada prestasinya
1. a. Perikatan positif, ialah perikatan yang prestasinya berupa
perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu.
b. Perikatan negatif, ialah perikatan yang prestasinya berupa tidak
berbuat sesuatu. Misalnya : tidak akan mendirikan gedung.
2. a. Perikatan sepintas lalu ( sementara ), ialah perikatan yang
prestasinya cukup hanya dilakukan dalam satu perbuatan saja
dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai.
Misalnya : Jual beli
b. Perikatan berkelanjutan ( terus menerus ), ialah perikatan yang
prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Misalnya : Sewa – menyewa, perjanjian kerja
3. a. Perikatan alternatif, ialah perikatan dimanaa debitur berkewajiban
melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik
menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan
pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi
mengakhiri perikatan. Menurut pasal 1273 KUHPdt kecuali
ditentukan secara tegas bahwa pilihan diserahkan kepada
debitur, maka deniturlah yang berhak memilih.
Misalnya : A boleh melever semen atau kayu atau batu merah.
b. Perikatan fakultatif, ialah suatu perikatan yang objeknya hanya
berupa satu prestasi, baru kemudian apabila prestasi yang
ditentukan tidak ada debitur dapat menggantikan dengan
prestasi lain. Misalnya : A harus melever mobil, kalau tidak ada
boleh diganti dengan rumah.
c. Perikatan sederhana atau bersahaja, ialah periukatan yang
prestasinya tidak mempunyai obyek yang banyak ( obyeknya
tunggal ). Misalnya : A membeli mobil atau membeli rumah.
75
d. Perikatan cumulatif, ialah perikatan yang prestasinya mempunyai
obyek yang banyak ( lebih dari satu ). Misalnya : A melever
mobil, rumah, computer dan almari.
4. a. Perikatan generik, ialah perikatan dimana obyeknya ditentukan
menurut jenis dan jumlahnya. Misalnya : A melever 1 kwintal gula
pasir.
b. Perikatan specifik, ialah perikatan yang obyeknya ditentukan
secara terperinci. Misalnya : A melever 10 kg, cat warna merah
merek Avia.
5. a. Perikatan yang dapat dibagi – bagi ( Deelbaar Verbentenis ) ialah
perikatan yang prestasinya dapat diangsur bagian demi bagian,
sebab tiap – tiap bagian itu tidak mengurangi nilai keseluruhan.
Misalnya : Melever emas, beras, perak dapat diangsur apabila
diperjanjikan.
b. Perikatan yang tidak dapat dibagi – bagi ( Ondeelbaar
Verbentenis ) ialah perikatan yang prestasinya tidak dapat
diangsur bagian demi bagian, karena tiap – tiap bagian akan
mengurangi nilai secara keseluruhan. Misalnya : melever intan,
sepatu, telur tidak dapat diangsur bagian demi bagian karena
akan mengurangi nilainya.
6. a. Prestasi yang menurut naturnya atau sifatnya tidak dapat dibagi –
bagi. Misalnya : Intan, berlian.
b. Prestasi yang menurut maksud / tujuannya tidak dapat dibagi –
bagi. Misalnya : A harus melever beras 1 ton tanggal 1 februari
2007 untuk pesta saat itu juga.
2. Menurut subyek - subyeknya
Ditinjau dari subyek – subyeknya, terdapat perikatan yang disebut :
Perikatan solider atau perikatan tanggung renteng, ialah suatu perikatan
dimana terdapat lebih daripada seseorang kreditur masing – masing bagi
keseluruhan berhak atas suatu prestasi, atau terdapat lebih daripada
76
seorang debitur masing – masing dari keseluruhan berkewajiban untuk
menunaikan prestasi, pemenuhan prestasi mana mengakibatkan gugurnya
hak dan kewajiban bagi semuanya.
Ex. A, B, dan C berhutang bersama – sama kepada D. Disini D dapat
meminta pelunasan kepada A, B atau C saja yang dapat membebaskan
utang A, B dan C secara keseluruhan.
Perikatan tanggung renteng ada 2 macam, yaitu :
1. Perikatan tanggung renteng pasif, ialah perikatan tanggung renteng
dimana satu kreditur berhadapan dengan lebih dari seorang debitur.
Dalam perikatan tanggung renteng pasif ini kreditur boleh memilih
kepada debitur mana untuk meminta prestasi agar dilaksanakan.
Kedudukan kreditur dalam perikatan tanggung renteng pasif lebih
terjamin, karena ia dapat menuntut prestasi sepenuhnya daripada
masing – masing debitur.
2. Perikatan tanggunng renteng aktif, ialah perikatan tanggung renteng
dimana lebih daripada seorang kreditur berhadapan dengan seorang
debitur.
Pada umumnya, perikatan tanggung renteng terjadi karena 2 hal,
yaitu :
1. Diciptakan karena kemauan kedua belah pihak.
Menurut pasal 1278 KUHPdt terdapat perikatan tanggung renteng aktif
jika dalam persetujuan secara tergas dinyatakan bahwa kepada masing
– masing kreditur diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh
prestasi.
2. Ditetapkan oleh Undang – Undang.
Undang – undang hanya mengatur perikatan tanggung renteng pasif.
Ada beberapa macam perikatan tanggung renteng yang ditetapkan
oleh Undang – Undang, antara lain :23
- Pasal 563 ( 2 ) KUHPdt
23 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal – pasal yang tersebut di atas dalam KUHPdt.
77
- Pasal 1016 KUHPdt
- Pasal 1749 KUHPdt
- Pasal 1811 KUHPdt
- Pasal 1836 KUHPdt
c. Menurut Isi Dari Prestasinya
Ditinjau dari isi prestasinya, ada beberapa macam perikatan, yaitu :
1. a. Civiele Verbentenis ( perikatan hukum sipil ), ialah perikatan hukum
yang dapat dimintakan sanksi, artinya perikatan hukum yang dapat
dituntut di muka pengadilan.
Ex. Utang piutang karena jual beli suatu barang.
b. Natuurlijke Verbentenis ( perikatan hukum wajar ), ialah perikatan
hukum yang tidak dapat dimintakan sanksi artinya perikatan hukum
yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan.
Ex. Utang piutang karena perjudian.
2. a. Priciple Verbentenis ( perikatan hukum utama ), ialah perikatan hukum
yang mempunyai isi utama.
Ex. Pinjam meminjam uang.
b. Accessoire Verbentenis ( perikatan hukum sampiran ), ialah perikatan
hukum yang berstandart pada perikatan utama.
Ex. Gadai, hipotik.
3. a. Perikatan hukum primair ( asli ), ialah perikatan hukum yang pertama –
tama ada, jadi hampir sama dengan perikatan hukum utama.
Ex. Pertunjukan band tidak dapat diganti dengan pertunjukan
dangdut.
b. Perikatan hukum secundair, ialah perikatan hukum yang jika prestasi
pertama tidak dapat dilaksanakan, bisa diganti dengan prestasi
kedua.
Ex. Perikatan asli adalah pertunjukan Band apabila pertunjukan band
tersebut gagal diganti dengan dangdut.
78
d. Menurut Mulai dan Berakhirnya Perikatan.
Ditinjau dari mulai dan berakhirnya perikatan, ada beberapa macam
perikatan, yaitu :
1. Perikatan bersyarat ( pasal 1253 – 1267 KUHPdt )
Menurut pasal 1253 KUHPdt, perikatan bersyarat ialah perikatan
berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang belum
tentu terjadi, baik secara menangguhkan maupun secara membatalkan.
“ Syarat “ pada perikatan hukum bersyarat harus memenuhi ketentuan :
a. Syarat tidak boleh bertentangan dengan udang – undang.
b. Syarat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan.
c. Syarat yang dapat atau mungkin dilaksanakan.
d. Syarat yang ditetapkan oleh kedua belah pihak.
2. Perikatan hukum dengan ketetapan waktu ( pasal 1268 – 1271 KUHPdt )
Ialah suatu perikatan yang didasarkan atas kejadian di kelak kemudian
hari dan pasti terjadi. Menurut pasal 1268 KUHPdt, perikatan dengan
ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, akan tetapi
menangguhkan pelaksanaan. Jadi perjanjian telah mengikat sejak
perjanjian dibuat.
c. Menurut Sanksi Apabila Terjadi Wanprestasi.
Ditinjau dari sanksi apabila terjadi wanprestasi terdapat perikatan
hukum dengan ancaman hukuman, ialah perikatan hukum dimana untuk
menjamin pelaksanaannya, debiotur diwajibkan untuk melakukan
sesuatu jika perikatan tidak dipenuhi.
Ex. A berjanji untuk melever 10 ton beras 2 bulan lagi, jika tidak dapat
melever ia harus membayar Rp. 1.000.000,- ( satu juta rupiah ). Menurut
pasal 1305 KUHPdt, perikatan hukum dengan ancaman hukuman atau
poenale santie tidak merupakan sifat sendiri, melainkan merupakan
akibat daripada perjanjian. Jadi Poenale sanctie merupakan accessoire
verbentenis.
79
Perbedaan antara poenale sanctie dengan perikatan hukum biasa :
Pada Poenale Sanctie, sanksi sudah ditetapkan lebih dahulu sebelum
adanya wanprestasi. Sedang pada perikatan hukum biasa, sanksi
(hukuman) baru ada setelah ada wanprestasi. Jadi harus dibuktikan lebih
dahulu.
5. Prestasi dan Wanprestasi
a. Pengerian Prestasi
Prestasi adalah kewajiban debitur untuk melaksanakan apa yang
telah diperjanjikan. KUHPdt mengatur prestasi dalam pasal 1234 KUHPdt,
yaitu :
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu
3. Untuk tidak berbuat sesuatu.
Prestasi ini harus disertai dengan tanggungjawab.
Dalam kewajiban debitur, selalu ada 2 hal, yaitu SCHULD dan HAFTUNG. Hal
ini dapat digambarkan sebagai berikut :
A B
( kreditur ) ( Debitur )
Schuld Haftung
( hutang D pada K ) ( kekayaan debitur sebagai pelunasan –
hutang ( pasal 1131 KUHPdt ) )
Haftung selalu merujuk pada pasal 1131 KUHPdt yaitu :
“ Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”
Pasal 1131 KUHPdt ini dalam hukum jaminan disebut sebagai jaminan umum,
disebut sebagai jaminan umum karena 2 hal, yaitu :
80
1. bahwa sebagai jaminan adalah semua harta, baik bergerak maupun
tetap.
2. karena semua harta ini dijaminkan pada semua jaminan hutang /
kreditur.
Jadi semua kreditur mempunyai hak sama untuk mendapatkan pelunasan
utang debitur.
Ada penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, yaitu :
1. Ada schuld tanpa jaminan, dalam hal ini adalah utang piutang karena
perjudian pasal 1774 KUHPdt, hal ini tidak perlu dibayar karena tidak
dapat dituntut ke Pengadilan.
2. Schuld dengan haftung terbatas.
Hutang tetapi jaminannya terbatas pada benda – benda tertentu.
Ex. Haftung terbatas ( jaminan khusus )
- UU No. 4 / 1996 : Hak Tanggungan atas Tanah.
- UU No. 42 / 1999 : Fiducia
- Pasal 1162 KUHPdt : Hipotik
- Pasal 1150 KUHPdt : Gadai
- Pasal 1820 KUHPdt : Borgtocht ( haftung pada orang lain )
Disebut jaminan khusus karena alasan :
1. yang dijaminkan benda tertentu untuk jaminan hutang tertentu.
2. khusus untuk kreditur tertentu.
3. schuld dan haftung pada orang lain : pasal 1820 KUHPdt tentang
Borgtocht.
b. Wanprestasi
Arti dari wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya oleh debitur apa
yang lebih diperjanjikan.
Orang tidak melaksanakan perjanjikan disebabkan karena :
1. Kesalahan debitur :
a. sebab kesengajaan / dolus;
b. sebab lalai / culpa
81
2. Keadaan memaksa / overmacht/force majeur.
Perlu diingat bahwa poersoalan dolus dan culpa dalam hukum perdata dan
hukum pidana sangat berbeda. Pada hukum pidana, persoalan dolus dan
culpa adalah mutlak dan penting, karena untuk menentukan berat
ringannya hukuman. Sedang dalam hukum perdata tentang dolus dan
culpa TIDAK PENTING dan tidak perlu dibedakan, karena keduanya
menimbulkan kerugian yang dipentingkan dalam hukum perdata adalah
GANTI RUGI.
Ada 3 hal yang menyatakan keadaan wanprestasi :
1. Tidak berprestasi : sama sekali tidak melaksanakan
2. Salah berprestasi : tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
3. Terlambat berprestasi : apabila dalam perjanjian sudah ditentukan
waktunya. Sedangkan apabila tidak
ditentukan termijn waktu, maka tidak dapat
disebut terlambat berprestasi.
Pada keadaan yang demikian, apabila debitur telah melanggar salah satu
dari 3 hal ini disebut telah WANPRESTASI.
Pernyataan debitur lalai harus dilakukan dengan somasi dan
peringatan ( pasal 1238 KUHPdt ). Somasi adalah teguran yang diberikan
kepada debitur, karena tidak melaksanakan perjanjian. Somasi ( pasal 1238
KUHPdt ) sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya SEMA No. 3
tahun 1963. sebelum keluar SEMA no. 3 tahun 1963 somasi tidak dimintakan
oleh kreditur melainkan oleh pengadilan negeri dalam hal ini juru sita.
Seperti diketahui bahwa dahulu perkara baru dapat ke Pengadilan
Negeri apabila telah disomasi Pengadilan Negeri, karena pada waktu itu
untuk somasi memakan waktu; padahal kreditur sudah rugi uang dan waktu,
maka dipandang perlu untuk mencabutnya. Oleh karena itu, realisasinya
ada pada SEMA No. 3 Tahun 1963.
Sekarang apabila debitur wanprestasi, kreditur langsung menggugat (
sebagai ganti somasi ),toh nanti ada acara perdamaian ( pasal 130 H.I.R )
SEMA No. 1 Tahun 2001 : dibentuk majelis perdamaian.
82
Kesimpulan : Sebelum SEMA No. 3 Tahun 1963, somasi harus disertai dengan
ingebreekestelling, yaitu tenggang waktu lalai. Setelah somasi baru
mengajukan gugatan.
Tuntutan Kreditur Jika Debitur Wanprestasi
1. Pemenuhan perjanjian ( pasal 1267 )
2. Pemenuhan perjanjian ditambah ganti rugi ( pasal 1267 )
3. ganti rugi ( pasal 1243 )
4. Pembatalan perjanjian ( pasal 1266 )
5. Pembatalan perjanjian ditambah ganti rugi ( pasal 1267 )
Sifat tuntutan tersebut adalah alternatif; tidak kumulatif. Pembatalan
perjanjian ( No. 4), secara logika menguntungkan debitur, namun hal itu
tidak selalu menguntungkan debitur, karena nama baik dan
reputasi/kejujuran debitur dipertaruhkan atau bahkan menjadi jatuh.
Kerugian yang diderita kreditur di mana debitur melakukan wanprestasi ada
3 yaitu :
1. Biaya ( kosten ), yaitu ongkos yang telah dikeluarkan kreditur untuk
melaksanakan perjanjian.
2. Rugi ( schaden ), yaitu kekurangan nilai barang milik kreditur akibat
wanprestasi
3. Bunga ( Interessen ), dalam hal ini bebas nilai, yaitu leuntungan yang
bakal diperoleh oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi
Ex. : Kosten
A mengadakan pertunjukan, untuk tempat undangan, transport
dan membuat perjanjian ke notaris butuh dana. Ternyata yang
bersangkutan membatalkan perjanjian sepihak.
Rugi
Fakultas hukum mendirikan bangunan, dibuatlah perjanjian
pemborongan. Setelah bangunan selesai, baru 3 bulan dipakai,
83
bangunan roboh, mengenai perlengkapan di dalamnya ( kursi,
meja dan sebagainya ).
Bunga ( tidak harus berupa uang )
Apabila terjadi wanprestasi, tidak selamanya ketiga – tiganya
(biaya, rugi, bunga) dituntut, siofatnya adalah kasuistik, yang
penting adalah komponennya terpenuhi.
Tangkisan Debitur atas Tuduhan Wanprestasi
Bahwa tidak semua debitur wanprestasi dapat dituntut ganti rugi. Ada
3 hal tangkisan tersebut, yaitu :
1. Overmacht / force majeur : pasal 1245 KUHPdt
2. Exceptio non adimpleti contractus : pasal 1478 KUHPdt
Yaitu tangkisan debitur karena kreditur sendiri tidak melaksanakan
perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi bila perjanjian itu dapat
dilaksanakan secara tunai ( hak dan kewajiban dilaksanakan bersama –
sama ).
3. Rechtverwerking ( pelepasan hak )
Ex. A – B mengadakan perjanjian kirim beras 1 ton kualitas no. 1,
pelaksanaannya beras dikirim kualitas no. 2, tetapi tidak komplain.
84
6. Sumber Perikatan
BAGAN SUMBER PERIKATAN
Sumber Perikatan
Perjanjian ( 1313 KUHPdt ) Undang – Undang ( 1352 KUHPdt )
Perbuatan Manusia Melalui Undang - Undang
( 1353 KUHPdt ) ( 104, 321, 625 KUHPdt )
Sesuai Hukum Perbuatan Melawan Hukum
( 1354, 1359 KUHPdt ) ( 1365 KUHPdt )
Menurut ketentuan pasal 1233 KUHPdt, maka tiap perikatan timbul
karena :
a. Undang – undang.
Ex. Alimentasi ( pasal 321 KUHPdt )
b. Perjanjian
Ex. Jual beli , sewa menyewa.
Sebagian besar ( 99 % ), perikatan bersumber pada perjanjian. Perikatan
yang berasal dari perjanjian artinya perikatan itu baru ada / terjadi apabila
ada perjanjian ( kehebdak para pihak ), pada saat itulah terjadi perikatan.
85
B. PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN
1. Pengertian dan Macam – Macam Perjanjian
Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan.
Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPdt :
“ Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana
seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih.”
Para ahli memberikan pengertian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu.
Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu perjanjian
merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Pada bentuknya
perjanjian tersebut berupa suatu rangkaian kata – kata yang mengandung
janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu perjanjian yang obligatoir dan
perjanjian yang non obligatoir.
Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir, yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan /
mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Contoh
konkritnya adalah :
- Pembeli wajib menyerahkan harga barang.
- Penjual wajib menyerahkan barang.
- Majikan harus membayar upah.
Perjanjian obligator ada beberapa macam, yaitu :
a. Perjanjian Sepihak, ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada
satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.
Ex. Perjanjian hibah
b. Perjanjian timbal balik, ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada
pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan
suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.
86
Ex. Perjanjian jual beli
c. Perjanjian cuma – cuma, ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada
mendapatkan nikmat daripadanya.
Ex. Perjanjian Hibah
d. Perjanjian atas beban, ialah perjanjian yang mewajibkan masing –
masing pihak memberikan prestasi ( memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu )
Ex. Jual beli
e. Perjanjian konsesuil ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan ( konsensus ) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.
Ex. Jual beli
f. Perjanjian riil, ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan
perbuatan / tindakan nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja,
perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak.
Ex. Perjanjian penitipan barang
g. Perjanjian formil ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi
bentuknya harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Jika
bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka
perjanjian tersebut tidak sah.
Ex. Jual beli tanah harus dengan Akte PPAT
h. Perjanjian bernama ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan
dalam KUH Pdt buku III bab V s/d bab XVII dan dalam KUHD ( Kitab
Undang – Undang Hukum Dagang )
Ex. Perjanjian Jual Beli
I. Perjanjian tak bernama, ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak
disebutkan dalam KUH Pdt maupun KUHD.
J. Perjanjian Campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun
dalam KUHD.
87
Ex. Perjanjian sewa beli ( gabungan sewa menyewa dan jaul beli)
Setiap orang diperbolehkan / bebas membuat perjanjian bernama, tak
bernama maupun perjanjian campuran, karena Hukum Perikatan dan
Hukum Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Pdt merupakan hukum
pelengkap( aanvulent recht )
Perjanjian non obligatoir
Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan
seseorang membayar / menyerahkan sesuatu. Perjanjian non obligatoir ini
ada beberapa macam, yaitu :
a. Zakelijk overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan
dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Jadi obyek
perjanjian adalah hak.
Ex. Balik nama hak atas tanah.
b. Bevits overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst, ialah perjanjian
untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya ditujukan pada
hakim, tak terjadi perselisihan, supaya memakai alat bukti yang
menyimpang dari apa yang ditentukan oleh undang – undang.
c. Liberatoir overeenkomst, ialah perjanjian dimana seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
d. Vaststelling overeenkomst, ialah perjanjian untuk mengakiri keraguan
mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak.
Ex. Dading ( perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri
perselisihan yang ada di muka pengadilan )
2. Unsur, Asas dan Syarat Perjanjian
a. Unsur – Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian itu harus memenuhi 3 macam unsur :
1. Essentialia, ialah unsur yang sangat esensi / pentinmg dalam suatu
perjanjian yang harus ada.
88
2. Naturalia, ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak
dikesampingkan oleh kedua belah pihak.
3. Accidentalia, ialah unsur perjanjian yang ada jika dikehendaki oleh
kedua belah pihak.
b. Asas – Asas Perjanjian
Pada ilmu hukum dikenal ada 4 asas perjanjian, yaitu :
1. Asas Konsensualitas, artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua
belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak
tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1320
KUHPdt.24
2. Asas bentuk perjanjian bebas, artinya perjanjian tidak terikat pada
bentuk tertentu. Jadi boleh diadakan secara tertulis, boleh diadakan
secara lisan dan sebagainya.
3. Kebebasan berkontrak, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian.
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt.25
4. Apa yang diperjanikan mengikat kedua belah pihak. Asal ini juga dapat
disimpulkan dari pasal 1338 ( 1 ) KUHPdt seperti halnya asas kebebasan
berkontrak di atas.
c. Syarat – syarat Sahnya Perjanjian.
Menurut pasal 1320 KUHPdt, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4
syarat, yaitu :
1. Sepakat.
Sepakat, dimaksudkan bahwa pihak – pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal – hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan.
2. Cakap.
Syarat kecakapan ini diatur dalam 1330 KUHPdt.26
24 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1320 KUHPdt 25 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1338 KUHPdt
89
3. Hal tertentu
Artinya barang yang menjadi obyek perjanjian paling sedikit harus
dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal
asalkan dapat ditentukan kemudian.
4. Sebab yang halal
Causa ini dimaksudkan undang – undang adalah isi perjanjian itu
sendiri. Isi dari perjanjian haruslah sesuatu yang halal.
Apabila suatu perjanjian itu dibuat sudah memenuhi syarat – syarat
sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPdt, maka
menimbulkan akibat – akibat hukum :
1. Mengikat kedua belah pihak ( Pasal 1338 KUHPdt ).
2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak atau karena alasan – alasan yang oleh Undang – Undang
dinyatakan cukup untuk itu ( pasal 1338 ( 2 ) KUHPdt ).
3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (pasal 1338 ( 3 )
KUHPdt).
4. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang ( pasal
1339 KUHPdt ).
26 Lihat dan baca bunyi selengkapnya pasal 1330 KUHPdt, pasal ini menjelaskan siap – siapa yang dianggap cakap menurut hokum. Lihat juga bab tentang cakap, dalam hokum perorangan di depan.
Syarat no. 1 dan 2 yakni sepakatmereka yang mngikat dirinya dan kecakapan membuat suatu perjanjian disebut SYARAT SUBYEKTIF, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh
orangnya ( subyek dalam perjanjian ) dan apabila syarat ini dilanggar, maka perjanjian DAPAT DIBATALKAN.
Syarat no. 3 dan 4 disebut SYARAT OBYEKTIF, karena merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, dan apabila dilanggar maka perjanjian dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.
90
Pada hukum perikatan, dikenal juga asas kepribadian, yang diatur
pada pasal 1315 KUHPdt,27 asas ini mempunyai beberapa pengecualian,
yaitu terdapat dalam pasal 1316 KUHPdt dan pasal 1317 KUHPdt.28
Terhadap asas kepribadian ini, selain ditegaskan dalam pasal 1315 KUHPdt,
juga ditegaskan dalam pasal 1340 KUHPdt yang menyebutkan bahwa
perjanjian tidak dapat membawa rugi bagi pihak ketiga.
Terhadap pasal 1340 KUHPdt ini terdapat kekecualiannya, yakni yang
disebut dalam pasal 1341 KUHPdt yang dikenal dengan nama ACTIO
PAULIANA, yaitu tuntutan dari pihak kreditur terhadap seorang debitur
apabila debitur berlaku curang, agar tindakan hukum yang dilakukan
olehnya dengan pihak ketiga dibatalkan. Actio Pauliana ini harus memenuhi
unsur – unsur :
1. Yang meminta pembatalan itu adalah kreditur dari salah satu pihak.
2. Perjanjian itu merugikan kreditur.
3. Perjanjian / perbuatan itu merupakan perjanjian / perbuatan yang tidak
diwajibkan. Ex. Debitur menjual / menghibahkan suatu barangnya
kepada pihak ketiga.
4. Debitur dan pihak lawan ( pihak ketiga ) keduanya mengetahui bahwa
perbuatan itu merugikan kreditur.
3. Cara Menafsirkan perjanjian.
Sehubungan dengan perjanjian merupakan rangkaian kata – kata
yang terkadang menimbulkan makna ambigu bagi setiap pihak – pihak
yang terikat di dalamnya atau bagi pihak lain yang ingin membacanya,
maka undang – undang memberikan pedoman mengenai cara menafsirkan
perjanjian. Pasal 1342 – 1351 KUHPdt memberikan pedoman sebagai berikut :
a. Jika kata – kata suatu perjanjian jelas maka tidak diperkenankan untuk
menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
27 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1315 KUHPdt 28 Lihat dan baca selengkapanya bunyi pasal 1316 dan 1317 KUHPdt.
91
b. Jika kata – kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam
penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang
membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata – kata
menurut huruf.
c. Jika suatu janji berisikan 2 macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu
dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak
memungkinkan suatu pelaksanaan.
d. Jika kata – kata dapat memberikan 2 macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
e. Apa yang meragu – ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan di negeri atau di tempat dimana perjanjian diadakan.
f. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji
harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
g. Jika ada keragu – raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas
kerugian orang yang telah memuta diperjanjikan sesuatu hal
( memperoleh hak – hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu )
yang dalam hal ini adalah kreditur dan untuk keuntungan orang yang
telah mengikatkan dirinya untuk itu ( debitur )
4. Keadaan Memaksa / Overmacth ( pasal 1244, 1245 KUHPdt )
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya
prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar ganti rugi.
Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar ganti rugi, jika
debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau tidak berbuat
sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang
seharusnya ia tidak lakukan.
a. Pengertian Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah
dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
92
menanggung resiko, serta tidak dapat menduga pada waktu
persetujuan dibuat.
Menurut undang – undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk
keadaan memaksa, yaitu :
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur
3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
b. Akibat Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tidak lagi bekerja
(werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada. Apabila dalam
keadaan demikian, maka :
1. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;
2. Tidak dapat mengatakan debitur dalam keadaan lalai, sehingga
tidak dapat menuntut;
3. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;
4. Pada perjanjian timbal balik, maka gugur kewajiban untuk melakukan
kontra prestasi.
5. Hal yang perlu diketahui apabila terjadi keadaan memaksa :
a. Debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa
dengan jalan penangkisan ( eksepsi );
b. Berdasarkan jabatan hakim, tidak dapat menolak gugat
berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang yang
memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan
memaksa.
93
c. Teori Keadaan Memaksa
Ada 2 ajaran tentang keadaan memaksa, yaitu :
1. ajaran yang objektif / absolut
“ Debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan
prestasi itu tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau setiap
orang. “
Keadaan ini terjadi apabila ada bencana alam atau kecelakaan yang
hebat.
Ketentuan pasal 1444 BW :
“ Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak
lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali
tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. “
2. ajaran yang subyektif / relatif
Keadaan memaksa itu ada apabila debitur masih mungkin
melaksanakan prestasi, tetapi praktis dengan kesukaran atau
pengorbanan yang besar, sehingga dalam keadaan yang demikian itu
kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi.
d. Pembuktian Dalam Keadaan Memaksa
Agar debitur mengemukakan adanya keadaan memaksa, harus
dipenuhi 3 syarat :
1. Harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
2. Tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
3. Ia tidak menanggung resiko, baik menurut ketentuan undang – undang
atau perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung resiko.
94
C. PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI UNDANG - UNDANG
Menurut pasal 1352 KUH Pdt, perikatan yang bersumber pada Undang –
Undang timbul dari :
1. Undang – Undang Sendiri
Contoh : Alimentasi ( pasal 321 KUH Pdt, pasal 46 dan pasal 47 UU No.
1/1974 ), yakni kewajiban memberi nafkah oleh orang tua kepada
anaknya, dan sebaliknya seorang anak berkewajiban memberi nafkah
kepada orang tuanya dan keluarganya dalam garis lurus ke atas yang
menjadi miskin.
2. Undang – Undang Sebagai Akibat Perbuatan Manusia
Pasal 1353 KUH Pdt membedakan :
a. Perikatan – perikatan yang timbul dari Undang – undang karena
perbuatan manusia yang menurut hukum.
Contoh : Zaakwarneming ( pasal 1354 KUH Pdt ), pembayaran tidak
terutang ( 1359 KUH Pdt ) dan perikatan wajar.
b. Perikatan – perikatan yang timbul dari Undang – Undang karena
perbuatan manusia yang melawan hukum
Contoh : Onrechtmatigedaad ( pasal 1365 KUH Pdt )
D. HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut pasal 1381 KUHPdt menyebutkan sepuluh cara hapusnya
perikatan, yaitu :
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan.
3. Pembaharuan utang.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi.
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
95
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Batal / pembatalan.
9. Berlakunya syarat batal.
10. Lewat waktu.
Keterangan :
1. Pembayaran ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,
misalnya pembayaran uang oleh pembeli.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran adalah
“SUBROGASI“ . Subrogasi adalah penggantian hak – hak si berpiutang
(kreditur) oleh orang ketiga yang membayar kepada kreditur itu.
Subrogasi dapat terjadi kerena persetujuan atau karena undang –
undang. Menurut pasal 1401 KUHPdt, subrogasi terjadi karena persetujuan
apabila :
c. Si kreditur dengan menerima pembayaran dari orang ketiga
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak – haknya,
gugat – gugatannya, hak – hak istimewanya dan hipotik – hipotik
yang dipunyainya terhadap si berhutang. Subrogasi ini harus
dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu
pembayaran.
d. Apabila debitur meminjam sejumlah uang kepada orang ketiga untuk
melunasi utangnya dan menetapkan bahwa orang yang meminjam
uang itu akan menggantikan hak – hak si kreditur lama.
Sedangkan menurut pasal 1402 KUHPdt subrogasi terjadi karena undang –
undang apabila :
a. Apabila seorang kreditur melunasi piutang kreditur lain, yang
berdasarkan hak – hak istimewanya atau hipotik mepunyai suatu hak
yang lebih tinggi.
b. Untuk seorang pembeli suatu benda tak bergerak yang telah
memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang
berpiutang, kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik.
96
c. Untuk seorang yang bersama – sama dengan orang lain, atau untuk
orang – orang lain diwajibkan membayar suatu utang,
berkepentingan untuk melunasi utang itu.
d. Untuk seorang ahli waris yang sedang menerima warisan denga hak
istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta
peninggalan, telah membayar utang – utang warisan dengan
uangnya sendiri.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan.
Prosedur pelaksanaan pembayaran diikuti oleh penitipan atau
penyimpanan adalah sebagai berikut :
Apabila kreditur mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu
maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak
penawaran, maka notaris atau juru sita membuat ptoses verbal dan
kreditur diminta untuk menandatanganinya. Proses verbal ini merupakan
suatu bukti bahwa kreditur menolak pembayaran. Langkah selanjutnya,
debitur mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya
pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka uang
atau barang yang akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang
piutang itu. Uang atau barang tersebut berada dalam simpanan
Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas resiko debitur.
Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran
tunai dan penyimpanan dipikul oleh kreditur. Penawaran pembayaran
diikuti oleh penitipan atau penyimpanan hanya mungkin pada perikatan
untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang – barang
bergerak.
Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan dan penyimpanan
mempunyai akibat hukum :
97
a. Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau
pembatalan persetujuan timbal balik dari kreditur dengan
mengemukakan adanya penawaran dan penitipan.
b. Debitur tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.
c. Sejak penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.
d. Pada perjanian timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi kepada
kreditur.
3. Pembaharuan Utang ( Novasi )
Menurut pasal 1413 KUHPdt ada 3 macam jalan untuk melaksanakan
pembaharuan utang atau novasi, yaitu :
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang
baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang
menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari
perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang
baru ditunjuk dengan menggantikan orang berpiutang lama,
terhadap siapa si berhutang dibebaskann dari perikatannya.
Macam – macam novasi :
a. Novasi obyektif, yaitu novasi dimana perikatan yang telah ada diganti
dengan perikatan lain.
b. Novasi subyektif pasif, yaitu suatu novasi dimana debiturnya diganti
oleh debitur lain.
c. Novasi subyektif aktif, ialah suatu novasi dimana krediturnya diganti
oleh kreditur lain.
4. Perjumpaan Utang atau Kompensasi
Perjumpaan utang atau kompensasi ialah suatu cara hapusnya perikatan
dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik
98
antara kreditur dengan debitur. Jadi pihak – pihak yang mengadakan
perikatan itu masing – masing merupakan debitur satu sama lainnya.
Ex. A mempunyai utang kepada B sebanyak Rp. 10.000.000,- Sebaliknya B
mempunyai utang kepada A Rp. 4.000.000,- Kedua utang tersebut
dikompensasikan untuk Rp. 4.000.000,- Sehingga B masih mempunyai
piutang kepada A sebanyak Rp. 6.000.000,-.
Suatu piutang dapat dikompensasikan asalkan memenuhi syarat – syarat
tertentu. Syarat – syarat terjadinya kompensasi menurut undang – undang
adalah :
A. Dua orang secara timbal balik merupakan debitur satu daripada
yang lain.
B. Obyek perikatan berupa sejumlah uang atau barang yang sejenis
yang dapat dipakai habis.
C. Piutang – piutangnya sudah dapat ditagih.
D. Piutang – piutangnya dapat diperhitungkan dengan segera. Menurut
pasal 1429 KUHPdt kompensasi terjadi dengan tidak dibedakan dari
sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan.
Terhadap ketentuan pasal 1429 KUHPdt ini ada kekecualiannya, dimana
kompensasi dilarang, yaitu :
a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara
berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan
atau dipinjamkan.
c. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah
(alimentasi).
5. Percampuran Utang
Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena
kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang.
Percampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.
99
Ex. A mempunyai utang kepada B, B kemudian meninggal dunia. A
adalah satu – satunya ahli waris B. Percampuran utang mengakibatkan
hapusnya perikatan. Hapusnya perikatan menghapuskan pula borgtocht
borg ( jaminan pihak ketiga ). Namun sebaliknya percampuran yang
terjadi pada seorang penanggung utang ( borg ) tidak mengakibatkan
hapusnya utang pokok.
6. Pembebasan Utang
Pembebasan utang ialah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si
kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian
Apabila terjadi pembebasan utang, maka hapuslah hubungan utang
piutang antara kreditur den debitur. Pembebasan utang tidak boleh
dipersangkakan tapi harus dibuktikan.
Menurut pasal 1439 KUHPdt pengembalian sepucuk surat tanda piutang
asli secara sukarela oleh si kreditur, merupakan suatu bukti tentang
pembebasan utang.
7. Musnahnya Barang Yang Terutang
Menurut pasaal 1444 KUHPdt, jika barang tertentu yang menjadi obyek
perjanjian musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
perikatan hapus asal musnahnya atau hilangnya barang itu di luar
kesalahan si berhutang ( debitur ) dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah
diluar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan
prestasi kepada kreditur.
8. Batal / Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam 2 hal pokok, yaitu :
a. Batal demi hukum, karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang
– undang.
100
b. Dapat dibatalkan, karena kebatalannya terjadi apabila ada pihak
yang memohon pembatalan.
---------- Lihat dalam sub syarat – syarat perjanjian.
Suatu perjanjian dapat dimohonkan pembatalan apabila :
1. Tidak memenuhi syarat subyektifnya ( sepakat dan cakap bertindak
dalam hukum )
2. Salah satu pihak melakukan wanprestasi ( tidak memenuhi perjanjian )
3. Karena adanya actio pauliana ( gugatan untuk membatalkan suatu
perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan
para krediturnya )
9. Berlakunya Syarat Syarat Batal
Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat
dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa
yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara
membatalkan perikatan.
10. Lewatnya Waktu atau Verjaring
Lewatnya waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat – syarat yang ditentukan oleh
Undang – undang.
101
102
103
104