Diktat Perdata

104
1 BAB I PENDAHULUAN A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA Peribahasa mengatakan bahwa “ tak kenal maka tak sayang “, demikian halnya dengan ilmu yang akan diuraikan dalam diktat ini. Diktat ini berisikan rangkuman mengenai mata kuliah hukum perdata. Sebelum menguraikan dan mempelajari mengenai hukum perdata, maka perlu bagi para pembaca sekalian untuk terlebih dahulu mengenal dan tahu tentang pengertian hukum perdata atau yang disebut juga sebagai hukum sipil. Para ahli hukum banyak mengemukakan pendapatnya tentang hukum perdata atau hukum sipil ini. Berikut ini, penulis mengemukakan beberapa pendapat para ahli hukum tentang hukum perdata atau hukum sipil : 1. Mr. L.J. Van Apeldorn : Hukum sipil adalah peraturan – peraturan hukum yang mengatur kepentingan seseorang dan yang pelaksanaannya terserah kepada maunya yang berkepentingan sendiri. 2. Mr. H.J. Hamaker : Hukum sipil adalah hukum yang pada umumnya berlaku, yaitu yang memuat peraturan – peraturan tentang tingkah laku orang – orang dalam masyarakat pada umumnya 3. Prof. Mr. E.M. Mejers : Hukum sipil adalah hukum yang mengatur hak – hak yang diberikan kepada perorangan ( individu ), yang diserahkan sepenuhnya untuk menetapkan dengan merdeka, apabila ia akan mempergunakan hak – hak itu, sepenuhnya dapat melulu memperhatikan kepentingan sendiri.

description

Diktat Perdata

Transcript of Diktat Perdata

Page 1: Diktat Perdata

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Peribahasa mengatakan bahwa “ tak kenal maka tak sayang “,

demikian halnya dengan ilmu yang akan diuraikan dalam diktat ini. Diktat ini

berisikan rangkuman mengenai mata kuliah hukum perdata. Sebelum

menguraikan dan mempelajari mengenai hukum perdata, maka perlu bagi

para pembaca sekalian untuk terlebih dahulu mengenal dan tahu tentang

pengertian hukum perdata atau yang disebut juga sebagai hukum sipil.

Para ahli hukum banyak mengemukakan pendapatnya tentang

hukum perdata atau hukum sipil ini. Berikut ini, penulis mengemukakan

beberapa pendapat para ahli hukum tentang hukum perdata atau hukum

sipil :

1. Mr. L.J. Van Apeldorn :

Hukum sipil adalah peraturan – peraturan hukum yang mengatur

kepentingan seseorang dan yang pelaksanaannya terserah kepada

maunya yang berkepentingan sendiri.

2. Mr. H.J. Hamaker :

Hukum sipil adalah hukum yang pada umumnya berlaku, yaitu yang

memuat peraturan – peraturan tentang tingkah laku orang – orang

dalam masyarakat pada umumnya

3. Prof. Mr. E.M. Mejers :

Hukum sipil adalah hukum yang mengatur hak – hak yang diberikan

kepada perorangan ( individu ), yang diserahkan sepenuhnya untuk

menetapkan dengan merdeka, apabila ia akan mempergunakan hak –

hak itu, sepenuhnya dapat melulu memperhatikan kepentingan sendiri.

Page 2: Diktat Perdata

2

4. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen, SH :

Hukum perdata ialah hukum yang mengatur kepentingan antara

warganegara perseorangan yang satu dengan warganegara

perseorangan yang lain.

Berdasarkan definisi yang ada, penulis masih melihat kekurang

sempurnaan mengenai definisi hukum perdata. Hal ini disebabkan, dalam

definisi di atas, para ahli hukum hanya menyebutkan “ orang perorang

(naturlijk person) yang dapat mengadakan hubungan hukum “. Padahal

dalam kenyataan sehari – hari, akan dapat ditemui bahwa ada pihak yang

selain orang ----- yang disebut dengan badan hukum (rechtsperson) ------

yang bisa mengadakan hubungan hukum perdata.1 Berdasarkan kenyataan

demikian ini maka menurut penulis hukum perdata adalah :

Pada akhirnya penulis berkesimpulan, bahwa hukum perdata atau

yang dikenal sebagai hukum sipil atau hukum privat memiliki unsur – unsur :

1. aturan – aturan hukum

2. kepentingan subyek hukum yang bersangkutan.

3. kewenangan yang dimiliki.

Hukum perdata seringkali dikatakan menitikberatkan pada kepentingan

pribadi.2 Lebih lanjut, istilah hukum perdata dapat diartikan secara sempit

1 Pada kenyataan sehari – hari, badan hukum merupakan subyek hukum, yang juga memiliki kewenangan hukum yakni kewenangan melakukan perbuatan hukum. 2 Sifat yang menitik beratkan pada kepentingan pribadi inilah yang menjadi ciri khas dari hukum perdata sekaligus membedakannya dengan hukum pidana yang bersifat umum (publik), artinya apabila ada konflik dalam perkara perdata, karena ada pihak yang tidak mentaati aturan hukum perdata ( atau juga karena wanprestasi ), pihak yang berwenang ---- dalam hal ini pengadilan / hakim tidak akan mengambil tindakan terhadap pihak yang melenggar ketentuan tersebut apabila tidak ada gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Inilah sebabnya mengapa hukum perdata dikatakan bersifat PASIF

Hukum perdata adalah aturan – aturan ( hukum ) yang mengatur hubungan privat antara satu subyek hukum ( orang perorang ataupun badan hukum ) dengan subyek hukum yang lain, yang berlandaskan pada kepentingan privat ( pribadi ) dari subyek hukum yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki.

Page 3: Diktat Perdata

3

dan luas. Hukum perdata secara sempit adalah Hukum Perdata

sebagaimana yang tertulis dalam kitab Undang – Undang Hukum Perdata

(KUHPdt) atau yang dikenal dengan Burgerlijk Wetboek (BW), sedangkan

hukum perdata dalam arti luas, meliputi hukum dagang, hukum adat, hukum

pengangkutan dan sebagainya.

Hukum perdata dilihat dari cara mempertahankannya, dibedakan

menjadi 2 ( dua ), yaitu :

1. Hukum perdata materiil.

Peraturan – peraturan hukum yang mengatur hak – hak dan kewajiban –

kewajiban dalam bidang hukum perdata. Hukum perdata materiil

merupakan materi dari hukum perdata.

2. Hukum perdata formil.

Peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara

mempertahankan hukum perdata materiil tersebut. Hukum perdata formil

merupakan materi hukum acara perdata.

B. SEJARAH DAN BERLAKUNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM

PERDATA (KUHPdt / BW) di INDONESIA.

Sumber hukum yang menjadi landasan dalam hukum perdata adalah

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHPdt ).3 KUHPdt ini berlaku di

Indonesia berdasarkan Staatblad No. 23 Tahun 1847 dan mulai berlaku pada

tanggal 1 Mei 1848. Sampai saat ini KUHPdt ini masih berlaku, menurut pasal II

aturan peralihan UUD 1945.

Pada saat ini KUHPdt ( BW ) sudah tidak berlaku penuh sesuai dengan

bab – bab dan pasal – pasal pada saat permulaan KUHPdt tersebut berlaku.

3 Beberapa ahli hukum menyebut KUHPdt sebagai Kitab Undang – Undang Hukum Sipil (KUHS) atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek ( BW ), yakni kitab undang – undang hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda. Berlakunya KUHPdt di Indonesia ini berdasarkan ASAS KONKORDANSI / ASAS KESELARASAN yakni persamaan berlakunya hukum yang dasar hukumnya diatur dalam pasal 131 (2) IS yang berbunyi : “ Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut (dicontoh) Undang – Undang di Negeri Belanda…….”

Page 4: Diktat Perdata

4

Banyak bab – bab, pasal – pasal dan bidang – bidang hukum tertentu dari

KUHPdt yang tidak berlaku karena telah dicabut oleh Perundang –

undangan RI. Mahkamah Agung RI dengan surat edaran / Sema No. 3 Tahun

1963 dengan terperinci menyatakan tidak berlaku pasal – pasal tertentu dari

KUHPdt, yakni pasal – pasal sebagai berikut :4

1. Pasal 108.

2. Pasal 110.

3. Pasal 284.

4. Pasal 1238.

5. Pasal 1460.

6. Pasal 1579.

7. Pasal 1603.

8. Pasal 1682.

Perubahan besar yang terjadi pada KUHPdt adalah saat berlakunya

Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok

Agraria ( selanjutnya akan disingkat UUPA ). Sejak berlakunya UUPA tersebut,

memberikan pengaruh besar terhadap BUKU II KUHPdt, karena sebagaimana

tercantum dalam dictum dari UUPA tersebut, mencabut :5

Berdasarkan dictum tersebut maka ketentuan hipotik6 menurut KUHPdt masih

berlaku meskipun ketentuan yang mengatur tentang hak atas tanah dalam

Buku II KUHPdt tersebut sudah dicabut oleh UU No. 5 / 1960. Akan tetapi 4 Lihat dan baca KUHPdt tentang pasal – pasal yang bersangkutan. 5 Lihat dan baca UU No. 5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria dan UU No. 4 / 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Melekat Pada Tanah. Kemudian bandangkan seluruh pasal – pasal yang ada di kedua undang – undang tersebut dengan pasal –pasal yang ada di Buku II KUHPdt. 6 Hipotik adalah jaminan atas tanah.

Buku ke II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang

terkandung didalamnya, kecuali ketentuan – ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai

berlakunya undang – undang ini.

Page 5: Diktat Perdata

5

dengan dikeluarkannya UU No. 4 / 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda – Benda Yang Melekat Pada Tanah, maka ketentuan

mengenai hipotik ini sepanjang mengenai hipotik atas tanah menjadi tidak

berlaku lagi. UU No. 4 / 1996 telah mencabut ketentuan mengenai hipotik

atas tanah dalam Buku II KUHPdt tersebut.

Selanjutnya dengan berlakunya UUPA, maka berlakunya pasal – pasal

/ ketentuan – ketentuan dalam BUKU II KUHPdt dapat diperinci sebagai

berikut :

a. Ada pasal – pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai

bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

b. Ada pasal – pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal – pasal

yang melulu mengatur tentang bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya.

c. Ada pasal – pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti

bahwa ketentuan – ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang

mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda –

benda lainnya.

Berdasarkan perincian tersebut, maka menurut penulis, pasal – pasal yang

termasuk dalam ketiga kategori diatas adalah pasal :

a. Pasal – pasal yang masih berlaku penuh :

1. Pasal – pasal tentang benda bergerak, pasal 505, 509 – 518 KUHPdt.

2. Pasal – Pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, pasal

613 KUHPdt.

3. Pasal – pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826

– pasal 827 KUHPdt.

4. Pasal – pasal tentang hukum waris pasal 830 – 1130 KUHPdt. Walaupun

ada beberapa pasal dalam hukum waris yang juga mengenai tanah,

tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris.

Page 6: Diktat Perdata

6

5. Pasal – pasal tentang piutang yang diistimewakan ( previlegie ) pasal

1131 – pasal 1149 KUHPdt.

6. Pasal – pasal tentang gadai, karena gadai hanya melulu mengenai

benda bergerak, pasal 1150-pasal 1160 KUHPdt

b. Pasal – Pasal yang tidak berlaku lagi :

1. Pasal – pasal tentang benda tidak bergerak yang melulu

berhubungan dengan hak – hak mengenai tanah.

2. Pasal – pasal mengenai hipotik.

3. Pasal – pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai

tanah.

4. Pasal – pasal mengenai penyerahan benda – benda tak bergerak,

tidak pernah berlaku.

5. Pasal tentang kerja rodi, pasal 673 KUHPdt.

6. Pasal – pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan

bertetangga pasal 625 – pasal 672 KUHPdt.

7. Pasal – pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid)

pasal 674 – 710 KUHPdt.

8. Pasal – pasal tentang hak opstal pasal 711 – 719 KUHPdt.

9. Pasal – pasal tentang hak Erfpacht pasal 720 – 736 KUHPdt.

10. Pasal – pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh pasal 737 –

755 KUHPdt.

c. Pasal – pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak

berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai

benda – benda lain, ialah :

1. Pasal – Pasal tentang benda pada umumnya.

2. Pasal – pasal tentang cara membedakan benda, pasal 503 – pasal

505 KUHPdt.

Page 7: Diktat Perdata

7

3. Pasal – pasal tentang Benda sepanjang tidak mengenai tanah,

terletak di antara pasal – pasal 529 – 568 KUHPdt.

4. Pasal – pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah,

terletak diantara pasal 570 KUHPdt.

5. Pasal – pasal; tentang hak memungut hasil ( Vruchtgebruuk) sepajang

tidak mengenai tanah pasal 756 KUHPdt.

6. Pasal – pasal tentang hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah,

pasal 818 KUHPdt.

Perubahan yang juga mempengaruhi berlakunya KUHPdt juga terjadi

sejak diberlakukannya UU No. 1/ 1974 tentang Perkawinan. Hukum

perkawinan yang selama ini diatur BUKU I KUHPdt, sejauh telah diatur dalam

UU No. 1 / 1974 dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal demikian ini dinyatakan

dengan jelas dan tegas dalam pasal 66 UU No. 1 / 1974 :

C. PEMBIDANGAN KUHPdt

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( KUHPdt ) yang berlaku di

Indonesia, terdiri dari 4 ( empat ) buku dengan rincian sebagai berikut :

1. BUKU I

Bertitle “ TENTANG ORANG “ ( Van Personen ), yang memuat hukum

perorangan dan hukum Keluarga.

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang – undang ini, maka dengan berlakunya undang – undang ini ketentuan – ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( HuwelijksOrdonnantie

Christen Indonesiers S. 1933 No. 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158 ), dan

peraturan – peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang – Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Page 8: Diktat Perdata

8

2. BUKU II

Bertitle “ TENTANG KEBENDAAN “ ( Van Zaken ), yang memuat hukum

benda dan hukum waris.

3. BUKU III

Bertitle “ TENTANG PERIKATAN “ ( Van Verbintennissen ), yang memuat

hukum harta kekayan yang berkenaan dengan hak – hak dan kewajiban

yang berlaku bagi orang – orang atau fihak – fihak tertentu.

4. BUKU IV

Bertitle “ TENTANG PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA “ ( Van Bewijs en

Verjaring ), yang memuat perihal alat – alat pembuktian dan akibat –

akibat lewat waktu terhadap hubungan – hubungan hukum.

Satu hal yang menarik perhatian adalah, letak hukum waris yang oleh

pembuat kodifikasi pada waktu itu, dimasukkan dalam hukum benda yang

merupakan bagian BUKU II KUHPdt. Mengenai hal ini, pembuat kodifikasi

mempunyai pertimbangan sebagai berikut :

1. Bahwa hak waris itu adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak

kebendaan atas “ boedel “ dari orang yang telah meninggal dunia.

Oleh karena itu dianggap sebagai hak kebendaan, jadi diatur dalam

BUKU II KUHPdt.

2. Bahwa pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak

milik, sedangkan hak milik sendiri diatur dalam BUKU II KUHPdt.

Berdasarkan pertimbangan di ataslah pembuat kodifikasi memasukkan

hukum waris dalam bagian dari hukum benda.

Page 9: Diktat Perdata

9

BAB II

HUKUM PERORANGAN

A. SUBYEK HUKUM

Hukum itu adalah untuk manusia. Kaedah – kaedah yang berisi

perintah, larangan dan perkenan itu ditujukan kepada anggota – anggota

masyarakat. Hukum itu mengatur hubungan antara anggota – anggota

masyarakat atau subyek hukum.

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak

dan kewajiban. Kata “ subyek hukum “ digunakan untuk menerjemahkan

istilah rechtspersoon. Kemampuan untuk mendukung hak dan kewajiban

yang dipunyai oleh subyek hukum disebut dengan kewenangan hukum

(rechtsbevoegd). Menurut L.J. Van Apeldorn kewenangan hukum diberikan

kepada tiap – tiap orang. Beliau menegaskan bahwa walaupun

kewenangan hukum diberikan oleh hukum obyektif, kekuasaanpembentuk

undang – undang untuk memberikannya dibatasi oleh keadaan

sebenarnya. Hukum obyektif hanya dapat memberikannya kepada

manusia, karena hanya manusialah yang dapat mempunyai hak – hak

subyektif, artinya kewenangan dan kewajiban.

Pada perkembangan selanjutnya, selain memberikan kewenangan

kepmanusia, hukum juga memberikan kewenangan kepada sesuatu selain

manusia. Sesuatu ini yang kemudian dikenal sebagai badan hukum. Pada

akhirnya dapat dikatakan bahwa subyek hukum ada 2, yaitu :

1. Manusia ( natuurlijke persoon ).

2. Badan Hukum ( rechts persoon ).

Page 10: Diktat Perdata

10

1. MANUSIA SEBAGAI SUBYEK HUKUM

Berlakunya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban ( subyek

hukum ) terjadi mulai manusia itu dilahirkan dan berakhir pada saat manusia

itu meniggal dunia. Jadi setiap manusia yang dilahirkan hidup dan menjadi

subyek hukum dan berkaitan dengan itu mempunyai kewenangan hukum.

Hak yang diperoleh karena kelahiran ini menurut KUHPdt berlaku surut

untuk keuntungan dari janin yang belum lahir ( masih berada dalam

kandungan ). Hal ini diatur dalam pasal 2 ( i ) KUHPdt yang berbunyi :

“ Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai

telah dilahirkan apabila kepentingan si anak menghendaki “.

Apakah seorang bayi dapat dianggap mempunyai kemungkinan dapat

hidup, bukan persoalan. Asalkan pada waktu dilahirkan dia hidup sudah

cukup untuk si bayi memperoleh hak – hak dan kewajiban sebagai subyek

hukum. Lain halnya bilamana pada waktu lahir dia langsung meninggal

dunia, maka si bayi dianggap tidak pernah ada.7 Hal ini diatur dalam pasal 2

( 2 ) KUHPdt :

“ Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.”

1.a. Kecakapan

Di atas dikatakan bahwa setiap orang tiada terkecuali sejak dilahirkan

merupakan subyek hukum, yang berarti memiliki kewenangan hukum,

namun tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam

melaksanakan kewenangan hukumnya. Hanya orang – orang yang

mempunyai kecakapan bertindak saja ( bekwaamheid ) menurut hukum

saja yang dapat melaksanakan atau mewujudkan hak dan kewajibannya.

Orang yang tidak cakap bertindak ( onbekwaamheid ) menurut

hukum tidak dapat melaksanakan atau mewujudkan sendiri hak dan

kewajibannya. Ia tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam jual – beli,

hibah, sewa – menyewa, perkawinan dan lain – lain. 7 Pasal 2 ( 1 ) dan ( 2 ) inilah yang juga menjadi dasar dalam hukum waris, untuk mengadakan perhitungan waris bagi setiap ahli waris yang masih berada dalam kandungan.

Page 11: Diktat Perdata

11

Ada beberapa orang yang digolongkan sebagai orang yang tidak

cakap melakukan tindakan hukum, yakni seperti yang dicantumkan dalam

pasal 1330 KUHPdt.8 Orang – orang tersebut yaitu :

1. Orang yang belum dewasa.

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ( curatele ).

3. Orang – orang perempuan ( yang sudah berkeluarga ).9

Guna melakukan perbuatan hukum, orang – orang yang tidak cakap

bertindak diwakili oleh pengampunya atau kuratornya.10 Orang – orang

yang berada dibawah pengampuan adalah orang dewasa yang berada

dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelapmeskipun kadang –

kadang cakap mempergunakan pikirannya atau pemboros.11

Ada 2 syarat kumulatif agar seseorang dianggap cakap bertindak

menurut hukum. 2 syarat itu adalah :

1. Telah dewasa atau telah cukup umur;

2. Tidak berada di bawah pengampuan ( curatele ).

Mengenai orang yang belum dewasa ( minderjarige ) adalah mereka

yang belum mencapai umur 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.12

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh

satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum

dewasa.13

Ukuran dewasa sampai saat ini menurut hukum yang berlaku di

Indonesia adalah berbeda – beda, hal ini disebabkan masih adanya

pluralisme hukum yang ada di Indonesia.

8 Lihat selengkapnya bunyi pasal 1330 KUHPdt. 9 Pasal ini ( 1330 KUHPdt ) sama dengan pasal 110 KUHPdt, yang menegaskan bahwa seorang isteri tidak dapat melaksanakan atau mewujudkan hak dan kewajibannya, dengan kata lain, menurut KUHPdt seorang isteri dianggap tidak cakap bertindak. Pada perkembangannya saat ini pasal ini SUDAH TIDAK BERLAKU LAGI. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, Mahkamah Agung menganggap beberapa pasal di dalam KUHPdt tidak berlaku lagi, antara lain pasal : 108, 110, 184( 3 ), 1238,1460, 1579, 1603x dan 1862. 10 Pengampu atau kurator disebut juga sebagai wali. Wali ini bias orang tua dari orang yang bersangkutan, atau orang lain yang ditunjuk secara sah untuk mewakili orang yang dianggap tidak cakap tersebut. 11 Lihat selengkapnya bunyi pasal 433 KUHPdt. 12 Lihat selengkapnya bunyi pasal 330 ( 1 ) KUHpdt. 13 Lihat selengkapnya bunyi pasal 330 ( 2 ) KUHPdt.

Page 12: Diktat Perdata

12

Menurut UU No. 1 / 1974 tentang Perkawinan, seorang laki – laki dapat

melangsungkan perkawinan apabila ia telah berusia 19 tahun. Sementara itu

seorang perempuan dapat melangsungkan perkawinan apabila ia telah

berusi 16 tahun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ( 1 ). Mengenai

kedewasaan, UU No. 1/ 1974 menentukan sebagai berikut :

Pasal 47 ( 1 ) :

“ Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. ”

Pasal 47 ( 2 ) :

“ Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di

dalam dan di luar Pengadilan.”

Kesimpulan yang dapat diambil dari pasal 47 UU No. 1 / 1974 ini adalah

seseorang dianggap dewasa apabila ia telah berusia 18 tahun atau telah

melangsungkan perkawinan.

Menurut hukum adat, seseorang yang dianggap dewasa tidak dapat

diketemukan angka – angka / umur – umur yang pasti, melainkan dengan

tanda – tanda atau peristiwa – peristiwa yang lazimnya bersifat monumental,

misalnya perkawinan atau yang telah mempunyai pekerjaan. Menurut

penulis keadaan yang demikian adalah menyulitkan bagi kepastian hukum,

karena tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa usia kedewasaan

seseorang.

Batas dewasa menurut hukum Islam juga tidak ditegaskan secara

pasti, pada usia keberapa seseorang dianggap telah dewasa. Hanya saja

hukum Islam telah memberikan “ penanggalan “ ( tanda ) seseorang telah

dapat dikatakan dewasa apabila seorang laki – laki telah mengalami masa

akil balig dengan tanda – tanda telah mengalami mimpi indah atau mimpi

melakukan persetubuhan sehingga mengeluarkan sperma. Seorang

perempuan dianggap telah akil baliq atau dewasa jika ia telah

mendapatkan menstruasi atau haid. Kedewasaan di dalam hukum Islam ini

Page 13: Diktat Perdata

13

lebih dikaitkan dengan kecakapan bertindak untuk melangsungkan

perkawinan.

Sehubungan dengan sangat relatifnya seseorang dianggap dewasa

oleh hukum Islam dan sulit ditentukan waktunya, maka Instruksi Presiden No. 1

tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Jo. Keputusan Menteri agama

No. 154 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991,

menentukan lain. Di dalam pasal 98 ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan

bahwa batas usia anak yag mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21

tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum

pernah melangsungkan perkawinan.

KUHPdt sendiri mengatur batas usia kedewasaan seseorang adalah

apabila orang tersebut mencapai usia 21 tahun maka ia sudah dianggap

dewasa. Hal ini secara implisit dapat dilihat dari bunyi pasal 330 KUHPdt.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang telah

dianggap cakap dalam hukum apabila sudah dewasa dan tidak ditaruh

dalam pengampuan. Kedewasaan dapat diukur dari dari : usia yang telah

mencapai 21 tahun, karena perkawinan dan karena pendewasaan

(handelicting).

Page 14: Diktat Perdata

14

TABEL PERBANDINGAN UKURAN DEWASA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI

INDONESIA

1. b. Pendewasaan

Di samping tolok ukur yang telah disebutkan diatas, masih terdapat

satu cara agar seseorang dapat disebut dewasa, yakni dengan cara

mengajukan permohonan kepada pengadilan. Cara inilah yang disebut

dengan pendewasaan ( Handlichting ). Dimana handelicting ini adalah

suatu upaya hukum yang dicapai untuk meniadakan keadaan belum

dewasa, baik secara keseluruhan maupun dalam hal – hal tertentu.

Meskipun batas usia dewasa 21 tahun merupakan batas dari

seseorang disebut dewasa dan mempunyai kebebasan serta kewenangan

Hukum Tolok Ukur

KUHPdt

v Usia 21 tahun atau telah melangsungkan perkawinan

v Dasar hukum : Pasal 330 KUHPdt

UU No. 1 / 1974

v Laki – laki = 19 tahun v Perempuan = 16 tahun v Telah melangsungkan

perkawinan v Dasar hukumnya : pasal 7 ( 1 ),

pasal 47

Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam

v Akil Baligh laki – laki = mimpi bersetubuh.

v Perempuan = menstruasi / haid v KHI = usia 21 tahun, tidak cacat

fisik maupun mental v Dasar hukum = 98 ( 1 )

Hukum Adat

v Dewasa = peristiwa monumental seperti perkawinan, punya pekerjaan.

v Tidak ada batasan pasti berapa usia seseorang dianggap dewasa.

Page 15: Diktat Perdata

15

bertindak dalam hukum, namun undang – undang masih

menetapkanbatasan usia yang lebih rendah dari 21 tahun dan memungkin

kan kepada orang yang bersangkutan untuk bertindak sendiri dan

menjalankan hak – hak istimewa yang ditetapkan oleh undang – undang.

Misalnya saja adalah sebagai berikut :

1. UU No. 1 / 1974, wanita harus berusia 16 tahun dan laki – laki berusia 19

tahun.

2. Untuk membuat wasiat / testamen, umur 18 tahun (pasal 897

KUHPdt).14

3. Untuk memberi kesaksian, umur 15 tahun ( pasal 1912 KUHPdt ).15

4. Untuk pengakuan oleh seorang bapak terhadap anak – anak di luar

perkawinan, umur 19 tahun ( pasal 282 KUHPdt ).16

Demikianlah pendeasaan yang diberikan oleh undang – undang kepada

subyek hukum manusia guna menjalankan kebebasab dan kewenangan

dalam hukum.

1.c. Pengampuan ( Curatele )

Pengampuan merupakan lawan dari pendewasaan, apabila dalam

hal pendewasaan seseorang yang belum mencapai usia dewasa dapat

dinyatakan ikut serta dalam melakukan tindakan – tindakan hukum sendiri,

maka dalam pengampuan seseorang yang sudah dewasa akan tetapii

berada dalam kondisi tertentu,17 maka harus dinyatakan sama dengan

orang yang belum dewasa dalam wewenang bertindak dalam hukum.

Pengampuan diatur dalam pasal 433 s/d 462 KUHPdt. Orang yang

diampu ( diwakili ) disebut dengan curandus, sedangkan bagi orang yang

mewakili disebut dengan curatele. Berdasarkan pasal 436 KUHPdt, yang

berkuasa menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri dalam

14 Lihat bunyi selengkapnya pasal 897 KUHPdt. 15 Lihat selengkapya bunyi pasal 1912 KUHPdt. 16 Lihat selengkapnya bunyi pasal 282 KUHPdt. 17 Kondisi tertentu dalam hal ini antara lain, gila atau gangguan otak, dungu, cacat fisik, cacat mental, pemboros.

Page 16: Diktat Perdata

16

daerah hukum berdiamnya orang yang akan diletakkan di bawah

pengampuan.18

Pengampuan itu mulai berlaku terhitung sejak diucapkannya /

diumumkannya putusan pengadilan yang mempuyai kekuatan yang tetap.

Pada saat seseorang diletakkan dibawah pengampuan maka kedudukan

orang tersebut sama dengan kedudukan orang yang belum dewasa.

Segala perbuatan hukum yang dilakukannya adalah dapat dibatalkan.

Mengenai berakhirnya pengampuan, dapat dilihat dari 2 cara yakni :

1. Berakhirnya dalam arti absolut / mutlak.

a. Karena kematian pihak curandus.

b. Apabila dalam suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan pasti dinyatakan bahwa sebab musabab dan alasan –

alasan penempatan di bawah pengampuan telah hapus. Proses

berakhirnya pengampuan ini sama dengan proses penempatan di

bawah pengampuan.

2. Berakhirnya dalam keadaan relatif

a. Karena kematian dari pengampu / curator.

b. Dipecatnya atau dibebas tugaskannya curator.

18 Lihat selengkapnya bunyi pasal 436 KUHPdt. Untuk mendapatkan atau mengajukan penempatan dibawah pengampuan, lihat pasal 437 – 451 KUHPdt.

Page 17: Diktat Perdata

17

2. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEK HUKUM

Selain manusia, pihak lain yang termasuk sebagai subyek hukum

adalah badan hukum ( rectspersoon = orang yang diciptakan oleh hukum ),

contohnya Negara, Propinsi, PT, CV dan lain sebagainya. Berikut ini adalah

pengetian badan hukum menurut para ahli :

1. Utrech badan hukum adalah tiap pendukung hak yang tidak berjiwa

(yang bukan manusia).

2. N.E. Algra badan hukum adalah himpunan orang atau bentuk organisasi

kepada siapa diberikan sifat subyek hukum secara tegas.

3. Hugo de Groot dan P.A. Stein menyatakan bahwa badan hukum adalah

bentukan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri

sebagaimana halnya dengan orang – orang pribadi.

Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak dalam lalu lintas

hukum, jadi dapat melakukan perbuatan – perbuatan hukum seperti halnya

manusia, misalnya dapat memiliki kekayaan sendiri, dapat melakukan jual

beli, dapat digugat dimuka hakim. Namun perlu dipahami bahwa badan

hukum pada dasarnya tidak dapat menyandang hak dan kewajiban

(tertentu) yang lahir dari hukum tentang orang dan hukum kekeluargaan,

misalnya : badan hukum tidak bisa melangsungkan perkawinan.

Baik manusia maupun badan hukum bisa melakukan perbuatan

hukum atas tanggungjawab sendiri. Perbedaannya terletak pada keluasan

kemampuan mendukung hak dan kewajiban. Kemampuan mendukung hak

dan kewajiban yang dimiliki oleh manusia lebih luas daripada kemampuan

mendukung hak dan kewajiban yang dimiliki oleh badan hukum.

Ada kriteria tertentu atau persyaratan tertentu agar badan hukum

dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Adapun kriteria agar badan

hukum berstatus sebagai badan hukum adalah :

1. Ada harta kekayaan yang terpisah.

2. Mempunyai tujuan tertentu.

3. Mempunyai kepentingan sendiri.

Page 18: Diktat Perdata

18

4. Ada organisasi yang teratur.

Harta kekayaan yang dimiliki badan hukum berasal dari para

anggotanya. Meskipun demikian, setelah dimiliki oleh badan hukum, harta

kekayaan ini sama sekali terpisah dari kepemilikan anggotanya. Segala

perbuatan hukum yang bersifat pribadi oleh para anggotanya terhadap

pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan

badan hukum.

Perbuatan hukum oleh sebuah badan hukum, hanya dapat dilakukan

oleh organnya atau pengurusnya. Pada saat melakukan perbuatan hukum,

organ – organ yang terdapat dalam badan hukum dibatasi oleh :

1. Anggaran dasar.

2. Perundang – perundangan.

3. Tujuan.

Perbuatan hukum organ di luar pembatasan ini, berarti di luar batas

kewenangannya, pada dasarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepada badan hukum. Terkait hal ini ali Rido mengatakan bahwa tindakan

hukum yang dilakukan oleh organ di luar batas wewenangnya, badan

hukum hanya terikat dan dapat dipertanggungjawabkan jika :

1. Kemudian ternyata dari tindakan itu menguntungkan badan hukum.

2. Suatu organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui

tindakan itu.

Terkait dengan kedudukan badan hukum sebagai subyek hukum, ada

beberapa teori yang mendukungnya. Adapun teori – teori tersebut adalah :

1. Teori Fiksi ( Fictie Teorie )

Teori fiksi yang dipelopori oleh Von Safigny dan Ph. A.N Houwing.

Menurut teori fiksi ini badan hukum diilustrasikan sebagai suatu subyek

hukum, tetapi bukan merupakan subyek hukum yang benar – benar ada,

melainkan merupakan subyek hukum fiksi, yang sengaja diciptakan oleh

hukum.

Page 19: Diktat Perdata

19

Teori ini berpangkal tolak dari pikiran bahwa sesungguhnya subyek

hukum hanyalah manusia saja. Subyek hukum selain manusia hanyalah

ada di pikiran ( angan – angan ) saja. Ia diciptakan ( dikonstruksi ) karena

diperlukan.

Teori ini populer hingga akhir abad ke 19, akan tetapi saat ini

pengikutnya sudah hampir – hampir tidak ada. Van Apeldorn dan Hugo

de Groot adalah dua ahli hukum di antara beberapa ahli hukum yang

menentang teori fiksi ini. Kelemahan teori ini tidak dapat menjawab

permasalahan : siapa yang digugat kalau karena tindakan – tindakan

badan hukum seseorang dirugikan, atau siapa yang berhak menggugat

apabila seseorang merugikan badan hukum.

2. Teori Organ ( Orgaan Teorie )

Teori yang dipelopori oleh Otto Von Gierke berpendapat bahwa

badan hukum adalah suatu yang sungguh – sungguh ada di dalam

pergaulan hukum yang mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan

alat – alat ( organ – organ ) yang ada padanya ( pengurusnya ). Teori ini

mengutarakan bahwa peraturan – peraturan hukum yang menurut teori

fiksi tidak dapat diperlakukan bagi badan hukum berlaku juga untuk

badan hukum. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa keadaan jiwa

organ badan hukum, seperti seorang ketua, sekretaris atau lain anggota

pengurus dianggap juga sebagai keadaan jiwa badan hukum sendiri.

3. Teori Kekayaan Tujuan

Teori kekayaan yang dipelopori oleh A. Brinz berpendapat bahwa

badan hukum itu bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat

pada tujuannya. Setiap hak tidak ditentukan oleh suatu subyek tetapi

ditentukan oleh suatu tujuan. Teori ini hanya dapat menerangkan dasar

yuridis dari yayasan.

Page 20: Diktat Perdata

20

4. Teori Milik Kolektif ( Propriete Collective )

Teori milik kolektif yang dipelopori oleh Planiol dan Molengraaf

berpendapat bahwa hak dan kewajiban hukum itu pada hakekatnya

hak dan kewajiban anggota bersama – sama. Oleh karena itu badan

hukum adalah konstitusi yuridis saja, jadi pada hakekatnya abstrak.

Teori milik bersama ini berlaku untuk korporasi, badan hukum yang

mempunyai anggota, tetapi untuk yayasan teori ini tidak banyak berarti.

Page 21: Diktat Perdata

21

B. DOMISILI ( TEMPAT KEDIAMAN )

Domisili atau dikenal dengan tempat kediaman, dalam arti hukum

adalah tempat dimana seseorang dianggap senantiasa berada / selalu

hadir untuk melaksanakan hak – haknya dan untuk menunaikan kewajiban –

kewajibannya.

Tempat kediaman hukum pada umumnya adalah sama dengan tempat

kediaman senyatanya, akan tetapi tidak perlu selalu demikian. Domisili ini

penting bagi subyek hukum, karena :

1. Untuk menentukan dimana seseorang harus melakukan perkawinan.

Hal ini berhubungan dengan suatu peraturan bahwa perkawinan

harus dilaksanakan di tempat salah satu pihak ( Pasal 76 KUHPdt ).19

2. Untuk menentukan dimana subyek hukum harus dipanggil dan ditarik

di muka pengadilan.20

3. Untuk menentukan Pengadilan mana yang berkuasa terhadap

subyek hukum tersebut. Hal ini berhubungan dengan suatu peraturan

bahwa pengadilan yang berwenang mengadili seseorang dalam

perkara perdata adalah pengadilan dalam wilayah hukum dimana

penggugat / tergugat berdomisili ( Pasal 118 ayat 1 & 2 HIR ).21

Domisili diatur dalam pasal 17 sampai pasal 25 KUHPdt. Menurut pasal

17 KUHPdt, bahwa setiap orang dianggap bertempat tinggal dimana dia

terutama hidupnya atau dimana ia menempatkan pusat kediamannya.

Apabila sulit ditetapkan maka tempat tinggal senyatanya dapat dianggap

sebagai domisilinya. Kemudian pasal 18 KUHPdt menyatakan bahwa

perpindahan tempat tinggal dilakukan dengan memindahkan rumah

kediamannya ke tempat lain dengan maksud akan menempatkan pusat

kediamannya di tempat yang baru itu.

19 Lihat bunyi selengkapnya pasal 76 KUHPdt 20 Hal ini nantinya berkaitan dnegan Hukum Acara Perdata. 21 Lihat bunyi selengkapnya pasal 118 ( 1 & 2 ) HIR.

Page 22: Diktat Perdata

22

Macam – macam domisili / tempat kediaman :

1. Domisili terikat / domisili wajib ialah tempat kediaman yang tidak

tergantung pada keadaan – keadaan orang yang bersangkutan itu

sendiri, akan tetapi tergantung pada keadaan – keadaan orang lain

yang dalam arti hukum ada hubungannya dengan orang yang

pertama itu. Orang – orang yang memiliki domisili terikat, misalnya :

v Anak yang belum dewasa mempunyai domisili di tempat

tinggal orang tuanya.

v Istri mempunyai domisili di tempat tinggal suaminya.

v Para buruh mempunyai domisili ditempat tinggal majikannya

jika mereka ikut diam di rumah si majikan.

v Orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai

donisili di tempat tinggal curatornya.

2. Domisili bebas / domisili sukarela/ domisili berdiri sendiri, ialah tempat

dimana seseorang dengan bebas dan menurut pendapatnya sendiri

dapat menciptakan keadaan – keadaan di tempat tertentu atau

rumah tertentu. Domisili bebas ini terbagi menjadi 2, yaitu :

a. Domisili yang sesungguhnya, yaitu tempat yang bertalian

dengan hal melakukan wewenang perdata pada umumnya

(tempat kediaman seseorang sehari – hari).

b. Domisili pilihan, yaitu tempat yang ditunjuk sebagai tempat

kediaman oleh satu fihak atau lebih dalam hubungannya

dengan melakukan perbuatan tertentu.

Misalnya : Dalam perjanjian jual beli dipilih sebagai tempat

pembayaran di kantor Notaris tertentu. Hal ini untuk

menghindari kesulitan harus menggugat debitur di

tempat domisili debitur> Jadi dapat mengajukan

perkara ( bila ada sengketa ) di tempat tinggal

yang dipilih.

Pasal 23 KUHPdt mengatur tentang tempat / rumah kematian orang

yang meninggal dunia, dianggap terletak dimana si meninggal mempunyai

Page 23: Diktat Perdata

23

tempat tinggalnya terakhir. Penentuan tentang rumah kematian itu penting

bagi berbagai ketentuan yang menyangkut hukum waris.

Page 24: Diktat Perdata

24

D. KEADAAN TAK HADIR

Keadaan tak hadir merupakan hal khusus dalam dunia hukum

perdata. Seseorang dikatakan dalam keadaan tak hadir apabila

meninggalkan tempat kediamannya sehingga tidak melaksanakan hak –

haknya dan menunaikan kewajibannya. Jadi seseorang yang meninggalkan

tempat yang agak lama, tetapi telah menunjuk seseorang lain untuk

memelihara kepentingannya ( melaksanakan hak dan menunaikan

kewajibannya ), tidak dapat dinyatakan sebagai tidak hadir.

Agar dapat dinyatakan dalam keadaan tidak hadir, harus memenuhi

unsur – unsur yang ditetapkan dalam pasal 463 KUHPdt sebagai dasar dari

ketidakhadiran, yakni :

1. Meninggalkan tempat kediaman.

2. Tanpa memberi kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya.

3. Tidak menunjuk atau memberi kuasa pada orang lain untuk mengatur

pengelolaan kepentingannya.

4. Bilamana pemberian kuasa telah gugur.

5. Bilamana timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi

pengurusan dari harta benda atau seluruhnya atau untuk sebagian.

6. Untuk mengangkat seorang wakil, maka harus diadakan tindakan –

tindakan hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat

ketidakhadiran tersebut.

Apabila memenuhi unsur – unsur tersebut, maka seseorang dapat

dinyatakan dalam keadaan tak hadir, sehingga perlu ditunjuk seorang wakil

yang akan melaksanakan hak dan menunaikan kewajiban yang

bersangkutan. Pihak – pihak yang berhak untuk minta diadakan

penunjukkan wakil adalah :

1. Orang – orang yang berkepentingan, misalnya kreditur.

2. Fihak kejaksaan.

3. Ditetapkan sendiri oleh Pengadilan Negeri karena jabatannya.

Page 25: Diktat Perdata

25

Sedangkan pihak yang dapat ditunjuk sebagai wakil adalah :

1. Balai Harta Peninggalan ( BHP ).

2. Keluarga sedarah atau semenda yang terdekat atau suami / istri dari

orang yang “ tidak hadir “, bilaman harta kekayaaan mempunyai nilai

yang tidak berarti.

Kewajiban BHP sebagai wakil orang yang tidak hadir adalah :

1. Mengadakan penyegelan bilamana diperlukan.

2. Mengadakan pencatatan dari pada barang – barang yang

dipercayakan untuk disimpan / diurus.

3. Membuat laporan dan pertanggungjawaban tahunan kepada fihak

kejaksaan.

Sedangkan kewajiban pihak keluarga sedarah atau semenda

terdekat atau suami / istri dari orang yang tidak hadir apabila ditunjuk

sebagai wakil adalah untuk pada waktunya menyerahkan harta benda

yang ditinggalkan atau nilainya dalam bentuk uang kepada pemiliknya.

Tahapan – tahapan tindakan hukum untuk mengisi kekosongan yang

disebabkan oleh karena tidak hadirnya seorang adalah :

1. Menetapkan ketidakhadiran dan menunjuk wakil yang mewakili dan

memelihara kepentingan orang yang tidak hadir, yang meliputi

kepentingan harta kebendaan dan kepentingan – kepentingan

mengenai pribadinya, misalnya berti9ndak sebagai wakil dalam suatu

proses perceraian. Tindakan ini merupakan sementara bila terjadi

ketidakhadiran.

2. Penetapan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia.

3. Menetapkan pewarisan secara definitif.

Tindakan penetapan tentang dianggapnya seseorang telah

meninggal dunia, dapat diambil baik dalam hal ini telah atau belum

diperintahkan tindakan – tindakan sementara, dan cukup kalau sudah

beberapa lama ia tidak pulang.

Page 26: Diktat Perdata

26

Tentang waktu berapa lama itu ditentukan dalam pasal 467 dan

pasal 470 KUHPdt, sebagai berikut :

1. Lima tahun sejak keberangkatan dari tempat tinggal itu, atau lima

tahun setelah diperoleh kabar terakhir, bila yang tak hadir tidak

mengangkat seorang kuasa untuk mengurusi harta kekayaannya

atau ia tidak mengatur urusan – urusannya dan kepentingannya.

2. Sepuluh tahun bila yang tidak hadir meninggalkan kuasa atau

mengatur pengurusannya.

3. Satu tahun bila yang tidak hadir bepergian ke tempat yang

berbahaya, atau merupakan penumpang kapal yang dinyatakan

hilang atau mengalami kecelakaan.

Sebelum diambil keputusan Pengadilan tentang dianggapnya

seseorang telah meninggal dunia, maka terlebih dahulu harus diadakan 3

kali pemanggilan orang yang bersangkutan. Pemanggilan – pemanggilan

tersebut dicantumkan di tempat yang ditetapkan khusus untuk

pengumuman – pengumuman di Kantor Pengadilan dan Kantor Pemerintah

daerah dari tempat tinggal terkhir orang yang tidak hadir, serta diumumkan

dalam surat kabar. Agar khalayak ramai mengetahui adanya keputusan

Pengadilan tentang dianggapnya seseorang telah meninggal dunia, maka

keputusan itu harus diumumkan dalam surat – surat kabar yang dahulu telah

memuat berita panggilan. Akibat dari keterangan asumsi kematian :

1. Hak – hak orang yang tidak hadir itu beralih secara sementara

kepada ahli warisnya.

2. Untuk menuntut dari pengurus harta benda ( BHP ) penyerahan

barang – barang dan perincian perhitungan serta

pertanggungjawaban.

3. Kepada suami atau istri yang ditinggalkan dan telah kawin dalam

perkawinan harta perkawinan bersama atau dengan perjanjian kawin

diberi dua pilihan :

a. Untuk meneruskan keadaan yang telah ada untuk waktu yang

tertentu ( paling lama 10 tahun ).

Page 27: Diktat Perdata

27

b. Untuk langsung mengadakan pembagian harta kekayaan.

Hak – hak orang yang tidak hadir akan beralih kepada ahjli waris

secara definif / pasti sesudah 30 tahun dianggapnya seseorang telah

meninggal dunia itu tercantum dalam keputusan Pengadilan atau juga

sebelum itu telah lewat 100 tahun sejak kelahiran orang yang tidak hadir itu.

Page 28: Diktat Perdata

28

BAB III

HUKUM KELUARGA

A. DASAR PERKAWINAN

Pada saat ini kita sudah memiliki hukum nasionalk yang merupakan

unifikasi dalam bidang hukum perkawinan, yaitu UU No. 1 / 1974 tantang

Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP No. 9 / 1975. Dengan berlakunya

UU tersebut maka semua peraturan hukum yang mengatur perkawinan

sepanjang telah diatur dalam UU No. 1 / 1974 menjadi tidak berlakulagi.

Demikian juga Hukum Perkawinan yang diatur dalam Buku I KUH Pdt. Hukum

Perkawinan tersebut tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU No.

1 / 1974. Sebaliknya, masih berlaku sepanjang belum diatur dan memang

ditunjuk masih berlaku oleh UU No. 1 /1974.

Sebelum kita mempelajari materi dari Hukum Perkawinan, maka

terlebih dahulu kita harus mengerti definisi tentang perkawinan itu sendiri.

Menurut UU No. 1 / 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa : Perkawinan

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagaii

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi menurut

UU No. 1 / 1974, Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

agama / kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur

lahir / jasmani, tetapi unsur bathin / rokhani juga mempunyai peranan yang

penting membentuk keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan

keturunan pemeliharaan dan pendidikan terhadap keturunan yang

menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Berbeda dengan dasar perkawinan menurut UU No. 1 / 1974, dalam

KUH Pdt pasal 26 menyatakan bahwa KUH Pdt memandang perkawinan itu

hanya dari sudut hubungannya dengan hukum perdata saja. Antara pria

dan wanita dikatakan ada suatu perkawinan dengan segala akibat

hukumnya apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan tata cara

Page 29: Diktat Perdata

29

yang sah. Menurut pasal 2 ( 1 ) UU No. 1/1974, perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Dengan demikian, meskipun UU No. 1/1974 merupakan

unifikasi dalam hukum perkawinan. Tetapi dalam hal sahnya perkawinan

masih terdapat pluralisme.

Menurut Hukum Islam, suatu perkawian adalah suatu perjanjian

antara mempelai laki – laki di satu pihak dan wali mempelai perempuan

di lain pihak, perjanjian mana terjadi dengan suatu ijab, dilakukan oleh

wali bakal isteri dan diikuti suatu kabul dari bakal suami, dan

disertai sekurang – kurangnya dua orang saksi. Sedang sahnya perkawinan

penduduk Indonesia yang beragama Kristen adalah apabila dilakukan di

muka Pegawai Catatan Sipil atau Pendeta agama Kristen yang ditentukan

menurut Undang – Undang dua mempelai sendiri ( in person ), atau apabila

ada alasan penting menunjuk seorang kuasa menghadap di muka Pegawai

Catatan Sipil. Kedua – duanya menerengkan kepada pegawai itu bahwa

mereka dengan suka rela saling menerima satu sama lain sebagai suami

isteri, dan bahwa mereka akan secara tepat memenuhi segala kewajiban,

yang menurut Undang – Undang melekat pada suatu perkawinan.

Kemudian Pegawai Catatan Sipil atau Pendeta agama tersebut

mengatakan atas nama Undang – Undang dua belah pihak terikat satu

sama lain dalam suatu perkawinan. Perkawinan dimuka Pegawai Catatan

Sipil atau Pendeta agama ini harus dilakukan dimuka Pendeta dan dengan

dihadiri oleh dua orang saksi.

Penduduk Indonesia yang beragamalain, misalnya Hindu,Budha, dan

aliran kepercayaan, tidak dapat ditunjuk suatu kejadian atau suatu

perbuatan tertentu yang sama atau seragam antara daerah yang satu

dengan daerah yang lain, yang menentukan bahwa dengan kejadian atau

perbuatan itu terjadilah perkawinan yang sah. Untuk menjamin kepastian

hukum menurut pasal 2 ( 2 ) UU No. 1/1974,Tiap – tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Dalam UU No.

1/1974 ditentukan prinsip – prinsip atu azas – azas mengenai perkawinan

Page 30: Diktat Perdata

30

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah

disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

UU No.1/1974 menganut azas monogami tetapi tidak mutlak. Hal

ini dapat disimpulkan dari pasal 3 s/d 5 sebagai berikut : Pada azasnya

dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang

isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pengadilan

dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang

( berpoligami ) apabila dikehendaki oleh pihak – pihak yang bersangkutan

dan ketentuan – ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan

poligami dengan alasan – alasan :

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

2. Isteri mendapat cacat badan / atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3. Isteri tidak dapat melahirkan seorang keturunan.

Selain harus memenuhi alasan tersebut poligami harus memenuhi

syarat – syarat :

1. Adanya perjanjian ( persetujuan ) dari isteri / isteri – isteri.

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan –

keperluan hidup isteri – isteri dan anak – anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akan selalu adil terhadap isteri –

isteri dan anak – anak mereka.

Ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5 UU No. 1/1974 tersebut bertujuan

untuk mempersulit poligami, karena menurut pandangan masyarakat,

keluarga yang ideal adalah keluarga yang monogami. Menurut hemat

penulis ketentuan. Tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Islam, karena

jiwa dan maksud sebenarnya dari hukum Islam ialah untuk mempersulit

seorang lelaki beristeri lebih dari seorang. Menurut Hukum Islam beristeri lebih

dari seorang hanya diperbolehkan apabila si suami mampu dan berniat

sungguh – sungguh untuk memperlakukan semua isterinya secara yang

sama dan sepantasnya.

Page 31: Diktat Perdata

31

Hukum perkawinan yang diatur dalam KUH Pdt berdasarkan agama

Kristen yang berdasarkan azas monogami. Artinya dalam waktu yang sama

seorang laki – laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan

sebagai isterinya, satu orang perempuan hanya satu orang laki – laki

sebagai suaminya ( Pasal 27 KUH Pdt ). Azas monogami ini tidak dapat

disimpangi, jadi bersifat mutlak dan memaksa. Setelah berlakunya UU No.

1/1974, pasal 27 KUH Pdt ini masih berlaku, karena menurut penjelasan pasall

3 ( 2) UU No. 1/1974 tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan dalam memberi

putusan boleh tidaknya suami berpoligami, selain memeriksa apakah syarat

– syarat dan alasan – alasan telah dipenuhi harus mengingat pula apakah

ketentuan – ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengijinkan

adanya poligami.

B. SYARAT – SYARAT PERKAWINAN

Untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus memenuhi

syarat – syarat perkawinan. Syarat – syarat perkawinan dibedakan dalam :

1. Syarat – syarat Materiil, yaitu syarat mengenai orang – orang yang

hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan

, ijin dan kewenangan untuk memberi ijin.

2. Syarat – syarat Formil, yakni syarat – syarat yang merupakan formalitas

yang berkaitan dengan upacara nikah.

C. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN.

1. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan ialah hak yang diberikan oleh Undang –

undang kepada orang – orang tertentu untuk atas dasar - dasar tertentu

menyatakan keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan antara

orang – orang tertentu.

Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah

hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan

Page 32: Diktat Perdata

32

memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.

Perkawinan dapat dicegah apabila tidak memenuhi syarat meteriil baik

yang absolut dan salah seorang mempelai di bawah pengampuan

maupun yang relatif.

2. Pembatalan Perkawinan

Para ahli hukum berpendapat bahwa tiap perkawinan hanya dapat

dinyatakan “vernietigbaar” ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa

perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal sesudah keputusan hakim

atas dasar – dasar yang diajukan oleh penuntut yang ditunjuk oleh

undang – undang. Jadi perkawinan tidak dapat dinyatakan “ nietigbaar

“ ( batal demi hukum ), karena kalau demikian halnya maka tak

menjamin kepastian hukum. Perkawinan dinyatakan batal sesudah

dilangsungkan perkawinan.

Perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan – alasan sebagai

berikut :

1. Apabila para pihak tidak memenuhi syarat – syarat untuk

melangsungkan perkawinan. ( pasal 6 – 11 UU No. 1 / 1974 ).

2. Perkawinan diajukan pada Pegawai Pencatat yang tidak berwenang.

3. Perkawinan dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.

4. Perkawinan dilaksanakan tanpa dihadiri 2 orang saksi.

5. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar

hukum.

6. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka

mengenai diri suami atau isteri.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan

dalam wilayah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat

tingal kedua suami isteri, suami atau isteri ( Pasal 25 UU No. 1 / 1974 ).

Pihak – pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut

pasal 23 UU No. 1 / 1974 adalah sebagai berikut :

Page 33: Diktat Perdata

33

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau

isteri.

2. Suami atau isteri.

3. Pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh UU.

4. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu

putus.

D. HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN DAN PERJANJIAHN KAWIN

1. Harta Kekayaan Dalam Perkawian

Ada perbedaan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan

menurut UU No. 1 / 1974 dengan KUHPdt. Perbedaan tersebut dapat

dilihat pada bagan di halaman selanjutnya :

Page 34: Diktat Perdata

34

BAGAN PERBEDAAN HARTA PERKAWINAN MENURUT UU No. 1 / 1974 DAN

KUHPdt

2. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian kawin dalam UU No. 1 / 1974 hanya diatur secara singkat

dalam 1 pasal, yaitu pasal 29. Pasal tersebut hanya mengatur :

a. Perjanjian perkawinan dapat diadakan pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan.

b. Perjanjian perkawinan harus tertulis, yang sahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan.

UU No. 1 / 1974 KUHPdt

Pasal 35 UU No. 1 / 1974 Pasal 119 KUHPdt

Ada 2 macam harta kekayaan dalam perkawinan : 1. Harta benda bersama,

adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Penguasaan dan pengurusan harta benda bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Harta bawaan, adalah harta bawaan dari masing – masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan. Penguasaan dan pengurusan harta bawaan masing – masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami atau isteri. Jadi hukum perkawinan dalam KUHPdt menganut asas persatuan / percampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh penyimpangannya.

Page 35: Diktat Perdata

35

c. Perjanjian tidak boleh melanggar batas – batas hukum, agama dan

kesusilaan.

d. Perjanjian kawin berlaku terhadap pihak ketiga setelah perjanjian

tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sedangkan

berlaku terhadap kedua belah pihak, sejak perkawinan tersebut

dilangsungkan.

e. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat

dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dalam KUH Pdt dinyatakan dengan tegas bahwa perjanjian perkawinan

dimaksudkan untuk mengadakan penyimpangan terhadap persatuan harta

kekayaan dalam perkawinan ( pasal 139 ). Dengan berlakunya UU No.

1/1974, maka syarat – syarat dan proses mengadakan perjanjian kawin harus

sesuai dengan pasal 29 UU tersebut. Namun ketentuan – ketentuan tentang

perjanjian perkawinan dalam KUH Pdt yang tidak diatur dalam UU No. 1/1974

masih berlaku.

Menurut ketentuan KUH Pdt calon suami isteri bebas menentukan isii

perjanjian perkawinan yang dibuatnya. Namun dalam menentukan isi

perjanjian perkawinannya dibatasi oleh ketentuan – ketentuan sebagaii

berikut :

a. Perjanjian yang dibuat dengan tidak bertentangan dengan kesusilaan

dan ketertiban umum.

b. Perjanjian yang dibuat tidak boleh menyimpang dari :

1. Hak – hak yang timbul dari kekuasaan suami, misalnya hak

menentukan domisili.

2. Hak – hak yang timbul dari kekuasaan orang tua, misalnya hak

mendidik anak – anaknya.

3. Hak – hak yang ditentukan oleh Undang – Undang bagi mempelai

yang hidup terlama, misalnya hak menjadi wali.

c. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian yang mengandung pelepasan

hak atas harta peninggalan orang – orang yang menurunkannya.

Page 36: Diktat Perdata

36

d. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian bahwa salah satu pihak akan

memikul hutang datipada bagiannya dalam aktiva.

e. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan kata – kata umum

yang mengatakan bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh Undang –

Undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia

atau di Nederland.

Bentuk – bentuk perjanjian kawin :

a. Perjanjian perkawinan dengan persatuan keuntungan dan kerugian.

b. Perjanjian perkawinan dengan persatuan penghasilan dan pendapatan.

c. Segala pencampuran harta benda dikesampingkan.

E. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka tumbuhlah hak dan

kewajiban suami isteri seperti yang ditentukan dalam pasal 30 sampai pasal

34 UU. No. 1 / 1974 sebagai berikut :

1. Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi

dasar dari susunan masyarakat.

2. Suami isteri wajib saling mencinta mencintai, hormat menghormati

dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

3. Suami isteri harus mempunyai tempat tinggal atau domisili. Tempat

tinggal tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan suami isteri.

4. Suami dan isteri mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

5. Suami dan isteri berhak melakukan perbuatan hukum.

6. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

7. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup rumah tangga (nafkah) sesuai dengan

kemampuannya.

8. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik – baiknya.

Page 37: Diktat Perdata

37

Berdasarkan hak dan kewajiban suami isteri seperti tersebut diatas

maka hak dan kewajiban suami isteri menurut KUH Pdt yang ketentuannya

bertentangan dengan ketentuan UU No. 1/1974 tidak berlaku lagi. Ketentuan

– ketentuan tersebut terutama ketentuan yang sangat merugikan pihak isteri,

yang diantaranya adalah :

1. Kekuasaan marital dari suami, artinya suami mempunyai kekuasaan

penuh dan bertanggung jawab terhadap harta kekayaan bersama

dan harta benda kepunyaan isteri pribadi ( pasal 105 KUH Pdt )

2. Isteri wajib mengikuti domisili atau tinggal bersama suami ( pasal 106

KUH Pdt )

3. Isteri menjadi tidak cakap bertindak dalam hukum ( pasal 1330 dan

pasal 108 dan 110 KUH Pdt )

F. KEDUDUKAN ANAK, KEKUASAAN ORANG TUA DAN PERWALIAN

1. Kekuasaan Orang Tua ( Ouderlijke macht )

Dalam hukum, terutama perdata barat, kalau belum dewasa ada 2

kemungkinan :

1. anak di bawah kekuasaan orang tua.

2. anak dibawah peralian.

Kekuasaan orang tua menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 47 menetapkan :

1. anak belum berumur 18 tahun.

2. belum pernah kawin.

Ada kemungkinan seorang anak baru 16 tahun, namun sudah kawin

(melakukan perbuatan hukum) berarti ia cakap melakukan perbuatan

hukum, tetapi ia tidak termasuk dewasa. Terhadap kekuasaan orang tua ini,

B.W. masih berlaku sepanjang tidak / belum diatur ( pasal 66 UU No.1 tahun

1974 )

Dasar hukumnya adalah :

1. Terhadap kekuasaan orang tua, berdasarkan pasal 66 UU No. 1 tahun

1974 tidak diatur juga oleh PP No. 9 tahun 1975, sehingga tetap diatur

oleh B.W.

Page 38: Diktat Perdata

38

2. Petunjuk Mahkamah Agung : Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 dan PP

No. 9 tahun 1975, yaitu tentang :

a. Kedudukan anak

b. Harta benda

c. Kekuasaan orang tua

d. Perwalian

Kekuasaan orang tua menurut B.W. terjadi kekuasaan orang tua

sepanjang perkawinanbapak dan ibu ( pasal 299 B.W. ) . Jadi apabila orang

tua cerai, tidak ada kekuasaan orang tua, melainkan di bawah perwalian.

Demikian pula, apabila salah satu dari oarang tua meninggal dunia, maka

anak di bawah perwalian. Tegasnya, menurut B.W. kekuasaan orang tua

berada di tangan orang tua, sedang yang melaksanakan adalah bapak (

pasal 300 B.W. ) .Disamping kekuasaan orang tua terjadi sepanjang

perkawinan bapak dan ibu, ketentuan lainnya adalah sampai dewasa dan

tidak dibebaskan / dipecat dari kekuasaan orang tua.

Isi kekuasaan :

1. Terhadap diri anak ( orang tua wajib memelihara dan mendidik anak –

anak )

2. Terhadap harta benda anak meliputi :

a. Pengurusan ( dilakukan orang tua )

b. Menikmati hasil ( orang tua berhak menikmati hasil atas harta benda

tersebut )

Berakhirnya kekuasaan orang tua

1. Pencabutan ( pemecatan ) lihat pasal 319 B.W. pasal 49 UU No. 1 tahun

1974.

2. Pembebasan

Adapun alasannya adalah karena tindakannya terlalu keras, orang tua

melanggar kewajiban sebagai orang tua ( pencabutan ) atau apabila

orang tua tidak mampu / kurang cakap sebagai orang tua ( alasan

pembebasan )

Page 39: Diktat Perdata

39

2. Perwalian ( Voogdij ) pasal 50 UU No. 1 / 1974

Selain diatur dalam UU No. 1 / 1974, sama seperti dalam kekuasaan

orang tua, ketentuan masih berlaku , karena PP 9 tahun 1975 belum

mengatur.

Ketentuan pasal 50 UU No. 1 tahun 1974 ayat 1 “Anak yang belum mencapai

umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.

Ayat 2 menyatakan perwalian itu mengenai pribadi anak yang

bersangkutan maupun harta bendanya. Perlu diingat bahwa apabila walii

hanya ada satu orang wali, sedangkan kekuasaan orang tua pasti ada 2

orang, sehingga apabila salah satu dari orang tua meninggal dunia dii

bawah perwalian yang masih hidup. Apabila cerai ( berdasarkan putusan

pengadilan ) salah satu dari kedua orang tua tersebut.

Ada 3 macam perwalian :

1. Bapak/ ibu yang hidup terlama ( otomatis )

2. Dengan wasiat

3. Diangkat oleh hakim

Tugas ( isi perwalian ) sama dengan kekuasaan orang tua, yaitu :

1. Mengurus kepentingan diri anak.

2. Mengurus kepentingan harta kekayaan anak.

Seorang wali juga mempunyai hak menikmati hasil apabila anak mempunyai

harta benda. Apabila seorang wali tidak mampu, maka kekuasaan sebagai

wali dapat dipecat. Dalam perwalian ada seorang pengawas yang

melakukan pengawasan dan pengurusan. Jadi kekuasaan orang tua

mempunyai kesamaan Fungsi dengan perwalian.

Perbedaan ( pokok ) adalah :

1. Dalam kekuasaan orang tua

Hanya terjadi jika perkawinan orang tuanya utuh dan hanya orang tua

yang dapat menjadi kekuasaan orang tua.

Page 40: Diktat Perdata

40

2. Dalam perwalian

Dimungkinkan orang lain menjadi wali dan cara mendapatkan perwalian

ada 3 cara :

a. Bapak / ibu yang hidup terlama

b. Dengan wasiat

c. Diangkat oleh hakim

3. Kedudukan Anak ( pasal 42 UU No. 1 / 1974 )

Pada hukum perdata, ada 4 macam anak, yaitu :

a. anak sah.

b. Anak luar kawin.

c. Anak zina.

d. Anak sumbang.

Keterangan :

a. Anak sah : anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah. ( pasal 42 UU No. 1 / 1974 ).

b. Anak luar kawin : istilah anak luar kawin hanya ada dalam KUHPdt.

Hukum Islam dan Hukum Adat tidak mengenal

istilah demikian ini, sebab dalam hukum Islam

hubungan kelamin antara laki – laki dan

perempuan tanpa perkawinan adalah zina. Dalam

hukum adat apabila ayah tidak diketahui maka

akan dicarikan bapaknya ( perkawinan tembelan ).

Anak luar kawin ada 2, yaitu :

1. Anak luar kawin yang diakui, mempunyai hubungan hukum dengan

orang tua yang mengakui. Konsepsi KUHPdt, ibu si anak tidak secara

otomatis sebagai ibunya, apabila tidak melakukan pengakuan

terhadap anak luar kawin tersebut. Anak luar kawin yang diakui ini

juga TIDAK mempunyai hubungan hukum dengan kerabat orang

yang mengakuinya ( bandingkan dengan UU No. 1 / 1974 ).

Page 41: Diktat Perdata

41

2. Anak luar kawin yang tidak diakui, tidak mempunyai hubungan

hukum dengan siapapun.

c. Anak Zina ( KUHPdt ) : anak yang dilahirkan dari perbuatan zina antara 2

orang ( laki – laki dan perempuan ), dimana salah satu atau keduanya

telah terikat perkawinan. Terhadap anak zina ini, tidak diakui oleh hukum,

dia juga tidak mempunyai hak waris.

d. Anak sumbang : anak yang dilahirkan dari perkawinan dua orang yang

masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat dimana hukum

mereka melarang untuk dikawini. Terhadap anak sumbang ini tidak diakui

hukum, seperti halnya anak zina, anak sumbang tidak berhak mewaris.

Bagaimana terhadap anak luar kawin menurut hukum perkawinan

(UU No. 1 / 1974) ???? ...........................

Kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan demikian

menurut UU No. 1 / 1974, tanpa pengakuan dari ibunya dan keluarga ibunya

secara otomatis si anak mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan

keluarga ibunya. Hal ini BERBEDA dengan KUHPdt.

Ketentuan pasal 44 UU No. 1 / 1974 identik dengan pasal 252 KUHPdt.

Pasal 44 UU No. 1/ 1974 : Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak

yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat

membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan

anak itu akibat dari perzinahan tersebut.

Pasal 252 KUHPdt : Suami boleh mengakui keabsahan si anak, apabila

dapat membuktikan, bahwa ia sejak tiga ratus

sampai seratus delapan puluh hari sebelum lahirnya

anak itu, baik karena perpisahan, berbeda dalam

ketakmungkinan yang nyata, untuk mengadakan

hubungan dengan istrinya.

Untuk membuktikan asal usul anak, dibuktikan dengan akta kelahiran ( pasal

55 UU No. 1 / 1974 ).

Page 42: Diktat Perdata

42

Hak dan kewajiban orang tua dan anak :

Pasal 298 KUHPdt : Tiap – tiap anak, dalam umur berapapun juga, berwajib

menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak

dan ibunya. Si bapak dan ibu, keduanya berwajib

memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang

belum dewasa.

Pasal 104 KUHPdt : Suami dan istri dengan mengikat diri dalam suatu

perkawinan, dan hanya karena itupun terikatlah

mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan

memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.

Pasal 321 KUHPdt : Tiap – tiap anak berwajib memberi nafkah kepada orang

tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke

atas, apabila mereka miskin.

Pasal 46 UU No. 1 / 1974

Ayat 1 : Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka

yang baik.

Ayat 2 : Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut

kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke

atas bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Ketentuan ini merupakan alimentasi nafkah. Undang – undang

menentukan pasal ini sebagai perjanjian yang lahir karena undang –

mundang. Oleh karena sebagian perjanjian timbal balik antara orang tua –

anak, maka apabila dipungkiri dapat menuntut. Kewajiban demikian

mempunyai akibat hukum.

Pasal 47 UU No. 1 / 1974 identik dengan pasal 229 KUHPdt tentang kekuasaan

orang tua.

Pasal 229 KUHPdt : Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap – tiap anak,

sampai ia menjadi dewasa tetap bernaung di bawah

kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan

atau dipecat dari kekuasaan itu.

Page 43: Diktat Perdata

43

Pasal 47 ayat 1 UU No. 1 / 1974 : Anak yang belum mencapai umur 18 tahun

atau belum pernah melangsungkan

perkawinan ada di bawah kekuasaan

orang tuanya selama mereka tidak

dicabut dari kekuasaannya.

G. PUTUSNYA PERKAWINAN ( pasal 38 UU No. 1 / 1974 )

Ada 3 sebab yang dapat memutuskan perkawinan :

1. Kematian.

2. Perceraian.

3. Putusan Pengadilan (pasal 38 UU No. 1 / 1974 )

Mengenai perceraian, diatur dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1974 dan

KUHPdt pasal 209. Untuk dapat bercerai harus melalui permohonan ke

Pengadilan Negeri.

Alasan – alasan perceraian sebagai berikut :

1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, yang sukar disembuhkan.

Zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki – laki dengan

perempuan di mana salah seorang atau kedua – duanya sudah terikat

perkawinan ( pengertian menurut hukum ). Dalam Islam tidak perlu ada

klausula terikat perkawinan. Terhadap alasan pemabuk, pemadat dan

penjudi sifatnya alternatif bukan kumulatif.

2. Meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut – turut.

3. Mendapat hukuman perjara 5 tahun / lebih.

4. Kekejaman / penganiayaan berat.

5. Cacat badan / penyakit.

6. Perselisihan dan pertengkaran.

Pada umumnya alasan No. 6 yang sering dipakai dalam praktek, karena

pembuktian mudah. Sedangkan alasan no. 1 ( zina ) sangat sulit untuk

dibuktikan.

Page 44: Diktat Perdata

44

Perceraian dibedakan atas 2 macam, yaitu :

1. Cerai Talak

Cerai talak adalah perceraian atas permintaan suami yang beragama

Islam untuk menceraikan istrinya.

Dasar hukum : pasal 14 PP No. 9 th. 1975 jo. Pasal 66 UU No. 7 th. 1989.

Cerai talak terutama berlaku bagi yang beragama Islam. Dalam Islam

yang dapat menceraikan adalah suami. Cara untuk menjatuhkan cerai

talak adalah dengan cara mengajukan permohonan ( pasal 66 UU No. 7

th. 1989 ) dan bukan dengan gugatan seperti dalam cerai gugat ke

Pengadilan Agama.

DAHULU, sebelum UU No. 7 / 1989, pengajuannya cukup dengan

pemberitahuan. Pengadilan Agama menyaksikan talak ini sangat

janggal, karena hanya sebagai pemberitahuan, sehingga tidak sesuai

dengan asas umum Hukum Acara Perdata. Oleh karena diajukan

dengan cara permohonan, maka hasil akhirnya berupa penetapkan.

2. Cerai gugat ( Putusan Pengadilan )

Perceraian ini dilakukan oleh seorang istri ( Islam ) dan suami atau istri

(bukan Islam). Pengajuannya harus melalui gugatan, bukan permohonan.

Perbedaannya adalah bagi seorang istri ( Islam ) ke Pengadilan Agama,

sedangkan suami atau istri ( non Islam ) ke Pengadilan Negeri.

Persamaannya adalah keduanya disebut sebagai cerai gugat. Oleh karena

itu, hasil akhirnya berupa putusan ( vonnies ).

Dasar hukum cerai gugat diatur dalam pasal 20 PP No. 9 th. 1975 dan pasal 3

UU No. 7 th. 1989. Baik pada cerai talak maupun cerai gugat, keduanya

harus beralasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 PP No. 9 th. 1975.

Akibat Putusnya Perkawinan ( Masa Tunggu )

Bagi seorang perempuan yang putusan perkawinan berlaku jangka

masa tunggu ( pasal 11 (1) UU No. 1 / 1974 ). Suami tidak mengenal masa

tunggu.

Page 45: Diktat Perdata

45

Waktu tunggu bagi seorang janda seperti yang dimaksud pasal 11 (2) UU No.

1 / 1974 adalah sebagai berikut :

1. Karena kematian, waktu tunggunya 130 hari.

2. Karena perceraian ( hidup ) : bagi yang haid ditetapkan 3 kali suci,

sekurang – kurangnya 90 hari. Apabila

tidak ada haid ditetapkan 90 hari.

3. keadaan hamil, sampai melahirkan.

KUHPdt mengatur masalah ini seperti dalam pasal 34 KUHPdt, yaitu 300 hari

(seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi melainkan setelah lewat

waktu tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan).

Page 46: Diktat Perdata

46

BAB IV

HUKUM BENDA

A. BERLAKUNYA BUKU II KUHPdt SETELAH UUPA

Buku II KUHPdt mengatur tentang hukum benda, diatur tersebar dalam

pasal 499 – 1232 KUHPdt. Pada buku II KUHPdt ini sebagian besar sudah tidak

berlaku, karena berisikan hak – hak atas tanah. Bagian dalam buku II KHUPdt

yang dinyatakan tidak berlaku lagi adalah :

1. Dengan berlakunya UU No. 5 / 1960 : Bumi, air dan kekayaan yang

terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku ( hukum tanah

tidak berlaku ) kecuali hipotik. ( UU No. 6 / 1960 ini dikenal dengan

nama UUPA )

2. Dengan berlakunya UU No. 4 / 1996 : hipotik atas tanah ( sepanjang

atas tanah )

Perubahan fundamentil di dalam hukum tanah di Indonesia terjadi

karena tadinya terdapat hukum tanah yang bersumberkepada hukum

barat6 dan hukum tanah yang bersumber pada hukum adat diganti dengan

hukum tanah yang diatur dalam Undang – Undang Pokok agraria beserta

peraturan – peraturan pelaksanaannya. Sehingga meniadakan dulisme

yang ada dalam hukum tanah dan menciptkan Unifikasi hukum dalam

hukum tanah Indonesia. Dengan adanya unifikasi itu hukum tanah barat

yang tadinya tertulis dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

kedua – duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan

MPRS No. II / MPRS / 1960

Dengan berlakunya UU No. 4 / 1996, maka ketentuan mengenai hipotik

dalam buku II KUHPdt yang oleh UUPA masih dinyatakan berlaku sepanjang

mengenai tanah menjadi tidak berlaku lagi. Akan tetapi ketentuan hipotik

tersebut masih berlaku sepanjang mengenai benda tidak bergerak selain

tanah, misalnya hipotik atas mesin – mesin pabrik.

Page 47: Diktat Perdata

47

Sistem yang dianut dalam BUKU II KUHPdt adalah SISTEM TERTUTUP,

artinya orang dilarang mengadakan hak kebendaan baru selain yang sudah

ditentukan undang – undang. Berdasarkan ini, maka termasuk sifat Dwingen

Rech (memaksa). Sistem demikian berlawanan dengan yang dianut oleh

BUKU III tentang perikatan dan menganut sistem terbuka.

B. PEMBEDAAN MACAM - MACAM BENDA

Sebelum lebih jauh membahas macam – macam benda, maka terlebih

dahulu penulis akan mengemukakan pengertian benda.

Menurut bunyi Pasal 499 KUHPdt :

“ menurut paham undang – undang, yang dinamakan kebendaan ialah tiap

– tiap barang dan tiap – tiap hak yang dapat dikuasaai oleh hak milik. “

Jadi benda terdiri dari barang dan hak. Dari pasal itu berarti barang tidak

identik dengan benda. Kebendan terdiri dari barang dan hak, sedangkan

barang sudah tentu banda.

Barang : berwujud ( segala sesuatu yang berwujud )

Hak : Segala sesuatu yang tidak berwujud.

Jadi, zaak adalah barang dan hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.

Pengertian awam, barang sama dengan benda. Pengertian hukum benda

adalah barang dan hak.

Pasal – pasal dalam KUHPdt buku II mengatur mengenai benda

dalam arti barang yang berwujud. Berikut ini pembedaan benda menurut

KUHPdt.

Pengertian benda, yaitu segala sesuatu yang dapat menjadi obyek eigendom. Kata “ segala sesuatu”

ini mempunyai pengertian yang luas.

Page 48: Diktat Perdata

48

BAGAN PEMBEDAAN MACAM – MACAM BENDA MENURUT KUHPdt

Benda berwujud

Benda tidak berwujud

Benda bergerak Benda bergerak karena sifatnya

Ex. Mobil, tv dll

Benda bergerak karena ketentuan -

ketentuan undang – undang yang –

berupa hak atas benda bergerak.

Ex. Hak memungut hasil, hak pakai atas -

Benda bergerak, surat – surat berharga

misalnya saham.

Benda tidak bergerak Benda tak bergerak menurut sifatnya

Ex. Tanah dan sesuatu yang melekat

Di atasnya seperti rumah.

Benda tidak bergerak karena tujuan

Ex. Mesin yang dipakai di pabrik

Benda tidak bergerak menurut –

Ketentuan undang – undang yang

Berupa hak – hak atas benda tidak

bergerak

Ex. Hak pakai atas benda tidak

bergerak

Benda yang habis dipakai

Benda yang tidak habis dipakai

Benda yang sudah ada

Benda yang masih akan ada secara absolut

Ex. Panen yang akan datang

Benda yang masih akan ada secara relatif

Ex. Benda yang sudah dibeli tapi belum diserahkan

Page 49: Diktat Perdata

49

Benda dalam perdagangan

Benda diluar perdagangan

Benda yang dapat dibagi

Barang yang tidak dapat dibagi

Pembagian yang terpenting adalah benda bergerak dan benda

tidak bergerak, karena berkaitan dengan :

1. Penyerahan / Levering : terhadap benda bergerak secara langsung,

benda tidak bergerak dengan balik nama.

2. Pembebanan / Bezwaring : Pembebanan benda bergerak dengan

gadai ( pasal 1150 KUHPdt ) benda tetap dengan hipotik.

3. Bezit : berlaku ketentuan pasal 1977 KUHPdt terhadap benda

bergerak. Pembuktiannya terbalik.

4. Verjaar terhadap benda bergerak seketika benda tetap ada

bermacam – macam. Ada yang 20 tahun ada yang 30 tahun.

Secara garis besar pembagian benda tetap ada 3 macam, yaitu :

1. Karena sifatnya : tanah ( pasal 506 KUHPdt )

2. Tujuan / pemakaian ( pasal 507 KUHPdt ), sebenarnya benda

bergerak tetapi karena pemakaian yang lama dan dilektakkan pada

benda tidak bergerak.

3. Karena penetapan undang – undang, yaitu berupa hak – hak ( pasal

508 KUHPdt )

C. HAK KEBENDAAN

Pengertian dari hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda

dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan

dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kepada orang yang mempunyai hak kebendaan dapat

menikmati hak kebendaan sepuas – puasnya atau dapat berbuat apa saja

terhadap hak kebendaan itu.

Page 50: Diktat Perdata

50

Hukum perdata, pada prinsipnya mengenal ada 2 hak, yaitu :

1. Hak mutlak / absolut : hak yang dimiliki setiap orang, dan harus dihormati

oleh setiap orang.

Hak mutlak dibedakan atas :

a. Hak pribadi / hak kemerdekaan.

b. Hak dalam hukum keluarga.

c. Hak kebendaan.

Jadi hak kebendaan adalah salah satu macam dari hak mutlak

2. Hak relatif / nisbi adalah hak yang timbul karena hubungan individu yang

satu dengan yang lain, hak ini hanya dapat dipertahankan oleh orang –

orang tertentu ( timbul dari hukum perikatan )

D. HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN KENIKMATAN

1. Hak Milik ( EIGENDOM ------ Pasal 570 KUHPdt )

Eigendom atau hak milik adalah hak menikmati suatu benda dengan

sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu sebebas – bebasnya.

Hak milik adalah hak yang paling sempurna dibandingkan dengan hak – hak

lainnya. Hal ini dapat disimpulkan dari :

a. yang mempunyai benda berhak menikmati.

Ex. Memungut hasil buah diatas pohon

b. yang mempunyai benda berhak untuk menguasai.

Ex. Dapat berbuat apa saja terhadap benda tersebut.

Hal ini berbeda dengan hak kebendaan lain, misalnya hak tanggungan

(gadai, hipotik), dalam hal ini haknya terbatas yaitu hanya memberikan

penguasaan kepada orang tertentu untuk mengambil pelunasan hutang.

Akan tetapi meskipun hak milik dapat dikuasai sebebas – bebasnya

ada batas yang harus diperhatikan, yaitu :

1. Undang – undang

2. Kepentingan orang lain.

3. Lingkungan

Page 51: Diktat Perdata

51

Ex. A mempunyai tanah kemudian membangun tembok tinggi. Hal ini berarti

telah terjadi penyalagunaan hak ( misbruik van rech/abus-du-droit ).

Ciri – ciri hak milik adalah sebagai berikut :

1. Merupakan hak induk terhadap hak kebendaan yang lain.

Ex. Dari hak milik akan melahirkan hak pakai, hak memungut hasil dan

hak gadai.

2. Merupakan hak yang selengkap – lengkapnya.

Artinya orang yang mempunyai hak milik suatu benda dapat dengan

bebas untuk melakukan perbuatan hukum maupun perbuatan materiil

terhadap bendanya.

3. Hak milik mempunyai sifat yang tetap.

Artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan lain.

Ex. Hak milik yang dibebani hak memungut hasil, maka hak milik itu tetap

ada.

4. Hak milik mengandung benih dari semua hak kebendaan lain.

Penggunaan hak milik ini mempunyai pembatasan – pembatasan

tertentu, yaitu :

1. Penggunaan hak milik tidak boleh bertentangan dengan undang –

undang dan peraturan – peraturan umum ( pasal 570 KUHPdt ).

2. Penggunaan hak milik tidak boleh menimbulkan gangguan ( pasal 570

KUHPdt ).

3. Adanya kemungkinan pencabutan hak milik untuk kepentingan umum

(pasal 570 KUHPdt).

4. Pembatasan oleh hukum tetangga, misalnya adanya kewajiban untuk

menerima aliran air dari tanah yang lebih tinggi ke tanah yang lebih

renda, jadi tidak boleh membendungnya.

5. Dalam mempergunakan hak milik tidak boleh melakukan

penyalagunaan hak.

Cara untuk memperoleh hak milik ( Eigendom ) ini diatur dalam pasal

584 KUHPdt. Dimana ada 5 cara untuk memperoleh hak milik, yaitu :

1. Pendakuan / pemilikan / pengambilan ( toeeigening).

Page 52: Diktat Perdata

52

2. Perlekatan / ikutan ( natrekking ).

3. Daluarsa / lewat waktu ( verjaring ).

4. Pewarisan ( erf op volging ).

5. Penyerahan ( levering ).

Setelah berlakunya UU No. 5 / 1960, khusus terhadap tanah sudah tidak bisa

lagi orang memperoleh tanah secara ikutan. Demikian juga terhadap

pendakuan dan daluarsa.

KETERANGAN :

1. Pendakuan

Pendakuan diatur dalam pasal 585 KUHPdt, yaitu pendakuan dari barang

– barang bergerak yang belum ada pemiliknya / tidak ada pemiliknya

(Res Nullius).

2. Perlekatan / ikutan.

Benda itu melekat pada benda lain, sehingga benda itu menjadi satu.

Ikutan ( natrekking ) ini diatur dalam pasal 588 – 605 KUHPdt, yaitu

memperoleh benda itu karena benda itu mengikuti benda yang lain.

Misalnya : hak atas tanam tanaman, itu mengikuti tanah yang sudah

menjadi hak milik dari orang yang menanami itu.

INGAT !!!!!!

Sistem KUHPdt : Vertikal = tanah dan rumah jadi satu

Sistem agraria : Horizontal Scheiding ( pemisahan )

Contoh : rumah saja, pohon saja.

3. Daluarsa / lewat waktu.

Lampau waktu diatur dalam pasal 610 KUHPdt dan Buku IV KUHPdt.

Daluarsa ini hanya berlaku terhadap barang tetap.

Ada 2 macam verjaring, yaitu :

1. Acquisitive verjaring : hak memperoleh kebendaan.

2. Extinctive verjaring : dibebaskan dari suatu perutangan

Page 53: Diktat Perdata

53

Hak milik diperoleh dalam daluarsa hanya terhadap barang tetap, batas

waktunya ada dua, yaitu :

1. selama 20 tahun : apabila ada alas hak.

2. selama 30 tahun : tanpa alas hak

Syarat memperoleh hak milik dengan acquisitive verjaring, yaitu :

1. harus ada bezit sebagai pemilik / menguasai barang.

2. Bezitter itu harus te goeder trouw ( dengan itikat baik )

3. penguasaan terus menerus

4. tidak ada gangguan

5. diketahui oleh umum / orang banyak.

6. dikuasai selama 20 tahun atau 30 tahun

7. 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah.

8. 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak.

4. Pewarisan

Pewarisan ( erf op volging ) adalah salah satu cara untuk mendapatkan

hak kebendaan.

5. Penyerahan

Penyerahan / levering, harus ada alas hak / titel atau dasar ikatan hukum,

yaitu :

- jual beli

- tukar menukar

- pemberian / hibah

- warisan

- pendakuan

Page 54: Diktat Perdata

54

2. KEDUDUKAN BERKUASA ( BEZIT )

Kedudukan berkuasa atau yang lebih dikenal dengan bezit menurut

pasal 529 KUHPdt adalah keadaan memegang atau menikmati sesuatu

benda dimana seseorang menguasainya baik sendiri maupun dengan

perantaraan orang lain, seolah – olah itu adalah kepunyaannya sendiri.

Persoalan bezit ini berkaitan dengan pasal 1977 KUHPdt :

“ Terhadap benda bergerak tidak berupa bunga, maupun piutang yang

tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa

menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. “

Dalam bezit, ada dua unsur, yaitu :

1. Kekuasaan atas benda ( corpus ) orang itu harus menguasai benda

dengan itikad baik. Corpus mempunyai arti harus ada hubungan antara

orang yang bersangkutan dengan bendanya.

2. Animus, yaitu ada kemauan untuk memiliki. Suatu saat setelah dikuasaai

harus dimiliki. Hubungan antara orang dengan benda tersebut harus

dikehendaki oleh orang tersebut. Kehendak ini adalah kehendak yang

sempurna, artinya bukan kehendak dari anak kecil atau orang gila.

Bezitter yang beritikat baik dan yang beritikad buruk sama – sama

mendapat perlindungan hukum, namun perlindungan hukum terhadap bezit

yang beritikat baik lebih banyak dari bezitter yang beritikat buruk.

Perlindungan hukum terhadap bezitter yang beritikat baik adalah :

1. Bahwa bezitter sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di

muka hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik benda.

2. Bezitter mendapat penggantian ongkos – ongkos yang sudah

dikeluarkan untuk benda dibezitnya.

3. Hak mendapat buah dari bendanya.

4. Kemungkinan bahwa bezitter akhirnya menjadi pemilik dengan jalan

verjaring.

Sedangkan bagi bezitter yang beritikad buruk, hanya mendapat

perlindungan hukum yang pertama dan kedua saja. Apabila ia menikmati

Page 55: Diktat Perdata

55

segala hasil kebendaan, maka wajib mengembalikannya kepada yang lebih

berhak. Selain itu tidak ada kemungkinan bagi bezitter yang beritikad buruk

untuk menjadi pemilik kebendaan dengan cara verjaring.22

Bezit sendiri mempunyai 2 fungsi, yaitu :

1. Fungsi polisionil, yaitu orang yang menguasai dengan itikad baik

mendapat perlindungan hukum atas barang yang dikuasainya.

2. Fungsi zakenrechtelijk, merupakan fungsi hukum yaitu suatu ketika orang

yang menguasai itu akan menjadi pemilik dari benda yang dikuasainya

(pasal 545 KUHPdt)

Mengenai cara memperoleh bezit, menurut ketentuan pasal 538 KUHPdt,

bezit atas sesuatu benda itu diperoleh dengan tindakan berupa

menempatkan sesuatu benda itu di dalam kekuasaannya dengan maksud

untuk tetap mempertahankannya bagi diri sendiri :

Cara memperoleh bezit pada asasnya dapat dilakukan dengan 2 cara :

1. Cara Occupatio ( mendaku ) menduduki benda.

Cara ini dikatakan memperoleh bezit bersifat orisinil, ( asli ), artinya

memperolehnya sendiri tanpa bantuan dari orang yang membezit lebih

dahulu. Tertuju pada benda bergerak yang tidak ada pemiliknya.

Dengan cara ini dapat berlaku terhadap benda bergerak maupun tidak

bergerak.

2. Cara Traditio ( penyerahan bendanya ).

Sifatnya bukan lagi orisinil, tetapi bersifat derivatief, artinya

memperolehnya dengan bantuan dari orang yang membezit lebih

dahulu. Diperoleh dari tangan bezitter lama ke tangan bezitter yang

baru.

22 Hak kebendaan yang dapat dimiliki dengan cara verjaring oleh bezitter adalah hanya benda yang tidak bergerak selain tanah, seperti mesin – mesin pabrik yang pemakaiannya yang pemakainya diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.

Page 56: Diktat Perdata

56

Mengenai membezit benda tetap, ada beberapa pendapat, yaitu :

1. Ajaran Anaal Bezit

Seseorang yang membezit benda tak bergerak, baru menjadi bezitter

dari benda itu setelah mendudukinya selama 1 tahun terus menerus

(pasal 545).

2. Seseorang yang membezit langsung menjadi bezitter ( seperti benda

bergerak ).

3. Langsung menjadi bezitter, tetapi orang yang sebenarnya berhak masih

dapat menggugat / meminta kembali barang tersebut.

3. HAK MEMUNGUT HASIL

Menurut pasal 756 KUHPdt hak memungut hasil dari barang orang lain

seolah – olah seperti pemilik dengan kewajiban untuk memelihara barang itu

supaya tetap adanya. Apabila sesorang mempunyai hak memungut hasil

atas benda orang lain, maka orang tersebut memiliki hak :

1. Hak untuk memungut hasilnya atau buahnya barang.

Ex. Ternak, tanah, rumah adalah barang – barang yang mengahsilkan

buah.

2. Hak untuk memakai barang tersebut.

Ex. Memakai / mempergunakan perkakas rumah, kendaraan, pakaian

dan lainnya. Jadi sesuai dengan istilahnya VRUCHT ialah hasil, sedang

GEBRUIK ialah memakai / mempergunakan.

Hak memungut hasil dapat meletak atas benda bergerak maupun

tidak bergerak, tetapi seperti di tentukan dalam pasal 756 KUHPdt bahwa

barang yang dibebani hak memungut hasil itu harus tetap adanya. Pada

waktu hak memungut hasil itu berakhir, barang tersebut harus dikembalikan

kepada pemilik seperti keadaan semula. Hak memungut hasil tidak boleh

mengubah tujuan – tujuan dari benda – benda tersebut dan harus menjaga

supaya barang – barang tetap dalam keadaan baik. Dengan demikian hak

memungut hasil itu hanya dapat dibebankan atas barang, yang tidak dapat

Page 57: Diktat Perdata

57

dipakai habis. Dari pasal 763 KUHPdt dapat disimpulkan bahwa hak

memungut hasil bisa meletak atas barang – barang yang tidak berwujud

seperti piutang.

Menurut pasal 759 KUHPdt seseorang dapat memperoleh hak memungut

hasil benda milik orang lain karena undang – undang atau karena kehendak

di pemilik. Namun demikian KUHPdt tidak mengatur lebih lanjut dalam hal

apa dan bagaimana menurut undang – undang seseorang memperoleh

hak memungut hasil tersebut. Dalam hal pemilik benda menghendaki orang

lain memperoleh hak memungut hasil atas bandanya, maka ia dapat

menghibahkan atau mewasiatkannya.

Apabila orang mempunyai hak memungut hasil, maka ia memiliki

kewajiban – kewajiban sebagai berikut :

a. Mengadakan inventarisasi ( membuat catatan / daftar ) terhadap benda

– benda itu atas biaya sendiri.

b. Menunjuk penanggung – penanggung atau mengadakan jaminan –

jaminan guna menjamin bendanya akan digunakan sebaik – baiknya

dan menjamin pula bahwa pada saat haknya berakhir, benda itu akan

dikembalikannya.

c. Pada waktu menggunakan hak memungut hasil,harus mengadakan

perbaikan – perbaikan atas bendanya, memikul biaya dan pajak yang

diperlukan dalam melakukan pengawasan bendanya dan bertindak

sebagai bapak rumah tangga yang baik.

d. Mengembalikan benda seperti keadaan semula pada waktu terjadinya

hak memungut hasil. Kalau terjadi kerusakan – kerusakan atau kerugian

atas benda tersebut harus diganti.

Menurut pasal 807 KUHPdt hak memungut hasil hapus karena :

1. Meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut.

2. Habisnya waktu yanng diberikan untuk hak tersebut.

3. percampuran ( tadinya mempunyai hak memungut hasil kemudian

berubah menjadi pemilik ).

4. Adanya pelepasan hak oleh orang yang mempunyai hak itu.

Page 58: Diktat Perdata

58

5. Verjaring yaitu apabila selama 30 tahun si pemilik hak tidak

menggunakannya.

6. binasanya benda.

4. HAK PAKAI DAN HAK MENDIAMI

Pasal 818 KUHPdt menyatakan bahwa hak pakai dan hak mendiami

itu adalah merupakan hak kebendaan yang cara terjadinya dan hapusnya

adalah sama seperti hak memungut hasil. Hak mendiami merupakan hak

pakai kediaman, jadi intinya hak pakai dan hak mendiami adalah sama

hanya obyeknya berbeda. Menurut pasal 821 KUHPdt, hak pakai ini hanya

diperuntukkan terbatas pada diri si pemakai dan keluarganya ( keluarga

dalam rumah tangga ). Si pemakai tidak boleh menyerahkan atau

menyewakan haknya kepada orang lain ( 823 KUHPdt ). Menurut pasal 819

KUHPdt kewajiban si pemakai benda sama dengan kewajiban orang yang

mempunyai hak memungut hasil, yakni :

1. Kewajiban untuk membuat catatan / daftar terhadap bendanya.

2. Mengadakan jaminan atau memakai bendanya sebaik – baiknya.

3. Memelihara bendanya sebagai bapak rumah tangga yang baik.

4. Memikul semua biaya guna perbaikan – perbaikan dan pajak terhadap

benda.

5. Mengembalikan barangnya pada waktu berakhirnya hak pakai.

E. HAK KEBENDAAN YANG MEMBERIKAN JAMINAN

1. Jaminan Gadai

Gadai ialah suatu hak yang diperoleh kreditur atau suatu barang

bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas

namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan

kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih

dahulu dari kreditur – kreditur lainnya, kecuali biaya – biaya untuk melelang

Page 59: Diktat Perdata

59

barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda

itu, biaya – biaya mana yang harus didahulukan ( pasal 1150 KUH Pdt ).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Subyek gadai :

Pemegang atau penerima gadai adalah kreditur. Pemberi gadai adalah

debitur atau orang lain atas namanya.

b. Obyek gadai adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak

berwujud yaitu yang berupa surat – surat piutang atas bawa, atas tunjuk

dan atas nama.

c. Pemegang gadai menjadi kreditur prefeken, artinya dalam mengambil

pelunasan dari penjualan barang gadai didahulukan daripada kreditur –

kreditur lainnya kecuali biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya

yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu

didahulukan.

Hak gadai diadakan dengan memenuhi syarat – syarat tertentu yang

berbeda menurut jenis dan barangnya :

a. Cara mengadakan hak gadai benda bergerak yang berwujud dan surat

piutang atas bawa :

1. Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai. Perjanjian inii

bentuknya dalam KUH Pdt tidak diisyaratkan apa – apa, oleh

karenanya bentuk perjanjian gadai dapat bebas tak terikat oleh suatu

bentuk yang tertentu. Artinya perjanjian bisa diadakan secara tertulis

dengan akte notaris ( jadi merupakan akte otentik ), bisa juga

diadakan dengan akte di bawah tangan saja.

2. Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan

/ berada diluar kekuasaan dari si pemberi gadai ( inbezitstelling ).

Dengan kata lain perkataan barangnya itu harus berada dalam

kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUH

Pdt bahwa gadaiitu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada

dalam kekuasaan si pemberi gadai ( pasal 1152 KUH Pdt )

Page 60: Diktat Perdata

60

b. Cara mengadakan hak gadai piutang atas nama :

1. Harus ada perjanjian gadai.

2. Harus ada pemberitahuan kepada debitur dari piutang yang

digadaikan itu.

c. Cara mengadakan hak gadai piutang atas tunjuk :

1. Harus ada perjanjian gadai

2. Harus ada endossmen ( menulis dibalik surat piutang tersebut )

kemudian surat piutang itu diserahkan kepada pemegang gadai.

Dengan adanya perjanjian gadai, maka menimbulkan hak dan kewajiban

pada pemegang gadai sebagai berikut :

a. Hak – hak pemegang gadai :

1. Apabila debitur wanprestasi, pemegang gadai berhak untuk menjual

benda yang digadaikan atas kekuasaannya sendiri kemudian

mengambil sebagian untuk melunasi utang debiturdan sisanya

dikembalikan kepada debitur ( pasal 1155 KUH Pdt )

2. Si pemegang gadai berhak mendapatkan pengembalian ongkos

yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnnya ( pasal 1157

ayat 2 KUH Pdt )

3. Si pemegang gadai mempunyai hak refensi yakni menahan benda

yang digadaikan. Hak refensi ini terjadi apabila setelah adanya

perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian utang yang kedua

antara para pihak dan utang yang kedua ini sudah dapat ditagih

sebelum pembayaran utang pertama, maka si pemegang gadai

menang untuk menahan benda itu sampai kedua macam utang itu

dilunasi ( pasal 1159 ayat 2 KUH Pdt)

b. Kewajiban pemegang gadai :

1. Si pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau

merosotnya harga benda yang digadaikan, apabila semua itu terjadi

atas kelalaiannya ( pasal 1157 ayat 1 KUH Pdt )

2. Si pemegang gadai tidak diperbolehkan untuk menggunakan barang

gadai untuk keperluannya sendiri. Jika si pemegang gadai menyalah

Page 61: Diktat Perdata

61

gunakan barang tersenut maka barang itu dapat diminta kembali

oleh pemberi gadai.

Perjanjian gadai merupakan perjanjian accesoir yakni perjanjian selalu

bersandar pada perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjam meminjam

uang. Oleh karena itu apabila utang yang dijamin dengan gadai sudah

lunas, maka hak gadai itu hapus apabila barang gadai keluar

dari kekuasaan si pemegang gadai.

2. JAMINAN FIDUCIA

a. Pengertian Fiducia.

Jaminan fiducia ini diatur dalam UU No. 42 tahun 1999. Menurut pasal

1 ayat 2 UU tersebut, jaminan fiducia adalah hak jaminan atas benda

bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam UU no. 4 tahun 1996 tentang hak

tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fiducia,

sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada penerima fiducia terhadap kreditur

lainnya.

Menurut UU No. 42 tahun 1999, pemberi fiducia adalah orang

perseorangan atau kerjaorasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan

fiducia. Penerima fiducia adalah orang atau kerjaorasi yang mempunyai

piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fiducia. Obyek

fiducia adalah benda bergerak berwujud dan tidak berwujud serta

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan misalnya bangunan

di atas tanah milik orang lain kecuali diperjanjikan lain, jaminan fiducia

meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fiducia serta meliputi

klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fiducia

diasuransikan. Benda – benda yang dijadikan obyek jaminan fiducia tersebut

tetap dikuasai oleh pemberi fiducia.

Page 62: Diktat Perdata

62

b. Sifat Jaminan Fiducia

Jaminan itu sebagaimana halnya pada gadai merupakan perjanjian

yang accesoir, merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok

yang berupa perjanjian pinjam meminjam ( pasal 4 ). Jadi adanya dan

hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. Jaminan fiducia mempunyai

sifat KAAKSGEVOLG yakni tetap mengikuti benda yang menjadi obyek

jaminan fiducia dalam tangan siapapun benda tersebut berada kecuali

pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fiducia

(pasal 20).

c. Cara Mengadakan Hak Jaminan Fiducia

Jaminan fiducia itu menganut asas publiciteit yaitu asas yang

mengharuskan bahwa jaminan fiducia itu harus didaftarkan supaya dapat

diketahui oleh umum. Selain itu juga menganut asas specialiteit yaitu asas

yang menghendaki bahwa jaminan fiducia hanya dapat diadakan atas

benda – benda yang ditujukan secara khusus. Cara mendaftarkan jaminan

adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian jaminan fiducia yang berisi pembebanan benda dengan

jaminan Fiducia harus dibuat dengan akta notaris ( akta otentik ) dalam

bahasa Indonesia.

2. Penerima Fiducia, kuasa akan wakilnya wajib mendaftarkan jaminan

Fiducia pada kantor pendaftaran Fiducia dengan melampirkan

pernyataan pendaftaran jaminan Fiducia.

3. Kantor pendaftaran Fiducia mencatat jaminan Fiducia dalam buku

daftar Fiducia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran.

4. Kantor pendaftaran Fiducia menerbitkan dan menyerahkan kepada

penerima Fiducia sertifikat jaminan fiducia pada tanggal yang sama

dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertifikat ini

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.

Page 63: Diktat Perdata

63

5. Jaminan Fiducia habis pada tanggal yang sama dengan tanggal

dicatatnya jaminan Fiducia dalam buku daftar Fiducia.

d. Hak dan Kewajiban Para Pihak

1. Hak dan kewajiban penerima fiducia.

Hak penerima fiducia :

a. Mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek

jaminan fiducia atas kekuasaannya sendiri apabila debitur

wanprestasi.

b. Apabila benda jaminan fiducia berupa benda persediaan dan

benda tersebut dialirkan oleh pemberi jaminan, maka apabila

pemberi fiducia wanprestasi, hasil pengalihan dan atau tagihan

yang timbul karena pengalihan demi hukum menjadi obyek

fiducia pengganti dari obyek jaminan fiducia yang dialihkan.

c. Mempunyai hak didahulukan pelunasan piutangnya dari hasil

penjualan benda jaminan fiducia, terhadap kreditur lainnya.

Jadi penerima fiducia menjadi kreditur preferen. Hal ini tidak hapus

karena adanya kepailitan dan likuidasi pemberi fiducia.

d. Mendapat klaim asuransi bila benda jaminan fiducia yang

diasuransikan musnah.

Kewajiban Penerima Fiducia :

a. Wajib mendaftarkan jaminan fiducia ke kantor pendaftaran

fiducia.

b. Bila terjadi perubahan mengenai hal – hal yang tercantum dalam

sertifikat jaminan fiducia, wajib mengajukan permohonan

pendaftaran perubahan tersebut ke kantor pendaftaran fiducia.

c. Memberitahukan hapusnya jaminan fiducia kepada kantor

pendaftaran fiducia dengan melampirkan pernyataan mengenai

hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya benda yang

menjadi obyek jaminan fiducia.

Page 64: Diktat Perdata

64

d. Wajib mengembalikan kelebihan uang kepada pemberi fiducia

apabila hasil eksekusi benda jaminan fiducia melebihi nilai

penjaminan.

2. Hak dan kewajiban pemberi fiducia.

Hak Pemberi fiducia:

Pemberi fiducia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi

obyek jaminan fiducia dengan car dan prosedur yang lazim dilakukan

dalam usaha perdagangan.

Kewajiban Pemberi Fiducia:

a. Dilarang melakukan fiducia ulang terhadap benda jaminan

fiducia yang sudah terdaftar

b. Wajib mengganti benda persediaan yang telah dialihkan dengan

obyek yang setara.

c. Dilarang mengalihkan,menggadaikan, atau menyewakan kepada

pihak lain benda yang mejadi obyek jaminan fiducia yang tidak

merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis

dari penerima fiducia.

d. Wajib menyerahkan benda obyek jaminan fiducia dalam rangka

pelaksanaan eksekusi.

e. Bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar apabila hasil

eksekusi benda jaminan fiducia tidak mencukupi untuk pelunasan

utang.

f. Hapusnya Jaminan Fiducia

Menurut pasal 25 ayat 1 UU No. 42 Tahun 1999, jaminan fiducia hapus

karena hal -hal sebagai berikut :

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fiducia.

2. Penerima Fiducia melepaskan hak atas jaminan fiducia.

3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fiducia. Penerima

fiducia memberitahukan kepada kantor pendaftaran.

Page 65: Diktat Perdata

65

Fiducia mengenai hapusnya jaminan fiducia dengan melampirkan

pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau

musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fiducia tersebut ( pasal

25 ayat 2 ). Berdasarkan pemberitahuan tersebut, kantor pendaftaran

fiducia mencoret pencatatan jaminan fiducia dari buku daftar fiducia.

Kemudian kantor pendaftaran fiducia menerbitkan surat keterangan

yang menyatakn sertifikat jaminan fiducia tidak berlaku lagi.

3.JAMINAN HIPOTIK

a. Pengertian dan sifat Hipotik

Menurut pasal 1162 KUH Pdt, hipotik adalah suatu hak kebendaan

atas benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi

pelunasan perutangan. Setelah berlakunya UU Ps, ketentuan – ketentuan

mengenai hipotik atas tanah menurut KUH Pdt ini masih berlaku meskipun

pasal – pasal atau ketentuan – ketentuan yang mengatur bumi, air serte

kekayaan yang terkandung di dalamnya telah dicabut. Namun ketentuan –

ketentuan mengenai hipotik atas tanah tersebut kemudian dicabutoleh UU

No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan. Dengan demikian setelah

berlakunya UU No. 4 Tahun1996, ketentuan – ketentuan mengenai Hipotik

dalam KUH Pdt hanya berlaku terhadap benda tidak bergerak selain tanah,

misalnya hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3

atau lebih.

Hipotik merupakan perjanjian yang accesoir ( perjanjian sampiran ),

yakni perjanjian yang selalu bersandar pada perjanjian pokok yang berupa

pinjam meminjam uang. Dengan demikian adanya dan hapusnya

tergantung pada perjanjian pokok. Hipotik mempunyai sifat zaaksgevolg,

yaitu senantiasa mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu

berada ( pasal 1163 ayat 2 KUH Pdt ). Piutang yang dijamin dengan hipotik

merupakan piutang preferen yaknilebih didahulukan pelunasannya dari

piutang yang lain ( pasal 1133,1134 ayat 2 KUH Pdt ). Sebagaimana jaminan

gadai dan fiducia, menurut pasal 1178 KUH Pdt, hak hipotik hanya berisi hak

Page 66: Diktat Perdata

66

untuk pelunasan utang saja dan tidak mengandung hak untuk

menguasai/memiliki bendanya, namun diberi hak untuk memperjanjikan

menjual atas kekuasaan sendiri bendanya apabila debitur wanprestasi.

b. Cara Mengadakan Jaminan Hipotik

Hipotik menganut asas publiciteit yaitu asas yang mengharuskan

hipotik itu harus didaftarkan supaya dapat diketahui oleh umum. Perjanjian

Hipotik harus diadakan dengan akta notaris ( pasal 1171 KUH Pdt ). Menurut

KUH Pdt akta – akta dari hipotik harus didaftarkan kepada kantor kadaster (

kantor pertanahan ). KUH Pdt menentukan demikian karena hipotik menurut

KUH Pdt meliputi hipotik atas tanah. Permasalahannya setelah berlakunya UU

No. 4 tahun 1996 tantang hak tanggungan dimana obyek hipotik hanya

benda tidak bergerak selain tanah, belum ada ketentuan yang mengatur

karena akta hipotik tersebut harus didaftarkan. Hipotik juga menganut asas

specialiteit yakni asas yang menghendaki bahwa hipotik hanya dapat

diadakan atas benda – benda yang ditujukan secara khusus.

Sebuah benda tak bergerak ( selain tanah ) itu dapat dihipotikkan

lebih dari satu kali. Bila terjadi demikian, maka para pemegang hipotik itu

lalu diberi nomor urut misalnya pemegang hipotik I, pemegang hipotik II dan

seterusnya. Nomor urut berdasarkan tanggal pendaftaran masing – masing

hipotik. Jika debitur wanprestasi, maka pelunasannya menurut urutan

terjadinya hipotik. Hipotik yang lebih dahulu terjadi itulah yang dillunasi lebih

dahulu, jika hipotik I sudah lunas maka hipotik II menjadi hipotik I, dan

seterusnya.

Isi dari akta hipotik dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :

1. Isi yang wajib

Berisi hal – hal yang wajib dimuat, yakni pertelaan ( perincian ) mengenai

benda apa yang dibebani hipotik.

2. Isi yang fakultatif

Berisi hal – hal yang secaar fakultatif dimuat, yaitu yang berisi janji – janji /

beding yang diadakan antara pihak – pihak ( debitur dan kreditur ).

Page 67: Diktat Perdata

67

c. Hapusnya HIpotik

Menurut pasal 1209 KUHPdt, hipotik itu hapus karena alasan – alasan

sebagai berikut :

1. piutang kreditur yang dijamin dengan hipotik sudah lunas.

2. kreditur melepaskan hipotik.

3. penetapan tingkat oleh hakim, cara ini dinamakan juga adanya

pembersihan benda dari beban – beban hipotik.

Selain menurut ketentuan seperti tersebut di atas, di luar KUHPdt masih ada

cara – cara hapusnya hipotik menurut Volmar karena adanya pencampuran

utang, kreditur menjadi pemilik dari benda yang dihipotikkan dan karena

adanya verjaring dalam waktu tertentu.

4. HAK TANGGUNGAN

a. Pengertian dan Sifat Hak Tanggungan

Hak tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan

dengan tanah yang selanjutnya disebut hak tanggungan debitur dalam UU

No. 4 tahun 1996. Menurut pasal 1 ayat 1 UU tersebut hak tanggungan

adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria

( UUPA ), berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

terhadap kreditur – kreditur yang lain.

Pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan

hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Pemegang hak

tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang

berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Jenis utang yang dapat dijamin dengan hak tanggungan adalah :

1. Utang yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu.

Page 68: Diktat Perdata

68

2. Utang yang jumlahnya dapat ditentukan pada saat eksekusi berdasarkan

perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang

piutang.

Obyek hak tanggungan menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 4 tahun 1996

adalah :

1. Hak milik

2. Hak guna usaha

3. Hak guna bangunan

4. Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku

wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan tangankan.

b. Cara Pemberian Hak Tanggungan

Hak tanggungan menganut asas publiciteit, artinya pemberian hak

tanggungan tersebut harus didaftarkan, yang didaftarkan adalah akta

pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh PPAT ( Pejabat Pembuat Akta

Tanah ) kepada Kantoir Pertanahan. Selain itu juga menganut asas

specialiteit artinya bahwa hak tanggungan hanya dapat diadakan atas

obyek hak tanggungan secara khusus. Misalnya : tanah yang dipakai

sebagai tanggungan itu dimana letaknya, berapa luasnya, dimana

pembatasannya dan sebagainya.

Cara pemberian hak tanggungan adalah sebagai berikut :

1. Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan

hak tanggungan sebagai jaminan utang tertentu, yang dituangkan di

dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang

piutang yang bersangkutan. Pemberian hak tanggungan dilakukan

dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan ( APHAT ) oleh

PPAT.

2. Paling lambat 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib

mengirimkan APHAT kepada kantor Pertanahan.

3. Oleh Kantor Pertanahan hak tanggungan didaftar denganh

membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam

Page 69: Diktat Perdata

69

buku tanah hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada

sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hak tanggungan lahir pada

hari dan tanggal tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh

setelah penerimaan secara lengkap surat – surat yang diperlakukan bagi

pendaftarannya.

4. Kantor pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak tanggungan

dengan kepala : demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,

dan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan. Sertifikat hak

tanggungan ini mempunyai kekuasaan eksekutorial seperti grosse akte

hipotik. Sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan hak

tanggungan dikembalikan kepada pemilik / pemegang hak kecuali

diperjanjikan lain.

c. Eksekusi Hak Tanggungan.

Apabila debitur wanprestasi atau pailit, maka pemegang hak

tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak

tanggungan atas kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut dengan hak

mendahului dari pada kreditur – kreditur lainnya ( pasal 6 6, 20 ayat 1, 21 UU

No. 4 tahun 1996 ). Titel eksekutorial ini terdapat dalam sertifikathak

tanggungan. Atas kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak

tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di

bawah tangan jika akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

semua pihak. Pelaksanaan penjualan demikian hanya dapat dilakukan

setelah lewat 1 ( satu ) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi

dan atau pemegang hak tanggungan kepada pihak – pihak yang

berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 surat kabar yang

beredar di daerah yang bersangkutan atau media massa setempat, serta

tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. Pelaksanaan eksekusi yang

bertentangan dengan cara seperti tersebut di atas adalah batal demi

hukum ( pasal 20 ayat 4 UU No. 4 tahun 1996 ).

Page 70: Diktat Perdata

70

D. Hapus Hak Tanggungan

Menurut pasal 18 UU No. 4 tahun 1994, hak tanggungan hapus karena

hal – hal sebagai berikut :

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.

2. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan yang

harus dinyatakan secara tertulis.

3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh

ketua pengadilan.

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan, namun hal

demikian tidak menghapuskan utang yang dijamin.

Page 71: Diktat Perdata

71

BAB V

HUKUM PERIKATAN

A. PERIKATAN PADA UMUMNYA

I. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan Dalam KUHPdt

Pengaturan hukum perikatan pada KUHPdt Buku II terdiri dari 18 bab,

bagian – bagian dan pasal – pasal. Berikut ini rincian bab yang mengatur

mengenai hukum perikatan, yaitu :

Bab I : Ketentuan Umum : pasal 1352

Bab II : Perikatan lahir dari perjanjian : pasal 1313

Bab III : Perikatan lahir dari undang – undang : pasal 1352 dan 1353

Bab IV : Hapusnya perikatan

Bab V – XVIII : Ketentuan Khusus : Perjanjian Khusus

Ketentuan umum merupakan asas, prinsip – prinsip dasar dari perikatan.

Semua ketentuan umum berlaku bagi ketentuan khusus, sepanjang dalam

ketentuan umum tidak diatur secara khusus.

Buku III KUHPdt pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap,

maka buku III KUHPdt menganut sistem “ terbuka “, artinya orang dapat

mengadakan perjanjian – perjanjian lain selain dari yang diatur dalam

KUHPdt. Lain dengan buku II yang menganut sistem “ tertutup “, artinya

orang tidak dapat membuat atau memperjanjikan hak – hak kebendaan

lain, selain dari yang diatur dalam KUHPdt.

2. Pengertian Perikatan

Perikatan adalah hubungan hukum di dalam lapangan hukum

kekayaan antara 2 orang atau lebih dimana pihak pertama berhak atas

suatu prestasi dan pihak lain berkewajiban melaksanakan prestasi.

Pihak yang berhak atas suatu prestasi disebut sebagai kreditur, sedangkian

pihak yang berkewajiban melaksanakan prestasi disebut debitur.

Page 72: Diktat Perdata

72

Istilah kreditur dan debitur merupakan istilah hukum dalam arti luas. Kreditur

sebagai orang yang berpiutang ( taguhan ) mempunyai hak tagih. Debitur

sebagai orang yang berhutang, yaitu mempunyai kewajiban untuk

membayar, melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu.

Ada 3 unsur yang harus ada dalam perikatan, yaitu :

1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan antara 2 orang yang

mempunyai akibat hukum. Cirinya : apabila dilanggar, maka pihak lain

dapat menuntut. Tidak semua hubungan adalah hubungan hukum.

Ex. Pasal 1774 KUHPdt ( perjudian termasuk natuurlijk verbitenissen ), tidak

dapat dituntut, demikian juga terhadap pasal 1359 ( 2 ) KUHPdt tentang

perikatan alam / bebas.

2. Lapangan hukum kekayaan : hak dan kewajiban yang dapat dinilai

dengan uang.

3. Ada 2 pihak, yaitu kreditur dan debitur.

4. Isi dan tujuan, yaitu prestasi.

Pada perkembangannya, istilah perikatan mempunyai beberapa

padanan, yaitu :

1. Hukum perutangan

2. Hukum perjanjian

3. Verbintenis / hukum perikatan

Hukum perikatan itu hubungan hukum yang bersifat abstrak, hanya ada

dalam pikiran kita. Selain perikatan terdapat istilah perjanjian, yaitu

perbuatan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara 2 orang atau

lebih di mana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi, sedang pihak yang

lain berkewajiban melaksanakan prestasi. Ada kalanya dipergunakan istilah

kontrak, hal ini untuk menunjukkan bahwa perjanjian tersebut bentuknya

tertulis.

Perbedaan antara perikatan dan perjanjian adalah apabila perikatan

merupakan suatu hubungan hukum, sedangkan perjanjian adalah

perbuatan hukum ( bersifat konkrit – nyata ). Oleh karena itu, salah satu

Page 73: Diktat Perdata

73

sumber perikatan adalah perjanjian. Dengan lain kata perjanjian ini

menimbulkan hubungan hukum.

Perikatan belum tentu perjanjian, tetapi apabila perjanjian sudah pasti

perikatan.

Pendapat Sudikno : antara perjanjian dan perikatan sudah tidak ada jarak.

Kontrak adalah perjanjian yang dilakukan secara tertulis. Dalam

praktek pengertian kontrak dipersempit, misal kontrak pemborongan, misal

pemborongan kerja.

Perjanjian menurut bentuknya :

a. perjanjian dibuat secara lisan.

b. Perjanjian dibuat secara tertulis

Kekuatan hukum terhadap perjanjian secara lisan sama dengan perjanjian

tertulis.

3. Subyek dan Obyek Perikatan

Obyek perikatan adalah prestasi, yaitu kewajiban yang harus

dilakukan oleh debitur sesuai dengan telah diperjanjikan. Sebenarnya tujuan

atau hakekat perikatan adalah pelaksanaan prestasi. Adapun wujud

prestasi adalah seperti yang diatur oleh pasal 1234 KUHPdt, yaitu :

a. Memberikan sesuatu

b. Berbuat sesuatu

c. Tidak berbuat sesuatu

Subyek dalam perikatan adalah kreditur dan debitur. Subyek harus

memenuhi syarat – syarat ( pasal 1320 KUHPdt ), yaitu cakap melakukan

perbuatan hukum. Di dalam perjanjian barter, kedua pihak berposisi sebagai

kreditur dan debitur apabila belum dilaksanakan. Tetapi jika salah satu sudah

menyerahkan, maka posisi berbeda.

Page 74: Diktat Perdata

74

4. Jenis – Jenis Perikatan

Jenis – jenis perikatan dapat dibedakan menurut :

a. Sifat daripada prestasinya

1. a. Perikatan positif, ialah perikatan yang prestasinya berupa

perbuatan nyata, misalnya memberi atau berbuat sesuatu.

b. Perikatan negatif, ialah perikatan yang prestasinya berupa tidak

berbuat sesuatu. Misalnya : tidak akan mendirikan gedung.

2. a. Perikatan sepintas lalu ( sementara ), ialah perikatan yang

prestasinya cukup hanya dilakukan dalam satu perbuatan saja

dalam waktu yang singkat tujuan perikatan telah tercapai.

Misalnya : Jual beli

b. Perikatan berkelanjutan ( terus menerus ), ialah perikatan yang

prestasinya bersifat terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Misalnya : Sewa – menyewa, perjanjian kerja

3. a. Perikatan alternatif, ialah perikatan dimanaa debitur berkewajiban

melaksanakan satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih, baik

menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak ketiga, dengan

pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi

mengakhiri perikatan. Menurut pasal 1273 KUHPdt kecuali

ditentukan secara tegas bahwa pilihan diserahkan kepada

debitur, maka deniturlah yang berhak memilih.

Misalnya : A boleh melever semen atau kayu atau batu merah.

b. Perikatan fakultatif, ialah suatu perikatan yang objeknya hanya

berupa satu prestasi, baru kemudian apabila prestasi yang

ditentukan tidak ada debitur dapat menggantikan dengan

prestasi lain. Misalnya : A harus melever mobil, kalau tidak ada

boleh diganti dengan rumah.

c. Perikatan sederhana atau bersahaja, ialah periukatan yang

prestasinya tidak mempunyai obyek yang banyak ( obyeknya

tunggal ). Misalnya : A membeli mobil atau membeli rumah.

Page 75: Diktat Perdata

75

d. Perikatan cumulatif, ialah perikatan yang prestasinya mempunyai

obyek yang banyak ( lebih dari satu ). Misalnya : A melever

mobil, rumah, computer dan almari.

4. a. Perikatan generik, ialah perikatan dimana obyeknya ditentukan

menurut jenis dan jumlahnya. Misalnya : A melever 1 kwintal gula

pasir.

b. Perikatan specifik, ialah perikatan yang obyeknya ditentukan

secara terperinci. Misalnya : A melever 10 kg, cat warna merah

merek Avia.

5. a. Perikatan yang dapat dibagi – bagi ( Deelbaar Verbentenis ) ialah

perikatan yang prestasinya dapat diangsur bagian demi bagian,

sebab tiap – tiap bagian itu tidak mengurangi nilai keseluruhan.

Misalnya : Melever emas, beras, perak dapat diangsur apabila

diperjanjikan.

b. Perikatan yang tidak dapat dibagi – bagi ( Ondeelbaar

Verbentenis ) ialah perikatan yang prestasinya tidak dapat

diangsur bagian demi bagian, karena tiap – tiap bagian akan

mengurangi nilai secara keseluruhan. Misalnya : melever intan,

sepatu, telur tidak dapat diangsur bagian demi bagian karena

akan mengurangi nilainya.

6. a. Prestasi yang menurut naturnya atau sifatnya tidak dapat dibagi –

bagi. Misalnya : Intan, berlian.

b. Prestasi yang menurut maksud / tujuannya tidak dapat dibagi –

bagi. Misalnya : A harus melever beras 1 ton tanggal 1 februari

2007 untuk pesta saat itu juga.

2. Menurut subyek - subyeknya

Ditinjau dari subyek – subyeknya, terdapat perikatan yang disebut :

Perikatan solider atau perikatan tanggung renteng, ialah suatu perikatan

dimana terdapat lebih daripada seseorang kreditur masing – masing bagi

keseluruhan berhak atas suatu prestasi, atau terdapat lebih daripada

Page 76: Diktat Perdata

76

seorang debitur masing – masing dari keseluruhan berkewajiban untuk

menunaikan prestasi, pemenuhan prestasi mana mengakibatkan gugurnya

hak dan kewajiban bagi semuanya.

Ex. A, B, dan C berhutang bersama – sama kepada D. Disini D dapat

meminta pelunasan kepada A, B atau C saja yang dapat membebaskan

utang A, B dan C secara keseluruhan.

Perikatan tanggung renteng ada 2 macam, yaitu :

1. Perikatan tanggung renteng pasif, ialah perikatan tanggung renteng

dimana satu kreditur berhadapan dengan lebih dari seorang debitur.

Dalam perikatan tanggung renteng pasif ini kreditur boleh memilih

kepada debitur mana untuk meminta prestasi agar dilaksanakan.

Kedudukan kreditur dalam perikatan tanggung renteng pasif lebih

terjamin, karena ia dapat menuntut prestasi sepenuhnya daripada

masing – masing debitur.

2. Perikatan tanggunng renteng aktif, ialah perikatan tanggung renteng

dimana lebih daripada seorang kreditur berhadapan dengan seorang

debitur.

Pada umumnya, perikatan tanggung renteng terjadi karena 2 hal,

yaitu :

1. Diciptakan karena kemauan kedua belah pihak.

Menurut pasal 1278 KUHPdt terdapat perikatan tanggung renteng aktif

jika dalam persetujuan secara tergas dinyatakan bahwa kepada masing

– masing kreditur diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh

prestasi.

2. Ditetapkan oleh Undang – Undang.

Undang – undang hanya mengatur perikatan tanggung renteng pasif.

Ada beberapa macam perikatan tanggung renteng yang ditetapkan

oleh Undang – Undang, antara lain :23

- Pasal 563 ( 2 ) KUHPdt

23 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal – pasal yang tersebut di atas dalam KUHPdt.

Page 77: Diktat Perdata

77

- Pasal 1016 KUHPdt

- Pasal 1749 KUHPdt

- Pasal 1811 KUHPdt

- Pasal 1836 KUHPdt

c. Menurut Isi Dari Prestasinya

Ditinjau dari isi prestasinya, ada beberapa macam perikatan, yaitu :

1. a. Civiele Verbentenis ( perikatan hukum sipil ), ialah perikatan hukum

yang dapat dimintakan sanksi, artinya perikatan hukum yang dapat

dituntut di muka pengadilan.

Ex. Utang piutang karena jual beli suatu barang.

b. Natuurlijke Verbentenis ( perikatan hukum wajar ), ialah perikatan

hukum yang tidak dapat dimintakan sanksi artinya perikatan hukum

yang tidak dapat dituntut di muka pengadilan.

Ex. Utang piutang karena perjudian.

2. a. Priciple Verbentenis ( perikatan hukum utama ), ialah perikatan hukum

yang mempunyai isi utama.

Ex. Pinjam meminjam uang.

b. Accessoire Verbentenis ( perikatan hukum sampiran ), ialah perikatan

hukum yang berstandart pada perikatan utama.

Ex. Gadai, hipotik.

3. a. Perikatan hukum primair ( asli ), ialah perikatan hukum yang pertama –

tama ada, jadi hampir sama dengan perikatan hukum utama.

Ex. Pertunjukan band tidak dapat diganti dengan pertunjukan

dangdut.

b. Perikatan hukum secundair, ialah perikatan hukum yang jika prestasi

pertama tidak dapat dilaksanakan, bisa diganti dengan prestasi

kedua.

Ex. Perikatan asli adalah pertunjukan Band apabila pertunjukan band

tersebut gagal diganti dengan dangdut.

Page 78: Diktat Perdata

78

d. Menurut Mulai dan Berakhirnya Perikatan.

Ditinjau dari mulai dan berakhirnya perikatan, ada beberapa macam

perikatan, yaitu :

1. Perikatan bersyarat ( pasal 1253 – 1267 KUHPdt )

Menurut pasal 1253 KUHPdt, perikatan bersyarat ialah perikatan

berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang belum

tentu terjadi, baik secara menangguhkan maupun secara membatalkan.

“ Syarat “ pada perikatan hukum bersyarat harus memenuhi ketentuan :

a. Syarat tidak boleh bertentangan dengan udang – undang.

b. Syarat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan.

c. Syarat yang dapat atau mungkin dilaksanakan.

d. Syarat yang ditetapkan oleh kedua belah pihak.

2. Perikatan hukum dengan ketetapan waktu ( pasal 1268 – 1271 KUHPdt )

Ialah suatu perikatan yang didasarkan atas kejadian di kelak kemudian

hari dan pasti terjadi. Menurut pasal 1268 KUHPdt, perikatan dengan

ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, akan tetapi

menangguhkan pelaksanaan. Jadi perjanjian telah mengikat sejak

perjanjian dibuat.

c. Menurut Sanksi Apabila Terjadi Wanprestasi.

Ditinjau dari sanksi apabila terjadi wanprestasi terdapat perikatan

hukum dengan ancaman hukuman, ialah perikatan hukum dimana untuk

menjamin pelaksanaannya, debiotur diwajibkan untuk melakukan

sesuatu jika perikatan tidak dipenuhi.

Ex. A berjanji untuk melever 10 ton beras 2 bulan lagi, jika tidak dapat

melever ia harus membayar Rp. 1.000.000,- ( satu juta rupiah ). Menurut

pasal 1305 KUHPdt, perikatan hukum dengan ancaman hukuman atau

poenale santie tidak merupakan sifat sendiri, melainkan merupakan

akibat daripada perjanjian. Jadi Poenale sanctie merupakan accessoire

verbentenis.

Page 79: Diktat Perdata

79

Perbedaan antara poenale sanctie dengan perikatan hukum biasa :

Pada Poenale Sanctie, sanksi sudah ditetapkan lebih dahulu sebelum

adanya wanprestasi. Sedang pada perikatan hukum biasa, sanksi

(hukuman) baru ada setelah ada wanprestasi. Jadi harus dibuktikan lebih

dahulu.

5. Prestasi dan Wanprestasi

a. Pengerian Prestasi

Prestasi adalah kewajiban debitur untuk melaksanakan apa yang

telah diperjanjikan. KUHPdt mengatur prestasi dalam pasal 1234 KUHPdt,

yaitu :

1. Memberikan sesuatu.

2. Berbuat sesuatu

3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Prestasi ini harus disertai dengan tanggungjawab.

Dalam kewajiban debitur, selalu ada 2 hal, yaitu SCHULD dan HAFTUNG. Hal

ini dapat digambarkan sebagai berikut :

A B

( kreditur ) ( Debitur )

Schuld Haftung

( hutang D pada K ) ( kekayaan debitur sebagai pelunasan –

hutang ( pasal 1131 KUHPdt ) )

Haftung selalu merujuk pada pasal 1131 KUHPdt yaitu :

“ Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”

Pasal 1131 KUHPdt ini dalam hukum jaminan disebut sebagai jaminan umum,

disebut sebagai jaminan umum karena 2 hal, yaitu :

Page 80: Diktat Perdata

80

1. bahwa sebagai jaminan adalah semua harta, baik bergerak maupun

tetap.

2. karena semua harta ini dijaminkan pada semua jaminan hutang /

kreditur.

Jadi semua kreditur mempunyai hak sama untuk mendapatkan pelunasan

utang debitur.

Ada penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, yaitu :

1. Ada schuld tanpa jaminan, dalam hal ini adalah utang piutang karena

perjudian pasal 1774 KUHPdt, hal ini tidak perlu dibayar karena tidak

dapat dituntut ke Pengadilan.

2. Schuld dengan haftung terbatas.

Hutang tetapi jaminannya terbatas pada benda – benda tertentu.

Ex. Haftung terbatas ( jaminan khusus )

- UU No. 4 / 1996 : Hak Tanggungan atas Tanah.

- UU No. 42 / 1999 : Fiducia

- Pasal 1162 KUHPdt : Hipotik

- Pasal 1150 KUHPdt : Gadai

- Pasal 1820 KUHPdt : Borgtocht ( haftung pada orang lain )

Disebut jaminan khusus karena alasan :

1. yang dijaminkan benda tertentu untuk jaminan hutang tertentu.

2. khusus untuk kreditur tertentu.

3. schuld dan haftung pada orang lain : pasal 1820 KUHPdt tentang

Borgtocht.

b. Wanprestasi

Arti dari wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya oleh debitur apa

yang lebih diperjanjikan.

Orang tidak melaksanakan perjanjikan disebabkan karena :

1. Kesalahan debitur :

a. sebab kesengajaan / dolus;

b. sebab lalai / culpa

Page 81: Diktat Perdata

81

2. Keadaan memaksa / overmacht/force majeur.

Perlu diingat bahwa poersoalan dolus dan culpa dalam hukum perdata dan

hukum pidana sangat berbeda. Pada hukum pidana, persoalan dolus dan

culpa adalah mutlak dan penting, karena untuk menentukan berat

ringannya hukuman. Sedang dalam hukum perdata tentang dolus dan

culpa TIDAK PENTING dan tidak perlu dibedakan, karena keduanya

menimbulkan kerugian yang dipentingkan dalam hukum perdata adalah

GANTI RUGI.

Ada 3 hal yang menyatakan keadaan wanprestasi :

1. Tidak berprestasi : sama sekali tidak melaksanakan

2. Salah berprestasi : tidak sesuai dengan yang diperjanjikan

3. Terlambat berprestasi : apabila dalam perjanjian sudah ditentukan

waktunya. Sedangkan apabila tidak

ditentukan termijn waktu, maka tidak dapat

disebut terlambat berprestasi.

Pada keadaan yang demikian, apabila debitur telah melanggar salah satu

dari 3 hal ini disebut telah WANPRESTASI.

Pernyataan debitur lalai harus dilakukan dengan somasi dan

peringatan ( pasal 1238 KUHPdt ). Somasi adalah teguran yang diberikan

kepada debitur, karena tidak melaksanakan perjanjian. Somasi ( pasal 1238

KUHPdt ) sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya SEMA No. 3

tahun 1963. sebelum keluar SEMA no. 3 tahun 1963 somasi tidak dimintakan

oleh kreditur melainkan oleh pengadilan negeri dalam hal ini juru sita.

Seperti diketahui bahwa dahulu perkara baru dapat ke Pengadilan

Negeri apabila telah disomasi Pengadilan Negeri, karena pada waktu itu

untuk somasi memakan waktu; padahal kreditur sudah rugi uang dan waktu,

maka dipandang perlu untuk mencabutnya. Oleh karena itu, realisasinya

ada pada SEMA No. 3 Tahun 1963.

Sekarang apabila debitur wanprestasi, kreditur langsung menggugat (

sebagai ganti somasi ),toh nanti ada acara perdamaian ( pasal 130 H.I.R )

SEMA No. 1 Tahun 2001 : dibentuk majelis perdamaian.

Page 82: Diktat Perdata

82

Kesimpulan : Sebelum SEMA No. 3 Tahun 1963, somasi harus disertai dengan

ingebreekestelling, yaitu tenggang waktu lalai. Setelah somasi baru

mengajukan gugatan.

Tuntutan Kreditur Jika Debitur Wanprestasi

1. Pemenuhan perjanjian ( pasal 1267 )

2. Pemenuhan perjanjian ditambah ganti rugi ( pasal 1267 )

3. ganti rugi ( pasal 1243 )

4. Pembatalan perjanjian ( pasal 1266 )

5. Pembatalan perjanjian ditambah ganti rugi ( pasal 1267 )

Sifat tuntutan tersebut adalah alternatif; tidak kumulatif. Pembatalan

perjanjian ( No. 4), secara logika menguntungkan debitur, namun hal itu

tidak selalu menguntungkan debitur, karena nama baik dan

reputasi/kejujuran debitur dipertaruhkan atau bahkan menjadi jatuh.

Kerugian yang diderita kreditur di mana debitur melakukan wanprestasi ada

3 yaitu :

1. Biaya ( kosten ), yaitu ongkos yang telah dikeluarkan kreditur untuk

melaksanakan perjanjian.

2. Rugi ( schaden ), yaitu kekurangan nilai barang milik kreditur akibat

wanprestasi

3. Bunga ( Interessen ), dalam hal ini bebas nilai, yaitu leuntungan yang

bakal diperoleh oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi

Ex. : Kosten

A mengadakan pertunjukan, untuk tempat undangan, transport

dan membuat perjanjian ke notaris butuh dana. Ternyata yang

bersangkutan membatalkan perjanjian sepihak.

Rugi

Fakultas hukum mendirikan bangunan, dibuatlah perjanjian

pemborongan. Setelah bangunan selesai, baru 3 bulan dipakai,

Page 83: Diktat Perdata

83

bangunan roboh, mengenai perlengkapan di dalamnya ( kursi,

meja dan sebagainya ).

Bunga ( tidak harus berupa uang )

Apabila terjadi wanprestasi, tidak selamanya ketiga – tiganya

(biaya, rugi, bunga) dituntut, siofatnya adalah kasuistik, yang

penting adalah komponennya terpenuhi.

Tangkisan Debitur atas Tuduhan Wanprestasi

Bahwa tidak semua debitur wanprestasi dapat dituntut ganti rugi. Ada

3 hal tangkisan tersebut, yaitu :

1. Overmacht / force majeur : pasal 1245 KUHPdt

2. Exceptio non adimpleti contractus : pasal 1478 KUHPdt

Yaitu tangkisan debitur karena kreditur sendiri tidak melaksanakan

perjanjian. Hal ini hanya dapat terjadi bila perjanjian itu dapat

dilaksanakan secara tunai ( hak dan kewajiban dilaksanakan bersama –

sama ).

3. Rechtverwerking ( pelepasan hak )

Ex. A – B mengadakan perjanjian kirim beras 1 ton kualitas no. 1,

pelaksanaannya beras dikirim kualitas no. 2, tetapi tidak komplain.

Page 84: Diktat Perdata

84

6. Sumber Perikatan

BAGAN SUMBER PERIKATAN

Sumber Perikatan

Perjanjian ( 1313 KUHPdt ) Undang – Undang ( 1352 KUHPdt )

Perbuatan Manusia Melalui Undang - Undang

( 1353 KUHPdt ) ( 104, 321, 625 KUHPdt )

Sesuai Hukum Perbuatan Melawan Hukum

( 1354, 1359 KUHPdt ) ( 1365 KUHPdt )

Menurut ketentuan pasal 1233 KUHPdt, maka tiap perikatan timbul

karena :

a. Undang – undang.

Ex. Alimentasi ( pasal 321 KUHPdt )

b. Perjanjian

Ex. Jual beli , sewa menyewa.

Sebagian besar ( 99 % ), perikatan bersumber pada perjanjian. Perikatan

yang berasal dari perjanjian artinya perikatan itu baru ada / terjadi apabila

ada perjanjian ( kehebdak para pihak ), pada saat itulah terjadi perikatan.

Page 85: Diktat Perdata

85

B. PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI PERJANJIAN

1. Pengertian dan Macam – Macam Perjanjian

Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan.

Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPdt :

“ Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana

seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih.”

Para ahli memberikan pengertian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu.

Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu perjanjian

merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Pada bentuknya

perjanjian tersebut berupa suatu rangkaian kata – kata yang mengandung

janji – janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu perjanjian yang obligatoir dan

perjanjian yang non obligatoir.

Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir, yaitu suatu perjanjian dimana mengharuskan /

mewajibkan seseorang membayar atau menyerahkan sesuatu. Contoh

konkritnya adalah :

- Pembeli wajib menyerahkan harga barang.

- Penjual wajib menyerahkan barang.

- Majikan harus membayar upah.

Perjanjian obligator ada beberapa macam, yaitu :

a. Perjanjian Sepihak, ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban pada

satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.

Ex. Perjanjian hibah

b. Perjanjian timbal balik, ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada

pada kedua belah pihak. Jadi pihak yang berkewajiban melakukan

suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.

Page 86: Diktat Perdata

86

Ex. Perjanjian jual beli

c. Perjanjian cuma – cuma, ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu

memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada

mendapatkan nikmat daripadanya.

Ex. Perjanjian Hibah

d. Perjanjian atas beban, ialah perjanjian yang mewajibkan masing –

masing pihak memberikan prestasi ( memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu )

Ex. Jual beli

e. Perjanjian konsesuil ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya

kesepakatan ( konsensus ) dari kedua belah pihak. Jadi perjanjian lahir

sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.

Ex. Jual beli

f. Perjanjian riil, ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan

perbuatan / tindakan nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja,

perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak.

Ex. Perjanjian penitipan barang

g. Perjanjian formil ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, jadi

bentuknya harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan yang berlaku. Jika

bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka

perjanjian tersebut tidak sah.

Ex. Jual beli tanah harus dengan Akte PPAT

h. Perjanjian bernama ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan

dalam KUH Pdt buku III bab V s/d bab XVII dan dalam KUHD ( Kitab

Undang – Undang Hukum Dagang )

Ex. Perjanjian Jual Beli

I. Perjanjian tak bernama, ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak

disebutkan dalam KUH Pdt maupun KUHD.

J. Perjanjian Campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur

dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW maupun

dalam KUHD.

Page 87: Diktat Perdata

87

Ex. Perjanjian sewa beli ( gabungan sewa menyewa dan jaul beli)

Setiap orang diperbolehkan / bebas membuat perjanjian bernama, tak

bernama maupun perjanjian campuran, karena Hukum Perikatan dan

Hukum Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Pdt merupakan hukum

pelengkap( aanvulent recht )

Perjanjian non obligatoir

Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang tidak mengharuskan

seseorang membayar / menyerahkan sesuatu. Perjanjian non obligatoir ini

ada beberapa macam, yaitu :

a. Zakelijk overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan

dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Jadi obyek

perjanjian adalah hak.

Ex. Balik nama hak atas tanah.

b. Bevits overeenkomst atau procesrechtelijk overeenkomst, ialah perjanjian

untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya ditujukan pada

hakim, tak terjadi perselisihan, supaya memakai alat bukti yang

menyimpang dari apa yang ditentukan oleh undang – undang.

c. Liberatoir overeenkomst, ialah perjanjian dimana seseorang

membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.

d. Vaststelling overeenkomst, ialah perjanjian untuk mengakiri keraguan

mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua belah pihak.

Ex. Dading ( perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri

perselisihan yang ada di muka pengadilan )

2. Unsur, Asas dan Syarat Perjanjian

a. Unsur – Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian itu harus memenuhi 3 macam unsur :

1. Essentialia, ialah unsur yang sangat esensi / pentinmg dalam suatu

perjanjian yang harus ada.

Page 88: Diktat Perdata

88

2. Naturalia, ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak

dikesampingkan oleh kedua belah pihak.

3. Accidentalia, ialah unsur perjanjian yang ada jika dikehendaki oleh

kedua belah pihak.

b. Asas – Asas Perjanjian

Pada ilmu hukum dikenal ada 4 asas perjanjian, yaitu :

1. Asas Konsensualitas, artinya dengan adanya kata sepakat antara kedua

belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak

tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1320

KUHPdt.24

2. Asas bentuk perjanjian bebas, artinya perjanjian tidak terikat pada

bentuk tertentu. Jadi boleh diadakan secara tertulis, boleh diadakan

secara lisan dan sebagainya.

3. Kebebasan berkontrak, artinya setiap orang bebas membuat perjanjian.

Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt.25

4. Apa yang diperjanikan mengikat kedua belah pihak. Asal ini juga dapat

disimpulkan dari pasal 1338 ( 1 ) KUHPdt seperti halnya asas kebebasan

berkontrak di atas.

c. Syarat – syarat Sahnya Perjanjian.

Menurut pasal 1320 KUHPdt, untuk sahnya perjanjian diperlukan 4

syarat, yaitu :

1. Sepakat.

Sepakat, dimaksudkan bahwa pihak – pihak yang mengadakan

perjanjian itu harus sepakat, setuju mengenai hal – hal yang pokok dari

perjanjian yang diadakan.

2. Cakap.

Syarat kecakapan ini diatur dalam 1330 KUHPdt.26

24 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1320 KUHPdt 25 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1338 KUHPdt

Page 89: Diktat Perdata

89

3. Hal tertentu

Artinya barang yang menjadi obyek perjanjian paling sedikit harus

dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal

asalkan dapat ditentukan kemudian.

4. Sebab yang halal

Causa ini dimaksudkan undang – undang adalah isi perjanjian itu

sendiri. Isi dari perjanjian haruslah sesuatu yang halal.

Apabila suatu perjanjian itu dibuat sudah memenuhi syarat – syarat

sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPdt, maka

menimbulkan akibat – akibat hukum :

1. Mengikat kedua belah pihak ( Pasal 1338 KUHPdt ).

2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua

belah pihak atau karena alasan – alasan yang oleh Undang – Undang

dinyatakan cukup untuk itu ( pasal 1338 ( 2 ) KUHPdt ).

3. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (pasal 1338 ( 3 )

KUHPdt).

4. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang tegas dinyatakan di

dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian

diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang ( pasal

1339 KUHPdt ).

26 Lihat dan baca bunyi selengkapnya pasal 1330 KUHPdt, pasal ini menjelaskan siap – siapa yang dianggap cakap menurut hokum. Lihat juga bab tentang cakap, dalam hokum perorangan di depan.

Syarat no. 1 dan 2 yakni sepakatmereka yang mngikat dirinya dan kecakapan membuat suatu perjanjian disebut SYARAT SUBYEKTIF, karena syarat tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh

orangnya ( subyek dalam perjanjian ) dan apabila syarat ini dilanggar, maka perjanjian DAPAT DIBATALKAN.

Syarat no. 3 dan 4 disebut SYARAT OBYEKTIF, karena merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, dan apabila dilanggar maka perjanjian dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.

Page 90: Diktat Perdata

90

Pada hukum perikatan, dikenal juga asas kepribadian, yang diatur

pada pasal 1315 KUHPdt,27 asas ini mempunyai beberapa pengecualian,

yaitu terdapat dalam pasal 1316 KUHPdt dan pasal 1317 KUHPdt.28

Terhadap asas kepribadian ini, selain ditegaskan dalam pasal 1315 KUHPdt,

juga ditegaskan dalam pasal 1340 KUHPdt yang menyebutkan bahwa

perjanjian tidak dapat membawa rugi bagi pihak ketiga.

Terhadap pasal 1340 KUHPdt ini terdapat kekecualiannya, yakni yang

disebut dalam pasal 1341 KUHPdt yang dikenal dengan nama ACTIO

PAULIANA, yaitu tuntutan dari pihak kreditur terhadap seorang debitur

apabila debitur berlaku curang, agar tindakan hukum yang dilakukan

olehnya dengan pihak ketiga dibatalkan. Actio Pauliana ini harus memenuhi

unsur – unsur :

1. Yang meminta pembatalan itu adalah kreditur dari salah satu pihak.

2. Perjanjian itu merugikan kreditur.

3. Perjanjian / perbuatan itu merupakan perjanjian / perbuatan yang tidak

diwajibkan. Ex. Debitur menjual / menghibahkan suatu barangnya

kepada pihak ketiga.

4. Debitur dan pihak lawan ( pihak ketiga ) keduanya mengetahui bahwa

perbuatan itu merugikan kreditur.

3. Cara Menafsirkan perjanjian.

Sehubungan dengan perjanjian merupakan rangkaian kata – kata

yang terkadang menimbulkan makna ambigu bagi setiap pihak – pihak

yang terikat di dalamnya atau bagi pihak lain yang ingin membacanya,

maka undang – undang memberikan pedoman mengenai cara menafsirkan

perjanjian. Pasal 1342 – 1351 KUHPdt memberikan pedoman sebagai berikut :

a. Jika kata – kata suatu perjanjian jelas maka tidak diperkenankan untuk

menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.

27 Lihat dan baca selengkapnya bunyi pasal 1315 KUHPdt 28 Lihat dan baca selengkapanya bunyi pasal 1316 dan 1317 KUHPdt.

Page 91: Diktat Perdata

91

b. Jika kata – kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam

penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang

membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata – kata

menurut huruf.

c. Jika suatu janji berisikan 2 macam pengertian, maka harus dipilih

pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu

dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak

memungkinkan suatu pelaksanaan.

d. Jika kata – kata dapat memberikan 2 macam pengertian, maka harus

dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.

e. Apa yang meragu – ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi

kebiasaan di negeri atau di tempat dimana perjanjian diadakan.

f. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji

harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.

g. Jika ada keragu – raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas

kerugian orang yang telah memuta diperjanjikan sesuatu hal

( memperoleh hak – hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu )

yang dalam hal ini adalah kreditur dan untuk keuntungan orang yang

telah mengikatkan dirinya untuk itu ( debitur )

4. Keadaan Memaksa / Overmacth ( pasal 1244, 1245 KUHPdt )

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya

prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar ganti rugi.

Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar ganti rugi, jika

debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau tidak berbuat

sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang

seharusnya ia tidak lakukan.

a. Pengertian Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah

dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi

prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus

Page 92: Diktat Perdata

92

menanggung resiko, serta tidak dapat menduga pada waktu

persetujuan dibuat.

Menurut undang – undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk

keadaan memaksa, yaitu :

1. Tidak memenuhi prestasi

2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur

3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

b. Akibat Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tidak lagi bekerja

(werking) walaupun perikatannya sendiri tetap ada. Apabila dalam

keadaan demikian, maka :

1. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;

2. Tidak dapat mengatakan debitur dalam keadaan lalai, sehingga

tidak dapat menuntut;

3. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

4. Pada perjanjian timbal balik, maka gugur kewajiban untuk melakukan

kontra prestasi.

5. Hal yang perlu diketahui apabila terjadi keadaan memaksa :

a. Debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa

dengan jalan penangkisan ( eksepsi );

b. Berdasarkan jabatan hakim, tidak dapat menolak gugat

berdasarkan keadaan memaksa, yang berutang yang

memikul beban untuk membuktikan adanya keadaan

memaksa.

Page 93: Diktat Perdata

93

c. Teori Keadaan Memaksa

Ada 2 ajaran tentang keadaan memaksa, yaitu :

1. ajaran yang objektif / absolut

“ Debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan

prestasi itu tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau setiap

orang. “

Keadaan ini terjadi apabila ada bencana alam atau kecelakaan yang

hebat.

Ketentuan pasal 1444 BW :

“ Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan musnah, tidak

lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali

tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah

perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si

berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. “

2. ajaran yang subyektif / relatif

Keadaan memaksa itu ada apabila debitur masih mungkin

melaksanakan prestasi, tetapi praktis dengan kesukaran atau

pengorbanan yang besar, sehingga dalam keadaan yang demikian itu

kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi.

d. Pembuktian Dalam Keadaan Memaksa

Agar debitur mengemukakan adanya keadaan memaksa, harus

dipenuhi 3 syarat :

1. Harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;

2. Tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;

3. Ia tidak menanggung resiko, baik menurut ketentuan undang – undang

atau perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung resiko.

Page 94: Diktat Perdata

94

C. PERIKATAN YANG BERSUMBER DARI UNDANG - UNDANG

Menurut pasal 1352 KUH Pdt, perikatan yang bersumber pada Undang –

Undang timbul dari :

1. Undang – Undang Sendiri

Contoh : Alimentasi ( pasal 321 KUH Pdt, pasal 46 dan pasal 47 UU No.

1/1974 ), yakni kewajiban memberi nafkah oleh orang tua kepada

anaknya, dan sebaliknya seorang anak berkewajiban memberi nafkah

kepada orang tuanya dan keluarganya dalam garis lurus ke atas yang

menjadi miskin.

2. Undang – Undang Sebagai Akibat Perbuatan Manusia

Pasal 1353 KUH Pdt membedakan :

a. Perikatan – perikatan yang timbul dari Undang – undang karena

perbuatan manusia yang menurut hukum.

Contoh : Zaakwarneming ( pasal 1354 KUH Pdt ), pembayaran tidak

terutang ( 1359 KUH Pdt ) dan perikatan wajar.

b. Perikatan – perikatan yang timbul dari Undang – Undang karena

perbuatan manusia yang melawan hukum

Contoh : Onrechtmatigedaad ( pasal 1365 KUH Pdt )

D. HAPUSNYA PERIKATAN

Menurut pasal 1381 KUHPdt menyebutkan sepuluh cara hapusnya

perikatan, yaitu :

1. Pembayaran.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan.

3. Pembaharuan utang.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi.

5. Percampuran utang.

6. Pembebasan utang.

Page 95: Diktat Perdata

95

7. Musnahnya barang yang terutang.

8. Batal / pembatalan.

9. Berlakunya syarat batal.

10. Lewat waktu.

Keterangan :

1. Pembayaran ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,

misalnya pembayaran uang oleh pembeli.

Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran adalah

“SUBROGASI“ . Subrogasi adalah penggantian hak – hak si berpiutang

(kreditur) oleh orang ketiga yang membayar kepada kreditur itu.

Subrogasi dapat terjadi kerena persetujuan atau karena undang –

undang. Menurut pasal 1401 KUHPdt, subrogasi terjadi karena persetujuan

apabila :

c. Si kreditur dengan menerima pembayaran dari orang ketiga

menetapkan bahwa orang ini akan menggantikan hak – haknya,

gugat – gugatannya, hak – hak istimewanya dan hipotik – hipotik

yang dipunyainya terhadap si berhutang. Subrogasi ini harus

dinyatakan dengan tegas dan dilakukan tepat pada waktu

pembayaran.

d. Apabila debitur meminjam sejumlah uang kepada orang ketiga untuk

melunasi utangnya dan menetapkan bahwa orang yang meminjam

uang itu akan menggantikan hak – hak si kreditur lama.

Sedangkan menurut pasal 1402 KUHPdt subrogasi terjadi karena undang –

undang apabila :

a. Apabila seorang kreditur melunasi piutang kreditur lain, yang

berdasarkan hak – hak istimewanya atau hipotik mepunyai suatu hak

yang lebih tinggi.

b. Untuk seorang pembeli suatu benda tak bergerak yang telah

memakai uang harga benda tersebut untuk melunasi orang

berpiutang, kepada siapa benda itu diperikatkan dalam hipotik.

Page 96: Diktat Perdata

96

c. Untuk seorang yang bersama – sama dengan orang lain, atau untuk

orang – orang lain diwajibkan membayar suatu utang,

berkepentingan untuk melunasi utang itu.

d. Untuk seorang ahli waris yang sedang menerima warisan denga hak

istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta

peninggalan, telah membayar utang – utang warisan dengan

uangnya sendiri.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan.

Prosedur pelaksanaan pembayaran diikuti oleh penitipan atau

penyimpanan adalah sebagai berikut :

Apabila kreditur mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu

maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak

penawaran, maka notaris atau juru sita membuat ptoses verbal dan

kreditur diminta untuk menandatanganinya. Proses verbal ini merupakan

suatu bukti bahwa kreditur menolak pembayaran. Langkah selanjutnya,

debitur mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya

pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah

dilakukan itu. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka uang

atau barang yang akan dibayarkan itu disimpan atau dititipkan kepada

Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang

piutang itu. Uang atau barang tersebut berada dalam simpanan

Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas resiko debitur.

Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran

tunai dan penyimpanan dipikul oleh kreditur. Penawaran pembayaran

diikuti oleh penitipan atau penyimpanan hanya mungkin pada perikatan

untuk membayar sejumlah uang atau menyerahkan barang – barang

bergerak.

Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan dan penyimpanan

mempunyai akibat hukum :

Page 97: Diktat Perdata

97

a. Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi, ganti rugi atau

pembatalan persetujuan timbal balik dari kreditur dengan

mengemukakan adanya penawaran dan penitipan.

b. Debitur tidak lagi berutang bunga sejak hari penitipan.

c. Sejak penitipan kreditur menanggung resiko atas barangnya.

d. Pada perjanian timbal balik, debitur dapat menuntut prestasi kepada

kreditur.

3. Pembaharuan Utang ( Novasi )

Menurut pasal 1413 KUHPdt ada 3 macam jalan untuk melaksanakan

pembaharuan utang atau novasi, yaitu :

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang

baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang

menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya.

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang

berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari

perikatannya.

c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang

baru ditunjuk dengan menggantikan orang berpiutang lama,

terhadap siapa si berhutang dibebaskann dari perikatannya.

Macam – macam novasi :

a. Novasi obyektif, yaitu novasi dimana perikatan yang telah ada diganti

dengan perikatan lain.

b. Novasi subyektif pasif, yaitu suatu novasi dimana debiturnya diganti

oleh debitur lain.

c. Novasi subyektif aktif, ialah suatu novasi dimana krediturnya diganti

oleh kreditur lain.

4. Perjumpaan Utang atau Kompensasi

Perjumpaan utang atau kompensasi ialah suatu cara hapusnya perikatan

dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik

Page 98: Diktat Perdata

98

antara kreditur dengan debitur. Jadi pihak – pihak yang mengadakan

perikatan itu masing – masing merupakan debitur satu sama lainnya.

Ex. A mempunyai utang kepada B sebanyak Rp. 10.000.000,- Sebaliknya B

mempunyai utang kepada A Rp. 4.000.000,- Kedua utang tersebut

dikompensasikan untuk Rp. 4.000.000,- Sehingga B masih mempunyai

piutang kepada A sebanyak Rp. 6.000.000,-.

Suatu piutang dapat dikompensasikan asalkan memenuhi syarat – syarat

tertentu. Syarat – syarat terjadinya kompensasi menurut undang – undang

adalah :

A. Dua orang secara timbal balik merupakan debitur satu daripada

yang lain.

B. Obyek perikatan berupa sejumlah uang atau barang yang sejenis

yang dapat dipakai habis.

C. Piutang – piutangnya sudah dapat ditagih.

D. Piutang – piutangnya dapat diperhitungkan dengan segera. Menurut

pasal 1429 KUHPdt kompensasi terjadi dengan tidak dibedakan dari

sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu dilahirkan.

Terhadap ketentuan pasal 1429 KUHPdt ini ada kekecualiannya, dimana

kompensasi dilarang, yaitu :

a. Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara

berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.

b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan

atau dipinjamkan.

c. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah

(alimentasi).

5. Percampuran Utang

Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena

kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang.

Percampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.

Page 99: Diktat Perdata

99

Ex. A mempunyai utang kepada B, B kemudian meninggal dunia. A

adalah satu – satunya ahli waris B. Percampuran utang mengakibatkan

hapusnya perikatan. Hapusnya perikatan menghapuskan pula borgtocht

borg ( jaminan pihak ketiga ). Namun sebaliknya percampuran yang

terjadi pada seorang penanggung utang ( borg ) tidak mengakibatkan

hapusnya utang pokok.

6. Pembebasan Utang

Pembebasan utang ialah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si

kreditur bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan

melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian

Apabila terjadi pembebasan utang, maka hapuslah hubungan utang

piutang antara kreditur den debitur. Pembebasan utang tidak boleh

dipersangkakan tapi harus dibuktikan.

Menurut pasal 1439 KUHPdt pengembalian sepucuk surat tanda piutang

asli secara sukarela oleh si kreditur, merupakan suatu bukti tentang

pembebasan utang.

7. Musnahnya Barang Yang Terutang

Menurut pasaal 1444 KUHPdt, jika barang tertentu yang menjadi obyek

perjanjian musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka

perikatan hapus asal musnahnya atau hilangnya barang itu di luar

kesalahan si berhutang ( debitur ) dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah

diluar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan memberikan

prestasi kepada kreditur.

8. Batal / Pembatalan

Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam 2 hal pokok, yaitu :

a. Batal demi hukum, karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang

– undang.

Page 100: Diktat Perdata

100

b. Dapat dibatalkan, karena kebatalannya terjadi apabila ada pihak

yang memohon pembatalan.

---------- Lihat dalam sub syarat – syarat perjanjian.

Suatu perjanjian dapat dimohonkan pembatalan apabila :

1. Tidak memenuhi syarat subyektifnya ( sepakat dan cakap bertindak

dalam hukum )

2. Salah satu pihak melakukan wanprestasi ( tidak memenuhi perjanjian )

3. Karena adanya actio pauliana ( gugatan untuk membatalkan suatu

perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan

para krediturnya )

9. Berlakunya Syarat Syarat Batal

Berlakunya syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat

dengan syarat batal, yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa

yang masih akan datang dan yang masih belum tentu terjadi secara

membatalkan perikatan.

10. Lewatnya Waktu atau Verjaring

Lewatnya waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya untuk memperoleh

sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya

suatu waktu tertentu dan atas syarat – syarat yang ditentukan oleh

Undang – undang.

Page 101: Diktat Perdata

101

Page 102: Diktat Perdata

102

Page 103: Diktat Perdata

103

Page 104: Diktat Perdata

104