STATUS PENDERITA
No. catatan medik : 910963
Masuk RSAM : 10 April 2013
Pukul : 15.05 wib
- ANAMNESIS
Alloanamnesis (dari ibu pasien) 11 april 2013
I. Identitas
- Nama penderita : An. ACH
- Jenis kelamin : Perempuan
- Umur : 12 tahun
- BB : 25 kg
- Agama : Islam
- Suku : Lampung
- Alamat : jl. Dr. Sutomo no 42-96, Penengahan, Bandar Lampung
- Nama Ayah : Tn. S
Umur : 53 tahun
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SMA
- Nama Ibu : Ny. S
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : SPG
- Hub. dg orangtua : Anak kandung
II. Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Demam
Keluhan tambahan : BAB cair
Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit os mengalami demam. Demam
terus menerus dan dirasakan lebih tinggi terutama pada malam hari. Demam tanpa
disertai kejang, menggigil, berkeringat malam ataupun penurunan kesadaran.
Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut bagian ulu hati, mual, nyeri kepala
dan penurunan nafsu makan. Kurang lebih 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit os
mengaku BAB cair disertai ampas berwarna coklat tanpa disertai lendir ataupun
darah 1x dalam sehari. Batuk dan pilek serta perdarahan disangkal. BAK dalam
batas normal, nyeri pada saat berkemih disangkal. Os kemudian melakukan
pemeriksaan darah dan didapatkan trombosit turun, kemudian os dibawa ke
RSAM Bandar Lampung. Riwayat keluarga yang mengalami sakit seperti ini
tidak ada. Os mengatakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit os jajan diluar saat
pergi berekreasi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Saat os berusia 6 tahun os pernah di opname karena penyakit bronchitis.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu os memiliki riwayat penyakit asma dan ayah os memiliki hipertesi
Riwayat Kehamilan
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan namun tidak ada keluhan
yang berarti selama kehamilannya. Bayi lahir cukup bulan, secio secaria ec tali
pusat pendek dan kala 2 memanjang, bayi lahir langsung menangis. Berat badan
lahir 3800 gram, panjang badan 51 cm. Pada saat hamil ibu os berusia 38 tahun,
Riwayat Makanan
1. Usia 0-4 bulan : ASI dan susu formula, frekuensi minum ASI tiap kali bayi
menangis dan tampak kehausan, sehari biasanya lebih dari 8 kali dan lama
menyusui 10 menit, bergantian kiri kanan.
2. Usia 8 bulan : Nasi saring
3. 12 bulan : nasi tim 3 kali sehari disertai dengan sayuran, lauk pauk serta
buah-buahan
4. Usia 1 tahun - sekarang : diperkenalkan dengan makanan dewasa dengan sayur
bervariasi dan lauk pauk, dan diselingi dengan buah-buahan, porsi
menyesuaikan, 3 kali sehari.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
Riwayat Imunisasi
B C G : 1x, umur 1 bulan, diameter scar 0,5 cm
Polio : 3x, umur 2,3,4 bulan
D P T : 3x, umur 2,3,4 bulan
Campak : 9 bulan
Hepatitis B : 3x, umur 0,1,6 bulan
Kesan : Lengkap sesuai umur
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Kompos Mentis
- Nadi : 98 x/menit, reguler, isi tegangan cukup
- Respirasi : 30x/menit
- Suhu : 37,5º C (per axiler)
- Tekanan darah : 110/70 mmhg
- BB : 25 kg
- Tinggi Badan : 150 cm
- Status gizi : gizi baik
BB/U : persentil +2SD (WHO 2005, Z-Score)
Status Generalis
1. Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Perdarahan : (-)
Oedem umum : (-)
Turgor : Baik
Lemak bawah kulit : cukup
Pembesaran kelenjar getah bening generalisata : (-)
KEPALA
- Bentuk : Bulat, simetris
- Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut, pertumbuhan merata
- Kulit : tidak pucat
- Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-),pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
- Telinga : Bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-)
- Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernafasan cuping
hidung(-), sekret (-)
- Mulut : Bibir kering, sianosis (-), lidah kotor
LEHER
- Bentuk : Simetris
- Trakhea : Di tengah
- KGB : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat
THORAKS
- Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (-)
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba sela iga IV garis midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Batas atas sela iga II garis parasternal sinistra
Batas kanan sela iga IV garis parasternal dextra
Batas kiri sela iga IV garis midklavikula kiri
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
PARU
ANTERIOR POSTERIOR
KIRI KANAN KIRI KANAN
Inspeksi Pergerakan
pernafasan simetris
Pergerakan
pernafasan simetris
Pergerakan
pernafasan
simetris
Pergerakan
pernafasan simetris
Palpasi Fremitus taktil
= kanan
Fremitus taktil
= kiri
Fremitus taktil =
kanan
Fremitus taktil
= kiri
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi Suara nafas
Vesikuler
Ronkhi (-)
Wheezing (-)
Suara nafas
vesikuler
Ronkhi (-)
Wheezing (-)
Suara nafas
vesikuler
Ronkhi (-)
Wheezing (-)
Suara nafas
vesikuler
Ronkhi (-)
Wheezing (-)
ABDOMEN
Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kembali cepat
Auskultasi : bising usus normal
GENITALIA EXTERNA
- Kelamin : Laki-laki, tidak ada kelainan
EKSTREMITAS
- Superior : Oedem (-/-),sianosis (-), akral dingin -/-
- Inferior : Oedem (-/-),sianosis (-), akral dingin -/-
Pemeriksaan Neurologis
Motorik : Koordinasi baik
Penilaian Superior ka / ki Inferior ka / ki
Gerak normal/normal normal/normal
Kekuatan otot 5/ 5 5/ 5
Tonus normotonus/ normotonus normotonus/ normotonus
Klonus - / - - / -
Atropi eutropi / eutropi eutropi / eutropi
Kesan motorik :normal
Reflek Fisiologis : R. Biseps : (+/+)
R. Triseps : (+/+)
R. Patella : (+/+)
R. Archilles : (+/+)
Reflek Patologis : R. Babinsky : ( - / - )
R. Chaddock : ( - / - )
R. Oppeinheim : ( - / - )
Sensorik : sulit dinilai
Rangsang meningeal
Kaku kuduk : ( - )
Brudzinsky I : ( - )
Brudzinsky II : ( - )
Kernig sign : (-)
Otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Salivasi : normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin (9 april 2013)
Hb :14,5 gr/dl %
Ht : 44%
LED : 2 mm/jam
Leukosit : 4.700/ul
Hitung jenis
Basofil : 0%
Eosinofil: 0%
Batang : 0%
Segmen : 72%
Limfosit : 25%
Monosit : 3%
Malaria : Tidak ditemukan
Uji Serologi Widal (9 April 2013)
Tes Widal Hasil Titer
Typhi H antigen (+) 1/320
Typhi O antigen (+) 1/320
Paratyphi A-O Antigen (+) 1/80
Paratyphi B-OnAntigen (+) 1/320
Dengue Fever Ig M (-)
Dengue Fever Ig G (-)
Darah Rutin (10 April 2013)
Hb : 15,4 gr/dl
Ht : 46%
Trombosit : 124.000/ul
Darah Rutin (11 April 2013)
Hb : 13,6 gr/dl
Ht : 40%
Trombosit : 159.000/ul
Darah Rutin (12 April 2013)
Hb : 14,1 gr/dl
Ht : 41%
Trombosit : 94.000/ul
V. RESUME
Pasien An. ACH, perempuan, berumur 12 tahun, berat badan 25 kg datang dengan
keluhan demam kurang lebih 4 hari smrs. Demam terus menerus dan dirasakan
lebih tinggi terutama pada malam hari. Demam tanpa disertai kejang, menggigil,
berkeringat malam ataupun penurunan kesadaran. Selain itu pasien juga mengeluh
nyeri perut bagian ulu hati, mual, nyeri kepala dan penurunan nafsu makan.
Kurang lebih 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit os mengaku BAB cair disertai
ampas berwarna coklat tanpa disertai lendir ataupun darah. Batuk dan pilek serta
perdarahan disangkal. BAK dalam batas normal, nyeri pada saat berkemih
disangkal. Os lalu dibawa ke RSAM Bandar Lampung. Riwayat keluarga yang
mengalami sakit seperti ini tidak ada. Os mengatakan 5 hari sebelum masuk
rumah sakit os jajan diluar saat pergi berekreasi. Imunisasi dasar lengkap sesuai
umur dan sesuai Depkes. Riwayat perkembangan dan pertumbuhan baik. Riwayat
pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran, lahir dengan secio cesaria, cukup
bulan, pemeliharaan postnatal baik. Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan
umum tampak sakit sedang, kompos mentis dan gizi kesan baik. Pemeriksaan .
Tanda vital: N: 98x/menit, RR: 30x/menit, t= 37,5oC, Pemeriksaan fisik: bibir
kering, lidah kotor dan nyeri tekan epigastrium . Pemeriksaan neurologi dalam
batas normal pemeriksaan laboratorium tanggal 9 April 2013 Hb: 14,5 gr/% ,
LED: 2 mm/jam, Leukosit: 4700/ul Hitung jenis: Basofil: 0%, Eosinofil: 0%,
Batang: 0%, Segmen: 72%, Limfosit: 25%, Monosit: 3%. Uji serologi tanggal 9
April 2013 Typhi H antigen positif 1/320, Typhi O antigen positif 1/320,
Paratyphi A-O antigen positif 1/80, Paratyphi B-O antigen positif 1/320, Dengue
fever Ig M negative, Dengue fever Ig G negative. Hasil laboratorium tanggal 10
april 2013 Hb : 15,4gr/dl Ht: 46% , Trombosit: 124.000/ul, Hasil Laboratorium
tanggal 11 April 2013 Hb: 13,6gr/dl Ht: 40%, Trombosit: 159.000/ul. Hasil
laboratorium tanggal 12 April 2013 Hb: 14,1gr/dl Ht: 41%, Trombosit: 94.000/ul.
IV. Diagnosis Banding
Demam Typhoid
Gastroenteritis
Malaria
Infeksi Saluran Kemih
V. Diagnosis kerja
Demam Thypoid
VI. Penatalaksanaan
Terapi
1. IVFD RL XX gtt.
2. Paracetamol tablet 4x 250mg
3. Ranitidin ½ ampul/12jam IV
VII. Anjuran Pemeriksaan
Tubex test
VII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam
VII. FOLLOW UP
Hari/tanggal Keluhan Status present Penatalaksanaan 10 april 2013IGD
KU: TS sedang
Sense: CM
S= Demam, Pusing, mual,
nyeri tekan epigastrium
Bb = 25 kg
Nadi: 84x/m
Nafas: 16x/m
T= 37,10c
4. IVFD RL XX gtt.
5. Paracetamol tablet 4x
250mg
6. Ranitidin ½
ampul/12jam IV
11 april 2013ruangan
Keluhan: Demam, Pusing KU : TSS
Kes : CM
Vital sign
nadi : 98x/menit
RR : 30x/menit
T : 37,8ºC
Pem.Neurologis
Motorik: baikReflek fisiologis+Reflek patologis-Rangsang meningeal –Otonom ;baik
7. IVFD RL XVI gtt
8. Injeksi Visilin
1gr/8jam
9. Paracetamol 3x ½
tablet
10. Ranitidin ½
ampul/12jam
Cek DL
12 april 2013ruangan
Keluhan :
- Pusing, nyeri tekan
epigastrium, os sub febris
pada malam hari
- BAK Lancar- BAB normal
KU : TSS
Kes : CM
Vital sign
nadi : 96x/menit
RR : 28x/menit
T : 35,7ºC
Pem.Neurologis
Motorik: baikReflek fisiologis+Reflek patologis-Rangsang meningeal –Otonom ;baik
11. IVFD RL XV gtt/m
12. Ceftriaxon 1gr/12 jam
13. Ranitidin ½ ampul/12
jam
14. Paracetamol 3x
250mg
13 April 2013 Keluhan : Pusing KU : TSS Keluarga minta pulang
ruangan Kes : CM
Vital sign
nadi : 68x/menit
RR : 28x/menit
T : 35,4ºC
Pem.Neurologis
Motorik: baikReflek fisiologis+Reflek patologis-Rangsang meningeal –Otonom ;baik
Acc pulangCefixim 2x100 mg
BAB II
ANALISA KASUS
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kejang demam kompleks
dan kejang demam sederhana. Diagnosa kerja pada pasien ini adalah kejang
demam sederhana. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang hasilnya
disesuaikan dengan kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai
pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana.
Dari anamnesa di dapatkan:
umur penderita < 6thn (1 thn 11 bulan),
kejang didahului demam,
kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam, kurang dari 5 menit,
kejang umum, tonik-klonik,
kejang berhenti sendiri,
pasien tetap sadar setelah kejang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya:
Suhu tubuh 38,2oC di ruangan , di UGD = 39oC,
tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang.
Dari hal yang di uraikan di atas sesuai dengan kriteria kejang demam sederhana
berdasarkan kriteria livingston. Sehingga diagnosa kerja pada pasien ini sudah
sesuai.
Dari anamnesa juga didapatkan batuk pilek 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit, namun pasien belum pernah ke dokter, kemungkinan besar hal tersebut
merupakan gejala faringitis, dimana didukung dengan ditemukan tonsil dan
faring yang hiperemis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr.
dr. Lumantobing pada 297 anak penderita kejang demam, infeksi yang paling
sering menyebabkan demam yang akhirnya memicu serangan kejang demam
adalah faringitis yaitu 34%. Selanjutnya adalah otitis media akut 31% dan
gastroenteritis 27%. Sehingga diagnosa yang sesuai pada kasus adalah kejang
demam sederhana et causa faringitis.
Pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah pemeriksaan darah lengkap.
Menurut kepustakaan, pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin
pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 – 6,7%. Pungsi lumbal
menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18
bulan. Pada kasus ini pasien berumur 23 bulan dan secara klinis tidak
ditemukkan gejala mengarah ke infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan
pungsi tidak perlu dilakukan. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan
elektrolit dan gula darah sewaktu. Hal ini kurang sesuaikarena kenaikan suhu
1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% – 15%.
Mengakibatkan peningkatan glukosa dan oksigen. Selain itu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium. Di lain pihak cek
elektrolit juga penting untuk memastikan apakah ketidak seimbangan elektrolit
dalam tubuh yang menjadi pencetus kejang demam.
Terapi cairan yang diberikan pasien ini dengan menggunakan ringer laktat.
Pemberian RL Kurang sesuai karena RL merupakan cairan resusitasi yang
hanya terdiri dari elektrolit seperti natrium laktat 1,55 g, natrium klorida 3 g,
kalium klorida 0,15 g, kalsium klorida 0,1 g, osmolaritas 274 mOsm/l, Na+ 130
mEq/l, K+ 4 mEq/l, laktat 27 mEq/l, Cl- 109,5 mEq/l, Ca2+ 2,7 mEq/l. jika hanya
diberikan RL tidak mencukupi untuk kebutuhan kalori
Pada kasus ini sebaiknya diberikan cairan N4 D5. Karena pada kasus kejang
demam dibutuhkan cairan rumatan yaitu D5 ¼ NS. D5 ¼ NS terdiri dari
glukosa 55 gram, NaCl 2,25 gram. D5 ¼ NS pada kasus ini digunakan untuk
menambah kalori dan mengembalikan keseimbangan elektrolit karena seperti
yang telah di bahan bila kenaikan suhu 10c akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukosa.
Pada kasus ini dengan BB = 10,kg Kebutuhan cairan: 10kg X 100
cc/kgBB/hari = 1000 : 60 = 15 tetes/menit (mikro). Pada kasus ini diberikan X
tetes/menit pada terapi awal ugd, namun bertambah menjadi 25 tetes/menit.
jumlah pemberian tetesan kurang sesuai karena melebihi kebutuhan cairan
pasien ditambah pasien dalam kondisi dapat minum maupun makan.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah
sesuaidalam pemberian paracetamol, dimana paracetamol diberikan selama
pasien mengalami demam yaitu dengan dosis 10-15mg/kgBB/kali dapat
diulang 4-6 jam. Dengan BB 10 Kg maka paracetamol yang dapat diberikan
100-150mg/kali pemberian. Pada pasien ini diberikan paracetamol 3 x 1 cth
120 mg = 1 cth. Pada kasus ini diberikan 120 X 3 = 360 mg. Indikasi dan dosis
paracetamol pada kasus ini sudah sesuai.
Pada pasien diberikan stesolid supp yang berisi diazepam, dengan dosis untuk
anak dengan berat badan dibawah 10 kg, diberikan 5mg (1 tube isi 5 mg) bila
kejang. Hal tersebut belum sesuai, karena diazepam penting sebagai profilaksis
intermiten, dimana diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya
mencapai 38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian
diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding
obat anti kejang lain. Pemeberian diazepam ditambah antipiretik jauh lebih
efektif untuk mencegah terulangnya kejang, dibandingkan pemberian
antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan diazepam oral, karena
melihat kondisi pasien yang sadar dan masih dapat makan dan minum.
Pemeberian diazepam rektal dapat diberikan bila pasien mengalami penurunan
kesadaraan atau saat pasien sedang kejang.
Pada pasien ini di berikan ampicilin 250 mg/6jam (1000mg/hari) dan
gentamisin 35 mg/12 jam (70mg/hari) tidak sesuai karena antibiotik ampisilin
+ gentamisin ditujukan untuk pasien kejang demam dengan adanya faringitis
yang disebabkan oleh bakteri. Faringitis pada pasien ini disebabkan oleh virus,
karena menurut kepustakaan, kebanyakan faringitis disebabkan oleh virus.
Faringitis yang disebabkan oleh virus menimbulkan gejala sama seperti
common cold, dan pada pemeriksaan fisik, ditemukan faring yang hiperemis
dan membengkak. Sedangkan faringitis yang disebabkan oleh bakteri pada
pemeriksaan fisik ditemukan faring hiperemis dan pada soft palate terdapat
erythematous atau petekie. Tonsil juga membengkak dan merah, terkadang
ditutupi dengan eksudat. Papil lidah juga bisa membengkak dan memerah
(stawberry tounge).
Selain dengan pengobatan medikamentosa diperlukan pengobatan supportif
pada pasien dengan kejang demam, yaitu dengan menjaga keseimbangan cairan
dan elektrolit, membebaskan jalan nafas dan terapi oksigen terutama untuk
kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatkan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hiposekmia, hiperkapnia, asidosis laktat, disebakan
metabolisme anaerobik. Menggunakan pakaian tipis dalam ruangan yang baik
ventilasi udaranya. Anak tidak harus terus berbaring di tempat tidur, tetapi
dijaga agar tidak melakukan aktivitas berlebihan. Anak dapat dikompres untuk
mencegah demam yang akan memicu kejang. Umumnya mengompres anak
akan menurunkan demamnya dalam 30-45 menit. Pada pasien ini merupakan
kejang demam kedua dalam kurun 1 tahun, sehingga edukasi kepada keluarga
pasien seharusnya diberikan.
Prognosis penderita ini adalah ad bonam untuk quo ad vitam dan functionam
karena pada pasien ini telah dilakukan pengobatan yang adekuat sehingga
sudah tidak kejang, walaupun masih demam.
Dengan penanggulangan yang sesuaidan cepat, prognosis baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% -
50% yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Resiko yang akan dihadapi seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor :
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan syaraf sebelum
anak menderita kejang demam
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian
hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%,dibandingkan
bila hanya ada satu atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan
kejang tampa demam terjadi hanya 2 – 3 % saja. Sedangkan pada kasus ini
tidak didapatkan satupun faktor diatas.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38ºC)yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Pusponegoro. D, 2006).
Kejang demam dapat juga didefinisikan sebagai kejang yang disertai demam
tanpa bukti adanya infeksi intrakranial, kelainan intrakranial, kelainan metabolik,
toksin atau endotoksin seperti neurotoksin Shigella (R Strange, Gary, 2009).
Kejang demam pertama kali pada anak biasanya dihubungkan dengan suhu yang
lebih dari 38ºC, usia anak kurang dari 6 tahun, tidak ada bukti infeksi SSP
maupun ganguan metabolic sistemik akut (Rudolph AM, 2004).
Pada umumnya kejang demam terjadi pada rentang waktu 24 jam dari awal mulai
demam. Pada saat kejang anak kehilangan kesadarannya dan kejang dapat bersifat
fokal atau parsial yaitu hanya melibatkan satu sisi tubuh, maupun kejang umum di
mana seluruh anggota gerak terlibat. Bentuk kejang dapat berupa klonik, tonik,
maupun tonik-klonik. Kejang dapat berlangsung selama 1-2 menit tapi juga dapat
berlangsung lebih dari 15 menit (Lumbantobing Sm, 2007).
B. ETIOLOGI
Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan
tetapi umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi
terjadinya kejang (1). Faktor hereditas juga mempunyai peranan yaitu 8-22 %
anak yang mengalami kejang demam memiliki orangtua yang memiliki riwayat
kejang demam pada masa kecilnya (Lumbantobing, 2007).
Kejang demam biasanya diawali dengan infeksi virus atau bakteri. Penyakit yang
paling sering dijumpai menyertai kejang demam adalah penyakit infeksi saluran
pernapasan, otitis media, dan gastroenteritis (W Hay. et al, 2009).
C. Patofisiologi
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh natrium (Na+). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Keadaan sebaliknya
terjadi di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi yang berasal dari glukosa yang melalui proses oksidasi oleh oksigen.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebanyak
20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan
dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan ion natrium melalui
membran, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang
cukup besar dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel di dekatnya dengan
bantuan neurotransmiter dan menyebabkan terjadinya kejang.
Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya. Tetapi
pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnoe sehingga
kebutuhan oksigen untuk otak meningkat dan menyebabkan terjadinya kerusakan
sel neuron otak yang berdampak pada terjadinya kelainan neurologis.
Sehingga beberapa hipotesa dikemukakan mengenai patofisiologi sebenarnya dari
kejang demam, yaitu:
Menurunnya nilai ambang kejang pada suhu tertentu.
Cepatnya kenaikan suhu.
Gangguan keseimbangan cairan dan terjadi retensi cairan.
Metabolisme meninggi, kebutuhan otak akan O2 meningkat sehingga
sirkulasi darah bertambah dan terjadi ketidakseimbangan.
Dasar patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya dengan
baik susunan saraf pusat (korteks serebri) (Tejani NR, 2010).
D. Faktor Risiko
Kejang demam terkait dengan tiga unsur yaitu umur, demam dan predisposisi.
Faktor predisposisi timbulnya bangkitan kejang demam berhubungan dengan
riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan persalinan, gangguan tumbuh kembang
anak, seringnya menderita infeksi, dan kadar elektrolit, seng dan besi darah
rendah (Bahtera T, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Kejang demam dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi
tubuh anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan
kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot.
Kontraksi dapat berlangsung selama beberapa detik atau beberapa menit. Anak
akan jatuh apabila sedang dalam keadaan berdiri, dan dapat mengeluarkan urin
tanpa dikehendakinya (Lumbantobing SM, 2007).
Pada akhirnya kontraksi berhenti dan digantikan oleh relaksasi yang singkat.
Kemudian tubuh anak mulai menghentak-hentak secara ritmis (pada kejang
klonik), maupun kaku (pada kejang tonik). Pada saat ini anak kehilangan
kesadarannya dan tidak dapat merespon terhadap lingkungan sekitarnya.
F. Klasifikasi
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam Tahun 2006 membuat kriteria dan
membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang.
2. Kejang Demam Kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut :
a. Kejang lama > 15 menit
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, kejang umum didahului kejang
parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara
anak yang mengalami kejang demam.
G. Diagnosis
Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan
penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi
susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan
elektrolit, dan adanya lesi struktural pada sistem saraf misalnya epilepsy
(Behrman et al, 2005). Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
Anamnesis (Tejani NR, 2011)
1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningitis encephalitis)
2. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun)
4. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran
napas, otitis media, gastroenteritis)
5. Waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang
6. Sifat kejang (fokal atau umum)
7. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma
Pemeriksaan Fisik (Tejani NR, 2011).
1. Temperature tubuh
2. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (infeksi saluran napas, otitis media, gastroenteritis)
3. Pemeriksaan reflex patologis
4. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningitis, encephalitis)
Pemeriksaan Penunjang
Menurut konsensus penatalaksanaan kejang demam tahun 2006, pemeriksaan
penunjang pada kejang demam yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroentritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit dan gula darah.
2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 % - 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifesti klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu
pungsi lumbal dianjurkan pada :
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perl dilakukan pungsi lumbal.
3. EEG : Masih kontroversi karena manfaat untuk pengolahan sangat
sedikit
Pemeriksaan elektrornsefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas. Misalnya : kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance (MRI) jarang sekali dikerjakan , tidak hanya atas
indikasi seperti :
a. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema
H. Tata Laksana
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan
dengan keccepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis
maksimal 20mg.
Obat praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau dirumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah
usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kehjang, dianjurkan ke
rumah sakit. Dirumah sakit ddapat diberikan diazepam intravena dengan dosis
0,3-0,5 mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secar intravena dengan dosis
awal 10-20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB.menit atau kurang dari
50mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8mg/kgBB/hati,
dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat diruang
intensif (Pusponegoro. D et al. 2006).
Menurut Deliana, 2002 pada tata laksana kejang demam ada 3 hal yang perlu
dikerjakan, yaitu:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu pasien sedang kejang, semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien
dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas
agar oksigenasi tetap terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur,
diberikan oksigen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital seperti
kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang
tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam
adalah pilihan utama dengan pemberian secara intrarektal .
Mencari dan Mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun
demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang
dicurigai meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil
sering manifestasi meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan
pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur
kurang dari 18 bulan.
Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan
bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Ada 2 cara profilaksis,yaitu:
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus-menerus dengan anti konvulsan tiap hari
Profilaksis intermittent
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorbsi dan cepat masuk ke otak. Hal
yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak
mendapat hasil dengan fenobarbilal intermittent. Diazepam intermittent
memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan
diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg untuk pasien dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg,
setiap pasien menunjukkan suhu 38,5˚C atau lebih. Diazepam dapat pula
diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis pada
waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.
Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot
dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
Profilaksis terus-menerus dengan anti konvulsan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dengan kadar darah sebesar 16ug/ml
dalam darah yang menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital berupa kelainan watak
yaitu iritabel,hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% pasien.Efek
samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam ialah Asam
valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan fenobarbital tetapi
kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis valproat adalah
15-40 mg/kgBB/hari. Valproat tidak menyebabkan kelainan watak. Fenitoin dan
carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy di
kemudian hari.
Menurut Livingston semua pasien epilepsy diprovokasi oleh demam diberikan
pengobatan fenobarbital selama 3 tahun bebas kejang. Indikasi ini sudah banyak
ditinggalkan dan indikasi profilaksis terus-menerus pada saat ini adalah:
1 Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan
2 Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologist sementara atau menetap
4 Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis bila kejang demam terjadi pada
bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu
episode demam
Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
J. Prognosis
Penelitian yang dilakukan Tsunoda mendapatkan bahwa dari 188 penderita kejang
demam yang diikutinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun dan tanpa pengobatan
dengan antikonvulsan, 97 penderita mengalami kekambuhan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing, dari 83
penderita kejang demam yang dapat diikuti selama rata-rata 21.8 bulan (berkisar
dari 6 bulan-3.5 tahun) dan tidak mendapatkan pengobatan antikonvulsan
rumatan, kejang demam kambuh pada 27 penderita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sekitar 1/3 penderita kejang demam akan
mengalami kekakmbuhan 1 kali atau lebih. Kemungkinan kambuh lebih besar bila
kejang demam pertama pada usia kurang dari 1 tahun. 3/4 dari kekambuhan ini
terjadi dalam kurun waktu 1 tahun setelah kejang demam pertama, dan 90 %
dalam kurun waktu 2 tahun setelah kejang demam pertama. 1/2 dari penderita
yang mengalami kekambuhan akan mengalami kekambuhan lagi. Pada sebagian
terbesar penderita kambuh terbatas pada 2-3 kali. Hanya sekitar 10 % kejang
demam yang akan mengalami lebih dari 3 kali kekambuhan.
Anak yang mengalami kejang demam pertama pada usia sebelum 1 tahun
kemungkinan kekambuhan ialah 50 %, dan bila berusia lebih dari 1 tahun
kemungkinan kekambuhannya 28 %.
Kejang demam sederhana pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan otak
yang permanen dan tidak menyebabkan terjadinya penyakit epilepsi pada
kehidupan dewasa anak tersebut. Sedangkan pada anak-anak yang memiliki
riwayat kejang demam kompleks, riwayat penyakit keluarga dengan kejang yang
tidak didahului dengan demam, dan memiliki riwayat gangguan neurologis
maupun keterlambatan pertumbuhan, memiliki resiko tinggi untuk menderita
epilepsi pada kehidupan dewasa mereka (Lumbantobing SM, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Behrman RE, Kliegman RM, Arvio. 2005. Nelson Ilmu Kesehatan anak, volume
3, edisi 15. Jakarta: EGC.
Deliana, Melda. 2002. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. IDAI Sari
Pediatri, Vol. 4, No. 2: 59 - 62
Lumbantobing SM. 2007. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pusponegoro. D. Hardiono dkk. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
R Strange, Gary. 2009. Pediatric Emergency Medicine. 3rd edition. United States:
McGrawHill Companies.
Rosalyn Carson-DeWitt, MD. 2012. Viral Pharyngitis. Accessed on April 16th
2013. Available at:
http://pediatrics.med.nyu.edu/conditions-we-treat/conditions/viral-
pharyngitis
Rudolph AM. 2002. Febrile Seizures. Rudolph Pediatrics. 20th Edition. Appleton
& Lange.
.
Tejani NR. Pediatrics, Febrile Seizures. Accessed on April 16th 2013. Available
at: http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview
Tjipta Bahtera Dr,SpA. 2009. Kejang Demam dalam pedoman pelayanan medik
anak Edisi ke 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP,Semarang,
W Hay, William. 2009. Current Diagnosis and Treatment of Pediatrics. 19th
edition. United States of America: McGrawHill. Page 697-698.
Wolf, Paul; Shinnar, Shlomo. 2005. Febrile Seizures Page 83-88. Current
Management in Child Neurology.
LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID
Di susun oleh:
Difitasari Cipta Perdana, S.Ked
Mutia Agustina Maharani, S.Ked
Syahrul Hamidi N, S.Ked
Pembimbing :
dr. Murdoyo, Sp.A
dr. Fedriyansyah, Sp.A
SMF ANAK
RUMAH SAKIT HI ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2013