Case Report Session
ENSEFALOPATI TIFOID
Oleh:
Gama Agusto Lonanda
BP: 1110312049
Perseptor: dr. Rahmi Lestari, Sp.A
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RS DR M Djamil Padang
2016
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini
memiliki manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan
oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti
mirip. Demam tifoid merupakan suatu infeksi Fecal-Oral yang pada nantinya akan
menyerang saluran Cerna khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan
dengan masuknya ke dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan
gejala atau tanda yang khas tempat dimana kuman melewati organ selama
bakteremia tersebut.
2. Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk
bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella
peritrik, memiliki ukuran 2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana
aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di
dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang
mengandung garam empedu.
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4:
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe
group D. Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab
infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya
dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Terjadinya penularan
Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh
kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (carier), biasanya keluar
bersama- sama dengan tinja (rute fecal-oral). Dapat juga terjadi transmisi
transprasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada
bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa
1
kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.
4. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
2
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini
menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag
inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem
vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah
dan juga menstimulasi sistem imunologis.
3
5. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi
dari gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf
pusat.
4
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih
dari 7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat
mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan
berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan
bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam
tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi
pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi
yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam
akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang
memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator
radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1,
IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini
akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan
mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi
Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang
diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus
sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal
problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada
sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih
dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan
tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun
jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala
lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada
mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak
5
jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi.
Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu
untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami
setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak- anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang-
kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar
dan Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel
fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan
menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti
InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan
permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada
hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat
(terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam
membantu diagnostik.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood
Brain Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering
bersifat Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan
gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.
Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan
manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang terjadi selama periode demam
tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada
demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada
keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu
tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi
kulit berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip
dengan ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena
emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga
6
menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan
beratahn selama 2-3 hari.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada
infeksi tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh
peningkatan denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid
peningkatan suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga
dikatakan Bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga
cenderung jarang terjadi pada anak.
7
6. Diagnosis
6.a Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap
demam tifoid:
Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke
pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan
turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak
kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau
tidak
Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-,
konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak
kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut
kembung
Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya
sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah
sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin
menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak
menunjukkan gejala
Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan
atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah
mengalami perubahan
Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat
salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat
dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum
sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat
8
dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu
diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan
dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu
formula sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang
diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin.
Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap
terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh
vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi
berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi
banyak faktor.
6.b Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang
bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.
Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari
biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan
menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium,
stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan
bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi
lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai
tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali
pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada
cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada
anak- anak.
9
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik
pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella
typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising
usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi
organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata
dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan
rose spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-
5 mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak
6.c Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan
leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the
Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai
leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi
diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag
jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit
granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan
Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag
meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa
jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid
itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada
keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus
sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella
10
kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari
Salmonella Paratyphi A dan B)
Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube
Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
Larutan
garam
fisiologis
(ml)
0,9 0,5 0,5 0,5 0,5
Serum
pasien (ml)
0,1 0,5 0,5 0,5 0,5
Suspensi
antigen (ml)
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Titer
antibodi
1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien,
solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10.
Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I
(1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20
Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi
Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:
Tabung I II III IV V
11
Titer 1/10 1/20 1/40 1/80 1/160
Deretan
Tabung
+ + - - -
+ + + - -
+ + + + +
Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen antibodi
dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)
Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi peningkatan
sebanyak 4x
Dari keempat agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal
minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-
mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita
yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini
dengan antibiotik, 2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed, 3)
pemberian kortikosteroid, 4) waktu pengambilan darah, 5) riwayat vaksinasi, 6)
Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau
infeksi tifoid pada masa lalu, 7) faktor teknik pemeriksaan antara
laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk
suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi
penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.
12
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella
atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida
bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan >
91%.
Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay
(IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui
kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu
indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09
(reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS
Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan
kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan
menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan
konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
7. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia
bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang
berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding.
13
8. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian
antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
penyulit.
Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/
Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses
penyembuhan yang akan menjadi lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus
harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat seperti
sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan
keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman
Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus.
14
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang
muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting
tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh
karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan
intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3
tahun D5 ¼ Normal saline, > 3 tahun D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian
infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
Antibiotika
a) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak
50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena
biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7
hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
b) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10
mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5
mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
15
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem
hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini
sudah dilaporkan resisten.
c) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4
dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama
dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
d) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7
hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4
dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
Terapi penyulit
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
9. Pencegahan
16
Pencegahan demam tifoid sangatlah penting, selain utntuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat pencegahan juga berperan dalam mengurangi
penderita carier sehingga resiko penularannya akan berkurang. Yang terpenting
adalah hygiene pribadi dengan menjaga kebersihan dan kualitas makanan yang
dikonsumsi. Macam- macam pencegahan untuk demam tifoid antara lain:
Preventif dan control penularan, merupakan tindakan pencegahan penularan dan
peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid. Mencakup kuman Salmonella
typhi, faktor pejamu, serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi
pokok untuk memutuskan tranmisi tifoid:
Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien Tifoid Asimtomatik,
carier, dan akut. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran
maupun pasif menunggu. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu
terutama anak- anak yang tinggal di lingkungan padat dengan sanitasi yang
kurang.
Pencegahan transmisi langsung dari penderita terifeksi Salmonella typhi akut
maupun carier.
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi
Vaksinasi. Vaksin tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun
1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%
(WHO). Jenis vaksin ada yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan
dengan cara pemberian Sub Kutan, namun daya kekebalannya terbatas, disamping
efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan disebut : Ty21a (vivotif Berna)
pemberiannya secara Oral belum beredar di Indonesia, parenteral: ViCPS
(Typhim Vi/Pasteur Merineux) yang merupakan vaksin kapsul polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3x secara bermakna dengan
selang 1 hari (hari 1,3,5) dapat memberi daya perlindungan selama 6 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, untuk anak usia > 10 tahun insiden yang
turun dapat sebesar 53% sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun sebesar
17%. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3-5 tahun. Vaksin jenis ini diberikan pada
17
anak berumur diatas 2 tahun. Vaksin oral ini pada umumnya diperlukan untuk
turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping
serta tidak seefektif dibandingkan dengan pemberian peroral. Diberikan pada usia
> 2 tahun dan di booster tiap 3 tahun. Kemasannya di dalam prefilled syringe 0,5
cc dan diberikan secara Intra Muskuler.
Perlu diperhatikan tentang efek samping vaksin yang dapat berupa demam, sakit
kepala akibat pemberian vaksin Ty21a, sedangkan pada ViCPS efek samping
yang timbul lebih ringan. Efek samping yang paling sering terjadi bila diberikan
secara Intravena karena dapat terjadi reaksi lokal berat, edema, hipotensi dan nyeri
dada.
10. Komplikasi dan Penatalaksanaannya
Secara garis besar terdapat 2 macam komplikasi yaitu komplikasi
intestinal dan komplikasi ekstra intestinal.
Komplikasi intestinal mencakup perdarahan intestinal dan perforasi usus. Pada
perdarahan intestinal diawali dari Peyer Patch yang mengalami infeksi terutama
pada ileum terminal dapat terbentuk tukak/luka yang berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan
juga dapat terjadi gangguan koagulasi darah atau gabungan keduanya. Sekitar
25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor dan tidak
memerlukan tranfusi darah. Perdarahan yang hebat dapat terjadi hingga penderita
dapat mengalami syok hipovilemik. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kg/jam dengan factor
hemostasis yang masih dalam batas normal.
Perforasi Usus terjadi sekitar 3% penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
18
umum demam tifoid yang biasa terjadi, penderita demam tifoid dengan perforasi
usus akan mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah lalu menyebar ke seluruh lapang perut dan disertai tanda- tanda ileus.
Bising usus melemah, pekak hapar juga menghilang yang menandakan adanya
udara bebas dalam cavum abdomen. Untuk lebih menguatkan kea rah perforasi
usus dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen AP dan lateral dimana
akan didapatka gambaran air fluid level dan bayangan radiolusen pada hepar.
Bila sudah terjadi perforasi maka harus segera diberikan antibiotik
spectrum luas untuk infeksi kuman Salmonella typhi dengan kombinasi
Chloramphenicol dan Ampisilin IV serta untuk mengatasi kuman yang fakultatif
anaerob pada flora usus digunakan Gentamisin atau Metronidazole. Walaupun
jarang terjadi pada anak- anak namun mortalitasnya cukup tinggi bila sampai
terjadi perforasi usus.
Komplikasi extraintestinal yang paling sering terjadi pada anak- anak adalah
manifestasi neuropsikiatrik yang mana sering terjadi delirium dan atau Sindroma
Otak Organik yang lain. Hal ini sering juga disebut sebagai tifoid toxic atau tifoid
ensefalopati.
Tata Laksana Tifoid Ensefalopati
Antibiotik pertama untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol,
digunakan pada tahun 1948 dan selanjutnya menjadi terapi pilihan sampai tiga
dekade disamping ampisilin dan trimetoprimsulfametoksazol. Laporan pertama
mengenai resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol pada tahun 1974, dua puluh
tahun kemudian dilaporkan resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol, ampisilin,
dan trimetoprimsulfametoksazol, atau dikenal sebagai MDR (multiple drug
resistance) S. typhi. Saat ini peningkatan resistensi S.typhi terhadap terapi lini
kedua yaitu sefalosporin generasi ke-3 dan golongan kuinolon juga telah banyak
dilaporkan. Kondisi inilah yang banyak memicu terjadinya kasus ensefalopati
tifoid.
Dari beberapa kasus ensefalopati tifoid yang pernah dilaporkan, semua
isolat klinis (S. typhi dan S. paratyphi) resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin
19
dan trimetoprim-sulphamethoxazole, yang intermediately rentan terhadap
ciprofloxacin, dan sensitif penuh untuk ceftriaxone dan cefixime sebagaimana
ditentukan dengan metode difusi. Semua pasien adalah multi-obat resisten (MDR)
kasus demam enterik dan diobati dengan ceftriaxone parenteral, kecuali untuk
pasien yang menerima ciprofloxacin parenteral dan memiliki hasil yang fatal,
tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara tipe antimikroba dan morbiditas
diamati. Hubungan antara demam enterik yang disebabkan oleh strain MDR dan
ensefalopati telah dilaporkan.
Untuk tata laksana pasien dengan ensefalopati tifoid, kita tidak hanya
menggunakan antibiotik saja, tetapi harus dikombinasikan dengan kortikosteroid
dosis tinggi. Pada neonatus, ceftriaxon direkomendasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh salmonella tifii dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dengan dosis
tunggal, walaupun dengan dosis yang lebih besar pernah dilaporkan. Penggunaan
ceftriaxon tidak direkomendasikan pada bayi yang kuning, hipoalbumin, asidosis,
dan premature. Pada bayi dewasa dan anak kecil, dosis ceftriaxon yang dianjurkan
80 mg/KgBB setiap 12 jam untuk 3 dosis pertama, selanjutnya 80 mg/KgBB
( maksimal 4 gr dosis tunggal ) sekali sehari untuk pengobatan meningitis pada
tifii. Ketika cefotaxime digunakan untuk pengganti ceftriaxone, sebuah dosis
tinggi 200-300 mg/KgBB direkomendasikan, walaupun untuk neonatus itu
bukanlah hal yang spesifik untuk pengobatannya. Ciprofloxacin IV
direkomendasikan menimbang manfaatnya lebih besar daripada risikonya untuk
pengobatan infeksi generalisata pada anak dengan dosis 8-16 mg/KgBB dibagi
dalam 2 dosis. Dalam sebuah laporan kasus pada dua neonatus yang berhasil
sembuh terhadap salmonella ensefalopati, ciprofloxacin diberikan 10 mg/KgBB
dan 15 mg/KgBB dalam dua dosis terbagi. dalam laporan kasus lain dosis yang
lebih tinggi yaitu 30 mg/KgBB digunakan untuk bayi umur 2 dan 5 bulan.
Untuk penggunaan kortikosteroidnya, yang pernah dilaporkan adalah
pemakaian dekasamethason IV dosis tinggi. Cara pakainya adalah deksametason 3
mg/KgBB/kali IV pela-pelan selama 30 menit, dilanjutkan 1 mg/KgBB/ 6 jam
sampai 48 jam atau 8 kali pemberian Mekanisme aksi deksametason dalam
ensefalopati enterik tidak diketahui. Endotoksin yang dikeluarkan oleh S. typhi
20
dan S. paratyphi merangsang makrofag untuk memproduksi monokines, asam
arakidonat dan metabolitnya, dan oksigen bebas yang mungkin bertanggung
jawab atas efek toksik, terutama pada mereka dengan ensefalopati enterik (Nag et
al, 1975; Johnston et al, 1978; Clark et al, 1981). Mungkin deksametason dapat
mengurangi tingkat ini atau menetralkan efek fisiologis dari produk atau
keduanya, dan bertindak sebagai antioksidan yang mengakibatkan korban jiwa
berkurang (Hoffman et al, 1984). Edema cerebellar dan kongesti vena sel-sel otak
yang sering terlihat dalam ensefalopati enterik (Chand dan Singh, 1988) dan
deksametason dosis tinggi mungkin memainkan peran dalam mengurangi
substansial ini.
11. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan
terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas < 1%. Di Negara berkembang,
angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan
dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia dapat mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps atau kambuh dapat timbuh beberapa kali. Individu yang
mengeluarkan Salmonella typhi lebih dari 3 bulan setelah infeksi umumnya
menjadi carier yang kronis. Resiko menjadi carier pada anak- anak rendah dan
meningkat sesuai usia. Carier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam
tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada carier kronis
dibandingkan populasi umum. Walaupun carier urin kronis juga dapat terjadi,
namun hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan
schistosomiasis.
21
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien:
Nama: An. SP
Umur: 5 tahun 4 bulan
Tanggal Lahir: 13 Desember 2011
Anamnesis
Keluhan utama:
Penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
Demam sejak 10 hari yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, terutama demam
meningkat pada sore hari, tidak menggigil
Perubahan kesadaran sejak 3 hari yang lalu. Tidak dapat berkontak dengan
keluarga dan orang sekitar. Lebih banyak diam dan menangis.
Kejang berulang sejak 2 hari yang lalu, frekuensi 3-4 kali/hari, lama kurang lebih
2-5 menit, kejang kelonjotan seluruh tubuh dengan mata melihat keatas. Pasien
tidak sadar setelah kejang. Ini merupakan episode kejang yang pertama.
Nafsu makan berkurang sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,
Muntah tidak ada
Batuk dan pilek tidak ada
Riwayat trauma kepala tidak ada
Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada
Riwayat perdarahan gusi, hidung, saluran cerna tida ada
22
Riwayat jajan sembarangan ada
Buang air kecil jumlah dan warna biasa
Buang air besar tidak lancar sejak 1 minggu yang lalu BAB 1 kali dalam 3 hari,
konsistensi keras, biasanya BAB 1 kali dalam 2 hari konsistensi lunak
Pasien telah dibawa ke RS Yarsi 1 hari yang lalu dilakukan pemeriksaan darah
dengan hasil HB 11,2 gr/dl, Leukosit 4.700/mm3, HT 36%, trombosit 257.00,
widal H 1/80 O 1/160. Pasien telah mendapatkan terapi ceftriakson 2x500mg IV,
inj sibital 75mg IV dan dexametason 3x2mgIV. Pasien dirujuk dengan keterangan
observasi penurunan kesadaran e.c suspek ensefalitis. di IGD RSUP M Djamil
pasien dikonsultasikan ke bagian mata dengan hasil tidak ditemukan tanda
peningkatan TIK
Riwayat Penyakit dahulu:
Tidak pernah menderita kejang sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita kejang sebelumnya
Riwayat persalinan, imunisasi, tumbuh kembang, dan hygiene
Anak ke 2 dari 2 bersaudara, lahir SC atas indikasi panggul sempit BB:3000gram
PBL:49cm, langsung menangis
Riwayat imunisasi dasar lengkap tanpa booster
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal
Hygiene dan sanitasi lingkungan kurang baik
Pemeriksaan Fisik:
23
Keadaan umum: sakit berat
Kesadaran: GCS=E2M3V1=6
Tekanan darah 90/60 Nadi 90
Nafas 24 Suhu 36,6
Berat badan:12 Tinggi badan:98
BB/U:75
TB/U:95
BB/TB:80
Kesan: gizi kurang
Sianosis tidak ada Anemis tidak ada
Ikterus tidak ada Edema: tidak ada
Kulit: teraba hangat, turgor baik
Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Kepala: bulat, simetris, lingkar kepala 50cm (normal standar nelhaus)
Rambut: Hitam, tidak mudah rontok
Mata: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor diameter 2/2 mm,
refleks cahaya +/+ normal
Hidung: tidak ditemukan kelainan
Mulut: mukosa mulut dan bibir basah
Tenggorok: tonsil dan faring sukar dinilai
Leher: JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk tidak ada
Dada: normochest, simetris kiri dan kanan
24
Paru:
Inspeksi: simetris kiri dan kanan statis dan dinamis
Palpasi: fremitus kiri = kanan
Perkusi: sonor
Auskultasi: vesikuler, rhonki tidak ada wheezng tidak ada
Jantung:
Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi: ictus cordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi: batas jantung: kanan: LSD atas: RIC II kiri: 1 jari medial LMCS
RIC V
Auskultasi: irama reguler, bising jantung tidak ada
Abdomen:
Inspeksi: distensi tidak ada
Palpasi: supel, hepar lien tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal
Punggung: tidak ditemukan kelainan
Genital: tidak ditemukan kelainan, status pubertas A1M1P1
Ekstremitas: akral hangat CRT<2detik, refleks fisiologis +/+ normal, refleks
patologis: babinsky +/+, chadock -/- gordon -/-, oppenheim -/-, schafer -/-, Tanda
rangsangan meningeal brudzinski 1 - brudzinski 2 - kernig sign -
Pemeriksaan penunjang:
25
18/4/2016
HB:8,6 g/dl
Leukosit: 9600/mm3
Diff count: 0/0/1/65/29/4
Trombosit: 376.000/mm3
19/4/2016
Urinalisa:
pH: 7,5
Leukosit: 0-1/LPB
eritrosit: 0-1/LPB
epitel: gepeng +
protein: negatif
Glukosa: negatif
Bilirubin: negatif
Urobilinogen: positif
kesan: dalam batas normal
20/4/2016
Tubex test: +6
Kesan: sesuai infeksi tifoid
Diagnosis kerja:
26
Ensefalopati tifoid
Differential diagnosis:
Ensefalitis e.c virus
Tatalaksana:
IVFD 2A 4tts/menit makro
MC 6x150cc via NGT
Ampicilin 4x600mg IV
Kloramfenikol 4x300mg IV
Luminal 2x25mg IV
Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)
27
Follow Up Pasien:
26/4/2016:
S/ Kontak pasien sudah ada, pasien sudah bisa mendengar dan merespon saat ibu
berbicara, pasien masih belum bisa bicara, baru bisa menangis
Pasien tampak tenang
Demam tidak ada, kejang tidak ada
Mual tidak ada, muntah tidak ada
BAB terakhir 2 hari yang lalu, konsistensi keras, warna biasa
BAK jumlah biasa warna biasa
Intake cukup via NGT, 6 kali sehari dihabiskan semua, muntah tidak ada, tersedak
tidak ada
O/ KU: sakit sedang, Kesadaran: sadar, GCS:E4M5V3, HR: 24, RR:96, T:37,0 C
mata: konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik pupil isokor diameter 2/2 mm
normal
thoraks: cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan
abdomen: distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal
ekstremitas: refleks fisiologis +/+ normal refleks patologis babinsky +/+, chadok
-/-, gordon -/- oppenheim -/- schaffer -/-
A/ ensefalopati tifoid
P/ IVFD 2A 4tts/menit makro
MC 6x150cc via NGT
Ampicilin 4x600mg IV
kloramfenikol 4x300mg IV
28
Luminal 2x25mg IV
Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)
27/4/2016:
S/Kontak ada, pasien sudah bisa mendengar dan merespon saat ibu berbicara,
pasien masih belum bisa bicara, baru bisa menangis
pasien tampak tenang
demam tidak ada, kejang tidak ada
mual tidak ada, muntah tidak ada
BAB terakhir tadi malam, konsistensi biasa, warna biasa
BAK jumlah biasa warna biasa
intake cukup via NGT, 6 kali sehari dihabiskan semua, muntah tidak ada, tersedak
tidak ada
O/ KU: sakit sedang, Kesadaran: sadar, GCS:E4M5V3, HR: 26, RR:92, T:36,8 C
mata: konjungtiva tidak anemis sklera tidak ikterik pupil isokor diameter 2/2 mm
normal
thoraks: cor dan pulmo tidak ditemukan kelainan
abdomen: distensi tidak ada, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal
ekstremitas: refleks fisiologis +/+ normal refleks patologis babinsky +/+, chadok
-/-, gordon -/- oppenheim -/- schaffer -/-
A/ ensefalopati tifoid
P/ IVFD 2A 4tts/menit makro
MC 6x150cc via NGT
29
Ampicilin 4x600mg IV
kloramfenikol 4x300mg IV
Luminal 2x25mg IV
Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)
DISKUSI
Seorang pasien perempuan berumur 5 tahun 4 bulan datang ke RS DR M
Djamil dengan penurunan kesadaran sejak 5 hari yang lalu, pasien tidak dapat
berkontak dengan orang tua dan lingkungan sekitar. Demam sejak 10 hari yang
lalu tidak tinggi, hilang timbul, terutama pada sore hari, kejang berulang sejak 2
hari lalu frekuansi 3-4 kali/ hari, 2-5 menit kejang seluruh tubuh, pasien tidak
sadar setelah kejang, merupakan episode pertama kejang. riwawyat jajan
sembarangan ada. muntah, batuk, pilek, riwayat trauma, kontak dengan orang
dewasa batuk lama tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil biasa.
Sebelumnya pasien telah dirawat di RS Yarsi Padang telah diperiksa lab dengan
HB 11,2g/dl, Leukosit 4700/mm3, HT 36%, Trombosit 257.000/mm3, widal
H:1/80 O:1/60. Telah mendapat terapi ceftriakson 2x500mg IV, inj. sibital 75mg
dan Dexametason 3x2mg IV. Pasien dirujuk dengan keterangan observasi
penurunan kesadaran e.c. suspect encefalitis. Di IGD dikonsultasikan ke bagian
mata dengan hasil tidak ditemukan tanda peningkatan TIK.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,
kesadaran GCS: E2M3V1=6, kesan soporus, dan suhu tubuhnya adalah 36,60 C
( normal ). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada pasien ini
adalah ensefalopati tifoid dalam perbaikan karena pada pasien ini ditemukan
demam lama lebih dari 7 hari yang terutama meningkat pada malam hari disertai
gangguan gastrointestinal yaitu konstipasi dan kurang nafsu makan dan perubahan
kesadaran Penatalaksanaannya adalah dengan tindakan preventif, promotif, kuratif
dan rehabilitative.
30
Tindakan preventifnya adalah istirahat yang cukup, hindari kelelahan dan
stress serta memakan makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein namun rendah
serat. Diberikan makanan cair via NGT dikarenakan kesadaran anak yang masih
kurang baik sehingga sulit memberi makan via oral.
Upaya promotifnya adalah memberi edukasi kepada keluarga pasien
tentang penyakit anaknya. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya bisa
sembuh dan bisa saja kambuh jika pasien tidak minum obat terarur dan tidak
mentaati nasehat dokter. mengajarkan keluarga apa yang harus dilakukan pertama
kali saat anaknya terlihat kejang, dan segera membawa anaknya ke dokter.
Dibutuhkan pengawasan keluarga untuk peningkatan dan penurunan keadaan
anaknya, serta peran aktif keluarga membantu stimulasi agar anak dapat kembali
berkontak.
Upaya kuratifnya adalah Ampicilin 4x600mg IV , Kloramfenikol 4x300
mg IV, Ampicilin 4x600mg IV, kloramfenikol 4x300mg IV, Luminal 2x25mg IV,
Paracetamol 120mg (jika T>38,5 C)
Rehabilitatifnya adalah banyak makan dan istirahat yang cukup, mengajak
anak berkomunikasi untuk menstimulasi kesadaran anak
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Burnside, Mc Glynn. 1995. Adam’s Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
3. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
4. Ilmu Kesehatan Anak.1985. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FK UI 5. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.6. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya.
7. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
8. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
10. Harrison’s Practice. “Thypoid Fever”. 200911. The New England Journal of Medicine. “Thypoid Fever”. 200212. www. emedicine/tifoidfever/patofisiogy.com13. Journal of Antimicrobial Chemotherapy “ Antibiotics for Salmonella Meningitis
in Children” 2000. London14. International Centre for Diarrhoeal Disease Research “High-Dose Intravenous
Dexamethasone In The Management Of Diarrheal Patients With Enteric Fever And Encephalopathy”. 2009. Bangladesh,
32