BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon dan rektal tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang, angka kejadian
keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolorektal merupakan penyebab ketiga
kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.1
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya.2 Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus
kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki
peringkat ketiga dari semua kasus kanker.3 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari
berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati
angka 1,8 per 100.000 penduduk.4
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita; banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut; dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.2
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid.3 Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic
anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat
berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.2
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak
98%, sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan
sarkoma (0,3%).1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Histologi
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum,
kolon descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri
dari epitel selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet,
pada lapisan submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler
dan sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli.
Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang
disebut appendices epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat
kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali lapisan
mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler. Diantara dua plica
semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh
adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat berpindah
pindah atau menghilang.
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterica superior
dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang
memberi cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal
arteri adalah arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica
sinistra dan arteri sigmoidae. Hanya arteri ciloca sinistra dan arteri sigmoideum yang
merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri
mesenterica superior. Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali
arteri colica media dan arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum
dan mesosigmoid. Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama
dengan arteri colica media atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena
mengikuti pembuluh darah arteri untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri
mesenterica inferior yang bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir
menuju ke nn. ileocolica, nn. colica dextra, nn. colica media, nn. colica sinistra dan nn.
mesenterica inferior. Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus
intestinalis.
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa
iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan,
terletak di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral.
2
Jadi letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya
langsung melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus quadratus
lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri ileocolic dan
arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra
sampai flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum
dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra
letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga
lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.
Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi colon
transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior .
3
Gambar 2.1. Arteri Mesenterica Superior
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon
transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal. Pangkal mesokolon transversa disebut
radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai flexura coli
dextra. Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus dan disebut
ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal melekat pada pankreas dan
duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan syaraf. Karena panjang dari
mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak dari colon transversum sangat
bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Gambar 2.2. Arteri Mesenterica Inferior
4
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli
sinistra sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak
retroperitoneal karena hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak
pada muskulus quadratus lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra.
Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri
sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.5
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya
intraperi toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid
mempunyai perlekatan yang variabel pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid
membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh
dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila
kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke
dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding
mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari
cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri
mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya anastomosis antara
vena haemorrhoidalis superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari
ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior
hanya vena haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna.
Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral
(vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya
pada penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum
mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter
kiri dan percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan
diantara kaki-kaki huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.
2.2. Fisiologi
2.2.1. Pertukaran air dan elektrolit
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit.
Sebnyak 90 % kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L per hari.
Natrium diabsorpsi secara aktif melalui NA-K-ATPase. Kolon dapat
mengabsorpsi sebanyak 400 mEq perhari. Air diserap secara pasif mengikuti
dengan natrium melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif
5
disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida
diabsoprsi secara aktif melalui pertukaran klorida-bikarbonat.
Degradasi bakteri dari protein dan urea menghasilkan amonia.
Amonia adalah substansi yang diabsorpsi dan ditransportasikan ke hati.
Absorpsi amonia ini tergantung daro pH intraluminal. Penggunaan antibiotik
akan menyebabkan penurunan bakteri usus dan penuran pH intraluminal
yang akan menyebabkan penurunan absorpsi amonia.
2.2.2. Asam lemak rantai pendek
Asam lemak rantai pendek seperti asetat, butirat dan propionat
diproduksi oleh fermentasi bakterial yang berasal dari karbohidrat. Asam
lemak rantai pendek ini berguna sebagai sumber energi bagi mukosa kolon
dan metabolisme usus seperti transportasi natrium. Kekuranga nsumber
penghasil Asam lemak rantai pendek atau kolostomi, ileostomi akan
menyebabkan atrofi mukosa.
2.2.3. Mikroflora kolon dan gas intestinal
Sebanyak kurang lebih 30% dari berat feses terdiri dari bakteri.
Mikroorganisme yang terbanyak ialah anaerob dan spesies terbanyak ialah
Bacteroides. Escherichia coli merupakan bakteri aerob terbanyak.
Mikroflora endogen ini penting dalam pemecahan karbohodrat dan protein
di kolon dan berpartisipasi dalam metabolisne bilirubin, asam empedu,
estrogen dan kolesterol. Bakteri ini juga di[perlukan dalam produksi vitamin
K dan menghambat pertunbuhan bakteri patogen seperti Clostridium difficle.
Tetapi tingginya jumlah bakteri pada colon dapat menyebabkan sepsis, abses
dan infeksi.
Gas intestinal dihasilkan dari air yang tertelan, difusi dari darah
dan produksi intraluminal. Komponen utama dari gas ini ialah nitrogen,
oksigen, karbon dioksida, hidrogen dan methan. Nitrogen dan oksigen
dihasilkan dari udara yang tertelan. Karbon dioksida diproduksi dengan
reaksi bikarbonat dan ion hidrogen dan perubahan trigliserid menjadi asam
lemak. Hidrogen dan methane diproduksi oleh bakteri kolon. Gas yang
diproduksi sekitar 100-200 mL dan dikeluarkan melalui flatus.
6
2.2.4. Motilitas
Tidak seperti usus halus, usus besar tidak menampilkan
karaktersistik dari kompleks migrasi motorik. Usus besar memperlihatkan
kontraksi intermiten. Amplitudo rendah, kontraksi durasi pendek akan
meningkatkan waktu transit di kolon, dan meningkatkan absorpsi air dan
perubahan elektrolit. Secara umum, aktivasi kolinergik meningktkan
motilitas kolon.
Secara umum, aktivitas fisik seperti postur, cara berjalan berperan
penting dalam stimulus pergerakan isi kolon. Selain itu juga dipengaruhi
oleh keadaan emosi. Waktu transit di kolon dipercepat oleh makan
makanan yang mengandung serat. Serat ialah matrix sel tumbuhan yang
tidak larut dan terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lilgnin. Pergerakan
kolon normal lambat, kompleks dan bervariasi. Pada kebanyakan, makanan
mencapai sekum dalam 4 jam dan 24 pada rektosigmoid. Kolon
transversum merupakan tempat penyimpanan feses.5
Pola motilitas kolon dapat mencampur dan mengeliminasi isi usus.
Faktor yang mempengaruhi motilitas ialah keadaan emosional, jumlah
kegiatan dan tidur, jumlah distensi kolon dan variasi hormonal.
Jenis- jenis gerakan :
- Gerakan retrograde. Terutama pada kolon kanan dan gerakan ini
memperpanjang lamanya kontak isi lumen dengan mukosa dan
meningkatkan absorpsi air dan elektrolit
- Kontraksi segmental. Dilakukan secara simultan oleh otot longitudinal
dan sirkular.
- Gerakan massa. Terjadi 3-4 kali sehari dan dikarakteristikkan dengan
kontraksi antegrade dan propulsif.
2.2.5. Defekasi
Defekasi ialah mekanisme yang kompleks dan terkoordinasi
melibatkan pergerakan massa kolon, peningkatan tekanan intra abdominal
dan rektal serta relaksasi lantai pelvis. Rasa ingin defekasi terbentuk ketika
feses memasuki rektum dan menstimulasi reseptor di dinding rektum atau
otot levator.5 Distensi dari rektum menyebabkan relaksasi dari sfingter ani
7
yang menyebabkan kontak dengan kanal anal. Refleks ini menyebabkan
epitel memisahkan feses padat dari gas dan cair.
2.3. Epidemiologi
Di dunia, kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat
insiden dan mortalitas.1,5 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker
kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 % pria penderita kanker
terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari
total jumlah penderita kanker.
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan
Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika
Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai
kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas.
Didapatkan suatu hubungan yaitu
- Terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang
meningkat seiring dengan usia
- Meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring dengan kepadatan penduduk
- Rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan
dengan pria lainnya.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk.
Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah
Sakit. Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang
banyak terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker
menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker
yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.
8
Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia
2.4. Etiologi
Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :
Sindroma kanker familial
Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.
Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini.
Tabel 2.1 Sindroma kanker familial
TABLE 2-1 Hereditary Colorectal Cancer (CRC) SyndromesSyndrome % of
total CRC burden
Genetic basis
Phenotype Extracolonic manifestations
Treatment Notes
Familial adenomatous polyposis (FAP)
<1% Mutasi pada gen suppressor tumor APC (5q21)
<100 adenomatous polyp; near 100% with CRC by age 40 yr
CHRPE, osteomas, epidermal cysts, periampullary neoplasms
TPC with end-ileostomy or IPAA or TAC with IRA and lifelong surveillance
Variants include Turcot (CNS tumors) and Gardener (desmoids) syndromes
9
Hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC)
5%–7%
Defective mismatch repair: MSH2 and MLH1 (90%), MSH6 (10%)
Polyps sedikit, predominantly right-sided CRC, 80% lifetime risk of CRC
At risk for uterine, ovarian, small intestinal, pancreatic malignancies
Genetic counseling; consider prophylactic resections, including TAH/BSO
High microsatellite instability (MSI-H) tumors, better prognosis than sporadic CRC
Peutz-Jeghers (PJS)
<1% Kehilangan tumor suppressor gene LKB1/STK11 (19p13)
Hamartomas throughout GI tract
Mucocutaneous pigmentation, risk for pancreatic cancer
Surveillance EGD and colonoscopy q3 yr; resect polyps >1.5 cm
Majority present with SBO due to intussuscepting polyp
Familial juvenile polyposis (FJP)
<1% Mutasi SMAD4/DPC (18q21)
Hamartomas throughout GI tract; >3 juvenile polyps; 15% with CRC by age 35 yr
Gastric, duodenal and pancreatic neoplasms; pulmonary AVMs
Genetic counseling; consider prophylactic TAC with IRA for diffuse disease
Presents with rectal bleeding or diarrhea
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented epithelium; CNS, central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari
seluruh keganasan kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat
diidentifikasi, namun kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker
kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet
tinggi lemak jenuh meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat
menurunkan resiko ini untuk individu dengan diet tinggi lemak. Studi
epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari negara bukan industri
lebih sedikit terkena resiko ini.
10
2.5. Faktor Resiko
2.5.1. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai
dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker . Aktifasi onkogen, inaktifasi
tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari
formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel
yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen
gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel. Gen p53
merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53
kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan
mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini
karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi
proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.
Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak
aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel akibatnya sel akan
berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen
p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali
dan karsinogenesis dimulai.Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai
neoplastik dan non neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang
11
termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip,
hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.Neoplastik
polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan berdasarkan
WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous
adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85%
tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah
5%.8
Gambar 2.4 Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen
dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan
dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat
dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien
yang mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia.
12
Gambar 2.5 Polip Neoplastik
Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang
muncul dari sebuah villous adenoma.
2.5.2. diopathic Inflammatory Bowel Disease
A. Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon,
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko
perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis
dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko
kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun.
Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker
kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan
kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya
lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia
bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis dari displasia
mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi
perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.
13
B. Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif
kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar
20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari
adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada
tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus
dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa
squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien
dengan crohn’s disease.
2.5.3. Faktor Genetik
A. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan
keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai
kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker
kolorektal pada keluarganya.
B. Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh
karsinoma dan adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi.
Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom
kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang
terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p
ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2
Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
14
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).7
FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi
pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat
menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40
sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan
polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya kolonoskopi polipektomi
yang aman dan adekuat. Ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk
melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada
bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali
terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur
pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan.
Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP
yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi
rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada
sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas,
pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak. Varian dari FAP termasuk
gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.
HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada
umur yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon
kanan. Abnormalitas genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang
bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari
DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi
dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype),
dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari
malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenoma
sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk
kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus
biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada
HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-
15
cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang
berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi
lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada
HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi
karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata
kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria
amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi dari kanker kolorektal yang
dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar 1-6 %.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur
20 tahun atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali
terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata
pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur
44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal
pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada
pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa
pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi
berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini.7
C. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada
kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak
menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua
hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.
Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan
perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,
trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini
mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal
tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua
adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
16
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini
didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses
ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan
lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan
pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan
antara diet dan resiko kanker kolorektal.8
D. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah
kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga
menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,
obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.
Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan
aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.
E. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali
(2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali
(1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia
17
lebih muda (30-64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai
dengan usia.
Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :
1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis
dan Peutz jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal
2.6. Patofisiologi
Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat
menyebabkan aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor
( APC, DCC deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan
perkembangan dari polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini.
Gambar 2.6 Perkembangan menuju karsinoma
Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien
dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen
APC dapat diidentifikasi. Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik
kanker kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel
18
diperlukan untuk pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop kodon
yang menghasilkan truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak menghasilkan
karsinoma. Akan tetapi, mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang
menghasilkan keganasan. Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras
dan hilangnya gen supresi tumor DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel.
Gen K-ras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal
intraceluler. Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang
dihidrolisis menjadi guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein.
Mutasi K-ras menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan
G protein aktiv secara permanen. Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak
terkontrol.
DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk
degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma
kolorektal dan memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak
dikarakteristikan dalam banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi
apoptosis dalam sel pada kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki. Mutasi p53
diperlihatkan dalam 75% kasus.
19
Gambar 2.7 Perubahan genetik dan gambaran klinis
Jalur genetik
Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progesi dari tumor yaitu jalur
LOH dan jalur replication error (RER). Jalur LOH dikarakteristikan dengan
delesi pada kromosom dan tumor aneuploidi. 80% dari karsinoma kolorektal
merupakan mutasi dari jalur LOH, sisanya merupakan mutasi jalur RER yang
dikarakteristikan dengan kesalahan pasangan sewaktu replikasi DNA. Beberapa
gen sudah diidentifikasi sebagai sesuatu yang penting dalam mengenali dan
memperbaiki kesalahan replikasi. Kesalahan pencocokan gen yaitu include
hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi satu dari
beberapa gen ini merupakan predisposisi dalam mutasi sel yang dapat terjadi
pada proto onkogen ataupun gen supresi tumor.
20
Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit. Tumor dengan
instabilitas mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari jalur LOH.
Tumor ini lebih banyak terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis
yang lebih baik. Tumor yang berasal dari LOH terjadi pada kolon distal dan
berprognosis lebih buruk.
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari
lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam
tubuh yang lain (paling sering ke hati).Neoplasma primer adenokarsinoma
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu :
1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus,
berbentuk kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon
asendens.
2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala
obstruksi, terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum.
3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum.
Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi
tukak maligna.
2.7. Histologi
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-
2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal.
Didapatkan gambaran histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa
adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid
carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma. Proporsi dari epidermoid carcinoma,
mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak diketemukan pada wanita. Secara
keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe histopatologis, derajat
differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering ditemukan
dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan
telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan
sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada
saat terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi
dan sering sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
21
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais
(RSKD) didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah
adenocarcinoma [diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45
(22,39%)], dan yang jarang adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell
carcinoma 11 (5,47%). Berbagai varian gambaran histopatologi kanker kolorektal
berdasarkan klasifikasi World Health Organization:
- Mucinous adenocarcinoma
- Signet ring cell adenocarcinoma
- Adenoskuamous carcinoma
- Squamous carcinoma
- Choriocarcionma
- Medullary carcinoma10
2.8. Manifestasi klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan
suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari
kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker
kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
a. Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal
ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar
sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah
samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung
empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.
b. Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses
ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen
yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan
frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses
dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar
mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.
22
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada
pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada
hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker
kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan
diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin
mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang.
Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis
kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga
dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut
divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Gambar 2.8 Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat
dideteksi dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi
Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta 2005)
Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal
Kolon kanan :
- Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
23
- Tes darah samar pada feses
- Gejala dispepsia
- Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
- Teraba massa abdominal
Kolon kiri :
- Gangguan pola buang air besar
- Darah makro pada feses
- Gejala obstruksi
Rektum :
- Pendarahan per rektal
- Gangguan pola buang air
- Adanya sensasi tidak lampias
- Teraba tumor intrarectal
KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA
FESES
Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA
KEADAAN UMUM
Hampir selalu Lambat Lambat
Tabel 2.2 Gambaran klinis karsinoma kolorektal
Staging tumor menurut TNM
Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan
dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening
regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan
sistem staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.
24
Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan
kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M
ada tidaknya metastase jauh.
Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah
bening (KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0). Bila tumor yang masuk lebih
dalam namun tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0).
Bila tumor terbatas sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0). Bila
tumor menginfiltrasi serosa dan KGB disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat
status anak sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium D (TXNXM1). Bila
status metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium. Oleh karena
itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting dalam
menentukan stadium. Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun
setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator
kesembuhan. Indikator buruknya prognosis prognosis kanker kolorektal setelah
menjalani operasi.
Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau
ke hati melalui sirkulasi vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering
mendapat anak sebar kelenjar getah bening. Sepertiga kasus kanker kolorektal yang
rekuren disertai metastase ke hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan
metastase ke hati pada waktu meninggal. Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke
paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati
terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum,
sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra kemudian dapat
mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta. Rata-rata
harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 – 9 bulan (hepatomegali dan
gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh
peningkatan CEA dan gambaran CT-scan).
T – Tumor primer
Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai
T0: Tidak ada tumor primer
Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial
T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa
T2: Invasi tumor di lapisan otot propria
25
T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke
perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau
peritoneum viseral.
Gambar 2.9 Gambaran kedalaman tumor
N – Kelenjar limfe regional
Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai
N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional
N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau perirektal
N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan
atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah).
M – Metastase jauh
Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai
M0: Tidak ada metastase jauh
M1: Terdapat metastase jauh6
26
Stadium Deskripsi
histopatologis
Bertahan 5
tahun (%)Dukes TNM Derajat
A T1N0M0 I Kanker terbatas
pada
mukosa/submukosa
>90
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai
muskularis
85
B1 T3N0M0 II Kanker cenderung
masuk atau
melewati lapisan
serosa
70-80
C TxN1M0 III Metastasis 35-65
D TxNxM1 IV 5
Tabel 2.3. Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal
2.9. Pemeriksaan
Pemeriksaan penyaring pada kanker kolorektal (CRC):
27
Resiko Prosedur Onset Frekuensi
Resiko rendah
- Asimptomatik
- Tidak ada kerabat
tingkat 1 yang
kena
Tes darah samar
(TSD), fleksibel
sigmoidoskopi (FS)
Kolonoskopi, barium
enema dan
proctosigmoidoscopy
50
50
TDS tiap tahun
FS tiap 5 tahun
Tiap 5-10 tahun
Resiko menengah
- CRC pada kerabat
tingkat 1,usia <
55th atau > 2
keluarga tingkat
pertama terkena
- CRC pada
keluarga tingkat
pertama, usia > 55
th
- Riwayat polip
kolorektal besar >
1cm atau multipel
- Riwayat CRC
setelah reseksi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
Kolonoskopi
40 atau 10 tahun
sebelum kasus CRC
termuda
50 atau 10 tahun
sebelum kasus CRC
termuda
1 tahun setelah
polipektomi
1 tahun setelah
reseksi
Setiap 5 tahun
Setiap 5 – 10 tahun
Jika rekuren, tiap
tahun. Jika tidak, tiap
5 tahun
Jika normal 3 th,
bila tetap normal tiap
5 tahun. Jika
abnormal, tiap 5
tahun
Resiko tinggi
- FAP
- HNPCC
- IBD
FS, pemeriksaan
genetik
Kolonoskopi,
pemeriksaan genetik
Kolonoskopi
12-14 tahun
( pubertas)
21-40 tahun
40 tahun
8-15 tahun
Tiap 2 tahun
Tiap 2 tahun
Tiap tahun
Tiap 2 tahun
Tabel 2.3 Screening pada tiap resiko
28
a. Tes darah samar
Pada suatu studi kontrol pada universitas di Minnesota, didapatkan
kesimpulan bahwa tes darah samar sebagai tes penyaring dapat mengurangi
mortalitas CRC sebanyak 33% dan metastasis sebanyak 50%. Tetapi tes darah
samar tidak selalu sensitif dan terlewat sampai 50% kasus. Spesifitas pemeriksaan
ini rendah, 90% pasien dengan tes ini positif tidak memiliki CRC. Tes ini baru
signifikan bila dilakukan kolonoskopi setelahh tes darah samar positif. Jadi, tes
darah samar dilakukan dan direkomendasikan bagi pasien asimptomatik.
b. Rigid Proctoscopy
Proctoscopy digunakan untuk mengevaluasi kanal anal, rektum dan kolon
sigmoid. Proctoscope pendek, lurus, rigid, dengan pipa metal dan biasanya
terdapat cahaya diatasnya. Panjangnya sekitar 15cm. Proctoscope dilubrikasi dan
dimasukan ke dalam rektum, kemudian obturator disingkirkan dan terlihat bagian
interior dari rektum. Prosedur ini biasa digunakan untuk menginspeksi hemoroid
atau polip rektum.
Studi kasus kontrol memperlihatkan adanya penurunan resiko kematian
pada kanker rektal dengan skrining melalui rigid proctoskopi walaupun resiko
kematian kanker kolon tidak dipengaruhi. Akan tetapi, dikarenakan adanya
limitasi jangkauan,maka proctoskopi ini hanya sedikit dicantumkan dalam
program skrining modern ini.
29
Gambar 2.10 Proctoscopy
c. Flexible Sigmoidoscopy
Skrining dengan fleksibel sigmoidoskopi setiap 5 tahun menyebabkan
penurunan mortalitas CRC dan mengidentifikasi individu resiko tinggi dengan
adenoma. Pada pasien dengan polip, kanker atau lainnya pada fleksibek
sigmoidoskopi maka memerlukan kolonoskopi.
d. Colonoscopy
Kolonoskopi sekarang ini merupakan metode yang akurat dan paling baik
digunakan dalam pemeriksaan usus besar. Prosedur ini sangat sensitif dalam
mendeteksi polip kecil sekalipun dan dapat dilakukan biopsi, polipektomi,
mengontrol pendarahan dan dilatasi striktur. Akan tetapi, pemeriksaan ini
memerlukan persiapan usus dan menyebabkan ketidaknyamanan karena
memerlukan sedasi. Kolonoskopi dilakukan dengan bantuan endoskopi.
Komplikasi utama setelah kolonoskopi ialah perforasi dan pendarahan, namun
sangat kecil.
30
Gambar 2.11 Kolonoskopi dan sigmoidoskopi
e. Barium enema kontras
Kontras barium enema juga sensitif dalam mendeteksi polip > 1cm yaitu
sekitar 90%. Akan tetapi, tidak ada studi yang membuktikan efikasinya dalam
skrining populasi besar. Akurasi paling tinggi pada kolon proksimal, akan tetapi
dapat juga digunakan pada kolon sigmoid bila ada divertikulosis signifikan. Untuk
alasan ini, maka barium enema dikombinasikan dengan fleksibel sigmoidoskopi
sebagai skrining. Kerugian pada metode ini ialah memerlukan persiapan pada
usus. Kolonoskopi juga dilakukan bila ditemukan lesi.
f. CT Colonografi
Kemajuan teknologi sekarang ini menghasilkan sesuatu yang tidak invasif
tetapi akurasi tinggi. CT colonografi mengggunakan teknologi CT helik dan
rekonstruksi 3 dimensi untuk menggabarkan kolon intraluminal. Pasien
membutuhkan persiapan usus. Kolon diisi dengan udara lalu dilakukan CT.
Kolonoskopi tetap dibutuhkan bila terdetteksi lesi.
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah “Virtual
Colonography” merupakan pengembangan dari teknologi multipel helical (multi-
slice) CT Scan yang dapat menghasilkan gambaran interior kolon dalam dua atau
tiga dimensi. CTC memiliki radiasi exposure yang rendah dan tidak invasif, tapi
tidak bisa melakukan biopsi dan polipektomi. Persiapan pemeriksaan CTC hampir
sama dengan kolonoskopi yaitu membersihkan usus besar dengan bahan laksan,
ditambah memasukkan udara ke dalam kolon melalui kateter rektal. Pemeriksaan
dilakukan pada posisi supinasi dan pronasi serta tidak membutuhkan sedasi.
Penelitian meta- analisis mengatakan bahwa CTC memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm, yaitu 88% dan 95%.
Penelitian lainnya CTC dengan 4-detector-row scanners menghasilkan sensitifitas
82%-100% dan spesifisitas 90%-98% untuk mendeteksi polip ukuran > 10mm. CTC
juga memiliki resiko terjadinya perforasi dan dilaporkan hanya 1/22.000
pemeriksaan.
Pemeriksaan fisik
31
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal,
mengidentifikasi emtastase dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan
dalam pengobatan. Area supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya
kelenjar yang mengalami metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi
yaitu melihat adanya bekas operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin
dapat terlihat ( darm kontur, darm steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba
adanya massa, pembesaran hepar, asites atau nyeri tekan pada abdomen. Bila
teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau melekat pada jaringan,
konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen ialah timpani.
Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup. Pada auskultasi
didengarkan bising usus.
Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata, keras, oval atau
melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan ukuran dan
derajat perlekatan jaringan. Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan darah
pada sarung tangan.
Pemeriksaan penunjang
Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti:
anemia mikrositik, hematoskezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan
defekasi. Oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan endoskopi atau
radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila
tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma.
g. Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon
memberikan hasil normal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah urinalisis,
hitung leukosit dan hemoglobin. Pemeriksaan lain yang dapat diperiksa sesuai
dengan indikasinya ialah protein serum, kalsium, bilirubin, alkali fosfatase dan
kreatinin. Pendarahan intermitten dan polip besar dapat dideteksi melalui darah
sama feses atau defesiensi Fe.
Petanda tumor yang paling banyak digunakan untuk keganasan kolorektal
ialah carcinoembryonic antigen (CEA) yaitu sebuah glikoprotein yang ditemukan
pada sel membran banyak jaringan tubuh termasuk CRC. Beberapa antigen masuk
ke dalam sirkulasi dan dideteksi dengan radioimunnoassay serum. CEA dapat
terdeteksi di berbagai cairan tubuh, urin dan feses. Peningkatan serum CEA tidak
32
spesifik berhubungan dengan kanker kolorektal. Kadar CEA tinggi pada 70%
pasien dengan kanker usus besar. CEA tidak dapat digunakan sebagai prosedur
screening tetapi akurat sebagai diagnosis CEA residif.5
h. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50%
polip kolon dengan spesifitas 85%. Terdapat gambaran pasase kontras, jenis bagian
rektosigmoid sering sulit untuk divisualisasi meskipun bila dibaca oleh ahli
radiologi senior. Oleh karena itu, pemeriksaan rektosigmoidoskopi masih
diperlukan.
Bilamana ada lesi yang mencurigakan, pemeriksaan kolonoskopi diperlukan
untuk biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan
alternatif lain untuk kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tidak bisa
mendeteksi lesi berukuran kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa
bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan
kolonoskopi.Persiapan dan pemeriksaan barium enema
Persiapan:
Penderita diberi makan bubur kecap 1 hari sebelumnya
10 -12 jam sebelum pemeriksaan penderita diberi Laxans
Segera setelah akan diperiksa diberi Laxans
Kontras yang dipakai yaitu Barium sulfat.
Bubur barium 1:4, 1:5, 1:6.
Gambaran normal:
Pasase lancar (gambaran haustre)
Refluks kontras ke dalam ileum
Post evakuasi: feather like appereance
33
Gambar 2.12. Barium enema normal
Gambaran radiologis karsinoma kolon:
Gangguan pasase kontras
Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen
Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect
Karsinoma kolon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan konfigurasi apple
core. Karsinoma kolon kanan : konstriksi atau massa intrluminal5
Gambar 2.13 karsinoma anular kolon sigmoid
Gambaran radiologis polip:
Khas pada post evakuasi terdapat gambaran radiolusen yang berbentuk multipel
Gambar 2.14. gambaran polip pada barium enema Gambar 2.15. peduncaled polyp
Gambaran radiologis karsinoma rektum:
34
Gambaran pasase kontras
Tergantung jenisnya:
- Pendorongan : kelainan bentuk dan anatomis
- Filling defect : mukosa tidak rata
2.10. Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan
kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya di lakukan setiap 3 tahun untuk usia diatas
45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan
tekanan ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk
metastasis.
2.11. Tata laksana
Kanker kolon
Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan
drainase regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan
walaupun telah terjadi metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah
metastase. Tujuan terapi karsinoma kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai
limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari pembuluh darah yang
mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong seperti
omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak
dapat diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan
diawali dengan irigasi usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin
yang diharapkan sel tumor dalam lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Adanya kanker synchronous atau adenoma atau riwayat keluarga yang
kuat terhadap CRC mengindikasikan seluruh kolon beresiko terhadap
karsinoma ( field defect) dan harus dilkukan subtotal atau total kolektomi.
Kanker synchronous ialah adanya lebih dari 2 kanker secara bersamaan.
Metachronous tumor ( reseksi baru pada pasien yang telah direseksi
sebelumnya) juga diterapi serupa.
35
Apabila terdapat metastase tidak terprediksi sebelumnya saat dilakukan
laparotomi, maka tumor primer harus direseksi bila dapat dilakukan dan aman.
Selanjutkan dilakukan anaastomosis. Pada tumor yang tidak dapat direseksi,
maka dilakukan prosedur paliatif dan membutuhkan proksimal stoma atau
bypass.
Stage 0 ( Tis, N0,M0)
Polip yang mengandung carcinoma in situ/ high grade dysplasia tidak
memiliki resiko metastasis nodus limfatikus. Akan tetapi, high grade
dysplasia meningkatkan resiko karsinoma invasif. Karena alasan ini, maka
polip dieksisi lengkap dan batasnya harus bebas dari displasia.polip
bertangkai harus dilepaskan secara komplit secara endoskopi. Pada pasien
iini, diikuti dengan kolonoskopi teratur yang memastikan bahwa polip tidak
rekuren dan tidak terbentuk karsinoma invasif. Apabila polip tidak dapat
diangkat se`luruhnya, maka dilakukan reseksi segmental.
Stage I: Malignant Polyp (T1, N0, M0)
Pengelolaan polip malignant didasarkan atas resiko rekurensi dan
metastasis ke kelenjar getah bening. Metastase ke kelenjar getah bening
berdasarkan kedalaman invasi polip. Pada invasi limfovaskular, histologi
diferensiasi buruk dapat dilkakukan segmental kolektomi.
Stages I and II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)
Mayoritas pasien dengan stadium 1 dan 2 dapat disembuhkan dengan
operasi reseksi. Beberapa pasien dengan reseksi komplit stadium 1 dapat
berkembang rekurensi lokal atau jauh dan kemoterapi tidak meningkatkan
survival pasien ini. Sebanyak 46% pasien dengan reseksi komplit stadium 2
dapat beresiko kematian. Untuk alasan ini, kemoterapi ajuvan disarankan
untuk beberapa pasien ( pasien muda dan resiko tinggi).
Stage III: Lymph Node Metastasis (T any , N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening merupakan resiko yang
tinggi terhadap rekurensi. Oleh karena itu, direkomendasikan ajuvan
kemoterapi rutin pada pasien ini. Regimen yang digunakan ialah 5-
Flourouracil dengan levamisole atau leukovorin emngurangi rekurensi dan
36
meningkatkan angka ketahanan hidup. Agen kemoterapi yang baru ialah as
capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, dan
immunotherapy.
Stage IV: Distant Metastasis (T any , N any , M1)
Angka survival sangat terbatas pada stadium ini. Pasien dengan penyakit
sistemik, sebanyak 15% akan bermetastase ke hati. Pada stadium ini,
sebanyak 20% potensial reseksi untuk sembuh. Angka survival pada pasien
reseksi ini menignkat bila dibandingkan dengan pasien yang tidak direseksi.
Semua pasien membutuhkan kemoterapi ajuvan. Pasien yang tidakdioperasi
difokuskan untuk paliatif terapi. Terapi paliatif yang digunakan ialah stenting
untuk lesi obstruksi kolon kiri.
Reseksi kolorektal
Reseksi kolorektal dilakukan pada kondisi bervariasi termasuk neoplasma
( jinak dan ganas), inflamatori bowel disease dan kasus lain.
Reseksi
Secara umum, ligasi proksimal mesenterik akan mengelimnasi aliran darah
pada bagian kolon lebih besar dan membutuhkan kolektomi. Reseksi kurativ
dari CRC dicapai dengan ligasi PD mesenterika proksimal dan pembersihan
kelenjar getah bening mesenterika secara radikal. Pada reseksi proses benign,
tidak diperlukan reseksi mesenterika dan omentum dapat tetap dipertahankan.
Emergensi reseksi
Reseksi jenis ini digunakan dalam kasus obstruksi, perforasi dan
hemoragi. Pada keadaan ini, usus tidak ada persiapan dan kondisi pasien tidak
stabil. Pada reseksi kolon kanan atau proksimal tranversal, anastomsosi
oleocolonic dapat dilakukan.
Reseksi laparoskopik
Keuntungan dari laparoskopik ialah baik secara kosmetik, mengurangi
nyeri post operasi dan pemulihan usus yang lebih cepat. Reseksi usus besar
37
secara laparoskopik membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding operasi
secara terbuka.
Gambar 2.16 Gambar reseksi kolon berdasarkan tumor primer
Anastomosis
Anastomosis dapat dibentuk melalui 2 segemen usus. Teknik yang digunakan
dapat berupa handsewn atau stapled.
Jenis anastomosis :
1. End to end
Dilakukan ketika 2 segmen usus dengan kaliber yang sama. Teknik ini
terutama dilakukan pada reseksi rektum, tetapi dapat digunakan dalam
kolostomi atau anastomosis usus kecil.
2. End to side
Digunakan bila salah satu bagian usus lebih besar dari lainnya. Teknik
ini dilakukan pada obstruksi kronik.
3. Side to end
Dilakukan ketika usus proksimal lebih kecil daripada bagian distalnya.
4. Side to side
Dilakukan bila menyambung kontinuitas diantara 2 pembuluh darah
atau segmens usus dimana tempat terakhirnya telah ditutup.
38
End to end
Gambar 2. 17 Anastomosis
Colostomy
Bentuk kolostomi yang sering digunakan ialah end kolostomi dibanding
dengan loop kolostomi. Kolostomi dibuat pada sisi kiri kolon. Defek pada dinding
abdomen dibuat dan akhir dari kolon dimobilisasi melalui lubang itu. Usus bagian
distal yang dikeluarkan melalui dinding abdomen sebagai mucus fistula atau di
dalam abdomen sebagai hartmann’s pouch. Penutupan kolostomi membutuhkan
laparotomi. Stoma didiseksi dari dinding abdomen dan odentifikasi usus distal,
kemudian dilakukan anastomosis end to end.
Komplikasi dari nekrosis dapat terjadi pada masa awal post operasi
dikarenakan terganggunya suplai darah. Retraksi juga dapat terjadi, tapi kolostomi
lebih sedikit beresiko.
Gambar 2.18 Kolostomi
Kanker rektum
Biologis dari adenokarsinoma rekal sama dengan adenokarsinoma kolon dan
prinsip operasi ialah reseksi komplit dari tumor primer, kelenjar getah bening dan
organ apapun yang terkena. Akan tetapi diakrenakan struktur dari pelvis maka
reseksi lebih sulit dan membutuhkan pendekatan lain. Rekurensi lebih tinggi
dibanding dengan kanker kolon dengan stadium yang sama. Akan tetapi, tumor
rektum lebih sensitif dengan radiasi.
Terapi lokal
39
Sepanjang 10 cm distal dari rektum dapat dijangkau melalui anus. Karena itulah,
beberapa terapi dilakukan secara lokal. Untuk jenis yang benign, noncircumferential
dan adenoma villous dilakukan dengan baik dengan eksisi transanal. Akan tetapi
rekurensi tinggi walau dengan terapi kemoradiasi. Transanal endoscopic microsurgery
(TEM) dioperasikan dengan menggunakan proctoscope dan alat-alat serupa dengan
laparoskopi yang membuat eksisi lokal dapat dilakukan pada tempat yang lebih tinggi
yaitu sekitar 15 cm. Lokal eksisi harus diikuti dengan eksisional biopsi.
Teknik ablasi seperti elektrokauter atau radiasi endocavitary juga dapat
digunakan. Kerugian dari teknik ini ialah tidak dapat diambilnya spesimen patologis
untuk diketahui stadiumnya. Teknik ini digunakan pada individu dengan resiko tinggi
yang tidak dapat mentoleransi terapi radikal lainnya.
Reseksi radikal
Reseksi radikal lebih dipilih dibanding terapi lokal untuk banyak kasus karsinoma
rektal. Reseksi radikal mengangkat segmen yang terkena bersama dengan limfovaskularnya.
Total mesorektal excision (TME) adalah teknik yang menggunakan diseksi tajam
untuk menghasilkan reseksi total dari mesenterium rektal. Untuk tumor rektosigmoid, eksisi
partial mesorektal paling tidak sepanyak cm distal dari tumor. TME menurunkan rekurensi
dan meningkatakan survival. Teknik ini hanya sedikit dari yang hilang dibanding dengan
operasi tajam.
Terapi spesifik stadium
Sebelum dilakukan terapi dilakukan ultrasound endorektal untuk mengetahui T dan N dari
kanker rektum. USG ini baik untuk mengetahui kedalaman tumor namun kurang akurat
dalam diagnosis keterlibatan nodus limfatikus.
Stage 0 (Tis, N0,M0)
Karsinoma in situ ( displasia tingkat tinggi) secara ideal diterapi dengan eksisi lokal.
Stage I: Localized Rectal Carcinoma (T1-2, N0, M0)
Karsinoma invasif yang berasal dari polip pedunkulated hanya memiliki < 1% resiko
metastasis. Terapi yang dapat dilakukan ialah polipektomi. Terapi lokal dapat dilakukan
namun angka rekurensi tinggi. Untuk alasan ini, maka dilakukan reseksi radikal.
Stage II: Localized Rectal Carcinoma (T3-4, N0, M0)
Tumor rektum yang besar sering terjadi lagi. Ada 2 pendapat untuk mencegah
rekurensi yaitu tidak diperlukannya kemoradiasi ajuvan setelah dilakukan TME
untuk stadium 1,2 dan 3. Pendapat lainnya ialah diperlukannya kemoradiasi.
40
Keuntungan kemoradiasi preoperasi ialah pengecilan ukuran tumor, mereseksi
menjadi lebih mudah. Kerugiannya ialah overtreatment dari tumor masa awal,
penundaan penyembuhan uka dan fibrosis pelvis.
Stage III: Lymph Node Metastasis (T any , N1, M0)
Banyak pendapat yang menyarankan kemoterapi dan radiasi pre atau post
operasi untuk kanker rektal dengan keterlibatan kelenjar getah bening.
Keuntungan dan kerugian sama seperti yang diungkapkan di atas. Untuk alasan
ini, pasien diterapi dengan neoajuvan terapi diikuti dengan reseksi radikal.
Stage IV: Distant Metastasis (T any , N any , M1)
Sama seperti stadium 4 karsinoma kolon, angka harapan hidup terbatas dengan
pasien metastasis. Metastasis ke hepar jarang namun bila ada reseksi dapat
menyembuhkan untuk beberapa pasien. Kebanyakan pasien memerlukan terapi
paliatif. Reseksi radikal dapat digunakan untuk mengontrol nyeri, perdarahan atau
tenesmus. Terapi lokal dengan kauter atau laser digunakan untuk mengontrol
perdarahan atau mencegah obstruksi. Intraluminal stent berguna untuk mencegah
obstruksi namun sering menyebabkan nyeri dan tenesmus.
Sistemik kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil
sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa regimen
kombonasi menyediakan peningkatan efikasi dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-
Florourasil, terdapat capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau
kombonasi dengan oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum
5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
41
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Regimen untuk metastasis :
Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400 mg/m2
IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
42
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous
infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu11
Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis pertama yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan
diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).
Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.11
Penyebaran tumor
Penyebaran tumor dapat terjadi melalui:
a. Penyebaran langsung
Karsinoma tumbuh secara melingkari usus sebelum terdiagnosa, khususnya bagi
kolon kiri yang memiliki kaliber lebih kecil dibanding dengan kanan. Membutuhkan waktu 1
43
tahun bagi tumor untuk melingkari ¾ bagian usus. Lesi menyebar secara radial dan
berpenetrasi ke lapisan luar dinding usus dan dapat mengenai struktur di dekatnya seperti
hati, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halis, pankreas, limpa, kandung kemih,
vagina, ginjal, ureter dan dinding abdomen. Kanker rektum dapat menginvasi dinding vagina,
kandung kemih, prostat atau sakrum.
b. Metastasis hematogen
Invasi melalui pembuluh darah dapat menyebabkan tumor terbawa melalui sistem
vena porta yang menyebabkan metastasi ke hepar. Embolisasi dapat terjadi melalui vena
lumbal atau vertebral ke paru. Kanker rektum menyebar melalui vena hipogastrik.
Penyebaran ke ovarium terutama melalui hematogen yaitu terlihat pada 10.3% pasien wanita
dengan kanker kolorektal. Untuk mencegah metastase melalui hematogen sewaktu operasi
dilakukan manipulasi minimal dengan ligasi pembuluh darah.
c. Metastasis kelenjar getah bening regional
Ini merupakan tipe penyebaran yang paling umum. Kanker rektum bermetastase
proksimal melalui kelenjar getah bening mesorectalm iliac dan mesenterika inferior. Serta
bermetastase secara radial sepanjang dinding pelvis. Kelenjar getah bening harus diangkat
sewaktu operasi.
d. Metastasis transperitoneal
Terjadi sewaktu tumor berektensi melalui lapisan serosa dan memasuki kavitas
peritoenal, memproduksi lokal implant carcinomatosis.
e. Metastasis intraluminal
Sel ganas dari lapisan tumor dapat tersapu sepanjang usus melalui isi feses.
44
2.12. Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi
penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka
kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa
penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu
persen. Bila disertai differensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.
Follow up
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap 3-6 bulan pada 3 tahun pertama dan
setiap 6 bulan pada tahun keempat dan kelima. Akan tetapi hal ini tidak
mutlak dan berdasarkan kondisi individu dan faktor resiko yang dimiliki oleh
pasien.
2. Pemeriksaan carcinoembryonic antigen (CEA)
Pemeriksaan ini masih menjadi kontroversial tetapi berguna walaupun
ada kekurangannya. Kadar CEA serum diperiksa setiap 3 bulan pada pasien
selama 3 tahun dan setiap 6 bulan pada tahun keempat dan kelima.
Pemeriksaan ini berguna untuk menilai kekambuhan pada pasien.
3. CT scan
CT scan dada dan abdomen dilakukan setiap tahun untuk minimal 3
tahun pertama setelah reseksi tumor primer.
4. Kolonoskopi
Kolonoskopi wajib dilakukan pada semua pasien untuk
mendokumentasi tidak adanya tumor tambahan atau polip. Kolonoskopi
dilakukan setelah operasi / 3-6 bulan kemudian dan kemudian tiap tahun
sampai 3 tahun kemudian. Bila normal, diulang setiap 5 tahun. Bila tidak
tersedia sarana kolonoskopi, maka dapat dilakukan barium enema dan
sigmoidoskopi.
5. Colok dubur/ proctoskopi/ sigmoidoskopi
Diperuntukkan pasien yang mengalami kanker rektal. Pemeriksaan
dilakukan pada bulan ketiga, keenam, setahun dan tahun kedua.
45
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan di
paru-paru di USA. diperkirakan pada tahun 2008 ditemukan 150.000 kasus baru dan 60.000
diantaranya meninggal karena karsinoma kolorektal. Tingginya angka kematian tersebut
menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi
dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari
modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS),
Colonoscopy, Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko
dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Penanganan
karsinoma kolorektal membutuhkan kecermatan pemeriksaan preoperatif untuk dapat
memutuskan modalitas terapi baik pembedahan, kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan
postoperatif dan follow-up sangat tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat
dilakukan sebelumnya. Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya
dapat ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena
penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
DAFTAR PUSTAKA
46
Top Related