BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
Kelenjar prostat merupakan organ pada laki-laki yang paling sering terkena
neoplasma jinak maupun ganas. Secara anatomis, prostat terletak pada pelvis, yang
dipisahkan dengan simfisis pubis di bagian anterior oleh ruang retropubik (rongga
Retzius). Permukaan posterior dari prostat dipisahkan dari ampula rekti oleh fasia
Denonvillier. Basis dari prostat tersambung dengan leher vesika urinaria, dan apeksnya
terletak di permukaan bagian atas dari diafragma urogenital. Prostat diperdarahi
pembuluh darah arteri cabang dari arteri iliaka interna. Drainase vena prostat melalui
kompleks vena dorsalis, yang menerima vena profunda di bagian dorsal penis dan
cabang dari vesika sebelum mengalir ke vena iliaka interna. Persarafan prostat berasal
dari pleksus pelvis. Ukuran normal prostat sekitar 3-4 cm pada basis, 4-6 cm di
sefalokaudal, dan 2-3 cm di bagian anteroposterior. Benign prostatic hyperplasia (BPH)
secara keseluruhan berasal dari zona transisi. 5
2.2.1. Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak paling sering pada laki-laki, dan insidensinya
berhubungan dengan bertambahnya usia. Faktor risiko BPH masih belum jelas.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya predisposisi genetik, dan beberapa kasus
dipengaruhi oleh ras. Prevalensi BPH secara histologi pada otopsi didapatkan
peningkatan dari sekitar 20% pada pria usia 41-50 tahun, menjadi 50% pada pria usia
51-60 tahun, dan >90% pada pria usia lebih dari 80 tahun. 5
2.2.2. Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan
mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik
anatomik. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan
juga terjadi secara perlahan.6
1
Etiologi dari BPH belum dimengerti sepenuhnya, tetapi kemungkinan multifaktor
dan hormonal. Prostat tersusun oleh bagian stroma dan epitel, dan masing-masing
maupun keduanya, dapat menjadi nodul hiperplastik dan keluhan-keluhan yang
berhubungan dengan BPH.
Beberapa penelitian menemukan adanya bukti bahwa BPH diatur oleh sistem
endokrin. Penelitian lanjutan menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar
testosteron dan estrogen bebas dengan volume dari BPH. Hubungan antara
pertambahan usia dengan BPH mungkin akibat dari peningkatan kadar estrogen yang
merangsang reseptor androgen, yang selanjutnya meningkatkan sensitivitas kelenjar
prostat terhadap testosteron bebas. 6
2.2.3. Patologi
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, BPH berawal dari zona transisi
yang mengalami proses hiperplasia akibat peningkatan jumlah sel. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukkan adanya pola pertumbuhan nodular yang tersusun oleh
stroma dan epitel. Stroma disusun oleh jaringan kolagen dan otot polos. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah
prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke
dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa
yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase
penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan
berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. 5
2.2.4. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda
obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum
puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yang berarti
bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala
2
obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh. 6
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak
tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Produksi urin yang terus
terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dibanding
tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. 6
Obstruksi akibat BPH dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Saat
terjadi pembesaran prostat, obstruksi mekanik mungkin merupakan akibat adanya
penekanan ke lumen uretra atau leher vesika urinaria, yang menyebabkan tahanan
pelepasan kandung kemih yang lebih tinggi. Sebelum adanya pembagian zona prostat,
ahli urologi sering membagi prostat menjadi 3 lobus yaitu lobus median dan 2 lobus
lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rectal touche (RT) kurang begitu
berhubungan dengan keluhan yang dirasakan pasien. 5
Komponen dinamik dari obstruksi prostat menjelaskan sifat dari keluhan yang
dirasakan pasien. Stroma prostat, terdiri dari otot polos dan kolagen, yang kaya dengan
persarafan adrenergik. Penggunaan penghambat -adrenergik menurunkan tonus dari
uretra pars prostatika, yang menurunkan tahanan pada kandung kemih.5
Obstruksi saluran kandung kemih menyebabkan hipertrofi muskulus detrusor,
hiperplasia serta penumpukan kolagen. Penebalan muskulus detrusor dapat menjadi
trabekulasi pada pemeriksaan sistoskopi. Jika dibiarkan, terjadi herniasi mukosa antara
3
muskulus detrusor, selanjutnya terrbentuk divertikula (yang tersusun oleh lapisan
mukosa dan serosa).5,6
2.2.5. Gejala dan Tanda Klinis
2.2.5.1. Keluhan Klinis
Keluhan BPH dapat dibagi menjadi keluhan obstruktif dan iritatif. Keluhan
obstruktif meliputi hesitansi, penurunan kekuatan pancaran, dan kaliber aliran urin,
sensasi inkomplit dari pengosongan kandung kemih, intermiten, kencing mengedan dan
kencing menetes. Keluhan iritatif meliputi urgensi, frekuensi dan nokturia. Anamnesis
yang lengkap mengenai keluhan traktus urinaria juga bertujuan untuk menyingkirkan
etiologi selain prostat, seperti infeksi saluran kemih, neurogenik bladder, striktur uretra,
atau kanker prostat.5
Gambar 2.3. Keluhan pada BPH
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan beratnya gangguan miksi
yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptoms Score). Skor ini berdasarkan
jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi satu bulan terakhir (lihat
tabel 2.1).7
4
Tabel 2.1. Skoring IPSS
Penilaian :
Skor 0-7 : bergejala ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat
2.2.5.2. Tanda Klinis
Pada pemeriksaan fisik, RT, dan pemeriksaan neurologis dilakukan pada pasien.
Ukuran dan konsistensi dari prostat dijelaskan, walaupun ukuran prostat dari hasil RT
belum tentu berhubungan dengan keluhan dan derajat obstruksi. BPH biasanya
menyebabkan pembesaran prostat yang permukaannya licin, berbatas tegas dan
elastis. Indurasi, bila ditemukan merupakan peringatan bagi pemeriksa untuk
kemungkinan kanker dan diperlukan pemeriksaan lanjutan (misal : prostate spesific
antigen (PSA), transrectal ultrasound (TRUS), dan biopsi).5
5
2.2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis menyingkirkan adanya infeksi atau hematuria dan
pengukuran kadar serum ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal dari pasien.
Insufisiensi ginjal dapat ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan
memerlukan pemeriksaan radiologi saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi mengalami komplikasi post-operasi
setelah pembedahan BPH. Kadar PSA serum biasanya dapat dilakukan, namun
sebagian besar ahli memasukkan pemeriksaan PSA ke dalam pemeriksaan awal,
dibandingkan dengan pemeriksaan RT saja.5
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specifik tetapi bukan
kanker specifik.8 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih
cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih mudah
terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi
kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat
rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.9 Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.10
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:10
40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml
50-59 tahun:0-3,5 ng/ml
60-69 tahun:0-4,5 ng/ml
70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA
bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja
dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini
6
pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya
karsinoma prostat.11
Sebagian besar pedoman yang disusun di berbagai negara merekomendasikan
pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan
syarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia
sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun,
sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada
manfaatnya11, 12.
2.2.5.4. Pemeriksaan Radiologi
Pielogram intravena (IVP) atau USG ginjal dianjurkan bila ditemukan adanya
kelainan saluran kemih atau komplikasi dari BPH (misal: hematuria, ISK, insufisensi
ginjal, dan riwayat batu saluran kemih). Sistoskopi tidak dianjurkan untuk menentukan
perlunya dilakukan terapi pada pasien. Sistoskopi membantu pemilihan terapi bedah
pada pasien yang akan dilakukan terapi invasif. Sistometrogram dan urodinamik
diperlukan pada pasien yang diduga mengalami kelainan neurologis atau pada pasien
dengan riwayat kegagalan operasi prostat. 5
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran
kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi
mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave),
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.11,12
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil
uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine,
sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot
detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO.
7
Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai
Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut:
Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua
yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH
dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan
Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan
respons yang baik. Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax
saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000)
kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam
menentukan adanya BOO.13
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat
variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi
bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan
yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO
harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan
bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran
urine 4 kali.13
Bila pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai
pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan
urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu
disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi
otot detrusor5,9,13,14. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani
pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh
obstruksi prostat (BPO) melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor
sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. 13
Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi
pasien BPH bergejala.11,12 Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat
ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi
8
prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan.
Menurut Javle et al (1998)30, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas
93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika pada
BPH adalah:
berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual
urine>300 mL
Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis
setelah gagal dengan terapi invasif, atau
kecurigaan adanya buli-buli neurogenik
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang
tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Tujuh puluh delapan persen pria normal
mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu
urine tidak lebih dari 12 mL9. Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif,
yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra
setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine
melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.11,12
Peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan
pancaran urine atau beratnya obstruksi9. Watchful waiting biasanya akan gagal jika
terdapat residual urine yang cukup banyak (Wasson et al 1995), demikian pula pada
volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli
sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan.
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR
sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah
watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR
dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG
transabdominal.11
9
2.3. Diagnosis Banding
Kelainan obstruktif lain pada saluran kemih bagian bawah, seperti striktur uretra,
kontraktur leher kandung kemih, batu buli, atau kanker prostat yang harus dipikirkan
pada pasien yang diduga menderita BPH. Riwayat pemasangan alat pada uretra,
uretritis, atau trauma harus ditanyakan untuk menyingkirkan striktur uretra atau
kontraktur dari leher kandung kemih. Hematuria dan nyeri sering berhubungan dengan
batu buli. Kanker prostat dapat dideteksi dengan adanya kelainan pada pemeriksaan
RT atau dari peningkatan kadar PSA. 5
Infeksi saluran kemih, yang dapat menyerupai keluhan iritatif dari BPH, dapat
ditentukan dengan pemeriksaan urinalisis dan kultur; namun ISK juga dapat merupakan
komplikasi dari BPH. Walaupun keluhan BAK iritatif juga berhubungan dengan
karsinoma vesika urinaria, terutama karsinoma in situ, pemeriksaan urinalisis biasanya
menunjukkan adanya hematuria. Demikian juga, pasien dengan neurogenik bladder
dapat ditemukan keluhan dan tanda dari BPH, namun riwayat kelainan neurologik,
stroke, diabetes mellitus, atau trauma punggung juga didapatkan pada pasien. Sebagai
tambahan, pemeriksaan RT didapatkan perubahan tonus sfingter rektal atau refleks
bulbokavernosus. Keluhan konstipasi mungkin disebabkan oleh kelainan neurologis.5
2.4. Penatalaksanaan
Rekomendasi terapi spesifik dapat diberikan pada kelompok pasien tertentu.
Pada pasien dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7), disarankan untuk pengamatan
lebih lanjut. Indikasi operasi absolut meliputi retensi urin refrakter, infeksi saluran kemih
berulang, gross hematuria berulang, batu buli, dan insufisiensi ginjal akibat BPH, atau
adanya divertikula kandung kemih yang cukup besar (McConnell et al. 1994).
2.4.1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi
perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter.14 Pilihan tanpa
terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan
10
ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih
menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-
19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine
melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya
tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. 15
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya
diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat
influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin,
dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk
datang
kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS,
pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi
bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan untuk memilih terapi
yang lain.14
11
Gambar 2.4. Algoritma penatalaksanaan BPH
2.4.2. Terapi Medikamentosa
2.4.2.1. Penghambat alfa-adrenergik
Pada prostat dan basis vesika urinaria mengandung alfa-1-adrenoreseptor, dan
prostat menunjukkan respon kontraksi pada pemberian agonis alfa adrenergik. Fungsi
kontraksi dari prostat dan leher kandung kemih dimediasi oleh reseptor subtipe alfa-1a.
Penghambat alfa-adrenergik menunjukkan adanya perbaikan keluhan objektif maupun
subjektif pada pasien BPH. 5
12
Tabel 2.2. Klasifikasi penghambat alfa dan 5-alfa- reduktase inhibitor
2.4.2.2. 5--reduktase inhibitor
Finasteride merupakan penghambat 5--reduktase yang mencegah perubahan
testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat jenis ini mempengaruhi komponen epitel
dari prostat, yang menyebabkan berkurangnya ukuran kelenjar prostat dan perbaikan
gejala. Terapi selama 6 bulan diperlukan untuk mendapatkan efek maksimal obat
terhadap ukuran prostat (berkurang 20%) dan perbaikan keluhan. Namun, perbaikan
keluhan hanya terlihat pada pasien dengan ukuran prostat > 40 cm3. Efek samping obat
antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi, dan impotensi. Kadar serum
PSA berkurang menjadi sekitar 50% pada pasien yang diterapi dengan finasteride
(bervariasi pada masing-masing individu). 5
Dutasteride berbeda dari finasteride karena menghambat isoenzim dari 5--
reduktase. Mirip dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar serum PSA dan
ukuran prostat. Efek samping utamanya antara lain disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, dan kelainan ejakulasi.5
2.4.2.3. Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
13
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek anti-inflam-masi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.5,6
2.4.3. Terapi Pembedahan
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah:16
(1) retensi urine karena BPO
(2) infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
(3) hematuria makroskopik
(4) batu buli-buli karena obstruksi prostat
(5) gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prosta, dan
(6) divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi
1. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Sembilan puluh lima persen prostatektomi sederhana dapat dilakukan secara
endoskopi. Sebagian besar prosedur ini menggunakan teknik anestesi spinal dan
memerlukan 1-2 hari perawatan di rumah sakit. Skor keluhan dan perbaikan laju aliran
urine lebih baik dibandingkan terapi lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP
meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%). 5
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka
dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga
100%.17
Gambar 2.5. Transurethral resection of the prostate (TURP)
14
Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur pada
leher kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada
kondisi berat terjadi sindroma TUR yang disebabkan oleh keadaan hipervolemik dan
hipernatremia akibat absorbsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis
sindroma TUR antara lain nausea, muntah, hipertensi, bradikardi, confusing, dan
gangguan penglihatan. Risiko terjadinya sindroma TUR meningkat pada reseksi yang
lebih dari 90 menit. Penatalaksanaan meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan
larutan hipertonis. 5
2. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang kecil sering
didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya leher kandung kemih).
Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi prostat. 5
Gambar 2.6. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah dibandingkan TURP.
Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di
arah distal menuju orifisium ureter dan meluas ke arah verumontanum. 5
3. Prostatektomi Terbuka Sederhana
Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi
terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya merupakan
15
indikasi enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan pada pasien dengan
disertai divertikulum atau batu buli atau jika posisi litotomi tidak mungkin dilakukan. 5
Terapi Minimal Invasif
1. Transurethral needle ablation of the prostate (TUNA)
TUNA termasuk dalam teknik minimal invasif yang biasa digunakan pada pasien
yang gagal dengan pengobatan medikamentosa, pasien yang tidak tertarik pada
pengobatan medikamentosa, atau tidak bersedia untuk tindakan TURP. Teknik ini
menggunakan kateter uretra yang didesain khusus dengan jarum yang menghantarkan
gelombang radio yang panas sampai mencapai 100oC di ujungnya sehingga dapat
menyebabkan kematian jaringan prostat.6
Pasien dengan gejala sumbatan dan pembesaran prostat kurang dari 60 gram
adalah pasien yang ideal untuk tindakan TUNA ini. Kelebihan teknik TUNA dibanding
dengan TURP antara lain pasien hanya perlu diberi anestesi lokal. Selain itu angka
kekambuhan dan kematian TUNA lebih rendah dari TURP.17
2. Transurethral electrovaporization of the prostate
Teknik ini menggunakan rectoskop (seperti teropong yang dimasukkan melalui
anus) standar dan loop konvensional. Arus listrik yang dihantarkan menimbulkan panas
yang dapat menguapkan jaringan sehingga menghasilkan timbulnya rongga di dalam
uretra.17
3. Termoterapi
Metode ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan melalui kateter
transuretral (melalui saluran kemih bagian bawah). Namun terapi ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keefektivitasannya.17
4. Intraurethral stents
Alat ini dapat bertujuan untuk membuat saluran kemih tetap terbuka. Setelah 4-6
bulan alat ini biasanya akan tertutup sel epitel. Biasanya digunakan pada pasien
dengan usia harapan hidup yang minimum dan pasien yang tidak cocok untuk
16
menjalani operasi pembedahan maupun anestesi. Saat ini metode ini sudah jarang
dipakai.17
5. Transurethral balloon dilation of the prostate
Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di
prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif
pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan
perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementara sehingga cara ini
sekarang jarang digunakan.17
17
Daftar pustaka
1. Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’. 2000. Jakarta : CV.Infomedika. 200-214.
2. Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery, Pocket
Companion’, Edited by: Sabiston DC and Liverly HK. 1992. Wb Saunders
Company: 670-680
3. Nasar I.M ; ‘Saluran Kemih Bagian Distal dan Alat Kelamin Pria’ dalam ‘Patologi
Anatomi’, Editor Himawan S. 1985. Bagian Patologi Anatomi FK-UI, : 285-307.
4. Bahnson R.R ; ‘Physiology Of the Kidney, Ureter and Bladder’, ‘in Basic cience
Review For Surgeous’, Edited by Simmons R.L and Steed D.L, W.B.Saundrs
Company, 1992: 270-287.
5. C. Joseph, J. Christopher. 2008. Neoplasm of the prostate gland in Smith’s
General Urology. McGraw Hill. Chapter 22. p. 348-69
6. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. hal 782-
6.
7. Recommendations of the International Scientific Committee. The evaluation and
treatment of lower urinary tract symptoms (LUTS) suggestive of benign prostatic
obstruction. Proceedings of the 4th International Consultation on BPH. Paris; July
2-5, 1997: 3-6.
8. Laguna P dan Alivizatos G. Prostate specific antigen and benign prostatic
hyperplasia. 2000 . Curr Oppin urol 10: 3-8
9. Roehrborn CG, McConnell J, Bonilla J,Rosenblatt S, Hudson PB, Malek GM, et al.
Serum prostate specific antigen is a strong predictor of future prostate growth in
men with benign prostatic hyperplasia. 2000. J Urol 163: 13-20
10. Dawson C dan Whitfield H. ABC urology: Bladder outflow obstruction. 1996. BMJ,
312:767-770
11. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH.
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/chp43.asp
12. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign
prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC,
18
Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. 2002. Philadelphia: WB Saunders Co.,1337-
1378
13. Steele G, Sullivan MP, Sleep DJ, and Yalla SP. Combination of symptoms score,
flow rate, and prostate volume for predicting bladder outflow obstruction in men
with lower urinary tract symptoms. 2000. J Urol, 164: 344-348.
14. Roehrborn CG, Bartsch G, Kirby R et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of benign prostatic hyperplasia: a comparative, international review.
2001. Urology 58: 642-650
15. Jacobsen SJ, Jacobsen DJ, Girman CJ, et al. Treatment for benign prostatic
hyperplasia among community dwelling men: the Olmsted County study of urinary
symptoms and healths status. 1999. J Urol 162: 1301-1306.
16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Konsensus sementara benign prostatic hyperplasia
di Indonesia, 2000
17. Tubaro A, Vicentini C, Renzetti R, dan Miano L. Invasive and minimally invasive
treatment modalities for lower urinary tract symptoms: what are the relevant
differences in randomized controlled trials?. 2000. Eur Urol. 38(suppl): 7-17,
19