Biomarker untuk Karsinoma Hepatoselulare
Karsinoma hepatoselulare (HCC) merupakan salah satu tumor ganas yang paling
sering ditemui dan memiliki angka survival yang buruk. Penanganan pasien yang
berisiko mengalami HCC masih cukup menantang. Semakin banyaknya
pemahaman mengenai biologi kanker dan kemajuan teknologi memungkinkan
kita untuk mengidentifikasi berbagai kejadian patologis, genetik, dan molekuler
yang memicu proses hepatokarsinogenesis sehingga sekarang telah ditemukan
sejumlah biomarker potensial untuk penyakit ini. Berbagai biomarker ini sekarang
sedang dievaluasi secara agresif guna memastikan nilainya untuk diagnosis dini,
mengoptimalkan terapi, mengurangi munculnya tumor baru, dan mencegah
rekurensi setelah menjalani bedah reseksi atau transplantasi hepar. Berbagai
penanda ini bukan hanya membantu memprediksi prognosis atau rekurensi namun
juga dapat membantu menentukan modalitas terapi yang paling tepat dan dapat
menjadi target potensial baru untuk intervensi terapeutik. Pada artikel ini,
dipaparkan ringkasan data terbaru dari berbagai penelitian yang sudah
dipublikasikan mengenai berbagai biomarker jaringan dan serum yang terlibat
pada karsinoma hepatoselulare.
1. Pendahuluan
Sebagai indikator molekuler dari status biologis, biomarker yang dapat terdeteksi
dalam darah, urin, atau jaringan ini dapat bermanfaat untuk penanganan klinis dari
berbagai jenis penyakit. Ambang konsentrasi biomarker dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya berbagai jenis penyakit. Fluktuasi konsentrasi berpotensi
untuk menuntun pemberian terapi sesuai dengan progresi penyakit. Telah
diidentifikasi sejumlah biomarker untuk berbagai jenis penyakit. Sedang
dilakukan penelitian untuk dapat sepenuhnya memahami dan mengevaluasi
kemaknaan klinis dari penggunaan biomarker. Kita dapat menghemat waktu dan
uang dengan menghindari penggunaan pendekatan terapi empirik dan terapi
spektrum luas untuk penyakit pada suatu organ atau sistem tertentu, dan idealnya,
biomarker dapat menjadi suatu instrumen untuk mendeteksi adanya serta progresi
penyakit dan dapat memberikan petunjuk untuk pemberian terapi terarah. Banyak
jenis penyakit, terutama berbagai jenis kanker, yang dapat lebih dipahami dengan
menggunakan biomarker tumor. Karsinoma hepatoselulare (HCC) merupakan
salah satu jenis kanker yang dapat memperoleh manfaat dari kemampuan
diagnostik, terapeutik dan prognostik dari biomarker tumor.
HCC adalah tumor ganas kelima terbanyak dan penyebab ketiga terbesar
dari kematian akibat kanker. Di seluruh dunia, terdapat sekitar 626.000 kasus
HCC baru dan hampir 600.000 kematian terkait HCC tiap tahunnya dengan angka
kejadian yang setara dengan angka kematian. Walaupun mekanisme molekuler
yang menyebabkan terjadinya HCC masih belum jelas, telah diidentifikasi
sejumlah kejadian patologis, genetik, dan molekuler yang memicu terjadinya
karsinogenesis hepatoseluler.
Standar baku emas dan biomarker yang saat ini paling banyak digunakan
untuk pasien yang berisiko mengalami HCC, alfa-fetoprotein (AFP) dan
pemeriksaan ultrasonografi tiap 6 sampai 12 bulan, masih sangat jauh dari
sempurna. Kadar AFP serum lebih dari 400 ng/mL dianggap bersifat diagnostik;
namun, nilai yang tinggi ini hanya ditemukan pada sejumlah kecil pasien HCC.
Pemeriksaan ultrasonografi yang dilakukan dengan interval 3 bulan sekalipun
masih belum dapat meningkatkan angka pendeteksian HCC yang berukuran kecil
karena kekurangan pada prosedur recall.
Dengan adanya kemajuan dalam pemahaman mengenai biologi tumor,
disertai dengan perkembangan teknik seluler dan molekuler, peranan biomarker
dalam deteksi dini, penilaian sifat invasif, metastasis, serta rekurensi tumor, sudah
semakin banyak dilakukan penelitian dalam bidang ini. Berbagai penelitian ini
telah menemukan sejumlah beberapa penanda baru yang mulai dapat digunakan
untuk penyakit ini. Pada artikel ini kami mencoba memberikan gambaran umum
mengenai data yang sudah tersedia pada bidang penelitian yang sedang
berkembang pesat ini.
2. Biomarker untuk Kanker Hati
2.1. Antigen Oncofetal dan Glikoprotein
2.1.1. Alpha-Fetoprotein (AFP). Pemeriksaan serologis pertama untuk
mendeteksi dan melakukan follow up klinis dari pasien dengan karsinoma
hepatoselulare adalah alpha-fetoprotein (AFP) yang telah menjadi biomarker
tumor standar untuk HCC selama bertahun-tahun. AFP merupakan suatu
glikoprotein yang dihasilkan oleh hepar janin dan yolk sac selama kehamilan.
Kadar AFP serum sering mengalami peningkatan pada HCC, namun hal ini tidak
selalu dapat ditemui. Kadar AFP dapat mengalami peningkatan pada stadium awal
HCC dan kemudian akan mengalami penurunan atua bahkan kembali normal
sebelum mulai mengalami peningkatan lagi seiring dengan terjadinya progresi
penyakit. Selain itu, peningkatan AFP juga ditemui pada kehadian hepatitis viral
akut dan kronik serta pada pasien dengan sirosis yang disebabkan oleh hepatitis C.
Mengingat adanya beberapa indikasi yang berhubungan dengan peningkatan
kadar AFP, maka kita perlu mengevaluasi kemaknaan dari konsentrasinya dalam
serum. Secara umum, peningkatan kadar AFP serum secara konsisten sebanyak
lebih dari 500 ng/mL dianggap menunjukkan adanya HCC. Konsentrasi serum
yang lebih rendah dan bersifat sementara umumnya ditemukan pada penyakit
hepar jinak. Bila pasien memiliki faktor risiko untuk HCC, seperti adanya sirosis,
peningkatan kadar AFP terbukti berhubungan dengan terjadinya HCC.
Sayangnya, konsentrasi AFP serum tidak berhubungan baik dengan nilai
prognostik HCC seperti ukuran tumor, stadium, atau progresi penyakit, dan
mungkin terdapat suatu variabilitas berdasarkan suku bangsa. Selain itu, pada
beberapa kasus HCC sama sekali tidak ditemukan adanya peningkatan AFP.
Jumlah AFP total dapat dibagi menjadi tiga glikoform yang berbeda, AFP-L1,
AFP-L2, dan AFP-L3 berdasarkan pada kapasitas ikatan mereka dengan Lens
culinaris agglutinin (LCA) dari lektin. Persentase AFP-L3 yang tinggi terbukti
berhubungan dengan diferensiasi yang buruk dan karakteristik yang ganas secara
biologis, fungsi hepar yang lebih buruk, serta adanya massa tumor yang besar.
2.1.2. Glypican-3. Glypican-3 (GPC3), suatu proteoglikan heparin sulfat yang
terikat membran, terbukti dapat beriknteraksi dengan growth factor dan
memodulasi aktivitas mereka. GPC3 berikatan dengan membran sel melalui suatu
jangkar glikosil-fosfatidilinositol. GPC3 mRNA dihasilkan dalam jumlah yang
lebih banyak secara bermakna pada jaringan tumor HCC dibandingkan jaringan
hepar paraneoplastik, jaringan hepar dewasa yang sehat, dan jaringan hepar dari
pasien dengan hepatopati non-maligna. Ekspresi GPC3 (di tingkat mRNA maupun
protein) dalam serum pasien HCC nampak lebih tinggi secara bermakna
dibandingkan dengan serum indicidu dewasa sehat atau pasien dengan penyakit
yang tidak ganas. GPC3 dapat terdeteksi pada 40–53% pasien HCC dan 33%
pasien HCC yang seronegatif untuk AFP maupun Des-gamma-
karboksiprothrombin (DCP). Terbukti bahwa GPC3 terlarut (sGPC3), bagian
NH2-terminal dari GPC3, nampak lebih baik dari AFP dalam hal sensitivitas untuk
mendeteksi adanya HCC dengan diferensiasi baik atau sedang, dan pemeriksaan
pada kedua biomarker ini secara bersamaan akan meningkatkan sensitivitas total
dari 50% menjadi 72%. Baru-baru ini, sebuah penelitian telah membandingkan
angka survival antara pasien HCC dengan GPC3-positif dan GPC3-negatif. GPC3
positif berhubungan dengan prognosis yang buruk dan ditemukan sebagai faktor
prognostik independen untuk angka survival total pada analisis multivariat.
2.2. Enzim dan Isoenzim
2.2.1. Des-Gamma-Karboksi (Abnormal) Prothrombin (DCP).
DCP dihasilkan oleh hepatosit ganas akibat adanya suatu defek post-translasional
didapat dari sistem karboksilase yang bergantung pada vitamin-K. Produksi DCP
tidak berhubungan dengan defisiensi vitamin K, walaupun pemberian vitamin K
dalam dosis farmakologis dapat menekan produksi DCP untuk sementara waktu
pada sejumlah tumor. Kadar DCP lebih dari 0.1 AU/mL (100 ng/mL) pada
pemeriksaan ELISA nampak sangat sugestif untuk adanya HCC atau rekurensi
tumor. Normalisasi kadar DCP berhubungan erat dengan keberhasilan reseksi
tumor dan nampak sebagai penanda yang sangat baik untuk aktivitas tumor.
Diperkirakan bahwa kombinasi pemeriksaan AFP dan DCP akan meningkatkan
sensitivitas pemeriksaan. Hubungan antara ukuran tumor dan kadar DCP masih
belum diketahui dengan jelas. Nampaknya terdapat hubungan antara kadar DCP
dengan tumor yang berukuran besar; namun, hal ini tidak ditemukan pada tumor
yang kecil (<3cm). Penelitian belah lintang kasus-kontrol yang melibatkan 207
pasien menemukan bahwa DCP lebih sensitif dan spesifik dari AFP untuk
membedakan antara HCC dari penyakit hepar yang tidak ganas. Penelitian ini
dilakukan pada 4 kelompok: subjek normal yang sehat; pasien dengan hepatitis
kronik non-sirosis, pasien dengan sirosis terkompensasi, dan pasien yang secara
histologis terbukti mengalami HCC. Baik kadar DCP maupun AFP nampak
mengalami peningkatan pada beberapa kelompok ini seiring dengan
bertambahnya derajat penyakit (mulai dari normal sampai HCC), namun nilai
DCP menunjukkan lebih sedikit overlap antar kelompok dibandingkan dengan
AFP. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bilai DCP sebesar 125 mAU/mL
memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk membedakan pasien HCC
dari pasien sirosis dan hepatitis kronik. Sensitivitas dan spesifisitas dari AFP total,
glikoform AFP, DCP, dan kombinasi dari kedua penanda ini telah dipaparkan
pada Tabel 1.
2.2.2. Gamma-Glutamil Transferase. Gamma-glutamil transferase (GGT) serum
pada dewasa yang sehat terutama dihasilkan oleh sel Kupffer dan sel endotel dari
duktus biliaris, dan aktivitasnya nampak mengalami peningkatan pada jaringan
HCC. GGT total dapat dibagi menjadi 13 isoenzim menggunakan polymer
acrylamide gradient gel electrophoresis, dan beberapa diantaranya hanya dapat
dideteksi dalam serum pasien HCC. Sensitivitas GGTII dilaporkan sebesar 74.0%
untuk mendeteksi HCC yang berukuran besar dan sampai sebesar 43.8% untuk
mendeteksi HCC yang kecil. Sensitivitas dapat ditingkatkan secara bermakna bila
dilakukan pemeriksaan GGTII, DCP, dan AFP secara bersamaan.
2.2.3. Alpha-1-Fucosidase Serum. Alpha-l-fucosidase (AFU) merupakan enzim
lisosom yang ditemukan pada semua sel mamalia dan berfungsi menghidrolisis
ikatan fukose glikosidik dari glikoprotein dan glikolipid. Aktivitasnya akan
mengalami peningkatan pada serum pasien HCC (1418.62 ± 575.76
nmol/mL/jam) dibandingkan dengan dalam serum pasien dewasa yang sehat
(504.18 ± 121.88 nmol/mL/jam, P < 0.05), pasien dengan sirosis (831.25 ±
261.13 nmol/mL/jam), dan pasien dengan hepatitis kronik (717.71 ± 205.86
nmol/mL/jam). Dilaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas AFU dengan nilai
cut-off 870 nmol/mL/jam masing-masing adalah sebesar 81.7% dan 70.7%.
Pemeriksaan AFU nampak bermanfaat untuk diagnosis dini HCC saat dilakukan
bersama pemeriksaan AFP dan dapat menjadi pemeriksaan tambahan yang cukup
bermanfaat untuk AFP. Dilaporkan bahwa HCC akan terjadi dalam waktu
beberapa tahun pada 82% pasien dengan sirosis hepar yang menunjukkan tingkat
aktivitas AFU serum lebih dari 700 nmol/mL/jam. Aktivitas AFU dilaporkan
sudah mulai mengalami peningkatan pada 85% pasien sekurangnya 6 bulan
sebelum terdeteksinya HCC dari pemeriksaan ultrasonografi.
2.2.4. Human Carbonyl Reductase 2. Enzim yang dihasilkan pada hepar dan
ginjal manusia ini berperan penting pada proses detoksifikasi bahan alfa-
dikarbonil reaktif dan spesies oksigen reaktif yang berasal dari proses stress
oksidatif pada HCC. Kadar human carbonyl reductase 2 terbukti berbanding
terbalik dengan grade patologis dari HCC.
2.2.5. Golgi Phosphoprotein 2. Golgi phosphoprotein 2 (GOLPH2), suatu protein
pada aparatus Golgi, terbukti memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dari AFP
untuk mendeteksi HCC. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa protein
GOLPH2 diproduksi dalam jumlah besar pada jaringan pasien HCC (71%) dan
karsinoma duktus biliaris (85%). Kadar protein GOLPH2 serum dapat dideteksi
dan diperiksa secara kuantitatif menggunakan ELISA. Pada pasien dengan
hepatitis C, pemeriksaan ELISA serial selama perjalanan penyakit nampak
sebagai pemeriksaan penanda serum tambahan yang cukup menjanjikan untuk
survailans HCC.
2.3. Growth Factor dan Reseptornya
2.3.1. Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß). Merupakan bagian dari
keluarga molekul polipeptida pengirim sinyal yang terlibat dalam proses regulasi
pertumbuhan sel, diferensiasi, angiogenesis, invasi, dan fungsi imun. TGF-beta
adalah bentuk growth factor yang dominan pada manusia. mRNA dan protein dari
TGF-beta nampak diproduksi secara berlebihan pada HCC dibandingkan dengan
jaringan hepar di sekitarnya, terutama pada HCC yang berukuran kecil dan
berdiferensiasi baik. Namun, belum pernah ditemukan adanya hubungan antara
ekspresi TGF-beta dengan angka survival paska-hepatektomi. Kadat TGF-beta
serum nampak mengalami peningkatan pada pasien HCC dibandingkan dengan
dewasa sehat atau pasien dengan penyakit hepar yang bukan keganasan.
2.3.2. Tumor-Specific Growth Factor (TSGF). Tumor ganas melepaskan suatu
tumor-specific growth factor (TSGF) ke dalam darah perifer selama periode
pertumbuhannya. Kadar TSGF serum dapat menunjukkan adanya tumor. TSGF
dapat digunakan sebagai penanda diagnostik untuk mendeteksi HCC, dan
sensitivitasnya dapat mencapai 82% dengan nilai cut-off sebesar 62 U/mL dan
dapat menunjukkan akurasi yang lebih tinggi saat pemeriksaan dilakukan bersama
dengan penanda tumor lain. Pemeriksaan TSGF (dengan nilai cut-off 65 U/mL)
bersama dengan AFP (nilai cut-off 25 ng/mL) dan serum ferritin (nilai cut-off 240
ng/mL) dapat mencapai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 98.4%
dan 99%.
2.3.3. Epidermal Growth Factor Receptor Family. Keluarga epidermal growth
factor receptor (EGFR) terdiri atas empat reseptor tirosin kinase transmembrane
yang saling berhubungan erat: EGFR (erbB-1), c-erb-2 (Her-2/neu), c-erb-3
(HER-3), dan c-erb-4 (HER-4). Mereka berikatan dengan ligand dari keluarga
EGF, termasuk EGF, TGF-alpha, dan EGF yang berikatan dengan heparin. Kadar
EGFR yang tinggi nampak berhubungan dengan rekurensi dini dan berkurangnya
angka survival bebas penyakit setelah menjalani reseksi karsinoma hepatoselulare.
2.3.4. Hepatocyte Growth Factor/Scatter Factor. Hepatocyte growth factor/
scatter factor (HGF/SF) merupakan suatu sitokin dengan efek yang luas mulai dari
perkembangan embrionik sampai regenerasi hepar. HGF/SF berhubungan dengan
mekanisme molekuler hepatokarsinogenesis melalui sistem parakrin yang
melibatkan reseptor selulernya, c-met. Ekspresi c-met yang tinggi dapat
ditemukan pada HCC tipe invasif dan nampak berhubungan dengan metastasis
dan berkurangnya angka survival total.
2.3.5. Basic Fibroblast Growth Factor. Ini merupakan polipeptida terlarut yang
berikatan dengan heparin dan memiliki efek mitogenik yang poten pada sel
endotel. Peningkatan kadarnya sampai di atas median >10.8 pg/mL terbukti dapat
memprediksi penurunan angka survival bebas penyakit. Data awal terbaru dari
penggunaan terapi terarah lenalidomide yang dapat menginhibisi fibroblast
growth factor (FGF) menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan dan pada
beberapa pasien HCC nampak memberikan hasil yang dramatis.
2.4. Penanda Molekuler
2.4.1. Asam Nukleat dalam Sirkulasi: mRNA. Analisis dari asam nukleat dalam
sirkulasi plasma dapat menjadi salah satu cara pengawasan noninvasif untuk
berbagai kondisi fisiologis dan patologis. Penggunaan deteksi asam nukleat bebas
dalam sirkulasi plasma manusia sudah pernah digunakan untuk penanganan dari
sejumlah keganasan. Prinsip dasar dari penggunaan ini berhubungan dengan
deteksi molekul asam nukleat ekstraseluler dari organ yang sakit di dalam plasma.
Analisis RNA bebas sel dalam plasma menawarkan suatu kesempatan untuk
mengembangkan suatu penanda yang berhubungan dengan patologi.
Alpha-Fetoprotein mRNA (AFP mRNA). Matsumura dkk. pertama kali
melaporkan bahwa satu sel HCC dapat di deteksi dalam sirkulasi menggunakan
metode reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR), yang
diarahkan pada AFP mRNA. Hal ini menyebabkan dilakukannya sejumlah
penelitian untuk mengevaluais manfaat dari AFP mRNA sebagai prediktor
rekurensi HCC. Diperoleh hasil yang kontroversial karena adanya penyebaran sel
tumor maupun sel hepar normal dalam darah serta kesalahan transkripsi mRNA
yang memberikan kode untuk AFP oleh sel mononuklear perifer. Masa survival
bebas rekurensi pada pasien HCC dengan serum AFP mRNA positif paska-
operasi dilaporkan lebih pendek secara bermakna dibandingkan pasien HCC yang
menunjukkan hasil negatif paska-operasi (53% vs 88% setelah 1 tahun, 37% vs
60% setelah 2 tahun, P = 0.014) dan (52.6% vs 81.8% setelah 1 tahun, 15.6% vs
54.5% setelah 2 tahun, dan 0% vs 29.2% setelah 3 tahun, P < 0.001). Meta
abalisis menunjukkan bahwa ekspresi AFP mRNA satu minggu setelah operasi
nampak berhubungan dengan rekurensi HCC.
Gamma-Glutamyl Transferase mRNA (GGT mRNA). Serupa dengan AFP, GGT
mRNA dapat dideteksi dalam serum dan jaringan hepar dari dewasa yang sehat,
pasien dengan penyakit hepar, tumor hepar jinak, HCC, dan tumor sekunder
hepar. Telah ditemukan adanya dua tipe GGT mRNA, tipe A dan tipe B. Tipe B
merupakan yang lebih dominan pada jaringan kanker dan menunjukkan bahwa
berubahan ekspresi GGT mRNA hepar dapat berhubungan dengan terjadinya
HCC. Pasien dengan HCC yang memiliki GGT mRNA tipe B baik pada jaringan
kanker maupun jaringan non-kanker nampak memiliki outcome yang lebih buruk,
rekurensi lebih dini, dan angka mortalitas terkait rekurensi yang lebih tinggi.
Adanya GGT mRNA tipe B pada jaringan kanker nampak menunjukkan
hubungan secara statistik dengan kadar AFP serum yang tinggi, adanya nodul
anakan, angka rekurensi paska reseksi yang lebih tinggi dibandingkan pasien
tanpa GGT mRNA tipe B (63.6% vs 14.3%), dan angka survival paska-rekurensi
yang lebih rendah. Adanya GGT mRNA tipe B pada jaringan hepar non-kanker
nampak berhubungan bermakna dengan infeksi hepatitis C, kadar AFP serum
yang tinggi, tidak adanya infiltrasi kapsula, permeasi vaskuler, adanya nodul
anakan, rekurensi paska-reseksi, dan survival paska-rekurensi.
Insulin-Like Growth Factor II (IGF-II) mRNA. Ekspresi abnormal dari IGF-II
mRNA dapat menjadi penanda tumor yang bermanfaat untuk diagnosis dan
diferensiasi tumor, menilai adanya metastasis ekstrahepatik, serta mengawasi
terjadinya rekurensi paska-operasi pada HCC. Pemeriksaan kadar insulin-like
growth factor-II (IGF-II) serum (nilai cut-off 4.1 mg/g, prealbumin) memiliki
sensitivitas sebesar 63%, spesifisitas sebesar 90%, dan akurasi sebesar 70% untuk
diagnosis HCC berukuran kecil. IGF-II dapat menjadi penanda tumor tambahan
selain AFP untuk diagnosis HCC berukuran kecil. Pemeriksaan IGF-II dan AFP
secara bersamaan (dengan nilai cut-off 50 ng/mL) dapat memperbaiki sensitivitas
menjadi 80% dan akurasi menjadi 88%.
mRNA Albumin. Albumin merupakan protein dengan jumlah terbanyak di dalam
tubuh yang disintesis oleh hepar. mRNA dari albumin dapat dideteksi dalam
plasma manusia dan dapat menjadi suatu penanda diagnostik yang sensitif dari
patologi hepar. Pemeriksaan ekstraseluler (DNA/RNA dalam sirkulasi) terbukti
lebih baik dari pemeriksaan seluler (sel tumor dalam sirkulasi) untuk mendeteksi
lesi preneoplastik dan mikrometastasis karena jumlah asam nukleat dari sel kanker
yang terdapat dalam plasma nampak lebih tinggi dari jumlah sel kanker dalam
sirkulasi dan lebih jarang dipengaruhi oleh kesalahan pengambilan sampel.
Cheung dkk meneliti sampel plasma pre-operasi yang diperoleh dari 72 pasien
HCC yang telah menjalani transplantasi hepar dan menemukan bahwa pasien
dengan kadar mRNA albumin plasma (>14.6) memilki angka rekurensi yang
lebih tinggi secara bermakna pada analisis multivariat. Kadar mRNA albumin
plasma yang tinggi dapat memprediksi angka rekurensi setelah 2 tahun dengan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 73% dan 70%.
MicroRNA (miRNA). MicroRNA (miRNA) merupakan keluarga RNA endogen,
berukuran kecil (21–23 nukleotida), tidak memberikan kode namun bersifat
fungsional, dan dapat ditemukan pada cacing, lalat serta mamalia termasuk
manusia. Diperkirakan bahwa terdapat sekitar 1000 gen miRNA pada genom
manusia dimana sekitar 500 gen miRNA sudah diidentifikais. Serupa dengan
mRNA, miRNA terkait HCC dapat digunakan sebagai biomarker diagnostik dan
prognostik untuk HCC dengan potensi untuk memperoleh akurasi yang lebih baik.
miRNA dapat secara akurat memprediksi apakah kanker hepar akan menyebar
dan apakah pasien kanker hepar akan memiliki masa survival yang lebih singkat
atau lebih panjang. MicroRNA meregulasi ekspresi gen dengan berikatan pada
messenger RNA spesifik dan menjegah proses translasinya menjadi protein.
Karena masing-masing tipe miRNA dapat mengurangi produksi ratusan gen,
mereka dapat mengendalikan seluruh program transkripsi yang menentukan sifat
dan perilaku dasar dari sel. Sehingga, pemeriksaan profil miRNA telah menjadi
suatu metode yang sangat bermanfaat untuk menentukan fenotipe dan melakukan
subklasifikasi tumor. Dibandingkan dengan pemeriksaan profil ekspresi gen
konvensional (dimana dilakukan pemeriksaan messenger RNA dengan kode
protein), analisis miRNA memiliki beberapa keuntungan. Karena stabilitas
miRNA, dapat digunakan sampel yang sudah difiksasi menggunakan formalin
(dan bukan jaringan beku). Selain itu, pemeriksaan pada ratusan miRNA (dan
kadang jauh lebih sedikit) dapat menghasilkan informasi yang sama banyaknya
dengan pemeriksaan ribuan messenger RNA.
Banyak kelompok independen yang telah melakukan analisis
komprehensif dari miRNA pada HCC, dan telah diperoleh sejumlah besar
informasi mengenai penanda miRNA. Sejumlah gambaran khas miRNA ini
berhubungan dengan berbagai parameter biologis yang penting, seperti metastasis,
diferensiasi, infeksi HBV atau HCV, rekurensi tumor, dan survival pasien.
Beberapa miRNA terlibat pada proses karsinogenesis HCC dengan memicu stem
sel kanker dan dengan mengendalikan proliferasi sel serta apoptosis; beberapa
miRNA lain nampak berhubungan dengan progresi HCC dengan mengendalikan
migrasi dan invasi sel. miRNA terkait HCC ini bukan hanya memberikan
pengetahuan baru mengenai dasar molekuler HCC namun juga menjadi alat baru
untuk diagnosis dan prognosis HCC. Namun, saat ini baru sedikit penanda
miRNA yang berpotensi dapat digunakan pada bidang ini. Beberapa miRNA telah
divalidasi pada suatu kohort independen, sehingga dapat membukakan jalan untuk
melakukan penilaian klinis dari risiko dan outcome HCC. Area penelitian yang
cukup menjanjikan ini masih menunggu dilakukannya validasi lebih lanjut pada
berbagai penelitian prospektif di masa mendatang.
2.5. Biomarker Patologis. Pada akhirnya ada penelitian yang melaporkan
biomarker patologis untuk diagnosis dan prognosis HCC. Beberapa biomarker
diagnostik ini difokuskan pada pola pengecatan imunokimia guna membedakan
nodul displastik high-grade dan HCC yang berdiferensiasi baik. Tipe pengecatan
imunokimia terbaik untuk kondisi yang sulit ini dilaporkan berupa kombinasi
heat-shock protein 70 (HSP70), glypican-3 (GPC3), dan glutamine synthetase
(GS). Untuk penggunaan prognostik, sejumlah penanda histologis dan imuno-
histokimia seperti penanda proliferasi sel (Ki67), apoptosis atau survival sel
(survivin), molekul adhesi sel (E-cadherin), serta neoangiogeneis (VEGF) nampak
menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan pada sejumlah penelitian kecil;
namun, sebagian besar penanda ini belum divalidasi pada penelitian berukuran
besar. Berbagai biomarker HCC dan penggunaan klinisnya telah diringkas pada
Tabel 2.
3. Pembahasan
Hepatokarsinogenesis merupakan suatu proses kompleks yang biasanya terjadi
setelah paparan kronik dari sejumlah lingkungan mitogenik dan mutagenik selama
bertahun-tahun yang memicu terjadinya perubahan genetik acak. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa karakteristik biologis intrinsik dari tumor dalam hal
proliferasi dan invasi mungkin berhubungan dengan adanya berbagai komposisi
yang berbeda dan aktivitas lingkungan mikro, sehingga akan menghaislkan
outcome klinis yang berbeda-beda. HCC nampak cukup unik karena dapat
menghasilkan berbagai protein terkait tumor sehingga tipe tumor ini sangat cocok
untuk menjadi target penelitian biomarker dibandingkan jenis tumor lain. Larena
banyaknya jumlah biomarker yang dilaporkan pada penyakit ini, sangat sulit
untuk memilih biomarker mana yang paling bermanfaat secara klinis. Pada
pembahasan ini, kami mencoba untuk fokus pada biomarker yang paling banyak
digunakan dan sudah banyak diterima.
Meskipun memiliki banyak kekurangan, AFP serum masih menjadi
penanda tumor yang paling banyak digunakan pada praktek klinis. Penelitian
terbaru mendukung penggunaan AFP spesifik hepatoma sub-fraksi AFP-L3 dan
DCP dalam sirkulasi dibandingkan AFP saja untuk membedakan HCC dari
hepatopati non-maligna dan mendeteksi HCC yang berukuran kecil. Selain itu,
beberapa penanda tumor lain, seperti GPC3, GGT II, AFU, terbukti dapat
mendukung AFP dan DCP untuk mendeteksi HCC. Beberapa diantaranya bahkan
dapat dideteksi pada pasien HCC yang seronegatif untuk AFP maupun DCP,
sehingga menunjukkan bahwa pemeriksaan sejumlah biomarker ini secara
bersamaan dapat meningkatkan akurasi.
Namun, area penelitian yang paling menarik dan menjanjikan dari
penyakit ini adalah ditemukannay kelompok molekul baru yang disebut sebagai
miRNA. MiRNA nampak menunjukkan kelainan ekspresi pada HCC, dan
beberapa diantaranya menunjukkan keterlibatan fungsional pada karsinogenesis
dan progresi HCC. Selain itu, beberapa microRNA tertentu nampak berhubungan
dengan HCC atau berhubungan dengan subtipe HCC, yang menunjukkan potensi
penggunaan microRNA untuk stratifikasi diagnosis dan prognosis pasien HCC.
Beberapa miRNA terkait HCC ini telah divalidasi pada sejumlah kohort
independen. Ini membuka kemungkinan untuk mengembangkan suatu instrumen
klinis yang dapat digunakan untuk mengembangkan diagnosis HCC, melakukan
penilaian risiko, dan stratifikasi risiko pasien dengan tujuan akhir untuk
memberikan terapi spesifik pada tiap pasien.
4. Kesimpulan
penelitian mengenai biologi molekuler hepatokarsinogenesis telah menemukan
sejumlah biomarker yang dapat memberikan informasi tambahan dari yang
sebelumnya sudah diperoleh dari gambaran histopatologis, terutama untuk
perilaku biologis HCC seperti metastasis dan rekurensi. Sejumlah besar biomarker
terbukti berpotensi memiliki kemaknaan prediktif. Namun, sebagian besar
diantaranya telah diteliti secara retrospektif. Perlu dilakukan berbagai usaha untuk
melakukan uji klinis prospektif dalam mengevaluasi kemaknaan prognostik dari
sejumlah penanda ini. Berbagai molekul ini bukan hanya akan membantu
memprediksi prognosis pasien HCC namun juga dapat membantu memutuskan
modalitas terapi apa yang paling tepat serta merupakan target baru untuk
intervensi terapeutik.