10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lupus
2.1.1 Definisi Lupus
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing misalnya, bakteri dan virus karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi
tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi
yang terikat pada antigen di dalam jaringan (Mansyur, 2012).
Menurut Laeli (2016) Lupus merupakan penyakit autoimun yang bukan
disebabkan oleh virus, kuman atau bakteri. Faktor hormon, lingkungan dan
genetik adalah sebagai pemicu penyakit lupus. Keterbatasan fisik yang mudah
lelah, sensitif terhadap perubahan suhu, kekauan sendi, nyeri tulang belakang
dan pembuluh darah yang mudah pecah sering dialami oleh penderita lupus.
Penderita lupus dapat mengalami rasa letih yang berlebihan, penampilan fisik
yang berubah karena efek dan pengobatan yang bisa menyebabkan kebotakan,
muncul ruam pada wajah dan pembengkakan pada kaki.
2.1.2 Etiologi Lupus
Menurut (Hikmah & Rendi, 2018) penyebab lupus dibagi menjadi 2 faktor,
antara lain :
11
a) Faktor Genetik
Jumlah, usia, dan usia anggota keluarga yang menderita penyakit autoimun
menentukan frekuensi autoimun pada keluarga tersebut. Pengaruh riwayat
keluarga terhadap terjadinya SLE pada individu tergolong rendah, yaitu 3-18%.
Faktor genetik dapat mempengaruhi keparahan penyakit dan hubungan familial
ini ditemukan lebih besar pada kelaurga dengan kondisi sosial ekonomi yang
tinggi.
b) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE antara lain: 1)
Hormon, Hormon estrogen dapat merangsang sistem imun tubuh dan SLE
sering terjadi pada perempuan dan terjadi pasa usia reporduktif dimana
terdapat kadar estrogen yang tinggi. 2) Obat-obatan, beberapa obat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan sistem imun melalui mekanisme molecular
mimicry, yaitu molekul obat memiliki struktur yang sama dengan molekul di
dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan toleransi imun. 3) Infeksi,
infeksi dapat memicu respon imun dan pelepasan isi sel yang rusak akibat
infeksi dan dapat meningkatkan respon imun sehingga menyebabkan penyakit
autoimun. 4) Paparan sinar ultraviolet, adanya paparan sinar ultraviolet dapat
menyebabkan kerusakan dan kematian sel kulit dan berkaitan dengan
fotosensitivitas pada SLE.
2.1.3 Gejala Lupus
Menurut Sharon Moore (2013) gejala umum pada penderita lupus
meliputi :
1) Kelelahan
12
2) Rasa nyeri, sebagian besar penderita lupus terkena flu dan radang sendi
(artritis) pada saat yang sama dan mengalami sakit disertai nyeri hebat pada
lokasi tertentu
3) Ruam-ruam, penderita lupus mengalami bermacam jenis ruam yang paling
umum adalah ruam kupu-kupu, yang juga disebut ruam malar, ruam tersebut
terasa panas, gatal, dan berdarah kalau dibiarkan
4) Rambut rontok
5) Demam
6) Nyeri dada, Rasa nyeri hebat yang disebabkan peradangan pada lapisan
jantung dan paru-paru adalah gejala tipikal lupus
7) Tangan dan kaki dingin, Sebagian besar tangan dan kaki penderita lupus
tidak pernah hangat atau yang disebut sindrom Raynaud yaitu ujung-ujung jari
tangan dan kaki berubah menjadi biru kalau dingin
8) Kemarahan premenstruasi
9) Mata kering & mulut kering, banyak penderita lupus mengalami sindrom
Sjogren, yang terjadi ketika zat-zat autoantibodi menyerang kelenjar yang
memproduksi air liur dan cairan yang melumasi mata
10) Mudah luka, pada penderita lupus jumlah platelet darah menurun karena
terserang zat-zat antibodi sendiri
11) Edema, bengkak di sekitar mata, engkel, atau kaki bisa menjadi tanda
penyakit lupus
12) Depresi.
Menurut Pusdatin (2017) menjelaskan bahwa gejala lupus tanpa melihat
jenis kelamin, meliputi : Keletihan; sakit kepala; nyeri atau bengkak sendi;
demam; anemia; nyeri dada ketika menarik nafas panjang; ruam kemerahan
13
pada pipi hingga hidung, polanya seperti kupu-kupu; sensitive terhadap cahaya
atau cahaya matahari; rambut rontok sampai kebotakan; perdarahan yang tidak
biasa; jari-jari berubah kebiruan ketika dingin; sariawan dimulut atau koreng
dihidung.
2.1.4 Tingkat Keparahan Lupus
Menurut Wicaksono (2012) Tingkat keparahan penyakit lupus berat yang
mengenai organ vital dalam tubuh seperti :
1. Jantung, meliputi Endokarditis Libman-Sacks, Vaskulitis Arteri Koronaria,
Miokariditis, Tamponade Jantung, Hipertensi, Maligna.
2. Paru-paru, meliputi Hipertensi Pulmonal, Perdarahan Paru, Pneumonitis,
Emboli Paru, Infark Paru, Ibrosis Interstisial, Shrinking Lung.
3. Ginjal, meliputi Nefritis Proliferatif atau Membranous
4. Neurologi, meliputi Kejang, Acute Confusional State, Koma, Stroke, Mielopati
Transversa, Mononeuritis, Polineuritis, Neuritis Optik, Psikosis, Sindroma
Demielinasi.
5. Hematologi, meliputi Anemia Hemolitik, Neutropenia
(Leukosit
14
sementara sebelum akhirnya kambuh lagi. Gejala ringan SLE terutama rasa
nyeri dan lelah berkepanjangan yang dapat menghambat aktifitas sehari-
hari.sehingga para penderita SLE dapat merasa tertekan, depresi, cemas
meski hanya mengalami gejala ringan.SLE belum dapat disembuhkan, tujuan
pengobatan adalah untuk mendapatkan remisi panjang dan mengurangi
tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ pada penderita SLE.
2. Lupus Erytematosus Kutaneus (Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE))
CLE dapat dikenali dari ruam yang muncul pada kulit dengan berbagai
tampilan klinis. Pada lupus jenis ini dapat didiagnosis dengan melakukan
pemeriksaan penunjang biopsi pada ruam. Pada gambaran biopsi terlihat
adanya infiltrasi sel inflamasi dan endapan komplek imun pada batas
dermoepidermal yang dikenal dengan lupus band.
3. Lupus Imbas Obat
Efek samping obat berbeda-beda setiap orang. Terdapat 100 jenis obat yang
dapat menyebabkan efek samping yang mirip dengan gejala lupus pada
orang-orang tertentu. Gejala lupus akibat obat umumnya akan hilang jika
berhenti mengkonsumsi obat tersebut sehingga tidak perlu menjalani
pengobatan khusus. Tetapi perlu diperhatikan untuk berkonsultasi terlebih
dahulu sebelum memutuskan untuk berhenti mnegkonsumsi obat.
4. Sindroma Overlap, Undifferentiated Conective Tissue Disease dan Mixed Conective
Tissue Disease.
Pada sebagian penderita LES ditemukan juga manifestasi klinis lain yang
memenuhi kriteria diagnostic penyakit autoimun lain seperti artritis
rheumatoid, scleroderma, atau myositis.
15
2.1.6 Mekanisme Lupus
Mekanisme lupus sebagai penyebab SLE adalah faktor genetik. Beberapa
gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major
Histocompatibility Complex (MHC). Gen ini berhubungan dengan respon imun
pada sel limfosit T, sel B, Mikrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptide
pada molekul reseptor di permukaan sel (Rahman & Isenberg, 2008).
Penyebab lupus adalah disfungsional system imun. Pada orang sehat, sel-
sel limfositnya memiliki permukaan yang tertutup molekul glikoform dan
protein komplemen yang akan membentuk struktur glikoprotein. Pada
penderita SLE, sel-sel ini kehilangan struktur glikoprotein tertentu, sehingga
bentuk permukaan sel menjadi berbeda dibandingkan dengan sel-sel sehat yang
mengakibatkan sel-sel imun melakukan kesalahan dengan menganggap sel-sel
tubuhnya sendiri sebagai musuh dan melakukan penyerangan pada sel tubuh
itu sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan gejala-gejala seperti peradangan
kulit dan sendi, kelelahan yang ekstrim dan kerusakan ginjal. Organ yang paling
banyak terpengaruh pada penderita SLE adalah ginjal dan kulit. Pada ginjal
penderita lupus terdapat antibody yang mengikuti DNA ganda yang berasal
dari tubuh sendiri. Reaksi ini adalah reaksi autoimun, dan antibody anti Double
Stranded DNA (anti DS-DNA) ini telah diteliti dan terdapat pada 70% pasien
lupus. Antibodi ini juga menyebaban kerusakan jaringan-jaringan tubuh lain
terutama karena sifatnya yang menyerang inti sel.
2.1.7 Penatalaksanaan Lupus
Penatalaksanaan penderita lupus adalah untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien lupus dapat hidup normal tanpa
16
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tatalaksana umum yang harus
dilakukan menurut Pusdatin (2017) antara lain :
1. Hindari aktifitas fisik yang berlebih
2. Hindari merokok
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi inflamasi
4. Hindari stress dan trauma fisik
5. Diet khusus sesuai organ yang terkena
6. Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khususnya UV pada jam
10.00 sampai jam 15.00
7. Gunakan pakaian tertutup dan gunakan tabir surya minimal SPF 30PA++
sebelum keluar rumah
8. Hindari pajanan lampu UV
9. Hindari pemakaian kontrasepsi atau obat yang mengandung hormone
estrogen
10. Kontrol obat secara teratur
11. Minum obat tepat waktu dan teratur
2.2 Penerimaan Diri
2.2.1 Definisi Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan sikap dalam menilai diri dan keadaannya
secara objektif, menerima kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti
telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai
keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat
menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab (Paramita, 2012).
Menurut Mitra (2014) menjelaskan bahwa penerimaan diri sebagai pengenalan
17
terhadap kemampuan pribadinya dan prestasinya, bersamaan dengan
penerimaan terhadap keterbatasan dirinya, rendahnya penerimaan diri dapat
menimbulkan gangguan emosional.
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Menurut Mitra (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri
antara lain:
1. Pemahaman diri (self understanding)
Pemahaman diri yang dimaksud yaitu timbul adanya kesempatan seseorang
untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Individu yang dapat
memahami dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan
intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri
sendiri, maksudnya semakin orang dapat memahami dirinya maka semakin
ia dapat menerima dirinya.
2. Harapan yang realistis (realistic expectations)
Harapan yang realistis dapat timbul jika individu menentukan sendiri
harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman dengan
kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain dalam mencapai
tujuannya dengan memiliki harapan yang realistic, maka akan semakin besar
kesempatan tercapainya harapan itu, dan hal ini menimbulkan kepuasan diri
yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.
3. Tidak adanya hambatan lingkungan (absence of environmental obstacles)
Tidak adanya hambatan lingkungan yang dimaksud adalah jika seorang
sudah memiliki harapan yang realistic, tetapi jika lingkungan disekitarnya
18
tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan
individu tersebut akan sulit tercapai.
4. Tingkah laku sosial yang sesuai (favorable social attitudes)
Tidak menimbulakn prasangka karena adanya penghargaan terhadap
kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan
lingkungan.
5. Tidak adanya stress emosional (absence of severe emotional stress)
Akan tercapainya individu yang dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa
bahagia.
6. Kenangan akan keberhasilan (Preponderance of successes)
Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan
diri dan sebaliknya jika kegagalan yang dialami individu akan mengakibatkan
adanya penolakan diri.
7. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik
(Identification with well adjustes people); perspektif diri (self perspective)
Individu yang mengidentifikasikan dengan individu yang memiliki
penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif
terhadap terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan baik yang
menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik.
8. Pola asuh masa kecil yang baik (good childhood training)
Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang
sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.
9. Konsep diri yang stabil (stable self concept).
Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit
menunjukkan pada orang lain.
19
Selain itu terdapat aspek yang terkandung dalam penerimaan diri diantaranya
adalah pengetahuan diri, penerimaan diri pantulan (reflectes self acceptance),
penerimaan diri dasar (basic self acceptance), pembandingan antara yang real dan
ideal (real-ideal comparison), pengungkapan diri, penyesuaian diri, memanfaatkan
potensi secara efektif.
2.2.3 Tahapan penerimaan diri
Menurut Citra (2015) dalam (Taylor, 1999) ada lima tahap reaksi emosi, ketika
seseorang beradaptasi dengan penyakit yang akan menyebabkan kematian.
Tahapan penerimaan diri ada lima, yaitu:
1. Penyangkalan (Denial)
Penyangkalan adalah system pertahanan dimana seseorang berusaha
menghindari implikasi yang ditimbulkan oleh penyakit dan biasanya
berlangsung dalam beberapa hari.Saat seseorang mengetahui dirinya
terdiagnosis penyakit serius, mereka tidak mempercayainya, menjadi
gelisah, menyangkal dan gugup.Penyangkalan merupakan bentuk
pertahanan diri yang primitive dan biasanya tidak ernah berhasil karena
hanya berfungsi sesaat dan menimbulkan kecemasan.
2. Kemarahan (Anger)
Kemarahan merupakan kondisi sulit yang akan dihadapi oleh keluarga dan
teman disekelilingnya, dimana keluarga juga menjadi merasa bersalah akan
kondisi tersebut. Keluarga dan teman pasien harus memahami bahwa
pasien tidak betul-betul marah pada meraka, tetapi marah pada kondisi
kesehatannya. Pada paenderita lupus pasien berusaha mempertanyakan, “
mengapa harus saya yang menderita penyakit ini?” karena setiap orang pasti
memiliki peluang untuk menderita penyakit kronis semacam lupus. Pasien
20
lupus juga memiliki ketakutan yang beralasan misalnya “Apakah saya
mampu menjalani kehidupan dengan penyakit ini?”, “Bisakah saya menjaga
diri?”.Hal tersebut dapat memicu timbulnya rasa marah pada penderita
lupus.
3. Tawar-menawar (Bergaining)
Tawar –menawar untuk mendapat sesuatu yang lebih seringkali berbentuk
kesepakatan dengan Tuhan, dimana penderita lupus menyetujui atau
sepakat untuk terikat dalam suatu aktivitas religi atau setidaknya
meninggalkan kegoisannya demi kesehatan dan umur panjang.
4. Depresi (Depression)
Depresi merupakan perasaan tidak berdaya dan putus asa.Hal tersebut
dicirikan dengan kehilangan atau meningkatnya nafsu makan, sering
menangis, tidur tidak nyenyak, kehilangan harga diri, kurang konsentrasi,
kurang minat sosial, ragu-ragu, dan kehilangan minat terhadap dunia
luar.Penderita lupus harus menjalani masalah dengan kondisi fisik,
psikologis dan stress emosional yang berkelanjutan.Perasaan yang
umumnya timbul dan menjadi factor terjadinya depresi adalah perasaan
takut mati, merasa tidak berharga, tidak bisa merawat diri sendiri dan
ketergantungan terhadap orang lain, serta menyalahkan diri sendiri.
5. Penerimaan (Acceptance)
Pada penderita lupus yang dapat menerima dirinya akan lebih mudah untuk
memahami keadaan dirinya, memiliki harapan, dan tujuan dalam hidupnya,
dan dengan keinginan tersebut diharapkan dapat mewujudkan
keinginannya.
21
2.2.4 Ciri-ciri penerimaan diri
Menurut Citra (2015) ciri-ciri penerimaan diri antara lain: mampu
mengendalikan emosi, berfikir positif dan realistis, mengenal kelebihan dan
kekurangan diri sendiri, mampu menempatkan diri, optimis dalam menjalani
hidup, tidak mengharapkan belas kasihan orang lain.
Menurut Sari (2012) menjelaskan bahwa ciri-ciri penerimaan diri antara
lain: memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani kehidupan,
menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan
individu lain, tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan
tidak ada harapan ditolak oleh orang lain, menyadari dan tidak merasa malu
akan keadaan dirinya, bertanggung jawab atas segala perbuatannya, menerima
pujian atau celaan atas dirinya secara objektif, dan tidak menyalahkan atas
keterbatasan yang ada ataupun pengingkaran kelebihan.
2.3 Penerimaan diri pada Penderita Lupus
Individu yang memiliki penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan
seperti penyakit Lupus ini, seringkali merasa dirinya diasingkan, merasa dirinya
tidak berharga, merasa tidak dapat diterima oleh lingkungannya, merasa rendah
diri, marah, kecewa, malu, emosi, lebih sensitif dan bersikap tertutup serta
perasaan negatif lainnya (Nugraha, 2015).
Berbagai macam tekanan, baik fisik maupun psikis yang dapat
mengakibatkan timbulnya penolakan pada diri penderita, dimana penderita
tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi yang sedang dialaminya.Tidak
jarang, individu yang menderita penyakit lupus dapat mengalami stres atau
depresi. Individu yang memiliki penyakit seperti ini biasanya memiliki
22
penerimaan diri yang kurang baik. Akibatnya penerimaan diri dengan keadaan
penyakit lupus menjadi persoalan.
Penerimaan diri individu dengan Lupus dapat diartikan sebagai sikap
untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerimasegala yang ada
pada dirinya termasuk kelebihan dan kelemahannya (Syarif, 2010). Penerimaan
diri juga dapat meningkatkan penilaian diri yang akan memberikan kontribusi
pada dirinya sendiri mengenai tanggung jawab atas kondisi yang dialaminya
serta tidak mencela apalagi menyalahkan orang lain. Individu yang menerima
dirinya akan mengetahui potensinya dan mereka akan dapat memanfaatkan
potensinya terlepas dari kelemahan yang dimilikinya karena mengalami Lupus
(Paramita & Margareta, 2013). Penerimaan diri juga dapat dikatakan sebagai
pengetahuan tentang diri yang melibatkan proses seseorang dalam menghadapi
kenyataan dan keadaan hidupnya.
Individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang baik biasanya
disebabkan karena mereka tidak memiliki keyakinan akan kemampuannya
untuk menghadapi persoalan dan merasa dirinya tidak berharga dan tidak
berguna bagi orang lain, dan akibatnya mereka juga akan kesulitan melakukan
penyesuaian diri dengan kondisi sakitnya. Hal ini akantampak pada kesulitan
mereka untuk melakukan kepatuhan minum obat, melakukan kontrol
pemeriksaan dan tes kesehatan dan dalam mengerjakan berbagai penyesuaian
diri dan lingkungan pasca diagnosa Lupus.
Penyesuaian diri dengan Lupus sendiri dapat diartikan sebagai berbagai
macam respon yang dikeluarkan individu sebagai usaha mengatasi penyakitnya
dalam bentuk pengelolaan berbagai hambatan, rintangan, konflik, frustasi dan
memenuhi kebutuhan individu tersebut, baik itu yang berasal dari dalam
23
maupun lingkungan tempat individu itu berada, yang akhirnya dapat
memunculkan suatu kepuasan dan tercapainya keseimbangan dalam diri
individu atau lingkungan. Penyesuaian diri dengan kondisi lupus merupakan
suatu proses mental yang dipakai untuk merespon ataupun menghadapi
kesukaran baik tuntutan dari dalam diri sebagai penderita lupus maupun
tantangan dari dunia sekitar, sehingga odapus dapat mencapai suatu keselarasan
dan kebahagiaan.
Kebahagiaan sendiri dapat dicapai hanya jika orang tersebut puas terhadap
apa yang telah dia capai dan dapat selama ini. Oleh sebab itu, individu dengan
lupus harus menerima keadaan dirinya sendiri serta tetap berpikir secara
realistis tentang keberadaan dan keadaan dirinya.Semakin individu menyayangi
dirinya, maka dia juga akan semakin mampu menerima dirinya. Penerimaan diri
tidak berarti puas dengan dirinya sendiri, tetapi lebih pada kemauan untuk
menghadapi kenyataan dan kondisi kehidupan, baik yang sifatnya
menyenangkan maupun yang tidak.