BAB II
ISI
2.1 Asal Mula Terjadinya Candi Borobudur
Sekitar tiga ratus tahun lampau, tempat Candi ini berada masih berupa hutan
belukar yang oleh penduduk sekitarnya disebut Redi Borobudur. Untuk pertama
kalinya, nama Borobudur diketahui dari naskah Negara Kertagama karya Mpu
Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang biara di budur. Kemudian
pada naskah Babad Tanah Jawi (1709–1710) ada berita tentang Mas Dana,
seorang pemberontak terhadap Raja Paku Buwono I, yang tetangkap di Redi
Borobudur dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian pada tahun 1758, tercetus berita
tentang seorang pangeran dari Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro yang
berminat melihat 1000 arca seorang ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Kemudian pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles mendapat berita dari
bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan baru-batu berukir.
Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang pengagum seni dan
sejarah untuk membersihkan bukit itu. Tampak di atas bukit itu batu Candi
berserakan dengan bantuan penduduk desa yang berjumlah 200 orang, HC.
Cornelius segera melakukan pembersihan dan menyingkirkan tanah yang
menutupi Candi Borobudur pada tahun 1835 atas usaha Residen Kedu, bentuk
candi dapat ditampakkan seluruhnya seperti dahulunya.
5
6
2.1.1 Arti dari Nama Borobudur
Candi Borobudur sendiri sulitlah ditentukan, apa nama Borobudur
mengambil nama Desa, ataukah nama desa yang mengambil dari nama bangunan
tersebut.
Dalam kitab sejarah Jawa dari abad ke 18 tersebut “Bukit Borobudur”
sedang keterangan yang disampaikan kepada Raffles (Letnan Gubernur Jendral
Inggris) dalam tahun 1914 di Bumi Segoro menyatakan adanya sebuah penemuan
peninggalan purbakala bernama “Borobudur”. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa nama Borobudur adalah nama asli dari bangunan candinya.
Penafsiran Borobudur telah pula dilakukan oleh Raffles, berdasarkan keterangan
yang ia kumpulkan dari masyarakat luas, Budur merupakan bentuk lain dari Budo,
yang dalam bahasa Jawa berarti kuno. Raffles juga menampilkan keterangan yang
lain yakni Budo berarti Agung, dan Budur berarti Budha. Jadi Borobudur berarti
Sang Budha Yang Agung. Namun, karena Boro dalam bahasa Jawa kuno dapat
diartikan banyak, maka Borobudur dapat pula berarti Budha yang banyak.
Para ahli mengatakan bahwa nama Borobudur berasal dari gabungan kata
Bara dan Budur. Bara berasal dari kata Sansekerta yaitu “VIHARA” yang berarti
kompleks Candi dan bihara berarti asrama. Seorang ahli yang mengemukakan
pendapat ini bernama Prof. Dr. Poerbotjoroko. Pendapat Prof. Dr. Poerbotjoroko
juga dikuatkan oleh pendapat Prof. Dr. WF. Stutterhelm yang berpendapat bahwa
Borobudur berarti Bihara di atas sebuah bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis
mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah yang menyebutkan tahun pendirian
bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala “Rasa Sagara Kstidhara”, atau Tahun Caka
7
146 (824 Masehi), atau pada Masa Wangsa Syailendra yang mengangungkan
Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama Bhumisambharabhudhara yang
berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi arwah-arwah leluhurnya.
2.1.2 Letak Candi Borobudur
Candi Borobudur terletak di sebelah selatan Gunung Tidar kira-kira jarak
lurus 15 km,atau sekitar 40 Km sebelah utara Yogyakarta tepatnya di Desa
Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah.
Candi Borobudur terletak di dataran kedu yang dialiri oleh dua sungai besar yaitu
Sungai Progo dan Sungai Elo yang mengalir ke selatan menuju Samudra Hindia
Candi Borobudur yang terletak di Dataran Kedu, hampir seluruhnya
dilingkari pegunungan, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung
Merbabu, dan Gunung Merapi serta Pegunungan Menoreh. Candi Borobudur juga
dikelilingi beberapa dusun anata lain ; Bumi Segoro, Sabrang Rowo, Gopatan,
Jawahan, Barepan, Ngaran, Kelon, Janan dan Gendingan.
2.1.3 Pemugaran Candi Borobudur
Dalam pelajaran sejarah, disebutkan bahwa Candi Borobudur dibuat pada
masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah kepemimpinan Raja
Samaratthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan tuturan
masyarakat bernama Guna Dharma. Pembangunan Candi itu selesai pada tahun
846 M. Menurut Prasasti Kulrak (784 M) pembuatan candi ini dibantu oleh
seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kumaragacya sebagai
8
penasihat yang ahli dalam ajaran Buddhis Tantra Vajrayama. Pembangunan
candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang bergeral Sri
Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samaratthungga, dan oleh cucu
perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur berupa reruntuhan seperti halnya
artefak-artefak candi yang baru ditemukan sekarang ini. Ketika kita mengunjungi
Borobudur dan menikmati keindahan alam sekitarnya dari atas puncak candi,
kadang kita tidak pernah berpikir tentang siapa yang berjasa membangun kembali
Candi Borobudur menjadi bangunan yang megah dan menjadi kekayaan Bangsa
Indonesia ini.
Pemugaran selanjutnya, setelah oleh Cornelius pada masa Raffles maupun
Residen Hatmann, dilakukan pada 1907–1911 oleh Theodorus Van Erp yang
membangun kembali susunan bentuk candi dari reruntuhan karena dimakan
zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp sebetulnya seorang ahli teknik
bangunan Genle Militer dengan pangkat Letnan Satu, tetapi kemudian tertarik
untuk meneliti dan mempelajari seluk beluk Candi Borobudur, mulai falsafahnya
sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya. Untuk itu dia mencoba
melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga pergi ke
Srilangka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi di Kandy, sampai
akhirnya Van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur. Sedangkan mengenai
falsafah dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan Nj. Krom, yakni tentang
ajaran Budha Dharma dengan alian Mahayana–Yogacara dan ada kecenderungan
pula bercampur dengan alitan Tantrayana–Vajrayama. Oleh sebab itu, para
9
pemugar harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian
terhadap susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawahnya tentunya
membutuhkan waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan
dengan bangunan-bangunan candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti
halnya Candi Borobudur dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara
geografis berada pada satu jalur.
2.2 Bentuk Bangunan Candi Borobudur
Candi Borobudur merupakan Candi terbesar kedua setelah Candi Ankor Wat
di Kamboja. Borobudur mirip banguan Piramid Cheops di Gizeh Mesir. Candi
Borobudur tidak mempunyai bilik atau ruangan di dalamnya, sehingga bangunan
Candi Borobudur dianggap sebagai bangunan ziarah. Candi Borobudur berbentuk
punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga
tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.
Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat
mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi
Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh
tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada
bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita
10
Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga
orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan
Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah
dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.
Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas.
Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk
dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini
dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah
lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana
manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun
belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa
yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung
itu masih tampak samar-samar. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan
ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa
digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah
ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga unfinished
Buddha, yang disalahsangkakan sebagai patung Adibuddha, padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung pada stupa utama.
Candi Borobudur terbuat dari batu alam sangat keras. Batu dipotong dengan
berbagai macam ukuran dan dalam bentuk beraneka ragam. Batu alam disusun
rapi tanpa bahan perekat.
11
Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3
batu, dari dua juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25cmx10cmx15
cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan
batu 1,3 juta ton. Dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau
relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang tersusun dalam 1.460 panel.
Panjang panel masing-masing 2 meter. Jadi, kalau rangkaian relief itu
dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat
ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7–10
berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504
buah. Sedangkan, tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk
dulunya 42 m, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.
Candi Borobudur tersusun atas tiga buah tingkatan. Adapun tingkatan-
tingkatan itu pada dasarnya dapat pula diterapkan pembagian alam semesta
menjadi 3 dunia :
1. Dunia Paling Bawah : KAMADHATU (Dunia Hasrat)
Dalam tingkatan ini manusia masih terikat oleh hasrat. Relief ini terdapat
pada kaki Candi.
2. Dunia yang lebih tinggi : RUPADHATU (Dunia Rupa)
Dalam tingkatan ini manusia telah meninggalkan segala hasratnya tetapi
masih terikat kepada nama dan rupa. Bagian ini terdapat pada langkah 1-5.
12
3. Dunia tertinggi : ARUPADHATU (Dunia Tanpa Rupa)
Pada tingkatan ini manusia sudah tidak ada sama sekali nama maupun rupa.
Manusia telah bebas sama sekali dan memutuskan untuk selama-lamanya segala
ikatan kepada dunia fana.
Bangunan Candi Borobudur berbentuk limas berundak. Apabila dilihat dari
atas berbentuk bujur sangkar. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat. Tiga tingkat
yang paling atas berbentuk lingkaran dengan 3 teras dan 72 stupa berlubang.
Teras-teras tersebut adalah :
1. Teras pertama terdapat 32 stupa berlubang
2. Teras kedua terdapat 24 stupa berlubang
3. Teras ketiga terdapat 16 stupa berlubang
Pada bagian tengah stupa terdapat stupa induk yang merupakan mahkota
dari bangunan Candi Borobudur. Stupa induk bergaris tengah 9,90 m tinggi
sampai bawah pinakel 7 m, dan tertutup rapat sehingga orang tidak dapat melihat
bagian dalamnya.
2.3 Patung Budha
Candi Borobudur tidak diperindah dengan relief-relief cerita ukiran hias,
tetapi juga dapat dibanggakan karena patung-patungnya yang sangat tinggi mutu
seninya. Patung-patung itu semuanya menggambarkan Dhyani – Budha, terdapat
pada bagian Rupadhatu dan Arupadhatu. Tingkatan bangunan Candi Borobudur
makin ke atas semakin kecil ukurannya.
13
Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief
ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur.
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita
jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada
pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir
di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur
adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya
bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna
sebagai berikut :
1. Karmawibhangga
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi
dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan
relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief
tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai
dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan
pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam
lingkaran lahir – hidup – mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh
agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.
14
2. Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-
relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya
Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman
Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan,
setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi
timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di
dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang
Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang
Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura,
yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti
“hukum”, sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
3. Jataka dan Awadana
Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang
membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya,
pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha
menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi
pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun
dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab
15
Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka
dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang
sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura
dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
4. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita
Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari
Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya
dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul
Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu
Bhadracari.
Tahapan pembangunan Borobudur
Tahap pertama
Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan antara 750 dan
850 M). Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang
sebagai piramida berundak. tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun
yang dibongkar.
Tahap kedua
Pondasi Borobudur diperlebar, ditambah dengan dua undak persegi dan
satu undak lingkaran yang langsung diberikan stupa induk besar.
16
Tahap ketiga
Undak atas lingkaran dengan stupa induk besar dibongkar dan dihilangkan
dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa dibangun pada puncak undak-undak
ini dengan satu stupa besar di tengahnya.
Tahap keempat
Ada perubahan kecil seperti pembuatan relief perubahan tangga dan
lengkung atas pintu. Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur
Foto pertama Borobudur dari tahun 1873. Bendera Belanda tampak pada
stupa utama candi.
1814 – Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di
Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles
memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit
yang dipenuhi semak belukar. Susunan patung Budha pada setiap langkan adalah
sebagai berikut :
1 Langkan pertama = 104 Patung Budha
2. Langkan kedua = 104 Patung Budha
3.Langkan ketiga = 88 Patung Budha
4.Langkan keempat = 72 Patung Budha
5.Langkan kelima = 64 Patung Budha
6.Teras bundar pertama = 32 Patung Budha
7.Teras bundar kedua = 24 Patung Budha
8.Teras bundah ketiga = 16 Patung Budha
Jumlah = 504 Patung Budha
17
Sekilas patung-patung Budha itu serupa semuanya, tetapi sesungguhnya ada
juga perbedaan-perbedaannya. Yang membedakan antara Patung Budha yang satu
dengan yang lain adalah sikap tangan (Mudra) yang merupakan ciri khas setiap
patung. Jumlah sikap tangan (Mudra) yang pokok ada 5 yaitu sebagai berikut :
Bhumispara – Mudra
Sikap tangan ini melambangkan saat Budha memanggil Dewi Bumi sebagai
saksi ketika ia menangkis semua serangan Iblis Mara.
a. Wara – Mudra
Sikap tangan ini melambangkan pemberian amal, memberi anugrah atau
berkah. Mudra ini adalah khas Dhyani Budha Ratna Sambawa. Patung-patungnya
menghadap ke selatan.
b. Dhyana – Mudra
Melambangkan sedang semedi/mengheningkan cipta yang merupakan tanda
khusus bagi Dhyani Budha Amitabha
c. Abhaya – Mudra
Melambangkan sedang menenangkan merupakan tanda khusus Dhyani
Budha Armogashidi
d. Dharma Cakra – Mudra
Melambangkan gerak memutar roda dharma. Mudra ini menjadi ciri khusus
Dhyani Budha Wairocana, daerah kekuasaannya terletak di pusat khusus di Candi
Borobudur Wairocana.
Top Related