Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

32

Click here to load reader

Transcript of Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

Page 1: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

BAB II

ISI

2.1 Rangkaian Ritual Tantra Borobudur

2.1.1 Misteri Upacara Tantra Borobudur

Borobudur yang terletak di Jawa Tengah adalah bagian dari rangkaian

Candi yang dibangun oleh Dinasti Syailendra. Seri kuil yang dibangun oleh Indra

Gunattha dan Samaratungga (ayah dan anak) pada abad ke sembilan adalah Candi

Ngawen, Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur, yang dihubungkan

dengan lima gunung dan empat sungai. Gunung-gunung Merapi, Sindoro,

Merbabu, Menoreh dan Sumbing. Sementara sungai Kebalen, Elo, Progo, dan

Bengawan Solo. Gunung-gunung dan sungai mewakili lima benua dan empat

samudra atau sebuah telapak tangan Budha yang menjadi kesatuan yang terus-

menerus dalam ritual ajaran agama Budha Tantra Borobudur untuk menyimpan

samsara (menderita) bumi.

Adapun Rangkaian ritual Tantra Borobudur yang dicapai dalam sembilan

hari adalah sebagai berikut:

Hari satu sampai tiga, adalah hari untuk persiapan di sebuah pondokan

yang letaknya dekat di pertigaan sungai (tempat di mana Sungai Progo dan Sungai

Elo bertemu). Persiapannya antara lain meditasi, penyucian badan, mulut, dan

jiwa. Pemenuhan persyaratan dalam meditasi harus menghadap ke barat yaitu arah

Bodhigaya yang merupakan tempat pencerahan sang Budha di bawah pohon

bodhi. penyucian badan dilakukan dengan mandi dengan air akar dringo, batang

7

Page 2: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

8

kulit dadap, daun sirih bunga kantil, dan benih. Penyucian mulut dengan

melakukan muti dengan kata lain hanya makan nasi putih dan minum air putih.

Penyucian jiwa dilakukan dengan melakukan visualisasi kepada Dewi Cintamani

bersama dengan mantranya juga.

Hari ke empat, adalah ritual perjalanan ke Candi Ngawen di Muntilan.

Candi ini memiliki lima upeti altar untuk Dhyani Budha: Amoghasidhi,

Aksobhya, Vairocana, Ratna Sambhava, dan Amitabba. Lima upeti altar,

theirmantra, dan refleksi Bodhicitta dilakukan dalam rangka untuk memperoleh

berkat dan izin untuk perjalanan ritual Borobudur ini.

Hari ke lima, adalah ritual perjalanan ke Candi Mendut. Candi ini

mempunyai beberapa relief yaitu, ada relief Kalpataru (pohon mitologis yang tak

pernah mati), Sri Mahadewi (dewi kesuburan), Sri Kuwera (dewa kesuburan), dan

Sri Mahakala (dewa pelindung) yang berada di atas gerbang. Perjalanan yang

searah jarum jam, di dinding luar, terdapat relief Dewi Chunda, Dewi Prajna,

Dewi Manjusri, Kinara Kinari semesta dewa, dan seterusnya. Ritual ini dilakukan

dengan meditasi, visualisasi, dan doa dengan mantra untuk mendapatkan berkah

dari Budha dan Bodhisattva.

Hari ke enam, adalah perjalanan ke Candi Pawon yang merupakan tempat

untuk Vajranala pencerahan. Ritual ini dilakukan dengan tujuan untuk

mempersiapkan diri dengan kundalini yoga (tiga nadi atau arteri dan tujuh cakra

(mitos senjata) yang mengambil bentuk bunga teratai) dan visualisasi Hevajra

mempersatukan dengan tubuh dan tubuh menyemburkan lampu pelangi dan

aroma yang indah.

Page 3: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

9

Hari ke tujuh, adalah perjalanan ke Candi Borobudur. Candi Borobudur

memiliki sepuluh tingkatan yang menggambarkan neraka sampai Tingkat

kesempurnaan mulai dari neraka, setan dunia, dunia binatang, orang dunia sampai

dunia Bodhissatva dan Budha. Tingkat kesepuluh di Candi Borobudur dibagi

menjadi tiga kehidupan: Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu yang memiliki

504 rupang (patung Buddha terlihat sama). Kamadhatu adalah dunia dengan

hasrat elemen, memiliki satu tingkatan dan tidak memiliki rupang. Rupadhatu

adalah dunia dengan elemen bentuk, memiliki empat level. Arupadhatu adalah

dunia tanpa elemen tak berbentuk dengan empat level. Borobudur sisi yang

menghadap ke empat penjuru dan lingkaran dari ke tujuh hingga tingkat Sembilan

memiliki rupang spesifik yang mewakili lima Dhyanibudha dengan mudra (jari

postur / pengaturan sementara bermeditasi). Rupang menghadap Timur dengan

Bhumisparca Mudra berarti bumi sebagai saksi. Keempat mudras berada di ke dua

sampai dengan tingkat lima (Rupadathu dunia). Rupang di tingkat ke enam

(Arupadathu dunia) di masing-masing arah digambarkan oleh Witarka Mudra

yang berarti kecerdikan. Di pusat dengan Dharmacakra Mudra yang berarti

membalik roda dharma adalah simbol agama Budha. Menjalani ritual dalam

perjalanan ini harus menggunakan tasbih (108 dengan manik-manik) yang terbuat

dari Tridacna maxima fosil putih dari Laut Selatan (Laut Kidul) dengan ritual

mudra. Ketika kita selesai dengan ke sepuluh tingkat perjalanan, itu akan berakhir

dengan pergi turun dari bukit dan ditutup dengan tumpengan (Jawa seremonial

sepiring nasi kuning disajikan dalam bentuk kerucut) dan mandala puja. Ini adalah

ritual akhir hari ke tujuh.

Page 4: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

10

Ke delapan dan hari ke Sembilan, meditasi lain dan refleksi di pondok

untuk mencapai tubuh, pikiran, kata-kata, aktivitas, dan kebaikan kesempurnaan

yang merupakan tujuan Sri Kalacakra (waktu roda berputar di atas) ritual,

dipersembahkan untuk semua manusia sehingga mereka dapat hidup bahagia dan

sentosa.

2.1.2 Rahasia Tantra Borobudur

Candi Borobudur merupakan suatu mahakarya terutama bagi yang

beragama Budha. Candi yang berasal dari abad sembilan ini diketahui berasal dari

Dinasti Syailendra. Candi ini hilang secara misterius dan bersamaan dengannya

terpendamnya sebuah misteri tentang tantra Borobudur. Pada abad ke empat

sebelum Wangsa Sailendra berkuasa, di Jawa Barat berdiri sebuah kerajaan shepo

(Bumi- Sherpa) yang mana terdiri dari wangsa Holing (beragama Budha) dan

wangsa Taruma (beragama Hindu). Kerajaan ini berkembang dan terus

berkembang hingga melakukan expansi ke luar dari daerahnya. Di Jawa Barat

dikenal dengan kerajaan Tarumanegara (Hindu), Jawa Tengah dengan kerajaan

Kalingga (Budha), dan Sumatera dengan kerajaan Sriwijaya (Budha). Pada abad

ke tujuh, kerajaan Kalingga yang berkuasa di Jawa (bahasa Sansekerta: Pavaya

Dwipa) dan kerajaan Sriwijaya yang berkuasa di Sumatera (bahasa Sansekerta:

Suvarana Dwipa) berkembang menjadi kerajaan besar. Hal ini dikarenakan

kerajaan yang terletak di dekat pantai dimana menjadi pusat jalur perdagangan

dan agama. Jalur ini merupakan penghubung negara Tiongkok, India dan Arab

(jalur sutra) lintas laut selatan. Wajar bila kebudayaan kita bagaikan campuran

Page 5: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

11

dari kebudayaan ketiga negara tersebut. Ada seorang mahaguru Dharma Buddha

yang terkenal saat yaitu Jhana Bdra

Di kerajaan Kalingga pada abad ke delapan, ada seseorang mahaguru yang

mempunyai garis keturunan Sanyang Purwa Brata dari Gunung Mahameru

Himalaya India Utara. Mahaguru Dharma Vajra Carya yang bernama Ban Hong

(Ba-Gong) ini sangat mahir siddhi kebatinan Arya Tara, Arya Chunda , Cintamani

Cakra. Dengan adanya jalur sutra, Ban Hong memperoleh kesempatan pergi

menuju Tiongkok dan India untuk belajar, kepada seorang mahaguru yang

bernama Hui Guo. Kemudian Ia kembali pada awal abad ke sembilan yang

ternyata kerajaan Kalingga telah melebur menjadi kerajaan Mataram (Kuno). Pada

zaman itu pembagian wilayah dalam pembangunan candi agama Budha di Jawa

Tengah terjadi. Hal ini dikarenakan kerajaan yang terdiri dari wangsa Sailendra

(Budha) memiliki ikatan perkawinan putri kerajaan Sriwijaya, dan wangsa

Sanjaya (Hindu) yang memiliki hubungan dengan pembagian Candi terbagi atas

dua kelompok yaitu Candi yang dibangun oleh Wangsa Syailendra dan candi yang

dibangun oleh Wangsa Syanjaya. Candi oleh Wangsa Syailendra berada di barat

daya Gunung Merapi seperti candi Ngawen, Pawon, Mendut dan Borobudur.

Candi oleh wangsa Sanjaya berada di tenggara Gunung Merapi yang memiliki ciri

Candi Budha berdampingan dengan Candi Hindu. Candi Budha-nya antara lain

Candi Kalasan, Sari, Sajiwo, Sewu, Lumbung Bubrah dan Plaosan.

Pada abad ke sepuluh, terjadi sebuah fenomena alam yang membuat

kerajaan Mataram (kuno) dan candi seperti Borobudur hilang secara misterius.

Gempa, tsunami, gunung berapi menjadikan Tantra Candi Borobudur hampir

Page 6: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

12

tidak meninggalkan bekas di bumi pertiwi ini. Ajaran Tantra yang tersisa diwarisi

oleh keturunan wangsa Syailendra Balaputera Dewa yang menjadi raja Sriwijaya

dan oleh wangsa Sanjaya yaitu Raja Pikatan dan permaisuri Pramodhawardhani

yang berkembang menjadi ajaran Tantra Syiwa Budha di Jawa Timur.

2.1.3 Mantra Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Tantra Borobudur

Tantra yang diwarisi oleh keturunan Syailendra dibawa dan berkembang

di Tibet oleh Atisa pada abad 11, akan tetapi ajaran tantra di Sumatra lenyap

karena jatuhnya kerajaan Sriwijaya pada abad 14. Tantra yang diwarisi oleh

keturunan Sanjaya-pun lenyap karena runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad

15.

Mantra yang selalu digunakan dalam pelaksanaan Tantra Borobudur;

1) Arya Tara Mantra: Om Tare Tam Soha.

2) Arya Dakini Mantra: Om Sarva Dakini Sita Mapala Saparana Vajra Nuwite

Ah Hung.

3) lima Dhyanibuddha Mantra: Om Vajradhatu Vah, Om Aksobhya Hung, Om

Ratna Sambhawa Tram, Om Lokesvara Raja Hrih, Om Amogha Siddhi Ah

(Om Hung Tram Hrih Ah).

4) Vajra Sattva Mantra: Om Vajra Satto Hung Phet

5) Puja Mandala Mantra: Om Vajra Bhumi Ah Hung, Om Vajra Rake Ah Hung,

Om Mandala Puja Mega Samudra Saparana Samaya Ah Hung.

Page 7: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

13

2.2 Pengenalan Tantra Dalam Agama Budha

2.2.1 Mengenal Tantrayana Dalam Agama Budha

Tantrayana adalah suatu mazhab dalam agama Budha yang sangat

istimewa karena memiliki ciri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat

diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta

benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan

puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika.

Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi

praktek dalam pelaksanaannya. Menurut Dr. Pdt. HS. Rusli MA., PhD.,

pengertian istilah tantra ini pada mulanya berhubungan dengan kata dalam bahasa

sanskerta Prabandha yang berarti "hubungan kelestarian yang tiada putus-

putusnya". Tantra diperkenalkan pada publik di dunia Barat pada tahun 1799,

yakni pada saat literatur-literatur mengenai mazhab Tantrayana ini ditemukan oleh

misionaris Eropa di India. Menurut dr. W. Kumara D. yang dikutip dari literature

literature mazhab Tantrayana, kata tantra itu sendiri dapat juga berarti Sadhana

(sarana mengerjakan). Mazhab Tantrayana memiliki akar-akar pandangan yang

sama dengan Mahayana khususnya Yogacara. Namun demikian, Tantrayana

memiliki perbedaan dengan Mahayana dalam hal tujuan,wujud manusia yang

telah mencapai tujuan tantrayana dan cara pengajarannya.

Tantra Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal

sejak abad IV Masehi, setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang

Xinqiang-China) berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi

Page 8: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

14

mantra-mantra, pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut

sesungguhnya belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu

sendiri, kata Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua

rupang Budha maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin

dan feminim, lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan

sopan santun yang ada pada masyarakat China.

Tantra Timur berkembang di China pada abad VII, ketika dikunjungi oleh

tiga orang Maha Acharya Tantrayana dari India, yakni:

1) Subhakarsinha (637-735M), beliau tiba di Ch'an An setelah belajar di

Nalanda (India) pada tahun 716 M. Kemudian bersama-sama dengan I Ching

menerjemahkan Sutra Tantra yang terkenal, yakni Maha Vairocana Sutra

pada tahun 725 M.

2) Vajra Bodhi (663-725M), beliau juga pernah belajar di Nalanda (India) dan

kemudian menerjemahkan Vajrasakhara pada tahun 720 M.

3) Amoghavajra (705-784 M), beliau adalah siswa dari Vajrabodhi yang tiba di

Ch'an pada tahun 756 M.

Selanjutnya, perkembangan mazhab Tantrayana di China sangat pesat selama

lebih kurang tiga abad, antara abad V hingga abad VIII Masehi. Selama tiga abad

tersebut, berkembang delapan aliran besar di China, yakni:

1) Lu-Tsung (Vinayavada), didirikan oleh Tao-hsuan (595-667 Masehi).

2) San Lun Tsung (Madhyamika), didirikan oleh Chi-Tsang (549-623 M).

3) Wei Shih Tsung (Yogacara) didirikan oleh Huan Tsang (596-664 M).

4) Mi-Tsung (Tantrayana), didirikan oleh Amoghavajra (705-784 M).

Page 9: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

15

5) Hua Ten Tsung (Avatamsaka), didirikan oleh Tu Hsun (557-640 M).

6) Tien Tai Tsung, didirikan oleh Chih K'ai (538-597 Masehi).

7) Chin Thu Tsung (Amida/Pure Land). Didirikan oleh Shan Tao (613-681

Masehi).

8) Ch'an (Zen), didirikan oleh Bodhidharma sekitar tahun 500.

Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar

pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya

dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan

yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan

untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Budha

sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat

jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita).

Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam

wajah murka).

Pada tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi

ke Tibet. Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat

menyenangi hal-hal yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan

supranatural yang dipadukan dengan ajaran-ajaran Hyang Budha. Berkat

kemampuan beliaulah, dukun-dukun Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh

simpati dari bangsa Tibet. Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga

periode. Yakni periode pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan

gelar Dalai Lama (dari abad XVII hingga sekarang ini). Mazhab tantrayana, baik

tantra barat maupun tantra timur disebut esoterik (rahasia atau tersembunyi),

Page 10: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

16

karena dalam penyebarannya tidaklah bersifat terbuka. Tantra diajarkan oleh

seorang guru pada siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai

bentuk ujian. Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki naskah terjemahan kitab suci

yang kebanyakan berasal dari India dan terdiri lebih dari 4.566 naskah.

Kumpulan naskah dalam bahasa Tibet tersebut digolongkan dalam dua

bagian, masing-masing . Bkahgyur (dibaca Kanjur) yang sebagian besar adalah

terjemahan dari bahasa Sanskerta dan sebahagian kecil terjemahan dari bahasa

mandarin, terdiri dari 3.458 naskah serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :

1) Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan peraturan-

peraturan,disiplin, tata tertib untuk anggota Sangha.

2) Do (Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat ajaran Hyang Buddha,

seperti halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta kanon sanskerta dan

selalu diawali dengan "Demikianlah yang saya dengar".

3) Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang merupakan pelajaran

filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Budha.

2.2.2 Perkembangan Agama Budha Di Indonesia Dan Dunia

Pada akhir abad ke-7, seorang bhiksu yang berasal dari Dinasti Tang di

China yang bernama I-Tsing (635-713) mencatat dengan lengkap mengenai

Agama Budha dan aplikasinya di India dan Melayu. Ia melakukan perjalanan ke

India pada tahun 672 dan singgah ke Sriwijaya, Sumatera, pada tahun 685. I-

Tsing menghabiskan waktunya hidup sendirian sebagai bhiksu di India dan

Sumatera. Seluruh bukunya merupakan catatan lengkap tentang kehidupan

biarawan. Ia tinggal di India seluruhnya berdasarkan peraturan vinaya. Bila

Page 11: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

17

dibandingkan catatan Fa Hsien tahun 414 dengan catatan I-Tsing, dapat diambil

kesimpulan bahwa Agama Budha di pulau Jawa dan Sumatera telah dibangun

dengan sangat cepat. Pekerjaan I-Tsing selain menulis catatan seperti

dikemukakan di atas, ia juga menulis buku tentang perjalanan seorang guru agama

asal China bernama Hwui Ning yang datang ke Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) di

Jawa. Dalam bukunya dikatakan bahwa bhiksu asli Jawa dan Sumatera merupakan

sarjana bahasa Sanskerta yang sangat bagus. Salah satunya adalah Jnanabhadra

yang merupakan orang Jawa asli asal Kerajaan Kalingga yang bertindak sebagai

guru bagi para bhiksu China, termasuk Hwui Ning, dan membantu

menerjemahkan sutra ke dalam bahasa China. I-Tsing juga menceritakan bahwa

beberapa naskah yang diterjemahkan oleh Hwui Ning adalah mengenai

mangkatnya (parinibana) Sang Budha. Namun, ia mengatakan bahwa naskah

tersebut berbeda dengan naskah yang biasa digunakan dalam Mahayana. Dari

uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Agama Budha yang dianut oleh

mayoritas masyarakat nusantara pada waktu itu adalah non-Mahayana meskipun

bahasa yang digunakan adalah bahasa Sanskerta. Namun di Melayu juga terdapat

sedikit masyarakat yang mengadopsi Mahayana.

Pada awal abad ke-20, dua prasasti ditemukan di dekat Palembang yang

bercorak Mahayana. Prasasti lain yang dibuat tahun 775, ditemukan di Viengsa,

semenanjung Melayu mengemukakan bahwa salah satu raja Sriwijaya dari

keturunan Sailendra - yang tidak cuma memerintah di selatan Sumatera tapi juga

dibagian selatan semenanjung Melayu - memerintahkan pembangunan tiga stupa.

Ketiga stupa tersebut dipersembahkan kepada Budha, Bodhisattva Avalokitesvara

Page 12: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

18

dan Vajrapani. Dan ditempat lain ditemukan plat emas yang bertuliskan beberapa

nama Dyani Budha; yang jelas-jelas merupakan aliran Mahayana. Dari berita I-

Tsing dan beberapa prasasti tersebut, selanjutnya kita dapat mengambil

kesimpulan bahwa pada waktu itu, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang

termasyur karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Budha. Di sana terdapat

banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama

Budha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Budha, orang dapat

mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno

(Kawi). Pujangga-pujangga Agama Budha terkenal seperti Dharmapala dan

Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut dan menyebarkan aliran

Mahayana. Kerajaan Sriwijaya sendiri didirikan kurang lebih pada abad ke tujuh

dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

Informasi mengenai keadaan Agama Budha pada masa Kerajaan Sailendra

nampaknya lebih jelas dibanding pada masa Kerajaan Sriwijaya. Hal ini

dikarenakan sumber-sumber yang memberi informasi mengenai Agama Budha

lebih banyak, misalnya dengan keberadaan prasasi-prasasti dan bangunan-

bangunan seperti candi. Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan

dan Yogyakarta, di Jawa Tengah berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang

memeluk Agama Budha dan wangsa Sanjaya yang memeluk agama Hindu-Shiva.

Inilah jaman keemasan bagi Mataram dan negara pada saat itu aman dan makmur

karena kedua wangsa (dinasti) itu saling menolong satu sama lain dalam

mendirikan tempat-tempat suci (Candi).

Page 13: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

19

Di kerajaan Syailendra agama yang dipeluk adalah Agama Budha

Mahayana. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan-peninggalan sejarah dan

Candi dari kerajaan ini yang bercorak Mahayana. Walaupun kerajaan Sailendra

banyak mendirikan Candi namun masih terbilang sedikit bila dibandingkan

dengan Candi yang dibangun oleh kerajaan Sanjaya. Selain berdasarkan prasasti-

prasasti yang ada, bahwa Agama Budha yang berkembang adalah Budha

Mahayana, jelas terlihat dari Candi didesa Kalasan - yang kemudian diabadikan

sebagai nama Candi tersebut. Candi ini dipergunakan untuk pemujaan kepada

Tara, pemujaan kepada Bodhisattva Avalokitesvara, peresmian rupang (arca)

Bodhisattva Manjusri, dan sebagiannya. Disamping prasasti, ada pula candi-candi

yang menjadi bukti keberadaan Agama Budha di Jawa Tengah. Pada masa itu,

ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Budha, sangatlah

maju. Kesenian - terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.

Seniman-seniman nusantara telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan,

misalnya Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu. Dari candi-candi

tersebut memberikan kita penjelasan yang lebih banyak. Selain Candi-Candi

tersebut diatas, sebenarnya masih banyak lagi Candi-Candi yang didirikan atas

perintah raja-raja Syailendra. Tetapi yang paling besar dan paling indah serta

terkenal adalah Candi Borobudur yang dibangun pada masa Raja Samarottungga.

Jika kita ingin memahami filosofi dibalik kemegahan Borobudur,

bangunan itu harus dipandang sebagai suatu satu kesatuan. Borobudur yang

mengandung filosofi Mahayana dan juga Tantrayana (Vajrayana) ini, secara

menyeluruh mengungkapkan gambaran mengenai alam semesta atau kosmos.

Page 14: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

20

Borobudur terbagi atas tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.

Kamadhatu adalah tingkat hawa napsu dan ini digambarkan dengan jelas pada

bagian bawah atau kaki Candi. Di sini merupakan kehidupan yang terikat oleh

hawa napsu dan segala hal yang berbau duniawi. Rupadhatu adalah tingkat dunia

rupa, atau alam yang terbentuk, yang digambarkan pada lima teras yang

menggambarkan kehidupan Buddha Gotama. Arupadhatu adalah tingkat alam

yang tak berupa, tidak berbentuk. Pada tingkat teratas terdapat sebuah stupa yang

kosong, yang menggambarkan sunyata atau Nirvana. Borobudur adalah tempat

untuk bermeditasi, tempat untuk merenung. Mengingat bahwa Borobudur

dibangun diatas bukit, agaknya pembangunan Borobudur itu dijiwai oleh gagasan

Indonesia kuno, yaitu tentang adanya tempat suci yang berbentuk teras, yang

biasanya dipakai untuk menghormati nenek moyang, dan terletak diatas bukit.

Setelah Raja Samarattungga wafat, kerajaan Mataram kembali diperintah oleh

raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Shiva, namun Agama Budha

dan agama Hindu-Shiva dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan

damai. Pada akhir abad ke sepuluh kita tidak mendengar lagi kerajaan Hindu di

Jawa Tengah, tetapi sejak tahun 929 prasasti-prasasti hanya terdapat di Jawa

Timur. Di Jawa Timur, sepertinya Agama Budha dan agama Hindu-Shiva hidup

berdampingan. Hal ini tertera dari prasasti-prasasti dimana seorang empu bernama

Sindok disebut dengan gelar Sri Isana (sebutan Shiva) sedangkan putrinya

menikah dengan Lokapala yang juga disebut Sugatapaksa (sebutan Buddhis). Juga

ditemukan pengaruh Tantra pada kedua agama ini cukup kuat.

Page 15: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

21

Pada jaman Majapahit (1292 - 1478), sinkretisme sudah mencapai

puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Shiva, Hindu-Vishnu dan Agama Budha

dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-

macam dari suatu kebenaran yang sama. Shiva dan Vishnu dipandang sama

nilainya dan mereka digambarkan sebagai “Harihara” yaitu rupang (arca) setengah

Shiva setengah Vishnu. Di dalam kitab kakawin (syair) Arjunawijaya karya Mpu

Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki Candi

Budha, para pandita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang

digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Shiva.

Vairocana sama dengan SadaShiva yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama

dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan

Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadeva yang

menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Vishnu yang menduduki

posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada

perbedaan antara Agama Budha dengan Shiva. Dalam kitab “Kunjarakarna”

disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Shiva maupun Budha yang

bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Shiva-

Budha.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir

pemerintahan Raja Brawijaya V (1468 - 1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka

berangsur-angsur Agama Budha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama

Islam.

Page 16: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

22

2.3 Kebangkitan Tantrayana

2.3.1 Fenomena Alam Di Antara Kebangkitan Tantrayana

Menjelang malam Waisak pada hari Kamis 16 Mei 2003, suasana

perbukitan menoreh tampak mendung, disertai awan pekat tebal menggumpal,

bergerak secara bergelombang menuju atap Candi Borobudur. Ketika itu Candi

Agung pun berubah menjadi gelap gulita. Udara merambat dingin bersama awan

mendung memayungi suasana umat Budha yang sedang melaksanakan prosesi di

pelataran Candi Borobudur merayakan Waisak 2547/2003. Dan sinar itu langsung

memancarkan cahaya selama sepuluh menit pada petang hari menjelang sore. Para

Bhiksu/Bhikkhu, Umat Budha merasakan fenomena sebuah pesona keagungan

dan kemuliaan Waisak ke 50 tahun yang dirayakan di Candi Agung tiba-tiba dari

kegelapan awan, sebersit sinar muncul menerobos menerangi Borobudur,

sehingga memantapkan keyakinan umat terhadap Hyang Budha. Alam senantiasa

menyambut tulus mewartakan perayaan memperingati kesempurnaan Buddha.

Peristiwa istimewa ini kemudian redup dan muncul sinar cahaya digantikan

dengan rembulan malam. Waisak 2547/2003 di Candi Agung Borobudur ini

memang memiliki keistimewaan tersendiri. Selain pertanda alam bahwa Waisak

2547 telah memasuki tahun emas ke 50, juga memberi isyarat awal memulai

kebangkitan kembali aliran Tantrayana di bumi nusantara ini.

Page 17: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

23

Ritual upacara Waisak yang dilaksanakan Perwakilan Umat Budha

Indonesia (WALUBI) di Zone 2 Borobudur bersama Sangha Theravada, Sangha

Mahayana dan Sangha Tantrayana selama empat hari di mulai tanggal 13 hingga

17 Mei 2003. Dinamika kebangkitan kembali umat Budha Tantrayana di bumi

nusantara ditandai hadirnya Serling Tulku Yongdzin Rinpoche dalam

penyampaian khotbah Waisak dan terbentuknya Majelis Agama Budha

Tantrayana Indonesia setelah usai Waisak. Khotbah Waisaknya mengingatkan kita

akan jasa besar bumi nusantara menghadirkan bukit Sambhara Budara yang lebih

dikenal dengan sebutan Borobudur dan sekolah agama Budha di masa kerajaan

Sriwijaya, yang mempunyai andil besar terhadap perkembangan Tantra di Tibet.

Contohnya Acharya Attisa Dipangkara guru besar bangsa Tibet pernah belajar dan

berguru kepada Dharmakirti di Sriwijaya.

2.3.2 Sejarah Madha Tantra

Berawal dari keinginan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo

akan adanya suatu wadah yang resmi dan sah secara hukum di Indonesia, yang

dapat membabarkan Dharma Tantrayana Satya Budha, maka keinginan Beliau

yang telah menjadi instruksi dan tertuang dalam suratnya pada tanggal 29 April

1998 itu mendapat respon dari siswa-siswanya yang ada di Jakarta. Seperti

diketahui sejak tahun 1988 telah ada penganut agama Budha aliran Tantrayana

Satya Budha (Cen Fo Cung) seperti yang dikoordinir oleh Ibu Susan Kumala yang

telah membentuk Cetya di Muara Karang, Jakarta. Kemudian pada tahun 1993

berkembang menjadi Yayasan Dharma Hastabrata yang menaungi Vihara Dharma

Hastabrata yang terletak di kompleks Duta Mas Jakarta Barat. Setelah melalui

Page 18: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

24

penelitian mengenai kemungkinan membentuk wadah setingkat Majelis Agama,

maka pembentukan wadah tersebut diawali dengan pembentukan Lembaga

Tantrayana Satya Budha Indonesia (LTSBI) pada tanggal 12 Juni 1998, yang turut

mendirikan dan menjadi anggota dari terbentuknya wadah kebersamaan Umat

Buddha Indonesia yang bernama Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi)

pada 20 Agustus 1998.

Pembentukan LTSBI itu Dilaporkan kepada Maha Mula Vajra Acharya

Liansheng Huo Fo, dan mendapat tanggapan dan dorongan yang positif dari

Beliau beserta The True Foundation-nya, sebagaimana yang tertuang di dalam

suratnya tertanggal 5 September 1998. Dalam surat Maha Guru tersebut

dinyatakan bahwa pembentukan LTSBI sebagai sesuatu yang sangat terpuji dan

berjasa. Jauh sebelum LTSBI itu sendiri berdiri, sedikitnya telah terdapat 46

(empat puluh enam) yayasan Vihara/Cetiya di seluruh Indonesia yang didirikan

oleh umat Budha Aliran Tantrayana Satya Budha di Indonesia, diantaranya

Yayasan Dharma Hastabrata yang berdiri pada tanggal 11 Januari 1993, dan

merupakan cikal bakal kebangkitan Majelis Agama Budha Tantrayana Satya

Budha Indonesia.

Perjuangan untuk membentuk suatu wadah setingkat Majelis mendapat

momentum yang pasti setelah bergulirnya reformasi di Tanah Air. Bergabung

dengan Walubi (Perwakilan Umat Budha Indonesia) pada 20 Agustus 1998, maka

LTSBI pun kemudian berkembang dan memantapkan dirinya untuk menjadi

Majelis setelah mencapai 12 propinsi. Tanggal 15 Desember 1998, LTSBI

mengikrarkan dirinya menjadi Majelis Agama Budha Tantrayana Satya Budha

Page 19: Ritual Upacara Tantra Di Candi Borobudur Sebagai Salah Satu Warisan Kebudayaan Agama Budha

25

Indonesia (Madha Tantra), dan terdaftar secara resmi di Direktorat Sosial Politik

Departemen Dalam Negeri RI Nomor 210 Tahun 1998. Dengan demikian Madha

Tantra sejak tanggal 15 Desember 1998 itu telah dapat melakukan kegiatannya di

seluruh Indonesia. Dengan Ketua Umum Ibu Susan Kumala dan Sekretaris

Jenderal yang dipercayakan kepada Drs. Eddy Hertanto SH, maka keinginan

Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo akan suatu wadah resmi dan sesuai

dengan hukum di Indonesia pun terkabul.

Sebagai badan resmi yang diakui oleh Pemerintah, kini Madha Tantra

secara organisasi semakin solid dan terkoordinasi, terbukti dengan telah

diadakannya Rakernas sebanyak tiga kali. Pertama pada 25-26 Desember 1998,

dan Kedua pada 13-15 Desember 1999, serta ketiga pada 13-14 April 2001. Pada

Rakernas tersebut, selalu menata kembali dirinya serta menyempurnakan

program-programnya. Dengan begitu segala apa yang menjadi misi dan visi

Madha Tantra akan menjadi lebih jelas untuk terwujud, dan harapan yang

diungkapkan Maha Guru terhadap pendirian wadah Madha Tantra. demi

perkembangan Tantrayana Satya Budha - semakin luas dan menyeluruh di

Indonesia bisa segera menjadi kenyataan.