FARMAKOLOGI OBAT ANESTETIK INTRAVENA
OLEH
NICKO PERDANA HARDIANSYAH, 0105001189
NINA ASRINI NOOR, 010500120Y
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, DESEMBER, 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Anestetik intravena lebih banyak digunakan dalam tahun-tahun terakhir ini
baik sebagai adjuvan bagi anestetik inhalasi maupun sebagai anestetik tunggal
karena tidak diperlukan peralatan yang rumit dalam penggunaannya. Tujuan
pemberiannya adalah untuk (1) induksi anestesia; (2) induksi dan pemeliharaan
anestesia pada tindak bedah singkat; (3) menambah efek hipnosis pada anestesia
atau analgesia lokal; dan (4) menimbulkan sedasi pada tindak medik.
Anestesia intravena ideal adalah yang (1) cepat menghasilkan hipnosis; (2)
mempunyai efek analgesia; (3) menimbulkan amnesia pasca-anestesia; (4)
dampak buruknya mudah dihilangkan oleh antagonisnya; (5) cepat dieliminasi
oleh tubuh; (6) tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi, dan kardiovaskular;
dan (7) pengaruh farmakokinetiknya tidak bergantung pada disfungsi organ.
Kriteria ini sulit dicapai oleh satu macam obat, maka umumnya digunakan
kombinasi beberapa obat atau digunakan cara anestesia lain. Kebanyakan
anestetik intravena digunakan untuk induksi, tetapi kini anestetik intravena
digunakan untuk pemeliharaan anestesia atau dalam dikombinasi dengan anestetik
inhalasi sehingga dimungkinkan penggunaan dosis anestetik inhalasi yang lebih
kecil dan efek anestetik lebih mudah menghasilkan potensiasi atau salah satu obat
dapat mengurangi efek buruk obat lainnya. Ciri berbagai anestetik intravena yang
tertera dalam Tabel 1menentukan pemilihannya dalam anestesia.
Tabel 1. Ciri berbagai anestetik intravena1
Nama Obat Induksi dan pemulihan Keterangan
Tiopental Induksi dan pemulihan
cepat dengan suntikan
bolus
Obat baku untuk induksi;
depresi kardiovakular; nekrosis
pada ekstravasasi; KI pada
porfiria.
Ketamin - Induksi dan pemulihan
sedang saja
- Indikasi terbaik untuk
Merangsang kardio-vaskular;
aliran darah ke otak
meningkat; ada reaksi pada
pasien dengan risiko
hipotensi atau
bronkospasme (asma)
pemulihan KI pada pasien
dengan iskemia otak dan
operasi mata terbuka.
Etomidat - Induksi cepat,
pemulihan sedang saja
- Indikasi utama adalah
pasien dengan risiko
hipotensi
- Kardiovaskular stabil;
gerak oto; menekan
pembentukan steroid
- Tidak mempunyai efek
analgesik, sehingga perlu
ditambahkan opioid
Midazolam Induksi dan pemulihan
lambat, tersedia flumazenil
sebagai antidotum
Untuk anestesia berimbang dan
sedasi; kardiovaskular stabil;
amnesia akut
Propofol - Induksi dan pemulihan
cepat
- Menimbulkan efek
samping hipotensi berat
Untuk induksi dan
pemeliharaan anestesia;
hipotensi; antiemetik
Fentanil - Induksi dan pemulihan
lambat; antidotumnya
nalokson
- Efek sampingnya
kekakuan otot
Untuk induksi dan
pemeliharaan anestesia;
analgesik kuat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Barbiturat
2.1.1. Mekanisme kerja
Barbiturat menyebabkan depresi RAS yang terletak pada batang
otak dan mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada
konsentrasi klinis, barbiturat lebih mempengaruhi fungsi sinaps saraf
dibandingkan akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter
eksitatori (mis. asetilkolin) dan meningkatkan transmisi neurotransmitter
inhibitori (mis. GABA)2.
Seperti anestetik inhalasi, barbiturat menghilangkan kesadaran
dengan cara memfasilitasi pengikatan GABA pada reseptor GABAA di
membran neuron SSP. Bersifat GABA-mimetik dengan langsung
merangsang kanal klorida. Barbiturat juga menekan kerja neurotransmiter
sistem stimulasi (perangsang). Kerjanya pada berbagai sistem ini membuat
barbiturat lebih kuat sebagai anestetik, tetapi lebih tidak aman karena
sangat kuat menekan SSP1.
Barbiturat yang digunakan untuk anestesia ialah yang termasuk
barbiturat kerja sangat singkat, yaitu tiopental, metoheksital, dan tiamilal
yang diberikan secara bolus intravena atau secara infus. Penyuntikan IV
harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi ekstravasasi atau
penyuntikan ke dalam arteri.
Pada penyuntikan tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia diikuti
analgesia bila dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik
yang kuat.
Dengan dosis yang memadai untuk induksi, pasien segera akan
merasakan rasa bawang putih di lidahnya, diikuti dengan igauan halus
yang menandakan kantuk, kemudian langsung tertidur pulas. Pemulihan
terjadi secara mulus dan pasien segera sadar. Agar pemulihan tidak terlalu
lama, dosis jangan sampai lebih dari 1 gram. Untuk tindakan bedah yang
singkat, dan tidak terlalu menyakitkan, tiopental dapat digunakan secara
berjeda (intermiten) bersama dengan N2O.
2.1.2. Farmakokinetik2
Absorpsi
Barbiturat paling sering diberikan secara intravena sebagai induksi
anestesi umum pada orang dewasa dan anak-anak yang tersedia jalur
intravena.
Distribusi
Durasi kerja barbiturat yang sangat larut dalam lemak (thiopental,
thiamylal, dan methohexital) bergantung pada redistribusi, bukan
metabolisme atau eliminasi. Sebagai contoh, neskipun thiopental
terikat kuat dengan protein (80%), solubilitas lipidnya yang tinggi dan
fraksi tidak terionisasinya yang tinggi (60%) membuat barbiturat
mudah di-uptake oleh otak secara maksimal dalam 30 detik.
Redistribusi ke bagian perifer seperti otot terjadi saat konsentrasi
plasma dan otak turun hingga 10% dalam 20-30 menit. Sifat
farmakokinetik ini berkorelasi dengan kondisi klinis yakni pasien
umumnya kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan bangun dalam 20
menit.
Dosis induksi thiopental bergantung berat badan dan umur. Pada
lanjut usia, diberikan dosis induksi yang lebih rendah karena
redistribusinya lebih lambat akibat tingginya kadar obat dalam darah.
Berkebalikan dengan dengan waktu paruh distribusi inisial yang
berlangsung hanya dalam beberapa menit, waktu paruh eliminasi
thiopental bekisar antara 3-12 jam.
Biotransformasi
Biotransformasi barbiturat melibatkan oksidasi hepatik menjadi
metabolit yang larut dalam air.
Ekskresi
Tingginya ikatan protein menurunkan filtrasi glomerulus terhadap
barbiturat, sedangkan solubilitas yang tinggi cenderung meningkatkan
reabsorpsi tubulus renal. Ekskresi renal terbatas pada produk akhir
biotransformasi hepar yang bersifat larut dalam air.
2.1.3. Efek pada Sistem Organ2
Kardiovaskuler
Dosis induksi yang diberikan intravena menyebabkan penurunan
tekanan darah dan peningkatan denyut jantung. Depresi pada pusat
vasomotor meduler menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer,
yang juga meningkatkan pengumpulan darah perifer dan menurunkan
vebous return ke atrium kanan. Takikardi terjadi karena efek vagolitik
sentral. Cardiac output dipertahankan dengan peningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung dari refleks baroreseptor
kompensatoar. Namun, pada kondisi dimana respon baroreseptor tidak
adekuat atau bahkan tidak ada (mis. pada kondisi hipovolemi, gagal
jantung kongestif, blokade b-adrenergik), cardiac output dan tekanan
darah arteri dapat turun secara dramatis akibat peripheral pooling yang
tidak terkompensasi dan depresi miokardium. Injeksi lambat dan
hidrasi preoperatif yang adekuat mengurangi perubahan ini pada
kebanyakan pasien.
Respirasi
Barbiturat menyebabkan depresi pusat respirasi meduler sehingga
respon ventilatori terhadap hiperkapnia dan hipoksia pun berkurang.
Sedasi barbiturat umumnya menyebabkan obstruksi jalan napas atas;
apnea biasanya berlangsung segera setelah induksi. Barbiturat tidak
mendepresi noxious airway reflexes, dan bronkospasme pada pasien
asma atau laringospasme pada pasien dengan anestesi ringan dapat
terjadi saat manipulasi jalan napas.
Serebral
Barbiturat menyebabkan konstriksi pembuluh darah serebral,
akibatnya aliran darah otak dan tekanan intrakranial berkurang.
Penurunan aliran darah ini tidak berbahaya karena barbiturat juga
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen serebral (hingga 50%
normal). Efek semacam ini mungkin melindungi jaringan otak dari
episode iskemi fokal sementara tetapi tidak dari iskemi global.
Tingkat depresi SSP yang diinduksi barbiturat berkisar dari sedasi
minimal hingga kehilangan kesadaran, tergantung dosis yang
diberikan. Tidak seperti opioid, berbiturat tidak secara selektif
mengganggu persepsi nyeri. Kenyataannya, barbiturat kadang seperti
memiliki efek antianalgesik dengan menurunkan ambang nyeri.
Barbiturat tidak menyebabkan relaksasi otot, dan beberapa justru
menyebabkan kontraksi otot skeletal involunter (mis. methohexital).
Renal
Barbiturat mengurangi aliran darah renal dan laju filtrasi glomerulus
jika terjadi penurunan tekanan darah.
Hepar
Aliran darah hepar menurun.
Imunologi
Reaksi alergi anafilaktik dan anafilaktoid jarang terjadi. Thiobarbiturat
yang mengandung sulfur memicu sel mast melepaskan histamin secara
in vitro. Oleh karena itu, methohexital lebih banyak digunakan
dibandingkan thiopental atau thiamylal pada pasien asma atau atopik.
2.1.4. Interaksi Obat2
Media kontras, sulfonamid, dan obat lain yang menempati situs
ikatan protein yang sama dengan thiopental akan meningkatkan kadar obat
bebas dan potensiasi efek sistem organ pada dosis yang sama. Ethanol,
opioid, antihistamin dan depresan sistem saraf pusat lainnya meningkatkan
efek sedatif barbiturat.
2.2. Benzodiazepin
2.2.1. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada SSP,
khususnya pada korteks serebri. Ikatan benzodiazepin dengan reseptor
meningkatkan efek inhibitori berbagai neurotransmiter. Sebagai contoh,
ikatan benzodiazepin-reseptor memfasilitasi ikatan GABA-reseptor, yang
meningkatkan konduktansi membran terhadap ion klorida. Hal ini
menyebabkan perubahan polarisasi membran yang menghambat funsi
neuronal yang normal2.
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
forazepam, dan midazolam. Dengan dosis untuk induksi anestesia,
kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan
menimbulkan amnesia anterograd, tetapi tidak berefek analgesik. Efek
pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil1.
Benzodiazepin digunakan untuk menimbulkan sedasi untuk
tindakan yang tidak memerlukan analgesia seperti endoskopi, kateterisasi,
kardio versi, atau tindakan radiodiagnostik. Benzodiazepin juga digunakan
untuk medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk
mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam anestetik
regional. Bersama dengan tiopental dan obat pra-anestetik, benzodiazepin
digunakan dalam anestesia berimbang. Penggunaan benzodiazepin ini
menyebabkan pemulihan lebih lama, tetapi amnesia anterograd yang
ditimbulkannya bermanfaat mengurangi kecemasan pascabedah1.
2.2.2. Farmakokinetik
Absorpsi
Benzodiazepin biasanya diberikan per oral, intramuskular, atau
intravena untuk memicu sedasi atau induksi pada anestesi umum.
Diazepam dan lorazepam diabsorpsi dengan baik di saluran cerna,
dengan kadar puncak dalam plasma biasanya tercapai dalam 1 atau 2
jam. Injeksi intramuskular diazepam menimbulkan nyeri. Sebaliknya,
midazolam dan lorazepam diabsropsi dengan baik setelah injeksi
intramuskular, dengan kadar puncak dalam 30 sampai 90 menit.
Induksi anestesi umum dengan midazolam harus melalui jalur
intravena2.
Tabel 2. Penggunaan dan dosis beberapa benzodiazepin yang umum digunakan2
Agen Kegunaan Rute Dosis (mg/kg)
Diazepam Premedikasi Oral 0,2-0,5
Sedasi
Induksi
IV
IV
0,04-0,2
0,3-0,6
Midazolam Premedikasi
Sedasi
Induksi
IM
IV
IV
0,07-0,15
0,01-0,1
0,1-0,4
Lorazepam Premedikasi
Sedasi
Induksi
Oral
IM
IV
0,053
0,03-0,05
0,03-0,04
Distribusi
Diazepam cukup larut dalam lipid dan dengan cepat mempenetrasi
sawar darah-otak. Lorazepam memiliki solubilitas lipid menengah
sehingga uptake serebral lebih lambat. Redistribusi cukup cepat terjadi
dan berperan terhadap pemulihan kesadaran. Walaupun demikian,
benzodiazepin tidak dapat menyamai onset cepat dan durasi singkat
barbiturat. Ketiga benzodiazepin terikat kuat dengan protein (90-
98%)2. Kadarnya segera turun karena adanya redistribusi, tetapi sedasi
sering muncul lagi setelah 6-8 jam akibat adanya penyerapan ulang
diazepam yang dibuang melalui empedu1.
Biotransformasi
Benzodiazepin dimetabolisme oleh hepar menjadi produk akhir
glukoronida yang larut dalam air. Metabolisme fase I dari diazepam
aktif secara farmakologis. Ekstraksi hepar yang lambat dan Vd yang
besar menyebabkan waktu paruh eliminasi yang panjang (30 jam).
Meskipun lorazepam juga memiliki tingkat ekstraksi hepar yang
lambat, solubilitasnya yang tidak terlalu tinggi membatasi Vd,
sehingga waktu paruh eliminasinya lebih cepat (15 jam). Sebaliknya,
midazolam memiliki Vd yang besar seperti diazepam tetapi tingkat
ekstraksi hepar lebih tinggi sehingga waktu paruh eliminasinya paling
singkat (2 jam) di antara benzodiazepin lainnya2.
Masa paruh diazepam memanjang dengan meningkatnya usia, kira-
kira 20 jam pada usia 20 tahun, dan kira-kira 90 jam pada usia 80
tahun. Klirens plasma hampir konstan (20-32 mL/menit), karena itu
pemberian diazepam jangka lama tidak memerlukan koreksi dosis.
Sedasi lebih cepat timbul oleh midazolam dan lebih lambat oleh
lorazepam. Mula kerja midazolam lebih cepat dan potensinya lebih
besar dengan metabolit yang aktif sehingga midazolam lebih disukai
untuk induksi dan mempertahankan anestesia. Waktu paruh
redistribusi midazolam lebih panjang daripada diazepam1.
Ekskresi
Metabolit hasil biotransformasi benzodiazepin diekskresikan melalui
urin. Gagal ginjal dapat menyebabkan sedasi berkepanjangan pada
pasien yang menerima midazolam akibat akumulasi metabolit konjugat
(a-hidroksimidazolam)2.
2.2.3. Efek pada Sistem Organ
Kardiovaskuler
Benzodiazepin memiliki efek depresi karodiovaskuler yang minimal
sekalipun pada dosis induksi. Tekanan darah arteri, cardiac output, dan
resistensi vaskuler perifer biasanya sedikit menurun, sedangkan denyut
jantung kadang-kadang meningkat2. Tetapi, depresi kardiovaskular
dapat terjadi dalam kombinasi dengan opioid1.
Respirasi
Benzodiazepin menyebabkan depresi respon ventilasi terhadap CO2.
Depresi ini biasanya tidak signifikan, kecuali bila diberikan secara
intravena atau bersama depresan respiratori lainnya. Apnea lebih
jarang terjadi pada pemberian benzodiazepin dibandingkan barbiturat.
Walaupun demikian, ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang
mendapatkan benzodiazepin intravena2. Dapat terjadi depresi bila
digunakan bersama opioid sebagai medikasi pra-anestetik1.
Serebral
Benzodiazepin mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah
serebral, dan tekanan intrakranial, tetapi tidak sebanyak barbiturat.
Dosis sedatif oral seringkali menimbulkan amnesia anterograd,
komponen premedikasi yang baik. Komponen relaksasi otot ringan
dimediasi pada medula spinalis, bukan pada neuromuscular junction.
Benzodiazepin tidak meminiliki komponen analgesik langsung.
2.2.4. Interaksi Obat2
Kombinasi opioid dan benzodiazepin sangat mengurangi tekanan
darah arteri dan resistensi vaskuler perifer. Benzodiazepin mengurangi
MAC anestetik inhalasi hingga 30%. Etanol, barbiturat, dan depresan SSP
lainnya meningkatkan efek sedatif benzodiazepin.
2.3. Opioid
Fentanil, sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil adalah opioid yang
lebih banyak digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia
anestesia yang lebih kuat dengan depresi napas yang lebih ringan. Walaupun
dosisnya besar, kesadaran tidak sapenuhnya hilang dan amnesia pasca-
bedahnya tidak lengkap. Biasanya digunakan pada pembedahan jantung atau
pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas. Opioid juga digunakan
sebagai tambahan pada anestesia dengan anestetik inhalasi atau anestetik
intravena lainnya sehingga dosis anestetik lain ini dapat lebih kecil. Bila
opioid diberikan dengan dosis besar atau berulang selama pembedahan, sedasi
dan depresi napas dapat berlangsung lebih lama, ini dapat diatasi dengan
nalokson.
Fentanil yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi, tetapi
pada pemberian berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi. Dengan
dosis besar (50-100 mg/kgBB), fentanil menimbulkan analgesia dan hilang
kesadaran yang lebih kuat daripada morfin, tetapi amnesianya tidak lengkap,
instabilitas tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat. Oleh karena itu
fentanil lebih disukai daripada morfin, khususnya untuk dikombinasi dengan
anestetik inhalasi.
Alfentanil dan sulfentanil potensinya lebih besar daripada potensi
fentanil dengan lama kerja yang lebih singkat. Keduanya lebih populer karena
stabilitas kardiovaskularnya sangat menonjol.
2.3.1. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di seluruh
SSP dan jaringan lain. Empat tipe reseptor opioid telah diidentifikasi,
yakni: μ (μ-1 dan μ-2), κ (kappa), δ (delta), dan σ (sigma). Meskipun
opioid memiliki efek sedasi, efek analgesinya yang paling efektif. Efek
farmakodinamik dari opioid tertentu bergantung pada reseptor mana ia
berikatan, afinitas ikatannya, dan apakah reseptor tersebut teraktivasi.
Aktivasi opiat-reseptor menghambat pelepasan presinaps dan
respon postsinaps terhadap neurotransmitter eksitatori (mis. asetilkolin,
substansi P) dari neuron nosiseptif. Mekanisme seluler yang terjadi
melibatkan perubahan konduktansi ion kalium dan kalsium. Transmisi
impuls nyeri dapat dihalangi pada tingkat kornu dorsalis medula spinalis
dengan pemberian opioid intratekal atau epidural.
2.3.2. Farmakokinetik
Absorpsi
Absorpsi yang cepat dan sempurna berlangsung setelah injeksi morfin
intramuskular dengan kadar puncak dalam plasma dalam 20-60 menit.
Berat molekul yang rendah dan solubilitas lipid yang tinggi membuat
fentanil dapat diberikan melalui absorpsi transdermal.
Distribusi
Solubilitas morfin dalam lemak yang rendah memperlambat distribusi
melalui sawar darah otak, sehingga onsetnya kerja lambat tetapi durasi
kerjanya lama. Hal ini berkebalikan dengan fentanil dan sufentanil
yang memiliki onset cepat dan durasi kerja singkat. Alfentanil
memiliki onset yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat
padahal solubilitasnya lebih rendah.
Biotransformasi
Biotransformasi opioid terutama berlangsung di hepar. Karena
kecepatan ekstraksi hepar yang tinggi, klirensnya bergantung pada
aliran darah hepar. Morfin mengalami konjugasi dengan asam
glukoronat membentuk morfin 3-glukoronida dan morfin 6-
glukoronida.
Ekskresi
Produk akhir morfin diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena 5-10%
morfin diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin,
gagal ginjal akan memperpanjang durasi kerjanya. Metabolit sufentanil
dikeluarkan melalui urin dan empedu.
2.3.3. Efek pada Sistem Organ
Kardiovaskuler
Secara umum, opioid tidak mengganggu fungsi kardiovaskuler. Dosis
tinggi morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil
berkaitan dengan bradikardi yang dimediasi vagus. Kecuali meperidin,
opioid lain tidak mendepresi kontraktilitas jantung. Tekanan darah
arteri menurun sebagai akibat bradikardi, venodilatasi dan penurunan
refleks simpatik terkadang membutuhkan vasopresor (mis. efedrin).
Respirasi
Opioid mendepresi pernapasan, khususnya frekuensi napas. Opioid
(khususnya fentanil, sufentanil, dan alfentanil) dapat menyebabkan
rigiditas dinding dada dan menyulitkan ventilasi yang adekuat.
Kontraksi otot yang dimediasi sentral ini seringkali terjadi setelah
bolus obat dalam jumlah besar dan paling baik diatasi dengan
neuromuscular blocking agents.
Serebral
Efek opioid terhadap perfusi otak dan tekanan intrakranial tampak
bervariasi. Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen
serebral, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial, namun tidak
seperti barbiturat atau benzodiazepin. Stimulasi kemoreseptor meduler
meningkatkan insiden mual dan muntah.
Gastrointestinal
Opioid memperlambat pengosongan lambung dengan mengurangi
peristalsis.
Endokrin
Opioid memblok pelepasan hormon spesifik seperti katekolamin,
ADH, dan kortisol, terutama opioid kuat seperti fentanil, sufentanil,
alfentanil, dan remifentanil.
2.3.4. Interaksi Obat
Penggunaan opioid bersama dengan MAOI dapat menyebabkan
gagal napas, hipertensi atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia.
Barbiturat, benzodiazepin, dan depresan SSP lainnya dapat
memiliki efek kardiovaskuler, respiratori, dan sedatif yang sinergis dengan
opioid.
2.3.5. Kombinasi Fentanil-Droperidol
Fentail dan droperidol juga tersedia dalam kombinasi tetap yang
mengandung fentanil sitrat 0,05 mg dan droperidol 2,5 mg per mL, untuk
digunakan dalam analgesia dan anestesia neuroleptik. Pada anestesia
neuroleptik kedua obat ini digunakan bersama N2O. Anestesia neuroleptik
dapat mencapai anestesia umum yang memuaskan tetapi kesadaran cepat
kembali bila pemberian N2O dihentikan. Droperidol dan fentanil dapat
diberikan dengan aman pada pasien yang dengan anestesia umum lainnya
mengalami hipPrpireksia maligna. Pada analgesia neuroleptik tidak
cligunakan N2O dan kesadaran pasien tetap baik; keadaan ini sering
digunakan pada tindakan bronkoskopi, sistoskopi, kateterisasi jantung, dan
penggantian pembalut luka bakar.
Droperidol mula kerjanya lambat (10-15 menit) dengan masa kerja
panjang, sebaliknya fentanil mula kerjanya cepat (2 menit) dan masa
kerjanya pendek, maka sebenarnya dapat dilakukan pemberian secara
terpisah. Caranya, induksi dimulai dengan dosis tunggal droperidol (0,15
mg/kgBB), 6-8 menit kemudian diberikan fentail (0,002-0,003 mg/kgBB)
yang dapat diulangi setiap E-8 menit. N2O diberikan bila pasien mulai
rnengantuk dan anestesia dipertahankan dengan cara seperti di atas.
Dengan cara ini akan didapat amnesia, hipnosis, dan analgesia yang
memuaskan.
Ventilasi harus diawasi dengan baik terutama bila digunakan juga
obat penghambat saraf otot. Bila dosis fentanil tak melebihi 0,003
mg/kgBB, pengendalian ventilasi cukup dengan pernapasan terpimpin.
Kadang dapat timbul mual, muntah, dan menggigil pasca bedah.
Analgesia dan anestesia neuroleptik adalah prosedur yang
sederhana dan aman meskipun induksinya berlangsung lambat. Depresi
napas kuat tetapi dapat diperkirakan. Teknik ini berguna pada orang usia
lanjut, sakit berat, atau pasien debil. Efek samping droperidol berupa
perangsangan ekstrapiramidal dan gerak otot spontan dapat terjadi
walaupun lama setelah anestesia dihentikan, tetapi efek samping ini
bersifat swasirna dan dapat diatasi dengan atropin. Obat ini tidak boleh
digunakan pada pasien Parkinson.
2.4. Anestetik Intravena Lainnya
2.4.1. Ketamin
2.4.1.1. Mekanisme kerja1
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu
kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai
sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat. Efek
anestesianya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan
neurotransmittor eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-
aspartat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi
lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot
lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.
Anestesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi
mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini
dikenal sebagai anestesia disosiatif. Disosiasi ini sering disertai
keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-
gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera
pulih setelah 10-15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit,
sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2 jam. Pada masa
pemulihan, dapat terjadi emergence phenomenon yang merupakan ke-
lainan psikis berupa disorientasi, ilusi sensoris, ilusi perseptif, dan
mimpi buruk. Kejadian fenomena ini dapat dikurangi dengan
pemberian diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB 5 menit sebelum pemberian
ketamin.
Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-5
mg/kgBB IM. Stadium depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk
mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25-100
mgIkgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
2.4.1.2. Farmakokinetik2
Absorpsi
Ketamin diberikan secara intravena atau intramuskular. Kadar
puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 10-15 menit setelah
injeksi intramuskular.
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lipid dan tidak terikat kuat dengan
protein bila dibandingkan dengan thiopental. Karakteristik ini
membuat ketamin mudah di-uptake oleh jaringan otak dan
redistribusi. Pemulihan kesadaran terjadi akibat redistribusi ke
kompartmen perifer.
Biotransformasi
Ketamin mengalami biotransformasi di hati menjadi beberapa
metabolit, diantaranya (mis. norketamin) masih memiliki aktivitas
anestetik. Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan
hidrolisis dalam hati, kemudian diekskresi terutama dalam bentuk
metabolit dan sedikit dalam bentuk utuh. Ketamin sangat cepat di-
uptake oleh hepar sehingga waktu paruh eliminasinya menjadi
sangat singkat.
Ekskresi
Produk akhir biotransformasi diekskresikan melalui renal.
2.4.1.3. Efek pada Sistem Organ1
Ketamin adalah satu-satunya anestetik intravena yang
merangsang kardiovaskular karena efek perangsangnya pada pusat
saraf simpatis, dan mungkin juga karena hambatan ambilan
norepinefin. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan curah jantung naik
sampai 25%, sehingga ketamin bermanfaat untuk pasien dengan risiko
hipotensi dan asma.
Refleks faring dan laring tetap normal atau sedikit meninggi
pada anestesia dengan ketamin. Pada dosis anestesia, ketamin bersifat
merang sang; sedangkan dengan dosis berlebihan akan menekan
pernapasan.
2.4.1.4. Interaksi Obat
Diazepam meningkatkan efek kardiostimulasi ketamin dan
memperpanjang waktu paruh eliminasinya. Ketamin menimbulkan
depresi miokardium bila diberikan pada pasien yang dianestesi dengan
halotan.
2.4.2. Etomidat
2.4.2.1. Mekanisme kerja2
Etomidat ialah sedatif kerja sangat singkat nonbarbiturat yang
terutama digunakan untuk induksi anestesia. Obat ini tidak berefek
analgesik tetapi dapat digunakan untuk anestesia dengan teknik
anestesia berimbang.
Etomidat menyebabkan depresi RAS dan meniru efek inhibitori
GABA. Etomidat berikatan dengan subunit dari reseptor GABA tipe
A, meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA.
2.4.2.2. Farmakokinetik
Absorpsi
Etomidat hanya tersedia untuk pemberian intravena dan digunakan
terutama untuk induksi anestesi umum.
Distribusi
Meskipun sangat terikat kuat dengan protein, etomidat memiliki
karakteristik onset yang sangat cepat karena tingkat solubilitas
lipid dan fraksi tidak terionisasi yang tinggi. Redistribusi berperan
dalam penurunan konsentrasi plasma dan tingkat pemulihan
kesadaran.
Biotransformasi
Enzim mikrosomal hepar dan esterase plasma dengan cepat
menghidrolisis etomidat menjadi metabolit inaktif.
Ekskresi
Produk akhir hasil hidrolisis terutama diekskresi melalui urin.
2.4.2.3. Efek pada Sistem Organ
Kardiovaskuler
Etomidat memiliki efek kardiovaskuler yang minimal. Sedikit
penurunan resistensi vaskuler perifer dapat menurunkan tekanan
darah arteri. Kontraktilitas miokardium dan cardiac output tidak
berubah1,2.
Respirasi
Ventilasi tidak terlalu berpengaruh jika dibandingkan dengan
barbiturat atau benzidiazepin. Bahkan dosis induksi tidak
menyebabkan apnea, kecuali bila diberikan bersama dengan
opioid2.
Apnea ringan selama 15-20 menit dapat terjadi pada induksi
dengan etomidat, terutama pada orang usia lanjut. Apnea ini
memanjang bila etomidat diberikan bersama analgesik atau
benzodiazepin1.
Serebral
Etomidat menurunkan kecepatan metabolisme serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial. Karena efek
kardiovaskulernya minimal, tekanan perfusi serebral (cerebral
perfusion pressure = CPP) tetap dapat dipertahankan. Etomidat
bersifat hipnotik-sedatif tetapi tidak memiliki komponen
analgesik2.
Endokrin
Dosis induksi etomidat menghambat enzim yang berperan dalam
sintesis kortisol dan aldosteron. Infus jangka panjang dapat
menyebabkan supresi adrenokortikal yang berkaitan dengan
peningkatan angka mortalitas pada pasien kritis2.
2.4.2.4. Interaksi Obat
Fentanil meningkatkan kadar plasma dan memperpanjang
waktu paruh eliminasi etomidat.
2.4.3. Propofol
Secara kimiawi propofol tidak ada hubungannya dengan anestetik
IV lain. Zat yang berupa minyak pada suhu kamar ini tersedia sebagai
emulsi 1%. Propofol IV 1,5-2,5 mg/kgBB menimbulkan induksi anestesia
secepat tiopental, tetapi dengan pemulihan yang lebih cepat dan pasien
segera "merasa lebih baik" dibanding setelah penggunaan anestetik lain,
propofol dapat digunakan dalam 'day surgery'. Nyeri kadang terasa terjadi
di tempat suntikan, tetapi jarang disertai flebitis atau trombosis. Anestesia
kemudian dipertahankan dengan infus propofol dikombinasi dengan opiat,
N2O, dan/atau anestetik inhalasi lain1.
2.4.3.1. Mekanisme kerja2
Mekanisme kerja propofol dalam menginduksi anestesi umum
berkaitan dengan fasilitasi neurotransmisi inhibitori yang dimediasi
oleh GABA.
2.4.3.2. Farmakokinetik
Absorpsi
Propofol hanya tersedia untuk diberikan secara intravena untuk
induksi anestesi umum dan untuk sedasi menengah sampai dalam2.
Distribusi
Tingkat solubilitas lipid yang tinggi menyebabkan onset kerja
propofol sangat singkat, seperti thiopental. Pemulihan kesadaran
dari dosis bolus tunggal juga cepat karena waktu paruh distribusi
inisial yang sangat singkat (2-8 menit)2.
Biotransformasi
Propofol segera dimetabolisme di hati (lebih cepat daripada
eliminasi tiopental) tetapi klirens totalnya ternyata lebih besar dari
aliran darah hati yang menunjukkan bahwa ada eliminasi ekstra-
hepatik. Sifat ini menguntungkan untuk pasien dengan gangguan
metabolisme hati1. Kecepatan klirensnya sangat tinggi, akibatnya
pemulihan segera berlangsung setelah infus kontinu2.
Ekskresi
Meskipun metabolit propofol terutama diekskresi melalui urin,
gagal ginjal kronik tidak mempengaruhi klirens obat utama2.
2.4.3.2. Efek pada Sistem Organ1
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 30%
tetapi efek ini lebih disebabkan oleh vasodilatasi perifer ketimbang
penurunan curah jantung. Tekanan darah sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau
iskemia otot jantung, tetapi terjadi sensitisasi jantung terhadap
katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip dengan efek
tiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas sampai
apnea selama 30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai
medikasi pra-anestetik.
Dilaporkan adanya kejang atau gerakan involunter selama
induksi. Kelebihan propofol ialah bekerja lebih cepat daripada
tiopental, konfusi pascabedah minimal, dan kurang menyebabkan
mual-muntah pascabedah.
2.4.3.2. Interaksi Obat2
Konsentrasi fentanil dan alfentanil dapat meningkat jika
digunakan bersama dengan propofol. Beberapa klinisi memberikan
midazolam dosis kecil (30 μg/kg) sebelum induksi dengan propofol
karena memberikan efek sinergis (onset yang lebih cepat dan dosis
yang dibutuhkan lebih rendah). Namun, teknik ‘koinduksi’ ini masih
dipertanyakan efisiensinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadikin ZD, Elysabeth. Anastesi Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi
FKUI Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. 2007. hal. 122-38
2. Morgan GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Clinical Anesthesiology Fourth
Edition. USA: McGraw-Hill Companies,Inc. 2006. p.184-202.
Top Related