SEPSIS NEONATORUM
I. PENDAHULUAN
Kematian Neonatus sampai saat ini masih merupakan mortalitas yang tertinggi
sepanjang kehidupan manusia dan berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Dalam
angka kematian bayi (infant mortality rate) dikenal dengan istilah the two third rule atau aturan
2/3, yaitu aturan yang memperlihatkan bahwa 2/3 dari seluruh kematian bayi berusia dibawah
1 tahun merupakan kematian bayi usia kurang dari 1 bulan; dari kematian bayi usia < 1 bulan
tersebut 2/3 merupakan kematian bayi berusia < 1 minggu dan 2/3 dari jumlah tersebut
meninggal dalam 24 jam pertama.
Aturan memperlihatkan bahwa kematian neonatus merupakan komponen utama
kematian bayi (infant mortality rate) yaitu angka yang dipakai sebagai indikator kemajuan
kesehatan di suatu negara. Penyebab kematian neonatus pada negara berkembang berturut-
turut ialah penyakit infeksi (42 %), asfiksia dan trauma lahir (29 %), bayi kurang bulan dan berat
lahir rendah (10 %), kelainan bawaan (14 %) dan sebab lain (4 %). Penyakit infeksi dan Sepsis
Neonatorum masih merupakan masalah utama yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini.
WHO juga melaporkan case fatality rate yang tinggi pada penderita tetanus neonatorum dan
sepsis neonatus.
Dengan pesatnya kemajuan teknologi kedokteran dan penemuan bermacam antibiotik
baru memperlihatkan penurunan angka kematian sepsis neonatorum. Walaupun demikian, hal
ini ternyata tidak memperbaiki angka kejadian sepsis neonatorum. Angka kejadian sepsis yang
masih tetap tinggi baik dinegara maju maupun negara berkembang disebabkan oleh beberapa
faktor perinatal yang masih belum dapat ditanggulangi dengan optimal, antara lain :
1. Sering terjadi dilema dalam tata laksana sepsis. Keterlambatan pengobatan akan
meningkatkan angka mortalitas, sedangkan over diagnosis akibat gambaran klinis yang
tidak spesifik akan menyebabkan over treatment yang tentunya akan merugikan pasien.
1
2. Diagnosis sepsis neonatorum seringkali sulit karena jarang ditemukan tanda sepsis klasik.
Biakan darah yang merupakan baku emas dalam diagnosis sepsis baru memberikan hasil
setelah 3-5 hari pengambilan bahan biakan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu
sama, baik antar klinik, antara waktu, ataupun antar negara. Demikian pula berbagai
pemeriksaan penunjang lain seperti C reaktif protein atau rasio I/T tidak spesifik sehingga
sulit dipakai sebagai pegangan dalam diagnosis pasti sepsis.
3. Adanya informasi baru dalam patogenesis dan perjalanan penyakit sepsis dalam dekade
terakhir memberikan alternatif baru dalam mengatasi masalah sepsis, baik pencegahan
maupun tatalaksana sepsis secara umum beberapa penulisan terakhir memperlihatkan
tata laksana sepsis yang lebih efisien dan efektif.(1)
Segala bentuk infeksi yang terjadi pada bayi merupakan hal yang lebih berbahaya
dibandingkan dengan infeksi yang terjadi pada anak atau dewasa. Sistem imun pada bayi muda
belum cukup berkembang untuk melawan infeksi yang terlalu berat. Ini merupakan alasan
mengapa bayi harus dirawat dengan ketat bila dicurigai mengalami infeksi.(2)
II. DEFINISI
Konsensus definisi sepsis masih diperdebatkan. Sesuai dengan kesepakatan yang ada,
akhir-akhir ini dikemukakan bahwa sepsis bukan merupakan kondisi Homogen dengan
ditemukannya kuman penyebab, tetapi merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari
infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya
kematian. Pada neonatus umumnya ditemukan berbagai tingkat defisiensi sistem pertahanan
tubuh, sehingga respon sistematik pada janin dan neonatus akan berlainan dengan orang
dewasa. Infeksi neonatus awitan dini respons sistematik pada bayi mungkin terjadi saat bayi
masih didalam kandungan yang dikenal dengan istilah fetal inflamatory responce syndrome
(FIRS), yaitu infeksi janin atau neonatus terjadi karena penyebaran infeksi dari kuman vagina
(ascendng infection) atau infeksi yang menjalar secara hematogen dari ibu yang mengalami
infeksi. Dengan demikian konsep infeksi pada neonatus, khusus pada infeksi awitan dini,
2
perjalanan penyakit bermula dengan FIRS, kemudian sepsis, sepsis berat, syok septik/renjatan
septik, disfungsi multiorgan dan akhirnya kematian.
Pada tahun 1991 konsensus The American College of The Physicions and the society of
critical care medicine (ACCP/SCCM) mendefinisikan systematic inflammatory respons syndrome
(SIRS) sebagai respon inflamasi sistemik terhadap berbagai keadaan klinis yang merusak
(trauma, luka bakar, pankreatitis dan infeksi), sedangkan sepsis adalah respons inflamasi
sistemik terhadap infeksi. Pendapat lain menyebutkan sepsis neonatorum sebagai syndrom
klinik penyakit sistematik yang disertai bakteremia dan terjadi pada bulan pertama kehidupan.
Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis yang disertai komplikasi disfungsi organ tunggal dan
hipotensi. Syok septik ditandai dengan sepsis berat yang membutuhkan resusitasi cairan dan
dukungan inotropik. Syndrom disfungsi multi organ yaitu kegagalan multiorgan walaupun
dukungan terapi telah diberikan separuhnya.
III. EPIODEMIOLOGI
Berdasarkan perkiraan WHO terdapat sekitar 5 juta kematian neonatus per tahun. Di
negara berkembang angka mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan)
adalah 34 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis meliputi 11 – 30 % dari seluruh kematian neonatus.
Angka kejadian sepsis dinegara berkembang masih cukup tinggi (1,8 – 18/1000 kelahiran) di
banding dengan negara maju (1-5 pasien/ 1000 kelahiran). Di RSCM periode Januari –
September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68 % dan seluruh kelahiran
hidup dengan tingkat kematian sebesar 14,18 %, tingginya angka kejadian sepsis neonatorum di
RSCM karena merupakan RS. Rujukan. (1)
IV. KLASIFIKASI
Sepsis neonatorum dibedakan menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan
sepsis neonatorum awitan lambat (SWAL). Keduanya berbeda dengan patogenesis,
mikroorganisme penyebab, tata laksana dan prognosis. SNAD terjadi pada usia < 72 jam,
biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari ibu, baik dalam masa kehamilan
maupun selama proses persalinan. SNAL terjadi pada usia > 72 jam, dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang diperoleh selama proses pasalinan tetapi manifestasinya lambat (setelah
3
3 hari) atau biasanya terjadi pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit (Infeksi nasokomial).
Perjalanan penyakit SNAD biasanya lebih berat, dan cenderung menjadi fulminan yang dapat
berakhir dengan kematian. Sepsis lambat mudah menjadi berat, dan sering menjadi meningitis. (3,4)
V. ETIOLOGI
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan
infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan
oleh bakteri. (2)
Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan dalam identifikasi kuman ialah adanya
perbedaan antara kuman penyebab dari satu tempat ke tempat yang lain, dari waktu ke waktu,
serta perbedaan bentuk infeksi. Pada negara maju kuman yang tersering ditemukan pada
infeksi awitan dini adalah kelompok kuman B Streptokokus (GBS), E-coli, Haemophilus
Influenzae dan Lysteria monosytogenis, sedangkan di FKUI RSCM selama tahun 2002 ditemukan
berturut-turut kuman Enterobacter Sp, Acinetobader Sp dan Coli Sp.
Berlainan dengan kelompok awitan dini, pada awitan lambat pola kuman yang
ditemukan.biasanya terdiri dari kuman nosokomial, antara lain Staphilococus aureus, E-coli,
Klebsilla, Pseudamonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia, Acinetobacter, kuman anaerob
dan virus herpes samplex (HSV). Penelitian yang dilakukan di FKUI RSCM memperlihatkan jenis
kuman yang tidak banyak berbeda pada awitan dini dan awitan lambat, yaitu Enterabacter sp,
Klebsiella sp dan Acinotobacter Sp.
Hampir sebagian besar kuman penyebab dinegara berkembang adalah kuman gram
negatif berupa kuman enterik, antara lain Entrobacter sp, Klebsiella sp, dan Coli sp. Di Amerika
Utara dan Eropa Barat 40 % disebabkan oleh Streptococus group B (SGB), sedangkan Coli sp,
Literia sp, dan Enterouius di temukan dalam jumlah yang lebih sedikit.pada bayi dengan berat
badan lahir rendah, Candida dan Stafilokokus koagulase negatif (CONS) merupakan patogen
yang paling umum pada sepsis awitan lambat.(1)
Streptokokus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat
bakterial pada vagina / rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat
4
mengkontaminasi bayi selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif
rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka
biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan
sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator.
Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh
kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas. Bayi berusia
3 bulan – 3 tahun beresiko mengalami bakteremia tersamar, yang bila tidak segera di rawat,
kadang-kadang dapat mengarah ke sepsis. Bakteremia tersamar artinya bahwa bakteri telah
memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas. Tanda paling umum terjadinya
bakteremia tersamar adalah demam. Hampir 1/3 dari semua bayi rentang usia ini mengalami
demam tanpa adanya alasan yang jelas dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka
akhirnya akan mengalami infeksi bakterial dalam darah. S treptokokus pneumoniae
(pneumokokus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteremia tersamar pada bayi
berusia 3 bulan – 3 tahun. (2)
VI. PATOFISIOLOGI
Sepsis merupakan akibat interaksi yang kompleks antara mikroorganisme patogen dan
pejamu. Tinjauan tentang sepsis menghubungkan patofisiologi yang kompleks dalam terjadinya
hipotensi dan obstruksi aliran darah karena pembentukkan mikro trombus pada sistem kapilar.
Hal ini akan mengakibatkan disfungsi organ, yang selanjutnya menyebabkan disfungsi multi
organ dan akhirnya kematian.
Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekuler dan seluler untuk menimbulkan
respon sepsis berbeda tergantung mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapan-tahapan
pada respon sepsis adalah sama dan tidak tergantung faktor penyebab. Respon inflamasi
terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu
endotoksin dari dinding sel yang dilepas pada saat lisis. Organisme gram positif, jamur dan virus
memulai respon inflamasi dengan melepaskan eksotoksin, super antigen dan komponen
antigen sel.
5
Cascade sepsis akan terpicu oleh mikroorganisme tersebut di atas, yang dimulai dengan
pelepasan mediator inflamasi primer. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel sebagai
hasil dari aktifasi makrofag. Pelepasan mediator ini menyebabkan aktifasi sistem koagulasi dan
komplemen. Kerusakan utama akibat aktifasi tersebut terjadi pada endotel dan selanjutnya
akan menimbulkan migrasi lekosit dan pembentukkan mikrotrombin. Aktifasi endotel akan
meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada
tempat cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini
disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi
molekul anti trombotik.
Manifestasi klinis cascade sepsis ini adalah kebocoran kapiler dan vasodilatasi pembuluh
darah yang selanjutnya akan menimbulkan disfungsi organ dan syok. Bila syok, kebocoran
kapiler dan vasodilatasi tidak dapat diatasi, maka akan terjadi disfungsi multi organ dan
akhirnya kematian.
Sebelumnya sepsis dianggap sebagai kelainan inflamasi saja. Penelitian terkini
menunjukkan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi dan gangguan
fibrinologis sehingga tercipta suatu keadaan protrombotik. Hasil akhir Hari dari keadaan ini
adalah gangguan fungsi multi organ. Gambar 3 memperlihatkan hilangnya homeostasis pada
sepsis sebagai akibat mekanisme tersebut di atas.
Mediator inflamasi primer mengaktivasi neutrofil untuk melekat pada sel endotel,
aktivasi trombosit, metabolisme asam arakidonat, dan mengaktivasi sel T untuk memproduksi
IFN-γ, IL-2, IL-4 dan granulocyte macrophage coloni stimulating factor (GMCSF). Agen lain
sebagai bagian kaskade sepsis adalah molekul adhesi, kinin, trombin, myocardial depressant
substance, beta endorphin, and heat shock protein. Molekul adhesi dan trombin dapat
membantu kerusakan endotel, sedangkan IL-4, IL-8, dan heat shock protein dapat melindungi
terhadap kerusakan.
Sel endotel yang cedera dapat menyebabkan granulosit dan konstituen plasma
memasuki jaringan inflamasi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Inflamasi sel endotel
menyebabkan vasodilatasi melalui kerja nitric oxide pada otot polos pembuluh darah. Hipotensi
6
berat terjadi akibat produksi nitric oxide yang berlebihan, pelepasan peptida vasoaktif seperti
bradikinin, serotonin, dan ekstravasasi cairan ke ruang interstisial akibat kerusakan sel endotel.
Respons inflamasi sebetulnya bertujuan meningkatkan respons imun untuk
mengeliminasi mikro-orgamsme atau produk mikro-organisme tersebut. Bila eliminasi tersebut
tidak berhasil, maka inflamasi dapat meluas dan berlebihan sehingga terjadi kerusakan jaringan,
gangguan mekanisme koagulasi, renjatan, dan lain-lain. Sebagai respons terhadap mediator
proinflamasi, terjadi produksi sitokin anti inflamasi. Dalam keadaan normal terdapat
keseimbangan antara proinflamasi dan anti inflamasi. Beberapa sitokin anti inflamasi IL-4, IL-10
dan IL-13 menghambat produksi sitokin dari leukosit. IL-4 dan IL-10 dapat menghentikan
produksi monosit/makrofag yaitu TNF-a, IL-1, IL-6 dan IL-8. IL-1 receptor antagonist (IL-lra)
merupakan sitokin antagonis terlarut, menghambat aktivitas IL-1 dengan mengikat reseptor IL-
1. Reseptor TNF terlarut (sTNFr) merupakan reseptor yang terdapat di sirkulasi, terikat erat
pada sel pejamu, berperan sebagai antagonis TNF. Pemberian IL-10 juga melemahkan produksi
TNFa dan menurunkan kematian, sedangkan anti IL-10 dihubungkan dengan mortalitas yang
meningkat pada hewan yang terkena sepsis.
Sitokin proinflamasi mengaktivasi jalur klasik dan alternatif sistem komplemen. Sistem
komplemen merupakan komponen utama innate immunity. Meskipun demikian bila terjadi
overaktivasi akan menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk komplemen lain akan
menimbulkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis
leukotrien, peningkatan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi dan produksi
oksigen radikal toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari sel
mast dan peningkatan permeabilitas kapiler, menyebabkan perembesan cairan ke ruang
interstisial. Pada model binatang, C5a menyebabkan hipotensi, vasokonstriksi pembuluh darah
paru, neutropenia dan kebocoran vaskular disebabkan oleh kerusakan endotel.
Trombosit juga terlibat dalam kaskade sepsis, walaupun buktinya belum jelas. Trombosit
dapat menyebabkan kerusakan endotel melalui 2 cara, yaitu: menginduksi vasokonstriksi dan
stimulasi neutrofil. Turunan trombosit, transforming growth factor bl juga terlibat.
7
Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi.
Penghancuran fibrin penting bagi penyembuhan luka, angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis yaitu tissue-type
plasminogen activator (t-PA) dan uroki-nase type plasininogen activator (u-PA) merubah
plasminogen menjadi plasmin. Sekali terbentuk plasmin, akan terjadi protcolisis fibrin. Tubuh
mempunyai inhibitor fibrinolisis natural yaitu PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis
inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor ini dibutuhkan untuk mempertahankan homeostasis.
Aktivitas fibrinolitik secara lengkap dihambat 3-4 jam setelah awitan endotoksemia
Pada pasien sepsis terjadi gangguan koagulasi dan fibrinolisis. Disseminated
intravascular coagulation (DIC) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Aktivasi koagulasi
dan konsumsi trombosit menyebabkan deposisi fibrin pada pembuluh darah kecil-sedang.
Bekuan darah ini menyumbat aliran darah sehingga perfusi ke organ menurun dan akan
menyebabkan disfungsi multi organ. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan
menginduksi komplikasi perdarahan berat. DIC secara bersamaan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan.
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu
menghilangkan mikrotrombin TNF-a menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar
PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin
degradation product (FDP) yang sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator
proinflamasi (TNF-a dan IL-6) bekerja sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga
menyebabkan trombosit pada pembuluh darah kecil dari sedang, yang selanjutnya
menyebabkan disfungsi organ. Secara klinis disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai
gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal, dan kematian pada kasus yang berat.
Efek kumulatif kaskade sepsis adalah keadaan tanpa keseimbangan. Inflamasi dominan
terhadap anti inflamasi dan koagulasi dominan terhadap fibrinolisis, sehingga terjadi trombosis
mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia, dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik,
kegagalan multi organ dapat terjadi, dan akhirnya kematian.
8
Kerusakan jaringan
Patogenesis kerusakan jaringan sangat kompleks. Kerusakan jaringan terjadi selama
proses inflamasi dan merupakan suatu proses yang progresif yang akhirnya menimbulkan
gangguan fungsi organ. Neutrofil dalam sirkulasi berinteraksi dengan sel endotel pembuluh
darah melalui 3 tahap yaitu menggulung, adhesi dan migrasi. Proses menggulungnya leukosit
diperantarai sitokin proinflamasi yang menginduksi ekspresi selektin pada leukosit dan endotel.
Adhesi terjadi melalui ikatan leukosit b2 integrins pada endothel:al intracellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Ekspresi molekul adhesi meningkat pada hampir semua pasien dengan
sepsis berat dan paling tinggi pada pasien dengan disfungsi organ multipel. Selanjutnya leukosit
akan bermigrasi ke jaringan.
Leukosit polimorfonuklear (PMN) adalah salah satu mediator selular utama pada
kerusakan jaringan. Leukosit PMN tersebut menumpuk di jaringan sebagai respons terhadap
endotoksin dan IL-8, yaitu chemoattractan kuat dan aktivator leukosit PMN. Kerusakan jaringan
terjadi akibat degranulasi leukosit yang menghasilkan protease (termasuk elastase dan matriks
metaloprotein yang dapat memecah struktur protein) dan reactive oxygen species (ROS).
Neutrofil yang teraktivasi memproduksi sejumlah besar ROS yang berasal dari NADPH oxidase
membran sel yang selanjutnya memproduksi oxygen free radical dan hydroxyl radical. Radikal
bebas ini dihubungkan dengan kerusakan jaringan, namun juga merupakan bagian dari efek
sitotoksik mikroba oleh neutrofil.
Disfungsi multi organ
Gangguan fungsi paru sering terjadi pada pasien sepsis atau SIRS, dan bermanifestasi
sebagai takipneu, hipoksemia, dan alkalosis respiratorik. Pada keadaan berat akan terjadi acute
lung injury dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi ARDS terjadi pada lebih
dari 60 % kasus syok septik. Proses patologik utama adalah disfungsi endotel kapiler paru yang
mengakibatkan edema alveolar dan interstisial yang berisi cairan eksudat dengan kadar protein
yang tinggi dan sel fagosit. Permeabilitas endotel meningkat sebagai respons terhadap sitokin
proinflamasi yang selanjutnya akan terjadi kerusakan alveolus dan destruksi membran basalis.
9
Neutrofil bersekuestrasi dalam paru sebagai respons terhadap IL-8. Konsentrasi IL-8 dalam
cairan
Gangguan hemodinamik menyebabkan gangguan perfusi dan arterivenous shunting
sehingga menghasilkan hipoksia jaringan dan asidosis laktat. Bukti menunjukkan bahwa nitric
oxide berperan dalam terjadinya hipoksia jaringan dan peningkatan konsentrasi ROS yang
berasal dari mitokondria.
Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 50 % kasus syok septik dan secara bermakna
mcningkatkan mortalitas. Sitokin menginduksi vasodilatasi sistemik dan hipovolemia relatif
serta menyebabkan hipoperfusi ginjal. Ginjal memproduksi vasokonstriktor intrinsik sebagai
respons terhadap sitokin. Metabolit asam arakidonat: (tromboksan dan leukotrien)
menurunkan aliran darah ke ginjal, dan antagonis tromboksan dan leukotren terbukti
mempunyai efek proteksi. Seperti jaringan lain, ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan
akibat aktivasi leukosit, produksi protease, dan ROS. (1)
VII. DIAGNOSIS
Sepsis dikemukakan sebelumnya, dalam konsep baru Cascade infeksi, diagnosis sepsis
neonatus ditetapkan apabila terdapat SIRS yang disertai deteksi baik tersangka infeksi ataupun
terbukti infeksi. Tersangka infeksi bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain). Sedang terbukti (suspected infection) infeksi (proven infection) bila ditemukan
kuman penyebab.
Selain masalah identifikasi kuman/diagnosis klinis sepsis neotarum mempunyai masalah
tersendiri. Gambaran klinis sepsis neonatorum tidak spesifik. Berbagai penelitian dan
pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum baik
berdasarkan anamnesis ( termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis ) ,
gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu dengan
tempat yang lain.
10
Faktor resiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, bayi dan lain-lain.
Faktor resiko ibu :
Ketuban pecah din dan ketuban pecah > 18 jam. Bila ketuban pecah > 24 jam maka
kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1 % dan bila disertai korioamnionitis maka
kejadian sepsis meningkat menjadi 4 kali.
Infeksi dan demam (> dari 38 0C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh streptokokus group B (GBS), kolonisasi perineal oleh
E.coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
Kehamilan multipel
Keputihan yang tidak diobati
Infeksi saluran kemih (ISK) yang tidak diobati
Leukositosis ibu > 18.000/ml
Faktor resiko pada bayi
Prematuritas dan berat lahr rendah
Resusitasi pada soal kelahiran misalnya pada bayi yang mengalami fetal distres dan trauma
pada proses persalinan.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, kateter, infus, pembedahan
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E.coli), defek imun atau asplenia
Asfiksia neonatorum
Cacat bawaan
Tanpa rawat gabung
Pemberian nutrisi parenteral
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama
Faktror resiko lain
11
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki dari pada bayi perempuan. Lebih sering pada bayi kulit hitam dari pada kulit
putih, lebih sering pada bayi dengan status sosial ekonomi yang rendah, dan sering terjadi
akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga
pasien.(1)
Gambaran Klinis
Tanda dan gejala sepsis neonatorum tidak spesifik dengan diagnosis banding yang
luas termasuk gangguan nafas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit sistem saraf
pusat, penyakit jantung dan proses penyakit infeksi lainnya. (4) .
Pelepasan dini mediator inflamasi menyebabkan demam, takikardi, takipnu dan
vasodilatasi (menimbulkan kulit yang hangat). Jika repon tersebut tidak dikontrol dengan baik,
akan menyebabkan hipoperfusi,somnolen dan penurunan jumlah urin. Tanda awal mungkin
terbatas pada hanya satu sistem seperti apnea, takipnea dengan retraksi, atau tatikardia,
namun pemeriksaan laboratorium dan klinis secara menyeluruh biasanya akan mengungkapkan
kelainan lainnya. Manifestasi klinis sepsis neonatorum antara lain :
SSP Letargi, refleks hisap buruk, limp, tidak dapat dibangunkan, poor or high pitch cry, iritable, kejang
Cardovaskular Pucat, sianosis, clummy skin
Respiratorik Takipnea, Apnea, merintih, retraksi
Saluran Pencernaan Muntah, Diare, Distensi abdomen
Hematologik Perdarahan, jaundice
Kulit Ruam, purpura, pustula
Manifestasi akhir spesis meliputi tanda-tanda edema serebral dan atau trombosis, gagal
nafas, sebagai akibat sindrom distres respirasi didapat (ARDS) hipertensi pulmonal, gagal
jantung, gagal ginjal. Penyakit-penyakit hepotoseluler dengan hiperbilirubinemia dan
peningkatan enzim waktu protombin (protombin time) dan waktu trombaplostin parsial
( partial tombroplostin time (PTT) ) yang menunjang syok septik pendarahan adrenal disertai
12
infusiensi adrenal, kegagalan sumsum tulang, (trombositopenia/neutropenia, anemia ) dan
koagulasi intravaskuler diseminata (diseminated introvascular coagulation- DIC ). (5)
Kriteria Diagnosis Sepsis pada Neonatus (X)
Variabel Klinis
- Suhu tubuh yang tidak stabil
- Laju nadi > 180 x/mnt atau < 100 x/mnt
- Laju nafas > 60 x/mnt dengan retraksi/desaturasi oksigen
- Letargi
- Intoleransi glukosa (plama glukosa > 10 mmd/L)
- Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik
- Tekanan darah < 2SD menurut usia bayi
- Tekanan darah sistolik < 50 mmHg (bayi usia 1 hari)
- Tekanan darah sistolik < 65 mmHg (bayi usia < 1 bulan)
Variabel perfusi jaringan
- Pengisian kembali kapiler/capilary refill > 3 detik
- Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel inflamasi
- Leukositosis (> 34.000 /ml)
- Leukopenia (< 5000/ml)
- Imatur neotrofil : total neutrofil (IT) ratio > 0,2
- Trombositopenia < 100.000/ml
- CRP > 10/dl atau > 2 SD atas nilai normal
- IL -6 atau IL -8 > 70 mg/ml
- 16 sPCR positif
Pemeriksaaan penunjang
13
Evaluasi laboratorium dapat membantu diagnosis dan konfirmasi sepsis. Kultur darah
yang positif, cairan serebrospinal atau urin adalah baku emas sepsis. Namun kadangkala hasil
kultur pada neonatus pada resiko tinggi dapat dipengaruhi oleh paparan antibiotik sebelumnya.
Kultur urin dilakukan jika terdapat kekurangan sepsis awitan lambat.
Pemeriksaan laboratorium
Bukti adanya infeksi
Biakan dari tempat yang secara normal steril ( darah, CSS dll)
Ditemukan adanya mikroorganisme dalam jaringan atau cairan
Deteksi antigen ( urin, CSS)
Serologi ibu / neonatus ( sifilis, toksoplasmosis)
Autopsi
Bukti adanya radang
Leukositosis, rasio neutrofil imatur/ total meningkat
Reaktan fase akut : PRC, LED
Sitokin = IL-6
Pleositosis dalam CSS, sinovia, cairan pleura
Koagulasi intravaskular tersebar, produk pecahan fibrin
Bukti adanya penyakit sistem multiorgan
Asidosis metabolik : PH , PCO2
Fungsi paru : PO2, PCO2
Fungsi ginjal : BUN , kreatinin
Fungsi hati : bilirubin, SGOT, SGPT, amonia, PT,PTT
Fungsi sumsum tulang ; neutropenia, anemia, trombositopenia
Petanda diagnosis yang ideal memiliki kriteria yaitu nilai cutoff tepat yang optimal, nilai
diagnostik yang baik yaitu sensitivitas mendekati 100%, spesifitas >85%, positive probable
14
value(PPV) >85%, negative probable value (NPV) mendekati 100% dan dapat mendeteksi infeksi
pada tahap awal.
Petanda hematologik yang digunakan adalah hitung sel darah putih total, hitung
neutropil, neutropil imatur, rasio neutropil imatur dengan neutropil total (IT), micro erytrocyte
sedimentation rate (ESR), dan hitung trombosit. Tes laboratorium yang dikerjakan adalah CRP,
prokalsitonin, sitokin IL6, GCSF, tes cepat (rapid test), untuk deteksi antigen dan panel skrining
sepsis. (5)
Komponen untuk skrining sepsis yang dihubungkan dengan sensitivitas dan spasifitas
Uji nilai abnormal sensitivitas spesifitas
CRP
hitung leukosit total
hitung neutropil absolut
rasio neutropil
imatur:total
GCSF
> 10mg/L
<5000, >15000
<18000/mm3
>20%
>200Pq/ml
47-100%
17-89%
38-96%
90-100%
95%
83-94%
81-98%
61-92%
50-78%
73%
Saat ini kombinasi yang petanda terbaik untuk mendiagnosa sepsis adalah sebagai
berikut : IL6 dan IL1ra untuk 1-2 hari setelah muncul gejala ; IL6 (atau IL1ra, IL8, GCSF, TNF, CRP,
dan hematological indecis pada hari ke 0 ); CRP, IL6 (atau GCSF dan hematological indices pada
hari ke1) ; dan CRP pada hari berikutnya untuk memonitor respon terhadap terapi. Penggunaan
CRP dan IL6 secara simultan memiliki sensitivitasb 100% karena peningkatan CRP plasma terjadi
pada 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL6 telah menurun. (1)
Pendekatan diagnosis
Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai
sensitifitas dan spesifitas yang cukup baik sebagai indikator sepsis, sehingga hasil laboratorium
harus digunakan bersama dengan faktor resiko dan gejala klinis.
Philip dan havitt pada tahun 1980 mengemukakan cara penapisan sepsis neonatorum
awitan dini, berdasarkan kombinasi dan hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu :
15
Jumlah leukosit < 5000/mm3
Rasio neutropil imatur : total neutropil = 0,2
Laju endap darah = 15 mm/jam
Latex CRP positif (>0,8 mg/100ml)
Latex haptoglobin ( > 25 mg/100ml)
Kriteria sepsis terpenuhi bila terdapat 2 atau lebih hasil tersebut dengan sensitifitas
93%, spesifitas 88%, dan PPV 99%. Bila kurang dari 2 macam pemeriksaan yang memberikan
hasil positif maka kemungkinan bukan sepsis mencapai 99%. Mereka juga mengemukakan
kombinasi leukopenia dan peningkatan rasio neutropil imatur : total merupakan petanda
prediksi sepsis awitan dini yang baik. penapisan sepsis ini sederhana, mudah dilakukan, praktis.
Pada tahun 1982, Wiswell menerapkan kriteria yang sama untuk mendeteksi sepsis
neonatorum awitan lambat. Mereka juga berpendapat bahwa rasio neutropil imatur: total
kurang sensitif sebagai petanda sepsis awitan lambat dibandingkan petanda sepsis awitan dini
(58% berbanding 90%). Sebaliknya latex CRP menunjukan sensitifitas yang lebih tinggi sebagai
petanda sepsis awitan lambat dibandingkan sebagai petanda sepsis awitan dini (75%
berbanding 47%).
Spektur dkk pada tahun 1980 mengemukakan sistem skoring 5 poin untuk memprediksi
kultur bakteri positif pada bayi yang dievaluasi untuk infeksi bakteri berdasarkan anamnesis,
klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Bayi yang memiliki skor > 3 mempinyai resiko tinggi
untuk terinfeksi dan harus diterapi dengan antibiotik.
Sistem skoring untuk prediksi kultur bakteri positif
Penemuan skor
Lebih dari 2 sistem organ terlibat
Jumlah leukosit total < 10000 atau =20000/mm3
Jumlah neutropil absolut < 1000 /mm3
rasio neutropil batang : neutropil matur
usia >1 minggu
1
1
1
1
1
16
Rodwell dkk pada tahun 1987 mengumumkan sistem skoring heatologis untuk
menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum dini dan lambat. Semakin besar skor semakin
besar kemungkinan sepsis. Dengan skor = 3 sensitivitas mencapai 96 % , spesifisitas 78%. PPV
31%, NPV 99%.
Sistem skoring hematologis untuk menegakan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini dan
lambat
skor---------------------------------------------------------------------------------------------------1. Rasio imatur : total neutrofil meningkat 12. Jumlah total PMN meningkat atau menurun 13. Rasio imatur : matur neutrofil = 0,3 14. Jumlah imatur PMN meningkat 15. Jumlah total leukosit menurun / meningkat (=5000/mm3 atau =23000,
30000,21000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam dan usia 2 hari) 16. Terdapat perubahan degeneratif pada PMN = 3+| untuk vakualisasi,
granulasitoksik, badan dohle 17. Jumlah trombosit= 150000/mm3 1
Mahieu dkk pada tahun 2000 membuat sistem skoring untuk memprediksi sepsis
nosokomial pada neonatus yang dirawat di ruang perawatan intensif bayi baru lahir.
Berdasarkan pengolahan data tersebut disusun kriteria untuk memprediksi nasokomial pada
neonatus yang disebut skor NOSEP 1. Total skor maksimum 24. Skor = 8 memiliki sensitivitas 95
%, spesivitas 43%, PPV 54%, NPV 93%. Skor = 14 memiliki sensitivitas 96%, spesifitas 100%, PPV
100%, dan NPV 60%.
Kreiteria di atas oleh fidia segar disebut a rule of 14, yaitu nutrisi parenteral 14 hari, CRP 14
mg/ml. Trombosit 140x 10 9/l,dan skor NOSEP 14. (1)
SKOR NOSEP 1 untuk memprediksi sepsis nasokomial pada neonatus.
Skor
17
Nutrisi parenteral = 14 hari 6
CRP = 14mg/ml 5
Trombositopenia (<150 x 10 9/l) 5
Demam (>38,2 C atau 100,8 F) 5
Neutrofil >50% 3
VIII. TATALAKSANA
Pengendalian infeksi
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa
menuggu hasil kultur darah. Penggunaan antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan
memperhatikan pola kuman penyebab tersering ditemukan di klinik tersebut. Selain itu,
hendaknya diperhatikan pola resistensi kuman masing-masing klinik. Segerea setelah
didapatkan hasil kultur darah, maka jenis antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab dan
pola resistensinya. Bila hasil kultur tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan
bayi secra klinis baik, maka antibiotik harus dihentikan. Tapi bila bayi tersebut menderita
pneumonia atau terdapat gejala klinis sepsis, antibiotik sebaiknya tidak dihentikan walaupun
hasil kultur steril. Lama pemberian terapi antibiotik selama 10-14 hari, sedangkan penderita
yang disebabkan oleh kuman Gram negatif pengobatan kadang-kadang diteruskan sampai 2-3
minggu. Pada meningitis antibiotik diberikan 2-3 minggu.
Terapi antibiotik pada bayi prematur dan berat lahir kecil dengan tersangka sepsis
umumnya dimulai pada saat lahir dan dilanjutkan sampai 5 hari atau lebih walaupun kultur
darah steril. Bayi dan ibu yang memperoleh antibiotik intrapartum akan mempersulit dokter,
karena pertumbuhan kultur dapat dihambat. Bila ibu diberi antibiotik intrapartum, maka bayi
tetap diobservasi maksimum 48 jam setelah lahir dan bila terdapat gejala klinis sepsis, harus
dilakukan evaluasi diagnosis dan terapi empirik. Pada kasus simtomatik sebaiknya diterapi 10
hari walau kultur darah steril. Untuk asimtomatik, keputusan dibuat sesuai dengan data kultur
dan laboratorium (hitung lekosit < 5000/mm3 atau > 30000/mm3, ratio imatur/ total netrofil
>0,2, CRP > 0,8 mg/dl, micro eritrosit sedimentation rate > 15mm/jam). Bila uji tapis sepsis pada
bayi yang asimtomatik menunjukkan hasil negatif, kemungkinan infeksi sangat rendah. Pada
18
umumnya terapi antibiotik diberikan pada bayi prematur asimtomatik dengan hasil uji tapis
positif.
Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan resistensi dibandingkan spektrum
sempit. Sampai saat ini masih ada pemikiran yang keliru bahwa antibiotik spektrum luas lebih
baik karena dapat lebih banyak mencakup banyak organisme. Surveilens bakteri dan pola
resistensi harus secara rutin dilakukan di setiap unit neonatal untuk menetapkan kebijakan
penggunaan antibiotik di masing-masing unit. Pemakaian antibiotik berlebihan juga dapat
menyebabkan sepsis jamur pada neonatus.
Untuk menurunkan resistensi mikroorganisme diperlukan 2 strategi umum : yaitu
kontrol infeksi dan kontrol antibiotik. Rotasi antibiotik dilaporkan efektif menurunkan resistensi
dibeberapa tempat. Anjuran periode rotasi antibiotik adalah : 2 bulan. Sebagai contoh rotasi
antiibiotik yang mengandung beta laktam : agen beta laktam ditambah beta laktamase inhibitor
(misal ampisilin sulbaktam, amoksilin klavulanat) selam 2 bulan- karbapenem selama 2 bulan-
sefalosporin generasi ke 3 atau ke 4 selama 2 bulan dan seterusnya. Pada kasus yang berat
sebaiknya dikombinasikan dengan aminoglikosida untuk mencegah munculnya mutan resisten.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD terapi empirik harus meliputi SGB, E, coli, listeria monocytogenes,
kombinasi penisilin / ampisilin dengan aminoglikosida umunya efektif terhadap semua
organisme penyebab SAD. Infeksi listeria dapat diobati dengan ampisislin saja, untuk infeksi
SGB dan sebagian besar kuman anaerob dengan penisilin. Meskipun demikian terapi kombinasi
penisilin/ampisilin dan aminoglikosida sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri
Pemilihan antibiotik sepsis awitan lambat
kombinasi penisilin / ampisislin dan aminoglikosida dapat juaga digunakan untuk terapi
awal SAL. Infeksi nosokomial lebih disukai netilmisin/amikasin. Pada kasus dengan resiko
pseudomonas (terdapat lesi kulit topikal) dapat diberikan piperasilin dan seftazidim
(sefalosporin generasi ketiga). Infeksi bakteri negatif gram dapat diobati dengan kombinasi
turunan penisilin (ampisilin, atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida., sefalosporin
19
generasi ke 3 dikombinasi dengan aminoglikosida. Antibiotik baru untuk kuman gram negatif
yang resisten terhadap antibiotik lain, adalah imipenem/meropenem, karbapenem, aztreonam
dan isepremisin.(1)
Staphylococci sensitive terhadap antibiotic golongan penisilin resisten penisilinase (misal
: oksasiklin, nafsilin, dan metilsilin ). Strain resisten yaitu CONS ( Staphylococcus koagulase
negatif ) sensitive terhadap vankomisin, kombinasi vankomisin dan aminoglikosida
menghasilkan efek bakterisidal yang lebih baik untuk infeksi jamur dapat dipakai = amfoterisin
B ( liposomal ), pilihan lain yaitu fluconazole. Bila sudah terjadi komplikasi meningitis enteric
gram negatif, obat yang saat ini paling baik adalah cefotaxime, oleh karena bakteridalnya tinggi
dan toksisitasnya rendah.(3)
Divisi paranatologi RSCM, dengan mempertimbangkan pola kuman yang tersering
ditemukan, memberikan antibiotik spectrum luas sambil menunggu biakan darah / uji
resistensi. Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah sefalosporin ( sefotaksim )
dikombinasi dengan amikasin. Pilihan kedua ampisilin dikombinasikan dengan kloramfenikol.
Pilihan selanjutnya kotrimoksazol. Pada pemberian antibiotik ini yang perlu mendapat
perhatian adalah pemberian kloramfenikol pada neonatus tidak melebihi 50 mg / kg bb / hari
untuk mencegah terjadinya sindrom “ grey baby” dan pemberian sefalosporin serta
kotrimoksazol tidak dilakukan pada bayi < 1 minggu.(7)
Walaupun pemberian antibiotik masih merupakan tata laksana utama pengobatan
sepsis neonatorum berbagai upaya pengobatan tambahan banyak dilakukan dalam upaya
memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan / terapi inkonvensional semacam ini selain
mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan tubuh neonatus. Juga
dalam mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi
pasien sepsis neonatorum. (1)
Antibiotik Dosis
tunggal/kgbb
Frekuensi Cara
pemberian
Cacatan
Amikasin 10 mg satu kali IV
7,5 mg setiap 12 jam IV
Garamisin 5-7 mg Satu kali IV
20
Netilmisin 2,5-3 mg Setiap 12 jm IV
Gentamisin 2,5 mg Setiap 12 jam (umur
<7 hari), setiap 8 jam
( umur > 7 hari)
Ampisilin 25-50 mg Setiap 12 jam
(umur<7 hari) setiap
8 jam {umur > 7 hari)
IV
I M Oral
50 mg/kg/6 jam untuk
meningitis
Cefotaxime 25 mg setiap 1 2 jam IV IM 150-200 mg/kg/ hari pada
infeksi berat
Kloramfenikol prematur 25
mg matur
50 mg
sekali sehari (bayi
berumur < 1 4 hari)
setiap 1 2 jam
(umur> 14 hari
IM oral - kadar dalam darah harus
dimonitor • kadar terapeutik
15-25mg/l - kadar toksik 50
mg/l
Metronidazol 7,5 mg setiap 8 jam IV
Oral
Penisilin G
(benzilpeni-silin)
1 5-30 mg setiap 1 2 jam (umur
< 7 hari) setiap 8 jam
(umur > 7 hari)
IV IM 30 mg/kg/dosis untuk infeksi
Streptococcus
Piperasilin 50 mg setiap 1 2 jam IV IV
Vankomisin 15 mg setiap 1 2 jam
selama 1 jam
IV monitor kadar dalam darah,
batas atas 25-40 jig/ml,
batas bawah 5-10}ig/ml
Amfoterisin B 0,1 mg dinaikkan
sampai 1 ,0 mg
selama 7 hari
setiap hari IV selama 6
jam
Efek samping: fungsi ginjal
menurun. Tera- ; pi infeksi
jamur sis'emik selama 4-6
minggu
21
1. Memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan(6)
2. Pengobatan komplikasi
22
Pernafasan : kebutuhan oksigen meningkat, yang harus dipenuhi dengan pemberian oksigen,
atau kemudian dengan ventilator.
Kardiovaskular: menunjang tekanan darah dan perfusi jaringan, mencegah syok dengan
pemberian volume expander 10-20 ml/kgBB ( NaCl 0,9%, albumin dan darah). Catatan
pemasukan cairan dan pengeluaran urin. Kadang diperlukan pemakaian dopamine atau
dobutamin.
Hematologi : untuk DIC ( trombositopeni, protrombin time mamanjang, tromboplastin
meningkat), sebaiknya diberikan FFP 10 ml/KgBB, vit K, suspensi trombosit, dan
kemungkinan transfuse tukar. Apabila terjadi neutropeni, diberikan trasfusi neutrofil
Susunan syaraf pusat : bila kejang beri fenobarbital ( 20 mg/KgBB loading dose) dan monitor
timbulnya syndrome inapropiate hiponatremia hormone (SIADH), ditandai dengan ekskresi
air turun, hiponatremia, osmolaritas serum turun, naiknya berat jenis urin dan osmolaritas.
Metabolic : monitor dan terapi hipo dan hiperglikemia. Koreksi asidosis metabolic dengan
bikarbonat dan cairan.(4)
Tranfusi tukar
Tindakan ini bertujuan untuk :
Mengeluaarkan /mengurangi toksin /produk bakteri dan mediator penyebab sepsi
Memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen
dalam darah
Memperbaiki sistem imun dengan adnya tambahan neutropil dan berbagai antibody
yang mungkin terkandung dalam darah donor
23
Kendala yang sering terjadi adalah pelaksanaan yang suklit dan mempunyai potensi
menimbulkan reaksi tranfusi (1)
3. Kortikosteroid
Pada awalnya pasien sepsis diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi untuk
mengatasi reaksi inflamasi akibat infeksi, akan tetapi hal ini tidak di anjurkan lagi karena
terbukti tidak membawa perbaikan. Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien
sepsis lebih ditujukan untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi
adrenal. Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok septic karena terbukti
memperbaiki respons terhadap katekolamin dan meningkatkan survival.(1)
Efek anti inflamasi glikokortikoid
Anti inflamasi mekanisme
Produksi sitokin proinflamasi
Produksi sitokin anti infalmasi
Migrasi sel inflamasi
Ekspresi medistor inflamasi
Ekspresi marker membran sel
Apoptosis
inhibisi sintesis IL2,3,4,5 IFN9, GMCSF limfosit T
InhibisisintesisIL1,TNFa,IL6,8,12,MIFmakrofag/
monosit
Inhibisi sintesis IL 8 neutropil
peningkatan sintesis antagonis reseptor IL10,IL1
inhibisi produksi kemokin MCP, IL8
Stimulasi produksi MIF dan lipokortin makrofag
inhibisi sintesis PLA2, soluble, induksi sintesis COX
inhibisi molekul adhesi ICAM1, ECAM2, LFA1
eosinofil dan limfosit T matur Dikutip dari prigent dkk 2004
4. Pemberian Imunoglobulin secara Intravena ( IVIG)
Pemberian IVIG dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan antibody tubuh serta
memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG sebagai tata
laksana tambahan masih bersifat kontroversi. Dilaporkan bahwa IVIG tersebut lebih bermanfaat
24
sebagai profilaksis sepsis neonatorum ( khususnya pada baya BBLR ) dibanding bila dipakai
sebagai terapi standar sepsis.(1)
5. Tata laksana imunologik sepsis neonatorum
Seperti telah dikemukakan terdahulu dalam konsep baru infeksi neonatus ditemukan
perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun selular. Salah satu respon yang terjadi
pada infeksi sistemik adalah terbentuknya sitokin baik sitokin proinflamasi (IL2,IL6, IFNY, TNF
alpha) maupun antiinflamasi (IL4,IL10). Bila terdapat dominan sitokin proinflamasi maka akan
terjadi renjatan dan disfungsi organ. Sedangkan sebaliknya bila sitokin anti inflamasi berlebihan
akan terjadi supresi terhadap sistem imun. Oleh karena itu hipotesis menyatakan pengurangan
sirkulasi TNF alpha dan IL1 (sitokin proinflamasi) dalam sirkulasi akan menghambat
perkembangan cascade sepsis. Hipotesis ini dibuktikan dengan menyuntikan reseptor antagonis
IL1 (IL1 ra) pada binatang percobaan dapat merintangi aktivitas IL1 sehingga terhindar dari
akibat bakterimia dan endotoksemia.
Pelaporan penelitian tersebut mempunyai arti penting dalam tat laksana sepsis
neonatorum. Pada bayi denangan resiko dimungkinkan merencanakan tata laksana sepsis secra
lebih efisien sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi
dapat dihindarkan. Penelitian klinik terhadap pemberian terapi IL1ra dan anti TNF alpha pada
penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila penelitian klinik ini dapat
memberikan hasil seperti yang diperoleh pada penelitian eksperimental, diharapkan tata
laksana sepsis neonatorum akan lebih optimal. (1)
IX. PENCEGAHAN
Meningkatkan dan memperbaiki perawatan prenatal, menganjurkan agar ibu hamil
dengan resiko tinggi supaya melahirkan di rumah sakit yang ada tempat perawatan khusus
untuk bayinya, dan melengkapi adanya alat transportasi modern yang dapat mengurangi resiko
ibu dan neonatus terjangkit infeksi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian
25
antibiotic profilaksis pada ketuban pecah dini, infeksi peripartum, sindrom gawat nafas,
transfusi tukar, tindakan operasi pada neonatus, dan pemasangan kateter melalui umbilicus
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk mencegah terjadinya wabah penyakit
ditempat rawat neonatus, perlu dilakukan pembersihan ruangan dan tempat tidur bayi,
sterilisasi alat secara teratur, upaya mencuci tangan setiap kali sebelum dan sesudah
memegang bayi, pengawasan infeksi secara teratur ditempat rawat neonatus, dan pengenalan
serta pengelolaan sumber wabah yang biasa terdapat streptococcus grup B dn K1 antigen yang
mengandung jenis E.Coli yang diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah infeksi secara pasif
pada neonatus
X. PROGNOSIS
Pada umumnya angka kematian sepsis neonatal berkisar antara 10-40% dan pada
meningitis 15-50%. Tinggi rendahnya angka kematian tergantung dari waktu timbulnya
penyakit, penyebabnya, besar kecilnya bayi, beratnya penyakit, dan tempat perwatannya.
Gejala sisa neurologik yang jelas tampak adalah hidrosefalus , retardasi mental, buta, tuli, dan
cara bicara yang tidak normal. kejadian gejala sisa ini adalah sekitar 30-50% pada bayi yang
sembuh dari meningitis neonatus.(3)
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : By. Ny. R
Umur : 0 hari
26
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pasar Rebo
Agama : Islam
Pendidikan : -
IDENTITAS ORANG TUA
AYAHNama Lengkap : Tn. DS
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Kuli
Suku bangsa : Sunda
Alamat : Pasar Rebo
IBUNama lengkap : Ny. RK
Umur : 31 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku bangsa : Betawi
Alamat : Pasar Rebo
RIWAYAT PENYAKIT
Telah lahir bayi perempuan cukup bulan dengan BBL 3180 gram, PBL 47 cm, dari
seorang ibu G1P0A0. Lahir secara SC pada tanggal 29/03/11 pukul 02.45. Sebelum persalinan,
ketuban sudah pecah selama 8 jam dan warna ketuban hijau keruh. Bayi lahir tidak langsung
menangis, gerakan sedikit, tubuh kemerahan namun tangan dan kaki kebiruan. Dilakukan
27
rangsang taktil selama 1” lalu bayi menangis namun tidak kuat. APGAR score 7/9. Kelainan
kongenital mayor(-), deformitas(-)
RIWAYAT KEHAMILAN
G1P0A0
Presentasi Kepala
HPHT : 25-7-2010
Taksiran Partus : 1-5-2011
Penyakit Selama Kehamilan : Hipertensi
Komplikasi selama Kehamilan : Pre Eklampsia
Pemeriksaan Terakhir Saat kehamilan :
Hb :11,3 g/dl; Ht : 33,5% ; trombosit ; 258rb ; leukosit : 26rb
Kebiasaan Waktu Hamil : -
Perawatan antenatal : Teratur, ke bidan
RIWAYAT KELAHIRAN
Berat badan ibu : 54 kg
Tinggi badan ibu : 156 cm
Persalinan di Rumah Sakit UKI
Jenis persalinan : Sectio Caesaria
Indikasi : Pre eklampsia berat + KPD
KEADAAN BAYI
Berat badan lahir : 3180 gram
Panjang badan lahir : 37 cm
Lingkar kepala : 27,5 cm
Kelainan Bawaan : Tidak ada
Kriteria neurologis menurut Dubowitz:
- sikap : 3
28
- jendela sendi pergeangan tangan : 3
- dorsofleksi kaki : 3
- rekoil lengan : 2
- rekoil tungkai : 2
- sudut poplitea : 4
- gerakan tumit kekuping : 3
- tanda skarf : 2
- tonus otot leher : 1
- suspensi ventral : 1 +
24
Karakteristik eksternal menurut Dubowitz :
- edema : 2
- jaringan kulit : 3
- warna kulit : 2
- ketipisan kulit : 3
- lanugo : 2
- guratan telapak kaki : 3
- perkembangan puting susu : 2
- besarnya payudara : 2
- bentuk telinga : 3
- elastisitas daun telinga : 3
- genitalia : 2 +
27
Total skor : 24 + 27 = 51
Umur Kehamilan : 39 minggu
Klasifikasi Neonatus (Battaglia & Lubchenko) : Neonatus Cukup Bulan – Sesuai Masa
Kehamilan
29
RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA : -
DATA KELUARGA
Keterangan AYAH IBU Perkawinan ke 1 1 Umur saat menikah 32 tahun 31 tahun konsanguitas - - Penyakit Disangkal Disangkal
Riwayat penyakit dalam keluarga : Disangkal
Riwayat penyakit antar anggota keluarga : Disangkal
PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
KU : Tampak sakit sedang (hipoaktif, menangis jarang & lemah)
FJ : 145X/mnt (Reguler, kuat angkat, isi cukup)
RR : 60 X/mnt (reguler, tidak adekuat)
SUHU : 37,7 ˚C (Axilla)
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA :
BENTUK DAN UKURAN : NORMOCEPHALI, BULAT, UUB DATAR, KAPUT
SUKSEDANEUM (-), LK = 38 CM
RAMBUT & KULIT KEPALA : HITAM, DISTRIBUSI MERATA, SEFAL HEMATOM (-)
MATA : KONJUNGTIVA TIDAK ANEMIS, SKLERA TIDAK IKTERIK
TELINGA : NORMOTIA
HIDUNG : BENTUK BIASA, LAPANG, PERNAPASAN CUPING HIDUNG(+)
BIBIR : MUKOSA BIBIR LEMBAB, SIANOSIS SIRKUM ORAL (-)
LIDAH : TIDAK KOTOR
30
LEHER : KGB TIDAK TERABA
THORAKS
INSPEKSI : PERGERAKAN DINDING DADA SIMETRIS, RETRAKSI
EPIGASTRIUM (+)
PALPASI : STEM FREMITUS KANAN = KIRI
AUSKULTASI : BND BRONKOVESIKULER, RONKI -/-, WHEEZING -/- ;
BJ I/II NORMAL, GALLOP -, MURMUR -
ABDOMEN :
INSPEKSI : PERUT DATAR, TALI PUSAT TERAWAT
AUSKULTASI : BISING USUS (+), 4 X/MNT
PALPASI : SUPEL, HEPAR DAN LIEN TIDAK TERABA
ANUS & REKTUM : DBN
GENITALIA : LABIA MAYOR SUDAH MENUTUPI LABIA MINOR
ANGGOTA GERAK : DBN
TULANG BELAKANG : DBN
KULIT : TURGOR CUKUP, SIANOSIS (-)
REFLEX : Hisap(+) tidak kuat, rooting(+), moro(+), genggam(+)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (29 Maret 2011)
Golongan darah : O
Hemoglobin : 14,2 g %
Eritrosit : 4 Juta/ μl
Hematokrit : 42%
Leukosit : 28.200/μl
Trombosit : 184.000/μl
Hitung jenis : 0 / 1/ 12/ 66/ 18/ 3
GDS : 122 mg/dl
CRP semi kuantitatif : 15 mg/dl
IT Ratio : 1,16
31
DIAGNOSIS KERJA
NCB – SMK dengan Sepsis Neonatorum
PENATALAKSANAAN
Rawat inap perina
Puasa Sementara
OGT di alirkan
O2 8% LPM Head Box
Pasang monitor saturasi O2
Periksa lab DL
IVFD: D10% 10 tts/mnt ( mikro)
MM/ :
Zidifec 2 x 200 mg (IV)
FOLLOW UP
Follow up 3 jam : ( 29/3/2011)
SS : sesak, menangis lemah
O O :
KU : Tampak sakit berat
SOAP Hari II (30/03/2011;07.00 WIB)
S : Sesak tampak berkurang
O :
KU : Tampak sakit sedang
32
Kes : Menangis lemah,gerak tidak aktif
FJ : 140 x/mnt
FP : 60 x/mnt
Suhu : 37,7° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
Thoraks:
I : Retraksi epigastrium (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki -/-, Wheezing -/-
BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur –
AA : NCB-SMK dengan sepsis neonatorum
PP : O2 Head box 8 LPM
Diet : Puasa
IVFD: Dextrose 5% 10 tetes/menit
(mikro)
mm/ Cidifec 2X150 mg(IV)
Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif
FJ : 130 x/mnt
FP : 60x/mnt
Suhu : 37,5° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ
I/II Normal, Gallop -, Murmur –
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 headbox 8 LPM
Diet : Puasa
IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit
(mikro)
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Visit dr. Tjondro
Minum/OGT : Asi/Lactogen 1 takaran 60cc.
8x5cc/OGT
Vit K 1 mg 1x lagi
Anjuran Prx Kultur darah & resistensi
SOAP Hari III(31/03/2011;07.00 WIB)
S : sesak berkurang
O :
SOAP Hari III(31/03/2011;07.00 WIB)
S : sesak berkurang
O :
33
KU : Tampak sakit berat
(hipoaktif,
Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif
FJ : 120 x/mnt
FP : 50 x/mnt
Suhu : 37° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II
Normal, Gallop -, Murmur -
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM per incubator
Diet Lactogen 8x5 cc
IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit
(mikro)
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Visit dr. Ida Bagus, SpA
Infus ganti Kaen1B 12tetes/menit + KCL 4 meq
Acran 2 x 2mg
Aminosteril 50 cc/hari
KU : Tampak sakit berat
(hipoaktif,
Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif
FJ : 120 x/mnt
FP : 50 x/mnt
Suhu : 37° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+)
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-
BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur -
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM per incubator
Diet Lactogen 8x5 cc
IVFD Dextrose 5% 12 tts/menit
(mikro)
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Visit dr. Ida Bagus, SpA
Infus ganti Kaen1B 12tetes/menit + KCL 4 meq
Acran 2 x 2mg
Aminosteril 50 cc/hari
SOAP Hari IV(1/04/2011;07.00 WIB)
S : sesak tidak ada
O :
SOAP Hari V(2/04/2011;07.00 WIB)
S :Sesak tidak ada
O :
34
KU : Tampak sakit sedang
Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif
FJ : 120 x/mnt
FP : 130 x/mnt
Suhu : 36,7° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (-)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II
Normal, Gallop -, Murmur –
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM perincubator
Diet : Lactogen 8x5 cc
IVFD KAEN 1 B 12 tts/menit + KCL 4 meq (mikro)
Aminosteril 1x 50 cc
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Acran 2 x 20 mg
Visit dr. Ida Bagus, SpA
Aff OGT
Boleh minum lactogen 8 x 30 cc
KU : Tampak sakit sedang
Kes : Menangis merintih,gerak tidak aktif
FJ : 100 x/mnt
FP : 50x/mnt
Suhu : 36,7° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut: Sianosis sirkumoral (-), mukosa bibir
lembab
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (-)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing
-/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur -
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM perinkubator
Diet Lactogen 8x30 cc
IVFD KAEN 1B 12 tts/menit + KCL 4 Meq
(mikro)
Aminosteril 1 x 50 cc
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Visit dr. Ida Bagus, SpA
Infus ganti KAEN 1 B Polos
SOAP Hari VI(03/04/2011;07.00 WIB)
S : Tidak ada keluhan
O :
KU : Tampak sakit sedang
SOAP Hari VII(04/04/2011;07.00 WIB)
S : Tidak ada keluhan
O :
KU : Tampak sakit sedang
35
Kes : Menangis kuat,gerak tidak aktif
FJ : 100 x/mnt
FP : 50x/mnt
Suhu : 36,7° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut: Sianosis sirkumoral (-)
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (-)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing -/-BJ I/II
Normal, Gallop -, Murmur –
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM perinkubator
Diet Lactogen 8x30 cc
IVFD KAEN 1B 12 tts/menit
(mikro)
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Kes : Menangis kuat,gerak aktif
FJ : 100 x/mnt
FP : 55x/mnt
Suhu : 36,5° C
Pemeriksaan Fisik
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Mulut: Sianosis sirkumoral (-) terutama bila
menangis, mukosa bibir lembab
Thoraks:
I : Retraksi epigastriuml (+)
P: Stem fremitus kanan = kiri
A: BND Bronkovesikuler, Ronki-/-,Wheezing
-/-BJ I/II Normal, Gallop -, Murmur –
A : NCB-SMK dengan
sepsis neonatorum
P : O2 8 LPM perinkubator
Diet Lactogen 8x30 cc
IVFD KAEN 1B 12 tts/menit
(mikro)
mm/ Zidifec 2X150 mg(IV)
Pasien Pulang
ANALISA KASUS
Pasien di diagnosis dengan Neonatus Cukup Bulan – sesuai Masa Kehamilan dengan
Sepsis neonatorum. Diagnosis di tegakkan berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan
36
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamesis didapatkan bayi baru lahir dengan BBL 3180
gram dan PBL 47 cm. Pasien lahir dengan riwayat persalinan ketuban pecah dini (8 jam) dan
pada saat lahir ketuban ibu berwarna hijau keruh. Meskipun demikian hal tersebut tidak dapat
dimasukkan kedalam criteria factor resiko sepsis neonatal, karena ;menurut literature; tidak
lebih dari 12 jam (minor) ataupun lebih dari 24 jam (mayor).
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan, menurut criteria Lubchenko dan kriteria bataglia
pasien termasuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan. Pemeriksaan berdasarkan
neurologi criteria dan eksternal criteria.
Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan:
Frekuensi Nafas : 60 x/menit
Frekuensi Jantung: 145 x/mnt
Pernafasan cuping hidung (+)
Retraksi suprasternal (+)
Suhu : 37,7 ˚C
Pemeriksaan fisik tersebut mendukung ke arah terjadinya suatu proses infeksi sistemik atau
mendukung diagnosis sepsis neonatal.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil lab darah berupa pemeriksaan
darah perifer, CRP, IT ratio. Hal ini sudah seuai dengan tinjauan pustaka. Pemeriskaan lab
tersebut mendukung diagnosis kea rah sepsis neonatal. Meskipun demikian pada kasus ini tidak
dilakukan pemeriksaan kultur darah, padahal dengan dilakukan pemeriksaan tersebut dapat
ditegakkan diagnosis pasti sepsis neoanatal. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kultur
darah dikarenakan keterbatasan biaya.
Pilihan utama penatalaksanaan sepsis neonatorum adalah eliminasi kuman penyebab. Pada
pasien ini diberikan terapi antibiotk selama 7 hari. Hal ini sudah sesuai dengan prinsip
penatalaksanaan sepsis neonatal menurut literatur.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Hegar, badriul. Tribowo, partini., Irfan, evita bermansah. Update in Neonatal Infections.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM ; Jakarta : 1- 127.
2. Sepsis Neonatal. Diunduh dari http://www.idai.or.id
38
3. Markum A.H. Prematuritas dan Retardasi Pertumbuhan Intrauterine. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, jilid I, cet.3, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1996; 221-36
4. Sepsis Neonatal.Diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com
5. Behrman, kliegman, Arvin. Sepsis dan Meningitis Neonatus Nelson textbook of
Pediatrics. edisi,15. Penerbit EGC ; Jakarta 2000 : 653 – 655.
6. Sumarmo,Gama Herry, Hadinegoro Sri Rezeki. Sepsis dan syok septic. Buku ajar ilmu
kesehtran anak . infeksi dan penyakit tropic. Ikatan dokter anak Indonesia, Jakarta
2002 : 391-398
7. Hassan, Rusepno, et al (ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI. Jakarta. 1985
8. Nelson. Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak, Ed. 15,
Vol. 1, Jakarta: EGC, 1996; 562-72
39
Sumber : www.idai.or.id.
Top Related