Untitled - Unas Repository

104

Transcript of Untitled - Unas Repository

1

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

Peran Serikat Pekerja Dalam Membina Hubungan Industrial Pancasila Antara Pekerja,

Perusahaan dan Pemerintah di Kawasan Industri Surya Cipta Karawang Timur

Tahun ke 2 (dua) dari Rencana 3 (tiga) tahun

TIM PENELITI

Ketua :

Dr.Drs.SIGIT ROCHADI,M.Si (0331125902)

Anggota :

ANGGA SULAIMAN, S.IP, MAP

UNIVERSITAS NASIONAL

November 2018

2

3

Ringkasan

Pembinaan hubungan industrial di Indonesia diharapkan dapat menciptakan ketenangan

kerja, lingkungan kerja yang kondusif dan hubungan kerja yang harmonis di kawasan industri

dimana para pekerja dan karyawan bekerja. Serikat pekerja sebagai perwakilan pekerja dan

manajemen sebagai perwakilan perusahaan memiliki peran penting dalam membina hubungan

industrial. Hubungan industrial berhasil dibina dengan baik melalui hubungan manajemen dengan

Serikat Pekerja dalam tahap akomodatif, kesejahteraan pekerja terjamin dan penghindaran aksi

mogok kerja. Serikat Pekerja berperan dalam pembuatan perjanjian kerja bersama, menyelesaikan

perselisihan dalam lembaga tripartit secara musyawarah dan mewadahi aspirasi pekerja sehingga

keinginan pekerja bisa dikoordinasikan yang berdampak pada terciptanya hubungan industrial yang

harmonis.

Permasalahan konflik sebaiknya dihindari dengan cara pihak Serikat Pekerja dan manajemen

agar saling bekerja sama dalam membina hubungan industrial. Hubungan industrial yang diharapan

berkembang di Indonesia berpedoman kepada nilai-nilai bangsa yaitu Pancasila sehingga setiap

perusahaan di Indonesia diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam menjalankan

aktivitas di lingkup industrial. Hubungan industrial yang berhasil dibina dengan baik oleh Serikat

Pekerja dan manajemen dengan menjadikan nilai-nilai bangsa sebagai pedoman dapat mewujudkan

lingkungan yang kondusif dan kondisi kerja yang harmonis. Hubungan industrial yang berpegang

pada nlai-nilai bangsa yaitu Pancasila diharapkan mampu mencapai peningkatan kesejahteraan

hidup pekerja, terpeliharanya ketenangan dalam bekerja dan berusaha sehingga berdampak pada

peningkatan hasil produksi (Sutedi, 2009: 37). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana

peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah dalam perlindungan pekerja agar tidak terjadi

PHK sepihak kemudian dalam penentuan upah minimum kabupaten dan pelaksanaannya dalam

konteks HIP, dalam penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB) dan pelaksanaannya dalam

konteks HIP, mengapa kerja magang menjadi persoalan bagi pekerja definitive.

Kata Kunci: Peran Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial Pancasila

4

Prakata

Terimakasih kami ucapkan kepada Tuhan YME dan juga kepada rekan-rekan kolega FISIP

Universitas Nasional terutama Program Studi Sosiologi atas dukungan terhadap keberlanjutan dan

penyelesaian laporan kemajuan yang berjudul “Peran Serikat Pekerja Dalam Membina

Hubungan Industrial Pancasila Antara Pekerja, Perusahaan dan Pemerintah di Kawasan

Industri Surya Cipta Karawang Timur. Tak Lupa kami memanjatkan doa bagi ketua tim

penelitian kami Almarhumah Ibu Dr. Anggraeni Primawati, M.Si yang telah meninggalkan kami

semua dan mewariskan optimism dan semangat dan perjuangan untuk menyelesaikan penelitian ini.

Serta dukungan selama proses penelitian berlangsung hingga akhir penulisan laporan ini yaitu dari

Ketua dan Sekretaris Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial Universitas

Nasional, Dr. Erna Ermawati Chotim, M.Si dan Adilita Pramanti, S.Sos, M.Si dan juga seluruh

kolega dosen Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Nasional yang telah mendukung

penelitian ini hingga selesai dengan optimal.

Tujuan dari penelitian akhir ini adalah untuk mengetahui hubungan industrial Pancasila di

Indonesia diharapkan dapat menciptakan ketenangan kerja, lingkungan kerja yang kondusif dan

hubungan kerja yang harmonis di kawasan industri dimana para pekerja dan karyawan bekerja dan

mewujudkan Hubungan Industrial Pancasila bagi stakeholders buruh, perusahaan dan pemerintah.

Kami berharap hasil laporan kemajuan kami ini dapat menambah referensi dan pengembangan

paradigma baru dalam hubungan industrial Pancasila saat ini di Indonesia.

Jakarta, November 2018

Tim Peneliti

5

Daftar Isi

Halaman Sampul ………………………………. 1

Halaman Pengesahan ……………………………….. 2

Ringkasan ……………………………….. 3

Prakata ……………………………….. 4

Daftar Isi ……………………………….. 5

Daftar Tabel ………………………………… 6

Daftar Gambar ………………………………… 7

Daftar Lampiran ………………………………… 8

Bab I Pendahuluan ………………………………… 9

Bab II Tinjauan Pustaka ………………………………… 18

Bab III Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………… 42

Bab IV Metode Penelitian ………………………………… 45

Bab V Hasil dan Pembahasan …………………………………. 52

Bab VI Rencana Tahapan Berikutnya …………………………………. 56

Bab VII Kesimpulan dan Saran …………………………………. 57

DAFTAR PUSTAKA …………………………………. 59

LAMPIRAN

• instrumen

• personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya

• HKI dan publikasi

6

Daftar Tabel

1.3.1 Tabel Sistematika Laporan Kemajuan

4.2.2 Teknik Pengumpulan Data dan Tipe Data

5.1 Tabel Capaian Luaran Penelitian Tahun Satu dan Tahun Dua

7

Daftar Gambar

Gambar 4.2.1 Tangga akses yang dibangun oleh peneliti

Gambar 4.3.1. Bagan Uji Keabsahan Data

Gambar 4.4.1 Bagan Strategi Analisis Data Tipe Ideal dan Hampiran Berturutan (successive

approximation)

5.1.1 Foto diskusi Proses penulisan Paper Internasional

5.1.2 Bukti Submit Jurnal Internasional

5 .2.1 Bukti online penerimaan makalah untuk pertemuan Ilmiah Nasional

6.1.1 Keikutsertaan dalam kongres dan Seminar Nasional Sosiologi

8

Daftar Lampiran

Dokumentasi Kegiatan

Draft bahan ajar

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, kebijakan keteganakerjaan

disusun dengan melibatkan secara penuh serikat-serikat pekerja. Kebijakan yang tertuang dalam

undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU13) memuat

secara lengkap aspek-aspek ketenagakerjaan. Dibanding kebijakan sebelumnya, misalnya undang-

undang No. 11 tahun 1988 dan undang-undang No. 25 tahun 1997, UU13 memiliki cakupan yang

luas, dalam dan posisi serikat pekerja demikian kuat. Hal ini dapat dipahami mengingat semangat

membentuk UU13 adalah semangat reformasi yang memangkas semua perlakuan istimewa negara

dan birokrasi terhadap buruh. Dalam hubungannya dengan serikat pekerja misalnya, pasal 102 ayat

2 UU13 menegaskan bahwa:

“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya

mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi

kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan,

dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota

beserta keluarganya”.

Peranan serikat pekerja seperti dikemukakan di atas, masih dipertegas dalam undang-

undang nomer 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (selanjutnya disebut UUSP/B).

“Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat buruh”. Penegasan ini

dimaksudkan untuk mencegah union busting yang sering terjadi pada masa Orde Baru. Tindakan

menghalang-halangi para buruh untuk berserikat dengan mengundang polisi bahkan tentara dalam

setiap perselisihan industrial, merupakan pengalaman traumatis. Dengan tidak adanya serikat

pekerja dalam suatu perusahaan atau serikat pekerja yang tidak genuine (benar-benar didirikan oleh

pekerja), perjanjian kerja bersama (PKB) terutama dalam pengupahan, cuti, kerja lembur, jaminan

kerja, tunjangan hari tua dan tunjangan keluarga, tidak berpihak kepada buruh. Oleh karena itu

UUSP/B menegaskan bahwa “perlunya pembentukan dan pengembangan serikat buruh yang bebas,

10

terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung-jawab, dan penegasan bahwa serikat buruh

merupakan sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh dan keluarganya”.

Butir-butir pasal dalam undang-undang yang dikemukakan di atas, menandai lahirnya era

baru hubungan industrial dari state centris ke labor oriented. Di era state centris, negara sangat

berkuasa menentukan semua hal yang berhubungan dengan buruh mulai upah, berserikat, fasilitas

kerja sampai pemogokan pun harus meminta ijin. Keluarnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.

342/Men/1986 menunjukkan betapa besarnya kekuasaan negara yang dioperasikan oleh militer.

Dalam keputusan dimaksud, Menaker menyetujui intervensi militer jika muncul kasus hubungan

industrial. Tidak mengherankan jika muncul letupan di beberapa daerah industri di mana buruh

menolak campur tangan yang massif dari aparat keamanan. Kasus yang paling fenomenal adalah

penculikan dan pembunuhan aktivis buruh Marsinah tahun 19931. Kasus-kasus lain adalah

kekerasan di Medan tahun 1994, penangkapan dan penahanan aktivis buruh Muhtar Pakpahan,

pembubaran dan pelarangan Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMS) (YLBHI, 1996, Rochadi,

1996, 1998), untuk menyebut beberapa contoh.

Kuatnya peranan militer dalam membangun hubungan industrial tidak dapat dilepaskan dari

strategi pembangunan yang dipilih Orde Baru. Sejak krisis keuangan negara pertengahan tahun

1980-an, Pemerintah mengubah strategi dari industrialisasi substitusi impor (ISI) ke industri

berorientasi ekspor (IOE) (Wie, 1992; Tambunan, 2012; Rochadi, 2014; Kuncoro, 2016). Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara yang sebelumnya mengandalkan penjualan minyak bumi, beralih

ke ekspor komoditi baik hasil hutan maupun industri olahan. Konsekuensinya, pemerintah harus

menarik modal asing sebesar-besarnya. Untuk dapat bersaing dengan negara-negara berkembang

lain, pemerintah Indonesia menjanjikan dua hal yaitu upah buruh murah dan keamanan serta

ketertiban (Rochadi, 1996, 1998, 1999). Janji pertama dipenuhi dengan penetapan upah buruh

dengan konsep upah minimum regional (UMR) berdasarkan Permenakertrans No. 1 Tahun 1999

1 Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya yang memproduksi jam di Sidoarjo Jawa Timur. Pada tanggal 3 Mei 1993 ia memimpin pemogokan buruh yang menuntut kenaikan upah, tunjangan cuti haid, asuaransi kesehatan bagi buruh ditanggung perusahaan, THR satu bulan gaji sesuai dengan keputusan pemerintah, uang makan ditambah, kenaikan uang transport, bubarkan SPSI, tunjangan cuti hamil tepat waktu, upah karyawan baru disamakan dengan buruh yang sudah 1 tahun bekerja dan pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, PHK kepada karyawan yang menuntut haknya. Pada tanggal 9 Mei 1993 jazadnya ditemukan di hutan jati Wilangan Nganjuk Jawa Timur. Pengadilan yang berlangsung satu tahun dan telah menahan 9 orang karyawan mulai manajer sampai satpam PT CPS akhirnya membebaskan mereka dari tuduhan. Hingga kini pembunuh Marsinah belum ditemukan. Lihat ELSAM (1995), Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan yang Belum Terselesaikan. Jakarta: Elsam

11

tentang Upah Minimum dan Permenakertrans No. 226/MEN/2000 tentang Perubahan

Permenakertrans No. 1 Tahun 1999. UMR merupakan upah minimum yang mencakup kebutuhan

fisik minimum di suatu daerah. Besarnya UMR ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi Dewan

Pengupahan Daerah. Dengan upah minimum saja, para pengusaha yang mentaati hanya 72%,

sisanya membayar upah buruh di bawah UMR (Rochadi 1996, 1998). Terkait dengan janji pertama

ini, pemerintah Indonesia melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mempromosikan

upah buruh murah dan pasar potensial bagi calon-calon investor di luar negeri. Jumlah penduduk

yang besar dan tenaga kerja yang oversupply dipandang sebagai comparative advantage.

Janji kedua berupa keamanan dan ketertiban yang dipenuhi dengan melibatkan seintensif

mungkin militer dan polisi dalam menangani masalah perburuhan. Aparat keamanan berwenang

memberikan ijin atas pemogokan buruh, meskipun undang-undang menyatakan bahwa mogok

adalah hak buruh. Buruh tidak bisa menggunakan haknya karena tidak diijinkan oleh aparat

keamanan. Dalam kasus-kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), pelaksananya bukan kepala

human resources management (HRD), tetapi aparat keamanan. Tidak sedikit buruh yang akan di

PHK dipanggil ke KORAMIL dan diberi SK pemutusan hubungan kerja. Pendekatan keamanan

yang berarti militer dan polisi bertindak lebih dahulu untuk mewujudkan ketertiban, lebih

diutamakan dibanding dialog dan musyawarah. Kasus lain yang menonjol atas peran militer ini

adalah dalam pembentukan serikat pekerja baik di perusahaan maupun cabang-cabang. Di era Orde

Baru dianut state corporatism untuk mengendalikan kelompok-kelompok, sehingga dalam bidang

perburuhan hanya ada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pemerintah dan pengusaha

mencegah sedapat mungkin tidak ada serikat pekerja, tetapi jika buruh ingin membentuk serikat

harus mendapat persetujuan pemerintah (aparat keamanan). Karenanya semua pengurus SPSI

adalah orang-orang perusahaan yang telah mendapat persetujuan aparat keamanan.

Strategi seperti itu menunjukkan bahwa buruh tidak dikehendaki aktif dalam pembangunan.

Buruh diposisikan sebagai alat produksi yang mendapat pekerjaan berkat kebaikan pengusaha.

Sebagai alat produksi, buruh mudah disubstitusi dan jika perlu diganti. Hak buruh hanyalah upah

yang dibayarkan atas kehendak baik pengusaha. Memposisikan buruh seperti itu mengabaikan hak-

hak buruh seperti kebebasan berserikat (Konvenan ILO No. 87), berunding bersama (Konvenan

ILO No. 98) dan penghapusan diskriminasi upah (Konvenan ILO No. 100). Dampaknya adalah,

Indonesia dikucilkan dalam Sidang ILO di Genewa tahun 1994. Pemerintah Indonesia dinilai oleh

12

ILO terlalu banyak mencampuri buruh dan ketika Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara hendak

menyampaikan sambutan, ditolak oleh peserta sidang. Selain Cosmas bukan buruh dan tidak berhak

hadir dalam pertemuan, peserta sidang yang terdiri dari para aktivis buruh sedunia juga menilai

massifnya pelanggaran hak-hak buruh di Indonesia. Selain itu, para aktivis buruh di Eropa dan

Amerika menyerukan untuk memboikot produk-produk Indonesia yang dipasarkan di negeri

mereka karena barang tersebut dihasilkan dengan melanggar hak-hak buruh.

Dalam konteks politik di mana pemerintah mendominasi seluruh aspek kehidupan

masyarakat2, hubungan industrial yang sejatinya hanya memerlukan kesepakatan pengusaha dan

pekerja menjadi sangat rumit. Campur tangan pemerintah diperlukan untuk menegakkan prinsip-

prinsip hubungan industrial yang ditetapkannya dengan berpedoman pada dasar Negara dan

konstitusi. Namun konsep tripartite terlalu luas beroperasi sehingga konsep bipartite tidak berjalan.

Pemerintah Orde Baru memandang negatif kekuatan buruh (dan petani) dan memposisikannya

sebagai kekuatan kiri. Buruh dan petani selama berpuluh-puluh tahun memperoleh stigma negatif,

bagian dari pemberontak atau pelaku kudeta dan tidak loyal dengan Negara Indonesia. Karenanya

buruh harus terus dikontrol dan tidak diberi kesempatan mengorganisasi diri secara genuine.

Dalam perspertif semacam itu, hubungan industrial yang dibangun meskipun secara formal

disebut sebagai hubungan industrial Pancasila (HIP), dalam prakteknya sarat dengan koersi dan

eksploitasi buruh. Pemerintah mengekang hak-hak buruh, seperti hak berserikat, hak mendapat

upah yang layak, hak memperoleh jaminan sosial, hak cuti, hak mogok, hak membuat perjanjian

kerja bersama, dan hak mendapat perlindungan jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pemerintah lebih nyaman bekerjasama dengan pengusaha dibanding dengan buruh. Berbagai

keuntungan dapat diperoleh, misalnya para pejabat akan lebih mudah memperoleh pendapatan di

luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan

pribadi. Selain itu, melalui kekuasaan administrasi, para pejabat bisa mendapatkan kepemilikan

saham di perusahaan yang menjamin pendapatan para pejabat. Belajar dari hubungan khusus

Soeharto dan Liem Sioe Liong (Borsuk dan Cing, 2017), para pejabat di daerah khususnya militer

juga membina hubungan dengan para pengusaha. Mereka mengharapkan pendanaan dalam meniti

2 William Liddle berpendapat bahwa pemerintah Orde Baru jauh lebih represif dibanding Negara-negara komunis.

Lihat hasil wawancara Anders Uhlin (1998) dan William Liddle (2002).

13

karir dan sebagai imbalannya, mereka akan menjaga keamanan dan ketertiban yang dibutuhkan

pengusaha3.

Elit politik dan elit ekonomi bersatu, saling menopang dan mencapai cita-cita bersama

meskipun tujuannya berbeda. Dalam perspektif semacam itu, buruh yang kuat dianggap sebagai

penghalang. Meskipun industrialisasi selama Soeharto berkuasa tumbuh dengan pesat, tidak

berdampak pada kesejahteraan dan kekuatan buruh. Pertumbuhan kelas menengah yang pesat

selama 30 tahun, tidak berpihak pada kebebasan, hak-hak asasi manusia apalagi kepada buruh.

Kelas menengah Indonesia memiliki ciri khusus sebagai kelas menengah berdarah biru. Mereka

yang menikmati kekayaan bukan karena kerja keras dan teruji kemampuannya menghadapi badai

kompetisi, tetapi kelas menengah yang lahir dari rahim birokrasi. Mereka mendapat perlakuan

khusus karena orang tuanya pejabat atau jenderal dan berbisnis dengan bantuan negara. Rata-rata

mereka mengerjakan proyek-proyek pemerintah, bukan menyemai produk tertentu kemudian

dipasarkan, menghadapi kompetisi kualitas produk dan harga, jatuh-bangun dan kemudian eksis

sebagai produsen barang tertentu yang menguasai pangsa pasar. Sebaliknya, mereka mendirikan

perusahaan untuk mengerjakan proyek pemerintah yang nilainya milyaran. Oleh karena control

masyarakat di era Soeharto dan media lemah, maka kualitas pekerjaan tidak menjadi perhatian.

Dengan kelas menengah semacam itu, tidak mungkin mengharapkan keberpihakannya terhadap

buruh.

Di antara Negara-negara yang belakangan melakukan industrialisasi, Indonesia belum

berhasil mendapatkan posisi dalam pembagian kerja internasional (international division of

labour). Investor asing di negeri kita paling leluasa bergerak, terutama mereka yang tidak

membangun industri dengan rangkaian teknologi yang kuat (footloose). Ancaman akan

hengkangnya investor terus dikemukakan jika muncul kasus-kasus perburuhan. Vietnam dan

Thailand sering dirujuk sebagai tujuan pemindahan (relokasi) industri yang tenaga kerjanya dinilai

memiliki skill lebih baik dan lebih disiplin. Kondisi ini diperparah dengan oversupply tenaga kerja,

di mana satu lowongan kerja di sektor formal diperebutkan oleh empat pencari kerja. Sedangkan

upaya penciptaan lapangan kerja dikalkulasi dengan pertumbuhan ekonomi. Setiap satu persen

3 Jenderal Gatot Nurmantyo mantan KSAD dan penglima TNI juga menempuh cara yang dilakukan Soeharto. Ia

menjalin hubungan khusus dengan pengusaha Tomy Winata ketika pangkatnya masih letnan. Tomy-lah yang

mendukung pendanaan Gatot dalam meniti karir dan berencana membiayai jika Gatot mencalonkan sebagai presiden

2019. Lihat majalah Tempo 2 April 2018.

14

pertumbuhan ekonomi, diperkirakan membuka lapangan kerja 300 ribu orang (Tabloid Kontan, 5

Mei 2014). Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen per tahun berarti hanya tercipta 1,650

juta setiap tahunnya. Padahal lulusan sekolah lanjutan atas (SMA dan SMK) sekitar 2,5 juta orang

(Tempo, 13 Agustus 2013). Dengan tambahan sekitar 500 ribu orang yang kuliah, maka terdapat

pengangguran terbuka sebesar 350 ribu orang tiap tahun.

Didorong oleh kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan di tengah persaingan yang terus

meningkat, maka buruh dihadapkan pada berbagai persoalan. Pertama, mempertahankan pekerjaan

yang telah diperoleh, jika mungkin menaikkan status menjadi pekerja tetap. Outsorcing, kerja

kontrak dan magang diterima untuk sementara, tetapi tujuan utama pekerja adalah melindungi diri

mereka dari ancaman PHK setiap saat. Kedua, upah yang sesuai dengan keputusan bupati atau

walikota yang dikenal sebagai upah minimum kabupaten/kota (UMK). Untuk sektor padat modal,

sebagian besar pengusaha telah memenuhi UMK, sebaliknya di sektor padat karya upah buruh

masih di bawah UMK. Seringkali upah dibayarkan setelah dua bulan berjalan4. Kondisi ini diterima

pekerja karena mereka tidak punya pilihan. Ketiga, penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB)

yang isinya dan pelaksanaannya diketahui oleh buruh. Pengusaha kurang bersemangat membuat

PKB, selain di setiap perusahaan terdapat beberapa serikat buruh yang menyulitkan

penyusunannya, PKB kurang leluasa bagi pengusaha5. Keempat, status magang digunakan sebagai

modus oleh pengusaha untuk mendapatkan pekerja muda, murah dan produktif. Setelah isu

oursourcing agak mereda (bukan hilang), program Kementrian Tenaga Kerja yang mewajibkan

setiap perusahaan membuka kesempatan magang bagi lulusan sekolah lanjutan atas baik SMA

maupun SMK6, menimbulkan masalah di lapang.

Dengan dalih pemagangan, maka perusahaan-perusahaan memperoleh tenaga kerja

produktif dan murah. Pasalnya mereka mengerjakan pekerjaan yang sama dengan buruh/pekerja

4 Di Karawang pekerja tekstil dan produk tekstil (TPT) dibayar dibawah UMK. Upah bulan Januari diterima bulan

Maret. Pengusaha sector ini telah membuat laporan kepada Dinas Tenaga Kerja akan ketidakmampuannya membayar

upah sesuai UMK. Pengusaha menyerahkan kepada pemerintah jika mau menjual asetnya, tetapi jika tetap diijinkan

berjalan, pengusaha minta diijinkan membayar upah sesuai kemampuan (Wawancara dengan Suroto Kepala Dinas

Tenaga Kerja Kabupaten Karawang dan Agus Ketua Cabang Serikat Pekerja Seluruh Indonesia/ SPSI Cabang

Karawang di Karawang tanggal 12 Juli 2018). 5 Di Karawang terdapat 542 perusahaan dan hanya sekitar 20% yang telah memiliki PKB. Sebagian besar perusahaan

di Karawang menjalankan peraturan perusahaan (PP). Menurut UU13, PKB adalah perjanjanjian antara pekerja/buruh

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Penyusunan

PKB memerlukan keterlibatan dan persetujuan serikat pekerja. Sedangkan PP adalah peraturan yang dibuat secara

tertulis oleh perusahaan yang didalamnya memuat syarat-syarat kerja dan tata-tertib perusahaan. 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri.

15

biasa tetapi dibayar dengan upah murah. Telah timbul gejala di mana pengusaha lebih tertarik

merekrut tenaga magang dengan hanya memberi uang transport dan mengerjakan pekerjaan yang

sama dengan pekerja tetap atau kontrak. Pekerja magang jelas tidak bisa masuk serikat, sehingga

jumlah anggota serikat buruh terus menurun demikian pula jumlah serikat buruh. Jika pada tahun

2007 jumlah serikat buruh sekitar 14.000 dan jumlah anggota sekitar 3,4 juta orang, tahun 2017

serikat buruh tinggal 7.000 dengan anggota sekitar 2,7 juta orang (Pernyataan Menteri Tenaga

Kerja Hanif Dakhiri seperti dikutip https://www.cnnindonesia.com tanggal 29 Maret 2018). Pada

hal pada tahun 2017 jumlah pekerja di sektor formal mencapai 52 juta orang (www.bps.go.id

tanggal 23 September 2017), sehingga jumlah pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja hanya

5,1%.

Dengan memahami konteks sosial ekonomi di mana serikat buruh dibentuk dan

menjalankan perannya, studi ini akan fokus pada peranan serikat buruh dalam membangun

hubungan industrial Pancasila. Topik terakhir ini diangkat kembali pasca Orde Baru karena

massifnya konflik industrial di kawasan industri sejak awal tahun 2000 hingga akhir-akhir ini.

Konflik industrial seakan mengabaikan nilai-nilai Pancasila dan cenderung mengarah pada tarik

menarik kepentingan berdasarkan kekuatan. Tidak sedikit pengusaha yang memobilisasi preman,

jawara atau tokoh-tokoh lokal. Sedangkan para buruh juga cenderung mengandalkan kekuatan fisik

(jumlah buruh) dean melakukan pendudukan dan penguasaan tempat-tempat umum, seperti pabrik

dan jalan raya. Apalagi tumbuh serikat-serikat buruh dengan tujuan yang menyimpang dari

Pancasila, baik serikat buruh kedaerahan maupun serikat buruh keagamaan. Mereka ini

memanfaatkan ruang demokrasi, meskipun tujuannya bertentangan dengan demokrasi.

Dalam situasi seperti itu, pemerintah bersikap mendua. Pemerintah secara jelas

menunjukkan sikap tidak tegas dan kehilangan pegangan karena “keras terhadap buruh”, takut

kehilangan suara/ dukungan dan “keras terhadap pengusaha” takut kehilangan sumberdaya

ekonomi. Akibatnya, pemerintah bersikap menunggu laporan dari serikat buruh jika terjadi

pelanggaran dan tidak proaktif melakukan kunjungan ke perusahaan, berdiskusi degan serikat-

serikat buruh untuk menjembatani perbedaan yang terjadi antara kedua belah pihak. Posisi sebagai

mediator tidak mungkin dijlankan dengan sikap pasif, alih-alih mempromosikan konsep hubungan

industrial Pancasila sebagai pedoman baik bipartite maupun tripartite. Tidak mengherankan jika

16

hubungan industrial yang berlangsung dipenuhi permusuhan akut antara serikat buruh dan

pengusaha dengan masalah yang silih berganti.

1.2 Masalah Penelitian

Dengan memahami latar belakang masalah di atas, minimal ada 4 (empat) persoalan

hubungan industrial, yaitu kondisi angkatan kerja yang oversupply sehingga pekerja dalam posisi

lemah. Kemudian masalah upah buruh yang tidak seluruhnya dibayar sesuai UMK, dominannya PP

dan bukan PKB sebagai pedoman tertulis di perusahaan dan mulai membesarnya tenaga kerja di

perusahaan dengan status ‘magang”. Keempat aspek ini harus diletakkan dalam kontek hubungan

industrial Pancasila (HIP) karena seluruh tatanan kehidupan termasuk hubungan industrial harus

merupakan penerjemahan dasar negara Pancasila. Dengan demikian, pertanyaan utama yang perlu

dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana peranan serikat pekerja, manajer perusahaan dan

dinas ketenagakerjaan kabupaten Karawang dalam membina hubungan industrial Pancasila di

kawasan industri Surya Cipta Karawang Timur?

Secara khusus, penelitian ini hendak mendeskripsikan fenomena di lokasi penelitian hal-hal

sebagai berikut:

a. Bagaimana peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah dalam perlindungan

pekerja agar tidak terjadi PHK sepihak?

b. Bagaimana peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah dalam penentuan upah

minimum kabupaten dan pelaksanaannya dalam konteks HIP?

c. Bagaimana peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah dalam penyusunan

perjanjian kerja bersama (PKB) dan pelaksanaannya dalam konteks HIP? Mengapa PP

lebih dipilih oleh perusahaan-perusahaan di kawasan industry Karawang Timur?

d. Mengapa kerja magang menjadi persoalan bagi pekerja definitive? Jika magang

merupakan tahapan untuk mengintegrasikan pendidikan dan pekerjaan, bagaimana

strategi pemerintah mewujudkan kepastian kerja bagi pekerja di kawasan industri

Karawang Timur?

17

1.3 Sistematika Laporan

Laporan Kemajuan Penelitian

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN

RINGKASAN

PRAKATA

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

BAB 1. PENDAHULUAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT

PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI

BAB 6. RENCANA TAHAPAN

BERIKUTNYA

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

• Artikel ilmiah (draft, bukti status

submission atau reprint), jika ada.

• Produk penelitian

1.3.1 Tabel Sistematika Laporan Kemajuan

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini tentang peranan serikat pekerja dalam membina hubungan industrial Pancasila

di kawasan industri Karawang Timur. Penelitian ini bermaksud mesdeskripsikan peranan serikat

pekerja, bagian manajerial perusahaan dan dinas ketenagakerjaan kabupaten Karawang dalam

membina hubungan industrial Pancasila. Memperhatikan tujuan penelitian tersebut, maka konsep-

konsep yang harus ditelaah adalah peranan serikat pekerja, hubungan industrial dan hubungan

industrial Pancasila. Oleh karena penelitian sosial tidak mungkin dipisahkan dari konteks, maka

konteks sosial baik lokal maupun nasional perlu dikemukakan. Konteks dimaksud adalah

industrialisasi, kondisi ekonomi dan politik yang merupakan ruang sosial di mana hubungan

industrial berlangsung. Globalisasi ekonomi yang mempengaruhi sikap pengusaha dalam

berinvestasi, melakukan relokasi dan mempengaruhi serikat-serikat buruh yang pada akhirnya

mempengaruhi posisi tawar Negara dan pengusaha, akan disinggung sebagai lingkungan global.

2.1. Para Pemikir Awal Hubungan Industrial

Hubungan industrial berawal dari revolusi industri di Inggris akhir abad 18. Revolusi ini

secara perlahan-lahan melahirkan kelas baru yaitu kelas buruh (pekerja) upahan yang

mengandalkan tenaganya. Hubungan kerja dalam struktur masyarakat feodal yang ditandai dengan

kesepakatan-kesepakatan lisan, berubah menjadi kesepakatan tertulis, meskipun di Inggris

perubahan itu baru berlangsung satu abad kemudian (Perry, 2013). Sebelum benar-benar menjadi

masyarakat industri, di Inggris (dan Jerman) berkembang industri rumahan yang mempekerjakan

beberapa orang. Antara pemilik usaha dan pekerja juga terikat kesepakatan kerja secara lisan.

Operasionalisasi dari usaha-usaha semacam ini diawasi oleh gilda (guild), sebuah kelompok yang

anggota-anggotanya terdiri dari pedagang dan pengrajin yang mengontrol pelaksanaan pekerjaan di

wilayahnya (Schneider, 1986).

Transisi dari masyarakat feodal ke industri merupakan lahan subur bagi kajian sosial

politik, khususnya hubungan industrial dan gerakan sosial (Rochadi, 2008). Beberapa pemikiran

awal lahir dari konteks sosial ini seperti pemikiran Marx, Durkheim dan Weber. Karl Marx adalah

peletak dasar studi hubungan industrial, meskipun ia tidak pernah menggunakan kata tersebut

19

dalam analisisnya. Hubungan antara pemilik modal dan pekerja yang dalam pemikirannya

merupakan konflik untuk menguasai satu dari yang lain, adalah premis utama teori Marx.

Masyarakat industri yang menurut Marx disebut masyarakat kapitalis, dengan demikian

membangun hubungan industrial yang antagonis. Kapitalis sebagai pemilik modal berupaya meraih

keuntungan seoptimal mungkin dengan upah buruh yang sesuai dengan harga pasar dan kondisi

kerja yang terbatas untuk mendukung akumulasi capital, sedangkan para pekerja yang secara terus

menerus dieksploitasi berusaha mengambil alih kepemilikan modal dan memimpin perubahan

sosial di masyarakat.

Teori hubungan industrial Marx diletakkan dalam konteks nilai tenaga kerja, nilai lebih

dan laba. Seluruh konsep tersebut dalam rangka hubungan pemilik modal dengan pekerja. Nilai

tenaga kerja, sama seperti nilai setiap komoditi, ditentukan oleh jumlah pekerjaan yang perlu untuk

menciptakannya (Laeyendecker, 1983; Magnis-Suseno, 2000). Dengan demikian, nilai tenaga kerja

adalah jumlah nilai semua komoditi yang perlu dibeli oleh buruh agar ia dapat hidup, artinya dapat

memulihkan tenaga dan memperbarui dan menggantikannya jika ia sudah tidak dapat bekerja lagi

(Magnis-Suseno, 2000). Untuk memenuhi hal tersebut, buruh harus mendapat upah yang senilai

dengan apa yang diberikannya. Dengan mekanisme ini, maka tercipta “keadilan” di mana upah

buruh menunjukkan pertukaran setara (ekuivalen). Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup

satu hari mulai dari makanan, tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan keluarga, seorang buruh

memerlukan 50 ribu rupiah, maka sebesar itu pula upah yang diterima buruh. Itulah nilai tenaga

kerja buruh.

Argumen di atas akan lebih jelas jika dilengkapi dengan konsep nilai lebih. Tenaga kerja

yang dibeli oleh majikan seharga 50 ribu rupiah tersebut seluruhnya dikuasai oleh majikan dan

digunakan bekerja untuk majikan. Lamanya buruh bekerja tergantung majikan. Dalam hubungan

industrial klasik rata-rata lama kerja buruh 12 jam, kemudian berubah menjadi 10 jam dan di era

post industri rata-rata 8 jam sehari. Dengan waktu tersebut, ternyata buruh mampu menghasilkan 75

ribu rupiah per hari. Ada selisih 25 ribu rupiah per hari yang menjadi milik majikan. Seharusnya

buruh hanya bekerja 5 jam lewat sedikit untuk memperoleh hasil setara 50 ribu rupiah. Sisa 2 jam

kerja dengan nilai 25 ribu rupiah ini menjadi milik majikan dan disebut nilai lebih. Nilai lebih

inilah yang merupakan laba kapitalis dan laba perusahaan seluruhnya tergantung dari besar kecilnya

nilai lebih. Dalam sistem kapitalis yang bertumpu pada konsep harus menghasilkan keuntungan

dari kerja para buruh, pelipatgandaan modal berjalan dengan cepat. Di sisi lain, upah buruh selalu

20

lebih rendah dari nilai tenaga kerja, maka kapitalisme menciptakan ketimpangan kaya-miskin yang

sangat lebar. Dengan semakin besarnya modal yang diperoleh, kapitalis yang kuat memenangkan

persaingan dan terjadilah akumulasi modal di tangan segelintir orang. Sedangkan jumlah proletariat

semakin bertambah karena para pengusaha kecil dan wiraswastawan lama-lama mati kalah beraing

dengan industri besar. Selain ketimpangan yang semakin meruncing, kemelaratan juga semakin

meluas.

Untuk bisa merebut modal, para pekerja harus membangun kekuatan diri. Mula-mula

mereka membangun komunikasi dalam suatu pabrik tempat mereka bekerja untuk menumbuhkan

kesadaran kelas (class consciousness). Kesadaran kelas tahap ini masih merupakan class in its self

yang belum mampu membangun kekuatan untuk menghadapi kelas borjuis (Laeyendecker, 1983).

Class in its self belum merupakan satu kesatuan, meskipun dalam proses produksi mereka telah

menyadari posisinya sebagai kaum proletar. Berkat perkembangan teknologi khususnya media

komunikasi, mereka mampu mengorganisasi diri secara nasional. Proses penyatuan yang semakin

meningkat ini walaupaun masih menghadapi konflik-konflik internal dan banyak mengalami

kekalahan, tetapi dukungan pedagang kecil, industri kecil dan terutama intelektual kota, turut

mendorong tumbuhnya kesadaran politik kaum proletar bukan hanya posisinya dalam proses

produksi tetapi juga penindasan yang hebat dan berkelanjutan dari borjuasi serta kesadaran

menyeluruh untuk menghentikan penindasan. Inilah momen yang oleh Marx disebut kesadaran

kelas yang nyata atau class for its self (kelas bagi dirinya sendiri). Jadi bagi Marx, bukan kesadaran

manusia yang menentukan kesadaran mereka, tetapi kesadaran sosiallah yang menentukan

kesadaran mereka (Magnis-Suseno, 2000).

Mengingat kepentingan dasar kedua kelas yang bertolak belakang, maka keduanya tidak

mungkin bersatu. Mengharapkan hubungan industrial yang harmonis dalam masyarakat kapitalis

merupakan impian yang tidak mungkin terwujud. Karena kelas borjuis sekaligus penguasa yang

mengontrol kelas buruh, perubahan hubungan industrial merupakan hasil pertentangan antara kedua

belah pihak. Pemilik modal secara terus menerus berusaha untuk memaksimalkan keuntungan

(laba), sementara buruh berusaha untuk meningkatkan upah dan kondisi kerja. Baik struktur,

substruktur maupun institusi-institusi yang lahir merupakan hasil pergulatan antara kelas borjuis

dengan kaum proletar. Penindasan yang satu terhadap lainnya hanya bisa dihentikan jika

kepemilikan pribadi dihilangkan.

21

Pemikiran Durkheim berbeda cukup jauh dengan Marx, meskipun keduanya bertolak dari

konteks sosial yang sama, yaitu masyarakat industri. Bagi Durkheim hubungan industrial

merupakan fakta sosial baik dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis maupun solidaritas

organis. Fakta sosial adalah struktur-struktur sosial, norma sosial dan nilai-nilai kultural yang

eksternal bagi dan bersifat memaksa kepada para actor (Ritzer, 2014) dan masyarakat tentunya.

Hubungan industrial pada masyarakat dengan solidaritas mekanis dapat berupa norma sosial dan

nilai-nilai kultural yang membentuk dan memediasi buruh dengan pengusaha. Sebaliknya, pada

masyarakat dengan solidaritas organis hubungan industrial mewujud dalam birokrasi, berbagai

kebijakan pemerintah, peraturan-peraturan perusahaan, institusi pemerintah khususnya yang

menangani perburuhan dan industri, struktur perusahaan, serikat buruh, bipartite, tripartite dan

sebagainya. Hubungan industrial dalam perspektif Durkheim bersifat eksternal dan memaksa,

artinya seluruh tatanan sosial yang mengatur hubungan antara buruh dan majikan berada di luar

individu-individu, dan memaksa para individu tersebut untuk menaatinya7.

Dalam The division of labour, Durkheim menjelaskan terjadinya transformasi masyarakat

dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Suatu masyarakat yang dicirikan oleh solidaritas

mekanis bersatu karena semua orang generalis. Ikatan di antara anggota-anggota masyarakat adalah

kesamaan atau kemiripan. Aktivitas mereka sehari-hari mirip demikian pula tanggung jawabnya.

Sedangkan masyarakat dengan solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan, oleh

adanya fakta bahwa masing-masing mempunyai pekerjaan dan tanggung awab yang berbeda

(Ritzer, 2014). Transformasi demikian lazim terjadi dari masyarakat pedesaan (pertanian) ke

masyarakat perkotaan (industri). Durkheim tidak tertarik membahas konflik-konflik dalam proses

transformasi tersebut, sebaliknya ia justru membahas panjang lebar tentang integrasi. Penyebab

peralihan dari solidaritas mekanis ke solidaritas dinamis adalah kepadatan dinamis. Konsep ini

digunakan oleh Durkheim untuk menjelaskan jumlah orang dalam suatu masyarakat dan jumlah

interaksi di antara mereka. Semakin banyak orang akan semakin meningkat kompetisi dan semakin

banyak interaksi berarti perjuangan lebih keras di antara mereka untuk bertahan hidup (Ritzer,

2014). Jadi masyarakat dengan solidaritas organik dicirikan oleh spesialisasi berdasarkan keahlian,

7 George Ritzer mempertanyakan, bagaimana mungkin fakta non material seperti nilai-nilai kebudayaan bersifat

eksternal bagi sang actor? Pada hal sumber dari kebudayaan adalah ide-ide yang melekat dalam diri actor. Dalam hal

ini Durkheim menjawab bahwa pada awalnya fakta social non material ditemukan dalam pikiran para actor. Tetapi

ketika manusia berinteraksi demikian kompleks, interaksi tersebut akan mengikuti hukum-hukum yang dimiliki

bersama. Lihat selengkapnya Ritzer (2014:132).

22

ketergantungan antar anggota, consensus, kompetisi, kelangkaan barang, kerja keras anggota-

anggotanya dan interaksi yang kompleks.

Durkheim menempatkan moralitas sebagai pondasi disiplin ilmu (sosiologi). Hal ini

menempatkannya sebagai sosiolog yang unik, yaitu sosiologi yang diarahkan untuk mempelajari

moralitas sebagai struktur sosial, proses pembentukan struktur, posisi moralitas dalam struktur

sosial, bagaimana moralitas dilembagakan dan bagaimana kesehatan moral diupayakan dalam

masyarakat. Oleh sebab itu ketimpangan sosial, tindakan aktor atau institusi yang melanggar nilai-

nilai sosial dan moralitas masyarakat, mendapat kecaman Durkheim. Dengan demikian, penindasan

majikan terhadap buruh yang dideskripsikan Marx, tidak dapat ditoleransi dalam pikiran Durkheim.

Meskipun antara majikan dan buruh ada kompetisi karena kepadatan dinamis, antar keduanya harus

ada konsensus dengan membentuk struktur sosial yang disepakati dan mengikat secara bersama-

sama. Peraturan perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan berbagai kebijakan pemerintah

dalam bidang ketenagakerjaan dan industri, merupakan struktur sosial yang memaksa dan mengikat

buruh serta majikan.

Max Weber (1864-1920), sosiolog kelahiran Jerman juga tidak secara khusus membahas

hubungan industrial, tetapi pemikirannya menjadi pondasi perkembangan ilmu sosial termasuk

sosiologi industri. Konsep-konsep yang dicetuskan oleh Weber untuk pembentukan hubungan

industrial adalah tindakan sosial, otoritas, rasionalisasi dan spirit kapitalisme. Untuk analisis sosial,

Weber membedakan tindakan sosial dan perilaku reaktif semata-mata. Dikatakan tindakan sosial

jika individu-individu yang terlibat memaknai tindakan tersebut. Atau tindakan sosial adalah

tindakan yang memiliki makna, tujuan atau motif subjektif. Contoh yang diberikan Weber adalah

tindakan ekonomi yang didefinisikan sebagai “orientasi yang sadar, terutama kepada pertimbangan

ekonomi. Masalah yang penting bukan kebutuhan objektif untuk membuat persediaan ekonomi,

tetapi kepercayaan bahwa hal itu perlu (Ritzer, 2014). Dalam teori tentang tindakan sosial ini secara

jelas Weber menempatkan individu sebagai unit analisis, pola-pola dan regularitas tindakan dan

bukan pada kolektivitas. Inilah sebabnya mengapa Weber juga menjadi tokoh dalam studi

psikologi.

Ada tiga tindakan sosial, yaitu tindakan rasional, tindakan afektif dan tindakan tradisional.

Tindakan rasional oleh Weber dibedakan menjadi rasionalitas instrumental (alat –tujuan) atau

tindakan yang ditentukan oleh pengharapan-pengharapan mengenai perilaku objek-objek di dalam

lingkungan dan perilaku manusia lainnya. Pengharapan-pengharapan tersebut merupakan alat untuk

23

mencapai tujuan yang diperhitungkan secara rasional. Kedua adalah rasioalitas nilai yaitu tindakan

yang ditentukan oleh kepercayaan yang sadar akan nilai tersendiri suatu bentuk perilaku yang etis,

estetis, religius atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek keberhasilannya (Ritzer, 2014). Di

samping tindakan rasional, Weber juga menyebutkan tindakan afektif yang ditentukan oleh keadaan

emosi aktor. Sedangkan tindakan tradisional ditentukan oleh cara-cara berperilaku sang aktor yang

biasa dan lazim.

Sumbangan penting lainnya dari Weber adalah konsep tentang otoritas. Weber melakukan

analisis atas struktur-struktur otoritas dengan menunjukkan dominasi, yaitu probabilitas bahwa

perintah-perintah spesifik atau seluruhnya akan dipatuhi oleh sekelompok orang tertentu. Dari

berbagai bentuk dominasi, Weber paling tertarik pada dominasi yang sah yang disebutnya otoritas.

Ada tiga basis yang menandai otoritas yaitu legal-rasional, tradisional dan karismatik. Otoritas legal

rasional bersandar pada aturan-aturan yang ditetapkan, pada keputusan yang sah dari suatu lembaga

baik private maupun publik. Otoritas tradisional bertumpu kepada kepercayaan yang telah

berlangsung demikian lama melalui proses interaksi, pada kesucian tradisi dan legitimasi orang-

orang yang melaksanakan perintah menurut tradisi. Sedangkan otoritas karismatik bersandar pada

kesetiaan pengikut terhadap pemimpin yang diakui memiliki kesucian luar biasa, watak, teladan,

horoisme (kepahlawanan) dan kemampuan istimewa.

Otoritas legal-rasional dapat mengambil bentuk-bentuk yang bermacam-macam, tetapi

Weber memberi perhatian kepada birokrasi yang dia anggap sebagai tipe pelaksanaan otoritas yang

paling murni. Dibanding bentuk lainnya, birokrasi mememiliki kelebihan-kelebihan, yaitu:

a. Birokrasi mampu mencapai derajad efisiensi tertinggi.

b. Birokrasi merupakan alat yang paling rasional bagi pelaksanaan otoritas kepada umat

manusia.

c. Birokrasi lebih unggul dibanding otoritas lain terutama dalam presisi, stabilitas, disiplin

dan kehandalan pekerjaan.

d. Birokrasi dapat diterapkan dalam berbagai jenis pekerjaan administrasi.

Berbagai keunggulan tersebut dimiliki birokrasi karena otoritas ini memiliki sifat-sifat utama yang

tipikal, yaitu:

1. Ia terdiri dari pengaturan kesinambungan fungsi-fungsi resmi (jabatan-jabatan) yang

dibatasi oleh aturan-aturan.

24

2. Tiap jabatan mempunyai lingkup kompetensi khusus. Jabatan mengusung seperangkat

kewajiban untuk melaksanakan berbagai fungsi, otoritas untuk melaksanakan fungsi-fungsi

itu dan alat-alat pemaksa yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan itu.

3. Jabatan-jabatan diorganisasi ke dalam suatu sistem hirarkies.

4. Jabatan-jabatan dapat menetapkan syarat-syarat kualifikasi teknis yang mengharuskan

para peserta mendapatkan pelatihan yang sesuai.

5. Staf yang mengisi jabatan itu tidak mempunyai alat produksi yang berkaitan dengan

mereka. Para anggota staf dilengkapai dengan alat-alat yang mereka butuhkan untuk

melakukan pekerjaan itu.

6. Pemangku jabatan tidak diijinkan memanfaatkan posisi, dia senantiasa merupakan bagian

organisasi itu.

7. Tindakan-tindakan, keputusan-keputusan dan aturan-aturan administratif dirumuskan dan

direkam secara tertulis.

Tetapi tidak sedikit kelemahan terhadap birokrasi. Weber menyebut dua hal penting yaitu kekakuan

birokrasi atau yang sering disebut pita merah (red tape) dan sering membuat warga kesal dan

prosedur yang berbelit-belit. Selain itu rasionalisasi yang mendominasi semua aspek kehidupan

birokrasi adalah ancaman bagi kemerdekaan individu. Meskipun demikian, birokrasi sebagai

lembaga yang tidak dapat dielakkan (escape proof) dan sekali terbentuk sulit dihancurkan. Dalam

masyarakat modern, birokrasi merupakan pilihan utama. Jika tidak, maka yang ada pekerjaan

amatir.

Dalam menganalisis perkembangan kapitalisme, Weber menghubungkan pada etika

protestan, khususnya Calvinisme. Ajaran Calvin tidak menolak dunia dan tidak focus pada

asketisme, tetapi mendesak secara aktif para anggotanya untuk bekerja dalam dunia agar mereka

dapat menemukan keselamatan atau minimal tandak-tandanya (Ritzer, 2014). Para anggota gereja

dimotivasi untuk menolak segala sesuatu yang tidak etis, estetis atau tergantung pada reaksi-reaksi

emosional mereka pada dunia sekuler. Ajaran Calvin ini memotivasi para jemaat untuk hidup

disiplin, rasional, terbuka, dan hemat. Dalam pandangan Weber, ajaran Calvin ini memberi

semangat (spirit) yang istimewa yang pada akhirnya membuat ekonomi rasional. Weber tidak

menerangkan semangat kapitalisme dengan ketamakan ekonomi, justru sebaliknya sistem moral,

etis dan suatu etos. Menjadikan pengejaran keuntungan menjadi suatu etos itulah yang penting

dalam pertumbuhan kapitalisme di Barat. Di sini ditekankan, Protestanisme bukan penyebab

25

bangkitnya kapitalisme, tetapi membentuk etos umatnya untuk hidup rasional, disiplin, bekerja

sistematis, tidak sepenuhnya asketisme dan menekuni profesi. Melalui etos ini terbangun system

ekonomi yang secara terus menerus bergerak maju, berlangsung pertumbuhan ekonomi,

2.2. Perkembangan Konsep dan Teori Hubungan Industrial

Studi terhadap hubungan industrial berkembang pesat, bukan hanya cakupannya tetapi

juga pendekatan-pendekatannya didorong oleh pesatnya industrialisasi. Arena ini silih berganti

menunjukkan kekuatan pengusaha, serikat pekerja maupun pemerintah. Hubungan industrial

merujuk pada hubungan antara pengusaha, pekerja, manajer perusahaan, serikat-serikat pekerja,

organisasi-organisasi pengusaha dan pemerintah. Oleh karena arena hubungan dipengaruhi oleh

system sosial, budaya dan politik, maka hubungan industrial juga dibentuk oleh system sosial dan

system politik. Sistem sosial yang terbuka dan system politik yang demokratis, cenderung

membentuk hubungan industrial yang demokratis. Demikian pula, system politik yang otoriter,

kaku dan system sosial yang tertutup juga cenderung membentuk system hubungan industrial yang

otoriter.

Selain industrial relation, digunakan istilah labour relation. Penggunaan istilah terakhir

ini lebih menunjukkan hubungan kerja di perusahaan/ pabrik antara pekerja (serikat pekerja)

dengan pengusaha. Pada awalnya hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah antara

pekerja/buruh dan pengusaha. Ini sejalan dengan pandangan ekonomi klasik di mana mekanisme

pasar sebagai tumpuan. Dalam mekanisme pasar hanya ada penjual dan pembeli. Jika sebuah pasar

berhasil memenuhi kebutuhan pribadi dari semua pelaku di dalamnya, maka pasar juga telah

memenuhi kebutuhan manusia dan tujuan sosialnya. Sebuah pasar akan berjalan dengan baik jika

individu-individu di dalamnya bertindak sebagai pembeli sekaligus sebagai penjual (Caporaso dan

Levine, 2016). Ekonomi klasik berasumsi semua orang sebagai pelaku ekonomi yang aktif. Dia

produsen sekaligus konsumen, sehingga system pertukaran akan berlangsung secara alami sehingga

keadilan lebih mudah terwujud.

Dalam ekonomi modern konsep yang digunakan industrial relation untuk merujuk pada

hubungan pelaku-pelaku industri, bukan hanya buruh dan pengusaha tetapi juga pemerintah melalui

kebijakan-kebijakannya. Seperti dikemukakan oleh Musgrave & Musgrave (1994) dalam

perekonomian modern, pemerintah perlu intervensi. Jenis dan luasnya intervensi tergantung pada

masalah yang dihadapi. Secara umum fungsi pemerintah dalam perekonomian adalah distribusi,

26

stabilisasi dan alokasi. Ketiga fungsi ini digunakan secara bersamaan untuk mendorong

berfungsinya mekanisme pasar yang tidak eksploitatif di mana pemilik modal besar cenderung

mematikan yang lemah.

Di Negara-negara industri, hubungan industrial diserahkan kepada kesepakatan buruh dan

majikan. Jika terjadi ketidaksepakatan, maka pemerintah campur tangan yang bertujuan untuk

mencegah ketidakadilan. Dari tesis tersebut mengemuka pertanyaan, apakah peranan Negara? Jika

Negara campur tangan dalam urusan buruh dengan pengusaha, bagaimanakan campur tangan

tersebut dilakukan? Apakah sebaiknya buruh dan majikan dibebaskan membangun kesepakatan

kerja sama karena mereka tahu yang terbaik bagi mereka? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut

lahirlah beberapa konsep dan teori, yaitu hubungan industrial kapitalis, hubungan industrial sosialis,

teori kelembagaan dan teori hubungan industrial Pancasila. Teori-teori tersebut secara ringkas akan

dikemukakan di bawah ini.

2.2.1. Teori Hubungan Industrial dalam Perspektif Kapitalis

Tidak ada istilah yang paling kontroversal di dunia akademik juga di kalangan pergerakan

Indonesia, selain kapitalisme. Ahli ekonomi Lucien Febre, Seligman dan Cassel, mengutuk istilah

tersebut dan memintanya untuk disingkirkan dari diskusi akademik. Sedangkan tokoh-tokoh

pergerakan seperti Tjokroaminoto, Soekarno dan Syahrir menyebutnya sebagai zondig atau jahat.

Tidak mengherankan jika para tokoh pergerakan di Dunia Ketiga lebih nyaman dengan pikiran

sosialisme. Konsep terakhir ini berakar dan berkembang kuat di Indonesia karena memiliki akar

kuat, yaitu system sosial Indonesia dengan gotong royong, arisan, tolong-menolong, mayoritas

penduduk Indonesia penganut Islam dan kuatnya pengaruh ajaran Karl Marx di kalangan

pergerakan kemerdekaan (Mintz, 2012).

Kapitalisme dengan berbagai variannya, minimal memiliki tiga ciri penting yaitu

pemilikan, persaingan dan rasionalitas. Semua system kapitalisme mengijinkan kepemilikan pribadi

bahkan sampai tidak terbatas. Di Indonesia ada pembatasan pemilikan tanah menurut undang-

undang No. 5 tahun 1960, tetapi tidak berjalan. Penguasaan tanah justru di tangan pengusaha-

pengusaha besar, terutama melalui hak pengusahaan hutan (HPH). Demikian pula tumbuhnya

konglomerat secara kasat mata menunjukkan pemilikan pribadi yang tidak terbatas (Rochadi,

2018). Kompetisi antar pelaku bisnis dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi, sehingga bukan

hanya harga yang setara dengan barang yang dibeli, tetapi juga kualitas. Persaingan terjadi bukan

27

hanya di kalangan produsen tetapi juga para pekerja. Mereka ini berusaha merebut lapangan kerja

dan meningkatkan karir untuk menduduki jabatan-jabatan penting baik di perusahaan maupun di

pemerintahan. Hanya kualitas yang membuat mereka mampu meniti karir dan bertahan. Penerapan

rasionalitas dalam perekonomian kapitalis terutama diterapkan dalam pengambilan keputusan.

Hanya alternative yang paling besar memberi keuntungan, membuat perusahaan mampu bertahan

dan memenangkan persaingan, yang paling mungkin dipilih.

Baumol, Litan dan Schramm ( 2010) mendefinisikan kapitalisme secara sederhana, hanya

mencakup satu unsur dari tiga unsur di atas. Menurut mereka suatu perekonomian dikatakan

bersifat kapitalistik ketika sebagian besar atau sejumlah porsi yang signifikan dari alat-alat produksi

yang ada di dalamnya (lahan pertanian, pabrik-pabrik, mesin-mesin) dimiliki oleh sector swasta.

Arbercombrie (dalam Rahardjo, 1989) menyebutkan sejumlah ciri kapitalisme dalam bentuknya

yang murni, yaitu (1). pemilikan dan control atas sejumlah instrument produksi , khususnya capital

dilakukan oleh swasta, (2). Pengarahan kegiatan ekonomi kea rah pembentukan laba; (3). Adanya

kerangka pasar yang mengatur semua kegiatan, (4). Apropriasi laba oleh pemilik modal, dan (5).

Penyediaan tenaga kerja oleh buruh yang bertindak sebagai agen bebas.

Surplus pertanian dan kemudian Revolusi Industri, merupakan faktor penting

pembentukan kapitalisme. Adanya surplus pertanian telah memungkinkan lahirnya golongan yang

menikmati kekayaan tanpa bekerja. Mereka ini antara lain tuan-tuan tanah dan pedagang. Laba dan

kekayaan mereka selanjutnya diinvestasikan di sector off-farm yang menjadi embrio industrialisasi.

Secara historis, Meghnad Dessi (dalam Rahardjo, 1989) mengemukakan ciri-ciri kapitalisme

berdasarkan sejarah perkembangannya, yaitu (1). Produksi untuk dijual dan bukan untuk

dikonsumsi sendiri; (2). Adanya pasar, di mana tenaga kerja djual dan dibeli melalui alat tukar upah

dan hubungan industrial; (3). Penggunaan uang sebagai alat tukar yang selanjutnya memberi

peranan yang sistematis kepada bank dan lembaga keuangan non bank; (4). Proses produksi dan

proses kerja berada dalam kontrol pemilik modal dan agen-agen managerialnya; (5) kontrol dan

keputusan keuangan berada di tangan pemilik modal dan para pekerja tidak ikut serta dalam proses

pengambilan keputusan itu; (6). Berlakunya persaingan bebas di antara pemilik capital.

Ciri-ciri kapitalisme yang dikemukakan oleh Arbercombrie dan Meghnad Dessi di atas

merupakan kapitalisme murni yang dikecam oleh para humanis. Model kapitalisme seperti itu

menginjak-injak keadilan, terutama dengan mengeksploitasi buruh, menyedot tenaga kerja buruh

untuk keuntungan para kapitalis. Kapitalisme model klasik semacam itu pernah hidup di Inggris

28

dan Amerika Serikat pada abad XIX dan sering dikenal sebagai jaman laissez faire. Rejim laissez

faire, persaingan bebas dan sering kali disebut sebagai ekonomi klasik dicirikan oleh tumbuh dan

berkembangnya usaha-usaha kecil dan menengah yang dimiliki perorangan dan keluarga yang

menjalankan usaha secara bebas. Selain itu, kegiatan ekonomi dalam masyarakat berlangsung di

bawah pengaturan sistem pasar. Dalam sistem ini alokasi buruh atau tenaga kerja di antara para

majikan melalui sistem upah dan kontrak kerja dalam pasar tenaga kerja. Negara tidak melakukan

intervensi dalam sistem pasar dan membiarkannya berkembang secara bebas.

Sistem kapitalisme klasik semacam itu telah menyapu ribuan industri kecil dan

mengokohkan pemilik modal kuat. Hubungan industrial yang terbangun adalah hubungan

eksploitatif, di mana para buruh semata-mata dilihat dari tenaga kerjanya. Buruh dibayar dengan

konsep “no work, no pay”. Besarnya upah ditentukan oleh produktivitasnya. Oleh karena langkanya

pekerjaan, maka berlangsung kompetisi antar pekerja untuk mendapatkannya. Kondisi ini

menguntungkan pengusaha, di mana pengusaha bisa membayar upah buruh murah. Kebutuhan

untuk mempertahankan hidup, membuat buruh tidak punya pilihan. Pada pasar tenaga kerja yang

tidak seimbang, terutama dalam situasi tenaga kerja yang oversupply, hubungan industrial berjalan

searah di mana pengusaha memaksakan kehendaknya. Pengusaha menentukan jam kerja, upah,

memberikan alat-alat kerja yang terbatas dan menuntut diselesaikannya pekerjaan dalam jumlah

tertentu. Pekerja dalam posisi lemah. Perlindungan bagi mereka sangat minim yang berakibat

mudahnya pekerja kehilangan pekerjaan.

Dorongan akumulasi kapital adalah pencarian laba sebesar-besarnya dan hal ini memberi

alasan bagi kapitalis untuk melakukan eksploitasi kepada pekerja. Dalam hubungan industrial di

mana satu pihak menguasai modal dan menjadi penentu nasib pekerja, maka tidak mungkin

terbangun hubungan setara. Hubungan industrial yang dicirikan oleh ketimpangan sumberdaya

membawa kepada hubungan dominasi. Dalam teori politik, dominasi satu kelompok atas yang lain

dilengkapi dengan wewenang, hak untuk memutus hubungan, dan mementukan kondisi sosial

ekonomi kelompok yang didominasi. Pekerja berusaha mengimbangi dengan membangunserikat

atau organisasi. Organisasi menjadi alat untuk menghadapi wewenang pengusaha yang sangat luas.

Tetapi berbeda dengan pengusaha yang hanya terdiri beberapa orang, bahkan sering hanya satu

orang; pekerja jumlahnya banyak dan sangat sulit menyatukan pendapat serta sikap politik. Apalagi

sebagian pekerja bersikap pragmatis dengan menolak bergabung dalam serikat karena takut

29

kehilangan pekerjaan. Dengan demikian, jumlah pekerja yang banyak belum tentu memiliki

kemampuan tawar menawar yang kuat.

Sistem kapitalisme dapat bekerja dengan baik jika persaingan bebas berjalan. Persaingan

tersebut bukan hanya antar pengusaha tetapi juga antar pekerja. Ideologi pasar bebas tidak

mengenal hak asasi manusia, nasionalisme dan keadilan. Sebaliknya ideologi ini sejalan dengan

liberalisme yang menuntut kebebasan individu, akumulasi modal dan pemupukan kekayaan. Dalam

hubungan kerja, ideologi semacam ini mewujud dengan mendorong pekerja bekerja seoptimal

mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang semakin besar. Dalam bidang ekonomi, Adam

Smith dengan tesisnya “pasar yang terbebas dari intervensi pemerintah akan menghasilkan

kemakmuran maksimum bagi seluruh bangsa” dikenal sebagai peletak dasar kapitalisme dan

liberalisme.

Dalam perjalanannya, kapitalisme telah mengalami banyak koreksi, termasuk

memasukkan unsur-unsur sosialisme, sehingga Samuelson ahli ekonomi klasik itu menyatakan

tidak ada lagi Negara dengan sistem ekonomi kapitalisme murni dan sosialisme murni, yang ada

adalah sistem ekonomi campuran. Kapitalisme itu sendiri tidak tunggal. Di Indonesia dikenal

kapitalisme negara (Robinson, 1986) dan kapitalisme semua (Kunio, 1992). Baumol, Litan dan

Schramm ( 2010) yang mempelajari kapitalisme abad XXI menyatakan ada empat varian

kapitalisme, yaitu kapitalisme arahan Negara, kapitalisme oligarki, kapitalisme perusahaan besar

dan kapitalisme kewirausahaan.

Dalam kapitalisme arahan Negara, pemerintah berusaha mengarahkan pasar dengan

mendukung industri tertentu yang diharapkan menjadi pemenang. Di Indonesia khususnya selama

masa Orde Baru, pemerintah berperan aktif dalam pembangunan. Pemerintah berusaha

mengarahkan jenis-jenis industri yang bias berdiri dan berkembang. Untuk mendukungnya,

pemerintah juga mengendalikan buruh melalui strategi state corporatism. Dalam strategi ini setiap

bidang kehidupan atau bidang-bidang fungsional, hanya diijinkan satu organisasi. Organisasi ini

disponsori pemerintah, diberi dana, pemimpin-pemimpinnya harus mendapat restu pemerintah dan

setelah duduk sebagai pemimpin, harus mengarahkan dukungan penuh kepada pemerintah.

Misalnya, untuk petani hanya ada Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), untuk buruh

hanya diijinkan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja

Seluruh Indonesia (SPSI). Hubungan industrial yang secara resmi mengikuti konsep Hubungan

Industrial Pancasila (HIP), dalam prakteknya buruh mendapat intimidasi dan eksploitasi oleh

30

aparatur pemerintah, khususnya militer. Dalam situasi semacam itu, HIP hanya menjadi jargon dan

alat bagi kekuasaan untuk menekan buruh.

Jika dalam kapitalisme arahan Negara kebijakan-kebijakan pemerintah sebagian besar

dirancang untuk memenuhi kepentingan segelintir masyarakat (biasanya kepentingan para penguasa

beserta keluarga mereka), maka kapitalisme arahan Negara berubah menjadi kapitalisme oligarki.

Kapitalisme perusahaan besar, di mana aktivitas-aktivitas ekonomi yang paling penting dijalankan

oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah mapan. Inilah yang lazim disebut kapitalis yang

sering sulit dibedakan dengan industrialis. Watak otoriter rejim terhadap buruh semakin kentara

dalam kapitalisme oligarki karena Negara dan pejabatnya menggunakan kebijakan dan kemudian

kekayaan Negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Di era dasawarsa terakhir Orde Baru,

watak kapitalisme oligarki sangat menonjol. Berbagai proyek strategis dan proyek-proyek lain

dikuasai oleh keluarga-keluarga pejabat Negara. Proyek jalan tol dikuasai oleh putri pertama

presiden Soeharto, proyek mobil nasional dikuasai oleh putra bungsu Presiden Soeharto, demikian

pula proyek-proyek lain yang terbagi kepada anak-anak pejabat Negara.

Dalam ekonomi politik seperti itu, hubungan industrial tidak mungkin berpihak kepada

pekerja. Buruh diposisikan sebagai orang-orang yang telah memperoleh belas kasihan pemilik

modal dan karenanya tidak layak melancarkan demonstrasi, mogok dan menuntut hak-hak lainnya.

Jika para buruh tidak puas dengan kondisi kerja yang ada, maka diberi kebebasan untuk

mengundurkan diri. Sistem kapitalisme perusahaan besar juga tidak kalah eksploitatif karena

perusahaan-perusahaan ini menjadi besar atas jasa aparatur Negara. Oleh karena itu para kapitalis

harus membalas jasa baik aparatur Negara, baik dengan menempatkan salah satu petinggi militer

dalam jajaran komisaris maupun memberikan “upeti”. Uang untuk upeti yang sesungguhnya

diperoleh dari laba (pada hal pengusaha tidak mau kehilangan laba), maka dibebankan kepada

buruh. Dalam format semacam ini, upah buruh tidak naik meskipun perusahaan memperoleh

keuntungan besar. Anggaran untuk menaikkan upah buruh diberikan kepada pejabat Negara yang

telah berjasa membangun ketenangan bisnis dan menciptakan etertiban.

Kapitalisme kewirausahaan di mana perusahaan-perusahaan kecil yang inovatif

memainkan peranan penting dalam perekonomian suatu Negara. Kunci keberhasilan kapitalisme

kewirausahaan adalah inovasi yang terus menerus dan kadang-kadang radikal. Berbagai hasil

inovasi tersebut telah meningkatkan standar hidup masyarakat, jauh melampaui era sebelumnya.

Misalnya, pesawat terbang, telepon yang kemudian berkembang menjadi teknologi yang sangat

31

canggih yang mampu menghubungkan orang per orang. Seperti dikemukakan oleh Audrestch

(dalam Baumol, Litan dan Schramm (2010), kewirausahaan memberi konstribusi penting pada

pertumbuhan ekonomi, dengan menyediakan saluran untuk menyebarkan pengetahuan yang

sebelumnya tidak dapat dikomersialisasikan. Oleh karena kompetisi antar perusahaan swasta bukan

hanya memerlukan efisiensi tetapi juga inovasi, maka hubungan industrial yang terbangun lebih

manusiawi dibanding pada jenis kapitalisme sebelumnya. Perlunya memperlakukan pekerja lebih

manusiawi didorong oleh kebutuhan untuk mendapatkan gagasan-gagasan segar dari pekerja guna

memenangkan kompetisi. Dengan demikian, hubungan industrial dalam sistem kapitalisme

bermacam-macam tergantung pada watak dominasi dan kebutuhan pemilik modal terhadap jasa

tenaga kerja.

2.2.2. Teori Hubungan Industrial dalam Perspektif Sosialis

Sosialisme sebagai sebuah cita-cita politik dibentuk oleh perlawanannya terhadap

kapitalisme. Pandangan dasarnya adalah umat manusia sebagai makhluk sosial yang ditentukan

oleh kemanusiaannya. Sebagai makhluk sosial, manusia dibentuk oleh lingkungannya melalui

proses interaksi dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dibanding bercita-cita sebagai individu

yang sukses mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pribadi melalui kompetisi, manusia lebih

bercita-cita memenuhi kebutuhan materialnya melalui kerjasama. Kesetaraan, kohesi sosial dan

kerjasama merupakan karakter utama sosialisme. Dalam waktu singkat khususnya di awal revolusi

industri yang ditandai dengan ketimpangan, kemiskinan absolut di kawasan Eropa dan

pengangguran yang tinggi, ideology sosialisme berkembang dengan cepat. Tumbuh dan

berkembangnya kelas pekerja mendorong gagasan sosialisme semakin luas dan menjadi penantang

utama kapitalisme.

Kaum buruh menjadi pendukung utama system ekonomi sosialis karena dalam system

ekonomi kapitalis, kaum buruh yang paling menderita. Mereka bekerja rata-rata 12 jam sehari,

menerima upah rendah, anak-anak dan kaum perempuan umumnya terlantar, kondisi kesehatan

yang buruk, kemiskinan dan pengangguran sangat mencolok. Selain itu, para pekerja generasi

pertama industrialisasi rata-rata mengalami disorientasi di mana mereka (sebagian besar)

sebelumnya sebagai petani dengan kekerabatan yang tinggi, kemudian menjadi bagian dari

masyarakat industri. Situasi di atas kemudian membawa para buruh pada ide-ide radikal, seperti

32

halnya gagasan Karl Marx. Eksploitasi terhadap kelas buruh membawa kaum proletariat ini tidak

punya pilihan lain kecuali harus melakukan revolusi untuk merebut dan menguasai kapital dan

menciptakan masyarakat tanpa kelas.

Sosialisme pada abad ke 19 telah mengalami perubahan besar. Meningkatnya kesejahteraan

masyarakat khususnya para pekerja bahkan mereka sudah bisa memiliki saham perusahaan melalui

pembelian perusahaan yang go public, buruh tidak tertarik melakukan revolusi. Dalam studi tentang

sosialisme, Heywood (2016) membedakan sosialisme revolusioner dan sosialisme evolusioner.

Yang pertama lebih berkiblat ke revolusi Rusia 1917 dengan Lenin dan kaum Bolsheviks sebagai

pelopornya, yang kedua merupakan sosialis reformis atau demokrasi sosial. Selain itu ada bentuk

sosialisme lain yaitu sosialisme di dunia keiga yang timbul sebagai reaksi terhadap kolonialisme

dan imperalisme. Ide eksploitasi kelas diganti dengan penindasan kaum kolonialis, sehingga

sosialisme melebur dengan nasionalisme untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Bentuk sosialisme

yang berbeda juga muncul di Arab dan Afrika yaitu dengan memadukan nilai-nilai tradisional

kesukuan dan prinsip-prinsip moral dalam agama Islam.

Sosialisme yang lebih umum merupakan prinsip dasar bagi gerakan buruh. Dalam

pandangan buruh, sosialisme sangat tepat sebagai cita-cita untuk membangun struktur masyarakat

yang lebih adil. Pada umumnya gagasan sosialisme bersumber pada Theimer yang dikenal sebagai

peletak dasar sosialisme purba (Magnis Suseno, 2000). Dikemukakan oleh Theimer, bahwa

pemilikan bersma akan menciptakan dunia lebih baik, membuat situasi ekonomi semua orang sama,

tidak ada ketimpangan kaya-miskin, dan menggantikan usaha mengejar kekayaan pribadi dengan

kesejahteraan umum. Gagasan sosialisme kuno tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran agama.

Penganjur sosialisme kuno, Thomas More (1478-1535) yang menulis buku Utopia, berkhayal

mengenai masyarakat yang dicita-citakan, yaitu masyarakat sosialis. Utopia merupakan nama suatu

pulau yang dihuni oleh masyarakat yang merupakan khayalan More. Khayalan ini kemudian

menjadi cita-cita sosialisme, seperti semua orang harus bekerja dan menikmati pendapatan yang

sama, para pekerja bekerja di tanah atau usaha kecil milik sendiri bukan sebagai pemilik melainkan

sebagai pekerja komunitas, waktu bekerja sehari 6 jam. Gambaran Utopia ibarat surga, tidak ada

konflik dan yang ada hanya kesetaraan. Masyarakatnya damai, sejahtera dan hidup saling

bekerjasama.

33

Kondisi kelas pekerja yang buruk mendorong munculnya sosialisme modern. Berbeda

dengan Utopia-nya Thomas More yang ditulis sebelum kapitalisme berkembang, sosialisme

modern disusun setelah kapitalisme berkembang pesat. Artinya telah ada bukti-bukti bahwa

motivasi pencarian laba yang sebesar-besarnya dengan menindas hak-hak buruh, melahirkan

kemiskinan dan pengangguran. Pembagian laba yang adil ini yang mendasari gagasan kaum sosialis

modern. Bahwa buruh bekerja keras dan berhak menikmati hasil kerjanya, produk pekerjaan tidak

seharusnya menyingkirkan pekerja, justru harus merupakan milik pekerja. Pemikir lainnya, Saint

Simon (dalam Suseno, 2000) menambahkan bahwa kunci pembangunan masyarakat yang lebih adil

adalah perubahan bentuk hak milik. Hak milik tidak dihapus, namun dikaitkan dengan prestasi yang

bersangkutan dalam proses produksi. Simon hendak mempromosikan gagasan bahwa kesejahteraan

masyarakat berbanding lurus dengan kerja keras. Ia menolak revolusi dan perebutan alat-alat

produksi oleh karena menguntungkan mereka yang tidak pernah bekerja.

Robert Owen, seorang pemikir dan pekerja sosial asal Inggris pada awal abad XIX berusaha

meyakinkan para pengusaha untuk membangun hubungan industrial yang lebih adil. Tatanan

industrial, keuangan, pengupahan dan pendidikan perlu direformasi (Suseno, 2000). Sebagai

seorang manajer pabrik, Owen melakukan perubahan besar seperti membangun perumahan bagi

buruh, membuka toko untuk belanja para buruh yang harganya lebih rendah dibanding toko lain,

dan membuka sekolah bagi anak-anak. Sekitar 30% buruh di Inggris kala itu berusia antara 6-14

tahun. Ternyata memberi dampak besar, semangat kerja dan hasil kerja buruh meningkat.

Peningkatan pendapatan bagi buruh juga menguntungkan perusahaan karena daya beli buruh

meingkat sehingga produk perusahaan lebih banyak terjual. Owen semakin yakin, bahwa reformasi

tatanan industrial harus segera dilakukan untuk membangun hubungan industrial yang lebih adil.

Hubungan industrial dalam teori Owen harus berpihak kepada buruh secara nyata. Jika hak-

hak buruh terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar dipenuhi, maka akan membangkitkan

gairah kerja dan produktivitas kerja. Para pengusaha memetik keuntungan lebih besar dibanding

melakukan pemangkasan hak-hak buruh. Peningkatan pendapatan buruh juga berdampak besar bagi

kesejahteraan masyarakat. Selain mendorong penjualan barang lebih besar karena konsumsi

meningkat, juga meningkatkan pemerataan. Gagasan Owen inilah yang kemudian berkembang

dalam teori pemenuhan kebutuhan pokok. Kebutuhan pangan, pakaian dan perumahan yang

terpenuhi membuat para pekerja lebih berkonsentrasi dalam proses produkti. Pekerja tidak perlu

34

takut sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan. Hubungan industrial tidak perlu eksploitatif, karena

bagaimana pun pengusaha tetap memerlukan buruh dalam produksi. Sebaliknya, dengan saling

menjalankan peran masing-masing secara normatif dan memenuhi kebutuhan pokok buruh, maka

manfaat yang lebih besar dapat diperoleh.

Di kalangan pemikir sosialis, sosialisme evolusioner dengan jalan parlementer yang lebih

berkembang. Jalan parlementer menuju masyarakat sosialis lebih realistis karena pemikiran

sosialisme perlu disemaikan melalui lembaga-lembaga pendidikan. Selain itu, pembentukan partai

sosialis yang pendukung utamanya bukan hanya kelas pekerja sangat penting. Partai sosialis perlu

memperluas basis sosial untuk memperoleh kekuasaan dan perubahan struktur politik melalui jalan

parlementer bisa dilakukan. Dengan demikian lebih baik melakukan perubahan gradual, bertahap

dengan membentuk pemikiran dan basis sosial yang kuat untuk menciptakan masyarakat sosialis,

dibanding melakukan revolusi sosial. Para penganjur sosialisme evolusioner seperti Beatrice Webb

(1858-1943) dan Sidney Webb (1859-1947) aktivis sosial asal Inggris, lebih menerima teori liberal

tentang peran negara sebagai yuri.

Optimisme para penganjur jalan parlementer menuju sosialisme didasari oleh beberapa

pertimbangan berikut (Heywood, 2016):

a. Meluasnya hak-hak politik di kalangan warga negara, terutama hak untuk memilih yang

pada akhirnya memunculkan kesetaraan politik.

b. Kesetaraan politik itu pada akhirnya akan memenangkan kelompok mayoritas dalam

industri yaitu kelas pekerja.

c. Sosialisme merupakan rumah alamiah kelas pekerja karena watak kapitalisme yang

eksploitatif. Semakin membesarnya kelas pekerja, semakin kuat pendukung partai sosialis,

sehingga kemenangan dan lahirnya masyarakat sosialis tinggal menunggu waktu.

d. Sekali saja partai sosialis memegang kekuasaan, maka transformasi sosial akan berjalan

terus. Demokrasi politik membuka kemungkinan meraih sosialisme secara damai.

Namun sosialisme demokratis ini menghadapi masalah yang belum dibayangkan oleh para

pemikir abad 19, yaitu masihkah kelas pekerja menjadi pemilih mayoritas di masyarakat industri

maju. Seiring berbagai perubahan yang dilakukan kapitalisme, seperti penjualan saham (go public),

bergesernya posisi pemilik dari kursi manajerial dan digantikan manager profesional, serta

35

munculnya dekomposisi kelas pekerja (Dahrendorf, 1986), ditemukannya pasar global,

berkembangnya multi national corporation (MNC) dan berlangsungnya globalisasi pasar tenaga

kerja; sosialisme tidak lagi menjadi inat kelas pekerja. Jatuhnya negara-negara komunis digantikan

oleh rejim lain yang lebih pro pasar, semakin menggemakan matinya sosialisme.

Gagasan hubungan industrial dalam perspektif sosialis tinggal cita-cita, seiring dengan semakin

besarnya perubahan atau penyesuaian kapitalisme yang semakin manusiawi. Runtuhnya Tembok

Berlin tahun 1989-1990, tidak menyisakan lawan kapitalisme di negara industri maju. Penulis

Amerika Serikat keturunan Jepang, Francis Fukuyama (2009) menyimpukan berakhirnya sejarah,

kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Dalam perspektif semacam itu, sosialisme tetap

diperlukan untuk mengubah watak kapitalisme agar semakin humanis. Seperti telah dikemukakan

di atas, dewasa ini tidak ada lagi negara yang mempraktekkan kapitalis murni dan sosialisme murni,

yang ada adalah perekonomian campuran. Kapitalisme semakin mendekatkan diri dengan

sosialisme, sehingga wajah aslinya semakin tidak jelas di akhir Abad XX.

Dalam sistem ekonomi sosialis, keadilan sangat mungkin dicapai karena alat-alat produksi

terutama industri besar dan strategis dimiliki Negara. Sedangkan industri kecil bisa dimiliki oleh

perorangan. Pengertian industri strategis tentu berubah sesuai dengan pekembangan ekonomi dan

politik suatu Negara. Industri kain di Indonesia tahun 1950-an termasuk strategis karena pakaian

dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat. Tahun 1970-an berubah ketika para investor asing

semakin banyak berinvestasi di bidang ini. Demikian pula industri kertas mulai beralih ke swasta

sejak tahun 1970-an. Jika dalam perekonomian kapitalis harga ditentukan oleh kekuatan permintaan

dan penawaran, demikian pula upah tenaga kerja; dalam perekonomian sosialis harga ditentukan

oleh pemerintah.

Dalam konsep sosialisme, hubungan industrial menampakkan wajah yang lebih pro kepentingan

buruh. Hal ini bisa terwujud dengan sejumlah prinsip dan elemen kelembagaan sebagai berikut:

1. Di setiap perusahaan terdapat serikat buruh yang mewakili kepentingan semua buruh.

Serikat buruh menjalankan fungsi perundingan dengan pimpinan perusahaan,

memperjuangkan perubahan-perubahan aturan perusahaan yang merugikan buruh baik upah,

jam kerja, lembur, status buruh, dan berusaha mengurangi kekuasaan manajemen dan

menaikkan kekuasaannya sendiri. Agar berfungsi sebagai alat sosial dan ekonomi, serikat

36

buruh harus menjadi alat kekuasaan yaitu sebagai kekuatan pemaksa agar lawan-lawannya

menyerah (Schneider, 1986).

2. Para buruh didorong untuk menjadi anggota serikat buruh. Upah buruh yang menjadi

anggota serikat biasanya lebih besar dibanding yang tidak menjadi anggota serikat buruh.

3. Para aktivis serikat buruh bermental militan karena berhadapan langsung dengan pemilik

modal yang memiliki kekuasaan besar, seperti finansial, jaringan dengan penguasa dan

birokrasi. Namun umumnya militansi dibentuk oleh ideologi dan tantangan kekuasaan.

4. Serikat buruh mengontrol tenaga kerja yang akan masuk maupun ke luar dalam suatu

pabrik. Manajemen tidak bisa merekrut calon tenaga kerja tanpa persetujuan serikat buruh,

demikian pula jika ingin memberhentikan pekerja.

5. Perjanjian kerja maupun peraturan perusahaan merupakan kesepakatan antara serikat buruh

dan pimpinan perusahaan.

Serikat buruh yang kuat menakutkan para pengusaha, karena mengurangi keleluasaan

pengusaha dalam mengoperasikan modalnya. Karena itu pengusaha lebih memilih bekerjasama

dengan pemerintah. Seperti dikemukakan sebelumnya, pemerintah melalui aparaturnya akan

melakukan tekanan kepada buruh untuk mentaati peraturan perusahaan, sekalipun dengan

kekerasan. Dalam kondisi kebebasan berserikat terbatas, pilihan bekerjasama dengan pemeintah

sangat menguntungkan. Sebaliknya, di era kebebasan berserikat, kekangan tidak lagi efektif, para

pengusaha menghadapi tekanan dari buruh. Di sini diperlukan perundingan bersama secara damai

untuk membangun kesepakatan kerja bersama.

2.2.3. Hubungan Industrial Pancasila (HIP)

Dalam konteks makro, studi hubungan industrial mencakup kajian terhadap kebijakan-

kebijakan pemerintah di bidang industri dan keteganakerjaan. Kajian dimaksud bukan hanya

mencakup proses perumusan kebijakan, tetapi juga implementasi dan evaluasi kebijakan. Proses

perumusan kebijakan mengkaji bagaimana ide, gagasan isi kebijakan dirumuskan. Kemudian

bagaimana ide seseorang atau sekelompok orang menjadi agenda kebijakan yang berarti menggeser

ranah isu dari kelompok-kelompok di luar pemerintahan masuk ke dalam pemerintah. Tahap

selanjutnya, bagaimana proses perumusan kebijakan dalam system politik berproses. Apakah ada

37

kesesuaian antara gagasan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat? Tahap terakhir tentang

bagaimana rumusan kebijakan yang resmi disepakati menjadi keputusan dan menjadi produk

hukum, apakah bentuknya undang-undang atau peraturan pemerintah. Dalam perumusan kebijakan

industrial, stakeholders utama adalah Kementrian Tenaga Kerja, Badan Nasional Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Serikat-

serikat pekerja dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

Kebijakan nasional yang menjadi rujukan pelaksanaan hubungan industrial terus mengalami

perubahan, mulai undang-undang kerja No. 12 tahun 1948 sampai undang-undang Ketenagakerjaan

No. 13 Tahun 2003. Meskipun demikian, mengingat falsafah bangsa adalah Pancasila, maka

hubungan industrial baik pada tingkat makro maupun mikro didasarkan pada sila-sila Pancasila.

Secara konseptual Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku-pelaku

industrial baik di tingkat makro maupun mikro yang didasarkan pada sila-sila dalam Pancasila. Para

pelaku industrial secara sederhana adalah pengusaha (pemilik perusahaan, manajer) dan para

pekerja baik secara langsung maupun diwakili oleh serikat pekerja. Dalam ruang lingkup lebih luas,

melibatkan pemerintah khususnya kementrian Tenaga Kerja atau level yang lebih rendah oleh

Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah serikat-

serikat pekerja.

Dalam menjalankan konsep HIP, semua pihak harus berpegang pada asas kekeluargaan dan

gotong royong serta asas musyawarah untuk mufakat. Asas kekeluargaan mengandung makna

bahwa para pelaku usaha dan pekerja baik di tingkat makro maupun mikro memandang dirinya

sebagai bagian dari keluarga yang harus memberi konstribusi terhadap tegaknya keluarga. Institusi

Negara, bisnis, serikat pekerja dipandang sebagai institusi keluarga dan masing-masing sebagai

anggota keluarga. Oleh karena itu, satu sama lain memiliki kewajiban untuk membantu anggota

keluarga. Konsep kekeluargaan pertama-tama dikemukakan oleh Baruck de Spinoza ( 1632-1677 )

seorang filsuf keturunan Yahudi dan Portugis yang terkenal dengan teori kesatuan Allah dan

manusia. Konsep ini di Indonesia diambil oleh Prof. Soepomo sebagai salah satu asas dalam

mendirikan Negara Indonesia. Menurut Soepomo “Negara adalah susunan masyarakat yang

integral, segala golongan, segala bagian, segala anggota berhubungan erat satu sama lain dan

merupakan persatuan masyarakat yang organis”. Selanjutnya “Negara tidak memihak kepada suatu

golongan yang paling kuat atau yang paling besar, tidak memihak kepentingan seseorang sebagai

38

pusat, Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat

dipisah-pisahkan”. Konsep Soepomo ini selanjutnya dikenal sebagai paham integralistik yang

memayungi asas kekeluargaan.

Dalam teori Negara integralistik yang dikemukakan oleh Soepomo, Negara Indonesia

dipandang sebagai suatu bangunan keluarga. Rakyat Indonesia yang ada di dalamnya juga

memandang satu sama lain sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia. Masing-masing

mempunyai tanggung jawab demi tegaknya keluarga, majunya keluarga dan kemakmuran keluarga.

Jika konsep ini diterapkan dalam organisasi baik perusahaan maupun serikat pekerja, maka prinisp-

prinsip yang sama juga berlaku. Dalam suatu perusahaan, pemilik, manajer dan buruh adalah suatu

keluarga, sehingga satu sama lain harus bekerjasama, saling membantu (atau bergotong royong)

demi kejayaan perusahaan. Dalam suatu keluarga, ayah bertindak sebagai kepala keluarga. Maka

konsep kekeluargaan dan gotong royong ini juga berkembang ke konsep patron-client.

Menurut Keith R. Legg (1983) tautan hubungan tuan-hamba pada umumnya berkenaan

dengan hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumberdaya

yang tidak sama, hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan bersifat pribadi dan

sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), dan hubungan yang berdasarkan asas saling

menguntungkan dan saling memberi dan saling menerima. Di Indonesia hubungan patronase bukan

hanya terjadi di kalangan birokrasi seperti dikemukakan oleh Jackson (1988), tetapi juga terjadi di

kalangan petani sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian James C. Scott (1992). Sedangkan di

kalangan buruh terjadi khususnya dalam merekrut dan mempekerjakan buruh dari daerah yang

sama. Kartini Sjahrir (1998) mengungkapkan bahwa untuk alasan kepercayaan dan keamanan diri,

para mandor cenderung merekrut buruh untuk dipekerjakan di Jakarta dari desa asal si mandor.

Oleh karena mereka yang datang ke kota belum memiliki pengalaman dan sumberdaya yang

memadai, maka para buruh tersebut di menumpang di tempat mandor. Dalam interaksi sehari-hari

para mandor bukan hanya memberi tumpangan tempat tinggal, tetapi juga memberi arahan kerja.

Mekanisme ini memposisikan si mandor sebagai tuan dan si pekerja sebagai hamba.

Prinsip musyawarah untuk mufakat menafikan pemungutan suara. Pola voting dianggap

sebagai perpecahan dan tidak menunjukkan adanya dukungan semua pihak dalam pengambilan

keputusan. Dengan voting, selain terjadi pembelahan, juga pihak yang kalah merasa dipermalukan

dan sering kali membentuk kekuatan tandingan. Banyak kejadian kongres suatu organisasi yang

39

berakhir dengan perpecahan karena pihak yang kalah tidak bisa menerima keputusan dan merasa

dipermalukan. Dengan musyawarah, semua pihak terlibat dalam pengambilan keputusan, semua

gagasan dibicarakan bersama kelebihan dan kekurangannya, sehingga keputusan akhir merupakan

kehendak bersama, dukungan bersama dan untuk kemajuan bersama.

Secara konseptual musyawarah merupakan proses pembahasan suatu tema dalam suatu

pertemuan yang melibatkan pihak-pihak berkepentingan secara aktif untuk mencapai suatu

keputusan sebagai penyelesaian masalah bersama. Oleh Mohammad Koesnoe (1980) musyawarah

disebut sebagai corak demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi semacam ini telah berakar dalam masyarakat adat

Indonesia selama ratusan tahun. Cara ini dilakukan agar proses dan hasilnya diterima secara

bersama. Mengingat sejarahnya dan merupakan nilai luhur yang telah melembaga dalam

masyarakat Indonesia, maka pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru menjadikannya sebagai

salah satu asas dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sidang-sidang kenegaraan pun

diusahakan menerapkan prinsip musyawarah untuk mufakat.

Dalam pelaksanaannya, HIP mengandung makna kerjasama antara pekerja dengan

pengusaha dalam 3 (tiga) hal pokok, yaitu:

a. Pekerja dan pengusaha atau pimpinan perusahaan adalah partner dalam proses produksi,

maksudnya baik pekerja maupun pengusaha wajib saling bekerjasama dalam melakukan

produksi dan meningkatkan produksi (partner in product).

b. Pekerja dan pengusaha atau pimpinan perusahaan adalah partner dalam pemerataan

menikmati hasil perusahaan yang berarti hasil usaha yang diterima perusahaan dinikmati

secara bersama-sama antara pekerja dengan pengusaha secara layak dan serasi sesuai

prestasi kerja (partner in profit).

c. Pekerja dan pengusaha atau pimpinan perusahaan adalah partner dalam tanggung jawab,

yang mencakup tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanggung jawab kepada

bangsa dan negara, tanggung jawab kepada masyarakat sekelilingnya, tanggung jawab

kepada pekerja dan keluarganya dan tanggung jawab kepada perusahaan di mana mereka

bekerja (partner in responsibel).

40

Berbeda dengan hubungan industrial dalam perspektif ekonomi kapitalis maupun sosialis, HIP

memiliki ciri-ciri khusus yang merupakan gabungan nilai kemanusiaan, kemasyarakatan dan

produktivitas kerja. Ciri-ciri khusus HIP sebagaimana dikemukakan dalam Pedoman Pelaksanaan

Hubungan Industrial Pancasila (Departemen Tenaga Kerja 1987) adalah:

1. Hubungan industrial Pancasila mengakui dan meyakini bahwa pekerja bukan hanya

bertujuan mencari nafkah saja, tetapi sebagai pengabdian kepada Tuhan-nya, kepada

manusia, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Hubungan industrial Pancasila bukan hanya menganggap pekerja sekedar faktor produksi

saja, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya. Karena itu

perlakuan pengusaha kepada pekerja bukan hanya dilihat dari segi faktor produksi saja,

melainkan harus dilihat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat manusia.

3. Hubungan industrial Pancasila melihat pekerja dan pengusaha tidak memiliki kepentingan

yang bertentangan, tetapi memiliki kepentingan yang sama yaitu memajukan perusahaan.

Dengan perusahaan yang maju akan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan

pengusaha.

4. Dalam hubungan industrial Pancasila setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan

pengusaha harus diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang

dilaksanakan secara kekeluargaan. Karena itu setiap penggunaan penekanan dan aksi-aksi

sepihak seperti mogok, penutupan perusahaan (lock out), bertentangan dengan prinsip-

prinsip hubungan industrial Pancasila.

5. Dalam hubungan industrial Pancasila, terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban

kedua belah pihak dalam perusahaan. Keseimbangan itu dicapai bukan atas dasar

perimbangan kekuatan (balance of power), tetapi atas dasar rasa keadilan dan kepatutan. Di

samping itu, hubungan industrial Pancasila juga mempunyai pandangan bahwa hasil-hasil

perusahaan yang telah dicapai berdasarkan kerjasama antara pekerja dengan pengusaha,

harus dapat dinikmati secara adil dan merata sesuai dengan pengorbanan masing-masing.

Kebijakan yang lahir pasca Orde Baru khususnya UU 13 BAB XI yang mengatur tentang

hubungan industrial menetapkan Pasal 102 (1) Dalam melaksanakan hubungan industrial,

pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan

41

ketenagakerjaan. (2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat

pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya,

menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,

mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan

memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. (3) Dalam melaksanakan hubungan

industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,

mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh

secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana: a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi

pengusaha; c. lembaga kerja sama bipartit; d. lembaga kerja sama tripartit; e. peraturan perusahaan;

f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan h. lembaga

penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Seperti peraturan-peraturan sebelumnya, UU13 juga

tidak secara tegas menyebut HIP. Dalam kebijakan sebelumnya seperti UU 14 tahun 1969 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan, undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja

di Perusahaan Swasta, tidak menyebutkan HIP alih-alih menjelaskannya. Konsep HIP dan prinsip-

prinsipnya dirujuk dari Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (Departemen Tenaga

Kerja 1987). Dengan demikian, HIP sejak kelahirannya tahun 1974 melalui seminar hubungan

industrial yang diselenggarakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, belum pernah

ditetapkan oleh pemerintah, sehingga implementasi tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Hal

ini menyulitkan implementasinya di lapangan tentang siapa pemilik program, siapa penanggung

jawab akhir dan bagaimana susunan organisasi pelaksana. Oleh karena itu, jika konsep dan

implementasi HIP berjalan setengah hati, sudah ditemukan penyebab awalnya.

42

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Studi tentang hubungan industrial sangat luas karena hubungan industrial mencakup

berbagai aspek hubungan antara buruh dengan pengusaha. Hubungan antara kedua belah pihak

dapat dilakukan untuk mendeskripsikan kerjasama, konflik, ketegangan atau dilihat dari salah satu

pihak. Perspektif dari buruh dapat merupakan studi gerakan, aliansi antar serikat buruh, aliansi

antar serikat buruh dengan kelompok kepentingan lain atau dengan partai politik. Dari perspektif

pengusaha dapat merupakan studi tentang pengupahan, keselamatan kerja, faslitas kerja, tunjangan

kesejahteraan maupun pengembangan kualitas tenaga kerja oleh pengusaha. Sedangkan dari

perspektif pemerintah dapat merupakan studi kebijakan ketenagakerjaan secara umum, kebijakan

pengupahan, kebijakan keselamatan dan keamanan kerja, kebijakan investasi, kebijakan industry,

kebijakan kebebasan berorganisasi maupun kebijakan yang mengatur relasi buruh dengan

pengusaha.

Studi ini bergerak dari makro ke mikro, yaitu dari kebijakan tentang hubungan industrial ke

implementasinya di tingkat local. Isi kebijakan yang hendak didiskripsikan adalah peranan serikat

buruh, pengusaha dan pemerintah dalam membangun hubungan industrial khususnya HIP. Dalam

memenuhi maksud tersebut, dideskripsikan peranan masing-masing dan dicari ketidakterhubungan

(mismatch) antara pelaku. Lazimnya mismatch terjadi karena tuntutan masing-masing pihak tidak

terpenuhi, baik karena menyimpang dari aturan yang berlaku maupun salah satu pihak tidak

memiliki kemampuan untuk memenuhinya.

Secara umum tujuan studi ini hendak membangun data dan melakukan analisis data tentang

hubungan industrial di kawasan industri Karawang Timur. Dengan dimilikinya data dana

dilakukannya analisis data, penelitian ini secara konkrit membantu Universitas Nasional mencapai

rencana dan strategi penelitian melalui temuan-temuan konseptual dan metodologi bidang ilmu

sosial khususnya sosiologi. Dengan mengkaji hubungan industrial di Karawang yang merupakan

wilayah industri penelitian ini bertujuan menghasilkan invensi berupa konsep, teori dan kebijakan

baru bidang hubungan industrial. Selain itu tujuan penelitian ini untuk mendapatkan data dan

43

melakukan analisis data yang akurat, kontemporer tentang hubungan industrial yang nantinya dapat

dipblikasikan di jurnal ilmiah internasional bereputasi. Sedangkan secara khusus tujuan studi ini

adalah:

a. Tersedianya data dan analisis tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam perlindungan pekerja agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja sepihak?

b. Tersedianya data dan analisis tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam penentuan upah minimum kabupaten dan pelaksanaannya dalam konteks HIP?

c. Tersedianya data dan analisis tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB) dan pelaksanaannya dalam konteks

Hubungan Industrial Pancasila?

d. Tersedianya data dan analisis tentang dipilihnya Peraturan Perusahaan oleh perusahaan-

perusahaan disbanding pembentukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di kawasan

industri Karawang Timur ?

e. Tersedianya data dan analisis tentang pemagangan dan strategi pemerintah dalam

mewujudkan kepastian kerja bagi pekerja di kawasan industri Karawang Timur?

3.2. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian di atas, maka bagi institusi (Universitas Nasional) manfaat

yang diperoleh adalah pemenuhan (terpenuhinya) rencana strategis bidang penelitian. Sedangkan

bagi pengembangan sosiologi, manfaat yang diperoleh adalah diperolehnya data, analisis data yang

up-to date tentang hubungan industrial yang menjadi salah satu focus studi sosiologi di Universitas

Nasional. Selain itu mampu menaikkan prestise Prodi Sosiologi di kancah nasional dan

internasional melalui publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Manfaat lainnya adalah

diperolehnya konsep-konsep dan teori hubungan industrial yang up-to date, sebagai temuan

(invensi) baru bidang studi sosiologi.

44

Secara khusus manfaat yang diperoleh dari studi ini adalah:

1. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan

pemerintah dalam perlindungan pekerja untuk mencegah Pemutusan Hubungan Kerja

sepihak.

2. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan

pemerintah dalam penentuan upah minimum kabupaten dan pelaksanaannya dalam

konteks HIP.

3. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan

pemerintah dalam penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB) dan pelaksanaannya

dalam konteks Hubungan Industrial Pancasila.

4. Diperolehnya data dan informasi tentang dipilihnya Peraturan Perusahaan oleh

perusahaan-perusahaan disbanding pembentukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di

kawasan industri Karawang Timur.

5. Diperolehnya data dan informasi tentang pemagangan dan strategi pemerintah dalam

mewujudkan kepastian kerja bagi pekerja di kawasan industri Karawang Timur.

45

BAB IV

METODE PENELITIAN

4. 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau yang populer disebut penelitian

alamiah (naturalistic). Neuman (2014) menyebutnya penelitian lapangan untuk membedakan

dengan pendekatan kuantitatif yang lazim dilakukan di laboratorium. Pendekatan kualitatif pertama

kali diperkenalkan oleh para antropolog, seperti yang yang dilakukan oleh Malinowski (1844-1942)

di Papua New Guinea (Papua Nugini sekarang) tahun 1914. Hasil penelitiannya kemudian dikenal

luas dan sumbangan metodologinya diakui oleh komunitas intelektual dunia sebagai metodologi

baru dalam ilmu sosial. Malinowski percaya bahwa cara terbaik untuk mengembangkan

pemahaman yang mendalam tentang suatu komunitas atau budaya adalah peneliti secara langsung

berinteraksi dan hidup di antara penduduk pribumi, mempelajari adat-istiadat, keyakinan dan proses

sosial mereka (Neuman, 2014).

Pendekatan kualitatif merupakan pilihan dalam studi ini karena peneliti ingin mempelajari,

memahami atau menggambarkan sekelompok orang yang berinteraksi, khususnya buruh,

pengusaha dan pemerintah (pejabat pemerintah yang berwenang di bidang perburuhan) di wilayah

Karawang. Seperti yang dilakukan oleh sosiolog dari Universitas Chicago yang kemudian dikenal

sebagai Chicago School, penelitian ini juga menggunakan observasi partisipan. Peneliti

mempelajari buruh, serikat buruh, pengusaha dan para pejabat di bidang ketenagakerjaan dengan

mendatangi mereka, berinteraksi dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan mengembangkan

wawasan teoritis yang luas dari observasi dan wawancara.

Penelitian ini bertumpu pada prinsip naturalisme yang menuntut peneliti untuk

mengumpulkan informasi, menyusun informasi dan menjelaskan maknanya dalam latar sosial alami

dan berkesinambungan atas fokus pengamatan. Kehidupan sosial yang berkesinambungan

mengandung berbagai perspektif yang digunakan orang dalam latar sosial alami. Peneliti harus

menyatu dengan fokus penelitian atau lazim disebut objek penelitian untuk dapat menangkap secara

utuh fenomena yang dipelajari. Meskipun demikian, dibanding dengan penelitian etnografi dan

etnometodologi, penelitian ini berbeda. Pada kedua penelitian itu, pengetahuan budaya baik

46

eksplisit maupun tacit menjadi latar sosial budaya. Semua peristiwa dijelaskan dengan mengacu

kepada latar sosial budaya mulai dari pemikiran sampai tindakan. Pada penelitian ini oleh karena

ketiga pelaku yaitu aktivis serikat buruh, pengusaha dan pejabat bidang ketenagakerjaan tidak

tinggal di wilayah yang sama dan mereka tidak berinteraksi dalam budaya yang sama, maka latar

sosial budaya tidak menjadi dasar dalam analisis data.

Dengan kata lain, dibanding mengikuti salah satu perspektif dalam pendekatan kualitatif

misalnya perspektif etnografi atau etnometodologi, penelitian ini lebih mengikuti logika penelitian

kualitatif secara umum sebagaimana disarankan oleh Neuman (2014). Dengan mendeskripsikan

peristiwa dalam realitas otentik, menuntut peneliti masuk ke lokasi penelitian, berinteraksi dengan

para informan dan para partisipan. Prinsip lain adalah bahwa kehidupan sosial berkesinambungan

dengan berbagai perspektif. Untuk itu dalam memahami kehidupan sosial, peneliti harus

menggunakan berbagai perspektif khususnya dari para partisipan. Konsep partisipan mengacu pada

Creswell (2015) untuk menyebut semua pihak yang terlibat dalam penelitian khususnya mereka

yang menjadi informan.

4.2. Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan mengikuti saran dari Creswell (2015) yang

mencakup lima langkah (dalam penelitian ini diterapkan 3 langkah) disesuaikan dengan situasi

khusus yaitu Karawang sebagai wilayah industri. Pertama, mengidentifikasi partisipan dan tempat

yang akan diteliti serta terlibat dalam strategi sampling. Partisipan yang dilibatkan adalah pejabat

Dinas Tenaga Kerja khususnya Kepala Dinas, Kepala Bagian Satuan Tenaga Kerja dinas

Kabupaten Karawang dan Provinsi Jawa Barat, aktivis serikat buruh dari Serikat Pekerja Seluruh

Indonesia (SPSI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) dan Kesatuan Aksi Solidaritas

Buruh Indonesia (KASBI), Serikat Pekerja Singaperbangsa. Selain itu dilibatkan para pengusaha

yaitu Perwakilan perusahaan dan Penanggung Jawab SDM di Perusahaan dan Pengurus Asosiasi

Pengusaha Indonesia (APINDO). Pemilihan mereka mengikuti saran Patton (2002) yaitu memilih

partisipan dan lokasi penelitian yang kaya informasi. Selain itu ditambahkan saran Neuman (2014)

yaitu kekayaan data, ketidakakraban dan kesesuaian.

47

Kedua, mendapatkan akses ke individu dan tempat dengan mendapatkan ijin. Untuk bagian

ini peneliti telah mengirim surat kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Karawang, ketua SPSI Cabang

Karawang, Ketua PPMI Cabang Karawang, Ketua SP Singaperbangsa cabang Karawang, Ketua

KASBI Cabang Karawang, Perwakilan perusahaan dan Penanggung Jawab SDM di Perusahaan dan

Ketua APINDO Cabang Karawang dilampiri proposal. Semua pihak telah setuju dengan maksud

peneliti dan memberikan waktu wawancara minggu ketiga bulan Juli 2018, minggu ketiga bulan

Agustus 2018. Untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan buruh sehari-hari, para peneliti

tinggal di Karawang Timur selama 10 hari. Daerah Karawang Timur dikenal sebagai pemukiman

buruh di Karawang.

Gambar 4.2.1 Tangga akses yang dibangun oleh peneliti

Bagan diadaptasi dari Neuman (2014:473) dengan modifikasi peneliti

Peranan gate keeper sangat penting dalam penelitian kualitatif. Oleh karena penelitian ini tentang

peranan serikat pekerja dalam mebangun hubungan industrial yang harmonis berdasarkan HIP,

maka gate keeper yang ditetapkan adalah ketua SPSI Cabang Karawang dan Ketua SP

Singaperbangsa. Dipilihnya mereka dengan pertimbangan dialah yang memberi pintu masuk,

memiliki akses yang baik ke APINDO, para buruh dan pejabat bidang ketenagakerjaan di

Karawang.

Mg 1, 2 Juni 18 Mg 3, 4 Juni 18 Mg 1,2 Juli 18 Mg 3, 4 Juli 18 AGT 18

48

Ketiga, mengidentifikasi tipe informasi yang dapat menjawab pertanyaan penelitian.

Peneliti telah mengidentifikasi tipe-tipe data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian maupun

teknik mengumpulkannya. Sejak awal peneliti memahami bahwa data yang harus dikumpulkan

tidak mungkin diperoleh dengan teknik pengumpulan tunggal seperti wawancara. Di sini dilakukan

pengumpulan data secara terperinci, sistematis, lengkap yang diharapkan mampu menjawab

pertanyaan penelitian dan memberikan kebaruan (novelty) penting dalam studi hubungan

industrial. Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2.2 Teknik Pengumpulan Data dan Tipe Data

Teknik Pengumpulan Data Tipe Data Aktivitas Lapangan

Observasi Catatan Lapangan

dan foto

Peneliti melakukan observasi di

kawasan yang dihuni buruh, di

perusahaan daerah Citra Indah

Karawang Timur, sekretariat SPSI,

PPMI, KASBI, SPS, APPINDO.

Wawancara Pertanyaan terbuka Peneliti melakukan wawancara terhadap

partisipan yang terpilih yaitu para

pejabat Dinas Tenaga Kerja Kabupaten

Karawang, Direktur dan perwakilan

Perusahaan, Para Ketua Serikat

Pekerja/Buruh SPSI, PPMI, KASBI,

SPS, Ketua APINDO Karawang, Para

buruh di pemukiman. Wawancara

direkam kemudian ditranskripsi.

Dokumen Dokumen tertulis, Memeriksa informasi dan data dari

buku, majalah, notulen rapat, berita

surat kabar, web, dokumen yang dibuat

kantor pemerintah, Dok APINDO, Dok

SP/SB. Catatan harian peneliti.

Bahan audiovisual Foto dan rekaman Melakukan pemotretan, perekaman

aktivitas buruh di perusahaan, aktivitas

pejabat, pimpinan perusahaan maupun

para aktivis buruh

49

4.3. Uji Keabsahan Hasil Penelitian

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai keabsahan hasil penelitian.

Banyak penelitian kualitatif diragukan karena masalah keabsahan data, seperti dominannya

subjektivitas peneliti dan pengumpulan data yang dilakukan melalui observasi dan wawancara.

Untuk itu dilakukan pengujian keabsahan data yang oleh Denzin (2012) disebut triangulasi dan oleh

Burgess (dalam Bungin, 2014) disebut strategi penelitian ganda dan sering kali dengan sebutan

meta metode. Maksudnya penelitian yang menggunakan beberapa metode sekaligus dalam suatu

penelitian yang dilakukan secara linear atau silang untuk menguji keabsahan data atau kebenaran

data.

Pada penelitian ini dilakukan triangulasi. Oleh Denzin (2012) dikemukakan ada 4 (empat)

macam triangulasi, yaitu triangulasi kejujuran peneliti, triangulasi sumber data, triangulasi metode

dan triangulasi teori. Peneliti memilih triangulasi sumber data mengingat karakteristik partisipan

yang diteliti memiliki kepentingan berbeda tajam. Buruh bertujuan mendapatkan upah besar, jam

kerja terbatas fasilitas kerja lengkap dan status sebagai pekerja yang pasti, sedangkan pengusaha

memiliki kepentingan yang cenderung bertolak belakang. Dengan kepentingan semacam itu, sangat

mungkin informasi dari buruh dan pengusaha berbeda tajam. Untuk mencegah dan meminimalkan

penyimpangan, maka dilakukan uji keabsahan sumber data.

Gambar 4.3.1 Bagan Uji Keabsahan Data

Informasi dari

Pejabat Disnaker

Informasi dari SP/

SB, Buruh

Informasi dari

Pengusaha, APINDO

50

Selain mengikuti teori Denzin, uji keabsahan juga mengikuti teori Patton (2002) yang

dilakukan dengan:

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan partisipan di depan orang banyak dengan yang

dikatakan secara pribadi

c. Membandingkan apa yang dikatakan partisipan seketika dengan apa yang dikatakan

sepanjang peneliti ada di lokasi penelitian

d. Membandingkan keadaan dan perspektif partisipan dengan berbagai pendapat dan

pandangan orang lain seperti buruh biasa, dan pejabat pemerintahan

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen baik yang dimiliki SP/SB,

Disnaker dan Perusahaan.

4.4. Analisis Data

Strategi analisis data yang digunakan adalah gabungan tipe ideal dan hampiran berturutan

(successive approximation) yang dikemukakan oleh Neuman (2014). Konsep tipe ideal

dikemukakan oleh Max Weber untuk menunjukkan organisasi, kondisi, situasi, keputusan, interaksi

dan tindakan yang dinilai sempurna oleh peneliti. Tipe ideal tidak pernah ada dalam kenyataan,

melainkan hanya perangkat buatan. Seperti sistem politik demokrasi yang secara klasik mencakup

13 kriteria seperti dikemukakan oleh Held. Sistem politik demikian sulit diwujudkan, tetapi Negara-

negara yang percaya terhadap sistem itu berjuang memenuhi kriteria tersebut. Teknik analisis data

dengan tipe ideal ini membandingkan gagasan atau konsep ideal dengan kenyataan di lapangan

(pelaksanaannya), peneliti fokus pada hal-hal umum dan mencari penyebab umum dari kasus

hubungan industrial di Kabupaten Karawang.

Tipe ideal yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep dan prinsip hubungan

industrial Pancasila (HIP). Seluruh data yang dikumpulkan dibandingkan dengan konsep dan

prinsip HIP kemudian dicari penyebabnya, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu teknik ini

menyerupai analisis deskriptif-kualitatif yang merupakan model analisis tahap pertama

perkembangan metode kualitatif (Denzin dan Lincoln, 2012). Teknik analisis data deskriptif-

51

kualitatif masih merupakan kualitatif semu, belum sungguh-sungguh kualitatif karena masih

memberi makna data dari perspektif teori yang digunakan.

Selain itu, digunakan teknik analisis data hampiran berturutan yang merupakan proses

penyusunan iterasi berulang. Peneliti bergerak dari teori HIP, klasifikasi data lapangan dari aktivis

serikat buruh, pejabat Dinas Tenaga Kerja, pengusaha, pimpinan APINDO dan buruh-buruh.

Kemudian memilah data berdasarkan tema baik yang menurut konsep HIP maupun tema lepas yang

menjadi kekhasan studi ini dan temuan lebih luasdari penelitian ini. Menurut saran Neuman (2014),

“peneliti menyelidiki data, mengajukan pertanyaan terhadap bukti untuk melihat seberapa baik

konsep sesuai dengan buktinya dan mengungkapkan ciri-ciri data. Peneliti juga membuat konsep

baru dengan melakukan abstraksi dari bukti menyesuaikan konsep agar lebih sesuai dengan

buktinya”. Dengan demikian, penggunaan hampiran berturutan (successive approximation)

merupakan proses yang berulang kali bolak-balik antara data empiris, konsep, teori atau model

abstrak, menyesuaikan teori dan menyempurnakan pengumpulan data.

Gambar 4.4.1 Bagan Strategi Analisis Data Tipe Ideal dan Hampiran Berturutan (successive

approximation)

Konsep dan prinsip

HIP:

a. Partner in

product

b. Partner in

profit

c. Partner in

responsibility

d. Humanisme

e. Pengabdian

f. Keharmonisan

g. Musyawarah

h. Keseimbangan

Pengumpulan dan

Klasifikasi Data

Data Pengupahan

Data Produksi

Data status Pekerja

Data konflik industrial

Dan seterusnya

Analisis Induktif

Temuan Penelitian

52

BAB V

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

Bab ini menjelaskan tentang apa saja hasil yang telah kami peroleh pada tahun 1 (pertama).

Hasil atau output pada penelitian ini merupakan landasan untuk menyempurnakan capaian

luaran yang terdiri dari beberapa komponen yang dijelaskan pada tabel 5.1 dibawah ini.

5.1 Tabel Capaian Luaran Penelitian Tahun Satu

5.1 Hasil dan Luaran Tahun Satu Publikasi Ilmiah Jurnal Internasional

Dalam penelitian ini, kami telah berhasil mendaftarkan (accepted) makalah yang merupakan

hasil dari rangkaian penelitian Peran Serikat Pekerja Dalam Membina Hubungan Industrial

Pancasila Antara Pekerja, Perusahaan dan Pemerintah di Kawasan Industri Surya Cipta Karawang

Timur ini dengan judul yang kami sesuaikan dengan rencana penelitian tahun kedua atau lanjutan.

Hal tersebut tergambar dari referensi dan rekam jejak penelitian sebagai awal mula dalam rangka

mengoptimalkan capaian luaran penelitian ini hingga dapat dipublikasikan melalui jurnal

Internasional.

No Komponen Thn ke Hasil Capaian

1. Publikasi Ilmiah Jurnal Internasional 1 Accepted/ publish

2. Pemakalah dalam Pertemuan Ilmiah Nasional 1 Terdaftar

3. Buku Ajar ISBN 1 Draf

4. Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) 1 Skala 3

5. Publikasi Ilmiah Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi 1 Submitted

6. Pemakalah dalam Pertemuan Ilmiah Lokal 1 Terdaftar

7. Model 1 Draf

8. Bahan Ajar 1 Editing

9. Kebijakan 1 Draf

10. Metode 1 Produk

11. Keikutsertaan dalam Seminar Internasional 1 Draf

12. Keikutsertaan dalam Seminar Nasional 1 Sudah dilaksanakan

53

Adapun judul dari makalah yang diterima adalah “The Declining Pancasila Industrial Relations

and the Increasing Industrial Conflicts, Research Findings from Karawang, West Java.” Akan

dipresentasikan oleh tim yaitu : Dr. Sigit Rochadi, M.Si, Angga Sulaiman, S.IP, MAP, dan penulis

lainnya yang berkontribusi terhadap penulisan makalah ini hingga di accepted adalah Adilita

Pramanti, S.Sos, M.Si.

5.1.1 Foto diskusi Proses penulisan Paper Internasional

5.1.2 Bukti Submit Jurnal Internasional

5.2 Hasil dan Luaran Tahun Satu Pemakalah dalam Pertemuan Ilmiah Nasional

Hasil dari luaran ini adalah makalah yang telah diselesaikan pada jurnal internasional dan

sudah ditranslete dalam bahasa inggris.Dalam prosesnya kami menggunakan data yang telah kami

54

dapatkan dilapangan selama penelitian berlangsung, namun kedepan pada tahun kedua kami ingin

lebih fokus temuan-temuan lain yang lebih spesifik dalam penelitian khusus pada kajian Hubungan

Industrial Pancasila dan Meningkatnya Konflik Industrial, Temuan dari Karawang Jawa Barat.

Gambar 5 .2.1 Bukti online penerimaan makalah untuk pertemuan Ilmiah Nasional

5.3 Hasil dan Luaran Tahun Satu Buku Ajar

Pada luaran buku ajar kami telah menghasilkan buku ajar berupa draft dan pada bulan September

akan didaftarkan ISBN. Adapun judul buku ajar kami adalah : “Paradigma Baru Hubungan

Industrial di Indonesia”

Dengan pembabakan Bab dan Sub Bab nya sebagai berikut :

1.Ruang Lingkup Hubungan Industrial

1.1 Kepentingan Perusahaan

1.2 Kepentingan Buruh

1.3 Peranan Pemerintah

2.Bentuk Hubungan Industrial

2.1 Peraturan Perusahaan

2.2 Perjanjian Kerja Bersama

3.Perkembangan Pemikiran Hubungan Industrial

3.1 Liberalisme

3.2 Sosialisme

3.3 Hubungan Industrial dalam Islam

4.Paradigma BAru Hubungan Industrial

55

4.1 Hubungan Industrial Pancasila

4.2 Paradigma Baru Hubungan Industrial

5.4 Hasil dan Luaran Tahun Satu Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT)

Tahap Kesiapan Teknologi atau Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) adalah ukuran tingkat kesiapan

teknologi yang diartikan sebagai indikator yang menunjukkan seberapa siap atau matang suatu

teknologi dapat diterapkan dan diadopsi oleh pengguna/calon pengguna. Tingkat Kesiapan

Teknologi merupakan suatu sistem pengukuran sistematik yang mendukung penilaian kematangan

atau kesiapan dari suatu teknologi tertentu dan perbandingan kematangan atau kesiapan antara jenis

teknologi yang berbeda. Dalam penelitian ini kami telah telah melakukan pembuktian konsep pada

tahapan TKT 3 dimana dalam pembuktian TKT 3 ilmu sosial penyertaan fungsi atau karakteristik

dari Buruh yang kami teliti telah dijelaskan secara mendetail pada tahap metode penelitian secara

analitis melalui teori dan konsep ilmu sosial.

56

BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Dalam penelitian ini kami akan melakukan rancangan tahapan selanjutnya yaitu tahun kedua, yang

mana telah kami mulai juga terlebih dahulu dengan mendaftarkan 3(tiga) prosposal kami dengan

data penelitian atau temuan hasil dari penelitian ini, yaitu pada Kongres dan Seminar Nasional ISI

(Ikatan Sosiologi Indonesia) pada tanggal 25-28 Oktober 2018.

6.1.1 Keikutsertaan dalam kongres dan Seminar Nasional Sosiologi

Kemudian langkah selanjutnya kami akan membuat model kebijakan dalam hubungan Industrial

Pancasila yang memuat juga strategi hubungan tiga arah sehingga memperkuat luaran pada

penelitian ini. Kemudian kami juga berencana pada tahun kedua untuk menyelesaikan editing bahan

ajar sehingga dapat digunakan sebagai acuan referensi bagi mahasiswa dalam kuliah Gerakan

Sosial di Program Studi Sosiologi pada khususnya dan program studi lain dengan kajian hubungan

industrial pada umumnya. Terakhir kami akan menambah keikutsertaan dalam seminar dan diskusi

yang fokus pada kajian buruh dan hubungan industrial Pancasila sebagai bahan kajian untuk

membuat kebijakan (policy brief) dan menemukan metode baru dalam analisis dan kajiannya.

57

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian yang telah

dicapai oleh tim peneliti. Melalui analisis dalam berbagai konteks makro dan mikro, studi

hubungan industrial mencakup kajian terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang industri

dan keteganakerjaan. Kajian dimaksud bukan hanya mencakup proses perumusan kebijakan, tetapi

juga implementasi dan evaluasi kebijakan. Proses perumusan kebijakan mengkaji bagaimana ide,

gagasan isi kebijakan dirumuskan. Kemudian bagaimana ide seseorang atau sekelompok orang

menjadi agenda kebijakan yang berarti menggeser ranah isu dari kelompok-kelompok di luar

pemerintahan masuk ke dalam pemerintah. Tahap selanjutnya, bagaimana proses perumusan

kebijakan dalam system politik berproses. Apakah ada kesesuaian antara gagasan pemerintah

dengan Dewan Perwakilan Rakyat? Tahap terakhir tentang bagaimana rumusan kebijakan yang

resmi disepakati menjadi keputusan dan menjadi produk hukum, apakah bentuknya undang-undang

atau peraturan pemerintah. Dalam perumusan kebijakan industrial, stakeholders utama adalah

Kementrian Tenaga Kerja, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(BNP2TKI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Serikat-serikat pekerja dan Asosiasi Pengusaha

Indonesia (APINDO). Adapun hasil yang didapat adalah :

1. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam perlindungan pekerja untuk mencegah Pemutusan Hubungan Kerja sepihak.

2. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam penentuan upah minimum kabupaten dan pelaksanaannya dalam konteks HIP.

3. Diperolehnya data dan informasi tentang peranan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah

dalam penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB) dan pelaksanaannya dalam konteks Hubungan

Industrial Pancasila.

4. Diperolehnya data dan informasi tentang dipilihnya Peraturan Perusahaan oleh perusahaan-

perusahaan disbanding pembentukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di kawasan industri

Karawang Timur.

5. Diperolehnya data dan informasi tentang pemagangan dan strategi pemerintah dalam

mewujudkan kepastian kerja bagi pekerja di kawasan industri Karawang Timur.

58

Kebijakan nasional yang menjadi rujukan pelaksanaan hubungan industrial terus mengalami

perubahan, mulai undang-undang kerja No. 12 tahun 1948 sampai undang-undang Ketenagakerjaan

No. 13 Tahun 2003. Meskipun demikian, mengingat falsafah bangsa adalah Pancasila, maka

hubungan industrial baik pada tingkat makro maupun mikro didasarkan pada sila-sila Pancasila.

Secara konseptual Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku-pelaku

industrial baik di tingkat makro maupun mikro yang didasarkan pada sila-sila dalam Pancasila. Para

pelaku industrial secara sederhana adalah pengusaha (pemilik perusahaan, manajer) dan para

pekerja baik secara langsung maupun diwakili oleh serikat pekerja. Dalam ruang lingkup lebih luas,

melibatkan pemerintah khususnya kementrian Tenaga Kerja atau level yang lebih rendah oleh

Dinas Tenaga Kerja, Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah serikat-

serikat pekerja. Untuk dapat mengoptimalkan hasil penelitian ini maka kami berharap dapat

melakukan kaji tindak hubungan industrial Pancasila di tahun kedua.

59

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

1. Friedrich Schneider. 1986. Measuring The Size of The Shadow Economy. Buckingham: The

Univeristy of Buckginham.

2. L. Leyendecker. 1983. Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta:

Gramdedia.

3. Suseno, Franz Magnis. 2002. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

4. George Ritzer. 2014. Introduction to Sociology. SAGE Publications

5. Caporaso, James A dan David P Lenin. 2016. Teori-Teori Ekonomi Politik. Jakarta: Pustaka

Pelajar.

6. Mintz, Jeanne S. 2012. Muhammad, Marx dan Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

7. William J Baumol, Robert E. Litan dan Carl. J Schramm. 2010. Good Capitalism, Bad

Capitalism, and the Economics of Growth and Prosperity. Jakarta: Gramedia.

8. Robinson, Richard. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Jakarta: Komunitas Bambu.

9. Kunio, Yoshihara. 1992. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

10. Heywood, Andrew. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Penerjemah: Yudi Santoso.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

11. Thomas More. 1516. The Best of Commonwealth and The New Island.

12. Ralf Dahrendorf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masayarakat Industri: Sebuah Analisa

Kritik. Jakarta: Rajawali Press.

13. Francis Fukuyama. 1992. The End History of The Last Man. Jakarta: Penerbit Qalam.

14. R Legg, Keith. 1983. Tuan, Hamba, dan Politisi. Jakarta: Sinar Harapan.

15. D Jackson, Karl and Lucian W. Pye. 1988. Political Power and Communication in Indonesia.

University of California Press.

16. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.

Jakarta: Penerbit LP3ES.

17. Neuman, W Lawrence. 2014. Social Research Methods Qualitative and Quantitative

Approaches. New York: Pearson.

18. Cresswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

19. Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods. USA: SAGE

Publications Inc.

20. Bungin, Burhan. 2003. Analisis data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo.

21. Denzin, N.K dan Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

22. Borsuk, Richard and Nancy Chng. 2014. Liem Sioe Liong Salim Group: The Business Pilar of

Suharto’s Indonesia. Singapore: Institute of Southest Asian Studies Publishing.

60

JURNAL

Rochadi, Sigit. 2014. Kebijakan Industrial(isasi) dan Kontinyuitas Konflik Industrial Pasca

Krisis Ekonomi 1997/1998. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Kebudayaan. Vol. 27 No. 2.

TESIS

Noorhadi Rahardjo. 1989. Penggunaan Foto Udara Untuk Mengetahui Kualitas Lingkungan

Permukaan di Kota Madya Magelang Dalam Hubungan Dengan Kondisi Sosial Ekonomi

Penghuni. Tesis S2. Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

61

DRAFT BUKU AJAR

PARADIGMA BARU HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

TIM PENULIS:

Dr. AF. SIGIT ROCHADI, M.SI.

ANGGA SULAIMAN, S.IP., M.AP.

ADILITA PRAMANTI, S.SOS, M.Si

JAKARTA, 2018

62

DRAFT BUKU AJAR PARADIGMA BARU HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA

BAB I. RUANG LINGKUP HUBUNGAN INDUSTRIAL I.1 Kepentingan Perusahaan I.2 Kepentingan Buruh I.3 Peranan Pemerintah BAB II. BENTUK HUBUNGAN INDUSTRIAL II.1 Peraturan Perusahaan II.2 Perjanjian Kerja Bersama BAB III. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III.1 Liberalisme III.2 Sosialisme III.3 Hubungan Industrial Dalam Islam BAB IV. PARADIGMA BARU HUBUNGAN INDUSTRIAL IV.1 Hubungan Industrial Pancasila IV.2 Paradigma Baru Hubungan Industrial

63

BAB I.

RUANG LINGKUP HUBUNGAN INDUSTRIAL

Uraian Materi:

Mengawali Bab ini penulis lebih dahulu menjelaskan konsep dasar dari hubungan industrial yang

mencakup definisi, tujuan dan prinsip – prinsip sebelum menjelaskan kepentingan para pihak.

Sehingga mahasiswa atau pembaca pada umumnya dapat mendudukan pemahaman yang sama atas

nilai kepentingan sebagaimana dimaksud. Selanjutnya dijelaskan juga berbagai kepentingan dari para

pihak dalam hubungan industrial, yakni kepentingan pengusaha, kepentingan pekerja dan peranan

pemerintah.

Capaian Pembelajaran:

• Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep dasar hubungan industrial yang

mencakup: definisi, tujuan dan prinsip – prinsip hubungan industrial;

• Mahasiswa diharapkan mampu memahami bebagai kepentingan didalam hubungan

industrial; dan

• Mahasiswa mampu menganalisis konflik kepentingan dalam hubungan industrial.

Menurut McMillan dalam Umar Hasan, hubungan industrial merupakan interaksi antara para majikan, para

pegawai, pemerintah dan asosiasi – asosiasi lewat mana mediasi dari interasi tersebut dilakukan.

Pemerintah memiliki keterlibatan langsung sebagai pemberi kerja kepada pegawai – pegawainya dan

memiliki keterlibatan tidak langsung sesuai peranannya untuk mengatur ekonomi dan hubungan antara

para majikan, para pegawai dan serikat – serikat pekerja (Umar Hasan, 2013: 4). Dalam literatur lain,

hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara pelaku proses produksi barang maupun jasa

(pengusaha), pekerja/serikat pekerja, dan pemerintah. Dimana hubungan industrial bertujuan untuk

64

menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dan dinamis antara pihak-pihak terkait tersebut (Sumanto

2013: 11).

Sekurangnya dari definisi di atas, maka pemaknaan dari hubungan industrial merupakan sebuah interaksi

para pihak (pengusaha, pekerja dan pemerintah) dalam kerangka membangun harmoni yang pada

gilirannya dapat mengakomodasi kepentingan bersama. Pemaknaan tersebut sejalan dengan tujuan akhir

dari pengaturan hubungan industrial yakni dalam konteks peningkatan kesejahteraan bagi semua pihak.

Untuk sampai kepada kesejahteraan, diperlukan peningkatan produktivitas dari waktu ke waktu dan

produktifitas dapat tercapai manakala terjadi hubungan yang harmonis/ketenangan kerja dilingkungan

perusahaan (Suwarto, 2006: 14). Dimana dalam memaksimalkan pencapaian tujuan tersebut, ada beberapa

azas yang perlu diperhatikan sebagai berikut (Sumanto 2014: 16 - 17):

1. Asas Partner in Production

Menurut asas ini, buruh dan pengusaha mempunya kepentingan yang sama untuk meningkatkan

kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/produksi. Oleh karena itu masing-masing

pihak merupakan kawan dalam meningkatkan kesejahteraan buruh dan meningkatkan hasil

produksi.

2. Asas Partner in Profit

Menurut asas ini, hasil yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh

pengusaha saja, tetapi harus dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil produksi

tersebut sehingga peningkatan kesejahteraan social para pekerja di perusahaan sejalan dengan

peningkatan hasil produksi.

3. Asas Partner in Responsibility

65

Menurut asas ini, buruh dan pengusaha memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama dalam

meningkatkan hasil produksi. Rasa tanggung jawab kedua belah pihak ini akan mendorong

peningkatan hasil produksi.

Masih dalam rujukan yang sama, prinsip hubungan industrial didasarkan pada persamaan kepentingan

semua unsur atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Dengan demikian, hubungan industrial

mengandung prinsip-prinsip berikut ini :

1. Pengusaha dan pekerja, demikian juga pemerintah dan masyarakat pada umumnya, sama-sama

mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Oleh sebab itu,

terutama pengusaha dan pekerja harus sama-sama memberikan upaya yang maksimal melalui

pelaksanaan tugas sehari-hari untuk menjaga kelangsungan perusahaan dan meningkatkan

keberhasilan perusahaan. Pekerja dan serikat pekerja harus membuang kesan bahwa perusahaan

hanya kepentingan pengusaha. Demikian juga pengusaha harus membuang sikap yang

memperlakukan pekerja hanya sebagai factor produksi.

2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Semakin banyak pengusaha yang

mengembangkan perusahaan atau membuka usaha baru, semakin banyak pekerja yang

memperoleh penghasilan. Semakin banyak perusahaan yang meningkatkan produktivitas, semakin

banyak pekerja memperoleh peningkatan penghasilan. Dengan demikian, pendapatan nasional dan

kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat.

3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-masing mempunyai fungsi

yang berbeda dengan pembagian kerja atau pembagian tugas. Pengusaha sebagai pemimpin

mempunya fungsi menggerakan, membina dan mengawasi. Pekerja mempunya fungsi melakukan

pekerjaan operasional. Pengusaha bukan mengeksploitas pekerja. Setiap pekerja melakukan

pekerjaan dalam waktu tertentu dalam satu hari dengan cukup waktu istirahat setiap hari dan hari

istirahat setiap minggu atau setiap bulan. Setiap pekerja melakukan tugas sesuai dengan beban

kerja yang wajar bagi kemanusiaan. Pekerja tidak mengabdi kepada pengusaha akan tetapi pada

pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Pembagian kerja seperti itu merupakan ciri organisasi

modern.

4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan. Sebagai anggota keluarga

meraka harus saling mengasihi, saling memerhatikan kepentingan yang lain dan saling membantu.

Pengusaha perlu memahami cara piker dan kepentingan pekerja yang tergabung dalam serikat

66

pekerja. Pengusaha perlu memerhatikan kondisi dan kebutuhan pekerjaan dan sedapat mungkin

memenuhinya. Sebaliknya pekerja dan serikat pekerja perlu memahami keterbatasan pengusaha.

Apabila timbul permasalahan atau persoalan harus diselesaikan secara kekeluargaan, tidak secara

bermusuhan.

5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah menciptakan ketenangan berusahan dan

ketentraman bekerja supaya dengan demikian dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.

Untuk itu masing-masing unsur mitra social-pengusaha dan pekerja-harus menjaga diri untuk tidak

menjadi sumber masalah dan perselisihan. Seandainya terdapat perbedaan pendapat, perbedaan

persepsi dan perbedaan kepentingan, harus diselesaikan secara kekeluarga dan diupayakan tanpa

menganggu proses produksi. Setiap gangguan produksi akan merugikan pengusaha, masyarakat

dan pengusaha sendiri.

6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat meningkatkan kesejahteraan bersama, yaitu

kesejahteraan pengusaha dan kesejahteraan pekerja. Pekerja (yang ingin memperoleh upah lebih

tinggi) harus siap meningkatkan produktivitas kerjanya. Bila seorang pekerja menerima upah lebih

tinggi dari nilai kontribusi yang diberikan ke perusahaan, maka terpaksa ada orang lain yang

menerima upah lebih rendah dari nilai kontribusinya atau perusahaan harus memberikan subsidi.

Bila perusahaan terus memberikan subsidi, perusahaan akan sulit berkembang atau terancam

bangkrut. Sebaliknya pengusaha harus secara adil, tranparan, dan proporsional memberikan hasil

peningkatan produktivitas yang dihasilkan kepada pekerja.

I.1 Kepentingan Perusahaan

Perusahaan sebagaimana dimaksudkan dalam bagian ini adalah unsur pengusaha/ investor/ pemilik

sebagai penyedia modal dan pemilik otoritas tertinggi dalam perusahaan. Karnanya dalam bagian ini secara

spesifik mengidentifikasi kepentingan perusahaan yang dilihat sebagai upaya untuk melipatgandakan aset,

dalam pengertian mencari tingkat rendemen bisnis/ keuntungan melaui peningkatan deviden dari aktivitas

perusahaan.

67

Lumrah, bahkan menjadi suatu keharusan ketika seorang pengusaha memiliki ambisi untuk mensukseskan

perusahaannya karena kesuksesan perusahaan akan linier dengan benefit yang diterimanya. Bahkan

indikator utama dari kesuksesan pengusaha diukur dari sejauhmana keuntungan yang diperolehnya. Bukan

hanya masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia hari ini, memberikan label “Pengusaha Sukses”

tentunya dengan melihat jumlah aset yang dimiliki.

Namun pelabelan dimaksud tidak serta merta sebagai bentuk respect masyarakat terhadap pengusaha,

karena belakangan nilai dan etika bisnis menjadi sorotan dalam dinamika perusahaan. Seiring

perkembangan pengetahuan dan teknologi, masyarakat semakin cerdas dan kritis dalam penilaiannya.

Tuntutan akan keadilan, persamaan, kesempatan menjadi sangat substansial dalam menyoal hubungan

inudtrial.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Simanjuntak berikut, Masyarakat tidak begitu saja menaruh

hormat bagi orang kaya. Masyarakat sudah semakin kritis mengenai bagaimana seseorang

mengakumulasikan kekayaannya. Pengusaha dalam waktu singkat dapat melipatgandalan kekayaannya

diatas penderitaan karyawannya pasti tidak mendapat apresiasi dari masyarakat. Dalam era globalisasi dan

persaingan ketat sekarang ini, pengusaha seperti itu tidak akan mendapat dukungan ikhlas dari karyawan,

menjadi tidak produktif, tidak mampu bersaing, dan akhirnya akan gagal. Sebab itu, pengusaha yang dapat

sukses hanyalah pengusaha yang memperhatikan kesejahteraan karyawan dan keluarga mereka (Payaman

J. Simanjuntak, 2011: 4 – 5).

Lantas pertanyaannya kemudian, apa saja yang menjadi kepentingan pengusaha di dalam perusahaan?

Sumanto (2013: 11) merinci kepentingan pengusaha sebagai berikut:

1. Menjaga dan mengamankan asetnya;

2. Mengembangkan modal/asetnya supaya memberi nilai tambah tinggi;

3. Meningkatkan penghasilan;

4. Meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya;

5. Memperoleh aktualisasi diri melalui kesuksesan usaha.

68

Dari kelima hal diatas, penulis memerasnya kedalam 3 kepentingan. Kepentingan pengusaha dalam

konteks hubungan industrial adalah: Pertama, Meningkatkan aset/ penghasilan. Sudah barang tentu setiap

perusahan yang berorientasi profit akan mengejar keuntungan materil karenanya dalam pemahaman

penulis meningkatkan aset menjadi kepentingan yang utama.

Kedua, aktualiasasi diri. Disamping motif ekonomi kepentingan pengusaha lainnya adalah aktualisasi diri,

bahkan dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow aktualisasi diri menempati puncak piramida dan motif

ekonomi yang tergolong dalam kebutuhan fisiologis (Physiological Needs) berada dalam posisi tertendah.

Fenomena pegusaha terjun kedunia politik atau semisal membeli jersey dengan harga ratusan juta dalam

bursa lelang hingga, terlihat “nyentrik” dihadapan pekerja merupakan pintu masuk untuk memahami

aktualisasi diri seorang pengusaha.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan pekerja. Umumnya dialektika yang berkembang menyoal hubungan

pengusaha dan pekerja dalam konteks kesejahteraan selalu dihadap hadapkan. Untuk mendapatkan

keuntungan yang besar seorang pengusaha harus mampu menekan biaya produksi, salah satu caranya

dengan membayar pekerja dengan upah yang begitu murah. Kondisi ini setali tiga uang dengan praktek

kolonialisme yang bernilai eksploitatif dan jauh dari nilai – nilai kemanusiaan.

Cara tersebut jelas – jelas keliru jika dipilih pengusaha hari ini, karena pekerja semakin hari semakin cerdas.

Untuk itu diperlukan perhatian yang lebih kepada para pekerja dengan memposisikan mereka sebagai

mitra sehingga, menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan termasuk didalamnya aspek

kesejahteraan. Jika tercipta kondisi demikian maka bisa dipastikan produktifitas pekerja menjadi lebih baik

yang pada gilirannya mampu mendongkrak performa perusahaan secara keseluruhan.

69

I.2 Kepentingan Buruh

Jika pengusaha memiliki kepentingan, begitu juga dengan pekerja. Pada dasarnya kepentingan pekerja

cenderung lebih sederhana dari pengusaha, di Indonesia istilah sekedar menyambung hidup nampaknya

tidak berlebihan disematkan untuk para pekerja. Meski begitu tanggungjawab mereka sebagai mesin

perusahaan sangat krusial, karena seberapapun besar investasi pengusaha jika tidak memiliki pekerja maka

tidak akan berarti apa – apa.

Lebih rinci, berikut kepentingan pekerja atas perusahaan sebagaimana yang dapat juga diartikan makna

penting perusahan bagi pekerja (Sumanto: 13):

1. Sumber kesempatan kerja;

2. Sumber penghasilan;

3. Sarana memperkaya pengalaman dan meningkatkan keahlian serta ketrampilan kerja;

4. Sarana mengembangkan karier;

5. Sarana mengaktualisasi diri (melalui keberhasilan kerja).

1. Peranan Pemerintah

Pemerintah sebagai agen negara yang paling otoritatif – berkuasa, tentunya mempunyai tanggungjawab

untuk mengantarkan terwujudnya cita – cita negara. Karenanya, pemerintah semestinya hadir dalam

seluruh aspek kehidupan, semisal dari mengurus kelahiran sampai menghantarkan kematian. Terlebih

dalam konteks negara demokrasi dimana kebebasan, persamaan dan keadilan menjadi isu yang kerap hadir

bahkan tidak jarang bergulir menjadi “bola liar” yang boleh jadi menghantam satu sama lain. Maka dalam

kondisi ini peran pemerintah menjadi mutlak sebagai dinamisator untuk membangun harmoni.

Dari berbagai macam aspek kehidupan, fenomena ketenagakerjaan dalam hubungan industrial menjadi

salam satu dinamika yang menarik untuk dikaji. Pasalnya, pengusaha pada satu sisi tidak jarangan

70

berhadapan dengan pekerja pada sisi lainnya. Konflik kepentingan dalam hubungan industrial memang

bukan persoalan baru, sebutsaja pertentangan antara kelas borjuis melawan kelas proletar yang

memperebutkan sumber – sumber ekonomi yang kemudian ditangkap oleh Teori Kelas Marxisme bahwa

sejarah dari masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.

Pertentangan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, didasarkan oleh perbedaan kepentingan diantara

keduanya yang mana hal tersebut ditentukan oleh kedudukan masing – masing dalam proses produksi. Hal

inilah yang kemudian menurut Karl Marx menyebabkan masing – masing pihak mengambil sikap yang

berbeda dalam perubahan sosial, dimana pengusaha akan bersifat konservatif dan pekerja bersikap

revolusioner dalam pengertian pengusaha sebisa mungkin mempertahankan status quo sedangkan buruh

berkepentingan melakukan perubahan. Maka dalam kodisi ini pilihannya tidak lain dengan melakukan

revolusi dalam perubahan sistem sosial.

Tidak berhenti sampai disana, menurut Marx negara secara hakiki merupakan kelas yang secara langsung

maupun tidak langsung dikuasai oleh kelas yang memiliki kekuatan ekonomi/ pengusaha. Karenanya peran

negara lebih dimaknai sebagai “body guard” untuk mengamankan para pengusaha. Namun dalam persepsi

penulis, kita boleh saja setuju sebagian dan berbeda pada hal – hal tertentu atas pandangan Marx

utamanya terkait peran pemerintah dalam konteks benturan kepentingan di atas.

Kekinian, pemerintah sebagai penyelenggara negara tentunya tidak dapat serta merta dalam mengambil

kebijakan dikarenakan control publik yang begitu kuat seiring dengan perkembangan pengetahuan dan

teknologi. Oleh karena itu, peran pemerintah seyogiaya dapat dilihat lebih dari dari sekedar membangun

harmoni tetapi banyak juga banyak benefit yang dapat diambil oleh pemerintah. Sebagaimana dipetakan

oleh Simanjuntak (2003: 8 – 11) berikut ini:

Pertama, perusahaan merupakan sumber kesempatan kerja. Lapangan dan kesempatan kerja merupakan

kebutuhan masyarakat. Tingkat pengangguran yang tinggi akan dapat menimbulkan keresahan social dan

menganggu pertumbuhan ekonomi. Kredibilitas suatu pemerintahan dapat juga diukur dari

71

kemampuannya memperkecil tingkat pengangguran. Sebab itu Pemerintah selalu berkepentingan untuk

mendorong pertumbuhan dunia usaha supaya dapat menciptakan kesempatan kerja baru bagi angkatan

kerja yang bertambah setiap tahun.

Kedua, perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Semakin banyak pengusaha yang

mengembangkan perusahaan atau membuka usaha baru, semakin banyak pekerja yang memperoleh

penghasilan. Semakin banyak perusahaan yang berhasil meningkatkan produktivitas, semakin banyak

pekerja yang memperolej peningkatan penghasilan. Dengan demikian, pendapatan nasional akan

meningkat dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula.

Ketiga, Pemerintah berkepentingan dan mengharapkan semua perusahaan dapat menjamin penyediaan

dan arus barang, baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen maupun sebagai masukan

barang setengah jadi untuk perusahaan lain.

Keempat, perusahaan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi, kemakmuran bangsa dan ketahanan

nasional. Pendapatan nasional adalah akumulasi nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh perusahaan.

Pertumbuhan ekonomi membuka peluang untuk perluasan kesempatan kerja dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi mengurangi ketergantungan politik dan ekonomi pada

negara lain. Pertumbuhan ekonomi akan memperkuat stabilitas masyarakat dan stabilitas politik. Sebab itu,

Pemerintah berkepentingan untuk mendorong perluasan dan pertumbuhan dunia usaha.

Kelima, perusahaan merupakan sumber devisa. Dalam globalisasi ekonomi, devisa merupakan suatu

kebutuhan negara yang sangat penting. Hasil-hasil perusahaan yang digunakan di dalam negri akan

mengurangi jumlah impor serta menghemat penggunaan devisa. Apalagi bila hasil-hasil perusahaan di

ekspor, devisa akan bertambah.

72

Keenam, keuntungan perusahaan dan pendapatan karyawannya merupakan sumber utama pendapatan

negara melalui sistem pajak. Semakin besar sisa hasil usaha atau keuntungan perusahaan, semakin besar

potensi pembayaran pajak perusahaan. Semakin besar penghasilan pekerja, semakin besar pula potensi

pembayaram pajak penghasilan.

Kendati demikian dalam rangka menunjang dan mendorong keberhasilan perusahaan termasuk

didalamnya kesejahteraan pekerja, Pemerintah perlu menyusun pengaturan dan mempersiapkan

prasarana dan sarana penunjang yang dapat digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu:

1. Prasarana dan sarana ekonomi, termasuk alat-alat perhubungan darat, laut dan udara; pelabuhan,

lapangan terbang dan pergudangan; komunikasi seperti telepon, telefax, internet, radio dan

televisi; air dan energy; jasa perbankan dan informasi; keamanan dan ketertiban, serta stabilitas

ekonomi dan stabilitas nasional. Sebagian besar prasarana dan sarana ekonomi tersebut disediakan

langsung oleh Pemerintah. Sebagian lagi dapat diserahkan kepada pihak masyarakat atau dunia

bisnis seperti pelayanan komunikasi, air dan energi serta jasa perbankan;

2. Serangkaian kebijakan termasuk kebijakan di bidang produksi dan investasi, distribusi, distribusi,

fiscal dan moneter, harga dan upah, ekspor dan impor, dan lain-lain;

3. Dukungan ketenagakerjaan baik dalam bentuk penyediaan tenaga yang kompeten dan sesuai, ahli

dan terampil, maupun dalam bentuk penciptaan iklim kerja dan hubungan industrial yang kondusif

untuk bekerja secara produktif.

Secara operasional, eksistensi pemerintah sebagai regulator dalam hubungan industrial tergabung dalam

Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit yang terdiri dari 3 unsur, yakni: unsur pemerintahan, organisasi pekerja,

dan organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama Tripartit adlaah sebagaia forum komunikasi dan

konsultasi, dengan tugas utama menyatukan konsepsi, sikap, dan rencana dalam menghadapi masalah-

masalah ketenagakerjaan, baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor-faktor

yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal-hal yang akan dating (Jhon Suprihanto, 2016: 32 – 33).

Adapun dasar hukum lembaga kerjsa Tripartit adalah sebagai berikut :

• UU No.113 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

• Kepmenaker No. Kep. 355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama Tripartit

73

74

BAB II.

BENTUK HUBUNGAN INDUSTRIAL

Uraian Materi:

Bagian ini menjelaskan bentuk hubungan industrial yakni Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja

Bersama yang secara spesifik menjelaskan pengertian, kententuan yang diatur pada masing - masing

bentuk serta perbedaan diantara keduanya.

Capaian Pembelajaran:

• Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan maksud dari Peraturan Perusahaan dan

Perjanjian Kerja Bersama;

• Mahasiswa diharapkan mampu memetakan berbagai ketentuan dari Peraturan Perusahaan

dan Perjanjian Kerja Bersama; dan

• Mahsiswa dapat memahami perbedaan bentuk diantara keduanya.

Bentuk hubungan industrial dimaknai sebagai sarana/alat untuk menerapkan berbagai nilai dan prinsip

dalam hubungan industrial. Sebagaimana diketahui bersama bahwa praktik hubungan industrial akan

dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal karnanya, untuk memastikan hubungan

industrial terjaga dengan baik dibutuhkan sarana sebagai aturan main yang memberikan batasan yang

tegas, utamanya terkait hak dan kewajiban para pihak. Sekurang – kurangnya terdapat dua bentuk

hubungan industrial, yakni:

75

II.1 Peraturan Perusahaan

Idealnya peraturan perusahaan lahir bersamaan dengan kehadiran suatu perusahaan yang dijadikan

landasan dalam pengelolaan usaha dan dalam kondisi ini, peraturan tentunya dibuat sepihak oleh

pengusaha. Kendati demikian aturan yang dibuat tidak dapat semena – mena, melainkan harus sesuai

dengan regulasi ketenagakerjaan yang berlaku. Semisal untuk menetapkan upah, besaran upah yang

dibayarkan minimal sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR).

Menurut Simanjuntak (2011: 17) peraturan perusahaan memuat ketentuan antara lain mengenai:

1. Hari kerja, jam kerja dan waktu kerja lembur,

2. Waktu istirahat kerja dan cuti,

3. Skala upah, tunjangan dan bonus,

4. Program keselamatan dan kesehatan kerja,

5. Ketentuan dan tindakan disiplin,

6. Perawatan kesehatan dan pengobatan,

7. Program kesejahteraan pekerja dan keluarganya

Pada satu sisi, peraturan perusahaan mencerminkan kepentingan pengusaha dan disisi lainnya harus

mampu mengakomodir kepentingan pekerja hingga terbangun keseimbangan dari para pihak. Namun

aturan saja tidak cukup, karnanya dibutuhkan komitmen para pihak untuk menghormati dan menjalankan

kewajiban masing – masing sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan perusahaan.

II.2 Perjanjian Kerja Bersama

Pada bagian ini, pertanyaan mendasar yang mungkin muncul dari pembaca adalah apa yang membedakan

antara peraturan pemerintah dengan perjanjian kerja bersama? Memang keduanya sepintas terlihat

identik, namun jika didalami terdapat perbedaaan yang mendasar. Sebelum menjelaskan perbedaan

76

sebagaimana dimaksud, sebelumnya penulis akan menjelaskan pengertian perjanjian kerja bersama

sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 ayat 2, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP.48/MEN/IV/2004

bebagaiu berikut:

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat

pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak

dan kewajiban kedua belah pihak. Berangkat dari definisi ini maka perbedaan antara peraturan perusahaan

dengan perjanjian kerja bersama mencakup 3 hal yakni aktor, waktu dan regulasi, berikut penjelasannya:

1. Aktor, peraturan perusahaan dibuat hanya oleh pengusaha sehingga boleh jadi kepentingan

pekerja tidak terakomodir. Sedangkan perjanjian kerja bersama dibuat bersama dengan pekerja

yang dalam hal ini diwakili oleh serikat buruh.

2. Waktu, peraturan perusahaan umumnya dibuat dimasa awal operasional perusahaan/ sebelum

penerimaan pekerja meskipun ada beberapa aturan tambahan yang dibuat kemudian. Karena

perjanjian kerja bersama melibatkan pekerja, maka perjanjian dibuat setelah memiliki pekerja.

3. Regulasi, peraturan perusahaan wajib dibuat berdasarkan Pasal 2 KEP. 48/MEN/IV/2004 dimana

Ketentuan ini berlaku bagi perusahaan yang mempekerjakan sedikitnya 10 karyawan. Sedangkan

perjanjian kerja bersama bukan suatu kewajiban, meskipun begitu menurut ketentuan pasal 15

KEP. 48/MEN/IV/2004 mereka harus memberikan respons jika Serikat Pekerja meminta adanya

perjanjian kerja bersama. Jadi, apabila Serikat Pekerja menghendaki, maka pengusaha wajib

memenuhinya.

Setali tiga uang dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dimaksudkan untuk menciptakan

hubungan industrial yang harmonis antara Pengusaha dengan Pekerja melalui pengaturan hak dan

kewajiban yang jelas. Karena bagaimanapun keduanya ada dalam ikatan mutualisme, pekerja

membutuhkan pengusaha sebagai sumber mata pencaharian sedangkan pegusaha membutuhkan pekerja

sebagai mesin yang menggerakan perusahaan. Perjanjian kerja bersama akan memberikan ruang negosiasi

bagi para pihak, untuk menghindari proses yang intimidatif antara satu sama lain yang pada gilirannya

dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan antara keduanya.

77

Selain itu juga, perjanjian kerja bersama merupakan alat perlindungan bagi pekerja terutama yang berada

di level bawah. Seperti diketahui, perjanjian kerja bersamabiasanya diberlakukan untuk karyawan level

bawah seperti clerck, messenger, atau office boy yang mempunyai posisi tawar relative rendah. Dengan

adanya perjanjian kerja bersama ini posisi mereka menjadi lebih terlindungi. Untuk pekerja di level yang

lebih tinggi karena kemampuan yang mereka miliki. Mereka biasanya mempunyai perjanjian yang sifatnya

individual dengan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi mereka. Walaupun ada juga perusahaan yang

mengatur bahwa perjanjian kerja bersama berlaku untuk semua golongan pekerja (Iftida Yasar, 2010: 5 –

6).

Shaw menyatakan bahwa perjanjian perusahaan sejatinya menawarkan kesempatan untuk mencapai

fleksibilitas, peningkatan kualitas, mendorong kualitas kerja, konsensi antara manajemen dan karyawan,

dan budaya kerja sama di tempat kerja, dengan melebarkan lingkup partisipasi karyawan dalam proses

pengambilan keputusan Wahyu Ariani (2016: 3.7). masih dalam rujukan yang sama, Menurut Barbash

terdapat 5 hal yang diatur dalam perjanjian kerja bersama untuk pekerja, yakni:

1. harga karyawan ( upah dan metode penentuan upah);

2. Penggunaan tenaga kerja ( klasifikasi, masa kerja, usaha, dan jam kerja);

3. Hak kerja karyawan (hak yang diperoleh karyawan di tempat kerja sesuai dengan perjanjian kerja

bersama);

4. Hukum institusional serikat pekerja dan manajemen; dan

5. Administrasi dan pelaksanaan perjanjian.

78

BAB III.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Uraian Materi:

Bab ini menjelaskan gagasan utama dari paham liberalisme dan sosialisme yang diturunkan kedalam

konsep hubungan industrial, disamping itu bab ini juga diperkaya dengan pandangan/ gagasan –

gagasan Agama Islam dalam menyoal hubungan industrial.

Capaian Pembelajaran:

• Mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan gagasan utama dalam paham liberalisme dan

sosialisme beserta relevansinya terhadap hubungan industrial;

• Mahasiwa dapat mengetahui berbagai gagasan dalam Agama Islam terkait hubungan

industrial.

III.1 Liberalisme

79

Istilah liberal berasal dari kata latin yakni: “liber” yang berarti kebebasan. Dalam paham ini kebebasan

merupakan prinsip yang mendasar dan bisa juga dimaknai sebagai kebutuhan yang paling utama jika

dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. Karena itu kebebasan merupakan fondasi bagi pemikiran liberal,

dimana pangkal dari kebebasan terletak pada setiap pribadi/individu. Artinya, kemajuan sebuah

masyarakat, dimulai dari kemajuan individu yang berhasil mengartikulasikan nilai – nilai kebebasan dalam

wujud yang mandiri, kompetitif dan kreatif.

Memahami arti penting kebebasan bagi manusia, Clemens Recker (2011: 1 – 2) mengurai kebebasan dalam

ketiga pandangan. Pertama, Sebagian orang memberikan argumentasi berdasarkan agama bahwa Tuhan

memang menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas, dimana setiap upaya menghalangi kebebasan

berarti bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kedua, ada juga mazhab yang menyatakan bahwa

kebebasan merupakan sifat orisinil manusia. Tidak mungkin memisahkan antara individu dengan

kebebasannya, inilah yang kemudian disebut dengan mazhab hak – hak alami dimana argumentasi

kebebasan dalam mazhab initidak didasarkan agama. Dimana mereka menjadikan hak – hak alami sebagai

argumentasi tertinggi an paling utama disbanding hak – hak yang ditentukan oleh berbagai aturan dan

konvensi yang dibuat oleh manusia itu sendiri.

Ketiga, utilitarianisme yang menegaskan bahwa sistem sosial, politik dan pasar yang dibangun di

ataspondasi kebebasan lebih banyak memberkan manfaat bagi kemanusiaan. Dimana kebebasan itu sendiri

mendorong manusia untuk bersaing secara individual dan saling meningkatkan kecerdasan manusia.

Mendekati paham liberalisme dalam kaitannya dengan hubungan industrial, bagi paham ini pemerintah

harus hadir baik dalam bentuk aristokrasi, demokrasi atau pemerintahan individu. Kehadiran pemerintah

dalam berbagai ruang, termasuk juga didalam hubungan industrial harus dalam batasan yang tegas.

Dimana pemerintah hanya memiliki 3 kewajiban yakni menciptakan institusi kepolisian, menegakkan

keadilan dan menjaga keamanan negara. Maka diluar konteks tersebut pemerintah tidak punya hak

melakukan intervensi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan John Stuart Mill dalam Clemens Recker (2011:

15).

80

Jika pemahaman tersebut ditarik dalam konteks hubungan industrial yang sekaligus menjadi penekanan

dalam bagian ini, maka peranan pemerintah sebagai penegak kadilan dengan penekanan kebebasan setiap

individu menjadi begitu sempit, disamping isu – isu dalam hubungan industrial yang sesungguhnya

kompleks seperti: keterpihakan, keseimbangan, harmonisasi dan lain sebagainya yang secara prinsip boleh

jadi berhadapan jika hanya menggunakan pendekatan atas nama kebebasan.

III.2 Sosialisme

Dalam Ensyclopedia Britanica, sosialisme didefinisikan sebagai ajaran sosial dan ekonomi yang

menyerukan kepemilikan atau kontrol dari publik terhadap properto dan sumber daya alam.

Menurut Cole (1965 : 1 - 2) istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang

berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal

dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20

berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem

ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite.

Dimana penggunaan istilah sosialisme itu sendiri baru dimulai awal abad ke – 19 yang dalam

bahasa Inggris digunakan untuk menyebut pengikut Robert Owen di tahun 1897, sedangkan di

Perancis digunakan untuk menyebut pemgikut Saint Simant pada tahun 1832.

Menyoal kajian dari sosialisme, tidak akan lepas dari kritik atas dampak ekonomi liberal seperti

keterbelakangan, penderitaan dan kemiskinan sebagaimana yang terjadi di negara – negara Eropa. Dimana,

golongan pengusaha (borjuis) berhasil merebut dan menguasi negara alat untuk memenuhi kepentingan

mereka. Secara prinsip, sosialisme menghendaki terwujudnya suatu masyarakat yang egaliter dengan

menyerahkan sepenuhnya hak – hak atas barang barang produksi dimiliki oleh negara bukan perseorangan.

Oleh karenanya, segala sesuatu yang diproduksi oleh siapapun dimaknai sebagai produk sosial dan para

pihak yang berkontribusi atasnya memiliki hak atas produk tersebut. Maka yang berlaku pada kontes ini

masyarakat harus memiliki kontrol atas kepemilikan untuk kepentingan bersama. Dengan demikian,

masyakarat akan merasakan kebebasan dan kesetaraan yang sesungguhnya bukan kebebasan individu

sebagaimana yang dimaksud oleh paham liberal.

81

Maka relevansi dengan hubungan industrial adalah peran pemerintah menjadi lebih dominan dalam

melakukan pengaturan dan pengawasan, yang mana hal ini berbanding terbalik dengan peran pemerintah

dalam paham liberal yang mengendaki kebebasan individu yang sedikit intervensi.

III.3 Hubungan Industrial Dalam Islam

Agama sebagai the way of life membawa tuntunan kesemua aspek kehidupan, termasuk juga menyoal

hubungan industrial, dalam islam pola hubungan ini diatur baik dalam Al qur`an maupun Hadist Nabi

Muhammad S.A.W. Pada konteks pekerjaan, Nabi Muhammad mengapresiasi mereka yang bekerja dengan

tangannya sendiri dalam memenuhi kebutuhannya sebagaimana hadist yang di riwayatkan oleh Imam

Bukhari dan Muslim RA. berikut: “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian

mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada

orang kaya, diberi atau ditolak”.

Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa: “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang

dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan

pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR. Ibnu Majah). Dalam Al Qur`an Surat At Taubah Ayat

105, Allah S.W.T berfirman yang artinya: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang – orang

mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan

yang ghaib dan yang nyata, lalu dibertakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Menurut Mubyarto dalam buku yang berjudul Etika, Agama dan Sistem Ekonomi (2002), etika bisnis dalam

Islam mencakup 4 hal, yakni:

1. Kesatuan (Unity);

2. Keseimbangan (Equilibrium);

3. Kebebasan (Free Will); dan

4. Tanggungjawab (Responsibility).

Berikut penjelasan yang coba penulis pahamai dari ke-empat hal dimaksud. Pertama, Kesatuan. Kesatuan

yang dimaksudkan dalam hubungan indusrtrial, hendaknya para pihak bersinergi satu sama lain. Dalam

82

berdinamika konflik pasti ada, namun Islam mengajarkan hendaknya mencari solusi dengan jalan terbaik.

Justifikasinya, dalam Al Qur`an Surat Ali Imran Ayat 103: “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama)

Allah, dan janganlah bercerai – berai. Kedua, Keseimbangan. Keseimbangan dimaksud adalah bagaimana

para pihak dapat mengambil peran masing – masing sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang

dimilikinya. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang

dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS Al-An’am: 132).

Keseimbangan juga dapat bermakna, bahwa aktifitas duniawi tidak semata – mata mengenyampingkan

nilai – nilai akhirat. Ketiga, Kebebasan. Maka dalam konteks ini, Islam membawa kegagasan terkait

kebebasan dan persamaan. Karnanya dikotomi pekerja dan pengusaha lebih dimaknai sebagai relasi

pekerjaan semata, tidak kemudian memposisikan yang satu lebih baik disbanding dengan yang lainnya.

Dalam Al Qur`an Allah S.W.T berfirman: “ …, Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi

Allah ialah orang yang laing taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha

mengenal”.

Keempat, Tanggungjawab. Bagi seorang pekerja yakni menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan maksimal

merupakan perkara yang dicintai oleh Allah S.WT. Karenanya, pekerja harus kooperatif dalam dalam

sebuah sistem dengan menyelesaikan tanggungjawabnya seoptimal mungkin. Hal ini sejalan dengan Hadist

yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dari Aisyah R.A. berikut: “Sesungguhnya Allah mencintai

seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara professional”. Sedangkan tanggungjawab pada

level pengusaha, mereka harus memperhatikan hak – hak pekerja termasuk soal ketepatan waktu

pembayaran. Justifikasinya, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR.

Ibnu Majah). Bahkan dalam hadist yang lain, disebutkan menunda kewajiban itu termasuk kedzalima (HR.

Bukhari dan Muslim).

83

BAB IV.

PARADIGMA BARU HUBUNGAN INDUSTRIAL

Uraian Materi:

Dalam bab Paradigma Baru Hubungan Industrial, akan dijelaskan konsep Hubungan Industrial

Pancasila yang mencakup: nilai – nilai yang terkandung didalamnya, gagasan Hubungan Indutrial

Pancasila bagi Pengusaha, Pekerja dan Pemerintah serta urgensi penerapan Hubungan Industrail

Pancasila. Disamping itu, Bab ini juga memuat gagasan – gagasan kedalam 4 dimensi yang menandai

paradigma baru dalam Hubungan Industrial Pancasila.

Capaian Pembelajaran:

• Mahasiwa diharapkan mampu menjelaskan konsep Hubungan Industrial Pancasila;

• Mahasiwa dapat memahami gagasan pokok dalam Hubungan Industrial Pancasila; dan

• Mahasiswa diharapkan mengetahui paradigma baru dalam Hubungan Industrial Pancasila.

IV.1 Hubungan Industrial Pancasila

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa ideologi dan paham – paham keagamaan sesungguhnya

berpengaruh terhadap corak hubungan kerja dalam masyarakat maupun perusahaan. Para pihak akan

berusaha menentukan batasan – batasan dalam membangun keharmonisan berdasarkan apa yang mereka

yakini. Begitujuga dengan Pancasila sebagai ideologi dan paham negara, internalisasi nilai berjalan baik

secara alamiah maupun dalam agenda negara ke seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara

termasuk didalamnya soal hubungan industrial.

84

Pada kasus hubungan industrial, maka kemudian lahirlah konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang

mana hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada masa perjuangan

dan mempertahankan kemerdekaan pola hubungan industrial lebih kentara nilai sosial politik daripada

ekonomi karena memang sebagian besar aktifitas usaha ketika itu merepresentasikan kekuatan kolonial.

Isu yang mengisi ruang dialektikapun seputar persamaan hak, penolakan atas intimidasi pekerja disamping

juga diarahkan dalam rangka merebut kemerdekaan.

Hari berganti musim, hubungan industrial terus menggeliat hingga sampai pada Orde Baru barulah konsep

HIP dan mengisi dialektika ketenaga kerjaan di Indonesia. Tidak sulit bagi kita untuk menterjemahkan

pengertian dari HIP, namun yang masih menjadi pekerjaan rumah hari ini HIP dalam praktik

ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Fenomena mogok - boikot kerja dan perlakuan

semena – mena para majikan menggambarkan konflik dan disharmoni para pihak yang tidak pernah surut.

HIP merupakan hubungan industrial yang berlandaskan nilai – nilai dari Pancasila. Dalam Seminar Nasional

Hubungan Industrial Pancasila yang diselenggarkan pada tahun 1974 dikemukakan tujuan Hubungan

Industrial Pancasila “Mengemban cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus

1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan

Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan social melalui penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha,

meningkatkan produksi, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat

manusia.” Maka penulis membuat simplikasi nilai – nilai yang terkandung didalam HIP mencakup 5 nilai

yang mengikuti setiap sila dari Pancasila, yakni:

1. Ketuhanan (dapat juga dimaknai dengan kebudayaan);

2. Kemanusiaan;

3. Persatuan;

4. Musyawarah; dan

5. Keadilan.

85

Merujuk kepada nilai – nilai dari Pancasila diatas, maka seyogianya para pihak dalam HIP perlu

memperhatikan beberapa gagasan pokok yang penulis kategorikan kedalam 3 unsur. Pertama, unsur

pengusaha. Pengusaha harus mampu memandang pekerja sebagai mitra, karena bagaimanapun

perusahaan tidak dapat berjalan tanpa mereka. Pekerja sebagai mitra mengandung makna bahwa mereka

memiliki harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan yang perlu dijaga. Disamping itu, pengusaha sebagai

pengambil kebijakan tidak tapat semena – mena, mereka harus membuka ruang dan mengutamakan

musyawarah untuk mufakat.

Kedua, unsur pekerja. Sebagai pekerja kerja mereka harus memahami bahwa bekerja bukan sekedar

mengejar materi, lebih dari itu bekerja merupakan sarana pengabdian kepada bangsa dan negara yang

secara bersamaan bernilai ibadah. Karena itu, setiap persoalan yang mungkin hadir dalam dunia kerja

hendaknnya diselesaikan daengan jalan yang baik dan menghindari anarkisme. Ketiga, unsur pemerintah.

Pemerintah memegang peranan yang penting dalam membumikan nilai – nilai Pancasila dalam HIP, maka

pemerintah sebagai pengayom seyogianya dapat berlaku adil kepada kedua belah pihak dalam menjaga

persatuan dan membangun keharmonisan dengan mengedepankan nilai – nilai kemanusiaan dan gotong

royong.

Menurut Sumanto (2013: 131 – 132) urgensi pengembangan HIP bagi pemerintah Orde Baru dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Bahwa pemerintah Orde Baru jelas bertekad menerapkan Pancasila dan UUD 1945 di setiap aspek

kehidupan bangsa. Ini berarti tata kehidupan dan pergaulan di tempat kerja harus ditata sesuai

dengan isi dan jiwa Pancasila dan UUD 1945.

2. Bahwa dalam sejarah sebelum pemerintah Orde Baru telah diterapkan sebagai sistem hubungan

perburuhan, baik yang berdasarkan paham demokrasi liberal maupun yang berdasarkan ajaran

komunis, asaz - asaz perburuhan pada masa orde lama selalu berusaha mempertahankan dan

memetingkan masing-masing pihak (pekerja dan pengusaha). Karena masing-masing pihak saling

menonjolkan kepentingannya masing-masing, maka disana selalu terdapat adu kekuatan dalam

menyelesaikan perselisihan. Tidak jarang pada masa itu dijumpai pemogokan sebagai senjata para

pekerja dan lock out sebagai senjata para pengusaha. Di samping itu, pada masa-masa pergerakan

kemerdekaan praktik - praktik hubungan perburuhan di Indonesia banyak berhubungan dengan

86

kegiatan politik dari pada ekonomi. Hal ini terbukti dari gerak serikat pekerja yang banyak terlibat

dalam berbagai kegiatan politik negara.

3. Bahwa karena pembangunan ekonomi itu memerlukan suasana yang stabil baik politik maupun

keamanan maka perlu adanya jaminan ketenagan kerja dan usaha agar proses produksi pun juga

stabil. Ketenangan kerja dan ketenangan usaha itu akan terjadi di setiap tempat kerja apabila ada

suatu tata kehidupan dan pergaulan yang baik harmonis dan dinamis.

4. Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka pemerintah Orde Baru mengembangkan suatu hubungan

industrial yang disebut Hubungan Industrial Pancasila. Sebagai tindak lanjut dari pengembangan

HIP maka pada bulan Desember 1974 dilakukan pertemuan dalam bentuk seminar yang dihadiri

para pengusaha, pemerintah, wakil-wakil serikat pekerja, kalangan perguruan tinggi untuk

membuat consensus, yaitu menetapkan pokok-pokok HIP dan mereka juga bersepakat untuk

melaksanakan HIP. Sedangkan sebelumnya (tahun 1973) dibentuk Federasi Buruh Seluruh

Indonesia (FBSI). Melalui berbagai kegiatan pertemuan, seminar, diskusi, lokakarya maka

dilanjutkan terus pengembangan konsep HIP tersebut sehingga pada tahun 1978 keluar TAP MPR

No.11 tentang P4. Konsep HIP yang telah dirintis mendapat dukungan yang kuat. Namun dalam

perjalanan pelaksanaannya dijumpai berbagai hambatan tentang kesepakatan istilah-istilah

maupun perbedaan penafsiran konsep HIP. Pada tahun 1985 dilakukan penyempurnaan dalam

peristilahan dan system diklat penyuluhannya. Salah satu hasil yang penting adalah dengan

dikeluarkannya pedoman pelaksanaan HIP dalam praktik hubungan industrial sehari-hari.

Karena HIP mempunyai makna penting untuk dilaksanakan, operasionalisasi HIP memiliki landasan agar

menjadi konsep yang futurustik. Masih dalam rujukan yang sama, maka berikut dibawah ini landasan yang

digunakan dalam Hubungan Indistrial Pancasila:

1. Landasan Idiil, yaitu Pancasila yang artinya sila-sila dari Pancasila harus ditafsirkan dan diterapkan

secara terkait satu sama lain secara bulat dan utuh. Jadi semua perilaku yang terlibatdalam

hubungan industrial (pengusaha buruh dan pemerintah) wajib berpedoman pada nilai-nilai

Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa.

2. Landasan Hukum (Konstitusional), yaitu UUD 1945. UUD 1945 merupakan landasan hukum

sekaligus sumber hukum HIP. Sebagai sumber hukum atau hukum dasar artinya segala perundang-

undangan peraturan dan hal yang sifatnya mengatur kehidupan HIP haruslah berpedoman pada

hukum dasar tersebut.

87

3. Landasan Struktural dan TAP MPR No 11 artinya dalam pola struktur pelaksanaan HIP bedasarkan

dan mengacu pada P4.

4. Landasan Operasional: Garis-garis Besar Haluan Negara serta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya

yang diatur oleh pemerintah di dalam program pembangunan.

5. Hubungan Industrial Pancasila juga berlandaskan kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan Pemerintah

untuk menciptakan keamanan nasional, stabilitas nasional, meningkatnya partisipasi social dan

kelanjutan pembangunan nasional.

IV.2 Paradigma Baru Hubungan Industrial

Jika dialektika HIP dimulai pada masa Orde Baru, maka paradigma baru hubungan industrial dimulai pasca

reformasi di tahun 1998. Sebagaimana kita ketahui bersama gelombang reformasi membawa perubahan

yang signifikan terhadap perubahan ketatanegaraan di Indonesia yang mengakar kepada tututan

penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis. Kondisi ini tentunya secara

sadar maupun tidak akan berdampak kepada perubahan pola hubungan industrial.

Maka pada bagian ini, penulis akan memetakan beberapa perubahan pola yang terjadi pada era kekinian

yang sekaligus menandai paradigma baru dalam hubungan industrial di Indonesia kedalam 4 dimensi

sebagaimana berikut ini:

1. Dimensi Kelembagaan;

2. Dimensi Partisipasi;

3. Dimensi Keberlanjutan; dan

4. Dimensi Regulasi.

Pertama, dimensi kelembagaan. Pada dimensi ini perubahan pola sangat kentara dengan munculnya

berbagai serikat pekerja sebagai konsekuensi euphoria reformasi. Simanjuntak (2011: 23) menyebutkan

pasca reformasi telah terbentuk lebih dari 100 serikat pekerja. Artinya, saluran – saluran dalam

memperjuangkan aspirasi pekerja menjadi lebih banyak dan kompleks yang membedakan paradigma lama

dalam hubungan industrial. Fenomena ini tentunya dapat berdampak ganda, argumentasi yang posisif akan

mengapresiasi kondisi ini karena kepentingan pekerja akan banyak diperjuangkan melalui serikat – serikat

yang ada. Sedangkan argumentasi yang negatif, akan menuduh bahwa serikat pekerja dapat ditunggangi

88

kepentingan pribadi/ kelompok. Karena itu peran pemerintah diperlukan, untuk memastikan agar serikat –

serikat yang ada dapat bernilai positif untu kebaikan para pihak.

Kedua, dimensi partisipasi. Kemunculan berbagai serikat pekerja, sedikit banyak dapat dimaknai sebagai

perluasan partisipasi pekerja. Terlebih hari ini, ketika teknologi komunikasi dan informasi berkembang

sedemikian pesat menakibatkan pekerja lebih kritis menyoroti berbagai persoalan yang terjadi yang

sekaligus menandai paradigma baru dalam hubungan industrial. Lebih dari itu, bentuk kritisi hari ini dapat

dilakukan dengan memanfaatkan media sosial yang dengan singkat dapat menarik perhatian publik yang

menjadi modal awal dalam membangun negosiasi dengan para pengusaha.

Ketiga, dimensi keberlanjutan. Jika kedua dimensi sebelumnya ditujukan untuk para pekerja, maka dimensi

keberlanjutan sebagai paradigma baru hubungan indusatrial dapat diartikulasikan kedalam bentuk

tantangan bagi kedua belah pihak. Untuk pengusaha, keberlanjutan usaha mereka hari ini tergantung

bagaimana pengusaha dapat bertahan ditengah gerakan pekerja yang lebih sistematis dan massif serta

yang lebih penting adalah pengusaha harus mampu bertahan dari perekonomian nasional yang labil dan

fluktuatif. Untuk pekerja, tantangan keberlanjutan mereka pasca reformasi adalah isu outsourcing

sebagaimana dalam UU. No. 13 Tahun 2003. Untuk itu, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim

perekonomian yang kondusif demi terjaganya keberlanjutan perusahaan.

Keempat, dimensi regulasi. Dari pemerintah untuk pekerja, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau

Internasional Labour Organization ( ILO ) pada tahuhn 1998 mengeluarkan Deklarasi yang pada intinya

mewajibkan semua negara di dunia meratifikasi dan menerapkan prinsip dari 8 Konvensi Dasar ILO. Dua

diantaranya, yaitu Konvensi No.87 dan No.98 menyangkut kebebasan berserikat dan perlindungan hak

untuk bernegosiasi. Ratifikasi kedua Konvensi tersebut juga berarti membuka peluang dan perlindungan

bagi para pekerja untuk membentuk serikat pekerja (Simanjuntak, 2011: 23). Dari pemerintah untuk

pengusaha, pemerintah harus menerapkan kebijakan afirmatif, dengan memberi perlindungan kepada para

pengusaha terlebih di era Masyarakat Ekonomi Asean dengan cara: kemudahan pengurusan izin,

melakukan pengawasan terhadap pungutan liar, fasilitasi permodalan dan juga mengatur arus barang

masuk sehingga tidak mematikan produksi dalam negeri.

89

DOKUMENTASI

Proses Penelitian di Karawang dengan Beberapa Serikat Buruh

90

Pedoman Hubungan Industrial Pancasila

Menelisik rumusan hubungan industrial, sekurangnya dapat disandarkan pada konsep hubungan

perburuhan (labor relation) yang mulanya menyoal dinamika hubungan antara pekerja dan

pengusaha dalam ruang lingkup yang terbatas. Merespon perubahan yang begitu cepat kemudian

berimplikasi kepada meningkatnya tuntutan serta standart kehidupan yang semakin tinggi,

sehingga hal tersebut membawa dinamika perburuhan menjadi semakin kompleks kedalam

berbagai aspek kehidupan. Sosial ekonomi, politik dan budaya kemudian menjadi bagian yang

tidak terpisahan dalam kajian hubungan perburuhan yang secara otomatis “menyeret”

pemerintah kedalam isu ini.

Maka dengan alasan tersebut hubungan perburuhan kemudian bertransformasi menjadi

hubungan industrial dengan penekanan atas interaksi dari pengusaha, pekerja dan pemerintah

dalam membangun ikatan yang harmonis dengan mengakomodir kepentingan para pihak.

Argumentasi ini sejalan dengan definisi hubungan industrial sebagaimana menurut para ahli

berikut ini: Menurut McMillan dalam Umar Hasan, hubungan industrial merupakan interaksi

antara para majikan, para pegawai, pemerintah dan asosiasi – asosiasi lewat mana mediasi dari

interasi tersebut dilakukan. (Umar Hasan, 2013: 4). Sedangkan menurut Sumanto (2013: 11)

hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara pelaku proses produksi barang maupun

jasa (pengusaha), pekerja/serikat pekerja, dan pemerintah. Dimana hubungan industrial bertujuan

untuk menciptakan hubungan yang serasi, harmonis dan dinamis antara pihak-pihak tersebut.

Untuk terbangun pola yang harmonis dalam hubungan industrial, karenanya interaksi diantara

para pihak harus memperhatikan beberapa asaz sebagai berikut (Sumanto 2013: 16 - 17):

4. Asas Partner in Production

Menurut asas ini, buruh dan pengusaha mempunya kepentingan yang sama untuk

meningkatkan kesejahteraan buruh mampu meningkatkan hasil usaha/produksi. Oleh

91

karena itu masing-masing pihak merupakan kawan dalam meningkatkan kesejahteraan

buruh dan meningkatkan hasil produksi.

5. Asas Partner in Profit

Menurut asas ini, hasil yang dicapai perusahaan itu seharusnya bukan untuk dinikmati oleh

pengusaha saja, tetapi harus dinikmati oleh buruh yang turut serta dalam mencapai hasil

produksi tersebut sehingga peningkatan kesejahteraan social para pekerja di perusahaan

sejalan dengan peningkatan hasil produksi.

6. Asas Partner in Responsibility

Menurut asas ini, buruh dan pengusaha memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama

dalam meningkatkan hasil produksi. Rasa tanggung jawab kedua belah pihak ini akan

mendorong peningkatan hasil produksi.

Pada konteks umum, yang terjadi diberbagai belahan dunia bahwa corak hubungan kerja dalam

sebuah tatanan masyarakat sangat kental nuasa ideologis dari negara yang bersangkutan. Dimana

mereka membangun batasan – batasan hubungan industrial sesuai dengan apa yang mereka

yakini sebagai sebuah nilai fundamental. Semisal corak hubungan industrial dinegara kapitalis,

pasti berbeda dengan negara penganut paham sosialis, meskipun dapat kita pahami batasan

ideologi didunia dewasa ini semakin kabur.

Tidak urung yang terjadi di Indonesia dimana hubungan industrial memiliki warna tersendiri. Suatu

pola yang sejalan sebagun dengan ideologi negara yakni Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang

mana hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada masa

perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan pola hubungan industrial lebih kentara nilai sosial

politik daripada ekonomi karena memang sebagian besar aktifitas usaha ketika itu

merepresentasikan kekuatan kolonial. Isu yang mengisi ruang dialektikapun seputar persamaan

hak, penolakan atas intimidasi pekerja disamping juga diarahkan dalam rangka merebut

kemerdekaan.

Istilah HIP itu sendiri baru familiar menjadi sebuah konsep pada era Orde Baru, sederhananya HIP

merupakan hubungan industrial yang berlandaskan nilai – nilai dari Pancasila. Dari pemahaman

92

tersebut maka penulis membuat simplikasi nilai – nilai yang terkandung didalam HIP mencakup 5

nilai yang mengikuti setiap sila dari Pancasila, yakni:

6. Ketuhanan;

7. Kemanusiaan;

8. Persatuan;

9. Musyawarah; dan

10. Keadilan.

Dalam Seminar Nasional Hubungan Industrial Pancasila yang diselenggarkan pada tahun 1974

dikemukakan tujuan Hubungan Industrial Pancasila “Mengemban cita-cita Proklamasi

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social melalui

penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan

produksi, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat

manusia.”

Dalam seminar yang sama, sebagaimana dikutip oleh Soetrisno dalam Rika Jamin M. dkk pada USU

Law Journal Vol. 5 No. 1 (Januari 2017) bahwa seminar tersebut mengambil keputusan antara lain

ditentukannya sarana dalam pelaksanaan hubungan perburuhan Pancasila (yang kemudian

menjadi HIP) yaitu:

1. Lembaga kerjasama tripartit dan bipartit;

2. Perjanjian perburuhan (collective labour agreement);

3. Lembaga peradilan perburuhan;

4. Peraturan perundangan perburuhan;

5. Pendidikan perburuhan;

6. Beberapa masalah khusus.

93

Merujuk kepada nilai – nilai dari Pancasila dan sarana dari HIP diatas, maka seyogianya para pihak

dalam HIP perlu memperhatikan beberapa pedoman untuk tercapainya tujuan dari HIP itu sendiri

yang secara spesifik penulis masukan kedalam 3 unsur berikut:

Pertama, unsur pengusaha. Pengusaha harus mampu memandang pekerja sebagai mitra,

karena bagaimanapun perusahaan tidak dapat berjalan tanpa mereka. Pekerja sebagai

mitra mengandung makna bahwa mereka memiliki harkat dan martabat sebagai makhluk

Tuhan yang perlu dijaga. Disamping itu, pengusaha sebagai pengambil kebijakan tidak

tapat semena – mena, mereka harus membuka ruang dan mengutamakan musyawarah

untuk mufakat.

Kedua, unsur pekerja. Sebagai pekerja kerja mereka harus memahami bahwa bekerja

bukan sekedar mengejar materi, lebih dari itu bekerja merupakan sarana pengabdian

kepada bangsa dan negara yang secara bersamaan bernilai ibadah. Karena itu, setiap

persoalan yang mungkin hadir dalam dunia kerja hendaknnya diselesaikan dengan jalan

yang baik dan menghindari anarkisme. Pasalnya jika terjadi caos bukan hanya pengusaha

yang dirugikan, pekerja juga pasti terkena dampaknya.

Ketiga, unsur pemerintah. Pemerintah memegang peranan yang penting dalam

membumikan nilai – nilai Pancasila dalam HIP, maka pemerintah sebagai pengayom

seyogianya dapat berlaku adil kepada kedua belah pihak dalam menjaga persatuan dan

membangun keharmonisan dengan mengedepankan nilai – nilai kemanusiaan dan gotong

royong.

94

Daftar Pustaka

Hasan, Umar. Manajemen Hubungan Industrial. Tangerang Selatan: Jelajah Nusa, 2013. Suwarto. Hubungan Industrial Dalam Praktek. Jakarta: Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia,

2003. Jamin M, Rika dkk. LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT PERUSAHAAN DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI KABUPATEN DELI SERDANG. USU Law Journal. Vol. 5 No. 1 (Januari 2017)

95

96

97

98

99