UNITY, DIVERSITY AND FUTURE TRENDS - Kementerian ...

595
Proceedings International Webinar On Curriculum UNITY, DIVERSITY AND FUTURE TRENDS Subtheme : 1. Merdeka Belajar in National Curriculum 2. Future Chances and Chalenges 3. Innovation and Tecnology 4. Flexibility of Learning Jakarta, 15 Desember 2020 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAN PERBUKUAN PUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN

Transcript of UNITY, DIVERSITY AND FUTURE TRENDS - Kementerian ...

iProceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Proceedings

International Webinar On Curriculum

UNITY, DIVERSITY AND FUTURE TRENDS

Subtheme : 1. Merdeka Belajar in National Curriculum2. Future Chances and Chalenges3. Innovation and Tecnology4. Flexibility of Learning

Jakarta, 15 Desember 2020

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

DAN PERBUKUANPUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN

ii Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Judul:Proceedings International Webinar On Curriculum

UNITY, DIVERSITY AND FUTURE TRENDS

Pengarah:Ir. Totok Suprayitno, Ph.D. (Plt. Kepala Balitbang dan Perbukuan)

Steering Committee:Maman Faturrahman, S.Pd. Si, M.Si, Ph.D (Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan)

Penanggungjawab Teknis:Dr. Yogi Anggraena, M.Si., Dr. Ence Oos M. Anwas, M.Si., Drs. Ariantoni, Drs. Singgih Prajoga,

M.Pi

Ketua:Drs. Zulfikri Anas, M.Ed.Wakil: Ana Munifah, S.E.

Sekretaris: Tukiman, S.Pd.Bendahara: Unang Wahyu, S.E.

Kesekertariatan: Sujatmiko, S.Si., Reviewer Artikel: Dr. Ence Oos M. Anwas, M.Si, Prof. Dr. Dinn Wahyudin, Dra. Mariati, M.Pd., Prof. Dwi Purwoko, Erry Utomo, Ph.D., Bahrul Hayat, Ph.D., Dr. Kiki Ariyanti Sugeng, Dr. Suprananto, M.Ed., Dr. Cepi Riyana, M.Pd., Dr. Yulia Rahmawati, Drs. Zulfikri Anas, M.Ed,. Drs. M. Hamka, M.Ed, Dr. Yogi Anggraena, M.Si.,

Pembawa Acara: Nening Daryati, S.S., Pembaca Do’a: M. Hamka, S.S., M.Ed., Moderator Pleno: Nur Rofika Ayu Shinta, S.Si., Rizki Maisura, S.Psi., Moderator Pararel: A.M. Yusri Saad, S.S., M.Si., Atep Kartiansyah, S.Pd., Neneng Kadariyah, S.S., Dr. Christina Tulalesy, M.Pd., Farah

Arriani, S.Pd., M.Pd., Notulis: Anggraeni Dian Permatasari, S.Si., Antonius Nahak, B.Th., Eko Budiono, S.Si., Khofifah Najma Iftitah, S.Pd., Arifah Dinda Lestari, S.Si., Arina Hasanah, S.Si., IT Support Webinar: Sigit Raharjo, S.T., Rolly Mulya Bhayudhono, B.Sc. (Hons), Host Webinar: Muhammad Heru Iman Wibowo, S.Si., Co-host Webinar: Lisa Kristiani, A.Md., Ivan Riadinata, S.Pd.K., Yanuar Adi Sutrasno, S.T., Putu Widyarani Kusumadewi, S.T., Mingto, S.Kom., Annisa Eva Nurabia, Publikasi: Futri Fuji Wijayanti, S.Hum., M.A., Tim Keuangan: Purnama Dewi

Anjani, S.Sos., Mingto, S.Kom. Tim Administrasi: Frandi Yuanda, M.Si., Dedi Katmono, S.Pd., Putu Widyarani Kusumadewi, S.T., Annisa Eva Nurabia., Belland Bagus Susilo, S.Kom., Penanggung jawab Pemakalah: Muhammad Heru Iman Wibowo, S.Si. Penanggung jawab

Sertifikat: Sigit Raharjo, S.T., Muhammad Heru Iman Wibowo, S.Si., Mingto, S.Kom.

Editor: Neneng Kadariyah, S.S., Dr. Christina Tulalesy, M.Pd., Farah Arriani, S.Pd., M.Pd.

Sekretariat, Layout, dan Desain Sampul: Sigit Raharjo, S.T., Heri Purnomo

Cetakan Pertama, Januari 2021

ISBN: 978-602-244-294-3

Diterbitkan Oleh:Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk)

Badan Penelitian dan Pengembangan dan PerbukuanKementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jalan Gunung Sahari Raya No. 4, Senen, Jakarta Pusathttp://puskurbuk.kemdikbud.go.id

Hak Cipta Dilindungi Undang-undangDilarang memperbanyak atau memindahkan sebagaian atau seluruh isi buku ini

dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit(All Rights Reserved)

iiiProceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Prosiding International Webinar on Curriculum yang diselenggarakan pada 15 Desember 2020 oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) bekerja sama dengan Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN) telah dapat diterbitkan. Webinar Internasional yang mengangkat tema Unity, Diversity and Future Trends memiliki empat subtema, yaitu Merdeka Belajar in National Curriculum, Future Chances and Chalenges, Innovation and Tecnology, dan Flexibility of Learning.

Webinar Internasional merupakan salah satu bentuk diseminasi hasil-hasil penelitian, pengembangan, inovasi, dan evaluasi terhadap kurikulum, pembelajaran, dan buku, baik yang telah dihasilkan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan maupun pemangku kepentingan yang lain. Acara Webinar Internasional ini dihadiri oleh pimpinan dan staf unit utama di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerhati pendidikan, akademisi, praktisi dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, serta pimpinan dan staf Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Prosiding ini disusun dari makalah-makalah yang telah disajikan dalam Seminar Internasional Tahun 2020. Makalah tersebut telah diperbaiki sesuai saran masukan pada saat seminar, serta dilakukan proses editing oleh para editor yang sesuai dengan bidang kepakarannya.

Kami menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan bekerja sama dalam penyelenggaraan webinar internasional ini sehingga dapat terlaksana dengan baik. Kami juga menyampaikan maaf jika masih banyak kekurangan dan kesalahan, dan dalam penyelenggaraan webinar internasional ini.

Akhir kata, semoga artikel di dalam prosiding ini dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan dan sebagai bahan masukan bagi pengambilan keputusan.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Maman Fathurrohman, SPd.Si., M.Si., Ph.D.NIP. 19820925 200604 1 001

iv Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

1. Merdeka Belajar (Freedom Of Learning) In The National Curriculum Context.( Prof. Dr. Dinn Wahyudin, MA ) ........................................................... 1

2. National Curriculum: Its Future And Chalenges.( S. Hamid Hasan, M.A., Ph.D ) ........................................................... 17

3. Analisa Kebutuhan Pengembangan Blended Learning Pada Pembelajaran IPA Terpadu Dengan Pendekatan Wise Di Homeschooling Taman Sekar Bandung.( Agus Tryanto, Moch Sukardjo, Eveline Siregar ) ............................... 36

4. Pengembangan Kurikulum Leadership Dan Entrepreneurship Di Islamic Boarding School Untuk Menyiapkan Generasi Masa Depan Yang Berkarakter Dan Berwawasan Global.( Ahmad Fauzi Mulyana, Riche Cynthia Johan, Mukhidin ) .............. 51

5. Evaluation Of SDG’s (Sustainable Development Goals) Value Implementation On Curriculum During Covid 19 Pandemic At SMP Cendekia Muda Bandung.( Annisa Fitri, Yuni Hoeruni ) ................................................................. 69

6. Penerapan One-On-One Communication Sebagai Bentuk Problem-Based Learning Pembaharuan Pembelajaran Daring Di Tk Vita Surabaya.( Asri Prasetyaningsih ) ............................................................................ 80

7. Analisis Kebutuhan Diklat Untuk Desain Program Diklat Housekeeping Untuk Anak Dengan Hambatan Kecerdasan (Tunagrahita).( Ayu Nimas Salmitri, Rusman, Aziz Mahfuddin ) ................................. 100

8. Retrospective and Prospective Study of Indonesia’s Teacher Education Program.( Della Amelia, Dinn Wahyudin, Mukhidin ) ......................................... 114

9. Analisis Pembelajaran Online Di Abad 21.( Fuji Nujul Firman Sidik1 Asep Herry Hernawan ) ........................... 132

10. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pada Jenjang Sekolah Menengah Kejuruan.( Indra Gautama, Dea Amanda, Dinn Wahyudin, Mukhidin ) ............ 148

vProceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

11. Kompetensi Guru Abad 21 : Integrasi Pedagogi Dan Teknologi( Laila Nursaliha, Deni Kurniawan ) .................................................. 163

12. Pengembangan LOM (Learning Object Material) Berbasis Microlearning Pada Pembelajaran Daring.( Laksmi Dewi, Rudi Susilana, Gema Rullyana, Ardiansah ) ............. 172

13. Grand Desain Manajemen Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Berbasis Mutu Pada Masa Pandemi Covid-19.( Leni Nurani ) .......................................................................................... 188

14. Urgensi Diklat Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum.( Nacep Hamrat, Rusman ) ................................................................... 205

15. Evaluasi Kompetensi Kepala Sekolah Berdasarkan Keterampilan Abad Ke-21( Rahmat ) ................................................................................................. 218

16. Implementasi Metode Pengembangan Minat Bakat Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi.( Ria Astuti, Luthfatun Nisa ) ................................................................. 235

17. Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Ditinjau Dari CIPP Berdasarkan Perspektif Guru.( Risa Zakiatul Hasanah, Mukhidin ) .................................................... 248

18. The Implementation 2013 Of Curriculum In Madrasah Tsanawiyah, A Study on “Best Practices” Done by Madrasah Tsanawiyah Teachers in Planning, Implementing, and Evaluating the Curriculum.( Rusman, Asari Djohar ) ......................................................................... 260

19. Manajemen Kurikulum Pada Lembaga Non Formal Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA). ( Sri mariam, Rusman ) ........................................................................... 272

20. Edupreneur Dan Program Puas Dalam Meningkatkan Mutu Lulusan Sma Negeri 2 Tana Tidung.( SY. Camelia Faridah ) ............................................................................ 285

21. Perencanaan Model Implementasi Mastery Learning Berbasis Sistem Informasi.( Ucu Marlina, Yuliana ) .......................................................................... 297

22. Self Efficacy Dan Sikap Positif Guru Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Inklusi Di Yogyakarta.( Unik Ambar Wati, Sisca Rahmadonna, Pujaningsih ) ....................... 313

vi Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

23. Hal Kurikulum Berbasis Kompetensi : Penggunaan Metode TABARAK Dalam Pendidikan Anak Usia Dini..( Zainal Bakri, Mukhidin ) ...................................................................... 322

24. Kesiapan Satuan Pendidikan Dalam Mengelola Kurikulum Terkait Kebijakan Proses Belajar Dari Rumah.( Apriyanti Wulandari, Maria Listiyanti ) ............................................. 334

25. Belajar Dari Rumah Pada Saat Pendemi Bagi Siswa SMP Di Jakarta, Learning From Home When Covid-19 Pandemic For Junior High School In DKI Jakarta.( Drs. Heni Waluyo Siswanto, M. Pd., Drs. Budi Santosa, Feisal Ghozaly, LL.B (Hons), LL.M., Noorman Priowicaksono, S.Kom., M.Pd. M. Yusri Saad, MM., Joko Prasetiyo, M. Pd. ........................................................ 348

26. Studi Kebijakan Pengembangan Kurikulum Berbasis Muatan Lokal, Dalam Meningkatkan Nation Character Building.( Jarwadi, Farah Arriani, Sapto Aji Wirantho, Jarwoto P. Priyanto, Soraya ) .................................................................................................... 362

27. Kajian Implementasi Struktur Kurikulum Smk Dalam Era Revolusi Digital, Study Of The Implementation Of Vocational High School Curriculum Structure In Digital Revolution Era.( Maria Chatarina Adharti Sri Sursiyamtini, Nur Rofika Ayu Shinta Amalia, Christina Tulalessy, Dwi Setiyowati ) ...................................... 391

28. Kajian Pelaksanaan Diversifikasi Kurikulum Dalam Upaya Inovasi Kurikulum Pada Kondisi Khusus Di SD Kelas Tinggi.( Mariati Purba, Slamet Wibowo, dan Neneng Kadariyah ) .............. 412

29. Keberlanjutanan Pembelajaran Untuk Taman Kanak-Kanak (TK) Dengan Pembelajaran Jarak Jauh, Continuity Of Learning For Kindergarten With Distance Learning.( Nina Purnamasari, Anggraeni, Fera Herawati ) ................................ 439

30. Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah, Policy Implementation of Violence Prevention and Handling at School.( Ranti Widiyanti, Rizki Maisura, Arina Hasanah, M. dan Hamka ) ... 454

31. Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013, The Evalution Of The Implementation Of The Curriculum 2013.( Tatang Subagyo, Ariantoni, Vera Ginting ) ........................................ 477

viiProceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

32. Buku hypercontent Remaja Juara untuk Generasi Emas 2045, Hypercontent book Remaja Juara for Gold Generation 2045.( Nurfadhilah, Azmi Al Bahij, Erlina Indarti, Sonya Sinyanyuri, Erry Utomo. ) .................................................................................................... 505

33. Model Pengembangan Buku Teks Sekolah Dasar Kelas Rendah, (The Development Model of Low Class Elementary School Text Book).( Oos M. Anwas, Zaim Uchrowi, Anggi Afriansyah, Khofifa Najma Iftitah, ) .............................................................................................. 516

34. Adaptive Curriculum: Answering The Challenges Of Industry 4.0 In Tourism Education.( Yulia Rahmawati, Leli Alhapip, Mokhammad Syaom Barliana, Ana A., Vina Dwiyanti. ) .......................................................................... 533

35. Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal dan Teknologi Augmented Reality untuk Memperkuat Nilai dan Karakter Pancasila di Sekolah Dasar (SD/MI) (Studi Kasus pada Ritus Grebeg Pancasila di Kota Blitar).( Wawan Setiawan, Septinaningrum, Ahmad Syukron Surur, Atep Kartiansyah, Yulia Rahmawati, Leli Alhapip ) .................................... 541

36. The Flexibility Of The Distance Learning Design Associated With The Teacher’s Understanding Of The Curriculum.( Suci Paresti dan Renni Diastuti ) ......................................................... 561

Susunan Acara Webinar ................................................................................... 580

Panitia Penyelenggaran Webinar ...................................................................... 585

viii Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

MERDEKA BELAJAR (FREEDOM OF LEARNING)IN THE NATIONAL CURRICULUM CONTEXT

Prof.Dr.Dinn Wahyudin,MACorrespondence address: [email protected]

Abstract The quality of human resources depends on the quality of education as well as their motivation to learn and develop. In this fast-paced changing globalized world, education shall be comprehensive, sustainable and continuously evolve to meet the challenges in the present and the future. In Indonesia, many efforts have been implemented in improving the quality of education. Currently, the Ministry of Education and Cultural Affairs has promoted an education policy concept named Merdeka Belajar. This paper focuses on describing the program of Merdeka Belajar in terms of planning as well as implementation of curriculum 2013. The concept stems is inspired, one among others, by the education system from Ki Hajar Dewantara.

The Merdeka Belajar concept is expected to liberate education institutions and provide solution for students to be more creative and innovation. The program gives a chance for teacher to have more autonomy to manage his/her class. The main purpose of the programs, some among others are to improve students’ literacy and numeracy. Teachers are free to choose any learning method that they deem most suitable for their students and this may give more spaces for innovation. So, the essence of Merdeka Belajar is to unlock the full potential of teachers and students to innovate and improve their teaching learning quality independently.

Autonomy in teaching means not just following the system of bureaucracy, but encouraging to carry out innovation in teaching learning process. In terms of cycle of curriculum, the program Merdeka Belajar shall close relationship with the phase of curriculum as ideas, curriculum as a program, curriculum as process and curriculum as outcome of product. It means, in implementing “Merdeka Belajar in school setting, the four components of curriculum shall be put in the top priority in considering goals and competencies that shall be achieved, contents that shall be developed, methods of delivery system that shall be settled, and assessment system that shall be conducted. It is really a living curriculum. In sum, it can be concluded that Merdeka Belajar means that education system shall combines human touch and technological touch in a balanced format, teaching learning process shall be developed in order to strengthens competence, character, and spiritual competencies. As consequences full dedication and qualified teachers are necessary in developing any innovative ideas and practices in implementing the real curriculum.

Keywords: innovative learning, creative teachers, living curriculum

2 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1. Introduction

In every country, the need of nation to develop and to be sustainable depends on the quality of the human resources and their ability to innovate. The quality of human resources depends on the quality of education as well as their motivation to learn and develop. In this fast-paced changing globalized world, education shall be comprehensive, sustainable and continuously evolve to meet the challenges in the present and the future. So lifelong learning should always be the main values that should be sustainably developed in national education system. In certain case, policy of merdeka belajar can be classified as a political issue on education. The politics of the curriculum will be related to systematic efforts and efforts through various agreed policies and regulations so that the learning plan can be implemented properly and bring benefits to the public, in accordance with predetermined educational goals. (Wahyudin, 2020; Hasan, 2019; and Levin, 2008).

In Indonesia, many efforts have been implemented in improving the quality of education. Currently, the Ministry of Education and Cultural Affairs has promoted an education policy concept named Merdeka Belajar.

The literally meaning is The Freedom of Learning. The concept stems is inspired, one among others, by the education system from Ki Hajar Dewantara. The Merdeka Belajar concept is expected to liberate education institutions and provide solution for students to be more creative and innovation. The program gives a chance for teacher to have more autonomy to manage his/her class.

The term of Merdeka Belajar is a new policy program of the Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia. One of the reason of this policy is based on research Program for International Student Assessment (PISA) in 2019 that show that the results of the assessment of Indonesian students only occupy the sixth position from the bottom; for mathematics and literacy, Indonesia is in the 74th position out of 79 countries.

In order to response this fact, Nadiem made a breakthrough assessment in the minimum ability, includes literacy, numeracy, and character surveys. Literacy is not just a measure of ability reading, but also the ability to analyze the content of the reading and understand the concepts in behind it. For numeracy skills, what is assessed is not mathematics, but an assessment of the ability of students to apply deep numerical concepts real life. One remaining aspect, namely the Character Survey, is not a test, but rather search the extent to which the application of ethical values, religion, and Pancasila has been implemented practiced by students.

In the coming year, the teaching system will also change from what was originally nuanced inside the classroom becomes outside the classroom.

3Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The learning nuance will be more comfortable, because of the students can discuss more with the teacher, learn with class outing, and not only listening to the teacher’s explanation, but rather to form the character of brave students, independent, smart in socializing, civilized, polite, competent, and not just relying a ranking system which according to several surveys only worries children and parents, because actually every child has talent and intelligence in their respective fields. Later, students who are ready to work and competent, and virtuous will be formed noble in the community.

There are four main points of the Ministry of Education and Culture’s new policies, namely: First, national Examination (UN) will be replaced by Minimum Competency Assessment and Survey; Character. This assessment emphasizes literacy and numerical reasoning abilities is based on PISA test best practices. Unlike the UN which was held at the end education level, this assessment will be carried out in grades 4, 8, and 11. The result is expected to be an input for educational institutions to improve the process further learning before students complete their education. Second, The National Standard School Examination (USBN) will be submitted to the school. According to MOEC (2019), schools are given independence in determining forms of assessment, such as portfolios, papers, or other forms of assignment. Third, simplification of the Learning Implementation Plan (RPP). According to Nadiem Makarim, RPP is sufficient to make one page only. Through administrative simplification, it is desirable teacher time that is consumed for the administrative making process can be diverted to learning activities and competency improvement (MOEC,2019). Fourth, admission of new students (PPDB), the zoning system is expanded. For students who go through the affirmation and achievement channels, they are given opportunities which is a lot more than the PPDB system. Local governments are given the authority automatically technicalities to determine this zoning area.

As it has been described above, the concept of the policy merdeka belajar which was initiated by the Minister of Education and Culture Nadiem Makarim as mentioned above, there are parallels between the concept of independent learning and the concept of education according to the philosophy of progressivism John Dewey. Both concepts both emphasize the existence of independence and flexibility in educational institutions explore the maximum abilities and potentials possessed by students who naturally have various abilities and potentials. These concepts both contain the same meaning, namely, students must free and develop naturally; Direct experience is the best in stimulation learning; Teachers must be able to guide and be good facilitators. Institution education must become an educational laboratory for changing learners; Activity on educational institutions and at home must be operable.

4 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2. The Essence of Merdeka Belajar

The program was designed to improve students’ literacy and numeracy. Teachers are free to choose any learning method that they deem most suitable for their students and this may give more spaces for innovation. “The essence of Merdeka Belajar is to unlock the full potential of teachers and students to innovate and improve their teaching learning quality independently. Autonomy in teaching means not just following the system of bureaucracy, but encouraging to carry out innovation in teaching learning process.

Figure1 : The main points of Merdeka Belajar (Kemdikbud, 2020)

First, as it has been announced that USBN will be replaced with National Assessment and it will held in schools. Assessing student competence can be done in the form of written tests and/or other forms of assessment: portfolios and assignments (group assignments, papers). In terms of National Standard School Examination (USBN), at the previous concepts mean as the following. The spirit of the National Education System Law is to provide flexibility for schools to determine graduation, but USBN limits the application of this. The curriculum 2013 is a competency-based curriculum, it needs a more holistic assessment to measure children’s competence. While the concept of Merdeka Belajar, in 2020, USBN will be replaced with an exam (assessment) which is held only by schools. Exams to assess student competence can be carried out in the form of written tests and / or other more comprehensive forms of assessment, such as portfolios and assignments such as group assignments, papers, and so on. It is also told that teachers and schools are more independent in assessing student learning outcomes, third, the USBN budget can be diverted to develop the capacity of teachers and schools to improve the quality of learning.

5Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Second, The existence of National Exam (UN). In 2021, the UN will be changed to a Minimum Competency Assessment, Character Survey, and Learning Environment Survey. Literacy means the ability to reason about and use language. Numeracy means the ability to think using mathematics. The profile of Pancasila learners means that all students have good character, mutual cooperation, diversity, creative, innovative, collaborative. The National Examination should function for mapping the quality of the national education system, it is not intended to assess students learning. So far, the National Examination only assesses the cognitive aspects of learning outcomes, it has not touched the character of students as a whole. In 2021, the UN will be changed to a Minimum Competency Assessment, Character Survey, and Learning environment survey. The National Examination will be carried out on students who are in the middle of the school level (for example, grades 4, 8, 11) so as to encourage teachers and schools to improve the quality of learning and cannot be used as a basis for selecting students to the next level. The National Examination or national exam will refer to good practice at the international level, such as PISA and TIMSS.

Third, the simplication of Lesson Plan (RPP). It means that teacher can freely choose, create, use and develop their own lesson plan format. There are three core components (the other components are complementary and can be selected independently): Learning objectives, Learning Activities, and Assessment. Minister of Education and Culture Nadiem Makarim said that the simplification of the Learning Implementation Plan (RPP) in the freedom of learning policy was dedicated to teachers. It will to ease the administrative burden on teachers. The RPP, which previously consisted of dozens of components, is now simplified into three core components that can be made in just one page. So, previously there were dozens of components, we made them into three core components, namely learning objectives, learning activities, and learning assessments or assessments. Furthermore, the Ministry of Education and Culture will provide several examples of short lesson plans which are sufficient to do on one page but still of high quality. The important thing in a lesson plan is not about the writing, but about the teacher’s reflection process on the learning that occurs. Actually, the essence of the lesson plan or lesson plan is a reflection process from the teacher. When a teacher writes a lesson plan, he/she will carry it out in class the next day, then he returned to the lesson plan to reflect his/her own teaching. That’s where learning took place. So it’s not just writing 10 pages for administration.

The essence of the RPP, so that the lesson plan is carried out but not too heavy a burden. Based on Permendikbud Number 22 of 2016 concerning Basic and Secondary Education Process Standards, RPP is a face-to-face

6 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

learning activity plan for one or more meetings. RPP is developed from the syllabus to direct the learning activities of students in an effort to achieve Basic Competence (KD). With this new policy on simplifying lesson plans, teachers are free to make, select, develop, and use lesson plans according to the principles of being efficient, effective, and student-oriented. Efficient means that the RPP is written properly and does not take a lot of time and effort. Simplifying lesson plans not in effective writing means that lesson plans are written to achieve learning objectives. Student-oriented means that the writing of lesson plans is done by taking into account the readiness, interests and learning needs of students in class. Teachers can continue to use the RPP format that has been made previously, or can also modify the RPP format that has been made.

Fourth, Zoning Regulation of New students Acceptance. The formula is as the following : Zoning path: 50% minimum; Affirmation path: minimum 15%; Displacement path: maximum 5%; Path of achievement (the remaining 0-30%, adjusted to local (condition). In this case, the regions (Prov/District) have the authority to determine the final proportions and define zoning areas. Equitable access to and quality of education needs to be accompanied by other initiatives by local governments, such as teacher redistribution. The admission of new students which refers to the zoning system is currently widely discussed by the wider community. The system, which has been implemented since the 2018 // 2019 Academic Year, has reaped many pros and cons because it is considered to limit students with high scores to get their favorite school. On the other hand, the government, in this case the Ministry of Education and Culture designed this policy to create equitable education and eliminate the concept of favorite schools. Entering the second year of implementing the zoning system, these are the basic provisions that the public needs to know about this new student admission system.

Based on Article 16 of the Republic of Indonesia Minister of Education and Culture Regulation No. 14 of 2018 concerning the Admission of New Students in Kindergartens, Elementary Schools, Junior High Schools, Senior High Schools, Vocational High Schools, or Other Equals. The application of the zoning system causes prospective students who live far from the location of a school to lose the opportunity to be registered as one of the students at the school. This is because schools that are under the government or with state status are in the process of New Student Admission (PPDB) are required to accept at least 90 percent of new students who come from near schools. After 90 percent of the new student quota is obtained from applicants who live near the school. So the remaining 10 percent is opened to registrants who come from outside the zoning area. However, there are still other requirements that must be fulfilled when referring to article 16 paragraph (6) of this Permendikbud 14/2018.

7Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

As many as 10 percent of students from outside the zoning area are divided into two criteria, 5 percent for those who excel, the other 5 percent are for prospective students who have special reasons. The specific reasons, for example, moved the domicile of parents / guardians of students and natural / social disasters occurred. Domicile information Proof of domicile used as zoning parameters will later be obtained from the address listed on the Family Card issued no later than 6 months before PPDB is implemented. So, applicants who do not meet these prerequisites cannot be classified as prospective students who come from the zoning area. However, in reality, this regulation makes some people think short and manipulate their population data by creating fake KK with the address close to the school. Zoning detailed provisions. The zoning distance applied by each school is different depending on the agreement made by the relevant parties in each area. Local government decisions or meetings of school principals can be taken to determine zoning distances. The agreement was made based on the size of the availability of school-age children and the capacity or capacity of schools in the area.

3. The Concept and Theory of “Merdeka Belajar”

Freedom should be imposed on the way children think, that is, do not always pioneered or asked to acknowledge the thoughts of others, but make it a habit for children to seek all their own knowledge by using their own thoughts.

There are many definition of learning. According to the elearning coach.com, at least ten definition of learning from different experts in education. The four definiton are as the following.1. “Changes in human disposition or abilities that take place over a period

of time and are not considered merely a process of growth.” (From the Conditions of Learning by Robert Gagne).

2. “Learning is a relatively permanent change in a person’s knowledge or behavior due to experience. This definition has three components: 1) the duration of change is long term, not short term; 2) the locus of change is the content and structure of knowledge in the memory or behavior of learners; 3) the cause of change is the learner’s experience in the environment rather than fatigue, motivation, drugs, physical conditions or physiological interventions “ ( From Learning in the Educational Research Encyclopedia, Richard E. Mayer).

3. “We define learning as a transformative process of taking in information that - when internalized and mixed with what we have experienced - transforms what we know and is built on what we do. It is based on input, process, and reflection. It’s what changes us.”(From New Social Learning by Tony Bingham and Marcia Conner)

8 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. “A process that leads to change, which occurs as a result of experiences and increases the potential for future performance improvement and learning.”(From How Learning Works: Seven Research-Based Principles for Intelligent Teaching by Susan Ambrose, et al.).

The term of Merdeka Belajar can also be described from Progressivism’s view of learning. Progressivism requires the principle of flexibility in order to advance education. To that goal, according to John Dewey, education must be democratic. In this context, education functions more to provide independence and freedom to students, so that the potentials possessed by students can develop properly. Departing from here, educators should view students as a community always distinctive and unique, so that educators are expected to be able to explore abilities, intelligence, tendencies, interests, and talents of students who are very diverse. Progressivism emphasizes democracy. There are five things that are needed in the process education.

First, teachers are not allowed to be authoritarian. Teachers play a role as facilitator for students as subject students. Teachers assisting students who are learning by providing emotional appreciation and motivation so that students develop independently. Second, in the educational process does not exclude methods that are too book-focused. This is because of focus education is the learners. Third, do not use the rote method, because memorization only makes the subject of students or students passive or inactive. Fourth, education must be open to social reality, which means being flexible according to social reality so that knowledge can change. The fifth, in teaching corporal punishment is not permitted. Corporal punishment will be cause fear for students so that it can make students live in an atmosphere of fear that results in students not developing well (Ornstein and Levinne, 1985: 203).

In simple terms, the principles of progressivism education can be formulated as follows: children or students must be free and develop naturally, direct experience is the best stimulus for learning, teacher must be able to guide and be a good facilitator; educational institutions must become educational laboratories for changing learners; and activities in educational institutions and at home must be operable.

In this paper, the term of Merdeka Belajar initiated by Makarim (2019) was viewed from two inspirational figure. One is Elaine B Johnson on her book “Contextual teaching Learning (2002) and the other is KI Hajar Dewantara on his book “Pendidikan untuk Memerdekakan” (1954).

Elaine B. Johnson (2002) has mentioned that contextual teaching

9Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

and learning is a learning strategy that emphasizes the process of full student involvement to be able to find the material being studied and connect it with real life situations so as to encourage students to be able to apply it in their lives. Contextual teaching and learning is the development of new learning models, namely learning models that no longer position students as static subjects, who are only silent and receive material from the teacher, but students are required to be active, looking for, studying, observing contextual phenomena related to the problem or topic being studied.

Figure 2 : The three Principles of Contextual Teaching Learning ( Johnson, 2002)

Contextual teaching and learning appears based on the theory of constructivism learning initiated by Mark Baldwin and subsequently developed by Jean Piaget. Piaget argued that from childhood every child already has a cognitive structure to it then called the “schema” formed out of experience. Besides that contextual teaching and learning based on the flow of cognitive psychology where the learning process occurs because of individual understanding of the environment.

Figure 3 : The seven Components of CTLContextual teaching and learning emphasize the process of direct student

10 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

involvement to find the material being studied, then encourages students to be able to connect between the material being studied with real life situations and in turn encourages students to apply it in everyday life. This is the culmination of contextual teaching and learning that is, students learn not only at the stage of understanding the material but also at the application of the material they understand.

Ki Hajar Dewantara, the Father of National Education, was born on May 2, 1889. Even though he came from aristocratic descent, he still lived as a folk. Ki Hadjar Dewantara, besides being active in the field of education, he is also active in politics and journalism. These two fields also brought Ki Hadjar Dewantara to be exiled by the Dutch colonial government in August 1913, for writing an article entitled “If I Am Dutch”. During his exile, Ki Hadjar Dewantara became active in the world of education. He even succeeded in obtaining the Europeesche Akte (teacher’s certificate) in 1915. Ki Hadjar Dewantara’s education was largely influenced by Dr. Frobel and Dr. Montessori. Despite receiving education in the Netherlands, Ki Hadjar Dewantara’s desire to build awareness of the Indonesian people is still echoed. It was through the world of education that Ki Hadjar Dewantara anchored the focus of his struggle. Apart from the educational knowledge acquired in the Netherlands, the injustice in the Dutch education model in Indonesia is also the background of Ki Hadjar Dewantara’s thinking. The Dutch colonial model education was command, punishment and order. It is not suitable for educating Indonesia’s younger generation. This kind of educational character, in practice, is a violation of the inner life of the children. This was basically an attempt to make Indonesian people an object that colonialism could exploit. Such a model is what ultimately shackles the critical consciousness of the Indonesian people.

Moving on from the criticisms above, Ki Hadjar Dewantara made the concept of liberating education. According to Ki Hadjar Dewantara, education is an integrated, deliberate effort in order to liberate the physical and inner aspects of humans. So, in order to achieve independence, character education becomes important. According to Ki Hadjar Dewantara, budi (mind) and character (energy), when the two unite will cause actions that are in harmony with values and create a harmonious relationship between individuals and their social environment. That is what makes humans free, that is, they are independent, independent of others, and able to organize themselves (control themselves). Freedom is also not about individual life, but also people in life relations. That is, one’s freedom cannot interfere with the freedom of others. In addition, in order to create liberating education. Students must be viewed as educational subjects.

11Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

According to Ki Hajar Dewantara, freedom should be imposed on the way children think, that is, do not always be “pioneered” or asked to acknowledge the thoughts of others, but make it a habit for children to seek all their own knowledge by using their own thoughts. Students have potentials that need to be developed. Dialogue is the right way in a liberating educational process. Knowledge is not inculcated by force but is discovered, processed, and chosen by students. In order to realize the view of students as educational subjects, equality of roles must be raised between teachers and students. It is intended that there is a reciprocal relationship between teachers and students in obtaining knowledge.

Teachers must ensure a sense of security and comfort for students. Ki Hadjar Dewantara also succeeded in packaging the concept of education into simple and uniquely Indonesian slogans and methods. His famous motto is Ing Ngarsa Sung Tuladha, that is, a teacher is always at the front to set an example. Ing Madya Mangun Karsa, which means that teachers are always in the middle to motivate. Finally, Tut Wuri Handayani, teacher supports and encourages students to work in the right direction for people’s lives. The following is description of Ki Hajar Dewantara thought.

Figure 4 : Thoughts of Ki Hajar Dewantara

In terms of mthods of teaching, Ki Hadjar Dewantara has formulated it in three ways, namely Momong, Among, and Emong. This method emphasizes the aspects of liberating humans by nurturing, educating, and giving students freedom to act.

12 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Merdeka Belajar in Curriculum Context

According To Law of The Republic Of Indonesia Number 20, Year 2003 On National Education System, curriculum means a set of plans and regulations about the aims, content and material of lessons and the method employed as the guidelines for the implementation of learning activities to achieve given education objective.

The concept of independent learning demands a fundamental breakthrough in the 2013 Curriculum. This new education concept really takes into account the individual cognitive abilities and uniqueness of students. The following is an outline of the concept of Independent Learning: (i) Minimum competency assessment. The difference between this new education concept and the curriculum used previously is that students are expected to be able to demonstrate minimum abilities in terms of “literacy” and “numeracy.” The focus is not how much students are able to get grades through assignments from the teacher, but on how students are able to think critically using their cognitive abilities. In the field of literacy, for example, if in the previous curriculum students were expected to memorize and apply the material they read, in the concept of competency assessment, students were expected to think logically to abstract the intent and purpose of the material. In the field, “numeric”, especially in the fields of mathematics, science such as physics, chemistry. Students should not only memorize formulas or formulas, but also find the basic concepts, so that they can apply them to a wider range of problem solving. (ii) Character survey. Education is an expensive investment. Every region has different human uniqueness and it is impossible to be forced to implement a system with fixed indicators. In the character survey program, the government will thoroughly assess the quality of education in schools. Not only about learning outcomes, but also the educational ecosystem and infrastructure that is available. In other words, the development of education quality is no longer about applying fixed quality indicators, but based on the latest survey data on schools.

1. Survey the learning environment

Program Merdeka Belajar has a big goal to advance Indonesian education. In this program, education can change for the better through small things that are done in class, for example by creating a more pleasant and happy learning environment (happy learning). Through a more pleasant learning environment, one of the goals of independent learning can be realized, namely reducing the burden or pressure on teachers, students and parents. Thus, there is no more pressure when facing learning, thinking about achievement, welfare, values, administration, and the lack of relationship between educational interactions. In the independent learning program, the learning environment is expected to be more effective and does not impose

13Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

that every child must have the same advantages by pressing children to get high scores. Support from parents, teachers and good facilities is needed to recognize children’s abilities. High interest and continuing to practice will foster talents and hone children’s skills.

Other thing in the concept of Merdeka Belajar is the expansion of the assessment of student learning outcomes from national exam scores to assignments and portfolios. In the future, students will be given space to be able to develop themselves according to their interests and talents. In this way, it is hoped that the stigma of smart and stupid students can be eliminated. This is because humans have different natural talents and cannot be determined by formal tests. Freedom to learn can also be interpreted as justice for equal access to education for all students in Indonesia. Therefore, the government made a policy of affirmation and provision of special quotas for students living in rural areas and other remote areas. Indeed, there are close relation between program “merdeka belajar” with the implementation of curriculum 2103, national standard of education, and the process of input, implementation, and output of national education system. The relationship of them can be described on the following figure.

Figure 5: The national curriculum 2013 and National Standar of Education

The program of Merdeka Belajar education focuses on developing students’ cognitive abilities. This means that students will be challenged to be able to think critically with good analysis. This ability is what students need in order to make wise decisions in solving problems. In industry 4.0

14 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

the basis is data technology. In other words information that can be accessed by everyone. Students who are unable to analyze all of this information will certainly fail to make correct and correct analyzes and conclusions. The application of Merdeka Belajar in this curriculum system is to make students able to develop their interests and talents in school. Therefore, the government removed the assessment through the UN, and replaced it with assignments and portfolios. The reason is that students will be challenged to be able to innovate on instruments and solve problems. The focus is on how students are able to answer problems in the form of subject projects from schools. This process is important for students to learn to apply the theories they learn in class into a tangible result. Students will learn to prove, not just memorize the material.

In the 2013 curriculum innovation, the government has designed special standards so that Indonesian students are better trained in cognitive abilities, psychomotor abilities, and their character is well maintained.

5. Final Notes

a). The Merdeka Belajar concept is expected to liberate education institutions and provide solution for students to be more creative and innovation. The program gives a chance for teacher to have more autonomy to manage his/her class. The main purpose of the programs, some among others are to improve students’ literacy and numeracy.

b). Teachers are free to choose any learning method that they deem most suitable for their students and this may give more spaces for innovation. So, the essence of Merdeka Belajar is to unlock the full potential of teachers and students to innovate and improve their teaching learning quality independently.

c). Autonomy in teaching means not just following the system of bureaucracy, but encouraging to carry out innovation in teaching learning process. In terms of cycle of curriculum, the program Merdeka Belajar shall close relationship with the phase of curriculum as ideas, curriculum as a program, curriculum as process and curriculum as outcome of product. It means, in implementing “Merdeka Belajar in school setting, the four components of curriculum shall be put in the top priority in considering goals and competencies that shall be achieved, contents that shall be developed, methods of delivery system that shall be settled, and assessment system that shall be conducted

d). The term Merdeka Belajar can also be described from Progressivism’s view of learning. Progressivism requires the principle of flexibility in

15Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

order to advance education. As John Dewey has mentioned, education must be democratic. In this context, education functions more to provide independence and freedom to students, so that the potentials possessed by students can develop properly. Teachers should view students as a community always distinctive and unique, so that educators are expected to be able to explore abilities,intelligence, tendencies, interests, and talents of students who are very diverse.

e). The concept of Merdeka Belajar demands a fundamental breakthrough in the 2013 Curriculum. This new education approaches really takes into account the individual cognitive abilities and uniqueness of students. In the implementation of curriculum 2013, students are expected to be able to demonstrate minimum abilities in terms of “literacy” and “numeracy.” In the 2013 curriculum innovation, the instructional program has been designed related to national standard in education so that Indonesian students are better trained in cognitive abilities, psychomotor abilities, and their character is well maintained for the benefit of the country.

16 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BIBLIOGRAPHY

Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching Learning. California: Corwin Press Inc. A Sage Publication Company.

Hasan, S. Hamid. (2019). Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis Dan Teoritik Pedagogis (1950 – 2005). Diakses pada 20 Maret 2019. Tersedia http://www.geocities. ws/ konferensinasionalsejarah/s_hamid_hasan.pdf

Levin, Ben (2008). System-wide improvement in education. International Institute for Educational Planning. Paris: UNESCO.

Ornstein, Allan C and Levine, Daniel. (1985). An Introduction to the Foundation. Boston : Houghton Mifflin

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah.

Samho, Bartolomeus. (2015). Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara – Tantangan dan Relevansi. Jogyakarta : Penerbit Kanisius

Surat Edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 tahun 2020 Kebijakan Merdeka Belajar.

Wahyudin, Dinn. (2020). Politik Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

17Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

NATIONAL CURRICULUM: ITS FUTURE AND CHALENGES

S. Hamid Hasan, M.A., Ph.DIndonesia University of Education

Presented at a join webminarPusat Kurikulum and ACARA

December 15, 2020

ABSTRACT

The present paper discusses National Curriculum in Indonesia. National Curriculum is defined as a curriculum which is constructed at the national level and implemented through-out the country. The background of the existence of National Curriculum is traced back to the Dutch colonial period. The policy to have one National Curriculum continues after Indonesia got its independence, legalized by the 1945 Constitution, Law of National Education, and Law of Local Government. The present National Curriculum, the 2013 Curriculum, is elaborated especially in its design and structure to accommodate the national and local interests. In the 2013 Curriculum, the local interest is facilitated in three manners which are local content, local subject, and learning of local environment.

Local content and local learning area are developed under the authority of local government while the learning about the local environment is developed and implemented by teachers in the learning experiences. All those the content constitute school curriculum. The internal problems are targeted students, the changes of teachers’ mindset, training of new teachers, working environments, facilities and the inconsistency of policy implementation. On external factors, the author classifies two different effects of globalization and internationalization on universal learning areas and national learning areas. The effects of globalization and internationalization on the universal learning areas are considered positive but not on the national learning areas. In future, the existence of National Curriculum is strong as it is legally justified but some adjustments of the structure and content are recommended.

A. INTRODUCTION

The existing of National Curriculum is questioned in the era of global and Industrial Revolution 4.0, especially when the global communication network prevails and internationalization of education is underway. Many countries which have national curriculum as its traditions face the challenges of internationalization either on the system of national education which then

18 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

affect the national curriculum or directly affect their national curriculum. Some indications or phenomena are already obvious where the Netherlands changes its university program to meet the model of United States university, Japan introduces English as a subject in its national primary school curriculum.

Another phenomenon is shown by the existence of TIMMS, PISA, and PIRLS criteria. These criteria affect curriculum policy of many countries inside and outside members of OECD. These countries implement the standard of the assessment for TIMMS, PISA, and PIRLS for learning mathematics, science and language for students of junior secondary school. Indonesia is one of the countries that places the OECD standards for its national curriculum. Every year the government tries hard to push teachers to have their students reached a better performance on the result of TIMMS, PISA and PIRLS. The achievement on these three domains of assessment is considered as the indication of the quality of education in each country.

Globalization is also being strengthen and accelerated by the Industrial Revolution 4.0 as represented by the use of digital technology and internet. By these technologies, the world is wrinkled in space and time (Wineburg, 2001: 173) as the technology can make people able to communicate by voice or by virtual meeting at different places at the same time. It is the real and every day experiences everyone has in he/his daily life. The Covid-19 is a just push to make the technology become a part of everyday life. By this accident, the future life will not be the same as prior to the pandemic, and might be as projected Japan 5.0 Society. People should survive and maintain their human dignity over technology.

In other perspectives, students of the millennial show different interests and ways of learning to the previous baby booming generation who are now in power. The millennial students in their daily activities share their horizon with others (Smith, 2003). In their sharing horizon no political or national cultural boundaries are in the way to prevent them to influence each other such for good or bad. The millennial children will become international children in terms of their thinking, behaving, norms and values. The students as the main concern of curriculum will not only the subject in learning but also they will have determinative position in observing the curriculum. They will be the master of their learning as they internalize the values, develop and use knowledge, and personalize their ways of life.

The present paper addresses the existence of national curriculum and how the national curriculum faces its future considering the new situation every nation is facing where some of those are challenges the national curriculum should deal with.

19Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. WHAT IS NATIONAL CURRICULUM

The term curriculum has many meaning depending on a scholar or scholars perceive the concept. Basically, however, many scholars define curriculum based on components or activities a curriculum. Based upon the components it has many scholars agree that curriculum is a planned educational program which consists of objectives, content, learning experiences, and assessment of learning outcomes. Another group of scholars views curriculum as a series of learning outcome.

It is not the focus of the present paper to discus and argue of each group of definitions of curriculum. As a curriculum is a public policy the present paper uses the official definition of curriculum for Indonesia, as it is embedded in the 2003 Education Law for National Education. Article 1.19 states that

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu

Curriculum is a set of plan and guides about objective, content and learning materials, and ways as guides for learning process to achieve certain educational objectives

The definition consists of a plan for a written plan of objectives, content, and teaching materials, and secondly a plan for the implementation (a guide for learning activities). More importantly, as it is stated in the national law for education the concept of the curriculum is used for constructing curriculum document as a national plan.

In the present paper, a national curriculum is conceived as national documents consisting of national framework and guides for implementation constructed at national level or central government and implemented in all schools in the country. It is implemented in all schools because in Indonesia there is no independent school. Indonesia has only public and private schools. Public schools and Private schools are under the management of the Ministry of Education and Culture (MOEC) and the Ministry of Religious Affairs (MORA). The Ministry of Education and Culture has the responsibility to develop the national curriculum for all schools. The Ministry of Religious Affairs is responsible to adopt the national curriculum but also the ministry might add subjects about religion doctrines, a part from the religions mentioned in the structure of national curriculum.

The Government of Indonesia recognizes six world religions which are Islam, Catholic, Christianity, Hinduism, Buddhism, and Confucianism.

20 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

As mentioned in the Law of Education, every student must learn her/his own religion and each religion is taught by a teacher who embraces the religion. This means that every school should have certified teachers of Islam, Catholic, Christian, Buddhist, Hindu, and Confucius. The Government of Indonesia also decides that holidays of each religion are holidays for all citizen, and corollary it is also holidays for all students. Religion teaching is a part of national curriculum content. This policy is the implementation of the Pancasila.

In the present national curriculum document, the curriculum consists of curriculum ideas, curriculum design, curriculum structure, curriculum content, learning experiences, and learning outcomes assessment. These components are more than what are imbedded in the formal definition of curriculum, however, it is the fact that national curriculum has since at least the 1975 Curriculum. The differences between the 1975 Curriculum, the 1984 Curriculum and the 1994 Curriculum with the 2006 Curriculum and 2013 Curriculum is the way those components are arranged and organized. In the first three mentioned curricula those components were organized as Book I, Book II and Book III which consisted the ide and design, design and structure, and guides for implementation. Those three books were officially announced within one single ministry decision.

Since the 2006 Curriculum those components of curriculum documents are officially announced in different ministry decisions. The idea, design, structure is officially declared in one ministry decision while the content is placed in another decision. The guide for implementation is also put in another ministry decision. The changes are especially due to the fact that the content and the guidelines are very thick to put in one ministry decision. For many teachers, the separate documents are more preferable than one thick curriculum document. Nevertheless, the existence of those guides for implementation is in accordance with the official curriculum.

In addition, another characteristic of National Curriculum is that the National Curriculum has local component in its structure. This policy has been implemented since the 1984 curriculum. The local component content which is called Muatan Lokal (Local Content) is the responsibility of the local education authorities to develop. The Local Content might consist of cultural, social or economic aspects. The decision on what aspect should be develop entirely the authority of the local government. Hence, for primary level is the authority of regency or municipality while for secondary level is the authority of provincial level (UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah). This policy is also stated in the 2003 Law of Education where it is stated that there should be local content in the national curriculum and the national curriculum should be implemented in the format of School Curriculum (KTSP = Curriculum at the

21Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

School Level). The School Curriculum should consist of the Local Content, vision and mission of the respective school. Therefore, in the structure of each School Curriculum the local content should already mentioned.

By the 2013 Curriculum there are three forms of local content. One is the form of subject content and the other one is in the form of a subject while the third is in the form of learning activities. The first form is the enrichment of subject content which has been developed at national level. This local content can be aligned to the existing subjects in group B in the National Curriculum Structure. So, this kind of local content can enrich national content of social studies, science, physical education and health, languages, and handicraft. The second form of local content is mostly in the form of local language but it can also be in aspects such as local economy, local culture, and others. The third one is the application of basic competencies of each subject in the learning process. In this form, students who learn about knowledge as specified in basic content 3 apply their knowledge to learn about the local environments and conditions. For example, students who learn about pollution in basic competency 3 apply their knowledge to study about pollution in their own area. Student who learn about national awakening in History of Indonesia study the national movement in their own local which happened at the same period.

In short, a national curriculum is a nationally constructed curriculum document. It is constructed under the Ministry of Education and Culture and specifically by the Office of Curriculum Development. Another characteristic of a national curriculum is that it is implemented throughout the country regardless the differences one educational region has from others. This is what being practiced up to present and it will be the case in future as Law of Local Government states clearly to authorize the Central Government to develop national curriculum.

In the implementation side, as the present practice, it is also the responsible of the Central Government. The Central Government trains teachers to be national trainers, and then arranged training for teachers from every parts of Indonesia. The national trainers normally spend sometimes in the training location and normally the location is capital cities of the provinces. During the training period, those trainer teachers absent from teaching. As the training deals with so many group of teachers then the trainer teachers are also absent from teaching during the time of training. Naturally is also about teachers who follow the training.

In future it is likely a different approach for the training will be applied. By 2014 Local Government Law, effective since 2016, the implementation is the right of local government. For Primary Education Level, it is the responsibility of municipality or regency government while for Secondary Education Level, it

22 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

is the responsibility of provincial government. Consequently, from 2016 when the Local Government Law was declared effective, the Central Government has no legal responsibility for the implementation. Training for teachers and other necessary preparation for implementation will be in the hand of local government. This means each local government will take the implementation more seriously. They should take the responsibilities in the success of implementation of national curriculum.

This position, however, does not mean that the Central Government has no control over the implementation. The Central Government or the Office of Curriculum Development should train people from the local office of education to be trainers. This is very logical because only curriculum developers who develop the national curriculum knows what initiatives or innovations are promoted by the new national curriculum. They are experts who develops characteristics or competencies the new generation will have, how they are developed in curriculum ideas, design, structure, and content. They have all the background and reasons for making decisions on those aspects of curriculum. Thus, they should also be responsible for the success of implementation and prepare the persons who will be trainers in each office from respective district office of education.

In conclusion, these two components are in the responsibilities of Central Government at present but in future it will change: the construction is still within the authority of Central Government, the Office of Curriculum Development while the implementation will be the authority of local government. This future reality will be the point of view in discussing chances and challenges of national curriculum in Indonesia. The challenges will be discussed more thoroughly than the chances as the chances is more predictable and strongly argued by its legal position than the challenges. Moreover, the challenges come from within the system of national policies and external factors.

C. HISTORICAL BACKGROUND OF NATIONAL CURRICULUM

National curriculum in Indonesia has been implemented since Indonesia got its independence. Before the independence, The Dutch colonial power introduced many system of schooling although the curriculum was centralized developed (Hasan, 2020). The curriculum which was called leerplan (learning plan) was developed for different school system which were indigenous school system and European school system. During the occupation of Japanese Military there were two kinds of curriculum, the one under the Japanese Army Power and the one under the Naval Power. However, the curriculum was also developed from the central military power in Indonesia (Kurasawa, 1991). It is adequate to say that during the Japanese Military Occupation there was no

23Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

national curriculum. However, it is also justified to say that the curriculum was under strictly of military occupation office. Since the independence day, the Government of the Republic of Indonesia has been developed on the basis of central government. It was the central government was firstly established on the August 18, 1945. Later on provincial government and other local government were established.

This historical background is then formulated as a national system of education in the 1945 Constitution. The constitution says that the Government is responsible to develop a national education system. This statement can only be interpreted that there is one schooling system for all Indonesia, one national policy on education, and one national curriculum. Looking at these backgrounds it shows clearly that national curriculum is the consequence of the national system of the government. Later on, when amendments of the 1945 was conducted in 2003 and autonomy for the local government policy was implemented then the nation applies a new system of government. By then, a new law on the local government was released and officially effectively implemented in 2016. This mean, the present situation gives more authorities to local government to manage many governmental matters including curriculum.

D. THE EXISTING NATIONAL CURRICULUM

The existing national curriculum was officially implemented in the year of 2013 and as tradition in naming curriculum in Indonesia, it is labelled as 2013 Curriculum. The curriculum was developed in 2010 and based on character education, thinking skills and competencies of the 21th century skills. In the year of 2020 President Yudoyono issued a Presidential decision which stated that character education should be the concern of the new curriculum. On the basis of the decision the Centre of Curriculum Development experimented character education for some selected schools. Some 18 values were identified and be the bases for the character. Initial plan for the development of the new curriculum was designed. However, as Indonesia educational system is based on standard-based education and as stated in the 2003 Education Lawcurriculum is based on the standards corollary of the principle new standards should be developed.

As the development of the standards is under a new established office called BSNP (Badan Standard Nasional Pendidikan or National Education Standards Agency), then there should be a good coordination between the Centre of Curriculum Development and the National Education Standards Agency). It was then, in 2012 the coordination of the new curriculum was directly managed by the office of the Ministry of Education. Hence, new standards were developed by BSNP, some scholars were recruited to the team of the curriculum developers. The development of the new curriculum was on the way.

24 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The professional team developed the ide, design, structure of the new and content of the new curriculum, regularly reported to the adviser team and resource person team which consists of famous Indonesia scholars amongst whom was Dr. Anies Baswedan. The adviser team consists of director generals and directors. Thus the team was really representing scholars, bureaucrats, and professionals. Seven well-known Indonesia scholars were in the team. The professional were those from the Centre of Curriculum Development and curriculum specialists from universities. The primary plan of the Centre for Curriculum Development was still the basic structure and design for the new curriculum, enriched and adjusted y other considerations such as the structure of demography of Indonesia in 2045 which is called Generasi Emas (Gold Generation because the number of productive population will be close to 70% , new perspective of education and psychology of learning, the development of digital technology, the challenges of PISA and TIMMS, and globalization (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).

The structure of the new curriculum consists of two parts for primary education and three parts for secondary education. The first part is national part, the second one is national and local, the third one is optional according to the interest of students. The student might go to general education school (SMA) or vocational school (SMK). For those who go to SMA there are three options of academic streams available which are social sciences, mathematics and natural sciences, and languages. For those who go to SMK there are 40 vocational streams available. This is for the first time in history of Indonesia education that the secondary education curriculum was developed as one design simply because students of SMA and SMK should learn the same quality content of the national part such as religion, national language, Pancasila, national history, mathematics, and English. The optional parts is different not in the quality but because of the interest. There are 8 subjects or learning areas for primary school, 8 subjects for junior secondary school and 14 subjects for senior secondary school (SMA) and vocational school.

The second part in the Structure of 2013 Curriculum content consists of nationally developed content and locally developed content. This part is designed to accommodate the local interest and to develop the principle of diversity as stated in the 2003 Education Law. The local content makes the curriculum familiar to students. The 2013 Curriculum provides more options for the development of the local content than the previous curriculum.

There are three ways to enrich the National Curriculum by local content. The first kind of the local content is local basic concept (KD). Every teacher of every individual school can do this by adding up local basic concepts (KD = Kompetensi Dasar) to the subjects in the second part of the structure of the

25Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Curriculum. These subjects are social studies, mathematics, natural sciences, arts and culture. Teachers of each individual school can develop the local basic concept. The second kind of local content is by adding a new subject which representing the need of the local community to the structure. Every local district of education together with other local authorities including schools in the area work together to develop this second type of local content. The third kind of local content is done by every teacher in every school by giving local examples of the concept learned and by utilizing the knowledge learned to study the local environment. This study of the local by using the learned knowledge is accommodated in the 2013 Curriculum Design which is KI-4/KD-4 (Core Competency 4 and Basic Competency 4). By this design every concepts learned in every area of studies in the 2013 Curriculum is suggested to be utilized to study the local realities.

For learning experiences component, the 2013 Curriculum adapted the DNA Innovator of Dryer and friends. In their book, Dryer, Gregersen, and Christensen (2011) The Innovator’s DNA: Mastering the Five Skills of Disruptive Innovators mention five skills to the development of disruptive thinking which is needed for the 21th century innovators. These five skills which are observing, questioning, experimenting, analyzing, and communicating are then adapted to learning situation, and become five skills of learning which is labelled Scientific Learning (Pembelajaran Scientifik). Those five skills are then observing, questioning, collecting information, analyzing (penalaran), and communicating. These five skills of learning are essential for the development of learning skills and learning habit as the foundation for learning through life (Hasan, 2017).

For the assessment, the 2013 Curriculum advocates authentic assessment rather than conventional objective test assessment. The authentic assessment gives more opportunities for students to develop their own ways of thinking rather than one single correct answer for all of the students. The authentic assessment is used by the 2013 Curriculum in accordance with the constructivism learning theory which is also the theory for the learning experiences. This is a new approach for Indonesia education as objective test has become the only way to measure student learning outcomes since the 1975 Curriculum.

E. THE EXISTENCE OF NATIONAL CURRICULUM IN FUTURE

Considering the existence of National Curriculum, the next question is whether National Curriculum is still needed in the present era of globalization and Industrial Revolution 4.0. These are the most critical challenges the national curriculum is facing. In terms of national challenges, the challenges are how to improve the role of local educational authorities to develop local content

26 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

and prove adequate training for teachers, principals, and supervisors. These two challenges that should be dealt at the same time as both are appeared hand in hand and the solutions for those are important for the status of National Curriculum in future.

This is an era where no nation is exclusive from globalization and the distance and time are wrinkled (Wineburg, 2001). People can communicate with others from any part of the world and there is no time boundary to do that. A family at home can watch what is happening in other parts of the world at the same time when it is happening. Global program of television can be seen by every member of a family where bad and good things go direct to their minds. What an individual is doing can be monitored by CCTV or other devices. Internet of things is a significant technology being used by everyone at any place and at any time. Society 5.0 which is also called super smart society (Fukuyama, 2017, Government of Japan, 2018) as figured out by Japanese Government where the technology can make a person just stay at home buying things and doing things. The present pandemic has shown its power to make people can do many things from home to accelerate the use of technology.

By the present technology, the speed of changes has no matched in the past of human life. Information can be quickly obsolete and new information comes as a speed of sound. Nano measurement has replaced the conventional to measure the weight and speed of information. People are overshadowed by information. In the meantime, jobs and the requirement prepared by curriculum are fading away and replaced by jobs unpredicted before. Artificial Intelligence technology create many kinds of robot to take over not only traditional and highly risk-taking jobs but also white-collar jobs such as teaching, tour guides, front-office jobs, and many jobs in manufacturing (Dede, 2010). In future the technology of Industrial Revolution 4.0 soon be replaced by more advanced technology.

Furthermore, the globalization is already showing its path to encourage internationalization of education hence the internationalization of curriculum. In this respect, curriculum in every nation should prepare the students to live by mastering the 21th competencies. Trilling and Fadel (2009) mention the four Cs (critical thinking, Creativity, Collaboration, Communication) which are very universal can be applied to any nation and any culture without having any problem. Those four competencies are universal in nature. Everyone in any culture should develop those four Cs. In line with proposed by Trilling and Fadel is the opinion from Dede (2017:73 ) who mentions that in the 21th century, education should prepare students with ways of viewing, behaving, thinking, communicating, collaborating and other skills necessary to develop a future better quality of life. The challenges of the 21th century are constructed

27Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

differently in every nation. These two prepositions are open for a nation to interpret and adjust to the norms and values of the culture.

Another movement of internationalization of curriculum is represented by TIMMS, PISA, and PIRLS. Many countries are directed to achieve standards as developed by International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda yang didirikan pada tahun 1958 for the Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS), PISA and Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), and Indonesia is no exception. The rank in the TIMMS, PISA and PIRLS in interpreted as the rank of education quality of each nation compared globally though those tests are confined to mathematics, science and language. Rotber (2006) an expert in Test and Measurement writes that those international test has weaknesses in the assumption. Also, those international tests do not take into consideration the other educational objectives of the 21th century such as collaboration and communication are not considered as relevant objectives to measure, not to mention religiousity and nationalism as the quality of young generation national curriculum should develop. In this concept of educational quality limit itself to what has been decided and there is no space for other interpretations outside those decided by OECD.

The internationalization of curriculum will put national curriculum in a questionable position or even at the end of its history. In this respect Reid (2013) writes national curriculum are cultural artifacts, in the same way that national songs, stories, and festivals are cultural artifacts. When this happened and national curriculum is an artefact then the international curriculum is applied to every nation. When this happened to learning areas such mathematic and science it is just a matter of broadening those learning areas in wider context as basically the present content of those learning areas have the international characteristics. More or less, the content of mathematics and science has a universal truth. There will be no harm to values, norms and other traits of culture of each nation.

On the other hands, internationalization will be harmful to learning areas such as social studies, history, culture/anthropology, and sociology. This is because these learning areas are related to the understanding and developing national attitudes, values, and norms. Globalization does not necessarily mean that there is only one curriculum nor one global culture. As stated by Slattery (2013:19):

society has become a global plurality of competing sub-cultures and movements where no one ideology and episteme (understanding of knowledge) dominates. There is no cultural consensus, and – cultural literacy programs notwithstanding – there is curriculum development consensus either.

28 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Thus, as far as national curriculum is concerned, globalization is not a threat but a challenge for national curriculum to advance its quality. It is a challenge to reach the quality of those learning areas for TIMMS, PISA, PIRLS, and also to improve the quality of other learning areas that meet global competences as put forward by OECD Organization. In other words, the national curriculum in the future, should consider globalization aspect as benchmark of quality for some learning areas especially those learning areas with international nature of the content. These learning areas are mathematics, science, and technology. These learning areas are more concerned with the developments of scientific skills and thinking which are universal in nature and less related with the culture of the nation.

F. THE QUALITY OF FUTURE CURRICULUM

Curriculum is always concerned about the quality of students for their future lives as responsible and productive citizens. The quality is perceived quality and not necessarily the same the present needed quality for the present life although the future is a continuation and changes of the present life. Changes are always unseparated part of human life. Every generation should deal with changes happened in the past, at their present life, and changes in the future. Thus, as curriculum concerns about the way the young generation manages their life happily. This means that curriculum should also prepare for the students to manage changes they are facing nowadays and will face in future.

Changes are continued and changes are the only things that make a society can progress and improve its quality of life. Technology, since the beginning of human life, always play its pivotal part to make changes and the life better as the technology is invented and develop for that purposes.. Technology is always developed for overcoming difficulties human being have in their life, especially to overcome problems in economic aspect of life such as the limitation of sources and the unlimited wants, distribution, and prices.

In any case, science and technology always go hand in hand and it is very much depended on the ways people think. It is the people who develop and use the technology, and it is also the people who will deal with changes by the technology. The way of thinking especially disruptive thinking (Clayton, Raynor and McDonald, 2009) which makes a lot of things developed differently to serve the unlimited needs of people to use the technology. Technology and disruptive thinking have created cellular phone, for example, playa role more than for sound communication in the normal previous cellular phone. Internet of Things (IoT) is also another innovation in technology that makes changes in many ways of people doing their daily activities. It is showed as long as human history can tell that the thinking skills are the most important for the dignity of human life. Hence, it should be the concern for national curriculum in future.

29Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Human behavior is another important quality a national curriculum should put its concern. The way people react, adopt, and develop their thinking skills can be separated from their cultural norms and values, sosial norms and values, and their heritage of those values from the past. The behavior is contributed by some values and norms and showed as their ways of thinking, behaving, and doing things. In other words, the behavior is the character of a person, a community, a society, and people. The behavior determines changes and what should be continued to be a new behavior of a person, a society, and people. .

Changes do not mean to change all aspect of human life in any aspect of it. Changes happens in some parts while the other parts continue along the time of human history. The present is the continuation of the past and its adoption of the changes. The changes in future cannot eliminate the present life altogether, some parts continue and some other parts change. The behavior of people determine what changes they adopt and which changes they reject. Human behavior as the control power of the changes is another quality the national curriculum should take care of. In other world the national curriculum should develop character for the young generation so that they will be the master of the changes and not overrun of the changes.To manage the changes a student should have skills to understand the past and on-going , to adopt for the betterment of present life, and to participate in shaping the future changes (Schuller and Watson, 2009).

Curriculum is a public policy (Oliva, 1982 ) and it means that the development of a curriculum is a kind of a government policy (Hasan, 2020, Wahyuddin, 2020). This year, officially, the government has developed six competencies the students should have which is called Pelajar Pancasila (Pancasila Student). The profile of Pelajar Pancasila has six qualities students should have. This means that, as a curriculum is a public policy, the new National Curriculum should develop those six qualities. The six qualities are depicted in the following figure

30 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Source: The Ministry of Education and CulturePelajar Pancasila = Pancasila StudentBeriman, Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa = Belief in One GodBerkebinekaan Global = Diversity in Global (culture and belief)Bergotong royong = CollaborationMandiri = Independent (learner)Kreatif = CreativeBernalar Kritis = Critical Thinking

Belief in One God is very fundamental quality for Indonesia students as Indonesia society is religious society. There are six world religions recognized by the Government of Indonesia. These six religions are Islam, Christianity, Catholic, Hinduism, Buddhism, Confucianism. These six official religions makes Indonesia society unique in terms the way those six religions affect national policy and everyday life of the people. For every public school, the government provides religion teaching as a compulsory subject for students of each religion respectively. Students of Islam learn Islam, students of Christianity learn Christianity, students of Catholic learn Catholic, students of Buddhism learn Buddhism, students of Confucianism learn Confucianism from teachers of the same religion with the students. A holy day of each religion is also a holyday for everyone regardless their religion. This is the observation of Pancasila in everyday life of Indonesia citizen.

The character of the nation is obviously related with the subject taught. On this matter, Pinar et al. (2014:795) writes “the school subjects are intertwined with the political, social, and intellectual histories of the countries where they were taught.” Thus, it is not a unique for Indonesia to have the teaching of religion as a religious country but it is unique and a good example of tolerance in religion as every follower of each religion is served to have their own religion teaching by teachers of the same religion. This is a kind of ways to provides a good learning experiences to be tolerant and respect of religions other then his/her own.

Independent leaner is another important quality of Indonesia students. This quality has been the concern of national curriculum at least since the 1975 Curriculum. The impact is still very limited due to the way teaching process was and is being conducted. There is hardly any change in the learning experiences of the students. They do not learn for the development of their cognitive capacity to be their competencies in thinking. So are with creativity and critical thinking. However, the development of these qualities are still necessary and relevant for the present and future life because they are related with the thinking as elaborated in the previous paragraphs.

31Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Diversity in Global culture and belief for Global Perspectives related to Humanity as one of the Pancasila principles. It is also mentioned as one of the Global Competence as developed by OECD. This is relatively new for Indonesia students although students in Indonesia learn about world geography and world history at least since Indonesia got its’s independence. However, the global perspective as a new perspective is still important for the global life and to put an emphasis on those subjects.

Indonesia society is basically diversity society in terms of religions, cultures, social and traditions. The study of Indonesia society should develop a good understanding and perspective for students about the global diversity. In a way, it can be said that diversity of global cultures and social lives can be generalized from the diversity nature of Indonesia society. The way the government of Indonesia manages the diversity and the way the people of Indonesia live can be studies profoundly and take as a point of departure to understand the global diversity. Of course, some efforts and focuses are necessary to enhance the students’ understanding of what they can learn from their immediate environments and national lives to be the frame for their thinking for understanding the global diversity more.

Those qualities of Pelajar Pancasila are ideas for the next National Curriculum. The qualities should be developed into curriculum framework. The Curriculum framework consists of curriculum ideas, design, structure and content. Furthermore, in addition to the framework, the new National Curriculum should have implementation guides for teachers to implement the curriculum.

In addition, the structure of the next National Curriculum should consider a new portion between National Content and Local Content. The 2013 Curriculum has provided more allocation for local content in terms of additional basic competency, a new subject, and teaching materials and this policy is good to be continued. However, as the 2013 Curriculum only accommodate the additional subject for 2 hours a week. This is not enough and more time hours, at least four hours a week seem to be fair to understand the local society and its environment.

For learning experiences, the use of scientific learning experiences is still advocated. The learning experiences is powerful to develop thinking skills, learning skills,and communication skills. The scientific learning experiences is potential to develop other qualities of Pelajar Pancasila such as mandiri (independent learner), bergotong royong (collaboration), creative thinking, and critical thinking. As it was developed from DNA Innovators, the Scientific Learning Experiences are really design to develop those qualities as put in the Pelajar Pancasila.

32 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Authentic Assessment is also another idea which is very relevant for the 21th century as authentic assessment develops the quality of thinking of students and to solve problems from real life examples. This assessment is designed to develop especially critical thinking and creativity as the students can develop their own right answer and not block to select the only right answer according to teacher. This kind of assessment will give students chances to develop their own knowledge.

G. PROBLEMS TO SOLVE FOR NATIONAL CURRICULUM IMPLEMENTATION

Implementation is critical part of curriculum development. Onstein and Hunkins (2018:254) mention that “once a curriculum is developed, it must be implemented within the shortest time frame if it is to address the current needs of students and society in an increasingly changing world”. The statement indicates the importance of curriculum implementation within the whole aspects of Curriculum Development. The core of the implementation is the change of teaching tradition from the regular and routine ways of teaching to the new ways of teaching as promoted by the new curriculum.

The teaching or the implementation of the National Curriculum is one of the key issues that the government should put more efforts. It is the core of the implementation problems as the study of Puskurbuk (Centre of Curriculum Development) found on many cases of curriculum implementation of many National Curriculum. Implementation which is a change of teaching practice in realizing the idea, design, and structure of a national curriculum to be competencies of the students. As observed, teaching practice in many classroom is still based on principle that students receive information, memorize them and then use them to answer questions. The textbook and other sources of information are treated as just sources and the information from those sources treated as something to be memorized. The more sources they have the more information they memorize but their thinking potentials are not developed. There is hardly any classroom where students taught to study the information either from textbook or other sources so that they can think about the information, process them according to the level of cognitive thinking and construct their own knowledge.

H. CONCLUSION

The National Curriculum is a plan for a nation to develop qualities of its young generation for their present and future life once they become active and productive citizens. In this point of view the existence of national curriculum

33Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

is national design to develop qualities of the nation. The existence of national curriculum in Indonesia has been based on some legislature when the national curriculum is viewed as a national necessity. The long history of the national curriculum is then strengthen by political decisions which guarantee its function and position in Indonesia education system. Globalization is a challenge but at the same time it is also a driving force for the national curriculum to improve its quality to meet the present fast changing, technology-based, and global community challenges.

The present 2013 National Curriculum which is character-based and competency-based curriculum was developed for about 3 years (2010 – 2012) and implemented in 2013. The structure of 2013 National Curriculum consists of national part and local part to accommodate differentiation and the local needs. There are three ways the local needs are designed, namely, by adding basic competencies to the subjects of science, social studies, arts and culture developed by each teacher of each subject; to have a new subject developed by local authorities, and to add teaching materials developed by teachers for every subjects in the structure.

Learning experiences of The 2013 national curriculum was developed from the DNA Innovators, a book by Dryer and his friends. The learning experiences are powerful to develop many 21th century skills and give students ample opportunity to construct their own knowledge. Principle of constructivism is widely accommodate by the scientific learning experiences. For the assessment the 2103 national curriculum implement authentic assessment replacing the conventional objective test assessment.

For the new national curriculum,the government publishes a policy which is called Pelajar Pancasila (Pancasila Student). This policy has six qualities for the next national curriculum to develop. They are belief in god, collaboration, critical thinking, creative thinking, independent learner, and global diversity.

The major and essential problem of national curriculum is in implementation. The strategy and training of teachers are not effective in a sense that there is no changes in the teaching and learning activities of students. Text book nd other sources are still treated as sources of information to remember. The information from those sources are not treated as a text to study and to develop thinking skills according to the taxonomy. The change of the tradition of teaching should be the major concern for the implementation for the national curriculum in future.

34 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

LIST OF REFERENCE

Clayton, M.C., Raynor, M.E dan McDonald, R. (2015) What Is Disruptive Innovation?

Davis, G. (2018). Industrial Revolution 4.0. https://www.manufacturingglobal.com/.../ industrial-revolution-40. Sep 07, 2018, 5:58AM

Dede, C. (2010). Comparing frameworks for 21st century skills. In J. Bellanca & R. Brandt (Eds.), 21st century skills: Rethinking how students learn. Bloomington, IN: Solution Tree Press.

Dryer, J., Gregersen, H. and Christensen, C.M. (2011). The Innovator’s DNA: Mastering the Five Skills of Disruptive Innovators. Boston, Massachusetts: Harvard Business Review Press

Fukuyama, H. (2017) Society 5.0: Aiming for a New Human-centered Society. Japan’s Science and Technology Policies for Addressing Global Social Challenges. Available at www.hitachi.com/rev/archive/2017/r2017_06/trends/index.html, 28-1-2019, 10:00

Government of Japan (2018), Society 5.0. Available at www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html, 28-01-2019, 9.49am

Hasan, S.H. (2016). Scientific Learning Experiences for the Life through Learning. Paper presented at the Southeast Asia Teacher Education Association. Ho Chi min City, November 2016

Hasan, S.H. (2020). Kurikulum SMP sejak Zaman Konial Belanda sampai Masa Kini. Bandung: UPI Press

House of Common (2009). National Curriculum. Fourt Report of Session 2008-2009. Volume I. London: The Stationer Office

Jacobs, H.H. (Ed)(2010). Curriculum 21: Essential Education for a Changing World. Alexandria, Virginia: ASCD

Jorgensen, C. G. (2014).Social Studies Curriculum Migration: Confronting Challenges in the 21th Century, dalam Ross, E.W. (ed)(2014). The Social Studies Curriculum: Purposes, Problems, and Possibilities, 4th edition. New York: State University of New York

Kementerian pendidikan dan Kebudayaan (2014). Peta jalan Kurikulum 2013. Jakarta: kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Oliva, P. (1982) Developing the Curriculum. Boston,MA: Little, Brown

Onstein,A.C. dan Hunkins, F. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, Issues. London: Pearson Higher Education

35Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pinar, W.F. et al. (2014). Understanding Curriculum. New York : Peter Lang

Rotber, I.C. (2006). Assessment Around the World. Educational Leadership, VOL. 64 NO.3 – November 2006

Schuller, T. dan Watson, D. (2009). Learning Through Life. Inquiry into the Future For Lifelong Learning. Leicester: National Institute for Adult Continuing Education

Slattery, P. (2013). Curriculum Development in the Postmodern Era: Teaching and Learning in an Age of Accountability. New York: Routledge

Trilling, B. Dan Fadel, Ch. (2009). 21st Century Skills. Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass

Wagner, Tony. (2008). The Global Achievement Gap. New York: Basic Books. A Member of the Perseus Books Group

Wahyuddin, D. (2020). Politik Kurikulum. Bandung: Rosda

36 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ANALISIS KEBUTUHAN PENGEMBANGAN BLENDED LEARNING PADA PEMBELAJARAN IPA TERPADU DENGAN PENDEKATAN WISE

DI HOMESCHOOLING TAMAN SEKAR BANDUNG

Agus Tryanto1, Moch Sukardjo2, Eveline Siregar3

123Program Studi Teknologi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Indonesia 13220

E-mail : [email protected]

ABTRACT

This study aims to analyze a needs for the development of blended learning in science with the WISE approach in Homeschooling Tamansekar Bandung. The method used in the research is descriptive quantitative by distributing questionnaires to 15 students and open interviews for teachers and homeschooling staff at Tamansekar Bandung. The results of this study found that it is necessary to develop blended learning science with the WISE approach in Homeschooling Tamansekar Bandung. Improving the quality of learning can improve learning outcomes, good and appropriate learning methods and media can provide an increase in student learning outcomes. Through the use of appropriate learning methods for students in order to achieve learning objectives.

Keywords : blended learning, science, WISE approach, homeschooling

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan wadah bagi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi diri melalui proses pembelajaran. Peserta didik membangun pengetahuan secara aktif dan guru berusaha mengembangkan kompetensi peserta didik. Setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk membangun sistem pendidikan agar dapat terlaksananya pembelajaran dengan baik. Serta dapat menghasilkan lulusan yang dapat yang mampu memberikan perubahan yang lebih baik terhadap sebuah bangsa agar mampu bersaing dengan negara-negara lain yang telah maju dalam berbagai aspek kehidupan termasuk teknologi yang dimilikinya, untuk dapat bersaing dengan negara-negara tersebut, diperlukan sistem pendidikan yang baik yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkompeten dan berkualitas.

Berkembangnya zaman dari tahun ke tahun dapat dirasakan perbedaan dan perubahannya. Jika mencermati perubahan tersebut bisa kita ambil contoh fakta yang mengalami perubahan, di antaranya orang- orang pada zaman dahulu untuk berkomunikasi dalam keadaan jarak yang jauh hanya dapat menggunakan

37Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

cara surat menyurat secara langsung, namun sekarang orang-orang dapat menggunakan teknologi handphone untuk berkomunikasi dengan jarak yang jauh. Hal tersebut menunjukkan semakin hari semakin berkembangnya zaman dan terjadinya perubahan ke arah yang lebih maju dari sesuatu yang masih bersifat tradisional menjadi sesuatu yang lebih praktis dan instan, termasuk contoh penggunaan teknologi handphone tersebut di zaman sekarang sebagai bagian dari perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

Dalam jurnalnya Jo Tondeur et al. (Tondeur et al., 2011) mengemukakan bahwa “The fast development of information and communication technology (ICT) has brought about profound changes in the way we live and work, creating what is referred to as a ‘knowledge-based society’ “ . Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah membawa perkembangan zaman yang semakin maju dan semakin cepat dalam kehidupan manusia menuju arah yang serba praktis. Hal tersebut menjadi fokus perhatian setiap orang karena perkembangan teknologi yang terjadi, sangat berpengaruh pada cara hidup dan pekerjaan mereka setiap harinya.

Pemanfaatan TIK dalam dunia pendidikan masuk dalam pola dan interaksi pembelajaran. Berbagai model pembelajaran yang memanfaatkan TIK telah banyak dikembangkan. Berbagai model mulai bermunculan seperti e-learning, web-based learning, online learning, distance learning, dan juga Blended Learning. Model e-learning menjadi primadona dalam pemakaiannya.

Blended Learning mendukung peningkatan jangkauan ke peserta didik sambil menghubungkan tenaga kerja yang tersebar di seluruh dunia, bekerja secara virtual, dan terus-menerus dalam perjalanan. Selain itu, sumber daya pembelajaran campuran dapat diakses oleh peserta didik pada waktu dan tempat kenyamanan mereka, serta mengakomodasi individu dengan gangguan penglihatan, pendengaran, dan mobilitas. Dengan demikian, pembelajaran campuran membuat inisiatif pengembangan bakat yang lebih inklusif.

Blended Learning juga memungkinkan pembelajaran yang lebih otentik, dengan memungkinkan individu untuk belajar, mengingat, dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari kapan dan di mana mereka membutuhkan konten dan melakukan pekerjaan mereka. Pembelajaran Blended Learning, dan sumber daya terkait, menyediakan kemampuan untuk menciptakan jalur pembelajaran pribadi, memungkinkan individu untuk menilai kebutuhan mereka sendiri dan membuat keputusan tentang bagaimana dan apa yang harus dipelajari.

Penelitian yang dilakukan Helen Purwatiningsih (Purwatiningsih, 2014) pada jurnalnya menyebutkan dengan penggunaan Blended Learning meningkatkan hasil belajar ketika dibandingkan dengan direct learning pada mata pelajaran IPA pada tingkat SMP. Sejalan dengan penelitian yang

38 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dilakukan oleh Sudarman (Sudarman & Mulawarman, 2018) yang meneliti tentang Pengaruh Strategi Pembelajaran Blended Learning Terhadap Perolehan Belajar Konsep Dan Prosedur Pada Mahasiswa yang Memiliki Self-Regulated Learning Berbeda. Mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan perolehan belajar konsep statistik antara mahasiswa yang menggunakan strategi pembelajaran Blended Learning dan strategi pembelajaran tatap muka. Penggunaan strategi pembelajaran Blended Learning secara signifikan lebih baik daripada strategi pembelajaran tatap muka dalam memberikan perolehan belajar konsep statistik.

Blended learning yang memungkinkan terjadinya kegiatan pembelajaran yang mandiri, disuatu sisi masih diperlukan guru sebagai pengajar, disisi lain dengan blended learning membuat siswa belajar secara mandiri. Sejalan dengan Homeschooling yang lebih mengutamakan Pendidikan yang mandiri. Homeschooling menjadi alternatif pilihan pendidikan selain Pendidikan konvensional, dengan orang tua yang dapat berfungsi sebagai guru dan rumah yang menjadikan tempat unutk belajar (Tan, 2019). Homeschooling yang menjadi tujuan adalah Homeschooling Taman Sekar Bandung (HTSB) dengan konsep belajar di mana saja dan kapan saja menjadi relevan dengan apa yang menjadi kendala terhadap yang terjadi di dunia pendidikan khususnya pendidikan non formal.

Salah satu pendekatan dalam pembelajaran berbasis daring menggunakan Web-based Inquiry Science Environment (WISE). Menurut Linn (Linn et al., 2010) dengan menggunakan WISE memudahkan pelajar dalam belajar, mengembangkan ide, mengobservasi phenomena serta pemecahan masalah secara virtual dan daring. Lanjut Linn et.al. Bahwa WISE telah membantu para peneliti yang berorientasi pembelajaran inkuiri sain. Dengan demikian pembelajaran IPA atau sains akan sangat ditunjang pembelajarannya apabila memnggunakan pendekatan model WISE

Pada penelitian terdahulu, tingkat efektivitas pelaksanaan Blended Learning di SMK TI Udayana (Divayana, 2017) sudah berjalan dengan baik, diantaranya pada komponen system assessment diperoleh rata-rata tingkat efektivitas sebesar 86,7% sehingga termasuk tingkat efektivitas kategori tinggi, pada komponen program planning diperoleh rata-rata tingkat efektivitas sebesar 85,6% sehingga termasuk tingkat efektivitas kategori tinggi, pada komponen program implementation diperoleh rata-rata tingkat efektivitas sebesar 87,5% sehingga termasuk tingkat efektivitas kategori tinggi, pada komponen program improvement diperoleh rata-rata tingkat efektivitas sebesar 88,5% sehingga termasuk tingkat efektivitas kategori tinggi, dan pada komponen program certification diperoleh rata-rata tingkat efektivitas sebesar 88,9% sehingga termasuk tingkat efektivitas kategori tinggi

39Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jacqueline (O’Flaherty & Phillips, 2015) menyimpulkan bahwa penggunaan flipped classroom memiliki potensi yang memungkinkan guru untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan mandiri dalam diri siswa, membangun kapasitas untuk belajar sepanjang hayat dengan demikian dapat mempersiapkan lulusan masa depan untuk konteks tempat kerja mereka. dalam pencapaiannya diperlukan effort lebih untuk mengembangkan blended learning. Selain kebutuhan untuk memenuhi persyaratan teknologi, memutuskan konten terbaik untuk menyampaikan atau merancang set kelas yang menarik dan kegiatan online, ada juga kebutuhan besar untuk memantau dan melacak kegiatan online siswa.

Zacharis (Zacharis, 2015) menemukan bahwa tidak semua peserta didik yang mengikuti blended learning memiliki peluang lulus, dari penelitiannya beberapa siswa yang menggunakan blended learning dengan berbagai model yang diteliti terdapat siswa yang gagal mengikutinya. Oleh karena itu diperlukan pelatihan yang memadai dalam penggunaan platform online dan bagaimana mengintegrasikan alat dan metodologi online dalam pembelajaran harus tersedia bagi para profesional oleh lembaga mereka, dan kualitas internet yang memadai juga harus disediakan.

Pencapaian yang bagus juga didapatkan dari penelitian Agus I. Priono, (Priono et al., 2019) pencapaian hasil belajar siswa pada materi menggambar dua dimensi dengan menggunakan CAD setelah penerapan model Blended Learning menunjukkan hasil yang memuaskan. Model Blended Learning dapat meningkatkan pencapaian ketuntasan belajar.

Banyaknya kajian mengenai pembelajaran Blended Learning umumnya hanya berfokus pada pengembangan pembelajaran pada Pendidikan tinggi atapun sekolah formal. Pada pengembangan kali ini akan dilakukan di sekolah nonformal dan Pendidikan menengah. Blended Learning disebutkan dapat dilakukan pada siapa saja dengan memperhatikan kaidah kaidah pembelajaran. Seperti yang dikembangkan oleh Widyaningsih pada blended learning di SD. (Widyaningsih & Nugraheny, 2020), berdampak positif pada motivasi belajar siswa pada pembelajaran tematik di Sekolah Dasar.

Pemodelan WISE pada pelajaran IPA mendorong siswa lebih belajar mandiri dengan pendekatan inkuiri secara daring, pada dasarnya Homeschooling mengedepankan pembelajran mandiri yang tidak bertatapan langsung dengan guru. Sejalan dengan pernyataan Mustain (Mustain, 2013) Terjadi penikatan kemampuan interprestasi grafik dan membuat grafik pada konsep gerak dengan penggunaan WISE.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, (Wendhie Prayitno, 2015). Sudah banyak lembaga penyelenggara pendidikan dasar dan menengah dalam hal ini

40 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pendidikan jenjang SD hingga SMA/SMK yang telah menerapkan Blended Learning. Jika dilihat banyaknya lembaga penyelenggara pendidikan dasar dan menengah yang menerapkan Blended Learning, dapat dikatakan bahwa memang penerapan Blended Learning dalam homeschooling yang setara dengan Pendidikan dasar dan menengah sangat diperlukan atau dibutuhkan. Banyaknya penelitian blended learning yang mengkaji bagian online learning saja, penelitian ini akan berfokus pada model pembelajaran Blended Learning secara utuh, baik pembelajaran online dan pembelajaran tatap muka, dimana pembelajaran tatap muka menghasilkan strategi pembelajaran yang harus dilakukan dalam kelas sedangkan pembelajaran daring akan menghasilkan web course. Pada sisi pembelajaran online digunakan pendekatan WISE untuk menunjang pembelajaran yang berbasis ilmu pasti (sains) secara daring dalam hal ini peneliti berfokus pada pelajaran IPA Terpadu.

Berdasarkan paparan latar belakang masalah, maka fokus penelitian ini pada analisis kebutuhan pengembangan Blended Learning pada Mata Pelajaran IPA Terpadu dengan Pendekatan WISE di Homeschooling Taman Sekar Bandung. Dengan demikian rumusan masalah yang dirumuskan yaitu Bagaimana analisis kebutuhan untuk mengembangkan bahan Blended Learning pada Mata Pelajaran IPA Terpadu dengan Pendekatan WISE di Homeschooling Taman Sekar Bandung.

B. Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Pengumpulan data mengenai analisis kebutuhan model pengembangan pembelajaran blended learning ini, menggunakan pedoman berupa wawancara dan observasi.

Pertama, peneliti melakukan observasi Homeschooling Tamansekar Bandung. Observasi dilakukan untuk mengetahui sarana dan prasarana pembelajaran yang tersedia HTSB dan siswanya dirumah, serta metode pembelajaran yang sedang dan telah dilakukan di HTSB. Tahapan kedua, peneliti mencari informasi dengan membagikan kusioner dan pertanyaan terbuka terhadap siswa-siswa yang berada di HTSB. Mencari tahu metode pembelajaran yang sering digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi berupa ceramah dan diskusi. Selanjutnya, melihat ketersedian sarana sumber belajar, penelitian awal ini dilakukan untuk mencari tahu dukungan dan fasilitas agar pembelajaran yang akan di usulkan nanti dapat berjalan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di HTSB. Paparan diatas dirumuskan kedalam kisi-kisi kuisioner dan wawancara untuk pihak sekolah dan siswa sebagai berikut :

41Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kisi-kisi Instrumen Analisis Kebutuhan (Penyelenggara/ HTSB)

NO ASPEK INDIKATORUntuk sekolah

1 Konten pembelajaran

Urgensi pembelajaranKebutuhan multimedia dalam pembelajaranKebutuhan pembelajaran secara online

2 Desain pembelajaran

Cakupan peserta pembelajaranKomponen pembelajaran kolaboratifKemampuan pengelola sekolah

3 Fasilitator pembelajaran

Dukungan fasilitator terhadap pembelajaran online

4 Organisasi Dukungan HTSB terhadap pembelajaran onlineKeuntungan HTSB dengan adanya pembelajaran online

Untuk siswa5 Literasi komputer Komputer dan akses internet siswa

Kebutuhan pembelajaran6. Motivasi belajar Motivasi belajar siswa

Kesempatan belajar jarak jauh

C. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil

Penemuan observasi awal di HTSB dengan metode wawancara terbuka ditemukan bahwa pendidikan yang terjadi pada homeschooling dimana penggunaan online learning yang terbatas yang hanya berupa email dan video call, bahan ajar untuk menopang pembelajaran jarak jauh masih berupa bahan ajar yang konvensional yaitu bahan ajar yang digunakan untuk face-toface, penggunaan email dan vicall jarang dilakukan oleh para pengajar sedangkan fasilitas yang mendukung untuk lebih dari itu telah tersedia ketika dilihat fisik. Seperti yang disebutkan dalam kurikulum HSTSB juga memfasilitasi layanan pembelajaran jarak jauh dimana HSTSB akan menyediakan modul dan pada Mata Pelajaran IPA pembelajaran serta komunikasi dapat dilakukan dengan telefon dan email. Modul yang ditemukan dilapangan belum utuh dan diluar kaidah pembelajaran mandiri.

Kurikulum yang dipakai dalam Homeschooling Taman Sekar

42 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bandung (HTSB) ini mengacu pada peraturan menteri pendidikan nasional nomor 14 tahun 2007 tanggal 18 april 2007 standar isi untuk program paket A, program paket B, dan program paket C. Bagi anak berkebutuhan khusus, kurikulumnya perlu disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, karena hambatan dan kemampuan yang dimilikinya bervariasi. Penyesuaian kurikulum ini diimplementasikan dalam bentuk Program Pembelajaran Individualisasi (PPI). PPI merupakan program pembelajaran yang disusun sesuai kebutuhan individu dengan bobot mata pelajaran berbeda dari kelompok dalam kelas dan dilaksanakan dalam seting klasikal. Penyesuaian kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah yang terdiri dari: kepala sekolah, psikolog, tutor pendidikan khusus, orang tua, dan ahli lain sesuai kebutuhan.

Proses pembelajaran pada HSTSB menggunakan pendekatan yang lebih tematik, aktif, konstruktif dan kontekstual serta belajar mandiri melalui penekanan kepada kecakapan hidup dan keterampilan dalam memecahkan masalah. Pertemuan komunitas dilaksanakan dua kali seminggu selama tiga jam dalam sekali pertemuan dalam kelas kecil 6-10 orang per kelas untuk memaksimalkan penyerapan ilmu, selebihnya peserta HSTSB diberikan kebebasan untuk belajar secara mandiri di rumah. Dengan menggunakan metode tersebut, para homeschoolers bisa memanfaatkan waktu untuk menyesuaikan ritme aktivitas mereka dengan kegiatan belajar mengajar.Berdasarkan observasi awal silabus yang digunakan merupakan silabus kesetaraan untuk SD setara dengan silabus paket A, untuk SMP setara dengan paket B, dan untuk SMA setara dengan paket C.

Observasi awal yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 15 Siswa HTSB, didapatkan hasil kesimpulan bahwa 100% siswa menyatakan bahwa HTSB membutuhkan model pembelajaran yang bervariasi. 27,66% siswa merasa belum dapat memahami keseluruhan materi pembelajaran dengan model pembelajaran yang digunakan saat ini. Sebesar 93,62% siswa menyatakan membutuhkan model pembelajaran blended learning dalam pembelajaran. Blended learning pun dipandang akan memberikan dampak positif dalam proses pembelajaran dimana 91,49% siswa menyatakan hal tersebut. Hampir seluruh siswa (97,87%) merasa sangat antusias bila model blended learning dapat digunakan untuk melaksanakan pembelajaran di HTSB, hanya satu siswa (2,13%) yang menyatakan tidak setuju.

Sebelum observasi dilakukan, ada kekhawatiran model blended learning dirasa akan menjadi beban tambahan bagi siswa, akan tetapi hasil survei menyatakan 65,96% siswa meyakini pembelajaran blended learning tidak akan memberikan beban tambahan dalam pembelajaran. Begitupun

43Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dengan fasilitas dan akses terhadap internet. Berdasar hasil survei yang dilakukan, aksesibilitas terhadap internet telah dimiliki oleh sebanyak 82,98% siswa.

Secara khusus ketika ditanyakan mengenai Mata Pelajaran IPA yang dilakukan dalam pembelajaran secara konvensional, sebanyak 38,30% siswa merasa belum memahami materi, yang artinya diperlukan metode bervariasi dalam menyampaikan mata pelajaran tersebut. Model pembelajaran blended learning dinyatakan cocok oleh 85,11% siswa untuk digunakan dalam Mata Pelajaran IPA. Metode pendekatan pembelajaran khususnya pada Mata Pelajaran IPA masih konvensional, 87% siswa antusias dengan pendekatan pembelajaran WISE. 20% siswa menyatakan merasa tidak tertarik dengan pendekatan WISE

Terlepas dari respon yang didapatkan dari siswa, selama ini HTSB belum pernah menerapkan pembelajaran blended learning pada mata pelajaran IPA dengan pendekatan WISE. Oleh karena itu keberadaan pembelajaran secara blended learning ini diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar dan meningkatkan kompetensi para siswa HTSB.

b. Pembahasan

Pengembangan adalah suatu proses menciptakan sesuatu yang baru atau ditingkatkan. Sebagaimana dijelaskan oleh National Science Board dalam Research and Development: Essential Foundation for US. Competitiveness in a Global Economy yang dikutip oleh Nusa Putra, pengembangan didefinisikan sebagai aplikasi sistematis dari pengetahuan atau pemahaman, diarahkan pada produksi bahan yang bermanfaat, perangkat dan sistem atau metode, termasuk desain, pengembangan dan peningkatan prioritas serta proses baru untuk memenuhi persyaratan tertentu (Putra, 2011).

Mencermati penjelasan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sistematis untuk produksi bahan yang bermanfaat, perangkat dan sistem atau metode, termasuk desain, pengembangan dan peningkatan prioritas serta prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media, dan evaluasi. Pengembangan juga menjadi penghubung antara penelitian yang bersifat teoritis dan lapangan. Pada penelitian ini yang berupa penelitian pengembangan, maka diperlukan suatu model penelitian pengembangan blended learning dengan pendekatan WISE pada mata pelajran IPA di HTSB.

44 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Desain yang akan digunakan dalam pengembangan Blended Learning ini adalah model Flipped Learning dan Web Based Design. Kedua model dipilih karena kombinasi yang akan memberikan panduan langkah-langkah yang terperinci sesuai dengan fungsinya sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk yang layak dimanfaatkan. Model Fliiped Learning (Lee et al., 2017) digunakan dalam pengembangan strategi pembelajaran sedangkan model web based design (Jolliffe, 2001) digunakan karena langkah- langkah pengembangannya secara spesifik memberikan panduan dalam pengembangan bahan ajar dengan media online dengan menerapkan prinsip pendekatan WISE. Rancangan model pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan materi online pada mata pelajaran IPA terpadu di HTSB mengacu pada model pembelajaran Jolliffe, Ritter, dan Stevens. Untuk mempermudah proses penelitian dan pengembangan tidak semua langkah dari model Jolliffe ini diikuti, akan tetapi diambil bagian penting yang terkait dan sesuai dengan pengembangan Blended Learning pada Mata Pelajaran IPA Terpadu dengan Pendekatan WISE di HSTB, untuk merancang hal-hal yang dibutuhkan dalam mengembangkan pembelajaran blended learning. Pengembangan ini akan menggunakan model pengembangan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

Gambar Model Pengembangan Blended Learning

45Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Secara ekplisit dapat dilihat pada tabel berikut :

Tahapan Langkah HasilAnalisis Analisis Tujuan Data dan deskripsi

tujuan Analisis KontenAnalisis Kebutuhan siswaAnalisis Lingkungan, Teknologi dan Sumber BelajarAnalisis Alokasi Online dan Tatap Muka

Desain Desain Outline Konten Pembelajaran

Silabus

Desain Strategi Pembelajaran Pembagian daring dan tatap muka

Desain Aktivitas tatap muka Rancangan kegiatanDesain Aktivitas Online Orientasi onlineDesain Evaluasi Pembelajaran

Tes evaluasi

Prototip KurikulumMemilih Bahan atau sumber Belajar Online

Membuat dokumen informasi kegiatan web

Garis Besar Isi Media (GBIM)

Mengembangkan tujuan pembelajaranMenentukan panduan penilaianMenentukan strategi dan parameter penyampaianMenentukan strategi pembelajaran

Menentukan pendekatan desain

Mengembangkan halaman grafis antar muka dan template

Prototip produk

Mengembangkan Storyboard

Memasukkan semua materi pembelajaran

Evaluasi/Implementasi

Tabel Tahapan pengembangan Blended Learning

46 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Model pengembangan blended learning pada pembelajaran perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui kualitas dan kelayakannya. Uji coba model adalah bagian dari rangkaian validasi, evaluasi dan revisi yang akan dilakukan dengan uji ahli, uji coba satu-satu, uji coba terbatas dan uji coba efektifitas.

Jenis data yang akan didapatkan dalam pengembangan ini adalah kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif didapatkan dari tanggapan ahli media, desain, materi, dan siswa tentang produk yang dihasilkan, sedangkan data kuantitatif didapatkan dari angket dan hasil belajar. Indikator yang digunakan pada penelitian ini mengacu kepada Jolilffe et.al. Indikator hasil belajar siswa mengacu kepada small group serta angket evaluasi uji one on one Jolliffe et.al. (Jolliffe, 2001)

1. Uji ahli

Uji ahli yang terlibat yaitu ahli desain pembelajaran untuk memvalidasi dan mengevaluasi aspek pembelajaran, ahli materi untuk memvalidasi dan mengevaluasi materi pembelajaran yang dikembangkan yaitu media online dan ahli media untuk memvalidasi dan mengevaluasi tampilan media dan aksesibilitas program online learning yang dikembangkan.

Desain dan draft pertama Web Course dalam bentuk web yang berupa Bahan belajar diberikan kepada ahli. Hasil evaluasi dan validasi dari ahli , dijadikan panduan untuk melakukan perbaikan terhadap materi untuk Web Course yang dikembangkan. Terdapat beberapa aspek yang dievaluasi oleh ahli yaitu pembelajaran, Materi, Software dan Hardware, urutan, Penggunaan bahasa, tampilan Penyajian Media dan bahan. Setelah melakukan validasi, siap untuk dijadikan kedalam bentuk online yang disebut prototipe 2. Prototip 2 ini kemudian di validasi oleh ahli desain pembelajaran dan ahli media. Ahli desain pembelajaran mengevaluasi 3 yaitu aspek desain pembelajaran,

Aspek penyajian dan aspek evaluasi. Ahli media mengevaluasi aspek desain, aspek penyajian dan aspek petunjuk penggunaan. Untuk mendapatkan data informasi dari para ahli digunakan instrumen dalam bentuk skala nilai dan saran perbaikan (Djaali & Pudji, 2008).

47Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Skala Penilaian 4 3 2 1 Sesuai Cukup Sesuai Kurang Sesuai Tidak Sesuai Jelas Cukup Jelas Kurang Jelas Tidak Jelas Menarik Cukup Menarik Kurang Menarik Tidak Menarik Mudah Cukup Mudah Kurang Mudah Tidak Mudah Tepat Cukup Tepat Kurang Tepat Tidak Tepat

Tabel Kualifikasi skala penilaian instrumen validasi

Menurutt Sudjana (sudjana, 2002) hasil penilaian dari setiap ahli diambil rata dan dinterpretasikan dengan menggunakan kriteria berikut:

3,26 – 4,00 = sangat baik2,50 – 3,25 = baik 1,76 – 2,49 = Kurang baik1– 1,75 = Buruk

Indikator yang dikembangkan mengacu kepada komponen evaluasi Jolliffe et.al.. Untuk mendapatkan data informasi dari para ahli digunakan instrumen dalam bentuk skala sikap pada instrument terlampir. Penghitungan data tentang kelayakan dari setiap komponen dilakukan dengan menggunakan skor rata-rata dengan rumus (Arikunto, 2009):

Berdasarkan skor rata-rata yang didapatkan dari setiap komponen maka data dianalisis dengan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif. Untuk memudahkan interpretasi data disajikan dalam bentuk bagan atau tabel.

2. Uji Satu-satu

Uji coba terbatas akan dilakukan terhadap tiga orang siswa. Ketiga siswa dengan kemampuan yang berbeda. Siswa melakukan uji coba

48 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

penggunaan bahan belajar dan memberikan informasi berupa komentar, saran dengan mengisi angket dan wawancara terbuka dengan siswa untuk perbaikan bahan belajar. Uji coba satu-satu merupakan uji kelayakan produk yang bersifat empiris. Data angket diolah dengan skala penilaian yang telah ditentukan pada sebelumnya. Komentar dan saran dari uji coba terbatas menjadi dasar revisi model sebelum dilakukan uji coba pada tahap selanjutya.

3. Uji coba kelompok kecil

Uji coba kelompok kecil akan dilakukan kepada siswa dengan jumlah 10 siswa. Uji coba kelompok kecil setelah validasi dan revisi pada tahap sebelumnya (uji coba satu-satu). Pemberian angket dan saran masukan untuk perbaikan media. Penggunaan skala nilai digunakan untuk menganalisis angket yang data angket yang didapatkan. Angket digunakan untuk melihat kelayakan bahan ajar blended learning.

4. Uji coba lapangan

Uji coba lapangan akan dilakukan kepada siswa kelas 8 di HTSB yang belum menerima pemebelajaran materi IPA yang di teliti. Uji coba lapangan setelah validasi dan revisi pada tahap sebelumnya (uji coba kelompok kecil). Pada uji lapangan siswa diberikan tes sumatif untuk mengukur hasil belajar siswa setelah menggunakan blended learning. Test sumatif dilakukan setelah semua responden dari uji coba satu-satu maupun kelompok kecil mempelajari seluruh materi yang ada pada online course yang dikembangkan dengan jumlah butir soal yang dikembangkan melalui kisi-kisi soal.

Kegiatan test Sumatif berguna untuk mengetahui tingkat penguasaan materi peserta didik setelah mempelajari online course ini. Uji lapangan dilakukan untuk melihat efektifitas model blended learning yang dikembangkan.

4. Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis kebutuhan yang dilakukan Homeschooling Taman Sekar Bandung menyatakan bahwa perlunya dikembangkan sebuah metode pembelajaran yang dapat mengakomodir karakteristik siswa yang ada di HTSB dengan konsep belajar di mana saja dan kapan saja menjadi relevan dengan di kembangkan Blended Lerning. Melalui penggunaan metode pembelajaran yang tepat kepada siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran.

Rekomendasi saran perlunya dikembangkan pembelajaran blended

49Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

untuk setiap mata pelajaran sehingga dapat memudahkan proses pembelajaran. Hal penting yang selanjutnya baiknya memperhatikan kemampuan dalam menggunakan Blended Learning, baik bagi siswa maupun guru sebagai promotor pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2009). Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara.

Divayana, D. G. H. (2017). Evaluasi pelaksanaan blended learning di SMK TI Udayana menggunakan model CSE-UCLA. Jurnal Pendidikan Vokasi, 7(1), 64. https://doi.org/10.21831/jpv.v7i1.12687

Djaali, & Pudji, M. (2008). Pengukuran dalam bidang pendidikan. Grasindo.

Jolliffe, A. (2001). Jonathan Ritter dan David Stevents, The Online Learning Handbook: Developing and Using Web-Based-Learning. Kogan Page Limited.

Lee, J., Lim, C., & Kim, H. (2017). Development of an instructional design model for flipped learning in higher education. Educational Technology Research and Development, 65(2), 427–453. https://doi.org/10.1007/s11423-016-9502-1

Linn, M. C., Slotta, J. D., Terashima, H., Stone, E., & Madhok, K. (2010). Designing Science Instruction using the Web-based. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, 11(2), 1–23.

Mustain, I. (2013). Penggunaan WISE pada Pembelajaran Berbantuan Simulasi dalam Meningkatkan Kemampuan Interprestasi Grafik dan Keterampilan Membuat Grafik pada Konsep Gerak.

O’Flaherty, J., & Phillips, C. (2015). The use of flipped classrooms in higher education: A scoping review. Internet and Higher Education, 25, 85–95. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2015.02.002

Priono, A. I., Purnawan, P., & Komaro, M. (2019). Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Blended Learning Terhadap Hasil Belajar Menggambar 2 Dimensi Menggunakan Computer Aided Design. Journal of Mechanical Engineering Education, 5(2), 129. https://doi.org/10.17509/jmee.v5i2.15179

Purwatiningsih, H. (2014). Pengaruh Blended Learning Dan Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar IPA. JTP - Jurnal Teknologi Pendidikan, 16(2), 94–104. http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jtp/article/view/5407

50 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Putra, N. (2011). Research & Development: Penelitian dan Pengembangan: Suatu Pengantar. Rajawali Pers.

Sudarman, S., & Mulawarman, U. (2018). jurnal blended learning Pengaruh Strategi Pembelajaran Blended Learning Terhadap Perolehan Belajar Konsep Dan Prosedur Pada Mahasiswa Yang Memiliki Self-Regulated Learning Berbeda. March.

sudjana. (2002). Metode Statistika. tarsito.

Tan, M. H. (2019). Homeschooling in Singaporean Chinese families: beyond pedagogues and ideologues. Educational Studies, 00(00), 1–19. https://doi.org/10.1080/03055698.2019.1584850

Tondeur, J., Sinnaeve, I., van Houtte, M., & van Braak, J. (2011). Ict as cultural capital: The relationship between socioeconomic status and the computer-use profile of young people. New Media and Society, 13(1), 151–168. https://doi.org/10.1177/1461444810369245

Wendhie Prayitno, S. K. M. . (2015). Implementasi Blended Learning Dalam Pembelajaran. 14.

Widyaningsih, O., & Nugraheny, D. C. (2020). PENGEMBANGAN MODEL BLENDED LEARNING. January. https://doi.org/10.21009/JPD.0102.15

Zacharis, N. Z. (2015). A multivariate approach to predicting student outcomes in web-enabled blended learning courses. Internet and Higher Education, 27, 44–53. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2015.05.002

51Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PENGEMBANGAN KURIKULUM LEADERSHIP DAN ENTREPRENEURSHIP DI ISLAMIC BOARDING SCHOOL UNTUK

MENYIAPKAN GENERASI MASA DEPAN YANG BERKARAKTER DAN BERWAWASAN GLOBAL

Ahmad Fauzi Mulyana1*, Riche Cynthia Johan2, Mukhidin3

Curriculum Development, Indonesia University of Education Email: [email protected], [email protected], [email protected]

Abstrak

Islamic Boarding School is an educational institution that provides learning facilities and dormitories as a place for students to live to get guidance during outside school hours. Like as pesantren, boarding school is a form of renewal with more modern systems and facilities. The development of education trends in the future, encourages educational institutions such as Islamic boarding schools to continue updating and developing curriculum to prepare future generations of candidates who are able to compete globally. The purpose of this article is to examine the development of curriculum related to definitions, foundations, basic competencies, to teaching materials from the Leadership and Entrepreneurship curriculum at the Zamzam Syifa Boarding School.

One of the Islamic boarding schools in Depok, West Java. The research method used is a qualitative method with additional studies through literature studies. Curriculum development is important in order to create a future that is characterized and has a global perspective. The results showed that Zamzam Syifa Boarding School has developed a superior curriculum, namely leadership and entrepreneurship curriculum that can be applied in an educational institution to improve the future competence of students.

Keywords: curriculum development, entrepreneurship curriculum, islamic boarding schools, leadership curriculum

A. PENDAHULUAN

Islamic Boarding School (sekolah islam berasrama) merupakan sebuah lembaga pendidikan yang menyediakan fasilitas pembelajaran dan asrama sebagai tempat bermukim peserta didik untuk mendapatkan pembinaan selama di luar jam sekolah. Sama seperti halnya pesantren, boarding school merupakan wujud pembaharuannya dengan sistem dan fasilitas yang lebih modern. Pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri individu dan masyarakat menjadi beradab (Koesoema, 2007). Sementara ada juga yang mendefiniskan pendidikan sebagai proses yang bertujuan untuk

52 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mengubah suatu sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan agar menjadi manusia yang beradab dan berakhlak. (Syah, 2008).

Terdapat komponen-komponen untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, salah satunya yaitu kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan pendidikan yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan berserta staf pengajarnya (Nasution, 2008). Kurikulum dirancang untuk memberikan berbagai pengalaman kepada siswa, baik di dalam ataupun di luar kelas. Kurikulum tidak hanya identik dengan materi pelajaran, akan tetapi semua kegiatan yang dirancang sekolah untuk mengembangkan kapasitas diri siswa juga termasuk pada kurikulum.

Zamzam Syifa Boarding School merupakan salah satu Islamic Boarding School di Jawa Barat yang senantiasa terus mengembangkan pembelajaran peserta didiknya melalui pengembangan kurikulum terbarukan sesuai dengan perkembangan zaman dan tantangan dimasa yang akan datang. Zamzam Syifa Boarding School melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah menjadi solusi yang mengarah kepada permasalah-permasalahan utama yang selalu terjadi di indonesia. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, ada dua hal pokok yang menjadi masalah utama, yaitu di degradasi karakter kepemimpinan dan tingginya tingkat pengangguran pelajar kita dikarenakan kurang mampu bersaing dan menciptakan peluang lapangan kerja sendiri. Sebagai contoh, dekat-dekat ini baru saja kita mendapatkan informasi bahwa menteri sebagai perwakilan dan representatif pemimpin negeri ini banyak yang melakukan korupsi. Ironisnya, korupsi yang dilakukannya itu adalah dana yang seharusnya disalurkan untuk para rakyat yang sedang mengalami kesusahan dikarenakan situasi saat ini yang sedang pandemi wabah Covid-19. Selain itu, dampak wabah juga menyebabkan tingkat pengangguran di Indonesia naik tajam hingga 9,7 juta jiwa yang membuat Indonesia saat ini mengalami resesi (BPS, 2020).

Oleh karena itulah, lembaga Zamzam Syifa Boarding School merespon kebutuhan dan permasalah di Indonesia melalui pengembang kurikulum unggulannya yaitu kurikulum leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan). Kurikulum merupakan solusi dan jawaban dari permasalahan yang ada saat ini. Dengan menerapkan dan mengembangkan kurikulum yang berbeda pada umumnya dalam rangka untuk menyiapkan menjadi pemimpin dan pengusaha yang berkarakter dan berwawasan global. Penelitian dan penulisan artikel ini bertujuan mengungkapkan dan mengkaji pengembangan kurikulum yang di kembangkan di Zamzam Syifa Boarding School yang berkaitan dengan definisi, landasan, kompetensi dasar, hingga materi-materi ajar dari kurikulum leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan).

53Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. METODE

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan dikaji penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (Qualitative Research) dengan penambahan kajian melalui studi literatur. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2012, hlm. 3). Pengertian lain menyatakan bahwa “penelitian kualitatif adalah salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari” (Basrowi dan Suwandi, 2008, hlm. 1-2).

Sesuai dengan pernyataan tersebut maka penulis mengkaji bagaimana pengembangan kurikulum leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan) di Zamzam Syifa Boarding School dilakukan dan dapat terimplementasi sebagai proses pengembangan kurikulum. Adapun alasan penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara faktual dan rasional berdasarkan pengalaman sebagai basis ilmu pengetahuan dengan menghimpun fakta-fakta yang terjadi di lapangan dan menjadi sebuah data bagi penelitian ini.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara tidak langsung dan melakukan studi literatur terhadap pengembangan kurikulum di Zamzam Syifa Boarding School. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau Tanya jawab (D Satori dan A Komariah, 2010, hlm. 130). Sedangkan studi literatur menurut menurut Danial dan Wasriah (2009, hlm.80) adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet, yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian. Buku tersebut dianggap sebagai sumber data yang akan diolah dan dianalisis seperti banyak dilakukan oleh ahli sejarah, sastra dan bahasa.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Zamzam Syifa Boarding School

Zamzam Syifa Boarding School merupakan sebuah sekolah islam bilingual berasrama yang mengembangkan model pendidikan terintegrasi yang memadukan pengembangan akhlak, ilmu pengetahuan, karakter, dan potensi diri dengan mengusung nilai-nilai islami dan berwawasan global. Selain pengetahuan umum, sekolah ini juga mengajarkan secara intensif pendidikan

54 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

agama, pemahaman Al-Qur’an, bahasa Arab dan bahasa Inggris yang menjadi bahasa sehari-hari siswa disamping Bahasa Indonesia. Sekolah ini memiliki visi “Lembaga Pendidikan Islam Unggul Berstandar Internasional dalam Menyiapkan Pemimpin dan Pengusaha yang Religius, Berkarakter dan Berwawasan Global”. Sementara untuk Misi nya sebagai berikut.

1. Mengembangkan Tata Kelola Lembaga yang Berstandar Internasional.2. Melahirkan Lulusan Berkarakter Pemimpin dan Pengusaha yang Religius

dan Berwawasan Global.3. Mengembangkan Kurikulum yang Mengintegrasikan Kurikulum

Akademik, Karakter, dan Entrepreneurship dengan Nilai-Nilai Islam.4. Membangun Pusat dan Sumber Belajar yang Inovatif untuk Proses

Percepatan Transformasi Ilmu Pengetahuan.5. Membangun Tenaga Pendidik dan Kependidikan Profesional yang Sejahtera

Berstandar Internasional.6. Menciptakan Lingkungan Lembaga Pendidikan sebagai Sarana Tarbiyah

Islamiyah.7. Menjalin Kerjasama Sinergis dengan Stakeholder

Tujuan pendidikan di Zamzam Syifa Boarding School adalah mencetak pemimpin dan pengusaha yang religius, berkarakter, dan berwawasan global. Sementara untuk kurikulumnya terdiri dari empat bagian, yang tertera pada tabel di bawah.

Tabel 1Bagan Kurikulum Zamzam Syifa Boarding School

KURIKULUM KEISLAMAN

KURIKULUM KEPESANTRENAN

Al-quran Tahfidz & Tahsin, Tafsir Quran & Ulum Quran, Hadits & Ulum Hadits, Aqidah, Bahasa Arab, Fiqih, Siroh Nabawiyah, Adab dan Akhlaq, Tarikh peradaban Islam, Bahasa Arab

KURIKULUM KEASRAMAAN (KARAKTER)

Pembinaan Life Skills, Character Building, Thibun Nabawi, Babershop, menyulam, merajut, menjahit

KURIKULUM AKADEMIK(Nasional &

Internasional)

Kurikulum Nasional (Diknas, K13)

Kurikulum K13 adalah kurikulum yang berlaku dalam Sistem Pendidikan Indonesia. Kurikulum ini merupakan kurikulum tetap diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum-2006 (yang sering disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang telah berlaku selama kurang lebih 6 tahun.

55Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kurikulum Internasional( Cambridge)

Kurikulum Cambridge atau Cambridge International adalah bagian dari penyedia kualifikasi kurikulum internasional yang telah diujikan ke 1000 sekolah di 160 negara termasuk Indonesia. Sesuai namanya kurikulum tersebut adalah bagian dari organisasi non profit Cambridge Assesment, Universitas Cambridge Inggris.

KURIKULUM KEPEMIMPINAN

( Leadership )

1. Karakteristik Kepemimpinan (dasar-dasar kepemimpinan, pengertian berbagai konsep kepemimpinan, contoh-contoh model kepemimpinan)

2. Personality (konsep diri, mengenal diri hingga orang lain)3. Time Management (manajemen waktu)4. Kemandirian5. Tanggung Jawab (di mulai dari diri sendiri, lingkungan,

negara (sekolah), empati, awarness )6. Design Plan and Development Programe (Mind Mapping,

Life Mapping, Action Plan)7. Problem Solving8. Decision Making9. Komunikasi Efektif (public speaking, negosiasi, debat)10. Manajemen dan Organisasi (EO)11. Team Work

KURIKULUM KEWIRAUSAHAWAN

( Entrepreneurship )

Mental Entrepreunership

1. Karakter Rasulullah SAW sebagai Entrepreneur sejati

2. Dasar-dasar ilmu entrepreneur sesuai dengan tuntunan syariat islam

3. Karakter pebisnis Sukses di jaman Rasulullah dan para sahabat

4. Adab, etika, dan akhlak entrepreneur muslim

5. Mental dan habbit seorang entrepreneur

6. Strategi Sukses Bisnis Rasulullah7. Mengembangkan semangat

berwirausaha

Basic Entrepreunership

1. What is a start up Company? Startup Ovierview*

2. How to build a start up (Success story from CEO’s Start up)*

3. Learn Start up France Works*4. How to find Business idea*

56 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Entrepreunership in Action

1. Building Prototype*2. Validating Solution*3. Building Team*4. All about legal document for

Company*5. Financial Projection (Feasibility

Study)*6. Pitching your idea to your

investor*7. Networking and Business ethics*

Kurikulum Zamzam Syifa Boarding School dikembangkan berdasarkan tren pendidikan dan kebutuhan masyarakat lokal dan dunia saat ini dan yang akan datang. Pengembangan kurikulum Zamzam Syifa merupakan perpaduan antara kurikulum nasional dan kurikulum kekhasan sekolah, kurikulum khas tersebut adalah kurikulum leadership & Entrepreneurship, keislaman dan Internasional (cambrige) (science, math, and english). Perpaduan tersebut diyakini akan mampu melahirkan generasi-generasi islam yang memiliki kemampuan dalam bidang leadership & Entrepreneurship yang religius dan berwawasan global karena dipadukan dengan kurikulum cambrige dan kurikulum keislaman.

Implementasi kurikulum khas dilakukan secara integrasi (integrated curriculum). Dimana implementasinya satu pokok bahasan adalah terpadu, memberi kesempatan pada peserta didik untuk belajar kelompok dan individu, memberdayakan masyarakat sebagai sumber belajar, baik masyarakat lokal maupun dunia, bahan pelajaran dalam kurikulum ini akan bermanfaat secara fungsional serta dalam pembelajarannya akan dapat membentuk kemampuan siswa secara proses maupun produk. Bahan pelajaran aktual sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat, maupun siswa sebagai individu yang utuh, sehingga bahan pelajaran yang dipelajari selalu sesuai dengan bakat, minat dan potensi siswa yang diterapkan selama 24 jam setiap hari dari sistem sekolah boarding school yang diberlakukan. Persentase implementasi kurikulum leadership & entrepreneurship yang disempurnakan dengan kurikulum keislaman antara praktik & teori pada tingkat SMP dan SMA adalah sebagai berikut:

57Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel. 2Persentase implementasi kurikulum leadership dan entrepreneurship

JENIS TINGKATAN KELAS PERSENTASE TEORI & PRAKTIK

SMP

Teori Praktik

VII 60 % 40 %

VIII 50 % 50 %

IX 40 % 60 %

SMA

X 40 % 60 %

XI 30 % 70 %

XII 20 % 80 %

Tabel. 3Perbandingan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) antara

Permendikbud dan Zamzam Syifa

SKL PERMENDIKBUD SKL ZAMZAM SYIFA BOARDING SCHOOL

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN/

MUWASHOFAT

Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

Religius 1. Menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim yang bertaqwa

2. Memiliki Aqidah yang kuat3. Melaksanakan ibadah-ibadah sunah4. Mengamalkan do’a dan zikir harian5. Memiliki adab tata krama kepada

pribadi, teman, orang tua, guru dan masyarakat

6. Berpenampilan sesuai dengan ajaran Islam

7. Meningkatkan Kualitas ruhyah, ibadah dan akhlaq

8. Memiliki jiwa tasamuh (toleransi) dalam beragama

58 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

SKL PERMENDIKBUD SKL ZAMZAM SYIFA BOARDING SCHOOL

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN/

MUWASHOFATPengetahuan Memiliki

pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.

Intelektual 1. Mengetahui dasar dasar ilmu keislaman

2. Tidak terpengaruh dengan pemikiran yang merusak ajaran Islam

3. Memiliki kepekaan terhadap masalah dunia Islam

4. Menyadari betapa bahayanya semua rencana untuk menghancurkan generasi islam

5. Memiliki nilai akademik yang kompetitif ke jenjang berikutnya

6. Hafal minimal 3-5 Juz Al-Quran7. Hafal hadits – hadits pilihan8. Memiliki pengetahuan lanjutan

bahasa Arab dan Inggris9. Memiliki kemampuan menulis

Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.

Leadership

(Berkarakter Pemimpin)

1. Mampu menjadi Pemimpin2. Memiliki kemampuan public

speaking yang baik3. Memiliki jiwa yang visioner4. Mampu berbuat adil terhadap diri

sendiri dan orang lain5. Memiliki integritas yang tinggi6. Bertanggung jawab atas segala hal7. Memiliki rasa percaya diri yang

tinggi8. Mampu membangun hubungan

sosial yang baik di masyarakat9. Moderat dan disiplin10. Menghormati dan tsiqoh kepada

pembina11. Menghormati kerja kolektif di

sekolah dan lingkungannya12. Terlatih menjadi pembina/ mentor13. Memiliki kepekaan sosial terhadap

lingkungannya14. Memiliki kesiapan untuk berjuang

dan berkorban15. Memiliki dasar dasar Life skill

59Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

SKL PERMENDIKBUD SKL ZAMZAM SYIFA BOARDING SCHOOL

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN

DIMENSIKUALIFIKASI KEMAMPUAN/

MUWASHOFATEntrepreneur- ship

(Berkarakter Pengusaha)

1. Memiliki karakter kreatif, dan inovatif

2. Mampu melihat peluang bisnis3. Memiliki sifat pekerja keras dan

disiplin4. Memiliki ilmu dasar-dasar

berbisnis5. Memiliki kemampuan mengatur

waktu secara efektif6. Mengusai ilmu-ilmu digital

marketing7. Social Enterprise

Pengembangan Kurikulum Leadership (kepemimpinan)Definisi

Kurikulum Leadership adalah sebuah perangkat kurikulum pembelajaran yang berfocus dalam melatih dan mengembangkan karakter jati diri peserta didik sebagai seorang pemimpin serta mempelajari skill-skills untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal. Kurikulum Leadership ini menjadi rujukan dalam menalankan kegiatan-kegiatan murid dalam upaya menyiapkan dan mengembangkan potensi kepemimpinan murid di Zamzam Syifa

TujuanMemperkokoh jati diri peserta didik sesuai dengan fitrahnya (sebagai

pemimpin) berlandaskan Al-quran dan As-sunah yang siap memimpin dari tingkat lokal hingga ke tingkat global

Kompetensi Inti (KI) & Kompetensi Dasar (KD)Kompetensi Sikap Spiritual yang mencakup menghargai dan dan menghayati

ajaran agama yang dianut, dan kompetensi sikap sosial yaitu mencakup perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif, sebagai bagian dari solusi atas berbagai masalah dalam berinteraktif secara efektif dalam lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cermin bangsa dalam pergaulan dunia. Kedua kompetensi dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching) pada pembelajaran. Kompetensi Pengetahuan dan Kompetensi Keterampilan melalui keteladanan,

60 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik konten/ materi serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter murid lebih lanjut. Berikut salah satu contoh KI & KD SMP pada aspek kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan.

Tabel. 4KI & KD Kurikulum Leadership SMP kelas IX

KI-3 (Pengetahuan) KI-4 (Keterampilan)

3. Memahami, mengembangkan, menganalisis, dan membangun berdasarkan pengetahuan factual, konseptual, dan procedural sesuai dengan karakteristik kepemimpinan islami yang mampu memecahkan masalah/problem solving, strategi perencanaan & pengembangan program, making decision, transparansi, pendalam konten kepemimpinan

4. Menunjukkan, Menyajikan, Menggabungkan, Melaksanakan survei, membandingkan dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang teori kepemimpinan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah

Kompensi Dasar Kompetensi Dasar

3.1 Memahami berbagai masalah dan cara penyelesaiannya yang berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah (C2)

3.2 Memahami strategi perencanaan dan pengembangan program dalam memimpin (C2)

3.3 Menganalisis strategi dalam membuat keputusan (C4)

3.4 Memahami pentingnya pemimpin yang transparan (C2)

3.5 Mengembangkan seluruh konten kepemimpinan yang meliputi problem solving, pengantar strategi perencanaan & pengembangan program, making decision, dan transparansi (C6)

4.1. Melaksanakan survey berbagai masalah hingga menjadi sebuah solusi dan ide berdasarkan Al-Qur’an & Sunnah

4.2. Menunjukkan strategi perencanaan dan pengembangan program dalam memimpin

4.3. Menunjukkan strategi dalam membuat keputusan.

4.4 Menunjukkan pentingnya pemimpin yang transparan

4.5 Menggabungkan seluruh konten kepemimpinan yang meliputi problem solving, pengantar strategi perencanaan & pengembangan program, making decision, dan transparansi

61Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Materi pokokTabel 5

Rincian materi pokok kurikulum leadership SMP & SMA Zamzam Syifa Boading School

Tingkat Kelas Materi Pokok Semester I Semester 2

SMP VII 1. Kepemimpinan2. Pengantar kepemimpinan

islami (Berdasarkan Al-Qur;an & Sunnah)

3. Kepemimpinan Rasulullah & sahabat

4. Pemimpin yang adil Adil5. Pemimpin yang Jujur6. Pemimpin yang peduliu

Peduli terhadap sesama7. Pemimpin yang Disiplin 8. Pemimpin yang Tegas9. Pemimpin yang Vision10. Etka kepemimpinan 11. Pemimpin yang Kesabaran12. Pemimpin yang Berpikir

kritis13. Pemimpin yang Percaya diri14. Pemimpin yang focus Fokus

No. 1-7 No. 8-14

VIII 1. Inspirasi/Ide2. Pengantar komunikasi 3. Teamwork / Working with

groups4. Understanding one-self and

others5. Getting along with others6. Tanggung jawab7. Learning to learn8. Pengantar managemen

No. 1-4 No. 5-8

IX 1. Problem solving2. Pengantar strategi

perencanaan & pengembangan program

3. Making decision4. Transparansi5. Pendalaman konten

kepemimpinan (melakukan analisa, diskusi, telaah dari semua sifat kepemimpinan yang sudah dipelajari)

No. 1-4 No. 5

- Diskusi perkelompok setiap kali pertemuan

- mengundang/mendatangi pemimpin (tokoh) untuk diskusi ttg kepemimpinan

62 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tingkat Kelas Materi Pokok Semester I Semester 2

X 1. Kepemimpinan islami (berdasarkan Al-Quran & sunnah)

2. Kepemimpinan Rasulullah & sahabat

3. Kepemimpinan yang SATF (shiddiq, amanah, tabligh, fathonah)

4. Communicating5. Team work /Working with

groups lanjutan6. Strategi perencanaan dan

pengembangan program lanjutan

7. Kerja ICT (ikhlas, cerdas, tuntas)

8. Problem solving lanjutan9. Passion 10. Management

No. 1-5 No. 6-10

XI 1. Integritas dalam Kepemimpinan

2. Influnce3. Support4. Contribution5. Kolaborasi6. Tangguh & otentik7. Implementasi DBT

(Disiplin, Berani, Tangguh)8. Clarity (kejelasan) & Agility

(Kelincahan)9. Kreatif10. Sistem pemerintahan

Nasional & Internasional11. Tokoh-tokoh pemimpin

dunia12. Administrasi organisasi

No.1-6 No.7-11

XII 1. Awareness2. Implementasi ITJ (Ikhlas,

Jujur, Tawadhu)3. Implementasi akhlak mulia4. Inovast5. Tokoh-tokoh pemimpin

milenia6. Tokoh-tokoh pemimpin

islam 7. Menjadi muslim negarawan8. Pendalam konten

kepemimpinan (melakukan analisa, diskusi, telaah dari semua sifat kepemimpinan yang sudah dipelajari)

No. 1-5 No. 6

- Diskusi perkelompok setiap kali pertemuan

- Mengundang/ mendatangi pemimpin (tokoh) untuk diskusi kepemimpinan.

63Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengembangan Kurikulum Entrepreneurship (kewirausahaan)

H. Definisi

Kurikulum Entrepreneurship adalah sebuah perangkat kurikulum pembelajaran yang berfocus dalam melatih dan mengembangkan karakter seorang pengusaha kepada peserta didik serta mempelajari skill-skills berbisnis secara praktis, sesuai dengan perkembangan bisnis saat ini, agar peserta didik mampu jeli dan terbiasa dalam melihat sebuah peluang di masa depan. Kurikulum Entrepreneurship ini menjadi rujukan dalam menalankan kegiatan-kegiatan murid dalam upaya menyiapkan dan mengembangkan potensi kewirausahaan murid di Zamzam Syifa.

I. Tujuan

Menanamkan serta menumbuhkan karakter dan skills seorang pengusaha yang dermawan, dan berlandaskan nilai-nilai islam sesuai yang di contohkan para tokoh islam dan entrepreneur dunia

J. Kompetensi dasar

Kompetensi Sikap Spiritual yang mencakup menghargai dan dan menghayati ajaran agama yang dianut, dan kompetensi sikap sosial yaitu mencakup perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif, sebagai bagian dari solusi atas berbagai masalah dalam berinteraktif secara efektif dalam lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai cermin bangsa dalam pergaulan dunia. Kedua kompetensi dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching) pada pembelajaran.

Kompetensi Pengetahuan dan Kompetensi Keterampilan melalui keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik konten/ materi serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter murid lebih lanjut. Berikut salah satu contoh KI & KD SMA pada aspek kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan.

64 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel. 6KI & KD Kurikulum Entrepreneurship SMA kelas XI

KI-3 (Knowledge) KI-4 (Skill)3. Memahami, menerapkan, menganalisis,

menentukan, pengetahuan factual, konseptual, dan procedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang Karakteristik seorang wirausaha islami, khususnya pada masa Rasulullah dan para sahabat, strategi perencanaan dan pengembangan bisnis, dan problem solving, Understanding one-self and others, Communicating, Getting along with others, Learning to learn, Making decision, Managing, Working with groups, Goal Oriented, Social Impact Oriented.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang di lihat, dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori kewirausahaan

Kompensi Dasar Kompetensi Dasar3.2 Memahami konsep permodalan bisnis

serta penerapan system pencatatan keuangan secara praktis

3.3 Memahami konsep marketing secara keseluruhan dalam berbisnis

3.4 Menelaah dan menerapkan konsep Bisnis Model Canvas (BMC) terhadap bisnis yang akan dijalankan

3.5 Memahami konsep proses produksi sebagai kunci dari kualitas produksi dari sebuah bisnis

3.6 Memahami aspek-aspek penting dalam legalitas bisnis yang diperlukan untuk mendirikan sebuah badan bisnis

4.3 Menyajikan konsep marketing secara menyeluruh dalam berbisnis

4.4 Menerapkan bisnis model canvas (BMC) terhadap bisnis yang akan di jalankan

4.5 mengkomunikasi dasar-dasar konsep proses produksi sebagai kunci dari kualitas sebuah bisnis

4.6 menggambarkan langkah-langkah penting yang perlu disiapkan dalam legalitas bisnis untuk mendiriakn suatu badan bisnis

Materi PokokTabel 7

Rincian materi pokok kurikulum Entrepreneurship SMP & SMA Zamzam Syifa Boading School

Tingkat Kelas Materi Pokok Semester I Semester 2

SMP VII 1. Pengantar kewirausahaan islami (Berdasarkan Al-Qur;an & Sunnah).

2. Kewirusahaan Rasulullah & sahabat.

3. Karakter Rasullah dalam berbisnis.

4. Cara sukses Rasulullah dalam menjalankan bisnis Rasulullah

No. 1-5 No. 6-10

65Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tingkat Kelas Materi Pokok Semester I Semester 2

5. Karakter para Sahabat yang sukses berbisnis

6. Adab, etika, dan akhlak seorang entrepreneur muslim.

7. Strategi Sukses Rasulullah dalam berbisnis

8. Tokoh-tokoh wirausaha nasional9. Tokoh-tokoh wirausaha

internasional10. Sifat, karakter, dan mental seorang

entrepreneur sejati

VIII 1. Konsep dasar. kewirausahaan.2. People Management3. konsep dasar manajemen memulai

sebuah usaha.4. Aspek unit dalam dunia usaha.5. Peluang usaha di masa sekarang.6. Membuat proposal usaha

sederhana7. Tehnik presentasi proposal

(Comunication Skills)8. Negotiation Skill

No. 1-3 No. 4-6

IX 1. Starting bisnis2. 5 tangga bisnis3. Pemasaran sederhana suatu

produk4. Profiting5. SMART Target6. Selling Skill7. Selling completion8. Pesta Wirausaha Zamzam

No. 1-3 No. 4-7

X 1. Basic Entreprenuer2. Fundamental Bisnis3. USP4. Market segmentation5. Core competency in

Entrepreneurship6. Basic Courtesy in Business 7. Creative Thinking8. Digital marketing9. Sociopreneur10. People Management11. Personal branding strategy12. Financial literacy

No. 1-6 No. 7-11

66 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tingkat Kelas Materi Pokok Semester I Semester 2

XI 1. Barang dan Jasa2. Bisnis Model Canvas3. Creating and Developing Bisnis

Plan4. Membangun system bisnis5. Aspek legal Bisnis6. Simple accounting for business7. Marketing Mix8. Permodalan9. Product Branding10. Retail management11. Proses produksi (Manpower,

Machine, Method, Materials)12. Project Business Management13. Protoype Bisnis14. Implementasi Bisnis

No.1-7 No.8-14

XII 1. CEO Class2. Inkubasi Bisnis3. Pesta Wirausaha Zamzam

No. 1-3

K. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan dan pengkajian tentang pengembangan kurikulum leadership dan entrepreneurhsip di zamzam syifa boarding school untuk menyiapkan generasi masa depan yang siap bersaing secara global, dapat di simpulkan bahwa kurikulum leadership merupakan kurikulum pembelajaran yang berfocus dalam melatih dan mengembangkan karakter jati diri peserta didik sebagai seorang pemimpin serta mempelajari skill-skills untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal. Kurikulum ini memiliki tujuan memperkokoh jati diri peserta didik sesuai dengan fitrahnya (sebagai pemimpin) berlandaskan Al-quran dan As-sunah yang siap memimpin dari tingkat lokal hingga ke tingkat global, sementara itu kurikulum entrepreneurship merupakan kurikulum pembelajaran yang berfocus dalam melatih dan mengembangkan karakter seorang pengusaha kepada peserta didik serta mempelajari skill-skills berbisnis secara praktis, sesuai dengan perkembangan bisnis saat ini, agar peserta didik mampu jeli dan terbiasa dalam melihat sebuah peluang di masa depan. Kurikulum ini bertujuan untuk menanamkan serta menumbuhkan karakter dan skills seorang pengusaha yang dermawan, dan berlandaskan nilai-nilai islam sesuai yang di contohkan para tokoh islam dan entrepreneur dunia.

Berbagai kompetensi dan materi pokok yang di rancang bertujuan untuk mencetak peserta didik di zamzam syifa menjadi seorang pemimpin dan pengusaha yang religius, berkarakter dan berwawasan global. Zamzam Syifa Boarding School membuktikan bahwa telah mampu mengembangkan sebuah kurikulum yang di rancang untuk siap menghadapi perkembangan dan persaingan global di masa depan.

67Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dari hasil pengkajian ini, diharapkan pengembangan kurikulum di berbagai institusi lembaga pendidikan Indonesia semakin berkembang dan terpacu untuk mempersiapkan para generasi emas Indonesia menghadapi persaiangan tingkat global. Dengan berfocus pada tren perkembangan pendidikan di masa depan, kompetensi-kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh para peserta didik kita mampu terus tumbuh dan berkembang lebih baik lagi dari sebelumnya, hingga mampu mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik untuk dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia dan mampu bermanfaat banyak untuk masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi & Ubhiyati. 2007. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Amirudin. (2015). MODEL KURIKULUM KEPEMIMPINAN : (Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum dalam Membentuk Karakter Kepemimpinan Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Husnul Khatimah Sumenep). Jurnal Pendidikan Islam. [Online]. Dapat di akses di : http:// digilib.uinsby.ac.id

Basrowi dan Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Danial, E dan Wasriah, N. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboratorium PPKn Universitas Pendidikan Indonesia

Dian, Kurniati. 2020. Jumlah pengangguran di Indonesia. [Online]. Tersedia: https://news.ddtc.co.id/duh-jumlah-pengangguran-bertambah-ini-data-terbaru-bps-25295?page_y=1000 Diakses pada [12 Desember 2020]

Dwi, Murdaningsih. (2016). Penyebab degradasi moral bangsa. [Online]. Tersedia: https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/16/07/22/oapg0j368-lima-faktor-penyebab-degradasi-moral-bangsa Diakses pada [12 Desember 2020]

Koesoema, Dani A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern. Jakarta: Grasindo

Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 28

Mutia, Fauziah. (2020). Indonesia Resesi. [Online]. Tersedia: https://money.kompas.com/read/2020/11/05/141654326/indonesia-resesi-jumlah-pengangguran-

68 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

naik-jadi-977-juta-orang Diakses pada [12 Desember 2020]

Nasution, S. 2008. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara

Nurdin, Syafrudin dan Adriantoni. (2019). Kurikulum dan Pembelajaran, Edisi Kedua. Depok: Rajawali Pers.

Parta, Setiawan. (2020). Pengertian Kurikulum. [Online]. Tersedia di:https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-kurikulum/. Diakses pada [12 Desember 2020]

Saputra, Nata Yudha. 2011. Pengembangan Kurikulum Kewirausahaan di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal pendidikan dan kebudayaan Vol. 17 no. 5 2011

Satori, D dan Komariah, A. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Solichin, Mujianto dan Hasanah, Alvianti Nur. (2017). Manajemen Kepemimpinan Kurikulum di Madrasah Tsanawiyah Al-Hidayah Budug Tugusumberejo Peterongan Jombang. Jurnal Pendidikan Islam (E-ISSN: 2550-1038), Vol. 1, No. 2, Desember 2017, Hal. 176-199.

Sudhana, Nana. 2005. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Jakarta: Sinar Baru Algensindo.

Tim Kurikulum Zamzam Syifa Boarding Scool. 2018. Dokumen Kurikulum Khas Zamzam Syifa Boarding School. Depok : Jawa Barat

Tim Kurikulum Zamzam Syifa Boarding Scool. 2018. Dokumen Kurikulum Leadership Zamzam Syifa Boarding School. Depok : Jawa Barat

Tim Kurikulum Zamzam Syifa Boarding Scool. 2018. Dokumen Kurikulum Entrepreneurship Zamzam Syifa Boarding School. Depok : Jawa Barat

Wahyuni, Fitri. (2015). Kurikulum Dari Masa Ke Masa (Telaah Atas Pentahapan Kurikulum Pendidikan di Indonesia). Jurnal Al-Adabiya, 10 (2), 231-242.

Wekke, Ismail Suardi. (2012). PESANTREN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

KEWIRAUSAHAAN: Kajian Pesantren Roudahtul Khuffadz Sorong Papua Barat. Jurnal INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 6, No. 2, Desember 2012: 205-226 207

Ylimaki, Rose. (2011). Curriculum Leadership in a Conservative Era. Educational Administration Quarterly 2012 48: 304. [Online]. Dapat diakses di http://eaq.sagepub.com/content/48/2/304

69Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Evaluation of SDG’s (Sustainable Development Goals) Value Implementation on Curriculum During Covid 19 Pandemic

at SMP Cendekia Muda Bandung

Annisa Fitri*, Yuni Hoeruni2

*Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)2 SMP Cendekia Muda

[email protected], [email protected]

Abstrak

The Countenance evaluation model is used to evaluate the planning, learning, and learning outcomes stages. The antecedent component in the implementation of the distance learning curriculum has things that need to be improved, namely the preparation of learning steps must be adjusted to the situation and conditions of distance learning (different from conditions at school). Furthermore, in the transaction component, as many as 81% of students were sufficiently disciplined and actively participated in learning, but there were still obstacles in using the latest features to participate in distance learning. The outcome component shows the results of distance learning in students and the response of parents to distance learning by implementing health values in the curriculum. This evaluation is carried out by researchers as well as teachers who participate in distance learning. In the future, it would be better if researchers continue this research within a wider scope of research subjects.

Kata kunci: antecedent, countenance, transaction, outcome

A. Pendahuluan

Kondisi pandemi virus saat ini memberikan gambaran tentang tantangan yang akan dihadapi siswa di masa depan. Kurang dari setengah populasi global dilindungi oleh layanan kesehatan esensial (PBB, 2017). Kini sudah saatnya menginfusi nilai-nilai SDG tentang kesehatan dan kesejahteraan manusia ke dalam kurikulum. Pengembang kurikulum harus berupaya untuk menganalisis kebutuhan kompetensi siswa yang akan digunakan di masa depan, salah satunya adalah upaya menjaga kesehatan.

Evaluasi implementasi kurikulum dengan menerapkan nilai-nilai SDG dilakukan untuk mengidentifikasi kendala dan kelemahan yang ada, khususnya dalam metode pembelajaran jarak jauh. Identifikasi kendala yang terjadi sangat diperlukan sebelum pengembang kurikulum menganalisis lebih lanjut kebutuhan kurikulum di masa yang akan datang.

70 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Ada tiga pertanyaan penting yang harus dijawab termasuk; (1) Bagaimana tahap awal atau kesiapan implementasi nilai SDG dalam kurikulum termasuk kesiapan RPP dan infrastruktur? (2) Bagaimana tahapan proses penerapan nilai-nilai SDG dalam kurikulum ketika pandemi Covid19 meliputi proses pembelajaran? (3) Bagaimana hasil penerapan nilai-nilai SDG terintegrasi selama pandemi Covid19 yang meliputi pencapaian kompetensi pada siswa sebagai hasil belajar, dan respon orang tua sebagai mitra kolaboratif pembelajaran di rumah.

Penerapan konten SDG dalam pembelajaran dirasa efektif dalam mengubah perilaku masyarakat umum (Donoghue, 2013). Memasukkan nilai-nilai SDG khususnya tentang kesehatan dan kesejahteraan berdampak positif pada pemahaman siswa di sekolah. Metode pembelajaran eksperiensial digunakan di beberapa negara dalam memasukkan tujuan pembangunan berkelanjutan di lingkungan sekolah. Nilai SDG cenderung dominan dalam pembelajaran IPA di sekolah, sedangkan kegiatan dan program sekolah belum mengoptimalkan indikator SDG. Padahal, ranah keterampilan (muatan SDG) siswa akan lebih terasah melalui kegiatan fisik yang dilakukan di sekolah (Capelo, 2013). Berdasarkan penelitian Hazaa (2011), pemasukan nilai-nilai SDG ke dalam kurikulum memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata pada siswa laki-laki dan perempuan. Namun nilai keterampilan siswa perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan siswa laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan SDG di bidang lingkungan dan kesehatan dapat diterapkan di semua gender.

Worthen & Sanders, 1987, dalam Wood, (2001, p.19) mengemukakan bahwa Stake menciptakan kerangka evaluasi untuk membantu evaluator dalam mengumpulkan, mengatur, dan menafsirkan data kuantitatif dan kualitatif. Inti dari kegiatan evaluasi adalah proses dihasilkannya informasi sebagai alternatif keputusan. Tahapan evaluasi Stake yang relevan adalah Input (Antecedent), Proses (Transaction), dan Produk (Outcomes). Gambaran Outcome model Stake adalah dampak dari pelaksanaan program pembelajaran. Hal yang menarik pada evaluasi ini terletak pada perbedaan antara deskripsi tindakan dan keputusan yang sesuai dengan program pendidikan pada antecedent, transaction dan outcomes (Popham 1993, dalam Wood, 2001, p.19). Berdasarkan hal tersebut, keuntungan evaluasi model countenance stake adalah penilaiannya didasarkan atas program pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru serta memiliki potensi besar untuk memperoleh pengalaman dan teori terhadap program pembelajaran yang dievaluasi.

71Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Studi observasi lapangan merupakan pilihan peneliti dengan fokus menyelidiki setiap komponen evaluasi kurikulum model Countenance Stake yang terdiri dari tahapan anteseden, transaksi, dan hasil. Model ini dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Said Hamid Hassan adalah metode campuran antara analisis kuantitatif dan kemudian analisis kualitatif.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan angket yang dibagikan kepada 168 siswa (terpisah kelas putra dan putri) dan orang tua siswa SMP Cendekia Muda, serta lembar evaluasi harian guru. Semua pengumpulan data dilakukan secara online (jarak jauh), dengan memanfaatkan fitur dan aplikasi di Google Drive.

Penelitian ini berfokus pada 3 tahapan sesuai dengan model Countenance Stake, dengan kriteria dan indikator antara lain:

1. Kesiapan RPP, serta sarana dan prasarana bagi guru dan siswa.2. Proses pembelajaran selama kurang lebih 3 minggu dari tanggal 16 Maret

hingga 7 April, dan penilaian pembelajaran.3. Hasil belajar pencapaian kompetensi siswa dan tanggapan orang tua siswa.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Tahap Kesiapan Implementasi (antecedent)

Kesiapan implementasi kurikulum pada pembelajaran jarak jauh tentu sangat dipengaruhi oleh faktor kesiapan administrasi dan sarana prasarana milik individu di rumah. Jika pembelajaran dilakukan disekolah, sarana dan prasarana sudah dikondisikan dengan optimal oleh pihak sekolah. Hal yang berbeda pada pembelajaran jarak jauh adalah ketergantungan pada kesiapan sarana milik individu guru dan siswa di rumah. Di SMP Cendekia Muda seluruh guru sudah memiliki gadget dan koneksi internet. Selain itu seluruh guru telah mendapatkan pelatihan blended learning sehingga cukup membantu kesiapan menghadapi pembelajaran jarak jauh.

Selain kesiapan sarana dan prasarana, maka kesiapan rencana pembelajaran juga adalah faktor penentu keberhasilan implementasi kurikulum. Di situasi pandemik, Kemendikbud menghimbau sekolah menghadirkan pembelajaran kontekstual berkaitan dengan Covid19. Melalui arahan dari Dinas Pendidikan Kota Bandung pada bulan Maret 2020, maka SMP Cendekia Muda menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) kontekstual Covid 19 dengan mengolaborasikan beberapa konten mata pelajaran yaitu, IPA, PAIBP, PKN, dan IPS. Jika digambarkan dalam

72 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sebuah struktur maka integrasi dilakukan dengan menggunakan model dari Forgaty yaitu Webbed Model.

Gambar 1. Kurikulum Terintegrasi Covid 19

Gambaran evaluasi pada komponen RPP dijelaskan melalui Countenance Matrix. Beberapa hal yang menjadi catatan adalah RPP ini dibuat oleh tim pengembang kurikulum sekolah, sehingga guru yang belum menjadi tim pengembang kurikulum disini belum ikut menuangkan ide dalam pembuatan RPP, padahal seluruh guru diharuskan ikut terlibat dalam pembelajaran langsung dengan siswa. Berikut penjelasan komponen Antecedent untuk menjelaskan gambaran analisis terhadap RPP;

Tabel 2. Countenance Matrix Komponen Antecedent

Description Matrix Judgement Matrix

Intens Observation Standard Judgements

RPP kolaborasi dibuat khusus sesuai dengan arahan Kemendikbud terkait pembelajaran jarak jauh saat Pandemi Covid 19

RPP dibuat bersama oleh tim pengembang kurikulum. Sehingga masing-masing guru belum memiliki peran penuh dalam

Komponen RPP berdasarkan Standar Proses Pembelajaran meliputi:1) Identitas sekolah; 2) Identitas mata pelajaran; 3) materi pokok; 4) alokasi waktu; 5) tujuan pembelajaran yang

dirumuskan berdasarkan KD; 6) kompetensi dasar dan indicator

pencapaian kompetensi;

RPP kolaborasi yang dibuat sudah sesuai dengan Permendikbud No 65 tahun 2013. Akan tetapi langkah-langkah pembelajaran yang dirancang masih belum

73Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Description Matrix Judgement Matrix

Intens Observation Standard Judgements

pembuatan RPP. Hal ini dikarenakan situasi pandemi yang menuntut adanya pembelajaran kontekstual dalam waktu singkat.

7) materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan;

8) metode pembelajaran yang digunakan pendidik guna mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik;

9) media pembelajaran guna membantu proses menyampaikan materi pelajaran;

10) sumber belajar dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan ;

11) langkahlangkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup;

12) penilaian hasil pembelajaran

sesuai dengan situasi dan kondisi pembelajaran jarak jauh.

2. Tahap Pembelajaran (transaction)

Proses pembelajaran diawali dengan penjelasan berbasis proyek terintegrasi dengan judul “Covid 19”. Siswa dan orang tua dibekali panduan pembelajaran jarak jauh dengan tema ini, dikarenakan situasi dan kondisi wabah Covid19 serta instruksi Kemendikbud untuk memberikan pembelajaran kontekstual. Indikator keaktifan siswa dilihat dari ketepatan waktu saat absensi pagi dan ketepatan waktu saat pengumpulan tugas. Berdasarkan lembar evaluasi harian seluruh guru didapatkan data sebagai berikut:

74 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sebanyak 20 siswa konsisten terlambat hadir dalam pembelajaran. Ketika ditanyakan alasannya maka mayoritas menjawab belum siap belajar, dan baru bangun tidur, adapun jawaban lainnya adalah jaringan internet yang tidak stabil atau gangguan pada gawai. Pembelajaran jarak jauh membutuhkan kerjasama orang tua untuk membantu persiapan siswa sebelum belajar online. Jika dibandingkan saat pembelajaran di lakukan di sekolah, siswa cenderung lebih disiplin karena suasana belajar yang kondusif serta ada faktor kehadiran teman-teman disekitarnya.

Pengumpulan tugas saat PJJ bersifat lebih fleksibel dengan memberikan batas waktu yang lebih lama 1-2 hari dibanding saat belajar di sekolah. Sifat fleksibel ini memberikan dua pengaruh berbeda pada siswa. Ada siswa yang menjadi lebih santai dan sulit mengatur waktu untuk mengerjakan tugas, dan ada siswa yang menjadi lebih disiplin untuk mengelola waktu. Masih ada sekitar 13 siswa atau 8% dari jumlah total siswa yang terlambat mengumpulkan tugas. Ada beberapa alasan yang muncul atas keterlambatan mengumpulkan tugas diantaranya, (1) belum memahami materi yang disampaikan dan isi instruksi tugas, (2) kesulitan dalam mengunggah tugas pada fitur aplikasi atau web, dan (3) lupa batas waktu pengumpulan tugas. Hal menarik yang ditemukan adalah kemampuan siswa dalam mengoperasikan komputer sangat dibutuhkan selama proses PJJ ini. Dalam pengumpulan tugas, guru membuat ruang sendiri dengan memanfaatkan fitur di google, mulai dari classroom, dan drive. Beberapa siswa masih butuh bimbingan khusus untuk menggunakan fitur-fitur diatas. Implikasi dari alasan tersebut adalah sekolah sebaiknya sudah mempersiapkan panduan pembelajaran jarak jauh mulai dari teknik mengoperasikan fitur-fitur terkini, penjelasan konten tugas dalam bentuk variatif seperti video agar siswa lebih paham, serta membuat jadwal tugas untuk mengingatkan siswa.

3. Tahap Hasil Pembelajaran (Outcome)

Pencapaian indikator kompetensi menunjukkan keluaran yang dihasilkan dari proses implementasi kurikulum selama pandemi Covid19. Orang tua dilibatkan karena saat pembelajaran jarak jauh orang tua menjadi eksekutor proses pembelajaran di rumah, sedangkan guru memiliki keterbatasan untuk memastikan lingkungan belajar di rumah siswa sudah kondusif atau belum.

Siswa diberikan pertanyaan setelah melalui proses pembelajaran jarak jauh bersama guru. Pertanyaan ini disusun menggunakan google form sebagai media teknologi untuk membantu guru mengevaluasi siswa. Setiap siswa baik kelas 7, 8 , dan 9 mendapatkan konten pembelajaran yang sama dan evaluasi yang sama. Seharusnya setiap jenjang kelas memiliki

75Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kekhususan dalam konten pembelajarannya. Akan tetapi, dikarenakan waktu yang sempit dan pandemi covid19 yang datang tiba-tiba tanpa terprediksi sejak awal membuat guru harus menyusun pembelajaran kontekstual dalam waktu singkat.

Orang tua siswa merupakan kolaborator terdekat guru selama implementasi kurikulum dilakukan. Pada pembelajaran jarak jauh, peran orang tua bergeser menjadi pengontrol utama di dekat siswa selama pembelajaran. Sehingga, orang tua juga diberikan kuisioner khusus sebagai bentuk evaluasi dari rumah dengan menggunakan media google form.

Penilaian dilakukan dengan pendekatan self regulated learning, siswa diajak mengevaluasi diri untuk kompetensi pengetahuan dan keterampilan. Aspek sikap tidak dapat diukur dalam waktu singkat sehingga fokus penilaian hanya pada dua ranah diatas. Ada 6 pertanyaan untuk penilaian ranah pengetahuan diantaranya:

a. Apakah siswa dapat menjelaskan apa itu virus Corona?b. Apakah siswa dapat menjelaskan asal mula virus Corona?c. Apakah siswa dapat mengidentifikasi gejala virus Corona?d. Apakah siswa dapat mendeskripsikan perilaku yang dapat menyebarkan

virus?e. Apakah siswa dapat menganalisis upaya pencegahan virus Corona?f. Apakah siswa mampu menyebutkan protokol penanganan virus

Corona?

Berikut grafik pencapaian kompetensi pengetahuan yang dicapai selama pembelajaran jarak jauh.

Kompetensi pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa memang seputar Covid 19 dengan pendekatan beberapa mata pelajaran. Sebanyak 52 siswa dinilai cukup paham dan mencapai kompetensi yang diharapkan dengan nilai sedang (70-85), 6 siswa dinilai belum mencapai kompetensi yang diharapkan dengan rentang nilai (40-69) , dan 110 siswa

76 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sudah mencapai nilai 86-100. Enam siswa yang belum mencapai standar semuanya adalah perempuan. Hal ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam. Komposisi penilaian salah satunya adalah skor yang diberikan orang tua, dan kemampuan siswa menilai diri sendiri. Siswa perempuan cenderung merasa dirinya ‘kurang’ dalam mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Sedangkan sebagian besar yang mencapai nilai tinggi adalah siswa laki-laki, ketika ditanyakan mereka cenderung lebih percaya bahwa diri mereka sudah mencapai standar yang diharapkan bahkan lebih. Alasan mengapa komposisi penilaian yang digunakan melibatkan siswa dan orang tua, dikarenakan keterlibatan guru dianggap lebih jauh daripada keterlibatan orang tua yang membimbing di rumah. Selain itu konsep teori belajar ‘perbedaan individu’ kami gunakan selama PJJ sebagai bentuk menerima bahwa lingkungan belajar, situasi, serta potensi siswa untuk menerima pembelajaran ini berbeda-beda.

Penilaian kompetensi keterampilan berfokus pada menjaga kebersihan dan kesehatan diri. Ada 5 indikator kompetensi keterampilan selama pandemi Covid 19, diantaranya:

1. Siswa rutin menggosok gigi dan mandi 2 kali sehari2. Siswa rutin olahraga dan berjemur selama 30 menit dalam sehari3. Siswa makan makanan bergizi4. Siswa ikut membersihkan rumah dan lingkungan sekitar5. Siswa rutin mencuci tangan dan menggunakan masker saat keluar

rumahBerikut grafik pencapaian kompetensi keterampilan yang dicapai selama pembelajaran jarak jauh.

Indikator dengan jumlah tertinggi siswa yang memenuhi standar ada pada poin ke 3 yakni makan makanan bergizi. Siswa diharapkan memiliki keterampilan dalam memilah makanan yang baik bagi tubuhnya dalam rangka meningkatkan imunitas untuk melawan penyakit. Pada poin tersebut mayoritas siswa sudah memahami dan memiliki kebiasaan

77Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang baik. Sedangkan, indikator yang memiliki jumlah terendah siswa konsisten ada pada poin ‘rutin olahraga dan berjemur selama 30 menit sehari.’ Pembelajaran jarak jauh mengindikasikan kurangnya aktivitas fisik bagi siswa. Siswa cenderung lebih banyak duduk dan berbaring karena suasana rumah yang nyaman. Hal ini merupakan poin yang perlu dicari jalan keluarnya, bagaimana siswa bisa termotivasi untuk bergerak, dan berolahraga walaupun dari dalam rumah.

4. Respon Orang Tua Siswa

Sebanyak 160 orang tua siswa memberikan opini mereka tentang pembelajaran jarak jauh ini. Hampir 85% orang tua siswa merespon positif implementasi pembelajarn yang terintegrasi. Menurut mereka, pembelajaran yang terintegrasi membantu meringankan beban siswa dalam pembelajaran dan manfaat pembelajaran terasa langsung pada siswa. Namun di lain sisi, sekitar 15% orang tua siswa memberikan tanggapan bahwa pembelajaran kontekstual Covid 19 dapat menambah rasa takut dan was-was bagi siswa jika tidak disampaikan dengan baik oleh guru.

Keaktifan orang tua dalam mengakses evaluasi harian siswa dari rumah juga menjadi bahan analisis bagi peneliti. Sebanyak 53% orang tua siswa memiliki kesadaran sendiri untuk mengisi evaluasi harian melalui media google form. Hal ini mengindikasikan respon keaktifan orang tua cukup positif, dan antuasiasme dalam penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh cukup baik. Sekitar 47% orang tua siswa harus diingatkan terlebih dahulu oleh guru dalam mengisi evaluasi harian siswa. Ketika ditanyakan alasan para orang tua terlambat mengisi, sebagian besar mengatakan bahwa proses pembelajaran jarak jauh cukup menyita fokus orang tua, sedangkan jumlah anak mereka rata-rata lebih dari satu, serta mereka juga harus mengerjakan beban tugas work form home.

E. Kesimpulan dan Saran

Komponen antecedent dalam implementasi kurikulum terintegrasi pembelajaran jarak jauh memiliki hal yang perlu diperbaiki yaitu penyusunan langkah-langkah pembelajaran harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran jarak jauh (beda dengan kondisi di sekolah). Selanjutnya pada komponen transaction, sebanyak 81% siswa sudah cukup disiplin dan aktif mengikuti pembelajaran, namun masih ada kendala dalam menggunakan fitur-fitur terkini untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Komponen outcome menunjukkan hasil pembelajaran jarak jauh pada siswa dan respon orang tua terhadap pembelajaran jarak jauh dengan kurikulum terintegrasi Covid19. Pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan sudah menunjukkan

78 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

hasil yang baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah perilaku hidup sehat siswa selama di rumah, dikarenakan sebagian besar siswa tidak rutin berjemur dan berolahraga di masa pandemik ini.

Evaluasi ini dilakukan oleh peneliti sekaligus guru yang ikut berpartisipasi dalam pembelajaran jarak jauh. Kedepannya akan lebih baik jika peneliti merupakan pihak eksternal di luar sekolah, sehingga kelebihan model countenance akan tercapai secara optimal. Akan tetapi, berkaitan dengan situasi dan kondisi yang sulit saat ini, maka peneliti membutuhkan evaluasi walaupun berperan sebagai pihak internal. Peneliti berusaha untuk menganalisis seobjektif mungkin sesuai dengan data kuantitatif di lapangan.

Daftar Pustaka

Abrory, Mizan., Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Pada Pembelajaran Matematika SMP Negeri Kelas VII di Kabupaten Sleman., Jurnal Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta., (2014), pp. 60-70.

Aidrina., Sustainable development e-learning and Web 3.0, Journal of information, communication, and ethics in society Vol.12 No.3, (2014), pp 157-176.

Ali, Mohammad., Curriculum Development of Sustainability Education, UPI Press Bandung., (2017).

Carlos, Rafael., Higher education for sustainable development at EARTH University, International Journal of Sustainability in Higher Education Vol.18No.3, (2017), pp 278-293.

César, Tapia., Education for Sustainable Development in Higher Education Institutions: Its Influence on the Pro-Sustainability Orientation of Mexican Students, SAGE Open (2017), pp 1-15.

Donoghue, Rob., RCE Makana : Towards a Change Practices Approach to Enhance Sustainable Livehoods in Makana. Innovation in Local and Global Learning Systems for Sustainability: Towards More Sustainable Consumption and Production Systems and Sustainable Livelihoods, Education for Sustainable Development. UNU-IAS, Yokohama, Japan. (2013), pp. 28-33.

Forgaty., The Mindful School: How to integrate the curricula, IL: Skylight Publishing, Inc, 1991.

Hasan, Said Hamid., Evaluasi Kurikulum, PT. Remaja Rosdakarya., (2009).

Lukum, Astin., Evaluasi Program Pembelajaran IPA SMP Menggunakan Model Countenance Stake, Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. (2015), pp. 1-10.

79Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pradhan, M., and Mariam, A., The global universities partnership on environment and sustainability (GUPES) : Networking of higher educational institutions in facilitating implementation of the UN decade of education for sustainable development 2005 – 2014, Journal of Education for Sustainable Development, 8: 2, (2014), pp. 171 – 175.

Stake, R E.., Forward technology for the evaluation of educational programs. In R W Tyler, R M Gagne, & M Scriven. (Eds). Perpectives of curriculum evaluation., Chicago: Rand McNally., (1967), pp. 1-12.

Wahyudin, Dinn., Peace Education Curriculum in The Context of Education for Sustainable Development, Journal of Sustainable Development and Research (2018), pp. 21-32.

Wood, B.B., Stake’s Countenance Model: Evaluating an Environmental Education Proffesional Development Course. The Journal of Environmental Education., (2001), pp. 18-27.

80 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PENERAPAN ONE-ON-ONE COMMUNICATION SEBAGAI BENTUK PROBLEM-BASED LEARNING PEMBAHARUAN PEMBELAJARAN

DARING DI TK VITA SURABAYA

Asri PrasetyaningsihSTITNU Al Hikmah [email protected]

ABSTRAK

Dalam menerapkan sebuah peraturan yang disepakati bersama tentang materi pembelajaran yang akan diterima oleh anak harus memenuhi standar kurikulum sesuai kompetensi yang akan dicapai dengan keterlibatan orang tua dalam mengawal putra-putrinya menjadi lebih pro-aktif dan “melek” informasi dari sekolah. Melalui pembelajaran daring yang difasilitasi oleh TK Vita Surabaya melalui aplikasi One-On-One Communication sebagai bentuk membangun komunikasi aktif dan positif baik kepada orang tua dan utamanya anak didik yang terlihat mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran daring. Ngalimun (2013: 90) juga menyatakan bahwa Problem-based learning fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut.

Kajian menggunakan metode penelitian yang dipaparkan oleh Boghdan & Biklen, 1975 menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan sikap orang-orang yang diamati berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya di TK Vita Surabaya.

Pada akhir pembahasan, akan diuraikan bagaimana model Problem–Based Learning dengan penggunaan aplikasi One-On-One Communication mampu memfasilitasi orang tua dan anak dalam menjawab beberapa kendala yang dihadapi TK Vita Surabaya.

Kata Kunci: One-On-One Communication, Problem-Based Learning, Pembaharuan Pembelajaran Daring

ABSTRACT

In implementing a mutually agreed regulation regarding learning materials that will be received by children, they must meet curriculum standards according to the competencies that will be achieved with the involvement of parents in escorting their children to be more pro-active and “literate” of information from schools. Through online learning facilitated by TK Vita through the One-On-One Communication

81Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

application as a form of building active and positive communication both to parents and especially students who seem to have problems in participating in online learning. Ngalimun (2013: 90) also states that problem-based learning focuses on the selected problem so that learners not only learn concepts related to problems but scientific methods to solve these problems.

The study used the research method described by Boghdan & Biklen, 1975, which states that qualitative research is a procedure that produces descriptive data in the form of words or writings and the attitudes of the people being observed based on visible facts or what they are in TK Vita Surabaya.

At the end of the discussion, we will describe how the Problem-Based Learning model using the One-On-One Communication application is able to facilitate parents and children in answering some of the obstacles faced by TK Vita Surabaya.

Keyword: One-On-One Communication, Problem-Based Learning, On-line Learning Updates

A. PENDAHULUAN

Pemberian kegiatan bermain anak dalam pembelajaran daring di TK Vita Surabaya tampaknya dilakukan dengan memanfaatkan media online berupa whatshapp, facebook, zoom meeting, google meet sehingga semua data yang telah diperoleh guru berdasarkan input dari orang tua, akan dianalisis dan dievaluasi guru sesuai dengan kompetensi dasar dan aspek perkembangan anak itu sendiri sehingga menghasilkan data evaluasi peerkembangan otentik yang dibutuhkan guru dan orang tua dalam menganalisa ketercapaian pertumbuhan dan perkembangan putra-putrinya secara maksimal. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kesiapan guru, kurikulum yang sesuai, ketersediaan sumber belajar, serta dukungan piranti dan jaringan yang stabil sehingga komunikasi antar anak didik dan guru dapat efektif berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu hendaknya guru PAUD segera melengkapi 4 kompetensi pendidik agar tidak terjadi kendala-kendala yang berarti yaitu

1. Kemampuan teknologi informasi yang dimiliki guru sendiri juga sangat minim sehingga butuh pendidikan yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari baik secara otodidak ataupun belajar bersama dengan Komunitas Guru

2. Komunikasi dan kerja sama orang tua yang memang tidak dipersiapkan untuk menjadi pendidik di rumah tentunya membutuhkan keahlian yang menguras tenaga dan pikiran dalam mendampingi putraputrinya di rumah melalui sosialisasi cara-cara pembelajaran on-line yang diterapkan oleh lembaga pendidikan

82 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Kemampuan atau Kompetensi Paedagogik guru dituntut untuk lebih mendalami bagaimana penguasaan 6 aspek bidang pengembangan anak ini dapat dituangkan ke dalam pembelajaran daring anak dengan rancangan kegiatan bermain yang menarik dan tidak membosankan beserta penyampaian SOP yang lengkap kepada Orang tua.

4. Kerjasama Yayasan dan Stake Holder yang ada di lembaga PAUD tersebut memberikan wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana guru memberikan materi dan kegiatan bermain anak pada sebuah pembelajaran daring supaya dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan disampaikan kepada orang tua dan anak itu sendiri.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan sejak awal tentang aturan pembelajaran jarak jauh melalui surat edaran nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam masa darurat penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19). Pengertian pembelajaran itu sendiri telah tertuang dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menegaskan bagi kalangan pendidik yang saat Ini masih memberikan pelajaran secara daring harus memperhatikan Pedoman Belajar Di Rumah (BDR). Pedoman BDR itu, menurut Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BHKM) Kemendikbud Evy Mulyani berdasarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah (BDR) dalam masa darurat penyebaran Covid-19, yaitu pelaksanaan BDR adalah suatu bentuk pemenuhan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk covid-19, mencegah penyebaran dan penularan covid-19 di satuan pendidikan serta memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, siswa, dan orang tua/wali.

Hal inipun rupanya dipahami oleh semua guru PAUD yang ada di TK Vita Surabaya bahwa pembelajaran daring yang dilaksanakan di rumah atau yang disebut BDR (Belajar Dari Rumah) merupakan sebuah tantangan dan tanggung jawab yang baru dan berat yang menyertakan segenap tenaga dan pemikiran yang sangat kompleks yang harus dipecahkan bersama antara Kepala sekolah beserta Stakeholder yang ada di lembaga tersebut. Tentunya keterlibatan Yayasan pun menjadi suatu pemecahan yang sangat afdol dalam menjalankan roda pendidikan di lembaga tersebut. Pembelajaran on line dengan aplikasi Zoom dan WA menjadi efektif dalam pemilihan pembelajaran daring yang dibutuhkan agar lebih meningkatkan pengetahuan dan semangat dalam hal pembelajaran secara online guru-guru TK VITA Surabaya.

83Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Di beberapa lembaga pendidikan TK yang ada di Surabaya khususnya yang bernaung dalam lembaga berbasis christian seperti TK Petra, TK Gloria, TK Mawar Sharon, TK Vita dan banyak lagi lainnya, dalam menggunakan pembelajaran daring on line tentunya banyak menemukan berbagai permasalahan yang dialami guru dalam menangani aktivitas anak dalam memahami pembelajaran yang disajikan guru. Penggunaan aplikasi di Zoom dan Google Classroom baik aplikasi breakout yaitu ruang yang diperuntukkan guru dalam menangani berbagai kesulitan anak didik dan seesaw yaitu tempat materi dan pembelajaran yang dipersiapkan guru untuk mendiskusikan pembelajaran oleh orang tua dan dilaksanakan anak pada pembelajaran hari itu. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan lembaga PAUD di masa pandemi covid-19 memang dibutuhkan sekali oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebagai bentuk membangun komunikasi aktif dan positif baik kepada orang tua dan anak didik yang terlihat mengalami kendala dalam mengikuti pembelajaran daring. Oleh sebab itu guru sebagai fasilitator tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman mengajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan kegiatan bermain anak dalam pemecahan masalah yang dialami orang tua dan anak dalam menumbuhkan pola berpikir kritis dan cepat.

Dalam menerapkan model Problem-Based Learning diharapkan guru mampu meningkatkan pemahaman dalam menerapkan sebuah aplikasi Zoom yaitu ruang One-On-One Communication dalam mengatasi berbagai masalah dalam memperoleh hasil belajar anak sesuai dengan rancangan kegiatan bermain guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Tampaknya pembelajaran daring yang difasilitasi oleh TK Vita Surabaya juga dapat dipergunakan orang tua dalam memahami bahwa semua kegiatan yang difasilitasi guru memiliki makna, jalinan kerjasama guru dengan orangtua harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki anak dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan. dengan mengaktifkan seluruh panca indera melalui penjelasan tentang langkah-langkah apa saja yang dipandu oleh guru agar anak dapat belajar di rumah. Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya harus mampu memberikan evaluasi pertumbuhan dan perkembangan anak melalui beberapa video yang dikirimkan oleh orang tua dan hasil wawancara sehingga hakikat belajar dapat dipahami oleh mereka bahwa belajar tidak hanya dilaksanakan di sekolah tetapi dapat dilaksanakan dimana saja termasuk di rumah.

Penggunaan aplikasi yang ada di fitur-fitur HP ataupun LapTop yaitu berupa WhatsApp Group dan Google Classroom dan aplikasi Zoom digunakan lembaga ini dalam menyampaikan materi kepada anak dan orang tua, sehingga

84 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

penggunaan WhatsApp Group dan Zoom merupakan pembelajaran yang mudah dan fleksibel yang dapat diberikan kepada orang tua sehingga menjadi pilihan favorite di kalangan lembaga PAUD. Aplikasi Zoom ini juga menyediakan berbagai fitur untuk melengkapi pembelajaran guru TK Vita sebagai pilihan media penghubung antara guru, anak, dan orangtua, meskipun kondisi berbatas jarak, ruang dan waktu. Fitur pada WhatsApp Group dapat digunakan dalam pembelajaran anak PAUD di masa pandemi COVID-19, seperti fitur pesan teks, pesan suara, panggilan video, menerima dan mengirim gambar, video dan dokumen file (Hutami & Nugraheni, 2020). Pembaharuan pendidikan TK dapat memiliki empat fungsi. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah: (a) fungsi pemecahan masalah (problem solving function), (b) fungsi adaptif (adaptive function), (c) fungsi pengembangan staf (staff development function), dan (d) fungsi peningkatan kualitas (quality improvement function). Para ahli ilmu sosial dan pendidikan juga mengartikan istilah pembaharuan (inovasi) sejalan dengan pengertian secara sesuatu yang baru oleh seorang individu atau unit adopsi lainnya. Disinilah peneliti ingin mencari jawaban yang terukur mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh Vita Surabaya dengan judul seperti diatas sehingga kemampuan aplikasi dari zoom itu dapat dipergunakan dengan baik. adapun review dari kajian terdahulu dengan judul “ Model Problem Based Learning (Pbl) Dalam Melatih Scientific Reasoning Siswa” yang disampaikan oleh Noly Shofiyah, Fitria Eka Wulandari tahun 2018 penggunaan ketrampilan scientic reasoning yang dilatihkan kepada siswa karena penalaran ilmiah yang tinggi akan mempengaruhi siswa dalam membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Kajian tersebut hampir sama menggunakan Metode Problem-Based Learning dalam penyelesaiannya

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan kendala-kendala tersebut diatas maka peneliti perlu memberikan rumusan masalah sebagai berikut:1. Apa tindakan Guru melihat kendala-kendala yang dihadapi selama

pembelajaran daring di TK Vita Surabaya?2. Bagaimana cara guru memfasilitasi suatu kegiatan bermain anak yang

menarik dan menyenangkan sehingga One-On-One Communication menjadi keputusan yang diambil dalam memecahkan permasalahan yang ada di TK Vita Surabaya?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah maka dapat dijabarkan sebagai berikut:1. Untuk mendeskripsikan kendala-kendala selama pembelajaran daring oleh

TK Vita Surabaya

85Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2. Untuk mendeskripsikan penggunaan One-On-One Communication yang tepat dalam merancang kegiatan bermain anak yang menarik dan menyenangkan di TK Vita Surabaya

D. METODOLOGI PENELITIAN

Menurut Boghdan & Biklen, 1975 menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan sikap orang-orang yang diamati. Dalam deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, harus dapat menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.

Subyek penelitian adalah penelitian ini dilakukan di TK VITA yang berlokasi di Jalan Dharmahusada Indah Timur II / 8-10, Surabaya. Penelitian ini dilaksanakan pada Semester II tahun pelajaran 2019/2020 yaitu dimulai dari tanggal 12 Oktober 2020 kemudian dilanjutkan sampai pada penelitian lapangan di hari Jumat, 4 Desember 2020. Penelitian ini berlangsung melalui WA, pembelajaran daring di MS Teams dan tatap muka di lapangan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan peneliti.

Adapun Teknik Analisis Data yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data dan memilih mana yang penting serta mana yang perlu dipelajari serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang digunakan peneliti sebagaimana yang dikemukakan Miles dan Hubberman (Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, 2009) yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan.

E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

1. Kendala-kendala TK Vita Surabaya dalam Pembelajaran Daring

VITA Pre-school adalah sekolah Kristen yang berdiri sejak tahun 1982, yang berlokasi di Jalan Dharmahusada Indah Timur II/8-10 Surabaya. Untuk memulai pendidikan formal bagi anak-anak usia dini, TK Vita Surabaya telah membuat kurikulum berdasarkan pendidikan holistik dengan Kepala, Hati, dan Tangan untuk dapat dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersosialisasi dengan masyarakat maupun hubungannya dengan Tuhan. Keinginan selalu menjaga stabilitas, keamanan dan kebersihan dapat melengkapi pelayanan dan kenyamanan anak beserta orang tua dalam menunggu putra-putrinya melaksanakan

86 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kegiatan belajar mengajar memang diwujudkan oleh TK Vita Surabaya melalui penataan kelas yang baik dengan perlengkapan sarana dan prasarana yang memadai. Perkembangan anak-anak belajar dan merayakan dunia Tuhan yang indah akan mewujudkan potensi dan intelektual anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Kendala-kendala yang dihadapi oleh TK Vita Surabaya menyebabkan Kepala Sekolah memutuskan untuk mengadakan diskusi rapat bersama guru dan yayasan untuk dapat mengambil langkah dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada saat pembelajaran daring di TK Vita Surabaya (Hasil wawancara dengan Kepala TK Vita Surabaya pada tanggal 12 Oktober 2020), diantaranya 1. Anak tampak tidak fokus/tidak siap materi/kelihatan moody dalam mengikuti kelas on-line; 2. Anak tampak mengalami kesulitan dalam mengerjakan materi bersama pada saat pembelajaran on-line; 3. Anak tidak hadir berturut-turut dalam kelas on-line; dan terakhir 4. Orang tua tidak mengambil paket pembelajaran dari sekolah. Menurut Sheryl (dalam Rustam dkk, 2017) pembelajaran berbasis masalah sebagai metode pembelajaran, dibangun dengan ide konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa. Bila menggunakan pembelajaran berbasis masalah, guru membantu siswa fokus pada pemecahan masalah dalam konteks dunia nyata yang akan mendorong siswa untuk memikirkan situasi masalah ketika siswa mencoba untuk memecahkan masalah. Model pembelajaran ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang tua, dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak, guru bertindak sebagai fasilitator dan menggunakan situasi kehidupan nyata tentang kegiatan keluarga sebagai fokus pembelajaran. Kemudian pemrakarsa lembaga pendidikan adalah menindaklanjuti proses hasil akhir sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk memecahkan masalah nyata dan kompleks yang dialami orang tua dan anak dalam mengembangkan pemecahan masalah keterampilan, penalaran, komunikasi, dan keterampilan evaluasi diri melalui pembelajaran berbasis masalah. Adapun problema permasalahan di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Anak Tampak Tidak Fokus, Tidak Siap Materi Dan Kelihatan Moody Dalam Mengikuti Kelas On-Line

Anak adalah manusia kecil yang unik karena setiap anak mempunyai ciri khas masing-masing yang tidak sama dengan orang dewasa dan anak-anak lain walaupun mereka seusia. Anak juga sangat membutuhkan perhatian baik dari lingkungan rumah terutama kedua orang tuanya maupun lingkungan di sekolah. Menurut Montessori (dalam Sujiono dkk (2010:10) menyatakan bahwa masa keemasan

87Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

merupakan masa di mana anak mulai peka untuk menerima berbagai stimulasi dan berbagai upaya pendidikan dari lingkungannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Dunia anak adalah dunia bermain, dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali yang ada dalam pikiran anak adalah bermain. Bermain merupakan suatu aktivitas khas yang mempunyai arti khusus dan sangat menyenangkan bagi anak karena bagi anak perjalanan hidupnya selalu ingin gembira dalam mengekspresikan diri. Maka wajar apabila bermain merupakan salah satu prinsip dasar dalam pendidikan anak usia dini. Melalui bermain anak akan belajar berbagai hal, antara lain anak akan belajar mengenal lingkungan di sekitarnya juga belajar bersosialisasi dengan orang dewasa atau teman sebayanya. Melihat kondisi dunia anak maka sangatlah wajar apabila anak tidak fokus, tidak siap menerima pembelajaran on-line dan terkesan moody yang nampak pada pembelajaran on-line karena pembelajaran daring yang harus dilakukan tidak dapat tampil secara maksimal dalam bertemu dengan teman-temannya. Moody yang ditampilkan anak adalah sesuatu hal yang wajar karena kekurangstabilan dalam mengelola emosi yang mengarah pada ekspresi wajah serta gesture tubuh anak sehingga kebutuhan akan sebuah arahan dari guru sangatlah diharapkan.

b. Anak Tampak Mengalami Kesulitan Dalam Mengerjakan Materi Bersama Pada Saat Pembelajaran On-Line

Kesulitan dalam mengerjakan materi bersama pada saat pembelajaran on line tentunya banyak penyebabnya dimana guru harus mumpuni menyelesaikan permasalahan ini dengan baik. Penyebab kesulitan yang dialami anak mungkin disebabkan ketidakmampuan anak dalam menjawab reponsif bahasa guru atau guru kurang mengerti tentang seberapa jauh anak dapat berkonsentrasi penuh dalam memahami pemberian tugas sehingga membutuhkan konsentrasi yang baik dan tepat dalam menyelesaikan tugas sebaik-baiknya. Dalam kurikulum bebas merdeka yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa guru PAUD diharapkan tidak memberikan tugas yang memberatkan sehingga membuat anak stress dan sistem imun mereka menurun. Namun materi lebih kepada memberikan kemerdekaan untuk bermain sepuas-puasnya di rumah dan menjalin kedekatan dengan orang tua (Kurikulum bebas merdeka). Guru tetap mengelola kegiatan bermain dalam upaya mencapai kompetensi dasar, maka lebih banyak diberikan tugas pembiasaan (perilaku hidup bersih dan sehat), Pendidikan karakter dan keagamaan. Kurikulum bebas merdeka ini jauh lebih simple, membumi, dan bisa dipraktekkan di

88 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

rumah yang dekat dengan lingkungan anak berada. Disini peneliti mencoba mengungkapkan sebuah kesulitan anak dalam mengerjakan materi bersama dari tugas guru dalam pembelajaran on line yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1). Ketidakmampuan anak dalam memahami bahasa reponsif guruBromley (1992) dalam Astuti (2013: 53-54) menyebutkan

empat macam bentuk bahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bahasa ada yang bersifat reseptif (dimengerti, diterima) maupun ekspresif (menyatakan). Contoh bahasa reseptif adalah mendengarkan dan membaca suatu informasi, sedangkan contoh bahasa ekspresif adalah berbicara dan menuliskan informasi untuk dikomunikasikan kepada orang lain. Anak menerima dan mengekspresikan bahasa dengan berbagai cara. Keterampilan menyimak dan membaca merupakan keterampilan bahasa reseptif karena dalam keterampilan ini makna bahasa diperoleh dan diproses melalui simbol visual dan verbal. Ketika anak menyimak dan membaca, mereka memahami bahasa berdasarkan konsep pengetahuan dan pengalaman mereka dengan demikian menyimak dan membaca juga merupakan proses pemahaman (comprehending process). Sedangkan berbicara dan menulis merupakan keterampilan bahasa ekspresif yang melibatkan pemindahan arti melalui simbol visual dan verbal yang diproses dan diekspresikan anak. Berbicara dan menulis adalah proses penyusunan (compossing process) (Astuti, 2013: 53).

2). Bahasa ekspresif anak dalam menyampaikan sebuah gagasan atau ide dari sebuah pemikiran yang matang

Menurut Hildayani (2006: 13) bahwa seorang anak dikatakan mengalami gangguan dalam bahasa ekspresif bila terdapat jarak (discrepancy) antara apa yang dimengerti oleh anak (bahasa reseptif) dengan apa yang ingin mereka katakan (bahasa ekspresif). Menurut Samsiah (2012: 12) perbedaan bahasa ekspresif merupakan bahasa yang berisi curahan perasaan, kalimat. Ekspresif adalah kalimat yang memiliki kata kerja menyatakan makna batin (ekspresif) sedangkan kata ekspresif dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna “tepat (mampu) memberikan atau mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, perasaan”. Sesuai dengan pendapat Vigotsky tentang prinsip zone of proximal yaitu zona yang berkaitan dengan perubahan dari potensi yang dimiliki oleh anak menjadi kemampuan aktual.

89Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

c. Anak Tidak Hadir Berturut-Turut Dalam Kelas On-Line

Ketidakhadiran anak yang berturut-turut ini membuat resah para guru TK Vita Surabaya karena kegiatan bermain yang sudah dirancang di RPPH memang diperuntukkan dalam mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik, sehingga apabila banyak yang absen di kelas Zoom maka tujuan pembelajaran yang diharapkan tidak akan tercapai dengan optimal. Tujuan pembelajaran adalah kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu (Wina Sanjaya, 2008:86). Wina Sanjaya (2008:88) juga mengemukakan bahwa rumusan tujuan pembelajaran harus mengandung unsur ABCD, yaitu Audience (siapa yang harus memiliki kemampuan), Behaviour (perilaku yang bagaimana yang diharapkan dapat dimiliki), Condition (dalam kondisi dan situasi yang bagaimana subjek dapat menunjukkan kemampuan sebagai hasil belajar yang telah diperolehnya), dan Degree (kualitas atau kuantitas tingkah laku yang diharapkan dicapai sebagai batas minimal). Oleh sebab itu tugas dan tanggung jawab guru menjadi besar manakala anak tidak dapat hadir berturut-turut sehingga tugas yang diberikan guru kepada anak biasanya kombinasi berupa teks intruksi, video, maupun audio. Dan orang tua memberikan feedback kepada guru melalui dokumentasi kegiatan yang dilakukan anak melalui foto dan video sehingga guru dapat memantau dan mengevaluasi proses dan hasil belajar anak di rumah menjadi tidak tersampaikan

d. Orang Tua Tidak Mengambil Paket Pembelajaran Dari Sekolah

Peran serta Orang Tua dalam pengambilan materi pelajaran yang disiapkan oleh guru di sekolah dipandang perlu sebagai persiapan anak dalam mengikuti pembelajaran on-line bersama guru dan teman-teman di kelas Zoom. Keterlibatan orang tua membawa dampak signifikan terhadap percaya diri anak untuk dapat tampil di dalam kelas Zoom dengan menjawab bahasa responsif guru. Dalam scalffolding guru yang sudah direncanakan, ditata untuk proses pembelajaran dan diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran anak di kelas Zoom akan membawa pengaruh mental dan kesiapan fisik sehingga proses pembelajaran yang memiliki waktu pendek yang tersedia dapat efektif dilaksanakan dan bermakna bagi kebutuhan anak. Efektivitas proses pembelajaran daring yang hanya satu jam saja tidak seperti saat tatap muka selama 2,5 jam akan bermakna bila sebuah komunikasi atau sebuah kerjasama orang tua terjalin dengan baik sehingga tingkat keberhasilan guru akan terpenuhi sesuai tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

90 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

e. Penyelesaian Kesulitan Anak Dan Orang TuaKendala-kendala yang dihadapi selama pembelajaran daring

pada masa pandemic covid-19 ini, memang diperuntukkan mengukur keakuratan hasil belajar dan penilaian tugas memang tidak seotentik sebelum pembelajaran daring. Misalnya dalam beberapa instruksi penugasan, juga tidak semua anak memenuhi kriteria tersebut. Karena respon orang tua juga menentukan cara mereka memahami instruksi belajar anak. Selain itu, penugasan yang membutuhkan feedback dari orang tua sehingga terkadang banyak kendala di lapangan. Kesibukan orang tua dalam bekerja, ketidakmampuan baby sitter yang tidak memahami aplikasi Zoom dan keluarga besar di rumah tidak bisa diajak kerja sama terkendala gagap tehnologi maka akan menemukan jalan buntu sehingga tugas yang seharusnya dikumpulkan kepada guru melalui LMS tidak dapat dilaksanakan.

Selain itu, penilaian hasil kerja anak juga terkadang tidak semua anak mengerjakannya hanya mengandalkan bantuan dari orang tua dalam mengerjakannya di rumah. Mengenai hal tersebut selama masa pandemic ini, guru harus sering berkomunikasi dengan orang tua tentang cara belajar dan bagaimana anak-anak dalam memahami setiap penugasan yang diberikan sekolah. Sehingga nantinya rencana pembelajaran yang disiapkan oleh guru dapat tersampaikan melalui capaian tujuan pembelajaran yang dibuat di RPPH. Hasil belajar anak dalam pembelajaran kelas on-line mengupayakan keadaan agar anak didik berperilaku seperti nalurinya, alami, murni dan sebagaimana adanya sesuai dengan anak itu unik dan sebagai pembelajar aktif . Deskripsi dan informasi data tumbuh kembang anak yang diperoleh digunakan untuk menganalisis perkembangan dan belajar anak. Hasil belajar yang mengarah pada asesmen otentik dilakukan utamanya melalui pengamatan dan pengambilan sampel karya kerja anak didik yang bertujuan dan bermakna, dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi kepada kesadaran atas asas perbedaan individu anak didik di kelas. Hasil pembelajaran otentik mempertimbangkan jenis “kecerdasan dasar” anak yang berbeda-beda, gaya belajar yang beragam (visual, auditory dan kinestetik) dalam tatanan konteks yang berbeda-beda di kelas zoom. Instrumen utamanya adalah individu anak usia dini penilainya yang sekaligus pendidiknya sendiri adalah guru kelas, yang harus bersikap objektif dengan menjaga diri dari bias dan selalu meningkatkan kepekaan melihat fakta pendidikan dalam proses perkembangan dan pembelajarannya, agar data informasi yang diperoleh menjadi valid dan terpercaya sebagai dasar pengambilan keputusan pendididikan bagi kepentingan anak didik.

91Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Aplikasi “One-On-One Communcation” Dalam Penggunaan Problem-Based Learning

a. Pengertian dan Karakteristik Problem-Based Learning atau PBL

Pembelajaran berbasis masalah adalah metode pembelajaran yang melibatkan siswa dan guru untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Siswa mempelajari materi tersebut dan harus terampil mengatasi masalah yang terlibat di berbagai situasi seperti di kehidupan nyata, sedangkan guru perannya adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan mendukung pembelajaran siswa. Dalam pemilihan model pembelajaran, hal yang perlu diperhatikan adalah tujuan pembelajaran, karakteristik materi, dan karakteristik siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatka kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar adalah model PBL. Hal ini dikarenakan model PBL merupakan suatu model pembelajaran, yang mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri (Suprihatiningrum, 2016)

Hal ini juga diucapkan oleh Ibrahim dan Nur (Trianto, 2011: 96) bahwa pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan banyak informasi kepada siswa, tetapi untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan intelektual, mempelajari peran orang dewasa juga belajar mandiri dan mandiri. Melalui PBL yang diterapkan diharapkan anak dalam proses pembelajaran di kelas zoom, dapat menumbuhkan keterampilan dalam menjawab pertanyaan HOTs dari guru dan mampu membentuk kepribadian anak menjadi pembelajar yang aktid dan mandiri. Problem-Based Learning juga mencoba membantu anak untuk menjadi pembelajar mandiri dan aktif sesuai arahan guru yang selalu memberikan semangat dan penghargaan ketika mereka mengajukan pertanyaan dan menemukan solusi mereka sendiri untuk masalah nyata, anak juga akan belajar melalui pembiasaan-pembiasaan yang telah diterapkan guru sehingga pembiasaan itu menjadi kebutuhan bagi anak baik sekarang ataupun masa yang akan datang. Sistem pembelajaran dalam pendidikan jarak jauh anak usia dini memiliki enam elemen kunci yang sekaligus merupakan karakteristik dari sistem tersebut, yaitu:

1). Pemisahan antara guru dan anak didik2). Pengaruh lembaga pendidikan dalam menentukan sistem.

92 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3). Penggunaan media yang tepat dalam pembelajaran daring4). Berlangsungnya komunikasi dua arah melalui bahasa responsif

guru dan bahasa ekspresif anak 5). Memperhatikan pembelajar sebagai individu yang unik sesuai

layanan usia6). Pendidikan sebagai sebuah pembelajaran dalam mengoptimalkan

6 aspek bidang pengembangan anak

b. Langkah-langkah Penerapan Problem-Based Learning dalam “One-On-One Communication”

Model pembelajaran Project-Based Learning awalnya dikembangkan oleh The George Lucas Education Foundation dan Dopplet, dengan langkah-langkah pembelajaran berdasarkan beberapa fase sebagai berikut (Kemdikbud, 2014):

1). Penentuan pertanyaan mendasar (start with essential question) tentang kendala-kendala yang dihadapi TK Vita Surabaya

2). Menyusun perencaanan proyek (design project) atas keputusan hasil diskusi orang tua dan guru

3). Menyusun jadwal (create schedule) atau virtual appointment untuk guru, orang tua dan anak

4). Pengawasan kemajuan proyek (monitoring the students and progress of project) setelah ditetapkan aplikasi daring One-On-One Communication

5). Pengujian hasil atau penilaian hasil (assess the outcome) terhadap aplikasi One-On-One Communication

6). Evaluasi pengalaman (evaluate the experience) yang dirasakan oleh guru, orang tua dan anak didik terhadap aplikasi One-On-One Communication

c. Tujuan Pelaksanaan Problem-Based Learning pada One-On-One Communication

Tahapan-tahapan yang digunakan dalam mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan anak yang bersifat otentik dan urgent keberadaannya yaitu sesuatu dengan fakta yang sesungguhnya. Jadi

93Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dalam melakukan evaluasi hasil pembelajaran anak itu dapat dijabarkan sebagai berikut:

1). Terukur2). Berkelanjutan3). Menyeluruh mencangkup pertumbuhan dan perkembangan yang

telah dicapai oleh anak selama kurun waktu tertentu4). Akuntabel dan sistematis

Adapun pelaksanaan di masa pandemik dalam memecahkan beberapa permasalahan di TK Vita Surabaya melalui tahapan tahapan Problem-based learning yang di gunakan agar memperoleh hasil belajar yang baik dengan berbagai cara sebagai berikut:

1). Keterlibatan orang tua untuk terlibat secara aktif selama belajar daring

2). Guru dapat terus meningkatkan kapasitasnya untuk melakukan pembelajaran interaktif, dan sekolah dapat menfasilitasi kegiatan belajar mengajar dengan metode yang paling tepat.

3). Guru melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.4). Modul belajar PAUD dijalankan dengan prinsip “ Bermain adalah

belajar “ proses belajar terjadi saat melakukan kegiatan sehari-hari.5). Dalam menyelesaikan kasus terkait permasalahan dalam

pemelajaran daring di masa pandemic ini, langkah yang harus kita lakukan adalah merancang sebuah aplikasi (ruang yang menyelesaikan permasalahan anak didik) rencana pembelajaran yang bisa diukur dengan cara live atau observasi saat on-line dan penugasan yang dibantu orang tua adalah mengirimkan video atau foto hasil kerja anak.

6). Jadi selain dari observasi, guru dapat melakukan penilaian off-line melalui penugasan atau ngobrol dengan orang tuanya dan bisa mengadakan meeting khusus dengan anak yang akan dinilai jika masih merasa asesmen kita belum valid.

Kendala-kendala selama pembelajaran daring pasti dialami oleh semua guru di Indonesia tetapi permasalahan itu bisa diselesaikan dengan diskusi orang tua diharapkan mampu menjembatani setiap persoalan yang timbul. Terkadang juga ada kendala terbatasnya gadget atau alat yang digunakan, paketan data internet. Jika situasi memungkinkan bisa melakukan home visiting, namun jika dari dinas tidak mengijinkan maka kita akan menilai dari proses dan hasil sesuai dengan kondisi anak. Selama kelas pembelajaran daring ini, guru dapat menggunakan observasi langsung saat kelas zoom untuk melihat potensi berpikir kritis pada anak. Guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang

94 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menstimulus kemampuan berpikir melalui Higher Order of Thinking Skill (HOTS) atau kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis. Untuk melihat kemandirian anak terlepas dari bantuan Orang Tua, seorang guru dapat melihat saat pembelajaran kelas di Zoom.

d. Aplikasi Zoom sebagai Pilihan Pembelajaran Daring On-Line TK Vita Surabaya

Untuk memfasilitasi pembelajaran model jarak jauh/daring, guru harus menguasai model aplikasi yang mudah dikuasai oleh orang tua dan anak. Kebutuhan guru dalam melengkapi rancangan kegiatan bermain anak yang tertuang dalam bentuk RPPH tentunya dipersiapkan oleh guru dengan baik dengan mengunakan metode, alat dan sumber bahan dan evaluasi penilaian perkembangan anak didik agar proses pembelajaran berjalan lancar. Selain itu, masalah lain yang perlu diperhatikan adalah jika orang tua dan anak mengalami kesulitan dapat melakukan konsultasi dengan guru agar memperoleh penjelasan dan pemahaman yang lebih mendalam. Untuk mengatasi hal tersebut, aplikasi Zoom Cloud Meetings yang ada di HP atau Laptop sebagai sarana atau alat untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran on-line akan memudahkan guru berinteraksi lebih komunikatif kepada orang tua dan anak didik.

Penggunaan aplikasi dari Zoom yang merupakan aplikasi untuk pembelajaran on-line yang menyediakan layanan konferensi jarak jauh yang disediakan TK Vita saat daring yang penggunaannya menggabungkan konferensi video, pertemuan on-line, obrolan, hingga kolaborasi seluler. Kreatifitas guru dalam merancang sebuah kegiatan bermain anak menyebabkan anak puas dan merasa sangat senang. Yang perlu digarisbawahi adalah guru harus mampu menciptakan kegiatan belajar mengajar dengan menarik dan efektif saat on-line disebabkan waktu yang disediakan sedikit maka guru harus cerdas men-setting kegiatan belajar anak seperti kegiatan mengajar dengan tatap muka di kelas. Orangtua atau wali siswa juga harus ikut memantau anaknya ketika belajar di rumah. Dengan demikian tujuan pembelajaran akan tercapai dan semuanya terhindar dari sebaran virus Covid-19 yang sedang merajalela.

e. Pembaharuan Aplikasi Zoom “One-On-One Communication” di Vita Surabaya

95Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

TK VITA Surabaya adalah sebuah sekolah Taman Kanak-kanak Kristen yang mempunyai visi “Membangun Generasi Bersinar, yang memilki Karakter Allah dan berakar pada Firman Tuhan”. Dari visi tersebut tercermin bahwa TK VITA sangat mendukung pembentukan dan pertumbuhan anak-anak usia dini secara optimal. Hal ini dicapai melalui salah satu tujuan yang tertuang dalam misi sekolah yaitu mendorong anak untuk berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah, krearif, bersikap positif dalam hidup mereka, dan mendasarkan keputusan mereka pada Firman Tuhan. Oleh karena itu meningkatkan kemampuan pengetahuan dan ketrampilan pada anak usia dini menjadi kunci yang penting bagi pendidik dalam merencanakan pembelajaran melalui rancangan kegiatan bermain anak. Di tahun pelajaran 2020/2021 ini dengan adanya pandemi COVID-19, Dinas Pendidikan menghimbau seluruh Lembaga pendidikan untuk melakukan penyesuaian konsep pembelajaran beralih menjadi study from home atau belajar dari rumah.

Kendala-kendala yang telah dijabarkan diatas adalah sebuah kebijaksanaan yang harus cepat dan tepat diambil sehingga kendala yang berarti membantu proses pembelajaran virtual yang diharapkan maka TK Vita Surabaya akan melakukan terlebih dahulu yaitu

1). Komunikasi ke orang tua melalui telepon/WAG terlebih dahulu untuk mendiskusikan hal tersebut yang dirasa sangat perlu dan sangat urgent untuk dipecahkan bersama

2). Bila dari hasil diskusi memang diperlukan approach lebih dalam maka TK Vita Surabaya akan mengatur schedule/virtual appointment ono-on-one communication dengan membahas permasalahan yang belum terpecahkan secara mendalam demi keberhasilan lembaga dalam mencetak generasi muda yang unggul di masa depan.

Ketetapan untuk memfasilitasi setiap permasalahan yang timbul yang merupakan tantangan bagi guru mengajar di kelas on-line tidak lepas dari tujuan yang akan dicapai oleh TK Vita Surabaya yaitu

1). Berdiskusi tentang perkembangan dan pertumbuhan anak didik; progress yang akan dicapai di setiap pembelajaran virtual dan kendala yang dialami anak dalam pembelajaran dengan orang tua

2). Menjadi salah satu cara bagi guru untuk melakukan pendekatan personal, pengembangan assesment dan enrichment untuk anak didik sehingga kepuasan yang diinginkan oleh orang tua dalam kemajuan perkembangan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan dapat menjadi jawaban yang menggembirakan.

96 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Model pengembangan dan pembaharuan melalui Tehnologi Informasi dan Komunikasi di pendidikan dengan berbagai kelebihan dan kelemahan menggunakan aplikasi yang ada di Zoom kemudian dikembangkan dalam bentuk ruang One-On-One Communication dapat dilakukan dalam empat tahapan, yaitu emerging, applying, infusing, dan transforming (Majumdar (2005) dalam Budi Murtiyasa (2012)). Emerging adalah tahap dimana semua lembaga pendidikan menjadi memiliki perhatian terhadap tehnologi baru. Applying adalah tahapan dimana para lembaga pendidikan mulai belajar menggunakan sebuah tehnologi itu dengan baik. Pada tahapan ini kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tatap muka digantikan dengan tehnologi informasi mulai dirasakan sebagai suatu kebutuhan, dimana pandemic masih berlangsung. Infusing adalah tahap dimana para lembaga pendidikan mulai mengetahui bagaimana dan kapan waktu yang tepat untuk mengakses. Akhirnya tahap transforming adalah secara spesifik dapat menggunakan tehnologi baru untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang dihadapi TK Vita Surabaya. Dengan pengembangan dan pembaharuan dapat diciptakan lingkungan belajar yang inovatif, sehingga merangsang orang tua dan anak untuk berpikir dan berkreasi untuk memecahkan masalah.

F. PENUTUP

1. SimpulanDari penelitian yang dilaksanakan dengan lancar di TK Vita Surabaya

maka peneliti menuangkan sebuah kesimpulan yang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Adapun kesimpulan dapat dijabarkan sebagai berikut:a. Pemanfaatan One-On-One-Communication dapat diterapkan sebagai

salah satu media dalam memecahkan segala masalah yang dihadapi TK Vita Surabaya sehingga masalah yang terkait dengan kesulitan yang dihadapi para guru dapat segera ditanggapi dan ditindak lanjuti oleh Kepala Sekolah dan Yayasan sehingga kegiatan pembelajaran on-line dalam mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan RPPH.

b. Tujuan yang utama dalam penggunaan One-On-One-Communication ini adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pembelajaran. Aplikasi yang difasilitasi oleh Zoom merupakan aplikasi yang menyediakan layanan konferensi jarak jauh dengan menggabungkan konferensi video, pertemuan online, obrolan, hingga kolaborasi seluler, sehingga kelengkapan data yang diperoleh guru menjadi sempurna.

97Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

c. Selain itu komunikasi lewat WA (WhatApp) adalah suatu aplikasi yang diperuntukkan kegiatan berkirim pesan (messenger / chatting) agar memperoleh data yang valid. Dalam diskusi yang dilakukan oleh orang tua dn guru aplikasi WA (WhatApp) sebenarnya juga bisa disebut sebagai aplikasi jejaring sosial karena terdapatnya fitur timeline sebagai wadah untuk berbagi status, pesan suara, video, foto, kontak dan informasi lokasi. Dengan aplikasi WA kita juga bisa melakukan voice call maupun video call secara real time ketika guru membutuhkan informasi yang urgent untuk menyelaraskan laporan orang tua yang terlalu sempurna sehingga guru dapat mengambil tindakan yang benar dalam mengevaluasi perkembangan dan pertumbuhan peserta didik.

2. Saran

Bagi anak usia dini untuk belajar dengan sistem daring/on-line juga tidak mudah, karena masa perhatian/atensi (attention span) mereka yang masih relatif pendek tentunya pelayanan tingkat usia yang paripurna. Walaupun TK Vita Surabaya sudah dapat menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan aplikasi Zoom melalui pemanfaatan Ruang One-One-Communication tentunya peran guru dalam merancang kegiatan bermain anak dan memfasilitasi segala bentuk pembelajaran maka peneliti memberikan saran sebagai berikut:

a. Aplikasi One-On-One Communication dapat dioptimalkan dalam mengatasi segala permasalahan, jangan hanya puas dengan hasil laporan orang tua tentang kegiatan anak di rumah yang dilakukan anak dengan sempurna karena hasil belajar anak itu dapat di rekayasa tetapi proses elam pembelajaran itu yang mempunya keorisinilan dari hasil belajar anak yang dicapai.

b. Materi pengajaran hendaknya disampaikan dengan lebih kreatif terutama dalam pembelajaran daring yang notabene sangat berbeda dengan pembelajaran tatap muka dimana anak dapat lebih bebas berekplorasi dengan apa yang ada di sekitarnya.

c. Keterbatasan gerak anak dalam pembelajaran daring dapat disiasati dengan permainan yang menarik sehingga anak-anak tidak merasa jenuh

d. Berikan kesempatan kepada anak untuk lebih berani mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan dengan memberikan pertanyaan pancingan (HOTs) dan terlebih dulu memberi kesempatan pada anak yang pasif

e. Pastikan instruksi yang diberikan cukup jelas sehingga anak-anak dapat mengerti dan melakukan sesuai ekpektasi guru

f. Selalu mengevaluasi perkembangan dan pertumbuhan anak melalui due

98 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

schedule dan keakuratan data untuk hal-hal yang ditemui di lapangan karena hal tersebut akan berguna untuk perbaikan perencanaan pembelajaran di kemudian hari

DAFTAR PUSTAKAAkçay. B. 2009. Problem-Based Learning in Science Education. Journal of Turkish

Science Education Volume 6, Issue 1, April 2009. http://www.tused.orgAlly, M. (2007). Theory and practice of on-line learning.cde.athabascau.ca/online

book. Athabasca University. Rovai. A. (2002) Building sense of community at a distanceArau, S. B. 2011. Early education for diversity: starting from birth. European Early

Childhood Education Research Journal, 19(2), 223–235.Belajar Daring Tidak Efektif Bagi Anak TK. Intens News. 22 Juni 2020. Penulis:

Hasan BasriBoutte, G.S., 2008. Beyond the illusion of diversity: How early childhood teachers

can promote social justice. The Social Studies, 99(4), pp.165-173.Bredekamp, S., 1987. Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood

Programs Serving from Birth Throught Age 8.Washington : NAEYCFlavell, J. H., Green, F. L., & Flavell, E. R. (1995). The development of children’s

knowledge about attentional focus. Developmental Psychology, 31(4), 706-712.https://doi.org/10.1037/0012-1649.31.4.706

Foshay, R., Kirkley, J. (1998). Principles for Teaching Problem Solving. http://www.plato.com/pdf/04_principles.pdf

Francek, S. 2002. Metacognitive Skill for Adult Learning. ERIC Educational Resources Information Center Trends and Issuea Alert No. 39, (Online), pdf, diakses 5 Agustus 2006. http://www,cete,org/acve/docs/tia000107.

Griffiths, G., Oates, B., & Lockyer, M. (2007). Evolving a Facilitation Process towards Student Centred Learning: A Case Study in Computing. Journal of Information Systems Education, 18 (4), 459–468.

Hayes, J.R. (1989). The Complete Problem Solver. 2nd Edition. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

International Review of Research in Open and Distance Learning. Diambil tanggal 1 November 2007 dari: http://www.irrodl.org/content/v3.1/rovai.pdf Simmon.D.E. (2002).

Hutami, M. S., & Nugraheni, A. S. (2020). Metode Pembelajaran Melalui Whatsapp Group Sebagai Antisipasi Penyebaran Covid-19 pada AUD di TK ABA Kleco Kotagede. Paudia: Jurnal Penelitian Dalam Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, 9 (1), 126–130

99Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Huang, R.H., Liu, D.J., Tlili, A., Yang, J.F., Wang, H.H., 2020 et al. Handbook on Facilitating Flexible Learning During Educational Disruption: The Chinese Experience in Maintaining Undisrupted Learning in COVID-19 Outbreak. Beijing: Smart Learning Institute of Beijing Normal University.

Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Ditjen Dikti.Joshua Castillo in (My Kids Are Allergic to Video Chats by Kelly Hoover Greenway)

The New York Times, May 14, 2020)Karyatin, JPPIPA (Jurnal Penelitian Pendidikan IPA), 2016, Vol. 1 No. 2, 42-51Mc Millan, J.H. and Schumacher. R., 2001. Research in Education: A Conceptual

Introduction. New York & London: Longman, Inc.Nurdin, Anhusadar, Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini ISSN: 2549-

8959 (Online) 2356-1327 (Print) Efektivitas Pembelajaran Online Pendidik PAUD di Tengah Pandemi Covid 19 Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Institut Agama Islam Negeri Kendari 1 Volume 5 Issue 1 (2021) Pages 686-697

Peter K Smith and Anthony D. Pellegrini (2008).The Development of Play During Childhood: Forms and Possible Functions)

Santrock, John W. 1995. Life-Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta : Erlangga.

Samuels, A.J., 2018. Exploring Culturally Responsive Pedagogy: Teachers’ Perspectives on Fostering Equitable and Inclusive Classrooms. SRATE Journal, 27(1), pp.22-30.

Solehuddin, M. (2000). Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: FIP UPI.Sudrajat, Akhmad, 2010, Tentang Kehadiran dan Ketidakhadiran Siswa di Sekolah,

Blog Pendidikan Akhmad Sudrajat yang di post. 12 Oktober 2010Tilaar, HAR. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam

Perspektif Abad 21. Jakarta: Tera Indonesia.UNESCO International Research and Training Centre for Rural Education, 2020

The Chinese experience in maintaining disruptions learning in the COVID-19 outbreak. Handbook of facilitating flexible learning during education disruption

Woods, D.R., Wright, J.D., Hoffman, T.W., Swartman, R.K., Doig, I.D. (1975). Teaching Problem solving Skills. Engineering Education. Vol 1, No. 1. p. 238. Washington, DC: The American Society for Engineering Educatio

Zaharah, Kirilova, Windarti, 2020 Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, Kazan Federal University, Russia Salam; Jurnal Sosial & Budaya Syar-I FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 7 No. 3

100 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Analisis Kebutuhan Diklat Untuk Desain Program Diklat Housekeeping Untuk Anak Dengan Hambatan Kecerdasan (Tunagrahita)

Ayu Nimas Salmitri1*, Rusman2, Aziz Mahfuddin3

Program Studi Pengembangan KurikulumUniversitas Pendidikan Indonesia

[email protected]

Abstract

Limitations in the mastery of certain competencies are one of the things that hinders children with intellectual disabilities to be financially independent. The ability of housekeeping is one of the competencies that accommodate the livelihood lands in the world of work. PK-PLK Institution (Special Education and Special Service Education) designed this to help individuals with intellectual disabilities to be financially independent by working in a scope that requires housekeeper staff. One of the efforts to fulfill job competence is job training or education and training, which is useful to pay attention to the needs of the job market and the business world, as well as its implementation that is adjusted or refers to work competency standards. The effort required to achieve effective job training or education and training is necessary to conduct an analysis of training needs, so that later competency outcomes match what is needed in the actual workplace. In the implementation of this training needs analysis, a descriptive method is used literally to make a description of a situation or event with descriptive methods with data groups in the form of qualitative data and quantitative data. The results of the research contained a training needs assessment recapitulation format with the content of the elements of his ability, the level of material mastery, and the allocation of time. The data sources come from Job Descriptions, Performance Standards, Performance Evaluations, Job Observations, Interviews, Task-Based Good Checklists.

Key Words : children with intellectual disabilities, education and training, housekeeping, training needs assessment.

A. Pendahuluan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, tidak terkecuali dengan individu yang memiliki kebutuhan khusus. Sistem pendidikan yang berjalan lancar akan mewujudkan

101Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tujuan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Salah satu tujuannya ialah untuk mendapatkan suatu kompetensi tertentu. Lulusan SLB juga diharuskan memiliki kompetensi, hal tersebut dilaksanakan degan tujuan agar lulusan SLB juga mampu mandiri, baik secara kehidupan juga secara finansial. Tetapi pada kenyataannya keterbatasan dalam penguasaan kompetensi tertentu merupakan salah satu hal yang menghambat anak dengan hambatan kecerdasan untuk dapat mandiri secara finansial.

Vokasional adalah salah satu pembelajaran yang dilakukan untuk anak dengan hambatan kecerdasan di SLB, yang tujuannya ialah untuk melakukan peningkatan pemberian kecakapan hidup dalam pembelajaran dan peningkatan keterampilan. Jenis-jenis vokasional yang ada di SLB diantaranya adalah Tata Graha, Tata Boga, Tata Busana dan lainnya. Kemampuan tata graha merupakan salah satu kompetensi yang mengakomodasi lahan mata pencaharian yang ada di dunia kerja. Lembaga PK-PLK (Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus) merancang hal tersebut untuk membantu individu dengan hambatan kecerdasan untuk dapat mandiri secara finansial dengan cara bekerja di ruang lingkup yang membutuhkan tenaga housekeeper. Nawar (2002) mengungkapkan bahwa Housekeeping adalah bagian departemen yang mengatur atau menata peralatan, menjaga kebersihan, memperbaiki kerusakan, dan memberi dekorasi dengan tujuan agar rumah (hotel) tersebut tampak rapi, bersih, menarik dan menyenangkan bagi penghuni atau tamu yang menginap.

Housekeeping menjadi suatu mata pencaharian yang cukup banyak menerima anak dengan disabilitas untuk menjadi pekerjanya. Karena secara garis besar perusahaan-perusahan milik swasta maupun negeri diharuskan sedikitnya menerima 1-2% anak berkebutuhan khusus sebagai pegawai perusahaannya. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Pasal 53 (ayat 1 dan 2). House keeping menjadi suatu ranah yang cukup luas karena housekeeping sendiri memiliki banyak sekali seksi dalam departemennya, diantaranya ialah public area section, room section, linen section, laundry section dan lainnya.

Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum di sekolah tidak menutup kemungkinan mengalami hambatan dan kesulitan untuk mencapai kompetensi yang maksimal dalam kemampuan vokasional, maka dari itu diperlukannya sebuah pendidikan dan pelatihan di luar waktu sekolah, dengan tujuan agar optimalnya pencapaian kompetensi sebagai bekal anak berkebutuhan khusus untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri.

Upaya dalam pemenuhan kompetensi kerja salah satunya ialah pelatihan kerja atau diklat, pelatihan kerja atau diklat berguna memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, serta penyelenggaraannya yang disesuaikan atau mengacu pada standar kompetensi kerja. Upaya yang dibutuhkan dalam

102 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mencapai pelatihan kerja atau diklat yang efektif maka perlu dilakukan analisis kebutuhan diklat, agar nantinya kompetensi capaiannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan di tempat kerja sesungguhnya. Analisis kebutuhan diklat ini memiliki tujuan sebagai pemecahan masalah dari apakah standar keterampilan yang dibutuhkan pada sebuah pekerjaan sudah dimiliki oleh si pemegang jabatan atau belum. Adapun hasil dari analisis kebutuhan diklat ini diharapkan menjadi dokmen tertulis untuk sebuah panduan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pada individu agar bisa melaksanakan tugas, tanggungjawab, dan kewenangan sehingga nantinya bisa mencapai job spesifikasi yang telah ditetapkan secara tertulis atau dalam bentuk dokumen yang sah. Oleh karena itu, peneliti akan menganalisis serta menuangkannya ke dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kebutuhan Diklat Untuk Desain Program Diklat Housekeeping Untuk Anak Dengan Hambatan Kecerdasan (Tunagrahita)”

B. Metode

Dalam pelaksanaan training need analysis ini menggunakan 3 teknik pengumpulan data, yang mana (1) kuisioner, (2) wawancara dan (3) observasi yang mana dalam penelitian ini akan menghasilkan kelompok data berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Hal tersebut dilakukan karena training need analysis ini merupakan sebuah analisis kebutuhan workplace secara spesifik dimaksud untuk menetukan apa sebetulnya kabutuhan pelatihan yang menjadi prioritas.

Penelitian ini dilakukan di 4 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memiliki kelas pasca sekolah (jenjang setelah SMA) pada 1 Gugus Kota Bandung / 4 Kecamatan di Kota Bandung. Sumber data yang menjadi acuan utama penelitian ini ialah berasal dari Job Description, Performance Standar, Performance evaluation, Observasi kerja, Interview, Checklist Baik Task-Based pendidikan dan pelatihan itu sendiri, yang mana tujuannya menghasilkan jawaban dari apakah standar keterampilan yang dibutuhkan pada sebuah pekerjaan sudah dimiliki oleh si pemegang jabatan atau belum.

Hasil penelitian ini memuat format rekapitulasi training needs asesement dengan isi elemen kemampuannya, tingkat penguasaan materi, serta alokasi waktunya. Laporan analisis kebutuhan diklat ini berisi fokus kegiatan analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan (diklat), tujuan kegiatan, metode serta peralatan yang digunakan, kerangka kerja, tahapan kerja dan teknik analisis data, interprestasi dan formulasi kesimpulan serta saran analisis kebutuhan diklat.

103Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. Hasil dan Pembahasan

1. Pembahasan

a. Kemampuan Penguasaan Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap

Penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu kegiatan memang menjadi sebuah kebutuhan, hal tersebut juga sangat berpengaruh kepada kegiatan housekeeping yang mana hal itu merupakan salah satu upaya dalam melaksanakan kegiatan housekeeping secara baik dan benar. Dalam pelaksanaannya, menjadi housekeeper tidak semata-mata hanya membersihkan dan memperindah ruangan saja, banyak objek-objek yang perlu diketahui fungsinya, menyiapkan apa yang diperlukan, tatakrama yang digunakan, keselamatan dalam bekerja dan lainnya.

Menurut Rumekso (2004) sebuah pelayanan yang tidak memuaskan biasanya mengakibatkan sebuah complain, maka dari itu sebisa mungkin karyaan yang memberikan serivis kepada khalayak ramai membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baik. Keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti mampu, cakap, dan cekatan. Adapun pada dasarnya keterampilan adalah sebuah hal penting bagi individual atau perseorangan. setiap orang mempunyai taraf terampil yang berbeda-beda tergantung dengan kemampuan dan pengalaman nya. Menurut Notoadmodjo (2007) bahwa kemampuan seseorang terdiri dari 3 komponen yaitu Knowledge, skill dan attitude, ketiga hal ini mungkin sudah tidak asing kita karena tiga kompetensiini sudah seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Maka dari itu analisis yang digunakan merupakan bagian dari tida kompetensi yang sudah disebutkan sebelumnya.

1). Pengetahuan Keterampilan DasarHousekeeping sendiri merupakan kegiatan seseorang dalam

menjaga, merawat, dan memelihara sebuah “rumah”, dalam penelitian ini “rumah” yang dimaksud ialah hotel, motel atau penginapan yang sejenis. Housekeeping department merupakan suatu divisi yang menaungi para housekeeper dalam suatu lembaga. Departemen ini memiliki tugas dan tanggung jawab yang luas atas seluruh bagian hotel atau penginapan, baik yang ada di dalam ruangan maupun di luar bangunan hotel.

Robbins (2002) mengungkapkan bahwa keterampilan dasar merupakan sebuah keahlian yang wajib dimiliki oleh semua orang seperti membaca, menulis, berhitung serta mendengarkan. Seorang housekeeper harus memiliki kemampuan dasar (basic literacy

104 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

skill) untuk melakukan pekerjaan nya dalam menciptakan kualitas pelayanan tata graha yang baik dan tanpa kendala. Keberhasilan petugas dalam menjaga komunikasi yang baik antar sesama petugas ataupun dengan atasan.

2). Pengetahuan Keterampilan TeknikKeahlian secara teknis yang di dapat melalui pembelajaran

dalam bidang teknik seperti mengoperasikan komputer dan alat digital lainnya, hal tersebut diungkapkan oleh Robbins (2002). Seseorang yang bekerja di bidang jasa pelayanan akomodasi di haruskan memiliki kemampuan technical skill yang baik. Hal tersebut dilaksanakan oleh housekeeper pada saat melakukan pekerjaan-pekerjaannya, hal tersebut dilakukan demi mendapatkan hasil suatu pekerjaan yang maksimal dan juga dapat memberikan kepuasanan layanan fasilitas kepada tamu maka pegawai haruslah mengerti dan menguasai kemampuan technical skill dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan.

Secara langsungnya housekeeper harus mampu menggunakan alat elektronik seperti telepon selular sebagai media berkomunikasi dan juga mengoperasikan mesin pembersih (cleaning equipment) seperti vacuum cleaner, serta media elektronik lainnya. Selain itu housekeeper juga secara berkala harus mengecek alat-alat berbasis digital seperti TV, Air Conditioner, dan minibar untuk mengetahui layak fungsi atau tidak nya pada saat melakukan make-up room di kamar tamu.

Secara teknis housekeeper tidak hanya perlu memiliki kemampuan teknologi sana, kemampuan konfensional juga perlu mereka kuasai, yang mana dengan menguasai kegiatan-kegiatan tanpa alat teknologi juga mereka mampu memberikan pelayanan yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya.

3). Pengetahuan Keterampilan Antar PersonalKeahlian setiap orang dalam melakukan komunikasi satu

sama lain seperti mendengarkan seseorang, memberi pendapat dan bekerja secara tim. Judy C. Pearson (2011) mengungkapkan bahwa komunikasi interpersonal sebagai proses yang menggunakan pesan-pesan untuk mencapai kesamaan makna antara satu orang dengan orang lainnya dalam sebuah situasi yang memungkinkan adanya kesempatan yang sama bagi pembicara dan pendengar. Adapun komunikasi interpersonal ini mengharuskan seseorang untuk mampu berkomunikasi secara verbal maupun non-verbal, dengan tujuan agar dapat mencapai kesamaan makna dari sebuah komunikasi.

105Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam pekerjaannya, seorang housekeeper diharapkan memiliki keahlian atau keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain dengan tujuan untuk dapat mengembangkan kinerja secara optimal. Adapun karakteristik yang biasanya muncul ialah terlihatnya kemampuan berinisiatif, memiliki sikap terbuka (self disclosure), adanya kemampuan memberikan dukungan emosional kepada orang lain, memiliki kemampuan mengatasi konflik.

d. Kendala Dalam Kemampuan Penguasaan Pengetahuan dan Keterampilan

1). Pengetahuan Keterampilan DasarPada pengetahuan keterampilan dasar, pada dasarnya anak

dengan hambatan intelektual memiliki hambatan dalam kecerdasan, yang mana umur meentalnya menunjukan sebuah perbedaan yang cukup signifikan. Bagi anak dengan hambatan kecerdasan yang ringan memungkinkan bahwa dirinya masih memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan membaca, menlis dan berhitung sama seperti orang pada umumnya, tetapi untuk anak dengan hambatan kecerdasan sedang ada kemungkinan ada beberapa kemampuan yang tidak dapat dikuasai dalam keterampilan dasar ini. Maka dari itu adanya observasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keterampilan dasar ini dikuasai oleh para anak dengan hambatan kecerdasan yang menjadi calon peserta diklat.

2). Pengetahuan Keterampilan TeknikPengetahuan yang kurang luas bisa jadi menjadi sebuah

hambatan dalam pemenuhan keterampilan teknik ini. Bahwasanya dapat kita ketahui, tidak semua anak dengan hambatan kecerdasan memiliki kesempatan untuk mencoba menggunakan alat-alat teknologi yang canggih. Tetapi untuk keterampilan teknik konvensional hasil observasi menunjukan kritera yang baik untuk memenuhi kompetensi yang terdapat dalam mata diklat yang akan dibuat selanjutnya.

3). Pengetahuan Keterampilan Antar PersonalAdapun dalam keahlian keterampilan antar personal dalam

penelitian ini menunjukan kesdikit kesenjangan, yang mana hal tersebut kemungkinan besar ditunjukan karena anak dengan hambatan kecerdasan memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata, yang mana menghasilkan penilaian yang cukup senjang dengan orang pada umumnya. Tetapi secara verbal maupun non-verbal anak dengan hambatan kecerdasan mampu mencapai kesamaan makna dari sebuah komunikasi.

106 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1. Hasil

a. Pengetahuan Keterampilan Dasar

Dalam hal ini penulis menggunakan alat bantu checklist saat melakukan observasi terhadap anak dengan hambatan kecerdasan untuk menganalisa keterampilan dasar (basic literacy skill) yang dilakukan. Penulis menggunakan Skala Likert untuk dapat mengukur keterampilan dari anak dengan hambatan kecerdasan. Jumlah peserta didik yang menjadi calon sasaran diklat berjumlah 10 orang dari 4 sekolah berbeda, dengan hambatan kecerdasan ringan.Adapun hasilna ialah sebagai berikut :

Tabel 1.1

Hasil Pengetahuan Keterampilan Dasar

No PertanyaanHasil

3 2 11 Kemampuan menulis log book dan menguasai log book 2 4 42 Kemampuan membaca dan menguasai isi log book 2 3 5

3Kemampuan pada saat memahami log book untuk kegiatan dan

penyampaian informasi untuk shift selanjutnya2 6 2

4Kemampuan membaca pada saat membaca job request yang

diberikan via whatsapp group4 4 2

5Kemampuan dalam mendengarkan perintah yang diberikan melalui

HT (handy talky)4 4 2

Jumlah 14 21 15

Keterangan:3 = Sangat Mampu (SM) 2 = Cukup Mampu (CM) 1 = Sangat Tidak Mampu (STM)

Adapun hasilnya menunjukan data seperti ini:Sangat Mampu (3) = 3 x 14 = 42 Cukup Mampu (2) = 2 x 21 = 42Sangat Tidak Mampu (1) = 1 x 15 = 15 Jumlah = 99

Maka hasil intervalnya menunjukan data interval sebagai berikut

Sangat Mampu Cukup Mampu Sangat Tidak Mampu

150 117 99 84 50

107Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan hasil diatas maka dapat diketahui bahwa kemampuan pengetahuan dasar anak dengan hambatan kecerdasan ringan dalam pengetahuan umumnya ini menunjukan hasil cukup mampu dalam menguasai keterampilan dasar dalam housekeeping. Maka yang dibutuhkan nantinya ialah sebuah penguatan pengetahuan dan keterampilan dalam membaca, menulis dan memahami sebuah task pekerjaan yang ada.

Adapun untuk menghitung rentang skala dalam hasil interval menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah Nilai Maksimal = 150Jumlah Nilai Minimal = 50Nilai Tertinggi = 3Nilai Terendah = 1

Rentang Skala (R)

Tabel 1.2

Hasil Presentase Kebutuhan Diklat Pengetahuan Keterampilan Dasar

No PertanyaanHasil

% Kurang Butuh % Butuh % Sangat

Butuh

1Kemampuan menulis log book dan menguasai log book

20% 40% 40%

2 Kemampuan membaca dan menguasai isi log book 20% 30% 50%

3

Kemampuan pada saat memahami log book untuk kegiatan dan penyampaian informasi untuk shift selanjutnya

20% 60% 20%

4

Kemampuan membaca pada saat membaca job request yang diberikan via whatsapp group

40% 40% 20%

5

Kemampuan dalam mendengarkan perintah yang diberikan melalui HT (handy talky)

40% 40% 20%

108 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

b. Pengetahuan Keterampilan Teknik

Adapun hasil dari pengetahuan keterampilan teknik itu sendiri menghasilkan data sebagai berikut:

Tabel 1.3

Hasil Pengetahuan Keterampilan Teknik

No PertanyaanHasil

3 2 1

1 Keterampilan dalam membersihkan kamar dengan detail dan teliti 2 7 1

2 Keterampilan menggunakan alat elektornik pada saat membersihkan kamar 2 4 4

3 Keterampilan melakukan double check terhadap setiap amenities yang di set up di kamar 2 6 2

4 Keterampilan dalam memperkirakan waktu pada saat membersihkan kamar 4 4 2

5 Keterampilan mengecek keberfungsian alat elektronik yang tersedia pada kamar 2 4 4

Jumlah 12 29 13Adapun hasilnya menunjukan data seperti ini:

Sangat Mampu (3) = 3 x 12 = 36 Cukup Mampu (2) = 2 x 29 = 58Sangat Tidak Mampu (1) = 1 x 13 = 13 Jumlah = 107

Maka hasil intervalnya menunjukan data interval sebagai berikut

Sangat Mampu Cukup Mampu Sangat Tidak Mampu

150 117 107 84 50

Berdasarkan hasil diatas maka dapat diketahui bahwa kemampuan pengetahuan teknik anak dengan hambatan kecerdasan ringan dalam pengetahuan umumnya ini menunjukan hasil cukup mampu yang lebih condong kea rah sangat mampu dalam menguasai keterampilan teknis dalam housekeeping. Maka yang dibutuhkan nantinya ialah sebuah penguatan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan pelaksanaan housekeeping. Berdasarkan hasil diatas, anak dengan hambatan tunagrahita menunjukan nilai yang baik dalam kegiatan konvensional, tetapi tidak dengan kegiatan yang berhubungan dengan elektronika, yang mana nantinya dalam kegiatan diklat diharapkan

109Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kegiatan-kegiatan yang menggunakan skill dan pengetahuan mengenai alat elektronik dapat di asah sedemikian rupa.

Tabel 1.4Hasil Presentase Kebutuhan Diklat Keterampilan Teknik

No PertanyaanHasil

% Kurang Butuh

% Butuh% Sangat

Butuh

1Keterampilan dalam membersihkan kamar dengan detail dan teliti

20% 70% 10%

2Keterampilan menggunakan alat elektornik pada saat membersihkan kamar

20% 40% 40%

3Keterampilan melakukan double check terhadap setiap amenities yang di set up di kamar

20% 60% 20%

4Keterampilan dalam memperkirakan waktu pada saat membersihkan kamar

40% 40% 20%

5Keterampilan mengecek keberfungsian alat elektronik yang tersedia pada kamar

20% 40% 40%

c. Pengetahuan Keterampilan Antar Personal

Adapun hasil dari pengetahuan keterampilan antar personal itu sendiri menghasilkan data sebagai berikut:

Tabel 1.5Hasil Pengetahuan Keterampilan Antar Personal

No PertanyaanHasil

3 2 1

1 Housekeeper memiliki komunikasi yang baik antar satu sama lain 2 5 3

2Housekeeper mahir menggunakan aplikasi Whatsapp untuk memberikan job request atau handling over kepada room attendant lainnya

2 5 3

3 Housekeeper membangun kerja sama tim yang baik 2 6 2

4 Housekeeper memberikan evaluasi satu sama lain untuk menciptakan kinerja yang efektif dan efisien 2 2 6

110 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No PertanyaanHasil

3 2 1

5Housekeeper memberikan informasi terhadap setiap segala masalah yang terjadi dioperasional kepada atasan (room supervisor / manager)

4 4 2

Jumlah 12 22 16Adapun hasilnya menunjukan data seperti ini:

Sangat Mampu (3) = 3 x 12 = 36Cukup Mampu (2) = 2 x 22 = 44Sangat Tidak Mampu (1) = 1 x 16 = 16 Jumlah = 102

Maka hasil intervalnya menunjukan data interval sebagai berikut

Sangat Mampu Cukup Mampu Sangat Tidak Mampu

150 117 102 84 50

Berdasarkan hasil diatas maka dapat diketahui bahwa kemampuan keterampilan antar personal bagi anak dengan hambatan kecerdasan ringan dalam pengetahuan umumnya ini menunjukan hasil cukup mampu dalam menguasai keterampilan antar personal. Maka yang dibutuhkan nantinya ialah sebuah pemelajaran berkomunikasi secara baik agar tidak ada masalah dalam menyerap informasi dari masing-masing individu, baik sesame pegawai, kepada atasan maupun tamu dan lainnya.

Tabel 1.6

Hasil Presentase Kebutuhan Diklat Keterampilan Antar Personal

No PertanyaanHasil

% Kurang Butuh

% Butuh% Sangat

Butuh

1Housekeeper memiliki komunikasi yang baik antar satu sama lain

20% 50% 30%

2

Housekeeper mahir menggunakan aplikasi Whatsapp untuk memberikan job request atau handling over kepada room attendant lainnya

20% 50% 30%

111Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No PertanyaanHasil

% Kurang Butuh

% Butuh% Sangat

Butuh

3Housekeeper membangun kerja sama tim yang baik

20% 60% 20%

4

Housekeeper memberikan evaluasi satu sama lain untuk menciptakan kinerja yang efektif dan efisien

20% 20% 60%

5

Housekeeper memberikan informasi terhadap setiap segala masalah yang terjadi dioperasional kepada atasan (room supervisor / manager)

40% 40% 20%

Tabel 1.7

Hasil Pertimbangan Alokasi Waktu Diklat

NoKategori Mata

Tataran

% RataRata Penguasaan

Peserta

Kelompok Alokasi Waktu

Bobot Alokasi Waktu

1Materi yang harus diketahui (Must Know)

0-40 A 6

2Materi yang sebaiknya diketahui (Should Know)

41-79 B 3

3

Materi yang ada baiknya jika diketahui (Nice to Know)

80-100 C 1

D. Kesimpulan dan Saran

Secara rata-rata tingkat kompetensi kerja berdasarkan 3 kategori yang telah dijelaskan berdasarkan analisis diatas menunjukan hasil yang berada pada rata-rata, hal tersebut masih menunjukan ada kesenjangan dalam kompetensi yang ada dengan kompetensi yang dimiliki oleh anak dengan hambatan kecerdasan. Kesenjangan yang ditunjukan ada pada beberapa aspek kegiatan,

112 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang mana sebagai upaya pengambilan keputusan mata diklat maka dari beberapa kompetensi yang telah di observasi sebelumnya akan dijabarkan sesuai tasak analisis berdasarkan masing-masing kompetensi.

Untuk meningkatkan analisis kebutuhan pelatihan, penulis dapat merujuk implikasi manajerial sebagai berikut : Menetapkan peserta pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan pencapaian visi misi dan peningkatan kompetensi inti, mengoptimalkan penggunaan media elektronik dalam kegiatan diklat, melibatkan pendidik atau tutor dalam segala kegiatan untuk mengoptimalkan kemampuan calon sasaran diklat, melaksanakan kegiatan diklat berdasarkan task analysis yang telah dibuat, serta yang terakhir adalah memasukan bobot mata diklat sesuai dengan presentase hasil kebutuhannya. Secara umum harus adanya tindakan tegas yang mutlak untuk keterampilan ini yang masih berada dalam kategori sangat tidak mampu menguasai. Hal ini akan berdampak negatif bagi sesama petugas dan tidak sesuai harapan penguasaan kompetensi, maka dari itu hasil analisis kebutuhan diklat ini cukup berpengaruh terhadap penyusunan kerangka pelaksanaan diklat selanjutnya.

Daftar Pustaka

Arikunto S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Reneka Cipta.

Atmodiwiro, Soebagio. (2005). Manajemen Pelatihan. Jakarta: PT Ardadizya Jaya.

Basri, Hasan dan Rusdiana A. (2015). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan. Bandung: Pustaka.

Brown, Judith. (2002). Training Needs Assessment: A Must for Developing an Effective Training Program. Public Personal Manaement. 31 (04). p.569-578.

Creswell, J. W. (2010). Research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar.

Dariyanto & Bintoro. (2014). Manajemen Diklat. Yogyakarta: Gava Media.

Effendi, Syahril. (2005). Analisis Peningkatan Pengusaha Kecil Sesudah Mengikuti Pelatihan Kewirausahaan yang diseleggarakan oleh Swisscontact Medan. Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6. No 5. November 2005.

Febrianis I, Muljono P, Susanto D. (2014). Pedagogical Competence-based Training Need Analysis For Natural Science Teachers. Journal of Education and Learning, Vol 2, p 144-151

113Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Ferdous,Tahmina & B.M. Razzak. (2012). Importance of Training Needs Assessment in the Banking Sector of Bangladesh: A Case Study on National Bank Limited (NBL). International Journal of Business and Management Vol.7

Haryono, Anung. (2004). Analisis Kebutuhan Pelatihan. Jakarta: Prenada Media.

Mangkunegara, A. (2003). Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Bandung: PT Refika Aditama.

Narasimhan, Ramanarayanan. (2014). Analysis of Training Needs Assesment and Implementation – Comparative Study of Public and Private Sector Banks. Indian Journal of Commerce & Management Studies, Volume 5, issue 3, Sep 2014.

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.

Okpara, J.O. (2011). Factors constraining the growth and survival of SMEs in Nigeria Implications for poverty alleviation. Management Research Review, Vol. 34 No. 2, 2011 pp. 156-171

Reed Jacqueline, Vakola Maria. (2006). What Role Can a Training Needs Analysis Play in Organisational Change?, Journal of Organizational Change Management, Vol. 19, No 3 pp. 393-407.

Rivai, E. dan Sagala, J. E. (2009). Manajemen Sumberdaya Manusia untuk Perusahaan. Jakarta: Rajawali Pers.

Rosnani Jusoh, Babak Ziyae, Soib Asmirian, Suhaida Abd. Kadir. (2011). Entrepreneur Training Needs Analysis Implications on The Entrepreneurial Skill Needed for Successful Entrepreneurs, International Business & Economic Research Journal – January 2011 Vol 10, Number 1.

Rumekso. (2004) Housekeeping Hotel. Yogyakarta: Andi.

Sulastiyono, A. (2008). Manajemen Penyelenggaraan Hotel. Bandung: Alfabeta.

114 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Retrospective and Prospective Study of Indonesia’s Teacher Education Program

Della Amelia1*, Dinn Wahyudin2, Mukhidin3

1Graduate Student Concentrated in Curriculum Development at Indonesia University of Education ([email protected]), 2Professor of Curriculum

Development ([email protected]), 3Professor of Curriculum Development and Electrical

Engineering ([email protected])

ABSTRACT

This article examines development of Indonesia’s teacher education program through retrospective and prospective study. Teacher education is a program that is related to the development of teacher proficiency and competence that would enable and empower the teacher to meet the requirements of the profession and face the challenges therein. It is well known that the quality and extent of learner achievement are determined primarily by teacher competence, sensitivity and teacher motivation. Teacher education in Indonesia has had its long history since the colonial until post reformation era. In the early formation of the country, even though with severe limitation and emergency circumstances, Indonesian teacher education had extended its credibility where teachers in this era were highly appreciated. Nevertheless, teacher education’s credibility started to decline due to mixed internal factors started in mid 1960s. Regime transformation, under capacity of teacher to meet overwhelming demand across the nation led to negligent teacher preparation which resulted in teacher lack of professionalism. This article adopts inductive analytical approach to retrospect and prospect Indonesia’s teacher education program. This paper also critically reflect various enacted policies on Indonesia’s teacher education program as well as professional development of future and in-service teacher.

Keywords: Teacher education; educational policy; teacher proficiency; Indonesia.

A. Pendahuluan

Jika kurikulum dipandang sebagai jantung atau ruh suatu sistem pendidikan, maka guru merupakan sosok terpenting yang memastikan jantung pendidikan tersebut terus bekerja sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Baik buruknya implementasi kurikulum yang sudah direncanakan ditentukan oleh kemampuan guru dalam melaksanakannya. Guru merupakan faktor strategis,

115Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

serta perekayasa pendidikan yang akan mewarnai proses belajar mengajar dan tentunya sangar mempengaruhi kualitas lulusan. Program pendidikan guru, sebagai lembaga resmi pencetak guru masa depan memegang peranan penting dalam menghasilkan guru berkualitas. Sejarah program pendidikan guru nasional sudah ada jauh sebelum negera ini bernama Indonesia, tentunya dengan tujuan dan program pendidikan yang berbeda dengan masa setelah kemerdekaan diproklamasikan. Menelaah sejarah perjalanan pendidikan guru Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, walaupun dengan segala keterbatasan dan kondisi negara yang masih dalam fasa rehabilitasi pasca penjajahan, pendidikan guru mampu menghasilkan guru yang memiliki status terhormat dan cukup tinggi di masyarakat. Hal positif tersebut terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1960an dimana status guru di masa itu masih sangat mulia ditinjau dari aspek kedudukan dan penghasilan. Bahkan dapat dikatakan calon guru yang mengikuti pendidikan guru merupakan putra-putri terbaik dari berbagai kalangan masyarakat (Subijanto, 2007). Pergeseran kekuasaan politik, melonjaknya angka kelahiran, serta perluasan akses pendidikan di 3 dekade berikutnya mengakibatkan kebutuhan akan guru meningkat secara drastis di seluruh bagian negeri. Namun hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan mutu program yang ada, akibatnya calon guru pada program pendidikan guru tidak terseleksi dengan baik, bahkan perekrutan guru terkesan tergesa-gesa hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, sehingga penekanan pada kualitas input pendidikan guru menjadi lemah. Implikasi dari hal ini adalah menurunnya profesionalisme guru dan juga status terhormat guru di kalangan masyarakat. Daya tarik pendidikan guru dan profesi guru semakin berkurang bagi peserta didik, bahkan tidak jarang pendidikan guru dijadikan sebagai pilihan kedua, ataupun pilihan terakhir bagi siswa yang pada umumnya gagal masuk Perguruan Tinggi favorit. Perkembangan pendidikan guru Indonesia pasca kemerdekaan dapat dikelompokkan ke dalam 3 periode utama, yaitu: Era Orde Lama, Era Orde Baru, dan Era Reformasi.

Beragam kebijakan terkait pendidikan disahkan oleh pemerintah di masing-masing era yang tentunya berimplikasi pada program pendidikan guru baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Baru melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, titik awal upaya pemerintah untuk mereformasi, meningkatkan kualitas dan profesionalisme, serta tingkat kesejahteraan guru dimulai. Selain itu, pemerintah juga berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan pendidikan dan profesi guru agar generasi penerus bangsa kembali mencintai profesi guru.

Studi retrospektif dan prospektif program pendidikan guru dalam artikel ini mengkaji pendidikan guru Indonesia sejak kemerdekaan diproklamasikan hingga saat ini dengan tujuan untuk mengingat kembali perjalanan pendidikan

116 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

guru di Indonesia, mengambil pelajaran bergharga dari pengalaman yang pernah ada, serta mempersiapkan pendidikan guru yang dapat mencetak guru profesional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan memajukan pendidikan nasional. Studi retrospektif dan prospektif ini menggunakan pendekatan analisis induktif dalam mengkaji program pendidikan guru beserta kebijakan pemerintah terkait profesi dan pendidikan guru.

B. Metode Analisis

Artikel ini mengkaji program pendidikan guru Indonesia melalui studi retrospektif dan prospektif. Studi retrospektif dilakukan dengan mengambil data yang berhubungan dengan masa lalu terkait pendidikan guru Indonesia, dan studi prospektif dilakukan dengan menelaah program pendidikan guru Indonesia saat ini secara longitudinal dengan mengikuti perjalanan ke depan berdasarkan urutan waktu. Selain itu, dalam kurun waktu dari tahun 1950-2020 berbagai kebijakan terkait pendidikan telah dikeluarkan oleh pemerintah. Artikel ini juga mengkaji kebijakan relevan terkait pendidikan guru dan implikasinya pada perkembangan pendidikan guru Indonesia serta kualitas dan profesionalisme guru Indonesia. Studi retrospektif dan prospektif dalam artikel ini menggunakan pendekatan analisis induktif dalam mengkaji pendidikan guru serta berbagai kebijakan pemerintah terkait pendidikan guru dan profesi guru. Luasnya cakupan informasi yang disajikan dalam setiap kebijakan dikelola dengan memperhatikan hal-hal berikut:

1. Hanya kebijakan yang berlaku secara nasional yang dikaji dalam studi retrospektif dan prospektif dalam artikel ini. Kebijakan yang bersifat lokal atau daerah tidak diikutsertakan.

2. Hanya kebijakan berskala nasional terkait profesi guru atau pendidikan guru yang menjadi kajian retrospektif dan prospektif dalam artikel ini. Kebijakan lain yang terdapat dalam dokumen yang sama tidak dijadikan fokus pembahasan.

3. Sumber informasi kedua seperti buku, artikel jurnal, dan laporan berbagai media, baik media cetak dan media elektronik, digunakan sebagai dasar interpretasi alternatif, pemberian opini kritis, dan sebagai pemeriksaan silang serta pembanding terhadap pernyataan yang disampaikan oleh pemerintah.

Hasil analisis induktif kebijakan penulis sajikan secara kronologis beserta implikasinya terhadap perkembangan program pendidikan guru dan kualitas guru Indonesia.

117Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. Hasil dan Pembahasan

Awal Mula Pendidikan Guru Indonesia

Secara global, dorongan utama dalam setiap kebijakan pendidikan yang disahkan adalah upaya untuk mencari pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa (OECD, 2012). Tanpa kelas, gedung, dan peralatan pendukung lainnya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tidak mungkin dapat berjalan. Guru, sebagai perekayasa pendidikan memainkan peran strategis dalam menciptakan lingkungan belajar yang mampu meningkatkan hasil belajar siswa serta menumbuhkan kecintaan siswa untuk belajar. Kualitas guru sering dijadikan titik tolak akuntabilitas lembaga pendidikan guru sebagai lembaga formal yang mencetak tenaga guru. Akuntabilitas telah menjelma sebagai strategi reformasi utama dalam pendidikan dasar, pendidikan menengah (Carnoy et al., 2003; Sahlberg 2010), pendidikan tinggi (Alexander 2000; Trow 1996), dan juga sektor publik lainnya (O’Neill 2002; Romzek 2000). Perkembangan pendidikan guru sejak Indonesia merdeka tentu tidak luput dari kebijakan yang mendasarinya. Meski penuh dengah pengaruh politik, kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentunya menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dimana kebijakan tersebut dilaksanakan.

Di era Orde Lama (1945-1966), kebijakan terkait pendidikan guru diawali dengan agenda pemberantasan buta aksara serta urgensi pembaharuan pendidikan dan pengajaran untuk bangsa yang baru saja merdeka dan mencoba untuk mandiri. Di periode awal Orde Lama (1945-1953), agenda pendidikan guru difokuskan mencetak guru untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang mendesak. Dengan segala keterbatasan dana, tenaga, dan keahlian, berbagai lembaga pendidikan guru dan kursus guru darurat didirikan untuk mencetak guru sebanyak mungkin untuk mendidik anak bangsa yang haus akan pendidikan yang benar-benar bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Walau kondisi serba darurat dengan berbagai keterbatasan, status pendidikan guru dan profesi guru dipandang cukup tinggi baik secara sosial dan ekonomi. Kebijakan terkait pendidikan guru di periode kedua Orde Lama (1954-1959) didominasi oleh peningkatan kualitas guru dengan pembentukan lembaga pendidikan guru di tingkat Perguruan Tinggi. Pembentukan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) ini bertujuan untuk menyuplai kebutuhan guru terutama untuk Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas. Tidak dipungkiri, di zaman kolonial sangat jarang penduduk egaliter Indonesia yang mampu mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah, pendidikan menengah dan atas dikhususkan untuk anak-anak dari keluarga ningrat ataupun priyai. Sehingga pasca kemerdekaan pasokan guru untuk mengajar di Pendidikan Menengah dan Pendidikan Atas sangat terbatas.

118 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pendidikan guru di periode akhir Orde Lama (1960-1965) diwarnai dengan dualisme lembaga penyelenggara pendidikan guru, yaitu Institut Pendidikan Guru di bawah naungan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, serta PTPG yang diintegrasikan menjadi FKIP di bawah naungan Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Munculnya dualisme ini merupakan imbas masuknya pengaruh politik ke dalam ranah pendidikan, gejolak dinamika politik yang tak terhindarkan mengakibatkan guru terpolarisasi ke dalam dua kelompok di masa ini, yaitu kelompok pro komunis dan kelompok anti komunis. Pemerintah pusat, sebagai pemangku kebijakan utama terkait pendidikan guru akhirnya menyatukan dualisme lembaga pendidikan guru tersebut ke dalam bentuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Menyusul 4 PTPG (Malang, Bandung, Batusangkar, dan Tondano) yang telah berdiri pada tahun 1954 dan sempat diintegrasikan ke dalam FKIP di universitas terdekat kemudian berubah menjadi IKIP, terbentuk juga 6 IKIP lainnya di seluruh Indonesia yaitu di Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Di periode akhir era Orde Lama ini pemerintah sudah mulai mencanangkan perlu adanya Professional Development guru untuk meningkatkan standar profesional pengajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Perluasan Akses Pendidikan vs Kemerosotan Profesi dan Pendidikan Guru

Pergeseran tampuk pemerintahan yang terjadi pada tahun 1966 tentunya berimbas pada dunia pendidikan, termasuk profesi dan pendidikan guru. Dibukanya ribuan Sekolah Dasar Instruksi Presiden (SD Inpres) merupakan upaya pemerintah untuk memperluas akses pendidikan hingga daerah terpencil. Adanya SD Inpres ini tentu membuka harapan bagi penduduk ekonomi kelas bawah dan menengah untuk mengenyam pendidikan. Selain itu, angka kelahiran yang cukup besar berdampak pada membesarnya jumlah murid Sekolah Dasar yang dengan sendirinya mengakibatkan membesar juga jumlah siswa Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas. Meningkatnya angka kelahiran dan bertambahnya jumlah sekolah secara masif tentu berbanding lurus dengan penambahan jumlah siswa untuk dididik, kebutuhan terhadap guru terus meningkat sementara kemampuan lembaga pendidikan guru dalam mencetak tenaga guru sangat terbatas. Kekurangan tenaga guru ini memicu menjamurnya lembaga pendidikan guru partikelir di tahun 1970an dan 1980an. Walau secara praktis menjamurnya lembaga pendidikan guru partikelir ini dapat memberi pengaruh besar dalam pengadaan guru, terutama guru Sekolah Dasar, tetapi juga berperan dalam menurunkan wibawa pendidikan guru secara umum akibat mutunya yang tidak terkendali. Ekspansi besar-besaran pengadaan guru tidak diikuti dengan upaya mempertahankan, apalagi meningkatkan kualitas, kesejahteraan dan kondisi kerja guru. Kualitas calon guru di lembaga

119Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pendidikan guru tidak terseleksi dengan baik, sehingga kualitas guru yang dihasilkan mulai merosot. Hal ini berimbas pada menurunnya status sosial pendidikan dan profesi guru di masyarakat. Pendidikan dan profesi guru yang awalnya cukup membanggakan dan di masyarakat mendapat tempat terhormat dan mulia (Subijanto, 2007) perlahan mulai tergerus. Calon guru di lembaga pendidikan guru yang awalnya merupakan bibit unggul putra-putri terbaik di kalangan masyarakat, perlahan beralih menjadi putra-putri bangsa yang menempatkan pendidikan guru sebagai pilihan kedua karena tidak diterima di Perguruan Tinggi favorit. Program pendidikan guru di Perguruan Tinggi semakin kurang diminati, calon mahasiswa cendrung memilih program lain seperti hukum, teknik ataupun ilmu murni lainnya. Profesi guru juga semakin kurang peminatnya karena kesejahteraan guru dirasa belum memadai jika dibanding profesi lain seperti dokter, akuntan, pengacara ataupun insinyur (Subijanto, 2007).

Ekspansi besar-besaran pengadaan tenaga guru, terutama pada guru Sekolah Dasar, mengakibatkan banyaknya guru yang memiliki kualifikasi akademik rendah. Kualifikasi akademik tenaga guru di tahun 1970an hingga 1990an mayoritas hanya sebatas D-I dan D-II, sehingga tingkat profesionalisme guru masih jauh dari yang diharapkan. Missmatch antara latar belakang pendidikan guru yang dimiliki dengan mata pelajaran yang diampu turut berkontribusi dalam kemerosotan kualitas guru yang ada. Rendahnya kualitas dan profesionalisme guru ini juga yang menyebabkan guru digaji tidak baik. Tanggung jawab dan pengorbanan seorang guru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraannya sehingga profesi guru dianggap sebagai profesi kelas 2 dibanding profesi lain. Berkembangnya budaya PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada profesi guru dan pendidikan guru ternyata hanya meningkatkan kepatuhan terhadap hirarki norma, aturan dan prosedur jabatan, bukan meningkatkan kualitas intelektual dan profesionalisme guru dan pendidikan guru.

Upaya Peningkatan Profesionalisme

Pendidikan guru dalam beberapa dekade terakhir ini telah mendapat perhatian yang tinggi dari pembuat kebijakan dan juga peneliti (Jenset, 2018). Berbagai pihak telah mengakui bahwa guru merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran siswa (OECD, 2005), dan penelitian telah menekankan pentingnya pendidikan guru yang berkualitas tinggi (Darling-Hammond et al., 2005) untuk mencetak guru profesional yang diharapkan. Namun demikian, bukan berarti pendidikan guru tidak lepas dari kritik terkait output guru yang dihasilkan. Upaya serius peningkatan kualitas pendidikan guru di Indonesia baru terasa setelah memasuki Era Reformasi. Runtuhnya Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun pada 21 Mei 1998 menandakan dimulainya

120 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Era Reformasi di Indonesia. Bagi pendidikan guru, awal era reformasi ini ditandai dengan berubahnya 10 IKIP yang sudah eksis sejak Orde Lama menjadi universitas, disusul dengan perubahan IKIP lain yang ada di Indonesia di tahun-tahun berikutnya. Perubahan ini merupakan momentum penting bagi pendidikan guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru yang dicetak, sekaligus memperluas wewenang universitas mantan IKIP untuk membuka program studi non kependidikan. Dengan berubahnya IKIP menjadi universitas, berarti terdapat dua kelompok lembaga pendidikan guru, yaitu: universitas dan STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang bertugas untuk mencetak guru. Meskipun terdapat dua lembaga formal pendidikan guru berjenjang Pendidikan Tinggi, tetapi dasar, tujuan dan misinya sama, perbedaanya hanya terdapat pada keorganisasiannya (Sukmadinata, 1997:210).

Tertanggal 12 Agustus 2020 terdapat 61 Universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan program studi pendidikan guru (Kompas, 2020). Angka ini tentunya jauh lebih besar dibanding dengan jumlah lembaga pendidikan guru yang tersedia pada Era Orde Lama dan Orde Baru, serta diharap dapat memasok kebutuhan guru di seluruh wilayah Indonesia. Angka program pendidikan guru yang tinggi harus diimbangi dengan kualitas guru yang dicetak, jangan sampai hanya angka lulusannya saja yang tinggi tapi tidak dibarengi dengan kualitas lulusan yang tinggi. Pada 30 Desember 2005, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Guru dan Dosen, serta diikuti dengan pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 pada tanggal 30 Mei 2017 yang merupakan perubahan PP Nomor 74 Tahun 2008, serta Permendikbud Nomor 38 tahun 2020 tentang sertifikasi guru. Disahkannya undang-undang dan peraturan pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru dalam memajukan kualitas pendidikan Indonesia.

Sejak munculnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru, baik tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi akademik dari pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar SMP atau SMA saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat. Menurut undang-undang yang berlaku, guru wajib memiliki kualifikasi akademik (sarjana atau diploma empat), kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Yang dimaksud dengan Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan

121Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kepada guru sebagai tenaga profesional (Kemdikbud, 2020). Sertifikat Pendidik dapat diperoleh melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan.

Baik PPG prajabatan maupun PPG dalam jabatan diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Untuk saat ini terdapat 61 LPTK di seluruh Indonesia yang menyelenggarakan PPG (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). Berdasar data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per tanggal 12 Desember 2020, jumlah guru di Indonesia yang terverifikasi sebanyak 2.708.096 orang dengan persentase guru sertifikasi di tiap jenjang pendidikan sebagai berikut: Sekolah Dasar 45,77%, Sekolah Menengah Pertama 48,44%, Sekolah Menengah Atas 41,09%, Sekolah Menengah Kejuruan 28,49%, dan Pendidikan Luar Biasa 45,07%. Data ini menunjukkan bahwa jumlah guru Indonesia yang tersertifikasi saat ini belum mencapai setengah dari total guru yang ada. Dengan usaha yang terus dilakukan pemerintah, angka ini tentu akan terus bertambah dalam kurun waktu 3 atau 5 tahun ke depan. Unsur ketergesaan dalam pengadaan Sertifikat Pendidik sebaiknya diantisipasi dan dihindari oleh pemerintah agar ketergesaan yang dulu pernah terjadi dalam pengadaan tenaga guru yang berimplikasi pada kemerosotan kualitas profesi dan pendidikan guru tidak terulang lagi. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai agen pembelajaran, serta bertujuan untuk meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan. Oleh karena itu, Sertifikat Pendidik sudah sewajarnya hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berkualitas dan memiliki profesionalisme tinggi untuk/dalam menjalankan kewajibannya sebagai tenaga pendidik. Untuk saat ini, Sertifikat Pendidik yang diperoleh guru berlaku selama yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai guru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sertifikasi guru bukanlah hal yang baru, di dunia pendidikan global program ini sudah lama diadakan. Jepang, negara di timur asia, telah melaksanakan sertifikasi pendidikan sejak tahun 1974. Sementara di Cina, sertifikasi telah diberlakukan dari tahun 2001, begitu juga Filipina dan Malaysia yang telah mensyaratkan kualifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru lebih dahulu dibandingkan Indonesia (Muslich, 2007:4). Melihat trend yang ada dalam dunia pendidikan global, sertifikasi pendidik memang perlu diperbaharui secara berkala sebelum akhirnya guru yang bersangkutan mendapat sertifikat permanen dengan memenuhi kriteria tertentu. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pendidikan bersifat dinamis serta mengikuti perkembangan zaman, jangan sampai hanya sistem pendidikan yang bergerak maju mengikuti perkembangan IPTEK namun kompetensi yang dimiliki tenaga pendidik hanya berjalan di tempat tanpa adanya pembaharuan. Tentunya untuk

122 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

melaksanakan semua ini diperlukan perencanaan yang matang dari berbagai pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan.

Penanaman profesionalitas tentu perlu dilakukan sedini mungkin, sejak masa pendidikan calon guru melalui program pendidikan guru. Model kurikulum concurrent yang diterapkan dalam program pendidikan guru diharap mampu menanamkan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional pada calon guru. Kurikulum pendidikan guru saat ini sudah lebih tersusun secara sistematis dibandingkan era sebelumnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk terus dikembangkan karena kurikulum bersifat dinamis. Apa yang harus dimuat dalam kurikulum pendidikan guru dan cara terbaik untuk mendidik calon guru untuk profesinya dan untuk masa depan memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini (Ling, 2017). Kurikulum pendidikan guru saat ini harus dapat mengarahkan calon guru untuk menguasai soft skills, hard skills, serta kompetensi abad 21 yang pastinya akan sangat berguna dalam peningkatan profesionalisme calon guru.

Program pendidikan guru yang dikembangkan LPTK saat ini diarahkan pada pengembangan kemampuan yang seimbang, baik kemampuan kependidikan maupun kemampuan bidang studi. Bobot SKS memang lebih besar pada bidang studi, hampir ¾ dari kependidikan. Dengan semakin menggemanya Pendidikan Guru Berbasis Kompetensi (PGBK), pengembangan kurikulum pendidikan guru berikutnya dapat menerapkan konsep PGBK secara utuh. PGBK dapat memfokuskan kembali pendidikan guru pada serangkaian kecil praktik pengajaran inti yang harus dapat dilakukan calon guru secara efektif dengan seluruh siswa yang ada di ruang kelas di jenjang pendidikan apapun (Anagnostopoulos et al., 2017). Salah satu karakteristik dasar PGBK yaitu program pengajaran berpusat pada lapangan. Karena PGBK menekankan pada perbuatan, maka kegiatan pengajaran sebanyak-banyaknya dilaksanakan di lapangan dalam situasi yang nyata (Sukmadinata, 1997:207). Karakteristik PGBK ini tentu akan berimplikasi pada bertambahnya bobot praktik dalam program pendidikan guru, dan diperlukan adanya sekolah mitra untuk memfasilitasi pengajaran yang berpusat pada lapangan. Melalui hubungan sekolah mitra-universitas calon guru diharapkan mendapatkan pengalaman mengajar di sekolah mitra dalam mata pelajaran yang mereka pelajari. Guru mentor yang ada di sekolah mitra pun harus benar-benar terkualifikasi untuk menjadi mentor, bukan sekedar guru yang ada di sekolah bersangkutan, dimana hal ini masih sering diabaikan sebelumnya (Munthe et al., 2011). Praktik lapangan yang diadakan selama masa pendidikan guru sangat penting untuk meningkatkan kompetensi praktis yang dibutuhkan calon guru di masa depan(Anderson & Stillman, 2013; Brouwer & Korthagen, 2005; Darling-Hammond & Bransford, 2005; Grossman et al., 2008; National

123Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Research Council [NRC], 2010; Ronfeldt, 2012, 2015), dan calon guru sering menyebutkan bahwa praktik lapangan merupakan pengalaman paling berharga selama masa pendidikan guru (Darling-Hammond at al., 2005). Selain itu, program pendidikan guru perlu memiliki suatu standar nasional yang akan menjadi acuan dalam pengembangan, pelaksanaan, maupun evaluasi program pendidikan guru.

Terdapat beberapa prinsip yang perlu dijadikan pegangan dalam pengembangan pendidikan guru. Pertama, standarisasi syarat masuk ke lembaga pendidikan guru sehingga dapat menjaring calon-calon guru yang potensial dan cocok. Kedua, adanya tiga komponen terintegrasi, yaitu pendidikan umum, minimal satu bidang spesialis, dan keahlian dalam kurikulum dan pengajaran dalam program pendidikan guru. Ketiga, evaluasi perkembangan calon guru selama program berlangsung menggunakan teknik penilaian yang bervariasi, seperti: tes tertulis, lisan, pengamatan praktik secara langsung dan melalui video, serta penilaian atas hasil kerja mereka. Hanya yang memperlihatkan hasil-hasil yang baiklah yang dapat diluluskan, yang lain perlu pembinaan lagi. Keempat, akreditasi program pendidikan guru dengan standar yang memungkinkan calon guru bisa bekerja dengan baik. Kelima, perlu ada lembaga yang memberikan legalitas terhadap kelayakan program pendidikan guru, standar yang digunakan serta memberikan sertifikasi terhadap guru. Lembaga ini dikelola oleh para ahli pendidikan guru, para guru dan pelaksana pendidikan (Sukmadinata, 1997:204). Berdasar studi pendidikan guru yang telah dijabarkan sebelumnya, 4 dari 5 prinsip yang dikemukakan ini sudah diwujudkan oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang disahkan terkait guru dan pendidikan guru.

Prinsip yang belum tergambar secara spesifik yaitu adanya standarisasi syarat untuk masuk program pendidikan guru. Saat ini, syarat masuk program pendidikan guru sama dengan syarat masuk program pendidikan lainnya, padahal secara teknis pelaksanaan di lapangan, baik selama masa studi pendidikan guru maupun di dunia kerja, profesi guru membutuhkan beragam kompetensi yang sifatnya bukan hanya teknis tetapi juga naluriah. Mengajar bukanlah perkara mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, hanya mereka yang memiliki kasih sayang, toleransi dan keinginan untuk terus belajar yang dapat mengajar dengan baik (Baris & Aydemir 2019). Banyak penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara minat dan pembelajaran, minat seseorang memiliki pengaruh yang kuat pada proses pembelajaran, khususnya pada perhatian, tujuan, dan tingkat belajar (Hidi & Harackiewicz 2000; Hidi & Renninger 2006; Mikkonen 2012; Ketonen 2017). Oleh karena itu, penerimaan calon siswa pendidikan guru harus didasarkan atas pertimbangan potensi, minat, kecakapan, serta karakteristik pribadi yang dimiliki yang sesuai dengan sifat program yang dipilih. Sebagai contoh seleksi calon siswa pendidikan guru

124 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

di Finlandia dilakukan melalui dua tahap ujian: Pertama, pelamar berpartisipasi dalam ujian masuk nasional untuk bidang pendidikan. Kedua, nilai ujian ini kemudian dijadikan dasar untuk undangan tes bakat di setiap universitas. Semua universitas penyelenggara pendidika guru memiliki tes bakat sendiri, yang biasanya termasuk wawancara, latihan kelompok, tes psikologi dan berbagai jenis tes tertulis (Rautiainen, Mäensivu & Nikkola, 2018). Begitu juga dengan di Jepang, untuk dapat masuk program pendidikan guru, siswa harus mengikuti ujian masuk yang diadakan setahun sekali oleh National University Entrance Examination Center, dimana nilai yang didapatkan dari ujian ini akan menentukan program pendidikan guru di universitas mana yang dapat diikuti oleh siswa (Orakçı, 2015).

Bagaimana Selanjutnya?

Zaman terus bergerak maju dengan berbagai perubahan kebutuhan dan tantangan yang menyertainya. Tidak dipungkiri di abad 21 yang serba modern, canggih dan serba digitalisasi, teknologi terbukti telah mampu mempermudah urusan manusia bahkan menggantikan peran manusia pada bidang tertentu. Sebagai contoh teknik otomasi dalam bidang industri dan komunikasi telah menggantikan peran manusia dalam menghasilkan produk lebih cepat serta lebih baik secara kualitas dan kuantitas. Dalam bidang pendidikan, teknologi juga memberikan dampak yang besar, terutama dalam konteks transfer dan peningkatan akses ilmu pengetahuan. Namun, sebesar apapun pengaruh teknologi terhadap pendidikan, teknologi belum mampu menggantikan peran guru sebagai agen pembelajaran. Hingga saat ini teknologi ada hanya untuk memudahkan proses pendidikan, bukan untuk mengganti peran guru secara utuh. Ketika dunia dilanda pandemi seperti saat ini, yang memaksa hampir seluruh peserta didik di dunia melakukan belajar jarak jauh, semakin menegaskan peran vital guru dalam pendidikan yang tidak tergantikan, secanggih apapun teknologi yang tersedia.

Sosok guru tentu akan selalu diperlukan apapun zamannya. Selama suatu negara masih berdiri, maka memerlukan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Dalam sistem pendidikan di negara manapun, termasuk Indonesia, sosok guru memegang peran yang signifikan dan tidak tergantikan. Lantas muncul pertanyaan, guru seperti apa yang akan dibutuhkan ke depannya? Jawabannya sudah tentu guru yang kompeten, profesional, dan berdedikasi tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, pendidikan guru sebagai program pencetak guru harus dapat menanamkan kecakapan dan kompetensi calon guru yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Saat ini kompetensi yang ditanamkan dalam program pendidikan guru berdasar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,

125Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi-kompetensi ini memang relevan dengan profesi guru, tetapi untuk mengantisipasi perkembangan teknologi yang sangat cepat dan tuntutan kebutuhan pendidikan abad 21, kompetensi yang ada perlu dikembangkan, jika tidak kompetensi yang dibangun dalam program pendidikan guru saat ini akan ketinggalan zaman.

Salah satu kompetensi yang dapat dikembangkan dalam pendidikan guru abad 21 untuk merespon pesatnya perkembangan teknologi yaitu Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). TPACK merupakan kerangka yang sangat berguna untuk menentukan pengetahuan apa yang harus dimiliki guru untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam pengajaran dan bagaimana mereka dapat mengembangkan pengetahuan tersebut (Schmidt et al., 2009). Terdapat 7 domain pengetahuan dalam TPACK yang dapat meningkatkan profesionalisme guru abad 21, yaitu: Content Knowledge (CK), pemahaman menyeluruh tentang materi pelajaran yang akan diajarkan dan dipelajari (Koehler & Mishra, 2009; Koh & Chai, 2014). Technology knowledge (TK), pengetahuan tentang alat teknologi, karakteristiknya, dan aplikasinya (Chai et al., 2011) mulai dari teknologi sederhana hingga teknologi digital (Schmidt et al., 2009). Pedagogy knowledge (PK), pengetahuan tentang ilmu dan seni mengajar yang meliputi pendekatan pengajaran, strategi penilaian, pengetahuan peserta didik dan manajemen kelas (Koehler & Mishra, 2009; Koh & Chai, 2014). Pedagogical content knowledge (PCK), pengetahuan tentang pendekatan pengajaran yang disesuaikan dengan materi pelajaran tertentu (Chai et al., 2011). Technological content knowledge (TCK), pengetahuan tentang bagaimana teknologi dapat menciptakan representasi baru untuk konten tertentu (Schmidt et al., 2009). Technological pedagogical knowledge (TPK), pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi untuk memotivasi peserta didik, meningkatkan pengajaran dan untuk kegiatan penilaian (Pamuk et al., 2013). Technological pedagogical content knowledge (TPACK), pengetahuan tentang penggunaan teknologi tertentu untuk mengajarkan materi pelajaran dengan menggunakan beberapa strategi pengajaran tertentu. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa TPACK adalah interaksi triad antara pengetahuan tentang materi pelajaran, pedagogi, dan juga teknologi (Harris & Hofer, 2009).

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan utama terkait pendidikan guru sebaiknya mempertimbangkan untuk meng-update kompetensi guru dan calon guru Indonesia dengan merevisi kebijakan yang sudah ada. Payung hukum tentu diperlukan agar tiap Perguruan Tinggi penyelenggara program pendidikan guru memiliki landasan yuridis untuk menstandarisasi kompetensi pendidikan guru sesuai dengan kebutuhan zaman. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, saat ini terdapat 61 LPTK tersebar di seluruh Indonesia, data ini belum termasuk LPTK berjenis Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan

126 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(STKIP) atau program pendidikan guru dari universitas swasta bonafide lainnya. Menjamurnya program pendidikan guru di Perguruan Tinggi sudah sewajarnya diikuti dengan peningkatan sifat kompetitif program pendidikan guru di masing-masing Perguruan Tinggi, jangan sampai pengadaan pendidikan guru secara besar-besaran tanpa diikuti peningkatan kualitas output seperti yang pernah terjadi dulu terulang kembali. Pemerintah harus memberi acuan khusus terkait penyelenggaraan program pendidikan guru, seperti menstandarisasi program pendidikan guru, sehingga pendidikan guru yang tersedia tidak hanya asal ada, asal berdiri, atau asal jalan untuk kepentingan dan keuntungan penyelenggara. Dengan adanya acuan ini, akuntabilitas program pendidikan guru dapat diuji, dimana akuntabilitas yang tinggi akan meningkatkan kualitas pendidikan guru, yang tentunya akan meningkatkan kualitas guru yang dihasilkan.

Akuntabilitas pendidikan guru merupakan salah satu pendekatan untuk mereformasi pendidikan guru di Amerika Serikat dalam 2 dekade terakhir, dimana hasil belajar siswa baik pada skala nasional dan internasional dijadikan sebagai titik tolaknya (Cochran-Smith et al., 2017). Dengan bertitik tolak dari konsep ini dan dihubungkan dengan kondisi hasil belajar siswa skala internasional, dimana siswa Indonesia mendapatkan nilai di bawah nilai rata-rata negara OECD pada ajang Programme for International Students Assessment (PISA) di tahun 2018, dan hasil studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) menunjukan bahwa 95% peserta didik kelas IV SD Indonesia hanya mampu mencapai level menengah (Rusman, 2019:405), dapat dikatakan bahwa akuntabilitas pendidikan guru Indonesia masih sangat lemah, sehingga kualitas guru yang dihasilkan pun masih rendah. Upaya peningkatan kualitas dan profesionalisme guru terus diupayakan oleh pemerintah, salah satunya dengan pemberian sertifikasi seperti yang sudah dijelaskan di atas sejak tahun 2007 melalui LPTK. Peningkatan kesejahteraan harus berbanding lurus dengan peningkatan profesionalisme dalam pribadi guru Indonesia. Namun demikian, pengadaan sertifikasi ini akan lebih baik jika dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi atau oleh non-governmental organizations (NGO) bidang pendidikan. Lebih lanjut, peningkatan profesionalisme sebaiknya jangan hanya dilakukan di hilir melalui sertifikasi guru, tetapi juga di hulu melalui standarisasi pendidikan guru. Selain itu, Input program pendidikan guru harus diseleksi secara ketat untuk mendapatkan individu-individu yang tepat sehingga output pendidikan guru merupakan individu yang benar-benar memiliki dedikasi untuk mengajar, bukan individu yang hanya menggambil gelar tetapi berkarir di luar dunia pendidikan yang merupakan salah satu faktor Indonesia selalu kekurangan guru meski terdapat banyak program pendidikan guru.

127Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

D. Kesimpulan dan Saran

Tidak ada sistem pendidikan yang dapat berjalan tanpa adanya guru, secanggih apapun teknologi yang berkembang tetap tidak akan pernah menggantikan peran vital guru dalam pendidikan. Pendidikan guru sebagai lembaga pencetak tenaga pendidik tentu berperan penting dalam menjamin kualitas guru yang dihasilkan. Program pendidikan guru di Indonesia telah melewati sejarah yang panjang dengan berbagai kisah di dalamnya. Sempat berjaya, kemudian jatuh, dan saat ini terus diusahakan untuk bangkit kembali. Melalui studi retrospektif pendidikan guru periode pasca kemerdekaan hingga sebelum reformasi menunjukkan bahwa guru yang dihasilkan lebih berfokus pada pengadaan tenaga guru untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di berbagai jenjang pendidikan di berbagai daerah, pendidikan guru yang ada saat itu belum mengutamakan profesionalisme dan kualitas yang tinggi. Minimnya kebijakan terkait reformasi guru, kurangnya dana untuk peningkatan kualitas guru, serta faktor eksternal di luar pendidikan lainnya yang ada pada periode ini mengakibatkan munculnya berbagai masalah yang memicu kemerosotan mutu profesi dan pendidikan guru. Hingga profesi guru dianggap sebagai profesi rendahan yang hanya dikerjakan oleh penduduk ekonomi kelas rendah dan menengah. Paradigma ini masih berlanjut bahkan hingga saat ini walaupun pemerintah telah mengesahkan undang-undang terkait reformasi guru di tahun 2005. Untuk mengembalikan citra profesi guru dan pendidikan guru yang sempat cemerlang di masa awal kemerdekaan memang memerlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit, dan waktu yang tidak sebentar.

Setelah 60 tahun Indonesia merdeka barulah pemerintah mengeluarkan undang-undang terkait reformasi guru. Memang jauh tertinggal jika dibanding negara lain seperti China yang mengeluarkan Teacher Law pada tahun 1993 (Ye et al., 2019), atau Finlandia yang sudah mulai mereformasi pendidikan guru sejak tahun 1970an (Rautiainen et al., 2018). Namun perlahan tapi pasti, dengan berbagai kebijakan pendidikan yang berkesinambungan, dukungan dan sikap kooperatif semua pihak yang terlibat dalam pendidikan, peningkatan profesionalisme guru melalui pendidikan guru yang berkualitas pasti akan terwujud. Dengan semakin tingginya profesionalisme guru, peran guru dalam sistem pendidikan yang ada dapat lebih berarti. Jika selama ini guru hanya terlibat sebagai pelaksana kurikulum, dengan memiliki profesionalitas tinggi, guru juga dapat ikut serta dalam perencanaan sebuah kurikulum, karena kurikulum akan lebih baik jika direncanakan oleh pihak yang akan mengimplementasikannya. Kesinambungan, konsistensi dan kesabaran merupakan syarat mutlak dalam menjalani setiap prosesnya, karena tidak ada yang instan dalam pendidikan. Perencanaannya harus benar dan pelaksanaannya harus sempurna agar apa yang direncanakan dapat terwujud. Semua pihak yang terlibat dalam proses harus benar-benar yakin bahwa kita berjalan pada koridor yang tepat.

128 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Alexander, F. K. (2000). The Changing Face of Accountability: Monitoring and Assessing Institutional Performance in Higher Education. Journal of Higher Education 71 (4): 411–431.

Anagnostopoulos, Dorothea., Levine, Thomas., Roselle, Rene., Lombardi, Allison. (2017). Learning to redesign teacher education: a conceptual framework to support program change. Journal of Teaching Education. doi: 10.1080/ 10476210.2017.1349744

Anderson, L. M., & Stillman, J. A. (2013). Student teaching’s contribution to preservice teacher development: A review of research focused on the preparation of teachers for urban and high-needs contexts. Review of Educational Research, 83(1), 3–69. doi:10.3102/0034654312468619

Baris, Yaman., Aydemir, Hasan. (2019). Teacher education in China, Japan and Turkey. Educational Research and Reviews Vol. 14(2), pp. 51-55. doi: 10.5897/ERR2018.3661

Brouwer, N., & Korthagen, F. (2005). Can teacher education make a difference? American Educational Research Journal, 42(1), 153–224. doi:10.3102/00028312042001153

Carnoy, M., R. Elmore, and L. Siskin, eds. (2003). The New Accountability: High Schools and High-stakes Testing. New York: Routledge.

Chai, C. S., Koh, J. H., & Tsai, C.-C. (2011). Exploring the factor structure of the constructs of technological, pedagogical, content knowledge (TPACK). The Asia-Pacific Education Researcher, 20(3), 595–603. doi:10.1007/s40299-015-0241-6

Cochran-Smith, Marilyn., Baker, Megina., Burton, Stephani ., Chang, Wen-Chia., Carney, Molly Cummings., Fernández, M. Beatriz., Keefe, Elizabeth Stringer., Miller, Andrew F., & Sánchez, Juan Gabriel. (2017). The accountability era in US teacher education: looking back, looking forward, European Journal of Teacher Education. doi: 10.1080/02619768.2017.1385061

Darling-Hammond, L., & Bransford, J. (Eds.). (2005). Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco, CA: Jossey-Bass.

Darling-Hammond, L., Hammerness, K., Grossman, P., Frances, R., & Shulman, L. S. (2005). The design of teacher education programs. In L. Darling-Hammond & J. Bransford (Eds.), Preparing teachers for a changing world: What teachers should know and be able to do (pp. 390–441). San Francisco, CA: Jossey-Bass.

129Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Grossman, P., Hammerness, K., McDonald, M. A., & Ronfeldt, M. (2008). Constructing coherence: Structural predictors of perceptions of coherence in NYC teacher education programs. Journal of Teacher Education, 59(4), 273–287. doi:10.1177/0022487108322127

Harris, J. B., & Hofer, M. J. (2009). Instructional planning activity types as vehicles for curriculum-based TPACK development. In C. D. Maddux (Ed.), Research highlights in technology and teacher education (pp. 99–108). Chesapeake: VA: AACE.

Hidi, S., and J. M. Harackiewicz. (2000). “Motivating the Academically Unmotivated: A Critical Issue for the 21st Century.” Review of Educational Research 70 (2): 151–179.

Hidi, S., and K. A. Renninger. (2006). “The Four-Phase Model of Interest Development.” Educational Psychologist 41 (2): 111–127.

Giannakos, M. N., Doukakis, S., Pappas, I. O., Adamopoulos, N., & Giannopoulou, P. (2015). Investigating teachers’ confidence on technological pedagogical and content knowledge: An initial validation of TPACK scales in K-12 computing education context. Journal of Computers in Education,2(1), 43–59. doi:10.1007/s40692-014-0024-8

Jenset, Inga Staal. (2018): The Enactment Approach to Practice-Based Teacher Education Coursework: Expanding the Geographic Scope to Norway and Finland, Scandinavian. Journal of Educational Research. doi : 10.1080/00313831.2018.1502681

Ketonen, H. (2017). The Role of Motivation and Academic Emotions in University Studies. the Short-and Long-Term Effects on Situational Experiences and Academic Achievement. Helsinki Studies in Education, number 18. University of Helsinki.

Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge? Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 9(1), 60–70.

Koh, J. H., & Chai, C. S. (2014). Teacher clusters and their perceptions of technological pedagogical content knowledge (TPACK) development through ICT lesson design. Computers & Education, 70,222–232. doi:10.1016/j.compedu.2013.08.017

Ling, Lorraine M. (2017). Australian teacher education: inside-out, outside-in, backwards and forwards?. European Journal of Teacher Education. doi: 10.1080/02619768.2017.1385599

130 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Mikkonen, J. (2012). Interest in University Studies. Its Role and Relation to Other Motivational Variables. University of Helsinki. Institute of Behavioural Sciences. Studies in Education Sciences 243.

Munthe, Elaine., Malmo, Kari-Anne Svensen., and Rogne, Magne. (2011). Teacher education reform and challenges in Norway. Journal of Education for Teaching: International research and pedagogy, 37:4, 441-450. doi: 10.1080/02607476.2011.611012

National Research Council. (2010). Preparing teachers: Building evidence for sound policy. Retrieved from http://www.nap.edu/read/12882/chapter/1

O’Neill, O. (2002). A Question of Trust. BBC Reith Lectures 2002. London: BBC. No Child Left Behind Act of 2001, P.L. 107-110, 20 U.S.C. § 6319 (2002).P.L. 107–110. 2002.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2005). Teachers matter: Attracting, developing and retaining effective teachers. Retrieved from http://www.oecd.org/education/school/34990905.pdf

Orakçı, Ş. (2015). Investigation of teacher training systems of Shanghai, Hong Kong, Singapore, Japan and South Korea. Asian Journal of Instruction. 3(2):26-43.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2012). Equity and Quality in Education: Supporting Disadvantaged Students and Schools.

Pamuk, S., Ergun, M., Cakir, R., Yilmaz, B. H., & Ayas, C. (2013). Exploring relationships among TPACK components and development of the TPACK instrument. Educational Information and Technology, 20(2), 241–263. doi:10.1007/s10639-013-9278-4

Rautiainen, Matti., Mäensivu, Marja., & Nikkola, Tiina. (2018). Becoming interested during teacher education. European Journal of Teacher Education, 41:4, 418-432.

Romzek, B. (2000). Dynamics of Public Sector Accountability in an Era of Reform. International Review of Administrative Sciences 66 (1): 21–44.

Rusman. (2019). Manajemen Kurikulum Edisi Kedua Cetakan Kelima. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sahlberg, P. (2010). Rethinking Accountability in a Knowledge Society. Journal of Educational Change 11(1):45–61.

Schelander, Bjorn.(1996). Exploring Indonesia: Past and Present. Center for Southeast Asian Studies. School of Hawaiian, Asian and Pacific Studies. University of Hawai’i.

131Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Schmidt, D. A., Baran, E., Thompson, A. D., Mishra, P., Koehler, M. J., & Shin, T. S. (2009). Technological pedagogical content knowledge (TPACK): the development and validation of an assessment instrument for preservice teachers. Journal of Research on Technology in Education, 42(2), 123–149. doi:10.1080/15391523.2009.10782544

Subijanto. (2007). Profesi Guru Sebagai Profesi yang Menjanjikan Pasca Undang-Undang Guru dan Dosen. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 067, Tahun ke-13, Juli 2007.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Trow, M. (1996). Trust, Markets and Accountability in Higher Education: A Comparative Perspective. Higher Education Policy 9 (4): 309–324.

Ye, Juyan., Zhu, Xudong., & Lo, Leslie N. K. (2019). Reform of teacher education in China: a survey of policies for systemic change. Journal of Teachers and Teaching. doi:10.1080/13540602.2019.1639498

132 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ANALISIS PEMBELAJARAN ONLINE DI ABAD 21

Fuji Nujul Firman Sidik1 Asep Herry Hernawan2 * Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Indonesia,

[email protected]*Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Indonesia,

[email protected]

Abstract

Online learning is the use of internet networks in the learning process. Through online learning, students have more time to study. This study aims to determine the implementation of online learning in the 21st century. The current condition of more than 91% of the world’s student population has been affected by school closures due to the COVID-19 (UNESCO) pandemic. This research is a qualitative research with literature study. The current development of information and communication technology also contributes to innovations in the pattern of implementing formal and non-formal education. Online learning content is designed with attention to aspects of education and neuroscience. Because in fact the ideal online learning process is the use of ICT which enables an active, constructive, collaborative, enthusiastic, dialogical, contextual, reflective, multisensory, and high order thinking skills training learning process.

Keywords: online learning, information and communication technology, 21st century

A. Pendahuluan

Konsep pendidikan dalam konteks yang lebih luas mengarah pada perbaikan dan pemeliharaan kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan menjadi sebuah aktivitas sosial yang menjadi alasan masyarakat tetap ada dan selalu berkembang. (Muhammad Anwar, 2017. hlm. 126). Zaman di abad 21 ini teruslah berkembang. Teknologi yang berkembang hari ini menjadi salah satu acuan yang dijadikan sebagai media dalam mempermudah berbagai macam hal. Melihat kondisi saat ini proses pendidikan di dunia mengalami krisis yang sangat hebat. Kondisi yang dialami dan dirasakan dunia sangat berpengaruh besar dalam kondisi setiap negara terkhusus negara Indonesia. Ribuan orang terpapar virus yang penyebarannya dipandang sangat cepat dan mengharuskan adanya pembatasan sosial atau dengan kata lain masyarakat Indonesia diwajibkan membatasi interaksi guna menghambat penyebaran virus maka proses pembelajaran tidak dilaksanakan secara langsung. Pendidikan

133Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

jarak jauh atau dalam hal ini menggunakan media online menjadi solusi dari berbagai teka-teki proses pembelajaran. Pada hakikatnya memang pendidikan yang ditempuh oleh siswa dengan menggunakan media online bukan berarti lebih penting dibanding dengan pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan seperti biasa atau dalam artian tatap muka langsung. Namun kembali pada tujuan utama pendidikan, meskipun hal tersebut juga sama pentingnya. Tujuan utama dari hadirnya pendidikan yaitu siswa memperoleh pendidikan yang lebih efektif (Joyce, 2011, hlm. 500).

Data dari Direktorat Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (2020) lebih dari 91% populasi siswa dunia telah dipengaruhi oleh penutupan sekolah karena pandemi COVID-19 (UNESCO). Melihat fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pembelajaran online dan hal-hal yang mendukung pelaksanaannya dilapangan mampu berjalan baik dan bisa menjawab segala tantangan zaman.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Niwayan Indrami Wati (2020) mengenai Dampak Covid-19 Terhadap Implementasi Pembelajaran Berbasis Online (Daring) Di Smp Negeri 2 Kerambitan bahwa Pembelajaran berbasis daring merupakan salah satu cara mewujudkan kemandirian belajar dengan prinsip pembelajaran bersifat terbuka, belajar mandiri, belajar tuntas, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dan Pembelajaran daring harus tetap juga menjaga mutu pembelajaran sekalipun dengan segala keterbatasan. Penelitian yang dilakukan Ni Komang Suni Astini (2020) mengenai Tantangan Dan Peluang Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pembelajaran Online Masa Covid-19 bahwa Perkuliahan dirasa kurang efektif karena sebanyak 61,5% mahasiswa yang menyatakan belum pernah menggunakan media perkuliahan online sebelum pandemi covid-19. Namun ternyata pemberlakukan perkuliahan online menjadi pemicu percepatan proses transformasi digital pendidikan Indonesia. Jika sebelumnya berbagai wacana, kebijakan pendukung, serta sosialisasi tentang era pendidikan 4.0 belum berhasil. Namun Covid-19 justru memberikan dampak luar biasa terhadap transformasi digital menuju era pendidikan 4.0

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sri Widayati (2020) mengenai Respon Mahasiswa Pada Proses Pembelajaran Mata Kuliah Daring bahwa pembelajaran daring cukup efektif dan efesien untuk menggantikan perkuliahan secara tatap muka. Pembelajaran daring meningkatkan semangat dan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas secara on time pada mata kuliah penulisan naskah AUD. Pembelajaran daring dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi permasalahan efektif dan efesiensi pertemuan antara dosen dengan mahasiswa. Penelitan yang dilakukan oleh Ely Satiyasih Rosali (2020) terkait Aktifitas

134 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pembelajaran Daring Pada Masa Pandemi Covid -19 Di Jurusan Pendidikan Di Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Siliwangi Tasikmalaya bahwa pembelajaran yang dilakukan pada masa pandemi Covid-19 di jurusan pendidikan menggunakan model daring dengan aplikasi berupa : Vclass, meet Unsil, zoom, whatsapp, telegram, google classroom, youtube, facebook, dan messenger. Pelaksanaan pembelajaran daring berjalan dengan lancar, walaupun dirasakan kurang ideal. Hasil belajar mahasiswa bervariasi, mulai dari kurang memuaskan, cukup hingga baik. Kendala yang dihadapi mahasiswa dan dosen dalam pembelajaran daring antara lain : ketersediaan kuota internet, jaringan yang tidak stabil, dan alat penunjang seperti gawai dan laptop. Pembelajaran daring dinilai efektif jika diterapkan pada masa pandemi covid-19 namun diperlukan model yang lebih variatif agar tetap menarik jika digunakan dalam jangka panjang. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Erlis Nurhayati (2020) terkait Meningkatkan Keaktifan Siswa Dalam Pembelajaran Daring Melalui Media Game Edukasi Quiziz pada Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 bahwa pada siklus I diperoleh rata-rata siswa yang aktif 52,25% dengan katagori cukup. Sedangkan pada siklus II diperoleh rata-rata siswa aktif 73,9 % dengan katagori tinggi. Jadi dari siklus I dan siklus II terjadi peningkatan keaktifan siswa 17,65%. Dengan demikian penelitian dapat disimpulkan bahwa media game edukasi quiziz dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran daring pada masa pencegahan penyebaran Covid-19 mata pelajaran IPS.

Pada intinya solusi dalam menangani masalah pendidikan ini yaitu dengan cara mengatur dan menerapkan pola pembelajaran online. Proses ini dipandang sangat dibutuhkan sebab hal tersebut sesuai dengan karakteristik era industry 4.0 bahkan 5.0. Intinya sudah saatnya Pendidikan mampu terbiasa dengan digital agar negara kita tidak tertinggal dengan negara lain. Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah guna berlomba-lomba dalam mempermudah akses pembelajaran jarak jauh. Sebab pembelajaran ini selain lebih efektif juga menghemat biaya. Alasan lain perlunya menerapkan pembelajaran online ialah negara Indonesia negara kepulauan dengan penduduk yang banyak dan heterogen perlu berbagai opsi guna menjangkau semua wilayah, baik dari sabang sampai Merauke. Tentu dalam hal ini penelitian ini bertujujuan dan mengarah pada pembelajaran online di abad 21

B. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menjelaskan data penelitian, Menurut Sugiyono (2017, hlm 15) Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan atas sebuah pandangan filsafat postpositivisme dimana digunakan peneliti untuk melihat kondisi yang alamiah, maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mencari sampai dengan menggambarkan fakta dan kejadian

135Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

empiris yang terjadi. Harapan dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dihasilkan sebuah uraian yang spesifik mengenai sebuah tulisan, ucapan dan tingkah laku yang ada pada seseorang, kelompok, lembaga maupun masyarakat dalam suatu setting penelitian yang di kaji secara utuh, komprehensif dan holistik (Bogdan dan Taylor, 1975, hlm. 5). Penelitian kualitatif menurut Sukmadinata (2010, hlm. 62) memiliki beberapa tujuan utama yaitu untuk menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) serta untuk menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi pustaka (library research). Buku-buku dan berbagai literatur digunakan sebagai objek yang utama (Hadi, 1995: 3). Menurut Sugiyono (2017). Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang digunakan untuk memberikan pandangan yang lengkap tentang subjek yang diteliti. Menurut Sukardi (2007). Penelitian deskriptif berusaha menafsirkan dan menjelaskan objek, peristiwa atau peristiwa. yang sedang berlangsung. Whitney dalam Nadzir (1998) penelitian deskriptif adalah segenap fakta guna memberikan deskripsi yang akurat yang berkaitan dengan hubungan antara fenomena yang diselidiki.

Langkah-langkah penelitian ini menurut Koentjaraningrat (1990) yaitu pengumpulan, mengurangi, menganalisis, dan memberikan kesimpulan pada suatu data. Pada proses pengumpulan data peneliti mengambil dari beberapa sumber tepercaya seperti buku, jurnal, dan beberapa penelitian sebelumnya. Metode analisis deskriptif memberikan gambaran dan keterangan yang jelas, objektif, sistematis, analitis dan kritis.

C. Hasil dan Pembahasan1. Pembelajaran Online di abad 21

Menurut Anderson (2010. hlm 7) penyebaran pengetahuan tercatat dalam beberapa fase revolusi, yaitu: Revolusi pertama. Ditandai dengan Bahasa tertulis yang berarti bahwa untuk pertama kalinya orang bisa menyimpan informasi dan mengambilnya tanpa perlu mengandalkan memori; Revolusi kedua yang yang terjadi di pertengahan abad ke-15 ditandai dengan penemuan mesin cetak, dimana dengan revolusi ini informasi dalam buku-buku dan pamphlet bisa disebarluaskan lebih luas dan cepat; Revolusi ketiga yang dibawa oleh TIK adalah mempercepat penyebaran informasi dan pengetahuan.

Dalam dekade kedua abad ke-21 ini internet dan layanan seperti Google dan email, secara bersamaan dengan berbagai produk baru seperti Wikipedia, Skype, Facebook dan Twitter akan mengubah lebih lanjut cara kita hidup, belajar, bekerja dan bermain. Akankah hal ini menunjukkan munculnya Revolusi Keempat? Realitas di beberapa negara bahwa pembelajaran dilaksanakan di luar kelas, sebuah ekspresi inovatif dalam

136 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pembelajaran, yang dikenal dengan istilah: mobile learning (m learning) atau pembelajaran bergerak dan ubiquitous learning (u learning) atau pembelajaran di mana-mana. (Anderson, 2010, hlm. 132).

Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. (Albanese, 2010).

Seperti dijelaskan dalam (Ristekdikti, 2018) Pada Era ini teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam kehidupan manusia termasuk dalam bidang bidang pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia saat ini tengah masuk ke era revolusi sosial industri 5.0. Pada Era Revolusi industri 4.0 beberapa hal terjadi menjadi tanpa batas melalui teknologi komputasi dan data yang tidak terbatas, hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin.

Industri 4.0 pada perkembangannya sangat membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Industri 4.0 telah mengubah cara beraktivitas manusia dan memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia kerja. Pengaruh positif industri 4.0 berupa efektifitas dan efisiensi sumber daya dan biaya produksi meskipun berdampak pada pengurangan lapangan pekerjaan. Industri 4.0 membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keterampilan dalam literasi digital, literasi teknologi, dan literasi manusia. Sedangkan dalam sebuah jurnal dikatakan bahwa pada era Industri 4.0 baik itu Guru ataupun Dosen harus mampu menggunakan sebuah pembelajaran berbasis digital guna meningkatkan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang dinamis, sarana dan prasarana yang handal, serta teknologi pembelajaran yang muktakhir agar Pendidikan bisa menyesuaikan zaman (Harto, 2018). Sudah sepantasnya di abad 21 ini perkembangan teknologi sangat pesat dimana banyak pekerjaan yang sudah digantikan dengan mesin. Maka jawaban penting dimana landasan pokok dalam kurikulum harus diaktualisasikan kearah perkembangan zaman. (Wijaya, et al, 2016).

Konsep yang dicanangkan di era Industri 4.0 adalah smart factory berbasis otomasi. Hal ini tentu saja berdampak langsung pada jumlah ketersediaan lapangan kerja di industry dimana persaingan kerja akan semakin meningkat. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus sigap dalam menghadapi era Industri 4.0 dan harus mampu memberikan bekal kepada mahasiswa agar ketika lulus memiliki kompetensi yang bagus. (Nita Yalina, 2018)

137Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pembelajaran yang menciptakan sebuah komunitas belajar yang positif dan efektif dapat mendukung pembelajaran yang lebih dalam melalui pemerolehan konten pengetahuan dan pengembangan kompetensi intrapersonal dan interperson (National Research Council, 2012). Empat prinsip pokok pembelajaran abad ke 21 yang dijelaskan dan dikembangkan seperti berikut ini:

a. Instruction should be student-centeredPengembangan pembelajaran seyogianya menggunakan

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya. Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang diberikan guru, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.

b. Education should be collaborativeSiswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang

lain. Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu didorong untuk bisa berkolaborasi dengan temanteman di kelasnya. Dalam mengerjakan suatu proyek, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri secara tepat dengan mereka.

c. Learning should have contextPembelajaran tidak akan banyak berarti jika tidak memberi

dampak terhadap kehidupan siswa di luar sekolah. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Guru mengembangkan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word). Guru membantu siswa agar dapat menemukan nilai, makna dan keyakinan atas apa yang sedang dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Guru melakukan penilaian kinerja siswa yang dikaitkan dengan dunia nyata

d. Schools should be integrated with societyDalam upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang

bertanggung jawab, sekolah seyogianya dapat memfasilitasi siswa untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya, mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar

138 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat, seperti: program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya. Selain itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan empati dan kepedulian sosialnya. (Nichols., Jennifer, 2017)

Kemudian dalam sebuah jurnal dikatakan bahwa pada era Industri 4.0 baik itu Guru ataupun Dosen harus mampu menggunakan sebuah pembelajaran berbasis digital guna meningkatkan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang dinamis, sarana dan prasarana yang handal, serta teknologi pembelajaran yang muktakhir agar Pendidikan bisa menyesuaikan zaman (Harto, 2018). Sudah sepantasnya di abad 21 ini perkembangan teknologi sangat pesat dimana banyak pekerjaan yang sudah digantikan dengan mesin. Maka jawaban penting dimana kurikulum harus diaktualisasikan kea rah perkembangan zaman. (Wijaya, et al, 2016). Artinya seiring perkembangan zaman yang begitu pesat peran pengajar harus mampu membangun kemandirian dan kebebasan bagi peserta didik dalam mengolah berbagai informasi namun tetap harus dalam pengawasan dan arahan agar apa yang dipelajari bisa lebih sistematis

Oliva dan Gordon (1992, hlm. 140) menjabarkan tren yang mempengaruhi perkembangan pembelajaran digital.

1. e-Learning

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini turut menyumbang inovasi-inovasi dalam pola penerapan pendidikan formal maupun non-formal. Menjamurnya platform e-Learning atau pembelajaran daring menjadi penanda adanya ekspansi penerapan teknologi dalam pendidikan. E-Learning adalah implementasi aktivitas pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Chaeruman, 2018). Tentunya platform e-Learning ini tidak hanya sekedar menyajikan bahan ajar, melainkan juga disertai aktivitas-aktivitas dan konten-konten pembelajaran lain yang dirancang dengan memperhatikan aspek pendagogi dan neurosains. Karena sesungguhnya e-Learning yang ideal adalah pemanfaatan TIK yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang aktif, konstruktif, kolaboratif, antusiastk, dialogis, kontekstual, reflektif, multisensory, dan high order thinking skills training.

Banyak platform e-Learning yang sudah berkembang, baik yang dikembangkan oleh institusi negeri maupun swasta. Contoh platform e-Learning yang populer saat ini adalah Ruang Guru dan Zenius untuk pendidikan dasar dan menengah, harukaedu.com, pintaria, dan indonesiax

139Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

untuk pendidikan umum, dan masih banyak lagi. Tidak mau kalah dengan swasta, kementrian Ristekdikti pun mengembangkan platform e-Learning untuk tingkat Perpendidikan Tinggi (PT), yaitu SPADA. Platform ini memungkinkan PT penyelenggara menawarkan mata kuliahnya untuk dikontrak oleh mahasiswa di PT pengguna.

Berkaitan dengan e-Learning, UNESCO (dalam Chaeruman, 2018) mengkategorikan pemanfaatan TIK di sekolah kedalam empat tahap seperti bagan berikut:

Learning to Use ICT Using ICT to Learn

Gambar 1

Tahap pemanfaatan TIK di Sekolah menurut UNESCO (2002)

Tahap emerging, artinya baru menyadari akan pentingnya TIK untuk pembelajaran dan belum berupaya untuk menerapkannya. Tahap applying, satu langkah lebih maju dimana TIK telah dijadikan sebagai obyek untuk dipelajari (learning to use ICT). Pada tahap integrating, TIK telah diintegrasikan ke dalam kurikulum (pembelajaran). Tahap transforming merupakan tahap yang paling ideal dimana TIK diaplikasikan secara penuh baik untuk proses pembelajaran maupun untuk administrasi (Chaeruman, 2018). Hingga saat ini di Indonesia sendiri baru memasuki tahap integrating. Hal ini ditandai dengan banyaknya institusi pendidikan yang mulai menerapkan e-Learning di lingkungan kampusnya dengan memanfaatkan Learning Management System berbasis open source seperti Moodle, Google Classroom, atau Edmodo.

Berdasarkan praktiknya, e-Learning terbagi dua modus yaitu blended/hybrid learning dan full online (pembelajaran jarak jauh). Blended learning adalah pembelajaran yang praktiknya menggabungkan antara pembelajaran secara online dengan pembelajaran tradisional (tatap muka). Sedangkan full online adalah pembelajaran yang lebih dari 80%-nya dilakukan secara online (Pannen, 2016).

a. Computer based assessment

Computer based assessment atau penilaian berbasis komputer menyajikan cara baru bagi guru dalam memperoleh data perkembangan hasil belajar peserta didik, baik melalui penilaian formatif maupun sumatif. Sederhananya, penilaian berbasis komputer ini adalah praktik dalam memberikan kuis dan tes kepada peserta didik melalui komputer sebagai pengganti kertas. Teknologi ini juga memungkinkan

140 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pemberian umpan balik secara cepat kepada para peserta didik, sehingga pembelajaran terasa lebih bermakna. Penggunaan penilaian berbasis komputer ini merupakan praktik pembelajaran yang saat ini banyak digunakan dalam e-Learning untuk meningkatkan keterampilan individual peserta didik.

b. Digital citizenship

Selain membahas peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi dalam pengaturan sekolah, topik mengenai pentingnya peserta didik belajar mengenai bagaimana cara menjadi masyarakat digital yang positif pun patut untuk didiskusikan. Etika dan keamanan dalam pemanfaatan teknologi menjadi pelajaran wajib yang perlu diambil oleh peserta didik. Dalam Rencana Teknologi Pendidikan Nasional 2010, masyarakat digital didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan menggunakan teknologi secara tepat, berperilaku sosial sesuai norma yang berlaku, serta mengembangkan pemahaman mengenai masalah seputar privasi dan keamanan. Dengan meninggalkan jejak digital yang positif, peserta didik dapat menikmati manfaat kurikulum digital tanpa perlu khawatir dampak negatif yang mengancam hidupnya. Menghadapi isu ini, pemerintah Amerika menginisiasi infrastruktur dan kurikulum yang mempromosikan keamanan dalam mengakses internet. Contohnya dengan membuat aturan yang bernama the Children’s Internet Protection Act (CIPA), yaitu menyaring dan menghalangi konten berbahaya (seperti pornografi, kekerasan, dan sebagainya) agar tidak bisa diakses oleh peserta didik, terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah. CIPA juga mengajarkan tentang keamanan berinternet dan cara memonitor aktivitas online mereka.

Pembelajaran daring sangat dikenal di kalangan masyarajat akademik dengan istilah pembelajaran online. Pembelajaran daring merupakan pemanfaatan jaringan internet oleh mahasiswa dalam proses pembelajaran. Melalui pembelajaran daring mahasiswa memiliki keleluasaan waktu dalam belajar. Menurut Kartasasmita, (dalam Darmawan, 2016) yang menyatakan bahwa pembelajaran daring adalah suatu bentuk khusus pembelajaran jarak jauh (distance learning). Pembelajaran daring itu sendiri tidak mengikat peserta didik dalam hal waktu belajar dan lama pendidikan, dengan demikian pengelola pelaksanaan pembelajaran jarak jauh atau daring harus mampu membuat sistem pengendalian yang memacu intensitas dan intensifitas proses belajar. Dengan demikian keteraturan belajar peserta didik dapat dimonitoring. Selain itu kelengkapan infrastruktur dan

141Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

penguasaan teknologi oleh peserta didik dan pendidik juga factor lain yang perlu dikendalikan karena berkaitan langsung dengan efektivitas proses pembelajaran.

Dalam berbagai literatur, pembelajaran daring didefinisikan sebagai berikut: “elearning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly referred to as online courses” (Soekarwati, 2003). Dengan demikian, e-learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa elektronik seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau computer. Sedangkan Munir (2013, hlm 169) mengatakan bahwa pembelajaran daring dapat di definisi sebagai sebuah bentuk teknologi informasi yang diterapkan di bidang pendidikan dalam bentuk dunia maya. Istilah dari e-learning lebih tepat ditujukan sebagai usaha untuk membuat sebuah transformasi proses pembelajaran yang ada di sekolah atau perguruan tinggi ke dalam bentuk digital yang dijembatani oleh internet.

Menurut Meidawati, dkk (2019) pembelajaran daring/online sendiri dapat dipahami sebagai pendidikan formal yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi yang peserta didik dan instrukturnya (dosen) berada di lokasi terpisah sehingga sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan didalamnya. Pembelajaran daring dapat dilakukan dari mana dan kapan saja tergantung pada ketersediaan alat pendukung yang digunakan. Karakteristik dalam pembelajaran daring menurut Soekarwati (2003) yaitu:1). Memanfaatkan jasa teknologi elektronik, sehingga dapat

memperoleh informasi dan melakukan komunikasi dengan mudah dan cepat, baik antara pengajar dengan peserta didik atau antar sesame peserta didik lainnya.

2). Memanfaatkan jasa computer, seperti jaringan computer dan media digital.

3). Menggunakan bahan ajar yang bersifat mandiri yang di simpan di dalam computer sehingga dapat diakses oleh pendidik dan peserta didik kapan saja dan dimana saja.

Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan yang dapat dilihat setiap saat di computer. Dengan begitu dapat

142 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

disimpulkan bahwa pembelajaran daring merupakan kombinasi antara informasi, interaksi, dan komunikasi pendidikan yang memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajarannya sebagai alat bantu. Salah satu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran adalah dengan memanfaatkan e-learning atau pembelajaran daring/online.

2. Pembelajaran Abad 21

Pendidikan bertujuan dalam menyiapkan generasi muda agar dapat berkontribusi secara aktif dalam dunia pekerjaan dan berkehidupan sebagai warga masyarakat yang baik. (Trilling & Fadel, 2009). Lebih lanjut Trilling dan Fadel (2009) mengungkapkan bahwa lulusan sekolah menengah, diploma, dan pendidikan tinggi masih belum kompeten dalam berbagai hal yaitu komunikasi verbal, tulis, berpikir kritis dan mengatasi masalah, etika kerja dan profesionalisme, kerjasama tim dan kolaborasi, bekerja dalam kelompok berbeda, kemampuan menggunakan teknologi, dan pengelolaan proyek dan jiwa kepemimpinan. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan pengajaran keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan di abad 21. (Trilling, B., & Fadel, 2009)

Wagner (2008) membagi keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki agar dapat bertahan di abad 21 menjadi tujuh jenis yaitu (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah; (2) kemampuan untuk dapat berkolaborasi dengan siapa saja dan berjiwa kepemimpinan; (3) ketangkasan dan keterampilan untuk beradaptasi dalam segala situasi; (4) memiliki inisiatif yang tinggi dan berjiwa enterpreneur; (5) kemampuan berkomunikasi secara tertulis dan efektif; (6) keterampilan mengakses dan menganalisis informasi yang didapat; dan (7) rasa ingin tahu yang tinggi dan imajinasi. (Wagner, 2008).

Pada abad ke-21 ditandai dengan era perubahan yang sangat cepat. Ciri peruabahan tersebut ialah ketidakpastian. Perubahan sosial akan mempengaruhi kurikulum pendidikan. Oleh karena itu menyusun kurikulum harus memperhatikan berbagai perubahan sosial.

Pendidikan abad 21 adalah menekankan pada critical thinking dan problem solving, creativity dan innovation, communication, collaboration, serta global awarness (Marjohan, 2013: 77). Ciri-ciri tersebut diketahui bahwa kemampuan problem solving atau pemecahan masalah menjadi salah satu hal yang harus diprioritaskan pada pendidikan masa kini. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mengubah tingkah laku manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan penting pada kemampuan pemecahan masalah

143Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

adalah matematika. Hal ini karena matematika merupakan suatu ilmu yang dapat melatih kemampuan berpikir dan logika (Suherman, 2003: 253). Kemapuan teknologi dalam pembelajaran tidak terlepas dari keterampilan abad 21. Daryanto & Karim mengatakan (2016:13). “keterampilan abad 21 adalah (1) life and career skills, (2) learning and innovation skills, dan (3) information media and technology skills” Ketiga keterampilan tersebut dirangkum dalam sebuah sekema yang disebut dengan pelangi keterampilan pengetahuan abad 21 atau 21st Century Knowledge Skills Rainbow, seperti gambar berikut;

Gambar 2. 21st Century Knowledge Skills RainbowSumber: Partnership for 21st Century Skills

Terkait Kurikulum Masa Depan melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengemukakan sebuah paradigma pendidikan yang demokratis, bernuansa permainan, penuh keterbukaan, menantang, melatih rasa tanggung jawab, merangsang anak didik untuk datang ke sekolah atau ke kampus karena senang, bukan karena terpaksa. (BSNP, 2010: 38).

BSNP merumuskan 8 paradigma pendidikan nasional masa depan sebagai berikut: a. Tantangan pembelajaran Abad-21 yang makin syarat akan teknologi

dan sains membutuhkan konsep yang berorientasi pada matematika dan sains disertai dengan sains sosial dan kemanusiaan (humaniora).

b. Pendidikan bukan hanya membuat seorang peserta didik berpengetahuan, melainkan juga menganut sikap keilmuan dan terhadap ilmu dan teknologi, yaitu kritis, logis, inventif dan inovatif, serta konsisten, namun disertai pula dengan kemampuan beradaptasi.

c. Pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi haruslah merupakan suatu sistem yang tersambung erat tanpa celah.

144 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

d. Setiap jenjang pendidikan perlu ditanamkan jiwa kemandirian, karena kemandirian pribadi mendasari kemandirian bangsa, kemandirian dalam melakukan kerjasama yang saling menghargai dan menghormati, untuk kepentingan bangsa.

e. Khusus di perguruan tinggi, dalam menghadapi konvergensi berbagai bidang ilmu dan teknologi, maka perlu dihindarkan spesialisasi yang terlalu awal dan terlalu tajam.

f. Pelaksanaan pendidikan perlu memperhatikan kebinnekaan etnis, budaya, agama dan sosial, terutama di jenjang pendidikan awal. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan yang berbeda ini diarahkan menuju ke satu pola pendidikan nasional yang bermutu.

g. Untuk memungkinkan seluruh warganegara mengenyam pendidikan sampai ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya, pada dasarnya pendidikan harus dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat dengan mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan daerah).

h. Untuk menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas, sistem monitoring yang benar dan evaluasi yang berkesinambungan perlu dikembangkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Lembaga pendidikan yang tudak menunjukkan kinerja yang baik harus dihentikan. (BSNP, 2010: 43)

Empat pilar Pendidikan yang dijadikan struktur tujuan pembelajaran berdasarkan Mendiknas Nomor 232/U/2000

a. Belajar untuk mengetahui (Learning to know)b. Belajar untuk berbuat (Learning to do)c. Belajar untuk hidup bersama (Learning to life together)d. Belajar untuk menjadi diri sendiri (Lerning to be)e. Learning to belief in God Bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang

menjunjung tinggi nilai-nilai religius/keagamaan. (Mukminan, 2015:5)Kompetensi sumber daya manusia di masa depan mesti memperhatikan

segala komponen. Menurut “21st Century Partnership Learning Framework”, terdapat sejumlah kompetensi dan/atau keahlian yang harus dimiliki oleh Sumber Daya Manusia (SDM) masa depan, yaitu:

a. Critical-Thinking and Problem-Solving Skillsb. Communication and Collaboration Skillsc. Creativity and Innovation Skillsd. Information and Communications Technology Literacy e. Contextual Learning Skillsf. Information and Media Literacy Skills (BSNP, 2010: 44)

Kompetensi “partnership 21st Century Learning” mengacu pada format pendidikan abad 21 yang diusung oleh Hermawan (2004), yaitu:

145Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

a. Cyber (e-learning) dimana pembelajaran dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan internet

b. Open and distance learning dimana pembe lajara abad 21 dapat dilakukan dengan model pembelajaran jarak jauh.

c. Quantum Learning, yaitu menerapkan metode belajar yang disesuaikan dengan cara kerja

d. Cooperative Learning, yaitu pembelajaran yang menggunakan kelompok sebagai upaya menumbuhkan kerjasama.

e. Society Technology Science, yaitu konsep interdisipliner yang diterapkan untuk mengintegrasikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat.

f. Accelerated Learning, yaitu mengembangkan kemampuan dalam menyerap dan memahami informasi secara cepat sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar lebih efektif.

D. Kesimpulan dan Saran

Perkembangan teknologi digital pada abad 21 tidak bisa dibendung lagi. Sejatinya dengan perkembangan tersebut mesti menjadi dasar perubahan pula dalam perkembangan Pendidikan. Pendidikan yang mampu bersinergi dengan teknologi pasti mampu melahirkan sebuah perubahan yang nantinya siswa mampu berinovasi dan melahirkan karya-karya yang bermanfaat.

Daftar Pustaka

Albanese, M. A., Mejicano, G., Anderson, W. M., & Gruppen, L. (2010). Building a competency-based curriculum: the agony and the ecstasy. Advances in Health Sciences Education, 15(3), 439–454. https://doi.org/10.1007/s10459-008-9118-2

Anderson, J. (2010). ICT Transforming Education. UNESCO Bangkok: A Regional Guide.

Bogdan & Taylor. (1975). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Chaeruman, U. A. (2018). Mendorong Penerapan e-Learning di Sekolah. Jurnal Teknodik, 25–31.

Darmawan, D. (2016). Pengembangan E-Learning Teori dan Desain. Bandung: Rosda Karya.

Daryanto & Karim. (2016). Pembelajaran Abad 21. Yogyakarta: Gava Media.

146 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. (2020). Panduan Pembelajaran Jarak Jauh (Bagi GURU selama Sekolah Tutup dan Pandemi Covid-19 dengan semangat Merdeka Belajar).

Hadi, S. (1995). Statistik II. Jakarta: Rineka Cipta.

Harto, K. (2018). Tantangan Dosen PTKI di Era Industri 4.0. Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan, Vol 16, 5.

Joyce, Marsha Weil, E. C. (2011). Model Of Teaching, edisi 8. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat. (1990). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia pustaka Utama.

Marjohan. (2013). Generasi Masa Depan: Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Muhammad Anwar. (2017). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Mukminan. (2015). Kurikulum Masa Depan. Prodi Tekhnologi Pendidikan: Program Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Munir. (2013). Pembelajaran Jarak Jauh: Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.

Nadzir, M. (1998). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

National Research Council. (2012). Education for Life and Work: Developing Transferable Knowledge and Skills in the 21st Century. Washington DC: Partnership for 21st Century Skills.

Nichols., Jennifer, R. (2017). Four Essential Rules Of 21st Century Learning.

Nita Yalina, I. S. R. (2018). Manajemen Layanan Teknologi Informasi: Tantangan Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0. In Prosiding SNRT (Seminar Nasional Riset Terapan). Banjarmasin.

Nurhayati, E. (2020). Meningkatkan Keaktifan Siswa Dalam Pembelajaran Daring Melalui Media Game Edukasi Quiziz pada Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19. Jurnal Paedagogy, 7(3), 145. https://doi.org/10.33394/jp.v7i3.2645

Pannen, P. (2016). Kebijakan Pendidikan Jarak Jauh dan E-Learning di Indonesia.

Peter F. Oliva, W. G. (1992). Developing The Curriculum. USA: Harper Collins Publisher.

RISTEKDIKTI. (2018). Pengembangan Iptek dan Pendidikan Tinggi di Era Revolusi Industri 4.0.

Rosali, E. S. (2020). Aktifitas Pembelajaran Daring Pada Masa Pandemi Covid -19

147Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Di Jurusan Pendidikan Di Jurusan Pendidikan Geografi Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Geography Science Education Journal (GEOSEE), 1(1), 21–30.

Soekarwati. (2003). E-Learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. In E-Learning Perlu E-Library di Universitas Kristen Petra. Surabaya.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sukardi. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukmadinata, N. S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suni Astini, N. K. (2020). Tantangan Dan Peluang Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pembelajaran Online Masa Covid-19. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 241–255. https://doi.org/10.37329/cetta.v3i2.452

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass.

Wagner, T. (2008). The Global Achievement Gap, 21.Century Skills. Journal of Physics, 29.

Wati, N. W. I. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap Implementasi Pembelajaran Berbasis Online (Daring) Di Smp Negeri 2 Kerambitan. Jurnal Ilmu Pendidikan, 1(1), 19–27.

Widawati, S. (2020). Respon Mahasiswa Pada Mata Kuliah Daring. Child Education Journal, 2(1), 48–52. https://doi.org/10.33086/cej.v2i1.1506

Wijaya, E. Y., Sudjimat, D. A., & Nyoto, A. (2016). Transformasi Pendidikan Abad 21 Sebagai Tuntutan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Global. Jurnal Pendidikan, 1, 263–278.

148 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PENERAPAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI PADA JENJANG SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

Indra Gautama1*, Dea Amanda2, Dinn Wahyudin3, Mukhidin4

Program Studi Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]

Abstrak

Competency-Based Curriculum (KBK) is a type of curriculum that was introduced in Indonesia in 2004. Over time, competency-based education continues to experience improvements even to the implementation of the 2013 Curriculum today. One of the applications of competency-based curriculum or education is carried out through Vocational High Schools (SMK) both State Vocational Schools and Private Vocational Schools. SMK is an educational institution that has the potential to prepare human resources who can be absorbed by the world of work. Based on this, SMK as one of the schools that prioritizes the development of student competencies in order to have readiness to enter the world of work. This study aims to determine the application of CBC in SMK. The subjects in this study were the Deputy Principals and Teachers of SMK Negeri 2 Sukabumi. The research method used is a qualitative method. The results of the study were that this school opened 6 (six) expertise programs with theoretical and practical learning systems.

Kata kunci: Competency-Based Curriculum, Vocational High Schools (SMK)

A. PENDAHULUAN

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan salah satu jenis kurikulum yang mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 2004 yang pada waktu itu dikenal dengan Kurikulum 2004. Sejalan dengan waktu, pendidikan yang berbasis kompetensi pun masih terus mengalami penyempurnaan bahkan sampai kepada penerapan Kurikulum 2013 dewasa ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya cakupan kompetensi yang harus dicapai oleh setiap peserta didik dalam setiap aktivitasnya di sekolah yaitu mencapai kompetensi sikap (afektif) yang terdiri dari sikap spiritual dan sosial, kompetensi pengetahuan yang terdiri dari pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif, serta mencapai kompetensi keterampilan yang terdiri dari keterampilan abstrak dan konkret.

149Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam Wahyuni (2015, hlm. 237) dijelaskan bahwa pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.

Selanjutnya Wahyuni menerangkan bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada:

1. Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna

2. Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

Salah satu penerapan kurikulum atau pendidikan berbasis kompetensi dilakukan pada melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik SMK Negeri maupun SMK Swasta. SMK merupakan lembaga pendidikan yang berpotensi untuk mempersiapkan SDM yang dapat terserap oleh dunia kerja, karena materi teori dan praktik yang bersifat aplikatif telah diberikan sejak pertama masuk SMK, dengan harapan lulusan SMK memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja (Jatmoko, 2013, hlm. 2).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 yang dijelaskan dalam Mardiyati dan Yuniawati (2015, hlm. 33) Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Pendidikan menengah kejuruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Dengan masa studi sekitar tiga atau empat tahun, lulusan SMK diharapkan mampu untuk bekerja sesuai dengan keahlian yang telah ditekuni. Sesuai dengan bentuknya, sekolah menengah kejuruan menyelenggarakan program-program pendidikan yang disesuaikan dengan jenis-jenis lapangan kerja.

Berdasarkan hal tersebut maka SMK sebagai salah satu sekolah yang mengutamakan pengembangan kompetensi siswa agar dapat memiliki kesiapan dalam memasuki dunia kerja baik dari sisi kompetensi sikap, pengetahuan maupun keterampilan sangat erat kaitannya dengan apa yang diarahkan dalam KBK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan KBK pada jenjang SMK.

150 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. METODE

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (Qualitative Research). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2012, hlm. 3). Pengertian lain menyatakan bahwa “penelitian kualitatif adalah salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari” (Basrowi dan Suwandi, 2008, hlm. 1-2). Sesuai dengan pernyataan tersebut maka peneliti mengetahui bagaimana Penerapan KBK pada jenjang SMK di SMKN 1 Sukabumi.

Adapun alasan penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara faktual dan rasional berdasarkan pengalaman sebagai basis ilmu pengetahuan dengan menghimpun fakta-fakta yang terjadi di lapangan dan menjadi sebuah data bagi penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini adalah Guru di SMKN 1 Sukabumi dan Wakasek Bidang Kurikulum SMKN 1 Sukabumi. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan wawancara secara tidak langsung dan melakukan studi literatur terhadap penerapan KBK pada jenjang SMK. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau Tanya jawab (D Satori dan A Komariah, 2010, hlm. 130). Sedangkan studi literatur menurut menurut Danial dan Wasriah (2009, hlm.80) adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet, yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian. Buku tersebut dianggap sebagai sumber data yang akan diolah dan dianalisis seperti banyak dilakukan oleha ahli sejarah, sastra dan bahasa.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompetensi Dalam Kurikulum SMK

Pada dasarnya penerapan KBK sudah melebur dalam penerapan Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dilaksanakan. Pada dasarnya, capaian kompetensi dalam Kurikulum SMK/MAK tidak jauh berbeda dengan capaian kompetensi pada kurikulum SMA/MA yang harus mencapai 3 (tiga) kompetensi inti yaitu kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Adapun untuk penjabaran capaian standar kompetensi lulusan SMK/MAK berdasarkan 3 (tiga) kompetensi tersebut akan disampaikan pada tabel dibawah ini:

151Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel 1 Standar Kompetensi Lulusan SMK/MAK(Rusman, 2018, hlm. 442)

Dimensi Kualifikasi Kemampuan

Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, procedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian.

Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.

Kompetensi inti pada ranah sikap (sikap spiritual dan sikap sosial) merupakan kombinasi reaksi afektif, kognitif dan konatif (perilaku). Gradasi kompetensi sikap meliputi menerima, merespons/menanggapi, menghargai, menghayati, dan mengamalkan (Rusman, 2018, hlm. 443). Selanjutnya Rusman (2018, hlm. 443-444) menjelaskan bahwa kompetensi inti pada ranah pengetahuan memiliki dua dimensi dengan batasan-batasan yang telah ditentukan pada setiap tingkatnya. Dimensi pertama adalah dimensi perkembangan kognitif (cognitive process dimention) peserta didik: pada kelas X dan kelas XI dimulai dari memahami (C2), menerapkan (C3) dan kemampuan menganalisis (C4), untuk kelas XII ditambah hingga kemampuan evaluasi (C5). Dimensi kedua adalah dimensi pengetahuan (knowledge dimention): pada kelas X berupa pengetahuan factual, konseptual, dan prosedural yang merupakan bentuk pengetahuan minimal, sedangkan untuk kelas XI dan XII dilanjutkan sampai metakognitif.

Pengetahuan faktual yakni terminologi atau pengetahuan detail yang spesifik dan elemen. Contoh fakta bisa berupa kejadian atau peristiwa yang dapat dilihat, didengar, dibaca, atau diraba. Pengetahuan konseptual merupakan pengetahuan yang lebih kompleks berbentuk klasifikasi, kategori, prinsip dan generalisasi. Pengetahuan prosedur merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu termasuk pengetahuan keterampilan, algoritma (urutan langkah-langkah logis pada penyelesaian masalah yang disusun secara

152 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sistematis), teknik dan metoda. Pengetahuan metakognitif yaitu pengetahuan tentang kognisi (mengetahui dan memahami) yang merupakan tindakan atas dasar suatu pemahaman meliputi kesadaran dan pengendalian berpikir, serta penetapan keputusan tentang sesuatu (Rusman, 2018, hlm. 444-445).

Kompetensi Inti pada ranah keterampilan mengandung keterampilan abstrak dan konkret. Keterampilan abstrak lebih bersifat mental skill, yang cenderung merujuk pada keterampilan menyaji, mengolah, menalar, dan mencipta dengan dominan pada kemampuan mental keterampilan berpikir. Sedangkan keterampilan konkret lebih bersifat fisik motorik yang cenderung merujuk pada kemampuan menggunakan alat, dimulai dari persepsi, kesiapan, meniru, membiasakan gerakan mahir, menjadi gerakan alami, menjadi tindakan orisinal (Rusman, 2018, hlm. 445).

Adapun yang membedakan antara SMK/MAK dengan SMA/MA adalah adanya spektrum keahlian pendidikan menengah kejuruan. Adanya spektrum keahlian ini sebagai jenis jenis program pendidikan, rambu-rambu penyelenggaraan dan acuan dalam membuka dan mengembangkan program pendidikan pada SMK/MAK. Jenis-jenis program pendidikan pada spektrum keahlian diorganisasikan dalam bentuk bidang keahlian, program keahlian, dan paket keahlian dengan dilengkapi ruang lingkup kompetensi untuk masing-masing paket keahlian (Rusman, 2018, hlm. 446).

Menurut Rusman (2018, hlm. 446) Bidang keahlian merupakan kumpulan program keahlian yang memiliki kesamaan karakteristik dan memerlukan dasar bidang kajian yang sama. Dalam lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK disebutkan bahwa bidang keahlian pada SMK/MAK meliputi Teknologi dan Rekayasa, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Kesehatan, Agribisnis dan Agroteknologi, Perikanan dan Kelautan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata, Seni Rupa dan Kriya serta Seni Pertunjukkan.

Lebih lanjut Rusman (2018, hlm. 446) menjelaskan Program keahlian merupakan kumpulan paket keahlian yang memiliki kesamaan karakteristik dasar-dasar keahlian/pekerjaan/tugas. Adapun mengenai paket keahlian merupakan satuan program pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas tugas-tugas pada jabatan/pekerjaan tertentu, dengan durasi satuan pendidikan menengah 3 atau 4 tahun. Pada setiap paket keahlian yang dibuka, SMK dapat mengkhususkan kompetensi tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja terkait (konsentrasi keahlian) dengan tidak mengabaikan kemampuan dasar keahlian yang bersangkutan.

Spektrum keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan ini memiliki tujuan sebagai berikut:

153Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1. Memberikan acuan dalam pengembangan dan penyelenggaraan program pendidikan di SMK/MAK, khususnya dalam pembukaan dan penyelenggaraan bidang/program/paket keahlian;

2. Memberikan acuan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran;3. Menentukan tingkat efektivitas dan relevansi pendidikan pada SMK/MAK,

dan4. Memberikan acuan untuk pelaksanaan penilaian dan akreditasi SMK/MAK

(Rusman, 2018, hlm. 446-447).

Jenis-jenis program pendidikan pada SMK/MAK disebut spektrum keahlian, karena jurusan-jurusan yang dikembangkan di SMK/MAK bentuknya adalah keahlian-keahlian atau jabatan-jabatan pekerjaan (job titles) yang ada dan berkembang di dunia kerja, jadi bukan didasarkan atas disiplin keilmuan. Suatu keahlian atau jabatan pekerjaan (job title) dapat merupakan hasil pemfusian dari sejumlah disiplin keilmuan (Rusman, 2018, hlm. 447).

Konten Kurikulum SMK

Dalam lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK dijelaskan bahwa Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) terdiri atas kelompok mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran wajib mencakup 9 (Sembilan) mata pelajaran dengan beban belajar 24 jam per minggu. Isi kurikulum (KI dan KD) dan kemasan substansi untuk Mata pelajaran wajib bagi SMA/MA dan SMK/MAK adalah sama. Struktur ini menerapkan prinsip bahwa peserta didik merupakan subjek dalam belajar yang memiliki hak untuk memilih mata pelajaran sesuai dengan minatnya.

Lebih lanjut dalam lampiran Permendikbud tersebut menerangkan bahwa mata pelajaran pilihan untuk SMK/MAK terdiri atas mata pelajaran pilihan akademik dan mata pelajaran pilihan vokasional. Satu jam belajar adalah 45 menit dengan beban belajar untuk SMK/MAK adalah 48 jam pelajaran per minggu. Beban belajar dapat dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) yang diatur lebih lanjut dalam aturan tersendiri.

Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti peserta didik dalam satu minggu, satu semester, dan satu tahun pembelajaran. Beban belajar di Kelas X, XI, dan XII dalam satu semester paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. Beban belajar di kelas XII pada semester ganjil paling sedikit 18 minggu dan paling banyak 20 minggu. Beban belajar di kelas XII pada semester genap paling sedikit 14 minggu dan paling banyak 16 minggu. Beban belajar dalam satu tahun pelajaran paling sedikit 36 minggu dan paling banyak 40 minggu. Setiap satuan pendidikan boleh menambah jam

154 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

belajar per minggu berdasarkan pertimbangan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting. Terkait dengan strukur Kurikulum SMK Tiga tahun akan diterangkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2 Struktur Kurikulum SMK Tiga Tahun(Lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka

Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK)

MATA PELAJARANALOKASI WAKTU

PER MINGGUX XI XII

Kelompok A (Wajib)1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 32. Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan 2 2 2

3. Bahasa Indonesia 4 4 44. Matematika 4 4 45. Sejarah Indonesia 2 2 26. Bahasa Inggris 2 2 2

Kelompok B (Wajib)7. Seni Budaya 2 2 28. Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan

Kesehatan 3 3 3

9. Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan B per minggu 24 24 24

Kelompok C (Peminatan)Mata Pelajaran Peminatan Akademik dan Vokasi (SMK/MAK) 24 24 24

JUMLAH ALOKASI WAKTU PER MINGGU 48 48 48Keterangan :

Pelaksanaan pembelajaran dapat dilakukan di satuan pendidikan dan/atau industri (terintegrasi dengan Praktik Kerja Lapangan) dengan Portofolio sebagai instrumen utama penilaian

Mata pelajaran kelompok A dan C adalah kelompok Mata Pelajaran yang substansinya dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran Kelompok B adalah kelompok mata pelajaran yang substansinya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi dengan muatan lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Kegiatan Ekstrakurikuler SMK/MAK: Pramuka (wajib), OSIS, UKS, PMR, dan lain-lain, diatur lebih lanjut dalam bentuk Pedoman Program Ekstrakurikuler. Terkait dengan strukur Kurikulum SMK Empat tahun akan diterangkan pada tabel di bawah ini:

155Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel 3 Struktur Kurikulum SMK Empat Tahun(Lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka

Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK)

MATA PELAJARANALOKASI WAKTU

PER MINGGUX XI XII XIII

Kelompok A (Wajib)1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3 32. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2 23. Bahasa Indonesia 4 4 4 44. Matematika 4 4 4 45. Sejarah Indonesia 2 2 2 26. Bahasa Inggris 2 2 2 2

Kelompok B (Wajib)7. Seni Budaya 2 2 2 28. Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan

Kesehatan 3 3 3 3

9. Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2 2Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan B per minggu 24 24 24 24

Kelompok C (Peminatan)Mata Pelajaran Peminatan Akademik dan Vokasi (SMK/MAK) 24 24 24 24

JUMLAH ALOKASI WAKTU PER MINGGU 48 48 38 48Keterangan :

Pelaksanaan pembelajaran dapat dilakukan di satuan pendidikan dan/atau industri (terintegrasi dengan Praktik Kerja Lapangan) dengan Portofolio sebagai instrumen utama penilaian

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Pasal 80 menyatakan bahwa: (1) penjurusan pada SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat berbentuk bidang keahlian; (2) setiap bidang keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih program studi keahlian; (3) setiap program studi keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas 1 (satu) atau lebih kompetensi keahlian.

Dalam penetapan penjurusan sesuai dengan bidang/program/ paket keahlian mempertimbangan Spektrum Pendidikan Menengah Kejuruan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pemilihan Peminatan Bidang Keahlian dan program keahlian dilakukan saat peserta didik mendaftar pada SMK/MAK. Pilihan pendalaman peminatan keahlian dalam bentuk pilihan Paket Keahlian

156 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dilakukan pada semester 3, berdasarkan nilai rapor dan/atau rekomendasi guru BK di SMK/MAK dan/atau hasil tes penempatan (placement test) oleh psikolog. Adapun terkait dengan contoh penerapan spektrum keahlian pendidikan menengah kejuruan akan disajikan pada tabel di bawah ini:

NoBidang

KeahlianProgram Keahlian Paket Keahlian

No. Kode

Program Pendidikan

3 tahun 4 Tahun

2. Teknologi Informasi & Komunikasi

2.1 Teknik Komputer & Informatika

2.1.1. Rekayasa Perangkat Lunak

61. V

2.1.2. Teknik Komputer & Jaringan

62. V

2.1.3. Multimedia 63. V

2.2. Teknik Telekomunikasi

2.2.1. Teknik Transmisi Telekomunikasi

64. V

2.2.2. Teknik Jaringan Akses

65. V

7. Bisnis & Manajemen

7.1 Administrasi 7.1.1. Administrasi Perkantoran

97. V

7.2 Akuntasi 7.2.1. Akuntasi 98. V

7.3 Keuangan 7.3.1. Perbankan 99. V

7.3.2. Perbankan Syariah 100. V

7.4 Tata Niaga 7.4.1. Pemasaran 101. V

Tabel 4 Contoh Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan(Rusman, 2018, hlm. 449-450)

Pada SMK/MAK, mata pelajaran kelompok peminatan (C) antara lain kelompok mata pelajaran dasar bidang keahlian (C1), Kelompok mata pelajaran dasar program keahlian (C2), dan kelompok mata pelajaran paket keahlian (C3). Mata pelajaran serta KD pada kelompok C2 dan C3 ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi serta kebutuhan dunia usaha dan industri. Adapun terkait salah satu contoh struktur kurikulum dengan memuat kelompok peminatan pada SMK/MAK akan disampaikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 5 Struktur Kurikulum SMK Pada Bidang Keahlian Teknologi Informasi dan Komunikasi

(Lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK)

157Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

MATA PELAJARANKELAS DAN SEMESTERX XI XII

1 2 1 2 1 2Kelompok A (Wajib)

1 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3 3 3 32 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2 2 2 23 Bahasa Indonesia 4 4 4 4 4 44 Matematika 4 4 4 4 4 45 Sejarah Indonesia 2 2 2 2 2 26 Bahasa Inggris 2 2 2 2 2 2

Kelompok B (Wajib)7 Seni Budaya 2 2 2 2 2 28 Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2 2 2 29 Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan 3 3 3 3 3 3

Kelompok C (Peminatan)C1. Dasar Bidang Keahlian

10 Fisika 2 2 2 2 - -11 Pemrograman Dasar 2 2 2 2 - -12 Sistem Komputer 2 2 2 2 - -

C2. Dasar Program Keahlian 18 18 - - - -C3. Paket Keahlian - - 18 18 24 24

TOTAL 48 48 48 48 48 48

Tabel 6 Struktur Kurikulum SMK Pada Bidang Keahlian Teknologi Informasi dan Komunikasi

(Lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK)

MATA PELAJARANKELAS DAN SEMESTERX XI XII

1 2 1 2 1 2Kelompok A (Wajib)

1 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3 3 3 32 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2 2 2 23 Bahasa Indonesia 4 4 4 4 4 44 Matematika 4 4 4 4 4 45 Sejarah Indonesia 2 2 2 2 2 26 Bahasa Inggris 2 2 2 2 2 2

Kelompok B (Wajib)7 Seni Budaya 2 2 2 2 2 28 Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2 2 2 29 Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan 3 3 3 3 3 3

Kelompok C (Peminatan)C1. Dasar Bidang Keahlian

10 Pengantar Ekonomi dan Bisnis 2 2 2 2 - -11 Pengantar Akuntansi 2 2 2 2 - -12 Pengantar Administrasi Perkantoran 2 2 2 2 - -

C2. Dasar Program Keahlian 18 18 - - - -C3. Paket Keahlian - - 18 18 24 24

TOTAL 48 48 48 48 48 48

158 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sistem Pembelajaran SMK

Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pembelajaran SMK lebih mengutamakan penguasaan skill atau keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa. Siswa SMK dididik dengan berbagai keterampilan yang nantinya akan dipergunakan saat bekerja di dunia industri. Pembelajaran SMK selalu menyesuaikan dengan kebutuhan industri. Hal ini dikarenakan memang tujuan SMK adalah untuk mendidik siswanya supaya memiliki keterampilan sesuai dengan jurusannya yang diperuntukan bekerja di industri.

Berdasarkan hasil penelitian dari SMKN 2 Sukabumi yang berlokasi di Jalan Pelabuhan II, Cipoho, Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat didapatkan bahwa SMKN 2 Sukabumi membuka dan menyelenggarakan pendidikan pada 2 Bidang Keahlian yaitu Bisnis Manajemen dan Teknologi Informasi.

Adapun untuk program keahlian yang dibuka pada sekolah ini antara lain:

1. Rekayasa Perangkat Lunak (RPL)2. Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ)3. Akuntansi dan Keuangan Lembaga4. Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran5. Bisnis daring dan Pemasaran.

Selama masa pandemi Covid 19 ini, sistem Pembelajaran yang ada di SMKN 2 Sukabumi menerapkan sistem Blended Learning. Yaitu Pembelajaran daring (menggunakan Google Classroom) dan Tatap Muka khusus untuk praktek kejuruan. Sebelum masa pandemi pembelajaran dilakukan normal tatap muka teori dan praktek. Adapun untuk pembelajaran praktek yang ada di SMKN 2 Sukabumi terbagi menjadi dua yaitu Praktek yang dilakukan di sekolah dan praktek yang dilakukan di Industri atau biasa dikenal dengan program Praktek Kerja Industri (Prakerin). Prakerin dilaksanakan awal semester 5 dengan rentang waktu 3-6 bulan di industry dan instansi yang cocok dengan keahlian masing-masing. Pada tahun ini karena sedang pandemi, prakerin dilaksanakan secara daring dengan cara satu bulan sekali diadakan dengan fasilitas zoom meeting dan pekerjaan dibagikan kepada siswa sebagai tugas.

Menurut Jatmoko (2013, hlm. 4) menyebutkan bahwa kurikulum dalam pendidikan kejuruan tidak terlepas pada pengembangan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, tetapi harus secara simultan mempersiapkan peserta didik yang produktif. Lebih lanjut Jatmoko mengutip pendapat Finch & Crunkilton (1999) mengemukakan bahwa kurikulum pendidikan kejuruan berhubungan langsung dengan membantu siswa untuk mengembangkan suatu tingkat pengetahuan, keahlian, sikap, dan nilai yang luas. Setiap aspek

159Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tersebut akhirnya bertambah dalam beberapa kemampuan kerja lulusan. Oleh sebab itu salah satu ciri dan pembeda dari sistem pembelajaran SMK dengan pendidikan menengah lainnya adalah dengan adanya pelaksanaan praktek baik yang dilakukan di sekolah, maupun praktek yang dilakukan secara langsung di Industri yang sesuai dengan program keahlian masing-masing peserta didik.

Sistem Penilaian SMK

SMK merupakan satuan pendidikan yang khas dimana setiap lulusan dari SMK disiapkan sebagai tenaga siap kerja sehingga harus memenuhi kualifikasi kerja sesuai jenjang yang ditetapkan dalam KKNI. Oleh karena itu standar penilaian dan panduan penilaiannya juga memiliki kekhasan atau berbeda dengan satuan pendidikan yang lain karena sistem pembelajarannya pun memiliki perbedaan seperti pendidikan menengah lainnya seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Secara umum, penilaian pada pendidikan menengah manapun harus memperhatikan aspek aspek penting dalam sebuah penilaian. Mengenai hal tersebut, Nurdin dan Adriantoni (2016, hlm. 129) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penilaian peserta didik, antara lain:

1. Penilaian ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensi2. Penilaian menggunakan acuan kriteria yakni berdasarkan pencapaian

kompetensi peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran.3. Penilaian dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.4. Hasil penilaian ditindaklanjuti dengan program remidial bagi peserta didik

yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.

5. Penilaian harus sesuai dengan kegiatan pembelajaran

Sesuai dengan penjelasan capaian kompetensi di bagian awal, maka aspek kompetensi yang dinilai pun adalah aspek kompetensi sikap (attitude), aspek kompetensi pengetahuan (knowledge) dan aspek kompetensi keterampilan (skill) yang semua aspek penilaiannya memperhatikan bagaimana kesiapan peserta didik dalam menghadapi dunia kerja di masa yang akan datang. Berdasarkan tindak lanjut hasil penilaian peserta didik, jika peserta didik tersebut telah memenuhi indikator pencapaian kompetensi atau kriteria unjuk kerja minimal maka akan dilakukan kategorisasi hasil penilaian yang antara lain terdiri dari cukup/mulai kompeten, kompeten dan sangat kompeten. Sebaliknya apabila perserta didik belum memenuhi indikator pencapaian kompetensi atau kriteria unjuk kerja minimal maka akan dilakukan program remedial sampai dia menuntaskan kompetensi tersebut dan mendapatkan kategorisasi kompetensi yang dimiliki.

160 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran berbasis kompetensi hanya ada kompeten dan tidak/belum kompeten. Penentuan siswa kompeten maupun tidak/belum kompeten ditentukan dari kemampuan siswa menampilkan Kriteria Unjuk Kerja Minimal. Pencapaian Kriteria Unjuk Kerja Minimal diwujudkan dengan cut off score atau Skor Ketuntasan Minimal (60 untuk Mata Pelajaran Adaptif dan Normatif sedangkan skor 65 untuk Mata Pelajaran Produktif). Adapun untuk sistem penilaian khasi yang dimiliki oleh SMK antara lain:

1. Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL)2. Penilaian Praktik Kerja Industri (Prakerin)3. Ujian Paket Kompetensi (UPK)4. Ujian Kompetensi Keahlian (UKK)

Adapun penilaian yang dilakukan di SMKN 2 Sukabumi terdapat penilaian proses dan harian yang dilakukan oleh masing-masing guru mata pelajaran. Terdapat juga penilaian berkala yang dilakukan bersama-sama oleh sekolah yang terdiri dari Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Akhir Semester (PAS). Pada saat pandemi ini ujian menggunkan sistem mandiri yaitu UDJ (Ujian Dalam Jaringan) dikerjakan secara online. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) ditentukan oleh guru atau kelompok guru dengan mempertimbangkan aspek kompleksitas, aspek sumber daya pendukung (sarana) dan aspek intake (kemampuan awal siswa). Untuk nilai KKM di SMKN 2 Sukabumi setiap mata pelajaran bervariasi tetapi tidak kurang dari 70. Setiap guru mempunyai penilaian tersendiri, apabila siswa belum mencapai KKM untuk setiap unit kompetensi, maka guru akan melakukan pengayaan dan remedial.

Dalam melakukan UPK dan UKK, SMKN 2 Sukabumi telah memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang didirikan sebagai lembaga independen yang berkewajiban mensertifikasi lulusan sesuai standar yang sudah disepakati dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Untuk penilaian, siswa di SMKN 2 Sukabumi yang telah mencapai semua kompetensi kejuruan level 2 (C2/C3) dipertengahan semester 5 akan diajukan untuk memperoleh sertifikat kompetensi GARUDA dari BNSP melalui Uji Kompetensi di LSP SMKN 2 Sukabumi.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Penerapan KBK pada jenjang SMK harus mengacu kepada spektrum keahlian pendidikan menengah kejuruan yang sudah ditetapkan. Spektrum tersebut terdiri atas penentuan Bidang Keahlian, program keahlian dan paket keahlian yang disesuaikan dan berkembang pada dunia kerja dan dunia usaha. Dengan kata lain, kurikulum SMK adalah kurikulum yang dinamis yang dimana dunia kerja dan dunia usaha mengalami perubahan yang sangat cepat sehingga

161Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menuntut penyiapan guru yang sangat cepat baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi LPTK. Selain itu, kompetensi guru SMK haruslah menyesuaikan dengan kompetensi yang ada dalam spektrum keahlian pendidikan menengah kejuruan karena sebagai salah satu bentuk penyiapan kompetensi peserta didik yang siap terjun ke dalam dunia usaha dan dunia industri, dibutuhkanlah guru yang memiliki kompetensi akan hal tersebut.

Selama masa pandemi Covid 19 ini, sistem Pembelajaran yang ada di SMKN 2 Sukabumi menerapkan sistem Blended Learning. Yaitu Pembelajaran daring (menggunakan Google Classroom) dan Tatap Muka khusus untuk praktek kejuruan. Sebelum masa pandemi pembelajaran dilakukan normal tatap muka teori dan praktek. Adapun untuk pembelajaran praktek yang ada di SMKN 2 Sukabumi terbagi menjadi dua yaitu Praktek yang dilakukan di sekolah dan praktek yang dilakukan di Industri atau biasa dikenal dengan program Praktek Kerja Industri (Prakerin). Prakerin dilaksanakan awal semester 5 dengan rentang waktu 3-6 bulan di industry dan instansi yang cocok dengan keahlian masing-masing. Pada tahun ini karena sedang pandemi, prakerin dilaksanakan secara daring dengan cara satu bulan sekali diadakan dengan fasilitas zoom meeting dan pekerjaan dibagikan kepada siswa sebagai tugas.

Dalam melakukan UPK dan UKK, SMKN 2 Sukabumi telah memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang didirikan sebagai lembaga independen yang berkewajiban mensertifikasi lulusan sesuai standar yang sudah disepakati dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Untuk penilaian, siswa di SMKN 2 Sukabumi yang telah mencapai semua kompetensi kejuruan level 2 (C2/C3) dipertengahan semester 5 akan diajukan untuk memperoleh sertifikat kompetensi GARUDA dari BNSP melalui Uji Kompetensi di LSP SMKN 2 Sukabumi.

Daftar Pustaka

Basrowi dan Suwandi. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Danial, E dan Wasriah, N. (2009). Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Laboratorium PPKn Universitas Pendidikan Indonesia.

Jatmoko, Dwi. (2013). Relevansi Kurikulum SMK Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan Terhadap Dunia Industri di Kabupaten Sleman. Jurnal Pendidikan Vokasi, 3 (1), 1-13.

162 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Madiyati, Baiq D dan Yuniawati, Rudy. (2015). Perbedaan Adaptabilitas Karir Ditinjau Dari Jenis Sekolah (SMA dan SMK). Jurnal Fakultas Psikologi, 3 (1), 31-41.

Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nurdin, Syafrudin dan Adriantoni. (2019). Kurikulum dan Pembelajaran, Edisi Kedua. Depok: Rajawali Pers.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan

Permendikbud Nomor 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Stuktur Kurikulum SMK/MAK

Rusman. (2018). Manajemen Kurikulum, Edisi Kedua. Depok: Rajawali Pers.

Satori, D dan Komariah, A. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wahyuni, Fitri. (2015). Kurikulum Dari Masa Ke Masa (Telaah Atas Pentahapan Kurikulum Pendidikan di Indonesia). Jurnal Al-Adabiya, 10 (2), 231-242.

163Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KOMPETENSI GURU ABAD 21 INTEGRASI PEDAGOGI DAN TEKNOLOGI

Laila Nursaliha, Deni KurniawanUniversitas Pendidikan Indonesia

[email protected]*

ABSTRACT

The development of 21st century technology has logical consequences for the competence of all those affected, including the world of education which is controlled by teachers. Technology becomes a determinant factor for learning change. From the perspective of Indonesian education, ICT competence is still at a different stage according to the region. The trainings that are held related to technology-based learning are still focused on technical matters. The integration of pedagogy and technology is not just about bringing technology to the classroom such as using various software or bringing a projector into the classroom. But as a process of selecting technology that is suitable for learning purposes, it uses technological characteristics that are suitable for learning. The combination of these two competency components is a part that needs to be considered by teachers so that ICT competencies and following the times, do not focus on technology but focus on the learning process of students learning.

Keyword : Teacher Competencies, Pedagogy, Technology

ABSTRAK

Perkembangan Teknologi abad 21 memiliki konsekuensi logis terhadap kompetensi dari semua yang terkena dampaknya, tidak terkecuali dengan dunia pendidikan yang dipegang kendali oleh guru. Teknologi menjadi faktor determinan untuk perubahan pembelajaran. Dalam selayang pandang pendidikan Indonesia, kompetensi ICT masih dalam tahap yang berbeda sesuai dengan wilayahnya. Pelatihan-pelatihan yang diadakan terkait dengan pembelajaran berbasis teknologi, masih berkutat kepada hal-hal teknis. Integrasi pedagogi dan teknologi bukan hanya sekedar membawa teknologi ke ruang kelas seperti menggunakan berbagai software atau membawa proyektor ke ruang kelas. Tapi sebagai sebuah proses pemilihan teknologi yang cocok untuk tujuan pembelajaran, menggunakan karakter teknologi yang sesuai dengan pembelajaran. Perpaduan dua komponen kompetensi tersebut merupakan bagian yang perlu diperhatikan oleh guru sehingga kompetensi ICT dan mengikuti perkembangan zaman, tidak berfokus kepada teknologi namun berfokus kepada proses belajar pembelajaran peserta didik.

Kata kunci : Kompetensi Guru, Pedagogi, Teknologi

164 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

A. Pendahuluan

Perkembangan Teknologi memiliki konsekuensi logis terhadap kompetensi dari semua yang terkena dampaknya, tidak terkecuali dengan dunia pendidikan yang dipegang kendali oleh guru. Ellul (1981) menyebutkan bahwa teknologi memiliki beberapa dimensi diantaranya teknologi sebagai sebuah konsep, teknologi sebagai sebuah lingkungan dan teknologi sebagai sebuah determinan. Saat ini, teknologi menjadi ketiganya dalam masyarakat. Dalam dunia pendidikan, teknologi menjadi faktor determinan untuk perubahan pembelajaran. Beranjaknya fenomena belajar tradisional kepada belajar secara online merupakan salahsatunya. Meskipun menjadi sebuah faktor determinan dalam pembelajaran, teknologi bukan menjadi fokus pendidikan. Fokus pendidikan tetap pada proses pembelajaran dan posisi teknologi sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran.

Perkembangan teknologi tidak secepat bagaimana manusia mengadaptasinya. Adaptasi manusia begitu sangat lambat dibanding teknologi yang sedang berkembang. Seperti grafik yang ditunjukkan oleh Friedman berikut

Gambar 1. Teknologi vs adaptasi manusia

Dunia pendidikan Indonesia belum bisa mengejar ketertinggalan dari teknologi yang berkembang saat ini, permasalahan masih dengan cara adaptasi selain karena faktor infrastruktur, tapi juga faktor mentalitas. Ada tiga faktor mentalitas yang diperlukan dalam membangun sebuah kreativitas pengetahuan, yaitu domain simbolik --seperangkat aturan dan prosedur simbolik dalam sebuah masyarakat--, medan sosial, dan individu-individu (Piliang, 2019). Setidaknya dalam ketiga faktor tersebut, guru bisa menjadi individu-individu yang mempengaruhi kedua faktor yang lain.

165Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Atas perkembangan teknologi yang begitu pesat, guru seharusnya memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi, salahsatunya adalah dengan munculnya kompetensi ICT (Information Communication and Technology). Kompetensi ini sudah lama menjadi salahsatu issue yang penting dibahas sejak tiga dekade terakhir. Namun di indonesia baru menjadi issue yang penting semenjak penggunaan teknologi memasyarakat dan membuat sebuah pola baru dalam masyarakat.

Dalam selayang pandang pendidikan Indonesia, kompetensi ICT masih dalam tahap yang berbeda sesuai dengan wilayahnya. Pelatihan-pelatihan yang diadakan terkait dengan pembelajaran berbasis ICT, masih berkutat kepada hal-hal teknis seperti bagaimana mengoperasikan komputer? Aplikasi yang tepat untuk pembelajaran? Bagaimana memaksimalkan sebuah aplikasi? Dan sebagainya. Dengan adanya fenomena tersebut, literasi ICT guru di Indonesia masih terbilang rendah karena guru masih belum semuanya sadar dan perlu menggunakan teknologi.

Pengarahan di lapangan untuk kompetensi ICT cenderung mengarah kepada penggunaan alat-alat teknologi namun belum disertai dengan konsep-konsep pendidikan, dan instruksional teknologi diintegrasikan dengan pendidikan. Salah-salah menjadi alat bantu, sebagian guru ketergantungan dengan teknologi dimana pengajaran lebih terpaku kepada teknologi bukan kepada isi pembelajarannya. Pemahaman terkait pedagogi dan teknologi tidak terlepas dari kemampuan guru dalam menggunakan teknologi. Ketika guru sudah mahir menggunakan teknologi, guru akan mengeksplorasi dan bisa memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran secara maksimal. Kesiapan ini bisa dijadikan syarat untuk bisa memiliki kemampuan ICT yang diharapkan.

B. Konsep Kompetensi ICT Guru

Dalam konsep kompetensi guru di Indonesia, ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru diantaranya adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dna kompetensi profesional. Kompetensi ICT belum menjadi masuk kepada kompetensi wajib, namun hal itu bisa termasuk ke dalam salahsatu kompetensi yang sudah ada sebagai bentuk pengembangannya.

Naskah akademik TIK untuk Guru, ada 4 jenjang kompetensi TIK, yaitu (yaitu: (1) menguasai dasardasar TIK (ICT Literacy); (2) mendalami pengetahuan (akuisisi dan rekayasa pengetahuannya) melalui TIK; (3) mempunyai kemampuan untuk mengkreasi pengetahuan dengan TIK; dan (4) berbagi ilmu dengan menggunakan TIK atau tentang TIK, baik kepada siswa maupun guru lainnya (Wasiha, 2011 seperti yang dikutip oleh Rivalina, 2014). Dalam naskah akademik tersebut, kompetensi literasi yang diharapkan

166 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

merupakan sebuah jenjang untuk menguasai TIK dengan baik. Dalam poin-poin yang diutarakan dalam naskah tersebut terlihat belum begitu jelas indikator kompetensinya.

Berbeda dengan konsep ICT yang digunakan oleh UNESCO. Konsep kerja yang digunakan oleh UNESCO memiliki tahapan konsep yang lebih kompleks dengan seperti memahami ICT dalam pendidikan, kurikulum dan penilaian, pedagogi, aplikasi dari kemampuan digital, organisasi dan administrasi, dan pembelajaran guru profesional. Selain dalam aspek tersebut, ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh guru diantaranya knowledge acquisition, knowledge deepening, dan knowledge creation. Seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut :

Aspek Akuisisi Pengetahuan

Pendalaman Pengetahuan

Penciptaan Pengetahuan

Memahami ICT dalam Pendidikan

Pemahaman kebijakan

Aplikasi kebijakan

Inovasi kebijakan

Kurikulum dan Assesmen

Pengetahuan dasar

Aplikasi pengetahuan

Pengetahuan keterampilan social

Pedagogi ICT untuk meningkatkan guru

Pemecahan masalah yang kompleks

Manajemen diri

Aplikasi dan Keterampilan digital

Aplikasi Infuse Transformasi

Organisasi dan Administrasi

Kelas terstandar Grup kolaboratif Organisasi belajar

Pembelajaran guru Profesional

Literasi digital networking Guru sebagai innovator

Tabel 1. ICT Competency Framework UNESCO

Berikut kompetensi yang dicapai guru sebagai penjabaran dari kerangka kerja yang dibuat oleh UNESCO. Bisa terlihat, tahapan tersebut memiliki tingkatan dalam acquisition knowledge, knowledge deepening, dan knowledge creation. Tahapan ini berguna untuk menempatkan berbagai kompetensi yang sesuai dengan posisinya.

167Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Aspek Pengetahuan Akuisisi

Pendalaman Pengetahuan

Penciptaan Pengetahuan

Memahami ICT dalam kebijakan pendidikan

Mengartikulasikan bagaimana praktik di ruang kelas dan mendukung kebijakan institusi atau nasional

Merancang, memodifikasi, dan melaksanakan praktik ruang kelas untuk mendukung kebijakan institusi

Mengkritik kebijakan institusi dan pendidikan nasional, menyarankan revisi, merancang improvisasi, dan berspekulasi terhadap dampak perubahan.

Kurikulum dan asesmen

Menganalisis standar kurikulum dan mengidentifikasi bagaimana ICT bisa digunakan secara pedagogis untuk mendukung standar tersebut

Mengintegrasikan ICT kedalam konten pelajaran, pengajaran, dan menilai proses, menunjukkan penguasaan standar kurikulum

Menentukan cara terbaik dalam student-centered dan pembelajaran kolaboratif untuk memastikan penguasaan dari standar kurikulum multidisipliner

Pedagogi Menyesuaikan pilihan ICT untuk mendukung pembelajaran yang spesifik

Merancang aktivitas pembelajaran PBL dengan dukungan ICT dan menggunakan ICT untuk memfasilitasi kreativitas siswa, melaksanakan dan mengawasi perencanaan proyek, dan memecahkan masalah yang kompleks.

Menentukan parameter pembelajaran, mendorong manajemen diri siswa dalam belajar secara CTL dan Collaborative learning.

Aplikasi kemampuan digital

Identifikasi fungsi komponen hardware dan software dan bisa menggunakannya

Menggabungkan variasi alat digital dan sumber untuk membuat lingkungan pembelajaran digital yang terintegrasi untuk mendukung kemampuan berpikir tingkat tinggi dan kemampuan untuk memecahkan masalah.

Merancang pengetahuan komunitas dan menggunakan alat ditila untuk mendukung pembelajaran agar meresap.

168 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Aspek Pengetahuan Akuisisi

Pendalaman Pengetahuan

Penciptaan Pengetahuan

Organisasi dan administrasi

Organisasi lingkungan fisik untuk mendukung perbedaan cara belajar

Menggunakan alat digital yang fleksibel untuk memfasilitasi collaborative learning, mengatur siswa dan bagian belajar yang lain dan mengadministrasi prose belajar

Memainkan peran kepemimpinan dalam merancang perubahan sebuah strategi teknologi untuk sekolah kepada organisasi pembelajaran

Guru Profesional

Menggunakan ICT untuk mendukung pengembangan profesi.

Menggunakan teknologi untuk berinteraksi dengan jaringan profesional untuk mendukung pengembangan profesi.

Secara berkelanjutan mengembangkan, eksperimen, melatih, dan membagikan praktik terbaik dalam emnentukan bagaimana sekolah bisa menjadi lebih baik dengan teknologi.

tabel 2. Pemetaan Kompetensi guru

Kompetensi ICT yang digunakan oleh UNESCO adalah berdasar kepada kebutuhan pendidikan global. Namun, ada bagian-bagian yang menjadi tantangan tersendiri untuk melaksanakan kompetensi ICT, diantaranya adalah teknologi mobile, artificial intelligence (AI), IoT (Internet of Things ), VR (Virtual Reality ) dan AR (Augmented Reality), Big Data, Coding, dan etika kode privasi. Kompetensi ICT akan begitu luas cakupannya dan akan cepat

Avdeeva. Et al (2016) membuat standar tersendiri sebagai instrumen untuk mengukur kompetensi ICT guru. Pengukuran tersebut disandarkan kepada penyesuaian. Namun secara garis besar, kompetensi ICT memiliki pemaknaan sebagai sebuah pemrosesan informasi yang terdiri dari mendapatkan informasi, mengumpulkan informasi, mengolah, hingga mengkreasikan lagi informasi. Pembuatan instrumen ini didasarkan kepada kerangka kerja yang dibuat oleh UNESCO dan juga kerangka kerja yang dibuat oleh ISTE.

169Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Fungsi Pekerja Aksi Partisipasi dalam manajemen organisasi pendidikan

• Partisipasi elaborasi dan implementasi pengembangan program organisasi pendidikan

• Partisipasi dalam membuat dan memperbaiki dalam sebuah pengembangan lingkungan, termasuk informasi dan pendidikan dalam organisasi pendidikan

Organisasi dan penampilan belajar

• Merencanakan proses belajar dan pengasuhan • Mengkaji proses pengasuhan dan pembelajaran• Hasil diagnosis pembelajaran dan kontrol belajar

dan proses pengasuhan Pengembangan profesi guru berkelanjutan

• Salahsatu dari pengembangan profesi • Interaksi dengan kolega untuk berbagi

pengalaman profesional.Tabel 3. Pengembangan Profesi Guru

Riset tersebut menggunakan tahapan untuk guru yang pemula, guru yang profesional, sesuai dengan tahapan yang dialami oleh guru. Sehingga kompetensi yang diharapkan mengalami peningkatan seiring dengan tambahan ia bekerja. Diantara berbagai macam konsep mengenai ICT, ada sebuah benang merah yang bisa diambil dari kompetensi ini adalah adanya sebuah penguasaan teknologi, penggunaan teknologi dalam pembelajaran, serta pemrosesan informasi. Kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru. Gagasan kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi bisa menjadi gambaran umum untuk dipakai sebagai acuan yang ada di Indonesia namun masih harus dikembangkan seperti apa yang ada dalam kerangka kerja UNESCO. Sehingga di Indonesia bisa memiliki konsep ICT yang sesuai dengan wilayah Indonesia.

C. Integrasi Teknologi dan Pedagogi

Permasalahan integrasi antara teknologi di ruang kelas merupakan permasalahan klasik yang dihadapi oleh berbagai negara dalam tiga dekade ini. Integrasi teknologi dan pedagogi merupakan salahsatu dari kemampuan dari ICT seperti yang ada di dalam kompetensi yang dinyatakan oleh UNESCO. Integrasi Teknologi pedagogi, memiliki berbagai macam istilah seperti Pedagogical technology. Konsep teknologi yang begitu kompleks menjadi salahsatu tantangan tersendiri. Konsep teknologi yang masih tradisional menjadikan pensil, kertas, miroskop menjadi alat bantu dalam pembelajaran yang merujuk kepada spesifikasi, stabilitas, dan fungsi transparansi yang sederhana. Berbeda dengan teknologi digital yang fungsinya sangat kontras yang tidak spesifik, tidak stabil, dan tidak memiliki transparansi yang jelas.

Integrasi antara teknologi dan pedagogi merupakan sebuah kesatuan dari konten, pedagogi, teknologi. Selain istilah pedagogical technology, ada

170 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

juga berbagai istilah yang telah berkembang diantaranya adalah pedagogical content knowledge sebagai sesuatu yang spesifik dan memiliki integrasi antara konten, pedagogi, dan pengajaran. Berikut hubungan ketiganya.

gambar 2. hubungan teknologi pedagogi

Proses pengintegrasian teknologi di ruang kelas, guru harus menempatkan teknologi sebagai sesuatu yang partikular di dalam kelas. Tidak cara yang paling baik untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran atau kurikulum. Tapi, guru dituntut untuk kreatif dalam memadukan teknologi ke ruang kelas. Kemampuan mengintegrasikan pedagogi dan teknologi menjadi sesuatu hal yang penting karena teknologi tidak dirancang untuk kepentingan pendidikan saja. Sehingga perlu ada jalan tengah dalam mengatasi berbagai hal tersebut (Koehler, Mishra, Cain, 2013).

Menurut Okojie, et.al integrasi teknologi dan pedagogi bisa diterjemahkan dalam cara berikut :1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran dalam dalam technology based

instruction yang mensyaratkan guru untuk memilih atau mengadaptasi ke dalam sesuatu berdasarkan kepada tujuan kebutuhan peserta didik

2. Menyajikan pembelajaran menggunakan teknologi sebagai bagian dari proses pembelajaran . Guru memilih metode yang relevan dengan tujuan, metode pembelajaran, dan teknologi yang digunakan

3. Merancang tindak lanjut aktivitas dengan menggunakan teknologi yang mudah digunakan.

4. Mengembangkan pengayaan material menggunakan teknologi untuk mengeksplorasi hal-hal yang berhubungan dengan pembelajaran

5. Merancang sebuah kelas yang dinamis agar pembelajaran menjadi lebih berwarna, interaktif, dan energetik, dan menarik perhatian siswa agar bisa lebih mengeksplorasi pengetahuan yang didapat melalui

Integrasi pedagogi dan teknologi bukan hanya sekedar membawa teknologi ke ruang kelas seperti menggunakan berbagai software atau membawa proyektor ke ruang kelas. Tapi sebagai sebuah proses pemilihan teknologi yang cocok untuk tujuan pembelajaran, menggunakan karakter teknologi yang sesuai dengan pembelajaran.

171Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

F. Penutup Integrasi pedagogi dan teknologi menjadi poin penting dalam kompetensi

ICT. Perpaduan dua komponen kompetensi tersebut merupakan bagian yang perlu diperhatikan oleh guru sehingga kompetensi ICT dan mengikuti perkembangan zaman, tidak berfokus kepada teknologi namun berfokus kepada proses belajar pembelajaran peserta didik. Kompetensi ICT menjadi hal yang penting dikuasai oleh guru, dengan bantuan berbagai pihak agar bisa dikuasai dengan segera. Ketika guru sudah menguasai kompetensi ICT, maka dengan mudah guru bisa membuat waktu di ruang kelas menjadi lebih efektif dan bisa memanfaatkan berbagai macam teknologi untuk mengajar.

Daftar Pustaka

Avdeeva, Svetlana, Olga Zaichkina, nataliya Nikulicheva, Svetlana Khapaeva. 2016. Framework for Assessing the ICT Competency in Teachers up to the Requirements of “Teacher” Occupational Standard. International Journal of Environmental &Sacience Education. Vol 11/18 https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1120585.pdf

Ellul, Jacques. 1980. The Technological System. Calmann-Levy

Koehler, Matthwe J., Punya Mishra, William Cain. 2013. What is Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)?. Journal of Education, Vo. 193/ No.3. https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/002205741319300303

National Educational Technology Standards for Teachers. (2008). Washington: International Society for Technology in Education Direct access: http://www.iste.org/standards/essential-conditions

Piliang, Yasraf Amir. 2019. Medan kreativitas. Yogyakarta : Cantrik Pustaka.

Rivalina, 2014. Kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jurnal Teknodik Vol 18./2

UNESCO. ICT Competency Framework for Teachers harnessing Open Educational Resources. en.unesco.org/themes/ict-eduction/competency-framework-teachers-oer#:~:text=jpg&text=The%20ICT%20Competency%20Framework%20for,support%20national%20and%20institutional%20goals.

Okojie, Mabel CPO, Anthony A. Olinzock, Tinukwa C. Okojie-Boulder. The Pedagogy of Technology Integration. The Journal of technology Studies. https://eric.ed.gov/?id=EJ847571#:~:text=Technology%20used%20for%20teaching%20and,into%20the%20classroom%20more%20successfully.

172 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PENGEMBANGAN LOM (LEARNING OBJECT MATERIAL) BERBASIS MICROLEARNING PADA PEMBELAJARAN DARING

Laksmi Dewi1*, Rudi Susilana2, Gema Rullyana3, Ardiansah4

Program Studi Teknologi PendidikanFakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Pendidikan [email protected]

AbstrakMicrolearning menggabungkan pengiriman konten dalam skala kecil dengan urutan interaksi mikro yang memungkinkan siswa untuk belajar tanpa membebani informasi secara berlebihan. Ini memiliki potensi untuk memungkinkan hasil pembelajaran yang lebih baik dalam hal retensi konten proposisional. Learning Object Material (LOM) berbasis microlearning dianalisis sebagai metode yang dapat menggantikan konten pembelajaran online pada mata kuliah reguler yang dilaksanakan dengan pembelajaran dalam jumlah besar dan konten yang besar. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan proses pengembangan LOM melalui metode microlearning dalam pembelajaran online. Metode penelitian yang digunakan yaitu design and development dengan tahapan identifikasi masalah, perumusan tujuan, pengembangan desain, uji coba terbatas, evaluasi hasil uji coba, dan laporan hasil uji coba. Subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari ahli isi/konten, ahli media pembelajaran, ahli desain pembelajaran. Hasil penelitian sebagai berikut, (1) pengembangan learning object material berbasis microlearning valid dengan (1) hasil review ahli materi/konten dengan penilaian pada kualifikasi sangat baik 88%, (2) hasil review ahli desain pembelajaran dengan penilaian pada kualifikasi sangat baik 85,2%, (3) hasil review ahli media dan komunikasi pembelajaran dengan penilaian pada kualifikasi sangat baik 88%.Kata Kunci: learning object material, microlearning, pembelajaran daring, sumber belajar digital

1. Pendahuluan

Perubahan yang cepat yang berlangung secara terus menerus mempengaruhi hampir semua lingkungan kehidupan, termasuk lingkungan pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi. Salah satu dampak yang bisa kita amati adalah cara belajar seseorang, kecenderungan memanfaatkan sumber belajar digital lebih besar daripada menggunakan sumber belajar konvensioanal. Kemudahan akses pada sumber digital tersebut menjadikan pebelajar dengan cepat mendapatkan informasi yang dibutuhkan, sehingga tren pembelajaran cepat menjadi kebutuhan priotas saat ini di lingkungan pendidikan.

173Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Menurut Gassler, Hug, & Glahn (2004), salah satu upaya kebutuhan pembelajaran cepat menjadi salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas seseorang pada era saat ini. Selain itu, pembelajaran tradisonal seperti ceramah dinilai kurang efektif mengarahkan pebelajar menuju kreatifitas karena kurang memotivasi pebelajar (Mohammed, Wakil, & Nwrolly, 2018). Menurut hasil studi Renard (2017), menyebutkan bahwa proses pembelajaran tradisional mengurangi perhatian pebelajar, rata-rata perhatian siswa menurun dari 12 menjadi 8 detik ketika menggunakan metode tradisonal pada pembelajaran. Fenomena tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi lingkungan pendidikan untuk secara terus menerus berinovasi untuk menjawab tantangan kebutuhan belajar. Microlearning merupakan metode pembelajaran dengan skala kecil. Konten (object learning) dirancang menjadi segmen-segmen kecil melalui ragam format media, sehingga informasi yang tersedia mejadi “short content” yang memungkinkan pebelajar secara cepat memahami konten. Selain itu, kemudahan akses memungkinkan pebelajar dapat belajar dimana dan kapan saja “learning on the go” melalui perangkat ICT.

Mircolearning memainkan peran penting dalam tahap penciptaan pengetahuan karena banyak proses pembelajaran didasarkan pada observasi dan pengumpulan data. Mircolearning merupakan pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada unit pembelajaran kecil dan kegiatan terfokus jangka pendek (Hug et al., 2004; Lindner & Bruck, 2007). Dalam pembelajaran mikro, peserta didik memanfaatkan media mikro untuk mendapatkan mikromedia seperti definisi, rumus, paragraf kecil, segmen video singkat, podcast, atau kuis (Zhang & Ren, 2011). Selain itu, dengan penilaian mikro, sebagian kecil pengetahuan dan keterampilan siswa dapat dievaluasi dalam waktu yang lebih singkat dan tanpa perlu membuat pengaturan pengujian khusus (Bundovski, Gusev, & Ristov, 2014). Penelitian telah menunjukkan bahwa pembelajaran mikro cocok dengan kebutuhan peserta didik memproses informasi dalam potongan-potongan kecil yang dapat dikelola dan memungkinkan retensi pengetahuan yang lebih baik (Bruck et al., 2012). Lebih jauh lagi, pembelajaran mikro dapat lebih melibatkan peserta didika dalam pembelajaran daring maupun hybrid. (Semingson, Crosslin, & Dellinger, 2015).

Menurut (Park & Kim, 2018) mengikuti pembelajaran daring dalam waktu singkat terbilang terbilang sulit karena alur pembelajaran yang cenderung mudah terputus dan objek material yang umumnya terlalu panjang dan kompleks untuk dipahami sekaligus dalam waktu yang singkat. Menurutnya, objek material yang dikemas melalui metode microlearning dianalisis sebagai metode yang lebih efektif untuk menyampaikan informasi, karena informasi di kemas menjadi segmen yang lebih kecil sehingga berpotensi mudah diakses dan dipahami oleh peserta dididk (Park & Kim, 2018).

174 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan pertimbangan tersebut, tujuan yang ingin dicapai dari pengembangan objek material pada pembelajaran daring adalah tersedianya learning object material (berbasis microlearning) yang mudah diakses dan dipelajari oleh peserta didik pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

2. Metode

Pengembangan LOM ini dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran pada mata kuliah Pengembangan Kurikulum. Penelitian dilakukan di Universitas Pendidikan Indonesia. Metode dalam penelitian ini adalah metode Design and Development (DnD), metode ini mengutamakan proses dan produk. Menurut (Richey & Klein, 2014) metode ini merupakan studi sistematis proses desain, pengembangan dan evaluasi dengan tujuan membangun dasar empiris untuk penciptaan produk dan alat instruksional dan noninstruksional, dan model baru atau yang disempurnakan yang mengatur perkembangan mereka.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari ahli isi/konten, ahli media pembelajaran, ahli desain pembelajaran.

Pengumpulan Data

Instrumen dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data terkait produk yang telah dirancang. Dengan menggunakan kuisioner, peneliti dapat mengetahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dan sudah baik untuk disajikan melalui produk. Tahapan dalam metode ini meliputi : a) Identifikasi masalah; b) menjelaskan tujuan; c) merancang dan mengembangkan artefak; d) menguji artefak; e) mengevaluasi hasil pengujian, f) mengkomunikasikan hasil pengujian.

Gambar 1Tahapan Penelitian (Richey & Klein, 2014)

Pada uji validitas produk, pengembangan video pembelajaran divalidasi melalui review para ahli yaitu : (a) ahli isi mata pelajaran, (b) ahli media pembelajaran (c) ahli desain pembelajaran.

175Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam proses ujicoba atau validasi media pembelajaran yang dikembangkan dalam kelompok kecil, diberikan alat pengumpul data berupa angket dengan skala likert.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasilnya disajikan dan dibahas dalam urutan pertanyaan penelitian.

a. Identifikasi

Hasil identifikasi masalah yang disimpulkan oleh penulis bahwa perlunya merancang peta LOM untuk kegiatan pembelajaran pada mata kuliah pengembangan kurikulum. Pengumpulan informasi pada tahap ini penulis meninjau dari analisis dokumen, diskusi terpumpun dengan team teaching pada mata kuliah pengembangan kurikulum dan wawancara dengan ahli media. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang mengacu analisis dokumen, diskusi dan wawancara, peneliti menemukan identifikasi yang berkaitan dengan pengembangan LOM yang dapat dirumuskan atau dianalisis menjadi suatu kebutuhan sebagai berikut :

Gambar 2Identifikasi Kebutuhan LOM pada Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum

Sumber : Data Penelitian, 2020

b. Menentukan Tujuan

Peneliti menganalisis tujuan dengan memperhatikan hasil identifikasi, yaitu sebagai berikut :

Tabel 1Peta LOM pada Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum

Materi(Pokok Bahasan,

Subpokok Bahasan)

Objek PembelajaranJml

Teks PPT Infografis Audio Video MotionAsesment

Tools

Kedudukan, Konsep, Fungsi dan Peranan Kurikulum

1 1 1 2 4 - 1 10

Landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum

1 - 3 1 5 - 1 11

176 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Materi(Pokok Bahasan,

Subpokok Bahasan)

Objek PembelajaranJml

Teks PPT Infografis Audio Video MotionAsesment

Tools

Komponen Kurikulum dan Pengembangannya

1 1 3 2 2 1 1 11

Prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum

1 2 2 1 2 1 1 10

Pendekatan, Model, dan Prosedur Pengembangan Kurikulum

2 3 2 - 2 1 2 12

Perkembangan Kurikulum di Indonesia

1 - 9 1 1 - 1 13

Pembaharuan Kurikulum 1 1 7 - 1 - 1 11

Analisis Kebutuhan Kurikulum

1 1 2 - - - 1 5

Perancangan Kurikulum 1 1 1 - 1 - 1 5

Sosialisasi Kurikulum 1 - 2 - 1 1 1 6

Implementasi Kurikulum dan monitoring pengendalian kurikulum

1 1 2 - 1 - 1 6

Evaluasi dan penyempurnaan kurikulum.

1 1 1 2 3 - 1 9

Jumlah 13 12 35 9 23 4 13 109

Berdasarkan hasil analisis pada tahapan identifikasi, peneltia menetapkan tujuan yaitu mengembangakn 109 LOM pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

c. Pengembangan desain

Dalam pengembangannya, terdapat prosedur yang diadaptasi dalam mengembangkan LOM berbasis microlearning, sebagai berikut :

Gambar 3 Prosedur Pengembangan LOM

177Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1) Analisis Konten

Pada tahapan pertama kegiatan yang dilakukan adalah menentukan topik pembelajaran. Berikut ini merupakan salah satu analisis konten pada topik landasan dalam pengembangan kurikulum

Tabel 2 Analisis Konten pada Topik Landasan dalam Pengembangan Kurikulum

Topik Sub Topik Sub dari sub topik

Landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum

Pengertian Landasan Pengembangan Kurikulum

- Pengertian 1- Pengertian 2- Pengertian 3- Pengertian 4

Model Eklektik Kurikulum Dan Landasan-Landasannya

- Landasan Filsafat- Landasan Psikologi- Landasan Sosilogis- Landasan IPTEK

Kontribusi Landasan-Landasan Terhadap Kurikulum

Contoh kontribusi Landasan-Landasan Terhadap Kurikulum

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

2) Menentukan Format LOM

Setelah topik pembelajaran sudah tersedia, langkah selanjutnya adalah menentukan format LOM. Berikut ini merupakan salah satu analisis format LOM pada topik landasan dalam pengembangan kurikulum

Tabel 3 Peta LOM pada Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum

Topik Sub Topik Sub dari sub topik Format LOM

Landasan-landasan dalam pengembangan kurikulum

Pengertian Landasan Pengembangan Kurikulum

- Pengertian 1- Pengertian 2- Pengertian 3- Pengertian 4

- Teks- Poadcast- Poadcast- Video Eksplainer

Model Eklektik Kurikulum Dan Landasan-Landasannya

- Landasan Filsafat- Landasan Psikologi- Landasan Sosilogis- Landasan IPTEK

- Infografis- Video Eksplainer- Infografis- Video Eksplainer

Kontribusi Landasan-Landasan Terhadap Kurikulum

Contoh kontribusi Landasan-Landasan Terhadap Kurikulum

- Infografis- Video Eks

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

178 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3) Produksi Pada tahapan ini aktivitas yang dilakukan adalah produksi, terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan pada kegiatan produksi.

a) Pra ProduksiBest Practice. Sebelum memulai produksi, mencari produk-produk yang sama sebagai model atau rujukan menjadi aktivitas yang dilakukan peneliti. Naskah atau blueprint. Naskah atau blueprint dirancang oleh penelti sebagai panduan dalam mengembangkan produk. Pemilihan perangkat lunak. Perangkat lunak yang dipilih untuk digunakan adalah perangkat lunak yang dapat memenuhi kebutuhan produksi.

b) ProduksiKegiatan produksi merupakan implementasi dari kegiatan pra produksi. Sebagai contoh, kegiatan produksi infografis misalnya proses layout dengan power point, pada media podcast proses take sound dengan audacity, pada media video explainer take video dengan filmora.

c) Pasca produksiEditing. Proses editing merupakan usaha penyempuranaan produk yang telah dikembangkan.

4) RevisiKegiatan review melibatkan ahli konten, ahli desain pembelajaran, ahli media dan komunikasi pembelajaran.

5) DesiminasiSetalah melalui semua tahapan, produk siap disebarluaskan.

a. ImplementationSecara umum, dalam pengembangan LOM ini menggunakan berbagai aplikasi,

yaitu sebagai berikut :Tabel 4

Peta LOM pada Mata Kuliah Pengembangan KurikulumNo Jenis LOM Aplikasi Jenis Aplikasi Ket1 Teks Adobe Acrobat Desktop Lisence

2 PPT - PowerPoint- Google Slide

- Desktop- Web Based

- Lisence- Free Software

3 Poadcast - Audacity- Spotify

- Desktop- Web Based Free Software

4 Infografis PowerPoint Desktop Lisence

5 Video Eksplainer - PowerPoint- Screen Cast

- Desktop- Web Based

- Lisence- Free Software

6 Motion Grafphics Animaker Web Based Free Software7 Assesment Tools Moodle Web Based Open Source

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

179Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1) Teks

Dari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 13 LOM dengan format teks pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 4Contoh LOM Jenis Teks Berformat PdfSumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi Adobe Acrobat dengan luaran format Pdf. Sesuai dengan karakteristik microlearning teks tersebut berjumlah maksimal 2 halaman.

2) PPT

Dari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 12 LOM dengan format PPT pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

180 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 5Contoh LOM Jenis PPT Berformat PptxSumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi PowerPoint yang diintegrasikan pada aplikasi google slide dengan tujuan LOM tersebut lebih mudah diakses (embeded) pada SPADA/Moodle. Sesuai dengan karakteristik microlearning PPT tersebut berjumlah maksimal 3 slide.

3) Poadcast

Dari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 9 LOM dengan format Audio dengan konsep poadcast pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 6Contoh LOM Jenis Audio Berformat Mp4Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi audacity yang diintegrasikan pada aplikasi spotify dengan tujuan LOM tersebut lebih mudah diakses (embeded) pada SPADA/Moodle. Sesuai dengan karakteristik microlearning durasi audio tersebut tidak lebih dari 3 menit.

181Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4) Infografis

Dari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 35 LOM dengan format infografis pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 7Contoh LOM Jenis Inografis Berformat Jpeg

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi PowerPoint kemudian diexport pada file ektensi jpeg agar lebih mudah diakses pada SPADA/Moodle.

5) Video Eksplainer

Dari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 12 LOM dengan format video pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 8Contoh LOM Jenis Video Explainer Berformat Video

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

182 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi screen cast dan PowerPoint yang diintegrasikan pada aplikasi youtube dengan tujuan LOM tersebut lebih mudah diakses (embeded) pada SPADA/Moodle. Sesuai dengan karakteristik miccrolearning durasi video tersebut tidak lebih dari 3 menit.

6) Motion GraphicsDari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 4 LOM dengan format motion graphics pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 9Contoh LOM Jenis Animasi Berformat motion graphics

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020LOM tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi animaker yang diintegrasikan pada aplikasi youtube dengan tujuan LOM tersebut lebih mudah diakses (embeded) pada SPADA/Moodle. Sesuai dengan karakteristik microlearning durasi video tersebut tidak lebih dari 3 menit.

7) Assesment ToolsDari 12 topik pembelajaran yang dikembangkan, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dibutuhkan 13 assesment tools pada mata kuliah pengembangan kurikulum.

Gambar 10Contoh LOM Jenis Assesment tools

Sumber : Dokumentasi Penelitian, 2020

183Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Assesment tools tersebut dikembangkan menggunakan aplikasi SPADA

e. Uji Coba terbatas

1) Materi/konten

Pada penilaian Ahli konten (subject matter experts) dilakukan oleh Dadi Mulyadi, MT, akademisi di bidang kurikulum. Penelitian ini memerlukan penilaian ahli konten yang bertujuan untuk mengetahui validitas mengenai konten. Ahli materi menilai dari aspek yang meliputi kebenaran isi materi, bebas dari kesalahan konsep, kekinian materi, kecakupan dan kedalaman materi, kememadaian acuan (referensi) yang digunakan (Chaeruman, 2019).

Tabel 5 Penilaian pada Aspek Materi/Konten

Aspek Skor Diperoleh

Skor Maksimal %

1. Kebenaran Isi Materi 5 5 100 %2. Bebas dari Kesalahan Konsep 5 5 100 %3. Kekinian Materi 5 5 100 %4. Kecakupan dan Kedalaman Materi 4 5 80 %5. Kememadaian Acuan (Referensi)

Yang Digunakan 3.5 5 70 %

Sumber : Data Peneltian 2020

Total Score 22.5Maximum Number of Scores 25Percentage 88%

Penilaian materi/isi secara keseluruhan mendapat skor 88 % yang berati skor tersebut memilki kategori sangat baik. Dari kelima aspek yang dinilai menunjukkan bahwa konten yang tersedia layak untuk digunakan sebagai LOM pada pembelajaran daring mata kuliah pengembangan kurikulum.

184 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2) Desain PembelajaranPada penilaian aspek desain pembelajaran (instructional design experts) dilakukan oleh Dr. Dadang Sukirman, M.Pd. akademisi di bidang kurikulum. Penelitian ini memerlukan penilaian ahli desain pembelajaran dengan tujuan mengetahui kesesuaian strategi penyampaian LOM pada peserta didik. Instructional design experts menilai dari aspek yang meliputi sebagai berikut, (Chaeruman, 2019) :

Tabel 6Penilaian pada Aspek Desain Pembelajaran

Aspek Skor Diperoleh

Skor Maksimal %

1. Kesesuaian strategi penyampaian media dengan karakteristik peserta didik

4.5 5 90 %

2. Ketepatan strategi penyampaian media sehingga memungkinkan kemudahan dan kecepatan pemahaman dan penguasaan materi, konsep atau keterampilan

4 5 80 %

3. Tingkat kemungkinan mendorong kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah

4.3 5 66%

4. Tingkat kontekstualitas dengan penerapan/aplikasi dalam kehidupan nyata yang sesuai dengan karakteristik peserta didik

4 5 80 %

5. Ketepatan pemilihan media 4.5 5 90 %Sumber : Data Peneltian 2020

Total Score 21.3Maximum Number of Scores 25Percentage 85.2%

185Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penilaian pada aspek desain pembelajaran secara kesleuruhan mendapat skor 85.2 % yang berarti skor tersebut memilki kategori sangat baik. Dari kelima aspek yang dinilai menunjukkan bahwa LOM berbasis microleaning sangat baik digunakan pada pembelajaran daring mata kuliah pengembangan kurikulum.

3) Media dan Komunikasi Pembelajaran

Pada penilaian aspek media dan komunikasi pembelajaran (instructional media & communication) dilakukan oleh Dr. Cepi Riyana, M.Pd. akademisi di bidang media pembelajaran. Penelitian ini memerlukan penilaian instructional media & communication specialist bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari sisi media (Chaeruman, 2019), sebagai berikut :

Tabel 7Peta LOM pada Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum

Aspek Skor Diperoleh

Skor Maksimal %

1. Kesesuaian dan kualitas pemanfaatan grafis dan visual (table, diagram, bagan) dengan tujuan, isi materi dan karakteristik peserta didik

4.5 5 90%

2. Kesesuaian dan kualitas pemanfaatan narasi dengan tujuan, isi materi dan karakteristik peserta didik

4 5 80%

3. Kesesuaian dan kualitas pemanfaatan video dengan tujuan, isi materi dan karakteristik peserta didik

4.3 5 86%

4. Kesesuaian dan kualitas pemanfaatan animasi dan simulasi dengan tujuan, isi materi dan karakteristik peserta didik

4 5 80%

5. Ketepatan penggunaan bahasa komunikasi sesuai dengan tujuan, isi materi dan karakteristik peserta didik

4.5 5 90%

6. Tingkat interaktifitas dan kemudahan penggunaan 5 5 100%

7. Kemenarikan pengemasan media secara keseluruhan 4.5 5 90%

Sumber : Data Peneltian 2020Total Score 30.8Maximum Number of Scores 35Percentage 88%

186 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Penilaian pada aspek media dan komunikasi pembelajaran secara keseluruhan mendapat skor 88 % yang berati skor tersebut memilki kategori sangat baik. Dari ketujuh aspek yang dinilai menunjukkan bahwa LOM berbasis microleaning pada pembelajaran online mata kuliah pengembangan kurikulum pada aspek media dan komunikasi pembelajaran sangat baik.

4. Kesimpulan dan Saran

Pengembangan LOM berbasis microleraning pada pembelajaran daring memiliki beberapa langkah utama yaitu pengembangan desain dan uji coba produk. Tahap perancangan dilakukan beberapa langkah diantaranya yaitu identifikasi masalah, dan perumusan tujuan. Langkah tersebut berdasarkan hasil studi pendahuluan yang mengacu pada analisis dokumen, diskusi dan wawancara. Kebutuhan pengembangan LOM diantaranya teks, ppt, infografis, audio/podcast, motion graphics dan assessment tools.

Data yang diperoleh tersebut digunakan untuk tahapan pengembangan desain. Tahapan pengembangan desain terdapat prosedur yang diadaptasi dalam mengembangan LOM berbasis microlearning yaitu analisis konten, penentuan jenis media, produksi, revisi dan diseminasi. Tahapan implementasi pembuatan LOM berupa teks, ppt, infografis, audio/poadcast, motion graphics dan assessment tools dengan menggunakan berbagai aplikasi.

Hasil uji coba produk didapatkan hasil dengan penilaian materi/konten, desain pembelajaran, dan media komunikasi pembelajaran. Penilaian materi/konten yang meliputi kebenaran isi materi, bebas dari kesalahan konsep, kekinian materi, kecakupan dan kedalaman materi, kememadaian acuan (referensi) yang digunakan secara keseluruhan sangat baik. Penilaian desain pembelajaran meliputi sesuai karakteristik peserta didik, kemudahan dan kecepatan, mendorong kemampuan berfikir, kontekstualitas dan ketepatan pemilihan media secara keseluruhan sangat baik. Penilaian media komunikasi pembelajaran meliputi grafis, video, narasi, animasi, penggunaan bahasa, interaktifitas, menarik secara keseluruhan sangat baik.

Pengembangan penelitian selanjutnya mengenai pengembangan LOM berbasis microlearning yaitu implementasi pembelajaran daring berbasis mobile.

187Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Bruck, P. A., Motiwalla, L., & Foerster, F. (2012). Mobile Learning with Micro-content: A Framework and Evaluation. Bled eConference, 25, 527-543.

Bundovski, A., Gusev, M., & Ristov, S. (2014, May). Micro Assessment SaaS cloud solution. In 2014 37th International Convention on Information and Communication Technology, Electronics and Microelectronics (MIPRO) (pp. 867-872). IEEE.

Chaeruman, U. A. (2015). Instrumen Evaluasi Media Pembelajaran. Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

Gassler, G., Hug, T., & Glahn, C. (2004). Integrated Micro Learning–An outline of the basic method and first results. Interactive Computer Aided Learning, 4, 1-7.

Lindner, M., & Bruck, P. A. (2007, June). Micromedia and corporate learning. In Proceedings of the 3rd International Microlearning 2007 Conference (Vol. 8). Innsbruck: Innsbruck University Press.

Mohammed, G. S., Wakil, K., & Nawroly, S. S. (2018). The effectiveness of microlearning to improve students’ learning ability. International Journal of Educational Research Review, 3(3), 32-38.

Park, Y., & Kim, Y. (2018). A design and Development of micro-Learning Content in e-Learning System. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 8(1), 56-61.

Renard, L. (2017). Microlearning, a new way of teaching without losing attention. Diakses 22 Desember 2020. Tersedia : https://www.bookwidgets.com/blog/2017/02/microlearning-a-new-way-of-teaching-without-losing-attention

Richey, R. C., & Klein, J. D. (2014). Design and development research. In Handbook of research on educational communications and technology (pp. 141-150). Springer, New York, NY.

Semingson, P., Crosslin, M., & Dellinger, J. (2015, March). Microlearning as a tool to engage students in online and blended learning. In Society for Information Technology & Teacher Education International Conference (pp. 474-479). Association for the Advancement of Computing in Education (AACE).

Zhang, X., & Ren, L. (2011, August). Design for application of micro learning to informal training in enterprise. In 2011 2nd International Conference on Artificial Intelligence, Management Science and Electronic Commerce (AIMSEC) (pp. 2024-2027). IEEE.

188 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Grand Desain Manajemen Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Berbasis Mutu Pada Masa Pandemi Covid-19

Leni NuraniUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI)

[email protected]

ABSTRACTThe grand design of quality-based KTSP development during the pandemic aims to prepare an emergency curriculum during the covid-19 pandemic. The method used in this research is qualitative and data collection is done by litelatur study and interview with Curriculum Development Team at SMP El Fitra. The data sources used in this study are primary data and secondary data. The primary data was obtained from an interview with the Curriculum Development Team at SMP EL Fitra, namely the Principal, Wakasek Curriculum and teachers who are members of the curriculum development team. The secondary data is obtained from litelatur studies derived from books and KTSP documents. Technical data analysis is used through three stages, namely data reduction, data presentation and conclusion drawing. The result of this research is that it is necessary to design the design of KTSP development in accordance with the Quality Standards (8 National Standards of Education), by conducting managerial in managing the curriculum in schools with the steps of planning, organizing, implementing, monitoring and evaluating. There are several factors that become obstacles and solutions in designing KTSP during this pandemic, including: the first factor (1) there is a problem of human resources (Educators) who are not yet professional in preparing online-based learning media, factor to (2) the absence of management information system that facilitates offline learning (online), factor to (3) the implementation of online learning system is experiencing network disruption, for that the school tries its best to take action in preparing human resources (Educators) who are professionals in preparing online-based learning media , as well as designing a Management Information System (SIM) for online learning needs.

Keywords: Grand Design, Management, Quality Standards, 8 National Standards of Education, Emergency Curriculum

ABSTRAKGrand desain pengembangan KTSP berbasis mutu pada dimasa pandemi bertujuan untuk menyiapkan kurikulum darurat dimasa pandemi covid-19. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan pengumpulan data dilakukan

189Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dengan studi litelatur dan wawancara dengan Tim Pengembang Kurikulum di SMP El Fitra. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan Tim Pengembang Kurikulum di SMP EL Fitra yaitu Kepala Sekolah, Wakasek Kurikulum dan guru yang menjadi anggota tim pengembang kurikulum. Adapun data sekunder diperoleh dari studi litelatur yang berasal dari buku dan dokumen KTSP. Teknis analisis data yang digunakan melalui tiga tahap, yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini bahwa perlu dibuatkannya desain perancangan pengembangan KTSP sesuai dengan Standar Mutu (8 Standar Nasional Pendidikan), dengan melakukan manajerial dalam mengelola kurikulum di sekolah dengan langkah membuat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengontrolan (monitoring) dan evaluasi. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat dan solusi dalam merancang KTSP pada masa pandemi ini, diantaranya : faktor pertama (1) terdapat permasalahan dari SDM (Tenaga Pendidik) yang belum profesional dalam menyiapkan media pembelajaran berbasis online, faktor ke (2) belum adanya sistem informasi manajemen yang memudahkan melakukan pembelajaran luring (online), faktor ke (3) pelaksanaan sistem pembelajaran online mengalami gangguan jaringan, untuk itu sekolah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan tindakan dalam menyiapkan SDM (Tenaga Pendidik) yang profesional dalam menyiapkan media pembelajaran berbasis online, serta merancang Sistem Informasi Manajemen (SIM) untuk kebutuhan pembelajaran online. Kata Kunci : Grand Desain, Manajemen, Standar Mutu, 8 Standar Nasional Pendidikan, Kurikulum Darurat

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia dilanda pandemi Covid-19 yang menyebarkan virus hampir kesemua negara termasuk Indonesia. Untuk menanggulangi penyebaran virus tersebut maka diadakan sosial distancing. Kegiatan pembelajaran disekolah mengalami perubahan yang awalnya tatap muka menjadi kegiatan belajar dirumah dengan melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). PJJ online ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dalam penyebaran virus. Pembelajaran online memiliki dampak yang sangat besar baik positif maupun negatif. Satuan pendidikan harus menyiapkan pembelajaran online yang bisa diikuti oleh peserta didik. SMP El Fitra menyusun rancangan pengembangan KTSP pada masa pandemi covid-19 sesuai arahan dan kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah dengan melakukan standarisasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

190 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Mutu pendidikan berkaitan dengan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, mutu pendidikan dapat dikatakan baik apabila memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Terpenuhinya standar minimal pendidikan yang merupakan Standar Nasional Pendidikan merupakan prasyarat untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah. Realitas yang muncul bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih cukup jauh dari yang diharapkan, apalagi mutu di kebanyakan madrasah yang masih banyak mengalami kendala. Banyak sekolah yang belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan, seperti tenaga pendidik dan kependidikan yang belum memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang distandarkan, serta sarana dan prasarana yang belum memadai

Kualitas mutu proses pembelajaran dinyatakan dalam bentuk pencapaian - standar dalam pembelajaran. Standar-standar tersebut akan menjadi pedoman seluruh aktivitas proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kontroling (monitoring) dan evaluasi.

B. Perumusan masalahPeneliian ini bertujuan untuk :1. Bagaimana manajerial KTSP berdasarkan Standar Mutu (8 Standar

Nasional Pendidikan)2. Bagaimana menyiapkan kurikulum darurat dimasa pandemi covid-193. Bagaimana merancang grand desain pengembangan KTSP

C. Konsep dan HipotesaPenulis menganalisis kekuatan dan kelemahan di SMP El fitra dalam mengembangkan KTSP pada masa pandemi covid-19. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat dan solusi dalam merancang KTSP pada masa pandemi ini, diantaranya : faktor pertama (1) terdapat permasalahan dari SDM (Tenaga Pendidik) yang belum profesional dalam menyiapkan media pembelajaran berbasis online, faktor ke (2) belum adanya sistem informasi manajemen yang memudahkan melakukan pembelajaran luring (online), untuk itu sekolah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan tindakan dalam menyiapkan SDM (Tenaga Pendidik) yang profesional dalam menyiapkan media pembelajaran berbasis online, serta merancang Sistem Informasi Manajemen (SIM) untuk kebutuhan pembelajaran online. Pengembangan SDM dalam menggunakan ICT dan menyiapkan Sistem Informasi Pendidikan dalam Pengembangan kurikulum sangat bermanfaat bukan hanya dapat digunakan pada saaat pandemi tetapi dapat digunakan

191Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kembali walaupun masa pandemi sudah

D. TujuanBerdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :1. Melakukan Manajerial Pengembangan KTSP berdasarkan Standar

Mutu (8 Standar Nasional Pendidikan)2. Menyiapkan Kurikulum Darurat Dimasa Pandemi Covid-193. Menyusun Grand Desain Pengembangan KTSP

2. METODEMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif berupa informasi gambaram grand desain manajemen pengembangan KTSP berbasis mutu pada masa pandemi covid-19. Pengumpulan data dilakukan dengan studi litelatur dan wawancara dengan Tim Pengembang Kurikulum di SMP El Fitra. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan Tim Pengembang Kurikulum di SMP EL Fitra yaitu Kepala Sekolah, Wakasek Kurikulum dan guru yang menjadi anggota tim pengembang kurikulum dari stiap standar pendidikan. Adapun data sekunder diperoleh dari studi litelatur yang berasal dari buku dan dokumen KTSP. Pengumpulan literatur dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri buku-buku dan jurnal-jurnal pada beberapa media cetak maupun elektronik seperti buku, koleksi jurnal perpustakaan, dan internet, penelusuran jurnal dilakukan melalui Google Schoolar. Subjek penelitian adalah SMP El Fitra dengan alamat Jalan Soekarno Hatta Bandung. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Analisis ini meliputi 3 alur kegiatan, sesuai dengan pernyataan Sugiyono yang mengutip pendapat Miles dan Huberman, bahwa ada tiga langkah pengolahan data kualitatif (2018: 246), yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data.

3. HASIL DAN PEMBAHASANA. Pengertian Kurikulum

Makna kurikulum menurut Hilda Taba adalah sebuah rancangan pembelajaran, yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai hal mengenai proses pembelajaran serta perkembangan individu (Rifai, 1999: 3). Hal ini senada dengan pendapat Zakiah Daradjat (1992: 121) yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan suatu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.

192 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sementara Nana Syaodih Sukmadinata berpendapat bahwa kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan (2000: 4). Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19, yang dimaksud dengan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut terkandung makna bahwa kurikulum meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

B. Ruang Lingkup ManajemenA.F. Stoner dan R.E. Freeman dalam bukunya Management mengemukakan bahwa, “Management is the process of planning, organizing, leading, and controlling the work of organizational members and of using all available organization resources to real stated organizational goal” (Ukas, 1999: 9). Sementara Harold Koontz dan Cyril O’Donnel dalam bukunya Principle of Management menyebutkan bahwa “Management is getting things done through the efforts of other people” (Ukas, 1999: 12). Senada dengan pernyataan Robbin dan Coulter yang menyatakan bahwa manajemen adalah proses mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas kerja sehingga dapat selesai secara efesien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Sedangkan Hersey dan Blanchard menyebutkan bahwa manajemen adalah suatu proses bagaimana pencapaian sasaran organisasi melalui kepemimpinan (Rakhmawati, 2012).Manajemen dalam konteks Islam disebut juga dengan (ةرادإ -ةسايس – Menurut S. Mahmud .(ربد – رادأ – ساس) yang berasal dari lafadz (ريبدتAl-Hawary, manajemen (al-idarah) ialah mengetahui kemana yang dituju, kesukaran apa yang harus dihindari, kekuatan-kekuatan apa yang dijalankan, dan bagaimana mengemudikan kapal anda serta anggota dengan sebaik-baiknya tanpa pemborosan waktu dalam proses mengerjakannya (Hefniy, 2008). Inti dari beberapa pengertian manajemen tersebut menunjukan bahwa manajemen mencakup serangkaian kegiatan organisasi dalam mengatur sumber daya manusia dan sumber daya lain secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Kegiatan manajemen pada hakekatnya adalah serangkaian kegiatan

193Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

manajerial yang dilakukan oleh seorang manajer yang tidak terlepas dari pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen itu sendiri. Adapun fungsi-fungsi manajemen menurut G.R. Terry, terdiri dari planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengawasan) (Suharsaputra, 2010: 7).1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Perencanaan juga merupakan kumpulan kebijakan yang secara sistematik disusun dan dirumuskan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan serta dapat dipergunakan sebagai pedoman kerja. Perencanaan menurut Louis E. Boone dan David L. Kurtz: “Planning may be defined as the process by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective” (Suharsaputra, 2010: 9). Dari pengertian ini tampak bahwa dalam proses perencanaan tercakup penentuan tujuan yang layak serta bagaimana tujuan itu dicapai.Dalam perencanaan, terkandung makna pemahaman terhadap apa yang telah dikerjakan, permasalahan yang dihadapi dan alternatif pemecahannya, serta untuk melaksanakan prioritas kegiatan yang telah ditentukan secara proporsional. Perencanaan sedikitnya memiliki dua fungsi utama, pertama, perencanaan merupakan upaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang dapat disediakan; kedua, perencanaan merupakan kegiatan untuk mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Mulyasa, 2012: 20).

2. Pengorganisasian (Organizing)Pengorganisasian merupakan penentuan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan, pengelompokan tugas-tugas, dan membagi-bagikan pekerjaan kepada setiap karyawan, penetapan departemen-departemen serta penentuan hubungan-hubungan. Malayu S.P. Hasibuan seperti yang dikutip oleh Badrudin mendefinisikan pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokan, dan pengaturan berbagai macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap aktivitas, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menetapkan wewenang yang secara relatif didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut (Badrudin,

194 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2013: 111).Dalam fungsi pengorganisasian, manajer mengalokasikan keseluruhan sumber daya organisasi sesuai dengan rencana yang telah dibuat berdasarkan suatu kerangka kerja organisasi tertentu. Kerangka kerja tersebut dinamakan desain organisasi. Bentuk spesifik dari kerangka kerja organisasi dinamakan struktur organisasi. Struktur organisasi pada dasarnya merupakan desain organisasi tempat manajer melakukan alokasi sumber daya organisasi, terutama yang terkait dengan pembagian kerja dan sumber daya yang dimiliki organisasi, serta bagaimana keseluruhan kerja tersebut dapat dikoordinasikan dan dikomunikasikan (Badrudin, 2013: 112).

3. Pelaksanaan (Actuating)Pelaksanaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan rencana menjadi tindakan nyata dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Rencana yang telah disusun akan memiliki nilai jika dilaksanakan dengan efektif dan efisien (Mulyasa, 2012: 21).Pelaksanaan merupakan fungsi manajemen yang sangat penting sebab dengan fungsi ini maka rencana dapat terlaksana dalam kenyataan. Namun demikian, diperlukan pembinaan dan pemberian motivasi agar seluruh komponen dalam organisasi dapat menjadikan proses pencapaian tujuan organisasi sebagai suatu bagian integral dalam pencapaian tujuan masing-masing, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan lancar tanpa ada konflik orientasi dalam pencapaian tujuan tersebut (Suharsa putra, 2010: 10-11).

4. Pengawasan (Controlling)Pengawasan dapat diartikan sebagai upaya untuk mengamati secara sistematis dan berkesinambungan, merekam, memberi penjelasan, petunjuk, pembinaan, dan meluruskan berbagai hal yang kurang tepat, serta memperbaiki kesalahan. Pengawasan merupakan kunci keberhasilan dalam keseluruhan proses manajemen, perlu dilihat secara komprehensif, terpadu, dan tidak terbatas pada hal-hal tertentu (Mulyasa, 2012: 21). Menurut C. Turney, pengawasan atau controlling adalah “...the activities used by manager to ensure that activities of an organization are consistent with plan and organizational objectives are achieved”. Sementara Louis E. Boone dan David L. Kurtz mendefinisikan pengawasan sebagai “...the process by which manager determine whether organizational objectives are achieved and whether actual operation are consistent with plans” (Suharsaputra, 2010: 11). Dari pengertian tersebut, pengawasan merupakan langkah pengendalian agar pelaksanaan dapat

195Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sesuai dengan apa yang direncanakan serta untuk memastikan apakah tujuan organisasi tercapai, karena rencana merupakan patokan atau kriteria penting agar pengawasan dapat terlaksana dengan efektif.

C. Manajemen Pengembangan KTSP1) Frame Work Perencanaan Sistem Informasi Pengembangan

KurikulumUndang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Pasal 36 mengamanatkan agar kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan disusun dan dikembangkan: (a) dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, (b) sesuai dengan jenjang pendidikan dan (c) dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan prinsip diversifikasi tersebut, pemerintah dapat cukup memberikan panduan yang bersifat umum terkait gambaran pendidikan yang perlu dilakukan, sedangkan wujud kurikulum yang dijalankan dapat disusun oleh setiap satuan pendidikan. Dengan demikian pemerintah tidak lagi harus selalu menetapkan kurikulum yang bersifat nasional. Kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan penyusunannya dapat diserahkan di tingkat satuan pendidikan dalam bentuk Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) sebagai wujud penerapan manajemen barbasis madrasah terutama pada masa darurat.

Gb. Information Sistem Planning Curiculum Development

196 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berikut ini perencanaan sistem informasi pengembangan kurikulum1. Direction (Arah dan tujuan dari pengembangan KTSP (Kurikulum

Normal dan Kurikulum DI masa Pandemi)Pengembangan Kurikulum KTSP dan Kurikulum Darurat

2. Learning Analisis (Analisis Pembelajaran)3. Situation Analisis (Analisis Situasi)4. Succes Kriteria (Kriteria Kesuksesan)5. Plans (Perencanaan Program Pembelajaran)6. Financial Model (Penyusunan Grand Design Sistem Penjaminan

Mutu Internal)a) Direction (Arah dan tujuan dari pengembangan KTSP (Kurikulum

Normal dan Kurikulum DI Masa Pandemi)Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum

2006 adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh, dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar, dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006, dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Salah satu perubahan yang menonjol pada KTSP dibanding dengan kurikulum sebelumnya adalah KTSP bersifat desentralistik. Artinya, segala tata aturan yang dicantumkan dalam kurikulum, yang sebelumnya dirancang dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam KTSP sebagian tata aturan dalam kurikulum diserahkan untuk dikembangkan dan diputuskan oleh pihak di daerah atau sekolah. Meski terdapat kebebasan untuk melakukan pengembangan pada tingkat satuan pendidikan, namun pengembangan kurikulum harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ketetapan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.[2] KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur, dan muatan

197Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus. Satuan pendidikan dalam kondisi khusus dapat menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran peserta didik. Satuan pendidikan pada kondisi khusus dalam pelaksanaan pembelajaran dapat: 1. tetap mengacu pada Kurikulum Nasional; 2. menggunakan kurikulum darurat; atau 3. melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.

b) Learning Analisis (Analisis Pembelajaran)Media pembelajaran yang kita buat yang pertama harus sesuai

dengan indikator pencapaian kompetensi dengan harapan dapat mempermudah peserta didik dalam memahami materi dibandingkan dengan sekedar membaca. Selain itu pembuatan media harus memperhatikan kesesuaian dengan karakteristik materi pembelajaran. Dari sini kita bisa memilih media apa yang cocok dengan materi apakah lebih mudah apabila menggunakan media berupa video, ataupun hanya cukup dengan gambar saja. Kemudian hal-hal lainnya adalah kondisi peserta didik bisa berupa lingkungan. Tentu media pembelajaran yang sesuai adalah media gambar ataupun benda yang bisa ditampilkan kepada peserta didik. Media juga dapat berupa manekin yang biasa digunakan di mapel Biologi. Foto ataupun video dokumenter sangat cocok untuk mapel sejarah. Dalam kondisi pandemi sekolah menerapkan pembelajaran luring, sehingga media pembelajaran lebihn bangyak menggunakan ICT seperti membuat vidio, PPT, Zoom, Gogle Clasroom, Zoom, Gogle meet.

c) Situation Analisis Lembaga pendidikan harus mengetahui problematika

lembaganya, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman sehingga bisa melahirkan solusi-solusi cemerlang dan bisa mengantarkan lembaga pendidikan pada kedudukan yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan. Menurut E. Mulyasa berpendapat bahwa perkembangan yang terjadi dewasa ini cenderung menimbulkan permasalahan dan tantangan baru yang berdampak luas terhadap tugas-tugas pengelolaan pendidikan. Antara lain, perbaikan mutu secara terus menerus berorientasi pada masukan, proses, luaran, dll. Inti sumber perbaikan bukanlah pada fisiknya,

198 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

melainkan pada peningkatan profesionalitas manusia pengelola atau pelaksana lembaga pendidikan itu sendiri. Untuk mengukur tingkat keberhasilan, kekuatan dan kelemahan dalam manajemen strategik maka analisis SWOT merupakan salah satu alternatif yang digunakan dalam mengnalisis manajemen pendidikan, khusunya pada lembaga pendidikan.

d) Sucses CriteriaKriteria keberhasilan berfungsi untuk menentukan nilai suatu aspek dalam suatu komponen tertentu. Pengelolaan suatu lembaga pendidikan yang efektif dan efisien merupakan syarat mutlak keberhasilan organisasi tersebut. Tidak terkecuali lembaga pendidikan yang juga akan semakin dituntut menjadi suatu organisasi yang tepat sasaran dan berdayaguna. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memerlukan suatu sistem pengelolaan yang profesional. Sebagai salah satu komponen utama dalam sistem pendidikan, selayaknya sekolah memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan kualitas SDM. Hal ini tidak terlepas dari seberapa baik sekolah tersebut dikelola.

e) Plan (Perencanaan dan Penyusunan Program)Menerapkan sekolah yang berbudaya mutu secara internal

dengan mengacu kepada 8 Standar Nasional Pendidikan (8-SNP). Membuat Grand Design Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dengan melakukan Penyusunan, Organizing, Actuating, Controling dan Evaluating 8 Standar Nasional Pendidikan. Fungsi dari Standar Nasional Pendidikan ini adalah sebagai dasar dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas. Sedangkan tujuan utama dari Standar Nasional Pendidikan adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat. Menurut penjelasan dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), berikut ini adalah 8 standar pendidikan nasional di Indonesia:

f) Financial Model Membuat kerangka kerja dalam melakukan strategi pengembangan

kurikulum yang berbasis mutu secara internal. Menyusun Frame Woork Kurikulum Nasional pada setiap satuan pendidikan dengan mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP yang dikembangkan pada setiap satuan pendidikan mengacu kepada 8 Standar Nasional Pendidikan. Setelah melakukan Indentifikasi faktor Internal kekuatan (strength), kelemahan (Weaknesses), peluang

199Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

atau kesempatan (faktor Eksternal Opportunities) dan ancaman (Threats) ditemukan, selanjutnya dilakukan penilaian dan evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Merumuskan visi dan misi, tujuan serta menyusun rencana kegiatan yang disesuaikan dengan keadaan internal satuan pendidikan.

Gb. Frame Work Pengembangan KTSP Berbasis Mutu

2) Grand Desain Manajemen Pengembangan KTSP serstandar Mutu Pada Masa Pandemi

Dalam menstandarkan mutu pendidikan, sekolah harus memiliki tujuan yang jelas, untuk apa sekolah itu didirikan, oleh karena itu perlu dibuatkan “Grand Desain Sistem Penjaminan Mutu Internal”. Grand Desain ini merupakan rencana besar mengenai sistem yang akan dibuat dalam penjaminan mutu pendidikan secara internal dengan tujuan agar bisa mencapai standar pendidikan yang sudah ditetapkan secara nasional.

Dalam pembuatan Grand Desain Sistem Penjaminan Mutu Internal, setiap satuan pendidikan harus membuat analisis SWOT mengenai kelebihan dan kekurangan baik dari pihak internal maupun eksternal sekolah. Grand desain yang dibuat dapat mengurangi kekurangan dan mengoptimalkan potensi atau kekuatan yang dimiliki sistem tersebut.

Flow Chat Grand Desain Manajemen KTSP

200 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

a. Flow Chat Model 1Model 1 menjelaskan mengenai pengelolaan di dalam satuan pendidikan

b. Flow Chat Model 2Gambar model 2 menjelaskan mengenai penyusunan Dokumen (KTSP, Silabus, RPP)

201Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

c. Flow Chat Model 3 Model 3 menjelaskan mengenai penyusuna RKAS

202 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengelolaan Kurikulum

1. Perencanaan KurikulumPada tahap ini, kurikulum dijabarkan sampai menjadi rencana pembelajaran. Oleh karena itu, wakil kepala sekolah bidang kurikulum melakukan beberapa kegiatan, seperti menjabarkan Silabus menjadi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, menelaah berdasarkan kalender pendidikan, menyusun program tahunan dan program semester, dan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penyusunan KI/KD sampai dengan RPP tidak dikerjakan seorang diri oleh guru. Akan tetapi, disusun secara bersama-sama oleh beberapa guru bidang studi sejenis dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG).a. Penjabaran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasarb. Penyusunan Kalender Akademik c. Penyusunan program tahunan dan semesterand. Pengembangan silabuse. Penyusunan RPP

2. Pengorganisasian Kurikuluma. Pembagian tugas mengajarb. Penyusunan jadwal pelajaranc. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikand. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler

3. Pelaksanaan Kurikuluma. Pengaturan pelaksanaan kegiatan tahun ajaran barub. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran

1) Tahap Perencanaan Pembelajaran Sebelum guru melakukan proses pembelajaran di kelas, pada

awal tahun ajaran guru menyiapkan perangkat administrasi seperti RPP, Silabus, Prota dan Promes. Selanjutnya menyiapkan media pembeajaran sesuai dengan lessen plan yang sudah dibuatkan.

Pada tahap perencanaan, pertama, penyusunan KTSP; kedua, Pengembangan KTSP; ketiga, Monitoring dan evaluasi

2) Tahap Proses Pembelajaran Proses pembelajaran dilakukan secara online dengan jadwal kegiatan dimulai dari pukul 07.00 – 12.00. Dalam satu hari terdiri dari 3 mata pelajaran

3) Tahap Evaluasi PembelajaranTahap evaluasi pembelajaran dilakukan secara online, dengan menggunakan gogle classroom, zoom, quiziss dan lain-lain

203Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Evaluasi Kurikuluma. Supervisi pelaksanaan pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru secara rutin disupervisi oleh Kepala Sekolah dan pimpinan pesantren dalam rangka Penilaian Kinerja Guru.

b. Evaluasi proses dan hasil pembelajaranProses dan hasil pembelajaran tersebut kemudian dievaluasi. Hasil evaluasi tersebut merupakan gambaran kinerja guru dan dijadikan pedoman untuk pemberian reward prestasi atau keputusan tidak dilanjutkan, jika hasil evaluasi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan sekolah dan pesantren.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kurikulum SMP El Fitra meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum. Adapun pada pelaksanaannya, penyelenggaraan lembaga pendidikan ini menginduk ke Dinas Pendidikan nan mengembangkan kurikulum satuan pendidikan sesuai dengan Visi, Misi dan tujuan sekolahnya. Manajemen Pengembangan KTSP di SMP El Fitra telah dilaksanakan dengan baik. Hal ini tergambar dengan adanya program kerja, terlaksananya program, dilakukan pengawasan, serta terlaksananya proses pembelajaran dengan optimal.

Pengembangan program pembelajaran dalam menjamin mutu proses pembelajaran dilakukan dengan menerapkan pembelajaran berbasis E-Learning, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian pembelajaran telah memanfaatkan media elektrik. Disamping itu, mengembangkan program-program inovasi pada sejumlah aspek pembelajaran, diantaranya adalah program ICT Day, English Drill, Math Drill dan Pembiasaan. Dalam kegiatan pembelajaran menerapkan beberapa metode yang inovativ berkaitan dengan program-program khusus / unggulan juga menggerakkan literasi sekolah / gerakan budaya membaca. Fungsi dan tujuan utama dari Standar Nasional Pendidikan ini adalah sebagai dasar pelaksanaan pendidikan di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Badrudin. (2013). Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Alfabeta.Hidayat, Ara dan Imam Machali. (2010). Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip,

dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah. Bandung: Pustaka Educa.

Mulyasa, Enco. (2012). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Cet. XIV. Bandung: Remaja Rosda Karya.

204 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rifai, Asfari, Soekirno, dan Soedarminto. (1999). Materi Pokok Pengembangan Kurikulum dan Bahan Belajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cet. XXVIII. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. (2017). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ukas, Maman. (1999). Manajemen: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi. Cet. II. Bandung: Ossa Promo.

Jurnalhttp://journal.ummgl.ac.id/index.php/cakrawala/article/view/1702[9 September

2019]http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/index.php/JPI/article/view/1236.[9

September 2019]Mustakim, Muh. (2017). Transformasi Pesantren sebagai Pusat Penyebaran Islam,

Alat Revolusi dan Lembaga Pendidikan Islam. At-Tajdid: Jurnal Ilmu Tarbiyah, Vol. 6 No. 2, Juli. 2017. Tersedia:

http://ejournal.stitmuhpacitan.ac.id/index.php/tajdid/article/download/113/32/[8 September 2019]

Muttaqin, Ahmad.(2016). Konstruksi Kurikulum Sains Islam Keindonesiaan (Integrasi Islam, Sains Kealaman, Sains Humaniora dan Keindonesiaan). Jurnal Pendidikan Islam: Volume 5, Nomor 2, December 2016/1438. Tersedia:

http://jurnaledukasikemenag.org/index.php/edukasi/article/download/460/pdf.[8 September 2019]

httphttps://hefniy.wordpress.com/2008/10/06/manajemen-dalam-perspektif-islam/[8

September 2019]https://www.academia.edu/34820357/Materi_Grand_Designhttps://www.edukasippkn.com/2015/11/langkah-langkah-cara-membuat-

menyusun.htmlhttps://tirto.id/panduan-kurikulum-darurat-covid-19-buat-guru-untuk-belajar-

daring-f1Vwhttps://www.antapedia.com/2020/05/pengertian-dan-konsep-kurikulum-darurat.

htmlhttps://pakapri.net/analisis-dan-pengembangan-media-pembelajaran/https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/02/05/analisis-swot-dalam-

pendidikan-3/https://www.maxmanroe.com/vid/umum/standar-nasional-pendidikan.html

205Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

URGENSI DIKLAT WAKIL KEPALA SEKOLAH BIDANG KURIKULUM

Nacep Hamrat1, Rusman2

Universitas Pendidikan Indonesia [email protected]

[email protected]

Abstract

Various efforts to improve the quality of education are inseparable from various challenges. One of the challenges that arise is in the implementation of the curriculum. The vice-principal manages the implementation of the curriculum in schools for curriculum affairs. However, in practice, they find it difficult to properly carry out their role as vice-principal of the school. This study aims to elaborate on the urgency of training for vice principals in curriculum matters to carry out their duties and functions as an instructional leader at the educational unit level. The method used is a literature study. The literature search results show that the vice principal of curriculum affairs cannot carry out his role as an instructional leader in the school. The factors that have emerged are a lack of adequate competence, difficulty determining priority scales, and a fairly heavy workload. Thus, the suggestion that can be given from the research results is that it is necessary to develop an education and training curriculum design for vice principals in the curriculum.

Keywords: curriculum, instructional leader, vice-principal

1. Pendahuluan

Pendidikan adalah wahana dalam mengembangkan sumber daya manusia di suatu negara. Indeks pengembangan sumber daya manusia salah satunya diukur salah satunya melalui kualitas pendidikan di negara tersebut (Klugman, Rodríguez, & Choi, 2011)the Human Development Index (HDI. Dapat dilihat bahwa peningkatan kualitas pendidikan merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh suatu negara, tak terkecuali yang terjadi di negara Indonesia. Semenjak berdiri, pemerintah Indonesia senantiasa mengupayakan peningkatan mutu pendidikan. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan adanya perubahan kurikulum dari masa ke masa yang disesuaikan dengan relevansi peri kehidupan masyarakat Indonesia.

Usaha-usaha peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari berbagai hambatan yang muncul. Tantangan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan salah satunya terdapat pada implementasi kurikulum. Rusman (2018) menyebutkan bahwa keberhasilan sebuah kurikulum tergantung dari

206 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

penerapan dan implementasi kurikulum di lapangan. Implementasi kurikulum di Indonesia mengalami begitu banyak tantangan yang berarti. Kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan implementasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan antara lain pemahaman guru terhadap kurikulum yang tidak menyeluruh, penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang kurang maksimal, dan kurangnya pendidikan dan pelatihan pengembangan diri yang diikuti oleh guru (Kholisho & Marfuatun, 2018; Magdalena, Novitasari, Nabila, & Fratiwi, 2020; Melati & Utanto, 2016)

Penelitian lain menyebutkan bahwa permasalahan implementasi kurikulum disebabkan adanya ketidak seragaman pemahaman guru terkait implementasi kurikulum 2013 di tiap-tiap tingkat satuan pendidikan (Wahyudin, Rusman, & Rahmawati, 2017). Pemahaman guru yang berbeda-beda memengaruhi keberhasilan implementasi kurikulum di sekolahnya masing-masing. Oleh karena itu, dalam praktik implementasi kurikulum di sekolah perlu adanya manajemen kurikulum yang baik, sehingga keberhasilan pelaksanaan kurikulum dapat tercapai.

Manajemen kurikulum adalah bagian dari manajemen pendidikan. Manajemen kurikulum pada tingkat satuan pendidikan terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum (Rusman, 2018). Praktik manajemen kurikulum di sekolah dilakukan oleh kepala sekolah dengan dibantu wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum adalah guru yang diberi tugas tambahan yang diberikan oleh kepala sekolah untuk melakukan pengelolaan kurikulum. Guru yang ditunjuk tersebut harus memenuhi persyaratan baik secara administratif maupun kompetensi. Kompetensi yang dimiliki guru dalam mengemban tugas sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum sangat menentukan bagaimana instructional leadership yang dilaksanakan di sekolah.

Instructional leadership pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1970, namun definisi instructional leadership sendiri tetap agak sulit dipahami selama beberapa dekade dan mengalami berbagai perubahan seiring perkembangan pendidikan (Thompson, 2013). Pada awal perkembangannya banyak ahli pendidikan mengamati bahwa sekolah yang efektif memiliki kepala sekolah ataupun wakil kepala sekolah yang berperan sebagai pemimpin instruksional (Lezotte, 2001; Rosenholtz, 1985). Pemimpin instruksional merupakan tugas yang secara signifikan memengaruhi impelementasi kurikulum di sekolah, sehingga keberhasilan kurikulum tidak dapat lepas dari peran seorang pemimpin instruksional. Adapun peran pemimpin instruksional pada tataran satuan pendidikan diampu oleh kepala sekolah dengan dibantu atau bahkan dilakkukan pendelegasian tugas kepada wakil kepala sekolah bidang kurikulum.

Penelitian-penelitian terkait wakil kepala sekolah sangat jarang dilakukan.

207Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada beberapa penelitian terdahulu belum ada penelitian ekstensif mengenai pentingnya diklat wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Studi ini bertujuan untuk mengelaborasi urgensi diklat bagi wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai instructional leader atau pemimpin instruksional di tingkat satuan pendidikan.

2. Metode

Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode studi literatur. Pendekatan kualitatif dipilih dengan maksud agar penelitian dapat mengungkapkan secara deskirptif informasi-informasi penting mengenai peran wakil kepala sekolah bidang kurikulum sebagai instructional leader di tingkat satuan pendidikan. Sumber data diperoleh dari artikel penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi terkait peran wakil kepala sekolah sebagai instructional leader dalam kurun waktu 2010 sampai 2020. Selain menggunakan artikel ilmiah terbaru, penelitian pula menggunakan referensi teoretis yang relevan terkait peran wakil kepala sekolah bidang kurikulum.

Penelitian dimulai dari pengumpulan data melalui berbagai artikel pada jurnal-jurnal yang dipublish secara online. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari artikel pada jurnal-jurnal terakreditasi melalui kata kunci wakil kepala sekolah, assistant principal, co-principalship, vice-principal, associate principal, deputy principal, instructional leadership, dan manajemen kurikulum. Dari artikel-artikel yang berhasil dikumpulkan kemudian dilakukan reduksi data sehingga didapatkan artikel yang memenuhi kriteria untuk dilakukan analisis data.

Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul terkait tugas wakil kepala sekolah di lapangan berdasarkan artikel-artikel yang didapat. Setelah itu, peneliti mendaftar kendala-kendala yang muncul dan alternatif solusi yang disarankan dari masing-masing artikel tersebut. berdasarkan temuan-temuan itu, kemudian data-data yang didapat disusun dan dituangkan ke dalam studi literatur mengenai urgensi wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin instruksional di tingkat satuan pendidikan.

3. Hasil dan Pembahasan

Peran wakil kepala sekolah di sekolah merupakan peran yang krusial. Kapasitas wakil kepala sekolah tidak hanya pada bidang tugasnya saja (misalnya kurikulum, kesiswaan, kewirausahaan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat), tetapi juga pada tataran kepemimpinan dan manajerial. Ho, Kang, dan Shaari (2020) mengatakan bahwa wakil kepala sekolah menjalankan leading

208 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

from the middle. Pemberian wewenang kepala sekolah kepada wakil kepala sekolah memungkinkan wakil kepala sekolah untuk dapat melaksanakan pola kepemimpinan dari tengah. Pola kepemimpinan dari tengah berbeda dari pola bottom-up atau top-down. Pola kepemimpinan ini memudahkan wakil kepala sekolah untuk memperluas pengaruh baik ke atas maupun ke bawah. Deal (2015) mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan dari tengah sangat efektif dalam menjangkau ke atas hingga ke staf paling bawah. Temuan dari penelitian Ho, Kang, dan Shaari (2020) lainnya menyebutkan peran-peran wakil kepala sekolah selaku leader in the middle, diantaranya menjadi penghubung antar jenjang dalam sebuah hierarki organisasi serta menjadi penggerak aktualisasi visi, misi, dan tujuan sekolah,

Terdapat tiga tingkatan pada tataran manajemen diantaranya top level management, middle level management, dan first level management. Ketiganya membentuk sebuah hierarki dalam menjalankan organisasi tergantung seberapa penting posisi yang diampunya. Wakil kepala sekolah menduduki middle level management. Wakil kepala sekolah menduduki middle level management pada tingkat satuan pendidikan. Wakil kepala sekolah khususnya bidang kurikulum memiliki peran penting dalam mengembangkan dan mempertahankan kualitas pengalaman belajar siswa, tetapi cara mereka melakukannya sangat bergantung pada kondisi tingkat satuan pendidikan masing-masing. Pada tingkat manajemen menengah ini, wakil kepala sekolah berperan menjadi perantara dari manajemen lini pertama dan manajemen puncak. Manajemen di tingkat ini bertanggung jawab atas implementasi rencana yang ditetapkan oleh manajemen puncak yaitu kepala sekolah. Manajemen menengah juga bertanggung jawab atas semua aktivitas yang dilakukan oleh manajemen tingkat pertama seperti guru dan tenaga kependidikan lainnya.

Wakil kepala sekolah sebagai penghubung antar jenjang dalam sebuah hierarki organisasi, artinya wakil kepala sekolah berfungsi sebagai jembatan antara kepala sekolah dengan guru, tenaga kependidikan, dan staf-staf lainnya. Krystelia dan Juwona (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa wakil kepala sekolah bertugas untuk menjembatani komunikasi efektif antara guru dan kepala sekolah. Wakil kepala sekolah diharapkan dapat menjadi agen yang dapat membangun komunikasi yang baik diantara warga sekolah pada tataran hierarki organisasi sekolah.

Di dalam sebuah satuan pendidikan, perlu adanya komunikasi yang baik satu sama lain antara kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan. Komunikasi yang baik cenderung tidak tercapai karena adanya gap antara first level management dengan top level management. Salah satu faktor yang menimbulkan masalah komunikasi di sekolah diantaranya padatnya jadwal kepala sekolah. Situasi tersebut membutuhkan beberapa pendelegasian

209Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tugas yang difasilitasi oleh komunikasi yang efektif kepada wakil kepala sekolah dan guru di sekolah tersebut. Untuk mengatasi beberapa masalah komunikasi tersebut, wakil kepala sekolah berperan untuk menjembatani terciptanya kesepahaman yang baik diantara kepala sekolah dan guru.

Wakil kepala sekolah ditugaskan ke sekolah untuk mendukung kepala sekolah dalam melaksanakan tugas manajerial dan operasional sekolah. Wakil kepala sekolah juga dikenal dengan berbagai terminologi. Di Amerika serikat, wakil kepala sekolah dikenal dengan sebutan assistant principal dan di Australia, wakil kepala sekolah disebut sebagai deputy principal (Cranston, Tromans, & Reugebrink, 2004). Dengan meningkatnya kompleksitas tugas operasional dan penekanan tambahan dari kepemimpinan instruksional, kepala sekolah mengharapkan wakil kepala sekolah dapat berbagi tanggung jawab memimpin dan mengelola sekolah agar visi, misi, dan tujuan sekolah dapat tercapai (Celikten, 2001; Kaplan & Owings, 1999; Owen-Fitzgerald, 2010; Searby, Browne-Ferrigno, & Wang, 2017)

Wakil kepala sekolah juga turut berperan sebagai penggerak akutalisasi visi, misi, dan tujuan sekolah, Sebagai penggerak aktualisasi visi, misi, dan tujuan sekolah, wakil kepala sekolah harus menjadi orang pertama yang menjadi teladan dalam menjalankan regulasi, program, dan kegiatan-kegiatan sekolah. Pendistribusian kewenangan dari kepala sekolah pada wakil kepala sekolah bertujuan agar wakil kepala sekolah dapat mengkomunikasikan hal-hal yang dilakukan warga sekolah dengan hal-hal yang diinginkan oleh kepala sekolah (Spillane, 2012; Spillane & Orlina, 2005). Dengan kata lain, wakil kepala sekolah sebagai perpanjangan tangan kepala sekolah bertugas membantu kepala sekolah dalam mengontrol aktualisasi dan rasionalisasi visi, misi, dan tujuan sekolah. Dapat dilihat bahwa wakil kepala sekolah memiliki peran yang strategis dalam pembangunan sekolah.

Wakil kepala sekolah bidang kurikulum memiliki tugas utama sebagai instructional leader di sekolah atau pemimpin pembelajaran. Flath (1989) menjelaskan bahwa instructional leading adalah aksi nyata yang dilakukan kepala sekolah atau pendelegasian kepala sekolah kepada wakil kepala sekolah dalam rangka meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hallinger (2005) membagi peran instructional leadership menjadi tiga dimensi diantaranya adalah mendefinisikan misi sekolah, mengelola program pembelajaran, dan menciptakan iklim belajar yang positif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.

210 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 1. Dimensi instructional leadership

Dimensi pertama adalah mendefinisikan misi sekolah. Seorang pemimpin instruksional diharapkan mampu untuk merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah dengan jelas, terukur, dan memungkinkan untuk dicapai. Selain itu, tugas pemimpin sekolah adalah mengkomunikasikan visi, misi, dan tujuan sekolah terhadap seluruh warga sekolah. Dalam praktiknya, wakil kepala sekolah bidang kurikulum bersama-sama kepala sekolah dan warga sekolah menetapkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Tujuan sekolah yang dirumuskan harus terukur, memiliki waktu pencapaian yang jelas, dan berorientasi pada kemajuan sekolah baik dari aspek akademik maupun non akademik. Setelah itu, wakil kepala sekolah bidang kurikulum bertugas membantu kepala sekolah untuk mendeklarasikan dan menyebarkan tujuan tersebut kepada warga sekolah dan para pemangku kepentingan di sekolah agar sekolah mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak. Dengan demikian, tujuan sekolah dapat dicapai melalui integrasi kegiatan dan praktik pembelajaran sehari-hari.

Dimensi kedua adalah mengelola program pembelajaran. Fungsi utama dari dimensi ini adalah melakukan pengawasan dan evaluasi program pembelajaran, mengkoordinasikan kurikulum yang akan diterapkan, dan memantau kemajuan peserta didik. Pengelolaan program pembelajaran dilakukan wakil kepala sekolah dalam rangka mengendalikan dan memantau implementasi kurikulum. Dengan kata lain, wakil kepala sekolah bidang

211Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kurikulum harus terlibat langsung dalam mengarahkan, mendorong, dan mengamati proses belajar mengajar di sekolah agar proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan dengan baik.

Dimensi ketiga adalah menciptakan iklim belajar yang positif. Dimensi ini memiliki tujuan dan jangkauan yang lebih luas daripada kedua dimensi lainnya. Pada dimensi ini, wakil kepala sekolah bertanggung jawab untuk memastikan waktu pembelajaran dapat dimanfaatkan dengan optimal, melakukan pengembangan profesi bagi guru, mempertahankan kondisi lingkungan belajar agar senantiasa kondusif, dan memenuhi harapan bagi peserta didik dan guru terkait kondisi ideal sekolah. Wakil kepala sekolah harus dapat mengedepankan nilai-nilai yang mendorong, mendukung, dan menciptakan iklim belajar yang baik guna meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut.

Wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam menjalankan perannya sebagai instructional leader tak terlepas dari berbagai kendala. Salah satu hambatan yang muncul adalah kurangnya kompetensi wakil kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional dalam mengembangkan kurikulum di sekolah. Hal ini berdampak pada tidak berhasilnya implementasi kurikulum di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Qoyyimah (2018) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menghambat penerapan kebijakan implementasi kurikulum di tingkat sekolah adalah kurangnya kompetensi pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Studi lain yang dilakukan oleh Marita (2019) menyebutkan bahwa implementasi sistem manajemen mutu pada bidang kurikulum tidak terlaksana dengan baik, faktor penyebabnya adalah wakil kepala sekolah bidang kurikulum tidak melakukan perencanaan kurikulum bersama-sama dengan guru dan tidak mengembangkan instrumen supervisi akademik.

Kendala lain yang dialami oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam mengimplementasikan kurikulum terdapat pada kesulitan wakil kepala sekolah dalam melaksanakan dimensi kedua, yaitu pengelolaan program pembelajaran. Ambarwati (2018) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa adalah wakil kepala sekolah bidang kurikulum kesulitan untuk melaksanakan program tindak lanjut hasil supervisi akademik. Tantangan yang muncul adalah waktu yang dirasa kurang untuk menyelenggarakan in house training dalam rangka pengembangan profesionalisme guru. Padahal sejatinya, wakil kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional harus dapat memberikan bimbingan dan bantuan kepada guru. Sebagaimana penelitian yang Beltramo (2016) yang menunjukkan bahwa pekerjaan wakil kepala sekolah adalah memberdayakan sumber daya di sekitar sekolah dengan cara memberikan bimbingan, bantuan, dan dukungan terhadap guru dalam rangka mengimplementasikan kebijakan kurikulum di sekolah.

Selain aspek kompetensi, terdapat aspek-aspek lain yang memengaruhi

212 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kinerja wakil kepala sekolah bidang kurikulum dalam menjalankan tugasnya diantaranya adalah aspek emosional. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Schechter (2019) terkait beban emosi yang dialami oleh wakil kepala sekolah. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah tekanan pekerjaan yang cukup tinggi. Tekanan tersebut muncul dari beban kerja yang dirasa overload. Cohen dan Schechter merekomendasikan untuk melaksanakan supportive management system berupa mentoring untuk mempersiapkan guru yang akan menduduki jabatan sebagai wakil kepala sekolah. Mentoring dan bimbingan akan membantu wakil kepala sekolah untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin instruksional (Leaf & Odhiambo, 2017)deputies and teachers, of deputy principal (DP. Tidak hanya itu, studi lain yang dilakukan Lim dan Pollock (2019) memberikan temuan bahwa wakil kepala sekolah merasa kesulitan untuk dapat menentukan skala prioritas tugas pokok dan fungsinya sebagai instructional leader dan sebagai pengajar, sehingga kinerja yang dihasilkan belum optimal. Kesulitan tersebut muncul sebagai akibat tidak siapnya pegawai untuk menduduki jabatan sebagai wakil kepala sekolah. Dapat dilihat bahwa dengan workload yang banyak serta tuntutan pekerjaan yang cukup berat, wakil kepala sekolah perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan kompetensinya sebagai wakil kepala sekolah.

Wakil kepala sekolah seringkali mengalami ambiguitas peran (Beycioglu, Ozer, & Ugurlu, 2012; Getzels & Guba, 1957; Nieuwenhuizen, 2011; Oleszewski, Shoho, & Barnett, 2012). Ambiguitas peran muncul salah satunya karena adanya mutasi atau perpindahan wakil kepala sekolah satu sekolah dengan sekolah lainnya sehingga perubahan peran yang mendadak membuat wakil kepala sekolah kesulitan untuk menjalankan peran barunya. Selain itu, Melton, Mallory, Mays, dan Chance (2012) menyatakan kesulitan implementasi peran wakil kepala sekolah juga dipicu oleh tidak adanya standarisasi kompetensi wakil kepala sekolah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Konflik peran wakil kepala sekolah dapat terjadi ketika wakil kepala sekolah lebih banyak menjalankan tugas sebagai pendidik, mengurus kedisiplinan siswa, sehingga tugas operasional dan manajerial terbengkalai (Beycioglu et al., 2012; Crawford, n.d.; Getzels & Guba, 1957; Owens Jr & Valesky, 2014).

Penentuan prioritas kerja pun menjadi salah satu kendala yang signifikan dalam menjalankan tugas sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Sebagai guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah, mereka perlu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimulai dari perencanaan pembelajaran, implementasi, dan implementasi. Disamping itu, guru selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum harus juga melaksanakan

213Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tugas utamanya yaitu melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi serta tindak lanjut dalam supervisi akademik. Supervisi akademik dilakukan oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum dengan tujuan untuk memberikan bantuan, memotivasi, mengarahkan, dan membimbing guru sehingga terjadi peningkatan kompetensi guru yang akan berakibat pada meningkatnya kualitas pembelajaran. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum berperan untuk membantu guru memecahkan segala permasalahan terkait implementasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan (Fullan, 2018; Robinson, Lloyd, & Rowe, 2008).

Wakil kepala sekolah bidang kurikulum diharapkan dapat mendemonstrasikan kepemimpinan instruksional yang baik dengan cara memfasilitasi pembelajaran yang baik dan profesional. Pada beberapa penelitian, menunjukkan bahwa pembelajaran yang profesional dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepuasan kerja wakil kepala sekolah (Cattonar et al., 2007; Cranston et al., 2004; Kaplan & Owings, 1999; Lim & Pollock, 2019; Melton et al., 2012). Namun realisasinya, ritme kerja yang terlalu intensif membuat wakil kepala sekolah justru sulit untuk memprioritaskan kepemimpinan instruksional.

Carpenter, Bukoski, Berry, dan Mitchell (2017) melakukan penelitian mengenai kinerja dan kesiapan pegawai dalam menduduki jabatan wakil kepala sekolah. Pegawai yang telah diberikan pelatihan memiliki persepsi bahwa mereka jauh lebih siap untuk menjalankan tugas sebagai wakil kepala sekolah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Searby, Browne-Ferrigno, dan Wang (2017) yang menemukan bahwa pengalaman bertahun-tahun wakil kepala sekolah sebagai guru dan usia tidak memengaruhi kompetensi sebagai pemimpin instruksional, sehingga dibutuhkan pelatihan kompetensi agar wakil kepala sekolah dapat menjalankan fungsinya sebagai pemimpin instruksional.

Jabatan wakil kepala sekolah merupakan jabatan transisi dari guru menjadi kepala sekolah, sehingga perlu dilakukan pelatihan agar wakil kepala sekolah dapat menjalankan perannya dengan baik. Pelatihan bagi jabatan wakil kepala sekolah agar pegawai yang ditunjuk siap untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara optimal (Barnett, Shoho, & Okilwa, 2017; Hussain Ch., Ahmad, & Batool, 2018). Mengingat pentingnya jabatan wakil kepala sekolah bidang kurikulum sebagai instructional leader, maka pelaksanaan diklat fungsional sebelum menduduki jabatan wakil kepala sekolah bidang kurikulum perlu untuk dilakukan.

214 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Kesimpulan dan Saran

Keberhasilan Implementasi kurikulum tidak hanya bergantung pada guru sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar, namun juga dipengaruhi oleh pemimpin instruksional di sekolah. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum merupakan guru yang diberi tugas membantu kepala sekolah sebagai pemimpin instruksional di jenjang satuan pendidikan. Tugas utama wakil kepala sekolah bidang kurikulum adalah melakukan koordinasi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum di sekolah.

Selain itu, wakil kepala sekolah bidang kurikulum diharapkan dapat menciptakan iklim kerja yang positif dan menggalakan program pengembangan profesionalisme guru di sekolah. Namun pada praktiknya, wakil kepala sekolah bidang kurikulum mengalami banyak kendala dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin instruksional, sehingga intervensi dalam pengembangan kurikulum di sekolah kurang optimal.

Berdasarkan penelusuran artikel ilmiliah yang telah dilakukan ditemukan beberapa kendala yang muncul dalam pelaksanaan tugas wakil kepala sekolah bidang kurikulum sebagai pemimpin instruksional. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah kompetensi pengembangan kurikulum yang kurang memadai, workload sebagai wakil kepala sekolah yang dirasa cukup berat, kesulitan membuat skala prioritas antara tugas mengajar dengan tugas manajerial dan operasional wakil kepala sekolah, dan ketidaksiapan guru dalam menjalankan peran baru sebagai wakil kepala sekolah. adalah ketidaksiapan dan kesenjangan kompetensi yang dimiliki oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Dari beberapa literatur terkait peran wakil kepala sekolah didapatkan hasil bahwa wakil kepala sekolah cenderung tidak siap dan membutuhkan pelatihan sebagai wahana mempersiapkan diri dalam menduduki jabatan sebagai wakil kepala sekolah.

Saran yang dapat diberikan dari penelitian adalah perlu dilakukan pengembangan desain kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Diklat fungsional jabatan wakil kepala sekolah bidang kurikulum diharapkan mampu mempersiapkan guru yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk dapat memahami manajemen kurikulum di sekolah.

215Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Ambarwati, S. (2018). Analisis Kinerja Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum dalam Mengimplementasikan Kurikulum 2013 Tingkat SMK Negeri di Kabupaten Klaten. Universitas Negeri Semarang.

Barnett, B. G., Shoho, A. R., & Okilwa, N. S. A. (2017). Assistant principals’ perceptions of meaningful mentoring and professional development opportunities. International Journal of Mentoring and Coaching in Education, 6(4), 285–301. https://doi.org/10.1108/IJMCE-02-2017-0013

Beltramo, J. L. (2016). A Case of Teacher–Assistant Principals. Journal of School Leadership, 26(2), 249–282. https://doi.org/10.1177/105268461602600203

Beycioglu, K., Ozer, N., & Ugurlu, C. T. (2012). The facets of job satisfaction among vice-principals in elementary schools. Journal of Management Development.

Carpenter, B. W., Bukoski, B. E., Berry, M., & Mitchell, A. M. (2017). Examining the Social Justice Identity of Assistant Principals in Persistently Low-Achieving Schools. Urban Education, 52(3), 287–315. https://doi.org/10.1177/0042085915574529

Cattonar, B., Lessard, C., Blais, J. G., Larose, F., Riopel, M. C., Tardif, M., … Wright, A. (2007). School principals in Canada: context, profil and work. Pancanadian Surveys of Principals and Teachers in Elementay and Secondary Schools (2005-2006). Montréal: Chaire de Recherche Du Canada Sur Le Personnel et Les Métiers de l’Éducation.

Celikten, M. (2001). The instructional leadership tasks of high school assistant principals. Journal of Educational Administration.

Cohen, R., & Schechter, C. (2019). Emotional Aspects in the Transition From Teaching to Assistant Principalship. International Journal of Educational Reform, 28(4), 348–365. https://doi.org/10.1177/1056787919856736

Cranston, N., Tromans, C., & Reugebrink, M. A. J. (2004). Forgotten leaders: what do we know about the deputy principalship in secondary schools? International Journal of Leadership in Education, 7(3), 225–242.

Crawford, M. (n.d.). Deputy and Assistant Heads: Building leadership potential.Deal, N. M. (2015). Is leading from the second chair a new leadership theory?:

examining the theoretical underpinnings. Halifax, NS: Saint Mary’s University.

Flath, B. (1989, March). The principal as instructional leader. ATA Magazines, 19–22.

Fullan, M. (2018). The principal: Three keys to maximizing impact. John Wiley & Sons.

Getzels, J. W., & Guba, E. G. (1957). Social behavior and the administrative process. The School Review, 65(4), 423–441.

Hallinger, P. (2005). Instructional leadership and the school principal: A passing

216 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

fancy that refuses to fade away. Leadership and Policy in Schools, 4, 221–239. https://doi.org/10.1080/15700760500244793

Ho, J., Kang, T., & Shaari, I. (2020). Leading from the middle: vice-principals in Singapore as boundary spanners. Journal of Educational Administration. https://doi.org/10.1108/JEA-05-2020-0123

Hussain Ch., A., Ahmad, S., & Batool, A. (2018). Head teacher as an instructional leader in school. Bulletin of Education and Research, 40(1), 77–87. Retrieved from https://web-b-ebscohost-com.falcon.lib.csub.edu/ehost/detail/detail?vid=17&sid=0ef96bb9-bb6a-40b8-a3a5-ae12c4bbe19d%40pdc-v-sessmgr06&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3D%3D#AN=130447335&db=eft

Kaplan, L. S., & Owings, W. A. (1999). Assistant principals: The case for shared instructional leadership. NASSP Bulletin, 83(610), 80–94.

Kholisho, Y. N., & Marfuatun. (2018). Implementasi Kurikulum 2013 pada SMK di Kabupaten Lombok Timur. EDUMATIC: Jurnal Pendidikan Informatika, 2(2), 120–127. https://doi.org/10.1016/j.desal.2004.08.033

Klugman, J., Rodríguez, F., & Choi, H. J. (2011). The HDI 2010: New controversies, old critiques. Journal of Economic Inequality, 9(2), 249–288. https://doi.org/10.1007/s10888-011-9178-z

Krystelia, & Juwona, I. (2016). Communication problems among principal, vice principals, and teachers in an indonesian secondary school. Journal of Education and Social Science, 4, 324–330.

Leaf, A., & Odhiambo, G. (2017). The deputy principal instructional leadership role and professional learning: Perceptions of secondary principals, deputies and teachers. Journal of Educational Administration, 55(1), 33–48. https://doi.org/10.1108/JEA-02-2016-0029

Lezotte, L. W. (2001). Revolutionary and evolutionary: The effective schools movement. Webberville: MI: Effective Schools.

Lim, L., & Pollock, K. (2019). Secondary Principals ’ Perspectives on the Impact of Work Intensification on the Secondary Vice-Principal Role. 25(2), 80–98.

Magdalena, I., Novitasari, N., Nabila, C., & Fratiwi, W. H. (2020). Analisis Kendala Guru Dalam Menerapkan Kurikulum 2013 Terhadap Hasil Belajar Siswa di SDN Pegadungan 8 Petang. 2(1), 104–115. https://doi.org/10.5281/zenodo.3695272

Marita, Y. (2019). Implementasi Sistem Manajemen Mutu dalam Bidang Kurikulum. Manajer Pendidikan: Jurnal Ilmiah Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Bengkulu, 13(3), 372–382.

Melati, E. R., & Utanto, Y. (2016). Kendala guru sekolah dasar dalam memahami kurikulum 2013. Journal of Curriculum and Educational Technology Studies, 4(1), 1–9. https://doi.org/10.15294/ijcets.v3i1.8675

Melton, T. D., Mallory, B. J., Mays, R., & Chance, L. (2012). Challenges to school

217Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

leadership practice: Examining the assistant principalship (deputy headship) in the United States, UK, and China. Examining the Assistant Principalship: New Puzzles and Perennial Challenges for The, 21, 81–110.

Nieuwenhuizen, L. M. (2011). Understanding the complex role of the assistant principal in secondary schools. University of Missouri--Columbia.

Oleszewski, A., Shoho, A., & Barnett, B. (2012). The development of assistant principals: A literature review. Journal of Educational Administration, 50(3), 264–286. https://doi.org/10.1108/09578231211223301

Owen-Fitzgerald, V. (2010). Effective components of professional development for assistant principals. California State University, Fullerton.

Owens Jr, R. E., & Valesky, T. C. (2014). Organizational behavior in education: Leadership and school reform. Pearson Higher Ed.

Qoyyimah, U. (2018). Policy implementation within the frame of school-based curriculum: a comparison of public school and Islamic private school teachers in East Java, Indonesia. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 48(4), 571–589. https://doi.org/10.1080/03057925.2017.1334536

Robinson, V. M. J., Lloyd, C. A., & Rowe, K. J. (2008). The impact of leadership on student outcomes: An analysis of the differential effects of leadership types. Educational Administration Quarterly, 44(5), 635–674.

Rosenholtz, S. J. (1985). Effective schools: Interpreting the evidence. American Journal of Educational Research, 93(3), 352–388. https://doi.org/10.1086/443805

Rusman. (2018). Manajemen Kurikulum. Depok: Rajawali Press.Searby, L., Browne-Ferrigno, T., & Wang, C. hsuan. (2017). Assistant Principals:

Their Readiness as Instructional Leaders. Leadership and Policy in Schools, 16(3), 397–430. https://doi.org/10.1080/15700763.2016.1197281

Spillane, J. P. (2012). Distributed leadership (Vol. 4). San Francisco: John Wiley & Sons.

Spillane, J. P., & Orlina, E. C. (2005). Investigating leadership practice: Exploring the entailments of taking a distributed perspective. Leadership and Policy in Schools, 4(3), 157–176.

Thompson, M. D. (2013). Principals’ perceptions of experiences that helped to improve their practice as instructional leaders (Doctoral dissertation).

Wahyudin, D., Rusman, & Rahmawati, Y. (2017). Penguatan life skills dalam implementasi kurikulum 2013 pada SMA (sekolah menengah atas) di Jawa Barat. Mimbar Pendidikan: Jurnal Indonesia Untuk Kajian Pendidikan., 2(1), 65–80.

218 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Evaluasi Kompetensi Kepala Sekolah Berdasarkan Keterampilan Abad Ke-21

Rahmat*Universitas Pendidikan Indonesia*

[email protected]

Abstrak

The regulation of the Ministry of Education Number 13 of 2007, states that for a person to be appointed as a school principal, he/she must meet the National standard of school principal. The Standard contains minimum qualifications that are general or specific in accordance with the level of the school. Prospective school principals are also required to meet the competency standards which are divided into four categories, including personality, managerial, entrepreneurship, supervision, and social. On the other hand, entering the third decade of the 21st century, education sector is facing a variety of complex challenges, such as the rapid development of digitalization, automation and robotization which has resulted in disruption in various sectors. This paper explains the competence of principals needed for the 21st century school. In addition, a comparison of school principal competencies from several country in Asia, Australia, and United States is discussed.

Kata Kunci: 21st century leadership, educational leadership, principal competencies, principal standard, school leadership,

1. Pendahuluan

Memasuki abad keduapuluhsatu, Pendidikan memiliki tantangan yang cukup beragam. Pendidikan pada abad ini harus mampu berperan dalam meningkatkan prestasi para pembelajar hingga menuju puncak prestasinya (Liu & Low, 2015). Guru merupakan elemen kunci dalam pendidikan, tetapi sebagus apapun kompetensi guru pada akhirnya sangat tergantung pada pemimpinnya, yaitu kepala sekolah. Misalnya saja, kepala sekolah yang bagus akan mampu mengembangkan guru-gurunya sehingga memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dan memenuhi kebutuhan pendidikan masa depan (Jang, 2015). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepala sekolah memiliki peranan yang sangat vital dalam meningkatkan mutu pendidikan dan menentukan kualitas lulusan (Grissom, Hajime, & Woo, 2019; Peerone & Tucker, 2019).

Sekolah sebagai institusi penting dalam membangun karakter dan budaya sebuah masyarakat juga memerlukan kekuatan kepemimpinan kepala sekolahnya. Pembentukan kebiasaan positif seperti kedisiplinan, motivasi berprestasi, dan bekerja dengan performa tinggi tidak bisa lepas dari peran

219Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sentral kepala sekolah. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesuksesan sekolah pembentukan budaya berprestasi sebuah sekolah akan benar-benar terwujud oleh kepala sekolah yang memiliki kemampuan kinerja yang tinggi (Barakat, Reames, & Kensler, 2019).

Untuk itulah maka banyak negara menetapkan standar yang tegas dan ketat dalam menentukan jabatan kepala sekolah. Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia telah menetapkan kriteria untuk seseorang dapat menduduki jabatan Kepala Sekolah. Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 bahwa untuk seseorang dapat diangkat menjadi Kepala Sekolah seseorang wajib memenuhi standar yang telah ditetapkan secara nasional. Standar tersebut memuat kualifikasi minimal yang bersifat umum maupun khusus sesuai dengan jenjang satuan Pendidikan. Calon Kepala sekolah juga wajib memenuhi standar kompetensi yang terbagi dalam empat rumpun meliputi lima dimensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan social.

Berbeda dengan Indonesia, pemerintah federal Amerika Serikat tidak menentukan standar tertentu untuk jabatan kepala sekolah. Melainkan mempersilahkan negara-negara bagian menentukan sendiri standard kualifikasi maupun kompetensi kepala sekolah. Untuk itulah beberapa negara bagian ada yang mengembangkan sendiri atau bergabung dengan sebuah konsorsium. Misalnya, negara bagian Florida, melalui Florida Department of Education menetapkan sendiri standar kepala sekolahnya (Florida Department of Education, 2020). Adapun beberapa negara bagian lainnya, mengikuti standard yang ditetapkan oleh Interstate School Leaders Licensure Consortium (ISLLC) yang kini telah berubah menjadi Professional Standard for Educational Leader dari National Policy Board for Educational Administration. (Jacobson & Cypres, 2012; National Policy for Educational Administration, 2015). Adapun di Australia, sejak tahun 2011 telah berlaku Australian Professional Standrd for Principals and the leadership profiles yang ditetapkan oleh Australian Institute for Teaching and School Leadership (AITSL) (AITSL, 2014).

Disisi lain, memasuki dekade ketiga abad ke-21, dunia Pendidikan menghadapi beragam tantangan yang sangat komplek mulai dari berkembang pesatnya digitalisasi, otomatisasi, dan robotisasi yang kemudian melahirkan disrupsi di berbagai sektor. Kondisi demikian tentu saja menuntut sekolah dan Lembaga pendidikan lainnya melakukan. Model pembelajaran yang dirancang diera agraris maupun revolusi industri saat ini sudah dianggap tidak relevan lagi. Generasi masa depan perlu dididik dan dikembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan etika yang sesuai dengan kebutuhan mereka di masa depan. Tuntutan perubahan tersebut memerlukan perbaikan yang menyeluruh mulai dari kebijakan ditingkat negara dan sekolah hingga tahapan operasional

220 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

harian di ruang-ruang kelas. Tentu saja kebutuhan ini memerlukan karakteristik kepemimpinan yang sesuai. Standar kompetensi kepala sekolah yang ditetapkan pada tahun 2007 tentu memerlukan penyesuaian, terlebih saat abad ini memasuki dekade ketiganya.

Bahkan, saat ini banyak negara yang secara simultan melakukan peningkatan mutu berkelanjutan dalam upaya memperbaiki system penyediaan kepala sekolahnya. Misalnya saja upaya peningkatan mutu penyelenggaraan kepala sekolah di Amerika Serikat telah dilakukan secara besar-besaran dengan melibatkan hampir seluruh universitas negeri di berbagai negara bagian dengan pendanaan dari pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian. Penelitian untuk terus memperbaiki mutu penyelenggaran terus dilakukan, mulai dari perbaikan standar, keselarasan antara standar dengan implementasi hingga kesesuaian standar dengan kemajuan teknologi yang semakin dinamis (Peerone & Tucker, 2019; Jacobson & Cypres, 2012).

Di Malaysia, proses peningkatan mutu sekolah dilakukan oleh National Professional Qualification for Education Leaders (NPQEL). Untuk memastikan efektivitasnya, pemerintah melibatkan peneiliti dan hasilnya program terbaru Pendidikan calon kepala sekolah yang dilakukan oleh Malaysia melalui NPQEL telah berjalan secara baik dalam mempersiapkan calon kepala sekolah (Adams & Mooi, 2020).

Dengan tinjauan era globalisasi yang semakin mendorong interaksi antar negara semakin terbuka dan melihat negara-negara lain terus menerus memperbaiki sistem penyediaan kepala sekolahnya, termasuk didalamnya kompetensi dan proses pelatihan, maka dipandang perlu dilakukan evaluasi kompetensi kepala sekolah yang tertera dalam peraturan Menteri pendidikan nasional nomor 13 tahun 2007. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kompetensi dalam peraturan tersebut dengan tuntutan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan abad ke-21.

2. Kajian Teori

Kompetensi Abad ke-21

Memasuki dekade ke-3 pada abad ke-21 umat manusia dimanjakan dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Teknologi adalah instrument yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan teknologi manusia bisa dengan mudah melakukan apapun yang diinginkan, termasuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya terlihat sulit menjadi lebih mudah. Misalnya saja, teknologi google map telah banyak membantu masyarakat dalam melakukan perjalanan maupun pengiriman barang. Namun, disisi lain kemajuan teknologi juga dapat menjadi sebab meningkatnya ketimpangan individual, masyarakat, bahkan antar negara (OECD, 2019).

221Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Teknologi yang berkembang sangat pesat pada era ini ialah digitalisasi, otomatisasi, dan robotisasi. Proses digitalisasi sangat membantu manusia untuk bekerja, transaksi data, hingga transaksi uang, dan pengiriman barang antar negara. Tetapi, sebagaimana karakter umum kemajuan teknologi, transformasi digital juga dapat semakin memperlebar jurang kesenjangan social, ekonomi, dan teknologi (OECD, 2019).

Untuk itulah maka, lembaga pendidikan perlu menata ulang konsep dan proses pendidikannya. Dari perspektif zaman revolusi industri menjadi era industri 4.0. Institusi pendidikan dituntut mampu menyiapkan peserta didiknya agar memiliki keterampilan untuk memanfaatkan maupun mengembangkan perangkat digital. Dari sini kemudian Center for Curriculum Redesign (CCR) mengembangkan pendekatan holistik dalam mengembangkan kurikulum dengan mengintegrasikan empat dimensi pendidikan yaitu pengetahuan, keterampilan, karakter, dan metakognisi (Center for Curriculum Redesign, 2015). Model dari CCR digambarkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1: Model CCR untuk Pengembangan Kurikulum (Center for Curriculum Redesign, 2015)

Model kerangka kerja dan definisi keterampilan abad ke-21 terus berkembang. Selain model CCR, pada tahun 2015 juga dikembangkan model KSAVE oleh Griffin & Care. KSAVE sebagai singkatan dari knowledge, skills, attitude, values, dan ethics. Dalam model ini keterampilan dibagi dalam empat kategori yaitu keterampilan sebagai cara untuk berpikir (ways of thinking), keterampilan sebagai cara untuk bekerja (ways of working), keterampilan sebagai alat untuk bekerja (tools for working), dan keterampilan untuk hidup di dunia (living in the world). Ways of thinking, terdiri dari kreativitas, berpikir kritis, problem solving, pengambilan keputusan, serta belajar dan inovasi. Ways

222 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

of working memuat komunikasi dan kolaborasi. Adapun tools for working mengandung teknologi informasi dan komunikasi serta literasi informasi. Keterampilan living in the world didalamnya memasukan kewarganegaraan, kehidupan dan karir, serta tanggungjawab pribadi dan social (Griffin & Care, 2015).

Dari berbagai model yang dikembangkan, kreativitas merupakan bagian dari keterampilan abad ke-21 yang memiliki posisi sangat penting. Oleh karena itu sekolah harus dapat membangun iklim yang dapat mengembangkan ruang kreativitas. Pengaturan ruang kelas, penataan lingkungan sekolah, hingga pelatihan dan metode pengajaran harus dirancang untuk dapat mempromosikan kreativitas (S & Devaki, 2016).

Dengan tuntutan perubahan yang begitu besar terhadap konsep dan proses pendidikan, maka model sekolah yang dikembangkan pada era agraris atau industri berbasis mesin tidak lagi relevan dengan era digital dan otomatisasi. Karena siswa memerlukan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan etika yang sesuai dengan masyarakat 5.0 (Koh, Chai, Wong, & Hong, 2015; Salgues, 2018).

Untuk itu maka diperlukan modifikasi terhadap system pendidikan, cara pandang tentang sumber daya manusia, dan mindset, keseriusan serta keterlibatan seluruh pemangku kepentingan. Modifikasi perlu dilakukan secara parallel dengan pembelajaran abad ke-21. Proses pendidikan terkait penguasaan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi dan pemecahan masalah harus menjadi prioritas sekolah dalam setiap aktivitasnya (Carlgren, 2013).

Berbagai upaya untuk mencari model pembelajaran maupun desain sekolah yang sesuai dengan kebutuhan penguasaan keterampilan abad ke-21 terus dikembangkan. Salah dengan menggunakan pendekatan STEM. Namun dari kajian yang dilakukan oleh Jang (2015) ternyata lulusan STEM memiliki kekurangan dalam menguasai komunikasi, manajemen proyek, kerja tim, menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan keterampilan interpersonal (Jang, 2015). Sehingga pada akhirnya, kemampuan pimpinan sekolah menjadi penting untuk dapat memimpin upaya pencapaian kompetensi siswa secara maksimal.Kompetensi Kepala Sekolah Indonesia

Posisi kepala sekolah di Indonesia ialah guru yang memiliki tugas tambahan. Untuk dapat menjadi seorang Kepala Sekolah, seorang guru harus memiliki kualifikasi umum dan kualifikasi khusus. Dalam kualifikasi umum, seorang guru harus lulus pendidikan serendah-rendahnya tingkat sarjana (S1) atau diploma empat dari Lembaga pendidikan tinggi terakreditasi. Selain itu seorang guru kandidat kepala sekolah harus memiliki pengalaman mengajar minimal lima tahun dan usia setinggi-tingginya 56 tahun (Permendiknas, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala, 2007).

223Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selain kualifikasi umum, seorang kepala skeolah juga dimintakan memiliki kualifikasi khusus. Kualifikasi khusus berlaku bagi kepala sekolah pada jenjang tertentu. Misalnya saja, seseorang yang menjadi kandidat kepala sekolah SMP maka wajib memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SMP serta memiliki sertifikat kepala SMP dari Lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah (Permendiknas, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala, 2007).

Kepala sekolah sebagai guru yang mendapatkan tugas tambahan secara tersurat dituliskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010. Dalam peraturan tersebut seorang guru yang menjadi calon kepala sekolah harus lulus seleksi untuk kemudian mengikuti pendidikan dan Latihan pada Lembaga yang terakreditasi. Proses pendidikan dan Latihan yang diselenggarakan diarahkan pada penguasaan kompetensi kepala sekolahnyang meliputi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervise, dan sosial. Seorang calon kepala sekolah wajib mengikuti diklat ini selama 100 jam tatap muka dan 3 bulan praktek lapangan (Permendiknas, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, 2010).

Dalam Permendiknas nomor 13 tahun 2007 terdapat lima dimensi kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang kepala sekolah. Pertama ialah dimensi kepribadian. Pada dimendi ini seorang kepala sekolah harus memiliki akhlak mulai, integritas, dan keinginan kuat dalam pengembangan diri. DImensi kepribadian juga menuntut seorang kepala sekolah memiliki sikap yang terbuka, mampu mengendalikan diri, serta berbakat dan memiliki minat sebagai pemimpin pendidikan.

Dimensi kedua yaitu manajerial, memuat enam belas sub kompetensi, meliputi; Menyusun perencanaan sekolah, mengembangkan organisasi, memimpin dan mengelola sumber daya, mengelola perubahan, membentuk budaya kondusif dan inovatif, mengelola sumber daya manusia, mengelola sarana dan prasarana, mengelola hubungan kemasyarakatan, mengelola peserta didik, mengelola pengembangan kurikulum, mengelola keuangan dan administrasi sekolah, mengelola layanan khusus, memanfaatkan dan mengelola sistem dan teknologi informasi, serta melakukan monitoring, pelaporan, dan evaluasi.

Selanjutnya ialah kewirausahaan sebagai dimensi ketiga. Yang termasuk kedalam kewirausahaan ialah menciptakan inovasi, pekerja keras, memiliki motivasi yang tinggi, pantang menyerah dan mencari solusi, dan memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola produk/jasa sekolah. Keempat ialah dimensi supervisi, memuat tiga kompetensi yaitu merencanakan supervise akademik, melaksanakan superbisi dengan menggunakan pendekatan dan Teknik yang

224 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tepat, dan menindaklanjuti hasil supervise akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.

Dimensi yang terakhir, yang kelima atau dimensi social, memuat tiga kompetensi, yaitu bekerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan social kemasyarakatan, dan memilikikepekaan social terhadap orang maupun kelompok lain.

Kompetensi Kepala Sekolah di Amerika Serikat dan Asutralia

Kompetensi Kepala Sekolah berdasarkan Professional Standard for Educational Leader dari National Policy Board for Educational Administration, Amerika Serikat

Sebelumnya, standar ini lebih dikenal dengan Interstate School Leaders Licensure consortium Standards (ISLLC Standard). Dalam revisinuya tahun 2015 yang dirilis kepublik tahun 2020 ISLLC Standard berubah nama menjadi Professional Standard for Educational Leaders. Standar terbaru ini mengalami perubahan cukup mendasar dari yang sebelumnya. Kerangka kerja yang dibangun oleh standar ini berasal dari asumsi bahwa siswa belajar adalah pondasi utama bagi kepemimpinan sekolah. Sehingga kepala sekolah harus menjadikan prestasi belajar siswa sebagai fokus utama dari seluruh kebijakan dan aktivitasnya. Gambaran standar dari Professional Standard for Educational Leaders 2015 (PSEL 2015) seperti terlihat dalam gambar di bawah ini (National Policy for Educational Administration, 2015):

Gambar 2: Framework Standar Kepala Sekolah berdasarkan Professional Standard for Educational Leaders, USA

Profesional Standards for Educational Leaders 2015 memiliki sepuluh standard. Standar satu mengarahkan para pimpinan Pendidikan untuk mengembangkan, mengadvokasi, dan menyebarluaskan misi, visi, dan nilai-

225Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

nilai dasar pendidikan dan kesuksesan akadmik serta kesejahteraan untuk seluruh siswa. Standar dua mengarahkan agar kepala sekolah berperilaku secara etis sesuai dengan norma untuk tercapainya kesuksesan dan kesejahteraan siswa. Adapun standar tiga mewajibkan agar pimpinan sekolah berusaha keras terbentuknya kesetaraan kesempatan dan praktek budaya untuk mencapai kesuksesan akademik dan kesejahteraan siswa.

Pada standar empat mengarahkan kepala sekolah untuk mengembangkan dan mendukung secara intelektual dan system yang lengkap terhadap kurikulum, pembelajaran, dan penilaian untuk memastikan kesuksesan dan kesejahteraan siswa. Standar lima, kepala sekolah yang efektif menumbuhkan inklusivitas, kepedulian dan dukungan komunitas sekolah untuk kesuksesan dan kesejahteraan setiap individu siswa. Standard enam memuat keharusan kepala sekolah untuk mengembangkan kapasitas professional seluruh warga sekolah untuk kesuksesan dan kesejahteraan siswa.

Standar tujuh mengarahkan kepala sekolah untuk memelihara komunitas professional pendidik dan tenaga kependidikan untuk kesuksesan akademik dan kesejahteraan siswa. Standar delapan mengarahkan pimpinan sekolah untuk melibatkan orang tua dan komunitas secara bermakna, timbal balik, dan hubungan mutualisme untuk kesuksesan akademik dan kesejahteraan siswa.

Adapun standar sembilan memuat kepemimpinan efektif harus mampu mengelola dan mengoperasikan sumberdaya untuk kesuksesan akademikn dan kesejahteraan siswa. Standar sepuluh mewajibkan kepala sekolah dalam posisi sebagai agen perubahan dalam rangka perbaikan berkelanjutan untuk kesuksesan akademik dan kesejahteraan siswa.

Kompetensi Kepala Sekolah di Australia

Model standar kepala sekolah di Australia yang ditetapkan oleh The Australian Institute for Teaching and School Leadership (AITSL) dibuat dalam kerangka kerja sebagaimana terlihat dalam gambar dibawah ini.

Gambar 3: Framework Standar Kepala Sekolah AITSL, Australia

226 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam standar tersebut kompeteni kepala sekolah dibagi dalam tiga lensa utama, yaitu Professional Practice Lens, Leadership Emphasis Lens, dan Leadership Requirements lens. Lensa pertama, Professional Practise lens memiliki lima focus yaitu: 1) memimpin pengajaran dan pembelajaran, 2) mengembangkan diri dan orang lain, 3) memimpin peningkatan kualitas, inovasi, dan perubahan, 4) memimpin tatakelola sekolah, serta 5) terlibat dan bekerjasama dengan komunitas. Lensa Leaderhip emphasisis berisi empat focus, yaitu: 1) operasional, 2) relasional, 3) strategis, dan 4) sistemik. Adapun lensa ketiga, leadership requirement memuat tiga focus, yaitu: 1) visi dan nilai, 2) pengetahuan dan pemahaman, dan 3) kualitas personal, keterampilan social dan interpersonal.

3. Pembahasan

Memasuki dekade ketiga pada abad keduapuluh satu, World Economic Forum merilis delapan karakteristik sekolah yang relevan dengan kebutuhan masa depan peserta didik, kedelapan karakteristik sekolah tersebut terangkum dalam kerangka sebagai berikut (World Economic Forum, 2020):

Gambar 4: Framework Karakteristik Sekolah Masa Depan berdasarkan World Economic Forum

Kerangka kerja yang diajukan oleh World Economic Forum ialah mengubah arah pembelajaran ke dalam empat kunci keterampilan di masa depan, yaitu global citizenship, innovation and creativity, technology, dan interpersonal. Keempat keterampilan ini dirancang seiring sejalan dengan penguatan keterampilan dasar untuk belajar sepanjang hayat, yaitu literasi membaca, numerasi, dan menulis. Keempat konten yang dikembangkan untuk pendidikan masa depan perlu diiringi dengan penyesuaian empat pengalaman belajar sebagai hasil peningkatan kualitas pedagogis pada era pendidikan

227Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4.0. Keempat pengalaman belajar tersebut ialah personalisasi pembelajaran, inklusifitas, pembelajaran berbasis masalah dan kolaboratif, serta pembelajaran sepanjang hayat atas kehendak sendiri (World Economic Forum, 2020).

Perspektif baru tentang bentuk sekolah masa depan yang diajukan oleh World Economic Forum tentu saja menuntut penyesuaian model tatakelola sekolah yang sejajar dengan model kepemimpinannya. Bahkan, dalam rangka mengajukan penataan ulang sekolah di masa depan, World Economic Forum juga merilis 10 strategi untuk membangun sumber daya manusia yang menurutnya sesuai dengan kebutuhan pekerjaan di masa depan. Kesepuluh strategi tersebut terbagi dalam tiga area: strategi pengembangan ekosistem belajar, strategi pengembangan ekosistem dunia kerja, dan strategi membangun lingkungan yang berkesesuaian. Secara khusus, dalam mengembangkan ekosistem belajar WEF mengajukan empat strategi utama yaitu: 1) membangun, mengadaptasi, dan melakukan sertifikasi untuk keterampilan dasar, 2) membangun, mengadaptasi, dan melakukan sertifikasi untuk keterampilan lanjut, 3) membangun, mengadaptasi, dan melakukan sertifikasi untuk keterampilan para pekerja, dan 4) menerapkan potensi teknologi pendidikan ke dalam personalized learning (World Economic Forum, 2020). Apabila tuntutan model pencapaian keterampilan abad 21 yang dikembangkan oleh CCR (2015) dan dipadupadankan dengan kebutuhan keterampilan generasi masa depan yang dirilis oleh World Economic Forum, maka sangat perlu sekali dilakukan penataan ulang sekolah.

Menurut Fulan (2016) proses perubahan pada Lembaga pendidikan akan melewati tiga tahapan utama, yaitu inisiasi, implementasi, dan institusionalisasi. Untuk Lembaga pendidikan luaran dari proses perubahan tersebut ialah peningkatan hasil belajar dan peningkatan kapasistas organisasi. Dalam melakukan perubahan ditingkat sekolah ada lima pihak yang menjadi kunci, yaitu guru, kepala sekolah, siswa, orangtua dan masyarakat, serta pengawas dari dinas Pendidikan setempat. Ada dua peran utama dalam perubahan konsep Pendidikan yang akan diterapkan di sekolah yang senantiasa perlu menjadi perhatian kepala sekolah yaitu, kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dan “system player” (Fulan, 2016).

Dengan peran penting sebagai pengatur system dan pemimpin pembelajaran maka proses penyiapan kepala sekolah perlu mendapatkan perhatian yang serius. Keseriusan hendaknya ditunjukan dengan memastikan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah dimasa datang berkesesuaian dengan kebutuhan zamannya.

Kompetensi yang tidak memadai dari kepala sekolah memungkinkan terjadinya disorientasi dan kontraproduktif. Misalnya saja, dalam rangka mengembangkan keterampilan abad ke-21 bagi siswanya, banyak kepala

228 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sekolah yang dengan serta merta mengutus gurunya untuk ikut pelatihan. Setelah mengikuti pelatihan, guru-guru tersebut dianggap telah menguasai keterampilan yang dibutuhkan, padahal bisa jadi belum tentu. Apabila terus menerus mengandalkan model seperti ini dalam pengembangan sumber daya manusia maka besar kemungkinan akan mengalami kegagalan. Karena tidak semua kompetensi dapat dikuasai dalam waktu singkat. Kompetensi yang bersifat developmental content dan komplek tidak akan terbangun melalui aktivitas yang singkat, melainkan memerlukan proses yang panjang dan konsisten. Selain itu, diperlukan proses elaborasi untuk mentransformasi informasi yang diperoleh menjadi sekuensial dan kemudian terbentuk otomatisasi (Abadzi, 2016).

Salah satu contoh yang dapat dijadikan referensi, misalnya dalam rangka meningkatkan literasi, sekolah hanya merancang program yang bersifat ramai dan perayaan tetapi tidak diperkuat oleh kebijakan yang mengarahkan kepada pencapaian subtansi literasi itu sendiri. Dalam hal kebijakan misalnya pimpinan sekolah gagal dalam merancang program bermakna, akibatnya ada disorientasi pengaggaran. Kemudian lanjut pada lemahnya melakukan proses monitoring dan evaluasi secara sistemik akibatnya proses pengecekan untuk melihat kemajuan menjadi tidak terjalankan dengan sempurna. Akibatnya bisa diperoleh yaitu nilai PISA Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti selama 18 tahun. Dan ini merupakan wujud dari tidak efektifnya kebijakan dan implementasi program literasi (Benavot, 2015).

Perubahan Paradigma dan Fokus Kerja

Paradigma yang saat ini ada ialah bahwa kepala sekolah sebagai Guru yang mendapatkan tugas tambahan untuk memimpin dan mengelola sekolah sesuai dengan jenjangnya, sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 6 tahun 2018. Konsekuensi dari paradigma ini adalah seorang kepala sekolah tidak dapat mengubah persepsi dirinya bahwa saat menjabat sebagai pimpinan sekolah yang bersangkutan adalah seorang professional. Namun lebih cenderung mempersepsikan dirinya hanya seorang guru yang mendapatkan tugas tambahan. Hal ini berbeda dengan paradigma kepala sekolah sebagai pemimpin professional baik di Amerika Serikat maupun Australia. AITSL memposisikan kepala sekolah sebagai pemimpin professional dalam keseharian. Tetapi kepala sekolah adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab penuh untuk terus menerus mengarahkan seluruh siswa dan staffnya tumbuh dan berkembang sambeil terus menerus mengembangkan kehidupan professional sebagai seorang pemimpin sekolah (AITSL, 2014). Adapun Professional Standards for Educational Leaders 2015 dari National Policy Board for Educational Administration, USA memposisikan kepala sekolah dan para pemimpin pendidikan lainnya seperti wakil kepala sekolah serta para pengawas dan kepala dinas sebagai seorang professional yang

229Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

bertugas mengelola Lembaga pendidikan untuk meningkatkan mutu capaian belajar siswa (National Policy for Educational Administration, 2015).

Melihat dari trend posisi dan peran kepala sekolah di luar negeri dan tuntutan sekolah untuk dapat bergerak dengan cepat sehingga bisa mengikuti laju perkembangan zaman yang sangat dinamis maka perlu sekali kita mengubah paradigma tentang kepala sekolah. Perubahan paradigma yang dimaksud tentu saja diarahkan untuk memastikan focus kerja kepala sekolah kearah peningkatan kualitas pembelajaran dan mutu sekolah secara keseluruhan. Perubahan paradigma juga harus diiringi dengan memposisikan kepala sekolah sebagai seorang professional, sehingga dalam kesehariannya akan bertindak dan berperilaku pemimpin professional. Dan diharapkan persepsi dirinya akan berubah pula.

Penguatan kompetensi kepemimpinan pembelajaran

Jika merujuk pada Permendiknas nomor 13 tahun 2007 yang memiliki tiga puluh tiga kompetensi dan tersebar dalam 5 dimensi tidak ada satu pernyataanpun yang menekankan kompetensi yang dimiliki untuk ketercapaian kualitas pembelajaran dan prestasi siswa. Ada tiga kompetensi yang secara nyata berhubungan dengan pembelajaran yaitu kompetensi nomor 2.10, 2.13, dan 2.15. Jika dihadapkan pada tuntutan keterampilan abad 21 bahwa pembelajaran yang dibangun harus mampu membentuk siswa yang memiliki kreativitas, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi maka kompetensi kepemimpinan pembelajaran yang ada dalam permendiknas nomor 13 tahun 2007 tersebut belum terlihat sejalan.

Jika dibandingkan dengan standar PSEL dari NPEA, USA yang secara nyata menempatkan siswa belajar sebagai prioritas utama maka fokus kompetensi kepala sekolah versi Permendiknas nomor 13 tahun 2007 dan Permendiknas nomor 28 tahun 2010 masih perlu diperbaiki. Dalam standar yang dikembangkan oleh NPEA Amerika Serikat tersebut secara tertulis dinyatakan setiap kompetensi yang dibangun untuk memastikan kesuksesan siswa belajar dan kesejahteraan siswa. Dengan memposisikan Kepala sekolah yang memiliki tugas utama demikian maka yang bersangkutan akan mengelola semua sumberdaya secara optimal untuk kesuksesan siswa belajar.

Sepertinya, membuat orientasi baru tentang kepemimpinan kepala sekolah di Indonesia perlu dilakukan, karea hal tersebut akan membawa pada tipe pemimpin sekolah seperti apa yang ingin dibentuk. Maka pertanyaan yang diajukan oleh Halinger dan Wang (2015) menjadi layak dipikirkan: what type of leadership produces the greatest effect on student learning? Hasil kajiannya mendapatkan tiga factor utama kepemimpinan untuk pembelajaran, yaitu: 1) kejelasan dalam penentuan misi dan tujuan utama sekolah, 2) kemampuan dalam

230 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

merancang struktur akademik dan proses pembelajaran, dan 3) kemampuan dalam mengembangkan orang lain (Hallinger & Wang, 2015).

Penguatan dalam pengelolaan sekolah berbasis data

Salah satu ciri khaw abad ke-21 adalah perubahan yang cepat dan dinamis. Jatuh dan bangunnya bisnis tidak lagi dalam hitungan tahun, tetapi bulan atau hari. Sehingga sekolahpun harus mampu dikelola dengan kondisi seperti ini. Sebenarnya kondisi demikian bukan menjadi persoalan yang besar saat sekolah juga dikelola dengan pendekatan abad ke-21, yaitu menggunakan kepemimpinan berbasis data. Mengapa? Karena salah satu ciri penting abad ke-21 adalah pengelolaan dan penggunaan data secara optimal dalam satu manajemen yang cukup komplek dan dikenal dengan big data.

Dalam dunia pendidkan, pengelolaan berbasis data sebenarnya bukan hal yang baru. Karena sebenarnya peroses pengumpulan data di sekolah telah berlangsung lama, mulai dari nilai siswa saat masuk atau test masuk sekolah, kualitas pengajaran guru, nilai hasil belajar siswa setiap bulan maupun semester, hingga latar belakang ekonomi dan pekerjaan orang tua. Dengan model kepemimpinan pembelajaran yang menggunakan data sebagai basisnya maka proses pengambilan keputusan menjadi lebih baik. Tetapi seringkali data tersebut tidak dapat digunakan secara optimal, untuk itulah Salah satu kemajuan penting abad ke-21 adalah digitalisasi data yang kemudian menghasilkan big data. Data-data yang tersebar setiap hari di sekolah merupakan informasi-informasi akurat sebagai referensi dalam pengambilan keputusan. Sayangnya, tingkat penguasaan data, mulai dari pengambilan, pengelolaan, hingga interpretasi dan penarikan kesimpulan belum menjadi perhatian penting dalam kompetensi kepemimpinan saat ini. Dengan kemampuan mengelola data yang baik, maka keputusan dan perubahan termasuk inovasi di sekolah akan terus berkembang (Blink, 2007). Bambrick-Santoyo memperkenalkan 7 pengungkit dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan pembentukan budaya dengan menerapkan kepemimpinan berbasis data. Ketujuh pengungkit tersebut terbagi dalam dua kategori yaitu pengungkit pembelajar dan pengungkit budaya. Dalam pengungkit pembelajaran terdapat 4 poin: data-driven instruction, observation and feedback, instructional planning, dan professional development (Bambrick-Santoyo, 2012).

Pengelolaan inovasi

Revisi yang dilakukan oleh AITSL Australia maupun National Policy for Educational Administration, Amerika Serikat mengedepankan pentingnya Kepala Sekolah memiliki kemampuan inovasi dan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dan ini tentu sejalan dengan tuntutan keterampilan abad ke-21 yang secara nyata memerlukan daya kreatifitas dan berpikir kritis. Dalam

231Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kerangka kerja yang dikembangkan oleh World Economic Forum secara tegas dinyatakan sekolah harus mampu mengembangkan inovasi dan kreativitas siswa. Dengan kompetensi yang dimiliki, kepala sekolah dapat membangkitkan kesadaran para stakeholders tentang pentingnya keterampilan abad 21 dikuasai generasi yang akan datang. Hal ini akan memberikan keuntungan untuk proses pembelajaran maupun siswa itu sendiri (Gretter & Yadav, 2016).

Dan tentu saja dalam waktu yang bersamaan, sekolah sendiri harus mampu mengelola perubahan dengan inovasi dan kreatifitas yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpinnya (Griffin & Care, 2015; Center for Curriculum Redesign, 2015; World Economic Forum, 2020). Model pengelolaan inovasi dapat diambil dari berbagai macam literatur, misalnya delapan tahapan proses perubahan dari Kotter maupun dengan model proses perubahan dari Michael Fulan (Kotter & Rathgeber, 2017; Fulan, 2016).

Keempat kompetensi yang dibahas di atas, secara ringkas dapat digambarkan dalam kerangka kerja (framework) berikut ini:

Gambar 5: Kerangka kerja (framework) kompetensi guru model kepemimpinan sekolah abad untuk abad ke-21

4. Kesimpulan dan Saran

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi kepala sekolah yang ditetapkan pada tahun 2007 perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang. Perubahan adalah sebuah keniscayaa, tinggal yang kemudian perlu menjadi perhatian ialah kearah mana perubahan itu seharusnya.

Dari kajian dalam artikel ini diusulkan model kepemimpinan sekolah abad ke-21 yang menekankan perlunya perubahan paradigma kepala sekolah sebagai pemimpin professional dengan didukung oleh dimensi kepribadian mulia debagai dimensi utama, kemudian dimensi professional yang berfokus pada kepemimpinan pendidikan dan pembelajaran, dimensi pendukung untuk peningkatan kualitas pembelajaran, dan dimensi pengembang untuk inovasi dan perbaikan berkelanjutan.

232 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan kajian, penulis memberikan saran bahwa peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah perlu dilakukan revisi. Mengingat situasi social kemasyarakatan regional maupun internasional telah berubah dengan cepat. Selain itu, beberapa negara juga telah menyesuaikan standar kompetensi kepala sekolahnya pada dekade kedua abad ke-21.

Daftar Pustaka

Abadzi. (2016). Training 21st-century workers: facts, fiction, and memory illusions. International Review of Education, 62, 253-278.

Adams, D., & Mooi, A. N. (2020). Principal leadership preparation towards high-performing school leadership in Malaysia. Asian Education and Development Studies, 9(4), 425-439.

AITSL. (2014). Australian Professional Standard for Principals and the leadership profiles. Carlton South: AITSL.

Bambrick-Santoyo. (2012). Leverage Leadership: a practical guide to building exceptional schools. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.

Barakat, M., Reames, E., & Kensler, L. A. (2019). Leadership Preparation Programs: Preparing Culturally Competent Educational Leaders. Journal of Research on Leadership Education, 212-235.

Benavot, A. (2015). Literacy in the 21st century: toward a dynamic nexus of social relations. International Review of Education, 61, 273-294.

Blink, R. J. (2007). Data-driven Instructional Leadership. Larchmont: Eye on Education.

Carlgren, T. (2013). Communication, critical thinking, problem solving: a suggested course for all high school students in the 21st century. Interchange, 44, 63-81.

Center for Curriculum Redesign. (2015). SKills for the 21st Century. Boston: Center for Curriculum Redesign.

Education, F. D. (2020, June 6). The Florida Principal Leadership Standards. Retrieved from fldoe.org: http://www.fldoe.org/teaching/professional-dev/the-fl-principal-leadership-stards/

Florida Department of Education. (2020, 12 13). The Florida Principal Leadership Standards. Retrieved from fldoe.org: http://www.fldoe.org/teaching/professional-dev/the-fl-principal-leadership-stards/

233Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Fulan, M. (2016). The New Meaning of Educational Change. New York: Routledge.

Gretter, S., & Yadav, A. (2016). Computational Thinking and Media & Information Literacy: an integrated approach to teaching twenty-first century skills. TechTrends, 60, 510-516.

Griffin, P., & Care, E. (2015). Assessment and Teaching of 21st Century Skills. New York: Springer.

Grissom, J. A., Hajime, M., & Woo, D. S. (2019). Principal Preparation Programs and Principal Outcomes. Educational Administration Quarterly, 73-115.

Hallinger, P., & Wang, W.-C. (2015). Assessing Instructional Leadership with the Principal Instructional management Rating Scale. Switzwerland : Springer International Publishing.

Hyatt, L., & Williams, P. E. (2011). 21st Century competencies for doctoral leadership faculty. Innovative Higher Education, 36, 53-66.

Jacobson, S. L., & Cypres, A. (2012). Improtant shift in curriculum of educational leadership preparation. Journal of Research on Leadership Education, 7(2), 217-236.

Jang, H. (2015). Identifying 21st century STEM competencies using workplace data. Journal of Science Education and Technology, 25, 284-301.

Koh, J. H., Chai, C. S., Wong, B., & Hong, H.-Y. (2015). Design Thinking for Education: Conception and Application in Teaching and Learning. Singapore: Springer Science Business Media.

Kotter, J., & Rathgeber, H. (2017). Our Iceberg is Melting. New York: Penguin Random House LLC

Liu, W.-C., & Low, E.-L. (2015). Editorial: teacher education for the 21st century. Educational Research for Policy and Practice, 14, 189-191.

National Policy for Educational Administration. (2015). Professional Standards for Educational Leaders 2015. Reston: Author.

OECD. (2019). Thriving in a Digital World. Paris: OECD Publishing.

Peerone, F., & Tucker, P. D. (2019). Shifting profile of leadership preparation programs in the 21st century. Education Administration Quarterly, 55(2), 253-295.

Permendiknas. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala. Kementrian Pendidikan Nasional.

Permendiknas. (2010). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Kementrian Pendidikan Nasional.

234 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

S, J., & Devaki, N. (2016). Creativity: a new dimension in Bloom taxonomy. International Journal of Advance Education and Research, 65-68.

Salgues, B. (2018). Society 5.0: Industry of the Future, Technologies, Methods and Tools. Hoboken: John WIley & Sonc, Inc.

World Economic Forum. (2020). Schools of The Future: Defining new models of education for the fourth industrial revolution. Genewa: World Economic Forum.

World Economic Forum. (2020). Strategies for the New Economy: Skills as the currency of the labour market. Genewa: World Economic Forum.

235Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

IMPLEMENTASI METODE PENGEMBANGAN MINAT BAKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

Ria Astuti1*, Luthfatun Nisa’2

IAIN Madura*[email protected]

IAIN Madura*[email protected]

Abstrak

This study aims to describe the method of developing the interest and talent of children with special needs in inclusive schools and the implications of developing the interests and talents of children with special needs. This type of research is descriptive qualitative research techniques with observation, interviews, and documentation. The research site was conducted in PAUD Nurul Hikmah and PAUD Al-Munawwarah Pamekasan. The results showed that the methods of developing the interests and talents of children with special needs include: Habit, Individual Approach, Reward and Punishment, Extra-Curricular and Enrichment Programs, Parenting, and Consultations with Psychologists and the Medical Team. The learning curriculum is modified as needed, there is an individual approach to each ABK, and has implications for the distribution of children’s talents and interests properly.

Kata kunci: Interest and talents, Children with special needs, Inclusive school

A. Pendahuluan

Setiap anak yang terlahir memiliki potensi dan inilah yang membuat mereka menjadi makhluk unik, yang satu sama lain. Dari semua anak yang terlahir seperti pada umumnya, ada sebagian kecil anak yang terlahir dengan beberapa gangguan, baik secara fisik maupun mental, akan tetapi mereka tetap memiliki hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Keunikan anak-anak yang terlahir dengan kondisi khusus atau spesial dikatakan sebagai anak berkebutuhan khusus. Menurut Delphie, “Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan kelainan khusus.” (Delphie:2006). Baik ABK atau ALB adalah mereka yang membutuhkan penanganan khusus dalam kesehariannya ataupun dalam memaksimalkan berbagai potensi yang dimiliki.

Macam-macam ABK dapat digolongkan menjadi beberapa jenis diantaranya yaitu retardasi mental, kesulitan belajar, ganguan emosi, gangguan bicara, pendengaran, penglihatan, fisik, dan juga anak berbakat. Namun

236 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berbagai karakteristik dan hambatan yang dimiliki ABK bukan menjadi dasar pemikiran bahwa mereka tidak memiliki potensi seperti minat dan bakat pada bidang tertentu. Pada dasarnya mereka juga sama seperti individu lain, serta memiliki hak sama untuk dapat sukses dan berkembang dalam hidupnya dengan berbagai minat dan bakat yang tidak semua orang miliki. Seperti tokoh ternama Helen Keller yang memiliki kekurangan pada penglihatan dan pendengaran namun dia berhasil menjadi seorang penulis, aktivis politik, dan dosen Amerika, serta mendapatkan berbagai penghargaan dari hasil karyanya berkat bantuan gurunya yang selalu membimbingnya. Satu lagi yaitu aktor Hollywood terkenal Thomas Cruise atau yang sering disebut dengan sebutan Tom Cruise didiagnosis menderita disleksia atau penyakit ketidakmampuan seseorang dalam menulis dan membaca (Nofiani:2016). Di Indonesia dapat dikuatkan dengan pengalaman Chatib yang memiliki anak seorang discalculia atau kesulitan dalam menghitung, namun berhasil menjadikan anaknya terampil dalam menghasilkan berbagai puisi (Chatib:2014). Kisah lain yakni nama Indonesia telah diharumkan dengan membawa 15 emas, 13 perak, 11 Perunggu, oleh ABK pada kegiatan Olimpiade Tunagrahita di Athena pada tahun 2011 (Tempo:2020).

Dari berbagai data tersebut menunjukan bahwa setiap orang memiliki potensi bakat masing–masing, termasuk ABK. Jika minat dan bakat anak dapat tersalurkan dengan baik, maka akan menjadikannya terampil mandiri dan tentunya berbagai minat dan bakat ini lebih baik dikembangkan sejak usia dini, melalui lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan anak usia dini merupakan jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar, sebagai peletak atau pondasi pembentukan karakter dan kepribadian anak. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I ayat 14, menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan yang lebih lanjut, yang diselenggarakan secara formal, nonformal, dan informal. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa anak usia dini mengalami masa peka, dimana anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensi.

Pada usia 0-6 tahun hampir lebih dari 50% otak anak berembang pesat dan 80%terjadi saat anak mencapai usia 8 tahun, sehingga pemberian rangsangan dan pendidikan yang tepat dapat membantu anak menemukan potensi yang ada. Melalui program PAUD anak dapat mendapatkan stimulasi yang tepat, termasuk ABK. Anak yang memiliki keistimewaan (ABK) perlu mendapatkan pendidikan sejak usia dini yaitu melalui PAUD inklusi.

237Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa PAUD di Indonesia sudah berkembang menjadi pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang menyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Inklusi merupakan pendidikan yang mengakomodasi semua anak tanpa melihat multidimensi perbedaan, dimana sistem pendidikan harus menyesuaikan kebutuhan setiap anak (Saputra: 2016). Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas. Hak semua anak untuk berpartisipasi dalam pendidikan berkualitas yang bermakna untuk setiap individu. Sekolah inklusi bukan hanya memindahkan anak disabilitas ke sekolah biasa, tetapi inklusi mengandung makna bagaimana memandang anak berdasarkan individunya secara klasikal (Astuti: 2017).

Dasar dari pendidikan inklusif diatur di dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, ayat 1 sampai dengan 4 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, 2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, 3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, 4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, 5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.” Oleh karena itu, sudah seharusnya lembaga pendidikan juga harus mengakomodasi minat dan bakat anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusif. Hal ini bertujuan agar anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan optimal. Makna anak berkebutuhan khusus memiliki pengertian yang lebih luas apabila dibandingkan dengan pengertian anak luar biasa.

PAUD inklusi sudah banyak dikembangkan diberbagai daerah di Indonesia, termasuk di kota Pamekasan Jawa Timur diantaranya, yakni PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah. Disekolah ini terdapat anak berkebutuhan khusus, seperti: autis, disabilitas rungu, dan hyperaktif. Dengan demikian dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengakomodasi minat

238 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan bakat anak berkebutuhan khusus. PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah adalah sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus di lembaga pendidikannya dan memposisikan anak berkebutuhan khusus sama dengan anak yang tidak berkebutuhan khusus dengan memodifikasi kurikulum lembaga yang ada. Dan yang menarik dari lembaga ini adalah program pembelajaran yang sengaja disusun untuk mengembangkan bakat anak melalui sebuah metode, yaitu metode pengembangan minat dan bakat anak.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka Penulis tertarik ingin meneliti tentang bagaimana metode pengembangan minat bakat anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi yang ada di Kota Pamekasan, dan bagaimana implikasi pengembangan minat dan bakat anak berkebutuhan khusus yanga ada di PAUD Nurul Hikmah Pamekasan dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan?. Dengan adanya penelitian ini diharapkan agar para pemangku kebijakan pendidikan dapat memberikan kebijakan serta pelayanan pendidikan yang baik dan ramah pada anak berkebutuhan khusus, sehingga potensi anak berkebutuhan khusus dapat berkembang dengan pesat.

Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini

Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak sesuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif juga dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dalam merespon spekturm kebutuhan belajar peserta didik yang lebih luas, dengan maksud agar baik guru maupun peserta didik, keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah. Definisi di atas menggambarkan sebuah model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak, sistem pendidikan, keragaman dan diskriminasi, proses memajukan inklusif, dan konsep tentang sumber daya (Lestariningrum: 2017).

Secara konseptual terdapat perbedaan dan kaitan yang erat antara pengertian sekolah inklusif, pendidikan inklusif dan masyakat inklusif. Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai berikut:

“Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak PDBK belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran

239Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.”(DPSLB:2004).

Konsep pendidikan inklusi pada anak usia dini sebagai upaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Upaya PAUD bukan hanya dari sisi pendidikan saja, tetapi termasuk upaya pemberian stimulasi, bimbingan, pengasuhan dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan anak. Pendidikan inklusif di lembaga PAUD berjalan berdasarkan pandangan semua anak berhak untuk masuk ke sekolah reguler, tugas sekolah adalah menyediakan kebutuhan semua anak dalam komunitasnya. Apa pun derajat kemampuan dan ketidakmampuan anak, karena pendidikan inklusi menghargai perbedaan ras, etnik, maupun latar belakang sosial dan budaya (Sujiono:2009).

Pelaksanaan Pembelajaran di Sekolah Inklusif

Anak-anak yang sekolah di lembaga PAUD banyak berisiko (student at risk) yang perlu mendapat perhatian. Anak berisiko ialah anak yang latar belakang, karakteristik, dan perilakunya mengancam atau mengurangi kemampuannya dalam meraih keberhasilan akademik di sekolah (Mulyono:2012). Bertolak dari pandangan tersebut di ataslah, maka dalam pendidikan inklusif bukan anak yang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum tetapi kurikulumlah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak demi pengembangan semua potensi kemanusiaannya. Konsekuensi dari prinsip semacam itulah maka diperlukan program pembelajaran adaptif atau di Indonesia dikenal sebagai Program Pembelajaran Individual (Individualized Instructional Program), yaitu program pembelajaran yang dirancang berdasarkan kebutuhan khusus anak (Sujiono:2009).

Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah inklusif menurut Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa, yang telah menerapkan kurikulum 2013, seharusnya mengimplementasikan pedoman pelaksanaan kurikulum 2013 bagi PDBK sebagai acuan. Menggunakan pedoman yang telah disesuaikan dengan kurikulum 2013 dalam pelaksanaannya, agar terlaksana secara sistematis dan sesuai dengan sasaran pembelajaran. Adapun indikator yang digunakan dalam rangkaian pembelajaran di sekolah inklusif yang sesuai dengan pedoman pelaksanaan kurikulum 2013 bagi PDBK dijabarkan sebagai berikut:

1. Indikator yang Dicapai dalam Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPPM DAN RPPH) di Kelas Inklusif

2. Indikator yang Dicapai dalam Pelaksanaan/ Proses Pembelajaran di Kelas Inklusif Menggunakan Pendekatan Saintifik

240 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Indikator yang Dicapai dalam Penilaian Pembelajaran di Kelas Inklusif4. Pelaporan Hasil Belajar Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK)

di kelas Inklusif (DPSLB:2013).

B. Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pada penelitian ini, Penulis ingin mengetahui tentang: (1) Metode pengembangan minat bakat anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi pada lembaga PAUD Nurul Hikmah Pamekasan dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan. (2) Implikasi pengembangan minat dan bakat anak berkebutuhan khusus yang dilakukan oleh lembaga PAUD dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di PAUD Nurul Hikmah Pamekasan dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah dan Guru yang menangani ABK. Ketika data dianggap kurang lengkap, maka Penulis melakukan wawancara kepada mahasiswi yang melakukan praktek mengajar di kedua lembaga tersebut, dan teknik pengumpulan menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan model Miles dan Huberman. Aktivitas dalam analisis data meliputi data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification.

C. Hasil dan Pembahasan

Hasil artikel berisi: hasil bersih tanpa proses analisis data, hasil pengujian hipotesis. Hasil dapat disajikan dengan table atau grafik, untuk memperjelas hasil secara verbal.

Hasil dan pembahasan minimal 50% dari isi tulisan.

Tabel dibuat dengan lebar garis 1 pt dan tables caption (keterangan tabel) diletakkan di atas tabel. Keterangan tabel yang terdiri lebih dari 2 baris ditulis menggunakan spasi 1.

Gambar dibuat dengan lebar garis 1 pt dan tables caption (keterangan gambar) diletakkan di bawah gambar. Keterangan gambar yang terdiri lebih dari 2 baris ditulis menggunakan spasi 1.

Metode Pengembangan Minat Bakat Anak Berkebutuhan Khusus di PAUD Nurul Hikmah Pamekasan dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar

241Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan yang lebih lanjut, yang diselenggarakan secara formal, nonformal, dan informal (Sisdiknas:2003). Beberapa lembaga PAUD di Madura menunjukkan bahwa PAUD untuk anak-anak yang berusia 2 sampai 4 tahun (Sisdiknas:2003). PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah merupakan lembaga PAUD yang terfavorit di Kabupaten Pamekasan dan juga merupakan sekolah inklusi yang menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di lembaganya. Hal ini dikarenakan Kepala Sekolahnya melihat bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama dan berkualitas tanpa memandang perbedaan yang ada. PAUD Nurul Hikmah mulai menerima anak berkebutuhan khusus dari tahun 2017, sedangkan PAUD Al-Munawwarah menerima anak berkebutuhan khusus sejak dari awal berdirinya lembaga ini.

Di lembaga PAUD Al-Munawwarah, anak yang memiliki gangguan disabilitas rungu dan keterlambatan berbicara ada satu orang, disebabkan oleh pola asuh neneknya yang sudah tidak dapat mendengarkan dengan jelas. Selain itu, anak tersebut saat diperiksa oleh tim medis, memang memiki kelainan pada indera pendengarnya. Faktor lain disebabkan karena terlahir premature dan memiliki riwayat step saat masih bayi.

Kedua lembaga pendidikan ini memiliki dua guru di dalam setiap kelas, yakni guru kelas dan guru pendamping. Kedua guru ini bertugas untuk memahami karakteristik anak usia dini, termasuk anak yang berkebutuhan khusus. Guru-guru ini bersinergi dalam menstimulus perkembangan anak dan melakukan asesmen secara otentik untuk melihat tumbuh kembang anak. Selain itu juga kedua guru saling bersinergi ketika menghadapi beberapa anak didik yang unik. Namun, fokus guru kelas ke semua anak didik, sedangkan guru pendamping fokus membantu proses pembelajaran anak yang memiliki hambatan.

Ada beberapa metode yang dilakukan oleh lembaga PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah dalam mengetahui dan mengembangkan minat bakat anak berkebutuhan khusus, antara lain: Pembiasaan, Pendekatan Individual, Reward and Punishment, Program Pengayaan dan Ektra Kurikuler, Parenting, serta Konsultasi dengan Psikolog dan Tim Medis

1. Pembiasaan,

Metode pembiasaan dilakukan para pendidik di lembaga PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah. Hal dilakukan agar anak berkebutuhan khusus dapat belajar sebagaimana anak reguler pada umumnya. Sebagai contoh: setiap hari pada kedua lembaga ini memiliki program harian sholat dhuha. Meskipun berekebutuhan khusus dan sedikit

242 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

susah diatur, maka anak-anak tersebut harus tetap melakukan sholat dhuha. Hal ini bertujuan agar tidak membeda-bedakan pembelajaran antara anak berkebutuhan khusus dan anak reguler lainnya.

2. Pendekatan Individual,

Lembaga-lembaga ini membuat kurikulum yang sama antara anak berkebutuhan khusus dengan anak reguler. Hal ini terlihat dalam proses pembelajaran dan pencapai indikator pembelajaran disamaratakan. Namun, yang membuat berbeda adalah metode pengajarannya. Pada anak berkebutuhan khusus, guru biasanya memberikan pembelajaran dengan melakukan pendekatan individual (face to face, heart to heart) agar tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Hal ini dilakukan tanpa memaksakan perkembangan dan karakteristik anak didik. Selain itu, agar anak didik yang berkebutuhan khusus menjadi lebih nyaman dalam belajar.

3. Reward and Punishment,

Anak berkebutuhan khusus yang berada di kelas biasanya menunjukkan ciri khas atau karakteristik saat pembelajaran. Anak-anak ini akan melihatkan perbedaan yang jelas dengan anak didik lainnya. Misalnya: Anak yang hiper-aktif pada umumnya tidak bisa konsentrasi dan diam dalam belajar, maka guru memberikan reward atau punishment pada anak tersebut. Selain itu, anak tersebut tetap harus dibiasakan belajar sebagaimana anak biasanya, namun tanpa memaksakan perkembangan anak. Kedua lembaga PAUD ini tidak membeda-bedakan pembelajaran pada anak reguler dan anak berkebutuhan khusus, agar keduanya merasa saling berbagi dan menghargai. Namun, apabila anak berkebutuhan khusus mengalami permasalahan, maka guru siap untuk membantunya. Reward diberikan kepada anak didik yang bisa menyelesaikan pembelajaran dengan baik. Hal ini berguna untuk menumbuhkan motivasi anak didik dalam belajar.

4. Program Pengayaan dan Ektra Kurikuler,

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan guru pendamping dapat dinyatakan bahwa, guru pendamping lebih memperhatikan dan memahami karakteristik ABK yang dibimbingnya. Selain dengan melihat dari jenis kebutuhan anak didik, guru pendamping juga memperhatikan ABK dalam keseharian bersikap, bertingkah laku hal yang sering mereka lakukan atau tunjukkan dan respon pada setiap hal yang ada disekitar seperti tinggi rendahnya rasa ingin tahu mereka. Hal ini berguna untuk mengetahui minat dan bakat anak didik yang berkebutuhan khusus.

Apabila anak didik yang berkebutuhan khusus belum mencapai

243Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

indikator pembelajaran, maka guru akan memberikan program pengayaan dan menjelaskan kembali materi yang belum dipahami anak didik di saat Sang Anak sedang senggang. Selain itu, untuk menunjang minat dan bakat anak didik yang berkebutuhan khusus juga adanya program ektra kurikuler di lembaga ini seperti: tahfidz, menyanyi, mewarnai dan menari. Hal ini dilakukan agar anak didik bisa mengekplorasikan minat dan bakatnya. Perlu diketahui bahwa hanya lembaga-lembaga PAUD berkualitas yang memiliki program ini.

5. Parenting, dan Konsultasi dengan Psikolog dan Tim Medis

Sebagus apapun kurikulum pendidikan di suatu lembaga pendidikan, pasti akan lebih bagus apabila melibatkan orang tua dalam proses pembelajarannya, terutama dari rumah. Lembaga PAUD Nurul Hikmah membuka layanan konsultasi kepada orang tua terhadap anaknya 24 jam, sedangkan lembaga PAUD Al-Munawwarah melakukan program parenting sebulan sekali. Namun, sangat disayangkan di lembaga PAUD Al-Munawwarah, orang tua kurang berpikiran terbuka terhadap perkembangan anaknya, sehingga guru harus sangat hati-hati menyampaikan hambatan-hambatan yang terjadi pada anaknya. Di lembaga ini orang tua sering kali memasrahkan pendidikan anaknya 100% ke lembaga PAUD. Padahal lembaga ini, memiliki Psikolog tempat menangani anak yang mengalami hambatan-hambatan dalam belajar. Peran Psikolog juga kurang maksimal untuk menumbuhkan minat dan bakat anak berkebutuhan khusus yang disebabkan ketidakcocokan waktu antara Psikolog dan orang tua untuk berkonsultasi tentang tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. Akan tetapi, setiap satu bulan, lembaga ini melakukan program parenting rutin yang pemateri dan materinya selalu berbeda-beda sesuai kebutuhan anak didik.

Hal yang berbeda terjadi di PAUD Nurul Hikmah. Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus berpikiran terbuka, bahkan mengajak Kepala Sekolahnya untuk konsultasi dan melihat perkembangan anaknya di Surabaya. Hal ini berguna agar visi orang tua dan guru dapat seirama, sehingga Sang Guru bisa memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak didik yang berkebutuhan khusus. Perlu diketahui bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus di lembaga ini ada dua, yang pertama sudah menjadi alumni dan yang kedua sedang bersekolah di lembaga ini dengan penyandang disabilitas rungu.

PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah merupakan lembaga PAUD berbasis holistik integratif. PAUD Holistik Integratif adalah penanganan anak usia dini secara utuh (menyeluruh) yang mencakup layanan gizi dan kesehatan, pendidikan dan pengasuhan, dan perlindungan,

244 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, pemerintah daerah, dan pusat dengan melibatkan pihak terkait baik instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan orang tua (DPPAUD:2015). Hal ini menunjukkan bahwa di dalam lembaga PAUD berbasis Holistik Integratif ini banyak lembaga-lembaga yang diajak bekerjamasa, salah satunya adalah lembaga kesehatan masyarakat.

Salah satu lembaga yang diajak bekerja sama oleh PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah adalah Puskesmas setempat. Hal ini dilakukan untuk melihat tumbuh kembang anak secara jasmani dan rohani. Anak setiap bulan diukur berat badan, tinggi badan dan lingkar kepalanya apakah sesuai dengan panduan Kementerian Kesehatan atau tidak. Selain itu juga disesuaikan perkembangan anak setiap bulan apakah mengalami hambatan atau tidak. Hal ini berguna untuk mencegah anak mengalami kelainan atau hambatan pada anak usia dini. Selain itu, ketika anak memiliki riwayat prematur, dan penyakit step, membuat kedua lembaga ini lebih dalam mengasesmen perkembangan anak didik.

Meskipun penelitian yang Penulis lakukan memiliki banyak kendala, akan tetapi dapat disiasati dengan melakukan wawancara secara mendalam ke beberapa orang yang sudah menjadi pendidik di kedua lembaga ini selama beberapa pekan. Hal inilah sebagai data pembanding yang Penulis lakukan agar hasil penelitian tidak terkesan “subjektif.” Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang Penulis lakukan di PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan dapat diketahui bahwa kedua lembaga ini berusaha mengembangkan minat dan bakat anak didik yang berkebutuhan khusus sebagaimana anak pada umumnya. Namun, kurikulum pembelajaran dimodifikasi sesuai kebutuhan anak didik yang berkebutuhan khusus, dan adanya pendekatan individual yang dilakukan kepada anak didik yang berkebutuhan khusus untuk mengetahui minat dan bakatnya secara lebih mendalam. Tentunya, dalam memahami dan mengembangkan minat bakat anak didik berkebutuhan khusus membutuhkan peran dari orang tua, guru pendamping, Psikolog, dan Lembaga Kesehatan Masyarakat. Hal ini bertujuan agar hambatan-hambatan yang dimiliki dan dialami anak berkebutuhan khusus dapat diatasi dengan baik.Implikasi Pengembangan Minat dan Bakat Anak Berkebutuhan Khusus Yang Dilakukan oleh Lembaga PAUD dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di PAUD Nurul Hikmah Pamekasan dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan

245Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa poin penting yang dapat dilihat dan dirasakan apabila minat dan bakat anak berkebutuhan khusus dapat tersalurkan dengan baik, tentunya akan membuat mutu lembaga pendidikan lebih berkualitas. Hal ini tidak mengherankan apabila kedua lembaga ini memiliki akreditasi “A”. Selain itu, banyak masyarakat terutama kelas “menengah ke atas” memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan ini. Hal ini dikarenakan masyarakat percaya bahwa kedua lembaga ini merupakan lembaga yang kredibel dan berkualitas. Tak heran apabila sebagaimana yang sudah Penulis singgungkan di atas, ada orang tua yang memiliki dua anak berkebutuhan khusus, memasukkan anak-anaknya di lembaga yang sama.

Berdasarkan hasil wawancara 04 April 2020, salah seorang guru menjelaskan, memang salah satu tugas lembaga pendidikan mengakomodasi kebutuhan anak didiknya, terutama yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan mengembangkan minat bakat mereka serta tanpa membedakan mereka dengan anak reguler, maka menumbuhkan kepercaya-dirian dan sikap mandiri mereka yang akan berguna di kehidupan mendatang. Apabila tumbuh kembang ABK dapat distimulus dengan baik, dipahami minat bakatnya, maka akan membuat perubahan dalam skala yang besar. Selain itu, hubungan antara anak reguler dan anak berkebutuhan khusus akan menjadi lebih intens dan saling menghargai sehingga menimbulkan kenyamanan dalam proses belajar (Aini:2020).

Mengingat pentingnya pengembangan minat dan bakat pada anak berkebutuhan khusus ini, maka sangat diperlukan peran dari berbagai pihak agar tujuan pendidikan yang inklusif dapat tercapai dengan baik. Tentunya hal ini juga membutuhkan peran Yayasan yang membantu mengakomodasi kebutuhan para anak didik yang berkebutuhan khusus.

D. Kesimpulan dan Saran

Metode yang dilakukan dalam mengetahui dan mengembangkan minat bakat anak berkebutuhan khusus di PAUD Nurul Hikmah dan PAUD Al-Munawwarah Pamekasan, antara lain: Pembiasaan, Pendekatan Individual, Reward and Punishment, Program Pengayaan dan Ektra Kurikuler, Parenting, serta Konsultasi dengan Psikolog dan Tim Medis. Implikasi dari pengembangan minat bakat anak berkebutuhan khusus dapat tersalurkan dengan baik, tentunya akan membuat mutu lembaga pendidikan lebih berkualitas.

Sebagus apapun lembaga pendidikan, maka butuh dukungan baik secara moril maupun materil oleh Pemerintah dan Yayasan untuk membuat pendidikan inklusif yang berkualitas. Selama ini lembaga PAUD Al-Munawwarah memahami tentang anak berkebutuhan khusus secara otodidak, dan apabila ada

246 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pelatihan tentang Pendidikan Inklusif mereka harus keluar daerah dulu untuk belajar. Sedangkan kendala yang dihadapi guru dalam pembinaan minat dan bakat ABK antara lain: keterbatasan sarana prasarana, kondisi psikologis anak didik dan kemampuan guru.

Berikut beberapa saran yang dapat diambil dalam penelitian ini: 1. Sekolah hendaknya dapat lebih mengusahakan lagi pengadaan sarana prasarana yang dapat menunjang lebih kegiatan pembinaan minat dan bakat di kelas inklusi agar dalam berbagai kegiatannya dapat berjalan lebih maksimal. 2. Kerjasama yang terjalin hendaknya lebih dikembangkan lagi tidak hanya antara guru di sekolah saja namun juga psikiater atau psikolog dalam melaksanakan kegiatan pembinaan minat bakat anak didik yang berkebutuhan khusus. 3. Perlu adanya sebuah ajang untuk menampilkan ataupun mempertunjukkan berbagai minat bakat ABK yang telah dibina, seperti melalui ajang perlombaan atau pertunjukkan.

Daftar Pustaka

Astuti, Ria, 2017, “Penerapan Pembelajaran Bilingual (Dwi Bahasa) di TK Inklusi (Studi Kasus di TK Ababil Kota Pangkalpinang),” Awlady: Jurnal Pendidikan Anak 3, No. 2.

Chatib, Munif, 2014, Orangtuanya Manusia, Bandung: Kaifa, 2014.

Delphie, Bandi, 2006, Pembelajaran Tunagrahita Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, Bandung: Refika Aditama.

Depdiknas, 2007, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa, 2004, Manajemen Sekolah dalam Pendidikan Inklusi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa.

Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa, 2013, Pedoman Pelaksanaan Inklusif Kurikulum 2013, Jakarta: Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa.

Elfindri, Harizal, dan Mudjito, 2012, Pendidikan Inklusif, Jakarta; Baduose Media.

http://sekolah.data.kemdikbud.go.id/index.php/chome/profil/794C3F66-F9CB-4148-A4EE-0503EF281F0E, diakses tanggal 4 Februari 2020.

247Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Lestariningrum, Anik, “Implementasi Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini di Kota Kediri (Studi Pada Paud Inklusif YBPK Semampir, Kecamatan Kota, Kediri)”, Jurnal CARE (Children Advisory Research and Education) Volume 4 Nomor 2 Januari 2017.

Moleong, Lexy J., 2015, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mujito. Dkk, 2012, Pendidikan Inklusif . Jakarta: Baduose Media Jakarta.

Mulyono, Abdurrahman, 2012, Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta

Musbikin, Imam, 2010, Buku Pintar PAUD: Dalam Perspektif Islami, Yogyakarta: Laksana.

Nofiani, Esti, Pembinaan Minat dan Bakat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) (Studi Deskriptif di Sekolah Dasar Inklusi), Prosiding Seminar Nasional Reforming Pedagogy 2016.

Nuraeni, Siti, dkk, 2018, Prosedur Operasi Standar Pendidikan Anak Usia Dini Inklusif Pembelajaran, Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.

Sugiyono, 2016, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata,Nana Syaodih, 2009, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suyadi dan Maulidya Ulfah, 2012, Konsep Dasar PAUD, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tempo, Herbalife Sokong Atlet Berekebutuhan Khusus Indonesia, https://sport.tempo.co/read/672128/herbalife-sokong-atlet-berkebutuhan-khusus-indonesia/full&view=ok, diakses tanggal 6 Mei 2020.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Yuliani, Nurani dan Sujiono, 2009, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Indeks, 2009.

248 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DITINJAU DARI CIPP BERDASARKAN PERSPEKTIF GURU

Risa Zakiatul Hasanah1, Mukhidin2

Universitas Pendidikan [email protected]

[email protected]

Abstract

Every curriculum that is applied in Indonesia will always change along with the times; however, these changes were made solely because of changes in the government system and not based on an evaluation of the effectiveness and the feasibility of curriculum itself. The previous study has shown that evaluation of 2013 Curriculum has been carried out in several regions. This study aims to determine the effectiveness of the implementation 2013 Curriculum in elementary schools, especially in SDN 1 Pejagoan located in Kebumen Regency, Central Java Province. The method used was descriptive qualitative methods with the subjects of 12 teachers. While The instruments used were indepth interview and questionnaires, and the data analysis used were data reduction, conclusion and drawing or verification. The results indicated that there are still many deficiencies that arise in the implementation of the 2013 Curriculum, especially in the process and product aspects. Therefore, it can be concluded that the 2013 Curriculum implementation at SDN 1 Pejagoan is still not effective. Researcher suggest that school principals and local education offices should provide training for their teachers particularly in planning, implementing, and evaluating learning according to the provisions of 2013 Curriculum with more comprehensive and equitably.

Keywords: 2013 Curriculum, CIPP, Curriculum, Evaluation, Implementation.

A. Pendahuluan

Setiap kurikulum yang berlaku di Indonesia memiliki ide-ide khusus yang harus diimplementasikan. Ide-ide yang terkandung dalam suatu kurikulum disesuaikan dengan kondisi Negara Indonesia pada saat kurikulum tersebut berlaku. Begitupun juga dengan Kurikulum 2013. Menurut Alhamuddin (2019) salah satu alasan kuat munculnya Kurikulum 2013 karena penerapan KTSP terbentur oleh sistem desentralisasi yang memberikan otonomi sekolah terlalu besar. Kemunculan Kurikulum 2013 ini sebagai perwujudan perubahan sistem kebijakan dalam pendidikan yang semula desentralistik menjadi sentralistik.

Perubahan, perbaikan, dan perkembangan dalam kurikulum merupakan suatu keniscayaan. Tyler (1949) mengungkapkan bahwa salah satu aksioma

249Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kurikulum yang keberadaannya merupakan suatu keniscayaan yaitu, “perubahan dalam kurikulum adalah sesuatu yang tidak terelakkan dan juga penting karena melalui perubahan tersebut kehidupan manusia akan tumbuh dan berkembang”. Perubahan, perbaikan dan perkembangan dalam kurikulum dilakukan dengan dasar proses evaluasi. Sesuai fungsinya, evaluasi dapat dilakukan pada saat program masih berlangsung ataupun pada saat program sudah selesai dilaksanakan. Dalam hal ini Kurikulum 2013 masih berlaku dan masih diimplementasikan secara nasional. Agar bisa memperbaiki implementasinya maka diperlukan evaluasi. Hal itulah yang mendasari peneliti melakukan penelitian ini.

Beberapa penelitian terkait evaluasi implementasi Kurikulum 2013 telah banyak dilakukan baik dengan mengumpulkan data kuantitatif ataupun data kualitatif. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan yaitu studi evaluasi implementasi Kurikulum 2013 di SDN wilayah pedesaan Kabupaten Badung yang dilakukan pada tahun 2015 oleh Riptiani dkk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Badung Bali masih kurang efektif. Penelitian-penelitian lainnya pun banyak yang menunjukkan ketidak efektifan implementasi Kurikulum 2013 dikarenakan berbagai faktor seperti faktor kompetensi guru, lingkungan yang kurang mendukung, tidak adanya sarana dan prasarana yang memadai, serta kurangnya dukungan dari dinas pendidikan setempat untuk mengadakan pelatihan. Penelitian-penelitian tersebut mendasari dilaksanakannya penelitian ini.

Model evaluasi CIPP merupakan model yang digunakan dalam penelitian ini karena dirasa mampu untuk mengevaluasi keseluruhan komponen yang ada dalam implementasi secara komprehensif. Sesuai namanya CIPP terdiri dari 4 unsur yaitu Context, Input, Process, dan Procedur. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam yang berfungsi untuk memperbaiki suatu program. Setiap komponen berfungsi untuk mengevaluasi unsur-unsur tertentu dalam pendidikan. Dalam evaluasi konteks, hal-hal yang perlu dievaluasi adalah faktor guru, siswa, manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah, masyarakat, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap kurikulum. Sedangkan hal-hal yang dievaluasi dalam evaluasi input adalah berbagai faktor yang dikaji dalam pelaksanaan kurikulum. Hal-hal yang dievaluasi dalam evaluasi proses yaitu pelaksanaan implementasi kurikulum, kekuatan dan kelemahan proses implementasi, hambatan yang dihadapi dalam implementasi program dan perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Sementara itu, evaluasi produk dapat mengevaluasi terkait hasil belajar, perbandingan hasil belajar dengan standar, dan keputusan terhadap kurikulum.

Kurikulum 2013 diimplementasikan secara bertahap. Pada tahun 2013 merupakan masa uji coba dengan hanya menetapkan beberapa sekolah yang

250 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mengimplementasikannya. Pada tahun berikutnya implementasi Kurikulum 2013 dilaksanakan di kelas I, II, IV, dan V. barulah pada tahun 2015 seluruh kelas di jenjang Sekolah Dasar melaksanakan Kurikulum 2013. Perbaikan kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 menawarkan suatu inovasi baru yang sebelumnya tidak ada. Inovasi tersebut merupakan ide-ide yang terkandung dalam Kurikulum 2013 sehingga karakteristiknya berbeda dari kurikulum sebelumnya. Secara umum karakteristik K13 diantaranya sebagai berikut :

1. Belajar tuntas2. Penilaian autentik3. Penilaian berkesinambungan 4. Teknik penilaian yang bervariasi5. Berdasarkan acuan kriteria.6. Berpusat pada siswa

Sementara itu, berdasarkan Permendikbud No. 70 tahun 2013 karakteristik K13 diantaranya diantaranya:

1. Konten kurikulum dinyatakan ke dalam bentuk KI yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk KD

2. KI merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan

3. KD merupakan kompetensi yang dipelajari peserta didik untuk mata pelajaran di kelas tertentu.

4. KI dan KD di jenjang pendidikan dasar diutamakan pada ranah sikap5. KI menjadi unsur organisatoris6. KD yang dikembangkan didasarkan pda prinsip akumulatif, saling

memperkuat, dan memperkaya7. Silabus dikembangkan sebagai rancangan belajar untuk satu tema atau satu

mapel8. RPP dikembangkan dari setiap KD

Agar bisa sesuai dengan karakteristik tersebut, diperlukan beberapa upaya bersama dari berbagai pihak. Kurikulum 2013 menuntut guru untuk memiliki pengetahuan yang luas serta mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Selain itu, siswa juga harus dapat mencari informasi dengan bebas menggunakan perangkat teknologi dan informasi. Penggunaan media teknologi dimaksudkan agar siswa dapat belajar melalui pengalaman personal, mandiri, dan tidak berhenti belajar (lifelong learning). Konteks pembelajaran dalam Kurikulum 2013 menekankan pada tiga aspek utama yaitu aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan), sehingga orientasi Kurikulum 2013 terletak pada peningkatan dan keseimbangan antara komponen pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Ketiga aspek tersebut harus terintegrasi dalam suatu program pembelajaran secara utuh.

251Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Agar dapat mencapai keutuhan dalam belajar, Kurikulum 2013 menawarkan suatu ide baru yakni dengan menerapkan pendekatan saintifik dan pendekatan tematik terpadu dalam implementasinya. Daryanto (2014) menyatakan bahwa pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkonstruksi konsep, hukum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum, atau prinsip yang ditemukan. Sedangkan pendekatan tematik terpadu menurut Rusman (2016) adalah pendekatan dalam pembelajaran terpadu (integrated instruction) yang merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok, aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan autentik. Kurikulum 2013 telah mengalami beberapa revisi untuk diperbaiki. Salah satu komponen Kurikulum 2013 yang direvisi terletak pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), Standar Proses, dan Standar Penilaian. Perubahan tersebut bertujuan agar siswa lebih aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri.

Berdasarkan latar belakang dan kajian konsep tersebut, peneliti merumuskan beberapa rumusan masalah yang harus dicari jawabannya yaitu: bagaimana implementasi kurikulum di SDN 1 Pejagoan dilihat dari aspek konteks, input, proses, dan produk. Dengan rumusan masalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menentukan efektifitas implementasi kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan ditinjau dari aspek konteks, input, proses, dan produk.

B. Metode

Desain penelitian yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif. Pemilihan desain penelitian ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan apa adanya berdasarkan fakta-fakta yang muncul di lapangan. Selain itu, penelitian pun dirancang dengan fokus utama pada 4 komponen CIPP yaitu Context, Input, Process, dan Product. Adapun subjek yang terlibat dalam penelitian ini yaitu sebaganyak 12 orang guru Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Pejagoan Kebumen, Jawa tengah. Pemilihan sekolah ini didasarkan pada pertimbangan bahwa belum ada penelitian evaluasi sebelumnya yang meneliti di SDN 1 Pejagoan, dan sekolah ini sudah lama mengaplikasikan Kurikulum 2013 yaitu semenjak Kurikulum 2013 diberlakukan. Selain itu, penelitian ini juga didesain dengan menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, dan Product). Pemilihan model evaluasi CIPP dikarenakan model evaluasi ini dirasa mampu menggambarkan

252 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan mendeskripsikan keseluruhan komponen implementasi secara utuh dan menyeluruh.

Model evaluasi CIPP berfungsi untuk memperbaiki suatu program. Ia dapat pula digambarkan dalam bentuk siklus yang saling berhubungan dan saling berpengaruh antar komponennya. Evaluasi konteks ditujukan untuk membantu mengembangkan tujuan yang akan dicapai dari suatu program, sedangkan evaluasi input ditujukan untuk membantu mempertajam suatu tujuan. Evaluasi proses bertujuan untuk memandu suatu implementasi, dan evaluasi produk bertujuan untuk menentukan keberhasilan suatu program.

Evaluasi konteks digunakan sebagai pemberi alasan mengapa suatu program atau kurikulum harus dilaksanakan. Apabila dalam skala yang besar maka evaluasi konteks berkaitan dengan tujuan umum, kebijakan yang mendukung, lingkungan yang relevan, identifikasi kebutuhan, peluang, dan diagnosis masalah yang spesifik. Adapun evaluasi input berkaitan dengan penyediaan sumber informasi yang digunakan untuk mencapai tujuan program. Komponen yang berkaitan dengan evaluasi input yaitu budget, jadwal, prosedur, siswa, infrastruktur, media, guru, dsb.

Sementara itu evaluasi proses digunakan untuk memberikan umpan balik terhadap individu untuk bertanggung jawab terhadap kegiatan program atau kurikulum. Proses yang ditinjau meliputi: monitoring sumber-sumber potensial yang dapat menyebabkan kegagalan, menyiapkan informasi awal terhadap perencanaan keputusan, dan menjelaskan proses yang terjadi. Evaluasi produk digunakan sebagai pengukuran dan penginterpretasian terhadap keberhasilan program. evaluasi produk dilakukan pada saat evaluasi berlangsung dan setelah evaluasi selesai dilaksanakan. Stufflebeam menyatakan bahwa evaluasi produk dilakukan untuk empat aspek yaitu dampak, efektifitas, keberlanjutan, dan transportabilitas.

Data dan informasi penelitian diperoleh dengan menggunakan sejumlah instrumen pengumpulan data diantaranya indepth interview dan kuesioner. Wawancara dilakukan kepada kepala sekolah dan salah seorang guru yang ada di sekolah tersebut. Sedangkan kuesioner diberikan kepada seluruh responden. Selain menggunakan wawancara mendalam dan kuesioner peneliti juga menggunakan daftar kriteria sebagai acuan dengan berdasarkan pada empat komponen CIPP sehingga ada batasan standar yang digunakan peneliti terhadap hasil penelitian ini.

Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis Miles dan Huberman (1984). Model Miles dan Huberman terdiri dari beberapa tahapan yaitu: Reduksi data, Data display, serta penarikan atau verifikasi kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan memilih data mentah dari lapangan dengan

253Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

memfokuskan pada data yang sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga dalam hal ini peneliti membuang data-data yang tidak diperlukan dan tidak terlalu berpengaruh. Dalam data display, hasil penelitian disajikan dengan menggunakan matriks keterhubungan antara aspek konteks, input, proses, dan produk sehingga lebih mudah dipahami hasilnya. Setelah itu dilakukanlah verifikasi atau penarikan kesimpulan.

C. Hasil dan Pembahasan

Temuan yang didapat di lapangan menunjukkan bahwa 100% guru-guru yang mengajar di SDN 1 Pejagoan merupakan lulusan S1. Hal ini menunjukkan bahwa dari kualifikasi akademik guru-gurunya telah memadai. Hal tersebut tentu dapat menunjang implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan. Adapun pengalaman guru dalam mengajar, sebanyak 33,3% guru telah memiliki pengalaman mengajar selama 0-3 tahun, 33,3% selama 4-7 tahun, dan 33,3% guru memiliki pengalaman mengajar lebih dari 8 tahun. Sebanyak 66,7% guru setuju bahwa lingkungan belajar di SDN 1 Pejagoan telah baik dan cocok untuk melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, hampir 100% guru menyatakan bahwa orangtua siswa ikut terlibat aktif dan ikut mendukung pendidikan siswa. Akan tetapi sebanyak 66,7% guru kurang setuju bahwa kondisi keluarga siswa berasal dari ekonomi mampu, sedangkan 33,3% nya menyatakan tidak setuju bahwa kondisi keluarga siswa berasal dari ekonomi mampu. Sebanyak 66,7% guru sangat setuju bahwa lokasi sekolah sangat strategis dan dapat dijangkau oleh semua siswa. Meskipun orangtua mendukung pendidikan siswa, akan tetapi sebanyak 33,3% orangtua tidak mengetahui terkait apa itu Kurikulum 2013. Implementasi kurikulum di SDN 1 Pejagoan telah mendapatkan dukungan akses internet sebanyak 66,7%. Sebanyak 66,7% guru menyatakan setuju bahwa mereka sering mendapatkan pelatihan Kurikulum 2013, akan tetapi sisanya merasa tidak setuju bahwa mereka telah mendapatkan banyak pelatihan Kurikulum 2013. Pelatihan guru SDN 1 Pejagoan telah dilaksanakan secara merata. Hal ini menunjukkan bahwa semua guru mendapatkan porsi yang sama dan tidak dibeda-bedakan. Sehingga informasi terkait Kurikulum 2013 pun dapat diterima oleh seluruh guru. Untuk menunjang performansi guru, pemerintah mewajibkan guru untuk memperoleh sertifikasi melalui PPG, dan sebanyak 66,7% guru SDN 1 Pejagoan telah mendapatkan sertifikasi dan telah mengikuti PPG.

Dalam aspek input hal yang harus diperhatikan adalah sarana dan prasarana. SDN 1 Pejagoan telah memiliki ruang kelas yang memadai dan mendukung proses belajar mengajar baik secara kualitas maupun kuantitas. Selain itu, terdapat pula fasilitas penunjang lainnya yaitu perpustakaan. Pengadaan buku tematik 100% telah terpenuhi dengan baik sehingga guru tidak harus kebingungan saat melaksanakan pembelajaran. Selain menggunakan

254 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

buku tematik dari pemerintah, sebanyak 67% guru juga menggunakan buku sumber lainnya yang dapat menunjang pembelajaran. Meskipun demikian, penerapan pembelajaran tematik terpadu tidak serta merta membuat siswa di SDN 1 Pejagoan menjadi lebih bersemangat dalam belajar. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan guru bahwa 67% siswa tidak terlalu bersemangat dalam belajar setelah menggunakan pembelajaran tematik terpadu.

Dari aspek proses, banyak ditemukan hal-hal yang masih kurang maksimal. Guru masih belum memiliki pengetahuan yang luas tentang perkembangan kognitif siswa yaitu sebanyak 33,3%. Sementara itu 1 dari 3 orang guru kurang memahami dalam menyiapkan RPP tematik sebelum memulai pembelajaran. 100% guru melaksanakan pembelajaran tidak hanya di dalam ruang kelas akan tetapi juga di luar kelas sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Hal ini sejalan dengan pemilihan media, guru di SDN 1 Pejagoan banyak menggunakan berbagai media pendukung dalam proses pembelajaran. Berdasarkan aspek konsep sebanyak 67% kurang setuju terhadap pernyataan bahwa konsep pembelajaran tematik terpadu mudah dipahami. Akibtanya 33,3% guru kurang setuju dan kurang memahami penerapan pendekatan tematik terpadu begitupun juga dengan pendekatan saintifik. Penggunaan model pembelajarannya pun masih dirasa sulit oleh guru. sebanyak 67% guru tidak memahami model pembelajaran berbasis projek. Sedangkan model pembelajaran inkuiri sebanyak 33,3% guru yang tidak pernah melakukannya. Model pembelajaran berbasis masalah cukup baik diantara keduanya, sebab 67% guru setuju dalam melaksanakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal ini menunjukkan bahwa guru telah cukup memahami model pembelajaran berbasis masalah. Model pembelajaran ini harus didukung oleh metode pembelajaran yang sesuai. Metode pembelajaran yang digunakan untuk mendukung pendekatan tematik terpadu haruslah metode yang bervariatif. 33% guru menyatakan bahwa mereka masih menggunakan metode ceramah selama proses pembelajaran. Akan tetapi 67% guru menyatakan bahwa mereka selalu menerapkan metode yang variatif. Selain itu, 67% guru mengatakan bahwa pembelajaran tematik terpadu sesuai dengan kondisi sekolah, dan sisanya mengatakan tidak sesuai. Dari segi kenyamanan dalam membawakan materi, guru merasa kurang nyaman ketika mengajar dengan menggunakan pendekatan tematik terpadu. Hal ini dikarenakan guru harus banyak mengembangkan sendiri materi pelajaran sehingga terkesan lebih sulit daripada kurikulum sebelumnya.

Meskipun guru SDN 1 Pejagoan masih kurang dalam kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, akan tetapi mereka bisa dikatakan sudah baik dalam kompetensi kepribadian dan sosial terutama dalam penanaman nilai religi dan sikap sosial kepada anak. Sebanyak 66,7% guru selalu menerapkan nilai religi dan sosial tidak hanya melalui pengetahuan melainkan juga

255Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

melalui keteladanan tingkah laku. Terakhir yaitu berkaitan dengan penilaian. 67% guru selalu melakukan penilaian kepada siswa setiap menyelesaikan satu tema ataupun sub tema. Akan tetapi 67% guru menyatakan bahwa tidak memahami penilaian belajar siswa berdasarkan kurikulum 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan adanya penguatan dalam pelatihan guru terkait aspek penilaian, karena masih banyaknya guru yang tidak memahami terkait penilaian berdasarkan Kurikulum 2013. Akibat ketidak pahaman guru terhadap Kurikulum 2013 sehingga 67% guru menyatakan bahwa Kurikulum 2013 kurang bagus diterapkan di Sekolah Dasar.

Dari aspek produk, siswa menjadi aktif dalam belajar setelah diterapkan pembelajaran tematik terpadu. Akan tetapi dari segi pemahaman 67% guru kurang setuju bahwa siswa lebih memahami pembelajaran dengan menggunakan pendekatan tematik terpadu. Hasil belajar siswa pun tidak begitu bagus, terbukti sebanyak 67% guru menyatakan bahwa hasil belajar siswa kurang memuaskan setelah menggunakan Kurikulum 2013. Meskipun demikian, guru tetap berusaha membantu siswa untuk mencapai KKM dan naik ke kelas berikutnya. Selain itu, 100% siswa di SDN 1 Pejagoan berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah menyelesaikan pendidikan.

Untuk menentukan gambaran akhir mengenai efektifitas implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan, peneliti mengadaptasi kuadran Glickman. Penentuan positif dan negatif didasarkan pada data angket yang didapatkan terkait respon guru terhadap pernyataan yang diajukan. Secara rinci, jumlah pernyataan yang diajukan terkait aspek konteks sebanyak 6 pernyataan, 9 pernyataan untuk aspek input, 20 pernyataan untuk aspek proses, dan 6 pernyataan untuk aspek produk sehingga jumlah keseluruhan terdapat 41 pernyataan. Dari setiap pernyataan tersebut, peneliti mencari rata-rata mana yang menunjukkan respon positif dan negatif. Pernyataan yang menunjukkan sangat setuju dan setuju (jenjang 1 dan 2 dalam skala likert) merupakan pernyataan yang positif, sedangkan yang menunjukkan pada kurang setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju (jenjang 3, 4, dan 5 dalam skala likert) merupakan pernyataan yang menunjukan negatif. Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa diklasifikasikan respon guru terhadap pernyataan angket yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Kuadran Glickman yang diadaptasi

Context+ + ++ - -

(Efektif)

Process- + - - + - - - + -- - + - - - - - + -

(Tidak efektif)

256 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Input+ + + + -

- + + +(Efektif)

Product- - -- + +

(Tidak efektif)

Berdasarkan analisis respon guru maka bisa disimpulkan bahwa aspek konteks dalam implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan termasuk ke dalam kategori efektif, aspek input termasuk ke dalam kategori efektif, aspek proses termasuk ke dalam kategori tidak efektif, dan aspek produk termasuk ke dalam kategori tidak efektif. Dua aspek dari CIPP yaitu aspek proses dan produk menunjukkan ketidakefektifitan implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan, sedangkan aspek konteks dan input termasuk ke dalam kategori efektif. Hal ini menunjukkan bahwa 50% implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan telah terlakasana dengan baik (efektif), dan 50% implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan belum terlaksana dengan baik (tidak efektif).

Dari data akhir tersebut, maka sudah seharusnya kita banyak melakukan refleksi dan perbaikan agar implementasi Kurikulum 2013 menjadi lebih baik lagi. Pada hakikatnya konsep Kurikulum 2013 telah dirancang dengan sangat baik dan tepat sasaran, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan kekurangan. Peneliti merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan dalam mensukseskan implementasi Kurikulum 2013, diantaranya sebagai berikut:

1. Guru-guru harus lebih banyak mendapatkan pelatihan sampai benar-benar memahami dan mengerti ide yang terkandung dalam Kurikulum 2013.

2. Orang yang harus melatih guru-guru adalah langsung dari pusat yaitu tim pengembang kurikulum agar apa yang didapatkan oleh mereka merupakan informasi primer yang berasal langsung dari orang pertama.

3. Pemerintah harus mengadakan sosialisasi terkait kurikulum 2013 langsung kepada guru tanpa melalui serangkaian birokrasi yang cukup panjang sehingga informasi yang didapatkan oleh guru bisa utuh dan menyeluruh. Pengadaan sosialisasi tersebut bisa diatur sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi digital seperti teleconference, atau fitur-fitur lainnya.

4. Kekurangan guru-guru SDN 1 Pejagoan terletak pada kompetensi pedagogik dan profesional, sehingga diperlukan penekanan yang cukup banyak dalam dua hal tersebut melalui pelatihan.

5. Kelebihan guru-guru SDN 1 Pejagoan terletak pada kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Hal ini perlu diadakan pengayaan dan pengembangan berkelanjutan dari pihak sekolah.

6. Guru harus dilatih bagaimana cara menerapkan taksonomi Bloom kepada

257Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

siswa, bagaimana merencanakan pembelajaran terpadu dengan memadukan sejumlah KD dari setiap mata pelajaran, bagaimana pendekatan saintifik, model pembelajaran berbasis masalah, inkuiri dan discovery, dan juga pembelajaran berbasis projek, semuanya harus diketahui dan dipahami dengan matang oleh guru.

7. Secara konteks dan input, implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan termasuk ke dalam kategori efektif. Akan tetapi secara proses implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan termasuk kategori belum efektif. Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakefektifan tersebut berasal dari kurangnya pemahaman guru terkait Kurikulum 2013.

8. Kebanyakan siswa tidak menguasai isi pembelajaran dengan menggunakan tematik terpadu. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada cara yang harus diperbaiki agar bisa mempermudah siswa dalam memahami isi pembelajaran yaitu dengan mengganti gaya konvensional guru dalam mengajar menjadi gaya mengajar guru yang lebih modern melalui penerapan berbagai model pembelajaran dan metodenya. Guru memerlukan penguatan dalam aspek penilaian kepada siswa dengan menggunakan Kurikulum 2013.

D. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi Kurikulum 2013 di SDN 1 Pejagoan Kebumen jika ditinjau dari CIPP tergolong kurang efektif. Adanya kondisi demikian, peneliti merekomendasikan beberapa hal. Pertama, untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen sebaiknya memfasilitasi pelatihan bagi guru-guru dengan lebih komprehensif, sehingga guru-guru dapat mengetahui konsep pelaksanaan Kurikulum 2013 dengan matang. Kedua, kepala sekolah harus terus melakukan koordinasi yan baik dengan guru, komite sekolah, masyarakat dan termasuk orangtua siswa, agar lebih bersinergi sehingga bisa saling bahu membahu dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Selain itu, kepala sekolah juga harus memfasilitasi guru terkait pendidikan dan pelatihan Kurikulum 2013 terutama dalam hal penyusunan RPP, pengintegrasian beberapa KD dalam satu tema pembelajaran, pengembangan kompetensi pedagogik, pengembangan kompetensi profesional, melakukan penilaian yang digunakan dalam Kurikulum 2013, melakukan model pembelajaran yang dianjurkan dalam Kurikulum 2013 (model pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis projek, inkuiri dan discovery). Terakhir, bagi peneliti yang akan melakukan penelitian serupa maka disarankan melakukan penelitian yang mendalam dengan menggunakan instrument penelitian yang lebih banyak, dan juga penekanan pada aspek dampak (outcome) dari implementasi Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar agar bisa menghasilkan penelitian yang lebih baik ke depannya.

258 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Alhamuddin. (2019). Politik Kebijakan Pengembangan Kurikulum di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group

Anggraeni, L., & Wicaksono, A. B. (2019). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 di Tingkat SLTA di Kabupaten Pringsewu Menggunakan Model CIPP. Proceeding of Biology Education, 3(1), 74-83.

Ardyan, E. W. (2015). Evaluasi Implementasi Kurikulum di SMK Negeri 2 Pengasih. Jurnal Pendidikan Teknik Mekatronika, 5(3).

Astuti, D. A., Haryanto, S., & Prihatni, Y. (2018). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013. Wiyata Dharma: Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 6(1), 7-14.

BM, S. (2014). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 pada Pembelajaran Biologisma Kabupaten Lamongan. BioEdu, 3(3).

Christiani, Y. (2018). Penerapan Model CIPP dalam Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan Ekonomi (JUPE), 6(1).

Dewi, N. L. K., Manuaba, I. B. S., Fo, M., & Made Putra, M. P. (2015). Studi Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Ditinjau dari Context, Input, Process, dan Product (CIPP) Pada Sekolah Dasar Negeri Di Wilayah Pinggiran Kabupaten Badung. Mimbar PGSD Undiksha, 3(1).

Emzir. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Depok: Rajagrafindo Persada

Fuadi, A. S., & Anas, M. (2019, November). Implementasi Model CIPP dalam Evaluasi Kurikulum 2013 Pendidikan Ekonomi. In Prosiding SEMDIKJAR (Seminar Nasional Pendidikan dan Pembelajaran) (Vol. 3, pp. 316-324).

Hasan. (2014). Evaluasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya

Lismawati, L. (2016). Evaluasi Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2013 Pada Pelajaran Al-Islam Di SD Muhammadiyah 5 Jakarta. Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 53-66.

Majid (2014). Pembelajaran Tematik Terpadu. Bandung: Remaja Rosdakarya

Manik, L. G. Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembentukan Karakter Siswa pada Mata Pelajaran Fisika Kelas XI IPA di MAS Pesantren Dairi.

Marsh & Willis. (2007). Curriculum Alternative Approaches Ongoing Issues. United States of America: Pearson Merill Prentice Hall

Matra, S. D., Sidqi, M. F., & Ulya, I. (2019). Evaluasi Pelaksanaan Kurikulum 2013 Tingkat Satuan Pendidikan Dasar/Sekolah Dasar Di Kota Pekalongan. Jurnal Litbang Kota Pekalongan, 7.

259Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Nurain, R. Y. (2018). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Model CIPP Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Di SDN Kandat 1 (Doctoral dissertation, IAIN Kediri).

Nurcahyani, F. (2013). Evaluasi Implementasi Kurikulum Di Sekolah Inklusi SDN Mriyunan Sidayu Gresik. Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan, 4(1).

Qondias, D., Kaka, P. W., & Nau, M. I. K. (2018). Studi Evaluasi Kurikulum 2013 Tingkat Sekolah Dasar di Wilayah Timur Indonesia. Jurnal Pendidikan Dasar Perkhasa: Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar, 4(1), 63-72.

Riptiani, M., Manuaba, Surya.& Putra. (2015). Studi Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 ditinjau dari CIPP pada Sekolah Dasar Negeri di Wilayah Pedesaan Kabupaten Badung. E-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha, 3(1), pp. (1-12)

Rusman. (2016). Pembelajaran Tematik Terpadu Teori, Praktik, dan Penilaian. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Sariastuti, N. G. A. K., Sedanayasa, G., & Suarjana, I. M. (2015). Studi Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Di SD Negeri 1 Baler Bale Agung Kecamatan Negara. MIMBAR PGSD Undiksha, 3(1).

Sriadnyani, N. M., Manuaba, I. B. S., Fo, M., & Made Putra, M. P. (2015). Studi evaluasi implementasi kurikulum 2013 ditinjau dari CIPP pada sekolah dasar negeri di wilayah perkotaan kabupaten badung. MIMBAR PGSD Undiksha, 3(1).

Stufflebeam, D. L., & Shinkfield, A. J. (2014). Evaluation, theori, models and application. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.

Sutomo, Joko (2019). Implementasi Kurikulum Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan Di SMA Kabupaten Boyolali (Studi Evaluasi Kualitas Pelaksanaan Kurikulum 2013). Masters thesis, Universitas Sebelas Maret

Timur, N. T. Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Di Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) DI.

Tyler, W. Ralph. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University of Chicago Press.

Ulfah, M. (2019). Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 Dalam Pembelajaran Matematika Permulaan Di TK Negeri Pembina Cirebon. AWLADY: Jurnal Pendidikan Anak, 5(2), 16-33.

Uran, L. L. (2018). Evaluasi Implementasi KTSP dan Kurikulum 2013 pada SMK Se-Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 22(1), 1-11.

260 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

THE IMPLEMENTATION 2013 OF CURRICULUM IN MADRASAH TSANAWIYAH

A Study on “Best Practices” Done by Madrasah Tsanawiyah Teachers in Planning, Implementing, and Evaluating the Curriculum

By1Rusman, 2Asari Djohar

1Chairman of the Graduate Study Program Development Curriculum Indonesia University of Education*.

2Curriculum Development Program, Indonesia University of EducationEmail: [email protected]; [email protected]

ABSTRACT

Applying a new curriculum, namely implementation of 2013 Curriculum at madrasah has been commenced in July 2014. The implementation of the curriculum is expected to give a push to an increasing quality of managing and processing educational efforts towards betterments at every unit of learning and education. Backgrounded by application of the curiculum, the present study is geard to reveal problematic aspects dealing with a query of “How do madrasah tsanawiyah teachers respond to implementation of 2013 curriculum in Bandung city viewed from the activity of planning, implementing, and evaluating the curriculum?” and “What best practices are applicably implementable in terms of planning, implementing, and evaluating the curriculum done by madrasah tsanawiyah teachers in Bandung city?” Results of the study indicate that school teachers’ response to the implementation of 2013 curriculum falls into the category of positive. As of the activity of planning, it falls into the category of very positive while the activities of planning and evaluating the curriculum, they fall into the category of positive. There exists several “best practices” worth applying in terms of planning, implementing and evaluating the 2013 curiculum by the madrasah tsanawiyah teachers in Bandung city. The best practices include activities of “reading Al-Quran, tahsin dan kitabah”, “workshop”, “HOTS Training” and “CTL training” through their implementation at MGMP or MGMPS.

Key words: 2013 Curriculum, Curriculum Best Practice Implementation, Teachers’ Responses,.

261Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

A. INTRODUCTION

The enactment of Keputusan Menteri Agama Repulik Indonesia Nomor 117 Tahun 2014 concerning the Implementation of 2013 Curriculum in Madrasas, as well as Keputusan Menteri Agama Nomor 184 Tahun 2019 concerning Guidelines for Implementing Curriculum in Madrasas are expected to encourage the improvement of the quality of education management in educational units which leads to efforts to improve the quality of education, especially through the implementation of the new curriculum, namely the implementation of the 2013 Curriculum in schools and madrasas which began in July 2013.

Ornstein & Hunkins (2009:250) echo the aforementioned idea that “successful curriculum implementation results from careful planning, which focuses on three factors: people, programs, and process”. They further elaborate that some schools have failed in implementing curriculum because of negtlecting the factor of people. Instead of focusing on the factor of people, the schools have devoted a lot of their time and budget on merely modifying the programs or on the process. On the other side, focusing on new programs give new ways to people to achieve new programs at schools. The process of organizing remains important for the reason that it motivates people to guide components needed to attain successful implementation.

Research relevant to the implementation of the 2013 curriculum, among others, was conducted by the junior high school directorate in 2013. In this study, the respondents were school principals, teachers, students, supervisors and school committees. With a score range of 1-4 the average score for school principals was 3.41; for teachers is 3.39; for students is 3.40; for supervisors 3.21 and for school committees it is 3.54. From these data, it shows that these respondents responded positively to the implementation of the 2013 curriculum because the average score was above 3.

The 2013 curriculum monitoring and evaluation report conducted by the junior high school directorate specifically on the implementation of training and preparation of lesson plans shows that training for teachers and school principals can help understand them about the 2013 curriculum. Meanwhile, the results of monitoring and evaluation also show that the lesson plans made by teachers do not reflect the scientific approach that is desired by the 2013 curriculum, as well as the aspect of assessment becomes a separate difficulty for participants in participating in the training. lack of books owned.

Another relevant study is what has been done by Rusilowati (2013) which states that teachers have difficulty in carrying out learning according to the 2013 curriculum, which is only 66%. Likewise for the teacher’s assessment,

262 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

the difficulty in understanding how to do the assessment was 87%, the difficulty in making observation instruments was 66% and in making other instruments 79%. A similar study conducted by Suroso and Mahmud (2014) stated that the idea is good, but in terms of implementation teachers experience difficulties. Along with the lack of facilities and infrastructure owned by schools, it is increasingly difficult to implement the 2013 curriculum. Darmaningtyas’ research strengthens previous researchers, that teachers have difficulty with integrated learning which was originally subject-based.

Likewise, the difficulty in conducting qualitative assessments, while the final assessment still uses the National Examination (UN). According to Nuh (in Rusman, 2018) before the DPR RI, is regarding the assessment of learning outcomes, so far the teacher has only provided a numerical assessment based on the results of student examinations, meanwhile in the 2013 curriculum teachers must also provide qualitative or qualitative assessments descriptive.

The results of preliminary studies conducted by researchers also show that conditions are not much different. There are still MTs that do not have a curriculum development team (TPK) and do not have a curriculum document. Not a few madrasah tsanawiyah claim to have curriculum documents only by adopting those compiled by madrasah and other parties. Curriculum devices that should create diversity, but lead to uniformity. The existence of a reality like this, of course, is caused by various factors, including the unpreparedness of the curriculum development team in schools, especially allegedly due to the insufficient competences of the school curriculum development team to develop the 2013 curriculum and other supporting tools.

Successful implementation of curriculum as coined by Ornstein & Hunkins (2009:250) is influenced by three facotrs, namely people, programs, and processes. As of the factor of people, in Indonesia, teachers are positioned as strategic point of departure in developing and implementing the curriculum at schools. Attainment of the goals as stated depends on the teachers’ performances including their professional competencies, motivation, abilities, dedication, being determined in terms of self confidence, number of experiences, academic qualifications, active participation in professional education or training programs, and the period of time for teaching practices. Other than the teacher factor, curriculum implementation has something to do, to some extent, with the factor of programs which, in this study, is assumed as curriculum document prepared by the curriculum developers team. The quality of well-structured curriculum document should bring with it a refference for the excecutives (the teachers in this sense) to implement the curriculum readily well.

In reference to the aforementioned explanation, the query of the present study is put forward as follows: How do senior high schoolteachers respond to

263Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

the 2013 curriculum implementation in Bandung city in the light of planning, implementing, and evaluating the curriculum?, and What “Best Practices” would be worth adopting from the teachers in Bandung city in terms of implementing the 2013 curriculum implementation in its plan, implementation, and evaluation?

Based on the queries as formulated, the present study has its aim of gaining the picture of 2013 curriculum implementation, especially the one which has some crucial things to do with the “best practices” worth adopting in terms of planning, implementing, and evaluating how the curriculum works under the management of senior high schoolteachers in Bandung city. The present study also aims at providing practical uses and benefit besides serving as a direction to teachers and the school willing to implement the 2013 curriculum.

B. RESEARCH METHODS

Upon consulting Oxford Advance Learner Dictionary, it is found that the word “implementation” means “an action of putting something into effect”. In relation to the meaning of implementation in the field of curriculum, Miller & Seller (1985) define the word implementation with three approaches, namely: a) implementation is defined as an activity; b) implementation means an effort made to enhance the process of interaction between the teacher developers and the teachers themselves; and c) implementation is an entity separated from curriculum components. Saylor and Alexander in Miller and Seller (1985:246) echoes the idea that curriculum implementation as a process of applying the curriculum planning (program) in the form of learning activity involves a student-teacher interaction in the context of school environments. So do Fullan & Pomfret in Marsh (2004:65) emphasizing that the term “implementation” refers to “actual use” of curriculum/syllabus or anything in practices. Hasan (2007:11) echoes what Fullan and Pomfret put forward that curriculum implementation is “efforts made to realize ideas, concepts, and values in the written form into reality”.

Marsh (2004:65-75) further explains that curriculum is a plan in the first place. Curriculum turns into a reality only when teachers implement it to students and the class in a real world. Planning and developing thoroughly put into actions is indeed very important. Nevertheless, those actions would be meaningless if the teachers are not aware of producing outputs and not skilled enough to implement the curriculum in their classes. As Fullan and Scott in Marsh (1999) point out, a set of curriculum, however close-to-perfect it is planned, must be implemented if it is to bring outcomes to the benefit of learners. There are thousands of curriculum documents held in stacks and have

264 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

never been implemented in a smart way. The importance of curriculum, as a matter of fact, does not automatically bring with it an understanding of what is demanded from a set of curriculum and what problems it may raise.

Pinar and Irwin (2005:118-120) say that curriculum implementation can be understood from two matters namely curriculum implementation as instrumental action and as situational praxis. Firstly, curriculum implementation as instrumental action. Program implementation can be found in producer-consumer paradigm. In other words, this paradigm views the implementation in one-way angle in which a specialist produces something for an ordinary person as his consumer. A curriculum specialist produces a program (of curriculum) for a consumer represented by teachers and students. The act of implementing the curriculum in this paradigm raises a basic problem related to how communication takes place effectively with those who are not well-involved in terms of stating objectives, planning human resource, teaching-learning strategy, and planning an evaluation. Therefore, a matter of implementation has often been viewed in terms of effectiveness in communication. In this perspective, a competent teacher implementing curriculum should be the one who has skills and techniques oriented to an efficient control. A concept of “know how to do” in this implementation sticks together in the framework of scientific and technological thought and action lessening human’s competency towards instrumental reason and instrumental action. Right here, teachers are categorized rule-oriented ones. Secondly, curriculum implementation as situational praxis. Other view of implementation is based on experiences in a class situation, and this proves to be the world of teachers’ experiences with their students. If interpreting the curriculum implementation as praxis should take place, the differing assumption underlying the implementation as instrumental would be as follows.

Assumption 1: basic human vocation. In this view, a teacher being asked to implement X curriculum should not be regarded being as thing but being as human who has an interest to become something in accordance with what he and other people expect to see while an instrumental view of the implementation technique the teacher, thus in this case subjectivity being hidden.

Assumption 2: a human having an ability to change the reality (in this case, changing himself and the X curriculum). In this view, a teacher is regarded as a person who acts and also a person who creates his own reality. Therefore, he interprets according to his school of thought about X curriculum and situationally involved in this change.

Assumption 3: education is never neutral. In this view, curriculum implementation is a political action. In the context of social relationship, an activity of implementation is a matter of power and control.

265Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The present study is conducted in Bandung city with 21 madrasah tsanawiyah teachers being the target. The madrasah tsanawiyah selected as a model or piloting project of the 2013 curriculum implementation is 4 in number. The method used is a survey with questionnaire as instrument and a list of form to be filled with an experience. Data analysis is done using percentage-descriptive and qualitative-descriptive statistics.

C. FINDINGS AND DISCUSSION

There are 2 findings resulting from the present study namely teachers’ response to 2013 curriculum implementation, and “best practices” of 2013 curriculum implementation.

1. Teachers’ Response

The response of madrasah tsanawiyah teachers to 2013 curriculum implementation in Bandung city on the three activities (planning, implementing, and evaluating) falls into the category of positive. The response is illustrated below.

Illustration 1. Teachers’ Response to 2013 Curriculum Implementation

266 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The illustration above indicates that teachers’ response to 2013 curriculum implementation is positive. Still, there are teachers who have not implemented 2013 curriculum on the three activities as much as 3,65% although all respondents of the study are teachers who have participated in 2013 curriculum training. It means that a number of senior high schoolteachers have not yet grasped the 2013 curriculum and therefore have not yet got the ability of implementing the curriculum. To cope with, headmaster or otherwise other person in charge at educational local offices involved should take necessary steps to socialize and srengthen the 2013 curriculum implementation at the learning processes in schools.

Table 1 shows that 4,45% of the teachers have negative response to the implementation of learning and that 4,29% of the teachers have negative response the evaluation of learning. It explains to a certain extent that the implementation of leraning based on 2013 curriculum emphasizes on thematic and scientific approaches, and the evaluation of learning based on the 2013 curriculum emphasizes on authentic approach. These two kinds of approaches sound a bit new to the teachers giving negative responses possibly due to their less comprehensive understanding on the matter, while, as indicated, as of planning for learning based on 2013 curriculum, quite positive responses are gained. Part of the reason is that in general teachers see no significant difference between the new curriculum of 2013 and the previous one.

Table 1Teachers’ Responses to the Planning, Implementing, and Evaluating

2013 Curriculum Implementation

No Pernyataan Never Rarely Often Always Total

A. Learning Plan 2,22% 24,76% 45,08% 27,94% 100%

B. Implementation of Learning 4,45% 28,57% 54,60% 12,38% 100%

C. Assessment of Learning 4,29% 29,52% 59,05% 7,14% 100%

Average 3,65% 27,62% 52,91% 15,82% 100%

2. Best Practices

Information given by teachers using format to be filled about the “best practices” in the activities on implementing 2013 curriculum is as follows.

a. “Best Practices” in the activity of planning the learning activity.

In the activity of planning the learning process, teachers are obliged to make an RPP. To make it easy in doing the activity of developing the

267Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

RPP, Madrasah Tsanawiyah teachers in the City/District of Bandung, do it colaboratively in MGMP or MGMPS in one cluster. RPP is made by referring to the teacher’s book and student’s book prepared by the Government, with some developing using additional materials and methods. MGMP activities are held once a week and there discussed issues of things like: 1. reading the syllabus to be applied in the RPP; 2. RPP is made a day before the implementation of learning activities; 3. tools/materials/media to be provided is prepared accordingly with the condition of the school/madrasah environments; 4. analyzing teacher’s book and student’s book to schedule the implementation of learning, just in case that there is something needs revising.

In some madrasah in the city/district of Bandung, say for example MTs Nurul Huda early every academic year, teachers hold an in-house training where competent resource persons are invited to deliver speeches on 2013 Curriculum. In this event, parents of the students are asked to participate in socializing the curriculum and made willing to understand and collaborate as well in implementing the 2013 Curriculum. On Thursdays, a MGMP activity is held and all teachers, and subjects disciplines teachers are asked to involve in discussing every part of the whole set of the 2013 curriculum. Among the parts include preparing the PTS pre-designed problems and the problems themselves, and an evaluation of 2013 Curriculum. Other than that, meetings on MGMP activities inter clusters and inter municipalities are held to discuss potential problems and constraints along the way of implementing the 2013 Curriculum. Right in the very school, headmasters urge every subjects teacher to submit the RPP they have prepared in a week on Mondays.

To make it easier to monitor the attainment of KI.1 and KI.2, madrasah in the City/District of Bandung are readily available with facilities of using a folder consisting of stampede or good point in the forms of stickers of “star” awarded once any students are successful in showing an indicator of skill in assessing attitude well. Teachers use this strategy to monitor student’s attitude every single day based on the indicator formulated every end of the week. The folder is given to students to bring home to be cross-checked by their parents so that communication between parents and teachers in terms of their children’s development.

Other activities possibly worth doing by Madrasah Tsanawiyah teachers in the city/district of Bandung in implementing the 2013 curriculum may include the followings: 1. Holding various discussions

268 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

before and after class sessions on findings and constraints found during the teaching-learning process; 2. Doing observation by peer teachers; 3. Adding to the existing materials relevant resources from the Internet or other banks of information like newspapers or magazines.

b. “Best Practices” in the activity of learning implementation

There are several “best practices” done by Madrasah Tsanawiyah teachers in the City/District of Bandung in implementing learning activities. Among the activities are the availability of rooms for students to ask, reason, try to make use of real medium of instruction (local environments), varied methods of teaching, and class arrangements. Grouping takes place by taking turns every week with the care of students’ level of intellectuality. First thing of all before learning starts, reading short verses of Al-quran and daily prayers is said. Values on characters are inserted well before learning takes place. Forms of activities may include singing a song, inspiring words coming from teachers or students motivating students to behave positively and trigger spirit of learning.

In terms of the implementation of all learning activities have been well scheduled, such as scheduling and arranging activities according to the regulated educational calendar. The use of contextual and varied learning methods according to the objectives and material given. Applying innovative learning models such as inquiry & discovery models. Develop children’s learning experiences that are very meaningful for their daily lives, carry out contextual learning training, and students are more directed to religious activities, including praying duha, reading the Al-Quran, Tahsin and the Kitabah.

c. “Best Practices” in the activity of evaluating learning.

As of the activity of evaluating the learning process, madrasah tsanawiyah teachers in Bandung City/Regency have implemented learning assessments according to the 2013 curriculum, namely authentic assessment (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016). Schools also conduct assessments through supervision of how teachers carry out assessments in learning.

Another Best Practice in learning assessment at MTs, where the teacher provides an assessment according to the results of student work. If students have not been able to do (not yet complete minimum learning completeness (KBM)), the teacher must provide remedials until the student is complete and reaches the predetermined KBM. In

269Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

MTs, the assessment is according to the objectives of the achievement of student competencies that were planned in advance. Assessment is also carried out in accordance with the learning objectives, minimum achievement indicators, lest the assessment carried out does not achieve the desired competence in the learning objectives. A good assessment is assessing the overall ability/competence of students, both affective, cognitive, or psychomotor aspects. so that no student is stupid or less, there is an aspect where the potential of the student can be optimized. The assessment is carried out in a comprehensive manner, which includes all aspects of the child, such as: character, attitude, morals, courtesy, knowledge, skills and so on.

Assessment is carried out based on competence in the 2013 curriculum requirements. Before carrying out assessment activities, training / workshops on HOTS (High Other Thinking Skills) are usually carried out first to determine the grading grid with teachers then deliberate with the school’s Subject Teacher Conference (MGMP)/madrasah. Assessment is carried out based on the character of students, the assessment can be carried out through direct test techniques and indirect tests on students. In addition to the final assessment of learning outcomes, an assessment of the student learning process is also carried out and an assessment of student performance assessments on the psychomotor aspect. The teacher’s assessment is taken into consideration in determining success and used as material for revisions for future learning activities/or in subsequent learning activities.

D. RECOMMENDATION AND CONCLUSION

Based on the findings and the data analysis, conclusion can be drawn as follows:

1. The response of Madrasah Tsanawiyah teachers to the implementation of the 2013 curriculum in Bandung City/Regency is included in the positive category. The planning, implementation, and evaluation of the curriculum were included in the positive category.

2. A number of “best practices” are worth adopting from madrasah tsanawiyah teacher in Bandung City/Regency in terms of 2013 curriculum implementation in the activities of planning to implement curriculum. among others, that MTs teachers in Bandung City/District collaboratively develop lesson plans in each MGMP or MGMPS through “workshops” and “in house training” by inviting national instructors and/or resource persons for the 2013 Curriculum; develop alternative activities outside those that

270 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

have been declared in the RPP; and holding “CTL and HOTS training” to strengthen the preparation of MTs teachers’ lesson plans.

3. Several other “best practices” worth adopting from Madrasah Tsanawiyah teachers in Bandung City/Regency include the implementation of curriculum. MTs teachers in the City/Regency of Bandung have optimized existing learning resources in the learning process simultaneously by optimizing the use of instructional media. In terms of implementing learning activities have been well scheduled such as scheduling and arranging activities according to the regulated educational calendar. Carry out learning activities in accordance with measurable goals/competencies in accordance with predetermined assessment criteria. The implementation of learning is continuously updated, in accordance with the development of science and technology. Delivery of material regularly/systematically according to what has been designed in the lesson plan. The use of contextual and varied learning methods according to the objectives and material given. Applying innovative learning models such as inquiry & discovery models. Develop children’s learning experiences that are very meaningful for their daily lives, and carry out contextual learning (CTL)

4. Other “best practices” are also good to adopt, namely evaluating the curriculum. In learning assessment activities, MTs teachers in the City/Regency of Bandung, have implemented learning assessments in accordance with the 2013 curriculum, namely authentic assessments in accordance with Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 concerning Education Assessment Standards. MTs also conducts assessments through supervision of how teachers carry out assessments in learning. Prior to conducting assessment activities, training/workshops on HOTS (High Other Thinking Skills) are usually carried out to determine the assessment grid with the teachers and then discuss it with the school/madrasah Subject Teacher Conference (MGMP).

Suggestions based on the results of the present study are as follows:

There are three major activities teachers do in implementing the curriculum, namely planning, implementing, and evaluating. Competencies in doing the three activities are of an obligatory requirement to a teacher.

Enhancement of the three major competencies can be done through various ways. “Best Practices” as demonstrated by madrasah tsanawiyah teachers in Bandung City/Regency are good examples and worth adopting. They include activities of “sharing”, workshop HOTS”, and CTL Training” done in MGMP or MGMPS. These activities prove to be useful in helping teachers

271Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

to increase teacher’s competencies. Therefore, teachers are recommended to actively participate in those activities, either individually or in groups. Quality competencies are expected to trigger enhancement of image to attain teacher values running like “teacher as professional profession bearer”.

LIST OF REFERENCES

Direktorat SMP Kemdikbud RI (2013). Monitoring dan Evaluasi Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta.

Hasan, S. Hamid. 2007. “Pengembangan Kurikulum Sekolah” dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana.

Keputusan Menteri Agama Nomor 117 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah.

Keputusan Menteri Agama Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah.

Marsh, C. J. 2004. Key Concepts for Understanding Curriculum, 3rd edition. Oxon: RoutledgeFalmer.

Miller, J.P & Seller Wayne. 1985, Curriculum; Perspective and Practice. London: Longman.

Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. 2009. Curriculum, Foundations, Principles, and Issues. Fifth Ed. Singapore: Pearson

Pinar, W.F., & Irwin, R.L. (eds). 2005. Curriculum in a New Key: The Collected Works of Ted T. Aoki. NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan Jakarta. Kemendikbud.

Rusman (2018). Naskah Akademik Kurikulum Masa Depan. Jakarta. Kemdikbud.

Rusilowati, A. 2013. Analisis buku ajar IPA yang digunakan di Semarang Berdasarkan Muatan Literasi Sains. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis Ke- 49 Universitas Negeri Semarang. Semarang,22 Maret 2014

Suroso & Mahmudi, M. H . (2014). Efikasi diri, Dukungan Sosial, dan Penyesuaian Diri dalam Belajar. Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 3, No. 02, hal 183 -194

272 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Manajemen Kurikulum Pada Lembaga Non Formal Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA)

Sri mariam1, Rusman2

Program Studi Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia*

[email protected]

Abstrak

One of the non-formal Islamic education institutions that is developing and running under the auspices of the Ministry of Religion is Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA). One of the factors for the growth and development of madrasah diniyah is the anxiety of parents in learning Islam in public schools, which are inadequate. Therefore, it is necessary to have an ideal madrasah diniyah education, namely madrasah that has national education standards, meets graduate competency standards, meets education standards and management personnel with MBM (Madrasah Based Management), and meets educational assessment standards. The purpose of this study is to analyze how curriculum management is managed by Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah. The method used is descriptive qualitative method with data collection techniques, namely interviews, observation and literature study. The results obtained from the research are 1) curriculum planning contains objectives and determining activities. 2) there is a clear curriculum organization. 3) structured learning implementation. 4) routine evaluation is carried out. Supporting factors for the curriculum management process are adequate human resources, facilities and infrastructure. While the inhibiting factor for curriculum management is that the teaching staff is not focused on madrasah curriculum management. The conclusion that can be drawn from this research is that curriculum management at MDTA has been implemented in accordance with the Ministry of Religion policy. What needs to be done is special teacher training on MDTA curriculum management.

Keywords : Curriculum Management, Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah, Non Formal Institutions

A. Pendahuluan

Manajemen merupakan suatu ilmu/seni yang berisi aktivitas perencaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengendalian (controlling) dalam menyelesaikan segala urusan dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada melalui orang lain agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Lazwardi, 2017). Manajemen kurikulum berkenaan dengan bagaimana kurikulum dirancang, diimplementasikan

273Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(dilaksanakan) dan dikendalikan (dievaluasi dan disempurnakan) oleh siapa, kapan dan dalam lingkup mana. Manajemen kurikulum juga berkaitan dengan kabijakan siapa yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam merancang, melaksanakan dan mengendalikan kurikulum (Syafaruddin & Amiruddin, 2017). Perencanaan adalah proses penyusunan, penetapan dan pemanfaatan sumber-sumber daya secara terpadu dan rasional agar kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pengorganisasian adalah membangun struktur dengan bagian-bagiannya secara terintegrasi, baik secara vertikal maupun horizontal dan membagi habis tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing bagian sehingga struktur tersebut dapat berfungsi dengan baik dan pada tujuan dapat tercapai. Penggerakan adalah memotivasi dan merangsang anggota kelompok untuk melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggungjawab sesuai dengan tujuann organisasi. pengawasan adalah tindakan untuk menuntun dan mendeteksi pelaksnaan suatu kegiatan agar tidak menyimpang dari perencanaan (Arifin, 2017).

Menurut Sudjana pendidikan non formal merupakan salah satu dari sekian banyak istilah yang muncul dalam studi kependidikan pada akhir tahun tujuh puluhan. Istilah-istilah pendidikan yang berkembang di tingkat internasional mula saat itu adalah : pendidikan sepanjang hayat (life long education), pendidikan pembaharuan (recurrent education), pendidikan abadi (permanent education), pendidikan informal (informal education), pendidikan masyarakat (community education), pendidikan perluasan (extention education), pendidikan massa (mass education), pendidikan sosial (social education), pendidikan orang dewasa (adult education) dan pendidikan berkelanjutan (continuing education) (Sulfemi, 2018). .

Dalam penyelenggaraan nya, pendidikan non formal tercantum dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non formal yang merupakan pendidikan dalam masyarakat atau organisasi yang memiliki berbagai macam jalur seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) seperti Majelis Ta’lim, kelompok bermain dan lain lain, Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) dan lembaga PNF sejenis.

Salah satu lembaga pendidikan non formal yang ada di masyarakat yaitu Madrasah Diniyah Takmiliyah. Madrasah Diniyah menurut (Priatna , 2020) “MD is an educational institution that provides classical to provide additional

274 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

knowledge of islamic religion to students who feel they are not receiving Islamic aducation at their school”. Kebijakan mengenai Madrasah Diniyah di perjelas melalui Peraturan menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Agama Islam. dalam ketentuan umum pasal 1 pada Peraturan Menteri Agama ini yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan perasanan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran Islam. pendidikan Diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggrakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan diniyah non formal adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan dalam bentuk : Madrasah diniyah Takmiliyah, pendidikan al-Qur’an, Majelis Ta’lim atau bentuk lain yang sejenis di dalam maupun di luar pesantren pada jalur pendidikan nonfromal .

Tujuan pendidikan diniyah non-formal MDT sesuai dengan PMA nomor 13 tahun 2014 tentan Pendidikan Agama Islam yaitu : menanamkan kepada peserta didik untuk memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt., mengembangkan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta diidk untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafawwin fiddin) dan/atau menjadi muslim yang dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupannya sehari-hari, mengembangkan pribadi akhlakul karimah bagi peserta didik yang memiliki kesalehan individual dan sosial dengan mejunjung tinggi jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), rendah hati (tawadhu), toleran (tasamuh), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), keteladanan (uswah), pola hidup sehat dan cinta tanah air.

Selain Undang-Undang yang telah disebutkan di atas, ada pula penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Husna & Ali, 2018) tentang Manajemen Kurikulum Majelis taklim Konversi Diniyah Al-ikhlas Kota Bandung bahwa manajemen kurikulum yang dilakukan berupa perencanaan diselaraskan dengan kebutuhan masyarkat dan disesuaikan dengan pemahaman yang ada dimasyarakat dengan bentuk kurikulum secara umum membagi materi mata pelajaran dari setiap tingkat kelas selama satu tahun, kemudian memusyawaarahkan dengan para mudaris untuk dikembangkan materi tersebut. Pada pelaksanaan kurikulum majelis ta’lim membuat agenda kegiatan belajar atau kalender akademik mengacu pada kalender nsional. Pada proses pengawasan melakukan ujian dalam setiap semester, pengawasan selama pembelajaran berlangsung. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh (Yustiani S, 2009) tentang Implementasi Manajemen kurikulum pada madrasah diniyah siroju tholibin Tamansari Pamekasan Madura hasil yang diperoleh terkait manajemen perencanaan kurikulum dilakukan dalam suatu musyawarah

275Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

bermana “forum silaturahmi” yang membahas tentang rencana penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, media belajar dan kegiatan ekstra kurikulum seperti bahasa Inggris, bahasa Arab dan sebagainya. Forum silaturahmi membahas pula tentang pengiriman tenaga guru, perekrutan tenaga guru untuk meningkatkan SDM, penyusunan program tahunan berbentuk Hudud Kitab atau batas kitab. Pengorganisasian dilakukan melalui musyawarah dalam membahas pembagian tugas dan wewenang. Pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal yakni kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir atau disebut dengan pre test, proses dan post test. Model pembelajaran yang diterapkan berbentuk klasikal bandongan, hafalan dan bahtsul masail. Pelaksanaan monitoring, supervisi dan evaluasi dilakukan rutin oleh guru dan kepala diniyah pada akhir semester.

Berdasarkan hasil observasi peneliti ditemukan permasalahan yang muncul seiring berjalannya lembaga pendidikan non formal Madrasah Diniyah Takmiliyah ini. Diantaranya adalah Madrasah Diniyah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang kurang menjanjikan sehingga keberadaannya tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah maupun masyarakat (Salahuddin, 2012). Padahal jika di kembangkan pendidikan madrasah diniyah akan berpengaruh besar terhadap peningkatkan pengetahuan agama Islam. selain itu tidak sedikit siswa yang kurang tertarik dengan madrasah diniyah karena melihat tenaga pendidik yang mengajar sedikit. Masalah lain yang muncul adalah madrasah diniyah dikenal dengan pembelajaranya yang berlandaskan kepada bahasa arab dan kitab kuning (Adib, 2019), oleh karena itu orang tua menganggap bahwa pembelajaran yang akan di peroleh putra putrinya akan sulit. Selain masalah tersebut menurut (Fauzi, 2016) pertumbuhan dan perkembangan madrasah diniyah dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian orang tua siswa karena merasakan pendidikan agama di sekolah umum kurang memadai dalam mengantarkan anaknya untuk dapat melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan yang diharapkan.

Oleh karena itu diperlukan madrasah diniyah yang ideal yang dapat diterima, yaitu madrasah yang memenuhi standar nasional pendidikan dengan memenuhi standar isi, menyelenggarakan proses pembelajaran dengan tepat, memenuhi standar kompetensi lulusan, memenuhi standar pendidikan dan tenaga pengelolaan dengan MBM (Manajemen Berbasis Madrasah) , memenuhi standar pembiayaan dan memenuhi standar penilaian pendidikan (Djahid, 2016)

Berdasarkan latar belakang dan rumusan konsep di atas peneliti merumuskan rumusan masalah yang harus di pecahkan yaitu bagaimana manajemen kurikulum yang dilaksanakan di lembaga nonformal madrasah diniyah takmiliyah. Dengan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis manajemen kurikulum yang dikelola madrasah diniyah takmiliyah.

276 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut (Sukmadinata, 2012) memiliki beberapa tujuan utama yaitu untuk menggambarkan dan mengungkapkan ( to describe and explore ) serta untuk menggambarkan dan menjelaskan ( to describe and explain ).

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yang berarti dalam penelitian ini bermaksud untuk membuat deskripsi yang luas sehingga membantu pembaca memiliki pengetahuan yang luas dan kompleks. Metode deskripif menurut (Ali, 2014) bahwa metode penelitian deskriptif berupaya untuk memecahkan serta menjawab suatu masalah yang dihadapi dalam suatu situasi. Oleh karena itu dengan menggunakan metode penelitian deskriptif pada penelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah yang terjadi dalam situasi manajemen kurikulum.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan merupakan wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Studi kepustakaan diperlukan, mengingat penelitian adalah sebuah konsep yang membutuhkan sumber dan literatur yang harus dikaji. Studi kepustakaan dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis tentang masalah yang diteliti, yang menyelidiki bahan tulis dan literatur lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di teliti (Sukmadinata, 2012). Maka dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara kepada guru, ketua Diniyah, observasi , dan mencari studi literatur berkaitan dengan manajemen kurikulum, lembaga non formal madrasah diniyah takmiliyah Anwarussalam Bandung.

Jenis dan sumber data berasal dari hasil wawancara dan observasi serta buku literature dan jurnal terkait secara induktif. Analisis secara induktif ini digunakan untuk menemukan kenyataan-kenyataan jamak sebagai yang terdapat dalam data dan lebih dapat membuat hubungan peneliti dan responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen kurikulum lembaga non formal madrasah diniyah takmiliyah dihubungkan dengan manajemen kurikulum dan studi literatur yang sesuai sehingga terlihat pelaksanaan manajemen kurikulum yang baik dilaksanakan di lembaga non formal madrasah diniyah takmiliyah Anwarussalam Bandung.

Teknik analisis data yang dilakukan memuat empat langkah teknik analisis, yaitu pertama pengumpulan data melalui jurnal atau buku terkait. Kedua reduksi data merupakan kegiatan perangkuman, pemilihan pokok-pokok sesuai dengan kebutuhan penelitian. ketiga penyajian data secara singkat, padat dan jelas dengan maksud agar terlihat dengan jelas hasil interpretasi yang diharapkan untuk mempermudah dan memahami apa yang terjadi.

277Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Proses analisis berikutnya adalah penarikan kesimpulan dan peyakinan, hal ini dimaksudkan untuk mencari makna data yang dikumpulkan Kesimpulan dalam penelitian merupakan deskripsi atau gamabaran suatu pengertian yang utuh yang sebelumnya samar-samar atau memiliki gambaran yang abu-abu sehingga masih diragukan dalam penelitiannya (Sugiyono, 2015).

C. Hasil dan Pembahasan

Perencanaan kurikulum MDTA

Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai mana perubahan-perubahan telah terjadi pada diri siswa (Rusman, 2019). Manajemen perencanaan kurikulum, dalam arti kemampuan merencanakan dan mengorganisasikan kurikulum. Perencanaan kurikulum ini berfungsi sebagai pedoman atau alat manajemen yang berisi ptunjuk tentang jenis dan sumber individu yang diperlukan, media pembelajaran yang digunakan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga dan sarana yang diperlukan, sistem monitoring dan evaluasi, peran unsur-unsur ketenagaan untuk mencapai tujuan manajemen lembaga pendidikan (Khoerudin, 2013 ).

Tujuan kurikulum MDTA Anwarussalan lebih mengutamakan dasar-dasar membaca dan menghafal ayat-ayat al-qur’an atau surat-surat pendek, bahasa Arab dan praktek ibadah. Madrasah diniyah sebagai satuan pendidikan non formal bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai sosok muslim yang bertakwa dan beriman serta berakhlakul karimah, sehat jasmani dan rohani serta menjadi warga negara Indonesia yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri.

Perencanaan manajemen kurikulum di madrasah diniyah takmiliyah awaliyah abwarussalam Bandung dilakukan oleh kepala diniyah dan guru dengan kegiatan berupa musyawarah atau rapat yang membahas mengenai program tahunan dan program semester yang akan dilakukan selama proses belajar mengajar. Program tahunan dan program semester di susun berdasarkan kalender akademik. Adapun jadwal untuk kegiatan-kegiatan khusus madrasah disepakati bersama dengan guru dan orang tua peserta didik. Kepala diniyah dan tenaga pendidik lainnya menyusun media, sumber dan metode yang akan diberikan kepada peserta didik sebagai panduan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Kepala diniyah dan guru memeriksa kelengkapan administrasi dan sarana prasarana yang diperlukan untuk kebutuhan peserta didik dalam proses belajar.

278 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengorganisasian kurikulum MDTA

Manajemen organisasi kurikulum adalah struktur program kurikulum yang berupa kerangka umum program-program pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik Organisasi kurikulum juga merupakan pola atau desain bahan kurikulum yang tujuannya untuk mempermudah siswa dalam mempelajari bahan pelajaran serta mempermudah siswa dalam melakukan kegiatan belajar. Setelah menyusun perencanaan kurikulum MDTA Anwarussalam mengadakan pembagian tugas dan wewenang diantara pengelola kegiatan pendidikan tersebut. Kegiatan dilakukan oleh ketua Diniyah dan para guru.

Organisasi kurikulum yang ada di madrasah diniyah takmiliyah awaliyah anwarussalam Bandung menggunakan mata pelajaran terpisah (separated subject curriculum). Menurut (Sanjaya, 2008) organisasi kurikulum ini disusun dalam bentuk mata pelajaran terpisah-pisah. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas atau kebiasaan belajar mengajar, setiap guru hanya bertanggungjawab pada mata pelajaran yang diberikannya. Kalaupun mata pelajaran itu diberikan oleh guru yang sama, maka hal ini juga dilaksanakan secara terpisah-pisah. Dalam proses pembelajaran bentuk kurikulum ini cenderung kurang memerhatikan aktivitas siswa, karena yang dianggap penting adalah penyampaian sejumlah informasi sebagai bahan pelajaran dapat diterima dan dihafal oleh siswa. Selain dari itu, bahan pelajaran yang dipelajari siswa umumnya tidak aktual karena tidak sesuai dengan kebutuhan dari perkembangan masyarakat (Ruhimat & Alinawati, 2016).

Organisasi kurikulum tersebut dilakukan karena mata pelajaran memuat pendidikan agama Islam dimana pembelajaran yang diajarkan berupa Fiqih, Aqidah Akhlak, Qur’an Hadits, Tajwid, Bahasa Arab dan doa-doa harian. Maka guru yang mengajar masing-masing memegang satu mata pelajaran di dalam kelas.

Pelaksanaan kurikulum MDTA

Manajemen pelaksanaan kurikulum adalah usaha pelaksanaan kurikulum di sekolah yang direalisasikan dalam proses belajar mengajar. Pelaksanaan kurikulum dititik beratkan pada berbagai usaha yang perlu dikerjakan dalam rangka pembinaan situasi dna proses belajar mengajar di sekolah tersebut (Khoerudin, 2013 ). Menurut (Katuuk, 2014) ada beberapa faktor dalam implementasi kurikulum yang merupakan kondisi yang akan memengaruhi keberhasilan implementasi kurikulum yaitu : faktor perencanaan implementasi kurikulum, faktor kurikulum, faktor guru dalam implementasi kuriulum, faktor sarana dan prasarana dan faktor peran kepala sekolah.

Pelaksanaan pembelajaran di MDTA Anwarussalam Bandung menyusun

279Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

proses belajar mengajar dan kelander akademik disesuaikan dengan kalender nasional. Jadwal belajar mengajar dilakukan pada hari senin sampai jum’at. Pembelajaran dimulai pukul 13.00 sampai dengan 17.00. Pembelajaran dilakukan dengan waktu satu jam pelajaran, yang setiap jam pelajaran diberikan materi yang berbeda. MDTA Anwarusslam terbagi menjadi tigas kelas yaitu kelas I, II, dan III. Masing-masing kelas mendapatkan materi yang sama akan tetapi kedalaman materi disesuaikan dengan tingkatannya.

Misalnya pada kelas I hanya pada tahap belajar membaca al-qur’an belum sampai pada hukum tajwid, hafalan qur’an dari an-nas sampai ad-dhuha, untuk mata pelajaran fiqih membahas mengenai tata cara shalat wajib, wudhu dan lain sebagainya begitupun aqidah akhlak dan qur’an hadits. Pada kelas II tahap belajar al-qur’an sudah membaca surat yang panjang beserta hukum tajwid, hafalan qur’an melanjutkan hafalan di kelas I sampai an-naba, untuk mata pelajaran fiqih membahas tentang shalat sunnah, praktek rukun Islam dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kelas III tahapan belajar membaca al-qur’an peserta didik diajarkan untuk mempunyai khatam al-qur’an serta membacanya dengan hukum tajwid. Peserta didik diberikan hafalan hadits-hadits tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Metode yang diterapkan oleh guru berupa hafalan, ceramah, tanya jawab, dan game. Serta metode-metode yang dikembangkan oleh guru di kelas. media dan sumber belajar guru yang digunakan berupa buku madrasah diniyah takmiliyah awaliyah untuk kelas I, II dan III. Serta media dan sumber belajar yang lainnya yang sesuai.

Pengawasan/evaluasi MDTA

Menurut (Sukmadinata N. S., 2019) evaluasi meliputi rentangan yang cukup luas, mulai dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat formal. Pada tingkat yang sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-perubahan yang telah dicapai oleh program sekolah. pada tingkat yang lebih formal evaluasi kurikulum meliputi pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke arah tujuan yang telah ditentukan.

Evaluasi kurikulum ini bukan hanya mengevaluasi hasil belajar sisea dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain dan implementasi kurikulum, kemampuan dan unjuk kerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber belajar lainnya (Khoerudin, 2013 ).

Ketua diniyah dalam melaksanakan supervisi, beliau mengunjungi kelas-kelas secara bergilir. Ketua diniyah melakukan kunjungan kurang lebih satu bulan sekali pada masing-masing kelas. kunjungan dilakukan terutama

280 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menjelang atau menghadapi ulang semester dan ujian dengan mengadakan wawancara kepada guru tentang pencapaian belajar peserta didik. beliau mengamati cara mengajar kepada para siswa dalam menyampaikan materi di luar kelas seperti praktek shalat, wudhu dalam sebagainya.

Selain supervisi tersebut ketua diniyah memonitoring dan meevaluasi materi yang disampaikan guru kepada peserta didik. ketua diniyah menanyakan kepada guru berkenaan dengan materi yang harus disampaikan kepada siswa dalam waktu tertentu. Ketua diniyah memeriksa dengan menanyakan kepada siswa materi yang telah diberikan oleh guru. evaluasi terhadap kurikulum dilaksanakan dalam bentuk musyawarah yang diselenggarakan setiap tahun, yaitu pada saat akhir tahun pelajaran. Sedangkan untuk evaluasi pembelajaran peserta didik menggunakan penilaian yang mengacu pada tes, baik tes tertulis, lisan dan praktek yang dilaksanakan pada ujian akhir madrasah.

Faktor pendukung dan penghambat manajemen kurikulum MDTA

1. Faktor pendukung dalam proses pembelajaran

Pelaksanaan kurikulum di MDTA Anwarussalam berjalan sesuai perencanaan awal meskipun tidak 100%. Hal ini terlihat pada proses pembelajaran yang tidak mengalami gangguan dan berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan pembelajaran, materi atau bahan pelajaran dalam pembelajaran sesuai dengan perencanaan dan jadwal evaluasi yang rutin dilakukan berjalan dengan baik. ada tiga faktor yang menjadi pendukung proses pembelajaran yaitu, pertama fasilitas, seperti gedung, kelas, masjid, perpustakaan dengan buku yang mendukung pembelajaran dan perangkat lain telah tersedia sehingga para siswa tidak merasa kesulitan untuk mencarinya.

Kedua, sumber daya manusia, bahwa adanya komitmen dari guru untuk mengajar meskipun tidak mendapat insentif yang wajar, semangat para siswa untuk mengikuti proses belajar dan anggota masyarakat yang mendukung putra-putrinya masuk sekolah. ketiga, aspek kelembagaan, proses pembelajaran didukung oleh pihak diniyah dan pemerintah, departemen agama kabupatan maupun wilayah dengan membantu menambah bahan pembelajaran seperti buku dan lain sebagainya.

2. Faktor penghambat dalam proses pembelajaran

Faktor penghambat yang dihadapi dalam manajemen kurikulum MDTA adalah adanya konsentrasi pengurus atau pengelola madrasah yang memiliki pekerjaan lain di luar. Sehingga pengelolaan manajemen kurikulum harus di atur sedemikian rupa agar prosesnya dapat berjalan

281Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

terus menerus. Kendala lain adalah beberapa siswa yang kurang memahami materi pembelajaran bahasa Arab, sulit untuk membaca al-qur’an dan sebagainya. Selain itu faktor penghambat dari guru yaitu kurangnya pemahaman guru dalam manajemen kurikulum madrasah diniyah.

C. Kesimpulan dan Saran

kesimpulan

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen kurikulum yang dilaksanakan oleh MDTA Anwarussalam sudah cukup sesuai dengan manajemen kurikulum pada umumnya. Dari hasil yang didapatkan peneliti menggaris bawahi empat hal penting dalam penelitian ini yaitu : pertama, mengenai perencanaan yang rumuskan MDTA Anwarussalam yang menyusun tujuan pembelajaran yang harus di capai peserta didik sesuai dengan karakteristik MDTA yang di inginkan. Kedua, pengorganisasian kurikulum yang dilakukan terdapat pembagian organisasi kurikulum sehingga jelas bentuk pembelajaran, tugas dan wewenang yang dilaksanakan guru dalam proses belajar mengajar.

Ketiga, proses pelaksanaan yaitu dengan menggunakan metode pembelajaran yang berpariatif, waktu pembelajaran yang tidak terlalu lama dan materi yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan peserta didik, serta adanya praktek ibadah yang akan memberikan motivasi belajar meningkat dan tidak monoton. Keempat, tahapan supervisi dan monitoring yang dilakukan rutin setiap satu tahun sekali atau menjelang akhir semester oleh ketua diniyah serta guru-guru yang mengajar akan memberikan dampak positif bagi kemajuan MDTA.

Ada beberapa faktor pendukung dan peghambat pelaksanaan manajemen kurikulum di madrasah diniyah takmiliyah awaliyah anwarussalam Bandung yaitu : faktor pendukung proses manajemen kurikulum berupa kelengkapan sarana dan prasarana yang membantu kegiatan belajar mengajar siswa dan tenaga pendidik. Fasilitas sumber belajar yang mendukung seperti perpustakaan dan media belajar yang beragam. Faktor pendukung lainnya yaitu sumber daya manusia yang memadai, seperti guru dan pemerintah daerah yang turut membantu dalam pembangunan manajemen kurikulum di madrasah diniyah takmiliyah awaliyah anwarussalam Bandung. Sedangkan faktor penghambat proses manajemen kurikulum yaitu kurangnya pemahaman guru mengenai manajemen kurikulum madrasah diniyah. Faktor lain yaitu kesulitan siswa dalam memahami pembelajaran di kelas karena pembelajaran yang di dapat berbeda dengan pembelajaran di sekolah umum.

282 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Saran

Sehubungan dengan beberapa simpulan di atas, saran peneliti untuk Pemerintah Daerah pada pelaksanaannnya perlu sosialisasi program wajib belajar Madrasah Diniyah kepada guru-guru, siswa baru, staf tata usaha dan orang tua murid, agar anak-anak usia sekolah dasar memiliki bekal ilmu keagamaan yang memadai, mereka harus mengikuti program pendidikan madrasah diniyah. Kebijakan pendidikan Islam selama ini masih menjadi urusan pemerintah di bawah tanggung jawab Kementrian Agama. Oleh karena itu Kementrian Agama secara fungsional tetap harus bertanggung jawab terhadap keberadaan, pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam.

Daftar Pustaka

Adib, N. (2019). Kebijakan tentang Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam Non-Formal: Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) Tahun 2011-2015. Jurnal Ilmiah Sustainable, 23-45.

Ali, M. (2014). Memahami Riset Perilaku dan Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Arifin, Z. (2017). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya .

Bafadhol, I. (2017). Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam, 59-71.

Basid , A. (2015). Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah Dalam Perspektif Standar Pelayanan Minimal di Kabupaten Cirebon”,dalam Gagasan Stanadrisasi Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah Sebuah alternatif Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Jakarta : Kementrian Agama RI Baalai Penelitian dan Pengembangan Agama .

Djahid, M. (2016). Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah di Ponogoro. Jurnal Muaddib, 21-41.

Fauzi, A. (2016). Pelaksanaan Pendidikan Madrasah Diniyah di Kota Serang. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 157-178.

Fikri, L. N. (2017). Dinamika Peninjauan Kurikulum Madrasah Diniyah Tarbiyatul Athfal (MDTA) Gontor. Jurnal Muslim Heritage, 287-305.

Hakim, L. (2019). Quality Management Of Madrasah Diniyah Takmiliyah In The Era Of Regional Autonomy (Case Study In Tasikmalaya Regency). Jurnal Pendidikan Islam, 101-116.

283Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hamalik, O. (2012). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Helmawati. (2013). Pendidikan Nasional dan Optimalisasi Majelis Ta;lim : Peran aktif Majelis ta’lim Meningkatkan Mutu Pendidikan . Jakarta: Rineka Cipta.

Husna, A., & Ali, A. (2018). Manajemen Kurikulum Majelis Taklim Konversi Diniyah Al-Ikhlas Kota Bandung. Prosiding Pendidikan Agama Islam (pp. 244-250). Bandung: Universitas Islam Bandung.

Khoerudin, A. (2013 ). Manajemen Kurikulum dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal Manajemen Pendidikan, 54.

Lazwardi, D. (2017). Manajemen Kurikulum sebagai Pengembangan Tujuan Pendidikan. Jurnal Kependidikan Islam, 104.

Mulyana. (2015). Madrasah Diniyah Takmiliyah di Kota Bandung: Menuju Pencapaian Standar Pelayanan Minimun. Jurnal Penamas, 473-492.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2014 Pasal 1 tentang Pendidikan agama Islam . (n.d.).

Peraturan pemerintah Nomor 55 tahun 2007 pasal 9 butir 1 dan 2 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. (n.d.).

Priatna , T. (2020). Demography Of Madrasah Diniyah Takmiliyah And Revitalizing The Institutional Function Of Islamic Education. Journal Of Southwest Jiaotong University, 1-13.

Rosnita. (2018). Evaluasi Pembelajaran di Madrasah Diniyah Takmiliyah Alaiyah Al-washiliyah di Kabupaten Batu Bara. Jurnal Miqot, 459-470.

Rosyadi, R., Mujahidin, E., & Affandi Muchtar. (2013). Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah di Kabupaten Pandeglang. Jurnal Pendidikan Islam, 1-16.

Rusman. (2019). Manajemen Kurikulum. Depok: Rajawali Pers.

Salahuddin, M. (2012). Pengembangan Kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah . Jurnal Cendekia, 45-58.

Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) . Jakarta: Kencana.

Saragih, D. S., Mukti, A., & Zubaidah, S. (2019). Dinamika Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (Studi Kasus MDTA di Kecamatan Percut Sei Tuan). Jurnal Edu riligia, 17-28.

Sudjana, D. (2004). Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Nonformal. Bandung: Falah Production.

284 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, N. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N. S. (2019). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sulfemi, W. B. (2018). Modul Manajemen Pendidikan Nonformal. Bogor: STKIP Muhammadiyah.

Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor 2347 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Takmiliyah . (n.d.).

Susanti, S. (2014). Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Nonformal Dalam Pengembangan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jurnal Handayani, 10-18.

Syafaruddin, & Amiruddin. (2017). Manajemen Kurikulum. Medan: Perdana Publishing.

Tsuyana , E., Markhumah, U. F., & Fatmawati, E. Y. (2020). Implementasi Kurikulum Madrasah Diniyah di Asrama Putri IV Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 13-27.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (n.d.).

285Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

EDUPRENEUR DAN PROGRAM PUAS DALAM MENINGKATKAN MUTU LULUSAN SMA NEGERI 2 TANA TIDUNG

SY. Camelia FaridahSMA Negeri 2 Tana Tidung

[email protected]

Abstrak

This study aims to determine the readiness of SMA Negeri 2 Tana Tidung graduates in entrepreneurship and facing the world of work after receiving education / entrepreneurship education in schools and participating in the PUAS program in schools. The data were collected by means of interviews, participant observation and documents. The data analysis method in this study consisted of data reduction, data presentation, and conclusion drawing. Entrepreneurship education and entrepreneurship extracurricular activities are methods that prepare students to be ready to enter the world of work. The provision of entrepreneurship education aims to create competitive graduates and productive, adaptive and creative entrepreneurs. In addition, SMA Negeri 2 Tana Tidung also implements the PUAS program to support student entrepreneurship. The results of the analysis show that entrepreneurship education carried out in schools is considered sufficient to equip students after graduation. From the results of this analysis, it was suggested that additional marketing education be provided, so that students could market their business well in society. In addition, the role of the teacher also affects the independence of students, so that teachers must also encourage and motivate students to be independent and entrepreneurial.

Keywords: entrepreneurship, PUAS, SMA Negeri 2 Tana Tidung

A. Pendahuluan

Populasi penduduk di provinsi Kalimantan Utara saat ini mencapai 658. 535 jiwa, dengan rata-rata pertambahan penduduk di tahun 2019 sebanyak 3.538 jiwa. Peningktan populasi dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa saat ini persaingan dalam dunia kerja menjadi sangat ketat. Ketatnya pesaingan di dunia kerja ini menyebabkan angka pengangguran di Indoesia pada umumnya, dan di provinsi Kalimantan Utara semakin tinggi. Berdasarkan dari data yang ada, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kalimantan Utara pada Februari 2019 mencapai 5,80 persen atau sebanyak 20.681 orang, hal ini mengalami peningkatan dibanding TPT Februari 2018 yang sebesar 4.68 persen (16.272 orang) (BPS, 2019). Dari angka pengangguran yang ada, mayoritas

286 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengangguran adalah lulusan Sekolah Menengah Atas. Bertambahnya jumlah penduduk di provinsi Kalimantan Utara, sayangnya tidak diimbangi dengan naiknya kesejahteraan masyarakat atau angka kewirausahaan di masyarakat.

Dalam mengatasi angka pengangguran yang tinggi dan meningkatkan angka kewirausahaan, pendidikan di Indonesia juga ambil bagian baik melalui SMK (Sekolah Menengah Atas) maupun pada Sekolah Menengah Atas. Melalui pendidikan di SMK dan SMA para siswa dibekali dengan berbagai keterampilan sesuai dengan bidangnya. SMA Negeri 2 Tana Tidung pun memberikan pendidikan kewirausahaan yang sejalan dengan kompetensi yang ada. Pendidikan kewirausahaan ini bertujuan untuk melatih siswa-siswi SMA untuk memiliki jiwa wirausaha, sehingga nantinya mereka dapat membuat lapangan pekerjaan sendiri setelah lulus (Adi, 2011). Selain memberikan pendidikan kewirausahaan dan ekstrakurikuler kewirausahaan, ada beberapa program pengembangan wirausaha siswa yang juga diberikan di sekolah ini.

Namun faktanya, masih banyak lulusan SMA yang belum mampu membangun usaha sendiri dan masih banyak lulusan SMA yang menganggur. Berdasarkan survey yang telah dilakukan angka pengangguran di tingkat SMA diakibatkan karena belum adanya link and match antara pendidikan SMA dengan permintaan industri di sekitar masyarakat, khususnya di Kabupaten Tana Tidung, dan di provinsi Kalimantan Utara secara umum. Fakta empiris juga menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan SMA belum mampu memenuhi kebutuhan para pemangku kepentingan (Stakeholder) dan lulusan SMA cenderung menjadi para pencari kerja dan masih banyak yang belum mampu untuk berwirausaha untuk mengembangkan dan mengimplementasikan keahlian yang didapat di sekolah (Subijanto, 2012). Oleh karena itu, pendidikan kewirausahaan yang diberikan pada kurikulum di SMA dan pada kegiatan non akademik (ekstrakurikuler) dirasa penting untuk menciptakan lulusan SMA yang mampu berwirausaha dan berdaya saing. Dengan berwirausaha maka akan mengurangi jumlah angka pengangguran di Indonesia.

Untuk mengurangi angka pengangguran lulusan SMA, SMA Negeri 2 Tana Tidung telah melakukan kegiatan pembinaan kewirausahaan pada siswa-siswinya melalui program Pinjaman Usaha Andalan Siswa (PUAS) yang dilaksanakan sejak tahun 2019. Program ini adalah salah satu bagian atau dapat dikatakan sebagai produk dari program kewirausahaan yang telah dikembangkan di SMA Negeri 2 Tana Tidung. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan lulusan SMA Negeri 2 Tana Tidung untuk berwirausaha dan menghadapi dunia kerja setelah mendapatkan edupreneur/ pendidikan kewirausahaan di sekolah dan mengikuti program PUAS di sekolah.

287Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. Metode

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui dampak PUAS pada siswa SMA Negeri 2 Tana Tidung setelah mendapatkan program PUAS dan kesiapannya untuk berwirausaha serta menghadapi dunia kerja. Penentuan lokasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive area, yaitu SMA Negeri 2 Tana Tidung. Penentuan informan dalam penelitian ini diawali dengan penentuan informan utama yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan informan pendukung. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa metode wawancara, observasi peran serta, dan dokumen. Metode analisis data dalam penelitian ini terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Sugiyono, 2017).

C. Hasil dan pembahasan

1. Pendidikan KewirausahaanKewirausahaan secara etimologi, berasal dari kata “wira” yang

berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, teladan, berbudi luhur, gagah berani dan berwatak agung dan “usaha” yang berarti perbuatan amal, bekerja, berbuat sesuatu. Dengan demikian, wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu (Rusdiana, 2014). Berikut ada beberapa definisi tentang kewirausahaan dari para ahli diantaranya:● Ahmad Sanusi (1994) dalam Rusdiana menyatakan bahwa

kewirausahaan adalah nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil.

● Soeharto Prawiro (1997), dalam Rusdiana menyatakan kewirausahaan adalah nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha.

● Hisrich, Peters dan Sheperd (2008), dalam Rusdiana mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu danupaya yang diperlukan, menanggung resiko keuangan, fisik, serta resiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, Rusdiana menyimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan kemauan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai resiko dengan mengambil inisiatif untuk menciptakan dan melakukan hal-halbaru melalui pemanfaatan kombinasi berbagai sumber daya dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memperoleh keuntungan sebagai konsekuensinya.

288 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

● Menurut Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas dalam Suyitno (2013), pendidikan kewirausahaan di sekolah bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik) sebagai insan yang memiliki karakter, memahami dan berkarakter wirausaha. Pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik secara bersama-sama. Pendidikan kewirausahaan ini dapat diinternalisasikan dalam beberapa aspek, diantaranya Pendidikan kewirausahaan terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran, dimana penginternalisasian nilai-nilai kewiraushaan didalam mata pelajaran sehingga terbentuklah karakter wirausahawan dan pembiasaan kewirausahaan dalam tingkah laku para siswa sehari-hari melalui pembelajaran (Saroni, 2012). Pendidikan kewirausahaan dengan penanaman karakter kewirausahaan merupakan kompetensi yang wajib yang harusdimiliki para generasi bangsa untuk menjawab tantangan di masa depan (Suyitno, 2013).

2. Gambaran umum PUAS

PUAS merupakan kepanjangan dari Pinjaman Usaha Andalan Siswa. Program ini adalah salah satu bagian atau dapat dikatakan sebagai produk dari program kewirausahaan yang telah dikembangkan di SMA Negeri 2 Tana Tidung. Program Kewirausahaan SMA Negeri 2 Tana Tidung mulai dilaksanakan semenjak sekolah menerapkan kurikulum 2013 (K13) yakni tepatnya pada tahun 2017. Sedangkan untuk program PUAS itu sendiri baru dikembangkan pada akhir tahun 2019.

Dana PUAS yang dikelola oleh sekolah melalui penanggung jawab program kewirausahaan SMA Negeri 2 Tana Tidung diperoleh dari laba/keuntungan KUS (Kelompok Usaha Siswa) pada pameran/bazar/unjuk karya “Pengolahan Bahan Pangan Kuliner Khas Tana Lia Tahun 2019”. SMA Negeri 2 Tana Tidung merupakan salah satu dari tiga sekolah di Provinsi Kalimantan Utara yang lolos dalam seleksi program Kemendikbud yakni sebagai “Sekolah Penerima Bantuan Pemerintah SMA Program Kewirausahaan yang didanai oleh Direktorat Pembinaan SMA Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud tahun 2019”. Dimana untuk bisa mendapatkan program tersebut sekolah wajib membuat proposal dan melewati beberapa tahapan dan seleksi yang sangat ketat. Setelah terpilih sebagai Sekolah Penerima Bantuan Pemerintah SMA Program Kewirausahaan, sekolah pun wajib melaksanakan beberapa kegiatan pelatihan yang diikuti oleh siswa maupun guru guna mengasah pengetahuan dan skill untuk menunjang ketercapaian target yang diinginkan oleh Pemerintah.

289Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tahapan akhir dari berbagi kegiatan dan pelatihan yang dilakukan oleh sekolah adalah unjuk karya/bazar kewirausahaan, dimana siswa dapat memamerkan hasil produk olahan masing-masing KUS (Kelompok Usaha Siswa). Setiap KUS diberikan modal untuk membuat produk yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil keuntungan dari penjualan produk itulah yang dikelola sekolah melalui PJP (Penanggungjawab Program) Kewirausahaan SMA Negeri 2 Tana Tidung untuk dapat melakukan kegiatan dalam Program Kewirausahaan salah satunya adalah PUAS. Sejak program bantuan PUAS diluncurkan yakni pada bulan Desember 2019, banyak siswa yang antusias untuk mengikuti program ini dan memiliki keinginan yang kuat untuk bisa mendapatkan bantuan dana tersebut. Berikut disampikan data Kelompok Usaha Siswa (KUS) yang memanfaatkan dana PUAS SMA Negeri 2 Tana Tidung adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Data Kelompok Usaha Siswa (KUS) yang memanfaatkan dana PUAS SMA Negeri 2 Tana Tidung

Nama KUS Anggota Jumlah PUAS Jenis Usaha

KUS 1

Dini RahmadaniAstriyantiNovi Santika PSindi Agustiani

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 2

SentiaCahya SentiaLiza WatiElta Setianinda

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 3

Refina ApriliaSiti MaryamJihan FahiraMastika

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 4SafarudinDenaAndre Saputra

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 5Mayang SariLili PujiatiLastriyanti

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 6SeptiDiviCindy

Rp. 200.000,00 Kuliner

KUS 7 MastikaYanur Putri A. Rp. 200.000,00 Kuliner

290 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Adapun dokumentasi kegiatan PUAS di SMA Negeri 2 Tana Tidung disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Dokumentasi kegiatan PUAS (Pelatihan dan pameran hasil kewirausahaan)

Cara Mendapatkan Dana PUAS

PUAS merupakan bagian dari Program Kewirausahaan SMA Negeri 2 Tana Tidung, sehingga semua siswa dapat memanfaatkan dana PUAS dalam rangka untuk menyalurkan hobi, bakat, serta mengembangkan jiwa entrepreneur tentunya. Adapun cara untuk mendapatkan dana PUAS adalah:

291Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1. Siswa SMAN 2 Tana Tidung membentuk suatu kelompok yang dinamakan dengan Kelompok Usaha Siswa (KUS).

2. Dalam satu KUS teridiri dari beberapa orang siswa, dimana jumlah minimal anggota setiap KUS adalah 2 orang dan maksimal 4 orang.

3. Setiap KUS membuat proposal usaha yang akan dijalankan dan diajukan kepada PJP Kewirausahaan.

4. Setelah melewati proses penilaian dan pertimbangan oleh wali kelas, guru Mapel PKWU dan PJP Kewirausahaan, maka dana PUAS siap diberikan dan KUS dapat memulai usaha sesuai dengan proposal yang diajukan.

5. Dana PUAS yang diberikan kepada setiap KUS memiliki jumlah nominal yang sama yakni sebesar Rp200.000,00. Dengan nominal yang sama ini diharapkan masing-masing KUS dapat memanfaatkannya secara maksimal.

Cara KUS Menggunakan Dana PUAS

PJP Kewirausahaan memberikan fleksibilitas pada KUS untuk mengatur penggunaan dana PUAS sesuai dengan kebutuhannya namun tetap berpedoman pada proposal yang telah disetujui. Dana PUAS yang telah diterima oleh KUS dapat langsung digunakan untuk membeli segala keperluan.

Setiap KUS harus membuat buku kas umum yang mencatat secara rinci setiap pengeluaran dan pemasukan selama kegiatan berwirausaha berlangsung. Agar tidak terjadi kekeliruan/kesalahan dalam mengatur keuangan/modal maka PJP terus melakukan pemantauan dan bimbingan sampai kegiatan berakhir. Pemantauan dan bimbingan rutin dilakukan setiap minggu.

Adapun jangka waktu yang diberikan dalam memanfaatkan PUAS adalah selama 1 bulan. Dalam jangka waktu tersebut diharapkan KUS dapat memperoleh keuntungan melebihi dari modal yang diberikan.

Kerjasama yang solid dalam satu KUS sangat diperlukan dalam menghadapi segala tantangan dan kendala yang mungkin saja terjadi termasuk dalam melakukan promosi. Pada umumnya siswa menjajakan produknya dengan membuka stand jualan di pinggir jalan dan juga melakukan promosi melalui forum jual beli pada media sosial seperti facebook. Salah satu contoh forum tersebut adalah BIOTAL (Bisnis Online Tana Lia) dan forum jual beli tana Lia.

Kreativitas dan inovasi untuk menciptakan produk sangat ditekankan agar siswa terbiasa tampil beda dengan produk yang sudah ada.

Proses Pengembalian & Pembagian Hasil Dana PUAS

Setelah melalui beberapa tahap pemanfaatan dana PUAS oleh setiap KUS dan melakukan kegiatan berwirausaha maka tahap selanjutnya adalah proses pengembalian dan perhitungan bagi hasil yang harus disetorkan kepada pihak sekolah (KWU).

292 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jumlah dana yang harus dikembalikan adalah merupakan jumlah dana PUAS ditambah dengan besarnya dana bagi hasil yang telah ditentukan.

Menurut Karim, Bagi Hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali tersebut bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah.

Menurut Abdurrahman (2001) dalam Putri (2012), Bagi hasil adalah jumlah pendapatan yang diterima nasabah berdasarkan pemberian laba yang dihasilkan bank, bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan, jika tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian di tanggung oleh kedua belah pihak, yaitu bank dan nasabah.

Berdasarkan uraian di atas maka system bagi hasil yang diterapkan kepada pengguna dana PUAS sangat bermanfaat. Karena Kewirausahaan sekolah yang berperan sebagai investor tidak akan mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sampai modal yang diberikan Kembali 100%, jika modalnya sudah kembali barulah keuntungan itu dibagi. Maka dari itu pemantauan dan bimbingan terus dilakukan oleh pihak sekolah agar KUS tersebut tidak sampai mengalami kerugian.

Manfaat PUAS Bagi KUS

Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sejak bulan Maret 2020 memberikan dampak yang signifikan terhadap dunia pendidikan dan perekonomian terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, tidak terkecuali bagi siswa dan orang tua siswa di kecamatan Tana Lia.

Semua kegiatan pembelajaran dilakukan dengan metode daring dan luring yang mengakibatkan aktivitas siswa pun lebih banyak dilakukan di rumah. Sedangkan orang tua yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan juga mengalami penurunan pendapatannya. Dengan demikian pemberian dana PUAS ini sangat dirasakan manfaatnya bagi siswa yang tergabung dalam KUS. Adapun manfaat PUAS bagi KUS adalah sebagai berikut:

1. Melatih kerja sama siswa dalam membaca peluang bisnis/usaha di tengah kondisi perekonomian yang terus berubah dan tidak menentu.

2. Melatih keterampilan siswa untuk menciptakan ide bisnis yang kreatif dan inovatif di tengah semakin menjamurnya produk baru yang juga sangat menarik.

3. Melatih siswa untuk tetap percaya diri akan kemampuan/potensi yang dimiliki.

293Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Terbentuknya karakter siswa sebagai leader dan entrepreneur yang mampu bekerja dalam tim dengan baik.

5. Membantu siswa dalam menopang perekonomian keluarga dari laba yang dihasilkan.

Peranan PUAS dalam Mendukung Program Kewirausahaan di sekolah1. Turut serta membekali siswa tentang ilmu kewirausahaan sejak remaja2. Membantu meringankan modal siswa untuk berwirasuaha3. Membantu siswa dalam menciptakan lapangan pekerjaan secara mandiri

Daya Dukung

PUAS yang merupakan sebuah produk dari adanya program kewirausahaan yang telah berjalan selama ini, tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai aspek, baik dari Sumber Daya Manusia, modal, sarana dan prasarana, serta dukungan dari berbagai pihak dalam bentuk pelatihan Pendidikan kecakapan hidup.

1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu kegiatan dan organisasi (Arep dan Tanjung, 2003). SMA Negeri 2 Tana Tidung memiliki jumlah SDM yang cukup banyak dan kualitas yang cukup baik, yakni meliputi kepala sekolah, dewan guru, staff, dan siswanya. Dengan kualitas SDM yang baik tersebut penulis optimis bahwa semua program dan kegiatan yang dilakukan di sekolah dapat berjalan lancar.

2. Sumber Daya Modal (SD Modal)

Sumber daya modal juga memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu proses kegiatan, termasuk dalam program kewirausahaan ini. Modal adalah seluruh dana yang dikeluarkan dalam proses produksi untuk memperoleh penerimaan penjualan. Penelitian yang dilakukan oleh Hafidh (2009) dan Huazhang (2014) dalam Putra dan I Made (2019). membuktikan bahwa modal berpengaruh positif terhadap hasil produksi kewirausahaan. Dikarenakan PUAS merupakan program yang berhubungan langsung dengan proses menciptakan suatu produk dalam membaca peluang bisnis maka diperlukan sumber modal yang sangat baik. Modal awal yang diberikan kepada setiap KUS akan terus diputar dan dikembangkan agar kegiatan dapat terus berjalan.

3. Sarana dan Prasarana

Agar pelaksanaan dan pemanfaatan dana PUAS dapat berjalan sesuai yang diharapkan maka faktor lain yang diperlukan adalah sarana dan prasarana yang memadai. Untuk mengembangkan skill siswa dalam

294 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berwirausaha tidak boleh terpaku pada fasilitas yang telah disiapkan oleh sekolah saja namun siswa juga dapat terjun langsung ke masyarakat. Dengan adanya dukungan fasilitas yang diberikan sekolah dan lingkungan masyarakat diharapkan siswa dapat mengkombinasikannya dengan sangat baik, sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.

4. Dukungan dari Berbagai Pihak (Pelatihan Pendidikan Kecakapan Hidup)

Selain mendapatkan ilmu pengetahuan dalam berwirausaha dari guru di kelas khususnya pada mata pelajaran Prakarya & kewirausahaan dan Ekonomi, siswa juga dibekali dengan barbagai pelatihan yang berguna untuk memperdalam dan mengasah skill mereka. Adapun latar belakang para pelatih yang dihadirkan dalam pelaksanaan pelatihan adalah orang-orang yang sudah profesional di bidangnya. Dan dalam setiap pelatihan mereka juga dapat langsung mempraktekan pekerjaan di depan para peserta. Dengan adanya berbagai pelatihan yang diberikan maka siswa tidak hanya mendapat ilmu pengetahuan saja namun juga pengalaman yang akan menjadi bekal selepas mereka lulus dari satuan Pendidikan, bertanya langsung ke pemateri untuk mendapatkan tips/kiat dalam berwirausaha atau menjadi entrepreneur sukses (Sudirman, 2015).

3. Hasil Analisa

Menurut penelitian di SMA Negeri 2 Tana Tidung dengan pendidikan kewirausahaan dan adanya program PUAS berdasarkan hasil analisa dari 7 kelompok penerima PUAS, tingkat pengetahuan siswa termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan prosentase 67,4 %. Tingkat pengetahuannya pun juga , tergolong sangat tinggi, dengan angka prosentase 74%. Sedangkan dalam pengalaman kerja yang dibuktikan dengan keberhasilan penggunaan PUAS sebesar 65,2% siswa tergolong sangat tinggi. Dari hasil tersebut, disimpulkan bahwa sebagian besar siswa SMA Negeri 2 Tana Tidung telah memiliki kesiapan berwirausaha. Pengetahuan kewirausahaan yang tinggi juga mempengaruhi kesiapan para siswa untuk berwirausaha dan menghadapi dunia kerja (Supraba dan Rahdiyanta, 2013).

Menurut persepsi stakeholder, siswa, guru dan masyarakat di Tana Lia terhadap kompetensi professional dalam pelaksanaan praktik usaha pada 7 kelompok usaha siswa (KUS) di SMA Negeri 2 Tana Tidung sudah berjalan sangat bagus dan perlu dikembangkan lagi. Sikap kewirausahaan siswa pada hal kepercayaan diri siswa SMA Negeri 2 Tana Tidung termasuk tinggi yang berarti siswa memiliki keyakinan terhadap kemampuannya, optimis, mempunyai komitmen terhadap pekerjaan, disiplin, tekun dalam melakukan pekerjaan, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi,

295Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri tanpa menunggu bantuan dari pihak lain.Sedangkan sikap kewirausahaan siswa dalam hal berorientasi pada tugas dan hasil masih perlu ditingkatkan perilaku inisiatif siswa melalui pelatihan, peningkatan disiplin diri dan motivasi agar siswa lebih bersemangat untuk berprestasi. Dalam mengambil resiko dalam berwirausaha, siswa masih membutuhkan motivasi karena siswa masih kurang berani dalam mengambil resiko dan untuk menjadi lebih berani dalam memulai sesuatu yang sudah menjadi keputusannya (Priastuti, 2011). Dalam hal ini, peran guru sebagai pendidik juga ikut ambil bagian. Guru hendaknya memotivasi dan mendukung siswanya untuk berani dalam mengambil keputusan dan menjadi lebih mandiri dalam berwirausaha.

D. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program PUAS di SMA Negeri 2 Tana Tidung sudah sesuai sasaran dan dapat berjalan dengan lancar. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasl bahwa tingkat pengetahuan siswa termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan prosentase 67,4 %. Tingkat pengetahuannya pun juga tergolong sangat tinggi, dengan angka prosentase 74%. Sedangkan dalam pengalaman kerja yang dibuktikan dengan keberhasilan penggunaan PUAS sebesar 65,2% siswa tergolong sangat tinggi. Dari hasil tersebut, disimpulkan bahwa sebagian besar siswa SMA Negeri 2 Tana Tidung telah memiliki kesiapan berwirausaha. Pengetahuan kewirausahaan yang tinggi juga mempengaruhi kesiapan para siswa untuk berwirausaha dan menghadapi dunia kerja.

2. Saran

Selain mata pelajaran kewirausahaan, sebaiknya diberikan tambahan pendidikan pemasaran, sehingga siswa mampu memasarkan usahanya dengan baik di masyarakat. Dengan pendidikan pemasaran maka para siswa dapat mengetahui cara-cara dalam memasarkan usaha mereka dengan cara yang baik, kreatif dan unik. Pendidikan pemasaran ini juga harus diterapkan atau dipraktekan di sekolah seiring berjalannya ekstrakurikuler kewirausahaan di sekolah, dengan begitu para siswa juga telah berlatih untuk memasarkan usaha mereka sejak di SMA.

296 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Adi, A. S. (2011). Membangun Jiwa Wirasusah Siswa SMK. Retrieved October fromaniesmedia.blogspot.co.id:http://aniesmedia.blogspot.co.id/2011/04/membangun-jiwa-wirausaha-siswa-SMK.html

Arep, Ishak dan Hendri, Tanjung (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Universitas Trisakti.

Priastuti, L. (2011).Sikap Kewirausahaan Siswa Program Keahlinan Pemasaran di SMK Negeri 2Temanggung.Salatiga

Putra dan I, Made. (2019). Pengaruh Modal, Teknologi dan Kewirausahaan Terhadap Nilai Produksi dan Pendapatan Industri Pakaian Jadi. E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana,Volume : 8.9 :965-996

Rusdiana, D. M. (2014).Kewirausahaan Teori dan Praktik.Bandung: Pustaka Setia.

Saroni, Muhammad. (2012). Mendidik dan Melatih Entrepreneur Muda. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Subijanto. (2012). Analisis Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Menengah Kejuaruan.Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.18, No. 2, 164

Sudirman, Anwar. (2015). Management of Student Development. Riau: Yayasan Indragiri

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta, CV

Suyitno. (2013). Paper Pendidikan Kewirausahaan : Teori dan Praktik. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

http://lipi.go.id/siaranpress/Survei-Dampak-Pandemi-COVID-19-terhadap-Ekonomi-Rumah-Tangga-Indonesia/22123

https://studylibid.com/doc/246311/best-practice-guru-berprestasi

https://pengusahamuslim.com/3833-al-mudharabah-bagi-hasil-sebagai-solusi-perekonomian-islam.html

https://www.pelajaran.co.id/2018/11/pengertian-mekanisme-karakteristik-dan-syarat-bagi-hasil.html. Diakses pada tanggal 22 September 2020.

297Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Perencanaan Model Implementasi Mastery Learning Berbasis Sistem Informasi

Ucu Marlina1*, Yuliana2

Universitas Pendidikan Indonesia*, UIN Sunan Gunung Djati Bandung [email protected], [email protected]

Abstrak

Education that is oriented towards life skills, competency-based learning, and a good learning process is expected to produce meaningful learning, as well as a rich and real learning environment that can provide an integrative experience. Teachers as the spearhead of learning success must be able to apply multimethods, multistrategies, multimodel, and multimedia so that learning is more varied, meaningful, not boring, and can achieve mastery learning objectives in 3 schemes, that is remedial, enrichment, and acceleration. Unfortunately, teachers are still more focused on their duties as administrators of the school than on the development of students in achieving learning completeness. The involvement of computer-based applications is expected to be the right solution to assist teachers in managing student learning evaluations to achieve complete learning objectives. IT involvement is intended to accelerate the assessment process, improve accuracy, adjust precision, improve quality, accessibility and so on. This research used qualitative method. Data collection was carried out by literature study and interviews. Data analysis includes data reduction, data presentation, and drawing conclusions. This study aims to determine the extent to which IT is involved in this information system application as a solution for teachers in implementing mastery learning in schools. The result of this research is to make a planning implementation model of mastery learning based on management information systems which in subsequent development can take the form of applications. The implication of information system applications will make it easier for teachers to implement mastery learning.

Kata kunci: assessment, competency-based learning, management information system, mastery learning

A. Pendahuluan

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu relevansi serta efesiensi manajemen pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga agar memiliki daya saing dalam memasuki tantangan global. Saat ini pendidikan

298 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dianggap sebagai suatu investasi yang paling berharga dalam peningkatan sumber daya manusia untuk pembangunan suatu bangsa. Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, perlu adanya pengelolaan secara menyeluruh dan profesional terhadap sistem manajemen lembaga pendidikan. Salah satunya adalah masalah evaluasi hasil belajar siswa yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan di sekolah.

Salah satu permasalahan dalam pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dalam rendahnya rata-rata prestasi belajar, dan penyimpangan perilaku (akhlak). Hal ini dikarena sekolah pada umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai anak menguasai materi pembelajaran sampai tuntas. Sistem Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning) dikembangkan oleh J.B Carroll, B.S. Bloom, dan J.H. Block dalam Majid, (2014: 192) dengan menitikberatkan sistem belajar yang menekankan pada “ penguasaan “ (Mastering) yang mengklasifikasikan hasil belajar siswa ke dalam 3 kondisi yaitu program pelaksanaan pengulangan (remedial), pengayaan (enrichment), dan percepatan (acceleration).

Perkembangan ilmu pendidikan tidak terlepas dari perkembangan teknologi, sehingga berkembang pula teknologi pendidikan (Syaodih, 2019: 96). Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan terdapat dalam dalam bentuk perangkat lunak (software)/teknologi sistem (system technology), dan bentuk perangkat keras (hardware) teknologi alat (tools technology). Teknologi sistem lebih menekankan pada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem baik untuk kemudahan guru ataupun siswa, salah satunya pada proses evaluasi.

Pembelajaran tuntas menjadi ciri kurikulum 2013 adalah bentuk evaluasi hasil belajar siswa. Sanjaya (2011: 336) karakteristik evaluasi adalah evaluasi merupakan proses (tindakan yang dilakukan), dan evaluasi yang berhubungan dengan pemberian nilai/arti (kualitas yang dapat diukur). Print (1993) dalam Sanjaya (2011: 337) menggambarkan 3 proses tersebut menjadi kesatuan yaitu : data collection (measurement), data interpretation (assessment), dan judgment (evaluasi).

Ketika suatu proses pendidikan dilaksanakan oleh sekolah dan ketika guru mengambil sebagian dari tugas orangtua dalam mendidik pada waktu itulah evaluasi sudah hadir (Hasan, 2014:3). Seorang guru ketika melakukan evaluasi pada dasarnya evaluasi pada diri sendiri yang menunjukkan professional dalam kemajuan belajar siswa dalam menguasai kompetensi, dan evaluasi pada siswa untuk mengukur kemajuan belajar siswa. Kompetensi merupakan suatu konstruk yang terdiri dari sejumlah perilaku peran, tugas, okupasi dalam suatu vokasi/profesi. (Syaodih, 2014:29). Sayangnya guru saat ini masih lebih banyak fokus pada tugasnya sebagai pelaksana administrasi sekolah daripada perkembangan

299Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

siswa mencapai ketuntasan belajar. keterlibatan penggunaan aplikasi berbasis komputer diharapkan menjadi solusi yang tepat dalam membantu guru dalam pengelolaan evaluasi belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran tuntas. Pelibatan IT dimaksudkan untuk mempercepat proses penilaian (assessment), meningkatkan akurasi, mengatur presisi, meningkatkan kualitas, aksebilitas dan sebagainya.

Era globalisasi, sistem informasi semakin dibutuhkan oleh lembaga pendidikan, khususnya dalam meningkatkan kelancaran aliran informasi, kontrol kualitas, dan menciptakan aliansi dengan pihak lain yang dapat meningkatkan nilai lembaga pendidikan tersebut. Kemajuan Teknik Informatika (TI) telah mengubah cara lembaga dalam mengumpulkan data, memproses, evaluasi dan monitoring. Dalam penelitian pada sekolah yang mengimplementasikan model mastery learning berbasis sistem informasi sangat efektif baik bagi guru ataupun siswa dalam melakukan evaluasi. Seorang guru yang merupakan ujung tombak yang menentukan kualitas hasil pendidikan memiliki multifungsi yang menuntut guru harus multikompetensi. Berbagai permasalahan yang menyertai guru dalam implementasi evaluasi hasil belajar anak bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan. model implementasi mastery learning yang berbasis sistem informasi manajemen yang pada pengembangannya dapat berbentuk aplikasi. Implikasi dari sebuah aplikasi sistem informasi memungkinkan akan memudahkan guru dalam mengimplementasikan mastery learning.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur (dokumen) atas hasil-hasil penelitian sebelumnya. Pengumpulan literatur dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri buku-buku dan jurnal-jurnal pada beberapa media cetak maupun elektronik dan internet. Kata kunci yang digunakan untuk penelusuran jurnal yaitu mastery learning dan management information system. Berdasarkan hasil penelusuran diperoleh dan dipilih data yang memenuhi kriteria, yaitu tentang perencanaan model implementasi mastery learning berbasis sistem informasi. Adapun penelitian ini dilaksanakan dengan mengunjungi situs resmi sekolah yang telah mengimplementasikan model mastery learning. Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang meliputi 3 alur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi data.

C. Hasil dan Pembahasan

Sistem belajar tuntas (Mastery learning) merupakan suatu pola pengajaran terstruktur yang bertujuan untuk mengadaptasi pengajaran kepada kelompok siswa dalam jumlah besar dalam pengajaran klasikal sedemikian rupa, sehinga diberikan perhatian secukupnya pada perbedaan yang terdapat dalam siswa,

300 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

khususnya yang menyangkut laju kecepatan belajar (rate of progress). Sistem pembelajaran tuntas diharapkan mampu mengatasi kelemahan pembelajaran klasikal, salah satunya hanya siswa yang cepat daya tangkapnya yang akan mencapai semua tujuan pembelajaran. Belajar di sekolah akan menjadi sumber frustasi, motivasi, dan rasa percaya diri menjadi hilang bagi siswa yang kurang. pengajaran secara individu pada kecepatan belajar mempunyai arti setiap siswa diberi waktu yang cukup untuk belajar dan bantuan yang sesuai kebutuhan siswa.

Dalam kurikulum 2013, Kompetensi inti (KI) dirumuskan dalam 4 kompetensi, dan setiap materi pokok terdapat rumusan Kompetensi Dasar (KD). Berbagai metode dan instrumen baik formal atau nonformal digunakan dalam penilaian untuk mengumpulkan informasi. Informasi tersebut menyangkut semua perubahan yang terjadi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian dapat dilakukan selama pembelajaran berlangsung (penilaian proses) dan setelah pembelajaran usai dilaksanakan (penilaian hasil/produk). Penilaian pada pembelajaran tuntas lebih difokuskan pada KD yang terdapat di KI-3 yaitu Kompetensi Inti Pengetahuan (terdiri dari beberapa KD pada materi yang harus tuntas).

Pengembangan konsep mastery learning mendasarkan pengembangan pengajarannya kepada prinsip-prinsip tertentu, yaitu : 1) Sebagian besar siswa dalam situasi dan kondisi belajar yang normal dapat menguasai sebagian terbesar bahan yang diajarkan. 2) Guru mengusun strategi pengajaran tuntas dengan merumuskan tujuan khusus yang akan dikuasi siswa, 3) Guru merinci bahan ajaran menjadi satuan bahan ajaran yang kecil, 4) Guru menyusun bahan ajaran untuk kegiatan perbaikan, pengayaan, atau percepatandengn menekankan pentingnya peranan umpan balik (feedback), 5) Penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma, tetapi menggunakan acuan patokan.

Konsep belajar tuntas dapat dilaksanakan dengan beberapa model pengajaran yang paling tepat seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul, paket belajar, model satuan pelajaran, pengajaran berbasis komputer dan sebagainya. Model belajar tuntas, kemudian dikembangkan oleh Bloom menjadi pola atau prosedur pengajaran yang dapat diterapkan dalam memberikan pengajaran kepada satuan kelas. Secara operasional, guru mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menentukan tujuan pembelajaran yang harus dicapai, baik yang umum maupun khusus;

2. Menjabarkan materi pelajaran atas sejumlah unit pelajaran yang dirangkaikan;

3. Memberikan pelajaran secara klasikal, sesuai unit pelajaran yang sedang dipelajari;

301Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Memberikan tes bersifat formatif pada akhir unit pelajaran, untuk mengetahui kemajuan siswa (diagnostic progress test) dengan menerapkan norma pembelajaran tuntas.

5. Memberi pertolongan khusus jika belum mencapai tingkat target penguasaan.

6. Melanjutkan unit pelajaran, jika sebagian besar siswa mencapai tingkat penguasaan.

7. Unit pelajaran yang menyusul diberikan secara kelompok dan diakhiri tes formatif. Siswa yang ternyata belum mencapai penguasaan maka diberikan bantuan khusus (point 5).

8. Setelah sebagian besar siswa mencapai tingkat keberhasilan, guru memulai mengajarkan unit pelajaran selanjutnya secara bersamaan.

9. Prosedur yang sama dalam mengajarkan unit pelajaran lain, sampai rangkaian selesai.

Diakhiri dengan siswa mengerjakan tes yang mencakup seluruh rangkaian unit pelajaran yang bersifat sumatif yang akan digunakan pada buku rapor, biasanya 80% - 90% dari jumlah pertanyaan harus dijawb betul.

Bagan. 1. Prosedur mastery learning

Bloom mengembangkan model pembelajaran tuntas dengan adanya program belajar “perbaikan”. Dalam pengembangan model ini mengalami diferensi dengan adanya program belajar “pengayaan/percepatan”, maka harus dibedakan antara tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh semua siswa dan hanya sebagian siswa yang dapat belajar lebih cepat. Kazu (2005) hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pembelajaran tuntas meningkatkan prestasi belajar siswa secara efektif. Pelaksanaan pengajaran seperti ini memungkinkan diterapkannya prinsip maju berkelanjutan, yaitu siswa dapat pindah ke materi atau kelas berikutnya.

Guru merupakan ujung tombak dari ketuntasan pembelajaran di sekolah dikatakan melakukan pembelajaran tuntas jika memenuhi indikatornya yaitu : 1) Metode pembelajaran yang digunakan, 2) Peran guru dalam menentukan strategi pembelajaran, 3) Peran siswa sebagai pembelajar, dan 4) Evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru (majid, 2014: 202). Anold (2019) bahwa keterlibatan orang tua bagi prestasi akademik siswa signifikan terhadap

302 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

peningkatan penyampaian pendidikan berkualitas untuk pembangunan berkelanjutan.

Seorang guru yang inovatif akan sangat memanfaatkan keberadaan teknologi sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran yang dilakukannya, dimulai dari kegiatan perencanaan, implementasi, sampai pada penilaian hasil belajar yang akan membutuhkan energi yang tinggi. Guru kreatif akan mudah menemukan kegiatan pembelajaran lebih cepat, lebih berhasil dan lebih bermanfaat bagi siswa dan guru sendiri. Proses pembelajaran mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yang dalam prosesnya tersebut terkandung multiperan dari guru, yaitu : 1) Diagnosis perilaku awal siswa, 2) Perencana pelaksanaan pembelajaran, 3) Proses pembelajaran, 4) Pelaksana administrasi sekolah, 5) Komunikator, 6) Mengembangkan keterampilan diri, 7) Mengembangkan potensi anak, dan 8) Pengembang kurikulum sekolah. (Rusman, 2018: 186).

Seorang guru harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman yang saat ini bergeser pada kebutuhan informasi digital. Guru yang inovatif dapat menjawab dari analisis kebutuhan, serta harus dapat memanfaatkan sistem informasi yang dapat menggambarkan perannya sebagai pelaksana administrsi sekolah mulai dari perencana (input), proses, dan hasil belajar (output). Guru yang kreatif dapat menyelesaikan permasalahan yang muncul akibat dari perannya sebagai pelaksana administrasi sekolah yang pada umumnya bagi seorang guru merupakan penghambat dalam proses pembelajaran tuntas. Inilah salah satu standar kompetensi yang harus dimiliki seorang guru abad 21. Guru abad 21 yang kretif dan inovatif akan dapat memanfaat IT dalam suatu sistem informasi pendidikan yang menyajikan pelaksanaan pembelajaran tuntas (mastery learning) pada pelaksanaan program remedial, pengayaan, dan percepatan pada sebuah aplikasi.

Pengembangan Sistem Informasi pada Implementasi Mastery Learning

Breiter & Light (2006), terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan sekolah dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi yang efektif, yaitu : 1) Analisis kebutuhan kelas dan guru; 2) diawali dengan Optimalisasi potensi pengetahuan guru; 3) Pilih data yang sesuai untuk input ke dalam SI; 4) Pengujian secara efektif dengan keseimbangan antara standar, pengajaran dan pengujian; 5) Pengembangan profesional guru dalam pengambilan keputusan instruksional berdasarkan data; 6) Strategi pembelajaran oleh guru yang luas; dan 7) Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengambilan keputusan instruksional yang efektif dan dukungan SI.

303Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengembangan pada implementasi mastery learning berbasis sistem informasi yaitu pada adanya sebuah aplikasi pada pembelajaran. Sistem informasi manajemen akademik yang akan dikembangkan oleh sekolah pada perencanaanya harus memperhatikan beberapa faktor atau kondisi yang akan membangun sebuah sistem. Terdapat beberapa model yang dapat dilakukan oleh peneliti pada tahapan proses perancangan sistem, diantaranya adalah menurut Pressman dengan metode warefall, serta menurut Cepi Riana yang sebelumnya terlebih dahulu melakukan analisis kebutuhandan diakhiri dengan dokumentasi. Berikut penjelasan tahapan pada pengembangan implementasi mastery learning berbasis sistem informasi manajemen akademik sekolah :

1. Analisis kebutuhan. Mempelajari proses dan indentifikasi data yang dibutuhkan dalam perancangan suatu aplikasi informasi assessment berbasis web. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan kemudahan untuk meningkatkan pelayanan efesiensi dan keputusan.

2. Desain Fungsi/ Requirements definition. Tahapan penetapan fitur, klasifikasi, kendala dan tujuan sistem dari user. Melakukan desain sistem secara detail, mulai dari Context Diagram, Data Flow Diagram (DFD), desain file, desain tabel, relasi tabel dan sebagainya sehingga membentuk sistem lengkap sesuai dengan fungsi-fungsi bisnis yang dikehendaki.

3. Pemograman/ System and software design. tahapan terbentuk arsitektur sistem dari persyaratan user untuk identifikasi dan abstraksi dasar sistem perangkat lunak dan hubungannya. Melakukan coding untuk merealisasikan desain fungsi yang telah dibuat. Lama Pengerjaan dan Jumlah baris coding ini turut menentukan besar-kecilnya harga Aplikasi yang dibuat.

4. Pengujjian/ Implementation and unit testing. Tahapan desain perangkat lunak untuk direalisasikan sebagai satu set program yang siap diuji spesifikasinya. Melakukan beberapa testing dengan uji prilaku (behavior testing), focus terhadap input dan output, dan testing terhadap fungsionalitas sistem.

5. Instalasi/ Integration and system testing. tahapan program diintegrasikan satu sama lain dan diuji sebagai satu sistem yang utuh untuk memastikan sistem sudah memenuhi persyaratan sebelum dikirim ke user menggunakan blackbox. Mengganti dan menempatkan sistem atau menempatkan sistem yang baru terhadap aplikasi yang dibuat, jika hasil dari suatu proses pengujian sudah sesuai dengan fungsinya.

6. Pelatihan. Sebelum aplikasi program dijalankan/ kunjungi oleh user, pihak developer proyek perangkat lunak bertanggung jawab melatih costumer adalam hal ini Badiklatda Jawa Barat yang hendak mengoperasikan program aplikasi yang telah dibuat. Pihak pengembang juga berkewajiban memberikan informasi yang benar dan terbuka sehingga tidak menyulitkan para pengguna aplikasi selanjutnya.

304 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

7. Pemeliharaan/ Operational maintenance. tahapan sistem diinstal dan mulai digunakan, juga memperbaiki error serta pengembangan sistem. Proyek perangkat lunak tidak bisa selesai begitu saja setelah diserahterimakan, tetapi masih berlanjut hingga tenggang waktu yang cukup untuk memastikan bahwa produk perangkat lunak yang telah diserahkan tersebut bisa beroperasi dengan baik dan tidak ada kendala yang berarti.

8. Dokumentasi. Dalam sebuah proyek bisa terdiri dari beberapa dokumen. Dokumen dibuat untuk melihat kemajuan proyek yang sedang dikembangkan, sebagai referensi untuk bug bila terjadi kendala, sebagai pedoman operasional dan sebagainya.

Bagan. 2. Pengembangan sistem informasi

Pengembangkan sistem informasi manajemen meliputi perencanaan, implementasi, dan penilaian. Perencanaan sistem informasi manajemen pendidikan (SIMDik) adalah pendeskripsian secara komprehensif tentang informasi manajemen yang merupakan penstrukturan database pendidikan yang diperlukan, pendefinisian, alur informasi, dan penetapan laporan-laporan yang diperlukan. Implementasinya mencakup kegiatan-kegiatan penyediaan fasilitas yang diperlukan, pengadaan peralatan pemrosesan data, serta penyiapan dan pelatihan tenaga. Sementara, penilaian adalah menetapkan keberhasilan sistem informasi manajemen pendidikan dalam mencapai tujuan.

Menurut Cassidy (2006) memberikan penjelasan tentang panduan praktis dalam perencanaan strategi sistem informasi (information systems strategic planning) yang bisa di aplikasikan dalam berbagai kebutuhan, dalam hal ini adalah implementasi pada pembelajaran tuntas (mastery learning). Perencanaan strategi sistem informasi mempunyai 2 bagian utama yaitu Business : 1) Goals, 2) objectives, dan 3) strategic, dan bagian yang lainnya yaitu informations systems : 1) Strategy, 2) Organization, 3) Processes, 4) Infrastructure, 5) Application, 6) Projects, 7) Budget, dan 8) Matrics.

Perencanaan strategi sistem informasi mempunyai tujuan bahwa strategi perencanaan dari komponen sebuah sistem bagaimana mengarahkan perencanaan strategi dari komponen sistem informasi suatu instansi, dalam hal ini adalah sekolah. Cassidy (2006) menjelaskan dalam sebuah perencanaan

305Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

strategi sistem informasi terdapat 6 komponen yang harus ada yaitu : 1) Direction (Visi, misi, objek, strategi, acuan), 2) Industry Analysis (Struktur, mitra, metrik), 3) Situation Analysis (Kekuatan, kelemahan, faktor internal, ekternal), 4) Success Criteria (Target, tujuan, kunci keberhasilan), 5) Plans (perencanaan, solusi), dan 6) Financial Model (aturan anggaran). 6 komponen tersebut yang akan mengarahkan perencanaan komponen sistem informasi terhadap perencanaan komponen program kerja, dalam hal ini adalah program pembelajaran tuntas. Artaphon (2019) dari hasil penelitiannya membagi Sistem informasi dalam 4 kelompok yaitu : 1) Menu utama administrator, 2) Menu beranda mahasiswa, 3) Menu beranda perkuliahan, dan 4) Menu beranda pengusaha. Bytheway (2014) menganalisis secara terperinci dan menemukan bahwa kebutuhan untuk mengelola investasi dalam teknologi pendidikan di berbagai tingkat dan dengan cara yang berbeda.

Dalam perencanaan implementasi belajar tuntas yang berbasis sistem informasi pada suatu sekolah perlu minimalnya memenuhi 6 komponennya yaitu :1. Direction/Visi : menjadikan lembaga pendidikan yang islami, berkualitas

di bidang imtak dan iptek, serta kompetitif di era globalisasi. Misi : 1) Mengimplementasikan kurikulum berdiferensiasi yang berorientasi pada kompetensi peserta didik yang berkarakter, 2) Menerapkan konsep belajar tuntas (matery learning), 3) Menerapkan pembelajaran kelas layanan berbasis IT/ICT.

2. Industry Analysis/Struktur, mitra, metrik : Struktur : Kepala Sekolah, Kepala Tata Usaha, guru, karyawan, orang tua siswa, siswa, dan pengawas.

3. Situation Analysis/ Kekuatan, kelemahan : Guru lebih fokus pada administrasi sekolah daripada ke perkembangan siswa, Guru merasa terbebani dengan administrasi sekolah, penilaian tidak praktis, sistem informasi dapat membuat administrasi menjadi mudah.

4. Success criteria/ target : Tercapainya visi, dan misi dalam belajar tuntas, Service excellen kepada semua user/steakholder, Sistem belajar tuntas berjalan sesuai dengan alur, dan Sistem berfungsi sesuai dengan pedoman/acuan belajar tuntas.

5. Plans/Perencanaan, solusi : Penggunaan aplikasi sistem belajar tuntas, Pengadaan sarana yang mendukung baik hardware atau software berdasarkan budgeting dan analysis kebutuhan, Maintenance dalam penggunaan aplikasi sistem belajar tuntas, dan Evaluasi, monitoring, laporan dan perbaikan secara berkala

6. Financial Model : Operasional, perangkat lunak, sarana, dan maintenance, Besaran nominal anggaran yang presisi, dan Bekerja sama dengan mitra.

306 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Struktur Perencanaan strategi sistem informasi pada pembelajaran tuntas terdiri dari 2 bagian, yaitu pengguna (user) dan Pengelola. Pengguna meliputi guru, siswa, dan orang tua, sedangkan pengelola meliputi kepala sekolah, kepala tata usaha, pengawas dan steakholder yang lainnya. Matrik Perencanaan strategi sistem informasi pada pembelajaran tuntas merupakan hubungan antara program kerja dengan pengguna ataupun pengelola. Program kerja dari pembelajaran tuntas diantaranya adalah pembelajaran berbasis kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD), pembelajaran pada 3 layanan belajar (remedia, pengayaan, percepatan) dll. matrik dan flow diagram dibawah ini menjelaskan secara visual hubungan dari 3 komponen tersebut dapat dilihat di bagan berikut.

Bagan. 3 : Matrik hubungan antara user dengan pengelola

Bagan. 4. Flow diagram implementasi mastery learning

G. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Orientasi pendidikan terdapat pada beberapa hal yaitu kecakapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi, dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai, serta menuntut adanya lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and natural environment) yang dapat memberikan

307Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengalaman belajar pada dimensi-dimensi kompetensi secara integratif. Pendidikan di sekolah, di pundak guru lah ujung tombak keberhasilan belajar siswa. Sejatinya guru harus mampu menerapkan multimetode, multistrategi, multimodel, dan multimedia dalam kegiatan pembelajaran agar pembelajaran lebih bervariatif, bermakna, tidak membosankan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara tuntas (mastery learning), serta memenuhi amanat undang-undang yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Implementasi mastery learning pada kurikulum 2013 dalam pengembangan sistem informasi manajemen akademik bertolak dari analisis kebutuhan sebagai jawaban segala permasalahan yang ada di lapangan. Permasalahan yang ada akan di analisis untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, sehingga akan memudahkan langkah apa yang akan di lakukan sebagai bentuk perbaikan bahkan pengembangan sistem informasi. Pada sistem informasi evaluasi hasil belajar di sekolah misalnya terdapat masalah bagi guru sebagai perannya sebagai pelaksana administrsi sekolah yaitu dalam pelaksanaan program remedial, pengayaan, dan percepatan. Munculnya teknologi sistem informasi diharapkan akan menjadi solusi yang akan mempermudah guru dalam implementasi mastery learning pada pembelajaran dalam pencapaian target ketuntasan kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) siswa.

Apa yang menjadi objek permasalahan ?

Implementasi mastery learning pelaksanaan program remedial, enrichment, dan acceleration pada evaluasi hasil belajar siswa.

Berbagai masalah yang ada di lapangan ketika implementasi mastery learning ?

Sebagian guru belum paham benar konsep mastery learning. Sebagian guru yang berfungsi sebagai pelaksana administrasi sekolah menjadi hal tersebut beban kerja guru. Sebagian guru kesulitan mengklasifikasikan siswa yang harus remedial, enrichment, dan bahkan acceleration. Sebagian guru merasa terbatas waktu dalam analisis mendalam hasil belajar siswa. Sebagian guru belum memenuhi standar kompetensi guru abad 21.

Bagaimana Penyelesaian/solusi permasalahan implementasi mastery learning ?

Menyusun analisis kebutuhan untuk memenuhi starndar kompetensi guru abad 21. Upgrading standar kompetensi guru abad 21 secara terencana melalui berbagai pelatihan. Membuat aplikasi untuk memudahkan guru dalam mengklasifikasikan siswa yang harus remedial, enrichment, dan acceleration. Remembering guru akan visi, misi, dan tujuan akhir dari implementasi mastery learning.

308 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Saran

Keberhasilan implementasi mastery learning menjadi harapan semua subjek pendidikan pada kurikulum 2013, karena outputnya berupa terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yang mampu bersaing pada era globalisasi. Oleh karena itu, perlu dukungan penyelenggaraan yang optimal dengan pengelolaan yang baik (good govermance) serta melibatkan teknologi yang relevan sehingga mengarah pada evektifitas pembelajaran. penggunaan teknologi ICT saat ini menjadi marak di lakukan pada sekolah yang mengimplementasikan mastery learning karena menjadi nilai tambah (having add value). Pelibatan ICT dalam implementasi mastery learning selain dukungan infrastruktur seperti internet dan database juga memanfaatkan sistem aplikasi (software). Salam (2020) hasil penelitiannya menjelaskan jika user sudah menggunakan sistem dan user merasa puas, dua hal tersebut merupakan indikator kuat dalam kesuksesan penggunaan sistem informasi. Sistem aplikasi apa saja yang diperlukan saat ini? Jawabannya terntu dikaitkan dengan bagian utama dalam implementasi mastery learning baik dalam perencanaan, implementasi, pengelolaan SDM, Aset dan lainnya dalam kategori komponen utama (primary) dan pendukung (support). Zhang . 2016 menganalisis masalah dari perspektif individu yang terdaftar yang dapat diadopsi arsitektur pada 3 hal : (1) Keamanan (database inti), (2) Keterbukaan (logika bisnis), dan (3) Sifat maju (antar pengguna).

Dalam pengembangan aplikasi bisa dimulai dengan menentukan nama aplikasi sesuai dengan kebutuhan. Menentukan ruang lingkup dari aplikasi tersebut yaitu Sistem pendataan peserta diklat, dapat dilakukan secara online (database), Sistem Manajemen Kurikulum dan kemudahan akses, Sistem jadwal belajar, Sistem untuk memudahkan pencetakan rapot yang sudah terhubung ke database, Sistem penilaian pembelajaran, penilaian kinerja guru, dan Sistem penilaian dan monitoring. Visser (2013) dalam hasil peneltiannya menyebutkan bahwa penyempurnaan dari sebuah aplikasi sangat memungkinkan terjadi setelah melakukan pengujian dan penelitian secara kualitatif dari kondisi ketika awal infrastruktur dibangun.

Dalam aplikasi tersebut sajikan berbagai kemudahan dalam fitur-fitur yang menyajikan kelebihan dari aplikasi tersebut. Template Aplikasi System dapat memudahan pengelola pembelajaran dalam membuat dan mengelola data akademik siswa. Misalnya Sistsem Penialian sekolah (Assessment), Network Acces. Dalam poses penggunaan oleh peserta, akan dilakukan secara otomatis melalui sistem Local Host atau berbasis Web, Result Data Speed. Data hasil pengolahan akan dapat diperoleh dengan cepat, dan akurat. Kapanpun agregat data dapat disajikan dengan mudah. Misalnya pada penilaian online, pada saat peserta atau and user mengisi data melaui aplikasi computer. Integrated System. Sistem ini dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistem aplikasi

309Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang sudah terintegrasi dalam bentuk portal. Easy Maintenance & User Frendly. Sistem ini akan di create dengan memperhatikan kemudahan dalam menggunakan, baik sistem pengaturan desain, database, interface, navigasi maupun sistem output yang diperlukan untuk analisis data/informasi lebih lanjut, misalnya kemudahan dalam data saving dan pencetakan (printing), termasuk displaying dalam bentuk agregat data yang diperlukan oleh pimpinan dalam membuat keputusan (decision making).

Daftar Pustaka

Affiandari, Chandra. (2009). Pendekatan Teknologi dalam Pengelolaan Kelas. Edutech, thn 8, Vol 1, No. 1, Feb 2009, ISSN : 0852-1190

Anastasia Lipursari. (2013). Peran Sistem Informasi Manajemen (SIM) dalam Pengambilan Keputusan. Vol 5 No 1 (2013):

Anold. S. Nkata, & Dr. Mussa A. Dida. (2019). Centralized Education Management Information System for Tracking Student’s Academic Progress in Tanzanian Secondary Schools. J.Modern Education and Computer Science. Published Online October 2019in MECS ( http://www.mecs-press.org/ ) DOI: 10.5815/ijmecs.2019.10.03

Anoname. (2020). Implementasi Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (Simdik) dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 2 Ponorogo. Southeast Asian Journal of Islamic Education Management, 1(1), 94-104. https://doi.org/10.21154/sajiem.v1i1.18

ArtaphonChansamut a,* and Pallop Piriyasurawong. (2019). Supply ChainManagementInformation Systemfor Curriculum Management Based onTheNational Qualifications Framework for Higher Education. International Journal of Supply and Operations Management. Volume 6, Issue 1, pp. 88-93ISSN-Print: 2383-1359ISSN-Online: 2383-2525 www.ijsom.com

Ary Susanto. (2012). Pengembangan Model Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (Research and Development) Pada Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Manajemen Pendidikan Volume 3 Nomor 1 Juli 2012

Breiter, A., & Light, D. (2006). Data for School Improvement: Factors for designing effective information systems to support decision-making in schools. Educational Technology & Society, 9 (3), 206-217. ISSN 1436-4522 (online)

310 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bytheway, A. & Venter, I.M., (2014), ‘Strategies for information management in education: Some international experience’, SA Journal of Information Management. 16(1), Art. #596, 11 pages http://dx.doi.org/10.4102/sajim.v16i1.596

Cassidy, Anita. (2006). A Practical Guide to Information systems Strategic Palnning. Auerbach Publicaions, Taylor & Francis Group.

Catharina Tri Anni. (2012). Need Assesment Model Penyusunan Program Bimbingan dan Konseling bidang Bimbingan Belajar Berbantuan sistem Informasi Manajemen di SMA Negeri Kota Semarang. Educational Management 1 (1). ISSN 2252-7001

Etin Indrayani. (2013). Pengelolaan Sistem Informasi Akademik Perguruan Tinggi Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Jurnal Penelitian PendidikanVol. 12 No. 1

Fındık-Coşkunçay, D., Alkış, N., &Özkan-Yıldırım, S. (2018). A Structural Model for Students’ Adoption of Learning Management Systems: An Empirical Investigation in the Higher Education Context. Educational Technology & Society, 21(2), 13–27

Ghada Refaat El Said. (2015). The Use of Education Management Information Systems in Higher Education Institutions: An Empirical Investigation of the Effect of Degree of Interactivity. International Journal of Higher Education Management (IJHEM) Vol. 1 Number 2

Gulseren Sekreter1. (2018). Increasing Students’ Mathematics Achievement at University by Changing Their Non-Mastery Goals into Mastery Learning Goals. International Journal of Social Sciences & Educational Studies ISSN 2520-0968 (Online), ISSN 2409-1294 (Print), Vol.5, No.1. doi: 10.23918/ijsses.v5i1p211

Hoon, T. S., Chong, T. S., & Binti Ngah, N. A. (2010). Effect of an Interactive Courseware in the Learning of Matrices. Educational Technology & Society, 13 (1), 121–132

Kazu, I. Y., Kazu, H., & Ozdemir, O. (2005). The Effects of Mastery Learning Model on the Success of the Students Who Attended “Usage of Basic Information Technologies” Course. Educational Technology & Society, 8 (4), 233-243.

Hasan, Hamid. (2014). Evaluasi Kurikulum. Bandung : Rosdakarya

Huy P. Phan. (2014). An Integrated Framework Involving Enactive Learning Experiences, Mastery Goals, and Academic Engagement -Disengagement. Europe’sJournalof Psychologyejop.psychopen.eu| 1841-0413. 2014,Vol. 10(1),41–66, doi:10.5964/ejop.v10i1.680

311Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Khairul Imtihan. (2015). Perencanaan Strategi Sistem Informasi Pendidikan Pada Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Lombok. Jurnal Bianglala Informatika Vol 3 No 2

Laksamana Bangsawan. (2015). Membangun Sistem Informasi Manajemen Pendidikan pada TK Xaverius Kotabumi Lampung Utara. Jurnal Informatika, Vol.15, No. 2

Lin, C-H., Liu, E. Z.-F., Chen Y.-L., Liou, P.-Y., Chang, M., Wu, C.-H., Yuan, S.-M. (2013). Game-Based Remedial Instruction in Mastery Learning for Upper-Primary School Students. Educational Technology & Society, 16 (2), 271–281.

Majid, Abdul. (2014). Implementasi Kurikulum 2013, Kajian Teoritis dan Praktis. Bandung : Interes Media.

Manjunath Siddaiah-Subramanya1Sabin Smith2James Lonie2. (2017). Mastery learning: how is it helpful? An analytical review. Advances in Medical Education and Practice 2017:8 269–275

Muhammad Tajuddin Anwar. (2018). Model of Leadership Style to Achieve Success of High Private Education Information System. International Review of Management and Marketing, 2018, 8(6), 24-31.. DOI: https://doi.org/10.32479/irmm.7053

Nurmawati Harahap. (2018). Penerapan Pendekatan Belajar Tuntas (mastery learning) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika. Jurnal Pigur. Volum 01, Nomor 01

Oemar, H. (2010). Manajemen Pengembangan Kurikulum . Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Riswandi. (2017). The Development of a Computer Based Education Management Information System (MIS) Model in Elementary School Bandar Lampung. Al-Ta’Lim Journal, 24(1), 2017, (9-18)(Print ISSN 1410-7546 Online ISSN 2355-7893)Available online at http://journal.tarbiyahiainib.ac.id/index.php/attalim. http://dx.doi.org/10.15548/jt.v24i1.264

Rusman. (2018). Belajar & Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana.

S. A. Prabowo*. (2015). The Effectiveness Skill Mastery Of PGSD Students. Indonesian Journal of Science Education. JPII 4 (1) (2015) 15-19, DOI: 10.15294/jpii.v4i1.3495

312 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Salam and Farooq. (2020). Does sociability quality of web-basedcollaborative learning information systeminfluence students’satisfaction and systemusage?. International Journal of Educational Technology in HigherEducation 17:26 https://doi.org/10.1186/s41239-020-00189-z

Sanjaya, Wina. (2011). Kurikulum dan Pembelajaran : Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Kencana.

Susilana, Rudi. (2009). Meningkatkan Mutu Pembelajaran Melalui Optimalisasi Penggunaan Sumber Belajar. Edutech, thn 8, Vol 1, No. 1, Feb 2009, ISSN : 0852-1190.

Usmeldi1*, R. Amini1, S. Trisna2.(2017). The Development Of Research-Based Learning Model With Science, Environment, Technology. And Society Approahes To Improve Critical Thinking Of Students. Indonesian Journal of Science Education. JPII 6 (2) (2017) 318-325. DOI: 10.15294/jpii.v6i2.10680

Visser, M., Van Biljon, J. & Herselman, M., (2013), ‘Evaluation of management information systems: A study at a Further Education and Training college’, SA Journal of Information Management 15(1), Art. #531, 8 pages. http://dx.doi.org/10.4102/sajim.v15i1.531.

William C McGaghieJeffrey H BarsukDiane B Wayne. (2017). The promise and challenge of mastery learning. Advances in Medical Education and Practice 2017:8 393–394

Yang Zhang.( 2016). Research on the Education Management System Optimization Model based on Wavelet Neural Network and Adaptive Weight Analysis. RISTI, N.º E8, 10

Yewon Suh. (2016). Gifted Education Database (GED): Information Management and Online Teacher Recommendation System. Journal of Giftedness and Education 2016, Cilt 6, Sayı 1, 44-53 2016, Volume 6, Issue 1, 44-53. ISSN 2146-3832.

Zen Istiarsono. (2019). Strategi Pembelajaran Mastery Learning : Konsep dan Implementasinya. Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1

313Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

SELF EFFICACY DAN SIKAP POSITIF GURU TERHADAP PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INKLUSI DI YOGYAKARTA

SELF EFFICACY AND TEACHER POSITIVE ATTITUDES TOWARDS IMPLEMENTATION OF INCLUSION INSTRUCTION IN YOGYAKARTA

Unik Ambar Wati, Sisca Rahmadonna, PujaningsihUniversitas Negeri Yogyakarta

Email: [email protected]*; [email protected]; [email protected]

Abstract

This study aim to describe the scale of beliefs and positive attitudes of teachers towards inclusive education in elementary schools. This is a preliminary stages of Research and Development. The research subjects are teacher in elementary schools in Yogyakarta. The data were collected through questionnaires, observations, interviews, and documentation studies, were supported by focus group discussions (FGD) as well as logbooks. They were quantitative and qualitative analyzed. The results showed that teacher’s confidence scale still hesitate to handle special need student (ABK), the positive attitude scale indicates the teacher has good attention and patience.

Keyword : Self efficacy, positive attitude, inclusive education

A. Pendahuluan

Pemerataan Pendidikan perlu dilakukan bukan hanya sekedar pemerataan Pendidikan dari soal wilayah, namun juga kesempatan yang sama bagi semua warga negera untuk mengenyam Pendidikan, termasuk bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan Pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses Pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus.

Hallahan dan Kauffman (2006) mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Sikap yang diperlukan untuk menghadapi tantangan mengajar di sekolah inklusif, yaitu: pandangan positif. Olson, Chalmers dan Hoover (1997 dalam

314 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Digle, et al. 2004) menggarisbawahi satu hal utama dalam program pendidikan guru adalah pandangan positif kepada peserta didik dengan kebutuhan khusus harus dimiliki oleh calon guru. Selain pandangan yang positif, diperlukan ketrampilan berkolaborasi dengan guru lain untuk menangani anak dengan keragaman kemampuan. Monahan, Marino & Miller (2000; Olson, Chalmers dan Hoover. 2007 dalam Digle, et al. 2004) melakukan penelitian dengan hasil, bahwa 84 % responden dari 342 guru yang berpartisipasi menyatakan bahwa mereka harus mempunyai ketrampilan berkolaborasi dengan guru khusus.

Theori kognitif sosial mengarahkan penelitian ini untuk mengeksplore bagamana sikap guru SD terhadap inklusif dan bagaimana harapan mereka terhadap perilaku mereka yang mampu mengarah pada capaian belajar siswa (self-efficacy). Self-efficacy dapat berubah ke arah negatif maupun positif tergantung dari empat sumber, yaitu: The changes of self-efficacy become negative or positive depending on four sources of expectancy outcomes: capaian atau prestasi, pengalaman langsung, ajakan (verbal persuasion), dan kondisi psikologis (Bandura, 1997). Seperti disarankan oleh Wheatley (2005) bahwa efficacy tidak dapat dideskripsikan hanya dengan angka. Oleh karena itu perubahan self-efficacy dan sikap dalam penelitian ini diungkap menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Secara umum, penelitian ini ingin mendeskripsikan bagaimana self efficacy dan sikap positif guru dalam proses pembelajaran di kelas sehingga menjadi pijakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat untuk menangani anak inklusi.

B. Metode Penelitian

Subjek penelitian adalah guru-guru jenjang SD yang mengajar di sekolah inklusif dari kabupaten Gunungkidul, Sleman, Kota, Bantul, dan Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta pengumpulan data yang digunakan adalah angket, observasi, dan wawancara untuk memperoleh data tentang sikap positif dan keyakinan guru dalam menangani anak inklusi . Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik kuantitatif dan kualitatif (mix method) dengan tujuan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih baik terhadap hasil-hasil data yang diperoleh. Data kuantitatif diperoleh dari prosentase skala keyakinan guru dari angket yang telah diuji realibilitasnya, sedangkan data kualitatif diperlukan untuk mendukung hasil penelitian diperoleh dari hasil FGD dan observasi dikelas inklusi.

C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Self efficacy dan sikap positif guru merupakan hal penting dalam pembelajaran, dalam proses pembelajaran secara umum, bila self efficacy dan sikap positif ini yang mempengaruhi inovasi dan kreativitas guru. Hasil penelitian Hayati dan Sarjana (2015) menunjukkan bahwa 1) efikasi diri memiliki

315Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengaruh langsung positif terhadap inovasi guru; 2) kreativitas berpengaruh langsung positif terhadap inovasi guru; dan 3) efikasi diri berpengaruh positif secara langsung terhadap kreativitas guru.

Dalam penelitian ini, untuk mengukur skala keyakinan yang dimiliki guru, peneliti membuat 24 pertanyaan dalam bentuk angket yang disebarkan kepada guru guru di Yogyakarta. Pertanyaan yang diajukan meliputi kemampuan guru dalam melayani anak dengan kebutuhan khusus di kelas yang meliputi kemampuan mengontrol, memberikan feedback, melayani kebutuhan belajar, memotivasi dan memberikan dorongan, hingga kemampuan guru dalam memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Fokus pertanyaan adalah ada kemampuan guru, hal ini didasari oleh pendapat Haim Ginott dalam Burns, dkk (2016) highlights-teachers are usually the most powerful members in a classroom. Guru adalah orang yang mengatur hampir semua aktivitas yang berlangsung selama proses pembelajaran.

Pertanyaan pertama diberikan untuk melihat sejauh mana kemampuan yang dimiliki guru dalam melayani anak dengan kesulitan di kelas. Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya 5% guru yang merasa sangat yakin, temuan menarik adalah masih ada 16% guru yang merasa tidak yakin memiliki kemampuan untuk melayani anak dengan kesulitan di kelas. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh MW “saya merasa khawatir apakah yang saya lakukan sudah benar atau belum. Saya ragu apakah siswa saya kurang memahami pembelajaran karena saya yang kurang mampu menyampaikan materi dengan baik atau karena memang siswa saya adalah anak berkebutuhan khusus yang mengalami masalah keterlambatan belajar”.

Pendapat guru MW ini menjadi salah satu bukti bahwa bagaimana guru akan memiliki tingkat keyakinan yang tinggi dalam usaha pemberian pelayanan pada siswa, bila ternyata guru bahkan masih kesulitan dalam mengidentifikasi apakah siswa termasuk dalam kategori anak berkebutuhan khusus atau tidak.

Pertanyaan ke dua yang diberikan kepada guru adalah tentang keyakinan guru dalam memberikan bantuan kepada siswa untuk berfikir kritis, hal ini dikarenakan kemampuan berfikir kritis sangat penting untuk dimiliki oleh semua siswa. Noddings and Brooks (2016) bahkan menyatakan bahwa critical thinking now appears worldwide as an important aim of education. Islam (2016) dalam artikelnya menjelaskan bahwa Critical Thinking is the ability to analyze the way you think and present evidence for your ideas, rather than simply accepting your personal reasoning as sufficient proof.

Hasil analisis jawaban guru terhadap keyakinan guru menunjukkan bahwa 58% guru merasa yakin mampu membantu para siswanya untuk berfikir kritis. 26% merasa agak yakin dapat membantu siswanya, namun masih ada 5%

316 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

guru yang merasa tidak yakin kalua dia memiliki kemampuan untuk membantu siswa berfikir kritis.

Gambar 1. Skala keyakinan dalam pemberian pelayanan dan bantuan berpikir kritis.

Pertanyaan selanjutnya berhubungan dengan keyakinan untuk memberikan motivasi pada siswa. Pertanyaan tersebut meliputi pertanyaan tentang tingkat keyakinan guru dalam mengontrol anak dengan masalah perilaku di kelas, keyakinan dalam memotivasi anak yang mempunyai minat rendah mengerjakan tugas, serta keyakinan memiliki kemampuan untuk membuat penjelasan tentang harapan mengenai perilaku anak di kelas. Mengutip dari Palmer dalam artikel yang ditulis Vero and Puka (2017), dijelaskan bahwa student motivation as an essential element that is necessary for quality education. Namun sayangnya hasil angket menunjukkan angka yang masih dibawah 50% jumlah guru yang merasa memiliki keyakinan mampu memberikan motivasi kepada para siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam tiga pertanyaan yang berhubungan dengan motivasi, jumlah guru yang merasa yakin relative sama. Bahkan yang paling menarik, dimana masih ada 5% guru yang sama sekali tidak memiliki keyakinan dan hanya 10% dari guru yang menjadi responden merasa sangat yakin mampu memotivasi siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Untuk tiga pertanyaan berikutnya mengenai tingkat keyakinan guru dalam merespon pertanyaan sulit dari siswa, membangun rutinitas di kelas dengan lancar, serta membantu anak memaknai apa yang mereka pelajari, ditemukan hasil yang cukup menarik. Dimana tidak ada satupun guru yang menyatakan tidak yakin tidak dapat melakukan hal tersebut. Semua guru merasa yakin dapat melakukan hal yang dimaksud namun dengan tingkat keyakinan yang beragam, mulai dari sangat yakin hingga agak yakin.

Poin pertanyaan menarik yang patut dicermati dalam skala keyakinan guru ini adalah saat menjawab tingkat keyakinan pada kemampuan yang dimiliki guru untuk memfasilitasi pemahaman anak tetang apa yang akan diajarkan. Jawab guru hanya terbagi menjadi tiga, yaitu: agak yakin, yakin dan sering yakin. Nilai tertinggi adalah pada jawaban yakin dengan presentase sebesar 48%.

317Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada pertanyaan tentang kemampuan guru dalam membuat pertanyaan yang sesuai untuk anak dan pertanyaan tentang kemampuan guru dalam mendorong kreativitas anak, lebih dari 60% guru merasa yakin akan kemampuan yang dimilikinya. Bahkan 73% guru menjawab yakin terhadap kemampuannya untuk mendorong kreativitas anak. Jawaban dari beberapa pertanyaan di atas mengindikasikan bahwa guru tidaklah sepenuhnya yakin terhadap apa yang mereka ajarkan di kelas. Apakah yang mereka sampaikan benar benar dapat dipahami oleh para siswa. Padahal sangat penting untuk mengetahui apakah yang guru sampaikan dapat dipahami oleh siswa, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan dan kemampuan siswa. Hal ini juga merupakan keresahan yang diungkapkan oleh Bullough and Gitlin dalam Loughran (2005) dimana mereka mengungkapkan:

“teacher educators frequently ignore what they tacitly understands: As with other teachers, what they teach will be filtered through and made more or less meaningful based on a set of biographically embedded assumptions, beliefs, or preunderstandings held by their students… some of what is taught will be ignored and discarded as meaningless because it does not fit current understanding, and recognized as self-confirming, other content, perhaps even less significant content, will be embraced eagerly”

Hasil analisis menunjukkan hal yang berbeda untuk pertanyaan tentang keyakinan guru dalam mengarahkan anak untuk mengikuti aturan. Hasilnya tanpak sangat beragam. Namun demikian tidak ada guru yang menjawab tidak yakin. Jawaban yakin dan sering yakin menjadi jawaban yang paling sering muncul. Dimana sepertiga guru menjawab yakin dan sepertiga lainnya menjawab sering yakin.

Pertanyaan tentang tingkat keyakinan guru terhadap kemampuannya untuk meningkatkan pemahaman anak, menenangkan anak yang mengganggu di kelas, menerapkan pengelolaan kelas untuk beberapa kelompok anak, mendapatkan ragam jawaban yang cukup menarik. Ketiga pertanyaan ini berhubungan dengan kemampuan guru dalam memberikan feedback. Hasilnya cukupmemuaskan, dimana lebih dari 50% menyatakan yakin untuk ketiga jawaban di atas, dan mendapatkan presentase yang sama yaitu 5% untuk jawaban sangat yakin. Hal ini menunjukkan tingkat pemahaman guru yang cukup baik tentang pentingnya feedback dalam pembelajaran, dimana menurut Grigg (2016) feedback is the giving of information about one’s performance in order to reduce the gap between present and potential learning. Feedback effectively signals what next steps are needed to move learning forward.

318 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada pertanyaan tentang keyakinan guru terhadap kemampuannya dalam membuat penyesuaian pembelajaran agar sesuai dengan kemampuan anak menunjukkan variasi jawaban yang cukup menarik. Dimana jawaban guru hanya terbagi pada tiga jawaban yaitu agak yakin, yakin dan sering yakin. 68% guru menjawab yakin, sementara agak yakin dan sering yakin mendapatkan persentase yang sama yaitu masng masing 16%.

Sementara itu untuk tingkat keyakinan terhadap kemampuan melakukan penilaian pembelajaran dengan beragam cara, mendampingi anak dengan masalah agar mereka tidak menggangu di kelas, memberikan penjelasan dan contoh yang berbeda untuk anak yang masih bingung, menangani anak dengan perilaku menyimpang, mendampingi keluarga supaya mereka mendukung anak belajar di sekolah, menerapkan strategi pembelajaran alternative di kelas, serta memberikan tantangan yang memadai untuk anak yang sangat pandai.

Hal paling menarik yang perlu diamati pada hasil analisis angket ini adalah sangat kecilnya persentase guru yang merasa sangat yakin dengan kemampuan yang dimilikinya dalam menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dimana dari semua pertanyaan persentase sangat yakin yang tertinggi hanya 10% dan itupun hanya untuk satu pertanyaan tentang tingkat keyakinan dalam meyakinkan anak agar mereka yakin dapat mengerjakan tugas dengan baik.

Sedangkan untuk pertanyaan lainnya tingkat persentase sangat yakin yang paling tinggi hanya 5% bahkan ada beberapa pertanyaan yang mendapatkan persentasi 0 untuk jawaban sangat yakin. Hal ini menunjukkan bahwa guru masih ragu dengan kemampuan yang dimilikinya dalam menangani kelas inklusi. Oleh sebab itu dibutuhkan bantuan agar guru dapat self efficacy yang tinggi terhadap memampuan yang dimilikinya. Salah satu bantuan yang dibutuhkan adalah adanya kerjasama dengan orang tua siswa. Dimana orang tua sebenarnya adalah orang yang paling substansial dalam memberikan dukungan terhadap perkembangan anak-anaknya (Grainger and Tod, 2000). Oleh karena itu dalam menangani kelas inclusi, guru perlu membangun hubungan kerjasama yang baik dengan orang tua.

Selain itu angket yang disusun juga berusaha untuk melihat sejauh mana standar minimal pemberian layanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang diberikan oleh guru di kelas inklusi. Standar minimal pemberian layanan tersebut meliputi pemberian umpan balik, strategi pembelajaran yang sesuai, akses nilai, peningkatan partisipasi, kerjakelompok, peranan teman sebaya, penyesuaian materi dam pemberian materi tambahan diluar jam pembelajaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya pada pemberian strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa yang memperoleh nilai

319Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 1. Layanan dan frekuensi layanan dalam proses pembelajaranSementara itu, dapat dilihat bahwa tambahan materi di luar jam

pembelajaran hampir dapat dikatakan tidak pernah dilakukan oleh guru, karena kurang dari 10% guru yang menjawab pertanyaan tersebut dan itupun menurut guru jam tambahan hanya diberikan 2-3 kali dalam seminggu. Padahal untuk anak yang memiliki permasalahan dengan kecepatan belajar, tentu jam pelajaran tambahan dibutuhkan lebih bayak dari anak-anak lainnya.

Untuk memperkuat hasil angket, dalam penelitian ini juga dilakukan observasi untuk melihat secara langsung bagaimana guru menangani anak-anak berkebutuhan khusu di dalam kelas inklusi. Data penelitian dari hasil observasi di Sekolah menunjukkan beberapa hal menarik yang tidak terkait dengan strategi pembelajaran yaitu berupa sikap perhatian dan kesabaran yang ditunjukkan guru dalam menangani ABK, guru tidak sungkan mengambilkan minum bagi siswa ABK, memberikan contoh sikap yang santun melalui ucapan-ucapan terima kasih, dan kata maaf. Dalam proses pembelajaran terlihat bahwa keberadaan ABK dikelas dapat dikontrol sehingga kelas tetap kondusif, selain itu guru juga terlihat mampu mengkondisikan siswa lain. Keberadaan ABK dan siswa lainnya dapat berjalan selaras di kelas, terlepas dari beberapa kekurangan guru dalma memberikan pelayanan terhadap ABK, guru telah melakukan upaya besar dalam mengembangkan potensi seluruh siswanya.

D. Kesimpulan dan SaranSebagaimana yang telah dielaborasikan di atas, dapat disimpulkan

bahwa pemahaman tentang Pendidikan inklusi sangat penting untuk dimiliki oleh semua guru, anak berkebutuhan khusus yang berada dalam kelas inklusi memerlukan bimbingan dan pelayanan lebih agar dapat berkembang. Namun pada pelaksanaannya masih terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan keyakinan guru yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Guru yang mengajar dikelas inklusi membutuhkan support dan bantuan khusus dari orang tua/wali siswa dan pemerintah untuk dapat mengatasi

320 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

hambatan-hambatan mereka dalam mengelola kelas inklusi.2. Guru yang mengajar di kelas inklusi sebagian besar masih ragu dengan

kemampuan yang dimilikinya dalam menangani kelas inklusi. Hal ini berdampak pada performa mengajar mereka yang menjadi kurang optimal.

Namun demikian, hal positif yang ditemukan dalam penelitian ini adalah sikap perhatian dan kesabaran guru dalam menangai anak-anak berkebutuhan khusus yang sudah baik, sehingga kelas kondusif dan siswa lain bisa menerima keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus di kelas mereka. Hal ini terlihat jelas dari interaksi antara guru dengan siswa siswanya, baik siswa ABK maupun tidak.

Tingkat keyakinan tidak bisa dibangun hanya dalam hitungan hari, namun harus tertanam sejak lama. Untuk menanamkan keyakinan pada para guru maka hendaknya dimulai bahkan sejak para guru masih menjadi calon guru. Oleh sebab itu, temuan dari penelitian ini dapat dijadikan salah satu pijakan untuk mengembangkan model pembelajaran persiapan calon guru untuk mengajar di kelas inklusi.

DAFTAR PUSTAKA

Anke de Boer, Sip Jan Pijl & Alexander Minnaert (2011) Regular Pirmary Schoolteachers’ attitudes towards inclusive education: a review of the literature, International Journal of Inclusive Education, 15:3, 331-353, DOI: 10.1080/13603110903030089

Burns, Leslie David, dkk. 2016. Teach on Purpose!: Responsive Teaching for Student Success. New York: Teachers College Press.

Carroll, A., Forlin, C., & Jobling, A. (2003). The Impact of teacher training in special education on the attitudes of Australian preservice general educatiors towards people with disabilities. Teacher Education Quarterly, 30(3), 65-79

Elias Avramidis & Brahm Norwich (2002) Teachers’ attitudes towards integration/inclusion: a review of the literature, European Journal of Special Needs Education, 17:2, 129-147, DOI: 10.1080/08856250210129056

Dingle, Mary & Falvey, Mary A. Givner, Christine C & Haager, Diane (2004) Essential Special and General Education For Preparing Teachers for Inclusive Settings. Issues in Teacher Education, Spring. 2004. Volume 13, Number 1

Forlin, C., Loreman, T., Sharma, U., & Earle, C. (2009). Demographic differences in changing pre-service teachers’ attitudes, sentiments and concerns about inclusive education. International Journal of Inclusive Education, 13(2),195-209.

Grainger, Teresa and Tod, Janed. (2000). Inclusive Educational Practice. London: David Fulton Publishers.

321Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Grigg, Russell. (2016). Big Ideas in Education: what Every Teacher Should Know. London: Crown House Publishing.

Hallahan, D.P. & Kauffmann, J.M. (2006).Exceptional Children: Introduction to Special Education (10thed.). Boston: Allyn & Bacon.

Islam, Rayhanul. (2015). What are the Importance and Benefits of “Critical Thinking Skills”?. https://www.linkedin.com/pulse/what-importance-benefits-critical-thinking-skills-islam

Kozleski, E. B., Pugach, M., & Yinger, R. (2002). Preparing Teachers To Work with Students with Disabilities: Possibilities and Challenges for Special and General Teacher Education. White Paper.

Loreman, T., Forlin, C., & Sharma, U. (2007). An International Comparison of Pre-service Teacher Attitudes towards Inclusive Education. Disability Studies Quarterly, 27(4).

Laughran, John. (2005). Developing a Pedagogy of TeacherEducation: Understanding Teaching and Learning about Teaching. Canada: Routledge.

M Gut, Dianne., Oswald, Karen., Leal, J Dorothy., Frederiksen, Laura., Gustafson, Janet M (2003) Building the Foundation of Inclusive Education Through Collaborative Teacher Preparation: A University-School Partnership. College Student Journal; Mar 2003,1; ProQuest Education Journals pg. 111

Noddings, Nel and Brooks, Laurie. 2016. Teaching controversial issues: The Case for Critical Thinking and Moral Commitment in the Classroom. New York: Teacher College Press.

Permendiknas RI no 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa

Sze, S. (2009). A literature review: pre-service teachers’ attitudes toward students with disabilities. Education, 130(1).

Taylor, R. W., & Ringlaben, R. P. (2012). Impacting Pre-service Teachers’ Attitudes toward Inclusion. Higher Education Studies, 2(3).

Van Laarhoven, Toni R., Munk, Dennis D., Lynch, Kathleen., Bosma, Julie and Rouse, Joanne (2007) A model for preparing special and general Education Preservice Teachers for Inclusive Education. Journal of Teacher Education 2007: 58; 440. Tersedia dalam http://jte.sagepub.com/cgi/content/abstract/58/5/440 [22 Juli 2009]

Vero, Eskja and Puka, Adi. (2017). The Importance of Motivation in an Educational Environment. Formazione & Insegnamento XV – 1 – 2017 ISSN 1973-4778 print – 2279-7505 on line doi: 107346/-fei-XV-01-17_05 © Pensa MultiMedia. https://pdfs.semanticscholar.org/6e3e/f5d1c5666f3cee72ae0ddca5ef096ada5277.pdf

Nur Khayati & Sri Sarjana, Efikasi Diri Dan Kreativitas Menciptakan Inovasi Guru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 3, Desember 2015

322 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI :PENGGUNAAN METODE TABARAK DALAM

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Zainal Bakri1*, Mukhidin2

1*,2 Prodi Pengembangan Kurikulum, Universitas Pendidikan Indonesia [email protected], [email protected]

Abstract

Early Childhood Education is a crucial matter that must be considered by teachers and parents. This period is the children golden age which can determine children future. The success of education at an early age can be a starting point for children in determining their interests and direction in the future. However, sometimes people think that Early Childhood Education is only limited to playing, without prioritizing learning. One of the interesting breakthroughs in Early Childhood Education is the Tabarak Method. This method is a way of memorizing Al-Quran that can be applied to early childhood. One school that uses the tabarak method is AZ Tabarak School. By conducting observations and interviews, the results show that AZ Tabarak is implementing a 1st Class Tabarak Program specifically for toddlers, with a span of 3-5 years. The purpose of this program is memorize Al-Qur’an juz 30 and daily prayers. From the implementation, methods, and evaluation used, it can be concluded that the use of the Tabarak Method is quite significant in helping children memorize the Al-Quran.

Key Words: Tabarak Method, Early Childhood Education

A. Pendahuluan

Anak usia dini merupakan masa sensitive dalam perkembangan imajinasi kreativitas seorang anak (Garder, 1993). Pentingnya pembelajaran usia dini (pra sekolah dan taman kanak-kanak) untuk kesejahteraan dan kesuksesan di masa dewasa telah lama diakui (Hardy et al, 1997; Kagan and Kauerz, 2007). Pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak sejak dini akan mengarah kepada hasil pendidikan yang lebih baik di masa depan (Bredekamp, 1997). National Association for the Education of Young Children (NAEYC) menyebutkan bahwa anak usia dini berada dalam rentang 0-5 tahun, namun ada juga yang menyebutkan rentangnya antara 0-7 tahun. Usia ini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan manusia (Suryana, 2007). Usia ini juga dikenal sebagai masa keemasan anak atau dikenal dengan istilah golden age. The Golden Age merupakan masa yang sangat efektif dan urgen untuk dilakukannya optimalisasi

323Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berbagai potensi kecerdasan yang dimiliki oleh anak manusia untuk menuju Sumber Daya Manusia yang berkualitas (Capecchi, 2014). Keberhasilan ataupun kegagalan pengembangan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seorang anak sering terletak pada tingkat kemampuan dan kesadaran orang tua dalam memanfaatkan peluang pada masa keemasan ini. Menurut penelitian neurologi, 50% kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu 4 tahun pertama (Khomaeny, F. F. E. R. Hikmah N.R. Yunitasari, 2018). Jika dilihat dari skala yang lebih luas, pendidikan anak usia dini disuatu negara dapat menjadi tolok ukur kesiapan negara dalam melaksanakan pendidikan yang efektif (Ball, 1994). Hal inilah yang menyebabkan kurikulum yang diterapkan pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) haruslah tepat dan akurat agar kompetensi anak dapat maksimal.

Namun, para orang tua menganggap pendidikan pada anak usia dini tidaklah begitu penting (Bellows, 2011). Mereka menganggap bahwa anaknya masih kecil sehingga belum saatnya di sekolahkan (Qadiri, 2009). Berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan kepada 3 orang tua yang memiliki anak usia rentang 0-5 tahun, dua orang diantara mereka mengatakan untuk tidak mau menyekolahkan anaknya di PAUD karena alasan biaya dan mereka berfikir bahwa anaknya terlalu dini untuk di sekolahkan. Sementara yang satu orang lagi mengatakan bahwa beliau bisa mengajar anaknya sendiri di rumah. Ketika diwawancarai lebih lanjut terkait metode mengajar yang digunakan, beliau mengatakan bahwa yang diajarkan hanyalah belajar bicara dan makan, suatu hal-hal yang dasar. Keseluruhan dari orang tua tersebut tidak tau sama sekali terkait periode golden age pada anak. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi, Widiastuti and Rahardjo (2018) dan Cahayanegdian (2020) yaitu sekitar 57.14% orang tua yang level pendidikannya berada pada tingkat SMA ke bawah menganggap pendidikan pada Anak Usia Dini tidak penting. Hasil lain menunjukkan bahwa persepsi orang tua itu sangat beragam tergantung dari tingkat pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendapatan orangtua, maka semakin baik pula persepsinya terhadap PAUD, begitu pula sebaliknya. Padahal periode anak usia dini memiliki kemampuan menyerap informasi sekitar 80 % ke atas (Tucker, 2008). Periode ini merupakan masa pengenalan bakat pada anak dan mampu dijadikan patokan untuk orang tua dalam mengembangkan bakat anak.

Sebagai solusi permasalahan tersebut, saat ini banyak Sekolah PAUD yang menggunakan beragam metode pengajaran yang dapat memberikan daya Tarik khususnya bagi orang tua siswa. Salah satunya adalah sekolah PAUD di Sulawesi Selatan yaitu AZ Tabarak. AZ tabarak adalah sekolah PAUD yang menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan Metode Tabarak. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan kurikulum yang

324 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menekankan secara dominan kompetensi yang harus dikuasai oleh anak didik (Chambers, 1993). KBK fokus dalam membantu pengembangan kompetensi anak, sehingga cakupan materinya tidak terlalu luas, melainkan mengkaji lebih dalam (Kwartolo, 2002). Hal ini bertujuan agar setelah anak selesai mengenyam pendidikan, anak tersebut telah mengetahui kompetensi yang mereka miliki. Lebih jauh Christine Gilbert sebagai chief inspector Ofsted pada dokumen visi 2020 dari Ofsted menekankan bahwa pengembangan kurikulum di abad ke-21 lebih ditekankan pada bagaimana mengembangkan suatu konsep “learning how to learning”. Kurikulum berbasis kompetensi menekankan pada mengeksplorasi kemampuan/ potensi peserta didik secara optimal, mengkonstruk apa yang dipelajari dan mengupayakan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kurikulum berbasis kompetensi berupaya mengkondisikan setiap peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sehingga proses penyampaiannya harus bersifat kontekstual dengan mempertimbangkan faktor kemampuan, lingkungan, sumber daya, norma, integrasi dan aplikasi berbagai kecakapan kinerja, dengan kata lain KBK berorientasi pada pendekatan konstruktivisme.

Adapun metode tabarak merupakan salah satu metode menghafal Al-Qur’an yang diajarkan kepada anak usia dini. Menghafalkan al-Qur’an merupakan salah satu bentuk interaksi umat Islam dengan al-Qur’an yang telah berlangsung secara turun menurun sejak al-Qur’an pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. hingga sekarang dan masa yang akan datang. Allah SWT. telah memudahkan al-Qur’an untuk dihafalkan, baik oleh umat Islam yang berasal dari Arab maupun selain Arab yang tidak mengerti arti kata-kata dalam al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab (Hidayah, 2017). Menghafal al-Quran tentu sangat utama bagi kaum muslim. Menghafal al-Qur’an membuktikan sebuah keteladanan kepada Nabi SAW. Dalam sebuah hadits pernah diceritakan kepada kita, bahwa Rasulullah SAW hampir setiap malam di bulan Ramadhan belajar al-Qur’an sekaligus mengecek hafalan beliau bersama malaikat Jibril. Selain dari bentuk keteladanan kepada Nabi, dengan menghafal al-Qur’an akan memudahkan seseorang dalam menguatkan argumentasi dalam menjalankan dakwahnya. Lebih dari itu lagi adalah sebagai salah satu dasar cara menjaga keontentikan al-Qur’an, hal ini dapat dilihat dari kisah-kisah sahabat dan para tabi’in terdahulu berlomba-lomba menghafalkan al-Qur’an. Secara tekstual tidak didapatkan nash atau dalil yang tegas perintah menghafalkan al-Qur’an. Menghafalkan al-Qur’an termasuk perkara kifayah artinya jika sebagian orang sudah melakukan hal ini, maka yang lain gugur kewajibannya. Tetapi yakinilah bahwa segala sesuatu yang datangnya dari kehendak Allah SWT tentu memiliki keutamaan-keutaaan yang mulia (Hariyanti, 2017).

Pada proses menghafal menggunakan metode Tabarak terdiri dari 7

325Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

level. Metode ini terilhami oleh pengalaman Dr. Kamil el-Laboody dalam mengarahkan anaknya yang bernama Tabarak. Awalnya, anak lebih banyak diperdengarkan baik dari ustadzah maupun orang tuanya atau murattal. Satu ayat bisa diulang sampai 3 kali yang diputar sebanyak 20 kali dan anak diminta untuk mendengarkan dengan seksama dan melihat bagaimana ustadzah atau orangtua mengucapkan tiap kata. Dalam menghafal metode tabarak ini, awalnya Dr. Kamil el-Laboody menerapkan metode ini kepada ketiga anaknya yaitu (Tabarak, Yazid dan Zeenah) yang pada saat itu, belum bisa menghafal al-Qur’an dengan cara membacanya. Bacaan al-Qur’an hanya diperdengarkan sembari mulai diperkenalkan pula pada huruf dan harakat al-Qur’an. Yang dimulai dari surah- surah pendek atau juz 30. Saat di rumah beliau menalqinkan surah-surah kepada Tabarak, setelah anak diminta untuk menghafalkan surah yang telah dihafalnya. Apabila Tabarak berhasil menghafal surahnya, maka orangtuanya akan memberikannya hadiah yang disukai oleh Tabarak. Selain itu terdapat makanan khusus berupa susu, madu, dan kurma untuk menjaga stamina. Seperti itulah cara Dr. Kamil el-Laboody beserta istrinya dalam mengajarkan menghafal al-Qur’an kepada anaknya (Masyhud, R. F. dan Husnur, 2016).

Metode Tabarak ini mendominasi semua metode menghafal al-Qur’an karena metode Tabarak cara mengajarannya dan cara belajarnya itu dilakukan dengan santai tanpa adanya suatu paksaan serta dalam proses pembelajarannya audiovisual yaitu anak diputarkan murottal syekh-syekh terkenal menggunakan alat pendukung yaitu speaker dan TV dalam ruangan yang menggunakan AC, sehingga anak dapat berkonsentrasi dalam menghafal. Setelah itu, anak diminta untuk istirahat sambil muraja’ah hafalan kemarin sambil asisten gurunya menyediakan makanan Tabarak yakni kurma dan susu yang diberikan pada anak dengan cara antri. Setelah itu, anak kemudian diputarkan kembali surah yang tadi sampai anak mengingatnya. Sehingga, dari berbagai metode menghafal al-Qur’an yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah tahfidz untuk memudahkan seseorang menghafal al-Qur’an diantaranya adalah metode Tabarak.

Metode Tabarak yang diterapkan pada Sekolah PAUD AZ Tabarak Makassar merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan harapan terbesar para orangtua muslim yaitu ingin menjadikan anaknya hafidz Qur’an pada usia dini. Namun, masih terdapat sejumlah hambatan dalam kemampuan anak untuk menghafal, sehingga perlu dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, artikel ini akan menjelaskan terkait penggunaan Metode Tabarak dalam Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah PAUD AZ Tabarak. Dalam artikel ini akan dijelaskan terkait bagaimana implementasi metode tabarak di Sekolah PAUD AZ Tabarak.

326 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. MetodePenelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis deskriptif.

Subjek dalam penelitian ini sebanyak 3 orang yakni 2 orang ustadzah yang mengajar pada kelas balita dan seorang direktur selaku kepala sekolah. Lokasi penelitian dilakukan pada Sekolah PAUD AZ Tabarak Makassar. Data dikumpulkan menggunakan teknik observasi, wawancara melalui telepon, dan dokumentasi. Dimana peneliti melakukan proses pengamatan di lapangan dengan mengumpulkan informasi yang diperlukan. Selain itu juga menggunakan wawancara terstruktur, peneliti membuat daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada reponden lengkap dengan jabawabannya. Namun wawancara dilakukan melalui telepon dikarenakan masih masa pendemic virus corona. Selain itu peneliti juga menggunakan dokumentasi guna mengumpulkan data baik dari buku, dokumen, dan pengamatan lapangan. Data yang sudah tersedia kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data dianalisis menggunakan tiga tahap dalam model Miles dan Huberman yakni: reduksi data (mengumpulkan data dan informasi penting dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi); penyajian data (rangkuman deskriptif dari hasil yang diperoleh untuk memudahkan rencana kerja selanjutnya); dan penarikan kesimpulan (menguji kesimpulan dengan membandingkan teori yang relevan, mengecek ulang hasil penelitian, serta membuat kesimpulan berupa temuan baru) (Sugiyono, 2005).

C. Hasil dan Pembahasan1. Gambaran Umum Latar Penelitian

AZ Tabarak Class merupakan bagian dari AZ Institute yang berlokasi di Jl. Jipang Raya, Gunung Sari, Kec. Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221. Visi AZ Tabarak Class adalah mencetak 10.000 hafizh/hafizah di Indonesia. Adapun misi nya adalah mengembangkan system pembelajaran tabarak yang mampu membekali anak dengan kecakapan intelektual dalam mengahafal Al-Qur’an. Vasilitas yang terdapat dalam AZ Tabarak Class adalah ruang kelas yang full AC, LCD, Proyektor, Sound System, dan Peralatan Makan untuk anak-anak. Struktur bangunan AZ Tabarak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 AZ Tabarak Class

327Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2. Penggunaan Metode Tabarak dalam Sekolah PAUD AZ Tabarak

Di era industri 4.0 ini masyarakat muslim, terlebih bagi orang tua, ulama, guru dan para aktivis dakwah dituntut untuk memiliki sikap isyfaq terhadap anak-anak yang merupakan generasi penerus Islam. Sikap isyfaq merupakan sikap peduli, khawatir dan prihatin terhadap kondisi dunia anak- anak di era millenial ini. Dan implementasi isyfaq yang real yaitu mendidik anak-anak untuk membaca dan menghafal al-Qur’an. Dengan menanamkan kecintaan anak terhadap al-Qur’an sejak dini, maka kecintaan itu akan bersemi saat dewasa nanti. Upaya pelestarian al-Qur’an melalui hafalan sebaiknya dilakukan sejak dini. Melihat pada usia dini anak belum banyak terbebani masalah-masalah kehidupan dan daya ingatnya yang masih kuat. Oleh karena itu, Sekolah PAUD AZ Tabarak menyediakan tempat untuk menghafal al-Qur’an pada usia dini. Sehingga masa-masa emas usia anak yakni dibawah lima tahun, benar-benar dimanfaatkan dan terarahkan dengan benar.

Keunikan dan keistimewaan program tabarak yang diselenggarakan AZ Tabarak Class Makassar tidak banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan lain. Biasanya lembaga tahfidz diperuntukkan untuk anak seusia SD (sekolah dasar) ataupun untuk remaja dan biasanya hanya menghafal juz 30 saja, berbeda dengan AZ Tabarak Class Makassar yang dikhususkan untuk balita yang notabene belum dapat membaca al-Qur’an dan target hafalan yaitu juz 30. AZ Tabarak Class Makassar melaksanakan program tabarak class level 1 yang dikhususkan pada balita. Adapun tujuan program ini yaitu, pertama, agar anak hafal al-Qur’an juz 30 dan doa-doa harian. Program ini merupakan bekal bagi anak-anak ketika menginjak usia dewasa agar dapat menghafal al-Qur’an dengan sempurna. Kedua, program ini bertujuan untuk mendorong, membina dan membimbing anak untuk mencintai al-Qur’an dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, untuk membumikan al- Qur’an diusia balita di Indonesia. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwasannya “Anak adalah amanah di tangan ibu dan bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Apabila dibiasakan pada suatu yang baik, maka ia akan tumbuh besar dengan sifat-sifat baik dan akan bahagia di dunia dan akhirat kelak. Begitupun sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan tradisi-tradisi buruk, tidak diperdulikan seperti layaknya hewan, maka ia akan hancur dan binasa (Syarifuddin, 2006). Hal tersebut yang melatarbelakangi direktur AZ Institute yang menanungi AZ Tabarak Class Makassar untuk mendirikan sekolah tahfidz al-Qur’an untuk balita.

AZ Tabarak Class didirikan pada tahun 2019. AZ Tabarak Class merupakan lembaga tahfidz al-Qur’an khusus untuk anak usia dini yang

328 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menggunakan metode tabarak dalam pembelajarannya. Metode tabarak pertama kali dikembangkan oleh Syaikh Dr. Kameel el-Laboody dari Mesir yang telah berhasil mendidik ketiga anak beliau (Tabarak, Yazid, dan Zeenah) menjadi penghafal Al-Qur’an 30 juz dalam usia 4,5 tahun. Pelaksanaan tahfidz metode tabarak di AZ Tabarak Class merupakan bentuk kesadaran lembaga pendidikan tersebut melestarikan dan membumikan al-Qur’an sejak dini, membekali siswa dengan jiwa Qur’ani, sehingga perilakunya sesuai dengan tuntunan dan tuntutan al-Qur’an. Pelaksanaan program tahfidz metode tabarak di AZ Tabarak Class dapat dianalisis dari aspek-aspek berikut:

3. Model Pelaksanaan Tahfidz Al-Qur’an

Metode Tabarak di AZ Tabarak Class untuk saat ini terdiri dari 1 level pembelajaran. Target kurikulum dalam level 1 disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kurikulum di AZ Tabarak Class

No Nama Program

Target Waktu Pelaksanaan Deskripsi

1 Belajar Tajwid 1 bulan Pengenalan Al-Qur’an; memperbaiki bacaan Al-Qur’an

2 Menghafal Juz 30

6-12 bulan (disesuaikan dengan usia anak)

Anak mulai menghafal Al-Qur’an dengan menggunakan Metode Tabarak.

3 Menghafal Bacaan Shalat

3-6 bulan (disesuaikan dengan usia anak)

Anak mulai menghafal bacaan shalat dengan menggunakan Metode Tabarak.

4 Menghafal Doa-Doa Harian

1-2 bulan (disesuaikan dengan usia anak)

Anak mulai menghafal bacaan doa-doa harian dengan menggunakan Metode Tabarak.

5 Kegiatan rutin anak soleh/solehah

Setiap hari Shalat dhuha, sarapan makanan yang bergizi (kurma, susu, dan buah), menjadi imam bagi anak laki-laki dan menjadi makmum bagi anak perempuan, menonton film anak yang edukatif.

6 Muroja’ah/Mengulang bacaan

Kamis Bacaan yang dimuroja’ah bisa bacaan Al Qur’an Juz 30, doa harian, dan bacaan shalat

Kegiatan menghafal Al-Qur’an yang dilaksanakan oleh AZ Tabarak Class berdasarkan kurikulum yang sudah tersusun dalam tabarak project.

329Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Setiap kelas dibimbing oleh 2 ustazdah/fasilitator. Untuk tahun ajaran 2019/2020 ini, AZ tabarak membuka satu kelas yang terdiri dari 6 anak. Adapun langkah-langkah pembelajaran kegiatan tahfidz Al-Qur’an metode tabarak di AZ Tabarak Class yaitu:a. Fasilitator dan siswa dalam keadaan duduk rapib. Berdo’a bersama yang diawali dengan surat Al-Fatihahc. Shalat dhuhah berjamaahd. Dilanjutkan dengan muroja’ah hafalan atas ayat-ayat yang sudah

dihafalkan di hari kemarin dengan sistem mendengarkan murottal dan siswa menirukan bersama-sama

e. Menghafal ayat-ayat baru (ziyadah) dan makan pagi berupa susu dan roti kurma

f. Sesi penguatan hafalan hari inig. Pengenalan untuk materi esok harih. Diakhiri dengan doa dan membaca pelajaran hari ini secara berjamaah

dan perorangan setelah doa selesai.Muroja’ah yaitu membaca ulang hafalan yang telah dihafal selama

kurang lebih 1 jam mengikuti bacaan murottal syaikh sudais atau syaikh suraim. Muroja’ah ini dilakukan bersama atau tiap siswa meneruskan ayat. Ziyadah atau tambahan hafalan baru yaitu pemutaran murottal bacaan syaikh kameel tiap ayat sebanyak 3 kali dan siswa menirukan bacaan syaikh yang ada di murottal. Misal hari ini menghafal An-Naba’ ayat 1-20 maka ayat 1 dibaca 3 kali, ayat 2 dibaca 3 kali, dan seterusnya hingga ayat 20, kemudian diulang lagi dari awal hingga sekitar satu jam. Jadi untuk hafalan baru 1 ayat bisa diputar sampai 18 kali. Sedangkan tahsin dan penguatan hafalan juga sistemnya sama namun diputarkan murottal Dr. Kameel lagi. Jadi dalam pembelajaran satu hari di kelas itu pemutaran setiap ayatnya lebih dari 30 kali, bahkan sampai 50 kali.

Untuk level 1 menghafal juz 30 dengan sistem muroja’ah yaitu ½ atau 1 surat untuk surat yang panjang, 2 surat untuk surat yang sedang dan 3 surat untuk surat yang pendek. Kemudian untuk ziyadah/menambah hafalan baru yaitu ½ surat untuk surat yang panjang, 1 surat untuk surat yang sedang dan 2 sampai 3 surat untuk surat yang pendek. Kegiatan tahfidz Al-Qur’an dilaksanakan pada hari senin hingga rabu pada pukul 07.30 sampai 11.30. hari kamis dikhususkan untuk muroja’ah full tanpa ada tambahan hafalan baru. Sedangkan hari jumat sampai minggu libur.

4. Metode yang digunakanMetode merupakan alat penting untuk merealisasikan keberhasilan.

Pemilihan metode yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi siswa harus diperhatikan. AZ Tabarak Class Balita menggunakan metode tabarak dalam

330 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pembelajarannya, hal ini sesuai dengan tujuannya yaitu menghafal Qur’an di usia dini walaupun siswa belum bisa membaca, yaitu menghafal al-Qur’an dengan mendengarkan murottal lalu mereka mengikuti. Target menghafal dalam metode tabarak sudah dirancang secara detail yang dituangkan dalam jadwal harian atau target tiap pertemuan. Untuk pembelajaran di kelas sudah disediakan cd pembelajaran yang berisi muroja’ah, ziyadah, tahsin, dan materi belajar membaca al-Qur’an. Dengan sistem pengulangan pada setiap ayat 3 kali, yaitu bacaan dari syaikh kameel, tabarak, syaikh syuraim, syaikh sudais, dan lain-lain.

Dalam metode tabarak tidak menggunakan sistem talaqqi yang dibacaka oleh ustadzah maupun fasilitator, tujuannya supaya bacaan anak sesuai dengan standart bacaan syaikh (benar dalam makhorijul huruf, tajwid, dll). Selain belajar menghafal al-Qur’an dengan sistem mendengarkan murottal, anak juga dituntun untuk belajar membaca al-Qur’an. Anak-anak dituntun belajar huruf hijaiyah mulai alif sampai ya’, harakat fathah, tanwin dan sukun. Adapun proses pembelajaran di kelas AZ Tabarak dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut.

Gambar 2 Shalat Dhuha Berjamaah Gambar 3 Menonton Film Edukatif

5. Evaluasi

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dalam mencapai tujuan pelaksanaan kegiatan menghafal al-Qur’an, maka diperlukan adanya evaluasi. Evaluasi merupakan hal terpenting dari kegiatan menghafal Qur’an. Adapun evaluasi yang dilakukan oleh muyassir atau fasilitator terdiri dari beberapa aspek, yaitu meliputi aspek kelancaran, tajwid, dan makhorijul huruf. Evaluasi harian anak menggunakan buku penghubung untuk memantau perkembangan harian hafalan para anak. Aspek yang dinilai yaitu keterlambatan, tidur saat halaqah, kemampuan mengucapkan kata, respon di halaqah selama menghafal, respon saat makan (susu/roti

331Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kurma), dan pencapaian materi hari ini / kemampuan menghafal dan merespon hari ini, sedangkan penilaian untuk di rumah yaitu meliputi aspek muroja’ah dan belajar membaca.

F. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil wawancara melalui telepon, observasi, serta pengumpulan dokumentasi yang peneliti lakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan program tahfidz al-Qur’an metode tabarak di AZ Tabarak Class dapat dilihat dari pelaksanaan, metode yang digunakan, dan evaluasi. Model pelaksanaan mencakup aktivitas yang dilakukan oleh fasilitator dan anak pada level 1 dalam kegiatan menghafal al-Qur’an, meliputi berdoa, muroja’ah, ziyadah/menambah hafalan baru, tahsin dan penguatan hafalan, setoran hafalan serta mencatat hasil hafalan dan sikap anak selama di sekolah. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan program tahfidz al-Qur’an metode tabarak bagi anak yang meliputi beberapa aspek, yaitu aspek kelancaran, makhorijul huruf, dan tajwid. Evaluasi dilakukan per tengah level dan per akhir level.

Adapun saran untuk sekolah adalah menambah level kelas di AZ Tabarak agar visi sekolah bisa terwujud. Selain itu, guru dan orang tua harus saling berkolaborasi dan bagi orang tua agar senantiasa mendampingi dan mendukung anaknya di rumah dalam menghafal Al-Qur;an

Daftar Pustaka

Andarini, N. H. (2018). Pengaruh Menghapal AL-Quran Metode Tabarak terhadap Peningkatan Memori Menghafal Al-Qur’an pada Anak Usia Dini. Central Library of Maulana Malik Ibrahim State Islamic University, 10(1), 279–288. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2014.05.023%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.gie.2018.04.013%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29451164%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC5838726%250Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.gie.2013.07.02

Ball, C. (1994). Start right: The importance of early learning. Lesley James, Royal Society for the Encouragement of Arts, Manufactures and Commerce, 8 John Adam Street, London, WC2N 6EZ, England, United Kingdom (15 British pounds).

Bellows, L., Silvernail, S., Caldwell, L., Bryant, A., Kennedy, C., Davies, P., & Anderson, J. (2011). Parental perception on the efficacy of a physical activity program for preschoolers. Journal of community health, 36(2), 231-237

332 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds.). (1997). Developmentally appropriate practice in early childhood programs (Revth ed.). Washington, DC: National Association for the Education of Young Children.

Cahayanegdian, A. (2020). Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Anak Usia Dini.

Capecchi, D. (2014). The Golden Age. History of Mechanism and Machine Science, 25, 223–301. https://doi.org/10.1007/978-3-319-04840-6_5

Chambers, D. (1993). Toward a competency-based curriculum. Journal of Dental Education. https://doi.org/10.1002/j.0022-0337.1993.57.11.tb02806.x

Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.

Garder, H. (1993). Creating minds: An anatomy of creativity. New York: Basic Book.

Hardy, J. B., Shapiro, S., Mellits, E. D., Skinner, E. A., Ensminger, M., LaVeist, T., Baumgardner, R. A., & Starfield, B. H. (1997). Self-sufficiency at ages 27 to 33 years: factors present between birth and 18 years that predict educational attainment among children born to inner-city families. Pediatrics, 99, 80–87.

Hariyanti, W. E. (2017). Metode Menghafal Al’Qur’an Pada Anak Usia Dini \. Yogyakarta.

Hidayah, A. (2017). Metode Tahfidz al-Qur’an untuk Anak Usia Dini, UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, 18(1).

Kagan, S. L., & Kauerz, K. (2007). The educationalization of early care and education. In R. C. Pianta, M. J. Cox, & K. L. Snow (Eds.), School readiness and the transition to kindergarten in the era of accountability (pp. 12–16). Baltimore: Paul H. Brookes.

Khomaeny, F. F. E. R. Hikmah N.R. Yunitasari, N. dan M. A. (2018). Bermain Ludo King untuk Meningkatkan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini, Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan: Early Childhood, Vol. 2(No. 2). Retrieved from https://journal.umtas.ac.id/inde%0Ax.php/EARLYCHILDHOOD/article/view/285

Kwartolo, Y. (2002). Catatan Kritis tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jurnal Pendidikan Penabur, (01), 106–116.

Masyhud, R. F. dan Husnur, I. (2016). Rahasia Sukses 3 Hafidz Qur’an Cilik Mengguncang Dunia. Jakarta: Zikrul.

Maula, R. (2019). Implementasi Metode Tabarak di Mataba Al Furqon Desa Petung Panceng Gresik dan Metode Talaqqi di KB-TK AL Furqon Al Islami Desa Sroqo Sidayu Gresik.

333Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pratiwi, D. S., Widiastuti, A. A., & Rahardjo, M. M. (2018). Persepsi orangtua terhadap pendidikan anak usia dini di Lingkungan RW 01 Dukuh Krajan Kota Salatiga. Jurnal Satya Widya, 34(1), 39–49.

Sugiyono. (2005). Metodologi penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suryana, D. D. M. P. (2007). Dasar-Dasar Pendidikan TK. Hakikat Anak Usia Dini, 1, 1–65.

Syarifuddin, A. (2006). Mendidik Anak Membaca, Menulis, dan Mencintai Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.

Tucker, P. (2008). The physical activity levels of preschool-aged children: A systematic review. Early Childhood Research Quarterly, 23(4), 547–558. https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2008.08.005

Qadiri, F., & Manhas, S. (2009). Parental perception towards preschool education imparted at early childhood education centers. Studies on Home and Community Science, 3(1), 19-24.

334 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

THE READINESS OF EDUCATION UNITS IN MANAGING THE CURRICULUM RELATED TO THE POLICY OF LEARNING PROCESS

FROM HOME

KESIAPAN SATUAN PENDIDIKAN DALAM MENGELOLA KURIKULUM TERKAIT KEBIJAKAN PROSES BELAJAR DARI

RUMAH

Apriyanti Wulandari1*, Maria Listiyanti 2

1,2 Pusat Kurikulum dan Perbukuan*[email protected]

Abstract

Strategic Study of Education Unit Readiness in Managing Curriculum Related to The Policy of Learning Process from Home focuses on how education units identify needs so that program designs are in accordance with the conditions and needs of students and do not view online learning as identical to learning from home. The support and carrying capacity of internal and external influences related to the implementation of learning from home which need to be considered by the education unit. This strategic study is a policy study conducted qualitatively, through focused discussions (teleconferences), questionnaires, and secondary data studies. Based on this study, the implementation of learning from home needs to pay attention to 4 things, namely the chosen platform, curriculum design and learning, and the carrying capacity of the educational unit.

Keywords: Curriculum Management, Learning from Home

Abstrak

Kajian Strategis Kesiapan Satuan Pendidikan dalam Mengelola Kurikulum Terkait Kebijakan Proses Belajar dari Rumah memfokuskan pada bagaimana satuan pendidikan melakukan identifikasi kebutuhan agar rancangan program sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik dan tidak memandang pembelajaran daring identik dengan belajar dari rumah. Peran dan daya dukung internal maupun eksternal yang berpengaruh terkait pelaksanaan belajar dari rumah yang perlu diperhatikan oleh satuan pendidikan. Kajian strategis ini merupakan kajian kebijakan yang dilakukan secara kualitatif, melalui diskusi terfokus (teleconference), kuestioner, dan kajian data sekunder. Berdasarkan kajian ini, pelaksanaan belajar dari rumah perlu memperhatikan 4 hal, yaitu flatform yang dipilih, rancangan kurikulum dan pembelajaran, dan daya dukung satuan pendidikan.

Kata kunci: Pengelolaan Kurikulum, Belajar dari Rumah

335Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

A. Pendahuluan

Mark Raper (Sufiyanta, 2013) menyatakan pendidikan sebagai proses formasi bagi pengambilan keputusan dan tindakan nyata; kepala (head), hati (heart), dan tangan (hands) mengingatkan kita pada pendidikan dengan dimensi sosial, utamanya tantangan di era globalisasi. Ini menegaskan bahwa pendidikan tidak sebatas membuat siswa mampu secara akademis, membawa mereka mencintai dunia dan bertanggung jawab, dan menemukan cara untuk terus-menerus memperbaharui dunia.

Halnya pandemi covid 19 yang mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Kondisi ini memaksa manusia untuk beradaptasi dan mengubah cara-cara lama menjalani hidup. Pada dunia pendidikan, terjadi perpindahan dari ruang kelas ke rumah, yang menuntut orang tua memberikan kontribusi lebih dalam pendidikan. Peran guru yang semula lebih dominan perpindah kepada orang tua dalam pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan dari rumah.

Kebijakan belajar dari rumah sesuai Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid 19 dalam rangka mempertimbangkan kesehatan lahir dan batin siswa, guru, kepala sekolah, dan seluruh warga. Pembelajaran dari rumah tentu saja berbeda dengan pembelajaran di ruang kelas. Sehingga ini akan mempengaruhi perancangan pembelajaran yang disusun oleh guru. Yang mana pembelajaran dari rumah merujuk surat edaran di atas: (1) melalui pembelajaran daring/jarak jauh untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebafni tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan; (2) difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup; (3) aktivitas dan penugasan bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah; (4) bukti atau produk aktivitas belajar di rumah diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberikan skor/nilai kuantitatif.

Kebijakan ini tentu akan berpengaruh pada pengelolaan kurikulum di satuan pendidikan (sekolah) yang akan berubah mulai dari tujuan, konten/materi, pengalaman belajar, dan penilaian hasil belajar. Keempat komponen ini dijabarkan sesuai dengan perubahan yang terjadi di satuan pendidikan yang saat ini menghadapi pandemi covid 19. Tentu akan ada penyesuaian dokumen kurikulum sekolah dengan pelaksanaan belajar dari rumah, pengurangan beban belajar, perubahan bentuk penilaian dan seterusnya. Satuan pendidikan perlu merancang kurikulumnya sendiri mengingat perbedaan struktur rencana pendidikan, tempat, tata letak organisasi, sumber keuangan, karakteristik guru, masyarakat, dan siswa yang berbeda dengan satuan pendidikan lain (Lewy,

336 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1991; Ringwalt, Ennett, Vincus, & Simons Rudolph, 2004; Yüksel, 1998; Uyar & Ahmet Doğanay, 2018).

Perubahan yang mendadak ini membuat semua pihak tidak siap, pembelajaran yang utamanya menggunakan buku teks menjadi difokuskan pada kecakapan hidup dengan aktivitas penugasan yang beragam serta penilaian bersifat kualitatif bagi pencapaian peserta didik. Pemerintah daerah belum melakukan pemetaan kondisi satuan pendidikan (sekolah) yang berada dalam lingkup kewenangan tata kelola pendidikan daerah itu, terutama dalam kemudahan akses/fasilitas belajar dari rumah dan kesiapan sumber daya manusia dalam mengelola proses pembelajaran dari rumah. Sehingga mestinya proses pembelajaran dari rumah dapat dilaksanakan dalam berbagai strategi yang disesuaikan dengan konteks.

Pembelajaran sesuai konteks ini menerapkan konsep dan keterampilan di dunia nyata (kehidupan sehari-hari) yang relevan dengan latar belakang kehidupan peserta didik sehingga “memotivasi peserta didik untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja dan untuk terlibat dalam kerja keras yang dibutuhkan pembelajaran” (Sears & Hersh, 2000, Al Amin, 2017). Untuk itu Kurikulum sekolah didorong untuk mengidentifikasi dan mengembangkan karakteristik khusus mereka yang disesuaikan dengan tradisi sejarah dan situasi saat ini (pandemi covid 19), sehingga dapat memaksimalkan potensi peserta didik dan meningkatkan nilai satuan pendidikan di masyarakat. Kurikulum ini diharapkan berubah dari homogenitas dan keseragaman menjadi keberagaman dan inovasi yang lebih besar (Tan, 2016).

Pandemi Corona memaksa pendidikan formal menganut paradigma pedagogi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Suciati (dalam Belawati (Ed), 2020) menjelaskan bahwa Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat telah mengguncang dan mengubah proses pembelajaran menjadi digital, virtual, networked dan mobile. Meskipun pembelajaran konvensional masih tetap berlangsung dalam sistem pendidikan di berbagai dunia, tetapi pada saat yang sama terjadi a shift of paradigm (pergeseran paradigma) ke arah cara pandang dan cara kerja baru. Pavlik (dalam Suciati, 2020) menguraikan penggunaan teknologi dalam pendidikan akan membuat perubahan pada komponen-komponen tertentu, di antaranya: penggunaan teknologi untuk mentransformasi metode dan tingkat interaktivitas dalam pembelajaran, mendefinisi ulang struktur dan tampilan substansi, termasuk penggunaan media dalam pembelajaran, pola komunikasi mahasiswa dengan dosen dan antara mahasiswa dengan mahasiswa lain, serta struktur pembiayaan dan mekanisme kerja institusi.

337Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa guru masih mengejar ketercapaian kurikulum. Dari 602 guru yang menjadi responden, sebanyak 53 persen menyatakan akan menyelesaikan target pencapaian kurikulum sesuai rencana, hanya 22,6 persen yang tidak menargetkan ketercapaian kurikulum. Selain itu, masih ada guru yang menerapkan jam pembelajaran yang padat, sesuai jadwal normal (28,9 persen). Sejumlah guru pun masih sekadar memberikan tugas kepada siswa (29,6 persen), tugas yang diberikan pun lebih mengacu pada buku paket atau lembar kerja siswa (Kompas, 2 Mei 2020).

Melihat permasalahan di atas maka kajian strategis terkait kesiapan satuan pendidikan dalam mengelola kurikulum dalam kebijakan pelaksanaan belajar dari rumah penting untuk dilaksanakan. Kajian strategis ini tidak hanya mengkaji faktor sekolah dan siswa, tetapi yang penting juga peran keluarga sebagai pendamping dalam proses belajar dari rumah. Kebaruan kajian strategis ini bertumpu pada pemberdayaan orang tua atau keluarga yang turut mewarnai pembelajaran bermakna dan memiliki dimensi sosial sejalan dengan kondisi sosio kultural keluarga dan masyarakat sebagai warna konteks keberadaan siswa dan sekolah.

B. Metode

Kajian strategis ini didasarkan pada data lapangan yang diperoleh melalui FGD secara teleconference dan kuestioner. Pengumpulan data melibatkan 10 satuan dari jenjang SD dan SMP, serta melibatkan 5 Kabupaten/Kota (Kota Tegal, Kota Cirebon, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, dan Kabupaten Pandeglang. Daerah pengumpulan data didasarkan pada daerah rintisan Pusat Kurikulum dan Perbukuan tahun 2018-2019 yang dipilih dengan tujuan tertentu.

Analisa data pada kajian strategis ini dilakukan secara kualitatif terkait telaah kebijakan proses belajar dari rumah. Kajian ini merujuk pada alur pikir berikut.

338 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Fokus kajian kebijakan strategis akan menelaah pada 2 aspek, yaitu:

1. Strategi satuan pendidikan dalam mengelola kurikulum yang kontekstual, mencakup tahapan analisis konteks, rancangan program atau rencana aksi, pelibatan orang tua dan masyarakat dalam program satuan pendidikan, pengelolaan daya dukung termasuk akses layanan/fasilitas.

2. Pelaksanaan kebijakan proses belajar dari rumah, mencakup kesesuaian rancangan pembelajaran dalam konteks belajar dari rumah, kendala dalam pelaksanaan, identifikasi kebutuhan panduan teknis.

Daerah kajian didasarkan pada daerah piloting Puskurbuk tahun 2018-2019 di Pulau Jawa. Pemilihan daerah di Jawa dengan pertimbangan jaringan internet yang lebih baik mengingat dalam kondisi Pandemi Covid 19 penelitian sangat bergantung pada sarana ini. Daerah penelitian dipilih 5 dari 8 daerah yang mewakili provinsi. Demikian halnya dengan satuan pendidikan yang akan dijadikan sampel merupakan satuan pendidikan yang sudah didampingi oleh Puskurbuk tahun 2018-2019 di daerah terpilih. Setiap daerah akan dipilih secara acak 1 SD dan 1 SMP sesuai dengan lingkup penelitian sebagaimana tabel berikut,

Tabel 1. Daerah dan Satuan Pendidikan Sampel

No. Daerah Satuan Pendidikan

1 Kota Cirebon, Jawa Barat • SD Negeri Kalijaga Permai• SMP Negeri 12 Kota Cirebon

2 Kabupaten Pandeglang, Banten

• SD Negeri Sukasari 2• SMP Negeri 2 Pandeglang

3 Kota Tegal, Jawa Tengah • SD Negeri Tegal Sari 4 Kota Tegal• SMP Negeri 9 Kota Tegal

4 Kabupaten Adminisrasi Kep. Seribu, DKI Jakarta

• SD Negeri Pulau Kelapa 01 Pagi• SMP Negeri 260 Jakarta

5 Kabupaten Malang, Jawa Timur

• SD Negeri 3 Sumberpucung• SMP Negeri 2 Lawang

Responden yang terlibat dalam kajian ini guru, kepala satuan pendidikan, dinas pendidikan kabupaten/kota dan praktisi pendidikan. Kajian ini juga didukung data sekunder dengan melakukan telaah dokumen perangkat kurikulum dari satuan pendidikan, penelitian yang relevan, dokumen kebijakan dari pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan.

C. Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Pendidikan Daerah

Respon pemerintah daerah terhadap kebijakan belajar dari rumah oleh Kemdikbud cukup beragam. Beberapa daerah menindaklanjuti dengan

339Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kebijakan daerah yang didukung dengan program relevan dan ada daerah yang hanya sampai pada kebijakan tidak ada program langsung yang menyasar satuan pendidikan. Berikut potret kebijakan pendidikan daerah menindaklanjuti kebijakan belajar dari rumah.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sangat proaktif terhadap kebijakan belajar dari rumah. Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh Provinsi DKI Jakarta. Selain mengeluarkan kebijakan daerah terkait belajar dari rumah, dikeluarkan juga Program Pemberian Kuota Internet bagi Peserta Didik. Dinas Pendidikan juga memfasilitasi program “Belajar Bersama Radio Disdik”. Selain itu disiapkan RPP Pembelajaran dari Rumah yang diupload di web Disdik Provinsi DKI. Menyusun panduan-panduan, antara lain: Panduan guru untuk tatanan belajar, Panduan orang tua mendampingi anak belajar, dan Panduan Pembelajaran gabungan yang bermakna dan menyenangkan.

Pemda Kabupaten Malang melalui Dinas Pendidikan melaksanakan kebijakan belajar dari rumah dengan protokol kesehatan. Melakukan evaluasi pelaksanaan pembelajaran dari rumah, sehingga belajar dari rumah selain daring juga dengan guru kunjung, memberikan bantuan sosial kepada siswa yang tidak mampu secara ekonomi atau berkebutuhan khusus. Sedangkan untuk bahan ajar dan penyesuaian rancangan pembelajaran diserahkan pada sekolah.

Kabupaten Pandeglang termasuk daerah yang menerapkan belajar belajar dari rumah dengan memanfaatkan sumber belajar di laman Kemdikbud (rumah belajar) dan tayangan pembelajaran di TVRI yang disesuaikan dengan jenjang dan kelas. Setelah berjalan kurang lebih 5 bulan dinilai pembelajaran dari rumah kurang efektif karena tidak semua daerah dapat mengakses internet dan sebagian besar orang tua belum mengenal internet. Maka direncanakan pembelajaran tatap muka pada minggu kedua Agustus 2020 untuk jenjang PAUD, SD, dan SMP dengan kapasitas 50%dari kelas dan memperhatikan protokol kesehatan. Pada bulan September dikeluarkan juga kebijakan untuk melakukan home visit dan piket guru di sekolah untuk meyerahkan dan menerima tugas peserta didik yang diatur oleh kepala sekolah.

Sebanyak 34 sekolah jenjang SMP dan SMA di Kota Tegal telah menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka. Terdiri dari 31 SMP negeri dan swasta (3 Agustus 2020), dan 3 SMA/SMK (7 September 2020). Tatap muka dengan sistem bergilir dengan kuota maksimal 50 persen siswa. Namun bila ada orang tua yang keberatan anaknya mengikuti tatap muka dapat dilayani dengan belajar dari rumah. Untuk mendukung pembelajaran dari rumah, pemerintah Kota Tegal menyelenggarakan beberapa program, antara lain: penyusun perangkat pembelajaran (bahan ajar) semua mata pelajaran jenjang SD dan SMP, pemasangan Program Local Loop, sosialisasi melalui saluran

340 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

radio terkait program pendidikan, pendampingan oleh relawan pendidikan di sanggar/kelompok belajar.

Penetapan belajar dari rumah sejak tanggal 16 Maret 2020 oleh Kemdikbud, di Kota Cirebon diawali dengan persiapan yang dilakukan oleh guru sementara siswa diliburkan sampai tanggal 29 Maret 2020. Dijalin pula kerja sama dengan RCTV untuk menayangkan siaran pendidikan yang jadwalnya disebarkan ke peserta didik. Dilakukan pemantauan pelaksanaan belajar dari rumah oleh Disdik dan guru ke rumah peserta didik secara sampel (untuk mengecek aktivitas peserta didik selama jadwal belajar dari rumah).

Aspek Konteks

Konteks pandemi covid 19 yang memaksa perubahan dalam pembelajaran, diawali dengan analisis terhadap berbagai aspek sebelum menyusun terutama program pembelajaran. Hal pertama yang diidentifikasi adalah kepemilikan gawai dan akses internet. Sebagian besar sekolah berpendapat bahwa belajar dari rumah (PJJ: Pembelajaran Jarak Jauh) melalui daring. Analisis baru ditekankan pada bagaimana pembelajaran dapat dilakukan secara daring. Belum mengarahkan pada penyesuaian materi sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan daya dukung di keluarga.

Untuk jenjang SD dan SMP, kita bisa melihat bahwa sejak awal Maret 2020 hingga Juni 2020, PJJ masih dilakukan apa adanya dengan berbagai keterbatasan. Pada waktu itu, platform yang paling banyak digunakan adalah aplikasi Google Class Room (GCR), Zoom dan Whatsapp Group (WAG). Salah satu yang kreatifitas itu adalah membuat WAG di setiap kelas. Pemanfaatan WAG digunakan guru sebagai sarana untuk mengumpulkan tugas. Menurut Anugrahana (2020:285), alasan guru memilih menggunakan WAG adalah lebih praktis, lebih mudah dipahami anak, lebih efektif kerena tidak membutuhkan banyak quota dalam proses pembelajaran. Alasan lain adalah lebih mudah dan semua orang tua wali murid dapat menggunakannya dan bukan hal yang asing.

Fenomena yang menarik dalam sosialisasi ini adalah strategi yang dilakukan SDN Tegal sari 4 (Kota Tegal) yaitu membuat leaflet dan video sebagai bahan sosialisasi kepada siswa baru dan wali murid. Inovasi lainnya juga dilakukan Pemerintah Kota Tegal dengan menyusun Bahan Ajar yang dilengkapi akses link yang bisa dishare ke semua WAG yang terkoneksi dengan guru-guru mapelnya.

Keterbatasan akses internet dan keterbatasan kepemilikan gawai. Hal ini dijumpai di seluruh lokasi SD yang menjadi lokasi penelitian. Solusi untuk menghadapi masalah ini adalah dengan kunjungan guru (home visit) untuk memantau proses PJJ yang dilakukan anak-anak. Selain itu juga dilakukan kunjungan ke rumah guru yang dilakukan secara berkelompok. Cara ini dilakukan di SDN Pulau Kelapa 01 Pagi Kepulauan Seribu.

341Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rancangan Program PembelajaranPembelajaran dari rumah (PJJ) lebih banyak menggunakan aplikasi

WA dan Google Classroom. Zoom digunakan hanya saja kurang dari 50%. Terutama di SD, lebih banyak menggunakan WA dan WAG (baik kelas maupun mata pelajaran). Umumnya pembelajaran dirancang selama 2-3 jam per hari. Ada beberapa sekolah yang memberikan jurnal harian untuk diisi oleh orang tua (SDN Kalijaga Permai Kota Cirebon). Umumnya untuk pelajaran yang kental membentuk sikap dan keterampilan, siswa diminta untuk mendokumentasikan aktivitasnya baik dalam bentuk foto maupun video yang dikirimkan kepada guru mata pelajaran atau wali kelas.

Keterbatasan jam pelajaran ini menyebabkan kurangnya waktu untuk menyampaikan materi, terutama pada SD kelas awal yang perlu juga membangun kedekatan hubungan antara guru dan siswa, siswa dan siswa. Membangun kedekatan emosi ini penting, hubungan guru-siswa yang berfungsi sebagai faktor pelindung untuk menjaga minat belajar, keterlibatan aktif dalam pembelajaran dan perkembangan yang sehat (Maulana, Ridwan, et.al., 2013). Pada jenjang SMP, keterbatasan waktu ini dapat dipenuhi dengan penugasan atau belajar mandiri oleh siswa. Lain halnya dengan siswa SD, yang masih perlu pendampingan dalam belajar, sangat tergantung pada orang tua. Sehingga di jenjang SD kelas rendah ada guru kunjung yang difokuskan pada pendampingan baca, tulis, dan hitung (calistung).

Untuk sekolah di DKI Jakarta dan Kota Tegal, guru tidak menyusun rancangan pembelajaran (RPP) tapi langsung menggunakan yang sudah disediakan oleh dinas pendidikan. Di satu sisi ini meringankan beban guru, namun disisi lain pembelajaran sesuai konteks (kebutuhan) peserta didik tidak terjadi karena adanya penyeragaman. Pembelajaran akan bermakna bila pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari di sekolah berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual), sehingga siswa dapat belajar melalui bekerja dan mengalami serta mengkonstruksi pengetahuannya melalui proses penemuan, bukan transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik (Rizwan, 2016).

Umumnya peserta didik lebih menyukai bahan pembelajaran yang berbentuk video karena lebih mudah dipahami dengan kekuatan audio visual yang menarik. Video pembelajaran yang digunakan guru ada yang dibuat sendiri oleh guru mapel tersebut dan ada juga yang menggunaan dari sumber lain seperti menggunaan channel/link Youtube. Kualitas pembelajaran, termasuk bahan ajar yang digunakan sangat berperan dalam meningkatkan hasil pembelajaran yang pada akhirnya akan berujung pada meningkatnya kualitas pendidikan (Saprya, Erlina Wiyanarti, Muhamad Iqbal, 2014). Sehingga rancangan pembelajaran inovatif dan pemilihan materi menarik dan berkualitas menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

342 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selain platform yang digunakan diatas,juga digunakan aplikasi Ruang Guru seperti di SMPN 12 (Kota Cirebon). Cara lain dilakukan SDN Kalijaga Permai (Kota Cirebon), yaitu menayangkan video pembelajaran yang ditayangkan media TV lokal yaitu RCTV dan penggunaan website sekolah yang berisikan video pembelajaran.

SMP 12 Cirebon menjadikan pandemi covid 19 sebagai konteks pembelajaran dan membuka jadwal konsultasi tatap muka 1 minggu sekali bagi siswa yang mengalami kendala belajar dari rumah. Penugasan yang diberikan kepada siswa umumnya diberikan waktu 1 minggu untuk mengerjakan. Hanya saja mekanisme penugasan oleh guru belum diatur secara khusus, sehingga ada kemungkinan semua guru setiap pertemuan memberikan penugasan yang pada akhirnya memberatkan siswa. Belum ada bukti mengenai penugasan berdampak signifikan terhadap prestasi akademik, namun penugasan memiliki tujuan tertentu selain penguasaan pengetahuan, seperti tanggung jawab dan memotivasi siswa belajar mandiri (Biesta, 2015).

Pada jenjang SD pencapaian pembelajaran dilakukan melalui: tes tertulis (26,1%), penugasan (30,4%), dan penugasan lain yang lebih fleksibel (39,1%). Sedangkan pada jenjang SMP pencapaian pembelajaran dilakukan melalui: penugasan (42,3%) dan penugasan lain yang lebih fleksibel (53,8%). Sebagian besar guru juga menyatakan selama proses pembelajaran mereka sering dan selalu memberikan respon atau umpan balik kepada siswa. Beberapa guru menyatakan hasil pembelajaran secara daring hasilnya lebih baik, namun mereka tidak dapat memantau prosesnya (berdasarkan hasil penugasan).

Beberapa permasalahan dan kendala selama belajar dari rumah ini masih ditinjau dari sudut pandang guru sebagai pelaksana, sekolah belum menanyakan pendapat siswa yang menjalani belajar dari rumah. Pandangan guru ini perlu dikonfirmasi dengan siswa untuk perbaikan praktik PJJ selanjutnya.

Pengelolaan Daya Dukung

Daya dukung yang paling penting dalam pelaksanaan belajar dari rumah (PJJ) adalah penyiapan guru. Berdasarkan kuestioner, umumnya guru tidak semua mendapatkan pelatihan dari Dinas Pendidikan. MGMP/KKG merupakan mitra dinas yang aktif memberikan pelatihan terkait PJJ. Materi yang diprioritaskan pada pelatihan ini mengelola PJJ yang bermakna (61,5% pada SMP dan 65,2% pada SD) dan penggunaan media/aplikasi (96,2% pada SMP dan 56,5% pada SD). Pada jenjang SMP umumnya guru mengikuti pelatihan sebanyak 1x (38,5%), 2x (26,9%) dan 3x (26,9%). Sedangkan pada jenjang SD masih ada 8,7% guru yang menyatakan tidak pernah mendapatkan pelatihan, sebagian besar mendapatkan pelatihan sebanyak 1x (65,2%), sisanya 2x (13%), 3x (5,4%), dan lebih dari 4x (8,7%). Guru-guru di Kota

343Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Cirebon dan Kota Tegal sudah mendapatkan pelatihan yang difasilitasi Dinas Pendidikan dan Kelompok Kerja Guru (KKG). Adapun di SDN Sukasari 02 diadakan pelatihan untuk guru-guru dengan dukungan alokasi dana BOS. Di Pulau Seribu, pelatihan difasilitasi oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dan Gugus Sekolah.

Pelaksanaan PJJ di sekolah umumnya menindaklanjuti dari kebijakan diatasnya (Kemdikbud, Pemda, Disdik), hanya SDN 3 Sumberpucung yang mengeluarkan kebijakan sekolah untuk disosialisasikan kepada orang tua. Orang tua merupakan faktor penting yang menunjang keberhasilan PJJ, namun orang tua memiliki kendala dalam menunjang PJJ ini. Pada jenjang SMP kendala yang dihadapi orang tua antara lain: masalah ekonomi (96,2%), ketidakmampuan dalam mendampingi pembelajaran (96,2%), keterbatasan sarana (88,5%), dan beban psikologis yang bertambah (88,5%). Pada jenjang SD kendala yang dihadapi orang tua antara lain: masalah ekonomi (60,9%), ketidakmampuan dalam mendampingi pembelajaran (82,6%), keterbatasan sarana (60,9%), dan beban psikologis yang bertambah (73,9%). Hal ini dikuatkan dengan hasil FGD dimana orang tua mengeluhkan untuk biaya hidup sehari-hari sulit malah terpaksa membeli kuota internet. Pada jenjang SD orang tua mengaku kurang sabar saat mendampingi anak belajar di rumah, sedangkan pada jenjang SMP lebih pada ketidakmampuan orang tua dalam mendampingi secara kapasitas (materi pelajaran yang kurang dikuasai).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memiliki data, per April 2020, tercatat 40.779 atau sekitar 18% sekolah dasar dan menengah tidak ada akses internet dan 7.552 atau sekitar 3% sekolah belum terpasang listrik. Melihat kondisi itu, akses peserta didik terhadap pembelajaran daring dari rumah bisa lebih rendah lagi karena kendala kepemilikan gawai/laptop dan kuota internet (Media Indonesia.com).

Dukungan sekolah untuk akses internet sebenarnya dapat dialokasikan dengan anggaran dana BOS. Meski demikian, terkait penggunaan dana bos untuk internet terdapat perbedaan kebijakan. Ada sekolah yang belum menggarkan dana BOS untuk pembelian pulsa bagi siswa (SDN 02 Sumberpucang dan SDN Tegal Sari 04), tetapi ada juga sekolah (SDN Sukasari 02) yang dana BOSnya sudah digunakan untuk pelatihan internal untuk mendukung PJJ serta ada sekolah yang masih menunggu aturan teknis penggunaan dana BOS untuk pulsa. Adanya tiga sikap berbeda ini ditentukan dari inisiatif kepemimpinan sekolah.

Peran orang tua menjadi sangat penting karena mereka harus mengambil alih peran guru sebagai pendidik. Hal tersebut menjadi permasalahan karena kapasitas orang tua berbeda-beda dalam memberikan dukungan pendampingan bagi anaknya selama PJJ (SMERU, 2020). Tidak heran jika muncul desakan

344 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kuat dari orang tua untuk meminta sekolah berlangsung seperti biasa dengan tatap muka (SDN Sukasari 2 Kabupaten Pandeglang).

Orang tua harus membagi waktu lagi untuk mendampingi anak-anaknya dalam PJJ, yang tentunya berpengaruh pada aktivitas pekerjaan rutin sehari-hari, terkadang para orang tua juga ikut belajar bersama anak-anaknya dan ikut membantu mengerjakan tugas bersama-anak anaknya (Purwanto, et.al, 2020). Para orang tua sebaiknya membutuhkan juga panduan dan bimbingan tentang bagaimana membantu proses belajar di rumah menjadi efektif dan efisien. Tentunya bukan untuk menggantikan posisi guru, melainkan tetap dalam porsi orang tua yang juga merupakan sentra pendidikan yang penting seperti ekosistem pendidikan yang didesain oleh Ki Hajar Dewantara (Yohana, 2017).

Pada masa pandemi ini, sekolah dimungkinkan untuk melakukan perubahan penggunaan dana BOS, antara lain untuk pembelian alat kesehatan, pulsa/kuota internet terutama untuk siswa. Namun sebagaian besar sekolah masih menunggu juknis dari Pemda/Dinas Pendidikan untuk melakukannya. Untuk guru honorer di lingkungan Pemda Provinsi DKI Jakarta sudah mendapatkan bantuan pulsa/kuota internet. Menjadi masalah, bantuan pulsa internet yang dapat dibiayai dari dana BOS jumlahnya terbatas.

Berbagai perubahan kebijakan program yang berimplikasi pada pengelolaan berbagai sumber daya pendukung baik internal maupun eksternal idealnya dilakukan evaluasi terkait efektivitasnya. Namun faktanya, evaluasi dilakukan tanpa memperhatikan masalah dampak jangka panjang, namun lebih untuk mendukung keputusan langsung tentang sumber daya program atau praktik terbaik (Maynard, R., Goldstein, N., & Nightingale, D. S., 2016).

D. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil kajian ini, dapat disimpulkan pelaksanaan belajar dari rumah (PJJ) pelaksanaannya dapat dikategorikan menjadi:

1. Flatform.

Flatform pemberajaran dari rumah dapat dilakukan secara:

• daring, • luring, dan • kombinasi keduanya.

2. Kurikulum dan Pembelajaran.

Rancangan kurikulum dan pembelajaran dapat dilakukan melalui:

• Idenfikasi kompetensi/materi esensial dari kurikulum.• Mengunakan bahan ajar/video pembelajaran yang telah disiapkan

dinas atau pihak lain (ruang guru)

345Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

• Menyusun bahan ajar/video pembelajaran secara mandiri• Seimbang antara penugasan dan materi• Lebih menekankan pada penugasan secara mandiri.

3. Daya Dukung.

Dukungan pelaksanaan belajar dari rumah meliputi:

• Kebijakan Pemda, Disdik, Satuan Pendidikan• Menyesuaikan penggunaan alokasi dana BOS untuk mendukung

belajar dari rumah• Idenfikasi kebutuhan meliputi ketersediaan gawai dan akses.• Pelibatan orang tua/keluarga dalam pembelajaran• Evaluasi pembelajaran belum dari sudut pandang siswa (masih dari

guru)

Kajian kebijakan ini memberikan rekomendasi, yaitu:

a. Kebijakan belajar dari rumah perlu melibatkan keluarga/orang tua/masyarakat untuk menggantikan peran guru yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh teknologi. Terutama pada pendidikan dasar di usia sekolah, peserta didik masih membutuhkan pendampingan untuk belajar. Dapat dibentuk Sentra pendidikan dengan kolaborasi beberapa keluarga/orang tua untuk saling menguatkan peran terhadap pendidikan dan juga sarana untuk berbagi.

b. Perlu menyusun suatu panduan penyelenggaraan pembelajaran dari rumah untuk keluarga/orang tua. Panduan ini bersifat teknis apa yang dilakukan dan sebaiknya dihindari.

c. Pelatihan untuk penguatan peran guru untuk dapat merancang pembelajaran yang bermakna, berupa proyek-proyek lintas mapel yang relevan dengan kehidupan atau penelitian sederhana sebagai bentuk aplikasi dari pengetahuan yang telah dipelajari. Kolaborasi antar guru yang diharapkan.

d. Pelaksanaan PJJ ini perlu perencanaan yang detail oleh sekolah, mulai dari kurikulum sampai perencanaan pembelajaran. Bagaimana sekolah menyesuaikan beban belajar untuk semua mata pelajaran, menentukan konteks pembelajaran, mengatur penguasan (bentuk, banyak, dan tujuan), penilaian yang dilakukan, flatform pembelajaran, serta model evaluasi yang diterapkan. Perencanaan ini didasarkan pada hasil identifikasi kebutuhan yang disesuaikan dengan sumber daya yant tersedia di satuan pendidikan (sekolah).

e. Penguatan peran pengawas, Tim Pengembang Kurikulum Kabupaten/Kota/Satuan Pendidikan, Instruktur untuk mendampingi atau membantu satuan pendidikan melakukan analisis konteks sesuai dengan daya

346 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dukung dan pengaruh eksternal agar menghasilkan program yang dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan menjawab kebutuhan masyarakat maupun daerah. Penguasaan konteks oleh satuan pendidikan diharapkan dapat memunculkan inovasi pembelajaran dan program pembelajaran yang beragam serta lebih bermakna bagi peserta didik.

f. Pemda perlu membuat sistem monitoring dan pendampingan terhadap satuan pendidikan agar kebijakan Pemda juga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan satuan pendidikan. Pemda ikut memonitor praktik pembelajaran yang beragam antar satuan pendidikan. Kekhasan satuan pendidikan ini yang akan dipotret saat monitoring dan pendampingan.

Daftar Pustaka

Al Amin, Ahmad Fitri (2017), Local Culture Stories as Alternative Reading Materials for Students (A Contextual Teaching and Learning for High and Low Interest). SMART Journal, Volume 3 No. 1, Januari 2017 Page. 20-27.

Anugrahana, Andri (2020), Hambatan, Solusi dan Harapan: Pembelajaran Daring Selama Masa Pandemi Covid-19 oleh Guru Sekolah Dasar, Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 10 No. 3, September 2020: 282-289

Biesta, Gert (2015), What is Education for? On Good Education, Teacher Judgement, and Educational Professionalism, European Journal of Education, Vol. 50, No. 1:75-87.

Hasan, Hamid (2018), Inovasi Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid- 19).

Maulana, Ridwan, et.al. (2013), Changes in Teachers’ Involvement Versus Rejection and Links with Academic Motivation During the First Year of Secondary Education: A Multilevel Growth Curve Analysis, J Youth Adolescence (2013) 42:1348–1371.

Maynard, R., Goldstein, N., & Nightingale, D. S. (2016). Program and policy evaluations in practice: Highlights from the federal perspective. In L. R. Peck (Ed.), Social experiments in practice: The what, why, when, where, and how of experimental design & analysis. New Directions for Evaluation, 152, 109–135.

347Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Purwanto, Agus, et.al. (2020), Studi Eksploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap Proses Pembelajaran Online di Sekolah Dasar, EduPsyCouns Journal (Journal of Education, Psychology and Counseling, Volume 2 Nomor 1.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2020), Laporan Kajian Strategis: Kesiapan Satuan Pendidikan dalam Mengelola Kurikulum Terkait Kebijakan Proses Belajar dari Rumah.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2020). Naskah Akademik Kesiapan Satuan Pendidikan dalam Mengelola Kurikulum Terkait Kebijakan Proses Belajar dari Rumah.

Rizwan (2016), Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Peserta Didik dalam Belajar IPA melalui Pembelajaran Kontekstual, Jurnal Educatio (Jurnal Pendidikan Indonesia) Volume 2 Nomor 1:11-20.

Saprya, Erlina Wiyanarti, Muhamad Iqbal (2014), Pengaruh Bidang Keahlian Guru dalam Pembelajaran Terhadap Pengembangan Karakter Siswa, JPIS, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 1: 44-49.

SMERU (2020), Belajar Dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran Pada Masa Pandemi Covid-19 (Catatan Penelitian), Jakarta:SMERU.

Suciati, Ph.D dalam Belawati (Ed) (2020), Paradigma Pendidikan Tinggi Menuju Pedagogi Terbuka. Banten. Penerbit Universitas Terbuka.

Sufiyanta, Mintara (2013). The Art of Educating, Cinta Di Rumah, Kasih Di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tan, Charlene (2016), Teacher agency and school-based curriculum in China’s non-elite schools. J Educ Change (2016) 17:287–302. DOI 10.1007/s10833-016-9274-8.

Uyar, Melis Yeşilpınar, Ahmet Doğanay (2018), A School-Based Curriculum Development for the Teaching Principles and Methods Course, Croatian Journal of Education Vol.20; No.2/2018, pages: 621-672.

Yohana, Neni. 2017. Konsepsi Pendidikan dalam Keluarga Menurut Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Hasan Langgulung, OASIS (Jurnal Ilmiah Kajian Islam) Vol 2. No 1 Februari 2017.

https://mediaindonesia.com/read/detail/331369-perlunya-kesiapan-pemerintah-agar-pjj-tak-bebani-masyarakat.

348 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BELAJAR DARI RUMAH PADA SAAT PENDEMI BAGI SISWA SMP DI JAKARTA

LEARNING FROM HOME WHEN COVID-19 PANDEMIC FOR JUNIOR HIGH SCHOOL IN DKI JAKARTA

Drs. Heni Waluyo Siswanto, M. Pd. ([email protected])Drs. Budi Santosa ([email protected])

Feisal Ghozaly, LL.B (Hons), LL.M. ([email protected])Noorman Priowicaksono, S.Kom., M.Pd. ([email protected])

M. Yusri Saad, MM. ([email protected])Joko Prasetiyo, M. Pd. ([email protected])

Puskurbuk, Balitbang, KemdikbudJalan Gunung Sahari No. 4, Sawah Besar, DKI Jakarta

Abstract:

This study aims to: 1) determine the condition of the education that was carried out by schools during the Covid-19 pandemic. 2) knowing the learning model carried out by the teacher during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home”. 3) identify the obstacles for schools and teachers in the learning process from home during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home”. 4) know the support received by schools and teachers in the learning process from home during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home”. This study uses a survey research method with a descriptive approach. Data collection was carried out through interviews and questionnaires to supervisors, school principals, teachers, students and parents of public and private junior high schools in DKI Jakarta. Data analysis using descriptive analysis. The research results prove that; 1. The condition of the education that was carried out by schools during the Covid-19 pandemic had been implemented quite well in terms of regulations and implementation in the DKI Jakarta province. 2. The learning model carried out by teachers during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home” has used media that has been provided by the DKI Jakarta Education Office, namely the Google Suite and the learning method is in accordance with the online learning model. 3. Obstacles for schools and teachers in the learning process from home during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home” were more common. This is due to the lack of good internet provider networks and availability of data packages, because online learning requires a large data quota. 4. Support received by schools and teachers in the learning process from home during the Covid-19 pandemic through “Learning from Home” has been carried out by relevant agencies in DKI Jakarta province, one of which is the free G-Suite account and the provision of data quota packages from the ministry originating from BOS funds.

349Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Keywords: Learning from Home, Covid-19 Pandemic, Junior High School in DKI Jakarta

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kondisi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sekolah pada masa pandemi Covid-19. 2) mengetahui model pembelajaran yang dilakukan guru pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”. 3) mengidentifikasi kendala sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”. 4) mengetahui dukungan yang diterima sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei dengan pendekatan Deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap Pengawas, Kepala Sekolah, Guru, Peserta Didik dan Orangtua SMP negeri dan swasta di DKI Jakarta. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian membuktikan bahwa; 1. Kondisi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sekolah pada masa pandemi Covid-19 sudah dilaksanakan dengan cukup baik dari segi peraturan dan pelaksanaan di provinsi DKI Jakarta. 2. Model pembelajaran yang dilakukan guru pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” sudah menggunakan media yang sudah diberikan oleh dinas Pendidikan DKI Jakarta yaitu Google Suite dan metode pembelajaran sudah sesuai dengan model pembelajaran daring. 3. Kendala sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” lebih banyak muncul. Hal ini disebabkan karena kurang baiknya jaringan provider internet dan ketersediaan paket data, karena dalam pembelajaran daring memerlukan kuota data yang besar. 4. Dukungan yang diterima sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” sudah dilakukan oleh dinas terkait di provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah di gratiskan akun G-Suite dan pemberian paket kuota data dari kementerian yang berasal dari dana BOS.

Kata Kunci: Belajar dari Rumah, Pandemi Covid-19, SMP di DKI Jakarta

A. PENDAHULUAN

Indonesia berada di wilayah Asia Tenggara yang memiliki 2 (dua) musim yakni musim hujan dan kemarau. Hal ini merupakan anugrah dari Allah SWT. yang memberikan karunia pada negeri ini dengan tanahnya yang subur. Namun demikian, wilayah Indonesia berada pada lingkungan yang akrab dengan bencana atau biasa disebut “Ring of Fire”. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana di indonesia meliputi: 1) bencana alam, seperti puting beliung, tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, gelombang pasang/abrasi, banjir dan tanah longsor, dan letusan

350 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

gunung api (https://bnpb.cloud/dibi/); 2) bencana sosial; dan 3) bencana non alam dan non sosial seperti wabah endemi, epidemi, dan pandemi (bnpb.go.id dan UU No.24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan). Pada saat ini negara kita baru diuji dengan adanya bencana yaitu mewabahnya pandemi virus corona atau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Covid-19 yang mewabah sejak akhir tahun 2019 merupakan virus menular yang berasal dari Wuhan, Tiongkok, yang telah menyebar luas ke penjuru dunia. Pada tanggal 13 April 2020, terkonfirmasi di seluruh dunia sebanyak 1.8 juta kasus lebih. Dari jumlah tersebut sebanyak 114 ribu jiwa lebih terkonfirmasi telah meninggal dunia (https://jogja.tribunnews.com/2020/04/13). Di Indonesia sendiri terjadi peningkatan yang signifikan pada kasus covid-19. Per tanggal 13 April 2020 terkonfirmasi yang terpapar sebanyak 4.557 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 399 jiwa (https://www.kompas.com/covid-19).

Covid-19 tidak hanya mengancam perekonomian namun juga seluruh kegiatan sehari-hari di dunia termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan tempat di mana anak-anak berkumpul dan berinteraksi untuk belajar. Untuk itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan. Berdasarkan surat edaran tersebut, sekolah-sekolah menonaktifkan kegiatan pembelajaran di lingkungan sekolah untuk melakukan sterilisasi serta melakukan karantina mandiri peserta didik, guru, dan tenaga kependidikan, sekaligus menghidupkan pembelajaran dan pembimbingan belajar secara daring. Pilihan ini diambil sebagai upaya pencegahan dan mitigasi yang efektif atas wabah yang kini telah menjadi pandemi global.

Kebijakan itu dilakukan untuk mewujudkan keberlangsungan layanan pendidikan mengingat bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diamanatkan pada Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945. Senyampang dengan hal tersebut, Pasal 5 Ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Hal ini tentunya tidak mudah untuk dilakukan, karena: 1) memerlukan kesiapan perangkat dan tentu paket data internet yang masih dikelola secara mandiri; dan 2) tidak semua guru dan peserta didik siap mengoperasikan sistem pembelajaran daring dengan cepat termasuk juga mempersiapkan materi pembelajaran secara digital. Namun demikian, pilihan ini menjadi bagian yang juga telah diamanatkan Mendikbud untuk mewujudkan “Belajar dari Rumah”.

Belajar dari Rumah menjadi salah satu program inisiatif Mendikbud Nadiem Makarim yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia dan suasana yang happy, serta dapat menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir

351Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

bagi peserta didik. Esensi kemerdekaan berpikir harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada peserta didik. Selain itu, sistem pembelajaran juga harus berubah, tidak hanya di dalam kelas namun juga di luar kelas. Nuansa pembelajaran harus dibuat lebih nyaman, di mana peserta didik dapat berdiskusi dengan guru, belajar dengan outing class, dan dapat membentuk karakter peserta didik.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sekolah pada masa pandemi Covid-19?

2. Bagaimana model pembelajaran yang dilakukan guru pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”?

3. Apa kendala sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”?

4. Bagaimana dukungan yang diterima sekolah atau guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah”?

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penelitian ini dimaksudkan untuk mencari data dan informasi terkait kondisi penyelenggaraan pendidikan dalam menghadapi wabah Covid-19 dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan pada saat masa darurat akibat wabah Covid-19 melalui penerapan “Belajar dari Rumah”.

Urgensi dari penelitian ini yakni memberikan gambaran umum dan sekaligus pengetahuan sebagai acuan bagi penyelenggara pendidikan (stakeholders) pada masa wabah pandemi Covid-19 seperti yang dialami saat ini

Aspek kebaharuan dari penelitian ini yakni bahwa “Belajar dari Rumah” merupakan nomenklatur baru yang dipakai di Indonesia, yang menjadi ikon kebijakan dari Mendikbud. Penelitian semacam ini masih jarang dilakukan baik di Indonesia maupun di negara lain di dunia. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Belajar dari Rumah

Definisi belajar dimaknai secara bervariasi oleh beberapa ahli, antara lain adalah pendapat yang mengkaitkan dengan adanya perubahan perilaku seperti dikemukakan oleh Kimble dalam Hergenhahn dan Olson (1993) mengartikan belajar sebagai a relatively permanen change in behavioral potentiality that occurs as a result of reinforced practice. Yakni “suatu perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang terjadi sebagai hasil penguatan latihan.”

352 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selain itu Mayer dan Alexander (2011) mengartikan bahwa belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan (knowledge) dan perilaku seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. Hal ini berkaitan dengan 3 hal yakni durasi perubahan yang lama, tempat terjadinya perubahan, dan penyebab perubahan.

Menurut Winkel (1996), belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pemahaman. Sejalan dengan itu, Slameto (2003) berpendapat yang sama bahwa belajar itu merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara menyeluruh, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demikian pula perubahan juga terjadi dalam belajar seperti yang dikemukakan oleh Gagne (1977), belajar yakni perubahan tingkah laku yang dimiliki individu dari sebelum dan sesudah diakukan belajar unuk melakukan tindakan yang sama. Perubahan yang terjadi akibat dari pengalaman atau latihan yang dilakukan, bukan karena tindakan reflek atau perilaku yang bersifat naluriah.

Selanjutnya Suryabrata (1974) menyatakan belajar merupakan upaya sengaja untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang berupa pengetahuan maupun keterampilan. Kemudian Bigge (1982) mendefinisikan belajar sebagai suatu perubahan yang bertahan lama dalarn kehidupan individu dan tidak dilahirkan atau didahului oleh warisan keturunan.

Secara harfiah yang dimaksud dengan kata merdeka menurut KBBI (2008) adalah: 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri: sejak proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 itu, bangsa kita sudah --; 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan: -- dari tuntutan penjara seumur hidup; dan 3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa: majalah mingguan --; boleh berbuat dengan --; Makna merdeka lebih dikaitkan dengan historis yang dimaknai sebagai kebebasan bangsa untuk mengatur dirinya sendiri.

Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas tentang belajar, yang dimaksud belajar pada penelitian ini yakni kegiatan yang secara sadar dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan. Perubahan yang terjadi dapat berupa sikap, tingkah laku, pola pikir, dan penambahan ilmu pengetahuan.

Belajar dari rumah menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) Kabinet Indonesia Maju—Nadiem Makarim—yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia. dan suasana yang happy. Tujuannya adalah agar para guru, peserta didik, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia. “Belajar dari

353Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rumah” adalah kemerdekaan berpikir. Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Mendikbud, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada peserta didik. Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi (Ningsih, 2019).

Lebih lanjut, Shihab (2017) menambahkan juga mendorong guru untuk memiliki 4 (empat) kunci sukses yang meliputi kemerdekaan, kompetensi, kolaborasi, dan karir. Dimana ke empat hal tersebut dapat mendorong guru untuk dapat meningkatkan mutu kualitas pembelajaran di Indonesia. Merupakan istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang independent learning (belajar mandiri), yaitu self-directed learning dan autonomous learning, berikut ada beberapa pendapat tentang independent learning. Bill Meyer, Naomi Haywood, Darshan Sachdev and Sally Faraday, 2008) dalam artikelnya yang berjudul “What is independent learning and what are the benefits for students, menyatakan bahwa Pembelajaran Mandiri’ yakni pembelajaran yang berpusat pada siswa’ dan ‘kepemilikan’ dalam pembelajaran yang dikaitkan dengan peran guru dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dalam pembelajaran.

Pembelajaran yang dilaksanakan pada sekolah menengah juga menggunakan pembelajaran daring/jarak jauh dengan melalui bimbingan orang tua. Menurut Isman pembelajaran daring merupakan pemanfaatan jaringan internet dalam proses pembelajaran. Dengan pembelajaran daring siswa memiliki keleluasaan waktu belajar, dapat belajar kapanpun dan dimanapun. Siswa dapat berinteraksi dengan guru menggunakan beberapa aplikasi seperti classroom, video converence, telepon atau live chat, zoom maupun melalui whatsapp group. Pembelajaran ini merupakan inovasi pendidikan untuk menjawab tantangan akan ketersediaan sumber belajar yang variatif. Keberhasilan dari suatu model ataupun media pembelajaran tergantung dari karakteristik peserta didiknya. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Nakayama bahwa dari semua literatur dalam elearning mengindikasikan bahwa tidak semua peserta didik akan sukses dalam pembelajaran online. Ini dikarenakan faktor lingkungan belajar dan karakteristik peserta didik. (Nakayama M, Yamamoto H, 2007)

Menurut Putra Wijaya dalam (Suryawan, 2020) belajar dirumah tidak menjadi masalah karena pembelajaran bisa dilakukan kapan dan dimana saja, apalagi sudah ada didukung dengan sistem daring. Jadi proses pembelajaran bisa terjadi di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Oleh karena itu semua bisa berjalan dengan baik, dengan dukungan fasilitas seperti internet.

Dari beberapa pendapat di atas ada 3 (tiga) poin penting yang bisa diambil terkait dengan , yakni: 1) ada usaha atau kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, 2) memuat suatu kegiatan yang dilakukan berupa latihan-latihan, 3) memuat perubahan yang terjadi akibat dampak kegiatan.

354 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pengertian Pandemi Covid-19

Saat ini Negara Indonesia sedang dihadapkan pada wabah pandemi virus corona atau Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Covid-19 tidak hanya mengancam perekonomian namun juga seluruh kegiatan sehari-hari termasuk bidang pendidikan.

Pandemi adalah sebuah epidemi yang telah menyebar ke beberapa negara atau benua, dan umumnya menjangkiti banyak orang. Sementara, epidemi merupakan istilah yang digunakan untuk peningkatan jumlah kasus penyakit secara tiba-tiba pada suatu populasi di area tertentu. Istilah pandemi tidak digunakan untuk menunjukkan tingkat keparahan suatu penyakit, melainkan hanya tingkat penyebarannya saja. Dalam kasus saat ini, COVID-19 menjadi pandemi pertama yang disebabkan oleh virus corona.

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum terbukti menginfeksi manusia.

Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan. Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. (https://www.sehatq.com/ artikel/covid-19-ditetapkan-sebagai-pandemi-apa-artinya).

Menghadapi Pandemi Covid-19—setelah ditetapkannya pandemi COVID-19—tentu saja negara-negara yang telah terjangkit harus melakukan berbagai upaya untuk menghentikannya. Seperti dilansir dari Healthline, Direktur Jenderal WHO, Tedros Ghebreyesus menetapkan 4 (empat) hal utama yang harus dilakukan oleh suatu negara, yaitu: (1) mempersiapkan dan bersiap; (2) deteksi, lindungi, dan rawat; (3) kurangi penyebaran; dan (4) Inovasi dan belajar.

Sementara terkait dengan Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terhadap penyebaran Covid-19, telah menerbitkan 3 (tiga) surat edaran terkait pencegahan dan penanganan virus corona atau covid-19. Yakni:

355Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan covid-19 di lingkungan Kemendikbud.

2. Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan covid-19 pada Satuan Pendidikan. Surat edaran nomor 3 tersebut adalah panduan dalam menghadapi penyakit tersebut di tingkat satuan pendidikan. Mendikbud mengimbau kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, Pimpinan Perguruan Tinggi, Kepala Sekolah di seluruh Indonesia untuk melakukan langkah-langkah mencegah berkembangnya penyebaran covid-19 di lingkungan satuan pendidikan.

3. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19). Surat Edaran ini berisikan ketentuan tentang: 1) Ujian Nasional (UN); 2) Proses Belajar dari Rumah; 3) Ujian Sekolah untuk kelulusan; 4) Kenaikan Kelas; dan 5) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Berdasarkan konsep “Belajar dari Rumah” dan 3 Surat Edaran di atas, maka penelitian ini mencoba untuk membuat kajian dalam bentuk naskah akademik untuk menguatkan kebijakan tersebut, dengan harapan dapat memberikan berbagai solusi atau alternative pendidikan dalam konteks pembelajaran dan penilaian untuk memudahkan guru dan siswa dalam rangka melanjutkan proses belajar mengajar dalam kondisi Pandemi Covid-19 yang saat ini melanda di seluruh bagian wilayah Indonesia.

D. METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei dengan pendekatan Deskriptif. Menurut Kerlinger (2004) Penelitian survei merupakan penelitian mengkaji populasi (universe) yang besar maupuun kecil dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dari populasi itu, untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interelasi relative dari variabel-variabel dan menurut Sukmadinata (2006) Penelitian deskriptif ialah karakteristik penelitian yang mengungkapkan secara spesifik berbagai fenomena sosial dan alam yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Spesifik yang dimaksud dalam hal ini adalah lebih dekat pada hubungan, dampak, dan cara penyelesainnya yang diungkapkan. Subyek penelitian ini adalah siswa, guru, kepala sekolah, pengawas dan orangtua siswa pada jenjang SMP di DKI Jakarta. Pada saat penyebaran kuesioner menggunakan google form dijawab oleh siswa, guru, kepala sekolah, pengawas dan orangtua yang tersebar di sekolah baik sekolah negeri maupun swasta.

Obyek dalam penelitian ini adalah: a) Ada tidaknya kebijakan terkait dengan pandemi covid-19, b) Pelaksanaan kebijakan pandemi covid-19, c)

356 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

keaktifan belajar siswa pada saat belajar dari rumah, d) hasil belajar siswa, dan e) respon siswa terhadap proses pembelajaran dengan penerapan metode belajar mandiri di rumah.

E. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengawas

Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa:

a. Selama masa pandemi covid-19 pengawas tetap melakukan supervisi terhadap sekolah binaannya,

b. Bentuk supervise yang dilakukan dengan Zoom Cloud Meeting dan meminta laporan dari sekolah,

c. Selama masa pandemi covid-19 sekolah binaan diketahui meliburkan seluruh siswa dan guru,

d. Selama masa pandemi covid-19 guru dan tenaga kependidikan menggunakan jadwal untuk masuk secara bergantian,

e. Pemberian tugas menggunakan aplikasi dan media pembelajaran video conference,

f. Kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran sudah cukup baik,

g. Guru menyampaikan keluhan bahwa siswa jenuh dalam belajar karena monoton dan tidak semua mengerjakan rangkuman,

h. Dalam melaksanakan pembelajaran dari rumah guru mengeluh karena beberapa siswa tidak memiliki gawai sendiri,

i. Dan untuk mengatasinya guru hanya bisa memberikan motivasi,j. Serta menyarankan kepada pemerintah untuk menambah bantuan akses

internet dan modul pembelajaran siswa.2. Kepala Sekolah

Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa:

a. Selama masa pandemi covid-19 kepala sekolah memerintahkan untuk melaksanakan pembelajaran dari rumah,

b. Kepala sekolah menerima surat edaran dari pemerintah tentang belajar dari rumah berupa juknis dan surat edaran,

c. Kepala sekolah banyak mengambil sikap untuk seluruh siswa dan guru untuk belajardari rumah,

d. Untuk memantau proses belajar dari rumah guru memberi laporan berkala setiap hari dalam bentuk softcopy dan hardcopy,

e. Dalam pelaksanaan belajar dari rumah pihak sekolah membuat panduan yang diinformasikan kepada orangtua,

f. Fasilitas yang diberikan kepada guru salahsatunya memberikan isentif pulsa / paket data dan referensi sumber belajar,

357Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

g. Dalam pembiayaan pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah kepala sekolah merasa mengeluarkan biaya yang lebih besar dari biasanya,

h. Kendala utama guru dan siswa adalah perangkat digital dan akses internet,

i. Tanggapan orangtua rata-rata menjawab jenuh terhadap kebijakan tersebut,

j. Saran agar pembelajaran dapat berjalan efektif dari paa kepala sekolah adalah harus ada kerjasama antara pemerintah dengan provider internet agar bisa meningkatkan kualitas pelayanannya.

3. GuruBerdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa:

a. Selama masa pandemi covid-19 guru menjawab melaksanakan pembelajaran dari rumah,

b. Pelaksanaannya dengan membagikan jadwal, bahan ajar, pembelajaran dan tugas secara online,

c. Guru banyak menggunakan aplikasi google classroom dan WA grup,d. Secara online guru melakukan pembelajaran antara 2-5 JP dalam 1

minggu,e. Metode yang digunakan lebih banyak menggunakan ceramah dan

tugas,f. Tugas yang diberikan lebih banyak secara individu dibandingkan

dengan kelompok,g. Tugas yang diberikan lebih sering tentang merangkum materi pada

buku teks,h. Untuk penilaian tugas lebih sering dilakukan test tertulis,i. Dan test yang dilakukan lebih banyak test tertulis dan kuis,j. Kendala yang paling banyak adalah tidak adanya paket data,k. Saran guru agar belajar dari rumah lebih efektif adalah memaksimalkan

kuota untuk PJJ.4. SiswaBerdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa:

a. Selama masa pandemi covid-19 siswa menjawab melaksanakan pembelajaran dari rumah, hanya 1 yang menjawab tidak,

b. Pembelajaran yang dilakukan lebih sering memberikan materi secara interaktif melalui media daring,

c. Sikap siswa dalam mengikuti pembelajaran dari rumah adalah mengikuti secara sungguh-sungguh,

d. Jawaban siswa dalam pembelajaran dari rumah sebagian besar adalah biasa saja tetapi ada juga yang menjawab senang,

e. Siswa menilai guru dalam mengajar pembelajaran dari rumah mendapat tanggapan biasa saja dan mudah dipahami,

358 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

f. Untuk tugas siswa merasa sama saja seperti belajar di sekolah dan sebagian menjawab tugas yang diberikan semakin berat,

g. Dalam seminggu siswa tetap belajar selama 5 hari,h. Perhari siswa belajar rata-rata 90 menit,i. Pada saat bosan siswa melakukan istirahat antarwaktu dan berdiskusi

dengan orangtua,j. Sarana komunikasi yang digunakan adlah WA grup dan Google hangout

dan facebook,k. Untuk mendukung pembelajaran siswa merasa orangtua harus

memberikan informasi sumber belajar dan menyediakan waktu untuk memberikan pendampingan,

l. Kendala yang paling sering adalah tidak adanya jaringan internet,m. Dan sebagai siswa tidak dapat memberikan saran agar pembelajaran

menjadi lebih efektif.

5. Orangtua

Berdasarkan data hasil penelitian dapat diketahui bahwa:

a. Selama masa pandemi covid-19 orangtua menjawab anaknya mengikuti pembelajaran dari rumah,

b. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dianggap orangtua memberikan materi secara interaktif melalui media daring,

c. Sikap anak dalam mengikuti pembelajaran dari rumah adalah mengikuti secara sungguh-sungguh,

d. Tanggapan anak sebagian besar biasa saja walaupun banyak juga yang menjawab bosan,

e. Orangtua banyak yang mengganggap bahwa pembelajaran dari rumah sulit dipahami,

f. Tugas yang diberikan jugasama seperti disekolah dan banyak juga yang mengganggap semakin berat,

g. Dalam 1 minggu anak belajar tetap 5 hari,h. Dan dalam 1 hari pembelajaran dari rumah dilakukan selama 90 menit,i. Agar anak tidak merasa jenuh orangtua mangganggap siswa perlu

istirahat dan memberikan pendampingan,j. Sarana komunikasi yang sering digunakan adalah WA grup, google

hangout dan facebook,k. Untuk ketersediaan internet orangtua banyak menjawab sudah ada

sarana komunikasi,l. Kendala yang paling banyak muncul adalah tidak ada paket data dan

tidak memiliki laptop.

359Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

F. SIMPULAN DAN REKOMENDASISimpulanSimpulan dalam penelitian ini adalah:1. Kondisi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan sekolah pada masa

pandemi Covid-19 sudah dilaksanakan dengan cukup baik dari segi peraturan dan pelaksanaan di provinsi DKI Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari jawaban semua stakeholder dalam pembahasan, salah satu dampak positif belajar dari rumah adalah mempererat jalinan kekeluargaan peserta didik dengan orangtuanya dan meminimalisir kecemasan orangtua terhadap indikasi penyebaran virus Covid-19 bagi anak-anak mereka. Sisi positif yang dirasakan oleh peserta didik adalah; tugas sekolah semakin ringan dibandingkan dengan tugas pada saat pembelajaran tatap muka, Siswa menjadi terbiasa (familier) dengan pembelajaran berbasis aplikasi baik di dalam jaringan atau di luar jaringan, Tugas tidak perlu diprint out sehingga lebih hemat kertas dan tinta (toner) dan Waktu pembelajaran dirasakan lebih singkat jika dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka.

2. Model pembelajaran yang dilakukan guru pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” sudah menggunakan media yang sudah diberikan oleh dinas Pendidikan DKI Jakarta yaitu Google Suite dan metode pembelajaran sudah sesuai dengan model pembelajaran daring. Dan Orang tua pun jadi belajar lagi dalam membimbing anak belajar di rumah. Hal ini termasuk fungsi pendampingan orang tua selama siswa Belajar dari Rumah. Serta Orang tua jadi memahami aplikasi yang digunakan dalam pembelajaran Belajar dari Rumah. Dan segi positif dalam perspektif pengawas, kepala sekolah dan guru; a) Semua responden menjadi terbiasa (familier) dengan menggunakan program aplikasi seperti Video Call aplikasi Whattapps, zoom cloud meeting, goggle classroom, dll. b) Guru menjadi terbiasa merancang pembelajaran berbasis aplikasi. c) Guru menjadi terbiasa melakukan pembelajaran menggunakan aplikasi pembelajaran Jarak Jauh, yang tentunya berbeda gaya jika dengan pembelajaran tatap muka.

3. Kendala sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” lebih banyak muncul. Hal ini disebabkan karena kurang baiknya jaringan provider internet dan ketersediaan paket data, karena dalam pembelajaran daring memerlukan kuota data yang besar.

4. Dukungan yang diterima sekolah dan guru dalam proses pembelajaran dari rumah pada masa pandemi Covid-19 melalui “Belajar dari Rumah” sudah dilakukan oleh dinas terkait di provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah di gratiskan akun G-Suite dan pemberian paket kuota data dari kementerian yang berasal dari dana BOS.

360 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rekomendasi

Peneliti memberikan rekomendasi kepada dinas terkait untuk mengoptimalkan pembelajaran dari rumah pada masa pendemi covid-19 sebagai berikut:

1. Untuk Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan harus terus memberikan dukungan dalam kegiatan pembelajaran dari rumah dengan terus memberikan bantuan kuota baik kepada guru maupun kepada siswa yang sumber dananya dari dana BOS.

2. Untuk dinas Pendidikan DKI Jakarta agar lebih mempermudah dalam proses memberikan akun G-Suite baik kepada guru dan siswa agar kegiatan belajar dari rumah dapat lebih efektif.

3. Untuk penyedia jasa internet / provider internet agar dapat memperbaiki jaringan di setiap wilayah agar dapat terjangkau oleh semua kalangan dalam semua wilayah.

4. Untuk orangtua siswa harus lebih dapat meluangkan waktu untuk mendapingi anaknya dalam kegiatan belajar dari rumah agar siswa tidak merasa bosan dan memiliki waktu yang lebih banyak kepada orangtuanya.

5. Untuk siswa agar dapat lebih memperhatikan materi yang diajarkan dan lebih banyak mencari sendiri dengan internet materi tambahan yang diajarkan oleh guru sehingga lebih lengkap materinya.

DAFTAR PUSTAKA

UUD 1945 Negara Republik Indonesia

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta: Sekretariat Negara; 2007.

Bigge, Morris L. 1982. Learning Theories for Teachers. Harper & Row: Michigan.

BNPB. Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) (Internet). Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2019. (diakses tanggal 25 Februari 2019). http://bnpb.cloud/dibi.https:// bnpb.cloud/dibi/

Candy, Philip C. 1991. Self-Direction for Lifelong Learning. A Comprehensive Guide to Theory and Practice.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa: Jakarta.

Dodds, John H. 1983. Principles of Plant Genetic Engineering. https://doi.org.10.1177/ 003072708301200103

Gagne, Robert Mills. 1977. The Conditions of Learning. Holt, Rinehart and Winston.

361Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Hergenhahn, B.R, and Olson, M.H. 1993. An Introduction to Theories of Learning (4th ed.) Englewood Cliffs: N.J

Mayer, Richard E., and Alexander, Patricia A. 2011. Handbook of Research On Learning And Instruction. Madison Avenue: New York.

Meyer Bill, Haywood Naomi, Sachdev Darshan and Faraday Sally. 2008. Independent Learning. Literature Review. Research Report No DCSF-RR051. Departement for children, school, and families.

Nakayama M, Yamamoto H, & S. R. (2007). The Impact of Learner Characterics on Learning Performance in Hybrid Courses among Japanese Students. Elektronic Journal ELearning, Vol.5(3).1.

Ningsih, Widya. 2019. Empat Pokok Kebijakan Baru di Bidang Pendidikan Suara Guru Online” (dalam bahasa Inggris).

Shihab, Najeela. 2017. Di Ruang Kelas. Agape Indah Jaya: Jakarta.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhunya. Rinekacipta: Jakarta.

Surat Edaran No. 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada.

Suryawan, O. (2020). Guru Diminta Aktif Awasi Pembelajaran Daring Agar Siswa Tetap Fokus. BBALIPUSPANEWS.COM

Syukri, Bayumie. 2019. Menakar Konsep “Belajar dari Rumah” dalam https://intens.news/menakar-konsep-merdeka-belajar/diunduh tanggal 22-04-2020

Wedemeyer, Charles A. 1973. Characteristics of Open Learning Systems. Report of NAEB Advisory Committee on OpenLearning Systems to NAEB Conference. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED099593.pdf

Winkel, W.S., 1996. Psikologi Pengajaran. Grasindo.

https://bnpb.cloud/dibi/

bnpb.go.id

https://jogja.tribunnews.com/2020/04/13

https://www.kompas.com/covid-19

https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir

https://www.sehatq.com/ artikel/covid-19-ditetapkan-sebagai-pandemi-apa-artinya

362 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MUATAN LOKAL

DALAM MENINGKATKAN NATION CHARACTER BUILDING

(Jarwadi1) Pusat Kurikulum dan Perbukuan, [email protected], Farah Arriani2) Pusat Kurikulum dan Perbukuan, [email protected], Sapto Aji Wirantho3) Pusat Asesmen dan Pembelajaran, [email protected];,

Jarwoto P. Priyanto4) Pusat Asesmen dan Pembelajaran, [email protected];, dan Soraya5) STBA LIA Jakarta, [email protected])

Abstrak

Muatan lokal masih dianggap sebatas mata pelajaran tentang budaya yang tidak mempunyai relevansi dengan pendidikan karakter dan pembangunan karakter bangsa. Pemerintah pusat mengeluarkan regulasi untuk mengembangkan potensi lokal dan memajukan budaya bangsa. Penelitian ini berupaya menganalisis kebijakan muatan lokal yang diatur oleh pemerintah pusat dan daerah, interpretasi/tindak lanjut kebijakan muatan lokal, dan implementasi muatan lokal sebagai realisasi pengembangan karakter bangsa. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Strategi pengumpulan data berupa studi dokumen, survei, dan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT). Kota Cirebon dijadikan sebagai daerah penelitian karena merupakan daerah yang heterogen. Percampuran budaya Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi keunikan tersendiri dalam penggunaan bahasa. Peninggalan sejarah budaya Islam dan sejarah kesultanan juga merupakan daya tarik yang harus dilestarikan. Kesenian, kuliner, dan motif batik yang menjadi ciri khas daerah dan menjadi pelengkap budaya Nusantara. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa muatan lokal masih identik dengan bahasa daerah. Pengembangan dokumen kurikulum belum memperhatikan kontekstual daerah. Kemudian, belum ada koordinasi lintas unsur dalam memformulasikan muatan lokal khas daerah. Selain itu, belum disadari bahwa kearifan lokal adalah salah satu penguat dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building).

Kata Kunci: Kebijakan muatan lokal, Kurikulum muatan lokal, pendidikan karakter, pembangunan karakter bangsa

ABSTRACT

Local content is still considered as a subject of culture that has no relevance to character education and national character building. The central government issues regulations to develop local potential and advance the nation’s culture. This 1. [email protected]; Pusat Kurikulum dan Perbukuan2. [email protected]; Pusat Kurikulum dan Perbukuan3. [email protected]; Pusat Asesmen dan Pembelajaran4. [email protected]; Pusat Asesmen dan Pembelajaran5. [email protected]; STBA LIA Jakarta

363Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

study seeks to analyze local content policies which are regulated by the central and local governments, the interpretation/follow-up of local content policies, and the implementation of the local content as the realization of national character development. The research method used is qualitative with a case study approach. The data collection strategy was conducted by using document studies, surveys, and focus group discussions (FGD). Cirebon is used as a research locus because of its heterogeneous areas. The mixture of West and Central Java cultures is unique in the use of language. The historical heritage of Islamic culture and the history of the sultanate are also attractions that must be preserved. Art, culinary, and batik motifs that are characteristic of the region and complement the Indonesian culture. Research findings shows that the local content is still synonymous with regional languages. The curriculum document development has not paid attention to regional context. There is no cross-elemental coordination in formulating regional distinctive local content. Also, people are not aware that local wisdom is one of the strengths of nation character building.

Keywords: Local content policy, local content curriculum, character education, national character building

A. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, dan keterampilan daerah. Keanekaragaman tersebut merupakan ciri khas daerah yang memperkaya khasanah nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang harus selalu dijaga kelestariannya. Keragaman dan kekhasan nilai-nilai dan budaya Indonesia menjadi mozaik yang indah dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan karakter bangsa (nation character building). Pembangunan karakter bangsa tidak bisa lepas dari budaya sehingga akan lebih mudah dibangun dengan pendekatan budaya. Pembangunan karakter budaya yang dimaksud adalah karakter yang berdasar nilai Pancasila, karena nilai Pancasila, yang diciptakan oleh founding father bersumber dari nilai-nilai budaya luhur daerah.

Pengelolaan dan pelestarian peninggalan sejarah (keagaman) dan budaya daerah harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan tokoh agama/masyarakat. Upaya pengenalan dan penguatan lingkungan, sosial, dan budaya kepada semua orang khususnya di satuan pendidikan diharapkan akan lebih mendekatkan siswa dengan lingkungannya. Upaya pemerintah untuk mencapai hal ini adalah melalui pendidikan yang diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas kompetensi Sumber Daya Manusia khususnya peserta didik.

Setiap daerah mengusung nilai-nilai luhur yang mungkin berbeda dengan daerah lainnya yang diwariskan secara turun menurun dan dapat digunakan untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup masyarakat yang bernanung

364 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

di dalamnya. Nilai-nilai tersebut merupakan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Di sisi lain setiap daerah juga dikaruniai sumber daya alam yang dapat menjadi potensi dan modal dasar dari daerah yang dikenal dengan istilah keunggulan lokal. Dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dan keunggulan lokal yang dimiliki daerah saling terkait dan harus dijaga kelestariannya karena dapat menjadi aset suatu daerah. Sehingga tak mengherankan apabila pemerintahpun berupaya mengangkat kearifan lokal melalui muatan kedaerahan yang dikenal dengan nama Muatan Lokal (Mulok).

Nilai-nilai budaya yang berbasis pada kearifan lokal perlu dikenalkan pada siswa sejak dini mengingat status budaya bangsa beserta nilai-nilainya telah berada pada posisi rawan dan berangsur hilang. Kurangnya kesadaran bagi para generasi penerus bangsa Indonesia tentang kecintaannya pada budaya bangsanya sendiri dan kurangnya penanaman kearifan budaya lokal pada generasi penerus bangsa (suara merdeka.com, 27 Juli 2018) sehingga penguatan nilai-nilai budaya yang berbasis kearifan lokal perlu digalakkan digalakkan baik melalui jalur informal, maupun pendidkan nonformal dan formal mulai sejak pendidikan usia dini, dan hal ini memerlukan strategi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Pemerintah memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengembangkan muatan pembelajaran yang akan diberikan pada peserta didik sebagai bekal pemahaman akan keunggulan dan kearifan lokal di tempat tinggalnya. Namun muatan lokal belum menjadi basis perencanaan dalam menyusun perangkat dokumen kurikulum sekolah.

Beberapa hasil penelitian yang relevan, antara lain: 1. Implementasi Muatan Lokal untuk Pendidikan Khusus di Bangka Belitung (Wirantho, Sapto Aji, et.al. 2020). Penelitian ini memotret implementasi muatan lokal yang diterapkan pada satuan pendidikan khusus di Bangka Belitung. Pengembangan Kurikulum Mulok untuk pendidikan khusus mencakup pada seni budaya, prakarya, PJOK dan bahasa. Pengembangan muatan lokal mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. 2. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kurikulum Muatan Lokal di SMP Muhammadiyah 2 Taman (Syaifuddin, Muhammad Arif dan Eni Fariyatul Fahyuni, 2019). Berdasarkan hasil penelitian muatan lokal yang ada di sekolah dijadikan salah satu upaya untuk mensukseskan Penguatan Pendidikan Karakter. Berbagai pembelajaran mutan lokal, kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler diarahkan sebagai ujung tombak penerapan PPK di sekolah. 3. Peran Pendidikan Muatan Lokal Terhadap Pembangunan Karakter Bangsa (Durrotun, Nafisah. 2016). Hasil

365Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

penelitian menyatakan bahwa keanekaragaman budaya di Indoneisa harus dilestarikan melalui muatan lokal. Pembelajaran muatan lokal tidak hanya dapat menumbuhkan kecintaan peserta didik sebagai penerus bangsa akan nilai-nilai sosio-kultural daerahnya dan negerinya, tetapi nilai moral yang terdapat di setiap daerah dapat ditumbuhkan pula dalam diri peserta didik maupun pendidik, sehingga terbentuk karakter bangsa sesuai dengan budaya lokal. 4. Penguatan Karakter Peserta Didik Melalui Mata Pelajaran Muatan Lokal (Kaltsum, Honest Ummi. 2015). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa menanamkan karakter melalui penggunaan cerita-cerita rakyat yang dimodifikasi ke dalam Bahasa Inggris dalam rangka mengoptimalkan materi mata pelajaran kategori B (salah satunya bahasa Inggris) dengan potensi lokal. 5. Revitalisasi Kurikulum Muatan Lokal untuk Pendidikan Karakter melalui Evaluasi Responsif (Musanna, Al. 2010). Berdasarkan hasil tinjauan literatur dapat disimpulkan bahwa kurikulum muatan lokal meski diimplementasikan sejak lama, masih menyisakan sejumlah persoalan. Salah satu diantaranya berkaitan relevansinya dengan perubahan sosial dan tuntutan masyarakat. Model evaluasi responsif yang menekankan keterlibatan stakeholders secara berkelanjutan, berdasarkan sejumlah penelitian terbukti memberi kontribusi signifikan dalam meningkatkan kualitas partisipasi dan kebermaknaan program atau kegiatan.

Penelitian ini bertujuan: a) mengkaji kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan; b) mengkaji tindak lanjut satuan pendidikan dalam mengembangkan muatan lokal sesuai kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk mata pelajaran dan/atau kegiatan ekstrakurikuler); dan c) mengkaji pengembangan dokumen kurikulum (dokumen KTSP, silabus, dan RPP) berbasis muatan lokal untuk meningkatkan pembangunan karakter bangsa (nation character building).

B. Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejak Juli sampai dengan September 2020. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, studi dokumentasi, observasi, dan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT). Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan aplikasi teleconference dan survei melalui google form. Informan dalam penelitian ini terdiri atas: a) Akademisi dari UNS Surakarta, birokrasi (pejabat Dinas Pendidikan Kota Cirebon); b) Praktisi (kepala sekolah dan guru dari SDN Jagasatru 1, SMPN 18, SMAN 7, SMKN 2, dan SLBN Budi Utama Kota Cirebon); c) Pemerhati pendidikan dari Kota Cirebon; d) Informan yang mengisi google form baik pengawas pendidikan, kepala seksi kurikulum, kepala sekolah dan guru (SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB) dari Provinsi Banten, Bali,

366 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat. Pengumpulan data secara langsung di Kota Cirebon. Instrumen penelitian yang dikembangkan adalah instrumen bersifat sementara dan fleksibel yang dapat disesuaikan dengan keadaan lapangan. Instrumen utama adalah peneliti sendiri disertai dengan instrumen pendukung yang dilakukan pada saat survei untuk menjaring data. Teknik pengolahan dan analisis data menggunakan Miles and Huberman sedangkan untuk keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi.

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Pengembangan Kurikulum Berbasis Muatan Lokal

Kebijakan pemerintah pusat terkait dengan kurikulum muatan lokal direspon oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dengan menetapkan peraturan daerah tentang Muatan Lokal tertuang, antara lain:

• Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah.

• Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 69 Tahun 2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kedua kebijakan ini disosialisasikan ke seluruh daerah di wilayah Provinsi Jawa Barat, dan kemudian ditindaklanjuti pemerintah daerah Kota Cirebon untuk mengimplementasikan melalui muatan lokal Bahasa Sunda dan Bahasa Cirebon di satuan pendidikan yang ada, mulai dari SD sampai SMA/SMK. Menindaklanjuti kedua kebijakan pemerintah daerah tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menetapkan kebijakan melalui:

• Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 819/17210-BPBDK, Tanggal 20 Februari 2017 tentang Kurikulum Tingkat Daerah Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda Jenjang SD/MI dan SMP/MTs.

• Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 819/17211-BPBDK, Tanggal 20 Februari 2017 tentang Kurikulum Tingkat Daerah Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Cirebon Jenjang SD/MI dan SMP/MTs.

• Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 819/8653-Setdisdik, Tanggal 20 Pebruari 2017 tentang Kurikulum Tingkat Daerah Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda Berbasis Kurikulum 2013 Revisi 2017 Jenjang SMA/SMK/MA/MAK.

367Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Semua kebijakan pemerintah daerah dalam menentukan/mengembangkan muatan lokal dengan memperhatikan: a) potensi daerah, kebutuhan daerah, dan keunggulan daerah, b) kearifan lokal, c) mengangkat citra daerah/nilai, d) keunikan/daya tarik, e) kesesuaian dengan perkembangan dan kompetensi peserta didik (sikap, pengetahuan, keterampilan), f) membekali keterampilan/kecakapan hidup.

Upaya pengembangan pendidikan/pemajuan kebudayaan, pengembangan potensi daerah, kearifan/keunggulan lokal, dan pelestarian budaya yang tertuang dalam amanat dari pemerintah pusat diadopsi oleh satuan pendidikan di Kota Cirebon ketika menetapkan kegiatan pembelajaran muatan lokal. Para guru dan kepala sekolah di Kota Cirebon juga menilai bahwa Kebijakan Muatan Lokal di daerah mendukung penguatan pelestarian budaya, penanaman nilai (pendidikan karakter), dan membekali keterampilan/kecakapan hidup.

Berdasarkan amanat perda di atas, Pemerintah Kota Cirebon melalui Dinas Pendidikan Kota Cirebon menetapkan kurikulum tingkat daerah dalam bentuk mata pelajaran muatan lokal Bahasa dan Sastra Sunda serta Bahasa dan Sastra Cirebon. Meskipun pemerintah daerah Kota Cirebon dan Dinas Pendidikan khususnya satuan pendidikan melihat bahwa potensi lokalnya adalah Bahasa Cirebon karena letak kota Cirebon berada di antara Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah melahirkan keunikan bahasa yang berbeda dari Bahasa Sunda maupun Bahasa Jawa.

Pemerintah Daerah Kota Cirebon menemui kendala dalam mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan potensi dan keariian lokalnya. Pertama, kompetensi sumber daya manusia (guru) belum ada lembaga perguruan tinggi yang terakreditasi yang membuka program studi Pendidikan Bahasa Cirebon. Hal ini menjadi kendala karena jika pengajarnya berlatar belakang bahasa Sunda akan mengalami kesulitan karena Bahasa Sunda dan Bahasa Cirebon sangat berbeda. Hal ini menuntut pemerintah daerah Cirebon untuk membuat kebijakan yang dapat menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) handal agar dapat mewujudkan pelestarian bahasa Cirebon.

Kedua, ketidaktertarikan siswa dalam belajar bahasa daerah. Di era globalisasi, bahasa Cirebon, sebagai muatan lokal harus mampu bersaing dengan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing. Hal ini diantisipasi oleh satuan pendidikan di Cirebon dengan kegiatan ekstrakurikuler dan pengkondisian budaya dengan berbagai kegiatan budaya seperti membatik, gamelan, barongsai, dan tari topeng. Batik Cirebon merupakan suatu keunikan dalam seni batik Indonesia dengan motif Megamendung. Kesenian barongsai juga merupakan suatu keunikan lokal karena perbauran dari budaya Tionghoa, mengingat di masa lalu Cirebon adalah kota pelabuhan sehingga terjadi akulturasi budaya antarpedagang dengan masyarakat setempat. Upaya pengenalan budaya melalui

368 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

seni musik gamelan dan seni tari merupakan upaya untuk menarik minat siswa sekaligus melestarikan budaya daerah Cirebon.

Namun demikian, pembelajaran muatan lokal di Cirebon juga selaras dengan pendidikan karakter. Nilai-nilai baik dalam budaya Cirebon diperkenalkan melalui kegiatan mendongeng, tatakrama basa sunda, kawih, kaulinan barudak, dan lain sebagainya. Kegiatan pengkondisian juga dilakukan dengan menghias sekolah dengan berbagai motif batik Megamendung dan menuliskan berbagai petuah berbahasa Cirebon. Petuah-petuah bijak berbahasa Cirebon, selain dapat mengakrabkan siswa dengan Bahasa Cirebon dapat juga menanamkan nilai-nilai luhur masyarakat Cirebon sehingga siswa dapat mencintai budaya daerahnya. Dengan kata lain, nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam muatan lokal pada setiap jenjang pendidikan dilakukan dengan mengintegrasikan dengan mata pelajaran, dalam bentuk mata pelajaran tambahan/khusus maupun kegiatan lainnya.

Beberapa temuan dari Kota Cirebon tersebut ternyata ditemukan juga di beberapa daerah sampel yang menunjukkan adanya kesulitan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menetapkan kurikulum muatan lokal di daerahnya.

Berdasarkan studi dokumen yang dilakukan terhadap peraturan dan regulasi dari pemerintah pusat, amanat yang diberikan dalam aturan-aturan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Daftar Peraturan Perundangan Terkait dengan Kebijakan Muatan Lokal

No. Dokumen Amanat

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 4 Ayat (1)

nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah > Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 12 ayat (2)

Pendidikan kebudayaan;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ayat (4) dan (5)

Pemajuan Kebudayaan meliputi: a. tradisi lisan; b. manuskrip; c. adat istiadat; d. ritus; e. pengetahuan tradisional; f. teknologi tradisional; g. seni; h. bahasa; i. permainan rakyat; dan j. olah raga tradisional.

369Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Dokumen Amanat4. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan > Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 17 ayat (1)

potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan > Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 77B ayat (9)

muatan lokal untuk satuan pendidikan sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan; > Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

34. Pendidikan berbasis keunggulan lokal 38. Pendidikan berbasis masyarakat …. sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat

7. Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pasal 8 ayat (4)

untuk melestarikan dan mengembangkan suatu identitas dan ciri khas daerah serta kearifan lokal, ….. kegiatan tertentu menjadi kegiatan Kokurikuler atau Ekstrakurikuler wajib

8. Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pasal 9 ayat (3)

c. kearifan lokal;

9. Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategis Kebudayaan. Pasal 4

Pemajuan Kebudayaan bertujuan untuk: a. mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; b. memperkaya keberagaman budaya; c. i. melestarikan warisan budaya bangsa….

370 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Dokumen Amanat10. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah. Pasal 2

penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan pelestarian dan pengembangan seni budaya

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomo 52 tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Pasal 1 ayat (3)

Pelestarian … adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan lembaga adat agar keberadaannya tetap terjaga dan berlanjut.

12. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan. Pasal 1

(2) Pelestarian adalah upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan yang dinamis. (8) Jatidiri Bangsa adalah karakter budaya dan karakter sosial yang menjadi ciri pengenal bangsa tertentu.

13. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Pasal 1

(1). Muatan lokal adalah … tentang potensi dan keunikan lokal.

14. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013. Pasal 2

(1) Muatan lokal … kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya.

Temuan dari dokumen pemerintah pusat mendefinisikan muatan lokal sebagai kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan

371Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan kearifan di daerah tempat tinggal peserta didik.

Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah pusat tidak mengharuskan muatan lokal menjadi sebuah mata pelajaran (mapel). Satuan pendidikan boleh menyisipkannya sebagai materi dalam berbagai proses belajar, tidak hanya di dalam kelas, tetapi di juga di luar kelas. Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, pasal 8 ayat (4), mengamanatkan bahwa muatan lokal dapat diajarkan dalam kokurikuler atau ekstrakurikuler yang wajib diikuti semua peserta didik karena yang penting bukan wujud muatan lokal sebagai sebuah mata pelajaran tetapi muatan tentang keunikan dan potensi lokal yang perlu dikenalkan dan dipelajari sebagai bagian dari pendidikan penguatan karakter bangsa.

Dari 14 dokumen pemerintah pusat, amanat utama yang mendasari muatan lokal adalah: (1) pendidikan/pemajuan budaya, (2) pengembangan potensi daerah, (3) kearifan/keunggulan lokal, dan (4) pelestarian budaya. Dengan kata lain, muatan lokal merupakan upaya untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan budaya asli Indonesia. Upaya menjaga budaya dilakukan berdasarkan kearifan/keunggulan lokal. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 42 Tahun 2009 dan Nomor 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan Pasal 1 ayat (8) tertulis bahwa jati diri bangsa adalah karakter budaya. Dengan kata lain, pembelajaran muatan lokal juga diupayakan untuk membangun jati diri bangsa Indonesia karena jati diri bangsa berasal dari budaya Indonesia.

Pemajuan Kebudayaan diantaranya ditujukan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya dan melestarikan warisan budaya bangsa. Kebudayaan yang perlu dimajukan meliputi: a. tradisi lisan; b. manuskrip; c. adat istiadat; d. ritus; e. pengetahuan tradisional; f. teknologi tradisional; g. seni; h. bahasa; i. permainan rakyat; dan j. olahraga tradisional. Hal inilah yang dapat menjadi pilihan muatan lokal yang akan dikembangkan di satuan pendidikan.

Pengembangan potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat karena muatan lokal untuk satuan pendidikan sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Pendidikan harus berbasis keunggulan lokal dan berbasis masyarakat. Basis ini akan menjadi pijakan pengembangan sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat.

Kearifan/keunggulan lokal juga termuat dalam enam dokumen dari pemerintah pusat. Kearifan lokal dan ciri khas daerah merupakan bagian dari identitas suatu daerah dan identitas Bangsa Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal adalah tentang potensi dan keunikan lokal karena potensi dan keunikan tersebut adalah ciri khas suatu daerah, dan kedua hal tersebut dapat

372 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pula menjadi daya tarik daerah yang tak hanya dapat mengundang wisatawan untuk datang tapi juga dapat menjadi sumber mata pencaharian bagi daerah tersebut.

Identitas suatu daerah dapat terlihat dari potensi dan keunikan budayanya. Karena itu, diperlukan upaya untuk melestarikan dan mengembangkan suatu identitas dan ciri khas daerah. Bahkan amanat untuk memajukan kebudayaan, dilakukan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, dan melestarikan warisan budaya bangsa. Kegiatan pelestarian dan pengembangan seni budaya meliputi penggunaan bahasa daerah, pelestarian adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, dan lembaga adat. Semua ini merupakan upaya agar keberadaan budaya di berbagai daerah tetap terjaga dan berlanjut. Kegiatan pelestarian budaya adalah upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan karena karakter budaya dan karakter sosial yang menjadi ciri pengenal bangsa tertentu merupakan jati diri bangsa. Salah satu upaya pelestarian ini diamanatkan melalui pembelajaran muatan lokal.

Secara umum kebijakan pemerintah pusat tentang muatan lokal ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan membuat aturan tentang kebijakan muatan lokal di daerah sebagaimana yang tertera dalam diagram.

Gambar 1. Keberadaan Peraturan Daerah tentang Kebijakan Muatan Lokal

Dari 11 provinsi yang disurvei, hanya provinsi Kalimantan Selatan yang belum mempunyai atau menetapkan kebijakan Muatan Lokal di daerahnya. Secara umum, hampir semua responden dari 11 provinsi menyatakan bahwa pemerintah daerah provinsi sudah memiliki peraturan daerah terkait muatan lokal. Bahkan beberapa daerah peraturan pemerintah provinsi sudah diturunkan

373Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

lagi menjadi peraturan bupati/walikota. Semakin jauh peraturan pemerintah pusat diturunkan menunjukkan bahwa pemerintah di daerah menyadari pentingnya peraturan tentang muatan lokal untuk direalisasikan. Hal ini juga merupakan peluang bagi daerah untuk melihat potensi keunikan di daerahnya dan menentukan cara untuk melestarikan potensi lokal yang ada. Secara umum hasil analisis dokumen yang ada menunjukkan bahwa yang diatur secara khusus adalah muatan bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal.

Meskipun demikian, sudah mulai ada beberapa daerah yang mengenali potensinya dengan memilih Baca Tulis Alquran (BTQ), budaya, dan keterampilan/industri kreatif. Lebih lanjut, satuan pendidikan juga menyesuaikan muatan lokal yang dipilih. Misalnya, untuk SLB, muatan lokal yang dipilih adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). Untuk SMK, pilihan yang diambil adalah tata boga, IT, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan muatan lokal didasarkan pada kesesuaian dengan satuan pendidikan dan potensi budaya lokal.

Penetapan atau pemilihan muatan lokal didasarkan pada potensi daerah, keunggulan daerah dan kearifan lokal. Dengan kata lain, pemerintah daerah telah berupaya memajukan budaya daerah melalui muatan lokal.

Gambar 2. Kriteria Penetapan Muatan Lokal

Tindak Lanjut Satuan Pendidikan Menindaklanjuti Kebijakan Muatan Lokal dari Pemerintah Daerah.

Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan kurikulum muatan lokal di Kota Cirebon mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 69 Tahun 2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan

374 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Menengah ditindaklanjuti satuan pendidikan dengan menetapkan Bahasa dan Sastra Sunda dan Bahasa dan Sastra Cirebon sebagai mata pelajaran muatan lokal dari jenjang SD sampai SMA/SMK.

Sebelum satuan pendidikan menetapkan dan mengimplementasikan muatan lokal dimaksud, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menindaklanjuti dengan mengeluarkan kebijakan, yaitu:

• Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah pada jenjang SD/MI, SMP/ MTs, SMA/SMK/MA/MAK

• Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 423.5/60-Set/2015 perihal Penggunaan Kurikulum Muatan lokal Bahasa dan Sastra Daerah

• Keputusan Dinas Pendidikan Jawa Barat, Nomor: 819/8653-Setdisdik. Tanggal 20 Februari 2017 yang memuat ketentuan terkait Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda.

Tindak lanjut Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Pendidikan Kota Cirebon serta satuan pendidikan terkait dengan muatan lokal adalah menyusun dokumen kurikulum yaitu Kurikulum Tingkat Daerah Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda dan Kurikulum Tingkat Daerah Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Cirebon Jenjang SD/MI. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat membentuk Tim Penyusun Modul Bahan Ajar yang disiapkan untuk melatih guru-guru Muatan Lokal Basa Cerbon-Dermayu mencapai kompetensinya sebagai pelaksana pembelajaran Basa Cerbon-Dermayu. SMPN 13 Cirebon menetapkan mata pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda dan Bahasa Cirebon serta menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler membatik dan gamelan.

Pendidikan menengah yaitu SMA dan SMK ternyata SMAN 7 dan SMKN 2 Cirebon menetapkan Muatan Lokal Bahasa Sunda di semua kelas dan guru-guru Muatan lokal masing-masing menyusun program tahunan, program semester, analisis KI-KD, alokasi waktu, penetapan KKM, pemetaan KD dan penilaian, dan penetapan indikator pencapaian kompetensi. Guru Muatan lokal Bahasa Sunda SMAN 7 dan SMKN 2 Cirebon juga menyusun perangkat pembelajaran Bahasa Sunda dalam bentuk silabus dan RPP dengan 8 Tema, yaitu terjemahan, dongeng, laporan kegiatan, rumpaka kawih, wawancara, carita babad, aksara sunda, dan sajak. Pendidikan khusus, SLB Budi Utama Kota Cirebon menetapkan muatan lokal Bahasa Cirebon dan untuk kegiatan ekstrakurikuler dan pembekalan keterampilan vokasional dengan kegiatan membuat batik, tari topeng dan barongsai.

375Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pertimbangan satuan pendidikan dalam menentukan muatan lokal di Kota Cirebon, antara lain potensi daerah, kebutuhan daerah, keunggulan daerah, kearifan lokal, mengangkat citra daerah/nilai keunikan/daya tarik, mendapat dukungan pemangku kepentingan (budayawan, seniman, pengrajin, dan lain-lain), kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, mengembangkan kompetensi peserta didik (sikap, pengetahuan, keterampilan), membekali keterampilan/kecakapan hidup.

Pembelajaran muatan lokal dilakukan secara (a) terpisah dalam bentuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra, (b) ekstrakurikuler, dan (c) pengkondisian. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra yang diterapkan secara umum adalah Bahasa Cirebon, meskipun ada beberapa sekolah yang memilih menerapkan bahasa Sunda. Untuk menguatkan penerapan muatan lokal, khususnya untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra, MGMP melakukan kegiatan untuk membuat bahan ajar/LKS. Selain itu, guru muatan lokal Bahasa Sunda juga menyusun program tahunan, program semester, analisis KI - KD, alokasi waktu, penetapan KKM, pemetaan KD dan penilaian, penetapan indikator pencapaian kompetensi, dan perangkat pembelajaran bahasa Sunda dalam bentuk silabus dan RPP.

Penerapan Bahasa dan Sastra Cirebon tidak lepas dari kendala. Kendala utama adalah ketersediaan dan kompetensi SDM. Kompetensi SDM (guru) kurang memadai karena belum adanya Lembaga Perguruan Tinggi terakreditasi yang membuka Pendidikan Bahasa Cirebon. Pendidik dan tenaga kependidikan tidak ada yang dapat berbahasa Cirebon sehingga pembelajaran dilakukan seadanya dengan dialek yang mungkin tak sesuai.

Sekolah yang menerapkan mata pelajaran Bahasa Sunda, kendala yang dihadapi juga terkait SDM. Pengajar bukan lulusan S1 bahasa Sunda UPI/UNPAD, sehingga pengetahuan tentang bahan ajar dan media pembelajaran terbatas. Kekurangan pengetahuan membuat pengajar belum mampu mengembangkan pembelajaran sesuai yang diharapkan. Selain itu, sumber dan materi belajar juga kurang. Ditambah lagi dengan mayoritas peserta didik memakai bahasa Jawa dalam komunikasi keseharian. Mereka juga tidak tertarik dalam mempelajari bahasa daerah dan tidak adanya pembiasaan dari orang tua yang umumnya pendatang dan juga minim akan kapabilitas berbahasa Cirebon. Sehingga Bahasa Cirebon yang sejatinya diharapkan dapat menjadi media untuk anak mencintai bahasa warisan leluhurnya belum dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Muatan lokal berupa bahasa daerah terkesan hanya sebagai kewajiban dari sekolah untuk melaksanakan regulasi yang berlaku.

Pengembangan budaya dilakukan tidak hanya melalui muatan lokal, tetapi juga melalui pelajaran kesenian. Sekolah memiliki guru kesenian, tetapi masih kekurangan guru muatan lokal. Kegiatan kesenian untuk menguatkan pembelajaran budaya (mulok) dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler.

376 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kegiatan difokuskan pada pengaplikasian batik Cirebon dan barongsai. Selain itu, ada juga ekstrakurikuler berupa musik dan tari tradisional, seperti tari topeng dan gamelan. Selain itu siswa juga diperkenalkan pada cerita dan nilai khas daerah Cirebon, seperti mendongeng, tatakrama bahasa Sunda, ngawih (menyanyi), dan kaulinan barudak (permainan anak). Selain itu, juga ada kegiatan mendongeng untuk memperkenalkan budaya, cerita rakyat, dan menyebarkan pesan-pesan dari nilai luhur masyarakat Cirebon.

Pengenalan budaya pada peserta didik tidak bisa hanya melalui mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler, satuan pendidikan di Cirebon juga melakukan pengkondisian. Hal ini terlihat jelas dari interior/eksterior sekolah, seperti pot bunga, majalah dinding (mading), dan hiasan-hiasan yang menggunakan ukiran/batik khas Cirebon. Selain itu, nilai-nilai luhur masyarakat Cirebon juga diperkenalkan melalui petuah-petuah bijak yang ditempel di dinding seputar sekolah. Hal ini dapat memperkenalkan bahasa Cirebon kepada peserta didik sekaligus menanamkan karakter bangsa. Selain itu, Kota Cirebon memiliki sejarah penyebaran Agama Islam yang kuat oleh Sunan Gunung Jati. Nilai-nilai ini menjadi bagian untuk membentuk kebiasaan beribadah masyarakat Cirebon. Nilai-nilai agama secara tidak langsung menjadi bagian dari budaya khas Cirebon yang diperkenalkan melalui kebiasaan shalat berjamaah dan Jumat Barokah di sekolah. Nilai-nilai agama yang disebarkan juga menjadi muatan dalam dongeng-dongeng yang diperkenalkan kepada siswa.

Hal ini diperkuat dengan temuan melalui angket/kuesioner dalam bentuk google form yang menyatakan bahwa kebijakan muatan lokal di setiap jenjang pendidikan mendukung penguatan penanaman nilai (pendidikan karakter), pelestarian budaya, dan membekali keterampilan/kecakapan hidup bagi peserta didik. Salah satu unsur penting dalam pengembangan kurikulum satuan pendidikan adalah keberadaan dan optimalisasi Tim Penegembang Kurikulum. Berdasarkan data survey yang diperoleh menunjukkan sebagian besar satuan pendidikan memiliki Tim Pengmbang Kurikulum (TPK) di satuan pendidikan masing-masing.

Gambar 3. Keberadaan Tim Pengembang Kurikulum di Daerah

377Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Secara umum, pemerintah daerah dan satuan pendidikan menindaklanjuti dengan menetapkan muatan lokal sebagai mata pelajaran. Namun, selain mata pelajaran, satuan pendidikan juga menindaklanjuti dengan pembelajaran muatan lokal dalam bentuk ektrakurikuler sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.

Gambar 4. Kedudukan Muatan Lokal pada Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan

Selain pertimbangan dalam penetapan mulok tersebut, muatan lokal juga mendukung penguatan dalam pelestarian budaya, penanaman nilai karakter, membekali keterampilan/kecakapan hidup, dan konservasi lingkungan, seperti pada bagan berikut:

Gambar 5. Rasional Penetapan/Pemilihan Muatan Lokal

Implementasi Muatan Lokal di Satuan Pendidikan dalam Meningkatkan Pembangunan Karakter Bangsa (Nation Character Building).

Implementasi kurikulum muatan lokal di Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat selain sebagai upaya memperkenalkan budaya khas Cirebon pada peserta didik, tetapi diupayakan sebagai internalisasi dari nilai-nilai karakter bangsa. Kebijakan muatan lokal yang diterapkan di Cirebon telah mendukung penguatan penanaman nilai pendidikan karakter dan pembekalan keterampilan/kecakapan hidup. Nilai-nilai karakter bangsa yang diupayakan dalam pembelajaran muatan lokal terlihat dalam dokumen sekolah. Dari lima sekolah di Cirebon yang memberikan dokumennya, terlihat bahwa baik Visi, Misi, Tujuan, Silabus

378 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

maupun RPP, tersirat bahwa ada nilai-nilai bangsa yang diupayakan terbangun melalui kegiatan muatan lokal.

Sekolah telah mengimplementasi nilai pendidikan karakter secara terintegrasi dengan muatan lokal. Adanya kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan budaya atau lingkungan. Berdasarkan berbagai kegiatan, pembelajaran muatan lokal dilakukan melalui kegiatan seni budaya, permainan, cerita, dan petuah.

Secara lebih operasional penanaman nilai karakter terlihat pada dokumen silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) muatan lokal Bahasa Sunda dan Bahasa Cirebon. Nilai karakter yang diintegrasikan dalam perangkat rencana pembelajaran tersebut mengacu pada 18 nilai karakter (religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab).

Jika penerapan muatan lokal di Cirebon dikaitkan dengan nilai-nilai utama dalam pendidikan karakter (Religiusitas, Integritas, Gotong royong, Kemandirian, Nasionalisme) akan terlihat bahwa muatan lokal merupakan sarana untuk membangun karakter bangsa. Analisis pembelajaran muatan lokal berdasarkan nilai/karakter yang dibentuk adalah sebagai berikut:

1. Religiusitas.

Nilai religiusitas memang tidak secara langsung terlihat dalam pembelajaran muatan lokal yang lakukan di satuan pendidikan. Namun, salah satu kegiatan muatan lokal yang dilakukan adalah pengenalan cerita dan kebiasaan. Salah satu pembiasaan karakter yang terlihat di sekolah-sekolah melalui kegiatan rutin dan terprogram adalah kegiatan sholat berjamaaah, sholat Jumat, sholat dhuha bagi siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, membaca Asmaul Husna sebelum dan sesudah belajar, hapalan Al Qur’an surat-surat pendek untuk siswa dan surat Yasin untuk pendidik, tenaga kependidikan dan orangtua siswa dan jumat barokah di sekolah. Hal ini juga disebabkan karena Cirebon merupakan pusat penyebaran Islam di daerah Jawa Barat. Nilai religiusitas juga terbangun melalui petuah-petuah bijak yang diberikan di lingkungan sekolah dan dongeng-dongeng yang diturunkan. Kota Cirebon sangat kental dengan sejarah Wali Songo, melalui Sunan Gunung Jati yang mengajarkan Islam dengan pendekatan budaya.

2. IntegritasNilai integritas terbangun melalui kegiatan muatan lokal

pengkondisian. Saat siswa diperkenalkan dengan tatakrama sunda, dongeng,

379Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

petuah-petuah, dan slogan-slogan. Petuah-petuah, dongeng, tatakrama sunda, dan slogan-slogan umumnya berisi nilai-nilai kebaikan yang diturunkan melalui kebiasaan dan diharapkan tertanam dalam diri siswa. Melalui tatakrama bahasa Sunda dongeng dan slogan-slogan berbahasa Cirebon, petuah-petuah bijak berbahasa Cirebon, siswa akan memiliki kualitas diri yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

3. Gotong RoyongNilai gotong royong tercermin dari kegiatan muatan lokal di Cirebon

yang mengutamakan kebersamaan, misalnya kesenian barongsai dan kaulinan barudak (permainan anak). Dalam kesenian barongsai, siswa tidak hanya mempelajari cara melakukan barongsai sebagai sebuah pertunjukan tetapi juga belajar bekerja sama, bahu membahu membawa boneka singa melakukan gerakan akrobatik yang atraktif. Selain dari keunikan lokal barongsai yang diadopsi dari Budaya Tionghoa mengingat di masa lalu Cirebon merupakan kota pelabuhan yang menjadi persinggahan para pedagang Cina dan Arab. Nilai gotong royong juga dimunculkan dalam permainan anak Dagongan. Dagongan adalah permainan olahraga tradisional yang mempergunakan bambu dengan ukuran tertentu sebagai alat mengadu kekuatan untuk saling mendorong antara regu yang satu dengan regu yang lain. Permainan Olahraga tradisional dagongan ini merupakan kebalikan dari permainan tarik tambang. Permainan ini membutuhkan kerja sama tim agar dapat memenangkan permainan.

4. KemandirianMelalui membatik akan menumbuhkan nilai kemandirian bagi peserta

didik. Misal: di SMP dan di SLB, hasil karya siswa sering diperjualbelikan dan dipamerkan pada event-event tertentu. Melalui kegiatan barongsai, siswa SLB di Cirebon tidak hanya belajar bekerja sama tetapi juga belajar mandiri untuk melakukan pertunjukan barongsai.

5. NasionalismeDi antara semua nilai dalam karakter bangsa, nasionalisme adalah

karakter yang dominan terlihat dalam pembelajaran muatan lokal. Kegiatan muatan lokal di Cirebon masih didominasi kegiatan budaya. Kegiatan seni dan budaya seperti gamelan, tari topeng, batik, dan Bahasa Cirebon/Bahasa Sunda, dan permainan adalah produk budaya Indonesia. Karena itu, nilai yang diusung dengan kegiatan-kegiatan muatan lokal tersebut adalah nasionalisme budaya Indonesia.

Hasil analisis ini secara singkat dapat dilihat dalam bagan berikut ini.

380 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 6. Hasil Analisis Data Kota Cirebon

Kebijakan muatan lokal di daerah Cirebon telah dilakukan sesuai ketentuan pemerintah pusat. Penerapannya tetap mengedepankan keunikan lokal dan mengupayakan nilai-nilai luhur dan karakter bangsa tetap dapat diwariskan melalui kegiatan muatan lokal untuk mendukung penguatan penanaman nilai pendidikan karakter dan pembekalan keterampilan/kecakapan hidup. Hal ini terlihat dari sekolah yang memiliki praktik muatan lokal yang selaras dengan pendidikan karakter seperti, gamelan, ngawih (menyanyi), kaulinan barudak (permainan anak), dan tari topeng. Permainan, nyanyian, gamelan, batik dan tarian merupakan upaya menanamkan nilai lokal melalui rasa gembira sehingga nilai karakter bangsa lebih mudah terinternalisasi dalam diri peserta didik.

Dengan demikian rangkuman pembahasan dari ketiga masalah penelitian studi kebijakan pengembangan kurikulum berbasis muatan lokal dalam meningkatkan pembangunan karakter bangsa (nation character building) yang dilakukan dengan studi kasus di Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat adalah:

Tabel 2. Rangkuman Pembahasan Hasil Kajian/Penelitian

381Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

1. Kebijakan pengembangan kurikulum berbasis muatan lokal yang diatur oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah

Kebijakan Pemerintah Pusat terkait mulok yang menjadi pedoman:1. Undang-undang No.

20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah

3. Permendikbud Nomor 67, 68, 69, 70 dan 81A tahun 2013 sebagai bahan rujukan Pengembangan kurikulum daerah

4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Aliyah

Untuk implementasi dan pedoman di tingkat provinsi, sudah tersusun Kebijakan Pemerintah Daerah:1. Peraturan Daerah Provinsi

Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2014 (Pengganti Perda Jabar No 5 Tahun 2003) tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah

2. Perda Jabar No 14 Tahun 2014 tentang Revisi Perda No 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah di Jawa Barat

• Belum ada penjelasan apakah sudah dibuatkan peraturan bupati atau peraturan walikota karena Cirebon merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat

382 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

4. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2007 tentang pedoman Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup.

5. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Dan Sastra Daerah Pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan: Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Daerah adalah materi pelajaran yang memuat Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah yang ada di Jawa Barat, meliputi Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon dan Bahasa Melayu Betawi.

Kebijakan tingkat Dinas Pendidikan1. Surat Edaran Kepala Disan

Pendidikan Provinsi Jawa Barat Nomor 423/2372/Set-disdik tertanggal 26 Maret 2013 tentang Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah pada jenjang SD/MI, SMP/ MTs, SMA/SMK/MA/MAK

383Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

2. Surat Edaran Kepala DisDik Jabar No 423.5/60-Set/2015 perihal Penggunaan Kurikulum Mulok Bahasa dan Sastra Daerah

3. Keputusan Dinas Pendidikan Jawa Barat, Nomor: 819/8653-Setdisdik. Tanggal 20 Februari 2017 yang memuat ketentuan terkait Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda.

• Sudah ada mulok untuk kota Cirebon yaitu bahasa Cirebon dan Dermayu dan telah diatur dalam Peraturan Gubernur

• Sudah ada anggaran di Disdik kota Cirebon tahun anggaran 2020/2021 untuk penyusunan program pengelolaan kurikulum dan pengembangan Bahasa dan sastra Cirebon (terkendala covid)

2. Tindak lanjut sekolah terkait kebijakan muatan lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

• Sekolah memiliki aspek yang dipertimbangkan dalam menentukan mulok.

• Sudah memiliki mulok Bahasa Cirebon.

• Sudah memiliki mulok Bahasa Sunda.

• Sudah memiliki mulok/ekstra kulikuler gamelan membatik dan tari topeng.

• Sudah memiliki guru mulok Bahasa Cirebon dan MGMP.

• MGMP membuat bahan ajar / LKS.

• SLB hanya mempertimbangkan aspek keunggulan daerah, kearifan lokal, kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, pengembangan kompetensi peserta didik, dan pembekalan keterampilan / kecakapan hidup. SLB tidak mempertimbangkan potensi daerah, kebutuhan daerah, pengangkatan citra daerah, serta dukungan dari pemangku kebijakan.

384 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

• Guru Mulok Bahasa Sunda telah menyusun program tahunan, program semester, analisis KI-KD, alokasi waktu, penetapan KKM, pemetaan KD dan penilaian, penetapan indikator pencapaian kompetensi, dan perangkat pembelajaran bahasa Sunda dalam bentuk silabus dan RPP.

• Ciri khas daerah dan implementasi pendidikan lingkungan hidup terlihat dari interior/eksterior sekolah seperti: adanya penanda sekolah berlokasi di Kota Cirebon; adanya pot bunga, mading, dan hiasan-hiasan yang menggunakan ukiran/batik khas Cirebon; banyaknya pepohonan; adanya sarana kebersihan.

• Sedangkan SMA tidak mempertimbangkan keunggulan daerah dan dukungan dari pemangku kebijakan. Meski begitu, SMA mempertimbangkan potensi daeran dan pengangkatan citra daerah.

• Kompetensi SDM (guru) belum ada karena belum adanya Lembaga Perguruan Tinggi terakreditasi yang membuka Pendidikan Bahasa Cirebon.

• Sumber dan materi belajar kurang.

• Pengajaran bahasa Cirebon sangat sulit untuk ABK sehingga mulok tidak dipaksakan untuk dilaksanakan. Pengajaran lebih difokuskan pada pengaplikasian batik Cirebon dan barongsai.

• Pendidik dan tenaga kependidikan tidak ada yang dapat berbahasa Cirebon sehingga pembelajaran dilakukan seadanya dengan dialek yang mungkin tak sesuai.

• Pengajar bukan lulusan S1 bahasa Sunda UPI/UNPAD, sehingga pengetahuan tentang bahan ajar dan media pembelajaran terbatas.

• Kekurangan pengetahuan membuat pengajar belum mampu mengembangkan kurikulumnya sendiri.

• Mayoritas peserta didik memakai bahasa Jawa.

385Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

• Peserta didik tidak tertarik dalam mempelajari bahasa daerah.

• Sekolah memiliki guru kesenian, tetapi masih kekurangan guru muatan lokal.

• Sumber dan materi belajar kurang.

• Ketika PLPG, dimasukkan di rayon Yogyakarta (UNY).

• Walaupun ada, SDN Jagasatru 1 Kota Cirebon masih minim penanda sekolah berlokasi di Kota Cirebon, hanya papan nama dan tulisan identitas sekolah.

3. Implementasi muatan lokal di satuan pendidikan dalam meningkatkan pembangunan karakter bangsa (nation character building)

• Kebijakan mulok di daerah telah mendukung penguatan penanaman nilai pendidikan karakter dan pembekalan keterampilan/kecakapan hidup.

• Sekolah telah mengimplementasi nilai pendidikan karakter secara terintegrasi dengan muatan lokal.

• Sekolah memiliki praktik mulok yang selaras dengan pendidikan karakter, seperti mendongeng, tatakrama bahasa Sunda, ngawih, kaulinan barudak, dan tari topeng.

• Adanya kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan budaya atau lingkungan.

• Adanya dokumen baik Visi, Misi, Tujuan, KD, Silabus maupun RPP yang tersirat upaya penanaman nilai karakter.

• Hanya SMP yang menyatakan bahwa kebijakan mulok di daerah mendukung penguatan konservasi lingkungan alam / sumber daya alam.

• (Hasil Temuan: SMP 3.1.)• Adanya perbedaan bahasa

dan budaya (sunda-cirebon) menghambat pengembangan pendidikan karakter peserta didik dengan muatan lokal.

• Materi dan sumber belajar kurang.

• Beberapa sekolah lainnya (SDN Jagasatru 1dan SMAN 7 Cirebon) tidak memiliki praktik mulok yang selaras dengan pendidikan karakter.

• Peserta didik lebih suka menggunakan bahasa Indonesia karena banyak orang tua mereka yang tidak paham bahasa Cirebon.

386 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Masalah Kekuatan Kelemahan

• Terdapat slogan-slogan berbahasa Cirebon / petuah-petuah bijak berbahasa Cirebon dipampang di sepanjang lorong SMPN 18 Cirebon.

• Terdapat pot, mading, dan hiasan di kelas dan kantor sekolah yang menggunakan ukiran/batik khas Cirebon.

• Pendidik dan tenaga kependidikan tidak mahir dalam berbahasa Cirebon dengan baik karena sehari-hari lebih cenderung menggunakan bahasa Cirebon yang “prokem”.

Pada umumnya implementasi muatan lokal mendukung pendidikan karakter untuk meningkatkan pembangunan karakter bangsa (nation character building). Seperti pada bagan berikut:

Gambar 7. Temuan dan Pembahasan

Adapun strategi yang dilakukan umumnya adalah nilai pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi dalam muatan lokal (86%). Ada juga satuan pendidikan yang mengajarkan pendidikan karakter sebagai materi tambahan atau berdiri sendiri tetapi jumlahnya tidak signifikan. Dengan kata lain, pembelajaran muatan lokal telah mengakomodasi pendidikan karakter melalui pembelajaran tentang budaya/kearifan lokal daerah.

387Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 8. Strategi Implementasi Muatan Lokal dalam Penguatan Pendidikan Karakter

F. Kesimpulan dan Saran

Simpulan

Kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

• Pemerintah pusat dalam kebijakan terkait muatan lokal, telah berupaya mendorong setiap daerah untuk mengidentifikasi kebudayaan dan kearifan lokal daerahnya dan mengembangkan potensi daerah tersebut melalui pendidikan untuk mendorong kemajuan budaya Indonesia.

• Kebijakan muatan lokal dari pemerintah daerah bersifat lebih operasional dengan memilih salah satu unsur budaya yang khas dan dominan sebagai mata pelajaran. Unsur budaya yang lain tetap harus digali dan dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan pengkondisian.

Tindak Lanjut sekolah atau satuan pendidikan terkait kebijakan muatan lokal dari pemerintah dan pemerintah daerah:

• Tindak lanjut kebijakan muatan lokal diupayakan menyeluruh, mulai dari kurikulum, SDM, dan sarana penunjang kegiatan. Khusus untuk SDM, pemerintah daerah harus dapat mengatasi kendala dengan menciptakan SDM yang khusus mendalami muatan lokal di daerah tersebut.

• Kebijakan Kurikulum muatan lokal harus digariskan dalam kurikulum yang jelas dan dikembangkan sesuai dengan keadaan sekolah.

Implementasi muatan lokal dalam pembangunan karakter bangsa (nation character building).

• Pembelajaran muatan lokal yang diterapkan oleh satuan pendidikan di Kota Cirebon telah mengarah kepada pembangunan karakter bangsa melalui nilai-nilai religiusitas, integritas, gotong royong, kemandirian, dan nasionalisme.

388 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

• Melalui pembelajaran muatan lokal, peserta didik dapat mengenal dan menginternalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa dan kearifan lokal masyarakat Cirebon melalui berbagai kegiatan seni budaya, pertunjukan, dan permainan/olahraga khas Cirebon seperti seni suara, gamelan, tari topeng, barongsai, lukis kaca, dan membatik.

Rekomendasi• Pemerintah daerah perlu mengidentifikasi serta memilah dan memilih

potensi budaya dan kearifan lokal yang ada di daerahnya sebagai muatan lokal dalam rangka pembangunan karakter bangsa (nation character building).

• Pemerintah daerah dan satuan pendidikan atau sekolah dalam menetapkan kurikulum muatan lokal selain dalam bentuk mata pelajaran bahasa daerah juga dapat menggali unsur budaya khas daerah setempat sesuai kepentingan dan kebutuhan daerah dan satuan pendidikan serta dapat juga diproyeksikan untuk menjadi keunggulan yang dapat mengangkat perekonomian daerah atau jiwa wirausaha anak.

• Satuan pendidikan dalam mengimplementasikan kurikulum muatan lokal selain dalam rangka pewarisan dan pelestarian budaya daerah juga meningkatkan pembangunan karakter bangsa. Satuan pendidikan mengoptimalkan implementasinya melalui berbagai strategi integrasi ke semua mata pelajaran yang relevan dan kegiatan esktrakurikuler dan budaya sekolah sehingga muatan lokal menjadi basis dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

• Penelitian ini tidak berhenti pada temuan dan rekomendasi yang dilaporkan, namun harus ditindaklanjuti dengan penelitian sejenis. Penelitian sejenis dilakukan agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Satuan Pendidikan memiliki kepedulian dengan muatan lokal. Keanekaragaman muatan lokal di Indonesia harus dikenalkan dan dilestarikan oleh peserta didik.

ACUAN PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 2007. Pustaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Arwildayanto, Arifin Suking, dan Warni Tune Sumar. 2018. Analisis Kebijakan Pendidikan: Kajian Teoretis, Eksploratif, dan Aplikatif, Bandung: CV Cendekia Press.

389Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan jilid II, Yogyakarta, Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Durottun, Nafisah. Peran Pendidikan Muatan Lokal Terhadap Pembangunan Karakter Bangsa, dalam CITIZENSHIP: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 4, No. 2, April 2016, Universitas PGRI Madiun.

Dyjur, Patti and Kalu, Frances. 2018. Introduction to Curriculum Review, curriculum review# 1. Canada: University of Cagliary. Taylor Institute.

Fajarini, Ulfah. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter, dalam Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014.

Ferdianto, Binsar Vidy dan Rusman. Evaluasi Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Daerah dan Pendidikan Lingkungan Hidup, dalam Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan Volume 11, Nomor 2, September 2018, Universitas Pendidikan Indonesia.

Hasbullah, H.M. 2015. Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mardiana dan Noor Hikmah. Pendidikan Berbasis Muatan Lokal Sebagai Sub Komponen Kurikulum. Dinamika Ilmu, Volume 13, 1 Juni 2013, IAIN Samarinda.

Mursalim (2015). Kajian Pelaksanaan Pembelajaran Muatan Lokal Budaya Daerah Di Satuan Pendidikan Dasar. Jurnal Kajian Pembelajaran Muatan Lokal Budaya Daerah di Satuan Pendidikan Dasar, Vol. 10 No. 1 April 2015, Penerbit Puslitbang Kebudayaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Omeri, Nopan. Pentingnya Pendidikan Karakter dalam Dunia Pendidikan, dalam Manajer Pendidikan, Volume 9, Nomor 3, Juli 2015, hlm. 464-468, Universitas Bengkulu.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 (2006) tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013.

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Pusat Kurikulum dan Pebukuan. (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Balitbang, Kementerian Pendidkan Nasional.

390 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rusdiana, H.A. 2015. Kebijakan Pendidikan Dari FIlosofi Ke Implementasi. Bandung: CV Pustaka Setia.

Samho, Bartolomeus. Strategi Pendidikan Karakter Dalam Sektor Pendidikan Formal: Telaah Berdasarkan Pandangan Ki Hadjar Dewantara, dimuat dalam Respons Volume 22 No. 01 (2017): 11 – 37, Jakarta: PPE-Unika Atma Jaya.

Sutjipto. Diversifikasi Kurikulum dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 3, Desember 2015.

Toombs, William E.; Tierney, William G. 1993. Curriculum Definitions and Reference Points. Journal of Curriculum and Supervision, vol. 8 no. 3. Institute of Education Science.

Tilaar, HAR. 2012. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (2009) tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wiles, Jon. 2009. Leading Curriculum Development. California: Corwin Press A Sage Company.

Wirantho, Sapto Aji Farah Arriani, dan Soraya. Implementasi Muatan Lokal untuk Pendidikan Khusus di Bangka Belitung. Edutainment: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Kependidikan. Vol 8 Nomor 1 Edisi Januari – Juni 2020.

Zainul, Moh. Arifin, et.al. Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Karawitan Sebagai Upaya Mengkonstruksi Pengetahuan dan Pelestarian Budaya Jawa di Jenjang SMA dalam Jurnal Kajian Teknologi Pendidikan, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018 Universitas Negeri Malang.

https://www.liputan6.com/news/read/4022305/menko-pmk-pancasila-pemersatu-keberagaman-budaya-indonesia#diakses pada 7 Mei 2020.

https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/108455/pengenalan-budaya-lokal-pada-anak-usia-dini. diakses 7 Mei 2020.

https://www.cirebonkota.go.id/profil/sejarah/sejarah-keraton. diakses 22 September 2020.

391Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KAJIAN IMPLEMENTASI STRUKTUR KURIKULUM SMK DALAM ERA REVOLUSI DIGITAL

STUDY OF THE IMPLEMENTATION OF VOCATIONAL HIGH SCHOOL CURRICULUM STRUCTURE IN DIGITAL REVOLUTION ERA

Maria Chatarina Adharti Sri Sursiyamtini1*, Nur Rofika Ayu Shinta Amalia2, Christina Tulalessy3, Dwi Setiyowati4

1,2,3 Pusat Kurikulum dan Perbukuan4 Pusat Asesmen dan [email protected]

[email protected]@kemdikbud.go.id

[email protected]

Abstrak

Masyarakat global saat ini sedang memasuki era baru yang disebut dengan era revolusi digital. Hal ini memberikan pengaruh pada berbagai sektor mulai dari industri hingga pendidikan. Pendidikan vokasi sangat berkaitan erat dengan industri. Kurikulum pada pendidikan vokasi harus selaras dengan kebutuhan industri dan selalu melakukan penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Penelitian ini mengkaji kesesuaian implementasi struktur kurikulum yang berlaku dengan kebutuhan kompetensi di era revolusi digital. Penelitian ini menggunakan metode survei yang melibatkan siswa, guru, industri, serta para pemangku kepentingan pendidikan vokasi lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengisian kuesioner, wawancara, dan FGD. Secara umum sekolah-sekolah yang menjadi sampel dalam kajian ini telah menggunakan struktur kurikulum sesuai peraturan yang berlaku. Mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum, menurut sebagian besar responden sudah mendukung kompetensi keahlian dalam era revolusi digital sehingga tidak ada mata pelajaran yang perlu dikurangi atau ditambahkan. Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan agenda pendidikan yang wajib dilakukan oleh siswa SMK tetapi belum diatur dalam struktur kurikulum sehingga seringkali mengalami kendala dalam penjadwalan. Oleh karena itu, PKL dicantumkan pada rekomendasi struktur kurikulum ini untuk mengoptimalkan implementasinya.

Kata kunci: era revolusi digital, struktur kurikulum, SMK

Abstract

Nowadays, global citizens have entered a new era which called the digital revolution era. This change affects several sectors from industry until education. Vocational education is closely related to the industry. Vocational education curriculum must

392 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

align with industry needs and always developing throughout time. This research focused on the connection between the implementation of curriculum structure with the competency needed in the digital revolution era. This research used survey methods which include students, teachers, industries, and the other vocational education stakeholders. The data sample collected through questionnaires, interview, and discussion. Overall, the schools that participated in this research is using the curriculum structure consistent with the regulation. According to the respondents, most of the subjects are supporting the development of competencies needed in the digital revolution era. There are no subjects addition or subtraction. On the job training is one of the mandatory programs for vocational high school students, but there is no specific time allocation in the curriculum structure. This issue has caused a scheduling problem both in schools and industries. For better implementation, on the job training is included in the curriculum structure recommendation.

Keywords: digital revolution era, curriculum structure, vocational high school

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Dunia telah memasuki era revolusi digital yang menyebabkan perubahan di berbagai sektor. Industri telah beralih dari menggunakan tenaga manusia menjadi menggunakan mesin yang disebut otomasi industri (Noble, 2017). Hal ini memengaruhi ketersediaan lapangan kerja. Banyak pekerjaan yang telah tergantikan oleh mesin. Di sisi lain, muncul berbagai pekerjaan baru yang tidak diprediksi sebelumnya. Pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah (low-skill) dan gaji rendah (low-wage) diprediksi paling terpengaruh dengan adanya revolusi digital. Pekerjaan di bidang transportasi, pemasaran, perkantoran, dan administratif terancam akan hilang dengan adanya komputerisasi. Tenaga kerja harus mempunyai kreativitas dan kemampuan sosial untuk dapat bertahan pada lapangan kerja yang tidak tergantikan oleh komputer (Frey and Osborne, 2017). Pendidikan Vokasi sangat terkait erat dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dan kebutuhan industri. Kurikulum Pendidikan Vokasi harus membekali lulusannya dengan kompetensi yang relevan dengan kebutuhan industri. Pendidikan Vokasi pada jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) selama ini ditujukan untuk mengisi tenaga kerja tingkat operator atau KKNI Level 2 dan 3 (BNSP, 2017). Struktur kurikulum SMK harus menyiapkan lulusan dengan keterampilan-keterampilan yang tidak hanya terikat dengan kemampuan teknis, tetapi juga dengan kemampuan berpikir. Lulusan SMK perlu penguatan dalam keterampilan abad ke-21 yang meliputi kompetensi, literasi, dan karakter. Pentingnya pembenahan struktur kurikulum disorot Presiden dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia 2017 pada tanggal 2 Februari 2017. Pada kesempatan tersebut, Presiden menyatakan bahwa jurusan pada pendidikan kejuruan

393Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

seharusnya disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dunia kerja. Jumlah guru produktif harusnya 80%. Artinya, mata pelajaran kejuruan harus lebih banyak daripada mata pelajaran pada kelompok normatif. Dalam buku Kebijakan Pengembangan Vokasi di Indonesia 2017—2025, dikatakan bahwa perlu dilakukan perubahan kurikulum Pendidikan vokasi agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Dikatakan juga bahwa mata pelajaran umum masih telalu banyak jika dibandingkan dengan pelajaran kejuruan. Oleh sebab itu, dipandang perlu memadatkan mata pelajaran umum.Struktur kurikulum SMK yang berlaku saat ini diatur oleh Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor 07/D.D5/KK/2018. Muatan-muatan dalam struktur kurikulum SMK terbagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok A (muatan nasional), kelompok B (muatan kewilayahan), dan kelompok C (muatan kejuruan). Terkait tingginya tuntutan lulusan SMK saat ini dan perkembangan teknologi digital, dipandang perlu untuk mengkaji ulang muatan struktur kurikulum SMK agar selaras dengan kebutuhan industri dan dunia kerja (IDUKA).

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:1) Bagaimana implementasi kurikulum 2013 di SMK dengan menggunakan

struktur kurikulum yang ada?2) Apakah mata pelajaran dan alokasi waktu yang terdapat dalam struktur

kurikulum 2013 sudah cukup untuk menyiapkan lulusan dengan keterampilan abad ke-21 (kompetensi, literasi, dan karakter) yang memiliki daya saing di era revolusi digital?

1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan kajian ini adalah seperti berikut. 1) Untuk mengetahui implementasi Struktur Kurikulum 2013 di SMK 2) Untuk mengetahui tingkat kemampuan mata pelajaran dan alokasi waktu

yang terdapat dalam struktur kurikulum 2013 dalam menyiapkan lulusan dengan keterampilan abad ke-21 (kompetensi, literasi, dan karakter) yang memiliki daya saing di era revolusi digital.

2. Kajian Teori2.1 Implementasi Struktur Kurikulum 2013

Struktur Kurikulum merupakan pengorganisasian mata pelajaran dalam sebuah Kompetensi Keahlian yang berisikan muatan-muatan yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa. Pengorganisasian/pengelompokan mata pelajaran dalam Struktur Kurikulum mengikuti bentuk pengorganisasian Komptensi Keahlian, dan Program Keahlian kedalam Bidang Keahlian yang diatur dalam Spektrum Keahlian.

394 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1.1.1 Spektrum Keahlian a. Pengertian

Spektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan di SMK adalah jenis-jenis program pendidikan serta rambu-rambu penyelenggaraannya, sebagai acuan dalam membuka dan mengembangkan program pendidikan pada SMK/MAK. Jenis-jenis program pendidikan pada Spektrum Keahlian diorganisasikan dalam bentuk Bidang Keahlian, Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian (Direktorat PSMK, 2016).

1) Bidang keahlian merupakan kumpulan Program Keahlian yang memiliki kesamaan karakteristik dan memerlukan dasar bidang kajian yang sama.

2) Program keahlian merupakan kumpulan Kompetensi Keahlian yang memiliki kesamaan karakteristik dasar-dasar keahlian/pekerjaan/tugas.

3) Kompetensi keahlian merupakan satuan program pendidikan dan pelatihan yang didasarkan atas tugas-tugas pada jabatan/pekerjaan tertentu, dengan durasi satuan pendidikan menengah 3 atau 4 tahun. Karakteristik kompetensi keahlian adalah:a) Membentuk lulusan agar menguasai satu jenis jabatan pekerjaan

(profesi/ keahlian) formal yang berjenjang, pengalaman belajar atau keterampilan yang diperoleh bermakna untuk hidup mandiri dan atau melanjutkan pendidikan, lapangan kerja lulusan terdeskripsikan secara jelas dan spesifik.

b) Ruang lingkup kompetensi mengacu kepada standar kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja dan diakui, dikemas dengan memperhatikan rambu-rambu KKNI.

c) Perbedaan muatan kompetensi kejuruan (C2 dan C3) satu paket keahlian dengan paket keahlian lainnya dalam satu program keahlian minimal 35 % dilihat dari bobot beban belajar.

d) Mempertimbangkan tahapan dan perkembangan peserta didik secara fisik maupun psikologis.

b. Tujuan Spektrum KeahlianSpektrum Keahlian Pendidikan Menengah Kejuruan ditetapkan dengan tujuan sebagai berikut:1) Memberikan acuan dalam pengembangan dan penyelenggaraan

program pendidikan di SMK/MAK, khususnya dalam pembukaan dan penyelenggaraan bidang/program/kompetensi keahlian;

2) Memberikan acuan dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran;

3) Menentukan tingkat efektivitas dan relevansi pendidikan pada SMK/MAK;

395Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4) Memberikan acuan untuk pelaksanaan penilaian dan akreditasi SMK MAK. (Direktorat PSMK, 2016)

c. Spektrum Keahlian SMK yang berlaku saat iniPerdirjen Dikdasmen No. 06/D.D5/KK/2018 mengatur Spektrum Keahlian SMK yang berlaku saat ini. Peraturan tersebut menggantikan Spektrum Keahlian sebelumnya yang diatur dalam SK Dirjen Dikdasmen Nomor 4678/D/KP/MK/2016. Spektrum Keahlian tahun 2018 ini memuat 9 bidang keahlian, 48 program keahlian, dan 146 kompetensi keahlian. Perubahan terdapat pada penambahan 4 kompetensi keahlian baru, yaitu Retail, Manajemen Logistik, Hotel dan Restoran, serta Produksi Film.

d. Kaitan Spektrum Keahlian dan Struktur KurikulumOrganisasi terkecil dari spektrum keahlian Pendidikan menengah kejuruan ialah kompetensi keahlian. Dalam rangka mencapai kompetensi kompetensi keahlian tertentu, perlu seperangkat kurikulum yang dituangkan (diorganisasikan) dalam suatu struktur kurikulum.

1.1.2 Struktur Kurikulum SMKKurikulum ialah seperangkat rencana mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakafn sebagai pedoman penyelenggaraaan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum.Struktur kurikulum merupakan gambaran konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi mata pelajaran, distribusi mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran, dan beban belajar per minggu untuk setiap peserta didik. Struktur kurikulum terdiri atas mata pelajaran dan beban belajar (Maunah, 2009). Struktur kurikulum merupakan elemen bisnis inti dari setiap sekolah. Struktur kurikulum ibarat kerangka tubuh: kuat dan seimbang, memberi arahan dan dukungan pada kegiatan dan menentukan garis besar apa yang diwakilinya (Wiley Online Library). Menurut Yamin (2007), struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Struktur kurikulum yang dimaksud dalam kajian ini dapat berbentuk:• Susunan (pengorganisasian) mata pelajaran yang ditata dalam semester

atau tahun dengan lama belajar yang ditetapkan perminggu untuk setiap mata pelajaran.

• Susunan (pengorganisasian) mata pelajaran yang ditata dan dilaksanakan berdasarkan lama pendidikan (sistem blok). Dalam sistem ini sekolah

396 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

diberikan kebebasan penuh untuk mengatur jawal belajar siswa selama durasi waktu pendidikan terpenuhi.

1.1.3 Implementasi Struktur Kurikulum SMKSistem pendidikan menengah kejuruan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan. Peraturan ini mengatur kriteria minimal sistem pendidikan menengah kejuruan yang terurai pada 8 standar, yaitu:a. standar kompetensi lulusan;b. standar isi;c. standar proses pembelajaran;d. standar penilaian pendidikan;e. standar pendidik dan tenaga kependidikan;f. standar sarana dan prasarana;g. standar pengelolaan; danh. standar biaya operasi. Struktur kurikulum seharusnya diturunkan dari standar isi pada standar nasional pendidikan (SNP), tetapi struktur kurikulum yang berlaku sekarang diterbitkan sebelum Permendikbud No. 34 Tahun 2018 sehingga sampai saat ini belum ada struktur kurikulum yang merupakan turunan dari standar isi. Struktur kurikulum SMK/MAK yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 07/D.D5/KK/2018 diberlakukan untuk mengganti peraturan sebelumnya yaitu Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 130/D/KEP/KR/2017. Struktur kurikulum tahun 2018 ini diterbitkan bersamaan dengan spektrum keahlian (Perdirjen Dikdasmen No. 06/D.D5/KK/2018) yang memuat penambahan 4 kompetensi keahlian baru. Struktur kurikulum tahun 2018 telah mengakomodasi keempat kompetensi keahlian baru tersebut. Selain penambahan kompetensi keahlian, terdapat perubahan alokasi waktu pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas XII yang semua 3 jam pelajaran (JP) tiap minggu berubah menjadi 2 JP. Mata Pelajaran Produk Kreatif dan Kewirausahaan juga mengalami perubahan, pada kelas XI bertambah 2 JP dan pada kelas XII bertambah 3 JP. Total jam pelajaran pada kelas XI dan kelas XII yang semula 46 jam pelajaran bertambah menjadi 48 jam pelajaran tiap minggu. Pada praktiknya, total 48 jam pelajaran tiap minggu dianggap berat baik untuk guru dan juga siswa (Ramadhan & Ramdani, 2015).Perubahan ini menuntut guru untuk menyusun strategi pembelajaran. Guru perlu mengintegrasikan muatan kejuruan kedalam mata pelajaran Produk Kreatif dan Kewirusahaan yang mengalami peningkatan jam pelajaran. Guru mempunyai peran penting dalam memahami kurikulum agar pengintegrasian

397Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dapat diimplementasikan dengan baik (Retnawati et. al., 2016).Penyusunan kurikulum SMK perlu mempertimbangkan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Kurikulum saat ini mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau standar internasional seperti standar ASEAN. Salah satu permasalahan yang ditemukan di sekolah vokasi saat ini adalah kurikulum yang terlalu umum sehingga perlu dilakukan penyelarasan dengan industri (Verawadina, dkk., 2019).

1.1 Era Revolusi Digital

1.1.1 Revolusi DigitalRevolusi digital atau revolusi industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya Internet of Things (IoT) atau internet untuk segala yang menitikberatkan pada konektivitas antar perangkat melalui jaringan tanpa campur tangan manusia. Perkembangan IoT ini diikuti dengan pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan, robotik, big data, dan teknologi nano. Era ini disebut juga dengan sebutan revolusi digital karena terjadi proliferasi komputer dan otomasi pencatatan di semua bidang (Ghufron, 2018).Seperti revolusi industri yang telah terjadi sebelumnya, revolusi industri 4.0 atau revolusi digital ini juga memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup. Manusia sangat diuntungkan dengan munculnya berbagai kemudahan karena adanya teknologi seperti memesan taksi, tiket pesawat, dan membeli barang semuanya bisa dilakukan dalam jarak jauh.Inovasi teknologi akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas jangka panjang. Biaya transportasi dan komunikasi akan menurun, logistik dan rantai distribusi global menjadi lebih efektif, biaya pemasaran menurun sehingga memunculkan pasar baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada sisi yang lain, revolusi digital dapat menyebabkan perubahan pada pasar lapangan kerja. Otomasi akan menggantikan tenaga kerja di berbagai sektor ekonomi. Terjadi kesenjangan yang cukup besar antara inovator dengan tenaga kerja. Permintaan terhadap pekerja dengan keterampilan tinggi akan meningkat sedangkan perkerja dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah akan menurun (Schwab, 2017).

1.1.2 Kompetensi pada Era Revolusi Digital

Pendidikan vokasi, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan harus menyiapkan lulusannya agar dapat bertahan dan beradaptasi di era revolusi digital. Kurikulum di SMK harus membekali lulusannya dengan keterampilan yang luas dan fleksibel, tidak hanya keterampilan teknis. Salah satu kelemahan lulusan SMK saat terjun ke lapangan kerja adalah aspek soft skills seperti percaya diri, kemampuan adaptasi, komunikasi, disiplin, etos kerja, hingga kemampuan kerja sama. Soft skill berkaitan erat dengan kompetensi. Kompetensi ialah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung

398 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi kerja terdiri atas lima komponen, yaitu: (1) Knowledge: ilmu yang dimiliki individu dalam bidang pekerjaan atau

area tertentu. (2) Skill: kemampuan untuk unjuk kerja fisik atau mental. (3) Self Concept: sikap individu, nilai-nilai yang dianut serta citra diri. (4) Traits: karakteristik fisik dan respons yang konsisten atas situasi atau

informasi tertentu.(5) Motives: pemikiran atau niat dasar yang konstan yang mendorong

individu untuk bertindak atau berperilaku tertentu.Competence at Work: Models for Superior Performans. Lyle M. Spencer and Signe M. Spencer. 1993. New York: John Wiley & Son, Inc.

Knowledge dan skill sering disebut hard skills. Adapun self concept, traits dan motives disebut soft skills. Dalam menghadapi era revolusi digital dengan akselerasi yang cepat, diperlukan tenaga kerja yang tidak hanya mempunyai kemampuan bekerja dalam bidangnya (hard skills), tetapi juga sangat penting untuk menguasai kemampuan menghadapi perubahan serta memanfaatkan perubahan itu sendiri (soft skills). Berbagai penelitian lain juga menguatkan pentingnya soft skills dalam menentukan keberhasilan seseorang, termasuk dalam hal ini lulusan SMK. Oleh karena itu, menjadi tantangan pendidikan untuk mengintegrasikan kedua macam komponen kompetensi tersebut secara terpadu dan tidak berat sebelah agar mampu menyiapkan lulusan SMK yang memiliki kemampuan bekerja dan berkembang di masa depan.Kualifikasi yang dibutuhkan lulusan SMK antara lain kemampuan untuk bekerja dalam berbagai struktur lingkungan kerja, merespons dengan cepat dan efektif, pembelajar sepanjang hayat terhadap perubahan, dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks, memiliki inisiatif, mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, serta mampu merencanakan pekerjaan. Pendidikan vokasi harus memenuhi tuntutan dari DUDI terhadap kualitas lulusan yang tidak hanya siap latih tetapi juga siap kerja, sehingga dibutuhkan penguatan keterampilan kerja yang lebih dibandingkan dengan sekadar pemahaman teori saja (Hartanto, 2019). Penyeimbangan komponen hard skill dan soft skill ini sejalan dengan Profil Pelajar Pancasila, yaitu beriman bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan kebhinnekaan global.

399Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Metode

1.1 Pendekatan

Pendekatan penelitian ini menggunakan survey yaitu penelitian yang mengambil sampel dari keseluruhan populasi yang ada. Metode survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data (Sugiyono, 2007).Pendekatan survey dipilih karena wilayah yang diteliti bersifat nasional sementara kegiatan penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan, oleh karena itu pendekatan survey ini dianggap lebih adaptif untuk digunakan dalam penelitian ini.Penelitian yang dilakukan merupakan kajian strategis implementasi kebijakan yang menghasilkan rekomendasi bagi pengambilan kebijakan selanjutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan sikap serta pandangan masyarakat terkait dengan pelaksanaan struktur kurikulum 2013 untuk SMK di era digital ini.

1.2 Variabel dan Indikator Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) Struktur kurikulum SMK2) Kompetensi di Era Revolusi DigitalAdapun indikator penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon kualitatif dan kuantitatif dari objek penelitian baik guru, siswa, kepala sekolah, dan DUDI terhadap implementasi struktur kurikulum SMK 2013 serta tingkat kemampuan mata pelajaran dan alokasi waktu yang terdapat dalam struktur kurikulum SMK 2013 dalam menyiapkan lulusan dengan keterampilan abad ke-21 (kompetensi, literasi, dan karakter) yang memiliki daya saing di era revolusi digital. Data/informasi ini diperoleh dari hasil analisis data kuesioner yang diperkuat dengan informasi dari hasil FGD.

1.3 Populasi dan SampelPopulasi dari kajian ini adalah Sekolah Menengah Kejuruan. Mengingat jumlah dan jenis SMK begitu banyak dan beragam maka sampel dari penelitian ini dipilih dengan menggunakan purposive sampling agar sesuai dengan tujuan dari penelitian ini. Sampel dalam penelitian ini meliputi 9 kompetensi keahlian yang dipilih dari 9 bidang keahlian yang ada. Pemilihan 9 kompetensi keahlian berdasarkan beberapa kriteria pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Pemilihan 9 Kompetensi Keahlian

No Kompetensi Keahlian Bidang Keahlian Kriteria1 Teknik Bisnis Sepeda

Motor (TBSM)Teknologi dan Rekayasa

• Kompetensi Keahlian sudah jenuh

400 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No Kompetensi Keahlian Bidang Keahlian Kriteria2 Teknik Komputer dan

Jaringan (TKJ)Teknologi dan Informasi

• Kompetensi Keahlian sudah jenuh

• Kompetensi berpotensi untuk berkembang di Era Revolusi Digital

3 Pengolahan Minyak, Gas dan Petrokimia

Energi dan Pertambangan

• Ketersediaan sekolah terbatas

• Kompetensi yang diajarkan terlalu tinggi sementara peralatan tidak memadai

4 Asisten Dental Kesehatan dan Pekerja Sosial

• Ketersediaan sekolah terbatas

• Kompetensi yang diajarkan terlalu tinggi sementara peralatan tidak memadai

5 Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura

Agribisnis dan Agroteknologi

• Kompetensi berpotensi untuk berkembang di Era Revolusi Digital

6 Nautika Kapal Penangkap Ikan

Kemaritiman • Ketersediaan sekolah terbatas

• Kompetensi berpotensi untuk berkembang di Era Revolusi Digital

7 Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran

Bisnis dan Manajemen

• Kompetensi Keahlian sudah jenuh

• Kompetensi kurang dibutuhkan di Era Revolusi Digital

8 Tata Boga Pariwisata • Kompetensi berpotensi untuk berkembang di Era Revolusi Digital

9 Pemeranan Seni dan Industri Kreatif

• Ketersediaan sekolah terbatas

Berdasarkan kompetensi keahlian yang telah dipilih, diambil beberapa sekolah sebagai sampel dengan mempertimbangkan jumlah sekolah yang ada. Berikut adalah jumlah sekolah dan responden yang dijadikan sampel kajian ini.

401Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel 2. Jumlah Sekolah dan Responden KajianNo Kompetensi Keahlian Sekolah Guru Siswa1 Teknik Bisnis Sepeda Motor (TBSM) 10 30 1002 Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ) 14 42 1403 Pengolahan Minyak, Gas dan Petrokimia 2 6 204 Asisten Dental 2 6 205 Agribisnis Tanaman Pangan dan

Hortikultura12 36 120

6 Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran 15 45 1507 Nautika Kapal Penangkap Ikan 7 21 708 Tata Boga 15 45 1509 Pemeranan 2 6 20

Responden utama dari penelitian ini adalah: guru dan siswa. Informasi/data dari guru dan siswa dijaring melalui pengisian kuesioner. Sedangkan pendapat kepala sekolah, guru, pengawas, serta IDUKA yang dijaring melalui FGD bersifat melengkapi informasi yang diperoleh dari pengisian kuesioner.Penelitian ini membutuhkan dua jenis data yang berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu: a. Data primer yaitu data-data yang berasal dari sumber data utama, yang

berupa data dan berbagai informasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan struktur kurikulum 2013.

b. Data sekunder yaitu data yang berasal dari bahan-bahan pustaka, baik yang meliputi dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, artikel ilmiah, publikasi atau buku-buku literatur.

1.4 Teknik Pengumpulan DataData-data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan dikumpulkan melalui beberapa cara, yaitu: melalui pengisian instrumen (kuesioner), FGD, dan studi kepustakaan.Pada tahap awal akan dilakukan studi kepustakaan untuk mencari, menginventarisasi, serta mempelajari struktur kurikulum dan peraturan-peraturan lain yang terkait.Pengisian kuesioner dilakukan untuk menjaring pendapat responden tentang implementasi struktur kurikulum yang ada serta tingkat kemampuan mata pelajaran dan alokasi waktu yang terdapat dalam struktur kurikulum SMK 2013 dalam menyiapkan lulusan dengan keterampilan abad ke-21 (kompetensi, literasi, dan karakter) yang memiliki daya saing di era revolusi digital.

402 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Diskusi kelompok terpumpun atau FGD dengan kepala sekolah, guru, DUDI, pengawas dan Direktorat PSMK dilakukan untuk memperoleh informasi lebih mendalam terkait dengan pelaksanaan struktur kurikulum 2013.

1.5 Teknik Pengolahan dan Analisis DataPengolahan dan analisis data akan menggunakan model analisis yang dicetuskan oleh Miles dan Huberman yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap reduksi data, display data, dan kesimpulan atau verifikasi (Sugiyono, 2011).Dalam tahap reduksi data, peneliti mengumpulkan dan mencatat semua data obyektif sesuai dengan temuan di lapangan. Tahap display data dilakukan setelah tahap reduksi data selesai dilakukan. Setelah data direduksi, maka langkah kedua adalah menyajikan data. Pada tahap ini peneliti mencatat data yang diperoleh dari lapangan secara teliti, merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan memfokuskan pada hal-hal yang penting terkait dengan pelaksanaan struktur kurikulum dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Tahap terakhir yang dilakukan setelah kedua tahap selesai dilakukan adalah penarikan kesimpulan. Data yang bersifat kuantitatif akan diolah dengan menggunakan penghitungan data melalui proses coding, tabulasi dan penyajian data sederhana.

4. Hasil dan PembahasanPendidikan kejuruan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 15 merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Oleh karena itu kerangka dasar dan struktur kurikulum SMK serta perangkat pembelajaran lainnya disusun untuk mencapai tujuan tersebut. Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan merupakan pengorganisasian kompetensi inti, mata pelajaran, beban belajar, dan kompetensi dasar pada setiap Sekolah Menengah Kejuruan. Hal Ini sejalan dengan pernyataan Yamin (2007) bahwa struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Struktur kurikulum merupakan elemen bisnis inti dari setiap sekolah. Struktur kurikulum ibarat kerangka tubuh: kuat dan seimbang, memberi arahan dan dukungan pada kegiatan dan menentukan garis besar apa yang diwakilinya (Wiley Online Library).Struktur kurikulum dapat berbentuk:• Susunan (pengorganisasian) mata pelajaran yang ditata dalam semester atau

tahun dengan lama belajar yang ditetapkan perminggu untuk setiap mata pelajaran.

• Susunan (pengorganisasian) mata pelajaran yang ditata dan dilaksanakan berdasarkan lama pendidikan (sistem blok). Dalam sistem ini sekolah diberikan kebebasan penuh untuk mengatur jadwal belajar siswa selama durasi waktu pendidikan terpenuhi.

403Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Struktur Kurikulum yang digunakan saat ini mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 07/D.D5/KK/2018 tentang Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), yang memuat Muatan Nasional, Muatan Kewilayahan, dan Muatan Peminatan Kejuruan yang terdiri atas Dasar Bidang Keahlian, Dasar Program Keahlian, dan Kompetensi Keahlian serta alokasi waktu untuk tiap mata pelajaran. Struktur kurikulum SMK yang sekarang diberlakukan tersebut menjadi fokus kajian ini, baik dari segi dokumen maupun implementasinya.Namun demikian karena jenis SMK yang begitu banyak (di dalam spektrum keahlian SMK memuat 9 bidang keahlian, 49 program keahlian dan 146 Kompetensi Keahlian), maka kajian ini dibatasi dengan hanya memilih 9 kompetensi keahlian yang ada pada masing-masing bidang keahlian untuk dikaji yaitu: Teknik Bisnis Sepeda Motor (TBSM), Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ), Pengolahan Minyak, Gas dan Petrokimia, Asisten Dental, Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura, Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran, Nautika Kapal Penangkap Ikan, Tata Boga, Pemeranan.

4.1 Implementasi Struktur Kurikulum 2013Temuan dari kajian ini secara umum menunjukkkan bahwa struktur kurikulum yang ada di dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 07/D.D5/KK/2018 berdasarkan pendapat sebagian besar responden (99%) sudah dapat dilaksanakan dengan baik di sekolah dan memberi arahan dan dukungan pada kegiatan dan menentukan garis besar pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh Yamin (2007). Hal tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan komponen yang terdapat dalam struktur kurikulum tersebut antara lain mata pelajaran kelompok A, B dan C serta alokasi waktu masing-masing mata pelajaran yang menurut sebagian besar responden sudah sesuai dan tidak mengalami hambatan dalam pelaksanaannya.

4.2 Tingkat Kemampuan Mata pelajaran dan alokasi waktu dalam menyiapkan lulusan di era revolusi digital.

Seperti telah dikemukakan di atas kajian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi struktur kurikulum 2013 dengan melihat tingkat kemampuan mata pelajaran dan alokasi waktu yang terdapat dalam struktur kurikulum 2013 dalam menyiapkan lulusan yang memiliki daya saing di era revolusi digital. Pendapat responden secara umum dari berbagai pertanyaan yang diajukan menunjukkan bahwa:Mata pelajaran muatan nasional (kelompok A) seperti: Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan bahasa Asing lainnya menurut sebagian besar responden (84% guru) dan sebagian

404 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

siswa sudah mendukung ketercapaian kompetensi keahlian yang diperlukan di era revolusi digital. Mata pelajaran kelompok A merupakan program kurikuler yang bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik sebagai dasar penguatan kemampuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Mata pelajaran kelompok B merupakan program kurikuler yang bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik terkait lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni. Mata pelajaran kelompok B terdiri dari: Seni Budaya dan Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. Mata pelajaran ini menurut sebagian besar responden (85% guru dan 64% siswa) sudah mendukung kompetensi keahian yang diperlukan pada era revolusi digital karena karena kedua mapel itu membentuk peserta didik yang memiliki cita rasa dan daya cipta serta memiliki kebugaran yang diperlukan saat melakukan berbagai aktivitas.Mata pelajaran kelompok C merupakan muatan peminatan kejuruan yang mencakup mata pelajaran-mata pelajaran dasar bidang keahlian, dasar program keahlian dan kompetensi keahlian. mata pelajaran muatan peminatan kejuruan bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya. Mata pelajaran yang terdapat pada kelompok C ini dianggap oleh sebagian besar responden (86% guru dan 79%siswa) sudah mendukung kompetensi keahlian dalam era revolusi digital ini dan sudah sesuai dengan kebutuhan industri.Alokasi waktu dan proporsi jumlah jam pelajaran yang ditetapkan dalam struktur kurikulum oleh sebagian besar responden sudah dianggap cukup untuk mengembangkan kompetensi keahlian yang ada, hal ini diperkuat oleh pernyataan sebagian besar responden yang tidak pernah melakukan pengurangan atau penambahan jam pelajaran.Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang merupakan agenda pendidikan yang wajib dilakukan oleh siswa SMK belum diatur dalam struktur kurikulum sehingga seringkali mengalami kendala dalam penjadwalan.

4.3 Kompetensi yang diperlukan di era revolusi digitalDari data yang didapat, semua responden menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dan penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, kerjasama, komunikasi, adaptif, inisiatif, berpikir komputasi (computational thinking), dan tenggang rasa (compassion) merupakan kompetensi yang diperlukan dalam era revolusi digital. Kompetensi-kompetensi tersebut menurut sebagian besar responden sudah terakomodasi dalam KD mata pelajaran.

Hasil kajian yang berupa pendapat responden untuk setiap kompetensi keahlian disajikan dalam tabel berikut ini.

405Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tabel 1. Pendapat Guru tentang Implementasi Struktur Kurikulum 2013 (4 Kompetensi Keahlian)

Komponen Struktur Kurikulum

Kompetensi Keahlian

TBSM TKJ

Pengolahan Gas,

Minyak dan Petrokimia

Asisten Dental

Ya(%)

Tidak (%)

Ya(%)

Tidak(%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Mata Pelajaran1. Mata pelajaran muatan

nasional (kelompok A) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

100 0 90 10 83 17 90 10

2. Mata pelajaran muatan nasional (kelompok B) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

90 10 85 15 100 0 85 15

3. Mata pelajaran muatan nasional (kelompok C) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

90 10 90 10 83 17 84 16

4. Keterkaitan mata pelajaran antara kelompok A, B, dan C

100 0 95 5 100 0 100 0

Alokasi Waktu5. Jumlah jam pelajaran

yang ideal dalam satu minggu 46-48 JP

90 10 100 0 70 30 85 15

6. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok A sudah tepat

90 10 78 22 83 17 80 20

7. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok B sudah tepat

90 10 88 12 100 0 90 10

406 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Komponen Struktur Kurikulum

Kompetensi Keahlian

TBSM TKJ

Pengolahan Gas,

Minyak dan Petrokimia

Asisten Dental

Ya(%)

Tidak (%)

Ya(%)

Tidak(%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

8. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok C sudah tepat

90 10 90 10 67 33 86 14

9. Terdapat mata pelajaran yang perlu dihapus dari struktur kurikulum

10 90 7 93 17 83 0 100

10. Terdapat mata pelajaran yang perlu ditambahkan ke struktur kurikulum

50 50 22 78 33 67 0 100

11. Perlu penambahan jam pelajaran pada mata pelajaran

10 90 15 85 0 100 3 97

12. Perlu pengurangan jam pelajaran pada mata pelajaran

0 100 7 93 0 100 0 100

Tabel 2. Pendapat Guru tentang Implementasi Struktur Kurikulum 2013 (5 Kompetensi Keahlian)

Komponen Struktur Kurikulum

Kompetensi Keahlian

ATPH

Nautika Kapal

Penangkap Ikan

OTKP Tata Boga Pemeranan

Ya(%)

Tidak (%)

Ya(%)

Tidak(%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Mata Pelajaran1. Mata pelajaran

muatan nasional (kelompok A) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

81 19 74 26 89 11 83 15 100 0

407Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Komponen Struktur Kurikulum

Kompetensi Keahlian

ATPH

Nautika Kapal

Penangkap Ikan

OTKP Tata Boga Pemeranan

Ya(%)

Tidak (%)

Ya(%)

Tidak(%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

2. Mata pelajaran muatan nasional (kelompok B) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

94 6 78 22 85 15 85 15 100 0

3. Mata pelajaran muatan nasional (kelompok C) mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital

94 6 76 24 87 13 85 15 88 12

4. Keterkaitan mata pelajaran antara kelompok A, B, dan C

100 0 92 8 98 2 98 2 100 0

Alokasi Waktu5. Jumlah jam

pelajaran yang ideal dalam satu minggu 46-48 JP

90 10 100 0 96 4 100 0 100 0

6. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok A sudah tepat

89 11 84 16 67 33 85 15 100 0

7. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok B sudah tepat

89 11 87 13 85 15 92 8 100 0

408 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Komponen Struktur Kurikulum

Kompetensi Keahlian

ATPH

Nautika Kapal

Penangkap Ikan

OTKP Tata Boga Pemeranan

Ya(%)

Tidak (%)

Ya(%)

Tidak(%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

8. Proporsi jumlah jam pelajaran pada mata pelajaran kelompok C sudah tepat

86 14 94 6 65 35 50 50 100 0

9. Terdapat mata pelajaran yang perlu dihapus dari struktur kurikulum

17 83 6 94 15 85 19 81 3 97

10. Terdapat mata pelajaran yang perlu ditambahkan ke struktur kurikulum

22 78 13 87 28 72 40 60 2 98

11. Perlu penambahan jam pelajaran pada mata pelajaran

3 97 32 68 15 85 31 69 0 100

12. Perlu pengurangan jam pelajaran pada mata pelajaran

0 100 13 87 9 91 0 100 0 100

Data dalam tabel di atas menunjukkkan bahwa struktur kurikulum yang memuat mata pelajaran kelompok A, B dan C serta alokasi waktu menurut pendapat sebagian besar responden sudah cukup untuk mengembangkan kompetensi keahlian yang diperlukan dalam era revolusi digital. Akan tetapi masih terdapat sebagian kecil responden yang menganggap bahwa beberapa mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum 2013 kurang mendukung tercapainya kompetensi keahlian yang diperlukan seperti mata pelajaran sejarah dan seni budaya (untuk beberapa kompetensi keahlian), matematika (untuk kompetensi keahlian tata boga), IPA (untuk kompetensi keahlian OTKP) sehingga perlu dihapus. Selain itu perlu adanya penambahan alokasi waktu terutama untuk

409Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mata pelajaran pada kelompok peminatan kejuruan (kelompok C).Walaupun sebagian besar responden tidak menemukan permasalahan pada implementasi struktur kurikulum ini, tetapi terdapat pendapat dari sebagian kecil responden yang perlu diperhatikan untuk pengembangan struktur kurikulum ke arah yang lebih baik terutama untuk memenuhi kebutuhan di era revolusi digital ini. Hasil yang disajikan dalam penelitian ini harus ditafsirkan dengan hati-hati karena ukuran efeknya tidak besar. Namun, Temuan ini dapat membantu dalam menyusun struktur kurikulum yang lebih sesuai dalam era revolusi digital dan memiliki kontribusi besar dalam penyiapan karir siswa SMK. Kontribusi kompetensi dasar pada setiap mata pelajaran untuk meningkatkan kesiapan kerja perlu dicermati dan dikaji secara lebih mendalam karena keterbatasan dalam kajian ini belum dapat dilakukan.

5. Kesimpulan dan Saran5.1 Kesimpulan

Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian implementasi struktur kurikulum SMK dalam era revolusi digital adalah: Secara umum sekolah-sekolah yang menjadi sampel dalam kajian ini telah menggunakan struktur kurikulum yang terdapat dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor 07/D.D5/KK/2018. Mata pelajaran-mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum, baik yang termasuk dalam kelompok A, B, maupun C menurut sebagian besar responden sudah mendukung kompetensi keahlian dalam era revolusi digital sehingga tidak ada mata pelajaran yang perlu dikurangi atau ditambahkan. Selain itu alokasi waktu dan proporsi jumlah jam pelajaran yang ditetapkan dalam struktur kurikulum oleh sebagian besar responden sudah dianggap cukup untuk mengembangkan kompetensi keahlian yang ada, hal ini diperkuat oleh pernyataan sebagian besar responden yang tidak pernah melakukan pengurangan atau penambahan jam pelajaran.Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang merupakan agenda pendidikan yang wajib dilakukan oleh siswa SMK belum diatur dalam struktur kurikulum sehingga seringkali mengalami kendala dalam penjadwalan.Kompetensi yang diperlukan dalam era digital seperti kemampuan berpikir kritis dan penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, kerjasama, komunikasi, adaptif, inisiatif, berpikir komputasi (computational thinking), dan tenggang rasa (compassion) telah terakomodasi dalam muatan mata pelajaran tetapi belum semuanya dapat dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran.Meskipun sebagian besar responden menyatakan tidak mengalami kendala dalam menggunakan struktur kurikulum yang ada, akan tetapi terdapat sebagian

410 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kecil responden yang menyatakan perlunya perubahan dalam struktur kurikulum antara lain dengan pengurangan mata pelajaran atau alokasi waktu beberapa mata pelajaran pada beberapa kompetensi keahlian karena kurang mendukung kompetensi keahlian di era revolusi digital ini, seperti: Matematika, Sejarah Indonesia, PJOK dan Seni Budaya. Di sisi lain terdapat mata pelajaran yang perlu ditambahkan terutama pada mata pelajaran kelompok C (peminatan kejuruan).Pendapat sebagian kecil responden ini perlu diakomodasi dengan mempertimbangkan SKL dan pendapat beberapa ahli dengan memberikan rekomendasi struktur kurikulum pada 9 kompetensi keahlian.

1.2 Saran Berdasarkan hasil kajian ini maka saran yang disampaikan untuk ditindak lanjuti yakni kepada pemerintah dalam hal ini Puskurbuk yang memiliki tupoksi antara lain: melaksanakan penyusunan kebijakan teknis dan pengembangan kurikulum pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan nonformal, dan pendidikan fomal diharapkan dapat menindaklanjuti kajian ini menjadi kajian yang lebih komprehensif dan mendalam dengan mengikutsertakan unit lain yang terkait seperti Direktorat PSMK, Perguruan Tinggi dan Sekolah, yaitu dengan: (1) melakukan kajian lebih lanjut untuk menganalisis Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran di sembilan Kompetensi Keahlian yang telah dipilih, terutama pada mata pelajaran yang mengalami penyesuaian (pengurangan dan penambahan) jam pelajaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan kompetensi dasar yang sesuai dan benar-benar perlu dikembangkan agar peserta didik memiliki kesiapan menghadapi tantangan kerja di era revolusi digital; (2) melakukan kajian implementasi struktur kurikulum untuk kompetensi keahlian yang lain agar dapat diketahui kebutuhan mata pelajaran dan alokasi waktu pada setiap kompetensi keahlian yang ada, sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia kerja di era revolusi digital ini.Kepada sekolah, dalam hal ini guru, perlu ikut mencermati KD-KD mata pelajaran yang diampu apakah sudah mendukung dan sesuai dengan kompetensi keahlian serta kebutuhan industri di era revolusi digital. Masukan dari sekolah diperlukan untuk menetapkan kebijakan selanjutnya.

Daftar Pustaka

Badan Nasional Sertifikasi Profesi, 2017. Skema Sertifikasi KKNI Jenjang II dan III. Jakarta.

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2016. Materi Pelatihan dan

411Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pendampingan I mplementasi Kurikulum 2013 SMK. Jakarta.Fabo, B., Beblavý, M. and Lenaerts, K., 2017. The importance of foreign language

skills in the labour markets of Central and Eastern Europe: assessment based on data from online job portals. Empirica, 44(3), pp.487-508.

Frey, C.B. and Osborne, M.A., 2017. The future of employment: How susceptible are jobs to computerisation?. Technological forecasting and social change, 114, pp.254-280.

Ghufron, G., 2018. Revolusi Industri 4.0: Tantangan, Peluang, dan Solusi bagi Dunia Pendidikan. Seminar Nasional dan Diskusi Panel Multidisiplin Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat 2018 (Vol. 1, No. 1). pp.332-337.

Hartanto, C.F.B., Rusdarti, R. and Abdurrahman, A., 2019. Tantangan Pendidikan Vokasi di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Menyiapkan Sumber Daya Manusia yang Unggul. Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana (Vol. 2, No. 1). pp.163-171.

Noble, D., 2017. Forces of production: A social history of industrial automation. Routledge.

Pangrazio, L., 2016. Reconceptualising critical digital literacy. Discourse: Studies in the cultural politics of education, 37(2), 163-174

Ramadhan, M.A. and Ramdani, S.D., 2015. Vocational education perspective on curriculum 2013 and its role in indonesia economic development. The 3th International Conference on Vocational Education and Training. p.126.

Retnawati, H., Hadi, S. and Nugraha, A.C., 2016. Vocational High School Teachers’ Difficulties in Implementing the Assessment in Curriculum 2013 in Yogyakarta Province of Indonesia. International Journal of Instruction, 9(1), pp.33-48.

Schwab, K., 2017. The Fourth Industrial Revolution. Currency.Spencer, L. M. and Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work: Models for

Superior Performans. New York: John Wiley & Son, Inc.Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.Verawadina, U., Jalinus, N. and Asnur, L., 2019. Kurikulum Pendidikan Vokasi

Pada Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Pendidikan, 20(1), pp.82-90

412 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KAJIAN PELAKSANAAN DIVERSIFIKASI KURIKULUM DALAM UPAYA INOVASI KURIKULUM PADA KONDISI KHUSUS

DI SD KELAS TINGGI

Oleh: Mariati Purba, Slamet Wibowo, dan Neneng Kadariyah

ABSTRACT

Act of the Republic of Indonesia No. 20/2003 on National Education System mandates that curriculum at all educational levels and types is developed according to principles of diversification, adjusted to the units of education, local and learners’ potential. A diversified curriculum is particularly intended to provide opportunities for adjusting educational programs to conditions and characteristics specific to particular localities. Curriculum diversification is therefore an innovative effort for schools in accommodating a variety of conditions. Curriculum development aiming at meeting the needs and conditions of schools is possible to be implemented, for each school must develop its own curriculum into a more operational one—that which is commonly known in Indonesia as Curruculum at the school level (KTSP). KTSP is developed based on context analysis for it aims at meeting the needs of learners in a particular place or context, and at the same time, implementing the national education goals. Various conditions such as natural disasters, man-made disasters, complex emergencies, or pandemic emergencies can occur and will, in turn, affect education. At present, due to the covid-19 pandemic, students are required to study from home. Such conditions spark concerns among educational stakeholders. This study was, therefore, conducted to gather information about the readiness of schools in their effort to provide services to students according to the study load which has been set in the curriculum, including the problems and obstacles faced. Finally, this study will give recommendations for all educational stakeholders in implementing curriculum diversification to anticipate various ‘special conditions’ in the future.

Keywords: Curriculum diversification, Providing services to students, special conditions

A. Pendahuluan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan peluang kepada satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sekolah agar lebih kontekstual sesuai dengan kekhasan dan kondisi satuan pendidikan namun tetap mengacu kepada struktur kurikulum yang ditetapkan secara nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip diversifikasi kurikulum yang diamanatkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 36 ayat

413Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(2) menyebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Kurikulum berdiversifikasi adalah kurikulum yang dikembangkan dan dilaksanakan untuk memfasilitasi berbagai potensi dan karakteristik siswa, kebutuhan masyarakat, kondisi, kekhasan sekolah dan daerah. Kurikulum berdiversifikasi merupakan upaya inovasi bagi satuan pendidikan di masing-masing lembaga dan daerah dalam mengakomodasi berbagai keragaman kondisi yang ada (Pusat Kurikulum: 2017). Rancangan diversifikasi kurikulum seharusnya telah dilakukan pada saat melakukan analisis konteks pengembangan KTSP. Analisis konteks adalah awal Langkah pengembangan KTSP sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 61 tahun 2014 tentang KTSP.

Pengembangan kurikulum yang beragam (diversifikasi kurikulum) yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi, dan kondisi daerah dan sekolah merupakan kebijakan nasional yang memerlukan penerjemahan baik dari pihak daerah maupun sekolah terhadap arah pendidikan di daerahnya (Sudjipto:2015). Diversifikasi kurikulum merupakan kebijakan nasional yang memberikan peluang kepada satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi dengan melakukan berbagai penyesuaian terhadap kurikulum nasional. Satuan Pendidikan seyogianya merancang kurikulum diversifikasi dalam berbagai situasi untuk menjadi panduan bagi seluruh warga sekolah apabila terjadi kondisi khusus. Dengan demikian, KTSP yang dikembangkan oleh sekolah akan mampu menjawab permasalahan atau kondisi khusus tersebut.

Saat ini, dunia menghadapi kondisi khusus dengan adanya pandemi virus Corona atau Corona Virus Disease (Covid-19) sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. Kondisi Khusus di Indonesia adalah suatu keadaan bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus). World Health Organization (WHO) telah menetapkan virus Corona atau COVID-19 sebagai pandemi karena telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia. WHO sendiri mendefinisikan pandemi sebagai situasi ketika populasi seluruh dunia ada kemungkinan akan terkena infeksi ini dan berpotensi sebagian dari mereka jatuh sakit. (https://ombudsman.go.id; 23 Maret 2020. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana atau meliputi geografi yang luas.). Pandemi Covid-19 telah berdampak dari berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial, termasuk juga pendidikan. Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan

414 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan sekolahnya di seluruh dunia dan terancam berdampak pada hak-hak pendidikan mereka di masa depan.

Tulisan ini adalah hasil penelitian yang bertujuan untuk menggali informasi tentang pelaksanaan diversifikasi kurikulum pada saat kondisi khusus dalam upaya pemenuhan layanan kepada siswa sesuai beban belajar yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Peran serta pemangku kepentingan, mulai dari Dinas Pendidikan dan berbagai mitra pendidikan terkait kondisi khusus (BNPB, Kemenkes) sangat diperlukan agar sekolah (kepala sekolah, guru, dan orang tua/komite) memiliki kapasitas yang baik dan memadai dalam menyesuaikan kurikulumnya sehingga menghasilkan diversifikasi kurikulum yang kontekstual dan bermakna. Kepala Sekolah dan guru harus berinovasi dengan merancang kurikulum yang berdiversifikasi sesuai dengan darurat bencana Covid-19. Kepala sekolah dan guru perlu membuat peta pengajaran yang rinci dan akurat tentang sebaran materi yang akan dibahas selama selama pandemi Covid-19 dan meminta guru untuk memastikan tugas kepada siswa secara seimbang (tidak menumpuk). Ruang lingkup kajian ini adalah KTSP yang berdiversifikasi di SD kelas tinggi (kelas IV, V, dan VI) meliputi seluruh wilayah Indonesia. Secara mendalam lingkup sekolah mewakili Indonesia bagian Barat, Tengah, dan Timur. Responden ialah dinas pendidikan kab/kota, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa kelas IV, V, dan VI.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Diversifikasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) artinya penganekaragaman. Dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 36 disebutkan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan siswa. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah untuk mengakomodasi berbagai keragaman yang ada. Diversifikasi kurikulum dapat dimaknai sebagai upaya untuk membuat suatu kurikulum menjadi lebih beragam sesuai dengan kondisi yang ada (Pusat Kurikulum: 2017).

Oliva (1982) menulis salah satu dari sepuluh aksioma kurikulum bahwa kurikulum harus merefleksikan sebagai produk masyarakat sesuai dengan zamannya. “Curriculum both reflects and is a product of its time”. Maknanya bahwa perkembangan kurikulum sepatutnya disusun dengan memperhatikan per-kembangan masyarakatnya, termasuk memperhatikan perkembangan ilmu

415Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengetahuan dan teknologi. Pendidikan pada Abad 21. Menurut Patrick Slattery dalam bukunya “Curriculum Development in the Postmodern”, menggaris bawahi perlunya pengembangan kurikulum dan pembelajaran diarahkan selaras dengan perubahan sosial, pemikiran masyarakat, dan semangat invidu masyarakatnya. Curriculum development and teaching must be directed towards social change, community mind, body, and spirit of individual human beings. Hal ini, relevan dengan ciri pembelajaran Abad 21 dalam Kurikulum 2013, yang menekankan perlunya 4 C (communication, critical thinking, collaboration, and creativity). Termasuk di dalamnya bagaimana diversifikasi kurikulum menguatkan era ekonomi kreaatif, mengembangkan industri kreatif, dan merubah mindset (pola pikir) ke arah pola pikir terbaru, sejalan dengan tantangan kehidupan Abad 21.

Secara geografis Indonesia menjadi salah satu daerah paling seismik dan sering terjadi bencana alam gempa bumi karena terletak di tengah-tengah daerah Cincin Api Pasifik, jalur gempa Sabuk Alpide, serta di atas beberapa lempeng tektonik. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bencana yang terjadi di Indonesia meliputi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial (https://bnpb.go.id). Berbagai Kondisi khusus yang ada di Indonesia antara lain disebabkan oleh bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial yang menjadi kondisi khusus terjadi pada tahun 2020. Kementerian Pedidikan dan Kebudayaan mendefinisikan kondisi khusus adalah suatu keadaan bencana yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (Kepmendikbud Nomor 719/P/2020)

Salah satu kondisi khusus seperti saat ini yang dihadapi seluruh dunia adalah pandemi virus Corona atau COVID-19 yang sangat memengaruhi berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) telah menetapkan virus Corona atau COVID-19 sebagai pandemi karena telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia. WHO sendiri mendefinisikan pandemi sebagai situasi ketika populasi seluruh dunia ada kemungkinan akan terkena infeksi ini dan berpotensi sebagian dari mereka jatuh sakit. (https://ombudsman.go.id; Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana atau meliputi geografi yang luas). Pandemi COVID-19 telah berdampak dari berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi, sosial, termasuk juga pendidikan.

416 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan hampir 300 juta siswa terganggu kegiatan sekolahnya di seluruh dunia dan terancam berdampak pada hak-hak pendidikan mereka di masa depan. Pemberlakuan social distancing ini memberi dampak bagi dunia pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mendukung kebijakan pemerintah sehingga meliburkan seluruh kegiatan sekolah, dari belajar tatap muka disekolah menjadi belajar dari rumah karena penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan (https://www.kompasiana.com). Dengan adanya pembatasan interaksi, Kementerian Pendidikan di Indonesia juga mengeluarkan kebijakan yaitu dengan meliburkan sekolah dan mengganti proses kegiatan belajar mengajar di rumah dengan menggunakan sistem dalam jaringan (daring). Dengan menggunakan sistem pembelajaran secara daring ini, terkadang muncul berbagai masalah yang dihadapi oleh siswa dan guru serta orang tua.

Sejak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran No 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19 pada Satuan Pendidikan pada 9 Maret 2020; Surat Edaran Menteri Kesehatan No HK.02.01/MENKES/199/2020 pada 12 Maret 2020; dan Surat Edaran Sekjen Kemendikbud No 36603/A.A5/OT/2020 pada 15 Maret 2020. Berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut mengenai upaya pencegahan dan penyebaran pandemi Covid-19 semua kegiatan pembelajaran tatap muka atau konvensional mulai diliburkan sementara waktu. Sistem pembelajaran tatap muka atau konvensional yang dilaksanakan oleh sebagian guru akan terdesrupsi dan tergantikan dengan berbagai aplikasi pembelajaran daring yang dapat memberi ruang interaksi langsung antara guru dengan siswa tanpa harus bertemu langsung. (https://www.satelitnews.id). Keputusan Bersama empat kementerian (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri nomor 01/KB/2020; nomor 516 tahun 2020, Nomr HK 03.01/Menkes/363/2020, Nomor 440-882 tahun 2020 tentang Panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun 2020/2021 dan tahun Akademik 2020/2021 di masa Pandemi Covid-19, mengeluarkan beberapa ketetapan sehubungan dengan pembelajaran pada zona hijau, kuning, oranye, merah di selurauh Indonesia. Pembelajaran tatap muka hanya diperkenankan pada zona hijau dengan protokol kesehatan yang sangat ketat dan termonitor dengan membudayakan pola hidup bersih dan sehat pada masa kebiasaan baru dengan mengutamakan kesehatan dan keselamatan siswa. Selanjutnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edara Nomor 4 tahun (SE No 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran coronavirus disease (COVID-19). Surat edaran ini berkenaan dengan pelaksanaan proses belajar dari rumah melalui pembelajaran daring/jarak jauh bagi siswa tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian

417Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan. Belajar di rumah dapat difokuskan pada kecakapan hidup dengan memberikan tugas pembelajaran yang bervariasi sesuai minat dan kondisi masing-masing.

Pembelajaran pada kondisi khusus saat ini tanpa tatap muka dilakukan melaluai pembelajaran jarak jauh (distance learing) dimana peserta didik dan guru berada di lokasi terpisah sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya. Berbagai sumber daya diperlukan di dalam pembelajaran elektronik (e-learning) atau pembelajaran daring (online) merupakan bagian dari pendidikan jarak jauh yang secara khusus menggabungkan teknologi elektronika dan teknologi berbasis internet. Perkembangan Teknologi dalam bidang infonnasi membawa pengaruh terhadap berbagai bidang tennasuk dalam bidang pendidikan khususnya dalam pengembangan media pembelajaran. Electronic Learning adalah media yang digunakan dalam pembelajaran jarak jauh yang memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan Internet. Belajar dari rumah (BDR) dilaksanakan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan 2 (dua) pendekata yaitu pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring) atau online dan pembelajaran jarak jauh luar jaringan (luring). Dalam pelaksanaan PJJ, satuan pendidikan dapat memilih pendekatan (daring atau luring atau kombinasi keduanya) sesuai dengan ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana.

Bahan ajar menurut (Prastowo, 2013) dalam jurnal Nurul Zuriah. Mei 2016 adalah merupakan segala bahan (baik informasi, alat maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran, misalnya buku pelajaran, modul, handout, LKS, model atau maket, bahan ajar audio, bahan ajar interaktif dan sebagainya. Fakta dan kenyataan pendidikan di lapangan, banyak dijumpai pendidik/guru yang masih menggunakan bahan ajar yang konvensional, yaitu bahan ajar yang tinggal pakai, tinggal beli, instan serta tanpa upaya merencanakan, menyiapkan, dan menyusunnya sendiri. Dengan demikian, risikonya sangat dimungkinkan jika bahan ajar yang dipakai itu tidak kontekstual, tidak menarik, monoton dan tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengadopsi taksonomi dalam bentuk rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan ketiga ranah tersebut secara utuh/holistik, artinya pengembangan ranah yang satu tidak bisa dipisahkan dengan ranah lainnya (Permendikbud Nomor 22 tahun 2016). Untuk itu seorang guru yang profesional dituntut kreativitasnya untuk mampu menyusun bahan ajar yang inovatif, variatif, menarik, kontekstual efektif, efisien, dan menyenangkan sesuai dengan kebutuhan siswa, termasuk

418 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pada kondisi khusus tanpa mengurangi kualitas pengembangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilannya.

Pembelajaran pada umumnya dilaksanakan di sekolah atau institusi pendidikan dengan didampingi oleh guru secara langsung. Namun, ada kondisi tertentu yang menyebabkan penghentian sementara kegiatan di sekolah dan institusi pendidikan. Solusi yang dapat dilakukan pada kondisi tersebut diantaranya adalah pembelajaran jarak jauh. Dalam Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antarsiswa dan antara siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran jarak jauh dapat memanfaatkan berbagai media baik internet maupun dengan memberikan materi dan soal tertentu kemudian siswa belajar secara mandiri untuk memahami materi dan menyelesaikan soal-soal yang diberikan dengan tetap memperhatikan aspek interaksi baik dengan sesama siswa maupun lingkungan sekitarnya.

Pembelajaran dengan menggunakan sarana internet (e-learning) memungkinkan guru untuk secara real time berinteraksi dengan siswa di manapun dia berada. Namun, pembelajaran tersebut memerlukan sarana dan prasarana tertentu yang tidak dimiliki oleh beberapa sekolah atau institusi pendidikan. Untuk sekolah yang tidak memiliki akses internet, guru dapat memberikan materi dan soal kepada siswa dalam jangka waktu tertentu akan dinilai atau dilihat perkembangannya. Hal tersebut dapat berjalan dengan baik, apabila siswa memiliki kemampuan untuk belajar secara mandiri.

Pembelajaran mandiri (Independent Learning) adalah ketika seorang individu dapat berpikir, bertindak, dan melanjutkan pembelajaran mereka sendiri secara mandiri, tanpa mendapatkan dukungan yang sama ketika menerima pelajaran dengan didampingi guru di sekolah. (brightknowledge, 2020). Menurut Haris Mujiman (2009), belajar mandiri adalah kegiatan belajar yang diawali dengan kesadaran adanya masalah, disusul dengan timbulnya niat melakukan kegiatan belajar secara sengaja untuk menguasai sesuatu kompetensi yang diperlukan guna mengatasi masalah. Pembelajaran mandiri merupakan aspek yang penting dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh. Dalam pelaksanaannya, seorang guru perlu memahami kegiatan-kegiatan yang perlu diakomodasikan dalam pelatihan belajar mandiri. Menurut Haris Mudjiman (2009) kegiatan-kegiatan yang perlu diakomodasikan dalam belajar mandiri adalah (1) adanya kompetensi-kompetensi yang ditetapkan sendiri oleh siswa untuk menuju pencapaian tujuan-tujuan akhir yang ditetapkan oleh program pelatihan untuk setiap mata pelajaran, (2) adanya proses pembelajaran yang ditetapkan sendiri oleh siswa, (3) adanya input belajar yang ditetapkan dan dicari sendiri. Kegiatankegiatan itu dijalankan oleh siswa, dengan ataupun tanpa bimbingan guru, (4) adanya kegiatan evaluasi diri (self evaluation) yang

419Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dilakukan oleh siswa sendiri, (5) adanya kegiatan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dijalani siswa, (6) danya pastexperience review atau review terhadap pengalaman yang telah dimiliki siswa, (7) adanya upaya untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, dan (8) adanya kegiatan belajar aktif.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, maka variabel yang digunakan tergantung pada aspek atau responden yang akan diteliti. Populasi penelitian ini stakeholder pendidikan di Satuan Pendidikan seluruh Indonesia. Responden penelitian ini adalah dinas pendidikan termasuk pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa. Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan melalui penyebaran kuesioner secara online untuk data kunatitatif dan FGD melaluai zoom meeting untuk data kualitatif. Masing-masing aspek/responden memiliki beberapa variabel dan indikator yang diteliti sebagaimana dituangkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1 Variabel, Indikator/Butir Pertanyaan

Aspek/Responden Variabel Indikator/ Butir Pertanyaan

Dinas Pendidikan

Kebijakan dalam kondisi khusus

Apakah Dinas Pendidikan memiliki kebijakan: Pengembangan KTSP yang berdiversifikasi pada

kondisi khusus• Membimbing pengembangan KTSP yang

berdiversifikasi disesuaikan dengan kondisi satuan pendidikan

Koordinasi dengan satuan pendidikan dan pengawas• Kebijakan pelaksanaan belajar di rumah selama

masa pandemi Covid-19 dengan mengutamakan kesehatan dan keselamatan pendidik dan peserta didik

• Koordinasi dengan seluruh kepala sekolah dalam menghadapi pandemi Covid-19 secara berkala

• Merancang pelatihan penggunanan media daring (online)

2. Kepala Sekolah

Kebijakan dalam kondisi khusus

Apakah Kepala Sekolah melakukan pengembangan KTSP berdiversifikasi untuk kondisi khusus

• KTSP disusun berdasarkan prinsip diversifikasi pada berbagai kOndisi khusus dan sesuai dengan kebutuhan

420 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Aspek/Responden Variabel Indikator/ Butir Pertanyaan

Koordinasi dengan Dinas Pendidikan

Koordinasi satuan pendidikan dengan Dinas Pendidikan

• Informasi dari Dinas Pendidikan terkait strategi pelaksanaan belajar dari rumah di masa kodisi khusus pandemi Covid- 19

• Memfasilitasi para guru untuk pelatihan pembelajaran daring (online)

Pelaksanaan Pembelajaraan dan Penilaian pada kondisi khusus

Kepeminpinan Kepala Sekolah• Menerapkan prinsip kepemimpinan Ki Hajar

Dewantara, yaitu di depan memberikan keteladanan (Ing Ngarsa Sungtulada ), di tengah-tengah memberikan semangat (Ing Madya Mangun Karsa), dan di belakang memberikan dorongan ( Tut Wuri Handayani) baik sebelum maupun saat pandemi Covid-19).

Memberikan motivasi kepada guru agar: • berkolaborasi dalam memberikan penugasan

kepada siswa sehingga siswa tidak terbebani dengan tugas yang banyak

• mengembangkan kreativitas siswa• memberikan kegiatan atau materi yang ringan,

autentik, dan dapat dikerjakan di sekitar rumah atau lingkungan anak

• menumbuhkan pendidikan kecakapan hidup

Kolaborasi dan koordinasi dengan warga sekolah

Bentuk kolaborasi dan koordinasi dengan guru kelas dan guru mata pelajaran lain dan kepala sekolah dan orang tua.

• mengontrol seluruh siswa belajar di rumah melalui komunikasi dengan orang tua

• meminta orangtua mendampingi siswa mengerjakan soal-soal dan melaporkan hasilnya.

• kolaborasi antar guru kelas dan guru mata pelajaran lain dalam pemberian tugas pada siswa.

421Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Aspek/Responden Variabel Indikator/ Butir Pertanyaan

Guru Pembelajaran Media, waktu, jenis penugasan yang diberikan kepada siswa di rumah, pemanfaatan sumber yang sudah dipersiapkan, materi, dan metode belajar

• memberikan materi secara interaktif kepada siswa melalui media daring (online) melalui Video conference

• memberikan materi kepada siswa dengan media sosial (co: Whatsapp, Facebook)

• memberikan materi kepada siswa dengan Platform learning management system (Fitur Kelas Maya Rumah Belajar/Fitur Quipper School/Google Classroom, dsb).

Jenis Penugasan• memberikan tugas kepada siswa untuk menonton

video pembelajaran melalui youtube.• memberikan tugas kepada siswa untuk belajar dari

radio dan TV.

Buku (pemanfaatan buku)

Buku paket (apakah mengaplikasikan isi buku paket dan mengerjakan lembar kerja siswa yang telah dibuat guru sebelumnya)

• meminta orangtua mendampingi siswa mengerjakan semua tugas-tugas secara teratur sesuai dengan urutan yang ada di buku siswa.

Orang tua Koordinasi dengan sekolah

Informasi tentang kebijakan pada kondisi khusus• kepastian orang tua dan anak mempunyai media

komunikasi misalnya HP• pengarahan/jadwal yang harus dipelajari anak

setiap minggu selama belajar dari rumah

Informasi tentang materi, waktu, dan penilaian pada kondisi khusus

• informasi tentang capaian pembelajaran yang harus diperoleh setiap minggu

• konsultasi bila mengalami masalah atau kendala dalam mendampingi anak belajar di rumah

• bantuan komite kelas dalam berkomunikasi dengan guru sehubungan dengan tugas-tugas anak

• keselamatan dan kesehatan anak lebih utama dari pada pemenuhan seluruh isi buku

422 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Aspek/Responden Variabel Indikator/ Butir Pertanyaan

kendala yang dihadapi

• kesulitan membimbing pelajaran tertentu.• keterbatasan fasilitasi untuk membimbing anak

belajar dari rumah secara online (jumlah HP dalam satu rumah, keterbatasan kuota)

Siswa Komunikasi dengan guru

• cara guru memberikan materi pelajaran secara online

• guru berkomunikasi dan memberikan materi melalui Whatsapp orang tua

• mendapat bimbingan langsung dari guru saat belajar di rumah

tugas-tugas di rumah

• tugas-tugas yang diberikan menarik minat • guru memberikan tugas yang harus dikerjakan

selama seminggu

media yang digunakan

• berkomunikasi dengan guru whatsapp• Pemanfaatkan televisi dan radio untuk membantu

menyelesaikan tugas-tugas • Pemanfaatan video pembelajaran maupun

melalui youtube

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Selain data hasil penelitian kuantitatif diperoleh data kualitatif melalui zoom meeting yang dilakukan pada tanggal 22 Juli 2020. Penetapan responden secara purposive (bertujuan) mewakuli seluruh responden berasal dari Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, meliputi kabupaten dan kota baik yang sulit dijangkau maupun yang mudah terjangkau. Adapun peserta zoom meeting berasal dari Aceh Tamiang, NAD, Kabupaten Anambas-Kepulauan Riau, Purbalingga-Jawa Tengah, Balikpapan, Kalimantan Timur, Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, dan Kota Bitung Sulawesi Utara. Responden terdiri atas dinas pendidikan termasuk pengawas, kepala sekolah, guru, orangtua siswa, dan siswa seluruhnya berjumlah 50 orang.

1. Dinas Pendidikan terdiri atas kepala dinas, kepala bidang, kepala seksi (kasi), dan pengawas seluruhnya berjumlah 641 responden.

423Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Demografi dari 23 provinsi

Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada Dinas Pendidikan antara lain:

424 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

2. Kepala Sekolah

425Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Demografi dari 27 provinsi

426 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada kepala sekolah antara lain:

427Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Guru

Demografi dari 28 provinsi

428 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada guru antara lain:

429Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

430 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

4. Orangtua Siswa

Demografi dari 33 provinsi

431Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada orang tua antara lain:

432 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

433Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

5. Siswa Kelas IV, V, dan VI

Demografi dari 28 provinsi

434 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beberapa pertanyaan yang diajukan kepada siswa antara lain:

435Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

436 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

F. SIMPULAN

Seluruh responden menyatakan kurang memahami adanya peluang dalam inovasi untuk melakukan diversifikasi (penganeka ragaman) dalam kurikulum dan pembelajaran. Analisis konteks yang dilakukan dalam pengembangan KTSP kurang mengakomodasi penyiapan diversifikasi kurikulum dan pembelajaran jika mengalami kondisi khusus ke depan. Seyogianya analisis konteks mendukung diversifikasi kurikulum satuan pendidikan agar sesuai dengan kondisi satuan pendidikan: sumber daya sekolah, termasuk tenaga kependidikan, sarana prasarana, sosial budaya dan ekonomi orang tua, kondisi geografis (letak, cuaca, dan kependudukan), kondisi dan kebutuhan siswa, serta kondisi khusus kebencanaan baik alam, non alam, maupaun bencana sosial yang mungkin dapat terjadi ke depan. Sekolah menyatakan tidak mudah melakukan pemebelajaran daring di SD karena kemampuan guru, siswa , dan orang tua, serta kurangnya sarana pendukung. Oleh karena itu dinas pendidikan dan sekolah mengupayakan ada kombinasi daring, luring, dan tatap muka (pada zona hijau) dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Pada setiap responden penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dinas pendidikan kurang memahami adanya prinsip diversifikasi dalam pengembangan KTSP, namun ketika diperhadapkan dengan kondisi khusus saat ini berupaya melakukan inovasi pendidikan, membuat kebijakan dalam BGR dan PJJ melalui koordinasi dengan satuan pendidikan, membuat modul, melatih guru untuk menguasai teknologi informasi dan komunikasi, menyusun KD esensial yang akan diajarkan, dan menyusun modul. .

2. Pengawas telah berupaya melakukan pendampingan dan pemetaaan terhadap kepemilikan dan kebutuhan sarana yang diperlukan pada BDR dan PJJ di semua sekolah.

437Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Kepala sekolah kurang memahami adanya diversifikasi kurikulum dan umumnya belum mengakomodasi diversifikasi dalam analisis konteks pengembangan KTSP. Ketika diperhadapkan pada kondisi khusus saat ini berupaya untuk melakukan diversifikasi kurikulum dan pembelajaran melalui meningkatkan kompetensi guru dalam menganalisis kurikulum dan isi buku untuk memiih materi yang esensial yang wajib diajarkan pada masa pandemi, dalam melakukan pembelajaran daring, serta memberikan fasilitas di sekolah.

4. Guru menyatakan menjadi lebih kreatif belajar hal-hal yang baru terutama pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran dan mencari cara agar tetap dapat berkomunikasi dengan siswa. Berupaya meningkatkan kompetensi antara lain ikut dalam pelatihan yang diselenggarakan dinas atau sekolah, pelatihan secara mandiri dalam membuat aplikasi dan video pembelajaran, serta mengikuti fitur-fitur pembelajaran daring dan memperkaya pengetahuan tentang daring. Guru menjalin komunikasi aktif setiap hari dengan orang tua melaluin grup WhatsApp orang tua dan guru sebagai media komunikasi kepada siswa dan tugas dikumpulkan setiap hari atau minggu sesuai dengan tugas yang diberikan

5. Komite/orang tua berupaya untuk membantu anak belajar di rumah secara daring, namun bagi orang tua yang tidak mempunyai fasilitas daring biasanya menggunakan WhatsApp orang tua utuk mengumpulkan tugas, ada yang via sms, bagi yang tidak mempunyai fasilitas secara rutin orang tua datang mengambil tugas anak dan dikumpulkan setiap akhir minggu.

6. Siswa kelas IV,V, dan VI menyatakan lebih senang belajar di sekolah karena apabila ada yang kurang paham langsung ditanyakan ke guru sedangkan bila di rumah banyak hal yang tidak dapat dijawab oleh ortu. Anak merasa lebih senang di sekolah karena dapat bermain dengan temannya.

G. REKOMENDASI

Responden mengharapkan agar Pemerintah memberikan suplemen dan rambu-rambu pelaksanaan diversifikasi pada kondisi khusus selama menjalankan BDR dan PJJ karena banyak satuan pendidikan menyatakan tidak mungkin menyelesaikan seluruh beban belajar yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Agar sekolah dapat memberikan pemenuhan layanan yang maksimal kepada peserta didik responden juga mengharapkan agar sekolah diberikan kesempatan untuk menyesuaikan sendiri kurikulum dan pembelajaran dibantu oleh dinas pendidikan kabupaten/kota.

438 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

DAFTAR PUSTAKA

Brightknowledge 2020, Top Tips For Independent Learning, https://www.brightknowledge.org/study-skills/top-tips-for-independent-learning, diakses tanggal 24 April 2020.

Irawan Hendra. 2020. Inovasi Pendidikan Sebagai Antisipasi Penyebaran Covid-19. https://ombudsman.go.id/. Senin, 23/03/2020. Diunduh tanggal 16 April 2020, pkl 10.00

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2020. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus

.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor 21 Tahun 2008. Tentang. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Pusat Kurikulum dan Perbukuan. 2017. Naskah Akademik Diversifikasi KurikulumUndang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan NasionalSamiudin. 2016, Peran Metode Untuk Mencapai Tujuan Pembelajaran, Sekolah

Tinggi Agama Islam Pancawahana Bangil, Indonesia, Jurnal Studi Islam, Volume 11, No 2, Desember 2016

Sobron A.N, dkk. 2019. Pengaruh Daring Learning terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Sekolah Dasar. Prosiding pada Seminar Nasional Sains dan Enterprenership, PGSD, FKIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo - Semarang

Sutjipto. 2015. Diversifikasi Kurikulum Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 21, Nomor 3, Desember 2015

………..Apa-bedanya-pandemi-epidemi-dan-wabah-133491 (https://theconversation.com/ ) Maret 12, 2020 12.59am WIB •Diperbarui Maret 12, 2020 9.04am WIB diunduh 4 Mei 2020, pkl 4.56

Bencana. https://bnpb.go.id. Diunduh tanggal 9 Mei 2020 pkl 09.00………..Dampak COVID-19 bagi Pendidikan dalam Perspektif Sosiologi https://

www.kompasiana.com tanggal 3 April 2020, diunduh tanggal 16 April 2020 pkl 14.00

………..Dampak-pandemik-covid-19-terhadap-dunia-pendidikan (https://www.satelitnews.id) Mei 2020 diunduh tanggal 5 Mei 2020 pkl 14.50

………..Data jumlah Siswa tahun ajaran 2018/2019. (Kemdikbud.go.id; data)………..Pendidikan di Tengah Pusaran Wabah Corona. https://news.detik.com

Kamis, 19 Mar 2020, diunduh tanggal 15 April 2020 pkl 15.

439Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KEBERLANJUTANAN PEMBELAJARAN UNTUK TAMAN KANAK-KANAK (TK) DENGAN PEMBELAJARAN JARAK JAUH

CONTINUITY OF LEARNING FOR KINDERGARTEN WITH DISTANCE LEARNING

Nina Purnamasari1*, Anggraeni2, Fera Herawati3

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini didasari bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) di Taman Kanak-kanak (TK) hanya dapat dilaksanakan pada kondisi khusus. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keberlanjutan pembelajaran implementasi PJJ di TK sehingga dapat memberikan rekomendasi dan opsi kebijakan terkait PJJ di TK. Metode penelitian yang digunakan deskriptif kualitatif dimana peneliti berusaha memotret pelaksanaan PJJ di TK, kemudian menggambarkan atau melukiskannya sebagaimana adanya, sehingga pemanfaatan temuan penelitian dapat segera diimplementasikan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlanjutan pembelajaran dalam implementasi PJJ di TK dapat dilakukan secara daring dan luring. Daring yang dilakukan secara umum menggunakan media WhatsApp Group dan luring dilakukan dengan cara memberikan lembar kegiatan, panduan/modul yang diberikan guru ke orang tua serta adanya kunjungan ke rumah. Opsi kebijakan dari PJJ di TK yaitu adanya panduan/modul untuk guru dan orang tua, contoh inspirasi kegiatan pembelajaran, kunjungan ke rumah, adanya media televisi dan radio, serta koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pemangku kepentingan.

Kata kunci: Pembelajaran Jarak Jauh, Taman Kanak-kanak, keberlanjutan pembelajaran

Abstract

This research is based on the fact that distance learning (PJJ) in kindergarten can only be carried out under special conditions. Therefore, this study aims to describe the continuity of learning implementation on DL for kindergarten to provide recommendations and policy options related to DL in kindergarten. The research method used is descriptive qualitative where researchers try to capture the implementation of DL in kindergarten, then describe it as is, so that the utilization

440 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

of research findings can be immediately implement. Data collection is done with interviews and documentation studies. The results showed that the sustainability of learning in the implementation of DL in kindergarten can be done online and offline. Online learning mostly by using social media platform such as Whatsapp Group media and for offline learning is done by giving activity sheets, guides/modules provided by teachers to parents, and home visits. Result of this study are policy options of DL in kindergarten suppose to provide guides/modules for teachers and parents, teachers need more inspiration examples for learning activities, home visits, maximizing usefulness of television and radio media, as well as coordination between the central and local government also education stakeholders.

Keywords: Distance Learning, Kindergarten, Continuity of learning

A. Pendahuluan

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan tahap awal dan penting untuk menciptakan manusia yang berkualitas sebagai peletak dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan, sosio emosional, serta bahasa dan komunikasi sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan anak usia dini (Suripto, 2010). Pentingnya pendidikan bagi anak usia dini tetap harus terpenuhi walau dalam berbagai kondisi (Rahma, 2018). Oleh karena itu, pemberian stimulasi pendidikan yang tepat perlu dilakukan sehingga perkembangan anak menjadi lebih optimal. Salah satu alternatif pembelajaran yang dilakukan guru TK pada kondisi khusus dengan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan materi pembelajaran melalui media, serta pada proses pembelajaran tidak ada kontak langsung antara guru dan siswa (Yerusalem RM, 2015). PJJ bagi anak TK perlu adanya keterlibatan orang tua dalam pendampingan dan pelaksanaan sehingga meminimalisir efek negatif dari penggunaan teknologi (Baiti, 2020). Hal ini dikarenakan pembelajaran pada anak usia dini dilakukan dengan adanya proses interaksi antara anak, orang tua, atau orang dewasa lainnya dalam suatu lingkungan agar memperoleh pengalaman yang bermakna sehingga tugas perkembangan anak dapat tercapai. Salah satu tugas perkembangan anak usia dini adalah selalu aktif dalam bereksplorasi dengan lingkungannya, maka proses pembelajaran pada anak usia dini adalah bermain (Wulansari BY, 2019). Aktivitas bermain mengutamakan kebebasan untuk bereskplorasi dan berinovasi sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, gembira, dan menarik anak untuk dapat terlibat dalam pembelajaran.

Penerapan PJJ juga sebaiknya di buat menarik dan pemanfataan berbagai sumber belajar dalam PJJ tetap harus memperhatikan tahapan pembelajaran

441Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang sesuai dan terukur (Lau et al., 2018). Selain itu, perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran dan karakteristik anak TK, yaitu belajar melalui bekerja, bermain dan hidup bersama dengan lingkungannya agar lebih efektif (Astuti, 2019). Oleh karena itu, pada saat PJJ bagi anak TK sangat memerlukan bimbingan dari orang tua/ orang dewasa lainnya serta dapat menggunakan bahan-bahan tertulis seperti modul atau lembar kegiatan. Namun, PJJ pada saat ini cenderung menggunakan fasilitas teknologi sehingga memudahkan pembelajar (Sari, 2015), tetapi bagi anak TK tetap memerlukan bimbingan dan pembatasan waktu dalam penggunaannya (Novitasari & Khotimah, 2016).

PJJ pada anak TK dalam implementasinya sangat tergantung pada pendampingan yang dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa lainnya, Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam melaksanakan PJJ. Kesiapan sekolah juga penting dalam pelaksanaan PJJ karena ragamnya latar belakang pendidikan guru dan pengalaman guru dalam menggunakan teknologi. Selain itu, dukungan dari semua pihak diperlukan agar PJJ bagi anak usia TK dapat optimal. Walaupun pembelajaran tatap muka merupakan yang terbaik untuk anak TK dalam pegembangan pembiasaan dan pembentukan karakter.

Penelitian ini diperlukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai keberlanjutan pembelajaran TK dengan PJJ khususnya dalam menghadapi kondisi pandemik saat ini. Harapannya, dapat memberikan rekomendasi dan opsi kebijakan terkait PJJ di TK yang dapat langsung di implementasi oleh satuan pendidikan TK. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu melakukan penelitian ini.

B. Metode

Metode penelitian yang digunakan deskriptif kualitatif dimana peneliti berusaha memotret pelaksanaan PJJ di TK, kemudian menggambarkan atau melukiskannya sebagaimana adanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh penjelasan tentang kondisi dan praktek penyelenggaraan PJJ di TK untuk mendukung keberlanjutan pembelajaran bagi siswa TK sebagaimana adanya berdasarkan kenyataan yang dihadapi termasuk perumusan kebijakan pendidikan terkait.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan studi dokumen kepada 68 kepala sekolah/guru dan orangtua dari beberapa provinsi di Indonesia. Teknik pengolahan data dilakukan dengan analisis nonstatistika. Desain penelitian ini disusun untuk memberikan gambaran umum terhadap proses penelitian dari tahap awal hingga pada tahap akhir. Adapun desain model penelitian ini sebagai berikut.

442 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. Hasil dan Pembahasan

Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara sekolah, orang tua dan masyarakat. Pada saat situasi normal anak akan belajar di sekolah. Akan tetapi, pada suatu situasi khusus misalnya terjadi bencana atau wabah penyakit, pembelajaran tetap harus dilaksanakan walau dilakukan dirumah. Kegiatan pembelajaran di rumah dikenal dengan nama pembelajaran jarak jauh.

Untuk mengetahui implementasi model pembelajaran jarak jauh sebagai keberlanjutan pembelajaran untuk siswa TK dilakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan 3 jenis instrumen yaitu wawancara kepada orang tua, wawancara kepada guru dan studi dokumentasi. Orang tua menjadi responden dalam penelitian ini karena dengan kegiatan pembelajaran jarak jauh ini mengakibatkan terjadi perubahan peran di mana orang tua harus mendampingi anaknya dalam proses pembelajaran.

Keberlanjutan pembelajaran dalam PJJ difokuskan pada pertanyaan 1) model pembelajaran jarak jauh yang paling sesuai dengan kondisi daerah, aksesibilitas dan situasi yang dialami saat ini, 2) Alasan memilih salah satu dari

443Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ketiga model pembelajaran jarak jauh tersebut, dan 3) Materi yang dibutuhkan guru untuk program belajar dirumah.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa model pembelajaran PJJ yang paling sesuai menurut orang tua (42.90 %) adalah perpaduan antara PJJ dalam dan luar jaringan (menggunakan internet dan tanpa menggunakan internet). Hal ini disebabkan karena orang tua masih menghendaki adanya pembelajaran tatap muka. Salah satu alasanya yang mengemuka adalah dikarenakan masih minimnya akses orang tua terhadap teknologi. Selain itu, tidak semua orang tua mampu mendampingi anaknya belajar di rumah, karena faktor ekonomi ataupun sebab lainnya.

PJJ daring pada anak usia TK secara umum menggunakan handphone karena mudah digunakan oleh orang tua dan guru. Sedikit guru dan orangtua yang menggunakann laptop. Aplikasi yang paling umum digunakan untuk pertemuan virtual adalah zoom, google meet, dan sejenisnya. Forum komunikasi yang paling banyak dimanfaatkan adalah aplikasi Whatsapp karena ramah pengguna, dan sudah digunakan oleh orang tua dan guru.

mayoritas orangtua dan guru memilih kegiatan belajar menggunakan internet per pekannya lebih dari tiga kali, rata-rata lima kali dalam sepekan. Frekuensi pelaksanaan pembelajaran online cukup dilaksanakan satu hari satu kali, dengan durasi belajar online antara 30 menit hingga 1 jam. Merujuk pada karakteristik perkembangan kognitif dan kemampuan fokus pada usia 2-6 tahun, anak-anak pada jenjang pendidikan di TK hanya mampu bertahan untuk menerima pembelajaran dalam waktu yang singkat. Pertemuan yang dilakukan setiap hari secar virtual dapat diartikan bahwa orangtua sangat membutuhkan guru untuk mendampingi anak belajar dirumah, dikarenakan anak-anak memiliki kecenderungan lebih mudah diatur ketika bertemu dengan gurunya.

Hambatan PJJ daring antara lain jaringan internet tidak stabil, ketersediaan perangkat, kuota, dan kemahiran penggunaan perangkat. Hambatan PJJ luring antara lain situasi dan kondisi rumah yang kurang mendukung, kesibukan orang tua yang bekerja, waktu mendampingi siswa belajar yang kurang maksimal, kurang dukungan orang tua terhadap pembelajaran peserta didik, dan juga keterbatasan pemahaman orang tua untuk mendampingin belajar peserta didik.

Kendala terbesar yang dihadapi oleh orang tua dalam mendampingin anaknya belajar di rumah adalah orang tua tidak paham mengenai pembelajaran yang ditugaskan. Hal ini harus disiasati adalah dengan memberikan penugasan yang jelas dan dapat dilakukan anak secara mandiri, sehingga orang tua tidak merasa terbebani.

Keinginan orang tua sejalan dengan hasil penelitian terhadap guru. Sebagian besar guru (71.90%) juga menginginkan model PJJ yang merupakan

444 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

perpaduan antara pembelajaran jarak jauh dalam dan luar jaringan (menggunakan internet dan tanpa menggunakan internet). Hal ini karena guru merasa akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan aspek sosial emosional siswa tanpa adanya tatap muka. Selain itu guru memiliki kekuatiran mengenai ketuntasan kurikulum dan berkurangnya jam belajar sehingga guru tidak dapat memenuhi beban jam mengajarnya.

Namun demikian, terdapat kecenderungan minor berupa pemilihan PJJ luar jaringan (tanpa menggunakan internet) dalam bentuk kunjungan ke rumah oleh guru (35,7%) karena melalui kunjungan rumah guru dapat berkoordinasi dengan orang tua. Guru dalam memberikan tugas disesuikan dengan kondisi sekitar rumah anak. Tugas yang diberikan guru dirancang agar dapat dikerjakan bersama orang tua. Selain itu guru juga dapat mengevaluasi kondisi anak, seperti kendala karena terbatasnya ruangan untuk melakukan pembelajaran, sehingga dilakukan bersamaan dengan anggota keluarga yang lain dan mempengaruhi konsentrasi anak dalam mengerjakan tugas.

PJJ luring yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini dengan menggunakan modul/buku paket dan lembaran kegiatan. Namun mayoritas guru dan orang tua menyukai kunjungan ke rumah. Modul belajar yang paling diperlukan oleh guru dan orang tua secara berurutan adalah modul yang disusun berdasarkan usia peserta didik, aspek perkembangan dan tema.

Orangtua dan guru dalam perannya sebagai pendamping belajar anak, membutuhkan sumber belajar yang mengakomodir kebutuhan belajar anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Mayoritas guru dan orangtua memilih lembar kegiatan yang didalamnya memuat aktivitas belajar seperti menggunting, menempel, melipat, mewarnai, menggambar, serta aktivitas lainnya berdasarkan tingkat usia perkembangan anak. Lembar kegiatan ini dikemas berbasis tematik integratif, karena didalamnya sudah meliputi aspek perkembangan anak mulai dari kognitif, psikomotor dan psikososial. Frekuensi pemberian sumber belajar kepada siswa idealnya setiap satu pekan sekali.

Penggunaan lembar kegiatan ini utamanya diperuntukkan bagi orangtua dan guru yang memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan serta akses. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa lembar kegiatan ini dapat menjadi sumber belajar pendukung dalam kegiatan belajar online, yang terukur seperti kemahiran menggunakan perangkat yang terdiri dari laptop, handphone serta aplikasi zoom, google dan sejenisnya.

Keberlanjutan pembelajaran melalui PJJ dipengahuri juga oleh kesiapan guru sebagai gambaran kualitas PJJ. Oleh karena itu perlu data mengenai materi yang dibutuhkan guru untuk program belajar dirumah. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa sebagian besar (65,10%) orang

445Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tua menginginkan adanya panduan untuk mendampingin anak belajar di rumah bagi orang tua. Panduan PJJ tersebut diperlukan agar orang tua dapat melakukan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan seluruh potensi anak dan memastikan anak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dan menantang dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Pertanyaan yang sama diajukan pada guru. Didapat data, sebanyak (34,4%) guru menyatakan bahwa materi yang dibutuhkan adalah panduan belajar di rumah untuk orang tua dan guru. Panduan tersebut diharapkan berisi tentang strategi koordinasi guru dan orang tua mengenai kegiatan pembelajaran dan pencapaian hasil belajar anak, jenis tugas atau kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, perkiraan jadwal dan waktu pengerjaan tugas yaitu dengan menyediakan pilihan jam belajar yang fleksibel menyesuaikan jam aktivitas orang tua. Berdasarkan hasil tersebut perlu disiapkan panduan belajar di rumah agar kegiatan yang dilakukan dapat memadukan tujuan kurikulum, minat dan kebutuhan anak, dan dapat mengembangkan anak seoptimal mungkin.

Berdasarkan hasil diskusi maka gambaran PJJ yang diimplementasi di TK dalam kondisi khusus sebagai berikut.

1. Perencanaan. Pada bagian ini memuat pentingnya perencanaan agar anak mendapatkan stimulan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, fisik-motorik, bahasa, sosio-emosional, dan agama-moral secara maksimal. Hal ini penting agar seluruh aspek perkembangannya optimal. Perangkat perencanaan pelaksanaan pembelajaranvyang dapat digunakan untuk membantu guru dan orangtua mengikuti kegiatan belajar, diantaranya:

a. Panduan untuk Pendamping Belajar

Panduan untuk pendampingan Belajar adalah panduan yang digunakan orang tua untuk dapat melakukan kegiatan pembelajaran di rumah dalam mengembangkan seluruh potensi anak. Memastikan anak mendapatkan pegalaman belajar yang bermakna dan menantang dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Panduan ini memuat jadwal kegiatan belajar setiap pertemuan, memuat topik-topik belajar setiap pertemuan, memuat lembar kegiatan atau media yang diperlukan, memuat ragam metode yang dapat digunakan, petunjuk dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran, serta tips dan trik pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

b. Panduan untuk Guru

Panduan untuk guru merupakan panduan yang didalamnya berisi tentang strategi koordinasi guru dan orang tua mengenai kegiatan pembelajaran dan pencapaian hasil belajar anak, jenis tugas atau kegiatan yang akan dilakukan oleh anak, perkiraan jadwal dan waktu

446 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengerjaan tugas yaitu dengan menyediakan pilihan jam belajar yang fleksibel menyesuaikan jam aktivitas orang tua. Panduan ini juga memuat jadwal kegiatan belajar setiap pertemuan, memuat lembar kegiatan atau media belajar yang diperlukan, memuat ragam metode yang dapat digunakan, petunjuk dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran, serta tips dan trik mengenai pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.

c. Perencanaan kegiatan, pada dasarnya hal ini sama seperti menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran harian (RPPH), tetapi dalam pembelajaran jarak jauh, RPPH dikemas menjadi bentuk yang lebih sederhana yakni fokus pada langkah-langkah pembelajaran yang memuat: topik kegiatan, indikator/tujuan pembelajaran, usia kelompok peserta didik, durasi/frekuensi belajar, media-materi-metode yang digunakan.

2. Pelaksanaan

Pada bagian ini memuat perangkat pelaksanaan bagi guru dan orangtua dalam melaksanakan PJJ dalam jaringan maupun luar jaringan, yang memuat komponen sebagai berikut.

a. Publikasi Kegiatan, publikasi kegiatan dapat dilakukan melalui media sosial serta platform sejenis maupun dalam bentuk pesan singkat. Publikasi ini penting sebagai bagian dari pemerataan dan ketersediaan akses penyampaian informasi pembelajaran. Dalam situasi bencana misalnya, publikasi kegiatan dapat dilakukan dengan mengkoordinasikan bersama pemerintah daerah setempat serta menempel beberapa flyer atau poster di tempat-tempat strategis.

b. Media belajar

Orangtua dan guru dalam perannya sebagai pendamping belajar anak, membutuhkan media belajar yang multisensory experience (Hsiung dan Deal, 2013), artinya media belajar tersebut perlu mengakomodir kebutuhan belajar anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh di Taman Kanak-kanak dapat menggunakan berbagai macam media belajar. Media belajar yang digunakan pada saat pembelajaran jarak jauh secara daring biasanya adalah laptop, handphone, aplikasi zoom, google meet, dan sejenisnya. Sedangkan media belajar yang digunakan pada pembelajaran jarak jauh secara luring adalah modul belajar. Modul belajar yang paling sesuai untuk digunakan pada pembelajaran jarak jauh di TK adalah modul belajar yang disusun berdasarkan usia peserta didik, aspek perkembangan dan tema.

447Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Fakta di lapangan sebagian besar orang tua dan guru memilih media belajar berupa lembar kegiatan yang frekuensi pemberiannya diberikan setiap satu pekan sekali. Lembar kegiatan atau worksheet merupakan sumber belajar yang didalamnya memuat aktivitas belajar seperti menggunting, menempel, melipat, mewarnai, menggambar, serta aktivitas lainnya berdasarkan tingkat usia perkembangan anak.

Kemasan media belajar berbasis tematik integratif lebih disukai oleh orang tua dan guru, karena didalamnya sudah meliputi aspek perkembangan anak mulai dari kognitif, psikomotor dan psikososial yang diintegrasikan kedalam lembar kegiatan.

Penggunaan lembar kegiatan ini utamanya diperuntukkan bagi orangtua dan guru yang memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan serta akses penggunaan kegiatan belajar dalam jaringan. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa lembar kegiatan ini dapat menjadi sumber belajar pendukung dalam kegiatan belajar online selain laptop, handphone serta aplikasi zoom, google dan sejenisnya.

c. Metode belajar

Kebutuhan belajar dan perkembangan anak usia Taman Kanak-kanak berbeda dengan anak-anak yang berada pada jenjang pendidikan lain. Perkembangan kognitif yang berada pada tahapan pra-operasional (Boyd & Bee, 2009) menuntut guru dan orangtua untuk menyajikan pembelajaran abstrak menjadi konkrit. Tantangan selanjutnya yang dihadapi adalah kemampuan self-regulation (Papalia Diane E., & Feldman, 2012) anak yang masih memerlukan arahan, panduan, serta contoh perilaku yang nyata sehingga anak-anak dapat mengatur pola rutinitas hariannya seperti bangun tidur, sarapan, mandi, serta menyiapkan alat belajar.

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan kegiatan belajar tatap muka. (Bima, 2020) yang menyatakan bahwa kebijakan pembelajaran jarak jauh menuntut para guru untuk dapat mengubah metode pengajaran mereka. Oleh karena itu guru dan pendamping belajar perlu menyiasati hal ini. Ada berbagai metode pengajaran “baru” yang diterapkan para guru selama pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah. Di antaranya adalah (1) menginformasikan tugas harian atau mingguan melalui media elektronik; (2) memperkaya materi ajar dengan mencari berbagai sumber dari internet; (3) merekam pengajaran luring ke dalam bentuk video dan mendistribusikannya kepada murid; dan (4) mengajar secara daring dengan aplikasi yang tersedia (Bima, 2020).

448 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Metode belajar yang digunakan pada PJJ luar jaringan (tanpa menggunakan internet) di TK yang paling sesuai pada kondisi darurat adalah dengan menggunakan modul/buku paket, lembaran kegiatan atau kunjungan ke rumah. Siswa melakukan pembelajaran berdasarkan modul/buku paket atau lembar kegiatan yang diberikat oleh guru. Pemberian lembar kegiatan biasanya dilakukan seminggu sekali dengan cara orang tua yang datang ke sekolah atau pada saat guru kunjungan ke rumah.

Metode Belajar PJJ dalam jaringan (menggunakan internet) yang paling sesuai dengan kondisi darurat adalah dengan menggunakan forum komunikasi media sosial (seperti whatsapp), video conference melalui aplikasi (seperti zoom, google meet, dan lainnya), Menonton video dari sumber belajar, Tautan berbagai sumber belajar, Forum komunikasi media sosial (seperti whatsapp), dan software aplikasi (seperti aplikasi rumah belajar). Forum komunikasi media sosial (seperti whatsapp) merupakan metode belajar yang paling mudah dan dikenal oleh orang tua dan guru.

Contoh pelaksanaan PJJ dalam jaringan di TK misalnya sebelum melaksanakan kegiatan PJJ dalam jaringan, peserta didik diminta untuk melaksanakan kegiatan proyek atau eksperimen, lalu ketika PJJ dalam jaringan berlangsung, peserta didik diminta untuk menceritakan proses sains tersebut dan meminta umpan balik dari guru. Sama halnya dengan PJJ luar jaringan, pendamping belajar perlu menguasai dan mempelajari metode yang paling efektif agar anak tetap antusias belajar, salah satunya metode proyek yang dipraktekkan melalui kegiatan memasak. Ajak anak-anak untuk mengolah kue, membuat agar-agar, serta memasak nasi bersama kemudian menceritakan kembali pengalamannya.

Frekuensi kegiatan belajar menggunakan internet setiap minggu dilakukan lebih dari tiga kali, karena para orangtua membutuhkan guru untuk mendampingi anak belajar dirumah. Sebagian besar anak-anak memiliki kecenderungan lebih mudah diatur ketika bertemu dengan gurunya. Lebih spesifik ditegaskan bahwa frekuensi pelaksanaan pembelajaran online cukup dilaksanakan satu hari satu kali. Merujuk pada karakteristik perkembangan kognitif dan kemampuan fokus pada usia 2-6 tahun, anak-anak pada jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak mampu bertahan untuk menerima pembelajaran dalam waktu yang singkat, makadari itu pelaksanaaan kegiatan belajar online maksimal antara 30 menit hingga 1 jam per hari nya.

449Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3. Evaluasi

Pada bagian ini perlu disusun bentuk evaluasi belajar anak baik yang disampaikan melalui PJJ dalam jaringan maupun PJJ luar jaringan, diantaranya:

a. Daftar Ceklis Capaian Perkembangan Anak.

Daftar ceklis adalah lembar evaluasi belajar anak yang digunakan untuk mendeteksi ketercapaian perkembangan belajar anak. Lembar ceklis memudahkan guru dan orangtua untuk mengontrol ketercapaian belajar anak, agar anak tidak menjadi lost generation (UNICEF, 2020), yakni masa dimana sebuah generasi mengalami kehilangan pengetahuan belajarnya dikarenakan tidak mendapatkan informasi belajar yang optimal. Melalui lembar checklist, guru dan orangtua dapat bersama-sama memberikan solusi terhadap kendala belajar yang terjadi pada anak.

Daftar ini penting untuk dimiliki oleh guru dan pendamping belajar agar dapat memonitoring capaian belajar anak. Guru diharapkan dapat memberikan arahan tidak dalam bentuk ceramah kepada anak tentang berbagai hal yang harus dipelajari, dengan durasi maksimal 10 menit. Daftar tersebut memuat indikator-indikator belajar yang telah disusun pada bagian perencanaan, serta disusun dengan sangat praktis dan mudah digunakan oleh pendamping belajar serta guru.

b. Forum komunikasi guru dan pendamping belajar.

Diperlukan forum komunikasi guru dan orang tua dalam kegiatan belajar jarak jauh. Forum komunikasi guru dan orangtua bertujuan untuk menunjang kegiatan pendampingan belajar dirumah. Forum komunikasi guru dan orang tua dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) dilakukan dengan daring (dalam bentuk grup media sosial, teleconference), (2) dilakukan secara luring (dengan kunjungan ke rumah). Forum ini memuat umpan balik yang dapat digunakan oleh guru dan pendamping belajar mengenai evaluasi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh baik dalam bentuk luar jaringan maupun dalam jaringan.

D. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu PJJ di TK pada kondisi khusus dilakukan secara blended learning. PJJ daring, sebagian besar menggunakan media WhatsApp Grup yang dibuat oleh guru sebagai sarana untuk menyampaikan pembelajaran, dan berkomunikasi dengan orang tua siswa.

450 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selain itu aplikasi ini yang paling mudah dan banyak digunakan oleh orang tua dan guru. Hambatan yang dihadapi yaitu keterbatasan ketersediaan perangkat, kuota internet, sinyal dan jaringan yang kurang baik. Selain itu, kemampuan orang tua dan guru juga beragam dalam menggunakan perangkat teknologi. PJJ luring dilaksanakan di luar jaringan yaitu dengan pemberian tugas secara berkala. Tugas yang diberikan umumnya berupa lembar kegiatan yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mendampingi anak dalam pembelajaran. Kemudian, orang tua mengembalikan hasil kegiatan anak ke sekolah ataupun guru mengambil lagi pada saat kunjungan ke rumah siswa. Hambatannya PJJ di luar jaringan yaitu tidak semua orang tua dapat mendampingi dalam proses pembelajaran anak karena kondisi ekonomi ataupun rumah yang kurang kondusif.

PJJ blended (daring dan luring), pemanfaatan media dalam PJJ dalam jaringan sebagaian besar memanfaatkan WhatsApp Grup karena yang paling mudah digunakan dan umumnya digunakan oleh semua orang tua. Sedangkan untuk PJJ luar jaringan dengan guru melakukan kunjungan ke rumah ataupun orangtua datang ke sekolah secara berkala untuk mengambil dan/atau mengumpulkan tugas, sekaligus berkonsultasi kepada guru. Hambatan dan kesulitan dari pembelajaran ini yaitu, kurang maksimal stimulasi pendidikan yang didapat oleh anak karena guru hanya berkunjung satu kali dalam seminggu atau satu bulan dalam seminggu. Permasalahan lainnya, tidak semua orang tua memiliki telepon seluler android untuk mengakses media sosial dalam pembelajaran.

Rekomendasi dan opsi kebijakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi Guru

a. Panduan/Modul/Buku Saku Pembelajaran

Peningkatan akses dan pemerataan pelaksanaan PJJ di TK dilakukan dengan bentuk PJJ blended. Hal ini disebabkan banyak orang tua yang masih menginginkan terjadinya interaksi antara guru dengan siswa baik secara tatap muka langsung maupun tidak langsung dengan berbagai alasannya. Oleh karena itu perlu disusun panduan/modul/buku saku untuk guru dalam melaksanakan PJJ.

b. Lembar Kegiatan

Lembar kegiatan ini sangat sesuai untuk kondisi darurat karena dapat digunakan sebagai media terapeutic. Lembar kegiatan yang bersifat interaktif dan menyenangkan karena terdiri dari berbagai aktivitas diyakini dapat mengobati trauma-trauma pasca bencana pada anak. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa lembar kegiatan ini dapat menjadi sumber belajar pendukung dalam kegiatan belajar

451Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

online, yang mampu menggunakan perangkat yang terdiri dari laptop, handphone serta aplikasi zoom, google dan sejenisnya.

c. Kunjungan ke Rumah

Kunjungan ke rumah oleh guru merupakan bagian yang cukup penting pada PJJ. Kunjungan ke rumah oleh guru difungsikan untuk memberikan sumber belajar sebagai penunjang kegiatan pendampingan belajar dirumah. Selain itu juga berfungsi untuk evaluasi kegiatan PJJ. Bentuk evaluasi yang dilakukan pada saat kunjungan ke rumah adalah forum komunikasi guru dan orangtua. Dimana orang tua dapat bertukar pikiran, menyampaikan keluhan, hambatan, kendala, sehingga guru dapat memberikan solusi ketika mendampingi anak belajar. Hal ini penting karenakan anak-anak cenderung lebih mudah diatur ketika bertemu dengan gurunya.

2. Bagi Orang Tua

a. Panduan/Modul/Buku Saku Pembelajaran

Peningkatan akses dan pemerataan pelaksanaan PJJ di TK dilakukan dengan bentuk PJJ blended. Hal ini disebabkan banyak orang tua yang masih menginginkan terjadinya interaksi antara guru dengan siswa baik secara tatap muka langsung maupun tidak langsung dengan berbagai alasannya. Oleh karena itu perlu disusun panduan/modul/buku saku untuk orang tua dalam melaksanakan PJJ.

3. Bagi Pemerintah

a. Media Televisi dan Radio

Kondisi geografis dan sosial ekonomi Indonesia saat ini, masih sangat memerlukan media sumber belajar yang jangkauannya luas namun dengan perangkat teknologi yang lebih umum dimiliki setiap rumah tangga. Alternatif sumber belajar yang memenuhi hal ini adalah dengan memanfaatkan saluran televisi dan radio. Tayangan melalui televisi dan radio agar jangkauannya luas dapat bekerjasama dengan pihak-pihak terkait di daerah. Program televisi dan radio sebaiknya bervariasi dan bersifat interaksi.

b. Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pemangku kepentingan

Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah terkait pelaksanaan PJJ di TK menjadi keniscayaan. Tidak hanya terkait dengan kebijakan dan anggaran, namun juga tentang sarana informasi yang berpengaruh langsung pada pembelajaran. Oleh karena itu sangat diperlukan kontribusi yang bersifat universal dari para pemangku kepentingan pendidikan secara optimal.

452 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Astuti, W. (2019). The Examining Philosophical Foundation of Children Language Development Program Based on 2013 Curriculum. Early Childhood Research Journal, 02(2), 50–57.

Baiti, N. (2020). Peran Orang Tua dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi Anak di Masa COVID -19. PRIMEARLY Jurnal Kajian Pendidikan Dasar Dan Anak Usia Dini, VI(2), 113–127.

Bima, L. (2020). Analisis Awal Terhadap Faktor Pendorong Ketimpangan dalam Pembelajaran Jarak Jauh di Tingkat Sekolah Dasar. Jakarta: Smeru Research Institute.

Boyd, & Bee. (2009). Lifespan Development (5th ed.). Boston: Pearson.

Hong, Q., & Pluye, P. (2014). Combining the power of stories and the power of numbers: mixed methods research and mixed studies reviews. Annu Rev Public Health, (35), 29–45.

Hsiung, S.C., & Deal, W. F. (2013). Distance Learning, Teaching Hands-on skills at a distance. Technology and Engineering Teacher, 2, 36–41.

Indriani, T. (2018). Implementasi blended learning dalam program pendidikan jarak jauh di SMK Negeri 3 Bandung: Studi Deskriptif di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Bandung.

Kusnandar. (2018). Inovasi Pembelajaran Berbasis TIK di Sekolah 3T Provinsi Papua dan Papua Barat melalui Pendampingan Jarak Jauh. Jurnal Teknologi Pendidikan, 2(6), 177–198.

Lau, K., Lam, T., Kam, B. H., Nkhoma, M., Richardson, J., & Thomas, S. (2018). The role of textbook learning resources in e-learning: A taxonomic study. Computers & Education, 118, 10–24.

Munir. (2009). Pembelajaran jarak Jauh Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta, CV.

Nasution, N. (2019). Perkembangan Anak Usia Dini (AUD) di TK Aisyiyah: Problematika dan Solusi. Jurnal Penelitian Keislaman, 15(2), 130–143.

Novitasari, W., & Khotimah, N. (2016). Dampak penggunaan gadget terhadap interaksi sosial anak usia 5-6 tahun. Paud Teratai, 5(3).

Nurdin. (2017). Penerapan Sistem Pembelajaran Jarak Jauh Berbasis Massive Open Online Course di Universitas Ciputra Enterpreunership Online. Universitas Negeri Semarang.

Papalia Diane E., & Feldman, R. D. (2012). Experience Human Development (12th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

453Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rahma, A. (2018). Implementasi program pengurangan risiko bencana (PRB) melalui pendidikan formal. Jurnal Varidika, 30(1), 1–11.

Rahman. (2020). Evaluasi Penerapan Model Pembelajaran E-Learning pada Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Borneo Administrator, 101–116.

Ratnasari. (2012). Studi Pengaruh Penerapan E-Learning Terhadap Keaktifan Mahasiswa dalam Kegiatan Belajar Mengajar Studi Kasus Universitas Mercu Buana Jakarta. Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi.

Sadikin, A., & Hamidah, A. (2020). Pembelajaran Fiqh Mu’Āmalāt Berorientasi Literasi Finansial. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi, 6(2), 214–224. https://doi.org/10.17509/t.v6i2.20887

Sari, P. (2015). Memotivasi belajar dengan menggunakan E-Learning. Jurnal Ummur Quro, VI(20).

Sobri. (2020). Mewujudkan Kemandirian Belajar melalui Pembelajaran Berbasis Daring di Perguruan Tinggi Pada Era Industri 4.0. Jurnal Pendidikan Glasser, 4, 65–71.

Suripto. (2010). Urgensi evaluasi pendidikan anak usia dini sebagai upaya peningkatan indeks pembangunan manusia di provinsi gorontalo. 13(2), 276–289.

UNICEF. (n.d.). Dont let children hidden victim covid-19 pandemic. UNICEF. Retrieved from https://www.unicef.org/mena/press-releases/dont-let-children-hidden-victims-covid-19-pandemic-unicef

Wulansari BY. (2019). Pemahaman Konsep “Wall-Less-Ness” Dalam Pembelajaran Berbasis Alam Di Kindergarten Green School BALI. Jurnal Dimensi Pendidikan Dan Pembelajaran, 7(2), 86–98.

Yerusalem RM. (2015). Desain dan Implementasi Sistem Pembelajaran Jarak Jauh di Program Studi Sistem Komputer. Jurnal Teknologi Dan Sistem Komputer, 3(4), 481–492.

454 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Sekolah

Policy Implementation of Violence Prevention and Handling at School

Ranti Widiyanti, Rizki Maisura, Arina Hasanah, M. dan HamkaPusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud, Jakarta, Indonesia

[email protected]

TarmaUniversitas Negeri Jakarta, Jakarta, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Tindak kekerasan yang terjadi pada satuan pendidikan masih banyak terjadi. Permendikbud Nomor 20 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan merupakan kebijakan yang ditetapkan untuk mengatasi masalah tindak kekerasan di sekolah. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah. Penelitian menggunakan metode survey dengan lokasi penelitian di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Pusat. Sampel penelitian yaitu 115 guru yang berasal dari tingkat SD, SMP dan SMA. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan sekala diferensial semantik. Hasil penelitian diketahui bahwa implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah berada dalam kategori baik dengan rata-rata 3,35 (skala 1 sampai 4). Gambaran tujuh variabel implementasi kebijakan sebagai berikut: standar dan kriteria kinerja kebijakan rata-rata 3,30 (kategori baik), sumber daya kebijakan rata-rata 2,12 (kategori kurang), karakteristik organisasi pelaksana rata-rata 2,67 (kategori kurang cukup), komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan rata-rata 2,90 (kategori baik), sikap para pelaksana kebijakan rata-rata 3,24 (kategori baik), lingkungan sosial ekonomi dan politik rata-rata 2,92 (kategori baik), dan kinerja kebijakan rata-rata 3,58 (kategori sangat baik). Implikasi penelitian ini yaitu diperlukan upaya untuk meningkatkan sumber daya kebijakan, karakteristik organisasi pelaksana kebijakan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan untuk meningkatkan kinerja kebijakan.

Abstract

Violence that occurs in schools still occurs a lot. Permendikbud Number 20 of 2015 concerning Prevention and Eradication of Violence in the Education Institution is a policy established to address the problem of violence in schools. This study aims

455Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

to find out how to implement policies for preventing and overcoming violence in schools. This study used a survey method with research locations in North Jakarta, West Jakarta, South Jakarta, East Jakarta and Central Jakarta. The research sample was 115 teachers from elementary, junior high and senior high school levels. The data collection technique used a questionnaire with a semantic differential scale. The study found that the implementation of policies on prevention and overcoming violence in schools was in a good category with an average of 3.35 (scale 1 to 4). The description of the seven policy implementation variables is as follows: standards and criteria for policy performance on average 3.30 (good category), average policy resources 2.12 (poor category), characteristics of the implementing organization average 2.67 (category less sufficient), communication between organizations and implementation activities averaged 2.90 (good category), the attitude of the policy implementers averaged 3.24 (good category), socio-economic and political environment averaged 2.92 (good category) , and the average policy performance is 3.58 (very good category). The implication of this research is that efforts are needed to increase policy resources, characteristics of policy implementing organizations, communication between organizations and implementation activities to improve policy performance.

A. PENDAHULUAN

Tujuan pendidikan adalah memerdekakan anak dengan memberikan bekal yang cukup untuknya dalam menghadapi kehidupan dan mendapatkan hak serta menjalankan kewajiban sebagai seorang manusia yang sejahtera. Sekolah memiliki posisi untuk menyampaikan Pendidikan yang berkualitas, yang merupakan hak dari setiap anak. Sekolah memberikan anak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, berpikir kritis, mendapatkan keahlian-keahlian yang berguna untuk kehidupan, mengembangkan keberhargaan diri dan hubungan sosial, dan tumbuh sebagai manusia yang bermartabat. Anak juga merupakan agen yang dapat mempromosikan dan mengembangkan kerjasama, toleransi, dan anti-kekerasan, tidak hanya di lingkungan sekolah namun juga di komunitas dan masyarakat yang lebih luas.

Fungsi sekolah seharusnya dapat melindungi anak dari tindak kekerasan yang terjadi di dalam sekolah, mencegah anak melakukan tindak kekerasan di dalam maupun di luar sekolah, dan mengatur mekanisme pencegahan dan sanksi terhadap tindak kekerasan di Sekolah yang melibatkan anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Mengingat anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan Negara di masa mendatang agar mereka kelak mampu memikul tanggung jawab, maka mereka perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal (Abu Huraerah, 2005).

456 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kesempatan dan peran bagi anak dan fungsi sekolah yang ideal tersebut sayangnya tidak dialami oleh semua anak. Begitu banyak anak yang dihadapkan dengan fenomena kekerasan di sekolah seperti bullying, diskriminasi, ketidakadilan, dan hal-hal lain yang menghalangi mereka mencapai potensi maksimalnya. Kondisi anak Indonesia berdasarkan hasil SNPHAR (Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja) tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, menunjukkan 2 dari 3 anak Indonesia pernah mengalami kekerasan dan 70% pelaku adalah teman sebaya. Data Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2019 mencatat bahwa: 1048 anak perempuan, dan 1553 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, 1291 anak perempuan, dan 725 anak laki-laki mengalami kekerasan psikis, 4063 anak perempuan, dan 657 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual, dan 314 anak perempuan dan 329 anak laki-laki mengalami penelantaran. Data SIMFONI PPA tahun 2019 juga mencatat bahwa 321 kasus kekerasan terhadap anak perempuan dan 426 kasus kekerasan terhadap anak laki-laki terjadi di lingkungan sekolah. Data Kasus Pengaduan Kluster Pendidikan pada tahun 2017-2019 milik KPAI mencatat bahwa terdapat 285 kasus anak pelaku bullying; 270 kasus anak korban bullying; 230 kasus anak pelaku tawuran; 187 kasus anak korban kebijakan Sekolah; dan 173 kasus anak korban tawuran.

Data-data di atas menunjukkan tingginya angka kekerasan pada anak di sekolah walau pemerintah sudah mengatur kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak dari ancaman kekerasan. Kebijakan tersebut seperti Instruksi Presiden tentang gerakan nasional anti kekerasan terhadap anak dan Undang-undang tentang perlindungan anak. Kemendikbud juga telah menerbitkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang di dalamnya mengatur mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan, serta sanksi yang akan diberikan kepada pelaku tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, namun dari angka tindak kekerasan pada anak di sekolah tersebut, masih terdapat kesenjangan besar yang belum berpihak pada kesejahteraan anak.

Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, financial atau administratif untuk mencapai suatu tujuan-tujuan eksplisit. Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya, kebijakan pendidikan merupakan kebijakan

457Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan sumber, alokasi, dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan (Rohman. A : 2009 : 108). Demikian pula kebijakan dan program aksi perlindungan anak yang bisa berdimensi global, nasional, maupun lokal, dapat berperan sebagai piranti kelembagaan dalam melindungi anak dari tindakan kekerasan. Pendapat lain dari seorang ahli, dikatakan kebijakan adalah desain besar (grand design) yang ditujukan untuk merespon isu atau masalah tertentu secara sistematis, melembaga dan berkelanjutan, Kebijakan berfungsi sebagai pedoman yang akan diimplementasikan oleh program aksi, program aksi adalah beragam tindakan (course of action) yang lebih aplikatif, berjangka waktu dan berwilayah geografis jelas (Huraerah : 2012 : 23)

Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi anak, antara lain: Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak ; Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak ; Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun demikian perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan legislasi (Kewajiban Negara) namun perlu di tindak lanjuti dalam program aksi di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Anak didalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan maupun teman-temannya. Hal senada pada Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan pada pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku agar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah (Andini et al., 2019). Menurut WHO (Andini et al., 2019), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,

458 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Barker (dalam Andini et al., 2019) mendefinisikan child abuse sebagai tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah perilaku negatif yang merugikan korban kekerasan dan mengganggu kesejahteraannya sebagai seorang manusia.

Istilah lain yang terkait dengan kekerasan yaitu perundungan atau bullying. Kekerasan dapat dikategorikan sebagai perilaku bullying (Trisnani & Wardani, 2016). Kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam Bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. Tisna (Trisnani & Wardani, 2016) mengemukakan bahwa bullying adalah perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalahgunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan untuk menyakiti targetnya (korban) secara mental atau secara fisik. Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku kekerasan dimana terjadi pemaksaan secara psikologis ataupun fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang (Zakiyah et al., 2017). Farrington (Sari & Azwar, 2018) memperjelas definisi mengenai bullying sebagai sebuah penindasan berulang dari orang yang memiliki kekuatan kepada seseorang yang lebih lemah. Rigby (Sari & Azwar, 2018) menyimpulkan bahwa bullying merupakan tindakan yang meliputi adanya niatan untuk melukai orang lain, tindakan negatif, ketidakseimbangan kekuatan, tindakan yang berulang, ketidakadilan penggunaan kekuasaan (kekuatan) dan pelaku senang dengan tindakan penindasan yang diterima korban.

Menurut Moore (dalam Andini et al., 2019), kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, seksual dan emosional. Purbani (dalam Andini et al., 2019) menyatakan, kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami kepada istrinya atau orang tua terhadap anaknya bisa berbentuk fisik dan non fisik. Kekerasan non fisik bisa berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mendiamkan istri atau anak, atau bentuk lain seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan, sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan, penjambakan, dll. Terry E. Lawson (dalam Andini et al., 2019) menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

Faktor-faktor penyebab kekerasan pada anak menurut Gelles Richard

459Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

J (dalam Andini et al., 2019) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu: (1) pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence); (2) stres sosial (social stress); (3) isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah; dan (4) struktur keluarga. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar/kecilnya dampak dari kekerasan antara lain: (1) faktor usia anak, semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih fatal; (2) siapa yang terlibat, jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau ibu tiri, atauanggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang melakukannya orang yang tidak dikenal; (3) tingkat keparahan kekerasan, semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima anak akan memperparah kondisi anak; (4) durasi kekerasan, semakin lama kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan trauma yang membekas pada diri anak; (5) jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima dukungan dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai, mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya atau disalahkan; dan (6) tingkatan sosial ekonomi, anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak. Ariesto (dalam Zakiyah et al., 2017) menyatakan faktor-faktor penyebab terjadinya bullying yaitu keluarga, sekolah, kondisi lingkungan sosial, dan tayangan televisi dan media cetak.

Hasil pemetaan tim peneliti mengenai penelitian-penelitian tentang kekerasan pada anak di satuan Pendidikan dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa penelitian-penelitian yang ada lebih berfokus pada akibat dari kekerasan dan aspek psikologis dari pelaku dan korban kekerasan, namun sangat jarang yang menyorot tentang kebijakan. Oleh karena itu, Pusat Kurikulum dan Perbukuan menilai perlunya dukungan terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di sekolah dengan melakukan kajian implementasi kebijakan di sekolah-sekolah khususnya terkait Pemendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Selain itu, hasil kajian implementasi tersebut akan digunakan untuk membuat inspirasi pelaksanaan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan anak di sekolah dan mengatasi kekerasan di sekolah. Masalah dalam penelitian ini secara umum adalah gambaran implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta, praktik baik yang telah diterapkan sekolah untuk mendukung kebijakan tersebut, dan inspirasi pelaksanaan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan yang dapat secara konkret diterapkan di sekolah. Secara spesifik permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) bagaimana implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta?; (2) apa permasalahan dalam

460 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta?; dan (3) bagaiman korelasi antara variabel dalam implementasi kebijakan? Tujuan penelitian secara umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Secara spesifik tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) untuk memperoleh gambaran implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta; (2) untuk mengetahui permasalahan dalam implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta; dan (3) untuk mengetahui korelasi antara variabel dalam implementasi kebijakan.

B. METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survey. Penelitian dilaksanakan pada sekolah negeri yang terdiri dari tingkat SD, SMP dan SMA di lima kota yang ada di Provinsi DKI Jakarta, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Pusat. Sampel dalam penelitian ini adalah 115 guru. Unit sekolah yang dijadikan sampel diambil secara purposive berdasarkan penunjukan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Adapun anggota sampel dipilih dengan teknik accidental sampling. Implementasi kebijakan diukur dengan tujuh variabel yang dikembangkan berdasarkan framework yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1981), yaitu: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumber daya kebijakan; (3) komunikasi antarorganisasi pelaksana dan kegiatan penguatan; (4) karakteristik organisasi pelaksana; (5) sikap pelaksana kebijakan; (6) lingkungan sosial ekonomi dan politik; dan (7) kinerja kebijakan. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup dengan skala diferensial semantik lima pilihan jawaban. Analisis data deskriptif terdiri dari frekuensi, rata-rata, dan frekuensi serta analisis inferensial menggunakan statistik nonparametrik uji korelasi menggunakan rumus Spearman.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

Penelitian ini merupakan penelitian implementasi kebijakan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan. Dalam penelitian ini, kerangka pemikiran yang digunakan untuk mengkaji kebijakan merujuk pada pendapat Van Meter & Van Horn yang menyebutkan bahwa dalam implementasi kebijakan terdapat tujuh variabel yaitu standar

461Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

san sasaran kebijakan, sumber daya, karakteristik organisasi pelaksana, komunikasi antar organisasi pelaksana dan kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana, lingkungan sosial, ekonomi dan politik serta kinerja kebijakan. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh gambaran secara umum sebagai berikut.

Grafik 1. Gambaran Variabel Implementasi Kebijakan Setiap Satuan Pendidikan

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa pada semua wilayah capaian skor rata-rata untuk variabel sumber daya berada di bawah 2,31 (skala 1-4) dengan rentangan 1,78 sampai dengan 2,30 (Jakarta Utara). Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya pendukung implementasi kebijakan masih baru mencapai kategori cukup. Khusus untuk wilayah dengan capaian rata-rata skor sumber daya di bawah 2,20, yaitu Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, sumber daya implementasi kebijakannya dalam kategori kurang. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.

Pada semua wilayah, kinerja kebijakan merupakan variabel yang paling tinggi skornya yaitu berkisar dari 3,52 sampai 3,64. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja kebijakan di semua wilayah berada dalam kategori sangat baik. Gambaran di atas merupakan gambaran secara global perwilayah, tanpa memperhatikan sebaran atau distribusi data masing-masing sekolah yang diteliti. Untuk wilayah DKI Jakarta pada sampel sekolah yang diteliti diperoleh skor rata-rata 3,35 yang menunjukkan bahwa secara umum implementasi kebijakan Permendikbud No. 82 tahun 2015 masih berada dalam kategori baik. Adapun variabel yang paling lemah yaitu variabel sumber daya yang baru mencapai skor rata-rata 2,12 (kategori kurang). Sedangkan variabel yang paling tinggi mencapai skor rata-rata 3,58 (kategori sangat baik).

462 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan implementasi antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 8,200 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,085. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,085 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai implementasi kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Untuk mengetahui hubungan di antara variabel implementasi kebijakan maka dilakukan uji korelasi dengan menggunakan rumus Spearman yang hasilnya ditunjukan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2. Korelasi Antar Variabel Implementasi Kebijakan

Berdasarkan gambar di atas, diketahui korelasi atau pengaruh yang signifikan di antara variabel berikut: (1) standar dan kriteria keberhasilan kebijakan berpengaruh signifikan terhadap komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan; (2) komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik organisasi pelaksana; (3) komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan berpengaruh signifikan terhadap sikap para pelaksana kebijakan; (4) kondisi sosial ekonomi dan politik berengaruh signifikan terhadap komunikasi antarorganisasi dan kegiatan pelaksanaan; (5) karakteristik organisasi pelaksana berpengaruh signifikan terhadap kinerja kebijakan; (6) sikap para pelaksana kebijakan berpengaruh signifikan terhadap kinerja kebijakan; dan (7) kondisi sosial, ekonomi dan politik berpengaruh signifikan terhadap sikap para pelaksana kebijakan. Adapun korelasi atau

463Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

pengaruh antar variabel yang tidak signifikan yaitu: (1) pengaruh sumber daya terhadap sikap para pelaksana kebijakan; (2) pengaruh sumber daya terhadap linkungan sosial, ekonomi dan politik; dan (3) pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja kebijakan.

Standar dan Sasaran KebijakanVariabel pertama yaitu standar dan sasaran kebijakan yang terdiri

dari dua indikator, yaitu: (1) kejelasan dan kelengkapan kebijakan; dan (2) kejelasan kriteria keberhasilan kebijakan. Variabel standar dan sasaran kebijakan rata-ratanya mencapai 3,27 atau berada dalam kategori baik. Indikator yang paling tinggi yaitu kejelasan dan kelengkapa kebijakan dengan rata-rata 3,35 (kategori baik). Indikator yang paling rendah yaitu kejelasan kriteria keberhasilan kebijakan dengan rata-rata 3,19 (kategori baik). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,08 (sangat kecil), artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel standar dan sasaran kebijakan. Varibel standar dan sasaran kebijakan dipersepsi paling positif oleh responden di Jakarta Selatan dengan rata-rata 3,47 (kategori sangat baik). Adapun persepsi yang paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Barat dengan rata-rata 3,22 (kategori baik). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan sasaran persepsi responden tentang standar dan sasaran kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 0,646 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,958. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,958 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi responden tentang standar dan sasaran kebijakan dari Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan.

Sumber Daya Kebijakan

Variabel kedua yaitu sumber daya yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: (1) kecukupan biaya pelaksanaan; (2) insentif pelaksanaan kebijakan; dan (3) fasilitasi implementasi kebijakan. Variabel sumber daya rata-ratanya baru mencapai 2,12 atau berada dalam kategori kurang baik. Indikator yang paling tinggi yaitu fasilitasi implementasi kebijakan dengan rata-rata 2,26 (kategori cukup). Indikator yang paling rendah yaitu insentif pelaksanaan kebijakan dengan rata-rata 1,90 (kategori kurang). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,06 (sangat kecil), artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel sumber daya. Varibel sumberdaya dipersepsi paling positif oleh responden di Jakarta Timur dengan rata-rata 2,30 (kategori baik). Adapun persepsi yang

464 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Barat dengan rata-rata 1,78 (kurang). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan persepsi responden tentang sumber daya kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 9,413 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,052. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,052 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi responden yang signifikan tentang sumber daya kebijakan dalam implementasi Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Karakteristik Organisasi Pelaksana

Variabel ketiga yaitu karakteristik organisasi pelaksana kebijakan yang terdiri dari empat indikator, yaitu: (1) kompetensi implementasi kebijakan; (2) kirarki pengawasan; (3) jejaring dengan lembaga terkait; dan (4) tingkat keterbukaan organisasi. Variabel karakteristik organisasi pelaksana kebijakan rata-ratanya mencapai 2,74 atau berada dalam kategori cukup baik. Indikator yang paling tinggi yaitu kompetensi implementasi kebijakan dengan rata-rata 3,22 (kategori baik). Indikator yang paling rendah yaitu jejaring dengan lembaga terkait dengan rata-rata 1,96 (kategori kurang baik). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,13 (sangat kecil), artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel karakteristik organisasi pelaksana. Varibel karakteristik organisasi pelaksana yang paling tinggi ditunjukan oleh responden di Jakarta Utara dengan rata-rata 2,91 (kategori baik). Adapun paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Selatan dengan rata-rata 2,36 (kategori cukup). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan persepsi responden tentang karakteristik organisasi pelaksana kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 16,628 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,002. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,002 lebih kecil dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan persepsi responden yang signifikan tentang karakteristik organisasi pelaksana kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana dan Kegiatan Pelaksanaan

Variabel keempat yaitu komunikasi antar oganisasi pelaksana dan kegiatan pelaksanaan kebijakan yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: (1) pemahaman tentang kebijakan; (2) monitoring pelaksanaan kebijakan; dan (3) sistem pelaporan. Variabel komunikasi antar organisasi pelaksana dan

465Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kegiatan pelaksanaan kebijakan rata-ratanya mencapai 3,03 atau berada dalam kategori baik. Indikator yang paling tinggi yaitu pemahaman tentang kebijakan dengan rata-rata 3,26 (kategori baik). Indikator yang paling rendah yaitu sistem pelaporan dengan rata-rata 2,88 (kategori baik). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,23 (kecil) artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel komunikasi antar organisasi pelaksana dan kegiatan pelaksanaan kebijakan. Varibel komunikasi antar organisasi pelaksana dan pelaksanaan kebijakan paling tinggi ditunjukan oleh responden di Jakarta Utara dengan rata-rata 3,08 (kategori baik). Adapun yang paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Selatan dengan rata-rata 2,73 (kategori cukup). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan persepsi responden tentang komunikasi antar organisasi pelaksana dan pelaksanaan kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 7,821 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,098. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,098 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi responden yang signifikan tentang komunikasi antar organisasi pelaksana dan pelaksanaan kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Sikap Para Pelaksana

Variabel kelima yaitu sikap para pelaksanan kebijakan yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: (1) respon terhadap kebijakan; (2) intensitas respon; dan (3) kepatuhan terhadap kebijakan. Variabel sikap para pelaksana kebijakan rata-ratanya mencapai 2,88 atau berada dalam kategori baik. Indikator yang paling tinggi yaitu kepatuhan terhadap kebijakan dengan rata-rata 3,62 (kategori sangat baik). Indikator yang paling rendah yaitu intensitas respon dengan rata-rata 1,42 (kategori sangat kurang). Tidak terdapa perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru, artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel sikap para pelaksana kebijakan. Varibel sikap para pelaksana kebijakan paling tinggi ditunjukan oleh responden di Jakarta Selatan dengan rata-rata 3,35 (kategori baik). Adapun yang paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Pusat dengan rata-rata 3,05 (kategori baik). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan persepsi responden tentang sikap para pelaksana kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 10,629 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,031. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,031 lebih kecil dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa

466 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

terdapat perbedaan persepsi responden yang signifikan tentang sikap para pelaksana kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Variabel keenam yaitu lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang terdiri dari empat indikator, yaitu: (1) dukungan orang tua dalam implementasi kebijakan; (2) kondisi ekonomi orang tua; (3) dukungan otoritas pendidikan; dan (4) dukungan LSM. Variabel lingkungan sosial, ekonomi dan politik rata-ratanya mencapai 3,18 atau berada dalam kategori baik. Indikator yang paling tinggi yaitu dukungan orang tua dalam implementasi kebijakan dengan rata-rata 3,66 (kategori sangat baik). Indikator yang paling rendah yaitu kondisi ekonomi orang tua dengan rata-rata 2,51 (kategori cukup). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,18 (sangat kecil), artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel lingkungan sosial, ekonomi dan politik. Ilustrasi perbandingan antarwilayah tentang variabel lingkungan sosial, ekonomi dan politik ditunjukkan dalam grafik di bawah ini. Varibel lingkungan sosial, ekonomi dan politik dipersepsi paling positif oleh responden di Jakarta Selatan dengan rata-rata 3,01 (kategori baik). Adapun persepsi yang paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Pusat dengan rata-rata 2,82 (kategori baik). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan persepsi responden tentang lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi implementasi kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 4,722 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,317. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,317 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi responden yang signifikan tentang persepsi lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi implementasi kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

Kinerja Kebijakan

Variabel ketujuh yaitu kinerja kebijakan yang terdiri dari enam indikator, yaitu: (1) jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa; (2) jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap guru; (3) jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa; (4) jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan terhadap siswa; (5) kegiatan pencegahan; dan (6) kegiatan penanggulangan. Variabel kinerja kebijakan rata-ratanya mencapai 3,68 atau berada dalam kategori sangat baik.

467Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Indikator yang paling tinggi yaitu jumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan terhadap siswa dengan rata-rata 3,99 (kategori sangat baik). Indikator yang paling rendah yaitu kegiatan pencegahan dengan rata-rata 3,13 (kategori baik). Perbedaan rata-rata antara jawaban kepala sekolah dengan jawaban guru yaitu 0,13 (sangat kecil), artinya di antara kepala sekolah dengan guru memiliki kesamaan penilaian tentang variabel kinerja kebijakan. Varibel kinerja kebijakan paling tinggi ditunjukan oleh responden di Jakarta Utara dengan rata-rata 3,64 (kategori sangat baik). Adapun yang paling rendah ditunjukkan oleh responden di wilayah Jakarta Selatan dengan rata-rata 3,52 (kategori sangat baik). Berdasarkan hasil uji statistika untuk menguji perbedaan kinerja kebijakan antar wilayah di DKI Jakarta menggunakan Uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai koefisien sebesar 5,963 dengan nilai Asymp. Sig sebesar 0,202. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa nilai Asymp. Sig sebesar 0,202 lebih besar dari 0,05 (nilai α) maka dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan implementasi kebijakan yang signifikan tentang implementasi kebijakan Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Pada Satuan Pendidikan antara kelima wilayah di DKI Jakarta.

2. Pembahasan

Standar dan sasaran kebijakan

Kejelasan kriteria keberhasilan kebijakan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Diketahui bahwa rerata skor total kejelasan kriteria keberhasilan kebijakan relatif lebih rendah dibandingkan indikator kejelasan dan kelengkapan kebijakan. Hasil tersebut juga terkonfirmasi dengan adanya pengukuran pendapat guru dan kepala sekolah tentang Permendikbud No. 82 Tahun 2015. Aspek kelengkapan isi relatif paling tinggi dibandingkan aspek lainnya. Sedangkan kejelasan kriteria keberhasilan pelaksanaan menjadi aspek yang memiliki skor rerata relatif paling rendah dibandingkan aspek lainnya. Tidak hanya itu, hasil studi kualitatif juga menunjukan terdapat kelompok kepala sekolah yang menilai peraturan tersebut belum memadai. Alasan yang menunjang argument tersebut adalah bahwa belum adanya perlindungan terhadap guru ketika mendapatkan tindak kekerasan. Serta, masih minimnya sosialisasi oleh pembuat kebijakan di satuan Pendidikan.

Perlindungan terhadap guru dalam konteks pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah menjadi sorotan dalam studi ini. Temuan dalam studi mendukung studi sebelumnya yang menunjukan peraturan yang berlaku saat ini di satuan pendidikan relatif tidak cukup memberi perlindungan hukum bagi guru termasuk saat melakukan tugas (Saihu & Taufik, 2019). Untuk itu, perlu pembuktian hukum yang lebih jelas. Pembuktian hukum yang lebih jelas

468 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sebenarnya bisa diakomodasi melalui peraturan serupa yang berlaku di tingkat daerah. Studi oleh Yenny dan Setiawati (2019) menjelaskan bahwa kekosongan secara substantif pada hadirnya Pemerintah Pusat dalam memberikan perlindungan hukum kepada guru dapat diakomodasi oleh Pemerintah Daerah. Misalnya saja Pemerintah Daerah dapat membentuk Unit Pelayanan Hukum dan Perlindungan Guru (UPHPG). Unit tersebut dapat dijadikan sebagai wadah yang memberikan perlindungan guru secara berkeadilan dalam pelaksanaan fungsi dan tugas di satuan pendidikan.

Perlindungan terhadap guru juga sudah seharusnya diterima oleh semua guru di satuan pendidikan, baik negeri dan swasta. Hal ini penting mengingat seluruh responden dalam studi ini adalah guru yang berasal dari sekolah negeri. Padahal hak untuk memperoleh perlindungan sudah seharusnya tidak terbatas pada jenis sekolah saja. Salah satu kebijakan guru yang dapat direfleksikan sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap guru yakni tertuang dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017. Dalam peraturan tersebut, guru swasta menilai diri mereka belum cukup diakomodasi. Hal ini didukung dengan adanya sosialisasi kebijakan dan petunjuk pelaksanaan yang minim dari pembuat kebijakan. Oleh karena itu, elemen perlindungan guru perlu ditinjau ulang dalam aspek kejelasan kriteria keberhasilan kebijakan ini.

Sumber Daya

Berdasarkan analisis deskriptif terhadap variabel sumber daya, indikator fasilitasi implementasi kebijakan dalam studi ini dinilai relatif cukup. Salah satunya dapat direpresentasikan bahwa guru atau kepala sekolah telah cukup ikut serta dalam kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh pembuat kebijakan. Sejalan dengan hal tersebut, hasil analisis kualitatif menunjukan bahwa terdapat dua kelompok respon yang menarik untuk dibahas terkait fasilitasi implementasi kebijakan. Kelompok pertama yakni kepala sekolah yang menilai peraturan telah disosialisasikan dengan baik melalui pengarahan dari suku dinas. Selanjutnya, para kepala sekolah dengan tanggap telah meneruskannya ke guru-guru dan warga sekolah. Di sisi lain, mereka menyatakan bahwa pembuat kebijakan seharusnya dapat menyediakan ruang khusus konsultasi di satuan pendidikan. Hal ini dinilai cukup efektif untuk meminimalisir ketimpangan informasi antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan yakni sekolah.

Hasil analisis distribusi frekuensi respon guru pada variabel sumber daya menunjukan bahwa aspek keterlibatan dalam kegiatan sosialisasi memiliki skor rerata yang relatif paling rendah. Sedangkan aspek jumlah anggaran sekolah dalam kegiatan pencegahan tindak kekerasan yang memiliki skor rerata paling tinggi. Fenomena ini menyadarkan bahwa anggaran yang telah dikeluarkan oleh pembuat kebijakan tidak selalu berjalan seiringan dengan penyerapan anggaran itu sendiri. Padahal, pada analisis kualitatif menunjukan bahwa guru

469Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan kepala sekolah menyadari adanya insentif implementasi kebijakan ini telah terintegrasi dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun di sisi lain, sebagian guru dan kepala sekolah tidak mengetahui dengan jelas kewenangan pembagian anggaran khususnya dari otoritas pendidikan diatasnya.

Sumber daya finansial dalam implementasi kebijakan memang dinilai penting setidaknya oleh studi-studi ilmiah sebelumnya. Dalam konteks kebijakan pendidikan, diketahui bahwa sumber daya finansial yang diambil dari dana BOS merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung implementasi Program Sekolah Ramah Anak (Mahsun & Suwandi, 2019). Dalam konteks kebijakan di sektor publik, kejelasan sasaran anggaran dapat berkontribusi positif dan signifikan pada kualitas akuntabilitas kinerja suatu instansi (Amalia, 2017; Dewiyanti, 2017). Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa adanya sumber daya finansial sebagai elemen penting implementasi kebijakan juga harus terus diawasi penggunaannya. Hal ini penting agar perencanaan anggaran dapat dilaksanakan dengan baik dalam implementasi kebijakan. Bahkan, pelaksanaan kebijakan yang baik juga akan berkontribusi pada efektifitas program yang dibuat (Fahri, 2017).

Karakteristik Organisasi Pelaksana

Skor rerata total tertinggi ditempati oleh indikator kompetensi implementasi kebijakan. Tingginya skor indikator kompetensi kebijakan juga didukung dengan adanya pernyataan dari kepala sekolah. Kepala sekolah yang dirinya cukup mampu melaksanakan Permendikbud 82 Tahun 2015 mengemukakan bahwa mereka telah memiliki sistem pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah. Hal ini secara logis tentunya mendukung praktik implementasi dan meningkatkan kepercayaan diri pihak sekolah dalam menerapkan kebijakan tersebut.

Indikator jejaring dengan lembaga terkait menjadi hal yang perlu diperhatikan. Pasalnya skor indikator ini menempati posisi relatif paling rendah dalam variabel karakteristik organisasi pelaksana. Dalam frekuensi respon menunjukan bahwa guru dan kepala sekolah memiliki kesulitan dalam melakukan kerjasama dengan KPAI Pusat atau KPAI Daerah. Menanggapi fenomena ini, sekolah memang tidak bisa bergerak sendiri dalam mengentaskan masalah tindak kekerasan. Pendekatan joint visioning dapat dilakukan sebagai alternatif solusi atas masalah ini (Muliani, 2017). Joint visioning merupakan perumusan visi bersama dengan mitra tentang apa tugas jaringan implementasi dan bagaimana jaringan itu berfungsi.

470 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Komunikasi Antar Organisasi Pelaksana dan Kegiatan Pelaksanaan

Sebuah organisasi pelaksana dalam implementasi kebijakan sudah seharusnya mampu mengkomunikasikan kegiatan pelaksanannya. Namun, studi ini menunjukan bahwa pihak sekolah terlihat tampak belum siap dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah. Hal ini diketahui dari hasil analisis deskriptif yang menunjukan bahwa indikator pemahaman tentang kebijakan memiliki skor rerata total tertinggi. Di sisi lain, indikator sistem pelaporan menjadi indikator yang memiliki skor rerata total terendah. Artinya, pihak sekolah hanya sebatas memahami apa yang diinstruksikan, tetapi tidak dapat mengejawantahkannya dengan baik. Studi sebelumnya menunjukan bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan dapat dilakukan dengan beragam cara. Sebagai bentuk deteksi dini, layanan pengaduan korban kekerasan perlu disosialisasikan (Amalia, 2016). Upaya-upaya serupa seperti penyediaan rumah aman, call center, dan sejenisnya mungkin dapat menjadi strategi komunikasi khususnya dalam pelaporan tindak kekerasan di sekolah.

Strategi komunikasi menjadi kunci penting dalam sebuah implementasi kebijakan. Komunikasi dan informasi perlu dibangun atas beberapa fondasi atau indikator seperti koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (Syarif & Unde, 2014). Ketiga indikator tersebut harus selalu dipegang oleh pelaksana kebijakan bahkan perlu rutin dilakukan dalam rangka menyosialisasikan kebijakn yang sedang dan akan diimplementasikan (Pertiwi & Yuniningsih, 2016). Hal ini perlu disadari proses penyampaian informasi dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan tidak selalu berjalan lancar. Seiring dengan ini, hasil kualitatif studi ini juga menjelaskan bahwa kepala sekolah seringkali memperoleh kendala teknis dalam implementasi kebijakan.

Sikap Para Pelaksana

Indikator respon terhadap kebijakan berjalan seiringan dengan kepatuhan kebijakan. Hal ini ditujukan dengan skor rerata total kedua indikator yang hampir sama tingginya. Hal ini sejalan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa persepsi pelaksana kebijakan berkorelasi positif dengan berjalannya implementasi kebijakan di lapangan (Suranto, 2018). Dengan kata lain, semakin positif persepsi yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, maka terdapat potensi implementasi kebijakan di lapangan yang cenderung positif.

Kepatuhan dan respon dari pelaksana kebijakan memang turut menentukan keberlanjutan implementasi kebijakan. Studi terbaru bahkan menyebutkan respon dan tingkat kepatuhan pelaksana menjadi indikator penting implementasi kebijakan (Qamaran, 2019; Wahyuningsih, 2017). Hal tersebut patut diperhatikan karena memiliki konsekuensi logis pada operasionalisasi

471Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kebijakan di lapangan. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan dapat memerhatikan faktor-faktor lain yang berkorelasi dengan upaya peningkatan respon dan kepatuhan pelaksana kebijakan.

Hasil analisis kuantitatif pada variabel sikap pelaksana menunjukan bahwa indikator respon justru memiliki skor rerata total yang relatif jauh lebih rendah. Indikator respon tersebut direpresentasikan dengan adanya penyampaian keberatan atau ketidaksetujuan tentang isi Permendikbud No. 82 Tahun 2015 dalam berbagai forum/ media komunikasi. Meskipun hal ini belum didukung oleh temuan yang empiris, peneliti menduga bahwa terdapat faktor kekhawatiran pelaksana di satuan pendidikan terutama terkait citra sekolah. Artinya, para pembuat kebijakan perlu lebih sensitif dan terbuka atas kritik yang hadir dalam proses implementasi kebijakan ini.

Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Politik

Dukungan orangtua dalam implementasi kebijakan tindak kekerasan di sekolah mengalami kondisi yang dilematis. Hasil analisis kuantitatif menunjukan bahwa satu sisi dukungan orangtua menjadi indikator yang memiliki skor tertinggi. Namun, ekonomi orangtua juga menjadi indikator yang memiliki skor terendah. Temuan tersebut dapat menjelaskan bahwa hanya dukungan orangtua yang memiliki kondisi ekonomi stabil saja yang kemungkinan dapat mendorong penurunan tindak kekerasan di sekolah. Di lain sisi, sekolah juga tidak dapat memberikan intervensi yang bersifat strategis dalam peningkatan kondisi ekonomi orangtua siswa.

Dalam realitasnya, faktor dukungan orangtua siswa memang tidak bisa dilepaskan dari upaya pencegahan tindak kekerasan di sekolah. Studi sebelumnya menyatakan bahwa pola asuh yang permisif merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong munculnya perilaku agresif anak di sekolah (Meliyawati, 2017). Perilaku tersebut kemudian akan diejawantahkan anak dalam tindak kekerasan di sekolah. Selain itu, anak yang tumbuh sebagai korban kekerasan juga akan berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan di kemudian hari (Hasanah & Raharjo, 2016). Oleh karena itu, penting melibatkan orangtua, sekolah dan masyarakat untuk meredakan trauma anak sekaligus mencegah munculnya potensi tindak kekerasan di kemudian hari.

Untuk dapat mencegah tindak kekerasan di sekolah, kolaborasi antara orangtua dan sekolah juga harus digalakkan. Pasalnya, kepribadian anak di sekolah juga tidak lepas dari peran keluarga yang mendidiknya. Dengan kata lain, peran orangtua atau keluarga turut berkontribusi dalam pencegahan tindak kekerasan di sekolah. Studi oleh Rahmawati (2018) menunjukan bahwa penting bagi sekolah memperhatikan faktor kepribadian siswa dalam kasus kekerasan. Kepribadian constiousness merupakan tipe kepribadian dimana

472 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

anak mau bersifat terbuka terhadap apa yang ia rasakan dan alami. Kepribadian ini turut dibentuk melalui pendidikan keluarga di rumah. Anak yang tumbuh dari orangtua yang terbuka, akan juga memunculkan kepribadian tipe ini. Oleh karena itu, penting sekolah melibatkan peran orangtua dalam menyuburkan kepribadian tipe ini pada anak.

Kinerja Kebijakan

Secara bersamaan, skor rerata total 3 indikator yakni jumlah tindak kekerasan oleh siswa terhadap guru, oleh guru terhadap siswa dan oleh tenaga kependidikan terhadap siswa berada di posisi paling tinggi. Fakta ini berbanding terbalik dengan indikator kegiatan pencegahan yang memiliki skor rerata total terendah. Untuk itu penelusuran pada aspek-aspek yang membangun indikator kegiatan pencegahan perlu dilakukan. Dalam respon guru diketahui bahwa pelaksanaan SOP pencegahan tindak kekerasan di sekolah terhadap masyarakat menjadi aspek yang paling rendah. Temuan itu juga didukung oleh respon siswa yang menyatakan bahwa sekolah kurang menjalin kerja sama dengan lembaga lain misalnya organisasi keagamaan, psikologi, dan pakar pendidikan dalam rangka pencegahan.

Kolaborasi dan Kerjasama merupakan kunci yang juga penting dalam implementasi kebijakan. Hal ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menunjukan bahwa penting untuk melibatkan lembaga lain di luar sekolah dalam pencegahan tindak kekerasan di sekolah. (Noer, 2019). Temuannya mengungkapkan lembaga lain seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan dan Anak serta Dinas Pendidikan dapat membantu sekolah dalam upaya pencegahan. Beberapa aktivitas yang dapat diupayakan yakni sosialisasi, pembentukan forum anak, rekrutmen guru dan kepala sekolah serta kolaborasi dalam penyusunan hidden curriculum penanganan kekerasan di sekolah.

Studi lain juga menyebutkan bahwa keterlibatan pihak lain diluar sekolah penting dalam upaya pencegahan tindak kekerasan di sekolah. Pihak lain yang dimaksud dapat direpresentasikan sebagai praktisi di bidang pencegahan tindak kekerasan, psikologi dan sebagainya (Sujadmi, Febriani & Herdiyanti, 2018). Mereka dapat dilibatkan dalam aktivitas-aktivitas pencegahan seperti menjadi keynote speaker dalam seminar dan pelatihan. Selain itu, studi oleh Wijaya (2019) menyebutkan bahwa terdapat peran lembaga hukum seperti kejaksaaan dalam upaya tindak kekerasan di sekolah. Kejaksaaan dapat memberikan intervensi dalam bentuk sosialisasi pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya mentataati hukum. Tujuan dari aktivitas ini yakni agar siswa dapat terhindari dari jerat pidana hukum dan kejahatan hukum.

473Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. KESIMPULAN

Studi ini pada akhirnya menghasilkan beberapa fakta dan fenomena baru terkait implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Kinerja kebijakan merupakan variabel yang memiliki skor implementasi relatif paling tinggi di semua wilayah. Sebaliknya, sumber daya menjadi variabel yang memiliki skor implementasi relatif paling rendah di semua wilayah. Adapun variabel lainnya memiliki skor implementasi yang relatif fluktuatif di beberapa wilayah.

Permasalahan dalam implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta perlu menjadi catatan. Pertama, perlindungan guru dalam kriteria kejelasan keberhasilan kebijakan. Kedua, anggaran yang telah dikeluarkan oleh pembuat kebijakan tidak selalu berjalan seiringan dengan penyerapan anggaran. Ketiga, pihak sekolah minim upaya dalam membuat jejaring dengan lembaga terkait pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan. Keempat, sekolah masih belum siap dalam menyediakan sistem pelaporan terkait tindak kekerasan di sekolah. Kelima, sekolah masih enggan menyampaikan keberatan atau ketidaksetujuan tentang isi Permendikbud No. 82 Tahun 2015 dalam berbagai forum/ media komunikasi. Keenam, kondisi ekonomi orangtua menjadi faktor yang sulit diintervensi oleh pihak sekolah dalam upaya pencegahan tindak kekerasan di sekolah. Terakhir, sekolah belum siap dalam melibatkan masyarakat sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, S. (2020). Analisis Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak. Jurnal Wacana Kinerja: Kajian Praktis-Akademis Kinerja dan Administrasi Pelayanan Publik, 19(1), 1-24.

Amalia, S. H. (2017). Pengaruh kejelasan sasaran anggaran, pengendalian akuntansi, dan sistem pelaporan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Studi kasus pada OPD Pendidikan dan Kebudayaan, OPD Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Sekretariat DPRD) (Doctoral dissertation, POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA).

474 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Andini, T., Sulistyowati, T., Alifatin, A., Sudibyo, R., Suharso, W., Savitri Hidayati, D., Kurniawati, D., Hayatin, N., Rahadjeng, E., & Ekowati, D. (2019). Identifikasi Kejadian Kekerasan pada Anak di Kota Malang Identification of Violence in Children in Malang City. Jurnal Perempuan Dan Anak (JPA), 2(1), 13–28.

Astarini, K. (2013). Hubungan Perilaku Over Protective Orang Tua dan Bullying Pada Siswa Sekolah Dasar. Educational Psychology Journal, 2(1), 30–34. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/epj

Dewiyanti, S. (2018). Pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja, kejelasan sasaran anggaran dan audit intern terhadap kualitas laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip) skpd di Pemerintah Kabupaten Batanghari. Jurnal Akuntansi & Keuangan Unja, 2(1), 47-58.

Fahri, L. N. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Dana Desa terhadap Manajemen Keuangan Desa dalam Meningkatkan Efektivitas Program Pembangunan Desa. Jurnal Publik: Jurnal Ilmiah Bidang Ilmu Administrasi Negara, 11(1), 75-88.

Fitriana, Y., Pratiwi, K., & Sutanto, A. V. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Orang Tua Dalam Melakukan Kekerasan Verbal Terhadap Anak Usia Pra-Sekolah. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81–93. https://doi.org/10.14710/jpu.14.1.81-93

Hasanah, U., & Raharjo, S. T. (2016). Penanganan kekerasan anak berbasis masyarakat. Share: Social Work Journal, 6(1).

Irani, L. C., Handarini, D. M., & Fauzan, L. (2018). Pengembangan Panduan Pelatihan Keterampilan Mengelola Emosi sebagai Upaya Preventif Perilaku Bullying Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Kajian Bimbingan Dan Konseling, 3(1), 22–32. https://doi.org/10.17977/um001v3i12018p022

Kurniasari, A., Widodo, N., Yusuf, H., Susantyo, B., Wismayanti, Y. F., & Irmayani, N. R. (2018). Prevalensi Kekerasan Terhadap Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Di Indonesia. Sosio Konsepsia, 6(3), 287–300.

Mahsun, A. & Suwandi. (2019). Implementasi sekolah ramah anak (sra) dalam mencegah tindak kekerasan terhadap anak (Studi Kasus di MIN 3 Jombang). Al Ta’dib: Jurnal Ilmu Pendidikan, 8(2), 32-44.

Masitah, & Minauli, I. (2008). Hubungan Kontrol Diri Dan Iklim Sekolah Dengan Perilaku Bullying. 1(2), 69–77.

Meliyawati, M. (2017). Peran Keluarga Sekolah Dan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak di Desa Astanajapura Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Empower: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 1(1).

475Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Milles, M. B., & Huberman, M. A. (2014). Qualitative Data Analysis. A Methods Sourcebook. SAGE Publications.

Muliani, S. (2017). Join Visioning Dalam Implementasi Kebijakan. PROSIDING KONFERENSI NASIONAL KE-6.

Noer, K. U. (2019). Mencegah Tindak Kekerasan pada Anak di Lembaga Pendidikan. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 14(1), 47-66.

Pertiwi, Y. M., & Yuniningsih, T. (2016). Pentingnya Faktor Komunikasi Dalam Program Kartu Jakarta Pintar (Kjp) Pada Sekolah Dasar (Sd) Negeri Di Kota Administrasi Jakara Timur. GEMA PUBLICA: Jurnal Manajemen dan Kebijakan Publik, 2(1), 28-33.

Rahmawati, S. W. (2018). Peran conscientiousness personality trait dan iklim sekolah dalam pencegahan perundungan. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 5(2), 138-156.

Saihu, S., & Taufik, T. (2019). Perlindungan hukum bagi guru. Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 2(2), 105-116.

Sari, Y. P., & Azwar, W. (2018). Fenomena Bullying Siswa: Studi Tentang Motif Perilaku Bullying Siswa di SMP Negeri 01 Painan, Sumatera Barat. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 10(2), 333–367. https://doi.org/10.24042/ijpmi.v10i2.2366

Satalina, D. (2014). Kecenderungan Perilaku Cyberbullying Ditinjau Dari Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 02(2), 294–310. https://doi.org/10.4324/9781315853178

Septiyuni, D. A., Budimansyah, D., & Wilodati, W. (2015). Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah. Jurnal Sosietas, 5(1). https://doi.org/10.17509/sosietas.v5i1.1512

Simbolon, M. (2012). Perilaku Bullying pada Mahasiswa Berasrama. Worlds of Difference: Inequality in the Aging Experience, 39(2), 303–305. https://doi.org/10.4135/9781483328539.n43

Soedjatmiko, S., Nurhamzah, W., Maureen, A., & Wiguna, T. (2013). Gambaran Bullying dan Hubungannya dengan Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Sekolah Dasar. Sari Pediatri, 15(3), 174. https://doi.org/10.14238/sp15.3.2013.174-80

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta.

Sujadmi, S., Febriani, L., & Herdiyanti, H. (2018). Upaya Pencegahan Sexual Violence Pada Remaja Sekolah di Merawang Kabupaten Bangka. Society, 6(2), 51-57.

476 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Suranto, D. A. M. J. (2018). Implementasi kebijakan operasional peningkatan partisipasi pria dalam program keluarga berencana di Kelurahan Gilingan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. JI@ P, 5(1).

Syarif, A., & Unde, A. A. (2016). Pentingnya Komunikasi dan Informasi pada Implementasi Kebijakan Penyelenggaran Penanggulangan Bencana di Kota Makassar. KAREBA: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(3), 142-152.

Tanjung, F. M. (2019). Implementasi kebijakan perlindungan guru swasta di Kota Medan (Studi kasus SMP Brigjen Katamso II Medan) (Doctoral dissertation, UNIMED).

Trisnani, R. P., & Wardani, S. Y. (2016). Perilaku Bullying Di Sekolah. Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 1(1), 82–91.

Tumon, M. B. A. (2017). Studi Deskriptif Perilaku Bullying pada Remaja. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1), 1–17. http://www.journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1520

Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework. Administration and Society, 6(4), 445–488. https://doi.org/10.1177/009539977500600404

Wahyuningsih, E. (2017). Implementasi Sistem E-filling dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung Selatan). Citizen Charter, 2(2), 165166.

Wardani, L. K., & Fajriansyah, F. (2017). Perilaku Bullying Mahasiswa Kesehatan. Journal Of Nursing Practice, 1(1), 17–23. https://doi.org/10.30994/jnp.v1i1.18

Wijaya, S. H. (2019). Strategi komunikasi penerangan hukum (penkum) humas kejaksaan tinggi jawa tengah sebagai upaya pencegahan tindak kejahatan pada siswa sekolah (Doctoral dissertation, Universitas Islam Sultan Agung).

Yenny, A. S., & Setiawati, R. (2019). Unit pelayanan hukum dan perlindungan guru (uphpg) sebagai wadah memberikan perlindungan guru yang berkeadilan. In Prosiding Seminar Hukum dan Publikasi Nasional (Serumpun) (Vol. 1, No. 1, pp. 109-125).

Zakiyah, E. Z., Humaedi, S., & Santoso, M. B. (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 324–330. https://doi.org/10.24198/jppm.v4i2.14352

477Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

EVALUASI IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

THE EVALUTION OF THE IMPLEMENTATION OF THE CURRICULUM 2013

Tatang Subagyo1, Ariantoni2, Vera Ginting3 Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Badan Penelitian dan Pengembangan, dan PerbukuanKementerian Pendidikan dan Kebudayaan

[email protected] ,[email protected]@yahoo.co.id

Eko Purnomo4

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah DasarSTKIP Kusumanegara Jakarta [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi implementasi Kurikulum 2013 pada Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi berbasis goal atau tujuan. Subjek penelitian melibatkan guru SD sebanyak 93 orang, guru SMP sebanyak 79 orang, dan guru SMA sebanyak 86 orang, dari tiga provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Penelitian evaluasi berbasis tujuan dilakukan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi implementasi Kurikulum 2013 pada SD, SMP, dan SMA. Ada tiga komponen yang diukur, yaitu perencanaan, proses pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data pada satuan pendidikan SD untuk aspek perencanaan, proses pembelajaran, dan penilaian pembelajaran adalah Efektif sampai dengan Sangat Efektif karena masuk pada rentang 88% -- 100%. Pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama untuk aspek perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian pembelajaran adalah Cukup Efektif sampai dengan Sangat Efektif karena masuk pada rentang 64% -- 100%. Pada satuan Sekolah Menengah Atas untuk aspek perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian pembelajaran adalah Cukup Efektif sampai dengan sangat Efektif karena masuk pada rentang 78 % -- 100%.Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi K-13 pada SD, SMP, dan SMA terlaksana Cukup Efektif dan Efisien sampai dengan Sangat Efektif dan Efisien. Disarankan, masih diperlukan peningkatan kompetensi guru dalam mengembangkan perangkat pembelajaran khususnya perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan alat evaluasi.

Kata kunci: efektivitas, efisiensi, evaluasi kurikulum

478 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ABSTRAK

Curriculum 2013 has been implemented for 7 years. In implementing the curriculum, many aspects and materials, human resources, and steps are provided. This actual research is conducted to know the effectiveness and efficiency of the implementation of the Curriculum 2013 at Primary Schools (SD), Junior High School (SMP), and Senior High School (SMA) related to planning aspect, process, and learning evaluation. The research methode uses a goal based evaluation. The respondents are teachers. The results show that 1) the implementation of the Curriculum 2013 in primary school is effective until very effective, 2) the implementation of the Curriculum 2013 in junior high school is quite effective until very effective, and 3) the implementation of Curriculum 2013 in senior high school is effective until very effective. This research concludes that the implementation of the Curriculum 2013 is quite effective until very effective in SD, SMP, and SMA related to planning aspect, process, and learning.

Keywords: curriculum implementation, effectiveness, goal based evaluation, planning aspect, learning evaluation

A. PENDAHULUANPertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat.

Temuan-temuan terutama pada perangkat lunak teknologi informasi berdampak pada revitalisasi pembelajaran di ruang-ruang kelas. Setiap negara melakukan revitalisasi tujuan pendidikan pada setiap jenjang dan sekolah. Revitalisasi bertujuan agar lulusan dapat berkompetisi di dalam dunia kerja untuk kurun 20 sampai 30 tahun mendatang. Profil kompetensi lulusan pun disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pembelajaran tidak hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, sikap, dan keterampilan yang memadai. Profil lulusan sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah perlu dibenahi sehingga menjadi manusia yang dapat bersaing di eranya.

Demikian juga pendidikan di Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejak tahun 2012 telah melakukan berbagai kajian untuk perubahan kurikulum yang sedang berjalan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pemerintah melalui Kemdikbud berupaya dan berusaha kurikulum yang diberlakukan saat ini dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan zaman. Pada tahun 2045 Indonesia akan memiliki keuntungan demografi, yaitu usia produktif menduduki populasi lebih banyak dibanding usia dini dan usia tua. Masyarakat Indonesia pada tahun 2045 yang berusia 25 sampai 40 tahun diperkirakan sebanyak 60%. Ini berarti anak-anak tersebut sekarang baru berusia 5 sampai 10 tahun. Keuntungan demografi dapat

479Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menjadi faktor penunjang pembangunan, tetapi juga dapat menjadi faktor penghambat jika tidak ditangani secara serius mulai saat ini.

Program implementasi Kurikulum 2013 sampai sekarang telah berjalan kurang lebih tiga belas tahun. Implementasi K-13 pertama kali dilakukan pada kelas I, IV Sekolah Dasar, kelas VII Sekolah Menengah Pertama, dan kelas X Sekolah Menengah Atas. Pada tahun kedua kelas II, V Sekolah Dasar, kelas VIII Sekolah Menengah Pertama, dan kelas XI Sekolah Menengah Atas. Pada tahun ketiga kelas III, VI Sekolah Dasar, kelas IX Sekolah Menengah Pertama, dan kelas XII Sekolah Menengah Atas.

Implementasi K-13 dilaksanakan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar dapat bersaing sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Implementasi kurikulum tidak hanya berupa Kompetensi Dasar, tetapi juga dilengkapi dengan sistem pembelajaran. Implementasi kurikulum mulai menggunakan pendekatan pembelajaran yang disebut dengan pendekatan saintifik. Ada lima langkah pendekatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Langkah pendekatan pembelajaran ini dapat dilakukan tidak harus berurutan, tetapi yang lebih penting adalah melatih siswa untuk berpikir ilmiah, logis, sistematis, dan sistemik.

Perubahan pendekatan pembelajaran saintifik ini mengharuskan guru meningkatkan kemampuan dalam metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik disampaikan melalui model pembelajaran berbasis masalah, pemecahan masalah, serta kontekstual. Perubahan mendasar menggunakan pendekatan saintifik ini bertujuan agar siswa Indonesia sejak usia dini mampu berpikir secara ilmiah. Siswa tidak lagi menjadi objek pembelajaran, tetapi subjek atau pelaku pembelajaran. Jika dulu pengetahuan diberikan dominan oleh guru, pada K-13 memberi ruang kepada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan seoptimal mungkin dan menyimpulkannya. Pengetahuan dikonstruksi oleh anak melalui aktivitas mengamati, mengelaborasi, mengkreasi, serta mengomunikasikan kepada orang lain. Kurikulum 2013 pada pelaksanaannya tentu masih terdapat kekurangan dan perlu perbaikan pada setiap jenjang dan sekolah.

Pendekatan pembelajaran diikuti dengan pendekatan model pembelajaran. Ada pendekatan model pembelajaran pemecahan masalah, model pembelajaran berbasis penemuan, model pembelajaran berbasis proyek, dan model pembelajaran penemuan (discovery). Pendekatan model pembelajaran ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pembelajaran di era digital dan memerlukan daya pikir tingkat tinggi. Pendekatan saintifik harus diikuti pula dengan alat evaluasi yang tepat seperti pada High Order Thinking Skills (HOTS). Pengembangan evaluasi tidak hanya menggunakan kemampuan berpikir yang

480 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dikembangkan oleh Bloom, tetapi juga Andersen dan Krawthwal, yaitu berpikir konseptual, berpikir faktual, berpikir prosedural, dan berpikir metakognitif.

Guru merupakan kata kunci dari keberhasilan implementasi K-13. Guru merupakan pelaksana dari implementasi Kurikulum 2013. Kemampuan guru untuk dapat mengembangkan perangkat pembelajaran merupakan salah satu kunci keberhasilan implementasi kurikulum. Perjalanan selama 10 tahun K-13 diharapkan mampu pula meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan dokumen perangkat pembelajaran, seperti silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Bahan Ajar, dan alat evaluasi yang digunakan. Implementasi K-13 diharapkan setiap sekolah memiliki ciri khas sendiri sesuai dengan kondisi lingkungannya. Implementasi kurikulum tidak hanya sekadar berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Kurikulum merupakan benda mati karena merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, dan digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk membangun kehidupan masa kini dan masa akan datang. Kurikulum berisi landasan filosofis, sosiologis, antropologis, pedagogis, dari warisan nilai dan prestasi bangsa di masa lalu, serta diwariskan dan dikembangkan untuk kehidupan masa depan. Ketiga dimensi kehidupan bangsa, masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang, menjadi landasan filosofis pengembangan kurikulum. Implementasi kurikulum dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Dengan demikian implementasi kurikulum perlu dilakukan perubahan secara berkala sesuai dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta kebutuhan siswa.

Implementasi kurikulum tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara singkatnya, Undang-Undang tersebut berharap pendidikan dapat membuat peserta didik menjadi kompeten dalam bidangnya. Pendidikan yang memadai dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat merupakan salah satu pilar untuk menjadikan Indonesia negara maju dan terdepan dalam ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Implementasi kurikulum yang telah berjalan kurang lebih 10 tahun penting untuk dilakukan evaluasi. Hasil evaluasi dapat dijadikan sebagai landasan untuk memperoleh gambaran tentang efektivitas dan efisiensi implementasi kurikulum yang sedang berjalan. Evaluasi implementasi kurikulum dikatakan

481Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

efektif jika guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran secara mandiri, karena telah berjalan selama 10 tahun. Efektivitas implementasi juga dilihat dari proses pembelajaran, yaitu penggunaan pendekatan saintifik, penggunaan pendekatan model pembelajaran, dan pengembangan alat penilaian pembelajaran. Guru merupakan salah satu subjek evaluasi terhadap keberhasilan implementasi kurikulum baik secara efektivitas maupun efisiensinya. Guru merupakan pengembang dari perencanaan pembelajaran berupa silabus, RPP, dan bahan ajar. Guru juga yang melaksanakan pendekatan saintifik dan model pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung, dan guru pula yang mengembangkan alat penilaian sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.

Kurikulum merupakan sebuah program pembelajaran sehingga dapat dilakukan evaluasi. Tujuan dari evaluasi implementasi kurikulum salah satunya adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi selama pelaksanaan berjalan. Hasil evaluasi ini berfungsi untuk melakukan perbaikan baik pada saat proses implementasi berlangsung, maupun sesudah implementasi berakhir. Evaluasi implementasi kurikulum tidak hanya pada aspek dokumen, yaitu berupa perencanaan, tetapi juga pada proses pelaksanaan dokumen tersebut dan penilaian proses pembelajaran. Guru dan dokumen merupakan sumber data dalam melakukan evaluasi kurikulum.

Tayibnapis (2013: 15) seperti mengutip pernyataan Alkin menyatakan bahwa evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Jadi, evaluasi yang dilakukan pada implementasi kurikulum merupakan salah satu upaya untuk mengumpulkan data secara ilmiah. Berdasarkan data tersebut dapat digunakan oleh pihak lain sebagai dasar untuk mengambil keputusan.

Purwanto dan Suparman (1999: 9) menyatakan bahwa evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan informasi yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang program pendidikan dan pelatihan atau program pembelajaran. Jadi, evaluasi merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan informasi secara valid dan reliabel. Data ini penting karena sebagai dasar untuk pengambilan keputusan secara baik dan benar. Dengan kata lain, evaluasi tidak dapat dilakukan secara sembarang, tetapi harus dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah.

Davies (dalam Arikunto, 2010: 3) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses sederhana untuk memberikan/menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan masih banyak yang lainnya. Evaluasi tidak hanya berhubungan dengan belajar saja, tetapi semua aktivitas dapat dievaluasi. Evaluasi juga bertujuan untuk memberikan atau

482 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menetapkan nilai terhadap objek yang dievaluasi. Jadi, evaluasi merupakan aktivitas yang harus dilakukan sehingga objek yang dievaluasi dapat ditetapkan nilainya.

Evaluasi sebagai salah satu metode ilmiah dapat menggunakan bermacam model sesuai dengan kebutuhan dan tujuan evaluasi. Setiap model evaluasi digunakan sesuai dengan konten atau program yang akan dievaluasi. Model Context, Input, Process, Product dikembangkan oleh Stuefflebeam. Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi.

Stufflebeam (2017) menyatakan bahwa tujuan evaluasi sebagai berikut; (1) penetapan dan penyediaan informasi yang bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif; (2) membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manfaat program pendidikan atau obyek;(3) membantu pengembangan kebijakan dan program. Penelitian dengan menggunakan model CIPP (context, input, process and output) membantu pengambil keputusan untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai penggunaan alat evaluasi tersebut. Pertanyaan tersebut seperti berikut ini. (1) apa yang harus dilakukan (What should we do?); mengumpulkan dan menganalisa needs assessment data untuk menentukan tujuan, prioritas dan sasaran; (2) bagaimana melaksanakannya (How should we do it?); sumber daya dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan mungkin meliputi identifikasi program eksternal dan material dalam mengumpulkan informasi; (3) apakah dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it as planned?); ini menyediakan pengambil-keputusan informasi tentang seberapa baik program diterapkan. Dengan secara terus-menerus monitoring program, pengambil-keputusan mempelajari seberapa baik pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana, konflik yang timbul, dukungan staff dan moral, kekuatan dan kelemahan material, dan permasalahan penganggaran; (4) apakah berhasil (Did it work?); dengan mengukur outcome dan membandingkannya pada hasil yang diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih mampu memutuskan jika program harus dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali.

Kompleksitas implementasi kurikulum yang tidak hanya melibatkan satu subjek, maka model CIPP sesuai dengan karakteristik objek yang akan dievaluasi. Implemetasi kurikulum memiliki seperangkat baik konsep maupun prosedur di dalam pelaksanaannya. Kompleksitas inilah yang menjadi pertinbangan untuk

483Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menggunakan model CIPP. Selain itu, model ini dapat digunakan hanya salah satu langkah saja misalnya pada tahapan proses. Pada tahapan proses pada hakikatnya telah mencakup tahapan context dan input, karena di dalam proses kedua tahapan itu bagian yang tak terpisahkan dari proses. Jadi, ketika tahapan proses menjadi objek evaluasi, di dalamnya telah tercakup tahapan context dan juga input.

Evaluasi program kurikulum selain menggunakan CIPP, dapat pula menggunakan evaluasi program berbasis tujuan atau goal. Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Menurut Tyler (dalam Yusuf, 2015) penilai harus menilai tingkah laku, pada perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam implementasi kurikulum, terutama pada guru. Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali tujuan suatu program, kemudian indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran diketahui pasti. Ada lima langkah untuk melakukan evaluasi program berbasis tujuan, langkah-langkah tersebut meliputi; (1) menentukan tujuan seluas-luasnya atau sasaran-sasaran; (2) mengklasifikasikan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran; (3) menegaskan sasaran dalam bentuk perilaku; (4) menemukan situasi-situasi dalam pencapaian tujuan yang dapat dilihat; (5) mengembangkan atau memilih teknik pengukuran.

Evaluasi program pada implementasi Kurikulum 2013 menggunakan evaluasi program yang dikembangkan oleh Tyler. Pemilihan metode evaluasi ini didasarkan pada tujuan dari program yang fokus pada efektivitas dan efisiensi dari implementasi kurikulum tersebut.

Efektivitas dan efisiensi dari tujuan implementasi program kurikulum dapat dilihat dari beberapa aspek. Aspek peraturan dan ketentuan, yaitu efektivitas pada suatu aktivitas dapat dianggap tercapai dengan melihat berfungsi atau tidaknya aturan yang telah dibuat dalam menjaga kelangsungan proses aktivitas tersebut. Aturan itu berhubungan dengan aturan baik yang berkaitan dengan peserta didik ataupun berkaitan dengan guru. Apabila aturan itu berjalan dengan baik, aturan atau ketetapan tersebut telah berjalan dengan efektif.

Pengertian efektivitas menurut KBBI adalah daya guna, keaktifan, serta adanya kesesuaian dalam suatu kegiatan antara seseorang yang melaksanakan tugas dengan tujuan yang ingin dicapai. Aspek fungsi atau tugas, yaitu suatu sekolah bisa disebut efektif apabila menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, begitu juga dengan model pembelajaran akan tercapai efektivitasnya apabila fungsi dan tugasnya berjalan dengan baik dan proses pembelajaran pada peserta didik berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang diharapkan. Aspek program atau rencana adalah rencana pembelajaran pada siswa yang terprogram dengan baik. Apabila semua rencana dapat dijalankan dengan baik, rencana atau

484 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

program tersebut akan disebut efektif. Aspek kondisi ideal atau tujuan, yaitu suatu program atau aktivitas yang efektif dilihat dari sudut hasil, maksudnya apabila keadaan ideal atau tujuan program atau aktivitas diraih dengan baik dikatakan efektif. Penilaian pada aspek ini bisa dilihat dari keberhasilan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Efektivitas biasa dilaksanakan dengan efisiensi. Walaupun terlihat sama, sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Efektivitas lebih menekankan pada hasil yang diraih seseorang atau suatu perusahaan/institusi, sedangkan efisiensi lebih melihat pada proses untuk mencapai hasil tersebut dengan baik.

B. METODE

Waktu penelitian evaluasi implementasi Kurikulum 2013 dilaksanakan selama tiga bulan, dimulai pada bulan Juli sampai dengan September 2020. Tempat penelitian dilakukan pada tiga provinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah , dan Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi ini mewakili dari tiga pulau besar yaitu Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.

Subjek dari penelitian meliputi SD, SMP, dan SMA yang mewakili daerah perkotaan dan perdesaan. Subjek terdiri dari guru kelas di SD, guru mata pelajaran di SMP dan SMA. Responden SD sebanyak 93 guru, SMP sebanyak 79 guru, dan SMA sebanyak 86 guru. Secara demografi dan geografi, responden tersebar di wilayah kabupaten/kota yang ada di ibukota provinsi dan kabupaten kota di luar ibu kota provinsi. Satuan pendidikan yang dijadikan sampel pada setiap kabupaten kota juga tersebar di kecamatan/wilayah ibu kota kabupaten/kota dan kecamatan di luar ibu kota kabupaten/kota. Penyebaran responden secara geografi dan demografi, bertujuan agar dapat memetakan efektivitas dan efisiensi dalam implementasi Kurikulum 2013. Responden semua berpendidikan sarjana (minimal S1), mengajar paling rendah 5 tahun dan paling tinggi 30 tahun. Usia responden dari 25 sampai 50 tahun. Status ada yang Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi ada juga yang non-PNS. Responden mengajar mulai kelas I sampai kelas VI Sekolah Dasar. Bentuk instrumen dikirim dalam bentuk kuesioner google form.

Pada setiap satuan pendidikan (SD,SMP,SMA) terdiri dari 20 butir pertanyaan, baik tertutup maupun terbuka. Pada pertanyaan terbuka responden memberikan jawaban singkat. Berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada responden terdapat tiga komponen penting yaitu; (1) kelengkapan perangkat pembelajaran (Silabus, RPP, dan Bahan Ajar); (2) proses pembelajaran; dan (3) penilaian. Penelitian ini akan melihat efektivitas dan efisiensi dari ketiga komponen tersebut. Berdasarkan data hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut.

Penelitian ini menggunakan program evaluasi yang dikembangkan

485Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

oleh Tyler, yaitu fokus pada tujuan untuk melihat efektivitas dan efisiensi implementasi Kurikulum 2013. Ada enam langkah evaluasi program yang dikembangkan oleh Tyler. Keenam langkah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Evaluasi Program Tyler

Merumus-kan Tujuan

Klasifika-si Tujuan Perilaku Terukur

Waktu Pencapa-

ianMetode

Pengum-pu-lan Data

Analisis Data

Efektivitas dan Efisien-si imple-mentasi Kurikulum 2013

Dokumen Perenca-naan Pem-belajaran

•Guru membuat silabus, RPP, dan Bahan Ajar, di atas 90%

Akhir tahun ajaran

Kue-sionerGoogle Drive

Doku-men sila-bus, RPP, Bahan Ajar

Statistik Deskrip-tif

Proses Pembela-jaran

•Guru menerap-kan pendekatan saintifik dalam pembelajaran di atas 90%

•Guru menerap-kan pendekatan model pembe-lajaran di atas 90%

Akhir tahun ajaran

Kue-sioner Google Drive

Silabus dan RPP, Bahan Ajar

Statistik Deskrip-tif

Penilaian Pembela-jaran

• Guru membuat alat penilaian pembelajaran di atas 90%

Akhir tahun ajaran

Kue-sioner Google Drive

Silabus dan RPP, Bahan Ajar

Statistik Deskrip-tif

Data penelitian evaluasi implementasi Kurikulum 2013 dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden melalui google form. Ada tiga jenis kuesioner, yaitu untuk guru pada satuan pendidikan SD, SMP, dan SMA. Kuesioner untuk jenjang pendidikan SD menanyakan pembelajaran dengan pendekatan tematik terpadu, sedangkan kuesioner SMP dan SMA menanyakan pembelajaran kurikulum berbasis mata pelajaran.

Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif, berupa angka-angka dalam bentuk grafik dan tabel, tetapi juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu untuk menjelaskan hubungan, pemahaman, pandangan dari subjek dari berbagai hal selama berlangsungnya proses penelitian. Kedua pendekatan ini digunakan untuk saling melengkapi data satu dengan data lainnya. Alur teknik analisis data dapat dilihat pada gambar berikut ini.

486 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 1. Model interaktif analisis data kualitatif (sumber: Miles dan Huberman, 1992)

Data hasil penelitian dikumpulkan berdasarkan jenis datanya yaitu; (1) data dokumen perencanaan pembelajaran; (2) data proses pembelajaan; (3) data penilaian pembelajaran. Data yang telah terkumpul sesuai dengan jenisnya kemudian dianalisis. Berdasarkan data yang telah dianalisis sesuai dengan jenisnya, kemudian diambil kesimpulan. Menurut Soekartawi (1995:150) dalam mendeskripsikan serta memberikan judgement terhadap tingkat keberhasilan dari setiap komponen yang dievaluasi, perlu dibuat terlebih dahulu kriteria. Untuk penelitian ini, telah dibuat kriteria efektivitas dan efisiensi dari implementasi Kurikulum 2013.

Tabel 2. Deskriptor Evaluasi

Persentase Kriteria Penilaian

90% - 100%80% - 89%60% - 79%

59% ≤

Sangat Efektif dan Efisien Efektif dan Efisien

Cukup Efektif dan Efisien Kurang Efektif dan Efisien

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian implementasi K-13 yang dilakukan pada SD, SMP, dan SMA bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya. Efektivitas dan efisiensi setiap komponen memiliki indikator yang berbeda.

1. Temuan Dokumen Perencanaan Pembelajaran

Pada komponen kelengkapan dokumen perangkat pembelajaran, efektivitas diukur dengan kemampuan guru mengembangkan silabus, RPP, dan Bahan Ajar. Kemampuan guru dalam ketiga aspek tersebut

487Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

semakin tinggi berarti semakin efektif dan efisien dengan melihat jumlah persentasenya.

Dari hasil data penelitian pada Sekolah Dasar dengan indikator kelengkapan dokumen perencanaan pembelajaran yang dimiliki oleh guru sangat lengkap sebesar 74%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori Cukup efektif. Jika persentase sangat lengkap dan lengkap digabung (menjadi katagori lengkap) diperoleh angka 97%, maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, dokumen kelengkapan guru dalam pembelajaran dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 3% guru SD yang masih kurang lengkap memiliki dokumen pembelajaran.

Pada aspek pengembangan silabus di satuan pendidikan SD diperoleh data 65% selalu, 23% kadang-kadang, dan 17% tidak pernah membuat silabus. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori Cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 88% yang masuk pada katagori efektif dalam pengembangan silabus. Dengan demikian, pengembangan silabus dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 17% guru SD yang tidak pernah mengembangkan silabus sendiri.

Pada aspek pengembangan RPP guru SD sebesar 34% selalu, 63% kadang-kadang, dan 3% tidak pernah. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 97% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan RPP dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 3% guru SD yang tidak pernah mengembangkan RPP sendiri.

Pada aspek pengembangan bahan ajar yang dilakukan oleh guru SD sebesar 32% selalu, 66% kadang-kadang, dan 2% tidak pernah mengembangkan bahan ajar. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 98% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan bahan ajar dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 2% guru SD yang tidak pernah mengembangkan bahan ajar sendiri.

Berdasarkan kriteria pada ketiga aspek pengembangan silabus, RPP, dan Bahan Ajar yang dilakukan oleh guru SD, dapat dinyatakan sangat Efektif dan Efisien.

488 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada jenjang SMP, guru yang memiliki kelengkapan dokuman sangat lengkap sebesar 75%, lengkap 17%, dan kurang lengkap 8%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori Cukup efektif. Jika persentase sangat lengkap dan lengkap digabung (menjadi katagori lengkap) diperoleh angka 92%, maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, dokumen kelengkapan guru dalam pembelajaran dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 8% guru SMP yang masih kurang lengkap memiliki dokumen pembelajaran.

Pada aspek pengembangan silabus yang dilakukan oleh guru diperoleh data 25% selalu, 60% kadang-kadang, dan 15% tidak penah membuat silabus. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 85% yang masuk pada katagori efektif dalam pengembangan silabus. Dengan demikian, pengembangan silabus dapat dikatakan efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 15% guru SMP yang tidak pernah mengembangkan silabus sendiri.

Pada aspek pengembangan RPP guru SMP sebesar 57% selalu, 41% kadang-kadang, dan 2% tidak pernah. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 98% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan RPP dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 2% guru SMP yang tidak pernah mengembangkan RPP sendiri.

Pada aspek pengembangan bahan ajar yang dilakukan oleh guru SMP sebesar 27% selalu, 68% kadang-kadang, dan 5% tidak pernah mengembangkan bahan ajar. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 95% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan bahan ajar dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 5% guru SMP yang tidak pernah mengembangkan bahan ajar sendiri.

Berdasarkan data yang diperoleh pada ketiga aspek yaitu pengembangan silabus, RPP, dan bahan yang sangat efektif.

Pada jenjang SMA, guru yang memiliki kelengkapan dokuman sangat lengkap sebesar 65%, lengkap 30%, dan kurang lengkap 5%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup

489Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

efektif. Jika persentase sangat lengkap dan lengkap digabung (menjadi katagori lengkap) diperoleh angka 95%, maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, dokumen kelengkapan guru dalam pembelajaran dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 5% guru SMA yang masih kurang lengkap memiliki dokumen pembelajaran.

Pada aspek pengembangan silabus yang dilakukan oleh guru SMA diperoleh data 22% selalu, 66% kadang-kadang, dan 12% tidak penah membuat silabus. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 88% yang masuk pada katagori efektif dalam pengembangan silabus. Dengan demikian, pengembangan silabus dapat dikatakan efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 12% guru SMA yang tidak pernah mengembangkan silabus sendiri.

Pada aspek pengembangan RPP guru SMA sebesar 59% selalu, 41% kadang-kadang, dan 0% tidak pernah. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 100% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan RPP dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Pada aspek pengembangan bahan ajar yang dilakukan oleh guru SMA sebesar 70% selalu, 30% kadang-kadang, dan 0% tidak pernah mengembangkan bahan ajar. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah mengembangkan) maka menjadi 100% yang masuk pada kategori sangat efektif. Dengan demikian, pengembangan bahan ajar oleh guru SMA dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Berdasarkan data yang diperoleh pada ketiga aspek yaitu pengembangan silabus, RPP, dan bahan yang sangat efektif.

Adanya jumlah persentase dari guru SD, SMP dan SMA yang tidak mengembangkan sendiri kelengkapan pembelajaran sebanyak 2-15% dikarenakan menghadapi kesulitan-kesulitan. Setiap satuan pendidikan pada prinsipnya memiliki kesulitan yang sama karena aspek-aspek yang terdapat pada dokumen pembelajaran memiliki kesamaan baik untuk SD, SMP, maupun SMA.

490 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dari jawaban responden, ada lima komponen yang dirasa sulit oleh guru dalam mengembangkan silabus, yaitu 1) merumuskan materi, 2) merumuskan langkah-langkah pembelajaran, 3) merumuskan dan menentukan penilaian, 4) menentukan alokasi waktu, dan 5) menentukan sumber belajar. Persentase kesulitan pada guru SD,SMP dan SMA dalam mengembangkan silabus dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 1 Kesulitan guru dalam pengembangan silabus

Grafik 1 menunjukkan tingkat kesulitan merumuskan materi pada satuan pendidikan SD sebesar 26%, satuan pendidikan SMP 22%, satuan pendidikan SMA 33%. Pada grafik 2 menunjukkan tingkat kesulitan merumuskan langkah-langkah pembelajaran, pada satuan pendidikan SD sebesar 47%, satuan pendidikan SMP 38%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 35%. Pada grafik 3 menunjukkan tingkat kesulitan merumuskan dan menentukan penilaian, pada satuan pendidikan SD sebesar 49%, satuan pendidikan SMP 56%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 48%. Pada grafik 4 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan alokasi waktu, pada satuan pendidikan SD sebesar 23%, satuan pendidikan SMP 22%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 38%. Pada grafik 5, menunjukkan tingkat kesulitan menentukan sumber belajar, pada satuan pendidikan SD sebesar 15%, satuan pendidikan SMP sebesar 18%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 12%.

Dalam mengembangkan silabus terlihat persentase kesulitan tertinggi ada pada komponen jenis dan alat penilaian serta menentukan langkah-langkah pembelajaran untuk semua satuan pendidikan.

Untuk pengembangan RPP ada guru juga mengalami kesulitan yang sama untuk setiap satuan pendidikan karena aspek-aspek yang terdapat pada dokumen RPP memiliki kesamaan baik untuk SD, SMP, maupun SMA.

491Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dari jawaban responden, ada enam komponen yang dirasa sulit oleh guru dalam mengembangkan RPP, yaitu 1) merumuskan tujuan, 2) menentukan langkah-langkah pembelajaran, 3) menentukan jenis dan alat penilaian, 4) menentukan sumber belajar, 5) menentukan alokasi waktu, dan 6) menentukan dan memilih metode. Persentase kesulitan pada guru SD,SMP dan SMA dalam mengembangkan RPP dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 2. Kesulitan guru dalam pengembangan RPP

Pada grafik 1 menunjukkan tingkat kesulitan pada merumuskan tujuan, satuan pendidikan SD sebesar 8%, satuan pendidikan SMP 10%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 22%. Grafik 2 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan langkah-langkah pembelajaran, jenjang SD sebesar 36%, satuan pendidikan SMP sebesar 43%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 38%. Grafik 3 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan jenis dan alat penilaian, satuan pendidikan SD sebesar 45%, jenjang SMP sebesar 49%, dan jenjang SMA sebesar 56%. Grafik 4 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan sumber belajar, satuan pendidikan SD sebesar 11%, satuan pendidikan SMP sebesar 12%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 22%. Grafik 5 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan alokasi waktu, satuan pendidikan SD sebesar 23%, satuan pendidikan SMP sebesar 33%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 22%. Grafik 6 menunjukkan tingkat kesulitan menentukan dan memilih metode, satuan pendidikan SD sebesar 32%, satuan pendidikan SMP sebesar 38%, dan satuan pendidikan SMA sebesar 10%.

Dalam mengembangkan RPP terlihat persentase kesulitan tertinggi ada pada komponen merumuskan dan menentukan penilaian untuk semua satuan pendidikan. Kesulitan selanjutnya pada merumuskan langkah-langkah pembelajaran untuk satuan pendidikan SD dan SMP, sedangkan untuk satuan pendidikan SMA menentukan alokasi waktu.

492 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Implementasi Kurikulum 2013 untuk komponen perencanaan ditemukan sebagai berikut a) pada satuan pendidikan Sekolah Dasar mencapai rentang (88%-98%). Hal ini dapat dikatakan bahwa kelengkapan dokumen perencanaan di SD masuk katagori efektif dan sangat efektif; b) pada satuan pendidikan SMP mencapai rentang (85%-98%). Hal ini dapat dikatakan bahwa kelengkapan dokumen perencanaan di SMP masuk katagori efektif dan sangat efektif; c) pada satuan pendidikan SMA mencapai rentang (88%-100%). Hal ini dapat dikatakan bahwa kelengkapan dokumen perencanaan di SMA masuk katagori efektif dan sangat efektif.

Dari data ini dapat dikatakan bahwa kelengkapan dokumen perencanaan pada semua satuan pendidikan masuk katagori efektif dan sangat efektif.

2. Temuan Proses Pembelajaran

a. Penggunaan Pendekatan Saintifik

Guru SD yang selalu menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 62,4%, guru yang kadang-kadang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 34,4%, dan guru yang tidak pernah menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 3,2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 96,8%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru yang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 3,2% guru SD yang tidak pernah menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik.

Guru SMP yang selalu menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 57%, guru yang kadang-kadang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 41%, dan guru yang tidak pernah menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 98%; maka persentase ini masuk dalam katagori Sangat Efektif. Dengan demikian, guru yang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 2% guru SMP yang tidak pernah menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik.

493Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Guru SMA yang selalu menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 59%, guru yang kadang-kadang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 41%, dan guru yang tidak pernah menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 99%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

b. Penggunaan Pendekatan Model Pembelajaran

Guru SD yang menggunakan pendekatan model praktik pengetahuan sehari-hari sebesar 94% dan yang tidak menggunakan sebesar 6%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SD yang menggunakan pendekatan model pembelajaran berbasis keingintahuan sebesar 97% dan yang tidak menggunakan sebesar 3%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori efektif. Guru SD yang menggunakan model pembelajaran pemecahan masalah sebesar 94% dan yang tidak menggunakan sebesar 6%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SD yang menggunakan model pembelajaran berbasis proyek sebesar 89% dan yang tidak menggunakan sebesar 11%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori efektif.

Guru SMP yang menggunakan pendekatan model praktik pengetahuan sehari-hari sebesar 97% dan yang tidak menggunakan sebesar 3%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SMP yang menggunakan pendekatan model pembelajaran berbasis keingintahuan sebesar 91% dan yang tidak menggunakan sebesar 9%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SMP yang menggunakan model pembelajaran pemecahan masalah sebesar 88% dan yang tidak menggunakan sebesar 12%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori efektif. Guru SMP yang menggunakan model pembelajaran berbasis proyek sebesar 64% dan yang tidak menggunakan sebesar 36%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif.

Guru SMA yang menggunakan pendekatan model praktik pengetahuan sehari-hari sebesar 99% dan yang tidak menggunakan

494 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sebesar 1%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SMA yang menggunakan pendekatan model pembelajaran berbasis keingintahuan sebesar 98% dan yang tidak menggunakan sebesar 2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SMA yang menggunakan model pembelajaran pemecahan masalah sebesar 94% dan yang tidak menggunakan sebesar 6%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori sangat efektif. Guru SMA yang menggunakan model pembelajaran berbasis proyek sebesar 78% dan yang tidak menggunakan sebesar 22%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif.

c. Pemahaman Pembelajaran Tematik untuk Guru SD dan Pemahaman KD untuk Guru SMP dan SMA

Guru SD yang sangat paham terhadap pembelajaran tematik sebesar 18,3%, guru yang cukup paham terhadap pembelajaran tematik sebesar 74,2%, dan guru yang kurang paham terhadap pembelajaran tematik sebesar 7,5%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase sangat paham dan cukup paham digabung (menjadi katagori cukup paham) diperoleh angka 92,5%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru yang paham terhadap pembelajaran tematik dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 7,5% guru SD yang masih kurang paham terhadap pembelajaran tematik.

Guru SMP yang sangat memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu sebesar 51%, guru yang cukup memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu sebesar 49%, dan guru yang kurang memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase sangat paham dan cukup paham digabung (menjadi kategori cukup paham) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMA yang sangat memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu sebesar 51%, guru yang cukup memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu sebesar 49%, dan guru yang kurang memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran

495Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang diampu sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase sangat paham dan cukup paham digabung (menjadi kategori cukup paham) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang memahami Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran yang diampu dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

d. Pembelajaran sesuai dengan Urutan KD oleh Guru SMP dan SMA

Guru SMP yang selalu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar 66%, guru yang kadang-kadang melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar 34%, dan guru yang tidak pernah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMA yang selalu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar 75%, guru yang kadang-kadang melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar 25%, dan guru yang tidak pernah melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar sebesar sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang melaksanakan pembelajaran sesuai dengan urutan Kompetensi Dasar dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Implementasi Kurikulum 2013 untuk komponen proses pembelajaran ditemukan sebagai berikut a) pada satuan pendidikan Sekolah Dasar mencapai rentang (89%-97%). Hal ini dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran di SD masuk kategori efektif sampai dengan sangat efektif; b) pada satuan pendidikan SMP mencapai rentang (64%-100%). Hal ini dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran di SMP masuk katagori cukup efektif sampai dengan sangat efektif; c) pada satuan pendidikan SMA mencapai rentang (78%-100%). Hal ini dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran di SMA masuk kategori cukup efektif sampai dengan sangat efektif.

496 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dari data ini dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran pada semua satuan pendidikan masuk kategori cukup efektif sampai dengan sangat efektif.

3. Temuan Penilaian Pembelajaran

a. Untuk Sekolah Dasar

Guru SD yang selalu membuat kriteria ketuntasan minimal (KKM) berdasarkan KD sebesar 88%, guru yang kadang-kadang membuat kriteria ketuntasan minimal (KKM) berdasarkan KD sebesar 12%, dan guru yang tidak pernah membuat kriteria ketuntasan minimal (KKM) berdasarkan KD sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SD yang membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SD yang selalu menyusun kisi-kisi sebesar 72%, guru yang kadang-kadang menyusun kisi-kisi sebesar 25%, dan guru yang tidak pernah menyusun kisi-kisi sebesar 3%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 97%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru yang menyusun kisi-kisi dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 3% guru SD yang masih kurang menyusun kisi-kisi.

Guru SD yang selalu menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 77%, guru yang kadang-kadang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 20%, dan guru yang tidak pernah menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 3%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 97%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SD yang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 3% guru SD yang tidak pernah menyusun soal berdasarkan kisi-kisi.

Guru SD yang selalu membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 36%, guru yang kadang-kadang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar

497Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

62%, dan guru yang tidak pernah membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 99%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru SD yang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 2% guru SD yang tidak pernah membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS).

Guru SD yang selalu membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 49%, guru yang kadang-kadang membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 47%, dan guru yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 4%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 96%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru yang membuat diagnosis dan tindak lanjut dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 4% guru SD yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut.

b. Untuk Sekolah Menengah Pertama

Guru SMP yang selalu membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 89%, guru yang kadang-kadang membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 10%, dan guru yang tidak pernah membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 1%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 99%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 3,2% guru SMP yang tidak pernah membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD.

Guru SMP yang selalu menyusun kisi-kisi sebesar 70%, guru yang kadang-kadang menyusun kisi-kisi sebesar 30%, dan guru yang tidak pernah menyusun kisi-kisi sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam

498 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang menyusun kisi-kisi dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMP yang selalu menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 76%, guru yang kadang-kadang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 24%, dan guru yang tidak pernah menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMP yang selalu membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 24%, guru yang kadang-kadang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 76%, dan guru yang tidak pernah membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru yang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMP yang selalu membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 30%, guru yang kadang-kadang membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 68%, dan guru yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 98%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMP yang membuat diagnosis dan tindak lanjut dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 2% guru SMP yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut.

c. Untuk Sekolah Menengah Atas

Guru SMA yang selalu membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 88%, guru yang kadang-kadang membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 12%, dan guru yang tidak pernah membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini

499Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

masuk pada kategori efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang membuat kriteria ketuntasan minimal berdasarkan KD dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMA yang selalu menyusun kisi-kisi sebesar 68%, guru yang kadang-kadang menyusun kisi-kisi sebesar 32%, dan guru yang tidak pernah menyusun kisi-kisi sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif.

Guru SMA yang selalu menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 75%, guru yang kadang-kadang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 25%, dan guru yang tidak pernah menyusun soal berdasarkan kisi-kisi sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori cukup efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang menyusun soal berdasarkan kisi-kisi dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMA yang selalu membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 23%, guru yang kadang-kadang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 77%, dan guru yang tidak pernah membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) sebesar 0%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi katagori pernah) diperoleh angka 100%; maka persentase ini masuk dalam kategori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang membuat soal yang menuntut tingkat kognitif tinggi (HOTS) dapat dikatakan sangat efektif dan efisien.

Guru SMA yang selalu membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 29%, guru yang kadang-kadang membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 69%, dan guru yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut sebesar 2%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase selalu dan kadang-kadang digabung (menjadi kategori pernah) diperoleh angka 98%; maka persentase ini masuk dalam katagori sangat efektif. Dengan demikian, guru SMA yang membuat diagnosis dan tindak

500 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

lanjut dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian, masih ada 2% guru SMA yang tidak pernah membuat diagnosis dan tindak lanjut.

Implementasi Kurikulum 2013 untuk komponen penilaian pembelajaran ditemukan sebagai berikut a) pada satuan pendidikan Sekolah Dasar mencapai rentang (96%-100%). Hal ini dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran di SD masuk kategori efektif dan sangat efektif; b) pada satuan pendidikan SMP mencapai rentang (98%-100%). Hal ini dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran di SMP masuk kategori efektif dan sangat efektif; c) pada satuan pendidikan SMA mencapai rentang (98%-100). Hal ini dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran di SMA masuk katagori sangat efektif dan afisien.

Dari data ini dapat dikatakan bahwa penilaian pembelajaran pada semua satuan pendidikan masuk kategori efektif dan sangat efektif.

4. Temuan Lainnya

Pada jenjang SD dengan menggunakan pendekatan tematik memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran pada tingkat SMP dan SMA yang berbasis pada mata pelajaran. Guru SD tentu tidak semua memiliki kompetensi untuk mengajarkan materi secara baik yang terdapat pada mata pelajaran. Guru SD mengalami tingkat kesulitan dalam mengajarkan materi yang terdapat di mata pelajaran. Data kesulitan guru SD dalam mengajarkan materi berdasarkan mata pelajaran dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 3. Kesulitan guru SD dalam mengajarkan mata pelajaranGuru mengalami kesulitan dalam mengembangkan pembelajaran

teridentifikasi ada delapan mata pelajaran yaitu; (1) PAI sebesar 7%; (2) PPKn sebesar 7%; (3) Bahasa Indoensia sebesar 16%; (4) Matematika sebesar 61%; (5) IPA sebesar 10%; (6) IPS sebesar 12%; (7) SBdP sebesar

501Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

31%; dan (8) PJOK sebesar 10%. Berdasarkan data ini, mata pelajaran yang dianggap sulit oleh guru SD untuk diajarkan adalah Matematika dan Seni Budaya dan Prakarya (SBdP).

Kesulitan guru dalam mengembangkan silabus, RPP, pembelajaran tematik masih dialami oleh guru walaupun telah mengikuti bimbingan teknis implementasi kurikulum untuk semua satuan pendidikan. Data frekuensi guru pada semua satuan pendidikan mengikuti bimbingan teknis dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 4. Data guru mengikuti bimtek implementasi kurikulum

Grafik 1 menunjukkan frekuensi guru SD mengikuti bimtek lebih dari 3 kali sebesar 15%, 1 sampai 3 kali sebesar 66%, dan tidak pernah sebesar 19%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase mengikuti bimtek lebih dari 3 kali digabung dengan persentase mengikuti bimtek 1 sampai 3 kali (menjadi katagori pernah mengikuti) maka menjadi 78% yang masuk pada katagori efektif dalam program bimtek. Dengan demikian, program bimtek dapat dikatakan efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 19% guru SD yang tidak pernah mengikuti program bimtek.

Pada grafik 2 menunjukkan frekuensi guru SMP mengikuti bimtek, yaitu yang mengikuti bimtek lebih dari 3 kali sebesar 34%, 1 sampai 3 kali sebesar 54%, dan tidak pernah mengikuti bimtek sebesar 12%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase mengikuti bimtek lebih dari 3 kali digabung dengan persentase mengikuti bimtek 1 sampai 3 kali (menjadi katagori pernah mengikuti) maka menjadi 88% yang masuk pada katagori efektif dalam program bimtek. Dengan demikian, program bimtek dapat dikatakan efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 12% guru SMP yang tidak pernah mengikuti program bimtek.

502 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada grafik 3 menunjukkan frekuensi guru SMA mengikuti bimtek yaitu kategori lebih dari 3 kali sebesar 25%, 1 sampai 3 kali mengikuti bimtek sebesar 70%, dan tidak pernah mengikuti bimtek sebesar 5%. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, keadaan ini masuk pada kategori kurang efektif. Jika persentase mengikuti bimtek lebih dari 3 kali digabung dengan persentase mengikuti bimtek 1 sampai 3 kali (menjadi katagori pernah mengikuti) maka menjadi 95% yang masuk pada katagori sangat efektif dalam program bimtek. Dengan demikian, program bimtek dapat dikatakan sangat efektif dan efisien. Walaupun demikian masih ada 5% guru SMA yang tidak pernah mengikuti program bimtek.

Data ini menunjukkan bahwa materi bimtek dapat membantu guru di lapangan dalam mengimplementasikan kurikulum. Dengan memperhatikan persentase tertinggi mengikuti bimtek oleh guru SMA memberi kemudahan pada mereka dalam mengembangkan komponen-komponen yang terdapat di silabus, RPP, bahan ajar, pembelajaran saintifik dan penilaian.

Kurikulum 2013 sebagai sebuah program tentu memiliki keunggulan dan kelemahan sebagai sebuah dokumen. Identifikasi guru SD, SMP, dan SMA terhadap keunggulan dan kelemahan K-13 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Keunggulan dan kelemahan implementasi kurikulum 2013

Keunggulan Kelemahan

• Lebih menekankan karak-ter, siswa pro aktif dan guru dituntut lebih kreatif.

• Berbasis teks, berorientasi pada siswa

• Mudah diaplikasikan

• Lebih mudah menentukan tujuan pembelajaran

• Lebih teratur, rinci, dan jelas

• Guru juga dituntut untuk memahami dan memprak-tekkan soal tipe HOTS

• Adanya ketidakseimbangan jumlah jam mengajar, misalnya mapel se-jarah yang bisa 5 jam per Minggu sementara Ekonomi hanya 3 jam.

• Materi teks monoton karena hanya seputar informasi, struktur, dan kebahasaan

• Penilaian lebih rumit dan terlalu banyak proses penilaian

• Terlalu banyak materi yang harus di-kuasai siswa, banyaknya beban be-lajar siswa dan guru,

• Banyak guru tidak paham dengan merumuskan penilaian, dan

• Keaktifan siswa kurang merata

503Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Keunggulan dan kelemahan berdasarkan persepsi guru dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk revisi kurikulum pada masa mendatang, pengembangan bahan ajar, serta kurikulum pelatihan bagi guru dalam mengembangkan perangkat pembelajaran dalam bentuk silabus, RPP, dan bahan ajar, serta penilaian.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan data hasil penelitian evaluasi implementasi Kurikulum 2013, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Implementasi Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan Sekolah Dasar untuk aspek perencanaan (88%--98%), proses pembelajaran (89--97%), dan penilaian pembelajaran (96%--100%) adalah Efektif sampai dengan Sangat Efektif dilaksanakan. Hal ini berdasarkan angka yang diperoleh pada rentang terendah 88% sampai dengan tertinggi 100%. (2) Implementasi Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama untuk aspek perencanaan pembelajaran (85%--98%), proses pembelajaran (64%--100%), dan penilaian pembelajaran (98%--100%) adalah Cukup Efektif sampai dengan Sangat Efektif dilaksanakan. Hal ini berdasarkan angka yang diperoleh pada rentang terendah 64% sampai dengan yang tertinggi 100%. (3) Implementasi Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas untuk aspek perencanaan pembelajaran (88%--100%), proses pembelajaran (78%--100%), dan penilaian pembelajaran (98%--100%) adalah Cukup Efektif sampai dengan sangat Efektif. Hal ini berdasarkan angka yang diperoleh pada rentang terendah 78 % sampai dengan yang tertinggi 100%.

Berdasarkan data hasil penelitian evaluasi implementasi Kurikulum 2013, dapat direkomendasikan sebagai berikut. (1) Hendaknya Kemdikbud memberikan pelatihan secara berkala kepada guru sesuai dengan kebutuhan mata pelajaran dan pembelajaran tematik sehingga guru semakin mampu dalam pengembangan perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan alat penilaiannya. Kemampuan guru dalam mengembangkan perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan alat evaluasi sangat penting karena dapat menentukan kualitas pembelajaran. (2) Perlu dilakukan pelatihan kepada guru-guru SD tentang pemahaman pembelajaran tematik, dan guru mata pelajaran terhadap KD-KD mata pelajaran sehingga lebih dapat menentukan dan memilih materi sesuai dengan yang dimaksud dalam KD tersebut. (3) Pendidikan guru untuk semua satuan pendidikan harus mempunyai tingkatan yang sama. Melihat kecenderungan satuan Pendidikan SD lebih terkendala dalam mempersiapkan perencanaan pembelajaran, proses, dan penentuan penilaian, sebaiknya guru satuan Pendidikan SD lebih luas pengetahuan umum dan pengalaman mengajarnya dibanding guru di satuan Pendidikan yang lebih tinggi.

504 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Arifin, Zaenal. 2019. Evaluasi Program: Teori dan Pratik dalam Konteks Pendidikan dan Nonpendidikan, Bandung, Rosdakarya.

Drake, Susan M. 2013. Menciptakan Kurikulum Terintegrasi yang Berbasis Standar, Jakarta, .Indeks.

_____, 2007. Creating Standar-Based Integrated Curriculum, Corwin Press, London.

Erickson, H. Lynn. 2002. Concept-Based Curriculum and Instruction: Teaching Beyond the Facts, London, Corwin press.

Reksoatmodjo, Tedjo Narsoyo. 2010. Pengembangan Kurikulum Penddikan Teknologi dan Kejuruan, Bandung, Refika Adhitama.

Rusman, 2008. Manajemen Kurikulum, Jakarta, Raja Grafindo Perkasa

Stufflebeam, Danile L., Anthony J. Shinkfield, 2010. Systematic Evaluation: A Self-Instructional Guide to Theory and Practice, Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing

Yusuf, Muri A., 2015. Assesmen dan Evaluasi Pendidikan, Jakarta, Kencana.

Wiles, Jon. 2009. Leading Curriculum Development, London, Corwin Press.

505Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Buku hypercontent Remaja Juara untuk Generasi Emas 2045Hypercontent book Remaja Juara for Gold Generation 2045

Nurfadhilah1*, Azmi Al Bahij1, Erlina Indarti2, Sonya Sinyanyuri3, Erry Utomo3

1Universitas Muhammadiyah Jakarta2Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud RI

3Universitas Negeri Jakartanurfadhilah,[email protected]

Abstrak

Aktivitas pembelajaran perlu didukung media yang mengakomodasi kebutuhan peserta didik masa kini, yaitu berbasis teknologi. Salah satu media yang dapat digunakan yaitu buku hypercontent, yang memuat uraian materi dilengkapi video serta aktivitas kuis yang menggugah semangat belajar. Buku hypercontent berjudul Pubertas, Siap Menghadapi telah diterbitkan pada awal April 2020 secara daring diperuntukkan bagi guru yang mengajar di kelas tinggi pada jenjang sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan mengembangkan buku hypercontent untuk mempersiapkan generasi emas 2045 yang diperuntukkan bagi peserta didik remaja (SD kelas tinggi) menghadapi pubertas. Data dikumpulkan dengan memanfaatkan aplikasi pembelajaran, video conference, dan media komunikasi lain. Pendekatan yang digunakan yaitu penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa buku hypercontent dapat digunakan sebagai pendamping pelajaran dan terbukti efektif meningkatkan pengetahuan siswa tentang pubertas. Visi Generasi Emas 2045 menyisakan waktu 25 tahun dari sekarang. Jika guru dan peserta didik SD diintervensi sejak sekarang, sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan berpikir/belajar, emosi positif, dan perilaku sehat bertanggung jawab yang menjadi prasyarat SDM unggul dan mewujudkan lompatan Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju dengan produktivitas tinggi.

Learning activities need to be supported by media that accommodate the needs of today’s students, the digital natives. One of the media that can be used is the hyper content book, which contains descriptions of the material accompanied by videos and quiz activities that inspire enthusiasm for learning. The hypercontent book entitled Puberty: Ready to Face, was published online in early April 2020 for teachers of higher grades at the elementary school level. This study aims to develop a hypercontent book to prepare the golden generation 2045 which is intended for teenage students (high-grade elementary schools) to prepare for puberty. Data collected through learning applications, video confessional media and other communication media in. The approach used is research and development. The

506 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

results show that hypercontent books can be used in teaching the lessons and proven to be effective in increasing students’ knowledge about puberty. The Golden Generation Vision 2045 is 25 years from now. If teachers and elementary students are intervened from now on, there is a huge potential for improving thinking / learning skills, positive emotions, and responsible healthy behavior which are prerequisites for superior human resources and realizing Indonesia’s leap from a developing country to a developed country with high productivity.

Kata kunci: buku, generasi emas 2045, hypercontent, pubertas, remaja juara

A. Pendahuluan

Indonesia sedang mengalami bonus demografi yang puncaknya diperkirakan tahun 2030. Pemerintah mencanangkan Visi Generasi Emas 2045 sebagai antisipasi agar tidak terjadi beban/bencana demografi karena rendahnya kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, Data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia menunjukkan bahwa pengetahuan tentang tanda pubertas masih sangat rendah (Center for Population Research and Development & Family Planning Board-SKRRI, 2018). Sejatinya pemenuhan hak reproduksi dan seksual (terutama informasi terkini sesuai perkembangan ilmu pengetahuan) dibutuhkan seluruh lapisan masyarakat sepanjang tahapan usia (Biccard, 2018), termasuk anak usia 10-12 tahun yang duduk di kelas tinggi SD.

Rendahnya pengetahuan remaja berbanding terbalik dengan akses terhadap media, khususnya media elektronik. Hampir 90% remaja mengakses internet dalam 1 bulan terakhir(SKRRI, 2018). Situasi pandemi Covid-19 juga ‘memaksa’ insan pendidikan melaksanakan kegiatan pembelajaran di rumah dengan memanfaatkan teknologi (secara digital). Angka kejadian premarital seks di Indonesia perlu diantisipasi kenaikannya. Remaja Indonesia belum menikah usia 15-24 tahun sebanyak 1,5% perempuan dan 7,6% laki-laki pernah melakukan hubungan seks (Center for Population Research and Development & Family Planning Board, 2018). Survei sebelumnya (2012) menunjukkan angka 7,1% remaja telah melakukan hubungan seksual (Pinandari et al., 2015). Kejadian/kasus kekerasan domestik dalam situasi pandemi Covid-19 masih merupakan ancaman bagi anak/peserta didik.

Salah satu intervensi yang dilakukan yaitu pendidikan karakter dalam menghadapi pubertas di pendidikan dasar. Urgensi penguatan pendidikan karakter (PPK) antara lain dalam rangka menghadapi degradasi akhlak, moral, dan budi pekerti, (Utomo, 2018) menghadapi dinamika dan tantangan era global, serta membangun Generasi Emas 2045 (Kemendikbud RI, 2017) yang berdaya saing dan berjiwa Pancasila (Suhardi et al., 2018). Remaja yang

507Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mendapat informasi secara lengkap (pendidikan seks komprehensif) cenderung melakukan absen seks lebih lama. Sebaliknya, kemiskinan meningkatkan peluang untuk melakukan hubungan seksual pranikah (Pinandari et al., 2015). Dibutuhkan strategi intervensi pada akar masalah untuk merencanakan generasi berkualitas tinggi, dalam hal ini dengan fokus perilaku abstinen sebagai perilaku seks remaja bertanggung jawab (Lailani et al., 2019; Nurfadhilah & Ariasih, 2019; Pertiwi, 2007). Penelitian menunjukkan bahwa masih banyak terjadi miskonsepsi antara guru dan peserta didik dalam pendidikan pubertas. Demikian pula penggunaan metode dan media yang dianggap menarik oleh peserta didik, malah dianggap vulgar oleh guru, misalnya gambar dan video (Utomo, Nurfadhilah, Purwanto, et al., 2019).

Salah satu upaya merespon perkembangan teknologi pembelajaran yaitu diluncurkannya Buku Hypercontent Pegangan Guru Kelas Tinggi Sekolah Dasar Pubertas, Siap Menghadapi melalui halaman https://fkm.umj.ac.id/launch-buku-pubertas-siap-menghadapi/. Buku tersebut diunggah pada awal April 2020. Tujuan penelitian ini dihasilkannya buku hypercontent untuk peserta didik kelas tinggi sekolah dasar tentang persiapan menghadapi pubertas berjudul Remaja Juara.

B. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method. Pendekatan kualitatif dilakukan pada tahap awal pengembangan buku hypercontent. Tahap uji terbatas dan uji publik produk menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini merupakan riset pengembangan (Research and Development). Tahapan dalam penelitian dilaksanakan berdasarkan Model Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan model yang dikembangkan oleh Rowntree (1994).

Data kualitatif dalam penelitian ini berasal dari hasil validasi ahli, data tanggapan guru, dan siswa terhadap buku hypercontent, yang akan dinyatakan dalam persentase untuk dideskripsikan. Kelayakan buku hypercontent diperoleh dari penilaian ahli. Analisis kelayakan digunakan untuk menentukan tingkat ketepatan, keefektifan, dan kemenarikan buku hypercontent. Buku hypercontent dapat dianggap baik/valid apabila memenuhi syarat pencapaian mulai dari 60-100% dari seluruh unsur yang terdapat pada angket penilaian ahli. Jika penilaian belum mencapai baik/valid maka akan dilakukan revisi.

Data tanggapan guru dan siswa tentang pembelajaran menggunakan buku hypercontent dianalisis menggunakan Skala Likert. Skala ini disusun dalam bentuk pernyataan dan diikuti dengan empat respon yang menunjukan tingkatan dari sangat baik, baik, cukup baik, hingga kurang baik.

508 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. Hasil dan Pembahasan

Produk penelitian ini berupa Buku Hypercontent Remaja Juara. Tahapan dalam mengembangan pembelajaran yaitu:

Tahap Perencanaan, dilakukan dengan serangkaian FGD yang melibatkan guru dan kepala sekolah dari 2 SD Negeri di Jakarta Timur dan Bekasi ditambah 1 SD swasta di Tangerang Selatan. Kegiatan tersebut berhasil menentukan tujuan umum pembelajaran: peserta didik mampu memilih dan mempertahankan perilaku abstinensi. Tujuan khusus yaitu peserta didik mampu: menjelaskan tentang persiapan menghadapi pubertas, baik lelaki maupun perempuan, menjelaskan dan menjaga kesehatan selama pubertas, menjelaskan dan melaksanakan pedoman gizi seimbang dan aktivitas fisik, menjelaskan tentang karakteristik pribadi (fisik, psikologis, dan perilaku), dan menjelaskan dan menghindari perilaku tidak sehat dan berbahaya.

Pendukung belajar termasuk video yang akan disertakan dalam buku siswa. Dikembangkan juga 3 video yang masing-masing berdurasi 3-5 menit yang akan ditanamkan (embedded) dalam buku hypercontent. Selain itu pengembang juga menyiapkan buku panduan pengembangan bahan ajar berbasis hypercontent untuk guru sekolah dasar sebagai pendamping buku pubertas siswa. Di dalam buku tersebut terdapat prosedur membuat serta memanfaatkan teknologi hypercontent.

Tahap Persiapan Penulisan, pengembang melibatkan tim/ahli dari teknologi pendidikan, pengembangan media, konten, dan bahasa. Materi pubertas disusun secara sistematis dan logis sesuai dengan logika berpikir deduktif untuk memudahkan pengguna memahami dan memanfaatkan buku.Kegiatan belajar yang disajikan dalam buku sebagian besar berbasis belajar mandiri sehingga pengguna diharapkan dapat membaca serta mengikuti seluruh asesmen yang tersedia untuk memperoleh pengetahuan utuh mengenai pubertas. Buku hypercontent pubertas menyertakan contoh-contoh melalui gambar serta video yang ditautkan menggunakan teknologi hypercontent.

Gambar 1 Contoh isi buku yang memuat kode QR tautan

509Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar dan elemen grafis dalam buku digunakan untuk memudahkan pengguna untuk memahami konsep pubertas. Gambar dan elemen grafis lainnya juga disesuaikan dengan profil peserta didik yang masih dalam tahap perkembangan operasional konkret sehingga masih membutuhkan banyak contoh-contoh nyata yang dapat mereka amati secara langsung. Peralatan yang dibutuhkan adalah komputer untuk merancang dan menulis buku serta perangkat lunak pengolah kata dan perangkat lunak untuk mendesain gambar dan elemen grafis lainnya. Bentuk fisik buku ini adalah buku digital dengan ukuran kertas A5 yang dicetak dalam format PDF. Elemen hypercontent yaitu kode QR yang berisi tautan ke media digital eksternal.

Tahap Penulisan dan Penyuntingan, merupakan penuangan dari semua gagasan yang telah dirumuskan pada tahapan-tahapan sebelumnya.

Tahapan ini terdiri dari 4 langkah utama yaitu: membuat draf, melengkapi draf dan menyunting, menulis asesmen belajar, dan menguji coba (termasuk validasi) serta memperbaiki bahan ajar.

Proses validasi melibatkan 7 ahli bahasa, media, dan materi dengan kualifikasi pendidikan S2, S3, dan pangkat akademik professor. Hasilnya menunjukkan 3 ahli menyatakan produk valid dan 4 ahli menyatakan produk sangat valid sehingga disimpulkan bahwa produk tidak membutuhkan revisi dan dapat dilanjutkan dengan uji coba.

Uji coba kepada empat peserta didik menghasilkan 1 responden menyatakan produk valid dan 3 lainnya menyatakan sangat valid. Selanjutnya, uji coba kelompok besar menunjukkan validitas tinggi, dari 76 responden, rata-

510 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

rata skor penilaian adalah 35,34 dengan persentase 80,32 tingkat kevalidan “Valid” dan dapat diambil kesimpulan bahwa produk tidak memerlukan revisi.

Selanjutnya dilakukan uji normalitas data dengan teknik Kolmogorov-Smirnov dan menggunakan nilai residual, didapat nilai residualnya sebesar 0,161 dengan melihat nilai pada keterangan Monte Carlo Sig. Dengan demikian berarti nilai tersebut >0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa data dalam penelitian ini bersifat normal.

Tabel 1 Uji Sampel berpasangan

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Pre Test 77,18 39 22,907 3,668Post Test 86,15 39 16,078 2,575

Berdasarkan tabel 1 nilai mean pada hasil pre test sebesar 77,18 sedangkan nilai mean pada hasil post test sebesar 86,15. Hasil t hitung yang didapat yakni sebesar -3,436 > t tabel 2,024 maka, H0 ditolak dan Ha diterima. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata hasil antara pre test dengan post test yang artinya ada pengaruh penggunaan buku “Remaja Juara Cerdas Menghadapi Pubertas” dalam meningkatkan pengetahuan peserta didik mengenai pubertas.

Pendidikan pubertas merupakan tanggung jawab semua guru. Bahkan sesungguhnya proses pendidikan dan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab sosial yang melibatkan orang tua, guru, rekan sebaya, profesional, dan masyarakat (Dawson, 2018; Leerlooijer et al., 2014; Roux et al., 2019; Susanto et al., 2018). Beberapa informan (Ibu M_MS, 49 th, Kelas V) menyatakan, “... belum pernah membahas materi pubertas, terlebih lagi pembelajaran online mempersulit penyampaian materi.” Sejatinya semua guru dapat memberi kontribusi dalam pendidikan pubertas. Sebagai contoh, guru yang mengajar bahasa, baik Bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, dapat memanfaatkan bacaan/literatur yang berisi materi penunjang pubertas. Peserta didik dapat pula diminta/diberi tugas melakukan wawancara atau membuat esai tentang mitos yang berkembang di masyakat tentang pubertas. Hal ini pada saat yang sama melatih keterampilan komunikasi dan sifat asertif sehingga peserta didik terbiasa menyampaikan pendapat dan perasaannya.

Semua informan melaksanakan perencanaan pembelajaran, namun tidak banyak yang merencanakannya melalui diskusi bersama dan koordinasi dengan difasilitasi manajemen sekolah. Umumnya yang dilakukan masing-masing guru membuat rencana pembelajaran dan melaporkan/menyerahkan dokumennya kepada manajemen sekolah. Kegiatan ini bisa dikerjakan bersama guru lain, namun tidak termasuk membahas materi, karena hampir sepenuhnya guru

511Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berpedoman pada buku pegangan yang ada. Jadi, kegiatan ini relatif merupakan kegatan administratif belaka. Padahal, sejak masa pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 institusi pendidikan sudah mulai diberi keleluasaan untuk menyusun kurikulum sesuai kebutuhan dan situasi masing-masing. Kurikulum 2013 membuat keleluasaan itu semakin tinggi, bahkan pada situasi pandemi Covid-19, konsep dan prinsip merdeka belajar yang sudah menjadi kebijakan terbaru mengakibatkan juga adaptasi kurikulum dan rencana pembelajaran. Alangkah elok jika semua guru dapat mengidentifikasi peserta didik dan berbagai sumber daya yang dimiliki sehingga dapat bekerja dalam tim untuk merancang pembelajaran barmakna bagi peserta didik.

Pendidikan pubertas diharapkan disampaikan pada semua kelas/tingkat secara berkesinambungan. Salah satu informan (Ibu A_LS, 24 tahun, Kelas I) menyampaikan bahwa peserta didik bertanya ketika gurunya tidak ikut melaksanakan ibadah shalat berjamah. Guru mengalami kesulitan saat harus menyampaikan materi pubertas, dalam hal ini menstruasi sebagai tanda akhir pubertas, kepada peserta didik yang masih duduk di kelas rendah. Guru mempersepsi bahwa bagi anak tertentu, jawaban seperti, “... nanti juga kamu akan mengalaminya,” dirasa tidak cukup memuaskan rasa ingin tahu mereka. Informan lain (Bapak S_LS, 26 tahun, Agama) menyampaikan materi terkait etika/akhlak dan fiqih menghadapi pubertas, khususnya menstruasi dan mimpi basah pada Kelas VI, sesuai buku pedoman guru. Namun beliau merasakan kegelisahan jika harus menunggu peserta didik duduk di Kelas VI, karena kenyataannya (berdasarkan pengamatannya) banyak peserta didik sudah mengalami tanda primer dan akhir pubertas tersebut pada Kelas III dan IV. Pubertas yang datang lebih awal saat ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara lain (Noipayak et al., 2016; O’Keeffe et al., 2019. Hal ini tentu berpengaruh signifikan terhadap situasi fisik, mental, dan sosial peserta didik yang pada gilirannya berdampak pada proses pembelajaran. Pengalaman masing-masing guru mengakibatkan perubahan mindset bahwa materi pubertas hanya bisa disampaikan pada kelas tertentu. Mereka menyatakan akan siap membahasnya jika dirasa dibutuhkan peserta didik.

Situasi pandemi Covid-19 yang bagi sebagian besar guru dianggap sebagai penghambat proses penyampaian materi, justru dianggap peluang oleh sebagian guru lainnya. Sumber belajar yang cenderung monoton digunakan sebelum masa pandemi, kemudian dimodifikasi secara kreatif. Beberapa guru berkolaborasi dan dengan difasilitasi manajemen sekolah mengembangkan konten pembelajaran yang diunggah ke kanal YouTube agar dapat dimanfaatkan secara luas, salah satunya kanal Pesona Guru yang dikembangkan oleh SD Labschool Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta. Buku hypercontent yang dikembangkan dapat memanfaatkan sumber belajar yang ada

512 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan karakteristik peserta didik serta tujuan pembelajaran. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penggunaan media digital dan daring meningkatkan pencapaian pembelajaran, bahkan juga peningkatan keterampilan dan perilaku (Long et al., 2018; Mummah et al., 2017; Rajani et al., 2019; Wong et al., 2017). Buku hypercontent belum banyak dimanfaatkan di Indonesia namun sangat potensial mendukung pembelajaran dalam masa pandemic Covid-19 dan masa yang akan dating. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas pemanfaatan buku hypercontent dalam pembelajaran di berbagai jenjang pendidikan (Amin et al., 2019; Herlina, 2019; Hidayat & Rusijono, 2020; Siang et al., 2019).

Guru seharusnya dapat berperan sebagai couch, mentor, dan counselor, selain sebagai edukator. Sebagian guru masih beranggapan bahwa tugasnya hanya menyampaikan materi sesuai buku pedoman yang ada (pengajar), sehingga membatasi materi yang dianggap terlalu vulgar dan tabu (Mora, 2020; Nurfadhilah et al., 2019; Utomo, Nurfadhilah, Hidayat, et al., 2019). Peserta didik dengan kondisi khusus, misalnya difabel, juga perlu mendapat perhatian. Proses pubertas yang dialami peserta didik sangat unik dan tidak banyak orang tua mengajarkan anaknya untuk mempersiapkan diri (Grossman et al., 2018; Hurwitz et al., 2018; Susanto et al., 2018).

D. Kesimpulan dan Saran

Buku hypercontent Remaja Juara telah divalidasi oleh ahli bahasa, media, dan materi serta telah melewati serangkaian uji kepada peserta didik. Buku tersebut dinyatakan layak diaplikasikan dalam proses pembelajaran pada jenjang sekolah dasar. Situasi pandemi Covid-19 merupakan tantangan sekaligus bisa menjadi peluang dalam pelaksanaan pendidikan pubertas dalam rangka mewujudkan visi Generasi Emas Indonesia 2045.

Penerapan Buku hypercontent Remaja Juara bersama buku hypercontent pegangan guru sekolah dasar Pubertas: Siap Menghadapi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan guru dan peserta didik melaksanakan proses pembelajaran yang bermakna dan sesuai dengan konteks yang sedang terjadi. Dampak lebih jauh yang diharapkan yaitu penguatan perilaku abstinensi sebagai perilaku sehat dan bertanggung jawab peserta didik terkait reproduksi dan seksualitas.

513Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Amin, M., Muslim, S., & Wirastih, M. K. (2019). Pengembangan Modul Pembelajaran Hypercontent Pengenalan Perangkat Jaringan Komputer untuk Mahasiswa Asal Daerah 3T. Seminar Nasional Pendidikan Universitas Subang, 1(1), 199–204.

Biccard, B. M. (2018). Addressing the unfinished agenda on sexual and reproductive health and rights in the SDG era. 6736(18), 2581–2584. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)30890-0

Center for Population Research and Development, B.-N. P. and, & Family Planning Board, I. (2018). INDONESIA DEMOGRAPHIC AND HEALTH SURVEY 2017: ADOLESCENT REPRODUCTIVE HEALTH KEY INDICATORS REPORT.

Dawson, R. S. (2018). Adolescent sexual health and education: Where does the pediatrician’s responsibility fall? Pediatric Annals, 47(4), e136–e139. https://doi.org/10.3928/19382359-20180321-01

Grossman, J. M., Jenkins, L. J., & Richer, A. M. (2018). Parents ’ Perspectives on Family Sexuality Communication from Middle School to High School. https://doi.org/10.3390/ijerph15010107

Herlina. (2019). Pengembangan Bahan Pembelajaran Berbasis Hypercontent pada Pembelajaran Tematik Daerah Tempat Tinggalku. Jurnal Teknologi Pendidikan, 21(Desember 2019), 73–84.

Hidayat, M. R., & Rusijono. (2020). Pengembangan Modul Berbasis Hypercontent Materi Prinsip Dasar Pembuatan Animasi 2D Mata Pelajaran Animasi 2D dan 3D Kelas XI Multimedia di SMK Muhammadiyah 2 Taman. Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan, 10, 8.

Hurwitz, L. B., Lovato, S. B., Lauricella, A. R., Woodruff, T. K., Patrick, E., & Wartella, E. (2018). “A New You, That’s Who”: an evaluation of short videos on puberty and human reproduction. Palgrave Communications, 4(1). https://doi.org/10.1057/s41599-018-0147-z

Kemendikbud RI. (2017). Peta Jalan Generasi Emas Indonesia 2045. Kemendikbud RI.

Lailani, D., Nurfadhilah, & Utomo, E. (2019). Pendidikan Seks pada Anak oleh Ibu, Survei di Kelurahan Pondok Betung 2019. Wahana Sekolah Dasar, 7. https://journal.pgsdfipunj.com/index.php/prosiding-seminar/article/view/157

514 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Leerlooijer, J. N., Ruiter, R. A. C., Damayanti, R., Rijsdijk, L. E., Eiling, E., Bos, A. E. R., & Kok, G. (2014). Psychosocial correlates of the motivation to abstain from sexual intercourse among Indonesian adolescents. Tropical Medicine and International Health, 19(1), 74–82. https://doi.org/10.1111/tmi.12217

Long, N. ., Long, R. E., & Lawrence, S. . (2018). The use of a mobile app in teaching beef cattle body condition scoring in undergraduate classes (Issue April). https://doi.org/10.2527/ssasas2015-129

Mora, V. de la. (2020). Educators’ Perspectives on Sex Education for Elementary-Aged Children. Mills College.

Mummah, S., Robinson, T. N., Mathur, M., Farzinkhou, S., Sutton, S., & Gardner, C. D. (2017). Effect of a mobile app intervention on vegetable consumption in overweight adults : a randomized controlled trial. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 14:125(2017), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12966-017-0563-2

Noipayak, P., Rawdaree, P., Supawattanabodee, B., & Manusirivitthaya, S. (2016). Age at menarche and performance intelligence quotients of adolescents in Bangkok , Thailand : a cross-sectional study. BMC Pediatrics, 1–6. https://doi.org/10.1186/s12887-016-0624-8

Nurfadhilah, & Ariasih, A. R. (2019). Abstinensi dan Pendidikan Seks Remaja: Survei Cepat di Jakarta dan Sekitarnya. Pendidikan Lingkungan Dan Pembangunan Berkelanjutan, XX(Maret 2019), 17–28.

Nurfadhilah, Utomo, E., Abbas, H., Akbar, Z., & Nadiroh. (2019). Education of Sexual Abstinence in Indonesia, Taboo or a Critical Need? International Conference on Education in Muslim Society.

O’Keeffe, L. M., Frysz, M., Bell, J. A., Howe, L. D., & Fraser, A. (2019). Puberty timing and adiposity change across childhood and adolescence: disentangling cause and consequence. Journal of Research for Nursing Education, 28(2), 10–11. https://doi.org/10.19015/jasne.28.2_10

Pertiwi, K. R. (2007). URGENSI PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI SEBAGAI BAGIAN INTEGRATIF PEMBELAJARAN IPA. 1–10.

Pinandari, A. W., Wilopo, S. A., & Ismail, D. (2015). Pendidikan Kesehatan Reproduksi Formal dan Hubungan Seksual Pranikah Remaja Indonesia. Kesmas: National Public Health Journal, 10(1), 44. https://doi.org/10.21109/kesmas.v10i1.817

Rajani, N. B., Weth, D., Mastellos, N., & Filippidis, F. T. (2019). Use of gamification strategies and tactics in mobile applications for smoking cessation : a review of the UK mobile app market. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2018-027883

515Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Roux, F., Burns, S., Chih, H. J., & Hendriks, J. (2019). Developing and trialling a school-based ovulatory-menstrual health literacy programme for adolescent girls: A quasi-experimental mixed-method protocol. BMJ Open, 9(3). https://doi.org/10.1136/bmjopen-2018-023582

Siang, J. L., Ibrahim, N., & Situmorang, R. (2019). Development of hypercontent module using Jonnuro Model learning desain for candidates master guide. International Journal of Recent Technology and Engineering, 8(2 Special Issue 9), 70–78. https://doi.org/10.35940/ijrte.B1016.0982S919

Suhardi, D., Budhiman, A., Jawab, P., Materi, P., Utami, R. P., Fathoni, M. K., A, D. K., Suhadisiwi, I., Suhadisiwi, I., Utami, R. P., Koesoema, D., Suhadisiwi, I., Astuti, A. D., Foto, E., Sampul, D., Rediza, P., Aditama, M. A., Foto, S. S., Astuti, A. D., … Effendy, M. (2018). Panduan Praktis Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Berbasis Budaya Sekolah. 14.

Susanto, T., Saito, R., Syahrul, Kimura, R., Tsuda, A., Tabuchi, N., & Sugama, J. (2018). Immaturity in puberty and negative attitudes toward reproductive health among Indonesian adolescents. International Journal of Adolescent Medicine and Health, 30(3). https://doi.org/10.1515/ijamh-2016-0051

Utomo, E. (2018). Peran Lembaga Pendidikan dalam Menghadirkan Generasi Berkarakter.

Utomo, E., Nurfadhilah, Hidayat, O. S., Wicaksono, J. W., & Arif, A. (2019). The Misconception of Teacher ’ s and Student ’ s Knowledge Regarding Puberty in Higher Elementary Education. International Conference on Humanity, Education, and Social Study, 8.

Utomo, E., Nurfadhilah, Purwanto, A., Wicaksono, J. W., & Arif, A. (2019). Landasan agama dalam pendidikan pubertas di sekolah dasar. Harkat, 4(Dec 2019), 55–60. https://doi.org/.1037//0033-2909.I26.1.78

Wong, M. L., Ng, J. Y. S., Chan, R. K. W., Chio, M. T. W., Lim, R. B. T., & Koh, D. (2017). Randomized controlled trial of abstinence and safer sex intervention for adolescents in Singapore: 6-month follow-up. Health Education Research, 32(3), 233–243. https://doi.org/10.1093/her/cyx040

516 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

MODEL PENGEMBANGAN BUKU TEKSSEKOLAH DASAR KELAS RENDAH

(The Development Model of Low Class Elementary School Text Book)

E. Oos M. Anwas1

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbangbuk, [email protected]

Zaim Uchrowi2

Yayasan Karakter Pancasila, Jakarta, [email protected]

Anggi Afriansyah3

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, [email protected]

Khofifa Najma Iftitah4

Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbangbuk, [email protected]

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan menyusun model pengembangan Buku Teks jenjang SD Kelas Rendah yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan. Penelitian dilakukan melalui tahapan penelitian pendahuluan, perumusan dan pengembangan model, serta review dan revisi model. Tahapan penelitian pendahuluan dilakukan secara nasional pada delapan provinsi. Ditemukan, bahwa pendekatan literasi dasar (membaca, menulis, dan berhitung) pada buku teks di SD kelas rendah cenderung terabaikan karena dominasi pendekatan akademis untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Akibatnya, kemampuan literasi dasar para siswa masih mengkhawatirkan. Model pengembangan buku teks SD Kelas Rendah ini memandu para pengembang buku teks untuk: memperhatikan kesesuaian dengan tumbuh kembang peserta didik, fokus pada pembelajaran literasi dasar dan membangun karakter, serta keselarasan cerita dan gambar yang menarik dan mendidik. Model pengembangan buku ini dapat menjadi acuan penting bagi pelaku perbukuan, khususnya: penulis, penyadur, editor, ilustrator, desainer, serta pengembang buku elektronik dalam mengembangkan buku teks (buku teks utama atau buku teks pendamping) di SD kelas rendah.

AbstractThis study aims to develop a textbook development model for the low-grade elementary school level according to the needs and characteristics of students. This research uses research and development methods. The research stage was carried

517Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

out through preliminary research, model formulation and development, and model review and revision. The preliminary research stages were carried out nationally in eight provinces. It was found that the basic literacy approach (reading, writing, and arithmetic) in textbooks in low grade elementary schools tends to be neglected due to the dominance of the academic approach for higher education levels. As a result, students’ basic literacy skills are still worrying. This Low Grade Elementary School textbook development model guides textbook developers to: pay attention to the suitability of students’ growth and development, focus on learning basic literacy and character building, as well as the alignment of interesting and educational stories and images. This book development model can be an important reference for bookkeepers, in particular: writers, adapters, editors, illustrators, designers, and electronic book developers in developing textbooks (main textbooks or companion textbooks) in low grade elementary schools.

Kata kunci: buku, buku teks, model pengembangan buku teks, SD kelas rendah

A. Pendahuluan

Buku teks pelajaran menjadi sumber belajar utama digunakan peserta didik dan guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-undang Nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, bahwa buku pendidikan terdiri dari buku teks dan buku nonteks. Lebih lanjut dijelaskan bahwa buku teks terdiri dari buku teks utama dan buku teks pendamping. Buku teks utama (buku teks pelajaran) wajib digunakan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan/ pembelajaran di sekolah berkaitan dengan ketersediaan buku-buku yang berkualitas di sekolah, yang berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan membaca di usia dini. Kemampuan membaca berpengaruh pada kemampuan anak dalam mengeksplorasi berbagai pelajaran.

Dapat dipahami bila Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, secara khusus mengamanatkan terwujudnya ekosistem perbukuan yang sehat. Undang-undang tersebut juga menegaskan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab menyusun dan menjamin tersedianya buku teks pelajaran untuk membelajarkan bagi setiap peserta didik.

Penyusunan buku teks pelajaran tidak hanya berisi konten/materi pelajaran saja, tetapi dituntut membangun berbagai kecakapan dalam mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum (Anwas, 2016). Kompetensi tersebut antara lain dikaitkan dengan tuntutan kecakapan abad 21 yaitu berpikir kritis, kreatif inovatif, komunikasi, dan kolaborasi, serta menanamkan karakter, membiasakan berpikir tingkat tinggi (HOTS), dan mendorong budaya literasi.

518 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Implementasi Kurikulum 2013, penyusunan buku teks pelajaran di jenjang SD diwujudkan dalam bentuk buku tematik. Meskipun demikian, realitas empiris di lapangan menunjukkan bahwa buku tematik di jenjang SD mengandung beberapa persoalan, terutama ketika dihubungkan efektivitasnya untuk membelajarkan literasi dasar. Rusman (2011) sebelumnya sudah menyatakan bahwa tematik semestinya memang soal pembelajarannya, bukan menyangkut bukunya.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan akan merombak buku pelajaran di sekolah (Tempo, 2020). Merujuk pada kondisi tersebut buku pelajaran yang dibutuhkan harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Studi Efendi (2009) menunjukkan bahwa buku teks pelajaran itu mempunyai peran penting bagi peserta didik. Buku teks pelajaran tersebut perlu dirancang dengan baik dan benar sehingga menjadi media pembelajaran yang efektif, yang dapat membantu peserta didik belajar, dapat dibaca kapan saja, dan dari segi isi berdampak pada perubahan perilaku, kemampuan berpikir, berbuat, dan bersikap peserta didik.

Selain itu, menurut Rahmawati (2015) buku teks pelajaran sebagai salah satu sumber belajar peserta didik juga harus terdapat di perpustakaan sekolah. Buku teks pelajaran yang dibutuhkan adalah yang dapat berkontribusi pada perkembangan kreativitas, motivasi dan keaktifan peserta didik serta meningkatkan kualitas pembelajaran mandiri peserta didik. Menurut Darwati (2010) dalam penelitian tentang buku teks pendidikan sejarah, buku teks pelajaran yang dipilih guru adalah buku yang cukup lengkap isinya sehingga informasi dapat diperoleh dengan mudah oleh peserta didik.

Berdasarkan kondisi tersebut dibutuhkan buku teks yang dapat membangun keaktifan, kreativitas peserta didik, keterampilan abad 21, memotivasi peserta didik dan membuat mereka menjadi pembelajaran mandiri. Penelitian-penelitian terdahulu belum ada yang mengkaji tentang bagaimana mengembangkan dan menyusun buku teks untuk peserta didik SD di kelas rendah. Hal ini sangat penting mengingat peserta didik SD kelas rendah merupakan masa transisi dari lingkungan PAUD ke lingkungan sekolah, atau dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah. Begitupun model atau panduan penyusunan buku SD yang dapat membantu para pelaku perbukuan khususnya penulis, penyadur, editor, ilustrator, dan desainer buku, serta pengembang buku elektronik. Oleh karena itu diperlukan model pengembangan buku teks SD di kelas rendah berdasarkan hasil penelitian di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menyusun model pengembangan Buku Teks jenjang SD Kelas Rendah yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik Indonesia.

Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian tentang model model pengembangan Buku Teks jenjang SD Kelas Rendah yang dilakukan

519Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

oleh penulis (Anwas, dkk., 2020) dengan sponsor dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2020.

B. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian terapan dengan menggunakan metode penelitian pengembangan (research and development). Metode Penelitian dan pengembangan termasuk penelitian terapan dalam mengembangkan berbagai inovasi (Anwas dan Sugiarti 2020). Mengadopsi model Borg dan Gall (1983), secara umum metode penelitian tersebut dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu penelitian pendahuluan, pengembangan model, dan uji/validasi model. Penelitian pendahuluan dilakukan melalui metode survei secara nasional yang diwakili delapan provinsi yakni Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua Barat. Sebanyak 146 peserta didik, 833 guru, dan 654 orang tua peserta didik berpartisipasi sebagai responden penelitian tersebut. Teknik sampling menggunakan stratifikasi random sampling.

Teknik pengumpulan data dalam tahapan penelitian pendahuluan dilakukan melalui questioner dan wawancara. Pengumpulan data ini dibantu oleh enumerator di lokasi penelitian yang telah dilatih sesuai keperluan penelitian. Untuk mendalami persoalan dilakukan diskusi kelompok terpumpun dengan orangtua, guru, dan peserta didik kelas satu sampai dengan kelas tiga di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Maluku. Selain itu diadakan diskusi dengan pakar untuk merumuskan kebutuhan buku teks pelajaran bagi kelas rendah. Teknik analisis data menggunakan statistik deskriptif dan uji korelasi. Tahap kedua adalah melakukan pengembangan model buku teks SD kelas rendah yang didasarkan pada data hasil studi pendahuluan. Tahap ketiga adalah review dan revisi model yang dilakukan oleh pelaku perbukuan yang akan menjadi sasaran model ini yaitu: penulis, penyadur, editor, ilustrator, dan desainer buku. Dalam artikel ini lebih banyak disajikan tentang model pengembangan buku teks SD kelas rendah.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Kompetensi yang Diperlukan

Hasil dalam tahapan penelitian pendahuluan diketahui bahwa kemampuan literasi dasar terutama membaca, menulis dan berhitung peserta didik SD kelas I, Kelas II, dan kelas III masih rendah. peserta didik kelas I, sebagian besar (56%) tidak dan kurang lancar membaca; 52% tidak dan kurang lancar menulis, dan 38% tidak dan kurang lancar berhitung. peserta didik kelas II, masih ada 22% yang tidak dan kurang lancar membaca; 28% kurang lancar menulis, dan 12% tidak dan kurang

520 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

lancar berhitung. peserta didik kelas III, masih ada 9% yang tidak dan kurang lancar membaca; 13% tidak dan kurang lancar menulis dan 10% tidak dan kurang lancar berhitung. Kondisi ini terjadi relatif sama antara di daerah pedesaan dan perkotaan.

Hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan peserta didik, guru, dan orangtua peserta didik kelas I, Kelas II, dan Kelas III diketahui bahwa buku teks pelajaran yang ada belum memfasilitasi untuk membelajarkan literasi dasar. Para guru dan orangtua peserta didik dalam membelajarkan literasi dasar kepada peserta didik menggunakan buku-buku, media pembelajaran, atau alat peraga lainnya yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.

Hasil uji korelasi, diketahui ada hubungan yang signifikan dan positif antara kualitas buku terutama aspek sampul buku, ilustrasi/gambar, dan sajian materi dalam bentuk cerita dengan kemampuan literasi dasar (membaca, menulis, dan berhitung) peserta didik SD kelas rendah. Artinya, semakin baik kualitas buku teks dalam aspek sampul, ilustrasi/gambar, dan sajian dalam bentuk cerita maka akan semakin meningkat pula kemampuan literasi dasar peserta didik SD kelas rendah tersebut, begitupun sebaliknya.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan, penulisan buku teks SD Kelas Rendah perlu didasarkan pada kurikulum yang berlaku. Penulis buku sangat perlu melakukan pendalaman terhadap kurikulum yang berlaku tersebut, sebelum menyusun buku teks. Sesuai dengan data dalam penelitian pendahuluan tersebut, bahwa penyusunan buku pada jenjang SD kelas rendah ini bukanlah pada menyampaikan sejumlah ilmu pengetahuan tertentu, melainkan pada pendidikan literasi dasar dan menanamkan pendidikan karakter. Yang dimaksud pendidikan literasi dasar dalam hal ini adalah pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung dari tingkat yang paling dasar.

Membaca dan menulis di tingkat dasar dapat dimasukkan dalam proses pembelajaran yang sama, sedangkan pembelajaran berhitung perlu dilakukan secara khusus. Oleh karena itu, pada model ini, pembelajaran membaca dan menulis dimasukkan dalam proses pembelajaran yang sama yakni pembelajaran Bahasa Indonesia. Dengan demikian, acuan yang dipergunakannya adalah kurikulum dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

Kurikulum ini mencakup dua aspek dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, yaitu aspek reseptif dan aspek produktif. Aspek reseptif terdiri dari dua hal, yaitu menyimak serta membaca dan memirsa. Sedangkan untuk aspek produksi terdiri dari berbicara dan merepresentasikan serta menulis. Karena penulisan ini untuk buku teks pelajaran SD Kelas Rendah,

521Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

maka Capaian Pembelajaran yang digunakan adalah untuk rentang usia 6 s.d. 8 tahun sebagaimana tersebut di bawah ini.

a. Menyimak“Peserta didik menyimak dengan saksama, memahami instruksi,

memahami serta memaknai informasi dalam teks audiovisual dan teks aural (teks yang dibacakan sesuai jenjangnya.”

b. Membaca dan memirsa“Peserta didik memahami kata-kata yang sering digunakan

sehari-hari dan memahami kata-kata baru dengan bantuan konteks kalimat dan gambar/ilustrasi. Peserta didik juga membaca dengan fasih dan menemukan informasi pada sebuah kalimat serta menjelaskan topik sebuah teks yang dibacanya. Dengan bantuan gambar, peserta didik membuat kesimpulan dalam bentuk kalimat sederhana, yang berangkat dari pemahaman dan pemaknaannya terhadap teks naratif dan informasional yang sesuai dengan jenjangnya.”

c. Berbicara dan mempresentasikan“Peserta didik berbicara dengan santun, menggunakan volume

yang tepat sesuai tempat berbicara, dan menjawab pertanyaan teman, guru, dan orang dewasa di sekitarnya, Peserta didik menanggapi komentar orang lain dengan relevan, bertanya untuk mengklarifikasi pemahaman dan meminta penjelasan terkait topik tertentu. Peserta didik mempresentasikan ide, menceritakan ulang sebuah cerita atau pengalaman secara lebih rinci.”

d. Menulis“Peserta didik menulis kalimat dalam teks naratif, deskriptif,

prosedur, eksposisi, dan argumentatif sederhana. Dengan bimbingan, peserta didik merevisi dan menyunting kalimatnya sendiri. Peserta didik menulis kalimat sederhana untuk menggambarkan pengalaman, pengamatan, atau menulis ulang petikan frasa atau kalimat dari buku yang dibaca/dibacakan kepadanya.”

Mengembangkan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu kompetensi yang sangat tinggi, lebih dari untuk jenjang lain di atasnya. Pada pendidikan di jenjang lebih atas, pendekatan saintifik yang terukur dapat secara efektif diaplikasikan. Pada pendidikan untuk jenjang SD Kelas Rendah, bukan pendekatan saintifik yang utama melainkan pendekatan pendidikan literasi dasar dan pendidikan karakter.

Posisi sebagai pendidikan dasar memang menuntut kecermatan ekstra. Tak seperti kesalahan di tingkat jenjang selanjutnya yang lebih

522 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

mudah diatasi, kesalahan di jenjang dasar atau pondasi sulit untuk diatasi karena itu harus dihindarkan. Ibarat rumah, kesalahan pada dinding atau atap lebih mudah diperbaiki sedangkan kesalahan dalam pondasi dapat berakibat lebih fatal karena tak dapat begitu saja diperbaiki.

Kompetensi dalam mengembangkan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu benar-benar terpenuhi. Pengembangan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah tidak dapat diserahkan pada pengembang pemula dengan pengalaman terbatas, melainkan harus pada pengembang berpengalaman yang panjang. Tuntutan terhadap tingkat kompetensi serta pengalaman bagi pengembang buku teks pelajaran SD Kelas Rendah ini melebihi tuntutan terhadap kompetensi dan pengalaman untuk jenjang-jenjang di atasnya. Adapun kompetensi yang diperlukan itu adalah pembelajaran literasi dasar atau pembelajaran calistung, pendidikan karakter, serta kompetensi dalam perjenjangan buku dan sastra anak.

a. Pendidikan literasi dasar (pembelajaran calistung)

Pendidikan literasi dasar atau pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung di tingkat paling dasar cenderung semakin terabaikan dalam beberapa dasawarsa terakhir. Semakin sedikit pakar yang menekuni pembelajaran calistung karena secara umum dipandang publik sebagai hal yang kurang prestisius dibanding aspek kecakapan berfikir aras tinggi atau higher order thinking skills (HOTS).

Padahal literasi dasar yang kuatlah yang dapat menjadikan HOTS kuat dan pendekatan saintifik akan efektif untuk jenjang selanjutnya. Tanpa literasi dasar yang kuat, nalar akan rendah, HOTS dan pendekatan saintifik hanya akan sebatas menjadi wacana akademik pendidikan seperti selama ini. Karena itu, pengembang buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu secara khusus mendalami lebih dahulu pembelajaran calistung sebagai Pendidikan literasi dasar.

b. Pendidikan karakter

Selain dalam aspek pendidikan literasi dasar, kompetensi yang perlu dimiliki pengembang buku teks pelajaran SD Kelas Rendah adalah pendidikan karakter. Kuatnya pengaruh pendekatan akademik di dunia pendidikan dasar membuat pendidikan karakter cenderung terabaikan di pendidikan dasar. Padahal pendidikan karakterlah yang paling diperlukan di jenjang SD, khususnya SD Kelas Rendah, bersama dengan pendidikan literasi dasar.

Dalam pendekatan akademik, yang dipentingkan adalah materi berupa pengetahuan. Yakni bagaimana mendapatkan, mengolah, hingga memproduksi pengetahuan yang biasa dilakukan di jenjang pendidikan

523Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tinggi. Dalam kadar tertentu pendekatan ini dapat diturunkan ke jenjang pendidikan menengah, dan dapat menimbulkan disorientasi pendidikan saat dipaksakan menjadi pendekatan untuk pendidikan dasar.

Pada jenjang pendidikan dasar, apalagi untuk SD Kelas Rendah, orientasi utamanya tentu tetap harus pada pendidikan karakter selain pendidikan literasi dasar tersebut. Dalam pendidikan karakter, fokusnya bukan materi pengetahuan melainkan sosok para peserta didik dalam bersikap serta berperilaku. Bagaimana memahami karakter para peserta didik dan membantu mengembangkan karakter mereka menjadi kompetensi yang harus dikuasai para pengembang buku teks pelajaran SD Kelas Rendah.

c. Perjenjangan buku dan sastra anakKompetensi yang juga harus dimiliki dalam pengembangan buku

teks pelajaran SD Kelas Rendah adalah menyangkut Perjenjangan Buku (Pusat Perbukuan Kemendikbud, 2019) dan sastra anak. Jenjang SD Kelas Rendah adalah jenjang dasar dari tingkat dasar. Jenjang pondasi yang perlu dibangun secara benar dan kuat untuk menjadi landasan bagi jenjang-jenjang berikutnya. Untuk itu, pemahaman secara benar jenjang perbukuan perlu dikuasai secara benar, khususnya Jenjang C dan D yang akan dibahas dalam bab berikutnya.

Tak cukup dengan menguasai perjenjangan buku, pengembang buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu kompeten sebagai penulis sastra anak. Yakni kompetensi membangun alur cerita yang menarik, menyusun narasi baik, hingga mampu menggugah perasaan dengan bersandar pada akal sehat bagi pembacanya yakni anak-anak yang menjadi peserta didik Kelas I s.d. III SD. Pada pengembangan jenjang buku di pendidikan menengah maupun tinggi, kompetensi yang baik dalam Bahasa Indonesia sudah memadai untuk pengembangan buku teks pelajaran. Untuk pengembangan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah, kompetensi tersebut tidak mencukupi karena perlu kompetensi tambahan yakni kompetensi menulis sastra anak.

2. Penyiapan Bahan Selaras Perjenjangan BukuUntuk penulisan buku teks SD Kelas Rendah (baik buku teks utama

maupun buku teks pendamping) perlu penyiapan bahan secara khusus dengan mempertimbangkan konsep dan ketentuan Perjenjangan Buku (Pusat Perbukuan Kemendikbud, 2019). Penyiapan bahan untuk setiap penulisan buku selalu diperlukan. Namun pada penulisan buku teks SD Tingkat Rendah, penyiapan ini lebih diperlukan lagi karena bukan saja karena menyangkut buku teks pelajaran, melainkan juga mencakup dua tingkat perjenjangan buku yang berbeda.

524 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Perjenjangan buku memang tidak langsung menyangkut jenjang kelas bagi peserta didik atau peserta didik melainkan menyangkut capaian berupa jenjang kemampuan literasi seseorang. Tingkat terendah dalam perjenjangan buku adalah Jenjang A atau tahap prabaca, yang secara umum penggunaannya setara dengan anak-anak di fase Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-Kanak (Pusat Perbukuan Kemendikbud, 2019).

Untuk para anak setingkat SD Kelas Rendah, jenjang perbukuan yang setara adalah di Jenjang C (Membaca Dini) dan Jenjang D (Membaca Awal). Pada Jenjang C, seseorang baru di tingkat kemampuan baca yang paling dasar mulai dari pengenalan aksara, kemampuan membaca suku kata, hingga membaca kata dan kalimat sangat sederhana. Dalam buku teks pelajaran SD Kelas Rendah beberapa waktu terakhir, kaidah penulisan sesuai Jenjang C ini lebih banyak terabaikan.

Hal tersebut tergambarkan pada buku teks pelajaran SD Kelas Rendah yang digunakan dalam 15 tahun terakhir, termasuk dalam lima tahun terakhir, ini. Secara umum buku teks pelajaran SD Kelas Rendah langsung diposisikan untuk menyampaikan materi sesuai mata pelajaran atau tema yang telah ditetapkan. Bukan diposisikan sebagai alat bantu pembelajaran literasi dasar yang sejalan dengan Jenjang Buku C atau jenjang yang setara dengan buku bagi peserta didik Kelas I SD.

Realitas tersebut dapat dikonfirmasi pada guru maupun orang tua murid SD Kelas Rendah di berbagai daerah yang umumnya harus membelajarkan literasi dasar sesuai caranya masing-masing. “Dalam tiga bulan pertama (setelah peserta didik Kelas 1 SD masuk), saya ajarkan membaca dan menulis dulu dengan cara saya. Buku teks pelajaran tidak saya gunakan karena memang banyak peserta didik belum bisa membaca dan menulis,” kata seorang guru SD di Situbondo, Jawa Timur.

Hal senada disampaikan oleh orang tua murid peserta didik SD di Ambon, Maluku. “Lihat ini Pak, baru masuk SD kok pelajarannya sudah berupa wacana,” kata seorang wali murid sambil menunjukkan materi buku SD Kelas I. Menurutnya, untuk peserta didik di lingkungan sekitarnya, bacaan dalam buku tersebut lebih cocok untuk peserta didik kelas III ke atas, dan sangat sulit untuk dipakai oleh peserta didik Kelas I yang umumnya belum lancar dalam membaca maupun menulis.

Berdasarkan gambaran tersebut menunjukkan bahwa ada kesenjangan besar antara kebutuhan dengan realitas ketersediaan buku teks pelajaran SD Kelas I. Kebutuhannya adalah buku teks pelajaran untuk membantu peserta didik Kelas I SD belajar literasi dasar yakni membaca, menulis,

525Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan berhitung dari tingkat yang paling awal. Sedangkan ketersediaan buku teks pelajaran selama ini adalah buku yang menuntut peserta didik sudah lancar dalam membaca dan menulis. Hal ini membuat peserta didik pada jenjang Kelas I SD gagal memperoleh pondasi pembelajaran yang kuat dalam literasi.

Kekurangan pada pendidikan Kelas I SD dari aspek buku pelajaran tersebut tidak terkoreksi pada jenjang Kelas II dan Kelas III SD. Penulisan buku teks pelajaran untuk jenjang tersebut umumnya juga mengasumsikan seluruh peserta didik sudah sangat lancar dalam membaca, menulis, dan berhitung. Padahal jenjang tersebut secara umum setara dengan Jenjang D pada perjenjangan perbukuan, atau jenjang yang perlu sangat kuat setelah Jenjang C.

Tabel 1Perjenjangan Buku

JENJANG KESETARAAN TAHAPAN MEMBACA

A 0-3 Tahun, Paud Awal Prabaca 1

B 4-6 Tahun, Paud Akhir Prabaca 2

C 7 Tahun, Kelas 1 Membaca Dini

D 8-9 Tahun, Kelas 2-3 Membaca Awal

E 10-12 Tahun, Kelas 4-6 Membaca Lancar

F 13-15 Tahun, Kelas 7-9 Membaca Lanjut

G 1-18 Tahun, Kelas 10-11 Membaca Mahir

H >18 Tahun, Perguruan Tinggi Membaca Kritis

Sumber: Perjenjangan Buku, Pusbuk Kemendikbud (2019)

Setiap orang yang tidak memiliki dasar kuat dalam literasi, yang berarti tidak cukup kuat dalam jenjang C dan jenjang D, tidak akan pernah benar-benar memiliki kemampuan literasi yang kuat. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas nalar diri dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata setelah dewasa kelak. Karena itu, buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu benar-benar menjadi sarana pembelajaran yang efektif untuk literasi dasar.

Penyiapan bahan perlu dilakukan lebih dulu untuk penulisan buku teks SD Kelas Rendah. Penulisan tersebut tidak cukup dilakukan dengan mengalir secara apa adanya, melainkan perlu sangat terencana berdasar

526 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

bahan-bahan yang telah dipersiapkan. Pada penulisan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah, keperluan untuk terencana berdasarkan bahan yang telah disiapkan lebih perlu lebih dilakukan dibanding untuk jenjang yang lebih atas mengingat sifatnya sebagai dasar atau pondasi.

Lemah di jenjang atas lebih mudah diperbaiki dibanding lemah dalam pondasi. Itu prinsip umum dalam setiap struktur baik fisik maupun nonfisik, termasuk dalam pendidikan melalui pendekatan perbukuan. Karena itu, bahan-bahan penulisan buku perlu dipersiapkan lebih dulu sebelum pelaksanaan penulisan. Adapun bahan-bahan tersebut tentu juga harus relevan dengan kebutuhan pendidikan literasi dasar atau Jenjang C dan D dalam perjenjangan perbukuan.

Bahan terpenting yang perlu disiapkan adalah kosakata yang sesuai dengan konsep dan ketentuan perjenjangan buku tersebut, terutama kosakata yang relevan untuk pembelajaran literasi dasar yakni membaca, menulis, dan berhitung bagi peserta didik dari tingkat yang paling dasar. Selaras dengan Jenjang D, kota kata tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yakni untuk Kelas II dan Kelas III. Adapun untuk Kelas I, bahan berupa kosakata tersebut perlu dibagi dua kelompok berdasar semester, yakni Semester 1 dan 2. Adapun untuk Semester 1 juga perlu dibagi menjadi bagian awal dan akhir sebagaimana pada tabel berikut.

Tabel 2

Contoh Plihan Kosakata Untuk Buku Teks Pelajaran SD Kelas Rendah

KELAS SEMESTER KOSAKATA KETERANGAN

I 1 awal saya, kita, ibu, bapa, mama, papa, umi, abi, ubi, nasi, roti, susu, mata, kaki, pipi, satu, dua, tiga, bola, pena, buku, lele, dara, kuda, sapi, mari, ayo, suka, meja, kali, sepatu, sepeda, perahu, matahari, dll

2-4 suku kata tanpa ‘huruf mati’

1 akhir Rumah, sekolah, ikan, ayam, gajah, kawan, teman, pintu, jendela, lantai, ayah, bapak, empat, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, kursi, makan, sarapan, mulut, kebun, mobil, pesawat, bulan, dll

mulai gunakan ‘huruf mati’

2 Elang, angkat, menyanyi, setrika, zebra, bintang, gunung, lapangan, senang, jerapah, sayang, terbang, hidung, tangan, langkah, dll

Mulai gunakan 2-3 konsonan berurutan

527Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KELAS SEMESTER KOSAKATA KETERANGAN

II 1 dan 2 Keluarga, orang tua, muda, dewasa, sahabat, pabrik, gudang, hubung, sambung, campur, melalui, arah, jurusan dll

mulai gunakan kata benda dan kata kerja ‘abstrak’

III 1 dan 2 masyarakat, desa, kecamatan, kabupaten, negara, lurah, camat, bupati, ringan tangan, berat hati, pekerjaan, kerabat, keturunan, dll

mulai gunakan kata berkonsep dan ungkapan

Sumber: Anwas dkk (2020)

Pilihan kosakata untuk Kelas I (satu) semester pertama awal adalah kata-kata sederhana menyangkut benda atau aktivitas yang dikenal sehari-hari oleh anak-anak setingkat tersebut pada umumnya. Kosakata tersebut hanya yang berdasarkan suku kata berupa vokal (v) seperti ‘a’ atau ‘i’, serta yang berupa konsonan-vokal (kv) seperti ‘bu’, ‘ma’ dan banyak lagi. Pada awal semester pertama Kelas 1 ini belum saatnya untuk dikenalkan dengan ‘huruf mati’.

Penggunaan ‘huruf mati’ dapat dilakukan pada bagian akhir semester pertama Kelas 1 SD, namun tetap untuk kata-kata sederhana yang mudah dimengerti peserta didik. Struktur konsonan-vokal-konsonan (kvk) untuk suku kata mulai dapat dilakukan seperti ‘kan’ untuk penyebutan kata ikan atau ‘yam’ untuk penyebutan ayam. Penggunaan konsonan secara berurutan, seperti ‘ny’ atau ‘ng’ belum diperlukan pada tahap ini.

Pada semester 2 masih untuk Kelas 1 SD, pilihan kosakota dapat berbasis suku kata dengan konsonan berurutan tersebut hingga berpola konsonan-konsonan-vokal (kkv) seperti ‘nya’; vokal-konsonan-konsonan (vkk) seperti ‘ang’; konsonan-vokal-konsonan-konsonan (kvkk) seperti ‘rang’, hingga konsonan-konsonan-vokal-konsonan-konsonan (kkvkk) seperti ‘nyang.’ Pilihannya tetap kata-kata sederhana dan bersifat konkret bagi peserta didik usia tersebut.

Untuk buku Kelas II SD, pilihan katanya mulai dapat yang bersifat lebih ‘abstrak’ atau berkonsep seperti kata ‘hubung’, ‘sambung’, hingga ‘arah’. Tentu saja seluruh kosakata yang telah dipergunakan untuk buku Kelas I dapat digunakan pada buku Kelas 2 dan juga Kelas 3. Namun baru pada jenjang Kelas III, kata-kata berkonsep seperti ‘masyarakat’ atau ‘keturunan’ baru dapat digunakan pada buku teks pelajaran untuk Kelas III yang digunakan secara luas. Begitu pula ungkapan seperti ‘ringan tangan’, ‘berat hati’. ‘keras kepala’ dan sebagainya.

528 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Setiap penulis buku teks pelajaran untuk tingkat SD Kelas Rendah perlu menyiapkan lebih dahulu kosakata sesuai jenjangnya masing-masing sebanyak mungkin. Semakin banyak kosakata yang relevan tersebut yang dapat disiapkan lebih awal akan lebih baik karena akan mempermudah dalam membangun narasi isi buku. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya pemakaian kata yang ‘terlalu tinggi’ dan tidak sesuai jenjang perbukuan bagi peserta didik SD Kelas Rendah.

Dalam studi Wei (2020) disebutkan bahwa buku bergambar yang menggunakan berbagai elemen desain dan format yang bermanfaat untuk merangsang indera seringkali digunakan sebagai bahan bacaan untuk membantu anak belajar secara efektif. Kajian tersebut menunjukkan pentingnya preferensi sensorik anak-anak dan bagaimana mereka berhubungan dengan faktor daya tarik dalam desain buku anak-anak.

Selain kumpulan kosakata, yang perlu disiapkan lebih adalah gambar atau infografis yang dapat membantu menjelaskan konsep sederhana. Seperti untuk menjelaskan konsep ‘keluarga’, ‘berbagi’ atau ‘musyawarah’. Pada tataran yang awal, penggunaan gambar untuk tahap pengenalan abjad biasa dilakukan sebagai penguatan pendidikan literasi dasar. Hal semacam itu dapat diteruskan hingga ke seluruh tingkat di SD Kelas Rendah. Dengan demikian penyiapan gambar dan infografis menjadi sangat berarti.

3. Pengembangan Buku Teks

Studi Christ dkk. (2016) menunjukkan betapa pentingnya desain buku aplikasi yang cermat untuk memfasilitasi pola membaca dan pembelajaran keaksaraan yang berhasil. Pertama, animasi harus mendukung beberapa aspek pemahaman teks atau pembelajaran literasi. Kedua, penyertaan menu navigasi untuk buku yang ditujukan untuk anak-anak mungkin perlu dipertimbangkan untuk lebih memahami isi buku. Ketiga, jenis isyarat tipografi tertentu tampaknya paling efektif untuk menarik perhatian anak-anak pada cetakan, seperti menyoroti teks saat dibacakan. Desainer harus fokus pada integrasi isyarat yang efektif dan meninggalkan isyarat yang tidak efektif.

Dalam konteks tersebut, pengembangan buku teks (buku teks utama atau buku teks pendamping) perlu memperhatikan berbagai aspek dan persiapan yang baik. Tahap pengembangan buku dilakukan setelah penyiapan bahan baik berupa “Kumpulan kosakata sesuai perjenjangan buku maupun gambar-gambar/ilustrasi” yang relevan dituntaskan. Inilah fase utama dalam pengembangan buku teks, terutama untuk buku SD Kelas Rendah. Oleh karena itu kedudukan antara penulis buku dan ilustrator buku adalah sejajar, saling menguatkan sajian buku.

529Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam tahap pengembangan ini, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan. Ketiga hal tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Pertama, kesesuaian dengan tumbuh kembang anak. Ini adalah adalah prinsip umum pengembangan buku anak, khususnya buku teks pelajaran. Prinsip ini perlu menjadi kesadaran penuh bagi penulis buku teks pelajaran, khususnya untuk buku di tingkat SD Kelas Rendah. Kaidah Perjenjangan Buku sebagai telah disebutkan terdahulu perlu benar-benar dicermati dalam hal untuk jenjang C dan D yang menjadi jenjang bagi tahap membaca dini dan awal.

Pengabaian terhadap aspek tumbuh kembang peserta didik berupa pengabaian terhadap perjenjangan buku akan membuat buku yang dihasilkan tidak akan sesuai dengan tujuan. Hal ini terjadi pada buku teks pelajaran SD Kelas Rendah saat ini yang pada umumnya mengandung kata-kata serta kalimat yang ‘terlalu tinggi’ bagi kebanyakan peserta didik. Karena itu, pengembangan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah yang dilakukan benar-benar harus sesuai dengan tumbuh kembang anak.

Kedua, fokus pada pembelajaran literasi dasar berupa pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Dalam penulisan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah selama ini, pembelajaran literasi dasar kurang menjadi penekanan karena pengembangan buku lebih mementingkan aspek materi yang cenderung berat. Hal tersebut membuat landasan literasi dasar bagi peserta didik cenderung lemah yang tentu berefek pada nalar serta penguasaan literasi di tingkat selanjutnya.

Mengembangkan buku teks pelajaran SD Kelas Rendah perlu memfokuskan pada pendidikan literasi dasar tersebut, yakni memfokuskan pada penguatan pondasi membaca, menulis, dan berhitung. Tahap-tahap penguasaan dasar membaca dan menulis perlu menjadi perhatian khusus setiap pengembang. Begitu pula dalam hal berhitung. Materi pelajaran yang bersifat pengetahuan tidak boleh diprioritaskan, melainkan lebih diposisikan sebagai sarana penguatan pondasi membaca, menulis, dan berhitung tersebut.

Ketiga, keselarasan cerita dan gambar. Aspek ini penting untuk diperhatikan secara khusus karena buku jenjang C dan D secara umum perlu berbasis pada format buku bergambar. Dalam buku bergambar, bangunan cerita pertama-tama diwujudkan melalui rangkaian gambar yang kemudian dilengkapi dengan teks narani. Teks narasi inilah yang menjadi sarana langsung pembelajaran membaca dan menulis bagi peserta didik, yang dalam hal ini diperkuat dengan rangkaian gambar yang relevan.

530 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dengan format seperti itu, keselarasan cerita dan gambar menjadi sangat perlu diperhatikan karena gambar bukan sekadar menjadi ilustrasi dari narasi cerita melainkan bagian tak terpisahkan dari cerita. Untuk itu, pengembang buku perlu memiliki kepekaan rasa baik terhadap cerita maupun terhadap gambar. Kepekaan rasa terhadap cerita dan gambar tersebut akan menjadi penentu utama kualitas buku teks pelajaran untuk SD Kelas Rendah. Dalam hal ini kerjasama antara penulis dan ilustrator buku sangat penting.

Model Pengembangan Buku Teks SD Kelas Rendah ini, telah dilakukan review dan revisi oleh para pelaku perbukuan yang menjadi penggunanya. Pelaku perbukuan yang dimaksudkan adalah penulis, penyadur, editor, ilustrator, dan desainer buku. Hasil review dan revisi tersebut, menyatakan bahwa Model Pengembangan Buku Teks SD Kelas Rendah ini layak digunakan dan sangat penting untuk menjadi acuan para pelaku perbukuan dalam menyusun buku, baik buku teks utama maupun buku teks pendamping pada jenjang SD di kelas I, kelas II, dan kelas III.

D. Kesimpulan dan Saran

Model pengembangan buku teks menjadi bagian penting dalam menghasilkan buku teks SD Kelas Rendah yang berkualitas, yakni buku yang berorientasi pada pendidikan literasi dasar dan pendidikan karakter. Selama ini pendekatan literasi dasar cenderung terabaikan karena dominasi pendekatan akademis untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pengembangan buku teks SD Kelas Rendah perlu: memperhatikan kesesuaian dengan tumbuh kembang peserta didik; fokus pada pembelajaran literasi dasar berupa pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung; membangun karakter; serta keselarasan cerita dan gambar yang menarik dan mendidik.

Oleh karena itu pengembangan buku pada level ini perlu dilakukan oleh tim yang memiliki kemampuan mumpuni: mulai kemampuan menterjemahkan kurikulum, kemampuan dalam menulis, membuat ilustrasi, desain buku, serta membangun cerita yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Model pengembangan buku ini dapat menjadi acuan penting bagi pelaku perbukuan, khususnya: penulis, penyadur, editor, ilustrator, desainer, serta pengembang buku elektronik dalam mengembangkan buku teks (buku teks utama atau buku teks pendamping) di SD kelas rendah.

531Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Ucapan Terima Kasih:

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, terutama kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kemendikbud yang telah mensponsori kegiatan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Daftar Pustaka

Anwas, Oos M. 2016. Model Buku Teks Pelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Kwangsan, Vol. 4 No. 1, Edisi Juni 2016. Kemendikbud https://jurnalkwangsan.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalkwangsan/article/view/32.

Anwas, E Oos M. dan Sugiarti, Yuni. 2020. Strategi Menulis Artikel Jurnal Bereputasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anwas, E. Oos M.; Uchrowi, Zaim; Apriansyah, Anggi; dan Iftitah, Khofifa Najma. 2020. Model Pengembangan Buku Teks Pelajaran SD Kelas Rendah. Laporan Penelitian. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. 2020. Model Pembelajaran Literasi untuk Jenjang Prabaca dan Pembaca Dini. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Borg, Walter R. dan Gall. 1983. Educational Research; An Instroduction. Longman: University Michigen.

Christ, T., Wang, X. C., & Erdemir, E. (2016). Young children’s buddy reading with multimodal app books: reading patterns and characteristics of readers, texts, and contexts. Early Child Development and Care, 188(8), 1012–1030.doi:10.1080/03004430.2016.1241776

Chun-Chun Wei & Min-Yuan Ma .2020. Designing Attractive Children’s Picture Books: Evaluating the Attractiveness Factors of Various Picture Book Formats, The Design Journal, 23:2, 287-308, DOI: 10.1080/14606925.2020.1718277

Darwati. 2010. Pemanfaatan Buku Teks oleh Guru dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di SMA Negeri Kabupaten Semarang). Tesis Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Direktorat Pendidikan SMP. 2016. Manual Pendukung Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Efendi, Anwar. 2009. Beberapa Catatan tentang Buku Teks Pelajaran di Sekolah. Jurnal INSANIA Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009, halaman 320-333.

532 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). 2018. Data Perbukuan Indonesia. Diakses pada 14 Juli 2018 dari: http://ikapi.org/2018/01/25/data-perbukuan-indonesia/

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2019 tentang pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Pusat Perbukuan. 2019. Panduan Perjenjangan Buku. Pusbuk, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahmawati, Gustiwati. 2015. Buku Teks Pelajaran sebagai Sumber Belajar di Perpusatakaan Sekolah di SMAN 3 Bandung. EduLib Tahun 5 No. Mei 2015. Sumber: https://ejournal.upi.edu/index.php/edulib/article/viewFile/2307/1601

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran; Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Press.

Tempo.co. 2020. Mendikbud Nadiem Makarim akan Rombak Buku Pelajaran di Sekolah. Tempo. https://tekno.tempo.co/read/1327705/mendikbud-nadiem-makarim-akan-rombak-buku-pelajaran-di-sekolah

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

533Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

ADAPTIVE CURRICULUM: ANSWERING THE CHALLENGES OF INDUSTRY 4.0 IN TOURISM EDUCATION

Yulia Rahmawati1*, Leli Alhapip2, Mokhammad Syaom Barliana3, Ana A.4, Vina Dwiyanti5

Universitas Pendidikan Indonesia1,3,4,5, Pusat Kurikulum dan Perbukuan2

[email protected]*, [email protected],[email protected], [email protected], [email protected]

Abstract

Change is a form that naturally occurs, because nothing in this world is eternal except change. The presence of industrial revolution 4.0 brought various changes and shifts that occurred in industry and had an impact on vocational secondary education which was closely related to industry. This study aims to analyze the curriculum for vocational secondary education in the middle of industrial revolution 4.0 era. The method used is literature review through scientific articles indexed in the last 10 years and focus group discussions with teachers, practitioners in tourism sector and curriculum experts. The findings of this study indicate the adaptive curricula as a modified curriculum model that adapts to situations, conditions, and needs in the field. It is necessary to reconstruct curriculum content in Vocational Secondary Education by optimizing cooperation with industry and the world of work. In addition, strengthening the ability of Literacy, Language and Numerical (LLN), Employability Skills (ES), transferable skills (TS) that are integrated in a comprehensive range of subjects are the main assets for vocational secondary education students to be more adaptive in facing and winning the competition for various changes, shifts that occur in the industry and world of work that a very massive.

Keywords: Adaptive Curiculum, Tourism, Vocational Students

A. Pendahuluan

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003). Salah satu komponen sistem pendidikan yang sangat penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional adalah kurikulum ((Ermawati & Wagiran, 2019). Kurikulum dalam implementasi yang sesuai dengan standar nasional perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan)

534 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan hambatan dan kebutuhan peserta didik. Kurikulum adaptif adalah kurikulum yang dimodifikasi dan diadaptasi atau disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi, kemampuan peserta didik dan perubahan ilmu dan teknologi (Mzizi, Nompumelelo A., 2014) Modifikasi (penyelarasan) kurikulum adaptif diterapkan pada empat komponen utama kurikulum yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi. Revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan dan pergeseran yang begitu cepat dan massif, sehingga kurikulum pendidikan kejuruan perlu menyesuaikan dengan responsif atas fase disruptif ini (Terblanche & Bitzer, 2018)”abstract”:”This article proposes that the technical and vocational education and training (TVET.

Pendidikan kejuruan yang sangat erat dengan industri dan dunia kerja, tentu harus memperhatikan kebutuhan dan permintaan industri (Gamble, 2016; Mukhtar & Ahmad, 2015; Sanders et al., 2016)since the rise of neoliberalism, increasingly in market terms. Skills are the dominant labour market currency, described in terms of competence profiles that seek to link educational qualifications directly to work. Contrary to the widespread appeal of competence-based curriculum approaches, this paper argues that the vocationalist impulse of the neoliberal era impacts as negatively on technical and vocational education (TVET. Industri pariwisata sebagai penyumbang devisa negara terbesar di Indonesia untuk tahun 2015-2018 sebagaimana yang ditampilkan pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Jumlah Devisa Sektor Pariwisata

Sumber; (BPS, 2018)

Kondisi yang ditunjukkan pada tabel 1 menjadi latar belakang yang harus diteliti lebih jauh dalam rangka menyiapkan calon pekerja yang kompeten untuk kemudian dapat optimal bekerja di bidang Pariwisata. Sehingga kurikulum pendidikan kejuruan di bidang Pariwisata harus terus meningkatkan kapasitas kompetensi lulusannya untuk dapat terserap dengan baik. Kesiapan kompetensi lulusan pendidikan kejuruan di bidang Pariwisata akan optimal jika ditunjang oleh kurikulum yang menyiapkan lulusan sesuai dengan beragam permintaan dan kebutuhan industri. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model dari kurikulum adaptif bagi pendidikan kejuruan di Bidang Pariwisata yang responsive dengan perubahan dan pergeseran industri pariwisata yang terjadi begitu cepat dan massif di era revolusi industri 4.0 ini.

535Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif melalui focus group discussion dengan penguatan dan perbandingan yang relevan dengan penelitian ini melalui kajian teoritis serta literature review artikel ilmiah. Artikel ilmiah yang digunakan sebagai rujukan dan referensi literature review beriksar dari tahun 2011-2020 yang bersumber dari jurnal terindeks dan terakreditasi. Hasil dari literature review menjadi dasar dilaksanakannya penelitian ini, kemudian pendalaman melalui FGD. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan bersama ahli pariwisata dari unsur guru, praktisi industri dan ahli kurikulum. Kemudian tahap triangulasi metode untuk mensintesa kebenaran data melalui penelusuran dokumen atau hasil penelitian lain baik yang menguatkan atau membandingkan. Selanjutnya analisis data dalam bentuk naratif guna memberikan gambaran hasil dari penelitian ini secara komprehensif.

C. Hasil dan Pembahasan

Tidak ada satupun di dunia ini yang abadi kecuali perubahan. Tanpa perubahan akan membawa bencana dan malapetaka, sebab mengkondisikan dalam posisi status quo menyebabkan pendidikan tertinggal dan generasi bangsa tersebut tidak dapat mengejar kemajuan yang diperoleh melalui perubahan (Deloitte, 2015; Ghufron, 2018). Adaptasi atau modifikasi serta inovasi selalu dibutuhkan, terutama dalam bidang pendidikan (Abdullah et al., 2020)it is important to investigate whether life and career skills are embedded by higher education institutions, especially regarding technical and vocational education since they provide a semi-skilled and skilled workforce to compete in the global labour market.

This study aims to investigate differences between life and career skills amongst technical and vocational education and training (TVET, untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak hanya terbatas masalah pendidikan tetapi juga masalah-masalah yang mempengaruhi kelancaran proses pendidikan. Kurikulum dan pembelajaran adaptif berbasis revolusi industri 4.0 dimaksudkan sebagai suatu idea, gagasan atau tindakan tertentu dalam bidang kurikulum dan pembelajaran yang dianggap baru untuk memecahkan masalah Pendidikan khususnya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bidang Pariwisata. Semua perubahan akan membawa resiko, tetapi strategi mempertahankan struktur suatu kurikulum, metode, model dan media. Masalah-masalah inovasi kurikulum berkaitan dengan azas relevansi antara bahan pembelajaran dengan kebutuhan siswa (Salleh & Sulaiman, 2020), antara kualitas pembelajaran di sekolah dengan pengguna lulusan di lapangan pekerjaan dan lain-lain. Berkaitan dengan mutu secara kognitif, afektif, dan psikomotorik, sedangkan pemerataan

536 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

yang berhubungan dengan kesempatan dan peluang, kemudian efisiensi dari segi internal dan eksternal.

Peurbahan yang terjadi di era revolusi industri 4.0 ini mengharuskan peningkatan kompetensi untuk bertahan, manusia harus memiliki tiga literasi utama yaitu: (1) Literasi data (data literacy); (2) Literasi teknologi (technology literacy); dan (3) Literasi manusia (human literacy). Jenis literasi manuasia terkait dengan keterampilan memimpin, kemampuan bekerja dalam tim, serta keterampilan memahami budaya orang lain dan menjalin hubungan dengan manusia lintas budaya (Wongso, 2019). Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan perlu adanya adaptasi kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bidang pariwisata yang menyesuaikan permintaan dan kebutuhan industri melalui pendekatan serta kerjasama dengan industri sebagai upaya menyiapkan lulusan yang kompeten di bidnag pariwisata. Gambaran umum dari model kurikulum adaptif SMK dapat digambarkan pada model gambar 1 berikut:

Gambar 1. Model Pengelolaan Kurikulum Adaptif

Pada gambar 1. telah digambarkan kerjasama antara sekolah, industri dan dunia kerja serta BLK/LPK. Model kurikulum adaptif ini dibuat guna memberikan ruang bagi industri dan dunia kerja serta BLK/LPK untuk terlibat langsung dalam kurikulum pendidikan kejuruan. Implementais yang diharapkan siswa SMK mampu memiliki kemampuan Transferable Skills (TS) dan Employability Skills (ES) yang mumpuni melalui penempaan dan keterlibatan IDUKA/BLK/LPK. Hasil dari penelitian ini, model kurikulum adaptif pada gambar 1 dituangkan melalui struktur kurikulum yang ada di SMK bidang pariwisata Program Keahlian Kuliner, sebagaimana digambarkan gambar 2 berikut:

537Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gambar 2. Contoh Struktur Kurikulum Program Keahlian Kuliner

Gambar 2 memberikan gambaran struktur kurikulum adaptif di Program Keahlian Kuliner. Mata pelajaran Literacy, Language and Numerical (LLN) dapat diimplementasikan pada beberapa mata pelakajran diantaranya mata pelajaran Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, Seni dan Olahraga. Semua mata pelajaran di bawah LLN dimaksudkan untuk mendidik siswa sebagai warga negara Indonesia memiliki keterampilan dasar sebagai persyaratan untuk memiliki keterampilan abad ke-21 (Abdullah et al., 2020; van Laar et al., 2020)it is important to investigate whether life and career skills are embedded by higher education institutions, especially regarding technical and vocational education since they provide a semi-skilled and skilled workforce to compete in the global labour market. This study aims to investigate differences between life and career skills amongst technical and vocational education and training (TVET. Penguasaan LLN akan mendorong siswa untuk memiliki kapabilitas dalam mengembangkan komunikasi, kolaborasi, pemikiran kritis dan kreativitas (Siswati, 2011). Sedangkan mata pelajaran Agama dimaksudkan agar siswa memiliki akhlak yang baik dan beriman kepada Tuhan.

Pada mata pelajaran Vokasi terdiri dari Employability Skills (ES), Transferable Skills (TS), dan paket-paket terampil ((Haryanti et al., 2020; Kranov & Khalaf, 2017). Pada ES, siswa dilatih oleh kegiatan khusus agar memiliki keterampilan inti dan sifat yang dibutuhkan setiap pekerjaan. Beberapa esensi dari ES diantaranya komunikasi yang baik (van Laar et al., 2020), motivasi dan inisiatif ((Mukti et al., 2018), kepemimpinan (Ahmad, 2015), kerja tim (Murgor, 2013), kemampuan beradaptasi (Creese et al., 2016), kesabaran (Xu, 2014). Keterampilan transferabilitas secara berkala dimasukkan sebagai kurikulum inti. TS dan ES adalah kemampuan dan keterampilan yang relevan dan berguna di berbagai bidang kehidupan: secara sosial, profesional, dan di sekolah.

538 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Selain itu, dikuatkan oleh hasil FGD yang telah dilakukan bahwa Upaya memprediksi kompetensi mendatang khususnya untuk lulusan SMK, salah satunya dengan perlu menghadirkan industri ke SMK sejak dini sebagai upaya menyesuaikan kondisi industri di lapangan. Pentingnya meningkatkan Literasi lulusan SMK, mental kerja, attitude, grooming, komunikasi sesuai dengan tuntutan industri. Kerjasama SMK, industri dan asosiasi diharapkan mampu mengevaluasi kurikulum yang ada di SMK. Karakter bekerjaan peserta didik SMK menjadi poin utama yang harus diutamakan. Perlu adanya kolaborasi kompetensi berbagai mata pelajaran untuk dapat meningkatkan karakter bekerjaan melalui Literacy, Language, Numarical (LLN).

D. Kesimpulan dan Saran

Penelitian ini menunjukkan kurikulum adaptif sebagai model kurikulum termodifikasi yang menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan di lapangan Materi kurikulum Pendidikan Menengah Kejuruan perlu direkonstruksi dengan mengoptimalkan kerjasama dengan dunia industri dan dunia kerja. Selain itu, penguatan kemampuan Literasi, Bahasa dan Numerik (LLN), Keterampilan Kerja (ES), Keterampilan yang Dapat Dipindahtangankan (TS) yang terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran yang komprehensif. Kurikulum adaptif merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan aset utama siswa SMK agar lebih adaptif dalam menghadapi dan memenangkan persaingan atas berbagai perubahan, pergeseran yang terjadi di dunia industri dan dunia kerja yang sangat masif.

Daftar Pustaka

______. (2003). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta : Republik Indonesia.

Abdullah, N. S., Sumarwati, S., Aziz, M. I. A., Ziden, A. A., Razak, N. A., & Jalil, S. A. (2020). Life and career skills amongst technical and vocational education and training (TVET) students. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 11(12), 637–654.

Ahmad, H. (2015). Leadership in TVET for the 21st Century: Challenges, Roles and Characteristics. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 195, 1471–1476. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.06.446

BPS. (2018). Jumlah Devisa Sektor Pariwisata. https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/22/1357/jumlah-devisa-sektor-pariwisata-2015.html

539Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Creese, B., Gonzalez, A., & Isaacs, T. (2016). Comparing international curriculum systems: the international instructional systems study. Curriculum Journal, 27(1), 5–23. https://doi.org/10.1080/09585176.2015.1128346

Deloitte. (2015). Disruption ahead: Deloitte’s point of view on IBM Watson. March, 5. https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/us/Documents/about-deloitte/us-ibm-watson-client.pdf

Ermawati, R., & Wagiran. (2019). Profile of Vocational Learning in the Era of Industrial Revolution 4.0 (Studies at Department of Automotive Vocational High School). Journal of Physics: Conference Series, 1273(1), 0–10. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1273/1/012015

Gamble, J. (2016). From labour market to labour process: finding a basis for curriculum in TVET. International Journal of Training Research, 14(3), 215–229. https://doi.org/10.1080/14480220.2016.1254367

Ghufron, G. (2018). Revolusi Industri 4.0: Tantangan, Peluang, Dan Solusi Bagi Dunia Pendidikan. Seminar Nasional Dan Diskusi Panel Multidisiplin Hasil Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat 2018, 1(1), 332–337.

Haryanti, M. A., Mohd Firdaus, M. K., Lazaro, M. H., Kamis, A., Abas, N. H., Mohd Sallehuddion, M. N., & Yunus, F. A. N. (2020). The development of generic competency portfolio for malaysian tvet-construction graduates. Journal of Technical Education and Training, 12(3 Special Issue), 143–153. https://doi.org/10.30880/jtet.2020.12.03.015

Kranov, A. A., & Khalaf, K. (2017). Work in progress: Investigating the employment gap: What employers want from engineering graduates. IEEE Global Engineering Education Conference, EDUCON, April, 1097–1100. https://doi.org/10.1109/EDUCON.2017.7942986

Mzizi, Nompumelelo A. (2014). Curriculum Adaptations fo Learners with Learning impairments in the Foundation Phase in Thabo Mofutsanyana Education District, Free State Province. (online). http://ir.cut.ac.za/bitstream/handle/11462/250/Mzizi,%20Nompumelelo% 20Alzinah.pdf?sequence=1. (diakses pada 10 November 2020).

Mukhtar, M. I., & Ahmad, J. (2015). Assessment for Learning: Practice in TVET. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 204(November 2014), 119–126. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.08.124

Mukti, A., Heru, S. W., & Leonardo, B. H. (2018). Pengaruh beban kerja, motivasi, dan komitmen terhadap kepatuhan intruksi kerja dan efektifitas pengendalian karyawan di PT. Demak Putra Mandiri. Journal of Management, 4(4), 1–19.

Murgor, T. K. (2013). Relationship between Technical and Vocational Acquired Skills and Skills Required in Job Market; Evidence from TVET Institutions,

540 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Uasin Gishu County, Kenya. Journal of Education and Practice, 4(19), 77–83.

Salleh, K. M., & Sulaiman, N. L. (2020). Reforming Technical and Vocational Education and Training (TVET) on Workplace Learning and Skills Development. International Journal of Recent Technology and Engineering, 8(5), 2964–2967. https://doi.org/10.35940/ijrte.e6553.018520

Sanders, A., Elangeswaran, C., & Wulfsberg, J. (2016). Industry 4.0 implies lean manufacturing: Research activities in industry 4.0 function as enablers for lean manufacturing. Journal of Industrial Engineering and Management, 9(3), 811–833. https://doi.org/10.3926/jiem.1940

Siswati, S. (2019). Pengembangan Soft Skills dalam Kurikulum untuk Menghadapi Revolusi Industri 4.0. Edukasi: Jurnal Pendidikan, 17(2), 264-273.

Terblanche, T., & Bitzer, E. (2018). Leading curriculum change in South African technical and vocational education and training colleges. Journal of Vocational, Adult and Continuing Education and Training, 1(1), 104. https://doi.org/10.14426/jovacet.v1i1.16

van Laar, E., van Deursen, A. J. A. M., van Dijk, J. A. G. M., & de Haan, J. (2020). Determinants of 21st-Century Skills and 21st-Century Digital Skills for Workers: A Systematic Literature Review. SAGE Open, 10(1). https://doi.org/10.1177/2158244019900176

Wongso, J. (2019). “Senjata” Indonesia dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 dalam https://www.kompasiana.com/jonathanwongso2230/5dd1426bd541 df15a87c8e83/senjata-indonesia-dalam-menghadapi-revolusi-industri-4-0.

Xu, G. (2014). Philosophy and methods for China ’ s vocational education curriculum reforms in the early twenty-first century. Chinese Education and Society, 47(5), 57–64. https://doi.org/10.2753/CED1061-1932470505

541Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal dan Teknologi Augmented Reality untuk Memperkuat Nilai dan Karakter Pancasila

di Sekolah Dasar (SD/MI)(Studi Kasus pada Ritus Grebeg Pancasila di Kota Blitar)

*Wawan Setiawan, Universitas Pendidikan Indonesia, [email protected] Septinaningrum, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,

[email protected] Syukron Surur, Universitas Pendidikan Indonesia, [email protected]

Atep Kartiansyah, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, [email protected] Rahmawati, Universitas Pendidikan Indonesia, [email protected]

Leli Alhapip, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi khususnya oleh kecemasan terhadap karakter bangsa dari generasi penerus yang dikait-kaitkan dengan globalisasi, teknologi, dan pendidikan. Pendidikan diharapkan menjadi filter pengaruh yang dapat menurunkan karakter bangsa, dan sekaligus membangun immunitas karakter bangsa. Salah satu caranya adalah menyediakan konten karakter bangsa melalui teknologi dalam konteks pembelajaran yang komprehensif. Penelitian ini merupakan studi kasus terkait dengan Ritus Grebeg Pancasila yang menjadi bagian konten dalam pembelajaran tematik integratif berbasis karakter dan teknologi augmented reality.Penelitian ini dilakukan dengan metode Research and Development (R&D) yang secara khusus menggunakan pendekatan EDDIE (Analisys, Design, Develop, Implementation, Evaluasi). Objek penelitian meliputi Ritus Grebeg Pancasila, Media Augmented Reality, Bahan Ajar, dan Pembelajaran Tematik Integratif. Responden yang terkait antara lain Narasumber Ritus Grebeg Pancasila, Siswa SD/MI, Guru, Wakil Kepada Bidang Kurikulum, dan Kepala Sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ritus Grebeg Pancasila mengandung unsur nilai dan karakter bangsa yang dapat dijadikan muatan pembelajaran karakter, Siwa, Guru, dan Pengelola Sekolah memiliki respon positif terhadap konten Ritus Grebeg Pancasila, Media Augmented Reality dapat memfasilitasi pembelajaran berbasis digital, dan pendekatan tematik integratif berhasil efektif sebagai pembelajaran yang komprehensif.

Kata Kunci : Augmented Reality, Ritus Grebeng Pancasila, Nilai dan Karakter Pancasila, Pembelajaran Tematik Integratif

542 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Learning Based on Local Wisdom and Augmented Reality Technology to Strengthen the Value and Character of Pancasila at Elementary Schools

(Case Study on the Pancasila Grebeg Rite at Blitar City)

Abstract

The background of this research is particularly concerned with the character of the nation from the next generation which is associated with globalization, technology and education. Education is expected to become a filter of influence that can reduce the character of the nation, and at the same time build the immunity of the nation’s character. One way is to provide national character content through technology in a comprehensive learning context. This research is a case study related to the Pancasila Grebeg Rite which is part of the content in integrative thematic learning, character-based and augmented reality technology.This research was conducted using the Research and Development (R&D) method which specifically uses the EDDIE (Analysis, Design, Develop, Implementation, Evaluation) approach. The research objects include the Grebeg Pancasila Rite, Augmented Reality Media, Teaching Materials, and Integrative Thematic Learning.Related respondents included administrators of the Pancasila Grebeg Rite, Elementary School Students, Teachers, Representatives for Curriculum Affairs, and Principals.The results of this study indicate that the Grebeg Pancasila Rite contains elements of values and national character which can be used as a content for character learning, Students, Teachers, and School Managers have a positive response to the content of the Grebeg Pancasila Rite, Augmented Reality Media can facilitate digital-based learning, and an integrative thematic approach. managed effectively as a comprehensive learning.

Keywords : Augmented Reality, Pancasila Grebeng Rite, Pancasila Values and Characters, Integrative Thematic Learning

A. PENDAHULUAN

Efek globalisasi perlu dicermati secara seksama karena dapat mengancam nilai budaya nasional yang berdampak menurunnya karakter masyarakat salah satunya adalah nasionalisme (Nurhaidah, M. Insya Musa, 2015). Menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan ketangguhan personal (immun selfer) dari setiap warga negara, dan kekuatan kohesi sosial dalam membangun karakter bangsa. Menghadapi tantangan tersebut perlu dilakukan pembinaan nasionalisme budaya (cultural nasionalism) yang berarti pengakuan terhadap keragaman budaya yang lahir dan berkembang di masyarakat Indonesia yang bhineka (UU Nomor 20 Tahun 2003; Rifa’i Anwar, dkk., 2017).

543Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pendidikan diharapkan dan seharusnya mengambil nilai-nilai kearifan lokal sebagai pondasi dan konten pendidikan agar tidak kehilangan keotentikannya (Kartadinata, 2018). Pancasila sebagai jati diri bangsa perlu terus dibina, diajarkan, dan diwujudkan agar bangsa ini eksis dalam kehidupan global tersebut. Pentingnya pembekalan nilai dan karakter pancasila pada generasi muda perlu diperkuat dalam berbagai program operasional yang menjangkau kalangan para siswa sekolah. Program yang dapat dikembangkan diantaranya mengemas nilai dan karakter kearifan lokal menjadi bahan pembelajaran dalam berbagai modus (Ali,Hasbi, 2018).

Ritus Grebeg Pancasila merupakan kearifan lokal Indonesia dari Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur yang memiliki kekayaan nilai dan karakter Pancasila (Putriana, 2019; Septinaningrum, 2019; Septinaningrum et al., 2019; Zummi, 2016). Ritus Grebeg Pancasila merupakan serangkaian kegiatan masyarakat dalam memperingati lahirnya Pancasila yang melambangkan kultur Bangsa Indonesia dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Grebeg Pancasila memiliki fungsi inkulturasi yaitu pembudayaan sebuah tradisi, dan fungsi edukasi yaitu memasukkan nilai-nilai dan karakter pancasila dalam kehidupan. Berbagai strategi telah diupayakan terutama sebagai wisata budaya dan komunikasi nilai pancasila di media sosial (Hudayanti, 2018; Luh Suryatni, 2018). Kondisi riil di Kota Blitar menunjukkan bahwa perayaan ritus Grebeg Pancasila sudah mapan, prosesinya sarat akan nilai dan karakter Pancasila. Peraturan Daerah Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tata Kerja Dinas Informasi, Komunikasi dan Pariwisata Kota Blitar menambah kuat perayaan Ritus Grebeg Pancasila diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat (Septinaningrum, 2020).

Penelitian ini merupakan upaya untuk memfasiliasi pembelajaran nilai dan karakter Pancasila melalui kearifan lokal Ritus Grebeg Pancasila dan Augmented Reality (AR) dengan pendekatan tematik integratif. Teknologi Augmented Reality (AR) digunakan untuk memvisualisasikan dan interaksi secara visual dengan objek 3 dimensi (Febriyanti, Rizki dan Tri Listyorini, 2019). Di bidang budaya, AR banyak dimanfaatkan untuk memperkenalkan khasanah warisan budaya yang memiliki pesan nilai dan karakter (Sumardiono, 2018)

Berpijak pada paparan di atas, maka permasalahan penelitian secara umum adalah “Bagaimana Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal Ritus Grebeg Pancasila dengan Media Augmented Reality (AR) untuk Memperkuat Nilai dan Karakter Pancasila di Sekolah Dasar (SD/MI)?”. Secara khusus masalah penelitian dirumuskan pada 6 (enam) aspek yaitu (1) potensi kearifan lokal Ritus Grebeg Pancasila menjadi konten pembelajaran, (2) learning obstacle pembelajaran Pendidikan Pancasila, (3) sinkronisasi konten Ritus Grebeg Pancasila dengan Kurikulum 2013, (4) GREBEG Pancasila

544 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sebagai model pembelajaran, (5) Teknologi Augmented Reality Ritus Grebeg Pancasila, dan (6) Hasil Pembelajaran Berbasis Grebeg Pancasila di sekolah dasar (SD/MI).

B. METODE PENELITIAN

1. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode “Penelitian dan Pengembangan (R&D)” dengan tahapan Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluations (ADDIE) dan cocok untuk merancang sistem pembelajaran (Dick and Carry, 1996).

Analysis : Tahap ini meliputi analisis kebutuhan, megidentifikasi masalah/kebutuhan, dan melakukan analisis tugas. Keluaran yang dihasilkan dari proses antara lain profil atau karakteristik peserta didik, identifikasi tugas yang sesuai dengan kebutuhan, dan lain-lain. Design : Tahap ini meliputi penentuan sasaran, instrumen penilaian, latihan, konten, dan analisis yang terkait materi pembelajaran, rencana pembelajaran dan pemilihan media. Development : Tahap ini merupakan pembuatan dan penggabungan konten yang sudah dirancang pada tahapan desain. Yang dapat dibuat pada fase ini, diantaranya yaitu penulisan konten, storyboard, perancangan grafis, dan hal lainnya yang diperlukan. Implementation : Tahap ini merupakan perwujudan desain yang telah dirancang menjadi nyata. Pada tahap ini, apa saja yang dibutuhkan dan atau yang mendukung kegiatan pembelajaran dipersiapkan. Contohnya yaitu, pelatihan bagi fasilitator meliputi materi kurikulum, hasil pembelajaran yang diharapkan,

545Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

metode penyampaian, dan lain-lain. Evaluation (Evaluasi) : Tahap ini untuk melihat apakah sistem pembelajaran yang sedang dibangun berhasil, sesuai dengan harapan awal atau tidak.

2. Perangkat Penelitian

Instrumen pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data yang diharapkan. Berikut perangkat peneitian terkait data objek yang diteliti seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Perangkat Penelitian

Objek Aspek Instrumen Responden

1. Konten Grebeng Pancasila

Potensi,Kesesuaian

Kuesioner/Wawancara : Histori, motivasi, pesan prosesi, nilai pancasila

Tokoh Budaya, Kepala Dinas Pariwisata dan kebudayaan

2. Pembelajaran Pancasila

Keterlaksanaan, Kesesuaian,

Koesioner/Wawancara :Kendala, Kesiapan

Ahli Materi,Ahli Kurikulum

3. Buku SiswaKesesuaian,Kelayakan

Validasi Ahli Ahli Materi,Ahli Pembelajaran

4. Buku GuruKesesuaian,Kelayakan

Validasi Ahli Ahli Materi,Ahli Pembelajaran

5. Media Augmented Reality

Kesesuaian,Kelayakan

Validasi Ahli Ahli Materi,Ahli Media, Ahli Pembelajaran

6. Pembelajaran Tematik Integratif

Keterlaksanaan,Hasil/dampak

Validasi Ahli, Aktivitas Belajar Siswa, Tanggaan Guru, Tanggapan Siswa

Ahli Materi, Ahli Pembelajaran, Ahli Evaluasi, Guru Kelas,Siswa SD/MI

Semua perangkat pembelajaran berorientasi pada terselenggaranya pembelajaran yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

a. Mempertimbangkan karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, dan intelektual.

b. Didukung teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.

c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang. d. Mendukung pembelajaran yang mendidik. e. Memanfaatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk

pembelajaran. f. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

546 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

g. Mengandung unsur komunikasi yang efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.

h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar. i. Mempertimbangkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran. j. Menyediakan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas

pembelajaran.

2. Pengolahan dan Analisis Data

a. Kualifikasi Produk Kevalidan produk dianalisis dengan deskriptif prosentase,

dengan persamaan:

Keterangan: V = ValiditasTSEV = Total Skor Empirik ValidatorS-max = Skor maksimal yang diharapkanKeputusan kualitas produk menggunakan kriteria di bawah ini:

Tabel 2. Konversi Tingkat Pencapaian dan KualifikasiNo. Kriteria Tingkat Validitas1 75,01% - 100,00% Sangat valid (dapat digunakan tanpa revisi)2 50,01% - 75,00% Cukup valid (dapat digunakan dengan revisi

kecil)3 25,01% - 50,00% Tidak valid (tidak dapat digunakan)4 00,00% - 25,00% Sangat tidak valid (terlarang digunakan)

b. Keefektifan

Analisis keefektifan menggunakan deskriptif prosentase, dengan persamaan:

547Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Keterangan:E = Nilai tes siswa

= Jumlah keseluruhan jawaban benar siswa = Jumlah keseluruhan skor ideal

100% = Konstanta

c. Kemenarikan

Data kemenarikan menggunakan persamaan yang dimodifikasi dari Hobri (2010) berikut ini:

Keterangan:Ms = Nilai kemenarikan dari siswa dan guru

= Jumlah nilai untuk semua indikatorn = Jumlah indikatorKemenarikan secara umum menggunakan persamaan yang dimodifikasi dari Arikunto (2006) sebagai berikut.

Keterangan:M = Persentase kemenarikan siswa

= Jumlah keseluruhan kemenarika siswa satu kelas = Jumlah skor ideal dalam kemenarikan siswa satu kelas

100% = KonstantaKeputusan kemenarikan dilakukan berdasarkan tabel di bawah ini.

Tabel 3. Kriteria Kemenarikan ProdukPeresentase Kualifikasi Keterangan80% - 100% Menarik Dapat digunakan tanpa revisi

60% - 79% Cukup Menarik Dapat digunakan dengan revisi kecil

50% - 59% Kurang Menarik Tidak dapat digunakan < 49% Tidak Menarik Terlarang digunakan

548 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini memiliki 6 (enam) objek sebagai tujuan sebagaimana telah disampaikan pada bagian awal paper ini. Keenam objek teridiri atas konten Grebeg Pancasila, Kendala Pembelaran Pancasila, Media Augmented Reality, Buku Siswa, Buku Guru, dan Pembelajaran Tematik Integratif sebagai muara (satu kesatuan).

1. Konten Ritus Grebeg Pancasila

Kajian Ritus Grebeg Pancasila dilakukan melalui studi dokumen, dan kuesioner yang diperdalam dengan wawancara para narasumber kompeten. Diperoleh data dan informasi bahwa Ritus Grebeg Pancasila memiliki sejarah dan motivasi yang kuat. Lahirnya Ritur Grebeg Pancasila di Kota Blitar merupakan tanggungjawab moral atas terjadinya momentum sejarah yang terkait langsung dengan tempat, dan tokoh utama. Ritus Grebeg Pancasila sebagai upaya mengangkat nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan dan mensimulasinya secara budaya. Ritus Grebeg Pancasila merupakan kegiatan budaya masyarakat dalam mensimulasikan sejarah kelahiran Pancasila. Kelahiran Pancasila merupakan sejarah panjang yang telah mengalami berbagai pengujian langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Putriana, Dewi & Warsono, 2019).

Pancasila adalah nilai-nilai kehidupan yang cocok untuk bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan kultur, agama, suku, adat, bahasa, dan alam (Latif, Yudi, 2012). Ada kehawatiran tergesernya nilai-nilai luhur bangsa dan masyarakat Pancasila akibat ketidakfahaman sejarah dan makna simbol yang ada. Ritus Grebeg Pancasila menjadi agenda tahunan Kota Blitar yang sudah memiliki Dasar hukum pelaksanaan Grebeg Pancasila adalah Perda No. 34 Tahun 2004 Tentang Tata Kerja Dinas Informasi, Komunikasi dan Pariwisata Daerah Kota Blitar. Pemerintah Daerah yang didukung tokoh-tokoh berupaya untuk mengangkat Ritus Grebeg Pancasila menjadi agenda Nasional, dan berharap juga menjadi kearifan lokal mata pelajaran di sekolah.

Berdasarkan kajian dokumen, sejarah, dan konten Ritus Grebeg Pancasila memiliki potensi yang besar untuk menjadi konten pembelajaran di sekolah. Nilai-dan karakter Pancasila dalam Ritus Grebeg Pancasila meliputi cinta tanah air, cinta pahlawan, gotong royong, kebersamaan, kasih sayah, hormat menghormati, kreatif, disiplin, taat aturan, konsisten, kebersihan, musyawarah, saling bantu, dan lain-lain merupakan jati diri bangsa Indonesia (Latif, Yudi, 2012).

Khasanah atribut yang berupa simbol-simbol objek beserta tampilannya memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep, ide, dan prinsip

549Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dengan mata pelajaran lainya sehingga memungkin untuk melakukan pembelajaran tematik integratif (Hanif, Muhammad dan Zulianti, 2012).

2. Learning Obstacle

Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Pancasila di Kota Blitar kaitannya dengan kearifan loka Ritus Grebeg Pancasila memiliki kendala yang utama terkait dengan kebijakan, dan perangkat pembelajaran yang memedai. Ritus Grebeg Pancasila sebagai kegiatan tahunan yang sifatnya hiburan belum dimaknai secara mendalam sebagai pembentukan, transformasi, transmisi, dan pengembangan nilai-nilai Pancasila khususnya jenjang pendidikan dasar (SD/MI). Kajian tentang Grebeg Pancasila hanya sebatas informasi sesuai edaran walikota, belum sampai mengarah ke ranah pembelajaran sehingga esensinya menjadi kurang berdampak pada siswa. Sekolah, dan guru kesulitan menyampaikan materi karena belum tersedia bahan ajar tematik dan media yang sesuai yang memuat Grebeg Pancasila.

Program Pembelajaran yang memuat Pendidikan Pancasila ini diarahkan untuk menelaah secara empirik dan memberikan potret dan profil yang diselenggarakan di SD/MI Kota Blitar secara jelas sehingga kekuatan, permasalahan, tantangan dan kelemahannya dapat diketahui dengan jelas secara empirik sebagai dasar untuk mengembangkan Program Pembelajaran yang memuat Pendidikan Pancasila untuk masa depan.

Hal hal yang perlu terus disempurnakan, hal hal yang bermasalah dan masih lemah perlu dicari solusi yang tepat dan benar, sehingga keseluruhan permasalahan yang dihadapi dan dicari pemecahan yang tepat dan strategis untuk menjadikan Program Pembelajaran Nilai-Nilai Pancasila ini kuat dan andal dalam upaya mempersiapkan generasi penerus yang berkualitas dan handal dapat diwujudkan secara optimal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Grebeg Pancasila merupakan sebuah kebudayaan asli kota Blitar yang bertujuan sebagai salah satu wahana penanaman karakter dan nilai Pancasila pada masyarakat tidak terkecuali siswa sekolah dasar. Oleh karena itu pelaksanaannya selalu dioptimalisasikan oleh pemerintah karena sarat akan makna simbolik, makna dan nilai sehingga sesuai untuk penanaman nilai-nilai Pancasila pada setiap prosesi ritusnya (Hudayanti, 2018; Putriana, D & Warsono, 2019). Tetapi fakta di lapangan berbeda berdasarkan wawancara peneliti dengan salah satu guru SD/MI menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk menginternalisasikan nilai Pancasila belum optimal sehingga belum berdampak signifikan pada siswa SD/MI karena hanya sebatas ceremonial saja (Lickona,T, 2012). Kajian makna setiap ritusnya belum difahami secara mendalam hanya sebatas knowing belum sampai ke feeling dan acting.

550 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kondisi ideal seharusnya Grebeg Pancasila sebagai strategi optimalisasi internalisasi nilai Pancasila sudah selayaknya bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran di sekolah dasar. Hal ini diperkuat oleh peraturan daerah/ PERDA No. 34 Tahun 2004 Tentang Tata Kerja Dinas Informasi, Komunikasi dan Pariwisata Daerah Kota Blitar. Ritus ini wajib diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat baik kalangan pemerintah, budayawan, seniman, swasta, pedagang, pelajar maupun masyarakat umum (Hudayanti, 2018:49). Berdasar surat edaran Walikota khusus untuk siswa SD/MI tidak wajib mengikuti prosesi secara langsung, karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Tetapi bagi sekolah yang berada di pusat kota ada keharusan menonton didampingi bapak/ibu guru, dan untuk sekolah yang tidak dilewati jalur prosesi dibebaskan dan ada himbauan menonton prosesi didampingi orang tuanya.

Secara umum aspek sarana prasarana dan kinerja pembelajaran berada pada kualifikasi ”sangat baik” (88,57%) dan (91,43%), sementara aspek pembekalan nilai-nilai dan karakter Pancasila berkualifikasi ”baik” (82,86%), sedangkan aspek implementasi kearifan lokal Ritus Grebeg Pancasila kualifikasinya masih rendah (65,71%).

Gambar 2. Kesiapan dan Kondisi Sekolah Mitra

Sumber daya sarana prasarana meliputi ruang kelas, laboratorium, peralatan pembelajaran, ruang pimpinan, ruang guru, ruang rapat, dan infrastruktur teknologi yang layak dan terpelihara dengan baik. Komponen yang masih perlu ditingkatan serius adalah adalah infrastruktur teknologi dan laboratorium, sementara komponen lainnya sudah mencapai memadai.

Kinerja pembelajaran didukung oleh sumber daya guru yang memadai dan kualifikasinya sesuai. Suasana pembelajaran berlangsung serius dan menyenangkan sesuai karakteristik peserta didik SD yang membutuhkan suasana ceria (Risabethe, Abiy dan Budi Astuti, 2017). Jadwal pembelajaran yang dirancang dapat diimplementasi dengan baik. Dokumen kurikulum dimiliki lengkap dan difahami dengan baik oleh unsur pimpinan dan para

551Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

guru demikian juga implementasinya berkualitas baik. Beban mengajar guru secara umum cukup proporsional sesuai standar beban normal, dan pembelajaran berjalan sesuai dengan standar proses yang ditentukan. Perangkat pembelajaran telah disiapkan dengan lengkap, namun masih perlu ditingkatkan terkait kreativitas dan kebaruan.

Pembelajaran khusus nilai-nilai Pancasila terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berjalan normal. Pembekalan nilai-nilai Pancasila secara umum mangacu pada kurikulum nasional berjalan baik dan variatif dalam bentuk pembiasaan seperti berdoa, kebersihan, ibadah umum, kedisiplinan, dan hal-hal baik lainnya.

Ritus Grebeg Pancasila sebagai budaya yang dirayakan secara masif di Kota Blitar mendapat perhatian dan antusias dari masyarakat termasuk siswa sekolah. Sekolah dan para guru memahami kearifan lokal tersebut namun belum menjadi muatan pembelajaran diantaranya kendala perangkat ajar, model pembelajaran, dan kebijakan.

Sebagian besar para siswa sudah mengenal Ritus Grebeg Pancasila dan memiliki persepsi positif. Sebagian besar para siswa belum terlibat langsung dalam prosesi Ritus Grebeg Pancasila namun semua siswa menyaksikan ditempat masing-masing walaupun hanya beberapa ritus (tidak seluruhnya). Beberapa siswa kelas 3 sudah mengikuti dan terlibat langsung dengan peran yang sederhana seperti pembawa atribut. Secara umum Ritus Grebeg Pancasila membuat suasana senang, dan gembira, bahkan terbersit suasana psikis yang lebih dari itu seperti kagum, bangga, dan rasa memiliki .

Sebagian besar para siswa memahami bahwa Perayaan Ritus Grebeg Pancasila memiliki tujuan yang lebih, dan tidak sekedar hiburan. Hal tersebut ditunjukkan oleh data jawaban kuesioner yang positif, variatif dan kreatif serta meyakini bahwa perayaan Ritus Grebeg Pancasila memiliki manfaat bagi masyarakat. Pemahaman tersebut mereka peroleh dari pengamatan dan proses berfikir pada sat menyaksikan semangat dan keseriusan warga mulai dari persiapan sampai selesai.

3. Media Augmented Reality Grebeg Pancasila

Struktur Media Augmented reality Ritus Grebeg Pancasila mengiukuti tahapan prosesi ritus dan berjalan sesuai dengan baik, mudah digunakan, membantu siswa dalam pemahaman, menarik, puas dan ingin memilikinya (Carol, 2002). Model media adalah dialog dua orang anak kakak adik siswa SD yang dianggap sebegai duta budaya. Kedua anak tersebut adalah orang Blitar yang menceritakan Ritur Grebeg Pancasila versi anak SD/MI. Setiap

552 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

event dijalankan secara ringkas dan tuntas melalui dialog tersebut dengan kontennya berbentuk gambar foto ritus, video, atau ilustrasi AR dengan sebuah marker.

Media Ritus Grebeg Pancasila ini berfungsi sebagai komplemen dalam pembelajaran dari buku sumber utama yaitu Buku Siswa Materi Grebeg Pancasila. Secara aplikasi media ini dapat dioperasikan secara random melalui smartphone, bisa diulang-ulang sesuai kehendak pengguna, bahkan bisa menjadi media hiburan anak-anak yang bisa dimainkan kapan saja dan dimana saja. Adapun pengembangan media saat ini masih dalam tahap pembuatan meliputi kelengkapan konten, kesesuaian alur, dan keberjalanan setiap modul/ritus.Tahap selanjutnya menuju packaging, instalasi, ujicoba aplikasi, dan revisi hasil ujicoba sampai kesiapan untuk implementasi pembelajaran.

Struktur Media Augmented reality Ritus Grebeg Pancasila mengiukuti tahapan prosesi ritus dan berjalan sesuai dengan baik, mudah digunakan, membantu siswa dalam pemahaman, menarik, puas dan ingin memilikinya. Media Augmented Reality Grebeg Pancasila tersimpan secara cloud dengan 2 (dua) modus akses yaitu berbasis marker dengan buku materi, dan tanpa marker bersifat terbuka. Berikut contoh media Augmented Reality yang dihasilkan dan telah mengalami pengujian ahli.

( a ) (b) (c)

Gambar 3. Tampilan Media Grebeg Pancasila

(a) Evant Pembukaan, (b) Pasukan Pengarak Pusaka,

(c) Penyerahan Pusaka untuk di Arak.

553Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

( a ) (b) (c)

Gambar 4. ampilan Media Grebeg Pancasila

(a) Pasukan Pengibar Bendara, (b) Pasukan Pembawa Pusaka,

(c) Penyerahan Pusaka

Penilain oleh ahli media diperoleh nilai rata-rata 84,3 % dengan kategori “sangat baik”. Penilaian ohli Materi diperoleh nilai rata-rata 86,5% dengan kategori “sangat baik”. Berdasarkan pengguna pada uji coba terbatas didapatkan rata-rata persentase kesesuaian sebesar 88,00% kategori Sangat Baik.

4. Buku Ajar Siswa

Konten Ritus Grebeg Pancasila berdasarkan KI/KD yang bisa dikembangkan melalui media sesuai dengan kurikulum kelas 3 SD/MI mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau ekstrakurikuler. Rumusan Kompetensi Sikap Spiritual yaitu, “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”. Adapun rumusan Kompetensi Sikap Sosial yaitu, “Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangga”. Kedua kompetensi tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran, serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran

554 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berlangsung, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut.

Dalam pengembangan buku siswa KI 1 dan KI 2 masuk dalam kegiatan dan aktivitas sehari-hari peserta didik di rumah. Instrumennya adalah lembar check list aktivitas siswa. Berhubung saat ini masa pandemi da nada keharusan peserta didik harus belajar di rumah, maka yang melakukan pengamatan aktivitas siswa adalah orang tuanya di rumah. Buku Siswa Grebeg Pancasila ini merupakan buku bahan ajar untuk siswa kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). Buku ini mengusung konsep pembelajaran Tematik yang kontekstual dimana esensi materinya dari kegiatan prosesi Ritus Grebeg Pancasila yang sarat akan makna, nilai dan karakter Pancasila.

Aspek-aspek buku siswa beroientasi pada aspek pembelajaran seperti disampaikan pada bagian metode penelitian. Berdasarkan hasil penilaian ahli materi diperoleh dari nilai aspek keterkaitan dengan kurikulum merupakan paling rendah sebesar 76,67%, sementara aspek lainnya di atas 80,00%, dan dua aspek mencapai penilaian tertinggi 95.00%. Dari hasil penilaian setiap aspek di atas diperoleh total nilai rata-rata dari semua aspek yaitu 89,80% dengan kategori “sangat baik”.

5. Buku Guru

Buku Guru Grebeg Pancasila ini merupakan buku panduan mengajar untuk guru kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). Buku Guru ini berisi jabaran analisis KI/KD, indikator, tujuan pembelajaran dan rencana pelaksanaan pembelajaran menggunakan langkah model GREBEG. Buku Siswa Grebeg Pancasila Kelas III SD/MI yang dikembangkan selanjutnya di riviu oleh ahli materi dan guru.

Ruang lingkup pembelajaran berisi garis besar kegiatan pembelajaran dan cara mengajar yang meliputi kompetensi yang akan dikembangkan, alokasi waktu, pendekatan, metode dan model pembelajaran, teknik dan instrumen penilaian. Aspek-aspek buku guru beroientasi pada aspek pembelajaran seperti disampaikan pada bagian metode penelitian. Berdasarkan hasil penilaian ahli materi diperoleh dari nilai aspek keterkaitan dengan kurikulum merupakan paling rendah sebesar 75,00%, sementara aspek lainnya di atas 80,00%, dan dua aspek mencapai penilaian tertinggi 95.00%. Dari hasil penilaian setiap aspek di atas diperoleh total nilai rata-rata dari semua aspek yaitu 88,55% dengan kategori “sangat baik”.

555Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

6. Pembelajaran GREBEG Pancasila (MPGP)

Model pembelajaran dirancang menggunakan terminologi GREBEG yaitu Grouping, Reading, Exploring, Believing, Elaborating, dan Generating. Pengangkatan termonilogi GREBEG ini untuk menyelaraskan dengan Ritus Grebeg Pancasila yang akan menjadi stimulus Pembelajaran berbasis kearifan lokal. Aspek-aspek buku siswa beroientasi pada aspek pembelajaran seperti disampaikan pada bagian metode penelitian.

GREBEG dalam model pembelajaran ini kepanjangan dari Grouping, Reading, Exploring, Believing, Elaborating, dan Generating. Grouping adalah pembentukan kelompok belajar siswa yang memiliki muatan pembekalan kebersamaan, gotong royong, dan kolaborasi. Reading adalah kegiatan membaca sumber berlajar utama yang disediakan oleh guru atau sekolah. Exploring adalah kegiatan mencari informasi untuk pengetahuan diluar sumber belajar utama seperti pencarian di fasilitas online, lingkungan., dan lain-lain. Believing adalah kegiatan membuat/merangkum informasi/pengetahuan yang sudah diperloleh dari kegiatan sebelumnya. Elaborating adalah kegiatan merancang sebuah karya/produk untuk presentasikan/peragakan. Generating adalah mempertunjukkan sebuah karya/produk kepada kelompok lainnya.

Aspek-aspek yang dikaji pada dasarnya difokuskan pada struktur model, dukungan terhadap pelaksanaan tugas guru kelas, peningkatan kompetensi siswa (pengetahuan, sikap dan keterampilan), dukungan pemerintah (Depdikbud) dan hambatan atau keterbatasan model PGP. Sesuai dengan hasil analisis prasurvey, pada bagian ini dibahas tentang rencana pengembangan model PGP atau pembelajaran GREBEG Pancasila di SD/MI.

Model pembelajaran GREBEG dengan tahapan Grouping, Reading, Exploring, Believing, Elaborating, dan Generating dikembangkan melalui tahapan perancangan, pembuatan sintak, ujicoba, dan dokumentasi. Secara keseluruhan model PGP ini memiliki Sintak model PGP yang menggambarkan proses pembelajaran yang terdiri dari tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Penilaian model oleh ahli pembelajaran diperoleh semua aspek 80,00% ke atas, sementara aspek tindakan reflektif 93,33%. Dari hasil penilaian rata-rata aspek yaitu 88,63% dengan kategori “sangat baik”.

Implementasi pembelajaran GREBEG Pancasila bermuara dengan pendekatan tematik pada kelas III SD semester 2 dengan tema Kewajiban dan Hakku subtema Kewajiban dan Hakku di Rumah serta integratif dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, PJOK, SBdP.

556 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

a. Uji Coba

Uji coba terbatas dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kesalahan- kesalahan nyata dalam yang terdapat dalam perangkat pembelajaran. Subjek uji coba diambil dari perwakilan masing-masing keempat sekolah mitra riset dengan kategori kemampuan yang bervariasi. Hasil uji coba terbatas menunjukkan rata-rata skor sebesar 88,75 %. Uji coba diperlaus dilakukan untuk mengetahui kemenarikan produk bahan ajar. Hasil uji coba terbatas kedua menunjukkan sebesar 92,70%. Setelah dikonversi, presentase tersebut termasuk dalam kategori sangat menarik (Septinaningrum, 2019).

b. Aktivitas Belajar Siswa

Aktivitas siswa disetiap pertemuan tergolong sangat aktif yang meliputi berdiskusi, bertanya, menanggapi pertanyaan, membandingkan jawaban, dan menarik kesimpulan. Pembelajaan yang dikembangkan mampu menciptakan suasana ceria dan menyenangkan bagi para siswa sesuai kebutuhan karakter usia sekolah dasar dan seiring dengan konsep merdeka belajar (Silberman, 2007; W. Setiawan, 2020). Pengamatan aktivitas siswa dilakukan oleh empat observer, secara kumulatif tingkat aktivitas siswa dalam pembelajaran tergolong tinggi dengan level presentase sebesar 88%.

c. Hasil Belajar Siswa

Data hasil belajar siswa dalam aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan ditunjukkan seperti gabar di bawah ini.

(a) (b) (c)

Gambar 5. Hasil Belajar pada Aspek (a) Pengetahuan, (b) Sikap, dan (c) Keterampilan

Secara umum untuk ketuntusan minimum 70, semua siswa sudah melampaui, hal itu menunjukkan pembelajaran yang dilaksanakan dapat diikuti oleh seluruh siswa. Kategori skor tertinggi yaitu 95-100 untuk ketiga aspek memiliki jumlah atau prosentase yang sama dan masih rendah. Ketiga aspek hasil pembelajaran menujukkan proporsionalitas yang baik dan memiliki kesinambungan dan keutuhan. Pembelajaran yang dikembangkan dapat mengisi semua aspek dengan cukup proporsional walau masih perlu ditingkatkan.

557Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

d. Tanggapan Guru

Para guru memberikan apresiasi yang tinggi dengan ketersediaan model pembelajaran terutama bahan pembelajaran yang lengkap buku siswa, buku guru, media, dan metode. Secara kuantitatif tanggapan guru terhadap bahan ajar buku tematik, buku panduan guru menunjukkan presentase kumilatif sebesar 94,71%, terhadap media teknologi AR dengan presentase sebesar 95,31%, dan GREBEG Pancasila sebagai model pembelajaran menunjukkan presentase sebesar 96,25%. Tanggapan secara verbal dinyatakan oleh para guru bahwa model-model yang dikembangkan dalam penelitian ini membuka wawasan dan semangat berkreativitas sebagai kunci keberhasilan pembelajaran di era digital (W. Setiawan, 2017).

e. Tanggapan Siswa

Tanggapan siswa dikumpulkan melalui penyebaran angket bertujuan untuk mengetahui sejauhmana para siswa menikmati pembelajaran tematik integratif berbasis kearifan lokal dan Augmented Reality Ritur Grebeg Pancasila. Tanggapan siswa terhadap pembelajaran secara umum menunjukkan persepsi sangat baik atau diterima pada level 86,50 %. Sebagai sesuatu yang baru dalam konteks pembelajaran tersebut, namun para siswa dapat cepat beradaptasi terutama sebagai kaum millenial dengan pemberdayaan teknologi digital (W. Setiawan, 2017).

F. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan bahan-bahan dan hasil penelitian yang dipaparkan pada bagian terdahulu, berikut ini disampaikan kesimpulan yang merupakan temuan pembahasan, dan saran untuk pengembangan kedepan. Ritus Grebeg Pancasila merupakan prosesi yang dirancang dengan landasan filosofi yang amat dalam sebagai warisan para pendahulu yang sarat dengan pesan nilai-nilai kehidupan dan kebangsaan. Perayaan kearifan lokal Ritus Grebeg Pancasila telah memiliki regulas yang kuat di tingkat lokal melalui Peraturan Daerah, dan Edaran Walikota Blitar. Perayaan tahunan Ritus Grebeg Pancasila mendapat dukungan masyarakat yang cukup besar yang terbukti semarak dan antusianya masyarakat mengikuti perayaan tersebut. Kearifan lokal Grebeg Pancasila memiliki struktur yang sistematis dari sisi tema, sejarah, dan pelaksanaan. Ritus Grebeg Pancasila menggambarkan budaya yang tumbuh dari kehidupan masyarakat yang dapat ditransformasi menjadi menjadi konten kehidupan sehari-hari yang selaras dengan semangat pembelajaran karakter.

558 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pada tataran implementasi dalam pembelajaran, terdapat beberapa kesulitan antara lain mengembangkan pendekatan tematik integratif, mengembangkan materi ajar dan media. Pesan nilai-nilai Pancasila bersesuaian dengan KI/KD kurikulum pendidikan. Buku materi Ritus Grebeg Pancasila yang dikembangkan mendukung pembelajaran karakter yang mudah diterapkan dalam keseharian Siswa SD/MI.

Media Augmented Reality Ritus Grebeg Pancasila memperkuat motivasi dan pemahaman pembelajaran tematik integratif berbasis kearifan lokal yang bersifat mobile, dan mudah diperasikan dengn tingkat kelayakan sangat baik. Model Pembelajaran GREBEG Pancasila dapat menjadi alternatif tematik integratif berbasis kearifan lokal untuk mendukung pembelajaran berbasis karakter. Model pembelajaran GREBEG Pancasila dapat menciptakan sikap yang berkarakter Pancasila dan meningkatkan kreativitas serta cocok untuk Siswa SD/MI.

Diperlukan dukungan regulasi yang kuat untuk mendorong penerapan kearifan lokal menjadi media pembelajaran berbasis nilai dan karakter. Penguatan kompetensi guru untuk mengimplementasikan pembelajaran temaik integratif berbasis kearifan lokal dan teknologi perlu dilakukan secara komprehensif. Tidak kalah penting dukungan pemerintah daerah dan stackholder terkait secara sinergis dan kolaboratif untuk mensukseskan pembelajaran berbasis nilai dan karakter.

Daftar Pustaka

Ali,Hasbi. (2018) Penguatan karakter Semangat Kebangsaan melalui Pembelajaran Kearifan Lokal dalam Mata Kuliah PPKn, Jurnal Geuthѐё: Penelitian Multidisiplin, Vol.01, No.03 (November,2018), pp.188-198.

Carol. (2002). Media Education in The Primary School, Newyork & London: in The Tylor & Francis e-Library

Dick, W., and Carey, L. (1996). The systematic design of instruction. New York, NY: Harper Collins.

Febriyanti, Rizki dan Tri Listyorini. (2019). 3D hologram Media Interaktif Pengenalan Proses Pembuatan Jenang Sebagai Upaya Pelestarian Kuliner Khas Kudus, Jurnal Simentris, Vol.10 No,1 April 2019.

559Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Fuadi MM, Listyorini T., 2018, 3D hologram introduction of solar system based on android, In: AIP Conference Proceedings.

Hanif, Muhammad dan Zulianti, 2012, Simbolisme Grebeg Suro di Kabupaten Ponorogo, Ponorogo: Agastya Vol. 02 No. 01 Januari 2012.

Hiroh Yamamoto (2014). “Impact of Learner’s Characteristics and Learning Behaviour on Learning Performance during a Fully Online Course” in The Electronic Journal of e-Learning.

Hudayanti, Emy, 2018, Strategi Optimalisasi Grebeg Pancasila Sebagai Wisata Budaya, Journal Tourism, Hospitality and Culinary Journal Vol. 3 No. 1.

Kartadinata, S. dkk., 2018, Pedagogi Pendidikan Kedamaian, Bandung:UPI Press.

Latif, Yudi, 2012, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lestyarini, Beniati,2012, Penumbuhan Semangat Kebangsaan untuk Memperkuat Karakter Indonesia melalui Pembelajarn Bahasa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun 11 Nomor 3.

Lickona,T,2012,Educating for character: how our school can teach respect and responsibility.

Martana, Budhi dkk,2018, Penguatan Karakter Kebangsaan dan Pemberdayaan Masyarakat Tiyuh Tirta Makmur, Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat MADANI, Vol.4, No.1 (September 2018).pp.18-22.

Maunah, Binti. 2015, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, Nomor 1 (April 2015).pp 90-101.

Muljono, Untung,2005, Pendidikan Nilai Luhur Melalui Tembang (Lagu) Dolanan Anak, Jurnal Etnomusikologi, pp. 100-102.

Narvaez,D.,&Lapsley,D.K., 2008,Teaching Moral Character:Two Alternatives for Teacher Education, The Teacher Educator,43(2),pp.156–172. NewYork:Bantam Books.

Peraturan Daerah Nomor 34 Tahun 2004 Tenta ng Tata Kerja Dinas Informasi, Komunikasi dan Pariwisata Daerah Kota Blitar.

Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, Jakarta

Popham, W.J. (2011). Classroom Assessment, What Teacher Need To Know. Boston: Pearson. Rosebrough, Thomas R. dan Ralph G.

Putriana, Dewi & Warsono, 2019, Grebeg Pancasila Sebagai Sarana Penanaman Nilai-Nilai Pancasila (Studi kasus di Kota Blitar), Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 07 Nomor 02 Tahun 2019, 1237-1252

560 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Rahman,2018, Multiliterasi dan Pendidikan Karakter, UPI: Bandung.

Rifa’i Anwar, dkk. 2017. Pembentukan Nasionalisme melalui Pembelajaran Pendidikan Aswaja pasa Siswa Madrasah Aliyah Al Asror Semarang. Semarang: Jurnal of Educational Social Studies UNS.

Risabethe, Abiy dan Budi Astuti.2017. Pengembangan Media Pembelajaran untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Karakter Semangat Kebangsaan Siswa Kelas V SD. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun VII, Nomor 1(April 2017),pp. 34-45.

Septinaningrum, 2019. Multiliteracy in The Rite of Grebeg Pancasila as a Medium for Character Education in Digital Era. Prossiding Incolwis. 2019.

Silberman, (2007). Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Terjamahan Sarjuki, dkk). Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Sumardiono, 2018. Pengenalan Karakter Lokal dengan Bahan Bacaan Bermuatan Budaya melalui Puisi Ukir di ODTW Blitar. Ponorogo: Prosiding Seminar Nasional Unpo

Sumitrasari, D., 2012. Makna Simbolik Kirab Gunungan Limo Pada Ritual Grebeg Dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila di Kota Blitar. Karya Ilmiah.um.ac.id. tidak diterbitkan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

W. Setiawan, 2017, Era Digital dan Tantangannya, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Digital dalam Pembelajaran, Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muahmmadiyah, Sukabumi.

W. Setiawan, 2020, Pendidikan Menuju Indonesia Emas: Konsep dan Implementasi Merdeka Belajar pada Era Digital, Bandung, UPIPress.

Zummi, NQA, 2016. Kajian Makna dan Nilai karakter pada Ritus Grebeg Pancasila di Kota Blitar serta Keterkaitannya bagi Pendidikan IPS. Karya Ilmiah.um.ac.id. tidak diterbitkan.

561Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

The Flexibility Of The Distance Learning Design Associated With The Teacher’s Understanding Of The Curriculum

Suci Paresti dan Renni DiastutiPusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Perbukuan, Kemendikbud

[email protected] dan [email protected]

Abstrack

During a disaster emergency (COVID-19 pandemic), learning is carried out from home or also known as distance learning, in which the teaching pattern needs to be adjusted to the conditions and situations of students and educational units. Problems that arise with distance learning include teachers stuttering in utilizing technology, teaching online is perceived differently, not designing good learning, and providing assignments via WhatsApp / email without material explanation, so that students feel bored, lack motivation, do not get an explanation of the subject matter and feedback from assignments and lessons.

The purpose of this strategic policy study is to examine the diversity of teacher readiness in designing distance learning by taking into account curriculum targets and their constraints, as well as examining the suitability/flexibility and operation of the distance learning designs prepared by the teacher. Exploration of supporting data was carried out by collecting primary data through filling out questionnaires, FGD and reviewing RPP documents, while secondary data collection was through literature review. Data processing was carried out by using a mixed method, namely qualitative and quantitative.

The latest results of this study are the concepts and recommendations for distance learning designs that are operational and allow them to be applied in various situations and conditions (flexible), especially during disaster emergencies, such as learning through teleconferences, learning with makeshift tools that are not technology-based, and various innovations from the teachers.

Keywords: curriculum, distance learning, learning design.

Abstrak

Fleksibilitas Rancangan Pembelajaran Jarak Jauh Dikaitkan Dengan Pemahaman Guru Terhadap Kurikulum

Pada masa darurat bencana (pandemi covid 19) pelaksanaan pembelajaran dilakukan dari rumah atau disebut juga dengan pembelajaran jarak jauh, yang mana pola mengajarnya perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi peserta didik dan satuan pendidikan. Permasalahan yang timbul terhadap pembelajaran jarak jauh antara

562 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

lain guru gagap dalam memanfaatkan teknologi, mengajar secara online dirasakan berbeda, tidak merancang pembelajaran yang baik, dan memberikan penugasan-penugasan via WhatsApp/email tanpa penjelasan materi, sehingga peserta didik merasa bosan, kurang motivasi, tidak mendapatkan penjelasan materi pelajaran dan umpan balik dari penugasan dan pembelajaran.

Tujuan kajian kebijakan strategis ini untuk menelaah keragaman kesiapan guru dalam merancang pembelajaran jarak jauh dengan memperhatikan target kurikulum dan kendalanya, serta menelaah kesesuaian/fleksibilitas dan operasional rancangan pembelajaran jarak jauh yang disiapkan guru. Eksplorasi data pendukung dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui pengisian kuesioner, FGD dan telaah dokumen RPP, sedangkan pengumpulan data sekunder melalui kajian literatur. Pengolahan data dilakukan dengan mix method yaitu kualitatif dan kuantitatif.

Keterbaharuan hasil dari kajian ini adalah konsep dan rekomendasi rancangan pembelajaran jarak jauh yang bersifat operasional serta memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi (fleksibel) terutama pada masa darurat bencana, seperti pembelajaran melalui teleconference, pembelajaran dengan perangkat seadanya yang tidak berbasis teknologi, dan berbagai inovasi dari guru.

Kata kunci: kurikulum, pembelajaran jarak jauh, rancangan pembelajaran.

A. PENDAHULUAN

Kunci terwujudnya Indonesia Emas 2045, yang adil dan sejahtera, aman dan damai, serta maju dan mendunia terletak pada kualitas sumber daya manusia dan pendidikan merupakan jalan menuju pembangunan sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh pendidikan, di mana guru merupakan pemegang peran utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonesia hanya meraih 0,689 dan berada diperingkat ke-113 dari 188 negara. Begitu juga UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, menempatkan pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sementara itu, komponen guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Kualitas pendidikan di Indonesia pada tahun 2016 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 69 negara. Hal ini menjadi cerminan dari kualitas dan kompetensi guru di Indonesia (Syarifudin Yunus, Media Indonesia 26 November 2016).

Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik,

563Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Adapun, guru dikatakan layak mengajar apabila telah memiliki kualifikasi akademik program sarjana (S1) atau program diploma empat (D4) sebagai standar kualifikasi akademik dan kompentsi guru (Permendiknas RI No.16/2007). Berdasarkan data statistik guru yang memiliki ijazah D4/S1 atau lebih pada tahun ajaran 2018/2019 mengalami kenaikan sebanyak 2.599.375 guru dibanding tahun ajaran 2017/2018. Berdasarkan jenjang pendidikan, terjadi peningkatan persentase guru layak mengajar pada jenjang SD, SMP, dan SMA pada tahun ajaran 2018/2019, di mana untuk jenjang SMP terjadi peningkatan sebesar 0,29% dari 93,16% menjadi 94,45% (BPS, 2019). Kompetensi lain yang juga harus dimiliki seorang guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial (UURI No.14/2005, Pasal 10).

Meningkatnya persentase guru layak mengajar tentunya belum cukup mampu mengukur bagaimana kualitas tenaga pendidik. Namun setidaknya hal tersebut sudah mengarah kepada kualitas guru yang lebih baik. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) merupakan salah satu gambaran untuk melihat kompetensi guru, terutama kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional guru sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kompetensi pedagogik berbicara tentang kemampuan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan akhirnya mengevaluasi pembelajaran. Berdasarkan hasil UKG yang dilakukan secara nasional pada tahun 2015 ternyata nilai rata-rata guru sebesar 53,02 yang berarti masih di bawah standar kompetensi minimum yang ditargetkan sebesar 55. Bahkan, kompetensi bidang pedagogik, yaitu kemampuan guru mengelola kelas dan menyiapkan strategi pembelajaran, rata-rata hanya 48,94. Artinya, banyak guru belum mencapai kompetensi minimal yang diperlukan untuk memfasilitasi pembelajaran yang berkualitas. Pada kompetensi pedagogik ini guru sering melupakan bahwa pada saat merencanakan, guru juga harus mampu menyesuaikan kebutuhan peserta didik dengan rencana yang akan dibuatnya (Leonard, 2015).

Guru sebagai arsitek pembelajaran hendaknya menciptakan proses pembelajaran berkualitas dengan tetap mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Oleh karena itu, guru wajib merancang pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik dan sumber daya yang dimilikinya serta melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah dibuatnya. Untuk dapat menjadi arsitek yang baik dalam merancang pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain potensi dasar, latar belakang pendidikan, pendidikan/pelatihan yang pernah diikuti, dan pengalaman mengajar.

564 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ernawati dan Rini Safitri (2017), ada beberapa kesulitan yang dialami guru dalam merancang pembelajaran, yaitu: (1) belum mendapatkan pelatihan Kurikulum 2013 sebanyak 83,33%; (2) belum dapat menggunakan komputer dan internet sebanyak 33,33%; (3) kesulitan dalam merumuskan indikator sebanyak 66,67%; (4) kesulitan dalam memilih pendekatan/ metode/strategi pembelajaran yang tepat sebanyak 41,67%; (5) kesulitan mengembangkan aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan materi sebanyak 33,33%; dan (6) kesulitan menyusun teknik dan instrumen penilaian sebanyak 25%. Hasil penelitian SMERU (2018) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan pembelajaran antara lain adalah rendahnya kualitas guru, motivasi serta profesionalisme guru. Walaupun latar belakang pendidikan guru adalah tamatan S1 tetapi sebagian di antara mereka tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Guru tidak menguasai didaktik-metodik, bahkan tidak menguasai materi ajar. Penyebabnya adalah, antara lain, kurang berkualitasnya PT/LPTK tempat mereka dididik dan rendahnya motivasi mengajar guru-guru tersebut. Selain itu, rendahnya komitmen sebagian guru terhadap profesinya serta kurang memiliki kemauan kuat untuk meningkatkan kemampuannya secara mandiri. Ditambah lagi dengan rendahnya minat baca dan keinginan untuk mengikuti isu-isu pendidikan terkini atau mempelajari metode pembelajaran yang baru. Hasil penelitian SMERU ini, sejalan dengan hasil UKG yang diikuti oleh guru, walaupun dari tahun ke tahun nilai UKG meningkat tetapi masih di bawah standar yang ditetapkan.

Bila dalam kondisi normal pembelajaran dilakukan dengan cara lama di mana guru mengajar masih banyak menggunakan ceramah, peserta didik mencatat, dan jarang memberikan umpan balik (Kompas, 25 Oktober 2019 dalam Abdullah, 2020), maka perlu ditelaah kesiapan guru pada masa darurat bencana seperti penyebaran Covid-19 saat ini. Dengan adanya masa darurat bencana tentunya perlu dilakukan perubahan pola mengajar, yang awalnya dilakukan secara tatap muka antara guru dan peserta didik, beralih menjadi pembelajaran jarak jauh (belajar dari rumah) dengan memanfaatkan teknologi atau sarana yang tersedia di lingkungannya. Dengan adanya perubahan cara belajar apakah guru merubah rancangan pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini atau tetap menggunakan rancangan pembelajaran seperti biasanya (Abdullah, 2020).

Kondisi pembelajaran jarak jauh pada masa darurat bencana ini membutuhkan kreativitas dan inovasi guru dalam merancang pembelajaran, agar pembelajaran dapat berjalan dengan menyenangkan dan bermakna. Kebebasan guru dalam merancang pembelajaran yang kreatif, inovatif dan inspiratif diperlukan agar peserta didik selalu termotivasi dan semangat dalam

565Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

belajar. Hal ini sejalan dengan kebijakan Merdeka Belajar yang digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim (Kemendikbud, 2019) dimana guru mendapat ruang yang luas untuk melaksanakan pembelajaran dengan metode yang bervariasi guna meningkatkan kreatifitas dan daya pikir peserta didik sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan kontekstual.

Berdasarkan hasil diskusi online LIPI dan Federasi Serikat Guru Indonesia, Satriwan Salim (1 April 2020), permasalahan yang timbul terhadap pembelajaran jarak jauh antara lain guru gagap dalam memanfaatkan teknologi, mengajar secara online dirasakan berbeda, tidak merancang pembelajaran yang baik, dan memberikan penugasan-penugasan via WhatsApp/email tanpa penjelasan materi, sehingga peserta didik merasa bosan, kurang motivasi, tidak mendapatkan penjelasan materi pelajaran dan umpan balik dari penugasan dan pembelajaran.

Oleh karenanya, dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh guru perlu melakukan penyesuaian terhadap perubahan target kurikulum dan melakukan analisis kurikulum untuk merancang pembelajaran yang bermakna sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan peserta didik. Selain itu, dalam merancang pembelajaran jarak jauh perlu dilakukan kolaborasi yang erat antar guru terkait dengan penjadwalan, penugasan, maupun penilaian sehingga materi yang berdekatan dapat diajarkan secara terpadu lintas mata pelajaran untuk menghindari tumpang tindih dan efektifitas dalam penugasan dan penilaian.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan (1) telaah keragaman kesiapan guru dalam merancang pembelajaran jarak jauh dan kendalanya, dan (2) telaah fleksibilitas (sesuai dengan situasi-kondisi) rancangan pembelajaran jarak jauh yang disiapkan guru. Adapun keterbaharuan dari penelitian ini adalah gagasan dan konsep rancangan pembelajaran jarak jauh yang bersifat operasional dan sangat mungkin diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi (fleksibel) seperti pembelajaran melalui tele conference, pembelajaran dengan perangkat seadanya yang tidak berbasis teknologi, dan berbagai inovasi dari guru. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi berupa kajian kebijakan strategis untuk memperbaiki pelaksanaan program pembelajaran jarak jauh di masa pandemi covid-19 yang belum tahu kapan berakhirnya.

566 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

B. METODE

Kerangka pikir pada kajian Fleksibilitas Rancangan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Dikaitkan dengan Pemahaman Guru terhadap Kurikulum, yaitu:

1. Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran agar tercapai tujuan pendidikan tertentu. Perangkat Kurikulum yang perlu dipahami oleh guru yaitu standar isi, standar proses, standar penilaian dan Kompetensi Inti dan secara khusus menganalisis Kompetensi Dasar (KI-KD) mata pelajaran.

2. Rancangan Pembelajaran dalam berbagai situasi kondisi tetap harus mengacu pada kurikulum terutama KI-KD mata pelajaran karena merupakan target kurikulum. Produk dari rancangan pembelajaran yang menjadi tanggung jawab guru adalah silabus dan RPP. Namun agar proses pembelajaran sesuai konteks satuan pendidikan dan kebutuhan peserta didik akan sangat baik jika perangkat bahan ajar dibuat oleh guru. Perangkat bahan ajar dapat berupa lembar kerja, buku teks, modul, dan sumber lainnya.

3. Guru dengan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai pendidik perlu memahami kurikulum nasional dan memiliki kemampuan menyusun rancangan pembelajaran yang dapat menciptakan proses pembelajaran berkualitas dengan mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik. Adanya SE Kemendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang mandat untuk melakukan pembelajaran jarak jauh (belajar dari rumah) maka guru dalam merancang pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan situasi kondisi masa pandemi covid-19. Guru harus memperhatikan kebutuhan peserta didik dan sesuai dengan konteks kehidupan peserta didik.

4. Peserta didik sebagai pembelajar diharapkan dapat menerima pembelajaran jarak jauh dan dengan penuh tanggung jawab tetap menjalankan

567Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kewajibannya sebagai pelajar agar mendapatkan pengetahuan, keterampilan sehingga membentuk sikap yang diharapkan.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan mixed methods dimana mengkombinasikan penelitian kualitatif dan kuantitatif (Creswell, 2010: 5). Sedangkan menurut Sugiyono (2008: 404), metode penelitian kombinasi (mixed methods) adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan antara metode kuantitatif dengan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable dan obyektif. Data kualitatif ini didapatkan melalui diskusi termpumpun (FGD) dengan partisipan secara mendalam.

Fokus kajian dibatasi pada beberapa variabel sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu (1) Kualitas rancangan pembelajaran jarak jauh dan (2) Pemahaman guru terhadap kurikulum yang dituangkan ke dalam rancangan pembelajaran jarak jauh dengan berbagai situasi kondisi masa pandemi covid-19. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar wawancara (interview), lembar kuesioner (angket) dan telaah dokumen. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dibantu dan didukung oleh instrumen lainnya. Untuk metode kualitatif, peneliti menggunakan Panduan Focus Discussion Group (FGD). Panduan FGD digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu menemukan gambaran mengenai pandangan guru mengenai fleksibilitas rancangan pembelajaran jarak jauh dikaitkan dengan pemahaman guru terhadap kurikulum. Lembar angket/kuesioner juga digunakan untuk mengetahui secara kuantitatif dari persepsi guru mengenai fleksibilitas rancangan pembelajaran jarak jauh dikaitkan dengan pemahaman guru terhadap kurikulum.

Adapun populasi penelitian dibedakan antara populasi secara umum dengan populasi target. Populasi target adalah populasi yang menjadi sasaran keberlakukan kesimpulan penelitian (Sukmadinata, 2007: 250). Dengan populasi penelitian adalah keseluruhan subjek penelitian yang merupakan guru di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di Indonesia yang melaksanakan PJJ. Sedangkan pengambilan sampel dalam penelitian ini mengunakan teknik purposive. Teknik ini digunakan dalam memilih sampel secara khusus berdasarkan tujuan penelitian (Sukmadinata, 2007: 251). Jumlah sampel yang terlibat dalam kajian ini yaitu Kepala Sekolah, dan guru mata pelajaran.

Untuk pengambilan sampel didasarkan pada kriteria penilaian kemajuan teknologi dan akreditasi sekolah. Pemilihan daerah dengan kriteria kemajuan teknologi dilakukan berdasarkan indeks pembangunan teknologi, Informasi

568 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dan Komunikasi (IP-TIK) Tahun 2018 (dikembangkan oleh International Telecommucation Union (ITU) dengan nama ICT DI). Indeks pembangunan teknologi, Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) merupakan ukuran standar tingkat pembangunan TIK suatu wilayah. Nilai IP-TIK dikategorikan menjadi tinggi (7,26 - 10,00), sedang (5,01 - 7,25), rendah (2,51 - 5,00) dan sangat rendah (0,00 - 2,50). Pada tahun 2017 dan 2018, seluruh provinsi di Indonesia tersebar pada kategori sedang dan rendah, artinya tidak ada provinsi yang tertinggal pada kategori sangat rendah, dan juga tidak ada provinsi yang mencapai IP-TIK kategori tinggi. Dimana dua daerah pemilihan termasuk kategori teknologi sedang yaitu DKI Jakarta (7,14) dan Papua Barat (5,07) dan dua daerah dengan kategori teknologi rendah yaitu Lampung (4,50) dan NTT (3,77).

Kemudian untuk kriteria akreditasi sekolah, setiap daerah diwakilkan oleh sekolah dengan ketentuan akreditasi A, akreditasi B dan akreditasi C. Hal ini dimaksudkan bahwa sekolah sudah melalui proses penjaminan mutu layanan prima terhadap kelayakan satuan pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan peringkat kelayakan oleh suatu lembaga mandiri dan profesional (BANSM). Secara umum satuan pendidikan yang telah diakreditasi telah memiliki mutu lulusan, proses pembelajaran, kinerja guru dan manajemen sekolah yang mendukung kemajuan pendidikan di satuan pendidikan tersebut dan sudah diakreditasi.

Adapun untuk pemilihan mata pelajaran dengan memperhatikan Surat Edaran Kemendikbud yaitu SE No.4 Tahun 2020 tentang Pelaksanan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid 19 dan SE No.15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Covid 19. Dikatakan bahwa rencana pelaksanaan pembelajaran PJJ antara lain dengan fokus materi pembelajaran literasi, numerasi, dan pendidikan kecakapan hidup. Oleh karenanya, pilihan mata pelajaran pada kajian ini meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan Prakarya. Semua mata pelajaran tersebut untuk membekali peserta didik dengan kemampuan memilih, menganalisis informasi dengan kritis, mengaplikasikan keterampilan operasi hitung, mempraktikkan kecakapan hidup dan menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan melalui pengalaman langsung di dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat di lingkungan sekitar peserta didik.

Teknik pengumpulan data, proses pengambilan data menggunakan kuesioner online, teknik diskusi terfokus dan wawancara melalui video conference. Sedangkan, teknik pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan telaah dokumen perangkat kurikulum dari satuan pendidikan, penelitian yang relevan, dokumen kebijakan dari pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan. Adapun, teknik analisis data kuantitatif dilakukan untuk melihat hubungan antar aspek penelitian dengan merujuk pada kuesioner yang diisi

569Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

oleh responden. Data ini diolah secara statistik dengan penjelasan. Sedangkan, analisis data kualitatif dilakukan dengan mengolah data yang bersumber dari diskusi terfokus dan telaah dokumen. Hasil analisis kualitatif bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum rancangan pembelajaran jarak jauh yang disusun guru di daerah sampel, kemudian data direduksi sesuai dengan aspek (variabel dan indikator) penelitian dan selanjutnya menyimpulkan data yang diperoleh terhadap hasil analisis.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. A. Rancangan Pembelajaran Jarak Jauh

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berfungsi sebagai acuan bagi guru untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar (kegiatan pembelajaran) agar lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien. Cruickshank, dkk. (2006:149) berpendapat bahwa perencanaan pembelajaran merupakan proses guru memutuskan apa yang harus dibelajarkan, bagaimana cara membelajarkan, dan bagaimana menilai hasil belajar. Dengan kata lain, RPP ini akan menjadi panduan yang membantu guru mengontrol pelaksanaan pembelajarannya. Oleh karena itu, RPP hendaknya bersifat luwes (fleksibel) dan memberi kemungkinan bagi guru untuk menyesuaikannya dengan respon peserta didik dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya. RPP yang telah disiapkan sebelum mengajar akan mempermudah, memperlancar, dan meningkatkan hasil belajar. Selain itu, RPP yang disusun secara profesional, sistematis, dan berdaya guna, akan memampukan guru untuk melihat, mengamati, menganalisis, dan memprediksi program pembelajaran sebagai kerangka kerja yang logis dan terencana (Zendrato, Juniriang, 2016).

Sebagaimana RPP tatap muka yang perlu disusun secara professional dan sistematis, demikian pula halnya untuk RPP pembelajaran jarak jauh juga perlu dirancang secara matang agar materi yang disampaikan secara virtual mudah dicerna oleh anak didik sehingga dapat memfasilitasi pembelajaran secara optimal. Model dan metode pembelajaran yang diterapkan pun berbeda dari kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas.

Dalam pembelajaran jarak jauh di situasi pandemi saat ini hasil dari pembelajaran peserta didik bukan fokus kepada pengetahuan saja. Tetapi lebih kepada pembentukan karakter peserta didik. Dalam proses pembelajaran kita harus memperhatikan kemampuan peserta didik yang beragam. Maka proses dan evaluasi juga akan beragam sesuai dengan kemampuan peserta didik. Hasil pembelajaran tidak hanya mengutamakan capaian akhir, tetapi juga proses yang sudah dilakukan peserta didik.

570 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Menurut Ibrahim (2015) pembelajaran sebagai inti dari implementasi kurikulum dalam garis besarnya menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Dalam kaitannya dengan implementasi kurikulum, perencanaan dituangkan dalam program pembelajaran. Kegiatan dalam menyusun rancangan program pembelajaran antara lain analisis kurikulum, penyiapan tujuan pembelajaran, desain/skenario dan strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan evaluasi (Lubis, 2016). Oleh karenanya, langkah pertama yang harus dilakukan guru sebelum merancang pembelajaran adalah melakukan analisis kurikulum agar dapat mengidentifikasi kompetensi dasar (KD) yang dirasa sangat penting/esensial kepada peserta didik, disesuaikan dengan waktu dan materi yang akan diajarkan, serta disesuaikan dengan kondisi yang ada. Selain itu, analisis kurikulum juga penting dilakukan karena dapat mengidentifikasi KD yang saling terkait satu sama lain untuk dibelajarkan secara terpadu, sehingga dapat mencapai tujuan dan kompetensi secara efektif dan efisien.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap RPP pembelajaran jarak jauh (PJJ) ternyata kemampuan guru melakukan analisis kurikulum tergolong dalam kategori baik dan jawaban atas pertanyaan mengenai hasil penyusunan analisis kurikulum yang dilakukan guru dalam pembelajaran jarak jauh bahwa 50% guru menjawab baik dan sangat baik dengan alasan bahwa guru-guru menganalisis KD esensial, tetapi ternyata dari kajian dokumen didapatkan bahwa penyusunan RPP belum dilakukan secara terpadu. Sementara itu 50% responden menjawab cukup dan kurang tentang kemampuan melakukan analisis kurikulum dengan alasan bahwa RPP belum disusun kontekstual sesuai dengan situasi atau kondisi masa pandemi Covid 19, maupun kesesuaian dengan potensi daerah/sekolah. Hal ini diperkuat dari hasil FGD yang menyatakan bahwa sebagian besar guru menyusun sendiri RPP-nya dengan berpatokan pada RPP yang telah ada sebelumnya namun disesuaikan dengan kondisi saat ini saat pelaksanaan pembelajaran. Artinya masih ada guru yang tidak menyusun RPP PJJ secara khusus.

Langkah kedua adalah menentukan tujuan pembelajaran. Dari perumusan tujuan, guru bisa menunjukkan metode serta teknik pembelajaran, dan akan menentukan alat evaluasi yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis dokumen RPP menunjukkan bahwa perumusan tujuan lebih banyak ditujukan untuk aspek pengetahuan tanpa memperhatikan aspek keterampilan dan sikap, tetapi pada penilaian mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sebagaimana tercantum pada Permendikbud No 22/2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, tujuan pembelajaran dirumuskan

571Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Adapun, pada kondisi khusus pandemi covid-19 guru perlu mengenali profil peserta didik terlebih dulu terutama terkait minat, cara belajar, dan kesediaan perangkat untuk pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Langkah ketiga adalah menyusun desain/skenario dan strategi pembelajaran yang agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penyusunan desain/skenario pembelajaran ini harus memberikan cukup ruang baik bagi guru maupun peserta didik untuk mengembangkan kretivitasnya. Pada SE Sesjen No. 15/2020 dijelaskan bahwa Belajar dari Rumah (BDR) dilaksanakan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dibagi kedalam 2 (dua) pendekatan, yaitu pembelajaran jarak jauh dalam jaringan (daring) dan pembelajaran jarak jauh luar jaringan (luring). Dalam pelaksanaan PJJ, satuan pendidikan dapat memilih pendekatan (daring atau luring atau kombinasi keduanya) sesuai dengan ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana. Hasil FGD guru-guru mengatakan bahwa desain/skenario pembelajaran disusun kombinasi secara daring dan luring, misalnya penugasan membaca materi dan tugas individual mengerjakan penulisan teks deskriptif pada bahasa indonesia dilakukan secara luring, sementara presentasi hasil kerja dilaksanakan secara daring. Namun, hasil analisis dokumen RPP menunjukkan bahwa desain/skenario pembelajaran tergambarkan seperti RPP kondisi pembelajaran tatap muka/normal, tanpa penjelasan kegiatan mana dilaksanakan secara daring ataupun luring. Artinya guru menganggap bahwa RPP tatap muka/normal dapat digunakan dalam berbagai situasi kondisi/fleksibel, hanya guru secara otomatis menyesuaikan pada saat pembelajaran saja, tanpa perlu merancang RPP PJJ secara khusus.

Pada proses PJJ dimana guru dan peserta didik tidak saling bertatap muka secara langsung dan kemungkinan interaksi yang terjadi antara guru dengan peserta didik ataupun peserta didik dengan peserta didik terbatas, maka strategi yang ditempuh seharusnya juga berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Kearsly, Moore pada Yerusalem, dkk (2020:483) bahwa PJJ adalah belajar yang direncanakan di tempat lain atau di luar tempatnya mengajar, sehingga diperlukan mendesain materi pembelajaran, metodologi khusus komunikasi melalui berbagai media, dan pengelolaan pembelajaran secara khusus. Berdasarkan temuan hasil penelitian didapat informasi terkait dengan metode pembelajaran. Guru yang merancang pembelajaran dengan metode bervariasi sebesar 41.7% dan guru yang menjawab cukup bervariasi jumlahnya sebesar 25%. Guru tetap berupaya mencari metode pembelajaran yang menarik, namun tetap

572 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

dapat memenuhi kebutuhan peserta didik agar tidak bosan. Sementara itu, guru yang menjawab kurang bervariasi jumlahnya sebesar 33.3% dengan alasan karena keterbatasan alat teknologi, sehingga pembelajaran daring yang dilakukan baru bisa dengan menggunakan WA dan pembelajaran lebih banyak dengan pemberian tugas.

Dalam merancang pembelajaran juga perlu menyiapkan materi pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kompetensi. Sebagian besar guru (63.8%) menjawab dalam menyiapkan materi menggunakan buku teks, sedangkan guru yang menjawab membuat bahan ajar sendiri jumlahnya hanya sebesar 31.8%, serta guru yang menjawab menggunakan sumber belajar lain jumlahnya sebesar 4.5%. Adapun, dari hasil kajian dokumen RPP guru sudah menyusun bahan ajarnya sendiri dengan alasan agar peserta didik melakukan kegiatan yang menyenangkan dan motivasi belajar peserta didik tetap tinggi/semangat. Bahan ajar yang disusun kebanyakan diambil dari youtube dan diedit sesuai dengan materi yang diberikan. Bahan ajar yang disusun dapat berupa power point ataupun video pembelajaran untuk memudahkan peserta didik dalam memahami materi yang disampaikan melalui pembelajaran jarak jauh secara daring. Buku teks tetap digunakan karena peserta didik memiliki buku teks sebagai sumber belajar yang utama. Dengan demikian, guru telah merespon positif pada SE Mendikbud No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) yang menyatakan bahwa Belajar dari Rumah (BDR) melalui pembelajaran daring/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan. Selanjutnya, dipertegas oleh SE Sesjen Kemdikbud No 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Deseas (COVID-19) menyatakan bahwa dalam menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran jarak jauh yang perlu diperhatikan antara lain:a. memastikan kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai. Dilarang

memaksakan penuntasan kurikulum dan fokus pada pendidikan kecakapan hidup.

b. menyiapkan materi pembelajaran. Dalam pelaksanaan BDR, materi dapat difokuskan pada: a.literasi dan numerasi; b. pencegahan dan penanganan pandemi COVID-19; c.perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas); d. kegiatan rekreasional dan aktivitas fisik; e. spiritual keagamaan; dan/atau f. penguatan karakter dan budaya.

Dari uraian tersebut di atas tergambar bahwa dalam menyusun

573Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

desain/skenario pembelajaran metode, media dan sumber belajar seperti buku teks sangat memiliki peranan penting karena semua hal tersebut dapat memberikan pengalaman pembelajaran bermakna bagi peserta didik dan menentukan tercapainya kompetensi dasar. Selain itu, pembelajaran akan semakin bermakna apabila BDR dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup, antara lain mengenai pandemi COVID-19; materi pembelajaran bersifat inklusif sesuai dengan usia dan jenjang pendidikan, konteks budaya, karakter dan jenis kekhususan peserta didik.

Aspek lain yang perlu mendapat perhatian dalam rancangan pembelajaran jarak jauh adalah dalam melaksanakan penilaian. Berdasarkan hasil analisis ternyata guru yang melakukan evaluasi sesuai karakteristik dan tuntutan KD sebesar 59%, dan tidak sesuai karakteristik dan tuntutan KD sebesar 41%. Lalu sesuai dengan kemampuan/capaian belajar peserta didik sebesar 64%, dan tidak sesuai dengan kemampuan/capaian belajar peserta didik sebesar 36%. Kemudian sesuai dan tidak sesuai kompleksitas materi sebesar 50%. Berikutnya sesuai dengan buku teks sebesar 64%, dan tidak sesuai dengan buku teks sebesar 36%, serta tidak disiapkan evaluasi secara khusus sebesar 18%, dan mempersiapkan evaluasi secara khusus sebesar 82%. Menurut hasil kajian dokumen RPP masih ditemukan ketidaksesuaian antara bentuk penilaian yang dilakukan dengan tuntutan kompetensi yang akan dicapai. Menurut hasil dari penelitian yang dilakukan Suastra, I Wayan dan Ni Putu Ristiati (2016) guru masih kesulitan dalam melakukan penilaian otentik. Mengikuiti Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Deseas (COVID-19), pada masa belajar dari rumah yang terpenting adalah hasil belajar peserta didik selama BDR diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.

Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa kemampuan guru dalam menyusun RPP berbeda-beda. Belum semua guru mampu menyusun RPP sesuai dengan ketentuan. Kemampuan guru dalam merancang pembelajaran (menyusun RPP) tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memahami kurikulum. Kemampuan guru merancang RPP merupakan salah satu dari kompetensi pedagogik terhadap pemahaman kurikulum yang harus dimiliki guru. Dalam merancang RPP dapat dilakukan secara individual atau bekerjasama/berkolaborasi antarguru. Dari data pengisian instrumen didapatkan hasil bahwa kolaborasi antarguru sering dilakukan dalam menyusun RPP baik itu RPP kondisi normal maupun PJJ, dengan persentase sebesar 37.5% dan sangat sering 20.8%. Namun ada juga guru yang menjawab jarang berkolaborasi antarguru sebesar 25%, dan

574 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

jawaban untuk yang tidak pernah berkolaborasi sebesar 16.7%. Kolaborasi antarguru dalam menyusun RPP dilakukan dengan guru di sekolah yang sama dan juga bersama dengan guru di sekolah lain melalui wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). MGMP sebagai wadah untuk bertukar pengalaman guna meningkatkan kemampuan guru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tindakan sekolah (PTS) oleh Nasuhi (2015) bahwa forum MGMP sangat efektif untuk meningkatkan kompetensi guru dalam penyusunan RPP yang baik dan benar.

Namun yang menarik saat guru ditanyakan untuk menilai sendiri kualitas RPP yang disusunnya hanya 41,6% guru mengatakan RPP baik/sangat baik, sedangkan 58,9% berpendapat kurang baik, alasannya RPP-PJJ yang digunakan tidak disesuaikan dengan kondisi pandemi covid-19. Hasil kuesioner ini sejalan dengan temuan kajian dokumen RPP di mana dari sejumlah RPP yang disusun masih ditemukan responden yang penyusunan RPP-nya kurang baik yaitu menyatukan RPP daring dan luring (kombinasi daring dan luring), dimana sebenernya tidak ada RPP yang disusun secara terpadu, tidak terlihat kontekstualisasi dalam penyusunan RPP, perumusan indikatornya masih ditemukan menggunakan kata kerja operasional yang kurang tepat. Selain itu, juga ditemukan ketidaksesuaian antara tuntutan kompetensi dasar dengan penilaian yang dilakukan terutama pada penilaian keterampilan sehingga pembuatan rubrik penilaiannya pun menjadi tidak sesuai.

Adapun berdasarkan hasil FGD diketahui bahwa bagi sekolah yang tidak dapat melaksanakan PJJ secara daring, maka PJJ dilaksanakan secara luring atau melakukan secara daring dan luring, dimana bagi peserta didik yang tidak memiliki laptop/handphone dapat melakukan pembelajaran dengan cara peserta didik datang ke sekolah hanya untuk mengambil tugas pada hari tertentu yang telah disepakati kemudian pulang ke rumah. Dengan cara demikian terlihat bahwa metode yang digunakan lebih banyak berupa penugasan mandiri.

Penugasan mandiri yang diberikan guru pada peserta didik sebagian besar berupa latihan soal-soal 94%, meringkas materi 81,3%, dan tugas membuat karya/produk (misalnya membuat karangan, puisi, keterampilan) 50%, dan lainnya 6,3%. Nampak hanya 50% penugasannya bervariasi. Hal ini diperkuat dengan hasil survey yang dilakukan oleh KPAI (Gatra.com, 2020) bahwa guru masih lebih menekankan dan berorientasi pada kegiatan penilaian atau aspek standar penilaian pada pelaksanaan PJJ, dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran bermakna (aspek proses). Kemungkinan hal ini terjadi akibat kurangnya penguasaan terhadap aplikasi pembelajaran daring. Pada pedoman PJJ dinyatakan bahwa aktivitas dan

575Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tugas pembelajaran Belajar dari Rumah dapat bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Kemampuan terhadap aplikasi pembelajaran daring akan menentukan keberhasilan proses pembelajaran, karena guru yang bersangkutan akan melaksanakan rencana pembelajaran tersebut. Tanpa adanya perencanaan yang matang, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan guru akan mendapatkan hasil yang kurang maksimal. Kemampuan guru dalam merancang RPP merupakan salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh guru.

2. Fleksibilitas Rancangan Pembelajaran Jarak Jauh

Perencanaan pembelajaran yang sudah dirancang oleh guru harus dilaksanakan dengan baik. Perencanaan yang dilakukan dengan baik, maka setengah keberhasilan sudah dapat tercapai, setengahnya lagi terletak pada pelaksanaan (Hakim, 2015). Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru tidak harus seratus persen sesuai dengan RPP, artinya guru tidak boleh terpaku hanya pada desain/skenario pembelajaran yang ada, karena proses pembelajaran merupakan sesuatu yang dinamis dan tergantung juga pada faktor fisik dan psikis peserta didik dan guru. Oleh karenanya, menuntut guru untuk mampu mengembangkan konsep yang ada menjadi sesuatu yang dinamis, dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga bersifat fleksibel.

Berubahnya kebiasaan dari kelas tradisional menjadi kelas maya/virtual memang bukan hal yang mudah untuk dijalani bagi peserta didik dan guru. Namun dengan adanya kefleksibelan dalam dalam menetapkan strategi dan metode serta kegiatan pembelajaran, fleksibel dalam menggunakan sumber dan media belajar, dan fleksibel dalam merancang penilaian dapat mempermudah guru dalam melaksanakan pembelajaran. Menurut Huang, et al., (2020) pembelajaran fleksibel memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pembelajaran fleksibel menawarkan pilihan belajar yang bervariasi bagi peserta didik. Kedua, pembelajaran fleksibel menerapkan pendekatan konstruktivisme yang berpusat pada peserta didik. Ketiga, peserta didik diberikan berbagai pilihan pembelajaran sehingga dapat lebih bertanggung jawab.

Adanya kefleksibelan dalam merancang pembelajaran (RPP) menuntut agar rancangan pembelajaran perlu dievaluasi untuk setiap saat melihat kesesuaiannya dengan potensi daerah, sekolah, dan peserta didik, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi, seperti saat ini negara kita sedang dalam kondisi pandemik akibat Covid 19. RPP yang

576 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

sudah dimiliki guru perlu dilihat kembali setiap akan melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan kondisi personal dan sosial peserta didik dan guru, serta satuan pendidikan sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Pentingnya memperhatikan kondisi lingkungan diantaranya disebabkan karena adanya komponen alat, sumber pembelajaran, atau situasi dan kondisi yang berubah. Dalam komponen ini berarti guru harus menimbang-nimbang alat dan sumber pembelajaran, serta instrumen penilaian apa yang cocok dengan materi dan sesuai dengan kondisi lingkungan.

Berdasarkan kriteria pembelajaran yang fleksibel, nampaknya RPP yang dibuat oleh guru belum memperlihatkan kefleksibelan dalam rancangannya, baik dalam rancangan pembelajaran ataupun penilaian. Untuk itu, RPP tersebut perlu dikaji kembali agar dalam rancangannya lebih fleksibel sehingga memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kesulitan guru dalam merancang RPP termasuk RPP yang fleksibel untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh antara lain: kurangnya pemahaman guru terhadap kurikulum, guru kesulitan dalam merumuskan indikator, tujuan pembelajaran, guru tidak sepenuhnya dapat memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran, dan kesulitan dalam melakukan penilaian. Pengalaman mengajar sebagian guru yang masih tergolong singkat sehingga belum secara optimal dapat menyusun RPP. Pengalaman mengajar seorang guru tentunya akan memengaruhi terhadap kemampuan guru dalam melakukan tugas dalam keprofesionalannya. Selain itu perbedaan karakter, tingkat kemampuan dan kesiapan peserta didik dapat menjadi kendala guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran (Kinasih, Arum Marwar, 2017).

C. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak semua guru siap dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran PJJ baik yang berbasis teknologi maupun yang tidak berbasis teknologi. Hal ini karena berbagai keterbatasan seperti ketersediaan bahan ajar dan sumber belajar lainnya yang sesuai dengan PJJ, inovasi dan strategi pembelajaran tatap muka dengan berbagai model (guru kunjung atau tutorial) atau keterbatasan perangkat teknologi seperti kemampuan penggunaan TIK, kecukupan fasilitas sarana PJJ yang tidak semua guru dan peserta didik miliki, keterbatasan ekonomi dalam penyediaan kuota internet dan jaringan internet.

2. Tidak semua guru menyiapkan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), buku teks, modul, lembar kerja/penugasan yang disesuaikan dengan

577Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

kondisi PJJ saat ini. Masih banyak guru yang menggunakan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan lembar kerja/penugasan yang lama, serta terpaku pada buku teks/modul yang menjadi acuan utama dari pemerintah.

3. 3. terkait fleksibilitas PJJ, kegiatan PJJ memang masih memiliki keterbatasan di teknologi; ketersediaan dan keragaman buku dan sumber belajar; keragaman rancangan, pendekatan dan strategi pembelajaran yang digunakan; sistem penilaian hasil belajar sehingga proses pembelajaran belum bisa berjalan secara fleksibel, adapatif, akomodatif dan kontekstual.

4. 4. berbagai alternatif yang telah dilakukan guru adalah selalu berusaha menyediakan beberapa alternatif sarana representasi, menyajikan informasi dan konten dalam cara yang berbeda, menyediakan beberapa alternatif sarana tindakan dan ekspresi dalam mendorong semua peserta didik dapat menunjukkan dan mengungkapkan apa yang mereka ketahui; serta memberikan beberapa alternatif cara partisipasi, merangsang minat dan motivasi peserta didik untuk belajar.

Berdasarkan hasil temuan penelitian, maka peneliti memberikan saran dari hasil penelitian ini, sebagai berikut.

1. Bagi pemerintah, diharapkan (a) agar pemerintah dapat memberikan program peningkatan profesi secara khusus yang efektif, efisien dan ekonomis kepada para guru dalam penggunaan media PJJ;

2. Bagi guru diharapkan untuk (a) selalu meningkatkan kemampuan dan komitmen dalam merancang pembelajaran fleksibel dan adaptif berdasarkan kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan, pendayagunaan media TIK atau media lainnya dengan pembelajaran berbasis lingkungan; (b) mencari berbagai alternatif model dan metode PJJ yang disesuaikan dengan kapasitas teknologi, karakteristik sekolah, orangtua dan peserta didik; (c) selalu aktif mencari tahu dan berdiskusi dengan guru-guru lain atau forum guru di wilayahnya terkait berbagai model PJJ agar dapat memberikan inspirasi dalam inovasi pembelajaran kepada peserta didiknya, dan (d) untuk selalu memahami kondisi peserta didik dalam proses pembelajaran, baik secara teknis maupun non teknis.

578 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Abdullah. 2020. Menjadi Guru Professional:Studi tentang Budaya Organisasi, Kepemimpinan, dan Kinerja Guru di Zaman Milenial. UNJ Press.

Badan Pusat Statistik, 2018. Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) Indonesia Tahun 2018. Jakarta: BPS

Badan Pusat Statistik. 2019. Potret Pendidikan Indonesia. Jakarta: BPS. Cresswell, John. 2010. Research design – qualitative and quantitative approaches.

New Delhi.Cruickshank, Donald.R, et all. 2006.The Act of Learning. Boston: PearsonErnawati dan Rini Safitri. 2017. Analisis Kesulitan Guru Dalam Merancang

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Fisika Berdasarkan Kurikulum 2013 Di Kota Banda Aceh. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia (Indonesian Journal of Science Education) Vol.5, No.2, hlm. 49-56, 2017.

Hakim, Adnan. 2015. Contribution of Competence Teacher (Pedagogical, Personality, Professional Competence and Social) On the Performance of Learning. The International Journal Of Engineering And Science. Vol. 4/2: 1-12.

Hastuti, Nina Toyamah, dan Syaikhu Usman. 2017. Laporan Penelitian SMERU: Sintesis Hasil Studi Diagnostik Pembelajaran Pendidikan Dasar di Enam Kabupaten Mitra INOVASI di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: The SMERU Research Institute.

Huang, R.H., Liu, D.J., Tlili, A., Yang, J.F., & Wang, H.H. 2020. Handbook on facilitating flexible learning during educational disruption: The Chinese experience in maintaining undisrupted learning in COVID-19 Outbreak. Smart Learning Institute of Beijing Normal University. UNESCO.

Ibrahim. 2015. Deskripsi Implementasi Kurikulum 2013 dalam Proses Pembelajaran Matematika di SMA Negeri 3 Maros Kabupaten Maros. Jurnal Daya Matematis, 3(3):370-378.

Kemendikbud. 2019. Merdeka Belajar: Pokok-Pokok Kebijakan Merdeka Belajar. Jakarta: Makalah Rapat Koordinasi Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia.

Kinasih, Arum Mawar. 2017. Problematika Guru Dalam Penyusunan Perangkat Pembelajaran di SD Muhammadiyah 14 Surakarta. UMS. Surakarta.

Leonard. 2015. Kompetensi tenaga Pendidik di Indonesia: Analisis Dampak rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia Guru dan Solusi Perbaikannya. 2015. Jurnal Formatif 5 (3):192– 201.

Lubis, Maesaroh. 2016. Kesiapan para guru sebagai pengembang kurikulum dalam merespon perubahan kurikulum.(Proceedings The 2nd International Multidisciplinary Conference 2016 November 15th). Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 461-466 ISBN 978-602-17688-9-1

579Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Nazuhi, Mukh. 2015. Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Penyusunan RPP yang Baik dan Benar melalui Pendampingan Berbasis MGMP Semester Satu Tahun 2015/2016 di SMP Negeri 16 Mataram. Jurnal Ilmiah IKIP Mataram Vol. 3. No.1 ISSN:2355-6358 Dikelola oleh Pusat Kajian Pendidikan Sains dan Matematika, Fakultas Pendidikan Matematika dan IPA IKIP Mataram (PKPSM)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.

Salim, Satriwan. 2020. Persoalan Guru dalam Pembelajaran Jarak Jauh. Diskusi Online, 1 April 2020. Jakarta: LIPI dan FSGI.

Suastra, I Wayan dan Ni Putu Ristiati. 2016. Permasalahan Guru dalam Merancang dan Mengimplementasikan Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Sains di SMP dan SMA. Seminar Nasional Riset Inovatif (Senari) Ke-4 Tahun 2016. ISBN 978-602-6428-04-2.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfa Beta.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid- 19).

Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Yerusalem, M. R., & dkk. (2020). Desain dan Implementasi Sistem Pembelajaran

Jarak Jauh Di Program Studi Sistem Komputer. Jurnal Teknologi dan Sistem Komputer. Vol 3 No. 4 (2015). https: //jtsiskom.undip.ac.id/index. php/ jtsiskom /article/view/12668 DOI:https ://doi.org/10.14710/ jtsiskom.3.4.2015.481-492.

Yunus, Syarifudin. (2016). Mengkritisi Kualitas Guru. Media Indonesia, Senin 26 November 2016.

Zendrato, Juniriang. 2016. Tingkat Penerapan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Di Kelas: Suatu Studi Kasus di SMA Dian Harapan Jakarta. Scholaria, Vol. 6 No. 2, Mei 2016: 58 – 73.

-------.Pembelajaran Jarak Jauh Masih Munculkan Kendala Besar. Gatra.com:28 Apr 2020.

580 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

SUSU

NA

N A

CA

RA

Inte

rnat

iona

l Web

inar

Nat

iona

l Cur

ricu

lum

: Uni

ty, D

iver

sity

, And

Fut

ure

Tren

dsTu

esda

y, D

ecem

ber

15th

, 202

008

.00

– 16

.00

(Jak

arta

Tim

e, G

MT

+7)

No.

Wak

tuA

cara

/Top

ik S

emin

arPe

nyaj

iK

eter

anga

n

08.0

0 –

08.2

0R

egis

trasi

Dar

ing

Pani

tia

08.2

0 –

08.4

0Pe

mbu

kaan

:a.

Men

yany

ikan

Lag

u In

done

sia

Ray

ab.

Do’

ac.

Lap

oran

Keg

iata

nd.

Sam

buta

n &

Pem

buka

an

Pani

tia

Kap

usku

rbuk

Kab

alitb

ang

dan

Perb

ukua

n

MC

: Nen

ing

Dar

yati,

S.S

M. H

amka

, S.S

., M

.Ed.

08.4

0 –

09.0

0K

eyno

te S

peak

erK

abal

itban

g da

n Pe

rbuk

uan

MC

: Nen

ing

Dar

yati,

S.S

.

09.0

0 –

09.4

5Pl

eno:

Flex

ibili

ty o

f Lea

rnin

gR

ober

t Ran

dall,

Ph.

D. (

Form

er C

EO,

Aust

ralia

n C

urri

culu

m A

sses

smen

t an

d Re

port

ing

Auth

ority

(AC

ARA)

an

d IN

OVA

SI A

dvis

er)

Mod

erat

or:

Nur

Rofi

ka A

yu S

hint

a,

S.Si

.R

izki

Mai

sura

, S.P

si.

Not

ulis

:A

nggr

aeni

Dia

n Pe

rmat

asar

i, S.

Si.

Ant

oniu

s Nah

ak, B

.Th.

09.4

5 –

10.3

0Pl

eno:

Mer

deka

Bel

ajar

in N

atio

nal C

urri

culu

m

Prof

. Dr.

Din

n W

ahyu

din

(Ket

ua H

impu

nan

Peng

emba

ng

Kur

ikul

um In

done

sia)

10.3

0 –

11.1

5Pl

eno:

Futu

re C

hanc

es a

nd C

halle

nges

Pr

of. D

r. R

ohai

da M

ohd

Saat

(U

nive

rsity

of M

alay

a)

11.1

5 –

12.0

0Pl

eno:

Futu

re C

hanc

es a

nd C

halle

nges

Prof

. S. H

amid

Has

an, P

h.D

. (U

nive

rsita

s Pen

didi

kan

Indo

nesi

a)

12.0

0 –

12.4

5Pl

eno:

Inno

vatio

n an

d Te

chno

logy

Jero

me

T. B

uenv

iaje

, Ph.

D.

(Uni

vers

ity o

f the

Phi

lippi

nes)

581Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No.

Wak

tuA

cara

/Top

ik S

emin

arPe

nyaj

iK

eter

anga

n

12.4

5 –

13.0

0Pe

mba

gian

Roo

m

13.0

0 - 1

6.00

Dis

kusi

Par

alel

(Roo

m 1

):1.

Kes

iapa

n Sa

tuan

Pen

didi

kan

dala

m M

enge

lola

K

urik

ulum

terk

ait K

ebija

kan

Pros

es B

elaj

ar d

ari

Rum

ah2.

Pem

bela

jara

n Ja

rak

Jauh

(Dis

tanc

e Le

arni

ng d

i Ta

man

Kan

ak-K

anak

(TK

)3.

Kaj

ian

Impl

emen

tasi

Keb

ijaka

n Pe

nceg

ahan

dan

Pe

nang

gula

ngan

Tin

dak

Kek

eras

an d

i Sat

uan

Pend

idik

an4.

Ana

lisis

Keb

utuh

an D

ikla

t Unt

uk D

esai

n Pr

ogra

m

Dik

lat H

ouse

keep

ing

Unt

uk A

nak

Den

gan

Ham

bata

n K

ecer

dasa

n (T

unag

rahi

ta)

5. M

etod

e Pe

ngem

bang

an M

inat

Bak

at A

nak

Ber

kebu

tuha

n K

husu

s di S

ekol

ah In

klus

i6.

Sel

f Effi

cacy

dan

Sik

ap P

ositi

f Gur

u Te

rhad

ap

Pela

ksan

aan

Pem

bela

jara

n In

klus

i di Y

ogya

karta

7. K

urik

ulum

Ber

basi

s Kom

pete

nsi :

Pen

ggun

aan

Met

ode

Taba

rak

Dal

am P

endi

dika

n A

nak

Usi

a D

ini

8. A

nalis

is K

ebut

uhan

Pen

gem

bang

an B

lend

ed

Lear

ning

Pad

a Pe

mbe

laja

ran

IPA

Ter

padu

Den

gan

Pend

ekat

an W

ise

di H

omes

choo

ling

Tam

an S

ekar

B

andu

ng

Apr

iyan

ti W

ulan

dari,

S.E

., M

.Pd.

Nin

a Pu

rnam

asar

i, S.

H.,

M.A

k.

Dra

. Ran

ti W

idiy

anti,

M.P

si.

Ayu

Nim

as S

alm

itri

Ria

Ast

uti

Uni

k A

mba

r Wat

i

Zain

al B

akri

Agu

s Try

anto

Mod

erat

or:

A.M

. Yus

ri Sa

ad, S

.S.,

M.S

i.

Peru

mus

:M

. Ham

ka, S

.S.,

M. E

d.D

rs. Z

ulfik

ri, M

.Ed.

Not

ulis

: Ek

o B

udio

no, S

.Si.

Arin

a H

asan

ah

582 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No.

Wak

tuA

cara

/Top

ik S

emin

arPe

nyaj

iK

eter

anga

n

13.0

0 - 1

6.00

Dis

kusi

Par

alel

(Roo

m 2

):1.

Eva

luas

i Im

plem

enta

si K

urik

ulum

dal

am ra

ngka

Pe

nyed

erha

naan

Kur

ikul

um 2

013

2. P

enge

mba

ngan

Med

ia P

embe

laja

ran

Nila

i-N

ilai P

anca

sila

di S

ekol

ah D

asar

dan

Mad

rasa

h M

elal

ui L

ocal

Wis

dom

Ritu

s Gre

beg

Panc

asila

M

engg

unak

an M

ultim

edia

Ber

basi

s Tek

nolo

gi

Augm

ente

d Re

ality

3. F

leks

ibili

tas R

anca

ngan

Pem

bela

jara

n Ja

rak

Jauh

di

kaitk

an d

enga

n Pe

mah

aman

Gur

u te

rhad

ap

Kur

ikul

um4.

Gra

nd D

esai

n Si

stem

Pen

jam

inan

Mut

u In

tern

al

(SPM

I) D

alam

Men

gem

bang

an K

tsp

Pada

Mas

a Pa

ndem

i Cov

id -

195.

Man

ajem

en K

urik

ulum

Pad

a Le

mba

ga N

on F

orm

al

Mad

rasa

h D

iniy

ah T

akm

iliya

h Aw

aliy

ah (M

DTA

)6.

Pen

gem

bang

an K

urik

ulum

Lea

ders

hip

dan

Entre

pren

eurs

hip

di Is

lam

ic B

oard

ing

Scho

ol

Unt

uk M

enyi

apka

n G

ener

asi M

asa

Dep

an Y

ang

Ber

kara

kter

dan

Ber

waw

asan

Glo

bal

7. T

he Im

plem

enta

tion

2013

Of C

urri

culu

m In

M

adra

sah

Tsan

awiy

ah A

Stu

dy o

n “B

est P

ract

ices

” D

one

by M

adra

sah

Tsan

awiy

ah T

each

ers i

n Pl

anni

ng, I

mpl

emen

ting,

and

Eva

luat

ing

the

Cur

ricu

lum

8. E

valu

asi I

mpl

emen

tasi

Kur

ikul

um 2

013

Diti

njau

D

ari C

IPP

Ber

dasa

rkan

Per

spek

tif G

uru

Dr.

Tata

ng S

ubag

yo, M

.Pd.

Prof

. Dr.

Waw

an S

etia

wan

, M.K

om.

Dra

. Suc

i Par

esti

Leni

Nur

ani

Sri M

aria

m

Ahm

ad F

auzi

Mul

yana

Dr.

Rus

man

Ris

a Za

kiat

ul H

asan

ah

Mod

erat

or:

Fara

h A

rria

ni, M

.Pd

Peru

mus

:D

rs. T

atan

g Su

bagy

o, M

.Pd.

Dra

. Suc

i Par

esti

Not

ulis

:A

rifah

Din

da L

esta

riR

inda

Mut

ira U

tam

i

583Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No.

Wak

tuA

cara

/Top

ik S

emin

arPe

nyaj

iK

eter

anga

n

13.0

0 - 1

6.00

Dis

kusi

Par

alel

(Roo

m 3

):1.

Pen

gem

bang

an S

pekt

rum

Kea

hlia

n da

n K

urik

ulum

A

dapt

if SM

K B

erba

sis R

evol

usi I

ndus

tri 4

.02.

Stu

di K

ebija

kan

Peng

emba

ngan

Kur

ikul

um

Ber

basi

s Mua

tan

Loka

l dal

am M

enin

gkat

kan

Nat

ion

Cha

ract

er B

uild

ing

3. K

ajia

n Im

plem

enta

si S

trukt

ur K

urik

ulum

Sek

olah

M

enen

gah

Kej

urua

n (S

MK

)/Mad

rasa

h A

liyah

K

ejur

uan

(MA

K) d

alam

Era

Rev

olus

i Dig

ital

4. P

ener

apan

Kur

ikul

um B

erba

sis K

ompe

tens

i Pad

a Je

njan

g Se

kola

h M

enen

gah

Kej

urua

n5.

Per

enca

naan

Mod

el Im

plem

enta

si M

aste

ry

Lear

ning

Ber

basi

s Sis

tem

Info

rmas

i6.

Ana

lisis

Pem

bela

jara

n O

nlin

e di

Aba

d 21

7. E

dupr

eneu

r dan

Pro

gram

PU

AS

Dal

am

Men

ingk

atka

n M

utu

Lulu

san

SMA

Neg

eri 2

Tan

a Ti

dung

8. D

evel

opm

ent o

f Obj

cet L

earn

ing

Mat

eria

l M

icro

lear

ing

In O

nlin

e Le

arni

ng

Prof

. Dr.

M. S

yaom

Bar

liana

Drs

. Jar

wad

i, M

.Pd.

Dra

. Mar

ia C

hata

rina A

dhar

ti Sr

i S.

Indr

a G

auta

ma

Ucu

Mar

lina

Fuji

Nuj

ul F

irman

Sid

ikSY

. Cam

elia

Far

idah

Laks

mi D

ewi,

M.P

d0

Mod

erat

or:

Nen

eng

Kad

ariy

ah, S

.S.

Peru

mus

:D

rs. J

arw

adi,

M.P

d.D

ra. M

aria

Cha

tarin

a A.

Sri.S

.

Not

ulis

: El

ly V

ioni

kaD

him

mas

584 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No.

Wak

tuA

cara

/Top

ik S

emin

arPe

nyaj

iK

eter

anga

n

13.0

0 - 1

6.00

Dis

kusi

Par

alel

(Roo

m 4

):1.

Mod

el P

enge

mba

ngan

Buk

u Te

ks P

elaj

aran

SD

K

elas

Ren

dah

2. P

enge

mba

ngan

Buk

u H

iper

kont

en U

ntuk

M

empe

rsia

pkan

Gen

eras

i Em

as 2

045

3. M

erde

ka B

elaj

ar M

elal

ui B

elaj

ar d

i Rum

ah P

ada

Saat

Pan

dem

i Bag

i Sis

wa

SMP

di Ja

karta

4. K

ajia

n Pe

laks

anaa

n D

iver

sifik

asi K

urik

ulum

dal

am

Upa

ya In

ovas

i Kur

ikul

um P

ada

Kon

disi

Khu

sus d

i SD

Kel

as T

ingg

i5.

Urg

ensi

Dik

lat W

akil

Kep

ala

Seko

lah

Bid

ang

Kur

ikul

um

6. R

etro

spec

tive

and

Pros

pect

ive

Stud

y of

Indo

nesi

a’s

Teac

her E

duca

tion

Prog

ram

7. K

ompe

tens

i Gur

u A

bad

21 :

Inte

gras

i Ped

agog

i dan

Te

knol

ogi

8. E

valu

asi K

ompe

tens

i Kep

ala

Seko

lah

Ber

dasa

rkan

K

eter

ampi

lan

Aba

d K

e-21

Dr.

Ence

Oos

M. A

nwas

., M

.Si.

Azm

i Al B

ahij,

S.P

d., M

.Si.

Drs

. Hen

i Wal

uyo

Sisw

anto

, M.P

d.

Dra

. Mar

iati,

M.P

d.

Nac

ep H

amra

t

Del

la A

mel

ia

Laila

Nur

salih

a

Rah

mat

Mod

erat

or:

Dr.

Chr

istin

a Tu

lale

sy,

M.P

d.

Peru

mus

:D

rs. A

riant

oni

Dr.

Yogi

Ang

grae

na, M

.Si.

Not

ulis

:K

hofif

ah N

ajm

a If

titah

, S.

Pd.

Her

lina A

mba

r

585Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Lampiran Surat Keputusan Nomor : 13389/H4/KU/2020Tanggal : 01 Desember 2020

PANITIA PENYELENGGARAAN WEBINAR INTERNASIONALPUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN

TAHUN ANGGARAN 2020

No. Uraian Tugas : Nama Instansi

Pengarah : Ir. Totok Suprayitno, Ph.D.Plt. Kepala Balitbang dan Perbukuan

Penanggung Jawab : Maman Faturrahman, S.Pd. Si, M.Si,

Ph.D

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Penanggung Jawab Teknis

: 1. Dr. Yogi Anggraena, M.Si. (Ketua)2. Dr. Ence Oos M. Anwas, M.Si

(Anggota)3. Drs. Ariantoni (Anggota)4. Drs. Singgih Prajoga, M.Pi

(Anggota)

PuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbuk

Ketua Panitia : Drs. Zulfikri Anas, M.Ed Puskurbuk

Wakil : Ana Munifah, S.E Puskurbuk

Sekretaris : Tukiman, S.Pd Puskurbuk

Bendahara : Unang Wahyu, S.E. Puskurbuk

Kesekretariatan : Sujatmiko, S.Si. Puskurbuk

Pembawa Acara : Nening Daryati, S.S. Puskurbuk

Pembaca Do’a : M. Hamka, S.S., M.Ed. Puskurbuk

Moderator : 1. Pleno:1) Nur Rofika Ayu Shinta, S.Si.2) Rizki Maisura, S.Psi.

2. Diskusi Pararel:1) A.M. Yusri Saad, S.S., M.Si.2) Atep Kartiansyah, S.Pd.3) Neneng Kadariyah, S.S.4) Dr. Christina Tulalesy, M.Pd.5) Farah Arriani, S.Pd., M.Pd.

PuskurbukPuskurbuk

PuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbuk

586 Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Uraian Tugas : Nama Instansi

Notulis : a. Pleno:1) Anggraeni Dian Permatasari,

S.Si.2) Antonius Nahak, B.Th.

b. Diskusi Pararel:1) Eko Budiono, S.Si.2) Siti Amanah, M.Pd.3) Farah Arriani, S.Pd., M.Pd.4) Khofifah Najma Iftitah, S.Pd.5) Arifah Dinda Lestari, S.Si.6) Arina Hasanah, S.Si.

Puskurbuk

Puskurbuk

PuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbuk

IT Support Webinar

: 1. Sigit Raharjo, S.T.2. Rolly Mulya Bhayudhono, B.Sc.

(Hons)

PuskurbukPuskurbuk

Host Webinar : Muhammad Heru Iman Wibowo, S.Si.

Puskurbuk

Co-host Webinar

: 1. Lisa Kristiani, A.Md2. Ivan Riadinata, S.Pd.K3. Yanuar Adi Sutrasno, S.T4. Putu Widyarani Kusumadewi,

S.T.5. Mingto, S.Kom6. Annisa Eva Nurabia

PuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbuk

PuskurbukPuskurbuk

Publikasi : 1. Maharani Prananingrum, S.Si., M.A.

2. Futri Fuji Wijayanti, S.Hum., M.A.

Puskurbuk

Puskurbuk

Tim Keuangan : 1. Ari Suci Wulandari, S.E. 2. Purnama Dewi Anjani, S.Sos 3. Suprapti, S.Pd.4. Mingto, S.Kom.

PuskurbukPuskurbukPuskurbukPuskurbuk

Tim Administrasi

: 1. Frandi Yuanda, M.Si.2. Dedi Katmono, S.Pd.3. Putu Widyarani Kusumadewi,

S.T.4. Annisa Eva Nurabia5. Belland Bagus Susilo, S.Kom.

PuskurbukPuskurbukPuskurbuk

PuskurbukPuskurbuk

587Proceedings International Webinar On Curriculum, Unity, Diversity and Future Trends.Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

No. Uraian Tugas : Nama Instansi

Penanggung jawab Pemakalah

: 1. Muhammad Heru Iman Wibowo, S.Si. (Ketua)

2. Lenny Puspita Ekawaty, S.Kom.,M.Si. (Anggota)

3. Fera Herawati, S.Si. M.Si. (Anggota)

4. Farah Arriani, S.Pd., M.Pd. (Anggota)

5. Khofifa Najma Iftitah, S.Pd (Anggota)

Puskurbuk

Puskurbuk

PuskurbukPuskurbukPuskurbuk

Penanggung jawab Sertifikat

: 1. Sigit Raharjo, S.T. (Ketua)2. Muhammad Heru Iman Wibowo,

S.Si. (Anggota)3. Mingto, S.Kom. (Anggota)

PuskurbukPuskurbukPuskurbuk

Kuasa Pengguna AnggaranPusat Kurikulum dan Perbukuan,

Maman Fathurrohman, SPd.Si., M.Si., Ph.D.NIP. 19820925 200604 1 001