TREN IMPOR TAYANGAN SINETRON PADA TELEVISI ...

14
JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021) 1 KUASA TELEVISI DALAM SINETRON: TREN IMPOR TAYANGAN SINETRON PADA TELEVISI SWASTA Hanna Nurhaqiqi 1 , Ratih Pandu Mustikasari 2 , Oktifani Winarti 3 123 Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jawa Timur Email: [email protected] Abstraksi. Televisi menggunakan frekuensi publik sehingga kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemerintah dalam hal ini KPI. Pada kenyataannya TV-TV Swasta menggunakan frekuensi publik untuk menayangkan sinetron impor dari luar dikarenakan ratingnya yang menjanjikan dan diminati oleh pengiklan. Seperti ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar yang mengimpor sinetron dari India, Turki, Korea, Filipina dan Cina. Hal ini mempengaruhi pada tingginya homogenitas tayangan televisi. Televisi sebagai frekuensi publik memiliki peran dalam meningkatkan kualitas tayangan terhadap publik. Dengan menggunakan analisis ekonomi politik pada sinetron impor sebagai komodifikasi konten sekaligus sebagai aliran budaya global kepada khalayak. Aktivitas TV Swasta dalam penayangan sinetron impor ini layak dipantau dan diamati lebih seksama. Tulisan ini sebagai kajian kritis terhadap dinamika tren tayangan impor ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar serta implikasinya terhadap kualitas tayangan dan dampak budaya kepada khalayak. Kata Kunci : Sinetron, Impor Tayangan Televisi, Komodifikasi Konten, Globalisasi Abstract. Television uses public frequencies so that its quality can be accounted for the public through the government, in this case KPI (Indonesian Broadcasting Commission). In fact, some commercial televisions use public frequencies to broadcast imported soap operas from abroad due to their promising ratings and attractiveness to advertisers. Such as ANTV, TV One, SCTV and Indosiar which import soap operas from India, Turkey, Korea, the Philippines and China. This affects the high homogeneity of television shows. Television as a public frequency has a role in improving the quality of impressions to the public. By using political economy analysis on imported soap operas as a commodification of content as well as a global cultural flow to the audience. Commercial TV activities in broadcasting imported soap operas deserve to be monitored and observed more closely. This paper is a critical study of the dynamics of the trend of imported ANTV, TV One, SCTV and Indosiar shows and their implications for the quality of broadcasts and the impact of culture on the audience. Keywords: soap operas, imports of television programs, commodification of content, globalization PENDAHULUAN Televisi merupakan media yang menggunakan frekuensi publik dimana dalam penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemerintah. Karena frekuensi publik diakui sebagai sumber daya alam terbatas yang diatur dan diawasi oleh pemerintah sebagaimana tertulis dalam undang-undang penyiaran. UU Penyiaran no 32

Transcript of TREN IMPOR TAYANGAN SINETRON PADA TELEVISI ...

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

1

KUASA TELEVISI DALAM SINETRON: TREN IMPOR TAYANGAN SINETRON PADA TELEVISI SWASTA

Hanna Nurhaqiqi1, Ratih Pandu Mustikasari2, Oktifani Winarti3

123 Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jawa Timur

Email: [email protected] Abstraksi. Televisi menggunakan frekuensi publik sehingga kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemerintah dalam hal ini KPI. Pada kenyataannya TV-TV Swasta menggunakan frekuensi publik untuk menayangkan sinetron impor dari luar dikarenakan ratingnya yang menjanjikan dan diminati oleh pengiklan. Seperti ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar yang mengimpor sinetron dari India, Turki, Korea, Filipina dan Cina. Hal ini mempengaruhi pada tingginya homogenitas tayangan televisi. Televisi sebagai frekuensi publik memiliki peran dalam meningkatkan kualitas tayangan terhadap publik. Dengan menggunakan analisis ekonomi politik pada sinetron impor sebagai komodifikasi konten sekaligus sebagai aliran budaya global kepada khalayak. Aktivitas TV Swasta dalam penayangan sinetron impor ini layak dipantau dan diamati lebih seksama. Tulisan ini sebagai kajian kritis terhadap dinamika tren tayangan impor ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar serta implikasinya terhadap kualitas tayangan dan dampak budaya kepada khalayak. Kata Kunci : Sinetron, Impor Tayangan Televisi, Komodifikasi Konten, Globalisasi Abstract. Television uses public frequencies so that its quality can be accounted for the public through the government, in this case KPI (Indonesian Broadcasting Commission). In fact, some commercial televisions use public frequencies to broadcast imported soap operas from abroad due to their promising ratings and attractiveness to advertisers. Such as ANTV, TV One, SCTV and Indosiar which import soap operas from India, Turkey, Korea, the Philippines and China. This affects the high homogeneity of television shows. Television as a public frequency has a role in improving the quality of impressions to the public. By using political economy analysis on imported soap operas as a commodification of content as well as a global cultural flow to the audience. Commercial TV activities in broadcasting imported soap operas deserve to be monitored and observed more closely. This paper is a critical study of the dynamics of the trend of imported ANTV, TV One, SCTV and Indosiar shows and their implications for the quality of broadcasts and the impact of culture on the audience. Keywords: soap operas, imports of television programs, commodification of content, globalization PENDAHULUAN

Televisi merupakan media yang menggunakan frekuensi publik dimana dalam

penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemerintah. Karena frekuensi publik diakui sebagai sumber daya alam terbatas yang diatur dan diawasi oleh pemerintah sebagaimana tertulis dalam undang-undang penyiaran. UU Penyiaran no 32

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

2

tahun 2002 dan P3SPS menjadi salah dua dari banyak regulasi penyiaran yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kualitas penyiaran televisi. Keberadaan KPI dan Kominfo begitu sentral dalam melakukan implementasi kebijakan sekaligus menjadi wadah bagi publik untuk melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas penyiaran. Pada satu dekade terakhir, TV-TV Swasta melakukan impor sinetron luar karena rating yang tinggi. Akan tetapi tidak memberikan peningkatan kualitas tayangan televisi justru memberikan dampak implikasi baik kepada khalayak maupun dalam implementasi kebijakan.

Dalam tulisan ini memfokuskan pada empat TV Swasta di Indonesia, yakni ANTV, TVOne, SCTV dan Indosiar. Dimana empat TV tersebut hanya dikuasai oleh 2 media holding besar yakni Visi Media Asia (Viva Group) untuk ANTV dan TVOne kemudian Elang Mahkota Teknologi (EMTEK). Pada bagian awal akan menjelaskan mengenai tayangan sinetron memiliki ruang publik yang begitu luas kepada khalayak karena dekat dengan keseharian khalayak serta memiliki intensitas tayangan yang lebih tinggi dibandingkan film dan tayangan lainnya. Imaji realitas yang digambarkan dalam sinetron menjadi ketertarikan khalayak penonton. Bagian kedua memaparkan dua kajian teoritik, yakni analisis ekonomi politik pada komodifikasi konten (Mosco, 2009) serta mediascapes sebagai dimensi budaya globalisasi (Appadurai, 2010). Kemudian bagian akhir mendeskripsikan implikasi yang ditimbulkan dengan adanya tren impor sinetron asing. Implikasi yang timbul sebagai respon khalayak dalam intensitas menonton tayangan sinetron, kualitas tayangan sinetron yang berada dibawah standar KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) serta implikasi pelanggaran-pelanggaran kebijakan penyiaran yang dilakukan oleh TV-TV Swasta yang melakukan impor sinetron asing. TINJAUAN PUSTAKA

Memahami penyiaran di Indonesia tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang saja. Menjadi penting dan perlu melihatnya dari berbagai kemungkinan yang muncul ketika suatu fenomena yang hadir dalam penyiaran di Indonesia. Diawali dengan kepemilikan media besar oleh segelintir orang saja. Dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk didalamnya penyiaran, media cerak dan media online (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012). Dua belas kelompok besar ini ialah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Konsentrasi media seperti ini memberikan dampak terhadap kualitas tayangan program siaran televisi. Ketika dua hingga tiga stasiun televisi dimiliki oleh satu pemilik media besar, maka tayangan programnya akan memberikan ciri khas yang sama. Karena berasal dari pilar utama yang sama. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada kualitas siaran di dalamnya. Televisi merupakan salah satu media penyiaran yang ditujukan untuk memberikan informasi dan hiburan yang layak kepada publik. Seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 pasal 4 ayat (1) “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”. Maka berkaitan dengan itu kualitas tayangan program siaran televisi di Indonesia menjadi layak untuk terus di perhatikan dan di evaluasi perkembangannya. Hal ini ditujukan untuk menyeleraskan kebutuhan publik dan kebutuhan media dalam memberikan tayangan siarnya.

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

3

Beberapa tahun terakhir, televisi-televisi swasta banyak menayangkan siaran tayangan program yang berasal dari luar negeri. Tayangan program yang dimaksud ialah sinetron, reality show/singing competition, dan jenis program tayangan lainnya. Penayangan program siaran impor ini mengeluarkan biaya lebih sedikit dibandingkan dengan melakukan produksi siaran sendiri. Dalam satu episode, stasiun televisi membayarkan kepada produsen program kurang lebih lima puluh juta rupiah sedangkan untuk biaya produksi program sendiri dapat mencapai tiga ratus juta rupiahi. Pembelian ini menjadikan para produsen sinetron lokal sulit bersaing dengan sinetron yang lebih digemari oleh khalayak. Sinetron impor pada umumnya berasal dari India, Turki, Korea dan negara-negara Asia lainnya. Secara keseluruhan sinetron impor ini memiliki rating yang lebih tinggi dibandingkan dengan sinetron Indonesia sendiri.

Adanya konsentrasi media, memberikan dampak homogenitas warna tayangan program stasiun televisi satu dengan yang lain. Terdapat beberapa stasiun televisi swasta yang berlomba-lomba menayangkan program impor, seperti sinetron India, Turki, Korea dan negara-negara Asia lainnya. Dari ke dua belas televisi swasta di Indonesia terdapat empat televisi yang melakukan impor yang cukup besar dalam tayangan program. Keempat stasiun televisi tersebut ialah AnTV, Indosiar, TVOne, ANTV dan SCTV. Empat stasiun ini dimiliki oleh dua kelompok besar, yakni Visi Media Asia-Viva Group untuk ANTV dan TVOne kemudian Elang Mahkota Teknologi-EMTEK untuk SCTV dan Indosiar.

Televisi yang hadir di ruang keluarga maupun di tempat umum publik, tidak hanya di penuhi oleh tayangan dari stasiun televisi swasta saja. Terdapat televisi publik, televisi komunitas serta televisi berlangganan. Televisi analog yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat Indonesia masih terbatas pada jangkauan siaran stasiun televisi swasta, publik dan komunitas. Televisi komunitas sangat terbatas pada wilayah tersebut memiliki televisi komunitas atau tidak. Sedangkan televisi publik yakni TVRI (Televisi Republik Indonesia) bersaing dengan dua belas televisi swasta yang memiliki sumber dana yang lebih besar, karena asas komersialnya. Maka televisi-televisi swasta seperti berada di atas angin jika dibandingkan dengan televisi publik maupun televisi komunitas.

Gambar 1.1 Dua Media Holding dengan Empat TV Swasta pengimpor sinetron

Sumber: www.google.co.id

Berbeda halnya dengan persaingan antar televisi swasta yang sangat ketat. Karena

mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan melalui siaran tayangan programnya dengan iklan dan produksi program lainnya. namun menilik kembali pada asas pembuatan Undang-Undang Penyiaran No 32 tahun 2002 pada bagian menimbang poin b) “bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

4

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945”. Spectrum frekuensi yang dimiliki oleh dua belas stasiun televisi swasta turut serta dalam memakmurkan khalayak dalam hal ini ialah rakyat Indonesia. Stasiun Televisi swasta atau disebut Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam UU Penyiaran diberikan keleluasaan dalam memperoleh keuntungan melalui siaran iklan atau usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Kondisi ini perlu diperhatikan lebih lanjut. Apakah upaya impor tayangan program impor oleh Televisi swasta khususnya ke empat televisi tersebut masih sesuai dengan regulasi yang ada ataukah sebaliknya, bertentangan dengan kebijakan media yang telah di atur oleh Undang Undang yang ada.

Seperti Ofcom yang dimiliki Inggris dan Federal Communication Commission-FCC yang dimiliki Amerika Serikat, Indonesia memiliki Kementrian Komunikasi dan Informatika-Kominfo untuk mengatur laju perkembangan media di Indonesia. Melalui UU Penyiaran tahun 2002, telah dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia-KPI yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap siaran televisi di Indonesia. Maka seberapa jauh pemerintah memiliki peran dalam memperhatikan dinamika tayangan program siaran televisi. Sinetron, antara Realitas dan Drama

Media televisi memiliki peran dalam menyampaikan informasi maupun hiburan kepada publik. Medianya yang bersifat audio-visual menjadi ideal untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Televisi belum memberikan ruang interaktif kepada khalayak, seperti halnya media baru online. Meski begitu, televisi tetap dimiliki oleh hampir setiap kalangan masyarakat. Pada toko elektronik, menawarkan televisi dengan kualitas yang beragam, dari yang paling terjangkau hingga yang sangat mewah dan mahal. Hal ini menunjukkan bahwa segmen pembeli televisi sangat beragam dan berasal dari semua kalangan. Walaupun kualitas dan merk televisi yang dimiliki publik berbeda, namun siaran analog yang didapatkan tetaplah sama yakni dari dua belas televisi swasta nasional.

Gambar 1.2 Indeks Kualitas Tayangan Televisi

Sumber: Survei Periode I 2019 oleh KPI, ISKI dan 12 PT di Indonesia

Sinema elektronik-sinetron merupakan salah satu tayangan program televisi yang

cukup diminati khalayak. kehadirannya yang mendominasi hampir pada semua stasiun televisi swasta. Setiap stasiun menyajikan sinetron dengan menggambarkan realitas kehidupan yang dekat dan lekat dengan keseharian para penonton setianya, seperti ibu-ibu dan para remaja. Sinetron seperti film dengan jam durasi tayang yang lebih sama, ditayangkan secara serial dan memiliki jeda iklan. Sinetron memiliki kondisi yang berbeda

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

5

dengan film. Sinetron ditayangkan melalui televisi rumah tangga sedangkan film ditayangkan melalui bioskop. Penonton bioskop sejak awal masuk gedung sudah menyiapkan diri untuk menyaksikan tayangan yang bakal ditonton, sementara penonton sinetron menontonnya bisa dikatakan sambal lalu, bersama sanak keluaga, sambal melayani tamu kalau ada tamu, atau sambal momong anak, sambal sambilan lainnya (Wardhana dalam Tohari, 2005). Perbedaan kondisi tersebut menggambarkan bahwa sinetron lebih lekat dengan kehidupan sehari-hari. Meskipun ditonton sambil lalu karena televisi berada di ruang keluarga yang berisi banyak orang dan ruangan dengan banyak aktivitas, namun sinetron memiliki ruang yang cukup lebar bagi khalayak. Sinetron hadir dalam keseharian publik, karena tayangannya yang dekat dengan realitas lapangan khalayak.

Meski sinetron menyajikan tayangan yang dekat dengan keseharian khalayak, namun perlu diperhatikan bahwa sinetron menawarkan keseharian cacat logika dan pragmatis yang begitu dominan dalam tayangan sinetron (Siregar dalam Tohari, 2005). Kecenderungan sinetron yang menayangkan konflik-konflik rumahtangga atau tren anak muda yang sedang berkembang di zamannya. Sinetron gencar meningkatkan rating dengan mengolah program sinetron sesuai dengan kegemaran khalayaknya. Rating menjadi dasar peringkat acuan suatu televisi dalam menerima iklan dalam setiap penayangannya. Semakin tinggi rating maka semakin besar kemungkinan iklan akan masuk ke dalam selipan tayangan sinetronnya. Akan tetapi rating tidak berbanding lurus dengan kualitas tayangan program itu sendiri.

Berdasarkan hasil Survei Indek Kualitas Program Siaran Televisi Periode I tahun 2019, Hasil Kerja Sama KPI, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan 12 Perguruan Tinggi di Indonesia, menyajikan angka statistik mengenai beberapa tayangan program siar televisi. Survei periode I tahun 2019 memperlihatkan bahwa kategori program siaran TV yang dinilai berkualitas dengan indeks ≥ 3 mencakup program wisata religi, anak-anak dan talkshow. Kategori program lainnya masih belum mencapai standar indeks yang ditetapkan KPI. Termasuk didalamnya sinetron dengan indeks 2.53 yang belum mencapai indeks kualitas tayangan televisi menurut KPI.

Indeks kualitas tayangan sinetron belum mencapai standar yang ditentukan oleh KPI. Walaupun begitu, sinetron tetap ditayangkan oleh hampir setiap stasiun televisi swasta. Karena sinetron yang diminati oleh khalayaknya menarik para iklan untuk hadir pada jeda sinetron yang tayang lebih lama. Iklan menaruh slot pada jeda sinetron karena banyak ditonton oleh khalayak. Jika dibandingkan dengan Koran dan Majalah, Televisi mendominasi pembagian belanja iklan sebesar 77% dengan Koran 22% dan Majalah 1% ii. Meskipun indeks kualitas tayangan tidak sesuai dengan standar KPI sebagai regulator media. Namun Stasiun Televisi Swasta mendasarkan tayangan program televisinya berdasarkan peringkat minat khalayak terhadap suatu tayangan program.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ANTV telah menayangkan 33 serial sinetron India, 12 sinetron dari negara lainnya seperti Turki, China, Filipina dan Korea serta menggarap 2 sinetron asli Indonesia dengan memerankan aktor India sebagai salah satu karakter tokohnya. Disusul oleh TVOne yang menayangkan dua sinetron India, menariknya kedua sinetron tersebut yakni “Lonceng Cinta” dan “Archana Mencari Cinta” ditayangkan pada season ke dua karena season pertama telah ditayangkan oleh ANTV sebelumnya. Hal ini wajar terjadi mengingat ANTV dan TVOne berada dibawah pemilik media yang sama yakni Visi Media Asia-Viva Group. Kemudian SCTV dan Indosiar yang juga berada dibawah pemilik media yang sama yakni EMTEK, menayangkan sinetron

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

6

India dan Turki meski tidak sebanyak ANTV. Hampir sama dengan ANTV yang menggarap sinetron asli Indonesia namun mengimpor aktor impor, SCTV juga namun berasal dari Turki. Sinetron Turki “Elif” sempat ditayangkan hingga season ke dua pada stasiun SCTV. Khalayak sangat menggemari sinetron Turki ini hinga SCTV mendatangkan aktor-aktor utama dalam sinetron Elif ini untuk melakukan jumpa fans. Baik ANTV, TVOne, SCTV dan Indosiar telah menayangkan sinetron impor hingga mendatangkan aktor-aktor utama dalam sinetron yang sangat digemari khalayak Indonesia. Sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh empat TV Swasta ini menarik para pengiklan untuk terus meletakkan slotnya dalam jeda tayangan sinetron sehingga pemasukan dari iklan kepada TV Swasta semakin tinggi.

Gambar 1.3 Sinetron impor yang dibeli oleh Stasiun TV Swasta di Indonesia

TV India Turki, Korea, Sinetron Lokal dengan Aktor Luar Taiwan, Filipina

AnTV 65 12 (13 Turki, 1 China, 3 (melibatkan Aktor India) (10 animasi) 3 Filipina, 6 Korea, 1 Amerika)

TVOne 2 5 - SCTV 3 3 1 (melibatkan Aktor Turki) Indosiar 2 1 -

Sumber: Data Penulis (diolah per September 2020) METODOLOGI

Munculnya tren impor tayangan program sinetron ini memberikan konsekuensi

serius terhadap kualitas tayangan program televisi. Hadirnya empat stasiun TV Swasta yang kerap menayangkan sinetron impor menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Aktivitas TV Swasta yang mengedepankan rating dibanding kualitas tayangan programnya berseberangan dengan nilai penyiaran dalam UU Penyiaran tahun 2002 yakni berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini ialah khalayak atau publik. Baik EMTEK maupun Viva Group merupakan bagian dari Lembaga Penyiaran Swasta yang diakui oleh Kominfo, sehingga siarannya menjadi bagian dari pengawasan KPI dan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sebagai khalayak.

Proses legitimasi penyiaran berperan dalam menentukan kualitas tayangan program. Dalam sudut pandang ekonomi politik penyiaran, fenomena sinetron impor menjadi celah bagi TV Swasta untuk meningkatkan modal dan kekayaan internal dalam perusahaan medianya. Ekonomi politik memberi perhatian besar terhadap faktor-faktor ideologis dan politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap suatu masyarakat (Sudibyo, 2004). Melalui teori Ekonomi Politik Media Penyiaran memberikan ruang yang luas dalam menganalisis tren impor sinetron luar.

Berdasarkan fenomena tren impor sinetron pada empat TV Swasta tersebut. Tulisan ini mencoba menganalisis dengan teori Ekonomi Politik sejauh mana dampak yang ditimbulkan melalui tayangan sinetron impor. Bagaimana regulasi penyiaran dalam hal ini pemerintah berperan dalam mengatasai tren ini. Melalui Teori Ekonomi Politik untuk menganalisis lebih dalam fenomena tren impor yang diawali dengan peran pemerintah dalam implementasi regulasi penyiaran hingga dampak yang ditimbulkan dengan maraknya tayangan sinetron impor pada TV-TV Swasta di Indonesia.

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Stasiun TV Swasta menggunakan kanal frekuensi publik dengan kekuatan siaran hingga seluruh wilayah Indonesia. ANTV, TVOne, SCTV da Indosiar, meski berkantor pusat di Jakarta namun memiliki daya jangkau siar hingga luar jawa. Meski berdasarkan UU Penyiaran tahun 2002, bahwa batas daya jangkau siarnya hingga tingkat provinsi saja dan untuk melewati batas tersebut harus dilakukan berjaringan. Sesuai dengan pasal 31 ayat (3) “Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas”. Yakni stasiun TV Swasta yang berpusat di Jakarta jika ingin bersiaran di luar wilayah Jakarta, misal Surabaya maka TV Swasta tersebut harus berjaringan dengan TV Lokal Surabaya. Namun pada kenyataannya, UU yang telah disahkan selama kurang lebih 18 tahun ini sistem siaran jaringan tidak kunjung memperbaiki kualitas tayangan program. TV-TV Swasta dari awal kelahirannya hingga kini memiliki relasi kuasa yang begitu dominan bahkan di hadapan regulasi media. Normalisasi atas fenomena ini akan di analisis menggunakan teori ekonomi politik media Vincent Mosco (2009) dengan komodifikasi konten serta dampak budaya yang ditimbulkan dengan munculnya tren impor sinetron asing oleh TV Swasta dengan kerangka teoritis Ekonomi politik skala global milik Appadurai dalam dimensi aliran budaya globalisasi. Komodifikasi Konten: Publik Vs Rating

Ketika para ekonom politik memikirkan bentuk komoditas dalam komunikasi maka mereka harus memulainya dari konten (Mosco, 2009). Konten menjadi bahan utama dalam menggarap suatu produksi tayangan. Posisinya begitu sentral dan dominan karena menyajikan audio visual yang akan ditonton dan dinikmati oleh publik. Tidak hanya itu, televisi sebagai media yang dimiliki oleh publik menyiapkan konten sebagai kudapan lezat yang wajib disukai oleh khalayak untuk meningkatkan rating. Menurut Golding Murdock (dalam Sudibyo, 2004) pendekatan kritis dalam ekonomi politik media dicirikan tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi politik bersifat holistik. Dimana tindakan ekonomi politik yang dilakukan media dalam hal ini TV swasta merupakan suatu interelasi antara ekonomi, politik dan sosial. Sehingga hal ini saling berkaitan satu sama lain, dan tidak dapat dimaknai secara parsial saja. Kedua, pendekatan kritis ekonomi-politik media bersifat historis. Bahwa fenomena ekonomi politik dalam hal ini tren impor tayangan sinetron tidak lepas dari proses sejarah yang panjang. Dapat dirunut kembali bahwa awal kelahiran TV-TV Swasta di Indonesia berada di bawah payung hukum penyiaran yang belum ajeg. Hal ini terbukti dengan revisi undang-undang penyiaran yang belum usai hingga kini. Sedangkan komoditisasi media di berbagai lini khususnya konten telah mendominasi tayangan publik. Kemudian pendekatan ekonomi politik juga bersifat praksis. Pendekatan praksis ini memandang pengatahuan sebagai produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menerus. Mosco (2009) juga menekankan bahwa komodifikasi konten akan dilakukan secara kreatif, terus menerus dan peka terhadap peluang dalam rangka memperluas relasi kuasa yang dimiliki oleh suatu media penyiaran.

Dalam analisis ekonomi politik, konten merupakan suatu modal utama dalam meningkatkan profit. Dimana konten dapat menarik banyak pengiklan untuk terus menerus menaruh slotnya pada jeda konten tayangannya sehingga keuntungan terus diperoleh oleh media tersebut. Logika ekonomi politik ini begitu lekat dalam fenomena tren impor sinetron ini. Banyaknya pengiklan yang meletakkan produk dan jasanya sebagai iklan

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

8

komersial pada jeda tayangan sinetron India misalnya. Berdasarkan data Nielsen, pada tahun 2016 aja ANTV memimpin perolehan pangsa pasar segmen upper class di Indonesia, yakni sebesar 16,2 %. Pendapatan kotor ANTV mencapai Rp 8,23 triliun. Nilai itu naik 42% dibanding periode tahun sebelumya, 2015 sebesar Rp 5,8 triliun. Pada saat itu tercatat konten india telah mencapai 35%iii. Pada tahun yang sama, KPI telah melakukan teguran kepada ANTV karena telah menampilkan siaran asing melebihi 40% per hari, namun teguran ini diabaikan ANTV tercatat tahun 2016 terbukti masih menyiarkan program impor 10 jam sehariiv. Analisis ekonomi politik kritis menempatkan tindakan stasiun TV Swasta yang kerap menayangkan tayangan impor tanpa melakukan upaya perbaikan kualitas sebagai komodifikasi konten terhadap sinetron impor besar-besaran ini. Mediascapes, Aliran Budaya Globalisasi dalam Sinetron Impor

Globalisasi menciptakan kemudahan dan efektivitas dalam transaksi ekonomi. Batas antar negara menjadi pudar ketika berhadapan dengan globalisasi. Seperti tren impor ini, bahwa sudah menjadi hal yang lazim ketika suatu negara membeli atau menjual tayangan program televisinya kepada yang lain. Transaksi antar negara dengan produk barang dan jasa merupakan wilayah globalisasi masa kini. Seperti halnya konsep Global Village oleh Marshall McLuhan (Appadurai, 2001) memungkinkan interaksi tanpa batas yang mampu menembus batas teritorial. Meski begitu Appadurai juga memberikan argument bahwa tidak sepenuhnya implikasi globalisasi cukup kompleks dan melalui proses yang heterogen sehingga dapat dimungkinkan melaui berbagai aspek. Dalam sudut pandang globalisasi, tren impor sinetron asing menjadi salah satu bentuk aliran budaya globalisasi yang hadir bagi publik di Indonesia. Dalam “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” (Appadurai, 2001) menjelaskan terdapat lima dimensi aliran budaya global yakni (a) ethnoscapes (b) mediascapes (c) technoscapes (d) financescapes (e) ideoscapes. Scape merupakan ruang yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang cair (fluid). Dimaksudkan bahwa aliran budaya global memungkinkan konteks apapun terjadi selama pada kenyataannya memang benar terjadi. Namun konteks yang dilihat dalam struktur yang lebih besar, tatanan politis, dan elit dimana sistem dan pergolakannya memang kentara dalam suatu negara.

Dalam tren impor sinetron ini mengambil mediascapes sebagai aliran budaya global yang hadir pada televisi Indonesia. Mediascapes ini mengacu pada distribusi kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi (suratkabar, majalah, stasiun televisi, dan studio produksi film), yang serang tersedia terus tumbuh dalam bentuk kepentingan ataupun publik di seluruh dunia, yang menggambarkan imaji dunia yang tersaji dalam media ini. Media memberikan gambaran/tayangan mengenai suatu konsepsi yang diyakini nyata oleh khalayak. sehingga distorsi yang terjadi ketika kenyataan itu hanyalah konstruksi hiburan yang dibentuk media semata. Pemandangan realistis dan fiksi menjadi tidak terlihat, sesuatu yang ditayangkan seolah begitu nyata dan dekat oleh khalayak. Tayangan media menjadi suatu citra yang sengaja dibentuk untuk menyampaikan suatu pesan tertentu kepada khalayak. Kesadaran publik berada dibawah kontrol imaji dunia yang dibentuk dalam tayangan sinetron impor seperti sinetron India, Turki dan lainnya. Kontrol Kualitas Sinetron

Stasiun-stasiun televisi di Indonesia merupakan Lembaga penyiaran yang aktivitasnya diawasi, diatur dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah. Karena

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

9

stasiun televisi telah menggunakan frekuensi yang dimiliki oleh publik. Spektrum frekuensi merupakan gelombang elektromagnetik yang tidak dapat di lihat secara kasat mata lebih seperti udara. Frekuensi ini terbatas sehingga di seluruh negara telah dilakukan pembagian frekuensi gelombang elektromagnetik sebagai sumber daya tiap negara. Hal ini di atur oleh International Telecommunication Union (ITU) dibawah yurisdiksi organisasi induk internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Seperti negara lain, Indonesia memiliki jumlah frekuensi yang terbatas sehingga dalam pembagiannya memiliki aturan tertentu dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Tertulis bagian awal pada UU Penyiaran no 32 tahun 2002. “frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Frekuensi yang dimiliki oleh stasiun Televisi bersifat sementara, menggunakan surat ijin siaran yang dikeluarkan oleh KPI dan memiliki jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, keberadaan frekuensi publik ini mutlak memiliki posisi penting dalam memberikan informasi yang relevan dan berorientasi pada publik (locus publicus).

Publik atau khalayak yang dimaksud dalam tulisan ini ialah ibu rumah tangga dan remaja yang gemar menonton sinetron luar. Impor sinetron ini legal dan diperbolehkan dalam UU Penyiaran di Indonesia. Akan tetapi dibatasi durasi penyiarannya, dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) pasal 36, “Lembaga penyiaran dapat menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam program siaran paling banyak 30% dari waktu siaran per hari”. Akan tetapi tercatat dalam pengawasan KPI pada salah satu TV Swasta, yakni ANTV telah bersiaran sinetron luar lebih dari 40% dalam sehariv. Jumlah durasi tayangan sinetron India dan lainnya di stasiun ANTV telah melebihi aturan yang seharusnya. Pelanggaran ini tidak ditanggapi serius oleh ANTV karena teguran yang diberikan tidak membuat jera dan sering diabaikan oleh TV-TV lainnya jika mendapat teguran dari KPI.

Tayangan sinetron asing yang sangat mendominasi tontonan keluarga memiliki konsekuensi paparan media tersendiri. Sinetron yang menyiarkan imaji antara realitas dan drama, menceritakan kehidupan rumah tangga ataupun remaja masa kini. Seperti dalam tayangan sinetron Elif pada stasiun televisi SCTV yang telah menayangkan Season 1 dan 2 bahkan hingga menayangkan ulang season 2 karena rating yang tinggi. Dalam penelitian Utami (2016) mengenai “Persepsi Ibu Rumah Tangga terhadap Serial Drama Televisi Elif di SCTV”, menunjukkan kenyataan bahwa yang menjadi sorotan para ibu rumah tangga terhadap konstruksi film drama Elif di SCTV adalah tentang alur cerita film yang dominan mencerminkan realitas konflik dalam rumah tangga. Ibu rumah tangga sebagai khalayak memiliki kecenderungan untuk mengolah makna atas informasi yang diperolehnya melalui sinetron Elif SCTV. Sinetron memiliki konstruksi atas imaji yang dibentuk dalam tayangannya, kesamaan konflik dan cerita menjadikannya sebagai alur yang diteladani dan diinspirasi bagi khalayak potensial seperti ibu rumah tangga dan remaja.

Baik ANTV, TVOne, SCTV maupun Indosiar kerap mendapatkan teguran KPI dalam konten penyiarannya khususnya pada sinetron luar. Seperti ANTV dalam beberapa sinetronnya banyak mendapatkan teguran KPI karena menyiarkan kekerasan secara gambling serta menunjukkan kekerasan secara verbal dalam dialog konflik rumah tangga. Sinetron Ashoka dalam surat edaran KPI bernomor 969/K/KPI/09/2015 menayangkan adegan seorang pria yang menyayat lehernya dengan pisau hingga berdarah. Surat edaran menyatakan bahwa jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan anak-anak dan remaja, larangan adegan kekerasan serta penggolongan

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

10

program siaran. Dalam penelitian Craig Anderson (2000) mengenai efek kekerasan dalam tayangan visual memiliki hubungan positif terhadap perilaku kekerasan anak di dunia nyata. Kecenderungan untuk memiliki sifat agresif serta imitasi yang kuat dalam adegan kekerasan yang ditayangkan secara virtual. Riset ini menunjukkan bahwa tayangan kekerasan baik secara fisik ataupun verbal memiliki hubungan positif terhadap khalayaknya.

Kemampuan (kekebalan) TV Swasta untuk tetap menayangkan sinetron asing meskipun melakukan pelanggaran di berbagai aspek begitu dominan. Hal ini terjadi karena TV Swasta memiliki keleluasaan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dalam setiap penayangan programnya. Kualitas tayangan tidak menjadi tolak ukur utama produktivitas siaran program namun lebih kepada rating khalayak, apakah diminati atau tidak. Sedangkan rating tidaklah sama dengan kualitas tayangan. Ketika rating suatu program siaran tinggi maka akan menarik para pengiklan untuk menaruh produknya dalam jeda komersial tayangannya. Sinetron memiliki episode tayang yang tidak ada batas standarnya sehingga selama tayangan sinetron masih digemari oleh khalayak maka sinetron akan tetap tayang. Dengan begitu, iklan akan terus menerus hadir dalam tiap tayangan sinetron maka pemasukan televisi akan semakin besar dan diuntungkan. Dalam infografis Rapotivi, sebuah aplikasi android khusus pengaduan tayangan televisi tidak sehat, memaparkan pada 22-28 mei 2017 terdapat 72.119 slot iklan komersial senilai 2,2 triliun pada 10 stasiun TV swasta bersiaran nasional (TVOne, MetroTV, Trans7, TransTV, Indosiar, SCTV, GlobalTV, MNC TV, RCTI & ANTV). Pada serial asing-sinetron impor telah menayangkan total durasi iklan 38 jam 21 menit dengan jumlah pemasukan iklan 229,65 miliar rupiah. Melalui deskripsi tersebut terlihat bahwa impor sinetron asing meningkatkan rating khalayak sehingga menarik pengiklan untuk terus menaruh slot pada jeda tayangannya. Standarisasi Rating Televisi di Indonesia

Pemilihan program tayangan diminati khalayak atau tidak didasarkan pada rating televisi. Di Indonesia, Nielsen Audience Measurement Research merupakan lemabaga yang menyajikan data mengenai rating khalayak publik Indonesia. Nielsen merupakan Lembaga rating yang berasal dari Amerika Serikat-AS. Pada tahun 1950-an AS memakai data Nielsen dalam penyiaran televisinya. Dengan menaruh perangkat audiometer pada setiap televisi di beberapa rumahtangga yang disasar. Keluarga yang menjadi responden akan memeroleh insetif sebesar 50 sen setiap minggu. Data dari audimeter TV menghasilkan 2 jenis data: Nielsen Television Index (NTI) dan Nielsen Station Index (NTI)vi, sesuai dengan nama datanya yang hanya menunjukkan jenis stasiun yang ditonton namun bukan pada kelas penonton mana. Terus berkembang dengan storage instantaneous audiometer (SIA) dengan memasang aplikasi pada televisi responden yang memungkinkan informasi data dikirimkan langsung ke kantor Nielsen. Sistem rating ini terus mengalami perkembangan dan persaingan yang ketat. Sistem rating televisi di AS kini telah menggunakan sistem open to public, dimana setiap minggu/harinya dapat memberikan data rating terbaru pada TV-TV di Amerika. Data ini dapat diakses terbuka pada laman http://tvbythenumbers.zap2it.com/. Laman ini terbilang independen dan bukan dari pemerintah. Banyaknya elemen-elemen yang berusaha membuat rating pada televisi menciptakan persaingan yang lebih sehat jika dibandingkan dengan satu-satunya Lembaga rating televisi yang ada di Indonesia.

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

11

Berbeda dengan Indonesia yang hanya menggunakan perusahaan yang satu-satunya menyediakan jasa rating khalayak yakni Nielsen dari Amerika. Menurut data yang diperoleh dari www.nielsen.com mengenai panel TAM (Television Audience Measurement) di Indonesia saat ini mengukur 2.423 rumahtangga yang memiliki TV di 10 kota besar yaitu: Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek), Surabaya dan sekitarnya (Gerbangkertasusila), Bandung, Semarang, Medan, Makassar, Yogyakarta dan sekitarnya (DIY Yogya + Sleman & Bantul), Palembang, Denpasar dan Banjarmasin. Panel utama ini hanya mengukur kepemirsaan TV terrestrial atau analog. Nielsen Audience Measurement Indonesia telah menyediakan informasi dan pelayanan untuk TV/Koran/majalah/Radio ke para pemilik media dan industri periklanan sejak 1976 dan pelayanan TAM sejak tahun 1991. Berikut perkembangannya hingga kini:

Gambar 3.2 Perkembangan Nielsen untuk konten Televisi di Indonesia

1976 Survey Research Indonesia (bagian dari Survey Research Group). 1994 ACNielsen mengambil alih Survey Research Group dan bisnis TAM meurpakan

bagian dari Departemen Media di ACNielsen Indonesia. 2000 VNU menjadi Induk Perusahaan dari ACNielsen dan departemen media menjadi

Nielsen Media Research dibawah VNU Media Measurement & Information. 2005 Melalui joint venture antara VNU-MMI dan AGB untuk Nielsen Media Research,

“AGB-Nielsen Media Research Indonesia” memulai beroperasi sebagai badan hokum tersendiri di Indonesia untuk bisnis TAM.

2008 The Nielsen Company mengambil alih 100% kepemilikan AGB Nielsen Media Research pada November 2008. Sebagai bagian dari penggabungan dengan The Nielsen Company, AGB Nielsen Media Research Indonesia berganti nama menjadi Nielsen Audience Measurement Indonesia. Sumber: www.agbnielsen.com

Pengawasan terkait rating tayangan program ini tidak diatur di dalam regulasi

penyiaran. Baik dalam UU Penyiaran no 32 tahun 2002, UU Telekomunikasi no 36 tahun 1999 dan UU Pers no 40 tahun 1999. UU Konvergensi yang masih direncanakan nanti belum memberikan kejelasan mengenai standarisasi rating, karena lebih fokus pada digitalisasi penyiaran. Kondisi rating pertelevisian di Indonesia ini menjadi celah yang begitu besar dalam peningkatan kualitas tayangan program televisi.

Kualifikasi rating Nielsen sangat berpengaruh pada kualitas tayangan program. Monopoli rating menjadikan kaburnya objektivitas kualitas rating televisi tanpa ada persaingan yang kompetitif. Remotivi, Lembaga studi dan pemantauan media, mengklasifikasikan kritik pada sistem rating di Indonesiavii. Pertama, terkait asuransi, reliabilitas, dan potensi bias dalam sistem rating Nielsen. Kedua, terkait sistem pengukuran audiens televisi di era digital masih belum melakukan penyesuaian. Ketiga, isu validitas hasil penelitian Nielsen. Keempat, sistem yang dianggap jadul dan monopolis. Nielsen pernah didugat kerugian sebesar 1 miliar dolar Amerika oleh New Delhi Television Ltd. karena telah memanipulasi data pemirsa TV India selama hamper satu dekadeviii. Pada intinya, sistem rating pertelevisian belum memberikan peningkatan kualitas tayangan program karena kualifikasinya yang belum relevan dengan kebutuhan publik. Kebijakan Ekspor Impor dalam Penyiaran Inggris

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

12

Beda negara beda pula kebijakan media. Inggris dengan sistem parlementariannya telah memperbaiki regulasi media semenjak tahun 2003. Code of Practice yang diberlakukan memberikan keleluasaan para pembuat format dan konten program untuk memiliki ha katas karyanya dan di apresiase oleh publik. Hal ini berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas industri sinema di Inggris. Dalam penelitian Chalaby (2010) mengemukakan bahwa dengan adanya pembaruan regulasi media yang memberikan hak cipta dan pengembangan kreatif kepada para sineas menciptakan kemajuan secara bertahap namun menjanjikan. Tercatat pada tahun 2007, Inggris menyaingi AS untuk ekspor format konten ke berbagai negara. Format konten ini merupakan format tayangan berlisensi dan jika di ekspor ke luar negeri dapat di adaptasi sesuai dengan audiens lokalnya. Seperti Who wants to be a Millionaire ?, Pop Idol serta banyak tayangan lainnya. Baik AS dan Inggris sejak lama bersaing untuk saling mengekspor dan mengimpor format tayangan program.

Perubahan industri sinema di Inggris didukung dari regulasi yang mampu membaca perkembangan medianya. Melalui PACT (Producer’s Alliance for Cinema and Television) sebuah asosiasi perdagangan yang diperuntukkan distributor dan produser independen, mencakup 45 saluran di 8 negara, yakni Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Swedia, AS dan Inggris (Chalaby, 2010). Asosiasi yang didirikan Inggris tersebut menjadi wadah apresiasi, pengembangan kreativitas serta menjaga hak cipta karya independen.

Kebijakan ekspor maupun impor di negara Inggris terus mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan Indonesia belum adanya asosiasi serupa PACT untuk memberi apresiasi dan pengembangan kreatif bagi sineas yang didukung penuh oleh pemerintah. Seperti PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia). BP2N (Badan Pemberdayaan Perfilman Nasional), PARSI (Persatuan Artis Sinetron Indonesia) dan asosiasi lainnya. Keberadaan asosiasi-asosiasi yang ada di Indonesia belum memiliki dukungan penuh dari pemerintah-Kominfo dalam pengembangan kreativitas dan perlindungan dari persaingan tayangan impor. Hal ini terbukti dengan terbuka lebarnya peluang para stasiun TV Swasta yang sering mengimpor tayangan sinetron luar sehingga sinetron-sinetron lokal menjadi kalah saing dan justru dihadapkan kualitas yang sama dengan sinetron luar tersebut.

KESIMPULAN

Dalam tulisan ini memberikan analisis mengenai dinamika tren impor tayangan

sinetron serta implikasinya. Bagaimana Kominfo dalam hal ini KPI melalui UU Penyiaran memberikan peran serta dalam peningkatan kualitas tayangan sinetron. Melalui data-data yang disajikan ANTV, TVOne, SCTV dan Indosiar telah banyak melakukan pelanggaran kode etik penyiaran. Meski begitu, ke empat stasiun TV swasta tersebut tetap melakukan penayangan sinetron luar pada saluran TV mereka. Tren impor ini merupakan bentuk komodifikasi konten oleh TV Swasta di atas frekuensi publik. Menurut Mosco, konten dalam hal ini sinetron luar merupakan komoditas yang menjanjikan dalam memperluas relasi kuasa yakni dengan meningkatnya pendapatan iklan serta rating khalayak. Sedangkan di sisi lain, membanjirnya sinetron asing pada televisi Indonesia memberikan dampak budaya globalisasi kepada khalayaknya. Khsususnya ibu rumah tangga dan remaja, menjadi imaji drama atas realitas kehidupan yang di alami. Penciptaan kesadaraan publik atas imaji dan konstruksi yang dibentuk dalam sinetron belum menjadi bagian dari tujuan program tayangan sinetron. Justru TV-TV swasta terus menayangkan sinetron luar selama rating khalayak masing tinggi dan diminati tanpa melihat kualitas tayangan maupun dampak yang diberikan kepada khalayak.

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

13

Berdasarkan hasil indeks kualitas tayangan KPI, menyatakan bahwa sinetron memilik indeks kualitas tayangan di bawah standar yang telah ditetapkan. Tidak hanya itu, tayangan sinetron pada TV Swasta seperti ANTV telah melebihi durasi yang ditetapkan yakni 40 % dari 30% sesuai ketetapan P3SPS. Rating yang tinggi membuat TV Swasta terus menayangkan sinetron asing tersebut. Perusahaan penyedia jasa rating televisi di Indonesia, yakni Nielsen Audience Measurement menjadi satu-satunya dasar data pemirsa khalayak bagi para pengiklan dan seluruh stasiun televisi swasta. Belum adanya regulasi yang mengatur mengenai sistem rating penyiaran menjadi sistem rating ini tidak dapat dikendalikan penuh oleh KPI. Tren impor sinetron merupakan bentuk kesenjangan kualitas tayangan pertelevisian Indonesia. Implikasi yang diberikanpun beragam, baik pada sisi khalayak, pengabaian regulasi, serta dominasi relasi kuasa TV Swasta. Jika dibandingkan dengan pemerintah Inggris yang melakukan pembaruan kebijakan sejak awal 2003 yang berimplikasi pada kemampuan ekspor format tayangan bagi industri sinema independen kepada internasional maka industri sinema Indonesia masih memberikan banyak peluang dalam melakukan perbaikan dalam peningkatan kualitas dan produktivitas tayangan program sebagai bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan frekuensi publik. BIODATA

Hanna Nurhaqiqi, M.A. Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur. Ia memiliki minat penelitian pada kajian media kritis dan media massa Ratih Pandu Mustikasari, M.A. Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur. Ia memiliki minat penelitian pada kajian komunikasi kesehatan, metodologi kuantitatif. Oktifani Winarti, M.A.. Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur. Ia memiliki minat penelitian pada kajian cross cultural communication dan conversation analysis. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Craig A. dan Dill, Karen E. (2000). Video Games and Aggressive Thoughts,

Feelings, and Behavior in the Laboratory and in Life. Journal of Personality and Social Psychology 2000, Vol. 78, No. 4, 772-790. The American Psychological Association, Inc.

Appadurai, Arjun. (1990). Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy. Theory Culture Society 1990;7;295. Sagepublication Ltd.

Appadurai, Arjun. (2001). Disjuncture and Difference in Global Economy. Dalam M.G.Durham & D.M.Kellner. Media and Cultural Studies:Keyworks. London: Blackwell. Hal.658-680.

Armando, Ade. 2011. Televisi Jakarta di atas Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Bentang, Anggota Ikapi.

Budi, Setio. (2004). Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni 2004:1-18.

Chalaby, Jean K. (2010). The rise of Britain’s super-indies: Policy-making in the age of the global media market. Article. The international Communication Gazette. Sagepublication Inc.

Darmanto, dkk. 2012. Ibu Rumah Tangga Melawan Televisi. Yogyakarta: Matamedia Press.

Effendy, Heru. (2008). Industri Pertelevisian Indonesia: Sebuah Kajian. Jakarta: Erlangga.

JURNAL ILMU KOMUNIKASI VOL. 4 NO. 1 (2021)

14

Ibrahim, Idi Subandy dan Bachruddin Ali Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi:Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya diketahui Wartawan dan yang diharapkan Publik. Jakarta: Pantau.

Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2010). Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload. New York: Bloomsbury.

Komisi Penyiaran Indonesia. (2019). Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. Periode I Tahun 2019

Merlyna, Lim. (2012). The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. Research Report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab at Arizona State University, tersedia online di http://www.public.au.edu/~mlim4/files/Lim_IndoMediaOwnership_2012.pdf

McChesey, Robert W. (2008). The Political Economy of Media: Enduring Issues. New York: Monthly Review Press.

Mosco, Vincent. (2009). Political Economy of Communication, 2nd Edition. London: SAGE Publication.

Mufid, Muhammad. 2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana. Napoli, Phillip M. (2007). Media Diversity and Localism: Meaning an Metrics. New York:

Routeldge. Nazaruddin dkk. 2009. Televisi Komunitas: Pemberdayaan dan Media Literasi.

Yogyakarta: Combine Research Institute, dkk. Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Memetakan Lansekap Industri Media

Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS.

Rahayu, dkk. 2014. Kinerja Regulator Penyiaran Indonesia: Penilaian atas Derajat Demokrasi, Profesionalitas, dan Tata Kelola. Yogyakarta: Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).

Rice, E. Ronald. (2008). Media Ownership: Research an Regulation. New Jersey: Hampton Press.

Rumata, Vience M. (2015). Dinamika Tata Kelola Kebijakan Industri Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia menuju Konvergensi. Jurnal Penelitian Pos dan Informatika. JPPI Vol 5 No 1 (2015) 93-108.

Sudibyo, Agus S. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Tim LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). 2005. Media Sadar Publik : Media Lokal Mewartakan Korupsi dan Pelayanan Publik. Jakarta : LSPP.

Tohari, Ahmad. (2005). Sinetron Indonesia: Untuk Pasar dan Budaya. Yogyakarta: Penerbit Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan-L3PY.

Usodo, Bowo dkk. 2008. Radio Komunitas Indonesia: dari gagasan dan potret lapangan. Jakarta: JRKI.

Utami, Arini D. (2016). Persepsi Ibu Rumah Tangga terhadap Serial Drama Televisi Elif di SCTV: Riset Audiens di Kelurahan Caile Kabupaten Bulukumba. Skripsi. Universitas Hasanuddin