TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PNEUMONIA DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU

17
30 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PNEUMONIA DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU) Severe community-acquired pneumonia (SCAP) merupakan pneumonia akut berat yang sering masuk dan membutuhkan perawatan intensif di ICU. Pneumonia komuniti merupakan suatu penyakit infeksi pernapasan akut yang didapati di luar rumah sakit yang manifestasinya berupa karakteristik gejala (batuk, adanya dahak, sesak, nyeri dada pleuritik dan didapati atau tidak perubahan status mental) dengan adanya gambaran infiltrat baru secara radiologi, juga adanya demam (>38,5 o C) atau hipotermi (< 36 o C), dengan adanya peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sedangkan SCAP adalah pneumonia yang membutuhkan perawatan ICU terutama ventilasi mekanik yang disebabkan satu atau beberapa alasan seperti, gagal napas hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg) terhadap pasien dengan pemberian maksimal oksigen, gagal napas hiperkapnia (pH < 7,25 dengan PaCO2 > 50 mmHg) atau dijumpainya ketidakmampuan untuk mempertahankan pernapasan sehingga menyebabkan status mental terdepresi. Beberapa kriteria klinik terhadap penderita pneumonia yang dapat diidentifikasi sebagai faktor prognosis buruk seperti, membutuhkan ventilator mekanik, syok, penurunan kesadaran, keterlibatan multilobus, usia > 65 tahun, frekuensi pernapasan > 30/menit, gagal ginjal akut, bakterimia dan adanya penyakit Universitas Sumatera Utara

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PNEUMONIA DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU

30

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PNEUMONIA DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

Severe community-acquired pneumonia (SCAP) merupakan

pneumonia akut berat yang sering masuk dan membutuhkan perawatan

intensif di ICU. Pneumonia komuniti merupakan suatu penyakit infeksi

pernapasan akut yang didapati di luar rumah sakit yang manifestasinya

berupa karakteristik gejala (batuk, adanya dahak, sesak, nyeri dada

pleuritik dan didapati atau tidak perubahan status mental) dengan adanya

gambaran infiltrat baru secara radiologi, juga adanya demam (>38,5oC)

atau hipotermi (< 36oC), dengan adanya peningkatan atau penurunan

jumlah sel darah putih. Sedangkan SCAP adalah pneumonia yang

membutuhkan perawatan ICU terutama ventilasi mekanik yang

disebabkan satu atau beberapa alasan seperti, gagal napas hipoksemia

(PaO2 < 60 mmHg) terhadap pasien dengan pemberian maksimal

oksigen, gagal napas hiperkapnia (pH < 7,25 dengan PaCO2 > 50 mmHg)

atau dijumpainya ketidakmampuan untuk mempertahankan pernapasan

sehingga menyebabkan status mental terdepresi. Beberapa kriteria klinik

terhadap penderita pneumonia yang dapat diidentifikasi sebagai faktor

prognosis buruk seperti, membutuhkan ventilator mekanik, syok,

penurunan kesadaran, keterlibatan multilobus, usia > 65 tahun, frekuensi

pernapasan > 30/menit, gagal ginjal akut, bakterimia dan adanya penyakit

Universitas Sumatera Utara

31

penyerta. Panduan terbaru dari konsensus Infectious Dissease Society of

America (IDSA)/ American Thoracic Society (ATS) telah menyertakan

beberapa kriteria yang menyatakan kriteria beratnya SCAP seperti,

membutuhkan perawatan ventilator mekanik, syok septik, frekuensi

pernapasan > 30/menit, infiltrat multilobar, trombositopenia, leukopenia,

hipotermi dan hipotensi.1,3,5,12,13,14

Severe CAP diperkirakan 10-20% kasus dari CAP yang masuk ke

ICU. Definisi yang sederhana dari SCAP adalah suatu CAP yang

membutuhkan perawatan ICU. American Thoracic Society (ATS)

mempublikasikan kriteria dari SCAP yaitu seperti berikut:

Tabel 1. Kriteria ATS untuk Severe Community-acquired Pneumonia

(SCAP)13

Frekuensi pernapasan > 30 kali per menit saat masuk

Rasio PaO2/FiO2 < 250 mmHg

Membutuhkan ventilasi mekanik

Gambaran radiografi dada melibatkan lobus bilateral atau multipel lobus,

konsolidasi meningkat > 50% dalam 48 jam setelah masuk

Tekanan darah sistolik < 90 mmHg, atau tekanan darah diastolik < 60

mmHg, vasopressor > 4 jam

Produksi urin < 20 ml/ jam, atau total produksi urin < 80 ml selama 4 jam,

atau gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis

Universitas Sumatera Utara

32

Pasien-pasien critical ill di ICU dapat berupa pneumonia komuniti

dan pneumonia nosokomial. Pneumonia nosokomial adalah infeksi

nosokomial yang paling banyak dijumpai di dalam perawatan ICU, yang

dapat diklassifikasikan sebagai berikut :

- Pneumonia yang didapati di rumah sakit setelah > 48-72 jam masuk

rumah sakit.

- Pneumonia yang didapati di ICU yang terjadi pada pasien-pasien

yang tidak mendapati penanganan dengan ventilator mekanik atau

terhadap pasien yang berhasil bernapas spontan selama > 48 jam setelah

ekstubasi.

- Early Ventilator Assosiated Pneumonia (VAP) yang didapati

terhadap pasie-pasien yang mendapatkan penanganan ventilator mekanik

selama 2-5 hari.

- Late VAP yang terjadi terhadap pasien-pasien mendapatkan

tindakan ventilator mekanik > 5 hari.

Kekerapan infeksi nosokomial saluran napas bawah menempati

urutan kedua setelah infeksi saluran kemih, yaitu sebanyak 13-18%.

Pneumonia di perawatan ICU lebih sering dibanding ruangan umum, yaitu

berkisar 42% dan sebagian besar (47%) terjadi pada penderita dengan

ventilator mekanik. Kasus pneumonia secara klinik didefinisikan sebagai

adanya suatu infeksi akut (didapati paling tidak satu dari hal berikut :

adanya demam atau menggigil, temperatur > 38,2oC atau < 35,5oC, hitung

jenis darah putih > 11 x 109/L atau < 3 x 109/L atau adanya differensial

Universitas Sumatera Utara

33

yang abnormal) dan adanya tanda atau gejala (paling tidak satu dari hal :

suara pernapasan abnormal, takhipnu, batuk, produksi sputum, batuk

darah, nyeri dada atau dispnu, radiologi adanya infiltrat baru).

Pneumonia aspirasi merupakan suatu keadaan penyakit paru yang

disebabkan masuknya cairan abnormal, substansi dan bahan sekresi

endogen baik dari saluran pernapasan atas atau lambung ke saluran

napas bawah. Untuk dapat berkembangnya suatu pneumonia aspirasi

bergantung kepada status kekebalan mekanisme pertahanan tubuh yang

melindungi saluran pernapasan bawah, seperti mekanisme menutupnya

glottis, refleks batuk serta mekanisme pembersihan jalan napas itu sendiri.

Faktor resiko terhadap terjadinya pneumonia aspirasi beberapa

diantaranya seperti keadaan pembiusan, penurunan kesadaran / status

mental dan juga terhadap pemakaian selang makanan, ventilator dan lain

sebagainya.15

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan sistem skoring APACHE

III yaitu skor berkisar 0 – 299, dengan tingginya skor mengindikasikan

lebih beratnya penyakit dan meningkatkan resiko kematian pada saat

masuk ICU. Validasi skor yang menyatakan beratnya penyakit seperti,

usia pasien, kondisi komorbid penyakit dan parameter-parameter fisiologik

seperti, tanda-tanda vital, nilai-nilai kimiawi serologi, nilai gas darah

arterial dan Glasgow Coma Score. Sistem skoring APACHE III

menggabungkan dan menilai beberapa variabel, yaitu beberapa

diantaranya seperti :

Universitas Sumatera Utara

34

a. variasi variabel fisilologik (seperti mean arterial pressure,

temperatur, tekanan parsial arteri oksigen, alveolar arterial

O2 difference, frekuensi nadi dan pernapasan)

b. nilai laboratorium (beberapa seperti hemoglobin, kreatinin,

hitung sel darah putih)

c. usia

d. variabel penyakit kronik

e. status neurologik /Glasgow Coma Scale (GCS)3,5,17,18,19

2.2 SISTEM SKORING APACHE III SEBAGAI SISTEM SKORING

BERAT PENYAKIT

Berkisar tahun 1980 beberapa intensivis memutuskan untuk

membuat skoring beratnya penyakit terhadap pasien-pasien yang dirawat

di intensive care unit (ICU) dengan maksud membandingkan populasi dan

mengevaluasi hasil akhirnya (outcome prognosis). Hasil akhir (outcome

prognosis) dari suatu perawatan intensif bergantung dari berbagai faktor /

keadaan yang ada yang didapati pada hari pertama masuk ICU dan juga

bergantung terhadap penyebab sakitnya sehingga dirawat di ICU. Sistem

skoring beratnya penyakit umumnya terdiri dari 2 (dua) bagian, sistem

skoring itu sendiri dan model probabilitasnya. Skoring itu sendiri adalah

angka-angka atau sejumlah angka / nilai dimana jika semakin tinggi angka

/ nilai yang didapati, semakin buruk kemungkinan beratnya penyakit.

Universitas Sumatera Utara

35

Model probabilitas adalah suatu persamaan / analisa yang menghasilkan

kemungkinan prediksi kematian pasien.6,7,9

Model sistem skoring beratnya penyakit telah banyak dipublikasikan,

namun hanya beberapa yang sering dipergunakan. Kebanyakan skor-skor

tersebut dikalkulasi dari pengumpulan data di hari pertama masuk rawatan

ICU, beberapa diantaranya salah satunya sistem skoring Acute Physiologi

and Chronic Health Evaluation (APACHE). Sistem skoring prognosis ini

telah berkembang untuk mengestimasi kemungkinan kematian terhadap

pasien-pasien dewasa yang masuk ICU. Sistem ini menggunakan

variabel-variabel prediktor seperti diagnosis, usia, status riwayat penyakit

kronik dan keadaan fisiologik, yang mana kesemuanya mempunyai

dampak terhadap prognosis. 7,9,20,21,22

2.3 SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SKORING ACUTE

PHYSIOLOGI AND CHRONIC HEALTH EVALUATION (APACHE)

Pertama berkembang pada tahun 1981 di George Washington

University Medical Centre, sistem skoring Acute Physiology Chronic

Health Evaluation (APACHE) telah didemonstrasikan untuk membuktikan

keakuratan dan pengukuran yang memungkinkan terhadap beratnya

penyakit pada pasien-pasien criticall ill. Sistem skoring APACHE yang

pertama (APACHE I) mengandung 34 variabel, nilai variabel terburuk

dicatat dan dinilai dalam 32 jam pertama masuk ICU dan hasil akhir

didapati sebagai skor fisiologik akut.

Universitas Sumatera Utara

36

Pada tahun 1985, Knaus dkk memperkenalkan versi sistem skor

APACHE yang lebih disederhanakan yaitu APACHE II. Model ini mencatat

nilai variabel terburuk dalam 24 jam pertama masuk ICU terhadap 12

variabel fisiologik, usia, status pembedahan (pembedahan emergensi /

elektif, bukan pembedahan), status riwayat penyakit sebelumnya yang

menerangkan penyebab masuknya ke ICU, yang dianalisa secara model

regresi multipel logistik yang ditransformasikan skornya untuk

memprediksi kemungkinan kematian. Sistem skoring ini berkembang

dengan cepat digunakan luas di seluruh dunia, telah banyak digunakan

dalam bidang administrasi, perencanaan, quality assurance,

membandingkan diantara ICU bahkan membandingkan terhadap grup-

grup uji klinik.

Versi yang ketiga, APACHE III, telah mengevaluasi secara prospektif

terhadap 17440 pasien yang masuk di 40 ICU rumah sakit di Amerika

Serikat pada tahun 1988 – 1989. Sistem variabel yang termasuk dalam

skoring APACHE III yaitu berdasarkan pencatatan nilai variabel terburuk

dalam 24 jam pertama pasien masuk ICU, skor berkisar 0 - 299 terhadap

17 variabel fisiologik, Glasgow Coma Score (GCS), untuk nilai skor usia

dan tujuh kondisi komorbid penyakit kronik. Skor APACHE III adalah skor

untuk menilai beratnya penyakit critical ill di ICU yang dikalkulasikan

terhadap variabel-variabel usia pasien, adanya kondisi komorbid penyakit,

investigasi laboratorium dan fisiologik yang terburuk dalam 24 jam

pertama masuk ICU. Dalam sistem skoring APACHE III usia pasien dan

Universitas Sumatera Utara

37

riwayat penyakit kronik mencapai nilai 47. Dalam 24 jam pertama masuk

rawatan, 17 variabel fisiologik dicatat dan dapat mencapai nilai sampai

252. Nilai skor total dikombinasikan dengan asal perawatan sebelumnya

serta diagnosis ICU secara prinsipal, hasilnya diolah ke dalam persamaan

suatu logistik regresi.7,9,20,22

Tabel 2. Sistem skoring APACHE III. Skor fisiologik akut untuk nilai tanda

tanda vital dan abnormalitas laboratorium.23

Nadi 8 ≤39

5 40-49

0 50-99

1 100-109

5 110-119

7 120-139

13 140-154

17 ≥

155

Rata2 Tek Darah

23 ≤39

15 40-59

7 60-69

6 70-79

0 80-99

4 100-119

7 120-129

9 130-139

10 ≥

140 Temp oC

20 ≤

32,9

16 33-33,4

13 33,5-33,9

8 34-34,9

2 35-35,9

0 36-36,9

4 ≥40

Frek Napas

17 ≤5

8 6-11

7 12-13

0 14-24

6 25-34

9 35-39

11 40-49

18 ≥50

PaO2 15 ≤49

5 50-69

2 70-79

0 ≥80

AaDO2 0 <

100

7 100-249

9 250-349

11 150-499

14 ≥500

Hemato Krit (%)

3 ≤

40,9

0 41-49

3 ≥50

Htg Jenis Leukosit

19 <1,0

5 1,0-2,9

0 3,0-19,9

1 20-24,9

5 ≥25

Serum Kreatinin (tanpa ARF)

3 ≤0,4

0 0,5-1,4

4 1,5-1,54

7 ≥

1,95

Serum Kreatinin (dgn ARF)

0 0-1,4

10 ≥1,5

Prod Urin (cc/hari)

15 ≤

399

8 400-599

7 500-899

5 900- 1499

4 1500

-1999

0 2000

-3999

1 ≥400

0

Universitas Sumatera Utara

38

Serum BUN (mg/dl)

0 ≤

16,9

2 17-19

7 20-39

11 40-79

12 >80

Serum Na (mEq/l)

3 ≤

119

2 120-134

0 135-154

4 ≥

155

Serum Albumin (g/dl)

11 ≤1,9

6 2,0-2,4

0 2,5-4,4

4 ≥

155

Serum Bilirubin (mg/dl)

0 ≤1,9

5 2,0-2,9

6 3,0-4,9

8 5,0-7,9

16 ≥8,0

Serum Glukosa(mg/dl)

8 ≤39

9 40-59

0 60-199

3 200-349

5 ≥

350

Tabel 3. Sistem skoring APACHE III. Skor fisiologik akut untuk nilai

abnormalitas neurologik.23

Mata buka spontan oleh rangsang verbal / rasa nyeri Verbal Motor

Orientasi,berbicara Bingung Kata &suara tak jelas

Tidak ada respon

Menurut perintah

0 3 10 15

Melokalisir nyeri

3 8 13 15

Reaksi fleksi/reaksi dekortikasi

3 13 24 24

Reaksi deserebrasi/tak ada respon

3 13 29 29

Universitas Sumatera Utara

39

Mata tidak membuka spontan oleh rangsang verbal / rasa nyeri Verbal Motor

Orientasi,berbicara Bingung Kata &suara tak jelas

Tidak ada respon

Menurut perintah

16

Melokalisir nyeri

16

Reaksi fleksi/reaksi dekortikasi

24 33

Reaksi deserebrasi/tak ada respon

29 48

Tabel 4. Sistem scoring APACHE III. Skor fisiologik akut untuk nilai gangguan keseimbangan asam basa.23

pCO2 pH

<25 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 >60

<7,15 7,15-7,19

12

4

7,20-7,24 7,25-7,29

6

3

2

7,30-7,34

9

7,35-7,39 7,40-7,44

0

1

7,45-7,49

5

0 2 12

7,50-7,54 7,55-7,59

3

7,60-7,64 >7,64

0

3

12

Universitas Sumatera Utara

40

Tabel 5. Sistem skoring APACHE III untuk nilai skor usia dan skor komorbid penyakit kronik .23

Usia 0 ≤44

5 45-59

11 60-64

13 65-69

16 70-74

17 75-84

24 ≥85

Komorbid Penyakit Kronik Skor/Nilai AIDS 23 Gagal Hati 16 Limpoma 13 Kanker Metastasis 11 Leukemia/Multipel myeloma 10 Immun Kompromais 10 Sirosis 4

Kemampuan secara objektif mengestimasi kemungkinan resiko

kematian atau kemungkinan lainnya yang penting dalam mengevaluasi

prediksi prognosis merupakan suatu hal yang berkembang dalam

penelitian klinis. Berdasarkan metode validasi yang dipergunakan,

akurasi dari model prognosis diakses dengan mengukur seberapa baik

model menentukan pasien-pasien yang hidup dan mati dan seberapa

besar hubungan prediksi dan kematian pasien yang diobservasi.

Kesanggupan suatu sistem skoring prognosis memprediksi secara

akurat kemungkinan kematian terhadap pasien-pasien yang masuk ke ICU

adalah berdasarkan kondisi-kondisi berikut ; ketersediaannya data,

pengumpulan data yang akurat dan reproduksibel, analisa prediktif dapat

mengatur sekumpulan kasus yang terdefinisi sebagai usia, komorbiditas,

diagnosis, beratnya penyakit serta kontrol terhadap penentuan

keberhasilan, seperti pemilihan pasien yang ada, analisa prediktif adalah

akurat berdasarkan diskriminasi dan kesanggupan menghitung

Universitas Sumatera Utara

41

perbedaan yang didapat dalam peyebab rata-rata kematian diantara

beberapa subgrup / populasi.24

2.4 PREDIKSI SISTEM SKORING APACHE III DI ICU

Klinisi dapat secara akurat memprediksi hasil akhir terhadap

perawatan pasien-pasien berat (critical ill patients) dan mendapatkan hasil

akhir prognosis yang lebih akurat. Menganalisa dan mengukur beratnya

penyakit serta prognosis terhadap pasie-pasien yang dirawat di ICU

sangatlah penting dikarenakan :

- kualitas perawatan pasien di antara ICU tidak dapat

dibandingkan tanpa adanya pengukuran indeks objektif dari

beratnya penyakit.

- prediksi sistem skoring dapat menentukan suatu fondasi yang

stabil untuk penelitian masalah efisiensi terapi serta

memperkecil dampak perekonomian di ICU.

- Sistem skoring prediksi dapat memplot masalah-masalah

penyakit critical ill dan membantu klinisi dalam membuat

keputusan.

Karakteristik dari sistem skoring prognosis mengandung nilai-nilai

angka untuk menjelaskan beratnya penyakit pasien. Skor-skor nilai angka

tersebut lalu didiskribsikan melalui suatu formula matematika sebagai

prediksi kematian. Kegunaan dari perhitungan skor bergantung terhadap

Universitas Sumatera Utara

42

prediksi akurasinya. Didapati 2 (dua) karakteristik dalam menilai akurasi

sistem prediksi, yaitu diskriminasi dan kalibrasi.

- Diskriminasi menjelaskan keakurasian dari prediksi yang

didapat, sebagai contoh, ketika instrumen skoring

memprediksi kematian berkisar 90 %, diskriminasi adalah

tepat jika kematian yang diobservasi adalah juga 90 %.

- Kalibrasi menjelaskan bagaimana instrumen memperforma

keseluruhan data untuk prediksi kematian, sebagai contoh

suatu instrumen prediksi dapat menghasilkan kalibrasi yang

tinggi jika dapat secara akurat memprediksi kematian.

Didapati 2 (dua) hal penting secara prinsip dalam mengakses hasil

performa instrumen yang baik. Pertama, instrumen harus mengukur /

menghasilkan suatu hasil akhir yang penting. Sebagai suatu contoh,

kebanyakan sistem skoring ICU menilai hasil kematian, sebenarnya hal

menarik lainnya telah berkembang dalam mengakses lamanya perawatan

(long-term mortality) dan status fungsional lainnya. Kedua, instrumen

skoring haruslah mudah digunakan / diaplikasikan sepanjang didapatinya

kelengkapan data-data terhadap pasien-pasien critical ill.24,25,26

Knauss dkk meneliti secara akurat prediksi kematian terhadap

pasien-pasien critical ill dewasa yang masuk ke rumah sakit terhadap

17.440 pasien yang dirawat pada 40 ICU yang diamati secara prospektif di

Amerika Serikat pada tahun 1991, mendapatkan rata-rata skor APACHE

III sebesar 50.7,9 Rivera Fernandez dkk (1998) terhadap sebanyak 86 unit

Universitas Sumatera Utara

43

ICU dan berkisar 10.929 pasien dewasa yang masuk ICU di Spanyol

mendapatkan persentase resiko kematian sebesar 82,3%.27 Bastos PG

dkk di Brazil pada 10 ICU dan 1734 pasien mendapatkan prediksi resiko

kematian signifikan lebih rendah dibanding hasil yang diobservasi

(p<0,0001), standardized mortality ratios (SMRs=1,67).28 Jeong Ihnsook

dkk (2003) memprediksi akurasi skor beratnya penyakit dengan APACHE

III di ICU Korea terhadap 850 bed mendapatkan terhadap resiko prediksi

0,5 didapati skor APACHE III 66, sensitiviti 0,72, spesifisiti 0,91. Penelitian

ini menunjukkan akurasi prediksi menghasilkan diskriminasi yang lebih

baik.29 Paulo Antonio Chiavone dkk (2003) mengevaluasi APACHE II pada

ICU di Sao Paolo, Brazil mendapatkan dari 521 pasien, skor APACHE II

16,7 ±7,3 dimana semakin tinggi skor semakin tinggi angka kematian,

rata-rata prediksi kematian 25,6% dan rata-rata kematian yang terekam

adalah 35,5%.30

Jin Hwa lee dkk, Seoul 2007 mengenai hasil akhir dan faktor

prognosis CAP, mendapati keseluruhan kematian 56%, faktor independen

kematian termasuk PaCO2 < 45 mmHg, urine output < 1,5 L dan tingginya

skor APACHE.5 Hideo Uno dkk, Jepang 2007 terhadap penderita VAP

nosokomial di ICU dengan kasus kontrol mendapati skor APACHE II 30,2

± 5,3 vs 20,4 ± 5,8.31 Shahla shiddiqui dkk, Karachi, Pakistan 2004

meneliti skor APACHE II terhadap prediksi tipe dan virulensi sepsis,

mendapati skor menengah sebesar 13–16 terhadap 15 pasien dari 36

pasien yang diteliti.32 Spindler dkk, Swedia 2006, meneliti sistem skor

Universitas Sumatera Utara

44

prognosis terhadap CAP pneumokokus pneumonia, mendapati nilai sor

APACHE II 0-10, 2%, 11-20, 14%, 21-30, 75% dan 100% (pada 3 pasien)

skor > 30.33Juranko Kolak, Zagreb, Kroasia 2005 terhadap penelitian

mengenai kontrol bakterial pneumonia selama ventilator mekanik,

mendapatkan skor APACHE berkisar ≥ 15-27 yang berhubungan dengan

pertumbuhan kuman gram negatif.34 Jordi relo dkk, Tarragona, Spanyol

2003 terhadap insiden pneumonia nosokomial oleh karena ventilator

mekanik, mendapatkan skor APACHE II sebesar 16 (kisaran 3-33).18

Jeremy M Khan dkk, Kansas City, US 2006, mengevaluasi skor APACHE

III terhadap kejadian pneumonia nosokomial oleh ventilator mekanik,

mendapati skor 68±31 terhadap 87-150 pasien/tahun (kuartil I), skor

70±32 terhadap 151-275 pasien/tahun (kuartil II), 74±33 , 276-400

pasien/tahun (kuartil III), skor 78±34 dari 401-617 pasien/tahun (kuartil

IV).35 Silverose Ann, Manila, Filipina, 2004, mendapati skor APACHE III

terhadap kejadian late onset VAP sebesar 16,73±7,39 (berkisar 4-38,

p=0,661) terhadap 60 pasien yang mendapatkan ventilator mekanik

selama > 5 hari. Analisa statistikal univariat menunjukkan skor APACHE III

didapati lebih tinggi terhadap late onset VAP.36

Rajnish Gupta dkk mengevaluasi skor APACHE II terhadap pasien-

pasien dengan masalah respirasi di Institute tuberculosis & respiratory

disease di New Delhi, India tahun 2003 mendapati rata-rata nilai skor

12,87 ± 8,25 atau berkisar 1 – 47, didapati sebanyak 287 (87 %) yang

survival dan 43 (13 %) yang tidak survival, dimana rata-rata nilai skor

Universitas Sumatera Utara

45

APACHE II berkisar masing-masing 11,34±6,75 (range 1-37) dan

23,09±10,01 (range 5-47) dari 330 pasien.11 CK Lee dkk (2002)

mengaplikasikan APACHE skor terhadap penderita yang masuk ke ruang

gawat darurat dan resusitasi di Hongkong mendapatkan dari 88 pasien, 13

(15 %) meninggal dan 75 (85 %) bertahan. Faktor signifikan berhubungan

dengan kematian termasuk usia, mean arterial pressure, tekanan darah,

frekuensi pernapasan, pH arteri, serum sodium, Glasgow Coma Score dan

chronic health points. Dengan menggunakan analisis logistik regresi

mendapatkan prediksi yang kuat terhadap kematian dimana nilai cut off

score > 28 , sensitiviti 100,0 % (95 % CI 100,0 – 100,0) spesifisiti 68 % (95

% CI 56,2 – 78,3), positive likelihood rasio 3,13, positive prediktive value

35,1, dan negative likelihood rasio 100,0.37 Hsu CW dkk (2001) di Korea

membandingkan skor APACHE II dan III terhadap pasien gagal napas

yang masuk ICU, mendapatkan kedua skor secara signifikan

menunjukkan tingginya skor berhubungan dengan tingginya kematian.

Sistem APACHE III menunjukkan diskriminasi yang lebih tinggi nilainya

dibanding APACHE II. Variabel-variabel oksigenasi, mean artery pressure,

frekuensi pernapasan, konsentrasi serum kreatinin dan Glassgow Coma

Scale memainkan peranan yang penting dalam memprediksi survival

terhadap pasien-pasien dengan gagal napas.38

Universitas Sumatera Utara

46

2.5 KERANGKA KONSEP

Pasien-pasien Pneumonia dengan atau tanpa gagal

napas (tipe I & II) di ICU

Work of breathing (WOB) ↑

Stroke volume Work of Hearth (WOH) ↓

Usia Temperatur Frek nadi

Frek napas MBP PH

PaCO2 PaO2

AaDO2 WBC

Kreatinin GCS

Komorbid

SKOR APACHE III

MORTALITY

Usia Demam/menggigil Sesak Batuk Nyeri dada pleuritik Radiologi abnormal Hitung Jenis Leukosit Status Mental Kreatinin Komorbid

Lama Rawatan

Universitas Sumatera Utara