TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KASUS LUMPUR LAPINDO (Dasar Keppres 13/2006,...

50
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KASUS LUMPUR LAPINDO (Dasar Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, Perpres 40/2009) Dosen Pengampu : Harry Supriyono, SH., M. Si. Oleh : La Ode Muhammad Erif (10/307009/PMU/6714) Fenky Wirada (10/307116/PMU/6752) PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASAJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA 2011

Transcript of TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KASUS LUMPUR LAPINDO (Dasar Keppres 13/2006,...

  

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN

KASUS LUMPUR LAPINDO

(Dasar Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, Perpres 40/2009)

Dosen Pengampu : Harry Supriyono, SH., M. Si.

Oleh :

La Ode Muhammad Erif (10/307009/PMU/6714)

Fenky Wirada (10/307116/PMU/6752)

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCASAJANA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2011

  

i  

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena tulisan

ilmiah mengenai “Tinjauan Kritis Terhadap Pemerintah dalam Penanganan Kasus

Lumpur Lapindo” ini telah kami selesaikan sebagai syarat tugas mata kuliah Hukum

Lingkungan yang diampu oleh Dosen Harry Supriyono, SH., M.Si.

Dalam pembuatan karya ini kami mengumpulkan berbagai referensi dari buku

teks, jurnal ilmiah, peraturan pemerintah terkait, maupun berbagai laporan ilmiah

penelitian yang berhubungan dengan kasus Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam berbagai pemikiran yang menghasilkan karya ini tidak akan bisa sempurna tanpa

adanya data dari berbagai penelitian, kemudahan akses dan informasi terkait peraturan

merupakan sarana bagi kami untuk mengkritisi upaya penanganan oleh pemerintah

terkait bencana lumpur yang terjadi. Topik terkait kritisi terhadap penanganan

pemerintah lewat kebijakan perundangan merupakan hal bagi penilaian kinerja

pemerintah. Diharapkan hasil dari tulisan ini selain juga untuk memenuhi syarat mata

kuliah Hukum Lingkungan juga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan

mengenai perbaikan kebijakan ketika ada hal yang dianggap tidak tepat guna terkait

peraturan pemerintah.

Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Harry Supriyono yang

telah memberikan kami pengetahuan terkait isu dan peraturan hukum lingkungan. Kami

juga mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam

pengumpulan data dan kepada para penulis karya yang dapat dijadikan sebagai bahan

telaah tulisan ini. Semoga bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Januari 2011

Penulis

`

  

ii  

INTISARI Lumpur Lapindo merupakan salah satu kejadian alam karena ada kesalahan faktor manusia. PT Lapindo Brantas yang dalam hal ini adalah pemrakarsa usaha seharusnya wajib menjadi penanggung jawab atas kejadian yang merugikan banyak umat manusia ini. Dalam perkembangannya Pemeritah melalui beberapa peraturan yaitu Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008 hingga Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2008 menjadikan beban tanggung Jawab mengenai kerusakan alam berupa biaya akan dimasukankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berbagai kegiatan dilakukan oleh Tim Nasional dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang ditunjuk Presiden lewat keputusan untuk menangani masalah lingkungan dan Sosial. Di satu sisi PT Lapindo Brantas hanya mempuyai tanggungan untuk menyelesaikan masalah sosial di wilayah yang terkena dampak per 22 Maret 2007. Rakyat Indonesia disengsarakan dengan banyak Kebijakan Pemerintah yaitu kerugian masalah lingkungan dan sosial yang harus ditanggung oleh PT Lapindo Brantas diperingan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Peran Pemerintah untuk menjamin warganya mendapat hak untuk lingkungan yang sehat dan baik serta penegakan hukum untuk tanggung jawab dari pihak pemrakarsa tidak terlaksana. Alhasil dengan banyak peraturan yang harusnnya menjamin kesehjateraan masyarakat hanya menghasilkan kerugian lebih besar kepada negara dan rakyatnya. Analisis dan kebijakan harusnya melihat studi terkait tentang sebab-aakibat dari kejadian lumpur tersebut agar keputusan mengenai kebijakan pemerintah menghasilkan putusan yang adil dan objektif. Sampai saat ini dari hasil keputusan Kebijakan Pemerintah tersebut masih menuai bencana kerugian besar kepada warga yang terkena dampak dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Keadilan tentang perumusan kebijakan pemerintah dalam berbagai kasus lingkungan harus mendapat evaluasi dan kontrol dari banyak pihak akademisi dan masyarakat luas, agar peran dan fungsi kebijakan saat disahkan dapat menjamin kehidupan masyarakat Indonesia dalam lingkungan yang berkualitas dan eksis. Kata kunci : lumpur lapindo, kebijakan pemerintah, lingkungan hidup

1  

    

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus lumpur lapindo yang 5 tahun lalu terjadi masih memberikan efek

kerusakan lingkungan yang tidak ternilai bagi dunia lingkungan termasuk aspek sosial

masyarakat yang pasti merasakan kerugian akan harta benda dan lingkungan yang

mengalami degradasi. Belum selesai akan penanganan masalah ganti rugi oleh PT.

Lapindo Brantas, Inc. sebagai pelaku usaha yang harusnya bertanggung jawab akan

bencana yang terjadi, pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan beberapa

keputusan yang dinilai meringankan pihak PT. Lapindo Brantas.

Lumpur Lapindo adalah kasus nasional yang belum terselesaikan hingga

sekarang. Hampir 5 tahun lebih semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa

Timur itu belum teratasi bahkan semakin meluas. Semburan yang terjadi sejak 29 Mei

2006 hingga sekarang itu telah banyak meninggalkan penderitaan bagi rakyat Sidoarjo.

Belasan desa terendam, puluhan pabrik tutup, ratusan hektar sawah musnah. Bahkan

lebih dari 27 ribu jiwa meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka kehilangan segala

sumber penghidupan. Nyaris tak ada yang tersisa. Tragedi lumpur Lapindo telah

menimbulkan dampak yang luar biasa, yakni kerugian material dan non-material yang

dialami masyarakat di sekitar lokasi semburan lumpur tersebut. Selain itu semburan

lumpur juga berdampak pada faktor ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Dalam

Banyak opini yang bermunculan terhadap kasus ini sebelum adanya keputusan Presiden

semenjak tahun 2007, ada opini yang mengatakan bahwa pihak Bakrie yang harus

bertanggung jawab karena semburan lumpur berawal dari kegagalan pengeboran gas di

Blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc, perusahaan di bawah kelompok

usaha Bakrie (Tempo, 27 Agustus 2006). Opini yang lain, yaitu pemerintah

menganggap bahwa tragedi ini adalah bencana. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Menteri ESDM Poernomo Yosgiantoro mengutip ucapan SBY, usai sidang kabinet

terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/11/2006), bahwa lumpur Lapindo

adalah sebuah disaster (Hertanto, 23 November2006). Pernyataan tersebut

menimbulkan pertanyaan saat itu dan berkembang menjadi opini, adakah kemungkinan

pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab penanggulangan dan penanganan

2  

    

dampak semburan lumpur dari PT Lapindo layaknya musibah yang statusnya bencana

nasional.

Melalui keputusan presiden mengenai Kasus Lumpur Lapindo yang termuat

dalam Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, hingga Perpres 40/2009

dapat dinilai dan dikritisi apakah memang sebuah kebijakan melihat kerusakan

lingkungan Lumpur Lapindo yang kemudian membuat keputusan tersebut muncul

sebagai suatu kebijakan pemikiran pada pemerintahannya. Seperti diketahui disatu sisi

pemegang saham dari perusahaan tersebut adalah Bakrie & Brother yang termasuk

sebagai salah satu pengusaha dan penguasa yang masih duduk aktif sebagai pemegang

keputusan di partai besar dalam dunia politik di Indonesia. Sampai sekarang walaupun

Peraturan sdah disahkan dan pemerintah menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo

sebagai bencana nasional, disatu sisi banyak pihak juga yang kontra dengan melihat

keputusan dan peraturan tersebut adalah sebuah pembenaran terhadap sebuah kesalahan

dari kongsi perusahaan tersebut. Melalui tulisan ini akan coba dikritisi apakah segala

kebijakan pemerintah terkait penanganan kerusakan akibat lumpur lapindo memang

sesuatu yang sewajarnya ataukah memang titipan pesan dari para penguasa.

B. Masalah

Dari banyak telaah ilmiah mengenai sebab-akibat kejadian Lumpur Lapindo,

secara ilmiah memang banyak pihak yang menyatakan kejadian tersebut adalah akibat

kesalahan prosedur dalam proses eksploitasi. Tetapi dari sisi politis ternyata peran

seorang sosok pengusaha sekaligus pejabat dari PT. Lapindo Brantas, Inc. mampu

membuat sesuatu yang berbeda dalam putusan kebijakan jika dilihat dari kerangka

ilmiah penyebab kejadian tersebut, yaitu dengan diputuskannya aturan dari Presiden

yang dinilai kontroversial sebagai penyelamat aset usaha para penguasa.

Dalam kasus bencana semburan lumpur panas Sidoarjo, pemerintah SBY-Kalla

berhadapan dengan dua masalah sekaligus. Pertama, menghentikan semburan lumpur

panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak

sosial dan ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan

sarana umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah-

masalah sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi

yang sepadan bagi warga yang terkena genangan.

3  

    

Hal-hal mengenai pro-kontra bisa terlihat dalam keputusan presiden yang

bersifat administratif. Dari banyak keputusan tersebut ternyata PT. Lapindo Brantas,

Inc. tidak menanggung semua kerusakan akibat eksploitasi tersebut. Sampai saat ini

kejadian penanganan masalah sosial dan infrastruktur dimasukan dalam realisasi

anggaran APBN seolah-olah yang menjadi pelaku adalah seluruh umat bangsa

Indonesia, memang sebuah kebijakan yang ironi.

C. Metode Penulisan

Metode penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu

suatu jenis penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Bahan

pustaka atau data sekunder yang dimaksud diantaranya adalah peraturan perundang-

undangan, penggunaan pendekatan yuridis, asas-asas dan perbandingan hukum.

Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian perpustakaan berdasarkan data

sekunder dan bersifat kualitatif (tidak berbentuk angka).

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumen-

dokumen yang dianggap penting yang berkaitan dengan penelitian. Dokumen

merupakan metode pelengkap untuk mencari data yang tidak mungkin diperoleh melalui

observasi dan wawancara. Lincoln dan Guba (1985: 113) mengatakan bahwa

penggunaan dokumen dalam pengumpulan data didasarkan atas beberapa alasan yaitu

merupakan sumber informasi yang stabil dan kaya, bermanfaat untuk membuktikan

suatu peristiwa, sifatnya alamiah sesuai dengan konteks dan hasil pengkajian akan

diperluas sesuai degan pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti. Penulis

menggunakan dokumen-dokumen berupa teks-teks yang dapat dipahami lebih lanjut.

Atau berupa teks-teks arsip, statistik, hasil laporan Timnas PSLS/ BPLS, buku-buku,

koran, majalah atau buku catatan organisasi yang bisa diambil sebagai pelengkap data

dan informasi dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini antara lain :

1. Bahan/materi hukum primer, yaitu diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) berupa data analisis dan dokumen-dokumen hukum serta buku-buku

hukum.

4  

    

2. Bahan/materi hukum sekunder, yaitu pendapat hukum para ahli hukum, buku-

buku penelitian (litbang) hukum, hasil-hasil karya ilimiah dan hasil penelitian

para sarjana hukum, dan badan kepustakaan bidang hukum lainnya.

3. Bahan/materi hukum tersier, yakni berbagai bahan pendukung seperti surat

kabar, cyber media atau internet, majalah, tabloid, jurnal hukum bisnis, kamus,

dan lain sebagainya.

Data yang diperlukan untuk Kajian Kritis Penanganan Lumpur Lapindo yaitu :

1. Data kronologis kejadian Lumpur Lapindo

2. Riwayat PT. Lapindo Brantas, Inc. sebagai investor usaha

3. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006

4. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007

5. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008

6. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009

7. Peta wilayah bencana Lumpur Lapindo

Data penelitian ini dianalisis secara secara kualitatif dan kemudian dipaparkan

berdasarkan analisis deskriptif.

5  

    

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PT Lapindo Brantas Inc.

Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu dari berbagai anak perusahaan PT. Energi

Mega Persada Tbk. Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengekploitasi sumur-

sumur yang ada di Blok Brantas atau dengan kata lain Lapindo Brantas/EMP hanya

sebagai pelaksana teknis (operator), sementara saham blok tersebut dimiliki bersama

oleh PT. Energi Mega Persada sebesar 50 persen, PT. Medco E&P Brantas, anak

perusahaan Medco Energy sebesar 32 persen, dan Santos Brantas Indonesia Tbk.

menguasai saham sebesar 18 persen. Jika dilihat secara seksama, perusahaan-

perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP adalah juga

merupakanperusahaan yang memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar di

wilayah Indonesia. Menurut Aswan Siregar116 tahun 2004 merupakan tahun yang

sukses bagi usaha Lapindo Brantas. Sejak 1999, Lapindo Brantas telah berkembang

untuk menjadi pemasok utama gas bagi perusahaan distribusi gas pemerintah, yaitu PT

Perusahaan Gas Negara Tbk. Yang disuplay dari lapangan gas Wunut. Rata-rata suplai

65 mmcf gas per hari di tahun 2004, yang merupakan kenaikan sebesar 48,1% dari

tahun sebelumnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Menguak Pelanggaran HAM

dan Kejahatan Lingkungan PT. Lapindo Brantas/Energi Mega Persada (EMP), Laporan

WALHI kepada komnas HAM, 31 Agustus 2007.

Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun 2004 juga telah melakukan pengeboran

dan menyelesaikan empat sumur gas yang kami sebut sebagai Wunut 6, 7, 11 dan 13.

Seluruh sumur telah berhasil disatukan ke dalam pengolahan gas Wunut. Disamping itu,

saluran pipa gas Wunut 12 juga telah selesai dikerjakan. Seperti diumumkan pada bulan

September 2004, perusahaan juga telah melakukan penemuan-penemuan cadangan

minyak yang terbukti dan cadangan minyak terukur di Tanggulangin 3 yang telah

menambah 14 juta barrels. Penemuan ini telah memberikan kesempatan yang besar bagi

perusahaan untuk memulai memproduksi minyak di lapangan pada tahun 2005.

Tonggak bersejarah lainnya di tahun ini adalah pemasangan unit dehidrasi gas kedua

dan dua unit compressor di ladang pengolahan gas Wunut. Kami senantiasa berupaya

untuk meraih sukses berikutnya di tahun 2005 sebagaimana kami terus mengembangkan

6  

    

sumursumur pengeboran di Wunut, kami telah menyelesaikan di Tanggulangin 1,

memasang kompresor ketiga di ladang pengolahan gas Wunut, meningkatkan fasilitas

sistem pemantauan terintegrasi dan memasang fasilitas pengairan di ladang pengolahan

gas.

Blok dari Brantas PSC yang terletak di tempat eksplorasi yang paling

diperbincangkan di Indonesia, jalur eksplorasi Kujung di Jawa Timur. Kami telah

mengidentifikasi bahwa blok tersebut memiliki sekurangkurangnya 7 cadangan minyak

dan gas yang prospektif dengan sumber daya hingga 677 Bcf dan 121.5 mmbbl.

Lapindo Brantas terletak di tempat yang sangat baik dalam ukuran luas eksplorasi di

Jawa Timur. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu daerah

cadangan minyak dan gas terbaik di Indonesia dengan jumlah keseluruhan penemuan

sumber daya sebesar 2,417 mmboe (55% Minyak). Tingkat kesuksesan eksplorasi

diukur dari luas cekungan (basin) adalah sebesar 40% dan dalam sepuluh (10) tahun

terakhir tercatat 80% kesuksesan. Statistik menyarankan untuk melakukan eksplorasi

yang belum terlaksana.

1. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu lokasi cadangan

minyak dan gas terbaik di Indonesia.

2. Penemuan sumber daya kumulatif sebesar 2,417 mmboe (55% minyak)

3. Tingkat kesuksesan eksplorasi diukur dari luas cekungan adalah sebesar 40%

a. Sepuluh tahun terakhir tercatat 80%.

b. Statistik (Creaming Curve) menyarankan untuk melakukan eksplorasi yang

belum terlaksana.

c. Blok Brantas dan Blok Kangean berada di area Kujung.

Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi dan produksi migas

berdasarkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau Production Sharing Contract

(PSC) dengan BP Migas hingga tahun 2020. Sejak membeli Blok

Brantas tahun 1996 dari HUFFCO, ada indikasi kuat bahwa Lapindo Brantas/EMP

hanya mengejar proyek lisensi. Pada tahun itu posisi Aburizal Bakrie menjabat Ketua

Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Tahun 1997, Lapindo Brantas/EMP

menanda-tangani MoU dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk supply gas sampai

tahun 2010. MoU tersebut baru terealisasi pada tahun 1999, dimana pada waktu tersebut

Lapindo Brantas/EMP baru memproduksi gas untuk pertama kalinya. Kontrak dengan

7  

    

PGN kemudian diperpanjang hingga tahun 2020 dengan pertimbangan yang kurang

jelas. Lokasi rencana kontrak meliputi Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin (Kab.

Sidoarjo, Kab. Mojokerto, dan Kab. Pasuruan). Khusus lapangan Wunut Amdal-nya

telah disetujui oleh Dept. Pertambangan dan Energi No 3129/0115/SJ.T/1997.

Lapindo Brantas melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor

pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie

Group. Subkontrak itu diperoleh Medici melalui tender dari Lapindo Brantas senilai

US$ 24 juta pada 20 Januari 2006 atas nama Alton International Indonesia. Alton

International Indonesia merupakan perusahaan patungan antara Alton International

Singapore dengan PT Medici Citra Nusa, yang didirikan pada 2004.

Sementara Medici sendiri tercatat sebagai perusahaan yang beroperasi di bidang

perdagangan dan distribusi. Keterikatan antara Lapindo Brantas dan Medici dengan

keluarga Bakrie dimulai pada tanggal 9 Januari 2006 saat Federal International Ltd.,

sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas yang berkedudukan di Singapura

melepas 42 juta lembar sahamnya ke publik dan dibeli oleh dua investor strategis dari

Indonesia yaitu Syailendra Surmansyah Bakrie dan Nancy Uraina Rachman Latief. Dua

orang disebutsebut sebagai kerabat dekat pemilik usaha Bakrie group dan mempunyai

hubungan keluarga dengan salah satu komisaris PT Energi Mega Persada yaitu Rennier

Abdul Rachman Latief. Dua pekan setelah transaksi jual beli tersebut, tanggal 20

Januari 2006, kontrak senilai 24 juta dolar didapatkan Alton Internasional Indonesia

dari Energi Mega Persada menjadi subkontraktor dalam mengelola lapangan gas di Blok

Brantas. Disinilah titik terang bagaimana PT. Medici menjadi subkontraktor Lapindo

Brantas. Kepemilikan saham dua investor atas perusahaan Singapura tersebut semakin

kuat dengan dikukuhkannya sebagai pemegang saham mayoritas pada Februari 2006,

melalui pembelian saham di perdagangan terbuka. Syailendra menguasai 26,9 juta

lembar saham (12,29 persen), sementara 27 juta lembar dimiliki oleh Nancy (12,22

persen). Satu bulan setelah terjadinya semburan, tepatnya tanggal 26 Juni 2006,

Syailendra Bakrie menjual seluruh saham Federal miliknya kepada Unichem Asset Mgt

Ltd. dan Excel Key Investments Corp. Tanggal 5 Juli 2006, Nancy melepas 19 juta

lembar kepemilikan saham atas Federal dari jumlah total kepemilikannya yang

berjumlah 27 juta kepada Fabules Commercial Inc. Langkah penjualan ini diduga akan

dipergunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi pada PT Lapindo Brantas.

8  

    

Pada tahun 1990, blok Brantas pernah dikuasai oleh HUFFCO melalui

Production Sharing Contract (PSC) dengan PT. Pertamina sampai 2020, akan tetapi

baru berjalan satu periode eksploitasi, tepatnya pada tahun 1996, dengan tanpa sebab,

HUFFCO kemudian menjual blok Brantas kepada PT. Lapindo Brantas/EMP Inc.

Rencana lokasi yang akan di eksploitasi lapangan gas bumi blok Brantas meliputi 3

kabupaten, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Terdiri dari lapangan gas bumi

Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin dan semua lapangan gas ini akan di

kuasakan pengelolaannya kepada Lapindo Brantas/EMP. Sedangkan titik sumur Banjar

Panji I merupakan salah satu sumur yang terletak di blok Wunut dan baru di eksplorasi

pada bulan January 2006. Blok Brantas sendiri adalah salah satu dari 5 Blok yang

terletak di cekungan Jawa Timur, cekungan ini di perkirakan memiliki cadangan :

minyak sebesar 900 juta barel sedangkan Gas 700 milyar kaki kubik. Dari jumlah

cadangan yang begitu besar di cekungan Jawa Timur, Blok Brantas sendiri juga di

perkirakan memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup besar diantara dari 4 blok

Lainnya.

Nama lumpur Lapindo sendiri diambil dari nama perusahaan PT Lapindo

Brantas Inc. (PT LBI) yang menjadi operator di Blok Brantas pada saat terjadinya

bencana. Saham perusahaan ini dimilik secara bersama-sama oleh tiga perusahaan, yaitu

PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP), Medco Energy (ME), dan Santos. PT EMP

adalah salah satu anak usaha dalam group Bakrie & Brothers. Pada saat terjadinya

semburan lumpur pertama kali, PT EMP memegang saham PT LBI sebesar 50%.

Aburizal Bakrie, menteri kesejahteraan rakyat di Kabinet Indonesia Bersatu 1, adalah

figur sentral dalam kelompok Bakrie&Brothers. ME, milik konglomerat Arifin

Panigoro, hadir di PT LBI dengan kepemilikan saham sebesar 32%. Santos yang

merupakan singkatan dari South Australia Noerthen Territoy Oil Search adalah

perusahan minyak yang berbasis di Australia. Pada saat terjadinya bencana memegang

kepemilikan saham di PT LBI sebesar 18%. Lebih jauh soal anatomi PT LBI dan

afiliasinya dapat dilihat pada Gambar 1.

9  

    

Gambar 1: Kelompok bisnis di belakang PT LBI (diolah dari berbagai sumber)

Akan tetapi belakangan publik hanya mengenal bahwa PT LBI adalah milik

kelompok usaha Bakrie&Brothers yang terhubungkan ke Aburizal Bakrie. Hal ini dapat

terjadi karena setelah terjadinya bencana, ME dan Santos "menjual" sahamnya kepada

satu perusahaan yang masih berafiliasi dengan group Bakrie&Brothers. Meskipun

disebut "menjual" pada dasarnya penjualan tersebut adalah penjualan yang aneh. Karena

transaksi yang terjadi tidak lazim.

ME melepaskan dirinya dari belitan kasus lumpur Lapindo dengan jalan menjual

32% sahamnya di PT LBI kepada sebuah nama baru, Group Prakarsa, sebuah

perusahaan yang penjamin keuangannya adalah Minarak, salah satu anak perusahaan

dalam group Bakrie&Brothers. Pada tanggal 16 Maret 2007, ke-32% saham milik

Medco beserta seluruh kewajiban, tanggungjawab, klaim yang termasuk di dalamnya

kompensasi terhadap dampak ekonomi dan sosial sehubungan dengan operasi migas di

blok Brantas yang dikenakan terhadap Medco Brantas, baik di masa yang lalu, kini dan

di masa mendatang dilego kepada Group Prakarsa dengan harga 100 Dolar AS (tidak

sampai 1 juta, dengan kurs Dolar AS versus rupiah pada kisaran angka 9 ribu).

Santos melepaskan 18% sahamnya kepada Minarak Labuan Co. Akan tetapi

dalam kasus ini, sebagai penjual, Santos bukannya mendapatkan uang, akan tetapi

10  

    

sebaliknya, Santos malah harus mengeluarkan uang senilai 22,5 juta Dolar AS untuk

atas "penjualan" sahamnya tersebut.

B. Kronologi Kejadian Lumpur Lapindo

Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran

terhadap lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo Brantas Inc. yang terkait

dengan luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak

pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik Lapindo Brantas Inc., salah

satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk (EMP).

Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di

Blok Brantas, dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator,

sedangkan saham Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada

Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia. Perusahaan-perusahaan yang

menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan yang juga memiliki

berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.

Lapindo Brantas/EMP bukan warga baru di Sidoarjo, perusahaan ini muncul di

Sidoarjo 1(satu) dasawarsa lalu setelah ditunjuk oleh BP Migas sebagai pemegang hak

kuasa dari pemerintah di bidang pertambangan migas. Yang berada dalam top

manajeman yang mengeksplorasi Blok Brantas adalah, pada skema kepemilikan saham

eksplorasi dan eksploitasi blok Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk yang dimiliki

Bakrie Group menguasai 50% saham, sedangkan PT. Medco Energi Tbk menguasai

32% dan Santoz Brantas Indonesia Tbk yang dimilki perusahaan asing dari Australia

komposisi sahamnya adalah 18%. PT. Energi Mega Persada sebagai pemegang saham

terbesar dominan dalam penguasaan dan bekerja sebagai operator di Sumur Banjar Panji

I, sumur yang sampai saat ini masih menyemburkan lumpur.

Pada minggu pertama kejadian, pihak Lapindo Brantas/EMP berkelit bahwa tiga

titik semburan lumpur ganas itu diakibatkan oleh faktor alam atau di pengaruhi oleh

gempa yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Spekulasi Lapindo/EMP ternyata

mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena diperoleh keterangan bahwa, sebelum

terjadi semburan lumpur, posisi drilling pada kedalaman 9297 feet atau setara dengan

3000 meter, mengalami mud logging hilang tiba-tiba (lost circulation), dan sempat

11  

    

terjadi kick atau muncul gas dibawah permukaan secara mendadak dan periodik,

akhirnya terhenti Situasi ini terjadi sebelum gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, sehingga

ada perkiraan baru bahwa terjadinya semburan karena underground blow out atau

semburan gas dibawah permukaan yang memicu meningkatnya tekanan shale121 (over

pressure shale) dari formasi kalibeng naik melalui rekahan-rekahan, volume semburan

lumpur telah melebihi volume mud yang lose dilubang pemboran, sehingga yang

tersembur keluar adalah shale dan air formasi; dari sinilah di ketahui bahwa pada

kedalaman 9000 kaki, Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8

inchi yang merupakan rambu keselamatan dalam setiap pengeboran. Disamping itu,

Lapindo tidak mengantisipasi adanya zona patahan yang ada dalam kawasan

eksplorasinya. Patahan itu kini meretakkan struktur geologi sehingga mengakibatkan

semburan lumpur. Zona patahan-lemah itu berupa garis membentang sepanjang Porong

(Sidoarjo) hingga Purwodadi (Pasuruan). Posisi patahan miring terhadap utara mata

angin dengan sudut N30E (30 derajat dari utara ke timur). Teori yang dikembangkan

komunitas geologi diantaranya dugaan bahwa lumpur berasal dari deposit minyak

dalam bentuk kubah dengan ujung kubah paling dekat dengan permukaan. Struktur ini

disebut diapir. Pengeboran Lapindo kemungkinan telah memicu retakan di zona lemah

di atas kubah dan menimbulkan blow out jebakan lumpur dan gas di dalam kubah.

Dengan tekanan tinggi, lumpur dan gas akan mencari lokasi yang paling lemah dalam

rekahan perut bumi.

Akibat kesalahan pemboran tersebut, lumpur ganas yang menyembur dari perut

ke permukaan bumi Porong di perkirakan mencapai 150.000 meter kubik perhari.

Bahkan lumpur tersebut tidak hanya panas, ganas akan tetapi juga mengandung bahan

beracun yaitu fenol123. Hingga per 16 agustus 2006, luas areal genangan lumpur panas

sudah mencapai luas 300 ha dan menenggelamkan 5 desa di kecamatan Porong dan

Tangulangin, dengan luasan volume luberan mencapai 7 juta meter kubik. Hingga kini,

menurut pemberitaan di media, kurang lebih sudah 6 bulan bencana tersebut telah

terjadi, korban diperkirakan sudah mencapai. Segala kemungkinan telah dilakukan oleh

Lapindo untuk menanggulangi atau mengurangi dampak dari tragedi ini, termasuk hal

Lapindo telah mencoba berkali-kali untuk menjual saham kepemilikan Lapindo kepada

perusahaan asing, entah apa motif yang tersembunyi di dalam rencana pengalihan

kepemilikan saham Lapindo ini. Karena konon, biaya penanggulangan bencana ini bila

12  

    

dikalkulasi bisa mancapai 170 juta dollar AS (sekitar Rp 1,6 triliun), ditambah biaya

relokasi sebesar 1-2 triliun. Namun hal ini tidak akan terjadi karena penjualan ini ditolak

oleh BAPPEPAM selaku pengawas kegiatan pasar modal yang dalam hal ini sebagai

regulator yang tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tetapi juga

kepentingan masyarakat luas.

Kasus Lumpur Sidoarjo dimulai pada tanggal 29 Mei 2006 ketika terjadi

semburan pertama lumpur panas di sekitar 200 meter sebelah barat daya sumur BJP I.

Sumur pengeboran Banjar Panji I (BJP I) merupakan daerah eksplorasi Brantas

Production Sharing Contract (PSC) di Kabupaten Sidoarjo yang dioperasikan oleh

Lapindo Brantas, Inc. Erupsi pertama tersebut diikuti beberapa titik semburan lagi

dalam radius 500 m di sekitar sumur BJP 1.

Gambar 2. : Lokasi semburan Lumpur Sidoarjo.

Sumber: IAGI, Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, 2006. Kronologi erupsi lumpur panas :

1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi

hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa

Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan

tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan

bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur

yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih

tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini,

13  

    

sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah

188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan

Pasar Baru Porong.

2. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai

mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam

pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena

semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar

hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman

penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan,

Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa

mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang

tersebar di sejumlah tempat.

3. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi

semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat

sejumlah pabrik.

4. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo

dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo

dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.

5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah

desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total

warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000

jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit

rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak

lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan

Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo,

Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor

unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang

tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan

tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.

Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak

bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil

Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan

14  

    

telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak

sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480,

Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah

negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan

musala 15 unit .

6. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun

Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul

penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.

7. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14

orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa

meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena

ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai

ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana

sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa

akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa

tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak

diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul

utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu

menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah

utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin

Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang

lumpur.

8. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang

beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru

Porong.

9. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.

10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian

Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya

Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan

antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang

harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.

15  

    

11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur

akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-

Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan

air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong

atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.

12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam

dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa

Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum,

Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan,

Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah.

(sumber: Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis)

C. Prakiraan Penyebab Kejadian

Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret

2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra

Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia,

Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590

meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan

dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman

untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi)

dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran

menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi

pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada

2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15

Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai

ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan

dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi

Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini

dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan

16  

    

mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya

adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada

formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah

menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada.

Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih

berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi

Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa

lumpurnya Lapindo (Medici).

Gambar 3. Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping.

Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya

menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong).

Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang

(masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga

Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha

menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga

17  

    

dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out

Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran

berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang

terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas

antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di

kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan

banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan.

Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur

disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha

mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil.

Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan

di sumur itu sendiri.

Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di

Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang

pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.

Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape

Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008,

merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of

Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan

pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai penyebab,

42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga

belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16

(enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan

Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan

teknis dalam proses pemboran.

D. Mud Volcano

Sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo, terma mud volcano tiba-tiba saja

menjadi sangat populer di Indonesia, bersanding dengan gunungapi yang sebelumnya

memang sudah populer karena banyaknya gunungapi di Indonesia. Beberapa kalangan

menerjemahkannya menjadi gununglumpur. Fenomena mud volcano sendiri bukanlah

fenomena yang baru. Sejak lama ia telah menjadi fokus studi pakar geologi di seluruh

18  

    

dunia, terutama para geolog (bekas) Uni Soviet. Mud volcano menjadi sangat penting

dalam kajian geologi, tak lain dan tak bukan karena keberadaannya yang sering

berasosiasi dengan cebakan minyak dan gas bumi. Akan tetapi, meskipun sudah

menjadi objek studi para saintis selama puluhan tahun, masih banyak hal yang belum

diketahui mengenai mud volcano.

Karena itu, vulkanisme lumpur dapat diartikan sebagai "proses yang terjadi

dalam rangka pembentukan fenomena geologi tersebut". Dalam variasinya, mud

vulkanisme itu sendiri bukanlah sebuah proses yang sama dari satu tempat ke tempat

lain dan dari satu masa ke masa lain, tetapi sangat bervariasi, tergantung tipe lokalitas

kondisi geologi yang dapat menyangkut setting, kekuatan dominan yang mengendalikan

sebuah proses mud vulkanisme, material batuan yang ada, serta tak lupa pula morfologi

muka Bumi. Sistem konduit internal dari sebuah mud volcano masih sangat sedikit

diketahui. Studi yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan tingkat variasi yang

sangat tinggi. Pada umumnya mereka terdiri dari satu konduit utama, yang kemudian

semakin ke atas bisa jadi pecah dan membentuk beberapa konduit yang lebih kecil. Hal

seperti inilah yang diduga terjadi di Porong, dimana konduit utama pecah dan kemudian

menghasilkan konduit lain yang lebih kecil seperti yang terdapat di Desa Siring Barat.

Untuk lebih detailnya mengenai sistem konduit internal sebuah mud volcano, dapat

dilihat pada Gambar 3.

19  

    

Gambar 4: Struktur dasar dan elemen utama sebuah mud volcano yang berbentuk

kerucut. Diolah dari Dimitrov, 2002.

E. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no. 32 tahun 2009 menetapkan

mengenai hak, kewajiban dan wewenang, yaitu hak dan kewajiban yang ada pada setiap

orang serta kewajiban yang ada pada Pemerintah, demikian pula wewenang pengaturan

yang ada pada pemerintah serta hak masyarakat untuk berperan serta. Salah satu dari

hak tersebut yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik yang tercantum dalam pasal 65

ayat 1 UUPLH berbunyi :

“setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak

asasi manusia.”

20  

    

Heinhard Steiger c.s menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak subyektif

(subjektif rights) adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Hak

tesebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta

kepentingannya akan sesuatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu

tuntutanyang dapat didukung oleh prosedur hukum kaitannya dengan lingkungan,

dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.

Begitu pula yang terjadi dalam kasus Lumpur Lapindo. Tuntutan tersebut

mempunyai 2 fungsi yang berbedan yaitu sebagai berikut :

a. The function of defense

b. The function of performance

(Steiger c.s., 1980:3)

Fungsi yang pertama yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan

dari luar yang menimbulkan kerugianpada lingkungannya, dan fungsi kedua yaitu yang

dikaitkan pada hak menuntut dilakukannyasesuatu tindakan agar lingkungannya dapat

dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik

sebagaimana tertera dalam berbagai konstitusi dikaitkan dengan kewajiban untuk

melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan sumber-

sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang

harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi-generasi mendatang.

Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai

tujuan ganda yaitu melayanai kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani

kepentingan individu.

Dengan mengacu pada pasal ini seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah

yaitu dengan memperhitungkan hak masyarakat atas lingkungan hidup. Yaitu menjamin

penuh setiap kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi dan ekploitasi tidak akan

menyebabkan degradasi lingkungan dan kerugian bagi masyarakat.

Adapun respon dari pemerintah yaitu berupa penetapan kebijakan berupa :

1. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006 (Lampiran)

2. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007 (Lampiran)

3. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008 (Lampiran)

4. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009 (Lampiran)

21  

    

Berdasarkan hasil kebijakan tersebut maka akan dibuat suatu tinjauan kritis dengan

mendasarkan kepada latar belakang perusahaan, penyebab kejadian serta hasil

keputusan dalam Peraturan Presiden.

22  

    

BAB III

PENYAJIAN DATA

A. Peta Administrasi

Gambar 5: Peta administrasi Kabupaten Sidoarjo.

B. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur

Eksternalitas merupakan kerugian atau manfaat pada transaksi pasar yangtidak

dinyatakan dalam harga. Ketika suatu eksternalitas berlaku, pihak ketiga (selain

daripada pembeli atau penjual barang) dipengaruhi oleh produksinya atau konsumsinya.

Manfaat atau kerugian pihak ketiga tidak dipertimbangkan oleh pembeli atau penjual

barang produksi atau akibat pemakaian dalam suatu eksternalitas. Harga pasar tidak

secara akurat menggambarkan semua marginal social benefit atau marginal social cost

pada barang yang diperdagangkan ketika eksternalitas dihadapi. Eksternalitas negatif

adalah kerugian pihak ketiga selain pembeli dan penjual barang yang tidak dinyatakan

dalam harga pasar. Contohnya adalah kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran

yang berasal dari industri pada manusia dan properti mereka. Pengaruh dari pencemaran

ini adalah merusak kesehatan dan pengurangan nilai usaha dan properti serta sumber

23  

    

daya. Eksternalitas positif adalah manfaat yang diperoleh pihak ketiga selain pembeli

dan penjual yang tidak dinyatakan dalam harga. Contohnya adalah keberadaan untuk

pencegahan api, karena pembelian alarm rokok dan bahan tahan api bermanfaat untuk

mengurangi resiko kebakaran (Hyman, 2005: 97-98). Faktor eksternal memiliki

pengaruh positif dan negatif terhadap nilai properti rumah tinggal. Hal tersebut terjadi

karena rumah tinggal memiliki karakteristik immobile, sehingga menyebabkan pengaruh

eksternal lebih kuat terhadap properti dibandingkan barang ekonomis, jasa atau

komoditas lainnya. Eksternalitas dapat berupa penggunaan atau atribut fisik dari

properti yang berlokasi dekat dengan properti lain atau kondisi ekonomi yang

mempengaruhi pasar di mana properti berkompetisi. Eksternalitas negatif terjadi ketika

pemilik properti merasa tidak nyaman akibat tindakan yang dilakukan oleh pihak lain

seperti adanya limbah berbahaya di sekitar properti yang diketahui oleh masyarakat dan

menyebabkan nilai properti menurun (Prawoto, 2003: 98-99). Menurut Simons dan

Saginor (2006: 71) salah satu bentuk eksternalitas adalah kontaminasi lingkungan

(environmental contamination) yang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai properti

perumahan. Sumber dari kontaminasi tersebut seperti kebocoran tangki pembuangan

limbah, polusi air dan udara, saluran tegangan tinggi, tenaga nuklir, dan lain sebagainya.

Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada Sumur

Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya tumpahan atau

luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat besar maupun adanya

dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair tersebut.

a. Volume lumpur

Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1 (BJP-1),

volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik per hari. Lubang

semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari

waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus membesar

hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan penanganan lumpur panas ini

menjadi jauh lebih berat akibat semakin membesarnya volume lumpur panas yang

disemburka dari yang semula antara 40,000 sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi

126,000 m3 per hari.

24  

    

Gambar 6 : Lokasi Kolam Penampungan Lumpur.

Sumber : United Nations, Environment Assessment Hot Mudflow East Java, Indonesia, Juli 2006

b. Karakteristik Lumpur

Konsistensi : lumpur terdiri dari 70-80% air dengan pecahan padat mencapai 80-

90% tanah liat (berpasir). Forams dalam lumpur terdapat kandungan tanah liat yang

berasal dari kedalaman antara 1220-1830 meter (sesuai dengan kematangan yang

berkenaan dengan panas& komposisi kerogen). Lumpur mempunyai ~ 2/3 salinitas air

laut dan dengan kepadatan 1.3-1.4 g/cm3. Suhu : Temperatur lumpur saat terjadi letusan

antara 70-100ºC. Cairan diperkirakan berasal dari kedalaman antara 1750-3000 meter (

dari temperatur& ilmu kimia). Kandungan Gas: Letusan pada awalnya mempunyai

kandungan H2Syang cukup tinggi pada 2 hari pertama setelah terjadi semburan (~

700ppm, berpotensi mematikan). Saat ini berisi kandungan bahan organik yang

cenderung mengalami peningkatan ( benzen, toluene, Xylenes dan hidrokarbon).

Substansi Zat Beracun Dalam Lumpur : beberapa Contoh yang diambil oleh PBB

menunjukkan bahwa lumpur mengandung logam berat (terutama sekali air raksa).

25  

    

Walaupun survei selanjutnya yang dilakukan oleh Lapindo menunjukkan bahwa lumpur

tidak mengandung bahan beracun dan aman untuk digunakan atau dibuang.

c. Hasil Uji Lumpur

Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo,

Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur 108 Davies et al. 2007;

dalam makalah Mazzani et al 2007, United Nation (UN) 2006 Report. Sidoarjo tidak

termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal,

Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti

Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil

pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.

Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Terhadap Lumpur Lapindo

Beberapa hasil pengujian

Parameter Hasil uji Baku Mutu (PP Nomor 18/1999)

Arsen 0,045 Mg/L 5 Mg/L

Barium 1,066 Mg/L 100 Mg/L

Boron 5,097 Mg/L 500 Mg/L

Timbal 0,05 Mg/L 5 Mg/L

Raksa 0,004 Mg/L 0,2 Mg/L

Sianida Bebas 0,02 Mg/L 20 Mg/L

Trichlorophenol 0,017 Mg/L

2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)

Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun

organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut

tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian

konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil

pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai

70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di

atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar

EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau

kurang dari 30.000 mg/L SPP. Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang

diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam

26  

    

laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke

perairan.

d. Hasil Penelitian Tanah

Akan tetapi uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan

lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah dilakukan. Hal

ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di dalam udara terbuka

lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang toxic setelah mengalami

kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain yang berada di sekitar wilayah bencana

tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat daerah sekitar bencana adalah daerah

industri yang memungkinkan akan terjadinya kontaminasi tersebut. Seperti dikatakan

oleh anggota Tim Ahli dari Intitut Tehnologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir. Lily

Pudjiastuti, MT. mendapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian tersebut diatas.

Masih menurutnya, tanah yang telah terkena lumpur panas di sumur eksplorasi milik

Lapindo Brantas Inc. di Porong, Sidoarjo, mengandung logam berat, sehingga tidak bisa

ditanami tanpa proses rehabilitasi. Tanah bekas terkena lumpr bisa ditanami akan tetapi

jika tanaman tersebut akan dikonsumsi oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan. Oleh

karenanya, tanah eks lumpur panas tersebut perlu direhabilitasi terlebih dahulu sebelum

dimanfaatkan lagi. Lebih lanjut dikatakan bahwa tanah bekas terkena lumpur panas

perlu direhabilitasi karena memiliki kandungan logam berat, zat reaktif, dan zat yang

tergolong Total Dissolved Solids (TDS) atau Total Bahan Terlarutkan. Kalau tidak ada

proses rehabilitasi terlebih dulu memang tidak akan kelihatan dampaknya dalam jangka

pendek, namun dalam jangka panjang akan berdampak pada kesehatan manusia akibat

akumulasi sejumlah zat yang ada tersebut. Tentang upaya rehabilitasi tanah atau lahan

yang perlu dilakukan, ia mengatakan hal itu memerlukan proses penambahan zat kimia

tertentu, namun itu tidak murah secara ekonomis, karena membutuhkan peralatan

teknologi. Namun kalau mau dibuang ke sungai atau laut tentu memerlukan kajian lebih

lanjut, terutama pengaruhnya kepada mikroorganisme di dalam tanah dan biota di dalam

air. Seperti halnya juga mengenai kemungkinan pemanfaatan untuk batako atau batu

bata, yang masih perlu pengujian lebih lanjut mengingat adanya zat reaktif yang bila ada

kontak dengan zat asam atau zat basa akan mengeluarkan H2S yang juga akan

berbahaya dalam kadar yang terakumulasi.

27  

    

e. Dampak Sosial Ekonomi

Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar

maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur panas Lapindo selain

mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat

celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal

disekitar semburan lumpur. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan

berbagai pihak selama ini antara lain lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo.

Sebagai mana kita ketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur,

khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Sekitar 30 sektor usaha tidak dapat

beroperasi sebagai akibat hilangnya tempat usaha sehingga terpaksa menghentikan

aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga

kerja kehilangan mata pencaharian sebagai akibat dampak bencana tersebut.

a. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti

rusaknya jalan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu jalur

Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong yang berakibat pula pada

aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini

merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

b. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan

dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll.

c. Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah

diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami

kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian

Soetarto Alimoeso area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan

lumpur Lapindo seluas 417 hektar. Jumlah ternak yang terkena dampak luapan

lumpur adalah 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.

d. Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti :

• Sarana tempat tinggal dimana luapan lumpur telah menggenangi duabelas desa

di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian

sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan.

Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur serta tercatat telah memindah

paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa mengungsi.

28  

    

• Tidak berfungsinya sarana dan prasarana publik seperti sarana pendidikan akibat

rusaknya bangunan sekolah sebanyak 18 buah (7 sekolah negeri).

• Sarana air bersih sebagai akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan

lumpur yang mengakibatkan rusaknya pipa air milik PDAM Surabaya. Sarana

beribadah seperti masjid dan mushola yang mengalami kerusakan sebanyak 15

unit.

• Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawaijuga terancam tak

bekerja

• Rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik,telepon, jalur

transportasi darat seperti kereta api). Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh

jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya

Porong tak dapat difungsikan.

• Rusaknya pipa gas milik Pertamina sebagai akibat adanya penurunan tanah

karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.

e. Selain dampak kerusakan langsung yang disebabkan adanya luberan lumpur

dalam volume yang cukup besar, luapan lumpur tersebut juga mempunyai

dampak terhadap kesehatan masyarakat yang ada disekitar lokasi bencana. Efek

samping lumpur bagi kesehatan manusia bisa berupa efek langsung maupun

tidak langsung. Lily Pujiastuti, Sekretaris Pusat Kependudukan dan Lingkungan

Hidup (PKLH) di LPPM ITS Surabaya mengatakan bahwa efek langsung

lumpur panas menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik

yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan

akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya

kecerdasan.

f. Serta jumlah masyarakat korban yang terkenda dampak, antara lain terlihat

dalam table berikut ini :

29  

    

Tabel 2. Daftar siswa yang diungsikan

No Kategori Lokasi

Total (anak) Pasar porong anak

Di luar pasar porong (anak)

1 TK 185 95 280 2 SD 595 358 953 3 SMP 185 53 238 4 SMA 74 46 120 5 Total 1039 552 1591

Tabel 3. Catatan mengenai kesehatan

No. Rumah Sakit/Klinik Pasien

Rawat Jalan (orang)

Pasien Rawat Inap

(orang)

Status Pasien Rawat Inap

(orang) 1 RSUD Sidoarjo 66 53 4 2 Puskesmas Porong + Pos

Kesehatan 118 18,001 108 3

3 RS Bhayangkara 1,485 229 10 4 Pos Kesehatan PKS 1,260 0 5 Pos Kesehatan PAN 336 0 6 Pos Kesehatan Marinir 485 0 7 RS Siti Hajar 3 3 0 8 RS Delta Surya 2 2 0 9 RSUD Dr. Sutomo 2 2 2 Total 21,640 397 19

Tabel 4. Daftar Pengungsi

No Nama Desa Jumlah Penduduk

(orang)

Balai Desa/Masjid

Renokenongo

Rumah-rumah Famili

Pasar Baru Porong

Total Keluarga

(KK)

Total Jiwa

(Orang) Total

KK (KK)

Total Jiwa

(Orang)

Total KK

(KK)

Total Jiwa

(Orang)

Total KK

(KK)

Total Jiwa

(Orang)

1,894

7,234 1 Jatirejo 3,411 91 315 1,803 6,919 2 Siring 4,196 0 0 3 Kedung

Bendo 22,833 0 0

4 Renokenongo 4,753 179 699 179 6995 Total 35,193 179 699 91 315 1,803 6,919 2,073 7,933

30  

    

BAB IV

TINJAUAN KRITIS PENANGANAN OLEH PEMERINTAH

A. Posisi Kasus

Ditetapkannya kebijakan di bidang penanganan kasus Lumpur Lapindo, pada

bagian ini akan dijelaskan mengenai perkembangan Peraturan Presiden terkait lumpur

Lapindo. Adapun Peraturan-peraturan tesebut adalah :

1. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN

2006 TENTANG TIM NASIONAL PENANGGULANGAN SEMBURAN

LUMPUR DI SIDOARJO

Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :

• PERTAMA : Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan

Lumpur di Sidoarjo, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut

Tim Nasional.

• KETIGA : Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-

langkah operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan

lumpur di Sidoarjo yang meliputi :

a. penutupan semburan lumpur;

b. penanganan luapan lumpur;

c. penanganan masalah sosial.

• KEENAM : Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional

dibebankan pada anggaran PT. Lapindo Brantas.

2. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO

Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :

• Pasal 1

(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur

Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan.

31  

    

(2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan

semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan

infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko

lingkungan yang terkecil.

• Pasal 14

(1) Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .

• Pasal 15

( 1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo

Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur

Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area

terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah

yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.

(2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan

dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember

2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan

paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.

(3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22

Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden ini, dibebankan pada

APBN

(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur terrnasuk di dalamnya

penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada PT

Lapindo Brantas.

(6) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur

untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan

sumber dana lainnya yang sah.

3. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN

2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR

14 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR

SIDOARJO

Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :

• Pasal 15

32  

    

(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo

Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur

Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan Peta Area

Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan

tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh

Pemerintah.

(2) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti

yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam Peta

Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% (dua puluh per seratus)

dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum

masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.

(3) Dihapus.

(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya

penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong, dibebankan kepada PT

Lapindo Brantas.

(6) Biaya upaya penanganan masalah infrastruktur, termasuk infrastruktur

untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan

sumber dana lainnya yang sah.”

Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 15 A,

Pasal 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai berikut:

• Pasal 15 A

Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area

Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.

• Pasal 15 B

(1) Wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak tanggal

22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 A adalah di Desa

Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring, Kecamatan Jabon,

Kabupaten Sidoarjo, dengan batas-batas sebagai berikut :

o sebelah utara : tanggul batas Peta Area Terdampak

o sebelah timur : jalan tol ruas Porong – Gempol

o sebelah selatan : Kali Porong

o sebelah barat : batas Desa Pejarakan dengan Desa Mindi

33  

    

(3) Dalam rangka pengananan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pembelian tanah dan bangunan

di wilayah tersebut dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang

mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.

(4) Jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat khusus sehingga

tidaK berlaku ketentuan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

(5) Pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan skema

20% (dua puluh per seratus) pada Tahun Anggaran 2008 dan sisanya mengikuti

tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

(6) Dana penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang berupa bantuan

sosial dan pembelian tanah dan bangunan diterimakan kepada masyarakat di 3

(tiga) desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarannya dimusyawarahkan

dengan mempertimbangkan rasa keadilan oleh Badan Pelaksana BPLS dengan

mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15.

(7) Tata laksana pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut oleh

Kepala Badan Pelaksana BPLS.

4. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN

2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PRESIDEN

NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN

LUMPUR SIDOARJO

Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :

• Pasal 9

d. melakukan penanganan luapan lumpur ke Kali Porong

• Pasal 15

34  

    

(5) Dihapus.

(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali

Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur penanganan luapan

lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang

sah.

(7) Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk

melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada

APBN.

B. Pembahasan Analisis Kasus

Melalui berbagai analisis mengenai Lumpur Lapindo dan sebab-akibat maka

Pemerintah mengeluarkan kebijakan pada tahun 2006 yaitu berupa Keputusan Presiden

no. 13 tahun 2006 yaitu tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur

Sidoarjo. Keputusan ini dibuat dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di

sekitar Sumur Banjar Panji-1, Sidoarjo, Jawa Timur, yaitu perlu dilaksanakan langkah-

langkah penyelamatan penduduk di sekitar daerah bencana, menjaga infrastruktur dasar

dan penyelesaian masalah semburan lumpur dengan memperhitungkan resiko

lingkungan yang paling kecil. Susunan keanggotaan Tim Nasional ini dipimpin oleh

Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam keputusan

tersebut dikatakan bahwa tindakan penanggulangan yaitu dengan penutupan semburan,

penanganan luapan lumpur dan penanganan masalah sosial.

Menurut Keppres No. 13 Tahun 2006 menyatakan PT. Lapindo Brantas

bertanggung jawab atas pembiayaan operasional Tim Nasional Penangulangan lumpur

serta disebutkan bahwa dengan terbentuknya Tim Nasional dimaksudkan tidak

mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan

dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.

Keputusan ini berusaha menegaskan bahwa harus ada tanggung jawab dari PT. Lapindo

Brantas sebagai pelaku kerusakan struktural yang menyebabkan luapan lumpur lapindo.

Tetapi dalam keputusan tersebut tidak ditegaskan bagaimana cara pembayaran dalam

hal penanganan operasional Tim Nasional serta ganti rugi masalah sosial. Ini merupakan

celah bagi PT. Lapindo Brantas untuk tidak melakukan ganti rugi karena tidak

tercantum batas akhir atau tata cara pembayaran kepada warga yang terkena musibah.

35  

    

Sementara luapan lumpur dari hari kehari semakin memperbesar area yang tergenang,

dan juga masyarakat sekitar harus segera beranjak dari tempat tinggal mereka terkait

bahaya dari ledakan maupun ke kesehatan masyarakat. Penderitaan masyarakat akibat

tidak bisa menerima hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat dan baik semakin

menjadi karena mereka hanya bisa menunggu peran serta pemerintah menjamin

kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemerintah belum mempunyai anggaran untuk

membantu pihak PT. Lapindo Brantas menalangi sementara kerugian yang diderita

warga.

Kebijakan Pemerintah mengenai lumpur Lapindo yang ke II yaitu dengan

dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang diterbitkan untuk

pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo. Hal ini menimbang dampak

luapan lumpur yang semakin luas; langkah penyelamatan penduduk, penanganan

masalah sosial dan infrastruktur akibat bencana; dan pembentukan Badan Penanganan

Lumpur Lapindo dengan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan

Semburan Lumpur. Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo ini dipimpin oleh Menteri

Pekerjaan Umum (PU) yang bertindak sebagai dewan pengarah.

Pada Perpres ini semua biaya Administrasi Badan Penanggulangan didanai dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berarti seluruh rakyat

Indonesia berpartispasi dan bertanggung jawab terhadap bencana ini. Hal ini seharusnya

tidak terjadi jika Pemerintah memang teliti dan melihat kronologis kejadian penyebab

luapan lumpur di kawasan ini, yaitu PT. Lapindo Brantas adalah pelaku dari kejadian

bencana ini. Seperti disebutkan oleh American Association of Petroleum Geologists

(AAPG) bahwa “3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai

penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab,

13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai

penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.”

Fakta yang didapat dari data terhadap penyebab terjadinya luapan lumpur di Sidoarjo

menurut beberapa ahli geologi di beberapa media massa nasional dan yang dapat dibaca

juga dalam Bab III ini adalah pada tanggal 27 Mei 2006, telah terjadi “ underground

blowout ” di dalam sumur Banjar Panji I dan pada tanggal 29 Mei 2006 untuk pertama

kalinya diberitakan oleh media massa bahwa lumpur panas menyembur ke permukaan.

Semburan lumpur yang berasal dari bawah permukaan tanah (subsurface mud)

36  

    

terjadinya karena runtuhnya (collapse) formasi tanah (upper Kalibeng) yang merupakan

zona lumpur pada kedalaman 4000-6000 kaki. Pada lapisan ini terdapat tekanan

hidrostatik dan tekanan lain dari poripori batuan yang ada. Program drilling yang telah

dipersiapkan memberikan petunjuk bahwa pada formasi Top Kujung (lapisan batu

gamping) dipasang “casing ”. Sampai kedalaman 9000 kaki tercatat masih terus

dilakukan pengeboran dengan “ run casing ”, baru pada kedalaman 9297 kaki diketahui

telah terjadi kehilangan sirkulasi secara total, lubang sumur menjadi tidak stabil. Pada

posisi ini, sebetulnya masih bisa diatasi dengan mengorbankan sumur yang sedang di

bor dengan memompa semen kedalamnya (well plug) supaya tekanan dari bawah tidak

berhubungan dengan lumpur cair di lapisan Kalibeng, yang pada gilirannya akan

mendesak lumpur cair ini ke permukaan, seperti yang terlihat saat ini.

Dari kasus perpres ini kita bisa melihat bahwa ada suatu pembenaran dari

kesalahan PT. Lapindo Brantas, bisa dilihat dari banyak hal. Salah satunya mengenai

tanggungan biaya pemulihan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan yang

dibentuk oleh Presiden sepenuhnya lewat APBN yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1

Perpres tersebut. Dalam hal ini berarti rakyat juga ditekan dengan kontribusi biaya lewat

anggaran tersebut. Pada Pasal 15 ayat 1 yang berbunyi “Dalam rangka penanganan

masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan

masyarkat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap,

sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti

kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh

pemerintah.” Hal ini sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak semburan

lumpur, yaitu pemukiman tempat tinggal yang sudah terendam air akan dibeli ganti rugi

sepihak tanpa ada proses tawar-menawar. Hal ini akan menguntungkan PT Lapindo

Brantas karena masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Disatu sisi masyarakat

terkena dampak akan dipersulit dengan alasan sertifikat, yaitu harus ada surat akta jual

beli tanah yang diakui pemerintah. Hal ini merupakan jalan mempersulit proses karena

tidak semua warga yang terkena dampak dan mempunyai rumah tinggal mempunyai

akta jual beli tanah yang diakui pemerintah, selain itu lewat keputusan tersebut tidak

menilai bahwa warga sudah kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan

bersih. Pembayaran ganti rugi hanya memperhitungkan petak-petak tanah dan rumah

tinggal, padahal kehilangan dan degradasi lingkungan menghasilkan kerugian tak

37  

    

terhingga yang dirasakan masyarakat. Hal seperti di atas tidak diakomodir oleh

keputusan tersebut.

Perpres No. 14 Tahun 2007 juga menyebutkan dalam Pasalnya yang ke 15 ayat

3 bahwa “biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22

maret 2007, setelah ditandatangai Peraturan Presiden ini dibebankan kepada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.”. dan “Biaya untuk upaya penanganan masalah

infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo,

dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya. Dari keputusan tersebut dapat

dikritisi bahwa keputusan tersebut sangat menguntungkan pihak yang mestinya

bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas, yaitu penggantian rugi oleh pihak

tersebut hanya meliputi area terdampak yang sifatnya tetap, tetapi kerugian lebih besar

akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia yang harus menanggung daerah di luar area

terdampak yang terus mengalami pertambahan luasan karena lumpur tersebut

semburannya bersifat kontinyu. Secara spasial luasan yang di luar area terdampak akan

selau bertambah dan berarti biaya penanggulangan sosial kemasyarakatan yang

ditanggung oleh APBN akan semakin membesar. Hal ini merupakan suatu ironi bagi

masyarakat Indonesia lewat peraturan yang dikeluarkan Presiden, yaitu masyarakat

yang terkena dampak adalah orang-orang yang ikut andil dalam mengisi APBN dan

bukan yang memicu terjadinya bencana harus menanggung biaya kerusakan tersebut,

sementara PT Lapindo Brantas diperingan kerjanya oleh Peraturan Presiden tersebut.

Area terdampak adalah daerah yang secara hukum dinyatakan menjadi lokasi yang

terkena dampak bencana lumpur Lapindo. Ada tiga generasi keputusan hukum yang

dilampiri dengan peta area terdampak. Mereka adalah, pertama, Perpres 14/2007 yang

menetapkan Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo masuk ke dalam

peta area terdampak 22 Maret 2007.

38  

    

Gambar 7: Peta lokasi dan fakta bencana lumpur Lapindo (2006-2010)

Peraturan Presiden No 48 Tahun 2008 yang memasukkan 3 Desa di sebelah

selatan tanggul ke dalam peta area terdampak. Ketiga desa tersebut adalah Desa Besuki

di Sebelah barat tol Surabaya-Gempol, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan.

Pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres

48/2008 ini merupakan tanggungjawab Negara atau didebankan ke APBN. Peraturan

Presiden ini memicu konflik antar warga karena di satu desa ada bagian yang terdampak

39  

    

yang masuk ke dalam perjanjian ganti rugi dan sebagian wilayah lain tidak termasuk ke

dalam wilayah yang terdampak.

Desa besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta

terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P.

Beberapa hal yang membuat ambigu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa

tersebut yaitu hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta

area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol

Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.Hal kedua adala belum

adanya kepastian waktu ganti rugiu ntuk proses jual beli tersebut dibayarkan, dan hal

ketiga yaitu harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhnya dimasukkan ke dalam peta area

terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam kejadian tersebut selalu saja

menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan

masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta

antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang

terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya

dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu

kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di

masyarakat.

Permasalahan lain yaitu, secara yuridis pengaturan pasal 15 dalam Perpres No.

14 Tahun 2007 dan Perpres No 48 Tahun 2008 di atas memiliki kecacatan karena

ketentuan yang mengatur jual-beli tanah antara warga korban dengan pihak Lapindo

Brantas yang diklaim sebagai mekanisme penanganan permasalahan sosial

kemasyarakatan akibat semburan lumpur tersebut jelas-jelas bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yaitu dalam hal ini ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang-

Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang melarang jual-

beli tanah antara individu pemilik hak atas tanah dengan suatu badan hukum, dimana

jika terjadi maka jual beli tersebut batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan hukum)

dan tanah individu yang dijual akan jatuh menjadi tanah negara. Jelas tergambar bahwa

Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48 Tahun

2008 yang diklaim sebagai suatu upaya perlindungan hukum dari pemerintah kepada

korban lumpur justru tidak memberikan perlindungan hukum apapun.

40  

    

Berdasarkan kenyataan ini, maka tentu sangat dipahami jika korban lumpur

merasakan bahwa tidak ada pilihan selain mengikuti ketentuan sebagaimana diatur

dalam Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48

Tahun 2008 guna mendapatkan penyelesaian hukum atas terlanggarnya hak-hak mereka

tersebut. Namun –lagi-lagi- ironisnya, persoalan penyelesian hak-hak korban lumpur

tidak juga mendapatkan titik terang walaupun hampir keseluruhan korban telah

melakukan pengikatan jual-beli dengan pihak Lapindo sebagaimana diamanatkan dalam

Perpres, hal ini terbukti dengan masih belum tuntasnya pembayaran lahan dan bangunan

milik warga korban oleh pihak Lapindo Brantas bahkan hingga melampaui jangka

waktu pelunasan pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 2 Perpres No. 14

Tahun 2007 dan Perpres No. 48 Tahun 2008 yakni maksimal selama 23 bulan. Atas

realita ini, maka pihak Lapindo Brantas jelas-jelas telah melanggar ketentuan

sebagaimana diatur dalam Perpres (walaupun Perpres itu sendiri juga melanggar

hukum), dan Presiden selaku pihak yang mengeluarkan Perpres tidak melakukan upaya

perlindungan hukum apapun bagi korban lumpur berkaitan dengan realita dilanggarnya

ketentuan Perpres oleh pihak Lapindo ini. Hal ini tentu sangat jelas menggambarkan

betapa nihilnya perlindungan hukum bagi korban lumpur, ribuan warga negara

Indonesia yang telah terlanggar hak-hak konstitusionalnya selama 3 tahun ini.

Peta area terdampak ketiga adalah berdasarkan Perpres 40/2009 yang

memasukkan Desa Siring dan Jatirejo di sebelah barat jalan raya Porong serta 3 RT di

Desa Mindi yang terletak di sebelah selatan tanggul. Dana untuk pembayaran aset

warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres 40/2009 ini

dibebankan kepada PT LBI. Pada Peraturan Presiden yang terakhir disahkan ini yaitu

kawasan terdampak tetap per tanggal 22 Maret 2007 sementara efek akibat semburan

lumpur bisa berkembang menjadi seuah subsidence (penurunan muka tanah) akibat

terjadi kekosongan pada bagian dalam tanah karena rutinitas semburan yang kontinyu.

Hal ini hanya akan tetap merugikan negara dalam hal ini APBN yang menanggung

perkembangan kerusakan akibat luapan lumpur yang mungkin saja terus berkembang.

Selain itu jika dicermati ada perubahan pada Pasal 15 ayat 6 yang menyatakan “Biaya

upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong,

penanganan infrastruktur, termasuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan

kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah”. Hal ini juga memberatkan dibanding

41  

    

Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 15 ayat 6 yang masih menyatakan

bahwa Pengaliran dan Penanggulangan Lumpur melalui Kali Porong dibebankan

kepada PT Lapindo Brantas, termasuk biaya tindakan mitigasi yang dilakukan Badan

Pelaksana BPLS dalam ayat 7 juga akan ditanggungkan ke dalam APBN. Dalam

perkembangannya hal ini sangat merugikan pihak rakyat Indonesia sebagai penanggung

beban dari biaya perbaikan dan rehabilitasi lumpur Lapindo. Berdasarkan

perkembangan dari peraturan ke peraturan selalu mengalami kemunduran perlindungan

hak bagi masyarakat Indonesia dan penegakan hukum yaitu dibuktikan dengan pihak PT

Lapindo Brantas hanya mempunyai tanggung jawab sebatas penanganan masalah sosial

kemasyarakatan dalam area terdampak per 22 Maret 2007.

Seharusnya Pemerintah lewat berbagai kebijakannya adalah memberi dan

memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia mengenai hak atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah Indonesia harus memastikan Pihak

Pencemar mampu menerapkan konsep tanggung jawab mutlak seperti yang

dikemukakan oleh James E. Krier mengenai tanggung jawab mutlak dapat merupakan

bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena

banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap

lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya.

Salah satu usaha yang berjalan seiring dengan penerapan pilihan pengaliran

lumpur ke Kali Porong adalah persiapan lokasi penampungan lumpur di tempat lain,

misalnya di bekas lokasi galian tambang pasir di Ngoro atau di Kali Mati, sehingga

terhitung sejak Januari 2007, sudah dapat diterapkan konsep pengelolaan lumpur yang

berjangka waktu beberapa tahun. Sebuah kemajuan dari pengelolaan lumpur saat ini

yang hanya merencanakan sejauh dua sampai tiga bulan ke. Kerusakan lingkungan yang

ditimbulkan dari kebijakan pengaliran jutaan m3 lumpur yang menyerupai petis udang

ini ke Selat Madura akan sangat luas, bila yang dilakukan adalah sekedar mengalirkan

lumpur tersebut ke Kali Porong. Sekitar 16,000 hektar tambak di sepanjang dan di

sekitar muara Kali Porong akan mengalami proses sedimentasi dalam skala yang besar

dan sangat cepat. Kabupaten Sidoardjo akan menjadi daerah yang rawan banjir bila

terjadi pendangkalan di Kali Porong. Selain itu perairan Selat Madura akan menjadi

keruh, karena sebagian besar lumpur tersebut tidak bisa mengalir keluar dari Selat

Madura.

42  

    

Untuk mengurangi dampak negatif pendangkalan Kali Porong, akan dilakukan

pengerukan dasar Kali Porong secara berkala sehingga dapat dicegah terjadinya

pendangkalan sungai pada tingkat yang menyebabkan timbulnya banjir. Penimbunan

dasar Kali Porong dengan lumpur panas Sidoardjo diperkirakan oleh para pakar dapat

memperlancar arus air dan mengurangi proses sedimentasi, sampai batas tertentu. Bila

batas pendangkalan tersebut terlampaui, akan terjadi kerusakan lingkungan.

Pendangkalan tersebut akan meningkatkan intensitas banjir pada musim hujan dan

pencemaran tambak ikan dan udang di sepanjang dan di muara Kali Porong. Untuk

mengurangi dampak negatif pemanfaatan Kali Porong sebagai saluran pembuangan

lumpur bagi masyarakat pemanfaat air Kali Porong, diusulkan agar sebagian aliran air

di Kali Porong disalurkan lewat pipa atau saluran terbuka pada bagian hulu sebelum

titik pembuangan lumpur untuk menjamin pasokan air bagi keperluan irigasi dan

pertambakan masyarakat di bagian hilirnya. Studi beberapa pakar dari perguran tinggi di

Jawa Timur menemukan bahwa air laut di Selat Madura hanya mengalir bolak-balik

dari Barat ke Timur dan dari Timur ke Barat sesuai dengan pasang naik dan pasang

surutnya perairan Selat Madura. Puluhan ribu masyarakat kabupaten Sidoarjo,

kabupaten Pasuruan, kotamadya Surabaya dan mungkin kabupaten Probolinggo yang

hidupnya bergantung pada tambak udang dan ikan akan terancam sumber

kehidupannya. Berkurangnya pendapatan nelayan yang menangkap ikan lemuru, ikan

layang dan ikan tongkol sejak belasan kilometer di timur muara Kali Porong sampai ke

sebelah Timur Selat Madura, adalah dampak yang sangat mungkin dirasakan sejak

pertengahan tahun 2007, apabila lumpur Sidoardjo dib uang ke Selat Madura.

Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,

penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo

sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan. Berbeda dari sistem tanggung jawab

pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam

pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak,

hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam

melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil

dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, makakeadaan ini telah cukup untuk

menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan

oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang

43  

    

hidup ditengah-tengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan

normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan

beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya pelafal

undang-undang.

44  

    

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil kajian kritis terhadap kebijakan pemerintah mengenai lumpur

Lapindo yang terdapat dalam Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008

hingga Perpres 40/2009 yaitu didapatkan simpulan :

1. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan rakyat Indonesia karena

pembebanan penanganan sosial di luar area terdampak, biaya penanggulangan

lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur dibebankan atas Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara.

2. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan warga yang terkena dampak

karena putusan pembayaran ganti-rugi atas kerusakan tanah dan tempat tinggal

didasarkan atas akta jual beli kepemilikan.

3. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan warga yang terkena dampak

karena penggantian ganti rugi hanya atas dasar putusan pemerintah di satu

pihak, sehingga tidak ada persetujuan sebelumnya dari warga.

4. Bahwa kebijakan Perpres No. 14 Tahun 2007 dan Perpres No. 48 Tahun 2008

yang mengatur jual-beli tanah antara warga korban dengan pihak Lapindo

Brantas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu dalam hal ini

ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-

Pokok Agraria (UUPA).

5. Bahwa kebijakan pemerintah tidak melindungi kepentingan masyarakat luas

akan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik seperti yang tercantum

dalam UUPLH Nomor 32 Tahun 2009.

B. Saran

Berdasarkan hasil kajian dalam tulisan ini penulis penulis mempunyai pemikiran

bahwa :

1. Perlu adanya kontrol dari masyarakat luas akan kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah dalam kasus lingkungan yaitu berasal dari kalangan Lembaga

Swadaya Masyarakat yang peduli masyarakat dan pro-lingkungan, kalangan

Akademisi lewat penelitian dan para pihak yang kritis terhadap kebijakan.

45  

    

2. Dalam kebijakannya pemerintah harus mempertimbangkan hak manusia untuk

mendapat lingkungan yang sehat dan baik.

3. Kebijakan pemerintah harus bersifat adil dan melindungi warganya

4. Perlu adanya penyelesaian penengakan hukum di kasus lumpur Lapindo yang

menyatakan tanggung jawab mutlak dari PT Lapindo Brantas sebagai pencemar

dan memenuhi tanggung jawbanya dalam upaya rehabilitasi lingkungan dan

sosial mayarakat sekitar.

46  

    

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit. Jakarta. Afandi, Agus, dkk., 2005, Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, Arrus. Yogyakarta.

Akbar, A. A. 2007. Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Percetakan Galang Press. Yogyakarta.

Effendi Lotulung, Paulus, 1993, Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika. Jakarta.

Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada university Press Yogyakarta.

Hardjasoemantri, Koesnadi.1996. Sebuah Studi tentang KANKYO KIHON HO 1993 (Undang-Undang Lingkungan Hidup Jepang 1993). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kumpulan Analisis Lumpur Lapindo, http://www.scribd.com/doc/24578342/Kumpulan-Analisis-Bencana- Lumpur-Lapindo-1

McEldowney, John F. & McEldowney, Sharron, 2006, Environment and The Law ( an introduction for environmental scientists and lawyers), Prentice Hall. London.

Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/

Rifai, Rachman. 2009. Spatial Modeling and Elements at Risk Assesment of Sidoarjo Mud Volcanic Flow. Graduate School Gadjah Mada University Yogyakarta.

Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).

Soesanto, L.C, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

United Nations, 2006, “Environment Assessment Hot Mudflow East Java, Indonesia”, Final Technical Report: United Nations Disaster Assessment and Coordination mission in June and July 2006 and Follow-up mission in July 2006, Switzerland.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009

KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 13 TAHUN 2006

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 2007

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 48 TAHUN 2008

PERATURAN PRESIDEN NOMOR 40 TAHUN 2009

47  

    

BIODATA DIRI

1. Nama Lengkap La Ode Muhammad Erif, S.Si.

2. Tempat Lahir/Tgl. Lahir Buton, 12 September 1987

3. Jenis kelamin Pria

4. A g a m a Islam

5. Status perkawinan Belum Kawin

6 Alamat Jl. Kaliurang Km. 5 , Gang Gayamsari II Rt I/RWII VIIIA

7 No Telp/HP 085756877200

1. Nama Lengkap Fenky Wirada, S.Hut.

2. Tempat Lahir/Tgl. Lahir Palangka Raya/21 Juni 1986

3. Jenis kelamin Pria

4. A g a m a Kristen

5. Status perkawinan Belum Kawin

6 Alamat Klebengan CT VIII Blok B no 9 Yogyakarta

7 No Telp/HP 081514169137