TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KASUS LUMPUR LAPINDO (Dasar Keppres 13/2006,...
Transcript of TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN KASUS LUMPUR LAPINDO (Dasar Keppres 13/2006,...
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
TINJAUAN KRITIS TERHADAP PEMERINTAH DALAM PENANGANAN
KASUS LUMPUR LAPINDO
(Dasar Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, Perpres 40/2009)
Dosen Pengampu : Harry Supriyono, SH., M. Si.
Oleh :
La Ode Muhammad Erif (10/307009/PMU/6714)
Fenky Wirada (10/307116/PMU/6752)
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCASAJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena tulisan
ilmiah mengenai “Tinjauan Kritis Terhadap Pemerintah dalam Penanganan Kasus
Lumpur Lapindo” ini telah kami selesaikan sebagai syarat tugas mata kuliah Hukum
Lingkungan yang diampu oleh Dosen Harry Supriyono, SH., M.Si.
Dalam pembuatan karya ini kami mengumpulkan berbagai referensi dari buku
teks, jurnal ilmiah, peraturan pemerintah terkait, maupun berbagai laporan ilmiah
penelitian yang berhubungan dengan kasus Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur.
Dalam berbagai pemikiran yang menghasilkan karya ini tidak akan bisa sempurna tanpa
adanya data dari berbagai penelitian, kemudahan akses dan informasi terkait peraturan
merupakan sarana bagi kami untuk mengkritisi upaya penanganan oleh pemerintah
terkait bencana lumpur yang terjadi. Topik terkait kritisi terhadap penanganan
pemerintah lewat kebijakan perundangan merupakan hal bagi penilaian kinerja
pemerintah. Diharapkan hasil dari tulisan ini selain juga untuk memenuhi syarat mata
kuliah Hukum Lingkungan juga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan
mengenai perbaikan kebijakan ketika ada hal yang dianggap tidak tepat guna terkait
peraturan pemerintah.
Kami mengucapkan terimakasih banyak kepada Bapak Harry Supriyono yang
telah memberikan kami pengetahuan terkait isu dan peraturan hukum lingkungan. Kami
juga mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam
pengumpulan data dan kepada para penulis karya yang dapat dijadikan sebagai bahan
telaah tulisan ini. Semoga bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.
Januari 2011
Penulis
`
ii
INTISARI Lumpur Lapindo merupakan salah satu kejadian alam karena ada kesalahan faktor manusia. PT Lapindo Brantas yang dalam hal ini adalah pemrakarsa usaha seharusnya wajib menjadi penanggung jawab atas kejadian yang merugikan banyak umat manusia ini. Dalam perkembangannya Pemeritah melalui beberapa peraturan yaitu Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008 hingga Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2008 menjadikan beban tanggung Jawab mengenai kerusakan alam berupa biaya akan dimasukankan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berbagai kegiatan dilakukan oleh Tim Nasional dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang ditunjuk Presiden lewat keputusan untuk menangani masalah lingkungan dan Sosial. Di satu sisi PT Lapindo Brantas hanya mempuyai tanggungan untuk menyelesaikan masalah sosial di wilayah yang terkena dampak per 22 Maret 2007. Rakyat Indonesia disengsarakan dengan banyak Kebijakan Pemerintah yaitu kerugian masalah lingkungan dan sosial yang harus ditanggung oleh PT Lapindo Brantas diperingan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Peran Pemerintah untuk menjamin warganya mendapat hak untuk lingkungan yang sehat dan baik serta penegakan hukum untuk tanggung jawab dari pihak pemrakarsa tidak terlaksana. Alhasil dengan banyak peraturan yang harusnnya menjamin kesehjateraan masyarakat hanya menghasilkan kerugian lebih besar kepada negara dan rakyatnya. Analisis dan kebijakan harusnya melihat studi terkait tentang sebab-aakibat dari kejadian lumpur tersebut agar keputusan mengenai kebijakan pemerintah menghasilkan putusan yang adil dan objektif. Sampai saat ini dari hasil keputusan Kebijakan Pemerintah tersebut masih menuai bencana kerugian besar kepada warga yang terkena dampak dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Keadilan tentang perumusan kebijakan pemerintah dalam berbagai kasus lingkungan harus mendapat evaluasi dan kontrol dari banyak pihak akademisi dan masyarakat luas, agar peran dan fungsi kebijakan saat disahkan dapat menjamin kehidupan masyarakat Indonesia dalam lingkungan yang berkualitas dan eksis. Kata kunci : lumpur lapindo, kebijakan pemerintah, lingkungan hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus lumpur lapindo yang 5 tahun lalu terjadi masih memberikan efek
kerusakan lingkungan yang tidak ternilai bagi dunia lingkungan termasuk aspek sosial
masyarakat yang pasti merasakan kerugian akan harta benda dan lingkungan yang
mengalami degradasi. Belum selesai akan penanganan masalah ganti rugi oleh PT.
Lapindo Brantas, Inc. sebagai pelaku usaha yang harusnya bertanggung jawab akan
bencana yang terjadi, pemerintah dalam hal ini presiden mengeluarkan beberapa
keputusan yang dinilai meringankan pihak PT. Lapindo Brantas.
Lumpur Lapindo adalah kasus nasional yang belum terselesaikan hingga
sekarang. Hampir 5 tahun lebih semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur itu belum teratasi bahkan semakin meluas. Semburan yang terjadi sejak 29 Mei
2006 hingga sekarang itu telah banyak meninggalkan penderitaan bagi rakyat Sidoarjo.
Belasan desa terendam, puluhan pabrik tutup, ratusan hektar sawah musnah. Bahkan
lebih dari 27 ribu jiwa meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka kehilangan segala
sumber penghidupan. Nyaris tak ada yang tersisa. Tragedi lumpur Lapindo telah
menimbulkan dampak yang luar biasa, yakni kerugian material dan non-material yang
dialami masyarakat di sekitar lokasi semburan lumpur tersebut. Selain itu semburan
lumpur juga berdampak pada faktor ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya. Dalam
Banyak opini yang bermunculan terhadap kasus ini sebelum adanya keputusan Presiden
semenjak tahun 2007, ada opini yang mengatakan bahwa pihak Bakrie yang harus
bertanggung jawab karena semburan lumpur berawal dari kegagalan pengeboran gas di
Blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc, perusahaan di bawah kelompok
usaha Bakrie (Tempo, 27 Agustus 2006). Opini yang lain, yaitu pemerintah
menganggap bahwa tragedi ini adalah bencana. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Menteri ESDM Poernomo Yosgiantoro mengutip ucapan SBY, usai sidang kabinet
terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/11/2006), bahwa lumpur Lapindo
adalah sebuah disaster (Hertanto, 23 November2006). Pernyataan tersebut
menimbulkan pertanyaan saat itu dan berkembang menjadi opini, adakah kemungkinan
pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab penanggulangan dan penanganan
2
dampak semburan lumpur dari PT Lapindo layaknya musibah yang statusnya bencana
nasional.
Melalui keputusan presiden mengenai Kasus Lumpur Lapindo yang termuat
dalam Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008, hingga Perpres 40/2009
dapat dinilai dan dikritisi apakah memang sebuah kebijakan melihat kerusakan
lingkungan Lumpur Lapindo yang kemudian membuat keputusan tersebut muncul
sebagai suatu kebijakan pemikiran pada pemerintahannya. Seperti diketahui disatu sisi
pemegang saham dari perusahaan tersebut adalah Bakrie & Brother yang termasuk
sebagai salah satu pengusaha dan penguasa yang masih duduk aktif sebagai pemegang
keputusan di partai besar dalam dunia politik di Indonesia. Sampai sekarang walaupun
Peraturan sdah disahkan dan pemerintah menyatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo
sebagai bencana nasional, disatu sisi banyak pihak juga yang kontra dengan melihat
keputusan dan peraturan tersebut adalah sebuah pembenaran terhadap sebuah kesalahan
dari kongsi perusahaan tersebut. Melalui tulisan ini akan coba dikritisi apakah segala
kebijakan pemerintah terkait penanganan kerusakan akibat lumpur lapindo memang
sesuatu yang sewajarnya ataukah memang titipan pesan dari para penguasa.
B. Masalah
Dari banyak telaah ilmiah mengenai sebab-akibat kejadian Lumpur Lapindo,
secara ilmiah memang banyak pihak yang menyatakan kejadian tersebut adalah akibat
kesalahan prosedur dalam proses eksploitasi. Tetapi dari sisi politis ternyata peran
seorang sosok pengusaha sekaligus pejabat dari PT. Lapindo Brantas, Inc. mampu
membuat sesuatu yang berbeda dalam putusan kebijakan jika dilihat dari kerangka
ilmiah penyebab kejadian tersebut, yaitu dengan diputuskannya aturan dari Presiden
yang dinilai kontroversial sebagai penyelamat aset usaha para penguasa.
Dalam kasus bencana semburan lumpur panas Sidoarjo, pemerintah SBY-Kalla
berhadapan dengan dua masalah sekaligus. Pertama, menghentikan semburan lumpur
panas dan menyalurkan atau membuang genangan lumpur. Kedua, menangani dampak
sosial dan ekonomi, baik dalam memulihkan atau membangun kembali infrastruktur dan
sarana umum yang rusak akibat luberan lumpur maupun dalam menangani masalah-
masalah sosial yang didalamnya terdapat keharusan untuk memberikan kompensasi
yang sepadan bagi warga yang terkena genangan.
3
Hal-hal mengenai pro-kontra bisa terlihat dalam keputusan presiden yang
bersifat administratif. Dari banyak keputusan tersebut ternyata PT. Lapindo Brantas,
Inc. tidak menanggung semua kerusakan akibat eksploitasi tersebut. Sampai saat ini
kejadian penanganan masalah sosial dan infrastruktur dimasukan dalam realisasi
anggaran APBN seolah-olah yang menjadi pelaku adalah seluruh umat bangsa
Indonesia, memang sebuah kebijakan yang ironi.
C. Metode Penulisan
Metode penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu
suatu jenis penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder. Bahan
pustaka atau data sekunder yang dimaksud diantaranya adalah peraturan perundang-
undangan, penggunaan pendekatan yuridis, asas-asas dan perbandingan hukum.
Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian perpustakaan berdasarkan data
sekunder dan bersifat kualitatif (tidak berbentuk angka).
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan dokumen-
dokumen yang dianggap penting yang berkaitan dengan penelitian. Dokumen
merupakan metode pelengkap untuk mencari data yang tidak mungkin diperoleh melalui
observasi dan wawancara. Lincoln dan Guba (1985: 113) mengatakan bahwa
penggunaan dokumen dalam pengumpulan data didasarkan atas beberapa alasan yaitu
merupakan sumber informasi yang stabil dan kaya, bermanfaat untuk membuktikan
suatu peristiwa, sifatnya alamiah sesuai dengan konteks dan hasil pengkajian akan
diperluas sesuai degan pengetahuan terhadap sesuatu yang diteliti. Penulis
menggunakan dokumen-dokumen berupa teks-teks yang dapat dipahami lebih lanjut.
Atau berupa teks-teks arsip, statistik, hasil laporan Timnas PSLS/ BPLS, buku-buku,
koran, majalah atau buku catatan organisasi yang bisa diambil sebagai pelengkap data
dan informasi dalam penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain :
1. Bahan/materi hukum primer, yaitu diperoleh dari penelitian kepustakaan (library
research) berupa data analisis dan dokumen-dokumen hukum serta buku-buku
hukum.
4
2. Bahan/materi hukum sekunder, yaitu pendapat hukum para ahli hukum, buku-
buku penelitian (litbang) hukum, hasil-hasil karya ilimiah dan hasil penelitian
para sarjana hukum, dan badan kepustakaan bidang hukum lainnya.
3. Bahan/materi hukum tersier, yakni berbagai bahan pendukung seperti surat
kabar, cyber media atau internet, majalah, tabloid, jurnal hukum bisnis, kamus,
dan lain sebagainya.
Data yang diperlukan untuk Kajian Kritis Penanganan Lumpur Lapindo yaitu :
1. Data kronologis kejadian Lumpur Lapindo
2. Riwayat PT. Lapindo Brantas, Inc. sebagai investor usaha
3. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006
4. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007
5. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008
6. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009
7. Peta wilayah bencana Lumpur Lapindo
Data penelitian ini dianalisis secara secara kualitatif dan kemudian dipaparkan
berdasarkan analisis deskriptif.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PT Lapindo Brantas Inc.
Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu dari berbagai anak perusahaan PT. Energi
Mega Persada Tbk. Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengekploitasi sumur-
sumur yang ada di Blok Brantas atau dengan kata lain Lapindo Brantas/EMP hanya
sebagai pelaksana teknis (operator), sementara saham blok tersebut dimiliki bersama
oleh PT. Energi Mega Persada sebesar 50 persen, PT. Medco E&P Brantas, anak
perusahaan Medco Energy sebesar 32 persen, dan Santos Brantas Indonesia Tbk.
menguasai saham sebesar 18 persen. Jika dilihat secara seksama, perusahaan-
perusahaan yang menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP adalah juga
merupakanperusahaan yang memiliki berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar di
wilayah Indonesia. Menurut Aswan Siregar116 tahun 2004 merupakan tahun yang
sukses bagi usaha Lapindo Brantas. Sejak 1999, Lapindo Brantas telah berkembang
untuk menjadi pemasok utama gas bagi perusahaan distribusi gas pemerintah, yaitu PT
Perusahaan Gas Negara Tbk. Yang disuplay dari lapangan gas Wunut. Rata-rata suplai
65 mmcf gas per hari di tahun 2004, yang merupakan kenaikan sebesar 48,1% dari
tahun sebelumnya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Menguak Pelanggaran HAM
dan Kejahatan Lingkungan PT. Lapindo Brantas/Energi Mega Persada (EMP), Laporan
WALHI kepada komnas HAM, 31 Agustus 2007.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pada tahun 2004 juga telah melakukan pengeboran
dan menyelesaikan empat sumur gas yang kami sebut sebagai Wunut 6, 7, 11 dan 13.
Seluruh sumur telah berhasil disatukan ke dalam pengolahan gas Wunut. Disamping itu,
saluran pipa gas Wunut 12 juga telah selesai dikerjakan. Seperti diumumkan pada bulan
September 2004, perusahaan juga telah melakukan penemuan-penemuan cadangan
minyak yang terbukti dan cadangan minyak terukur di Tanggulangin 3 yang telah
menambah 14 juta barrels. Penemuan ini telah memberikan kesempatan yang besar bagi
perusahaan untuk memulai memproduksi minyak di lapangan pada tahun 2005.
Tonggak bersejarah lainnya di tahun ini adalah pemasangan unit dehidrasi gas kedua
dan dua unit compressor di ladang pengolahan gas Wunut. Kami senantiasa berupaya
untuk meraih sukses berikutnya di tahun 2005 sebagaimana kami terus mengembangkan
6
sumursumur pengeboran di Wunut, kami telah menyelesaikan di Tanggulangin 1,
memasang kompresor ketiga di ladang pengolahan gas Wunut, meningkatkan fasilitas
sistem pemantauan terintegrasi dan memasang fasilitas pengairan di ladang pengolahan
gas.
Blok dari Brantas PSC yang terletak di tempat eksplorasi yang paling
diperbincangkan di Indonesia, jalur eksplorasi Kujung di Jawa Timur. Kami telah
mengidentifikasi bahwa blok tersebut memiliki sekurangkurangnya 7 cadangan minyak
dan gas yang prospektif dengan sumber daya hingga 677 Bcf dan 121.5 mmbbl.
Lapindo Brantas terletak di tempat yang sangat baik dalam ukuran luas eksplorasi di
Jawa Timur. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu daerah
cadangan minyak dan gas terbaik di Indonesia dengan jumlah keseluruhan penemuan
sumber daya sebesar 2,417 mmboe (55% Minyak). Tingkat kesuksesan eksplorasi
diukur dari luas cekungan (basin) adalah sebesar 40% dan dalam sepuluh (10) tahun
terakhir tercatat 80% kesuksesan. Statistik menyarankan untuk melakukan eksplorasi
yang belum terlaksana.
1. Area Kujung di Jawa Timur teridentifikasi sebagai salah satu lokasi cadangan
minyak dan gas terbaik di Indonesia.
2. Penemuan sumber daya kumulatif sebesar 2,417 mmboe (55% minyak)
3. Tingkat kesuksesan eksplorasi diukur dari luas cekungan adalah sebesar 40%
a. Sepuluh tahun terakhir tercatat 80%.
b. Statistik (Creaming Curve) menyarankan untuk melakukan eksplorasi yang
belum terlaksana.
c. Blok Brantas dan Blok Kangean berada di area Kujung.
Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi dan produksi migas
berdasarkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau Production Sharing Contract
(PSC) dengan BP Migas hingga tahun 2020. Sejak membeli Blok
Brantas tahun 1996 dari HUFFCO, ada indikasi kuat bahwa Lapindo Brantas/EMP
hanya mengejar proyek lisensi. Pada tahun itu posisi Aburizal Bakrie menjabat Ketua
Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Tahun 1997, Lapindo Brantas/EMP
menanda-tangani MoU dengan Perusahaan Gas Negara (PGN) untuk supply gas sampai
tahun 2010. MoU tersebut baru terealisasi pada tahun 1999, dimana pada waktu tersebut
Lapindo Brantas/EMP baru memproduksi gas untuk pertama kalinya. Kontrak dengan
7
PGN kemudian diperpanjang hingga tahun 2020 dengan pertimbangan yang kurang
jelas. Lokasi rencana kontrak meliputi Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin (Kab.
Sidoarjo, Kab. Mojokerto, dan Kab. Pasuruan). Khusus lapangan Wunut Amdal-nya
telah disetujui oleh Dept. Pertambangan dan Energi No 3129/0115/SJ.T/1997.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor
pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie
Group. Subkontrak itu diperoleh Medici melalui tender dari Lapindo Brantas senilai
US$ 24 juta pada 20 Januari 2006 atas nama Alton International Indonesia. Alton
International Indonesia merupakan perusahaan patungan antara Alton International
Singapore dengan PT Medici Citra Nusa, yang didirikan pada 2004.
Sementara Medici sendiri tercatat sebagai perusahaan yang beroperasi di bidang
perdagangan dan distribusi. Keterikatan antara Lapindo Brantas dan Medici dengan
keluarga Bakrie dimulai pada tanggal 9 Januari 2006 saat Federal International Ltd.,
sebuah perusahaan pertambangan minyak dan gas yang berkedudukan di Singapura
melepas 42 juta lembar sahamnya ke publik dan dibeli oleh dua investor strategis dari
Indonesia yaitu Syailendra Surmansyah Bakrie dan Nancy Uraina Rachman Latief. Dua
orang disebutsebut sebagai kerabat dekat pemilik usaha Bakrie group dan mempunyai
hubungan keluarga dengan salah satu komisaris PT Energi Mega Persada yaitu Rennier
Abdul Rachman Latief. Dua pekan setelah transaksi jual beli tersebut, tanggal 20
Januari 2006, kontrak senilai 24 juta dolar didapatkan Alton Internasional Indonesia
dari Energi Mega Persada menjadi subkontraktor dalam mengelola lapangan gas di Blok
Brantas. Disinilah titik terang bagaimana PT. Medici menjadi subkontraktor Lapindo
Brantas. Kepemilikan saham dua investor atas perusahaan Singapura tersebut semakin
kuat dengan dikukuhkannya sebagai pemegang saham mayoritas pada Februari 2006,
melalui pembelian saham di perdagangan terbuka. Syailendra menguasai 26,9 juta
lembar saham (12,29 persen), sementara 27 juta lembar dimiliki oleh Nancy (12,22
persen). Satu bulan setelah terjadinya semburan, tepatnya tanggal 26 Juni 2006,
Syailendra Bakrie menjual seluruh saham Federal miliknya kepada Unichem Asset Mgt
Ltd. dan Excel Key Investments Corp. Tanggal 5 Juli 2006, Nancy melepas 19 juta
lembar kepemilikan saham atas Federal dari jumlah total kepemilikannya yang
berjumlah 27 juta kepada Fabules Commercial Inc. Langkah penjualan ini diduga akan
dipergunakan untuk menutupi kerugian yang terjadi pada PT Lapindo Brantas.
8
Pada tahun 1990, blok Brantas pernah dikuasai oleh HUFFCO melalui
Production Sharing Contract (PSC) dengan PT. Pertamina sampai 2020, akan tetapi
baru berjalan satu periode eksploitasi, tepatnya pada tahun 1996, dengan tanpa sebab,
HUFFCO kemudian menjual blok Brantas kepada PT. Lapindo Brantas/EMP Inc.
Rencana lokasi yang akan di eksploitasi lapangan gas bumi blok Brantas meliputi 3
kabupaten, yaitu Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan. Terdiri dari lapangan gas bumi
Wunut, Carat, Ketingan, dan Tanggulangin dan semua lapangan gas ini akan di
kuasakan pengelolaannya kepada Lapindo Brantas/EMP. Sedangkan titik sumur Banjar
Panji I merupakan salah satu sumur yang terletak di blok Wunut dan baru di eksplorasi
pada bulan January 2006. Blok Brantas sendiri adalah salah satu dari 5 Blok yang
terletak di cekungan Jawa Timur, cekungan ini di perkirakan memiliki cadangan :
minyak sebesar 900 juta barel sedangkan Gas 700 milyar kaki kubik. Dari jumlah
cadangan yang begitu besar di cekungan Jawa Timur, Blok Brantas sendiri juga di
perkirakan memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup besar diantara dari 4 blok
Lainnya.
Nama lumpur Lapindo sendiri diambil dari nama perusahaan PT Lapindo
Brantas Inc. (PT LBI) yang menjadi operator di Blok Brantas pada saat terjadinya
bencana. Saham perusahaan ini dimilik secara bersama-sama oleh tiga perusahaan, yaitu
PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP), Medco Energy (ME), dan Santos. PT EMP
adalah salah satu anak usaha dalam group Bakrie & Brothers. Pada saat terjadinya
semburan lumpur pertama kali, PT EMP memegang saham PT LBI sebesar 50%.
Aburizal Bakrie, menteri kesejahteraan rakyat di Kabinet Indonesia Bersatu 1, adalah
figur sentral dalam kelompok Bakrie&Brothers. ME, milik konglomerat Arifin
Panigoro, hadir di PT LBI dengan kepemilikan saham sebesar 32%. Santos yang
merupakan singkatan dari South Australia Noerthen Territoy Oil Search adalah
perusahan minyak yang berbasis di Australia. Pada saat terjadinya bencana memegang
kepemilikan saham di PT LBI sebesar 18%. Lebih jauh soal anatomi PT LBI dan
afiliasinya dapat dilihat pada Gambar 1.
9
Gambar 1: Kelompok bisnis di belakang PT LBI (diolah dari berbagai sumber)
Akan tetapi belakangan publik hanya mengenal bahwa PT LBI adalah milik
kelompok usaha Bakrie&Brothers yang terhubungkan ke Aburizal Bakrie. Hal ini dapat
terjadi karena setelah terjadinya bencana, ME dan Santos "menjual" sahamnya kepada
satu perusahaan yang masih berafiliasi dengan group Bakrie&Brothers. Meskipun
disebut "menjual" pada dasarnya penjualan tersebut adalah penjualan yang aneh. Karena
transaksi yang terjadi tidak lazim.
ME melepaskan dirinya dari belitan kasus lumpur Lapindo dengan jalan menjual
32% sahamnya di PT LBI kepada sebuah nama baru, Group Prakarsa, sebuah
perusahaan yang penjamin keuangannya adalah Minarak, salah satu anak perusahaan
dalam group Bakrie&Brothers. Pada tanggal 16 Maret 2007, ke-32% saham milik
Medco beserta seluruh kewajiban, tanggungjawab, klaim yang termasuk di dalamnya
kompensasi terhadap dampak ekonomi dan sosial sehubungan dengan operasi migas di
blok Brantas yang dikenakan terhadap Medco Brantas, baik di masa yang lalu, kini dan
di masa mendatang dilego kepada Group Prakarsa dengan harga 100 Dolar AS (tidak
sampai 1 juta, dengan kurs Dolar AS versus rupiah pada kisaran angka 9 ribu).
Santos melepaskan 18% sahamnya kepada Minarak Labuan Co. Akan tetapi
dalam kasus ini, sebagai penjual, Santos bukannya mendapatkan uang, akan tetapi
10
sebaliknya, Santos malah harus mengeluarkan uang senilai 22,5 juta Dolar AS untuk
atas "penjualan" sahamnya tersebut.
B. Kronologi Kejadian Lumpur Lapindo
Korporasi yang saat ini sedang mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran
terhadap lingkungan yang sedang terjadi adalah Lapindo Brantas Inc. yang terkait
dengan luapan lumpur dan gas di Porong Sidoarjo Jawa Timur. Telah 200 hari sejak
pertama kali lumpur itu menyembur dari sumur galian milik Lapindo Brantas Inc., salah
satu dari berbagai anak perusahaan milik PT. Energi Mega Persada Tbk (EMP).
Lapindo Brantas didirikan khusus untuk mengeksploitasi sumur-sumur yang ada di
Blok Brantas, dalam hal ini, Lapindo Brantas/EMP ibaratnya hanya sebagai operator,
sedangkan saham Blok Brantas tersebut dimiliki bersama oleh PT. Energi Mega Persada
Tbk, PT. Medco Energi Tbk, dan Santoz LTD-Australia. Perusahaan-perusahaan yang
menguasai saham di Lapindo Brantas/EMP merupakan perusahaan yang juga memiliki
berbagai kilang minyak dan gas yang tersebar seantero Nusantara.
Lapindo Brantas/EMP bukan warga baru di Sidoarjo, perusahaan ini muncul di
Sidoarjo 1(satu) dasawarsa lalu setelah ditunjuk oleh BP Migas sebagai pemegang hak
kuasa dari pemerintah di bidang pertambangan migas. Yang berada dalam top
manajeman yang mengeksplorasi Blok Brantas adalah, pada skema kepemilikan saham
eksplorasi dan eksploitasi blok Brantas, PT. Energi Mega Persada Tbk yang dimiliki
Bakrie Group menguasai 50% saham, sedangkan PT. Medco Energi Tbk menguasai
32% dan Santoz Brantas Indonesia Tbk yang dimilki perusahaan asing dari Australia
komposisi sahamnya adalah 18%. PT. Energi Mega Persada sebagai pemegang saham
terbesar dominan dalam penguasaan dan bekerja sebagai operator di Sumur Banjar Panji
I, sumur yang sampai saat ini masih menyemburkan lumpur.
Pada minggu pertama kejadian, pihak Lapindo Brantas/EMP berkelit bahwa tiga
titik semburan lumpur ganas itu diakibatkan oleh faktor alam atau di pengaruhi oleh
gempa yang terjadi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Spekulasi Lapindo/EMP ternyata
mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena diperoleh keterangan bahwa, sebelum
terjadi semburan lumpur, posisi drilling pada kedalaman 9297 feet atau setara dengan
3000 meter, mengalami mud logging hilang tiba-tiba (lost circulation), dan sempat
11
terjadi kick atau muncul gas dibawah permukaan secara mendadak dan periodik,
akhirnya terhenti Situasi ini terjadi sebelum gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, sehingga
ada perkiraan baru bahwa terjadinya semburan karena underground blow out atau
semburan gas dibawah permukaan yang memicu meningkatnya tekanan shale121 (over
pressure shale) dari formasi kalibeng naik melalui rekahan-rekahan, volume semburan
lumpur telah melebihi volume mud yang lose dilubang pemboran, sehingga yang
tersembur keluar adalah shale dan air formasi; dari sinilah di ketahui bahwa pada
kedalaman 9000 kaki, Lapindo Brantas/EMP tidak melakukan pemasangan casing 9 5/8
inchi yang merupakan rambu keselamatan dalam setiap pengeboran. Disamping itu,
Lapindo tidak mengantisipasi adanya zona patahan yang ada dalam kawasan
eksplorasinya. Patahan itu kini meretakkan struktur geologi sehingga mengakibatkan
semburan lumpur. Zona patahan-lemah itu berupa garis membentang sepanjang Porong
(Sidoarjo) hingga Purwodadi (Pasuruan). Posisi patahan miring terhadap utara mata
angin dengan sudut N30E (30 derajat dari utara ke timur). Teori yang dikembangkan
komunitas geologi diantaranya dugaan bahwa lumpur berasal dari deposit minyak
dalam bentuk kubah dengan ujung kubah paling dekat dengan permukaan. Struktur ini
disebut diapir. Pengeboran Lapindo kemungkinan telah memicu retakan di zona lemah
di atas kubah dan menimbulkan blow out jebakan lumpur dan gas di dalam kubah.
Dengan tekanan tinggi, lumpur dan gas akan mencari lokasi yang paling lemah dalam
rekahan perut bumi.
Akibat kesalahan pemboran tersebut, lumpur ganas yang menyembur dari perut
ke permukaan bumi Porong di perkirakan mencapai 150.000 meter kubik perhari.
Bahkan lumpur tersebut tidak hanya panas, ganas akan tetapi juga mengandung bahan
beracun yaitu fenol123. Hingga per 16 agustus 2006, luas areal genangan lumpur panas
sudah mencapai luas 300 ha dan menenggelamkan 5 desa di kecamatan Porong dan
Tangulangin, dengan luasan volume luberan mencapai 7 juta meter kubik. Hingga kini,
menurut pemberitaan di media, kurang lebih sudah 6 bulan bencana tersebut telah
terjadi, korban diperkirakan sudah mencapai. Segala kemungkinan telah dilakukan oleh
Lapindo untuk menanggulangi atau mengurangi dampak dari tragedi ini, termasuk hal
Lapindo telah mencoba berkali-kali untuk menjual saham kepemilikan Lapindo kepada
perusahaan asing, entah apa motif yang tersembunyi di dalam rencana pengalihan
kepemilikan saham Lapindo ini. Karena konon, biaya penanggulangan bencana ini bila
12
dikalkulasi bisa mancapai 170 juta dollar AS (sekitar Rp 1,6 triliun), ditambah biaya
relokasi sebesar 1-2 triliun. Namun hal ini tidak akan terjadi karena penjualan ini ditolak
oleh BAPPEPAM selaku pengawas kegiatan pasar modal yang dalam hal ini sebagai
regulator yang tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tetapi juga
kepentingan masyarakat luas.
Kasus Lumpur Sidoarjo dimulai pada tanggal 29 Mei 2006 ketika terjadi
semburan pertama lumpur panas di sekitar 200 meter sebelah barat daya sumur BJP I.
Sumur pengeboran Banjar Panji I (BJP I) merupakan daerah eksplorasi Brantas
Production Sharing Contract (PSC) di Kabupaten Sidoarjo yang dioperasikan oleh
Lapindo Brantas, Inc. Erupsi pertama tersebut diikuti beberapa titik semburan lagi
dalam radius 500 m di sekitar sumur BJP 1.
Gambar 2. : Lokasi semburan Lumpur Sidoarjo.
Sumber: IAGI, Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, 2006. Kronologi erupsi lumpur panas :
1. Tanggal 5 Juni 2006, semburan lumpur panas meluas hingga menutupi
hamparan sawah seluas lebih 12 hektar yang masuk dalam wilayah Desa
Renokenongo dan Jatirejo. Akibat dari peristiwa ini dilaporkan pohon dan
tumbuhan di sekitar lokasi yang tergenang seperti pohon sengon, pisang, dan
bambu serta rumput alang-alang mulai mengering. Besarnya semburan lumpur
yang keluar dari perut bumi juga menyebabkan ketinggian lumpur sedikit lebih
tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38. Dari peristiwa ini,
13
sebagian penduduk Dusun Siring Tangunan dan Dusun Renomencil berjumlah
188 KK atau 725 Jiwa terpaksa mengungsi ke Balai Desa Renokenongo dan
Pasar Baru Porong.
2. Pada tanggal 7 Juni 2006, semburan lumpur panas semakin membesar dan mulai
mendekati pinggir bagian Timur di Desa Siring sehingga mengancam
pemukiman penduduk di desa tersebut. Kondisi ini terus memprihatinkan karena
semakin hari debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar
hingga akhirnya pada 7 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal pemukiman
penduduk dusun Renomencil Desa Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan,
Desa Siring. Akibat dari peristiwa ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa
mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau ke rumah-rumah sanak famili yang
tersebar di sejumlah tempat.
3. 10 Juli 2006, lumpur mulai menggenangi areal persawahan bagian Selatan lokasi
semburan yang berbatasan dengan Desa Jatirejo, di kawasan itu juga terdapat
sejumlah pabrik.
4. 12 Juli 2006 lumpur panas mulai menggenangi areal pemukiman Desa Jatirejo
dan Kedungbendo akibat tanggul-tanggul penahan lumpur di Desa Renokenongo
dan Siring tidak mampu menahan debit lumpur yang semakin membesar.
5. Pada bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah menggenangi sejumlah
desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total
warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak kurang 25.000
jiwa mengungsi. Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit
rumah ibadah terendam lumpur. Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak
lumpur adalah lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan
Kedungcangkring, lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo, Jatirejo,
Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon, serta 1.605 ekor
unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang. Sekitar 30 pabrik yang
tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan
tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.
Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak
bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil
Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan
14
telepon). Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak
sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480,
Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah
negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan
musala 15 unit .
6. Memasuki akhir September 2006, Desa Jatirejo Wetan termasuk di sini dusun
Jatianom, Siring Tangunan dan Kedungbendo, tenggelam akibat tanggul
penahan lumpur di desa Siring dan Renokenongo kembali jebol.
7. 22 November 2006, pipa gas milik Pertamina meledak, yang menyebabkan 14
orang tewas (pekerja dan petugas keamanan) dan 14 orang luka-luka . Peristiwa
meledaknya pipa Pertamina diceritakan oleh penduduk seperti kiamat karena
ledakan yang sangat keras dan api ledakan yang membumbung sampai
ketinggian 1 kilo meter. Penduduk panik dan berlarian tak tentu arah. Suasana
sangat mencekam dan kacau balau . Sebelumnya telah ada peringatan bahwa
akibat amblesnya tanggul yang tidak kuat menahan beban menyebabkan pipa
tertekan sehingga dikhawatirkan akan meledak. Namun peringatan ini tidak
diindahkan oleh pihak Pertamina. Peristiwa ini juga mengakibatkan tanggul
utama penahan lumpur di desa Kedungbendo rusak parah dan tidak mampu
menahan laju luapan lumpur. Dari peristiwa tersebut sejumlah desa di wilayah
utara desa tersebut seperti, Desa Kali Tengah dan Perumahan Tanggulangin
Anggun Sejahtera Kecamatan Tanggulangin, mulai terancam akan tergenang
lumpur.
8. 6 Desember 2006, Perumtas I dan II tergenang lumpur dengan ketinggian yang
beragam. Di laporkan lebih dari 2000 jiwa harus mengungsi ke Pasar Baru
Porong.
9. Memasuki Januari 2007, Perumtas I dan II sudah terendam seluruhnya.
10. Memasuki April 2007, lumpur dan air mulai merendam Desa Ketapang bagian
Timur akibat luapan lumpur yang bergerak ke arah Barat menuju jalan raya
Surabaya Malang gagal ditahan oleh tanggul-tanggul darurat di perbatasan
antara desa Kedungbendo dan Desa Ketapang. Dilaporkan lebih dari 500 orang
harus mengungsi ke Balai Desa Ketapang.
15
11. 10 Januari 2008, Desa Ketapang Barat dan Siring Barat terendam air dan lumpur
akibat tanggul di sebelah Barat yang berdekatan dengan jalan raya Malang-
Surabaya jebol karena tidak mampu menahan lumpur yang bercampur dengan
air hujan. Dilaporkan sekitar lebih dari 500 orang mengungsi ke Pasar Porong
atau ke sanak keluarga mereka yang terdekat.
12. Dengan demikian sampai November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam
dan/ atau terendam dan/ atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa
Renokenongo, Jatirejo, Siring, Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum,
Kedung Cangkring, Mindi, Ketapang, Pajarakan, Permisan, Ketapang, Pamotan,
Keboguyang, Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah.
(sumber: Wakil Kepala Bidang Eksternal Komnas HAM Nur Kholis)
C. Prakiraan Penyebab Kejadian
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret
2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra
Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia,
Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590
meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan
dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman
untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi)
dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran
menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi
pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada
2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15
Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai
ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan
dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi
Kujung (8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini
dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan
16
mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya
adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada
formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah
menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada.
Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih
berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi
Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa
lumpurnya Lapindo (Medici).
Gambar 3. Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping.
Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya
menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong).
Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang
(masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga
Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha
menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga
17
dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran
berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang
terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas
antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di
kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan
banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan.
Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur
disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha
mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil.
Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan
di sumur itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di
Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang
pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape
Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008,
merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of
Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan
pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai penyebab,
42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab, 13 (tiga
belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai penyebab, dan 16
(enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan
Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan
teknis dalam proses pemboran.
D. Mud Volcano
Sejak terjadinya bencana lumpur Lapindo, terma mud volcano tiba-tiba saja
menjadi sangat populer di Indonesia, bersanding dengan gunungapi yang sebelumnya
memang sudah populer karena banyaknya gunungapi di Indonesia. Beberapa kalangan
menerjemahkannya menjadi gununglumpur. Fenomena mud volcano sendiri bukanlah
fenomena yang baru. Sejak lama ia telah menjadi fokus studi pakar geologi di seluruh
18
dunia, terutama para geolog (bekas) Uni Soviet. Mud volcano menjadi sangat penting
dalam kajian geologi, tak lain dan tak bukan karena keberadaannya yang sering
berasosiasi dengan cebakan minyak dan gas bumi. Akan tetapi, meskipun sudah
menjadi objek studi para saintis selama puluhan tahun, masih banyak hal yang belum
diketahui mengenai mud volcano.
Karena itu, vulkanisme lumpur dapat diartikan sebagai "proses yang terjadi
dalam rangka pembentukan fenomena geologi tersebut". Dalam variasinya, mud
vulkanisme itu sendiri bukanlah sebuah proses yang sama dari satu tempat ke tempat
lain dan dari satu masa ke masa lain, tetapi sangat bervariasi, tergantung tipe lokalitas
kondisi geologi yang dapat menyangkut setting, kekuatan dominan yang mengendalikan
sebuah proses mud vulkanisme, material batuan yang ada, serta tak lupa pula morfologi
muka Bumi. Sistem konduit internal dari sebuah mud volcano masih sangat sedikit
diketahui. Studi yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan tingkat variasi yang
sangat tinggi. Pada umumnya mereka terdiri dari satu konduit utama, yang kemudian
semakin ke atas bisa jadi pecah dan membentuk beberapa konduit yang lebih kecil. Hal
seperti inilah yang diduga terjadi di Porong, dimana konduit utama pecah dan kemudian
menghasilkan konduit lain yang lebih kecil seperti yang terdapat di Desa Siring Barat.
Untuk lebih detailnya mengenai sistem konduit internal sebuah mud volcano, dapat
dilihat pada Gambar 3.
19
Gambar 4: Struktur dasar dan elemen utama sebuah mud volcano yang berbentuk
kerucut. Diolah dari Dimitrov, 2002.
E. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup no. 32 tahun 2009 menetapkan
mengenai hak, kewajiban dan wewenang, yaitu hak dan kewajiban yang ada pada setiap
orang serta kewajiban yang ada pada Pemerintah, demikian pula wewenang pengaturan
yang ada pada pemerintah serta hak masyarakat untuk berperan serta. Salah satu dari
hak tersebut yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik yang tercantum dalam pasal 65
ayat 1 UUPLH berbunyi :
“setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak
asasi manusia.”
20
Heinhard Steiger c.s menyatakan, bahwa apa yang dinamakan hak-hak subyektif
(subjektif rights) adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang. Hak
tesebut memberikan kepada yang mempunyainya suatu tuntutan yang sah guna meminta
kepentingannya akan sesuatu lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dihormati, suatu
tuntutanyang dapat didukung oleh prosedur hukum kaitannya dengan lingkungan,
dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya.
Begitu pula yang terjadi dalam kasus Lumpur Lapindo. Tuntutan tersebut
mempunyai 2 fungsi yang berbedan yaitu sebagai berikut :
a. The function of defense
b. The function of performance
(Steiger c.s., 1980:3)
Fungsi yang pertama yaitu yang dikaitkan pada hak membela diri terhadap gangguan
dari luar yang menimbulkan kerugianpada lingkungannya, dan fungsi kedua yaitu yang
dikaitkan pada hak menuntut dilakukannyasesuatu tindakan agar lingkungannya dapat
dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik
sebagaimana tertera dalam berbagai konstitusi dikaitkan dengan kewajiban untuk
melindungi lingkungan hidup. Ini berarti bahwa lingkungan hidup dengan sumber-
sumber dayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang
harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi-generasi mendatang.
Perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alamnya dengan demikian mempunyai
tujuan ganda yaitu melayanai kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan melayani
kepentingan individu.
Dengan mengacu pada pasal ini seharusnya kebijakan yang diambil pemerintah
yaitu dengan memperhitungkan hak masyarakat atas lingkungan hidup. Yaitu menjamin
penuh setiap kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi dan ekploitasi tidak akan
menyebabkan degradasi lingkungan dan kerugian bagi masyarakat.
Adapun respon dari pemerintah yaitu berupa penetapan kebijakan berupa :
1. Keputusan Presiden no. 13 tahun 2006 (Lampiran)
2. Peraturan Presiden no. 14 tahun 2007 (Lampiran)
3. Peraturan Presiden no. 48 tahun 2008 (Lampiran)
4. Peraturan Presiden no. 40 tahun 2009 (Lampiran)
21
Berdasarkan hasil kebijakan tersebut maka akan dibuat suatu tinjauan kritis dengan
mendasarkan kepada latar belakang perusahaan, penyebab kejadian serta hasil
keputusan dalam Peraturan Presiden.
22
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Peta Administrasi
Gambar 5: Peta administrasi Kabupaten Sidoarjo.
B. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur
Eksternalitas merupakan kerugian atau manfaat pada transaksi pasar yangtidak
dinyatakan dalam harga. Ketika suatu eksternalitas berlaku, pihak ketiga (selain
daripada pembeli atau penjual barang) dipengaruhi oleh produksinya atau konsumsinya.
Manfaat atau kerugian pihak ketiga tidak dipertimbangkan oleh pembeli atau penjual
barang produksi atau akibat pemakaian dalam suatu eksternalitas. Harga pasar tidak
secara akurat menggambarkan semua marginal social benefit atau marginal social cost
pada barang yang diperdagangkan ketika eksternalitas dihadapi. Eksternalitas negatif
adalah kerugian pihak ketiga selain pembeli dan penjual barang yang tidak dinyatakan
dalam harga pasar. Contohnya adalah kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran
yang berasal dari industri pada manusia dan properti mereka. Pengaruh dari pencemaran
ini adalah merusak kesehatan dan pengurangan nilai usaha dan properti serta sumber
23
daya. Eksternalitas positif adalah manfaat yang diperoleh pihak ketiga selain pembeli
dan penjual yang tidak dinyatakan dalam harga. Contohnya adalah keberadaan untuk
pencegahan api, karena pembelian alarm rokok dan bahan tahan api bermanfaat untuk
mengurangi resiko kebakaran (Hyman, 2005: 97-98). Faktor eksternal memiliki
pengaruh positif dan negatif terhadap nilai properti rumah tinggal. Hal tersebut terjadi
karena rumah tinggal memiliki karakteristik immobile, sehingga menyebabkan pengaruh
eksternal lebih kuat terhadap properti dibandingkan barang ekonomis, jasa atau
komoditas lainnya. Eksternalitas dapat berupa penggunaan atau atribut fisik dari
properti yang berlokasi dekat dengan properti lain atau kondisi ekonomi yang
mempengaruhi pasar di mana properti berkompetisi. Eksternalitas negatif terjadi ketika
pemilik properti merasa tidak nyaman akibat tindakan yang dilakukan oleh pihak lain
seperti adanya limbah berbahaya di sekitar properti yang diketahui oleh masyarakat dan
menyebabkan nilai properti menurun (Prawoto, 2003: 98-99). Menurut Simons dan
Saginor (2006: 71) salah satu bentuk eksternalitas adalah kontaminasi lingkungan
(environmental contamination) yang memiliki pengaruh negatif terhadap nilai properti
perumahan. Sumber dari kontaminasi tersebut seperti kebocoran tangki pembuangan
limbah, polusi air dan udara, saluran tegangan tinggi, tenaga nuklir, dan lain sebagainya.
Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada Sumur
Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya tumpahan atau
luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat besar maupun adanya
dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair tersebut.
a. Volume lumpur
Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1 (BJP-1),
volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik per hari. Lubang
semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari
waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus membesar
hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan penanganan lumpur panas ini
menjadi jauh lebih berat akibat semakin membesarnya volume lumpur panas yang
disemburka dari yang semula antara 40,000 sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi
126,000 m3 per hari.
24
Gambar 6 : Lokasi Kolam Penampungan Lumpur.
Sumber : United Nations, Environment Assessment Hot Mudflow East Java, Indonesia, Juli 2006
b. Karakteristik Lumpur
Konsistensi : lumpur terdiri dari 70-80% air dengan pecahan padat mencapai 80-
90% tanah liat (berpasir). Forams dalam lumpur terdapat kandungan tanah liat yang
berasal dari kedalaman antara 1220-1830 meter (sesuai dengan kematangan yang
berkenaan dengan panas& komposisi kerogen). Lumpur mempunyai ~ 2/3 salinitas air
laut dan dengan kepadatan 1.3-1.4 g/cm3. Suhu : Temperatur lumpur saat terjadi letusan
antara 70-100ºC. Cairan diperkirakan berasal dari kedalaman antara 1750-3000 meter (
dari temperatur& ilmu kimia). Kandungan Gas: Letusan pada awalnya mempunyai
kandungan H2Syang cukup tinggi pada 2 hari pertama setelah terjadi semburan (~
700ppm, berpotensi mematikan). Saat ini berisi kandungan bahan organik yang
cenderung mengalami peningkatan ( benzen, toluene, Xylenes dan hidrokarbon).
Substansi Zat Beracun Dalam Lumpur : beberapa Contoh yang diambil oleh PBB
menunjukkan bahwa lumpur mengandung logam berat (terutama sekali air raksa).
25
Walaupun survei selanjutnya yang dilakukan oleh Lapindo menunjukkan bahwa lumpur
tidak mengandung bahan beracun dan aman untuk digunakan atau dibuang.
c. Hasil Uji Lumpur
Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo,
Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur 108 Davies et al. 2007;
dalam makalah Mazzani et al 2007, United Nation (UN) 2006 Report. Sidoarjo tidak
termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, Boron, Timbal,
Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti
Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene, Chloroform dan sebagainya. Hasil
pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu.
Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Terhadap Lumpur Lapindo
Beberapa hasil pengujian
Parameter Hasil uji Baku Mutu (PP Nomor 18/1999)
Arsen 0,045 Mg/L 5 Mg/L
Barium 1,066 Mg/L 100 Mg/L
Boron 5,097 Mg/L 500 Mg/L
Timbal 0,05 Mg/L 5 Mg/L
Raksa 0,004 Mg/L 0,2 Mg/L
Sianida Bebas 0,02 Mg/L 20 Mg/L
Trichlorophenol 0,017 Mg/L
2 Mg/L (2,4,6 Trichlorophenol)
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon) maupun
organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa lumpur tersebut
tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50 adalah pengujian
konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50 persen hewan uji mati. Hasil
pengujian membuktikan lumpur tersebut memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai
70.631,75 ppm Suspended Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di
atas 1.000.000 ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar
EDP-BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau
kurang dari 30.000 mg/L SPP. Di beberapa negara, pengujian semacam ini memang
diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used drilling mud) ke dalam
26
laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L SPP, lumpur dapat dibuang ke
perairan.
d. Hasil Penelitian Tanah
Akan tetapi uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan
lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah dilakukan. Hal
ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di dalam udara terbuka
lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang toxic setelah mengalami
kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain yang berada di sekitar wilayah bencana
tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat daerah sekitar bencana adalah daerah
industri yang memungkinkan akan terjadinya kontaminasi tersebut. Seperti dikatakan
oleh anggota Tim Ahli dari Intitut Tehnologi Sepuluh Nopember Surabaya Ir. Lily
Pudjiastuti, MT. mendapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian tersebut diatas.
Masih menurutnya, tanah yang telah terkena lumpur panas di sumur eksplorasi milik
Lapindo Brantas Inc. di Porong, Sidoarjo, mengandung logam berat, sehingga tidak bisa
ditanami tanpa proses rehabilitasi. Tanah bekas terkena lumpr bisa ditanami akan tetapi
jika tanaman tersebut akan dikonsumsi oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan. Oleh
karenanya, tanah eks lumpur panas tersebut perlu direhabilitasi terlebih dahulu sebelum
dimanfaatkan lagi. Lebih lanjut dikatakan bahwa tanah bekas terkena lumpur panas
perlu direhabilitasi karena memiliki kandungan logam berat, zat reaktif, dan zat yang
tergolong Total Dissolved Solids (TDS) atau Total Bahan Terlarutkan. Kalau tidak ada
proses rehabilitasi terlebih dulu memang tidak akan kelihatan dampaknya dalam jangka
pendek, namun dalam jangka panjang akan berdampak pada kesehatan manusia akibat
akumulasi sejumlah zat yang ada tersebut. Tentang upaya rehabilitasi tanah atau lahan
yang perlu dilakukan, ia mengatakan hal itu memerlukan proses penambahan zat kimia
tertentu, namun itu tidak murah secara ekonomis, karena membutuhkan peralatan
teknologi. Namun kalau mau dibuang ke sungai atau laut tentu memerlukan kajian lebih
lanjut, terutama pengaruhnya kepada mikroorganisme di dalam tanah dan biota di dalam
air. Seperti halnya juga mengenai kemungkinan pemanfaatan untuk batako atau batu
bata, yang masih perlu pengujian lebih lanjut mengingat adanya zat reaktif yang bila ada
kontak dengan zat asam atau zat basa akan mengeluarkan H2S yang juga akan
berbahaya dalam kadar yang terakumulasi.
27
e. Dampak Sosial Ekonomi
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur panas Lapindo selain
mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat
celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal
disekitar semburan lumpur. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan
berbagai pihak selama ini antara lain lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo.
Sebagai mana kita ketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur,
khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Sekitar 30 sektor usaha tidak dapat
beroperasi sebagai akibat hilangnya tempat usaha sehingga terpaksa menghentikan
aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga
kerja kehilangan mata pencaharian sebagai akibat dampak bencana tersebut.
a. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti
rusaknya jalan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu jalur
Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong yang berakibat pula pada
aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
b. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan
dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll.
c. Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah
diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami
kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian
Soetarto Alimoeso area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan
lumpur Lapindo seluas 417 hektar. Jumlah ternak yang terkena dampak luapan
lumpur adalah 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
d. Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti :
• Sarana tempat tinggal dimana luapan lumpur telah menggenangi duabelas desa
di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian
sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan.
Tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur serta tercatat telah memindah
paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa mengungsi.
28
• Tidak berfungsinya sarana dan prasarana publik seperti sarana pendidikan akibat
rusaknya bangunan sekolah sebanyak 18 buah (7 sekolah negeri).
• Sarana air bersih sebagai akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan
lumpur yang mengakibatkan rusaknya pipa air milik PDAM Surabaya. Sarana
beribadah seperti masjid dan mushola yang mengalami kerusakan sebanyak 15
unit.
• Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawaijuga terancam tak
bekerja
• Rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik,telepon, jalur
transportasi darat seperti kereta api). Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh
jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya
Porong tak dapat difungsikan.
• Rusaknya pipa gas milik Pertamina sebagai akibat adanya penurunan tanah
karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
e. Selain dampak kerusakan langsung yang disebabkan adanya luberan lumpur
dalam volume yang cukup besar, luapan lumpur tersebut juga mempunyai
dampak terhadap kesehatan masyarakat yang ada disekitar lokasi bencana. Efek
samping lumpur bagi kesehatan manusia bisa berupa efek langsung maupun
tidak langsung. Lily Pujiastuti, Sekretaris Pusat Kependudukan dan Lingkungan
Hidup (PKLH) di LPPM ITS Surabaya mengatakan bahwa efek langsung
lumpur panas menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik
yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan
akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya
kecerdasan.
f. Serta jumlah masyarakat korban yang terkenda dampak, antara lain terlihat
dalam table berikut ini :
29
Tabel 2. Daftar siswa yang diungsikan
No Kategori Lokasi
Total (anak) Pasar porong anak
Di luar pasar porong (anak)
1 TK 185 95 280 2 SD 595 358 953 3 SMP 185 53 238 4 SMA 74 46 120 5 Total 1039 552 1591
Tabel 3. Catatan mengenai kesehatan
No. Rumah Sakit/Klinik Pasien
Rawat Jalan (orang)
Pasien Rawat Inap
(orang)
Status Pasien Rawat Inap
(orang) 1 RSUD Sidoarjo 66 53 4 2 Puskesmas Porong + Pos
Kesehatan 118 18,001 108 3
3 RS Bhayangkara 1,485 229 10 4 Pos Kesehatan PKS 1,260 0 5 Pos Kesehatan PAN 336 0 6 Pos Kesehatan Marinir 485 0 7 RS Siti Hajar 3 3 0 8 RS Delta Surya 2 2 0 9 RSUD Dr. Sutomo 2 2 2 Total 21,640 397 19
Tabel 4. Daftar Pengungsi
No Nama Desa Jumlah Penduduk
(orang)
Balai Desa/Masjid
Renokenongo
Rumah-rumah Famili
Pasar Baru Porong
Total Keluarga
(KK)
Total Jiwa
(Orang) Total
KK (KK)
Total Jiwa
(Orang)
Total KK
(KK)
Total Jiwa
(Orang)
Total KK
(KK)
Total Jiwa
(Orang)
1,894
7,234 1 Jatirejo 3,411 91 315 1,803 6,919 2 Siring 4,196 0 0 3 Kedung
Bendo 22,833 0 0
4 Renokenongo 4,753 179 699 179 6995 Total 35,193 179 699 91 315 1,803 6,919 2,073 7,933
30
BAB IV
TINJAUAN KRITIS PENANGANAN OLEH PEMERINTAH
A. Posisi Kasus
Ditetapkannya kebijakan di bidang penanganan kasus Lumpur Lapindo, pada
bagian ini akan dijelaskan mengenai perkembangan Peraturan Presiden terkait lumpur
Lapindo. Adapun Peraturan-peraturan tesebut adalah :
1. KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG TIM NASIONAL PENANGGULANGAN SEMBURAN
LUMPUR DI SIDOARJO
Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :
• PERTAMA : Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan
Lumpur di Sidoarjo, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut
Tim Nasional.
• KETIGA : Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-
langkah operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan
lumpur di Sidoarjo yang meliputi :
a. penutupan semburan lumpur;
b. penanganan luapan lumpur;
c. penanganan masalah sosial.
• KEENAM : Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional
dibebankan pada anggaran PT. Lapindo Brantas.
2. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN
2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO
Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :
• Pasal 1
(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan.
31
(2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan
semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan
infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko
lingkungan yang terkecil.
• Pasal 14
(1) Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .
• Pasal 15
( 1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo
Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur
Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area
terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah
yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.
(2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan
dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember
2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan
paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.
(3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22
Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden ini, dibebankan pada
APBN
(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur terrnasuk di dalamnya
penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada PT
Lapindo Brantas.
(6) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur
untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan
sumber dana lainnya yang sah.
3. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN
2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR
14 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR
SIDOARJO
Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :
• Pasal 15
32
(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo
Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur
Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan Peta Area
Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan
tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh
Pemerintah.
(2) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti
yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam Peta
Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% (dua puluh per seratus)
dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum
masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.
(3) Dihapus.
(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya
penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong, dibebankan kepada PT
Lapindo Brantas.
(6) Biaya upaya penanganan masalah infrastruktur, termasuk infrastruktur
untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan
sumber dana lainnya yang sah.”
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 15 A,
Pasal 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai berikut:
• Pasal 15 A
Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area
Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.
• Pasal 15 B
(1) Wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak tanggal
22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 A adalah di Desa
Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring, Kecamatan Jabon,
Kabupaten Sidoarjo, dengan batas-batas sebagai berikut :
o sebelah utara : tanggul batas Peta Area Terdampak
o sebelah timur : jalan tol ruas Porong – Gempol
o sebelah selatan : Kali Porong
o sebelah barat : batas Desa Pejarakan dengan Desa Mindi
33
(3) Dalam rangka pengananan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pembelian tanah dan bangunan
di wilayah tersebut dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang
mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.
(4) Jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat khusus sehingga
tidaK berlaku ketentuan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
(5) Pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan skema
20% (dua puluh per seratus) pada Tahun Anggaran 2008 dan sisanya mengikuti
tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(6) Dana penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang berupa bantuan
sosial dan pembelian tanah dan bangunan diterimakan kepada masyarakat di 3
(tiga) desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarannya dimusyawarahkan
dengan mempertimbangkan rasa keadilan oleh Badan Pelaksana BPLS dengan
mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
(7) Tata laksana pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut oleh
Kepala Badan Pelaksana BPLS.
4. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN
2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PRESIDEN
NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN
LUMPUR SIDOARJO
Adapun inti dari keputusan ini yang akan ditelaah yaitu :
• Pasal 9
d. melakukan penanganan luapan lumpur ke Kali Porong
• Pasal 15
34
(5) Dihapus.
(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali
Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur penanganan luapan
lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang
sah.
(7) Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk
melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada
APBN.
B. Pembahasan Analisis Kasus
Melalui berbagai analisis mengenai Lumpur Lapindo dan sebab-akibat maka
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pada tahun 2006 yaitu berupa Keputusan Presiden
no. 13 tahun 2006 yaitu tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur
Sidoarjo. Keputusan ini dibuat dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di
sekitar Sumur Banjar Panji-1, Sidoarjo, Jawa Timur, yaitu perlu dilaksanakan langkah-
langkah penyelamatan penduduk di sekitar daerah bencana, menjaga infrastruktur dasar
dan penyelesaian masalah semburan lumpur dengan memperhitungkan resiko
lingkungan yang paling kecil. Susunan keanggotaan Tim Nasional ini dipimpin oleh
Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang ditunjuk oleh Presiden. Dalam keputusan
tersebut dikatakan bahwa tindakan penanggulangan yaitu dengan penutupan semburan,
penanganan luapan lumpur dan penanganan masalah sosial.
Menurut Keppres No. 13 Tahun 2006 menyatakan PT. Lapindo Brantas
bertanggung jawab atas pembiayaan operasional Tim Nasional Penangulangan lumpur
serta disebutkan bahwa dengan terbentuknya Tim Nasional dimaksudkan tidak
mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan
dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.
Keputusan ini berusaha menegaskan bahwa harus ada tanggung jawab dari PT. Lapindo
Brantas sebagai pelaku kerusakan struktural yang menyebabkan luapan lumpur lapindo.
Tetapi dalam keputusan tersebut tidak ditegaskan bagaimana cara pembayaran dalam
hal penanganan operasional Tim Nasional serta ganti rugi masalah sosial. Ini merupakan
celah bagi PT. Lapindo Brantas untuk tidak melakukan ganti rugi karena tidak
tercantum batas akhir atau tata cara pembayaran kepada warga yang terkena musibah.
35
Sementara luapan lumpur dari hari kehari semakin memperbesar area yang tergenang,
dan juga masyarakat sekitar harus segera beranjak dari tempat tinggal mereka terkait
bahaya dari ledakan maupun ke kesehatan masyarakat. Penderitaan masyarakat akibat
tidak bisa menerima hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat dan baik semakin
menjadi karena mereka hanya bisa menunggu peran serta pemerintah menjamin
kehidupan mereka. Dikatakan bahwa pemerintah belum mempunyai anggaran untuk
membantu pihak PT. Lapindo Brantas menalangi sementara kerugian yang diderita
warga.
Kebijakan Pemerintah mengenai lumpur Lapindo yang ke II yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang diterbitkan untuk
pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo. Hal ini menimbang dampak
luapan lumpur yang semakin luas; langkah penyelamatan penduduk, penanganan
masalah sosial dan infrastruktur akibat bencana; dan pembentukan Badan Penanganan
Lumpur Lapindo dengan berakhirnya masa tugas Tim Nasional Penanggulangan
Semburan Lumpur. Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo ini dipimpin oleh Menteri
Pekerjaan Umum (PU) yang bertindak sebagai dewan pengarah.
Pada Perpres ini semua biaya Administrasi Badan Penanggulangan didanai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berarti seluruh rakyat
Indonesia berpartispasi dan bertanggung jawab terhadap bencana ini. Hal ini seharusnya
tidak terjadi jika Pemerintah memang teliti dan melihat kronologis kejadian penyebab
luapan lumpur di kawasan ini, yaitu PT. Lapindo Brantas adalah pelaku dari kejadian
bencana ini. Seperti disebutkan oleh American Association of Petroleum Geologists
(AAPG) bahwa “3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa yogya sebagai
penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pemboran sebagai penyebab,
13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan pemboran sebagai
penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.”
Fakta yang didapat dari data terhadap penyebab terjadinya luapan lumpur di Sidoarjo
menurut beberapa ahli geologi di beberapa media massa nasional dan yang dapat dibaca
juga dalam Bab III ini adalah pada tanggal 27 Mei 2006, telah terjadi “ underground
blowout ” di dalam sumur Banjar Panji I dan pada tanggal 29 Mei 2006 untuk pertama
kalinya diberitakan oleh media massa bahwa lumpur panas menyembur ke permukaan.
Semburan lumpur yang berasal dari bawah permukaan tanah (subsurface mud)
36
terjadinya karena runtuhnya (collapse) formasi tanah (upper Kalibeng) yang merupakan
zona lumpur pada kedalaman 4000-6000 kaki. Pada lapisan ini terdapat tekanan
hidrostatik dan tekanan lain dari poripori batuan yang ada. Program drilling yang telah
dipersiapkan memberikan petunjuk bahwa pada formasi Top Kujung (lapisan batu
gamping) dipasang “casing ”. Sampai kedalaman 9000 kaki tercatat masih terus
dilakukan pengeboran dengan “ run casing ”, baru pada kedalaman 9297 kaki diketahui
telah terjadi kehilangan sirkulasi secara total, lubang sumur menjadi tidak stabil. Pada
posisi ini, sebetulnya masih bisa diatasi dengan mengorbankan sumur yang sedang di
bor dengan memompa semen kedalamnya (well plug) supaya tekanan dari bawah tidak
berhubungan dengan lumpur cair di lapisan Kalibeng, yang pada gilirannya akan
mendesak lumpur cair ini ke permukaan, seperti yang terlihat saat ini.
Dari kasus perpres ini kita bisa melihat bahwa ada suatu pembenaran dari
kesalahan PT. Lapindo Brantas, bisa dilihat dari banyak hal. Salah satunya mengenai
tanggungan biaya pemulihan yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan yang
dibentuk oleh Presiden sepenuhnya lewat APBN yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1
Perpres tersebut. Dalam hal ini berarti rakyat juga ditekan dengan kontribusi biaya lewat
anggaran tersebut. Pada Pasal 15 ayat 1 yang berbunyi “Dalam rangka penanganan
masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan
masyarkat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap,
sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti
kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh
pemerintah.” Hal ini sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak semburan
lumpur, yaitu pemukiman tempat tinggal yang sudah terendam air akan dibeli ganti rugi
sepihak tanpa ada proses tawar-menawar. Hal ini akan menguntungkan PT Lapindo
Brantas karena masyarakat harus tunduk pada aturan tersebut. Disatu sisi masyarakat
terkena dampak akan dipersulit dengan alasan sertifikat, yaitu harus ada surat akta jual
beli tanah yang diakui pemerintah. Hal ini merupakan jalan mempersulit proses karena
tidak semua warga yang terkena dampak dan mempunyai rumah tinggal mempunyai
akta jual beli tanah yang diakui pemerintah, selain itu lewat keputusan tersebut tidak
menilai bahwa warga sudah kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan
bersih. Pembayaran ganti rugi hanya memperhitungkan petak-petak tanah dan rumah
tinggal, padahal kehilangan dan degradasi lingkungan menghasilkan kerugian tak
37
terhingga yang dirasakan masyarakat. Hal seperti di atas tidak diakomodir oleh
keputusan tersebut.
Perpres No. 14 Tahun 2007 juga menyebutkan dalam Pasalnya yang ke 15 ayat
3 bahwa “biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22
maret 2007, setelah ditandatangai Peraturan Presiden ini dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.”. dan “Biaya untuk upaya penanganan masalah
infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo,
dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya. Dari keputusan tersebut dapat
dikritisi bahwa keputusan tersebut sangat menguntungkan pihak yang mestinya
bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas, yaitu penggantian rugi oleh pihak
tersebut hanya meliputi area terdampak yang sifatnya tetap, tetapi kerugian lebih besar
akan ditanggung oleh masyarakat Indonesia yang harus menanggung daerah di luar area
terdampak yang terus mengalami pertambahan luasan karena lumpur tersebut
semburannya bersifat kontinyu. Secara spasial luasan yang di luar area terdampak akan
selau bertambah dan berarti biaya penanggulangan sosial kemasyarakatan yang
ditanggung oleh APBN akan semakin membesar. Hal ini merupakan suatu ironi bagi
masyarakat Indonesia lewat peraturan yang dikeluarkan Presiden, yaitu masyarakat
yang terkena dampak adalah orang-orang yang ikut andil dalam mengisi APBN dan
bukan yang memicu terjadinya bencana harus menanggung biaya kerusakan tersebut,
sementara PT Lapindo Brantas diperingan kerjanya oleh Peraturan Presiden tersebut.
Area terdampak adalah daerah yang secara hukum dinyatakan menjadi lokasi yang
terkena dampak bencana lumpur Lapindo. Ada tiga generasi keputusan hukum yang
dilampiri dengan peta area terdampak. Mereka adalah, pertama, Perpres 14/2007 yang
menetapkan Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo masuk ke dalam
peta area terdampak 22 Maret 2007.
38
Gambar 7: Peta lokasi dan fakta bencana lumpur Lapindo (2006-2010)
Peraturan Presiden No 48 Tahun 2008 yang memasukkan 3 Desa di sebelah
selatan tanggul ke dalam peta area terdampak. Ketiga desa tersebut adalah Desa Besuki
di Sebelah barat tol Surabaya-Gempol, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan.
Pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres
48/2008 ini merupakan tanggungjawab Negara atau didebankan ke APBN. Peraturan
Presiden ini memicu konflik antar warga karena di satu desa ada bagian yang terdampak
39
yang masuk ke dalam perjanjian ganti rugi dan sebagian wilayah lain tidak termasuk ke
dalam wilayah yang terdampak.
Desa besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta
terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P.
Beberapa hal yang membuat ambigu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa
tersebut yaitu hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta
area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol
Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.Hal kedua adala belum
adanya kepastian waktu ganti rugiu ntuk proses jual beli tersebut dibayarkan, dan hal
ketiga yaitu harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.
Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhnya dimasukkan ke dalam peta area
terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam kejadian tersebut selalu saja
menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan
masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta
antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang
terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya
dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu
kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di
masyarakat.
Permasalahan lain yaitu, secara yuridis pengaturan pasal 15 dalam Perpres No.
14 Tahun 2007 dan Perpres No 48 Tahun 2008 di atas memiliki kecacatan karena
ketentuan yang mengatur jual-beli tanah antara warga korban dengan pihak Lapindo
Brantas yang diklaim sebagai mekanisme penanganan permasalahan sosial
kemasyarakatan akibat semburan lumpur tersebut jelas-jelas bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yaitu dalam hal ini ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang melarang jual-
beli tanah antara individu pemilik hak atas tanah dengan suatu badan hukum, dimana
jika terjadi maka jual beli tersebut batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan hukum)
dan tanah individu yang dijual akan jatuh menjadi tanah negara. Jelas tergambar bahwa
Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48 Tahun
2008 yang diklaim sebagai suatu upaya perlindungan hukum dari pemerintah kepada
korban lumpur justru tidak memberikan perlindungan hukum apapun.
40
Berdasarkan kenyataan ini, maka tentu sangat dipahami jika korban lumpur
merasakan bahwa tidak ada pilihan selain mengikuti ketentuan sebagaimana diatur
dalam Perpres No. 14 Tahun 2007 yang kemudian diperbarui dengan Perpres No. 48
Tahun 2008 guna mendapatkan penyelesaian hukum atas terlanggarnya hak-hak mereka
tersebut. Namun –lagi-lagi- ironisnya, persoalan penyelesian hak-hak korban lumpur
tidak juga mendapatkan titik terang walaupun hampir keseluruhan korban telah
melakukan pengikatan jual-beli dengan pihak Lapindo sebagaimana diamanatkan dalam
Perpres, hal ini terbukti dengan masih belum tuntasnya pembayaran lahan dan bangunan
milik warga korban oleh pihak Lapindo Brantas bahkan hingga melampaui jangka
waktu pelunasan pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat 2 Perpres No. 14
Tahun 2007 dan Perpres No. 48 Tahun 2008 yakni maksimal selama 23 bulan. Atas
realita ini, maka pihak Lapindo Brantas jelas-jelas telah melanggar ketentuan
sebagaimana diatur dalam Perpres (walaupun Perpres itu sendiri juga melanggar
hukum), dan Presiden selaku pihak yang mengeluarkan Perpres tidak melakukan upaya
perlindungan hukum apapun bagi korban lumpur berkaitan dengan realita dilanggarnya
ketentuan Perpres oleh pihak Lapindo ini. Hal ini tentu sangat jelas menggambarkan
betapa nihilnya perlindungan hukum bagi korban lumpur, ribuan warga negara
Indonesia yang telah terlanggar hak-hak konstitusionalnya selama 3 tahun ini.
Peta area terdampak ketiga adalah berdasarkan Perpres 40/2009 yang
memasukkan Desa Siring dan Jatirejo di sebelah barat jalan raya Porong serta 3 RT di
Desa Mindi yang terletak di sebelah selatan tanggul. Dana untuk pembayaran aset
warga yang masuk ke dalam peta area terdampak berdasarkan Perpres 40/2009 ini
dibebankan kepada PT LBI. Pada Peraturan Presiden yang terakhir disahkan ini yaitu
kawasan terdampak tetap per tanggal 22 Maret 2007 sementara efek akibat semburan
lumpur bisa berkembang menjadi seuah subsidence (penurunan muka tanah) akibat
terjadi kekosongan pada bagian dalam tanah karena rutinitas semburan yang kontinyu.
Hal ini hanya akan tetap merugikan negara dalam hal ini APBN yang menanggung
perkembangan kerusakan akibat luapan lumpur yang mungkin saja terus berkembang.
Selain itu jika dicermati ada perubahan pada Pasal 15 ayat 6 yang menyatakan “Biaya
upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong,
penanganan infrastruktur, termasuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan
kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah”. Hal ini juga memberatkan dibanding
41
Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 15 ayat 6 yang masih menyatakan
bahwa Pengaliran dan Penanggulangan Lumpur melalui Kali Porong dibebankan
kepada PT Lapindo Brantas, termasuk biaya tindakan mitigasi yang dilakukan Badan
Pelaksana BPLS dalam ayat 7 juga akan ditanggungkan ke dalam APBN. Dalam
perkembangannya hal ini sangat merugikan pihak rakyat Indonesia sebagai penanggung
beban dari biaya perbaikan dan rehabilitasi lumpur Lapindo. Berdasarkan
perkembangan dari peraturan ke peraturan selalu mengalami kemunduran perlindungan
hak bagi masyarakat Indonesia dan penegakan hukum yaitu dibuktikan dengan pihak PT
Lapindo Brantas hanya mempunyai tanggung jawab sebatas penanganan masalah sosial
kemasyarakatan dalam area terdampak per 22 Maret 2007.
Seharusnya Pemerintah lewat berbagai kebijakannya adalah memberi dan
memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia mengenai hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pemerintah Indonesia harus memastikan Pihak
Pencemar mampu menerapkan konsep tanggung jawab mutlak seperti yang
dikemukakan oleh James E. Krier mengenai tanggung jawab mutlak dapat merupakan
bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena
banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap
lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya.
Salah satu usaha yang berjalan seiring dengan penerapan pilihan pengaliran
lumpur ke Kali Porong adalah persiapan lokasi penampungan lumpur di tempat lain,
misalnya di bekas lokasi galian tambang pasir di Ngoro atau di Kali Mati, sehingga
terhitung sejak Januari 2007, sudah dapat diterapkan konsep pengelolaan lumpur yang
berjangka waktu beberapa tahun. Sebuah kemajuan dari pengelolaan lumpur saat ini
yang hanya merencanakan sejauh dua sampai tiga bulan ke. Kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan dari kebijakan pengaliran jutaan m3 lumpur yang menyerupai petis udang
ini ke Selat Madura akan sangat luas, bila yang dilakukan adalah sekedar mengalirkan
lumpur tersebut ke Kali Porong. Sekitar 16,000 hektar tambak di sepanjang dan di
sekitar muara Kali Porong akan mengalami proses sedimentasi dalam skala yang besar
dan sangat cepat. Kabupaten Sidoardjo akan menjadi daerah yang rawan banjir bila
terjadi pendangkalan di Kali Porong. Selain itu perairan Selat Madura akan menjadi
keruh, karena sebagian besar lumpur tersebut tidak bisa mengalir keluar dari Selat
Madura.
42
Untuk mengurangi dampak negatif pendangkalan Kali Porong, akan dilakukan
pengerukan dasar Kali Porong secara berkala sehingga dapat dicegah terjadinya
pendangkalan sungai pada tingkat yang menyebabkan timbulnya banjir. Penimbunan
dasar Kali Porong dengan lumpur panas Sidoardjo diperkirakan oleh para pakar dapat
memperlancar arus air dan mengurangi proses sedimentasi, sampai batas tertentu. Bila
batas pendangkalan tersebut terlampaui, akan terjadi kerusakan lingkungan.
Pendangkalan tersebut akan meningkatkan intensitas banjir pada musim hujan dan
pencemaran tambak ikan dan udang di sepanjang dan di muara Kali Porong. Untuk
mengurangi dampak negatif pemanfaatan Kali Porong sebagai saluran pembuangan
lumpur bagi masyarakat pemanfaat air Kali Porong, diusulkan agar sebagian aliran air
di Kali Porong disalurkan lewat pipa atau saluran terbuka pada bagian hulu sebelum
titik pembuangan lumpur untuk menjamin pasokan air bagi keperluan irigasi dan
pertambakan masyarakat di bagian hilirnya. Studi beberapa pakar dari perguran tinggi di
Jawa Timur menemukan bahwa air laut di Selat Madura hanya mengalir bolak-balik
dari Barat ke Timur dan dari Timur ke Barat sesuai dengan pasang naik dan pasang
surutnya perairan Selat Madura. Puluhan ribu masyarakat kabupaten Sidoarjo,
kabupaten Pasuruan, kotamadya Surabaya dan mungkin kabupaten Probolinggo yang
hidupnya bergantung pada tambak udang dan ikan akan terancam sumber
kehidupannya. Berkurangnya pendapatan nelayan yang menangkap ikan lemuru, ikan
layang dan ikan tongkol sejak belasan kilometer di timur muara Kali Porong sampai ke
sebelah Timur Selat Madura, adalah dampak yang sangat mungkin dirasakan sejak
pertengahan tahun 2007, apabila lumpur Sidoardjo dib uang ke Selat Madura.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,
penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo
sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan. Berbeda dari sistem tanggung jawab
pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam
pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak,
hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam
melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil
dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, makakeadaan ini telah cukup untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan
oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang
43
hidup ditengah-tengah masyarakat dan hakim juga dapat mematahkan kekakuan
normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan
beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya pelafal
undang-undang.
44
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian kritis terhadap kebijakan pemerintah mengenai lumpur
Lapindo yang terdapat dalam Keppres 13/2006, Perpres 14/2007, Perpres 48/2008
hingga Perpres 40/2009 yaitu didapatkan simpulan :
1. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan rakyat Indonesia karena
pembebanan penanganan sosial di luar area terdampak, biaya penanggulangan
lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur dibebankan atas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan warga yang terkena dampak
karena putusan pembayaran ganti-rugi atas kerusakan tanah dan tempat tinggal
didasarkan atas akta jual beli kepemilikan.
3. Bahwa kebijakan pemerintah sangat merugikan warga yang terkena dampak
karena penggantian ganti rugi hanya atas dasar putusan pemerintah di satu
pihak, sehingga tidak ada persetujuan sebelumnya dari warga.
4. Bahwa kebijakan Perpres No. 14 Tahun 2007 dan Perpres No. 48 Tahun 2008
yang mengatur jual-beli tanah antara warga korban dengan pihak Lapindo
Brantas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu dalam hal ini
ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
5. Bahwa kebijakan pemerintah tidak melindungi kepentingan masyarakat luas
akan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik seperti yang tercantum
dalam UUPLH Nomor 32 Tahun 2009.
B. Saran
Berdasarkan hasil kajian dalam tulisan ini penulis penulis mempunyai pemikiran
bahwa :
1. Perlu adanya kontrol dari masyarakat luas akan kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah dalam kasus lingkungan yaitu berasal dari kalangan Lembaga
Swadaya Masyarakat yang peduli masyarakat dan pro-lingkungan, kalangan
Akademisi lewat penelitian dan para pihak yang kritis terhadap kebijakan.
45
2. Dalam kebijakannya pemerintah harus mempertimbangkan hak manusia untuk
mendapat lingkungan yang sehat dan baik.
3. Kebijakan pemerintah harus bersifat adil dan melindungi warganya
4. Perlu adanya penyelesaian penengakan hukum di kasus lumpur Lapindo yang
menyatakan tanggung jawab mutlak dari PT Lapindo Brantas sebagai pencemar
dan memenuhi tanggung jawbanya dalam upaya rehabilitasi lingkungan dan
sosial mayarakat sekitar.
46
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit. Jakarta. Afandi, Agus, dkk., 2005, Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, Arrus. Yogyakarta.
Akbar, A. A. 2007. Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo. Percetakan Galang Press. Yogyakarta.
Effendi Lotulung, Paulus, 1993, Penegakan Hukum Lingkungan Oleh Hakim Perdata, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika. Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada university Press Yogyakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi.1996. Sebuah Studi tentang KANKYO KIHON HO 1993 (Undang-Undang Lingkungan Hidup Jepang 1993). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kumpulan Analisis Lumpur Lapindo, http://www.scribd.com/doc/24578342/Kumpulan-Analisis-Bencana- Lumpur-Lapindo-1
McEldowney, John F. & McEldowney, Sharron, 2006, Environment and The Law ( an introduction for environmental scientists and lawyers), Prentice Hall. London.
Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/
Rifai, Rachman. 2009. Spatial Modeling and Elements at Risk Assesment of Sidoarjo Mud Volcanic Flow. Graduate School Gadjah Mada University Yogyakarta.
Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory 171 (1993).
Soesanto, L.C, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf
United Nations, 2006, “Environment Assessment Hot Mudflow East Java, Indonesia”, Final Technical Report: United Nations Disaster Assessment and Coordination mission in June and July 2006 and Follow-up mission in July 2006, Switzerland.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009
KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 13 TAHUN 2006
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 2007
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 48 TAHUN 2008
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 40 TAHUN 2009
47
BIODATA DIRI
1. Nama Lengkap La Ode Muhammad Erif, S.Si.
2. Tempat Lahir/Tgl. Lahir Buton, 12 September 1987
3. Jenis kelamin Pria
4. A g a m a Islam
5. Status perkawinan Belum Kawin
6 Alamat Jl. Kaliurang Km. 5 , Gang Gayamsari II Rt I/RWII VIIIA
7 No Telp/HP 085756877200
1. Nama Lengkap Fenky Wirada, S.Hut.
2. Tempat Lahir/Tgl. Lahir Palangka Raya/21 Juni 1986
3. Jenis kelamin Pria
4. A g a m a Kristen
5. Status perkawinan Belum Kawin
6 Alamat Klebengan CT VIII Blok B no 9 Yogyakarta
7 No Telp/HP 081514169137