Retorika Visual Buku Foto Requiem Karya Mamuk Ismuntoro dalam Mengangkat Isu Lumpur Lapindo

25
Retorika Visual Buku Foto Requiem Karya Mamuk Ismuntoro dalam Mengangkat Isu Bencana Lumpur Lapindo JURNAL Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Peminatan Komunikasi Massa Oleh: HAMDANI ALIF ARTANA NIM. 0911220087 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

Transcript of Retorika Visual Buku Foto Requiem Karya Mamuk Ismuntoro dalam Mengangkat Isu Lumpur Lapindo

Retorika Visual Buku Foto Requiem

Karya Mamuk Ismuntoro

dalam Mengangkat Isu Bencana Lumpur Lapindo

JURNAL

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

dengan Peminatan Komunikasi Massa

Oleh:

HAMDANI ALIF ARTANA

NIM. 0911220087

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

Retorika Visual Buku Foto Requiem

Karya Mamuk Ismuntoro

dalam Mengangkat Isu Bencana Lumpur Lapindo

Hamdani Alif Artana

0911220087

ABSTRACT

Photograph capable to telling us more about beauty of nature, the changing of

social environment, until story from the disaster land. Beyond his point of view,

photographer Mamuk Ismuntoro documenting Lapindo mud flow disaster issue through

very personal photographs in Requiem Photo Book. In this case, photographer as rhetors,

possible to communicating message using various symbols that include in the photographs.

Visual rhetoric’s technique analysis use to explaining visual rhetoric inside the

photograph’s on the Requiem Photo Book and photographer strategy to produced message

through photograph. Analysis unit using 16 photographs taken from the content of Requiem

Photo Book and interview result with photographer Mamuk Ismuntoro.

The result analysis shown that Requiem Photo Book tell a stories of sorrow and

suffering caused by drive society out from their homeland by Lapindo mud flow disaster,

but in the end story, photographer leave behind an impression of hope. Over landscape and

human interest element that appear in certain sequence, and other decision of photography

technique that choosen consciously under definite calculation, then photographer become a

communicator who visualised disaster of Lapindo mudflow as an object interpretation of

his personal message. Personal message from the photographer as communicator has a

purpose as reminder and awaken for the other people to taking care of earth as a energy

resource and homeland of human, simultaneously.

Key Word : Visual Rhetoric, Photo Book, Lapindo Mud Flow Disaster.

PENDAHULUAN

Komunikasi dapat diterapkan ke berbagai media untuk menyampaikan sebuah

pesan, salah satunya melalui bentuk visual. Messaris dan Moriarty (2005, h. 499)

menjelaskan bahwa bentuk visual itu sendiri dapat memiliki dampak pada sikap, emosi,

serta pengetahuan. Pesan visual juga dapat disampaikan melalui gambar, poster, iklan,

lukisan, dan foto. Fotografi pun sering dimaknai lebih dari kata-kata. Bahkan, Ray Bachtiar

(2011, h. 7) menambahkan bahwa sebuah foto, yaitu jenis foto apa saja, bukan hanya

berbicara seribu kata, melainkan juga bagian dari seribu rangkaian peristiwa. Dalam “Kisah

Mata”, Seno Gumira Ajidarma melayangkan sebuah pemikiran jika gambar-gambar yang

dihasilkan oleh manusia, termasuk foto, merupakan suatu bagian dari keberaksaraan visual

(Ajidarma, 2003, h.26). Singkat kata, foto pun menjadi bagian dari tata cara berbahasa,

pengungkapan cita, dan rasa yang personal.

Visualisasi rasa hingga gambaran realita pada sebuah foto pun bisa diramu oleh

fotografer melalui berbagai macam keputusan teknis fotografis. Sebuah realita yang terjadi

di masyarakat bisa divisualisasikan ke berbagai wujud foto yang berbeda karena setiap

individu, dalam hal ini adalah fotografer, mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan

pandangan unik yang tidak seragam mengenai kehidupan. Melalui foto, realita yang ada di

masyarakat kemudian dikonstruksi oleh fotografer untuk menyampaikan pesan yang bisa

memunculkan potensi perbaikan keadaan sosial. Fotografer Mamuk Ismuntoro melalui

foto-foto di buku foto Requiem, mencoba menyampaikan pesan dan pandangan

personalnya mengenai isu bencana lumpur Lapindo.

Buku “Surabaya Di Luar Bingkai” (CCCL1, 2004) mencatat Mamuk Ismuntoro

sebagai seorang fotografer yang berbasis di Surabaya. Tahun 1998 hingga 2002 ia

bergabung dengan Harian Radar Surabaya, kemudian beralih ke Majalah Mossaik. Setelah

1CCCL atauCentre Culturel de Cooperation Linguistique adalah Pusat Kebudayaan Prancis di

Surabaya.Sejak 1 Januari 2012 berganti nama menjadi Institut Français d'Indonésie centre de

Surabaya.

itu, Mamuk Ismuntoro berkarir secara freelance sambil menjadi pengajar fotografi di

berbagai tempat dan mendirikan komunitas fotografi Matanesia2. Bencana lumpur Lapindo

sendiri merupakan gunung berapi lumpur terbesar di dunia, yang dihasilkan oleh ledakan

dari gas alam yangberawal dari pengeboran oleh PT Lapindo Brantas. Namun, perusahaan

berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh gempa (Ismuntoro,

http://invisiblephotographer.asia, diakses 3 Desember 2013). Lumpur Lapindo mengalir

sejak Mei 2006 dan telah menggenangi sawah dan desa-desa, sehingga ribuan penduduk

dari belasan desa di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur harus berpindah. Menurut Schiller, tidak

ada yang dapat memprediksi kapan semburan ini berhenti. Sampai saat ini, usaha

pemerintah atau PT Lapindo Brantas belum menunjukkan keberhasilan untuk

menghentikan semburan ataupun mengelola dampak sosial dan lingkungan dari luberan

lumpur itu (Schiller dalam Novenanto, 2013).

Mamuk Ismuntoro, dengan buku foto Requiem ini menjadi unik karena melalui

rangkaian foto-fotonya, dia memvisualisasikan bencana lumpur Lapindo dengan lebih

dalam. Tempat tinggalnya yang berada tidak jauh, sekitar 10 menit, dari lokasi bencana,

membuat Mamuk Ismuntoro mempunyai unsur social proximity, atau kedekatan secara

sosial terhadap apa yang menjadi obyek fotonya. Bahkan, bau gas tidak sedap yang berasal

dari sumber luberan bencana lumpur seringkali tercium hingga kediamannya (Ismuntoro,

2013, hasil wawancara tanggal 9 September 2013). Kedekatan sosial tersebut bisa

menimbulkan perasaan simpati seseorang terhadap obyek yang berada di sekelilingnya

2Komunitas Matanesia adalah komunitas fotografi terbuka berbasis jurnalistik yang berdiri di

Surabaya pada tahun 2006. Matanesia mengusung misi pembelajaran bersama tentang fotografi

sebagai medium komunikasi. Juga tempat berkumpul, tukar informasi, dan diskusi antar penggemar

foto Indonesia.

(Rahmawati, 2004). Terbentuknya kedekatan sosial itu terjadi karena adanya identitas

sosial yang sama. Kedekatan sosial tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi

pesan pada foto-foto yang dihasilkan.

Buku foto Requiem berisi 16 rangkaian foto pilihan dari sekian banyak frame foto

yang dibuat oleh Mamuk Ismuntoro secara berkala mulai bencana lumpur Lapindo terjadi

pertama kali hingga buku foto tersebut dicetak pada 2013. Buku foto Requiem yang

mengisahkan isu bencana lumpur Lapindo di dalamnya, merupakan satu diantara 55 buku

foto yang terpilih dari 483 buku foto dari 34 negara yang berpartisipasi dalam “2013

International Photobook Dummy Award”3. Selama tahun 2013, 55 buku foto terpilih

tersebut, termasuk buku foto Requiem,dipamerkan di 4 negara di Eropa. Ke-16 foto yang

terangkum di dalam buku foto Requiem diambil melalui pendekatan pandangan personal.

Melalui pendekatan pandangan personal, Mamuk Ismunotoro melakukan pemotretan

dengan sudut pandang subyektif, personal, bisa jadi sudut pandang di luar bingkai cerita

utama, yang mewakili misi atau kegelisahan fotografer atas sebuah peristiwa. Melalui

pendekatan ini, sebuah foto tidak menghadirkan realitas seperti apa adanya, karena dunia

dipercaya sebagai totalitas ide-ide subyektif (Ajidarma, 2003, h.13).

Komunikasi merupakan sebuah aksi yang disengaja, untuk menghasilkan tujuan-

tujuan tertentu dengan beragam strategi. Begitu pula dengan penyampaian pesan melalui

foto-foto di buku foto Requiem oleh fotografer Mamuk Ismuntoro kepada khalayak.

Melalui foto, seorang fotografer juga dapat beretorika. Retorika visual sendiri merupakan

gambar yang dihasilkan rhetors yang menggunakan simbol-simbol visual untuk tujuan

32013 International Photobook Dummy Award merupakanbagian dari acara Fotobook Festival yang

dihelat di Jerman sejak 2010 (http://2014.fotobookfestival.org/about/). Diakses pada 15 April 2014.

berkomunikasi. Gambar atau foto yang termasuk dalam ranah retorika visual memiliki

fungsi sebagai retorik atau persuasif (Sa’idin, 2013, h.9). Melalui pendekatan pandangan

personal, Mamuk Ismuntoro dengan karya-karya fotonya di buku foto Requiem

menyampaikan pesan melalui strategi-strategi tertentu, mencoba mengkonstruksi realita

yang ada, kemudian menyampaikan pesan yang baru kepada khalayak luas tentang isu

bencana lumpur Lapindo melalui sudut pandang personalnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Retorika visual digunakan untuk menggambarkan studi citra visual dalam disiplin

ilmu retorika, berkaitan dengan studi tentang penggunaan simbol-simbol untuk

berkomunikasi (Foss, 2005, h.141). Retorika visual tidak hanya tentang desain atau

gambar, tetapi juga mengenai budaya dan makna yang tercermin di dalam karya visual

tersebut.Secara sederhana retorika visual dapat diartikan bagaimana atau mengapa sebuah

gambar visual mempunyai arti.

Ada 3 syarat utama agar sebuah produk visual bisa dikatakan sebagai visual

rhethoric, yakni :

a) Symbolic Action

Retorika visual seperti semua komunikasi, yang merupakan sistem tanda. Dalam arti

sederhana, tanda berkomunikasi apabila terhubung ke obyek lain. Sebagai contoh,

karena perubahan daun di musim gugur dihubungkan ke perubahan suhu, atau tanda

berhenti yang dihubungkan dengan tindakan menghentikan mobil saat mengemudi.

Untuk memenuhi syarat sebagai retorika visual, gambar harus melampaui fungsinya

sebagai tanda, dan menjadi simbolik (Foss, 2005, h.307).

b) Human Intervention

Retorika visual melibatkan beberapa jenis dari tindakan manusia. Manusia terlibat

dalam retorika visual ketika mereka terlibat dalam proses penciptaan gambar misalnya

lukisan cat air atau mengambil foto. Proses ini melibatkan keputusan yang disadari

untuk berkomunikasi serta pilihan yang disadari tentang strategi untuk membuat fungsi

di bidang-bidang seperti warna, bentuk, media, dan ukuran. Intervensi manusia dalam

retorika visual mungkin juga menganggap bentuk dari perubahan gambar visual non-

retorik menjadi retorika visual. Misalnya, pohon tidak secara inheren menjadi retorika

visual. Pohon tersebut dimaknai seperti itu hanya ketika manusia memutuskan untuk

menggunakan pohon sebagai retorika, seperti ketika mereka dibawa ke rumah-rumah

untuk melambangkan Natal hari libur (Foss, 2005, h.307).

c) Presence of Audience

Elemen visual yang diatur dan dimodifikasi oleh ahli retorik tidak hanya untuk

mengekspresikan diri sendiri. Meskipun itu mungkin motif utama bagi pencipta suatu

gambar, tetapi juga untuk berkomunikasi dengan audien. Pencipta dari suatu gambar

dapat menjadi audien terhadap gambarnya sendiri, dan audien sendiri tidak perlu

menjadi ahli retorik (Foss, 2005, h.308).

Dalam Rhetorical Visions: Reading and Writing in a Visual Culture, Wendy

Hesford dan Brenda Jo Brueggemann, mengungkapkan jika analisis fotografi melibatkan

gambar dalam hal subyek/konten, audien/konteks, dan perspektif. Semua dari elemen itu

disebut segitiga retoris. Penjabaran segitiga retoris adalah sebagai berikut:

a) Subject/Content:

1) Subyek gambar, penampilan dan sudut pandang.

2) Komponen gambar, pengaturan, penggunaan warna, dan point of interest.

3) Jenis-jenis elemen naratif apa yang diceritakan. Kronologi sebelum atau sesudah

gambar.

b) Audience/Context:

1) Dari konteks sejarah dan budaya mana gambar tersebut muncul.

2) Konteks sejarah dan budaya dimana gambar terlihat atau terbaca oleh audien.

3) Pesan/gambar itu sendiri, dan bagaimana konteks sejarah dan budaya

membentuk tema atau topik tertentu yang disajikan.

c) Perspective:

1) Sudut pandang fotografer dari sudut kamera.

2) Frame dari bentuk subjek.

3) Penggunaan kamera untuk membentuk ilusi keintiman, atau rasa jarak.

Dalam menciptakan pesan dan menyampaikan pandangan personal melalui foto, ada

elemen-elemen komposisi yang perlu diperhatikan dalam membangun struktur sebuah foto

terdiri dari shape (bentuk), texture (tekstur), pattern (pola), form (bentuk tiga dimensi),

movement (pergerakan), colour and tone values (nilai dan sifat warna) yang membutuhkan

Gambar 1. Segitiga Retoris (The Rhetorical Triangle)

keahlian dan kreativitas dalam memadukannya, seperti yang dijabarkan oleh Michael

Langford (2000, h.130-138) dalam “Basic Photography” sebagai berikut :

a) Shape (bentuk)

Dalam sebuah foto, bentuk dapat berupa obyek tunggal maupun jamak. Menampakkan

garis tebal atau keras adalah cara termudah untuk menonjolkan sebuah obyek, misalnya

dengan menciptakan siluet atau bayangan. Bayangan yang juga dapat menonjolkan

bentuk pada sebuah foto biasanya dapat direkam saat pagi hari setelah matahari terbit

dan beberapa saat sebelum gelap.

b) Texture (tekstur)

Penampilan visual pada tekstur memberi kesan khusus dari karakter sebuah benda atau

obyek. Tekstur juga bisa menjadi simbol berlalunya waktu, mulai dari halusnya kulit

masa remaja hingga kerutan di usia senja. Tekstur pada sebuah obyek pada dasarnya

akan lebih menonjol melalui pencahayaan dari samping.

c) Pattern (pola)

Pola bisa disusun dari beberapa obyek yang memiliki tampilan, warna, atau bentuk

identik, seperti pagar yang berjajar, lampu-lampu di jalanan, atau sekumpulan ranting

pohon kering. Dengan lebih memperhatikan dan mengeksplorasi pola, akan

menciptakan keselarasan dalam sebuah foto.

d) Form (bentuk tiga dimensi)

Pada dasarnya elemen form tidak jauh berbeda dengan elemen shape, namun pada titik

ini bentuk tiga dimensi dari sebuah benda/obyek lebih ditonjolkan sehingga yang akan

nampak adalah volume dan kepadatan pada obyek tersebut. Penonjolan elemen form

bisa dilakukan dengan pencahayaan dari samping, mengatur area bayangan yang

sesuai, sehingga sebuah obyek tidak nampak datar.

e) Movement (pergerakan)

Dalam sebuah foto, pergerakan memberikan rasa dinamis tertentu, baik itu pergerakan

dibekukan dengan kecepatan tinggi pada kamera hingga gambar menjadi freeze,

maupun kecepatan rendah yang bisa memunculkan kesan blur. Membekukan gambar

dengan kecepatan tinggi memberikan kesempatan kepada fotografer untuk bisa

mengeksplorasi lebih jauh kemenarikan sebuah obyek (Galer, 2002, h.57). Elemen

pergerakan seringkali membantu fotografer dalam menyusun pesan yang ingin

disampaikan.

f) Colour and Tone Values (nilai dan sifat warna)

Foto dengan warna gelap atau siluet identik dengan kemuraman, merah maupun kuning

menandakan perasaan hangat atau sinar matahari terbit. Lebih lanjut mengenai warna,

Darmaprawira (2002, h.45-48) menjelaskan nilai dan sifat pada sebuah warna juga

punya peran yang penting untuk membangun suasana dan mood sebuah foto, karena

masing-masing warna mempunyai karakteristik umum yang berbeda.

Selain itu, Bill Brandt dalam Galer (2002, h.38) juga menyampaikan jika penting

bagi fotografer untuk melihat objek-objek dengan lebih intens daripada orang kebanyakan,

melakukannya seperti seorang bayi saat pertama melihat dunia atau seperti seorang

pengelana yang baru memasuki negeri asing. Untuk itu teknik framing yang ditulis oleh

Mark Galer (2002, h.37-50) dalam “Location Photography” yang terdiri dari

communication and context, format, content, balance, subject placement, the decisive

moment, vantage point, use of lines, penting untuk diketahui fotografer agar lebih efektif

menyampaikan pesan personalnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan jenis analisis deskriptif.

Penelitian dengan metodologi kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa

yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain-lain secara holistik dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2004,

h.6). Dalam penelitian ini, metodologi kualitatif digunakan untuk memandu peneliti dalam

menjelaskan sedalam-dalamnya retorika visual pada foto-foto di buku foto Requiem yang

dihasilkan oleh fotografer Mamuk Ismuntoro dalam mengkonstruksi realitas melalui pesan

yang dihasilkan lewat foto-fotonya.

Data primer dalam penelitian ini merupakan 16 foto yang terangkum dalam buku

foto Requiem yang nantinya akan dianalisis menggunakan teori visual rhetoric. Sedangkan

informasi dan deskripsi dari fotografer Mamuk Ismuntoro termasuk dalam data sekunder.

Wawancara mendalam pada penelitian ini dilakukan terhadap fotografer Mamuk

Ismuntoro, tujuannya untuk menggali penjelasan proses produksi pesan pada 16 foto di

buku foto Requiem. Sedangkan data dokumen berasal dari 16 foto yang ada di dalam buku

foto Requiem.

Dalam penelitian ini, data-data yang didapat akan dianalisis berdasarkan teori visual

rethoric. Wendy Hesford dan Brenda Jo Brueggemann juga menjelaskan bahwa analisis

fotografi melibatkan gambar dalam hal subyek/konten, audien/konten, dan perspektif.

Ketiga bagian itu disebut segitiga retoris. Sehingga segitiga retoris tersebut digunakan oleh

peneliti sebagai panduan untuk mengemukakan visual rethoric pada 16 foto karya Mamuk

Ismuntoro yang terangkum dalam buku foto Requiem. Dalam penelitian ini segitiga retoris

digunakan karena mempunyai kemampuan lebih untuk membedah foto bukan hanya dari

sudut estetika foto saja, namun juga perihal bagaimana foto bisa menjadi medium untuk

menyampaikan pesan dan ekspresi fotografer, hingga menjadi refleksi sebuah budaya.

Foto di atas merupakan salah satu dari 16 foto karya Mamuk Ismuntoro yang

terangkum dalam buku foto Requiem. Pada bagian pertama dari rhetorical triangle, yaitu

melalui subject/content, sebuah gambar visual dipandang dari komponen apa saja yang bisa

membangun pesan di dalamnya. Melalui contoh foto di atas, fotografer bisa saja melihat

komposisi tiang listrik, atap surau dan ranting pohon yang tenggelam oleh lumpur, warna

Gambar 2. Salah satu dari seri foto Requiem karya Mamuk Ismuntoro

biru yang cenderung kelabu di langit, atau sebuah refleksi antara lumpur dan langit.

Kemudian melalui elemen-elemen yang ada di depan penglihatannya, fotografer mulai

menentukan point of interest dan elemen mana saja yang menurutnya pantas atau cocok

untuk dimasukkan ke dalam fotonya sebagai perwujudan pesan dan pandangan personal

yang ingin disampaikan.

Pada tahap audience/context, sebuah foto dibuat dengan memperhitungkan audience

atau tidak. Dalam hal ini latar belakang fotografer yang meliputi sejarah dan budaya yang

melekat pada dirinya juga mempengaruhi pesan yang akan disampaikan melalui sebuah

foto. Munculnya wujud visual sebuah foto seperti di atas bisa saja dipengaruhi oleh latar

belakang fotografer Mamuk Ismuntoro yang tempat tinggalnya tidak jauh dari daerah

terdampak luberan lumpur Lapindo.

Melalui perspective, fotografer Mamuk Ismuntoro melalui sudut pandang kamera

mulai mewujudkan segala ide-ide yang ada sebelumnya ke dalam sebuah foto dengan cara

membingkai, memilih obyek-obyek tertentu, menentukan dimana dan kapan fotografer

berdiri kemudian memencet tombol rana pada kameranya untuk membentuk keintiman

maupun rasa jarak pada foto-fotonya di buku foto Requiem.

PEMBAHASAN

16 Foto di Buku Foto Requiem

a) Subject/content

Penghadiran kembali dunia melalui medium foto dilakukan fotografer

Mamuk Ismuntoro dengan memanfaatkan elemen-elemen yang ada di depan

penglihatannya sebagai simbol-simbol yang dihadirkan untuk tujuan tertentu.

Komposisi elemen pada 16 foto di buku foto Requiem menghadirkan visualisasi

horison dan lanskap bencana, serta unsur manusia atau sisi human interest yang

menampilkan keadaan warga terdampak bencana lumpur Lapindo.

Pada foto-foto yang menampilkan horison atau lanskap bencana, fotografer

menyampaikan pandangan personalnya tentang daerah terdampak bencana yang

sudah tidak layak lagi didiami manusia sebagai tempat hidup dengan memasukkan

unsur rumput liar, tanah kering, mud flow atau aliran lumpur, dan puing-puing

bangunan, hingga langit kelam. Selain itu, unsur estetik pembangun foto seperti

warna, garis, pola, dan tekstur juga dimanfaatkan untuk membuat elemen-elemen

yang ada di alam terlihat lebih menarik dari sudut pandang fotografis. Seperti

halnya foto yang menyuguhkan visualisasi puing-puing reruntuhan, foto tersebut

bisa tampil lebih sederhana jika fotografer tidak menyikapi elemen yang ada di

alam, seperti puing-puing melalui sudut pandang estetik pembangun foto.

Dengan menambahkan unsur estetik, seperti pola atau pattern, akhirnya

fotografer menampilkan reruntuhan secara bertumpuk agar reruntuhan tersebut

tampak lebih banyak. Begitu juga dengan penggunaan unsur pembangun estetik

lainnya, seperti penggunaan warna, yang dituangkan melalui foto lanskap luberan

lumpur pada malam hari. Walaupun foto lanskap malam hari didominasi warna

gelap, namun fotografer tetap menjaga kesan dinamis dengan memasukkan unsur

warna jingga dan merah pada permukaan luberan lumpur yang telah mengering.

Visualisasi mudflow atau luberan lumpur pun begitu, fotografer

memanfaatkan unsur estetis berupa texture untuk menampilkan permukaan luberan

lumpur dengan lebih dekat dan nyata. Melalui penggunaan unsur estetis seperti itu,

fotografer berusaha merepresentasikan kembali obyek-obyek yang ada di alam

melalui sudut pandang personalnya.

Foto-foto yang menampilkan unsur manusia, atau human interest juga sama

pentingnya dengan obyek-obyek yang ada di alam, yang direpresentasikan kembali

oleh fotografer sesuai wujud pesan yang ingin disampaikan. Dalam seri buku foto

Requiem, sosok manusia hadir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sebuah

lingkungan sosial yang sedang tergerus bencana. Seperti sebuah satu paket yang tak

terpisahkan, kehadiran antara keduanya, yaitu visualisasi kondisi alam dan

visualisasi manusia sebagai penghuni alam tersebut tampil saling melengkapi.

Untuk merekam manusia, fotografer melakukan pendekatan pemotretan snapshot

dan environmental portrait. Melalui snapshot, fotografer memasukkan manusia

dengan gestur dan ekspresi muka yang alami dan lebih spontan, sedangkan melalui

environmental portrait fotografer mengarahkan ekspresi dan gestur subyek yang

difoto. Ada sedikit perbedaan di antara kedua cara pendekatan fotografer dalam

merekam manusia sebagai unsur human interest, namun melalui cara yang berbeda

tersebut, fotografer tetap mempunyai satu tujuan yang sama yaitu memberi porsi

unsur manusia di fotonya sebagai gambaran dari kaum yang tercerabut akar

kehidupannya.

Seperti fungsi foto environmental portrait sendiri, bahwa fotografer ingin

menjelaskan keadaan atau penekanan personalitas pada setiap individu. Melalui

sudut pandang personalnya, fotografer ingin menggunakan sudut pandang dan kisah

orang-orang biasa sebagai korban bencana lumpur. Melalui visualisasi manusia

pada foto, sudut pandang personal atau pesan yang dibuat fotografer disampaikan

melalui gestur dan ekspresi wajah yang nampak pada obyek. Penempatan seberapa

besar obyek akan nampak pada foto, baik itu berada pada sisi kiri, kanan, maupun

tengah, diperhitungkan oleh fotografer agar latar belakang tidak terlupakan. Karena

untuk merekam manusia atau mengangkat sisi human interest, sosok manusia atau

penyorotan close up pada raut wajah dan tubuh tidak senantiasa mendapat porsi

terbesar untuk menyampaikan pesan yang dimaksud. Fotografer, dalam konteks

foto-foto di buku foto Requiem memperluas framing untuk merekam secara

bersamaan sosok individu mulai ekspresi wajah, gestur tubuh, hingga benda-benda

di sekeliling ruangan atau lingkungan yang bisa menjadi artefak untuk

mengkomunikasikan sosok karakter individu itu sendiri. Pemotretan melalui

pendekatan environmental portrait yang dilakukan fotografer, diusahakan sebisa

mungkin untuk mengkomunikasikan antara manusia sebagai subyek dan latar

belakang atau background yang bisa menggambarkan lingkungan yang menjadi

tempat hidup obyek yang difoto. Unsur visualisasi manusia kemudian menjadi

penting, selain visualisasi lanskap bencana, karena melalui detail individu-individu

yang menampilkan ekspresi, gestur, dan busana yang tidak seragam pada setiap

orang tersebut kemudian dijadikan fotografer sebagai refleksi keadaan sosial yang

timbul setelah bencana lumpur Lapindo melanda tanah mereka.

b) Audience/Content

Pesan yang diproduksi fotografer melalui foto-foto pada rangkaian buku foto

Requiem, ditujukan untuk audien yang sangat luas. Kehadiran pembaca atau

penonton foto, tidak dibatasi fotografer dengan segmentasi usia tertentu, jenis

pendidikan, ras, golongan, latar belakang kebudayaan dan lain sebagainya karena

fotografer membuka pesannya untuk siapa saja. Tidak seperti penyajian foto

advertising yang sudah mempunyai target audien yang begitu spesifik, di sini

fotografer membuka pesannya untuk siapa saja karena setiap orang yang bisa

memandang sebuah produk visual paling tidak bisa memberi respon walaupun

hanya sebatas pada perasaan semata.

Maka, walaupun ke 16 foto hadir tanpa caption sekalipun, fotografer

menuliskan 2 paragraf pendek berbahasa Inggris di halaman akhir buku foto yang

menjelaskan secara umum, tentang isu yang sedang didokumentasikan oleh

fotografer. Hal itu dilakukan fotografer bukan untuk meminimalisir keberagaman

persepsi, yang pasti akan terjadi, namun untuk tetap menjaga garis besar cerita yang

disampaikan tentang bencana lumpur Lapindo. Penjelasan pendek tersebut tidak

lebih dari sebuah sinopsis dari fotografer yang ditampilkan untuk audien. Maka

bagaimanapun, atau sepersonal apapun bentuk visual yang ditampilkan, fotografer

menganggap seri foto Requiem masih berada pada garis foto dokumentari yang

paling tidak masih memerlukan data yang faktual di dalamnya.

Ide yang menjadi pondasi terbentuknya rangkaian foto yang terangkum

dalam buku foto Requiem berasal dari diri pribadi fotografer dan segenap

perubahan sosial yang sedang berubah di sekelilingnya. Pengalaman visual yang

dimilki oleh fotografer juga berpengaruh pada munculnya ide untuk pemotretan.

Seperti bayang-bayang bencana yang terjadi tidak jauh dari rumahnya

mengingatkan fotografer akan visualisasi bulan. Bulan yang seringkali diidentikkan

dengan kecantikan dan keindahan ternyata mempunyai permukaan yang keras dan

tandus. Maka untuk mewujudkan idenya tentang bulan melalui foto-foto bencana

lumpur Lapindo, fotografer merepresentasikan luberan lumpur yang sudah

mengering dengan memasukkan unsur pencahayaan yang menarik secara estetis, hal

itu senada dengan foto hamparan tanah mengering dan visualisasi rumput liar yang

didasari oleh pengalaman pribadi fotografer.

Sebagai seorang warga yang berdomisili tidak jauh dari lokasi bencana,

fotografer mempunyai pengalaman tersendiri, juga ingatan, tentang bagaimana rupa

dan kondisi sekitarnya di waktu lampau, sebelum lumpur mengalir. Perubahan yang

dirasakan dan disaksikan oleh fotografer yang meliputi hilangnya kampung dan

desa-desa, keceriaan warga, ratusan lapangan kerja, dikisahkan oleh fotografer

untuk banyak orang melalui foto, agar terbangun sebuah pengingat dan penggerak

atau penggugah. Pengingat terjadinya sebuah bencana dan penggerak terjadinya

perubahan, juga ditujukan untuk menjadi refleksi bagi banyak orang agar lebih

menghargai alam sebagai sumber penghasil daya sekaligus penampung kehidupan

manusia. Lebih luas, refleksi tersebut bukan hanya sebatas pada pengertian isu

bencana pada kawasan lumpur Lapindo, namun disampaikan kepada audien yang

luas dalam sikap menghargai alam dan manusia hingga pada praktik terkecil di

keseharian dan di mana pun.

c) Perspective

Fotografer Mamuk Ismuntoro mewujudkan pesannya secara visual melalui

rentetan teknis fotografi yang juga menjadi jembatan atas idenya yang abstrak

hingga berakhir pada sebuah bentuk foto. Perihal teknis yang meliputi pengaturan

gelap terang pada kamera, sudut lensa mana yang dipakai, penempatan obyek pada

frame, hingga penentuan tempat dan waktu pemotretan dan lain-lain sangat

berpengaruh pada hasil mood foto dan pesan yang disampaikan fotografer.

Begitu pun dengan kecenderungan fotografer untuk membuat foto dengan

komposisi warna yang harsh, pun menjadi kelebihan tersendiri, karena melalui

pendekatan itu fotografer bisa memunculkan atmosfer yang kelam pada sebagian

besar foto-foto Requiem. Kecenderungan fotografer untuk membuat foto hars yang

identik gelap dan mempunyai warna kontras yang keras dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman visual tertentu yang telah dimiliki fotografer.

Walaupun isu yang diangkat oleh fotografer merupakan isu bencana, namun

dalam setiap pembuatan foto, fotografer Mamuk Ismuntoro tidak pernah melupakan

masalah pencahayaan yang dapat membangun pesan dan sisi estetis sebuah foto,

seperti pengambilan foto pada pagi atau sore hari yang juga dapat memantik

perasaan tertentu pada pembaca fotonya. Waktu pagi hari dan sore hari dominan

digunakan oleh fotografer pada pemotretannya, karena pada waktu-waktu tersebut

arah jatuh sinar matahari pada objek-objek yang ada di depan penglihatan menjadi

lebih lembut hingga menambah kesan estetis pada foto. Warna-warna yang

dihasilkan pada waktu-waktu tersebut cenderung mengarah pada jingga, kuning,

hingga biru tua. Selain sebagai pendukung estetis, melalui warna-warna yang jatuh

pada objek pada waktu pagi atau sore hari, fotografer ingin menyampaikan

sejumput semangat dan harapan yang masih tersisa pada tanah bencana. Sedangkan

kesan tentang kesepian dari wilayah yang ditinggalkan disampaikan fotografer

melalui warna-warna gelap yang didapatkan melalui pemotretan pada waktu malam

hari. Tidak seperti pagi atau sore yang menyediakan cukup banyak sinar matahari,

pada waktu pemotretan malam hari obyek yang tertangkap di kamera hanya

memantulkan warna dari sumber cahaya buatan di sekitar wilayah bencana lumpur

Lapindo, seperti lampu jalan, lampu penerangan di sekitar luberan lumpur, hingga

lampu motor milik fotografer yang sengaja dinyalakan untuk memberi penerangan

tambahan. Cahaya yang berasal dari sumber buatan tersebut akan nampak

kekuningan saat dipotret oleh fotografer. Walaupun pada akhirnya cahaya yang

berasal dari penerangan buatan nampak di beberapa titik pada foto, yang

mendominasi tetaplah warna hitam gelap malam hari.

Selain menentukan dengan seksama waktu pemotretan, fotografer juga

melakukan keragaman dalam perihal pemilihan sudut pandang pemotretan hingga

pemilihan sudut lebar sempitnya lensa pada kamera. Untuk menampilkan objek

lanskap bencana, fotografer lebih banyak memakai sudut pandang lebih tinggi untuk

dapat merekam lanskap bencana lebih luas, selain itu fotografer juga menggunakan

sudut pandang tersebut saat memotret manusia untuk menyampaikan kesan obyek

foto yang sedang tertimpa bencana. Sedangkan pada beberapa foto environmental

portrait, fotografer lebih memilih untuk menggunakan sudut pandang sejajar mata,

atau eye level, untuk menciptakan kesan kedekatan antara subjek yang difoto dan

audien yang memandang foto. Pada beberapa foto lanskap luberan lumpur pada

malam hari, fotografer memvisualisasikan tanah bencana dengan penciptaan horison

yang miring pada foto dengan cara memiringkan kameranya saat pemotretan. Hal

itu dilakukan oleh fotografer sebagai penekanan pesan tentang tanah yang tergerus

bencana lumpur Lapindo yang sudah tak layak lagi ditinggali.

Kedua elemen tersebut, antara bumi dan manusia ditampilkan melalui urutan

tertentu pada susunan halaman buku foto Requiem. Seperti pada komik atau buku

cerita, urutan tertentu dibuat oleh fotografer untuk menciptakan sequence, atau

rentetan story telling mulai dari foto pertama hingga akhir. Foto warga menjaring

ikan ditempatkan oleh fotografer pada halaman pertama karena melalui foto tersebut

fotografer ingin memantik rasa penasaran audien dengan menyuguhkan visualisasi

kegiatan warga sehari-hari yang belum nampak sisi bencananya. Foto warga

menjaring ikan identik dengan lokasi waduk, danau, hingga sungai, namun

sebenarnya sosok manusia dalam foto sedang menjaring ikan di lokasi luberan

lumpur yang sudah tercampur air hujan. Melalui foto tersebut fotografer ingin

menyambut audien dengan lanskap normal yang terbentang luas dan tidak nampak

sisi bencanaya dengan sosok manusia yang sedang merenggangkan tangannya

dengan lebar saat menjaring ikan, kemudian pada foto kedua di halaman selanjutnya

visualisasi bencana berupa puing-puing sudah ditampilkan.

Upaya menampilkan cerita melalui urutan tertentu dilakukan dengan konstan

oleh fotografer Mamuk Ismuntoro hingga akhir halaman buku foto Requiem. Pada

sebagian besar alur sequence, fotografer membuat foto visualisasi lanskap bencana

dan foto visualisasi sosok manusia tampil bersebelahan untuk menjaga cerita

tentang kerusakan lingkungan dan individu yang menjadi bagian dari lingkungan

tersebut secara bersamaan. Alur yang menjadi isi setelah foto pembuka tersebut

menampilkan foto-foto hamparan tanah yang mengering, rumput-rumput liar yang

sudah tumbuh tinggi, puing-puing bangunan, warga yang menutupi mukanya,

hingga portrait-portrait individu yang kehilangan rumahnya. Namun, setelah 15 foto

terlewati, fotografer menampilkan foto berbeda pada halaman terakhir. Foto nomer

16 yang merupakan environmental portrait Diana, salah seorang korban lumpur

yang dahulu rumahnya telah hilang, ditampilkan oleh fotografer dengan keadaan

terkini yang sudah memiliki rumah baru. Foto terakhir yang dipotret oleh fotografer

dengan pencahayaan yang cukup terang diambil di dalam rumah baru subjek,

menampilkan background berupa perabotan dan alat elektronik yang jauh dari kesan

bencana, busana yang digunakan pun sudah seperti warga normal pada umumnya.

Singkat kata, pada alur foto penutup, fotografer menampilkan perubahan hidup

seorang warga terdampak bencana lumpur Lapindo.

KESIMPULAN

Rangkaian foto-foto di buku foto Requiem sebagian besar berkisah tentang

nestapa, kehilangan dan kesedihan para korban terdampak lumpur Lapindo. Namun sebagai

titik kulminasi, fotografer menempatkan environmental portrait individu korban terdampak

bencana yang telah mempunyai rumah dan kehidupan baru sebagai foto penutup. Dengan

kata lain, fotografer, melalui rangkaian Requiem, mengkomunikasikan rentetan situasi

bencana tanpa lupa menyertakan sebuah akhir yang memberi harapan. Melalui sudut

pandang personalnya, kisah tersebut disampaikan fotografer melalui foto-foto yang

dominan memuat elemen lanskap bencana dan manusia yang tampil berdampingan

berdasarkan sequence tertentu. Foto lanskap bencana dan manusia yang tampil dalam buku

foto Requiem merupakan visualisasi pesan fotografer terhadap kondisi lingkungan sosial

dan individu-individu sebagai pihak yang tercerabut akar kehidupannya.

Ide yang mendasari produksi pesan pada setiap foto di buku foto Requiem

dipengaruhi oleh pengalaman visual personal dan kondisi lingkungan sosial terdampak

bencana yang telah dikenal sebelumnya oleh fotografer. Selanjutnya, abstraksi ide personal

tersebut direalisasikan oleh fotografer ke dalam bentukan foto-foto yang menjadikan

elemen lanskap dan manusia sebagai obyek sesuai interpretasi terhadap pesan personal

yang ingin disampaikan oleh fotografer melalui berbagai macam keputusan teknis fotografi

yang dipilih secara sadar dan penuh perhitungan. Pesan dalam foto disampaikan fotografer

kepada audien yang sangat luas. Fotografer tidak membatasi audien menurut gender, usia,

ras, budaya tertentu karena pesan yang dihasilkan bersifat terbuka. Pesan yang disampaikan

melalui foto-foto di buku foto Requiem dimaksudkan fotografer sebagai pengingat

sekaligus penggugah untuk orang lain. Pengingat bahwa pernah terjadi bencana besar yang

mampu merusak lingkungan alam dan menggusur kehidupan sosial, hingga menjadi sebuah

penggugah untuk pembaca foto, sebagai manusia, bahwa alam sebagai sumber penghasil

daya sekaligus penampung kehidupan manusia harus disikapi secara bijak.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. (2003). Kisah Mata. Yogyakarta: Galang Press.

Bachtiar, Ray. (2011). Filosofi Penghayat Cahaya. Jakarta : Kompas Gramedia.

Centre Culturel de Cooperation Linguistique. (2004). Surabaya Di Luar Bingkai. Surabaya:

Centre Culturel de Cooperation Linguistique.

Darmaprawira, W.A , Sulasmi. (2002). Warna, Teori dan Kreativitas Penggunanya,

Bandung: Penerbit ITB

Foto Book Festival. (2014) Diakses pada 15 April 2014, dari

http://2014.fotobookfestival.org/about

Galer, Mark. (2002). Location Photography. London: Focal Press.

Haruna Rahmawati. (2004). Proximity dan Kandungan Sosioemosi Isi PesanElectronic

Mail (E-Mail) di Mailing List UNHAS-ML. (Tesis Magister, Universitas Hasanuddin

Makassar, 2004). Diakses dari, www.unhas.ac.id

Hesford, Wendy, and Brueggemann, Brenda. (2006). Rhetorical Visions: Reading and

Writing in a Visual. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

Langford, Michael. (2000). Basic Photography. London: Focal Press.

Messaris, Paul & Moriarty, Sandra. (2005). Visual Literacy. Dalam Smith & Moriarty

(Ed.). Handbook of Visual Communication-Theory, Methods, and Media (h.479-

503). London : Lawrence Erlbaum Associates.

Miftachus Sa’idin. (2013). Penggunaan Visual Rhetoric oleh Fotografer dalam Proses

Pembuatan Pesan Melalui Media Foto Landscape. (Skripsi Universitas Brawijaya

Malang, 2013).

Moleong, Lexy J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Novenanto, Anton. (2013). Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Sosial. Jurnal Unair,

4101, 1.

Photo Essay : Requiem. (2013). Diakses pada 3 Desember 2013, dari

http://invisiblephotographer.asia.