strategi Pengembangan Koleksi Institutional Repository di Perpustakaan Perguruan Tinggi
Transcript of strategi Pengembangan Koleksi Institutional Repository di Perpustakaan Perguruan Tinggi
Strategi Pengembangan KoleksiInstitutional Repository di Perpustakaan
Perguruan Tinggi
Rory Ramayanti1
Email yang akan dikirim: [email protected]
Abstrak
Institutional repository atau simpanan kelembagaan merupakansalah satu bentuk dari koleksi diperpustakaan.Institutional repository hadir sebagai dampak darikeberadaan perpustakaan digital dan dengan kesadaranoleh lembaga-lembaga induk perpustakaan untukmendigitalisasikan karya lembaga mereka mengingatbanyak sekali manfaat yang ditimbulkan olehdigitalisasi koleksi perpustakaan. pentingnya dengankoleksi lain, Instirutional repository juga memuat informasiyang sangat berguna bagi pengguna. Untuk perpustakaanperguruan tinggi institutional repository mendukungdalam kegiatan pembelajaran maupun penelitian. Untukitu diperlukan sebuah strategi dalam pengembangannyaagar koleksi institutional repository dapat berdayaguna semaksimal mungkin. Suatu model pengembangankoleksi dinilai penting untuk di adopsi olehpengembangan institutional repository itu sendiri. Halini mengingat selama ini pengembangan koleksi hanyamemberikan perhatian lebih pada koleksi material sajasementara koleksi yang berbentuk digital sering sekaliterabaikan. Padahal koleksi perpustakaan terus
1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaandan Informasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
berkembang dalam berbagai format dan media yang tentusaja berbeda dalam penanganannya.
Kata Kunci: Pengembangan koleksi, institutional repository, perpustakaan perguruantinggi
Pendahuluan
Menghadapi banjirnya informasi pada saat sekarang
ini, diperlukan sikap selektif untuk memilih informasi
yang sesuai kebutuhan dan jelas validitasnya.
Perpustakaan sebagai lembaga informasi, mengelola
koleksi yang memuat banyak informasi. Agar koleksi
perpustakaan dapat memberikan manfaat serta memenuhi
kebutuhan penggunanya, maka diperlukan strategi dalam
pengelolaannya.
Pengembangan koleksi merupakan salah satu aktivitas
di perpustakaan yang mengendalikan setiap koleksi yang
ada diperpustakaan. Hal ini penting dilakukan untuk
mejaga eksitensi dari perpustakaan itu sendiri karena
koleksi merupakan kekuatan dari perpustakaan. di
perpustakaan perguruan tinggi sendiri koleksi merupakan
sebuah landasan awal bagi perpustakaan perguruan
tinggi. Berbagai informasi penting yang dapat memenuhi
semua kebutuhan sivitas akademika tersedia di
perpustakaan ( Alire, 2004: 217).
Koleksi perpustakaan tidak hanya mencakup mengenai
printed material saja tetapi juga terdapat koleksi
elektonik (electonic materials). Koleksi ini terbentuk
karena adanya lingkungan elektonik yang mebuat beberapa
tantangan bagi perpustakaan dan pusat informasi. Dalam
hal ini pengguna menuntut adanya koleksi yang memenuhi
kriteria mereka yaitu mencakup kemudahan akses, sesuai
kebutuhan, gratis, dan kemudahan dalam menseleksi
koleksi yang dibutuhkan (Evans & Saponaro, 2005: 154).
Institutional Repositories (IR) merupakan salah satu jenis
dari koleksi elektronik. IR atau dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan istilah “simpanan kelembagaan” merupakan
sebuah kegiatan yang menghimpun dan melestarikan
koleksi digital yang merupakan hasil karya intelektual
dari sebuah komunitas tertentu (Pendit, 2008: 137).
Beberapa waktu terakhir timbul sebuah ketertarikan
antar perpustakaan khususnya mengenai pengaturan
akademis yang mencakup konsep dari IR. Pada abad ke-21
IR mengalami pertumbuhan yang sangat ekstrim.
Khusus untuk jenis perpustakaan perguruan tinggi
koleksi repositori berkembang dengan cepat. Langkah
yang diambil oleh perpustakaan untuk mendigitalisasikan
koleksi tidaklah mengherankan mengingat biaya perawatan
yang dikeluarkan perpustakaan untuk merawat dokumen
digital jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harus
merawat ribuan dokumen tercetak diperpustakaan.
Makalah ini khusus membahas mengenai institutional
repository karena koleksi ini yang paling banyak dicari
mahasiswa di perguruan tinggi. Dari sekian banyak
institutional repository di perguruan tinggi tentu saja
pengguna akan merasa kesulitan dalam mencari koleksi
tersebut. melihat hal demikian maka diperlukan sebuah
penyimpanan dalam bentuk digital yang memudahkan dalam
hal akses dan tidak memerlukan ruangan yang besar untuk
penyimpanan selain. Institutional repository juga dapat
membantu penulis dan peneliti di perguruan tinggi dalam
mempublikasikan hasil karya mereka sendiri tanpa
memerlukan biaya yang banyak.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis studi literatur yaitu
dengan mengumpulkan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2008:3). Dalam
penelitian ini penulis mengumpulkan data pustaka yang
berkenaan dengan pengembangan koleksi bahan pustaka dan
institutional repository. Dari data tersebut kemudian penulis
mencoba mendiskripsikan konsep mengenai strategi
pengembangan institutional repository pada perpustakaan
perguruan tinggi.
Rumusan Masalah
Bagaimana strategi pengembangan koleksi institutional
repository di perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan Perguruan Tinggi
Perpustakaan perguruan tinggi ialah perpustakaan
yang terdapat pada perguruan tinggi, badan
bawahannya maupun lembaga yang berfiliasi dengan
perguruan tinggi, dengan tujuan utama membantu
perguruan tinggi mencapai tujuannya (Sulistyo-
Basuki, 2011: 2.17). tujuan perguruan tinggi di
Indonesia dikenal dengan nama Tri Dharma perguruan
tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat) maka perpustakaan perguruan tinggi pun
bertujuan membantu melaksanakan kegiatan dharma
perguruan tinggi, yang termasuk perpustakaan
perguruan tinggi ialah perpustakaan jurusan,
bagian, depatemen (bukan departemen seperti
kementrian), universitas, institut, sekolah tinggi,
akademi maupun program perpustakaan non gelar.
Secara umum tujuan perpustakaan perguruan tinggi
adalah sebagai berikut (Sulistyo-Basuki, 2011: 2.18-
2.19):
a. Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan
tinggi, lazimnya staf pengajar dan mahasiswa.
Sering pula mencakup tenaga adminstrasi perguruan
tinggi.
b. Menyediakan materi perpustakaan rujukan
(referensi) pada semua tingkat akademis, artinya
mulai dari mahasiswa tahun pertama hingga ke
mahasiswa program pascasarjana dan pengajar.
c. Menyediakan ruangan belajar untuk pemakai
perpustakaan
d. Menyediakan jasa peminjaman yang tepat guna bagi
berbagai jenis pemakai
e. Menyediakan jasa informasi aktif yang tidak saja
terbatas pada lingkungan perguruan tinggi tetapi
juga lembaga industri lokal.
Pengembangan Koleksi
Collection development process (Evans & Saponaro, 2005: 8)
Pengembangan koleksi (collection development) adalah
proses menyeluruh bagi perpustakaan dan pusat
informasi. Terdapat enam komponen besar dari proses
pengembangan koleksi tersebut yaitu analisis
komunitas; kebijakan seleksi, seleksi, akusisi,
penyiangan, dan evaluasi. Kegiatan ini terus
berjalan dalam bentuk siklus konstan selama
perpustakaan atau pusat informasi tersebut masih
eksis (Evans & Saponaro, 2005: 7).
Pada perpustakaan perguruan tinggi, pengembangan
koleksi berisi pedoman dan pekerjaan yang mencakup
pada wilayah (Alire, 2004: 222) :
1. Membedakan tanggung jawab antara pustakawan dan
fakultas dalam proses pengembangan koleksi
2. Penilaian kebutuhan pengguna
3. Kebijakan pengembangan koleksi lokal
4. Sumber seleksi
5. Bagaimana perpustakaan menyeimbangkan antara
koleksi tercetak dengan media lainnya dan sumber
digital
6. Sistem akuisisi
7. Menentukan standar penilaian koleksi
8. Penyiangan
9. presevasi
Pengembangan koleksi merupakan suatu proses
kegiatan yang mencakup sejumlah kegiatan yang
berhubungan dengan koleksi perpustakaan, termasuk
menetapkan dan koordinasi terhadap kebijakan
seleksi, penilaian terhadap kebutuhan pengguna dan
pengguna potensial, kajian penggunaan koleksi,
evaluasi koleksi, identifikasi kebutuhan koleksi,
seleksi bahan pustaka, perencanaan untuk bekerja
sama, pemeliharaan koleksi, dan penyiangan.
A. Institutional Repository (IR)
a. Pengertian dan Sejarah Institutional Repositories (IR)
Institutional repository di awali dengan sebuah
inisitif untuk memudahkan pencarian dalam skala
besar serta presevasi dalan bentuk digital content. The
Research Libraries Group dan OCLC mengembangkan konsep
trusted digital repositories dengan tujuan untuk
mengembangkan kepercayaan, akses jangka panjang
untuk mengelola sumber digital, serta untuk
melakukan preservasi untuk konten digital. Istilah
digital repository tersebut kemudian berkembang menjadi
arsip digital dan institutional repository (Johnson,
2009: 167).
Salah satu institutional repository yang pertama kali
dikembangkan yaitu di Massachusetts Institute
dengan menggunakan teknologi Dspace. Pada tahun
2000 Massachusets of Technology’s (MIT) berkolaborasi
dengan Hewlett-Packard mengembangkan Dspace,
sebuah software open source yang di desain untuk
memfasilitasi penyimpanan digital dan mengakses
serta berbagi materi arsip. Sofware ini
diperkenalkan pada tahun 2002 dan beberapa
universitas menjadi anggotanya yaitu Cambridge dan
University of Maryland. Selanjutnya berkembang
juga berbagai software dari institutional repository
lainnya yang berbasis disiplin ilmu , seperti e-
Print archive yang di terapkan oleh Paul Ginsparg
dan pekerja di Cornell University (Johnson, 2009:
167). Sekarang institutional repository telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat mencakup
dari banyak universitas di dunia.
Repository (simpanan) sama populernya dengan kata
akses, menunjukkan betapa konsep perpustakaan
digital merupakan kelanjutan tradisi yang sudah
mengakar dalam kepustakawanan (librarianship)
universal. Istilah institutional repository atau
“simpanan kelembagaan” merujuk ke sebuah kegiatan
menghimpun, melestarikan koleksi digital yang
merupakan hasil dari karya intelektual dari sebuah
komunitas tertentu (Alire, 2004: 137).
Institutional repositories (IR) is an online, digital archive, set up
and hosted by an institution to house research publication and
other materials written by its staff (Fieldhouse & Marshall,
2012: 149).
Cliffords Lyinch dalam Evans menjelaskan bahwa
sebuah universitas yang berbasis institutional repository
adalah seperangkat ketetapan pelayanan universitas
yang menawarkan kepada anggota dari komunitas
untuk mengatur dan menyebarkan material digital
yang dibuat oleh institusi dan anggota
komunitasnya sendiri. Diperlukan komitmen
organisasi untuk penanganan koleksi tersebut,
mencakup kesesuaian dalam preservasi jangka
panjang, sebagaimana akses dan distribusinya di
atur oleh organisasi (Evans & Saponaro, 2005:
154).
b. Jenis Koleksi Institutional Repository
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa
institutional repository merupakan sebuah kegiatan
dalam mengumpulkan dan melestarikan koleksi
digital yang mencakup semua karya intelektual
komunitas tertentu. Hal ini relevan dengan istilah
literatur kelabu (grey literature) yang didefinisikan
sebagai semua karya ilmiah dan non ilmiah yang
dihasilkan oleh perpustakaan perguruan tinggi atau
lembaga induk lainnya dari perpustakaan yang
bersangkutan. Hanya saja perbedaan mendasar dari
institutional repository dengan literatur kelabu
terletak pada formatnya. Institutionsl repository
sudah jelas formatnya berbentuk digital. Koleksi
yang termasuk kedalam literatur kelabu (grey
literature) adalah:2
a. Skripsi, tesis, dan disertasi
b. Makalah seminar, simposium, konferensi, dan
sebagainya
c. Laporan penelitian, dan laporan kegiatan
lainnya
d. Publikasi internal, termasuk majalah,
buletin, dan sebagainya.
c. Karakteristik Institutional Repository
Menurut pendit, karateristik dari institutional
repository ini mengacu pada sebagian skenario dari
trusted repository. Reserach Library Group (2000) dalam
pendit mendefinisikan trust digital repository (sarana
penyimpanan yang dapat dipercaya) sebagai sebuah
sarana penyimpanan dengan fasilitas akses jangka
panjang yang dapat diandalkan bagi pemanfaatan
sumber daya digital untuk keperluan komunitas2 ? Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7
tertentu.3 Adapun karateristik dari institutinal
repository yang mengacu pada skenario trusted repository
adalah sebagai berikut:
1. Diberlakukan di lingkungan perguruan tinggi yang
memiliki sebuah perpustakaan dengan sejumlah besar
koleksi penting bagi perkembangan ilmu. Koleksi
perpustakaan digital disini tentu dikembangkan
untuk mendukung kegiatan pengajaran dan
penelitian, berbentuk pangkalan data online,
jurnal elektronik, karya sivitas akademika
(skripsi, tesis, dan disertasi) dan materi kuliah
berbentuk digital, serta rekaman-rekaman records)
yang berkaitan dengan institusi pendidikan itu.
2. Komunitas utama yang harus dilayaninya adalah
sivitas akademika, namun semakin sering ada
universitas yang melayani publik lebih luas, di
lingkungan akademik di luar universitas yang
bersangkutan. Pihak perpustakaan biasanya
berasumsi bahwa akses ke trusted repository dilakukan
melalui jaringan lokal maupun internet, namun
semakin banyak pula perpustakaan universitas yang
menyediakan komputer di gedung perpustakaan bagi
pengguna yang ingin tetap datang berkunjung.
3 Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital ... hlm, 45
3. Akses ke perpustakaan digital universitas biasanya
dilakukan melalui proses autentifikasi di dalam
kerangka pengaturan hak-hak kepemilikan
intelektual (intelectual property right). Pengaturan akses
terhadap karya-karya lokal, seperti tesis,
disertasi, dan hasil-hasil penelitian, dapat
sepenuhnya berada dalam kendali universitas lewat
perpustakaan.
4. Dari segi penyediaan sarana penyimpanan digital,
seringkali perpustakaan bekerja sama dengan pusat
komputer universitas yang pada umumnya bertindak
sebagai pengembang dan perawat sistem.
5. Diterapkan di sebuah himpunan institutional repository
yang dipublikasi melalui sebuah jaringan komputer.
Beberapa institusi bersepakat membentuk sistem
kerjasama, menyisihkan sebagian sarana mereka
untuk sistem pentimpanan dan cadangan (backup).
Manajemen data, mulai dari pengiriman,
penyimpanan, sampai pengaturan akses, dilakukan
dengan sebuah perangkat lunak open-source yang
dikembangkan bersama-sama dalam bentuk kolaborasi.
Setiap judul IR disimpan setidaknya di empat
lokasi geografis untuk mengurangi risiko
kehilangan data yang disbabkan kerusakan induk
komputer (server). Jika satu induk mengalami
kerusakan atau tersrang virus, ada perangkat lunak
yang mendeteksi dan memperbaiki keruskan atau
memindahkan data secara sementara ke sebuah
komputer lokal sebelum berusaha memasukkan kembali
data yang sudah diperbaiki ke dalam jaringan.
6. Akses terhadap lokasi bersama ini dikendalikan
melalui sistem lisensi/perijinan dan dilaksanakan
dalam bentuk penggunaan kata sandi (password) untuk
setiap pengguna. Perangkat lunak opensource
diharapkan akan meminimalkan kebutuhan pengelolaan
teknis maupun biaya pengembangan dan perawatan.
Strategi Pengembangan Institutional Repository di
Perpustakaan Perguruan Tinggi
A. Analisis komunitas
Kampus merupakan tempat pembelajaran yang tidak
pernah ada habisnya. Hal tersebut harus dimengerti
oleh pustakawan untuk mengefektifkan proses
pengembangan koleksi. Pustakawan harus mengetahui
apa saja yang menjadi ketertarikan pengguna
perpustakaan di perguruan tinggi. Perpustakaan yang
harus memenuhi kebutuhan informasi semua sivitas
akademik dengan tujuan mendukung terlaksananya Tri
Darma perguruan tinggi di universitas tempat
perpustakaan tersebut berada. Untuk mengetahui
kebutuhan pengguna, kita harus menidentifikasi apa
saja yang menjadi ketertarikan dari perguruan tinggi
tersebut. sebelum melakukan analisis komunitas,
terlebih dahulu perpustakaan harus mengenali
masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat yang
dilayani oleh perpustakaan perguruan tinggi lebih
homogen jika dibandingkan pada perpustakaan umum
karena hal-hal berikut ini:4
a. Masyarakat perguruan tinggi mempunyai tujuan yang
sama
b. Kelompok umur yang rata-rata sama
c. Latar belakang pendidikan yang sama (semua berasal
dari sekolah lanjutan atas).
B. Kebijakan seleksi
Setelah data mengenai penilaian kebutuhan pengguna
terkumpul maka tahap selanjutnya adalah membuat
kebijaka pengembangan koleksi. Kebijakan seleksi
hanya berisi petunjuk mengenai pemilihan bahan
pustaka. Sementara kebijakan pengembangan koleksi
mencakup pada wilayah yang lebih luas seperti
hadiah, kerjasama, penyiangan dan sebagainya. Hal
tersebut menyebabkan beberapa perpustakaan lebih
4 Yuyu Yulia & Janti G. Sujana, Pengembangan Koleksi (Jakarta:Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.21
banyak menggunakan istilah kebijakan pengembangan
koleksi.
Untuk koleksi repository, karena formatnya
berbentuk digital tentu saja memiliki kebijakan yang
berbeda dengan koleksi yang bebentuk tercetak.
Banyak perpustakaan yang ketika membuat kebijakan
pengembangan koleksi hanya berfokus pada koleksi
berbentuk tercetak saja. Sementara koleksi dengan
format yang berbeda kurang diperhatikan. Padahal
nilai informasi dari koleksi tersebut tidak kalah
pentingnya dengan koleksi berbentuk tercetak. Hal
ini menyebabkan seringkali koleksi repository
mengalami kesalahan dalam pengelolaannya.
Koleksi repository menurut Evan & Saponaro,
digolongkan kedalam sumber elektronik. Kebijakan
pengembangan koleksi yang berkaitan dengan
repository harus mencakup pada siapa yang
bertanggung jawab atas pengelolaan repositori; akses
internet; siapa saja yang boleh menggunakan; copy
right; pernyataan mengenai up-grade soft ware dan hard ware
serta biaya yang dibutuhkan untuk melakukan up-grade
komponen tersebut; dan kebijakan mengenai peng-
abstrakan.5
C. Seleksi5 G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Library and...hlm. 64
Terdapat empat kategori dasar dari seleksi sumber
elektronik yaitu, isi, akses, komponen pendukung,
dan biaya.6
1. Isi
Selektor harus menyeleksi kualitas isi dari
institutional repository. Tidak semua karya lembaga harus
di digitalisasikan menjadi instituional repository. Jika
selain ini kita menganggap bahawa institutional
repository identik dengan karya akhir mahasiswa
dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi.
Ternyata koleksi repository memiliki beberapa
jenis seperti yang telah penulis uraikan pada bab
sebelumnya. Untuk itu tim selektor harus
mempertimbangkan apa-apa saja yang menjadi koleksi
repository. Beberapa hal yang harus diperhatikan
adalah apakah repository tersebut memiliki isi
yang up-date, komplit, dan menyediakan informasi yang
akurat.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa
institutional repository merupakan sebuah kegiatan
dalam mengumpulkan dan melestarikan koleksi
digital yang mencakup semua karya intelektual
komunitas tertentu. Hal ini relevan dengan istilah
literatur kelabu (grey literature) yang didefinisikan
6 Ibid., hlm. 163-172
sebagai semua karya ilmiah dan non ilmiah yang
dihasilkan oleh perpustakaan perguruan tinggi atau
lembaga induk lainnya dari perpustakaan yang
bersangkutan. Hanya saja perbedaan mendasar dari
institutional repository dengan literatur kelabu
terletak pada formatnya. Institutionsl repository
sudah jelas formatnya berbentuk digital. Koleksi
yang termasuk kedalam literatur kelabu (grey
literature) adalah:7
e. Skripsi, tesis, dan disertasi
f. Makalah seminar, simposium, konferensi, dan
sebagainya
g. Laporan penelitian, dan laporan kegiatan
lainnya
h. Publikasi internal, termasuk majalah,
buletin, dan sebagainya.
2. Akses
Pustakawan harus mempertimbangkan hak akses
bagi pengguna. Ketika koleksi repository siap
untuk dilayankan maka, idealnya sebuah koleksi
repository harus bisa diakses selama 24 jam, di
lokasi manapun dengan biaya yang di kontrol dan
7 ? Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7
tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan dilingkungan
kampus saja.
Setiap perguruan tinggi memiliki kebijakan yang
berbeda-beda mengenai hak akses terhadap
repositorinya masing-masing. Hal ini disebabkan
oleh berbagai isu seperti copy right dan plagiarism.
Seperti contohnya ada perpustakaan yang membatasi
hak akses untuk karya akhir mahasiswa yaitu hanya
beberapa bab saja dan ada juga yang memberikan
akses full text menyangkut dengan karya akhir
mahasiswanya.
Kebijakan close acces ataupun open acces yang
berbeda bagi setiap perpustakaan perguruan tinggi
tentu saja berdasarkan proses pertimbangan yang
sangat matang oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan. Meskipun demikian, dengan kebijakan
yang berbeda tersebut hendaknya tidak menjadi
hambatan bagi perpustakaan untuk menyediakan dan
melayankan informasi bagi penggunanya. Sehingga
informasi yang disediakan oleh perpustakaan dapat
membanatu dan memberikan manfaat bagi pengguna
dalam penyelesaian masalah ataupun tugas-tugas
mereka.
3. Komponen pendukung
Untuk bisa memanfaatkan koleksi IR diperlukan
alat bantu seperti hardware, software dan jaringan
untuk mengakses koleksi tersebut. hardwarenya
terdiri dari perangkat PC ataupun note book. Ada
beberapa software open source yang digunakan untuk
membangun institutional repository yaitu, Dspace, E-
prints, Fedora dan Greenstone.8
4. Biaya
Koleksi repository tidak memerlukan banyak
biaya dalam pengadaannya. Karena koleksi tersebut
diciptakan oleh lembaga induk dari perpustakaan
itu sendiri. Sudah menjadi kewajiban bagi semua
sivitas akademika memberikan hasil karyanya untuk
dijadikan koleksi perpustakaan. Tetapi karena
penggunaannya membutuhkan komponen lain, biaya
dibutuhkan dalam meng-upgrade, dan merawat komponen
pendukung.
D. Akuisisi
Pengadaan instituonal repository relatif mudah karena
hanya berhubungan dengan internal kampus. Pustakawan
harus aktif dalam mengumpulkan karya-karya yang
diciptakan oleh lembaga induknya. Selain itu juga8 Ajay Kumar Sharma, Kevinino Meichieo & Nimai Chand Saha,
Institutional Repositories and Skills Requirements, A New Horizon to Preserve theIntellectual Output: An Indian Perspective, (Planner, 2008) dalamhttp://ir.inflibnet.ac.in/bitstream/1944/1145/1/30.pdf akses pada6 Mei 2015 jam 14:20 WIB
harus membangkitkan kesadaran kepada sivitas
akademika untuk memberikan karya mereka secara suka
rela untuk dijadikan koleksi perpustakaan. untuk
pengadaan karya akhir misalnya, Perpustakaan
bekerja sama dengan fakultas untuk mewajibkan
penyerahan karya akhir sebagai syarat untuk
mengikuti wisuda. Dengan demikian, para mahasiswa
akan merasa bahwa dengan menyerahkan karya akhir
mereka ke perpustakaan merupakan sebuah keharusan.
Agar mudah dalam proses digitalisasi selain bentuk
tercetak karya tersebut juga harus diserahkan dalam
format digital (soft file).
Karena institutional repository berbentuk digital,
Proses digitalisasi diawali dengan membongkar
tesis/karya akhir menjadi lembaran-lembaran kertas
yang siap untuk dipindai (di-scan). Proses
pembongkaran ini dapat dilakukan in-house yaitu
dikerjakan sendiri di dalam gedung perpustakaan oleh
petugas perpustakaan yang menguasai masalah
penjilidan, atau dapat pula dikerjakan oleh pihak
lain (outsourching), yaitu kepada percetakan atau
tempat fotocopy yang lokasinya berdekatan dengan
perpustakaan. apabila proses scanning ini telah
selesai maka karya akhir tersebut dijilid kembali
oleh petugas yang bersangkutan.
Proses digitalisasi tersebut dibedakan menjadi 3
(tiga) kegiatan utama9, yaitu:
1. Scanning, yaitu proses memindai (men-scan) dokumen
dalam bentuk cetak dan mengubahnya ke dalam bentuk
berkas digital. Berkas yang dihasilkan dalam
contoh ini adalah berkas PDF. Contoh alat yang
digunakan untuk memindai dokumen adalah Canon
IR2200. Mesin lain yang kapasitasnya lebih kecil
dapat digunakan sesuai dengan kemampuan
perpustakaan.
2. Editing, adalah proses mengolah akses PDF di dalam
komputer dengan cara memberikan password, watermark,
catatan kaki, daftar isi, hyperlink, dan sebagainya.
Kebijakan mengenai hal-hal apa saja yang perlu
diedit dan dilindungi di dalam berkas tersebut
disesuaikan dengan kebijakan yang telah ditetapkan
diperpustakaan.
3. Uploading, adalah proses pengisian (input) metadata
dan meng-upload berkas tersebut ke digital library.
Berkas yang di-upload adalah berkas PDF yang berisi
full text karya akhir dari mulai halaman judul hingga
lampiran, yang telah melalui proses editing.
Dengan demikian file tersebut telah dilengkapi dengan9 Putu Laxman Pendit, dkk, Perpustakaan Digital: Perpektif
Perpustakaan Perguruan tinggi Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2007) hlm.
243-246
password, daftar isi, watermark, hyperlink, catatan kaki,
dan lain-lain. sedangkan metadata yang diisi
meliputi nama pengarang, judul, abstrak, subjek,
tahun terbit, dan lain-lain.
Pada tahap akhir digitalisasi, terdapat dua buah
server, sebuah server berhubungan dengan intranet,
berisi seluruh metadata dan full text karya akhir yang
dapat diakses oleh seluruh pengguna di dalam Local
Area Network (LAN) universitas yang bersangkutan.
Sedangkan server yang terkahir adalah sebuah server
yang terhubung ke internet, berisi metadata dan
abstrak karya akhir tersebut. pemisahan kedua server
ini bertujuan keamanan data. dengan demikian, full text
karya akhir hanya dapat diakses dari dalam LAN,
sedangkan melalui internet, karya akhir ini dapat
diakses sampai dengan abstraknya saja.
Apabila pimpinan universitas dan penulis karya
akhir tersebut mengijinkan, ada baiknya halaman
judul, daftar isi, Bab 1, Bab Kesimpulan dan Saran,
serta daftar pustaka di-upload ke internet pula, karena
informasi tersebut akan sangat membantu bagi
peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan.
Demikian pula apabila akan dibentuk sebuah
konsorsium perpustakaan digital, maka perlu
disepakati bersama mengenai bagian-bagian yang
diperbolehkan untuk diakses melalui internet dan
mana yang tidak.
E. Penyiangan
Pendigitalisasian koleksi merupakan suatu bentuk
dari preservasi koleksi tercetak.10 Pendigitalisasian
koleksi diharapkan mampu menjadi solusi terhadap
terbatasanya ruangan untuk penyimpanan koleksi
secara fisik. Bayangkan saja jika koleksi tercetak
seperti karya akhir mahasiswa yang terus mengalami
penambahan setiap tahunnya tetap disimpan dalam
bentuk fisik sementara pertumbuhan tersebut tidak
diiringi dengan penambahan ruangan penyimpanan
koleksi.
Selain itu masalah preservasi juga menjadi hal
yang sangat menarik untuk diperhatikan jika
dikaitkan dengan institutional repository. Salinan koleksi
dalam format digital tidak akan merusak informasi
yang terkandung didalam koleksi. Hal ini berbeda
dengan koleksi dalam format cetak yang sangat rentan
sekali terkena ancaman kerusakan secara fisik baik
secara alami seperti bahaya kebakaran, gempa bumi,
serangan hewan kecil dan lain sebagainya. Selama
perpustakaan dapat menjamin akses terhadap institutional
repository tersebut maka informasi yang tersimpan di10 Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital... hlm. 324
dalam koleksi instutional repository dapat digunakan
selama mungkin oleh pengguna perpustakaan.
F. Evaluasi
Evaluasi pada koleksi Institutional repository harus
berfokus pada kebutuhan pengguna dalam jangka
panjang. Perpustakaan harus membuat staf khusus yang
mengelola koleksi institutional repository. Staf khusus ini
diusahakan terpisah dari staf yang mengelola
perpustakaan digital karena staf pengelola
institutional repository bertugas untuk
mengembangkan dan memenuhi kebutuhan pengguna akan
koleksi institutional repository.
Perpustakaan harus memiliki pengalaman dalam
mendengarkan pendapat pengguna mengenai informasi
yang mereka butuhkan. hal ini dijadikan sebagai
langkah yang krusial untuk melakukan seleksi
terhadap isi dari bahan pustaka, baik dalam format
digital maupun tercetak. Evaluasi dalam koleksi
instituonal repository mencakup beberapa hal seperti
daya guna koleksi, kebijakan dalam hal akses, dan
manajemen konservasi dan preservasi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di perpustakaan perguruan tinggi institutional
repository terus mengalami pertumbuhan sesuai dengan
dinamika keilmuan yang terjadi di kampus tersebut.
untuk mengendalikan koleksi tersebut secara umum
terdapat enam komponen didalam pengembangan koleksi
yaitu analisis komunitas; kebijakan seleksi,
seleksi, akusisi, penyiangan, dan evaluasi.
1. Analisis Komunitas: pada tahap ini perpustakaan
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan civitas
akademika khusus mengenai penggunaan instituonal
repository
2. Kebijakan seleksi: Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menulis kebijkan institutional
repository yaitu siapa yang bertanggung jawab atas
pengelolaan repositori; akses internet; siapa saja
yang boleh menggunakan; copy right; pernyataan
mengenai up-grade soft ware dan hard ware serta biaya
yang dibutuhkan untuk melakukan up-grade komponen
tersebut; dan kebijakan mengenai peng-abstrakan
3. Seleksi : beberapa komponen dari seleksi
instutional repository mencakup akses, isi, biaya, dan
komponen pendukung
4. Akuisisi : untuk pengadaan institutional repository,
perpustakaan harus bekerja sama dengan pihak
internal kampus, fakultas-fakultas menumbuhkan
kesadaran bagi mereka untuk secara sukarela
menyerahkan karya mereka untuk dijadikan sebagai
koleksi perpustakaan. Jika karya tersebut tidak
berbentuk born digital maka perpustakaan harus
melakukan proses pendigitalisasian koleksi
tersebut agar formatnya berubah berbentuk digital.
5. Penyiangan : berbeda dengan penyiangan dalam
bentuk tercetak, institutional repository tidak
membutuhkan tempat dalam bentuk fisik untuk
penyimpanan koleksi. Tetapi, perpustakaan harus
menjamin akses kepada pengguna sehingga koleksi
tersebut dapat digunakan selama mungkin.
6. Evaluasi : evaluasi institusional repository harus
berfokus pada kebutuhan pengguna dalam jangka
panjang. Perpustakaan perlu menyediakan staf
khusus untuk mengelola institutional repository.
B. Saran
Meskipun konsep dasar pengembangan institutional
repository bisa dikatakan sama dengan pengembangan
koleksi dalam bentuk tercetak, tetapi memilik
perbedaan dari segi pelaksanannya. Hal ini perlu
diperhatikan untuk menjamin pendaya gunaan instututional
repository. Perpustakaan harus membuat kebijaka khusus
mengenai pengembangan koleksi dengan format digital.
Staf yang berkompeten juga dibutuhkan dalam
pengembangan institutional repository itu sendiri. Hal ini
perlu diperhatikan mengingat pentingnya keberadaan
koleksi tersebut terutama di lingkungan perpustakaan
perguruan tinggi.
Daftar Pustaka
Camilia A. Alire, Academic Librarianship (New York: Neal-Schuman Publisher, 2004) hlm 217
G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, DevelopingLibrary and Information Center Collection (London: Libraries Unlimited,2005), hlm. 154
Putu Laxman Pendit, perpustakaan Digital dari A sampai Z (Jakarta:Cita Karyakarsa, 2008) hlm. 137
Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta:Universitas Terbuka, 2011) hlm. 2.17
Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.... hlm. 2.18-2.19
G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Libraryand... hlm. 7
Camilia A. Alire, Academic Librarianship (New York: Neal-Schuman Publisher, 2004) hlm. 222
Peggy Johnson, Fundamental of Collection Development andManagement, 2nd ed (Chicago: American Library Association, 2009)hlm. 167
Ibid., hlm. 167
Camilia A. Alire, Academic Librarianship... hlm. 137
Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital Age (Great Britain: Facet Publishing, 2012) hlm. 149
G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, DevelopingLibrary and Information Center Collection (London: Libraries Unlimited,2005), hlm. 154
Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7
Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital ... hlm, 45
Yuyu Yulia & Janti G. Sujana, Pengembangan Koleksi (Jakarta:Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.21
G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Library and...hlm. 64
Ibid., hlm. 163-172
Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7
Ajay Kumar Sharma, Kevinino Meichieo & Nimai Chand Saha,Institutional Repositories and Skills Requirements, A New Horizon to Preserve theIntellectual Output: An Indian Perspective, (Planner, 2008) dalamhttp://ir.inflibnet.ac.in/bitstream/1944/1145/1/30.pdf akses pada6 Mei 2015 jam 14:20 WIB
Putu Laxman Pendit, dkk, Perpustakaan Digital: Perpektif Perpustakaan
Perguruan tinggi Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2007) hlm. 243-246
Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital... hlm. 324