strategi Pengembangan Koleksi Institutional Repository di Perpustakaan Perguruan Tinggi

30
Strategi Pengembangan Koleksi Institutional Repository di Perpustakaan Perguruan Tinggi Rory Ramayanti 1 [email protected] Email yang akan dikirim: [email protected] [email protected] Abstrak Institutional repository atau simpanan kelembagaan merupakan salah satu bentuk dari koleksi diperpustakaan. Institutional repository hadir sebagai dampak dari keberadaan perpustakaan digital dan dengan kesadaran oleh lembaga-lembaga induk perpustakaan untuk mendigitalisasikan karya lembaga mereka mengingat banyak sekali manfaat yang ditimbulkan oleh digitalisasi koleksi perpustakaan. pentingnya dengan koleksi lain, Instirutional repository juga memuat informasi yang sangat berguna bagi pengguna. Untuk perpustakaan perguruan tinggi institutional repository mendukung dalam kegiatan pembelajaran maupun penelitian. Untuk itu diperlukan sebuah strategi dalam pengembangannya agar koleksi institutional repository dapat berdaya guna semaksimal mungkin. Suatu model pengembangan koleksi dinilai penting untuk di adopsi oleh pengembangan institutional repository itu sendiri. Hal ini mengingat selama ini pengembangan koleksi hanya memberikan perhatian lebih pada koleksi material saja sementara koleksi yang berbentuk digital sering sekali terabaikan. Padahal koleksi perpustakaan terus 1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Transcript of strategi Pengembangan Koleksi Institutional Repository di Perpustakaan Perguruan Tinggi

Strategi Pengembangan KoleksiInstitutional Repository di Perpustakaan

Perguruan Tinggi

Rory Ramayanti1

[email protected]

Email yang akan dikirim: [email protected]

[email protected]

Abstrak

Institutional repository atau simpanan kelembagaan merupakansalah satu bentuk dari koleksi diperpustakaan.Institutional repository hadir sebagai dampak darikeberadaan perpustakaan digital dan dengan kesadaranoleh lembaga-lembaga induk perpustakaan untukmendigitalisasikan karya lembaga mereka mengingatbanyak sekali manfaat yang ditimbulkan olehdigitalisasi koleksi perpustakaan. pentingnya dengankoleksi lain, Instirutional repository juga memuat informasiyang sangat berguna bagi pengguna. Untuk perpustakaanperguruan tinggi institutional repository mendukungdalam kegiatan pembelajaran maupun penelitian. Untukitu diperlukan sebuah strategi dalam pengembangannyaagar koleksi institutional repository dapat berdayaguna semaksimal mungkin. Suatu model pengembangankoleksi dinilai penting untuk di adopsi olehpengembangan institutional repository itu sendiri. Halini mengingat selama ini pengembangan koleksi hanyamemberikan perhatian lebih pada koleksi material sajasementara koleksi yang berbentuk digital sering sekaliterabaikan. Padahal koleksi perpustakaan terus

1 Mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaandan Informasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

berkembang dalam berbagai format dan media yang tentusaja berbeda dalam penanganannya.

Kata Kunci: Pengembangan koleksi, institutional repository, perpustakaan perguruantinggi

Pendahuluan

Menghadapi banjirnya informasi pada saat sekarang

ini, diperlukan sikap selektif untuk memilih informasi

yang sesuai kebutuhan dan jelas validitasnya.

Perpustakaan sebagai lembaga informasi, mengelola

koleksi yang memuat banyak informasi. Agar koleksi

perpustakaan dapat memberikan manfaat serta memenuhi

kebutuhan penggunanya, maka diperlukan strategi dalam

pengelolaannya.

Pengembangan koleksi merupakan salah satu aktivitas

di perpustakaan yang mengendalikan setiap koleksi yang

ada diperpustakaan. Hal ini penting dilakukan untuk

mejaga eksitensi dari perpustakaan itu sendiri karena

koleksi merupakan kekuatan dari perpustakaan. di

perpustakaan perguruan tinggi sendiri koleksi merupakan

sebuah landasan awal bagi perpustakaan perguruan

tinggi. Berbagai informasi penting yang dapat memenuhi

semua kebutuhan sivitas akademika tersedia di

perpustakaan ( Alire, 2004: 217).

Koleksi perpustakaan tidak hanya mencakup mengenai

printed material saja tetapi juga terdapat koleksi

elektonik (electonic materials). Koleksi ini terbentuk

karena adanya lingkungan elektonik yang mebuat beberapa

tantangan bagi perpustakaan dan pusat informasi. Dalam

hal ini pengguna menuntut adanya koleksi yang memenuhi

kriteria mereka yaitu mencakup kemudahan akses, sesuai

kebutuhan, gratis, dan kemudahan dalam menseleksi

koleksi yang dibutuhkan (Evans & Saponaro, 2005: 154).

Institutional Repositories (IR) merupakan salah satu jenis

dari koleksi elektronik. IR atau dalam bahasa Indonesia

dikenal dengan istilah “simpanan kelembagaan” merupakan

sebuah kegiatan yang menghimpun dan melestarikan

koleksi digital yang merupakan hasil karya intelektual

dari sebuah komunitas tertentu (Pendit, 2008: 137).

Beberapa waktu terakhir timbul sebuah ketertarikan

antar perpustakaan khususnya mengenai pengaturan

akademis yang mencakup konsep dari IR. Pada abad ke-21

IR mengalami pertumbuhan yang sangat ekstrim.

Khusus untuk jenis perpustakaan perguruan tinggi

koleksi repositori berkembang dengan cepat. Langkah

yang diambil oleh perpustakaan untuk mendigitalisasikan

koleksi tidaklah mengherankan mengingat biaya perawatan

yang dikeluarkan perpustakaan untuk merawat dokumen

digital jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harus

merawat ribuan dokumen tercetak diperpustakaan.

Makalah ini khusus membahas mengenai institutional

repository karena koleksi ini yang paling banyak dicari

mahasiswa di perguruan tinggi. Dari sekian banyak

institutional repository di perguruan tinggi tentu saja

pengguna akan merasa kesulitan dalam mencari koleksi

tersebut. melihat hal demikian maka diperlukan sebuah

penyimpanan dalam bentuk digital yang memudahkan dalam

hal akses dan tidak memerlukan ruangan yang besar untuk

penyimpanan selain. Institutional repository juga dapat

membantu penulis dan peneliti di perguruan tinggi dalam

mempublikasikan hasil karya mereka sendiri tanpa

memerlukan biaya yang banyak.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis studi literatur yaitu

dengan mengumpulkan data pustaka, membaca dan mencatat

serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2008:3). Dalam

penelitian ini penulis mengumpulkan data pustaka yang

berkenaan dengan pengembangan koleksi bahan pustaka dan

institutional repository. Dari data tersebut kemudian penulis

mencoba mendiskripsikan konsep mengenai strategi

pengembangan institutional repository pada perpustakaan

perguruan tinggi.

Rumusan Masalah

Bagaimana strategi pengembangan koleksi institutional

repository di perpustakaan perguruan tinggi.

Perpustakaan Perguruan Tinggi

Perpustakaan perguruan tinggi ialah perpustakaan

yang terdapat pada perguruan tinggi, badan

bawahannya maupun lembaga yang berfiliasi dengan

perguruan tinggi, dengan tujuan utama membantu

perguruan tinggi mencapai tujuannya (Sulistyo-

Basuki, 2011: 2.17). tujuan perguruan tinggi di

Indonesia dikenal dengan nama Tri Dharma perguruan

tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian

masyarakat) maka perpustakaan perguruan tinggi pun

bertujuan membantu melaksanakan kegiatan dharma

perguruan tinggi, yang termasuk perpustakaan

perguruan tinggi ialah perpustakaan jurusan,

bagian, depatemen (bukan departemen seperti

kementrian), universitas, institut, sekolah tinggi,

akademi maupun program perpustakaan non gelar.

Secara umum tujuan perpustakaan perguruan tinggi

adalah sebagai berikut (Sulistyo-Basuki, 2011: 2.18-

2.19):

a. Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan

tinggi, lazimnya staf pengajar dan mahasiswa.

Sering pula mencakup tenaga adminstrasi perguruan

tinggi.

b. Menyediakan materi perpustakaan rujukan

(referensi) pada semua tingkat akademis, artinya

mulai dari mahasiswa tahun pertama hingga ke

mahasiswa program pascasarjana dan pengajar.

c. Menyediakan ruangan belajar untuk pemakai

perpustakaan

d. Menyediakan jasa peminjaman yang tepat guna bagi

berbagai jenis pemakai

e. Menyediakan jasa informasi aktif yang tidak saja

terbatas pada lingkungan perguruan tinggi tetapi

juga lembaga industri lokal.

Pengembangan Koleksi

Collection development process (Evans & Saponaro, 2005: 8)

Pengembangan koleksi (collection development) adalah

proses menyeluruh bagi perpustakaan dan pusat

informasi. Terdapat enam komponen besar dari proses

pengembangan koleksi tersebut yaitu analisis

komunitas; kebijakan seleksi, seleksi, akusisi,

penyiangan, dan evaluasi. Kegiatan ini terus

berjalan dalam bentuk siklus konstan selama

perpustakaan atau pusat informasi tersebut masih

eksis (Evans & Saponaro, 2005: 7).

Pada perpustakaan perguruan tinggi, pengembangan

koleksi berisi pedoman dan pekerjaan yang mencakup

pada wilayah (Alire, 2004: 222) :

1. Membedakan tanggung jawab antara pustakawan dan

fakultas dalam proses pengembangan koleksi

2. Penilaian kebutuhan pengguna

3. Kebijakan pengembangan koleksi lokal

4. Sumber seleksi

5. Bagaimana perpustakaan menyeimbangkan antara

koleksi tercetak dengan media lainnya dan sumber

digital

6. Sistem akuisisi

7. Menentukan standar penilaian koleksi

8. Penyiangan

9. presevasi

Pengembangan koleksi merupakan suatu proses

kegiatan yang mencakup sejumlah kegiatan yang

berhubungan dengan koleksi perpustakaan, termasuk

menetapkan dan koordinasi terhadap kebijakan

seleksi, penilaian terhadap kebutuhan pengguna dan

pengguna potensial, kajian penggunaan koleksi,

evaluasi koleksi, identifikasi kebutuhan koleksi,

seleksi bahan pustaka, perencanaan untuk bekerja

sama, pemeliharaan koleksi, dan penyiangan.

A. Institutional Repository (IR)

a. Pengertian dan Sejarah Institutional Repositories (IR)

Institutional repository di awali dengan sebuah

inisitif untuk memudahkan pencarian dalam skala

besar serta presevasi dalan bentuk digital content. The

Research Libraries Group dan OCLC mengembangkan konsep

trusted digital repositories dengan tujuan untuk

mengembangkan kepercayaan, akses jangka panjang

untuk mengelola sumber digital, serta untuk

melakukan preservasi untuk konten digital. Istilah

digital repository tersebut kemudian berkembang menjadi

arsip digital dan institutional repository (Johnson,

2009: 167).

Salah satu institutional repository yang pertama kali

dikembangkan yaitu di Massachusetts Institute

dengan menggunakan teknologi Dspace. Pada tahun

2000 Massachusets of Technology’s (MIT) berkolaborasi

dengan Hewlett-Packard mengembangkan Dspace,

sebuah software open source yang di desain untuk

memfasilitasi penyimpanan digital dan mengakses

serta berbagi materi arsip. Sofware ini

diperkenalkan pada tahun 2002 dan beberapa

universitas menjadi anggotanya yaitu Cambridge dan

University of Maryland. Selanjutnya berkembang

juga berbagai software dari institutional repository

lainnya yang berbasis disiplin ilmu , seperti e-

Print archive yang di terapkan oleh Paul Ginsparg

dan pekerja di Cornell University (Johnson, 2009:

167). Sekarang institutional repository telah

mengalami perkembangan yang sangat pesat mencakup

dari banyak universitas di dunia.

Repository (simpanan) sama populernya dengan kata

akses, menunjukkan betapa konsep perpustakaan

digital merupakan kelanjutan tradisi yang sudah

mengakar dalam kepustakawanan (librarianship)

universal. Istilah institutional repository atau

“simpanan kelembagaan” merujuk ke sebuah kegiatan

menghimpun, melestarikan koleksi digital yang

merupakan hasil dari karya intelektual dari sebuah

komunitas tertentu (Alire, 2004: 137).

Institutional repositories (IR) is an online, digital archive, set up

and hosted by an institution to house research publication and

other materials written by its staff (Fieldhouse & Marshall,

2012: 149).

Cliffords Lyinch dalam Evans menjelaskan bahwa

sebuah universitas yang berbasis institutional repository

adalah seperangkat ketetapan pelayanan universitas

yang menawarkan kepada anggota dari komunitas

untuk mengatur dan menyebarkan material digital

yang dibuat oleh institusi dan anggota

komunitasnya sendiri. Diperlukan komitmen

organisasi untuk penanganan koleksi tersebut,

mencakup kesesuaian dalam preservasi jangka

panjang, sebagaimana akses dan distribusinya di

atur oleh organisasi (Evans & Saponaro, 2005:

154).

b. Jenis Koleksi Institutional Repository

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa

institutional repository merupakan sebuah kegiatan

dalam mengumpulkan dan melestarikan koleksi

digital yang mencakup semua karya intelektual

komunitas tertentu. Hal ini relevan dengan istilah

literatur kelabu (grey literature) yang didefinisikan

sebagai semua karya ilmiah dan non ilmiah yang

dihasilkan oleh perpustakaan perguruan tinggi atau

lembaga induk lainnya dari perpustakaan yang

bersangkutan. Hanya saja perbedaan mendasar dari

institutional repository dengan literatur kelabu

terletak pada formatnya. Institutionsl repository

sudah jelas formatnya berbentuk digital. Koleksi

yang termasuk kedalam literatur kelabu (grey

literature) adalah:2

a. Skripsi, tesis, dan disertasi

b. Makalah seminar, simposium, konferensi, dan

sebagainya

c. Laporan penelitian, dan laporan kegiatan

lainnya

d. Publikasi internal, termasuk majalah,

buletin, dan sebagainya.

c. Karakteristik Institutional Repository

Menurut pendit, karateristik dari institutional

repository ini mengacu pada sebagian skenario dari

trusted repository. Reserach Library Group (2000) dalam

pendit mendefinisikan trust digital repository (sarana

penyimpanan yang dapat dipercaya) sebagai sebuah

sarana penyimpanan dengan fasilitas akses jangka

panjang yang dapat diandalkan bagi pemanfaatan

sumber daya digital untuk keperluan komunitas2 ? Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7

tertentu.3 Adapun karateristik dari institutinal

repository yang mengacu pada skenario trusted repository

adalah sebagai berikut:

1. Diberlakukan di lingkungan perguruan tinggi yang

memiliki sebuah perpustakaan dengan sejumlah besar

koleksi penting bagi perkembangan ilmu. Koleksi

perpustakaan digital disini tentu dikembangkan

untuk mendukung kegiatan pengajaran dan

penelitian, berbentuk pangkalan data online,

jurnal elektronik, karya sivitas akademika

(skripsi, tesis, dan disertasi) dan materi kuliah

berbentuk digital, serta rekaman-rekaman records)

yang berkaitan dengan institusi pendidikan itu.

2. Komunitas utama yang harus dilayaninya adalah

sivitas akademika, namun semakin sering ada

universitas yang melayani publik lebih luas, di

lingkungan akademik di luar universitas yang

bersangkutan. Pihak perpustakaan biasanya

berasumsi bahwa akses ke trusted repository dilakukan

melalui jaringan lokal maupun internet, namun

semakin banyak pula perpustakaan universitas yang

menyediakan komputer di gedung perpustakaan bagi

pengguna yang ingin tetap datang berkunjung.

3 Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital ... hlm, 45

3. Akses ke perpustakaan digital universitas biasanya

dilakukan melalui proses autentifikasi di dalam

kerangka pengaturan hak-hak kepemilikan

intelektual (intelectual property right). Pengaturan akses

terhadap karya-karya lokal, seperti tesis,

disertasi, dan hasil-hasil penelitian, dapat

sepenuhnya berada dalam kendali universitas lewat

perpustakaan.

4. Dari segi penyediaan sarana penyimpanan digital,

seringkali perpustakaan bekerja sama dengan pusat

komputer universitas yang pada umumnya bertindak

sebagai pengembang dan perawat sistem.

5. Diterapkan di sebuah himpunan institutional repository

yang dipublikasi melalui sebuah jaringan komputer.

Beberapa institusi bersepakat membentuk sistem

kerjasama, menyisihkan sebagian sarana mereka

untuk sistem pentimpanan dan cadangan (backup).

Manajemen data, mulai dari pengiriman,

penyimpanan, sampai pengaturan akses, dilakukan

dengan sebuah perangkat lunak open-source yang

dikembangkan bersama-sama dalam bentuk kolaborasi.

Setiap judul IR disimpan setidaknya di empat

lokasi geografis untuk mengurangi risiko

kehilangan data yang disbabkan kerusakan induk

komputer (server). Jika satu induk mengalami

kerusakan atau tersrang virus, ada perangkat lunak

yang mendeteksi dan memperbaiki keruskan atau

memindahkan data secara sementara ke sebuah

komputer lokal sebelum berusaha memasukkan kembali

data yang sudah diperbaiki ke dalam jaringan.

6. Akses terhadap lokasi bersama ini dikendalikan

melalui sistem lisensi/perijinan dan dilaksanakan

dalam bentuk penggunaan kata sandi (password) untuk

setiap pengguna. Perangkat lunak opensource

diharapkan akan meminimalkan kebutuhan pengelolaan

teknis maupun biaya pengembangan dan perawatan.

Strategi Pengembangan Institutional Repository di

Perpustakaan Perguruan Tinggi

A. Analisis komunitas

Kampus merupakan tempat pembelajaran yang tidak

pernah ada habisnya. Hal tersebut harus dimengerti

oleh pustakawan untuk mengefektifkan proses

pengembangan koleksi. Pustakawan harus mengetahui

apa saja yang menjadi ketertarikan pengguna

perpustakaan di perguruan tinggi. Perpustakaan yang

harus memenuhi kebutuhan informasi semua sivitas

akademik dengan tujuan mendukung terlaksananya Tri

Darma perguruan tinggi di universitas tempat

perpustakaan tersebut berada. Untuk mengetahui

kebutuhan pengguna, kita harus menidentifikasi apa

saja yang menjadi ketertarikan dari perguruan tinggi

tersebut. sebelum melakukan analisis komunitas,

terlebih dahulu perpustakaan harus mengenali

masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat yang

dilayani oleh perpustakaan perguruan tinggi lebih

homogen jika dibandingkan pada perpustakaan umum

karena hal-hal berikut ini:4

a. Masyarakat perguruan tinggi mempunyai tujuan yang

sama

b. Kelompok umur yang rata-rata sama

c. Latar belakang pendidikan yang sama (semua berasal

dari sekolah lanjutan atas).

B. Kebijakan seleksi

Setelah data mengenai penilaian kebutuhan pengguna

terkumpul maka tahap selanjutnya adalah membuat

kebijaka pengembangan koleksi. Kebijakan seleksi

hanya berisi petunjuk mengenai pemilihan bahan

pustaka. Sementara kebijakan pengembangan koleksi

mencakup pada wilayah yang lebih luas seperti

hadiah, kerjasama, penyiangan dan sebagainya. Hal

tersebut menyebabkan beberapa perpustakaan lebih

4 Yuyu Yulia & Janti G. Sujana, Pengembangan Koleksi (Jakarta:Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.21

banyak menggunakan istilah kebijakan pengembangan

koleksi.

Untuk koleksi repository, karena formatnya

berbentuk digital tentu saja memiliki kebijakan yang

berbeda dengan koleksi yang bebentuk tercetak.

Banyak perpustakaan yang ketika membuat kebijakan

pengembangan koleksi hanya berfokus pada koleksi

berbentuk tercetak saja. Sementara koleksi dengan

format yang berbeda kurang diperhatikan. Padahal

nilai informasi dari koleksi tersebut tidak kalah

pentingnya dengan koleksi berbentuk tercetak. Hal

ini menyebabkan seringkali koleksi repository

mengalami kesalahan dalam pengelolaannya.

Koleksi repository menurut Evan & Saponaro,

digolongkan kedalam sumber elektronik. Kebijakan

pengembangan koleksi yang berkaitan dengan

repository harus mencakup pada siapa yang

bertanggung jawab atas pengelolaan repositori; akses

internet; siapa saja yang boleh menggunakan; copy

right; pernyataan mengenai up-grade soft ware dan hard ware

serta biaya yang dibutuhkan untuk melakukan up-grade

komponen tersebut; dan kebijakan mengenai peng-

abstrakan.5

C. Seleksi5 G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Library and...hlm. 64

Terdapat empat kategori dasar dari seleksi sumber

elektronik yaitu, isi, akses, komponen pendukung,

dan biaya.6

1. Isi

Selektor harus menyeleksi kualitas isi dari

institutional repository. Tidak semua karya lembaga harus

di digitalisasikan menjadi instituional repository. Jika

selain ini kita menganggap bahawa institutional

repository identik dengan karya akhir mahasiswa

dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi.

Ternyata koleksi repository memiliki beberapa

jenis seperti yang telah penulis uraikan pada bab

sebelumnya. Untuk itu tim selektor harus

mempertimbangkan apa-apa saja yang menjadi koleksi

repository. Beberapa hal yang harus diperhatikan

adalah apakah repository tersebut memiliki isi

yang up-date, komplit, dan menyediakan informasi yang

akurat.

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa

institutional repository merupakan sebuah kegiatan

dalam mengumpulkan dan melestarikan koleksi

digital yang mencakup semua karya intelektual

komunitas tertentu. Hal ini relevan dengan istilah

literatur kelabu (grey literature) yang didefinisikan

6 Ibid., hlm. 163-172

sebagai semua karya ilmiah dan non ilmiah yang

dihasilkan oleh perpustakaan perguruan tinggi atau

lembaga induk lainnya dari perpustakaan yang

bersangkutan. Hanya saja perbedaan mendasar dari

institutional repository dengan literatur kelabu

terletak pada formatnya. Institutionsl repository

sudah jelas formatnya berbentuk digital. Koleksi

yang termasuk kedalam literatur kelabu (grey

literature) adalah:7

e. Skripsi, tesis, dan disertasi

f. Makalah seminar, simposium, konferensi, dan

sebagainya

g. Laporan penelitian, dan laporan kegiatan

lainnya

h. Publikasi internal, termasuk majalah,

buletin, dan sebagainya.

2. Akses

Pustakawan harus mempertimbangkan hak akses

bagi pengguna. Ketika koleksi repository siap

untuk dilayankan maka, idealnya sebuah koleksi

repository harus bisa diakses selama 24 jam, di

lokasi manapun dengan biaya yang di kontrol dan

7 ? Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7

tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan dilingkungan

kampus saja.

Setiap perguruan tinggi memiliki kebijakan yang

berbeda-beda mengenai hak akses terhadap

repositorinya masing-masing. Hal ini disebabkan

oleh berbagai isu seperti copy right dan plagiarism.

Seperti contohnya ada perpustakaan yang membatasi

hak akses untuk karya akhir mahasiswa yaitu hanya

beberapa bab saja dan ada juga yang memberikan

akses full text menyangkut dengan karya akhir

mahasiswanya.

Kebijakan close acces ataupun open acces yang

berbeda bagi setiap perpustakaan perguruan tinggi

tentu saja berdasarkan proses pertimbangan yang

sangat matang oleh perguruan tinggi yang

bersangkutan. Meskipun demikian, dengan kebijakan

yang berbeda tersebut hendaknya tidak menjadi

hambatan bagi perpustakaan untuk menyediakan dan

melayankan informasi bagi penggunanya. Sehingga

informasi yang disediakan oleh perpustakaan dapat

membanatu dan memberikan manfaat bagi pengguna

dalam penyelesaian masalah ataupun tugas-tugas

mereka.

3. Komponen pendukung

Untuk bisa memanfaatkan koleksi IR diperlukan

alat bantu seperti hardware, software dan jaringan

untuk mengakses koleksi tersebut. hardwarenya

terdiri dari perangkat PC ataupun note book. Ada

beberapa software open source yang digunakan untuk

membangun institutional repository yaitu, Dspace, E-

prints, Fedora dan Greenstone.8

4. Biaya

Koleksi repository tidak memerlukan banyak

biaya dalam pengadaannya. Karena koleksi tersebut

diciptakan oleh lembaga induk dari perpustakaan

itu sendiri. Sudah menjadi kewajiban bagi semua

sivitas akademika memberikan hasil karyanya untuk

dijadikan koleksi perpustakaan. Tetapi karena

penggunaannya membutuhkan komponen lain, biaya

dibutuhkan dalam meng-upgrade, dan merawat komponen

pendukung.

D. Akuisisi

Pengadaan instituonal repository relatif mudah karena

hanya berhubungan dengan internal kampus. Pustakawan

harus aktif dalam mengumpulkan karya-karya yang

diciptakan oleh lembaga induknya. Selain itu juga8 Ajay Kumar Sharma, Kevinino Meichieo & Nimai Chand Saha,

Institutional Repositories and Skills Requirements, A New Horizon to Preserve theIntellectual Output: An Indian Perspective, (Planner, 2008) dalamhttp://ir.inflibnet.ac.in/bitstream/1944/1145/1/30.pdf akses pada6 Mei 2015 jam 14:20 WIB

harus membangkitkan kesadaran kepada sivitas

akademika untuk memberikan karya mereka secara suka

rela untuk dijadikan koleksi perpustakaan. untuk

pengadaan karya akhir misalnya, Perpustakaan

bekerja sama dengan fakultas untuk mewajibkan

penyerahan karya akhir sebagai syarat untuk

mengikuti wisuda. Dengan demikian, para mahasiswa

akan merasa bahwa dengan menyerahkan karya akhir

mereka ke perpustakaan merupakan sebuah keharusan.

Agar mudah dalam proses digitalisasi selain bentuk

tercetak karya tersebut juga harus diserahkan dalam

format digital (soft file).

Karena institutional repository berbentuk digital,

Proses digitalisasi diawali dengan membongkar

tesis/karya akhir menjadi lembaran-lembaran kertas

yang siap untuk dipindai (di-scan). Proses

pembongkaran ini dapat dilakukan in-house yaitu

dikerjakan sendiri di dalam gedung perpustakaan oleh

petugas perpustakaan yang menguasai masalah

penjilidan, atau dapat pula dikerjakan oleh pihak

lain (outsourching), yaitu kepada percetakan atau

tempat fotocopy yang lokasinya berdekatan dengan

perpustakaan. apabila proses scanning ini telah

selesai maka karya akhir tersebut dijilid kembali

oleh petugas yang bersangkutan.

Proses digitalisasi tersebut dibedakan menjadi 3

(tiga) kegiatan utama9, yaitu:

1. Scanning, yaitu proses memindai (men-scan) dokumen

dalam bentuk cetak dan mengubahnya ke dalam bentuk

berkas digital. Berkas yang dihasilkan dalam

contoh ini adalah berkas PDF. Contoh alat yang

digunakan untuk memindai dokumen adalah Canon

IR2200. Mesin lain yang kapasitasnya lebih kecil

dapat digunakan sesuai dengan kemampuan

perpustakaan.

2. Editing, adalah proses mengolah akses PDF di dalam

komputer dengan cara memberikan password, watermark,

catatan kaki, daftar isi, hyperlink, dan sebagainya.

Kebijakan mengenai hal-hal apa saja yang perlu

diedit dan dilindungi di dalam berkas tersebut

disesuaikan dengan kebijakan yang telah ditetapkan

diperpustakaan.

3. Uploading, adalah proses pengisian (input) metadata

dan meng-upload berkas tersebut ke digital library.

Berkas yang di-upload adalah berkas PDF yang berisi

full text karya akhir dari mulai halaman judul hingga

lampiran, yang telah melalui proses editing.

Dengan demikian file tersebut telah dilengkapi dengan9 Putu Laxman Pendit, dkk, Perpustakaan Digital: Perpektif

Perpustakaan Perguruan tinggi Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2007) hlm.

243-246

password, daftar isi, watermark, hyperlink, catatan kaki,

dan lain-lain. sedangkan metadata yang diisi

meliputi nama pengarang, judul, abstrak, subjek,

tahun terbit, dan lain-lain.

Pada tahap akhir digitalisasi, terdapat dua buah

server, sebuah server berhubungan dengan intranet,

berisi seluruh metadata dan full text karya akhir yang

dapat diakses oleh seluruh pengguna di dalam Local

Area Network (LAN) universitas yang bersangkutan.

Sedangkan server yang terkahir adalah sebuah server

yang terhubung ke internet, berisi metadata dan

abstrak karya akhir tersebut. pemisahan kedua server

ini bertujuan keamanan data. dengan demikian, full text

karya akhir hanya dapat diakses dari dalam LAN,

sedangkan melalui internet, karya akhir ini dapat

diakses sampai dengan abstraknya saja.

Apabila pimpinan universitas dan penulis karya

akhir tersebut mengijinkan, ada baiknya halaman

judul, daftar isi, Bab 1, Bab Kesimpulan dan Saran,

serta daftar pustaka di-upload ke internet pula, karena

informasi tersebut akan sangat membantu bagi

peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan.

Demikian pula apabila akan dibentuk sebuah

konsorsium perpustakaan digital, maka perlu

disepakati bersama mengenai bagian-bagian yang

diperbolehkan untuk diakses melalui internet dan

mana yang tidak.

E. Penyiangan

Pendigitalisasian koleksi merupakan suatu bentuk

dari preservasi koleksi tercetak.10 Pendigitalisasian

koleksi diharapkan mampu menjadi solusi terhadap

terbatasanya ruangan untuk penyimpanan koleksi

secara fisik. Bayangkan saja jika koleksi tercetak

seperti karya akhir mahasiswa yang terus mengalami

penambahan setiap tahunnya tetap disimpan dalam

bentuk fisik sementara pertumbuhan tersebut tidak

diiringi dengan penambahan ruangan penyimpanan

koleksi.

Selain itu masalah preservasi juga menjadi hal

yang sangat menarik untuk diperhatikan jika

dikaitkan dengan institutional repository. Salinan koleksi

dalam format digital tidak akan merusak informasi

yang terkandung didalam koleksi. Hal ini berbeda

dengan koleksi dalam format cetak yang sangat rentan

sekali terkena ancaman kerusakan secara fisik baik

secara alami seperti bahaya kebakaran, gempa bumi,

serangan hewan kecil dan lain sebagainya. Selama

perpustakaan dapat menjamin akses terhadap institutional

repository tersebut maka informasi yang tersimpan di10 Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital... hlm. 324

dalam koleksi instutional repository dapat digunakan

selama mungkin oleh pengguna perpustakaan.

F. Evaluasi

Evaluasi pada koleksi Institutional repository harus

berfokus pada kebutuhan pengguna dalam jangka

panjang. Perpustakaan harus membuat staf khusus yang

mengelola koleksi institutional repository. Staf khusus ini

diusahakan terpisah dari staf yang mengelola

perpustakaan digital karena staf pengelola

institutional repository bertugas untuk

mengembangkan dan memenuhi kebutuhan pengguna akan

koleksi institutional repository.

Perpustakaan harus memiliki pengalaman dalam

mendengarkan pendapat pengguna mengenai informasi

yang mereka butuhkan. hal ini dijadikan sebagai

langkah yang krusial untuk melakukan seleksi

terhadap isi dari bahan pustaka, baik dalam format

digital maupun tercetak. Evaluasi dalam koleksi

instituonal repository mencakup beberapa hal seperti

daya guna koleksi, kebijakan dalam hal akses, dan

manajemen konservasi dan preservasi.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Di perpustakaan perguruan tinggi institutional

repository terus mengalami pertumbuhan sesuai dengan

dinamika keilmuan yang terjadi di kampus tersebut.

untuk mengendalikan koleksi tersebut secara umum

terdapat enam komponen didalam pengembangan koleksi

yaitu analisis komunitas; kebijakan seleksi,

seleksi, akusisi, penyiangan, dan evaluasi.

1. Analisis Komunitas: pada tahap ini perpustakaan

mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan civitas

akademika khusus mengenai penggunaan instituonal

repository

2. Kebijakan seleksi: Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam menulis kebijkan institutional

repository yaitu siapa yang bertanggung jawab atas

pengelolaan repositori; akses internet; siapa saja

yang boleh menggunakan; copy right; pernyataan

mengenai up-grade soft ware dan hard ware serta biaya

yang dibutuhkan untuk melakukan up-grade komponen

tersebut; dan kebijakan mengenai peng-abstrakan

3. Seleksi : beberapa komponen dari seleksi

instutional repository mencakup akses, isi, biaya, dan

komponen pendukung

4. Akuisisi : untuk pengadaan institutional repository,

perpustakaan harus bekerja sama dengan pihak

internal kampus, fakultas-fakultas menumbuhkan

kesadaran bagi mereka untuk secara sukarela

menyerahkan karya mereka untuk dijadikan sebagai

koleksi perpustakaan. Jika karya tersebut tidak

berbentuk born digital maka perpustakaan harus

melakukan proses pendigitalisasian koleksi

tersebut agar formatnya berubah berbentuk digital.

5. Penyiangan : berbeda dengan penyiangan dalam

bentuk tercetak, institutional repository tidak

membutuhkan tempat dalam bentuk fisik untuk

penyimpanan koleksi. Tetapi, perpustakaan harus

menjamin akses kepada pengguna sehingga koleksi

tersebut dapat digunakan selama mungkin.

6. Evaluasi : evaluasi institusional repository harus

berfokus pada kebutuhan pengguna dalam jangka

panjang. Perpustakaan perlu menyediakan staf

khusus untuk mengelola institutional repository.

B. Saran

Meskipun konsep dasar pengembangan institutional

repository bisa dikatakan sama dengan pengembangan

koleksi dalam bentuk tercetak, tetapi memilik

perbedaan dari segi pelaksanannya. Hal ini perlu

diperhatikan untuk menjamin pendaya gunaan instututional

repository. Perpustakaan harus membuat kebijaka khusus

mengenai pengembangan koleksi dengan format digital.

Staf yang berkompeten juga dibutuhkan dalam

pengembangan institutional repository itu sendiri. Hal ini

perlu diperhatikan mengingat pentingnya keberadaan

koleksi tersebut terutama di lingkungan perpustakaan

perguruan tinggi.

Daftar Pustaka

Camilia A. Alire, Academic Librarianship (New York: Neal-Schuman Publisher, 2004) hlm 217

G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, DevelopingLibrary and Information Center Collection (London: Libraries Unlimited,2005), hlm. 154

Putu Laxman Pendit, perpustakaan Digital dari A sampai Z (Jakarta:Cita Karyakarsa, 2008) hlm. 137

Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta:Universitas Terbuka, 2011) hlm. 2.17

Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.... hlm. 2.18-2.19

G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Libraryand... hlm. 7

Camilia A. Alire, Academic Librarianship (New York: Neal-Schuman Publisher, 2004) hlm. 222

Peggy Johnson, Fundamental of Collection Development andManagement, 2nd ed (Chicago: American Library Association, 2009)hlm. 167

Ibid., hlm. 167

Camilia A. Alire, Academic Librarianship... hlm. 137

Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital Age (Great Britain: Facet Publishing, 2012) hlm. 149

G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, DevelopingLibrary and Information Center Collection (London: Libraries Unlimited,2005), hlm. 154

Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7

Putu Laxman Pendit, Perpustakaan Digital ... hlm, 45

Yuyu Yulia & Janti G. Sujana, Pengembangan Koleksi (Jakarta:Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.21

G. Edward Evans & Margaret Zarnosky Saponaro, Developing Library and...hlm. 64

Ibid., hlm. 163-172

Yuyu Yulia Janti & Janti G Sujana, Pengembangan Koleksi(Jakarta: Universitas Terbuka, 2009) hlm. 1.7

Ajay Kumar Sharma, Kevinino Meichieo & Nimai Chand Saha,Institutional Repositories and Skills Requirements, A New Horizon to Preserve theIntellectual Output: An Indian Perspective, (Planner, 2008) dalamhttp://ir.inflibnet.ac.in/bitstream/1944/1145/1/30.pdf akses pada6 Mei 2015 jam 14:20 WIB

Putu Laxman Pendit, dkk, Perpustakaan Digital: Perpektif Perpustakaan

Perguruan tinggi Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2007) hlm. 243-246

Maggie Fieldhouse & Audrey Marshall, Collection Development in theDigital... hlm. 324