Signifikansi Pemekaran Daerah di Indonesia
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of Signifikansi Pemekaran Daerah di Indonesia
Hubungan Pusat dan Daerah
Signifikansi Pemekaran Daerah di Indonesia
Dita Tetyarini [11/312043/SP/24480]
Clara Stella A [11/312339/SP/24534]
Dias Prasongko [11/312395/SP/24543]
Laras Manjali [11/317817/SP/24706]
Alan Griha Y [11/317917/SP/24800]
Ariesta Budi [08/267271/SP/22838]
Jurusan Politik dan PemerintahanUniversitas Gadjah Mada
2012
Latar Belakang Pada era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto,
penyelenggaraan negara ditandai oleh pola-pola kepemerintahan
yang otoriter dan sangat sentralistik. Akibatnya, pemerintah
sangat mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan
masyarakat, dengan bukti konkrit yakni, pengekangan kebebasan
berbicara, berserikat dan berkumpul. Namun demikian, rezim ini
mulai menunjukkan kehancuran pada medio ‘90an. Saat itu,
gelombang demokratisasi mulai ‘menjangkiti’ Indonesia.
Akhirnya, pada 1998 era Orde Baru benar-benar runtuh.
Keruntuhan rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden
Soeharto dari kursi kepresidenan yang telah diduduki selama
lebih dari tiga dasa warsa. Keruntuhuan ini merupakan akibat
dari kegagalan Orde Baru dalam mewujudkan negara Indonesia
yang demokratis. Oleh sebab itu, jatuhnya Presiden Soeharto
dari tampuk kekuasaan berdampak pada perubahan pola-pola
pemerintahan di Indonesia.
Runtuhnya rezim Orde Baru tersebut nampaknya membawa
angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pemerintahan Indonesia
mulai berubah dan mengarah pada pemerintahan yang lebih
demokratis. Pemerintahan yang dinilai lebih demokratis ini
kemudian ditandai dengan banyaknya kewenangan yang dimiliki
daerah setelah keruntuhan Orde Baru. Proses demokratisasi
tersebut salah satunya diwujudkan dengan adanya otonomi daerah
dalam pola-pola desentralisasi. Seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia, hubungan antara pemerintahan
pusat dengan daerah yang dulu timpang kini lebih seimbang,
sehingga pemerintah pusat tidak bisa lagi sewenang-wenang
untuk mengatur pemerintah daerah.
Tujuan utama dari dilaksanakannya otonomi daerah adalah
supaya masyarakat di daerah lebih makmur dan lebih sejahtera.
Selain itu, adanya otonomi daerah yang dilaksanakan melalui
desentraslisasi ini, adalah upaya dari pemerintah pusat untuk
lebih mendekatkan kepada masyarakat daerah, dan menciptakan
pelayanan publik yang lebih baik. Era setelah keruntuhan Orde
Baru, juga menyebabkan menjamurnya daerah-daerah baru (daerah
otonomi baru akibat diberlakukannya pemekaran daerah) di
Indonesia yang lebih mandiri dan otonom. Menjamurnya daerah
baru ini juga tidak lepas akibat dari diberlakukannya
kebijakan otonomi derah dalam pola desentralisasi tersebut.
Namun demikian, otonomi daerah yang diamanatkan oleh
Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang diubah lagi ke dalam
UU No. 32 Tahun 2004, nyatanya hanyalah semacam slogan, yang
utopis. Saat ini, pelaksanaan otonomi daerah dalam wujud
pemekaran daerah yang dilaksanakan secara nyata belum mampu
mensejahterakan masyarakat di daerah seperti yang diharapkan
pada awalnya. Kebijakan ini yang dahulu dilakukan guna
mengantisipasi adanya penimbunan kekuasaan oleh pemeritah
pusat, dijadikan alasan oleh daerah sebagai upaya mencari
‘keuntungan’ semata, melalui dana-dana dari APBN. Selain itu,
pemekaran daerah telah kehilangan autentiksitasnya, karena
hanya dipakai sebagai alat untuk mengejar kekuasaan semata.
Munculnya fenomena ‘raja-raja’ kecil di daerah menjadi bukti
yang sahih tetang hal tersebut. Parahnya, pelaksanan
pemekaran daerah kini sering di barengi dengan kemunculan
konflik-konflik yang timbul akibat pemekaran daerah.
Oleh sebab itu, tulisan ini ingin mencoba melihat kembali
tentang signifikansi pemekaran daerah di Indonesia. Melihat
implikasinya yang sangat luas, pemekaran daerah atau
pembentukan daerah baru perlu memiliki aturan-aturan yang
jelas serta dapat dipertanggung jawabkan oleh daerah.
Menggingat untuk saat ini daerah di Indonesia yang telah
banyak dimekarkan sejak tahun 1999 sampai sekarang setelah
dilakukan evaluasi masih belum mampu menciptakan masyarakat
yang makmur dan sejahtera.
Dalam tulisan ini, Kalimantan Utara (Kaltara) menjadi
salah satu objek yang ingin kita kaji lebih dalam mengenai
pelaksanaan pemekaran daerah di sana. Daerah ini memang sampai
sekarang masih hangat dibicarakan oleh para ahli politik
karena baru saja diresmikan menjadi daerah otonom baru.
Tulisan ini juga ingin melihat dinamika perjalanan daerah
tersebut hingga mencapai kesepatan untuk dimekarkan, yang
dikontekskan dengan tingkat kehidupan perekonomian dan sosial
masyarakat daerah itu.
Perspektif TeoritikKami menggunakan teori desentralisasi dalam menjelaskan
tentang pemekaran daerah di Indonesia. Teori tersebut
berhubungan dengan desentralisasi dalam arti sempit (devolution)
yang akan berkaitan dengan dua hal (Smith dalam Abdullah,
2011: 20). Pertama, adanya subdivisi teritori dari suatu negara
yang mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki
self governing melalui lembaga politik yang memiliki akar dalam
wilayah sesuai dengan batas yuridis. Wilayah ini tidak
diadministrasikan oleh pemerintah di atasnya tetapi diatur
oleh lembaga yang dibentuk secara politik di wilayah tersebut.
Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara
demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan
prosedur demokratis.
Smith (Dalam Abdullah 2011: 21) juga mengungkapkan bahwa
desentralisasi mencakup beberapa elemen penting. Pertama,
desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa
didasarkan pada tiga hal, yaitu pola spasial kehidupan sosial
dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan
publik yang bisa dilaksanakan. Hal inilah yang kami analisa
sebagai kekuatan suatu daerah untuk menuntut diadakannya
pemekaran daerah, dari daerah induk ke dalam daerah-daerah
otonom baru. Kedua, desentralisasi meliputi pula pendelegasian
wewenang, baik itu kewenangan politik maupun kewenangan
birokratik.
Menurut Abdullah (2011: 22) penjelasan lebih lanjut
tentang pertimbangan efisiensi ekonomi yang menjadi dasar bagi
penentuan batas daerah otonomi baru meliputi:
(1) biaya perjalanan dan komunikasi rendah;
(2) sejauh mana pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan
finansial, tanah, dan sumber daya lainnya dari dalam daerahnya
sendiri sehingga meminimalkan ketergantungan ekonomi,
(3) minimalisasi biaya yang berasal dari akibat aktivitas
dalam suatu daerah yang ber-spill over dan menyebabkan biaya
lainnya;
(4) fasilitasi kolaborasi dan koordinasi diantara pelayanan
yang diberikan;
(5) menyesuaikan wilayah dengan badan swasta, sukarela, dan
publik beserta kepentingan terkait untuk memfasilitasi kerja
sama dan koordinasi guna kepentingan bersama dan
interdependensi.
Pemekaran daerah otonom itu bukan hal yang baru dalam
tata kelola pemerintahan di Indonesia. Menurut Pratikno (2006)
sejak sistem pemerintahan di Indonesia cenderung sentralistis
pada masa Orde Baru, pemerintah juga telah banyak dilakukan
pembentukan daerah otonom baru. Distrik-distrik yang semakin
menguat karakter urbannya kemudian menjadi Kota Administratif,
kemudian dalam perkembangan lebih lanjut akan menjadi
Kotamadya setingkat Kabupaten.
Setelah dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 konsep
pemekaran daerah otonom mengalami peningkatan yang signifikan.
Seperti yang dikatakan oleh Pratikno (2006) dalam waktu kurang
dari lima tahun, jumlah daerah otonom baru di Indonesia
bertambah lebih dari 30 persen. Kebijakan pemekaran daerah ini
menjadi pro dan kontra atas fenomena yang terjadi. Namun jika
diteliti secara mendalam, arah kebijakan pemekaran daerah
otonom yang ada saat ini belum banyak mempertimbangkan
kepentingan nasional.
Pemekaran Daerah Pemekaran daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 adalah
suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom)
yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru.
Sedangkan menurut Effendy (2008: 2), pemekaran daerah
merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari
satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan
mempercepat pembangunan. Pemekaran wilayah juga diharapkan
dapat menciptakan kemandirian daerah sebagai salah satu kunci
dari keberhasilan otonomi daerah.
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah
terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan
kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan bagi masyarakat.
Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek
rentang kendali pemerintah pusat sehingga meningkatkan
efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan
pembangunan. Pemekaran daerah merupakan pembentukan daerah
baru di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota dari
induknya. Dasar hukum mengenai pembentukan pemekaran daerah
yakni UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi menjadi UU
No. 32 Tahun 2004. Selain itu, ada juga Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang di dalamnya
disebutkan bahwa syarat minimal pemekaran desa yaitu 1000 jiwa
atau 200 Kepala Keluarga (KK). Selain itu, ada pula PP yang
mengatur syarat pembentukan kecamatan.
Syarat pembentukan kecamatan baru, dimana sesuai
ketentuan yang diatur dalam PP No. 19 Tahun 2008,
pembentukannya harus memenuhi syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan, namun syarat yang paling utama dari
pemekaran suatu daerah atau Kecamatan adalah luas wilayah,
jumlah penduduk dan potensi yang ada di Kecamatan atau daerah
tersebut. Terkait masalah syarat administratif dan Teknis,
untuk syarat administratif pembentukan kecamatan harus
meliputi batas usia penyelenggaraan pemerintahan dimana harus
minimal lima tahun sudah berjalan, Keputusan DPRD, keputusan
Kepala Desa, dan Keputusan Gubernur, sedangkan untuk
persyaratan teknis diatur dalam pasal 3 PP No. 19 Tahun 2008
antara lain mengatur minimal jumlah penduduk, luas wilayah,
rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan,
aktifitas perekonomian yang berjalan ditengah masyarakat, dan
ketersediaan sarana dan prasarana.
Jadi, jika ingin memekarkan suatu Kecamatan, syarat-
syarat inilah yang harus dipenuhi. Selain itu, pemekaran
kecamatan harus juga diatur oleh peraturan daerah kabupaten
atau kota tentang pembentukan kecamatan dan paling sedikit
yang dimuat adalah nama kecamatan, nama ibukota kecamatan,
batas wilayah dan nama desa yang berada didalam kecamatan yang
akan dimekarkan.
Prosedur Pemekaran Daerah Fenomena pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) merupakan
implikasi langsung dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan
penggantinya, UU No. 32 Tahun 2004. Kedua UU tersebut telah
mengakomodasi peluang daerah untuk membentuk daerah baru
termasuk melalui format pemekaran. Meskipun begitu UU terbaru
yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tidak secara lugas mengatur tentang
tujuan memekarkan daerah otonom. Legalisasi pemekaran daerah
menemukan titik terang melalui PP No. 78 Tahun 2007 yang
memuat tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan
penggabungan daerah. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa
tujuan pembentukan daerah otonom seluas-luasnya diperuntukkan
bagi kesejahteraan masyarakat.
Mengingat tujuan pemekaran yang memiliki makna mendalam,
kebijakan memekarkan daerah perlu disikapi secara hati-hati.
Diperlukan pertimbangan yang matang dan proses detail sebelum
meluluskan permintaan pemekaran daerah otonom. Untuk itu,
pembentukan daerah otonom hanya dapat dilaksanakan apabila
telah memnuhi tiga persyaratan pokok. Pertama, syarat
administratif baik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota.
Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya
persetujuan masing-masing DPRD kabupaten/kota dan
Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah calon
provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur untuk
membentuk calon provinsi, serta rekomendasi Menteri Dalam
Negeri. Sementara itu, syarat administratif yang harus
dipenuhi kabupaten/kota meliputi persetujuan DPRD
kabupaten/kota induk dan persetujuan Bupati/Walikota induk,
persetujuan DPRD provinsi dan gubernur tentang pembentukan
calon kabupaten/kota, serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Kedua, syarat teknis sebagai kumpulan berbagai faktor yang
menjadi dasar pembentukan daerah baru. Syarat yang dimaksud
meliputi kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan
masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Ketiga adalah persyaratan fisik kewilayahan yang
meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan
prasarana pemerintahan. Secara lebih rinci, cakupan wilayah
mensyaratkan pembentukan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk
provinsi serta pembentuan kabupaten paling sedikit terdiri 5
(lima) kecamatan dan untuk kota diperlukan 4 (empat)
kecamatan.
Selain memenuhi syarat, pemekaran daerah otonom harus
mengikuti proses dasar yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Proses paling awal yang dilakukan pemerintah pusat dalam suatu
pembahasan pemekaran daerah terdiri dari dua tahapan besar.
Tahapan pertama adalah proses teknokrasi yang meliputi kajian
kelayakan daerah baik dari segi teknis maupun administratif.
Tahap kedua merupakan proses politik dimana proposal pemekaran
yang diajukan daerah harus memperoleh persetujuan secara
politis oleh DPR. Kemudian mekanisme dan prosedur dalam
pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah diperinci
dalam PP No. 129 Tahun 2000 dan penggantinya PP No. 78 Tahun
2007. Pratikno (2006: 181-182) menjelaskan bahwa peraturan
tersebut menegaskan beberapa poin tentang prosedur dalam
pemekaran daerah, diantaranya:
1. Adanya aspirasi dari pemerintah daerah dan sebagian besar
masyarakat setempat;
2. Didukung oleh kajian awal oleh pemerintah daerah;
3. Usul pembentukan Provinsi disampaikan kepada pemerintah
melalui Mendagri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan
dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD
Kabupaten/Kota serta persetujuan provinsi, yang dituangkan
dalam keputusan DPRD;
4. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada
pemerintah melalui Mendagri dan Otonomi Daerah melalui
Gubernur dengan melampirkan hasil penelitian daerah dan
persetujuan DPRD kabupaten/kota serta persetujuan DPRD
Provinsi yang tertuang dalam keputusan DPRD;
5. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan
Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi
bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
6. Berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim
Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk
melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan;
7. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan
saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah. Selanjutnya usul pembentukan
suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah;
8. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan
Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan
Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-Undang Pembentukan
Daerah kepada Presiden;
9. Apabila Presiden telah menyetujui usul dimaksud, Rancangan
Undang-undang pemekaran daerah, maka selanjutnya disampaikan
kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.
Prosedur diatas menunjukkan bahwa proses pemekaran suatu
daerah tidaklah mudah. Dibutuhkan proses panjang dan rumit
bagi daerah untuk sampai pada tahap memekarkan diri. Selain
adanya tuntutan untuk menjalankan segala bentuk prosedur,
pemekaran daerah juga mesti memenuhi tiga syarat pokok yang
telah disampaikan di awal. Idealnya, syarat dan prosedur yang
tercapai secara beriringan akan mempercepat pemekaran dalam
suatu daerah. Implikasi yang diharapkan dengan adanya
pemekaran daerah yaitu mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan di sektor publik.
Sekelumit tentang Kalimatan UtaraProvinsi Kalimantan Utara merupakan provinsi yang baru
dimekarkan pada 25 Oktober 2012. Provinsi baru ini awalnya
merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan Timur. Penyebab
dimekarkannya menjadi Provinsi Kalimantan Utara antara lain
karena wilayah Kalimantan Timur saat itu terlalu luas,
sehingga kurang mampu melayani masyarakat kalimantan timur
secara layak dan memadai, sehingga dalam hal ini pelayanan
publik yang telah berlangsung masih belum berjalan dengan baik
akibat dari keadaan geografis yang memang luas. Akhirnya
beberapa kabupaten di wilayah Kalimantan Timur tersebut
dimekarkan menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Alasan lainnya
yakni, disebabkan oleh karena kebanyakan masyarakat disana
mencari nafkah di daerah perbatasan antara Indonesia dengan
Malaysia atau secara terang-terangan bekerja di Malaysia.
Mengingat daerah Kalimantan Utara ini merupakan perbatasan
Indonesia dengan Malaysia, akibatnya, masyarakat di wilayah
tersebut sudah sangat akrab dan familiar dengan malaysia.
Parahnya lagi, mereka sebagai warga Negara Indonesia lebih
mengenal ringgit ketimbang rupiah.
Oleh karena itu, pemerintah mengabulkan permintaan
masyarakat di wilayah tersebut untuk dimekarkan, dengan maksud
masyarakat sendiri lebih mandiri dan berdaulat dalam mengelola
dan mencari penghidupan. Hal itu juga didorong karena potensi
alam Kalimantan Utara yang melimpah, seperti minyak, gas, dan
bahan tambang.
Sebab lain yang mendorong masyarakat menuntut dimekarkan
adalah adanya persepsi bahwa selama ini masyarakat berada jauh
dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Padahal mereka memiliki potensi alam yang
yang selama ini dieksplorasi kekayaannya untuk pembangunan di
luar daerah mereka. Oleh karena itu, kehidupan yang sejahtera
jauh dari masyarakat Kalimantan Utara. Mereka merasa jauh atas
akses ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Maka dari itu
setelah berdirinya provinsi baru tersebut, masyarakat sangat
berharap akan adanya perbaikan akses terhadap pelayanan publik
yang baik dan memadai, yang selama ini kurang mereka rasakan.
Sebagai masyarakat yang tinggal di perbatasan mereka kemudian
berharap agar lebih dapat tersentuh oleh aspek-aspek
pertumbuhan ekonomi, akses politik, dan sekolah bisa lebih
diperhatikan dan tepat sasaran. Intinya, masyarakat sangat
berharap agar lebih diperhatikan kesejahteraannya dengan
adanya pemekaran tersebut melalui pengontrolan birokrasi yang
ada.
Signifikasi Pemekaran Daerah Pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia nyatanya masih
menyisakan ’kerikil-kerikil’ yang siap menghambat terciptanya
kesejahteraan rakyat. Disebutkan dalam salah satu pidato
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 bahwa
pemerintah perlu melakukan penataan kembali mengenai konsep-
konsep pemekaran daerah. Pernyataan presiden yang demikian
juga di dukung fakta bahwa sebagian besar pemekaran daerah
yang dilakukan malah membebani negara dalam hal pendanaannya
(Harmantyo, 2007).
Pendapat presiden tersebut juga di dukung dari hasil
evaluasi yang dilakukan Ditjen Otonomi Daerah, Kementrian
Dalam Negeri (2009) mengenai pertambahan daerah-daerah yang
dimekarkan baik itu kota, kabupaten atau wilayah di Indonesia
terus meningkat sejak 1999-2009. Hingga tahun 2009 kemarin
masih ada sejumlah 20 RUU mengenai pemekaran daerah yang masih
akan dibahas oleh DPR. Pertambahan yang terus meningkat
tersebut ternyata, tidak di barengi dengan pertambahan atau
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Akibatnya,
rakyat menjadi terlantar, pelayanan publik yang tadinya
digadang-gadang bisa terlaksana dalam mekanisme pemekaran
daerah nyatanya tidak terwujud.
Selain menimbulkan pembengkakan biaya bagi anggaran APBN
negara, pemekaran daerah ini juga menimbulkan permasalahan
baru yakni adanya konflik mengenai batas wilayah (keruangan).
Konflik keruangan seperti yang terjadi di kabupaten Mamasa
propinsi Sulawesi Barat, perebutan pulau Berhala antara
propinsi Riau Kepulauan dan propinsi Jambi, perebutan salah
satu pulau di kepulauan Seribu antara propinsi DKI Jakarta dan
propinsi Banten. Berbagai persoalan tersebut merupakan
sebagian permasalahan yang menyangkut pelaksanaan prinsip
desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah (Harmantyo, 2007).
Konflik-konflik yang terjadi di sini terkadang di ikuti dengan
konflik-konflik yang berujung pada adu fisik. Akibatnya,
mengancam keamanan dan ketertiban di daerah, sehingga
masyarakat yang dicita-citakan sejahtera setelah adanya
pemekaran daerah tidak terlaksana seutuhnya.
Sedangkan bagi daerah sendiri, pemekaran daerah tersebut
ternyata malah lebih banyak merugikan perekonomian daerah yang
tidak siap dengan pemekaran. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
masuk di daerah nyatanya tidak dibarengi dengan penurunan Dana
Perimbangan yang diterima daerah dari Pemerintah Pusat
(Fatmawati, 2011). Dana Perimbangan yang di berikan oleh
Pemerintah Pusat merupakan dana yang di bagikan kepada daerah-
daerah untuk membangun fasilitas-fasilitas publik dan
insfrastruktur di daerah. Dengan demikian, kemandirian daerah
yang seharusnya tercipta setelah adanya pemekaran daerah juga
tidak terwujud. Karena dengan peningkatan bertambahnya Dana
Perimbangan suatu daerah, menunjukkan bahwa daerah masih
membutuhkan suntikan dana dalam upaya pembangunan daerah.
KesimpulanDari pemaparan yang telah dijabarkan tersebut diatas,
maka sudah selayaknya pemekaran daerah disini perlu dikaji
ulang. Kajian ulang mengenai diadakannya pemekaran daerah
disini merupakan akibat dari banyaknya daerah yang telah
dimekarkan sehingga malah membebani Negara dalam hal
pendanaan. Selain itu, pemekaraan daerah sampai saat ini
nyatanya malah menimbulkan konflik-konflik baru seperti
konflik keruangan maupun batas wilayah. Kemudian memang
pemerintah pusat dalam hal ini perlu secara tegas dalam
menentukan daerah mana saja yang berpontensi serta memenuhi
syarat-syarat pemekaran berdasarkan bukti-bukti yang ada
dilapangan. Selain itu, ada baiknya jika pemerintah bisa
memberikan daerah masa ‘percobaan’ terlebih dahulu dalam hal
melaksanakaan pemekaran di daerah.
Referensi
Muh. Tang Abdullah. Menelaah Kebijakan Pemekaran Daerah Di IndonesiaSuatu Perspektif Teori dan Prakte., Spirit Publik Vol 7, No. 1 April2011 Hal. 15-28.
Lay, Cornelis dan Santoso, Purwo (ed.), 2006. Perjuangan MenujuPuncak. Yogyakarta: Program Pascasarjana (S2) Politik Lokal danOtonomi Daerah.
Pratikno. 2006. Politik Kebijakan “Pemekaran Daerah” , dalam
Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. M.Z Mubarak, M.A Susilo, dan A.
Pribadi (ed). Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa.
Kementrian Dalam Negeri. 2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 tahun 2010 Tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Fatmawati. 2011. Faktor-faktor Keberhasilan Pemekaran Wilayah
Kabupaten/Kota di Indonesia. Merupakan Sripsi untuk memenuhi
syarat mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institute Pertanian
Bogor
Harmantyo, Djoko. PEMEKARAN DAERAH DAN KONFLIK KERUANGAN: Kebijakan
Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia dalam Jurnal MAKARA,
SAINS, VOL. 11, NO. 1, APRIL 2007: 16-22
Undang-Undang
UU No. 19 Tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
PP No. 129 Tahun 2000
PP No. 78 Tahun 2007
PP No. 72 Tahun 2005
Portal Berita
http://www.depdagri.go.id/news/2010/05/10/syarat-pemekaran-
daerah-diperketat
http://www.radarbangka.co.id/berita/detail/global/9665/
pemekaran-kecamatan-tunggu-2014.html
http://www.dumaipos.com/berita.php?act=full&id=2343&kat=14
http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/157-rakyat-yang-tentukan
http://www.ditjen-otda.depdagri.go.id/index.php/categoryblog/317-dpr-sahkan-5-daerah-otonom-baru
http://www.antaranews.com/berita/327118/tiga-kecamatan-pemekaran-di-barito-utara-diresmikan
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361625-faktor-malaysia-di-balik-pembentukan-provinsi--kalut-