Sholeh Avivi, Slameto, dan Ully Herawati. Regenerasi In-vitro Tomat Hibrida Kingkong Menggunakan...

15
Jurnal AGROTROPT KA ISSN 0216-7662 Telah Diakreditasi VolumeX Nomor I Juni 2005

Transcript of Sholeh Avivi, Slameto, dan Ully Herawati. Regenerasi In-vitro Tomat Hibrida Kingkong Menggunakan...

Jurnal

AGROTROPTKAISSN 0216-7662

Telah Diakreditasi

VolumeX Nomor I Juni 2005

Regenerasi In-Vitro Tomat Hibrida Kingkong

Menggunakan Eksplan Kotiledon Dan Hipokotil

(In-vitro Regeneration on Kingkong Hybrid Tomato

Using Cotyledon and Hypocotyls)

Sholeh Avivi1)

, Slameto2)

, dan Ully Herawati3)

1) Author for correspondence,

Jurusan Budidaya Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Jember

Jl. Kalimantan 23 Jember 68121

e-mail: [email protected]

Telp/Fax: (0331)335055

HP: 08123569092

2) Jurusan Budidaya Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Jember

3)Alumni Fakultas Pertanian, Universitas Jember

2

Regenerasi In-Vitro Tomat Hibrida Kingkong

Menggunakan Eksplan Kotiledon Dan Hipokotil

(In-vitro Regeneration on Kingkong Hybrid Tomato

Using Cotyledons and Hypocotyls)

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk menemukan teknik perbanyakan bibit tomat

dengan bantuan zat pengatur tumbuh BAP, IAA dan NAA pada media propagasi

in vitro. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu, induksi tunas dan induksi

akar. Konsentrasi BAP yang digunakan pada tahap I adalah 1, 2, dan 3 ppm dalam

media MS + vitamin B5 + 0,2 ppm IAA. Eksplan yang digunakan adalah

kotiledon, pangkal kotiledon, dan hipokotil. Konsentrasi NAA yang digunakan

pada tahap II adalah 0,1; 0,2; dan 0,3 ppm dalam media MS dengan memakai

eksplan tunas yang dihasilkan tahap I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

eksplan kotiledon dan 1 ppm BAP menghasilkan jumlah tunas dan daun paling

banyak (rata-rata 9,8 dan 3,6). Sedangkan 0,1 ppm NAA paling baik dapat

menginduksi akar (jumlah akar dan panjang akar berturut-turut 20,1 dan 2,8 cm).

Dengan demikian teknologi perbanyakan bibit tomat terbaik adalah eksplan

kotiledon yang ditanam menggunakan media MS + 0,2 ppm IAA + 1 ppm BAP

untuk induksi tunas, dan untuk induksi perakaran paling baik digunakan media

MS + 0,1 ppm NAA.

Kata Kunci: eksplan, BAP, NAA, IAA, Lycopersicum esculentum.

ABSTRACT

The objectives of this research were to find the micropropagation

technique using Benzylamino purin (BAP), Indole Acetic Acid (IAA), and

Naphthaleneacetic acid (NAA). There were two steps in this study, shoot induction

and root induction. At the first step, BAP concentrations used were 1, 2, and 3

ppm. All of them were supplemented with 0.2 ppm IAA in MS medium + B5

vitamin and combined with three types of explants. The explants were cotyledon,

cotyledon base, and hypocotyls. At the second step, NAA concentrations used were

0.1, 0.2, and 0.3 ppm. The result showed cotyledon explants and 0.2 ppm IAA + 1

3

ppm BAP had the highest number of shoot and leave (9.80 and 3.60, respectively).

NAA 0.1 ppm significantly affected the root induction of tomato (the number of

root and root length were 20.14 and 2.79 cm, respectively). Therefore, it could be

concluded that the best regeneration method in this study was the application 0.2

ppm IAA + 1 ppm BAP in the MS medium and the cotyledon as the explants for

shoot induction. In addition, 0.1 ppm NAA in the MS medium could be

recommended as the best root growth regulator.

Key words: explants, BAP, NAA, IAA, Lycopersicum esculentum.

PENDAHULUAN

Komoditas tomat telah dijadikan wahana wirausahatani yang cukup

menggiurkan, terutama jenis-jenis tomat yang mempunyai reputasi kualitas

ekspor. Peluang menembus pasar ekspor, tidak terlepas dari kehadiran tomat

hibrida; seperti tomat varietas Kingkong (TW-372) yang merupakan tomat hibrida

hasil introduksi dari Taiwan. Tomat Kingkong ini memiliki beberapa keunggulan

seperti buahnya berukuran besar (+ 150 g per buah), tahan terhadap penyakit layu

bakteri, tahan terhadap suhu panas, dan rasanya masam sehingga sangat cocok

untuk bahan industri saus (Trubus, 1993).

Faktor benih memegang peran penting dalam pertanian. Data tahun 1999

menyebutkan bahwa petani Indonesia hanya memakai sekitar 13% benih

hortikultura berkualitas sedangkan sisanya dipenuhi dengan berbagai macam cara

misalnya dengan mengulang benih. Benih berkualitas tadi 90% masih dipenuhi

dengan impor sehingga Indonesia menjadi pasar benih yang potensial (Kompas,

2001).

Tingginya harga benih tomat hibrida yang tidak diikuti dengan upaya

pengadaan benih yang efisien, menyebabkan perlunya dicarikan alternatif untuk

pengadaan bibit, misalnya melalui teknik kultur jaringan. Diharapkan dengan

teknik kultur jaringan dapat diperoleh bibit tomat dengan mutu yang sama dengan

bibit tomat yang diperoleh dari biji hibrida. Hal ini disebabkan melalui kultur

4

jaringan dapat diperbanyak bibit yang berasal dari seluruh bagian tanaman, yang

mengandung DNA yang sama dengan induknya.

Nogueira et al. (2001) menggunakan media MS dalam regenerasi tunas

eksplan kotiledon tomat cv. Santa Clara. Nirmala (1998) juga menggunakan

media MS untuk induksi kalus dari eksplan kotiledon tomat varietas Kemir.

Sabapathi and Gupta (1986) menggunakan media MS untuk mengetahui pengaruh

faktor genetik terhadap induksi tunas dari eksplan hipokotil pada beberapa

varietas tomat. Penelitian yang dilakukan oleh Taylor dan El-Kheir (1993) pada

kultur akar kecambah tomat cv. VFN8 juga menggunakan media dasar MS.

Arrillaga et al. (2001) dalam penelitiannya mengunakan eksplan leaflet dan

kotiledon tomat liar (Lycopersicon cheesmanii). Locy (1983) dalam Arillaga et al.

(2001) menyatakan bahwa eksplan dari hipokotil dan daun tomat liar L.

cheesmanii memiliki potensial rendah dalam pembentukan organ (organogenesis).

Masih sedikit peneliti yang melaporkan teknik perbanyakan bibit tomat

melalui kultur jaringan. Bahkan hingga saat ini belum ada yang melaporkan

teknik perbanyakan in-vitro bibit tomat hibrida yang beredar di Indonesia mulai

dari teknik pemilihan jenis eksplan yang digunakan, teknis perbanyakan tunasnya,

hingga teknik perakaran. Rekayasa paket teknologi perbanyakan bibit tomat dalam

penelitian ini meliputi pemilihan eksplan terbaik, teknik perbanyakan tunas, dan

perakaran secara in-vitro.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Jurusan BDP,

FAPERTA, UNEJ mulai bulan Agustus 2002 sampai dengan Januari 2003.

Bahan yang digunakan meliputi benih tomat varietas hibrida Kingkong,

agar sebagai pemadat, sukrosa, IAA, BAP, NAA, media MS (Murashige and

Skoog), Vitamin B5, desinfektan (Clorox 10%, Benlate, Agrept, Alkohol 70%,

Betadine, dan Aquadest steril), dan bahan lain yang mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan meliputi peralatan gelas (botol kultur, gelas ukur, beaker

glass, erlenmeyer, dan petridish), timbangan analitik, pH meter, autoclave,

5

Laminar Air Flow (LAF), peralatan diseksi (pinset, gunting, dan skalpel), stirer,

lampu spiritus, rak kultur, dan alat pendukung lainnya.

Penelitian Tahap I: Induksi tunas; menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) secara faktorial, terdiri atas 2 faktor dan 5 ulangan. Faktor yang digunakan

adalah: faktor pertama, konsentrasi BAP (B) yang terdiri 3 taraf yaitu B1 = 1 ppm;

B2 = 2 ppm; dan B3 = 3 ppm yang masing-masing ditambahkan dengan 0,2 ppm

IAA. Faktor kedua, macam eksplan (E) yang terdiri 3 taraf yaitu E1 = kotiledon, E2

= pangkal kotiledon, dan E3 = hipokotil.

Penelitian Tahap II: Induksi akar; menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan 7 ulangan dan eksplan berupa eksplan tunas dari tahap I. Faktor

yang digunakan adalah konsentrasi NAA (N) yang terdiri 3 taraf yaitu N1 = 0,1

ppm; N2 = 0,2 ppm; dan N3 = 0,3 ppm. Data dianalisis dengan sidik ragam, jika

menunjukkan berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kedinian Pembentukan Tunas

Perlakuan yang diberikan untuk parameter kedinian pembentukan tunas,

menunjukkan respon berbeda nyata baik pada faktor media perlakuan (B) maupun

macam eksplan (E). Namun, faktor interaksi (BE) menunjukkan respon berbeda

tidak nyata. Pertumbuhan tunas yang berasal dari eksplan kotiledon dan

kecambah tomat yang merupakan asal dari eksplan kotiledon disajikan pada

Gambar 1.

Pada Gambar 2. tampak bahwa perlakuan faktor media (B) menunjukkan

berbeda tidak nyata antara perlakuan media MS + 0,2 ppm IAA + 1 ppm BAP

(B1) dan media MS + 0,2 ppm IAA + 2 ppm BAP (B2), tetapi keduanya

menunjukkan berbeda nyata terhadap media MS + 0,2 ppm IAA + 3 ppm BAP

(B3). Media B1 memiliki rata-rata kedinian menginduksi tunas paling cepat

dibandingkan media lainnya sedangkan media B3 paling lama dalam menginduksi

tunas. Ini berarti perbandingan/nisbah konsentrasi BAP dan IAA yang terlalu

tinggi dapat menghambat awal tumbuhnya tunas pada eksplan kultur tomat.

6

Perlakuan faktor tunggal macam eksplan (E) pada Gambar 2,

menunjukkan bahwa antara perlakuan eksplan kotiledon (E1) dan eksplan pangkal

kotiledon (E2) berbeda tidak nyata dalam kecepatan menginduksi tunas, tetapi

keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan eksplan hipokotil (E3). Eksplan E2

menginduksi tunas lebih cepat dibandingkan eksplan yang lain, sedangkan eksplan

E3 menginduksi tunas paling lama. Hal ini diduga karena pangkal kotiledon

mengandung bakal tunas, dengan adanya kandungan auksin endogen yang cukup

tinggi memungkinkan untuk membantu dalam menginduksi tunas lebih cepat

dibandingkan organ tumbuhan lainnya.

Gambar 1. Pertumbuhan kultur tomat varietas Kingkong. A. kecambah umur 15

HST (hari setelah tanam). B. eksplan kotiledon (EK). C. EK umur 4

HST. D. EK umur 8 HST. E. EK umur 12 HST.

Gambar 2. Grafik pembentukan tunas pada faktor tunggal media (B) dan faktor

tunggal macam eksplan (E). Angka pada histogram yang diikuti oleh

huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan taraf 5%.

B1= 1 ppm BAP; B2= 2 ppm BAP; B3= 3 ppm BAP; E1= kotiledon;

E2= pangkal kotiledon; E3= hipokotil.

A

B

C

D

E

24.53b 33.13b

43.47a

29.73b 28.80b

42.60a

0 10 20 30 40 50

B1 B2 B3 E1 E2 E3

PERLAKUAN

TU

NA

S (

HS

T)

WA

KT

U P

EM

BE

NT

UK

AN

7

Umumnya sitokinin paling banyak terdapat di organ muda (biji, daun,

buah) dan di ujung akar sedangkan auksin banyak disintesis di ujung

batang/kuncup, daun muda, dan ujung akar (Salisbury dan Ross, 1995). Eksplan

E1 (kotiledon = daun muda) memang tidak memiliki bakal tunas, namun dengan

adanya kandungan sitokinin dan auksin endogen yang cukup dapat menginduksi

tunas lebih cepat dibandingkan E3 dengan cara mensintesis cadangan makanan

yang tersimpan dalam organ tersebut. Sintesis bahan makanan yang terjadi akibat

adanya auksin dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan

(Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Eksplan E3 menginduksi tunas paling lama. Ini dikarenakan sitokinin dan

auksin endogen mungkin tidak disintesis di dalam hipokotil sehingga kandungan

sitokinin dan auksinnya lebih sedikit, padahal sitokinin berperan dalam

menginduksi terbentuknya tunas. Untuk itu, perlu adanya tambahan sitokinin

eksogen dalam jumlah yang cukup. Brown et al. (1997) menyatakan bahwa jika

perbandingan antara IAA dan kinetin sebesar 1:3 maka tidak akan terbentuk organ

tunas melainkan akan terjadi perbesaran sel yang disebut kalus. Duzyaman et al.

(2000) mengatakan bahwa media dengan konsentrasi kinetin sebesar 1.2 M dapat

menginduksi tunas tertinggi eksplan hipokotil, kotiledon 15 hari, dan leaflet pada

tomat.

Jumlah Tunas

Perlakuan yang diberikan untuk parameter jumlah tunas, menunjukkan

respon berbeda nyata baik pada faktor media perlakuan (B) maupun macam

eksplan (E). Namun, faktor interaksi (BE) menunjukkan respon berbeda tidak

nyata.

Jumlah tunas (Gambar 3) pada perlakuan media MS + 0,2 ppm IAA + 1

ppm BAP (B1) dan media MS + 0,2 ppm IAA + 2 ppm BAP (B2) menunjukkan

berbeda tidak nyata, namun keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan media MS

+ 0,2 ppm IAA + 3 ppm BAP (B3). Rata-rata jumlah tunas pada media B1 paling

banyak dibandingkan media yang lain, sedangkan media B3 memiliki jumlah

8

6.20b

4.67b

2.20a

6.93b

3.80a

2.33a

0

2

4

6

8

B1 B2 B3 E1 E2 E3

PERLAKUAN

JU

ML

AH

TU

NA

S

tunas yang paling sedikit. Nisbah konsentrasi BAP dan IAA yang rendah ternyata

mampu menumbuhkan jumlah tunas yang jauh lebih banyak pada kultur tomat.

Konsentrasi BAP yang semakin tinggi mengakibatkan produksi tunas

semakin menurun karena eksplan menstimulir pembentukan kalus yang berlebih,

sedangkan primordia tunas yang ada tidak dapat berkembang akibat rendahnya

konsentrasi IAA untuk membantu pertumbuhan tunas. Konsentrasi BA yang

semakin meningkat akan menurunkan jumlah tunas dan sebaliknya pertumbuhan

kalus meningkat (Restanto, 1998). Auksin berperan pula mendorong atau

meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk (Dewanti, 1995).

Gambar 3. Grafik jumlah tunas pada faktor tunggal media (B) dan faktor tunggal

macam eksplan (E). Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf

yang sama berbeda tidak nyata menurut uji Duncan taraf 5%. B1= 1

ppm BAP; B2= 2 ppm BAP; B3= 3 ppm BAP; E1= kotiledon; E2=

pangkal kotiledon; E3= hipokotil.

Jumlah tunas (Gambar 3) pada perlakuan media MS + 0,2 ppm IAA + 1

ppm BAP (B1) dan media MS + 0,2 ppm IAA + 2 ppm BAP (B2) menunjukkan

berbeda tidak nyata, namun keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan media MS

+ 0,2 ppm IAA + 3 ppm BAP (B3). Rata-rata jumlah tunas pada media B1 paling

banyak dibandingkan media yang lain, sedangkan media B3 memiliki jumlah

tunas yang paling sedikit. Nisbah konsentrasi BAP dan IAA yang rendah ternyata

mampu menumbuhkan jumlah tunas yang jauh lebih banyak pada kultur tomat.

Konsentrasi BAP yang semakin tinggi mengakibatkan produksi tunas

semakin menurun karena eksplan menstimulir pembentukan kalus yang berlebih,

sedangkan primordia tunas yang ada tidak dapat berkembang akibat rendahnya

konsentrasi IAA untuk membantu pertumbuhan tunas. Konsentrasi BA yang

9

semakin meningkat akan menurunkan jumlah tunas dan sebaliknya pertumbuhan

kalus meningkat (Restanto, 1998). Auksin berperan pula mendorong atau

meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk (Dewanti, 1995).

Dalam hal menghasilkan tunas, perlakuan eksplan kotiledon (E1)

menghasilkan jumlah yang berbeda nyata terhadap eksplan pangkal kotiledon (E2)

dan hipokotil (E3), sedangkan eksplan E2 berbeda tidak nyata terhadap E3

(Gambar 3). Kotiledon merupakan bagian dari kecambah tanaman dikotil yang

merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (seperti karbohidrat, lemak,

dan protein). Pada kecambah yang utuh, cadangan makanan yang terdapat dalam

kotiledon diserap guna disintesis untuk menghasilkan energi bagi pertumbuhan

dan perkembangan tanaman itu. Kotiledon juga disebut sebagai daun muda

tumbuhan dikotil, yang membentuk klorofil dan melakukan proses fotosintesis

dengan bantuan cahaya (Salisbury dan Ross, 1995). Fungsi kotiledon inilah yang

diduga menjadi faktor utama dapat memproduksi jumlah tunas lebih banyak

dibandingkan organ yang lain. Hendaryono dan Wijayani (1994) berpendapat

bahwa, kenaikan sintesa bahan-bahan makanan dapat digunakan sebagai sumber

tenaga dalam pertumbuhan.

Tinggi Tunas

Perlakuan yang diberikan untuk parameter tinggi tunas menunjukkan

respon berbeda nyata pada faktor tunggal media perlakuan (B), faktor tunggal

macam eksplan (E), dan faktor interaksi (BE).

Perlakuan media MS + 0,2 ppm IAA + 2 ppm BAP dengan eksplan

kotiledon (B2E1) menunjukkan rata-rata tinggi tunas yang paling tinggi

dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Gambar 4). Perlakuan eksplan

kotiledon dalam media MS + 0,2 ppm IAA + 1 ppm BAP (B1E1) menunjukkan

respon berbeda tidak nyata terhadap B2E1 dan kedua perlakuan tersebut berbeda

nyata terhadap eksplan kotiledon dalam media MS + 0,2 ppm IAA + 3 ppm BAP

(B3E1). Perlakuan B3E1 memiliki rata-rata tinggi tunas yang paling rendah

termasuk juga perlakuan eksplan hipokotil dalam media MS + 0,2 ppm IAA + 2

ppm BAP (B2E3) dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Gambar 4).

10

0.6

9a

b

0.4

8a

0.9

1b

cd

0.5

8a

b

0.6

8a

b

0.8

8a

bc

0.4

8a1

.27

d

1.1

6cd

0,00

0,50

1,00

1,50

B1E1 B2E1 B3E1 B1E2 B2E2 B3E2 B1E3 B2E3 B3E3

PERLAKUAN

TIN

GG

I (c

m)

Gambar 4. Grafik tinggi tunas pada perlakuan interaksi BE. Angka pada histogram

yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji

Duncan taraf 5%. B1= 1 ppm BAP; B2= 2 ppm BAP; B3= 3 ppm

BAP; E1= kotiledon; E2= pangkal kotiledon; E3= hipokotil.

Zat pengatur tumbuhan yang berperan dalam pemanjangan sel pada tunas

adalah auksin. Konsentrasi auksin yang tinggi akan mendorong pemanjangan

tunas (Heddy, 1996). Nisbah atau perbandingan IAA terhadap BAP pada media

B1 lebih tinggi dibandingkan media B2 dan B3, sedangkan nisbah IAA terhadap

BAP pada media B3 paling rendah. Inilah yang mengakibatkan tinggi tunas pada

media B1 paling tinggi daripada media yang lain dan tinggi tunas paling rendah

pada eksplan yang dikulturkan dalam media B3.

Kedinian Pembentukan Akar, Jumlah Akar, dan Panjang Akar

Tunas yang dikulturkan dalam media perakaran menunjukkan respon

berbeda tidak nyata antarperlakuan terhadap kedinian pembentukan akar dan

semua perlakuan mampu membentuk akar (Gambar 6). Rata-rata kedinian

pembentukan akar (Gambar 5) pada tunas yang dikulturkan dalam media MS +

0,1 ppm NAA (N1) menunjukkan paling dini dibandingkan media yang lain,

sedangkan tunas yang dikulturkan dalam media MS + 0,3 ppm NAA (N3) adalah

yang paling lama menginduksi akar. Konsentrasi NAA yang semakin meningkat

tampaknya berpengaruh pada semakin lamanya waktu yang dibutuhkan oleh

eksplan tunas untuk menginduksi akar.

Pemberian auksin pada media perakaran akan memacu diferensiasi sel ke

arah pembentukan akar (Gunawan, 1988). Peran auksin dalam mempengaruhi

pembentukan akar diduga karena adanya pergerakan auksin ke bawah dari tunas

pucuk sebagai pusat sintesa auksin, karbohidrat, dan rooting cofactor (zat yang

11

32,14b26,29ab

20,14a

0

10

20

30

40

N1 N2 N3

PERLAKUAN

JU

ML

AH

AK

AR

2,79b

1,45a1,07a

0

1

2

3

N1 N2 N3

PERLAKUAN

PA

NJA

NG

(cm

)

berinteraksi dengan auksin sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan akar),

zat-zat tersebut akan mengumpul di daerah pelukaan (dasar eksplan) dan bersama-

sama dengan auksin eksogen selanjutnya akan memacu sel-sel pada daerah

tersebut untuk berdiferensiasi membentuk akar (Wattimena, 1987). Penambahan

auksin yang lebih stabil, misalnya NAA, dalam jumlah besar cenderung

menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan sehingga akan

menghambat awal munculnya primordia akar (Wetherell, 1982). Hal ini diduga

adanya interaksi antara auksin endogen (berasal dari eksplan yaitu berupa tunas

berdaun yang kaya akan auksin) dengan auksin eksogen (berasal dari media) yang

menyebabkan penumpukan kadar auksin yang berlebih di daerah pelukaan.

Gambar 5. Grafik kedinian pembentukan akar (HST), rata-rata jumlah akar, dan

rata-rata panjang akar (cm) pada perlakuan macam media perakaran

(N). Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda

tidak nyata menurut uji Duncan taraf 5%.

Respon perlakuan media perakaran terhadap parameter jumlah akar

(Gambar 5 dan Gambar 6) menunjukkan berbeda tidak nyata antara media N1

(MS + 0,1 ppm NAA) dengan media N2 (MS + 0,2 ppm NAA) dan antara media

N2 dengan N3 (MS + 0,3 ppm NAA), sedangkan antara media N1 dengan N3

menunjukkan respon berbeda nyata. Rata-rata jumlah akar yang paling banyak

adalah pada tunas yang dikulturkan dalam media N3 dan tunas yang dikulturkan

Keterangan:

N1 = 0,1 ppm NAA.

N2 = 0,2 ppm NAA.

N3 = 0,3 ppm NAA.

7,29 8,43

6,00

0

2

4 6

8

10

N1 N2 N3

PERLAKUAN WA

KT

U P

EM

BE

NT

UK

AN

AK

AR

(H

ST

)

12

dalam media N1 menghasilkan rata-rata jumlah akar yang paling sedikit. Kondisi

tersebut menggambarkan adanya hubungan yang sesuai antara jumlah akar dengan

konsentrasi NAA dalam media, yaitu dengan semakin meningkatnya konsentrasi

NAA yang diberikan dalam media akan semakin banyak jumlah akar yang

dihasilkan oleh eksplan.

Namun, hal ini tidak berlaku pada parameter panjang akar, dimana

semakin tinggi konsentrasi NAA dalam media akan menghambat proses

pemanjangan akar. Ini terlihat dari Gambar 5, tunas yang dikulturkan dalam media

N1 memiliki rata-rata panjang akar lebih panjang dibandingkan media N2 dan

tunas yang dikulturkan dalam media N3 memiliki rata-rata panjang akar lebih

pendek dibandingkan dengan media yang lain. Berdasarkan hasil di atas

menimbulkan dugaan bahwa terdapat reaksi yang bertolak belakang/berlawanan

antara jumlah akar dengan pemanjangan akar terhadap konsentrasi NAA yang

diberikan dalam media perakaran.

Gambar 6. Perbandingan panjang akar pada induksi akar. A. media N1 (0,1 ppm

NAA), B. media N2 (0,2 ppm NAA), dan C. media N3 (0,3 ppm

NAA).

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Interaksi antara 0,2 ppm IAA + 1 ppm BAP dengan eksplan kotiledon paling

baik pengaruhnya terhadap induksi tunas kultur in-vitro tomat varietas

Kingkong. Perlakuan ini menghasilkan tunas sebanyak 9,80 per eksplan

dengan rata-rata tinggi tunas 1,16 cm. Sedangkan media MS yang

mengandung 0,1 ppm NAA berpengaruh paling baik terhadap induksi akar

B A C

13

tomat varietas Kingkong, yakni sebanyak 20,14 akar per eksplan dengan rata-

rata panjang akar 2,79 cm.

2. Metode regenerasi terbaik untuk tomat hibrida varietas Kingkong adalah

media MS+0,2 ppm IAA+1 ppm BAP untuk induksi tunas, dengan eksplan

kotiledon sebagai eksplan terbaik, dan penambahan 0,1 ppm NAA dalam

media untuk induksi perakaran.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih diucapkan kepada Dra. Erna Rochiyati, MSi atas saran dan

masukannya sebagai penyelaras bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Arrillaga, I.; C. Gisbert; E. Sales; L. Roig; and V. Moreno. 2001. In-vitro Plant

Regeneration and Gene Transfer in The Wild Tomato Lycopersicon

cheesmanii. Journal of Horticultural Science & Biotechnology 76 (4) : 413-

418.

Brown, S C. 1997. Plant Regeneration using Tissue Culture and Agrobacterium

tumefaciens Transformation. In Partial Fulfillment of Plant Biotechnology.

Roger Williams University. (www. Earthlink.net.)

Dewanti, P. 1995. Pengaruh Konsentrasi Kinetin dan Macam Eksplan terhadap

Hasil Kultur In-vitro Tembakau (Nicotiana tabaccum L.). Laporan

Penelitian (Tidak dipublikasikan). Lembaga Penelitian Universitas Jember,

Jember.

Duzyaman, E A A. Tanriseiver ang G. Gunver. 2000. Comparative Studies on

Regeneration of Different Tissues of Tomato In Vitro. Symposium on

Cultivate of Solanaceae in Wild Winter Climates. (www. Actahort. Org.).

Gunawan, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan

PAU Bioteknologi Tanaman IPB, Bogor.

Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius,

Yogyakarta.

14

Kompas. 2001. Darajingga, Tomat Indo Temuan Putri Indonesia (online).

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0110/28/iptek/dara22.htm, diakses

pada 25 Pebruari 2002.

Nirmala, R. 1998. Pengaruh 2,4-D dan Kombinasi NAA dengan Kinetin Terhadap

Pertumbuhan dan Perkecambahan Kalus Tomat (Lycopersicon esculentum

MILL.) Varietas Kemir. Frontir-Journal of Mulawarman University

(online). http://unmul.ac.id/dat/pub/frontir/ratna.pdf, diakses pada 10 Maret

2002.

Nogueira, F. T. S.; M. C. Costa; M. L. Figueira; W. C. Otoni; and F. L. Finger.

2001. In-vitro Regeneration of ‘Santa Clara’ Tomato Plantlets and Its

Natural Mutant ‘Firme’. Cienc. Agrotec : 63-71 (online). http://www.

editorauflagr/revista/25-1/art08.pdf, diakses pada 25 Pebruari 2002.

Restanto, D. P. 1998. Studi Regenerasi Kedelai secara In-vitro. Laporan

Penelitian (Tidak dipublikasikan). Lembaga Penelitian Universitas Jember,

Jember.

Sabapathi, B. R. and N. Gupta. 1986. Genotypic Differences in Shoot Forming

Capacity of Cultured Hypocotyl Explants of Tomato. Report of The Tomato

Genetics Cooperative (online). http://ars-genome.cornell.edu/tgc/news-

letters/vol36/ v36p26.html, diakses pada 25 Pebruari 2002.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan (edisi bahasa

Indonesia). Penerbit ITB, Bandung.

Taylor, B. H. and R. A. El-Kheir. 1993. Induction of Lateral Root Initiation by

Auxin in Tomato Seedling Roots. Report of the Tomato Genetics

Cooperative : 46-48 (online). http://ars-genome.cornell.edu/tgc/newsletter/

vol43/p46.html, diakses pada 19 Pebruari 2002.

Trubus. 1993. Tomat Kingkong yang Menggiurkan. Trubus (Kumpulan Kliping

Tomat). Pusat Informasi Pertanian, Jakarta.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Laboratorium Kultur

Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB, Bogor.

Wetherell, D. F., 1982, Pengantar Propagasi Tanaman secara In-vitro (edisi

bahasa Indonesia). IKIP Semarang Press, Semarang.