ringkasan - Unissula Repository
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of ringkasan - Unissula Repository
10
RINGKASAN
A. Pendahuuan
Kecendrungan Koperasi Simpan Pinjam dalam melaksanakan
kegiatan usaha yang melanggar prinsip-prinsip Koperasi dan
melanggar Undang-Undang Koperasi menjadi salah satu hambatan
mengapa Koperasi Simpan Pinjam sulit untuk tumbuh dan
berkembang secara kualitatif. Hambatan dalam pengembangan
Koperasi Simpan Pinjam, diantaranya adalah; Kebijakan peraturan
perundang-undangan yang kurang memadai tentang Koperasi
Simpan Pinjam, Tidak ada ketegasan untuk memberikan sangsi yang
tegas terhadap Koperasi Simpan Pinjam yang melanggar aturan
perundangan, dan Kurangnya kemampuan menguasai regulasi tentang
pengelolaan usaha simpan pinjam dari aparat pembina yang sekaligus
sebagai pengawas Koperasi Simpan Pinjam, serta pengelolaan
Koperasi Simpan Pinjam yang tidak baik.
Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung terhadap
hipotesis tersebut antara lain, penelitian di sub-Sahara Afrika, bahwa
buruknya pengelolaan Koperasi disebabkan oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal antara lain; rendahnya partisipasi
anggota, masalah struktural, kontrol dan kesalahan manajemen,
sedang faktor eksternalnya adalah intervensi pemerintah yang
ekstrim, lingkungan ekonomi dan politik, terlalu besarnya harapan
yang tidak bisa terealisasi atas peran koperai, bagaimana peran
pemerintah mempromosikan koperasi yang bersifat “top down”
terbukti telah gagal menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi.1
Hal ini dapat terlihat pada kasus-kasus hukum tentang
pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam yang pada akhir-akhir ini
sering terjadi, dan kasus tersebut antara lain: kasus pertama di alami
Koperasi Karang Asem. Pada tahun 2009, Koperasi Karang Asem
Membangun di Kabupaten Karang Asem Propinsi Bali. telah
menghimpun dana anggota dan calon anggota sejumlah Rp 700
1http://propensitytoaassume.blogspot.co.id/2014/10 koperasi di negara maju dan
negara berkembang.
11
milyar, namun dana sebesar Rp 400 milyar tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Akhirnya oleh Dinas Koperasi Kabupaten Karang Asem,
Koperasi ini ditutup dan pengelola Koperasi dijerat dengan pasal
penggelapan dan Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan.
Kemudian yang kedua menimpa Koperasi Sembilan Sejati di
Kota Semarang. Kasus hukum ini terjadi pada tahun 2010, dimana
Koperasi Sembilan Sejati ini telah menghimpun dana anggota dan
calon anggota sebesar Rp 200 milyar. Namun dana sebesar Rp 200
milyar itu, pengelola tidak dapat mempertanggung jawabkan dan
Dinas Koperasi UMKM Propinsi Jawa Tengah akhirnya menutup
koperasi ini. Para pengelola Koperasi Sembilan Sejati dijerat dengan
pasal penggelapan dan Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan.
Selanjutnya yang ketiga kasus hukum yang sedang menimpa
Koperasi Simpan Pinjam Inti Dana, diduga Koperasi ini telah
menerima dana anggota dan calon anggota sebesar Rp 900 milyar.
Ketika para anggota mengambil atau menarik simpanan, Koperasi Inti
Dana tidak dapat menyediakan likuiditas dana simpanan anggota dan
calon anggota tersebut. Beberapa anggota telah melakukan gugatan ke
pengadilan, namun tidak menutup kemungkinan bila secara perdata
belum dan tidak selesai, maka kasus hukumknya akan beralih menjadi
masalah pidana. Untuk kasus yang terakhir, menurut beberapa sumber
sesungguhnya Koperasi Inti Dana adalah Koperasi yang sehat,
dikelola secara profisional dan beberapa kali mendapat penghargaan
dari Kementrian Koperasi dan UMKM Republik Indonesia.
Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) wilayah Jawa
Tengah, Warsono,2 menuturkan selama ini Koperasi Simpan Pinjam
Inti Dana dikenal Koperasi Simpan Pinjam yang cukup baik, dalam
pengelolaan sudah menggunakan teknologi informasi dan tidak ada
permasalahan ataupun keluhan dari anggota, namun demikian
2 Suara Merdeka, Kasus-Kasus Koperasi, Kamis Pon, 1 Oktober 2015.
12
Koperasi Simpan Pinjam Inti Dana masih saja tersandung masalah
hukum. Kemudian untuk merespon pola perkembangan pengelolaan
Koperasi Simpan Pinjam, baik yang terjadi karena perkembangan
hukum akibat adanya perubahan paradigma, dan perkembangan
ekonomi dunia yang bergerak sangat cepat, disamping adanya praktek
pengelolaan yang dianggap melenceng dari prinsip-prinsip Koperasi
dan Undang-Undang Koperasi, Pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat mengadakan pembaharuan hukum Koperasi, yakni
dengan mensyahkan Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian.
Maksud dan tujuan digantikanya Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 adalah
untuk memperkokoh dan memperkuat Koperasi dalam rangka
mengsejajarkan dengan pelaku badan usaha lainya, dan lebih dari pada
itu untuk menghadapi perkembangan ekonomi dan globalisasi.
Pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dalam kebijakan
perkoperasian harus mencerminkan nilai dan prinsip Koperasi sebagai
wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan
ekonomi anggota, sehingga Koperasi dapat tumbuh menjadi kuat,
sehat, mandiri dan tangguh dalam menghadapi perkembangan
ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh
tantangan.
Kehadiran Undang-Undang Koperasi yang baru, yakni Undang-
Undang Nomor. 17 Tahun 2012, justru menimbulkan perdebatan di
masyarakat. Beberapa pegiat dan gerakan Koperasi bahkan
mengajukan gugatan (Yudicial Review) di Mahkamah Konstitusi atas
Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012. Para penggugat mendalilkan
bahwa Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 bertentangan dengan
isi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi
dengan putusanya Nomor. 28/PUU-XI/2013, membatalkan Undang-
Undang Nomor. 17 Tahun 2012. Isi dari putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor. 28/PUU-XI/2013 tersebut adalah bahwa Undang-
13
Undang Nomor 17 Tahun 2012 dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) dan ayat
(4). Ketidaksesuaian antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
dengan sistem ekonomi kerakyatan yang dianut di Indonesia ialah
adanya kewenangan yang besar bagi penanam saham dengan modal
besar, sementara setiap anggota tidak memiliki keleluasaan kerana
sistem penanaman modal tertutup sifatnya, Selain itu adanya sistem
pengawasan yang dapat berpeluang melakukan intervensi terhadap
anggota juga tidak sesuai dengan nafas koperasi.3
Kemudian dengan lahirnya Undang-Undang No.21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, menjadi alasan penggantian Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2012 semakin bertambah kuat, hal ini
dikarenakan adanya suatu kehawatiran bahwa kedudukan dan
keberlangsungan Koperasi Simpan Pinjam akan semakin lemah,
padahal Koperasi diharapan sebagai soko guru perekonomian
nasional. Hal ini menjadikan alasan Mahkamah Konstitusi
membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dan untuk
mengisi kekeosongan hukum sementara diberlakukanlah Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992.
Setelah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang
mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengawas Koperasi Simpan
Pinjam dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak menutup
kemungkinan Koperasi Simpan Pinjam akan diawasi Otoritas Jasa
Keuangan, meskipun secara eksplisit disebutkan Koperasi diawasi
oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, sebab
menurut Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 (UU
OJK), bahwa salah satu tugas Otoritas Jasa Keuangan adalah
mengawasi jasa keuangan lainya. Memang patut diakui ada beberapa
Koperasi Simpan Pinjam yang cukup siap diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan, namun sebagian besar Koperasi Simpan Pinjam belum
3 Tempo.co, UU 7 Tahun 2012 Bikin Koperasi Hilang Jati Diri, Diakses pada 12
Februari 2020.
14
cukup siap diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, sebab standar
pengawasan perbankan berbeda dengan Koperasi yang bergerak di
usaha simpan pinjam dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki standar
pengawasan lembaga keuangan yang cukup tinggi.
Berdasarkan berbagai penjelasan yang ada, perlu kiranya di
lakukan suatu upaya agar Koperasi Simpan Pinjam sebagai lembaga
intermediasi dapat sejajar secara adil dengan lembaga keuangan lain
dan bersama lembaga keuangan lain membangun perekonomian
nasional. Terhadap ius contituendum Koperasi Simpan Pinjam perlu
diatur kembali dalam suatu Undang-Undang Koperasi, dan karena itu
penulis mengadakan penelitian tentang “REKONSTRUKSI
POLITIK HUKUM PENGELOLAAN KOPERASI SIMPAN
PINJAM BERBASIS NILAI – NILAI KEADILAN”.
B. Rumusan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka rumusan masalah yang
dapat diajukan adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan politik hukum pengelolaan koperasi
simpan pinjam saat ini?
2. Bagaimanakah kelemahan-kelemahan terhadap pelaksanaan
politik hukum pengelolaan koperasi simpan pinjam saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi politik hukum pengelolaan Koperasi
Simpan Pinjam yang berbasis nilai-nilai keadilan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat ditarik tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan ini disertasi ini,
adapun tujuan tersebut adalah:
1. Untuk menganalisis pelaksanaan politik hukum pengelolaan
Koperasi Simpan Pinjam saat ini.
2. Untuk menganalisis kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan
politik hukum pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam saat ini.
3. Untuk merekonstruksi politik hukum Pengelolaan Koperasi
Simpan Pinjam yang berbasis nilai-nilai keadilan.
15
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
manfaat yang positif bagi kajian ilmu pengetahuan hukum Koperasi
khususnya Politik Hukum Pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam.
Adapun manfaat penelitian tersebut antara lain ;
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teori diharapkan dapat
membangun teori baru tentang politik hukum Koperasi,
khususnya politik hukum pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam
yang berbasis nilai-nilai keadilan.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian hukum tentang pengelolaan
Koperasi Simpan Pinjam dan secara praktis dapat
digunakan oleh para pemangku kepentingan, khususnya
para pegiat dan praktisi Koperasi Simpan Pinjam.
b. Untuk melengkapi kajian hukum tentang pengelolaan
Koperasi Simpan Pinjam dalam melaksanakan kegiatan
usaha simpan pinjam.
c. Bagi pemerintah berguna untuk mendayagunakan
Koperasi Simpan Pinjam dalam pembangunan ekonomi
nasional.
d. Bagi para penegak hukum, sebagai masukan dalam rangka
penegakan hukum Koperasi, khususnya pada Koperasi
Simpan Pinjam.
E. Kerangka Teoritik
1. Grand Theory
a. Teori Keadilan
John Rawls memberikan arti keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial.
Akan tetapi kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan setiap
orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
16
masyarakat lemah pencari keadilan. 4
Selanjutnya John
Rawls pada dasarnya melihat keadilan masyarakat lebih
pada aspek bentuk pendistribusian keadilan dalam
masyarakat. Keadilan diterjemahkan sebagai fairness
dimana prinsip tersebut dikembangkan dari prinsip
utilitarian. Teori tersebut diadopsi dari prinsip maksimin,
yaitu proses pemaksimalan dari sebuah hal yang minimum
dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh setiap
individu yang berada pada posisi awal di mana pada posisi
tersebut belum terdapat tawar-menawar akan peran dan
status seorang anggota masyarakat. Prinsip ini berusaha
menjawab sejauh mungkin tentang pemaksimalan suatu
hal yang minimum yang berkaitan erat dengan keuntungan
kalangan masyarakat bawah yang lemah.5
Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls terdapat
dua tujuan utama yang hendak disampaikan yakni:
Pertama, teori ini ingin mengartikulasikan sederet prinsip
umum keadilan yang mendasari dan menerangkan kondisi
tertentu seseorang secara khusus untuk mendapatkan
keadilan dilihat dari tindakan sosial yang dilakukan
seseorang. Kedua, konsep keadilan distributif pada
dasarnya dikembangkan dari konsep utilitarianisme
dengan memberikan batasan yang lebih sesuai terhadap
individu. Bahwa keadilan dipandang sebagai cara yang
lebih tepat dan etis untuk memberikan keuntungan bagi
individu sesuai dengan keputusan moral etis.6
Pola pemberian konsep keadilan menurut Rawls
harus diinisiasi berdasarkan posisi asli seseorang bukan
karena status dan kedudukannya di ruang sosial. Cara
4 Pan Muhammad Fais, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, 2009, hal
135. 5 John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2011, diterjemahkan
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, hlm.12-40. 6 John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University, London,1973,hlm.50-57.
17
untuk memperoleh sifat asli tersebut, seseorang harus
mencapai posisi aslinya yang disebut dengan kerudung
ketidaktahuan (veil of ignorance). Kondisi veil of
ignorance tersebut bermaksud mendudukan seseorang
dalam kondisi yang sama satu dengan lainnya sebagai
anggota masyarakat dalam kondisi ketidaktahuan.
Sehingga dengan situasi demikian, orang lain tidak
mengetahui keuntungan terhadap pemberian sesuatu
kepada seseorang yang telah mencapai titik “kerudung
ketidaktahuan”.7
Lebih lanjut, dalam kondisi “kerudung
ketidaktahuan” masyarakat bertugas untuk membagikan
hal-hal utama yang ingin dimiliki oleh setiap seorang
(primary good). Primary good merupakan kebutuhan
dasar manusia sebagai hak yang harus dipenuhi. Dengan
demikian cara masyarakat untuk membagikan hak adalah
dengan menerapkan prinsip keadilan yang terdiri dari: a)
kebebasan untuk berperan dalam kehidupan politik; b)
kebebasan untuk berbicara; c) kebebasan untuk
berkeyakinan; d) kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri;
e) kebebasan dari penangkapan dan penahan sewenang-
wenang; f) Hak untuk mempertahankan milik pribadi.8
Pada kesimpulannya, keadilan John Rawls berusaha
menempatkan hak setiap individu sebagaimana mestinya
dengan cara melepaskan atribut kedudukan yang dimiliki
dalam struktur sosial. Sehingga pendistribusian hak
dilakukan secara sama rata.
b. Teori Sibernetik Talcot Parson
Parsons merupakan seorang sosiolog yang
mencetuskan Teori Sibernetik yang kemudian lebih
7 John Rawls yang disarikan oleh Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John
Rawls, Jurnal TAPIs Volume 9 No.2 Juli-Desember 2013, hlm.42. 8 Ibid., hlm.43.
18
dikenal sebagai Teori Fungsionalisme Struktural. Dalam
teori tersebut, Parsons menyatakan bahwa dalam sudut
pandang sosiologi masyarakat dipandang hidup dalam
rangkaian satu kesatuan sistem yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
Pandangan Parson tersebut dikembangkan dari model
perkembangan sistem organisasi yang terdapat dalam
biologi dimana teori tersebut berdasar pada asumsi bahwa
semua elemen harus berfungsi agar masyarakat dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.9
Sebagai suatu sistem, teori tersebut menempatkan
hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial
yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub sistem
lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda.
Sub-sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik, dan
ekonomi. Budaya membahas mengenai dengan nilai-nilai
yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu mesti
dipertahankan. Sub sistem ini berfungsi mempertahankan
pola-pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada
aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the
game). Fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan
mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan
aturan main. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan
dan kewenangan. Tugasnya adalah pendayagunaan
kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan.
Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya materiil
yang dibutuhkan menopang sistem. Tugas sub sistem
ekonomi adalah menjalankan fungsi adaptasi berupa
kemampuan menguasai sarana-sarana dan fasilitas untuk
9 Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007,
hlm.48.
19
kebutuhan sistem.10
Empat sub sistem itu, selain sebagai
realitas yang melekat pada masyarakat, juga serentak
merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit
kehidupan sosial. Hidup matinya sebuah masyarakat
ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub sistem sesuai
tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah
yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari
tiga sub sistem yang lain itu. Inilah yang disebut fungsi
integrasi dari hukum dalam Teori Parsons.11
2. Middle Tehory
a. Teori Bekerjanya Hukum di Masyarakat Chambliss
dan Seidman
Teori ini menyatakan bahwa tindakan apa pun yang
akan diambil oleh pemegang peran, lembaga-lembaga
pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada
dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial,
budaya, ekonomi dan politik dan lain sebagainya. Seluruh
kekuatan-kekuatan sosial selalu ikut bekerja dalam setiap
upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang
berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh
aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya. Akhirnya
peran yang dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum
itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai macam
faktor.12
b. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa hukum
itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.13
1) Komponen struktur yaitu kelembagaan yang
10
Bernard L. Tanya, dkk. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 152. 11 Loc.Cit. 12
William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam Esmi Warassih, Pranata
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Ibid., hlm. 10. 13
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 28.
20
diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai
macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan
melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan
pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan
hukum secara teratur.
2) Komponen substantif, yaitu sebagai output dari
sistem hukum, berupa peraturan-peraturan,
keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh
pihak yang mengatur maupun yang diatur.
3) Komponen kultur, yaitu terdiri dari nilai-nilai,
sikap-sikap, persepsi, custom, ways of doing, ways of
thinking, opinion yang mempengaruhi bekerjanya
hukum oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai
kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan antara
peraturan hukum dengan tingkah laku hukum
seluruh warga masyarakat.
3. Applied Theory
Tokoh dari teori pembangunan hukum adalah Mochtar
Kusumaatmadja, yang mana konsep hukumnya dipengaruhi oleh
Myres MC Dougal dan F.S.C Northop, yang mana keduanya
berpendapat bahwa di dalam hukum disisipkan pendekatan
orientasi politik serta dasar-dasar filosofi dan sosiologi hukum.
Hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya
merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi meliputi lembaga-
lembaga (institutions)dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan
demikian melihat hukum tidak hanya sebaagai gejala normatif,
tetapi sebagai bagian dari gejala sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam proses dan lembaga yang berlaku di dalam
masyarakat.
21
Ada beberapa argumen krusial yang menyebabkan teori
hukum pembangunan tersebut banyak mengundang atensi.
Apabila dijabarkan, aspek tersebut secara global adalah sebagai
berikut : 14
(a) Teori hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori
hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh
orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur
dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh
dan berkembang sesuai dengaan kondisi Indonesia,
aplikasinya sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat
Indonesia yang pluralistik.
(b) Secara dimensional, teori hukum pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of life)
masyarakat serta bangsa Indonesia yang berdasarkan asas
Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam
teori hukum pembangunan tersebut relatif sudah
merupakan dimensi yang meliputi structure, culture, dan
subtance sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.
Friedman.
(c) Pada dasarnya teori hukum pembangunan memberikan
dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat dan hukum sebagai suatu sistem sangat
diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang
sedang berkembang.
F. Metode Penelitian
1. Paradigma
Paradigma merupakan suatu sistem filosofis ‘payung’ yang
meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu. Masing-
masingnya terdiri dari serangkaian “belief dasar” atau world view
14
H. Juhaya S. Praja, op cit, hal 150-151.
22
yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan (dengan “belief dasar”
atau world view dari ontologi, epistemologi, dan metodologi
paradigma lainnya). Lebih dari sekedar kumpulan teori,
paradigma dengan demikian mencakup berbagai komponen
praktek-praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang
terspesialisasi.
Paradigma diantaranya, bertugas untuk menggariskan tolok
ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan,
menetapkan metodologi mana yang akan dipilih untuk diterapkan,
atau cara bagaimana hasil penelitian akan diinterpretasi.15
Paradigma konstruktivisme (legal constructivism)
merupakan paradigma yang melihat kebenaran sebagai suatu
realita hukum yang bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks
spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
Realitas hukum yang dimaksud merupakan realitas
majemuk yang beragam berdasarkan pengalaman sosial individu.
Pada dasarnya realitas sosial yang ada dikembangkan dari realitas
individu dalam masyarakat. Realitas tersebut merupakan
konstruksi mental manusia sehingga penelitian ini memberi
empati dan interaksi yang dialektik antara peneliti dan yang
diteliti untuk merekonstruksi realitas hukum melalui metode
kualitatif.
Oleh karena itu dalam paradigma konstruktivisme, realitas
yang diamati oleh peneliti tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini
dikarenakan setiap fenomena yang terjadi merupakan hasil
konstruksi (persepsi) masing-masing individu atau masyarakat,
dimana konstruksi tersebut muncul sebagai “resultante” dari
pengalaman sosial, agama, budaya, sistem nilai-nilai lainnya, dan
bersifat lokal. Penelitian yang dilakukan harus mampu
mengungkap pengalaman sosial, aspirasi, atau apapun yang tidak
15
Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma Suatu Telaah Filsafat Hukum, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2010, hlm. 4.
23
kasat mata tetapi menentukan sikap-sikap,perilaku, maupun
tindakan objek peneliti. Dengan demikian terdapat subjektivitas
dari peneliti terutama untuk menafsirkan hal-hal yang tidak kasat
mata.
Oleh karenanya diperlukan interaksi subjektif antar
keduanya. Disinilah kemudian, konstruktivisme menggunakan
metode hermeneutik dan dialektika dalam proses pencapaian
kebenaran. Hermeneutik dilakukan melalui identifikasi kebenaran
atau konstruksi pendapat perseorangan. Dialektika dilakukan
dengan cara membandingkan pendapat beberapa individu untuk
memperoleh konsensus.16
Berdasarkan uraian di atas, jika ditelaah menurut E. G.
Guba dan Y.S Lincoln,17
paradigma konstruktivisme secara
ontologis dimaknai sebagai relativisme yakni, pemahaman
realitas yang dikonstruksikan berdasarkan pengalaman sosial
individual secara lokal dan spesifik. Secara epistemologis
paradigma merupakan bentuk subjektivitas terhadap temuan-
temuan yang diciptakan oleh peneliti dan objek investigasi terkait
secara interaktif sehingga temuan dicipta atau dikonstruksi
bersama dengan suatu metodologi.
Secara metodologis, paradigma menggunakan metode
hermeneutik atau dialektis yang berarti konstruksi ditelusuri
melalui interaksi antara peneliti dan objek investigasi dengan
teknik hermeneutik.18
Pada penelitian ini menggunakan
paradigma Konstruktivisme dikarenakan selain menggunakan
16
Paradigma konstruktivisme boleh disebut sebagai penyangkalan terhadap
paradigma positivisme. Apabila di dalam paradigma positivisme diyakini bahwa realitas itu
bisa diamati berulang-ulang dan hasilnya sama dan bisa digeneralisasikan. Maka paradigma
konstruktivisme menyangkalnya. Konstruktivisme memahami kebenaran realitas bersifat
relatif, berlaku sesuai dengan kontek spesifik yang relevan dengan perilaku sosial.
Konstruktivisme, dengan demikian menolak generalisasi untuk berupaya menghasilkan
deskripsi yang unik. Lihat, Guba dan Lincoln, dalam Erlyn Indarti, Ibid., hlm. 30-34. 17
E. G. Guba dan Y. S. Lincoln, Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi dan Arus
Perpaduan Baru, dalam Norman K. Denzin dan Y. S. Lincoln, Tha Sage Handbook Of
Qualitative Research Edisi Ketiga, dialihbahasakan oleh Dariyatno, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta ,2011, hlm. 205. 18
Ibid., hlm. 207.
24
data kepustakaan dan perundang-undangan penelitian ini juga
menggunakan data berupa hasil wawancara secara hermeneutik.19
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah non-
doktrinal. Dalam penelitian hukum non-doktrinal ini hukum
dikonsepkan sebagai manifestasi makna-makna simbolik para
pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
Bahwa realitas kehidupan yang sesungguhnya tidaklah eksis
dalam alam empiris yang juga alam amatan, tidak menampak
dalam wujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif
(apalagi normatif) dan oleh karenanya bisa diukur untuk
menghasilkan data-data yang kuantitatif. Realitas kehidupan itu
sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang menampak
dalam bentuk simbol-simbol yang hanya bisa dimengerti sesudah
ditafsir. Realitas yang demikian itu tidaklah dapat dengan mudah
“ditangkap” lewat pengamatan dan pengukuran dari luar.
Realitas-realitas tersebut hanya mungkin “ditangkap” melalui
pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang
membuahkan gambaran pemahaman yang lengkap.20
Karena realitas (hukum) adalah bagian dari alam makna/
simbolis yang hanya dapat dipahami lewat pengalaman internal
para subjek pelaku maka apa yang akan tertangkap dan
teridentifikasi sebagai masalah tidak lain daripada apa yang
dijumpai oleh para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman
dan penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka,
masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan
pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahliannya dan
betapapun besar kewenangannya di dalam hal pengendalian
19
E. G. Guba dan Y. S. Lincoln, Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi dan Arus
Perpaduan Baru, dalam Norman K. Denzin dan Y. S. Lincoln, Tha Sage Handbook Of
Qualitative Research Edisi Ketiga, dialihbahasakan oleh Dariyatno, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta ,2011, hlm. 205. 20
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika
Masalahnya, HUMA,Jakarta,2002, hlm.198.
25
sistem, hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan itu tidak
akan (selalu) sama dengan apa yang terpersepsi dan teridentifikasi
oleh subjek-subjek pelaku yang berpartisipasi dalam aksi-aksi dan
interaksi-interaksi setempat.21
3. Jenis Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian
hukum kualitatif ini adalah metode pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu suatu pendekatan dengan mencari informasi
melalui wawancara secara langsung dengan informan secara
empiris terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan
mengadakan penelitian data sekunder yang terdapat pada studi
kepustakaan melalui langkah teoritik.22
4. Jenis Data
a. Data Primer
Adalah keterangan atau informasi yang diperoleh
secara langsung melalui penelitian di lapangan. Data primer
ini dilakukan dengan cara mengadakan wawancara
mendalam yakni suatu cara untuk memperoleh informasi
dengan bertanya secara langsung kepada pihak informan.
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi atau
keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
Dalam hal penyusunan kebijakan pengelolaan koperasi
dalam kaitannya dengan peran koperasi di era pembangunan
ekonomi saat ini, maka setidaknya terdapat beberapa
instansi pemerintahan yang akan dijadikan informan antara
lain : Birokrat Terkait Koperasi, Lembaga Koperasi,
Anggota Koperasi dan Kalangan Akademisi, serta Lembaga
Swadaya Masyarakat yang konsen dalam persoalan
Koperasi.
21
Loc.Cit. 22
Ibid, hlm. 7
26
b. Data Sekunder
Adalah keterangan atau informasi yang diperoleh dari
literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian
tersebut seperti buku, peraturan perundang-undangan
maupun dokumen-dokumen dari instansi yang
bersangkutan. Studi kepustakaan/data sekunder terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer
Landasan yuridis yang berkaitan dengan
persoalan pengelolaan Koperasi dalam peraturan
perundang-undangan yang terbagi dalam beberapa
tingkatan. Adapun bahan hukum yang dimaksud
yaitu:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
(3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
(4) Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian;
(5) Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1965
tentang Pokok-Pokok Perkoperasian
(6) Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1967
tentang Pokok-Pokok Perkoperasian;
(7) Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011,
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2) Bahan Hukum Sekunder
a) Kepustakaan, buku serta literatur;
b) Karya Ilmiah;
c) Referensi-Referensi yang relevan.
3) Bahan Hukum Tersier
a) Kamus hukum; dan
b) Ensiklopedia.
27
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Studi Pustaka
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
pertama akan dilakukan studi pustaka dengan melakukan
kajian hukum secara normatif dalam proses analisis
penyusunan kebijakan terkait persoalan ketidakadilan
terkait kedudukan dan eksistensi koperasi sebagai lembaga
keuangan negara.
b. Observasi
Setelah dilakukan studi pustaka pada penelitian ini
kemudian dilakukan observasi dilapangan untuk
mendapatkan beberapa informasi terkait persoalan
ketidakadilan terkait kedudukan dan eksistensi koperasi
sebagai lembaga keuangan negara, informasi yang akan
diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang (tempat),
pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa,
waktu, dan persepsi.
c. Wawancara mendalam
Setelah melakukan studi pustaka dan observasi
langsung di lapangan kemudian peneliti akan melakukan
wawancara mendalam dimana dalam proses wawancara ini
akan terjadi proses interaksi dialog antara peneliti dengan
para informan. Wawancara merupakan instrumen utama
untuk memperoleh data lapangan berdasarkan hasil
wawancara dari key informan (informan utama). Informan
utama ditentukan berdasarkan sampel atau purposive
sampling sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.
6. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dipilih
dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis dan
28
dipaparkan dengan menggunakan metode analisis kualitatif.23
Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah
logika berpikir deduktif, di mana penelitian ini berangkat dari hal
(kaidah/norma/teori/aturan hukum) yang bersifat umum kepada
hal-hal yang bersifat khusus (particular). Prinsip dasarnya
adalah:24
segala yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam
satu kelas/jenis, berlaku pula sebagai hal yang benar pada
semua peristiwa yang terjadi pada hal yang khusus, asal hal
yang khusus ini benar-benar merupakan bagian/unsur dari
hal yang umum itu”.
Penelitian ini ditulis dengan menggunakan logika berpikir
deduktif yang selalu menempatkan kaidah hukum dalam berbagai
peraturan perundangan, prinsip-prinsip hukum, serta ajaran dan
doktrin hukum sebagai premis mayor (umum), dan fakta hukum
atau peristiwa hukum sebagai premis minor (khusus).25
Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif dengan menjalankan prosedur berikut, yaitu: a)
Membuat catatan-catatan dari hasil pengumpulan data, melakukan
coding, agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri. b)
Mengumpulkan, membagi secara rinci, mengklasifikasikan data
sesuai dengan permasalahan penelitian, menafsirkan, mencari
makna, dan menemukan pola beserta hubungan-hubungan antara
masing-masing kategori data sehingga dapat ditemukan model
baru yang menjadi tujuan penelitian.
Selanjutnya setelah dilakukan pengelolaan data, hal berikut
yang dilakukan adalah melakukan validasi data. Adapun validasi
data digunakan untuk menetapkan keabsahan data. Langkah yang
diperlukan adalah melaksanakan teknik pemeriksaan yang
didasarkan pada derajat kepercayaan (credibility), peralihan
23
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 183. 24
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,
ANDI, Yogyakarta, 2007, hlm. 153. 25
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hlm. 122.
29
(transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability).
Keabsahan data dalam penelitian ini bertumpu pada derajat
kepercayaan melalui teknik pemeriksaan keabsahan ketekunan
pengamatan dan triangulasi. Melalui teknik pemeriksaan
ketekunan pengamatan akan diperoleh ciri-ciri dan unsur relevan
dengan pokok permasalahan penelitian dan kemudian dirinci serta
diobservasi secara mendalam. Setelah dianalisis, dievaluasi serta
dicek keabsahannya melalui pemeriksaan dan diskusi, data yang
diperoleh akan dipresentasikan dengan gaya tertentu.26
G. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pelaksanaan Politik Hukum Terkait Peran Koperasi
Simpan Pinjam Saat ini
Pada dasarnya pelaksanaan koperasi simpan pinjam
berlandaskan pada beberapa aturan hukum yang berlaku. Pasal
29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa:
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam
Rapat Anggota.
(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali,susunan dan nama anggota pengurus
dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat dipilh dan diangkat menjadi
Anggota Pengurus ditentukan dalam anggaran dasar.
Kemudian pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
pada aspek pengawasan Koperasi Simpan Pinjam tidak
dilengkapi dengan sanksi yang ketat serta pengawasan yang juga
melihat pada pengurus dan anggota koperasi, hal ini juga terjadi
pada Peraturan Menteri Koperasi dan Unit Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Pengawasan Koperasi
dimana pengawasan yang ada hanya terfokus pada pengawasan
26
Vredentberg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1999,
hlm. 89.
30
kinerja sistem koperasi secara kelembagaan bukan pengawasan
Sumber Daya Manusia dari anggota dan pengurus Koperasi, hal
ini dapat terlihat pada Pasal 8 pada Peraturan Menteri Koperasi
dan Unit Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17 Tahun 2015
tentang Pengawasan Koperasi yang menyatakan bahwa:
(1) Pengawasan aktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf a dilakukan dengan pemeriksaan langsung terhadap
Koperasi yang berpotensi mempunyai masalah;
(2) Pengawasan pasif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf a dilakukan dengan menganalisa laporan terhadap
Koperasi yang sudah berjalan baik.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf b dilakukan sesuai jadwal yang telah direncanakan.
(4) Pengawasan sewaktu-waktusebagaimana dimaksud pada
Pasal 7 huruf b dilakukan sesuai sesuai dengan kebutuhan.
(5) Pengawasan preventif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf c dilakukan dengan tujuan pembinaan dan
pencegahan.
(6) Pengawasan represif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf c dilakukan dengan tujuan mencegah meluasnya
permasalahan.
Selain itu pada Peraturan Menteri Koperasi dan Unit
Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17 Tahun 2015 tentang
Pengawasan Koperasi tidak diatur perihal sanksi hukum yang
tegas apabila terjadi pelanggaran berat oleh anggota dan atau
pengurus yang dapat merugikan nasabah koperasi simpan
pinjam, mengingat operasi simpan pinjam juga sering
menawarkan kredit dana kepada pihak selain anggota dengan
tujuan mendapatkan bunga yang besar guna mencari keuntungan
yang besar pula. Hal ini mengakibatkan juga perkembangan
31
koperasi yag berkeadilan bagi anggota-anggotanya juga dapat
terhambat.27
Selain itu di dalam pengangkatan keanggotaan dan
kepengurusan juga tidak diatur perihal prsyaratan pengetahuan
dan pemahaman terkait wawasan kekoperasian, sehingga tidak
jarang setiap anggota dan pengurus koperasi simpan pinjam juga
tidak memahami tujuan hakiki dari koperasi simpan pinjam
yaitu berupa pembangunan sistem ekonomi yang berasaskan
gotong royong dan mengutamakan kesejahteraan berkeadilan
sosial bukan pencarian modal dan pemasukan secara kapitalis.28
Berbagai macam persoalan tersebut juga dapat teramati dalam
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh
Koperasi. Pada Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam
oleh Koperasi pengangkatan pengurus tidak didasari keilmuan,
keahlian dan pengalaman di bidang koperasi simpan pinjam
yang jelas, sehingga urusan kepengurusan KSP hanya dipandang
urusan administrasi belaka.29
Keadaan demikian menjadi pemicu berbagai macam
pelanggaran hukum yang berkedok Koperasi Simpan Pinjam
serta semakin banyaknya koperasi yang tutup dikarenakan
menejerial yang tidak berkualitas baik. Di Kabupaten Demak
terdapat 132 Koperasi Simpan Pinjam yang akan tutup dari total
jumlah keseluruhan 795, alasan yang mendasari tutupnya 132
koperasi tersebut ialah ketiadaan modal dan aktivasi anggota.30
Keadaan demikian juga terjadi di Yokyakarta, jumlah
koperasi di tahun 2018 mencapai 2738 harus menrun pada tahun
27
Budiyono, Kelemahan Kebijakan Koperasi Di Indonesia, wawancara pribadi
dengan Kepala Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Demak, pada
20 Januari 2020 28
Loc, cit. 29
Loc, cit. 30
Loc, cit.
32
2019 menjadi 2380.31
Berbagai macam persoalan tersebut jelas
telah mengakibatkan tidak efektifnya peran koperasi simpan
pinjam dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi
masyarakat menengah ke bawah baik di tingkat nasional
maupun daerah. Hal ini jelas telah bertolak belakang dengan
amanat dari Sila Kelima Pancasila dan juga Alinea Keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sehingga jelas persoalan koperasi ini juga
melanggar amanat dari Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada akhirnya
melanggar pula amanat dari asas koperasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan juga
melanggar tujuan dari koprasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Berkaitan dengan
persoalan ini jelas telah terjadi disharmonisasi antara Pancasila,
UUD RI 1945, dengan politik hukum koperasi simpan pinjam
terutama terkait menejeraial Sumber Daya Manusia anggota dan
pengurus.
Kemudian persoalan disorientasi pengelolaan koperasi
simpan pinjam sebagaimana telah dijelaskan di atas
mengakibatkan koperasi tidak lagi sesuai dengan semangat
lahirnya koperasi, yang mana pada awalnya koperasi adalah
lembaga ekonomi kekeluargaan yang bertujuan menghidupkan
ekonomi masyarakat kemudian menjadi lembaga usaha
pengkreditan murni yang berdogma layaknya lembaga swasta
yang berorientasi pada keuntungan semata yang kemudian
memarjinalkan kedudukan anggotanya. Hal ini jelas bertolak
belakang dengan perspektif keadilan menurut Rawls.
John Rawls pada dasarnya melihat keadilan masyarakat
lebih pada aspek bentuk pendistribusian keadilan dalam
masyarakat. Keadilan diterjemahkan sebagai fairness dimana
31
Srie Nurkyatsiwi, Jumlah Koperasi Aktif Di Jogjakarta, Wawancara pribadi
dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Yogyakarta, 5 Januari 2020.
33
prinsip tersebut dikembangkan dari prinsip utilitarian. Teori
tersebut diadopsi dari prinsip maksimin, yaitu proses
pemaksimalan dari sebuah hal yang minimum dalam suatu
masyarakat yang dilakukan oleh setiap individu yang berada
pada posisi awal di mana pada posisi tersebut belum terdapat
tawar-menawar akan peran dan status seorang anggota
masyarakat. Prinsip ini berusaha menjawab sejauh mungkin
tentang pemaksimalan suatu hal yang minimum yang berkaitan
erat dengan keuntungan kalangan masyarakat bawah yang
lemah.32
Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls terdapat dua
tujuan utama yang hendak disampaikan yakni: Pertama, teori ini
ingin mengartikulasikan sederet prinsip umum keadilan yang
mendasari dan menerangkan kondisi tertentu seseorang secara
khusus untuk mendapatkan keadilan dilihat dari tindakan sosial
yang dilakukan seseorang. Kedua, konsep keadilan distributif
pada dasarnya dikembangkan dari konsep utilitarianisme dengan
memberikan batasan yang lebih sesuai terhadap individu. Bahwa
keadilan dipandang sebagai cara yang lebih tepat dan etis untuk
memberikan keuntungan bagi individu sesuai dengan keputusan
moral etis.33
Pola pemberian konsep keadilan menurut Rawls harus
diinisiasi berdasarkan posisi asli seseorang bukan karena status
dan kedudukannya di ruang sosial. Cara untuk memperoleh sifat
asli tersebut, seseorang harus mencapai posisi aslinya yang
disebut dengan kerudung ketidaktahuan (veil of ignorance).
Kondisi veil of ignorance tersebut bermaksud mendudukan
seseorang dalam kondisi yang sama satu dengan lainnya sebagai
anggota masyarakat dalam kondisi ketidaktahuan. Sehingga
dengan situasi demikian, orang lain tidak mengetahui
32
John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2011, diterjemahkan
oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, hlm.12-40. 33
John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University, London,1973,hlm.50-57.
34
keuntungan terhadap pemberian sesuatu kepada seseorang yang
telah mencapai titik “kerudung ketidaktahuan”.34
Lebih lanjut, dalam kondisi “kerudung ketidaktahuan”
masyarakat bertugas untuk membagikan hal-hal utama yang
ingin dimiliki oleh setiap seorang (primary good). Primary good
merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai hak yang harus
dipenuhi. Dengan demikian cara masyarakat untuk membagikan
hak adalah dengan menerapkan prinsip keadilan yang terdiri
dari: a) kebebasan untuk berperan dalam kehidupan politik; b)
kebebasan untuk berbicara; c) kebebasan untuk berkeyakinan; d)
kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri; e) kebebasan dari
penangkapan dan penahan sewenang-wenang; f) Hak untuk
mempertahankan milik pribadi.35
Pada kesimpulannya, keadilan
John Rawls berusaha menempatkan hak setiap individu
sebagaimana mestinya dengan cara melepaskan atribut
kedudukan yang dimiliki dalam struktur sosial. Sehingga
pendistribusian hak dilakukan secara sama rata. Dalam
persoalan asus koperasi simpan pinjam pemilik koperasi
sebagian besar menjadikan lembaganya sebagai lembaga usaha
pengkreditan secara murni dimana prinsip-prinsip dasar koperasi
semakin dikeasmpingkan, sehingga koperasi tidak lagi menjadi
koperasi simpan pinjam yang sejatinya koperasi namun hanya
menjadi lembaga pengkreditan yang meminjam nama koperasi
dikarenakan koperasi tidak terlalu rumit dalam mengurus
perizinannya. Pada akhirnya juga sering terjadi penipuan
berkedok koperasi.36
Hal ini dapat terlihat dalam penutupan dua ratus koperasi
simpan pinjam di Kabupaten Semarang yang dainggap “abal-
abal”, Menurut M. Nasir selaku Kepala Dinas Koperasi, Usaha
34
John Rawls yang disarikan oleh Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John
Rawls, Jurnal TAPIs Volume 9 No.2 Juli-Desember 2013, hlm.42. 35
Ibid., hlm.43. 36
Srie Nurkyatsiwi, Jumlah Koperasi Aktif Di Jogjakarta, Wawancara pribadi
dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Yogyakarta, 5 Januari 2020.
35
Menengah Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang
menyatakan bahwa:37
Sebanyak 200 koperasi abal-abal akan dibubarkan karena
keberadaannya hanya ingin memanfaatkan dana hibah dari
Pemkab Semarang. Ada 174 yang dibubarkan, kedepan
mencapai 200. Kami bubarkan karena mereka tidak ada
kegiatan alias abal-abal, kata Mundjirin, Rabu (12/4/2017)
siang. Indikasi abal-abal, kata Mundjirin, selain mati suri
atau tanpa kegiatan, ada juga yang sudah tidak
berpengurus sama sekali. Ada beberapa pengurusnya yang
menghilang dan ada pula yang nama pengurusnya fiktif.
Beberapa koperasi yang terdeteksi abal-abal tersebut akan
diambil tindakan tegas, yakni dengan aksi pembubaran.
Maraknya koperasi di Kabupaten Semarang dipicu adanya
dana hibah dari Pemkab Semarang sebesar Rp 25 juta per
koperasi. "SK Pembubaran sudah ada, tinggal eksekusi.
Kemudian Nasir menambahkan bahwa:
Jumlah koperasi di Kabupaten Semarang saat ini sebanyak
668 unit. Sementara koperasi yang masih rutin melaporkan
adanya RAT (Rapat Anggota Tahunan), hanya sebanyak
140 dari 441 koperasi yang masih aktif. "Sisanya tidak
jelas. Ada yang dua tahun atau tiga tahun sekali
melakukan RAT," kata Nasir. Menurut Nasir, koperasi
yang selama lebih dari lima tahun tidak pernah melakukan
dan melaporkan adanya RAT akan dibubarkan. Namun
sebelum dibubarkan, pihaknya melayangkan surat
peringatan kepada koperasi bersangkutan. Jika tidak
direspon, kita datangi. Kalau memang sudah tidak aktif ya
di tutup.
2. Kelemahan-Kelemahan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum
Pngelolaan Koperasi Simpan Pinjam Saat Ini
Berdasarkan berbagai macam persoalan pada pembahasan
bab III disertasi ini dan berdasarkan pada teori terkait
bekerjanya sistem hukum maka penulis membagi kelemahan-
kelemahan politik hukum terkait pelaksanaan sistem koperasi
sismpan pinjam menjadi:
(1) Kelemahan aspek peraturan hukum
Telah disebutkan di atas bahwa dalam
perkembangannya pelaksanaan koperasi simpan pinjam
37
M. Nasir, Jumlah Koperasi Bermasalah Di Kabupaten Semarang, Wawancara
pribadi dengan Kepala Dinas Koperasi Usaha Menengah Industri dan Perdagangan
Kabupaten Semarang pada 10 Januari 2020.
36
diatur secara umum di dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 Tentang Koperasi dan secara khusus di dalam
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan
Pinjam oleh Koperasi. Adapun kelemahan-kelemahan dari
aspek peraturan perundang-undangan oleh penulis dibagi
kembali menjadi:
a) Kelemahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Koperasi
(1) Kelemahan sistem pengangkatan pengurus
koperasi simpan pinjam
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 menyatakan bahwa:
(a) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota
Koperasi dalam Rapat Anggota.
(b) Pengurus merupakan pemegang kuasa
Rapat Anggota.
(c) Untuk pertama kali,susunan dan nama
anggota pengurus dicantumkan dalam
akta pendirian.
(d) Masa jabatan Pengurus paling lama 5
(lima) tahun.
(e) Persyaratan untuk dapat dipilh dan
diangkat menjadi Anggota Pengurus
ditentukan dalam anggaran dasar.
Berdasarkan ketentuan di atas terlihat
bahwa sistem pengangkatan pengurus koperasi
tidak berlandaskan pada pengetahuan dan
pengalaman tentang pengelolaan dan landasan
kekoperasian, hal ini mengakibatkan pengelola
koperasi hanya menjadikan koperasi sebagai
lembaga simpan pinjam tanpa memiliki
37
kemampuan menjalankan prinsip dasar
koperasi yang mengakibatkan koperasi tidak
lagi menjadi koperasi yang sebenarnya.
(2) Kelemahan pengaturan pengelolaan anggaran
koprasi simpan pinjam
Perihal modal koperasi simpan pinjam
diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa:
(a) Modal Koperasi terdiri dari modal
sendiri dan modal pinjaman.
(b) Modal sendri dapat berasal dari :
a. Simpanan Pokok;
b. Simpanan Wajib ;
c. Dana Cadangan ;
d. Hibah.
(c) Modal Pinjaman dapat berasal dari :
a. Anggota;
b. Koperasi lainnya dan/atau
anggotanya;
c. Bank dan lembaga keuangan
lainnya ;
d. Penerbitan obligasi dan surat
hutang lainnya;
e. Sumber lain yang sah.
Berdasarkan pernyataan di atas terlihat
jelas bahwa modal koperasi simpan pinjam
diperoleh melalui usaha mandiri yang bertitik
pangkal pada anggota dan juga nasabah yang
menggunakan jasa simpan pinjam di
lembaganya. Sementara anggaran bantuan dari
pemerintah dan juga lembaga keuangan
lainnya bersifat pinjaman bukan pemberian
38
dana bantuan non-pinjaman. Hal ini semakin
bertambah parah dengan adanya kenyataan
bahwa bunga dari usaha simpan pinjam
koperasi juga terbilang rendah sehingga
lembaga koperasi memiliki bageting yang
kecil, sementara modal pendirian koperasi
simpan pinjam dapat dikatakan juga tidak kecil
jumlahnya. Hal ini lah yang menjadikan
koperasi simpa pinjam sering melakukan
penggelapan dana anggotanya guna membayar
piutang pendirian dan operasional koperasi
simpan pinjam yang tidak dapat tertutup
dengan modal pendapatan kecil.
b) Kelemahan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang
Simpan Pinjam oleh Koperasi
Adapun kelemahan dalam Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15
Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi
juga dibagi menjadi:
(1) Kelemahan pengaturan terkait pengurus
koperasi
Pengaturan terkait pengangkatan
pengurus koperasi di dalam Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 15 Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam
oleh Koperasi tidak diatur secara jelas
selayaknya Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 Tentang Koperasi. Hal ini semakin juga
mengakibatkan sistem kepengurusan koperasi
simpan pinjam secara khusus tidak memiliki
kejelasan dan kepatian. Hal ini akan
39
mengakibatkan banyaknya SDM pengurus
koperasi simpan pinjam yang tidak
berkompeten mengurus koperasi simpan
pinjam yang pada akhirnya akan
mengakibatkan koperasi simpan pinjam keluar
dari alur prinsip dasar dari koperasi simpan
pinjam sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Koperasi.
(2) Persoalan modal koperasi simpan pinjam
Pengaturan perihal modal koperasi
dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Nomor 15 Tahun 2015
tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi diatur
pada Pasal 17. Pasal 17 Peraturan Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Nomor 15 Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam
oleh Koperasi menyatakan bahwa:
1) Modal usaha awal pada setiap pendirian
KSP Primer dan KSP Sekunder yang
dihimpun dari simpanan pokok dan
simpanan wajib anggotanya dan dapat
ditambah dengan hibah.
2) Modal usaha awal KSP Primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk deposito pada Bank
Pemerintah dengan rincian sebagai
berikut:
a. modal KSP Primer dengan wilayah
keanggotaan dalam daerah
Kabupaten/Kota ditetapkan sebesar
40
Rp15.000.000,- (lima belas juta
rupiah).
b. modal KSP Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu)
daerah Provinsi ditetapkan sebesar
Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima
juta rupiah).
c. modal KSP Primer dengan wilayah
keanggotaan lintas daerah Provinsi
ditetapkan sebesar
Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh
puluh lima juta rupiah).
3) Modal usaha awal KSP Sekunder
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk deposito pada Bank
Pemerintah dengan rincian sebagai
berikut:
a. modal KSP Sekunder dengan
wilayah keanggotaan dalam daerah
Kabupaten/Kota ditetapkan sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
b. modal KSP Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu)
daerah Provinsi ditetapkan sebesar
Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).
c. modal KSP Sekunder dengan
wilayah keanggotaan lintas daerah
Provinsi ditetapkan sebesar
41
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Berdasarkan ketentuan sebagaimana
telah dijelaskan di atas terlihat juga bahwa
modal usaha koperasi simpan pinjam diperoleh
melalui kegiatan usaha mandiri tanpa bantuan
dari pemerintah pusat maupaun di daerah. Hal
ini juga jelas bahwa kondisi koperasi simpan
pinjam juga akan mengalami kesulitan dalam
hal permodalan dan pendapatan inkam yang
besar. sehingga pada akhirnya dapat
mengakibatkan ketidakpercayaan oleh
anggota-anggotanya.
Keadaan demikian jelas akan melanggar Sila Kelima
Pancasila, Alinea Keempta Pembukaan UUD NRI 1945,
Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa
“perekonomian dibangun atas usaha bersama dan
berdasarkan azaz kekeluargaan”. Hal ini jelas juga
melanggar azaz dari koperasi yaitu azaz kekeluargaan atau
gotong royong. Hal ini dikarenakan politik hukum di
Indonesia telah terpengaruh oleh globalisasi ekonomi yang
semakin mengutamakan kepentingan kapitalis
dibandingkan kebutuhan ekonomi masyarakat.
Hans Nawiasky mengembangkan teori dari Kelsen
dengan konsep baru yang dinamainya dengan die theorie
vom stufenordnung der rechtsnormen.38
Pada teorinya
tersebut, Nawiasky menyatakan bahwa hierarki norma
hukum terbagi menjadi:39
1. Norma fundamental negara atau
staatsfundamentalnorm;
2. Aturan dasar negara atau staatsgrundgesetz;
38
Ibid, hlm. 44. 39
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, op, cit, hlm. 170.
42
3. Undang-undang formil atau formell gesetz;
4. Peraturan pelaksana dan peraturan otonom atau
verordnung en autonome satzung.
Berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai
Philosofische Grondslag dan sekaligus sebagai sumber
dari segala sumber hukum, A. Hamid S. Attamimi dengan
menggunakan die theorie vom stufenordnung der
rechtsnormen milik Nawiasky menyatakan bahwa struktur
hierarki hukum di Indonesia terdiri dari:40
1. Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai staatsfundamentalnorm; 41
2. Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan MPR serta Konvensi Ketatanegaraan
merupakan staatsgrundgesetz;
3. Peraturan Perundang-undangan merupakan formell
gesetz;
4. Secara hierarki mulai dari Peraturan Pemerintah
hingga Peraturan Daerah Provinsi serta Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota merupakan verordnung en
autonome satzung.
Kedudukan Pancasila sebagai Philosofische
Grondslag atau oleh Nawiasky disebut dengan
Staatsfundamentalnorm sekaligus sebagai rechtsidee atau
cita hukum, menimbulkan konsekuensi bahwa pembuatan
40
Loc, cit. 41
Walaupun Nawiasky dengan teorinya tidak secara tegas mengatakan bahwa
Pancasila yang merupakan Staatsfundamentalnorm berkaitan dengan konstitusi Indonesia,
namun hubungan antara Pancasila dengan konstitusi hingga berbagai aturan yang ada di
bawah konstitusi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori validitas Kelsen. Berdasarkan
teori Kelsen tersebut dapat dinyatakan bahwa konstitusi Indonesia merupakan dokumen
valid dikarenakan pada Pancasila yang merupakan postulat akhir yang bersifat final.
Postulat tersebt kemudian menjadi tempat bergantung bagi setiap norma di bawahnya
sehingga membentuk suatu presuposisi yang dinamai oleh Kelsen sebagai trancendental
logical pressuposition. Lihat: Ibid, hlm. 172.
43
segala peraturan hukum hingga pelaksanaannya harus
sesuai dengan segala nilai yang terkandung dalam setiap
sila Pancasila sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Persoalan politik hukum pengelolaan koperasi simpan
pinjam yang ada telah jauh dari azaz koperasi yang juga
lahir dari ramih Pancasila yang menhendaki adanya
ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila yang
menjunjung tinggi demokrasi ekonom kerakyatan.
Sehingga antara norma dasar, hukum dasar dengan
politik hukum pengelolaan koperasi simpan pinjam
mengalami disharomisasi. Berkaitan dengan
disharmonisasi tersebut, Lon L. Fuller menyatakan bahwa
untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus
dicermati apakah Fuller memenuhi delapan azas atau
principles of legality berikut ini:42
1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-
perturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus
diumumkan;
3) Peraturan tidak boleh berlaku surut;
4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang
bisa dimengerti;
5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-
peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung
tuntutan melebihi apa yang dapat dilakukan;
7) Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah;
8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang
diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
42
Lon L. Fuller, dikutip oleh Esmi Warassih, Sosiologi Hukum, Sebuah Pranata,
UNDIP, Semarang, 2011, hlm. 5-6.
44
Berdasarkan pendapat Fuller sebagaimana dimaksud
di atas, perihal disorientasi politik hukum koperasi telah
melanggar sebagaimana prinsip hukum pada poin (5) dan
(8). Pada ahirnya politik hukum pengelolaan koperasi
yang adapun belum mampu mewujudkan koperasi yang
secara efektif mampu membangun perekonomian yang
bernafaskan demokrasi ekonomi kerakyatan.
(3) Kelemahan sistem menejerial lembaga koperasi simpan
pinjam
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat jelas bahwa
persoalan koperasi simpan pinjam terkait SDM dan
permodalan. Berikut akan dipetakan berbagai macam
persoalan koperasi simpan pinjam sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas:
Masalah Pokok Masalah Akar Masalah
Belum maksimalnya
peran koperasi
simpan pinjam
dalam memajukan
ekonomi dalam
negeri.
Sebagian besar
koperasi simpan
pinjam melanggar
prisnsip dasar, asas,
serta tata aturan
terkait
perkoperasian.
Belum
maksimalnya
pembinaan dan
pengawasan
koperasi simpan
pinjam.
Belum
maksimalnya
penilaian kondisi
kelayakan
koperasi simpan
pinjam secara
langsung dan
nyata.
Rendahnya
kapasitas modal
dari koperasi
45
simpan pinjam.
Bnyaknya KSP yang
tidak memiliki akses
pengembangan
modal.
Terbatasnya
akses informasi
dan pembiayaan
bagi KSP.
Jaringan pemasaran
dan kerjasama KSP
yang minim.
Terbatasnya
kemampuan
dalam menjaring
pemasaran dan
kerjasama
dengan pihak
lain yang
berkompeten.
Produktifitas KSP
yang rendah.
Lemahnya
pengembangan
media informasi
produk dan
sekmen pasar
bagi KSP.
Rendahnya kapasitas
usaha dari KSP
Kurangnya
pemahaman
masyarakat tentang
KSP.
Kurangnya sarana
dan prasana yang
memadai di sektor
pemasaran dan
penjaringan
kerjasama dengan
pihak yang lebih
berkompeten.
Kurangnya kualitas
SDM yang ada.
46
Berdasarkan Persoalan sebagaimana yang disebutkan
dalam tabel di atas, maka persoalan menejerial lembaga
Koperasi Simpan Pinjam dibagi menjadi:
a) Persoalan Modal
Telah dijelaskan di atas bahwa modal koperasi
simpan pinjam diporeleh melalui usaha mandiri yang
bertitik pngkal pada anggota dan juga nasabah yang
menggunakan jasa sismpan pinjam di lambannya.
Sementara anggaran bantuan dari pemerintah dan juga
lembaga keuangan lainnya bersifat pinjaman bukan
pemberian dana bantuan non-pinjaman. Hal ini semakin
bertambah parah dengan adanya kenyataan bahwa bunga
dari usaha simpan pinjam koperasi juga terbilang rendah
sehingga lembaga koperasi memiliki bageting yang kecil,
sementara modal pendirian koperasi simpan pinjam dapat
dikatakan juga tidak kecil jumlahnya. Hal ini lah yang
menjadikan koperasi simpa pinjam sering melakukan
penggelapan dana anggotanya guna membayar piutang
pendirian dan operasional koperasi simpan pinjam yang
tidak dapat tertutup dengan modal pendapatan kecil.
b) Persoalan Sumber Daya Manusia
Sumber daya Manusia yang dimaksudkan berkaitan
dengan SDM anggota dan pengurus. Semakin baik
kualitas dan kuantitas anggota maka koperasi akan
semakin maju, namun apabila kualitas anggota semakin
rendah terutama dalam hal kemampuan ekonomi, maka
koperasi hanya menjadi tempat bergantung guna
memenuhi kebutuhan hidup anggotannya yang pada
akhirnya akan membuat keuangan koperasi tidak sehat,
tidak sehatnya keuangan koperasi akan berdampak kepada
penurunan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya
47
akan mengakibatkan penurunan jumlah anggota koperasi
baru.43
Sementara SDM pengurus haruslah bertumpu pada
profesionalitas dan kompetensi SDM yang ada baik secara
keilmuan dan pengalaman di sektor kekoperasian simpan
pinjam maupun secara karakteristik moral. John Sulivan
dengan teori Well MES mengatakan bahwa syarat untuk
memperoleh SDM pelaksana aturan yang baik harus
bertumpu pada tiga hal yaitu :44
1) Well Motivation
Well Motivation haruslah dilihat motivasi
seseorang untuk mengabdikan diri sebagai penegak
dan pembuat hukum. Sejak awal seorang calon
penegak dan pembuat hukum harus mengetahui dan
bermotivasi bahwa menjadi persoalan penegakan
hukum adalah tantangan sekaligus tugas yang
berat.45
Pada aspek ini para pengurus dan pemilik
KSP hanya bertitik tumpu pada pencarian
keuntungan besar bukan pada penciptaan koperasi
yang berlandaskan kekeluargaan yang mampu
membangun ekonomi kerakyatan secara
kekeluargaan dan berkeadilan Pancasila.
2) Well Education
Well Education, artinya seorang penegak dan
pembuat hukum seharusnya memenuhi standar
pendidikan tertentu. Sehingga selain pendidikan
formal dibutuhkan pula pendidikan lainnya terkait
pengetahuan akan hukum, sebagai contoh seminar
hukum dan short course.46
Pada aspek ini setiap
Pengurus KSP haruslah memiliki bekal pengetahuan
43
Ninik Widiyati, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 71-72. 44
Ali Mansyur, “ Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”, (Semarang :
Universitas Islam Sultan Agung, 2010), hlm. 83-84 45
Loc, Cit 46
Loc, Cit
48
yang cukup terkait pengetahuan kekoperasian dan
sistem pengembangan koprasi sehingga mampu
koperasi yang selama ini diurusi oleh SDM pengurus
yang tidak memahami koperasi secara jelas dan
hanya menjadikan koperasi sebagai lembaga pencari
keuntungan secara kapitalis, mampu digantikan
dengan pengurus yang lebih berkompeten.
3) Well Salary
Well Salary, artinya gaji seorang penegak dan
pembuat hukum harus diperhatikan sehingga dalam
menjalankan tugasnya dengan baik, para penegak
hukum dan pembuat hukum tidak dibebankan
dengan biaya guna pelaksanaan tugasnya. Sehingga
sedapat mungkin menghindarkan penegak dan
pembuat hukum dengan dilema yang ada yaitu
kecilnya gaji dan minimnya dana operasional yang
membuat penegak hukum merugi.47
Pada aspek ini
kesejahteraan pengurus harus dipertimbangakan, hal
ini guna menunjang kualitas SDM dan kualitas
kinerja pengurus koperasi yang mampu mewujudkan
kemajuan koperasi yang lebih peasat.
c) Persoalan Sarana dan Pra-Sarana
Telah dijelaskan di atas bahwa salah satu masalah
dari KSP adalah jaringan pemasaran dan kerja sama serta
informasi produk, oleh sebab itu selain persoalan SDM
pengurus, penyebab hal tersebut juga termasuk minimnya
sarana dan pra-sarana yang memadai.48
Hal ini sebanarnya
merupakan dampak dari persoalan permodalan dan
keuangan KSP yang sulit untuk berkembang.
d) Persoalan Informasi Produk Kepada Masyarakat
47
Loc, Cit 48 Ninik Widiyati, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 71-72.
49
Minimnya sarana dan pra-sarana yanga ada
mengakibatkan akses untuk menginformasikan kepada
publik perihal keungguan dari produk yang dimiliki pun
tidak mampu terwujud. Hal ini mengakibatkan kurang
pahamnya publik masyarakat akan produk dari KSP yang
ada.
e) Persoalan Jaringan Pemasaran
Minimnya anggaran serta sarana dan pra-sarana
termasuk dalam pengenalan produk serta minimnya
kemampuan SDM dalam sistem pengelolaan KSP, jelas
mempersulit koperasi dalam memiliki kepercayaan bagi
publik, hal ini mengakibatkan sulitanya koperasi dalam
mengakses jaringan pemasaran dan jaraingan kerjasama
dengan pihak lain yang lebih berkompeten di sektor
pengembangan lembaga keuangan negara dan permodalan
uasaha.
3. Rekonstruksi Politik Hukum Koperasi Simpan Pinjam
Berbasis Nilai Nilai Keadilan
Berdasarkan berbagai macam penjelasan di atas terlihat
jelas bahwa perlu dilakukan rekonstruksi dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 terkait Koperasi dan Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15
Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi, berikut akan
dijelaskan dengan tabel rekonstruksi yang ada:
No Sebelum Di Rekonstruksi Kelemahan Setelah Di Rekonstruksi
1 Pasal 29 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992:
(1) Pengurus dipilih dari dan
oleh anggota Koperasi
dalam Rapat Anggota.
(2) Pengurus merupakan
pemegang kuasa Rapat
Anggota.
(3) Untuk pertama kali,susunan
Sistem pengangkatan
pengurus masih belum
mempertimbangkan
perihal pengetahuan,
keilmuan, dan
pengalaman calon
pengurus terkait tata
koperasi dan prinsi-
prinsip dasar
Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992:
(1) Pengurus dipilih dari
dan oleh anggota
Koperasi dalam Rapat
Anggota.
(2) Pengurus merupakan
pemegang kuasa Rapat
Anggota.
50
dan nama anggota pengurus
dicantumkan dalam akta
pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus
paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat
dipilh dan diangkat menjadi
Anggota Pengurus
ditentukan dalam anggaran
dasar.
kekoperasian. (3) Untuk pertama
kali,susunan dan nama
anggota pengurus
dicantumkan dalam
akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus
paling lama 5 (lima)
tahun.
(5) Persyaratan untuk
dapat dipilh dan
diangkat menjadi
Anggota Pengurus
ditentukan dalam
anggaran dasar;
(6) Setiap anggota
pengurus harus
memiliki pengetahuna
yang cukup dalam
pengetahuan
kekoperasian;
(7) Setiap pengurus juga
harus memiliki
kemampuan mengelola
koperasi dengan baik.
2 Pasal 41 Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 menyatakan
bahwa:
(1) Modal Koperasi terdiri dari
modal sendiri dan modal
pinjaman.
(2) Modal sendri dapat berasal
dari :
a. Simpanan Pokok;
b. Simpanan Wajib ;
c. Dana Cadangan ;
d. Hibah.
(3) Modal Pinjaman dapat
berasal dari :
a. Anggota;
b. Koperasi lainnya
dan/atau anggotanya;
c. Bank dan lembaga
Belum ada bantuan
pemerintah untuk
pengembangan KSP
sehingga modal yang
didapatkan secara
mandiri dan tidak besar.
Pasal 41 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992
menyatakan bahwa:
(1) Modal Koperasi terdiri
dari modal sendiri,
modal pinjaman, dan
simpanan penyertaan.
(2) Modal sendri dapat
berasal dari :
a. Simpanan Pokok;
b. Simpanan Wajib ;
c. Dana Cadangan ;
d. Hibah.
(3) Modal Pinjaman dapat
berasal dari :
a. Anggota;
b. Koperasi lainnya
dan/atau
51
keuangan lainnya ;
d. Penerbitan obligasi
dan surat hutang
lainnya;
e. Sumber lain yang sah.
anggotanya;
c. Bank dan
lembaga
keuangan lainnya
;
d. Penerbitan
obligasi dan
surat hutang
lainnya;
e. Sumber lain
yang sah.
(4) Simpanan Penyertaan
adalah simpanan
anggota yang
besarannya
berdasarkan kebutuhan
pengembangan
koperasi, yang
diperoleh dari setiap
anggota koerasi yang
terdaftar.
52
SUMMARY
A. Introduction
The tendency of Savings and Credit Cooperatives to carry out
business activities that violates the principles of Cooperatives and
violates the Law on Cooperatives is one of the obstacles why Savings
and Loans Cooperatives find it difficult to grow and develop
qualitatively. Obstacles in the development of Savings and Credit
Cooperatives, including; Inadequate legislative policies regarding
Savings and Loans Cooperatives, There is no firmness to give strict
sanctions to Savings and Loans Cooperatives that violate laws and
regulations, and Lack of ability to master the regulations regarding the
management of savings and loans from the guiding apparatus who are
also supervisors of the Savings and Loan Cooperatives , as well as the
poor management of Credit Unions.
There are several results of research that support the
hypothesis, among others, research in sub-Saharan Africa, that poor
management of cooperatives is caused by internal factors and external
factors. Internal factors include; low member participation, structural
problems, control and mismanagement, while external factors are
extreme government intervention, economic and political
environment, too many expectations that cannot be realized on the
role of cooperatives, how the role of government promoting "top
down" cooperatives is proven to have been failed to prevent members
from actively participating.
This can be seen in legal cases concerning the management of
Savings and Loan Cooperatives which lately often occur, and these
cases include: the first case experienced by the Karang Asem
Cooperative. In 2009, the Karang Asem Cooperative Developed in
Karang Asem Regency, Bali Province. has raised members and
prospective members' funds in the amount of Rp. 700 billion, but
funds in the amount of Rp. 400 billion cannot be accounted for.
Finally, by the Karang Asem Regency Cooperative Service, the
Cooperative was closed and the Cooperative manager was charged
with embezzlement and Law Number. 10 of 1998 concerning banking.
Then the second happened to the Sembilan Sejati Cooperative
in Semarang City. This legal case occurred in 2010, in which the Nine
Sejati Cooperative raised Rp 200 billion in members and prospective
members. However, with the Rp 200 billion fund, the manager cannot
be held accountable and the Central Java Province Cooperative Office
53
of UMKM finally closed this cooperative. The managers of the Nine-
True Cooperative are charged with embezzlement and Law Number.
10 of 1998 concerning banking.
Furthermore, the third legal case that is befalling the Inti Dana
Savings and Loan Cooperative, it is suspected that this Cooperative
has received member and prospective member funds of Rp 900
billion. When members take or withdraw deposits, the Inti Dana
Cooperative cannot provide the liquidity of the members and
prospective members' savings funds. Some members have filed a
lawsuit, but do not rule out the possibility that if the civil case is not
yet finished, the legal case will turn into a criminal matter. In the latter
case, according to several sources, the Inti Dana Cooperative is a
healthy Cooperative, professionally managed and has received several
awards from the Ministry of Cooperatives and MSMEs of the
Republic of Indonesia.
The Chairperson of the Indonesian Cooperative Council
(Dekopin) in Central Java, Warsono, said that the Core Savings and
Loan Cooperatives were known to be quite good Savings and Loans,
in management already using information technology and there were
no problems or complaints from members, however the Core Savings
and Loan Cooperatives Dana is still tripping over legal issues. Then to
respond to the development patterns of the management of Savings
and Loan Cooperatives, both those that occur due to legal
developments due to a paradigm shift, and the development of a
rapidly moving world economy, in addition to management practices
deemed to deviate from the principles of Cooperatives and
Cooperative Law, the Government together The House of
Representatives held a Cooperative legal renewal, namely by passing
Law Number. 17 of 2012 concerning Cooperatives.
The purpose and purpose of the replacement of Law Number
25 of 1992 with Law Number. 17 of 2012 is to strengthen and
strengthen cooperatives in order to align with other business actors,
and more than that to deal with economic development and
globalization. The development and empowerment of cooperatives in
cooperative policies must reflect the values and principles of
cooperatives as a vehicle for joint efforts to meet the aspirations and
economic needs of members, so that cooperatives can grow strong,
healthy, independent and resilient in the face of increasingly dynamic
and challenging national and global economic developments .
Presence of the new Cooperative Law, namely Law Number.
17 of 2012, actually caused debate in the community. Some activists
and the Cooperative movement even filed a lawsuit (Judicial Review)
54
in the Constitutional Court on Law Number. 17 of 2012. Plaintiffs
argue that Law Number. 17 of 2012 contrary to the content of Article
33 of the 1945 Constitution. Constitutional Court with the decision
Number. 28 / PUU-XI / 2013, cancel Law Number. 17 of 2012. The
contents of the decision of the Constitutional Court Number. 28 /
PUU-XI / 2013 is that Law Number 17 of 2012 is declared contrary to
the 1945 Constitution, particularly Article 33 paragraph (1) and
paragraph (4). The discrepancy between Law Number 17 of 2012 and
the populist economic system adopted in Indonesia is that there is a
great deal of authority for investors with large capital, while each
member does not have the discretion because the investment system is
closed in nature. interfering with members is also not in accordance
with the breath of the cooperative.
Then the birth of Law No. 21 of 2011 concerning the Financial
Services Authority, the reason for the replacement of Law Number 17
of 2012 is getting stronger, this is due to a concern that the position
and sustainability of the Savings and Loan Cooperative will be
increasingly weak, even though the Cooperative is expected to be a
pillar national economy teacher. This makes the reason for the
Constitutional Court to cancel Law Number 17 of 2012 and to fill the
legal vacuum while enacting Law Number 25 of 1992.
After Law Number 17 of 2012 mandating the establishment of a
Savings and Loan Cooperative Supervisory Agency was canceled by
the Constitutional Court, it did not rule out the Savings and Loan
Cooperative would be overseen by the Financial Services Authority,
even though it was explicitly stated that Cooperatives were supervised
by the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises,
because according to Article 6 letter c of Law Number 21 Year 2011
(OJK Law), that one of the tasks of the Financial Services Authority is
to oversee other financial services. Admittedly, there are several
Savings and Loans Cooperatives that are quite ready to be supervised
by the Financial Services Authority, but most Savings and Loans
Cooperatives are not quite ready to be overseen by the Financial
Services Authority, because banking supervision standards differ from
Cooperatives engaged in the savings and loan business and the
Financial Services Authority has the standard of supervision of
financial institutions is quite high.
Based on the various explanations available, it is necessary to
make an effort so that the Savings and Loan Cooperative as an
intermediary can be equal in line with other financial institutions and
together with other financial institutions to build the national
economy. With regard to ius contituendum, Savings and Loans
55
Cooperatives need to be regulated in a Cooperative Act, and therefore
the author conducts research on "RECONSTRUCTION
MANAGEMENT OF LOAN-BASED LOAN COOPERATIVE
VALUE - VALUE VALUE".
B. Formulation
Based on the description above, the formulation of the problems
that can be raised are:
1. How is the current savings and loan cooperative management?
2. What are the weaknesses in the current management of savings
and loan cooperatives?
3. How is the reconstruction of the management of savings and
loan cooperatives based on justice values
C. Research Objectives
Based on the formulation of the problem, the objectives to be
achieved in this research and writing of this dissertation can be drawn,
while the objectives are:
1. To analyze the current implementation of the management of
savings and loan cooperatives.
2. To analyze weaknesses in the current implementation of the
management of savings and loan cooperatives.
3. To reconstruct the law on the management of savings and loan
cooperatives based on the values of justice.
D. Research Benefits
The results of this study are expected to be able to provide
positive contributions and benefits for the study of Cooperative legal
knowledge, especially the management of savings and loan
cooperatives. The benefits of the research include;
1. Theoretical Benefits
The results of this study are theoretically expected to be
able to build new theories about Cooperative law, specifically
the management of Savings and Credit Cooperatives based on
justice values.
2. Practical Benefits
a. As a legal study material on the management of Savings
and Loans Cooperatives and can be practically used by
stakeholders, especially activists and practitioners of
Savings and Loans Cooperatives.
b. To complete the legal study of the management of savings
and loan cooperatives in carrying out savings and loan
business activities.
c. For the government it is useful to utilize the Savings and
Loan Cooperative in national economic development.
56
d. For law enforcers, as input in the framework of
Cooperative law enforcement, particularly in Saving and
Credit Cooperatives.
E. Theoretical Framework
1. Grand Theory
a. Justice Theory
John Rawls gives the meaning of justice is the
main virtue of the presence of social institutions. But
virtue for the whole community cannot rule out or
challenge the sense of justice of everyone who has gained
a sense of justice. Especially the weak people seeking
justice. Furthermore, John Rawls basically looked at
community justice more on aspects of the distribution of
justice in society. Justice is translated as fairness where the
principle is developed from the utilitarian principle. The
theory is adopted from the principle of maxim, which is
the process of maximizing a minimum in a society carried
out by every individual who is in the initial position where
there is no bargaining on the role and status of a
community member. This principle seeks to answer as far
as possible about maximizing a minimum that is closely
related to the benefits of the lower classes of society that
are weak.
Based on John Rawls's Theory of Justice, there are
two main objectives to be conveyed, namely: First, this
theory wants to articulate a series of general principles of
justice that underlie and explain the specific conditions of
a person specifically to get justice seen from the social
actions carried out by someone. Second, the concept of
distributive justice is basically developed from the concept
of utilitarianism by providing more appropriate restrictions
on individuals. That justice is seen as a more appropriate
and ethical way to provide benefits to individuals in
accordance with ethical moral decisions.
The pattern of giving the concept of justice
according to Rawls must be initiated based on one's
original position not because of his status and position in
the social space. The way to obtain the original nature, one
must reach its original position called the veil of ignorance
(veil of ignorance). The condition of veil of ignorance
intends to position a person in the same condition as one
another as members of the community in a condition of
57
ignorance. So with this situation, other people do not
know the benefits of giving something to someone who
has reached the point of "veil of ignorance".
Furthermore, in the condition of the "veil of ignorance"
the community is tasked with sharing the main things that
each individual wants to have (primary good). Primary
good is a basic human need as a right that must be
fulfilled. Thus the way for people to share rights is to
apply the principle of justice consisting of: a) freedom to
play a role in political life; b) freedom of speech; c)
freedom of belief; d) freedom to be himself; e) freedom
from arbitrary arrest and detention; f) Right to retain
private property.
In conclusion, justice John Rawls seeks to place the rights
of each individual as they should by releasing the
attributes of position held in the social structure. So that
the distribution of rights is done equally.
b. The Sibernetic Talcot Parson Theory
Parsons was a sociologist who coined the theory of
cybernetics which later became known as the Theory of
Structural Functionalism. In this theory, Parsons states that
in the standpoint of sociology the community is seen to
live in a series of one unified system consisting of parts
that are interconnected with one another. Parson's view
was developed from the organizational system
development model contained in biology where the theory
is based on the assumption that all elements must function
so that society can carry out its functions properly.
As a system, the theory places law as one of the sub-
systems in the larger social system. In addition to the law,
there are other sub-systems that have different logic and
functions. The sub-systems in question are cultural,
political, and economic. Culture discusses the values that
are considered noble and noble, and therefore must be
maintained. This sub-system functions to maintain ideal
patterns in society. The law refers to rules as rules of the
game. The main function of this sub-system is to
coordinate and control all deviations to conform to the
rules of the game. Politics has to do with power and
authority. His job is the utilization of power and authority
to achieve goals. Whereas economics refers to the material
resources needed to support the system. The task of the
58
economic sub-system is to carry out the adaptation
function in the form of the ability to master the facilities
and facilities for system needs. The four sub-systems,
apart from being reality inherent in society, also
simultaneously constitute challenges that must be faced by
each unit of social life. Life and death a society
As a system, the theory places law as one of the sub-
systems in the larger social system. In addition to the law,
there are other sub-systems that have different logic and
functions. The sub-systems in question are cultural,
political, and economic. Culture discusses the values that
are considered noble and noble, and therefore must be
maintained. This sub-system functions to maintain ideal
patterns in society. The law refers to rules as rules of the
game. The main function of this sub-system is to
coordinate and control all deviations to conform to the
rules of the game. Politics has to do with power and
authority. His job is the utilization of power and authority
to achieve goals. Whereas economics refers to the material
resources needed to support the system. The task of the
economic sub-system is to carry out the adaptation
function in the form of the ability to master the facilities
and facilities for system needs. The four sub-systems,
apart from being reality inherent in society, also
simultaneously constitute challenges that must be faced by
each unit of social life. Life or death of a society is
determined by the functioning of each sub-system
according to their respective tasks. To guarantee that, the
law was assigned to arrange the harmony and synergy of
the other three sub-systems. This is called the integration
function of law in Parsons Theory.
2. Middle Tehory (Theory of Law in the Chambliss and
Seidman Communities).
This theory states that whatever actions will be taken by
the stakeholders, implementing agencies and legislators are
always within the scope of the complexity of social, cultural,
economic and political forces and so forth. All social forces
always work in every effort to function the applicable
regulations, implement sanctions, and in all the activities of the
implementing institutions. Finally, the role carried out by legal
institutions and institutions is the result of the work of various
factors.
59
3. Applied Theory
The figure of the theory of legal development is Mochtar
Kusumaatmadja, whose legal concept was influenced by Myres
MC Dougal and F.S.C Northop, both of whom argued that in the
approach the political orientation and political philosophy and
sociology were based. Law according to Mochtar
Kusumaatmadja is not only the whole principles and rules
governing human life in society, but includes institutions
(institutions) and processes that realize the enforcement of these
rules in reality. Thus seeing the law is not only a normative
phenomenon, but as part of a social phenomenon that grows and
develops in the processes and institutions that apply in society.
There are several crucial arguments which cause the
development law theory to attract attention. When elaborated,
these aspects globally are as follows:
(a) The legal theory of development to date is the theory of law
that exists in Indonesia because it was created by
Indonesians by looking at the dimensions and culture of
Indonesian society. Therefore, by measuring the dimensions
of the legal theory of development it is born, grows and
develops in accordance with the conditions of Indonesia, its
application is in accordance with the conditions and situation
of a pluralistic Indonesian society.
(b) Dimensionally, the development law theory uses the terms
of reference on the way of life of the community and the
Indonesian people based on the Pancasila principle that is
familial, so the norms, principles, institutions and rules
contained in the legal theory of development are relatively
already constituted dimensions which include structure,
culture, and subtance as stated by Lawrence W. Friedman.
(c) Basically, legal theory of development provides the basis for
the function of law as a means of community renewal and
law as a system is indispensable for the Indonesian nation as
a developing country.
F. Research Methods
1. Paradigm
The paradigm is a philosophical system 'umbrella' which
includes a specific ontology, epistemology and methodology.
Each consists of a series of "basic beliefs" or world views that
cannot be easily exchanged (with "basic beliefs" or world views
from ontology, epistemology, and other paradigm
60
methodologies). More than a collection of theories, the
paradigm thus includes various components of scientific practice
in a number of specialized fields of study.
Paradigms include assigning benchmarks, defining the
required accuracy standards, determining which methodology
will be chosen to be applied, or how the results of the research
will be interpreted.
Therefore, in the constructivism paradigm, the reality
observed by researchers cannot be generalized. This is because
every phenomenon that occurs is the result of construction
(perception) of each individual or community, where the
construction appears as a "resultant" of social experience,
religion, culture, other value systems, and is local. Research
must be able to uncover social experiences, aspirations, or
anything that is invisible but determines the attitudes, behaviors,
and actions of the research object. Thus there is subjectivity
from researchers, especially to interpret things that are invisible.
Therefore we need subjective interaction between the two.
Here then, constructivism uses hermeneutic and dialectical
methods in the process of achieving truth. Hermeneutics is done
through identifying truth or constructing individual opinions.
Dialectics is done by comparing the opinions of several
individuals to obtain consensus.
Based on the description above, if analyzed according to
E. G. Guba and Y.S Lincoln, the paradigm of constructivism is
ontologically interpreted as relativism, namely, understanding
reality which is constructed based on individual social
experience locally and specifically. Epistemologically, the
paradigm is a form of subjectivity towards findings created by
researchers and related investigative objects interactively so that
the findings are created or constructed together with a
methodology.
Methodologically, the paradigm uses the hermeneutic or
dialectical method which means that construction is traced
through the interaction between the researcher and the object of
investigation with the hermeneutic technique. In this study using
the Constructivism paradigm because in addition to using library
data and legislation this study also uses data in the form of
interviews hermeneutically.
61
2. Type of Research
The type of legal research used is non-doctrinal. In this
non-doctrinal legal research law is conceptualized as a
manifestation of the symbolic meanings of social actors as seen
in their interactions. That the realities of life that do not actually
exist in the empirical realm which are also observable, do not
appear in the form of behavior that is patterned and objectively
structured (especially normative) and can therefore be measured
to produce quantitative data. The reality of life actually only
exists in the realm of meaning which appears in the form of
symbols that can only be understood after interpretation. Such
reality cannot be easily "captured" through outside observation
and measurement. These realities are only possible to be
"captured" through internal experiences and visions which
produce a complete picture of understanding.
Because reality (law) is a part of the nature of meaning /
symbolic that can only be understood through the internal
experience of the subject matter, then what will be caught and
identified as a problem is none other than what is found by the
subject matter through their participation, experience and
appreciation in life traveled. Thus, the problems that non-
participant observers (not actors) will see, no matter how high
their expertise and no matter how much authority they have in
controlling the system, the results they get through observation
will not (always) be the same as what is perceived and are
identified by the subjects of the actors participating in local
actions and interactions.
3. Types of Research Approaches
The method of approach used in this qualitative legal
research method is a sociological juridical approach, which is an
approach by seeking information through direct interviews with
informants empirically first and then continuing by conducting
secondary data research contained in library studies through
theoretical steps.
a. Data Types
1) Primary data
Is a statement or information obtained directly
through research in the field. Primary data is done
by conducting in-depth interviews which is a way to
obtain information by asking directly to the
informant. This interview was conducted to obtain
information or information relating to the problem
62
under study. In terms of formulating cooperative
management policies in relation to the role of
cooperatives in the current era of economic
development, at least there are a number of
government agencies that will be used as informants
including: Bureaucrats Related to Cooperatives,
Cooperative Institutions, Cooperative Members and
Members of Academics, and Non-Governmental
Organizations that are concerned in the matter of
cooperatives.
2) Secondary Data
Is information or information obtained from
the literature relating to the object of the research Is
information or information obtained from the
literature relating to the object of research such as
books, legislation and documents from the relevant
agencies. Literature / secondary data study consists
of:
(a) Primary Legal Materials
Juridical foundation relating to
Cooperative management issues in the
legislation that is divided into several levels.
The legal materials in question are:
(1) The 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia;
(2) Civil Code;
(3) Code of Commercial Law;
(4) Law Number. 25 of 1992 concerning
Cooperatives;
(5) Law Number. 14 of 1965 concerning
Principles of Cooperatives
(6) Law Number. 12 of 1967 concerning
Principles of Cooperatives;
(7) Law Number. 21 of 2011, concerning
the Financial Services Authority.
(b) Secondary Legal Material
(1) Literature, books and literature;
(2) Scientific Work;
(3) Relevant References.
(c) Tertiary Legal Materials
(1) Legal dictionary; and
(2) Encyclopedia.
63
(3) Data Collection Techniques
4. Data collection techniques used are as follows:
a. Literature review
The first data collection technique in this research
will be a literature study by conducting a normative legal
study in the process of analyzing policy formulation
related to injustice issues related to the position and
existence of cooperatives as state financial institutions.
b. Observation
After conducting a literature study in this study then
observing in the field to get some information related to
injustice issues related to the position and existence of
cooperatives as state financial institutions, information
that will be obtained from observations include: space
(place), actors, activities, objects, actions , events or
events, time, and perception.
c. Deep interview
After conducting a literature study and direct
observation in the field then the researcher will conduct an
in-depth interview where in the interview process there
will be a process of dialogue interaction between the
researcher and the informants. Interviews are the main
instrument to obtain field data based on the results of
interviews from key informants (key informants). The
main informants were determined based on samples or
purposive sampling in accordance with the needs of this
study.
6. Data Analysis Method
The data obtained in this study were subsequently selected
and compiled systematically for further analysis and
presentation using qualitative analysis methods. The logic of
thinking used in this study is the logic of deductive thinking,
where this research departs from things (rules / norms / theories
/ legal rules) that are general to things that are specific
(particular). The basic principle is:
everything that is considered true for all events in one
class / type, also applies as true for all events that occur in
a specific case, as long as this particular thing is really a
part / element of that general thing.
64
This research was written using deductive logic that
always puts the rule of law in various laws and regulations, legal
principles, as well as legal teachings and doctrines as a major
(general) premise, and legal facts or legal events as minor
(special) premises.
The process of data analysis in this study was carried out
qualitatively by carrying out the following procedures, namely:
a) Making notes from the results of data collection, coding, so
that the source of the data can still be traced. b) Collecting,
dividing in detail, classifying data according to research
problems, interpreting, searching for meaning, and finding
patterns and relationships between each data category so that
new models can be found for research purposes. Furthermore,
after data management, the next thing to do is validate the data.
The data validation is used to establish the validity of the data.
The necessary step is to carry out an inspection technique based
on the degree of credibility, transferability, dependability and
confirmability.
The validity of the data in this study rests on the degree of
trust through the examination technique of the validity of the
perseverance of observation and triangulation. Through
examination techniques the persistence of observations will
obtain the characteristics and elements relevant to the subject
matter of the research and then detailed and observed in depth.
After being analyzed, evaluated and checked for validity
through examination and discussion, the data obtained will be
presented in a particular style.
G. Discussion of Research Results
1. Implementation of Legal Politics Regarding the Role of Saving
and Credit Cooperatives in Current Economic Growth Basically,
the implementation of savings and loan cooperatives is based on
several applicable legal rules. Article 29 of Law Number 25 of
1992 states that:
(1) Management is elected from and by members of the
Cooperative in the Member Meeting.
(2) The Management is the authorization of the Member
Meeting.
(3) For the first time, the composition and name of the
members of the board are stated in the deed of
establishment.
(4) The term of office of the Management is 5 (five) years at
the most.
65
(5) The requirements to be elected and appointed as a
Member of the Board are determined in the articles of
association.
Then in Law Number 25 of 1992 on the supervision aspects of
Savings and Loans Cooperatives are not equipped with strict
sanctions and supervision that also looks at the management and
members of the cooperative, this also occurs in the Regulation
of the Minister of Cooperatives and Small and Medium
Enterprises Unit Number 17 of 2015 concerning Cooperative
Supervision where the existing supervision is only focused on
supervising the performance of the cooperative system
institutionally rather than supervising the Human Resources of
Cooperative members and management, this can be seen in
Article 8 of the Regulation of the Minister of Cooperatives and
Small and Medium Enterprises Unit Number 17 of 2015
concerning Supervision Cooperative which states that:
(1) Active supervision as referred to in Article 7 letter a is
carried out by direct inspection of the Cooperative that has
the potential to have problems;
(2) Passive supervision as referred to in Article 7 letter a is
carried out by analyzing reports on cooperatives that have
gone well;
(3) Routine supervision as referred to in Article 7 letter b is
carried out according to the planned schedule;
(4) Occasional oversight as referred to in Article 7 letter b is
carried out in accordance with needs;
(5) Preventive supervision as referred to in Article 7 letter c is
carried out with the aim of guidance and prevention;
(6) Repressive supervision as referred to in Article 7 letter c is
carried out with the aim of preventing the spread of the
problem.
In addition, the Regulation of the Minister of Cooperatives and
Small and Medium Business Units Number 17 of 2015
concerning Cooperative Supervision is not regulated regarding
strict legal sanctions in the event of gross violations by members
and or management that can harm savings and loan cooperative
customers, bearing in mind that savings and loan operations also
often offer credit funds to parties other than members with the
aim of getting a large interest in order to find a large profit as
well. This also results in the development of equitable
cooperatives for their members which can also be hampered.
66
In addition, in the appointment of membership and management
is also not regulated regarding the requirements of knowledge
and understanding related to cooperative insight, so that not
infrequently every member and management of savings and loan
cooperatives also do not understand the intrinsic purpose of
savings and loan cooperatives namely in the form of building an
economic system based on mutual cooperation and prioritizing
social justice is not a search for capital and capitalist income.
Various kinds of problems can also be observed in the Minister
of Cooperatives and Small and Medium Enterprises Regulation
No. 15 of 2015 concerning Savings and Loans Enterprises by
Cooperatives. In the Regulation of the Minister of Cooperatives
and Small and Medium Enterprises No. 15 of 2015 concerning
Savings and Loans Enterprises by Cooperatives, the
appointment of management is not based on clear knowledge,
expertise and experience in the field of savings and loan
cooperatives, so that KSP management affairs are only seen as
administrative matters. This situation triggers various kinds of
violations under the guise of Savings and Credit Cooperatives
and the increasing number of cooperatives that are closed due to
managerial which is not of good quality. In Demak Regency
there are 132 Savings and Loan Cooperatives that will close out
of a total of 795, the reasons underlying the closure of 132
cooperatives are the lack of capital and activation of members.
This situation also happened in Yokyakarta, the number of
cooperatives in 2018 reached 2738, it had to drop in 2019 to
2380. These various problems had clearly resulted in the
ineffective role of savings and loan cooperatives in the efforts to
increase economic growth of the middle to lower society both at
the national and regional levels. . This clearly contradicts the
mandate of the Five Principles of the Five Principles of
Pancasila and also the Fourth Paragraph of the Opening of the
1945 Constitution of the Republic of Indonesia. So clearly this
cooperative problem also violates the mandate of Article 33
paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of
Indonesia 1945 which ultimately violates the mandate of the
principle of cooperatives as regulated in Article 2 of Law
Number 25 of 1992 and also violates the purpose of the co-
ordination as stipulated in Article 3 of Law Number 25 of 1992.
In connection with this issue clearly disharmonies have
occurred.
67
2. Weaknesses in the Implementation of the Political Law of
Cooperative Management. Based on various issues in the
discussion of chapter III of this dissertation and based on
theories related to the operation of the legal system, the authors
divide the legal political weaknesses related to the
implementation of the Sismpan loan cooperative system into:
(1) Weaknesses in the aspects of legal regulations
It has been mentioned above that in its development the
implementation of savings and loan cooperatives is
regulated generally in Law Number 25 of 1992 concerning
Cooperatives and specifically in the Minister of
Cooperatives and Small and Medium Enterprises
Regulation Number 15 of 2015 concerning Savings and
Loans Enterprises by Cooperatives. The weaknesses of the
aspects of the legislation by the author are divided back
into:
a) Weaknesses of Law Number 25 of 1992 Concerning
Cooperatives
(1) Weaknesses in the system for appointing
management of savings and loan cooperatives.
Article 29 of Law Number 25 of 1992 states
that:
(a) Management is elected from and by
members of the Cooperative in the
Member Meeting.
(b) The Management is the authorization of
the Member Meeting.
(c) For the first time, the composition and
name of the members of the board are
stated in the deed of establishment.
(d) The term of office of the Management is
5 (five) years at the most.
(e) The requirements to be elected and
appointed as a Member of the Board are
determined in the articles of association.
Based on the above provisions, it can be seen that the
system for appointing the management of cooperatives is
not based on knowledge and experience of management
and the basis of cooperatives, this results in cooperative
managers only making cooperatives as savings and loan
institutions without being able to carry out the basic
68
principles of cooperatives, which results in cooperatives
no longer being actual cooperatives.
(2) Weaknesses in managing savings and loan cooperative
loan budgets
Regarding capital, savings and loan cooperatives are
regulated in Article 41 of Act Number 25 of 1992 which
states that:
a) Cooperative capital consists of own capital and loan
capital.
b) Own capital can come from:
1) Basic Savings;
2) Mandatory Deposits;
3) Reserved fund ;
4) Grant.
c) Loan capital may originate from:
1) Member;
2) Other cooperatives and / or their members;
3) Banks and other financial institutions;
4) Issuance of bonds and other debt securities;
5) Other legal sources.
3. Based on the above statement, it is clear that the capital of a
savings and loan cooperative is obtained through an independent
business starting from the members and also the customers who
use the services of Sismpan Lending in their institutions. While
the aid budget from the government and other financial
institutions is in the form of loans, not non-loan grants. This
matter is getting worse with the fact that the interest from the
cooperative savings and loan business is also relatively low so
that the cooperative institutions have a small bageting, while the
capital of the establishment of savings and loan cooperatives can
be said also not small in number. This is what makes savings
and loan cooperatives often embezzle members' funds in order
to pay credit for the establishment and operation of savings and
loan cooperatives that cannot be covered with small income
capital. Weaknesses of the Regulation of the Minister of
Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number 15 of
2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives The
weaknesses in the Regulation of the Minister of Cooperatives
and Small and Medium Enterprises Number 15 of 2015
concerning Savings and Loans by Cooperatives are also divided
into:
69
(1) Weaknesses in regulations related to cooperative
management
Regulations relating to the appointment of cooperative
management in the Regulation of the Minister of
Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number
15 of 2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives
are not clearly regulated as Law Number 25 of 1992
Concerning Cooperatives. This also increasingly results in
the management system of savings and loan cooperatives
in particular lacking clarity and concern. This will result in
the number of HR managers who are not competent in
managing savings and loan cooperatives, which in turn
will result in savings and loan cooperatives out of the
basic principles of savings and loan cooperatives as
stipulated in Law Number 25 of 1992 concerning
Cooperatives.
(2) The issue of capital for savings and loan cooperatives
Regulations concerning cooperative capital in the
Regulation of the Minister of Cooperatives and Small and
Medium Enterprises Number 15 of 2015 concerning
Savings and Loans by Cooperatives are regulated in
Article 17. Article 17 of the Regulation of the Minister of
Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number
15 of 2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives
states that:
1) Initial venture capital at each establishment of
Primary KSP and Secondary KSP which is collected
from the principal savings and mandatory savings of
its members and can be supplemented with grants.
2) Initial KSP Primary venture capital as referred to in
paragraph (1) in the form of deposits at a
Government Bank with the following details:
a. Primary KSP capital with membership in the
Regency / City area is set at Rp. 15,000,000;
b. Primary KSP capital with cross-regional /
regency membership areas in 1 (one)
Provincial area is set at Rp. 75,000,000.00
(seventy-five million rupiah);
c. Primary KSP capital with cross-regional
membership area of the Province is set at
Rp375,000,000.00 (three hundred seventy-five
million rupiah).
70
3) Initial KSP Secondary business capital as referred to
in paragraph (1) in the form of deposits at a
Government Bank with the following details:
a. Secondary KSP capital with membership in
the Regency / City area is set at
Rp.50,000,000.00 (fifty million rupiah).
b. Secondary KSP capital with cross-regency /
city membership areas in 1 (one) Provincial
area is set at Rp150,000,000.00 (one hundred
and fifty million rupiah).
c. Secondary KSP capital with cross-regional
membership area of the Province is set at
Rp.500,000,000.00 (five hundred million
rupiah).
Based on the provisions as explained above, it can also be
seen that the business capital of savings and loan cooperatives is
obtained through independent business activities without assistance
from the central government in the regions. It is also clear that the
conditions of savings and loan cooperatives will also experience
difficulties in terms of capital and large inkam income. so that in the
end it can lead to distrust by its members.
Such a situation would clearly violate the Five Principles of
Pancasila, Keempta Opening of the 1945 Constitution of the
Republic of Indonesia, Article 33 paragraph (1) of the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia which states that "the
economy is built on joint efforts and based on family principles".
This clearly also violates the principles of cooperatives that are
family ties or mutual cooperation. This is because legal politics in
Indonesia has been affected by economic globalization, which
increasingly prioritizes capitalist interests over the economic needs
of society.
Hans Nawiasky developed the theory from Kelsen with a new
concept he named the die theorie vom stufenordnung der
rechtsnormen. In his theory, Nawiasky states that the hierarchy of
legal norms is divided into:
1) Fundamental norms of the state or fundamental status;
2) Basic rules of the state or staatsgrundgesetz;
3) Formal law or formell gesetz;
4) Implementing regulations and autonomous regulations or
verordnung en autonome satzung.
71
Regarding the position of Pancasila as Philosofische
Grondslag and at the same time as the source of all sources of law,
A. Hamid S. Attamimi by using die theorie vom stufenordnung der
rechtsnormen owned by Nawiasky stated that the legal hierarchy
structure in Indonesia consists of:
1) Pancasila and the Opening of the 1945 Constitution of the
Unitary State of the Republic of Indonesia as a fundamental
staatsfundamental;
2) The body of the 1945 Constitution of the Unitary State of the
Republic of Indonesia, the MPR Decree and the Constitutional
Convention are staatsgrundgesetz;
3) Statutory Regulations are formulas gesetz;
4) In the hierarchy starting from Government Regulations to
Provincial Regulations as well as Regency / City Regulations
are verordnung en autonome satzung.
The position of the Pancasila as Philosofische Grondslag or
by Nawiasky is called the Staatsfundamentalnorm as well as
rechtsidee or legal ideals, resulting in the consequence that the
making of all legal regulations so that their implementation must be
in accordance with all values contained in each of the Pancasila
precepts as explained above. The political issue of legal management
of existing savings and loan cooperatives has been far from the
principle of cooperatives which were also born from the Pancasila
mixture which requires a populist economy and a Pancasila economy
that upholds democratic economist democracy.
So that between the basic norms, basic law and the legal
politics of savings and loan cooperative management experiences
disharomization. In connection with the disharmony, Lon L. Fuller
stated that to recognize the law as a system, it must be examined
whether Fuller meets the following eight principles or principles of
legality:
1) The legal system must contain rules which means that it cannot
contain only ad hoc decisions;
2) The regulations that have been made must be announced;
3) Regulations may not apply retroactively;
4) Rules are arranged in an understandable formulation;
5) A system must not contain rules that conflict with one another;
6) Regulations must not contain demands beyond what can be
done;
7) Rules cannot be changed frequently;
8) There must be a match between the regulations promulgated and
their daily implementation.
72
Based on Fuller's opinion as mentioned above, regarding the
disorientation of political law, cooperatives have violated the legal
principles in points (5) and (8). In the end, the legal politics of
managing a cooperative is not yet able to realize a cooperative that is
effectively able to build a breathing economy
Main problem Problem Root of the problem
The role of savings
and credit
cooperatives is not
yet maximized in
advancing the
domestic economy.
Most savings and
loan cooperatives
violate the basic
principles, principles
and regulations
related to
cooperatives.
Most savings and
loan cooperatives
violate the basic
principles, principles
and regulations
related to
cooperatives.
Not yet maximally
assessing the
feasibility of the
conditions of savings
and loan
cooperatives directly
and real.
Low capital capacity
of savings and loan
cooperatives.
KSP marketing
network and
cooperation are
minimal
Many KSPs do not
have access to capital
development.
Limited access to
information and
financing for KSP.
Limited ability to
capture marketing
and cooperation with
other competent
parties.
KSP marketing
network and
cooperation are
minimal.
Limited ability to
capture marketing
and cooperation with
other competent
parties.
Low KSP
productivity.
Weak development
of product
information media
and market segments
for KSP.
The low business
capacity of KSP
Lack of community
understanding of
KSP.
73
Lack of adequate
facilities and
infrastructure in the
marketing sector and
networking with
more competent
parties.
Lack of quality of
existing human
resources.
Based on the Problems as mentioned in the table above, the
managerial problems of the Savings and Loan Cooperative are
divided into:
a) Capital Issues
It has been explained above that the capital of a savings and loan
cooperative is borrowed through an independent business with a
dwelling point on members and also customers who use the services
of Sismpan lending at a slow pace. While the aid budget from the
government and other financial institutions is in the form of loans, not
non-loan grants. This matter is getting worse with the fact that the
interest from the cooperative savings and loan business is also
relatively low so that the cooperative institutions have a small
bageting, while the capital of the establishment of savings and loan
cooperatives can be said also not small in number. This is what makes
savings and loan cooperatives often embezzle members' funds in order
to pay credit for the establishment and operation of savings and loan
cooperatives that cannot be covered with small income capital.
b) Human Resources Issues
Human resources that are intended relating to HR members and
management. The better the quality and quantity of members, the
cooperative will be more advanced, but if the quality of members is
lower, especially in terms of economic capacity, the cooperative will
only become a dependent place to meet the needs of its members' lives
which will ultimately make the cooperative finance unhealthy,
unhealthy cooperative finance will impact on the decline in public
trust which will ultimately result in a decrease in the number of new
cooperative members. While the management of human resources
must rely on the professionalism and competence of existing human
resources both scientifically and experience in the savings and loan
cooperatives sector as well as moral characteristics. John Sulivan with
the theory of Well MES said that the requirements for obtaining good
implementing regulations HR must rest on three things, namely:
74
1) Well Motivation
Well Motivation must be seen as a person's motivation to
devote themselves as law enforcement and lawmakers. From the
start, a candidate for law enforcement and lawmakers must know
and be motivated that being a matter of law enforcement is a
challenge as well as a difficult task. In this aspect, the
management and KSP owners only focus on the search for large
profits, not on the creation of a family-based cooperative that is
able to build a populist economy that is family-based and is based
on Pancasila.
2) Well Education
Well Education, means that an enforcer and law maker
should meet certain education standards. So in addition to formal
education other education is also needed related to knowledge of
law, for example legal seminars and short courses. In this aspect,
each KSP management must possess sufficient knowledge related
to cooperative knowledge and cooperative development systems
so that cooperatives are able to be managed by HR management
who do not understand cooperatives clearly and only make
cooperatives as capital-seeking profit institutions, able to be
replaced by management who is more competent.
3) Well Salary
Well Salary, means that the salaries of law enforcement and
lawmakers must be considered so that in carrying out their duties
properly, law enforcement and lawmakers are not charged with
the costs of carrying out their duties. So as far as possible avoid
law enforcement and lawmakers with a dilemma that is the small
salary and the lack of operational funds that make law
enforcement losers. In this aspect the welfare of the management
must be considered, this is in order to support the quality of
human resources and the quality of the performance of
cooperative management that is able to realize the progress of
cooperatives that are more focused.
c) Problems of Facilities and Pre-Facilities
It has been explained above that one of the problems of KSP is
marketing network and cooperation as well as product information,
therefore besides the issue of the management of HR, the causes
include the lack of adequate facilities and infrastructure. This is
actually an impact of KSP capital and financial problems that are
difficult to develop.
75
d) Product Information Issues To the Community
The lack of facilities and pre-existing facilities has resulted in
access to inform the public about the benefits of the product that is
owned is not able to be realized. This results in a lack of public
understanding of the products of the existing KSP.
e) Marketing Network Issues
The lack of budget and facilities and pre-facilities including
product introduction as well as the lack of human resource capabilities
in the KSP management system, clearly makes it difficult for
cooperatives to have public trust, this results in the difficulty of
cooperatives in accessing marketing networks and networks of
cooperation with other parties who are more competent in the sector
development of state financial institutions and capital of uasaha.
3. Political Reconstruction of the Savings and Loan Cooperative
Law
Based on the various explanations above, it is clear that
reconstruction needs to be carried out in Law Number 25 of 1992
concerning Cooperatives and Minister of Cooperatives and Small and
Medium Enterprises Number 15 of 2015 concerning Savings and
Loans by Cooperatives, the following will be explained with the
existing reconstruction tables:
No Before Reconstruction Weakness After
Reconstruction
1 Origin 29 of Law Number
25 of 1992:
(1) Management is elected
from and by members of
the Cooperative in the
Member Meeting.
(2) The Management is
the authorization of the
Member Meeting.
(3) For the first time, the
composition and name of
the members of the board
are stated in the deed of
establishment.
(4) The term of office of
the Management is 5
(five) years at the most.
(5) The requirements to be
elected and appointed as a
Member of the Board are
determined in the articles
of association.
The appointment
system for the
management has not
yet taken into
consideration the
knowledge,
knowledge and
experience of the
candidates for the
management
regarding
cooperative
arrangements and
basic principles of
cooperation.
Article 29 of Law
Number 25 of
1992:
(1) Management is
elected from and
by members of the
Cooperative in the
Member Meeting.
(2) The
Management is the
authorization of
the Member
Meeting.
(3) For the first
time, the
composition and
name of the
members of the
board are stated in
the deed of
establishment.
(4) The term of
76
office of the
Management is 5
(five) years at the
most.
(5) Requirements
to be elected and
appointed as
Members of the
Management are
determined in the
articles of
association;
(6) Each member
of the
management must
have sufficient
knowledge in
cooperative
knowledge;
(7) Each
management must
also have the
ability to manage
cooperatives well.
2 Article 41 of Law Number
25 of 1992 states that:
(1) Cooperative capital
consists of own capital
and loan capital.
(2) Own capital can come
from:
a. Basic Savings;
b. Mandatory Deposits;
c. Reserved fund ;
d. Grant.
(3) Loan capital may
originate from:
a. Member;
b. Other cooperatives and
/ or their members;
c. Banks and other
financial institutions;
d. Issuance of bonds and
other debt securities;
e. Other legal sources.
There has been no
government
assistance for the
development of KSP
so that capital is
obtained
independently and is
not large
Article 41 of Law
Number 25 of
1992 states that:
(1) Cooperative
capital consists of
own capital, loan
capital and
investment
deposits.
(2) Own capital
can come from:
a. Basic Savings;
b. Mandatory
Deposits;
c. Reserved fund ;
d. Grant.
(3) Loan capital
may originate
from:
a. Member;
b. Other
cooperatives and /
or their members;
c. Banks and other