ringkasan - Unissula Repository

68
10 RINGKASAN A. Pendahuuan Kecendrungan Koperasi Simpan Pinjam dalam melaksanakan kegiatan usaha yang melanggar prinsip-prinsip Koperasi dan melanggar Undang-Undang Koperasi menjadi salah satu hambatan mengapa Koperasi Simpan Pinjam sulit untuk tumbuh dan berkembang secara kualitatif. Hambatan dalam pengembangan Koperasi Simpan Pinjam, diantaranya adalah; Kebijakan peraturan perundang-undangan yang kurang memadai tentang Koperasi Simpan Pinjam, Tidak ada ketegasan untuk memberikan sangsi yang tegas terhadap Koperasi Simpan Pinjam yang melanggar aturan perundangan, dan Kurangnya kemampuan menguasai regulasi tentang pengelolaan usaha simpan pinjam dari aparat pembina yang sekaligus sebagai pengawas Koperasi Simpan Pinjam, serta pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam yang tidak baik. Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung terhadap hipotesis tersebut antara lain, penelitian di sub-Sahara Afrika, bahwa buruknya pengelolaan Koperasi disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain; rendahnya partisipasi anggota, masalah struktural, kontrol dan kesalahan manajemen, sedang faktor eksternalnya adalah intervensi pemerintah yang ekstrim, lingkungan ekonomi dan politik, terlalu besarnya harapan yang tidak bisa terealisasi atas peran koperai, bagaimana peran pemerintah mempromosikan koperasi yang bersifat top down” terbukti telah gagal menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi. 1 Hal ini dapat terlihat pada kasus-kasus hukum tentang pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam yang pada akhir-akhir ini sering terjadi, dan kasus tersebut antara lain: kasus pertama di alami Koperasi Karang Asem. Pada tahun 2009, Koperasi Karang Asem Membangun di Kabupaten Karang Asem Propinsi Bali. telah menghimpun dana anggota dan calon anggota sejumlah Rp 700 1 http://propensitytoaassume.blogspot.co.id/2014/10 koperasi di negara maju dan negara berkembang.

Transcript of ringkasan - Unissula Repository

10

RINGKASAN

A. Pendahuuan

Kecendrungan Koperasi Simpan Pinjam dalam melaksanakan

kegiatan usaha yang melanggar prinsip-prinsip Koperasi dan

melanggar Undang-Undang Koperasi menjadi salah satu hambatan

mengapa Koperasi Simpan Pinjam sulit untuk tumbuh dan

berkembang secara kualitatif. Hambatan dalam pengembangan

Koperasi Simpan Pinjam, diantaranya adalah; Kebijakan peraturan

perundang-undangan yang kurang memadai tentang Koperasi

Simpan Pinjam, Tidak ada ketegasan untuk memberikan sangsi yang

tegas terhadap Koperasi Simpan Pinjam yang melanggar aturan

perundangan, dan Kurangnya kemampuan menguasai regulasi tentang

pengelolaan usaha simpan pinjam dari aparat pembina yang sekaligus

sebagai pengawas Koperasi Simpan Pinjam, serta pengelolaan

Koperasi Simpan Pinjam yang tidak baik.

Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung terhadap

hipotesis tersebut antara lain, penelitian di sub-Sahara Afrika, bahwa

buruknya pengelolaan Koperasi disebabkan oleh faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal antara lain; rendahnya partisipasi

anggota, masalah struktural, kontrol dan kesalahan manajemen,

sedang faktor eksternalnya adalah intervensi pemerintah yang

ekstrim, lingkungan ekonomi dan politik, terlalu besarnya harapan

yang tidak bisa terealisasi atas peran koperai, bagaimana peran

pemerintah mempromosikan koperasi yang bersifat “top down”

terbukti telah gagal menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi.1

Hal ini dapat terlihat pada kasus-kasus hukum tentang

pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam yang pada akhir-akhir ini

sering terjadi, dan kasus tersebut antara lain: kasus pertama di alami

Koperasi Karang Asem. Pada tahun 2009, Koperasi Karang Asem

Membangun di Kabupaten Karang Asem Propinsi Bali. telah

menghimpun dana anggota dan calon anggota sejumlah Rp 700

1http://propensitytoaassume.blogspot.co.id/2014/10 koperasi di negara maju dan

negara berkembang.

11

milyar, namun dana sebesar Rp 400 milyar tidak dapat dipertanggung

jawabkan. Akhirnya oleh Dinas Koperasi Kabupaten Karang Asem,

Koperasi ini ditutup dan pengelola Koperasi dijerat dengan pasal

penggelapan dan Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang

perbankan.

Kemudian yang kedua menimpa Koperasi Sembilan Sejati di

Kota Semarang. Kasus hukum ini terjadi pada tahun 2010, dimana

Koperasi Sembilan Sejati ini telah menghimpun dana anggota dan

calon anggota sebesar Rp 200 milyar. Namun dana sebesar Rp 200

milyar itu, pengelola tidak dapat mempertanggung jawabkan dan

Dinas Koperasi UMKM Propinsi Jawa Tengah akhirnya menutup

koperasi ini. Para pengelola Koperasi Sembilan Sejati dijerat dengan

pasal penggelapan dan Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang

perbankan.

Selanjutnya yang ketiga kasus hukum yang sedang menimpa

Koperasi Simpan Pinjam Inti Dana, diduga Koperasi ini telah

menerima dana anggota dan calon anggota sebesar Rp 900 milyar.

Ketika para anggota mengambil atau menarik simpanan, Koperasi Inti

Dana tidak dapat menyediakan likuiditas dana simpanan anggota dan

calon anggota tersebut. Beberapa anggota telah melakukan gugatan ke

pengadilan, namun tidak menutup kemungkinan bila secara perdata

belum dan tidak selesai, maka kasus hukumknya akan beralih menjadi

masalah pidana. Untuk kasus yang terakhir, menurut beberapa sumber

sesungguhnya Koperasi Inti Dana adalah Koperasi yang sehat,

dikelola secara profisional dan beberapa kali mendapat penghargaan

dari Kementrian Koperasi dan UMKM Republik Indonesia.

Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) wilayah Jawa

Tengah, Warsono,2 menuturkan selama ini Koperasi Simpan Pinjam

Inti Dana dikenal Koperasi Simpan Pinjam yang cukup baik, dalam

pengelolaan sudah menggunakan teknologi informasi dan tidak ada

permasalahan ataupun keluhan dari anggota, namun demikian

2 Suara Merdeka, Kasus-Kasus Koperasi, Kamis Pon, 1 Oktober 2015.

12

Koperasi Simpan Pinjam Inti Dana masih saja tersandung masalah

hukum. Kemudian untuk merespon pola perkembangan pengelolaan

Koperasi Simpan Pinjam, baik yang terjadi karena perkembangan

hukum akibat adanya perubahan paradigma, dan perkembangan

ekonomi dunia yang bergerak sangat cepat, disamping adanya praktek

pengelolaan yang dianggap melenceng dari prinsip-prinsip Koperasi

dan Undang-Undang Koperasi, Pemerintah bersama Dewan

Perwakilan Rakyat mengadakan pembaharuan hukum Koperasi, yakni

dengan mensyahkan Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 tentang

Perkoperasian.

Maksud dan tujuan digantikanya Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 adalah

untuk memperkokoh dan memperkuat Koperasi dalam rangka

mengsejajarkan dengan pelaku badan usaha lainya, dan lebih dari pada

itu untuk menghadapi perkembangan ekonomi dan globalisasi.

Pengembangan dan pemberdayaan Koperasi dalam kebijakan

perkoperasian harus mencerminkan nilai dan prinsip Koperasi sebagai

wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan

ekonomi anggota, sehingga Koperasi dapat tumbuh menjadi kuat,

sehat, mandiri dan tangguh dalam menghadapi perkembangan

ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh

tantangan.

Kehadiran Undang-Undang Koperasi yang baru, yakni Undang-

Undang Nomor. 17 Tahun 2012, justru menimbulkan perdebatan di

masyarakat. Beberapa pegiat dan gerakan Koperasi bahkan

mengajukan gugatan (Yudicial Review) di Mahkamah Konstitusi atas

Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012. Para penggugat mendalilkan

bahwa Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2012 bertentangan dengan

isi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi

dengan putusanya Nomor. 28/PUU-XI/2013, membatalkan Undang-

Undang Nomor. 17 Tahun 2012. Isi dari putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor. 28/PUU-XI/2013 tersebut adalah bahwa Undang-

13

Undang Nomor 17 Tahun 2012 dinyatakan bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) dan ayat

(4). Ketidaksesuaian antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012

dengan sistem ekonomi kerakyatan yang dianut di Indonesia ialah

adanya kewenangan yang besar bagi penanam saham dengan modal

besar, sementara setiap anggota tidak memiliki keleluasaan kerana

sistem penanaman modal tertutup sifatnya, Selain itu adanya sistem

pengawasan yang dapat berpeluang melakukan intervensi terhadap

anggota juga tidak sesuai dengan nafas koperasi.3

Kemudian dengan lahirnya Undang-Undang No.21 Tahun 2011

tentang Otoritas Jasa Keuangan, menjadi alasan penggantian Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2012 semakin bertambah kuat, hal ini

dikarenakan adanya suatu kehawatiran bahwa kedudukan dan

keberlangsungan Koperasi Simpan Pinjam akan semakin lemah,

padahal Koperasi diharapan sebagai soko guru perekonomian

nasional. Hal ini menjadikan alasan Mahkamah Konstitusi

membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 dan untuk

mengisi kekeosongan hukum sementara diberlakukanlah Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1992.

Setelah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 yang

mengamanatkan pembentukan Lembaga Pengawas Koperasi Simpan

Pinjam dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak menutup

kemungkinan Koperasi Simpan Pinjam akan diawasi Otoritas Jasa

Keuangan, meskipun secara eksplisit disebutkan Koperasi diawasi

oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, sebab

menurut Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 (UU

OJK), bahwa salah satu tugas Otoritas Jasa Keuangan adalah

mengawasi jasa keuangan lainya. Memang patut diakui ada beberapa

Koperasi Simpan Pinjam yang cukup siap diawasi oleh Otoritas Jasa

Keuangan, namun sebagian besar Koperasi Simpan Pinjam belum

3 Tempo.co, UU 7 Tahun 2012 Bikin Koperasi Hilang Jati Diri, Diakses pada 12

Februari 2020.

14

cukup siap diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan, sebab standar

pengawasan perbankan berbeda dengan Koperasi yang bergerak di

usaha simpan pinjam dan Otoritas Jasa Keuangan memiliki standar

pengawasan lembaga keuangan yang cukup tinggi.

Berdasarkan berbagai penjelasan yang ada, perlu kiranya di

lakukan suatu upaya agar Koperasi Simpan Pinjam sebagai lembaga

intermediasi dapat sejajar secara adil dengan lembaga keuangan lain

dan bersama lembaga keuangan lain membangun perekonomian

nasional. Terhadap ius contituendum Koperasi Simpan Pinjam perlu

diatur kembali dalam suatu Undang-Undang Koperasi, dan karena itu

penulis mengadakan penelitian tentang “REKONSTRUKSI

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN KOPERASI SIMPAN

PINJAM BERBASIS NILAI – NILAI KEADILAN”.

B. Rumusan

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka rumusan masalah yang

dapat diajukan adalah:

1. Bagaimanakah pelaksanaan politik hukum pengelolaan koperasi

simpan pinjam saat ini?

2. Bagaimanakah kelemahan-kelemahan terhadap pelaksanaan

politik hukum pengelolaan koperasi simpan pinjam saat ini?

3. Bagaimana rekonstruksi politik hukum pengelolaan Koperasi

Simpan Pinjam yang berbasis nilai-nilai keadilan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat ditarik tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan ini disertasi ini,

adapun tujuan tersebut adalah:

1. Untuk menganalisis pelaksanaan politik hukum pengelolaan

Koperasi Simpan Pinjam saat ini.

2. Untuk menganalisis kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan

politik hukum pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam saat ini.

3. Untuk merekonstruksi politik hukum Pengelolaan Koperasi

Simpan Pinjam yang berbasis nilai-nilai keadilan.

15

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

manfaat yang positif bagi kajian ilmu pengetahuan hukum Koperasi

khususnya Politik Hukum Pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam.

Adapun manfaat penelitian tersebut antara lain ;

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teori diharapkan dapat

membangun teori baru tentang politik hukum Koperasi,

khususnya politik hukum pengelolaan Koperasi Simpan Pinjam

yang berbasis nilai-nilai keadilan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan kajian hukum tentang pengelolaan

Koperasi Simpan Pinjam dan secara praktis dapat

digunakan oleh para pemangku kepentingan, khususnya

para pegiat dan praktisi Koperasi Simpan Pinjam.

b. Untuk melengkapi kajian hukum tentang pengelolaan

Koperasi Simpan Pinjam dalam melaksanakan kegiatan

usaha simpan pinjam.

c. Bagi pemerintah berguna untuk mendayagunakan

Koperasi Simpan Pinjam dalam pembangunan ekonomi

nasional.

d. Bagi para penegak hukum, sebagai masukan dalam rangka

penegakan hukum Koperasi, khususnya pada Koperasi

Simpan Pinjam.

E. Kerangka Teoritik

1. Grand Theory

a. Teori Keadilan

John Rawls memberikan arti keadilan adalah

kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial.

Akan tetapi kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan setiap

orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya

16

masyarakat lemah pencari keadilan. 4

Selanjutnya John

Rawls pada dasarnya melihat keadilan masyarakat lebih

pada aspek bentuk pendistribusian keadilan dalam

masyarakat. Keadilan diterjemahkan sebagai fairness

dimana prinsip tersebut dikembangkan dari prinsip

utilitarian. Teori tersebut diadopsi dari prinsip maksimin,

yaitu proses pemaksimalan dari sebuah hal yang minimum

dalam suatu masyarakat yang dilakukan oleh setiap

individu yang berada pada posisi awal di mana pada posisi

tersebut belum terdapat tawar-menawar akan peran dan

status seorang anggota masyarakat. Prinsip ini berusaha

menjawab sejauh mungkin tentang pemaksimalan suatu

hal yang minimum yang berkaitan erat dengan keuntungan

kalangan masyarakat bawah yang lemah.5

Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls terdapat

dua tujuan utama yang hendak disampaikan yakni:

Pertama, teori ini ingin mengartikulasikan sederet prinsip

umum keadilan yang mendasari dan menerangkan kondisi

tertentu seseorang secara khusus untuk mendapatkan

keadilan dilihat dari tindakan sosial yang dilakukan

seseorang. Kedua, konsep keadilan distributif pada

dasarnya dikembangkan dari konsep utilitarianisme

dengan memberikan batasan yang lebih sesuai terhadap

individu. Bahwa keadilan dipandang sebagai cara yang

lebih tepat dan etis untuk memberikan keuntungan bagi

individu sesuai dengan keputusan moral etis.6

Pola pemberian konsep keadilan menurut Rawls

harus diinisiasi berdasarkan posisi asli seseorang bukan

karena status dan kedudukannya di ruang sosial. Cara

4 Pan Muhammad Fais, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi, 2009, hal

135. 5 John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2011, diterjemahkan

oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, hlm.12-40. 6 John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University, London,1973,hlm.50-57.

17

untuk memperoleh sifat asli tersebut, seseorang harus

mencapai posisi aslinya yang disebut dengan kerudung

ketidaktahuan (veil of ignorance). Kondisi veil of

ignorance tersebut bermaksud mendudukan seseorang

dalam kondisi yang sama satu dengan lainnya sebagai

anggota masyarakat dalam kondisi ketidaktahuan.

Sehingga dengan situasi demikian, orang lain tidak

mengetahui keuntungan terhadap pemberian sesuatu

kepada seseorang yang telah mencapai titik “kerudung

ketidaktahuan”.7

Lebih lanjut, dalam kondisi “kerudung

ketidaktahuan” masyarakat bertugas untuk membagikan

hal-hal utama yang ingin dimiliki oleh setiap seorang

(primary good). Primary good merupakan kebutuhan

dasar manusia sebagai hak yang harus dipenuhi. Dengan

demikian cara masyarakat untuk membagikan hak adalah

dengan menerapkan prinsip keadilan yang terdiri dari: a)

kebebasan untuk berperan dalam kehidupan politik; b)

kebebasan untuk berbicara; c) kebebasan untuk

berkeyakinan; d) kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri;

e) kebebasan dari penangkapan dan penahan sewenang-

wenang; f) Hak untuk mempertahankan milik pribadi.8

Pada kesimpulannya, keadilan John Rawls berusaha

menempatkan hak setiap individu sebagaimana mestinya

dengan cara melepaskan atribut kedudukan yang dimiliki

dalam struktur sosial. Sehingga pendistribusian hak

dilakukan secara sama rata.

b. Teori Sibernetik Talcot Parson

Parsons merupakan seorang sosiolog yang

mencetuskan Teori Sibernetik yang kemudian lebih

7 John Rawls yang disarikan oleh Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John

Rawls, Jurnal TAPIs Volume 9 No.2 Juli-Desember 2013, hlm.42. 8 Ibid., hlm.43.

18

dikenal sebagai Teori Fungsionalisme Struktural. Dalam

teori tersebut, Parsons menyatakan bahwa dalam sudut

pandang sosiologi masyarakat dipandang hidup dalam

rangkaian satu kesatuan sistem yang terdiri dari bagian-

bagian yang saling berhubungan satu sama lain.

Pandangan Parson tersebut dikembangkan dari model

perkembangan sistem organisasi yang terdapat dalam

biologi dimana teori tersebut berdasar pada asumsi bahwa

semua elemen harus berfungsi agar masyarakat dapat

menjalankan fungsinya dengan baik.9

Sebagai suatu sistem, teori tersebut menempatkan

hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial

yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub sistem

lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda.

Sub-sub sistem yang dimaksud adalah budaya, politik, dan

ekonomi. Budaya membahas mengenai dengan nilai-nilai

yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu mesti

dipertahankan. Sub sistem ini berfungsi mempertahankan

pola-pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada

aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the

game). Fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan

mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan

aturan main. Politik bersangkut paut dengan kekuasaan

dan kewenangan. Tugasnya adalah pendayagunaan

kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan.

Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya materiil

yang dibutuhkan menopang sistem. Tugas sub sistem

ekonomi adalah menjalankan fungsi adaptasi berupa

kemampuan menguasai sarana-sarana dan fasilitas untuk

9 Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007,

hlm.48.

19

kebutuhan sistem.10

Empat sub sistem itu, selain sebagai

realitas yang melekat pada masyarakat, juga serentak

merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit

kehidupan sosial. Hidup matinya sebuah masyarakat

ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub sistem sesuai

tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah

yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari

tiga sub sistem yang lain itu. Inilah yang disebut fungsi

integrasi dari hukum dalam Teori Parsons.11

2. Middle Tehory

a. Teori Bekerjanya Hukum di Masyarakat Chambliss

dan Seidman

Teori ini menyatakan bahwa tindakan apa pun yang

akan diambil oleh pemegang peran, lembaga-lembaga

pelaksana maupun pembuat undang-undang selalu berada

dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial,

budaya, ekonomi dan politik dan lain sebagainya. Seluruh

kekuatan-kekuatan sosial selalu ikut bekerja dalam setiap

upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang

berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh

aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya. Akhirnya

peran yang dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum

itu merupakan hasil dari bekerjanya berbagai macam

faktor.12

b. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman

Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa hukum

itu terdiri dari komponen struktur, substansi dan kultur.13

1) Komponen struktur yaitu kelembagaan yang

10

Bernard L. Tanya, dkk. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 152. 11 Loc.Cit. 12

William J. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam Esmi Warassih, Pranata

Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Ibid., hlm. 10. 13

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), hlm. 28.

20

diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai

macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya

sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan

melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan

pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan

hukum secara teratur.

2) Komponen substantif, yaitu sebagai output dari

sistem hukum, berupa peraturan-peraturan,

keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh

pihak yang mengatur maupun yang diatur.

3) Komponen kultur, yaitu terdiri dari nilai-nilai,

sikap-sikap, persepsi, custom, ways of doing, ways of

thinking, opinion yang mempengaruhi bekerjanya

hukum oleh Lawrence M. Friedman disebut sebagai

kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi

sebagai jembatan yang menghubungkan antara

peraturan hukum dengan tingkah laku hukum

seluruh warga masyarakat.

3. Applied Theory

Tokoh dari teori pembangunan hukum adalah Mochtar

Kusumaatmadja, yang mana konsep hukumnya dipengaruhi oleh

Myres MC Dougal dan F.S.C Northop, yang mana keduanya

berpendapat bahwa di dalam hukum disisipkan pendekatan

orientasi politik serta dasar-dasar filosofi dan sosiologi hukum.

Hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya

merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur

kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi meliputi lembaga-

lembaga (institutions)dan proses-proses yang mewujudkan

berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. Dengan

demikian melihat hukum tidak hanya sebaagai gejala normatif,

tetapi sebagai bagian dari gejala sosial yang tumbuh dan

berkembang dalam proses dan lembaga yang berlaku di dalam

masyarakat.

21

Ada beberapa argumen krusial yang menyebabkan teori

hukum pembangunan tersebut banyak mengundang atensi.

Apabila dijabarkan, aspek tersebut secara global adalah sebagai

berikut : 14

(a) Teori hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori

hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh

orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur

masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur

dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh

dan berkembang sesuai dengaan kondisi Indonesia,

aplikasinya sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat

Indonesia yang pluralistik.

(b) Secara dimensional, teori hukum pembangunan memakai

kerangka acuan pada pandangan hidup (way of life)

masyarakat serta bangsa Indonesia yang berdasarkan asas

Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam

teori hukum pembangunan tersebut relatif sudah

merupakan dimensi yang meliputi structure, culture, dan

subtance sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.

Friedman.

(c) Pada dasarnya teori hukum pembangunan memberikan

dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat dan hukum sebagai suatu sistem sangat

diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang

sedang berkembang.

F. Metode Penelitian

1. Paradigma

Paradigma merupakan suatu sistem filosofis ‘payung’ yang

meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu. Masing-

masingnya terdiri dari serangkaian “belief dasar” atau world view

14

H. Juhaya S. Praja, op cit, hal 150-151.

22

yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan (dengan “belief dasar”

atau world view dari ontologi, epistemologi, dan metodologi

paradigma lainnya). Lebih dari sekedar kumpulan teori,

paradigma dengan demikian mencakup berbagai komponen

praktek-praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang

terspesialisasi.

Paradigma diantaranya, bertugas untuk menggariskan tolok

ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan,

menetapkan metodologi mana yang akan dipilih untuk diterapkan,

atau cara bagaimana hasil penelitian akan diinterpretasi.15

Paradigma konstruktivisme (legal constructivism)

merupakan paradigma yang melihat kebenaran sebagai suatu

realita hukum yang bersifat relatif dan berlaku sesuai konteks

spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

Realitas hukum yang dimaksud merupakan realitas

majemuk yang beragam berdasarkan pengalaman sosial individu.

Pada dasarnya realitas sosial yang ada dikembangkan dari realitas

individu dalam masyarakat. Realitas tersebut merupakan

konstruksi mental manusia sehingga penelitian ini memberi

empati dan interaksi yang dialektik antara peneliti dan yang

diteliti untuk merekonstruksi realitas hukum melalui metode

kualitatif.

Oleh karena itu dalam paradigma konstruktivisme, realitas

yang diamati oleh peneliti tidak bisa digeneralisasikan. Hal ini

dikarenakan setiap fenomena yang terjadi merupakan hasil

konstruksi (persepsi) masing-masing individu atau masyarakat,

dimana konstruksi tersebut muncul sebagai “resultante” dari

pengalaman sosial, agama, budaya, sistem nilai-nilai lainnya, dan

bersifat lokal. Penelitian yang dilakukan harus mampu

mengungkap pengalaman sosial, aspirasi, atau apapun yang tidak

15

Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma Suatu Telaah Filsafat Hukum, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, 2010, hlm. 4.

23

kasat mata tetapi menentukan sikap-sikap,perilaku, maupun

tindakan objek peneliti. Dengan demikian terdapat subjektivitas

dari peneliti terutama untuk menafsirkan hal-hal yang tidak kasat

mata.

Oleh karenanya diperlukan interaksi subjektif antar

keduanya. Disinilah kemudian, konstruktivisme menggunakan

metode hermeneutik dan dialektika dalam proses pencapaian

kebenaran. Hermeneutik dilakukan melalui identifikasi kebenaran

atau konstruksi pendapat perseorangan. Dialektika dilakukan

dengan cara membandingkan pendapat beberapa individu untuk

memperoleh konsensus.16

Berdasarkan uraian di atas, jika ditelaah menurut E. G.

Guba dan Y.S Lincoln,17

paradigma konstruktivisme secara

ontologis dimaknai sebagai relativisme yakni, pemahaman

realitas yang dikonstruksikan berdasarkan pengalaman sosial

individual secara lokal dan spesifik. Secara epistemologis

paradigma merupakan bentuk subjektivitas terhadap temuan-

temuan yang diciptakan oleh peneliti dan objek investigasi terkait

secara interaktif sehingga temuan dicipta atau dikonstruksi

bersama dengan suatu metodologi.

Secara metodologis, paradigma menggunakan metode

hermeneutik atau dialektis yang berarti konstruksi ditelusuri

melalui interaksi antara peneliti dan objek investigasi dengan

teknik hermeneutik.18

Pada penelitian ini menggunakan

paradigma Konstruktivisme dikarenakan selain menggunakan

16

Paradigma konstruktivisme boleh disebut sebagai penyangkalan terhadap

paradigma positivisme. Apabila di dalam paradigma positivisme diyakini bahwa realitas itu

bisa diamati berulang-ulang dan hasilnya sama dan bisa digeneralisasikan. Maka paradigma

konstruktivisme menyangkalnya. Konstruktivisme memahami kebenaran realitas bersifat

relatif, berlaku sesuai dengan kontek spesifik yang relevan dengan perilaku sosial.

Konstruktivisme, dengan demikian menolak generalisasi untuk berupaya menghasilkan

deskripsi yang unik. Lihat, Guba dan Lincoln, dalam Erlyn Indarti, Ibid., hlm. 30-34. 17

E. G. Guba dan Y. S. Lincoln, Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi dan Arus

Perpaduan Baru, dalam Norman K. Denzin dan Y. S. Lincoln, Tha Sage Handbook Of

Qualitative Research Edisi Ketiga, dialihbahasakan oleh Dariyatno, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta ,2011, hlm. 205. 18

Ibid., hlm. 207.

24

data kepustakaan dan perundang-undangan penelitian ini juga

menggunakan data berupa hasil wawancara secara hermeneutik.19

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah non-

doktrinal. Dalam penelitian hukum non-doktrinal ini hukum

dikonsepkan sebagai manifestasi makna-makna simbolik para

pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.

Bahwa realitas kehidupan yang sesungguhnya tidaklah eksis

dalam alam empiris yang juga alam amatan, tidak menampak

dalam wujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif

(apalagi normatif) dan oleh karenanya bisa diukur untuk

menghasilkan data-data yang kuantitatif. Realitas kehidupan itu

sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang menampak

dalam bentuk simbol-simbol yang hanya bisa dimengerti sesudah

ditafsir. Realitas yang demikian itu tidaklah dapat dengan mudah

“ditangkap” lewat pengamatan dan pengukuran dari luar.

Realitas-realitas tersebut hanya mungkin “ditangkap” melalui

pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang

membuahkan gambaran pemahaman yang lengkap.20

Karena realitas (hukum) adalah bagian dari alam makna/

simbolis yang hanya dapat dipahami lewat pengalaman internal

para subjek pelaku maka apa yang akan tertangkap dan

teridentifikasi sebagai masalah tidak lain daripada apa yang

dijumpai oleh para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman

dan penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka,

masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan

pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahliannya dan

betapapun besar kewenangannya di dalam hal pengendalian

19

E. G. Guba dan Y. S. Lincoln, Kontroversi Paradigmatik, Kontradiksi dan Arus

Perpaduan Baru, dalam Norman K. Denzin dan Y. S. Lincoln, Tha Sage Handbook Of

Qualitative Research Edisi Ketiga, dialihbahasakan oleh Dariyatno, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta ,2011, hlm. 205. 20

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode, dan Dinamika

Masalahnya, HUMA,Jakarta,2002, hlm.198.

25

sistem, hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan itu tidak

akan (selalu) sama dengan apa yang terpersepsi dan teridentifikasi

oleh subjek-subjek pelaku yang berpartisipasi dalam aksi-aksi dan

interaksi-interaksi setempat.21

3. Jenis Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian

hukum kualitatif ini adalah metode pendekatan yuridis

sosiologis, yaitu suatu pendekatan dengan mencari informasi

melalui wawancara secara langsung dengan informan secara

empiris terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan

mengadakan penelitian data sekunder yang terdapat pada studi

kepustakaan melalui langkah teoritik.22

4. Jenis Data

a. Data Primer

Adalah keterangan atau informasi yang diperoleh

secara langsung melalui penelitian di lapangan. Data primer

ini dilakukan dengan cara mengadakan wawancara

mendalam yakni suatu cara untuk memperoleh informasi

dengan bertanya secara langsung kepada pihak informan.

Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi atau

keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Dalam hal penyusunan kebijakan pengelolaan koperasi

dalam kaitannya dengan peran koperasi di era pembangunan

ekonomi saat ini, maka setidaknya terdapat beberapa

instansi pemerintahan yang akan dijadikan informan antara

lain : Birokrat Terkait Koperasi, Lembaga Koperasi,

Anggota Koperasi dan Kalangan Akademisi, serta Lembaga

Swadaya Masyarakat yang konsen dalam persoalan

Koperasi.

21

Loc.Cit. 22

Ibid, hlm. 7

26

b. Data Sekunder

Adalah keterangan atau informasi yang diperoleh dari

literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian

tersebut seperti buku, peraturan perundang-undangan

maupun dokumen-dokumen dari instansi yang

bersangkutan. Studi kepustakaan/data sekunder terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

Landasan yuridis yang berkaitan dengan

persoalan pengelolaan Koperasi dalam peraturan

perundang-undangan yang terbagi dalam beberapa

tingkatan. Adapun bahan hukum yang dimaksud

yaitu:

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

(3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;

(4) Undang-Undang Nomor. 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian;

(5) Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Perkoperasian

(6) Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 1967

tentang Pokok-Pokok Perkoperasian;

(7) Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011,

tentang Otoritas Jasa Keuangan.

2) Bahan Hukum Sekunder

a) Kepustakaan, buku serta literatur;

b) Karya Ilmiah;

c) Referensi-Referensi yang relevan.

3) Bahan Hukum Tersier

a) Kamus hukum; dan

b) Ensiklopedia.

27

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai

berikut:

a. Studi Pustaka

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

pertama akan dilakukan studi pustaka dengan melakukan

kajian hukum secara normatif dalam proses analisis

penyusunan kebijakan terkait persoalan ketidakadilan

terkait kedudukan dan eksistensi koperasi sebagai lembaga

keuangan negara.

b. Observasi

Setelah dilakukan studi pustaka pada penelitian ini

kemudian dilakukan observasi dilapangan untuk

mendapatkan beberapa informasi terkait persoalan

ketidakadilan terkait kedudukan dan eksistensi koperasi

sebagai lembaga keuangan negara, informasi yang akan

diperoleh dari hasil observasi antara lain: ruang (tempat),

pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa,

waktu, dan persepsi.

c. Wawancara mendalam

Setelah melakukan studi pustaka dan observasi

langsung di lapangan kemudian peneliti akan melakukan

wawancara mendalam dimana dalam proses wawancara ini

akan terjadi proses interaksi dialog antara peneliti dengan

para informan. Wawancara merupakan instrumen utama

untuk memperoleh data lapangan berdasarkan hasil

wawancara dari key informan (informan utama). Informan

utama ditentukan berdasarkan sampel atau purposive

sampling sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.

6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dipilih

dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis dan

28

dipaparkan dengan menggunakan metode analisis kualitatif.23

Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah

logika berpikir deduktif, di mana penelitian ini berangkat dari hal

(kaidah/norma/teori/aturan hukum) yang bersifat umum kepada

hal-hal yang bersifat khusus (particular). Prinsip dasarnya

adalah:24

segala yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam

satu kelas/jenis, berlaku pula sebagai hal yang benar pada

semua peristiwa yang terjadi pada hal yang khusus, asal hal

yang khusus ini benar-benar merupakan bagian/unsur dari

hal yang umum itu”.

Penelitian ini ditulis dengan menggunakan logika berpikir

deduktif yang selalu menempatkan kaidah hukum dalam berbagai

peraturan perundangan, prinsip-prinsip hukum, serta ajaran dan

doktrin hukum sebagai premis mayor (umum), dan fakta hukum

atau peristiwa hukum sebagai premis minor (khusus).25

Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara

kualitatif dengan menjalankan prosedur berikut, yaitu: a)

Membuat catatan-catatan dari hasil pengumpulan data, melakukan

coding, agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri. b)

Mengumpulkan, membagi secara rinci, mengklasifikasikan data

sesuai dengan permasalahan penelitian, menafsirkan, mencari

makna, dan menemukan pola beserta hubungan-hubungan antara

masing-masing kategori data sehingga dapat ditemukan model

baru yang menjadi tujuan penelitian.

Selanjutnya setelah dilakukan pengelolaan data, hal berikut

yang dilakukan adalah melakukan validasi data. Adapun validasi

data digunakan untuk menetapkan keabsahan data. Langkah yang

diperlukan adalah melaksanakan teknik pemeriksaan yang

didasarkan pada derajat kepercayaan (credibility), peralihan

23

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 183. 24

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,

ANDI, Yogyakarta, 2007, hlm. 153. 25

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hlm. 122.

29

(transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian

(confirmability).

Keabsahan data dalam penelitian ini bertumpu pada derajat

kepercayaan melalui teknik pemeriksaan keabsahan ketekunan

pengamatan dan triangulasi. Melalui teknik pemeriksaan

ketekunan pengamatan akan diperoleh ciri-ciri dan unsur relevan

dengan pokok permasalahan penelitian dan kemudian dirinci serta

diobservasi secara mendalam. Setelah dianalisis, dievaluasi serta

dicek keabsahannya melalui pemeriksaan dan diskusi, data yang

diperoleh akan dipresentasikan dengan gaya tertentu.26

G. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Politik Hukum Terkait Peran Koperasi

Simpan Pinjam Saat ini

Pada dasarnya pelaksanaan koperasi simpan pinjam

berlandaskan pada beberapa aturan hukum yang berlaku. Pasal

29 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa:

(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam

Rapat Anggota.

(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.

(3) Untuk pertama kali,susunan dan nama anggota pengurus

dicantumkan dalam akta pendirian.

(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.

(5) Persyaratan untuk dapat dipilh dan diangkat menjadi

Anggota Pengurus ditentukan dalam anggaran dasar.

Kemudian pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

pada aspek pengawasan Koperasi Simpan Pinjam tidak

dilengkapi dengan sanksi yang ketat serta pengawasan yang juga

melihat pada pengurus dan anggota koperasi, hal ini juga terjadi

pada Peraturan Menteri Koperasi dan Unit Usaha Kecil dan

Menengah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Pengawasan Koperasi

dimana pengawasan yang ada hanya terfokus pada pengawasan

26

Vredentberg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1999,

hlm. 89.

30

kinerja sistem koperasi secara kelembagaan bukan pengawasan

Sumber Daya Manusia dari anggota dan pengurus Koperasi, hal

ini dapat terlihat pada Pasal 8 pada Peraturan Menteri Koperasi

dan Unit Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17 Tahun 2015

tentang Pengawasan Koperasi yang menyatakan bahwa:

(1) Pengawasan aktif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7

huruf a dilakukan dengan pemeriksaan langsung terhadap

Koperasi yang berpotensi mempunyai masalah;

(2) Pengawasan pasif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7

huruf a dilakukan dengan menganalisa laporan terhadap

Koperasi yang sudah berjalan baik.

(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada Pasal 7

huruf b dilakukan sesuai jadwal yang telah direncanakan.

(4) Pengawasan sewaktu-waktusebagaimana dimaksud pada

Pasal 7 huruf b dilakukan sesuai sesuai dengan kebutuhan.

(5) Pengawasan preventif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7

huruf c dilakukan dengan tujuan pembinaan dan

pencegahan.

(6) Pengawasan represif sebagaimana dimaksud pada Pasal 7

huruf c dilakukan dengan tujuan mencegah meluasnya

permasalahan.

Selain itu pada Peraturan Menteri Koperasi dan Unit

Usaha Kecil dan Menengah Nomor 17 Tahun 2015 tentang

Pengawasan Koperasi tidak diatur perihal sanksi hukum yang

tegas apabila terjadi pelanggaran berat oleh anggota dan atau

pengurus yang dapat merugikan nasabah koperasi simpan

pinjam, mengingat operasi simpan pinjam juga sering

menawarkan kredit dana kepada pihak selain anggota dengan

tujuan mendapatkan bunga yang besar guna mencari keuntungan

yang besar pula. Hal ini mengakibatkan juga perkembangan

31

koperasi yag berkeadilan bagi anggota-anggotanya juga dapat

terhambat.27

Selain itu di dalam pengangkatan keanggotaan dan

kepengurusan juga tidak diatur perihal prsyaratan pengetahuan

dan pemahaman terkait wawasan kekoperasian, sehingga tidak

jarang setiap anggota dan pengurus koperasi simpan pinjam juga

tidak memahami tujuan hakiki dari koperasi simpan pinjam

yaitu berupa pembangunan sistem ekonomi yang berasaskan

gotong royong dan mengutamakan kesejahteraan berkeadilan

sosial bukan pencarian modal dan pemasukan secara kapitalis.28

Berbagai macam persoalan tersebut juga dapat teramati dalam

Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh

Koperasi. Pada Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan Pinjam

oleh Koperasi pengangkatan pengurus tidak didasari keilmuan,

keahlian dan pengalaman di bidang koperasi simpan pinjam

yang jelas, sehingga urusan kepengurusan KSP hanya dipandang

urusan administrasi belaka.29

Keadaan demikian menjadi pemicu berbagai macam

pelanggaran hukum yang berkedok Koperasi Simpan Pinjam

serta semakin banyaknya koperasi yang tutup dikarenakan

menejerial yang tidak berkualitas baik. Di Kabupaten Demak

terdapat 132 Koperasi Simpan Pinjam yang akan tutup dari total

jumlah keseluruhan 795, alasan yang mendasari tutupnya 132

koperasi tersebut ialah ketiadaan modal dan aktivasi anggota.30

Keadaan demikian juga terjadi di Yokyakarta, jumlah

koperasi di tahun 2018 mencapai 2738 harus menrun pada tahun

27

Budiyono, Kelemahan Kebijakan Koperasi Di Indonesia, wawancara pribadi

dengan Kepala Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kabupaten Demak, pada

20 Januari 2020 28

Loc, cit. 29

Loc, cit. 30

Loc, cit.

32

2019 menjadi 2380.31

Berbagai macam persoalan tersebut jelas

telah mengakibatkan tidak efektifnya peran koperasi simpan

pinjam dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi

masyarakat menengah ke bawah baik di tingkat nasional

maupun daerah. Hal ini jelas telah bertolak belakang dengan

amanat dari Sila Kelima Pancasila dan juga Alinea Keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Sehingga jelas persoalan koperasi ini juga

melanggar amanat dari Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada akhirnya

melanggar pula amanat dari asas koperasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 dan juga

melanggar tujuan dari koprasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Berkaitan dengan

persoalan ini jelas telah terjadi disharmonisasi antara Pancasila,

UUD RI 1945, dengan politik hukum koperasi simpan pinjam

terutama terkait menejeraial Sumber Daya Manusia anggota dan

pengurus.

Kemudian persoalan disorientasi pengelolaan koperasi

simpan pinjam sebagaimana telah dijelaskan di atas

mengakibatkan koperasi tidak lagi sesuai dengan semangat

lahirnya koperasi, yang mana pada awalnya koperasi adalah

lembaga ekonomi kekeluargaan yang bertujuan menghidupkan

ekonomi masyarakat kemudian menjadi lembaga usaha

pengkreditan murni yang berdogma layaknya lembaga swasta

yang berorientasi pada keuntungan semata yang kemudian

memarjinalkan kedudukan anggotanya. Hal ini jelas bertolak

belakang dengan perspektif keadilan menurut Rawls.

John Rawls pada dasarnya melihat keadilan masyarakat

lebih pada aspek bentuk pendistribusian keadilan dalam

masyarakat. Keadilan diterjemahkan sebagai fairness dimana

31

Srie Nurkyatsiwi, Jumlah Koperasi Aktif Di Jogjakarta, Wawancara pribadi

dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Yogyakarta, 5 Januari 2020.

33

prinsip tersebut dikembangkan dari prinsip utilitarian. Teori

tersebut diadopsi dari prinsip maksimin, yaitu proses

pemaksimalan dari sebuah hal yang minimum dalam suatu

masyarakat yang dilakukan oleh setiap individu yang berada

pada posisi awal di mana pada posisi tersebut belum terdapat

tawar-menawar akan peran dan status seorang anggota

masyarakat. Prinsip ini berusaha menjawab sejauh mungkin

tentang pemaksimalan suatu hal yang minimum yang berkaitan

erat dengan keuntungan kalangan masyarakat bawah yang

lemah.32

Berdasarkan Teori Keadilan John Rawls terdapat dua

tujuan utama yang hendak disampaikan yakni: Pertama, teori ini

ingin mengartikulasikan sederet prinsip umum keadilan yang

mendasari dan menerangkan kondisi tertentu seseorang secara

khusus untuk mendapatkan keadilan dilihat dari tindakan sosial

yang dilakukan seseorang. Kedua, konsep keadilan distributif

pada dasarnya dikembangkan dari konsep utilitarianisme dengan

memberikan batasan yang lebih sesuai terhadap individu. Bahwa

keadilan dipandang sebagai cara yang lebih tepat dan etis untuk

memberikan keuntungan bagi individu sesuai dengan keputusan

moral etis.33

Pola pemberian konsep keadilan menurut Rawls harus

diinisiasi berdasarkan posisi asli seseorang bukan karena status

dan kedudukannya di ruang sosial. Cara untuk memperoleh sifat

asli tersebut, seseorang harus mencapai posisi aslinya yang

disebut dengan kerudung ketidaktahuan (veil of ignorance).

Kondisi veil of ignorance tersebut bermaksud mendudukan

seseorang dalam kondisi yang sama satu dengan lainnya sebagai

anggota masyarakat dalam kondisi ketidaktahuan. Sehingga

dengan situasi demikian, orang lain tidak mengetahui

32

John Rawls, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2011, diterjemahkan

oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, hlm.12-40. 33

John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University, London,1973,hlm.50-57.

34

keuntungan terhadap pemberian sesuatu kepada seseorang yang

telah mencapai titik “kerudung ketidaktahuan”.34

Lebih lanjut, dalam kondisi “kerudung ketidaktahuan”

masyarakat bertugas untuk membagikan hal-hal utama yang

ingin dimiliki oleh setiap seorang (primary good). Primary good

merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai hak yang harus

dipenuhi. Dengan demikian cara masyarakat untuk membagikan

hak adalah dengan menerapkan prinsip keadilan yang terdiri

dari: a) kebebasan untuk berperan dalam kehidupan politik; b)

kebebasan untuk berbicara; c) kebebasan untuk berkeyakinan; d)

kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri; e) kebebasan dari

penangkapan dan penahan sewenang-wenang; f) Hak untuk

mempertahankan milik pribadi.35

Pada kesimpulannya, keadilan

John Rawls berusaha menempatkan hak setiap individu

sebagaimana mestinya dengan cara melepaskan atribut

kedudukan yang dimiliki dalam struktur sosial. Sehingga

pendistribusian hak dilakukan secara sama rata. Dalam

persoalan asus koperasi simpan pinjam pemilik koperasi

sebagian besar menjadikan lembaganya sebagai lembaga usaha

pengkreditan secara murni dimana prinsip-prinsip dasar koperasi

semakin dikeasmpingkan, sehingga koperasi tidak lagi menjadi

koperasi simpan pinjam yang sejatinya koperasi namun hanya

menjadi lembaga pengkreditan yang meminjam nama koperasi

dikarenakan koperasi tidak terlalu rumit dalam mengurus

perizinannya. Pada akhirnya juga sering terjadi penipuan

berkedok koperasi.36

Hal ini dapat terlihat dalam penutupan dua ratus koperasi

simpan pinjam di Kabupaten Semarang yang dainggap “abal-

abal”, Menurut M. Nasir selaku Kepala Dinas Koperasi, Usaha

34

John Rawls yang disarikan oleh Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John

Rawls, Jurnal TAPIs Volume 9 No.2 Juli-Desember 2013, hlm.42. 35

Ibid., hlm.43. 36

Srie Nurkyatsiwi, Jumlah Koperasi Aktif Di Jogjakarta, Wawancara pribadi

dengan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Yogyakarta, 5 Januari 2020.

35

Menengah Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang

menyatakan bahwa:37

Sebanyak 200 koperasi abal-abal akan dibubarkan karena

keberadaannya hanya ingin memanfaatkan dana hibah dari

Pemkab Semarang. Ada 174 yang dibubarkan, kedepan

mencapai 200. Kami bubarkan karena mereka tidak ada

kegiatan alias abal-abal, kata Mundjirin, Rabu (12/4/2017)

siang. Indikasi abal-abal, kata Mundjirin, selain mati suri

atau tanpa kegiatan, ada juga yang sudah tidak

berpengurus sama sekali. Ada beberapa pengurusnya yang

menghilang dan ada pula yang nama pengurusnya fiktif.

Beberapa koperasi yang terdeteksi abal-abal tersebut akan

diambil tindakan tegas, yakni dengan aksi pembubaran.

Maraknya koperasi di Kabupaten Semarang dipicu adanya

dana hibah dari Pemkab Semarang sebesar Rp 25 juta per

koperasi. "SK Pembubaran sudah ada, tinggal eksekusi.

Kemudian Nasir menambahkan bahwa:

Jumlah koperasi di Kabupaten Semarang saat ini sebanyak

668 unit. Sementara koperasi yang masih rutin melaporkan

adanya RAT (Rapat Anggota Tahunan), hanya sebanyak

140 dari 441 koperasi yang masih aktif. "Sisanya tidak

jelas. Ada yang dua tahun atau tiga tahun sekali

melakukan RAT," kata Nasir. Menurut Nasir, koperasi

yang selama lebih dari lima tahun tidak pernah melakukan

dan melaporkan adanya RAT akan dibubarkan. Namun

sebelum dibubarkan, pihaknya melayangkan surat

peringatan kepada koperasi bersangkutan. Jika tidak

direspon, kita datangi. Kalau memang sudah tidak aktif ya

di tutup.

2. Kelemahan-Kelemahan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum

Pngelolaan Koperasi Simpan Pinjam Saat Ini

Berdasarkan berbagai macam persoalan pada pembahasan

bab III disertasi ini dan berdasarkan pada teori terkait

bekerjanya sistem hukum maka penulis membagi kelemahan-

kelemahan politik hukum terkait pelaksanaan sistem koperasi

sismpan pinjam menjadi:

(1) Kelemahan aspek peraturan hukum

Telah disebutkan di atas bahwa dalam

perkembangannya pelaksanaan koperasi simpan pinjam

37

M. Nasir, Jumlah Koperasi Bermasalah Di Kabupaten Semarang, Wawancara

pribadi dengan Kepala Dinas Koperasi Usaha Menengah Industri dan Perdagangan

Kabupaten Semarang pada 10 Januari 2020.

36

diatur secara umum di dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1992 Tentang Koperasi dan secara khusus di dalam

Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang Usaha Simpan

Pinjam oleh Koperasi. Adapun kelemahan-kelemahan dari

aspek peraturan perundang-undangan oleh penulis dibagi

kembali menjadi:

a) Kelemahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

Tentang Koperasi

(1) Kelemahan sistem pengangkatan pengurus

koperasi simpan pinjam

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1992 menyatakan bahwa:

(a) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota

Koperasi dalam Rapat Anggota.

(b) Pengurus merupakan pemegang kuasa

Rapat Anggota.

(c) Untuk pertama kali,susunan dan nama

anggota pengurus dicantumkan dalam

akta pendirian.

(d) Masa jabatan Pengurus paling lama 5

(lima) tahun.

(e) Persyaratan untuk dapat dipilh dan

diangkat menjadi Anggota Pengurus

ditentukan dalam anggaran dasar.

Berdasarkan ketentuan di atas terlihat

bahwa sistem pengangkatan pengurus koperasi

tidak berlandaskan pada pengetahuan dan

pengalaman tentang pengelolaan dan landasan

kekoperasian, hal ini mengakibatkan pengelola

koperasi hanya menjadikan koperasi sebagai

lembaga simpan pinjam tanpa memiliki

37

kemampuan menjalankan prinsip dasar

koperasi yang mengakibatkan koperasi tidak

lagi menjadi koperasi yang sebenarnya.

(2) Kelemahan pengaturan pengelolaan anggaran

koprasi simpan pinjam

Perihal modal koperasi simpan pinjam

diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa:

(a) Modal Koperasi terdiri dari modal

sendiri dan modal pinjaman.

(b) Modal sendri dapat berasal dari :

a. Simpanan Pokok;

b. Simpanan Wajib ;

c. Dana Cadangan ;

d. Hibah.

(c) Modal Pinjaman dapat berasal dari :

a. Anggota;

b. Koperasi lainnya dan/atau

anggotanya;

c. Bank dan lembaga keuangan

lainnya ;

d. Penerbitan obligasi dan surat

hutang lainnya;

e. Sumber lain yang sah.

Berdasarkan pernyataan di atas terlihat

jelas bahwa modal koperasi simpan pinjam

diperoleh melalui usaha mandiri yang bertitik

pangkal pada anggota dan juga nasabah yang

menggunakan jasa simpan pinjam di

lembaganya. Sementara anggaran bantuan dari

pemerintah dan juga lembaga keuangan

lainnya bersifat pinjaman bukan pemberian

38

dana bantuan non-pinjaman. Hal ini semakin

bertambah parah dengan adanya kenyataan

bahwa bunga dari usaha simpan pinjam

koperasi juga terbilang rendah sehingga

lembaga koperasi memiliki bageting yang

kecil, sementara modal pendirian koperasi

simpan pinjam dapat dikatakan juga tidak kecil

jumlahnya. Hal ini lah yang menjadikan

koperasi simpa pinjam sering melakukan

penggelapan dana anggotanya guna membayar

piutang pendirian dan operasional koperasi

simpan pinjam yang tidak dapat tertutup

dengan modal pendapatan kecil.

b) Kelemahan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Nomor 15 Tahun 2015 tentang

Simpan Pinjam oleh Koperasi

Adapun kelemahan dalam Peraturan Menteri

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15

Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi

juga dibagi menjadi:

(1) Kelemahan pengaturan terkait pengurus

koperasi

Pengaturan terkait pengangkatan

pengurus koperasi di dalam Peraturan Menteri

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 15 Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam

oleh Koperasi tidak diatur secara jelas

selayaknya Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1992 Tentang Koperasi. Hal ini semakin juga

mengakibatkan sistem kepengurusan koperasi

simpan pinjam secara khusus tidak memiliki

kejelasan dan kepatian. Hal ini akan

39

mengakibatkan banyaknya SDM pengurus

koperasi simpan pinjam yang tidak

berkompeten mengurus koperasi simpan

pinjam yang pada akhirnya akan

mengakibatkan koperasi simpan pinjam keluar

dari alur prinsip dasar dari koperasi simpan

pinjam sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

Tentang Koperasi.

(2) Persoalan modal koperasi simpan pinjam

Pengaturan perihal modal koperasi

dalam Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Nomor 15 Tahun 2015

tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi diatur

pada Pasal 17. Pasal 17 Peraturan Menteri

Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 15 Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam

oleh Koperasi menyatakan bahwa:

1) Modal usaha awal pada setiap pendirian

KSP Primer dan KSP Sekunder yang

dihimpun dari simpanan pokok dan

simpanan wajib anggotanya dan dapat

ditambah dengan hibah.

2) Modal usaha awal KSP Primer

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam bentuk deposito pada Bank

Pemerintah dengan rincian sebagai

berikut:

a. modal KSP Primer dengan wilayah

keanggotaan dalam daerah

Kabupaten/Kota ditetapkan sebesar

40

Rp15.000.000,- (lima belas juta

rupiah).

b. modal KSP Primer dengan wilayah

keanggotaan lintas daerah

Kabupaten/Kota dalam 1 (satu)

daerah Provinsi ditetapkan sebesar

Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima

juta rupiah).

c. modal KSP Primer dengan wilayah

keanggotaan lintas daerah Provinsi

ditetapkan sebesar

Rp375.000.000,00 (tiga ratus tujuh

puluh lima juta rupiah).

3) Modal usaha awal KSP Sekunder

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam bentuk deposito pada Bank

Pemerintah dengan rincian sebagai

berikut:

a. modal KSP Sekunder dengan

wilayah keanggotaan dalam daerah

Kabupaten/Kota ditetapkan sebesar

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah).

b. modal KSP Sekunder dengan

wilayah keanggotaan lintas daerah

Kabupaten/Kota dalam 1 (satu)

daerah Provinsi ditetapkan sebesar

Rp150.000.000,00 (seratus lima

puluh juta rupiah).

c. modal KSP Sekunder dengan

wilayah keanggotaan lintas daerah

Provinsi ditetapkan sebesar

41

Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah).

Berdasarkan ketentuan sebagaimana

telah dijelaskan di atas terlihat juga bahwa

modal usaha koperasi simpan pinjam diperoleh

melalui kegiatan usaha mandiri tanpa bantuan

dari pemerintah pusat maupaun di daerah. Hal

ini juga jelas bahwa kondisi koperasi simpan

pinjam juga akan mengalami kesulitan dalam

hal permodalan dan pendapatan inkam yang

besar. sehingga pada akhirnya dapat

mengakibatkan ketidakpercayaan oleh

anggota-anggotanya.

Keadaan demikian jelas akan melanggar Sila Kelima

Pancasila, Alinea Keempta Pembukaan UUD NRI 1945,

Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa

“perekonomian dibangun atas usaha bersama dan

berdasarkan azaz kekeluargaan”. Hal ini jelas juga

melanggar azaz dari koperasi yaitu azaz kekeluargaan atau

gotong royong. Hal ini dikarenakan politik hukum di

Indonesia telah terpengaruh oleh globalisasi ekonomi yang

semakin mengutamakan kepentingan kapitalis

dibandingkan kebutuhan ekonomi masyarakat.

Hans Nawiasky mengembangkan teori dari Kelsen

dengan konsep baru yang dinamainya dengan die theorie

vom stufenordnung der rechtsnormen.38

Pada teorinya

tersebut, Nawiasky menyatakan bahwa hierarki norma

hukum terbagi menjadi:39

1. Norma fundamental negara atau

staatsfundamentalnorm;

2. Aturan dasar negara atau staatsgrundgesetz;

38

Ibid, hlm. 44. 39

Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, op, cit, hlm. 170.

42

3. Undang-undang formil atau formell gesetz;

4. Peraturan pelaksana dan peraturan otonom atau

verordnung en autonome satzung.

Berkaitan dengan posisi Pancasila sebagai

Philosofische Grondslag dan sekaligus sebagai sumber

dari segala sumber hukum, A. Hamid S. Attamimi dengan

menggunakan die theorie vom stufenordnung der

rechtsnormen milik Nawiasky menyatakan bahwa struktur

hierarki hukum di Indonesia terdiri dari:40

1. Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

sebagai staatsfundamentalnorm; 41

2. Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,

Ketetapan MPR serta Konvensi Ketatanegaraan

merupakan staatsgrundgesetz;

3. Peraturan Perundang-undangan merupakan formell

gesetz;

4. Secara hierarki mulai dari Peraturan Pemerintah

hingga Peraturan Daerah Provinsi serta Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota merupakan verordnung en

autonome satzung.

Kedudukan Pancasila sebagai Philosofische

Grondslag atau oleh Nawiasky disebut dengan

Staatsfundamentalnorm sekaligus sebagai rechtsidee atau

cita hukum, menimbulkan konsekuensi bahwa pembuatan

40

Loc, cit. 41

Walaupun Nawiasky dengan teorinya tidak secara tegas mengatakan bahwa

Pancasila yang merupakan Staatsfundamentalnorm berkaitan dengan konstitusi Indonesia,

namun hubungan antara Pancasila dengan konstitusi hingga berbagai aturan yang ada di

bawah konstitusi dapat dijelaskan dengan menggunakan teori validitas Kelsen. Berdasarkan

teori Kelsen tersebut dapat dinyatakan bahwa konstitusi Indonesia merupakan dokumen

valid dikarenakan pada Pancasila yang merupakan postulat akhir yang bersifat final.

Postulat tersebt kemudian menjadi tempat bergantung bagi setiap norma di bawahnya

sehingga membentuk suatu presuposisi yang dinamai oleh Kelsen sebagai trancendental

logical pressuposition. Lihat: Ibid, hlm. 172.

43

segala peraturan hukum hingga pelaksanaannya harus

sesuai dengan segala nilai yang terkandung dalam setiap

sila Pancasila sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Persoalan politik hukum pengelolaan koperasi simpan

pinjam yang ada telah jauh dari azaz koperasi yang juga

lahir dari ramih Pancasila yang menhendaki adanya

ekonomi kerakyatan dan ekonomi Pancasila yang

menjunjung tinggi demokrasi ekonom kerakyatan.

Sehingga antara norma dasar, hukum dasar dengan

politik hukum pengelolaan koperasi simpan pinjam

mengalami disharomisasi. Berkaitan dengan

disharmonisasi tersebut, Lon L. Fuller menyatakan bahwa

untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus

dicermati apakah Fuller memenuhi delapan azas atau

principles of legality berikut ini:42

1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-

perturan artinya ia tidak boleh mengandung sekedar

keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus

diumumkan;

3) Peraturan tidak boleh berlaku surut;

4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang

bisa dimengerti;

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-

peraturan yang bertentangan satu sama lain;

6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung

tuntutan melebihi apa yang dapat dilakukan;

7) Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah;

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang

diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

42

Lon L. Fuller, dikutip oleh Esmi Warassih, Sosiologi Hukum, Sebuah Pranata,

UNDIP, Semarang, 2011, hlm. 5-6.

44

Berdasarkan pendapat Fuller sebagaimana dimaksud

di atas, perihal disorientasi politik hukum koperasi telah

melanggar sebagaimana prinsip hukum pada poin (5) dan

(8). Pada ahirnya politik hukum pengelolaan koperasi

yang adapun belum mampu mewujudkan koperasi yang

secara efektif mampu membangun perekonomian yang

bernafaskan demokrasi ekonomi kerakyatan.

(3) Kelemahan sistem menejerial lembaga koperasi simpan

pinjam

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat jelas bahwa

persoalan koperasi simpan pinjam terkait SDM dan

permodalan. Berikut akan dipetakan berbagai macam

persoalan koperasi simpan pinjam sebagaimana yang telah

dijelaskan di atas:

Masalah Pokok Masalah Akar Masalah

Belum maksimalnya

peran koperasi

simpan pinjam

dalam memajukan

ekonomi dalam

negeri.

Sebagian besar

koperasi simpan

pinjam melanggar

prisnsip dasar, asas,

serta tata aturan

terkait

perkoperasian.

Belum

maksimalnya

pembinaan dan

pengawasan

koperasi simpan

pinjam.

Belum

maksimalnya

penilaian kondisi

kelayakan

koperasi simpan

pinjam secara

langsung dan

nyata.

Rendahnya

kapasitas modal

dari koperasi

45

simpan pinjam.

Bnyaknya KSP yang

tidak memiliki akses

pengembangan

modal.

Terbatasnya

akses informasi

dan pembiayaan

bagi KSP.

Jaringan pemasaran

dan kerjasama KSP

yang minim.

Terbatasnya

kemampuan

dalam menjaring

pemasaran dan

kerjasama

dengan pihak

lain yang

berkompeten.

Produktifitas KSP

yang rendah.

Lemahnya

pengembangan

media informasi

produk dan

sekmen pasar

bagi KSP.

Rendahnya kapasitas

usaha dari KSP

Kurangnya

pemahaman

masyarakat tentang

KSP.

Kurangnya sarana

dan prasana yang

memadai di sektor

pemasaran dan

penjaringan

kerjasama dengan

pihak yang lebih

berkompeten.

Kurangnya kualitas

SDM yang ada.

46

Berdasarkan Persoalan sebagaimana yang disebutkan

dalam tabel di atas, maka persoalan menejerial lembaga

Koperasi Simpan Pinjam dibagi menjadi:

a) Persoalan Modal

Telah dijelaskan di atas bahwa modal koperasi

simpan pinjam diporeleh melalui usaha mandiri yang

bertitik pngkal pada anggota dan juga nasabah yang

menggunakan jasa sismpan pinjam di lambannya.

Sementara anggaran bantuan dari pemerintah dan juga

lembaga keuangan lainnya bersifat pinjaman bukan

pemberian dana bantuan non-pinjaman. Hal ini semakin

bertambah parah dengan adanya kenyataan bahwa bunga

dari usaha simpan pinjam koperasi juga terbilang rendah

sehingga lembaga koperasi memiliki bageting yang kecil,

sementara modal pendirian koperasi simpan pinjam dapat

dikatakan juga tidak kecil jumlahnya. Hal ini lah yang

menjadikan koperasi simpa pinjam sering melakukan

penggelapan dana anggotanya guna membayar piutang

pendirian dan operasional koperasi simpan pinjam yang

tidak dapat tertutup dengan modal pendapatan kecil.

b) Persoalan Sumber Daya Manusia

Sumber daya Manusia yang dimaksudkan berkaitan

dengan SDM anggota dan pengurus. Semakin baik

kualitas dan kuantitas anggota maka koperasi akan

semakin maju, namun apabila kualitas anggota semakin

rendah terutama dalam hal kemampuan ekonomi, maka

koperasi hanya menjadi tempat bergantung guna

memenuhi kebutuhan hidup anggotannya yang pada

akhirnya akan membuat keuangan koperasi tidak sehat,

tidak sehatnya keuangan koperasi akan berdampak kepada

penurunan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya

47

akan mengakibatkan penurunan jumlah anggota koperasi

baru.43

Sementara SDM pengurus haruslah bertumpu pada

profesionalitas dan kompetensi SDM yang ada baik secara

keilmuan dan pengalaman di sektor kekoperasian simpan

pinjam maupun secara karakteristik moral. John Sulivan

dengan teori Well MES mengatakan bahwa syarat untuk

memperoleh SDM pelaksana aturan yang baik harus

bertumpu pada tiga hal yaitu :44

1) Well Motivation

Well Motivation haruslah dilihat motivasi

seseorang untuk mengabdikan diri sebagai penegak

dan pembuat hukum. Sejak awal seorang calon

penegak dan pembuat hukum harus mengetahui dan

bermotivasi bahwa menjadi persoalan penegakan

hukum adalah tantangan sekaligus tugas yang

berat.45

Pada aspek ini para pengurus dan pemilik

KSP hanya bertitik tumpu pada pencarian

keuntungan besar bukan pada penciptaan koperasi

yang berlandaskan kekeluargaan yang mampu

membangun ekonomi kerakyatan secara

kekeluargaan dan berkeadilan Pancasila.

2) Well Education

Well Education, artinya seorang penegak dan

pembuat hukum seharusnya memenuhi standar

pendidikan tertentu. Sehingga selain pendidikan

formal dibutuhkan pula pendidikan lainnya terkait

pengetahuan akan hukum, sebagai contoh seminar

hukum dan short course.46

Pada aspek ini setiap

Pengurus KSP haruslah memiliki bekal pengetahuan

43

Ninik Widiyati, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 71-72. 44

Ali Mansyur, “ Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”, (Semarang :

Universitas Islam Sultan Agung, 2010), hlm. 83-84 45

Loc, Cit 46

Loc, Cit

48

yang cukup terkait pengetahuan kekoperasian dan

sistem pengembangan koprasi sehingga mampu

koperasi yang selama ini diurusi oleh SDM pengurus

yang tidak memahami koperasi secara jelas dan

hanya menjadikan koperasi sebagai lembaga pencari

keuntungan secara kapitalis, mampu digantikan

dengan pengurus yang lebih berkompeten.

3) Well Salary

Well Salary, artinya gaji seorang penegak dan

pembuat hukum harus diperhatikan sehingga dalam

menjalankan tugasnya dengan baik, para penegak

hukum dan pembuat hukum tidak dibebankan

dengan biaya guna pelaksanaan tugasnya. Sehingga

sedapat mungkin menghindarkan penegak dan

pembuat hukum dengan dilema yang ada yaitu

kecilnya gaji dan minimnya dana operasional yang

membuat penegak hukum merugi.47

Pada aspek ini

kesejahteraan pengurus harus dipertimbangakan, hal

ini guna menunjang kualitas SDM dan kualitas

kinerja pengurus koperasi yang mampu mewujudkan

kemajuan koperasi yang lebih peasat.

c) Persoalan Sarana dan Pra-Sarana

Telah dijelaskan di atas bahwa salah satu masalah

dari KSP adalah jaringan pemasaran dan kerja sama serta

informasi produk, oleh sebab itu selain persoalan SDM

pengurus, penyebab hal tersebut juga termasuk minimnya

sarana dan pra-sarana yang memadai.48

Hal ini sebanarnya

merupakan dampak dari persoalan permodalan dan

keuangan KSP yang sulit untuk berkembang.

d) Persoalan Informasi Produk Kepada Masyarakat

47

Loc, Cit 48 Ninik Widiyati, Manajemen Koperasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 71-72.

49

Minimnya sarana dan pra-sarana yanga ada

mengakibatkan akses untuk menginformasikan kepada

publik perihal keungguan dari produk yang dimiliki pun

tidak mampu terwujud. Hal ini mengakibatkan kurang

pahamnya publik masyarakat akan produk dari KSP yang

ada.

e) Persoalan Jaringan Pemasaran

Minimnya anggaran serta sarana dan pra-sarana

termasuk dalam pengenalan produk serta minimnya

kemampuan SDM dalam sistem pengelolaan KSP, jelas

mempersulit koperasi dalam memiliki kepercayaan bagi

publik, hal ini mengakibatkan sulitanya koperasi dalam

mengakses jaringan pemasaran dan jaraingan kerjasama

dengan pihak lain yang lebih berkompeten di sektor

pengembangan lembaga keuangan negara dan permodalan

uasaha.

3. Rekonstruksi Politik Hukum Koperasi Simpan Pinjam

Berbasis Nilai Nilai Keadilan

Berdasarkan berbagai macam penjelasan di atas terlihat

jelas bahwa perlu dilakukan rekonstruksi dalam Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1992 terkait Koperasi dan Peraturan

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 15

Tahun 2015 tentang Simpan Pinjam oleh Koperasi, berikut akan

dijelaskan dengan tabel rekonstruksi yang ada:

No Sebelum Di Rekonstruksi Kelemahan Setelah Di Rekonstruksi

1 Pasal 29 Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1992:

(1) Pengurus dipilih dari dan

oleh anggota Koperasi

dalam Rapat Anggota.

(2) Pengurus merupakan

pemegang kuasa Rapat

Anggota.

(3) Untuk pertama kali,susunan

Sistem pengangkatan

pengurus masih belum

mempertimbangkan

perihal pengetahuan,

keilmuan, dan

pengalaman calon

pengurus terkait tata

koperasi dan prinsi-

prinsip dasar

Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1992:

(1) Pengurus dipilih dari

dan oleh anggota

Koperasi dalam Rapat

Anggota.

(2) Pengurus merupakan

pemegang kuasa Rapat

Anggota.

50

dan nama anggota pengurus

dicantumkan dalam akta

pendirian.

(4) Masa jabatan Pengurus

paling lama 5 (lima) tahun.

(5) Persyaratan untuk dapat

dipilh dan diangkat menjadi

Anggota Pengurus

ditentukan dalam anggaran

dasar.

kekoperasian. (3) Untuk pertama

kali,susunan dan nama

anggota pengurus

dicantumkan dalam

akta pendirian.

(4) Masa jabatan Pengurus

paling lama 5 (lima)

tahun.

(5) Persyaratan untuk

dapat dipilh dan

diangkat menjadi

Anggota Pengurus

ditentukan dalam

anggaran dasar;

(6) Setiap anggota

pengurus harus

memiliki pengetahuna

yang cukup dalam

pengetahuan

kekoperasian;

(7) Setiap pengurus juga

harus memiliki

kemampuan mengelola

koperasi dengan baik.

2 Pasal 41 Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1992 menyatakan

bahwa:

(1) Modal Koperasi terdiri dari

modal sendiri dan modal

pinjaman.

(2) Modal sendri dapat berasal

dari :

a. Simpanan Pokok;

b. Simpanan Wajib ;

c. Dana Cadangan ;

d. Hibah.

(3) Modal Pinjaman dapat

berasal dari :

a. Anggota;

b. Koperasi lainnya

dan/atau anggotanya;

c. Bank dan lembaga

Belum ada bantuan

pemerintah untuk

pengembangan KSP

sehingga modal yang

didapatkan secara

mandiri dan tidak besar.

Pasal 41 Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1992

menyatakan bahwa:

(1) Modal Koperasi terdiri

dari modal sendiri,

modal pinjaman, dan

simpanan penyertaan.

(2) Modal sendri dapat

berasal dari :

a. Simpanan Pokok;

b. Simpanan Wajib ;

c. Dana Cadangan ;

d. Hibah.

(3) Modal Pinjaman dapat

berasal dari :

a. Anggota;

b. Koperasi lainnya

dan/atau

51

keuangan lainnya ;

d. Penerbitan obligasi

dan surat hutang

lainnya;

e. Sumber lain yang sah.

anggotanya;

c. Bank dan

lembaga

keuangan lainnya

;

d. Penerbitan

obligasi dan

surat hutang

lainnya;

e. Sumber lain

yang sah.

(4) Simpanan Penyertaan

adalah simpanan

anggota yang

besarannya

berdasarkan kebutuhan

pengembangan

koperasi, yang

diperoleh dari setiap

anggota koerasi yang

terdaftar.

52

SUMMARY

A. Introduction

The tendency of Savings and Credit Cooperatives to carry out

business activities that violates the principles of Cooperatives and

violates the Law on Cooperatives is one of the obstacles why Savings

and Loans Cooperatives find it difficult to grow and develop

qualitatively. Obstacles in the development of Savings and Credit

Cooperatives, including; Inadequate legislative policies regarding

Savings and Loans Cooperatives, There is no firmness to give strict

sanctions to Savings and Loans Cooperatives that violate laws and

regulations, and Lack of ability to master the regulations regarding the

management of savings and loans from the guiding apparatus who are

also supervisors of the Savings and Loan Cooperatives , as well as the

poor management of Credit Unions.

There are several results of research that support the

hypothesis, among others, research in sub-Saharan Africa, that poor

management of cooperatives is caused by internal factors and external

factors. Internal factors include; low member participation, structural

problems, control and mismanagement, while external factors are

extreme government intervention, economic and political

environment, too many expectations that cannot be realized on the

role of cooperatives, how the role of government promoting "top

down" cooperatives is proven to have been failed to prevent members

from actively participating.

This can be seen in legal cases concerning the management of

Savings and Loan Cooperatives which lately often occur, and these

cases include: the first case experienced by the Karang Asem

Cooperative. In 2009, the Karang Asem Cooperative Developed in

Karang Asem Regency, Bali Province. has raised members and

prospective members' funds in the amount of Rp. 700 billion, but

funds in the amount of Rp. 400 billion cannot be accounted for.

Finally, by the Karang Asem Regency Cooperative Service, the

Cooperative was closed and the Cooperative manager was charged

with embezzlement and Law Number. 10 of 1998 concerning banking.

Then the second happened to the Sembilan Sejati Cooperative

in Semarang City. This legal case occurred in 2010, in which the Nine

Sejati Cooperative raised Rp 200 billion in members and prospective

members. However, with the Rp 200 billion fund, the manager cannot

be held accountable and the Central Java Province Cooperative Office

53

of UMKM finally closed this cooperative. The managers of the Nine-

True Cooperative are charged with embezzlement and Law Number.

10 of 1998 concerning banking.

Furthermore, the third legal case that is befalling the Inti Dana

Savings and Loan Cooperative, it is suspected that this Cooperative

has received member and prospective member funds of Rp 900

billion. When members take or withdraw deposits, the Inti Dana

Cooperative cannot provide the liquidity of the members and

prospective members' savings funds. Some members have filed a

lawsuit, but do not rule out the possibility that if the civil case is not

yet finished, the legal case will turn into a criminal matter. In the latter

case, according to several sources, the Inti Dana Cooperative is a

healthy Cooperative, professionally managed and has received several

awards from the Ministry of Cooperatives and MSMEs of the

Republic of Indonesia.

The Chairperson of the Indonesian Cooperative Council

(Dekopin) in Central Java, Warsono, said that the Core Savings and

Loan Cooperatives were known to be quite good Savings and Loans,

in management already using information technology and there were

no problems or complaints from members, however the Core Savings

and Loan Cooperatives Dana is still tripping over legal issues. Then to

respond to the development patterns of the management of Savings

and Loan Cooperatives, both those that occur due to legal

developments due to a paradigm shift, and the development of a

rapidly moving world economy, in addition to management practices

deemed to deviate from the principles of Cooperatives and

Cooperative Law, the Government together The House of

Representatives held a Cooperative legal renewal, namely by passing

Law Number. 17 of 2012 concerning Cooperatives.

The purpose and purpose of the replacement of Law Number

25 of 1992 with Law Number. 17 of 2012 is to strengthen and

strengthen cooperatives in order to align with other business actors,

and more than that to deal with economic development and

globalization. The development and empowerment of cooperatives in

cooperative policies must reflect the values and principles of

cooperatives as a vehicle for joint efforts to meet the aspirations and

economic needs of members, so that cooperatives can grow strong,

healthy, independent and resilient in the face of increasingly dynamic

and challenging national and global economic developments .

Presence of the new Cooperative Law, namely Law Number.

17 of 2012, actually caused debate in the community. Some activists

and the Cooperative movement even filed a lawsuit (Judicial Review)

54

in the Constitutional Court on Law Number. 17 of 2012. Plaintiffs

argue that Law Number. 17 of 2012 contrary to the content of Article

33 of the 1945 Constitution. Constitutional Court with the decision

Number. 28 / PUU-XI / 2013, cancel Law Number. 17 of 2012. The

contents of the decision of the Constitutional Court Number. 28 /

PUU-XI / 2013 is that Law Number 17 of 2012 is declared contrary to

the 1945 Constitution, particularly Article 33 paragraph (1) and

paragraph (4). The discrepancy between Law Number 17 of 2012 and

the populist economic system adopted in Indonesia is that there is a

great deal of authority for investors with large capital, while each

member does not have the discretion because the investment system is

closed in nature. interfering with members is also not in accordance

with the breath of the cooperative.

Then the birth of Law No. 21 of 2011 concerning the Financial

Services Authority, the reason for the replacement of Law Number 17

of 2012 is getting stronger, this is due to a concern that the position

and sustainability of the Savings and Loan Cooperative will be

increasingly weak, even though the Cooperative is expected to be a

pillar national economy teacher. This makes the reason for the

Constitutional Court to cancel Law Number 17 of 2012 and to fill the

legal vacuum while enacting Law Number 25 of 1992.

After Law Number 17 of 2012 mandating the establishment of a

Savings and Loan Cooperative Supervisory Agency was canceled by

the Constitutional Court, it did not rule out the Savings and Loan

Cooperative would be overseen by the Financial Services Authority,

even though it was explicitly stated that Cooperatives were supervised

by the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises,

because according to Article 6 letter c of Law Number 21 Year 2011

(OJK Law), that one of the tasks of the Financial Services Authority is

to oversee other financial services. Admittedly, there are several

Savings and Loans Cooperatives that are quite ready to be supervised

by the Financial Services Authority, but most Savings and Loans

Cooperatives are not quite ready to be overseen by the Financial

Services Authority, because banking supervision standards differ from

Cooperatives engaged in the savings and loan business and the

Financial Services Authority has the standard of supervision of

financial institutions is quite high.

Based on the various explanations available, it is necessary to

make an effort so that the Savings and Loan Cooperative as an

intermediary can be equal in line with other financial institutions and

together with other financial institutions to build the national

economy. With regard to ius contituendum, Savings and Loans

55

Cooperatives need to be regulated in a Cooperative Act, and therefore

the author conducts research on "RECONSTRUCTION

MANAGEMENT OF LOAN-BASED LOAN COOPERATIVE

VALUE - VALUE VALUE".

B. Formulation

Based on the description above, the formulation of the problems

that can be raised are:

1. How is the current savings and loan cooperative management?

2. What are the weaknesses in the current management of savings

and loan cooperatives?

3. How is the reconstruction of the management of savings and

loan cooperatives based on justice values

C. Research Objectives

Based on the formulation of the problem, the objectives to be

achieved in this research and writing of this dissertation can be drawn,

while the objectives are:

1. To analyze the current implementation of the management of

savings and loan cooperatives.

2. To analyze weaknesses in the current implementation of the

management of savings and loan cooperatives.

3. To reconstruct the law on the management of savings and loan

cooperatives based on the values of justice.

D. Research Benefits

The results of this study are expected to be able to provide

positive contributions and benefits for the study of Cooperative legal

knowledge, especially the management of savings and loan

cooperatives. The benefits of the research include;

1. Theoretical Benefits

The results of this study are theoretically expected to be

able to build new theories about Cooperative law, specifically

the management of Savings and Credit Cooperatives based on

justice values.

2. Practical Benefits

a. As a legal study material on the management of Savings

and Loans Cooperatives and can be practically used by

stakeholders, especially activists and practitioners of

Savings and Loans Cooperatives.

b. To complete the legal study of the management of savings

and loan cooperatives in carrying out savings and loan

business activities.

c. For the government it is useful to utilize the Savings and

Loan Cooperative in national economic development.

56

d. For law enforcers, as input in the framework of

Cooperative law enforcement, particularly in Saving and

Credit Cooperatives.

E. Theoretical Framework

1. Grand Theory

a. Justice Theory

John Rawls gives the meaning of justice is the

main virtue of the presence of social institutions. But

virtue for the whole community cannot rule out or

challenge the sense of justice of everyone who has gained

a sense of justice. Especially the weak people seeking

justice. Furthermore, John Rawls basically looked at

community justice more on aspects of the distribution of

justice in society. Justice is translated as fairness where the

principle is developed from the utilitarian principle. The

theory is adopted from the principle of maxim, which is

the process of maximizing a minimum in a society carried

out by every individual who is in the initial position where

there is no bargaining on the role and status of a

community member. This principle seeks to answer as far

as possible about maximizing a minimum that is closely

related to the benefits of the lower classes of society that

are weak.

Based on John Rawls's Theory of Justice, there are

two main objectives to be conveyed, namely: First, this

theory wants to articulate a series of general principles of

justice that underlie and explain the specific conditions of

a person specifically to get justice seen from the social

actions carried out by someone. Second, the concept of

distributive justice is basically developed from the concept

of utilitarianism by providing more appropriate restrictions

on individuals. That justice is seen as a more appropriate

and ethical way to provide benefits to individuals in

accordance with ethical moral decisions.

The pattern of giving the concept of justice

according to Rawls must be initiated based on one's

original position not because of his status and position in

the social space. The way to obtain the original nature, one

must reach its original position called the veil of ignorance

(veil of ignorance). The condition of veil of ignorance

intends to position a person in the same condition as one

another as members of the community in a condition of

57

ignorance. So with this situation, other people do not

know the benefits of giving something to someone who

has reached the point of "veil of ignorance".

Furthermore, in the condition of the "veil of ignorance"

the community is tasked with sharing the main things that

each individual wants to have (primary good). Primary

good is a basic human need as a right that must be

fulfilled. Thus the way for people to share rights is to

apply the principle of justice consisting of: a) freedom to

play a role in political life; b) freedom of speech; c)

freedom of belief; d) freedom to be himself; e) freedom

from arbitrary arrest and detention; f) Right to retain

private property.

In conclusion, justice John Rawls seeks to place the rights

of each individual as they should by releasing the

attributes of position held in the social structure. So that

the distribution of rights is done equally.

b. The Sibernetic Talcot Parson Theory

Parsons was a sociologist who coined the theory of

cybernetics which later became known as the Theory of

Structural Functionalism. In this theory, Parsons states that

in the standpoint of sociology the community is seen to

live in a series of one unified system consisting of parts

that are interconnected with one another. Parson's view

was developed from the organizational system

development model contained in biology where the theory

is based on the assumption that all elements must function

so that society can carry out its functions properly.

As a system, the theory places law as one of the sub-

systems in the larger social system. In addition to the law,

there are other sub-systems that have different logic and

functions. The sub-systems in question are cultural,

political, and economic. Culture discusses the values that

are considered noble and noble, and therefore must be

maintained. This sub-system functions to maintain ideal

patterns in society. The law refers to rules as rules of the

game. The main function of this sub-system is to

coordinate and control all deviations to conform to the

rules of the game. Politics has to do with power and

authority. His job is the utilization of power and authority

to achieve goals. Whereas economics refers to the material

resources needed to support the system. The task of the

58

economic sub-system is to carry out the adaptation

function in the form of the ability to master the facilities

and facilities for system needs. The four sub-systems,

apart from being reality inherent in society, also

simultaneously constitute challenges that must be faced by

each unit of social life. Life and death a society

As a system, the theory places law as one of the sub-

systems in the larger social system. In addition to the law,

there are other sub-systems that have different logic and

functions. The sub-systems in question are cultural,

political, and economic. Culture discusses the values that

are considered noble and noble, and therefore must be

maintained. This sub-system functions to maintain ideal

patterns in society. The law refers to rules as rules of the

game. The main function of this sub-system is to

coordinate and control all deviations to conform to the

rules of the game. Politics has to do with power and

authority. His job is the utilization of power and authority

to achieve goals. Whereas economics refers to the material

resources needed to support the system. The task of the

economic sub-system is to carry out the adaptation

function in the form of the ability to master the facilities

and facilities for system needs. The four sub-systems,

apart from being reality inherent in society, also

simultaneously constitute challenges that must be faced by

each unit of social life. Life or death of a society is

determined by the functioning of each sub-system

according to their respective tasks. To guarantee that, the

law was assigned to arrange the harmony and synergy of

the other three sub-systems. This is called the integration

function of law in Parsons Theory.

2. Middle Tehory (Theory of Law in the Chambliss and

Seidman Communities).

This theory states that whatever actions will be taken by

the stakeholders, implementing agencies and legislators are

always within the scope of the complexity of social, cultural,

economic and political forces and so forth. All social forces

always work in every effort to function the applicable

regulations, implement sanctions, and in all the activities of the

implementing institutions. Finally, the role carried out by legal

institutions and institutions is the result of the work of various

factors.

59

3. Applied Theory

The figure of the theory of legal development is Mochtar

Kusumaatmadja, whose legal concept was influenced by Myres

MC Dougal and F.S.C Northop, both of whom argued that in the

approach the political orientation and political philosophy and

sociology were based. Law according to Mochtar

Kusumaatmadja is not only the whole principles and rules

governing human life in society, but includes institutions

(institutions) and processes that realize the enforcement of these

rules in reality. Thus seeing the law is not only a normative

phenomenon, but as part of a social phenomenon that grows and

develops in the processes and institutions that apply in society.

There are several crucial arguments which cause the

development law theory to attract attention. When elaborated,

these aspects globally are as follows:

(a) The legal theory of development to date is the theory of law

that exists in Indonesia because it was created by

Indonesians by looking at the dimensions and culture of

Indonesian society. Therefore, by measuring the dimensions

of the legal theory of development it is born, grows and

develops in accordance with the conditions of Indonesia, its

application is in accordance with the conditions and situation

of a pluralistic Indonesian society.

(b) Dimensionally, the development law theory uses the terms

of reference on the way of life of the community and the

Indonesian people based on the Pancasila principle that is

familial, so the norms, principles, institutions and rules

contained in the legal theory of development are relatively

already constituted dimensions which include structure,

culture, and subtance as stated by Lawrence W. Friedman.

(c) Basically, legal theory of development provides the basis for

the function of law as a means of community renewal and

law as a system is indispensable for the Indonesian nation as

a developing country.

F. Research Methods

1. Paradigm

The paradigm is a philosophical system 'umbrella' which

includes a specific ontology, epistemology and methodology.

Each consists of a series of "basic beliefs" or world views that

cannot be easily exchanged (with "basic beliefs" or world views

from ontology, epistemology, and other paradigm

60

methodologies). More than a collection of theories, the

paradigm thus includes various components of scientific practice

in a number of specialized fields of study.

Paradigms include assigning benchmarks, defining the

required accuracy standards, determining which methodology

will be chosen to be applied, or how the results of the research

will be interpreted.

Therefore, in the constructivism paradigm, the reality

observed by researchers cannot be generalized. This is because

every phenomenon that occurs is the result of construction

(perception) of each individual or community, where the

construction appears as a "resultant" of social experience,

religion, culture, other value systems, and is local. Research

must be able to uncover social experiences, aspirations, or

anything that is invisible but determines the attitudes, behaviors,

and actions of the research object. Thus there is subjectivity

from researchers, especially to interpret things that are invisible.

Therefore we need subjective interaction between the two.

Here then, constructivism uses hermeneutic and dialectical

methods in the process of achieving truth. Hermeneutics is done

through identifying truth or constructing individual opinions.

Dialectics is done by comparing the opinions of several

individuals to obtain consensus.

Based on the description above, if analyzed according to

E. G. Guba and Y.S Lincoln, the paradigm of constructivism is

ontologically interpreted as relativism, namely, understanding

reality which is constructed based on individual social

experience locally and specifically. Epistemologically, the

paradigm is a form of subjectivity towards findings created by

researchers and related investigative objects interactively so that

the findings are created or constructed together with a

methodology.

Methodologically, the paradigm uses the hermeneutic or

dialectical method which means that construction is traced

through the interaction between the researcher and the object of

investigation with the hermeneutic technique. In this study using

the Constructivism paradigm because in addition to using library

data and legislation this study also uses data in the form of

interviews hermeneutically.

61

2. Type of Research

The type of legal research used is non-doctrinal. In this

non-doctrinal legal research law is conceptualized as a

manifestation of the symbolic meanings of social actors as seen

in their interactions. That the realities of life that do not actually

exist in the empirical realm which are also observable, do not

appear in the form of behavior that is patterned and objectively

structured (especially normative) and can therefore be measured

to produce quantitative data. The reality of life actually only

exists in the realm of meaning which appears in the form of

symbols that can only be understood after interpretation. Such

reality cannot be easily "captured" through outside observation

and measurement. These realities are only possible to be

"captured" through internal experiences and visions which

produce a complete picture of understanding.

Because reality (law) is a part of the nature of meaning /

symbolic that can only be understood through the internal

experience of the subject matter, then what will be caught and

identified as a problem is none other than what is found by the

subject matter through their participation, experience and

appreciation in life traveled. Thus, the problems that non-

participant observers (not actors) will see, no matter how high

their expertise and no matter how much authority they have in

controlling the system, the results they get through observation

will not (always) be the same as what is perceived and are

identified by the subjects of the actors participating in local

actions and interactions.

3. Types of Research Approaches

The method of approach used in this qualitative legal

research method is a sociological juridical approach, which is an

approach by seeking information through direct interviews with

informants empirically first and then continuing by conducting

secondary data research contained in library studies through

theoretical steps.

a. Data Types

1) Primary data

Is a statement or information obtained directly

through research in the field. Primary data is done

by conducting in-depth interviews which is a way to

obtain information by asking directly to the

informant. This interview was conducted to obtain

information or information relating to the problem

62

under study. In terms of formulating cooperative

management policies in relation to the role of

cooperatives in the current era of economic

development, at least there are a number of

government agencies that will be used as informants

including: Bureaucrats Related to Cooperatives,

Cooperative Institutions, Cooperative Members and

Members of Academics, and Non-Governmental

Organizations that are concerned in the matter of

cooperatives.

2) Secondary Data

Is information or information obtained from

the literature relating to the object of the research Is

information or information obtained from the

literature relating to the object of research such as

books, legislation and documents from the relevant

agencies. Literature / secondary data study consists

of:

(a) Primary Legal Materials

Juridical foundation relating to

Cooperative management issues in the

legislation that is divided into several levels.

The legal materials in question are:

(1) The 1945 Constitution of the Republic of

Indonesia;

(2) Civil Code;

(3) Code of Commercial Law;

(4) Law Number. 25 of 1992 concerning

Cooperatives;

(5) Law Number. 14 of 1965 concerning

Principles of Cooperatives

(6) Law Number. 12 of 1967 concerning

Principles of Cooperatives;

(7) Law Number. 21 of 2011, concerning

the Financial Services Authority.

(b) Secondary Legal Material

(1) Literature, books and literature;

(2) Scientific Work;

(3) Relevant References.

(c) Tertiary Legal Materials

(1) Legal dictionary; and

(2) Encyclopedia.

63

(3) Data Collection Techniques

4. Data collection techniques used are as follows:

a. Literature review

The first data collection technique in this research

will be a literature study by conducting a normative legal

study in the process of analyzing policy formulation

related to injustice issues related to the position and

existence of cooperatives as state financial institutions.

b. Observation

After conducting a literature study in this study then

observing in the field to get some information related to

injustice issues related to the position and existence of

cooperatives as state financial institutions, information

that will be obtained from observations include: space

(place), actors, activities, objects, actions , events or

events, time, and perception.

c. Deep interview

After conducting a literature study and direct

observation in the field then the researcher will conduct an

in-depth interview where in the interview process there

will be a process of dialogue interaction between the

researcher and the informants. Interviews are the main

instrument to obtain field data based on the results of

interviews from key informants (key informants). The

main informants were determined based on samples or

purposive sampling in accordance with the needs of this

study.

6. Data Analysis Method

The data obtained in this study were subsequently selected

and compiled systematically for further analysis and

presentation using qualitative analysis methods. The logic of

thinking used in this study is the logic of deductive thinking,

where this research departs from things (rules / norms / theories

/ legal rules) that are general to things that are specific

(particular). The basic principle is:

everything that is considered true for all events in one

class / type, also applies as true for all events that occur in

a specific case, as long as this particular thing is really a

part / element of that general thing.

64

This research was written using deductive logic that

always puts the rule of law in various laws and regulations, legal

principles, as well as legal teachings and doctrines as a major

(general) premise, and legal facts or legal events as minor

(special) premises.

The process of data analysis in this study was carried out

qualitatively by carrying out the following procedures, namely:

a) Making notes from the results of data collection, coding, so

that the source of the data can still be traced. b) Collecting,

dividing in detail, classifying data according to research

problems, interpreting, searching for meaning, and finding

patterns and relationships between each data category so that

new models can be found for research purposes. Furthermore,

after data management, the next thing to do is validate the data.

The data validation is used to establish the validity of the data.

The necessary step is to carry out an inspection technique based

on the degree of credibility, transferability, dependability and

confirmability.

The validity of the data in this study rests on the degree of

trust through the examination technique of the validity of the

perseverance of observation and triangulation. Through

examination techniques the persistence of observations will

obtain the characteristics and elements relevant to the subject

matter of the research and then detailed and observed in depth.

After being analyzed, evaluated and checked for validity

through examination and discussion, the data obtained will be

presented in a particular style.

G. Discussion of Research Results

1. Implementation of Legal Politics Regarding the Role of Saving

and Credit Cooperatives in Current Economic Growth Basically,

the implementation of savings and loan cooperatives is based on

several applicable legal rules. Article 29 of Law Number 25 of

1992 states that:

(1) Management is elected from and by members of the

Cooperative in the Member Meeting.

(2) The Management is the authorization of the Member

Meeting.

(3) For the first time, the composition and name of the

members of the board are stated in the deed of

establishment.

(4) The term of office of the Management is 5 (five) years at

the most.

65

(5) The requirements to be elected and appointed as a

Member of the Board are determined in the articles of

association.

Then in Law Number 25 of 1992 on the supervision aspects of

Savings and Loans Cooperatives are not equipped with strict

sanctions and supervision that also looks at the management and

members of the cooperative, this also occurs in the Regulation

of the Minister of Cooperatives and Small and Medium

Enterprises Unit Number 17 of 2015 concerning Cooperative

Supervision where the existing supervision is only focused on

supervising the performance of the cooperative system

institutionally rather than supervising the Human Resources of

Cooperative members and management, this can be seen in

Article 8 of the Regulation of the Minister of Cooperatives and

Small and Medium Enterprises Unit Number 17 of 2015

concerning Supervision Cooperative which states that:

(1) Active supervision as referred to in Article 7 letter a is

carried out by direct inspection of the Cooperative that has

the potential to have problems;

(2) Passive supervision as referred to in Article 7 letter a is

carried out by analyzing reports on cooperatives that have

gone well;

(3) Routine supervision as referred to in Article 7 letter b is

carried out according to the planned schedule;

(4) Occasional oversight as referred to in Article 7 letter b is

carried out in accordance with needs;

(5) Preventive supervision as referred to in Article 7 letter c is

carried out with the aim of guidance and prevention;

(6) Repressive supervision as referred to in Article 7 letter c is

carried out with the aim of preventing the spread of the

problem.

In addition, the Regulation of the Minister of Cooperatives and

Small and Medium Business Units Number 17 of 2015

concerning Cooperative Supervision is not regulated regarding

strict legal sanctions in the event of gross violations by members

and or management that can harm savings and loan cooperative

customers, bearing in mind that savings and loan operations also

often offer credit funds to parties other than members with the

aim of getting a large interest in order to find a large profit as

well. This also results in the development of equitable

cooperatives for their members which can also be hampered.

66

In addition, in the appointment of membership and management

is also not regulated regarding the requirements of knowledge

and understanding related to cooperative insight, so that not

infrequently every member and management of savings and loan

cooperatives also do not understand the intrinsic purpose of

savings and loan cooperatives namely in the form of building an

economic system based on mutual cooperation and prioritizing

social justice is not a search for capital and capitalist income.

Various kinds of problems can also be observed in the Minister

of Cooperatives and Small and Medium Enterprises Regulation

No. 15 of 2015 concerning Savings and Loans Enterprises by

Cooperatives. In the Regulation of the Minister of Cooperatives

and Small and Medium Enterprises No. 15 of 2015 concerning

Savings and Loans Enterprises by Cooperatives, the

appointment of management is not based on clear knowledge,

expertise and experience in the field of savings and loan

cooperatives, so that KSP management affairs are only seen as

administrative matters. This situation triggers various kinds of

violations under the guise of Savings and Credit Cooperatives

and the increasing number of cooperatives that are closed due to

managerial which is not of good quality. In Demak Regency

there are 132 Savings and Loan Cooperatives that will close out

of a total of 795, the reasons underlying the closure of 132

cooperatives are the lack of capital and activation of members.

This situation also happened in Yokyakarta, the number of

cooperatives in 2018 reached 2738, it had to drop in 2019 to

2380. These various problems had clearly resulted in the

ineffective role of savings and loan cooperatives in the efforts to

increase economic growth of the middle to lower society both at

the national and regional levels. . This clearly contradicts the

mandate of the Five Principles of the Five Principles of

Pancasila and also the Fourth Paragraph of the Opening of the

1945 Constitution of the Republic of Indonesia. So clearly this

cooperative problem also violates the mandate of Article 33

paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of

Indonesia 1945 which ultimately violates the mandate of the

principle of cooperatives as regulated in Article 2 of Law

Number 25 of 1992 and also violates the purpose of the co-

ordination as stipulated in Article 3 of Law Number 25 of 1992.

In connection with this issue clearly disharmonies have

occurred.

67

2. Weaknesses in the Implementation of the Political Law of

Cooperative Management. Based on various issues in the

discussion of chapter III of this dissertation and based on

theories related to the operation of the legal system, the authors

divide the legal political weaknesses related to the

implementation of the Sismpan loan cooperative system into:

(1) Weaknesses in the aspects of legal regulations

It has been mentioned above that in its development the

implementation of savings and loan cooperatives is

regulated generally in Law Number 25 of 1992 concerning

Cooperatives and specifically in the Minister of

Cooperatives and Small and Medium Enterprises

Regulation Number 15 of 2015 concerning Savings and

Loans Enterprises by Cooperatives. The weaknesses of the

aspects of the legislation by the author are divided back

into:

a) Weaknesses of Law Number 25 of 1992 Concerning

Cooperatives

(1) Weaknesses in the system for appointing

management of savings and loan cooperatives.

Article 29 of Law Number 25 of 1992 states

that:

(a) Management is elected from and by

members of the Cooperative in the

Member Meeting.

(b) The Management is the authorization of

the Member Meeting.

(c) For the first time, the composition and

name of the members of the board are

stated in the deed of establishment.

(d) The term of office of the Management is

5 (five) years at the most.

(e) The requirements to be elected and

appointed as a Member of the Board are

determined in the articles of association.

Based on the above provisions, it can be seen that the

system for appointing the management of cooperatives is

not based on knowledge and experience of management

and the basis of cooperatives, this results in cooperative

managers only making cooperatives as savings and loan

institutions without being able to carry out the basic

68

principles of cooperatives, which results in cooperatives

no longer being actual cooperatives.

(2) Weaknesses in managing savings and loan cooperative

loan budgets

Regarding capital, savings and loan cooperatives are

regulated in Article 41 of Act Number 25 of 1992 which

states that:

a) Cooperative capital consists of own capital and loan

capital.

b) Own capital can come from:

1) Basic Savings;

2) Mandatory Deposits;

3) Reserved fund ;

4) Grant.

c) Loan capital may originate from:

1) Member;

2) Other cooperatives and / or their members;

3) Banks and other financial institutions;

4) Issuance of bonds and other debt securities;

5) Other legal sources.

3. Based on the above statement, it is clear that the capital of a

savings and loan cooperative is obtained through an independent

business starting from the members and also the customers who

use the services of Sismpan Lending in their institutions. While

the aid budget from the government and other financial

institutions is in the form of loans, not non-loan grants. This

matter is getting worse with the fact that the interest from the

cooperative savings and loan business is also relatively low so

that the cooperative institutions have a small bageting, while the

capital of the establishment of savings and loan cooperatives can

be said also not small in number. This is what makes savings

and loan cooperatives often embezzle members' funds in order

to pay credit for the establishment and operation of savings and

loan cooperatives that cannot be covered with small income

capital. Weaknesses of the Regulation of the Minister of

Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number 15 of

2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives The

weaknesses in the Regulation of the Minister of Cooperatives

and Small and Medium Enterprises Number 15 of 2015

concerning Savings and Loans by Cooperatives are also divided

into:

69

(1) Weaknesses in regulations related to cooperative

management

Regulations relating to the appointment of cooperative

management in the Regulation of the Minister of

Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number

15 of 2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives

are not clearly regulated as Law Number 25 of 1992

Concerning Cooperatives. This also increasingly results in

the management system of savings and loan cooperatives

in particular lacking clarity and concern. This will result in

the number of HR managers who are not competent in

managing savings and loan cooperatives, which in turn

will result in savings and loan cooperatives out of the

basic principles of savings and loan cooperatives as

stipulated in Law Number 25 of 1992 concerning

Cooperatives.

(2) The issue of capital for savings and loan cooperatives

Regulations concerning cooperative capital in the

Regulation of the Minister of Cooperatives and Small and

Medium Enterprises Number 15 of 2015 concerning

Savings and Loans by Cooperatives are regulated in

Article 17. Article 17 of the Regulation of the Minister of

Cooperatives and Small and Medium Enterprises Number

15 of 2015 concerning Savings and Loans by Cooperatives

states that:

1) Initial venture capital at each establishment of

Primary KSP and Secondary KSP which is collected

from the principal savings and mandatory savings of

its members and can be supplemented with grants.

2) Initial KSP Primary venture capital as referred to in

paragraph (1) in the form of deposits at a

Government Bank with the following details:

a. Primary KSP capital with membership in the

Regency / City area is set at Rp. 15,000,000;

b. Primary KSP capital with cross-regional /

regency membership areas in 1 (one)

Provincial area is set at Rp. 75,000,000.00

(seventy-five million rupiah);

c. Primary KSP capital with cross-regional

membership area of the Province is set at

Rp375,000,000.00 (three hundred seventy-five

million rupiah).

70

3) Initial KSP Secondary business capital as referred to

in paragraph (1) in the form of deposits at a

Government Bank with the following details:

a. Secondary KSP capital with membership in

the Regency / City area is set at

Rp.50,000,000.00 (fifty million rupiah).

b. Secondary KSP capital with cross-regency /

city membership areas in 1 (one) Provincial

area is set at Rp150,000,000.00 (one hundred

and fifty million rupiah).

c. Secondary KSP capital with cross-regional

membership area of the Province is set at

Rp.500,000,000.00 (five hundred million

rupiah).

Based on the provisions as explained above, it can also be

seen that the business capital of savings and loan cooperatives is

obtained through independent business activities without assistance

from the central government in the regions. It is also clear that the

conditions of savings and loan cooperatives will also experience

difficulties in terms of capital and large inkam income. so that in the

end it can lead to distrust by its members.

Such a situation would clearly violate the Five Principles of

Pancasila, Keempta Opening of the 1945 Constitution of the

Republic of Indonesia, Article 33 paragraph (1) of the 1945

Constitution of the Republic of Indonesia which states that "the

economy is built on joint efforts and based on family principles".

This clearly also violates the principles of cooperatives that are

family ties or mutual cooperation. This is because legal politics in

Indonesia has been affected by economic globalization, which

increasingly prioritizes capitalist interests over the economic needs

of society.

Hans Nawiasky developed the theory from Kelsen with a new

concept he named the die theorie vom stufenordnung der

rechtsnormen. In his theory, Nawiasky states that the hierarchy of

legal norms is divided into:

1) Fundamental norms of the state or fundamental status;

2) Basic rules of the state or staatsgrundgesetz;

3) Formal law or formell gesetz;

4) Implementing regulations and autonomous regulations or

verordnung en autonome satzung.

71

Regarding the position of Pancasila as Philosofische

Grondslag and at the same time as the source of all sources of law,

A. Hamid S. Attamimi by using die theorie vom stufenordnung der

rechtsnormen owned by Nawiasky stated that the legal hierarchy

structure in Indonesia consists of:

1) Pancasila and the Opening of the 1945 Constitution of the

Unitary State of the Republic of Indonesia as a fundamental

staatsfundamental;

2) The body of the 1945 Constitution of the Unitary State of the

Republic of Indonesia, the MPR Decree and the Constitutional

Convention are staatsgrundgesetz;

3) Statutory Regulations are formulas gesetz;

4) In the hierarchy starting from Government Regulations to

Provincial Regulations as well as Regency / City Regulations

are verordnung en autonome satzung.

The position of the Pancasila as Philosofische Grondslag or

by Nawiasky is called the Staatsfundamentalnorm as well as

rechtsidee or legal ideals, resulting in the consequence that the

making of all legal regulations so that their implementation must be

in accordance with all values contained in each of the Pancasila

precepts as explained above. The political issue of legal management

of existing savings and loan cooperatives has been far from the

principle of cooperatives which were also born from the Pancasila

mixture which requires a populist economy and a Pancasila economy

that upholds democratic economist democracy.

So that between the basic norms, basic law and the legal

politics of savings and loan cooperative management experiences

disharomization. In connection with the disharmony, Lon L. Fuller

stated that to recognize the law as a system, it must be examined

whether Fuller meets the following eight principles or principles of

legality:

1) The legal system must contain rules which means that it cannot

contain only ad hoc decisions;

2) The regulations that have been made must be announced;

3) Regulations may not apply retroactively;

4) Rules are arranged in an understandable formulation;

5) A system must not contain rules that conflict with one another;

6) Regulations must not contain demands beyond what can be

done;

7) Rules cannot be changed frequently;

8) There must be a match between the regulations promulgated and

their daily implementation.

72

Based on Fuller's opinion as mentioned above, regarding the

disorientation of political law, cooperatives have violated the legal

principles in points (5) and (8). In the end, the legal politics of

managing a cooperative is not yet able to realize a cooperative that is

effectively able to build a breathing economy

Main problem Problem Root of the problem

The role of savings

and credit

cooperatives is not

yet maximized in

advancing the

domestic economy.

Most savings and

loan cooperatives

violate the basic

principles, principles

and regulations

related to

cooperatives.

Most savings and

loan cooperatives

violate the basic

principles, principles

and regulations

related to

cooperatives.

Not yet maximally

assessing the

feasibility of the

conditions of savings

and loan

cooperatives directly

and real.

Low capital capacity

of savings and loan

cooperatives.

KSP marketing

network and

cooperation are

minimal

Many KSPs do not

have access to capital

development.

Limited access to

information and

financing for KSP.

Limited ability to

capture marketing

and cooperation with

other competent

parties.

KSP marketing

network and

cooperation are

minimal.

Limited ability to

capture marketing

and cooperation with

other competent

parties.

Low KSP

productivity.

Weak development

of product

information media

and market segments

for KSP.

The low business

capacity of KSP

Lack of community

understanding of

KSP.

73

Lack of adequate

facilities and

infrastructure in the

marketing sector and

networking with

more competent

parties.

Lack of quality of

existing human

resources.

Based on the Problems as mentioned in the table above, the

managerial problems of the Savings and Loan Cooperative are

divided into:

a) Capital Issues

It has been explained above that the capital of a savings and loan

cooperative is borrowed through an independent business with a

dwelling point on members and also customers who use the services

of Sismpan lending at a slow pace. While the aid budget from the

government and other financial institutions is in the form of loans, not

non-loan grants. This matter is getting worse with the fact that the

interest from the cooperative savings and loan business is also

relatively low so that the cooperative institutions have a small

bageting, while the capital of the establishment of savings and loan

cooperatives can be said also not small in number. This is what makes

savings and loan cooperatives often embezzle members' funds in order

to pay credit for the establishment and operation of savings and loan

cooperatives that cannot be covered with small income capital.

b) Human Resources Issues

Human resources that are intended relating to HR members and

management. The better the quality and quantity of members, the

cooperative will be more advanced, but if the quality of members is

lower, especially in terms of economic capacity, the cooperative will

only become a dependent place to meet the needs of its members' lives

which will ultimately make the cooperative finance unhealthy,

unhealthy cooperative finance will impact on the decline in public

trust which will ultimately result in a decrease in the number of new

cooperative members. While the management of human resources

must rely on the professionalism and competence of existing human

resources both scientifically and experience in the savings and loan

cooperatives sector as well as moral characteristics. John Sulivan with

the theory of Well MES said that the requirements for obtaining good

implementing regulations HR must rest on three things, namely:

74

1) Well Motivation

Well Motivation must be seen as a person's motivation to

devote themselves as law enforcement and lawmakers. From the

start, a candidate for law enforcement and lawmakers must know

and be motivated that being a matter of law enforcement is a

challenge as well as a difficult task. In this aspect, the

management and KSP owners only focus on the search for large

profits, not on the creation of a family-based cooperative that is

able to build a populist economy that is family-based and is based

on Pancasila.

2) Well Education

Well Education, means that an enforcer and law maker

should meet certain education standards. So in addition to formal

education other education is also needed related to knowledge of

law, for example legal seminars and short courses. In this aspect,

each KSP management must possess sufficient knowledge related

to cooperative knowledge and cooperative development systems

so that cooperatives are able to be managed by HR management

who do not understand cooperatives clearly and only make

cooperatives as capital-seeking profit institutions, able to be

replaced by management who is more competent.

3) Well Salary

Well Salary, means that the salaries of law enforcement and

lawmakers must be considered so that in carrying out their duties

properly, law enforcement and lawmakers are not charged with

the costs of carrying out their duties. So as far as possible avoid

law enforcement and lawmakers with a dilemma that is the small

salary and the lack of operational funds that make law

enforcement losers. In this aspect the welfare of the management

must be considered, this is in order to support the quality of

human resources and the quality of the performance of

cooperative management that is able to realize the progress of

cooperatives that are more focused.

c) Problems of Facilities and Pre-Facilities

It has been explained above that one of the problems of KSP is

marketing network and cooperation as well as product information,

therefore besides the issue of the management of HR, the causes

include the lack of adequate facilities and infrastructure. This is

actually an impact of KSP capital and financial problems that are

difficult to develop.

75

d) Product Information Issues To the Community

The lack of facilities and pre-existing facilities has resulted in

access to inform the public about the benefits of the product that is

owned is not able to be realized. This results in a lack of public

understanding of the products of the existing KSP.

e) Marketing Network Issues

The lack of budget and facilities and pre-facilities including

product introduction as well as the lack of human resource capabilities

in the KSP management system, clearly makes it difficult for

cooperatives to have public trust, this results in the difficulty of

cooperatives in accessing marketing networks and networks of

cooperation with other parties who are more competent in the sector

development of state financial institutions and capital of uasaha.

3. Political Reconstruction of the Savings and Loan Cooperative

Law

Based on the various explanations above, it is clear that

reconstruction needs to be carried out in Law Number 25 of 1992

concerning Cooperatives and Minister of Cooperatives and Small and

Medium Enterprises Number 15 of 2015 concerning Savings and

Loans by Cooperatives, the following will be explained with the

existing reconstruction tables:

No Before Reconstruction Weakness After

Reconstruction

1 Origin 29 of Law Number

25 of 1992:

(1) Management is elected

from and by members of

the Cooperative in the

Member Meeting.

(2) The Management is

the authorization of the

Member Meeting.

(3) For the first time, the

composition and name of

the members of the board

are stated in the deed of

establishment.

(4) The term of office of

the Management is 5

(five) years at the most.

(5) The requirements to be

elected and appointed as a

Member of the Board are

determined in the articles

of association.

The appointment

system for the

management has not

yet taken into

consideration the

knowledge,

knowledge and

experience of the

candidates for the

management

regarding

cooperative

arrangements and

basic principles of

cooperation.

Article 29 of Law

Number 25 of

1992:

(1) Management is

elected from and

by members of the

Cooperative in the

Member Meeting.

(2) The

Management is the

authorization of

the Member

Meeting.

(3) For the first

time, the

composition and

name of the

members of the

board are stated in

the deed of

establishment.

(4) The term of

76

office of the

Management is 5

(five) years at the

most.

(5) Requirements

to be elected and

appointed as

Members of the

Management are

determined in the

articles of

association;

(6) Each member

of the

management must

have sufficient

knowledge in

cooperative

knowledge;

(7) Each

management must

also have the

ability to manage

cooperatives well.

2 Article 41 of Law Number

25 of 1992 states that:

(1) Cooperative capital

consists of own capital

and loan capital.

(2) Own capital can come

from:

a. Basic Savings;

b. Mandatory Deposits;

c. Reserved fund ;

d. Grant.

(3) Loan capital may

originate from:

a. Member;

b. Other cooperatives and

/ or their members;

c. Banks and other

financial institutions;

d. Issuance of bonds and

other debt securities;

e. Other legal sources.

There has been no

government

assistance for the

development of KSP

so that capital is

obtained

independently and is

not large

Article 41 of Law

Number 25 of

1992 states that:

(1) Cooperative

capital consists of

own capital, loan

capital and

investment

deposits.

(2) Own capital

can come from:

a. Basic Savings;

b. Mandatory

Deposits;

c. Reserved fund ;

d. Grant.

(3) Loan capital

may originate

from:

a. Member;

b. Other

cooperatives and /

or their members;

c. Banks and other

77

financial

institutions;

d. Issuance of

bonds and other

debt securities;

e. Other legal

sources.

(4) Participation

Deposits are

members' deposits,

the amount of

which is based on

cooperative

development

needs, which are

obtained from

each registered

member of the

cooperative.