Revolusi Twitter Dari Gerakan Wacana ke Aksi Nyata

22
REVOLUSI TWITTER: DARI GERAKAN WACANA KE AKSI NYATA 1. Pendahuluan Apa yang terjadi di dunia belakangan ini boleh dikatakan tidak terlepas dari peran media. Sejak akhir abad ke-17 di mana Revolusi Industri meletus di Inggris, media— terutama cetak—mulai memiliki tempat di masyarakat. Lahirnya mesin uap yang kemudian memicu lahirnya mesin- mesin industri lain, media mulai bisa memproduksi dirinya untuk menyampaikan informasi ke masyarakat. Media bisa dikatakan sebagai penggerak masyarakat, di mana sebelumnya ia berperan sebagai pembentuk opini masyarakat. Sebagai contoh, peran radio saat kemerdekaan Indonesia sangat besar untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa Indonesia telah merebut kemerdekaan dari Jepang. Radio membentuk opini publik untuk menerima bahwa Indonesia telah merdeka, mengubah pandangan publik dari stigma penjajahan ke kemerdekaan. Saat agresi militer dilancarkan oleh Belanda, para pejuang pun menggunakan

Transcript of Revolusi Twitter Dari Gerakan Wacana ke Aksi Nyata

REVOLUSI TWITTER: DARI GERAKAN WACANA KE AKSI NYATA

1. Pendahuluan

Apa yang terjadi di dunia belakangan ini boleh

dikatakan tidak terlepas dari peran media. Sejak akhir abad

ke-17 di mana Revolusi Industri meletus di Inggris, media—

terutama cetak—mulai memiliki tempat di masyarakat.

Lahirnya mesin uap yang kemudian memicu lahirnya mesin-

mesin industri lain, media mulai bisa memproduksi dirinya

untuk menyampaikan informasi ke masyarakat.

Media bisa dikatakan sebagai penggerak masyarakat, di

mana sebelumnya ia berperan sebagai pembentuk opini

masyarakat. Sebagai contoh, peran radio saat kemerdekaan

Indonesia sangat besar untuk memberitahukan kepada

masyarakat bahwa Indonesia telah merebut kemerdekaan dari

Jepang. Radio membentuk opini publik untuk menerima bahwa

Indonesia telah merdeka, mengubah pandangan publik dari

stigma penjajahan ke kemerdekaan. Saat agresi militer

dilancarkan oleh Belanda, para pejuang pun menggunakan

radio untuk menyebarkan semangat perjuangan dan

menggerakkan rakyat untuk turun ke medan perang.

Perkembangan media yang sangat pesat ini membuat muara

media sampai ke ranah media sosial atau dunia maya. Sekitar

tahun 2011, masyarakat dunia digoncang oleh revolusi Iran

yang dikatakan sebagai hasil dari revolusi twitter. Twitter

dianggap mampu menggerakkan orang untuk turun ke jalan dan

menyampaikan suara mereka ke pemerintah. Twitter—atau lebih

luasnya media sosial—dianggap sebagai katalis revolusi di

mana keberadaannya sangat penting untuk mengumpulkan massa.

Namun Malcolm Gladwell (2010) mengatakan bahwa

revolusi tersebut bukan disebabkan oleh peran twitter. Ia

menyatakan bahwa sosial media tidak menyediakan apa yang

dibutuhkan untuk perubahan sosial. Sosial media seperti

twitter dianggap tidak memadai untuk menimbulkan apa yang

disebut dengan perubahan sosial. Revolusi yang terjadi di

Iran pun sesungguhnya bukan disebabkan oleh twitter,

mengingat hanya 0.027% masyarakat Iran yang menggunakan

Twitter (Somaiya, 2009). Meskipun tidak bisa dipungkiri

bahwa 20% orang Amerika memperhatikan berita tentang Iran

lebih dari yang lain.

Keberadaan Twitter dan sosial media lainnya sebagai

bahan bakar dari perubahan sosial pun menjadi keberadaan

yang semu. Selain diakui sebagai katalis penggerak

masyarakat untuk bergerak, pergerakan masyarakat pun

cenderung menjadi pasif dan tidak mendalam. Begitu kuatnya

peran media sosial di masyarakat, membuat masyarakat merasa

sudah banyak ‘membantu’ dengan sekedar mengklik tombol

‘like’ atau sekedar me-retweet apa yang diunggah oleh orang

lain.

Turunnya masyarakat ke jalan dengan difasilitasi oleh

media sosial pun masih disangsikan penyebabnya. Apakah

karena media sosial ataukah karena kegelisahan bersama?

Melihat lemahnya ikatan yang ada di media sosial—di mana

orang tidak perlu untuk bertatap muka dan memperdalam

hubungan dengan orang lain—maka sangat sulit untuk percaya

bahwa twitter-lah yang menyatukan orang-orang. Namun akan

timbul juga pertanyaan, ‘Lalu apa yang mengikat mereka?’.

Dialektika yang terjadi tentang peran twitter ini

menjadi bahan kajian yang menarik, mengingat dunia saat ini

sudah mulai terjun ke ranah digital. Dengan gadget mumpuni

dan fasilitas internet yang menjangkau siapa saja, maka

setiap orang saat ini berhak untuk bersuara melalui akun

media sosial yang mereka miliki. Apakah suara independen

mereka ini berpengaruh terhadap perubahan sosial, bahkan

revolusi, ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh

banyak pihak secara mendetail.

2. Menelaah Kembali Makna Revolusi

“If you wish to understand what Revolution is, call it Progress; and if you

wish to understand what Progress is, call it Tomorrow.” –Victor

Hugo.

Jalaludin Rakhmat mengartikan revolusi sebagai

bentuk dari perubahan sosial yang paling spektakuler

yang membentuk seluruh aspek kehidupan berbangsa.

Revolusi ini terjadi ketika seluruh elemen masyarakat

merasa jenuh dengan sistem yang memerintah. Sistem

yang tidak memihak rakyat, korup, dan tidak mampu

membawa perubahan akan ditentang oleh masyarakat. Jika

sistem yang ada sudah sangat tidak relevan, maka

revolusi adalah hal yang mutlak diperlukan.

Namun sesungguhnya yang penting dari revolusi

adalah bukan siapa yang digantikan, tapi dengan apa

menggantikannya. Revolusi belum dikatakan sebagai

revolusi jika hanya menggantikan pemimpin negara yang

sebelumnya dianggap tidak becus memimpin negara.

Revolusi yang terjadi di Mesir tahun 2011 belum bisa

dikatakan sebagai revolusi karena hanya menjatuhkan

Husni Mubarak. Masyarakat belum bisa membawa sistem

baru yang bisa digunakan untuk mengganti rezim

otoriternya Husni Mubarak. Jikalau ada, sistem

tersebut belum keseluruhan matang sehingga belum bisa

menggantikan sistem yang lama. Presiden Mursi naik,

namun orang-orang di belakangnya masihlah orang-orang

yang dekat dengan Husni Mubarak, sehingga legitimasi

Mursi di hadapan orang-orang yang bekerja sama

dengannya kecil.

Revolusi yang terjadi tahun 1998 di Indonesia pun

boleh dibilang masih diragukan untuk disebut sebagai

revolusi. Rakyat Indonesia memang berhasil

menumbangkan Soeharto dan sistem otoriter yang ia

jalankan, terbukti dengan reformasi demokrasi yang

mulai berlaku di Indonesia saat itu. Namun, saat itu

rakyat tidak menyiapkan pemimpin yang bisa

menggantikan Soeharto dan bisa melaksanakan sistem

demokrasi yang telah disiapkan. Akibatnya, pasca

reformasi, Indonesia masih berjalan dengan satu kaki.

Borok yang diakibatkan rezim otoriter masih harus

terus disembuhkan hingga saat ini.

Revolusi Twitter sendiri masih harus ditelaah

kembali pengertiannya. Apakah twitter bisa menyebabkan

revolusi, seperti yang saat ini dianggap telah terjadi

di Iran, Mesir, Libya, dan negara Timur Tengah

lainnya, ataukah revolusi itu sendiri yang sedang

terjadi di dalam tubuh Twitter? Di mana twitter

beralih fungsi dan jejaring sosial biasa tempat orang

mencurahkan perasaannya dalam 140 karakter, menjadi

jejaring besar yang mampu membentuk opini masyarakat.

3. Kronologi Revolusi Twitter

Revolusi twitter mulai ramai dibicarakan orang

sejak Revolusi Iran meletus pada tahun 2009. Saat itu,

ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pemilu

menimbulkan banyak konflik dan perpecahan yang

mengakibatkan pemerintah memblokir media, kecuali

media sosial seperti facebook dan twitter. Kekecewaan

masyarakat pun akhirnya tumpah di media sosial ini,

media di mana mereka bisa meluapkan kekecewaan mereka

dan terus menyerang pemerintah. Kekuatan media sosial

ini juga dibantu oleh para pengguna facebook dan

twitter di seluruh dunia dengan perantara bahasa

Inggris.

Pada tanggal 13 Juni 2009, Andrew Sullivan,

seorang blogger, menulis di Atlantic, “You cannot stop

people any longer. You cannot control them any longer.

They can bypass your established media; they can

broadcast to one another, they can organize as never

before.” Sullivan menggambarkan kekuatan media sosial

yang besar yang bahkan tidak bisa dikontrol oleh

pemerintah. Pemerintah pun tak berdaya dengan media

yang telah mereka kuasai. Orang-orang masih bisa

berkomunikasi dan menggerakkan massa hanya dengan

kekuatan media sosial.

Pada tahun 2011, dunia kembali digoncangkan

dengan Revolusi Mesir yang disebut-sebut digerakkan

oleh kekuatan facebook. Ketidakpuasan masyarakat Mesir

akan pemerintahan Husni Mubarak yang telah berlangsung

selama 30 tahun lebih membuat masyarakat bergerak

untuk melancarkan kudeta. Pemerintah Mesir sempat

memblokir internet pada tanggal 26 Januari 2011, namun

letupan kekecewaan kembali terjadi saat saluran

internet kembali dibuka pada tanggal 2 Februari 2011.

Kekuatan media sosial yang besar ini berdampak

cukup besar pada kondisi perpolitikan negara-negara

Timur Tengah. Syiria, Libya, Lebanon yang sebelumnya

mengalami konflik internal juga turut memblokir

internet selama beberapa waktu untuk meredam gejolak

perlawanan. Namun, seperti yang bisa dibayangkan,

masyarakat hanya akan diam sementara, lalu kembali

bergejolak saat saluran internet kembali dibuka.

4. Penyebab Terjadinya Revolusi Twitter

Revolusi Twitter—jikalau ia bisa dikatakan sebagai

revolusi—tidak terjadi di semua tempat. Negara-negara Timur

Tengah boleh dikatakan sebagai wilayah yang paling banyak

mengalami revolusi, dan sebagian besar didukung oleh

revolusi twitter ini. Kekuatan satelit televisi dan

internet yang tidak bisa dikontrol penuh oleh pemerintah

menjadi salah satu penyebab kenapa revolusi lahir dari

tangan teknologi.

Pemerintah di daerah Timur Tengah yang cenderung

otoriter mengontrol seluruh media, terutama media cetak.

Saat gelombang satelit televisi dan internet masuk, masih

sedikit masyarakat Arab yang menggunakannya. Hanya sekitar

10~15% masyarakat Arab yang memiliki akses tetap untuk

saluran televisi satelit, dan persentase yang lebih kecil

lagi untuk akses ke media Arab internasional, juga

sambungan ke internet (Alterman, 1998). Masyarakat memang

bisa terhubung dengan media, namun media-media tersebut

masih merupakan media yang dikontrol oleh pemerintah

sehingga opini masyarakat pun hanya berasal dari apa yang

pemerintah ‘instruksikan’.

Morozov mengatakan bahwa revolusi twitter hanya akan

terjadi jika rezim yang berkuasa mengabaikan dan tidak

menganggap internet sebagai kekuatan besar. Ini juga yang

mungkin bisa menjelaskan kenapa di China tidak mengalami

revolusi twitter. Pemerintah China menyadari kekuatan besar

dari internet—dengan koneksinya yang tak terbatas ke dunia

luar—sehingga mereka memblokir situs-situs seperti Google,

Twitter, dan Facebook, dan menggantinya dengan situs China

yang serupa. Dengan ini, koneksi masyarakat China ke luar

menjadi terbatas dan letupan-letupan untuk mendukung

terjadinya revolusi pun kecil. Revolusi twitter pertama

yang terjadi di Iran pun terjadi karena pemerintah

memblokir saluran televisi dan semua website, kecuali

twitter. Masyarakat pun beralih ke twitter, dan dengan

dukungan dari luar negeri, maka isu ini pun berkembang

luas.

Twitter juga bisa dikatakan melebihi peran negara

untuk mendengarkan aspirasi masyarakat secara langsung.

Masyarakat bisa mengungkapkan masalah mereka ke publik,

meskipun publik belum tentu memberikan feedback yang mereka

inginkan. Namun, mulai terlihat pergeseran animo masyarakat

terhadap negara. Jika dulu orang harus pergi ke kantor

polisi untuk melaporkan barangnya yang hilang, kini orang

tinggal menulis di twitter bahwa ia kehilangan barang dan

secara otomatis meminta seluruh temannya untuk membantu

mencari barangnya. Tidak jarang orang bisa menemukan

kembali barangnya yang hilang dengan hanya menulis di

twitter, dan tak perlu repot-repot ke kantor polisi. Lambat

laun orang mulai melupakan peran serta negara dan hanya

fokus ke twitter. Meskipun negara pun menyadari hal ini,

lalu membuat berbagai akun official yang bisa dijangkau oleh

masyarakat.

Ketika negara tidak mampu menjalankan fungsi

sesungguhnya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat,

maka masyarakat pun akan membentuk negara ‘semu’ lewat

twitter ini. Batas-batas negara secara geografis pun

menjadi kabur mengingat siapa saja di dunia ini bisa

mengakses twitter tanpa peduli kewarganegaraan mereka.

Konsep ini mirip dengan neoliberalisme di mana peran negara

menjadi tidak begitu penting. Masyarakat hanya meminta

negara menyediakan fasilitas untuk kegiatan mereka dan

tidak menghalang-halangi kegiatan masyarakat.

5. Revolusi Twitter = Revolusi Semu?

Revolusi Twitter mengundang pro dan kontra di antara

banyak kalangan. Andrew Sullivan pertama kali mengungkapkan

tentang Revolusi Twitter ini dalam artikelnya yang berjudul

The Revolution Will Be Tweeted di situs Atlantic. Ia mengungkapkan

bahwa diamnya media melukiskan masyarakat saat itu. Peran

twitter sangat penting untuk menggerakkan massa ke jalan,

memprotes pemerintah dan mendesak pemerintah untuk

melakukan perubahan.

Artikel Sullivan ini mendapat tanggapan dari Malcolm

Gladwell, yang kemudian menulis ‘The Revolution Will Not Be

Tweeted’ yang dipublikasikan di NewYorker. Gladwell

mengungkapkan bahwa perubahan sosial tidak ditentukan oleh

media sosial. Ia menganalogikan demonstrasi yang

dilaksanakan oleh mahasiswa di North Carolina A. & T. Tahun

1960 bisa mengumpulkan massa banyak tanpa melalui jejaring

sosial. Meskipun terlihat seperti massa terkumpul melalui

jejaring sosial (lewat fan page ataupun petisi online), namun

sesungguhnya yang menyatukan massa untuk turun ke jalan

bukanlah media sosial, tapi rasa kecewa terhadap pemerintah

yang dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.

Guru besar sosiologi Zeynep Tufekci yang juga

mengamati revolusi di Tunisia, berpendapat bahwa media

sosial berperan penting dalam revolusi, namun hanyalah nice

to have, bukan syarat mutlak. Media sosial diibaratkan

sebagai perantara untuk mengumpulkan massa, bukan penyebab

massa berkumpul. Sama seperti radio yang digunakan dahulu

untuk membakar semangat masyarakat untuk berperang, media

sosial juga digunakan sebagai perantara untuk membakar

semangat massa.

Mengabaikan sama sekali peran twitter memang tidak

bisa dilakukan. Pendiri twitter, Biz Stone menyangkal bahwa

twitter sama sekali tidak berperan dalam perubahan sosial.

Twitter telah berperan banyak dalam berbagai aktivisme

penting. Banyak gerakan kemudian lahir dari twitter. Di

Indonesia saja, tidak bisa dinafikan gerakan seperti

#IndonesiaTanpaJIL, #IndonesiaUnite, lahir dan besar di

twitter.

Namun di sini yang harus dicermati adalah perubahan

bentuk kontribusi massa terhadap perubahan. Sebelum tahun

2000-an, kontribusi diartikan sebagai semangat untuk turun

ke jalan dan langsung mengubah dengan tangan. Namun setelah

hegemoni twitter meluas, kontribusi diartikan sebagai

retweet ataupun mengklik tombol like di facebook. Dengan

sekedar menekan tombol retweet, orang menganggap dirinya

sudah berkontribusi besar untuk suatu perubahan.

Dengan mudahnya anggapan berkontribusi—dengan sekali

klik—membuat orang hanya bergerak di depan gadget-nya.

Orang menganggap dirinya sudah banyak berbuat dengan

sekedar menyebarkan informasi lewat twitter. Tingkat

popularitas pun mulai diukur dengan berapa banyak follower

maupun berapa jumlah like-nya. Selain memiliki sisi positif

di mana informasi bisa tersebar luas dengan cepat dan

twitter bisa membuat orang merasakan simpati yang sama

dalam waktu singkat, twitter bisa menjadi bumerang

tersendiri bagi perkembangan suatu bangsa.

Ketika perjuangan dimaknai sebatas aktivitas seseorang

di twitter, maka nadi-nadi kehidupan bangsa itu bisa

lumpuh. Orang akan lebih memilih untuk mempublikasikan

karya orang lain yang berguna bagi bangsa dan dunia

ketimbang membuat karya itu sendiri. Orang lebih memilih

untuk duduk di depan komputer dan menyuarakan kepada orang

lain untuk peduli terhadap bangsa ini, ketimbang melakukan

sesuatu yang nyata untuk memperbaiki bangsa ini.

Revolusi twitter bisa dikatakan sebagai revolusi

ketika twitter itu benar-benar bisa menggerakkan orang

untuk berbuat di dunia nyata, bukan untuk berbuat di

twitter itu sendiri. Sama dengan media lainnya seperti

media cetak maupun elektronik, twitter berfungsi untuk

membentuk opini publik. Opini inilah yang kemudian akan

menggerakkan banyak orang untuk berbuat.

6. Twitter : Dari Gerakan Wacana ke Aksi Nyata

Sebagaimana diungkapkan di atas tentang pro dan kontra

dari revolusi twitter, twitter bisa dianggap sebagai

peluang untuk melakukan perubahan sosial. Kendati Gladwell

menganggap media sosial tidak memiliki sesuatu yang

dibutuhkan untuk perubahan sosial. Memang twitter bisa

mendekatkan orang dengan berbagai macam kebudayaan, di mana

akulturasi kebudayaan sangat mungkin untuk bisa terjadi.

Namun ikatan personal di twitter sangat lemah, orang hanya

menganggap teman twitternya sebagai teman sambil lalu yang

tidak memiliki deep contact. Pada akhirnya, perubahan sosial

tidak akan terjadi karena hanya akan menyentuh lapisan

terluar dari sistem kebudayaan yang sudah mapan.

Twitter bisa diibaratkan sebagai katalis perubahan, di

mana ia mendukung perubahan sosial namun ia tidak ikut

bereaksi dalam perubahan itu sendiri. Peran twitter sebagai

perantara maya banyak kalangan bisa dimanfaatkan untuk

perubahan sosial. Perubahan sosial ini tentu saja tetap

akan dibintangi oleh manusia, manusia dan sistemnya-lah

yang akan berubah. Twitter sebagai sebuah jembatan

perubahan itu sendiri tidak mengalami perubahan.

Higgs (dalam Kellner, 2003: 84) mengungkapkan bahwa

teknologi bersifat netral. Ketika media-media lain seperti

media cetak maupun media elektronik ditanyakan

indepensinya, twitter dan media sosial lainnya berdiri

sebagai media yang mengusung independensi. Setiap orang

bebas mengungkapkan pendapatnya di media sosial semacam

twitter, facebook, maupun blog tanpa takut mendapat kecaman

dari pemerintah. Setiap orang bisa memberikan informasi

kepada orang lain tanpa takut dengan kepentingan yang akan

menghimpitnya. Independensi twitter ini bisa menjadi modal

untuk perubahan sosial di masa depan.

Ketika jarak geografis tidak lagi menjadi penting,

manusia akan semakin meneguhkan independensi yang ia

miliki. Setiap manusia akan cenderung menjadi individualis,

namun ia akan tetap pada kodratnya sebagai makhluk sosial.

Ruang interaksi setiap orang mungkin akan semakin beragam

dengan tidak mesti bertatap muka. Ketika seseorang mampu

bertahan di sini, maka independensi menjadi sesuatu hal

yang tidak usah dipertanyakan lagi.

Kernell (2003: 84) mengatakan bahwa tahapan baru tekno

kapitalisme ditandai dengan penyebarluasan informasi baru

dan teknologi dan industri hiburan, dan dengan demikian

keduanya merupakan perluasan kebudayaan, media, internet,

dan sintesisnya di masa mendatang. Kernell menganggap bahwa

internet—ditambah dengan fitur media sosialnya—merupakan

potensi yang tidak bisa diabaikan untuk perubahan sosial.

Saat setiap orang sudah terpaku dan hidup dalam kungkungan

teknologi, maka dengan sendirinya perubahan sosial akan

terjadi melalui perantara teknologi tersebut.

Di masa di mana ideologi konservatif sudah tidak lagi

diperhatikan oleh orang, maka saat ini gerak perubahan

mulai memasuki tahap ide. Di sinilah twitter bisa berperan

untuk pengembangan ide. Dengan mudahnya setiap orang untuk

melemparkan wacana ke publik, maka ide akan mengalir dengan

sendirinya. Gerakan-gerakan seperti #IndonesiaTanpaJIL atau

#IndonesiaUnite juga mungkin diawali dengan pelemparan isu

oleh sekelompok orang lalu akhirnya bergulir menjadi ide

bagaimana untuk membentuk Indonesia tanpa Jaringan Islam

Liberal (JIL), atau bagaimana cara menyatukan Indonesia.

Namun, seperti yang telah diungkapkan di atas,

mudahnya pelemparan wacana ke publik ini bagaikan bumerang

di mana setiap orang merasa sudah berbuat dengan hanya

beraktivitas di dunia maya. Gerakan wacana twitter pada

akhirnya harus direalisasikan ke dunia nyata jika ingin

membuat suatu perubahan sosial. Di sinilah titik lemahnya

di mana kondisi masyarakat yang sudah serba digital

sekarang ini, cenderung sangat susah untuk turun ke dunia

nyata. Idiom ‘dunia dalam satu genggaman’ menjadi dalih

untuk tidak berbuat apa-apa selain berpegang pada gadget.

DAFTAR PUSTAKA

Alterman, Jon B. 1998. New Media, New Politics?: From Satellite

Television to The Internet in The Arab World. Washington:

Washington Institute for Near East Policy.

Alterman, Jon B. 2011. The Revolution Will Not Be Tweeted.

Washington: The Washington Quarterly.

Kellner, Douglas Dr. 2003. Teori Sosial Radikal. Yogyakarta:

Syarikat Indonesia.

Heacock, Rebekah. 2009. Twitter Revolution. Columbia: The

Journalism School.

DAFTAR LAMAN

Gladwell, Malcolm. 2010. Small Change: Why The Revolution Not Be

Tweeted.

http://www.newyorker.com/reporting/2010/10/04/101004fa

_fact_gladwell.

Morozov, Evgeny. 2009. Iran: Downside to “Twitter Revolution”.

http://www.evgenymorozov.com/morozov_twitter_dissent.p

df

Somaiya, Ravi. 2009. The Revolution Will Not Be Tweeted Because Only

0.027% of Iranians Are On Twitter.

http://valleywag.gawker.com/5400268/the-revolution-

will-not-be-tweeted-because-only-0027-of-iranians-are-

on-twitter.

Sullivan, Andrew. 2009. The Revolution Will Be Twittered.

http://andrewsullivan.theatlantic.com/the_daily_dish/2

009/the-revolution-will-be-twittered-1.html.