RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

12
LOMBA ESAI BEM FIS UNNES (REVITALISASI JIWA-JIWA KEPAHLAWAAN DI ERA KEKINIAN) JUDUL: RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA (SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA) Diusulkan oleh: (Erman Istanto33014120062012 ) Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG SEMARANG 2013

Transcript of RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

1

LOMBA ESAI BEM FIS UNNES (REVITALISASI JIWA-JIWA

KEPAHLAWAAN DI ERA KEKINIAN)

JUDUL:

RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK

BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)

Diusulkan oleh:

(Erman Istanto–3301412006–2012 )

Jurusan Politik dan Kewarganegaraan

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Semarang

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SEMARANG

2013

1

RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA

(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK

BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)

Oleh : Erman Istanto*

Politik dan Mahasiswa: Sebuah Telaah Singkat di Era Reformasi

MAHASISWA merupakan aset penerus perjuangan bangsa, aset

pembangunan berkelanjutan, dan aset pemimpin masa depan bangsa. Selanjutnya,

tidak salah jika banyak orang berpandangan bawasannya mahasiswa merupakan

generasi penerus bangsa dengan dengan segala kemampuan intelektual dan

kepemimpinannya. Sebagaimana pandangan yang di lontarkan oleh Ilahi (2012)

bahwa di berbagai belahan dunia, sejarah telah mebuktikan gerakan pemuda (youth

movement), termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, selalu menjadi pelopor

terdepan dalam menentukan masa depan bangsa. Selanjutnya, menjadi sangat benar

jika gerakan mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses

politik yakni sebagai “agent of control social”. Sehingga banyak pandangan yang

menyebutkan bawasannya mahasiswa dan politik adalah dua entitas yang berkaitan

erat satu sama lainnya. Penulis sendiri menakrifkan bawasannya mahasiswa dan

politik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan satu sama

lainnya. Argumen hipotetikal tersebut memperjelas pandangan kita bahwa dalam

kaitannya dengan politik, pemuda (baca: mahasiswa) secara ideal memiliki peranan

yang laten yakni sebagai “agent of change” dan “agent of social control”.

Namun, jika kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa

dekade terakhir ini nampaknya masyarakat Indonesia tengah mengalami turbulensi

moralitas yang cukup kritis, tak terkecuali mahasiswa selaku generasi penerus

bangsa. Sehingga tidak salah jika Asghar dan Pamungkas berpandangan bahwa

realitas mahasiswa saat ini terjebak pada ruang sempit yang membelenggu

kreatifitas, mematikan kebebasan berpikir, dan mematikan sikap kritis1.

Selanjutnya menyelami pendapat Ilahi secara umum dalam buku-Nasionalisme

dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Kemandirian dan Pembangunan

1 Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan Intelektual.

(Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013), hal 5

2

Bangsa-mengungkapkan bahwa generasi muda saat ini sedang mengalami

gelombang traumatis yang cukup pelik. Hal ini dapat digambarkan dalam sisi

faktual dari survey yang dilakukan bidang kemahasiswaan Universitas Negeri

Semarang (Masrukhi, 2009), dimana wajah terakhir menunjukan kelompok idealis

(mahasiswa) presentasinya lebih kecil dibandingkan kelompok lain (dalam: lima

wajah mahasiswa sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya)2 yakni hanya berkisar

10%, dan kebanyakan dari mahasiswa termasuk dalam kelompok rekreatif yang

berorientasi pada gaya yang hidup glamour dan menyukai pesta3. Orientasi

mahasiswa tersebut mengarah pada kecenderungan “Dum vivimus vibaus”, yang

artinya “nikmati hidup selagi masih hidup”4. Berangkat dari pandangan dan

gambaran faktual diatas, jelas bawasannya mahasiswa selaku penerus masa depan

bangsa dewasa ini tengah terjebak dalam mentalitas ke-munafik-an (idiom tidak

satunya kata dengan perbuatan) sehingga terkesan bagai katak dalam tempurung.

Lebih lanjut dalam ranah “anomali” politik di era kekinian – dalam “optik”

yeng berbeda Asghar dan Pamungkas pun menambahkan bahwa mahasiswa tidak

lagi memiliki spirit perjuangan sebagai agen pelopor, agen pembaharu apalagi

disebut agen pencipta5. Dalam prespektif yang hampir sama Adman

menggambarkan bahwa gerakan mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya

pasca reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub dimana sebagian

mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering

berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses

politik bangsa ini6. Padahal, dengan munculnya gerakan reformasi 1998 secara

tegas telah memberikan space yang luas bagi pemuda dalam ranah kehidupan sosial

2 Meminjam analisis Ricardi seperti dikutip oleh Masrukhi (2009), tampak lima wajah mahasiswa

sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya. Pertama kelompok idealis konfrontatif; kedua adalah

idealis realistis; ketiga adalah kelompok opportunis; keempat adalah kelompok profesional; kelima

adalah kelompok rekreatif.

baca dan cermati Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda sebagai Pilar Penyangga Jati

Diri Bangsa” di Universitas Negeri Semarang (Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang 3 Dikutip dalam, ibid, hal 8 4 Baca, Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut & Centang-perentang

Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 241 5 Dikutip dalam, Op.Cit, Hal 2 6 Dikutip dalam, Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM

Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13 Ramadhan 1417 H/

Oktober 2006), http://adman.staf.upi.edu/files/2009/08/[email protected]

05.doc., diunduh pada tanggal 16 November 2013

3

dan politik. Hal ini, seharusnya mampu meningkatkan peran serta pemuda dalam

pembangunan bangsa. Tapi, hipotesis tersebut hanyalah gambaran “das sollen”

semata yang mana secara faktual sebagian besar mahasiswa saat ini tengah terjebak

dalam sikap “patriotik semu” dengan tendensi “apatis” dan “pragmatis” akan

kehidupan sosial-politik bermasyarakat.

Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas mengenai mahasiswa dan

politik di era kekinian, dapat diketahui bagaimana mahasiswa dan politik bagaikan

“dua sisi mata uang” yakni dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan satu

sama lainnya. Hal ini di perjelas dengan kehadiran dan peran serta mahasiswa

dalam setiap babak perubahan sosial politik bangsa Indonesia itu sendiri – tentunya

dengan semangat heroik-nya. Namun, di sisi faktualnya mahasiswa dewasa ini

cenderung terjebak dalam kerangka berpikir “apatis” dan “pragmatis” terhadap

berbagai dinamika sosial politik yang ada. Sehingga banyak yang mengidentikan

mahasiswa di era kekinian bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Dari bunyi

penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak, dalam rangka mengembalikan peran

mahasiswa dalam bentangan sosial-politik sebagaimana gambaran ideal yang

sesungguhnya, maka kiranya diperlukan suatu upaya alternatif dan solutif yang

harus dan dapat diterima dalam kehidupan praksis yakni memulihkan kembali jiwa-

jiwa kepahlawanan mahasiswa yang terdahulu. Hal ini di karenakan peran

mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control bukanlah

sekedar predikat belaka, melainkan sebuah harapan yang digantungkan dan

disematkan jutaan masyarakat Indonesia.

Disintegrasi Sosial Politik: Kajian Sederhana Iktiar Refleksi Mahasiswa

(Sebuah Tantangan dan Jawaban)

Distorsi nilai-nilai dari potret kehidupan politik Indonesia yang cenderung

terintervensi oleh “tangan-tangan elit politik” yang semakin jauh dari komitmen

dan konsensus reformasi setidaknya memberikan gambaran akan munculnya

gerakan-gerakan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Sebagaimana menurut

Supriyatno gerakan-gerakan tersebut dapat berupa protes, unjuk rasa, keresahan dan

kerusuhan yang belum menunjukan tanda-tanda akan surut menyiratkan bahwa

4

tingkat kekacauan yang dialami masyarakat memang cukup serius7. Secara ringkas

Suryo mengungkapkan gejala disintegrasi politik-sosial-budaya yang sering terjadi

di bumi Indonesia pasca reformasi yakni sebagai berikut: 1) aksi-aksi kekerasan

sosial/ anarkis; 2) konflik sosial horisontal ambon, poso, dan lainnya; 3) aksi-aksi

terorisme, pengaruh gerakan global: aksi bom Bali, hotel Marriot, hingga aksi

terorisme pada masa-masa mutakhir; 4) aksi sosial keagamaan: masalah aliran

Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat, dsb; 5) kelahiran gerakan-gerakan beraliran

fundamentalisme dan gerakan-gerakan keagamaan lainnya8. Berangkat dari kajian

tersebut, menjadi sangat relevan jika kita kaitkan dengan pandangan Hoogerwerf

atau Greer dan Orleans sebagaimana dijelaskan Surbakti bahwa pada dasarnya

politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan9. Menanggapi

berbagai permasalahan tersebut penulis berpandangan bawasannya politik secara

ekspilisit memang mengandung potensi konflik, namun hal ini bergantung pada

sosok “siapa” yang memainkan peranan praksis tersebut. Sehingga diperlukannya

political will secara komprehensif-integral untuk memintasi permasalahan tersebut.

Sebagaimana dilansir dalam Kompas (19/11/2013), sebagai generasi muda,

mahasiswa merupakan pemimpin masa depan negeri ini10. Hal tersebut sesuai

dengan pandangan Ilahi (2012) pemuda adalah agen perubahan (agent of change)

dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan

segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi

memperkuat kukuhnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang

menyerbu bangsa kita. Jika kita kaitkan dua pernyataan tersebut dengan

permasalahan disintegrasi sosial politik diatas, tak bisa di pungkiri bahwa kesan

mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control masih

7 Baca dan cermati, Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah

Disintegrasi Bangsa, http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada

tanggal 16 November 2013 8 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam

Rangka Pencegahan Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada

tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan). 9 Hidayat, Imam, Teori-teori Politik, (Malang: Setara Press, 2009), hal 95 10 Selengkapnya baca Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”, Ma-

hasiswa Bibit Kepemimpinan Masa Depan, dijelaskan bahwa Sebagai generasi muda , mahasiswa

adalah pemimpin masa depan negeri ini. Untuk itulah mereka dituntut untuk menempa diri menem-

pa dirinya sebagai seorang pemimpin. Dalam sejarah negeri ini mahasiswa adalah motor penggerak

berbagai peristiwa, mulai dari berdirinya Boedi Uotomo, Sumpah Pemuda, kemerdekaan, hingga

gerakan reformasi melengserkan Orde Baru.

5

beradhesif kuat dalam masyarakat. Mereka masih sangat dinantikan gerakan

(movement) dan aksinya (action) dalam bentuk perubahan langsung (direct of

change) yakni melakukan de-radikalisasi secara riil melalui integrasi secara

menyeluruh.

Sebagaimana di sebutkan di muka, penulis mengkomparasikan sisi faktual

mahasiswa dalam bingkai politik di era kekinian dengan probelamatika yang belum

terselesaiakan yakni disintegrasi sosial politik yang nampaknya semakin

menggejala. Hal ini, penulis lakukan sebagai upaya mengilustrasikan bawasannya

mahasiswa perlu merefleksikan dirinya dan menyadari bahwa mereka masih

dinantikan dalam perubahan suatu bangsa. Perlu kaitannya dalam hal ini,

mahasiswa mampu mengubah mindset bahwa mereka harus tetap survive dan tidak

“menghiraukan” segala realitas yang ada. Melainkan mengubah semua itu sebagai

sebuah tantangan bersama yang harus segera diselesaikan. Sebagaimana peribahasa

arab, bahwa pemuda yang baik adalah bukan mengatakan itulah ayah saya, tetapi

inilah saya11. Karena “Pemuda tanpa keberanian tak lebih dari ternak semata”,

itulah salah satu ungkapan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer12.

Menyelami lautan problematika yang sedang dihadapi mahasiswa di era kekinian,

hendaknya kita mampu menghayati dan merefleksikan makna mahasiswa yang

sesungguhnya. Hidup Mahasiswa!

Restorasi Sebagai Upaya Revitalisasi Jiwa-Jiwa Kepahlawanan Mahasiswa di

Era Kekinian (Sebuah Langkah Kongkret Mewujudkan Integrasi Politik di

Bumi Indonesia)

Setelah membahas secara singkat mengenai politik dan mahasiswa yang

diawali dengan sisi faktual mahasiswa di era kekinian dan disusul dengan

munculnya problematika yang “cukup” krusial yakni disintegrasi politik di bumi

Indonesia, maka pada bagian ini dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai tindak

lanjut dari refleksi singkat mahasiswa di era kekinian. Satu yang dapat digagaskan

penulis sebagai salah satu bentuk kongkretisasi peran mahasiswa selaku agent of

11 Lihat, Alfian, M Alfan, Demokrasi Pilihlah Aku: Warna-warni Politik Kita. (Malang: Intrans

Publishing, 2013), hal 163 12 Baca, Walidah, Efka, Mahasiswa itu Harus Berani, Kompas Mahasiswa (Majalah Mahasiswa

Universitas Negeri Semarang: Edisi 88), hal 7

6

change dan agent of control social di era kekinian yang mulai terkikis yakni melalui

upaya revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa. Namun, dalam me-

revitalisasi-kan jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa di era kekinian bukanlah

perkara yang mudah, terdapat banyak tantangan yang harus di hadapi oleh

mahasiswa untuk mewujudkannya. Salah satu tantangan yang harus di hadapi oleh

mahasiswa untuk mengembalikan eksistensi sejarah heroik pemuda yang mulai

terkikis yakni melalui gerakan restorasi. Gerakan ini dimanifestasikan akan menjadi

sebuah upaya solutif menciptakan kembali power mahasiswa di era kekinian.

Karena selama ini kelemahan mendasar bangsa Indonesia dalam melakukan

perubahan yakni belum adanya pemahaman mendalam (deep understanding)

sehingga memiliki kecenderungan berjalan “setengah-setengah”.

Sesuai dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi

merupakan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Tujuannya jelas,

bahwa nantinya peran mahasiswa yang dielaborasikan dengan gerakan restorasi

diharapkan mampu memberikan angin segar dalam upaya mewujudkan jiwa-jiwa

kepahlawanan masa kini, terutama mahasiswa selaku intelektual muda. Manifestasi

dari gerakan restorasi ini yang pertama ialah mahasiswa hendaknya mampu

mengoptimalisasikan peranannya dalam upaya memperbaiki dan memulihkan

kembali jati diri mereka selaku “agent of change” dan “agent of social control”

secara fundamental, komprehensif, dan integral. Karena, peran yang di sandang

pemuda termasuk mahasiswa ini, masih sangat efektif dan kreatif dalam

memosisikan peran pemuda di tengah-tengah kehidupan masyarakat13.

Manifestasi yang kedua ialah bagaimana gerakan ini hendaknya mampu

mengembalikan paradigma dan peranan mahasiswa dalam upaya memperbaiki dan

memulihkan kembali nilai-nilai perbedaan dalam bingkai “kebhinnekaan”. Karena,

pluralitas bukanlah fenomena baru di Indonesia, bahkan hal ini sudah menjadi

keniscayaan dan realitas sosial, dengan demikian menjadi nalar baku yang harus

diterima oleh setiap entitas masyarakat manapun. Dalam konteks kekinian, gerakan

restorasi “heroisme” mahasiswa memiliki peranan yang vital dalam memintasi

disintegrasi politik. Sebagaimana pendapat Koesman menyatakan bahwa dahulu

13 Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 40

7

dunia politik di dasari ideologi yang hakiki dan heroik yang memperjuangkan

kebebasan dari belenggu penjajahan demi tercapainya kemerdekaan bangsa, tetapi

sekarang telah berubah menjadi politik kepentingan pribadi dan golongan14. Jelas

bawasannya dewasa kini, stigma politik telah disalah artikan menuju politik

kepentingan dalam artian negatif. Oleh sebab itu, salah satu agenda gerakan

restorasi ini mengandung faedah agar mahasiswa (secara praktis) dapat

meningkatkan kualitas silahturahminya untuk mewujudkan dambaan menuju

orientasi yang lebih baik dalam bingkai perbedaan. Sesuai pendapat Anas

Urbaningrum yang berpandangan bahwa, para pemuda adalah generasi baru yang

kepribadiannya tidak akan pernah terbelah oleh realitas dan tantangan

kemajemukan Indonesia, dan justru akan menjadi salah satu tali kesadaran yang

mengikat keindonesiaan kita15.

Lebih lanjut – Terlepas dari perjuangan para pahalawan kita sebagai pelaku

sejarah dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, pahlawan dalam konteks masa kini

perlu ditingkatkan kualitas heroiknya16, termasuk mahasiswa selaku generasi

penerus (iron stock). Hal ini bertalian erat dengan manifestasi yang ketiga yakni

mahasiswa diharapkan mampu me-revitalisasi-kan karakter heroik mahasiswa

dalam aksi-aksi yang berkorelasi pada suara rakyat. Dalam “optik” sejarah hal ini

dapat digambarkan dalam pembabagan sebagai berikut. Periode sebelum

kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya

organisasi Budi Utomo17. Begitu juga ketika mahasiswa berperan sebagai pioner

lahirnya ikrar sumpah pemuda. Selanjutnya, mahasiswa juga berperan mendesak

Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan RI dengan

menculik ke Rengasdengklok, Karawang18. Berlanjut, pada masa orde lama

gerakan mahasiswa mampu menunjukan power-nya kembali sebagai bagian dari

kekuatan rakyat. Mereka berhasil menumbangkan kekuatan rezim Soekarno, yang

berlanjut pada tranformasi dari orde lama menuju orde baru. Kemudian, peran

14 Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut Centang Perentang Krisis Multi

Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 35 15 Dikutip dalam, Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan

Intelektual. (Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013), hal 7 16 Dikutip dalam,op.cit, hal 40 17 Dikutip dalam, Op.Cit, hal 2 18 Dikutip dalam, ibid,

8

mahasiswa yang tidak dapat terelakan lagi ialah tahun 1998 mahasiswa mengalami

keberhasilan dengan gerakannya meruntuhkan orde baru19. Hingga pada akhirnya,

muncul gagasan balance of power yang terjadi antara pemerintah sebagai

pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan20.

Merevitalisasikan jiwa-jiwa kepahlawanan atau “heroisme” mahasiswa di

dalam kehidupan praksis diharapkan mampu melengkapi agenda gerakan restorasi

ini. Jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa terdahulu yang terbukti sahih dalam

membela keadilan dan kebenaran atas nama suara rakyat, hendaknya secara ideal

mampu di revitalisasikan dalam kehidupan praksis mahasiswa di era kekinian.

Dengan demikian, kita harus yakin bahwa mahasiswa pasti mampu bertanggung

jawab terhadap peranannya. Dalam konteks kekinian, pahlawan memang tidak

lepas dari keberanian dalam membela kebenaran, kegigihan dalam

memperjuangkan keadilan dan kemampuan dalam mengatasi problem

kebangsaan21. Hal ini pula lah yang harus dilakukan mahasiswa selaku intelektual

muda dalam bentuk direct of change untuk mencapai gerakan-gerakan kemajuan

(progress movement).

Berpandangan jauh kedepan namun logis, ketika langkah revitalisasi jiwa-

jiwa kepahlawanan mahasiswa mampu di implementasikan di era kekinian, bukan

perkara sulit mewujudkan integrasi politik secara berkelanjutan di bumi Indonesia.

Karena, dalam perkara ini yang diperlukan ialah kehendak bersama (common-will)

untuk mewujudkan integrasi tersebut yakni dengan menciptakan musuh bersama

sebagaimana gaya Soekarno22 dalam menyatukan bangsa Indonesia. Jika kita

kaitkan dengan konteks revitalisasi ini, maka mahasiswa diekspektasikan mampu

menyamakan pandangan (self will) dan mewujudkan kehendak bersama (common-

19 Dikutip dala, Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Pendidikan Generasi Muda dan

Pramuka, (Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes, 2008), hal 95 20 Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 45 21 Baca dan Cermati, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 41 22 “Soekarno adalah salah satu contoh pemimpin yang sangat serius mengupayakan integrasi

nasional pada masa pemerintahannya. Untuk menyatukan bangsa Indonesia, Soekarno mengajukan

suatu musuh atau common-enemy, yaitu liberalisme, individualisme, dan kapitalisme...”

Lebih lanjut, baca dan cermati, Handoyo, Eko, Studi Masyarakat Indonesia, (Semarang: Fakultas

Ilmu Sosial-UnnesPress, 2007), hal 20

9

will) dalam menciptakan integrasi politik secara berkelanjutan yakni dengan

menjunjung tinggi pluralisme kebangsaan.

Jadi, gerakan restorasi ini merupakan upaya revitalisasi jiwa-jiwa

kepahlawanan mahasiswa di era kekinian dan menjadi suatu tawaran solutif dalam

memulihkan kondisi dari sebuah kemunduran (medioker23) menuju gerakan-

gerakan kemajuan (progress movement). Lebih lanjut mahasiswa di manifestasikan

mampu memotivasi diri dan membangkitkan kembali semangat juang dan pantang

menyerah dalam menggabungkan berbagai pandangan (self will) dalam bingkai

perbedaan. Sehingga dapat ditarik benang merah bawasannya peran mahasiswa

selaku intelektual muda dalam mewujudkan integrasi politik di bumi Indonesia

tidaklah perlu di sanksikan lagi. Pandangan jauh kedepan diharapkan mahasiswa

mampu menjawab sebuah tantangan yang pernah di lontarkan oleh Soe Hoek Gie

yakni: “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil

keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu

didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan

benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan

kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”. Buktikan itu

intelektual muda Indonesia! Where there is a will there is a way!

DAFTAR REFERENSI

Buku

Alfian, M Alfan. 2013. Demokrasi Pilihlah Aku: Warna-warni Politik Kita.

Malang: Intrans Publishing

Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas. 2013. Perpecahan HMI: Menggugat

Kebangkitan Intelektual. Jakarta: Bumen Pustaka Emas

Handoyo, Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial-

UnnesPress

Hidayat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Malang: Setara Press

23 Medioker adalah suatu istilah yang mengambarkan sesuatu yang tidak memiliki kelebihan. Baca

Lebih lanjut,

10

Ilahi, Muhammad Takdir. 2012. Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:

Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media

Koesman, Soegeng. 2009. Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut & Centang-

perentang Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi. Yogyakarta: Lokus

Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan. 2008. Pendidikan Generasi Muda dan

Pramuka. Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes

Makalah, Internet, Majalah, dan Surat Kabar

Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM

Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13

Ramadhan 1417 H/ Oktober 2006)------------------------------------------

http://adman.staf.upi.edu/files/2009/08/Mengapa-Mhs-

[email protected]., diunduh pada tanggal 16 November 2013

Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”, Ma-hasiswa

Bibit Kepemimpinan Masa Depan

Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda

sebagai Pilar Penyangga Jati Diri Bangsa” di Universitas Negeri Semarang

(Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang

Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah

Disintegrasi Bangsa,------------------------------------------------------------------

http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada

tanggal 16 November 2013 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional

Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam Rangka Pencegahan

Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada

tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan).

Walidah, Efka. 2013. Mahasiswa itu Harus Berani, Kompas Mahasiswa (Majalah

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang: Edisi 88)

11

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Erman Istanto

Alamat Rumah : Sidamulya, RT 04/05, Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah

T.T.L : Cilacap, 23 November 1993

E – mail : [email protected]

Profesi : Pelajar / Mahasiswa

Universitas : Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial/ Politik dan Kewarganegaraan

No. Ponsel : 087736856655/ 085726385331

Blog : http://wongpinggiran23.blogspot.com/

Prestasi :

1. 10 Besar Finalis Esai Kisah Anti Korupsi – 2012

2. Juara II Lomba Esai Tingkat Umum “Memaknai Sumpah Pemuda” STIKIP

PGRI Jombang – 2013