RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA
Transcript of RESTORASI JIWA JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA
1
LOMBA ESAI BEM FIS UNNES (REVITALISASI JIWA-JIWA
KEPAHLAWAAN DI ERA KEKINIAN)
JUDUL:
RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA
(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK
BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)
Diusulkan oleh:
(Erman Istanto–3301412006–2012 )
Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2013
1
RESTORASI JIWA-JIWA KEPAHLAWANAN MAHASISWA
(SEBAGAI LANGKAH REAL MEWUJUDKAN INTEGRASI POLITIK
BERKELANJUTAN DI BUMI INDONESIA)
Oleh : Erman Istanto*
Politik dan Mahasiswa: Sebuah Telaah Singkat di Era Reformasi
MAHASISWA merupakan aset penerus perjuangan bangsa, aset
pembangunan berkelanjutan, dan aset pemimpin masa depan bangsa. Selanjutnya,
tidak salah jika banyak orang berpandangan bawasannya mahasiswa merupakan
generasi penerus bangsa dengan dengan segala kemampuan intelektual dan
kepemimpinannya. Sebagaimana pandangan yang di lontarkan oleh Ilahi (2012)
bahwa di berbagai belahan dunia, sejarah telah mebuktikan gerakan pemuda (youth
movement), termasuk di dalamnya gerakan mahasiswa, selalu menjadi pelopor
terdepan dalam menentukan masa depan bangsa. Selanjutnya, menjadi sangat benar
jika gerakan mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam mempengaruhi proses
politik yakni sebagai “agent of control social”. Sehingga banyak pandangan yang
menyebutkan bawasannya mahasiswa dan politik adalah dua entitas yang berkaitan
erat satu sama lainnya. Penulis sendiri menakrifkan bawasannya mahasiswa dan
politik merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya. Argumen hipotetikal tersebut memperjelas pandangan kita bahwa dalam
kaitannya dengan politik, pemuda (baca: mahasiswa) secara ideal memiliki peranan
yang laten yakni sebagai “agent of change” dan “agent of social control”.
Namun, jika kita mencermati perjalanan hidup bangsa Indonesia beberapa
dekade terakhir ini nampaknya masyarakat Indonesia tengah mengalami turbulensi
moralitas yang cukup kritis, tak terkecuali mahasiswa selaku generasi penerus
bangsa. Sehingga tidak salah jika Asghar dan Pamungkas berpandangan bahwa
realitas mahasiswa saat ini terjebak pada ruang sempit yang membelenggu
kreatifitas, mematikan kebebasan berpikir, dan mematikan sikap kritis1.
Selanjutnya menyelami pendapat Ilahi secara umum dalam buku-Nasionalisme
dalam Bingkai Pluralitas Bangsa: Paradigma Kemandirian dan Pembangunan
1 Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan Intelektual.
(Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013), hal 5
2
Bangsa-mengungkapkan bahwa generasi muda saat ini sedang mengalami
gelombang traumatis yang cukup pelik. Hal ini dapat digambarkan dalam sisi
faktual dari survey yang dilakukan bidang kemahasiswaan Universitas Negeri
Semarang (Masrukhi, 2009), dimana wajah terakhir menunjukan kelompok idealis
(mahasiswa) presentasinya lebih kecil dibandingkan kelompok lain (dalam: lima
wajah mahasiswa sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya)2 yakni hanya berkisar
10%, dan kebanyakan dari mahasiswa termasuk dalam kelompok rekreatif yang
berorientasi pada gaya yang hidup glamour dan menyukai pesta3. Orientasi
mahasiswa tersebut mengarah pada kecenderungan “Dum vivimus vibaus”, yang
artinya “nikmati hidup selagi masih hidup”4. Berangkat dari pandangan dan
gambaran faktual diatas, jelas bawasannya mahasiswa selaku penerus masa depan
bangsa dewasa ini tengah terjebak dalam mentalitas ke-munafik-an (idiom tidak
satunya kata dengan perbuatan) sehingga terkesan bagai katak dalam tempurung.
Lebih lanjut dalam ranah “anomali” politik di era kekinian – dalam “optik”
yeng berbeda Asghar dan Pamungkas pun menambahkan bahwa mahasiswa tidak
lagi memiliki spirit perjuangan sebagai agen pelopor, agen pembaharu apalagi
disebut agen pencipta5. Dalam prespektif yang hampir sama Adman
menggambarkan bahwa gerakan mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya
pasca reformasi sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub dimana sebagian
mahasiswa telah terlena dalam euforia reformasi sehingga cenderung lebih sering
berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses
politik bangsa ini6. Padahal, dengan munculnya gerakan reformasi 1998 secara
tegas telah memberikan space yang luas bagi pemuda dalam ranah kehidupan sosial
2 Meminjam analisis Ricardi seperti dikutip oleh Masrukhi (2009), tampak lima wajah mahasiswa
sebagai reaksi realitas diri dan sosialnya. Pertama kelompok idealis konfrontatif; kedua adalah
idealis realistis; ketiga adalah kelompok opportunis; keempat adalah kelompok profesional; kelima
adalah kelompok rekreatif.
baca dan cermati Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda sebagai Pilar Penyangga Jati
Diri Bangsa” di Universitas Negeri Semarang (Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang 3 Dikutip dalam, ibid, hal 8 4 Baca, Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut & Centang-perentang
Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 241 5 Dikutip dalam, Op.Cit, Hal 2 6 Dikutip dalam, Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM
Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13 Ramadhan 1417 H/
Oktober 2006), http://adman.staf.upi.edu/files/2009/08/[email protected]
05.doc., diunduh pada tanggal 16 November 2013
3
dan politik. Hal ini, seharusnya mampu meningkatkan peran serta pemuda dalam
pembangunan bangsa. Tapi, hipotesis tersebut hanyalah gambaran “das sollen”
semata yang mana secara faktual sebagian besar mahasiswa saat ini tengah terjebak
dalam sikap “patriotik semu” dengan tendensi “apatis” dan “pragmatis” akan
kehidupan sosial-politik bermasyarakat.
Dari pikiran-pikiran yang dipaparkan di atas mengenai mahasiswa dan
politik di era kekinian, dapat diketahui bagaimana mahasiswa dan politik bagaikan
“dua sisi mata uang” yakni dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Hal ini di perjelas dengan kehadiran dan peran serta mahasiswa
dalam setiap babak perubahan sosial politik bangsa Indonesia itu sendiri – tentunya
dengan semangat heroik-nya. Namun, di sisi faktualnya mahasiswa dewasa ini
cenderung terjebak dalam kerangka berpikir “apatis” dan “pragmatis” terhadap
berbagai dinamika sosial politik yang ada. Sehingga banyak yang mengidentikan
mahasiswa di era kekinian bagaikan “tong kosong nyaring bunyinya”. Dari bunyi
penjelasan tersebut maka tidak dapat tidak, dalam rangka mengembalikan peran
mahasiswa dalam bentangan sosial-politik sebagaimana gambaran ideal yang
sesungguhnya, maka kiranya diperlukan suatu upaya alternatif dan solutif yang
harus dan dapat diterima dalam kehidupan praksis yakni memulihkan kembali jiwa-
jiwa kepahlawanan mahasiswa yang terdahulu. Hal ini di karenakan peran
mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control bukanlah
sekedar predikat belaka, melainkan sebuah harapan yang digantungkan dan
disematkan jutaan masyarakat Indonesia.
Disintegrasi Sosial Politik: Kajian Sederhana Iktiar Refleksi Mahasiswa
(Sebuah Tantangan dan Jawaban)
Distorsi nilai-nilai dari potret kehidupan politik Indonesia yang cenderung
terintervensi oleh “tangan-tangan elit politik” yang semakin jauh dari komitmen
dan konsensus reformasi setidaknya memberikan gambaran akan munculnya
gerakan-gerakan yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Sebagaimana menurut
Supriyatno gerakan-gerakan tersebut dapat berupa protes, unjuk rasa, keresahan dan
kerusuhan yang belum menunjukan tanda-tanda akan surut menyiratkan bahwa
4
tingkat kekacauan yang dialami masyarakat memang cukup serius7. Secara ringkas
Suryo mengungkapkan gejala disintegrasi politik-sosial-budaya yang sering terjadi
di bumi Indonesia pasca reformasi yakni sebagai berikut: 1) aksi-aksi kekerasan
sosial/ anarkis; 2) konflik sosial horisontal ambon, poso, dan lainnya; 3) aksi-aksi
terorisme, pengaruh gerakan global: aksi bom Bali, hotel Marriot, hingga aksi
terorisme pada masa-masa mutakhir; 4) aksi sosial keagamaan: masalah aliran
Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat, dsb; 5) kelahiran gerakan-gerakan beraliran
fundamentalisme dan gerakan-gerakan keagamaan lainnya8. Berangkat dari kajian
tersebut, menjadi sangat relevan jika kita kaitkan dengan pandangan Hoogerwerf
atau Greer dan Orleans sebagaimana dijelaskan Surbakti bahwa pada dasarnya
politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan9. Menanggapi
berbagai permasalahan tersebut penulis berpandangan bawasannya politik secara
ekspilisit memang mengandung potensi konflik, namun hal ini bergantung pada
sosok “siapa” yang memainkan peranan praksis tersebut. Sehingga diperlukannya
political will secara komprehensif-integral untuk memintasi permasalahan tersebut.
Sebagaimana dilansir dalam Kompas (19/11/2013), sebagai generasi muda,
mahasiswa merupakan pemimpin masa depan negeri ini10. Hal tersebut sesuai
dengan pandangan Ilahi (2012) pemuda adalah agen perubahan (agent of change)
dan kontrol sosial (social control), yang diharapkan mampu mengoptimalisasikan
segenap potensinya yang berkembang ke arah perubahan fundamental, demi
memperkuat kukuhnya integritas bangsa di tengah kecamuk persoalan yang
menyerbu bangsa kita. Jika kita kaitkan dua pernyataan tersebut dengan
permasalahan disintegrasi sosial politik diatas, tak bisa di pungkiri bahwa kesan
mahasiswa sebagai agent of change maupun agent of social control masih
7 Baca dan cermati, Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah
Disintegrasi Bangsa, http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada
tanggal 16 November 2013 8 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam
Rangka Pencegahan Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada
tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan). 9 Hidayat, Imam, Teori-teori Politik, (Malang: Setara Press, 2009), hal 95 10 Selengkapnya baca Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”, Ma-
hasiswa Bibit Kepemimpinan Masa Depan, dijelaskan bahwa Sebagai generasi muda , mahasiswa
adalah pemimpin masa depan negeri ini. Untuk itulah mereka dituntut untuk menempa diri menem-
pa dirinya sebagai seorang pemimpin. Dalam sejarah negeri ini mahasiswa adalah motor penggerak
berbagai peristiwa, mulai dari berdirinya Boedi Uotomo, Sumpah Pemuda, kemerdekaan, hingga
gerakan reformasi melengserkan Orde Baru.
5
beradhesif kuat dalam masyarakat. Mereka masih sangat dinantikan gerakan
(movement) dan aksinya (action) dalam bentuk perubahan langsung (direct of
change) yakni melakukan de-radikalisasi secara riil melalui integrasi secara
menyeluruh.
Sebagaimana di sebutkan di muka, penulis mengkomparasikan sisi faktual
mahasiswa dalam bingkai politik di era kekinian dengan probelamatika yang belum
terselesaiakan yakni disintegrasi sosial politik yang nampaknya semakin
menggejala. Hal ini, penulis lakukan sebagai upaya mengilustrasikan bawasannya
mahasiswa perlu merefleksikan dirinya dan menyadari bahwa mereka masih
dinantikan dalam perubahan suatu bangsa. Perlu kaitannya dalam hal ini,
mahasiswa mampu mengubah mindset bahwa mereka harus tetap survive dan tidak
“menghiraukan” segala realitas yang ada. Melainkan mengubah semua itu sebagai
sebuah tantangan bersama yang harus segera diselesaikan. Sebagaimana peribahasa
arab, bahwa pemuda yang baik adalah bukan mengatakan itulah ayah saya, tetapi
inilah saya11. Karena “Pemuda tanpa keberanian tak lebih dari ternak semata”,
itulah salah satu ungkapan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer12.
Menyelami lautan problematika yang sedang dihadapi mahasiswa di era kekinian,
hendaknya kita mampu menghayati dan merefleksikan makna mahasiswa yang
sesungguhnya. Hidup Mahasiswa!
Restorasi Sebagai Upaya Revitalisasi Jiwa-Jiwa Kepahlawanan Mahasiswa di
Era Kekinian (Sebuah Langkah Kongkret Mewujudkan Integrasi Politik di
Bumi Indonesia)
Setelah membahas secara singkat mengenai politik dan mahasiswa yang
diawali dengan sisi faktual mahasiswa di era kekinian dan disusul dengan
munculnya problematika yang “cukup” krusial yakni disintegrasi politik di bumi
Indonesia, maka pada bagian ini dilanjutkan dengan uraian ringkas mengenai tindak
lanjut dari refleksi singkat mahasiswa di era kekinian. Satu yang dapat digagaskan
penulis sebagai salah satu bentuk kongkretisasi peran mahasiswa selaku agent of
11 Lihat, Alfian, M Alfan, Demokrasi Pilihlah Aku: Warna-warni Politik Kita. (Malang: Intrans
Publishing, 2013), hal 163 12 Baca, Walidah, Efka, Mahasiswa itu Harus Berani, Kompas Mahasiswa (Majalah Mahasiswa
Universitas Negeri Semarang: Edisi 88), hal 7
6
change dan agent of control social di era kekinian yang mulai terkikis yakni melalui
upaya revitalisasi jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa. Namun, dalam me-
revitalisasi-kan jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa di era kekinian bukanlah
perkara yang mudah, terdapat banyak tantangan yang harus di hadapi oleh
mahasiswa untuk mewujudkannya. Salah satu tantangan yang harus di hadapi oleh
mahasiswa untuk mengembalikan eksistensi sejarah heroik pemuda yang mulai
terkikis yakni melalui gerakan restorasi. Gerakan ini dimanifestasikan akan menjadi
sebuah upaya solutif menciptakan kembali power mahasiswa di era kekinian.
Karena selama ini kelemahan mendasar bangsa Indonesia dalam melakukan
perubahan yakni belum adanya pemahaman mendalam (deep understanding)
sehingga memiliki kecenderungan berjalan “setengah-setengah”.
Sesuai dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi
merupakan pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Tujuannya jelas,
bahwa nantinya peran mahasiswa yang dielaborasikan dengan gerakan restorasi
diharapkan mampu memberikan angin segar dalam upaya mewujudkan jiwa-jiwa
kepahlawanan masa kini, terutama mahasiswa selaku intelektual muda. Manifestasi
dari gerakan restorasi ini yang pertama ialah mahasiswa hendaknya mampu
mengoptimalisasikan peranannya dalam upaya memperbaiki dan memulihkan
kembali jati diri mereka selaku “agent of change” dan “agent of social control”
secara fundamental, komprehensif, dan integral. Karena, peran yang di sandang
pemuda termasuk mahasiswa ini, masih sangat efektif dan kreatif dalam
memosisikan peran pemuda di tengah-tengah kehidupan masyarakat13.
Manifestasi yang kedua ialah bagaimana gerakan ini hendaknya mampu
mengembalikan paradigma dan peranan mahasiswa dalam upaya memperbaiki dan
memulihkan kembali nilai-nilai perbedaan dalam bingkai “kebhinnekaan”. Karena,
pluralitas bukanlah fenomena baru di Indonesia, bahkan hal ini sudah menjadi
keniscayaan dan realitas sosial, dengan demikian menjadi nalar baku yang harus
diterima oleh setiap entitas masyarakat manapun. Dalam konteks kekinian, gerakan
restorasi “heroisme” mahasiswa memiliki peranan yang vital dalam memintasi
disintegrasi politik. Sebagaimana pendapat Koesman menyatakan bahwa dahulu
13 Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:
Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 40
7
dunia politik di dasari ideologi yang hakiki dan heroik yang memperjuangkan
kebebasan dari belenggu penjajahan demi tercapainya kemerdekaan bangsa, tetapi
sekarang telah berubah menjadi politik kepentingan pribadi dan golongan14. Jelas
bawasannya dewasa kini, stigma politik telah disalah artikan menuju politik
kepentingan dalam artian negatif. Oleh sebab itu, salah satu agenda gerakan
restorasi ini mengandung faedah agar mahasiswa (secara praktis) dapat
meningkatkan kualitas silahturahminya untuk mewujudkan dambaan menuju
orientasi yang lebih baik dalam bingkai perbedaan. Sesuai pendapat Anas
Urbaningrum yang berpandangan bahwa, para pemuda adalah generasi baru yang
kepribadiannya tidak akan pernah terbelah oleh realitas dan tantangan
kemajemukan Indonesia, dan justru akan menjadi salah satu tali kesadaran yang
mengikat keindonesiaan kita15.
Lebih lanjut – Terlepas dari perjuangan para pahalawan kita sebagai pelaku
sejarah dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, pahlawan dalam konteks masa kini
perlu ditingkatkan kualitas heroiknya16, termasuk mahasiswa selaku generasi
penerus (iron stock). Hal ini bertalian erat dengan manifestasi yang ketiga yakni
mahasiswa diharapkan mampu me-revitalisasi-kan karakter heroik mahasiswa
dalam aksi-aksi yang berkorelasi pada suara rakyat. Dalam “optik” sejarah hal ini
dapat digambarkan dalam pembabagan sebagai berikut. Periode sebelum
kemerdekaan, mahasiswa sebagai kaum terpelajar mempelopori terbentuknya
organisasi Budi Utomo17. Begitu juga ketika mahasiswa berperan sebagai pioner
lahirnya ikrar sumpah pemuda. Selanjutnya, mahasiswa juga berperan mendesak
Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan RI dengan
menculik ke Rengasdengklok, Karawang18. Berlanjut, pada masa orde lama
gerakan mahasiswa mampu menunjukan power-nya kembali sebagai bagian dari
kekuatan rakyat. Mereka berhasil menumbangkan kekuatan rezim Soekarno, yang
berlanjut pada tranformasi dari orde lama menuju orde baru. Kemudian, peran
14 Koesman, Soegeng, Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut Centang Perentang Krisis Multi
Dimensi di Era Reformasi, (Yogyakarta: Lokus, 2009), hal 35 15 Dikutip dalam, Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas, Perpecahan HMI: Menggugat Kebangkitan
Intelektual. (Jakarta: Bumen Pustaka Emas, 2013), hal 7 16 Dikutip dalam,op.cit, hal 40 17 Dikutip dalam, Op.Cit, hal 2 18 Dikutip dalam, ibid,
8
mahasiswa yang tidak dapat terelakan lagi ialah tahun 1998 mahasiswa mengalami
keberhasilan dengan gerakannya meruntuhkan orde baru19. Hingga pada akhirnya,
muncul gagasan balance of power yang terjadi antara pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan dan rakyat sebagai pengontrol segala kebijakan20.
Merevitalisasikan jiwa-jiwa kepahlawanan atau “heroisme” mahasiswa di
dalam kehidupan praksis diharapkan mampu melengkapi agenda gerakan restorasi
ini. Jiwa-jiwa kepahlawanan mahasiswa terdahulu yang terbukti sahih dalam
membela keadilan dan kebenaran atas nama suara rakyat, hendaknya secara ideal
mampu di revitalisasikan dalam kehidupan praksis mahasiswa di era kekinian.
Dengan demikian, kita harus yakin bahwa mahasiswa pasti mampu bertanggung
jawab terhadap peranannya. Dalam konteks kekinian, pahlawan memang tidak
lepas dari keberanian dalam membela kebenaran, kegigihan dalam
memperjuangkan keadilan dan kemampuan dalam mengatasi problem
kebangsaan21. Hal ini pula lah yang harus dilakukan mahasiswa selaku intelektual
muda dalam bentuk direct of change untuk mencapai gerakan-gerakan kemajuan
(progress movement).
Berpandangan jauh kedepan namun logis, ketika langkah revitalisasi jiwa-
jiwa kepahlawanan mahasiswa mampu di implementasikan di era kekinian, bukan
perkara sulit mewujudkan integrasi politik secara berkelanjutan di bumi Indonesia.
Karena, dalam perkara ini yang diperlukan ialah kehendak bersama (common-will)
untuk mewujudkan integrasi tersebut yakni dengan menciptakan musuh bersama
sebagaimana gaya Soekarno22 dalam menyatukan bangsa Indonesia. Jika kita
kaitkan dengan konteks revitalisasi ini, maka mahasiswa diekspektasikan mampu
menyamakan pandangan (self will) dan mewujudkan kehendak bersama (common-
19 Dikutip dala, Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Pendidikan Generasi Muda dan
Pramuka, (Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes, 2008), hal 95 20 Dikutip dalam, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:
Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 45 21 Baca dan Cermati, Ilahi, Muhammad Takdir, Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:
Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 41 22 “Soekarno adalah salah satu contoh pemimpin yang sangat serius mengupayakan integrasi
nasional pada masa pemerintahannya. Untuk menyatukan bangsa Indonesia, Soekarno mengajukan
suatu musuh atau common-enemy, yaitu liberalisme, individualisme, dan kapitalisme...”
Lebih lanjut, baca dan cermati, Handoyo, Eko, Studi Masyarakat Indonesia, (Semarang: Fakultas
Ilmu Sosial-UnnesPress, 2007), hal 20
9
will) dalam menciptakan integrasi politik secara berkelanjutan yakni dengan
menjunjung tinggi pluralisme kebangsaan.
Jadi, gerakan restorasi ini merupakan upaya revitalisasi jiwa-jiwa
kepahlawanan mahasiswa di era kekinian dan menjadi suatu tawaran solutif dalam
memulihkan kondisi dari sebuah kemunduran (medioker23) menuju gerakan-
gerakan kemajuan (progress movement). Lebih lanjut mahasiswa di manifestasikan
mampu memotivasi diri dan membangkitkan kembali semangat juang dan pantang
menyerah dalam menggabungkan berbagai pandangan (self will) dalam bingkai
perbedaan. Sehingga dapat ditarik benang merah bawasannya peran mahasiswa
selaku intelektual muda dalam mewujudkan integrasi politik di bumi Indonesia
tidaklah perlu di sanksikan lagi. Pandangan jauh kedepan diharapkan mahasiswa
mampu menjawab sebuah tantangan yang pernah di lontarkan oleh Soe Hoek Gie
yakni: “Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil
keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu
didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan
benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan
kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun”. Buktikan itu
intelektual muda Indonesia! Where there is a will there is a way!
DAFTAR REFERENSI
Buku
Alfian, M Alfan. 2013. Demokrasi Pilihlah Aku: Warna-warni Politik Kita.
Malang: Intrans Publishing
Asghar, Ali dan Aridho Pamungkas. 2013. Perpecahan HMI: Menggugat
Kebangkitan Intelektual. Jakarta: Bumen Pustaka Emas
Handoyo, Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial-
UnnesPress
Hidayat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Malang: Setara Press
23 Medioker adalah suatu istilah yang mengambarkan sesuatu yang tidak memiliki kelebihan. Baca
Lebih lanjut,
10
Ilahi, Muhammad Takdir. 2012. Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa:
Paradigma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Koesman, Soegeng. 2009. Membangun Karakter Bangsa: Carut-marut & Centang-
perentang Krisis Multi Dimensi di Era Reformasi. Yogyakarta: Lokus
Tim Jurusan Politik dan Kewarganegaraan. 2008. Pendidikan Generasi Muda dan
Pramuka. Semarang: Jurusan Politik dan Kewarganegaraan-FIS-Unnes
Makalah, Internet, Majalah, dan Surat Kabar
Adman, Pergerakan Kemahasiswaan(Disampaikan pada Kegiatan LDKM
Himpunan Mahasiswa Program Studi Manajemen Perkantoran, Jum’at, 13
Ramadhan 1417 H/ Oktober 2006)------------------------------------------
http://adman.staf.upi.edu/files/2009/08/Mengapa-Mhs-
[email protected]., diunduh pada tanggal 16 November 2013
Kompas (19/11/2013), dalam kolom Tantangan “Kompas Kampus”, Ma-hasiswa
Bibit Kepemimpinan Masa Depan
Masrukhi. 2012. Mahasiswa: Dalam Bentangan Diamika Sosial. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Membangun Idealisme Pemuda
sebagai Pilar Penyangga Jati Diri Bangsa” di Universitas Negeri Semarang
(Tidak Diterbitkan). Universitas Negeri Semarang
Supriyanto, Yanto, Peran Komunikasi Politik Pemerintah dalam Mencegah
Disintegrasi Bangsa,------------------------------------------------------------------
http://portalgaruda.org/download_article.php?article=19748, diunduh pada
tanggal 16 November 2013 Suryo, Djoko, 2012, Kewaspadaan Nasional
Terhadap Ancaman Disintegrasi Nasional Dalam Rangka Pencegahan
Terorisme. Makalah disampaikan pada Panel PPSA XVII Lemhanas RI, pada
tanggal 20 April 2011 (tidak diterbitkan).
Walidah, Efka. 2013. Mahasiswa itu Harus Berani, Kompas Mahasiswa (Majalah
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang: Edisi 88)
11
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Erman Istanto
Alamat Rumah : Sidamulya, RT 04/05, Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah
T.T.L : Cilacap, 23 November 1993
E – mail : [email protected]
Profesi : Pelajar / Mahasiswa
Universitas : Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Fakultas/Jurusan : Fakultas Ilmu Sosial/ Politik dan Kewarganegaraan
No. Ponsel : 087736856655/ 085726385331
Blog : http://wongpinggiran23.blogspot.com/
Prestasi :
1. 10 Besar Finalis Esai Kisah Anti Korupsi – 2012
2. Juara II Lomba Esai Tingkat Umum “Memaknai Sumpah Pemuda” STIKIP
PGRI Jombang – 2013