Prinsip Manajemen FT Kondisi Degeneratif 1
Transcript of Prinsip Manajemen FT Kondisi Degeneratif 1
Tugas Manajemen Fisioterapi Musculosceletal
PREVIEW HEALING PROCESSSOFT TISSUE AND FRACTURE
Oleh
Kelompok 8
1. Nur Awalia Syahri Ramadhani (C131 12 256)2. Fitrah Fatiyah (C131 12)3. Andi Rahmayana Tenri Ajeng (C131 124. Ilmiati Inding (C131 125. Dewi Retnosari C.S.O (C131 12
PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Glosarium
BAB I OSTEOARTHRITIS
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Banding
BAB II RHEUMATOID ARTHRITIS
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Banding
BAB III SPONDILOSIS
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Banding
BAB IV SPONDILOLITIS
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Banding
BAB V SPONDILOSTHESIS
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Bandin
BAB VI SPONDILITIS ANKILOSING
A. PENDAHULUAN
B. PATOLOGI
1. Defenisi
2. Epidemiologi
3. Etilogi
4. Patomekanisme
5. Gambaran Klinis
6. Diagnosis Banding
Daftar Pustaka
GLOSARIUM
Degeneratif – kemunduran; perubahan dari bentuk yang
lebih tinggi ke bentuk yang lebih
rendah; terutama perubahan jaringan
menjadi bentuk yang lebih rendah atau
secara fungsional kurang aktif;
penurunan fungsional.
Trauma
Okupasional –
Hallux valgus – pembengkokan ibu jari kaki menuju jari-
jari kaki lainnya.
Hallux rigidus – deformitas fleksi yang nyeri pada ibu
jari kaki, disertai keterbatasan gerak
sendi metatarsophalangeal.
Ochronosis – pengendapan pigmen berwarna gelap dalam
jaringan tubuh, biasanya sekunder
akibat alkaptonuria, ditandai dengan
urine yang menjadi gelap kalau
dibiarkan terbuka serta perubahan warna
sclera dan telinga menjadi kehitaman.
Hemocromatosis – pengendapan abnormal besi di dalam sel-
sel hati, menyebabkan kerusakan
jaringan; disfungsi hati, pancreas,
jantung, dan hipofisis; serta kulit
berwarna perunggu.
Gout – sekelompok gangguan metabolism purin
dan pirimidin, ditandai dengan typhi
yang menimbulkan serangan arthritis
inflamatorik akut proksimal berulang
yang biasanya mengenai sendi perifer
tunggal, biasanya berespons terhadap
kolkisin, dan biasanya diikuti dengan
remisi total; hiperurisemia dan
urolitiasis asa urat juga dijumpai pada
kasus yang telah berkembang sempurna
Akromegali – kelainan pembesaran ekstremitas,
disebabkan oleh
hipersekresi hormone pertumbuhan
setelah dewasa
Displasia – perpindahan dari posisi atau tempat
yang normal
Osteonecrosis
Charcot Arthropathi –
Kashin-Beck –
Penyakit Mselani –
Proteoglikan – setiap kelompok konjugat protein
polisakarida yang terdapat dalam
jaringan ikat dan kartilago, terdiri
dari rangka polipeptida yang membentuk
ikatan kovalen dengan banyak rantai
glikosaminoglikan; konjugat tersebut
membentuk substansi dasar matriks
ekstraselular jaringan ikat dan
berfungsi juga sebagai pelumas dan
penyokong
Kolagen – setiap anggota family protein
ekstraselular yang berhubungan erat dan
merupakan komponen utama jaringan ikat,
memberika kekuatan dan fleksibilitas;
terdiri atas molekul-molekul
tropokolagen
Krepitasi – suara berderak, seperti saat bila kita
menggesekkan ujung-ujung tulang yang
patah
BAB I
OSTEOARTRITIS
A. PENDAHULUAN
Kondisi osteoartritis merupaka suatu penyakit
degeneratif pada persendian yang disebabkan oleh
beberapa macam faktor. Penyakit ini mempunyai
karakterisitik berupa terjadinya kerusakan pada
kartilago (tulang rawan sendi). Kartilago merupakan
suatu jaringan keras bersifat licin yang melingkup
sekitar bagian akhir tulang keras di dalam persendian.
Jaringan ini berfungsi sebagai penghalus gerakan
antar-tulang dan sebagai peredam (shock absorber) pada
saat persendian melakukan aktivitas atau gerakan
(Zairin Noor Helmi, 2012).
B. PATOFISIOLOGI
1. Defenisi
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang
bergerak. Penyakit ini berifat kronik, berjalan
progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai
dengan adanya deteriorasi dan barasi rawan sendi dan
adanya pembentukan tulang baru pada permukaan
persendian (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson,
2003)
2. Epidemiologi
Osteoartritis adalah bentuk artirits yang
paling umum, dengan jumlah pasiennya sedikit
melampaui separuh jumlah pasien artritis. Gangguan
ini sedikit lebih banyak pada perempuan dari pada
laki-laki dan terutama ditemukan pada orang-orang
yang berusia lebih dari 45 tahun. Penyakit ini
pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal,
sebab insidens bertambah dengan meningkatnya usia.
Osteoartritis dahulu diberi nama artritis “yang
rusak karena dipakai” karena sendi namun menjadi aus
dengan bertambahnya usia. Tetapi, temuan-temuan yang
lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik
telah menyanggah teori ini (Sylvia A. Price &
Lorraine M. Wilson, 2003).
3. Etilogi
Faktor resiko pada osteoartritis, meliputi hal-hal
sebagai berikut.
a. Peningkatan usia. Osteoartritis biasanya terjadi
pada manusia usia lanjut, jarang dijumpai
penderita osteoartritis yang berusia di bawah 40
tahun.
b. Obesitas. Membawa beban lebih berat akan membuat
sendi sambungan tulang bekerja lebih berat,
diduga memberi andil terjadinya osteoartritis.
c. Jenis kelamin wanita.
d. Trauma.
e. Infeksi sendi.
f. Trauma okupasional.
g. Faktor genetik. Beberapa kasus orang lahir dengan
kelainan sendi tulang akan lebih besar
kemungkinan mengalami osteoartritis.
h. Riwayat peradangan sendi.
i. Gangguan neuromuscular.
j. Gangguan metabolic (Zairin Noor Helmi, 2012).
4. Patomekanisme
a. Klasifikasi
Osteoartritis dibagi menjadi dua, yaitu
Osteoarthritis primer dan Osteoarthritis
sekunder. Osteoarthritis primer penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan tidak berhubungan
dengan kelainan sistemik. Sedangkan OA sekunder
disebabkan oleh kelainan endokrin, inflamasi,
metabolik, kelinan pertumbuhan dan herediter,
jejas makro dan mikro, dan imobilisasi yang
terlalu lama.
1) Primer/Idiopatik
a) Lokal
Tangan (benjolan Herbenden dan Bouchard=
Osteoarthritis yang erosif)
Kaki (Hallux valgus, hallux rigidus)
Lutut (patellofemoral)
Pinggul (benjolan tulang punggung)
b) Menyeluruh (Generalized Osteoarthritis)
2) Sekunder
a) Trauma (Akut dan Kronis)
b) Kongenital
Lokal (Misalnya pergeseran sendi pangkal
paha yang kongenital, kepala tulang paha
tergelincir dari rongga sendi)
Faktor mekanik
Displasia tulang
c) Metabolik (Ochronosis, Hemocromatosis, gout)
d) Endokrin (Akromegali, diabetes, dan
obesitas). Penyakit tulang persendian lain
(Osteonecrosis Charcot Arthropathi,
Rheumatoid Arthritis, dan Gout)
e) Penyakit dengan penyebab yang masih belum
jelas misalnya penyakit Kashin-Beck dan
penyakit Mselani (Faisal Yatim, 2006).
b. Patofisiologi
Kondrosit adalah sel yang tugasnya
membentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan
sendi. Dengan alasan-alasan yag masih belum
diketahui, sintesis proteoglikan dan kolagen
meningkat tajam pada osteoarthritis. Tetapi,
substansi ini juga dihancurkan dengan kecepatan
yang lebih tinggi, sehingga pembentukan tidak
mengimbangi kebutuhan. Sejumlah kecil kartilago
tipe I menggantian tipe II yang normal, sehingga
terjadi perubahan pada diameter dan orientasi
serat kolagen yang mengubah biomekanika dari
kartilago. Rawan sendi kemudian kehilangan sifat
kompresibilitasnya yang unik. Walaupin penyebab
yang sebenanrnya dari osteoarthritis tetap belum
diketahui, tetap kelihatannya dengan proses
penuaan ada hubungannya dengan perubahan-
perubahan dalam fungsi kondrosit, menimbulkan
perubahan pada komposisi rawan sendi yang
mengarah pada perkembangan osteoarthritis.
Faktor-faktor genetik memainkan peranan
pada beberapa bentuk osteoarthritis. Perkembangan
osteoarthritis sendi-sendi interfalang distal
tangan (Nodus Herbenden) dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan lebih dominan ada perempuan. Nodus
Herbenden 10 kali lebih dominan pada perempuan
dibandingkan laki-laki.
Hormon seks dan faktor-faktor hormonal
juga kelihatan berkaitan dengan estrogen dan
pembentukan tulang dan prevalensi osteoarthritis
pada perempuan menunjukkan bahwa hormone
memainkan peranan aktif dalam perkembangan dan
progresifitas penyakit ini.
Sendi yang paling sering terserang oleh
osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus
memikul beban tubuh, antara lain lutut, panggul,
vertebra lumbal dan servikal, dan sendi-sendi
pada jari. Gambaran osteoarthritis yang khas
adalah lebih seringnya keterlibatan sendi falang
distal dan proksimal, sementara sendi metacarpal
keduanya terserang, namun sendi interfalang
distal tidak terlibat.
Osteoarthritis terutama menyebabkan
perubahan-perubahan biomekanika dan biokimia di
dalam sendi; penyakit ini bukan suatu gangguan
peradangan. Namun sering kali perubahan-perubahan
di dalam sendi ini disertai oleh sinovitis,
menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman
(Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2003).
Perkembangan osteoarthritis terbagi atas
tiga fase, yaitu sebagai berikut:
1) Fase 1
Terjadi penguraian proteoglikan pada matriks
kartilago. Metabolisme kondrosit menjadi
terpengaruh dan meningkatkan produksi enzim
seperti metalloproteinase yang kemudian hancur
dalam matriks kartilago. Kondrosit juga
memproduksi penghambat protease yang akan
mempengaruhi proteolitik. Kondisi ini
memberikan manifestasi pada penipisan
kartilago.
2) Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari
permukaan kartlago, disertai adanya pelepasan
proteglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
sinovia.
3) Fase 3
Proses penguraian dari produk kartilago yang
menginduks respon inflamasi padasinovia.
Produksi makrofag sinovia seperti interlukin 1
(IL-1), Tumor Necrosis factor-alpha (TNFα), dan
metalloproteinases menjadi meningkat. Kondisi
ini memnerikan manifestasi balik pada kartilago
dan secara langsung memberikan dampak adanya
destruksi pada kartilago. Molekul-molekul pro-
inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO)
juga ikut terlibat. Kondisi ini memberikan
manifestasi perubahan arsitektur sendi, dan
memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang
akibat stabilitas sendi. Perubahan arsitektur
sendii dan stress inflamasi memberikan pengaruh
pada permukaan articular menjadikan kondisi
gangguan yang progresif (Zairin Noor Helmi,
2012).
c. Prognosis
Prognosis biasanya berjalan lambat. Problem
utama yang sering dijumpai adalah nyeri apabila
sendi tersebut dipakai dan meningkatnya
ketidakstabilan bila harus menanggung beban,
terutama pada lutut. Masalah ini berarti bahwa
orang tersebut harus membiasakan diri dengan cara
hidup baru. Cara hidup baru ini sering kali
meliputi perubahan pola makan yang sudah
terbentuk seumur hidup dan olahraga, manipulasi
obat-obatan yang diberikan, dan pemakaian alat-
alat pembantu (Sylvia A. Price & Lorraine M.
Wilson, 2003).
5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa
nyeri sendi, terutama apabila sendi digerakkan atau
menaggung beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila
pasien beristirahat, dan bertambah bila sendi di
gerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula
terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak
digerakkan beberapa lama, tetapi kekauan ini akan
menghilang setelah sendi digerakkan. Kekakuan pada
pagi hari, jika terjadi, biasanya hana bertahan
beberapa selama beberapa menit, bila dibandingkan
dengan kekakuan sendi di pagi hari yang sebabkan
oleh Rheumatoid Arthritis yang terjadi lebih lama.
Spasme otot atau tekanan pada saraf daerah sendi
yang terganggun adalah sumber nyeri. Gambaran
lainnya adalah keterbatasan dalam gerakan (terutama
tidak dapat berekstensi penuh), nyeri tekan local,
pembesaran tulang sendi, sedikit efusi sendi, dan
krepitasi.
Perubahan yang khas terjadi pada tangan. Nodus
Heberden atau pembesaran tulang sendi interphalangs
distal sering dijumpai. Nodus Bouchard lebih jarang
ditemukan, yaitu pembesaran tulang sendi proksimal.
Perubahan yang khas juga terlihat pada tulang
belakang, yang akan menjadi nyeri, kaku, dan
mengalami keterbatasan dalam bergerak (ROM).
Pertumbuhan tulang yang berlebihan atau spur dapat
mengiritasi radiks yang keluar dari ujung tulang
vertebra. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
perubahan neuromuscular, seperti nyeri, kekakuan,
dan keterbatasan gerak. Ada beberapa orang yang
mengeluh sakit kepala sebagai akibat langsung dari
osteoarthritis pada tulang belakang bagian leher
(Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2003).
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk Osteoarthritis adalah
sebagai berikut:
a. Nekrosis avaskuler, baik yang idiopatik ataupun
sekunder
b. Arthritis rheumatoid, pada stadium awal sulit
dibedakan karena sama-sama ditemukan nyeri dan
inflamasi pada jari tangan. Pada stadium lanjut
lebih mudah dibedakan, pada arthritis rheumatoid
kelainan terutama pada distal interfalang dan
metakarpofalangeal.
c. Artritis psoriatic
d. Arthritis gout
e. Arthritis tuberkulosa
Osteoarthritis kadang dikelirukan dengan
Arthritis rheumatoid. Pada Arthritis rheumatoid
bentuk paling umum kedua arthritis, sistem imun
menyerang jaringan-jaringan sendi, menyebabkan
nyeri, inflamasi/peradangan, dan bahkan kerusakan
dan malformasi sendi, dan membuat penderita merasa
sakit, lelah, dan demam yang luar biasa (NIAMS,
2000).
BAB II
RHEUMATOID ARTHTRITIS
A. PENDAHULUAN
Radang sendi atau artritis reumatoid merupakan
penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang
oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan
peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini
menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi,
yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan
struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan
penipisan tulang.
B. PATOFISIOLOGI
1. Defenisi
Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronik
yang menyerang berbagai berbagai sistem organ.
Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok
jaringan ikat difus yang diperantarai oleh imunitas
dan ditak diketahui penyebabnya. Pada pasien
biasanya terjadi destruksi sendi progresif, walaupun
episode peradangan sendi dapat mengalami masa remisi
(Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2003).
2. Epidemiologi
Di seluruh dunia, kejadian tahunan AR adalah 3kasus per 10.000 pendudu, dan tingkat prevalensisekitar 1%. Remisi klinis spontan bersifat jarang(sekitar 5-10%). AR terjadi 2-3 kali lebih seringterjadi pada wanita dibandingkan pada pria.Frekuensi AR puncaknya terjadi pada usia 35 sampai50 tahun.
Pada pasien AR terjadi penurunan harapan hidup 5-10 tahun, meskipun angka kematian mungkin lebihrendah pada mereka yang merespons terhadap terapi.Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematiantermasuk infeksi, penyakit jantung, penyakit ginjal,pendarahan GI, dan gangguan limfoproliferatif.Peristiwa ini dapat langsugn disebabkan olehpenyakit dan kompikasinya (misalnya vaskulitis danangiloidosis) atau efek samping akibat terapi(Zairin Noor Helmi, 2012)
Arthritis rheumatoid kira 2½ kali lebih seringmenyerang perempuan daripada laki-laki. Insidensmeningkat dengan bertambahnya usia, terutama padaperempuan. Insidens puncak adalah antara 40 sampai60 tahun. Penyakit ini menyerang orang-orang diseluruh dunia dari berbagai suku dan bangsa. Sekitar1% orang dewasa menderita arthritis rheumatoid yangjelas, dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikatsetiap tahun timbul kira-kira 750 kasus baru persatu juta penduduk (Sylvia A. Price & Lorraine M.Wilson. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-prosespenyakit. 2003)
3. Etiologi
Penyebab penyakit Rheumatoid Arthritis belum
diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya
adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati,
Manurung & Raenah, 2008).
Agen spesifik penyebab arthritis rheumatoid
belum dapat dipastikan, tetapi jelas ada interaksi
factor genetik dengan faktor lingkungan (Maini dan
Feldmann,1998:Blab et al.,1999).
Penyebab AR tidak diketahui. Faktor genetik,
lingkungan, hormone, imunologi, dan faktor-faktor
infeksi mungkin memainkan peran penting (Zairin Noor
Helmi, 2012)
4. Patomekanisme
a) Klasifikasi
Klasifikasi penyakit Rheumatoid Arthritis
menjadi 4 tipe, yaitu:
I. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini
harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
II. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini
harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
III. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini
harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 6
minggu.
IV. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini
harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus
menerus, paling sedikit dalam waktu 3
bulan (Buffer. 2010).
Kriteria diagnosis artritis reumatoid menurut
American Reumatism Association (ARA) adalah :
1. Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari
(Morning stiffness).
2. Nyeri pada pergerakkan sendi atau nyeri tekan
sekurang-kurangnya pada satu sendi.
3. Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak
atau oleh efusi cairan) pada salah satu sendi
secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama
6 minggu.
4. Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu
sendi lain.
5. Pembengkakan sendi yang bersifat simetris.
6. Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di
daerah ekstensor.
7. Gambaran foto rontgen yang khas pada artritis
reumatoid.
8. Uji aglutinasi faktor reumatoid.
9. Pengendapan cairan musin yang jelek.
10. Perubahan karakteristik histologik lapisan
sinovia.
11. Gambaran histologik yang khas pada nodul
(American Reumatism Association (ARA)).
b) Patofisiologi
AR tidak diketahui penyebabnya. Meskipun
etiologi infeksi telah berspekulasi bahwa
penyebabnya adalah organisme Mikoplasma, virus
Epstein-Barr, parvovirus, dan rubella, tapi tidak
ada organisme yang terbukti bertanggung jawab. AR
dikaitkan dengan banyak respons autoimun, tetapi
apakan autoimunitas merupaka peristiwa sekunder
atau primer masih belum diketahui.
AR memiliki komponen genetik yang signifikan
dan berbagi etitopdari cluster HLA-DR4/DR1 hadir
pada 90% pasien dengan RA. Hiperplasia sel cairan
sendi dan aktivasi sel endotel adalah kejadian
pada awal proses patologis yang berekembang
menjadi peradangan yang tidak terkontrol dan
berakibat pada kehancuran tulang dan tulang
rawan. Faktor genetik dan kelainan sistem
kekebalan berkontribusi terhadap progresvitas
penyakit (Zairin Noor Helmi, 2012)
c) Prognosis
Klinis RA bersifat suatu eksasebasi dan remisi.
Sekitar 40% dari pasien dengan RA menjadi cacat
setelah 10 tahun, tetapi hasilnya sangat
bervarias. RA yang tetap terus-menerus aktif
selama lebih dari satu tahun mungkin akan
menyebabkan cacat sendi. Periode progresivitas
berlangsung hanya beberapa minggu atau beberapa
bulan diikuti oleh remisi spontan.
Tingkat kematian pada pasien dengan RA
dialporkan 2,5 kali dari populasi umum yorang
dengan penyakit articular dan ekstraartikular
berat, seperti penyakit coroner atau penyakit
Hodkin stadium IV. Sebagian besar berasal dari
infeksi, vaskulitis, dan gizi buruk.
5. Gambaran Klinis
a) Nyeri persendian
b) Bengkak (Rheumatoid nodule)
c) Kekakuan pada sendi terutama setelah bangun tidur
pada pagi hari
d) Terbatasnya pergerakan
e) Sendi-sendi terasa panas
f) Demam (pireksia)
g) Anemia
h) Berat badan menurun
i) Kekuatan berkurang
j) Tampak warna kemerahan di sekitar sendi
k) Perubahan ukuran pada sendi dari ukuran normal
l) Pasien tampak anemic
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk
kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu
makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi
dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya
paling sering di pagi hari. Disamping itu juga
manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat
bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium
serta beratnya penyakit. Rasa nyeri,
pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi
merupakan gambaran klinis yang klasik untuk
rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002).
Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah
mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan
menurun, anemia (Long, 1996).
Rheumatoid Arthritis (RA) biasanya ditandai
dengan gejala umum nyeri pada sendi dan disertai
dengan bengkak. Pada umumnya gejala awal yang
dirasakan adalah penderita merasa kaku dan nyeri
sendi pada pagi hari selama 60 menit. Nyeri dan
kekakuan tersebut berlangsung setiap hari dan
sering pula disertai kemerahan pada sendi yang
nyeri tersebut. Biasanya pasien menyadari hal ini
pertama kalinya pada jari-jari tangannya. Pada
tahap awal biasanya jarang terjadi pembengkakan
sendi, dan pembengkakan ini baru terlihat
beberapa bulan setelah timbul rasa nyeri dan
kaku.
6. Diagnosis Banding
Artritis reumatoid harus dapat dibedakan dengan
kelainan-kelainan yang menyebabkan poliartritis
yaitu :
a) Ankilosing spondilitis.
b) Penyakit Reiter.
c) Artritis gout.
d) Demam reumatik.
e) Osteoartritis
BAB III
SPONDYLOSIS
A. Pendahuluan
Spondylosis adalah sejenis penyakit rematik yang
menyerang tulang belakang (spine osteoarthritis)
yang disebabkan oleh proses degenerasi sehingga
mengganggu fungsi dan struktur tulang belakang.
Spondylosis dapat terjadi pada level leher (cervical),
punggung tengah (thoracal), maupun punggung bawah
(lumbal). Proses degenerasi dapat menyerang sendi
antar ruas tulang belakang, tulang dan juga
penyokongnya (ligament).
B. Patofisiologi
1. Defenisi
Spondilitis (spondylitis) mengacu pada rasa sakit
punggung kronis dan kekakuan yang disebabkan oleh
infeksi parah pada atau peradangan pada sendi
tulang belakang. Spondilitis juga dikenal sebagai
sejenis penyakit rematik yang menyerang tulang
belakang (spine osteoarthritis) yang disebabkan
oleh proses degenerasi sehingga mengganggu fungsi
dan struktur tulang belakang. Spondilisis yang
paling umum terjadi adalah spondilisis lumbal.
2. Epidemiologi
Dari temuan radiografik (Holt, 1966) kejadian
spondilitis sekitar 13% pada pria usia 30-an, dan
100% pada pria usia 70-an. Sedangkan pada wanita
umur 40-an 5% dan umur 70-an 96%. Insidennya
sebanding dengan artritis rematoid. Manifestasi
biasanya dimulai pada masa remaja dan jarang di
atas 40 tahun, lebih banyak pada pria daripada
wanita (5 : 1). Angka kekerapan bervariasi antara
1,0--4,7%.
3. Etiologi
Tidak ada yang tahu persis apa yang menyebabkan
pada seseorang terjadi proses degenerasi pada
sendi tersebut sedangkan orang lain tidak. Tapi
ada beberapa faktor resiko yang dapat memperberat
atau mencetuskan penyakit ini. Faktor usia dan
jenis kelamin salah satunya, semakin tua semakin
banyak penderita spondylosis.
Perlu diingat bahwa tulang punggung adalah
penahan berat, jadi tentunya berhubungan dengan
pekerjaan dan obesitas. Misalnya orang yang
mempunyai pekerjaan sering mengangkat beban berat
maka kecenderungan terkena spondylosis lebih
tinggi, dan orang yang gemuk dengan sendirinya
juga memberi beban lebih pada sendi di ruas
tulang punggung sehingga meningkatkan kemungkinan
terkena spondylosis. Merokok juga dilaporkan
merupakan faktor resiko penyakit ini. Sedangkan
menurut buku gangguan ajar muskulo skeletal
factor yang memungkinkan terjadinya spondilosis
adalah:
I. Kondisi penuaan atau degenerative
II. Trauma okupasi berulang
III. Factor keluarga (genetic)
IV. Ketidakstabilan segmental seperti pada
penderita cerebral palsy dan syndrome
down.
4. Patomekanisme
A. Patofisiologi
Pada ruas-ruas tulang belakang terdapat
bantalan yang disebut diskus intervertebralis,
dimana karena degenerative diskus tersebut akan
menipis dan kemudian hancur yang mengakibatkan
ruas tulang belakang bertemu langsung dan dapat
terjadi kerusakan sedikit demi sedikit akibat
terbentuknya spurs atau osteofit yang
menyebabkan rasa sakit dan keterbatasan gerakan
sendi.
B. Prognosis
Umumnya prognosis darin spondylosis
menguntungkan karena banyak orang yang
mengalami spondilosis membaik dalam beberapa
minggu setelah gejala yang mereka rasakan namun
ada pula yang gejalanya makin kronik.
Pronosis yang dapat menyertai spondilosis
adalah skoliosis. Skoliosis merupakan
komplikasi yang paling sering ditemukan pada
penderita nyeri punggung bawah karena
Spondilosis. Hal ini terjadi karena pasien
selalu memposisikan tubuhnya kearah yang lebih
nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal.
Hal ini didukung oleh ketegangan otot pada sisi
vertebra yang sakit.
5. Gambaran klinik
Gambaran klinis yang terjadi tergantung pada
lokasi yang terjadi baik itu cervical, lumbal dan
thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal
memberikan gambaran klinis sebagai berikut:
a. Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak
ada apa-apa dan tidak menjadi suatu masalah
sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya
ditimbulkan dari aktivitas tidak sesuai.
b. Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang
sacrum dan sacroiliac joint. Dan mungkin
menjalar ke bawah (gluteus) dan aspek lateral
dari satu atau kedua hip. Pusat nyeri berasal
dari tingkat L4, L5, S1.
c. Referred pain:
i) Nyeri mungkin saja menjalar ke arah
tungkai karena adanya iritasi pada akar
persarafan. Ini cenderung pada area
dermatomnya
ii) Paha (L1)
iii) Sisi anterior tungkai (L2)
iv) Sisi anterior dari tungkai knee (L3)
v) Sisi medial kaki dan big toe (L4)
vi) Sisi lateral kaki dan tiga jari kaki
bagian medial (L5)
vii) Jari kaki kecil, sisi lateral kaki dan
sisi lateral bagian posterior kaki (S1)
viii) Tumit, sisi medial bagian posterior
kaki (S2)
d. Parasthesia, biasanya mengikuti daerah
dermatom dan terasa terjepit dan tertusuk, suatu
sensasi ”kesemutan” atau rasa kebas (mati rasa).
e. Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus
erector spinae dan m. quadratus lumborum.
Seringkali terdapat tonus yang berbeda antara
abduktor hip dan juga adductor hip. Kadang-kadang
salah satu otot hamstring lebih ketat dibanding
yang lainnya.
f. Keterbatasan gerakan, semua gerakan lumbar
spine cenderung terbatas. Gerakan hip biasanya
terbatas secara asimetrical. Factor limitasi pada
umumnya disebabkan oleh ketetatan jaringan lunak
lebih dari spasm atau nyeri.
g. Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot
abdominal dan otot gluteal. Kelemahan mungkin
terjadi karena adanya penekanan pada akar saraf
myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang mengalami
nyeri menjalar biasanya lebih lemah dibandingkan
dengan tungkai satunya.
h. Gambaran radiografi, terdapat penyempitan
pada jarak discus dan beberapa lipping pada
corpus vertebra.
6. Diagnostik Banding
BAB IV
SPONDILOLITIS
A. PENDAHULUAN
Spondylolysis dapat didefenisikan sebagai
kerusakan pada pars interarticular pada arkus
(lengkung) vertebra. Kerusakan ini relatif sering
terlihat dalam studi radiografi dan muungkin juga
terjadi asymptomatically atau berhubungan dengan nyeri
punggung bawah (LBP) (Dr C J Standaert, Department of
Rehabilitation Medicine, University of Washington,
Seattle, Washington, USA. 2000).
B. PATOLOGI
1. Defenisi
Spondylolysis adalah kondisi umum yang
menyebabkan adanya nyeri punggung bawah akibat
adanya defek dari interupsi yang terjadi di bagian
pars interartikular, namun dapat terjadi juga di
bagian lateral dari vertebra (Zairin Noor Helmi,
2012).
2. Epidemiologi
Dalam studi tentang prevalensi spondylolisis,
3152 sejarah kasus atlet tingkat tinggi pada
olahraga tertentu mempunyai prevalensi lebih tinggi
untuk mengidap spondylolysis. Presentase keseluruhan
spondylolysis di kalangan atlet dengan nilai 8.02 %
tidak jauh lebih tinggi dibanding dengan populasi
umum (masyarakat umum non-atlet). Adapun presentasi
prevalensi spondylolysis pada cabang olahraga
tertentu: Melempar 26.67%, senam 16.96% dan dayung
16.88% (Department of Sports Orthopedics, National
Center of Sports Medicine, C.A.R.I.C.D. Consejo
Superior De Deportes, Madrid, Spain. 2000)
3. Etiologi
Faktor mekanik mejadi penyebab penting terjadinya
spondilolisis. Mikrotrauma berulang menghasilkan
fraktur stress pada bagian pars interartikularis
(Zairin Noor Helmi, 2012)
4. Patomekanisme
a) Klasifikasi
Tipe I: Kelainan displastik – bawaan dari L5 atau
sakrum atas memungkinkan perpindahan
anterior L5 pada sacrum.
Tipe II: Isthmic – lesi pada pars
interarticularis terjadi. Hal ini
disubklasifikasikan sebagai:
1) Litik, mewakili fraktur kelelahan pars
2) Memanjang tapi utuh pars
3) Fraktur akut
Tipe III: Degeneratif menengah ketidakstabilan
intersegmental berdiri lama dengan
renovasi terkait proses artikular .
Tipe IV: Fraktur traumatic – akut pada tulang
belakang lengkungan selain pars.
Tipe V: Patologis – akibat penyakit tulang umum
atau fokal mempengaruhi lengkungan
vertebral (Department of Sports
Orthopedics, National Center of Sports
Medicine, C.A.R.I.C.D. Consejo Superior De
Deportes, Madrid, Spain. 2000)
b) Patofisiologi
Sebagian besar kasus spondylolysis terjadi
pada vertebra lumbalis lainnnya, serta dalam
vertebra toraks. Spondylolysis terjadi dalam tiga
3-6% dari populasi. Hal ini biasanya disebabkan
oleh fraktur stres pada tulang, dan sangat umum
pada remaja yang berlatih dengan berlebihan.
Telah disepakati bahwa pars interartikularis
sangat rentan ketika tulang belakang berada pada
posisi diperpanjang (stretched) dan tekanan yang
tiba-tiba pada tulang belakang pada saat mendarat
setelah melakukan lompatan.
Spondylolysis juga bisa diperoleh dari
keluarga (genetik) dengan keadaan vertebra
menipis. Meskipun kondisi ini dapat disebabkan
oleht trauma berulang, kondisi ini uga dapat
disebabkan oleh olahraga berat seperti sepak bola
atau senam. Pada mereka dengan spondylolysis,
berkali-kali wilayah antar segi vertebra L4 lebih
berbentuk trapesium dengan bentuk lebih lebar
dari keadaan normal. Hal ini juga dapat mengubah
ketinggian iner-face membuat mereka lebih pendek
dan sempit. Dengan cacat ini di tulang belakang,
sebuah beban normal diterapkan pada tulang
belakang akan lebih besar dibandingkan dengan
mereka yang normal. Hal ini disebabkan
berkurangnya luas permukaan dan berbagai
torsional gerak selama tikungan dan belokan
(Anonim, 2012).
c) Prognosis
Spondylolysis menciptakan kondisi yang
diperlukan untuk satu vertebra untuk dapat
menyelinap ke depan dalam hubungannya dengan yang
di bawahnya. Setelah ini telah terjadi kondisi
ini disebut spondylolisthesis. Semakin muda
individu dalam siapa cacat lengkung terjadi,
semakin besar risiko tubuh vertebral tergelincir
ke depan, resiko slip sangat kecil setelah usia
25 tahun (Kevin Yip, 2010).
5. Gambaran Klinis
Spondilosis biasanya bersifat asimtomatik. Namun,
juga dapat bersifat simtomatik seperti rasa nyeri
saat ekstensi dan/ atau rotasi pada lumbal spine
yang terjadi pada 25% penderita, keluhan simtomatik
hanya terjadi kadang-kadang, berupa keluhan nyeri
punggung bawah.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan spondilolisis
lumbal, secara secara umum didapatkan hal-hal
berikut ini:
a) TIdak adanya nyeri tekan pada palpasi, tetapi
rasa tidak nyaman didapatkan pada perkusi lumbal
b) ROM lumbal biasanya didapatkan normal
c) Nyeri skiatika bias terjadi, walaupun jarang
didapatkan
d) Pemeriksaan neuromuscular biasanya didapatkan
normal (Zairin Noor Helmi, 2012)
Temuan Radiologis
Foto polos secara lateral adalah suatu
pemotretan yang memiliki proyeksi terbaik.
Spondylolysis akan terlihat garis lucency pada pars
interartikularis. Lucency ini hanya dapat terlihat
pada proyeksi yang diambil secara oblique dan akan
terlihat collar pada scottie dog (Zairin Noor Helmi,
2012).
6. Diagnosis Banding
Untuk setiap individu dengan nyeri punggung,
penyakit metabolik juga harus dianggap sebagai
kemungkinan penyebab sakit punggung. Misalnya
diabetes dan kanker primer dapat menyebabkan nyeri
punggung bawah yang merupakan ciri dari
spondylolysis (Thomas E. Hyde. 2004)
BAB V
SPONDYLOLISTHESIS
A. Pendahuluan
Spondilolistesis adalah pergeseran ke arah depan
dari satu korpus vertebra terhadap korpus vertebra di
bawahnya. Hal ini paling sering terjadi pada
spondilolisis, yaitu suatu kondisi di mana bagian
posterior unit vertebra menjadi terpisah, menyebabkan
hilangnya kontinuitas antara prosesus artikularis
superior dan inferior.
B. Patofisiologi
1. Defenisi
Spondylolisthesis: maju atau mundurnya salah
satu dari ruas vertebra dibandingkan dengan ruas
vertebra di bawahnya. Misalnya, spondylolisthesis
anterior dari L4 pada L5 berarti bahwa vertebra
lumbalis keempat telah tergelincir ke depan pada
vertebra lumbalis kelima. Akibatnya, tulang belakang
biasanya tidak selaras.
Hal ini terjadi karena adanya defek antara
sendi facet superior dan inferior (pars interartikularis).
Spondilolistesis adalah adanya defek pada pars
interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata.
Spondilolistesis terjadi pada 5% dari populasi.
Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau
gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus
dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang
baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada semua
level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi
pada vertebrata lumbal bagian bawah.
2. Epidemiologi
Berdasarkan Usia 5% pada umur 5-7 tahun dan
meningkat sampai 6-7%,pada umur 18tahun. Pria lebih
mudah terkena disbanding wanita dengan perbandinagn
2:1, sedangkan resiko Orang berkulit putih 6,4% dan
orang yang berkulit hitam 2,8%.
3. Etiologi
Bersifat multifaktorial.Faktor Sebuah
kecenderungan bawaan ada di tipe 1 dan
2,predisposisinya antara lain gravitasi, tekanan
rotasional dan stress fraktur / tekanan kosentrasi
tinggi pada sumbu tubuh.
4. Patomekanisme
a) Klasifikasi
Lima tipe utama spondylolisthesis (Wiltse et al,
1976):
1) Diplastik
Bersifat sekunder akibat kelainan kongenital
pada permukaan sakral superior dan permukaan L5
inferior atau keduanya dengan pergeseran
vertebra L5.
2) Isthmic atau Spondilolitik
Pergeseren satu vertebra yang lesinya terletak
pada bagian isthmus atau pars interartikularis.
a) Disebut juga lytic atau stress
spondilolisthesis akibat mikro fraktiur
rekuren yang disebabkan oleh hipereksetensi.
Sering terjadi pada pria.
b) Disebut juga pars memanjang dan belum utuh.
Terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. pars interartikularis
meregang dimana fraktur mengisinya dengan
tulang baru.
c) Disebut juga pars retak akut. Sangat jarang
terjadi, dan disebabkan oleh fraktur akut
pada bagian pars interartikularis.diperlukan
Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
3) Degenerative
Akibat degenerasi permukaan sendi pada
lumbal.
Perubahan pada permukaan sendi tersebut akan
mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau
ke belakang. Tipe spondylolisthesis ini sering
dijumpai pada orang tua. Namun,tidak
terdapatnya pergeseran vertebra melebihi 30%.
4) Traumatic
Berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau
permukaan / facet) dibandingkan dengan fraktur
pada bagian pars interartikularis.
5) Patologi
Terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti
penyakit Pagets, Giant Cell Tumor, dan tumor
atau penyakit tulang lainnya.
b) Patofisiologi
Spondylolisthesis displastik sangat jarang,
akan tetapi cenderung berkembang secara
progresif, dan sering berhubungan dengan defisit
neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena
bagian elemen posterior dan prosesus transversus
cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan
area permukaan kecil untuk fusi pada bagian
posterolateral.
Spondylolisthesis isthmic (juga disebut
dengan spondylolisthesis spondilolitik) merupakan
kondisi yang paling sering dijumpai dengan angka
prevalensi 5-7%. kebanyakan spondylolisthesis
isthmik tidak bergejala, akan tetapi insidensi
timbulnya gejala tidak diketahui. dengan
mempelajari perkembangan pergeseran tulang
vertebra pada usia pertengahan, mendapatkan
banyak yang mengalami nyeri punggung, akan tetapi
kebanyakan diantaranya tidak mengalami/tanpa
spondylolisthesis isthmik.
Untuk menilai beratnya pergeseran didasarkan
pada pengukuran jarak dari pinggir posterior dari
korpus vertebra superior hingga pinggir posterior
korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan
dengannya pada foto X ray lateral,Jarak tersebut
kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus
vertebra superior total:
i. Grade 1 adalah 0-25%
ii. Grade 2 adalah 26-50%
iii. Grade 3 adalah 51-75%
iv. Grade 4 adalah 76-100%
v. Grade 5 adalah lebih dari 100%
(Sistem grading Myerding (1932))
c) Prognosis
Spondylolisthesis umumnya kondisi jinak,
namun demikian bias dikatakan sebagai penyebab
banyak morbiditas dan kecacatan.
5. Gejala Klinik
a) Terbatasnya pergerakan tulang belakang.
b) Kekakuan otot hamstring ( otot betis ).
c) Tidak dapat mengfleksikan panggul dengan lutut
yang berekstensi penuh.
d) Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal.
e) Hiperkifosis lumbosacral junction.
f) Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit
(spondiloptosis).
g) Kesulitan berjalan.
6. Diagnostic banding
Penyebab lain nyeri punggung misalnya, lesi
sumsum tulang belakang, multiple myeloma, patah
tulang belakang.
BAB VI
SPONDILITIS ANKYLOSANS
A. PENDAHULUAN
Spondiloarthropati adalah suatu kondisi kolektif
dari suatu peradangan pada spina, sendi-sendi tulang
lain, mulut, dan beragam organ-organ lain. Beberapa
kondisi yang dibahas dalam spondiloarthropaties pada
bab ini adalah ankilosing spondiltis.
B. PATOLOGI
1. Defenisi
Ankilosing spondylitis (AS) adalah suatu bentuk
peradangan kronis dari tulang belakang (spine) dan
sendi-sendi tuang sakroiliaka (sacroiliac joint).
Sendi sakroiliaka berlokasi pada belakang bawah di
mana sacrum bertemu tulang-tulang ilium. Peradangan
kronis pada area-area ini menyebabkan nyeri dan
kekakuan dalam dan sekitar tulang belakang. Dengan
berjalannya waktu, peradangan tulang belakang yang
kronis (spondylitis) dapat menjurus pada suatu
penyatuan bersama sepenuhnya (fusi) dari vertebra-
vertebra, suatu proses yang dirujuk sebagai
ankilosis. Ankilosis menjurus pada kehilangan
mobilitas dari tulang belakang (spine).
Ankilosis spondylitis merupakan suatu penyakit
rematik sistemis, yang berarti ia dapat memengaruhi
jaringan-jaringan lain di seluruh tubuh. Oleh
karena itu, ia dapat menyebabkan peradangan atau
luka pada sendi-sendi tulang yang lain yang jauh
dari tulang belakang, begitu juga pada organ-organ
lain, seperti mata, jantung, paru-paru, dan ginjal
(Zairin Noor Helmi, 2012).
2. Epidemiologi
Dua sampai tiga kali penyakit ini lebih umum
pada pria daripada wanita. Ankilosing spondylitis
memengaruhi semua kelompok umur, termasuk anak-
anak. Umur yang paling sering mengalami terjadi di
dekade kedua dan ketiga dari kehidupan.
Perbandingan 9:1 antara laki-laki terhadap
perempuan pada penyakit ini sudah dianggap tidak
lagi akurat setelah ditetapkannya kriteria
diagnosis yang lebih baik. Laki-laki kelihatannya
cenderung mengalami penyakit pada tulang belakang
yang lebih progresif, dan lebih sering didiagnosis
menderita spondilosis ankilosans. Hal ini membuat
rasio berubah menjadi sekitar tiga laki-laki
berbanding satu perempuan dengan keterlibatan pada
tulang punggung. Spondylitis ankilosans lebih
jarang terlihat pada orang-orang Jepang dan orang
Afrika Amerika, tetapi lebih sering dijumpai pada
suku Indian Pima (Sylvia A. Price & Lorraine M.
Wilson, 2002).
3. Etiologi
Penyebab tidak diketahui, tetapi penyakit ini
cenderung menyerang anggota keluaga, menunjukkan
adanya peran dari genetik. Kecenderungan ini
terjadi di mana secara mayoritas (hampir 90%) dari
pasien dengan ankilosis spondylitis dilahirkan
dengan gen HLA-B27. Tes-tes darah telah
dikembangkan untuk mendeteksi marker gen HLA-B27
dan telah memajukan pengertian kita tentang
hubungan antara HLA-B27 dan ankilosing spondylitis.
Gen HLA-B27 tampaknya hanya meningkatkan
kecenderungan mengembangkan spondylitis, di mana
beberapa faktor-faktor tambahan, mungkin
lingkungan, adalah perlu untuk timbulnya penyakit
atau menjadi jelas. Pada individu-individu yang
positif HLA-B27 yang mempunyai saudara-saudara
dengan penyakit ini, risiko mereka mengembangkan
ankilosis spondylitis adalah 12% (enam kali lebih
besar daripada mereka yang saudaranya tidak
mempunyai ankilosis spondylitis). Penelitian baru-
baru ini juga ditemukan karena adanya gen-gen ARTS1
dan IL23R yang menyebabkan ankilosis spondylitis
(Zairin Noor Helmi, 2012)
4. Patomekanisme
a) Patofisiologi
Spondilitis Ankilosans menyerang tulang rawan
dan fibrokartilago sendi pada tulang belakang dan
ligament-ligamen paravertebral. Apabila diskus
intervertebralis juga terinvasi oleh jaringan
vascular dan fibrosa, maka akan timbul
kalsifikasi sendi-sendi dan struktur articular.
Kalsifikasi yang terjadi pada jaringan kunak akan
menhembatani satu tulang vertebra dengan vertebra
lainnya, jaringan synovial di sekitar sendi yang
terserang akan meradang. Penyakit jantung juga
dapat timbul bersamaan dengan spondylitis
ankilosans.
Hubungan antara AS dengan HLA-B27 menunjukkan
bahwa kondisi tersebut melibatkan CD8 sel T yang
berinteraksi dengan HLA-B. Hal ini tidak terbukti
bahwa interkasi ini melibatkan antigen diri dan
setidaknya pada sindrom terkait Reiter (arthritis
reaktif) yang mengikuti infeksi, antigen yang
terlibat kemungkinan akan berasal dari
mikroorganisme intraseluler. Ada, bagaimana pun,
suatu kemungkinan bahwa sel T-CD4 terlibat dalam
cara yang menyimpang, karena HLA-B27 tampaknya
meiliki sejumlah property tidak biasa, termasuk
kemungkinan kemampuan untuk berinteraksi dengan
reseptor sel T dalam hubungan dengan CD4
(biasanya hanya T helper limfosit dengan CD8
bereaksi dengan antigen HLAB karena merupakan
antigen MHSC kelas 1).
Kondisi tersebut memainkan suatu peran dalam
memengaruhi fungsi imun. Kondisi ini memberikan
kondisi terjadinya peradangan dan menetap pada
organ-organ dan sendi-sendi tulang yang berbeda.
Peradangan awla mungkin adalah suatu akibat dari
aktivitas dari sistem imun tubun oleh suatu
infeksi bakteri atau suatu kombinasi dari kuman-
kuman infeksi. Sekali diaktifkan, sistem imun
tubuh mejadi tidak mampu untuk memadamkannya
sendiri meskipun infeksi bakteri awal mungkin
telah lama hilang. Peradangan jaringan yang
kronis yang berakibat dari aktivitas yang terus-
menerus dari sistem imun tubuh pada
ketidakhadiran dari infeksi yang aktif adalah
tanda dari suatu penyakit peradangan autoimun.
Kondisi lanjut akan mengganggu sistem
skeletal, terutama pada spina akan mengalami
perubahan progresif sesuai dengan perubahan yang
terjadi pada tulang belakang. Perubahan skeletal
yang palling nyata adalah terjadinya fusi pada
tulang belakang. Hal ini memberikan perubahan
dari kurvatura tulang belakang (Zairin Noor
Helmi, 2012)
b) Prognosis
Sekitar 20% penderita spondylitis ankilosans
berkembang ke tingkat penyakit yang berat
sehingga menjadi cacat. Sekitar setengah dari
pasien ini mengalami perjalanan penyakit yang
berjalan perlahandan dapat berlangsung selama
berpuluh-puluh tahun. Sejumlah pasien lainnya
dapat berhasil diobati dengan suatu program
penyuluhan, pemberian obat, dan fisioterapi.
Pasien-pasien ini dapat memiliki pola hidup dalam
keterbatasan yang disebabkan oleh penyakitnya.
Kurang dari 5% pasien menhalami manifestasi fatal
dari perkembangan penyakit (Sylvia A. Price &
Lorraine M. Wilson, 2002).
5. Manifestasi Klinis
Awitan spondylitis ankilosans biasanya timbul
perlahan-lahan, dimulai dengan rasa lelah dan nyeri
intermitten pada tulang belakang bawah dan panggul.
Bias juga terjadi kekakuan pad apagi hari yang
dapat hilang dengan sedikit berolahraga. Gejala-
gejalanya dapat sedemikian ringan dan tidak
progresif sehingga banyak penderita penyakit ini
yang tidak terdiagnosis. Selain itu, gejala-gejala
spondylitis ankilosans bias dikacaukan dengan
gangguan mekanik pada tullang belakang.
Pada pemeriksaan fisik didapat seorang yang
pada dasarnya sehat tetapi memiliki riwayat sakit
punggung yang persisten dengan awitan yang
perlahan-lahan. Pasien biasanya berusia 40 tahun.
Nyeri punggung akan membaik apabila berolahraga dan
menjadi lebih berat apabial beristirahat, dan
adanya radiasi difus di seluruh punggung baguan
bawah dan daerah bokong.
Pemeriksaan fisik tidak menemukan adanya
scoliosis, berkurangnya kemampuan gerak yang
simetris, nyeri difus, dan tes mengangkat kaki daam
posis lurus negatif. Sistem saraf perifer biasanya
tidak mengalami perubahan. Dengan semakin beratnya
penyakit, maka lordosis lumbal normal menjadi
hilang, fusi tulang punggung dorsal menimbulkan
kifosis, dan pengembangan toraks yang terbatas.
Pada tahap yang lanjut, terdapat fusi tulang
belakang yang dapat menyebabkan kontraktur fleksi
panggul, sehingga pasien harus memfleksikan
lututnya untuk mempertahankan posisi tubuh agar
tetap tegak. Nyeri biasanya menghilang setelah
ankilosis menjadi komplet, dan sinovitis nyata
berkurang.
Temuan Laboratorium
Tidak ada uji laboratorium spesifik untuk
mendiagnosis spondylitis ankilosans. Lanju endap
darah (LED) biasnaya meningkat selama penyakit
berada dalam fase aktif. Faktor Rheumatoid biasanya
negative. Antigen HLA-B27 biasanya positif, tetapi
ini tidak spesifik untuk spondylitis ankilosans
(Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, 2002).
Temuan Radiologis
Terdapat perubahan-perubahan radiologi yang
khas pada spondylitis ankilosans. Pada tahap awal
penyakit, mungkin hanya terlihat adanya gambaran
yang kabur pada sendi sakcroiliaca dan osteoporosis
difus pada tulang belakang. Bila penyakit
berlanjut, terdapat erosi sendi, bentun vertebra
menjadi lebih persegi, dan penyempitan ruang antar
vertebra. Pada tahap akhir penyakit, terjadi
kalsifikasi diskus dan ligament paravertebral. Bias
juga didapatkan pertumbuhan tulang secara vertikal
disebut sindesmofit yang menjembatani ruang antar
vertebra. Sekitar 25% spondylitis ankilosans,
mengalami fusi tulang belakang komplet, termasuk
juga tulang belakang bagian leher (cervical) (Sylvia A.
Price & Lorraine M. Wilson, 2002).
6. Diagnosis Banding
a) Penyakit diskus lumbal
b) Spondilodid lumbal
c) Arthritis psoariatik
d) Arthritis reaktif