Predatory Regime dalam Ranah Lokal : Konflik Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo

27
Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 85 PREDATORY REGIME DALAM RANAH LOKAL: KONFLIK PASIR BESI DI KABUPATEN KULON PROGO Predatory Regime in Local Arena: The Conlict of Iron Ore Mining in Kulonprogo Regency Wasisto Raharjo Jati Peneliti di Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Email: [email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kon!lik sumber daya alam (pasir besi) yang terdapat di Kulon Progo. Kontestasi kon!lik berpusat pada pengaturan sumber daya alam antara paradigma developmentalisme dan ekologi. Developmentalisme merepresentasikan pertumbuhan ekonomi tinggi berdasar pada eksploitasi sumber daya alam. Sementara ekologi menghendaki adanya keseimbangan antara manusia dan lingkungan dalam pengaturan sumber daya alam. Adanya temuan pasir besi yang terdapat di Kulon Progo tidak terlepas dari narasi rivalitas tersebut dimana petani melawan koalisi besar antara pemerintah dan korporasi. Hal yang menarik adalah aliansi tersebut dibangun atas dasar patrimonialisme dan feodalisme yang eksis di Yogyakarta.

Transcript of Predatory Regime dalam Ranah Lokal : Konflik Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 85

PREDATORY REGIME DALAM RANAH LOKAL: KONFLIK PASIR BESI

DI KABUPATEN KULON PROGO

Predatory Regime in Local Arena: The Con�lict of Iron Ore Mining

in Kulonprogo Regency

Wasisto Raharjo Jati

Peneliti di Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kon!lik sumber daya alam (pasir besi) yang terdapat di Kulon Progo. Kontestasi kon!lik berpusat pada pengaturan sumber daya alam antara paradigma developmentalisme dan ekologi. Developmentalisme merepresentasikan pertumbuhan ekonomi tinggi berdasar pada eksploitasi sumber daya alam. Sementara ekologi menghendaki adanya keseimbangan antara manusia dan lingkungan dalam pengaturan sumber daya alam. Adanya temuan pasir besi yang terdapat di Kulon Progo tidak terlepas dari narasi rivalitas tersebut dimana petani melawan koalisi besar antara pemerintah dan korporasi. Hal yang menarik adalah aliansi tersebut dibangun atas dasar patrimonialisme dan feodalisme yang eksis di Yogyakarta.

86

Implikasinya adalah gerakan petani menjadi sempit dan terbatas pada lingkungan mereka saja.

Kata kunci : Kon�lik Pasir Besi, JMI, Kraton, Kon�lik Agraria, Pesisir

Selatan, PPLP

Abstract

This article aims to analyze the power contestation in natural resources (iron ore) con�lict in Kulon progo. This contestation includes ideologies in managing natural resources between the paradigms of developmentalism and ecology. Developmentalism is represented with high economy growth achievement based on natural resources excavation. Meanwhile; ecology is represented with harmony among human and environment in managing natural resources. The exploitation of iron ore in Kulonprogo con�irm the grand narration wherein farmers �ight against alliance of government and corporation. Interestingly, these alliances were built from patrimonialism and feudalism powers that ever exist in Yogyakarta. The implication is, then, social movement from farmers becoming narrow and limited in

their environment.

Keywords: Iron Ore Con�lict, JMI, Sultanate of Yogyakarta, Agrarian

Con�lict, South Coastal, PPLP

PendahuluanI.

Membincangkan masalah kon�lik tata kelola sumber daya alam di

ranah lokal sebenarnya terletak pada bagaimana karakteristik rezim

penguasa tersebut. Hal tersebut terkait dengan perspektif penguasa

dalam melihat potensi sumber daya alam yang berada di wilayahnya.

Perspektif tata kelola sumber daya sendiri sebenarnya dapat

dianalisis dalam dua mahzab yakni perspektif antroposentris dan

perspektif ekologis (Jati,2012). Perspektif pertama mengandaikan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 87

bahwa sumber daya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan

manusia sehingga harus dieksploitasi semaksimal mungkin. Adapun

perspektif kedua melihat dimensi tata kelola sumber daya alam perlu

diseimbangkan karena baik alam maupun manusia sebenarnya saling

membutuhkan satu sama lainnya. Dalam kasus negara berkembang,

manajemen tata kelola sumber daya alam pada umumnya lebih

mengarah pada pemahaman perspektif pertama yakni pola eksploitasi

alam secara maksimal yang kemudian dikonversikan menjadi sumber

pendapatan utama.

Implementasi otonomi daerah yang berlangsung semenjak tahun

1999 sendiri membuat daerah otonomi diharuskan mencari sumber

pendapatannya secara mandiri. Salah satu sumber pendapatan

utama tersebut adalah potensi sumber daya alam yang melimpah.

Hal tersebut mendorong banyak daerah yang kaya sumber daya

alam banyak menerbitkan surat kuasa tambang maupun surat

retribusi pajak sumber daya alam. Pendapatan dari kegiatan tersebut

melimpah ruah, apalagi jika masih ditambah dengan penerbitan

surat kontrak kerja maupun eksplorasi. Kondisi eksploitasi ini

menyimpan paradoksal adanya kerusakan sumber daya alam yang

berada di lingkungan sekitarnya yang semakin rusak parah. Hal

inilah yang menjadi fenomena kutukan sumber daya alam bahwa

kepemilikan sumber daya justru menjadi musibah. Selain itu pula, kue

perekonomian dari hasil ekstrasi sumber daya alam sendiri juga tidak

memiliki trickle-down effect kepada masyarakat karena rembesan

kue tersebut tidak dinikmati masyarakat secara maksimal. Bahkan

banyak terjadi kon!lik sengketa kepemilikan sumber daya alam yang

banyak melibatkan trinitas aktor seperti pemerintah, pengusaha,

maupun masyarakat.

Kon!lik tersebut meliputi pengambilalihan sumber daya alam

berbasis komunal dari rakyat atas nama peningkatan pendapatan

maupun pertumbuhan ekonomi. Maka dalam taraf inilah, rezim

kemudian bertindak secara oligarkis-represif dengan berusaha

mengusahakan kepentingan ekonomi elite ketimbangan kepentingan

ekonomi masyarakat. Implikasi yang timbul adalah sumber ekonomi

88

masyarakat kemudian termajirnalkan atas nama pembangunan

ekonomi tersebut.

Kajian ini mengkaji beberapa pertanyaan penelitian: bagaimana

karakteristik rezim tata kelola sumber daya alam yang berkembang di

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sehingga menimbulkan resistensi

dari masyarakat pantai; bagaimana bentuk kon!lik yang terjadi dalam

sengketa pengelolaan sumber daya alam tersebut? Tujuan dari kajian

ini adalah 1) memetakan kon!lik sosial yang terjadi antara masyarakat,

korporasi, dan pemerintah dalam tata kelola sumber daya alam. 2)

mengetahui bentuk karakteristik resistensi yang dilakukan oleh

masyarakat pesisir Kulonprogo dalam memperjuangkan hak-haknya.

Manfaat yang bisa diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai bahan

kontemplasi dalam perumusan kebijakan tata kelola sumber daya

alam yang harus menyinergiskan kepentingan masyarakat. Selain itu

pula, mengetahui implikasi-implikasi sosial-ekonomi lainnya berupa

marjinalisasi ekonomi masyarakat maupun hancurnya ekosistem

dalam masyarakat lokal karena pembangunan ekonomi yang tidak

a!irmatif.

Rezim Tata Kelola Sumber Daya Alam di DaerahII.

Sebelum membahas mengenai karakteristik rezim, terlebih dahulu

kita harus memahami de�inisi mengenai sumber daya alam tersebut.

Adapun yang dimaksudkan dengan sumber daya alam sendiri dapat

digolongkan menjadi dua bentuk yakni �low dan stock (Arizona,

2008). Pertama, sumber daya alam sebagai �low. Pengertian pertama

ini mende�inisikan bahwa sumber daya alam dimaknai sebagai entitas

yang bebas dan dapat diakses secara komunal oleh masyarakat.

Sebagai contohnya adalah hutan, gunung, pesisir pantai, maupun

danau. Selain itu, sumber daya alam sebagai �lows juga dipahami dalam

bentuk faktor produksi atau sebagai barang/komoditas seperti kayu,

rotan, air, tumbuhan, dan ikan yang jumlahnya bisa diperbaharui

kembali dikarenakan karakternya yang dapat bertahan lama dan

terus berproduksi sepanjang lintas generasi. Di samping memegang

fungsi ekstratif, �lows juga memiliki fungsi konservasi seperti hutan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 89

untuk menampung air dalam tanah dan mencegah degradasi tanah,

mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 yang

ada di udara, mempertahankan kesuburan tanah, maupun mengurai

berbagai bahan beracun limbah industrial. Artinya pemahaman

stock ini mengandaikan bahwa sumber daya berfungsi sebagai

penyeimbang ekosistem maupun pelestarian alam.

Kedua, sumber daya alam dimaknai sebagai stocks. De inisi stocks

sendiri mengindikasikan sumber daya alam dimaknai sebagai sumber

ekonomi yang dapat diekstrasi dan dikomersialisasikan menjadi

komoditas harga tinggi. Sumber daya alam sebagai stocks sendiri

tidak dapat diperbaharui yakni apa yang dimanfaatkan sekarang

tidak dapat dimanfaatkan kemudian hari. Hal inilah yang menjadikan

tingkat utilitas barang tidak seperti �lows yang dapat digunakan

sepanjang masa. Namun demikian karena tingkat komersialisasinya

yang tinggi, maka aksesibilitas masyarakat untuk mengelola stocks

sendiri dibatasi menjadi arena privat yang biasanya dikuasai oleh

korporasi yang memiliki hak izin tambang. Meskipun sudah memiliki

izin tambang, baik �lows maupun stocks sering kali bersinergi dan

bersinggungan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi pembatasan

antara komunalisme dan privatisasi menjadi kabur karena sering kali

kepemilikan sumber daya alam menjadi tumpang tindih sehingga

menimbulkan kon lik sosial. Oleh karena itulah, sebenarnya kon lik

tata kelola sumber daya alam biasanya hadir dari wilayah abu-abu

tersebut dan bagaimana konstelasi aktor yang terlibat di dalamnya

terutama dalam tata kelolanya.

Adapun kata kunci dalam memahami rezim tata kelola sumber

daya alam sendiri dapat dipahami melalui pengertian sumber

daya alam sebagai barang (goods) (Fauzi, 2004). Kata goods dapat

diklasi ikasikan dalam berbagai ragam kriteria terentu. Pertama dari

segi konsumsinya, goods sendiri apakah bisa diakses semua orang

ataukah hanya dinikmati orang tertentu (non-rivalry) sehingga tidak

ada kontestasi dalam merebutkan sumber daya alam tersebut karena

hal itu sudah menjadi arena privat. Pemahaman tersebut juga dapat

dipahami sebagai excludable bahwa terdapat upaya “penghalangan”

90

bagi pihak lain untuk ikut menikmati hasil sumber daya alam

tersebut. Maka dari sifat-sifat tersebut, sumber daya alam sebagai

goods sendiri kemudian terbagi dalam dua jenis yakni public goods

dan private goods (Endaryanta, 2008). Adapun public goods sendiri

memiliki sifat seperti rivalry (semua orang bisa mengakses hingga

menimbulkan kontestasi), non-excludable (tidak ada penghalangan

dari pihak tertentu untuk menikmati sumber daya alam), dan non-

divisible (sumber daya alam tersebut tidak pernah habis, meski sering

digunakan). Private goods sendiri merupakan kebalikannya yakni

excludable (penguasaan privat atas sumber daya alam), dan divisible

(sumber daya alam langka dan tidak bisa diperbaharui).

Dikotomi dua jenis barang tersebut membuat dimensi eksternalitas

kemudian menjadi bercabang dua. Dalam public goods, semua orang

mempunyai hak dan memiliki manfaat yang sama baik dari sekto hulu

maupun hilir. Eksternalitas private goods sendiri praktis sangatlah

esklusif berada dalam satu entitas tertentu yang tidak membagi

kemanfaatan (bene�it) dengan masyarakat lainnya. Maka dalam hal

ini, sangatlah urgen dan signi ikan untuk melihat konteks hak (rights)

dalam tata kelola sumber daya alam. Secara garis besar, rezim hak

kepemilikan (property rights regime) dibagi dalam tiga bentuk yakni

states way, market way, dan common pool resources (Ostrom,1990).

Model pertama, Pola negara sentris memiliki keuntungan untuk

membagi secara merata hasil kekayaan sumber daya alam kepada

masyarakat, namun aktor lain tidak diberi peran dalam tata kelola

sumber daya alam karena dimonopoli negara. Model kedua, pola

pasar memberi banyak pilihan konsumtif, namun pasar juga

cenderung ekspansif untuk melakukan komodi ikasi barang publik

menjadi barang privat. Dan yang terakhir Model ketiga, common pool

resources diposisikan sebagai model alternatif dalam pengelolaan

sumber daya alam dimana redistribusi terhadap masyarakat akan

lebih adil dan berkesinambungan.

Konsep hak kepemilikan (property rights) lebih mengarah pada

aktor baik itu negara, pasar, maupun masyarakat. Namun yang ingin

ditekankan di sini adalah bagaimana pola mengelola (managing)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 91

sumber daya alam tersebut. Hal tersebut berimplikasi dengan

karakteristik rezim dan bagaimana relasi dengan aktor lainnya

sehingga menimbulkan ketimpangan ataukah kesejahteraan. Dalam

hal ini, terdapat dua pola manajemen pengelolaan sumber daya alam

yakni manajemen pengelolaan sumber daya alam tradisional dan

manajemen pengelolaan ekologi politik.

Pertama, kata kunci dalam memahami manajemen tradisional adalah

pembangunan berorientasi pembangunan. Konteks ini merujuk pada

sumber daya alam ini diperlakukan layaknya mesin ekonomi yang

senantiasa dipaksa untuk menghasilkan kemanfaatan manusia.

Vandana Shiva (1995) menilai dimensi pembangunanisme yang

berlangsung di negara dunia ketiga merupakan kelanjutan praktik

kolonialisme yang terjadi di masa lalu. Shiva mengajukan istilah

“sindrom eksploitasi” (exploitation syndrome) untuk mengkritisi

wacana pembangunanisme yang berkembang di negara dunia ketiga.

Sindrom tersebut meliputi dua tahapan utama. Pertama, munculnya

kepemilikan barang privat untuk menggantikan barang publik dalam

manajemen pengelolaan sumber daya alam. Konsep kepemilikan

publik sendiri dinilai tidak menguntungkan dari segi ekonomis dan

tidak mendorong manusia untuk berekspresi secara bebas dalam

beraktivitas ekonomi. Kepemilikan barang privat menciptakan

perilaku konsumtif yang besar untuk memuaskan kebutuhan

ekonomi masing-masing sehingga menciptakan fenomena tragedy

of the commons dalam masyarakat. Kedua, berdirinya aparatus

birokrasi pemerintahan yang melegalkan dan mengizinkan adanya

komersialisasi barang publik tersebut dikarenakan pendapatan

negara amatlah tergantung dari ekstrasi yang dihasilkan dari sumber

daya alam tersebut.

Adanya peralihan sumber daya alam dari barang publik menjadi

barang privat sangatlah erat berkaitan dengan global disorder

maupun global instabilities yang meminimalkan peran negara

dalam aspek ekonomi (Endaryanta, 2008 : 15). Peran eksesif negara

dalam mengatur aktivitas ekonomi dinilai tidak kompetitif dalam

membangun dan menciptakan iklim perekonomian yang sehat dalam

92

rangka menciptakan angka pertumbuhan ekonomi. Selain eksesif,

negara juga menjalin hubungan harmonis dengan koporasi dan pasar

dalam mengelola sumber daya alam.

Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pola ketimpangan

hubungan antara negara, korporasi, dan masyarakat. Bahkan untuk

memperkuat legitimasi dalam mengelola tambang, tidak jarang

kemudian dalam tubuh korporasi sendiri terselip nama-nama

pejabat tinggi sebagai dewan komisaris utama. Maka dalam dunia

sosial politik, pola relasi tersebut acap kali disebut sebagai rezim

politik predator (Evan,1990). Adapun karakteristik dari rezim

predatoris tersebut adalah terjadinya hubungan klientelisme yakni

perselingkuhan bisnis dan politik karena basis ekonomi yang lemah,

penguasaan hasil tambang sumber daya alam yang dikuasai oleh

segelintir elite, dan adanya politik intimidasi terhadap masyarakat

yang mencoba melawan hegemoni dari rezim tersebut.

Manajemen tata kelola sumber daya alam berbasis ekologi. Dalam

pola manajemen ini, Perspektif ekologi-politik hadir sebagai

paradigma alternatif dalam merumuskan manajemen pengelolaan

sumber daya yang a!irmatif dengan kondisi lingkungan alam. Kajian

keilmuan ekologi-politik ini merupakan bentuk perkembangan dari

kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh sistem ekologi planet

bumi, dimana terjadi relasi rumit antara manusia dengan alam yang

saling berkontestasi. Secara de!initif, perspektif ekologi-politik dapat

diartikan sebagai kajian politik yang memahami relasi manusia

dengan perubahan lingkungan sebagai hasil dari proses-proses

politik (Dharmawan, 2007). Oleh karena itulah, kajian ekologi-politik

ini selalu mengkritisi dan mempertanyakan konsep ekonomi-politik

dalam developmentalisme yang berandil besar dalam perubahan

lingkungan. Baik alam dan manusia selama ini berada dalam relasi

oposisi biner dimana manusia yang dianggap sebagai pengatur

sumber daya alam di planet ini selalu bertindak semena-mena

terhadap lingkungan sehingga kemudian menjadi rusak. Adanya

praktik penundukan alam oleh manusia tersebut dalam aliran

etika lingkungan (eco-ethics) disebut antroposentrisme. Secara

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 93

desain ontologis, aliran antroposentrisme ini mengandaikan bahwa

manusia adalah pusat dari seluruh kehidupan dan alam diciptakan

untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berperan besar

untuk memberi nilai untuk menentukan layak tidaknya alam sebagai

suatu benda. Oleh karena itulah, manajemen pengelolaan sumber

daya model tradisional bisa dikatakan sebagai tata kelola beraliran

antroposentrisme.

Perspektif ekologi-politik menolak aliran antroposentrisme yang

berkembang dalam wacana pembangunanisme (Jati,2012). Alam

hanya diibaratkan sebagai entitas non-living yang hanya menjadi

objek kuasa bagi manusia. Dalam hal ini, perspektif ekologi politik

sendiri mendorong adanya ekosentrisme. Paradigma ekosentrisme

merupakan aliran dalam etika lingkungan yang memposisikan

antara manusia dengan alam dalam relasi yang timbal balik dan

saling membutuhkan sebagai bagian dari komunitas biosfer. Manusia

dan alam merupakan entitas yang melengkapi dan menghidupi

dalam relasi kausalistik dengan melakukan mekanisme pertukaran

(exchanges).

Dalam membaca kasus kon!lik sumber daya alam dalam ranah lokal,

pembangunanisme berlandaskan manajemen tata kelola sumber

daya tradisional masih menjadi orientasi berpikir utama. Logika

pembangunanisme yang melandaskan pada pertumbuhan ekonomi

yang merembes, namun merembesnya tidak sampai ke bawah adalah

pola umum yang terjadi dalam berbagai kon!lik tersebut. Tidak

banyak daerah di Indonesia yang menerapkan manajemen ekologi

dalam tata kelola karena hal itu sama saja menyia-nyiakan diri

menjadi daerah kaya. Tuntutan untuk menaikkan pendapatan asli

daerah (PAD) merupakan motivasi utama tata kelola sendiri mutlak

menjadi milik negara dan korporasi? Implikasinya yang timbul

kemudian adalah terjadi ketimpangan pendapatan secara struktural

dimana pemerintah bertambah kaya sedangkan masyarakat justru

semakin menderita. Fenomena tersebut seringkali disebut sebagai

kutukan sumber daya alam bahwa hadirnya sumber daya alam

yang sejatinya untuk menghadirkan adanya kesejahteraan, malah

94

justru menghadirkan rivalitas dan penderitaan. Fungsi negara yang

melemah terhadap korporasi dan pasar menimbulkan resistensi dari

masyarakat untuk bangkit melawan ketidakadilan tersebut.

III. Pasir Besi sebagai Public Goods Petani Lahan Pantai

Adapun kasus kon�lik pasir besi di Kabupaten Kulon Progo juga

mengikuti alur narasi dominan tersebut bahwa terdapat potensi

sumber daya alam besar dalam pengelolaan masyarakat yang akan

diakuisisi sepihak oleh pemerintah lokal dan korporasi. Pola akuisisi

sepihak dengan mengandalkan peraturan daerah menimbulkan

gelombang resistensi dari masyarakat. Resistensi tersebut

merupakan upaya masyarakat mempertahankan pasir besi sebagai

kawasan subur pertanian lahan pantai di pesisir selatan Kulon Progo.

Persoalan kemudian berkembang menjadi pelik manakala pemerintah

pun mengeluarkan legitimasi kultural yang mempertegas kuasa

partimonialnya bahwa tanah pesisir di bawah yuridiksi kerajaan.

Kon�lik pasir besi tersebut setidaknya merupakan satu dari sekian

bentuk rezim pembangunanisme lokal yang berkembang pasca

implementasi otonomi daerah.

Lahan pasir pantai selatan Kulon Progo DIY merupakan lahan

yang didominasi oleh tanah pasir. Materi pasir ini diendapkan oleh

aktivitas gelombang laut di sepanjang pantai. Pesisir pantai Kulon

Progo sepanjang garis pantai dengan panjang ± 1.8 km, terbagi dalam

4 kecamatan dan 10 desa yang mempunyai wilayah pantai dengan

kondisi pesisir hampir 100% pasir dengan kedalaman air tanah

antara hingga 12 meter. Lahan pasir ini juga tersebar hingga 2000

meter dari permukaan laut yang diperkirakan luas lahan pasir pantai

daerah Kulon Progo bisa mencapai 3600000 m2, atau sekitar 3600 ha

(Ansori, 2011). Namun dari 3600 ha tersebut, sebanyak 2500 lahan

pantai digunakan untuk pertanian dan perkebunan.

Ditinjau dari historiositasnya, pesisir pantai selatan Kulon Progo

sendiri pada awalnya merupakan kawasan merana yang hanya

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 95

berupa gundukan pasir pantai tak bertuan yang tidak bernilai

ekonomi apapun di kawasan Desa Banaran, Karang Sewu, Bugel,

Pleret, Garongan dan Karangwuni. Namun demikian, pada awal

1980-an salah seorang petani dari dari empat desa tersebut mencoba

berinisiatif menanam produk hortikultura di lahan pasir tersebut.

Kegiatan bercocok tanam di atas lahan pasir berkembang pesat, baik

dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kualitas, perkembangan

teknik pengairan dan pemupukan membuat hasil panen cabe, melon

dan semangka yang semakin baik dan banyak. Bersamaan dengan

itu, jumlah masyarakat yang ikut bercocok tanam juga bertambah .

Maka dari situlah kemudian, pemahaman public goods petani mulai

terbentuk karena merasa berhutang budi terhadap pengelolaan

lahan yang merana hingga berkembang menjadi lahan pertanian

subur. Mereka mulai mengadakan komunalisasi hak kepemilikan

tanah setelah tanah tersebut dirasa benar-benar akan bermanfaat

bagi perekonomian mereka.

Kondisi pertanian lahan pasir pantai dimungkinkan menjadi

sumber ekonomi masyarakat unggulan dikarenakan berbagai realita

geomorfologis yang mendukung. Seperti halnya bentang lahan

pertanian yang berupa cekungan di antara dua gumuk pasir, yang dapat

berperan sebagai saluran drainase air irigasi. Kompleks gumuk pasir

secara keseluruhan membentuk relief berombak yang tersusun oleh

material pasir lepas seperti lempun dan debu, yang memungkinkan

sebagai lahan pertanian tanaman semusim, seperti: cabe, tomat,

terong, sawi, atau jenis palawija lainnya. Jenis penggunaan lahan ini

dapat bertahan sepanjang tahun dalam tingkat fertilitas lahannya

dikarenakan ketersediaan air tanah yang cukup, relatif dangkal, dan

rasanya tawar, di seluruh kompleks gumuk pasir dan swale. Adanya

keuntungan gemorfologis tersebut menjadikan proses adaptasi

masyarakat di sekitar pesisir pantai tersebut berkembang menjadi

suatu komunitas petani lahan pasir dengan mendirikan permukiman-

permukiman penduduk. Tumbuhnya permukiman yang semakin

pesat di sekitar wilayah pertanian lahan pantai mengindikasikan

bahwa public goods mengaksentuasi adanya modal sosial di kalangan

masyarakat. Modal sosial tersebut tumbuh seiring dengan semakin

96

meningkatnya migrasi penduduk ke pesisir lahan pantai. Adanya

perasaan senasib untuk mengubah takdir dengan menggarap lahan

pantai adalah cikal bakal terbentuk komunitas petani lahan pantai.

Maka public goods kemudian mengikat mereka secara kolektif baik

spirit dan rohani untuk berkecimpung dalam perekonomian agraris

tersebut.

Secara umum pola sebaran permukiman di daerah permukiman

adalah mengelompok dengan bentuk memanjang sepanjang

pantai, dari timur ke barat. Tingginya ekspektasi terhadap produk

hortikultura dari pertanian pesisir selatan terutama cabai, tomat, dan

sayuran hijau lainnya baik di pasaran lokal maupun provinsi lainnya

menjadikan kawasan pesisir selatan dengan cepat berkembang

menjadi kawasan padat penduduk dengan tingkat densitas tinggi.

Sebagian besar penduduk menggantungkan diri sebagai petani

dan pekerja kebun di sektor perekonomian agraris. Adapun tingkat

densitas tersebut dapat terindikasi dari tabulasi berikut ini.

Tabel 1

Sensus Populasi Petani di Lahan Pantai Kulon Progo

Sumber : (Juhadi, 2010:18)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 97

Dari Tabel 1 tersebut, kita bisa melihat bahwa konsentrasi petani

lahan pasir sendiri berada di kawasan yang padat seperti desa Karang

Wuni, Garongan, Jangkaran, dan Sindutan. Desa Karang Sewu memiliki

kepadatan lebih dari 300 jiwa per hektar. Padatnya penduduk pada

lahan permukiman di Desa Karang Sewu terutama disebabkan oleh

pola permukimannya yang cenderung mengelompok dan asosiatif

dengan lahan-lahan pertanian. Aktivitas pertanian di desa ini sangat

menonjol sehingga mengontrol pola dan kepadatan permukimannya.

Maka dari pola asosiatif dan soliditas penduduknya inilah yang

kemudian berkembang menjadi suatu paguyuban (gemenschaft)

yang bertujuan mengamankan tanah pertanian pesisir lahan pantai

menjadi identitas budaya sekaligus pula identitas resistensi manakala

negara lokal mulai merangsek merebut tanah tersebut.

Ada empat faktor yang menjadi raison d’etre terbentuknya politik

identitas di kalangan petani lahan pasir. Pertama adalah proses

reintegrasi masyarakat pedesaan dengan penduduk lahan pantai.

Reintegrasi juga berarti reagrarianisasi yang berperan besar

terjadinya ruralisasi pemuda desa yang bekerja di kota untuk kembali

bertani. Implikasi yang muncul adalah bertani kini dipandang sebagai

pekerjaan yang menjanjikan seiring dengan meningkatnya harga

pangan.

Kedua, Adanya perbaikan kesejahteraan bagi petani lahan pasir.

Adanya sistem komunalisasi pertanian yang dilakukan oleh petani

berimplikasi pada menurunnya tingkat kemiskinan, persediaan

pangan yang bertambah, dan naiknya pendapatan dari setiap

panen raya yang diestimasi mencapai 130 juta rupiah per hektar

dengan asumsi hasil panen sehari mencapai 8-9 ton dengan harga

sekilo Rp 15.000. Begitu berharganya bertani di lahan pasir inilah

yang memunculkan semboyan “bertani atau mati” sebagai bentuk

penegasan atas penolakan tambang pasir besi.

Ketiga, adanya kebangggan bagi kelompok petani sebagai pionir

dalam pertanian lahan pasir yang pertama di Indonesia yang pertama

dilakukan di Kulonprogo. Maka, konteks kesuburan dan produktivitas

98

tanah pasir besi menjadi narasi penting dalam pembentukan identitas

tersebut (Yanuardy,2012).

Keempat, Mutualisme ekonomi antara sektor agraris dengan

geomorfologis tersebut pada akhirnya menghasilkan keuntungan

yang maksimal. Dari hasil pertanian bawang merah, petani akan

mendapatkan penghasilan Rp53.085.977,48 untuk setiap hektarnya.

Sementara untuk usaha tani komuditas cabai, petani memperoleh

penghasilan sebesar Rp 8.668.116,68 untuk setiap hektarnya. Secara

keseluruhan, produksi pertanian di 1 hektar lahan pasir bisa memberi

keuntungan bersih sebesar lebih dari Rp 30 juta dalam setahun. Hal

ini tentu saja jauh lebih tinggi dibandingkan apabila hanya menanam

padi pada 1 hektar sawah yang hanya memberi keuntungan maksimal

Rp 4 juta setahun. Maka tidaklah mengherankan, apabila petani

pesisir lahan pantai berusaha mati-matian untuk mempertahankan

tanah pertanian terhadap upaya eskavasi lahan pantai pesisir selatan

Kulon Progo oleh PT Jogja Magasa Mining selaku investor.

IV. PT Jogja Magasa Mining dan Kon�lik Pasir Besi

Potensi pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo mulai tercium pada

tahun 2003. Hal itu diindikasi dari temuan kajian geologi yang

menyebutkan bahwa kandungan pasir besi di Kulonprogo sendiri

mencapai 300 juta ton kubik dengan prosentase produktivitas

mencapai 500.000 hingga 2 juta ton per hari (Ansori,2011:90). Potensi

pasir besi yang luar biasa ini berkaitan dengan sifat dan karakteristik

mineral magnetik yang terdapat di dalam pasir besi. Adanya variasi

mineral magnetik di dalam pasir besi memungkinkan munculnya

pilihan alternatif dalam pemanfaatan pasir besi yang lebih komersial.

Adapun pilihan alternatif tersebut adalah kandungan vanadium yang

berharga di dalam perut pasir Kulonprogo. Dengan demikian, pasir

besi di pesisir selatan wilayah Kulon Progo tersebut dapat dikatakan

emas hitam, karena harganya bisa seribu kali lipat dibanding besi

biasa.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 99

Besarnya potensi yang dimiliki pasir besi Kulonprogo inilah yang

kemudian menarik pemerintah dan investor untuk melakukan

kegiatan eskavasi pertambangan di daerah tersebut dengan

membentuk perusahaan patungan bernama PT Jogja Magasa

Mining. Dari hasil eskavasi tersebut diharapkan, pasir besi dapat

mensejahterakan penduduk DIY khususnya Kulonprogo yang selama

ini dicap sebagai kabupaten tertinggal bersama Kabupaten Gunung

Kidul dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional

provinsi. Namun pada saat yang sama, rencana pertambangan tersebut

ditolak oleh para petani pesisir selatan karena penambangan pasir

besi sampai kedalaman 14,5 meter, dengan bentang atau sepanjang

22 kilometer, serta lebar 1,8 kilometer akan mengakibatkan abrasi

laut dan mengancam pertanian. Meskipun dinilai menguntungkan

secara ekonomi, bene!it yang dihasilkan tidak akan bertahan lama

hanya mencapai 30 tahun masa aktif, selebihnya akan berdampak

destruktif luar biasa terhadap ekosistem pertanian.. Sebaliknya,

pemerintah tetap bersikukuh bahwa pertambangan ini tidak

menganggu pertanian masyarakat karena letaknya yang jauh dari

aktivitas eskavasi.

Adanya tarik ulur kepentingan itulah yang kemudian berkembang

menjadi kon!lik pasir besi antara pemerintah provinsi, korporasi,

dan masyarakat. Dimensi lokus kon!lik juga berkembang selain

pasir kini juga merambah pada masalah agraria. Oleh karena itulah,

membaca pemetaan kon!lik Kulonprogo sebenarnya bersumber

pada dua hal: kon!lik pasir besi dan kon!lik agraria. Kon!lik pasir besi

sendiri terkait dengan kontestasi perebutan mineral pasir besi antara

penambang dan petani sebagai pertanian ataukah eskavasi. Kon!lik

agraria adalah kon!lik pemerintah dan masyarakat yang menuding

tanah di pesisir selatan Kulonprogo adalah milik pemerintah, namun

di sisi sebaliknya petani mengklaim bahwa tanah pesisir merupakan

hak mereka. Adanya hubungan segitiga inilah yang menjadikan

permasalahan kon!lik belum selesai sampai detik ini. Relasi kon!lik

pasir besi tersebut bisa dideskripsikan melalui gambar berikut ini.

100

Gambar 1. Pemetaan Kon�lik Pasir Besi

Dalam Gambar 1 tersebut dideskripsikan bahwa potensi kon�lik

sendiri berkembang dalam tiga kaki yakni pemerintah, korporasi,

dan masyarakat. Namun demikian, tampak bahwa negara dan

korporasi telah berkongsi satu sama lainnya sehingga melemahkan

posisi masyarakat dalam pola manajemen kon�lik tersebut. Di satu

sisi lainnya, masyarakat tidak berdaya menghadapi dua monster

titan pembangunanisme tersebut dimana pola interaksi terhadap

keduanya tidak terjalin bahkan terputus.

Munculnya PT Jogja Magasa Mining yang kemudian bertransformasi

menjadi PT Jogja Magasa Iron pada 2008 menarik untuk dicermati

(JMI,2012). Korporasi yang didirikan oleh para kerabat Keraton

ini seperti halnya GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun, dan BRMH

Hario Seno secara jelas memiliki kepentingan besar terhadap pasir

besi tersebut guna semakin memperkaya diri kalangan elit Kraton

dan. Munculnya PT JMI sebagai bagian dari bisnis kerajaan tersebut

memang tidak terlepas dari dicabutnya kedaulatan ekonomi dan

politik kerajaan untuk diserahkan kepada pemerintah nasional.

Posisi Sultan dan Pakualam yang memihak kepada PT JMI ini

secara jelas semakin mempersulit petani pesisir Kulonprogo untuk

mengadvokasi di tingkat lokal. Masyarakat awam secara jelas juga

lebih memihak Sultan dan PT JMI tanpa pernah mengetahui adanya

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 101

perlawanan dari petani Kulonprogo terhadap aktivitas pertambangan

tersebut yang dianggap dapat merugikan pertanian mereka. Apalagi,

dengan stigmatisasi bagi yang melawan Kraton akan dianggap

sebagai aktor non-keistimewaan oleh masyarakat luas. Maka tidak

jarang, terdapat pola intimidasi oleh sekelompok orang pro Kraton

dan Pakualaman terhadap kelompok petani lahan pantai tersebut.

Selain masyarakat dan pemerintah yang sudah mendiskreditkan

perjuangan petani, suara mereka juga kurang terdengar di parlemen

lokal karena semuanya memihak pada pemerintahan provinsi.

Implikasinya, ada proses pembiaran dalam konteks pemerintahan

lokal terhadap kon!lik lahan pasir yang sudah berlarut-larut dina!ikan

demi menjaga eksistensi keistimewaan. Masyarakat petani pesisir

lahan pantai Kulonprogo justru tidak menikmati keistimewaan

tersebut karena yang memperoleh status istimewa justru elite

kerajaan, pemerintahan, beserta loyalisnya sendiri. Keistimewaan

justru dimanfaatkan oleh elite kerajaan untuk mengklaim tanah-

tanah yang statusnya abu-abu untuk diklaim sepihak. Sikap

dominatif pemerintahan dalam memainkan diskursus keistimewaan

tersebutmembungkam segala bentuk perlawanan petani tersebut.

Hal inilah yang menjadikan perlawanan petani lahan pantai hanya

terlokalisasi di seputaran kawasan pesisir pantai (Ratnawati,2012).

Meskipun pada akhirnya perjuangan para petani ini kemudian

diapresiasi dalam forum NGO internasional di Manila pada 2013 dan

bahwa jejaring NGO di bidang penyelamatan lingkungan sendiri siap

untuk melakukan aksi advokasi di dunia internasional.

Kon!lik pasir besi Kulonprogo memperlihatkan adanya kontestasi

ideologi antara perjuangan ekosistem alam yakni dengan mengelola

alam berbasis paradigma ekologi politik dan juga perjuangan

dalam menaikkan pendapatan asli daerah melalui kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi pertambangan pasir besi berdasar logika

pembangunanisme. Dari segi ekologi-politik, keberadaan PT JMI

dalam melakukan kegiatan eskavasi pertambangan memang sangat

riskan mengingat kondisi geomorfologis yang sebenarnya tidak

mendukung hadirnya tambang disana. Hal ini dikarenakan, Pertama,

102

kawasan pesisir selatan masuk ke dalam kawasan rawan gempa

dan tsunami karena posisinya yang terletak di pertemuan patahan

benua Asia dan Australia di kawasan laut selatan. Kedua, hancurnya

ekosistem gumuk pasir yang diklaim sebagai satu dari tiga ekosistem

pantai terunik di dunia. Gumuk pasir bergerak Kulon Progo merupakan

jalur melintasnya burung-burung migran yang biasa digunakan oleh

para ornitologis untuk mengamati pola migrasi burung dari utara ke

selatan dan sebaliknya. Setidaknya dua pemahaman besar tersebut

mewarnai kontestasi kon lik pasir besi Kulonprogo yang dapat

diringkas dalam tabulasi berikut ini.

Tabel 2

Kontestasi Ideologi dalam Kon�lik Pasir Besi Kulonprogo

Indikator Pembangunanisme Ekologisme

Eksistensi

Pasir Besi

Pasir besi dipandang secara subor-

dinatif sebagai mesin pertumbuhan

ekonomi

Pasir besi dipandang secara

a irmatif bahwa terjadi

hubungan depedensi antara

manusia dan alam

Kesejahteraan

Penduduk

Paham trickle down effect, Royalti

dari pertambangan sebanyak 4,95

triliun rupiah akan diredistribusi-

kan sebanyak 400 milyar per desa

untuk meningkatkan kesejahte-raan

lokal melalui skema CSR (Corporate

Social Responsibility)

Pasir besi merupakan pon-

dasi ekonomi agraris yang

berkelanjutan tanpa merusak

alam. Potensi pertanian lahan

pasir sendiri mencapai 100-

200 juta rupiah tiap musim

panen tiba

Pembangunan

Lingkungan

Pembangunan mengikuti AMDAL,

setelah masa izin usaha selesai da-

lam 30 tahun akan dilakukan proses

remediasi lingkungan

Dalam berbagai kasus, per-

tambangan selalu mening-

galkan dampak destruktif,

pertanian sendiri menjadi

solusi dalam menjaga kon-

servasi air dan gumuk pasir

sebagai biota

Pola dan sifat

pengelolaan

pasir besi

Pengelolaan pasir besi dilakukan

scara tertutup karena mengandal-

kan padat modal

Pengelolaan dilakukan secara

terbuka berbasis komunitas

berbasis padat karya

Penguasaan

Pasir Besi

Penguasaan dilakukan secara

hierarkis struktural tanpa pelibatan

masyarakat

Penguasaan dilakukan secara

komunal oleh masyarakat

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 103

Dari Tabel 2, kita bisa menyimpulkan bahwa rivalitas kedua

ideologi tersebut mencerminkan adanya arogansi kekuasaan

melawan kepentingan komunal. Arogansi tersebut salah satunya

termanifestasikan melalui adanya penyimpangan aturan-aturan

tentang lingkungan hidup demi memuluskan jalan proyek tersebut.

Berbagai aturan tersebut ada pula yang saling terdistorsi satu

sama lain seperti halnya ada penyimpangan-penyimpangan dalam

Perda No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Provinsi DIY. Dalam pasal 59 huruf c disebutkan bahwa

pengembangan kawasan dengan potensi sumber daya mineral,

batu bara dan panas bumi secara optimal dengan memperhatikan

daya dukung lingkungan. Namun kemudian aturan tersebut justru

bertentangan dengan pasal 60 ayat 2 poin b nomor 2 dengan

ditetapkannya kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur sebagai area

penambangan pasir besi. Padahal kajian tematik sebelumnya telah

mengingatkan adanya ancaman tsunami dan abrasi akut bilamana

aktivitas pertambangan tetap dilakukan. Dalam aturan lainnya, Kuasa

Pertambangan No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005 meliputi lahan

Pakualaman dengan luas area pertambangan 4.076,7 hektar yang

kemudian direvisi menjadi 2.987,79 Ha, yang terletak di sepanjang

pantai antara Sungai Progo dan Sungai Serang (Amri, 2008:28).

Semakin besar area pertambangan justru akan semakin mengancam

keberadaan pertanian lokal sehingga secara gradual akan mematikan

pendapatan masyarakat petani secara struktural. Oleh karena itulah,

penting untuk disimak mengenai dimensi-dimensi lokus kon�lik yang

berkembang dalam kasus Kulonprogo agar bisa diketahui duduk

perkaranya.

V. Kon�lik Pasir Besi sebagai Permasalahan Sengketa Agraria

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa kon�lik sumber daya

alam yang terjadi dalam kasus Kulonprogo merupakan embrioisasi

dari dua model kon�lik yakni kon�lik agraria dan kon�lik pasir besi.

Adapun kon�lik pasir besi tersebut merupakan arena kontestasi

antara petani dan korporasi dalam memperebutkan kandungan pasir

besi demi kelangsungan kegiatan perekonomian mereka. Kondisi

104

keberkahan itulah yang menjadi keunikan tersendiri dalam kasus

pertanian Indonesia dimana produk varietas unggulan hortikultura

justru dihasilkan di kawasan yang selama ini dilabelisasi tandus.

Apalagi ditambah dengan margin keuntungan yang bisa mencapai

10-20 juta per bulan untuk 1200 hektar lahan yang ditanami produk

hortikultura (Panuju,2013). Selain itu pula, pertambangan pasir

besi tersebut akan memiliki dampak terhadapnaiknya air laut ke

permukaan pantai sehingga mengakibatkan abrasi dan hilangnya

air tawar karena kadar garam laut mencemari air daratan. Realitas

tersebut yang kemudian membuat daya survivalitas dan durabilitas

petani semakin meningkat untuk tetap menjaga dan mempertahankan

keberadaan pasir besi sebagai aset pertanian berharga.

Berbeda halnya dengan pemahaman petani terhadap pasir besi yang

sebatas pada kandungan alluvium yang berguna bagi pertanian, PT

Jogja Magasa Iron sendiri menangkap adanya kandungan titanium

dan vanadium berharga sebanyak 300 juta ton di pesisir selatan

yang dapat dieskavasi selama 30 tahun masa aktif. Tentu hal tersebut

menjadi keuntungan regional bagi DIY yang memiliki Pendapatan

Asli Daerah (PAD) terendah se-Jawa untuk meningkatkan kas

daerah melalui skema kontrak karya dan bagi hasil tambang. Hal

yang menjadi lokus permasalahan adalah penambangan tersebut

dikhawatirkan akan juga ikut menggerus kandungan alluvium

yang ternyata memiliki konsentrat yang sama dengan titanium dan

vanadium yang diincar korporasi (Syaifullah, 2011). Indikasinya

bisa disimak dari perluasan lahan pertambangan yang semula hanya

pilot project di kawasan Galur kemudian berkembang ke empat

desa, salah satunya adalah Karangwuni sebagai sentral permukiman

petani pantai selatan. Selain itu pula, pertambangan juga diperluas

mendekati DAS Sungai Progo dan Sungai Serang yang merupakan

pusat kandungan alluvium dan konservoir air tawar bagi pertanian.

Adanya ekstensi!ikasi pertambangan pasir besi inilah yang membuat

resistensi petani juga semakin meningkat. Para petani tidak rela jika

kandungan alluvium dan air tawar itu dirusak oleh mesin-mesin

eskvator dan deru haul truck bergemuruh di lingkungan mereka

sehingga mematikan sumber pendapatan mereka selama ini.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 105

Berdasarkan Peraturan Daerah Kulon Progo Nomor 1 Tahun 2003

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah telah menetpakan kawasan

pesisir selatan ditetapkan sebagai area pertambangan pasir besi

sejak 2003. Penetapan tersebut memang dirasa dilakukan sepihak

oleh pemerintah pusat beserta provinsi tanpa melibatkan upaya

konsultasi petani sebagai aktor in situ di sekitar pertambangan.

Penetapan itu pula yang kemudian turut mengubah rencana tata ruang

wilayah (RTRW) Kabupaten kulonprogo yang semula menetapkan

kawasan pesisir selatan sebagai kawasan hijau menjadi kawasan

tambang. Dalam lingkup nasional, skema Masterplan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3I) yang disusun pada tahun

2012 guna mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

kawasan tertinggal seperti halnya Kulonprogo, mengamanatkan

adanya eksploitasi tambang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi

yang kemudian akan memicu pertumbuhan infrastruktur ekonomi

Kulonprogo. Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sendiri

dibentuk pada tahun 2006 sebagai bentuk akumulasi gerakan petani

di pesisir selatan yang kecewa dengan sikap pemerintah pusat dan

daerah. Gaung PPLP dalam mengadvokasi perjuangan hak-hak petani

di tingkat lokal harus diakui minim selain dikarenakan dominasi

paternalistik dalam tubuh pemerintahan yang pro terhadap kerajaan

sehingga membatasi gerakan petani. Jejaring paternalistik rupanya

juga membungkam segala pemberitaan media yang membahas arah

perjuangan petani tersebut. Yang paling menyakitkan adalah PPLP

justu dianggap sebagai organisasi anti keistimewaan yang mencoba

melawan Sultan dengan menduduki tanah-tanah pesisir selatan.

Konstruksi tersebut menjadi bagian penting untuk membungkam

perjuangan PPLP di tingkat lokal sehingga organisasi ini mengarahkan

orientasi gerakan ke dunia internasional.

Permasalahan sengketa agraria merupakan narasi yang urgen dan

signi!ikan dalam membahas akar permasalahan kon!lik pasir besi

dari segi perspektif alternatif. Perebutan potensi pasir besi memang

menjadi bahasan utama, namun kon!lik agraria merupakan kon!lik

laten yang ternyata menjadi faktor di belakang layar yang berperan

penting terhadap bibit-bibit kon!lik pasir besi.

106

Hal yang paling kentara dalam melihat kon�lik agraria di pesisir

selatan Kulonprogo sebenarnya adalah kontestasi antara penerapan

Undang-undang (UU) PP Agraria tahun 1960 dengan sistem Pakualam

Ground (PG) maupun Sultan (SG) yang berlaku di Yogyakarta.

Keinginan petani sebenarnya adalah melakukan serti�ikasi tanah atas

lahan pertanian mereka yang telah dikelola selama 20 tahun sampai

sekarang ini. Serti�ikasi tersebut sangatlah urgen dan signi�ikan

untuk memperjelas status tanah agar tidak salingklaim mengklaim

tanah pertanian dengan pihak kraton. Dalam hal ini, sudah menjadi

rahasia umum apabila status tanah di kawasan pesisir selatan yang

menjadi sumber sengketa pasir besi masih berstatus abu-abu baik

dari segi hak kepemilikan (property rights) maupun legalitasnya

(ground legality).

Dari segi kepemilikan, terjadi sengketa apakah tanah tersebut milik

petani atau milik Pakualam (Pakualam Ground). Sedangkan dimensi

legalitas juga mempertentangkan berlaku atau tidaknya UU Pokok

Agraria di DIY. Kasus ini menjadi unik dalam peta politik agraria

dalam ranah lokal dimana terjadi dualisme dalam pengaturan tanah.

Masing-masing pihak saling melakukan aksi pembenaran bahwa

tanah yang duduki adalah sah dan mempunyai hak kepemilikan

yang diatur undang-undang. Pihak kraton sendiri bersikukuh

diterapkannya UU No 13 tahun 2012 khususnya pasal 7 dan pasal

32 tentang tanah sebagai bagian dari keistimewaan. Sedangkan

pihak petani menginginkan agar UU No 5 tahun 1960 tentang

Agraria diberlakukan di DIY agar terjadi proses redistribusi lahan

yang merata bagi rakyat. Berlaku tidaknya peraturan tersebut perlu

dilacak dari segi sejarah sehingga kita bisa mengindikasikan berbagai

permasalahan elementernya

Rasionalitas petani lahan pasir menuntut serti�ikasi bisa disimak dari

perjuangan mereka sebagai kaum marjinal yang menjadikan tanah

pantai sebagai sumber pengharapan ekonomi baru. Masyarakat

petani lahan pantai yang berada di pesisir selatan Kulonprogo pada

dasarnya merupakan kelompok masyarakat tanpa tanah (landless)

dan miskin ketika pemerintah kolonial menarik ½ Ha maupun ¼ Ha

untuk ditanami gula. Pada era paska kolonial, kemiskinan rupanya

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 107

juga tidak beranjak dari masyarakat tersebut ketika pengaturan tanah

dalam sistem feodalisme diberlakukan keraton dengan mengklaim

tanah tak bertuan menjadi milik kerajaan. Oleh karena itulah, mereka

kemudian beralih ke pesisir selatan yang kemudian dikenal dengan

sebutan wong Cubung. Kata cubung sendiri mengindikasikan bahwa

kelompok masyarakat tersebut merupakan kelompok orang yang

terbuang dan diibaratkan sebagai kasta sudra jikalau dianalogikan

dengan sistem kastanisasi. Lambat laun, lahan pantai tersebut

kemudian digarap dengan dua sistem yakni tanah pemajekan yakni

tanah yang diklaim legal dan sah untuk dijadikan sebagai lahan

permukiman dan tanah pasir garapan yang digunakan sebagai lahan

pertanian. Mekanisme endog-endogan sendiri digunakan sebagai

forum petani untuk mendiseminasikan pengetahuan pertanian

maupun redistribusi kesejahteraan agar semua petani lahan pasir

menjadi sejahtera.

Maka dengan melihat alasan historis tersebut, serti!ikasi atas

tanah menjadi harga mati bagi para petani. Apalagi hal tersebut

diperkuat oleh UU 5/1960 tentang Pokok Agraria dimana setiap

tanah tak bertuan yang sudah diduduki selama 20 tahun lebih, maka

dimungkinkan untuk dilakukan serti!ikasi hak milik (Yuliandry,

2012:4). Adapun dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954, di

mana pasal 10 mengatakan bahwa orang yang memakai tanah secara

turun-temurun, (tanah itu) bisa dijadikan hak milik. Adanya legalisasi

itulah yang kemudian membuat masyarakat petani lahan pantai

untuk menolak tambang pasir dan dilakukan serti!ikasi dikarenakan

dari seluas 3000 hektar tanah yang hendak dijadikan area tambang,

hanya 200 hektar saja yang berstatus Pakualaman Ground (PG).

Klaim petani tersebut didasarkan pada inventarisasi peta desa yang

menggambarkan pola batas-batas yang jelas.

Sementara itu di lain pihak, pihak kerajaan sepertinya juga ingin

tetap mempertahankan status tanah “tak bertuan” tersebut. Kraton

melalui perundangan Riksjblaad Kesultanan 1918 yang mengatakan

bahwa semua tanah yang tidak terserti!ikasi otomatis menjadi milik

kerajaan. Adapun tanah yang berada di pesisir selatan berdasarkan

pada UU No 18 Tahun 1951 sendiri tentang pembentukan gabungan

108

Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Adikarta menyebutkan bahwa

keseluruhan wilayah Adikarta yang meliputi pesisir selatan secara

otomatis berada dalam kekuasaan kraton (Munsyarif, 2010). Adanya

fakta historis yang tidak kalah kuatinilah yang membuat pemerintah

daerah juga berkeinginan besar untuk tetap mempertahankan wilayah

ini. Apalagi setelah UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

Yogyakarta diundangkan yang memaknai pengaturan tanah menjadi

bagi dari keistimewaan kraton sebagai patron Yogyakarta. Adanya

silang pendapat terhadap legalitas tambang maupun tanah pertanian

itulah, hingga kini kon lik tersebut belum selesai. Pertanian lahan

pasir masih berjalan seperti biasanya, namun kegiatan pertambangan

sendiri mengalami hambatan karena blokade masyarakat lokal.

Sangatlah penting untuk disimak mengenai diskursus keistimewaan

sendiri dalam memaknai kon lik sumber daya alam di Kulonprogo.

Dalam berbagai hal, keistimewaan sendiri dimaknai sebagai bentuk

pengakuan atas kesetiaan dan pengabdian yang dilakukan Kraton

Yogyakarta dan Pakualaman terhadap perjuangan eksistensi NKRI

selama revolusi kemerdekaan maupun pengakuan entitas lokal

pertama terhadap pemerintah pusat yang baru tumbuh. Namun

keistimewaan juga dapat diartikan sebagai semakin berkuasanya

Kraton terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Maka tidaklah mengherankan bahwa loyalitas rakyat terhadap

kraton begitu tinggi seiring dengan semakin tingginya pula saluran

patrimonialisme tersebut.

Masyarakat pesisir selatan Kulonprogo adalah anomali dalam

rancang bangun patrimonialisme yang berani melawan otoritas

kerajaan yang notabene dianggap populis oleh mayoritas penduduk

lainnya. Namun demikian, semboyan bertani atau mati sendiri

merupakan bentuk penegasan bahwa penguasa sendiri juga harus

mawas diri untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyatnya yang

selama bertahun-tahun menggantungkan hidup dari mengolah tanah

ketimbang mengikuti logika asing demi menjaga pertumbuhan dan

peningkatan pendapatan lokal.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 109

VI. Kesimpulan

Hal yang bisa kita simpulkan dari makalah ini adalah kon!lik sumber

daya alam yang terjadi dalam ranah lokal selalu saja mempertautkan

kontestasi pembangunanisme dan ekologisme. Dalam kasus kon!lik

pasir besi di Kulonprogo, setting kon!lik tersebut mengikuti alur narasi

besar tersebut. Namun yang menarik dalam kasus kon!lik pasir besi

ini adalah munculnya neo-kapitalisme semu dan patrimonialsime

bisnis yang cukup kuat. Adanya kerajaan di Yogyakarta yang diakui

dan sangat dihormati sebagai patron oleh mayoritas masyarakat

menjadikan gerak advokasi dan pergerakan aktivisme yang menuntut

keadilan agraria menjadi minor pengaruhnya. Sebagai implikasinya

adalah gerakan petani justru terbatas dan terlokalisasi dalam

kawasan lingkungannya saja. Meskipun kini sudah ada berbagai

dukungan internasional terhadap perjuangan tersebut, namun

belum memberi pengaruh besar terhadap gerakan petani tersebut.

Adanya sistem tumpang tindih dalam pengaturan tanah di Yogyakarta

juga menyebabkan gerakan petani mengalami kendala mengenai

property rights. Kon!lik sumber daya baik pasir besi maupun agraria

Kulonprogo menuntun kita pada suatu pemahaman bahwa predatory

regime dalam tata kelola sumber daya timbul karena adanya hasrat

pembangunan yang begitu kuat dengan dukungan modal asing

sebagai stimulusnya.

-oooOooo-

Daftar Pustaka

Ansori, Chusni.(2011). Distribusi Mineralogi Pasir Besi pada Jalur

Pantai Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi, 6(2), 81- 96.

Arizona,Yance.(2008).Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam.

Jakarta: Penebir HuMa.

110

Cahyono,Heru. (2011, Maret 31). Menambang Pasir Besi di Lahan

Petani Kulon Progo. Antaranews.com. Retrieved Mei 7,

2013, from http://www.antaranews.com/berita/252134/

menambang-pasir-besi-di-lahan-petani-kulon-progo.

Dharmawan, A. H. (2007). Kon�lik Sosial dan Resolusi Kon�lik: Analisis

Sosio-Budaya. paper presented at Seminar dan Lokakarya

Nasional Pengembangan Perkebunan Wilayah Perbatasan

Kalimantan, (hal. 1-14). Pontianak 10-11 Januari.

Endaryanta. Erwin.(2008).Politik Air: Penjarahan Si Gedang oleh

Korporasi Aqua-Danone. Yogyakarta: PolGov.

Evan, Peter. (1990). Predatory, developmental, and other apparatuses:

A comparative political economy perspective on the Third

World state. Sociological Forum, 4(4), 561-587.

Fauzi, Akhmad.(2004). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jati, Wasisto Raharjo. (2012). Manajemen Tata Kelola Sumber Daya

Alam Berbasis Paradigma Ekologi-Politik. Jurnal Politika, 3(2),

98-111.

JMI. (2012). Sejarah Perusahaan.jmi.co.id. Retrieved Mei 4, 2013, from

http://jmi.co.id/id/his.html.

Juhadi. (2010). Analisis Spasial Teknologi Pemanfaatan Lahan

Pertanian Berbasis SIG di DAS Hulu, Kulonprogo, Yogyakarta.

Jurnal Geogra i, 7(1), 11-29.

Marwasta, Djaka. (2007). Analisis Karakteristik Permukiman Desa-

desa Pesisir di Kabupaten Kulonprogo. Forum Geogra i, 21(1),

57-68.

Munsyarif. (2010). Kebijakan Pengaturan Pertanahan di DIY. paper

presented at Focus Group Discution Pusat Penelitian dan

Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, (hal.1-23)/

Jakarta 23 Desember.

Ostrom, Ellinor. (1990). Governing the Commons: The Evolution of

Institutions for Collective Action. London :Cambridge University

Press.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 10, 2013 The Habibie Center 111

Panuju, Triangga. (2013, Mei 29). Tiap Hari Rp 4 Miliar Mengalir

ke Petani Cabai Pesisir. suaramerdeka.com. retrieved Juli 13,

2013, from http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/

news/2013/05/29/158846.

Ratnawati, Tri. (2011). Antara “Otonomi” Sultan dan “Kepatuhan”

Pusat di Era Reformasi: Studi Kasus Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Governance, 2(1), 42-68.

Shiva,Vandana.(1995). Biopolitics: A Feminist and Ecological Reader

in Biotechnology. London: Zed Books.

Yanuardy, Dian. (2012). Commoning, Dispossession Projects and

Resistance: A Land Dispossession Project for Sand Iron Mining

in Yogyakarta. paper presented at International Conference on

Global Land Grabbing II, (hal.1-27). Ithaca 17-19 Oktober.