PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI ...
PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA
DEPOK JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Skripsi
Diajuakan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (SH)
Oleh
IMAS MAESAROH
1112045100010
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
iv
ABSTRAK Imas Maesaroh. NIM 1112045100010. PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA DEPOK, JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA. Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1438/2017 M.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia terhadap fenomenal sosial yang terjadi yaitu tentang politik uang pada pemilihan kepala daerah, bagaimana modus operandi yang dilakukan, apakah tindakan politik uang termasuk kedalam tindak pidana dan sanksi apa yang akan diberikan kepada pelaku politik uang .
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti pengumpulan
data dilakukan dengan metode kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang, buku-buku, majalah, artikel, website. Wawancara kepada Panwaslu Kota Depok yaitu Bapak Andriansyah.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa hukum Islam maupun hukum positif
Indonesia menganggap praktek politik uang merupakan tindakan yang salah, hanya saja dalam hukum positif Indonesia pada pemilihan kepala daerah tahun 2015 di kota Depok tidak dapat dipidana karna tidak ada undang-undang yang mengatur secara jelas sanksi yang akan dijatuhi bagi pelaku praktek politik uang, namun pada tahun 2016 undang-undang nomor 8 tahun 2015 diamandemen menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2016 yang didalamnya mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku praktek politik uang dan bahwa Bawaslu yang berwenang menangani dan menyelesaikan kasus praktek politik uang. Sedangkan dalam hukum Islam praktek politik uang disamakan hukumnya dengan suap menyuap (risywah). Dalam hukum Islam risywah termasuk kedalam jarimah tajir.
Kata Kunci : Politik Uang Persepektif Hukum Isalam dan Hukum
Positif Indonesia Pembimbing : 1. Amrizal Siagian, S. Hum, M.Si.
: 2. Afwan Faizin, MA
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meneylesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa tersirah untuk Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya. Aamiin
Skripsi yang berjudul “Praktek Politik Uang Calon Kepala Daerah di Kota
Depok, Jawa Barat Dalam Persepektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Postif
Indonesia” ini merupakan salah satu komponen penting dalam persyaratan untuk
memperoleh gelar sarjana (S-1) pada bidang Hukum Pidana Islam. Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan ini banyak sekali pihak yang terlibat yang membantu
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dengan rasa syukur serta
hormat penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan, dan pengarahan serta dukungan moril dan
materl. Oleh karna itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA. Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Nur Rohim, LLM. Sekertaris Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan Selaku Dosen Penasihat Akademik atas
nasihat dan arahannya.
6. Bapak Amrizal Siagian, S. Hum, M.Si. dan Bapak Afwan Faizin. MA Selaku
pembimbing yang secara bijaksana dan kooperatif telah memebrikan
bimbingan, ilmu, pengarahan, motivasi, dan semangat sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmunya khususnya kepada penulis.
8. Kiyai H. Syukron Mamun selaku pimpinan Pon-Pes Darul-Rahman yang
telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama ini.
9. Kedua orangtua yang terus memberikan motivasi dan semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini. Kalian merupakan motivasi dan semangat terbesar
dalam hidup penulis karna tanpa kalian penulis tidak akan menjadi apa-apa.
Kalian mengajarkan banyak hal dan selalu menyayangi dan mendukung
penulis hingga sampai hari ini.
10. Rini Komalasari adik yang selalu memberikan semangat dan bantuan dalam
penyelesaian skripsi ini.
11. Aprilian Cena yang selama ini selalu membantu dan memberikan semangat
dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Terimakasih untuk Siti Nurbadriyah, Mien Khusniniyah, Nur Ainun, Elza
Dwi Yulia, dan Siti Siswati selama ini telah menjadi sahabat yang selalu
menemani dan menyemangati penulis dalam suka dan duka.
13. Terimakash untuk sahabat Muzanni, Nova Sandi, Brinna Listiyani, dan
Syamazka Zakirni, yang selama ini telah berjuang bersama dalam sebuah
ikatan persahabatan dalam sebuah semangat pergerakan dan juga telah
memberi semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini
14. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII KOMFAKSYAHUM yang banyak
mengajarkan penulis tentang bagaimana memenejemen waktu, belajar dalam
berorganisasi, dan ilmu-ilmu yang tidak akan didapat dibangku kuliah
15. Terimakasih untuk sahabati KOPRI PMII PC Ciputat yang telah memberi
motivasi dan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
16. Terimakasi kepada ikatan keluarga Darul Rahman (IKDAR) yang selalu
membantu penulis.
17. Terimakasih juga kepada teman-teman prodi Siyasah Jinayah Syariah (SJS)
2012 yang sudah menemani penulis dalam berjuang selama 4 (empat) tahun
lamanya.
18. Terimakasih untuk keluarga besar My Permata Wisata.
19. Terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dan berjasa dalam proses
pembuatan skripsi ini yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu
namun tidak mengurangi sedikitpun rasa terimakasih dari penulis.
Jakarta 21 April 2017
(Imas Maesaroh)
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................iii
ABSTRAK ................................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUA
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 10
D. Riview Studi Terdahulu ......................................................................................... 11
E. Metode Penelitian ................................................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan Skrpsi .................................................................................. 16
BAB II TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM
A. Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia ............................................. 18
B. Tindak Pidana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia ........................ 22
C. Bentuk Tindak Pidana Pilkada ............................................................................... 27
D. Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Hukum Islam .. 31
BAB III PRAKTEK POLITIK UANG DI PILKADA DEPOK
A. Pilkada di Kota Depok ........................................................................................... 43
B. Politik Uang pada Pilkada Depok .......................................................................... 46
C. Modus Operandi Politik Uang ................................................................................ 48
D. Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang ................................................................ 51
BAB IV PRAKTEK POLITIK UANG PADA PILKADA KOTA DEPOK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya ........................... 55
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Depok Tahun 2015 ...... 58
C. Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di Pilkada Depok Tahun 2015 ............................................................................................................. 65
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ............................................................................................................. 70
B.Kritik dan Saran ...................................................................................................... 71
PEDOMAN TRANSLITERASI
Bawaslu : Badan Pengawas Pemilu
CSIS : Center for Strategic and International Studies
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GOLKAR : Golongan Karya
ICW : Indonesian Corruption Watch
JPPR ; Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat
KPU : Komisis Pemilihan Umum
KPUD : Komisis Pemilihan Umum Daerah
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
KUHP : Kitab Undnag- Undang Hukum Pidana
MPR : Majlis Permusyawaratn Rakyat
MK : Mahkamah Agung
MUI : Majlis Ulama Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
Pemilu : Pemilihan Umum
Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilu
PARPOL : Partai Politik
PERMUSI : Partai Muslim Indonesia
PNI : Partai Nasional Indonesia
PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan
PPS : Panitia Pemungutan Suara
PILKADA : Pemlihan Kepala Daerah
PAN : Partai Amanat Nasional
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
PKB : Parta Kebangkitan Bnagsa
PBB : Partai Bulan Bintang
PBR : Partai Bintang Reformasi
PKPI : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PUSKAPOL : Pusat Kajian Politik
TI : Transparancy International Indonesia
UU : Undnag Undang
UUD : Uangang- Undang Dasar
UI : Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan umum merupakan suatu proses penyaringan bagi seorang
pemimpin yang akan mewakili suara rakyat di lembaga perwakilan. Biasanya
mereka yang terpilih diusung dari partai politik (parpol). Pemilu pertama di
Indonesia terjadi pada tahun 1955, namun pada tanggal 17 Agustus 1945
pemerintah sudah menyatakan keinginan untuk menyelenggarakan pemilu
pada awal tahun 1946. Tidak terlaksana pemilu pertama pada Januari 1946
dikarenakan belum siapnya Undang-Undang pemilu dan masih tidak stabilnya
keamanan negara pasca konflik.1
Keinginan pemerintah untuk mengadakan pemilu dibuktikan dengan
terbentuknya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilu, yang
nantinya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949 tentang
pemilu. Di dalam UU No. 12 Tahun 1949, diamanatkan bahwa pemilu yang
akan dilakukan adalah secara tidak langsung..2
Pemilihan umum di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih
anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada Tahun 2002,
1 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 1999), hal. 8.
2 Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan PEMILU Di Indonesia, (Jakarta Utara : PY Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 48.
2
pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dilakukan oleh MPR, kini
dilakukan langsung oleh rakyat.3
Sepanjang sejarah Indonesia telah melakukan 11 kali pemilu anggota
yaitu pada Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004,
2009, dan 2014.4 Pemilu pertama di Indonesia, terjadi pada tahun 1955.
Pemilu kedua di adakan pada tahun 1971 ketika Soharto diangkat oleh MPRS
menjadi presiden setelah 4 tahun masa jabatannya. Dimana Pemilu 1971
diharuskan para pejabat negara bersifat netral maksudnya tidak bisa ikut serta
dalam pemilihan tersebut. Nyatanya banyak berbagai pejabat berpihak kepada
partai tertentu, yakni Golkar.5
Kemudian pemilihan tersebut menghasilkan empat partai besar sebagai
pemenang, meliputi Golkar, NU, Permusi, dan PNI. Pada tahun 1971,
pelaksanan pemilu yang priodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu yang
ketiga dilaksanakan pada Tahun 1977 dan setelah itu mulai terjadwal 5 tahun
sekali.6
Sistem pemilu dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah
mengalami begitu banyak perubahan. Pada masa berlakunya sistem
perlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional
3 Muchamad Ali Safaat, “Sejarah Pemilu Di Indonesia”, Artikel ini diakses pada 2 November 2016 dari safaat.lecture.ub.ac.id 4 Muchamad Ali Safaat, “Sejarah Pemilu Di Indonesia”, Artikel ini diakses pada 2 November 2016 dari safaat.lecture.ub.ac.id 5KPU, “Pemilu 1971”, Artikel ini diakses pada 24 Desember 2016 dari ditpolkom.bappenas.go.id 6KPU, “Pemilu 1971”, Artikel ini diakses pada 24 Desember 2016 dari ditpolkom.bappenas.go.id
3
representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai yang
diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu tetapi perorangan juga diberi
kesempatan mencalonkan diri. Pemilu pada masa ini dianggap sebagai pemilu
paling demokratis.7
Orde Baru dengan sistem pemerintahan presidensialisme, menerapkan
sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem
multipartai. Modifikasi sistem pemilihan yang digunakan melalui
pengangkatan utusan golongan/daerah.
Sistem pemilu yang dianut pada masa reformasi adalah sistem
proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk
memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih DPD menggunakan
sistem distrik berwakil banyak.
Berbeda dengan pemilihan umum dalam pemilihan kepala daerah,
Indonesia sudah mengeluarkan cukup banyak peraturan yang mengatur
tentang pemilihan kepala daerah. Setiap ditetapkannya peraturan baru tentu
akan memberi warna baru dalam penyelenggaraan pilkada. Dari beberapa kali
perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi, maka pemilihan
kepala daerah dapat dikelompokan pada tiga periodisasi waktu dan cara
pemilihannya.
Pertama, merupakan periode penunjukan, yaitu periode penunjukan
gubernur oleh presiden atas pengusulan beberapa calon oleh DPRD provinsi,
7 Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan PEMILU Di Indonesia, hal. 55.
4
sedangkan bupati ditunjuk oleh mentri dalam negeri melalui pengusulan
DPRD Kabupaten/kota. Dasar hukum peraturan tersebut adalah UU No.1
Tahun 1945, UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun
1965 dan UU No.5 Tahun 1974.8
Kedua, periode pemilihan perwakilan, yaitu periode pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota melalui pemilihan di DPRD provinsi kabupaten atau kota.
Dasar hukum dalam menggunakan sistem hukum pemilihan kepala daerah ini
adalah UU No.22 Tahun 1999.9
Ketiga, periode pemilihan langsung, yaitu pemilihan Gubernur, Bupati,
Walikota secara langsung dipilih oleh rakyat. Dasar hukumnya adalah UU
No.32 Tahun 2004, UU No.1 Tahun 2015, dan UU No.8 Tahun 2015.10
Meskipun undang-undang pilkada langsung diteteapkan pada tahun 2004,
tetapi pemilihan kepala daerah secara langsung baru dapat dilaksanakan pada
tahun 2005. Daerah Kuta Kartanegara, Kalimantan Selatan merupakan daerah
pertama yang menyelenggarakan pilkada langsung di Indonesia dan menandai
era baru dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Era dimana kepala
daerah dipilih secara langsung.11
Pemilihan umum khususnya pilkada di dalamnya bisa dikatakan sebagai
implementasi nilai-nilai demokrasi. Esensi demokrasi itu sendiri merupakan
8 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn,(Jakarta:
Penerbit Bestari,2015), hal. 28. 9 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 29. 10 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 29. 11 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 32.
5
peran utama rakyat dalam proses politik. Pemerintahan demokrasi adalah
pemerintahan yang mengandung tiga pemahaman, yaitu dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.12
Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia ini menyatakan dirinya
sebagai negara demokrasi, begitu pun dengan Indonesia. Setelah kemerdekaan
yang diakui secara hukum internasional, kini Indonesia menghadapi prospek
menentukan masa depannya sendiri. Dalam sebuah potret negeri yang masih
menunjukan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi
otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan pemimpin negeri.
Terlepas dari negara Indonesia yang menganut demokrasi, menjelang
pilkada biasanya kita dapat melihat berbagai macam cara yang dilakukan oleh
pasangan calon ketua dan wakil ketua kepala daerah yang berlomba-lomba
memperkenalkan diri mereka. Ada yang berkampanye melalui media online,
media cetak, media elektronik, dan ada pula yang menyambangi dari desa
kedesa. Spanduk dan baliho menjadi menu wajib yang harus dipasang disetiap
jalan-jalan protokol. Tidak lupa setiap pasangan calon menghadirkan artis-
artis ibu kota demi menambah kemeriahan kampanye. Semua ini terjadi
hampir disemua daerah yang menyelenggarakn pilkada.
Kemeriahan Pilkada tidak serta merta berjalan dengan lancar, dalam
peneyelenggaraannya sering kali terjadi kecurangan-kecurangan yang
dilakukan oleh simpatisan, tim sukses ataupun calon itu sendiri. Sebut saja
12 David Betham, Demokrasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000) , hal 32.
6
misalnya praktik politik uang. Kecurangan dalam bentuk politik uang sering
kali terjadi dalam penyimpangan setiap penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah secara langsung.
Praktik politik uang yang terjadi setiap kali pilkada sudah menjadi
rutinitas tahunan bahkan dimasyarakat hal itu selalu dinanti-nantikan. Mereka
tidak menyadari bahwa praktik politik uang merupakan sebuah pelanggaran
dan bisa saja termasuk kedalam tindak pidana. Hal ini dikarenakan tidak
tegasnya pemerintah dalam menyelesaikan kasus tindak pidana politik uang,
sehingga tiap tahunnya tindak pidana politik uang kerap terjadi.13
Praktek politik uang seolah-olah sudah mendarah daging di setiap
pemilihan umum baik skala nasional maupun daerah. Anggapan kuat bahwa
untuk memenangi kontestasi di Pilkada harus satu-satunya cara hanyalah
politik uang. Begitulah yang ada dipikiran setiap calon kandidat kepala daerah
dalam Pilkada.14
Tidak aneh jika sebagain besar calon kandidat Pilkada sering terkena
kasus korupsi atau penggelapangan uang pasca terpilihnya sebagai kepala
daerah. Menghalalkan berbagai cara merupakan dasar bagi mereka yang
berani mengorbankan dirinya untuk terlibat. Tentunya ini secara langsung
berdampak pada kepala daerah yang terpilih bukan representasi masyarakat
melainkan dari serangkain politik uang selama Pilkada.
13 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang Di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov, 2015), hal. 123. 14 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang Di Indonesia, hal. 64.
7
Begitupun dengan proses pilkada di seluruh wilayah Indonesia,
khususnya Kota Depok, Jawa Barat. Pilkada Kota Depok, Jawa Barat
dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Dimana pilkada di daerah tersebut tidak
lepas dari politik uang sama seperti daerah lainnya. Kota Depok sesuai
keterangan dari Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz menegaskan
salah satu kandidat calon kepala daerah Kota Depok diduga melakukan politik
uang. Pelaku merupakan pasangan Dimas-Babai yang menjanjikan uang 15-20
juta untuk satu RT/RW jika mencoblos mereka.15
Berdasarkan realitas tersebut mengindikasikan bahwa praktek politik
uang dilakukan secara terang-terangan. Peraturan Pilkada disamping undang-
undang yang menjadi pondasi peraturan dalam kontestasi kepala daerah ini
terkadang luput dari masalah ini. Tidak dapat dipungkiri politik uang pasti
terjadi tiap ajang kontestasi ini dilaksanakan.
Pilkada dilakukan serentak yang bersifat langsung dari masyarakat.
Maksudnya masyarakat Indonesia memilih langsung kepala daerah yang
nantinya akan memimpin daerahnya. Dalam tataran teknis pilkada dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sedangkan para peserta
pemilu termasuk KPUD diawasi oleh lembaga daerah sendiri, yakni Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu).16
15 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 16 Luthfi J. Kurniawan, Perihal Pemilu dan Pemilukada, (Malang: Malang Corruption Watch, 2013), hal. 40.
8
Pada dasarnya pilkada itu sendiri memiliki tujuan yang luhur. Meskipun
kenyataan yang ada pilkada sering dikotori dengan berbagai kegiatan politik
uang. Pilkada dilakukan di berbagai daerah yang salah satunya bertujuan
sirkulasi elit politik sesuai dengan amanat UU 32 tahun 2004 berkaitan dengan
otnomi daerah. Disamping itu pilkada dilihat sebagai upaya “memperjelas”
mandat kekuasaan dari rakyat. Nantinya berdampak pada pengelolaan
kekuasaan di daerah yang lebih stabil dalam tingkatan kepala daerah dan
DPRD.17
Perkembangan yang ada praktek politik uang selama pilkada mengalami
perubahan juga. Maksudnya praktek politik uang bukan hanya berbicara
mengenai uang secara langsung tetapi pembagian sembako, pemberian hadiah,
dan sejenisnya dapat disebut sebagai politik uang.18
Melihat realitas pilkada yang ada terkait praktik politik uang di
Indonesia, khususnya pilkada di kota Depok merupakan suatu urgensitas
terhadap ketidak tegasan pemerintah dalam memberikan sanksi. Sehingga
penulis merasa perlu adanya kajian tentang politik uang, bagaimana
pemerintah memandang tindak pidana politik uang, sanksi apa yang diberikan
oleh pemerintah terkait hal tersebut.
Selain itu juga berkeinginan melihat posisi hukum Indonesia dalam
memandang politik uang Kota Depok, Jawa Barat. Lantas bagaimana 17 Luthfi J. Kurniawan, Perihal Pemilu dan Pemilukada, (Malang: Malang Corruption Watch, 2013), hal. 8. 18 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009.
9
pandangan islam terkait kasus tindak pidana politik uang, yang diberi judul
“PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA DEPOK,
JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN
HUKUM POSITIF INDONESIA.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan tindak pidana pemilu dalam ranah hukum memiliki
cakupan yang sangat luas, oleh karenanya pembatasan dalam mengkaji
tindak pidana pemilu sangatlah penting. Berdasarkan hal itu penulis
membatasi permasalahan yang akan dibahas dibatasi pada pengkajian
mengenai tinjauan hukum islam dan hukum pidana positif terkait praktik
politik uang di Kota Depok Jawa Barat tahun 2015. Hal ini dikarnakan
praktek politik uang dikota depok memiliki modus operandi yang berbeda
dari daerah lainnya.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Bagaimana modus operandi praktek politik uang di Kota Depok,
Jawa Barat tahun 2015?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek politik uang
tahun 2015?
10
c. Bagaimana pandangan hukum Indonesia terhadap praktek politik
uang tahun 2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui modus operandi praktek politik uang pada
pilkada di Depok, Jawa Barat tahun 2015
b. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap praktek
politik uang tahun 2015
c. Untuk menjelaskan pandangan hukum positif Indonesia terhadap
praktek politik uang tahun 2015
2. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa manfaat, yakni :
a. Manfaat teoritis adalah penelitian ini akan menjadi data penelitian
selanjutnya terkait praktek politik uang dalam perspektif hukum
pidana Islam dan hukum positif Indonesia.
b. Manfaat praktis adalah penelitian dapat berkontribusi sebagai
bahan referensi atau bacaan untuk menambah wawasan.
11
D. Review Studi Terdahulu
Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa
skripsi terdahulu yang berhubungan dengan tindak pidana pemilu, dan politik
uang.
1) Skripsi karya Hanifan Prasna Verdi, Fakultas hukum Universitas
Jendral Soedirman Purworejo, tahun 2009 yang berjudul “Tindak
Pidana Pemilihan Umum (Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Sanksi
Tindak Pidana Pemilu dalam Undang-undang Pemilu Legislatif).
Skripsi ini membahasa lebih kepada tindak pidana pemilu secara
umum dan menitik beratkan kepada sanki-sanksi bagi pelakunya.
2) Buku karya Topo Santos, S.H., M.H yang berjudul “Tindal Pidana
Pemilu”. Buku ini berisi tentang definisi tindap pidana pemilu dan
kasus-kasus tindak pidana pemilu dari tahun ke tahun.
3) Jurnal karya Fitriyah yang berjudul “Fenomena Politik Uang dalam
Pilkada”. Jurnal ini berisi tentang analisa terhadap fenomena politik
uang yang terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu penelitian ini tentunya berbeda dengan sebelumnya
atau yang pernah dilakukan. Penelitian ini akan membahas tentang praktek
uang secara khusus di daerah-daerah. Landasan yang digunakan meliputi
peraturan Pilkada, KUHP (undang-undang), dan aspek keislaman bermain
dalam penelitian ini. Disamping itu praktek tersebut bukan hanya dikaji
dengan hukum positif Indonesia melainkan dari sudut pandang hukum
pidana Islam juga.
12
E. Metode Penelitian
Metode penelitian bermakna suatu tipe pemikiran yang dipergunakan
dalam sebuah penelitian.19 Maka dalam merumuskan skripsi ini penulis
menggunakan metode penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dan
lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-
hari.20Secara definisi pendekatan kualitatif merupakan suatu data yang
bersifat tulisan (deskriptif) terhadap suatu fenomena yang sedang
diamati.21
Selain itu, pendekatan ini menitikberatkan fokusnya pada aspek
pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat
permasalahan secara umum. Pendekatan ini cenderung menggunakan
analisis mendalam yang disebut dengan in depth analysis yaitu mengkaji
masalah secara perkasus.22
2. Jenis Penelitian
Jenis peneilitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris yaitu
penggabungan anatara pendekatan hukum normatif dengan adanya
penambahan dari berbagai unsur-unsur empiris.dalam penelitian ini akan
19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia.
1986), hal. 5. 20Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hal. 11
21 Lexy J. Meleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54. 22 Lexy J. Meleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54.
13
membahas terkait implementasi hukum normatif dalam aksinya disetiap
peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.23 penelitian hukum yang
menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang
berlaku, baik berupa KUHP, peraturan perundang-undangan, jurispudensi
dan studi empiris dengan melakukan wawancara24 untuk melengkapi data.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menguympulkan data,
menjelaskan, dan menguraikan data yang diperoleh berkaitan dengan
pokok bahasan kemudian dianalisis.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik
normatif-empiris, yaitu dengan mendapatkan sumber data yang berasal
dari wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi. Wawancara merupakan
pertemuan dua orang bertujuan mendapatkan informasi melalui tanya
jawab.25
Teknik lainnya, yakni dokumentasi adalah suatu catatan peristiwa yang
bersifat lampau. Dimana dokumen berbentuk tulisan, gambar, atau bentuk
karya lainnya. Sedangkan studi pustaka cenderung mengumpulkan data
23Parta Setiawan, “Macam-Macam Metode Penelitian.” Artikel ini di akses pada 21 April 2017 dari http://www.gurupendidikan.com/macam-macam-penelitian-hukum/
24 Wawancara merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seseorang yang disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis dan terorganisasi. (Lihat Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung : PT Refika Aditama, Cet. Ketiga, 2012), hal. 312. 25Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), Hal. 15
14
melalui berbagai buku, jurnal, artikel, dan sejenis lainnya baik melalui
media cetak maupun elektronik.26
5. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan secara langsung.
Maksudnya peneliti secara langsung mengambil data tersebut. Beberapa
metode pengambilan data ini meliputi wawancara, angket (kuesioner), dan
observasi.27 Namun penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk
memperoleh data.
Adapun pihak yang dijadikan narasumber adalah pihak yang terlibat
aktif maupun pasif dalam proses Pilkada. Tentunya narasumber yang
paham mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang
Pemilihan Kepala Daerah. KPU dan Panwaslu di tingkat daerah khususnya
kota Tanggerang Selatan akan dijadikan narasumber dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari
lapangan. Metode pengambilan data ini yakni studi pustaka. Dimana
2626 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), Hal. 16. 27 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54.
15
sumbernya berasal dari berbagai media cetak dan elektronik misalkan
jurnal, skripsi, berita, buku, dan lainnya yang berasal dari internet.28
Penelitian ini untuk mencari data yang digunakan dalam menganalisis
masalah mengutamakan bahanya yang berbentuk buku dan jurnal. Dimana
sumber tersebut diperoleh melalui internet serta beberapa perpustakaan di
sekitar Jakarta.
c. Bahan Hukum
Adapaun bahan hukum yang sering digunakan dalam penelitian hukum
terbagi menjadi tiga bagian : pertama, bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-
undangan. Kedua, bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat
hukum / doktrin/ teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil
penelitian, artiikel ilmiah maupun website yang terkait dengan penelitian.
Ketiga, bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Biasanya diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa inggris
atau bahasa indonesia.29
6. Teknik Analisis Data
28 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) hal. 42.
29 Ahmad Anugrahni, “Data Sekunder dalam Penelitian Hukum Normatif,”artikel ini diakses pada 21 April 2017 dari https:www.google.co.id/amp/s/ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam-penelitian-hukum-normatif/amp/
16
Analisis data yang digunakan terlebih dahulu penulis mengumpulkan
data-data yang diperlukan. Berbagai data diperoleh dari dokumentasi, studi
pustaka, dan wawancara. Pertama mendiskripsikan, memisahkan, dan
menganalisis data tersebut melalui dokumentasi dan studi pustaka. Kedua
mewawancarai nara sumber, yakni Ketua Panwaslu Kota Depok mengenai
pemabahasan ini.
Kemudian mendeskripsikan definisi tindak pidana pemilu dan macam-
macamnya.
Dari hasil penelitian terkait tindak pidana pemilu kemudian
dipersempit kepada tindak pidana politik uang menurut hukum pidana
islam dan hukum pidana positif indonesia. Kemudian penulis menganalisa
kedudukan hukumnya yang disandingkan dengan Undang- Undang Nomor
8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan berguna untuk membantu dalam mengartikan isi
dari penulisan skripsi tersebut. Di mna dalam sistematika penulisan tersebut
terdiri dari empat bab, yaitu:
BAB I, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penilitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
17
BAB II, Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia, Tindak Pidana
dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia, Bentuk Tindak Pidana
Pilkada, Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan
Hukum Islam.
BAB III, Pilkada di Kota Depok, Politik Uang pada Pilkada Depok, Modus
Operandi Politik Uang, Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang.
BAB IV Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya,
Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Kota Depok Jawa
Barat tahun 2015, Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di
Pilkada Kota Depok Jawa Barat tahun 2015,
BAB V merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahsan dan penulisan
skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
18
BAB II
TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM UNDANG-UNDANG DAN
HUKUM ISLAM
A. Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia
Pemilihan kepala daerah atau pilkada merupakan proses penyeleksian
rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di
daerahnya. Ruang lingkup pilkada meliputi pemilihan terhadap Gubernur, Bupati,
dan Walikota. Dalam aspek politik pilkada sebanding dengan pemilihan legislatif
atau DPRD. Dipertegas dengan Pasal 56 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah sebagai landasan pelaksanaan pilkada.1
Pilkada dilaksanakan secara langsung yang dipilih oleh masyarakat
Indonesia. Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan
berdasarkan asas demokratis bersifat jujur, bebas, rahasia, dan adil. Para kandidat
calon kepala daerah diajukan melalui partai tertentu atau koalisi dari beberapa
partai atau nonpartai dengan persyaratan tertentu.
Landasan pelaksanaan pilkada di Indonesia terkandung dalam Pasal 1
Ayat 2 UUD 1945 menjelaskan adanya kedaulatan dilakukan dan berada ditangan
rakyat. Ini menegaskan bahwa kedaulatan tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya
oleh MPR. Senada dengan itu sesuai ketentuan peralihan dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 mengenai pelimpahan wewenang kepada daerah yang dikenal dengan
1 Handi Andhani, Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada, (Fakultas Hukum UI, 2009), hal 19.
19
otonomi daerah. Pilkada langsung dimulai pada 2005 yang nantinya berlanjut lima
tahun setelahnya, yakni 2010 dan 2015. Pilkada dilakukan serentak di seluruh
daerah di Indonesia.2
Teknis pelaksanaan pilkada di setiap daerah akan dipimpin oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta prosesnya diawasi langsung oleh Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dimana KPUD dalam menjalankan tugasnya
bertanggung jawab kepada DPRD di masing-masing daerah. Pilkada
dilaksanakan melalui dua tahapan, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan meliputi:
1) Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai
berakhirnya masa jabatan.
2) Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa
jabatan Kepala Daerah.
3) Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pilkada.
4) Pembentukan panitia pengawas, meliputi PPK, PPS, dan KPPS.
5) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
Sedangkan tahap pelaksanaan, terdiri dari:
1) Penetapan daftar pemilu
2) Pendaftaran dan penetapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah
2 Handi Andhani, Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada, Fakultas HUKUM UI, 2009, Hal 25.
20
3) Kampanye
4) Pemungutan suara
5) Penghitungan suara
6) Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan.
Adapun tujuan dari pelaksanaan pilkada itu sendiri sebagai bentuk
peningkatan partisipasi demokrasi. Disamping itu memperkuat legitimasi
demokrasi dimana pilkada dilakukan di tingkat lokal. Beberapa indikator
keberhasilan pilkada bisa dilihat dari aspek kematangan partai politik, aktor
politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan segala administrasi dalam
penyelenggaraan pilkada.3
Catatan akhir mengenai pilkada sampai 2009 terdapat 169 kasus yang
dibawa ke meja pengadilan, termasuk masalah politik uang. Dimana sebanyak 7
kasus melibatkan gubernur atau wakil gubernur dan 132 kasus melibatkan bupati
serta walikota. Ditambah adanya kasus yang masih diperdebatkan di beberapa
daerah, yakni Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. 4
Akan tetapi ada juga yang melakukan keberhasilan dalam pelaksanaan
pilkada di daerah. Terjaganya netralitas dan proesionalitas KPUD membantu
proses lancarnya pelaksanaan pilkada. Didukung dengan kedewasaan berpikir
politik di antara para pemilih dan ditopangnya penyelesaian hukum yang bisa
menyelesaikan sengketa pilkada.
3 Eko Prasodjo, “Menghapus Pilkada Langsung”, Artikel ini diakses pada 19 November 2016 dari http://id.buck1.com/politik/hukum/menghapus-pilkada-langsung-566 4 Mimbar Opini, Pilkada Damai Impian Kita Bersama, Pikiran Rakyat, 2008.
21
Berikutnya Pilkada serentak 2015 merupakan suatu masa baru meskipun
masih sama dengan tahun sebelumnya dalam pelaksanaanya. Pesta demokrasi
pada 2015 yang menetapkan pemenang sebanyak 132 daerah dari 265 provinsi/
kabupaten/ kota ternyata bersamaan juga dengan gugatan yang masuk ke
Mahkamah Konstitusi (MK). 5 Ini hanyalah gambaran singkat mengenai
pelaksanaan pilkada 2015 yang tiap tahunnya diwarnai dengan berbagai tuntutan.
Pilkada 2015 serentak dilakukan pada 9 Desember 2015 dan akan
diadakan juga pilkada susulan pada 2017 sebagai ajang melestarikan nilai
demokrasi. Bisa dikatakan lebih baik pelaksanaan pilkada 2015 seperti yang
diucapkan oleh Arya Fernandes, Peneliti Politik Center for Strategic and
International Studies (CSIS) tentunya dengan beberapa alasan.6
Arya menyebutkan adanya persiapan KPU yang semakin matang, figur
kepala daerah dan transparansi dana yang bisa diakses masyarakat, perhitungan
suara terbuka, mengetahui langsung hasil pilkada, dan adanya kesempatan besar
bagi pemantau merupakan beberapa faktor mengapa pilkada 2015 lebih baik
daripada sebelumnya. 7
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pelaksanaan pilkada di Indonesia
mengalami perkembangan tiap tahun pemilihannya. Tidak dipungkiri pilkada
dalam pelaksanaannya mengalami perbaikan namun berbanding lurus dengan
banyaknya gugatan atau tuduhan mengenai masalah selama pilkada. Tetap pada
5 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 4. 6 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 17. 7 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 18.
22
suatu usaha bagi Indonesia sendiri untuk menciptakan pilkada yang adil, bersih,
dan jujur dalam pelaksanaanya.
B. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia
Tindak pidana secara definisi merupakan tindakan seseorang atau
kelompok yang memunculkan pidana atau melanggar hukum pidana beserta
ancaman hukumannya.8 Mengacu pada hukum pidana Belanda kata tindak pidana
berasal dari strafbaar feit, bisa juga dengan istilah delict yang berasal dari bahasa
Latin. Sedangkan di beberapa neara Anglo-Saxon hukum pidana lebih dikenal
dengan istilah offense atau criminal act dengan maksud yang sama.9
Senada dengan itu tindak pidana dapat diartikan juga sebagai perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, maksud dari
perbuatan disini selain bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang
oleh hukum) juga bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).10
Secara bahasa terjadi keragaman dalam istilah tindak pidana meskipun
dari segi definisi sangatlah sama. Istilah offence dan criminal act oleh negara-
negara Eropa Kontinental dikenal dengan strafbaar feit atau delict ketika saat
dimasukan dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya itu keragaman juga terjadi pada
berbagai literatur hukum yang ditulis pakar-pakar hukum. Para ahli ada yang
8 J.B Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009), Hal. 92. 9 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 85. 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 50.
23
menyebutnya dengan tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana,
perbuatan pidana, dan perbuatan yang dapat dihukum.11
Pada dasarnya secara kata strafbaar feit terdiri dari tiga kata. Kata straf
artinya dengan pidana dan hukum. Baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh.
Kata feit dijelaskan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Sederhananya kata strafbaar feit diartikan tindakan yang boleh dihukum.
Indonesia menggunan KUHP yang bersumber W.V.S Belanda sehingga istilah
aslinya pun terdapat kesamaan, yaitu strafbaar feit.12
Satochid Kartanegara menyebutkan dalam tindak pidana terdapat beberapa
unsur diantaranya unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif merupakan
unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu suatu tindak tanduk, jadi suatu
tindakan, suatu akibat tertentu, dan berupa keadaan yang dilarang atau diancam
oleh undang-undang.13 Unsur ini terdiri dari:
1. Sifat melanggar hukum
2. Kualitas dari si pelaku
3. Kausalitas, maksudnya adanya hubungan antara satu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.14
Unsur subjektif dalam hukum pidana maksudnya unsur yang melekat pada
diri pelaku atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di
11 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 25. 12 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hal. 65. 13 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hal. 73. 14 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 50.
24
dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur ini
terdiri dari:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan
2. Maksud pada suatu percobaan, sesuai dengan apa yang terkandung dalam
Pasal 53 ayat 1 KUHP
3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4. Merencanakan terlebih dahulu, speerti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,
yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.15
Prof. Moelyatno, S.H. menyebutkan unsur perbuatan pidana terdiri dari
kelakukan dan akibat dari perbuatan, hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum
yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.16Berbicara mengenai
hukum pidana tentunya tidak lepas dari kepastian hukum atau lex certa yang
merupakan bagian esensial. Dasar itu tertuang pada Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Tindak pidana yang terbagi-bagi dalam beberapa klasifikasi. KUHP
sendiri telah membaginya ke dalam dua kelompok besar, yakni Buku Kedua dan
Ketiga yang terdiri dari kelompok kejahatan dan pelanggaran.
Kemudian bagian selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan sasaran yang
dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Beberapa jenis tindak
pidana, meliputi kejahatan dan pelanggaran, delik formil dan delik materiil, delik 15 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), Hal. 51. 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), Hal. 53.
25
dolus dan delik culpa, delik commissionis dan delik omissionis, serta delik aduan
dan delik biasa.17
Kejahatan adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa
keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan. Sedangkan pelanggaran adalah
melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang. Delik formil adalah delik
yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu tanpa memikirkan
akibatnya. Delik materil sebaliknya perbuatan itu dianggap selesai jika sudah ada
akibatnya. Delik dolus delik yang mengandung unsur kesengajaan dan delik culpa
delik yang mengandung unsur kealpaan. Delik delik aduan delik yang
penuntutannya hanya dilakukan atas dasar pengaduan dan delik biasa adalah delik
yang penuntutannya tidak perlu adanya aduan.
Pada hukum Islam tindak pidana disebut dengan Jarimah. Jarimah
diartikan sebagai perbutan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam
oleh Allah SWT dengan hukuman hudud dan takjir. Berbeda dengan penjelasan di
atas bahwa di dalam hukum Islam terdapat fiqih jinayah sebagai landasan tindak
pidana. Secara etimologis kata fiqh bermakna paham atau memahami ucapan
secara baik. Terminologi dari kata fiqh, yaitu ilmu mengenai hukum-hukum
syariat yang berasal dari dalil-dalil terperinci. Sedangkan jinayah artinya berbuat
dosa atau memetik dan mengumpulkan. Dimana jinayah didefinisikan berbagai
17 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 59-61.
26
tindakan yang dilarang dan mengandung kemudaratan terhadap jiwa atau selain
jiwa.18
Dapat diambil suatu ringkasan mengenai fiqh jinayah merupakan ilmu
tentang berbagai hukum syariat yang disimpulkan dari nash-nash keagamaan.
Dimana tetap bersumber pada Al-Quran dan hadist mengenai kriminalitas, baik
yang berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan dalam aspek
pancajiwa syariat. Pancajiwa syariat meliputi agama, jiwa, akal, kehormatan,
nasab, dan harta kekayaan.19
Berbagai sumber yang digunakan sebagai dalil dalam fiqh jinayah terdapat
empat, yakni Al-Quran, hadist, ijma, dan qiyas yang tidak disepakati oleh para
fuqaha. Objek kajian fiqih jinayah terdapat tiga bagian jika dikaitkan dengan
tindak pidana, yaitu unsur formil (al-rukn al-syar’i), unusr materiil (al-rukn al-
madi), dan unsur moril (al-rukn al-adabi). Adapun keempat objek tersebut
memiliki definisi masing-masing.
Unsur formal atau al-rukn al-syar’i menjelaskan seseorang dapat dikatakan
sebagai pelaku maka harus terdapat undang-undang yang memberikan sanksinya.
Unsur materiil maksudnya seseorang dikatakan sebagai pelaku jika pelaku benar-
benar terbukti melakukan suatu kesalahan atau pidana. Terakhir unsur moril
adalah seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti sebagai pelaku.
18 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 67-68. 19 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 68
27
Dengan catatan pelaku tersebut bukan orang gila, anak di bawah umur, bukan
seseorang dengan kondisi terancam atau keterpaksaan.
Fiqh jinayah terdapat tiga masalah pokok, yakni jarimah qisas, jarimah
hudud, dan jarimah takzir. Jarimah qisas adalah tindak pidana yang diancamkan
hukuman qisas atau diat. Keduanya merupakan hak individu yang kadar
jumlahnya telah ditentukan. Jarimah qisas meliputi penganiayaan dan
pembunuhan. Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman
hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak
Allah SWT.20 Jarimah hudud terdiri dari zina, menuduh zina, minum khamar,
mencuri, merampok, murtad, dan pemberontakan 21 . Adapun jarimah takzir
merupakan berbagai jenis tindak pidana atau kejahatan yang tidak diatur di dalam
Al-Quran dan hadist. 22 Terdapat beberapa tindak pidana dalam kajian fiqh
jinayah, seperti ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil
paksa harta orang lain), hirabah (perampokan), dan lainnya.
C. Bentuk Tindak Pidana Pilkada
Terhitung di Indonesia sudah melakukan beberapa Pemilu mulai dari 1955
sampai 2015. Dalam pemilihan umum terdapat suatu keniscayaan bahwa yang
20 Abdul Qadir Auda, “Ensiklopedia Hukum Pidana Islam,” Muassasah Ar-Risalah. Tim
Tsalisah (Bogor : PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 87 21 Abdul Qadir Auda, “Ensiklopedia Hukum Pidana Islam,” (Bogor, Pt Kharisma Ilmu,
2007), hal 99
22 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 70.
28
namanya menghalalkan berbagai cara pasti digunakan. Tindak pidana dalam
Pemilu sering terjadi mewarnai pesta demokrasi yang dilakukan oleh kandidat
kepala daerah atau negara.
Perlu disesali sampai saat ini definisi atau batasan-batasan tindak pidana
Pemilu belum menemukan suatu konsensus. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) memang terdapat lima pasal susbstansinya mengenai
tindak pidana Pemilu tetapi tidak menyebutkan definisinya. 23 Pengelompokkan
tindak pidana secara umum dalam KUHP cenderung berdasarkan kepentingan
hukum apa yang dilanggarnya.
KUHP menyebutkan tindak pidana sudah dikelompokkan, meliputi
Kejahatan terhadap Nyawa dan Tubuh Manusia, Kejahatan terhadap Kesusialaan,
dan seterusnya. 24 Sedangkan tindak pidana yang terkait Pemilu sendiri tidak
dikelompokkan tersendiri sebagai bab Kejahatan terhadap Pelaksanaan Pemilihan
Umum.25
Tidak selesainya tindak pidana pemilu dalam tingkatan definisi
menyebabkan perbedaan rumusan unsur-unsur di dalamnya. Kita bisa melihat
rumusan tindak pidana Pemilu dari pasal-pasal yang terdapat pada KUHP.
Sementara itu bisa juga mengetahui landasan tindak pidana Pemilu dari Undang-
Undang Pemilu itu sendiri. Tetap saja tidak ada definisi baku mengenai tindak
pidana Pemilu.
23 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 1. 24 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 138. 25 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 2.
29
Djoko Prakorso dalam bukunya menyebutkan tindak pidana pemilu
merupakan setiap orang, badan hukum atau organisasi tertentu secara sengaja
melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya
pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. 26 Pernyataan
tersebut masih bersifat sangat umum masih belum menyentuh berbagai aspek
dalam Pemilu.
Ada tiga kemungkinan dari definisi dan batasan tertentu dalam tindak
pidana pemilu, yakni pertama segala tindak pidana yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemilu yang sudah diatur di undang-undang. Kedua, semua
tindak pidana berkaitan dengan pemilu yang diatur baik di dalam maupun di luar
undang-undang pemilu, seperti UU Partai Politik di KUHP. Ketiga, semua tindak
pidana pada saat pemilu berlangsung, meliputi penganiayaan, perusakan, dan
sebagainya.27
Berlanjut kepada batasan tindak pidana pemilu yang berdasarkan pada
KUHP. Terdapat lima pasal yang terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP
mengenai tindak pidana meskipun tidak ada bab khusus, yakni bagian Kejahatan
terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan, meliputi Pasal 148, 149,
150, 151, dan 152 KUHP.28
Pasal 148 KUHP membahas adanya kekerasan yang dilakukan sengaja
untuk merintangi seseorang menggunakan hak pilihnya. Pasal 149 KUHP
26 Djoko Prakorso, Tindak Pidana Pemilihan Umum, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.36. 27 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 4. 28 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 12.
30
mengenai pemberian sesuatu berupa suap untuk memakai hak pilihnya menurut
cara tertentu. Pasal 150 KUHP mengenai tindakan tipu muslihat yang
menyebabkan seorang pemilih tidak berharga. Pasal 152 KUHP tentang tindakan
menggagalkan proses pemungutan suara yang sedang berlangsung.29
Ruang lingkup tindak pidana pemilu itu sendiri bisa dikatakan sangat luas
misal berdasarkan KUHP menyebutkan penyuapan, perbuatan tipu muslihat,
mengaku sebagai orang lain, dan lainnya. Sedangkan peraturan KPU menjabarkan
tindak pidana pemilu, yaitu politik uang, penggelembungan suara, jual beli suara,
dan lainnya terkait teknis pemilihan.
Jadi tindak pidana pemilu tidak selesai dalam tingkatan definisi tetapi
dalam penerapannya berlandaskan konstitusi yang ada. Sesuai dengan penjelasan
di atas bahwa KUHP dan Undang-Undang dijadikan rujukan sebagai batasan
kapan suatu individu atau kelompok dikatakan melakukan tindak pidana pemilu
atau sebaliknya. Tentunya tindak pidana pemilu di sini secara khusus kegiatan
politik uang.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa poin mengenai
tindak pidana yang terjadi selama Pilkada berdasarkan undang-undang atau
KUHP. Berdasarkan undang-undang menyebutkan tindak pidana Pilkada
meliputi, penganiayaan dan perusakan selama proses pemilihan berlangsung,
memberi keterangan palsu, menyimpan surat-surat palsu kemudian untuk
digunakan kemudian, menggangu dan menghalangi pemilu, dan memberikan
29 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 13.
31
suara ganda. Sedangkan KUHP menyebutkan pelanggaran-pelanggaran pemilu
meliputi tindakan suap, merintangi orang untuk memilih, dan tipu muslihat
sebagai bagian dari tindak pidana Pilkada.
D. Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan
Hukum Islam
Berbicara tentang politik uang baik tindakan dan hukuman sebenarnya
sudah diatur dalam konstitusi Indonesia. Peraturan yang terlibat dalam
permasalahan ini meliputi undang-undang negara dan peraturan pilkada yang
merpakan turunannya. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia belum
mengetahui secara mendalam mengenai politik uang itu sendiri.
Politik uang adalah sejumlah uang yang diperuntukkan maksud-maksud
tertentu, misalkan kepentingan bisnis atau kepentingan politik. Ini bisa terjadi
ketika salah satu kandidat kepala daerah membeli dukungan Partai Politik
(Parpol). Bisa juga membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan imbalan
tertentu biasanya bersifat material.30
Sejarah membuktikan bahwa kata politik uang marak dibicarakan pada
pilkada 2005-2008. Terbukti banyak pengurus partai politik serta calon kepala
daerah melakukan jaul beli surat dukungan pencalonan, membeli suara pemilih,
30 Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf
32
dan membeli petugas untuk mengubah hasil perhitungan suara. Beberapa anggota
KPU harus masuk penjara karena terlibat politik uang atau korupsi.31
Wahyudi Kumorotomo menjelaskan berbagai cara untuk melakukan
tindakan politik uang sebagai berikut, yakni politik uang secara langsung bisa
berbentuk pembayaran tunai dari tim sukses calon tertentu kepada konstituten
yang potensial. Kedua, sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang
mengusungnya. Ketiga, sumbangan wajib dari parpol kepada kader tertentu yang
ingin mencalonkan diri menjadi walikota, bupati, atau gubernur.32
Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berupa pemberian hadiah,
pembagian sembako, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan
sebagainya. 33 Berbeda dengan itu Didik Supriyanto melihat dari fakta empiris
yang berdasarkan aktor dan wilayah operasinya. Politik uang dalam pemilihan
kepala daerah dipisahkan dalam empat lingkaran.34
Lingkaran satu menyebutkan adanya transaksi antara elit ekonomi
(pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah. Lingkaran kedua, transaksi
antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mengusungnya.
Lingkaran ketiga, transaksi antara para calon kepala daerah beserta tim kampanye
31 Rumah Pemilu, “Menelusuri Jejak-Jejak Praktek Demokrasi,” Artikel ini diakses pada 3 November 2016 dari www.rumahpemilu.org/in/read/166/Pengantar-Menelusuri-Jejak-jeak-Praktek-Demokrasi 32 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009. 33 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009. 34Didik Supriyanto, Politik Uang Dalam Pilkada, Artikel ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari jrsh.files.wordpresscom/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf
33
dengan petugas-petugas pilkada. Lingkaran keempat, transaksi diantara calon
kepala daerah dan tim kapanye dengan massa pemilih.35
Secara konstitusi permasalahan politik uang baik langsung maupun tidak
langsung sudah diatur dalam hukum Indonesia. Dalam KUHP tepatnya Bab IV
mengenai Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan, Pasal
149 Nomor 1 menyatakan bahwa barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan
berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,
menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya, atau supaya memakai
hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah. 36 Selanjutnya Pasal 149 Nomor 2 menyatakan pidana yang sama
diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau
disuap supaya memakai atau tidak memakai haknya seperti di atas.37
Senada dengan itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2016 38 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang membahas permasalahan politik uang secara langsung Berikut beberapa
pasal terkait politik uang, yaitu:
35 Didik Supriyanto, Politik Uang Dalam Pilkada, Artikel ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari jrsh.files.wordpresscom/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf 36 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 61. 37 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 61. 38Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 merupakan amandement dari Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 yang pada pilkada Depok masih berlaku.
34
Pasal 73 Ayat 1 tentang calon dan/atau tim kampanye dilarang
menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk
mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Pasal 73 Ayat 2 tentang calon yang terbukti melakukan pelanggaran
berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
Pasal 73 Ayat 3 Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 73 Ayat 4 tentang slain calon atau pasangan calon, anggota partai
politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain dilarang dengan
sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga
negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga
mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk meilih calon tertentu atau tidak memilh
calon tertentu.
Pasal 73 Ayat 5 tentang pemberian sanksi administrasi terhadap
pelanggaran tidak menggugurkan sanksi pidana.
35
Berbeda dengan itu hukum Islam memiliki pandangan sendiri mengenai
praktek politik uang. Dimana hukum Islam berlandasakan Al Qur’an dah hadist
dalam mengkaji praktek politik uang. Indonesia sebagai negara yang
mayoritasnya berpenduduk muslim seharusnya memiliki pandangan sendiri
mengenai politik uang itu sendiri. Pandangan Islam bertujuan untuk
membandingkan dengan hukum negara yaitu undang-undang dasar. Hukum Islam
meliputi Al-Quran dan Hadist sebagai metode untuk mengkaji definisi ini.
Perlu diketahui bahwa adanya persamaan antara politik uang dengan suap.
Definisi suap terkandung dalam UU No 32/2004 dalam pasal 82 Ayat 1. Isinya
mengenai pasangan calon/ tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Dilanjutkan
Ayat 2, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakuan
pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan berdasarkan landasan yang jelas.39
Kesamaan tersebut nampak pada definisi yang terkandung dalam undang-
undang baik definisi dari politik uang dan suap. Kedua definisi tersebut sama-
sama berfokus pada pemberian uang atau materi sejenis lainnya dengan tujuan
mengubah keputusan orang lain. Kemudian motif dari politik uang dan suap
adalah untuk mencapai kepentingan dengan cara haram.
Bisa dikatakan juga suap diartikan sebagai sogok atau memberi uang
pelicin. Dimana dalam bahasa arabnya disebut risywah40. Definisinya terkandung
39 Suharizal dan Delfina Gusman, Penanganan Perkara Politik Uang Pada Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Universitas Andalas, 2010. hal. 10.
40 Risywah adalah membenarkan yang batil dan menyalahkan yang benar.
36
maksud memberikan uang dan sebagainya kepada pihak tertentu dengan tujuan
mendapatkan kemudahan untuk suatu urusan. Tindakan sejenis lainnya, yakni
pemberian hadiah.41
Kata hadiah diambil dari bahasa Arab yang artinya pemberian seseorang
yang sah memberi pada masa hidupnya secara langsung tanpa ada syarat dan
balasan. 42 Nyatanya dalam pilkada terkadang hadiah diberikan kepada pihak
tertentu karena sudah melakukan sesuatu dalam proses pemilihan. Biasanya ini
dilakukan oleh tim sukses atau calon kandidat langsung kepada pihak yang
dianggap memenangkan dirinya.
Sebenarnya politik uang pernah terjadi di zaman para kerasulan tepatnya
pada masa Nabi Sulaiman praktik politik uang khususnya suap menyuap pernah
dilakukan oleh Ratu Saba (Balqis). Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat
kepada Ratu Bilqis untuk mengadakan pertemuan. Dengan segera Ratu Bilqis
serta para pembesarnya mengadakan rapat yang memutuskan untuk mengerahkan
pasukan militernya.43
Akan tetapi, Ratu Bilqis tidak sependapat justru memberi jalur diplomasi
dengan cara memberi hadiah (suap) kepada Sulaiman. Keputusan meberiakan
hadiah dengan asumsi Nabi Sulaiman bisa dibeli pendiriannya untuk
kepentingannya.
41 Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 42Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 43 Abu Abdul Halim Ahmad S, Suap, Dampak dan Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan Syar’i dan Sosial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 93.
37
Politik uang dalam bahasa arab, yakni risywah. Salah satu jenis dari suap
adalah politik uang atau money politics itu sendiri. Adapun definisi politik uang
itu merupakan pemberian atau ada niat untuk menarik simpati orang lain dengan
tujuan membatalkan yang benar, merealisasikan kebathilan. Mencari
keberpihakan yang tidak benar, dan mendapatkan kepentingan yang bukan
haknya. 44 Al-Quran dan sesuai sabda Rasulullah menegaskan bahwa tindakan
tersebut merupakan sesuatu yang haram. Allah Swt berfirman
Artinya, “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.”(Q.S. al-Baqarah : 2 : 188) Pada ayat ini mengisyaratkan perolehan harta yang seimbang, atau sama
rata jika perolhan harta tidak seimbang maka hukumnya bati, dan yang batil
adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak
sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun didsarkan oleh kerelaan. Salah satu yang
terlarang dan sering dilakukan dalam menyogok. Dalam ayat ini dibaratkan
dengan orang yang sedang menimba, penyogok menurunkan keinginanya kepada
yang berwenang memutuskan sesuatu tetapi secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tujuan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak sah. 44 F
45
44 Abdurrahman, “Pengertian Risywah,” Artikel ini diakses pada 1 November 2016 dari http://www.scribd.com/doc/45505484/Pengertian-Risywah
45 M. Quraish Sihab, “Tafsir al- Mishbah,” (Jakarta : Lentera Hati, 2002). hal. 498.
38
Beberapa surat Al-Quran lainnya yang berisikan tentang praktek politik
uang terdapat dianatarannya :
Artinya,”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpaling dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”(QS : al-Ma’idah 42)
Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayyang kepadamu (Q.S. an-Nisa : 2 : 29). Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kamu kelak akan memasukannya ke dalam neraka, Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah ”(Q.S. an-Nisa : 2 : 30) . Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”(QS : an-Nisa : 2 : 31)
39
Bukan hanya itu landasan mengenai praktek politik uang juga terdapat di
beberapa hadist, yakni hadist riwayat Ahmad:
ثنا ابن أبي ذئب ويزيد قال أخبرنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن اج حد ثنا حج حد
عليه وسلم قال لعن بن عمرو عن النبي صلى هللا عبد عن أبي سلمة عن عبد هللا
اشي والمرتشي حمن وسلم الر عليه الر صلى هللا رسول هللاCari di kitab ahmad
(AHMAD - 6489) : Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, dia berkata; "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam malaknat pemberi suap dan penerima suap." Dan Yazid berkata: "Laknat Allah bagi pemberi dan panerima suap."45F
46
Syarh al-hadis, hadist ini menyinggung tentang etika dan seorang hakim
atau pejabat yang menerima hadiah dari orang yang memohon bantuan, tapi
bagian ini lebih spesifik tentang substansi dari suap, bahawa suap sangat
berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, merusak agama dan dunia, individu,
dan orang banyak, dari itu para pelaku risywah dikecam dan dilaknat allah dan
Rasulullah SAW.
Sederhananya hukum politik uang dengan suap dalam Islam bersifat
haram baik yang melakukannya maupun menerimanya. Kembali pada esensi
risywah dalam politik uang dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk,
meliputi hadiah, hibah, dan shadaqah. Hadiah adalah pemberian yang diberikan
kepada orang lain, karna maksud memuliakan orang tersebut. Hibah adalah
memindahkan kepemilikan suatu benda secara tabarro (secara Cuma-Cuma tanpa
46 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyad, (Bait al-Afkar al-Dauliyah:
1998).No 6779, h. 513.
40
timbal balik ) pada ketika hidup. 47 Sadaqah adalah pemebrian sesuatu kepada
seseorang yang membutuhkan, semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT.
Berbeda dengan itu politik uang bisa diartikan juga dengan uang pelicin,
suap, atau sogok yang disebut juga risywah. Istilah tersebut maksudnya sesuatu
yang diberikan bertujuan mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan
dalam rangkan membenarkan yang salah atau menyalahkan sesuatu yang benar.48
Bersamaan dengan itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa terkait praktek politik uang pada musyawarah nasional VI tahun 2000.
Bahwa Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan
sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau
membatilkan perbuatan yang hak.
Pengertian risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil
(tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi
disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan
murtasyi disebut ra’isy.49
Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa praktek politik uang yang modusnya
adalah pemberian atas nama pengganti transport, ongkos kerja atau konpensasi
meninggalkan kerja diputuskan bahwa hal tersebut masuk ke dalam kategori suap
47 Umdah, “Perbedaan Antara Sedekah, Hadiah, dan Hibah (Pemberian),”artikel ini
diakses pada 21 April 2017 dari http://www.umdah.co/2015/01/perbedaan-antara-sedekah-hadiah-dan.html?m=0 48 Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011) hal. 89.
49 MUI, Hasil Munas MUI VI Tahun 2000 Hukum tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat, (Jakarta : MUI 2000), hal. 368.
41
(riswah). Sedangkan jika modusnya pemberian zakat atau sedekah hukumnya
ditafsil. Pada pemberian zakat dan sedekah dimaksudkan agar pihak penerima
memilih calon tertentu maka hukumnya haram tetapi jika niatnya ganda yaitu
untuk membayar zakat atau sedekah dan meminta pemilih memilih calon tertentu
maka zakat atau sedekahnya sah tetapi tidak sempurnya.50
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar melalui fatwa
majelis tarjih dan tajdid-nya menyebutkan politik uang, yakni menyogok atau
menyuap merupakan haram. Dimana fatwa itu disidangkan pada Jumat, 13
Februari 2009. Landasan tersebut berijma dari As-Syaukani dan As-Sanani.
Dipertegas juga suap atau sogok bukan hanya berupa uang melainkan materi
lainnya.51
Hukum Islam memandang politik uang dalam proses pemilihan kepala
daerah melalui pilkada sering digunakan sebagai alat kampanyenya. Hal tersebut
terbukti banyak sekali para calon kepala daerah memakai istilah “sedekah”,
“infaq”, dan lainnya untuk memberikan sogokan atau suapan. Tidak bisa
dipungkiri dalam realitas yang ada terjadi pembiasan esensi sedekah dan infaq itu
sendiri yang dipolitisasi hanya demi kepentingan individu.
50 PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta-LTN PBNU),
hal. 70. 51 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, “Hukum Suap untuk Menjadi PNS”, Artikel ini diakses pada 8 Desember 2016 dari www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-suap-untuk-menjadi-pns.html
43
BAB III
PRAKTEK POLITIK UANG DI PILKADA DEPOK
A. Pilkada di Kota Depok
Dalam menegaskan kembali sistem desentralisasi atau dikenal dengan
otonomi daerah di Indonesia serta tuntutan reformasi maka sudah saatnya
diadakan pilkada. Provinsi, Kabupaten, dan Kota merupakan bagian dari daerah
otonom. Ditambah pilkada harus dilakukan serentak, terbuka, dan jujur di setiap
daerah Indonesia. KPUD dan Panwaslu merupakan dua lembaga yang mengatur
teknis serta pengawasan terhadap proses pilkada berlangsung.1
Begitupun dengan proses pilkada yang dilaksanakan di depok sebagi
bentuk implementasi otonomi daerah serta melestarikan nilai-nilai demokrasi.
Secara langsung pilkada di Depok dilaksanakan pada awal 2005 dengan jumlah
pemilih 908.890.2 Namun proses tersebut berbanding lurus dengan praktek politik
uang untuk menjadi kepala daerah Kota Depok.
Depok adalah daerah penyangga yang sama pesatnya dengan Jakarta.
Pertumbuhan Depok meliputi ekonomi, demografis, pendidikan, dan khususnya
politik. Posisi kota ini sangat strategis berdekatan dengan Jakarta. Begitupun
1 Agung Djojosoekarto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, hal. 6. 2 Istiqomah, Penyelesaian Perkara Sengketa Di Kota Depok, Skripsi Program Studi Jinayah Siyasah UIN Jakarta, hal. 33.
44
dengan penduduknya banyak yang bekerja di Jakarta. Daerah ini memiliki posisi
politik yang penting sehingga diperebutkan oleh beberapa partai di Indonesia.3
Kekuatan politik di Depok terdiri dari 23 partai politik yang menjadi
kontestan pilkada, diantaranya Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Golkar, PAN, dan partai lainnya. Tepat pada 26 Juni 2005 pilkada Kota Depok
dilaksanakan yang berjalan dengan lancar, aman, dan demokrasi. Meskipun
terdapat kekurangan yang dapat mengganggu proses pemilihan dan nilai
demokrasi. Pada pilkada tersebut terdapat perselisihan atas hasil perhitungan suara
serta ada calon yang tidak menerima hasil pemilihanya.4
Ada lima pasangan calon kepala daerah Kota Depok, yaitu:
1. Abdul Wahab-Ilham Wijaya, diusung Partai Demokrat
2. Harun Heryana-Farkhan A. R, didukung Koalisi Masyarakat Depok (PAN,
PKB, PBB, PBR, PKPI)
3. Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad, diusung Golkar dan PKB
4. Yus Ruswandi-Soetadi Dipwongso, diusung PDI-P, PPP, PKS
5. Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, diusung PKS
Banyaknya kandidat yang mencalonkan diri mengindikasikan kekuatan
politik di daerah ini sangatlah kuat. Tahun 2005 di menagkan oleh Nur Mahmudi
Ismail- Yuyun Wirasaputra. Selanjutnya pilkada kota Depok pada 2010 yang
diikuti beberapa calon, meliputi calon pertama Gagah-Derry, kedua Yuyun-Pradi,
3 Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat, Nur Mahmudi Menjawa, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 34. 4 Abdoel Fatah, Konflik Pasca Pilkada: Kasus Depok, Jurnal Poelitik Vol. 1 No. 1, 2008. hal. 2.
45
ketiga Nur-Idris, dan Badruk-Agus. Komposisi tersebut memungkinkan terjadi
kontestasi yang sulit mengingat terdapat beberapa kandidat. Menariknya
banyaknya calon menyebabkan tingkat politik uang semakin tinggi juga dengan
berbagai bentuk.5
Selanjutnya pilkada Kota Depok, Jawa Barat dilaksanakan pada 9
Desember 2015. Sama seperti daerah di Indonesia lainnya pilkada di Depok tidak
lepas dari politik uang. Sri Budi Eko Wardani, Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Politik UI menyebutkan 41,3 persen warga Kota Depok mendapatkan tawaran
uang atau barang untuk mencoblos salah satu kandidat tertentu.6
Terhitung waktu survei yang dilakukan oleh puskapol UI dari 27 Oktober
sampai 6 November 2016 dengan estimasi populasi sebanyak 1.221.981 pemilih
dengan margin error dari penelitian sebanyak 3,99 persen. Masih menurutnya
sebanyak 88,2 persen responden beranggapan akan terjadi tawaran uang dari tim
kampanye dari salah saut kandidat.
Pilkada Kota Depok diikuti oleh dua kandidat, yaitu Dimas Oky Nugroho-
Babai Suhaimi yang diusung oleh PDIP, PKB, PAN, dan Nasdem. Sedangkan
5 Agung Djojosoekarto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, hal. 6. 6 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang
46
lawannya Idris Abdul Shomad-Pradi Supriatna yang diusung oleh PKS dan
Gerindra.7
Proses demokratisasi di Kota Depok melalui pilkada merupakan
pengembangan nilai demokrasi. Secara garis besar setiap tahunnya pilkada di
Depok berjalan dengan lancar meskipun masih terdapat konflik. Biasanya konflik
tersebut terkait dengan bagaimana elit politik mengedepankan kepentingan pribadi
daripada sebagian besar masyarakat.8
Pada dasarnya pembangunan demokrasi bukan hanya berfokus pada
lembaga-lembaga demokrasi seharusnya pada pembangunan kebudayaan pilkada.
Dimana akan menciptakan pilkada yang tidak anarkis. Melalui pilkada ini dapat
memberikan pembelajaran untuk memahami aturan perundang-undangan politik.9
Nantinya orientasi pilkada merupakan representasi bagi keadilan dan
kesejahteraan masyarakat Kota Depok.
B. Politik Uang pada Pilkada Depok
Berbicara mengenai kontestasi pilkada di Kota Depok tidak lepas dari
permasalahan yang melekatnya, yaitu politik uang. Bahkan setiap daerah pun di
Indonesia terjadi praktek politik uang baik secara langsung maupun tidak
7 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang 8 Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat, Nur Mahmudi Menjawa, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 36. 9 Carol Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 22.
47
langsung. Namun dalam implementasi politik uang tentunya berbeda-beda dan
ada beragam jenisnya.
Selama pilkada di Kota depok berawal dari 2005-2014 terbukti
ditemukannya praktek politik uang. Bersumber dari koran Republika, Tempo, dan
Suara Karya menyebutkan terjadi beberapa pelanggaran, yakni pemberian uang
secara terorganisir untuk setiap RT/RW dan kampanye terselubung dengan tema
Maulid Nabi Muhammad Saw bersamaan pemberian imbalan empat ribu rupiah
dengan syarat mencoblos calon tertentu.10
Realitas itu mengindikasikan adanya ketimpangan antara partisipasi politik
dengan minimnya informasi pilkada sehingga terjadinya praktek politik uang. Di
sisi lain masyarakat Depok cenderung bersifat pragmatis maksdunya sebanyak 77
persen respon bersikap menerima uang tetapi tidak memilih calon yang disuruh
oleh tim kampanye calon.11
Misalkan pilkada pada 2015 menurut Jaringan Pendidik Pemilih untuk
Rakyat (JPPR) menemukan adanya praktik politik uang yang dilakukan oleh calon
kepala daerah di Kota Depok, Jawa Barat. Tindakan itu sudah dilaporkan kepada
Bawaslu oleh JPPR. Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz
menegaskan pasangan urut satu Dimas-Babai melakukan politik uang. Pasangan
10 Donni Edwin, Dkk, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partenership for Governance Reform in Indonesia, Hal. 9. 11 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang
48
Dimas-Babai menjanjikan uang 15-20 juta untuk satu RT/RW jika mencoblos
mereka.12
Bisa ditarik suatu asumsi berdasarkan data-data dan realitas di atas bahwa
dari awal pilkada di Depok hingga sekarang tidak luput dari politik uang.
Tindakan itu dilakukan juga dengan berbagai bentuk meksipun masuk dalam
kategori politik uang, misalkan mengadakan acara keislaman dengan
menghadirkan salah satu calon walikota beserata wakilnya bersamaan pemberian
uang, pengkondisian suara tiap RT/RW dengan dijanjikan uang, dan sejenis
lainnya.
Adapun jenis politik uang yang ada selama pilkada di Kota Depok
cenderung pada pemberian uang bukan berupa benda. Di samping itu politik uang
yang dimaksud pada pemberikan sogokan atau suapan kepada pihak-pihak
tertentu yang memiliki pengaruh pada proses pilkada di Depok, misal kepala
RT/RW atau panitia pilkada.
C. Modus Operandi Politik Uang
Modus operandi berasal dari bahasa Latin artinya prosedur dan cara
bergerak atau berbuat sesuatu. Pengertiannya dalam ruang lingkup kejahatan yaitu
operasi cara atau tehnik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam
12 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang
49
melakukan aksi jahatnya.13 Tentunya modus operandi setiap kejahatan pasti
berbeda-beda, khususnya pada modus operandi politik uang selama pilkada.
Praktek politik uang merupakan masalah kompleks dalam pemilihan
pemimpin baik di tingkat daerah maupun nasional. Transparancy International
Indonesia (TI) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan modus
operandi politik uang terdapat pola-pola yang beragam. Sesuai dengan realitas
modus operandi ada yang dilakukan dengan halus sehingga tidak menyadari kalau
itu sebuah sogokan. Ada juga dengan cara terang-terangan atau mencolok di
depan banyak orang.14
Mulai dari pemberian sembako, uang dengan alasan shadaqoh, santunan
anak yatim piatu, dan sebagainya kerap menjadi bagian modus operandi politik
uang. Diperparah dengan jarang sekali ada seseorang yang berani bersaksi di
pengadilan sehingga menghambat proses pembuktian di pengadilan. Satjipto
Rahardjo menegaskan perlunya konsep hukum untuk manusia dan keadilan di atas
peraturan dalam rangka mengatasi masalah politik uang di pilkada.15
Pola Modus operandi politik uang menurut Wahyudi Kumorotomo
dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola ini meliputi
pembayaran tunai dari tim sukses calon kepada konstituen potensial, sumbangan
13 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010,hal. 10. 14 Ahsan Jamet Hamidi, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008), hal. 49. 15 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010,hal. 15.
50
dari bakal calon kepada partai politik yang menudukungnya, dan sumbangan
wajib yang disyaratkan partai politik kepada calon kepala daerah.
Ada juga yang menyebutkan modus operandi dalam prakteknya terbagi ke
dalam tiga pola, yaitu pembayaran tunai, pascabayar, dan melibatkan pemilih
sebagai relawan. Biasanya secara tunai dilakukan langsung oleh calon kandidat
dan tim sukses melalui pemberian sejumlah uang atau benda bernilai kepada
pemilih. Pemberian uang sudah biasa dilakukan pada serangan fajar.
Pascabayar dilakukan dengan pemberian uang dari calon kandidat kepada
sekelompok orang pasca pemungutan suara jika jumlah suara sesuai dengan
target. Sedangkan dengan melibatkan pemilih sebagai relawan tim sukses
merupaka modus pengerahan pemilih secara sistematis yang nantinya dengan
imbalan uang dalam pemilihan kepala daerah.16
Kembali pada pernyataan IWC bahwa modus operandi politik uang sering
terjadi pada masa kampanye yang dilakukan secara langsung. Ditambah dengan
modus melalui acara bakti sosial melalui forum keagamaan. Bisa dikatakan
sumbangan ini sangat bias dan halus sekali nyaris tidak dapat dikatakan sebagai
politik uang.17
Dapat dikatakan umumnya pola modus operandi dikategorikan sebagai
berikut, transaksi elit ekonomi dengan bakal calon, transaksi bakal calon dengan
parpol, transaksi antara calon atau tim kampanye dengan elit massa, pembagian 16 Tim Peneliti KPU Bandung Barat, Praktek Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014, Komisi Pemilihan Umum Bandung Barat, 2014, hal. 14. 17 Ahsan Jamet Hamidi, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008), hal. 50.
51
uang atau barang dalam acara sosial (Maulid Nabi Muhammad, syukuran, atau
sedekahan), serangan fajar, dan relawan bayar.
Gary Goodpaster menjelaskan politik uang merupakan suatu istilah untuk
menjelaskan pembelian keuntungan atau mempengaruhi politik. Ditambah dengan
penjelasan bahwa politik uang merupakan transaksi suap-menyuap oleh aktor
politik untuk mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan.18 Permasalahan
modus operandi politik uang sangatlah klasik dan variatif.
Sedangkan konstitusi yang ada berkaitan dengan politik uang pilkada
terdapat pada Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Namun dari aspek subjek hukum politk uang hanya ditujukan kepada calon atau
tim kampanye dimana tidak menimbulkan efek jera. Pasal 117 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 diancam dengan pidana penjara 2 bulan dan
paling lama 12 bulan beserta denda paling sedikit satu juta rupiah sampai sepuluh
juta rupiah.19
D. Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang
Pada umumnya untuk menyatakan seorang oknum dinyatakan terlibat
dalam politik uang atau tidak harus melalui beberapa tahapan. Secara garis besar
tahapan tersebut, meliputi panwaslu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
18 Gary Goodpaster, Refleksi tentang Korupsi di Indonesia, (Jakarta: USAID, 2001), hal. 14. 19 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010, Hal. 10.
52
sebagai tahap terkahir. Setiap lembaga tersebut dalam pilkada memiliki peranan
dan wewenang masing-masing dalam menangani tindak pidana politik uang.
Pasal 122 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 (Pasal 77 Ayat 4 huruf d UU No.
23 Tahun 2003) menyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang panwaslu
adalah meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada
instansi yang berwenang. Perlu dipertegas bahwa Panwaslu tidak memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan masalah dalam pilkada.20
Berdasarkan Pasal 128 Ayat 5 UU No. 12 Tahun 2003 (Pasal 80 Ayat 5
UU No. 23 Tahun 2003) menyatakan bahwa laporan yang terkandung unsur
tindak pidana pilkada (politik uang) dapat diteruskan kepada
penyidik.21Bersamaan dengan itu Panwaslu juga bertugas meneruskan temuan
tindak pidana kepada penyidik. Penyidik dan penyelidikan dilakukan oleh pihak
kepolisian.
Dengan kata lain tugas Panwaslu adalah menerima laporan, mengkajinya,
dan meneruskan kepada pihak penyidik jika disimpulkan adanya tindak pidana
pemilu, termasuk politik uang. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh polisi
sesuai dengan pasal 26 huruf a UU No. 3 Tahun 1999. Tugas kepolisian
dinyatakan selesai apabila penyerahan tanggung jawab atas tersangka serta barang
bukti kepada penuntut umum.
Setelah itu dari kepolisian akan dilanjutkan kepada kejaksaan untuk
melakukan penuntutan tindak pidana politik uang ke Pengadilan Negeri 20 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 62. 21 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 60.
53
berdasarkan hasil penyedikan polisi.22 Kejaksaan mulai bekerja ketika menerima
tanggung jawab atas barang bukti atau tersangka dari kepolisian. Sebelum proses
itu penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam rangka menyempurnakan
penyidikan melalui lembaga prapenuntutan (Pasal 110 Ayat 3, Pasal 138 Ayat 1
dan Ayat 2 KUHAP).23
Kemudian selesainya Jaksa Penuntut dalam prapenuntutan dan berkas
perkara dinyatakan lengkap maka akan membuat surat dakwaan berupa berkas
dakwaan. Dimana berkas tersebut akan dilanjutkan kepada penuntutan sesuai
dengan data penyidikan. Tugas kejaksaan terkait tindak pidana politik uang
terkandung dalam UU No. 8 Tahun 1981.
Berkas lengkap dalam tingkatan kejaksaan kemudian akan diteruskan ke
pengadilan untuk mengadili terdakwa kasus tindak pidana politik uang, yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981. Dalam
ranah ini Panwaslu tidak memiliki wewenang sebagai penyidik atau penyelidik
dalam tindak pidana pemilu. Melainkan panwaslu hanya menyelesaikan
pelanggaran berupa penyimpangan yang bersifat prosedural.24
Dalam tingkatan pengadilan sebagai tahapan terakhir akan dilakaukan
pemanggilan terhadap terdakwa dan saksi-saksi melalui penuntut umum undung
didengar dalam proses persidangan. Proses inilah yang akan menentukan apakah
22 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 61. 23 Suharizal dan Delfina Gusman, Penanganan Perkara Politik Uang Pada Pemilihina Kepala Daerah Secara Langsung, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal. 14. 24 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 62.
54
si terdakwa akan menjadi statusnya sebagai tersangka atau tidak yang tentunya
dengan bukti-bukti.
55
BAB IV
PRAKTEK POLITIK UANG PADA PILKADA KOTA DEPOK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF
INDONESIA
A. Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya
Pilkada Kota Depok yang dilakukan pada 9 Desember 2015 akan
menentukan siapa yang menjadi pemimpin di daerah tersebut. Pesta demokrasi
tersebut yang diimplementasikan dalam Pilkada tidak terlepas dari adanya praktek
politik uang. Sejatinya dalam pergantian estafet kepemimpinan tingkat daerah
harus dilaksanakan secara jujur, tidak curang, dan adil.
Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia memaparkan
beberapa data terkait politik uang. Sebesar 41, 3 persen responden mengatakan
ada pihak yang menawarkan uang untuk memilih calon kepala daerah tertentu.
Dipertegas dengan bukti sebanyak 88, 2 persen menganggap tawaran politik uang
datang dari pihak yang mengaku tim kampanya pasangan calon tertentu.1
Terkait dengan proses pilkada Kota Depok sebesar 77 persen responden
akan menerima tawaran uang tersebut tetapi tidak memilih kandidat yang
memberikan uang tersebut. Ini bisa diasumsikan sebagian besar masyarakat Kota
Depok berpikiran pragmatis. Penelitian ini diambil dari 63 kelurahan dalam 11
1 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html
56
kecamatan dalam wilayah Kota Depok. Asumsi populasi pemilh sebesar
1.221.981 dan sebanyak 630 orang diwawancarai.2
Berdasarkan data tersebut bisa ditarik suatu kenyataan bahwa politik uang,
seperti suap, sogok, atau pemberian hadiah pasti terjadi. Pernyataan tersebut
didukung dengan adanya bukti sebagian besar masyarakat kota Depok menerima
bahkan menginginkannya terlepas apakah memilih atau tidaknya calon tertentu.
Begitupun dengan daerah-daerah lainnya pasti terjadi politik uang semacam ini
namun terdapat beberapa perbedaan.
Politik uang yang terjadi di Depok memiliki modus operandi yang unik
berbeda dengan daerah lainnya. Sebagian besar tim kampanye atau calon kandidat
tertentu melakukan politik uang cenderung berbasiskan agama Islam. Bisa disebut
dengan “politisasi agama” maksudnya setiap ada acara agama Islam disitulah
politik uang terjadi.
Meskipun hanya sebagian kecil dengan memberikan uang tanpa acara
keislaman. Terbukti dengan penjelasan dari Koordinator Nasional JPPR,
Masykurudin Hafidz menegaskan pasangan urut satu Dimas-Babai melakukan
politik uang. Pasangan Dimas-Babai menjanjikan uang 15-20 juta untuk satu
RT/RW jika mencoblos mereka.3
2 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html 3Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang
57
Meskipun banyaknya politik uang yang terjadi dilapangan namun tidak
ada satupun dari kasus politik uang di Kota Depok pada Pilkada tahun 2015yang
dilaporkan kepada Panwaslu. Dari hasil wawancara dengan ketua Panwaslu Kota
Depok, bahwa selama proses Pilkada berlangsung tidak terjadi politik uang.
Pilkada pun berjalan aman dan lancar .4
Kemudian politik uang yang terjadi di kota Depok lebih bersifat uang itu
sendiri bukan kebendaan, seperti sembako, kalender, dan lainnya.5Misalkan
melaksanakan suatu acara bertemakan maulid Nabi SAW disertai dengan
pemberian uang sebesar empat ribu rupiah dengan syarat memilih calon tertentu.
Ada juga menggunakan yasinan beserta pemberian uang serta lainnya.6
Begitupun dengan Pilkada di Semarang dan Lampung memberikan
logistik atau sembako secara langsung kepada pemilih untuk memilih calon
tertentu. Sembako tersebut berisi kebutuhan dapur yang dibagikan oleh tim
suksesnya. Kalau daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Selatan sudah terbiasa
politik uang berupa kebendaan, yakni memberikan sembako pada serangan fajar.7
Selanjutnya di Pekalongan berhasil ditangkap salah satu anggota tim
sukses memberikan beras pada pagi hari. Pilkada di Sumatera Selatan berbentuk
susu bubuk yang diberikan kepada ibu-ibu. Di daerah Sumenep pun demikian
4 Wawancara dengan Andriansyah, S.Hi, tanggal 16 Desmber 2016 di Haus Coffe
Ciputat. 5 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 6 Donni Edwin, dkk, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah Dan Mitos Good Governance, Pusat Kajian Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Hal. 9. 7 Indra Rajagukguk, Politik Uang dalam Pilkada, 2005, Hal. 2.
58
mendapatkan beras dengan jumlah besar yang diangkut dengan truk besar dari
setiap calon kepala daerah.8
Pemaparan di atas mengenai perbandingan politik uang selama pilkada di
Kota Depok dengan daerah lainnya terdapat perbedaan. Pertama politik uang,
seperti sogokan, hadiah, dan suap cenderung berbentuk uang bukan kebendaan.
Kedua dalam menerapkan modus operandinya sebagian besar politik uang
dilakukan dengan memanfaatkan acara keislaman, meliputi Maulid Nabi
Muhammad SAW, yasinan, santunan, dan lainnya.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Kota Depok
Tahun 2015
Politik uang selama pilkada di Kota Depok bisa dikatakan lebih kepada
suap atau sogok dibandingkan hadiah. Sesuai dengan beberapa bukti di atas,
seperti pemberian uang dalam acara Maulid Nabi Muhammad dan acara
keislaman lainnya bersifat suap atau sogok. Hadiah dan suap diibaratkan dengan
dua sisi.
Dalam Islam hadiah sangatlah diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun
kenyataannya keikhlasan sering tergerus dengan beragam kepentingan tertentu.
8 Indra Rajagukguk, Politik Uang dalam Pilkada, 2005, Hal. 2.
59
Nantinya berdampak pada ketidakpastian hukum hibbah yang berubah menjadi
risywah.9
Kata hadiah diambil dari bahasa Arab yang artinya pemberian seseorang
yang sah memberi pada masa hidupnya secara langsung tanpa ada syarat dan
balasan. Nyatanya dalam pilkada terkadang hadiah diberikan kepada pihak
tertentu karena sudah melakukan sesuatu dalam proses pemilihan. Biasanya ini
dilakukan oleh tim sukses atau calon kandidat langsung kepada pihak yang
dianggap memenangkan dirinya.10
Perbedaan suap atau sogok dengan hadiah, yakni suap merupakan
pemberian pemberikan yang diharamkan syariat yang bersifat kotor serta haram.
Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat serta bersifat
halal. Kemudian suap atau sogok dilakukan sebelum tujuan tercapai sedangkan
hadiah sebaliknya tentunya dengan niat baik karena sudah membantunya.11
Begitupun dengan realitas yang ada selama pilkada di Kota Depok.
Pemberian uang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dilakukan sebelum
pencoblosan sehingga disebut sebagai suap atau sogok serta bukan hadiah.
Dimana pemberian uang dilakukan sebelum pemilhan kepala daerah di Kota
Depok.
9 Syafii Rahmad, Al-Hadis Aqidah, Ahlaq, Sosial, dan Hukum, (Bandung: Setia Pustaka Bandung, 2000), Hal. 5. 10 Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 11Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html
60
Intinya suap, hadiah, dan sogok merupakan politik uang. Politik uang
secara umumnya sedangkan khususnya, yakni suap, sogok, dan hadiah.
Dipertegas dengan maksud pemberian hadiah jika bukan karena adanya syarat
atau balasan bukan termasuk politik uang. Sedangkan sogok atau suap jelas
apapun bentuknya termasuk politik uang.
Mengkaji hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist
menegaskan bahwa risywah yakni sogok atau suap merupakan haram. Bukan
hanya pihak yang memberikan melainkan yang menerima juga disebutkan sebagai
sesuatu yang haram. Hal ini sudah jelas dasar hukumnya dalam al-quran maupun
hadist.
Artinya, “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah : 2 :188)
Pada ayat ini mengisyaratkan perolehan harta yang seimbang, atau sama
rata jika perolhan harta tidak seimbang maka hukumnya bati, dan yang batil
adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak
sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun didsarkan oleh kerelaan. Salah satu yang
terlarang dan sering dilakukan dalam menyogok. Dalam ayat ini dibaratkan
dengan orang yang sedang menimba, penyogok menurunkan keinginanya kepada
61
yang berwenang memutuskan sesuatu tetapi secara sembunyi-sembunyi dan
dengan tujuan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak sah.12
Artinya,”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpaling dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”(Q.S. al-Maidah :5: 42)
Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
12 M. Quraish Sihab, “Tafsir al- Mishbah,” (Jakarta : Lentera Hati, 2002). hal. 498.
62
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayyang kepadamu. (Q.S.an-Nisa
:2: 29).
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya,
maka kamu kelak akan memasukannya ke dalam neraka, Yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah (Q.S. an-Nisa : 2 : 30). Jika kamu menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami
hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia
(Q.S. an-Nisa : 2: 31)”
ثنا ابن أبي ذئب ويزيد قال أخبرنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد اج حد ثنا حج عن أبي حد
عليه وسلم قال لعن رسول هللا بن عمرو عن النبي صلى هللا عليه سلمة عن عبد هللا صلى هللا
اشي والمرتشي حمن وسلم الر الر
(AHMAD - 6489) : Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, dia berkata; "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam malaknat pemberi suap dan penerima suap." Dan Yazid berkata: "Laknat Allah bagi pemberi dan panerima suap."12F
13
Syarh al-hadis, hadist ini menyinggung tentang etika dan seorang hakim
atau pejabat yang menerima hadiah dari orang yang memohon bantuan, tapi
bagian ini lebih spesifik tentang substansi dari suap, bahawa suap sangat
berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, merusak agama dan dunia, individu,
dan orang banyak, dari itu para pelaku risywah dikecam dan dilaknat allah dan
13 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyad, (Bait al-Afkar al-Dauliyah:
1998).No 6779, h. 513.
63
RasulNya. Hadist ini menunjukan bahwa risywah merupakan dosa besar karna
pelakunya mendapat laknat dari Alllah SWT.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui ijma dan qiyas bersandar pada
Ibn al-Atsir dalam al-Nihayah al-Gharib al-Hadits wa al-Atsar sebagai rujukan
politik uang. MUI menyebutkan pemberian yang diberikan kepada orang lain
(pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang bathil (tidak benar
menurut syari’ah) atau membathilkan perbuatan yang hak merupakan sesuatu
yang haram (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 2003: 274).14
Nahdlatul Ulama berpen dapat bahwa praktek politik uang yang modusnya
adalah pemberian atas nama pengganti transport, ongkos kerja atau konpensasi
meninggalkan kerja diputuskan bahwa hal tersebut masuk kedalam kategori suap
(riswah). Sedangkan jika modusnya pemberian zakat atau sedekah hukumnya
ditafsil. Pada pemberian zakat dan sedekah dimaksudkan agar pihak penerima
memilih calon tertentu maka hukumnya haram tetapi jika niatnya ganda yaitu
untuk membayar zakat atau sedekah dan meminta pemilih memilih calon tertentu
maka zakat atau sedekahnya sah tetapi tidak sempurna.15
Disamping itu Muhammadiyah melalui fatwa majelis tarjih dan tajdidnya
menyebutkan politik uang, yakni sogokan atau suapan merupakan haram. Dimana
fatwa itu disidangkan pada Jumat, 13 Februari 2009. Landasan tersebut berijma
14 PBNU, “Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konbes NU 2002”, (Jakarta : LTN PBNU), hal.70.
15PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta-LTN PBNU), hal. 70.
64
dari as-Syaukani dan as-Sanani. Dipertegas juga suap atau sogok bukan hanya
berupa uang melainkan materi lainnya.16
Berdasarkan penjelasan tersebut terkait politik uang selama pilkada di
Kota Depok dapat ditarik ke beberapa bagian. Pertama, jenis politik uang yang
terjadi berbentuk suap atau sogok sebab dilakukan sebelum pemilihan kepala
daerah. Kedua, hukum Islam memandang pemberian uang melalui acara Maulid
Nabi Muhammad SAW dengan syarat memilih calon tertentu merupakan haram.
Dimana tindakan tersebut disebut risywah meskipun acara keislaman karena
melihat dari tujuan acara tersebut.
Catatan penting dalam pembahasan ini bahwa politik uang selama pilkada
di Kota Depok berbentuk uang itu sendiri bukan bersifat kebendaan. Dimana
tindakannya dilakukan secara halus dan sulit dikatakan melanggar pilkada atau
sebaliknya. Definisi yang ada bahwa politik uang adalah sejumlah uang yang
digunakan untuk tujuan tertentu.17
Dalam konteks ini uang tersebut dipergunakan untuk mencapai
kepentingan politiknya. Ini bisa dilakukan ketika membeli dukungan partai
tertentu untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun dapat diartikan
16 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, “Hukum Suap untuk Menjadi PNS”, Artikel ini diakses pada 8 Desember 2016 dari www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-suap-untuk-menjadi-pns.html 17Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf
65
juga dengan membeli suara maksudnya memberikan uang kepada pemilih untuk
memilih dirinya.18
C. Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di Pilkada
Kota Depok Tahun 2015
Pada 2015 pasangan urut satu, yakni Dimas-Babai terbukti akan
memberikan uang 15-20 juta untuk setiap RT/RW jika mencoblos mereka.19
Begitupun tahun sebelumnya yang sering terjadi suap atau sogok yang disisipkan
dengan acara Maulid Nabi Muhammad SAW serta acara keislaman lainnya.20
Jelas ini merupakn politik uang sebab memberikan uang kepada pemilih untuk
memilih dirinya.
Didukung dengan banyaknya masyarakat Kota Depok yang menerima
uang tersebut meskipun tidak ada jaminan untuk memilih calon kandidat tertentu.
Puskapol Universitas Indonesia menyebutkan sebesar 77 persen dari 630
responden yang diwawancarai membenarkan menerima uang dari tim sukses
tertentu.21
18 Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf 19Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 20 Donni Edwin, Dkk, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partenership for Governance Reform in Indonesia, Hal. 9. 21 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html
66
Bentuk politik uang itu sendiri sangat beragam ada yang menyebutkan
dengan suap, sogokan, atau hadiah.Praktek politik uang dapat disamakan dengan
uang sogok atau suap. Dipertegas dengan pendapat Rusdjdi Hamka bahwa praktek
politik uang tidak berbeda dengan suap maupun sogok.22 Mengacu pada itu antara
suap dan sogok adalah sama.
Landasan terkait sogok atau suap dalam hukum Indonesia, meliputi lima
pasal dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana meskipun tidak
ada bab khusus, yakni bagian Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak
Kenegaraan, meliputi Pasal 148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP.23 Kemudian
terdapat juga pada Pasal 148 KUHP tentang Merintangi Orang Menjalankan
Haknya dalam Memilih.
Berlanjut pada Pasal 149 KUHP tentang Penyuapan. Pasal 150 KUHP
mengenai Perbuatan Tipu Muslihat. Pasal 151 KUHP tentang Mengaku sebagai
Orang Lain. Pasal 152 KUHP mengenai Menggagalkan Pemungutan Suara yang
Telah Dilakukan atau Melakukan Tipu Muslihat.24
Bukan hanya itu batasan tindak pidana pemilu juga terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Dimana undang-undang tersebut
merupkan pertama yang dimuat lagi mengenai tindak pidana pemilu. Undang-
22 Indra Ismawan, Money Politics: Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), Hal. 4. 23 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 12. 24 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 13.
67
undang tersebut mengatur tindak pidana pemilu yang diatur pada Bab XV dari
Pasal 113 sampai Pasal 129.25
Undang-Undang pemilu Pasal 139 Ayat 2 UU RI No. 12 Tahun 2003
tentang pemilu dalam ketentuan pidana. Adapun isi dari undang-undang tersebut
adalah setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu
tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara
tidak sah. Ancaman yang terkandung dalam pasal tersebut berupa hukuman
penjara paling singkat 2 bulan dan paling lama 12 bulan. Bersamaan dengan itu
juga dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.
Terdapat dua landasan hukum Indonesia terkait Pilkada terlepas dari sudah
direvisi atau sebaliknya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yeng menjelaskan
proses Pilkada mulai dari Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dimana baru saja
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan penjelasan yang
sama terkait Pilkada.
Kemudian perlu ditegaskan juga dalam pembahasan ini konstitusi yang
berlaku pada tahun 2014 karena Pilkada dilaksanakan di tahun 2015. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 hanya menyebutkan hukuman terkait pelaku politik
uang selama Pilkada berupa sanksi diskualifikasi dalam calon kepala daerah.
Tidak ada hukuman terkait pidana.
25 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 16.
68
Berbeda dengan uundang-undang yang sudah direvisi yakni Nomor 10
Tahun 2016 menjelaskan hukuman terkait pelaku politik uang. Tertulis dalam
Pasal 187A bahwa pelaku politik uang akan dikenakan hukuman pidana berupa 36
sampai 72 bulan beserta denda juga sebesar Rp 200.000.000 sampai Rp
1.000.000.000.26 Begitupun dengan pasal seterusnya, yakni 187A, 187B, 187C,
dan 187D terkait pemberian sanksi terhadap pihak pemberi maupun penerima,
meliputi anggota partai politik, masyarakat, dan peserta Pilkada lainnya.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada pemilihan kepala daerah
tahun 2015 di kota Depok terjadi praktek politik, namun tidak ada laporan yang
diajukan kepada panwaslu setempat. Hal ini dikarnakan pemahaman masyarakat
bahwa praktek politik uang bukanlah sebuah pelanggaran apalagi termasuk
kedalam tindak pidana. Praktek politik uang dimasyarakat sudah menjadi
kebiasaan dan sering kali masyarakat menantikan pembagian uang atau yang
sering dikenal dengan serangan fajar. 27
Hukum Islam jelas melarang tindakan praktek politik uang mengacu pada
hadis Rasullah SAW bahwa Allah SWT akan melaknat pemberi dan penerima
suap. Hal ini karna perbuatan politik uang merupakan dosa besar. Praktek politik
uang merupakan tindakan yang menghawatirkan sehingga ormas-ormas Islam
mengeluarkan ftwa tentang praktek politik uang.
26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016, Hal. 54.
27 Serangan fajar adalah pembagian uang pada pagi hari sebelum hari pemilihan, biasanya dilakukan oleh tim sukses atau simpatisan
69
Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait politik uang pada
munas MUI tahun 2002 di Pondok Gede yang isinya sama mengharamkan praktek
politik uang. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun sepakat bahwa praktek
politik uang termasuk kedalam risywah (suap menyuap). Namun nahdlatul ulama
berpendapat jika praktek politik uang dengan modus zakat atau sedekah maka
hukumnya di tafsil.
Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tidak menjelaskan sanksi praktek
politik uang kemudian pada tahun 2016 di amandemen menjadi undang-undang
nomor 10 tahun 2016. Yang mana setelah amandement terdapat kejelasan hukum
bagi pelaku praktek politik uang, baik dilakukan oleh calon, tim sukses, maupun
partisipan dan sanksi ini berlaku juga bagi penerimanya.
Meskipun dalam KUHP dijelaskan sanksi pidananya namun tidak berlaku,
hal ini dikarnakan menganut pada asas hukum lex specialis derogate legi generali
yaitu asas penfasiran hukum yang menyatakan bhwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum .
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Praktek politik uang yang terjadi di Kota Depok Jawa Barat pada
Pilkada tahun 2015 cendrung menggunakan uang, namun dengan
modus operandi yang berbeda dari daerah lainnya. Pada prakteknya
politik uang di Kota Depok menggunakan acara maulid dan tahlil
untuk mengumpulkan masa, lalu kemudian memberikan uang transport
dengan tujuan meminta kepada masyarakat untuk memilih calon yang
diusung.
2. Undang-undang nomor 8 tahun 2015 telah diamandemnt menjadi
undang-undang nomor 10 tahun 2016. pada undang-undang ini telah
ada kejelasan hukum bagi pelaku praktek politik uang. Pelaku praktek
politik uang kini dapat dipidana dengan pidana penjara minimal 36
bulan dan maksimal 72 bulan dan dikenakan denda sebesar
RP.2000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan maksimal
RP.1000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pilkada Depok tahun 2015
belum diberlakukan sehingga pada Pilkada Tahun ini pelaku praktek
politik uang dikenakan tindak pidana umum.
3. Hukum Islam melarang adanya politik uang. Terdapat ayat-ayat al-
Quran yang secara tersirat meharamkan politik uang. Politik uang
dalam Islam disamakan hukumnya dengan risywah, yaitu
membenarkan hal yang batil dan menyalahkan hal yang benar. MUI,
NU dan Muhammadiah sepakat haramnya politik uang.
B. Saran
1. Lembaga yang berperan aktif dalam pemilihan, seperti KPU dan
Bawaslu harus bekerjasama dalam mensosialisasikan larangan praktek
politik uangdan menjelaskan sanksi pidana yang akan diterima jika
71
terbukti melakukan politik uang. Bawaslu harus tegas dalam
memberikan sanksi agar memberikan efek jera bagi pelaku mapun bagi
orang lain.
2. Pemerintah sebaiknya serius melaksanakn undang-undang nomor 10
tahun 2016 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan
walikota dengan baik dan benar, karna praktek politik uang merupakan
bibit-bibit baru munculnya tindak pidana korupsi.
3. Masyarakat sabaiknya menyadari dan turut serta dalam penegakan
undnag-undang Pilkada, dan mulai melaporkan jika terjadi politik
uang.
Hasil Wawancara Oleh Ketua Panwaslu Kota Depok
Hari/Tanggal Wawancara : 16 Desember 2016
Waktu Pelaksanaan : 19.00-21.15
Tempat Wawancara : Haus Coffe
Narasumber : Andriansyah, S.HI
Pewawancara : Imas Maesaroh
Tujuan Wawancara : mengeyahui Proses Pilkada di Kota Depok
1. Bagaimana Pilkada di Kota Depok Jawa Barat?
Alhamdulillah pelaksanaan Pilkada di Kota Depok berjalan dengan lancar
tanpa ekses, ini semua berkat kerjasama semua pihak dalam melaksanakan
Pilkada serentak tahap pertama yang berlangsung tahun 2015, khusus di Kota
Depok diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon.
2. Pada tahun berapa Pilkada di Kota Depok dimulai?
Kota Depok melaksanakan Pilkada serentak tahap pertama yaitu tahun 2015.
3. Apakah di kota Depok terjadi pelanggaran-pelanggaran selama Pilkada
berlangsung?
Iya ada pelanggaran baik itu temuan maupun laporan yang diterima Panwaslu
dalam pelaksanaan Pilkada di Kota Depok. Ada 12 (dua belas) laporan dan
temuan yang Panwaslu Kota Depok proses dalam penangan pelanggaran.
Adapun pelanggaran tersebut adalah 3 (tiga) terkait sengketa pemilihan, 6
(enam) terkait pelanggaran administrasi dan 3 (tiga) terkait dugaan
pelanggaran pidana pemilihan.
4. Apakah selama anda menjabat sebagai Panwaslu menemukan pelanggaran
politik uang?
Selama saya menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kota Depok dalam Pemilihan
Kepala Daerah Walikota dan Wakil Walikota Depok kami tidak menemukan
ataupun mendapat laporan terkait dugaan pelanggaran politik uang.
5. Bagaimana tanggapan anda terkait serangan fajar?
Terkait serang pajar itu adalah isu krusial dalam pelaksanaan disetiap
momentum Pemilu, oleh karenanya dalam menyikapi hal tersebut kami
Panwaslu Kota Depok beserta jajaran sampai level Pengawas TPS fokus dalam
mengantisipasi hal-hal tersebut.
6. Praktek politik uang seperti apa yang anda temui selama menjabat sebagai
panwaslu ?
Kami tidak menemukan.
7. Siapakah yang melaksanakan politik uang, Pasangan Calon/tim
sukses/lainnya?
Tim sukses, ataupun relawan yang di perintah oleh tim sukses.
8. Bagaimana mekanisme pelaporan jika terjadi politik uang ?
Dalam pelasanaan Pilkada serentak tahun 2015 peraturan yang dipakai adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dan
Undang-Undang Nomor Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang. Didalam Undang-Undang tersebut diatur tentang larangan pemberian
Uang (money politic) akan tetetapi tidak diatur sanksi atau hukuman yang
melanggar pelanggaran tersebut, akhirnya atas Instruksi Bawaslu yang telah
berkoordinasi dengan Polri bahwa proses penangan atau laporan tentang politik
uang diarahkan langsung ke pihak kepolisian dengan memakai Undang-
Undang Pidana Umum.
9. Adakah pelaku tindak pidana Pilkada yang diadili dan dijatuhi hukuman?
Tidak ada.
10. Bagaimana peran Panwaslu, KPUD, DPRD, dalam menanggulangi politik
uang yang kerap tejadi?
Dalam menanggulangi hal tersebut kami melakukan Pencegahan dan
Penindakan.
Pencegahan:
Sosialisasi: Kepada para pemangku kepentingan tentang peraturan Pilkada dan
sanksinya.
Partisipasi: Mendorong semua pihak untuk berperan aktif mengawasi proses
penyelenggaraan Pilkada.
Peringatan Dini: menyampaikan peringatan dini kepada partai politik,
penyelenggara Pilkada, bakal pasangan calon dan atau pasangan calon, Tim
kampanye pasangan calon, masyarakat pemilih, pemilih dan pemangku
kepentingan lainnya agar tidak melakukan pelanggaran.
Penindakan:
Law Enforcement:
mengingatkan secara tegas kepada seluruh pemangku kepentingan tentang
aturan dan sanksi terhadap pelanggaran, apabila terdapat kecenderungan atau
indikasi awal pelanggaran.
mengajukan nota keberatan secara tertulis dan terbuka apabila KPU dan
jajarannya tidak menindaklanjuti teguran, peringatan, dan rekomendasi
Panwaslu.
Publikasi:
Melakukan sosialisasi langkah-langkah penindakan yang akan dilakukan oleh
pengawas Pemilu dan Mempublikasikan melalui media massa tentang
kecenderungan atau indikasi pelanggaran
11. Bagaimana peran Panwaslu, KPUD, polisi, jaksa, hakim, dan lembaga
permasyarakatan dalam penyelesaian kasus sengketa pilkada ? terkusus praktek
politik uang
Dalam penyelesaian Sengketa Pilkada Panwaslu diberi wewenang dalam
menyelsaikan hal tersebut. Terkait praktek politik uang penyelesaiannya sesuai
prosedur yang berlaku, apabila sudah terpenuhi unsur-unsur pidana dan alat
bukti yang cukup langsung P21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diproses
dipengadilan.
12. Apakah pilkada di depok sudah sesuai dengan undang-undang?
Sudah sesuai dengan Undang-Undang 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan
13. Apakah pelanggaran dalam pilkada depok mengalami peningkatan atau
penurunan?
Pada 2015 pelanggaran yang terjadi di Kota Depok Mengalami penurunan jika
di bandingkan dengan tahun sebelumnya.
14. Apa jenis politik uang yang terjadi di Kota Depok ? suap / serangan fajar/
sodaqoh
Tidak ada.
15. Bagaimana batas-batas yang bisa dikatakan sebagai politik uang ? jenis
barang/jumlah nominal dll
Tidak ada batasan nominal, selagi hal itu diberikan untuk kepentingan dan
untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih salah satu calon tertentu dengan
memberikan sejumlah uang maka dikatogorikan politik uang.
16. Apa alasan yang sering dikemukakan oleh calon/tim sukses dalam melakukan
politik uang ?
Tidak ada karna selama Pilkada 2015 tidak ada pelanggaran politik uang.
17. Apakah masyarakat mengetahui bahwasannya politik uang/ serangan fajar itu
dilarang ?
Masyarakat sudah mengetahui.
18. Pernahkah Panwaslu/KPUD mengadakan survey terkait tingkat pemahaman
masyarakat terkait larangan politik uang ?
Kami tidak melakukan survey tapi melakukan sosialisasi.
19. Adakah anggota Panwaslu Depok yang tersandung kasus politik uang ?
Tidak ada.
20. Dapatkah politik uang disamakan dengan suap menyuap?
Iya politik uang sama dengan menyuap, karena ada pemberi dan penerima.
21. Siapakah yang berhak mengadili pelaku politik uang ?PN, MK atau terdapat
pengadilan khusus yang dibentuk ?
Adanya pengadilan khusus di PN dengan hakim khusus yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan dengan kualifikasi khusus.
22. Bagaimana tanggapan anda sebagai Panwaslu terkait undang-undang pilkada
yang baru ?
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sudah
bagus dan sudah menutupi dari kekurangan sebelumnya sebagai penguatan
penyelenggara pemilu.
23. Apa kekuranagn dan kelebihan undang-undang Pilkada yang baru ?
Kekurangan:
Selalu saja ada yang kurang sehingga undang-undang tiap penyelenggaraan
pilkada pasti ada perubahan, disini perlunya kepastian dalam membuat
peraturan tersebut.
Untuk penguatan penyelenggara seharusnya pengawas pada level
Desa/Kelurahan ditambah, tidak hanya satu orang untuk mengawasi
pengawasan di setiap Desa/Kelurahan.
Begitupun Panwaslu Kab/Kota yang masih bersifat ad hoc yang masih bersifat
Panitia belum berbentuk Badan.
Kelebihan:
Penguatan dalam setiap perubahan selalu dilakukan dalam memperbaharui
undang-undang tersebut, sehingga dalam pelaksanaanya pilkada serentak
semakin baik.
Hal-hal yang tadinya tidak di atur dalam undang-undang sebelumnya kini
sudah diatur dalam undang-undang yang baru seperti contoh sanksi terhadap
pelanggaran politik uang.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan
wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;
b. bahwa dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan
wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang perlu diubah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang;
Mengingat . . .
- 2 -
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal I . . .
- 3 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
(2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan
tingkat atas atau sederajat;
d. dihapus;
e. berusia . . .
- 4 -
e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil
pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang
dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur,
Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil
Walikota;
o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota
untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;
p. berhenti . . .
- 5 -
p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan
Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur,
penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;
r. dihapus;
s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;
t. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan
calon peserta Pemilihan; dan
u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak
ditetapkan sebagai calon.
2. Ketentuan huruf a dan huruf b Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat;
b. mengoordinasi dan memantau tahapan Pemilihan;
c. melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilihan;
d. menerima laporan hasil Pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e. memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan Pemilihan
secara berjenjang; dan
f. melaksanakan . . .
- 6 -
f. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Di antara huruf b dan huruf c Pasal 10 disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf b1 sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib:
a. memperlakukan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
secara adil dan setara;
b. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilihan kepada masyarakat;
b1. melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi
Pemilihan;
c. melaksanakan Keputusan DKPP; dan
d. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(1a) seleksi penerimaan anggota PPK dilaksanakan secara
terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota
PPK.
(2) Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3) Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
(4) Dalam . . .
- 7 -
(4) Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh
sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
(5) PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK kepada Bupati/Walikota untuk selanjutnya dipilih dan
ditetapkan 1 (satu) nama sebagai Sekretaris PPK dengan Keputusan Bupati/Walikota.
5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Anggota PPS berjumlah 3 (tiga) orang.
(2) Seleksi penerimaan anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi,
kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS.
(3) Anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
6. Ketentuan Pasal 20 tetap, dengan perubahan penjelasan
Pasal 20 huruf c, sehingga penjelasan Pasal 20 huruf c menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
7. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Anggota KPPS berjumlah 7 (tujuh) orang yang berasal
dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(1a) Seleksi penerimaan anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi,
kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS.
(2) Anggota . . .
- 8 -
(2) Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(4) Susunan keanggotaan KPPS terdiri atas seorang
ketua merangkap anggota dan anggota.
8. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22B
Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan
penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan
Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas
keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat
mengikat;
b. menerima, memeriksa, dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait pemilihan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terkait dengan Pemilihan yang
diajukan oleh pasangan calon dan/atau Partai Politik/gabungan Partai Politik terkait penjatuhan sanksi diskualifikasi dan/atau tidak diizinkannya
Partai Politik/gabungan Partai Politik untuk mengusung pasangan calon dalam Pemilihan
berikutnya.
c. mengoordinasikan dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;
d. melakukan evaluasi pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;
e. menerima laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilihan dari Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;
f. memfasilitasi . . .
- 9 -
f. memfasilitasi pelaksanaan tugas Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan
Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan secara
berjenjang;
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;
i. menerima dan menindaklanjuti laporan atas tindakan pelanggaran Pemilihan; dan
j. menindaklanjuti rekomendasi dan/atau putusan
Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota kepada KPU terkait terganggunya tahapan Pemilihan.
9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Tugas dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan
yang meliputi:
1. pelaksanaan pengawasan rekrutmen PPK, PPS,
dan KPPS;
2. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data
kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;
3. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan
dan tata cara pencalonan;
4. proses dan penetapan calon;
5. pelaksanaan Kampanye;
6. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya;
7. pelaksanaan pemungutan suara dan
penghitungan suara hasil Pemilihan;
8. pelaksanaan pengawasan pendaftaran pemilih;
9. mengendalikan . . .
- 10 -
9. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara;
10. penyampaian surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
11. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh
KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari seluruh Kecamatan;
12. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan; dan
13. proses pelaksanaan penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
mengenai Pemilihan;
c. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran Pemilihan dan sengketa Pemilihan yang tidak
mengandung unsur tindak pidana;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk
ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai
dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan
yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan oleh penyelenggara di Provinsi, Kabupaten, dan Kota;
g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sekretaris
dan pegawai sekretariat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan
yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung;
h. mengawasi . . .
- 11 -
h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan
i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan Pasal 33 huruf b diubah sehingga Pasal 33
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Tugas dan wewenang Panwas Kecamatan dalam Pemilihan meliputi:
a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan di
wilayah Kecamatan yang meliputi:
1. pemutakhiran data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;
2. pelaksanaan Kampanye;
3. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya;
4. pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara hasil Pemilihan;
5. penyampaian surat suara dari TPS sampai ke
PPK;
6. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS; dan
7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan.
b. mengawasi penyerahan kotak suara tersegel dari
PPK kepada KPU Kabupaten/Kota;
c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
d. menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan;
g. memberikan . . .
- 12 -
g. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan; dan
h. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat
mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan
ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(4) Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.
(5) Perhitungan persentase dari jumlah kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat.
12. Di antara . . .
- 13 -
12. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
(1) Partai Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
merupakan Partai Politik yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang
dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah memperoleh putusan Mahkamah Partai atau
sebutan lain dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Jika masih terdapat perselisihan atas putusan
Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan
calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.
(4) Putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain atau
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) wajib didaftarkan ke
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru dan wajib ditetapkan dengan keputusan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya persyaratan.
(5) Dalam . . .
- 14 -
(5) Dalam hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan
Partai Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai Politik yang
tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
13. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika
memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan
sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat
pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling
sedikit 10% (sepuluh persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000
(dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%
(delapan setengah persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000
(enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000
(dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah
kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
(2) Calon . . .
- 15 -
(2) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar
pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang
paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang
termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10%
(sepuluh persen);
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah
persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang
termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung
paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar
di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
(3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk
Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili
di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu)
tahun dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud.
(4) Dukungan . . .
- 16 -
(4) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan calon perseorangan.
14. Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 42 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) dan di antara ayat (5) dan ayat (6)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi oleh Partai
Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.
(2) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.
(3) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, dan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
(4) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan
Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.
(4a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Provinsi, pendaftaran pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat.
(5) Pedaftaran . . .
- 17 -
(5) Pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota
disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang
diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.
(5a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, pendaftaran pasangan calon
yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik
tingkat Pusat.
(6) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua
Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para ketua Partai Politik dan
para sekretaris Partai Politik di tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat Keputusan masing-masing Pengurus Partai Politik tingkat
Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat
Provinsi dan/atau Pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota.
15. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
(2) Dokumen . . .
- 18 -
(2) Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf g, huruf n, huruf o, huruf p, huruf q,
huruf s, huruf t, dan huruf u;
b. surat keterangan:
1. hasil pemeriksaan kemampuan secara
jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dari tim yang terdiri dari dokter, ahli psikologi, dan
Badan Narkotika Nasional, yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f;
2. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon
atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai
buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g;
3. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon,
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h;
4. tidak . . .
- 19 -
4. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan
catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i;
5. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf k; dan
6. tidak dinyatakan pailit dari Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf l.
c. surat tanda terima laporan kekayaan calon dari instansi yang berwenang memeriksa laporan
kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf j;
d. fotokopi:
1. ijazah pendidikan terakhir paling rendah
sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat yang telah dilegalisir oleh pihak
yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c;
2. kartu nomor pokok wajib pajak atas nama calon, tanda terima penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan
wajib pajak orang pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima) tahun terakhir, yang
dibuktikan dengan surat keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari kantor pelayanan pajak tempat calon yang
bersangkutan terdaftar, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf m;
3. Kartu . . .
- 20 -
3. Kartu Tanda Penduduk elektronik dengan nomor induk kependudukan.
e. daftar riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari Partai Politik
atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon, pimpinan Partai Politik atau
pimpinan gabungan Partai Politik;
f. pas foto terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
g. naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur
dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan dan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
16. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1) Pasangan calon atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan pencalonan untuk Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi dan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi administrasi dan dibantu oleh PPK dan PPS.
(2) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. mencocokkan dan meneliti berdasarkan nomor
induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan
mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan
sipil; dan
b. berdasarkan . . .
- 21 -
b. berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan
dari Kementerian Dalam Negeri.
(3) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi
atau Kabupaten/Kota.
(4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh pasangan calon perseorangan atau tim yang
diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPS untuk dilakukan verifikasi
faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) Hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
(5) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan
calon perseorangan diserahkan ke PPS.
(6) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode sensus
dengan menemui langsung setiap pendukung calon.
(7) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan ayat (5), terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk
menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak
PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut.
(8) Jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi faktual
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
(9) Hasil verifikasi faktual berdasarkan nama
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) tidak diumumkan.
(10) Hasil verifikasi dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dituangkan
dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan
kepada pasangan calon. (11) PPK . . .
- 22 -
(11) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan pasangan calon untuk menghindari
adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang
dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.
(12) Hasil verifikasi dukungan pasangan calon
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan
hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada pasangan calon.
(13) Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, salinan hasil verifikasi
dan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipergunakan oleh pasangan calon perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan
dukungan pencalonan.
(14) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan
pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih
dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.
(15) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara verifikasi diatur dalam Peraturan KPU.
17. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
(1) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu sejak penetapan pasangan calon sampai
dengan hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan
pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.
(2) Partai . . .
- 23 -
(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon atau salah satu calon
dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak pasangan calon atau salah satu
calon dari pasangan calon meninggal dunia.
(3) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota meneliti
persyaratan administrasi pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal pengusulan.
(4) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon
dari pasangan calon pengganti memenuhi persyaratan berdasarkan hasil penelitian
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon atau salah satu calon
dari pasangan calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari terhitung sejak dinyatakan memenuhi syarat.
(5) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan pasangan calon pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan gugur dan tidak dapat mengikuti Pemilihan.
(6) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan salah satu calon dari pasangan
calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), salah satu calon yang tidak meninggal dunia, dinyatakan gugur dan tidak dapat
mengikuti Pemilihan.
(7) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu 29 (dua puluh
sembilan) Hari sebelum hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak
dapat mengusulkan calon pengganti, dan salah satu calon dari pasangan calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan.
(8) Dalam . . .
- 24 -
(8) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (7), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
wajib mengumumkan kepada masyarakat.
18. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 4 (empat)
pasal, yakni Pasal 54A, Pasal 54B, Pasal 54C, dan Pasal 54D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54A
(1) Dalam hal pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan
calon sampai dengan hari pemungutan suara, pasangan calon dinyatakan gugur serta tidak dapat mengikuti Pemilihan.
(2) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan
hari pemungutan suara, calon perseorangan dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara untuk ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan.
(3) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon
perseorangan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota wajib mengumumkan kepada masyarakat.
Pasal 54B
Ketentuan mengenai meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 54A berlaku secara
mutatis mutandis terhadap pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon dalam Pemilihan 1 (satu)
pasangan calon.
Pasal 54C
(1) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan
dalam hal memenuhi kondisi:
a. setelah . . .
- 25 -
a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan
pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan
memenuhi syarat;
b. terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang
mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah
dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang
mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak
memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
c. sejak penetapan pasangan calon sampai dengan
saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak
mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang
diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
d. sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat
pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti
atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu)
pasangan calon; atau
e. terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi
pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
(2) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2
(dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
(3) Pemberian . . .
- 26 -
(3) Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Pasal 54D
(1) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.
(2) Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh
mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.
(3) Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya
atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan
penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemilihan
1 (satu) pasangan calon diatur dengan Peraturan KPU.
19. Ketentuan ayat (2) Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih.
(2) Dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan
Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
(3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi syarat:
a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
dan/atau
b. tidak . . .
- 27 -
b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(4) Warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat pemungutan suara
tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), yang bersangkutan
tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
20. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1) Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data
pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan.
(2) Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk
Pemilihan.
(3) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atau sebutan lain dan tambahan Pemilih yang
telah memenuhi persyaratan sebagai Pemilih paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak
diterimanya hasil konsolidasi, verifikasi, dan validasi.
(4) Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada PPK
untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK.
(5) Rekapitulasi daftar Pemilih hasil pemutakhiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat
3 (tiga) Hari terhitung sejak selesainya pemutakhiran untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat kabupaten/kota, yang kemudian ditetapkan sebagai
Daftar Pemilih Sementara.
(6) Daftar . . .
- 28 -
(6) Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diumumkan secara luas dan melalui
papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari
masyarakat selama 10 (sepuluh) Hari.
(7) PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara
berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir.
(8) Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diserahkan
kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh
PPS paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.
21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
Penduduk yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap diberi surat pemberitahuan sebagai Pemilih oleh PPS.
22. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 61 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1) Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar
Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
(2) Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat
pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk
Elektronik. (3) Sebelum . . .
- 29 -
(3) Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu
mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih tambahan.
(4) Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.
23. Ketentuan ayat (2) Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63
(1) Kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan
calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.
(3) Jadwal pelaksanaan Kampanye ditetapkan oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
24. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 65 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. pertemuan tatap muka dan dialog;
c. debat publik/debat terbuka antarpasangan
calon;
d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan . . .
- 30 -
e. pemasangan alat peraga;
f. iklan media massa cetak dan media massa
elektronik; dan/atau
g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2a) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didanai dan dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.
(2b) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e dapat didanai dan dilaksanakan
oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan metode Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (2b) diatur dengan Peraturan KPU.
25. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 68 diubah, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Debat publik/debat terbuka antar calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali oleh
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Debat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disiarkan secara langsung atau siaran tunda melalui lembaga penyiaran publik.
(3) Moderator debat dipilih oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu
calon.
(4) Materi debat adalah visi, misi, dan program Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam rangka:
a. meningkatkan . . .
- 31 -
a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
b. memajukan daerah;
c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat;
d. menyelesaikan persoalan daerah;
e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan
daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan
f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
(5) Moderator dilarang memberikan komentar, penilaian,
dan kesimpulan apapun terhadap penyampaian materi debat dari setiap pasangan calon.
26. Ketentuan Pasal 70 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan:
a. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.
(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat
negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang
mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi
ketentuan:
a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. dilarang . . .
- 32 -
b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
(4) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama
Menteri.
(5) Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur
dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.
27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa
atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil
Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan
penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam . . .
- 33 -
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil
Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan
sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
28. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang
menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.
(2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi
administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain
juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
b. menggunakan . . .
- 34 -
b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan
c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
(5) Pemberian sanksi administrasi terhadap
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.
29. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74
(1) Dana Kampanye pasangan calon yang diusulkan
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari:
a. sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan
Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon;
b. sumbangan pasangan calon; dan/atau
c. sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau
badan hukum swasta.
(2) Dana Kampanye pasangan calon perseorangan dapat diperoleh dari sumbangan pasangan calon,
sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan
hukum swasta.
(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki
rekening khusus dana Kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota.
(4) Pasangan calon perseorangan bertindak sebagai penerima sumbangan dana Kampanye sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(5) Sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari perseorangan
paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
(6) Partai . . .
- 35 -
(6) Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon dan pasangan calon
perseorangan dapat menerima dan/atau menyetujui sumbangan yang bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan Kampanye yang jika
dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan dana Kampanye sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
(7) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) harus mencantumkan identitas
yang jelas.
(8) Penggunaan dana Kampanye pasangan calon wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel
sesuai standar akuntasi keuangan.
(9) Pembatasan dana Kampanye pasangan calon
ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah pemilih, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya
daerah.
30. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 85 disisipkan 2 (dua)
ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85
(1) Pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara:
a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau
b. memberi suara melalui peralatan Pemilihan
suara secara elektronik.
(2) Pemberian tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan prinsip
memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilihan.
(2a) Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
(2b) Dalam . . .
- 36 -
(2b) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian
pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara untuk Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (3).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
31. Ketentuan Pasal 107 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 107 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107
(1) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota terpilih.
(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih
yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.
(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta
Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati
terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.
32. Ketentuan . . .
- 37 -
32. Ketentuan Pasal 109 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 109
(1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak
ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasangan calon yang memperoleh
dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur terpilih.
(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
33. Di antara Pasal 133 dan Pasal 134 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 133A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 133A
Pemerintahan Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah,
khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
34. Di antara Pasal 135 dan Pasal 136 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 135A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 135A
(1) Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan
pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
(2) Bawaslu . . .
- 38 -
(2) Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu Provinsi.
(5) Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa
sanksi administrasi pembatalan pasangan calon.
(6) Pasangan calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.
(7) Mahkamah Agung memutus upaya hukum
pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Dalam hal putusan Mahkamah Agung membatalkan
keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menetapkan
kembali sebagai pasangan calon.
(9) Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bawaslu.
35. Ketentuan . . .
- 39 -
35. Ketentuan Pasal 144 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 144
(1) Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa
Pemilihan merupakan Putusan bersifat mengikat.
(2) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib
menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dan/atau putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) hari kerja.
(3) Seluruh proses pengambilan Putusan Bawaslu
Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan
Bawaslu.
36. Ketentuan Pasal 146 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 146
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh
Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.
(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan tugas dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti untuk
kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak laporan diterima dari Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.
(4) Dalam . . .
- 40 -
(4) Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi.
(5) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
(6) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja
terhitung sejak menerima berkas perkara dari penyidik.
37. Ketentuan Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 152
(1) Untuk menyamakan pemahaman dan pola
penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota,
Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu.
(2) Sentra penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota.
(3) Anggaran operasional sentra penegakan hukum terpadu dibebankan pada Anggaran Bawaslu.
(4) Ketentuan mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
(5) Peraturan bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya
bersifat mengikat. 38. Ketentuan . . .
- 41 -
38. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153
(1) Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
(2) Peradilan Tata Usaha Negara dalam menerima,
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan menggunakan Hukum
Acara Tata Usaha Negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
39. Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 154
(1) Peserta Pemilihan mengajukan keberatan terhadap
keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Provinsi dan/atau
Panwas Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.
(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan.
(3) Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya gugatan oleh Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara.
(4) Apabila . . .
- 42 -
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penggugat belum menyempurnakan
gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(5) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.
(6) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan
memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak gugatan dinyatakan
lengkap.
(7) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya
dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(8) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya
putusan.
(9) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak permohonan kasasi diterima.
(10) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final
dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali.
(11) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari.
(12) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan
sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.
40. Ketentuan . . .
- 43 -
40. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156
(1) Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang
signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.
41. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 157
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara
tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan
peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan
suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan
Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
(7) Dalam . . .
- 44 -
(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon
dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45
(empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.
(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
42. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 158
(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000
(enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen)
dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari
6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan
perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan
suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan
d. provinsi . . .
- 45 -
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.
(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa,
pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2%
(dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa,
pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar
1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen)
dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih
dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU
Kabupaten/Kota.
43. Ketentuan . . .
- 46 -
43. Ketentuan Pasal 160A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 160A
(1) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada
Presiden melalui Menteri, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Provinsi menyampaikan
penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada DPRD Provinsi, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan
pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berdasarkan usulan KPU Provinsi melalui KPU.
(2) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan
pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada Menteri melalui Gubernur, dalam jangka
waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Kabupaten/Kota menyampaikan penetapan pasangan calon Bupati
dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota, Menteri berdasarkan usulan
Gubernur mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan
usulan KPU Kabupaten/Kota melalui KPU Provinsi.
(3) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri, Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan usulan KPU Kabupaten/Kota melalui
KPU Provinsi.
(4) Pengesahan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan paling
lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan.
(5) Ketentuan . . .
- 47 -
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
44. Ketentuan Pasal 162 ayat (3) diubah sehingga Pasal 162
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 162
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.
45. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 163
(1) Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara.
(2) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan
Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden.
(3) Dalam hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan
Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri.
(4) Dalam . . .
- 48 -
(4) Dalam hal calon Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon
Wakil Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Gubernur meskipun tidak secara berpasangan.
(5) Dalam hal calon wakil Gubernur terpilih meninggal
dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi
Gubernur meskipun tidak secara berpasangan.
(6) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka
pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(7) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada
saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(8) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat
pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur.
46. Ketentuan Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 164
(1) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota dilantik oleh Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati
dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.
(3) Dalam . . .
- 49 -
(3) Dalam hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud
pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2), Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal calon Bupati dan Calon Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau
mengundurkan diri, calon wakil Bupati dan Calon wakil Walikota terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati dan Wakil Walikota meskipun tidak secara
berpasangan.
(5) Dalam hal calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan
tetap, atau mengundurkan diri, calon Bupati dan Calon Walikota terpilih tetap dilantik menjadi
Bupati, dan Walikota meskipun tidak secara berpasangan.
(6) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon
Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi
Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
(7) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang
bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil
Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
(8) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik
menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau
Wakil Bupati/Wakil Walikota.
47. Di antara . . .
- 50 -
47. Di antara Pasal 164 dan Pasal 165 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 164A dan Pasal 164B sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 164A
(1) Pelantikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163
dan Pasal 164 dilaksanakan secara serentak.
(2) Pelantikan secara serentak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
periode sebelumnya yang paling akhir.
(3) Dalam hal terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil
Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Gubernur dapat melakukan pelantikan di Ibu kota Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4) Dalam hal lebih dari 1 (satu) provinsi yang terdapat
1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melakukan pelantikan secara bersamaan di Ibu
kota Negara.
Pasal 164B
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak.
48. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 165
Ketentuan mengenai jadwal dan tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diatur dengan
Peraturan Presiden.
49. Ketentuan . . .
- 51 -
49. Ketentuan ayat (2) dihapus sehingga Pasal 166 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 166
(1) Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan
dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dihapus.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan
kegiatan Pemilihan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
50. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 173
(1) Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan;
maka Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
(2) DPRD Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi Gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri untuk disahkan
pengangkatannya sebagai Gubernur.
(3) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil
Gubernur sebagai Gubernur berdasarkan:
a. surat kematian;
b. surat . . .
- 52 -
b. surat pernyataan pengunduran diri dari Gubernur; atau
c. keputusan pemberhentian.
(4) DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil
Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui
Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak
menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Bupati/Walikota berhenti, Gubernur
menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengangkat dan
mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota kepada
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri berdasarkan usulan DPRD Kabupaten/Kota
mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.
(7) Dalam hal Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota
tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri
mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota berdasarkan:
a. surat kematian;
b. surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau
c. keputusan pemberhentian.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
51. Ketentuan . . .
- 53 -
51. Ketentuan Pasal 174 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 174
(1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua)
pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih.
(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka Partai Politik atau gabungan Partai Politik
yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pasangan calon paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi
(4) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
yang berasal dari perseorangan secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi.
(5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan proses pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berdasarkan perolehan suara
terbanyak.
(6) Dewan . . .
- 54 -
(6) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan hasil pemilihan kepada Presiden melalui Menteri
untuk Gubernur dan Wakil Gubernur dan kepada Menteri melalui Gubernur untuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
(7) Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan
penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/Walikota.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan
melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
52. Ketentuan Pasal 176 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 176
(1) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan
Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan
usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.
(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik
pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
(3) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari calon perseorangan
berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(4) Pengisian . . .
- 55 -
(4) Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan jika
sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengusulan dan pengangkatan calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
53. Di antara Pasal 177 dan Pasal 178 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 177A dan Pasal 177B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 177A
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana maksimumnya.
Pasal 177B
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota,
dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data dan daftar
pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh
empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
54. Di antara . . .
- 56 -
54. Di antara Pasal 178 dan Pasal 179 disisipkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 178A sampai dengan Pasal 178H yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 178A
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan
sengaja melakukan perbuatan melawan hukum mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 178B
Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus
delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp108.000.000,00 (seratus delapan juta rupiah).
Pasal 178C
(1) Setiap orang yang tidak berhak memilih yang
dengan sengaja pada saat pemungutan suara memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan
denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyuruh orang
yang tidak berhak memilih memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(3) Dalam . . .
- 57 -
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.
Pasal 178D
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pemungutan suara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 178E
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar, mengubah, merusak,
menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan)
bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.
Pasal 178F
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pleno penghitungan suara tahap akhir yang dilakukan di KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh
enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 178G . . .
- 58 -
Pasal 178G
Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih yang bukan pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang
mempunyai halangan fisik lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal 178H
Setiap orang yang membantu pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
55. Ketentuan Pasal 180 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 180
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil
Gubernur, Calon Bupati/Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota/Calon Wakil Walikota, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga
puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Walikota/Wakil Walikota atau meloloskan calon dan/atau pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dan Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama
96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp96.000.000,00
(sembilan puluh enam juta rupiah). 56. Di antara . . .
- 59 -
56. Di antara Pasal 182 dan Pasal 183 disisipkan 2 (dua)
pasal, yakni Pasal 182A dan Pasal 182B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 182A
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh
puluh dua juta rupiah).
Pasal 182B
Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan
tersebut tidak bisa ditinggalkan diancam dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah).
57. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 185A dan Pasal 185B sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 185A
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh
puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
maksimumnya. Pasal 185B . . .
- 60 -
Pasal 185B
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KPU Provinsi, dan/atau petugas yang diberikan kewenangan melakukan
verifikasi dan rekapitulasi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap
dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
58. Di antara Pasal 186 dan Pasal 187 disisipkan 1 (satu)
pasal, yakni Pasal 186A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 186A
(1) Ketua dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau tingkat Kabupaten/Kota yang
mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) yang tidak didasarkan pada surat keputusan pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh
pengurus Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Penyelenggara Pemilihan yang menetapkan pasangan calon yang didaftarkan sebagai peserta
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana maksimumnya.
59. Di antara . . .
- 61 -
59. Di antara Pasal 187 dan Pasal 188 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 187A sampai dengan Pasal 187D
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 187A
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai
imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan
hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu
sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang
dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 187B
Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai
Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk
apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 187C . . .
- 62 -
Pasal 187C
Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 187D
Pengurus lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
60. Di antara Pasal 190 dan Pasal 191 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 190A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 190A
Penyelenggara Pemilihan, atau perusahaan yang dengan
sengaja melakukan perbuatan melawan hukum merubah jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2,5% (dua
setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh
milyar lima ratus juta rupiah).
61. Ketentuan . . .
- 63 -
61. Ketentuan Pasal 193 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 193
(1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan dan/atau
penghitungan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 113
berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU
Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat
puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
tidak menetapkan pemilihan lanjutan dan/atau pemilihan susulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Pasal 121 berdasarkan putusan
Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-
Undang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling
lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(3) Ketua dan anggota KPPS, ketua dan anggota PPK, ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota, atau ketua dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hukum tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara
perolehan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama
60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Ketua . . .
- 64 -
(4) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama
60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling
banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan
dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil
Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh)
bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(6) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak
suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada Hari yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan
dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(7) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12
(dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
62. Di antara . . .
- 65 -
62. Di antara Pasal 193 dan Pasal 194 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 193A dan Pasal 193B yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 193A
(1) Ketua dan/atau anggota KPU Provinsi yang
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan/atau anggota KPU Kabupaten/Kota yang
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
Pasal 193B
(1) Ketua dan/atau anggota Bawaslu Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat
puluh empat juta rupiah).
(2) Ketua dan/atau anggota Panwas Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00
(seratus empat puluh empat juta rupiah).
63. Ketentuan . . .
- 66 -
63. Ketentuan Pasal 196 dihapus.
64. Di antara Pasal 198 dan Pasal 199 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 198A sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 198A
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan atau menghalang-halangi Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
65. Di antara Pasal 200 dan Pasal 201 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 200A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 200A
(1) Seleksi Penerimaan PPK dan PPS yang telah
dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan
Pasal 16 dan Pasal 19 Undang-Undang ini.
(2) Pengawasan terhadap tahapan rekrutmen PPK, PPS,
dan KPPS yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
harus menyesuaikan dengan Pasal 30 huruf a angka 1 Undang-Undang ini.
(3) Surat keterangan sementara dari kepala dinas yang
menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat, baik
sebagai syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih dapat dipergunakan paling lambat sampai dengan
bulan Desember 2018.
(4) Syarat . . .
- 67 -
(4) Syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih
menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019.
(5) Pelantikan pasangan calon terpilih hasil Pemilihan
tahun 2017 dan tahun 2018 dapat dilakukan secara serentak bertahap.
66. Ketentuan Pasal 201 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 201
(1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang
masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun
2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
(2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai
dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan
pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.
(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan
tahun 2022.
(4) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan
yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
(5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
(6) Pemungutan . . .
- 68 -
(6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.
(7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan
tahun 2024.
(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan
November 2024.
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati,
dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
(10) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur,
diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan
pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Untuk mengisi kekosongan jabatan
Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan
Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan
Peraturan KPU.
67. Di antara . . .
- 69 -
67. Di antara Pasal 205A dan Pasal 206 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 205B dan Pasal 205C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 205B
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678); dan
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656);
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 205C
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 70 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 130
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
I. UMUM
Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dirasakan masih menyisakan sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Di
sisi lain, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain:
a. tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain terkait:
1) persyaratan atas kewajiban bagi pegawai negeri sipil untuk
menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;
2) persyaratan atas kewajiban bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai
pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;
3) Persyaratan . . .
- 2 -
3) persyaratan terkait mantan terpidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika telah
mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum;
4) dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;
5) pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika hanya terdapat 1 (satu) pasangan;
b. penegasan terkait pemaknaan atas nomenklatur Petahana untuk menghindari multitafsir dalam implementasinya;
c. pengaturan mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. penyederhanaan penyelesaian sengketa proses pada setiap tahapan
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota agar keserentakan pencoblosan
maupun pelantikan dapat terjamin;
e. penetapan mengenai waktu pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2020 dan 2024;
f. pengaturan mengenai pelantikan serentak Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik secara serentak oleh Presiden di ibu kota Negara serta penegasan terkait waktu pelantikan agar selaras dengan kebijakan
penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak, yang pelantikan tersebut dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sebelumnya yang paling akhir;
g. pengaturan sanksi yang jelas bagi yang melakukan politik uang (money politic) dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;
h. pengaturan terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota yang
diberhentikan.
Selain . . .
- 3 -
Selain hal tersebut, Undang-Undang ini juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemilihan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1 Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Dihapus.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Yang dimaksud dengan “mantan terpidana”
adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar
narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta
perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k . . .
- 4 -
Huruf k Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan
negara” adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai. Huruf l
Cukup jelas. Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas. Huruf p
Cukup jelas. Huruf q
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah
penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, Wakil
Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota.
Huruf r Dihapus.
Huruf s
Cukup jelas. Huruf t
Cukup jelas. Huruf u
Cukup jelas.
Angka 2 Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 10 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf b1 . . .
- 5 -
Huruf b1 Yang dimaksud dengan “segera” yakni tidak
melampaui tahapan berikutnya. Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16 Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Anggota PPS” adalah orang
yang diangkat, berasal, dan berdomisili di wilayah kelurahan/desa setempat.
Angka 6
Pasal 20 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “verifikasi dukungan calon perseorangan” adalah penelitian mengenai keabsahan
surat pernyataan dukungan, fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik, pembuktian tidak adanya dukungan ganda, tidak adanya pendukung yang telah
meninggal dunia, tidak adanya pendukung yang sudah tidak lagi menjadi penduduk di wilayah yang
bersangkutan, atau tidak adanya pendukung yang tidak mempunyai hak pilih.
Yang dimaksud dengan “rekapitulasi dukungan calon
perseorangan” adalah pembuatan rincian nama-nama pendukung calon perseorangan berdasarkan hasil verifikasi yang ditandatangani oleh ketua dan anggota
PPS serta diketahui oleh kepala kelurahan/kepala desa atau sebutan lain.
Huruf d . . .
- 6 -
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m Dihapus.
Huruf n
Dihapus. Huruf o
Dihapus. Huruf p
Dihapus.
Huruf q Cukup jelas.
Huruf r Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas. Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u Cukup jelas.
Huruf v Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas. Huruf x
Cukup jelas.
Angka 7 . . .
- 7 -
Angka 7 Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 22B Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 10 Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 11 Pasal 40
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jumlah kursi” adalah
perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi Partai Politik/gabungan Partai Politik.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 40A Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah putusan
pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (4) . . .
- 8 -
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 41 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 42 Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 45 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 48 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau Kabupaten/Kota” antara lain dengan
menggunakan sistem dan aplikasi yang bisa diperbantukan atau dipinjamkan berupa peralatan dan tenaga teknis.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) . . .
- 9 -
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11) Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas. Ayat (13)
Cukup jelas. Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15) Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 54 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 54A Cukup jelas.
Pasal 54B
Cukup jelas.
Pasal 54C
Cukup jelas.
Pasal 54D
Cukup jelas.
Angka 19 Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 20 Pasal 58
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemutakhiran” adalah menambah dan/atau mengurangi calon pemilih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, bukan untuk merubah elemen data yang bersumber dari DP4. Ayat (4) . . .
- 10 -
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 59 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 61 Cukup jelas
Angka 23 Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 24 Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 25 Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 26 Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 27 Pasal 71
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pejabat negara” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara.
Yang . . .
- 11 -
Yang dimaksud dengan “pejabat daerah” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. Ayat (2)
Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka
Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.
Yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 28 Pasal 73
Ayat (1)
Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum
peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog,
dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 29 Pasal 74
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 12 -
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “sumbangan yang bukan
dalam bentuk uang” adalah pemberian sebagai bantuan atau sokongan yang bersifat sukarela dalam bentuk barang atau kegiatan.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 30 Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 31 Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 109
Cukup jelas.
Angka 33 Pasal 133A
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 135A Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “terstruktur” adalah
kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Yang . . .
- 13 -
Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang,
tersusun, bahkan sangat rapi. Yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak
pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 144 Cukup jelas.
Angka 36 Pasal 146
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 152 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 14 -
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Peraturan Bersama” adalah
peraturan yang dibuat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu Republik Indonesia
paling sedikit memuat ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penanganan laporan atau keberatan,
pola hubungan, dan tata kerja, dan penempatan personil.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 38 Pasal 153
Cukup jelas.
Angka 39 Pasal 154
Cukup jelas.
Angka 40 Pasal 156
Cukup jelas.
Angka 41 Pasal 157
Cukup jelas.
Angka 42 Pasal 158
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 160A Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 162 Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 163 Ayat (1)
Pelaksanaan serah terima jabatan Gubernur
dilakukan di ibu kota Provinsi. Ayat (2) . . .
- 15 -
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 46 Pasal 164
Ayat (1)
Pelaksanaan serah terima jabatan Bupati/Walikota dilakukan di ibu kota Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 47 Pasal 164A
Cukup jelas. Pasal 164B
Cukup jelas.
Angka 48 Pasal 165
Cukup jelas.
Angka 49 . . .
- 16 -
Angka 49 Pasal 166
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 173 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berhenti” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah.
Ayat (2) Usulan yang disampaikan DPRD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri merupakan calon Gubernur
yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Usulan yang disampaikan DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur merupakan calon Bupati/Walikota yang diumumkan dalam rapat
paripurna DPRD Kabupaten/Kota. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 174 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Partai Politik atau gabungan
Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) pasangan calon” adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ayat (3) . . .
- 17 -
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 176 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gabungan Partai Politik
pengusung mengusulkan 2 (dua) orang” adalah calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang diusulkan gabungan Partai Politik berjumlah 2
(dua) orang calon. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 177A Cukup jelas.
Pasal 177B
Cukup jelas.
Angka 54 Pasal 178A
Cukup jelas.
Pasal 178B
Cukup jelas.
Pasal 178C . . .
- 18 -
Pasal 178C Cukup jelas.
Pasal 178D
Cukup jelas.
Pasal 178E
Cukup jelas.
Pasal 178F
Cukup jelas.
Pasal 178G
Cukup jelas.
Pasal 178H Cukup jelas.
Angka 55 Pasal 180
Cukup jelas.
Angka 56 Pasal 182A
Cukup jelas.
Pasal 182B
Cukup jelas.
Angka 57 Pasal 185A
Cukup jelas.
Pasal 185B
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 186A Cukup jelas.
Angka 59 Pasal 187A
Cukup jelas.
Pasal 187B . . .
- 19 -
Pasal 187B Cukup jelas.
Pasal 187C
Cukup jelas.
Pasal 187D
Cukup jelas.
Angka 60
Pasal 190A Cukup jelas.
Angka 61
Pasal 193 Cukup jelas.
Angka 62
Pasal 193A Cukup jelas.
Pasal 193B
Cukup jelas.
Angka 63 Pasal 196
Dihapus.
Angka 64 Pasal 198A
Cukup jelas.
Angka 65 Pasal 200A
Cukup jelas.
Angka 66 Pasal 201
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 20 -
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9) Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda.
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas. Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 67 Pasal 205B
Cukup jelas.
Pasal 205C
Cukup jelas.
Pasal II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5898
���
Menimbang :
23
Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat, setelah :
1. bahwa pengertian risywah dan status hukum-nya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat;
2. bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum ma-salah dimaksud.
1. Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat tentang masalah pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat yang dikaitkan dengan penegakan pemerintahan/ manajemen yang bersih dan sehat;
2. Pendapat dan saran-saran peserta sidang/Munas.
Memperhatikan :
RISYWAH (SUAP), GHULUL (KORUPSI) DAN
HADIAH KEPADA PEJABAT
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
Mengingat : 1. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Ba-qarah [2]: 188).
“Hai orang yang beriman! Janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan ja-lan yang batil...” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).
“… Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu...” (QS. Ali ‘Imran [3]: 161).
2. Hadis-hadis Nabi dan atsar menegaskan, antara lain:
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
���
الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا
:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها
:النساء(
نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:
أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر
اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب
لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه
هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي
ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء
تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا
كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان
)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم
دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى
يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام
ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا
يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال
إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله
أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى
قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن
هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو
BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام
ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا
يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال
إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله
أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى
قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن
هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
���
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
3. Kaidah Fiqhiyah :
“Sesuatu yang haram mengambilanya haram pula memberikannya.”
نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(
نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع
)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله
ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف
ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن
مراحمذهأخمرحهطاؤإع
احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG RISYWAH (SUAP) GHULUL
(KORUPSI) DAN HADIAH KEPADA PEJABAT
Pertama : Pengertian
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. ( الرشةومايقحقالبلاطأويبلطالحق ). Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari’at Islam.
BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA
HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
���
Kedua : Hukum
1. Memberikan risywah dan menerimanya hu-kumnya adalah haram.
2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pem-beri memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Ketiga : Seruan
Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal tersebut.
Keempat : Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan : Jakarta, 27 Rabi’ul Akhir 1421 H29 Juli 2000 M