PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI ...

189
PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA DEPOK JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA Skripsi Diajuakan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh IMAS MAESAROH 1112045100010 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438H/2017M

Transcript of PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI ...

PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA

DEPOK JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

Skripsi

Diajuakan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (SH)

Oleh

IMAS MAESAROH

1112045100010

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438H/2017M

iv

ABSTRAK Imas Maesaroh. NIM 1112045100010. PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA DEPOK, JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA. Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1438/2017 M.

Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia terhadap fenomenal sosial yang terjadi yaitu tentang politik uang pada pemilihan kepala daerah, bagaimana modus operandi yang dilakukan, apakah tindakan politik uang termasuk kedalam tindak pidana dan sanksi apa yang akan diberikan kepada pelaku politik uang .

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti pengumpulan

data dilakukan dengan metode kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang, buku-buku, majalah, artikel, website. Wawancara kepada Panwaslu Kota Depok yaitu Bapak Andriansyah.

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa hukum Islam maupun hukum positif

Indonesia menganggap praktek politik uang merupakan tindakan yang salah, hanya saja dalam hukum positif Indonesia pada pemilihan kepala daerah tahun 2015 di kota Depok tidak dapat dipidana karna tidak ada undang-undang yang mengatur secara jelas sanksi yang akan dijatuhi bagi pelaku praktek politik uang, namun pada tahun 2016 undang-undang nomor 8 tahun 2015 diamandemen menjadi undang-undang nomor 10 tahun 2016 yang didalamnya mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku praktek politik uang dan bahwa Bawaslu yang berwenang menangani dan menyelesaikan kasus praktek politik uang. Sedangkan dalam hukum Islam praktek politik uang disamakan hukumnya dengan suap menyuap (risywah). Dalam hukum Islam risywah termasuk kedalam jarimah tajir.

Kata Kunci : Politik Uang Persepektif Hukum Isalam dan Hukum

Positif Indonesia Pembimbing : 1. Amrizal Siagian, S. Hum, M.Si.

: 2. Afwan Faizin, MA

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat meneylesaikan

skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa tersirah untuk Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan sahabatnya. Aamiin

Skripsi yang berjudul “Praktek Politik Uang Calon Kepala Daerah di Kota

Depok, Jawa Barat Dalam Persepektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Postif

Indonesia” ini merupakan salah satu komponen penting dalam persyaratan untuk

memperoleh gelar sarjana (S-1) pada bidang Hukum Pidana Islam. Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan ini banyak sekali pihak yang terlibat yang membantu

penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dengan rasa syukur serta

hormat penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah

memberikan bantuan, bimbingan, dan pengarahan serta dukungan moril dan

materl. Oleh karna itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA. Ketua Program Studi Hukum Pidana

Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Nur Rohim, LLM. Sekertaris Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan Selaku Dosen Penasihat Akademik atas

nasihat dan arahannya.

6. Bapak Amrizal Siagian, S. Hum, M.Si. dan Bapak Afwan Faizin. MA Selaku

pembimbing yang secara bijaksana dan kooperatif telah memebrikan

bimbingan, ilmu, pengarahan, motivasi, dan semangat sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan ilmunya khususnya kepada penulis.

8. Kiyai H. Syukron Mamun selaku pimpinan Pon-Pes Darul-Rahman yang

telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama ini.

9. Kedua orangtua yang terus memberikan motivasi dan semangat untuk

menyelesaikan skripsi ini. Kalian merupakan motivasi dan semangat terbesar

dalam hidup penulis karna tanpa kalian penulis tidak akan menjadi apa-apa.

Kalian mengajarkan banyak hal dan selalu menyayangi dan mendukung

penulis hingga sampai hari ini.

10. Rini Komalasari adik yang selalu memberikan semangat dan bantuan dalam

penyelesaian skripsi ini.

11. Aprilian Cena yang selama ini selalu membantu dan memberikan semangat

dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Terimakasih untuk Siti Nurbadriyah, Mien Khusniniyah, Nur Ainun, Elza

Dwi Yulia, dan Siti Siswati selama ini telah menjadi sahabat yang selalu

menemani dan menyemangati penulis dalam suka dan duka.

13. Terimakash untuk sahabat Muzanni, Nova Sandi, Brinna Listiyani, dan

Syamazka Zakirni, yang selama ini telah berjuang bersama dalam sebuah

ikatan persahabatan dalam sebuah semangat pergerakan dan juga telah

memberi semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini

14. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII KOMFAKSYAHUM yang banyak

mengajarkan penulis tentang bagaimana memenejemen waktu, belajar dalam

berorganisasi, dan ilmu-ilmu yang tidak akan didapat dibangku kuliah

15. Terimakasih untuk sahabati KOPRI PMII PC Ciputat yang telah memberi

motivasi dan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

16. Terimakasi kepada ikatan keluarga Darul Rahman (IKDAR) yang selalu

membantu penulis.

17. Terimakasih juga kepada teman-teman prodi Siyasah Jinayah Syariah (SJS)

2012 yang sudah menemani penulis dalam berjuang selama 4 (empat) tahun

lamanya.

18. Terimakasih untuk keluarga besar My Permata Wisata.

19. Terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dan berjasa dalam proses

pembuatan skripsi ini yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu

namun tidak mengurangi sedikitpun rasa terimakasih dari penulis.

Jakarta 21 April 2017

(Imas Maesaroh)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................iii

ABSTRAK ................................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUA

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 10

D. Riview Studi Terdahulu ......................................................................................... 11

E. Metode Penelitian ................................................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan Skrpsi .................................................................................. 16

BAB II TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM

A. Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia ............................................. 18

B. Tindak Pidana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia ........................ 22

C. Bentuk Tindak Pidana Pilkada ............................................................................... 27

D. Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Hukum Islam .. 31

BAB III PRAKTEK POLITIK UANG DI PILKADA DEPOK

A. Pilkada di Kota Depok ........................................................................................... 43

B. Politik Uang pada Pilkada Depok .......................................................................... 46

C. Modus Operandi Politik Uang ................................................................................ 48

D. Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang ................................................................ 51

BAB IV PRAKTEK POLITIK UANG PADA PILKADA KOTA DEPOK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya ........................... 55

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Depok Tahun 2015 ...... 58

C. Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di Pilkada Depok Tahun 2015 ............................................................................................................. 65

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ............................................................................................................. 70

B.Kritik dan Saran ...................................................................................................... 71

PEDOMAN TRANSLITERASI

Bawaslu : Badan Pengawas Pemilu

CSIS : Center for Strategic and International Studies

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

GOLKAR : Golongan Karya

ICW : Indonesian Corruption Watch

JPPR ; Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat

KPU : Komisis Pemilihan Umum

KPUD : Komisis Pemilihan Umum Daerah

KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara

KUHP : Kitab Undnag- Undang Hukum Pidana

MPR : Majlis Permusyawaratn Rakyat

MK : Mahkamah Agung

MUI : Majlis Ulama Indonesia

NU : Nahdlatul Ulama

Pemilu : Pemilihan Umum

Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilu

PARPOL : Partai Politik

PERMUSI : Partai Muslim Indonesia

PNI : Partai Nasional Indonesia

PPK : Panitia Pemilihan Kecamatan

PPS : Panitia Pemungutan Suara

PILKADA : Pemlihan Kepala Daerah

PAN : Partai Amanat Nasional

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

PKB : Parta Kebangkitan Bnagsa

PBB : Partai Bulan Bintang

PBR : Partai Bintang Reformasi

PKPI : Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PUSKAPOL : Pusat Kajian Politik

TI : Transparancy International Indonesia

UU : Undnag Undang

UUD : Uangang- Undang Dasar

UI : Universitas Indonesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan suatu proses penyaringan bagi seorang

pemimpin yang akan mewakili suara rakyat di lembaga perwakilan. Biasanya

mereka yang terpilih diusung dari partai politik (parpol). Pemilu pertama di

Indonesia terjadi pada tahun 1955, namun pada tanggal 17 Agustus 1945

pemerintah sudah menyatakan keinginan untuk menyelenggarakan pemilu

pada awal tahun 1946. Tidak terlaksana pemilu pertama pada Januari 1946

dikarenakan belum siapnya Undang-Undang pemilu dan masih tidak stabilnya

keamanan negara pasca konflik.1

Keinginan pemerintah untuk mengadakan pemilu dibuktikan dengan

terbentuknya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilu, yang

nantinya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1949 tentang

pemilu. Di dalam UU No. 12 Tahun 1949, diamanatkan bahwa pemilu yang

akan dilakukan adalah secara tidak langsung..2

Pemilihan umum di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih

anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada Tahun 2002,

1 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 1999), hal. 8.

2 Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan PEMILU Di Indonesia, (Jakarta Utara : PY Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 48.

2

pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dilakukan oleh MPR, kini

dilakukan langsung oleh rakyat.3

Sepanjang sejarah Indonesia telah melakukan 11 kali pemilu anggota

yaitu pada Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004,

2009, dan 2014.4 Pemilu pertama di Indonesia, terjadi pada tahun 1955.

Pemilu kedua di adakan pada tahun 1971 ketika Soharto diangkat oleh MPRS

menjadi presiden setelah 4 tahun masa jabatannya. Dimana Pemilu 1971

diharuskan para pejabat negara bersifat netral maksudnya tidak bisa ikut serta

dalam pemilihan tersebut. Nyatanya banyak berbagai pejabat berpihak kepada

partai tertentu, yakni Golkar.5

Kemudian pemilihan tersebut menghasilkan empat partai besar sebagai

pemenang, meliputi Golkar, NU, Permusi, dan PNI. Pada tahun 1971,

pelaksanan pemilu yang priodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu yang

ketiga dilaksanakan pada Tahun 1977 dan setelah itu mulai terjadwal 5 tahun

sekali.6

Sistem pemilu dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah

mengalami begitu banyak perubahan. Pada masa berlakunya sistem

perlementer, kombinasi yang digunakan adalah sistem pemilu proportional

3 Muchamad Ali Safaat, “Sejarah Pemilu Di Indonesia”, Artikel ini diakses pada 2 November 2016 dari safaat.lecture.ub.ac.id 4 Muchamad Ali Safaat, “Sejarah Pemilu Di Indonesia”, Artikel ini diakses pada 2 November 2016 dari safaat.lecture.ub.ac.id 5KPU, “Pemilu 1971”, Artikel ini diakses pada 24 Desember 2016 dari ditpolkom.bappenas.go.id 6KPU, “Pemilu 1971”, Artikel ini diakses pada 24 Desember 2016 dari ditpolkom.bappenas.go.id

3

representation dan sistem multipartai. Pada masa ini, tidak hanya partai yang

diberikan kesempatan menjadi kontestan pemilu tetapi perorangan juga diberi

kesempatan mencalonkan diri. Pemilu pada masa ini dianggap sebagai pemilu

paling demokratis.7

Orde Baru dengan sistem pemerintahan presidensialisme, menerapkan

sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup kombinasi dengan sistem

multipartai. Modifikasi sistem pemilihan yang digunakan melalui

pengangkatan utusan golongan/daerah.

Sistem pemilu yang dianut pada masa reformasi adalah sistem

proporsional (perwakilan berimbang) dengan daftar calon terbuka untuk

memilih DPR dan DPRD, sedangkan untuk memilih DPD menggunakan

sistem distrik berwakil banyak.

Berbeda dengan pemilihan umum dalam pemilihan kepala daerah,

Indonesia sudah mengeluarkan cukup banyak peraturan yang mengatur

tentang pemilihan kepala daerah. Setiap ditetapkannya peraturan baru tentu

akan memberi warna baru dalam penyelenggaraan pilkada. Dari beberapa kali

perubahan peraturan perundang-undangan yang terjadi, maka pemilihan

kepala daerah dapat dikelompokan pada tiga periodisasi waktu dan cara

pemilihannya.

Pertama, merupakan periode penunjukan, yaitu periode penunjukan

gubernur oleh presiden atas pengusulan beberapa calon oleh DPRD provinsi,

7 Rumidan Rabi’ah, Lebih Dekat Dengan PEMILU Di Indonesia, hal. 55.

4

sedangkan bupati ditunjuk oleh mentri dalam negeri melalui pengusulan

DPRD Kabupaten/kota. Dasar hukum peraturan tersebut adalah UU No.1

Tahun 1945, UU No.22 Tahun 1948, UU No.1 Tahun 1957, UU No.18 Tahun

1965 dan UU No.5 Tahun 1974.8

Kedua, periode pemilihan perwakilan, yaitu periode pemilihan Gubernur,

Bupati, Walikota melalui pemilihan di DPRD provinsi kabupaten atau kota.

Dasar hukum dalam menggunakan sistem hukum pemilihan kepala daerah ini

adalah UU No.22 Tahun 1999.9

Ketiga, periode pemilihan langsung, yaitu pemilihan Gubernur, Bupati,

Walikota secara langsung dipilih oleh rakyat. Dasar hukumnya adalah UU

No.32 Tahun 2004, UU No.1 Tahun 2015, dan UU No.8 Tahun 2015.10

Meskipun undang-undang pilkada langsung diteteapkan pada tahun 2004,

tetapi pemilihan kepala daerah secara langsung baru dapat dilaksanakan pada

tahun 2005. Daerah Kuta Kartanegara, Kalimantan Selatan merupakan daerah

pertama yang menyelenggarakan pilkada langsung di Indonesia dan menandai

era baru dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Era dimana kepala

daerah dipilih secara langsung.11

Pemilihan umum khususnya pilkada di dalamnya bisa dikatakan sebagai

implementasi nilai-nilai demokrasi. Esensi demokrasi itu sendiri merupakan

8 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn,(Jakarta:

Penerbit Bestari,2015), hal. 28. 9 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 29. 10 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 29. 11 Rahmat Hollyson MZ dan Sri Sundari, PILKADA Penuh Euforia Miskin Makn, hal. 32.

5

peran utama rakyat dalam proses politik. Pemerintahan demokrasi adalah

pemerintahan yang mengandung tiga pemahaman, yaitu dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat.12

Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia ini menyatakan dirinya

sebagai negara demokrasi, begitu pun dengan Indonesia. Setelah kemerdekaan

yang diakui secara hukum internasional, kini Indonesia menghadapi prospek

menentukan masa depannya sendiri. Dalam sebuah potret negeri yang masih

menunjukan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi

otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan pemimpin negeri.

Terlepas dari negara Indonesia yang menganut demokrasi, menjelang

pilkada biasanya kita dapat melihat berbagai macam cara yang dilakukan oleh

pasangan calon ketua dan wakil ketua kepala daerah yang berlomba-lomba

memperkenalkan diri mereka. Ada yang berkampanye melalui media online,

media cetak, media elektronik, dan ada pula yang menyambangi dari desa

kedesa. Spanduk dan baliho menjadi menu wajib yang harus dipasang disetiap

jalan-jalan protokol. Tidak lupa setiap pasangan calon menghadirkan artis-

artis ibu kota demi menambah kemeriahan kampanye. Semua ini terjadi

hampir disemua daerah yang menyelenggarakn pilkada.

Kemeriahan Pilkada tidak serta merta berjalan dengan lancar, dalam

peneyelenggaraannya sering kali terjadi kecurangan-kecurangan yang

dilakukan oleh simpatisan, tim sukses ataupun calon itu sendiri. Sebut saja

12 David Betham, Demokrasi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000) , hal 32.

6

misalnya praktik politik uang. Kecurangan dalam bentuk politik uang sering

kali terjadi dalam penyimpangan setiap penyelenggaraan pemilihan kepala

daerah secara langsung.

Praktik politik uang yang terjadi setiap kali pilkada sudah menjadi

rutinitas tahunan bahkan dimasyarakat hal itu selalu dinanti-nantikan. Mereka

tidak menyadari bahwa praktik politik uang merupakan sebuah pelanggaran

dan bisa saja termasuk kedalam tindak pidana. Hal ini dikarenakan tidak

tegasnya pemerintah dalam menyelesaikan kasus tindak pidana politik uang,

sehingga tiap tahunnya tindak pidana politik uang kerap terjadi.13

Praktek politik uang seolah-olah sudah mendarah daging di setiap

pemilihan umum baik skala nasional maupun daerah. Anggapan kuat bahwa

untuk memenangi kontestasi di Pilkada harus satu-satunya cara hanyalah

politik uang. Begitulah yang ada dipikiran setiap calon kandidat kepala daerah

dalam Pilkada.14

Tidak aneh jika sebagain besar calon kandidat Pilkada sering terkena

kasus korupsi atau penggelapangan uang pasca terpilihnya sebagai kepala

daerah. Menghalalkan berbagai cara merupakan dasar bagi mereka yang

berani mengorbankan dirinya untuk terlibat. Tentunya ini secara langsung

berdampak pada kepala daerah yang terpilih bukan representasi masyarakat

melainkan dari serangkain politik uang selama Pilkada.

13 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang Di Indonesia, (Yogyakarta: PolGov, 2015), hal. 123. 14 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang Di Indonesia, hal. 64.

7

Begitupun dengan proses pilkada di seluruh wilayah Indonesia,

khususnya Kota Depok, Jawa Barat. Pilkada Kota Depok, Jawa Barat

dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Dimana pilkada di daerah tersebut tidak

lepas dari politik uang sama seperti daerah lainnya. Kota Depok sesuai

keterangan dari Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz menegaskan

salah satu kandidat calon kepala daerah Kota Depok diduga melakukan politik

uang. Pelaku merupakan pasangan Dimas-Babai yang menjanjikan uang 15-20

juta untuk satu RT/RW jika mencoblos mereka.15

Berdasarkan realitas tersebut mengindikasikan bahwa praktek politik

uang dilakukan secara terang-terangan. Peraturan Pilkada disamping undang-

undang yang menjadi pondasi peraturan dalam kontestasi kepala daerah ini

terkadang luput dari masalah ini. Tidak dapat dipungkiri politik uang pasti

terjadi tiap ajang kontestasi ini dilaksanakan.

Pilkada dilakukan serentak yang bersifat langsung dari masyarakat.

Maksudnya masyarakat Indonesia memilih langsung kepala daerah yang

nantinya akan memimpin daerahnya. Dalam tataran teknis pilkada dilakukan

oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sedangkan para peserta

pemilu termasuk KPUD diawasi oleh lembaga daerah sendiri, yakni Panitia

Pengawas Pemilu (Panwaslu).16

15 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 16 Luthfi J. Kurniawan, Perihal Pemilu dan Pemilukada, (Malang: Malang Corruption Watch, 2013), hal. 40.

8

Pada dasarnya pilkada itu sendiri memiliki tujuan yang luhur. Meskipun

kenyataan yang ada pilkada sering dikotori dengan berbagai kegiatan politik

uang. Pilkada dilakukan di berbagai daerah yang salah satunya bertujuan

sirkulasi elit politik sesuai dengan amanat UU 32 tahun 2004 berkaitan dengan

otnomi daerah. Disamping itu pilkada dilihat sebagai upaya “memperjelas”

mandat kekuasaan dari rakyat. Nantinya berdampak pada pengelolaan

kekuasaan di daerah yang lebih stabil dalam tingkatan kepala daerah dan

DPRD.17

Perkembangan yang ada praktek politik uang selama pilkada mengalami

perubahan juga. Maksudnya praktek politik uang bukan hanya berbicara

mengenai uang secara langsung tetapi pembagian sembako, pemberian hadiah,

dan sejenisnya dapat disebut sebagai politik uang.18

Melihat realitas pilkada yang ada terkait praktik politik uang di

Indonesia, khususnya pilkada di kota Depok merupakan suatu urgensitas

terhadap ketidak tegasan pemerintah dalam memberikan sanksi. Sehingga

penulis merasa perlu adanya kajian tentang politik uang, bagaimana

pemerintah memandang tindak pidana politik uang, sanksi apa yang diberikan

oleh pemerintah terkait hal tersebut.

Selain itu juga berkeinginan melihat posisi hukum Indonesia dalam

memandang politik uang Kota Depok, Jawa Barat. Lantas bagaimana 17 Luthfi J. Kurniawan, Perihal Pemilu dan Pemilukada, (Malang: Malang Corruption Watch, 2013), hal. 8. 18 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009.

9

pandangan islam terkait kasus tindak pidana politik uang, yang diberi judul

“PRAKTEK POLITIK UANG CALON KEPALA DAERAH DI KOTA DEPOK,

JAWA BARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN

HUKUM POSITIF INDONESIA.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan tindak pidana pemilu dalam ranah hukum memiliki

cakupan yang sangat luas, oleh karenanya pembatasan dalam mengkaji

tindak pidana pemilu sangatlah penting. Berdasarkan hal itu penulis

membatasi permasalahan yang akan dibahas dibatasi pada pengkajian

mengenai tinjauan hukum islam dan hukum pidana positif terkait praktik

politik uang di Kota Depok Jawa Barat tahun 2015. Hal ini dikarnakan

praktek politik uang dikota depok memiliki modus operandi yang berbeda

dari daerah lainnya.

2. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Bagaimana modus operandi praktek politik uang di Kota Depok,

Jawa Barat tahun 2015?

b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek politik uang

tahun 2015?

10

c. Bagaimana pandangan hukum Indonesia terhadap praktek politik

uang tahun 2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui modus operandi praktek politik uang pada

pilkada di Depok, Jawa Barat tahun 2015

b. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap praktek

politik uang tahun 2015

c. Untuk menjelaskan pandangan hukum positif Indonesia terhadap

praktek politik uang tahun 2015

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa manfaat, yakni :

a. Manfaat teoritis adalah penelitian ini akan menjadi data penelitian

selanjutnya terkait praktek politik uang dalam perspektif hukum

pidana Islam dan hukum positif Indonesia.

b. Manfaat praktis adalah penelitian dapat berkontribusi sebagai

bahan referensi atau bacaan untuk menambah wawasan.

11

D. Review Studi Terdahulu

Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa

skripsi terdahulu yang berhubungan dengan tindak pidana pemilu, dan politik

uang.

1) Skripsi karya Hanifan Prasna Verdi, Fakultas hukum Universitas

Jendral Soedirman Purworejo, tahun 2009 yang berjudul “Tindak

Pidana Pemilihan Umum (Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Sanksi

Tindak Pidana Pemilu dalam Undang-undang Pemilu Legislatif).

Skripsi ini membahasa lebih kepada tindak pidana pemilu secara

umum dan menitik beratkan kepada sanki-sanksi bagi pelakunya.

2) Buku karya Topo Santos, S.H., M.H yang berjudul “Tindal Pidana

Pemilu”. Buku ini berisi tentang definisi tindap pidana pemilu dan

kasus-kasus tindak pidana pemilu dari tahun ke tahun.

3) Jurnal karya Fitriyah yang berjudul “Fenomena Politik Uang dalam

Pilkada”. Jurnal ini berisi tentang analisa terhadap fenomena politik

uang yang terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu penelitian ini tentunya berbeda dengan sebelumnya

atau yang pernah dilakukan. Penelitian ini akan membahas tentang praktek

uang secara khusus di daerah-daerah. Landasan yang digunakan meliputi

peraturan Pilkada, KUHP (undang-undang), dan aspek keislaman bermain

dalam penelitian ini. Disamping itu praktek tersebut bukan hanya dikaji

dengan hukum positif Indonesia melainkan dari sudut pandang hukum

pidana Islam juga.

12

E. Metode Penelitian

Metode penelitian bermakna suatu tipe pemikiran yang dipergunakan

dalam sebuah penelitian.19 Maka dalam merumuskan skripsi ini penulis

menggunakan metode penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang

menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dan

lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-

hari.20Secara definisi pendekatan kualitatif merupakan suatu data yang

bersifat tulisan (deskriptif) terhadap suatu fenomena yang sedang

diamati.21

Selain itu, pendekatan ini menitikberatkan fokusnya pada aspek

pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat

permasalahan secara umum. Pendekatan ini cenderung menggunakan

analisis mendalam yang disebut dengan in depth analysis yaitu mengkaji

masalah secara perkasus.22

2. Jenis Penelitian

Jenis peneilitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris yaitu

penggabungan anatara pendekatan hukum normatif dengan adanya

penambahan dari berbagai unsur-unsur empiris.dalam penelitian ini akan

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia.

1986), hal. 5. 20Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hal. 11

21 Lexy J. Meleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54. 22 Lexy J. Meleong, “Metode Penelitian Kualitatif”, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54.

13

membahas terkait implementasi hukum normatif dalam aksinya disetiap

peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.23 penelitian hukum yang

menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang

berlaku, baik berupa KUHP, peraturan perundang-undangan, jurispudensi

dan studi empiris dengan melakukan wawancara24 untuk melengkapi data.

3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menguympulkan data,

menjelaskan, dan menguraikan data yang diperoleh berkaitan dengan

pokok bahasan kemudian dianalisis.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik

normatif-empiris, yaitu dengan mendapatkan sumber data yang berasal

dari wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi. Wawancara merupakan

pertemuan dua orang bertujuan mendapatkan informasi melalui tanya

jawab.25

Teknik lainnya, yakni dokumentasi adalah suatu catatan peristiwa yang

bersifat lampau. Dimana dokumen berbentuk tulisan, gambar, atau bentuk

karya lainnya. Sedangkan studi pustaka cenderung mengumpulkan data

23Parta Setiawan, “Macam-Macam Metode Penelitian.” Artikel ini di akses pada 21 April 2017 dari http://www.gurupendidikan.com/macam-macam-penelitian-hukum/

24 Wawancara merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seseorang yang disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis dan terorganisasi. (Lihat Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung : PT Refika Aditama, Cet. Ketiga, 2012), hal. 312. 25Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), Hal. 15

14

melalui berbagai buku, jurnal, artikel, dan sejenis lainnya baik melalui

media cetak maupun elektronik.26

5. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan secara langsung.

Maksudnya peneliti secara langsung mengambil data tersebut. Beberapa

metode pengambilan data ini meliputi wawancara, angket (kuesioner), dan

observasi.27 Namun penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk

memperoleh data.

Adapun pihak yang dijadikan narasumber adalah pihak yang terlibat

aktif maupun pasif dalam proses Pilkada. Tentunya narasumber yang

paham mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang

Pemilihan Kepala Daerah. KPU dan Panwaslu di tingkat daerah khususnya

kota Tanggerang Selatan akan dijadikan narasumber dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari

lapangan. Metode pengambilan data ini yakni studi pustaka. Dimana

2626 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), Hal. 16. 27 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosda, 2006), hal. 54.

15

sumbernya berasal dari berbagai media cetak dan elektronik misalkan

jurnal, skripsi, berita, buku, dan lainnya yang berasal dari internet.28

Penelitian ini untuk mencari data yang digunakan dalam menganalisis

masalah mengutamakan bahanya yang berbentuk buku dan jurnal. Dimana

sumber tersebut diperoleh melalui internet serta beberapa perpustakaan di

sekitar Jakarta.

c. Bahan Hukum

Adapaun bahan hukum yang sering digunakan dalam penelitian hukum

terbagi menjadi tiga bagian : pertama, bahan hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-

undangan. Kedua, bahan hukum sekunder biasanya berupa pendapat

hukum / doktrin/ teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil

penelitian, artiikel ilmiah maupun website yang terkait dengan penelitian.

Ketiga, bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Biasanya diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa inggris

atau bahasa indonesia.29

6. Teknik Analisis Data

28 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) hal. 42.

29 Ahmad Anugrahni, “Data Sekunder dalam Penelitian Hukum Normatif,”artikel ini diakses pada 21 April 2017 dari https:www.google.co.id/amp/s/ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam-penelitian-hukum-normatif/amp/

16

Analisis data yang digunakan terlebih dahulu penulis mengumpulkan

data-data yang diperlukan. Berbagai data diperoleh dari dokumentasi, studi

pustaka, dan wawancara. Pertama mendiskripsikan, memisahkan, dan

menganalisis data tersebut melalui dokumentasi dan studi pustaka. Kedua

mewawancarai nara sumber, yakni Ketua Panwaslu Kota Depok mengenai

pemabahasan ini.

Kemudian mendeskripsikan definisi tindak pidana pemilu dan macam-

macamnya.

Dari hasil penelitian terkait tindak pidana pemilu kemudian

dipersempit kepada tindak pidana politik uang menurut hukum pidana

islam dan hukum pidana positif indonesia. Kemudian penulis menganalisa

kedudukan hukumnya yang disandingkan dengan Undang- Undang Nomor

8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan berguna untuk membantu dalam mengartikan isi

dari penulisan skripsi tersebut. Di mna dalam sistematika penulisan tersebut

terdiri dari empat bab, yaitu:

BAB I, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan

dan Manfaat Penilitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

17

BAB II, Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia, Tindak Pidana

dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia, Bentuk Tindak Pidana

Pilkada, Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan

Hukum Islam.

BAB III, Pilkada di Kota Depok, Politik Uang pada Pilkada Depok, Modus

Operandi Politik Uang, Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang.

BAB IV Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya,

Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Kota Depok Jawa

Barat tahun 2015, Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di

Pilkada Kota Depok Jawa Barat tahun 2015,

BAB V merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahsan dan penulisan

skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

18

BAB II

TINDAK PIDANA POLITIK UANG DALAM UNDANG-UNDANG DAN

HUKUM ISLAM

A. Gambaran Umum Pelaksanaan Pilkada di Indonesia

Pemilihan kepala daerah atau pilkada merupakan proses penyeleksian

rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri menjadi pemimpin di

daerahnya. Ruang lingkup pilkada meliputi pemilihan terhadap Gubernur, Bupati,

dan Walikota. Dalam aspek politik pilkada sebanding dengan pemilihan legislatif

atau DPRD. Dipertegas dengan Pasal 56 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah sebagai landasan pelaksanaan pilkada.1

Pilkada dilaksanakan secara langsung yang dipilih oleh masyarakat

Indonesia. Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan

berdasarkan asas demokratis bersifat jujur, bebas, rahasia, dan adil. Para kandidat

calon kepala daerah diajukan melalui partai tertentu atau koalisi dari beberapa

partai atau nonpartai dengan persyaratan tertentu.

Landasan pelaksanaan pilkada di Indonesia terkandung dalam Pasal 1

Ayat 2 UUD 1945 menjelaskan adanya kedaulatan dilakukan dan berada ditangan

rakyat. Ini menegaskan bahwa kedaulatan tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya

oleh MPR. Senada dengan itu sesuai ketentuan peralihan dalam UU Nomor 32

Tahun 2004 mengenai pelimpahan wewenang kepada daerah yang dikenal dengan

1 Handi Andhani, Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada, (Fakultas Hukum UI, 2009), hal 19.

19

otonomi daerah. Pilkada langsung dimulai pada 2005 yang nantinya berlanjut lima

tahun setelahnya, yakni 2010 dan 2015. Pilkada dilakukan serentak di seluruh

daerah di Indonesia.2

Teknis pelaksanaan pilkada di setiap daerah akan dipimpin oleh Komisi

Pemilihan Umum Daerah (KPUD) serta prosesnya diawasi langsung oleh Panitia

Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dimana KPUD dalam menjalankan tugasnya

bertanggung jawab kepada DPRD di masing-masing daerah. Pilkada

dilaksanakan melalui dua tahapan, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.

Tahap persiapan meliputi:

1) Pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai

berakhirnya masa jabatan.

2) Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa

jabatan Kepala Daerah.

3) Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan

jadwal tahapan pelaksanaan pilkada.

4) Pembentukan panitia pengawas, meliputi PPK, PPS, dan KPPS.

5) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Sedangkan tahap pelaksanaan, terdiri dari:

1) Penetapan daftar pemilu

2) Pendaftaran dan penetapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah

2 Handi Andhani, Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada, Fakultas HUKUM UI, 2009, Hal 25.

20

3) Kampanye

4) Pemungutan suara

5) Penghitungan suara

6) Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

Adapun tujuan dari pelaksanaan pilkada itu sendiri sebagai bentuk

peningkatan partisipasi demokrasi. Disamping itu memperkuat legitimasi

demokrasi dimana pilkada dilakukan di tingkat lokal. Beberapa indikator

keberhasilan pilkada bisa dilihat dari aspek kematangan partai politik, aktor

politik, budaya politik di masyarakat, dan kesiapan segala administrasi dalam

penyelenggaraan pilkada.3

Catatan akhir mengenai pilkada sampai 2009 terdapat 169 kasus yang

dibawa ke meja pengadilan, termasuk masalah politik uang. Dimana sebanyak 7

kasus melibatkan gubernur atau wakil gubernur dan 132 kasus melibatkan bupati

serta walikota. Ditambah adanya kasus yang masih diperdebatkan di beberapa

daerah, yakni Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. 4

Akan tetapi ada juga yang melakukan keberhasilan dalam pelaksanaan

pilkada di daerah. Terjaganya netralitas dan proesionalitas KPUD membantu

proses lancarnya pelaksanaan pilkada. Didukung dengan kedewasaan berpikir

politik di antara para pemilih dan ditopangnya penyelesaian hukum yang bisa

menyelesaikan sengketa pilkada.

3 Eko Prasodjo, “Menghapus Pilkada Langsung”, Artikel ini diakses pada 19 November 2016 dari http://id.buck1.com/politik/hukum/menghapus-pilkada-langsung-566 4 Mimbar Opini, Pilkada Damai Impian Kita Bersama, Pikiran Rakyat, 2008.

21

Berikutnya Pilkada serentak 2015 merupakan suatu masa baru meskipun

masih sama dengan tahun sebelumnya dalam pelaksanaanya. Pesta demokrasi

pada 2015 yang menetapkan pemenang sebanyak 132 daerah dari 265 provinsi/

kabupaten/ kota ternyata bersamaan juga dengan gugatan yang masuk ke

Mahkamah Konstitusi (MK). 5 Ini hanyalah gambaran singkat mengenai

pelaksanaan pilkada 2015 yang tiap tahunnya diwarnai dengan berbagai tuntutan.

Pilkada 2015 serentak dilakukan pada 9 Desember 2015 dan akan

diadakan juga pilkada susulan pada 2017 sebagai ajang melestarikan nilai

demokrasi. Bisa dikatakan lebih baik pelaksanaan pilkada 2015 seperti yang

diucapkan oleh Arya Fernandes, Peneliti Politik Center for Strategic and

International Studies (CSIS) tentunya dengan beberapa alasan.6

Arya menyebutkan adanya persiapan KPU yang semakin matang, figur

kepala daerah dan transparansi dana yang bisa diakses masyarakat, perhitungan

suara terbuka, mengetahui langsung hasil pilkada, dan adanya kesempatan besar

bagi pemantau merupakan beberapa faktor mengapa pilkada 2015 lebih baik

daripada sebelumnya. 7

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pelaksanaan pilkada di Indonesia

mengalami perkembangan tiap tahun pemilihannya. Tidak dipungkiri pilkada

dalam pelaksanaannya mengalami perbaikan namun berbanding lurus dengan

banyaknya gugatan atau tuduhan mengenai masalah selama pilkada. Tetap pada

5 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 4. 6 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 17. 7 KPU, Keadilan Di Sengketa Pilkada, Majalah Suara, 2016, hal. 18.

22

suatu usaha bagi Indonesia sendiri untuk menciptakan pilkada yang adil, bersih,

dan jujur dalam pelaksanaanya.

B. Tindak Pidana Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

Tindak pidana secara definisi merupakan tindakan seseorang atau

kelompok yang memunculkan pidana atau melanggar hukum pidana beserta

ancaman hukumannya.8 Mengacu pada hukum pidana Belanda kata tindak pidana

berasal dari strafbaar feit, bisa juga dengan istilah delict yang berasal dari bahasa

Latin. Sedangkan di beberapa neara Anglo-Saxon hukum pidana lebih dikenal

dengan istilah offense atau criminal act dengan maksud yang sama.9

Senada dengan itu tindak pidana dapat diartikan juga sebagai perbuatan

yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, maksud dari

perbuatan disini selain bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang

oleh hukum) juga bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum).10

Secara bahasa terjadi keragaman dalam istilah tindak pidana meskipun

dari segi definisi sangatlah sama. Istilah offence dan criminal act oleh negara-

negara Eropa Kontinental dikenal dengan strafbaar feit atau delict ketika saat

dimasukan dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya itu keragaman juga terjadi pada

berbagai literatur hukum yang ditulis pakar-pakar hukum. Para ahli ada yang

8 J.B Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2009), Hal. 92. 9 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 85. 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 50.

23

menyebutnya dengan tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana,

perbuatan pidana, dan perbuatan yang dapat dihukum.11

Pada dasarnya secara kata strafbaar feit terdiri dari tiga kata. Kata straf

artinya dengan pidana dan hukum. Baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh.

Kata feit dijelaskan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Sederhananya kata strafbaar feit diartikan tindakan yang boleh dihukum.

Indonesia menggunan KUHP yang bersumber W.V.S Belanda sehingga istilah

aslinya pun terdapat kesamaan, yaitu strafbaar feit.12

Satochid Kartanegara menyebutkan dalam tindak pidana terdapat beberapa

unsur diantaranya unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif merupakan

unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu suatu tindak tanduk, jadi suatu

tindakan, suatu akibat tertentu, dan berupa keadaan yang dilarang atau diancam

oleh undang-undang.13 Unsur ini terdiri dari:

1. Sifat melanggar hukum

2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, maksudnya adanya hubungan antara satu tindakan sebagai

penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.14

Unsur subjektif dalam hukum pidana maksudnya unsur yang melekat pada

diri pelaku atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di

11 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 25. 12 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hal. 65. 13 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hal. 73. 14 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 50.

24

dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur ini

terdiri dari:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan

2. Maksud pada suatu percobaan, sesuai dengan apa yang terkandung dalam

Pasal 53 ayat 1 KUHP

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan

pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4. Merencanakan terlebih dahulu, speerti tercantum dalam Pasal 340 KUHP,

yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.15

Prof. Moelyatno, S.H. menyebutkan unsur perbuatan pidana terdiri dari

kelakukan dan akibat dari perbuatan, hal ikhwal atau keadaan yang menyertai

perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum

yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.16Berbicara mengenai

hukum pidana tentunya tidak lepas dari kepastian hukum atau lex certa yang

merupakan bagian esensial. Dasar itu tertuang pada Pasal 1 ayat 1 KUHP.

Tindak pidana yang terbagi-bagi dalam beberapa klasifikasi. KUHP

sendiri telah membaginya ke dalam dua kelompok besar, yakni Buku Kedua dan

Ketiga yang terdiri dari kelompok kejahatan dan pelanggaran.

Kemudian bagian selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan sasaran yang

dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Beberapa jenis tindak

pidana, meliputi kejahatan dan pelanggaran, delik formil dan delik materiil, delik 15 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), Hal. 51. 16 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), Hal. 53.

25

dolus dan delik culpa, delik commissionis dan delik omissionis, serta delik aduan

dan delik biasa.17

Kejahatan adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa

keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan. Sedangkan pelanggaran adalah

melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang. Delik formil adalah delik

yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu tanpa memikirkan

akibatnya. Delik materil sebaliknya perbuatan itu dianggap selesai jika sudah ada

akibatnya. Delik dolus delik yang mengandung unsur kesengajaan dan delik culpa

delik yang mengandung unsur kealpaan. Delik delik aduan delik yang

penuntutannya hanya dilakukan atas dasar pengaduan dan delik biasa adalah delik

yang penuntutannya tidak perlu adanya aduan.

Pada hukum Islam tindak pidana disebut dengan Jarimah. Jarimah

diartikan sebagai perbutan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam

oleh Allah SWT dengan hukuman hudud dan takjir. Berbeda dengan penjelasan di

atas bahwa di dalam hukum Islam terdapat fiqih jinayah sebagai landasan tindak

pidana. Secara etimologis kata fiqh bermakna paham atau memahami ucapan

secara baik. Terminologi dari kata fiqh, yaitu ilmu mengenai hukum-hukum

syariat yang berasal dari dalil-dalil terperinci. Sedangkan jinayah artinya berbuat

dosa atau memetik dan mengumpulkan. Dimana jinayah didefinisikan berbagai

17 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Depok: Rajawali Pres, 2010), hal. 59-61.

26

tindakan yang dilarang dan mengandung kemudaratan terhadap jiwa atau selain

jiwa.18

Dapat diambil suatu ringkasan mengenai fiqh jinayah merupakan ilmu

tentang berbagai hukum syariat yang disimpulkan dari nash-nash keagamaan.

Dimana tetap bersumber pada Al-Quran dan hadist mengenai kriminalitas, baik

yang berkaitan dengan keamanan jiwa maupun anggota badan dalam aspek

pancajiwa syariat. Pancajiwa syariat meliputi agama, jiwa, akal, kehormatan,

nasab, dan harta kekayaan.19

Berbagai sumber yang digunakan sebagai dalil dalam fiqh jinayah terdapat

empat, yakni Al-Quran, hadist, ijma, dan qiyas yang tidak disepakati oleh para

fuqaha. Objek kajian fiqih jinayah terdapat tiga bagian jika dikaitkan dengan

tindak pidana, yaitu unsur formil (al-rukn al-syar’i), unusr materiil (al-rukn al-

madi), dan unsur moril (al-rukn al-adabi). Adapun keempat objek tersebut

memiliki definisi masing-masing.

Unsur formal atau al-rukn al-syar’i menjelaskan seseorang dapat dikatakan

sebagai pelaku maka harus terdapat undang-undang yang memberikan sanksinya.

Unsur materiil maksudnya seseorang dikatakan sebagai pelaku jika pelaku benar-

benar terbukti melakukan suatu kesalahan atau pidana. Terakhir unsur moril

adalah seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti sebagai pelaku.

18 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 67-68. 19 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 68

27

Dengan catatan pelaku tersebut bukan orang gila, anak di bawah umur, bukan

seseorang dengan kondisi terancam atau keterpaksaan.

Fiqh jinayah terdapat tiga masalah pokok, yakni jarimah qisas, jarimah

hudud, dan jarimah takzir. Jarimah qisas adalah tindak pidana yang diancamkan

hukuman qisas atau diat. Keduanya merupakan hak individu yang kadar

jumlahnya telah ditentukan. Jarimah qisas meliputi penganiayaan dan

pembunuhan. Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman

hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak

Allah SWT.20 Jarimah hudud terdiri dari zina, menuduh zina, minum khamar,

mencuri, merampok, murtad, dan pemberontakan 21 . Adapun jarimah takzir

merupakan berbagai jenis tindak pidana atau kejahatan yang tidak diatur di dalam

Al-Quran dan hadist. 22 Terdapat beberapa tindak pidana dalam kajian fiqh

jinayah, seperti ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil

paksa harta orang lain), hirabah (perampokan), dan lainnya.

C. Bentuk Tindak Pidana Pilkada

Terhitung di Indonesia sudah melakukan beberapa Pemilu mulai dari 1955

sampai 2015. Dalam pemilihan umum terdapat suatu keniscayaan bahwa yang

20 Abdul Qadir Auda, “Ensiklopedia Hukum Pidana Islam,” Muassasah Ar-Risalah. Tim

Tsalisah (Bogor : PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 87 21 Abdul Qadir Auda, “Ensiklopedia Hukum Pidana Islam,” (Bogor, Pt Kharisma Ilmu,

2007), hal 99

22 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Taruna Gracia, 2012), hal. 70.

28

namanya menghalalkan berbagai cara pasti digunakan. Tindak pidana dalam

Pemilu sering terjadi mewarnai pesta demokrasi yang dilakukan oleh kandidat

kepala daerah atau negara.

Perlu disesali sampai saat ini definisi atau batasan-batasan tindak pidana

Pemilu belum menemukan suatu konsensus. Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) memang terdapat lima pasal susbstansinya mengenai

tindak pidana Pemilu tetapi tidak menyebutkan definisinya. 23 Pengelompokkan

tindak pidana secara umum dalam KUHP cenderung berdasarkan kepentingan

hukum apa yang dilanggarnya.

KUHP menyebutkan tindak pidana sudah dikelompokkan, meliputi

Kejahatan terhadap Nyawa dan Tubuh Manusia, Kejahatan terhadap Kesusialaan,

dan seterusnya. 24 Sedangkan tindak pidana yang terkait Pemilu sendiri tidak

dikelompokkan tersendiri sebagai bab Kejahatan terhadap Pelaksanaan Pemilihan

Umum.25

Tidak selesainya tindak pidana pemilu dalam tingkatan definisi

menyebabkan perbedaan rumusan unsur-unsur di dalamnya. Kita bisa melihat

rumusan tindak pidana Pemilu dari pasal-pasal yang terdapat pada KUHP.

Sementara itu bisa juga mengetahui landasan tindak pidana Pemilu dari Undang-

Undang Pemilu itu sendiri. Tetap saja tidak ada definisi baku mengenai tindak

pidana Pemilu.

23 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 1. 24 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 138. 25 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 2.

29

Djoko Prakorso dalam bukunya menyebutkan tindak pidana pemilu

merupakan setiap orang, badan hukum atau organisasi tertentu secara sengaja

melanggar hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya

pemilihan umum yang diselenggarakan menurut undang-undang. 26 Pernyataan

tersebut masih bersifat sangat umum masih belum menyentuh berbagai aspek

dalam Pemilu.

Ada tiga kemungkinan dari definisi dan batasan tertentu dalam tindak

pidana pemilu, yakni pertama segala tindak pidana yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemilu yang sudah diatur di undang-undang. Kedua, semua

tindak pidana berkaitan dengan pemilu yang diatur baik di dalam maupun di luar

undang-undang pemilu, seperti UU Partai Politik di KUHP. Ketiga, semua tindak

pidana pada saat pemilu berlangsung, meliputi penganiayaan, perusakan, dan

sebagainya.27

Berlanjut kepada batasan tindak pidana pemilu yang berdasarkan pada

KUHP. Terdapat lima pasal yang terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP

mengenai tindak pidana meskipun tidak ada bab khusus, yakni bagian Kejahatan

terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan, meliputi Pasal 148, 149,

150, 151, dan 152 KUHP.28

Pasal 148 KUHP membahas adanya kekerasan yang dilakukan sengaja

untuk merintangi seseorang menggunakan hak pilihnya. Pasal 149 KUHP

26 Djoko Prakorso, Tindak Pidana Pemilihan Umum, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal.36. 27 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 4. 28 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 12.

30

mengenai pemberian sesuatu berupa suap untuk memakai hak pilihnya menurut

cara tertentu. Pasal 150 KUHP mengenai tindakan tipu muslihat yang

menyebabkan seorang pemilih tidak berharga. Pasal 152 KUHP tentang tindakan

menggagalkan proses pemungutan suara yang sedang berlangsung.29

Ruang lingkup tindak pidana pemilu itu sendiri bisa dikatakan sangat luas

misal berdasarkan KUHP menyebutkan penyuapan, perbuatan tipu muslihat,

mengaku sebagai orang lain, dan lainnya. Sedangkan peraturan KPU menjabarkan

tindak pidana pemilu, yaitu politik uang, penggelembungan suara, jual beli suara,

dan lainnya terkait teknis pemilihan.

Jadi tindak pidana pemilu tidak selesai dalam tingkatan definisi tetapi

dalam penerapannya berlandaskan konstitusi yang ada. Sesuai dengan penjelasan

di atas bahwa KUHP dan Undang-Undang dijadikan rujukan sebagai batasan

kapan suatu individu atau kelompok dikatakan melakukan tindak pidana pemilu

atau sebaliknya. Tentunya tindak pidana pemilu di sini secara khusus kegiatan

politik uang.

Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa poin mengenai

tindak pidana yang terjadi selama Pilkada berdasarkan undang-undang atau

KUHP. Berdasarkan undang-undang menyebutkan tindak pidana Pilkada

meliputi, penganiayaan dan perusakan selama proses pemilihan berlangsung,

memberi keterangan palsu, menyimpan surat-surat palsu kemudian untuk

digunakan kemudian, menggangu dan menghalangi pemilu, dan memberikan

29 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 13.

31

suara ganda. Sedangkan KUHP menyebutkan pelanggaran-pelanggaran pemilu

meliputi tindakan suap, merintangi orang untuk memilih, dan tipu muslihat

sebagai bagian dari tindak pidana Pilkada.

D. Politik Uang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan

Hukum Islam

Berbicara tentang politik uang baik tindakan dan hukuman sebenarnya

sudah diatur dalam konstitusi Indonesia. Peraturan yang terlibat dalam

permasalahan ini meliputi undang-undang negara dan peraturan pilkada yang

merpakan turunannya. Namun sebagian besar masyarakat Indonesia belum

mengetahui secara mendalam mengenai politik uang itu sendiri.

Politik uang adalah sejumlah uang yang diperuntukkan maksud-maksud

tertentu, misalkan kepentingan bisnis atau kepentingan politik. Ini bisa terjadi

ketika salah satu kandidat kepala daerah membeli dukungan Partai Politik

(Parpol). Bisa juga membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan imbalan

tertentu biasanya bersifat material.30

Sejarah membuktikan bahwa kata politik uang marak dibicarakan pada

pilkada 2005-2008. Terbukti banyak pengurus partai politik serta calon kepala

daerah melakukan jaul beli surat dukungan pencalonan, membeli suara pemilih,

30 Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf

32

dan membeli petugas untuk mengubah hasil perhitungan suara. Beberapa anggota

KPU harus masuk penjara karena terlibat politik uang atau korupsi.31

Wahyudi Kumorotomo menjelaskan berbagai cara untuk melakukan

tindakan politik uang sebagai berikut, yakni politik uang secara langsung bisa

berbentuk pembayaran tunai dari tim sukses calon tertentu kepada konstituten

yang potensial. Kedua, sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang

mengusungnya. Ketiga, sumbangan wajib dari parpol kepada kader tertentu yang

ingin mencalonkan diri menjadi walikota, bupati, atau gubernur.32

Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berupa pemberian hadiah,

pembagian sembako, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan

sebagainya. 33 Berbeda dengan itu Didik Supriyanto melihat dari fakta empiris

yang berdasarkan aktor dan wilayah operasinya. Politik uang dalam pemilihan

kepala daerah dipisahkan dalam empat lingkaran.34

Lingkaran satu menyebutkan adanya transaksi antara elit ekonomi

(pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah. Lingkaran kedua, transaksi

antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mengusungnya.

Lingkaran ketiga, transaksi antara para calon kepala daerah beserta tim kampanye

31 Rumah Pemilu, “Menelusuri Jejak-Jejak Praktek Demokrasi,” Artikel ini diakses pada 3 November 2016 dari www.rumahpemilu.org/in/read/166/Pengantar-Menelusuri-Jejak-jeak-Praktek-Demokrasi 32 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009. 33 Wahyudi Kumorotomo, Intervensi Parpol, Politik Uang, Dan Korupsi:Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara, Surabya, 15 Mei 2009. 34Didik Supriyanto, Politik Uang Dalam Pilkada, Artikel ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari jrsh.files.wordpresscom/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf

33

dengan petugas-petugas pilkada. Lingkaran keempat, transaksi diantara calon

kepala daerah dan tim kapanye dengan massa pemilih.35

Secara konstitusi permasalahan politik uang baik langsung maupun tidak

langsung sudah diatur dalam hukum Indonesia. Dalam KUHP tepatnya Bab IV

mengenai Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan, Pasal

149 Nomor 1 menyatakan bahwa barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan

berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,

menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya, atau supaya memakai

hak itu menurut cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah. 36 Selanjutnya Pasal 149 Nomor 2 menyatakan pidana yang sama

diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau

disuap supaya memakai atau tidak memakai haknya seperti di atas.37

Senada dengan itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

2016 38 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-

Undang membahas permasalahan politik uang secara langsung Berikut beberapa

pasal terkait politik uang, yaitu:

35 Didik Supriyanto, Politik Uang Dalam Pilkada, Artikel ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari jrsh.files.wordpresscom/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf 36 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 61. 37 DR. Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi,(Jakarta: Rineka Cipta, 2014), hal. 61. 38Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 merupakan amandement dari Undang-Undang nomor 8 Tahun 2015 yang pada pilkada Depok masih berlaku.

34

Pasal 73 Ayat 1 tentang calon dan/atau tim kampanye dilarang

menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk

mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

Pasal 73 Ayat 2 tentang calon yang terbukti melakukan pelanggaran

berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi

pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota.

Pasal 73 Ayat 3 Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 73 Ayat 4 tentang slain calon atau pasangan calon, anggota partai

politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain dilarang dengan

sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga

negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:

a. mempengaruhi pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga

mengakibatkan suara tidak sah; dan

c. mempengaruhi untuk meilih calon tertentu atau tidak memilh

calon tertentu.

Pasal 73 Ayat 5 tentang pemberian sanksi administrasi terhadap

pelanggaran tidak menggugurkan sanksi pidana.

35

Berbeda dengan itu hukum Islam memiliki pandangan sendiri mengenai

praktek politik uang. Dimana hukum Islam berlandasakan Al Qur’an dah hadist

dalam mengkaji praktek politik uang. Indonesia sebagai negara yang

mayoritasnya berpenduduk muslim seharusnya memiliki pandangan sendiri

mengenai politik uang itu sendiri. Pandangan Islam bertujuan untuk

membandingkan dengan hukum negara yaitu undang-undang dasar. Hukum Islam

meliputi Al-Quran dan Hadist sebagai metode untuk mengkaji definisi ini.

Perlu diketahui bahwa adanya persamaan antara politik uang dengan suap.

Definisi suap terkandung dalam UU No 32/2004 dalam pasal 82 Ayat 1. Isinya

mengenai pasangan calon/ tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau

memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Dilanjutkan

Ayat 2, pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakuan

pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan berdasarkan landasan yang jelas.39

Kesamaan tersebut nampak pada definisi yang terkandung dalam undang-

undang baik definisi dari politik uang dan suap. Kedua definisi tersebut sama-

sama berfokus pada pemberian uang atau materi sejenis lainnya dengan tujuan

mengubah keputusan orang lain. Kemudian motif dari politik uang dan suap

adalah untuk mencapai kepentingan dengan cara haram.

Bisa dikatakan juga suap diartikan sebagai sogok atau memberi uang

pelicin. Dimana dalam bahasa arabnya disebut risywah40. Definisinya terkandung

39 Suharizal dan Delfina Gusman, Penanganan Perkara Politik Uang Pada Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Universitas Andalas, 2010. hal. 10.

40 Risywah adalah membenarkan yang batil dan menyalahkan yang benar.

36

maksud memberikan uang dan sebagainya kepada pihak tertentu dengan tujuan

mendapatkan kemudahan untuk suatu urusan. Tindakan sejenis lainnya, yakni

pemberian hadiah.41

Kata hadiah diambil dari bahasa Arab yang artinya pemberian seseorang

yang sah memberi pada masa hidupnya secara langsung tanpa ada syarat dan

balasan. 42 Nyatanya dalam pilkada terkadang hadiah diberikan kepada pihak

tertentu karena sudah melakukan sesuatu dalam proses pemilihan. Biasanya ini

dilakukan oleh tim sukses atau calon kandidat langsung kepada pihak yang

dianggap memenangkan dirinya.

Sebenarnya politik uang pernah terjadi di zaman para kerasulan tepatnya

pada masa Nabi Sulaiman praktik politik uang khususnya suap menyuap pernah

dilakukan oleh Ratu Saba (Balqis). Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat

kepada Ratu Bilqis untuk mengadakan pertemuan. Dengan segera Ratu Bilqis

serta para pembesarnya mengadakan rapat yang memutuskan untuk mengerahkan

pasukan militernya.43

Akan tetapi, Ratu Bilqis tidak sependapat justru memberi jalur diplomasi

dengan cara memberi hadiah (suap) kepada Sulaiman. Keputusan meberiakan

hadiah dengan asumsi Nabi Sulaiman bisa dibeli pendiriannya untuk

kepentingannya.

41 Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 42Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 43 Abu Abdul Halim Ahmad S, Suap, Dampak dan Bahayanya Bagi Masyarakat: Tinjauan Syar’i dan Sosial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 93.

37

Politik uang dalam bahasa arab, yakni risywah. Salah satu jenis dari suap

adalah politik uang atau money politics itu sendiri. Adapun definisi politik uang

itu merupakan pemberian atau ada niat untuk menarik simpati orang lain dengan

tujuan membatalkan yang benar, merealisasikan kebathilan. Mencari

keberpihakan yang tidak benar, dan mendapatkan kepentingan yang bukan

haknya. 44 Al-Quran dan sesuai sabda Rasulullah menegaskan bahwa tindakan

tersebut merupakan sesuatu yang haram. Allah Swt berfirman

Artinya, “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.”(Q.S. al-Baqarah : 2 : 188) Pada ayat ini mengisyaratkan perolehan harta yang seimbang, atau sama

rata jika perolhan harta tidak seimbang maka hukumnya bati, dan yang batil

adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak

sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun didsarkan oleh kerelaan. Salah satu yang

terlarang dan sering dilakukan dalam menyogok. Dalam ayat ini dibaratkan

dengan orang yang sedang menimba, penyogok menurunkan keinginanya kepada

yang berwenang memutuskan sesuatu tetapi secara sembunyi-sembunyi dan

dengan tujuan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak sah. 44 F

45

44 Abdurrahman, “Pengertian Risywah,” Artikel ini diakses pada 1 November 2016 dari http://www.scribd.com/doc/45505484/Pengertian-Risywah

45 M. Quraish Sihab, “Tafsir al- Mishbah,” (Jakarta : Lentera Hati, 2002). hal. 498.

38

Beberapa surat Al-Quran lainnya yang berisikan tentang praktek politik

uang terdapat dianatarannya :

Artinya,”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpaling dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”(QS : al-Ma’idah 42)

Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayyang kepadamu (Q.S. an-Nisa : 2 : 29). Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kamu kelak akan memasukannya ke dalam neraka, Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah ”(Q.S. an-Nisa : 2 : 30) . Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”(QS : an-Nisa : 2 : 31)

39

Bukan hanya itu landasan mengenai praktek politik uang juga terdapat di

beberapa hadist, yakni hadist riwayat Ahmad:

ثنا ابن أبي ذئب ويزيد قال أخبرنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن اج حد ثنا حج حد

عليه وسلم قال لعن بن عمرو عن النبي صلى هللا عبد عن أبي سلمة عن عبد هللا

اشي والمرتشي حمن وسلم الر عليه الر صلى هللا رسول هللاCari di kitab ahmad

(AHMAD - 6489) : Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, dia berkata; "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam malaknat pemberi suap dan penerima suap." Dan Yazid berkata: "Laknat Allah bagi pemberi dan panerima suap."45F

46

Syarh al-hadis, hadist ini menyinggung tentang etika dan seorang hakim

atau pejabat yang menerima hadiah dari orang yang memohon bantuan, tapi

bagian ini lebih spesifik tentang substansi dari suap, bahawa suap sangat

berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, merusak agama dan dunia, individu,

dan orang banyak, dari itu para pelaku risywah dikecam dan dilaknat allah dan

Rasulullah SAW.

Sederhananya hukum politik uang dengan suap dalam Islam bersifat

haram baik yang melakukannya maupun menerimanya. Kembali pada esensi

risywah dalam politik uang dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk,

meliputi hadiah, hibah, dan shadaqah. Hadiah adalah pemberian yang diberikan

kepada orang lain, karna maksud memuliakan orang tersebut. Hibah adalah

memindahkan kepemilikan suatu benda secara tabarro (secara Cuma-Cuma tanpa

46 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyad, (Bait al-Afkar al-Dauliyah:

1998).No 6779, h. 513.

40

timbal balik ) pada ketika hidup. 47 Sadaqah adalah pemebrian sesuatu kepada

seseorang yang membutuhkan, semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT.

Berbeda dengan itu politik uang bisa diartikan juga dengan uang pelicin,

suap, atau sogok yang disebut juga risywah. Istilah tersebut maksudnya sesuatu

yang diberikan bertujuan mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan

dalam rangkan membenarkan yang salah atau menyalahkan sesuatu yang benar.48

Bersamaan dengan itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan

fatwa terkait praktek politik uang pada musyawarah nasional VI tahun 2000.

Bahwa Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan

sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau

membatilkan perbuatan yang hak.

Pengertian risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang

kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil

(tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi

disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan

murtasyi disebut ra’isy.49

Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa praktek politik uang yang modusnya

adalah pemberian atas nama pengganti transport, ongkos kerja atau konpensasi

meninggalkan kerja diputuskan bahwa hal tersebut masuk ke dalam kategori suap

47 Umdah, “Perbedaan Antara Sedekah, Hadiah, dan Hibah (Pemberian),”artikel ini

diakses pada 21 April 2017 dari http://www.umdah.co/2015/01/perbedaan-antara-sedekah-hadiah-dan.html?m=0 48 Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011) hal. 89.

49 MUI, Hasil Munas MUI VI Tahun 2000 Hukum tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat, (Jakarta : MUI 2000), hal. 368.

41

(riswah). Sedangkan jika modusnya pemberian zakat atau sedekah hukumnya

ditafsil. Pada pemberian zakat dan sedekah dimaksudkan agar pihak penerima

memilih calon tertentu maka hukumnya haram tetapi jika niatnya ganda yaitu

untuk membayar zakat atau sedekah dan meminta pemilih memilih calon tertentu

maka zakat atau sedekahnya sah tetapi tidak sempurnya.50

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi terbesar melalui fatwa

majelis tarjih dan tajdid-nya menyebutkan politik uang, yakni menyogok atau

menyuap merupakan haram. Dimana fatwa itu disidangkan pada Jumat, 13

Februari 2009. Landasan tersebut berijma dari As-Syaukani dan As-Sanani.

Dipertegas juga suap atau sogok bukan hanya berupa uang melainkan materi

lainnya.51

Hukum Islam memandang politik uang dalam proses pemilihan kepala

daerah melalui pilkada sering digunakan sebagai alat kampanyenya. Hal tersebut

terbukti banyak sekali para calon kepala daerah memakai istilah “sedekah”,

“infaq”, dan lainnya untuk memberikan sogokan atau suapan. Tidak bisa

dipungkiri dalam realitas yang ada terjadi pembiasan esensi sedekah dan infaq itu

sendiri yang dipolitisasi hanya demi kepentingan individu.

50 PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta-LTN PBNU),

hal. 70. 51 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, “Hukum Suap untuk Menjadi PNS”, Artikel ini diakses pada 8 Desember 2016 dari www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-suap-untuk-menjadi-pns.html

43

BAB III

PRAKTEK POLITIK UANG DI PILKADA DEPOK

A. Pilkada di Kota Depok

Dalam menegaskan kembali sistem desentralisasi atau dikenal dengan

otonomi daerah di Indonesia serta tuntutan reformasi maka sudah saatnya

diadakan pilkada. Provinsi, Kabupaten, dan Kota merupakan bagian dari daerah

otonom. Ditambah pilkada harus dilakukan serentak, terbuka, dan jujur di setiap

daerah Indonesia. KPUD dan Panwaslu merupakan dua lembaga yang mengatur

teknis serta pengawasan terhadap proses pilkada berlangsung.1

Begitupun dengan proses pilkada yang dilaksanakan di depok sebagi

bentuk implementasi otonomi daerah serta melestarikan nilai-nilai demokrasi.

Secara langsung pilkada di Depok dilaksanakan pada awal 2005 dengan jumlah

pemilih 908.890.2 Namun proses tersebut berbanding lurus dengan praktek politik

uang untuk menjadi kepala daerah Kota Depok.

Depok adalah daerah penyangga yang sama pesatnya dengan Jakarta.

Pertumbuhan Depok meliputi ekonomi, demografis, pendidikan, dan khususnya

politik. Posisi kota ini sangat strategis berdekatan dengan Jakarta. Begitupun

1 Agung Djojosoekarto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, hal. 6. 2 Istiqomah, Penyelesaian Perkara Sengketa Di Kota Depok, Skripsi Program Studi Jinayah Siyasah UIN Jakarta, hal. 33.

44

dengan penduduknya banyak yang bekerja di Jakarta. Daerah ini memiliki posisi

politik yang penting sehingga diperebutkan oleh beberapa partai di Indonesia.3

Kekuatan politik di Depok terdiri dari 23 partai politik yang menjadi

kontestan pilkada, diantaranya Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai

Golkar, PAN, dan partai lainnya. Tepat pada 26 Juni 2005 pilkada Kota Depok

dilaksanakan yang berjalan dengan lancar, aman, dan demokrasi. Meskipun

terdapat kekurangan yang dapat mengganggu proses pemilihan dan nilai

demokrasi. Pada pilkada tersebut terdapat perselisihan atas hasil perhitungan suara

serta ada calon yang tidak menerima hasil pemilihanya.4

Ada lima pasangan calon kepala daerah Kota Depok, yaitu:

1. Abdul Wahab-Ilham Wijaya, diusung Partai Demokrat

2. Harun Heryana-Farkhan A. R, didukung Koalisi Masyarakat Depok (PAN,

PKB, PBB, PBR, PKPI)

3. Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad, diusung Golkar dan PKB

4. Yus Ruswandi-Soetadi Dipwongso, diusung PDI-P, PPP, PKS

5. Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, diusung PKS

Banyaknya kandidat yang mencalonkan diri mengindikasikan kekuatan

politik di daerah ini sangatlah kuat. Tahun 2005 di menagkan oleh Nur Mahmudi

Ismail- Yuyun Wirasaputra. Selanjutnya pilkada kota Depok pada 2010 yang

diikuti beberapa calon, meliputi calon pertama Gagah-Derry, kedua Yuyun-Pradi,

3 Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat, Nur Mahmudi Menjawa, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 34. 4 Abdoel Fatah, Konflik Pasca Pilkada: Kasus Depok, Jurnal Poelitik Vol. 1 No. 1, 2008. hal. 2.

45

ketiga Nur-Idris, dan Badruk-Agus. Komposisi tersebut memungkinkan terjadi

kontestasi yang sulit mengingat terdapat beberapa kandidat. Menariknya

banyaknya calon menyebabkan tingkat politik uang semakin tinggi juga dengan

berbagai bentuk.5

Selanjutnya pilkada Kota Depok, Jawa Barat dilaksanakan pada 9

Desember 2015. Sama seperti daerah di Indonesia lainnya pilkada di Depok tidak

lepas dari politik uang. Sri Budi Eko Wardani, Direktur Eksekutif Pusat Kajian

Politik UI menyebutkan 41,3 persen warga Kota Depok mendapatkan tawaran

uang atau barang untuk mencoblos salah satu kandidat tertentu.6

Terhitung waktu survei yang dilakukan oleh puskapol UI dari 27 Oktober

sampai 6 November 2016 dengan estimasi populasi sebanyak 1.221.981 pemilih

dengan margin error dari penelitian sebanyak 3,99 persen. Masih menurutnya

sebanyak 88,2 persen responden beranggapan akan terjadi tawaran uang dari tim

kampanye dari salah saut kandidat.

Pilkada Kota Depok diikuti oleh dua kandidat, yaitu Dimas Oky Nugroho-

Babai Suhaimi yang diusung oleh PDIP, PKB, PAN, dan Nasdem. Sedangkan

5 Agung Djojosoekarto, Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, hal. 6. 6 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang

46

lawannya Idris Abdul Shomad-Pradi Supriatna yang diusung oleh PKS dan

Gerindra.7

Proses demokratisasi di Kota Depok melalui pilkada merupakan

pengembangan nilai demokrasi. Secara garis besar setiap tahunnya pilkada di

Depok berjalan dengan lancar meskipun masih terdapat konflik. Biasanya konflik

tersebut terkait dengan bagaimana elit politik mengedepankan kepentingan pribadi

daripada sebagian besar masyarakat.8

Pada dasarnya pembangunan demokrasi bukan hanya berfokus pada

lembaga-lembaga demokrasi seharusnya pada pembangunan kebudayaan pilkada.

Dimana akan menciptakan pilkada yang tidak anarkis. Melalui pilkada ini dapat

memberikan pembelajaran untuk memahami aturan perundang-undangan politik.9

Nantinya orientasi pilkada merupakan representasi bagi keadilan dan

kesejahteraan masyarakat Kota Depok.

B. Politik Uang pada Pilkada Depok

Berbicara mengenai kontestasi pilkada di Kota Depok tidak lepas dari

permasalahan yang melekatnya, yaitu politik uang. Bahkan setiap daerah pun di

Indonesia terjadi praktek politik uang baik secara langsung maupun tidak

7 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang 8 Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat, Nur Mahmudi Menjawa, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 36. 9 Carol Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hal. 22.

47

langsung. Namun dalam implementasi politik uang tentunya berbeda-beda dan

ada beragam jenisnya.

Selama pilkada di Kota depok berawal dari 2005-2014 terbukti

ditemukannya praktek politik uang. Bersumber dari koran Republika, Tempo, dan

Suara Karya menyebutkan terjadi beberapa pelanggaran, yakni pemberian uang

secara terorganisir untuk setiap RT/RW dan kampanye terselubung dengan tema

Maulid Nabi Muhammad Saw bersamaan pemberian imbalan empat ribu rupiah

dengan syarat mencoblos calon tertentu.10

Realitas itu mengindikasikan adanya ketimpangan antara partisipasi politik

dengan minimnya informasi pilkada sehingga terjadinya praktek politik uang. Di

sisi lain masyarakat Depok cenderung bersifat pragmatis maksdunya sebanyak 77

persen respon bersikap menerima uang tetapi tidak memilih calon yang disuruh

oleh tim kampanye calon.11

Misalkan pilkada pada 2015 menurut Jaringan Pendidik Pemilih untuk

Rakyat (JPPR) menemukan adanya praktik politik uang yang dilakukan oleh calon

kepala daerah di Kota Depok, Jawa Barat. Tindakan itu sudah dilaporkan kepada

Bawaslu oleh JPPR. Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz

menegaskan pasangan urut satu Dimas-Babai melakukan politik uang. Pasangan

10 Donni Edwin, Dkk, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partenership for Governance Reform in Indonesia, Hal. 9. 11 Liputan6, “Survei Puskapol UI: Pilkada Depok Rawan Politik Uang”, Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.liputan6.com/pilkada/read/2376305/survei-puskapol-ui-pilkada-depok-rawan-politik-uang

48

Dimas-Babai menjanjikan uang 15-20 juta untuk satu RT/RW jika mencoblos

mereka.12

Bisa ditarik suatu asumsi berdasarkan data-data dan realitas di atas bahwa

dari awal pilkada di Depok hingga sekarang tidak luput dari politik uang.

Tindakan itu dilakukan juga dengan berbagai bentuk meksipun masuk dalam

kategori politik uang, misalkan mengadakan acara keislaman dengan

menghadirkan salah satu calon walikota beserata wakilnya bersamaan pemberian

uang, pengkondisian suara tiap RT/RW dengan dijanjikan uang, dan sejenis

lainnya.

Adapun jenis politik uang yang ada selama pilkada di Kota Depok

cenderung pada pemberian uang bukan berupa benda. Di samping itu politik uang

yang dimaksud pada pemberikan sogokan atau suapan kepada pihak-pihak

tertentu yang memiliki pengaruh pada proses pilkada di Depok, misal kepala

RT/RW atau panitia pilkada.

C. Modus Operandi Politik Uang

Modus operandi berasal dari bahasa Latin artinya prosedur dan cara

bergerak atau berbuat sesuatu. Pengertiannya dalam ruang lingkup kejahatan yaitu

operasi cara atau tehnik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam

12 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang

49

melakukan aksi jahatnya.13 Tentunya modus operandi setiap kejahatan pasti

berbeda-beda, khususnya pada modus operandi politik uang selama pilkada.

Praktek politik uang merupakan masalah kompleks dalam pemilihan

pemimpin baik di tingkat daerah maupun nasional. Transparancy International

Indonesia (TI) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan modus

operandi politik uang terdapat pola-pola yang beragam. Sesuai dengan realitas

modus operandi ada yang dilakukan dengan halus sehingga tidak menyadari kalau

itu sebuah sogokan. Ada juga dengan cara terang-terangan atau mencolok di

depan banyak orang.14

Mulai dari pemberian sembako, uang dengan alasan shadaqoh, santunan

anak yatim piatu, dan sebagainya kerap menjadi bagian modus operandi politik

uang. Diperparah dengan jarang sekali ada seseorang yang berani bersaksi di

pengadilan sehingga menghambat proses pembuktian di pengadilan. Satjipto

Rahardjo menegaskan perlunya konsep hukum untuk manusia dan keadilan di atas

peraturan dalam rangka mengatasi masalah politik uang di pilkada.15

Pola Modus operandi politik uang menurut Wahyudi Kumorotomo

dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pola ini meliputi

pembayaran tunai dari tim sukses calon kepada konstituen potensial, sumbangan

13 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010,hal. 10. 14 Ahsan Jamet Hamidi, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008), hal. 49. 15 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010,hal. 15.

50

dari bakal calon kepada partai politik yang menudukungnya, dan sumbangan

wajib yang disyaratkan partai politik kepada calon kepala daerah.

Ada juga yang menyebutkan modus operandi dalam prakteknya terbagi ke

dalam tiga pola, yaitu pembayaran tunai, pascabayar, dan melibatkan pemilih

sebagai relawan. Biasanya secara tunai dilakukan langsung oleh calon kandidat

dan tim sukses melalui pemberian sejumlah uang atau benda bernilai kepada

pemilih. Pemberian uang sudah biasa dilakukan pada serangan fajar.

Pascabayar dilakukan dengan pemberian uang dari calon kandidat kepada

sekelompok orang pasca pemungutan suara jika jumlah suara sesuai dengan

target. Sedangkan dengan melibatkan pemilih sebagai relawan tim sukses

merupaka modus pengerahan pemilih secara sistematis yang nantinya dengan

imbalan uang dalam pemilihan kepala daerah.16

Kembali pada pernyataan IWC bahwa modus operandi politik uang sering

terjadi pada masa kampanye yang dilakukan secara langsung. Ditambah dengan

modus melalui acara bakti sosial melalui forum keagamaan. Bisa dikatakan

sumbangan ini sangat bias dan halus sekali nyaris tidak dapat dikatakan sebagai

politik uang.17

Dapat dikatakan umumnya pola modus operandi dikategorikan sebagai

berikut, transaksi elit ekonomi dengan bakal calon, transaksi bakal calon dengan

parpol, transaksi antara calon atau tim kampanye dengan elit massa, pembagian 16 Tim Peneliti KPU Bandung Barat, Praktek Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014, Komisi Pemilihan Umum Bandung Barat, 2014, hal. 14. 17 Ahsan Jamet Hamidi, Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang, (Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008), hal. 50.

51

uang atau barang dalam acara sosial (Maulid Nabi Muhammad, syukuran, atau

sedekahan), serangan fajar, dan relawan bayar.

Gary Goodpaster menjelaskan politik uang merupakan suatu istilah untuk

menjelaskan pembelian keuntungan atau mempengaruhi politik. Ditambah dengan

penjelasan bahwa politik uang merupakan transaksi suap-menyuap oleh aktor

politik untuk mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan.18 Permasalahan

modus operandi politik uang sangatlah klasik dan variatif.

Sedangkan konstitusi yang ada berkaitan dengan politik uang pilkada

terdapat pada Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Namun dari aspek subjek hukum politk uang hanya ditujukan kepada calon atau

tim kampanye dimana tidak menimbulkan efek jera. Pasal 117 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 diancam dengan pidana penjara 2 bulan dan

paling lama 12 bulan beserta denda paling sedikit satu juta rupiah sampai sepuluh

juta rupiah.19

D. Proses Pemidanaan Pelaku Politik Uang

Pada umumnya untuk menyatakan seorang oknum dinyatakan terlibat

dalam politik uang atau tidak harus melalui beberapa tahapan. Secara garis besar

tahapan tersebut, meliputi panwaslu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan

18 Gary Goodpaster, Refleksi tentang Korupsi di Indonesia, (Jakarta: USAID, 2001), hal. 14. 19 Sutapa Mulja Widada, Problematika Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Di Surakarta Tahun 2010, Hal. 10.

52

sebagai tahap terkahir. Setiap lembaga tersebut dalam pilkada memiliki peranan

dan wewenang masing-masing dalam menangani tindak pidana politik uang.

Pasal 122 Ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 (Pasal 77 Ayat 4 huruf d UU No.

23 Tahun 2003) menyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang panwaslu

adalah meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada

instansi yang berwenang. Perlu dipertegas bahwa Panwaslu tidak memiliki

kewenangan untuk menyelesaikan masalah dalam pilkada.20

Berdasarkan Pasal 128 Ayat 5 UU No. 12 Tahun 2003 (Pasal 80 Ayat 5

UU No. 23 Tahun 2003) menyatakan bahwa laporan yang terkandung unsur

tindak pidana pilkada (politik uang) dapat diteruskan kepada

penyidik.21Bersamaan dengan itu Panwaslu juga bertugas meneruskan temuan

tindak pidana kepada penyidik. Penyidik dan penyelidikan dilakukan oleh pihak

kepolisian.

Dengan kata lain tugas Panwaslu adalah menerima laporan, mengkajinya,

dan meneruskan kepada pihak penyidik jika disimpulkan adanya tindak pidana

pemilu, termasuk politik uang. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh polisi

sesuai dengan pasal 26 huruf a UU No. 3 Tahun 1999. Tugas kepolisian

dinyatakan selesai apabila penyerahan tanggung jawab atas tersangka serta barang

bukti kepada penuntut umum.

Setelah itu dari kepolisian akan dilanjutkan kepada kejaksaan untuk

melakukan penuntutan tindak pidana politik uang ke Pengadilan Negeri 20 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 62. 21 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 60.

53

berdasarkan hasil penyedikan polisi.22 Kejaksaan mulai bekerja ketika menerima

tanggung jawab atas barang bukti atau tersangka dari kepolisian. Sebelum proses

itu penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam rangka menyempurnakan

penyidikan melalui lembaga prapenuntutan (Pasal 110 Ayat 3, Pasal 138 Ayat 1

dan Ayat 2 KUHAP).23

Kemudian selesainya Jaksa Penuntut dalam prapenuntutan dan berkas

perkara dinyatakan lengkap maka akan membuat surat dakwaan berupa berkas

dakwaan. Dimana berkas tersebut akan dilanjutkan kepada penuntutan sesuai

dengan data penyidikan. Tugas kejaksaan terkait tindak pidana politik uang

terkandung dalam UU No. 8 Tahun 1981.

Berkas lengkap dalam tingkatan kejaksaan kemudian akan diteruskan ke

pengadilan untuk mengadili terdakwa kasus tindak pidana politik uang, yang

diajukan oleh jaksa penuntut umum sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981. Dalam

ranah ini Panwaslu tidak memiliki wewenang sebagai penyidik atau penyelidik

dalam tindak pidana pemilu. Melainkan panwaslu hanya menyelesaikan

pelanggaran berupa penyimpangan yang bersifat prosedural.24

Dalam tingkatan pengadilan sebagai tahapan terakhir akan dilakaukan

pemanggilan terhadap terdakwa dan saksi-saksi melalui penuntut umum undung

didengar dalam proses persidangan. Proses inilah yang akan menentukan apakah

22 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 61. 23 Suharizal dan Delfina Gusman, Penanganan Perkara Politik Uang Pada Pemilihina Kepala Daerah Secara Langsung, Fakultas Hukum Universitas Andalas, hal. 14. 24 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 62.

54

si terdakwa akan menjadi statusnya sebagai tersangka atau tidak yang tentunya

dengan bukti-bukti.

55

BAB IV

PRAKTEK POLITIK UANG PADA PILKADA KOTA DEPOK DALAM

PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF

INDONESIA

A. Perbandingan Politik Uang di Kota Depok dan Daerah Lainnya

Pilkada Kota Depok yang dilakukan pada 9 Desember 2015 akan

menentukan siapa yang menjadi pemimpin di daerah tersebut. Pesta demokrasi

tersebut yang diimplementasikan dalam Pilkada tidak terlepas dari adanya praktek

politik uang. Sejatinya dalam pergantian estafet kepemimpinan tingkat daerah

harus dilaksanakan secara jujur, tidak curang, dan adil.

Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia memaparkan

beberapa data terkait politik uang. Sebesar 41, 3 persen responden mengatakan

ada pihak yang menawarkan uang untuk memilih calon kepala daerah tertentu.

Dipertegas dengan bukti sebanyak 88, 2 persen menganggap tawaran politik uang

datang dari pihak yang mengaku tim kampanya pasangan calon tertentu.1

Terkait dengan proses pilkada Kota Depok sebesar 77 persen responden

akan menerima tawaran uang tersebut tetapi tidak memilih kandidat yang

memberikan uang tersebut. Ini bisa diasumsikan sebagian besar masyarakat Kota

Depok berpikiran pragmatis. Penelitian ini diambil dari 63 kelurahan dalam 11

1 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html

56

kecamatan dalam wilayah Kota Depok. Asumsi populasi pemilh sebesar

1.221.981 dan sebanyak 630 orang diwawancarai.2

Berdasarkan data tersebut bisa ditarik suatu kenyataan bahwa politik uang,

seperti suap, sogok, atau pemberian hadiah pasti terjadi. Pernyataan tersebut

didukung dengan adanya bukti sebagian besar masyarakat kota Depok menerima

bahkan menginginkannya terlepas apakah memilih atau tidaknya calon tertentu.

Begitupun dengan daerah-daerah lainnya pasti terjadi politik uang semacam ini

namun terdapat beberapa perbedaan.

Politik uang yang terjadi di Depok memiliki modus operandi yang unik

berbeda dengan daerah lainnya. Sebagian besar tim kampanye atau calon kandidat

tertentu melakukan politik uang cenderung berbasiskan agama Islam. Bisa disebut

dengan “politisasi agama” maksudnya setiap ada acara agama Islam disitulah

politik uang terjadi.

Meskipun hanya sebagian kecil dengan memberikan uang tanpa acara

keislaman. Terbukti dengan penjelasan dari Koordinator Nasional JPPR,

Masykurudin Hafidz menegaskan pasangan urut satu Dimas-Babai melakukan

politik uang. Pasangan Dimas-Babai menjanjikan uang 15-20 juta untuk satu

RT/RW jika mencoblos mereka.3

2 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html 3Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang

57

Meskipun banyaknya politik uang yang terjadi dilapangan namun tidak

ada satupun dari kasus politik uang di Kota Depok pada Pilkada tahun 2015yang

dilaporkan kepada Panwaslu. Dari hasil wawancara dengan ketua Panwaslu Kota

Depok, bahwa selama proses Pilkada berlangsung tidak terjadi politik uang.

Pilkada pun berjalan aman dan lancar .4

Kemudian politik uang yang terjadi di kota Depok lebih bersifat uang itu

sendiri bukan kebendaan, seperti sembako, kalender, dan lainnya.5Misalkan

melaksanakan suatu acara bertemakan maulid Nabi SAW disertai dengan

pemberian uang sebesar empat ribu rupiah dengan syarat memilih calon tertentu.

Ada juga menggunakan yasinan beserta pemberian uang serta lainnya.6

Begitupun dengan Pilkada di Semarang dan Lampung memberikan

logistik atau sembako secara langsung kepada pemilih untuk memilih calon

tertentu. Sembako tersebut berisi kebutuhan dapur yang dibagikan oleh tim

suksesnya. Kalau daerah-daerah di Provinsi Kalimantan Selatan sudah terbiasa

politik uang berupa kebendaan, yakni memberikan sembako pada serangan fajar.7

Selanjutnya di Pekalongan berhasil ditangkap salah satu anggota tim

sukses memberikan beras pada pagi hari. Pilkada di Sumatera Selatan berbentuk

susu bubuk yang diberikan kepada ibu-ibu. Di daerah Sumenep pun demikian

4 Wawancara dengan Andriansyah, S.Hi, tanggal 16 Desmber 2016 di Haus Coffe

Ciputat. 5 Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 6 Donni Edwin, dkk, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah Dan Mitos Good Governance, Pusat Kajian Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Hal. 9. 7 Indra Rajagukguk, Politik Uang dalam Pilkada, 2005, Hal. 2.

58

mendapatkan beras dengan jumlah besar yang diangkut dengan truk besar dari

setiap calon kepala daerah.8

Pemaparan di atas mengenai perbandingan politik uang selama pilkada di

Kota Depok dengan daerah lainnya terdapat perbedaan. Pertama politik uang,

seperti sogokan, hadiah, dan suap cenderung berbentuk uang bukan kebendaan.

Kedua dalam menerapkan modus operandinya sebagian besar politik uang

dilakukan dengan memanfaatkan acara keislaman, meliputi Maulid Nabi

Muhammad SAW, yasinan, santunan, dan lainnya.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Politik Uang di Pilkada Kota Depok

Tahun 2015

Politik uang selama pilkada di Kota Depok bisa dikatakan lebih kepada

suap atau sogok dibandingkan hadiah. Sesuai dengan beberapa bukti di atas,

seperti pemberian uang dalam acara Maulid Nabi Muhammad dan acara

keislaman lainnya bersifat suap atau sogok. Hadiah dan suap diibaratkan dengan

dua sisi.

Dalam Islam hadiah sangatlah diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun

kenyataannya keikhlasan sering tergerus dengan beragam kepentingan tertentu.

8 Indra Rajagukguk, Politik Uang dalam Pilkada, 2005, Hal. 2.

59

Nantinya berdampak pada ketidakpastian hukum hibbah yang berubah menjadi

risywah.9

Kata hadiah diambil dari bahasa Arab yang artinya pemberian seseorang

yang sah memberi pada masa hidupnya secara langsung tanpa ada syarat dan

balasan. Nyatanya dalam pilkada terkadang hadiah diberikan kepada pihak

tertentu karena sudah melakukan sesuatu dalam proses pemilihan. Biasanya ini

dilakukan oleh tim sukses atau calon kandidat langsung kepada pihak yang

dianggap memenangkan dirinya.10

Perbedaan suap atau sogok dengan hadiah, yakni suap merupakan

pemberian pemberikan yang diharamkan syariat yang bersifat kotor serta haram.

Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat serta bersifat

halal. Kemudian suap atau sogok dilakukan sebelum tujuan tercapai sedangkan

hadiah sebaliknya tentunya dengan niat baik karena sudah membantunya.11

Begitupun dengan realitas yang ada selama pilkada di Kota Depok.

Pemberian uang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW dilakukan sebelum

pencoblosan sehingga disebut sebagai suap atau sogok serta bukan hadiah.

Dimana pemberian uang dilakukan sebelum pemilhan kepala daerah di Kota

Depok.

9 Syafii Rahmad, Al-Hadis Aqidah, Ahlaq, Sosial, dan Hukum, (Bandung: Setia Pustaka Bandung, 2000), Hal. 5. 10 Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html 11Armen Halim Naro, “Hukum Seputar Suap dan Hadiah”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari https://almanhaj.or.id/2283-hukum-seputar-suap-dan-hadiah.html

60

Intinya suap, hadiah, dan sogok merupakan politik uang. Politik uang

secara umumnya sedangkan khususnya, yakni suap, sogok, dan hadiah.

Dipertegas dengan maksud pemberian hadiah jika bukan karena adanya syarat

atau balasan bukan termasuk politik uang. Sedangkan sogok atau suap jelas

apapun bentuknya termasuk politik uang.

Mengkaji hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist

menegaskan bahwa risywah yakni sogok atau suap merupakan haram. Bukan

hanya pihak yang memberikan melainkan yang menerima juga disebutkan sebagai

sesuatu yang haram. Hal ini sudah jelas dasar hukumnya dalam al-quran maupun

hadist.

Artinya, “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (Q.S. al-Baqarah : 2 :188)

Pada ayat ini mengisyaratkan perolehan harta yang seimbang, atau sama

rata jika perolhan harta tidak seimbang maka hukumnya bati, dan yang batil

adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh hukum serta tidak

sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun didsarkan oleh kerelaan. Salah satu yang

terlarang dan sering dilakukan dalam menyogok. Dalam ayat ini dibaratkan

dengan orang yang sedang menimba, penyogok menurunkan keinginanya kepada

61

yang berwenang memutuskan sesuatu tetapi secara sembunyi-sembunyi dan

dengan tujuan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak sah.12

Artinya,”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpaling dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara itu diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”(Q.S. al-Maidah :5: 42)

Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh

12 M. Quraish Sihab, “Tafsir al- Mishbah,” (Jakarta : Lentera Hati, 2002). hal. 498.

62

dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayyang kepadamu. (Q.S.an-Nisa

:2: 29).

Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya,

maka kamu kelak akan memasukannya ke dalam neraka, Yang demikian itu

adalah mudah bagi Allah (Q.S. an-Nisa : 2 : 30). Jika kamu menjauhi dosa-dosa

besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami

hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia

(Q.S. an-Nisa : 2: 31)”

ثنا ابن أبي ذئب ويزيد قال أخبرنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد اج حد ثنا حج عن أبي حد

عليه وسلم قال لعن رسول هللا بن عمرو عن النبي صلى هللا عليه سلمة عن عبد هللا صلى هللا

اشي والمرتشي حمن وسلم الر الر

(AHMAD - 6489) : Telah menceritakan kepada kami Hajjaj telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari Abdullah bin 'Amru dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam, dia berkata; "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam malaknat pemberi suap dan penerima suap." Dan Yazid berkata: "Laknat Allah bagi pemberi dan panerima suap."12F

13

Syarh al-hadis, hadist ini menyinggung tentang etika dan seorang hakim

atau pejabat yang menerima hadiah dari orang yang memohon bantuan, tapi

bagian ini lebih spesifik tentang substansi dari suap, bahawa suap sangat

berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, merusak agama dan dunia, individu,

dan orang banyak, dari itu para pelaku risywah dikecam dan dilaknat allah dan

13 Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Riyad, (Bait al-Afkar al-Dauliyah:

1998).No 6779, h. 513.

63

RasulNya. Hadist ini menunjukan bahwa risywah merupakan dosa besar karna

pelakunya mendapat laknat dari Alllah SWT.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui ijma dan qiyas bersandar pada

Ibn al-Atsir dalam al-Nihayah al-Gharib al-Hadits wa al-Atsar sebagai rujukan

politik uang. MUI menyebutkan pemberian yang diberikan kepada orang lain

(pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang bathil (tidak benar

menurut syari’ah) atau membathilkan perbuatan yang hak merupakan sesuatu

yang haram (Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 2003: 274).14

Nahdlatul Ulama berpen dapat bahwa praktek politik uang yang modusnya

adalah pemberian atas nama pengganti transport, ongkos kerja atau konpensasi

meninggalkan kerja diputuskan bahwa hal tersebut masuk kedalam kategori suap

(riswah). Sedangkan jika modusnya pemberian zakat atau sedekah hukumnya

ditafsil. Pada pemberian zakat dan sedekah dimaksudkan agar pihak penerima

memilih calon tertentu maka hukumnya haram tetapi jika niatnya ganda yaitu

untuk membayar zakat atau sedekah dan meminta pemilih memilih calon tertentu

maka zakat atau sedekahnya sah tetapi tidak sempurna.15

Disamping itu Muhammadiyah melalui fatwa majelis tarjih dan tajdidnya

menyebutkan politik uang, yakni sogokan atau suapan merupakan haram. Dimana

fatwa itu disidangkan pada Jumat, 13 Februari 2009. Landasan tersebut berijma

14 PBNU, “Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konbes NU 2002”, (Jakarta : LTN PBNU), hal.70.

15PBNU, Hasil Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2012, (Jakarta-LTN PBNU), hal. 70.

64

dari as-Syaukani dan as-Sanani. Dipertegas juga suap atau sogok bukan hanya

berupa uang melainkan materi lainnya.16

Berdasarkan penjelasan tersebut terkait politik uang selama pilkada di

Kota Depok dapat ditarik ke beberapa bagian. Pertama, jenis politik uang yang

terjadi berbentuk suap atau sogok sebab dilakukan sebelum pemilihan kepala

daerah. Kedua, hukum Islam memandang pemberian uang melalui acara Maulid

Nabi Muhammad SAW dengan syarat memilih calon tertentu merupakan haram.

Dimana tindakan tersebut disebut risywah meskipun acara keislaman karena

melihat dari tujuan acara tersebut.

Catatan penting dalam pembahasan ini bahwa politik uang selama pilkada

di Kota Depok berbentuk uang itu sendiri bukan bersifat kebendaan. Dimana

tindakannya dilakukan secara halus dan sulit dikatakan melanggar pilkada atau

sebaliknya. Definisi yang ada bahwa politik uang adalah sejumlah uang yang

digunakan untuk tujuan tertentu.17

Dalam konteks ini uang tersebut dipergunakan untuk mencapai

kepentingan politiknya. Ini bisa dilakukan ketika membeli dukungan partai

tertentu untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun dapat diartikan

16 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, “Hukum Suap untuk Menjadi PNS”, Artikel ini diakses pada 8 Desember 2016 dari www.fatwatarjih.com/2011/08/hukum-suap-untuk-menjadi-pns.html 17Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf

65

juga dengan membeli suara maksudnya memberikan uang kepada pemilih untuk

memilih dirinya.18

C. Analisis Hukum Positif Indonesia Terhadap Politik Uang di Pilkada

Kota Depok Tahun 2015

Pada 2015 pasangan urut satu, yakni Dimas-Babai terbukti akan

memberikan uang 15-20 juta untuk setiap RT/RW jika mencoblos mereka.19

Begitupun tahun sebelumnya yang sering terjadi suap atau sogok yang disisipkan

dengan acara Maulid Nabi Muhammad SAW serta acara keislaman lainnya.20

Jelas ini merupakn politik uang sebab memberikan uang kepada pemilih untuk

memilih dirinya.

Didukung dengan banyaknya masyarakat Kota Depok yang menerima

uang tersebut meskipun tidak ada jaminan untuk memilih calon kandidat tertentu.

Puskapol Universitas Indonesia menyebutkan sebesar 77 persen dari 630

responden yang diwawancarai membenarkan menerima uang dari tim sukses

tertentu.21

18 Fithriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada, Jurnal ini diakses pada 30 Oktober 2016 dari 4842-10496-1-PB.pdf 19Fiq Hidayat, “JPPR: Pasangan Dimas-Babai dan Airin-Benyamin Melakukan Politik Uang,” Artikel ini diakses pada 16 November 2016 dari m.merdeka.com/politik/jppr-pasangan-dimas-babai-dan-airin-benyamin-melakukan-politik-uang 20 Donni Edwin, Dkk, Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partenership for Governance Reform in Indonesia, Hal. 9. 21 Puskapol UI, “Hasil Survei Apresiasi Warga Mengenai Permasalahan Kota Menjelang Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok 2015”, Artikel ini diakses pada 20 Desember 2016 dari www.puskapol.ui.ac.id/press-release/hasil-survei-aspirasi-warga-mengenai-permasalahan-kota-menjelang-pemilihan-walikota-dan-wakil-walikota-depok-2015.html

66

Bentuk politik uang itu sendiri sangat beragam ada yang menyebutkan

dengan suap, sogokan, atau hadiah.Praktek politik uang dapat disamakan dengan

uang sogok atau suap. Dipertegas dengan pendapat Rusdjdi Hamka bahwa praktek

politik uang tidak berbeda dengan suap maupun sogok.22 Mengacu pada itu antara

suap dan sogok adalah sama.

Landasan terkait sogok atau suap dalam hukum Indonesia, meliputi lima

pasal dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana meskipun tidak

ada bab khusus, yakni bagian Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak

Kenegaraan, meliputi Pasal 148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP.23 Kemudian

terdapat juga pada Pasal 148 KUHP tentang Merintangi Orang Menjalankan

Haknya dalam Memilih.

Berlanjut pada Pasal 149 KUHP tentang Penyuapan. Pasal 150 KUHP

mengenai Perbuatan Tipu Muslihat. Pasal 151 KUHP tentang Mengaku sebagai

Orang Lain. Pasal 152 KUHP mengenai Menggagalkan Pemungutan Suara yang

Telah Dilakukan atau Melakukan Tipu Muslihat.24

Bukan hanya itu batasan tindak pidana pemilu juga terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953. Dimana undang-undang tersebut

merupkan pertama yang dimuat lagi mengenai tindak pidana pemilu. Undang-

22 Indra Ismawan, Money Politics: Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), Hal. 4. 23 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 12. 24 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 13.

67

undang tersebut mengatur tindak pidana pemilu yang diatur pada Bab XV dari

Pasal 113 sampai Pasal 129.25

Undang-Undang pemilu Pasal 139 Ayat 2 UU RI No. 12 Tahun 2003

tentang pemilu dalam ketentuan pidana. Adapun isi dari undang-undang tersebut

adalah setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang kepada

seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu

tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suara

tidak sah. Ancaman yang terkandung dalam pasal tersebut berupa hukuman

penjara paling singkat 2 bulan dan paling lama 12 bulan. Bersamaan dengan itu

juga dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.

Terdapat dua landasan hukum Indonesia terkait Pilkada terlepas dari sudah

direvisi atau sebaliknya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yeng menjelaskan

proses Pilkada mulai dari Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dimana baru saja

direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dengan penjelasan yang

sama terkait Pilkada.

Kemudian perlu ditegaskan juga dalam pembahasan ini konstitusi yang

berlaku pada tahun 2014 karena Pilkada dilaksanakan di tahun 2015. Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2015 hanya menyebutkan hukuman terkait pelaku politik

uang selama Pilkada berupa sanksi diskualifikasi dalam calon kepala daerah.

Tidak ada hukuman terkait pidana.

25 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 16.

68

Berbeda dengan uundang-undang yang sudah direvisi yakni Nomor 10

Tahun 2016 menjelaskan hukuman terkait pelaku politik uang. Tertulis dalam

Pasal 187A bahwa pelaku politik uang akan dikenakan hukuman pidana berupa 36

sampai 72 bulan beserta denda juga sebesar Rp 200.000.000 sampai Rp

1.000.000.000.26 Begitupun dengan pasal seterusnya, yakni 187A, 187B, 187C,

dan 187D terkait pemberian sanksi terhadap pihak pemberi maupun penerima,

meliputi anggota partai politik, masyarakat, dan peserta Pilkada lainnya.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada pemilihan kepala daerah

tahun 2015 di kota Depok terjadi praktek politik, namun tidak ada laporan yang

diajukan kepada panwaslu setempat. Hal ini dikarnakan pemahaman masyarakat

bahwa praktek politik uang bukanlah sebuah pelanggaran apalagi termasuk

kedalam tindak pidana. Praktek politik uang dimasyarakat sudah menjadi

kebiasaan dan sering kali masyarakat menantikan pembagian uang atau yang

sering dikenal dengan serangan fajar. 27

Hukum Islam jelas melarang tindakan praktek politik uang mengacu pada

hadis Rasullah SAW bahwa Allah SWT akan melaknat pemberi dan penerima

suap. Hal ini karna perbuatan politik uang merupakan dosa besar. Praktek politik

uang merupakan tindakan yang menghawatirkan sehingga ormas-ormas Islam

mengeluarkan ftwa tentang praktek politik uang.

26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016, Hal. 54.

27 Serangan fajar adalah pembagian uang pada pagi hari sebelum hari pemilihan, biasanya dilakukan oleh tim sukses atau simpatisan

69

Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa terkait politik uang pada

munas MUI tahun 2002 di Pondok Gede yang isinya sama mengharamkan praktek

politik uang. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun sepakat bahwa praktek

politik uang termasuk kedalam risywah (suap menyuap). Namun nahdlatul ulama

berpendapat jika praktek politik uang dengan modus zakat atau sedekah maka

hukumnya di tafsil.

Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tidak menjelaskan sanksi praktek

politik uang kemudian pada tahun 2016 di amandemen menjadi undang-undang

nomor 10 tahun 2016. Yang mana setelah amandement terdapat kejelasan hukum

bagi pelaku praktek politik uang, baik dilakukan oleh calon, tim sukses, maupun

partisipan dan sanksi ini berlaku juga bagi penerimanya.

Meskipun dalam KUHP dijelaskan sanksi pidananya namun tidak berlaku,

hal ini dikarnakan menganut pada asas hukum lex specialis derogate legi generali

yaitu asas penfasiran hukum yang menyatakan bhwa hukum yang bersifat khusus

mengesampingkan hukum yang bersifat umum .

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Praktek politik uang yang terjadi di Kota Depok Jawa Barat pada

Pilkada tahun 2015 cendrung menggunakan uang, namun dengan

modus operandi yang berbeda dari daerah lainnya. Pada prakteknya

politik uang di Kota Depok menggunakan acara maulid dan tahlil

untuk mengumpulkan masa, lalu kemudian memberikan uang transport

dengan tujuan meminta kepada masyarakat untuk memilih calon yang

diusung.

2. Undang-undang nomor 8 tahun 2015 telah diamandemnt menjadi

undang-undang nomor 10 tahun 2016. pada undang-undang ini telah

ada kejelasan hukum bagi pelaku praktek politik uang. Pelaku praktek

politik uang kini dapat dipidana dengan pidana penjara minimal 36

bulan dan maksimal 72 bulan dan dikenakan denda sebesar

RP.2000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan maksimal

RP.1000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pilkada Depok tahun 2015

belum diberlakukan sehingga pada Pilkada Tahun ini pelaku praktek

politik uang dikenakan tindak pidana umum.

3. Hukum Islam melarang adanya politik uang. Terdapat ayat-ayat al-

Quran yang secara tersirat meharamkan politik uang. Politik uang

dalam Islam disamakan hukumnya dengan risywah, yaitu

membenarkan hal yang batil dan menyalahkan hal yang benar. MUI,

NU dan Muhammadiah sepakat haramnya politik uang.

B. Saran

1. Lembaga yang berperan aktif dalam pemilihan, seperti KPU dan

Bawaslu harus bekerjasama dalam mensosialisasikan larangan praktek

politik uangdan menjelaskan sanksi pidana yang akan diterima jika

71

terbukti melakukan politik uang. Bawaslu harus tegas dalam

memberikan sanksi agar memberikan efek jera bagi pelaku mapun bagi

orang lain.

2. Pemerintah sebaiknya serius melaksanakn undang-undang nomor 10

tahun 2016 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan

walikota dengan baik dan benar, karna praktek politik uang merupakan

bibit-bibit baru munculnya tindak pidana korupsi.

3. Masyarakat sabaiknya menyadari dan turut serta dalam penegakan

undnag-undang Pilkada, dan mulai melaporkan jika terjadi politik

uang.

Hasil Wawancara Oleh Ketua Panwaslu Kota Depok

Hari/Tanggal Wawancara : 16 Desember 2016

Waktu Pelaksanaan : 19.00-21.15

Tempat Wawancara : Haus Coffe

Narasumber : Andriansyah, S.HI

Pewawancara : Imas Maesaroh

Tujuan Wawancara : mengeyahui Proses Pilkada di Kota Depok

1. Bagaimana Pilkada di Kota Depok Jawa Barat?

Alhamdulillah pelaksanaan Pilkada di Kota Depok berjalan dengan lancar

tanpa ekses, ini semua berkat kerjasama semua pihak dalam melaksanakan

Pilkada serentak tahap pertama yang berlangsung tahun 2015, khusus di Kota

Depok diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon.

2. Pada tahun berapa Pilkada di Kota Depok dimulai?

Kota Depok melaksanakan Pilkada serentak tahap pertama yaitu tahun 2015.

3. Apakah di kota Depok terjadi pelanggaran-pelanggaran selama Pilkada

berlangsung?

Iya ada pelanggaran baik itu temuan maupun laporan yang diterima Panwaslu

dalam pelaksanaan Pilkada di Kota Depok. Ada 12 (dua belas) laporan dan

temuan yang Panwaslu Kota Depok proses dalam penangan pelanggaran.

Adapun pelanggaran tersebut adalah 3 (tiga) terkait sengketa pemilihan, 6

(enam) terkait pelanggaran administrasi dan 3 (tiga) terkait dugaan

pelanggaran pidana pemilihan.

4. Apakah selama anda menjabat sebagai Panwaslu menemukan pelanggaran

politik uang?

Selama saya menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kota Depok dalam Pemilihan

Kepala Daerah Walikota dan Wakil Walikota Depok kami tidak menemukan

ataupun mendapat laporan terkait dugaan pelanggaran politik uang.

5. Bagaimana tanggapan anda terkait serangan fajar?

Terkait serang pajar itu adalah isu krusial dalam pelaksanaan disetiap

momentum Pemilu, oleh karenanya dalam menyikapi hal tersebut kami

Panwaslu Kota Depok beserta jajaran sampai level Pengawas TPS fokus dalam

mengantisipasi hal-hal tersebut.

6. Praktek politik uang seperti apa yang anda temui selama menjabat sebagai

panwaslu ?

Kami tidak menemukan.

7. Siapakah yang melaksanakan politik uang, Pasangan Calon/tim

sukses/lainnya?

Tim sukses, ataupun relawan yang di perintah oleh tim sukses.

8. Bagaimana mekanisme pelaporan jika terjadi politik uang ?

Dalam pelasanaan Pilkada serentak tahun 2015 peraturan yang dipakai adalah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dan

Undang-Undang Nomor Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-

Undang. Didalam Undang-Undang tersebut diatur tentang larangan pemberian

Uang (money politic) akan tetetapi tidak diatur sanksi atau hukuman yang

melanggar pelanggaran tersebut, akhirnya atas Instruksi Bawaslu yang telah

berkoordinasi dengan Polri bahwa proses penangan atau laporan tentang politik

uang diarahkan langsung ke pihak kepolisian dengan memakai Undang-

Undang Pidana Umum.

9. Adakah pelaku tindak pidana Pilkada yang diadili dan dijatuhi hukuman?

Tidak ada.

10. Bagaimana peran Panwaslu, KPUD, DPRD, dalam menanggulangi politik

uang yang kerap tejadi?

Dalam menanggulangi hal tersebut kami melakukan Pencegahan dan

Penindakan.

Pencegahan:

Sosialisasi: Kepada para pemangku kepentingan tentang peraturan Pilkada dan

sanksinya.

Partisipasi: Mendorong semua pihak untuk berperan aktif mengawasi proses

penyelenggaraan Pilkada.

Peringatan Dini: menyampaikan peringatan dini kepada partai politik,

penyelenggara Pilkada, bakal pasangan calon dan atau pasangan calon, Tim

kampanye pasangan calon, masyarakat pemilih, pemilih dan pemangku

kepentingan lainnya agar tidak melakukan pelanggaran.

Penindakan:

Law Enforcement:

mengingatkan secara tegas kepada seluruh pemangku kepentingan tentang

aturan dan sanksi terhadap pelanggaran, apabila terdapat kecenderungan atau

indikasi awal pelanggaran.

mengajukan nota keberatan secara tertulis dan terbuka apabila KPU dan

jajarannya tidak menindaklanjuti teguran, peringatan, dan rekomendasi

Panwaslu.

Publikasi:

Melakukan sosialisasi langkah-langkah penindakan yang akan dilakukan oleh

pengawas Pemilu dan Mempublikasikan melalui media massa tentang

kecenderungan atau indikasi pelanggaran

11. Bagaimana peran Panwaslu, KPUD, polisi, jaksa, hakim, dan lembaga

permasyarakatan dalam penyelesaian kasus sengketa pilkada ? terkusus praktek

politik uang

Dalam penyelesaian Sengketa Pilkada Panwaslu diberi wewenang dalam

menyelsaikan hal tersebut. Terkait praktek politik uang penyelesaiannya sesuai

prosedur yang berlaku, apabila sudah terpenuhi unsur-unsur pidana dan alat

bukti yang cukup langsung P21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk diproses

dipengadilan.

12. Apakah pilkada di depok sudah sesuai dengan undang-undang?

Sudah sesuai dengan Undang-Undang 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan

13. Apakah pelanggaran dalam pilkada depok mengalami peningkatan atau

penurunan?

Pada 2015 pelanggaran yang terjadi di Kota Depok Mengalami penurunan jika

di bandingkan dengan tahun sebelumnya.

14. Apa jenis politik uang yang terjadi di Kota Depok ? suap / serangan fajar/

sodaqoh

Tidak ada.

15. Bagaimana batas-batas yang bisa dikatakan sebagai politik uang ? jenis

barang/jumlah nominal dll

Tidak ada batasan nominal, selagi hal itu diberikan untuk kepentingan dan

untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih salah satu calon tertentu dengan

memberikan sejumlah uang maka dikatogorikan politik uang.

16. Apa alasan yang sering dikemukakan oleh calon/tim sukses dalam melakukan

politik uang ?

Tidak ada karna selama Pilkada 2015 tidak ada pelanggaran politik uang.

17. Apakah masyarakat mengetahui bahwasannya politik uang/ serangan fajar itu

dilarang ?

Masyarakat sudah mengetahui.

18. Pernahkah Panwaslu/KPUD mengadakan survey terkait tingkat pemahaman

masyarakat terkait larangan politik uang ?

Kami tidak melakukan survey tapi melakukan sosialisasi.

19. Adakah anggota Panwaslu Depok yang tersandung kasus politik uang ?

Tidak ada.

20. Dapatkah politik uang disamakan dengan suap menyuap?

Iya politik uang sama dengan menyuap, karena ada pemberi dan penerima.

21. Siapakah yang berhak mengadili pelaku politik uang ?PN, MK atau terdapat

pengadilan khusus yang dibentuk ?

Adanya pengadilan khusus di PN dengan hakim khusus yang ditunjuk oleh

ketua pengadilan dengan kualifikasi khusus.

22. Bagaimana tanggapan anda sebagai Panwaslu terkait undang-undang pilkada

yang baru ?

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sudah

bagus dan sudah menutupi dari kekurangan sebelumnya sebagai penguatan

penyelenggara pemilu.

23. Apa kekuranagn dan kelebihan undang-undang Pilkada yang baru ?

Kekurangan:

Selalu saja ada yang kurang sehingga undang-undang tiap penyelenggaraan

pilkada pasti ada perubahan, disini perlunya kepastian dalam membuat

peraturan tersebut.

Untuk penguatan penyelenggara seharusnya pengawas pada level

Desa/Kelurahan ditambah, tidak hanya satu orang untuk mengawasi

pengawasan di setiap Desa/Kelurahan.

Begitupun Panwaslu Kab/Kota yang masih bersifat ad hoc yang masih bersifat

Panitia belum berbentuk Badan.

Kelebihan:

Penguatan dalam setiap perubahan selalu dilakukan dalam memperbaharui

undang-undang tersebut, sehingga dalam pelaksanaanya pilkada serentak

semakin baik.

Hal-hal yang tadinya tidak di atur dalam undang-undang sebelumnya kini

sudah diatur dalam undang-undang yang baru seperti contoh sanksi terhadap

pelanggaran politik uang.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta

walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan

wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;

b. bahwa dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan

wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota menjadi Undang-Undang perlu diubah;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang;

Mengingat . . .

- 2 -

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.

Pasal I . . .

- 3 -

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,

Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

(2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan

tingkat atas atau sederajat;

d. dihapus;

e. berusia . . .

- 4 -

e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil

Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

f. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil

pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;

g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang

bersangkutan mantan terpidana;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang

dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;

j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum

yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;

n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur,

Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil

Walikota;

o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota

untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;

p. berhenti . . .

- 5 -

p. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan

Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;

q. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur,

penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;

r. dihapus;

s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;

t. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan

calon peserta Pemilihan; dan

u. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak

ditetapkan sebagai calon.

2. Ketentuan huruf a dan huruf b Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi:

a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan

setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat;

b. mengoordinasi dan memantau tahapan Pemilihan;

c. melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilihan;

d. menerima laporan hasil Pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;

e. memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan

KPU Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan Pemilihan

secara berjenjang; dan

f. melaksanakan . . .

- 6 -

f. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

3. Di antara huruf b dan huruf c Pasal 10 disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf b1 sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib:

a. memperlakukan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota

secara adil dan setara;

b. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilihan kepada masyarakat;

b1. melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi

Pemilihan;

c. melaksanakan Keputusan DKPP; dan

d. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 16

(1) Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.

(1a) seleksi penerimaan anggota PPK dilaksanakan secara

terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota

PPK.

(2) Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.

(3) Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

(4) Dalam . . .

- 7 -

(4) Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh

sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.

(5) PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK kepada Bupati/Walikota untuk selanjutnya dipilih dan

ditetapkan 1 (satu) nama sebagai Sekretaris PPK dengan Keputusan Bupati/Walikota.

5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 19

(1) Anggota PPS berjumlah 3 (tiga) orang.

(2) Seleksi penerimaan anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi,

kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS.

(3) Anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.

6. Ketentuan Pasal 20 tetap, dengan perubahan penjelasan

Pasal 20 huruf c, sehingga penjelasan Pasal 20 huruf c menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.

7. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 21

(1) Anggota KPPS berjumlah 7 (tujuh) orang yang berasal

dari anggota masyarakat di sekitar TPS yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(1a) Seleksi penerimaan anggota KPPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi,

kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota KPPS.

(2) Anggota . . .

- 8 -

(2) Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.

(3) Pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota.

(4) Susunan keanggotaan KPPS terdiri atas seorang

ketua merangkap anggota dan anggota.

8. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 22B

Tugas dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan

penyelenggaraan Pemilihan meliputi:

a. menyusun dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap tahapan

Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi, dan putusan atas

keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat

mengikat;

b. menerima, memeriksa, dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait pemilihan Calon

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terkait dengan Pemilihan yang

diajukan oleh pasangan calon dan/atau Partai Politik/gabungan Partai Politik terkait penjatuhan sanksi diskualifikasi dan/atau tidak diizinkannya

Partai Politik/gabungan Partai Politik untuk mengusung pasangan calon dalam Pemilihan

berikutnya.

c. mengoordinasikan dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;

d. melakukan evaluasi pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;

e. menerima laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilihan dari Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;

f. memfasilitasi . . .

- 9 -

f. memfasilitasi pelaksanaan tugas Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan

Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan secara

berjenjang;

g. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;

h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;

i. menerima dan menindaklanjuti laporan atas tindakan pelanggaran Pemilihan; dan

j. menindaklanjuti rekomendasi dan/atau putusan

Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota kepada KPU terkait terganggunya tahapan Pemilihan.

9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 30

Tugas dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah:

a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan

yang meliputi:

1. pelaksanaan pengawasan rekrutmen PPK, PPS,

dan KPPS;

2. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data

kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;

3. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan

dan tata cara pencalonan;

4. proses dan penetapan calon;

5. pelaksanaan Kampanye;

6. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya;

7. pelaksanaan pemungutan suara dan

penghitungan suara hasil Pemilihan;

8. pelaksanaan pengawasan pendaftaran pemilih;

9. mengendalikan . . .

- 10 -

9. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara;

10. penyampaian surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;

11. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh

KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari seluruh Kecamatan;

12. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan; dan

13. proses pelaksanaan penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.

b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan

mengenai Pemilihan;

c. menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran Pemilihan dan sengketa Pemilihan yang tidak

mengandung unsur tindak pidana;

d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk

ditindaklanjuti;

e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan

menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai

dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan

yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan oleh penyelenggara di Provinsi, Kabupaten, dan Kota;

g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sekretaris

dan pegawai sekretariat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan

yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung;

h. mengawasi . . .

- 11 -

h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan

i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 33 huruf b diubah sehingga Pasal 33

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

Tugas dan wewenang Panwas Kecamatan dalam Pemilihan meliputi:

a. mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan di

wilayah Kecamatan yang meliputi:

1. pemutakhiran data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;

2. pelaksanaan Kampanye;

3. perlengkapan Pemilihan dan pendistribusiannya;

4. pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara hasil Pemilihan;

5. penyampaian surat suara dari TPS sampai ke

PPK;

6. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS; dan

7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan

suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan.

b. mengawasi penyerahan kotak suara tersegel dari

PPK kepada KPU Kabupaten/Kota;

c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

d. menyampaikan temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti;

e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan

menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;

f. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan;

g. memberikan . . .

- 12 -

g. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan; dan

h. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat

mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam

pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai

Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.

(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan

ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(4) Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.

(5) Perhitungan persentase dari jumlah kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat.

12. Di antara . . .

- 13 -

12. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40A

(1) Partai Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

merupakan Partai Politik yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang

dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah memperoleh putusan Mahkamah Partai atau

sebutan lain dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

(3) Jika masih terdapat perselisihan atas putusan

Mahkamah Partai atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan pasangan

calon merupakan kepengurusan yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

hukum dan hak asasi manusia.

(4) Putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain atau

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) wajib didaftarkan ke

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru dan wajib ditetapkan dengan keputusan

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung

sejak diterimanya persyaratan.

(5) Dalam . . .

- 14 -

(5) Dalam hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan

Partai Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai Politik yang

tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

13. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika

memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan

sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat

pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling

sedikit 10% (sepuluh persen);

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000

(dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5%

(delapan setengah persen);

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000

(enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);

d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000

(dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan

e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada

huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah

kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.

(2) Calon . . .

- 15 -

(2) Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar

pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang

paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang

termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10%

(sepuluh persen);

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari

250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah

persen);

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari

500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang

termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung

paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan

e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar

di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.

(3) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk

Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili

di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu)

tahun dan tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau kabupaten/kota dimaksud.

(4) Dukungan . . .

- 16 -

(4) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan calon perseorangan.

14. Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 42 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) dan di antara ayat (5) dan ayat (6)

disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi oleh Partai

Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.

(2) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil

Walikota didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.

(3) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, dan Calon

Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7.

(4) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon

Wakil Gubernur oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi disertai Surat Keputusan

Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.

(4a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak

dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Provinsi, pendaftaran pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat

dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat.

(5) Pedaftaran . . .

- 17 -

(5) Pendaftaran pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan

Calon Wakil Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota

disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang

diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.

(5a) Dalam hal pendaftaran pasangan calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, pendaftaran pasangan calon

yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik

tingkat Pusat.

(6) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan

Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua

Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para ketua Partai Politik dan

para sekretaris Partai Politik di tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat Keputusan masing-masing Pengurus Partai Politik tingkat

Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat

Provinsi dan/atau Pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota.

15. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 45

(1) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon

Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan

Calon Wakil Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.

(2) Dokumen . . .

- 18 -

(2) Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf g, huruf n, huruf o, huruf p, huruf q,

huruf s, huruf t, dan huruf u;

b. surat keterangan:

1. hasil pemeriksaan kemampuan secara

jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan narkotika dari tim yang terdiri dari dokter, ahli psikologi, dan

Badan Narkotika Nasional, yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f;

2. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon

atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan

terpidana dari pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai

buktinya, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf g;

3. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon,

sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h;

4. tidak . . .

- 19 -

4. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan

catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i;

5. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara

badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri

yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf k; dan

6. tidak dinyatakan pailit dari Pengadilan

Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf l.

c. surat tanda terima laporan kekayaan calon dari instansi yang berwenang memeriksa laporan

kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf j;

d. fotokopi:

1. ijazah pendidikan terakhir paling rendah

sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat yang telah dilegalisir oleh pihak

yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c;

2. kartu nomor pokok wajib pajak atas nama calon, tanda terima penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan

wajib pajak orang pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima) tahun terakhir, yang

dibuktikan dengan surat keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari kantor pelayanan pajak tempat calon yang

bersangkutan terdaftar, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf m;

3. Kartu . . .

- 20 -

3. Kartu Tanda Penduduk elektronik dengan nomor induk kependudukan.

e. daftar riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari Partai Politik

atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon, pimpinan Partai Politik atau

pimpinan gabungan Partai Politik;

f. pas foto terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil

Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

g. naskah visi, misi, dan program Calon Gubernur

dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan

Calon Wakil Walikota.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan dan kelengkapan dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.

16. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 48

(1) Pasangan calon atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan pencalonan untuk Pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi dan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan

Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi administrasi dan dibantu oleh PPK dan PPS.

(2) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. mencocokkan dan meneliti berdasarkan nomor

induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, dan alamat dengan

mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan

sipil; dan

b. berdasarkan . . .

- 21 -

b. berdasarkan Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan

dari Kementerian Dalam Negeri.

(3) Verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi

atau Kabupaten/Kota.

(4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh pasangan calon perseorangan atau tim yang

diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPS untuk dilakukan verifikasi

faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) Hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.

(5) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan

calon perseorangan diserahkan ke PPS.

(6) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode sensus

dengan menemui langsung setiap pendukung calon.

(7) Verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) dan ayat (5), terhadap pendukung calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon diberikan kesempatan untuk

menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor PPS paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak

PPS tidak dapat menemui pendukung tersebut.

(8) Jika pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi faktual

sebagaimana dimaksud pada ayat (7), maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.

(9) Hasil verifikasi faktual berdasarkan nama

sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) tidak diumumkan.

(10) Hasil verifikasi dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dituangkan

dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan

kepada pasangan calon. (11) PPK . . .

- 22 -

(11) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan pasangan calon untuk menghindari

adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang

dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.

(12) Hasil verifikasi dukungan pasangan calon

perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan

hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada pasangan calon.

(13) Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,

Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, salinan hasil verifikasi

dan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipergunakan oleh pasangan calon perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan

dukungan pencalonan.

(14) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan

pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih

dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.

(15) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara verifikasi diatur dalam Peraturan KPU.

17. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54

(1) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu sejak penetapan pasangan calon sampai

dengan hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan

pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.

(2) Partai . . .

- 23 -

(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon atau salah satu calon

dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak pasangan calon atau salah satu

calon dari pasangan calon meninggal dunia.

(3) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota meneliti

persyaratan administrasi pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal pengusulan.

(4) Dalam hal pasangan calon atau salah satu calon

dari pasangan calon pengganti memenuhi persyaratan berdasarkan hasil penelitian

administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon atau salah satu calon

dari pasangan calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari terhitung sejak dinyatakan memenuhi syarat.

(5) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan pasangan calon pengganti

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan gugur dan tidak dapat mengikuti Pemilihan.

(6) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan salah satu calon dari pasangan

calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), salah satu calon yang tidak meninggal dunia, dinyatakan gugur dan tidak dapat

mengikuti Pemilihan.

(7) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu 29 (dua puluh

sembilan) Hari sebelum hari pemungutan suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak

dapat mengusulkan calon pengganti, dan salah satu calon dari pasangan calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan.

(8) Dalam . . .

- 24 -

(8) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (7), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota

wajib mengumumkan kepada masyarakat.

18. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 4 (empat)

pasal, yakni Pasal 54A, Pasal 54B, Pasal 54C, dan Pasal 54D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54A

(1) Dalam hal pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan

calon sampai dengan hari pemungutan suara, pasangan calon dinyatakan gugur serta tidak dapat mengikuti Pemilihan.

(2) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan

hari pemungutan suara, calon perseorangan dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 (tiga

puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara untuk ditetapkan sebagai pasangan calon Pemilihan.

(3) Dalam hal salah satu calon dari pasangan calon

perseorangan meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota wajib mengumumkan kepada masyarakat.

Pasal 54B

Ketentuan mengenai meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 54A berlaku secara

mutatis mutandis terhadap pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon dalam Pemilihan 1 (satu)

pasangan calon.

Pasal 54C

(1) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan

dalam hal memenuhi kondisi:

a. setelah . . .

- 25 -

a. setelah dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan

pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan

memenuhi syarat;

b. terdapat lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang

mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi syarat dan setelah

dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang

mendaftar atau pasangan calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak

memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;

c. sejak penetapan pasangan calon sampai dengan

saat dimulainya masa Kampanye terdapat pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak

mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti yang

diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;

d. sejak dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat

pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti

atau calon/pasangan calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu)

pasangan calon; atau

e. terdapat pasangan calon yang dikenakan sanksi

pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.

(2) Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2

(dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.

(3) Pemberian . . .

- 26 -

(3) Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos.

Pasal 54D

(1) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.

(2) Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh

mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.

(3) Pemilihan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun berikutnya

atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan

penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemilihan

1 (satu) pasangan calon diatur dengan Peraturan KPU.

19. Ketentuan ayat (2) Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 57

(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih.

(2) Dalam hal warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan

Kartu Tanda Penduduk Elektronik.

(3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus memenuhi syarat:

a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

dan/atau

b. tidak . . .

- 27 -

b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

(4) Warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat pemungutan suara

tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), yang bersangkutan

tidak dapat menggunakan hak memilihnya.

20. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 58

(1) Daftar Pemilih Tetap pemilihan umum terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran data

pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan.

(2) Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kabupaten/Kota yang telah dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai bahan penyusunan daftar Pemilih untuk

Pemilihan.

(3) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atau sebutan lain dan tambahan Pemilih yang

telah memenuhi persyaratan sebagai Pemilih paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak

diterimanya hasil konsolidasi, verifikasi, dan validasi.

(4) Daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada PPK

untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK.

(5) Rekapitulasi daftar Pemilih hasil pemutakhiran

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat

3 (tiga) Hari terhitung sejak selesainya pemutakhiran untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat kabupaten/kota, yang kemudian ditetapkan sebagai

Daftar Pemilih Sementara.

(6) Daftar . . .

- 28 -

(6) Daftar Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diumumkan secara luas dan melalui

papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari

masyarakat selama 10 (sepuluh) Hari.

(7) PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara

berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir.

(8) Daftar Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diserahkan

kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Tetap dan diumumkan oleh

PPS paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak jangka waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.

21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 59

Penduduk yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap diberi surat pemberitahuan sebagai Pemilih oleh PPS.

22. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 61 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61

(1) Dalam hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam daftar

Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.

(2) Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat

pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk

Elektronik. (3) Sebelum . . .

- 29 -

(3) Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu

mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih tambahan.

(4) Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.

23. Ketentuan ayat (2) Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

(1) Kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.

(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan

calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil

Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.

(3) Jadwal pelaksanaan Kampanye ditetapkan oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota

dan Wakil Walikota dengan memperhatikan usul dari pasangan calon.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.

24. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 65 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65

(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:

a. pertemuan terbatas;

b. pertemuan tatap muka dan dialog;

c. debat publik/debat terbuka antarpasangan

calon;

d. penyebaran bahan Kampanye kepada umum;

e. pemasangan . . .

- 30 -

e. pemasangan alat peraga;

f. iklan media massa cetak dan media massa

elektronik; dan/atau

g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2a) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didanai dan dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.

(2b) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e dapat didanai dan dilaksanakan

oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan metode Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sampai dengan ayat (2b) diatur dengan Peraturan KPU.

25. Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 68 diubah, sehingga

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 68

(1) Debat publik/debat terbuka antar calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali oleh

KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

(2) Debat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disiarkan secara langsung atau siaran tunda melalui lembaga penyiaran publik.

(3) Moderator debat dipilih oleh KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu

calon.

(4) Materi debat adalah visi, misi, dan program Calon

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dalam rangka:

a. meningkatkan . . .

- 31 -

a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

b. memajukan daerah;

c. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat;

d. menyelesaikan persoalan daerah;

e. menyerasikan pelaksanaan pembangunan

daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan

f. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.

(5) Moderator dilarang memberikan komentar, penilaian,

dan kesimpulan apapun terhadap penyampaian materi debat dari setiap pasangan calon.

26. Ketentuan Pasal 70 diubah, sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 70

(1) Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan:

a. pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;

b. aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan

c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.

(2) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat

negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang

mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi

ketentuan:

a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan

b. dilarang . . .

- 32 -

b. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

(4) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi

Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama

Menteri.

(5) Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur

dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.

27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71

(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa

atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang

melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat

persetujuan tertulis dari Menteri.

(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil

Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu

pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan

penetapan pasangan calon terpilih.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.

(5) Dalam . . .

- 33 -

(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil

Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan

sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

28. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73

(1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang

menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.

(2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi

administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

(3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain

juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada

warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:

a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;

b. menggunakan . . .

- 34 -

b. menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah; dan

c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.

(5) Pemberian sanksi administrasi terhadap

pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menggugurkan sanksi pidana.

29. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74

(1) Dana Kampanye pasangan calon yang diusulkan

Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari:

a. sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan

Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon;

b. sumbangan pasangan calon; dan/atau

c. sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau

badan hukum swasta.

(2) Dana Kampanye pasangan calon perseorangan dapat diperoleh dari sumbangan pasangan calon,

sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan

hukum swasta.

(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki

rekening khusus dana Kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi

atau KPU Kabupaten/Kota.

(4) Pasangan calon perseorangan bertindak sebagai penerima sumbangan dana Kampanye sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

(5) Sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari perseorangan

paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta

rupiah).

(6) Partai . . .

- 35 -

(6) Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon dan pasangan calon

perseorangan dapat menerima dan/atau menyetujui sumbangan yang bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan Kampanye yang jika

dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan dana Kampanye sebagaimana

dimaksud pada ayat (5).

(7) Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) harus mencantumkan identitas

yang jelas.

(8) Penggunaan dana Kampanye pasangan calon wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel

sesuai standar akuntasi keuangan.

(9) Pembatasan dana Kampanye pasangan calon

ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah pemilih, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya

daerah.

30. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 85 disisipkan 2 (dua)

ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85

(1) Pemberian suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara:

a. memberi tanda satu kali pada surat suara; atau

b. memberi suara melalui peralatan Pemilihan

suara secara elektronik.

(2) Pemberian tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan prinsip

memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilihan.

(2a) Pemberian suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan

mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.

(2b) Dalam . . .

- 36 -

(2b) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian

pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara untuk Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dengan cara mencoblos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (3).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.

31. Ketentuan Pasal 107 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 107 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107

(1) Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota

yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan

Calon Wakil Walikota terpilih.

(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati

serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih

yang lebih merata penyebarannya di seluruh kecamatan di kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil

Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.

(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta

Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati

terpilih serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terpilih.

32. Ketentuan . . .

- 37 -

32. Ketentuan Pasal 109 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109

(1) Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak

ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.

(2) Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, pasangan calon yang memperoleh

dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan

Calon Wakil Gubernur terpilih.

(3) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon

Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai

pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.

33. Di antara Pasal 133 dan Pasal 134 disisipkan 1 (satu)

pasal, yakni Pasal 133A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 133A

Pemerintahan Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah,

khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

34. Di antara Pasal 135 dan Pasal 136 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 135A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 135A

(1) Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan

pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

(2) Bawaslu . . .

- 38 -

(2) Bawaslu Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

harus dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan Bawaslu Provinsi.

(5) Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa

sanksi administrasi pembatalan pasangan calon.

(6) Pasangan calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi

atau KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.

(7) Mahkamah Agung memutus upaya hukum

pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

(8) Dalam hal putusan Mahkamah Agung membatalkan

keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menetapkan

kembali sebagai pasangan calon.

(9) Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur dengan Peraturan Bawaslu.

35. Ketentuan . . .

- 39 -

35. Ketentuan Pasal 144 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 144

(1) Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa

Pemilihan merupakan Putusan bersifat mengikat.

(2) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib

menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dan/atau putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) hari kerja.

(3) Seluruh proses pengambilan Putusan Bawaslu

Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat

dipertanggungjawabkan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan

Bawaslu.

36. Ketentuan Pasal 146 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 146

(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh

Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.

(2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan tugas dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan alat bukti untuk

kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

(3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14

(empat belas) hari kerja terhitung sejak laporan diterima dari Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.

(4) Dalam . . .

- 40 -

(4) Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja penuntut umum

mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk

dilengkapi.

(5) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sudah menyampaikan

kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.

(6) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja

terhitung sejak menerima berkas perkara dari penyidik.

37. Ketentuan Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 152

(1) Untuk menyamakan pemahaman dan pola

penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota,

Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu.

(2) Sentra penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada Bawaslu,

Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota.

(3) Anggaran operasional sentra penegakan hukum terpadu dibebankan pada Anggaran Bawaslu.

(4) Ketentuan mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan bersama antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu.

(5) Peraturan bersama sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya

bersifat mengikat. 38. Ketentuan . . .

- 41 -

38. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 153

(1) Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha

negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil

Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.

(2) Peradilan Tata Usaha Negara dalam menerima,

memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan menggunakan Hukum

Acara Tata Usaha Negara, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

39. Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 154

(1) Peserta Pemilihan mengajukan keberatan terhadap

keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Provinsi dan/atau

Panwas Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.

(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan.

(3) Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan dalam

jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya gugatan oleh Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara.

(4) Apabila . . .

- 42 -

(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penggugat belum menyempurnakan

gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

(5) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.

(6) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan

memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak gugatan dinyatakan

lengkap.

(7) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya

dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.

(8) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya

putusan.

(9) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja

terhitung sejak permohonan kasasi diterima.

(10) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final

dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali.

(11) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari.

(12) KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan

sepanjang tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.

40. Ketentuan . . .

- 43 -

40. Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156

(1) Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota

dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.

(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang

signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

41. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 157

(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.

(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.

(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara

tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan

peradilan khusus.

(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan

suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung

sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan

Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.

(7) Dalam . . .

- 44 -

(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon

dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.

(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45

(empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.

(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.

(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

42. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 158

(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan

penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan

2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat

perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000

(enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen)

dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari

6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan

perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan

suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; dan

d. provinsi . . .

- 45 -

d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan

perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil

penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.

(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil

penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa,

pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2%

(dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa,

pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar

1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan

1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen)

dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih

dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika

terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU

Kabupaten/Kota.

43. Ketentuan . . .

- 46 -

43. Ketentuan Pasal 160A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 160A

(1) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada

Presiden melalui Menteri, dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Provinsi menyampaikan

penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada DPRD Provinsi, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan

pengangkatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berdasarkan usulan KPU Provinsi melalui KPU.

(2) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan

pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada Menteri melalui Gubernur, dalam jangka

waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Kabupaten/Kota menyampaikan penetapan pasangan calon Bupati

dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota, Menteri berdasarkan usulan

Gubernur mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan

usulan KPU Kabupaten/Kota melalui KPU Provinsi.

(3) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan

penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri, Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta

pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan usulan KPU Kabupaten/Kota melalui

KPU Provinsi.

(4) Pengesahan pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan paling

lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan.

(5) Ketentuan . . .

- 47 -

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

44. Ketentuan Pasal 162 ayat (3) diubah sehingga Pasal 162

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 162

(1) Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal

pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(2) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan

yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(3) Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan

Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak

tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri.

45. Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 163

(1) Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara.

(2) Dalam hal Presiden berhalangan, pelantikan

Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden.

(3) Dalam hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan

Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri.

(4) Dalam . . .

- 48 -

(4) Dalam hal calon Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon

Wakil Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Gubernur meskipun tidak secara berpasangan.

(5) Dalam hal calon wakil Gubernur terpilih meninggal

dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi

Gubernur meskipun tidak secara berpasangan.

(6) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka

pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

(7) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada

saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai

Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

(8) Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terpidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat

pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur

dan/atau Wakil Gubernur.

46. Ketentuan Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 164

(1) Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil

Walikota dilantik oleh Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan.

(2) Dalam hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati

dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.

(3) Dalam . . .

- 49 -

(3) Dalam hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud

pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2), Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(4) Dalam hal calon Bupati dan Calon Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau

mengundurkan diri, calon wakil Bupati dan Calon wakil Walikota terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati dan Wakil Walikota meskipun tidak secara

berpasangan.

(5) Dalam hal calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan

tetap, atau mengundurkan diri, calon Bupati dan Calon Walikota terpilih tetap dilantik menjadi

Bupati, dan Walikota meskipun tidak secara berpasangan.

(6) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon

Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi

Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.

(7) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang

bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil

Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.

(8) Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik

menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau

Wakil Bupati/Wakil Walikota.

47. Di antara . . .

- 50 -

47. Di antara Pasal 164 dan Pasal 165 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 164A dan Pasal 164B sehingga

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 164A

(1) Pelantikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163

dan Pasal 164 dilaksanakan secara serentak.

(2) Pelantikan secara serentak sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

periode sebelumnya yang paling akhir.

(3) Dalam hal terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil

Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), Gubernur dapat melakukan pelantikan di Ibu kota Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

(4) Dalam hal lebih dari 1 (satu) provinsi yang terdapat

1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan serentak

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melakukan pelantikan secara bersamaan di Ibu

kota Negara.

Pasal 164B

Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan

dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak.

48. Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 165

Ketentuan mengenai jadwal dan tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diatur dengan

Peraturan Presiden.

49. Ketentuan . . .

- 51 -

49. Ketentuan ayat (2) dihapus sehingga Pasal 166 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 166

(1) Pendanaan kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan

dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2) Dihapus.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan

kegiatan Pemilihan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.

50. Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 173

(1) Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena:

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri; atau

c. diberhentikan;

maka Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan

Walikota.

(2) DPRD Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi Gubernur

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri untuk disahkan

pengangkatannya sebagai Gubernur.

(3) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam

waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil

Gubernur sebagai Gubernur berdasarkan:

a. surat kematian;

b. surat . . .

- 52 -

b. surat pernyataan pengunduran diri dari Gubernur; atau

c. keputusan pemberhentian.

(4) DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil

Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui

Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota.

(5) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak

menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Bupati/Walikota berhenti, Gubernur

menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengangkat dan

mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.

(6) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota kepada

Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri berdasarkan usulan DPRD Kabupaten/Kota

mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.

(7) Dalam hal Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota

tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri

mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota berdasarkan:

a. surat kematian;

b. surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau

c. keputusan pemberhentian.

(8) Ketentuan mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

51. Ketentuan . . .

- 53 -

51. Ketentuan Pasal 174 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 174

(1) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua)

pasangan calon kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih.

(3) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian

jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka Partai Politik atau gabungan Partai Politik

yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pasangan calon paling sedikit

20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi

(4) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

yang berasal dari perseorangan secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD

Kabupaten/Kota, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi.

(5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan proses pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berdasarkan perolehan suara

terbanyak.

(6) Dewan . . .

- 54 -

(6) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan hasil pemilihan kepada Presiden melalui Menteri

untuk Gubernur dan Wakil Gubernur dan kepada Menteri melalui Gubernur untuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.

(7) Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan

penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/Walikota.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan

melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

52. Ketentuan Pasal 176 diubah sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 176

(1) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan

Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota

dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan

usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.

(2) Partai Politik atau gabungan Partai Politik

pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

(3) Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari calon perseorangan

berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil

Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi dan DPRD

Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

(4) Pengisian . . .

- 55 -

(4) Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan jika

sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengusulan dan pengangkatan calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil

Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

53. Di antara Pasal 177 dan Pasal 178 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 177A dan Pasal 177B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 177A

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan

perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat

12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling

banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana

dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman

pidana maksimumnya.

Pasal 177B

Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota,

dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data dan daftar

pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh

empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00

(tujuh puluh dua juta rupiah).

54. Di antara . . .

- 56 -

54. Di antara Pasal 178 dan Pasal 179 disisipkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 178A sampai dengan Pasal 178H yang

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 178A

Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan

sengaja melakukan perbuatan melawan hukum mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua

puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

Pasal 178B

Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum

memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus

delapan) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp108.000.000,00 (seratus delapan juta rupiah).

Pasal 178C

(1) Setiap orang yang tidak berhak memilih yang

dengan sengaja pada saat pemungutan suara memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan

denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyuruh orang

yang tidak berhak memilih memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda

paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

(3) Dalam . . .

- 57 -

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.

Pasal 178D

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pemungutan suara

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 178E

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar, mengubah, merusak,

menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan)

bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit

Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara

Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.

Pasal 178F

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pleno penghitungan suara tahap akhir yang dilakukan di KPU Provinsi atau

KPU Kabupaten/Kota pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh

enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 178G . . .

- 58 -

Pasal 178G

Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih yang bukan pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang

mempunyai halangan fisik lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling

sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta

rupiah).

Pasal 178H

Setiap orang yang membantu pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan sengaja memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling

sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

55. Ketentuan Pasal 180 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 180

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil

Gubernur, Calon Bupati/Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota/Calon Wakil Walikota, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga

puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum

menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,

dan Walikota/Wakil Walikota atau meloloskan calon dan/atau pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

dan Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama

96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp96.000.000,00

(sembilan puluh enam juta rupiah). 56. Di antara . . .

- 59 -

56. Di antara Pasal 182 dan Pasal 183 disisipkan 2 (dua)

pasal, yakni Pasal 182A dan Pasal 182B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 182A

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan

melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)

bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh

puluh dua juta rupiah).

Pasal 182B

Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan

tersebut tidak bisa ditinggalkan diancam dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling

sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua

juta rupiah).

57. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 185A dan Pasal 185B sehingga

berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185A

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh

puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan

paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penyelenggara

Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

maksimumnya. Pasal 185B . . .

- 60 -

Pasal 185B

Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KPU Provinsi, dan/atau petugas yang diberikan kewenangan melakukan

verifikasi dan rekapitulasi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap

dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan

paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

58. Di antara Pasal 186 dan Pasal 187 disisipkan 1 (satu)

pasal, yakni Pasal 186A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 186A

(1) Ketua dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau tingkat Kabupaten/Kota yang

mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4), ayat (5), dan

ayat (6) yang tidak didasarkan pada surat keputusan pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh

pengurus Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit

Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Penyelenggara Pemilihan yang menetapkan pasangan calon yang didaftarkan sebagai peserta

Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana maksimumnya.

59. Di antara . . .

- 61 -

59. Di antara Pasal 187 dan Pasal 188 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 187A sampai dengan Pasal 187D

sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 187A

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan

perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai

imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan

hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu

sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36

(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang

dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 187B

Anggota Partai Politik atau anggota gabungan Partai

Politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk

apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47

ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 187C . . .

- 62 -

Pasal 187C

Setiap orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja

melakukan perbuatan melawan hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan

Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat

24 (dua puluh empat) bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 187D

Pengurus lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan

paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

60. Di antara Pasal 190 dan Pasal 191 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 190A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 190A

Penyelenggara Pemilihan, atau perusahaan yang dengan

sengaja melakukan perbuatan melawan hukum merubah jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2,5% (dua

setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)

bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh

milyar lima ratus juta rupiah).

61. Ketentuan . . .

- 63 -

61. Ketentuan Pasal 193 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 193

(1) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan dan/atau

penghitungan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 113

berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU

Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat

puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan

paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

(2) Dalam hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

tidak menetapkan pemilihan lanjutan dan/atau pemilihan susulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Pasal 121 berdasarkan putusan

Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-

Undang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling

lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh

enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

(3) Ketua dan anggota KPPS, ketua dan anggota PPK, ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota, atau ketua dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja

melakukan perbuatan melawan hukum tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara

perolehan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon

Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama

60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(4) Ketua . . .

- 64 -

(4) Ketua dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama

60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling

banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(5) Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan

dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan calon Wakil

Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh)

bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(6) Setiap KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak

suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada Hari yang sama sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan

dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam

puluh juta rupiah).

(7) Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah

kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12

(dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak

Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

62. Di antara . . .

- 65 -

62. Di antara Pasal 193 dan Pasal 194 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 193A dan Pasal 193B yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 193A

(1) Ketua dan/atau anggota KPU Provinsi yang

melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan

paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

(2) Ketua dan/atau anggota KPU Kabupaten/Kota yang

melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan

paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).

Pasal 193B

(1) Ketua dan/atau anggota Bawaslu Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 29, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling

sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat

puluh empat juta rupiah).

(2) Ketua dan/atau anggota Panwas Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 32, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda

paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00

(seratus empat puluh empat juta rupiah).

63. Ketentuan . . .

- 66 -

63. Ketentuan Pasal 196 dihapus.

64. Di antara Pasal 198 dan Pasal 199 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 198A sehingga berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 198A

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan atau menghalang-halangi Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan

denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

65. Di antara Pasal 200 dan Pasal 201 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 200A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 200A

(1) Seleksi Penerimaan PPK dan PPS yang telah

dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan

Pasal 16 dan Pasal 19 Undang-Undang ini.

(2) Pengawasan terhadap tahapan rekrutmen PPK, PPS,

dan KPPS yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun

harus menyesuaikan dengan Pasal 30 huruf a angka 1 Undang-Undang ini.

(3) Surat keterangan sementara dari kepala dinas yang

menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat, baik

sebagai syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih dapat dipergunakan paling lambat sampai dengan

bulan Desember 2018.

(4) Syarat . . .

- 67 -

(4) Syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih

menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019.

(5) Pelantikan pasangan calon terpilih hasil Pemilihan

tahun 2017 dan tahun 2018 dapat dilakukan secara serentak bertahap.

66. Ketentuan Pasal 201 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 201

(1) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang

masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun

2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.

(2) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai

dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan

pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017.

(3) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan

tahun 2022.

(4) Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan

yang sama pada bulan Juni tahun 2018.

(5) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.

(6) Pemungutan . . .

- 68 -

(6) Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota

dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.

(7) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan

tahun 2024.

(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati

dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan

November 2024.

(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati,

dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

(10) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur,

diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan

pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(11) Untuk mengisi kekosongan jabatan

Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan

Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan

Peraturan KPU.

67. Di antara . . .

- 69 -

67. Di antara Pasal 205A dan Pasal 206 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 205B dan Pasal 205C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 205B

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua

Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678); dan

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656);

dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 205C

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak

Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .

- 70 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 1 Juli 2016

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 Juli 2016

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 130

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 2016

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

I. UMUM

Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dirasakan masih menyisakan sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Di

sisi lain, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 perlu diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain:

a. tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain terkait:

1) persyaratan atas kewajiban bagi pegawai negeri sipil untuk

menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;

2) persyaratan atas kewajiban bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyatakan pengunduran diri sejak penetapan sebagai

pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;

3) Persyaratan . . .

- 2 -

3) persyaratan terkait mantan terpidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika telah

mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum;

4) dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;

5) pengaturan terkait pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika hanya terdapat 1 (satu) pasangan;

b. penegasan terkait pemaknaan atas nomenklatur Petahana untuk menghindari multitafsir dalam implementasinya;

c. pengaturan mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. penyederhanaan penyelesaian sengketa proses pada setiap tahapan

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota agar keserentakan pencoblosan

maupun pelantikan dapat terjamin;

e. penetapan mengenai waktu pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta

Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2020 dan 2024;

f. pengaturan mengenai pelantikan serentak Gubernur dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik secara serentak oleh Presiden di ibu kota Negara serta penegasan terkait waktu pelantikan agar selaras dengan kebijakan

penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak, yang pelantikan tersebut dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota sebelumnya yang paling akhir;

g. pengaturan sanksi yang jelas bagi yang melakukan politik uang (money politic) dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;

h. pengaturan terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Walikota dan Wakil Walikota yang

diberhentikan.

Selain . . .

- 3 -

Selain hal tersebut, Undang-Undang ini juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan

Pemilihan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1 Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d Dihapus.

Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas. Huruf g

Yang dimaksud dengan “mantan terpidana”

adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar

narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

Huruf h

Cukup jelas. Huruf i

Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta

perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k . . .

- 4 -

Huruf k Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan

negara” adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan

hukum baik sengaja maupun lalai. Huruf l

Cukup jelas. Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n Cukup jelas.

Huruf o

Cukup jelas. Huruf p

Cukup jelas. Huruf q

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah

penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, Wakil

Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota.

Huruf r Dihapus.

Huruf s

Cukup jelas. Huruf t

Cukup jelas. Huruf u

Cukup jelas.

Angka 2 Pasal 9

Cukup jelas.

Angka 3

Pasal 10 Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf b1 . . .

- 5 -

Huruf b1 Yang dimaksud dengan “segera” yakni tidak

melampaui tahapan berikutnya. Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d Cukup jelas.

Angka 4

Pasal 16 Cukup jelas.

Angka 5

Pasal 19 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan “Anggota PPS” adalah orang

yang diangkat, berasal, dan berdomisili di wilayah kelurahan/desa setempat.

Angka 6

Pasal 20 Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “verifikasi dukungan calon perseorangan” adalah penelitian mengenai keabsahan

surat pernyataan dukungan, fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik, pembuktian tidak adanya dukungan ganda, tidak adanya pendukung yang telah

meninggal dunia, tidak adanya pendukung yang sudah tidak lagi menjadi penduduk di wilayah yang

bersangkutan, atau tidak adanya pendukung yang tidak mempunyai hak pilih.

Yang dimaksud dengan “rekapitulasi dukungan calon

perseorangan” adalah pembuatan rincian nama-nama pendukung calon perseorangan berdasarkan hasil verifikasi yang ditandatangani oleh ketua dan anggota

PPS serta diketahui oleh kepala kelurahan/kepala desa atau sebutan lain.

Huruf d . . .

- 6 -

Huruf d Cukup jelas.

Huruf e Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas. Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas. Huruf k

Cukup jelas. Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m Dihapus.

Huruf n

Dihapus. Huruf o

Dihapus. Huruf p

Dihapus.

Huruf q Cukup jelas.

Huruf r Cukup jelas.

Huruf s

Cukup jelas. Huruf t

Cukup jelas.

Huruf u Cukup jelas.

Huruf v Cukup jelas.

Huruf w

Cukup jelas. Huruf x

Cukup jelas.

Angka 7 . . .

- 7 -

Angka 7 Pasal 21

Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 22B Cukup jelas.

Angka 9

Pasal 30

Cukup jelas.

Angka 10 Pasal 33

Cukup jelas.

Angka 11 Pasal 40

Ayat (1) Yang dimaksud dengan “jumlah kursi” adalah

perolehan kursi yang dihitung dari jumlah kursi Partai Politik/gabungan Partai Politik.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 40A Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah putusan

pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ayat (4) . . .

- 8 -

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 41 Cukup jelas.

Angka 14

Pasal 42 Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 45 Cukup jelas.

Angka 16

Pasal 48 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) Yang dimaksud dengan “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau Kabupaten/Kota” antara lain dengan

menggunakan sistem dan aplikasi yang bisa diperbantukan atau dipinjamkan berupa peralatan dan tenaga teknis.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas.

Ayat (9) Cukup jelas.

Ayat (10) . . .

- 9 -

Ayat (10) Cukup jelas.

Ayat (11) Cukup jelas.

Ayat (12)

Cukup jelas. Ayat (13)

Cukup jelas. Ayat (14)

Cukup jelas.

Ayat (15) Cukup jelas.

Angka 17

Pasal 54 Cukup jelas.

Angka 18

Pasal 54A Cukup jelas.

Pasal 54B

Cukup jelas.

Pasal 54C

Cukup jelas.

Pasal 54D

Cukup jelas.

Angka 19 Pasal 57

Cukup jelas.

Angka 20 Pasal 58

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “pemutakhiran” adalah menambah dan/atau mengurangi calon pemilih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, bukan untuk merubah elemen data yang bersumber dari DP4. Ayat (4) . . .

- 10 -

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas. Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9) Cukup jelas.

Angka 21

Pasal 59 Cukup jelas.

Angka 22

Pasal 61 Cukup jelas

Angka 23 Pasal 63

Cukup jelas.

Angka 24 Pasal 65

Cukup jelas.

Angka 25 Pasal 68

Cukup jelas.

Angka 26 Pasal 70

Cukup jelas.

Angka 27 Pasal 71

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat negara” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang

mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara.

Yang . . .

- 11 -

Yang dimaksud dengan “pejabat daerah” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang

mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. Ayat (2)

Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka

Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.

Yang dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas.

Angka 28 Pasal 73

Ayat (1)

Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi pemberian biaya makan minum

peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog,

dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 29 Pasal 74

Ayat (1) Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

- 12 -

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Yang dimaksud dengan “sumbangan yang bukan

dalam bentuk uang” adalah pemberian sebagai bantuan atau sokongan yang bersifat sukarela dalam bentuk barang atau kegiatan.

Ayat (7) Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Angka 30 Pasal 85

Cukup jelas.

Angka 31 Pasal 107

Cukup jelas.

Angka 32

Pasal 109

Cukup jelas.

Angka 33 Pasal 133A

Cukup jelas.

Angka 34

Pasal 135A Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “terstruktur” adalah

kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.

Yang . . .

- 13 -

Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang,

tersusun, bahkan sangat rapi. Yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak

pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas. Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9) Cukup jelas.

Ayat (10) Cukup jelas.

Angka 35

Pasal 144 Cukup jelas.

Angka 36 Pasal 146

Cukup jelas.

Angka 37

Pasal 152 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) . . .

- 14 -

Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Peraturan Bersama” adalah

peraturan yang dibuat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu Republik Indonesia

paling sedikit memuat ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penanganan laporan atau keberatan,

pola hubungan, dan tata kerja, dan penempatan personil.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Angka 38 Pasal 153

Cukup jelas.

Angka 39 Pasal 154

Cukup jelas.

Angka 40 Pasal 156

Cukup jelas.

Angka 41 Pasal 157

Cukup jelas.

Angka 42 Pasal 158

Cukup jelas.

Angka 43

Pasal 160A Cukup jelas.

Angka 44

Pasal 162 Cukup jelas.

Angka 45

Pasal 163 Ayat (1)

Pelaksanaan serah terima jabatan Gubernur

dilakukan di ibu kota Provinsi. Ayat (2) . . .

- 15 -

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7) Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Angka 46 Pasal 164

Ayat (1)

Pelaksanaan serah terima jabatan Bupati/Walikota dilakukan di ibu kota Kabupaten/Kota.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6) Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas. Ayat (8)

Cukup jelas.

Angka 47 Pasal 164A

Cukup jelas. Pasal 164B

Cukup jelas.

Angka 48 Pasal 165

Cukup jelas.

Angka 49 . . .

- 16 -

Angka 49 Pasal 166

Cukup jelas.

Angka 50

Pasal 173 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “berhenti” adalah yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah.

Ayat (2) Usulan yang disampaikan DPRD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri merupakan calon Gubernur

yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Usulan yang disampaikan DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur merupakan calon Bupati/Walikota yang diumumkan dalam rapat

paripurna DPRD Kabupaten/Kota. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7) Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas.

Angka 51

Pasal 174 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Partai Politik atau gabungan

Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) pasangan calon” adalah Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil

Walikota melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ayat (3) . . .

- 17 -

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8) Cukup jelas.

Angka 52

Pasal 176 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan “gabungan Partai Politik

pengusung mengusulkan 2 (dua) orang” adalah calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang diusulkan gabungan Partai Politik berjumlah 2

(dua) orang calon. Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Angka 53

Pasal 177A Cukup jelas.

Pasal 177B

Cukup jelas.

Angka 54 Pasal 178A

Cukup jelas.

Pasal 178B

Cukup jelas.

Pasal 178C . . .

- 18 -

Pasal 178C Cukup jelas.

Pasal 178D

Cukup jelas.

Pasal 178E

Cukup jelas.

Pasal 178F

Cukup jelas.

Pasal 178G

Cukup jelas.

Pasal 178H Cukup jelas.

Angka 55 Pasal 180

Cukup jelas.

Angka 56 Pasal 182A

Cukup jelas.

Pasal 182B

Cukup jelas.

Angka 57 Pasal 185A

Cukup jelas.

Pasal 185B

Cukup jelas.

Angka 58

Pasal 186A Cukup jelas.

Angka 59 Pasal 187A

Cukup jelas.

Pasal 187B . . .

- 19 -

Pasal 187B Cukup jelas.

Pasal 187C

Cukup jelas.

Pasal 187D

Cukup jelas.

Angka 60

Pasal 190A Cukup jelas.

Angka 61

Pasal 193 Cukup jelas.

Angka 62

Pasal 193A Cukup jelas.

Pasal 193B

Cukup jelas.

Angka 63 Pasal 196

Dihapus.

Angka 64 Pasal 198A

Cukup jelas.

Angka 65 Pasal 200A

Cukup jelas.

Angka 66 Pasal 201

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4) . . .

- 20 -

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas. Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9) Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang sama/berbeda.

Ayat (10) Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas. Ayat (12)

Cukup jelas.

Angka 67 Pasal 205B

Cukup jelas.

Pasal 205C

Cukup jelas.

Pasal II Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5898

���

Menimbang :

23

Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat, setelah :

1. bahwa pengertian risywah dan status hukum-nya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat;

2. bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum ma-salah dimaksud.

1. Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat tentang masalah pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat yang dikaitkan dengan penegakan pemerintahan/ manajemen yang bersih dan sehat;

2. Pendapat dan saran-saran peserta sidang/Munas.

Memperhatikan :

RISYWAH (SUAP), GHULUL (KORUPSI) DAN

HADIAH KEPADA PEJABAT

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

���

Mengingat : 1. Firman Allah SWT:

“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Ba-qarah [2]: 188).

“Hai orang yang beriman! Janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan ja-lan yang batil...” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).

“… Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu...” (QS. Ali ‘Imran [3]: 161).

2. Hadis-hadis Nabi dan atsar menegaskan, antara lain:

الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا

:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها

:النساء(

نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:

أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر

اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب

لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه

هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي

ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء

تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا

كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان

)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم

دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى

الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا

:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها

:النساء(

نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:

أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر

اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب

لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه

هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي

ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء

تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا

كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان

)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم

دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى

الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا

:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها

:النساء(

نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:

أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر

اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب

لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه

هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي

ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء

تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا

كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان

)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم

دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى

الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا

:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها

:النساء(

نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:

أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر

اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب

لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه

هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي

ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء

تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا

كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان

)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم

دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى

���

الحكامإلىبهاوتدلوابالباطلبينكمأموالكموالتأكلواتعلمونوأنتمباإلثمالناسأموالمنفريقالتأكلوا

:.(البقرة(بالباطلبينكمأموالكمتأكلواالواآمنالذينياأيها

:النساء(

نموللغيأتيابمغلمويةاميالق)آلعمران:

أنسولراللهلىصاللههليعلمسولمعتاسلاامعاءهفجلامالعنيحغفرنمهلمعفقالايولسر

اللهذاهلكمذاهويدأهيلفقاللهأفلاتدقعثملاأملكأيهدىفنظرتوأمكأبيكبيتفيقامولسراللهلىصاللههليعلمسوةيشعدعب

لاةالصدهشفتىأثنولىعاللهابموهلهأهثمقالهذافيقولفيأتينانستعملهالعاملبالفمابعدأمانمكملمعذاهويدأهيلأفلادقعيفتيبأبيه

هأموظرفنلهىدهيلهأملايالذفوفسندمحمهدبيلالغيكمدأحاهنمئايشإلااءجبهموي

ةاميالقلهمحيلىعهقنعإنكاناريعباءجبهلهوإنخوارلهابهاجاءبقرةكانتوإنرغاء

تكاناةشاءجابهرعيتفقدتلغبفقالوأبديمحثمفعرولسراللهلىصاللههليعلمسوهديىتحسمعوقدحميدأبوقالإبطيهعفرةإلىلننظرإنا

كذليعميزدنبثابتنمبيالنلىصاللههليعلمسولوهفس)رواه،البخاريكتاباألميان

)النيبمينيكانتكيفبابوالنذور،لمعتاسولسراللهلىصاللههليعلمسولاجرنم

دالأسقاليلهنابةبياللتقالورمعنابوأبيرمعليوهذالكمهذاقالقدمفلماالصدقةعلى

يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام

ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا

يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال

إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا

نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله

أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى

قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن

هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو

BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

���

يدأهيلقالفقامولسراللهلىصاللههليعلمسولىعربنالمدمفحاللهىأثنوهليعقالوام

ليأهديوهذالكمهذافيقولأبعثهعاملبالينظرحتىأمهبيتفيأوأبيهبيتفيقعدأفلا

يناللابيدهمحمدنفسوالذيلاأمإليهأيهدىدأحكمنماهنمئايشإلااءجبهمويةاميالقلهمحيشاةأوخوارلهابقرةأورغاءلهبعريعنقهعلىرعيتثمفعرهيديىتحانأيرةفرعهطيإبثمقالماللهلهتلغبنيترماثندحقحإسنبرإبيماهدبعونبديمحقالاانربأخدبعاقزالراثندحرمعمنعريهالزنعةورعنعأبيديمحيداعالساللتبيةابنوسلمعليهاللهصلىالنبياستعملقال

إلىفدفعهبالمالفجاءالصدقةعلىزدالأمنرجلابيالنلىصاللههليعلمسوفقالذاهالكممهذهوعليهاللهصلىالنبيلهفقالليأهديتهديةلمسوأفلاتدقعيفتيبأبيككأموظرنفتعليهاللهصلىالنبيقامثملاأمإليكأيهدىلمسوايبطخثمذكروحنيثدحانفيس)رواهحترمياإلمارة،الساعدي،حميدأبيعنمسلم)العمالهدايا

نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمويفكمالحقاليفوابالبنعدبعالله

أبوقالسلمةوأمحديدةوابنوعائشةعمروبنصحيححسنحديثهريرةأبيحديثعيسى

قدوويرذاهيثدالحنعأبيةلمسنبدبعاللهصلىالنبيعنعمروبناللهعبدعنالرحمن

هليعلمسوويرونعأبيةلمسنعأبيهنعبيالنعبدعتسموقاليصحولاوسلمعليهاللهصلىاللهنبدبعنمحالرقولييثدحأبيةلمسنعدبعاللهنبرومعنعبيالنلىصاللههليعلمسو

نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(

نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع

)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله

ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف

ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن

مراحمذهأخمرحهطاؤإع

احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(

���

نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(

نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع

)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله

ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف

ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن

مراحمذهأخمرحهطاؤإع

احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(

3. Kaidah Fiqhiyah :

“Sesuatu yang haram mengambilanya haram pula memberikannya.”

نسأحءيشيفذاهابالبحأصو)رواهالترمذينعأبي،ةريرهاألحكامعنرسولاهللا(

نلعولسراللهلىصاللههليعلمسوياشالريشترالمو)رواهالترمذينعدبعاللهنب،رومع

)صحيححسنحديثهذاعيسىأبوقالقالولسراللهلىصاللههليعلمسونلعالله

ياشالريشترالموشائوالريفكمالح)رواهأمحد)هريرةأبيعنواألربعةمسندهيف

ويرنعنابدوعسمهأنذأخضبأرةشبالحعنورويسبيله،فخليدينارينفأعطىبشيء،ةاعمجنمةمأئنيابعالتاقالوأسالبأنانعصيالنهاية(الظلمخافإذاومالهنفسهعنالرجل)األثريالبن

مراحمذهأخمرحهطاؤإع

احلقيبطلأوالباطلماحيققالرشوة(

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG RISYWAH (SUAP) GHULUL

(KORUPSI) DAN HADIAH KEPADA PEJABAT

Pertama : Pengertian

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau membatilkan perbuatan yang hak. ( الرشةومايقحقالبلاطأويبلطالحق ). Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra’isy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).

2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.

3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.

4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syari’at Islam.

BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

���

Kedua : Hukum

1. Memberikan risywah dan menerimanya hu-kumnya adalah haram.

2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.

3. Memberikan hadiah kepada pejabat:

a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;

b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:

1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;

2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);

3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pem-beri memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

Ketiga : Seruan

Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-hal tersebut.

Keempat : Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan : Jakarta, 27 Rabi’ul Akhir 1421 H29 Juli 2000 M

��0

DEWAN PIMPINAN

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua Umum

ttd

K.H. M.A. Sahal Mahfudh

Sekretaris Umum

ttd

Prof. DR. H.M. Din Syamsuddin

BIDANG SOSIAL DAN BUDAYA