POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASAORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASAORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA
ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum
Dosen Pembimbing : Rima Vien P.H, SH, MH
Disusun Oleh :Achmad Marwan N.H (K6412001)An-nisa Nur S.I.S (K6412005)Desy Nugraheni (K6412016)Diah Nurul Aini (K6412019)Gallih Sapoetra W.P (K6412029)Haniatul Hidayah (K6412031)Putri Puspitasari (K6412058)Rifka Haryanti (K6412059)Triwiyanti (K6412069)Turyati (K6412070)Umi Setyowati (K6412072)
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem
pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections).
Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia
perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu;
sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih,
pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan,
intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai
praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu.
Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan
peraturan perundang-undangan pemilu beserta aparat yang
bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu
tersebut.
Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan
selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum
pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak
pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak
ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan perundangan-
undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas
2 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi
punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil
pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini
KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas masalah lain
(di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh
penyelenggara pemilu. Banyaknya kasus pelanggaran
administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta
banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara
pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang
bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi
legitimasi hasil pemilu.
Selain itu, proses penegakan hukum Pemilu meliputi
berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara,
pidana dan perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan
beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi,
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini
menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan
bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain.
Dari gambaran tersebut memperlihatkan betapa rumitnya
penegakan hukum dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga
pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih
dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu
meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan
pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit
penegakan hukum dalam Pemilu.
3 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu
tersebut, materi peraturan perundang-undangan pemilu harus
dilengkapi, diperjelas, dan dipertegas. Yang tak kalah
penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak hukum
pemilu agar mampu bekerja secara efektif. Kajian ini
memetakan kembali masalah penegakan hukum pemilu dan
selanjutnya merumuskan sistem penegakan hukum pemilu yang
ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar pemilu
demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia.
Selain itu, kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi
kebijakan tentang bagaimana membangun sistem penegakan hukum
pemilu yang ideal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dari politik hukum pemilihan
umum ?
2. Bagaimanakah periodisasi politik hukum pemilihan umum
yang terjadi di Indonesia dari masa orde lama, orde baru
dan reformasi ?
C. Tujuan
1. Mengetahui gambaran umum dari politik hukum pemilihan
umum.
2. Mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan umum yang
terjadi di Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan
reformasi.
4 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Politik Hukum Pemilu
Proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945
membawa semangat demokrasi dan menjanjikan
diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum yang
responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia sudah
menjanjikan diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk
aparatur demokrasi yang representatif. Namun berbagai
kendala politis, baik yang bersifat eksternal maupun
internal menyebabkan Pemilu baru benar-benar dapat
dilaksanakan pada tahun 1955.
Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting
dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan.
Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-
politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam
lembaga pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai
orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban
untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang
lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu,
adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan
politik modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk
mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan
tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang
6 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan
poitik secara sah dan damai. Dengan demikian seperti halnya
pemilu, parpol pun merupakan komponen penting dari negara
demokrasi. Perlu ditegaskan pembahasan hukum pemilu tidak
dapat dilepaskan dari pembahasan sistem yang mengatur
tentang susunan dan kedudukan lembaga perwakilan. Pemilu
mutlak diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi.
(Moh. Mahfud MD: 2009)
Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan
perubahan Undang-Undang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu
tahun 1955 hingga saat ini setidaknya sudah terseleggara
sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.
Indonesia telah melahirkan sebelas Undang-Undang
Pemilu, hal ini disebabkan pada pemilu legislatif tahun 2014
telah lahir satu Undang-Undang pemilu dan masih ditambah
dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Pesiden yang
pada saat penyelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan
Undang-Undang sendiri, maka tidak aneh jika Moh. Mahfud MD
menyatakan bahwa sejarah pemilu di Indonesia adalah sejarah
politik hukum tentang pemilu (Benni Setiawan, pemilu dalam
optik politik hukum: 2012).
Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa Undang-
Undang Pemilu di Indonesia selalu lahir sebagai ”proses
instrumental” atau percobaan yang tak selesai-selesai. Hal
7 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena ada
kesadaran bahwa pemilu yang diseleggarakan sebelumnya
mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong
pemilu berikutnya. Kedua, karena terjadi perubahan maupun
mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik
tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai
kursi DPR. Karena terjadi perubahan situasi, misalnya,
demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus
diakomodasi di dalam Undang-Undang Pemilu. (Benni Setiawan,
pemilu dalam optik politik hukum: 2012).
B. Periodisasi Politik Hukum Pemilihan Umum Yang Terjadi Di
Indonesia
1. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Lama (1945-1966)
Politik hukum Pemilu pada masa orde lama dibagi lagi
ke dalam dua periode yakni periode demokrasi liberal
(1945-1959) dan periode demokrasi terpimpin (1959-1966).
Pada masa demokrasi liberal, terdapat produk hukum pemilu
yang responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah
Indonesia memang telah menjanjikan diselenggarakannya
Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang
representatif. Namun berbagai kendala politis baik
eksternal maupun internal menyebabkan pemilu baru dapat
dilaksanakan pada tahun 1955. Herbert Feith dalam Mahfud
MD (2009:309) menyatakan bahwa sebelum tahun 1955
8 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
sebenarnya telah ada produk hukum tentang pemilihan
anggota lembaga perwakilan yakni UU No.27 Tahun 1948 yang
kemudian diperbarui dengan UU No.12 Tahun 1949, tetapi
tidak pernah dapat diimplementasikan karena pergolakan
revolusi.
Kemudian pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR
menyetujui UU tentang Pemilihan umum (PEMILU) untuk
anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu
UU No. 7 tahun 1953. UU No.7 Tahun 1953 ini lahir karena
didorong oleh kehendak masyarakat pada waktu itu yang
menekan segera dihentikannya proses lempar-melempar RUU
Pemilu, sehingga kemudian UU ini dibahas oleh badan
perwakilan rakyat secara fair. Maka dapat dikatakan bahwa
terdapat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam
melahirkan UU ini. Materi muatan yang terkandung dalam UU
juga mencerminkan unsur aspiratif dan limitatif.
UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang sangat
responsif. UU ini mengatur dengan sangat rinci sistem
Pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses pemilunya
(electoral process), sehingga sangat sulit kemungkinan eksekutif
untuk menafsirkan sendiri UU Pemilu ini untuk kepentingan
pribadi maupun golongan. UU ini memang memberikan
kewenangan pemerintah untuk membuat aturan pelaksana dari
UU ini, namun materi yang dapat diatur dalam aturan
pelaksana tersebut benar-benar yang bersifat teknis. UU
9 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
ini juga menempatkan seluruh warga negara yang berumur
minimal 18 tahun atau sudah kawin sebagai subyek
pemilihan tanpa membeda-bedakan latar belakang politik
dan golongan, termasuk anggota ABRI juga memiliki hak
pilih yang sama dengan warga negara biasa. Sedangkan
untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat
merupakan perseorangan maupun kelompok, sehingga setiap
orang dapat benar-benar dapat memilih atau membuat
saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang dipergunakan
adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan
stelsel daftar dan sisa suara terbanyak, dengan
menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas,
rahasia dan langsung.
UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian
Pemilu dengan sangat fair, dengan menempatkan pemerintah
sebagai pihak netral, dimana keterlibatannya hanya
sebatas untuk fasilitas administrasi, sehingga partai-
partai sendirilah yang memainkan peranan penting dalam
pemilu. Dalam UU ini juga dikenal sistem pengangkatan
untuk anggota konstituante maupun DPR. Tetapi
pengangkatan ini semakin memperkuat ke-responsif-an dari
UU ini sendiri, karena pengangkatan dilakuakan untuk
memberikan jaminan adanya wakil sejumlah minimal kursi
bagi golongan minoritas Cina, Eropa dan Arab, dan bukan
untuk mewakili golongan pemegang kekuasaan. Sifat ke-
responsif-an produk hukum Pemilu UU No.7 tahun 1953 ini
10 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
tidak terlepas dari konfigurasi politik pada masa itu
yang harus diakui bersifat demokratis, dimana menganut
sistem demokrasi liberal.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pemilu untuk
pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, dengan dua
kali pemungutan suara, yaitu untuk anggota DPR dilakukan
pada bulan September 1955 dan untuk anggota konstutiante
dilakukan pada bulan desember 1955. Herbert faith dalam
Mahmud MD (2009:131) mengatakan bahwa kampanye yang
mendahului pemilu 1955 membawa pengaruh besar bagi
politisasi masa rakyat di desa-desa. Bahkan di banyak
tempat telah mengakibatkan semakin terlibatnya rakyat
dalam masalah-masalah politik, dalam skala yang lebih
besar dari pada masa revolusi. Aspirasi politik
masyarakat yang dibawa oleh media masa tanpa sensor,
justru semakin mendorong keinstabilitas karena sistem
politik pada waktu itu belum mapan dan tidak mengakar
secara cultural.
Sejak tahun 1956 politik kerakyatan telah memberikan
garis pengelompokan berdasarkan etnis dan geografis yang
dimulai dengan munculnya berbagai dewan diluar jawa, yang
mencapai puncaknya dengan meletusnya PRRI pada februari
1958, yaitu peristiwa serius yang mengancam keamanan
territorial. Terlihat dengan jelas bahwa krisis politik
merasuk keberbagai bagian. Di konstituante terjadi
11 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
perdebatan tentang ideology negara yang berkepanjangan
dan sia-sia. Kekuatan PKI semakin meningkat, pemerintah
tidak efektif menangani masalah-masalah di daerah, dan
perpecahan dwi tunggal soekarno hatta yang pada
gilirannya telah menyebabkan munculnya gerakan separatis
yang betul-betul mengancam keutuhan republik.
Terjadinya krisis politik yang berkepanjangan
disebabkan oleh kecenderungan sentrifugal sistem
multipartai yang dianut, seperti diketahui sejak bulan
November 1945 dengan maklumat no.X tahun 1945, telah
ditetapkan sistem multipartai.
Jika pada masa demokrasi liberal produk hukum Pemilu
bersifat responsif, tidak demikian pada masa demokrasi
terpimpin. Selama periode demokrasi terpimpin, tidak
pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan
pemilu. Seperti yang telah dikemukakan, lembaga
perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal periode ini
adalah DPR, yang anggotanya dibentuk berdasarkan hasil
pemilu 1955. Akan tetapi, dengan istilah penghentian
pelakasanaan tugas, DPR telah dibubatkan secara sepihak
oleh presiden Soekarno melalui penetapan presiden no 3
tahun 1960. Dictum penpres sebagai berikut :
a. Menghentikan pelakasanaan tugas dan pekerjaan anggota-
anggota dewan perwakilan rakyat DPR,
12 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
b. Mengusahakan pembaharuan DPR berdasarkan UUD 1945 dalam
waktu singkat.
Bunyi dictum ke dua yang lebih berupa janji untuk
membentu DPR yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah
rencana pemilu. Ini dapat dipahami dari keterangan
pejabat presiden Djuanda, bahwa pemilu akan diadakan pada
tahun 1962, karena tidak mungkin diadakan dalam waktu
dekat untuk mengisi kekosongan dalam keanggotaan DPR
sambil menunggu pemilu, dengan Penpres No.4 tahun 1960,
presiden membentuk semacam DPR sementara yang disebut
dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPR-GR). Demikian
suatu lembaga konstitusional yang seharusnya berfungsi
sebagai mitra pemerintah dalam memegang kekuasaan
legislative, dilakukan oleh lembaga sementara. DPR-GR,
sesuai dengan bunyi pasal 2 Penpres No.4 tahun 1960,
terdiri atas wakil-wakil golongan politik dan golongan
karya serta seorang wakil dari irian barat. DPR-GR
bekerja terus dengan fungsi yang sering diintervensi oleh
presiden dalam bentuk pembuatan penpres dan pemberian
kewenangan kepada DPA untuk membicarakan setiap RUU. MPRS
sebagai lembagai tinggi negara mengalami hal-hal yang
sama.
Janji presiden Soekarno untuk membentuk DPR baru
melalui pemilu selalu ditunda oleh pemerintah, dan pada
akhirnya tidak diwujudkan juga. Soekarno baru menyebut
13 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
lagi soal pemilu menjelang kejatuhannya sebagai presiden,
setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada 1966, setelah
ABRI memegang kunci kekuasaan melalui surat sebelas maret
(supersemar) dan pada saat-saat kejatuhan soekarno
tinggal menunggu waktu, tepatnya pada tanggal 17 agustus
melalui pidatonya yang berjudul “jangan sekali-sekali
meninggalkan sejarah / jasmerah”. Pidato
pertanggungjawaban presiden yang dikenal sebagai
nawaksara itu, soekarno pada tanggal 4 mei 1966
menyampaikan dua buah RUU, yakni RUU penyusunan MPR, DPR,
dan DPRD, serta RUU pemilihan umum. Tetapi, seruan
presiden ini tenggelam ditengah hiruk pikuk demonstrasi
dan sidang istimewa MPRS yang tampaknya tidak lagi
berpihak pada pemimpin besar revolusi. Pemilu pun tak
sempat dilaksanakan sampai kejatuhan presiden pada tahun
1967, bahkan sampai meninggalnya pada tahun 1970.
Tidak adanya produk hukum pemilu maupun ketidak-
sediaan pemerintah menyelenggarakan pemilu yang
diinginkan oleh rakyat ini tidak terlepas dengan
konfigurasi politik pada saat itu yang cenderung bersifat
otoriter dengan sistem demokrasi terpimpin, dimana
kekuasaan terpusat pada Soekarno sebagai presiden. Hal
ini juga terlihat dari karakteristik berbagai produk
hukum yang keluar pada masa itu yang cenderung bersifat
konservatif dan seringkali produk hukum yang dikeluarkan
14 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
berasal dari lembaga diluar DPR, yakni presiden bersama
Dewan Nasional yang produknya berbentuk Penpres.
2. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Setelah runtuhnya rezim Orde Lama maka muncul
kembali rezim baru yang disebut dengan Orde Baru. Masa
Orde Baru ini bisa dimulai ketika Presiden Soekarno
memberikan surat Supersemar kepada Soeharto. Joeniarto
dalam Mahfud MD (1998:200) mendefinisikan Orde Baru
sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang
diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila
dan UUD 1945. Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada
masa Orde Baru salah satunya tentang Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Pemilu).
Jalan yang ditempuh oleh Orde Baru untuk menjadikan
dirinya sebagai negara kuat yang kemudian menjadi
otoriter-birokratis adalah jalan konstitusional. ini
membawa rezim Orde Baru pada sikap tertentu
penyelenggaraan pemilu, yakni pemilu harus diadakan
sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan
pemerintah (Orde Baru) harus mendapat jaminan untuk
memenangkan pemilu tersebut. Dengan kemenangan dan
dominasi tangan pemerintah di lembaga permusyawaratan/
perwakilan diharapkan pemerintah dapat bekerja membangun
15 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
negara dalam suasana politik yang stabil (Mahfud,
2009:313)
Dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan
dalam dua buah UU yaitu UU No.15 Tahun 1969 tentang
Pemilu dan UU No.16 Tahun 1969 tentang Susduk
MPR/DPR/DPRD. UU Pemilu pada masa Orde Baru ini dapat
dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat
ortodoks/konservatif. UU No.15 Tahun 1969 ini hanya
memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika dibandingkan UU
Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat
139 Pasal. Sehingga UU ini memberikan kemungkinan yang
besa bagi pemerintah atau eksekutif untuk membuat
pengaturan (regeling) berdasarkan kewenangan delegasi. Selain
itu materi muatan dalam UU ini juga bersifat sangat umum,
maka dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat
dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar
asas kejujuran dan keadilan.
Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah
berumur 17 tahun atau sudah kawin mempunyai hak untuk
memilih, kecuali mereka yang terlibat anggota organisasi
terlarang menurut peraturan perundangan. Dalam Pasal 11
UU ini juga menerapkan sistem pengangkatan dalam
komposisi lembaga perwakilan, yang sebenarnya ditentang
oleh berbagai pihak karena dinilai kurang demokratis.
Porsi pengangkatan sendiri berjumlah 100 orang dari
jumlah seluruh anggota DPR yakni 500 orang (Pemilu 1987
16 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
dan 1992). Dari 100 porsi pengangkatan tersebut, sebanyak
75 porsi diangkat dari ABRI (ABRI tidak memiliki hak
pilih tetapi secara otomatis memiliki wakil di DPR/MPR).
Jika dibandingkan dengan rasio secara umum, jumlah
tersebut tidak proporsional (over-representation), sebab UU
Pemilu menentukan harga 1 kursi di DPR adalah 400.000
suara. Jika rasio ini dipakai, maka ABRI seharusnya hanya
dapat memiliki tidak lebih dari 2 wakil di DPR.
Selain terkait jumlah porsi pengangkatan, perbedaan
mencolok UU ini dengan UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953)
adalah motif dari pengangkatan tersebut. dalam UU No.15
Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi
politik pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan
pemerintah yang berkuasa dan berlaku untuk sejumlah kursi
yang ditetapkan (yakni 100 kursi), sedangkan menuruut UU
No.7 Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan minoritas
dan baru akan dilakukan bila hasil pemilu tidak
memberikan jumlah kursi minimal bagi golongan minoritas.
Asas-asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini
adalah asas langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia
sebenarnya pernah mengusulkan penambahan asas jujur dan
adil yang kemudian usul ini ditolak oleh fraksi Karya
Pembangunan dan ABRI. Golkar bersikap tidak ingin
mengubah UU Pemilu yang dinilainya sudah cukup bagus dan
relevan. Kalaupun usul tersebut tetap terus diperjuangkan
17 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
oleh PPP maupun PDI, maka sangat besar kemungkinan akan
kandas karena perimbangan jumlah anggota DPR tidak
seimbang. Jika Golkar yang jumlah wakilnya di DPR sangat
besar menantang voting, maka gabungan suara PPP dan PDI
tidak akan dapat memenangkannya, apalagi jika fraksi ABRI
mendukung Golkar.
Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilu, parpol
juga tidak diberikan peranan yang riil, karena ketua
panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat atau
pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol hanya
bersifat parsial. Selain itu mekanisme penyelenggaraan
pemilu juga mengandung kelemahan dalam sistem kontrol dan
dalam rantai penghitungan suara. Dalam hal kampanye, UU
ini juga membatasi waktu kampanye yakni sekitar 3 minggu
dan tema kampanye juga dibatasi dengan adanya larangan
untuk menyinggung hal tertentu yang dapat memojokkan
pemerintah yang diperkirakan akan berimplikasi pada
turunnya dukungan terhadap partai hegemoni yakni Golkar.
Ketidak-demokratis-an UU ini juga ditunjukkan dengan
adanya lembaga screening yang memungkinkan tangan-tangan
eksekutif mencoret nama-nama calon yang diajukan oleh OPP
untuk dipilih dalam pemilu. Selain itu juga ada mekanisme
recall atau penarikan kembali seseorang dari keanggotaan
lembaga perwakilan/permusyawaratan. Dimana dengan adanya
recall ini pemerintah dapat saja meminta parpol baik secara
18 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
terang-terangan maupun melalui isyarat-isyarat politik
untuk menarik anggotanya di lembaga perwakilan.
Karakteristik UU Pemilu pada masa Orde Baru yang
cenderung bersifat konservatif atau ortodoks tersebut
tidak terlepas dari konfigurasi politik atau rezim
politik yang pada saat itu berkuasa, yakni sebagaimana
yang sudah kita ketahui bersama bahwa rezim Orde Baru ini
diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental, dimana
kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan
Militer (ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik
porsi tertinggi dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan.
Ketika Orde Baru, berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun
1966, pemilu seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya
pada tanggal 6 Juli 1968. Namun Presiden Soeharto
kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada
waktu yang telah ditentukan. MPRS kemudian menjadwal
ulang pemilu dengan menetapkan pemilu paling lambat 5
juli 1971. Menurut Sigit Pamungkas (2009: 76) penundaan
yang dilakukan Presiden Soeharto ini disebut politik
pemilu pertama pada masa Orde Baru untuk mempersiapkan
jalan agar kekuasaannya langgeng (bertahan lama). Mahfud
MD (1999: 232) menyatakan bahwa dibalik penundaan pemilu
dari tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai
kesepakatan kompromis antara partai-partai dan pemerintah
meliputi dua hal: pertama, partai-partai setuju memberi
hak kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari
19 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
seluruh anggota MPR dan mengangkat 100 orang dari 460
orang anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui usul
partai-partai untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem
Proposional. Dengan demikian, maka pemerintah sudah
memiliki kemenangan dalam struktur politik dan
ketatanegaraan.
Harry Tjan Silalahi dalam Syamsuddin H (1998: 54)
memberikan gambaran ada dua hakikat pokok dalam pemilu
untuk pemahaman Politik (political self-understanding) Orde Baru.
Pertama, pemilu bukanlah merupakan suatu alat atau sarana
untuk mengubah pemerintah atau negara RI dan kedua
keterlibatan masyarakat di dalam pemilu lebih merupakan
kewajiban ketimbang hak warganegara. Kedua gambaran
tersebut dapat artikan bahwa pemilu pada Orde Baru lebih
menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan bukan untuk
mengganti rezim pemerintahan. Ada hal mendasar yang
menjadikan pemilu-pemilu pada Orde Baru dikategorikan
pemilu yang tidak demokratis. Syamsudin Haris dalam Sigit
P (2009: 75) menyebutkan yaitu pertama, terlalu dominan
peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya
keterlibatan masyarakat hampir di semua tingkatan
kelembagaan maupun proses pemilu. Kedua, proses pemilu
tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah
kepada salah satu organisasi peserta pemilu yaitu Golkar.
Pada Orde baru Pemilu diselenggarakan sebanyak 6
kali yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan
20 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
1997. Dasar hukum penyelenggaraan pemilu dapat
digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
No Pemilu Dasar Hukum Perubahan
1 1971 UU No 15 Tahun1969
-
2 1977 UU No 4 Tahun1975
Adanya penyederhanaan partai peserta pemilu.
3 1982 UU No 2 Tahun1980
Adanya penambahan anggota LPU dari unsurparpol, Golkar, dan ABRI. Serta pembentukan panitia pengawas pemilu.
4 1987 UU No 1 Tahun1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
5 1992 UU No 1 Tahun1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.
6 1997 UU No 1 Tahun1985
Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu
Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu
pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU
No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat hal tersebut
adalah :
21 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga
permusyawaratan/ perwakilan;
2. Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan;
3. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia;
4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru
dalam mewujudkan tata kehidupan yang dijiwai semangat
Pancasila dan UUD 1945.
Dari keempat tujuan tersebut terdapat suatu
kejanggalan yang mungkin merupakan penyimpangan politik
pemilu pada era Orde Baru. Pada tujuan Pemilu yang
keempat menyebutkan bahwa tujuannya “…. mencapai
kemenangan Orde Baru…”. Dari hal tersebut jelas sekali
bahwa tujuan pemilu pada orde baru bisa diasumsikan untuk
memperoleh kemenangan pada satu pihak yaitu pemerintah
yang bertahan pada saat itu. Untuk menjamin maksud
tersebut maka pemilu dilaksanakan dengan sistem
proposional diselenggarakan oleh pemerintah yang dikuasai
oleh elit penguasa itu sendiri.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 jiwa dari jumlah
penduduk Republik Indonesia yang pada waktu itu berjumlah
77.654.492 jiwa, dengan hasil sebagai berikut :
No Nama Partai Jumlah Jumlah
22 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Suara Kursi
1. Partai Katolik (Indonesia) 607 3
2. Partai Syarikat Islam Indonesia 1308237 10
3. Nahdlatul Ulama 1971 10213650 58
4. Partai Muslimin Indonesia 2930746 24
5. Partai Golongan Karya 34348673 236
6. Partai Kristen Indonesia 733359 7
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 49000 0
8. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen 3793266 20
9. Persatuanttarbiyah Islamiyah 381309 2
10. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 338403 0
Sumber : http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/
Hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai
mayoritas tunggal dengan perolehan suara 62,82%. Pemilih
dari Golkar hampir seluruh Indonesia dengan perbandingan
antara pemilih di Jawa dan luar Jawa yang sebanding
besarnya. Dari sisi ideologi pemilih, dari ideologi Islam
dan sekuler juga sebagian besar memilih partai Golkar.
Pada pemilu tahun 1977, dari 10 partai yang ikut di
pemilu 1971 di persempit jumlah pesertanya menjadi 3
partai. Ketiga partai tersebut adalah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sebagai partai Islam, Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai partai nasionalis dan
Kristen, kemudian pemenang Pemilu 1971 yaitu Golkar yang
23 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
dianggap sebagai organisasi sosial politik milik
pemerintah yang berfungsi melanggengkan pemerintahan pada
era Orde Baru. Pada pemilu tahun 1977 ini mengacu pada UU
No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya. Dari UU ini muncul politisasi dari UU yang di
keluarkan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 3
Tahun 1975 disebutkan ”Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan Partai Politik dan Golongan Karya adalah
organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil
pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan politik di
Indonesia“. Golkar sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975
dianggap bukan partai politik melainkan organisasi sosial
politik. Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap sebagai
partai politik karena pada saat itu selalu ikut dalam
Pemilu. Karena di UU No.3 tahun 1975 tersebut memberikan
suatu keistimewaan dari Golkar daripada partai-partai
yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan
kinerja Golkar untuk memberikan pemerintahan yang terbaik
bagi bangsa Indonesia. Karena Golkar adalah milik
Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja
terbaik pemerintah Soeharto.
Penyimpangan hukum yang berbau politik orde baru
adalah tentang kepengurusan partai, dipasal 10 ayat 1 UU
No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa kepengurusan partai-
partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati
II. Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo (2008: 476)
24 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
disebut massa mengambang (Floating mass) . Dalam hal ini
justru menguntungkan Golkar karena Golkar bebas bergerak
sampai ke desa. Hal ini karena Golkar adalah milik
Pemerintah yang memiliki jaringan sampai ke perangkar
Desa. Sedangkan kedua Partai yaitu PDI dan PPP tidak
mempunyai kepengurusan sampai ke desa bahkan dengan
adanya UU No. 3 tahun 1975 dilarang untuk membentuk
kepengurusan sampai desa.
Hasil pemilu pada tahun 1977 tetap dimenangkan oleh
Golkar dengan perolehan 62,11%, kemudian untuk PPP dan
PDI masing-masing hanya mendapat 29,29% dan 8,6% .
Kemenangan dari Golkar terus berlanjut sampai tahun 1997.
Dilihat dari proses pemilu dari tahun 1971-1997 ini
memberikan suatu fenomena yang didominasi politisasi di
pemerintahan era Orde Baru. Konsistensi Golkar
memenangkan pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua partai
lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai
penyerta. Pemilu ada era Orde Baru hanya tidak ada
kompetisi karena 6 kali pemilu selalu dimenangkan oleh
Golkar.
Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota
Legislatif yang terpilih dari pemilu lebih merespon
kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat. Karena pada
saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah
Eksekutif. Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga
yang hanya mengesahkan saja. Hal ini karena anggota
25 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Legislatif berasal dari Golkar. Dan Golkar sendiri adalah
meilih Pemerintah. Pengendali utama para anggota Golkar
dari Eksekutif Pemerintahan. Pada era orde Baru ini lebih
sering dikenal sebagai Pemerintahan yang otoriter. Dengan
kemenangan Golkar pada era Orde Baru ini, pemilu yang
dilaksanakan tidak melahirkan sirkulasi elit penguasa.
Elit Penguasa yang berkuasa hanya berputar disekitar
kroni Suharto. Setiap kali pasca pemilu, PDI dan PPP
tidak serta merta ikut dalam pemerintahan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk anggota DPR
yang duduk di parlemen tidak semuanya hasil pemilu tetapi
ada penunjukan dari pihak ABRI sebanyak 75 orang. Jumlah
ini tidak sebanding dengan jumlah anggota dari Partai PDI
dan PPP yang ada di DPR. Dari penjabaran diatas maka
dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
1. Penundaan pemilu pada tahun 1968 menjadi 1971 sebagai
strategi politik untuk mempertahankan pemerintahan
Soeharto;
2. Golkar sebagai mesin politik pemerintah yang perannya
sebagai pendukung pemerintah dalam pemilu di Era Orde
Baru;
3. Adanya penyederhanaan peserta pemilu. Hal ini untuk
mengurangi lawan kompetisi Golkar pada pemilu, sehingga
di sini Golkar mempunyai dukungan kuat dan lawan yang
sedikit;
26 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
4. Adanya floating mass dimana partai politik tidak
diperbolehkan mempunyai kepengurusan sampai ke tingkat
desa;
5. Tujuan pemilu di Era Orde baru hanya untuk memenangkan
Golkar guna mempertahankan kekuasaan Suharto yang
akhirnya dapat bertahan sampai 30 tahun.
3. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Reformasi
a. Sejarah Pemilu DPR pada Era Reformasi
Politik hukum pemilu DPR pada era reformasi
dilaksanakan sejak Pemilu 1999, kemudian dilanjutkan pada
Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Pada awal era Reformasi,
Penyelenggaan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian
digantikan oleh BJ Habiebie. Kemudian atas desakan
publik, pemilu yang baru dipercepat untuk segera
dilaksanakan. Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada
tanggal 7 Juni 1999. Satu hal Yang sangat menonjol yang
membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya
sejak 1971 adalah bahawa pada Pemilu 1999 diikuti oleh
banyak peserta. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Meskipun masa persiapannya hanya singkat,
pelaksanaan pemungutan suara bisa tepat sesuai jadwal.
Pemilu pada tahun 1999 ini terlaksana dengan damai, walau
ada keterlambatan pada Daerah Tingkat II di Sumatera
27 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Utara. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat
itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik,
RUU Pemilu, dan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Namun, tidak seperti persiapan dan pelaksanaannnya,
saat melakukan perhitungan pada pemilu 1999 ini mengalami
beberapa kendala, yaitu adanya penolakan dari 27 partai
untuk menandatangani berita acara pengitungan suara
dengan dalih Pemilu belum jujur dan adil.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua setelah Soeharto
jatuh. Meskipun demikian, pada pemilu kedua ini memiliki
perbedaan yang sangat jauh dalam banyak hal dibandingkan
Pemilu 1999. Kemudian, pada Pemilu 2004 diperkenalkan
tiga sistem baru di Indonesia, yaitu sistem proposional
dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD,
system pemilu untuk anggota DPD, dan sistem Pemilu
Presiden dan Wapres secara langsung. Syarat Parpol
Peserta Pemilu 2004, bahwa tidak semua parpol yang
terdaftar dan lolos verifikasi oleh Departemen Kehakiman
dan HAM langsung dapat mengikuti Pemilu 2004 yang telah
diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
Sedangkan, Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh
berbeda dengan Pemilu 2004, bahwa sistem proposional
dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD,
sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD, dan
sistem pemilihan presiden dan wapres secara langsung.
Perbedaan utamanya adalah pada penetapan suara terbanyak
28 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
yang duduk di kursi parlemen. Penetapan ini merupakan
hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan penetapan
ini faktor nomor urut tidak terpakai lagi.
Penyelenggaraan Pemilu 2014, yaitu secara umum
ketentuannya sama dengan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Hanya saja, ada tahun 2014 ini ada usulan adanya pemilu
secara serentak.
b. Pelaksanaan Pemilu DPR era Reformasi
Dalam pelaksanaan pemilu DPR pada era reformasi
sejak tahun 1999 sampai sekarang banyak mengalami
perkembangan dalam penyelenggaraan pemilunya. Pemilu pada
tahun 1999 diselenggarakan oleh KPU yang unsur
keanggotaanya dari partai politik peserta pemilu dan
pemerintah. Pada pemilu 2004, diselenggarakan ole KPU
bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-
unsur non partai. Sama halnya dengan Pemilu 2004, Pemilu
2009 dan Pemilu 2014 juga diselenggarakan oleh KPU
bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-
unsur non partai.
Dalam penyelenggaraan Pemilu DPR era Reformasi ini
masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaanya.
Kelemahan dalam Pemilu 1999 yang paling menonjol adalah
instabilitas KPU dalam mengambil keputusan-keputusan
penting. Sehingga, KPU Pemilu 1999, tidak berhasil
menyelesaikan tugas pentingnya berupa penetapan hasil
29 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
pemilu. Sedangkan, kelemahan yang menonjol pada Pemilu
2004 adalah terletak pada keterlibatan anggota KPU detil
teknis, seperti proyek pengadaan tinta dan sebagainya
yang berakibat pada jeratan hukum bagi beberapa anggota
KPU. Namun disisi lain, kelebihan dari Pemilu 2004 adalah
KPU relatif berasil menyelenggarakan Pemilu dengan lancar
dan berhasil menunaikan seluruh tugas dan kewenangannya.
Adapun kelemahan yang menonjol dari Pemilu 2009
adalah aspek profesionalitas dan inkonsistensi KPU dalam
penyelenggaraan pemilu. Profesionalitas yang lemah dan
inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak
independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.
Sedangkan, Kelemahan dari Pemilu 2014 adalah dalam
pelaksanaan belum dapat terlaksana baik secara
keseluruhan, masih terdapat banyak golput, dan kelemahan
dari pihak pelaksana yaitu KPU.
Sedangkan, ketentuan mengenai peserta pemilu
mengalami perubahan, karena Persyaratan Peserta pemilu
dalam Era Reformasi ini semakin ketat dari masa ke
masanya. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian
partai politik dan persyaratan menjado peserta Pemilu
sangat longgar. Sedangka pada Pemilu 2004 mulai
diperketat, dan diperketat lagi pada Pemilu 2009 dan
Pemilu 2014. Persyaratan yang diperketat ini merupakan
suatu upaya untuk penyederhanaan partai. Namun, upaya ini
30 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
belum sepenuhnya berhasil. Karena masih banyak partai
baru yang bermunculan.
Perubahan juga terjadi pada ambang batas yang
dipakai beserta implikasi dari ambang batas tersebut.
Pada Pemilu 1999 menyebutkan bahwa dipakai ambang batas
elektoral yang diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilu. Sedang, dalam Pemilu 2004 juga
dipakai ambang batas elektoral, yang diatur dalam Pasal 9
UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam Pemilu 2009 terdapat
ketentuan mengenai ambang batas parlemen, yang dikenal
dengan parliamentary threshold yang diatur dalam Pasal 20 Ayat
1 UU Nomor 10 Tahun 2008 hanya berlaku untuk DPR RI.
Dalam Pemilu 2014 sistem parliamentary threshold berlaku
secara nasional, baik DPR RI, DPD, DPRD.
c. Politik Hukum Pemilu DPR era Reformasi
Dasar pelaksanaan Pemilu DPR dari tahun 1999 sampai
2014 era Reformasi terus mengalami perubahan. Perubahan
peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu :
Pemilu 1999 dasar UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilu
Pemilu 2004 dasarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Pemilu 2009 dasarnya UU nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
31 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Pemilu 2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pemilu DPR pada era Reformasi ini mengalami berbagai
perubahan dan perkembangan, yang disebabkan oleh
perubahan dasar aturan/perubahan peraturan perundangan
yang menjadi dasarnya. Beberapa perubahan yang terjadi
yaitu dari segi Sistem Pemilu, ketentuan memilih dan
jumlah partai, yakni dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Sistem Pemilu
Pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap
menggunakan sistem proposional namun terjadi beberapa
modifikasi. Pada pemilu tahun 1999 DP tidak hanya
terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah memperhatikan
kabupaten/kota. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi
propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi,
dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12
kursi. Sementara pemilu 2009 besaran DP untuk DPR
diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu 2004 dan
2009 juga telah menganut sistem proposional daftar
terbuka. Namun menurut Nico Harjanto ( dalam Kacung
Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut tidak sepenuhnya
terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi
daftar terbuka. Hal ini dikarenakan penentuan tentang
siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan
kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara
terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
32 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
2) Jumlah Partai
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa reformasi
jumlah partai politik meningkat. Hal ini diakarenakan
dianutnya kembali sistem demokrasi di Indonesia.
Seperti apa yang dikatakan oleh Scarrow bahwa
kemunculan partai-partai berbanding lurus dengan
tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang
berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara. Pada
pemilu 1999, jumlah partai yang megikuti pemilihan
legislatif berjumlah 48 partai politik. Pada pemilu
2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun 2009
diikuti 41 partai politik nasional dan 6 partai lokal
di Aceh.
Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada
masa orde baru dan masa reformasi terlihat bahwa pada
masa orde baru partai peserta pemilu lebih sedikit dan
dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden
Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975, adan adanya
pandangan bahwa sistem multipartai dapat mengganngu
kestabilan negara. Sementara itu pada masa reformasi
jumlah partai politik pengikut pemilu lebih banyak, hal
ini dikarenakan dianutnya kembali keran demkrasi di
Indonesia.
3) Ketentuan Memilih
Pada pemilu masa reformasi terjadi perubahan dalam
memberikan suara kepada peserta pemilu. Pada pemilu
33 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
1999, pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos
lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai
yang dipilih. Sementara pada pemilu tahun 2004 dan 2009
selain memilih partai dan calon partai, masyarakat juga
memilih anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos
salah satu angggota DPD dalam surat suara.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa berbeda dengan
pemilu pada masa orde baru, pada pemilu reformasi ini
terdapat empat UU yang mengatur tentang pemilu, yang
memiliki beberapa perubahan dan perbedaan sebagai
berikut :
1) Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba
menitikberatkan anggota pada pejabat pemerintah,
sedangkan pemilu reformasi anggota lebih
independen bebas dari unsur partai dan pemerintah.
2) Sistem pemilu pada pemilu orde baru menganut
sistem proposional tertutup, sementara pemilu
reformasi dengan sistem proposional terbuka.
3) Jumlah partai peserta pemilu orde baru ditentukan
pemerintah, sementara pada masa reformasi lebih
demokratis.
4) Ketentuan memilih pada masa orde baru hanya
mencoblos gambar partai, sementara pemilu
reformasi juga dapat memilih calon perseorangan.
Konfigurasi politik hukum pemilu pada masa reformasi
mengalami perkembangan seiring dengan berubahnya peraturan
34 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
perundang-undangan yang menjadi dasarnya. Sesuai dengan
penjelasan sebelumnya, diketahui bahwa dalam era reformasi
ini, terdapat 4 kali pemilu dengan 4 peraturan perundangan
yang berbeda-beda pula.
Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 1999
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang
diselenggarakan pada 7 Juni 1999 yakni Undang-undang No.3
Tahun 1999 tentang Pemilu dan Undang-undang No.4 tahun 1999
tentang Susduk MPR/DPR.
UU No.3 Tahun 1999 yang merupakan sumber hukum utama
pemilu 1999 dikatakan oleh sebagian besar sebagai Undang-
undang Pemilu yang lebih responsif dibandingkan Undang-
undang Pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Bahkan bisa
dikatakan Undang-undang ini merupakan langkah awal bangsa
Indonesia menuju demokratisasi, karena pemilu merupakan
salah satu agenda awal yang diusulkan pada reformasi setelah
digulingkannya rezim Orde Baru yang telah menyebabkan
hancurnya demokrasi di Indonesia.
Tahun 1999 merupakan gerbang menuju civil society guna
berjalannya demokratisasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa
di awal 1997. Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sebagai pemilu
yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, pemilu yang
sebenarnya. Karena seperti yang telah disebutkan pada sub
bab sebelumnya bahwa pemilu-pemilu sebelumnya yakni pada
35 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
rezim Orde Baru merupakan legitimasi semu yang diperoleh
oleh penguasa. Maka tidak mengherankan jika partisipasi pada
pemilu anggota DPR mencapai 92 %. Sedangkan untuk presiden
dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR.
Dalam UU No.3 Tahun 1999 ini banyak diatur hal-hal baru
yang tidak diatur pada UU sebelumnya, yang menunjukkan mulai
berjalannya demokrasi di Indonesia secara bertahap serta
menunjukkan ke-responsif-an UU ini. Diantaranya yaitu diatur
mengenai hadirnya Pemantau Pemilu Independen dalam
pelaksanaan Pemilu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24
Undang-undang ini. Dimana lembaga pemantau pemilu ini
bertugas untuk memantau jalannya pemilu yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana asas yang dianut
oleh UU Pemilu ini.
UU ini menganut sistem proporsional terbuka. Selain
itu, berbeda dari pemilu rezim Orde Baru dimana
penyelenggara pemilu adalah LPU yang dibentuk oleh presiden
dan organisasi dibawahnya meliputi PPI, PPD, PPS dan PPP
yang kesemuanya diketuai (serta merangkap anggota) oleh
pemimpin pada setiap wilayah, yakni Mendagri, Gubernur,
Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, pada pemilu
1999 ini penyelenggara pemilu adalah KPU yang keanggotaanya
terdiri dari satu orang wakil dari masing-masing Partai
Politik peserta Pemilu dan 5 orang wakil pemerintah (Pasal 9
ayat (1)). KPU ini membawahi PPI yang juga beranggotakan
36 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. (Pasal 12
ayat (2)). Sehingga dapat dikatakan UU ini membuka akses
keterlibatan partai politik dalam pemilu yang pada rezim
sebelumnya sangat dibatasi.
Sayangnya Undang-undang ini belum mengatur secara
lengkap hal-hal yang terkait dalam pemilu, yakni hanya
terdiri dari 86 Pasal yang mengatur hal-hal mendasar dari
pelaksanaan pemilu. Sehingga terdapat kemungkinan penafsiran
pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif terkait dengan
UU ini.
Selain itu, dalam UU ini juga masih menganut sistem
pengangkatan anggota perwakilan. Yakni dalam UU No.4 Tahun
1999 tentang Susduk MPR/DPR dijelaskan mengenai jumlah kursi
anggota DPR pada pemilu 1999 ini, yakni pada Pasal 11 yang
menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR adalah 500 orang dengan
rincian : anggota partai politik hasil pemilihan umum
sebanyak 462 dan anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38
orang. Model pengangkatan dari ABRI yang merupakan warisan
dari rezim Orde Baru masih ada, walaupun jumlahnya
berkurang, yakni hanya 38 orang dari UU sebelumnya 75 orang.
Pada saat UU No.3 Tahun 1999 tentang pemilu ini
dirumuskan, konfigurasi politik mulai berjalan ke arah
demokrasi. Dimana presiden Habibie yang pada saat itu
menjabat menggantikan Soeharto mulai membuka keran-keran
kebebasan yang bertanggung jawab pada segala bidang,
37 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
termasuk kebebasan pers yang pada rezim sebelumnya dikekang,
kritikan terhadap penguasa dianggap sebagai hal yang halal,
serta masyarakat bebas berekspresi di bidang politik.
Kebebasan berekspresi dalam bidang politik ini terlihat dari
munculnya ratusan partai politik hanya dalam waktu satu
tahun setelah rezim Soeharto digulingkan. Walaupun kemudian
hanya 48 partai saja yang bisa mengikuti Pemilu.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa pada
saat UU ini dibuat, politik Indonesia sedang berada dalam
masa transisi menuju demokrasi setelah selama tiga dasawarsa
dipimpin oleh rezim otoriter Soeharto. Maka dapat dikatakan
bahwa iklim demokrasi belum sepenuhnya meliputi politik
Indonesia pada masa itu. kondisi politik ini turuut
mempengaruhi warna atau karakter produk hukum yang pada
saat itu dibuat, khususnya UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu
ini yang dapat dikatakan sudah cukup responsif/otonom, namun
belum sepenuhnya, misalnya masih adanya mekanisme
pengangkatan anggota DPR serta masih kurang lengkapnya
pengaturan dalam UU ini. Namun bagaimanapun UU ini sudah
jauh lebih responsif dan sesuai denngan apa yang diharapkan.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilu dalam UU ini
sudah jauh lebih baik dari UU sebelumnya pada masa Orde Baru
serta dapat dikatakan UU ini telah menumbuhkan harapan baru
bagi masyarakat untuk pemilu yang benar-benar jujur dan
adil.
38 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2004
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang
diselenggarakan pada 5 April 2004, 5 Juli/20 September 2004
yakni Undang-undang No. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
dan UU No 22 tahun Susduk MPR/DPR/DPRD.
Kebijakan dasar UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu
Legislatif untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta
untuk membentuk pemerintahan yang demokratis kuat dan
memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan
nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945.Selain itu untuk
mengakomodasi daerah di pilih anggota DPD yang pesertanya
perorangan, dan kebijakan dasar UU No.23 tahun 2003 tentang
Pemilu Presiden dan wakil Presiden untuk memilih Presiden
dan wakil Presiden agar memperoleh dukungan yang kuat dari
rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaanpemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan
nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945.
Konfigurasi politik pemilu pada Pemilu 2003 memiliki
karakter hukum yang responsif. Hal ini ditandai bahwa
Perundang-undangan tersebut dibuat di era reformasi yang
menjunjung tinggi semangat kebebasan dan keterbukaan serta
demokratisasi baik pada tataran eksekutif, legeslatif serta
masyarakat Indonesia pada umumnya, atas dasar tersebut dapat
ditafsirkan bahwa UU No.12 tahun 2003 termasuk berciri
39 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
konfigurasi politik demokratis yang melahirkan karakter
hukum yang responsif. Meskipun dalam praktek proses
pembuatan dan pelaksanaannya masih di jumpai penyimpangan-
penyimpangan yang mengurangi nilai-nilai keadilan dan
demokratisasi.
Terdapat berbagai faktir yang mempengaruhi proses
pembuatan UU ini, baik faktor internal mapuan faktor
eksternal. Faktor internal terpenting yang mempengaruhi
proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 adalah sebagai
berikut :
a. Adanya tuntutan pelaksanaan pemilihan langsung oleh
rakyat sejalan dengan era reformasi yang mengedepankan
kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi menuju
kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Adanya pemilihan
anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung di harapkan akan terpilih wakil-wakil rakyat
sehingga memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan
pemerintahan.
b. Mengganti ketentuan yang lama, sebelum UUD 1945 di
amandemen, dalam sistem ketatanegaraan, Presiden dan
wakil Presiden di pilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) selaku pemegang kedaulatan rakyat. Setelah
di amandemen UUD 1945 dan di tetapkan UU No.23 tahun
2003 Presiden dan wakil Presiden dapat di pilih secara
langsung oleh rakyat yang telah di laksanakan pada tahun
2004.
40 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Adanya kepentingan Politik, dalam proses pembuatan UU
No.12 tahun 2003 di indikasi penuh dengan nuansa politis,
sehingga banyak pihak menilai UU No.12 tahun 2003 kurang
demokratis dan cenderung memihak kelompok tertentu.Bahkan
ada juga kelompok yang mengatakan bahwa UU tersebut cacat
hukum,namun meskipun demikian UU No.12 tahun 2003, dan UU
No.23 tahun 2003 tetap menjadi payung hukum pelaksanaan
Pemilu 2004.
Sedang, Faktor eksternal terpenting yang mempengaruhi
proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilihan
Presiden secara langsung adalah sebagai berikut :
a. Menarik simpati dunia internasional
Gelombang demokratisasi yang melanda negara-negara di
belahan dunia menarik minat Indonesia untuk turut serta,
demokrasi seolah telah menjadi mata uang yang berlaku di
negara manapun, penegakan demokrasi (dan juga HAM) di
suatu negara menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa di
mata dunia internasional.Salah satu wujud demokrasi yang
menarik perhatian dunia internasioanl pada saat-saat ini
adalah pemilihan langsung anggota legislatif, Presiden
dan wakil Presiden di Indonesia. Indonesia di nilai
banyak pengamat internasional telah mengalami kemajuan
dibidang demokratisasi yang pesat, terutama sejak
pemilu,legislatif dan pemilu Presiden dan wakil Presiden
yang terbilang lancar dan aman.Jadi tak dapat di sangkal
bahwa proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 oleh
41 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
pemerintah dan DPR juga di arahkan untuk menarik simpati
dunia internasional.
b. Melakukan Harmonisasi Hukum di Indonesia.
Harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu
hal yang penting untuk dicapai. Harmonisasi yang
menjerumus pada keseragaman di bidang infrastruktur hukum
akan berdampak pada kenyaman untuk berinvestasi dari
pelaku usaha negara maju di Indonesia yang berkembang.
Harmonisasi hukum di Indonesia, seperti harmonisasi UU di
Bidang politik di tuntut oleh negara maju dalam rangka
kampanye demokratisasi yang beraroma western yang
melegalkan pemilihan anggota legislatif, presiden dan
wakil presiden secara langsung, tampaknya perundang-
undangan kita tentang Pemilu mengadopsi dari hukum barat
dalam hal ini khususnya Amerika Serikat, negara yang
selama ini mempunyai ”kepentingan besar” di
Indonesia.Harmonisasi UU politik ini memang cukup
mengakomodir kepentingan asing di Indonesia. Hal ini
karena pertimbangan opini internasional tentang
perkembangan demokratisasi dan penegakan HAM di
Indonesia.
c. Merespon Kebutuhan Masyarakat
Dalam banyak kesempatan, negara-negara donor mempunyai
kepentingan untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk
membentuk suatu Undang-undang. Kepentingan asing tersebut
”membungkus” kepentingannya dengan mengatakan bahwa apa
42 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
yang di lakukan adalah kebutuhan masyarakat
Indonesia.Bahkan pesan-pesan sponsor asing telah menyusup
menjadi agenda kerja para pejabat dan politisi. Dalam UU
No.23 tahun 2003 secara tersirat tidak tertutup
kemungkinan mengandung pesan sponsor yang mempunyai
kepentingan di Indonesia.
Permasalahan seputar UU No.23 tahun 2003 lebih besar
pada aspek pelanggaran pada pelaksanaan rangkaian pemilu,
kurang sosialisasi atau memangketaatan masyarakat pada
undang-undang masih sangat rendah. Pelanggaran- pelanggaran
tersebut antara lain sebagaimana berikut :
a. Melakukan Politik Uang Untuk Mempengaruhi Pemilih.
Praktek-praktek politik uang selama masa kampanye
putaran pertama melanggar beberapa peraturan seperti,
Pasal 77 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003,selama masa
kampanye sampai di laksanakan pemungutan suara, calon
DPR, DPD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di larang
menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya
untuk mempengaruhi pemilih. Dalam Pasal 39 SK KPU 701
tahun 2003 menyebutkan bahwa selama masa dilaksanakan
pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD dan DPRD
Propinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota di larang
menjanjikan dan atau/ memberikan uang atau materi
lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
b. Melakukan Kampanye di luar Jadwal Kampanye
43 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Pemilu legislatif yang telah dilaksanakan pada tahun
2004 lalu banyak terjadi pelanggaran dimana para Parpol
melaksanakan kampanye di luar jadwal,padahal Pasal 138
ayat (3) UU No.12 tahun 2003 mengatakan antara lain
sebagai berikut : Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah
ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), di ancam
dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas)
hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Hal
tersebut di atas menimbulkan polemik di masyarakat
apakah yang dilakukan parpol termasuk kampanye atau
bukan.
Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2009
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR tahun 2009 ini
yakni UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No. 22
tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR, DPRD, dan DPD Sama dengan
UU sebelumnya, UU ini menganut asas pemilu langsung, bebas,
rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).
Secara umum, pengaturan pemilu dalam UU ini sama
dengan UU sebelumnya yakni UU No.12 Tahun 2003 tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan mengenai pelaksanaan
44 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
pemilu ini juga sudah cukup lengkap yakni memuat 320 Pasal.
Sehingga lebih sedikit kemungkinan adanya penafsiran secara
pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif.
Konfigurasi politik hukum pemilu pada Pemilu 2008 yaitu
responsif, jika dilihat dari adanya partisipasi masyarakat.
Dalam proses pembuatan UU ini, agenda partisipasi
berlangsung secara timbal balik antara DPR dan publik. DPR
telah memiliki sejumlah agenda partisipasi melalui rangkaian
pembahasan dengan menghadirkan akademisi sebagai ahli,
lembaga negara terkait, maupun kelompok masyarakat sipil
yang dinilai terkait langsung dengan isu bahasan RUU Pemilu
2012. Di luar agenda resmi tersebut, dengan menyesuaikan
kebutuhan pencarian informasi, fraksi dan anggota komisi
yang terlibat dalam pembahasan RUU Pemilu 2012 cukup aktif
mengumpulkan informasi dan masukan publik. Melalui agenda
resmi fraksi atau optimalisasi peran tenaga ahli, DPR
mengumpulkan dan menjaring masukan publik. Namun, cukup
disayangkan, agenda partisipasi itu tidak ditemukan di
Pemerintah. Pemerintah menganggap partisipasi itu sudah
melekat dengan mekanisme yang berlangsung di DPR. Maka,
mengingat RUU Pemilu 2012 merupakan usulan DPR, pemerintah
tidak secara khusus melakukan agenda partisipasi masyarakat.
Agenda partisipasi masyarakat tidak hanya secara aktif
dilakukan DPR. Di pihak lain, masyarakat sipil juga cukup
intensif mengusung agenda partisipasi. Melalui serangkaian
kegiatan advokasi, beberapa elemen masyarakat sipil terkait
45 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
memberikan masukan kepada DPR, baik secara langsung ke
anggota, fraksi, maupun secara tidak langsung lewat
kolaborasi dengan tenaga ahli. Agenda kampanye publik pun
tidak luput dari rencana strategis masyarakat sipil dalam
mengusung agenda publik. Meski demikian, agenda partisipasi
dalam bahasan bab tiga ini merupakan potret partisipasi
formil yang telah dilakukan DPR, Pemerintah, dan masyarakat
sipil. Bahasan terkait partisipasi ini belum menyentuh pokok
bahasan 95 substansi partisipasi itu sendiri: apakah agenda
partisipasi yang disediakan tersebut cukup berkontribusi dan
menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan
dalam RUU Pemilu 2012.
Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2014
Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang
diselenggarakan pada 9 April 2014 yakni Undang-undang No.8
Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Sama dengan UU
sebelumnya, UU ini menganut asas pemilu langsung, bebas,
rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).
Secara umum, pengaturan pemilu dalam UU ini sama
dengan UU sebelumnya yakni UU No.10 Tahun 2008 tentang
Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan mengenai pelaksanaan
pemilu ini juga sudah cukup lengkap yakni memuat 328 Pasal.
Sehingga lebih sedikit kemungkinan adanya penafsiran secara
pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif.
46 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Jika pada UU Pemilu sebelumnya, yakni UU No.10 Tahun
2008 hasil penghitungan suara dari TPS langsung diteruskan
ke PPK (Panitia Pemilu Kecamatan) untuk dilakukan
rekapitulasi, pada UU No.8 Tahun 2012 ini mengalami
perubahan. Pengaturan rekapitulasi perhitungan suara pemilu
dilakukan secara lebih tertata dan mudah, yakni terdapat
pada BAB XI mengenai Perhitungan Suara dalam Pasal 173 s/d
Pasal204. Ketentuan tersebut pada pokoknya menyatakan hasil
perhitungan suara di TPS sebelum direkap ditingkat kecamatan
terlebih dahulu dikirim ke tingkat desa/kelurahan untuk di
rekapitulasi oleh PPS. Jadi setelah dari TPS suara akan
direkapitulasi secara berjenjang oleh PPS, PDK, KPU
Kab/kota, KPU Prov, dan KPU Pusat untuk direkap secara
nasional. Sehingga lebih mengurangi kemungkinan adanya
permasalahan mengenai transparansi, kepercayaan publik,
maupun manipulasi dan ajang jual beli suara antar kandidat
dan petugas penyelenggara.
Selain itu dalam Pasal 8 ayat (2) huruf i UU ini juga
diatur mengenai adanya kewajiban untuk menyerahkan nomor
rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik
kepada KPU sebagai salah satu persyaratan dalam pendaftaran
partai politik peserta ini. Hal ini dimaksudkan untuk
mendorong akuntabilitas pengelolaan dana kampanye peserta
pemilu.
47 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Pengaturan dan kategorisasi masalah hukum dan sengketa
pemilu dalam UU No.8 Tahun 2012 telah dilakukan secara lebih
jelas, rinci dan sistematis dibandingkan dengan UU
sebelumnya. Dalam BAB XXI mengenai Pelanggaran Kode Etik
Penyelenggara Pemilu, Pelanggaran Administrasi Pemilu,
Sengketa Pemilu, Tindak Pidana Pemilu, Sengketa Tata Usaha
Negara Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu yakni pada
Pasal 251 s/d Pasal 272 melahirkan harapan bahwa penegak
hukum akan lebih mudah dalam melakukan pengawalan
implementasi UU Pemilu dan bisa menegakkan aturan dengan
tepat dan efektif, tanpa adanya lagi multitafsir atau lempar
tanggung jawab antar aparat dari berbagai instansi penegak
hukum pemilu.
Selain itu, pada Pasal 150 UU No.8 Tahun 2012 ini juga
mengatur bahwa data tentang pemilih yang tidak terdaftar
pada daftar pemilih tetap maupun daftar pemilih tambahan
dapat menggunakan KTP dan Paspor. Sehingga UU ini lebih
menjamin bahwa semua warga negara berhak untuk mempergunakan
hak pilihnya atau berhak untuk menyumbangkan suaranya dalam
pemilu.
Sayangnya dari sekian pebaikan pengaturan UU No.8
Tahun 2012 tersebut, tidak dapat membuat semua orang lantas
begitu saja menganggap UU ini sudah sangat responsif. Yang
paling menonjol yakni dengan adanya kenaikan Parliamentary
Threshold atau ambang batas, yakni dalam Pasal 208 UU No 8
48 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Tahun 2012 ini menyebutkan, “Partai Politik Peserta Pemilu
harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekyrang-
kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah
secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota”.
Ambang batas ini mengalami kenaikan dari pemilu sebelumnya
yang hanya 2,5% menjadi 3,5% pada UU ini. Kenaikan ambang
batas ini oleh berbagai kalangan dinilai kurang demokratis,
karena akan menguntungkan partai-partai besar yang sudah
pasti akan memperoleh suara banyak, dan bisa membunuh
partai-partai kecil yang jumlah suara yang diperolehnya
tidak dapat mencapai ambang batas 3,5%.
Dalam proses perumusan UU No.3 Tahun 2012 kenaikan
ambang batas ini dimaksudkan untuk lebih menyederhanakan
lagi atau lebih mengurangi jumlah partai yang dapat
mencalonkan wakil di DPR. Dalam proses perumusan sendiri
terjadi perdebatan yang alot antar fraksi partai di DPR yang
pada akhirnya suara mayoritas lebih setuju dengan
dinaikkannya parliamentary threshold ini. Namun oleh beberapa
kalangan, kenaikan ambang batas ini mengandung unsur politis
atau hidden agenda khususnya dari partai politik besar karena
akan dapat menguntungkan mereka, yakni perolehan kursi
partai-partai besar di DPR akan lebih banyak karena
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 209 ayat (1) yang
menyatakan, “Partai politik peserta pemimlu yang tidak
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dmaksud
49 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan
perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota
di setiap daerah pemilihan.”
Sehingga dengan adanya ambang batas ini juga berarti
aspirasi rakyat yang memilih partai yang tidak bisa mencapai
ambang batas tersebut seperti dianggap tidak ada. Dan itu
juga berarti mereka tidak terwakili di legislatif khususnya
DPR karena partai pilihan mereka tidak memperoleh kursi di
DPR. Karena secara otomatis untuk penghitungan perolehan
kursi di DPR pada setiap daerah pemilihan ialah dengan suara
sah seluruh partai politik peserta pemilu dikurangi jumlah
suara sah partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara sebesar 3,5%.
Konfigurasi politik kita saat ini dapat dikatakan
belum sepenuhnya demokratis atau konfigurasi politik
berkembang melalui tolak-tarik antara sistem yang demokratis
dengan otoritarian. Karena faktanya setelah lebih dari lima
belas tahun agenda reformasi berjalan, produk hukum yang
dihasilkan belum sepenuhnya responsif atau otonom. Masih
banyak produk hukum yang konservatif/ortodoks dan cenderung
berpihak pada golongan tertentu atau kepentingan pribadi
para pembuat peraturan perundang-undangan. Bahkan ada yang
menilai semakin kesini produk hukum yang dihasilkan semakin
tidak responsif seiring dengan kemunduran demokrasi di
Indonesia. Demikian pula untuk UU No.8 tahun 2012 ini
50 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
dikatakan sudah responsif tapi faktanya di dalamnya masih
termuat pasal-pasal yang dirumuskan karena kepentingan
politik dari pembuat UU sendiri. Salah satunya mengenai
penaikan parliamentary threshold yang dinilai kurang demokratis
dan hanya menguntungkan partai besar.
51 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-
politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat
dalam lembaga pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap
sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan
atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama
suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik
(parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik
merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang
demokratis. Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan
catatan perubahan Undang-Undang (UU). Sejak pemilu
pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini setidaknya
sudah terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009
dan 2014.
2. Politik hukum di Indonesia dibagi menjadi tiga rezim.
Yang pertama, politik hukum pemilu pada rezim Orde
Lama, pada rezim ini masih dibagi lagi kedalam dua
periode yaitu demokrasi liberal dan demokrasi
terpimpin. Dalam demokrasi liberal undang-undang yang
dihasilkan tentang pemilu bersifat responsif, namun hal
ini berbeda dengan periode demokrasi terpimpin dimana
52 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
dalam periode ini tidak pernah dikeluarkan peraturan-
peraturan perundang-undangan pemilu. Dalam periode Orde
Baru karakteristik Undang-Undang Pemilu pada masa Orde
Baru yang cenderung bersifat konservatif atau ortodoks,
hal ini tidak terlepas dari rezim politik yang pada
saat itu berkuasa, yakni pada rezim Orde Baru ini
diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental, dimana
kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar
dan Militer (ABRI) yang juga merupakan penguasa atau
pemilik porsi tertinggi dalam lembaga
permusyawaratan/perwakilan. Sedangkan pada masa
reformasi politik hukum yang dihasilkan cukup
responsif, namun peran KPU masih lemah, karena
profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU
berakibat pada tuduhan tidak independennya KPU dalam
menyelenggarakan Pemilu.
B. SaranPada demokrasi terpimpin atau orde baru, kondisi
politik saat itu terpusat kuat pada salah satu partai dan
partai itu mendominasi dalam pemilu sehingga menjadikan
soeharto presiden selama 32 tahun. Jalannya demokrasi dalam
periode tersebut belum sesuai dengan konsep demokrasi
sendiri karena lebih di kuasai oleh penguasa atau sering
disebut pemerintah yang otoriter. Jadi dalam pembuatan
produk perundang-undangan tidak mengedepankan suara rakyat.
53 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Namun hal tersebut tidaklah tepat, karena seharusnya dalam
pembuatan produk perundang-undangan haruslah lebih
mengedepankan suara rakyat, sehingga tidak muncul kekuasaan
yang otoriter. Selain itu dalam proses pelaksanaan pemilu,
profesionalitas dari KPU haruslah diperkuat dan seharusnya
KPU lebih bersifat independen.
54 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, Miriam. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Pustaka LP3S Indonesia
__________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde
Baru Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
dan PPW-LIPI
MD, Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta:
Gama Media
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta:
Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM
Mahfud MD, Moh. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafido Persada.
Setiawan,
Benni.http://bertualangkata.blogspot.com/2012/11/pemilu-
dalam-optik-politik-hukum.html. Diakses pada tanggal 23
Mei 2015 pukul 10.00 WIB.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai politik dan
Golongan Karya
55 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII
Internet
Churohman, Mifta. 2012. Politik Pemilu pada Masa Orde Baru
(Konfigurasi Pemilu Perspektif Politik Hukum di Orde Baru) Diakses
pada 20 Mei 2015 dari
http://cjsmansumsel.blogdetik.com/2012/08/13/politik-
pemilu-pada-masa-orde-baru-konfigurasi-pemilu-
perspektif-politik-hukum-di-orde-baru/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
Diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 10.00 WIB.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20283450-T29436-
Politik%20hukum.pdf diakses pada tanggal 23 Mei 2015
pukul 09.00 WIB
https://profgunarto.files.wordpress.com/2012/12/politik-
hukum-7.pdf diakses pada tanggal 24 Mei 2015 pukul 16.00
WIB
Penyelenggara Pemilu Orde Baru: Menjaga Kemenangan Golkar. Diakses
pada 20 Mei 2015 dari
http://www.rumahpemilu.org/in/read/194/Penyelenggara-
Pemilu-Orde-Baru-Menjaga-Kemenangan-Golkar
56 Politik Hukum Pemilu| Kelompok VII