Penurunan Dividen Berpotensi Tingkatkan Modal

10
“Banking” Weekly Hotlist (12 Januari – 16 Januari 2015) Senin, 12 Januari 2015 Pendatang Baru Kian Ekspansif Sejumlah bank pendatang baru di segmen mikro tengah aktif berekpansi menyalurkan kredit. Salah satu upaya untuk meningkatkan ekspansi adalah melalui memperluas jaringan dan menetapkan suku bunga yang kompetitif. PT BPD Jawa Timur Tbk atau biasa yang disebut Bank Jatim merupakan bank yang baru saja menyasar segmen mikro pada Maret 2014. Sepanjang tahun, Bank Jatim telah membukukan laba kredit mikro sebesar Rp 11 milyar. Kedepannya, Bank Jatim akan menargetkan penyaluran kredit baru sebesar Rp 600 milyar-Rp 700 milyar. Untuk mencapai target tersebut, bank telah menetapkan suku bunga kredit yang rendah. Selain itu, bank juga berencana untuk memperluas jaringan dengan menambah 52 unit mikro baru di seluruh Indonesia. Kendati demikian, kualitas kredit akan tetap dijaga agar bank dapat memperoleh laba bersih sebesar Rp 30 miliar. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT BNI Syariah. Untuk memperluas jaringan mikro, pihaknya akan membangun 10 unit di kawasan di Sulawesi dan Maluku serta 5 untuk wilayah Jawa. Pada tahun ini, BNI Syariah menargetkan pertumbuhan penyaluran kredit mikro sebesar 25%. Sementara itu, target pertumbuhan kredit mikro, Bank Pundi menetapkannya lebih moderat yakni 15%. Untuk mencapai target tersebut, Bank Pundi kerap menurunkan Suku Bunga dasar Kredit (SBDK) mikro sebesar 114 basis poin menjadi 22,56% per September 2014. (Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Januari 2015, 23) LPS: 2015 Dalam Batas Aman Dalam publikasi Indeks Stabilitas Perbankan (ISP) bulan November 2014 oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), stabilitas perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi aman. Nilai indeks Indonesia mencapai 100,31, lebih rendah dari posisi Oktober 2014 sebesar 100,75. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya sub indeks kredit dan sub indeks antarbank yang menurun masing-masing sebesar 74 dan 89 basis poin. Adapun stabilitas perbankan sudah mulai riskan dan berada di level waspada apabila nilai indeks telah mencapai 102. Sementara apabila masih berada di level 101, stabilitas perbankan di Indonesia masih dikatakan normal.

Transcript of Penurunan Dividen Berpotensi Tingkatkan Modal

“Banking” Weekly Hotlist

(12 Januari – 16 Januari 2015)

Senin, 12 Januari 2015

Pendatang Baru Kian Ekspansif

Sejumlah bank pendatang baru di segmen mikro tengah aktif berekpansi menyalurkan kredit.

Salah satu upaya untuk meningkatkan ekspansi adalah melalui memperluas jaringan dan

menetapkan suku bunga yang kompetitif. PT BPD Jawa Timur Tbk atau biasa yang disebut Bank

Jatim merupakan bank yang baru saja menyasar segmen mikro pada Maret 2014. Sepanjang

tahun, Bank Jatim telah membukukan laba kredit mikro sebesar Rp 11 milyar. Kedepannya,

Bank Jatim akan menargetkan penyaluran kredit baru sebesar Rp 600 milyar-Rp 700 milyar.

Untuk mencapai target tersebut, bank telah menetapkan suku bunga kredit yang rendah. Selain

itu, bank juga berencana untuk memperluas jaringan dengan menambah 52 unit mikro baru di

seluruh Indonesia. Kendati demikian, kualitas kredit akan tetap dijaga agar bank dapat

memperoleh laba bersih sebesar Rp 30 miliar. Hal yang sama juga dilakukan oleh PT BNI

Syariah. Untuk memperluas jaringan mikro, pihaknya akan membangun 10 unit di kawasan di

Sulawesi dan Maluku serta 5 untuk wilayah Jawa. Pada tahun ini, BNI Syariah menargetkan

pertumbuhan penyaluran kredit mikro sebesar 25%. Sementara itu, target pertumbuhan kredit

mikro, Bank Pundi menetapkannya lebih moderat yakni 15%. Untuk mencapai target tersebut,

Bank Pundi kerap menurunkan Suku Bunga dasar Kredit (SBDK) mikro sebesar 114 basis poin

menjadi 22,56% per September 2014.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Januari 2015, 23)

LPS: 2015 Dalam Batas Aman

Dalam publikasi Indeks Stabilitas Perbankan (ISP) bulan November 2014 oleh Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS), stabilitas perbankan Indonesia masih berada dalam kondisi aman.

Nilai indeks Indonesia mencapai 100,31, lebih rendah dari posisi Oktober 2014 sebesar 100,75.

Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya sub indeks kredit dan sub indeks antarbank yang

menurun masing-masing sebesar 74 dan 89 basis poin. Adapun stabilitas perbankan sudah

mulai riskan dan berada di level waspada apabila nilai indeks telah mencapai 102. Sementara

apabila masih berada di level 101, stabilitas perbankan di Indonesia masih dikatakan normal.

Kdepannya, LPS memperkirakan nilai indeks ini memiliki potensi untuk meningkat seiring

dengan adanya rencana kenaikan suku bunga the Fed yang akan mendorong sub indeks pasar.

Selain itu, kondisi stabilitas perbankan dapat lebih buruk adalah rasio kredit macet (NPL)

kembali meningkat. LPS juga memperkirakan pertumbuhan kredit akan mencapai 14,2%, lebih

rendh dibandingkan proyeksi OJK sebesar 16%.

Kalangan perbankan menilai perlambatan ekonomi pada tahun 2015 masih akan terjadi,

sehingga perbankan cenderung menetapkan target pertumbuhan yang moderat yakni sekitar

16%. Target ini dituangkan dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) tahun 2015. OJK mengatakan akan

tetap meninjau RBB dari bank-bank tersebut untuk melihat apakah target pertumbuhan kredit

sejalan dengan kemampuan bank. Terkait likuiditas, OJK juga menuturkan bahwa kondisi

likuiditas masih cenderung baik apabila realisasi fiskal dilakukan secara merata.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 12 Januari 2015, 24)

Selasa, 13 Januari 2015

Harga Komoditas Pengaruhi Kredit

Menurunnya harga komoditas global mempengaruhi penyaluran kredit perbankan, khususnya

di sektor komoditas, yakni sektor perkebunan dan pertambangan. Menurunnya harga

komoditas global mendorong besarnya resiko di sektor komoditas tersebut, sehingga

penyaluran kredit ke sektor tersebut pun kerap melambat. Per Oktober 2014, penyaluran

kredit sektor perkebunan tercatat Rp 201,8 triliun atau meningkat 20,62% dibandingkan

periode Oktober 2013 (year-on-year/yoy). Angka pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan

Oktober 2013 sebesar 25,47%. Sama halnya dengan sektor perkebunan, penyaluran kredit di

sektor pertambangan juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan dari 16,1% pada Oktober

2013 menjadi 14,4% pada Oktober 2014.

Selain itu, menurunnya harga komoditas global juga ikut berkontribusi pada peningkatan rasio

kredit bermasalah (NPL) bank. Pasalnya menurunnya harga komoditas ini kerap menekan

kinerja ekspor debitur bank, sehingga kemampuan bayar debitur menjadi terhambat. Per

Oktober 2014, NPL kredit ke sektor perkebunan meningkat dari 1,6% menjadi 2% dan untuk

sektor pertambangan NPL tercatat 3,34% menjadi 1,85%. Sejumlah analis mengatakan tren

penurunan harga komoditas global masih akan berlanjut hingga akhir semester I tahun 2015.

Tren penurunann harga komoditas global sejalan dengan menurunnya harga minyak mentah.

Selain itu, kondisi ini akan diperparah dengan menurunnya permintaan seiring kontraksi

ekonomi di Jepang.

(Sumber: Kompas, 13 Januari 2015, 20)

Normalisasi Kian Dekat

Beberapa dewan gubernur The Federal Reserve menyatakan bahwa kenaikan suku bunga

acuan the Fed akan dilakukan pada pertengahan tahun ini. Janet Yellen, Presiden the Fed,

mengatakan bahwa kenaikan akan dilakukan pada tahun 2015 walaupun inflasi berada di

bawah target bank sentral. Kebijakan kenaikan ini perlu diperhitungkan, pasalnya apabila

tergesa-gesa justru akan mendorong ekonomi Amerika Serikat ke jurang resesi.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 5)

Bunga Kredit Mikro akan Dibatasi

Merespon surat dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai tingginya Suku

Bunga Dasar Kredit (SBDK) UMKM oleh perbankan, OJK tengah mempertimbangkan opsi untuk

membatasi suku bunga kredit mikro. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK

mengatakan implementasi pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui pembatasan margin

maksimum atau besaran margin di akhir. Kendati demikian, opsi ini akan dikaji secara hati-hati

karena dapat berpotensi merusak confidence bank. Sebelumnya KPPU menuturkan suku bunga

kredit mikro seharusnya tidak berbeda jauh dengan kredit korporasi. Menanggapi alasan bank

karena biaya overhead kredit mikro tinggi, KPPU menilai alasan tersebut tidak kuat karena

kredit UMKM biasanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 23)

Bank Mampu Tepis Resiko

Menurut Bank Indonesia, perekonomian dan sistem keuangan Indonesia akan menghadapi

empat resiko utama yakni: (i) normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat; (ii) potensi resiko

likuiditas yang masih tinggi; (iii) berlanjutnya penurunan harga komoditas global; dan (iv)

naiknya rasio utang luar negeri. Kendati demikian, hasil stress test Bank Indonesia menilai

perbankan masih mampu menghadapi resiko kredit, suku bunga dan nilai tukar. Simulasi

skenario terburuk yakni terkoreksinya surat berharga sebesar 20% hanya akan menurunkan

rasio kecukupan modal sebesar 142 basis poin. Begitu pula dengan dengan simulasi depresiasi

nilai tukar. Apabila Rupiah terdepresiasi ke level Rp 15.500 per Dollar AS, maka menurut stress

Bank Indonesia, hanya 7 korporasi atau 8,77% dari total korporasi di Inodnesia yang akan

mengalami permodalan yang negatif.

Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk, mengatakan hal yang perlu dikhawatirkan

pada tahun ini adalah mengenai ekspansi kredit. Pasalnya semakin ekspansif kredit maka nilai

rupiah akan semakin tertekan karena orientasi konsumsi, khususnya barang impor dari kredit

yang disalurkan cukup tinggi. Per Oktober 2014, kredit berorientasi impor mencapai Rp 53,41

triliun. Menurutnya apabila pertumbuhan kredit dipaksakan sebesar 15% - 16% maka akan

terjadi kekeringan likuiditas. OJK menilai bahwa perbankan Indonesia masih memiliki potensi

likuiditas yang tinggi seiring adanya dana segar dari pengalihan subsidi BBM sebesar Rp 240

triliun dan rencana pengurangan obligasi ritel pemerintah.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 13 Januari 2015, 23)

Bank Skala Besar Lebih Tahan Tekanan

Riset DBS memperkirakan bahwa pertumbuhan DPK tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan

pertumbuhan kredit, sehingga likuiditas semakin longgar. Pada tahun 2015, indikator LDR akan

menurun ke level 86%. Bank-bank skala besar yang memiliki jaringan yang lebih luas dan

kompetitif akan mampu mempertahankan net interest margin (NIM). Program inklusi keuangan

dapat menambah potensi transaksi pada bank-bank besar. Sementara, bank kecil akan

mengalami tekanan biaya dana yang sangat tinggi. Sejumlah pelaku perbankan mengatakan

beberapa faktor yang masih menghambat industri perbankan tahun ini adalah suku bunga yang

tinggi dan potensi kenaikan suku bunga domestic seiring dengan kenaikan Fed Fund Rate,

pelemahan rupiah terhadap dollar, penurunan harga minyak dan komoditas global. Kondisi ini

pada akhirnya akan mendorong ketatnya likuiditas sehingga persaingan pun akan cenderung

tinggi.

(Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Januari 2015, 8)

Penurunan Dividen Berpotensi Tingkatkan Modal

Bank BUMN

Penurunan besaran rasio pembayaran deviden dari 30% menjadi 20% yang diusulkan oleh

Kementerian BUMN disambut baik dengan sejumlah bank milik pemerintah. Ahmad Baiquni,

Direktur Keuangan PT BRI Tbk, mengatakan hal ini dapat menjadi potensi likuidtas bank,

sehingga kondisi CAR terjaga dan dapat mendorong ekspansi kredit. Selain itu, kondisi ini juga

akan dimanfaatkan oleh bank untuk meningkatkan pertumbuhan anorganik dengan

mengakuisisi perusahaan asuransi dan sekuritas. Riswinandi, Wakil Direktur PT Bank Mandiri

Tbk mengatakan pemotongan deviden dapat dimanfaatkan untuk menambah modal seiring

dengan penerapan Basel III. Selain itu, Bank Indonesia mengatakan hal ini baik untuk dilakukan

agar perbankan nasional dapat bersaing dengan perbankan negara ASEAN lainnya. Sofyan

Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan terkait kebijakan pemotongan

deviden ini masih dalam tahap pengkajian. Pasalnya kebijakan ini masih akan dibahas pada

rapat umum pemegang saham (RUPS) di Kementerian BUMN.

(Sumber: Indonesia Finance Today, 13 Januari 2015, 9)

Rabu, 14 Januari 2015

Kredit Tumbuh di Atas 15 Persen

Survei Perbankan triwulan IV 2014 menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit rata-rata tahun

2015 akan mencapai 15,7%. Survei ini dilakukan terhadap 42 bank umum yang berkantor pusat

di Jakarta dan memiliki pangsa pasar sebesar 80%. Pertumbuhan kredit didorong oleh tingginya

penyaluran kredit ke sektor infrastruktur. Kendati demikian, survei ini menjukkan bahwa

pertumbuhan kredit baru akan meningkat pada triwulan II 2015 seiring banyaknya proyek-

proyek pemerintah yang sudah berjalan. Menanggapi hal ini, Budi Gunandi sadikin, Direktur

Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan realisasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah sulit

direalisasikan karena cenderung membutuhkan dana yang sangat besar dan tidak dapat

dipenuhi oleh APBN. Menurutnya perbankan juga memiliki keterbatasan sumber dana. Oleh

karena itu, Budi menyarankan agar akses masyarakat terhadap keuangan ditingkatkan agar

menjadi potensi dana yang masuk ke dalam sistem perbankan Indonesia. Selain itu, perlu

dipikirkan juga bagaimana caranya untuk menarik kembali dana investor domestik yang

diparkir di luar negeri.

(Sumber: Kompas, 14 Januari 2015, 20)

Biaya Dana Diprediksi Stabil

LPS menyatakan bahwa dampak kenaikan BI Rate tidak berpengaruh pada kenaikan biaya dana

perbankan. Pasalnya, bunga deposito tenor satu bulan hanya meningkat sebesar 0,03%.

Penyataan ini didasari oleh pantauan LPS terhadap 58 bank yang memiliki pangsa pasar DPK

sebesar 95%. Lebih lanjut, LPS memperkirakan pertumbuhan DPK tahun 2015 tidak akan

setajam dibandingkan tahun 2014. Sejumlah pelaku perbankan mengatakan kebijakan

pembatasan suku bunga deposito oleh OJK dinilai efektif untuk menurunkan beban biaya dana

perbankan. Selain itu, biaya dana juga diperkirakan menurun seiring kondisi likuiditas yang

diperkirakan melonggar.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)

Bank Jangan Kejar Margin Tinggi

OJK meminta perbankan untuk tidak menetapkan margin yang terlampau tinggi. Per Oktober

2014, Net Interest Margin (NIM) perbankan telah mencapai 4,24%. Kendati menurun

dibandingkan tahun lalu, Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK,

mengatakan posisi NIM Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Menurutnya,

bunga kredit untuk modal kerja dan investasi perlu dijaga agar kegiatan produktif dapat

berlangsung. Berdasarkan Survei Perbankan yang dirilis oleh Bank Indonesia menyatakan

bahwa pada tahun 2015, bank akan menaikkan kredit modal kerja dan investasi masing-masing

sebesar 11 dan 16 basis poin. Berbeda dengan hasil survei, sejumlah perbankan menyatakan

pihaknya belum berencana menaikkan suku bunga kredit selama biaya dana masih terjaga.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)

NPL Diyakini Turun Tahun Ini

Rasio kredit bermasalah (NPL) diperkirakan akan menurun pada tahun 2015. Pernyataan ini

diungkapkan oleh Tony Prasetiantono, Ekonom Universitas Gajah Mada. Pada tahun 2014,

kenaikan NPL cenderung tajam karena beberapa faktor seperti likuiditas yang ketat, sehingga

meningkatkan suku bunga kredit; perlambatan ekonomi; dan tingginya inflasi yang kerap

menekan daya beli masyarakat. Sementara itu pada tahun 2015, walaupun kondisi likuiditas

masih akan ketat, namun kondisi perekonomian diperkirakan membaik seiring bertambahnya

dana sebesar Rp 250 triliun untuk menstimulus fiskal. Selai itu, inflasi pun cenderung terjaga

seiring menurunnya harga BBM bersubsidi. Terkait penurunan suku bunga kredit, Budi Gunandi

Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan pihaknya belum berencana

menurunkan suku bunga kredit apabila cost of fund belum mengalami penurunan.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Januari 2015, 23)

Kamis, 15 Januari 2015

Singapura Dinilai Masih Sulit

Sebelumnya OJK berjanji akan merampungkan perjanjian bilateral skema ASEAN Banking

Integration Framework (ABIF) dengan Singapura. Skema ini didasari oleh prinsip resiprokal

dimana perjanjian dapat mengurangi gap dan saling menguntungkan. Namun terlalu

banyaknya perbedaan, mendorong OJK akan terlebih dahulu fokus kepada proses perjanjian

bilateral dengan Malaysia. Saat ini, terdapat tiga bank di Indonesia yang sebagian sahamnya

dimiliki oleh Singapura, yakni PT Bank OCBC NISP Tbk, PT Bank UOB Indonesia dan PT Bank DBS

Indonesia. Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP, mengatakan perjanjian

bilateral dengan Singapura harus tetap dilanjutkan. Menanggapi hal ini, Riswinandi, Wakil

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengatakan terdapat perbedaan skema bisnis antara

Singapura dan Indonesia. Pasalnya Singapura cenderung membeli perusahaan yang telah

beroperasi atau existing. Sementara bank di Indonesia masih memulai dari awal. Selain itu,

untuk mengembangkan bisnis di Singapura, pihaknya masih harus memperdalam kajian

hukum. Pasalnya pasti terdapat perbedaan sistem hukum antara di Indonesia dengan

Singapura.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 15 Januari 2015, 23)

CIMB Group, RHB dan MBSB Akhiri Rencana

Merger

Dalam pertemuan manajemen yang terakhir pada tanggal 14 Januari 2015, CIMB Group

Holdings Berhad, RHB Capital Berhad dan Building Society Berhad (MBSB) memutuskan untuk

menghentikan rencana merger. Keputusan ini berdasarkan pengkajian ulang potensi sinergi

yang dapat dilakukan khususnya menghadapi kondisi perekonomian yang kurang mendukung.

Berdasarkan hasil kajian, rencana merger ini dirasakan tidak dapat melindungi dan

menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan. Setelah dinyatakan berakhir, masing-

masing instansi akan fokus memperkuat jaringan dan mencapai target-target perusahaan.

Adapun penarikan pengajuan izin merger yang disampaikan kepada Bank Negara Malaysia

(BNM) telah ditarik oleh CIMN Group dan RHB Capital.

(Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Januari 2015, 3)

Inflasi Cenderung Turun, BI Rate Diprediksi Tetap

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi Desember 2014 tercatat 2,48%

(month on month) atau 8,36% (year on year). Walaupun tingkat inflasi cenderung menurun,

namun sejumlah kalangan memperkirakan Bank Indonesia akan tetap mempertahankan suku

bunga acuan di level 7,75%. Sejumlah analis mengatakan BI Rate akan cenderung stabil hingga

September 2015. Tidak adanya urgensi untuk menaikkan BI Rate, seperti laju inflasi yang masih

terkendali, spread suku bunga Fed Fund Rate dan BI Rate masih relatif jauh, dan penurunan

harga BBM akan menjaga BI Rate pada level 7,75%.

(Sumber: Indonesia Finance Today, 15 Januari 2015, 3)

Jumat, 16 Januari 2015

Bank Pilih Instrumen BI

Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, menuturkan perbankan lebih

memilih menempatkan kelebihan dananya di Bank Indonesia daripada ditransaksikan kembali

antar bank. Saat ini, dana perbankan yang ditempatkan pada sertifikat Bank Indonesia (SBI)

senilai Rp 85 triliun, deposit facility Rp 190 Triliun, reverse repo Surat Berharga Negara (SBN) Rp

117 triliun dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) Rp 109 triliun. Hal ini dikarenakan

instrumen Bank Indonesia dirasakan lebih liquid. Kendati demikian, kondisi ini tidak boleh

dibiarkan karena akan mendorong pasar keuangan menjadi tidak berkembang. Perbankan yang

memegang instrumen Bank Indonesia diharapkan dapat saling bertransaksi melalui mini master

repo agreement (MRA). Mini MRA ini mengatur kontrak standar transaksi antarbank dengan

jaminan surat berharga milik bank sehingga dapat meminimalisir resiko. Mini MRA telah saat

ini telah mencapai Rp 630 miliar, namun lebih kecil dibandingkan transaksi Pasar Uang Antar

Bank (PUAB) sebesar Rp 10 triliun. Budi Gunandi Sadikin, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk

mengatakan salah satu kendala bank untuk memperdalam pasar keuangan Indonesia karena

masih minimnya instrumen. Terkait MRA, pihaknya mengatakan hal ini baik untuk memenuhi

kebutuhan likuiditas jangka pendek dan dapat memperkuat daya tahan terhadap gejolak

perbankan. Suwoko Singoastro, Direktur Treasuri dan Institusi Finansial PT Bank Negara

Indonesia Tbk menambahkan mini MRA dapat mendorong distribusi likuiditas di pasar uang

menjadi lebih merata dan resiko yang lebih terukur.

(Sumber: Kompas, 16 Januari 2015, 20)

Bunga Dikawal ke Satu Digit

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan akan terus mengawal suku bunga

kredit UMKM agar terus turun untuk menghindari ekploitasi konsumen. Suku bunga yang

bersaing dan wajar menurut KPPU adalah satu digit. Suku bunga yang bersaing menurut

pihaknya akan mendorong roda perekonomian. Selain itu, KPPU juga akan terus mengkaji agar

selisih suku bunga kredit dan dana tidak terlampau tinggi. Menanggapi KPPU, OJK mengatakan

saat ini pihaknya tengah mengkaji beberapa opsi untuk menurunkan suku bunga kredit mikro.

OJK menyarankan bank untuk menahan kenaikan bunga kredit untuk mendorong sektor rill.

Kendati demikian, berbagai opsi dari OJK harus dilakukan secara berhat-hati agar tidak

mengurangi confidence bank. Budi Gunandi Sadikin, Direktu Utama PT Bank Mandiri Tbk

mengatakan bank akan menurunkan suku bunga kredit apabila defisit transaksi berjalan

membaik.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Januari 2015, 23)

Bunga Kredit Korporasi Bertahan

Sejumlah bank akan menahan kenaikan suku bunga kredit di segmen korporasi seiring

meningkatnya permintaan kredit untuk investasi dan modal kerja. PT BNI Tbk mengungkapkan

permintaan ini ditenggarai karena meningkatnya proyek-proyek infrastruktur pemerintah.

Adapun pembangun infrastruktur tahun ini akan lebih luas yakni mencakup infrastruktur jalan

tol, bandara, pelabuhan, bendungan, pembangkit listrik, dan instalasi pengolahan limbah.

Untuk proyek besar, BNI menyalurkan kredit melalui kredit sindikasi dengan bank lainnya.

Upaya menahan suku bunga kredit korporasi juga dilakukan oleh PT BII Tbk utnuk menjaga

tingkat kompetisi di pasar. Adapun tahun ini, pihaknya akan lebih fokus dalam menyasar kredit

sektor transportasi dan konstruksi seiring dengan banyaknya proyek infrastruktur pemerintah.

Hal ini sejalan dengan hasil survei Perbankan terhadap 42 responden.

(Sumber: Bisnis Indonesia, 16 Januari 2015, 23)

Bank Berlomba Tingkatkan Kelolaan Bisnis Trust

Perbankan berupaya untuk meningkatakn bisnis penitipan dan pengelolaan dana (trust) pada

tahun ini dengan menjalin kerjasam dengan perusahaan minyak dan gas (migas). PT BNI Tbk

pada tahun ini menargetkan kenaikan dana trust sebesar 47% atau US$5 miliar. Adapun

pihaknya sedang mengincar enam perusahaan migas untuk menempatkan dana di BNI. Tahun

2014, dana trust di BNI tercatat US$ 3,4 miliar, dari dana tersebut BNI dapat memperoleh fee

based income sebesar US$ 150 ribu. Tahun ini, pihaknya menargetkan fee based income senilai

US$ 250 ribu. Optimisme BNI terhadap bisnis ini kian besar seiring diberikannya kepercayaan

kepada BNI untuk mengelola dana penjualan gas Blok Sanga-sanga. Kendati demikian, ada

beberapa hambatan bagi perseroan untuk mengembangakan bisnis ini terutama dari sisi

regulasi. Pasalnya ada perbedaan sistem hukum antara Indonesia yang menganut hukum

kontinental dengan luar negeri yang menganut sistem hukum yurisprudensi. Bank berhadap

perusahaan yang melakukan kontrak migas di Indonesia dapat menggunakan bank lokal dalam

kegiatan operasionalnya. Hambatan lain adalah karena kurangnya dukungan SDM.

Selain BNI, BRI juga akan memacu bisnis trust tahun ini. Tahun lalu, BRI mengelola dana

sebesar Rp 16 triliun dari 21 proyek. Nilai ini bahkan melampaui target sebesar Rp 14 triliun.

Selain fee based income, keuntungan lain yang dapat diperoleh dari bisnis trust adalah

ketersediaan likuiditas. Berbeda halnya dengan BNI dan BRI, BCA menyatakan belum tertarik

menggeluti bisnis trust karena belum ada instrumen dalam bentuk dollar Amerika Serikat yang

menjadi tempat persinggahan dana.

(Sumber: Indonesia Finance Today, 16 Januari 2015, 8)

Rekomendasi:

Pada tahun 2015, terdapat potensi kenaikan suku bunga seiring kebijakan normalisasi di

Amerika Serikat. Meningkatnya Fed Fund Rate akan mendorong kenaikan suku bunga secara

global. Hal ini dapat mendorong dana keluar atau capital outflow dari Indonesia, sehingga

kondisi likuiditas domestik menjadi ketat. Bank Indonesia juga diperkirakan akan menaikkan BI

Rate sebagai respon dari kenaikan Fed Fund Rate. Kenaikan BI Rate akan menjadi dasar

pertimbangan bank untuk menaikkan suku bunga perbankan, baik kredit maupun simpanan.

Suku bunga kredit yang meningkat dapat menimbulkan potensi rasio kredit macet (NPL) ke

level yang lebih tinggi karena beban bayar sejumlah debitur semakin tinggi. Hal ini juga

didorong oleh masih berlanjutnya tren penurunan harga minyak dan komoditas global,

sehingga akan mempengaruhi kinerja debitur di sektor komoditas dan pertambangan serta

berpotensi untuk mendorong NPL yang lebih tinggi di kedua sektor tersebut. Kenaikan juga

akan terjadi pada suku bunga simpanan. Kenaikan suku bunga simpanan akan mendorong

kenaikan biaya dana, sehingga profitabilitas perbankan akan cenderung tergerus. Untuk

mengantisipasi hal ini, perbankan diharapkan menyalurkan kredit sesuai dengan kemampuan

liquiditas dengan fokus penyaluran kredit ke sektor yang dianggap tidak rentan terhadap

kondisi perekonomian global. Selain itu, untuk menahan pergerakan NPL, perbankan perlu

menjaga kualitas kredit. Terkait adanya potensi kenaikan biaya dana, perbankan juga

diharapkan dapat mendorong pangsa pasar dana murah (CASA) dengan berbagai inovasi

produk.

***