Penulis M. Chairul Basrun Umanailo, S.sos Tri Yatno, S ... - OSF

118
“CATATAN DI AKHIR PERKULIAHAN” KAJIAN DAN ANALISIS SOSIOLOGI DALAM BENTUK KUMPULAN ESSAY, MAKALAH DAN OPINI Penulis M. Chairul Basrun Umanailo, S.sos Tri Yatno, S.Pd.B Editor ARIHAN, S.Pd CATATAN DI AKHIR PERKULIAHAN (Kajian dan Analisis Sosiologi Dalam Bentuk Kumpulan Essay, Makalah dan Opini) iv + 107 hal; 14 x 20 cm Didukung Oleh: Fakultas Hukum Prodi Dharmaduta Universitas Iqra Buru STABN Raden Wijaya Hak Cipta @ M. Chairul Basrun Umanailo. Tri Yatno. 2015 Cetakan 1, 2015 Cetakan 2, (Revisi) 2015 Infinite Publisher ISBN : 978-602-1087-84-4

Transcript of Penulis M. Chairul Basrun Umanailo, S.sos Tri Yatno, S ... - OSF

“CATATAN DI AKHIR PERKULIAHAN”

KAJIAN DAN ANALISIS SOSIOLOGI

DALAM BENTUK KUMPULAN ESSAY,

MAKALAH DAN OPINI

Penulis M. Chairul Basrun Umanailo, S.sos

Tri Yatno, S.Pd.B

Editor

ARIHAN, S.Pd

CATATAN DI AKHIR PERKULIAHAN

(Kajian dan Analisis Sosiologi

Dalam Bentuk Kumpulan Essay, Makalah dan Opini)

iv + 107 hal; 14 x 20 cm

Didukung Oleh:

Fakultas Hukum Prodi Dharmaduta

Universitas Iqra Buru STABN Raden Wijaya

Hak Cipta @ M. Chairul Basrun Umanailo. Tri Yatno. 2015

Cetakan 1, 2015

Cetakan 2, (Revisi) 2015

Infinite Publisher

ISBN : 978-602-1087-84-4

ii

PENGANTAR PENULIS Belajar adalah “Anugrah”, ketika kesempatan itu

datang sekiranya Tuhan menginginkan manusia untuk

berubah menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya.

Begitu juga apa yang saya dapatkan selama menjalani

studi di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, banyak

pengalaman yang tidak saya ingin tinggalkan begitu

saja dengan kesungguhan hati maka keinginan menulis

buku ini semakin kuat.

Buku ini berupaya menyajikan kajian-kajian yang

sederhana tentang perubahan masyarakat, postmodern,

politik, maupun kajian-kajian sosial dari berbagai

realitas yang terjadi dalam masyarakat, dengan kalimat

yang sederhana bahkan tidak teratur dalam strukturnya,

namun demikian penulis tetap berupaya untuk

mentransformasikan pengetahuan yang dimiliki, serta

penulis yakin bahwa sesuatu yang “besar” selalu

berawal dari kesalahan-kesalahan yang secara terus

menerus membuka pikiran seseorang untuk

menemukan sesuatu yang lebih baik lagi.

Buku ini bukanlah sebuah karya teoritis yang

fenomenal, malah hanya kumpulan tugas-tugas yang

penulis kumpulkan kembali selama perkuliahan

berlangsung, bagi penulis tugas tersebut memiliki arti

penting untuk bisa dikembangkan pada tataran yang

lebih baik lagi.

Tulisan yang penulis rangkum dalam buku ini, ada

sebagian kecil merupakan kerja kelompok yang

merupakan kontribusi penting dalam menyelesaikan

tugas perkuliahan yang sementara berlangsung, maka

dari itu penulis juga berkewajiban mengucapkan terima

iii

kasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman

sekelas yang pernah menjalani perkuliahan bersama-

sama dengan penulis.

Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada mereka yang telah memberikan dorongan

moral, khusunya, Istri tercinta, Yusmidar Umanailo serta

kedua anak-anakku, Annisa Retrofilia Umanailo dan

Askar Daffa Sophia Umanailo, yang selalu mendorong

dan memberikan kekuatan moral selama penulis

mengikuti program S2. Juga kepada seluruh Dosen-

dosen di Prodi Sosiologi Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret, Dr. Argyo Demartoto M.Si.

yang mau memahami kondisi penulis dan terus

membantu selama penulisan buku ini dilakukan. Salam

hormat kepada Dr Mahendra Wijaya, MS, Dr. Drajat Tri

Kartono, M.Si, Prof. Soemanto MA, Drs. Y. Slamet,

M.Sc.,Ph.D, Dr. Ahmad Zuber, D.E.A., yang selalu

menjadi inspirator selama perkulihaan berlangsung.

Kepada Kakanda Rusnawati Umanailo, penulis

sangat berterima kasih atas dukungan serta perhatian,

Mas Arihan untuk Edit-nya, dan Tidak lupa, teman-

teman Mahasiwa Pascasarjana Sosiologi di UNS, juga

teman-teman khususnya di angkatan 2013 S2 Program

Sosiologi UNS, yang tidak dapat saya sebutkan

seluruhnya, yang ikut berdiskusi untuk membantu

penyusunan buku ini.

Melalui tulisan-tulisan dalam buku ini, sekiranya

ada nilai lebih yang bisa kita dapatkan bersama-sama,

dan semoga juga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Awal 2015

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Judul.............................................................................................. i

Pengantar Penulis.................................................................... ii

Daftar isi....................................................................................... iv

Agama Dalam Identitas................................................... 1

Budaya Gosip Mengkonstruksi Opini Publik................. 5

Daur Ulang Konsumerisme Menuju Konstruksi

Masyarakat Modern........................................................ 7

Pierre Bourdieu; Menyikap Kuasa Simbolik................. 20

Perang Itu Belum Usai.................................................... 24

Tragedi Kabinet Kerja Jokowi........................................ 27

Memahami Kontur Konflik Pada Cyber Community.... 30

Konsumerisme................................................................ 39

Money Politic Menjadi Agama Baru.............................. 50

Pidato Dan Penghancuran Label Calon Presiden 2014.. 54

Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois

Lyotard............................................................................ 58

Modernisasi Pedesaan..................................................... 73

Dualisme Eksistensi Kondom….................................... 81

Dominasi Modal Ekonomi Atas Ranah Politik.............. 93

Kebijakaan Politik Pendidikan Yang Merakyat…..........99

DAFTAR PUSTAKA

Biografi Penulis

1

AGAMA DALAM IDENTITAS M. Chairul Basrun Umanailo

Bangsa Indonesia kembali dikejutkan dengan kolom,

kolom dalam baris Kartu Tanda Penduduk yang

mengisyaratkan agama bagi setiap pemiliknya. perdebatan

terus berlanjut dan tidak bisa dihentikan atas nama

perdamaian. Sebab musabab dari perdebatan yang panjang

adalah ketika Menteri Dalam Negeri (Cahyo Kumolo)

2

melemparkan wacana penghapusan kolom agama dalam KTP

sebagai keberpihakan pada kaum minoritas di Indoensia.

Dalam tulisan ini pun saya tidak membela pada siapa

yang benar, semurni logika saya berpikir bahwa agama

merupakan identitas kultural dan sangat sensitif ketika

pemaknaan terhadap agama itu sendiri harus bertentangan.

Pada waktu negara ini dibangun, sadar atau tidak agama lah

yang kemudian menjadi katalisator, identitas para pendahulu

kita bahkan Founding Father selalu terdepan dalam

berkecampuk dengan berbagai situasi penguasaan

kalonialisasi. Sebut Saja Agus Salim, dengan percaya dirinya

hingga ke Negeri Belanda tetap menggunakan sarung sebagai

identitas Islamnya yang kuat dan itupun tidak menjadi

masalah dalam berdiplomasi atau bernegara pada saat itu.

Dalam beberapa kutipan yang coba saya rangkum,

seraya ingin memahami apa itu konsep agama? kembali kita

mempertanyakan agama pada titik awal dimana kesadaran

anda maupun saya masih berada pada tataran “mencari”.

Seorang filosof berkembangsaan Pakistan, Sir DR

Mohammad Iqbal, menulis bahwa sebenarnya “agama” itu

merupakan suatu pernyataan utuh dari manusia (Damani

2002). Menurut hendro puspito agama adalah suatu jenis

sistem sosial yang di buat oleh penganut-penganut nya yang

berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang di

percayainya dan di daya gunakan nya untuk mencapai

keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umum nya

(B.R Wilson). Lain lagi ketika Emile Durkheim seorang

Sosiolog yang menyatakan bahwa agama merupakan

proyeksi pengalaman sosial.

Agama merupakan bentuk kesadaran manusia yang

termanifestasi pada suatu kultur dimana manusia awalnya

terpasung karena keturunan dan membuat kemungkinan

untuk berubah seiring pembentukan kesadarannya.

Kesadaran terbentuk oleh dan dari dirinya sendiri. Menurut

Berger, manusia secara ontogenetis dilahirkan dalam bentuk

kedirian yang “belum selesai”. Keberadaannya di-dunia,

3

dengan demikian, merupakan proses untuk “menjadi

manusia”. Manusia, dalam konteks tersebut, secara terus-

menerus melakukan proses eksternalisasi diri. Ia selama

proses tersebut mencurahkan makna-makna ke dalam realitas

(Irfan Noor). Maka Agama menjadi sebuah cerminan bagi

setiap individu dalam keseharian yang berhadapan dengan

realitas sosial. Apa yang saya anggap sebagai “terpasung”

merupakan bagian keberhinggaan yang sering di temukan

dalam kajiannya Peter L Berger.

Maka ketika seseorang tidak mampu mengurai

keterpasungannya dalam realitas sosial sulit baginya untuk

hidup selayaknya individu yang mampu melepaskan

keterpasungannya itu. Hal ini terkait dengan identitas yang

ketika dalam pertukaran simbolik menjadi modal utama

dalam berinteraksi. Kultur budaya kita memiliki unsur

pemaksa, anda akan sulit bereksistensi ketika harus

berhadapan dengan kelompok yang secara Sosiologis

memiliki homogenitas. Dan hasil dari situasi seperti ini

adalah anomaly. Agama merupakan instrument penyusun

keteraturan sosial, agama mempolarisasi masyarakat pada

tiap-tiap diferensiasi dengan berbagai aturan serta norma

yang ditetapkan.

Agama dalam identitas merupakan penanda bahwa

eksistensi agama sebagai katalisator kehidupan manusia itu

jelas sangat berarti. Seluruh agama memiliki aturan jelas

serta orientasi dan perilaku dalam menjalankan agama pun

sudah ditetapkan. Artinya agama mempolarisasikan individu

sesuai tujuan agama itu sendiri. Dan ketika seseorang

memilih untuk memeluk salah satu agama tentunya memiliki

argumentasi yang kuat, seperti misalnya rasa nyaman, jati

diri serta perlindungan.

Kembali saya singgung kolom KTP tentang agama,

sebab bukan sekedar tulisan Islam, Kristen, Hindu, Budha

serta Konghucu, melainkan tersirat identitas kita yang sangat

kuat sebagai individu yang memiliki proyeksi kehidupan, apa

jadinya ketika seseorang tidak memiliki proyeksi tentang

4

kehiduapnnya sendiri. Lagi-lagi keteraturan sosial kita akan

terusik. Saya bisa bayangkan ketika KTP tanpa kolom agama

maka kebebasan itu akan menjadi liar saat seseorang akan

keluar masuk tempat ibadah, tanpa pernah merasa dia bagian

dari ibadah tersebut, dan akan seenaknya mengaburkan

agama-agama yang ada dengan ajaran intepretasinya.

Seingat saya, Max Weber mampu mengurai

kapitalisme dari bagian yang menceritakan etos kerja

berdasarkan agama, Jadi ketika usulan Pemerintah untuk

menghapus kolom agama dalam KTP berarti pemerintah

sendiri yang menghancurkan identitas rakyatnya,

menghancurkan diferensiasi dan meleburkan tata nilai yang

berhasil mengakomodir kehidupan sosial kita. Rakyat masih

butuh identitas, Rakyat masih butuh keteraturan, ingat

Bangsa Indonesia bisa hancur hanya karena 3 hal; 1, Agama

di pasung, 2. Ekonomi di kebiri, 3. pemimpin ber“Onani”.

Semoga kesadaran itu bisa tumbuh.

5

BUDAYA GOSIP

MENGKONSTRUKSI

OPINI PUBLIK

M. Chairul Basrun Umanailo

Masyarakat Indoensia tidak lagi terpolarisasi pada

segmentasi ekonomi antara bourjouis dan proletar yang terus

tarik menarik pada siklus yang tanpa berkesudahan ujungnya,

begitupun ruang-ruang publik sejatinya menjadi ekspresi

bersama, terkekang dengan lingkaran kapitalis yang semakin

mendominasi bahwasanya ruang publik hanyalah imajinasi

bukan lagi fakta atas kenyataan bahwa manusia berpijak atas

kesadarannya sendiri untuk mempertahankan hidup dan

eksistensinya.

Opini publik semakin mengkerucut pada nadir

intelektual yang ditopang oleh sumulasi media, apa yang kita

pahami tentang opini publik bukanlah seperti yang

disampaikan “Sutinah”, bahwasanya opini publik adalah

kumpulan opininya banyak orang ataupun pendapat semua

orang. Sutinah sangat yakin karena kata opini maupun publik

bukan milik orang pintar, pejabat atau pekerja di media

namun suatu kata yang bisa mewakili tukang bakso, kuli

bangunan bahkan pelacur sekalipun, untuk mengutarakan

bahwa apa yang dia konstruksikan dalam memahami

permasalahan yang dihadapi.

6

Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana

seharusnya media memposisikan opini publik sebagai sebuah

ungkapan keyakinan yang menjadi pegangan bersama

diantara para anggota sebuah kelompok atau publik,

mengenai masalah yang menyangkut kepentingan umum.

Bukan sebaliknya media mengkonstruksikan wacana untuk

dijadikan opini publik. Contoh yang bisa kita dapatkan ketika

Pilpres 2014, dimana hampir semua media mengibarkan

bendera “perang”, berlomba-lomba menciptakan narasi untuk

mengkonstruksi opini publik kepada salah satu calon.

Alhasil, dan itu sangat berhasil, dengan terpolarisasinya

masyarakat dalam segmentasi kelompoknya masing-masing.

Fakta yang masih berwujud gosip dipaksa untuk

membenarkan narasi dan melahirkan opini yang

menyesatkan. Pada akhirnya media dianggap sebagai

konduktor konflik yang mumpuni.

Pengaruh gosip sebagai hiburan dalam masyarakat

membuka ruang tersendiri hingga menyebabkan

terbangunnya wacana dan menjadi opini publik adalah suatu

dinamika sosial yang memiliki Multi-efek bagi kehidupan

sosial masyarakat. Gosip yang sudah terkena pengaruh

industrialisasi dalam kerangka Infotainment menjadikan

pembedaan antara mana fakta dan mana spekulasi semakin

menipis menyebabkan masyarakat semakin terjebak pada

konstelasi pemikiran yang menyeret egosentri pada

keberpihakan kultural.

Seseorang dengan mudahnya mengkonstruksi opini

publik terhadapnya (seijin media) dengan menciptakan

sensasional seperti yang tercipta dalam simulacra, pencitraan

sebagaimana yang dikehendaki menjadikan opini publik

semakin “diperkosa” oleh sentilan-sentilan nakal gosip dari

mereka yang memiliki kemampuan. Maka ketika gosip

dijadikan bahan bakar untuk membangun opini publik maka

jangan khawatir bahwasanya opini publik akan berganti

nama menjadi “opini gossip”.

7

“DAUR ULANG” KONSUMERISME

MENUJU KONSTRUKSI MASYARAKAT MODERN

M. Chairul Basrun Umanailo

Puji dan syukur saya panjatkan pada Sang khalik, ketika dipertemukan dengan tulisan-tulisan kritis tentang konsumerisme membuat tumbuh kesadaran saya untuk mendaur ulang pemaknaan tentang konsumerisme sebagai sebuah “gejala manipulasi tingkah laku manusia”. Sebelum jauh kita bergulat dengan konsumerisme itu sendiri, saya coba mengajak anda untuk sekedar merefresh pemikiran kita untuk menkonstruksi kembali apa yang dikehendaki oleh pemikir-pemikir terdahulu tentang konsumerisme.

Tidak lepas dalam ingatan kita, bagaimana Jean Baudrilard menelanjangi konsumerisme dengan karya besar tentang masyarakat konsumsi, Yasraf Amir Piliang mencoba untuk meretas konsumerisme lewat tafsir Cultural Studies atas matinya Makna, sementara itu Ritzer, Douglas, maupun Barry Smart yang masih setengah hati menafsirkan makna dari konsumerisme. Kesemuanya itu adalah upaya mengkonstruksi dan meleburkan nilai-nilai yang terkandung dan terbangun

8

dalam suatu essay lepas untuk menumbuhkan kesadaran bahwa konsumerisme siap menerkam kita kapan saja dan dimana saja.

Masyarakat modern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun konsumsi yang dilakukan bukan lagi hanya sekedar kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekedar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Konsumsi telah menjadi budaya, budaya konsumsi. Sistem masyarakat pun telah berubah, dan yang ada kini adalah masyarakat konsumen, yang mana kebijakan dan aturan-aturan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan pasar (Budaya Konsumen).

Awal terbangunnya konsumerisme ketika orang mulai mengagumi keberadaan teori konsumsi, terjadi pergeseran makna pada tataran teoritis, individu menyadari bahwa hidup bukan sekedar menjangkau atau mencari sumber ekonomi namun juga bagaimana mengelola sumber-sumber itu agar bertahan lama bahkan mungkin selamanya untuk kesehjateraan individu. Perubahan cara produksi diikuti dengan kekacauan social skala besar yang akhirnya menyebabkan tumbangnya cara hidup tradisional yang berbasis pada produksi pertanian (Ritzer. 2011).

Ada tendensi evolusi dalam perjalanan konsumerisme sebagai penjelmaan nilai lebih dari suatu komoditas akibat bergesernya fungsi barang, bagi saya keberadaan konsumerisme bukan tergantung pada waktu, melainkan kesempatan dalam kepemilikan capital dan tersedianya sumber-sumber ekonomi yang mengarah pada terjadinya hukum dominasi bukan hukum permintaan. Terjadi migrasi besar-besaran ke pusat-pusat kota yang baru terbentuk. Kelas-kelas

9

social yang dulunya muncul sebagai budak kini ditransformasikan menjadi buruh yang diupah. Kita bisa mengikuti urutan sejarah system industrial silsilah/asal usul konsumsi: (1) tatanan produksi menghasilkan mesin/kekuatan produkstif, (2) ia menghasilkan modal/kekuatan produktif yang masuk akal, (3) ia menghasilkan tenaga kerja bergaji, kekuatan produktif yang abstrak, tersistimatisir, yang secara mendasar berbeda dengan pekerjaan nyata dan pekerjaan tradisional, (4) terakhir ia melahirkan kebutuhan-kebutuhan, system kebutuhan, permintaan/kekuatan produktif sebagai kumpulan yang dirasionalkan, disatukan, dan diawasi. Semua itu dibuat sebagai unsur system, dan bukan hubungan sebagai individu dengan objek, menunjukan bahwa hubungan manusia dengan objek-objek hubungan manusia dengan dirinya sendiri dipalsukan, dikelabui, dimanipulasi (M. Chairul Basrun Umanailo).

Hampir semua filsuf social yang menulis tentang kebangkitan konsumsi sebagai gejala individual yang mengancam tatanan social. Weber (1904) memandang konsumsi sebagai ancaman bagi etika Protestan kapitalis. Durkheim (1964) menyamakan konsumsi dengan anomi pengancam masyarakat yang bisa diperbaiki dengan interelasi-interrelasi fungsional dalam pembagian-pembagian kerja yang ditemukan dalam produksi (Ritzer. 2011). Bagi Ekonom, inilah “Utilitas” keinginan memperoleh satu kebaikan tertentu yang khusus di akhir konsumsi. Maka kebutuhan telah terpenuhi oleh barang-barang yang tersedia, hobi yang diarahkan oleh potongan produk yang tersedia di pasar: inilah hakikat permintaan yang sanggup dipenuhi (Baudrillard. 2013).

10

Konsumsi adalah system yang menjalankan urutan tanda-tanda dan penyatuan kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligus sebuah moral (sebuah system nilai ideology) dan system berkomunikasi, struktur pertukaran. Menurut hipotesa ini, dan juga paradoks mengenai hal itu munculnya konsumsi didefenisikan sebagai kenikmatan yang eksklusif. Sebagai logika sistem, sistem konsumsi didirikan di atas dasar pengingkaran kenikmatan. Disana kenikmatan tidak lagi muncul sama sekali sebagai tujuan rasional, tetapi sebagai rasionalisasi individu pada suatu proses yang bertujuan lain. Kenikmatan akan memberi batasan konsumsi bagi dirinya, otonom, dan akhir konsumsi (Ritzer. 2011).

Konsumsi, menurut Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Maksudnya, bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut

Marx membahas konsumsi secara langsung dan rinci dalam Grundrisse. Sebahagian besar pembahasan itu tentang membangun hubungan dialektis tiga rangkap antara konsumsi dan produksi. Pertama, konsumsi selalu merupakan produksi, dan produksi selalu merupakan konsumsi artinya dalam memproduksi objek selalu ada konsumsi tenaga bahan dan tenaga manusia; sedangkan dalam mengonsumsi objek, ada aspek tertentu dari konsumen yang diproduksi. Kedua, produksi dan konsumsi bersifat interdependen. Produksi menciptakan objek yang

11

diperlukan untuk konsumsi dan konsumsi menciptakan motivasi untuk produksi. Ketiga, produksi dan konsumsi saling menciptakan. Produksi selesai melalui konsumsi yang menciptakan kebutuhan akan produksi lebih lanjut.

Sebaliknya konsumsi hanya tercipta sebagai salah satu realitas materi melalui produksi karena kebutuhan yang mendorong konsumsi hanya menjadi konkret dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu yang telah di produksi (Baudrillard. 2013). Menurut Gervasi: “pilihan-pilihan tidak dibuat secara kebetulan, tetapi terkontrol secara social, dan mengambarkan model budaya di tengah budaya yang mereka buat. Orang tidak menghasilkan juga tidak mengkonsumsi benda apa saja: mereka harus memiliki beberapa arti menurut pandangan sistem nilai. Tujuan ekonomi bukanlah memaksimalkan produksi untuk individu, tapi maksimalisasi produksi yang berhubungan dengan sistem nilai masyarakat (Parsons) (Piliang. 2004).

Kerangka pikir yang membedakan antara nilai guna yang sesunguhnya (true use values) dengan ciri-ciri palsu objek yang difetisisasikan dan dialienasikan. Kerangka pikir dan pembedaan ini mendefenisikan pendekatan Marx bahwa konsumsi atas sesuatu yang secara fungsional dianggap berguna akan dilegitimasikan sebagai kebutuhan, sedangkan semua konsumsi lain yang terkait dengan kemewahan dianggap sebagai kemerosotan moral (Ritzer. 2011). Penghasilan, belanja prestise, membentuk lingkaran setan dan kebingungan, lingkaran kejam konsumsi, yang didasarkan atas kegairahan kebutuhan yang disebut”Psikologis”, yang berbeda-beda kebutuhan fisiologis dalam apa yang mereka dasarkan pada “penghasilan yang tergantung pada orang yang

12

berkuasa” dan kebebasan memilih, akhirnya menjadi Manipulable merci. Untuk menerima bahwa kebebasan dan kedaulatan konsumen hanyalah perbuatan mistifikasi (memperdaya orang banyak) (Baudrillard. 2013).

Horkheimer dan Adorno menggambarkan industri kebudayaan disorganisasi dengan berpusat pada model-model produksi massa Fordis. Fordisme tidak hanya menghasilkan barang konsumen yang homogeny, tapi juga standarisasi dan komodifikasi produk-produk kebudayaan buatan pabrik. Marcuse menyatakan „orang mengenali dirinya dari komoditas-kontrol sosial ditentukan dari kebutuhan-kebutuhan baru yang ditimbulkannya. Marcuse mendiagnosa persoalan pada masyarakat konsumen adalah kenikmatan yang tidak cukup. Kebudayaan konsumen dalam kapitalisme kontemporer bukanlah tempat bagi hedonism yang tak terkendali, melainkan tempat bagi kesenangan-kesenangan yang terkendali secara birokratis dan dirasionalisasi (Ritzer. 2011).

Garis batas “palsu”, kesenangan pada TV atau kesenangan memiliki Villa adalah nyata sebagai “kebebasan yang sebenarnya”, tak seorangpun menghidupkan sebagai alienasi (Baudrillard. 2013). Tujuan konsumsi merupakan paksaan dan dilembagakan bukan sebagai hak atau sebagai kesenangan, tetapi sebagai tugas (devoir) dari warga Negara (Ritzer. 2011).

Analisis Simmel tentang peranan uang dalam modernitas. Inti dari argument Simmel ialah bahwa pertumbuhan dan reifikasi kebudayaan objektif juga bermanfaat karena menyediakan lebih banyak peluang bagi individu untuk mengekspresikan kebebasan dan individualitas. Bukannya menggunakan macam-macam

13

komoditas yang sangat banyak ini, malah seringkali kitalah yang dimanfaatkan oleh komoditas-komoditas itu (Baudrillard. 2013).

Veblen mengutarakan; kelas atas menggunakan konsumsi berlebihan untuk membedakan diri dari kelas-kelas di bawahnya dalam Hierakhi sosial, sementara kelas-kelas bawah berupaya (dan biasanya gagal) meniru pola konsumsi tingkatan diatas mereka. Dorongan untuk meniru ini memicu efek „mengalir ke bawah‟, yaitu kelas atas menjadi penentu bagi semua konsumsi yang terjadi dibawahnya. Praktik-praktik konsumsi yang dilakukan leisure class, kelas yang lebih banyak memiliki waktu luang ketimbang bekerja dicela-cela waktunya karena dia menggunakan kecakapan kerja dan produksi. Jadi dengan mengkonsumsi objek, sesungguhnya kita sedang mengonsumsi bermacam-macam makna yang terkait dengan kelas (Baudrillard. 2013).

De Certeau (Ritzer. 2011), menjelaskan; gagasan utamnya ialah bahwa konsumen bukan hanya dikontrol oleh manipulasi pemasaran seperti yang ingin diyakinkan kaum Marxis, Neo-Marxis, dan lain-lain, tetapi konsumen sendiri juga menjadi manipulator aktif. Bukannya patuh menggunakan jasa dan barang konsumen sesuai yang diharapkan, konsumen menggunakan jasa dan barang itu dengan cara sendiri sesuai kebutuhan dan kepentingannya.

14

OBJEK KONSUMSI

Adam Smith (Ritzer, 2011), mendekati studi objek-objek konsumsi dengan konsep komoditas. Smith dan Marx, komoditas terutama dipandang sebagai bagaian dari proses produksi. Jean Baudrillard menulis dalam the system of objects bahwa untuk menjadi objek konsumsi, terlebih dahulu sebuah objek harus menjadi tanda. Jadi memahami konsumsi kita perlu mampu membaca barang konsumen sebagai serangkaian tanda-sama dengan bahasa yang memerlukan penafsiran.

Baudrillard menerangkan bahwa sebuah objek mulai menjadi objek konsumsi bila tidak lagi ditentukn oleh hal-hal berikut: (1) tempat objek di dalam siklus produksi; (2) kegunaan fungsional objek; atau (3) makna simbolis objek. Objek konsumen adalah pesan, barang konsumen adalah peranti lunak dan peranti keras dalam sebuah sistem informasi yang urusan utamanya ialah memantau kinerjanya sendiri. Metafora konsumsi sebagai manipulasi tanda lebih berguna untuk membedakan antara konsumsi dan bahasa dari pada untuk menyamakannya. Barang konsumen bekerja serasi menciptakan satu keseluruhan bermakna dan konsisten. Membeli sepasang sepatu baru menciptakan ketidak serasian dengan setelan yang lama. jadi, orang harus membeli rok baru, blus baru, dan dompet baru agar semua objek konsumen bisa dipadu padankan.

15

SUBJEK KONSUMSI Gabriel dan Lang menunjukan tipe konsumen

sangat bermacam-macam: korban, pemilih, komunikator, pencoba-coba, pencari identitas, hedonis, artis, pemberontak, aktivis, atau warga. Daftar ini memang tidak lengkap, tetapi berhasil menyampaikan fakta bahwa ada keanekaragaman di kalangan konsumen. Habitus adalah sistem dan struktur-struktur, penstrukturan yang bergabung menjadi keseluruhan teratur, yang diciptakan guna menanggapi kondisi-kondisi objektif dan dipelajari melalui sosialisasi. Ciri terpenting habitus ialah habitus bukan mengontrol actor, tetapi dapat dikalahkan melalui refleksivitas. Dalam Distinction, Bourdieu menghubungkan habitus dengan selera. Dengan konsep habitus, Bourdieu sanggup menghubungkan mikropraktik-mikropraktik tampak voluntaristis yang biasa diasosiasikan dengan selera mikro struktur kelas-kelas kapitalis. Dalam pandangan ini, konsumsi bisa dianggap sebagai pilihan-pilihan gaya hidup strategis sadar yang dibuat konsumen dengan dilatarbelakangi selera-selera tak sadar yang menjadi ciri suatu habitus kelas (Ritzer. 2011).

Konsumsi dibayangkan sebagai sebuah ranah tempat niat dan tujuan aktor-aktor individu ditopang dan ditransformasi melalui manipulasi-manipulasi eksperimental pada sistem objek-objek. Bauman berargumen bahwa pengalaman kebebasan yang dikaitkan dengan konsumsi akan menghindari dua masalah ini. Pertama, karena wilayah konsumsi modern lebih berpusat pada gaya hidup dari pada barang. Kedua, mereka yang melakukan belanja gaya hidup dapat bereksperimen dengan bentuk-bentuk komunitas yang bisa dimasuki dan ditinggalkan tanpa harus mengompromi kebebasan individu mereka (Ritzer. 2011).

16

TEMPAT-TEMPAT KONSUMSI

Pendekatan Benjamin pada konsumsi berpusat pada peranan yang dimainkan perubahan teknologi. Munculnya foto dan ancaman yang dibawanya terhadap lukisan. Studi sejarah teori sosial dan konsumsi Rosalind Williams dapat dianggap menghubungkan karya Benjamin dengan konsep anomi Durkheim. Williams menekankan peranan yang dimainkan tempat-tempat khusus ini (pekan raya dunia, toko serba ada) dalam membangkitkan dan membakar hasrat konsumen, juga dalam menumbuhkan masyarakat konsumen. Eksposisi dunia dan toko-toko serba ada, dalam periode ini merupakan dunia-dunia impian yang dipilih untuk membangkitkan minat konsumen terhadap konsumsi, menghibur konsumen, menyediakan tempat, barang, dan jasa yang mampu memenuhi kebutuhan imajinasi mereka. Tempat-tempat ini memikat dan menggoda konsumen dengan fantasi. Upaya lebih kontemporer ditawarkan Ritzer untuk menyemimbangkan minat-minat tradisional pada konsumen, objek-objek konsumen, dan proses konsumsi, dengan lebih banyak mencurahkan perhatian pada tempat-tempat konsumsi. John Urry mnyebut tempat-tempat ini tempat konsumsi atau “tempat untuk konsumsi”… Konteks yang di dalamnya barang dan jasa diperbandingkan, dievaluasi, didibeli dan dipergunakan. Di satu sisi, tempat-tempat ini dipaksa untuk melakukan rasionalisasi dan birokratisasi, khususnya jika tempat-tempat itu berusaha melayani klien dan pelanggan dalam jumlah besar serta beroperasi di sejumlah lingkungan geografis yang berbeda.

Meskipun disebut-sebut sebagai dunia impian sebagian darinya paling tidak, tempat-tempat konsumsi

17

yang dibahas sejauh ini sangat material, misalnya; restoran cepat saji, toko serba ada, kapal pesiar dan sebagainya. Namun salah satu kecendrungan terpenting ialah kearah munculnya sarana konsumsi yang „didematerialisasikan‟. Membahas Dematerialisasi ini terutama dalam hubungannya dengan barang konsumen dan fakta bahwa semakin banyak barang konsumen yang bersifat non-material (maksudnya berbentuk jasa), gagasan bahwa barang materialpun mempunyai lebih banyak unsur non-materialnya (misalnya, citra iklan, unsur desain, dan unsur pengemasan) (Ritzer. 2011).

PROSES KONSUMSI Studi menarik mengenai proses konsumsi ialah A

Theory of Shopping karya Daniel Miller (Ritzer. 2011)., tiga tahap menuju konsumsi. Tahap pertama adalah visi pengalaman berbelanja murni, biasa disebut „real shopping‟. Dalam visi ini, konsumen hedonistis secara tak bertanggung jawab menjarahi dan meludeskan sumber daya, berkolaborasi dengan kapitalisme dalam merusak diri sendiri dan bumi. Tahap kedua, konsumen menerapkan strategi dan ketrampilan menghemat. Dalam praktik, biasanya shopping dijelaskan sebagai kesempatan untuk menghemat uang, bukan untuk menghabiskannya. Tahap ketiga, proses-proses konsumsi dikaitkan dengan hubungan-hubungan sosial nyata dan ideal yang membentuk dunia pembelanja. Dalam tahap ini khususnya, konsumen tipikal yang terkait dengan salah satu gender membeli merek atau rasa tertentu sehubungan dengan pemahamannya tentang bukan hanya soal kebutuhan semata-mata, melainkan pemikirannya tentang apa yang akan meningkatkan kualitasnya sebagai individu. Miller

18

menyimpulkan bahwa „tujuan primer dibalik shopping bukanlah untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan melainkan usaha untuk berhubungan dengan subjek-subjek yang menghendaki barang-barang itu.

Ritzer (2011) mengidentifikasikan perubahan; pertama, dari pada harus pergi ke banyak lokasi yang berbeda, tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan (shopping mall) dan pusat belanja besar (mega mall) (juga took pangan serba ada dan took serba ada raksasa) telah memungkinkan adanya „one-stop shopping, belanja apa saja di satu tempat. Banyak katedral konsumsi (seperti mega-mall, Disney World, kapal pesiar, Las Vegas dengan kasino-hotelnya) dengan segenap keistimewaannya telah menjadi „tempat tujuan‟ dan orang-orang yang mendatanginya untuk mengkonsumsi tempat-tempat itu seperti halnya mereka mengonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan di sana. Ketiga, bukannya menyuruh pelayan melayani konsumen, kini banyak konsumsi yang mengharuskan konsumen melakukan swalayan, tanpa dibayar. Pada akhirnya katedral-katedral konsumsi mengubah relasi sosial sedemikian rupa sehingga konsumen lebih banyak berinteraksi dengan tempat dan yang ditawarkan tempat itu, bukan dengan orang yang bekerja disana atau dengan sesama konsumen.

Konsumsi adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan sebuah paksaan, sebuah moral, konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi integrasi kelompok dan integrasi kontrol sosial. Masyarakat konsumsi, juga merupakan masyarakat pembelajaran konsumsi, pelatihan sosial dalam konsumsi, artinya sebuah cara baru dan spesifik

19

bersosialisasi dalam hubungannya dengan munculnya kekuatan-kekuatan produktif baru dan Restrukturisasi monopolistik sistem ekonomi pada produktivitas yang tinggi (Ritzer. 2011).

Semua ideologi konsumsi ingin meyakinkan kita bahwa kita telah memasuki era baru dan sebuah revolusi kemanusiaan yang menentukan, yang memisahkan zaman yang menyedihkan dan Heroik terhadap produksi dengan zaman eforis konsumsi, dimana ia telah mengembalikan hak pada manusia dan pada keinginannya. Konsumsi tampak berlawanan dengan ideologi nyata, sebagai suatu dimensi paksaan yang: (1) Didominasi oleh paksaan arti, pada tingkat analisis Struktural (2) didominasi oleh paksaan produksi dalam analisis strategis (sosio-ekonomi-politik). “Thrift is unamericain,” kata White “berhemat berarti anti Amerika”(Ritzer. 2011). Semoga kita tercerahkan.

20

Pierre Bourdieu; Menyikap Kuasa Simbolik M. Chairul Basrun Umanailo

Pada umumnya kalangan akademisi, peneliti hingga mahasiswa Sosiologi cukup Familiar dengan nama seorang “strukturalisme konstruktivis” asal Prancis yang bernama Pierre Bourdiue, yang dikenal lewat konsep Habitusnya. Bourdieu sendiri berpendapat, bahwa Sosiologi tidak hanya harus mengkaji kehidupan sosial melalui konsep struktur sosial, melainkan yang terpenting justru memperhatikan tindakan sosial individu dan makna antar subjektif.

Dalam buku Pierre Bourdieu menyingkap kuasa simbol, penulis mencoba untuk lebih jauh mengeksplorasi sistem simbol dalam mengkonstruksi realitas. Buku ini juga berupaya menyajikan penafsiran dan pemahaman tentang kuasa simbolik menurut pemikiran Pierre Bourdieu. Penyajian yang diberikan dalam konstruksi buku menyerupai proses dialog antara penulis dengan diri Bourdieu yang dimengerti dalam arti luas baik latar kebudayaannya, lintasan sejarah, dan lingkungan yang berada disekelilingnya. Memang tidaklah mudah untuk memahami ruang gerak pemikiran Bourdieu dengan

21

sirkulasi pemikiran yang begitu luas dalam mengkaji setiap realitas.

Dalam teks yang tersusun dalam buku ini, Bourdieu membuktikan kalau selera manusia tidaklah netral, tetapi selalu terkait dengan citra sosial tertentu. Termasuk halnya bahasa dimana penggunaannya bersifat menular dari kelas atau kelompok sosial yang satu ke lain. Termasuk anggapan bahwa semakin hegemonik kekuasaan beroperasi, makin efektif pula bahasa yang ditularkan kepada mereka yang lemah. Bahasa memiliki keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan. ia bisa bertujuan sebagai alat kekuasaan dan juga untuk melestarikan kekuasaan. Seperti halnya kekuasaan simbolik sebagai kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan.

Buku yang terdiri dari lima bab tersebut, secara umum mendiskripsikan; Pertama, pertautan kekuasaan dan kekerasan dalam tata simbol. Kedua, trajektori kehidupan dan proyek pemikiran. Ketiga, Bahasa, pertarungan kekuasaan, dan kekerasan simbolik. Keempat, tata wacana neoliberalisme dan yang kelima, catatan kritis Bourdieu tentang praktik dominasi dalam tata simbol. Secara keseluruhan merupakan suatu kerangka pemikiran besar yang mengeksplorasi kuasaan simbol dalam mengkonstruksi realitas.

Pada umumnya, kajian Bourdieu masih berkutat pada konsep-konsep seperti halnya Habitus, capital, field, dan pendekatan interpretatif simbolik, namun yang menarik dalam buku ini adalah “bahasa” kemudian dijadikan ranah pertarungan, yang oleh penulis dilihat dari sudut pandang simbol dan mempertautkan dengan isu kekuasaan. Maka simbol akan bekerja sebagai indeks kekuasaan bagi kelas yang mendominasi dan didominasi. Tidak heran jika

22

kemudian banyak kajian dalam buku ini dianggap relevan dengan kondisi bangsa Indonesia.

Tidak mudah untuk menelaah pemikiran-pemikiran Bourdie yang bernuansa meta-teori, pembaca dituntut untuk memiliki nalar konstruktif dalam memahami realitas dan itulah ciri khas dari seorang Bourdieu. Baginya teks haruslah menjadi tindakan, tidak memisahkan teori dan praktik pada ranah yang berbeda seperti kritiknya terhadap pengagum Hegel agar dalam pemikirannya “diberikan kaki” sebagai simbol bahwa teori harus berdiri di atas realitas. Sebuah teori bukan sekedar menjelaskan melainkan juga mengubah tatanan sosial ekonomi yang tidak adil.

Ada kemudahan-kemudahan untuk memahami penyampaian isi buku pada pembaca, seperti kemudahan kita memahami pola berpikir Bourdiue yang masih terjebak pada konsepsi kekuasaan, penguasaan, dan yang dikuasai. Alur berpikir yang sederhana tersebut terkadang membuat pembaca yang telah menguasai konstruksi berpikir Bourdiue lebih memilih ilustrasi penulisan ketimbang konsep yang diberikan oleh Bourdieu di dalam buku ini, karena dianggap bukanlah sesuatu yang terbarukan lagi.

Oleh penulis, konstruksi pembahasan coba dikaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia, ini cukup menarik bagi pembaca pemula namun bagi mereka yang memiliki konstruksi berpikir sendiri akan kembali bertanya tentang Determinasi peran simbol terhadap aktor, dan konteks ini yang selalu menjadi kelemahan Bourdieu yang semakin jauh meninggalkan subjektifitas.

Di akhir penulisan, Bourdieu sendiri dikritik telah menggunakan kekerasan simbolik dalam gagasan-gagasannya, seperti habitus dan field. Ide-ide yang ia ciptakan dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik

23

yang sedang dijalaninya. Bourdieu dinilai sedang mempresentasikan gagasannya ke dalam simbol-simbol yang ujungnya untuk memperoleh pengakuan bahwa gagasan yang ia produksi sebagai sesuatu legitimasi.

Dan akhirnya, kita sebagai pembaca akan menentukan sendiri dimana letak titik kritis buku ini, kita bisa melihat serangkaian pemikiran dan perbandingan fenomena sebagai alur cerita yang akan kita akhiri dengan pertanyaan, Apa benar kita telah terperangkap dalam kuasa simbol yang disampaikan oleh penulis?

24

Perang Itu Belum Usai Tri Yatno

Kekuasaan kadang membuat kita lupa diri, khilaf

bahkan kita mampu berbuat apa saja untuk suatu yang

namanya kekuasaan. ada apa yang keliru sehingga senayan

kembali harus terjadi hiruk pikuk. perebutan kursi pimpinan

komisi semakin bordering nyaring, dengan tidak tersedianya

porsi kursi pimpinan bagi mereka yang tergabung pada

koalisi Indonesia hebat. penyebab utama yang dituduhkan

adalah Hegemoni dan Dominasi politik yang dilakukan oleh

koalisi merah putih terhadap kehidupan berpolitik di dewan

perwakilan rakyat Indonesia yang kita kenal dengan nama

DPR-RI.

Musabab dari itu semua, karena Undang-Undang yang

di simbolkan “MD3” yang mengisyaratkan pimpinan yang

berbentuk paket tidak terpisahkan antara ketua dan ketiga

wakil ketua sehingga dengan Representatif 5 fraksi sudah

dipastikan koalisi merah putih akan menyapu bersih seluruh

kursi pimpinan yang berada di DPR. Dilain pihak dengan

keterbatasan pemenuhan syarat dan kelemahan dalam

komunikasi politik Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mencoba

untuk membuat trik dan intrik agar supaya keinginan mereka

cukup terakomodir. apa yang akan kita perdebatkan adalah

politik subtansif dan politik formalistis.

Ketika bicara tentang politik subtasif di DPR maka

selayaknya lembaga DPR merupakan lembaga politik yang

mana setiap individu maupun kelompok akan berusaha untuk

merebut dan mempertahankan kekuasaan kalau

disederhanakan maka akan menjadi manajemen kekuasaan.

jadi apapun yang dilakuka oleh kelompok merah putih bukan

menjadi masalah ketika trik dan intrik politiknya memang

sesuai unsur dalam berpolitik. kita tidak serta-merta

menyalahkan bahkan mengasumsi bahwa telah terjadi

25

polarisasi kekuasaan berdasarkan kelompok kepentingan

namun mestinya ini semua dilihat sebagai suatu seni

berdemokrasi dalam kehidupan bernegara.

Sementara ketika koalisi Indonesia hebat mengkritik

keras apa yang terjadi, maka logika yang dipakai adalah

politik formalis, dipaksakan untuk unsur keterwakilan harus

diadakan, bahwa DPR tidak semetinya dikuasai oleh satu

kelompok kepentingan dan ini menyalahi aturan tata tertib

yang notabene masih bersifat normative. kesimpulan

sederhana bagi realitas politik yang ada bahwa ketika

kekuasaan seseorang atau kelompok terhambat maka akan

ada dua cara untuk menghancurkan hambatan tersebut, yaitu

dengan mengganggap apa yang terjadi sebagai

Inskonstitusional serta melibatkan unsur media untuk

mencitrakan sebagai fenomena negative.

Bagi saya, kondisi seperti ini jelas sudah terbaca dari

awal. politisi kita adalah politisi dadakan, tidak ada pola

perencanaan politik yang matang ketika mengerti bahwa

kekuatan mereka terbatas dan akhirnya ideology di tunggangi

prinsip-prinsip Demokrasi di perkosa. semua partai berteriak

bahwa musyawarah untuk mufakat, setiap orang

menginginkan politik yang santun tapi semua yang mereka

inginkan tidak diseimbangkan dengan perilaku politik yang

cerdas. maka pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan

kembali harus terjadi.

26

Ada segregasi pola politik yang berpotensi akan

menghancurkan seluruh tatanan perpolitikan kita; pertama;

ketika etika politik dipakai untuk memaksa formalitas politik

maka akan lahir “penipu politik” yang mana akan kita lihat

lima tahun kedepan bahwasanya pencitraan tidak akan

sanggup menyelesaikan persoalan negara dengan sekedar

“blusukan” atau dengan istilah saya “Asal bapak kelihatan”.

yang kedua pemaksaan prinsip politik yang dipaksakan pakai

untuk memaksa politik subtansi maka akan lahir yang sering

kita takutkan bersama yaitu transaksi politik, dimana

keterlekatan menjadi pedoman untuk bertindak dalam

berpolitik, alhasil seperti yang dimainkan oleh kelompok

merah putih.

Tidak perlu kita risaukan, sebab setiap perhitungan-

perhitungan tindakan jelas sudah di hitung pula

konsekuensinya. antara kedua hal tersebut masing-masing

memiliki kelemahan yang tentunya akan mendominasi dari

setiap tindakan yang diambil. kembali lagi pada perang yang

belum usai, maka bagi saya adalah situasi ini memaksa kita

terpolarisasi pada penguasa Eksekutif dan penguasa

Legislative. Pada trial politika ini masih bisa dianggap suatu

kebenaran namun pada dual politika ini merupakan perang

yang tiada habisnya. drama ini selesai ketika ada kelompok

yang terputus kesadarannya bahwa dia harus bermain pada

ranah subtansif ataukan formalitas dan haruskah saya

bertindak sebagai penipu politik ataukah makelar transaksi

untuk sebuah benda yang teramat abstrak yaitu

“KEKUASAAN”.

27

TRAGEDI KABINET KERJA JOKOWI

M. Chairul Basrun Umanailo Minggu 26 Oktober 2014,

Presiden terpilih Joko Widodo memperkenalkan para menteri

yang rencananya akan dilantik pada senin pagi di istana negara.

jokowi bukan orang baru dalam menciptakan drama-drama

politik yang luar biasa hingga mampu menciptakan eskalasi

ekspetasi yang luar biasa terhadap dirinya. para menteri yang

diperkenalkan adalah mereka yang lewat pergunjingan panjang

antara publik, tim transisi sampai ketua parpol koalisi sampai-

sampai mengkhawatirkan masyarakat. dibalik semua itu ada

beberapa fenomena dan intrik politik yang bisa kita kaji secara

Sosiologis bahwasanya kembali Jokowi selalu memakai simbol

sebagai proses pencitraan terhadap keberlangsungan kehidupan

politiknya.

Kemeja putih sebagai simbol pemaknaan kesucian

menjadi Trend baru dalam bentukan kabinet yang dibangun atas

pondasi kerja keras yang dikendaki oleh sang Presiden. Satu

persatu kemudian para menteri diperkenalkan kepada publik,

entah apa maksudnya yang jelas Jokowi menggeser tradisi yang

sakral menjadi begitu elegan dan seperti halnya menabrak

dinding formalitas yang terpasung di Istana negara selama ini.

Nama-nama yang dipanggil adalah mereka yang bagi saya

28

sendiri merupakan hasil Mapping politik yang dilakukan oleh

koalisi Indonesia Hebat, seperti ini gambaran yang bisa saya

sampaikan;

- 30 % untuk partai pendukung koalisi

- 30 % untuk professional murni

- 30 % untuk professional yang terafiliasi

- 10 % untuk tim Yusuf Kalla

Apapun yang terjadi, struktur bangunan politik harus

mendapat dukungan dari koalisi, sebab ada beberapa agenda

yang mestinya harus mendapatkan dukungan yang besar dari

partai pendukung. hal selanjutnya yang menarik dari

pengumuman para calon Menteri sepertinya pada acara-acara

penganugrahan yang seringkali tampil di layar televisi kita.

Bagi sebagian orang hal ini dianggap berlebihan dan kurang

produkstif karena lebih mengemukakan sensasi dari pada

subtansi dari sebuah perkenalan. apa yang dikehendaki, lagi-

lagi hanya Jokowi yang tahu.

Mengemukakan calon Menteri bagi Jokowi dan Yusuf

kalla bukanlah pekerjaan yang mudah, ada usaha untuk

kemudian memilih rekan kerja yang memiliki kredibilitas yang

luar biasa dan terlebih lagi yaitu mereka yang harus bersih dari

korupsi dan tidak akan korupsi, maka di ajukanlah nama-nama

yang akan menjadi menteri ke Komisi Pemberantasan Korupsi

dan PPATK. apa maksud dibalik semua itu, bukankah kita

memiliki jaksa Agung atau juga dengan Mahkamah Agung, apa

kemudian ini bukan suatu pelecehan karena Presiden lebih

percaya pada lembaga Ad-hoc ketimbang lembaga negara.

kalaupun itu hak preogratifnya presiden tapi harus ada etika

politik yang dimainkan oleh presiden. Jangan sampai KPK

hanya sebagai lahan cuci tangan ketika desakan dari koalisi

untuk posisi menteri membuat sang presiden semakin

kebingungan. Ada perkembangan persepsi bahwasanya Jokowi

tidak mampu melawan Megawati dan kelompok PDI-P

sehingga bermain dengan citra KPK sebagai lembaga yang lagi

ngetrend sebagai sang pemberantas korupsi. ahk,,, lagi-lagi saya

29

harus bersabar, inilah yang saya sebut dengan pengembirian

lembaga pemberantas korupsi.

Statmen apapun yang akan kita ajukan tentunya bukan

yang terbaik untuk perubahan tapi paling tidak kita inginkan

perubahan itu bisa terjadi. Jokowi dengan segala intrik politik

yang menyerupai drama, sangat membuat saya kagum terlebih

ketika memutuskan untuk penyusunan kabinet akan didomonasi

oleh professional, namun alangkah kagetnya ketika semua itu

terjawab, yang jelas istilah “tidak ada makan siang gratis” sudah

terakomodir dalam pikiran Jokowi, jadi persetan dengan janji

dan pengharapan yang pernah terucap disaat kampanye politik.

inilah yang saya sebut dengan “tragedi” kabinet kerja, karena

orang yang tersusun adalah hasil tekanan ditambah ancaman

dan lebih parahnya lagi ditambah dengan “sok tau” nya sang

presiden. semoga Indonesia masih terus hebat seperti yang

diharapkan…. Amin.

30

MEMAHAMI KONTUR KONFLIK PADA CYBER COMMUNITY

Tri Yatno

Perubahan yang terjadi dimasyarakat, sebuah

konsekuensi dari kemajuan teknologi dibidang informasi dan

komunikasi, khususnya perubahan terhadap aspek

komunikasi, dimana interaksi yang terjadi antar manusia,

makin membentang luas. Kehadiran internet, yang dianggap

sebagai penemuan terbesar abad ini, semakin menegaskan

bahwa dunia tidak lagi terbagi dalam sekat-sekat geografis

ataupun teritorial yang membatasi ruang. Dunia saat ini,

seperti apa yang diramalkan oleh Marshall McLuhan dalam

pemikirannya yang tertuang dalam buku “Understanding

Media” (1964) sebagai kampung Global (Global Village),

dimana masyarakat berinteraksi dan dibentuk oleh teknologi

elektronik didunia yang semakin mengerut ( Bungin, 2005 ).

31

Secara harfiah, Internet – interconnected networking

merupakan suatu jejaring komputer yang terhubung dengan

beberapa jejaring komputer lainnya. Menurut Castells, dalam

Ritzer, 2011 menyatakan bahwa fungsi dan proses dominan

dalam abad informasi semakin tertata diseputar jaringan,

yang didefinisikan sebagai perangkat node yang saling

terhubung.

Sementara Pierre Levy dalam bukunya “Cyber

culture“, (Littlejohn, 2009) memandang bahwa Word Wide

Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbuka,

fleksibel, dan dinamis, yang memungkinkan manusia

mengembangkan orientasi pengetahuan baru.

Benar apa yang diramalkan dahulu oleh McLuhan,

seperti dikatakan dalam bukunya “Understanding the media”,

bagaimana komunikasi elektronik bakal mengubah cara kita

memandang diri kita sendiri dan dunia kita. Kini teknologi

telah memperpendek jarak, mempercepat komunikasi, dan

memberikan kita sebuah dunia yang jauh berbeda dari yang

dialami generasi sebelumnnya. Pola kehidupan masyarakat

manusia khususnya pada aspek interaksi sosial diantara

mereka ditentukan oleh perkembangan dan jenis teknologi

yang dikuasai masyarakat bersangkutan. All technology is

Communication, yakni perpanjangan (ekstensi) dari diri kita

yang memungkinkan kita untuk mencapai lebih lanjut

melampaui ruang dan waktu.

Pengorbanan kita dalam membuat peningkatan ini

tanpa disadari telah mengamputasi diri kita sendiri. "Setiap

teknologi baru memerlukan perang baru, "kata McLuhan

Sekarang begitu banyak pengguna teknologi internet yang

bermetamorphosis dalam berbagai komunitas maya berupa

Mailing list, Newsgroup atau Bulletin board, diantara

semuanya menyediakan ruang dialog, debat, bahkan transaksi

jual beli (e-Commerse). Sehingga apa yang dikatakan

Marshall McLuhan (1964) mengenai „global village‟ hampir

dikatakan benar-benar terwujud sekarang ini. Aktifitas

berkumpul sekelompok orang yang disatukan oleh minat atau

32

ketertarikan kemudian menciptakan jalinan komunikasi yang

terpisahkan dari ruang-ruang dunia nyata (offline) namun

mampu menciptakan sebuah ruang sosial baru (social

spheres). Inilah media baru, inilah media siber.

MEMAHAMI CYBERSPACE

Disadari bahwa manusia kini berada dalam sebuah fase

cyber, dimana hampir semua aktiftasnya menggunakan Cyber

source dalam mencapai tujuannya. Komputer, jaringan internet,

telpon genggam dengan fasilitas data GPRS atau layanan pesan

singkat menjadi sesuatu yang sangat akrab dalam keseharian.

Beberapa aktifitas komunikasi yang dahulunya dilakukan

secara tatap muka dan melulu bertemu fisik, sekarang bisa

dilakukan hanya dengan memencet tombol keyboard komputer.

Tanpa disadari, masyarakat telah hidup dalam dua dunia

kehidupan yaitu kehidupan masyarakat nyata dan kehidupan

masyarakat maya. Cyberspace menurut William Gibson,

Neuromancer, 1993 adalah

“Consensual hallucination experienced daily by billion

of legitimate operators, in every nation, by children

being taught mathematical consepts, a graphic

representation of data abstracted from banks of every

computer in the human system. Unthinksable

complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the

mind, clusters and constellations of data. Like city

lights, receding....”.

Komunikasi cyberspace, komunikasi berbasis komputer

yang menawarkan realitas yang berbentuk virtual (tidak

langsung dan tidak nyata). Walaupun dilakukan secara virtual,

kita dapat merasa seolah-olah ada ditempat dimana kita

berinteraksi, dan dapat melakukan hal-hal yang dilakukan secara

nyata, sejatinya dalam komunikasi dimasyarakat nyata misalnya

transaksi dan berdiskusi. Substansi cyberspace sebenarnya

adalah keberadaan informasi dan komunikasi yang dalam

33

konteks ini, dilakukan secara elektronik dalam bentuk

visualisasi tatap muka interaktif. Komunikasi virtual itu,

dipahami sebagai virtual reality, yang sering dipahami sebagai

alam maya, kendati keberadaan sistem elektronik itu sendiri

adalah konkret dimana komunikasi virtual sebenarnya dilakukan

dengan cara representasi informasi digital yang bersifat diskrit.

SOCIAL NETWORK

Manusia secara kodratnya adalah makhluk pribadi dan

makhluk sosial, dimana kendati manusia memiliki ego pribadi

untuk memenuhi kebutuhan, namun manusia sadar dalam

pemenuhannya membutuhkan orang lain. Kebutuhan itulah,

yang kemudian membuat setiap manusia saban melakukan

interaksi, menjalin relasi sosial dengan orang lain. Relasi yang

bermula berdasarkan kepentingan untuk memenuhi kebutuhan

pribadi, lambat laun akan berkembang relasi sosial dalam

bentuk pertemanan, atau kekerabatan, bahkan persaudaraan

dalam memenuhi kebutuhan kelompok dalam lingkup yang

lebih besar.

Namun dalam proses pemenuhan kebutuhan dalam

masyarakat nyata itu, sering menimbulkan konflik sosial,

ekonomi, dan politik. Perebutan terhadap space atau ruang dan

territorial dalam masyarakat nyata, sering kali dipicu persoalan

perbedaan ras, gender, diskriminasi suku, warna kulit, dan

agama. Terbentuknya kelas-kelas sosial (kelas, status, prestise)

dalam masyarakat nyatapun, sebagai penyebab matinya makna

kebebasan dan demokrasi.

Dalam masyarakat nyata, seringkali kekuasaan

mendominasi apa yang dimaksud kebebasan dan demokrasi,

seolah kebebasan dan demokrasi milik penguasa, yang kerap

menekan setiap individu yang ada dalam komunitas tertentu.

Munculnya persoalan dalam masyarakat nyata itu, yang

kemudian dieliminasi oleh interaksi dan komunikasi dalam

masyarakat maya (Cyberspace) melalui media internet, menjadi

alasan utama masyarakat mulai beralih. Perubahan cara

masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi inilah, menurut

34

Carey, 2003 dalam McQuail menyatakan seiring dengan

teknologi berbasis komputer, terdapat pula berbagai inovasi

yang dalam beberapa hal mengubah aspek komunikasi. Inilah

faktanya, internet telah menciptakan lingkungan informasi yang

terbuka, fleksibel dan dinamis, yang memungkinkan manusia

mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru melalui dunia

tidak nyata atau dunia maya.

CYBER COMMUNITY

Cyberspace atau dunia maya kini menjadi “ruang baru

“tempat bermain dengan berbagai aspek Immanterial manusia

yang tidak diberi tempat didalam dunia nyata. Didalam

Cyberspace berbagai pikiran saling bertemu tanpa tubuh/ fisik

(tubuh, diri, identitas artifisial). Alasan utama, masyarakat kini

memanfaatkan interaksi melalui Cyberspace atau dunia maya

melalui media internet mampu menciptakan semacam

komunitas ideal, yang melampui keterbatasan dan terbebas dari

berbagai perbedaan gender, ras, warna kulit, dan agama.

Masyarakat maya membangun dirinya dengan sepenuhnya

mengandalkan interaksi sosial dan proses sosial dalam

kehidupan kelompok (jaringan) intra dan antar sesama anggota

masyarakat maya.

Dipastikan bahwa konstruksi masyarakat maya pada

mulanya berkembang dari sistem intra dan antar jaringan yang

berkembang menggunakan sistem sarang laba-laba sehingga

membentuk sebuah jaringan masyarakat yang besar. Dunia

maya pun bertranformasi menjadi sebuah dunia virtual, dimana

anggota jaringan membentuk masyarakat virtual/ tidak nyata,

memiliki faktor pengikat yang cukup kuat. masyarakat maya

(cyber community) terbentuk dari sebuah komunal anggota

jaringan yang terjalin atas motif tertentu (Ananda Mitra, 2010).

Motif itu bisa jadi hobi, cara pandang, kesamaan latar belakang

(pendidikan, budaya, agama, profesi atau sebagainya).

Pembentukan komunitas maya itupun, terjadi pada

pembentukan komunitas nyata. Dimana masyarakat nyata

membentuk organisasi dilatar belakangi hal yang serupa.

35

Namun identitas pribadi setiap anggota komunitas maya

terwakilkan oleh tampilan tekstual, gambar, atau ikon lainnya

yang terlihat dalam dunia virtual. (Ananda Mitra, 2010).

Identitas inilah yang menjadi simbol penghubung dalam

membentuk relasi. Proses komunikasi komunitas maya yang

terjadi terus menerus mampu melahirkan kebutuhan “ditemani”

saat mereka sendiri atau kesepian (Ananda Mitra, 2010).

Artinya cyberspace mampu menciptakan budaya instan yang

adiktif dalam kehidupan manusia. Semakin interaktif sebuah

media, sejatinya memungkinkan adanya motivasi dan respon

secara berkesinambungan dari para pengguna. (McQuail, 2011).

Banyak hal yang bisa kita peroleh dengan sangat mudah dalam

cyberspace.

Kemampuan yang dikembangkan dalam

cybercommunity itu, sejatinya sebuah potensi yang dimiliki,

dimana cyberspace menciptakan kebahagiaan hidup bukan

lewat benda-benda materi tetapi lewat benda-benda virtual.

Bahkan cyberspace memiliki potensi menciptakan semacam

“gaya hidup artificial” dan “egalitanan” yang tidak dikungkung

oleh kepemilikan ruang, benda materi, sebab apa yang disebut

place, ruang, dan gaya hidup, didalam dunia materi tidak lagi

bermakna didalam cyberspace.

CYBER COMMUNITY DI INDONESIA

Di Indonesia, kekuatan media internet dalam proses

proses interaksi cybercommunity, adalah munculnya media

sosial yang lahir sejak 5-10 tahun belakangan. Media sosial itu

seperti facebook, google+, twitter, foursquare, flickr, kaskus

yang merupakan sebuah parameter kemajuan teknologi yang

diiringi perilaku sosial terhadap sesamanya untuk melakukan

interaksi. Melalui media sosial ini, keterbatasan ruang dan

waktu seseorang untuk melakukan interkasi dengan sesama,

teratasi. Dengan media sosial ini, manusia tidak hanya dapat

berbagi dilingkungan terdekat mereka, tetapi dapat berbagai

keberbagai penjuru dunia. Tahun 2009, 40 juta orang Indonesia

tercatat sebagai pengguna internet. Laporan ini, merupakan data

36

pengguna internet paling tinggi diantara negara Asia Tenggara

(Atwar Bajari, 2011).

Asosiasi Penyelenggara jasa Internet indonesia atau

APJII, Pemerintah memprediksi tahun 2015, pengguna internet

ditanah air diharapkan mencapai 50% dari jumlah penduduk

yang diperkirakan berjumlah 240 juta jiwa. APJII pun melansir

jumlah pengguna internet, rata-rata diperkotaan mencapai 60%

adalah usia dibawah 30-an. Internet mengkonstruksi dunia maya

menjadi dunia tanpa batas, dunia kebebasan, yang bisa dimasuki

dan dimanfaatkan oleh siapapun. Manusia yang

menggunakannya disediakan ruang yang sebebas-bebasnya.

Internet menyediakan sejumlah fasilitas yang dapat digunakan

antara lain words wide web (www), elektronik mail (e-mail),

mailing list, file transfer protocal (FTP), news group, chat

group, situs networking, dan lain-lain. Dalam komunitas ini,

pengguna internet dapat berkomunikasi, mencari informasi,

berbelanja, serta transaksi bisnis lainnya. Karena sifat internet

yang mirip dengan dunia kita sehari-hari, maka internet sering

disebut dengan Cyberspace atau Virtual Word (dunia maya).

Salah satu kasus yang muncul sebagai aflikasi

cybercommunity adalah terbongkarnya sindikat bisnis percaloan

pekerja seks komersial (PSK) via media sosial-facebook via

internet dengan 1600 PSK pengguna jasa “marketing Lendir”

skala nasional. Pelaku bisnis esek-esek itu, hanyalah seorang

perempuan cantik, Yunita alias Keyko, yang mampu membuat

jaringan media sosial untuk menawarkan dan menerima order

dari para pelanggan yang membutuhkan layanan “Plus-Plus”

Foto dan data diri singkat anak buahnya itu dikirim ke sejumlah

lalki-laki “hidung belang” melalui ponsel Blackberry. Uniknya

meski Yunita memiliki anak buah cukup banyak, namun Yunita

tidak mengenal satupun anak buahnya. Ia hanya mengendalikan

melalui 300 mucikari yang juga anak buahnya.

37

CYBER CULTURE

“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,

tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”

(Koentjaraningrat, 2000 : 180). Budaya atau kebudayaan tidak

hanya terbatas pada hal-hal yang mengandung unsur kesenian,

adat, dan etnik saja. Segala bentuk pola perilaku atau tindakan

manusia adalah kebudayaan. Segala bentuk pola perilaku atau

tindakan mulai dari berpikir, mengamati, bekerja, berjalan,

hingga cara makanpun merupakan sesuatu yang dapat dikatakan

sebagai budaya. Hal itu dikarenakan kemampuan untuk

melaksanakan semua sistem tindakan itu tidak terkandung

dalam gen manusia yang dibawanya sejak lahir atau dengan

kata lain semua kemampuan tersebut bukan merupakan sesuatu

yang begitu saja ada dan terjadi dengan sendirinya. Berbagai

sistem tindakan tersebut ada dan terjadi karena dibiasakan oleh

manusia dengan belajar. “Budaya menjadi semacam alat bantu

bagi menusia dalam menjalani kehidupannya” (Kluckhohn

1941, dalam suaraputu.com). Sehingga kehidupan manusia dan

kebudayaannya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Begitu juga dengan sikap manusia dalam melihat,

memaknai, dan memahami sesuatu baik yang bersifat lama,

baru, konvensional, maupun modern akan sangat dipengaruhi

oleh budaya yang telah menjadi konsep dalam diri manusia itu

sendiri. Dunia cyber dalam kaitannya dengan budaya

masyarakat kita merupakan suatu bentuk fenomena yang masih

dilihat sebagai pernyataan baru di kalangan masyarakat.

Di dunia yang meliputi berbagai infrastruktur teknologi

komunikasi dengan jaringan internet sebagai media utamanya

ini, tentu juga terdapat berbagai sistem tindakan yang telah

menjadi suatu budaya serta memiliki peran layaknya sebagai

syarat untuk bertahan dalam kehidupan dunia cyber. Berbagai

interaksi yang terjadi di dunia cyber memungkinkan untuk

terbentuknya system kesatuan manusia yang dikenal dengan

sebutan masyarakat cyber (cyber community), dimana aplikasi

utama yang digunakan oleh para pengguna internet ternyata

38

adalah untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi antara

pengguna internet ( Purbo, 2003 : 27 ). Budaya siber menjadi

sebuah fakta. Fakta tersebut ditandai terbentuknya berbagai

komunitas di dunia cyber dengan interaksi yang terjadi memiliki

bermacam-macam kepentingan dan hal-hal yang menarik

tentunya. Media baru dan budaya siber kini telah menghadirkan

berbagai informasi serta berkembang menjadi sebuah kultur

baru didunia online. Menjadi sebuah Fenomena baru dengan

munculnya budaya cyber tersebut dapat dilihat dengan hadirnya

sosial media, facebook, tweeter, flicker, skype, media kaskus

dan berbagai online culture media seperti Blogs, Bulletin Board

Systems, Chat, E-Commerce, Games, Peer-to-peer Social

networks, Usenet, Virtual worlds dan sebagainya menjadikan

pola kehidupan masyarakat dunia kini telah berubah. Pramod K.

Nayar.

Melalui bukunya “The New Media and Cyberculture

Anthology”, telah banyak menguraikan tema-tema sosial

kontemporer yang berkaitan dengan media cyber. Beliau

membahas dalam era new media tentang topik-topik seperti

ekonomi, geografi, ketenaga kerjaan, kesehatan, game

komputer, bentuk dan identitas gender dan rasial dari

cybercultures serta seksualitas. . Kajian utama Nayar adalah

bahwa cybercultures, telah membuat tatanan sosial meng-global

dan bukan untuk mengisolasi diri seseorang dalam ruang

komputer. Soal cyberculture adalah soal bagaimana teknologi

dilihat secara kontekstual dalam mempengaruhi kehidupan

sosial sebagai bagian budaya teknologi.

Yang menarik ketika masyarakat sudah memiliki

ketergantungan dengan media yang menjadikan mereka lebih

banyak beraktifitas sosial disana adalah pada waktu munculnya

konflik. Contoh kecil yang bisa di kaji adalah konflik antara

individu, Dewi Persik dengan Ian Kasela dimana keduanya

lebih banyak melakukan aktifitas interaksi melalui media sosial

yang lebih dikenal dengan nama Twitter. Dewi Persik dengan

ketersinggungannya dengan apa yang di sampaikan oleh Ian

Kasela lewat akun Twitter nya sehingga dia juga ikut membalas

39

melalui akun twitter yang dimilikinya. Apa yang kemudian

terjadi selanjutnya, konflik yang diakibatkan oleh perbedaan

pandangan, pola pikir, tingkah laku kemudian berkembang ke

dunia cyber sehingga menjadi konsumsi publik. Dewi maupun

Ian tidak dapat membendung setiap dukungan yang datang dari

masing-masing kelompok mereka yang kebanyakan merupakan

penggemar atau mereka yang mengidolakan. Kondisi seperti ini

berkembang dan melibatkan banyak pihak dan terjadi dalam

sebuah ruang publik dimana setiap orang dari berbagai

komunitas dapat mengakses konflik yang terjadi tersebut.

Konflik tidak serta merta hanya dimiliki oleh individu yang

mengalaminya, pihak lain yang berada di luar mereka pun

punya kompetensi untuk ikut membesarkan atau

menyelesaiakan konflik yang terjadi.

Peranan media sebagai katalisator sangat berperan ketika

kedua belah pihak terus menerus berkonflik sehingga pada

sebuah titik tertentu kiranya dapat ditemukan penyelesaian.

Banyak kasus yang kemudian diselesaikan di luar media cyber.

Perdamaian antara mereka yang berkonflik lebih banyak terjadi

di luar media cyber, oleh karena intensitas serta efektifitas jauh

lebih mereka rasakan luas ketika bertemu langsung atau

memakai pihak ketiga. Jadi bila disimpulkan bahwasanya dunia

cyber tidak lebih dari pertautan serta aktualisasi wacana dari

masing-masing pihak yang berkonflik.

Apa sebab demikian, media cyber menyajikan pola

interaksi yang terbatas dengan jaringan yang luas. Jadi ketika

seseorang berkonflik dengan orang lain tidak perlu dengan

mengundang banyak orang untuk mendengarkan serta

memahami apa yang terjadi, namun lewat media yang tersedia

maka banyak orang kemudian bisa mengerti bahwa individu

tersebut sedang mengalami konflik dengan orang lain. Pada

akhirnya setiap individu akan merasa nyaman ketika konflik

yang mereka alami kemudian menjadi konsumsi orang banyak,

dengan konsekuensi sosial yang harus mereka tanggung apabila

kemudian konflik tersebut merugikan kemadaan mereka sendiri.

40

KONSUMERISME

M. Chairul Basrun Umanailo

Historisme

Memahami sebuah teori merupakan sebuah gambaran

umum yang harus kita telusuri hingga ditemukan titik awal

kelahirannya, begitu pula ketika memahami teori konsumsi

sebagai awal wacana konsumerisme, haruslah kita pahami

sebagai awal dari perkembangan manusia dalam

mengembakan pola pemenuhan kebutuhannya.

Sejak Revolusi Industri dan revolusi-revolusi abad ke

XIX, kebahagiaan memiliki arti dan fungsi ideologis maka

kebahagiaan harus terukur. Kebahagiaan bathiniah yang

terwujud melalui simbol maupun pemaknaan ditolak oleh

cita-cita konsumsi. Kebahagiaan didasarkan pada prinsip-

prinsip individualis dan diperkuat oleh Tables de Droits

deI‟Homme et de Citoyen (Daftar Hak-hak Manusia dan

Warga Negara) yang secara eksplisit mengenalkan kembali

hak kebahagiaan pada semua orang.

”Revolusi Kemapanan” (Baudrillard. 2013) adalah

pewaris dan pelaksana pesan-pesan Revolusi Borjuis yang

memiliki thesis implisit; semua orang sama di depan nilai

guna suatu objek dan barang (padahal objek dan barang

tidaksama dan terbagi di depan nilai tukar). Tiap orang juga

diberikan kebebasan yang sama untuk memiliki sumber-

41

sumber penghidupan yang pada akhirnya akan melahirkan

liberalisasi sistem pencapaian pemenuhan kebutuhan.

Istilah kelimpahruahan didefenisikan sebagai

keseimbangan produk manusia dantujuan manusia, orang-

orang primitif tidak mempunyai apa-apa sebagai milik

pribadi, mereka tidak dihantui oleh objeknya, yang mereka

pikirkan adalah bagaimana dapat berpindah ke tempat yang

lebih baik. Mereka sangat royal mengonsumsi sesuatu

langsunghabis tidak terhitung secara ekonomi (Baudrillard.

2013).

Kerobohan dan Keborosan kolektif, ciri

khasmasyarakat primitif merupakan tanda kelimparuahan

yang nyata. Bahwa segala sumberdaya yang dimiliki

merupakan suatu realitas keterhubungan antara manusia

dengan lingkungan. Mereka kemudian tidak tertantang untuk

mempertahankan, sebab bagi mereka hanya ekploitasi

sumber yang dianggap melampaui apa yang mereka

butuhkan, tidak perludi perbaharui, cukup mengambil hasil

dan berpindah pada situs baru yang lebih memiliki sumber

daya yang banyak.

Logika Dasar

Konsumsi diartikulasikan dalam rangkaian yang

merupakan urutan mitologi darisebuah cerita; manusia yang

memiliki kebutuhan-kebutuhan yang banyak menuju pada

objek yang memberinya kepuasan. Karena bagaimanapun

juga manusia itu tidak pernah merasa puas, cerita yang sama

terulang terus dengan kenyataan yang sudah hilang dari

cerita-cerita kuno. Manusia adalah mahluk individu yang

mempunyai kebutuhan yang dibawa untuk dipuaskan, juga

bukan karena konsumen ialah mahluk yang bebas, sadar

danseharusnya tahu apa yang dia inginkan.

Tujuan ekonomi bukanlah memaksimalkan produk

untuk individu, tetapi maksimalisasi produk yang

berhubungan dengan sistem nilai masyarakat. Konsumsi

42

adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, ia merupakan

sebuah paksaan, sebuah moral.

Konsumsi adalah sebuah institusi. Ia adalah

keseluruhan nilai, istilah ini berimplikasi sebagai fungsi

interasi kelompok dan integrasi kontrol sosial. Tujuan

konsumsi merupakan paksaan dan dilembagakan bukan

sebagai hak atau sebagai kesenangan, tetapi sebagai tugas

dari warnanegara (sebuah analisis struktural). (Baudrillard.

2013).

Semua ini merupakan konstruksi sosial atas realitas

ekonomi, seperti halnya sebuah Fakta Sosial yang bersifat

eksternal, dan memaksa. Kita semakin sulit menghindar

struktur nilai yang adaa pada masyarakat, ketika nilai itu

sudah terinternalisasi dalam suatu proses kehidupan sosial.

Jadi, bagaimana pun juga ada determinasi antara nilai

ekonomi yang memaksa serta penguasaan modal dan

kekuasaan atas logika dasar tujuan ekonomi.

Kita bisa mengikuti aturan sejarah sistem industrial

silsilah/asal usul konsumsi:

1. Tatanan produksi menghasilkan mesin/kekuatan

produktif, sistem teknik yang secararadikal berbeda

dengan alat tradisional.

2. Ia menghasilkan modal/kekuatan produktif yang masuk

akal, sistem investasi dan sirkulasi rasional yang secara

mendasar berbeda dengan kekayaan dan model

perdagangan sebelumnya.

3. Ia menghasilkan kekuatan tenaga kerja bergaji, kekuatan

produktif yang abstrak, tersistematisir, yang secara

mendasar berbeda dengan pekerjaan nyata dan dengan

pekerjaan tradisional.

4. Terakhir ia melahirkan kebutuhan-kebutuhan, sistem

kebutuhan, permintaan/kekuatan produktif sebagai

kumpulan yang dirasionalkan, disatukan, diawasi,

melengkapi tiga hal yang lain dalam proses pengawasan

total dengan kekuatan produktif dan dengan produksi.

(Baudrillard. 2013)

43

Semua ideologi konsumsi ingin meyakinkan kita

bahwa kita telah memasuki era barudan sebuah “revolusi”

kemanusiaan yang menentukan, yang memisahkan zaman

yang menyedihkan dan heroik terhadap produksi dengan

zaman eforis konsumsi, dimana ia telah mengembalikan hak

pada manusia dan pad keinginannya. Konsumsi adalah sistem

yang menjalankan urutan tanda-tanda dan penyatuan

kelompok. Jadi konsumsi itu sekaligussebuah moral (sebuah

sistem nilai ideologi) dan sistem komunikasi struktur

pertukaran. Menurut hipotesis ini, dan juga paradoks

mengenai hal itu munculnya konsumsi didefenisikan sebagai

kenikmatan yang ekslusif. Sebagai logika sosial, sistem

konsumsi didirikan atas dasar pengingkaran kenikmatan.

Disana kenikmatan tidak lagi muncul sama sekali sebagai

tujuan yang rasional, tetapi sebagai rasionalisasi individu

pada suatu proses yang bertujuan lain. Kenikmatan akan

memberi batasan konsumsi bagi dirinya, otonom dan akhir

konsumsi (Baudrillard. 2013).

Teori Konsumsi Mendeskripsikan konsumsi, berarti kita harus

melingkar pemahaman pada sebuah poros pertemuan antara

konsep ekonomi dan Perspektif Sosiologi. Ilmu ekonomi

klasik objek dari semua produksi konsumsi adalah konsumsi

dengan individu-individu yang memaksimalkan kepuasan

mereka melalui pembelian.

Horkheimer dan Adorno, misalnya berpendapat bahwa

logika komoditas yang sama serta perwujudan rasionalitas

instrumental dalam lingkup produksi tampak nyata dalam

lingkup konsumsi (Featherstone. 2008). Perilaku memenuhi

kepuasan dalam pola transaksi merupakan abstraksi rasio

manusia untuk memenuhi konsumsi yang dimaksud sebagai

suatu keinginan.

Pada tahun 1955, ekonom Victor Lebow menyatakan:

Tuntutan ekonomi sangat produktif kami bahwa kami

membuat konsumsi cara kita hidup, bahwa kita mengubah

44

pembelian dan penggunaan barang ke dalam ritual, bahwa

kita mencari kepuasan spiritual kita dan kepuasan konsumsi

ego kita. Kita perlu hal-hal yang dikonsumsi, dibakar,

dikenakan keluar, diganti dan dibuang pada tingkat yang

semakin meningkat (Lebow,2009).

J.F. Lyotard, dalam Libidinal Economy, mendeskripsi

bahwa teknologi berfungsi membebaskan hasrat dari segala

penghambat dorongan libido manusia. Ia memenuhi aktivitas

konsumsi manusia yang dapat melahirkan kesenangan dan

memberi kepastian.

Teknologi di sini tentunya tidak hanya terbatas pada

teknologi informasi dan digital saja, tetapi juga mencakup

hingga ke persoalan rekayasa desain arsitektural. Teknologi

dan idealisme desain arsitektural, terutama desain fasilitas

perbelanjaan. kini mulai dieksploitasi sebagai sarana bagi

akumulasi modal melalui pemenuhan hasrat konsumsi

(Yasraf, 2004). Werner Sombart, Emile Durkheim, dan

Thorstein Veblen, menyatakan bahwa konsumsi merupakan

kekuatan besar yang sangat menentukan di balik dinamika

dan struktursosial dalam sistem kapitalisme modern. Yang

lebih akhir, Anthony Giddens juga mengemukakan bahwa

budaya konsumerisme merupakan respon dan terapi terhadap

gejalakrisis identitas akibat pluralitas nilai dan pengetahuan

di dalam masyarakat post-tradisional.

Hingga kaum postmodernis seperti Jean Buadrillard juga

begitu menyadari fenomena inidengan pendekatan

semiotiknya terhadap budaya konsumerisme. (Trentman,

2004).

Menurut Baudrillard munculnya masyarakat konsumen

merupakan upaya mengorganisir kebutuhan masyarakat serta

mengintegrasikannya ke dalam sistem yang dirancang untuk

menggantikan semua interaksi terbuka antara kekuatan alam,

kebutuhan dan teknologi. Tekonologi menurut Jean

Baudrillard berperan penting, khususnya manusia sebagai

agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas.

Keputusan setiap oranguntuk membeli atau tidak, benar-

45

benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut.Konsumen

menurut Bauman adalah seseorang yang mengkonsumsi,

seperti makan, pakaian, kebutuhan bermain untuk memenuhi

kebutuhan atau keinginan seseorang. Dalam hal ini, uang

dalam banyak kasus berperan sebagai 'penengah' antara

keinginan dan kepuasan. Menjadi konsumen juga berarti

mengambil alih barang atau jasa untuk dikonsumsi. Mereka

membeli dan membayar sehingga mereka mempunyai hak

milik suatu barang atau jasa, dan bagi orang lain yang ingin

menggunakan harus minta ijin terhadap pemilik hak tersebut.

Menurut Bauman bahwa produsen/pekerja dinilai

sebagai sebuah estetika, namun konsumen justru sebaliknya.

Konsumen merupakan individu, soliter yang pada akhirnya

minim melakukan kegiatan; suatu kegiatan yang dipenuhi

dengan pendinginan dan membangkitkan, meredakan dan

mencambuk keinginan yang muncul sebagai sensasi pribadi,

dan tidak mudah menular. Tidak ada yang namanya

'konsumsi kolektif'. Memang pada kenyataannya ada

konsumen yang bisa mendapatkan kepuasan secara bersama-

sama, tetapi dikemudian hari muncul ketidak puasaan, karena

mereka mengkonsumsi hanya sebagai privasi dan

mendapatkan kesenangan (Bauman, 2005).

Lahirnya Konsumerisme

Werner Sombart, Emile Durkheim, dan Thorstein

Veblen, menyatakan bahwa konsumsi merupakan kekuatan

besar yang sangat menentukan di balik dinamika dan struktur

sosial dalam sistem kapitalisme modern. Yang lebih akhir,

Anthony Giddens juga mengemukakan bahwa budaya

konsumerisme merupakan respon dan terapi terhadap gejala

krisis identitas akibat pluralitas nilai dan pengetahuan

didalam masyarakat post-tradisional. Hingga kaum

postmodernis seperti Jean Buadrillard juga begitu menyadari

fenomena inidengan pendekatan semiotiknya terhadap

budaya konsumerisme (Trentman, 2004).

46

Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa

industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara

massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media

dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus

menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani

produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.

Menurut Werner Sombart, perkembangan ekonomi ditinjau

dari susunan organisasi dan idiologi masyarakat.Tahapan

pertumbuhan ekonomi menurut Werner Sombart adalah

Zaman perekonomian tertutup, Zaman perekonomian

kerajinan dan pertukangan, Zaman perekonomian kapitalis

(Kapitalis Purba, Madya, Raya, dan Akhir). Karyanya ditulis

dalam sebuah buku yang berjudul Der Moderne Kapitalismus

(1927) (Bartholomew, 2001). Hidup manusia adalah proses

konsumsi, yakni masyarakat konsumen, artinya dimana

segala sesuatu dijual, dipertukarkan untuk hanya sekedar

memenuhi hasrat ingin memiliki suatu barang, tidak

terkecuali objek, pelayanan, tubuh, seks, kultur, ilmu

pengetahuan dan sebagainya, sebagaimana yang djelaskan

oleh Baudrillard (1972/1981: 147-148) yang dikutip oleh

Ritzer (Ritzer, 2003), Baudrillard memandang objek

konsumsi sebagai sesuatu “yang diorganisir oleh tatanan

produksi” atau dalam artian lain, kenyataanya kebutuhan dan

konsumsi adalah perluasan kekuatan produktif yang

diorganisir. Klaim sentral Baudrillard adalah bahwa objek

menjadi tanda (sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah

kode. Genosko, mendefenisikan kode sebagain sistem control

tanda. Artinya, “kode dalam pengertian yang lebih umum

merupakan sistem aturan-aturan guna menggabungkan

seperangkat terma yang stabil dalam pesan. Objek, dalam

masalah objek konsumsi ini, adalah bagian dari sistem tanda

(Ritzer, 2003).

Setelah perang dunia II, negara utama yang terlibat

yaitu eropa barat, dari dampak perang ini terjadilah kesulitan

dalam ekonomi sebagai akibat tingginya biaya perang. Untuk

memulihkan kembali kondisi akibat perang maka negara-

47

negara berupa Barat dan Amerika Serikat melakukan

konsolidasi. Hasil konsolidasi itu adalah adanya perubahan

hubungan antar negara dalam bidang sosial, ekonomi dan

politik. Dominasi kapitalisme tidak lagi diwujudkan dalam

penjajahan fisik, tetapi diwujudkan dalam penjajahan non

fisik. Sebagai contoh dibidang ekonomi dibentuknya

lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakikatnya akan

mengendalikan negara-negara yang baru merdeka, seperti

lembaga ekonomi berikut: World Bank yang dibentuk pada

tahun 1946, international monetary find (IMF) dibentuk pada

tahun 1947, general agreement tariff and trade (GATT)

dibentuk pada tahun 1947 (Samekto, 2005).

Hypermarket Sebagai Pusat Kebudayaan (contoh kasus)

Sebagai sebuah pasar, hypermarket tidak lagi sekedar

berfungsi sebagai arena transaksi, tetapi juga sebagai tempat

akulturasi, tempat belajar, tempat berguru, tempat mencari nilai-

nilai, tempat membangun citra diri, tempat merumuskan

eksistensi diri, tempat mencari makna kehidupan, tempat

pertapaan, (mencari ketenangan, menghilangkan stress), tempat

terapi jiwa (mencari kesenangan, kegairahan, kegembiraan),

serta tempat upacara ritual abad ke-21 -fashion show, opening

ceremony, louching ceremony) (Piliang, 2009). Lewat jutaan

tanda dan citra-citra yan dikonstruksi dan disuguhkannya,

hypermarket menjadi sebuah arena pertarungan dan sekaligus

kontradiksi tanda-tanda. Ia menciptakan masyarakat consumer

sebagai petarung-petarung semiotika.

Ia menjadi sebuah arena pengetesan tanda dan kode-

kode social (Piliang, 2009). Yang dirayakan di dalam

hypermarket adalah permainan bebas tanda-tanda. Pilihan

anda adalah sebuah consensus, sebuah verifikasi terhadap

kebenaran kode-kode yang telah dirumuskan oleh anda.

Hypermarket adalah bentuk sosialisasi masa depan yang

dikendalikan dari atas oleh para elit, yang di dalamnya

dikonstruksi durasi ruang dan waktu, tempat lalu lintas tidak

saja barang dan jasa, tetapi juga tubuh, hasrat dan libido,

48

tempat lalulintas kehidupan social (kerja, waktu senggang,

makanan, kesehatan, transportasi, hiburan, media,

kebudayaan), tempat bertemunya segala kontradiksi social,

ruang waktu bagi beroperasinya segala bentuk simulacrum

kehidupan social, tempat bertemunya segala struktur dan lalu

lintas kehidupan (Piliang, 2009).

Hypermarket tidak saja sebagai jalur lalu lintas barang

dan jasa, akan tetapi juga lalulintas gaya, gaya hidup, identitas,

nilai-nilai, yang berganti dan berpindah-pindah tanpa hentinya,

layaknya nomad. Hypermarket dalam hal ini, menjadi sebuah

arena pertukaran hasrat (Piliang, 2009). Di dalamnya orang

membeli kebenaran (moral, spiritual, social, kultural) dengan

harga yang murah, sementara membeli kesemuan, kepalsuan,

ilusi, halusinasi, dan ekstrimitas dengan harga yang mahal

(ekstasi, citraan, kemewahan, prestise.

Menelanjangi Konsumerisme

Arus konsumerisme yang melanda negara-negara

berkembang seperti Indonesia mengkondisikan masyarakatnya

untuk hidup boros. Oleh karena itu, saatnya mengobarkan

perang melawan konsumerisme. Perang di sini diartikan

dengan sikap kritis praktik konsumtif selama ini, komitmen

untuk tidak hidup boros, melakukan skala prioritas kebutuhan,

tidak hanyut oleh iming-iming iklan, dan meningkatkan

produktivitas sendiri.

Jangan biarkan, bangsa ini seperti yang digambarkan

sastrawan Pramoedya Ananta Toer, sebagai negara kaya tapi

suka mengemis. Sudah mengemis, hidup boros lagi. Suatu

yang ironis. Para kapitalis sangat bergangtung pada konsumen

untuk menjaga operasi ekonomi pada tingkat pertumbuhan

yang tinngi, kapitalis adalah kekuatan utama bagi penemuan

alat konsumsi baru yang ada, seperti kartu kredit, shopping

mall, jaringan tv shopping, katalog-katalog. Dikatakan bahwa

jika masyarakat postmodern adalah masyarakat konsumsi,

maka alat konsumsi baru tersebut adalah elemen kunci dunia

postmodern (Ritzer, 2003:374).

49

Jane Baudrillard (dalam Foster, 1988: 46) kegiatan

konsumsi adalah kegiatan komunikasi. Yang mana ketika kita

mengonsumsi sesuatau berarti kita mengkomunikasikan pada

orang lewat perbedaan tanda/ objek. Orang tau kenapa kita

lebih memilih beli BMW dari pada Hyundai. Kita tidak

membeli apa yang kita butuhkan tetapi membeli apa yang

kode sampaikan kepada kita tentang apa yang seharusnya

dibeli (Ritzer, 2003). Konsumerisme adalah suatu pola pikir

serta tindakan dimana orang melakukan tindakan membeli

barang bukan dikarenakan ia membutuhkan barang itu tetapi

dikarenakan tindakan membeli itu sendiri memberikan

kepuasan bagi dirinya. Fenomena yang menonjol dalam

masyarakat Indonesia saat ini, yang menyertai kemajuan

ekonomi adalah berkembangnya budaya konsumsi yang

ditandai dengan berkembangnya gaya hidup.

Berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan

konsumsi semakin beragam pada masyarakat perkotaan

Indonesia. Kalau dulu ada istilah yang populer dari Descartes,

yakni “Cogito ergo Sum: Aku berpikir maka aku ada”, tetapi

sekarang istilah yang populer (Adikila, 2013), adalah: ”I shop

therefore I am: Aku berbelanja maka aku ada”.

50

“Money Politic” Menjadi Agama Baru

(Telaah Sosiologis Fenomena Pemilihan Presiden 2014)

M. Chairul Basrun Umanailo & Tri Yatno

Pada 9 Juli 2014 nanti kita akan menemukan sebuah

ritual pemilihan Presiden, ritual yang bagi kebanyakan orang

merupakan hal penting untuk memilih siapa yang akan

memimpin negara dan rakyat Indonesia untuk lima tahun

kedepan. Pada kesempatan ini, saya ingin mengambarkan

sebuah kondisi yang hampir dipastikan akan muncul disetiap

pesta pemilihan presiden yaitu “Money Politic”. Bagi saya,

money politik merupakan sebuah perilaku yang sudah hampir

melembaga, bahkan sebentar lagi akan menjadi agama baru

51

bagi politikus yang ingin sesuatunya instan, dan itu bagi saya

bukanlah suatu kesalahan (relatif).

Bicara tentang money politik selayaknya kita bicara

hukum, dan hukum itu tidak sekedar intepretasi atas pasal

dan ayat namun lebih jauh bicara tentang keadilan yang akan

lahir dari hukum yang dikonstruksi dan melahirkan sebuah

keadilan yang sering kita pertanyakan apakah keadilan

subtansif ataukah keadilan formal yang kita pahami sebagai

keadilan procedural dari hukum yang dibuat.

Mengapa kemudian money politik bisa terjadi, kalau

ditinjau secara Sosiologis, masyarakat kita telah menyerupai

masyarakat konsumsif, masyarakat yang bagi Baudrillard

lebih mementingkan konsumsi ketimbang produksi, yang

pada akhirnya menimbulkan perilaku hedonism dalam

kesehariannya. Konsekuensi social yang bisa kita dapatkan

yaitu bergesernya nilai Keindonesiaan yang kental dengan

kekerabatan dan gotong royong menjadi individualistic yang

mencitrakan sebagai individu yang sangat rasional. Padahal

dibalik itu masyarakat kitamasih sangat rapuh untuk

kohesivitas social, akibat uang 50.000 seorang kakak bisa

melupakan adiknya, seorang guru menyangkal muridnya

hanya karena berbeda tawaran politik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kemudian money

politik itu bisa kita anggap salah? Bagi penganut keadilan

subtansif akan berpendapat “belum tentu” tetapi bagi mereka

yang men-Tuhan-kan proses hukum akan mengatakan Iya.

Hukum tentunya memiliki dimensi keadilan, dimensi yang

mana setiap pengikutnya akan merasa nyaman dan

terlindungi dalam dimensi tersebut.

Ada dua keadilan yang bisa kita kaitkan dengan

fenomena money politik, pertama, bahwasanya keadilan

tidak bisa mentolerir sebuah perbedaan dengan individu,

bagipenganut Durkheimian hal ini akan dianggap sebagai

patologi, berbeda ketika masalah ini kitaperhadapkan dengan

penganut Weberian, yang serta merta akan menganggap

52

sebuah kebenaranakan dikonstruksi oleh individu dengan

rasionalitasnya.

Bagi Sosiolog, keadilan ibarat pedang bermata dua.

Saya sempat membaca tulisan Yusril Izha Mahendra pada

beberapa waktu yang lalu, Ketika negara tidak berfungsi

mengatasi kemiskinan, Abang Jampang atau Robinson

Crusoe merampok dimana-mana yang hasil rampokannya

dibagikan kepada orang miskin. Dari sudut keadilan

substantif, mungkin apa yang dilakukan Jampang dan

Robinson mungkin benar. Tapi dari sudut prosedural yang

dilakukannya terang salah. Dari keadilan substantif pun

merampok tetap salah, hanya karena ada alasan pembenar

saja, maka tindakan itu secara substantif terlihat adil,

sehingga secara prosedural, tindakan keduanya dapat

"dimaklumi". Maka ketika ilustrasi inisaya kaitkan dengan

money politik akan tergambar bahwasanya secara subtansif

sang pemberi uang akan terlihat seperti si Jampang namun

ketika berhadapan dengan procedural maka Jampang akan

disalahkan dengan struktur dan prosedur hukum yang

berlaku. Inilah gambaranPosmoralitas, yang dikutip sebagai

sebuah situasi bercampuraduknya tindakan moral

dantindakan amoral, dan melahirkan dilematis pada dimensi

keadilan.

Dalam anatomi Sosiologi, nilai merupakan derajat

tertinggi yang merupakankonstruksi dari berbagai norma, dan

ketika norma menjadi uraian tanda (sign) maka nilai

tersebutakan menjadi sebuah pembenaran yang hakiki.

Money politik terbangun dengan tanda kepercayaan dan

kepentingan, bahwasanya seseorang akan melakukan money

politik sebagai penanda kepercayaan pada orang lain untuk

memilihnya sementara petanda sebagai wujud kepentingan

praktis untuk mendapatkan kekuasaan.

Bila kondisi ini dipertahankan dan menjadi kebiasaan

yang terus menerus serta terlembaga maka money politik

akan terkonstruksi menjadi Fakta Sosial yang memiliki sifat

memaksa dan eksternal, Pada akhirnya, ketika money politik

53

sudah terlembaga dan menjadi tanda maka dalam kehidupan

berpolitik di Indonesia akan lahir agama baru yang namanya

“Money Politik”.

Bahkan saat pelaku politik tidak melakukan money

politik bisa dianggap dosa besar karena menyalahi dogma

agama yang dianutnya. Sekarang tinggal bagaimana

masyarakat memutuskan untuk murtad dan memilih agama

money politik sebagai agama barunya, atau tetap bertahan

dengan agama lama yang mengajarkan nilai-nilai

kepercayaan, bahwa sesuatu kesuksesan tidak datang dengan

paksaan akan tetapi terjewantahkan dengan doa dan kerja

keras.

Namun dibalik semua itu masyarakat kita secara

subjektif masih berupa “masyarakat kepentingan” takut

beragama politik ketika belum memiliki kepentingan dan

akan menjadi pemeluk yang setia membela agama, saat

kepentinganya terakomodir dalam salah satu agama politik.

Semoga Tuhan tidak keliru.

54

PIDATO DAN PENGHANCURAN

LABEL CALON PRESIDEN 2014

M. Chairul Basrun Umanailo

Selasa malam, tepatnya 3 Juni 2014 merupakan puncak

deklarasi bagi calon Presiden, Prabowo dan Jokowi harus

maju ke depan untuk menyampaikan pidato tentang

komitmen mereka untuk menjalankan proses pemilihan

presiden dengan damai. Apa makna dibalik pidato yang

disampaikan oleh mereka berdua, adakah yang kemudian

mampu memaknai makna dibalik apa yang disampaikan oleh

55

mereka, atau kita hanya sekedar beranggapan bahwa yang

penting bukti kerja bukan pidatonya.

Pidato bagi sebagian orang merupakan gambaran

intelektual, gambaran bagaimana seseorang mengemukakan

ide atau gagasan yang dapat dimaknai secara simbolik, tesis

Ernst Cassirer bahwa manusia adalah mahluk simbolik yang

dalam kesehariannya dari bangun tidur hingga tidur kembali

merupakan rangkaian simbolik yang saling memiliki

hubungan. Sementara itu, Pidato merupakan rangkaian

pemikiran untuk melahirkan sebuah gagasan dengan

menggunakan media bahasa.

Disinilah mulai ditafsirkan pidato sebagai media

pencitraan dengan permainan bahasa-bahasa yang

memikatbahkan mampu menjungkir balikan realitas yang

sebenarnya. Selain itu permainan bahasa sebagai simbol juga

mampu menjadi konstruksi realitas bagi seseorang, terlebih

bagi Prabowo maupun Jokowi disaat gencarnya kampanye

hitam yang telah lebih dulu mencuri start kampanye.

Prabowo yang diberikan kesempatan pertama untuk

berpidato, mencoba untuk menghancurkan nilai-nilai yang

dianggap otoriter kepadanya dengan begitu menyerahkan

sepenuhnya kepada kedaulatan rakyat. Prabowo mencoba

menghapus arogansi yang selama ini dilabelkan padanya

dengan bersusah payah menyusun kalimat persaudaraan dan

patriotisme. Cukup mencengangkan dengan kalimat “kita

serahkan” jelas bahwa Prabowo mencoba mengkonstruksi

nilai-nilai kerelaan dalam sebuah proses demokrasi. Timbul

pertanyaan yang menarik, mengapa kemudian Prabowo harus

menghancurkan pelabelan arogansi terhadap dirinya, padahal

ia sendiri dikonstruksi dengan pendidikan militer yang

notabene sangat memungkinkan untuk melembaga arogansi

dalam pribadinya, dan Prabowo hanya sekedar meyakinkan

pada publik bahwa ikon ketegasan yang dimilikinya tidak

linear dengan arogansi yang dituduhkan selama ini.

Kemudian Jokowi yang memulai dengan sebuah salam

dan shalawat yang cukup mencengangkan, melahirkan

56

aggapan baru bahwa saya muslim yang sejati, toh derajat

keislaman tidak harus diukur dengan salam yang menyerupai

tablig akbar. dengan keinginan untuk menghancurkan

pelabelan muslim yang belum sholeh Jokowi berusaha

mengkonstruksi semua itu bahwa cukup anda tahu bahwa

saya fasih untuk membaca Alquran, karena tuduhan dengan

status Keislamannya maka diciptakan ikon dalam berpidato

yang mampu menghancurkan semua pelabelan tersebut.

Pada suatu kesimpulan, Prabowo dan Jokowi sama-

sama menciptakan ikon sebagai simbol perlawanan terhadap

tuduhan bahkan pelabelan yang diarahkan kepada mereka

berdua. Prabowo berulang kali merendah, mencoba

melahirkan penafsiran yang berbeda dari sebelumnya, juga

Jokowi dengan ikon salam berusahan mematahkan lebel yang

dianggap mampu ditepis walau dalam sebuah medan

pertarungan simbol dalam berpidato.

Pertanyaan selanjutnya, ini sebuah euphoria demokrasi

ataukah konstruksi identitas lewat bahasa dalam pidato?

Seandainya sebuah euphoria haruslah lebih mencitrakan

sebuah kegembiraan, optimism dan meleburnya semua

ketegangan, namun bagi saya pribadi, pidato yang terjadi

lebih merupakan upaya dekonstruksi atas citra yang

diberikan kepada mereka atau meminjam konsep Budrillard,

pidato sebagai simulasi.

Pidato yang disampaikan mengantarkan kita pada

sebuah dunia representasi yang di dalamnya sebuah bentuk

atau simbol berfungsi seakan-akan sebagai presentasi dri

sebuah realitas yang menjadi rujukannya. Ada ketakutan

yang lahir apabila kemudian isi dari pidato lebih berupa

simulacrum, dengan duplikasi ikon, duplikasi harapan namun

sebaliknya semua itu hanya permainan bahasa untuk

mencapaitujuan yang masih tersembunyi.

Apa yang ditakutkan Prabowo dengan label arogansi,

dan apa pula yang dikhawatirkan Jokowi dengan keislaman.

Apakah kemudian seorang presiden harus memiliki sikap

yang manut, tunduk dan harus selalu sabar? Atau seorang

57

Presiden dengan status keislaman yang bertaraf santri, yaitu

bisa menghafal Alquran dan taat dalam beribadah? Itu semua

hanya fakta social, situasi yang memaksa individu untuk

menyesuaikan dengan keinginannya.

Harapannya bahwa pidato mereka berdua lebih

merupakan suatu proper sign dapat kita kaji lewat tulisan

Yasraf Amir Piliang (Posrealitas) yaitu tanda yang

merupakan cermin realitas; ia menyatakan makna yang

sebenarnya; membentangkan kebenaran; menyikap keaslian;

menjadi refleksi dari realitas. Ia adalah tanda yang jujur, asli,

tulen dan apa adanya, yang oleh Baudrillard dikategorikan

sebagai ordepetanda, yaitu tanda yang merefleksikan realitas.

Semoga yang disampaikan adalah konstruksi realitas yang

akan dibangun bukan sebaliknya sebuah penopengan realitas

lewat tanda.

58

POSTMODERNISME DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

M. Chairul Basrun Umanailo

“Postmodernisme” adalah istilah yang sangat

kontroversial. Di satu pihak istilah ini telah memikat minat

masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa ia memiliki

kemampuan untuk mengartikulasikan beberapa krisis dan

perubahan sosio-kultural mendasar yang kini sedang kita

alami. Di lain pihak istilah ini dianggap sebagai mode

intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi

yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan sosial yang

kini sedang berlangsung.

59

Jean Francois Lyotard adalah seorang filosof

poststrukturalisme namun ia kemudian lebih dikenal sebagai

salah satu pemikir penting aliran filsafat postmodernisme

yang terkenal dengan gagasannya tentang penolakan Grand

Narrative (narasi besar), yaitu suatu cerita besar yang

mempunyai fungsi legitimasi karena bersifat menyatukan,

universal, dan total. Penolakan narasi besar, menurut

Lyotard, berarti penolakan terhadap penyatuan, universalitas

dan totalitas. Dan dalam pandangannya, inilah salah satu ciri

pembeda yang paling menonjol antara filsafat

postmodernisme dengan filsafat modernisme.

Istilah “postmodernisme” muncul pertama kali di

kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960-an

dan diambil alih oleh para teoretikus Eropa pada 1970-an.

Salah satunya, Jean-François Lyotard, dalam bukunya, The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge, menyerang

mitos yang melegitimasi jaman modern (“narasi besar”),

pembebasan progresif humanitas melalui ilmu, dan gagasan

bahwa filsafat dapat memulihkan kesatuan untuk proses

memahami dan mengembangkan pengetahuan yang secara

universal sahih untuk seluruh umat manusia. Lyotard percaya

bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran

yang mentotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada

adalah pelbagai macam penalaran. Lyotard melihat bahwa

filsafat sebagai pemaksaan kebenaran. Ia melawan Marxisme

karena Marxisme dipandang sebagai salah satu “narasi

besar”. Lalu Lyotard menyarankan untuk kembali ke

“pragmatika bahasa” ala Wittgenstein, yaitu mengakui saja

bahwa kita memang hidup dalam pelbagai permainan-bahasa

yang sulit saling berkomunikasi secara adil dan bebas.

Lyotard melihat masyarakat kita saat ini adalah

masyarakat yang individualistik, terfragmentasi. Ia

merindukan masyarakat pramodern yang sangat menekankan

nilai penting narasi, yakni mitos, kekuatan gaib,

kebijaksanaan rakyat, dan bentuk-bentuk penjelasan lain. Dia

percaya bahwa terjadi konflik antara narasi dan ilmu. Narasi

60

menghilang dan tidak ada yang bisa menggantikannya.

Pendek kata, Lyotard berpendapat bahwa narasi besar itu

buruk, narasi kecil itu baik. Narasi akan menjadi buruk bila

berubah menjadi filsafat sejarah. Narasi besar diasosiasikan

dengan program politik atau partai, sementara narasi kecil

diasosiasikan dengan kreativitas lokal.

Jean Francois Lyotard dalam pemikiran filosofisnya

banyak dipengaruhi oleh Karl Marx, Nietzsche, Immanuel

Kant, Sigmund Freud. Pengaruh Karl Marx nampak sekali

dari pandangannya yang tidak menyukai kesadaran universal.

Sedangkan Nietzsche mempengaruhi pemikiran Lyotard

dalam hal bahwa tidak ada perspektif yang dominan dalam

ilmu pengetahuan. Tidak ada teori yang obyektif universal.

Sementara itu yang diambil dari Immanuel Kant adalah

konsep Kant yang membedakan antara domain teoritis

(ilmiah), praktis (etis), dan estetis dimana masing-masing

memiliki otonomi, aturan dan kriteria sendiri. Pengaruh

Sigmund Freud berada dibalik pemahaman Lyotard tentang

politik hasrat.

Riwayat Hidup Jean Francois Lyotard lahir di Versailles, Perancis

pada tahun 1924 dan meninggal dunia di Paris pada tahun

1998. Setelah lulus dari Universitas Sorbonne pada tahun

1950, Lyotard menjadi guru SMU di Constantine, Aljazair. Ia

kemudian bersimpati dan terlibat dengan gerakan

kemerdekaan Aljazair dan akhirnya kembali ke Paris pada

tahun 1959 untuk menjadi asisten dosen di almamaternya,

Universitas Sorbonne. Pada tahun 1960-an ia mengajar di

Naterre, tetapi senantiasa bersama kaum terpelajar lainnya

seperti Sartre, Deleuze, Foucault, Lacan terlibat dan aktif

dalam gerakan anti perang. Tahun 1970 – 1972, ia mengajar

di Institute Polytechnique de Philosophie Vincennes, dan

dilanjutkan di Universaitaire de Paris VIII St. Denis pada

tahun 1972 – 1987.

61

Lyotard meraih gelar doktor sastra pada tahun 1971

dengan desertasi yang berjudul, Discours, figure yang

membahas tentang problematika bahasa dengan

membandingkan antara pendekatan strukturalisme dan

fenomenologi. Dengan cara ini, ia berharap dapat melampaui

aliran strukturalisme dan memposisikannya sebagai salah

seorang tokoh poststrukturalisme dan postmodernisme

Perancis terkemuka.

Sepanjang karir akademiknya, Lyotard telah

menghasilkan beberapa karya penting yang mendongkrak

popularitasnya di dunia akademik terutama dalam bidang

filsafat. Beberapa karyanya tersebut adalah :

1. La Phenomenologie (1954)

2. Discours, Figure (1971)

3. De`rive a`partire de Marx et Freud (1973)

4. Libidinal Economy (1973)

5. La Condition Postmoderne, Rapport sur le Savoir (1979)

6. Just Gaming (1979)

7. The Different : Phrases ini Dispute (1983)

8. The Inhuman : Reflections on Time (1988)

9. The Lyotard Reader (1989)

10. The Postmodern Explained to Children

Pemikiran-pemikirannya

Runtuhnya Narasi Besar (Grand Narratives) Meskipun pada tahun 1950 dan 1960-an ia adalah

aktivis politik dengan pandangan-pandangan Marxis, pada

tahun 1980-an Lyotard menjadi seorang filosof

postmodernisme non-Marxis. Oleh sebab itu,

postmodernisme menjadi sebuah keterlepasan mendasar dari

pemikiran totaliter yang diwakili oleh Marxisme. Sebelum

terbitnya buku yang merupakan karyanya yang terpenting

dalam bidang filsafat berjudul The Differend: Phrases in

Dispute, Lyotard sudah menunjukkan arah perubahan

filosofis ini. Tahun 1954 terbit buku pertama Lyotard yang

berjudul La Phenomenologie yang merupakan buku

62

pengantar dalam memahami fenomenologi Husserl.

Meskipun ia pengikut kelompok Marxis akan tetapi ia selalu

kritis dan menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran

Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotskyisme, dan

Maoisme.

Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku

pertamanya tersebut yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan

keluar dari Marxis karena ia merasa kecewa dengan

kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat

sosialis yang adil sebagaimana digembar-gemborkan selama

ini. Sebaliknya, Marxisme berusaha menciptakan masyarakat

yang homogen yang hanya dapat diwujudkan dengan cara

kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard

sangat tidak setuju dengan keseragaman atau upaya

menyeragamkan apalagi upaya tersebut dicapai dengan jalan

kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik masyarakat

postmodern adalah indivualis dan kebebasan untuk berbeda

dengan yang lain.

Istilah postmodern itu sendiri sebagai kritik terhadap

filsafat modern ia perkenalkan pertama kali di dalam

bukunya yang terkenal “La Condition Postmoderne, Rapport

sur le Savoir” terbit tahun 1979 dan diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris dengan judul “The Postmodern Condition: A

Report on Knowledge.”Edisi bahasa Inggrisnya terbit pada

tahun 1984 dan sejak itu ia menjadi locus classicus untuk

diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat.

Buku ini sebetulnya merupakan sebuah laporan yang diminta

oleh dewan ahli Universitas Quebec tentang masyarakat yang

telah mencapai kemajuan dalam bidang pengetahuan dan

teknologi akhir abad ke-20. Ia diminta untuk menjelaskan

dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi

informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-20

tersebut. Dalam buku itu, ia mengatakan bahwa telah terjadi

perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada

pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat

informasi.

63

Perkembangan dan perubahan tersebut telah

menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia

sebut sebagai postmodern. Selama empat puluh tahun

terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin

terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah

komunikasi dan sibernetik, komputer dan bahasanya,

persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank

data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada

pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah

merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan

ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa sifat

pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks

transformasi besar ini. Status pengetahuan akan berubah

ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut zaman

postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak lagi

menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan

hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual.

Dalam buku tersebut, pemikiran Lyotard umumnya

berkisar tentang posisi pengetahuan di abad teknologi

informasi ini, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan

melalui, yang disebutnya, “narasi besar” (grand narrative),

seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan

sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah

mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar

sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan

tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun

kini menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam

abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin,

khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu

sendiri. Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang

dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya

tentang kemustahilannnya membangun sebuah wacana

universal nalar sebagaimana diyakini oleh kaum modernis.

Bagi Lyotard dengan postmodernisme-nya

menganggap bahwa untuk mengaktifkan ilmu pengetahuan

adalah dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan,

64

keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran

baru. Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat

diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem

stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu tumbuh

sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen

apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai

kemungkinan wacana. Dari perspektif Lyotard ini, secara

jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme adalah

usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap

segala “Narasi Besar” filsafat modern; penolakan filsafat

metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang

mentotalisasi –seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme,

atau apapun. Secara demikian, Postmodernisme, sambil

menolak pemikiran yang totaliter, juga mengimplikasikan

dan menganjurkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan

memperkuat toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.

Postmodernisme dengan demikian lahir untuk menolak

anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan

bahwa filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu

merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal.

Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau

paradigma tunggal dan sebaliknya menyatakan bahwa

terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam melihat

realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif universal harus

digantikan oleh hermeneutika tentang realitas.

Menurut Webster sebagaimana dikutip oleh Akhyar

Yusuf dalam laporan penelitiannya mengatakan bahwa ada

beberapa elemen kunci pemikiran postmodern sebagai suatu

gerakan intelektual dan sebagai fenomena sosial yang

membedakannya dengan modern, diantaranya adalah

1. Penolakan terhadap pemikiran modernis, nilai-nilai dan

praktek-prakteknya.

2. Penolakan terhadap klaim-klaim penelitian tentang klaim

“kebenaran obyektif universal” dan penolakan terhadap

fundasi epistemologinya (antifundasionalisme), lalu yang

ada dan diterima hanya versi-versi dari “kebenaran”.

65

3. Penolakan tentang autentisitas dari penelitian, karena

semuanya dianggap tidak otentik, semuanya lebih

bersifat konstruktif.

4. Penolakan terhadap masalah/pertanyaan tentang

identifikasi makna karena ada suatu ketidakterbatasan

makna (infinity of meaning).

5. Penghargaan pada perbedaan: interpretasi, nilai-nilai, dan

gaya (the celebration of diffferences, of interpretations,

of values, and of style).

6. Suatu penekanan pada kenikmatan, pada pengalaman

sebagai hal utama untuk dianalisa, pada juoissance and

the sublime (luhur).

7. Suatu kesukaan (delight) pada superficial, penampakan,

perbedaan, parodi, ironi, dan pastis (pastiche).

8. Pengakuan/penghargaan pada kreativitas dan imajinasi

daripada keteraturan dengan defies (muslihat) penjelasan

determinisme tingkah-laku.

Memudarnya kepercayaaan kepada narasi besar

disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis legitimasi,

dimana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan

tantangan-tantangan berat. Sebagai contoh, delegitimasi

adalah apa yang dialami ilmu sejak akhir abad ke-19 sebagai

akibat perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme.

Dalam masyarakat pasca industri, ilmu mengalami

delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan

dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri.

Legitimasi ilmu pada narasi spekulasi yang mengatakan

bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan di

masa capitalist techno science tidak bisa lagi dipenuhi.

Pengetahuan tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan

melainkan demi profit dimana kriteria yang berlaku bukan

lagi benar-salah, melainkan kriteria performatif yaitu,

menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil

mungkin.

66

Pengetahuan Narasi dan Pengetahuan Ilmiah Pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan totalitas

pengetahuan karena pengetahuan ilmiah selalu bersaing

dengan pengetahuan lain, atau menurut Lyotard disebut

sebagai narasi. Pada masyarakat tradisional, narasi seperti ini

menjadi penting. Narasi menentukan kriteria kompetensi

serta menjelaskan bagaimana kriteria tersebut diterapkan.

Perbedaan utama pengetahuan ilmiah dan pengetahuan

narasi adalah bahwa pengetahuan ilmiah mengandaikan

hanya ada satu permainan bahasa, yakni bahasa denotatif,

sementara permainan bahasa yang lain harus diabaikan.

Sedangkan pengetahuan narasi mengesahkan diri tanpa harus

merujuk pada argumen dan bukti atau tanpa harus

menggunakan verifikasi dan falsifikasi. Karena itu, para

ilmuwan mempersoalkan validitas kebenaran pernyataan-

pernyataan narasi dan menyimpulkan bahwa pengetahuan

narasi itu tidak tunduk pada argumen dan bukti. Baik

pengetahuan ilmiah dan pengetahuan narasi adalah sama-

sama penting. Keduanya tersusun dari serangkaian

pernyataan yang dilontarkan oleh para pemain dalam

kerangka peraturan yang dapat diterapkan secara umum.

Peraturan-peraturan itu bersifat khusus pada setiap jenis

pengetahuan. Pernyataan yang dianggap baik dalam suatu

jenis pengetahuan tertentu pasti akan berbeda dengan

pernyataan yang dipandang baik dalam jenis pengetahuan

yang lain. Oleh sebab itulah, maka tidak mungkin menilai

eksistensi dan validitas pengetahuan non ilmiah atau narasi

berdasarkan pengetahuan ilmiah ataupun sebaliknya karena

kriteria atau permainan bahasa yang digunakan tidak sama.

Perbedaan bahasa yang dimaksud adalah perbedaan

kultur bukan sebagai pembedaan yang satu lebih baik dari

yang lain karena ilmu tidak menerima sudut pandang. Jika

ilmu menggunakan bahasa denotatif dan pembenarannya

dilakukan melalui verifikasi fakta internal, maka pengetahuan

narasi menggunakan bahasa metafor.

67

Permainan Bahasa Sejak beberapa dekade yang lalu beredar istilah

“Linguistic Turn”. Meskipun istilah ini kini memang telah

memudar, tapi esensinya masih berbunyi: bahasa adalah tema

sentral filsafat abad 20. Kini banyak tema pokok tradisional

filsafat memang berlabuh dalam persoalan bahasa. Tentu saja

sejak zaman Yunani, bahasa sudah selalu berperan penting

dalam filsafat. Namun, selama itu, bahasa itu sendiri tidak

pernah sungguh-sungguh dipersoalkan sebagai tema utama.

Baru pada awal abad 20, sejak G. E. Moore dan Bertrand

Russell yang memuncak pada Wittgenstein, bahasa menjadi

tema kajian utama, bahkan hingga kini (abad 21). Tradisi

analitik ini mencoba menunjukkan bahwa banyak persoalan

dasar filsafat tradisional hanyalah semu: hanya perkara logika

dan bahasa belaka. Sejak itu, mulai ada kecenderungan kuat

untuk memperkarakan hakekat “filsafat” itu sendiri dari

sudut bahasa. Dengan kata lain, terjadi kesibukan menuju ke

arah filsafat tentang filsafat: “Metafilsafat”.

Perspektif yang terakhir itu memunculkan issue baru

seperti: apakah bahasa pengetahuan itu memang harus satu

dan universal, katakanlah bahasa “ideal” seperti yang umum

dicita-citakan filsafat modern, ataukah dibiarkan saja dalam

berbagai “Language games” sesuai dengan bentuk-bentuk

kehidupan yang memang beragam, sebutlah bahasa “natural”.

Kebenaran dan penalaran dilihat erat berkaitan dengan

bahasa.

Dalam zaman kontemporer dimana kerumitan

dianggap semakin meningkat maka semakin jauhlah

kemungkinan adanya penjelasan tunggal atau ganda tentang

pengetahuan atau ilmu. Sebelumnya, keyakinan terhadap

suatu narasi (misalnya, doktrin-doktrin agama) bisa

memecahkan kesulitan ini. Sejak perang dunia ke-2, seperti

yang sudah diantisipasi oleh Weber, teknik dan teknologi

telah “mengalami pergeseran penekanan dari tujuan tindakan

ke caranya. Dengan menafikan baik itu bentuk unifikasi

naratif sebagai yang bersifat spekulatif maupun yang

68

berbentuk emansipatoris, legitimasi terhadap pengetahuan

tidak bisa bersandar pada satu narasi besar sehingga ilmu itu

sekarang paling baik dipahami dalam pengertian teori

“permainan bahasa” menurut Wittgenstein. Permainan

bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satu konsep atau

penjelasan ilmiah atau teori yang dapat menangkap realitas

dalam totalitasnya secara memadai. Oleh karena itu,

permainan bahasa tidak dapat diharapkan untuk dapat

menjelaskan realitas apa adanya karena ia adalah salah satu

permainan diantara keragaman permainan bahasa lainnya.

Lyotard meyakini bahwa tidak ada kesatuan dan inti

sari bahasa. Baginya bahasa adalah “agonistic” yakni suatu

ruang atau tempat perselisihan dan konflik yang tidak pernah

bisa diselesaikan. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak dapat

dibandingkan. Tidak ada permainan lain, bahasa lain, dan

prase lain yang dapat mendamaikan perbedaan-perbedaan

tersebut. Ide tentang keadilan bagi Lyotard berasal dari

kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak bisa

dan seyogyianya tidak diselesaikan karena perbedaan-

perbedaan tersebut secara fundamental tidak bisa

didamaikan. Paling tidak, menurut Lyotard, ada tiga jenis

permainan bahasa yang lazim dimainkan, yaitu:

1. The denotative game

Fokus permainan bahasa ini adalah pada apa yang

benar atau salah. Ini adalah suatu permainan ilmiah

yang sederhana, dimana fakta-fakta sajalah yang

diperhitungkan. Perhatikan bahwa makna denotatif

adalah sederhana dan dengan satu makna, sedangkan

arti konotatif rumit, mendalam dan individual.

2. The prescriptive game

Fokus permainan bahasa ini adalah pada baik dan

buruk, adil dan tidak adil. Ini berarti penggunaan nilai-

nilai, yang lebih sosial daripada fakta-fakta denotatif.

69

3. The technical game

Mana fokusnya adalah pada apa yang efisien atau tidak

efisien. Ini lebih faktual, meskipun nilai dapat

dimasukkan.

Permainan bahasa ilmu adalah permainan bahasa

denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif adalah

sebuah pernyataan harus disertai bukti dari pihak yang

mengajukan pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua

sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau

penolakan berdasarkan bukti yang diajukan oleh pihak

pertama. Ilmu adalah permainan bahasa yang didalamnya

terkandung aturan-aturan normatif (misalnya, pembuat

proposisi tidak boleh membuat proposisi tanpa menyediakan

bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa

memberikan bukti melainkan persetujuan atau

penolakannya). Ilmu dihadapkan pada kenyataan bahwa ia

tidak bisa memberlakukan aturan mainnya secara universal

hingga berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana

yang tidak. Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase dimana

logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati

digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi.

Oleh sebab itu, ilmu menurut Lyotard adalah sebuah

permainan bahasa yang mengikuti aturan-aturan sebagai

berikut :

1. Yang bersifat ilmiah adalah pernyataan-pernyataan

denotative (deskriptif).

2. Pernyataan ilmiah berbeda dengan pernyataan yang

menekankan ikatan-ikatan sosial (terkait dengan asal

usul).

3. Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim pesan

ilmiah, bukan penerimanya.

4. Pernyataan ilmiah hanya ada dalam sekumpulan

pernyataan yang diuji oleh argumen dan bukti.

5. Dalam kaitannya dengan butir 4 diatas, permainan

bahasa ilmiah memerlukan suatu pengetahuan tentang

situasi pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung.

70

Untuk bisa dilegitimasikan, ilmu tidak memerlukan

suatu narasi, karena aturan-aturan ilmu itu bersifat

imanen dalam permainannya.

Seni dan Estetika Dalam hal pengetahuan tentang seni, Lyotard secara

tegas dan gamblang menolak pandangan Hegel tentang

kesejarahan seni (the history of art). Baginya, seni bukanlah

barang sejarah atau the thing of the past namun sebaliknya.

Lyotard secara radikal menolak adanya makna di

setiap karya seni ketika diciptakan dan dibangun. Ia juga

menolak gagasan yang menunggangi wujud dan perwujudan

seni karena menurutnya seni memiliki kapasitas energetik.

Seni sebagaimana halnya filsafat bagi Lyotard tidak ada

kaitannya dengan permasalahan makna, identitas, dan

kebenaran. Energi seni adalah dorongan yang tidak

dikendalikan oleh nalar maupun kesadaran. Lyotard

memandang seni sebagai pencarian yang menentang

kemungkinan stabilitas melalui suatu representasi. Titik

berangkatnya adalah kondisi yang berubah, misalnya saat ini

dari modern ke postmodern.

Seni dalam ranah pemikiran filsafat Lyotard bukanlah

dilihat sebagai representasi bermakna, namun sebagai daya

yang menampakkan diri. Pemahaman seni bagi Lyotard

sangatlah unik, khususnya dalam kaitannya dengan

“keindahan” atau “yang indah”. Dalam peradaban Barat, seni

adalah bagian perjuangan untuk membebaskan dari proses

dominasi wacana yang melulu didasarkan pada kaidah-

kaidah techno-science, kaidah-kaidah yang cenderung

mencari keabsahan formulasi-formulasinya dari dirinya

sendiri. Dengan kecenderungan ini, pengetahuan menjadi

mandek atau tidak produktif.

Dalam pandangan Lyotard, postmodernisme bukanlah

semacam langgam atau cara berpikir, namun lebih mengacu

pada suatu sistem keterbukaan yang memungkinkan seni

membuka keragaman yang tidak deterministik, keragaman

71

yang terkandung dalam suatu kehidupan organik yang

memiliki kaidah dan stabilitasnya sendiri tanpa dikendalikan

oleh subyek yang berpikir.

Seni di abad informasi sekarang ini berada pada suatu

proses transformasi yang diharapkan oleh Lyotard menuju

pada rekanan-bebas (Freud). Dengan kondisi inilah,

hegemoni techno-science hanya tampak sebagai kriteria

kinerjatik saja, dan tidak cenderung dan menjadi benar-benar

hegemonik.

Lyotard menerima gagasan sublim Immanuel Kant

tentang estetika. Gagasan ini justeru memperkuat

keyakinannya akan sesuatu “yang takterjawantahkan” pada

ungkapan seni. Keyakinan ini pula yang membawa Lyotard

pada keadaan bahwa tidak pernah ada yang “diluar” atau

“yang lain”. Perbedaan antara “modern” dan “postmodern”

bagi Lyotard hanya ada pada pengakuan pada”yang

takterjawantahkan” dan tampilan. Estetika modern dan

estetika postmodern masing-masing sama dalam memiliki

daya ledak avant-garde namun yang pertama tidak berhasil

dalam tampilan. Sebab utamanya adalah adanya

kecendrungan naratif untuk membuat sistem satu bahasa

melalui legitimasi ilmiah.

Estetika dalam seni dan berkesenian tidak dapat diikat

dalam satu sistem bahasa. Selain mengandung kapasitas yang

takternalarkan dan terwujudkan, seni juga memiliki daya

ledak yang mampu membuat peristiwa. Karena itu, seni

hendaknya, menurut Lyotard, tidak menyesuaikan diri

dengan keadaan. Seni seharusnya mengikuti daya energiknya

untuk mencapai keluhuran (sublim).

Kesimpulan Dari paparan singkat diatas, jelaslah bagi kita bahwa

postmodernisme terutama dalam pemikiran Jean Francois

Lyotard ditandai dengan hilangnya kepercayaan terhadap

grand narratives (narasi besar) dan lahirnya banyak mini

narratives (narasi kecil). Menurutnya, sebuah teori yang

72

berlaku dan sesuai pada suatu tempat dan masa tertentu tidak

dapat digeneralisasikan untuk tempat dan masa yang lain.

Disamping itu, postmodernisme menurut Lyotard juga

mencoba menghadirkan realitas yang majemuk dan

memberikan banyak alternatif. Warisan budaya modern yang

dikhotomistik hitam putih telah melahirkan kekakuan berfikir

yang pada gilirannya membuat orang terjebak dalam jurang

esensialisme universalisme. Cara berfikir seperti itu adalah

bentuk lain dari totalitarianisme, suatu paham yang menurut

Lyotard sudah tidak cocok dan relevan lagi dengan era

teknologi informasi.

Lyotard menolak kebenaran yang obyektif universal

karena menurutnya klaim kebenaran itu terbentuk dari

wacana (bahasa), kita tidak bisa menafsirkan realita yang

bebas dari bahasa. Semua kebenaran pemikiran berkaitan erat

dengan faktor sosial-budaya atau dengan permainan bahasa

tertentu.

73

MODERNISASI PEDESAAN (Meninjau kembali konsep modernisasi pedesaan)

Tri Yatno

Beberapa waktu yang lalu, ketika melakukan sebuah

penelitian di desa Pare Kabupaten Kediri saya sangat takjub

dengan fenomena yang bisa kita dapatkan disana, semisalkan

Pare yang sebelumnya kita pahami serta yang digambarkan oleh

Geertz sebagai sebuah desa ternyata bukan lagi desa yang kita

pahami dengan segala homogenitasnya namun berbalik menjadi

masyarakat yang sangat heterogen seperti kita pahami

karakteristik masyarakat perkotaan. Sepintas bukanlah sesuatu

yang aneh mengamati ragam karakteristik yang dimiliki oleh

mereka, beragamnya aliran kepercayaan, jenis pekerjaan serta

74

kemajemukan pendatang membuat kajian tentang pedesaan

tidak relevan lagi untuk dipakai.

Berangkat dari fenomena yang kita dapatkan di Pare,

sebenarnya ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji salah

satunya yaitu kondisi desa yang lebih menyerupai kehidupan di

kota. Seperti yang dikemukakan oleh banyak ahli Sosiologi

tentang perkotaan yang akan mengalami dinamika sosial yang

lebih cepat akibat faktor perkembangan teknologi serta

informasi. Kota selayaknya kumpulan heterogenitas,

multikulturalis serta keterbukaan mencerminkan masyarakat

Pare seperti layaknya kontur kota kecil yang bergerak maju.

Namun sayangnya di Indonesia kita masih terjebak dengan

standar administrative yang menjadikan Pare tidak lebih hanya

desa kecil yang berpenghuni sedikit.

Dalam kacamata Sosiologi, desa berubah menjadi kota

lebih disebabkan karena masyarakat tersebut mengalami

perubahan yang lebih dikenal dengan nama berproses. Seperti

yang dikemukakan oleh Piotr Sztompka, “masyarakat

senantiasa berubah disemua tingkat kompleksitas internalnya.

Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan kultur.

Di tingkat mikro terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan

perilaku individual” (Sztompka, 2011).

Artinya konsekuensi dari perubahan sosial itu sendiri

adalah terjadi proses transformasi nilai yang sering diistilahkan

dengan modernisasi. Perubahan sosial pedesaan terjadi hampir

di seluruh pedesaan di Indonesia, terutama pedesaan dengan

basis pertanian padi sawah. Pada pedesaan-pedesaan ini

ketergantungan terhadap pihak luar (pemerintah dan Pasar)

semakin besar. Sedikit dari pedesaan-pedesaan di Indonesia

yang masih bertahan dengan sistemnya ini dan cenderung

membatasi diri dari tekanan modernisasi.

MEMAHAMI DESA YANG KE-INDONESIAAN Subtansi dari desa-desa di Indonesia digambarkan

dengan kekerabatan, banyak ahli yang mencirikan desa

dengan konstruksi pola kekerabatan yang sangat kuat

75

sehingga kekerabatan tersebut mampu mengikat setiap

individu yang berada di dalam lingkungan tersebut. Namun

sayangnya banyak referensi kemudian berkutat hanya dipulau

Jawa dan sering melupakan karakteristik desa-desa yang

berada jauh di barat maupun paling timur Indonesia.

Desa di Indonesia pada umumnya memiliki ciri-ciri

yang homogen dan natural namun tidak serta merta kita

menyamakan hal tersebut pada semua wilayah, desa memiliki

jumlah penduduk yang terbatas, interaksi yang intensif,

ikatan emosional yangkuat serta mereka memiliki pola pikir

yang tidak integritas. Desa memiliki daya ikat tersendiri

dimana mereka lebih banyak memiliki ikatan kekeluargaan

dan adanya lembaga-lembaga sosial desa yang ikut berperan

sebagai fasilitator untuk kemajemukan yang mereka miliki.

Masyarakat desa di Indonesia itu memang dapat kita

pandang juga sebagai suatu bentuk masyarakat yang

ekonomis terbelakang dan yang harus dikembangkan dengan

berbagai cara (Sajogyo 1990). Hal tersebut lebih disebabkan

oleh karena mainstream masyarakat kita yang selalu

menggambarkan desa sebagai wilayah yang dianggap

memiliki banyak kekurangan, mulai dari segi pendidikan,

kesehatan, pekerjaan sampai hiburan, factor inilah yang

kemudian menyebabkan terjadinya urbanisasi serta hilangnya

kemandirian masyarakat yang mendiami desa tersebut. Hal

ini terjadi salah satu faktornya karena pola pembangunan di

Negara kita yang selalu mengganggap desa sebagai penopang

derah perkotaan maka yang terjadi adalah desa menjadi pusat

lumbung bagi masyarakat kota.

Dalam pengertian administrative kita dapat menjumpai

berbagai jenis desa, misalkan berdasarkan topografi desa

dibagi menjadi; desa pegunungan, desa dataran rendah, desa

dataran tinggi, desa pantai. Lain halnya dengan desa

berdasarkan polapertanian; desa petani sawah, kampong

peladang, desa perkebunan rakyat, desa nelayan (Sediono,

1998).

76

Banyak desa yang kemudian tidak bisa kita masukan

kedalam 2 (dua) tipologi tersebut, sebut saja desa yang

orbitrasinya sangat kuat dengan perkotaan sebagai contoh

desa Ngringo di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Desa

yang secara Sosiologis sudah tidak lagi berkontur desa

melainkan kota kecil dengan konsekuensi interaksi dan pola

pikir masyarakat yang terlalu jauh dari defenisi Sosiologi itu

sendiri.

Ciri lain dari desa dalah petani dan padi, desa selalu

dikaitkan dengan petani dan padi sekalipun desa tersebut

sudah sangat sempit lahan untuk pertaniannya. Hal ini yang

mengidentikan desa dengan pekerjaan pertanian padahal

tidak semua desa saat ini memiliki lahan pertanian yang

memadai untuk beraktifitasnya para petani, namun masih saja

desa selalu di identikan demikian, mat saya ketika desa

diidentifikasikan dengan petani lebih disebabkan oleh

pekerjaan yang ditekuni sebab petani hanya mampu

beraktualisasi di desa yang sangat terbatas teritorialnya

sehingga universalisasi terhadap okupasi di desa adalah

petani, selain itu padi menajdi simbol untuk memaknai

sebuah desa ada dua penyebab utamanya yaitu kajian-kajian

pedesaan lebih banyak dilakukan di pulau Jawa dengan

komoditas utamanya padi yang kedua, padi merupakan

tanaman pokok yang selalu dikembangkan sebagai komoditas

unggulan yang selalu dianggapnya berasal dari wilayah

pedesaan. Maka tak ayal lagi desa akan selalu digambarkan

dengan dua hal tersebut.

Sudah saatnya kita (pemerintah, peneliti dan

stakeholder desa) harus memikirkan ulang kajian-kajian

untuk pedesaan artinya apa yang tergambar oleh masyarakat

diluar desa akan menjadi pijakan atau pedoman umum untuk

mengembangkan desa itu sendiri padahal yang tergambar

oleh kita bukanlah subtansi dari keadaan desa yang

sebenarnya. Desa bukan lagi menjadi territorial yang

didedefisikan dengan keterbelakangan pendidikan,

kemiskinan, atau bahkan menggambarkan desa sebagai

77

subsector yang berfungsi hanya sekedar untuk mendukung

ekonomi perkotaan, inilah yang banyak dikritik oleh ahli

pedesaan sebagai marjinalisasi orang desa.

Perkembangan pedesaan tidak terlepas dengan proses

modernisasi, yang dianggap mendatangkan perubahan dalam

sisi ekonomi masyarakat desa, banyak kajian serta penelitian

yang mengelaborasi proses modernisasi sebagai factor

pengembangan serta factor induk yang menyebabkan

berkembangnya desa.

KONSEKUENSI MODERNISASI Kunci dari sebuah proses modernisasi adalah

transformasi, factor penting dalam modernisasi adalah

terjadinya perubahan dalam masyarakat. Modernisasi tidak

akan terjadi jika perubahan masyarakat tidak terjadi. Inilsh

yang kemudian menjadi kunci-kunci pokok ketika kita akan

memahami sebuah modernisasi. Memahami modernisasi

tidak sekedar memahami perubahan yang terjadi saat ini

namun kembali kita pahami proses panjang yang

menyertainya sehingga akan kita pahami keseluruhan dari

modernisasi itu tersebut.

Menurut Eisenstadt, menurut sejarahnya, modernisasi

merupakan proses perubahan menuju tipe sistem sosial,

ekonomi dan politik yang berkembang di Eropa dan Amerika

Utara dari abad ke-19 dan 20 meluas ke Negara-negara Amerika

Selatan, Asia serta Afrika (M.Francis Abraham, 1991), maka

bila kita bandingkan dengankondisi bangsa kita yang baru

mengecap kemerdekaan di akhir tahun 1945 apa kemudian kita

bisa menyamakan persepsi modernisasi yang dialami oleh

Negara-negara Eropa khususnya bagi mereka yang telah

memiliki kondisi yang jauh lebih baik tidak serta merta

kemudian kita konsumsi sebagai materi mengukur proses

modernisasi yang terjadi di Negara kita.

Mengungkap konsekuensi dari sebuah modernisasi

tidaklah mudah seperti yang dikemukakan oleh banyak ahli

social salah satunya, Industrialisasi, urbanisasi dan sekularisasi

78

pada umumnya dianggap sebagai proses yang menghasilkan

kondisi yang mendukung modernisasi, dan teknologi maju

dipandang sebagai suatu prasyarat pokok (M.Francis Abraham,

1991). Selain itu menurut prof DR. Selo Soemarjan (1986),

masyarakat akan mengalami tahap-tahap modernisasi yang

terjadi dihadapannya, yaitu tahapan paling rendah ketingkat

yang lebih tinggi. Adapun modernisasi yang dibagi menjadi

beberapa bagian; modrnisasi tingkat alat, modernisasi tingkat

lembaga, modernisasi tingkat individu, modernisasi tingkat

inovasi.

Terjadinya transformasi yang dianggap radikal dikaitkan

dengan bangkitnya jenis-jenis produksi industry mekanis dan

berskala besar. Penghapusan kerja berbasis agrarian yang terkait

dengan tanah, penghancuran komunitas desa yang terjalin kuat.

Semua ini merupakan bahagian besar konsekuensi dari

modernisasi. Modernisasi adalah suatu proses transformasi

besar masyarakat, suatu perubahan dalam berbagai aspek

kehidupan masyarakat, istilah yang paling spektakuler dalam

suatu masyarakat meliputi perubahan-perubahan tekhnik

produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern (Agus

salim, 2002).

Kajian modernisasi di pedesaan akan melahirkan

konsekuensi yang beguitu dominan antara proses yang

direncanakan serta yang tidak direncanakan, atau lebih

sederhananya dampak langsung dan tidak langsung. Ada

beberapa hal yang bisa penulis kemukakan sebagai konsekuensi

dari masalah tersebut yaitu; bergesernya nilai dan norma dalam

tatanan kehidupan, berubahnya fungsi lembaga lembaga social,

berubahnya nilai fungsi lahan desa serta berubahnya pola

okupasi masyarakat desa.

Nilai dan norma masyarakat desa akan bergeser ketika

pola pikir masyarakat desa yang sebelumnya sangat dekat pola

keagamaan akan beralih pada rasionalitas yang diakibatkan oleh

tingkat pendidikan dan tranformasi media serta interaksi dengan

masyarakat sekitar. Apa yang diakibatkan adalah berubahnya

gaya hidup masyarakat dipedesaan. Kita tidak mungkin

79

mengurai sampai tuntas nilai dan norma yang harus berubah

namun setidaknya orang desa akan punya standarisasi tersendiri

ketika mereka mengukur sebuah perilaku, strata, mapun

interaksi yang ada. Tendensi dan standart terbangun akibat

pendidikan yang mereka miliki merubah gaya berpikir serta

media yang selalu menyajikan tayangan yang dapat membentuk

cara dan kebiasaan baru mereka dalam menilai maupun

memutuskan sesuatu. Gaya yang identik dengan sakral berganti

dengan rasionalisasi, hal-hal gaib tergeser oleh adanya

kenyataan yang ditampilkan oleh rasio.

Unsur lainnya yang dipengaruhi oleh modernisasi yaitu

keberadaan lembaga-lembaga yang berada di desa, pada

muasalnya lembaga di desa berfungsi sebagai mediator

kepentingan masyarakat dengan alam, masyarakat dengan

leluhur dan antar mereka sendiri. Namun yang terjadi adalah

lembaga sebagai penyalur aspirasi dari elitedesa maupun tokoh

yang berpengaruh di desa tersebut maka fungsi yang

tadinyasebagai mediator berubah menjadi pragmatis dengan

atribut kepentingan individu maupun kelompok yang dominan

di desa.

Tidak terlepas dari itu semua, factor yang cukup dominan

mengalami perubahan adalah beralihnya fungsi lahan di

pedesaan, yang sebelumnya banyak berfungsi untuk ditanami

tanaman pertanian kini lebih banyak dikelola sebagai lahan

industry maupun tanaman industri. Kondisi lahan seperti ini

banyak terjadi akibat letak geografis desa yang dekat dengan

kota sehingga lahan yang asal mulanya sebagai sumber

penghidupan bergeser menjadi sumber lahan untuk pengolahan.

Pabrik, atau industri bahan baku banyak dikembangkan di lahan

pertanian dengan perhitungan lebih murah bila dibandingkan

dengan lahan di perkotaan, selain itu tanaman industri juga ikut

merubah corak fungsi lahan yang sebelumnya mengaitkan

banyak pihak di desa menjadi sebuah konsorsium yang diikat

dengan perjanjian yang sangat kaku.

Alhasil, dengan menyempitnya lahan-lahan pertanian di

pedesaan masyarakatpun mulai berpikir untuk mencari

80

pekerjaan lain, seperti halnya yang banyak kita temui bahwa

petani kemudian beralih menjadi buruh pabrik, buruh industri

bahkan pedagang yang lokasi bekerjanya di luar desa tempat

dimana mereka tinggal. Hal ini kemudian menjadi sangat

rasional ketika kita bandingkan pengurangan lahan dengan

ketersediaan jumlah tenaga kerja belum lagi di tambha dengan

keahlian yang harus di miliki oleh mereka ketika masuk pada

pola pekerjaan yang tergolong modern.

Apa yang dapat kita simpulkan dari konsekuensi yang

harus diterima oleh sebuah desa ketika harus mengalami yang

namanya modernisasi, bahwa tatanan yang pernah mengatur

mereka dalam pola kehidupan masyarakat desa menjadi

berubahmenjadi tatanan yang diatur oleh kebutuhan akibat

terjadinya proses modernisasi.

MODERNISASI DESA UNTUK KESEJAHTERAAN

Modernisasi bukanlah sesuatu yang keliru untuk

dikembangkan, pada intinya modernisasi lebih menunjuk pada

suatu tranformasi dalam kerangka pencapaian kesejahteraan

kehidupan manusia, kita kemudian dapat mengambil apa yang

berfungsipositif bagi kita semua dan dapat mengevaluasi

sesuatu dampak yang kiranya bersifat negative bagi kehidupan

kita semua.

Memodernisasikan desa adalah proses dimana kita secara

sengaja mentransformasikan segala bentuk perubahan yang

sifatnya kompleks untuk membentuk ataupun menyempurnakan

kehidupan pada masyarakat desa. Contoh yang bisa diambil

yaitu bagaimana kemudian pola pertanian di desa dapat

mengalami peningkatan yang sebelumnya sangat terantung oleh

alam dan dapat kita rubah dengan teknologi, system tanam

maupun pola distribusi hasil pertanian itu sendiri. Atau juga kita

kembangkan pola ekonomi desa yang lebih fleksibel dengan

menggunakan jaringan internet atau media social untuk

pemasarannya, artinya kita menggunakan hasil teknologi yang

ada untuk memasarkan hasil produksi kita.

81

Memodernisasikan desa bukan berarti menghancurkan

atau menghilangkan apa yang telah ada sebelumnya dengan

sesuatu yang baru namun kita bisa mengkolaborasikan yang

sebelum dengan yang baru sebagai sesuatu yang lebih efisien

dan bersifat membangun.

82

DUALISME EKSISTENSI KONDOM;

DALAM KAJIAN HUKUM AGAMA DAN HUKUM NEGARA

M. Chairul Basrun Umanailo

Bagi sebagian orang, kondom merupakan alat yang

sering dijadikan untuk mencapai tujuan tertentu, salah satunya

untuk pengendalian jumlah anak, penyebaran virus HIV serta

sebagai pendukung profesi yang sementara ditekuni. Namun di

lain pihak ada juga yang kemudian mempertanyakan kembali

kondom sebagai alat kontrasepsi untuk pengendalian masuknya

sperma ke Rahim perempuan karena dianggap memiliki

dampak yang kurang baik bagi mereka yang memiliki tafsir

83

tersendiri atas eksistensi kondom, artinya kondom juga dapat di

jadikan sebagai komoditi transaksional dalam suatu tindakan

manusia.

Mengkaji kondom, berarti kita harus berhadapan dengan

dua perspektif berbeda, oleh karena diantara dua perspektif

tersebut memiliki landasan berpikir yang sulit disatukan.

Hukum agama dan hukum Negara adalah dua mata pisau yang

berbeda untuk menyelesaikan persoalan kondom, hukum agama

sendiri lebih melihat kondom sebagai alat yang menghalalkan

sebuah tindakan yang dilarang oleh agama sementara hukum

Negara sendiri melindungi kondom sebagai alat yang mampu

menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakatnya dalam hal

ini pengendalian penduduk dan penyebaran virus HIV. Maka

tak bisa dipungkiri diantara dua perspektif tersebut memiliki

landasan logika yang rasional serta tertanggung jawab untuk

tetap mempertahankan serta melarang eksistensi kondom itu

dalam masyarakat.

Kondom adalah alat kontrasepsi untuk mencegah

kehamilan atau penularan penyakit kelamin pada saat

bersenggama, kondom biasanya dibuat dari bahan karet latex

dan dipakaikan pada alat kelamin pria atau wanita pada keadaan

ereksi sebelum bersanggama (bersetubuh) atau berhubungan

suami istri. Kondom tidak hanya dipakai oleh lelaki, terdapat

pula kondom wanita yang dirancang khusus untuk digunakan

oleh wanita.

Kondom ini berbentuk silinder yang dimasukkan ke

dalam alat kelamin atau kemaluan wanita. Cara kerja kondom

wanita sama dengan cara kondom lelaki, yaitu mencegah

sperma masukke dalam alat reproduksi wanita. Manfaat,

keterbatasan maupun efek samping yang ditimbulkan kondom

wanita, hampir sama dengan kondom lelaki. Tingkat efektifitas

kondom wanita akan tinggi, apabila cara menggunakannya

benar. Angka kegagalan kontrasepsi kondom sangat sedikit

yaitu 2-12 kehamilan per/100 perempuan per tahun

(wikipedia.org).

84

Kata kondom diambil dari nama Dr.Condom, seorang

dokter asal Inggris yang bergelar Pangeran. Pada pertengahan

tahun 1600, ia yang mula-mula mengenalkan corong untuk

menutupi penis untuk melindungi King Charles II dari

penularan penyakit kelamin. Menurut Charles Panati, dalam

bukunya Sexy Origins and Intimate Things, sarung untuk

melindungi penis telah dipakai sejak berabad silam. Sejarah

menunjukkan orang-orang Roma, mungkin juga Mesir,

menggunakan kulit tipis dari kandung kemih dan usus binatang

sebagai "sarung".

Kondom primitif itu dipakai bukan untuk mencegah

kehamilan tapi menghindari penyakit kelamin. Untuk menekan

kelahiran, sejak dulu pria selalu mengandalkan kaum

perempuan untuk memilih bentuk kontrasepsi. Adalah Gabriello

Fallopia, dokter dari Italia yang hidup di abad ke-17 yang

pertama kali menjelaskan dua tabung pipih yang membawa sel

telur dari ovarium ke uterus. Ia dikenal sebagai "bapak kondom"

karena pada pertengahan tahun 1500 ia membuat sarung linen

yang berukuran pas (fit) di bagian penis dan melindungi

permukaan kulit. Penemuannya ini diuji coba pada 1000 pria

dan sukses. Kondom di abad 17 berbentuk tebal dan dibuat dari

usus binatang, selaput ikan atau bahan linen yang licin. Namun

karena kondom dipandang mengurangi kenikmatan seksual dan

tidak selalu manjur mencegah penularan penyakit (akibat

penggunaan berulang kali tanpa dicuci), kondom pun menjadi

tidak populer dan jadi bahan diolok-olok. Seorang bangsawan

Perancis bahkan menyebut kondom sebagai "tameng melawan

cinta, sarung pelindung dari penyakit" (Kompas.com).

Dari catatan sejarah kondom telah digunakan sejak

beberapa ratus tahun yang lalu. Sekitar tahun 1000 sebelum

Masehi orang Mesir kuno menggunakan linen sebagai sarung

penganan untuk mencegah penyakit. Pada tahun 100 sampai

tahun 200 Masehi bukti awal dari pemakaian kondom di Eropa

datang dari lukisan berupa pemandangan gua di Combrelles,

Prancis. Tahun 1500-an untuk pertama kali dipublikasikan

deskripsi dan pencobaan alat mencegah penyakit berupa

85

kondom di Italia. Ketika itu Gabrielle Fallopius mengklaim

menemukan sarung terbuat dari bahan linen dan itu diuji coba

pada 1.100 lelaki sebagai kondom. Dari percobaan itu tak satu

pun dari mereka yang terinfeksi penyakit sifilis. Penemuan

membuktikan bahwa kain linen itu bermanfaat mencegah

infeksi. Tetapi, di kemudian hari kondom dikenal sebagai alat

mencegah kehamilan. Itu diawali dari percobaan terhadap kain

linen yang dibasahi dengan cairan kimia tahun 1500-an. Ketika

linen direndam dalam cairan kimia kemudian dikeringkan dan

dikenakan pria maka kain itu bisa mematikan sperma.

Tahun 1700-an, kondom dibuat dari usus binatang.

Perubahan bahan itu membuat harga kondom menjadi lebih

mahal dibanding dengan kondom dari bahan linen. Ketika itu

kondom dikenal sebagai 'baju baja melawan kesenangan dan

jaring laba-laba mencegah infeksi. Kondom tipe itu dipakai

secara berulang.

Tahun 1894, Goodyear dan Hancock mulai memproduksi

kondom secara massal terbuat dari karet yang divulkanisasi

untuk membalikkan karet kasar keelastisitas yang kuat. Tahun

1861 untuk pertama kali kondom dipublikasikan diamerika

Serikat di surat kabar The New York Times. Tahun 1880

kondom dibuat dari lateks, tetapi pemakaiannya secara luas baru

tahun 1930-an. Tahun 1935 sebanyak 1.5 juta kondom

diproduksi setiap hari di Amerika Serikat. Kemudian tahun

1980-an dan 1990-an pasaran kondom di Amerika Serikat

didominasi pabrik kondom setempat. Baru tahun 1987 kondom

produksi Jepang dengan merek Kimono memasuki pasar

Amerika. Kondom tersebut lembut tipis dan iklannya pun

menekankankan bahwa kesenangan sama pentingnya dengan

pencegahan. Tahun 1990-an muncul beragam jenis kondom dan

juga untuk pertama kali tersedia kondom polyurethane. Tahun

1993 produksi tahunan kondom lateks mencapai 8,5 juta miliar

(www.sikondom.com/images). MENGINTEPRETASI KONDOM LEWAT KAJIAN ISLAM

Ada baiknya kita melihat lebih jauh kondom dari

perspektif agama sehingga jelas kiranya bagi kita semua

86

memaknai eksistensi kondom di tengah-tengah masyarakat saat

ini. Dalam kehidupan beragama ada anjuran untuk

memperbanyak keturunan, Dari Ma‟qil bin Yasar al-Muzani

radhiyallahu „anhu dia berkata:

Seorang lelaki pernah datang (menemui) Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata: Sesungguhnya

aku mendapatkan seorang perempuan yang memiliki

kecantikan dan (berasal dari) keturunan yang terhormat,

akan tetapi dia tidak bisa punya anak (mandul), apakah aku

(boleh) menikahinya? Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam menjawab: “Tidak (boleh)”, kemudian lelaki itu

datang (dan bertanya lagi) untuk kedua kalinya, maka

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam kembali

melarangnya, kemudian lelaki itu datang (dan bertanya lagi)

untuk ketiga kalinya, maka Rasulullah shallallahu „alaihi wa

sallam bersabda: “Nikahilah perempuan yang penyayang

dan subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan

membanggakan (banyaknya jumlah kalian) dihadapan

umat-umat lain (pada hari kiamat nanti).” Bagi seorang

perempuan yang masih gadis. Kesuburan ini diketahui

dengan melihat keadaan keluarga (ibu dan saudara

perempuan) atau kerabatnya, lihat kitab „Aunul Ma‟buud,

6/33-34) (HR Abu Dawud (no. 2050), an-Nasa-i (6/65) dan

al-Hakim (2/176), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (no. 4056-

al-Ihsan), juga oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-

Dzahabi).

Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak

keturunan yang diberkahi Allah ta‟ala, karena Rasulullah

shallallahu „alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan

keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu

„anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh

karena itulah, imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini

dalam bab: keutamaan Anas bin Malikradhiyallahu „anhu.

(Lihat Syarah Shahih Muslim, 16/39-40)

Hukum asal membatasi atau mengatur jumlah keturunan

(baca: Keluarga Berencana) dalam Islam adalah diharamkan,

87

karena menyelisihi petunjuk syariat Islam yang melarang keras

perbuatan tabattul (hidup membujang selamanya) (Dalam hadits

shahih Riwayat Ahmad (3/158 dan 3/245) dan Ibnu Hibban (no.

4028), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil

(6/195)), dan memerintahkan untuk menikahi perempuan yang

subur (banyak anak). Oleh karena itu, mengonsumsi pil

pencegah kehamilan atau obat-obatan lainnya untuk mencegah

kehamilan tidak diperbolehkan (dalam agama Islam), kecuali

dalam kondisi-kondisi darurat (terpaksa) yang jarang terjadi

(Fatawa Lajnah Daaimah (19/319) no (1585) yang dipimpin

oleh syaikh „Abdul „Aziz bin Baz, dengan sedikit penyesuaian).

Membatasi keturunan dengan tujuan seperti ini dalam

agama Islam diharamkan secara mutlak, sebagaimana

keterangan Lajnah daaimah yang dipimpin oleh Syaikh „Abdul

„Aziz bin Baz (Fatawal Lajnatid Daaimah, (9/62) no (1584)),

demikian juga Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‟Utsaimin

(Silsilatu Liqa-aatil Baabil Maftuuh, (31/133)), syaikh Shaleh

al-Fauzan (Al-Muntaqa Min Fatawa al-Fauzan (69/20)) dan

Keputusan majelis al Majma‟ al Fiqhil Islami (Majallatul

Buhuutsil Islaamiyyah(30/286). Karena ini bertentangan dengan

tujuan-tujuan agung syariat Islam, seperti yang diterangkan di

atas.

Mencegah kehamilan adalah menggunakan berbagai

sarana yang diperkirakan bisa menghalangi seorang

perempuan dari kehamilan, seperti: al-‟Azl (menumpahkan

sperma laki-laki di luar vagina), mengonsumsi obat-obatan

(pencegah kehamilan), memasang penghalang dalam vagina,

menghindari hubungan suami istri ketika masa subur, dan

yang semisalnya (Fatwa Haiati Kibarul „Ulama‟ (5/114 –

Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah)). Pencegahan kehamilan

seperti ini juga diharamkan dalam Islam, kecuali jika ada

sebab/alasan yang (dibenarkan) dalam syariat.

Dalam fatwa Lajnah Daimah: “…Berdasarkan semua

itu, maka membatasi (jumlah keturunan) diharamkan secara

mutlak (dalam Islam), (demikian juga) mencegah kehamilan

diharamkan, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang

88

jarang (terjadi) dan tidak umum, seperti dalam kondisi yang

mengharuskan wanita yang hamil untuk melahirkan secara

tidak wajar, dan kondisi yang memaksa wanita yang hamil

melakukan operasi (caesar) untuk mengeluarkan bayi (dari

kandungannya), atau kondisi yang jika seorang wanita hamil

maka akan membahayakannya karena adanya penyakit atau

(sebab) lainnya. Ini semua dikecualikan dalam rangka untuk

menghindari mudharat (bahaya) dan menjaga kelangsungan

hidup (bagi wanita tersebut), karena sesungguhnya syariat

Islam datang untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan)

dan mencegah kerusakan… (Majallatul Buhuutsil

Islaamiyyah (5/127).

Mengatur kehamilan adalah menggunakan berbagai

sarana untuk mencegah kehamilan, tapi bukan dengan tujuan

untuk menjadikan mandul atau mematikan fungsi alat

reproduksi, tetapi tujuannya mencegah kehamilan dalam

jangka waktu tertentu (bukan selamanya), karena adanya

maslahat (kebutuhan yang dibenarkan dalam syariat) yang

dipandang oleh kedua suami istri atau seorang ahli (dokter)

yang mereka percaya (Fatwa Haiati Kibarul „Ulama‟

Majallatul Buhuutsil Islaamiyyah) (muslim.or.id/akhlaql). NALAR HUKUM PEMERINTAH TERHADAP KONDOM

Bergeser dari pengendalian jumlah penduduk, pada

orde reformasi kondom lebih diaktualisasikan sebagai

penghambat laju HIV-AIDS karena bagi pemerintah tidak

sekedar wacana akan bahayanya AIDS jauh lebih praktis

dengan menyediakan alat untuk mengatasinya. Pemerintah

dari berbagai sektor terus mempromosikan pentingnya

penggunaan kondom untuk pencegahan penyebaran virus

HIV sehingga tanpa ruang yang tersekat hamper seluruhnya

dipakai untuk mempropagandakan masalah penggunaan

kondom.

Tidak lama setelah dilantik sebagai Menteri Kesehatan

oleh Presiden, Nafsiah Mboi langsung menggebrak publik

dengan rencananya melakukan sosialisasi dan kondomisasi

terhadap kelompok seksual beresiko, termasuk kepada

89

kelompok remaja dengan perilaku seksual beresiko. Yang

dimaksud kelompok dengan perilaku seksual beresiko, antara

lain pelacur, pria hidung belang, buruh di pelabuhan,

nelayan, pelaut, termasuk kelompok gay dan waria.

Rencana sosialisasi dan pembagian kondom kepada

khalayak dengan perilaku seksual tidak sehat dan beresiko

sempat menjadi berita besar di masyarakat dan media massa.

Namun akhir-akhir ini, seakan redup, kalau tidak dikatakan

hilang. Padahal rencana sudah digodog matang dan siap

untuk diluncurkan ke masyarakat sebagai kebijakan Menkes

yang baru. “Kampanye kondom bukan sembarang kampanye.

Itu adalah salah satu indikator dalam mdgs poin 6, yaitu

penggunaan kondom pada seks beresiko.

Jadi itu kewajiban kami untuk mengampanyekan

kondom pada seks beresiko,”. Secara yuridis pun, penulis

melihat tidak ada dasar bagi Menkes untuk membuat

kebijakan kondomisasi ini. Payung hukum dibidang

kesehatan, yakni UU no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa:

“Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis”.

Sedang menurut Pasal 2 UU No. 36 tahun 2009

disebutkan bahwa:

“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan

berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,

perlindungan, penghormatan terhadap hak dan

kewajiban, keadilan, gender dan non diskriminatif dan

norma-norma agama.” Penyelenggaraan upaya

kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai dan

norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.

90

Yang dimaksud dengan seks berisiko adalah setiap

hubungan seks yang beresiko menularkan penyakit dan atau

berisiko memicu kehamilan yang tidak direncanakan.

Kampanye ini menjadi penting, mengingat masih banyak

kasus kehamilan yang tidak direncanakan terjadi pada anak-

anak remaja. Sangat penting untuk melakukan pendekatan

kesehatan kepada masyarakat. Terutama untuk mencegah

agar tidak ada kehamilan yang terjadi karena tidak

direncanakan. Karena itu, kita menyasar terutama pada usia

15-24 tahun.

Undang-Undang yang menyatakan yang belum

menikah tidak boleh diberikan kontrasepsi sudah tidak

relevan. Pemerintah berharap bisa meningkatkan kesadaran

mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja. Dalam

undang-undang, yang belum menikah tidak boleh diberi

kontrasepsi. Namun ketika menganalisis data dan itu ternyata

berbahaya jika tidak melihat kenyataan. Sebanyak 2,3 juta

remaja melakukan aborsi setiap tahunnya menurut data dari

BKKBN.

Angka sebanyak itu menunjukkan bahwa banyak

remaja mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ia

menegaskan, undang-undang perlindungan anak menyatakan

bahwa setiap anak yang dikandung sampai dilahirkan harus

diberikan haknya sesuai Undang-Undang Perlindungan

Anak. Maka, mempermudah akses remaja untuk

mendapatkan kondom diharapkan dapat menekan angka

aborsi dan kehamilan yang tak diinginkan

(www.arrahmah.com).

DAMAI UNTUK KONDOM

Kondom dalam pandangan Sosiologi Hukum

merupakan sebuah alat yang memiliki fungsi mengendalikan

perilaku individu maupun kelompok, dalam artian kondom

mampu menjadi alat pengontrol bagi seseorang dalam

perilaku seksual nya. Namun dibalik itu semua ada hal-hal

91

penting yang menjadi nilai control itu berubah menjadi nilai

perilaku bagi seseorang ketika mengintepretasikan kondom.

Mengkaji perilaku individu Secara mendasar, paling

tidak ada tiga perspektif untuk menentukan apakah perilaku

menyimpang, yaitu absolutist, normative, dan reaktive.

Perspektif absolutist; berpendapat bahwa kualitas atau

karakteristik perilaku menyimpang bersifat instrinsik,

terlepas dari bagaimana ia dinilai. Dengan kata lain, perilaku

menyimpang ditentukan bukan dengan norma, kebiasaan,

atau aturan-aturan sosial. Perspektif normative; berpendapat

bahwa perilaku menyimpang bisa didefinisikan sebagai

setiap perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan

kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam

masyarakat (Cohen, 1992: 218).

Konsepsi yang bisa kita simpulkan bahwa dengan

keberadaan kondom maka akan membuka kesempatan untuk

terjadinya perilaku menyimpang, akibat perilaku yang

dihasilkan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat secara

umum. Penyebab utamaa dari hal demikian adalah

ketidaksesuaian antara hukum Negara dengan aturan-aturan

yang dipegang oleh kelompok yang ada dalam masyarakat

yakni masyarakat muslim. Berkaitan dengan perilaku

menyimpang tersebut, teori-teori sosiologi, baik yang

termasuk dalam kategori klasik maupun modern, telah

memberikan penjelasan yang cukup memadai untuk

dijadikan pijakan kita dalam rangka memahami sebab-sebab

terjadinya perilaku menyimpang.

Dimulai dari Durkheim dengan konsepnya tentang

anomie, suatu situasi tanpa norma dan arah yang tercipta

akibat tidak selarasnya harapan kultur dengan kenyataan

sosial. Selanjutnya, Merton mencoba menghubungkkan

anomie dengan penyimpangan social. Lebih lanjut ia

berpendapat bahwa sebagai akibat dari proses sosialisasi,

individu belajar mengenal tujuan-tujuan penting kebudayaan

dan sekaligus mempelajari cara-cara untuk mencapai tujuan

tersebut yang selaras dengan kebudayaan.

92

Apabila kesempatan untuk mencapai tujuan yang

selaras dengan kebudayaan tidak ada atau tidak mungkin

dilakukan, sehingga individu-individu mencari jalan atau

cara alternative, maka perilaku itu bisa dikatakan sebagai

perilaku menyimpang.

Merton menyebutkan ada empat perilaku menyimpang,

yaitu inovasi (innovation), ritualism (ritualism), peneduhan

hati (retreatism), dan pemberontakan (rebellion) Bahwa

kondom sebagai pengendali perilaku menyimpang juga bisa

sepakati namun akan tumbuh bersama dengan perilaku

menyimpang lainnya. Artinya ketika kondom dijadikan alat

untuk menutupi perilaku menyimpang, maka orang akan

mengkonstruksikan perilaku tersebut pada tahapan yang lebih

jauh lagi seperti misalkan kebiasaan dan menjadi budaya

baru.

93

DOMINASI MODAL EKONOMI ATAS RANAH POLITIK

M. Chairul Basrun Umanailo

Menjelang pelaksanaan Pemilu, tentunya banyak pihak

akan menghitung ulang modal yang tersisa untuk bertarung

pada malam menjelang pencoblosan. Mereka menaruh

harapan, bahwasanya sisa modal tersebut merupakan senjata

94

pamungkas yang bisa dipakai untuk mendulang sejumlah

suara yang diharapkan.

Tak dapat dipungkiri modal ekonomi menjadi sangat

begitu penting ketika ritual pemilihan umum berlangsung,

membuka daftar sumbangan ke partai sampai melihat

pesanan peraga kampanye kita akan berdesak kagum dengan

jumlah angkanya dan berandai-andai semisalkan dana

tersebut dibelanjakan untuk pembangunan MCK dan

beasiswa anak-anak bangsa ini. Namun inilah realitas politik

bahwa sementara waktu, kita lupakan dulu kenyataan yang

ada alasan pokok dan fungsional, bahwa modal ekonomi

lebih diartikan secara luas akan kemampuan seseorang dalam

kepemilikan serta pengaksesan kepada sumber-sumber

ekonomi maupun sumber daya yang tersedia.

Saya menghindar untuk menyamakan modal ekonomi

sama dengan modal kekayaan dan uang sebab secara

langsung akan melahirkan determinasi kelas penguasaan

kekayaan secara terstruktur berdasar jumlah yang dimiliki,

lebih lanjut bahwa modal seseorang untuk mengakses

sumber-sumber ekonomi inilah yang menjadi faktor lebih

dominan bila dibandingkan dengan kepemilikan sejumlah

materi yang bersifat ekonomi. Secara umum, Bourdieu

membedakan empat jenis modal: ekonomi, budaya, sosial,

dan simbolik. Meski berbeda, keempat bentuk modal ini bisa

saling dikonversikan dan diwariskan pada orang lain dengan

nilai tukar dan tingkat kesulitanyang berbeda. Masing-

masing jenis modal ini didapat dan diakumulasikan dengan

saling diinvestasikan dalam bentuk-bentuk modal lain

(Aunullah, 2006).

Bila kemudian kita konversikan dengan situasi

pemilihan legislative saat ini maka dominasi modal ekonomi

akan jauh lebih terlihat dibandingkan dengan modal-modal

lainnya tanpa harus mengesampingkan bahwa diantara

modal-modal tersebut saling memiliki ketergantungan yang

kuat. Mengapa kemudian modal ekonomi saya anggap jauh

lebih dominan, tentunya ada beberapa alasan penting untuk

95

mengutarakan hal tersebut yakni; (1) Masyarakat kita telah

terbentuk dengan logika konsumtif, (2) Pendekatan politik

lebih kepada pragmatism (3) tumbuhnya kesadaran semu

yang menciptakan masyarakat tanpa identitas. Bagi saya

ketiga hal tersebut yang kemudian membuka ruang yang

besar kepada modal ekonomi menjadi dominasi modal atas

ranah politik yang ada disaat ini.

Mari kita buktikan dengan kondisi yang terjadi saat ini,

bahwasanya setiap calon yang akan mengikuti ajang

pemilihan legislative entah pada tataran DPR RI hingga

DPRD akan dibebankan pada dua porsi yang horizontal yaitu

mereka harus membesarkan dominasi partai dalam

masyarakat dan sisi lainnya mereka juga harus mampu

mensosialisasikan diri mereka sendiri kepada konstituen yang

tersedia, artinya dibutuhkan paling tidak alat peraga seperti

stiker, spanduk, baliho untuk menyelesaikan beban tersebut,

kemampuan ekonomi (uang) menjadi ukuran melakukan

kegiatan ini.

Maka ranah politik (menjadi Anggota legislatif)

menjadi sangat sulit diakses oleh mereka yang memiliki

keterbatasan modal tersebut. Logika konsumtif Masyarakat

merupakan suatu relasi sosial yang paling terbesar, relasi

tersebut terbangun dengan beberapa metode seperti misalkan

hubungan emosional, hubungan kepentingan dan sebagainya.

Dengan konstruksi tersebut kita bisa memakai konsep yang

ditawarkan oleh Douglas dan Isherwood dalam feathersone

(1992:14) yang berpendapat, bahwa dalam masyarakat saat

ini barang-barang digunakan untuk membangun hubungan-

hubungan sosial.

Masyarakat telah terkonstruksi dengan pola konsumsi

yang disampaikan oleh Baudrillard bahwa masyarakat

berusaha menunjukan rasionalitas hidup yang senantiasa

berorientasi dan merujuk objek material danperubahan

paradigm ini membuat mereka terjebak dengan pemaknaan-

pemaknaan yang mereka ciptakan sendiri sebagai penanda.

Lebih lanjut dengan konstelasi politik yang pragmatis maka

96

masyarakat akan terhanyut pada pola pikir material yang

didapatkan untuk pengaksesan nilai politik dari orang yang

memberikan. Contoh konkrit yaitu dengan masuknya kita

pada fase kampanye banyak masyarakat melacurkan

identitasnya dengan berbagai sumbangan dan permohonan

untuk suatu material, kita tidak lagi malu-malu untuk

menyatakan “wani piro” pada hal konsekuensi yang harus

kita tanggung jauh lebih besar dari yang didapatkan saat itu.

Caleg membidik pemilih pemula dengan konser musik,

artinya dengan pendekatan tersebut pemilih pada kalangan

remaja dapat tertarik untuk memilihnya dan ini berhasil

ketika remaja kita adalah remaja konsumtif dengan

mengutamakan identitas sebagai remaja yang butuh

aktualisasi music. Kembali pada modal ekonomi bahwa

siapapun yang tidak memiliki modal ekonomi maka sulit

untuk masuk pada ranah politik praktis sebab masyarakat

tidak butuh hanya sekedaran penyadaran lewat dialog

maupun cara-cara cerdas lainnya.

Pendekatan Pragmatis Pendekatan politik yang pragmatis yaitu dengan

mengurai apa yang anda butuhkan dan apa yang dibutuhkan

konstituen anda. Orang kebanjiran tidak butuh penyadaran,

korban letusan gunung berapi tidak butuh sosialisasi politik,

namun yang dibutuhkan adalah materi (uang) untuk

memenuhi kebutuhan mereka. Suka ataupun tidak calon

legislative harus mengeluarkan dana lebih untuk bisa

mendapatkan simpatisan dari masyarakat seperti ini. Modal

ekonomi sangat memiliki peranan saat bantuan yang anda

berikan hanya sebatas pemenuhan primer yang bukan jadi

harapan mereka. Dan hal ini kemudian menjadi rujukan bagi

mereka untuk memutuskan pilihan kepada siapapun, mereka

tidak bisa kita salahkan bila material yang menjadi

keberpihakan pada tataran pragmatis. Maka dominasi modal

ekonomi menjadi pertanyaan terbesar bilamana seseorang

ingin meraup keuntungan politik dari situasi seperti ini.

97

Kesadaran Semu Apa yang dikemukakan oleh Gramsci, Marx ataupun

Bourdieu tentang kesadaran semu dari masyarakat proletar

ini menjadi persoalan tersendiri bilamana kitakaitkan dengan

fenomena perpolitikan yang ada. Persoalannya bukan sekedar

mereka terkesploitiasi pada tataran produksi namun yang

terjadi adalah tereksploitasinya modal-modal ekonomi yang

ada pada masyarakat. Kita contohkan saja masyarakat “A”

bahwa mereka selama ini tereksploitasi akibat sumberdaya

alam yang dimiliki tidak mampu memberikan faedah bagi

kehidupannya, dengan adanya pesta demokrasi seperti

pemilihan legislative maka materi serta harapan yang

diberikan lebih oleh para calonakan menghilangkan sejenak

kesadaran akan tereksploitasinya mereka, sehingga bagi

Caleg strateginya dengan membawa logika “apa yang mereka

butuhkan” dengan konsekuensi pemenuhan kebutuhan

material. Material yang diberikan tentunya diiringi dengan

kemampuan finansial sang calon yang sangat besar.

Jadi, konektivitas ranah politik bagi seorang Caleg,

sangat tergantung dari akses serta kepemilikan modal

ekonomi mereka. Seperti yang dikemukan oleh Polanyi;

Pengaturan ekonomi manusia biasanya tertanam di dalam

hubungan sosialnya. Dia tidak bertindak demi menjaga

kepentingan individualnya dalam hal kepemilikan barang-

barang material; dia bertindak demi mengamankan

kedudukan social, hak-hak sosial, dan aset-aset sosialnya.

Dia menghargai barang-barang material hanya sejauh barang-

barang tersebut memenuhi tujuan tersebut (Polanyi, 2003

:62).

Dialektika ini yang melahirkan konsepsi dominasi

modal ekonomi pada suatu ranah politik, akibat masyarakat

yang terbangun dengan kesadaran primer (apayang saya

butuh) dan perilaku politik pragmatis. Konsekuensinya

adalah terciptanya masyarakat politik yang rapuh karena

terbangun dari pondasi-pondasi kepentingan struktur. Tanpa

harus saling menyalahkan siapa yang harus memulai

98

penyadaran, yang terpenting bagi kita adalah mengurangi

dominasi modal ekonomi terhadap perpolitikan di negara

kita, saya yakin suatu saat fenomena ini bisa kita dapatkan

ketika kesadarandan pola pikir kritis kita sudah terbentuk

pada tataran ideology, serta kita mampumen dekonstruksi

pola-pola pikir pragmatis material.

Pada prinsipnya masyarakat harus menyadari situasi

seperti ini, kita tidak kemudian menyerah dan terperangkan

dalam sebuah budaya yang pada akhirnya menciptakan

marjinalitas terhadap kehidupan kita sendiri. Masyarakat

perlu tahubahwasanya faktor ekonomi bukanlah sesuatu yang

urgen untuk dijadikan rujukan dalam pengambilan sikap

berpolitik sebab akan melahirkan pragmatisme bagi mereka

dalam perpolitikan kita.

Di lain pihak, modal ekonomi adalah modal yang

sangat berpengaruh dalam kinerja berpolitik namun

kemudian jangan sampai mendominasi setiap gerakan

perpolitikan untuk meraup keuntungan yang belum jelas

angka-angkanya, masih banyak cara-cara serta strategi cerdas

untuk mendapatkan dukungan politik namun tidak sekedar

dengan nilai material yang kita miliki.

99

KEBIJAKAAN POLITIK PENDIDIKAN YANG MERAKYAT

M. Chairul Basrun Umanailo

PENDAHULUAN

Pendidikan sebagai pilar bangsa merupakan cita-cita

pendahulu kita semenjak negara ini diberdirikan oleh para

pahlawan, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan bukan

dimulai dengan letusan senapan api sebagaimana yang

dikonstruksikan lewat film-film bersejarah, namun

sebaliknya kemerdekaan itu diawali dengan pendidikan. Kita

sebut saja, Kartini, Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro dan

lain-lain. Mereka adalah tonggak kemerdekaan yang mampu

menjadi inspirasi perjuangan bagi bangsa Indonesia. Lewat

sejarah kita bisa membuktikan bahwa pendidikan adalah

senjata utama untuk merebut kemerdekaan, karena lewat

pendidikan orang mulai berpikir, merencanakan dan orang

akan berusaha untuk mencapai tujuannya, lewat bekal yang

ada di pikirannya. Sebab pendidikan mampu membangkitkan

kesadaran seseorang untuk melihat kehidupannya yang

terjadi pada saat itu.

Pendidikan adalah instrument penting dalam

membangun karakter bangsa (nation character building).

Disadari atau tidak, pendidikan juga merupakan investasi

jangka panjang suatu masyarakat-bangsa agar dapat

melangkah lebih baik menuju kehidupan yang lebih beradab

(civilized). Ibnu Khaldun mengatakan ;

“hanya di dalam realitas masyarakat yang memiliki

kesadaran akan pentingnyaperkembangan ilmu

pengetahuan dan pendidikan, maka peradaban dan

nilainilaibudaya konstruktif akan dapat ditegakkan.”

100

Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya dimaknai

sebagai transfer of knowledge semata, akan tetapi yang lebih

mendasar ialah bahwa pendidikan merupakan lokomotif dan

dinamisator dalam perubahan masyarakat- bangsa (Tarmiji,

2014). Perkembangan pendidikan seharusnya searah dengan

perkembangan kehidupan bernegara, selarasnya pendidikan

menjadi nadir atas tumbuh kembangnya sebuah peradaban,

kita bisa belajar dari Jepang, Jerman dan bahkan dengan

Vietnam sekalipun. Bahwa pendidikan menjadi awal tumbuh

kembangnya mereka dari keterpurukan yang terjadi

sebelumnya. Sebaliknya bangsa kita yang terlalu berpikir

industrialized sampai lupa untuk memperkokoh pondasi dari

struktur pembangunan yang namanya pendidikan.

Konseptual Pendidikan di Indonesia Historisme pendidikan bangsa Indonesia adalah hasil

dan pengaruh dari politik etis, dimana pengaruh politik etis

dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan

sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan

dan pengajaran di Hindia Belanda.

Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa

dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925)

yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama

lima tahun (1900-1905).

Sejak tahun1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik

untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata

di daerah-daerah. Sementara itu, dalam masyarakat telah

terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang

Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung

politik etismerasa prihatin terhadap pribumi yang

mendapatkan diskriminasi sosial-budaya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha

menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari

belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model

Barat,yang mencakup proses emansipasi dan menuntut

pendidikan ke arah swadaya. Wikipedia, Politik Etis. 2014.

101

Melanjutkan apa yang telah dicapai sebelumnya,

pemerintah dengan berbgai regulasi terus berusaha untuk

melindungi serta mengembangkan pendidikan, didalam

pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan

UUD itu, batang tubuh konstitusi tersebut di antaranya Pasal

20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga

mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakandan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dan

memajukan kebudayaan nasional untuk meningkatkan

keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa yang diatur dengan undang-undang (Rencana

Strategis Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan 2014).

Pendidikan diupayakan berawal dari manusia apa

adanya (aktualisasi) dengan mempertimbangkan berbagai

kemungkinan yang apa adanya (potensialitas), dan diarahkan

menuju terwujudnya manusia yang seharusnya atau manusia

yang dicita-citakan (idealitas). Tujuan pendidikan itu tiada

lain adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa

kapada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya;

mampu memenuhi berbagai kebutuhan secara wajar,

berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya.

Implikasinya, pendidikan harus berfungsi untuk

mewujudkan (mengembangkan) berbagai potensi yang ada

pada manusia dalam konteks dimensi keberagaman,

moralitas, moralitas, individualitas/personalitas, sosialitas

dan keberbudayaan secara menyeluruh dan terintegrasi.

Dengan kata lain, pendidikan berfungsi untuk memanusiakan

manusia.

Dalam masyarakat, mau tidak mau pendidikan yang

berkualitas harus dibentuk oleh pemerintah. Pendidikan harus

menjadi ranah yang mudah dijangkau oleh siapapun di

102

republik ini. Omong kosong jika pemerintah bercita-cita

menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara kita, jika

pendidikan masih menjadi second opinion bagi pemerintah

dalam mengeluarkan kebijakan. Membangun negara melalui

pendidikan yang ramah bagi semua tidaklah rugi. Masyarakat

yang akan tercipta adalah masyarakat dengan tahap saling

menghormati tiap hak yang melekat pada diri individu dan

meningginya sikap toleransi (suarakarya-online).

Harapan tentang bagaimana semua orang bisa

merasakan pendidikan, bisa mendapatkan hak pendidikannya

maka seharusnyalah pemerintah sudah memikirkan

pendekatan pendidikan yang merakyat yang nantinya akan

dibahas pada bagian selanjutnya.

Belajar Dari Universitas Di Perancis Pikiran tak pernah muncul dari ruang kosong. Ia

bukanlah hasil creatif yang nihil yang seolah vakum dari

sejarah, dari relasi-relasi sosial, dan sekonyong-konyong

hadir dengan penuh gegap gempita. Pikiran mesti dilihat

sebagai ekspresi dari relasi antar berbagai prakondisi

material: situasi sosial, politik, ekonomi, konfigurasi sejarah

dan akhirnya juga institusi, baik dalam arti formal

(universitas) dan informal (café, salon des artistes).

Pertama-tama kita lihat Universitas Paris atau apa yang

dikenal sebagai Sorbonne. Universitas Paris didirikan pada

tahun 1200 oleh Raja Philippe Auguste dan didukung melalui

dekrit kepausan oleh Paus Gregorius IX pada tahun 1231

yang mencakup empat fakultas: teologi, hukum, kedokteran

sebagai fakultas utama, dan kesenian sebagai fakultas rendah.

Pada tahun 1257, penasihat Raja Louis IX, Robertde Sorbon,

mendirikan fakultas khusus untuk para pelajar teologi yang

miskin kampus inilah yang nantinya dikenal sebagai

Universitas Sorbonne. Oleh karena kampus tersebut

perlahan-lahan meraih posisi politik yang kuat, maka

semenjak abad ke-15 keseluruhan universitas Paris dikenal

sebagai Sorbonne. Pada masa itu, fakultas teologi di

103

Sorbonne memegang peran politik yang kuat dengan hak

untuk menyensor atas nama Raja dan Paus. Kekuatan politik

ini sebegitu efektifnya sampai-sampai seorang filsuf

sekaliber René Descartes, ketika ia menerbitkan bukunya

yang dianggap sebagai tonggak kelahiran filsafat Modern,

Meditasi tentang Filsafat Pertama, merasa perlu untuk „minta

restu‟ dari dekan dan para doktor „fakultas suci Teologi di

Paris‟ dan mempersembahkan karyanya itu kepada mereka

seraya memohon patronase (Suryajaya, 2011).

Di luar „Sorbonne‟ atau Universitas Paris, terdapat

institusi pendidikan lain yang paling bergengsi di kalangan

intelektual filsafat Prancis. Institusi itu tak lain adalah École

Normale Supérieure (ENS). Institusi ini adalah salah satu

dari sederet „Sekolah-Sekolah Besar‟ (Grandes Écoles) yang

muncul dari tradisi Revolusi Prancis (semuanya didirikan

pada masa itu), contoh lain yang cukup terkenal ENS

didirikan pada tahun 1794 di Rue d‟Ulm oleh menteri

pendidikan kala itu, Joseph Lakanal, untuk menempa para

pelajar sebagai pengajar yang betul-betul menguasai

problematika kajiannya sehingga dapat memberikan

pelajaran yang terbaik. Paranormaliens (sebutan bagi para

mahasiswa yang belajar di ENS) tidak memperoleh gelar

akademik apapun dan oleh sebab itu mereka mesti juga

mengambil programsarjana dan pasca-sarjana di kampus lain.

Uniknya, walau tidak menjanjikan gelar apapun, ENS tetap

berdiri sebagai sekolah elit dengan standar yang sangat tinggi

dan dengan deretan panjang para pendaftar. Di antara para

calon mahasiswa yang nantinya menjadi filsuf besar pun,

jumlah yang gagal pada ujian pertama cukup banyak; Derrida

gagal dalam ujian pertamanya, Foucault pun demikian dan

bahkanmesti mengulang kelas persiapan (khâgne) untuk

mengikuti ujian, Lyotard gagal dua kali dalam ujiannya dan

akhirnya memilih masuk Sorbonne.

Minimnya jumlah mahasiswa yang diterima ini

disebabkan oleh standar ujian masuk yang memang sangat

tinggi. Namun penempaan yang keras dalam ENS ini terbukti

104

membuahkan hasil. Ini terlihat dari fakta bahwa tingginya

presentase jumlah para pengajar di Sorbonne yang berasal

dari ENS Institusi ketiga yang layak disoroti di sini adalah

Collège de France yang sudah didirikan sejak tahun 1530

oleh Raja François I. Collège ini berbeda dari kampus pada

umumnya karena selain ia tak menyediakan gelar apapun

bagi yang mengikuti kuliah-kuliahnya dan tidak mengadakan

ujian apapun, kepesertaannya pun Sepenuhnya terbuka dan

bebas biaya. Seluruh masyarakat Prancis boleh datang dan

mengikuti kuliah yang diberikan dalam Collège. Institusi ini

sangat prestisius bagi kalangan intelektual Prancis karena

para anggotanya, yakni pengajar yang diizinkan memberi

kuliah dalam Collège, diangkat secara khusus oleh para

anggota senior dan hanya intelektual yang dipandang telah

benar-benar mencapai puncak penguasaan atas bidangnyalah

yang dipilih menjadi anggota. Alan Schrift mencatat bahwa

peran Collège terutama bersifat kultural, atau dengan kata

lain, non-akademik (Schrift2006: 193). Karena publiknya

tersusun dari seluruh lapisan masyarakat Prancis dengan latar

belakang yang beragam, maka keuntungan menjadi pengajar

di Collège adalah dapat mempengaruhi secara langsung

lanskap kebudayaan Prancis secara umum (Suryajaya, 2011).

Fenomena Pendidikan Tinggi Di Indonesia Reformasi pendidikan tinggi tidak terlepas dari

tranformasi kekuasan dari sentralisasi ke desentralisasi yang ditandai proses pendelegasiaan wewenang dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota, dalam konteksregional dan global, Indonesia menjadi contoh baik terjadinya gerakan transformasi dari sentralisasi kekuasaan menuju desentralisasi khususnya dalam pendidikan.

Pasca tumbangnya orde baru hingga 12 tahun

berikutnya, pemerintah Indonesia berencana memberikan

ruang yang lebih besar kepada universitas berupa otonomi

khususnya keuangan. Hal ini sebelumnya penuh didanai oleh

keuangan negara. Ini arah baru tercermin dalam penerapan

105

beberapa peraturan hukum (PP No 60 dan 61Tahun 1999,

UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Dalam HELTS, otonomi universitas didefinisikan

sebagai desentralisasi kewenangan pemerintah pusat kepada

institusi. Sejalan dengan itu, Welch juga menjelaskan bahwa

penerapan Badan Hukum merupakan cermin dari

desentralisasi pendidikan di universitas. PTN mendapatkan

otonomi dalam banyak aspek pengelolaan universitas, namun

mereka juga harus menunjukkan akuntabilitasnya kepada

pemangku kepentingan. Status otonom harus dijelaskan

sebagai otoritas besar universitas untuk memperbaiki sumber

keuangan, sumber daya manusia untuk peningkatan kualitas

universitas. Universitas-universitas otonom merupakan

elemen penting dari hasil reformasi pendidikan tinggi. Dalam

sistem terpusat lama, pemerintah pusat telah mendorong

pengembangan kurikulum. Peran pemerintah pusat telah

sangat kuat, bahkan dengan standar nasional yang dirancang

di tingkat pusat. Sistem universitas mengadopsi standar

nasional yang kaku, jika tidak maka tidak bisa diakui oleh

otoritas politik dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Hidayat 2012).

Pengalaman Yang Bisa Dipelajari Membandingkan dua situasi yang berbeda bukanlah

sesuatu yang mudah, mungkin setiap insan pendidikan akan

berharap agar bangsa kita bisa mencontoh apayang telah

terjadi di perancis beberapa waktu yang lalu. Namun

perkembangan pendidikan yang terjadi disana merupakan

bentuk evolusi dari karakter pendidikan yang berawal

tumbuh kembangnya masih didominasi oleh kekuasaan raja

hinga tataran strata pendidikan menemukan identitasnya

sendiri sebagai lembaga yang menghasilkan sumberdaya

manusia yang luar biasa.

Perkembangan pendidikan di Indonesia juga

merupakan warisan dari pola konservatif yang mana pada

masanya hanya kelas tertentu saja yang mampu mengakses

106

pendidikan tersebut. Terlepas dari itu semua, saat ini

pendidikan yang sementara kita dapatkan adalah sebuah

penjewatahan atas apa yang dikonstruksi oleh pemimpin

negara.

Sejarah membuktikan di awal Republik akan dibentuk

hanya kaum feodal yang memiliki kesempatan lebih untuk

mengenyam pendidikan, hingga akhirnya Orde Baru tiba

pendidikan pun masih milik mereka yang bermodal. Coba

kembali kita pahami apa yang terjadi di masa 1600-1700 di

Prancis, kepesertaannya pun sepenuhnya terbuka dan bebas

biaya, seluruh masyarakat Prancis boleh datang dan

mengikuti kuliah yang diberikan dalam Collège. Sekolah

bahkan tidak memberikan gelar kepada mahasiswanya karena

yang dibentuk bukanlah logika formal namun lebihpada

subtansinya ketika seseorang akan memahami apa yang

dipelajarinya. Untuk Indonesia masih memiliki karakter

sentralis yang sangat kuat untuk pengendalian seluruh sistem

pendidikan, kita contohkan saja ketika universitas harus

menerima mahasiswa baru maka yang dipakai adalah ukuran

penilaian kolektif. Aturan dasar SNPTN dijadikan rujukan

kepada seluruh calon mahasiswa yang mengikuti tesmasuk,

artinya ada suatu generalisasi penilaian untuk setiap individu

yang akan mengakses perguruan tinggi negeri. Maka akan

timbul ketidak adilan ketika orang yang selama 12 tahun

belajar di Papua harus bersaing memperebutkan jatah bangku

kuliah dengan orang Jakarta.

Kita bisa bayangkan orang seperti Derrida, Lyotard,

bahkan Foucault harus gagal untuk masuk pada salah satu

universitas di Perancis. Penyebabnya bukan pada ketidak

mampuan akademik namun sistem yang memaksa mereka

untuk memiliki kompetensi, tentang keahlian yang ingin

mereka miliki. Lebih jauh kita lihat apa yang dihasilkan oleh

perguruan tinggi kita? Secara kasat mata bisa kita temui

pertanyaan maupun pernyataan berikut ini; Lalu apa yang

harus saya kerjakan setelah lulus?, Orang tua akan selalu

menanggung beban baik secara lahir dan batin, Nanti lah

107

kalau ada rejeki saya lanjut S2, Tunggu kalo ada peluang

untuk kerja, Entah lah yang jelas saya sudah sarjana!.

Hikmah apa yang bisa kita ambil dari pengalaman

yang terjadi di Prancis, bahwa bangsa kita masih mengukur

pendidikan dengan nominal, kita masih memakai standar

angka untuk menilai kualitas peserta didik maka nilai akan

selalu menjadi momok dan biaya akan menjadi belenggu.

Memakai pola dari teori aktif, pandangan yang menekankan

pengamatan input pendidikan secara kolektif. Di mana sudut

terpenting yang harus diperhatikan oleh sekolah adalah

proses kematangan pribadi para siswa yang harus difasilitasi,

dia komodasi kebutuhannya dan dibimbing menuju

kedewasaan. Oleh karena itu, proporsi organisasi sekolah

yang cenderung mekanistis harus dipola menjadi fleksibel

agar para anggotanya bisa berekspresi dengan optimal

(Ravik, 2008).

KESIMPULAN Pada bagian terakhir, ada beberapa perihal yang bisa

saya simpulkan, bahwasanya dengan model pendidikan yang

masih mendahulukan populis ketimbang subtansi maka kita

akan selalu berada pada tataran pragmatis. Ada beberapa

usulan yang kiranya bisa kita diskusikan bersama terkait

pendidikan dan kajian politik adalah; sudah waktunya

Kementrian Pendidikan berdiri sendiri tanpa harus ikut pada

cabinet yang sedang berjalan, ini untuk memutus mata rantai

dominasi dari penguasa terhadap kebijakan pendidikan.

Kedua, adanya regulasi pendidikan yang mengisyaratkan

bahwa pendidikan itu asasi dan diberikan hukuman bagi yang

melanggar, serta adanya jaminan untuk mendapatkan hak

pendidikan bagi setia prakyat. Ada modulasi pajak khusus

yang diarahkan hanya untuk pendidikan, jadi untuk biaya

pendidikan tidak akan dipolitisasi oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, dan terakhir yaitu mensikronkan antara arah

pembangunan pendidikan dengan sumber daya pendidikan.

108

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer :

Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra.

Ariyanto, Teguh. 2003. Kondomisasi di Indonesia perspektif

hukum islam. UIN Sunan Kalijaga.

Aunullah, Indi. 2006.Bahasa Dan Kuasa Simbolik Dalam

Pandangan Pierre Bourdieu. Fakultas Filsafat.

Universitas Gadjah Mada.

Baker, Anita. Kompasiana.com

Bartholomew, Craig. 2001. “Christ and Consumerism: An

Introduction” dalam Christ and Consumerism: A Critical

Analysis of the Spirit of the Age (ed. Craig Bartholomew

danThorsten Moritz; Cumbria: Paternoster,).

Baudrillard, Jean. 2013. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta.

Kreasi Wacana.

Bauman, Zygmant. 2005. Work, Konsumerism And The New

Poor. Second Edition. Open University Press.

Best, Steven dan Douglas Kellner. 1991. Postmodern Theory:

critical Interrogations. New York. The Guilford Press.

BKKBN. 2003. Bunga Rampai Salah Satu Kontrasepsi Pria

Kondom. Jakarta.

www.Changingminds.org

Cohen, B.j. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rineka

Cipta.

Damani, Muhammad. 2002. Makna Agama Dalam Masyarakat

Jawa. Yogyakarta. LESFI.

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme Dan Budaya

Konsumen. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Firovani, Adikila. 2013. Konsumerisme: Konsumsi Demi

Prestise. Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

Harker, Richard. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah.

Yogyakarta. Jalasutra.

Hidayat, Rakhmat. 2012. Politik Pendidikan Tinggi Indonesia

Pasca Orde Baru: Reformasi Tata Kelola Dalam

109

Perspektif New Public Management. Jurnal Komunitas

Volume 6 Nomor 2.

Ignatius, Bambang Sugiharto. 2013. Arah dan Kecenderungan

Filsafat Barat Masa Kini: Sebuah Sketsa.

Ismail, Dr Arifudin. 2012. Agama Nelayan, Pegumulan Islam

dan Budaya Lokal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York. Routledge.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta.

PT. Rineka Cipta.

Lash, Scott. 2013. Sosiologi Post Modernism. Yogyakarta.

Kanisius.

Lebow, Victor. 2009. Wordpress.Com

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari

Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta.

Kanisius.

Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition : a

Report on Knowledge. Manchester.

M. Francis Abraham. 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga.

Yogyakarta. PT Tiara Wacana.

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah;

Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu.

Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media: Extension of

Man. New York: MIT Press.

Nasikun, DR. 1991. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta. CV

Rajawali.

Noor, Irfan M. Hum. 2013. Realitas Agama dan Problem Studi

Ilmiah-Empiris (Kajian Filsafat Ilmu atas Pemikiran

Peter L. Berger).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 60

Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 61

Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai

Badan Hukum.

Piliang,Yasraf Amir. 2004. Dunia yang dilipat : Tamasya

Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung Jalasutra.

110

----------. 2009. Posrealitas. Yogyakarta. Jalasutra.

Polanyi, Karl. 2003.Transformasi Besar. Yogyakarta. Pustaka

Pelajar.

Purbo W. Onno , 2003. Filosofi Naif Kehidupan Dunia Cyber.

Jakarta. Penerbit Republika.

Radea.web.id. 2008.

Ravik.staff.uns.ac.id. 2008.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi

Modern. Jakarta : Prenada Media

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta.

Kreasi Wacana.

--------------. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik

Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

--------------. 2013. Teori Sosiologi. Yogyakarta. Kreasi Wacana

Ryadi, Agustinus. 2013. Postmodernisme Versus Modernisme.

Malang. STFT Widya Sasana.

Saefudin A.M. et al. 1991. Desekularisasi Pemikiran, Landasan

Islamisasi. Bandung. Mizan.

Sajogyo & Pudjiwati Sajogyo, 1990. Sosiologi Pedesaan Jilid 2.

Gajah Mada University Press.

Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial; Sketsa teori dan refleksi

metodologi kasus Indonesia. Yogyakarta. PT Tiara

Wacana.

Samekto. 2005. Kapitalisme Modernisasi dan Kerusakan

Lingkungan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Steuerman, Emilia, 2000. The Bounds of Reason: Habermas,

Lyotard and Melanie Klein on Rationality. Routledge.

Suryajaya, Martin. 2011. Sistem Pendidikan dan Pemikiran

Filsafat Prancis Kontemporer. Jurnal Kajian Wilayah.

Vol. 2, No. 2.

Tarmiji, Ahmad. 2014. Meretas Jalan Sosiologi Pendidikan Ibnu

Khaldun: Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan

Nasionalisme. Komunitas.

111

Tilaar, H.A.R. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan

Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia.

Jakarta. Rineka Cipta.

Tjondronegoro, Sediono M.P. 1998. Keping-keping Sosiologi

Dari Pedesaan. Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Trentman, Frank. 2004. “Beyond Consumerism: New Historical

Perspectiveson Consumption”, Journal of contemporary

History, vol. 39, No. 3, Jul.

Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre

Bourdieu.

Widiyanto, 2010, Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan.

Surakarta. LPP dan UPT Universitas Sebelas Maret.

Wikipedia.org. 2014. Jean François Lyotard.

wikipedia.org. 2014. Kondom.

Wikipedia.org. 2014. Politik Etis.

www.Kompas.com

www.Muslim.or.id

Wirawan, Prof. DR. I. B. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga

Paradigma. Jakarta. Kencana.

Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-pijar Penyingkap Rasa :

Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai

Derrida. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

www.arrahmah.com. 2012.

www.sikondom.com. 2013.

www.suarakarya-online.com.

Yusuf, Akhyar. 2003. “Matinya narasi besar, berkembangnya

narasi kecil dan permainan kebenaran dalam perspektif

posmodernisme”: Pusat Pengembangan Penelitian FIB

Universitas Indonesia.

--------2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan kekuasaan.

Basis. Edisi 11-12.

0

Biografi Penulis

Chairul Basrun Umanailo, Lahir di Ambon 22 Nopember 1978. Menyelesaikan pendidikan dasar hingga Menengah Umum di Kota Ambon, kemudian menyelesaikan studi S1 pada Jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret pada 2002. Bekerja dan berkarier sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Iqra Buru masih dijalani dan saat ini, penulis masih menyelesaikan studi S2-Sosiologi di Universitas Sebelas Maret. Aktifitas sehari-hari dijalani dengan kegiatan penelitian, diskusi maupun workshop dan seminar, Prestasi akademik yang di raih pada akhir 2014 yaitu Finalis Essay penulisan terbaik Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang diadakan oleh HMP Universitas Gajah Mada dan Juara 1 Resensi Buku Pierre Bourdieu; Menyikap Kuasa Simbolik yang diadakan oleh Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Penulis juga masih merampungkan beberapa hasil karya yang akan diterbitkan; Eksistensi Petani Indonesia, Sosiologi Hukum, dan Perspektif Masyarakat Buru dalam Kajian Kontemporer. Penulis dapat dihubungi melalui E-mail; [email protected] dan 0852-4302-5000.

Tri Yatno, Lahir di Wonogiri 24 Oktober 1980 menyelesaikan pendidikan dasar hingga Menengah Umum di Kota Wonogiri, kemudian menyelesaikan studi S1 pada Jurusan Pendidikan Agama Buddha pada STABN Raden Wijaya Wonogiri. Bekerja dan berkarier sebagai pengajar di STABN Raden Wijaya Wonogiri masih dijalani dan saat ini, penulis masih menyelesaikan studi S2-

Sosiologi di Universitas Sebelas Maret. Penulis dapat dihubungi

melalui E-mail; [email protected] dan 087736348469.

0

Memories In Research Activities In The Town Of Pare 2013