Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari ...

112
317 JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018 Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone pada Mahasiswa IPB Measurement of Energy Expenditure on Weekday and Weekend Using Smartphone Application in Bogor Agricultural University Students Aisyah Fathul Jannah * , Dodik Briawan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor ( * [email protected]) ABSTRAK Pengaruh globalisasi menjadikan remaja marak menggunakan aplikasi kesehatan untuk mencapai kebuga- ran tubuh. Aplikasi pengukur kalori merupakan metode yang lebih praktis dan cepat untuk digunakan. Peneli- tian ini bertujuan menganalisis pengukuran pengeluaran energi pada mahasiswa IPB dengan aplikasi smartphone dibandingkan dengan estimasi pengeluaran energi menggunakan Physical Activity Level (PAL). Desain studi yang digunakan yaitu cross sectional study dengan melibatkan 61 mahasiswa sebagai sampel. Data aktivitas fisik se- hari dikumpulkan melalui dua cara yaitu kuesioner dan aplikasi Samsung Health. Pengukuran pengeluaran energi dilakukan selama satu hari kerja dan satu hari libur. Pengeluaran energi diukur dengan aplikasi Samsung Health pada hari kerja sebesar 1130±719 kkal pada laki-laki dan 634±195 kkal pada perempuan sedangkan pada hari libur sebesar 1124±659 kkal pada laki-laki dan 679±232 kkal pada perempuan. Pengeluaran energi yang diukur dengan Samsung Health lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran energi yang diukur dengan record aktivitas fisik 1x24 jam baik pada perempuan maupun laki-laki. Hasil yang didapat lebih kecil tersebut dapat terjadi karena tidak semua aktivitas dapat terukur pada aplikasi Samsung Health. Hasil pengukuran energi dengan Samsung Health masih perlu diestimasi melalui persamaan terutama pada subjek dengan tingkatan aktivitas ringan. Kata kunci : Pengeluaran energi, aktivitas fisik, aplikasi smartphone ABSTRACT The effect of globalization made teenagers use health applications to achieve body fitness. The calories counter application is more practical and fast method to use. This study aimed to analyze energy expenditure in Bogor Agricultural University students with smartphone application compared with estimated energy expenditure using Physical Activity Level (PAL). The study design of this research was cross sectional study involving 61 stu- dents as samples. Physical activity data in a day were collected in two ways, using questionnaire and Samsung Health application. Energy expenditure was measured during weekday and weekend. Energy expenditure mea- sured by Samsung Health application on weekday was 1130±719 kcal in male students and 634±195 kcal in female students meanwhile on weekend was 1124±659 kcal in male students and 679±232 kcal in female students. Energy expenditure measured by Samsung Health was smaller than energy expenditure measured by 1x24 hour physical activity record for both female and male students. The results can occur because not all activities can be measured in Samsung Health. The results of energy measurements with Samsung Health still need to be estimated through equations, especially in subjects with light intensity activities. Keywords : Energy expenditure, physical activity, smartphone application Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/). DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5224

Transcript of Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari ...

317

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone pada Mahasiswa IPB

Measurement of Energy Expenditure on Weekday and Weekend Using Smartphone Application in Bogor Agricultural University Students

Aisyah Fathul Jannah*, Dodik BriawanDepartemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

(*[email protected])

ABSTRAKPengaruh globalisasi menjadikan remaja marak menggunakan aplikasi kesehatan untuk mencapai kebuga-

ran tubuh. Aplikasi pengukur kalori merupakan metode yang lebih praktis dan cepat untuk digunakan. Peneli-tian ini bertujuan menganalisis pengukuran pengeluaran energi pada mahasiswa IPB dengan aplikasi smartphone dibandingkan dengan estimasi pengeluaran energi menggunakan Physical Activity Level (PAL). Desain studi yang digunakan yaitu cross sectional study dengan melibatkan 61 mahasiswa sebagai sampel. Data aktivitas fisik se-hari dikumpulkan melalui dua cara yaitu kuesioner dan aplikasi Samsung Health. Pengukuran pengeluaran energi dilakukan selama satu hari kerja dan satu hari libur. Pengeluaran energi diukur dengan aplikasi Samsung Health pada hari kerja sebesar 1130±719 kkal pada laki-laki dan 634±195 kkal pada perempuan sedangkan pada hari libur sebesar 1124±659 kkal pada laki-laki dan 679±232 kkal pada perempuan. Pengeluaran energi yang diukur dengan Samsung Health lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran energi yang diukur dengan record aktivitas fisik 1x24 jam baik pada perempuan maupun laki-laki. Hasil yang didapat lebih kecil tersebut dapat terjadi karena tidak semua aktivitas dapat terukur pada aplikasi Samsung Health. Hasil pengukuran energi dengan Samsung Health masih perlu diestimasi melalui persamaan terutama pada subjek dengan tingkatan aktivitas ringan. Kata kunci : Pengeluaran energi, aktivitas fisik, aplikasi smartphone

ABSTRACTThe effect of globalization made teenagers use health applications to achieve body fitness. The calories

counter application is more practical and fast method to use. This study aimed to analyze energy expenditure in Bogor Agricultural University students with smartphone application compared with estimated energy expenditure using Physical Activity Level (PAL). The study design of this research was cross sectional study involving 61 stu-dents as samples. Physical activity data in a day were collected in two ways, using questionnaire and Samsung Health application. Energy expenditure was measured during weekday and weekend. Energy expenditure mea-sured by Samsung Health application on weekday was 1130±719 kcal in male students and 634±195 kcal in female students meanwhile on weekend was 1124±659 kcal in male students and 679±232 kcal in female students. Energy expenditure measured by Samsung Health was smaller than energy expenditure measured by 1x24 hour physical activity record for both female and male students. The results can occur because not all activities can be measured in Samsung Health. The results of energy measurements with Samsung Health still need to be estimated through equations, especially in subjects with light intensity activities. Keywords : Energy expenditure, physical activity, smartphone application

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5224

318

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

PENDAHULUANSedentary lifestyle merupakan suatu gaya

hidup yang cenderung mengabaika aktivitas fisik dan melakukan kegiatan yang sedikit membutuh-kan energi seperti kegiatan menonton TV, ber-main games, menggunakan komputer, dan bah-kan menggunakan smartphone dalam waktu yang lama.1,2 Sekitar 23% orang berumur ≥18 tahun tidak cukup aktif dalam aktivitas fisik dengan pro-porsi perempuan sebanyak 20% dan laki-laki se-banyak 27%.3 Menurut Kemenkes RI tahun 2013, secara umum sebanyak 26.1% orang yang beru-mur ≥10 tahun tergolong kurang aktif. Terdapat sebanyak 42% orang yang berumur ≥10 tahun memiliki sedentary lifestyle selama 3-5.9 jam/hari dan 24.1% yang hidup dengan sedentary lifestyle selama 6 jam/hari.4

Remaja didefinisikan dengan batasan usia 10-20 tahun dan dengan keadaan belum menikah.5 Late adolescence merupakan fase terakhir dari masa remaja dengan batasan usia 17-21 tahun dan didefinisikan sebagai seseorang yang telah berada di dunia perkuliahan atau telah bekerja selama 4 tahun setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA).6 Sedentary lifestyle akan membuat penge-luaran energi seseorang rendah (low energy expen-diture) karena aktivitas fisik merupakan salah satu komponen dari pengeluaran energi (15-30% dari total pengeluaran energi).7

Beberapa cara pengukuran pengeluaran energi yang sudah sering digunakan sejak dahulu yaitu dengan Direct Calorimetry (DC), Respira-tory Indirect Calorimetry, Double Labelled Water (DLW), Physical Activity Record, dan beberapa estimasi melalui persamaan, seperti Physical Ac-tivity Level (PAL). Calorimetry dan double la-belled water telah dianggap sebagai gold standard dan dapat memberikan akurasi mencapai 97-99%, tetapi penggunaaan kedua metode tersebut dinilai sangat kompleks dan membutuhkan biaya yang sangat besar serta membutuhkan seseorang yang sudah terlatih.8 Metode Physical Activity Record merupakan salah satu metode yang lebih meng-hemat biaya, dapat dilakukan semua orang dan tidak membutuhkan seseorang yang sudah terlatih sehingga lebih mudah. Estimasi pengeluaran ener-gi tersebut dilakukan dengan dengan mengalikan PAL dengan basal metabolic rate untuk menge- tahui energi yang dikeluarkan seseorang pada

hari tersebut.9 Metode tersebut kurang praktis dan kurang akurat ketika menuliskan durasi aktivitas sehingga hasil yang diperoleh dapat overestimate ataupun underestimate. Selain itu, sudah lebih banyak orang yang menggunakan smartphone un-tuk kehidupan sehari-hari.

Menurut penelitian Utami, durasi screen time pada subjek remaja yang berumur 15-18 ta-hun mencapai 92.5% atau ≥5 jam/hari.10 Terdapat 40% remaja yang mengaku telah menggunakan aplikasi kesehatan untuk mencapai kebugaran tubuh maupun mengelola kesehatan tubuh mere-ka.11 Aplikasi yang bekerja dengan sistem sensor tersebut mengestimasi pengeluaran energi melalui persamaan yang telah dikembangkan. Metode ini merupakan suatu metode baru yang dianggap le-bih praktis dan cepat untuk digunakan. Metode ini lebih mudah dipahami untuk berbagai kalangan sehingga sudah banyak yang menggunakannya. Aplikasi tersebut dapat mengukur secara oto- matis sehingga pengguna tidak perlu mengingat kembali jenis dan durasi aktivitas yang dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertu-juan menganalisis pengukuran pengeluaran energi pada mahasiswa IPB dengan aplikasi smartphone dibandingkan dengan estimasi pengeluaran energi menggunakan Physical Activity Level (PAL).

BAHAN DAN METODEPenelitian ini menggunakan desain cross

sectional study dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Mei 2018. Lokasi yang digu-nakan dalam penelitian ini adalah Kampus IPB Dramaga. Penarikan contoh dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan kriteria inklusi yang meliputi umur 17-20 tahun, dalam keadaan sehat (tidak mengalami kelainan maupun kecacatan fisik), dan pengguna smartphone yang compatible dengan aplikasi Samsung Health yang digunakan. Jumlah contoh yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 61 subjek yang dihitung dengan menggunakan rumus Cochran.12

Peneliti memulai penarikan contoh dengan cara mendatangi tempat pengambilan data (sekitar asrama putri, kantin agrimart, dan Common Class-room (CCR). Peneliti mendatangi subjek satu per satu untuk melakukan skrining dengan cara menanyakan kepada subjek terkait kriteria inklusi yang dibutuhkan oleh peneliti yang tertulis pada

319

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

form screening. Terdapat 76 subjek yang berha-sil diskrining oleh peneliti. Subjek dikumpulkan di asrama untuk diberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan hal-hal yang perlu dilaku-kan oleh subjek seperti pengukuran antropometri, mengisi kuesioner yang diberikan, mengunduh aplikasi Samsung Health serta merekam aktivitas- nya dalam jangka waktu yang ditentukan peneliti. Subjek yang telah bersedia dan menyetujui in-formed consent membawa kuesioner yang dibe- rikan peneliti dan menjalankan aplikasi Samsung Health. Pengorganisasian subjek dilakukan de-ngan cara peneliti menghubungi subjek satu per satu melalui kontak yang diberikan subjek. Ter-dapat 15 subjek yang dikeluarkan pada saat pe- ngumpulan data ini dengan berbagai alasan. Jum-lah subjek yang berhasil diperoleh pada penelitian ini berjumlah 61 orang.

Pengumpulan data aktivitas fisik yang dilakukan melalui aplikasi Samsung Health terdiri dari jenis, durasi, dan pengeluaran energi dari ak-tivitas fisik. Subjek merekam data dengan smart-phone-nya masing-masing. Subjek diminta untuk memasukkan identitas diri dan merekam setiap aktivitas fisik yang dilakukan sesuai dengan pili-han yang ada pada aplikasi tersebut. Subjek memi-lih aktivitas yang sedang dilakukan, klik “Mulai” untuk memulai merekam aktivitas. Aplikasi akan mulai merekam durasi dan melacak perpindahan subjek selama beraktivitas. Aplikasi tersebut akan memunculkan hasil berupa nilai pengeluaran ener- gi yang dikeluarkan per aktivitas dan durasi melakukan aktivitas. Data tersebut dikumpulkan dari seluruh subjek secara manual dan direkap

dalam satu tabel. Nilai pengeluaran energi dalam satu hari dijumlahkan. Subjek diminta untuk mere-kam aktivitas fisiknya selama satu hari kerja dan satu hari libur pada kuesioner dan aplikasi

Data primer diperoleh melalui kuesioner re-cord aktivitas fisik 1x24 jam dan Samsung Health. Data primer tersebut meliputi karakteristik indivi-du, aktivitas fisik, dan data antropometri. Data ak-tivitas fisik yang dikumpulkan berupa data aktivi-tas fisik sehari yang dilakukan pada hari kerja dan hari libur. Aktivitas fisik yang dilakukan saat hari kerja adalah semua aktivitas yang dilakukan sub-jek selama satu hari antara hari senin sampai den-gan jumat. Aktivitas fisik yang dilakukan saat hari libur adalah semua aktivitas yang dilakukan sub-jek selama satu hari antara hari sabtu dan minggu. Durasi aktivitas fisik adalah lamanya (waktu aktif) seseorang dalam melakukan suatu aktivitas fisik. Data antropometri yang dikumpulkan berupa berat badan dan tinggi badan.

Data karakteristik individu berupa usia, jenis kelamin, dan status gizi dianalisis secara deskriptif. Usia subjek dikategorikan menjadi 17 tahun, 18 tahun, 19 tahun, dan 20 tahun. Data an-tropometri digunakan untuk mengetahui status gizi menurut IMT/U (untuk umur 17-18 tahun) dan IMT (untuk umur 19 – 20 tahun). Data aktivi-tas fisik dari kuesioner diolah dengan metode PAL sehingga didapatkan nilai pengeluaran energinya. Data dari aplikasi sudah berupa pengeluaran ener-gi per jenis aktivitas fisik. Data tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai pengeluaran energi dalam sehari. Data diolah dengan Microsoft Excel dan SPSS version 21.0 for Windows. Anali-

Tabel 1. Sebaran Subjek Berdasarkan Usia dan Status Gizi

Karakteristik SubjekJenis Kelamin

TotalLaki - Laki Perempuan

n % n % n %Usia (tahun)

17181920

Status GiziKurusNormalGemukObese

19170

21645

3.733.363.00.0

7.459.314.818.5

113191

32551

2.938.255.92.9

8.873.514.72.9

222361

54196

3.336.159.01.6

8.267.214.89.8

320

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

sis data yang dilakukan pertama kali yaitu dengan menggunakan uji Kolmogorov-smirnov untuk me-lihat sebaran data yang didapat. Berdasarkan uji Kolmogorov-smirnov didapatkan bahwa variabel pengeluaran energi antara laki-laki dan perempuan tidak tersebar normal, sedangkan variabel penge-luaran energi antara hari kerja dan hari libur serta variabel pengeluaran energi antara yang diukur melalui Samsung Health dan record aktivitas fisik 1x24 jam tersebar normal. Data pengeluaran ener-gi antara laki-laki dan perempuan selanjutnya di-uji dengan menggunakan uji beda Mann Whitney. Uji beda paired sample t-test dilakukan pada data pengeluaran energi pada aplikasi Samsung Health

dengan kuesioner record aktivitas fisik 1x24 jam. Uji regresi juga dilakukan pada data pengeluaran energi pada aplikasi dengan kuesioner record akti-vitas fisik 1x24 jam.

HASILJumlah subjek yang ada dalam penelitian

berjumlah 61 orang yang terdiri dari 34 mahasis-wi dan 27 mahasiswa. Jumlah subjek perempuan mencakup 55.7% dan 44.3% untuk laki-laki. Ta-

bel 1 menunjukkan sebaran subjek berdasarkan karakteristik usia dan status gizi. Subjek dalam penelitian memiliki rentang usia 17-20 tahun. Se-bagian besar subjek berusia 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan dengan persentase 63% untuk laki-laki dan 55.9% untuk perempuan. Sebagian besar subjek laki-laki dan perempuan memiliki IMT normal dengan persentase masing-masing sebesar 59.3% dan 73.5%. Tidak ada subjek yang masuk dalam kelompok sangat kurus. Sebagian besar subjek menggunakan smartphone Xiaomi, Samsung, dan Oppo dengan persentase 26.2% un-tuk pengguna Xiaomi dan persentase yang sama untuk pengguna Samsung dan Oppo, yaitu sebe-

sar 24.6%. Sisa persentase lainnya dipenuhi oleh pengguna iPhone, Asus, Lenovo, Infinix, Smart-fren, dan Vivo. Sebagian besar merupakan peng-guna sistem operasi android dengan persentase 91.8% dan iOS sebesar 8.2%.

Semua subjek melakukan kegiatan sehari- hari yang umum dilakukan selama satu hari ker-ja dan hari libur. Penilaian aktivitas fisik subjek didasarkan pada metode Physical Activity Level (PAL) yang mengacu dari FAO/WHO/UNU tahun

Tabel 2. Nilai PAL Subjek Berdasarkan Record Aktivitas Fisik 1x24 jam

Jenis HariJenis Kelamin

Laki - Laki (n=27) Perempuan (n=34)Hari kerjaHari liburRata – rata

1.51±0.361.59±0.531.55±0.45

1.52±0.161.47±0.171.50±0.16

Tabel 3. Tingkatan Aktivitas Fisik Subjek Berdasarkan Record 1x24 jam

Tingkat Aktivitas FisikJenis Kelamin

Laki - Laki (n=27) Perempuan (n=34)n % n %

Hari KerjaSangat ringanRinganSedang BeratSangat berat

Hari LiburSangat ringanRingan Sedang Berat Sangat berat

203112

138132

74.111.13.73.77.4

48.229.63.711.17.4

724300

1617010

20.670.68.80.00.0

47.150.00.02.90.0

321

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Tabel 4a. Pengeluaran Energi yang Diukur dengan Record 1x24 jam

AktivitasPengeluaran Energi

Laki - Laki (n=27) Perempuan (n=34)Mean ± SD Median Mean ± SD Median

Hari KerjaTidur BerbaringMandiMakanBelajar/mengerjakan tugasBerdiriBerjalanDudukDuduk di dalam kendaraanMencuci piringMencuci pakaianMenyapu Menata fileMenontonMengobrol/diskusiMembacaBermain handphone Bermain gamesBermain musikIbadah/sholatBerbelanjaAerobic dancing high intensityAerobic dancing low intensityBermain handball

483±10851±87119±8963±48

622±25212±23

269±143155±14729±1185±1419±562±9

12±2130±7478±10811±24

138±2166±18

28±11671±602±10

305±6844±19

24±125

4920

106516120

27689000000003100740000

426±10425±39127±5064±50

659±21920±51

260±16564±9121±618±1922±485±131±5

32±8146±6511±1839±578±3313±7853±5030±4987±233

--

4150

118626360

29041000000007005100--

Total seharia 2535±575 2020±221a uji Mann Whitney pada hari kerja (p = 0.000)

2001. Nilai PAL berdasarkan record aktivitas fisik 1x24 jam ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai PAL yang diperoleh pada hari libur lebih tinggi diban- dingkan dengan hari kerja pada subjek laki-laki yaitu sebesar 1.59±0.53. Subjek perempuan mem-punyai nilai PAL yang lebih tinggi pada hari kerja dibandingkan dengan hari libur sebesar 1.52±0.16. Secara keseluruhan, nilai PAL laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu sebesar 1.55±0.45.

Tabel 3 menyajikan tingkatan aktivitas fisik berdasarkan record 1x24 jam. Tingkatan aktivitas fisik hari kerja pada subjek laki-laki paling banyak pada kategori sangat ringan dengan persentase se-besar 74.07%. Tingkatan aktivitas fisik subjek pe- rempuan pada hari kerja hanya berada pada tingkat sangat ringan, ringan, dan sedang dengan sebagian besar subjek memiliki tingkatan aktivitas ringan sebesar 70.6 %. Sebagian besar tingkatan aktivi-

tas fisik hari libur pada laki-laki termasuk dalam kategori sangat ringan dengan persentase sebesar 48.15%. Tingkatan aktivitas fisik pada perempuan yang tersebar pada kategori sangat ringan dan ri-ngan sebesar 47.1% dan 50%.

Rata-rata langkah kaki subjek laki-laki pada hari kerja sebesar 8387±3787 langkah per hari sedangkan pada hari libur sebesar 5661±3656 langkah per hari. Rata-rata langkah kaki subjek perempuan pada hari kerja sebesar 6954±3212 langkah per hari sedangkan pada hari libur sebesar 6282±3585 langkah per hari. Berdasarkan Tabel 4, energy expenditure yang diukur dengan record aktivitas fisik 1 x 24 jam pada hari kerja sebesar 2535±575 kkal pada laki-laki dan 2020±221 kkal pada perempuan sedangkan pada hari libur sebesar 2287±720 pada laki-laki dan 1964±282 pada pe- rempuan. Berdasarkan Tabel 5, Energy expendi-

322

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

Tabel 4b. Pengeluaran Energi yang Diukur dengan Record 1x24 jam

AktivitasPengeluaran Energi

Laki - Laki (n=27) Perempuan (n=34)Mean ± SD Median Mean ± SD Median

Hari LiburTidurBerbaringMandiMakanMemasakBelajar/mengerjakan tugasBerdiri BerjalanDudukDuduk di dalam kendaraanMencuci piringMencuci pakaianMenyapuMenata fileMembersihkan rumahMenontonMengobrol/diskusiMembacaBermain handphone Bermain gamesBermain musikIbadah/sholatBerbelanjaAerobic dancing low intensityAerobic dancing high intensityBerenangBersepedaBermain sepak bolaCalisthenics (sit up, push up)Berlari

710±17734±84106±7075±50

-141±18930±82

213±23677±9637±702±5

10±2816±665±1213±47

127±15475±15125±56

227±273130±246

5±25100±718±392±8

322±920117±33917±9020±1032±12

49±137

6670

10663-

510

1524100000067009100

10400000000

491±12315±33117±7459±324±25

311±27617±40

234±25499±10473±91

-37±6353±155

3±11-

70±16092±1066±22

100±17311±4322±9352±4632±730±2

50±19310±58

--

2±94±15

4680990613200

203790-000-049034005100000000

Total seharib 2694±888 1964±282b uji Mann Whitney pada hari libur (p = 0.000)

Gambar 1. Contoh Tampilan Output dari Aplikasi

323

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

ture yang diukur dengan Samsung Health pada hari kerja sebesar 1 130±719 kkal pada laki-laki dan 634±195 kkal pada perempuan sedangkan pada hari libur sebesar 1 124±659 kkal pada laki-laki dan 679±232 kkal pada perempuan. Hasil uji beda Mann Whitney antara pengeluaran energi laki- laki dan perempuan memiliki perbedaaan yang nyata pada kedua hari dengan nilai p value sebesar 0.000. Pengeluaran energi laki-laki lebih besar dar-ipada perempuan baik pada hari kerja maupun hari libur (p=0.000). Adapun persamaan model reg- resi yang didapat dari hasil uji regresi linear yaitu Ŷ = 1 300.599 + 1.117X.

PEMBAHASANBanyaknya subjek dengan tingkatan aktivi-

tas fisik yang ringan dan sangat ringan tersebut se-

jalan dengan penelitian Farooq et al. yang menya-takan bahwa aktivitas fisik mengalami penurunan pada remaja dimulai sejak umur 7 tahun.13 Tingkat- an aktivitas fisik (yang diukur dengan kuesioner aktivitas fisik) menurun selama masa remaja de-ngan penurunan tingkat aktivitas fisik yang tinggi pada usia 9-12 tahun pada perempuan dan 13-16 tahun pada laki-laki.14 Remaja perempuan lebih banyak menghabiskan waktu pada hari kerja de- ngan aktivitas sedang dan berat dibandingkan pada hari libur.15 Subjek perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan kamar, menyapu, mencuci, dan menjemur lebih banyak dibandingkan laki-laki pada hari kerja. Se-lain itu, pada hari kerja nilai PAL perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena pekerjaan ru-mah tangga lebih banyak menyumbang pengelua-

Tabel 5. Pengeluaran Energi yang Diukur dengan Samsung Health

AktivitasPengeluaran Energi

Laki - Laki (n=27) Perempuan (n=34)Mean ± SD Median Mean ± SD Median

Hari KerjaTidur Berjalan Berlari PereganganAerobikHandballBerjalan mendakiSit upPlankLunges

477±105309±154

1±61±3

264±59067±3509±48

--

1±4

48126900000--0

395±87187±85

0±1-

52±162--

0±10±1

-

3831840-0--00-

Total seharia 1130±719 634±195Hari LiburTidurBerjalanBerlari BersepedaAerobikBerenangSit upPlankLungesPereganganSoccer

600±163206±13150±14112±60

174±60666±233

--

0±21±4

16±85

5851680000--000

444±113172±115

3±12-

44±17016±950±10±1

---

4531440-0000---

Total seharib 1124±659 680±232a uji Mann Whitney pada hari libur (p = 0.000)b uji Mann Whitney pada hari libur (p = 0.000)

324

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

ran energi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.16

Secara keseluruhan, subjek melakukan ak-tivitas yang hampir sama antara kedua hari. Ha-nya terdapat tujuh aktivitas berbeda yang dilaku-kan pada hari libur yaitu memasak, membersih-kan rumah, berenang, bersepeda, bermain sepak bola, calisthenics, dan berlari. Subjek laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas dengan inten-sitas berat daripada subjek perempuan pada hari libur sehingga nilai PAL pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.17-19 Laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas fisik yang bermanfaat bagi kesehatan pada hari libur dibandingkan dengan hari kerja.19 Subjek laki-laki melakukan aktivitas seperti lari pagi, bersepeda, berenang, soccer, dan aerobik. Beberapa subjek menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas dengan intensitas be-rat pada hari libur dibandingkan hari kerja seperti aerobik, berenang, bersepeda, bermain sepak bola, calisthenics, dan berlari. Namun, beberapa subjek juga melakukan aktivitas dengan intensitas berat seperti aerobik dan handball pada hari kerja. Sub-jek melakukan aktivitas tersebut karena aerobik dan handball termasuk ke dalam salah satu materi perkuliahan sehingga dilakukan pada hari kerja.

Aktivitas belajar/mengerjakan tugas pa-ling banyak menyumbangkan pengeluaran energi pada hari kerja sedangkan aktivitas yang paling banyak menyumbangkan pengeluaran energi pada hari libur yaitu tidur. Belajar/mengerjakan tugas menyumbangkan pengeluaran energi sebesar 622 ± 252 kkal (24.55%) pada laki-laki dan 659±219 kkal (32.60%) pada perempuan. Beberapa subjek menghabiskan waktunya untuk tidur dalam durasi yang lama pada hari libur dengan rata-rata durasi tidur selama 9.42 jam sehingga dapat menyum-bangkan pengeluaran energi sebesar 710±177 kkal (26.37%) pada laki-laki dan 491±123 kkal (24.97%) pada perempuan. Terdapat beberapa ak-tivitas yang cukup banyak menyumbang pengelua- ran energi dalam sehari pada hari kerja yaitu tidur, mandi, berjalan, dan aerobik. Aktivitas pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, mencuci piring, dan mencuci pakaian hanya sedikit menyumbang-kan pengeluaran energi karena aktivitas tersebut hanya dilakukan dalam durasi yang sedikit. Akti-vitas yang cukup banyak menyumbang pengelua- ran energi dalam sehari pada hari libur yaitu man-

di, belajar/mengerjakan tugas, berjalan, bemain games, aerobik, dan berenang.

Pengeluaran energi laki-laki dan perem-puan pada hari kerja maupun hari libur memili-ki perbedaaan yang nyata.20 Subjek laki-laki le- bih banyak melakukan kegiatan dengan intensitas yang lebih berat seperti berjalan, berlari, aerobik, handball, dan berenang dengan waktu yang le- bih lama dibandingkan perempuan. Aktivitas yang dilakukan laki-laki hampir sama dengan yang dilakukan perempuan sebelum pubertas, tetapi setelah pubertas remaja laki-laki cenderung ber- aktivitas lebih banyak dibanding dengan remaja perempuan. Aktivitas fisik pada perempuan cen- derung menurun saat awal pubertas serta laki- laki cenderung melakukan aktivitas fisik yang le- bih berat dibandingkan dengan perempuan.21 Ener-gy Expenditure of Activity (EEA) juga dipengaruhi oleh perhitungan Basal Metabolic Rate (BMR). Perhitungan BMR didapatkan dari rumus estimasi BMR menurut Harris Benedict yang telah direvisi oleh Roza dan Shizgal (1984).22

Aktivitas yang dapat terukur oleh aplika-si ini seperti tidur, berjalan, berlari, bersepeda, aerobik, peregangan, soccer, dan kegiatan de- ngan intensitas berat lainnya. Rata-rata langkah kaki orang dewasa yang sehat berada pada ren-tang 4000-18000 langkah kaki per hari serta mere-komendasikan 10000 langkah kaki per hari.23 Ter-dapat penelitian Althoff et al. yang menyatakan bahwa jumlah rata-rata langkah kaki per hari di Indonesia sebanyak ±3500 langkah kaki per hari.24 Hasil rata-rata langkah kaki yang didapatkan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan penelitian Althoff et al. Hal tersebut dapat terjadi karena subjek merupakan mahasiswa tingkat satu yang aktivitas sehari-harinya didominasi oleh ber-jalan. Subjek tidak diperbolehkan untuk memba-wa kendaraan pribadi baik motor maupun mobil selain itu saat pengambilan data shelter sepeda yang berada di tempat pengambilan data tidak di-buka sehingga subjek hanya dapat menggunakan bis untuk perpindahan tempat yang cukup jauh. Jarak asrama tempat tinggal subjek dengan tempat kuliah tidak jauh sehingga dapat ditempuh dengan berjalan.

Subjek laki-laki lebih sedikit berjalan saat hari libur dibandingkan dengan subjek perem-puan. Hal tersebut dapat terjadi karena sebagian

325

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

besar subjek laki-laki pada hari libur melakukan aktivitas bermain game, tidur, dan bermain smart-phone dalam waktu yang lama sehingga waktu yang dihabiskan untuk berjalan menjadi sedikit. Menurut penelitian Fukuoka et al. yang meneli-ti pada 32 laki-laki dan 31 perempuan di Jepang berumur 19-29 tahun menyatakan bahwa rata-rata langkah kaki laki-laki sebesar 11110±2765 lang-kah per hari dan perempuan sebesar 8526±2915 langkah per hari.25 Hal tersebut berbeda dengan studi meta-analisis yang dilakukan oleh Bohannon yang menyatakan hasil dari rata-rata langkah kaki pada perempuan sebesar 9091±2117 langkah per hari dan laki-laki sebesar 8509±1594 langkah per hari.26 Langkah kaki lebih banyak terhitung pada hari kerja dibandingkan hari libur yang berarti subjek lebih banyak melakukan aktivitas berjalan pada hari kerja.

Aktivitas tidur merupakan aktivitas penyumbang pengeluaran energi terbesar dalam sehari. Selain tidur, aktivitas lain yang menyum-bangkan cukup banyak pengeluaran energi, yai-tu berjalan dan aerobik. Kedua aktivitas tersebut dilakukan dalam durasi yang lama sehingga dapat mengeluarkan energi dalam sehari yang cukup banyak dibandingkan aktivitas lain. Berdasarkan pengukuran dari aplikasi Samsung Health, pengel-uaran energi laki-laki lebih tinggi daripada perem-puan baik pada hari kerja maupun pada hari libur. Subjek laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas dengan intensitas berat yang dapat terukur oleh aplikasi seperti peregangan, handball, berjalan mendaki, lunges, bersepeda, dan soccer. Aktivi-tas yang dilakukan oleh laki-laki dilakukan dalam durasi yang lebih lama dibandingkan dengan pe- rempuan. Subjek laki-laki lebih banyak menge- luarkan energi karena berat badan seseorang juga mempengaruhi besar energi yang dikeluarkan.16 Berat badan laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan dengan rata-rata berat badan masing-masing yaitu 66.8±13.6 kg untuk laki-laki dan 52.26±8.06 kg untuk perempuan. EEA laki- laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan karena perbedaan pada komposisi tubuh antara keduanya.20

Aplikasi Samsung Health mengukur BMR subjek berdasarkan rumus Harris Benedict yang telah direvisi oleh Roza dan Shizgal.22 Penge- luaran energi yang ditampilkan bergantung pada

jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, ting-katan aktivitas fisik, dan tanggal lahir yang se-belumnya telah dimasukkan. Hasil uji beda pada pengeluaran energi hari kerja yang diukur melalui record aktivitas fisik 1x24 jam dengan Samsung Health menunjukkan bahwa pengeluaran energi yang didapatkan dari Samsung Health lebih kecil dibandingkan record aktivitas fisik 1x24 jam baik pada subjek laki-laki maupun perempuan. Sama halnya dengan pengeluaran energi pada hari libur yang diukur dengan kedua metode tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak semua aktivitas dapat terukur dengan Samsung Health. Aktivitas yang terukur pada Samsung Health menghasilkan pengeluaran energi yang lebih kecil dibandingkan dengan record aktivitas fisik 1x24 jam contohnya pada aktivitas berenang.

Berenang selama 130 menit menghasilkan pengeluaran energi sebesar 1593 kkal pada kue-sioner record 1x24 jam sedangkan pada aplikasi Samsung Health menghasilkan 1154 kkal. Hal se-rupa juga terjadi pada jenis aktivitas lainnya. Ha-sil tersebut sejalan dengan penelitian Johnson et al. yang mengukur pengeluaran energi dan lang-kah kaki dengan menggunakan aplikasi Samsung Health dengan membandingkan indirect calorime-try dan StepWatch 3 step monitor. Penelitian terse-but menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengukuran langkah kaki saat berjalan dan berlari di treadmill pada kedua metode tersebut. Penge-luaran energi yang diukur saat berjalan dengan aplikasi Samsung Health dan Indirect Calorimetry juga tidak terdapat perbedaan yang nyata, tetapi pada aktivitas berlari di treadmill terdapat perbe-daan yang nyata. 27

Alasan lain yang menyebabkan pengukuran pengeluaran energi pada aplikasi berbeda yaitu karena sebagian besar aktivitas yang dilakukan subjek merupakan aktivitas dengan intensitas yang ringan. Aplikasi hanya mengukur aktivitas tidur dan aktivitas dengan intensitas berat seperti ber-jalan, berlari, bersepeda, mendaki, menari, aero-bik, dan lainnya sedangkan pengukuran melalui physical activity record mengukur segala jenis aktivitas baik intensitas ringan maupun berat. Pada penelitian ini subjek mahasiswa lebih ba- nyak menghabiskan waktu untuk melakukan akti-vitas dengan intensitas ringan. Aktivitas intensitas ringan tersebut didominasi oleh duduk, belajar,

326

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

makan, dan menonton. Aktivitas tersebut tidak ter-ukur dalam aplikasi. Aktivitas yang tidak terukur tersebut diestimasi dalam bentuk berjalan, hanya jika dalam aktivitas tersebut subjek melakukan ak-tivitas berjalan, sehingga banyak aktivitas ringan yang dikerjakan dalam waktu yang lama yang ti-dak terukur pada aplikasi padahal dapat menyum-bangkan pengeluaran energi. Berbeda halnya de- ngan seseorang yang banyak meluangkan wak-tunya dengan aktivitas intentsitas berat. Aktivitas intensitas berat tersebut akan terekam dan ter- akumulasi dalam aplikasi sehingga hampir seluruh aktivitas seharinya (24 jam) dapat terukur dengan aplikasi.

Model regresi tersebut digunakan untuk mengestimasi pengeluaran energi sesuai dengan hasil dari record aktivitas 1x24 jam untuk subjek dengan tingkatan aktivitas fisik ringan. Hal terse-but sesuai dengan penelitian dari Santos-Lozano et al. yang menyatakan bahwa metode pengukuran dengan sensor alat seperti Sense Wear Armband (SWA) dapat memberikan estimasi pengeluaran energi untuk aktivitas intensitas ringan, tetapi ku-rang tepat untuk menentukan pengeluaran ener- gi untuk aktivitas intensitas berat. Pengukuran pengeluaran energi dengan SWA overestimate dibandingkan dengan Indirect Calorimetry (IC) pada aktivitas dengan intensitas berat.28

Terdapat beberapa penelitian lain yang menggunakan alat sejenis. Menurut penelitian Johnson et al. yang dilakukan pada 29 orang rema-ja laki-laki dan perempuan dengan rata-rata ber- umur 21 tahun menyatakan bahwa hasil pe- ngukuran pengeluaran energi yang ditunjukkan dari Samsung Health tidak berbeda nyata dengan IC pada aktivitas berjalan. Pengeluaran ener-gi yang dihasilkan dari Samsung Health sebesar 69.50±14.53 dan dari IC sebesar 68.75±14.86. Selain itu, hasil Samsung Health dianggap akurat untuk mengukur langkah kaki apabila hasilnya dibandingkan dengan pedometer dan accelero- meter.27

Penelitian Casiraghi et al. menunjukkan bahwa pengeluaran energi yang diukur dengan SWA berhubungan sangat kuat dengan pengelua- ran energi yang diukur dengan IC selama subjek dalam keadaan resting. Lain halnya pada saat sub-jek melakukan cycle-ergometer exercise, penge- luaran energi dengan SWA sedikit underestimate

dibandingkan dengan IC. Secara keseluruhan, penelitian tersebut menyatakan bahwa SWA me- rupakan cara yang reliabel dan sederhana untuk mengestimasi pengeluaran energi pada manusia.29 Hal ini juga didukung oleh penelitian Vernillo et al. yang menyatakan bahwa pengeluaran energi yang diukur dengan SWA lebih rendah dibanding-kan dengan IC serta penelitian Smith et al. yang menunjukkan bahwa SWA berhubungan kuat de-ngan IC khususnya pada aktivitas berjalan.30,31

Alat lain yang digunakan selain SWA yaitu Fitbit Flex wristband pada penelitian Sushames et al. yang dilakukan pada 25 orang laki-laki dan per-empuan dewasa. Pengukuran pengeluaran ener- gi dari langkah kaki dengan menggunakan FitBit (584 kkal) lebih rendah dibandingkan dengan Ac-tigraph (710 kkal). Pada kondisi free-living, AEE pada FitBit (808.1 kalori) lebih tinggi dibanding-kan dengan Actigraph (538.9 kalori). Secara ke-seluruhan, penelitian-penelitian tersebut mem-buktikan bahwa pengukuran pengeluaran energi melalui sensor alat memiliki korelasi yang kuat dengan Indirect Calorimetry dan dinilai sebagai cara yang sederhana untuk mengukur pengeluaran energi.32

KESIMPULAN DAN SARANPengeluaran energi yang diukur dengan

Samsung Health lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran energi yang diukur dengan record ak-tivitas fisik 1x24 jam baik pada subjek perempuan maupun laki-laki. Hasil yang didapat lebih kecil tersebut dapat terjadi karena beberapa hal dian-taranya yaitu tidak semua aktivitas terukur pada aplikasi. Aktivitas yang dilakukan subjek dido- minasi oleh aktivitas intensitas ringan. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan kepada subjek dengan sebagian besar aktivitasnya dihabiskan dengan aktivitas intensitas berat. Subjek dengan tingkatan aktivitas fisik yang berbeda (sedang atau berat) akan didapatkan model persamaan regresi yang nantinya dapat digunakan untuk mengesti-masi pengeluaran energi sesuai dengan tingkatan aktivitas fisiknya.

UCAPAN TERIMA KASIHSelama penulisan ini tidak terlepas dari

bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih diberikan kepada 1) Prof. Dr.

327

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Ir. Dadang Sukandar, M.Sc yang telah memberi-kan saran dan kritik, 2) Pihak PPKU IPB yang te-lah memberikan perizinan dan memfasilitasi untuk melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA1. Inyang MP, Stella O. Sedentary Lifestyle :

Health Implications. IOSR Journal of Nurs-ing and Health Science (IOSR-JNHS). 2015;4(2):20-25.

2. Owen N, Cerin E, Leslie E, duToit L, Coffee N, Frank LD, Bauman AE, Hugo G, Saelens BE, Sallis JF. Neighborhood Walkability and the Walking Behavior of Australian Adults. Am J Prev Med. 2010;33(5):387-95.

3. World Health Organization. Physical Activity. In Guide to Community Preventive Services. Geneva : WHO; 2010.

4. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehat- an Dasar (Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehat- an Kemenkes RI; 2013.

5. Waryana. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pus-taka Rihana; 2010.

6. Neinstein L. Handbook of Adolescent Health-care. Philadelphia: Lipppincott, Williams and Wilkins; 2009.

7. Westerterp KR. Physical Activity and Phys-ical Activity Induced Pengeluaran Energi in Humans : Measurement, Determinants, and Effects. Frontiers in Physiology. 2013;90(4): 1-11.

8. Volp ACP, Esteves de Oliveira FC, Alves RDM, Esteves EA, Bressan J. Pengeluaran Energi: Components and Evaluation Methods. Nutr Hosp. 2011;26(3):430-440.

9. FAO/WHO/UNU. Human Energy Require-ments. WHO Technical Report Series No. 724. Geneva : World Health Organization; 2001.

10. Utami LWP. Hubungan Tingkat Aktivitas Fisik, Kebiasaan Olahraga, Screen Time, dan Durasi Tidur dengan Kejadian Sindrom Metabolik pada Remaja Obesitas [Skripsi]. Semarang : Universitas Dipenogoro; 2016.

11. Chan A, Kow R, Cheng JK. Adolescents’ Per-ceptions on Smartphone Applications (apps) for Health Management. J MTM. 2017; 6(2):47-55.

12. Cochran WG. Sampling Techniques Third

Edition. Massachusetts : John Wiley and Sons Inc.; 1977.

13. Farooq MA, Parkinson KN, Adamson AJ, Pearce MS, Reilly JK, Hughes AR, Janssen X, Basterfield L, Reilly JJ. Timing of the Decline in Physical Activity in Childhood and Adoles-cence: Gateshead Millennium Cohort Study. Br J Sports Med. 2017:1-6. DOI:10.1136/bjsports-2016-096933.

14. Dumith SC, Gigante DP, Domingues MR, Kohl III HW. Physical Activity Change During Adolescences: a Systematic Review and a Pooled Analysis. International Journal of Epi- demiology. 2011;40:685-698. DOI:10.1093/ije/ dyq272.

15. Treuth MS, Catellier DJ, Schmitz KH, Pate RR, Elder JP, McMurray RG, Blew RM, Yang S, Webber L. Weekend and Weekday Patterns of Physical Activity in Overweight and Nor-mal-Weight Adolescent Girls. Obesity (Silver Spring). 2007;15(7):1782-8.

16. Dong L, Block G, Mandel S. Activities Con-tributing Intake and Physical Activity Levels to Prevent Childhood Obesity to Total Penge-luaran Energi in the United States: Results from the NHAPS Study. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2004;1:4.

17. Konharn K, Santos MP, Ribeiro JC. Dif-ferences between Weekday and Weekend Levels of Moderate to Vigorous Physical Activity in Thai Adolescents. Asia Pac J Public Health. 2012;27(2):2157-66. DOI: 10.1177/1010539512459946.

18. Montgomery C, Reilly JJ, Jackson DM, Kelly LA, Slater C, Paton JY, Grant S. Relation be-tween Physical Activity and Pengeluaran Ener- gi in a Representative Sample of Young Chil-dren. American Journal of Clinical Nutrition. 2004;80:591-596.

19. Nawrocka A, Mynarski W, Grabara M, Pow-erska Didkowska A, Borek Z. Weekday and Weekend Moderate to Vigorous Physical Ac-tivity of Young Musicians in the Context of Public Health Recommendations. Ann Agric Environ Med. 2013;20(3):566-570.

20. Hoos MB, Gerver WJM, Kester AD, Wester-terp KR. Physical Activity Levels in Children and Adolescents. Int J Obes Relat Metab Di-

328

Aisyah Fathul Jannah : Pengukuran Pengeluaran Energi pada Hari Kerja dan Hari Libur Menggunakan Aplikasi Smartphone

sord. 2003;27(5):605-9.21. Mexitalia M, Susanto JC, Faizah Z, Hardian.

Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik pada Anak dengan Obesitas Usia 6-7 Tahun di Semarang. M Med Indonesia. 2005;40(2):62-70.

22. Roza AM, HM Shizgal. The Harris Bene-dict Equation Reevaluated: Resting Energy Requirements and the Body Cell Mass. The America Journal of Clinical Nutrition. 1984; 40(1):168-182.

23. Tudor-Locke C, Craig CL, Brown WJ, Clem-es SA, De Cocker K, Giles-Corti B, Hatano Y, Inoue s, Matsudo SM, Mutrie N, Oppert JM, Rowe DA, Schmidt MD, Schofield GM, Spence JC, Teixeira PJ, Tully MA, Blair SN. How Many Steps/day are Enough? For Adults. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2011;8:79. DOI:10.1186/1479-5868-8-79.

24. Althoff T, Sosič R, Hicks JL, King AC , Delp SL, Leskovec J. Large Scale Physical Activity Data Reveal Worldwide Activity Inequality. J Nature. 2017:1-4. DOI:10.1038/nature23018.

25. Fukuoka Y, Nakagawa Y, Ogoh K. Dynam-ics of the Heart Rate Response to Sinusoidal Work in Humans: Influence of Physical Acti- vity and Age. Clin Sci. 2002;102:31-38.

26. Bohannon RW. Number of Pedometer As-sessed Steps Taken per Day by Adults: a De-scriptive Meta Analysis. Phys Ther. 2007; 87:1642-1650.

27. Johnson M, Turek J, Dornfeld C, Drews J, Hansen N. Validity of the Samsung Phone S Health for Assessing Steps and Energi During Walking and Running: Does Phone Place-ment Matter?. Digital Health. 2016;2:1-8.

DOI:10.1177/2055207616652747.28. Santos-Lozano A, Hernández-Vicente A,

Pérez-Isaac R, Santín-Medeiros F, Cristi-Mon-tero C, Casajús JA, Garatachea N. Is the Sense-Wear Armband Accurate Enough to Quantify and Estimate Energy Expenditure in Healthy Adults?. Ann Transl Med. 2017;5(5):97-103. DOI: 10.21037/atm.2017. 02.31.

29. Casiraghi F, Lertwattanarak R, Luzi L, Chavez AO, Davalli AM, Naegelin T, Comuzzie AG, Frost P, Musi N, Folli F. Energy Expenditure Evaluation in Humans and Non-Human Pri-mates by SenseWear Armband: Validation of Energy Expenditure Evaluation by Sense-Wear Armband by Direct Comparison with Indirect Calorimetry. Plos One. 2013;8(9):1-8. DOI:10.1371/journal.pone.0073651.

30. Vernillo G, Savoldelli A, Pellegrini B, Schena F. Evaluation of the SenseWear Mini Armband to Assess Pengeluaran Energi During Pole Walking. International Journal of Sport Nu-trition and Exercise Metabolism. 2014;24:565 -569. DOI:10.1123/ijsnem.2014-0075.

31. Smith L, Hamer M, Ucci M, Marmot A, Gard-ner B, Sawyer A, Wardle J, Fisher A. Week-day and Weekend Patterns of Objectively Measured Sitting, Standing, and Stepping in a Sample of Office-Based Workers: the Active Buildings Study. BMC Public Health. 2015; 15(6):9. DOI:10.1186/s12889-014-1338-1.

32. Sushames A, Edwards A, Thompson F, Mc-Dermott R, Gebel K. Validity and Reliability of Fitbit Flex for Step Count, Moderate to Vi- gorous Physical Activity and Activity Energy Expenditure. Plos one. 2016;11(9): e0161224. DOI:10.1371/journal.pone.0161224.

329

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

Effect of High Protein Milk on Appetite Level and Postprandial Blood Glucose

Harna1*, Clara M.Kusharto2, Katrin Roosita2, Andi Muh Asrul Irawan3

1Program Studi Gizi Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul2Departemen Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

3Program Studi Gizi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia(*[email protected])

ABSTRAKSusu tinggi protein merupakan makanan kompleks yang mengandung beberapa senyawa bioaktif yang

potensial memiliki efek terhadap nafsu makan. Namun, mekanisme susu tinggi protein terhadap nafsu makan ma-sih kurang dipahami pada orang dewasa dengan berat badan kurang. Penelitian bertujuan menganalisis pengaruh susu protein tinggi terhadap tingkat nafsu makan dan glukosa postprandial. Penelitian menggunakan experimental trial desain randomized controlled trial. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 24 subjek pada kelompok perlakuan dan 23 subjek pada kelompok kontrol. Kelompok perlakuan diberi susu tinggi protein dan kelompok kontrol diberi glukosa. Tingkat nafsu makan meliputi tingkat kelaparan, kepuasan, dan keinginan untuk makan dievaluasi menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), yang dianalisis dalam incremental Area Under the Curve (iAUC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan nilai iAUC tingkat rasa lapar pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol (p<0,05), dengan 8881±638,4 min.mm kelompok perlakuan dan 7297,8±439,6 min.mm kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat kepuasan dan keinginan untuk makan antara kedua kelompok (p>0,05). Kadar glukosa postprandial pada kelompok perlakuan signifikan (p<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian ini menyimpulkan bahwa in-tervensi susu tinggi protein kemungkinan dapat meningkatkan tingkat rasa lapar pada orang dewasa dengan berat badan kurang.Kata kunci : Kelaparan, kepuasan, Visual Analogue Scale

ABSTRACTHigh protein milk is a complex food that contains several potential bioactive compounds that might effect

on appetite control. However, the mechanism of high protein milk effect on appetite is still poorly understood in underweight adults. This study aimed to analyze the effect of high protein milk on appetite level and postprandial glucose. This study used experimental trial with design randomized controlled trial. The subjects were divided into two groups, 24 subjects in the treatment group and 23 subjects in the control group. Treatment group was given high protein milk and control group was given glucose. Subjective feelings including hunger, satisfaction, and desire to eat were evaluated using Visual Analogue Scale (VAS), which is analyzed in the incremental Area Under the Curve (iAUC). The results showed that there was a significant increase in iAUC value of hunger level in the treatment group compared with control (p<0.05), 8881±638.4 min.mm treatment group and 7297.8±439.6 min.mm control group. There was no significant difference in the level of satisfaction and desire to eat between the two groups (p>0.05). Postprandial glucose levels in the treatment group were significantly (p<0.05) lower than the control group. The study concluded that high protein milk intervention was increase hunger levels in underweight adults.Keywords : Hunger, satisfaction, Visual Analogue Scale

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.4881

330

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

PENDAHULUANSusu tinggi protein mengandung dua kom-

ponen protein utama yaitu protein whey dan ka-sein. Kasein dan whey memiliki sifat fisikokimia dan biologis yang unik.1 Kandungan kasein pada protein susu mencapai 80% dari jumlah protein yang terdapat dalam susu sapi, sedangkan kandu- ngan protein whey pada susu sebanyak 20%.2 Komponen biologis dari protein whey yaitu α-lac-talbumin (α-LA, 20%), β-lactoglobulin (β-Lg, 50%), serum albumin (Bovine Serum Albumin, 10%), immunoglobulins (10%) dan peptones pro-tease (<10%).1,3

Data epidemologi menunjukkan bahwa konsumsi susu tinggi protein dikaitkan dengan penurunan prevalensi gangguan metabolik atau mempertahankan kesehatan metabolik.4,5 Konsum-si susu yang mengandung protein dapat menstimu-lasi sekresi insulin. Insulin memiliki efek langsung dan tidak langsung pada metabolisme karbohidrat, lemak, protein, termasuk stimulasi penyerapan glukosa, sintesis glikogen, penyerapan lipid dan sintesis trigliserida, protein sintesis dan mengham-bat pemecahan protein, lipolisis dan glukoneoge- nesis. Oleh karena itu, stimulasi sekresi oleh pro-tein susu berkontribusi terhadap efek metabolik pada jaringan dan berperan dalam anabolisme massa otot.6

Respon insulin setelah mengonsumsi susu tinggi protein telah dibuktikan pada beberapa pe-nelitian. Hal ini menunjukkan bahwa protein pada susu terutama protein whey memiliki potensi se-bagai insulinotropik. Mekanisme insulinotropik dari protein susu kemungkinan disebabkan oleh kandungan peptide bioaktif, asam amino spesifik, dan aktivasi hormon inkretin (terutama Gastric inhibitory polypeptide) yang dilepaskan pada saat mengonsumsi protein whey.7,8 Kandungan α-LA dalam protein susu memiliki komposisi asam amino sulfur sistein (6%) dan telah terbukti bah-wa mengonsumsi protein whey pada susu yang mengandung sistein dapat menurunkan respon glukosa postprandial melalui perbaikan status Growth-Stimulating Hormone (GSH) dan mem-perbaiki resistensi insulin pada tikus yang diberi-kan tinggi sukrosa.9 Pengaturan glukosa postpran-dial penting untuk meminimalkan peningkatan glukosa darah terhadap makanan pada individu yang sehat maupun penderita Diabetes Melitus

tipe 2. Salah satu manfaat protein susu yaitu me- rangsang pelepasan insulin dan memiliki potensi mengubah uptake glukosa dalam jaringan dan me-nekan fluktuasi glukosa darah postprandial.4,10

Penelitian yang dilakukan oleh Frid et al. mengemukakan bahwa pemberian protein pada susu (18 gram) ke dalam makanan yang mengan- dung karbohidrat lebih cepat dicerna dan diserap, mengakibatkan peningkatan konsentrasi plasma insulin dan menurunkan glukosa postprandial.11 Protein whey lebih cepat masuk ke dalam jejunum dibandingkan dengan kasein, terutama dalam ben-tuk peptida terdegradasi.12,13 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa protein pada susu memili-ki efek yang lebih baik dalam mengontrol nafsu makan dalam jangka pendek.14

Efek protein dalam pengaturan nafsu makan disebabkan oleh tingkat pengosongan lambung dan peningkatan asam amino pada saat postpran-dial.4,15 Selain itu, indeks massa tubuh dapat me-nentukan efek protein pada susu terutama protein whey terhadap tingkat nafsu makan. Penelitian yang dilakukan oleh Bowen et al. menunjuk-kan bahwa pemberian protein susu dalam bentuk whey memiliki respon rasa lapar yang berbeda terhadap subjek yang memiliki berat badan nor-mal dan berat badan lebih. Protein yang diberikan pada subjek yang memiliki berat badan lebih dapat menekan rasa lapar dibandingkan dengan subjek yang memiliki berat badan normal, hal ini dibuk-tikan dengan peningkatan hormon Glukagon Like Peptide-1 (GLP-1) yang signifikan pada subjek overweight dibanding subjek normal.16 Namun, belum ada penelitian mengenai efek susu tinggi protein terhadap tingkat nafsu makan dan glukosa postprandial pada usia dewasa dengan status gizi kurang. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menga-nalisis efek pemberian susu tinggi protein terha-dap tingkat nafsu makan dan glukosa postprandial pada usia dewasa dengan status gizi kurang.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini merupakan experimental trial

dengan desain adalah randomized controlled trial (RCT). Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Universitas Indo-nesia Fakultas Kedokteran. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk susu Appeton, merupakan produk susu tinggi protein yang me-

331

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

ngandung protein lengkap. Populasi dalam pe-nelitian ini adalah mahasiswa IPB. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kawase et al. tahun 2000 dengan nilai standar deviasi σ=1.55. Perubahan perlakuan kontrol adalah (μ2)=4.3 dan perlakuan pemberian susu (μ1) adalah (μ1)=5.5. Nilai α=0.05, dan power test sebesar 1-β=0.80, kemudian disubstitusikan ke dalam rumus Lamse-how, diperoleh sampel minimal 23 untuk masing- masing kelompok.17 Kriteria inklusi yaitu status gizi kurang, sehat dan tidak mengonsumsi suple-men penambah nafsu makan.

Penelitian ini terbagi menjadi dua kelom-pok perlakuan dan kelompok kontrol. Subjek pada kelompok perlakuan diberikan sarapan roti yang nilai gizinya sudah terstandar (Energi 330 kkal, KH 40 gr, protein 5 gr, lemak 10 gr, dan serat 2 gr) dan susu tinggi protein sebanyak 50 gram de- ngan kandungan zat gizi energi 200 kkal, KH 26 gr, protein 15 gr, lemak 5 gr. Pada kelompok kontrol diberikan sarapan roti dan glukosa murni. Kelompok perlakuan dan kontrol hanya berbeda pada pemberian susu tinggi protein dan glukosa. Subjek berpuasa selama 10-12 jam, pengambi-lan data tingkat nafsu makan dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai 11.00 WIB, selama pengam-bilan data hanya boleh mengonsumsi air putih. Penelitian ini merupakan penelitian bersifat akut, maka intervensi yang diberikan hanya sekali sela-ma proses penelitian. Selama proses pengambilan data berlangsung, peneliti mengawasi responden agar tidak mengonsumsi makanan selain interven-si yang diberikan.

Data yang dikumpulkan meliputi karakte- ristik sampel dan instrumen yang digunakan yaitu kuesioner, timbangan, dan microtoise. Pengukuran tingkat nafsu makan menggunakan metode Visual Analog Scale (VAS) dan subjek melaporkan ting-kat nafsu makan mereka pada menit 0 sebelum diberikan sarapan, kemudian diberikan waktu 15 menit untuk mengonsumsi makanan yang dibe- rikan. Setelah 15 menit selesai makan, dilakukan pengukuran VAS pada menit 40, 55, 70, 85, 115 dan 145. Ada tiga jenis tingkat nafsu makan yang dinilai dalam penelitian ini, yaitu tingkat kelapa-ran (Bagaimana perasaan lapar anda saat ini? Saya tidak sama sekali lapar - Saya sangat lapar), ting-kat kepuasan (Bagaimana tingkat kepuasan anda saat ini? Saya tidak merasa puas sama sekali-saya

merasa sangat puas), dan tingkat keinginan un-tuk makan (seberapa kuat keinginan anda untuk makan saat ini? Saya tidak memiliki keinginan untuk makan sama sekali - keinginan saya untuk makan sangat kuat). Subjek membuat tanda verti-kal antara dua ekstremitas, sesuai dengan apa yang mereka rasakan saat VAS diberikan, metode ini di-adopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Olli et al tahun 2015.18

Pengolahan dan analisis data menggu-nakan Microsoft Excel 2010 dan program SPSS 16. Analisis data yang pertama dilakukan adalah pengukuran deskriptif terhadap beberapa parame-ter seperti karakteristik individu. Beberapa ukuran yang dianalisis antara lain mean (rata-rata) dan standar deviasi. Tingkat nafsu makan dibagi men-jadi tiga yaitu tingkat kelaparan, tingkat kepuasan dan keinginan untuk makan akan dinyatakan da-lam incremental areas under the curce (iAUC). Nilai iAUC dihitung dengan menggunakan metode Trapezoid. Kurva tingkat nafsu makan dimulai dengan titik nol, berlanjut pada menit ke 40 (pasca makan) dan berakhir pada menit 145. iAUC dinyatakan dalam min.mm dan hasil iAUC pada masing-masing periode untuk kelompok in-tervensi dan kontrol dibandingkan dengan meng-gunakan independent T-test. Uji one way ANOVA digunakan untuk analisis hubungan antar variabel dalam satu arah dan dilanjutkan uji lanjut duncan jika ada perbedaan.

HASILKarakteristik subjek yang diamati pada pe-

nelitian ini adalah jenis kelamin, usia, berat badan, dan tinggi badan. Sebagian besar subjek yaitu perempuan sebanyak 62,5% pada kelompok per-lakuan dan 82,6% pada kelompok kontrol. Jenis kelamin subjek antar kelompok tidak berbeda sig-nifikan (p>0,05). Usia subjek dalam penelitian ini yaitu kelompok usia dewasa muda dengan kisaran usia 18-30 tahun. Sebagian besar usia subjek yai-tu antara 18-24 tahun, 79,2% pada kelompok per-lakuan dan 95,7% pada kelompok kontrol (Tabel 1).

Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan usia pada kelompok kontrol dan perlakuan (p>0,05). Sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan bah-wa subjek harus berada dalam kategori status gizi

332

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

kurang, sehingga kisaran IMT subjek dalam pe-nelitan ini yaitu 16-18.5 kg/m2. Rerata berat badan subjek pada kelompok perlakuan yaitu 44,4 kg dan 43,7 kg pada kelompok kontrol. Hasil uji indepen-dent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbe-daan signifikan berat badan pada kelompok kon-trol dan perlakuan (p>0,05). Rerata tinggi badan subjek yaitu 161 cm pada kelompok perlakuan dan 157,6 cm pada kelompok kontrol, tidak ada perbe-daan tinggi badan antara dua kelompok (p>0,05) (Tabel 1).

Sebelum diberikan perlakuan pada setiap kelompok, subjek mengukur tingkat rasa lapar pada menit ke-0. Setelah mengonsumsi bahan intervensi yang diberikan, menunjukkan bahwa terjadi penurunan rasa lapar yang signifikan pada kedua kelompok (p<0,05) dititik pengukuran kedua (menit ke-40). Hasil analisis uji one way

ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat per-bedaan signifikan tingkat rasa lapar pada kelom-pok perlakuan. Hasil uji lanjut duncan dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan rasa lapar pada menit ke 40, 45, 55, 70, 85, 115 dan 145, tetapi rerata tingkat rasa lapar pada menit ke-115 tidak berbeda signifikan dengan rerata pada menit ke-0. Hal ini menunjukkan bahwa pemberi-an susu tinggi protein dapat mempertahankan rasa lapar hingga menit ke-115. Terdapat perbedaan signifikan rerata tingkat rasa lapar pada kelompok kontrol (p<0.05) (Tabel 2).

Hasil uji lanjut duncan menunjukkan bah-wa terdapat perbedaan signifikan tingkat rasa lapar antara menit ke-0 (pre meal) dan menit ke-40 (post meal), pada menit ke-40, 55, dan 70 tidak berbe-da nyata. Namun, pada menit ke-85 berbeda nyata dibandingkan dengan menit ke-40. Hal ini menun-

Tabel 1. Karakterstik Subjek Penelitian

VariabelKelompok

p*Perlakuann(%)

Kontroln(%)

Jenis Kelamin**

Laki-lakiPerempuan

Usia (tahun)18-2425-30

Status Gizi (kg/m2)

9 (37.5)15 (62.5)22.7 ± 2.219 (79.2)5 (20.8)

17.02± 0.96

4 (17.4)19 (82.6)22.3 ± 1.922 (95.7)1 (4.3)

17.56± 0.65

0.12

0.46

0.59*Uji independent T-test ; **Uji Mann-Whitney

Tabel 2. Rerata Perubahan Tingkat Nafsu Makan Subjek pada Kedua Kelompok

KelompokWaktu (menit)

p1

0 40 55 70 85 115 145Tingkat Rasa Lapar

PerlakuanKontrolp2

Tingkat KepuasanPerlakuanKontrolp2

Tingkat Keinginan untuk makan

PerlakuanKontrolp2

74.5±18.7a

67.3±22.7a

0.242

19±25a

5±14a

0.023

77±23a

76±23a

0.079

56±26b

40±24b

0.028

53±27.5b

48.5±24b

0.571

59±29b

58±31b

0.057

56.7±24b

41.7±22b

0.03*

52±26b

47±20b

0.431

58±27b

57.8±28b

0.047

55.8±25b

44.8±22bc

0.119

48±23b

46±21b

0.721

58±27b

56±27b

0.105

56.9±26b

51.2±19bc

0.398

48±25b

43±23b

0.490

61±27ab

60±26ab

0.184

61.4±24ab

57±17.6ac

0.487

45±23b

40±20b

0.430

63±24ab

65±24.3ab

0.590

68±26ab

66±16a

0.879

43±25b

38±22b

0.451

70±26ab

67±27ab

0.587

0.0640.000*

0.000*

0.000*

0.1080.164

1) uji one way ANOVA; 2) uji paired t-test; Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05); *Signifikan dengan p<0.05

333

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

jukkan bahwa rasa lapar pada kelompok kontrol mengalami peningkatan pada menit ke-85. Meski-pun, rerata tingkat rasa lapar pada kelompok per-lakuan bisa bertahan hingga menit ke-115 diban- dingkan dengan kontrol pada menit ke-85, tetapi rerata tingkat rasa lapar pada setiap menit lebih besar pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol (Tabel 2). Gambar 1 menunjuk-kan bahwa terdapat perbedaan signifikan tingkat rasa lapar antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (p=0,049), dengan rerata 8881±638,4 min.mm dan 7297,8±439,6 min.mm. Rerata ting-kat rasa lapar pada kelompok perlakuan lebih ting-gi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Pada menit ke-0, subjek membuat garis pada skala 0, sebelum diberikan intervensi. Hasil analisis uji one way ANOVA bahwa terdapat per-bedaan signifikan rerata tingkat kepuasan subjek pada kedua kelompok. Hasil uji lanjut duncan diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan an-tara menit ke-0 (pre meal) dengan menit ke-40, 55, 70, 85, 115 dan 145 pada kedua kelompok. Ting-kat kepuasan tidak berbeda signifikan pada menit ke 55, 70, 85, 115 dan 145 dibandingkan dengan

menit ke-40 (post meal) pada kedua kelompok (Tabel 2). Gambar 1 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kepuasan subjek an-tara kelompok perlakuan dan subjek (p=0,286), dengan rerata 6422,96±616,6 min.mm kelompok perlakuan dan 5570,83±485,1 min.mm kelompok kontrol.

Tabel 2 menunjukkan perubahan rerata tingkat keinginan untuk makan subjek pada se- tiap kelompok. Hasil analisis uji one way ANO-VA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan rerata tingkat keinginan untuk makan pada kedua kelompok (p>0,05). Hasil analisis uji lanjut duncan menunjukkan pada menit ke-40 ter-jadi penurunan signifikan keinginan untuk makan pada kedua kelompok (p<0,05) setelah pemberi-an produk intervensi pada masing-masing kelom-pok. Tidak terdapat perbedaan signifikan tingkat keinginan untuk makan antara menit ke-40, 55, 70, 85, 115, dan 145 pada kedua kelompok (Tabel 2). Gambar 1 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan keinginan untuk makan sub-jek antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p=0,09), dengan rerata 9218±683,7 min.

Gambar 1. Rerata Tingkat Nafsu Makan Subjek Dalam iAUC Pada Kedua Kelompok

334

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

mm kelompok perlakuan dan 7793,7±458 min.mm kelompok kontrol.

Gambar 2 menunjukkan perubahan gluko-sa darah postprandial pada kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil analisis pada Tabel 3 menun-jukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan rera-ta kadar glukosa darah postprandial pada kedua kelompok (p<0.05). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kadar glu-kosa darah postprandial pada menit ke-30 (post meal) dibandingkan pada menit ke-0 (pre meal) pada kedua kelompok. Puncak peningkatan glu-kosa darah postprandial pada kedua kelompok berada pada menit ke-45, dengan rerata 107±12 mg/dl kelompok perlakuan dan 147±24 mg/dl kelompok kontrol. Gambar 2 menunjukkan bah-wa terdapat perbedaan signifikan nilai iAUC kadar glukosa postprandial antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05), dengan rerata

nilai iAUC 12470±171,5 menit.mg/dl kelom-pok perlakuan dan kelompok perlakuan sebesar 15409±380,6 menit.mg/dl.

PEMBAHASANJenis kelamin berpengaruh terhadap ting-

kat nafsu makan dan asupan makanan. Kecu- kupan energi perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki, sehingga konsumsi perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki. Berat badan ber-pengaruh terhadap tingkat kekenyangan individu, individu yang memiliki berat badan kurang, nor-mal dan lebih memiliki tingkat kecukupan ener-gi yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Gregersen et al. menunjukkan bahwa tingkat rasa lapar pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki sekitar 1 cm (10%).19 Berdasarkan hasil penelitian ini mengemukakan bahwa tidak ter-dapat perbedaan signifikan antara jenis kelamin

Gambar 2. Rerata Kadar Glukosa Darah Postprandial Subjek

Tabel 3. Rerata Perubahan Kadar Glukosa Postprandial Subjek pada Setiap Kelompok

KelompokWaktu (menit)

p1

0 30 45 60 75 105 135PerlakuanKontrolp2

79±5a

78±6a

0.53

98±14b

132±23b

0.00*

107±12c 147±24c

0.00*

99±11b

133±26b

0.00*

91±8d 117±18d

0.00*

89±8d

103±13e

0.00*

81±10a

86±13a

0.15

0.00*

0.00*

1) uji one way ANOVA; 2) uji paired t-test; Pada baris yang sama, angka dengan huruf sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p>0.05); *Signifikan dengan p<0.05

335

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

kelompok kontrol dan perlakuan. Tingkat nafsu makan diamati dengan meng-

gunakan Visual Analog Scale (VAS) 100 mm. Sub-jek membuat tanda vertikal antara dua ekstremi-tas, sesuai dengan yang mereka rasakan saat VAS diberikan. Tingkat nafsu makan dibagi menjadi tiga bagian yaitu tingkat rasa lapar, tingkat kepua-san, dan keinginan untuk makan. Pada kelompok perlakuan diberikan roti dan susu tinggi protein dan kelompok kontrol diberikan roti dan glukosa standar.20

Rerata tingkat rasa lapar pada kelompok per-lakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelom-pok kontrol. Status gizi sampel pada penelitian ini yaitu status gizi kurang. Jadi, pemberian susu ting-gi protein pada individu yang memiliki status gizi kurang dapat meningkatkan tingkat rasa lapar. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakuan oleh Buosi et al. bahwa pemberian protein pada subjek yang overweight dapat menekan rasa lapar diban- dingkan dengan kontrol.21 Hal ini menunjukkan bahwa intervensi susu tinggi protein pada subjek yang memiliki berat badan kurang dapat memicu rasa lapar dibandingkan dengan kelompok kon-trol, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah asupan energi. Protein susu berpengaruh terhadap rasa kenyang, tetapi tidak berpengaruh terhadap asupan makan selanjutnya. Hal ini tergantung dari sumber protein, kualitas, kuantitas dan waktu pe- ngukuran dalam penelitian tersebut.22,23

Penelitian yang dilakukan oleh Bowen et al. menunjukkan bahwa pemberian protein whey memiliki respon rasa lapar yang berbeda terha-dap subjek yang memiliki berat badan normal dan berat badan lebih.16 Protein whey yang diberikan pada subjek yang memiliki berat badan lebih dapat menekan rasa lapar dibandingkan dengan subjek yang memiliki berat badan normal, hal ini dibuk-tikan dengan peningkatan hormon Glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang signifikan pada subjek overweight dibanding subjek normal. GLP-1 me- rupakan hormon yang dihasilkan oleh usus dan ja-ringan adiposa, yang berperan dalam pengaturan asupan makanan dan homeostatis energi.24-26

Perbedaan respon GLP-1 terhadap orang yang memiliki berat badan berbeda, kemungkinan disebabkan oleh perbedaan sekresi GLP-1 oleh ja-ringan adiposa. Jaringan adiposa lebih besar pada orang yang obesitas dibandingkan dengan nor-

mal dan underweight. Sekresi GLP-1 pada orang obesitas lebih besar, sehingga lebih cepat dalam memicu rasa kenyang. Sedangkan, sekresi GLP-1 pada orang yang memiliki berat badan kurang le-bih sedikit, diduga tidak mampu memicu rasa ke-nyang dengan cepat. Hal ini diperkuat oleh Mus-celli et al. bahwa efek hormon incretine termasuk GLP-1 berhubungan terbalik dengan IMT.27

Pemberian susu yang mengandung pro-tein whey memiliki respon yang berbeda ter- hadap individu yang memiliki berat badan yang berbeda. Selain disebabkan oleh efek GLP-1, kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan metabolisme hormon-hormon yang memicu rasa lapar, misalnya ghrelin. IMT merupakan penentu konsentrasi plasma ghrelin pada manusia. Sekresi ghrelin akan meningkat pada individu yang me- ngalami keseimbangan energi negatif dan me- ngalami penurunan pada individu yang mengala-mi keseimbangan energi positif.28 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Murphy dan Bloom bahwa level plasma ghrelin berhubungan terbalik dengan berat badan.29

Terdapat perbedaan rerata tingkat kepuasan pada kedua kelompok, meskipun tidak signifikan. Rerata tingkat kepuasan kelompok perlakuan le-bih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Dove et al. menun-jukkan hasil yang sama bahwa tidak terdapat per-bedaan signifikan tingkat kepuasaan subjek yang diberikan susu dengan kontrol, meskipun tingkat kepuasaan terhadap susu cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.30

Ada beberapa mekanisme pengaruh protein susu terhadap tingkat nafsu makan meliputi pele-pasan asam amino, kandungan peptida bioaktif dan hormon yang berpengaruh terhadap rasa kenyang.31 Anderson et al. mengemukakan mekanisme pro-tein dalam mempengaruhi nafsu makan. Pertama, protein memulai rasa kenyang melalui pencernaan dan pelepasan Biologically Active Peptides (BAP) dalam protein. BAP ini bertindak dalam saluran pencernaan, BAP mengaktifkan reseptor, sehingga memberikan sinyal melalui saraf vagus baik se-cara langsung atau berinteraksi dengan hormon di usus yang terlibat dalam regulasi asupan. Kedua, asam amino bebas yang dihasilkan melalui proses pencernaan mengaktifkan sistem neurokimia, se- hingga berkontribusi terhadap rasa kenyang.31

336

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

Tingkat nafsu makan dapat dipengaruhi oleh be-berapa hal diantaranya berat badan, umur, jenis kelamin, kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan, pengetahuan mengenai makanan.20

Penelitian oleh Frid et al. mengemukakan bahwa pemberian 18 gram protein whey ke dalam makanan yang mengandung karbohidrat lebih ce-pat dicerna dan diserap, mengakibatkan pening-katan konsentrasi plasma insulin dan menurunkan glukosa postprandial.11 Glukosa darah postpran-dial berhubungan dengan tingkat kenyang dan asupan makanan.33 Anderson et al. mengemukakan teori glucostatic yang dikembangkan oleh Mayer, bahwa fluktuasi glukosa darah memicu perubahan dalam asupan makanan.32 Rasa lapar akan dimu-lai jika kadar glukosa rendah dan menyebabkan rasa kenyang apabila kadar glukosa meningkat. Konsentrasi glukosa berperan penting dalam me- ngontrol nafsu makan karena otak bergantung dari kadar glukosa sebagai sumber energi.34

Penelitian oleh Meijl et al. bahwa pemberian susu tinggi protein dapat menurunkan kadar gluko-sa darah postprandial sebesar 24% dibandingkan dengan kontrol.35 Hasil yang sama juga dikemu-kakan oleh Kung et al. bahwa nilai iAUC pada kelompok susu tinggi protein dapat menurunkan glukosa darah postprandial lebih baik dibanding-kan dengan kelompok kontrol (p<0.005).36 Salah satu manfaat protein susu yaitu merangsang pele-pasan insulin dan memiliki potensi mengubah up-take glukosa dalam jaringan dan menekan fluktua-si glukosa darah postprandial.4

KESIMPULAN DAN SARANNafsu makan berdasarkan tingkat rasa lapar

subjek setelah diberikan susu tinggi protein me- ngalami peningkatan signifikan (p<0.05). Susu tinggi protein dapat menekan respon glukosa post-prandial. Susu tinggi protein dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan berat badan melalui pengaturan nafsu makan. Selain itu, juga dapat dijadikan usaha preventif untuk mencegah penyakit degenaratif dan penyakit infeksi, sehing-ga dapat meningkatkan atau mempertahankan de- rajat kesehatan. Saran untuk penelitian selanjut- nya, untuk mengkaji lebih dalam efek pemberian susu tinggi protein terhadap hormon ghrelin dan GLP-1 yang berperan dalam pengaturan nafsu makan.

DAFTAR PUSTAKA1. Aimutis, WR. Bioactive Properties of Milk

Proteins with Particular Focus on Anticario-genesis. J.Nutr. 2004; 134(4):989S-995S.

2. Pal, S, Ellis, V, Dhaliwal, S. Effects of Whey Protein Isolate on Body Composition, Lipids, Insulin, and Glucose in Overweight and Obese Individuals. British Journal of Nutrition. 2010; 104:716-723.

3. Krissansen, GW. Emerging Health Properties of Whey Proteins and their Clinical Implica-tions. Journal of the American College of Nu-trition. 2007; 26(6):713S-723S.

4. McGregor RA, Poppit SD. Milk Protein for Improved Metabolic Health: A Review of the Evidence. Nutr Metab. 2013;10(46):1-13.

5. Jakubowicz D, Froy O. Biochemical and Me- tabolic Mechanisms by Which Dietary Whey Protein May Combat Obesity and Type 2 Dia-betes. J Nutr Biochem. 2013;24(1):1-5.

6. Pistrosch F, Natali A, Hanefeld M. Is Hyper-glycemia a Cardiovascular Risk Factor?. Dia-betes Care. 2011;34(2): S128-S131.

7. Nilsson M, Stenberg M, Frid A, Holst JJ, Bjork IME. Glycemia and Insulinemia in Healthy Subjects after Lactoseequivalent Meals of Milk and other Food Proteins: the Role of Plasma Amino Acids and Incretins. Am J Clin Nutr. 2004;80(5):1246 –53.

8. Turner KM, Keogh JB, Clifton JM. Dairy Consumption and Insulin Sensitivity: A Sys-tematic Review of Short- and Long-Term In-tervention Studies. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2015;25(1):3-8.

9. Blouet C, Mariotti FO, Mikogami T, Tome D, jean-Franc, Haneau O. Meal Cysteine Im-proves Postprandial Glucose Control in Rats Fed a High-Sucrose Meal. J Nutr Biochem. 2007;18(8): 519–524.

10. Petersen BL, Ward LS, Bastian ED, Jenkins AL, Campbel J and Vuksan V. A Whey Protein Supplement Decreases Post-Prandial Glyce-mia. Bio Med Central. 2009;8(47):1-5.

11. Frid AH, Nilsson M, Holst JJ, Bjork IM. Ef-fect of Whey on Blood Glucose and Insulin Responses to Composite Breakfast and Lunch Meals in Type 2 Diabetic Subjects. Am J Clin Nutr. 2005;82(1):9-75.

337

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

12. Acheson, KJ, Blondel-Lubrano, A, On, SOA, Ont, MB, Ady-Azar, SE, Ammon-Zufferey, C, Monnard, I, Pinaud, S, Nielsen-Moennoz, C, Bovetto, L. Protein Choices Targeting Ther-mogenesis and Metabolism. Am J Clin Nutr. 2011; 93(3): 525-534.

13. Anderson, GH, Moore, SE. Dietary Proteins in the Regulation of Food Intake and Body Weight in Humans. The Journal of Nutrition. 2004; 134(4): 974S-979S.

14. Hall, WL, Millward, DJ, Long, SJ, Morgan, M. Casein and Whey Exert Different Effects on Plasma Amino Acid Profiles, Gastrointes-tinal Hormone Secretion and Appetite. British Journal of Nutrition. 2002; 89:239–248.

15. Vendhorst MAB, Nieuwenhuizen AG, Hoch-stenbach-Wealen A, Vught AJAHV, Westertep KR, Engelen MPKJ, Brummer RM, Deutz NEP, Westertep-Plantenga MS. Dose-De-pendent Satiating Effect of Whey Relative to Casein or Soy. Physio Behav. 2009;96(4-5): 675–682.

16. Bowen, J, Noakes, M, Clifton, PM. Appetite Regulatory Hormone Responses to Various Dietary Proteins Differ by Body Mass In-dex Status Despite Similar Reductions in ad Libitum Energy Intake. The Journal of Cli-nical Endocrinology dan Metabolism. 2006; 91(8):2913–2919.

17. Lameshow, S, Hosmer, DW, Klar, J, Lwan-ga, SK. Besar Sampel dalam Penelitian Ke- sehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1997

18. Olli, K, Salli, K, Alhoniemi, E, Saarinen, M, Ibarra, A, Vasankari, T, Rautonen, N, Tiihonen, K. Postprandial Effects of Polydextrose on Satiety Hormone Responses and Subjective Feelings of Appetite in Obese Participants. Nutrition Journal. 2015;14(2):1-12.

19. Gregersen N, et al. Determinants of Appetite Ratings: the Role of Age, Gender, BMI, Physi-cal Activity, Smoking Habits, and Diet/Weight Concern. Food & Nutrition Research. 2011 55(1):1654-6628

20. Benelam, B. Satiation, Satiety and Their Effects on Eating Behaviour. British Nutri-tion Foundation Nutrition Bulletin. 2009; 34(2):126–173.

21. Buosi, W, Bremner, DM, Horgan, GW, Fyfe,

CL, Johnstone, AM. Effect of High-Protein Breakfast Meals on within Day Appetite and Food Intake in Healthy Men and Women. Food and Nutrition Sciences. 2015;6(3):386-390

22. Anderson, GH, Luhovvy, Akhavan, T, Pana-hi, S. Milk Proteins in the Regulation of Body Weight, Satiety, Food Intake and Glycemia. Physiologic Functions of Milk Proteins. 2011; 67:147-159.

23. Diepvens, K, Berer, H, Plantenga, W. Dif-ferent Proteins and Biopeptides Differently Affect Satiety and Anorexigenic/Orexigenic Hormones in Healthy Humans. International Journal of Obesity. 2008;32:510-518.

24. Bloom, SR, Kuhajda, FR, Laher, L, Pi-Sunyer, X, Ronnett, GV, Tan, TMM, Weigle, DS. The Obesity Epidemic: Pharmacological Chal-lenges. Mol Interv. 2008;8(2):82-98

25. Moran, TH, Dailey, MJ. Gut Peptides: Targets for Antiobesity Drug Development?. Endocri-nology. 2009;150(6):2526-2530.

26. Madsbad, S. The Role of Glucagon-Like Pep-tide-1 Impairment in Obesity and Potential Therapeutic Implications. Diabetes, Obesity and Metabolism. 2014; 16(1): 9–21.

27. Muscelli, E, Mari, A, Casolaro, A, Camastra, S, Seghieri, G, Gastaldelli, A, Holst, JJ, Fer-rannin, E. Separate Impact of Obesity and Glucose Tolerance on the Incretin Effect in Normal Subjects and Type 2 Diabetic Patients. BMJ. 2008;57(5):1340-1348.

28. Shiiya, T, Nakazato, M, Mizuta, M, Date, Y, Mondal, MS, Tanaka, M, Nozoe, S, Ho-soda, H, Kangawa, K, Matsukura, S. Plasma Ghrelin Levels in Lean and Obese Humans and the Effect of Glucose on Ghrelin Secre-tion. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2002;87(1):240-244.

29. Murphy, KG, Bloom, SR. Gut Hormones in the Control of Appetite. Exp Physiol. 2004; 89(5):507-516.

30. Dove, ER, Hodgson, JM, Puddey, IB, Beilin, LJ, Lee, YP, Mori, TA. Skim Milk Compared with A Fruit Drink Acutely Reduces Appetite and Energy Intake in Overweight Men and Women. Am J Clin Nutr. 2009;90(1):70-75.

31. Luhovvy, BL, Akhavan, T, Anderson, GH. Whey Proteins in the Regulation of Food

338

Harna : Pengaruh Pemberian Susu Tinggi Protein terhadap Tingkat Nafsu Makan dan Kadar Glukosa Postprandial

Intake and Satiety. J Am Coll Nutr. 2007; 26(6):704S-712S.

32. Anderson, GH, Aziz, A, Samra, RA. Physiolo-gy of Food Intake Regulation: Interaction with Dietary Components. Protein and Energy Re-quirements in Infancy and Childhood. Nestlé Nutr Workshop Ser Pediatr Program. 2006; 58: 133-145.

33. Akhavan T, Luhovyy BL, Anderson GH. Ef-fect of Drinking compared with Eating Sugars or Whey Protein on Short-Term Appetite and Food Intake. Int J Obes. 2011;35:562-569.

34. Marty N, Dallaporta M, Thorens B. Brain Glu-

cose Sensing, Counter Regulation, and Energy Homeostatis. Physiology.2007;22(4):241-251.

35. Meijl LV, Mensink RP. Effects of Milk and Milk Constituents on Postprandial Lipid and Glucose Metabolism in Overweight and Obese Men. Br J Nutr. 2013;110(3):413-419.

36. Kung B, Pare S, Tucker AJ, Anderson GH, Wright AJ, Goff D. Effect of Milk Protein Intake and Casein: Whey Ratio in Break-fast Meals on Postprandial Glucose, Satiety Ratings and Subsequent Meal Intake. JAS. 2016;94(5):243-248.

339

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remajauntuk Menolak Narkoba

Effectiveness of CBIA-Drug in Improving Youth Knowledgeto Resist Drugs

Sinta Rachmawati1*, Sri Suryawati2, Rustamaji2

1Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Jember, Jember2Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(*[email protected])

ABSTRAKPenyalahgunaan narkoba masih menjadi permasalahan kesehatan yang mendesak di Indonesia. Ceramah

menjadi salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memberikan informasi, termasuk bahaya narko-ba. CBIA (Cara Belajar Insan Aktif)-Narkoba merupakan metode pendidikan alternatif yang melibatkan diskusi kelompok kecil. Penelitian ini bertujuan menilai efektivitas CBIA-Narkoba dibandingkan dengan metode cera-mah dalam peningkatan pengetahuan remaja untuk menolak narkoba. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental semu dengan rancangan pre test-post test control group design. Partisipan yang terlibat sebanyak 30 responden untuk kelompok CBIA-Narkoba, 30 responden untuk kelompok intervensi dan 30 responden untuk kelompok kontrol. Analisis statistika multivariat (kruskall wallis) digunakan untuk mengetahui efektivitas antara metode CBIA-Narkoba dengan ceramah. Uji beda post test 1 menunjukkan adanya kebermaknaan antar metode (p<0,05). Artinya CBIA-Narkoba lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan untuk menolak narkoba diban- dingkan metode ceramah.Kata kunci : Efektivitas, CBIA, ceramah, pengetahuan, narkoba

ABSTRACTDrug abuse is still a major health problem in Indonesia. The lecture method is one of the most widely used

to provide information, including drug. CBIA (Community Based Interactive Approach) drug is an alternative educational method that involves small group discussion. This study aims to assess the effectiveness of CBIA-Drug compared with lecture method in improving youth knowledge to resist drug. Quasi experimental with pre test-post test control group design was used in this study. It involved 30 respondents for CBIA-Drug group, 30 respondents for intervention group and 30 respondents for control group. Mutivariate statistical analysis (kruskall wallis) was used to evaluate the effectiveness of CBIA-Drug. There was a significance value at post test 1 for each group (p<0.05). It means that CBIA-Drug is more effective in improving youth knowledge to resist drug than lecture method.Keywords : Effectiveness, CBIA, lecture, knowledge, drug

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.4477

340

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba

PENDAHULUAN UNODC (United Nation on Drug and

Crime) memperkirakan sekitar 255 juta orang (5% dari populasi orang dewasa berusia 15-64 tahun) menggunakan narkoba setidaknya sekali pada ta-hun 2015. Angka ini menunjukkan jumlah penya- lahguna narkoba di antara populasi dunia tetap sta-bil selama lima tahun terakhir. Secara global, lebih dari 11% orang yang menggunakan narkoba (seki-tar 29,5 juta orang) diperkirakan menderita perma-salahan kesehatan akibat penggunaan narkoba.1

Penyalahgunaan narkoba menjadi perma- salahan mendesak di Indonesia. Salah satu kelom-pok yang rentan adalah remaja.2 Hasil survei BNN menyebutkan 4 dari 100 orang pelajar/mahasiswa pernah menggunakan narkoba. Setengah dari jum-lah tersebut mengonsumsi narkoba dalam rentang setahun terakhir.3 Strategi untuk mengatasi perma-salahan narkoba dilakukan dengan cara mengura- ngi penawaran (supply reduction) dan mengura- ngi permintaan (demand reduction). Upaya untuk mengurangi permintaan dapat dilakukan dengan langkah pencegahan. Program pencegahan yang baik merupakan cara yang efektif biaya (cost ef-fectiveness). Penelitian menunjukkan bahwa se-tiap 1 dolar yang dihabiskan mampu menghemat pengeluaran pemerintah sampai 10 dolar pada bia-ya selanjutnya.4

Upaya pencegahan sering dilakukan pada masa remaja, ketika kaum muda terpapar ide baru, yaitu pada saat remaja mencoba menjalani peran orang dewasa dan lebih mandiri. Remaja mulai mempunyai keputusan akan keterlibatan dengan perilaku buruk yang berpotensi membahayakan, seperti perilaku seksual berisiko, merokok, minum minuman keras, perilaku mengemudi berisiko dan penggunaan narkoba. Periode perkembangan ini adalah waktu ketika intervensi dapat memperkuat atau mengubah pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu, program dengan target usia remaja memberikan hasil yang lebih baik dalam pence-gahan penyalahgunaan narkoba daripada program yang menargetkan anak-anak yang lebih muda atau usia yang lebih tua.5

Pencegahan yang perlu dilakukan berupa intervensi yang berbasis bukti (evidence based intervention) karena tidak semua intervensi mem-berikan luaran yang positif. Terdapat beberapa metode peningkatan pengetahuan remaja, dian-

taranya dilakukan dengan metode ceramah, testi-moni mantan penyalahguna narkoba dan diskusi kelompok kecil. Metode ceramah paling banyak digunakan untuk memberikan informasi, termasuk tentang penyalahgunaan narkoba. Namun, metode ini memiliki kekurangan karena bersifat satu arah.5

CBIA (Cara Belajar Insan Aktif)-Narkoba adalah metode pendidikan dengan diskusi kelompok ke-cil yang interaktif, mendorong partisipasi peserta dan melibatkan fasilitator yang berasal dari kala- ngan remaja. Fasilitator yang berasal dari kalangan remaja menjadi penting karena tingkat konformi-tas terhadap teman sebaya adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan narko-ba.6 Intervensi CBIA-Narkoba mampu meningkat-kan pengetahuan remaja untuk menolak narkoba.7 Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang bertu-juan menilai efektivitas CBIA Narkoba dibanding-kan dengan metode ceramah dalam peningkatan pengetahuan remaja untuk menolak narkoba.

BAHAN DAN METODEJenis penelitian yang digunakan adalah eks-

perimental semu dengan rancangan pre test-post test control group design. Partisipan yang terlibat sebanyak 30 responden untuk kelompok cera-mah, 30 responden untuk kelompok CBIA Nar-koba dan 30 responden untuk kelompok kontrol. Responden adalah siswa kelas 1 SMAN 1 Bantul Yogyakarta di tiga kelas yang berbeda tahun aja-ran 2015/2016, masing-masing sebagai kelompok ceramah, kelompok CBIA-Narkoba dan kelom-pok kontrol. Kelompok ceramah diisi oleh guru yang menyampaikan materi tentang narkoba se- suai mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan. Kelompok CBIA-Narkoba dilaku-kan dengan diskusi kelompok kecil didampingi fasilitator. Terdapat 5 kelompok dengan anggota 6 orang peserta dan 1 orang fasilitator. Fasilitator bertugas memandu jalannya diskusi. Fasilitator adalah siswa yang menjadi kader kesehatan seko-lah dan sudah mengikuti pelatihan CBIA Narko-ba dalam bentuk Training of Trainer sebelumnya. Buku berjudul “Fakta tentang Narkoba” dibagikan dalam kelompok kecil. Buklet ini terdiri dari dua bagian, 3 orang peserta membaca buku A, sisa- nya membaca buku B. Kemudian, mereka saling bercerita dan berdiskusi dengan sesama anggota kelompok. Fasilitator memberi penekanan pada

341

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

poin-poin utama sesuai modul CBIA Narkoba un-tuk fasilitator. Kelompok terakhir, yakni kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan.

Kuesioner pengetahuan untuk menolak narkoba adalah instrumen yang dipakai dalam penelitian. Kuesioner sudah diuji validitas dan reliabilitasnya kepada 30 siswa di luar responden penelitian, dan memenuhi syarat. Setiap kelom-pok mengisi kuesioner pretest sebelum perlakuan. Sesaat setelah perlakuan, kuesioner post test 1 di-isi. Kuesioner post test 2 diisi 3 minggu setelah in-tervensi. Kuesioner pre test 1, post test 1 dan post test 2 memuat isi pertanyaan yang sama. Analisis statistika multivariat, yaitu uji beda antar metode kruskall wallis, digunakan untuk mengetahui efek-tivitas antara metode CBIA-Narkoba dengan ce-ramah. Penyajian data dilakukan dengan tabulasi dan grafik.

HASILTabel 1 menampilkan karakteristik respon-

den dan informasi narkoba yang dimiliki. Pada masing-masing kelompok, proporsi jenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki seki-

tar 60%:40%. Mayoritas usia responden pada masing-masing kelompok adalah usia 15 tahun. Beberapa responden mengaku pernah mencoba zat adiktif berupa rokok dan minuman beralkohol. Namun, tidak ada satu pun yang menggunakan psikotropika ataupun narkotika. Semua responden (100%) pada kelompok CBIA-Narkoba, ceramah dan kontrol pernah mendapatkan informasi ten-tang narkoba dari berbagai sumber.

Hasil kuesioner pengetahuan untuk meno-lak narkoba pada kelompok CBIA-Narkoba, ce-ramah dan kontrol ditampilkan dalam Grafik 1. Terdapat kenaikan skor sesaat setelah perlakuan pada masing-masing kelompok (post test 1). Na-mun, ada sedikit penurunan 3 minggu setelah per-lakuan (post test 2). Tabel 2 menunjukkan rerata skor kuesioner untuk menolak narkoba. Untuk mengetahui efektivitas antara CBIA-Narkoba dan ceramah dalam meningkatkan pengetahuan, maka perlu dilakukan analisis statistika mutivariat yaitu uji beda antar metode dengan kruskall wallis.

Uji beda postest 1 pengetahuan menunjuk-kan adanya kebermaknaan antar metode. Dari uji lanjutan diketahui antara kelompok CBIA dengan

Tabel 1. Karakteristik Responden dan Informasi Narkoba yang Dimiliki

KarakteristikKelompok

CBIA-Narkoba(n=30) % Ceramah

(n=30) % Kontrol(n=30) %

Jenis kelaminLaki-lakiPerempuan

Usia (tahun)141516

Zat adiktif coba pakaiRokokMinuman BeralkoholNarkotika

Informasi narkobaIyaTidak

Sumber informasi*

Media (TV, majalah, koran) GuruTemanPetugas KesehatanLainnya

1218

2208

220

300

24196217

4060

76727

770

1000

8063207023

1218

1236

140

300

22164218

4060

37720

3130

1000

7353137027

1317

11811

400

300

24195158

4357

36037

1300

1000

8063175027

* responden bisa mengisi >1

342

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba

kelompok ceramah dan kontrol masing-masing memberikan hasil yang bermakna yaitu 0,000 (p< 0,05). Sedangkan post test 1 pengetahuan kelom-pok ceramah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol memberikan hasil tidak bermakna yaitu 0,184 (p>0,05). Artinya metode CBIA-Narkoba lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan setelah intervensi dibandingkan metode ceramah.

Uji beda post test 2 pengetahuan menunjuk-kan adanya kebermaknaan antar metode. Dari uji lanjutan diketahui antara kelompok CBIA dengan kelompok ceramah dan kontrol masing-masing memberikan hasil yang bermakna yaitu 0,000 dan 0,007 (p<0,05). Sedangkan post test 2 pengeta-huan kelompok ceramah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol memberikan hasil yang tidak bermakna yaitu 0,051 (p>0,05). Artinya metode CBIA-Narkoba lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan 3 minggu setelah intervensi diban- dingkan metode ceramah.

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan, semua res-

ponden (100%) pernah mendapatkan informasi tentang narkoba. Hal ini sejalan dengan penelitian BNN yang menyebutkan bahwa 93% siswa SMA pernah mendengar berbagai jenis narkoba di tahun 2016. 3 Meskipun demikian, tidak berarti penge-tahuan yang tinggi berkorelasi positif dengan pe- rilaku menolak narkoba. Pemberian informasi yang tidak tepat pada remaja menyebabkan mere-ka mencoba pakai narkoba.

CBIA-Narkoba dirancang untuk melurus-kan mitos yang berkembang di kalangan pemuda tentang narkoba, tidak sekedar memberikan infor-masi tentang jenis-jenis narkoba dan bahayanya. Pengenalan berbagai substansi narkoba dari sisi wujud dan bentuknya memberikan hasil yang negatif terhadap perilaku menolak narkoba.8 Mi-tos yang ingin diluruskan adalah dampak negatif penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja lebih

Grafik 1. Skor Rerata Pengetahuan CBIA-Narkoba, Ceramah dan Kontrol

Tabel 2. Rerata Skor Kuesioner Pengetahuan untuk Menolak NarkobaPengetahuan Pre test Post test 1 Post test 2

Kelompok CBIA-Narkoba (±)

Kelompok Ceramah

Kelompok Kontrol

14,27

14,37

15,13

17,37*

14,83*

15,37

17,10

14,60

15,97* terdapat perbedaan yang bermakna pada posttest 1 dan posttest 2 pengetahuan dengan kruskall wallis (p<0,05). Pada uji lanjutan yakni uji beda kelompok CBIA-ceramah dan CBIA-kontrol, terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05)± rentang skor pengetahuan adalah 0-20

343

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

ringan daripada orang dewasa, narkoba non sinte-tik lebih aman daripada narkoba sintetik, ada be-berapa jenis narkoba yang tidak merugikan bagi remaja serta penggunaan narkoba di usia muda tidak akan menyebabkan ketagihan dan kematian.

Penelitian yang dilakukan oleh Majid menunjukkan bahwa penyuluhan dapat mengubah pengetahuan masyarakat.9 CBIA-Narkoba adalah metode penyuluhan yang diadopsi dari metode CBIA. Metode ini mempunyai ciri berbasis pada komunitas, interaktif, melibatkan diskusi kelom-pok kecil yang dipandu fasilitator. Pada awalnya, metode ini digunakan untuk meningkatkan pe- ngetahuan dan keterampilan ibu dalam pemilihan pengobatan sendiri di rumah tangga. Kemudian, dikembangkan menjadi CBIA-DM, CBIA-diare dan terapi lain dengan hasil yang memuaskan.10-13

CBIA-Narkoba adalah hasil modifikasi dari CBIA dengan memasukkan pesan pencegahan penyalah-gunaan narkoba.

CBIA-Narkoba diketahui lebih efektif un-tuk meningkatkan pengetahuan sesaat setelah in-tervensi dibandingkan metode ceramah. Metode ini juga lebih efektif dalam meningkatkan penge- tahuan 3 minggu setelah intervensi dibandingkan metode ceramah. Hal ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh UNODC tentang pendi-dikan berbasis sekolah untuk pencegahan pe- nyalahgunaan narkoba.14 Pedoman tersebut me- nyampaikan bahwa intervensi untuk pencegahan penyalahgunaan narkoba menjadi lebih berhasil apabila difokuskan pada siswa dan menggunakan metode interaktif, dengan pembelajaran berdasar-kan pengalaman dan diskusi kelompok kecil. Stan-dar internasional tentang pencegahan penyalahgu-naan narkoba tahun 2013 juga menyebutkan bah-wa intervensi yang interaktif dan dipandu fasili-tator memberikan hasil yang positif. Sebaliknya, metode ceramah tidak memberikan dampak atau malah memberikan dampak yang negatif.

Upaya pencegahan penyalahgunaan narko-ba sebaiknya tidak berhenti pada aspek pemberian informasi saja. Intervensi yang berkelanjutan dan memberikan ketrampilan sosial dapat memperkuat perilaku penolakan terhadap narkoba.15

KESIMPULAN DAN SARANCBIA-Narkoba diketahui lebih efektif untuk

meningkatkan pengetahuan untuk menolak narko-

ba sesaat setelah intervensi dibandingkan metode ceramah. Efektifitasnya terjaga 3 minggu setelah in-tervensi. Upaya peningkatan pengetahuan sebaik- nya dilanjutkan dengan program terstruktur dalam beberapa sesi yang memberikan keterampilan so-sial untuk memperkuat perilaku penolakan terha-dap narkoba.

UCAPAN TERIMA KASIHPeneliti mengucapkan terima kasih kepada

Kepala Sekolah SMAN 1 Bantul yang telah mem-berikan ijin pengambilan data, seluruh responden yang bersedia mengikuti penelitian dari awal sam-pai akhir serta BNNP DIY yang telah memberikan dukungan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA 1. UNODC. World Drug Report 2017: Global

Overview of Drug Demand and Supply. Vien-na: United Nation Office on Drugs and Crime; 2017.

2. BNN RI. Laporan Kinerja Badan Narkotika Nasional Tahun 2016. Jakarta: Badan Narko-tika Nasional RI; 2016.

3. BNN RI. Hasil Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pe-lajar Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016. Jakarta: Badan Narkotika Nasional; 2016.

4. INCB. Report of the International Narcotics Control Boards for 2013. Vienna: Internation-al Narcotics Control Boards; 2014.

5. UNODC. International Standards on Drug Use Prevention. Vienna: United Nation Office on Drugs and Crime; 2013

6. M, Asni. Faktor yang Berhubungan dengan Penyalahgunaan Narkoba pada Remaja di SMA Kartika Wirabuana XX-1 Makassar. Jur-nal MKMI. 2013;9(3):190-196

7. Rachmawati, S. Upaya Peningkatan Penge-tahuan pada Pelajar SMAN 1 Bantul tentang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba de-ngan Intervensi CBIA-Narkoba. Jurnal Ikes-ma. 2017;12(1):1-7.

8. UNICEF. Life Skills-Based Education for Drug Use Prevention Training Manual. New York: United Nation Children’s Fund; 2001

9. Majid, M. Pengembangan Metode Penyuluhan Meningkatkan Pemakaian Alat Kontrasepsi.

344

Sinta Rachmawati : Efektivitas CBIA-Narkoba dalam Peningkatan Pengetahuan Remaja untuk Menolak Narkoba

Jurnal MKMI. 2017;13(1):91-96.10. Suryawati, S. CBIA: Cara Belajar Ibu Aktif,

A Community Based Interactive Approach Toward Safe, Effective and Cost Efficient Self Medication. Yogyakarta: Melati Nusantara Foundation; 2010.

11. Hartayu, T.S, Mi M.I, Suryawati, S. Impro- ving of Type 2 Diabetic Patients’ Knowledge, Attitude and Practice Towards Diabetes Self-Care by Implementing Community Based In-teractive Approach Diabetes Mellitus Strate-gy. BMC Res Notes. 2012;5:315.

12. Kumala, AP. CBIA-Diare untuk Mening-katkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu dalam Tatalaksana Diare pada Balita di Bina Keluarga Balita (BKB) Desa Banguntapan

Kabupaten Bantul. Majalah Farmaseutik. 2016;12(1):390-393

13. Mahardika, AB. Intervensi CBIA untuk Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Pe-rilaku Penggunaan Antibiotik yang Rasional pada Anggota Bina Keluarga Balita. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2016;29(2):165-169

14. UNODC. School-Based Education for Drug Abuse Prevention. Vienna: United Nation Of-fice on Drugs and Crime; 2004.

15. Griffin, K. W. and Botvin, G. J. Evidence Based Interventions for Preventing Substance Use Disorder in Adolescents. Child Adolesc Psychiatr Clin. 2010;19(3):505-526

345

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia

Psychological Risk Level of Air Traffic Controllers in Air NAV Indonesia

Lalu Muhammad Saleh1*, Syamsiar S. Russeng1, Hasanduddin Ishak2

1Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin2Departemen Kesahatan Lingkungan FKM Universitas Hasanuddin

(*[email protected])

ABSTRAKAir Traffic Controller (ATC) adalah profesi yang bertugas sebagai pemandu lalu lintas udara yang memiliki

tingkat stres tinggi dalam bekerja. ATC bekerja mengedepankan otak sehingga beban mental dapat terjadi. Pene-litian bertujuan melihat sejauh mana tingkat risiko psikologis yang dihadapi ATC dalam bekerja dan jenis hazard yang menjadi penyebab. Sampel penelitian adalah karyawan ATC di Makassar Air Traffic Service Centre yang ber-jumlah 35 orang. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran risiko menggunakan matriks penilaian risiko menurut standar AS/NZS 4360. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat risiko paling tinggi yang dapat memengaruhi aspek psikologis dalam bekerja adalah karena pola kerja 3 hari kerja 1 hari istirahat, kurangnya jumlah teman dalam bekerja, jumlah pesawat yang diamati, suhu yang dingin. Kesimpulan penelitian adalah karyawan ATC mengalami risiko psikologis karena beratnya pola kerja 3-1, jumlah teman yang kurang, jumlah pesawat yang banyak, dan suhu yang dingin. Katakunci : ATC, tingkat risiko, psikologis, Air NAV

ABSTRACTAir Traffic Controller (ATC) is a profession that serves as an air traffic guide who has a high level of stress

in work. ATC works put forward the brain so that mental burden can occur. This study aims to see how far the level of psychological risk factor ATC in work and hazard what causes it. The sample of research is ATC employees in Makassar Air Traffic Service Center which amounted to 35 people. Data collection using questionnaire and risk measurement using risk assessment matrix according to AS/NZS 4360 standard. The results showed that the high-est level of risk that could affect the psychological aspects in work is due to work patterns 3 working days 1 rest day, the lack of number of friends in work, number of planes observed, cold temperatures. The conclusion of the study was that ATC employees had psychological risks due to the work pattern 3-1, lack of friends, large numbers of aircraft, and cold temperatures. It is advisable to the management to immediately increase the amount of ATC power, and provide work clothes as a protector of cold temperatures.Keywords : ATC, risk level, psychological, Air NAV

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5206

346

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia

PENDAHULUAN Penerbangan global akhir-akhir ini me-

ngalami peningkatan dari jumlah armada maupun jumlah penumpang. Keadaan yang sama terja-di pada industri penerbangan di Indonesia yang mengalami kemajuan dalam 10 tahun terakhir. Menurut International Air Transport Association (IATA) Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam sektor penerbangan, diestimasikan bahwa pada tahun 2034 Indonesia akan mampu menjadi 6 (enam) pasar terbesar dalam air tra- vel di dunia, diekspektasikan terdapat sekitar 270 juta penumpang yang akan terbang melakukan perjalanan domestik, maupun internasional atau-pun hanya melewati lintas udara negara Indonesia. Olehnya IATA meminta kepada para pemangku kepentingan penerbangan di Indonesia untuk me- rencanakan segala prioritas utama baik keamanan, kapasitas, dan peraturan.1

Lancarnya penerbangan sudah tentu tidak lepas dari berbagai peran para pemandu lalu lin-tas udara atau air traffic controller yang mengatur, memantau, dan menginformasikan segala bentuk yang berhubungan dengan fluensi penerbangan. Namun, tidak dapat dipungkiri, perhatian akan aspek keselamatan dan kesehatan kerja karyawan Air Traffic Controller (ATC) harus menjadi perha-tian penting, agar produktivitas tetap optimal un-tuk dapat memandu lalu lintas udara. Konsentra-si optimal dalam memandu pilot mengemudikan pesawat harus selalu dimiliki oleh petugas ATC, tetapi kelelahan kerja tetap dapat terjadi sewaktu- waktu pada controller jika tidak memperhati-kan keselamatan dan kesehatan kerja. Kelelahan psikologis merupakan aspek yang sering terjadi pada karyawan ATC berupa kejenuhan, stres, dan burnout. Kelelahan merupakan suatu yang inevi-table dalam sektor kerja yang periode kerjanya berlangsung 24 jam/7 hari dikarenakan fungsi otak dan tubuh manusia yang optimal tidak tidur dengan baik dimalam hari2 diketahui bahwa jam operasional sektor penerbangan hampir bekerja mencapai waktu 24 jam/7 hari sekalipun dalam manajemen waktu ATC dilakukan waktu kerja per shift (pagi, siang, dan malam). Menurut Interna-tional Civil Aviation Organization (ICAO), shift work tetap berkontribusi atas terjadinya gangguan psikologis pada ATC berupa stress karena dapat mengganggu waktu tidur dan mempengaruhi

hubungan sosial para pekerja, kemudian boredom yang dikaitkan dengan kurangnya aktivitas peker-ja, dan burnout yang dihubungkan dengan work-load.3

Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 218 Tahun 2017 menetapkan jumlah jam kerja personal pemandu lalu lintas pe-nerbangan yakni, jam pemanduan dalam 1 minggu tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam. Jum-lah jam pemanduan dalam 1 hari tidak lebih dari 6 (enam) jam, dengan ketentuan pemanduan paling lama dilakukan selama 2 jam berturut-turut, dan harus diberikan jeda waktu istirahat selama 1 jam.4 Sehingga, jika ketentuan ini tidak diaplikasikan sebagaimana mestinya tingkat kelelahan kerja akan terjadi.

Terkait kelelahan kerja pada ATC di Indo-nesia diketahui berkisar 92% yang mengalami perasaan lelah, dengan kelelahan kerja yang ter-jadi dapat berdampak pada munculnya gangguan atau bahaya dalam penerbangan sehingga memicu timbulnya produktivitas kerja menurun. Dampak lain adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat atas faktor kelelahan petugas ATC. Kiner-ja yang baik dari karyawan ATC akan mendukung keselamatan penerbangan, dan penerbangan yang selamat akan menyelamatkan jutaan jiwa nyawa penumpang dalam setiap harinya. Olehnya kese-hatan dan keselamatan kerja dari karyawan ATC harus selalu menjadi salah satu prioritas untuk mendapatkan kinerja yang optimal. Penelitian bertujuan mengetahui tingkat risiko psikologis karyawan Air Traffic Controller, dengan meli-hat faktor yang paling mempengaruhi terjadinya risiko psikologis tersebut.

BAHAN DAN METODE Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif

dengan desain cross sectional study, lokasi peneli-tian di laksanakan di Makassar Air Traffic Service Centre, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2017, populasi penelitian adalah seluruh karyawan Air Traffic Controller (ATC) dan sam-pel penelitian adalah sebanyak 35 orang respon-den, teknik sampling dengan accidental sampling. Pendekatan teknik accidental sampling merupa-kan jenis non-probability sampling yang paling mudah untuk memenuhi jumlah sampel penelitian

347

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

dan subyektif.5-7 Teknik pengumpulan data dilaku-kan secara primer dengan mengumpulkan data secara langsung kepada responden menggunakan kuesioner, analisis data dengan analisis univariat, dan penyajian data menggunakan tabel dan narasi. Metode dalam menganalisis tingkat risiko dilaku-kan dengan menggunakan standar AS/NZS 4360.

HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa karak-

teristik karyawan ATC menjelaskan tentang jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, masa ker-ja, shift kerja, lama istirahat, dan unit kerja yang dapat dijelaskan pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa karyawan ATC yang tertinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 orang (82,9%), umur ter- tinggi pada umur 20-29 tahun sebanyak 20 orang (57,1%), tingkat pendidikan tertinggi pada tingkat pendidikan Diploma Tiga (D3) 27 orang (77,1%), masa kerja tertinggi adalah masa

kerja lama sebanyak 25 orang (71,4), shift kerja tertinggi pada shift kerja siang sebanyak 26 orang (74,3%), jam istirahat tertinggi 61-120 menit se-banyak 14 orang (40%), dan unit kerja tertinggi pada unit Aerodrome Control Unit (ADC) seba- nyak 21 orang (60%).

Tabel 2 menjelaskan tentang tingkat risiko pada karyawan Air NAV cabang Makassar yang tertinggi adalah pada tingkat risiko rendah karena hubungan antar karyawan ATC sebanyak 97,1%, pada tingkat risiko sedang tertinggi adalah ritme kerja pola 3 hari kerja 1 hari istirahat, lama kerja 2-3 jam/shift, dan jumlah pesawat yang diamati, pada tingkat risiko tinggi tertinggi adalah karena ritme kerja pola 3 hari kerja 1 hari istirahat, dan tingkat risiko extreme tertinggi adalah peralatan dan fasilitas kerja dan bertugas pada cuaca buruk sebanyak 5,7%.

Berdasarkan hasil Tabel 2 memperlihatkan bahwa tingkat risiko extreme tertinggi karena per-alatan dan fasilitas kerja dan bertugas pada cuaca buruk. Tingkat risiko tinggi karena ritme kerja pola 3 hari kerja 1 hari istirahat, tingkat risiko sedang tertinggi karena ritme kerja pola 3 hari kerja 1 hari istirahat, lama kerja 2-3 jam/shift, jumlah pesawat yang diamati. Tingkat risiko rendah yang tertinggi karena hubungan dengan pimpinan.

PEMBAHASAN Penelitian menemukan hasil bahwa tingkat

risiko tertinggi pada risiko extreme karena keadaan fasilitas kerja dan bertugas saat cuaca buruk, ting-kat risiko tinggi terbanyak karena pola kerja 3-1 yaitu 3 hari bekerja dengan 1 hari istirahat. Hasil ini memperlihatkan bahwa kondisi fasilitas kerja dan bertugas saat cuaca buruk memberikan pe-ngaruh yang besar terhadap kerja sebagai control-ler, di samping itu adalah karena pola kerja 3-1 sangat berat dirasakan oleh karyawan ATC. Pe-nelitian ini semakin memperkuat bukti yang telah dikemukakan International Civil Aviation Organi-zation (ICAO) bahwa peralatan kerja yang tidak memadai merupakan salah satu faktor yang dapat memicu munculnya gangguan psikologis berupa stres pada pengendali lalu lintas udara olehnya ICAO menyarankan untuk mengeluarkan pekerja untuk sementara dan jika tuntutan waktu ATC un-tuk pekerjaan tertentu dirasakan berlebihan maka beban kerja tersebut harus dikurangi dengan me-

Tabel 1. Karakteristik Karyawan Air NAV Indonesia Cabang Makassar

Karakteristik n %Jenis Kelamin

Laki-lakiPerempuan

Umur (tahun)20-2930-3940-4950-59

Tingkat PendidikanD3D4/S1S2

Masa KerjaLamaBaru

Shift KerjaPagiSiangMalam

Jam Istirahat (menit)0-6061-120121-180

Unit KerjaADCAPPACC

296

20843

2771

2510

7262

101411

21113

82,917,1

57,122,911,48,6

77,120,02,9

71,428,6

20,074,35,7

28,640,031,4

60,02,937,1

348

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia

rancang ulang tugas dan mengalokasikan kembali tanggung jawab yang sesuai.8 Penelitian Widodo et al., terkait tingkat stres pemandu lalu lintas uda-ra menemukan bahwa ada hubungan yang kuat an-tara tingkat stres kerja dengan kinerja petugas ATC Jakarta. Hasil analisis statistik dalam persamaan regresi menemukan Ŷ= 90,86 – 0,785X atau diar-tikan bahwa bahwa tiap satu satuan kenaikan ting-kat stres kerja petugas, maka akan mempengaruhi penurunan kinerja petugas pemandu lalu lintas pe-nerbangan sebesar 0.785 dalam satuan konstanta 90.86.9

Hasil kajian literatur King et al., terkait pengetahuan dan kemampuan ATC pada weath-er dalam penerbangan menemukan bahwa masih terdapatnya petugas ATC yang pemahaman dasar meteorologinya masih kurang, masih kurangnya pelatihan terkait skenario cuaca, berbagai pera-latan dan informasi terkait kondisi cuaca spesifik pada daerah yang dilintasi pesawat masih terba-tas, Existing Protocol, dan kesalahpahaman dalam koordinasi antar pilot dan ATC.10 Segala bentuk masalah yang ditemukan tersebut menjadikan acuan agar tercipta rencana keselamatan pener-bangan yang lebih ditingkatkan lagi. Kemudian penelitian Budiman et al., di bandara Angkasa Pura II Indonesia menemukan rata-rata beban kerja seluruh petugas ATC diklasifikasikan atas beban mental yang tinggi disebabkan peak hours biasanya terjadi pada shift siang dan shift pagi,

dan untuk shift malam dikaitkan dengan operator ATC yang harus menuntun pilot dengan kondi-si jarak pandang pilot yang pendek pada suasana gelap11, hal ini sejalan dengan temuan Åkerstedt and Wright, shift kerja malam juga memiliki efek negatif terkait siklus tidur, mampu menyebabkan kantuk, kinerja dan berisiko terhadap terjadinya kecelakaan.12 Kemudian temuan Zużewicz, et al., terkait shift work ditemukan bahwa ketika jadwal penerbangan padat dalam suatu shift work maka ritme sikardian tubuh controller juga akan ber-ubah atau Heart Rate Variability (HRV) akan ber-pengaruh.13 Padahal diketahui bahwa ketika jad- wal tugas berturut-turut dilaksanakan oleh petugas ATC maka dapat mengakibatkan gangguan tidur atau tidur yang terbatas, sehingga individu dinya-takan memiliki hutang waktu tidur dan kemung- kinan juga akan mengalami gangguan psikologis berupa peningkatan kelelahan, dan sebagai solusi- nya ialah individu atau petugas membutuhkan minimal dua malam penuh tidur secara berturut- turut atau berdasarkan akumulasi hutang tidur un-tuk memulihkan kondisinya.2

Menurut Simon Ashley Bennet Direktur Unit Sipil Keselamatan dan Keamanan (CSSU) Uni-versity of Leicester telah menemukan fakta bah-wa beberapa faktor yang berkontribusi terjadinya kecelakaan pesawat yakni kesalahan pilot (50%), kegagalan teknik (20%), cuaca (10%) sekalipun telah dibantu menggunakan peralatan berupa

Tabel 2. Tingkat Risiko Karyawan Air NAV Cabang Makassar

UraianTingkat Risiko

Rendah Sedang Tinggi Extremen % n % n % n %

Ritme Kerja Pola 3 hari kerja 1 hari istirahatLama Kerja 2-3 jam/shiftJumlah pesawat yang diamatiKurangnya jumlah teman kerjaShift kerja harianHubungan antar karyawan ATCHubungan dengan pimpinanPencahayaan yang kurangIklim kerja yang tidak sehatSuhuKelembabanPeralatan dan Fasilitas KerjaBertugas saat cuaca burukPermasalahan Internal keluarga

1218151419343326211934221830

34,351,442,940,054,397,194,374,360,054,397,162,951,485,7

10101097126661773

28,628,628,625,720,02,95,717,117,117,12,920,020,08,6

13710118

2710

481

37,120,028,631,422,9

5,720,028,6

11,422,92,9

11

11

22

2,92,9

2,92,9

5,75,7

349

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

kompas, gyroscopic, navigasi satelit, dan uplink data cuaca, pesawat masih tidak dapat menghalau badai, salju, dan kabut. Kemudian terdapat fak-tor sabotase (sambaran petir) yang menyumbang berkisar 10%, serta kesalahan manusia itu sendiri, dalam hal ini dikaitkan dengan kesalahan pada air traffic controller dan beberapa pihak terkait (dis-patcher, loader, pengisi bahan bakar, atau teknisi pemeliharaan). Adapun peran Air Traffic Control-ler dikaitkan dengan shift panjang petugas14 yang dapat menyebabkan kelelahan.

Penelitian yang di laksanakan Antoško M, et al., dalam pengujian kesiapan psikologis oleh ATC diketahui bahwa subjek yang diteliti menca-pai kinerja maksimal setiap hari hanya dalam dua jam pengujian. Hilangnya konsentrasi dan berku-rangnya kinerja kerja terjadi setelah delapan jam dan mencapai nilai kritis setelah dua belas jam pengujian. Kurva rasio kesalahan menunjukkan kecenderungan naik. Oleh karena itu, dapat di- asumsikan bahwa semakin lama petugas diteliti maka akan memburuk pengujian. Perlu diketahui bahwa subjek dalam penelitian ini tidak terlibat dalam kegiatan yang menantang, yang akan hadir dalam operasi nyata, studi ini lebih menekankan pada konsentrasi dan perhatian yang besar.15 Se-hingga dapat ditarik kesimpulan bahwa jika se-orang controller yang dalam keadaan pengujian atau pelatihan diberikan beban kerja rendah, teta-pi berkesinambungan akan mengalami gangguan psikologis, maka sudah tentu gangguan psiko- logis dan kesalahan mungkin akan terjadi kepa-da petugas ATC jika petugas tersebut dihadapkan langsung dengan suatu yang real pada periode ker-ja yang berlangsung lama.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa petugas yang memiliki shift kerja panjang atau kapasitas kerja tidak memadai dapat berkontribusi dalam munculnya kelelahan psikologis dan kejadian yang tidak diinginkan baik pada petugas ATC maupun pada pelayanan pesawat terlebih jika fasilitas yang digunakan tidak mendukung kelan-caran kerja dan sedang menghadapi kondisi cuaca yang buruk. Cuaca yang buruk bisa menyebabkan dampak buruk dalam dunia penerbangan dan dapat mengakibatkan kecelakaan yang disebabkan oleh cuaca yaitu turbulensi, icing, dan kilat turbulensi. Turbulensi adalah golakan udara yang umumnya tidak dapat dilihat. Penyebab terjadinya turbulen-

si adalah suhu, jet stream, pegunungan, dan wake turbulence.16

Berdasarkan hasil ini memperlihatkan bah-wa pola kerja 3-1 harus segera dirubah oleh pihak manajemen Air NAV sehingga akan memberikan waktu istirahat yang cukup buat karyawan. Hal lainnya adalah bertugas pada saat cuaca buruk harus dilakukan upaya pencegahan agar tidak me- ngalami tekanan yang berat buat karyawan ATC. Fasilitas yang rusak harus segera diperbaiki agar tidak menambah beban kerja ATC.

Permasalahan yang dihadapi oleh karyawan ATC harus disadari agar dapat dicegah dan tidak memberikan risiko yang lebih berat kedepannya. Langkah-langkah yang harus ditempuh manaje-men Air NAV harus menjalankan aturan waktu cuti 34 hari sesuai Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/17/II/2009 Tanggal 13 Pebruari 2009. Waktu cuti 12-16 hari setahun harus dirubah dan mengikuti aturan dir-jen perhubungan udara yang mewajibkan 34 hari dalam setahun. Solusi lainnya adalah semua per-alatan dan fasilitas yang rusak harus cepat diper-baiki atau jika memungkinkan fasilitas terkait kerja harus segera diganti dengan teknologi yang memadai agar tidak menambah risiko bahaya pe-nerbangan.

Penerbangan Indonesia akan menjadi le-bih baik dan memiliki kualitas yang optimal jika semua elemen dalam penerbangan bekerja secara optimal dan berkualitas. Karyawan ATC memiliki tingkat risiko psikologis seperti stres, jenuh, dan burnout. Risiko yang dialami oleh karyawan ATC tersebut harus dikelola sehingga tidak menimbul-kan kelelahan psikologis yang lebih berat. Faktor manusia dalam dunia penerbangan mempunyai andil paling besar dalam terjadinya kecelakaan yaitu 66%.16

Tingkat kemajuan suatu bangsa dalam pe-nerbangan dilihat dari penerapan kebijakan ke- amanan dan keselamatan penerbangan dari ne- garanya. Sistem Manajemen Keselamatan (Safety Management System) merupakan bentuk upaya dari perusahaan penerbangan dalam memonitor kegiatan penerbangan agar dapat diciptakan ke- selamatan dalam penerbangan. SMS adalah suatu sistem monitoring yang berupa tim atau organisa-si di dalam suatu perusahaan penerbangan yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta memoni-

350

Lalu Muhammad Saleh : Tingkat Risiko Psikologis Karyawan ATC di Salah Satu Cabang Air NAV Indonesia

tor kinerja keselamatan dari perawatan dan pengo-perasian serta memprediksi suatu bahaya, menga-nalisis risiko dan melakukan tindakan penguran-gan risiko.16

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa

tingkat risiko extreme tertinggi karena peralatan dan fasilitas kerja dan bertugas pada cuaca buruk, tingkat risiko tinggi adalah pola kerja ritme 3 hari kerja 1 hari istirahat, lama kerja 2-3 jam/shift, dan jumlah pesawat yang diamati, dan tingkat risiko rendah tertinggi adalah hubungan antar karyawan. Manajemen diharapkan untuk merubah pola kerja 3-1 menjadi 3-2, menambah jumlah tenaga ATC, dan perbaikan fasilitas yang rusak.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada 1)

Kementerian Pendidikan Tinggi Indonesia 2) Ge- neral Manajer Air Nav Cabang MATSC dan Ma-najer Safety Management System 3) Karyawan Air Traffic Controller (ATC) khususnya di Makassar.

DAFTAR PUSTAKA1. International Air Transport Association

(IATA). Developing the Potential of In-donesia’s Aviation Sector 2015. Available from: http://www.iata.org/pressroom/pr/Pag-es/2015-03-12-01.aspx.

2. Margison G. Fatigue Management Guide for Air Traffic Service Providers. Kanada; 2016.

3. ICAO. Human Factors Training Manual. ICAO, Montreal. Canada; 1993.

4. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Peraturan Direktur Jenderal Perhubu- ngan Udara Nomor: Kp 218 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor Kp 287 Tahun 2015 Tentang Pedoman Teknis Opera-sional Bagian 69-01 (Advisory Circular Part 69-01) Tentang Lisensi, Rating, Pelatihan dan Kecakapan Personel Pemandu Lalu Lintas Pe-nerbangan. In: Udara KPDJP, editor. Jakarta.

5. Saryono, Anggraeni MD. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.

6. Hasmi. Metode Penelitian Epidemiologi. Trans Info Media: Jakarta; 2012.

7. Notoatmodjo S. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta; 2010.

8. International Civil Aviation Organization (ICAO). Human Factors Digest No. 8–Human Factors in Air Traffic Control. ICAO, Montre-al. Canada; 1993.

9. Widodo ES, Fahmi R, Pantaryanto N. Tingkat Stres Petugas Pemandu Lalu Lintas Penerba- ngan. Jurnal Manajemen Bisnis Transportasi dan Logistik. 2015;2(1):64-81.

10. King JM, Ortiz Y, Blickensderfer BL, editors. ATC Weather Knowledge & Skills: A Contri- butor to the General Aviation Weather Prob-lem? Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting; 2016: SAGE Publications Sage CA: Los Angeles, CA.

11. Budiman J, Pujangkoro S, Kes AM. Anali-sis Beban Kerja Operator Air Traffic Control Bandara Xyz dengan Menggunakan Metode Nasa-Tlx. Jurnal Teknik Industri USU. 2013;3(3).

12. Åkerstedt T, Wright KP. Sleep loss and Fa-tigue in Shift Work and Shift Work Disorder. Sleep medicine clinics. 2009;4(2):257-71.

13. Zużewicz K, Kwarecki K, Waterhouse J. Cir-cadian Rhythm of Heart Rate, Urinary Cortisol Excretion, and Sleep in Civil Air Traffic Con-trollers. International Journal of Occupational Safety and Ergonomics. 2000;6(3):383-92.

14. Khoiri A. Lima Faktor Penyebab Ter-jadinya Kecelakaan Pesawat Jakarta: CNN Indonesia; 2016. Available from: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hid-up/20160524100733-269-133019/lima-fak-tor-penyebab-terjadinya-kecelakaan-pesawat/.

15. Antoško M, Pil’a J, Korba P. Psychological Readiness of Air Tra ffic Controllers for their Job. NAŠE MORE, Znanstveno-stručni časo-pis za more i pomorstvo. 2014;61(1-2):S5-8.

16. Gunaryadi, dkk, Keselamatan Penerbangan, Tinjauan Keselamatan Penerbangan Sipil di Indonesia, Mitra Wacana Media. Jakarta; 2016.

351

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

Political Commitment and Opportunity to Advance Nutrition Policy in East Nusa Tenggara Province

Elisabet Bre Boli*, Yayuk Farida Baliwati, Dadang SukandarDepartemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

(*[email protected])

ABSTRAKNusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah di Indonesia dengan prevalensi gizi buruk tertinggi. Banyak

penelitian telah mengidentifikasi bahwa komitmen politik adalah salah satu alasan penting terkait rendahnya pri-oritas intervensi gizi buruk dan dengan mengetahui peluang kebijakan dapat membantu untuk memajukan masalah dan solusi baru. Penelitian ini bertujuan untuk menilai komitmen politik dan peluang pengembangan kebijakan gizi. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan menggunakan kuesioner PCOM-RAT, sebuah teknik penilaian cepat untuk mengidentifikasi komitmen politik dan peluang kebijakan. In-forman berasal dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT, Bappeda Provini NTT, akademisi kesehatan, dan UNICEF perwakilan NTT yang terlibat dalam perencanaan kebijakan dari pemerintah dan non-pemerintah. Data dianalisis secara deskriptif terhadap skoring hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemimpin politik secara verbal dan simbolis berkomitmen untuk mengatasi masalah gizi, tetapi alokasi anggaran dinilai masih rendah. Media diidentifikasi tidak memahami dalam melaporkan masalah gizi tanpa menggunakan indikator yang kredibel dan alternatif kebijakan yang dipikirkan dengan baik hadir tetapi masih tidak memiliki kelayakan untuk diimple-mentasikan.Kata kunci: Komitmen politik, peluang pengembangan, kebijakan gizi

ABSTRACTEast Nusa Tenggara is one of the regions in Indonesia with highest prevalence of malnutrition. Many

studies had identified that political commitment is one of important reason for the low priority of malnutrition interventions and knowing the policy windows of opportunity could help to advance a new issue and solution. This study aims to assess political commitment and opportunities to advance nutrition policy reform. This research is a descriptive using primary and secondary data. Primary data collected using PCOM-RAT questionnaire, a rapid assessment tool for identifying political commitment and policy windows of opportunity. The informants were from NTT Health Office, NTT Development Planning Agency, health academics, and NTT representative of UNICEF who involved in nutrition policy planning from government and non-government. Data were analyzed descrip-tively toward the result scoring. Results showed that political leaders had verbally and symbolically committed to addressing nutrition problem, but lack of budgetary alocation. Media identified for being incomprehension in reporting nutrition problem without any credible indicators and a well thought-out policy alternative were present but still had no feasibility to be implemented. Keywords: Political commitment, opportunity to advance, nutrition policy

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5104

352

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

PENDAHULUAN Persoalan gizi dalam pembangunan manu-

sia masih dianggap sebagai masalah utama dalam tatanan masyarakat dunia. Data Pemantauan Sta-tus Gizi (PSG) tahun 2017 menunjukkan preva- lensi underweight pada balita sebesar 17.8%, stunting pada balita mencapai 29.6%, dan wasting sebesar 9.5%. Masalah gizi disebabkan oleh faktor penyebab langsung yaitu asupan gizi dan penyakit infeksi, dan tidak langsung yaitu sanitasi lingku-ngan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehat- an, konsumsi tablet tambah darah, tingkat kemis- kinan, imunisasi yang tidak lengkap, penyakit dia- re, infeksi saluran pernapasan akut. Selain itu, ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang lambat turut berkontribusi dalam peningkat- an masalah kurang gizi. Kerangka UNICEF juga menegaskan bahwa kebijakan merupakan salah satu akar masalah terjadinya masalah gizi. Un-dang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2008 ten-tang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri dari perencanaan pembangunan yang di-susun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Perenca-naan pembangunan daerah disusun untuk menja-min keterkaitan dan konsisten antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan de-ngan pembangunan pusat.

Pemerintah Daerah Provinsi NTT membuat kebijakan gizi yang tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Dae-rah (RPJMD) dengan fokus sasaran menurunnya kasus balita gizi kurang menjadi 7.64% dan gizi buruk menjadi 0.76% tahun 2018 sebagai lan-dasan pembangunan gizi di Provinsi NTT. Selain itu, Provinsi NTT juga memiliki Peraturan Guber-nur Nomor 46 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Daerah Percepatan Pemenuhan Pangan dan Gizi Provinsi NTT Tahun 2016-2020. Kebijakan gizi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan masalah gizi di Provinsi NTT. Namun, data PSG menun-jukkan adanya peningkatan masalah gizi, teruta-ma underweight dan stunting, pada tahun 2016 masing-masing sebesar 28.2% dan 38.7% menjadi 28.3% dan 40.3% pada tahun 2017.

Koordinasi penyelenggaraan kebijakan yang baik dapat membantu menyukseskan penurunan masalah gizi pada balita. Namun, negara-negara

dengan tingkat masalah gizi yang tinggi kurang berinvestasi dalam kebijakan gizi. Hal inilah yang mendorong pentingnya membangun komitmen politik dalam memajukan agenda pemerintah ter-kait perbaikan gizi, sehingga kebijakan gizi dapat lebih berkembang di masa depan. Manajemen dan proses kebijakan gizi untuk membentuk lingku-ngan gizi yang baik didukung oleh tiga faktor yaitu pengetahuan dan dasar masalah, politik dan pemerintahan, serta kapasitas dan sumber daya. Komitmen politik dari para birokrat penting dalam penyelenggaraan kebijakan. Penelitian ini bertu-juan menganalisis komitmen politik dan peluang pengembangan kebijakan gizi Provinsi NTT. Hasil analisis dapat digunakan untuk mengetahui situasi politik terkait kebijakan gizi dan mengembangkan kapasitas untuk analisis politik yang diterapkan di tingkat daerah dalam rangka mencapai tujuan per-baikan gizi.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini merupakan penelitian deskrip-

tif kualitatif menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data terkait komitmen politik dan peluang pengembangan kebijakan gizi melalui wawancara dengan menggunakan kuesion-er Political Commitment and Opportunity Mea-surement-Rapid Assessment Test (PCOM-RAT) . Kuesioner terdiri dari pertanyaan terbuka dan sub-jektif berjumlah 50 butir pertanyaan. Pertanyaan untuk komitmen politik berjumlah 20 butir yang terdiri dari 10 pertanyaan komitmen verbal, 6 per-tanyaan komitmen kelembagaan, dan 4 pertanyaan komponen anggaran. Pertanyaam untuk peluang pengembangan kebijakan gizi berjumlah 30 per-tanyaan terdiri dari 14 pertanyaan aliran masalah, 10 pertanyaan aliran kebijakan, dan 6 pertanyaan aliran politik.

Wawancara dilakukan terhadap informan kunci. Informan dalam penelitian ini memiliki kri-teria yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam peren-canaan dan pelaksanaan kebijakan gizi di Provinsi NTT. Pihak-pihak tersebut berasal dari internal dan eksternal instansi pemerintah, dengan tujuan agar hasil yang diperoleh tidak bias. Adapun para informan berasal dari Dinas Kesehatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTT selaku instansi internal pemerintah pembuat kebijakan gizi, akademisi kesehatan dan

353

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

UNICEF selaku instansi eksternal yang turut ter-libat dalam perencanaan dan penanganan masalah gizi di Provinsi NTT. Infroman Dinas Kesehatan berjumlah 3 orang terdiri dari Kepala Seksi Kese-hatan Keluarga Gizi dan Keluarga Berencana dan 2 Anggota Bidang Perencanaan, Data dan Evalu-asi. Informan Bappeda berjumlah 2 orang terdiri dari Kepala Bidang Sosial dan Pemerintahan dan Anggota Bidang Sosial dan Pemerintah. Infor-man Akademisi Kesehatan berjumlah 1 orang dan UNICEF perwakilan NTT berjumlah 1, yaitu Kepala Bidang Gizi. Komitmen politik terdiri atas tiga dimensi, yaitu komitmen verbal (expressed commitment) adalah dukungan secara verbal ter-hadap isu oleh pemimpin politik yang berkuasa dengan memfokuskan pada tingkat permasalahan yang ada, komitmen kelembagaan (institutional commitment) mencakup kebijakan yang spesifik dan infrastruktur organisasi dalam dukungan ter-hadap isu gizi yang ada, dan komitmen anggaran (budgetary commitment) mencakup alokasi sum-ber daya keuangan, sumber daya lainnya terha-dap isu gizi, prioritas kegiatan gizi, dan kesediaan penggunaan ekstra anggaran untuk pembiayaan gizi.Peluang pengembangan kebijakan gizi meng-gunakan konsep agenda-setting menggunakan tiga pendekatan untuk mengetahui sebuah isu menjadi prioritas politik dalam agenda pemerintahan, yaitu aliran masalah merupakan kondisi ketika sebuah masalah menjadi suatu isu strategis yang harus segera diselesaikan melalui kebijakan, aliran kebi-jakan merupakan sebuah rangkaian solusi alternat-if kebijakan yang diusulkan untuk menangani isu-gizi yang ada, dan aliran politik merupakan acara atau agendapolitik seperti pemilihan umum atau pergantian pemimpin yang dapat menciptakan peluang untuk pengembangan masalah baru dan solusinya.

Hasil wawancara dengan kuesioner dileng-kapi dengan analisis isiterhadap data sekunder untuk memperoleh hasil akhir skoring.Skor pe-nilaian terhadap jawaban dapat bernilai 1 (bernilai positif) atau 0 (bernilai negatif) bergantung pada topik pertanyaan, dapat berupa ya atau tidak, ser-ing atau jarang maupun banyak atau sedikit. Per-tanyaan yang disajikan pada skala 1-10, respon ≥7 diberi skor 1 dan untuk pertanyaan anggaran dengan skala 0-3, jawaban 3 diberi skor 1 menan-dakan sumber daya yang memadai11. Komitmen

politik dikategorikan baik apabila jumlah skor ≥15 dan peluang pengembangan kebijakan gizi dikate-gorikan tinggi apabila jumlah skor ≥25. Skor akh-ir untuk penilaian komitmen politik dan peluang pengembangan kebijakan gizi diverifikasi dengan data sekunder.

Data sekunder diperoleh dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daer-ah (RPJMD) Provinsi NTT 2013-2018, Rencana Aksi Daerah Percepatan Pemenuhan Pangan dan Gizi (RAD PG) Provinsi NTT 2012-2015 dan 2016-2020, Rencana strategis (Renstra) Dinkes Provinsi NTT 2013-2018, Rencana Kerja (Renja) Dinkes Provinsi NTT 2013-2018, Laporan Akunt-abilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinkes Provinsi NTT 2014-2016, Profil Kesehatan Provinsi NTT 2014-2016, artikel atau berita yang dipublikasikan terkait gizi, kebijakan gizi perun-dangan maupun non perundangan. Kombinasi an-tara data sekunder dan data primer sebagai bentuk triangulasi untuk memastikan keabsahan data hasil penelitian. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASILPengukuran terhadap komitmen politik

menggunakan kuesioner PCOM-RAT yang di- sesuaikan terbagi atas tiga bagian, yaitu komit-men verbal, komitmen kelembagaan, dan komit-men anggaran (Tabel 1). Penilaian skor terhadap komitmen politik menunjukkan Provinsi NTT telah memiliki komitmen politik yang baik, de-ngan jumlah skor komitmen politik sebesar 17. Ditinjau dari aspek komitmen verbal, Pemerintah Daerah Provinsi NTT sudah memiliki komitmen yang baik, dengan adanya perhatian berupa pe- nyampaian secara verbal terkait masalah gizi dari kalangan birokrat yang menunjukkan sudah ada-nya kesadaran untuk perbaikan gizi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara, kampanye publik yang dilakukan terkait gizi banyak dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Puskes-mas. Dinas Kesehatan Provinsi NTT mengadakan orientasi mengenai pola makan bergizi seimbang sebagai bentuk edukasi bagi guru-guru dan aparat desa. Sosialisasi ini sebagai bentuk rencana kerja Dinas Kesehatan Provinsi NTT setiap tahunnya yang tercantum dalam Rencana Kerja Dinas Ke- sehatan Provinsi NTT dalam program peningkatan

354

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

gizi. Puskesmas di NTT juga melakukan sosialisa-si sebagai kegiatan rutin upaya peningkatan gizi yang dilaksanakan pada posyandu-posyandu.

Hasil wawancara menunjukkan perhatian dari pejabat terhadap masalah gizi dinilai mening-kat dalam setahun terakhir. Hal ini dibuktikan de-ngan adanya pembuatan RADPG sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah provinsi yang diiku-ti oleh pembuatan RADPG di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, perhatian pemerintah terlihat de-ngan adanya peningkatan anggaran setiap tahun- nya untuk pelaksanaan program peningkatan gizi. Perbandingan antara masalah gizi dan masalah HIV-AIDS, air dan sanitasi, menunjukkan bahwa masalah gizi lebih sering dibicarakan sebagai masa- lah yang memerlukan perhatian lebih dari peme- rintah daerah. Tingginya prevalensi underweight, wasting, dan stunting menjadi masalah gizi yang dilihat sebagai output dan dalam penanganannya dapat dilakukan melalui berbagai faktor penyebab baik langsung maupun tidak langsung, misalnya menurunkan angka penyakit infeksi serta air dan

sanitasi yang buruk. Data dari Profil Kesehatan Provinsi NTT menunjukkan masalah HIV-AIDS terus mengalami penurunan dari tahun 2014 hing-ga tahun 2016, masalah air dan sanitasi juga se-makin membaik meskipun masih kurang dari 50% penduduk yang mendapatkan akses air dan jamban yang layak.

Perhatian terhadap masalah gizi dinilai ma-sih lebih rendah daripada masalah kematian ibu dan kesehatan anak. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) disebabkan oleh rendahnya peman-faatan pelayanan kesehatan sehingga menjadi fokus Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Berbeda dengan kesehatan anak melalui indikator Ang-ka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) yang juga meskipun menurun sejak tahun 2014, tetapi jumlah kasusnya terus meningkat pada tahun 2016. Masalah kematian ibu dan kesehatan anak bahkan menjadi latar be-lakang disusunnya peraturan perundangan terkait revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), yaitu Peraturan Gubernur NTT Nomor 42 Tahun 2009.

Tabel 1. Skor Penilaian Komitmen Politik Pemerintah Daerah Provinsi NTT terhadap Masalah Gizi

No. Pernyatan Skor

1.2.3.4.

5. 6.7. 8.9.10.

11.12.13.14.15.16.

17.18.19.20.

Komitmen VerbalKepala daerah berbicara tentang masalah gizi minimal dua kali setahun terakhirIbu kepala daerah berbicara tentang masalah gizi minimal dua kali setahun terakhirPejabat tinggi lainnya berbicara tentang masalah gizi minimal dua kali setahun terakhirAdanya kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran terkait masalah gizi dalam setahun terakhirPerhatian dari para pejabat tinggi terhadap masalah gizi meningkat dalam setahun terakhirNilai dukungan politik dari kepala daerah terhadap program gizi Masalah HIV-AIDS lebih jarang dibicarakan dari masalah giziMasalah air dan sanitasi lebih jarang dibicarakan dari masalah giziMasalah angka kematian ibu lebih jarang dibicarakan dari masalah giziMasalah kesehatan anak lebih jarang dibicarakan dari masalah giziKomitmen kelembagaan Adanya mekanisme yang mengkoordinasikan program gizi yang multisektoralDaerah mengadopsi sebuah kebijakan gizi nasionalDaerah mengadopsi sebuah rencana aksi giziAdanya sebuah program gizi multisektoral yang sedang berjalan saat iniAdanya pedoman asupan gizi tingkat daerah yang dipublikasikanDaerah dengan gerakan SUNKomitmen anggaran Penilaian secara keseluruhan terhadap ketersediaan sumber daya untuk program giziLebih dari 50% kegiatan gizi diprioritaskan oleh pemerintah daerahAdanya anggraan khusus gizi dalam penganggaranJika memiliki ekstra anggaran, akan digunakan untuk pembiayaan gizi

1111

111100

111111

0111

355

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Terbentuknya peraturan perundangan ini menjadi dasar bagi setiap daerah kabupaten/kota mem-bentuk peraturan daerah terkait revolusi KIA un-tuk menanggulangi tingginya kematian ibu. Ta-hun 2013, sebanyak 21 kabupaten/kota memiliki

payung hukum terkait pelaksanaan revolusi KIA. Hasil penelitian juga menunjukkan skor

komitmen kelembagaan yang baik. Berdasarkan hasil wawancara, Provinsi NTT sudah memiliki mekanisme multisektoral untuk kerjasama lintas

Tabel 2. Skor Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Daerah Provinsi NTTNo. Pernyatan Skor

1.2.

3.

4.

5.

6.7. 8.9.10.11.12.

13.14.

15.16. 17.18.19.

20.21.

22.23.

24.

25.26.27.28.

29.30.

Aliran MasalahPenggunaan indikator status gizi yang kredibel oleh mediaAdanya pejabat tinggi dan pendukung kebijakan gizi yang menggunakan indikator untuk menunjukkan tingginya masalah gizi untuk mengembangkan kebijakan giziAdanya peristiwa besar yang menarik perhatian khusus terkait masalah gizi dalam setahun terakhirMengenai perhatian publik terhadap masalah gizi, banyaknya perhatian media resmi setahun terakhirBesarnya perhatian publik terhadap masalah gizi dalam bentuk wacana lainnya setahun terakhirSeringnya para pendukung kebijakan gizi berinisiatif menyebutkan hal-hal berikut dalam upaya advokasi mereka:Memusatkan gizi sebagai upaya pengurangan kemiskinanCost-effectiveness dari program giziPerbandingan mengenai kemajuan dalam aspek gizi dengan daerah lainnyaHak asasi terhadap status gizi yang baikBukti kuantitatf yang menunjukkan tingginya masalah gizi yang adaPengalaman kualitatif dengan gizi yang berhubungan dengan masalah kesehatan lainnyaAdanya seseorang yang berpengaruh yang berkampanye karena masalah gizi saat ini atau setahun belakanganAdanya kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan masalah giziKomunitas kebijakan gizi sangat kohesif dalam mengadvokasi masalah giziAliran kebijakanStatus alternatif kebijakan gizi sudah didiskusikan dengan baik dan diusulkanKebijakan yang diusulkan sangat layak secara teknis untuk diimplementasikan (perkiraan) Kebijakan yang diusulkan sangat diterima oleh masyarakat luas (perkiraan)Secara keuangan, kebijakan yang diusulkan sangat berkelanjutanAdanya seseorang yang berpengaruh dalam komunitas kebijakan yang khususnya berpengaruh dalam mempromosikan/mengusulkan kebijakan gizi setahun terakhirKomunitas kebijakan sangat kohesifPakar kebijakan gizi menyetujui batasan masalah untuk mengembangkan kebijakan gizi (contoh: sanitasi lingkungan, pemberdayaan perempuan, kerawanan pangan, dan hak terhadap pangan)Pakar kebijakan gizi menyetujui indikator umum untuk mengembangkan peyebab masalah giziPakar kebijakan gizi tidak membedakan dukungan terhadap pendekatan multisektoral dan spesifikPakar kebijakan gizi menyetujui adanya tanggung jawab dari berbagai lembaga dan organisasi dalam penyelsaian masalah giziAliran politikAdanya jadwal pemilu eksekutif dalam tahun ini atau tahun depan Adanya jadwal pemilu legislatif dalam tahun ini atau tahun depanPenganggaran dijadwalkan tahun depanBanyak dukungan keuangan dan teknis yang diterima daerah dari pusat dan organisasi internasional untuk menyelesaikan masalah giziJumlah pihak pendukung lebih banyak daripada jumlah pihak yang berlawananKekuatan pihak pendukung lebih besar daripada kekuatan pihak yang bertentangan

01

1

1

1

0111111

11

10111

11

11

1

1011

11

356

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

instansi bahkan hingga tingkat pelayanan dasar dalam mencapai tujuan yang sama, yaitu mening-katkan status gizi masyarakat. Mekanisme ini dapat dilihat dalam dokumen Rencana Aksi Dae-rah Pangan dan Gizi (RAD PG) Provinsi NTT Ta-hun 2016-2018. Program-program dimaksud ter-gabung dalam satu pilar yaitu perbaikan gizi ma-syarakat. Adapun sektor dalam lingkup pemerin-tahan yang terlibat adalah Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Biro Kesra Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi NTT, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A), Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Sosial, Dinas Pertanian, Perta-naman, dan Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Ketahanan Pa- ngan dan Penyuluhan (BKP2), Bappeda, dan Di-nas Perindustrian dan Perdagangan. Salah satu tujuan dari RAD PG adalah meningkatkan koordi-nasi antar pemangku kepentingan.

Hasil wawancara menunjukkan Provin-si NTT mengadopsi kebijakan gizi nasional dan rencana aksi pangan dan gizi. Kebijakan ini ter-cantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 6 Ta-hun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Percepat- an Pemenuhan Pangan dan Gizi Provinsi NTT Tahun 2012-2015 yang diperbaharui pada tahun 2016 menjadi Peraturan Gubernur Nomor 46 Ta-hun 2016 tentang Rencana Aksi Daerah Percepat- an Pemenuhan Pangan dan Gizi Provinsi NTT Tahun 2016-2020. RAD PG ini turut mendukung gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) yang me-nekankan pentingnya kerjasama multisektoral da-lam penanganan masalah gizi. Salah satu program gizi yang sedang berjalan adalah pengadaan jum-lah posyandu yang membutuhkan kerjasama antar Dinas Kesehatan Provinsi NTT dan Badan Pem-berdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD). Provinsi NTT juga menggunakan pe-doman asupan gizi yang dianjurkan oleh nasional sebagai pedoman untuk mencapai standar asupan gizi yang baik.

Penilaian terhadap komitmen anggaran menunjukkan bahwa komitmen anggaran sudah baik. Sebagian besar informan menyatakan bahwa alokasi anggaran sudah cukup untuk penangan- an masalah gizi. Namun, hasil penelaahan data sekunder menunjukkan masih kurang jika dilihat dari pengalokasian sumber daya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Hal ini berdasarkan per-

bandingan dengan anggaran gizi daerah provinsi lainnya, seperti Provinsi NTB dengan prevalensi masalah gizi yang lebih rendah dari Provinsi NTT memiliki anggaran gizi yang lebih tinggi. Peme- rintah Daerah Provinsi NTB secara keseluruhan, sumber daya yang tersedia untuk program gizi belum memadai, dinilai dari ketersediaan anggar- an, sumber daya manusia, serta fasilitas kesehat- an. Tahun 2016 ketersediaan tenaga kesehatan masih kurang, sedangkan ketersediaan fasilitas kesehatan terus mengalami peningkatan pada ta-hun 2016 termasuk pelayanan kesehatan dasar. Namun, ketersediaan ini tidak didukung dengan kualitas pelayanan. Selain itu, jumlah posyandu aktif menurun padahal posyandu diharapkan dapat menyelenggarakan lima program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, per-baikan gizi, imunisasi dan penanggulangan diare.

Seluruh kegiatan yang tercakup dalam prog- ram penanganan masalah gizi kurang pada ba-lita telah diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Prioritas program ini tercantum da-lam RAD PG Provinsi NTT untuk mencapai visi dan misi RJMD. Selain itu, dalam rencana kerja Dinas Kesehatan Provinsi NTT memprioritaskan program dan kegiatan seperti pemberian vitamin A, pemberian tablet besi, sosialisasi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, pemantauan pertumbuhan dan program promosi kesehatan, pemberian makanan tambahan bagi balita, dan persalinan terintegrasi sebagai prioritas utama (P1). Program pening-katan gizi ini kemudian diimplementasikan oleh puskesmas dan posyandu-posyandu sebagai pe-layanan rutin.

Peluang pengembangan kebijakan gizi di-identifikasi berdasarkan tiga aliran, yaitu aliran masalah, aliran kebijakan, dan aliran politik (Ta-bel 2). Penilaian skor keseluruhan menunjukkan Provinsi NTT telah memiliki peluang pengembang- an kebijakan gizi yang tinggi, dengan jumlah skor sebesar 26. Dilihat dari aliran masalah menunjuk-kan bahwa dari segi permasalahan gizi, Provinsi NTT mengalami masalah yang berkaitan dengan gizi sejak tahun 2016, yaitu gizi buruk. Tingginya perhatian media tidak didukung dengan penggu-naan indikator yang kredibel dalam pemberitaan masalah gizi. Media dinilai masih memberitakan masalah tanpa memahami hal yang diberitakan.

Para pejabat tinggi dan pendukung kebijak-

357

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

an gizi diketahui menggunakan indikator yang kredibel untuk mengembangkan kebijakan gizi. Perhatian publik melalui bentuk wacana dan me-dia resmi dinilai sudah cukup banyak terutama dalam penggunaan media sosial. Hasil analisis isi terhadap penggunaan media sosial, terdapat dua hal yang menjadi kritikan yaitu tingginya masalah gizi akibat kurangnya kinerja pemerintah daerah dan rendahnya perhatian masyarakat, dan penting- nya perhatian masyarakat terhadap faktor-faktor tidak langsung maupun langsung dalam memban-tu menyelesaikan masalah gizi.

Aliran masalah juga menekankan penting- nya peran dari para pendukung kebijakan gizi ter- utama dalam upaya advokasi. Para pendukung ke-bijakan gizi masih belum memusatkan gizi sebagai upaya pengurangan kemiskinan, gizi masih dinilai sebagai output bukan input. Kampanye gizi telah dilakukan oleh pihak yang berpengaruh terhadap masyarakat seperti pihak puskesmas, Dinas Kese-hatan, dan kalangan akademisi. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan masalah gizi yaitu Komunitas Anak Kesehatan Indonesia (KAKI). KAKI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya seperti Pijar Timur dan Yayasan Balita Sehat.

PEMBAHASAN Studi ini menemukan Provinsi NTT memi-

liki komitmen verbal dan kelembagaan yang baik, tetapi masih rendahnya penganggaran. Komitmen anggaran Pemerintah Daerah Provinsi NTT hanya berfokus pada program jaminan sosial, cadangan pangan, akses dan riset penyuluhan pertanian, ja- minan kesehatan, dan pengendalian penyakit menular maupun tidak menular. Banyak faktor yang dapat mendorong tercapainya komitmen yang tinggi, tidak hanya dari dalam tetapi juga dari luar organisasi, antara lain aktor politik, institusi, konteks politik dan masyarakat, pengetahuan, buk-ti, dan framing, serta kapasitas dan sumber daya.

Heaver menyatakan bahwa salah satu as-pek paling penting dalam mendorong tercapai- nya komitmen yang tinggi dalam upaya perbaikan gizi adalah anggaran. Dukungan anggaran mem-bantu koordinasi multisektoral dan multilevel da-lam menyukseskan implementasi kebijakan gizi. Rendahnya anggaran ini dapat dipengaruhi oleh tingginya permasalahan yang menjadi isu strat-

egis pembangunan, tetapi tidak diimbangi oleh kemampuan daerah. Program gizi sudah menja-di salah satu prioritas oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT, tetapi keberhasilan kebijakan gizi, sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan aktor-aktor politik untuk membuat komitmen ini menjadi berkelanjutan.

Studi juga menemukan isu gizi sudah mendapatkan perhatian yang lebih dari pejabat, pendukung kebijakan gizi, masyarakat umum, dan media. Namun, yang menjadi sorotan adalah pe-ran media yang tidak menggunakan indikator yang kredibel dalam pemberitaan masalah gizi, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Pemberitaan media seharusnya tidak berisi infor-masi tentang masalah kesehatan dan kinerja apara-tur saja, tetapi membahas secara mneyeluruh ten-tang masalah tersebut, termasuk menggunakan in- dikator agar masyarakat paham apa, mengapa, dan bagaimana masalah itu bisa terjadi.

Gizi sebagai upaya pengurangan kemis- kinan belum menjadi perhatian dalam upaya ad-vokasi terkait pentingnya gizi. Investasi dalam bidang gizi dapat memberdayakan orang-orang hingga masyarakat, sehingga data membantu me- ngurangi kemiskinan. Investasi berkelanjutan da-lam gizi dapat membawa manfaat ekonomi sangat besar untuk mengembangkan sektor sosial, mere-vitalisasi ekonomi, dan mencapai tujuan pengen-tasan kemiskinan. Studi lain menemukan bahwa kerugian produktivitas yang terkait dengan upah pekerjaan akibat kurang gizi pada anak menga-kibatkan kerugian sebesar $2.3 Milyar di India. Studi di Albania menemukan bahwa 31% balita stunting dapat menyebabkan defisit penghasilan sebesar 22.2% di masa depan dan kehilangan Net Present Value (NPV) sebesar US$58 juta per tahun dengan US$1831 per individu.

Secara umum, Provinsi NTT telah memiliki komitmen politik yang baik dan peluang pengem-bangan kebijakan gizi yang tinggi. Komitmen politik dapat dikembangkan dalam waktu singkat, oleh karena itu komitmen tidak boleh disia-siakan karena untuk mendapatkan hasil membutuhkan serangkaian strategi dan keterampilan yang berbe-da.9 Kepemimpinan di semua tingkatan dan dari berbagai perspektif, pada dasarnya penting untuk menciptakan dan mempertahankan proses kebijak- an dan menciptakan hasil yang baik dari proses ke-

358

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur

bijakan yang baik. Percepatan dan mempertahan- kan kemajuan dalam gizi tidak akan mungkin tanpa dukungan nasional dan global untuk proses jang-ka panjang dalam memperkuat kapasitas sistem- ik dan organisasi. Penelitian implementasi, pe- ningkatan intervensi, dan analisis kontekstual tentang bagaimana membentuk dan memperta- hankan lingkungan yang mendukung penting un-tuk dilakukan agar dapat meningkatkan keberlan-jutan dari komitmen politik yang sudah ada.

Kebijakan gizi dapat dikembangkan de-ngan memperhatikan beberapa hal berikut antara lain, membangun komunitas kebijakan gizi yang kohesif melalui penciptaan dan dukungan aliansi, secara jelas mendefinisikan kerangka internal dan eksternal untuk masalah gizi, dan memanfaatkan motivasi dan nilai budaya.20 Gizi memiliki banyak peran dalam pembangunan manusia. Sustainable Development Goals (SDGs) menyebutkan gizi menjadi pusat yang memiliki keterkaitan dengan 12 tujuan SDGs lainnya untuk pembangunan sum-ber daya manusia yang berkelanjutan antar genera-si. Peluang pengembangan kebijakan gizi berjang-ka waktu pendek dan sering tidak dapat diprediksi. Baik di tingkat negara, daerah maupun lembaga, para pendukung kebijakan gizi harus memaha-mi lingkungan kebijakan dan menjaga agar tidak kehilangan momen dalam mengenali konvergens dari tiga aliran dan aktor politik yang memilik pe-ran besar dalam mewujudkan kebijakan gizi.

KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian bertujuan menganalisis komit-

men politik dan peluang pengembangan kebijakan gizi Provinsi NTT dalam upaya penanganan ma- salah gizi. Pemerintah Daerah Provinsi NTT memiliki komitmen politik yang baik, dari segi perhatian secara verbal, kelembagaan, dan ang-garan. Namun, pengalokasian sumber daya baik keuangan maupun sumber daya lainnya yang be-lum memadai dalam mendukung terwujudnya pe- nanganan masalah gizi. Meskipun kegiatan gizi telah diprioritaskan, alokasi anggaran dinilai be-lum cukup untuk mewujudkan implementasi kebi-jakan gizi yang baik. Peluang pengembangan kebi-jakan gizi di Provinsi NTT dinilai tinggi yaitu gizi sudah menjadi isu yang perlu diselesaikan, adanya kebijakan yang diusulkan untuk mengatasi ma-salah gizi, dan adanya agenda politik yang dapat

menciptakan kesempatan untuk mengusulkan ma-salah dan solusi terkait gizi. Hal ini meningkatkan peluang menyelesaikan isu gizi yang terjadi dalam masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang di-buat.

Rendahnya alokasi anggaran dapat menjadi perhatian Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar dapat mewujudkan ketersediaan sumber daya baik anggaran, tenaga kesehatan maupun fasilitas kese-hatan yang memadai dan berkualitas demi tercapai- nya pelaksanaan upaya penanganan masalah gizi yang baik. Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk menentukan cut-off yang lebih tepat dan jelas dan disesuaikan dengan poin penting dalam penangan- an masalah gizi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA1. Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013.

Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

2. Mustapa, Y., Sirajuddin, S., & Salam, A. Ana- lisis Faktor Determinan Kejadian Masalah Gizi pada Anak Balita di Wilayah Kerja Pus- kesmas Tilote Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo tahun 2013. Jurnal Media Kesehat- an Masyarakat Indonesia. 2013; 1-13.

3. Aoun, N., Matsuda, H., &Sekiyama, M. Geo-graphical Accessibility to Healthcare and Mal-nutrition in Rwanda. Social Science & Me- dicine. 2015;130(1):35-45. DOI : 10.1016/j.socscimed.2015.02.004.

4. Sukoco, N.E.W., Pambudi, J., & Herawari, M.H. Relationship between Nutritional Sta-tus of Children Under Five with Parents Who Work. Buletin Penelitian Kesehatan. 2015;18(4):387-397. DOI : 10.22435/hsr.v18i4.4572.387-397.

5. Owoaje, E., Onifade, O., & Desmennu, A. Family and Socioeconomic Risk Factors for Undernutrition among Children Aged 6 to 23 Months in Ibadan, Nigeria. Pan African Me- dical Journal. 2014;17(161):1-7. DOI : 10.11604/pamj.2014.17.161.2389.

6. Blossner, M.& De Onis, M. Malnutrition: Quantifying the Tealth Impact at National and Local Levels. Enviromental Burden of Di-sease Series No. 12. Geneva: World Health Organization; 2005.

7. Acosta, A.M. & Haddad, L. The Politics of

359

Elisabet Bre Boli : Komitmen Politik dan Peluang Pengembangan Kebijakan Gizi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Succes in the Fight Against Malnutrition in Peru. Food policy. 2014;44:26-35. DOI : 10.1016/j.foofpol.2013.10.009.

8. Heaver, R. Strengthening Country Commit-ment to Human Development: Lessons from Nutrition Directions in Development Series. Washington DC: The World Bank; 2005.

9. Scaling Up Nutrition (SUN). Scaling Up Nu-trition: a Framework for Action. Washington, DC: United Nations Standing Committee on Nutrition (UNSCN); 2010.

10. Gillespie, S., Haddad, L., Mannar, V., Me-non, P.,& Nisbett, N. The Politics of Reduc-ing Malnutrition: Building Commitmentand Accelerating Progress. The lancet. 2013. 382(9891):552-69. DOI : 10.1016/S0140-6736(13)60842-9.

11. Hoey, L.& Pelletier, D.L. Bolivia’s Multisec-toral Zero Malnutrition Program: Insights on Commitment, Collaboration, and Capacities. Food and Nutrition Bulletin. 2011;32(2):70-81. DOI : 10.1177/15648265110322S204.

12. Fox, A.M., Balarajan, Y., Cheng, C.,& Reich, M.R.. Measuring Political Commitment and Opportunities to Advance Food and Nutrition Security: Piloting a Rapid Assessment Tool. Health Aolicy and Planning. 2014;30 (5):566-578. DOI : 10.1093/heapol/czu035.

13. Syuryadi, N. Pengembangan Metode Evalu-asi Komitmen Pemerintah Daerah Provinsi dalam Pembangunan Ketahanan Pangan dan Gizi [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 2018.

14. Baker, P., Hawkes, C., Wingrove, K., Demaio, A.R., Parkhurst, J., Thow, A.M., et al. What Drives Political Commitment for Nutrition? A Review and Framework Synthesis to Inform the United Nations Decade of Action on Nutri-

tion. BMJ Glob Health. 2018;3(1): e000485. DOI : 10.1136/bmjgh-2017-000485.

15. Meija-Costa, A.&Fanzo, J. Fighting Maternal and Child Malnutrition: Analysing the Poli- tical and Institutional Determinants of Deli- vering a National Multisectoral Response in Six Countries. Brighton (GB): Institute of De-velopment Studies; 2012.

16. Levinson, D.J. Parchment and Politics: the Positive Puzzle of Constitutional Commit-ment. Harvard Law Review. 2011;124(3): 657-746

17. Hidayat, T.W. Analisis Berita Kesehatan di Media Massa terhadap Pelayanan Publik. Jur-nal Simbolika. 2015;1(2):137-153.

18. Haddad, L. Nutrition and Poverty- In Nutri-tion: A Foundation for Development. Geneva: ACC/SCN; 2002.

19. Aguayo, V.M., Scott, S., &Ross, J. Sierra Le-one Investing in Nutrition to Reduce Pover-ty: a Call for Action. Public Health Nutrion. 2003;6(7):653-7.

20. Bagriansky, J. The Economic Consequences of Malnutrition in Albania. Albania: Media Press; 2010 [disitasi 24 Agustus 2018]. Avail-able from: https://www.unicef.org/albania/Cost_benefit_of_nutrition_.pdf.

21. Lapping, K., Frongillo, E.A., Studdert, L.J., Menon, P., Coates, J.,& Webb, P. Prospective Analysis of the Development of the Nation-al Nutrition Agenda in Vietnam from 2006 to 2008. Health Policy and Planning. 2012; 27(1):32–41. DOI : 10.1093/heapol/czr013.

22. Craig, R.L., Felix, H.C., Walker, J.F., & Phil-lips, M.M. Public Health Professionals as Policy Entrepreneurs: Arkansas’s Childhood Obesity Policy Experience. American Journal of Public Health. 2010;100(10):2047-2052.

360

Irwandy : Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Efisiensi Rumah Sakit

Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Efisiensi Rumah Sakit: Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan

The Effect of Health Insurance National Reform on Hospital Efficiency in Indonesia: The Case Study of South Sulawesi Province

Irwandy1,2*, Amal C. Sjaaf3

1Mahasiswa Program Doktoral, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.2Bagian Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.

3Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia(*[email protected])

ABSTRAKMemasuki Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pengelolaan rumah sakit yang efisien dengan tetap

memperhatikan kendali mutu dan biaya menjadi kunci agar mampu bertahan dan berkembang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan JKN terhadap tingkat efisiensi rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan. Efisiensi RS dinilai dengan metode Data Envelopment Analisis (DEA). Sampel adalah seluruh rumah sakit umum yang telah berstatus badan layanan umum daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah sampel penelitian sebanyak 25 rumah sakit. Data yang dianalisis adalah data tahun 2014 hingga 2017. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata RS BLUD di Provinsi Sulawesi Selatan hanya efisien pada tahun 2016 sedangkan pada tahun 2014, 2015 dan 2017 rata-rata RS tidak efisien. Perubahan sistem pelayanan kesehatan pada era JKN te- lah membawa dampak negatif terhadap tingkat efisiensi RS. Hal ini disebabkan seringnya terjadi keterlambatan pencairan pembayaran klaim BPJS Kesehatan dan rendahnya tarif INA-CBGs. Oleh karena itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.Kata kunci: Efisiensi, rumah sakit, DEA, JKN

ABSTRACTManaging the hospital efficiency with still control the hospital quality and cost is a key to survive in Na-

tional Health Insurance Era. The objective of this study was to determine the impact of the implementation of the National Health Insurance Policy (NHI) on the efficiency level of Hospital in South Sulawesi Province, Indonesia. The level of efficiency was analyzed using the Data Envelopment Analysis method. The study population was all BLUD hospitals in South Sulawesi Province. The Samples of research were 25 hospitals. Data from years 2014 to 2017 are used to analyze. The results showed, in average the hospitals achive the efficiency level only in year 2016. In years 2014, 2015 and 2017 the hospitals were not efficient. The changing in the healthcare system, especially on payment system to hospitals in JKN era, have had a negative impact on the level of hospital efficiency because the unadequate INA CBGs Tariff and hospital claims payment disrupted. Therefore, the government needs to overcome those problems.Keywords: Efficiency, hospital, DEA, NHI

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5144

361

JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

PENDAHULUANPemerintah Indonesia mulai mengimple-

mentasikan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara universal di Indonesia, sejak tanggal 1 Januari 2014. Program ini bertujuan memberi-kan jaminan kepada seluruh warga negara Indo-nesia agar dapat mengakses pelayanan kesehatan ketika membutuhkan dan tidak lagi terkendala khususnya dari segi pembiayaan. Di Indonesia, JKN diimplementasikan secara bertahap oleh pe-merintah, diharapkan pada tahun 2019 seluruh warga negara Indonesia telah ikut seluruhnya ber-gabung ke dalam program ini. JKN di Indonesia menganut sistem asuransi sosial, yakni pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh warga negara un-tuk bergabung pada program ini.

Penerapan JKN saat ini telah membawa perubahan besar dalam sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan khususya di rumah sakit. Sistem pembayaran di rumah sakit berubah yang sebelumnya menggunakan sistem fee for service menjadi sistem pembayaran prospective payment system dengan menggunakan tarif Ina-CBGs dan BPJS Kesehatan ditunjuk sebagai institusi pelak-sana program. Sistem rujukan pasien secara ber-jenjang juga mulai diperlakukan secara lebih ketat dari pelayanan kesehatan primer ke pelayanan kesehatan rujukan atau rumah sakit.

Perubahan kondisi tersebut membuat pihak manajemen rumah sakit harus dapat mengelola rumah sakit mereka secara efisien dengan tetap memperhatikan kendali mutu dan kendali biaya agar mampu bertahan di era Jaminan Kesehatan Nasional. Menyadari akan pentingnya efisien-si, pemerintah Indonesia memperkenalkan Pola Badan Layanan Umum (PK-BLU) sejak tahun 2004 bagi instansi yang menyediakan layanan ke-pada masyarakat yang diatur dalam Undang-Un-dang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, termasuk didalamnya adalah Rumah Sakit. Pemerintah Indonesia dalam Undang-Un-dang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit juga telah mewajibkan bahwa seluruh rumah sakit yang didirikan pemerintah harus dikelola dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk pe-merintah pusat atau Badan Layanan Umum Daer-ah (BLUD) untuk pemerintah daerah.

Tujuan dari pembentukan Badan Layanan Umum adalah meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, rumah sakit diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas serta pe- nerapan praktik bisnis yang sehat. Dengan adanya fleksibilitas tersebut diharapkan dapat meningkat-kan kinerja pelayanan dan kinerja keuangan rumah sakit sehingga mampu memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dan dapat berkembang di Era JKN saat ini.

Jumlah RS di Indonesia yang bersatatus BLU/BLUD saat ini terus mengalami pening-katan, salah satu provinsi yang mengalami pen-ingkatan yang cukup signifikan adalah Provinsi Sulawesi Selatan. Tercatat pada tahun 2010 pada 24 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan hanya terdapat 10 RS yang telah berstatus BLU/BLUD, tetapi hingga tahun 2016 meningkat menjadi 25 RS atau meningkat sebanyak 150%.1 Peningkatan jumlah RS BLU/BLUD saat ini di-harapkan dapat diikuti dengan peningkatan mutu kualitas layanan rumah sakit, hal tersebut sesuai dengan tujuan dari penerapan kelembagaan BLU/BLUD yakni salah satu didalamnya adalah efisien-si.

Secara umum sesuai dengan tujuannya, pen-erapan sistem jaminan kesehatan nasional disuatu negara akan membawa dampak positif yakni meningkatnya akses masyarakat ke pelayanan kesehatan termasuk didalamnya rumah sakit, teta-pi sistem ini juga dapat memberi dampak negatif khususnya bagi rumah sakit dikarenakan adanya perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pelayanan kesehatan khususnya perubahan dalam sistem pembayaran ke rumah sakit yang jika tidak diantisipasi dengan baik oleh pihak manajemen maka akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas pelayanan di rumah sakit.

Secara umum terdapat dua alasan penting mengukur efisiensi sebuah organisasi termasuk rumah sakit. Pertama, bahwa efisiensi merupa-kan indikator keberhasilan dan tolok ukur kinerja suatu organisasi pada saat dilakukan suatu eva- luasi. Kedua, dengan mengetahui tingkat efisiensi organisasi maka dapat diidentifikasi faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan produktifitas yang dicapai, baik dari lingkungan internal mau-pun lingkungan eksternal organisasi.

Hasil penelitian tentang penilaian efisiensi RS pada tahun 2017 di Indonesia memperlihat-

362

Irwandy : Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Efisiensi Rumah Sakit

kan bahwa masih terdapat 65.9% rumah sakit di Indonesia yang belum efisien secara teknis jika dibandingkan dengan rumah sakit lainnya. Skor rata-rata tingkat efisiensi rumah sakit di Indonesia adalah 78.9%. Hal penelitian tersebut juga menun-jukkan masih perlu peningkatan kinerja rumah sakit khususnya jumlah output rumah sakit secara umum sebesar 21,1%.2 Beberapa kendala yang di-hadapi oleh rumah sakit yang berdampak terhadap layanan operasional dan tingkat efisiensi di Era JKN saat ini antara lain seperti sering terhambat-nya pembayaran klaim, pendapatan menurun, tarif dianggap belum rasional serta sistem rujukan yang belum berjalan dengan baik menjadi hambatan yang paling dirasakan oleh sebuah rumah sakit.3,4

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dampak penerapan kebijakan JKN terhadap tingkat efisiensi rumah sakit BLUD khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Data penelitian diperoleh dari 25 rumah sakit badan layanan umum daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Data diperoleh secara primer dari RS tempat penelitian. Data yang dia-nalisis adalah data dari tahun 2014 yang merupa-kan awal penerapan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia hingga tahun 2017.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini adalah penelitian kuantitatif

menggunakan rancangan observasional dengan je-nis studi potong lintang (cross sectional). Sampel adalah seluruh rumah sakit umum yang telah ber-status Badan Layanan Umum Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah sampel penelitian se-banyak 25 rumah sakit. Data diperoleh dari lapo-ran rutin tahunan rumah sakit. Data yang dianalisis adalah data tahun 2014 hingga 2017 sehingga jum-lah DMUs yang dianalisis atau diobservasi seba- nyak 100 DMUs.

Penelitian ini menggunakan pendekatan non-parametrik dengan metode Data Envelop-ment Analysis untuk menilai tingkat efisiensi ru-mah sakit. Penelitan yang dilakukan oleh Hussey, dkk. menemukan bahwa mayoritas metode yang digunakan mengukur efisiensi dibidang kesehatan adalah metode frontier analysis termasuk didalam-nya metode DEA.5 Kelebihan DEA adalah mam-pu mengakomodasi banyak input maupun output dalam banyak dimensi. Pengukuran efisiensi yang didapatkan pun lebih akurat dikarenakan pada

rumah sakit, input dan outputnya sangat bera- gam dan saling terkait satu dengan yang lainnya.Adapun model matematika dari perhitungan DEA dapat digambarkan sebagai berikut:

dimana:

Keterangan :Em adalah efisiensi dari DMU ke myjm adalah output ke j dari DMU ke mvjm adalah bobot dari output di atasxim adalah input ke i dari DMU ke muim adalah bobot dari input di atasyjn dan xin adalah output ke j dan input ke i, berturut-turut, dari DMU ke n,n = 1,2, N

Dalam menentukan indikator input dan out-put, penelitian ini memperhatikan dua hal yakni hasil studi terdahulu mengenai penggunaan in-dikator input dan output di rumah sakit dengan pendekatan DEA serta ketersediaan data indikator tersebut di rumah sakit khususnya ketersediaan data secara lengkap dari tahun 2014-2017.

Indikator input dalam penelitian ini terdi-ri dari Luas Bangunan RS6, Total Aset RS7,8, Bi-aya Operasional9 Biaya Farmasi9 Indikator output terdiri dari Jumlah Pasien8, Jumlah Pemeriksaan Laboratorium10,11Jumlah Tindakan Operasi7, Pendapatan Operasional RS7, Average Length of Stay (Av-LOS)12, Turn Over Interval (TOI)13. Ter-dapat beberapa jenis model DEA yang mungkin digunakan tergantung dari kondisi permasalahan yang dihadapi. Jenis model DEA dapat diidentifi-kasi berdasarkan skala ekonomis dan orientasi dari model. Terdapat empat model DEA yang dapat di-gunakan dalam penelitian, yaitu CRS Input, CRS Output, VRS Input, dan VRS Output. CRS dan VRS menunjukkan asumsi yang digunakan, se-dangkan input dan output menunjukkan orientasi dari penelitian.14

363

JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Penelitian ini menggunakan model DEA dengan asumsi VRS dan orientasi output dikare-nakan subjek penelitian adalah rumah sakit peme- rintah yang diasumsikan lebih mudah dalam me- ngontrol output mereka dibandingkan dengan in-put karena sifatnya yang sudah given dari pemer-intah serta adanya aturan-aturan terkait standar input dari pemerintah.

HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata jumlah input dan output rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 2014 hingga 2017 mengalami peningkatan. Tabel 1 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah total aset RS BLUD di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2014 rata-rata total aset RS sebesar Rp.70.096.613.073, tahun 2015 sebesar Rp.78.172.425.081, tahun 2016 sebe-sar Rp.96.882.950.783 dan tahun 2017 sebesar Rp.124.299.310.659. Selanjutnya biaya opera-sional RS BLUD di Provinsi Sulawesi Selatan se-cara rata-rata mengalami peningkatan yakni pada tahun 2014 sebesar Rp.50.512.989.225, tahun 2015 sebesar Rp.57.988.247.173, tahun 2016 se-besar Rp.67.541.463.699 dan tahun 2017 sebesar Rp.74.572.852.036. Hal yang sama juga untuk ra-ta-rata biaya farmasi rumah sakit, terjadi peningka-tan cukup signifikan dari tahun ke tahun yakni pada tahun 2014 sebesar Rp.7.166.062.579, tahun 2015 Rp.9.674.360.869, tahun 2016 Rp.10.983.580.720 dan tahun 2017 sebesar Rp.12.477.068.194. Pe- ningkatan jumlah biaya rumah sakit baik biaya operasional maupun biaya farmasi tidak terlepas dari semakin membesarnya atau bertambahnya skala produksi rumah sakit, dapat dilihat dari ber-tambahnya jumlah pasien yang harus dilayani oleh rumah sakit dari tahun ke tahun.

Tahun 2014 rata-rata RS melayani pasien sebanyak 59.357 pasien dengan jumlah pemerik-saan laboratorium sebanyak 33.747 pemeriksaan, jumlah tindakan operasi sebanyak 1.969 prosedur, jumlah pendapatan operasional sebanyak Rp.30.749.122.846 dengan Av-LOS 3,8 hari dan dan TOI 2,6 hari. Pada tahun 2017 seluruh output RS ini meningkat signifikan menjadi 78.902 pa-sien dengan jumlah pemeriksaan laboratorium se-banyak 43.573 pemeriksaan, jumlah tindakan ope- rasi sebanyak 2.627 prosedur, jumlah pendapatan Ta

bel 1

. Rat

a-ra

ta In

put d

an O

utpu

t Rum

ah S

akit

BL

UD

di P

rovi

nsi S

ulaw

esi S

elat

an T

ahun

201

4-20

17

Indi

kato

rL

uas

Ban

guna

n R

SJu

mla

h To

tal

Ase

tB

iaya

O

pera

sion

alB

iaya

Far

mas

iTo

tal

Jum

lah

Pasi

en

Jum

lah

Pem

erik

saan

L

abor

ator

ium

Jum

lah

Tind

akan

O

pera

si

Pend

apat

an

Ope

rasi

onal

R

SAv

L

OS

TOI

Tahu

n 20

14R

ata-

rata

Nila

i Mak

sim

umN

ilai M

inim

umTa

hun

2015

Rat

a-ra

taN

ilai M

aksi

mum

Nila

i Min

imum

Tahu

n 20

16R

ata-

rata

Nila

i Mak

sim

umN

ilai M

inim

umTa

hun

2017

Rat

a-ra

taN

ilai M

aksi

mum

Nila

i Min

imum

23.7

6711

2.50

02.

650

23.7

6711

2.50

02.

650

18.2

7474

.631

2.65

0

20.5

3474

.631

4.19

6

70.0

96.6

13.0

7325

5.22

9.65

8.17

39.

205.

854.

845

78.1

72.4

25.0

8123

4.59

0.64

9.10

612

.103

.987

.600

96.8

82.9

50.7

8322

8.75

1.69

7.99

512

.103

.987

.600

124.

299.

310.

659

287.

361.

291.

655

10.2

66.1

15.3

66

50.5

12.9

89.2

2591

.714

.220

.899

10.3

97.4

65.1

45

57.9

88.2

47.1

7312

4.65

7.30

0.66

213

.397

.465

.145

67.5

41.4

63.6

9913

4.60

9.37

7.00

09.

145.

531.

919

74.5

72.8

52.0

3616

0.69

9.69

6.22

210

.833

.845

.033

7.16

6.06

2.57

917

.993

.392

.003

1.25

1.01

1.69

8

9.67

4.36

0.86

921

.737

.922

.436

1.33

0.36

2.09

2

10.9

83.5

80.7

2025

.452

.665

.940

1.09

6.26

0.13

3

12.4

77.0

68.1

9429

.116

.037

.067

1.23

8.99

0.83

5

59.3

5710

4.83

524

.672

60.3

8510

1.57

023

.902

64.5

6594

.488

24.3

57

78.9

0227

7.16

528

.726

33.7

4718

0.98

495

0

37.0

0317

5.81

964

0

63.8

8961

4.53

472

0

43.5

7316

5.25

91.

040

1.96

94.

160

202

2.44

75.

796

315

2.24

74.

885

233

2.62

75.

716

240

30.7

49.1

22.8

4679

.134

.999

.607

1.52

5.38

9.00

0

33.7

39.1

78.9

2180

.850

.675

.812

1.18

5.00

0.00

0

37.6

78.8

39.6

2082

.822

.943

.202

2.45

6.25

2.00

0

45.4

31.1

96.1

1987

.163

.173

.210

4.41

2.10

2.75

7

3.8 6 1.9

4.0 9 2.6

3.8 9 2.3

3.9 9 2.4

2.6 10 0.9

2.6 9 0.8

3.0 15 0.5

3.2 16 0.6

364

Irwandy : Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Efisiensi Rumah Sakit

operasional sebanyak Rp.45.431.196.119 dengan Av-LOS 3.9 hari dan TOI 3,2 hari. Peningkatan jumlah output RS ini merupakan dampak langsung dari kebijakan implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional yang telah dimulai sejak ta-hun 2014. Dengan adanya program ini maka akses masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan khusus- nya dari segi pembiayaan semakin meningkat.

Dengan menggunakan model ‘output-ori-ented’ dan model Variable Returns to Scale (VRS), skor super efisiensi teknis untuk rumah sakit dihitung dengan metode DEA. Skor super efisiensi teknis rumah sakit disajikan pada Tabel 2. Sebanyak 25 rumah sakit sampel penelitian yang diberi label dengan menggunakan nomor Kode RS secara nasional yang dikeluarkan oleh Kementeri-an Kesehatan Republik Indonesia.

DEA adalah teknik berbasis program linier untuk mengukur efisiensi unit organisasi yang di-namakan Decision Making Units (DMUs). Data Envelopment Analysis membandingkan tingkat efisiensi suatu Decision Making Units (DMUs)

dengan menggunakan input dan output yang be-ragam dengan DMU yang sejenis. Sebuah DMUs dengan nilai kurang dari 1 adalah unit yang tidak efisien dan lebih dari 1 adalah efisien.

Hasil penelitian menunjukkan, pada tahun 2014 terdapat 11 rumah sakit (44%) yang tidak efisien (nilai efisiensi <1) dan 14 rumah sakit (56%) yang masuk dalam kategori efisien (nilai efisiensi ≥1) dengan rata-rata tingkat efisiensi RS BLUD di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 sebesar 0,977. Pada tahun 2015 jumlah ru-mah sakit yang tidak efisien meningkat menjadi 13 rumah sakit (52%) dan 12 rumah sakit (48%) yang masuk dalam kategori efisien. Namun secara rata-rata tingkat efisiensi RS BLUD di Provin-si Sulawesi Selatan pada tahun 2015 meningkat dibanding pada tahun 2014 dengan skor sebesar 0,992. Pada tahun 2016 dan 2017 jumlah rumah sakit yang tidak efisien kembali meningkat menja-di 17 rumah sakit (68%) dan hanya 8 rumah sakit (32%) yang masuk dalam kategori efisien. Rata- rata tingkat efisiensi RS BLUD di Provinsi Su-

Tabel 2. Skor Efisiensi Teknis Rumah Sakit di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014-2017Kode RS 2014 2015 2016 2017 Mean

RS 7303010RS 7311010RS 7308041RS 7302016RS 7317075RS 7325016RS 7317053RS 7371395RS 7371362RS 7371026RS 7371014RS 7309016RS 7373016RS 7310016RS 7372075RS 7315014RS 7301015RS 7314024RS 7314013RS 7307014RS 7312011RS 7305012RS 7318054RS 7313012RS 7313023

Average

1,3630,6301,0431,0550,8140,7740,8630,6270,3510,4881,4400,6811,0461,0300,7370,5881,1821,4101,3311,1841,1130,6771,1321,0741,7980,977

0,8820,5181,0631,0192,2120,7060,7900,6190,5510,4461,0970,8021,3201,3440,4080,5601,8291,0561,1651,3220,8910,6311,1140,6091,8460,992

0,8380,3571,0400,9331,1910,7010,8290,6850,4030,5411,1370,7861,4900,9990,4260,6111,0200,7020,7660,7969,3951,0500,9940,8271,2681,191

1,5500,4960,7690,8711,4840,7370,8070,6480,3940,4860,9490,6170,4650,8660,4270,8961,3632,5630,6931,1891,2271,1920,8900,7301,0010,932

1,1580,5000,9790,9701,4250,7300,8220,6450,4250,4901,1560,7221,0801,0600,5000,6641,3491,4330,9891,1233,1570,8881,0330,8101,4781,023

365

JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

lawesi Selatan pada tahun 2016 meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2015 yakni menjadi sebesar 1,191, tetapi kembali memperlihatkan penurunan pada tahun 2017 menjadi 0,932 atau menjadi tidak efisien.

PEMBAHASAN

Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun pelak-sanaan program JKN di Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan, dapat dilihat bahwa program ini telah memberikan dampak terhadap perubahan tingkat efisiensi teknis rumah sakit (Gambar 1). Secara teoritis, implementasi kebijak- an penerapan asuransi kesehatan secara universal disatu sisi akan memiliki dampak positif yakni meningkatnya akses dan jumlah kunjungan ma-syarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan, tetapi disisi lain kebijakan ini juga telah menguras sum-ber daya yang besar dan memerlukan pengawasan secara intensif. Hasil penelitian memperlihatkan pada tahun 2014 rata-rata rumah sakit di Provin-si Sulawesi Selatan memiliki skor <1 atau tidak efisien. Penerapan program JKN secara nasional dari beberapa hasil penelitian lain memperlihatkan adanya dampak negatif terhadap kinerja keuang-an, produktivitas dan efisiensi rumah sakit. Hal ini disebebakan beberapa faktor diantaranya hasil pe-nelitian Malonda, menunjukan pada awal imple-mentasi terjadi masalah terhambatnya pembayaran klaim BPJS Kesehatan.4 Chriswardani pada tahun 2015 juga menemukan bahwa pada tahun perta-

ma pendapatan rumah sakit akan cenderung turun karena sebagian tarif INA-CBG lebih rendah dari pada tarif RS.3

Hal yang sama juga dialami oleh rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada para pi-hak manajemen rumah sakit, salah satu perma- salahan yang dialami rumah sakit dan dapat mem-pengaruhi tingkat efisiensi serta mutu layanan mereka adalah permasalahan sering terlambatnya pembayaran klaim pengobatan yang dibayarkan oleh pihak BPJS Kesehatan. Hal ini sangat meng-ganggu operasional rumah sakit karena arus kas yang tersendat, menyebabkan pelayanan di rumah sakit terganggu seperti keterlambatan pembayaran obat kepada pihak ketiga yang menyebabkan ke-kosongan obat serta keterlambatan pembayaran jasa pelayanan kepada staf rumah sakit yang jika kondisi tersebut terus berlangsung dapat berpe- ngaruh terhadap kinerja, kepuasan dan motivasi staf rumah sakit.

Selanjutnya Gambar 1 memperlihatkan bahwa seiring berjalannya waktu, tingkat efisien-si rumah sakit di Provinsi Sulawesi Selatan mulai mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 rata-ra-ta tingkat efisiensi teknis rumah sakit meningkat dibanding tahun 2014 yakni menjadi 0,992, tetapi secara umum skor rata-rata tersebut masih dibawah 1 atau tidak efisien. Pada tahun 2016 rata-rata skor efisiensi rumah sakit meningkat menjadi 1,191 atau telah mencapai tingkat efisien. Namun, pada

Gambar 1. Dampak Implementasi Program JKN terhadap Tingkat Efisiensi Rumah Sakit di Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2014-2017

366

Irwandy : Dampak Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Efisiensi Rumah Sakit

tahun 2017 tingkat efisiensi rumah sakit kemba-li mengalami penurunan menjadi 0,932 (tidak efisien). Berdasarkan hasil wawancara ditemukan beberapa persoalan eskternal yang memengaruhi efisiensi rumah sakit khususnya pada saat ini da-lam penerapan program JKN adalah seringnya ter-jadi keterlambatan pembayaran klaim BPJS Ke- sehatan dan beberapa tarif INA CBGs yang masih belum rasional sehingga biaya real yang dikelu-arkan oleh rumah sakit lebih besar dibanding tarif yang diterima. Hal ini secara sistemik telah mem-bawa dampak negatif terhadap tingkat efisiensi rumah sakit.

Sebuah studi literatur yang dilakukan un-tuk mengetahui dampak sistem pembayaran ber-dasarkan paket pelayanan DRG terhadap efisiensi rumah sakit yang dipublikasikan di Inggris dari ta-hun 1984 hingga 2009 memperlihatkan hasil bah-wa terdapat pengaruh sistem pembayaran DRG dengan efisiensi teknis rumah sakit di Portugal, Swedia, Norwegia.15 Demikian juga pada rumah sakit regional di China, hasil penelitian memperli-hatkan bahwa reformasi asuransi kesehatan memi-liki dampak terhadap efisiensi rumah sakit regional di China. Dengan menggunakan pendekatan DEA hasil penelitian tersebut menemukan dari tahun 2002-2008 tingkat efisiensi rumah sakit meningkat dari 0,6777 menjadi 0,8098.8

Beberapa literatur hasil penelitian sebelum-nya memperlihatkan bahwa pada awal-awal pe- nerapan kebijakan jaminan kesehatan disuatu ne- gara pengaruhnya terhadap tingkat efisiensi baru dapat teramati pada tahun keenam pengamatan. Penelitian yang dilakukan di China memperlihat-kan hasil, pada periode 2002 hingga 2008 dampak perubahan efisiensi belum terlihat dan masih sa-ngat fluktuatif, sedangkan mulai pada tahun 2009 hingga tahun 2013 pengamatan mulai dapat terli-hat adanya peningkatan atau hubungan yang posi-tif terhadap tingkat efisiensi rumah sakit.7

Diharapkan beberapa perbaikan perlu dilakukan dari segi kebijakan agar kedepannya tingkat efisiensi rumah sakit tidak terus mengala-mi penurun terlebih dalam lingkungan implemen-tasi program JKN seperti saat ini yang menuntut rumah sakit untuk dapat berproduksi secara efisien dan efektif dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan. Terdapat dua faktor penyebab utama yang menganggu tingkat efisiensi rumah sakit saat

ini. Pertama adalah besaran tarif INA-CBGs yang dianggap masih belum rasional oleh rumah sakit, masih terjadi selisih besaran biaya real yang dike-luarkan oleh rumah sakit pada beberapa kasus tin-dakan dengan tarif INA-CBGs. Kedua adalah ma-sih seringnya terjadi keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit. Kedua kondisi tersebut telah membawa dampak siste-mik dan berpengaruh terhadap kinerja efisiensi rumah sakit. Pemerintah perlu segera mengeluar-kan kebijakan perbaikan tarif INA-CBGs yang di- amanatkan untuk dilakukan setiap dua tahun seka-li dimana tarif yang ada saat ini terakhir di-update pada tahun 2016 dan hingga kini belum kembali dilakukan perbaikan. Selanjutnya permasalahan seringnya terjadi keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit harus segera diselesaikan oleh pemerintah saat ini agar tidak mengganggu cash flow rumah sakit yang akan berdampak pada pelayanan operasional, mutu dan efisiensi rumah sakit.

KESIMPULAN DAN SARANImplementasi program jaminan kesehat-

an nasional saat ini di Indonesia telah membawa dampak terhadap tingkat efisiensi rumah sakit. Faktor utama yang sangat mempengaruhi tingkat efisiensi rumah sakit adalah seringnya terjadi ke-terlambatan pembayaran klaim pengobatan oleh BPJS Kesehatan serta besaran tarif INA-CBGs yang dianggap belum rasional. Berdasarkan hal tersebut maka diharapkan pemerintah untuk le-bih memperhatikan kedua faktor tersebut agar kedepannya tingkat efisiensi rumah sakit dapat meningkat dan pada akhirnya kualitas layanan ke-pada masyarakat akan semakin membaik.

DAFTAR PUSTAKA1. Kemendagri. Badan Layanan Umum Daerah

[Internet]. Dirjen Bina Keuangan Daerah, Ke-menterian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2017. Available from: http://keuda.kemen- dagri.go.id/datin/index/3/2016

2. Harmadi SHB, Irwandy. Technical Efficien-cy of Public Service Hospitals in Indonesia: A Data Envelopment Analysis (DEA). Asian Soc Sci. 2018;14(6):81–90.

3. Chriswardani S, Sutopo P, Putri Asmita W, Pawit S, Puri Nur M. Implementasi JKN dan

367

JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Permasalahan di Rumah Sakit di Kota Sema-rang Tahun 2014. In: Kongres INA-HEA 2016. Semarang; 2015.

4. Malonda TD, Rattu AJM, Soleman T. Anali-sis Pengajuan Klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di RSUD Dr. Sam Ratulangi Tondano. Univesitas Sam Ratulangi; 2015.

5. Hussey PS, Vries H De, Romley J, Wang MC, Chen SS, Shekelle PG, et al. Health Care Ef-ficiency A Systematic Review of Health Care Efficiency Measures. Heal Res Educ Trust. 2008;784-805.

6. Araújo C, Barros CP, Wanke P. Efficiency Determinants and Capacity Issues in Brazi- lian for Profit Hospitals. Health Care Manag Sci. 2014 Jun;17(2):126-38.

7. Chu K, Zhang N, Chen Z. The Efficiency and Its Determinants for China’s Medical Care System: Some Policy Implications for North-east Asia. Sustainability. 2015;7:14092-111.

8. Hsin-hui H, Qinghui Q, Chih-hai Y. Analysis of Hospital Technical Efficiency in China : Ef-fect of Health Insurance Reform. China Econ Rev. 2012;23(4):865-77.

9. Varabyova Y, Schreyögg J. Internation-al Comparisons of the Technical Efficiency of the Hospital Sector: Panel Data Analysis of OECD Countries Using Parametric and

Non-Parametric Approaches. Health Policy (New York). 2013 Sep;112(1–2):70-9.

10. Karagiannis R. A System of Equations Two Stage DEA Approach for Explaining Capa- city Utilization and Technical Efficiency. Ann Oper Res. 2013 Apr;227(1):25-43.

11. Nicola A De, Gitto S, Mancuso P, Tor R. A Two Stage DEA Model to Evaluate the Effi-ciency of the Italian Health System. Munich Pers RePEc Arch. 2011;(39126).

12. Sulku SN. The Health Sector Reforms and the Efficiency of Public Hospitals in Tur-key: Provincial Markets. Eur J Public Health. 2012;22(5):634-8.

13. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Juknis Sistem Informasi Rumah Sakit. Jakar-ta, Indonesia; 2011.

14. Shahhoseini R, Tofighi S, Jaafaripooyan E, Safiaryan R. Hospitals Efficiency Measure-ment in Developing Countries: Application of Data Envelopment Analysis for Iranian. Heal Serv Manag Res. 2011;24(2):75–80.

15. Tabrizi HM. Impact of DRG Reimbursement System on Hospital Efficiency : Systemat-ic Review. BMC Health Serv Res [Internet]. 2012;12(Suppl 1):O2.

16. TNP2K. The Road to National Health Insu- rance (JKN). 2015.

368

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga pada Masyarakat Tepi Sungai dan Faktor yang Mempengaruhinya

Aprizal Satria Hanafi1*, Qomariyatus Sholihah2, Martina3, Ema Novita Deniati4

1,3Master of Epidemiology Student, School of Public Health, University of Indonesia2Department of Industrial Engineering, Faculty of Engineering, University of Brawijaya

4Master of Public Health Student, School of Public Health, University of Indonesia (*[email protected])

ABSTRACTLittering was recognized as an important cause of environmental pollution and was related to health prob-

lems. Banjarmasin city has been achieved the predicate of Adipura in 2015, but in reality there were still many drainage that clogged because of the pile of garbage, especially in the river. Management and disposal of household waste was an important issue in the city of Banjarmasin. The purpose of this study was to identify socioeconomic and demographic factors related to family members’ knowledge, practice, and behavior related to household waste management and produce corrective action plans. This study uses cross-sectional design. The study population is people in the city of Banjarmasin who live on the edge of the river and meet the sample inclusion and exclusion criteria. Sampling was done using multistage random sampling method. Binary logistic regression was used for data analysis. We found that education level, household income, and sex were independently linked to littering. We also found that communities have unsafe knowledge, practices, and behaviors in relation to waste management. This study concludes that promotion of environmental information and public education on proper waste disposal needs to be done to improve the health and safety of the community environment.Keywords: Knowledge, practice, behavior, household waste, management

ABSTRAKMembuang sampah sembarangan diketahui sebagai penyebab penting pencemaran lingkungan dan terkait

dengan masalah kesehatan. Kota Banjarmasin telah mendapat predikat Adipura pada tahun 2015, tetapi ke- nyataannya masih banyak drainase yang tersumbat karena tumpukan sampah, terutama di sungai. Pengelolaan dan pembuangan limbah rumah tangga merupakan masalah penting di Kota Banjarmasin. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor sosial ekonomi dan demografi yang terkait dengan pengetahuan, praktik, dan perilaku anggota keluarga terkait dengan pengelolaan limbah rumah tangga dan membuat tindakan perbaikan.Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Populasi penelitian adalah masyarakat di Kota Banjarmasin yang tinggal di tepi sungai dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampel. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode multistage random sampling. Regresi logistik digunakan untuk analisis data. Kami mene-mukan bahwa tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga dan jenis kelamin secara independen terkait dengan membuang sampah sembarangan. Kami juga menemukan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan, praktik, dan perilaku yang tidak aman dalam kaitannya dengan pengelolaan limbah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pro-mosi informasi lingkungan dan pendidikan publik tentang pembuangan limbah yang tepat perlu dilakukan untuk meningkatkan kesehatan dan keselamatan lingkungan masyarakat.Kata kunci: Pengetahuan, praktik, perilaku, sampah rumah tangga, pengelolaan

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5091

369

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

INTRODUCTIONTimes were constantly evolving and pro-

ducing cutting-edge products to meet the most basic needs of life. However, the production and consumption of the resulting resources end with an important issue related to waste management in different parts of the world. Often the rest of the production or the rest of the resources that are not used only become garbage that pollute the en-vironment.1,2 Environmental pollution associated with littering has a serious negative impact on the health and safety of the people.3,4 To prevent en-vironmental pollution due to improper waste han-dling required appropriate steps. Garbage must be sorted by type, organic or non-organic, applying sanitary landfill techniques or incineration tech-niques for waste that can not be decomposed easi-ly.5 Inadequate waste management can be attribut-ed to many factors, but it is important to emphasize the role, attitude, the practice of community waste management, and their interaction with other fac-tors in the waste management system. Society is the ultimate end user.6,7

Safe management and disposal of house-hold waste was a problem faced by Banjarmasin City, Indonesia. Banjarmasin city has a main land-fill with an area of about 39.46 hectares. In addi-tion Banjarmasin city government has provided temporary dump or trashbin for the community, but there are still many people who throw gar-bage into the river or open land.8 Barriers to waste management in the city of Banjarmasin may be quite unique in terms of environmental impacts, socioeconomic factors, and cultural heritage, so different areas will find effective different strate-gies for proper waste management. Some studies have found that good safety awareness at home or knowledge about waste related to adverse health effects associated with household waste disposal strategies.9,10 For example, safety behavior was re-quired to prevent direct contamination and expo-sure of infectious and harmful substances to health from household waste. On the other hand, increas-ing knowledge can encourage positive attitudes and build safe practices in society. In Banjarmasin, there is a shortage of measures aimed at informing the public about the causal relationship between environmental pollution and health, and no long-term evaluation provisions. Therefore, research

and development of waste management should continue to develop data, models and concepts re-lated to long-term waste disposal. The main objec-tives of the study were (1) to identify factors relat-ed to inappropriate household waste disposal and (2) to assess household knowledge about health and safety risks posed by inappropriate household waste disposal.

MATERIAL AND METHODBanjarmasin City is the largest city in South

Kalimantan Province. The city was estimated to contain more than one-third of the population in South Kalimantan Province. Banjarmasin dubbed the City of Thousand River has an area of 98.46 km² whose territory is an archipelago consisting of about 25 small islands. Based on BPS data of Banjarmasin City in 2016, Banjarmasin has a pop-ulation of 675,440 people with a density of 9,381 people per km². South Kalimantan Province has a population of about 1.9 million people. The study population is residents in the city of Banjarmasin who live on the edge of the river and meet the sam-ple inclusion and exclusion criteria.11,12

This is cross-sectional study. Sampling was done using multistage random sampling method. The main sampling unit was households located on the outskirts of the Martapura River in Cen-tral Banjarmasin Sub-District, Banjarmasin City. This sub-district was chosen because the Martapu-ra River is located almost along this Sub-District so that there are many houses on the river bank in this Sub-District. The secondary sampling unit consists of random sub-sampling in the reporting unit to obtain a household sample according to the household list established by the study team lead-er and the community representative. The tertiary sampling unit was a single member per household, preferably head of household. Based on the res-ponse rate by prospective participants obtained a sample of 784 participants.

The study was conducted between March and June 2017. As part of the inclusion criteria, the participants must be eligible (1) to be at least 18 years of age, (2) agree to participate in the study, (3) be able to speak Banjar language or at least Ba-hasa, and (4) not suffering from mental disorders or central nervous system disorders (including be-havioral disorders).

370

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

To improve community responses, commu-nity leaders were asked to help recruit data col-lectors from the community. Data collectors were a combination of university students and senior high school students. Interviewers were trained intensively with regard to study procedures and questionnaires. Data collectors were also special-ly trained to ensure that prospective participants were fully informed of their rights before getting approval. The questionnaire contains detailed in-formation about the participants regarding waste disposal practices. This study also asks about knowledge and safety behavior related to house-hold waste management. The study questionnaire was made by researchers after a literature search on related topics.13 Prior to the study, the validity

and reliability of the questionnaire were conduct-ed.

In this study, three variables were used to represent the outcome measure: waste disposal practices, knowledge about the negative impacts of littering household waste, and safety behavior associated with waste management. The com-munity waste disposal practice comes from the question: “How do you usually get rid of trash?” This question consists of four values: a temporary dump/landfill, dumped into a river, open land, or burned. These four values were further dicho- tomized into good waste disposal practices when people dump trash directly into a temporary dump/landfill, or inappropriate waste disposal practices, when waste was discharged into rivers, open land,

Table 1. Socioeconomic and Demographic Characteristics and Methods of Waste Disposal of Participants (n=784)

Variable n (%)

Methods of Waste DisposalA Temporary

Dump/Landfilln (%)

Into a Rivern (%)

Open Landn (%)

Burned n (%)

OverallAge (year)

18-3536-4041-60≥60

SexMaleFemale

Marital statusSingle MarriedDivorceWidow/widower

Education levelElementary SchoolMiddle SchoolSenior High SchoolCollege

Household income (IDR)< 2.285.000≥2.285.000

Distance to a temporary dump/landfill

< 50 meters50-100 meters101-200 meters> 200 meters

784 (100)

289 (36.8)273 (34.8)184 (23.5)38 (4.8)

328 (41.8)456 (58.2)

153 (19.5)452 (57.6)66 (8.4)

113 (14.4)

225 (28.7)280 (35.7)208 (26.5)71 (9.1)

504 (64.3)280 (35.7)

80 (10.2)153 (19.5)356 (45.4)195 (24.9)

139 (17.7)

28 (9.7)32 (11.7)59 (32.0)20 (52.6)

85 (25.9)54 (11.8)

27 (17.6)63 (13.9)17 (25.8)32 (28.3)

8 (3.6)10 (3.6)74 (35.6)47 (66.2)

22 (4.4)117 (41.0)

38 (47.5)63 (41.2)23 (6.5)15 (7.7)

371 (47.3)

184 (63.7)150 (54.9)30 (16.3)7 (18.4)

128 (39.0)243 (53.3)

53 (34.6)272 (60.2)16 (24.2)30 (26.5)

160 (71.1)150 (53.6)46 (22.1)15 (21.1)

283 (56.2)88 (31.4)

11 (13.8)24 (15.7)184 (51.7)152 (77.9)

132 (15.3)

35 (12.1)50 (18.3)45 (24.5)2 (5.3)

40 (12.2)92 (20.2)

36 (23.5)51 (11.3)20 (30.3)25 (22.1)

33 (14.7)63 (22.5)30 (14.4)6 (8.5)

94 (18.7)24 (8.6)

17 (21.3)30 (19.6)65 (18.3)20 (10.3)

142 (18.1)

42 (13.8)41 (15.0)50 (27.2)9 (23.7)

75 (22.9)67 (14.7)

37 (24.2)66 (14.6)13 (19.7)26 (23.0)

24 (10.6)57 (20.4)58 (27.9)3 (4.2)

105 (20.8)51 (18.2)

14 (17.5)36 (23.5)84 (23.6)8 (4.1)

371

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

or burned. The level of knowledge was considered “less” with a score <50% and rated “good” with a score of ≥50%. The level of safety behavior was considered “safe” for those who score > mean and considered “unsafe” for the ≤ mean.

Descriptive analysis was conducted to in-vestigate the characteristics of waste disposal practices in the study population. Multivariate analysis of binary logistic regression was conduct-ed to examine the influence of socioeconomic and demographic factors on the practice of communi-ty waste disposal, the level of public knowledge about the causes of diseases related to inappropri-ate waste management, and safety behavior related to waste management. To prevent the possibility that participants will apply good waste disposal practices during the study, the other six variables will be explained: age, sex, marital status, educa-tion level, household income, and distance to a

temporary dump/landfill. To predict participants’ knowledge of the causes of disease from waste management, five predictors in this model: age, sex, marital status, education level, and house-hold income.6,14 For the questionnaire component, items and reliability were applied. Statistical sig-nificance is set at ≤0.05.

RESULTTable 1 illustrates the frequency distribution

of socioeconomic and demographic characteris-tics. There were a total of 784 participants. The mean age (± standard deviation) was 41.6±16.2 years, corresponding to the age range 18 to 66 years. The average household income of partici-pants was IDR 2,645,000 (SD ±1,925,000). Table 1 also identifies 4 methods of waste disposal. Most of the waste was discharged into the river (47.3%), disposed of burnt (18.1%), dumped into a tempo-

Table 2. Knowledge of Health Impact and Participants Behavior Related to Waste Management (n=784)

Questions about Correct Response n (%) Correct Response

KnowledgeDo the inappropriate waste disposal dangerous? (Yes)Can surface water/groundwater/tap water be contaminated at any time? (Yes) Do the child’s shit is as dangerous as an adult? (Yes)Do the following illness related to inappropriate waste disposal?Cholera (Yes) Typhoid (Yes)Dysentery (Yes)Malaria (Yes)Diarrhea (Yes)Injury (Yes)Respiratory infection (Yes)BehaviorDo your kids play near the garbage? (No)Do you buy food from the shops near the trash? (No)Do you wash your hands properly after taking out the trash? (Yes)Do you drink boiled water? (Yes)Do you waste every day? (Yes)Do you usually keep garbage near the outside door? (No)Do you leave unprotected garbage near the outside door? (No)Do you leave the waste container overflowing? (No)Do you wash the trash containers with soap and water or cleaners with dry soil or sand? (Yes)Do child feces removed with other household garbage? (No)Do you usually treat water from the unprotected and suspicious surface, soil, and pipelines before use? (Yes)Do you sleep in a mosquito net? (Yes)

726(92.6%)299 (38.1%)321 (40.9%)

463 (59.1%)498 (63.5%)69 (8.8%)

441 (56.3%)161 (20.5%)26 (3.3%)34 (4.3%)

166 (21.2%)477 (60.9%)410 (52.3%)585 (74.6%)432 (55.1%)456 (58.2%)192 (24.5%)326 (41.6%)111 (14.2%)

277 (35.3%)115 (14.7%)

471 (60.1%)

372

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

rary dump/landfill (20.2%), and disposed to open land (15.3%).

When analyzing waste disposal methods on socioeconomic and demographic aspects, we can quickly identify that participants in the 18-35 years age group often dump garbage in rivers (63.7%) or by burning (13.8%). Participants aged 36-40 years often throw their garbage into the river (54.9%) or dispose of waste by burning (15.0%). The most common method of disposal of partici-pants in the 41-60 years age group was discharged to a temporary dump/landfill (32.0%) or by burn-

ing (27.2%), whereas age over ≥60 years was mostly disposed of waste to a temporary dump/landfill (52.6%) and with combustion (23.7%).Most of the women (53.3%) dumped more waste in rivers than men (39.0%). Participants with ele- mentary school education (71.1%) and those with middle school education (53.6%) often dump garbage into rivers, while participants with se-nior school high school (35.6%) and education to college background (66.2%) often throw garbage into a temporary dump/landfill. Participants who earn <IDR 2,285,000 (56.2%) often throw gar-

Table 3. Binary Model Logistic Regression Association between Waste Disposal Methods, Socioeconomic Characteristics, and Participant Demographics (n=784)

Variable

Good Garbage Disposal (a Temporary

Dump/Landfill) n (%)

Unadjusted Adjusted

POR 95% CI p POR 95% CI p

Age (year)18-3536-4041-60≥60

SexMaleFemale

Marital statusSingle MarriedDivorceWidow/widower

Education levelElementary SchoolMiddle SchoolSenior High SchoolCollege

Household income (IDR)< 2.285.000≥2.285.000

Distance to a temporarydump/landfill

< 50 meters50-100 meters101-200 meters> 200 meters

28 (9.7)32 (11.7)59 (32.0)20 (52.6)

85 (25.9)54 (11.8)

27 (17.6)63 (13.9)17 (25.8)32 (28.3)

8 (3.6)10 (3.6)74 (35.6)47 (66.2)

22 (4.4)117 (41.8)

38 (47.5)63 (41.2)23 (6.5)15 (7.7)

2.43 (1.04-4.94)1.42 (0.50-3.20)5.65 (2.20-7.23)

Reference

Reference1.90 (0.73-3.64)

2.45 (1.13-4.56)2.10 (1.42-4.54)2.79 (1.23-6.37)

Reference

2.90 (1.04-4.24)3.34 (1.14-4.53)2.14 (1.02-3.59)

Reference

3.42 (1.33-4.56)Reference

Reference0.58 (0.24-1.20)1.53 (0.03-2.30)2.32 (1.03-3.40)

0.050.100.00

0.02

0.040.250.30

0.000.000.10

0.00

0.010.200.00

1.80 (1.13-1.99)1.23 (1.03-3.65)1.57 (1.21-2.84)

Reference

Reference2.60 (1.56-3.88)

1.52 (1.14-2.49)1.84 (1.48-2.24)1.45 (1.22-2.94)

Reference

3.42 (1.26-4.16)2.12 (1.02-4.24)1.81 (1.18-3.95)

Reference

0.46 (0.02-0.85)Reference

Reference0.23 (0.03-0.84)0.10 (0.32-0.55)0.25 (0.11-0.94)

0.010.010.00

0.00

0.000.000.03

0.010.000.00

0.02

0.030.010.01

p< 0.05 significantNote: IDR: Indonesian Rupiah; POR: Prevalence Odds Ratio; CI: Confidence Interval

373

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

bage into rivers, whereas participants with income ≥ IDR 2,285,000 (41.8%) often dump garbage into a temporary dump/landfill. Participants who live less than 50 meters (47.5%) or between 50 to 100 meters (41.2%) often dump trash into a temporary dump/landfill, but participants living between 101 to 200 meters and over 200 meters of a temporary dump/landfill, respectively, dumping their waste into rivers (51.7% versus 77.9%).

Table 2 illustrates the knowledge of parti- cipants on the causes of diseases related to waste.

Satisfactorily, 92.6% of participants were aware of the fact that improper handling of waste was harmful to human health. Unfortunately, 61.9% of participants were unaware of the possible con-tamination of hosts from surface, soil, and piped water at any time due to inappropriate waste man-agement. Likewise, 59.1% of participants consi- dered that improper disposal of improper children did not have adverse health effects. Regarding participants’ evaluation of their knowledge of di- seases caused by inappropriate waste manage-

Table 4. Binary Model Logistic Regression Associations between the Participants’ Level Of Knowledge about the Causes of Diseases Related to Waste and the Socioeconomic and Demographic Characteristics of the Participants (n=784)

VariableGood

Knowledge n (%)

Unadjusted Adjusted

POR 95% CI p POR 95% CI p

Age (year)18-3536-4041-60≥60

SexMaleFemale

Marital statusSingle MarriedDivorceWidow/widower

Education levelElementary SchoolMiddle SchoolSenior High SchoolCollege

Household income (IDR)< 2.285.000≥2.285.000

Distance to a temporarydump/landfill

< 50 meters50-100 meters101-200 meters> 200 meters

89 (32.9%)72 (26.7%)91(33.7%)18 (6.7%)

167 (61.9%)103 (38.1%)

70 (25.9%)92 (34.1%)36 (13.3%)72 (26.7%)

19 (7.0%)50 (18.5%)136 (50.4%)65 (24.1%)

82 (30.4%)188 (69.6%)

77 (28.5%)104 (38.5%)50 (18.5%)39 (14.4%)

2.13 (1.17-3.43)1.38 (0.52-3.93)1.13 (0.74-2.84)

Reference

Reference0.88 (0.32-2.58)

1.24 (0.23-2.54)1.02 (0.12-2.45)1.94 (0.89-3.49)

Reference

1.26 (0.65-2.64)2.08 (1.02-4.25)4.10 (2.33-7.88)

Reference

0.84 (0.52-1.42)Reference

Reference)1.22 (0.72-2.56)1.48 (0.83-1.74)0.64 (0.31-1.34)

0.030.020.01

0.01

0.000.000.20

0.010.100.10

0.02

0.000.400.50

1.44 (0.29-2.48)1.73 (0.83-3.94)0.85 (0.19-2.46)

Reference

Reference0.56 (0.39-0.89)

2.04 (1.13-4.79)1.25 (1.04-4.57)2.03 (1.40-4.69)

Reference

1.42 (1.32-1.82)1.32 (1.01-1.72)1.60 (1.13-2.12)

Reference

1.53 (0.77-3.41)Reference

Reference2.80 (1.32-3.45)1.20 (0.28-2.48)1.12 (0.24-2.95)

0.500.080.10

0.01

0.010.200.10

0.040.010.00

0.00

0.000.060.25

p< 0.05 significantNote: IDR: Indonesian Rupiah; POR: Prevalence Odds Ratio; CI: Confidence Interval

374

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

ment, 59.1%, 63.5%, and 56.3% of participants were aware that, respectively, cholera, typhoid, and malaria could be attributable to treatment im-proper waste. However, few participants believed that diarrhea (20.5%), dysentery (8.8%), respirato-ry infections (4.3%), and injuries (3.3%) may be due to improper handling of waste.

Table 2 illustrates the safety behavior of participants in relation to waste management. In-terestingly, 52.3% of participants adopted an im-portant aspect of personal hygiene; That is, they wash their hands properly after garbage disposal.

Importantly, 55.1%, 58.2%, and 60.1% of partici-pants throw garbage every day, usually put rubbish near the outside door, and sleep using a mosquito net. Another aspect of safety behavior remains a concern; participants did not prevent their children from playing near the garbage (78.8%), they left unprotected garbage near the outside door (75.5%), they did not often wash the trash can with soap or water or soakers with soil or sand dry (85.8%).

In Table 3, logistic regression model shows that variables such as sex, education level, marital status, household income, and distance of partici-

Table 5. The Influence of Socioeconomic and Demographic Factors on the Safety Behavior of Participants Related to Waste Management (n=784)

Variable Good Behaviorn (%)

Unadjusted Adjusted

POR 95% CI p POR 95% CI p

Age (year)18-3536-4041-60≥60

SexMaleFemale

Marital statusSingle MarriedDivorceWidow/widower

Education levelElementary SchoolMiddle SchoolSenior High SchoolCollege

Household income (IDR)< 2.285.000≥2.285.000

Distance to a temporarydump/landfill

< 50 meters50-100 meters101-200 meters> 200 meters

83 (22.1%)102 (27.2%)168 (44.8%)22 (5.9%)

201 (53.6%)174 (46.4%)

64 (17.1%)156 (41.6%)38 (10.1%)117 (31.2%)

27 (7.2%)86 (22.9%)196 (52.3%)66 (17.6%)

122 (32.5%)253 (67.5%)

72 (19.2%)203 (54.1%)54 (14.4%)46 (12.3%)

2.70 (1.63-4.84)1.75 (0.88-3.16)1.18 (0.72-1.78)

Reference

Reference0.23 (0.11-0.60)

3.33 (1.28-5.67)1.08 (0.48-2.45)0.84 (0.44-1.57)

Reference

0.55 (0.17-1.08)1.22 (0.81-2.58)0.83 (0.47-1.48)

Reference

0.74 (0.34-1.56)Reference

Reference0.69 (0.48-1.99)1.63 (0.87-2.86)0.81 (0.42-1.68)

0.000.050.51

0.00

0.020.040.30

0.000.040.70

0.03

0.010.450.12

4.42 (1.96-7.70)1.50 (1.26-2.74)0.17 (0.11-0.67)

Reference

Reference1.14 (1.11-1.93)

2.17 (1.78-4.68)1.56 (1.24-4.11)1.33 (1.14-3.13)

Reference

1.31 (1.14-1.75)1.74 (1.65-2.65)2.15 (1.45-4.84)

Reference

1.45 (1.08-2.34)Reference

Reference1.46 (1.15-1.86)0.83 (0.43-1.24)0.66 (0.22-1.54)

0.020.000.01

0.02

0.200.350.80

0.000.040.02

0.01

0.060.100.26

p< 0.05 significantNote: IDR: Indonesian Rupiah; POR: Prevalence Odds Ratio; CI: Confidence Interval

375

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

pants from permitted dumps make an independent statistical contribution to the model. The strongest predictors and incorrect practices of garbage dis-posal were education level, and sex with POR of 3.42 and 2.60, respectively. POR for income in-dicate a slight change in the possibility of inap-propriate waste disposal. People living 50 meters from a temporary dump/landfill tend to dump there with POR of 0.65.

In Table 4, logistic regression model shows that only sex, education level, and household in-come contributed significantly to predictions. The likelihood of a female who knows the health ef-fects associated with improper waste management is 0.56 times lower than the likelihood of men. In the same way, participants who are educated ele- mentary school and middle school respectively, tend not to know the implications of waste in the cause of the disease. The POR shows that the par-ticipant’s income IDR ≥2,285,000 is 3.80 times more likely to know the role of waste in the cause of the disease.

The results of logistic regression analysis to assess the effect of a set of factors on the likeli-hood of participants applying safety behaviors re-lated to waste management are presented in Table 5. Given the model, age, gender, education level, and overall household income, statistically signifi- cant contributions to this model. The strongest predictor of safe behavior is between the ages of 18 and 35 who have an POR of 4.42. Participants with female sex, elementary school and middle school, and IDR <2,285,000 earnings did not tend to apply safe behaviors.

DISCUSSIONThis study develops a standardized and sus-

tainable approach that identifies the broad spec-trum of safety and knowledge-based variables and predicts and then directly examines the impact of socioeconomic and demographic factors related to waste and waste related knowledge. The results of this study provide concrete support for the hy-pothesis that households have important roles and responsibilities in littering. Predictors of inappro-priate waste disposal practices were the level of education, sex, household income, and residence at a distance of more than 50 meters from a tem-porary dump/landfill. Similar findings have been

reported in previous studies.14,15

The authorities should be encouraged to promote environmental information and counsel-ing to the community, because the extent to which people participate effectively, especially women, can only be improved through education and coun-seling. If garbage is collected by garbage collec-tors, the costs should be designed to be accessible to low-income communities.16

Another important goal of the study was to assess public knowledge about health risks from inappropriate waste management. In general, they have little knowledge of the implications of waste on environmental pollution.17 It should also be not-ed that most participants were aware that improper waste management causes cholera, typhoid, and malaria. However, there is still a lack of under-standing about some important diseases such as dysentery, diarrhea, respiratory infections, and in-juries. The level of knowledge of participants less affected by household income, education level, and gender. This suggests that more effort is need-ed to awaken the public about disease prevention and health promotion with a particular focus on women.18 For economically disadvantaged house-holds who can not easily have access to mass me-dia, a good outreach program should be provided for information dissemination.19

This study has shown that participants should implement basic safety measures regarding waste management such as washing hands proper-ly after garbage disposal, disposing of garbage ev-ery day, putting garbage near an outside door, and sleeping inside mosquito nets. In this study, there were still participants who do not treat water from the unprotected surface, soil and pipe sources be-fore use. In general, inappropriate security behav-ior was related to age, gender, education level, and household income. In response to this situation, the Banjarmasin government should seek more assistance from development partners to utilize technical assistance and advice to improve com-munity-based health education delivery.

The main strengths of this study were as follows: taking into account confounding factors, and good survey reporting methods. Interestingly, this study can address the need for comprehensive information and tools to help policymakers and stakeholders adjust their current programs and

376

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants

plan future programs. For educators/health work-ers, this study would be better promoted handling healthy household waste to a diverse population. And, for researchers, this study will contribute to increasing data comparability. Household waste management may not only be influenced by so-cioeconomic and sociodemographic factors, but there are still many other factors that have not been studied, so further study is expected to add these factors.

CONCLUSIONThis study provides evidence that people

were still less concerned about the environment by littering. The practice of waste disposal by ignor-ing the likelihood of environmental consequences was affected by certain socioeconomic status (sex, educational level, and household income) and geo-graphic risk factors (distance to dumps). This sug-gests that participants not only have a poor know-ledge of the negative health impacts of improper handling of waste but also have unsafe behavior on safety practices. This study recommends that the promotion of environmental information and education/extension community should be done as an effort to prevent disease, comfort, environmen-tal friendliness, and public safety. Governments can create an environment where innovation and knowledge promotion can flourish. One step the government can take is to build public toilets for people who do not have toilets. In addition, the government can make regulations in the form of sanctions for people who dispose of garbage or dirt on the river or open land. Investing in knowledge and innovation was the key to improving the coun-try’s productivity and improving people’s lives.

ACKNOWLEDGEMENTThe authors were grateful for the help and

support of all parties to this study, especially on all study participants

REFERENCES1. Adogu, P.O.U., Uwakwe, K.A., Egenti,

N.B., Okwuoha, A.P., and Nkwocha, I.B. Assesment of Waste Management Practic-es among Residents of Owerri Municipal Imo State Nigeria. Journal of Environmental Protection. 2015:6:446-456. Doi: 10.4236/

jep.2015.65043.2. Zagozewski, R., Judd-Henrey, I. Nilson, S.,

and Bharadwaj, L. Perspective on Past and Present Waste Disposal Practices: A Commu-nity-Based Participatory Research Project in Three Saskatchewan First Nations Communi-ties. Environmental Health Insights. 2011:5:9-20. Doi: 10.4137/EHI.S6974.

3. Rahmaddin, M.Y., Hidayat, T., Yanuwiadi, B., and Suyadi. Knowledge, Attitude, and Action of Community towards Waste Management in River Bank of Martapura. International Jour-nal of Applied Psychology. 2015:5(4):96-102. Doi: 10.5923/j.ijap.20150504.03.

4. Giusti, L. A Review of Waste Management Practices and Their Impact on Human Health. Waste Management. 2009:29:(8):2227-2239. Doi: 10.1016/j.wasman.2009.03.028.

5. Ahsan, A., Alamgir, M., Sergany, M.M., et al. Assesment of Municipal Solid Waste Man-agement System in A Developing Country. Chinese Journal of Engineering 2014:561935: Doi: 10.1155/2014/561935.

6. Sankoh, F.P., Yan, X., and Tran, Q. Environ-mental and Health Impact of Solid Waste Disposal in Developing Cities: A Case Study of Granville Brook Dumpsite, Freetown, Si-erra Leone. Journal of Environmental Pro-tection. 2013:4:665-670. Doi: 10.4236/jep.2013.47076.

7. Mukarna, T., Ndejjo, R., Musoke, D., Musin-guzi, G., Halage, A.A., Carpenter, D.O., and Ssempebwa, J.C. Practices, Concerns, and Willingness to Participate in Solid Waste Management in Two Urban Slums in Central Uganda. Journal of Environmental and Pub-lic Health. 2016. Article ID 6830163:7 Pages. Doi: 10.1155/2016/6830163.

8. Malik, N.K.A., Abdullah, S.H., and Manaf, L.A. Community Participation on Solid Waste Segregation through Recycling Pro-grammes in Putrajaya. Procedia Environmen-tal Sciences. 2015:30:10-14. Doi: 10.1016/j.proenv.2015.10.002.

9. Okechukwu, O.I., Okechukwu, A.A., Noye-Nortey, H., and Agyei, O. Health Perception of Indiscriminate Waste Disposal-A Ghanaian Case Study. Journal of Medicine and Medical Sciences. 2012:3:(3):146-154.

377

Aprizal Satria Hanafi : Household Waste Management among Riverside Communities and other Determinants JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

10. Banga, M. Household Knowledge, Attitudes and Practices in Solid Waste Segregation and Recycling: The Case of Urban Kampala. Zam-bia Social Science Journal. 2011:1:(2):27-39.

11. BPS Kota Banjarmasin. Proyeksi Penduduk Kota Banjarmasin Menurut Kelompok Umur Tahun 2010-2015 [Population Projection of Banjarmasin City by Age Group Year 2010-2015]. [Accessed date: 29th March 2017].

12. Wikipedia. Profil Kota Banjarmasin [Profile of Banjarmasin City]. https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banjarmasin. [Accessed date: 29th March 2017].

13. Aroj, B., Muhammad, A., Ushahid, A., and Qa-sim, M. Epidemiology Impact of Solid Waste and Assessment of Awareness Level Among Rural Areas of Pakistan. American-Eurasian Journal of Agricultural & Environmental Sci-ences. 2004:14:(9):831–837.

14. Addo, H.O., Dun-Dery, E.J., Afoakwa, E., Elizabeth, A., Ellen, A., and Rebecca, M. Cor-relates of Domestic Waste Management and Related Health Outcomes in Sunyani, Ghana: A Protocol towards Enhancing Policy. BMC Public Health. 2017:17:615. Doi: 10.1186/s12889-017-4537-8.

15. Awunyo-Vitor, D., Ishak, S., and Jasaw, G.S. Urban Households’ Willingness to Pay for Im-

proved Solid Waste Disposal Services in Ku-masi Metropolis, Ghana. Urban Studies Re-search. 2013:Article ID 659425:8 Pages. Doi: 10.1155/2013/659425.

16. Sessa, A., Giusseppe, G.D., Marinelli, P., and Angelillo, I.F. Public Concerns and Be-haviours towards Solid Waste Management in Italy. European Journal of Public Health. 2009:20:(6):631-633. Doi: 10.1093/eurpub/ckp204.

17. Desa, A., Kadir, N.B.A., Yusooff, F. A Study on The Knowledge, Attitudes, Awareness Status An Behavior Concerning Solid Waste Management. Procedia-Social and Behavior-al Sciences. 2011:18:643-648. Doi: 10.1016/j.sbspro.2011.05.095.

18. Addo, L.B., Adei, D., and Acheampong, E.O. Solid Waste Management And Its Health Im-plications on The Dwellers of Kumasi Me-tropolis, Ghana. Current Research Journal of Social Science. 2015:7:(3):81-93.

19. Zhang, D., Huang, G., Yin, X., and Gong, Q. Residents’ Waste Separation Behaviors at The Source: Using SEM with The Theory of Planned Behavior in Guangzhou, China. In-ternational Journal of Research and Public Health. 2015:12:9475-9491. Doi: 10.3390/ijerph120809475.

378

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

Does Hospital Accreditation Status Differentiate Right Medication Procedure, and Perceived Patient?

Saptono Putro1, Viera Wardhani2, Siswanto2

1Rumah Sakit TNI AL Dr. Ramelan Surabaya2Program Studi Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya Malang([email protected])

ABSTRAKAkreditasi rumah sakit memberikan panduan implementasi standar manajemen mutu termasuk manajemen

pengelolaan obat untuk mengurangi Insiden Keselamatan Pasien (IKP). Penelitian ini bertujuan mengetahui per-bedaan implementasi benar pemberian obat dan persepsi IKP berdasarkan status akreditasi rumah sakit. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan analitik cross sectional, yang membandingkan implementasi benar obat dan persepsi IKP pada 2 rumah sakit tipe D yang berbeda status akreditasinya di wilayah Malang Raya. Pengukuran implementasi benar pemberian obat dan persepsi IKP dilakukan menggunakan kuesioner tertutup pada 36 perawat dan 99 pasien rumah sakit perdana serta 41 perawat dan 96 pasien rumah sakit paripurna. Analisis dilakukan dengan uji Mann Whitney Z test dan uji Rank Spearman test. Kedua rumah sakit menunjukkan tingkat implementasi benar pemberian obat yang baik dan persepsi IKP yang rendah meskipun rumah sakit terakreditasi perdana menunjukkan gambaran yang sedikit lebih baik dibandingkan rumah sakit terakreditasi paripurna. Pada rumah sakit dengan akreditasi perdana menunjukkan bahwa semakin baik implementasi benar pemberian obat maka semakin rendah persepsi IKP menurut perawat maupun pasien. Tidak didapatkan hubungan serupa pada rumah sakit dengan status akreditasi paripurna, tidak ada perbedaan tingkat implementasi benar pemberian obat dan persepsi IKP menurut perawat maupun pasien. Kata kunci : Akreditasi, ketepatan pemberian obat, keselamatan pasien

ABSTRACTHospital accreditation provides guidelines for implementing quality management standards including drug

management management to reduce the incidence of patient safety (IPS). This study aims to determine the differ-ence between the right implementation of drug administration and the perceieved of IPS based on hospital accred-itation status. This researchusing a survey method with cross sectional analytical approach, which compares the correct implementation of the drug and IKP perception in 2 type D hospitals with different accreditation status in the Greater Malang area. Measurements of the correct implementation of drug administration and IKP percep-tions were carried out using a closed questionnaire on 36 nurses and 99 primary hospital patients and 41 nurses and 96 full hospital patients. Analysis was carried out by Mann Whitney Z test and Rank Spearman test. Both hospitals showed the correct level of implementation of good drug delivery and low IPS perception even though the first accredited hospital showed a better picture than plenary accredited hospitals. In hospitals with initial accreditation shows that the better the right implementation of drug administration, the lower the perception of IPS according to nurses and patients. There was no similar relationship in the hospital with full accreditation sta-tus, where there was no difference in the level of true implementation of drug administration and IKP perception according to nurses and patients.Keywords : Accreditation, right medication procedure, patient safety

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.4385

379

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien? JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

PENDAHULUANMedication error menempati kelompok

urutan pertama insiden keselamatan pasien, dalam proses pelayanan farmasi.1 Laporan Peta Nasional Insiden Keselamatan Pasien menunjukkan bahwa medication error merupakan kejadian yang pa- ling sering terjadi (24,8%) dari 10 besar IKP yang dilaporkan.1 Penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa medication error terjadi pada proses peresepan (5%-19%), dispensing oleh far-masi (2,1%-11%), pemberian obat kepada pasien (5%-19%). Angka tersebut lebih tinggi dari stan-dar Departemen Kesehatan untuk kejadian kesala-han pemberian obat yaitu 0%.2

Angka medication error yang sangat berva-riasi didapatkan juga di negara lain. Sebanyak 45 penelitian yang dilakukan di negara Timur Tengah menemukan variasi angka kesalahan prescribing (peresepan) sebesar 7,1% sampai 90,5%, kesala-han administrasi sebesar 9,4% sampai 80%. Ke- salahan paling sering pada peresepan adalah dosis obat yang tidak tepat (0,15% - 34,8%), frekuensi pemberian obat yang tidak tepat.3 Penelitian lain yang dilakukan oleh Dedefo di Ethiopia mendapat-kan medication error 175 dari 225 kasus (75,1%) terdiri dari salah dosis (23,0%), diikuti oleh salah obat (21,2%) dan salah jadwal (15,4%).4

Kejadian medication error merupakan ke-jadian yang bisa dicegah, salah satunya dengan penerapan standar Manajemen dan Penggunaan Obat (MPO) yang baik.5 Akreditasi rumah sakit di Indonesia versi KARS 2012 menghendaki ada-nya penerapan standar MPO yang bertujuan untuk keselamatan pasien. Salah satu bagian dari MPO adalah implementasi benar pemberian obat yang merupakan komponen penting dalam pengobatan paliatif, simptomatik, preventif dan kuratif ter- hadap penyakit dan berbagai kondisi. Komponen MPO mencakup sistem dan proses yang digu-nakan rumah sakit dalam memberikan farmakote- rapi kepada pasien. Hal tersebut merupakan upaya multidisiplin dan terkoordinir dari para staf rumah sakit dalam menerapkan prinsip rancang proses yang efektif, implementasi dan peningkatan selek-si, pengadaan, penyimpanan, pemesanan/perese-pan, pencatatan (transcribe), pendistribusian obat, persiapan (preparing), penyaluran (dispensing), pemberian, pendokumentasian dan pemantauan terapi obat. Peran para pemberi pelayanan kese-

hatan dalam implementasi benar pemberian obat sangat bervariasi antara satu negara ke negara lain, tetapi proses manajemen obat yang baik bagi ke- selamatan pasien bersifat universal.

Status akreditasi merupakan pengakuan bahwa rumah sakit sudah memenuhi standar ter-masuk didalamnya standar MPO pada rumah sakit dengan status akreditasi paripurna. Masih ting-ginya insiden keselamatan pasien pada beberapa laporan di Indonesia mengindikasikan lemahnya hubungan status akreditasi dan keselamatan pa-sien. Al Awa menyatakan dalam penelitiannya bahwa 28 dari 81 (34,57%) indikator keselamatan pasien meningkat secara signifikan selama proses akreditasi di Rumah Sakit King Abdul Aziz Uni-versity.7 Brubakk et al., menyimpulkan bahwa akreditasi dan sertifikasi RS tidak mempunyai kai-tan dengan perubahan dalam kualitas pelayanan yang diukur dengan metrik dan standar kualitas.8

Review dampak akreditasi menunjukkan masih pentingnya kajian tentang tingkat imple-mentasi standar akreditasi dan pengaruhnya ter-hadap luaran pelayanan termasuk di dalamnya keselamatan pasien. Disisi lain, kajian di negara berkembang masih terbatas dan belum ada kajian di Indonesia secara spesifik pada aspek manaje-men obat. Secara spesifik, implementasi benar pemberian obat diharapkan dapat meningkatkan keselamatan pasien yang merupakan fokus stan-dar akreditasi 2012. Penelitian ini dilakukan un-tuk melihat sejauh mana status akreditasi mencer-minkan implementasi salah satu bagian MPO yai-tu benar pemberian obat dan dampaknya pada IKP menurut persepsi perawat dan pasien. Dua rumah sakit dengan akreditasi yang berbeda (Paripurna dan Perdana ) dan dengan tipe rumah sakit D dipi-lih sebagai subjek kajian.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode survei

dengan pendekatan analitik cross sectional, yang membandingkan implementasi benar obat dan IKP pada rumah sakit dengan status akreditasi per-dana dan paripurna. Seluruh perawat rawat inap sejumlah di 36 perawat RS perdana dan sejumlah 41 perawat RS paripurna. Berdasarkan rumus Le-meshow didapatkan kebutuhan sampel sebesar 96 pasien rawat inap yang diambil secara consecutive hingga jumlah terpenuhi, dengan kriteria usia mi-

380

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

nimal 18 tahun telah menjalani rawat inap minimal 3 hari dan bersedia berpartisipiasi. Pada penelitian ini didapatkan sejumlah responden 99 pasien di RS perdana dan 96 pasiendi RS paripurna. Pasien yang dapat menjadi responden adalah pasien de-wasa yang berusia lebih dari 18 tahun, telah men-jalani rawat inap lebih dari 2 hari, bisa berkomu-nikasi dengan lancar, dan setuju untuk menjadi sampel dalam penelitian ini.

Variabel bebas (independent) pada peneli-tian ini yaitu status akreditasi rumah sakit. Varia- bel luaran yang diukur adalah implementasi benar

pemberian obat dan IKP menurut persepsi pe-rawat dan pasien. Implementasi benar pemberi-an obat menurut perawat diukur dengan 12 item pertanyaan, serta oleh pasien dengan 8 item per-tanyaan. Persepsi IKP menurut perawat diukur dengan 7 item pertanyaan meliputi 4 item tentang Kejadian Tidak Cedera (KTC), 1 Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan 2 Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sedangkan persepsi pasien terdiri 9 item pertanyaan yang meliputi 5 KTC dan 2 KTD. Semua kuesioner diukur dengan menggunakan skala Likert dengan rating scale 1-4: tidak per-

Tabel 1a. Perbedaan Frekuensi Implementasi Benar Pemberian Obat Menurut Persepsi Perawat dan Pasien

Item Benar Pemberian Obat

RS Perdana RS ParipurnaTidak

Pernahn (%)

Kadangn (%)

Seringn (%)

Selalun (%)

Tidak Pernahn (%)

Kadangn (%)

Seringn (%)

Selalun (%)

Persepsi PerawatItem 1 (benar identitas)

Item 2 (benar identitas)

Item 3 (benar obat)

Item 4 (benar obat)

Item 5 (benar obat)

Item 8 (benar jadwal)

Item 9 (benar jadwal)

Item 10 (benar informasi)

Item 11(benar informasi)

Item 13 (benar informasi)

Item 14 (benar amdinistrasi)

Item 15 (benar administrasi)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

1 (2.8)

0 (0.0)

0 (0.0)

3 (8.3)

1 (2.8)

0 (0.0)

1 (2.8)

1 (2.8)

1 (2.8)

0 (0.0)

1 (2.8)

0 (0.0)

3 (8.3)

0 (0.0)

3 (8.3)

7 (19.4)

2 (5.6)

4 (11.1)

2 (5.6)

2 (5.6)

2 (5.6)

2 (5.6)

3 (8.3)

4 (11.1)

7 (19.4)

9 (25.0)

5 (13.9)

5 (13.9)

33 (91.7)

32 (88.9)

33 (91.7)

33 (91.7)

33 (91.7)

34 (94.4)

32 (88.9)

32 (88.9)

25 (69.4)

27 (75.0)

28 (77.8)

21 (58.3)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

2 (4.9)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

1 (2.4)

0 (0.0)

1 (2.4)

0 (0.0)

6 (14.6)

0 (0.0)

0 (0.0)

0 (0.0)

3 (7.3)

2 (4.9)

1 (2.4)

1 (2.4)

4 (9.8)

5 (12.2)

8 (19.5)

7 (17.1)

18 (43.9)

6 (14.6)

5 (12.2)

10 (24.4)

14 (34.1)

11 (26.8)

11 (26.8)

13 (31.7)

36 (87.8)

36 (87.8)

32 (78.0)

34 (82.9)

15 (36.6)

35 (85.4)

36 (87.8)

31 (75.6)

24 (58.5)

28 (68.3)

29 (70.7)

27 (65.9)

381

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien? JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

nah, kadang-kadang, sering, selalu. Nilai jawa-ban dijumlah kemudian direrata. Item kuesioner telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis Mann-Whitney digunakan untuk mengetahui per-bedaan implementasi benar pembeian obat dan insiden keselamatan pasien menurut status akre- ditasi rumah sakit. Untuk mengetahui korelasi an-tara implementasi benar pemberian obat dengan persepsi IKP digunakan uji rank Spearman.

HASIL Secara deskriptif sebagian besar responden

baik perawat maupun pasien menyatakan bah-wa implementasi benar pemberian obat menurut perawat secara umum sudah selalu dilaksanakan pada kedua rumah sakit. Meskipun hanya se-bagian kecil masih didapatkan responden yang menyebutkan implementasi yang hanya dilaku-kan“kadang-kadang” (5,055%) bahkan “tidak pernah” (4,37%). Sebagian kecil perawat (4,37%-5,66%) tidak selalu melakukan implementasi be-

nar identitas (1 item), benar obat (3 item) benar jadwal (1 item), benar informasi (2 item), dan benar administrasi (1 item) masih kadang-kadang dilakukan (Tabel 1).

Implementasi yang “tidak pernah” dilaku-kan masih didapatkan pada benar informasi (item 11) sebesar 2,8% dan benar administrasi (item 15) sebesar 8,3% pada RS perdana. Di RS paripurna juga ditemukan item yang “tidak pernah” dilaku-kan pada implementasi benar obat (item 5) sebesar 4,9%. Disisi lain, menurut pasien masih ditemukan adanya prosedur benar pemberian obat yang hanya dilakukan “kadang-kadang” (4,28%-10,4%), bah-kan “tidak pernah” (4,91%-11,1%) oleh perawat. Data tersebut ditemukan pada kedua rumah sakit. Aspek benar pemberian obat yang masih “tidak pernah” dilakukan oleh sebagian kecil perawat ditemukan pada RS perdana maupun RS paripurna adalah benar identitas (item 1), benar obat (item 3), benar dosis (item 4, 5), benar jadwal (item 6, 7, 8) dan benar informasi (item 9) (Tabel 1).

Tabel 1b. Perbedaan Frekuensi Implementasi Benar Pemberian Obat Menurut Persepsi Perawat dan Pasien

Item Benar Pemberian Obat

RS Perdana RS ParipurnaTidak

Pernahn (%)

Kadangn (%)

Seringn (%)

Selalun (%)

Tidak Pernahn (%)

Kadangn (%)

Seringn (%)

Selalun (%)

Persepsi PasienItem 1 (benar identitas)

Item 3 (benar informasi/obat)

Item 4 (benar informasi/dosis)

Item 5 (benar informasi/dosis)

Item 6 (benar jadwal)

Item 7 (benar jadwal)

Item 8 (benar jadwal)

Item 9 (benar informasi)

5 (5.1)

4 (4.0)

8 (8.1)

4 (4.0)

2 (2.0)

3 (3.0)

2 (2.0)

11 (11.1)

8 (8.1)

2 (2.0)

11 (11.1)

2 (2.0)

2 (2.0)

1 (1.0)

2 (2.0)

6 (6.1)

9 (9.1)

9 (9.1)

7 (7.1)

6 (6.1)

10 (10.1)

8 (8.1)

5 (5.1)

9 (9.1)

77 (77.8)

84 (84.8)

73 (73.7)

87 (87.9)

85 (85.9)

87 (87.9)

90 (90.9)

73 (73.7)

4 (4.2)

17 (17.7)

23 (24.0)

5 (5.2)

3 (3.1)

1 (1.0)

8 (8.3)

25 (26.0)

10 (10.4)

10 (10.4)

9 (9.4)

9 (9.4)

4 (4.2)

3 (3.1)

10 (10.4)

25 (26.0)

14 (14.6)

15 (15.6)

16 (16.7)

15 (15.6)

11 (11.5)

20 (20.8)

15 (15.6)

10 (10.4)

68 (70.8)

54 (56.3)

48 (50.0)

67 (69.8)

78 (81.3)

72 (75.0)

63 (65.6)

36 (37.5)

382

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

Tabel 2. Nilai Implementasi Benar Pemberian Obat, Rerata Persepsi Kejadian Potensi Cidera, Kejadian Tidak Cidera, Kejadian Tidak Diharapkan pada Rumah Sakit Menurut Perawat dan Pasien

ItemRS Perdana RS Paripurna

Perawat Pasien Perawat PasienRerata Implementasi benar pemberian obat

Benar 1 (identitas)Benar 2 (obat)Benar 3 (jadwal)Benar 4 (informasi)Benar 5 (administrasi)

Nilai rerata IKPKPCSalah obat

Rerata KTD Salah dosisSalah obat

Rerata KTC Salah obatSalah identitasSalah dosis

3,783,893,893,953,733,441,101,141,141,191,061,331,051,061,031,06

3,683,603,753,823,56

-1,091,081,081,12

-1,121,091,121,111,06

3,693,863,513,853,613,651,161,291,291,381,121,631,031,031,001,05

3,303,523,103,013,60

-1,081,011,011,13

-1,131,071,121,061,05

Tabel 3. Hubungan Status Akreditasi dengan Implementasi Benar Pemberian Obat

PersepsiStatus Akreditasi

Hasil uji Mann Whitney Z-testPerdana Paripurna

Implentasi benar pemberian obat

PerawatPasien

Insiden keselamatan pasien

PerawatPasien

3.7803.687

1.0991.098

3.6993.305

1.1641.082

Z= -1.992 p= 0.046 < alpha 0.05 SignifikanZ= -4.791 p= 0.000 < alpha 0.05 Signifikan

Z= -3.234 p= 0.001 < alpha 0.05 SignifikanZ= -1.798 p= 0.072 >alpha 0.05 Tidak signifikan

Kedua rumah sakit, secara deskriptif menun-jukkan tingkat implementasi benar pemberian obat dan persepsi insiden yang sama, walaupun terdapat nilai perbedaan yang kecil, Rumah sakit dengan status akreditasi Perdana cenderung menunjukkan gambaran yang lebih baik. Jumlah respon yang menyatakan ada aspek prosedur benar pemberi-an obat yang “tidak pernah” dilakukan walau ha-nya sedikit, lebih banyak dinyatakan pada rumah sakit yang terakreditasi paripurna dibandingkan terakreditasi perdana. Rerata implementasi benar pemberian obat menurut perawat maupun pasien di RS perdana didapatkan lebih tinggi dibanding-kan dengan perawat dan pasien di RS paripurna (Tabel 2). Demikian juga rerata persepsi insiden keselamatan pasien menurut perawat di RS per-

dana lebih rendah dibandingkan dengan perawat di RS paripurna (1,10 dibandingkan 1,16). Nilai rerata menurut pasien relatif sama pada kedua ru-mah sakit (1,09 dibandingkan 1,08) (Tabel 2).

Hasil menunjukkan terdapat perbedaan im-plementasi benar pemberian obat menurut perawat maupun pasien yang signifikan secara statistik, meskipun secara umum pada kedua rumah sakit tersebut telah menunjukkan tingkat implementasi “hampir selalu” hingga “selalu”, dengan tingkat implementasi pada RS perdana yang sedikit lebih tinggi dari RS paripurna. Persepsi pasien tentang tingkat insiden keselamatan pasien pada rumah sakit dengan status akreditasi menunjukkan per-bedaan yang menunjukkan selisih intensitas an-tara “tidak pernah” hingga “kadang terjadi”. Per-

383

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien? JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

bedaan ini tidak ditemukan bila menurut perawat (Tabel 3). Secara operasional angka perbedaan yang ditemukan baik tentang implementasi benar obat maupun persepsi intensitas insiden menurut perawat maupun pasien hanya minimal (<1), teta-pi selisih tersebut menggambarkan rentang di-antara dua skala, yang mengindikasikan potensi perbedaan bila digunakan skala yang lebih kecil (>4 skala). Meskipun secara deskriptif kecil, hal ini tetap penting disajikan karena kondisi kesela-matan pasien yang diharapkan adalah bebas dari risiko dan kesalahan.

Berdasarkan spearman test pada rumah sakit yang terakreditasi perdana terdapat hubu- ngan negatif implementasi benar pemberian obat dengan insiden keselamatan pasien menurut pe-rawat maupun pasien. Hubungan negatif tersebut cukup kuat (koefisien : -0.418) menurut perawat, demikian juga menurut pasien didapatkan hubu- ngan negatif bersifat cukup kuat (koefisien : -0.384). Semakin tinggi tingkat implementasi be-nar pemberian obat, maka semakin rendah persep-si insiden keselamatan pasien. Pada rumah sakit yang terakreditasi paripurna tidak terdapat hubu- ngan antara implementasi benar pemberian obat dengan insiden keselamatan pasien menurut pe-rawat maupun pasien (koefisien : -0.011 dan koe-fisien : -0,126) (Tabel 4).

PEMBAHASANPenelitian ini mengidentifikasi secara ke-

seluruhan implementasi benar pemberian obat su-dah baik. Meskipun demikian, tingkat implemen-tasi benar pemberian obat pada rumah sakit de-ngan status akreditasi perdana sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan rumah sakit dengan status paripurna, baik menurut perawat maupun pasien. Hanya sebagian saja perawat yang belum selalu melakukan implementasi pemberian benar obat.

Meskipun demikian masih terdapat aspek imple-mentasi yang tidak pernah atau hanya kadang-kadang diterapkan yaitu sebagian item pada aspek benar informasi dan administrasi. Demikian juga IKP yang dilaporkan menurut persepsi perawat dan pasien pada rumah sakit dengan akreditasi perdana sedikit lebih rendah dibandingkan yang paripurna. Semakin tinggi implementasi benar pemberian obat akan semakin rendah tingkat IKP.

Secara keseluruhan implementasi benar pemberian obat menurut perawat sudah baik de-ngan nilai rata-rata RS akreditasi Perdana sedi- kit lebih tinggi daripada RS akreditasi Paripurna (3,780 dibanding 3,699). Angka ini menggambar-kan bahwa hampir semua perawat selalu melak-sanakan implementasi benar pemberian obat. Na-mun demikian, masih terdapat beberapa perawat yang menyatakan belum melaksanakan implemen-tasi benar pemberian obat. Aspek benar pemberian obat yang tidak pernah dilakukan oleh sebagian kecil (5,055%) perawat RS Perdana yaitu, benar informasi, dan benar administrasi. Pada RS Pari-purna terdapat sebagian kecil perawat (4,9%) yang tidak pernah melakukan benar obat saat pergantian jaga ruang.

Belum terpenuhinya implementasi benar obat juga ditemukan pada penelitian sebelumnya. Sebuah penelitian menemukan implementasi be-nar pasien hanya 64,9%, 86,5% benar obat, dan 64,9% benar waktu jadwal.9 Fatimah dalam pene-litiannya mendapatkan bahwa sebanyak >50% pe-rawat belum melaksanakan benar identitas, 31,2% belum melaksanakan prinsip benar obat, 3,1% belum benar jadwal, 53,1% belum benar infor-masi, dan 100% masih salah dalam dokumentasi/administrasi.10 Pranasari dalam penelitian praktek pemberian obat oleh perawat mendapatkan hasil 87,8% benar pasien, 95,1% benar dosis, 87,8% benar obat, 73,2% benar jadwal, 34,1% benar do-

Tabel 4. Hubungan Status Akreditasi dengan Implementasi Benar Pemberian Obat

Status Akreditasi RSHasil uji Spearman test

KeteranganKoefisien Probabilitas

Perdana PerawatPasien

Paripurna PerawatPasien

-0.418-0.384

-0.011-0.126

0.0110.000

0.9460.222

p < alpha 0.05 Signifikanp < alpha 0.05 Signifikan

p > alpha 0.05 Tidak Signifikanp > alpha 0.05 Tidak Signifikan

384

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

kumentasi.11

Kemampuan perawat melakukan implemen-tasi Standar Operasional Prosedur (SOP) imple-mentasi benar obat bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, tingkat pendidikan, dan moti-vasi.12 Setiawan dan Budiastuti menjelaskan bah-wa usia merupakan salah satu karateristik perawat yang memiliki hubungan stimulan dalam melaku-kan sebuah pekerjaan dan memiliki pengaruh ter- hadap diri mereka.13 Virawan menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kemam-puan perawat dalam memberikan obat kepada pa-sien, akan tetapi tergantung dari pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh perawat itu sendi-ri.14 Dalam penelitian ini perawat di RS perdana memiliki karakteristik usia, tingkat pendidikan, lama bekerja lebih rendah bila dibandingkan RS paripurna.

Untuk menghasilkan kinerja perawat yang maksimal, seorang perawat rumah sakit harus memiliki tingkat kemampuan dan pemahaman yang tinggi terhadap pekerjaannya.15 Hal ini akan mempengaruhi hasil tindakan dalam proses admi- nistrasi dan pendokumentasian maupun prosedur pemberian obat yang sesuai. Pendokumentasian keperawatan merupakan hal yang penting dikare-nakan pendokumentasian merupakan bukti pe-rawat telah melakukan tindakan kepada pasien sesuai standar prosedur.16 Pendokumentasian dipe- ngaruhi oleh faktor-faktor tanggung jawab, pe-nilaian perawat, pengakuan perawat, pengawasan, dan dukungan rekan kerja dalam meningkatkan kepatuhan dokumentasi keperawatan.17

Belum terpenuhinya implementasi benar pemberian obat juga dapat terjadi karena komuni-kasi yang tidak baik antara perawat dengan pasien. Komunikasi baik secara verbal dan non verbal sangat dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan kesembuhan pasien melalui teknik berkomuni-kasi yang efektif. Komunikasi perawat memiliki kontribusi yang unik terhadap keluarga dan pa-sien yang sangat berpengaruh terhadap kepuasan pasien.18 Komunikasi yang tidak efektif antara perawat dengan perawat dan juga perawat dengan pasien/keluarga pasien menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip tujuh be-nar pada proses pemberian obat.

Tingkat implementasi benar obat yang le-bih tinggi di RS dengan status perdana tidak sesuai

dengan hipotesis bahwa pelaksanaan akreditasi RS dapat menuntun para pelaksana pelayanan untuk bekerja sesuai standar yang ditetapkan.19 Akredi-tasi rumah sakit seharusnya mempunyai dampak yang positif terhadap kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien dan kepuasan pasien.20 Penerapan standar akreditasi mendorong perubah-an pelayanan oleh rumah sakit yang lebih berkua-litas dan peningkatan kerjasama antara disiplin profesi dalam perawatan pasien.21

Penerapan sebuah standar memerlukan pengawasan dan evaluasi secara periodik untuk meyakinkan bahwa semua aktivitas benar-benar dikerjakan dengan sepenuh hati dan menjadi se-buah kebiasaan atas dasar kesadaran. Faktor lain yang menjelaskan temuan ini adalah kesiapan ru-mah sakit menjelang survei akreditasi. Penelitian di kedua RS ini dilakukan pada saat menjelang verifikasi akreditasi. RS perdana akan melakukan verifikasi akreditasi dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan, sedangkan RS Paripurna dalam 6 bulan kemudian.

Secara keseluruhan persepsi IKP menurut perawat sudah baik dengan nilai rata-rata RS akreditasi Perdana lebih rendah daripada RS akre- ditasi Paripurna (1,099 dibanding 1,164). Angka ini menggambarkan bahwa perawat menyatakan hampir tidak pernah mengalami atau melakukan insiden keselamatan pasien. Namun demikian, masih ada sebagian perawat yang menyatakan melakukan insiden keselamatan pasien.

Insiden keselamatan pasien menurut pa-sien juga sudah baik dengan nilai rata-rata pada RS akreditasi Perdana 1,098 dan RS akreditasi Paripurna 1,082. Angka ini menggambarkan bah-wa menurut pasien, perawat hampir tidak pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Masih ada 1 pasien yang menyatakan sebagian kecil perawat yang kadang melakukan tindakan yang termasuk kejadian nyaris cidera dan 1 pasien menyatakan masih ada perawat yang melakukan kejadian tidak diharapkan. Untuk mendukung pelayanan kepe-rawatan yang terstandar, khususnya implementasi benar pemberian obat, fungsi supervisi memegang peranan penting dalam manajemen mutu. Supervi-si adalah pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantu-

385

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien? JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

an yang bersifat langsung guna mengatasinya.22 Melalui supervisi, SDM keperawatan dapat mem-pertahankan kemampuan dan perilakunya da-lam melaksanakan asuhan keperawatan sehingga kualitas asuhan yang diterima oleh pasien selalu sama. Kepala ruangan serta tim mutu harus saling berkoordinasi terhadap fungsi pengawasan atau supervisi demi tercapainya tujuan kegiatan kese-lamatan pasien. Kepala ruangan dapat mengawasi kinerja perawat ruangannya dan tim mutu dapat mengawasi kinerja kepala ruangan serta melaku-kan supervisi di ruang rawat inap. Jika tugas pe- ngawasan tersebut dilaksanakan dengan baik, maka dapat mengurangi insiden keselamatan pa-sien.23

Berdasarkan hasil analisis dapat diinforma-sikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan implementasi benar pemberian obat menurut pe-rawat maupun menurut pasien, antara di rumah sakit terakreditasi Perdana dan terakreditasi Pari-purna. Secara statistik, implementasi benar pem-berian obat di rumah sakit menurut perawat mau-pun pasien diketahui bahwa RS dengan akreditasi perdana hanya sedikit lebih baik daripada RS de-ngan akreditasi paripurna, meskipun kedua rumah sakit sudah masuk dalam kriteria baik.

Keterkaitan status akreditasi dengan insiden keselamatan pasien menurut pasien tidak menun-jukkan perbedaan yang signifikan. Nilai rerata persepsi pasien di kedua rumah sakit juga sudah masuk dalam kategori baik. Akreditasi rumah sakit seharusnya mempunyai dampak yang positif ter-hadap kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien dan kepuasan pasien.13 Penerapan standar akreditasi mendorong perubahan pelayanan oleh rumah sakit yang lebih berkualitas dan pening-katan kerjasama antara disiplin profesi dalam pe-rawatan pasien.14

Departemen Kesehatan RI tahun 2006 menyebutkan bahwa peristiwa yang tidak diingin-kan di rumah sakit merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan pasien berdasarkan haknya. Oleh karena itu, program keselamatan pasien (pa-tient safety), khususnya implementasi benar pem-berian obat harus dibudayakan yang tentunya akan mendorong perawat dapat bekerja lebih berkuali-

tas sehingga dapat mencegah terjadinya IKP.Terdapat hubungan yang signifikan antara

implementasi benar pemberian obat dengan IKP, baik menurut perawat maupun pasien pada rumah sakit yang terakreditasi Perdana. Disisi lain, pada rumah sakit yang terakreditasi Paripurna menun-jukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang sig-nifikan antara implementasi benar pemberian obat dengan Insiden Keselamatan Pasien, baik menurut perawat maupun pasien. Temuan ini mengin- dikasikan bahwa implementasi benar pemberian obat belum mencerminkan status akreditasi yang dimiliki. Rumah sakit yang sudah terakreditasi diharapkan memiliki dampak yang positif pada kualitas perawatan dan kepuasan kepada pasien.13 RS yang terakreditasi Paripurna seharusnya sudah lebih matang dan lebih siap serta lebih berpengala-man dalam menjalankan implementasi benar pem-berian obat guna memperbaiki catatan angka IKP.

Waktu pelaksanaan penelitian dapat mem-punyai pengaruh terhadap hasil penelitian ini. Pada saat penelitian RS Perdana dalam keadaan 2-3 bu-lan menjelang dilaksanakan verifikasi re-akreditasi oleh KARS. Hal ini menjadikan perawat RS Per-dana lebih siap menghadapi verifikasi dibanding-kan RS Paripurna yang masih mempunyai waktu 6 bulan menjelang verifikasinya. Keterbatasan dalam penelitian ini penulis belum bisa mengga-li lebih dalam alasan responden menjawab item pertanyaan dengan jawaban selalu sering, kadang-kadang, dan tidak pernah. Jawaban yang diberikan dapat dipengaruhi oleh beban kerja, persepsi, dan ketersediaan waktu dalam menjawab kuesioner. Selain itu, skala yang diukur merupakan persep-si dan belum menggambarkan angka insiden yang sebenarnya, tetapi persepsi dapat mengatasi ham-batan pelaporan dan mengindikasikan potensi in-siden yang tidak dilaporkan.

KESIMPULAN DAN SARANPada kedua rumah sakit, implementa-

si benar pemberian obat sudah baik dan intensi-tas insiden keselamatan pengobatan juga rendah menurut persepsi perawat dan pasien. Meskipun demikian rumah sakit perdana mempunyai imple-mentasi benar pemberian obat yang sedikit lebih baik dan insiden keselamatan pasien yang lebih rendah baik menurut perawat maupun pasien bila dibandingkan dengan rumah sakit terakreditasi

386

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien?

paripurna. Pada rumah sakit perdana semakin baik implementasi benar pemberian obat akan sema-kin rendah insiden keselamatan pasien menurut persepsi perawat dan pasien, tetapi hubungan se-rupa tidak ditemukan pada rumah sakit paripurna. Implementasi benar pemberian obat berhubungan dengan penuruan insiden keselamatan pasien se- hingga rumah sakit dapat meningkatkan imple-mentasi benar pemberian obat, melalui peningka-tan supervisi dan monitoring berkelanjutan. Untuk penelitian sejenis selanjutnya penulis menyaran- kan untuk memasukkan data riil IKP yang terjadi pada rumah sakit untuk bisa dikonfirmasikan de-ngan pesepsi IKP menurut responden.

DAFTAR PUSTAKA1. Depkes, RI. Panduan Nasional Keselamatan

Pasien Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.

2. Depkes, RI. Standar Pelayanan Minimal Ru-mah Sakit. Jakarta : Direktorat Jendral Pe-layanan Medik. Depkes RI; Cetakan: I. 2007.

3. Alimin, R. S. T. I. S. Faktor Penyebab Me- dication Error di Instalasi Rawat. Jurnal Ma-najemen Pelayanan Kesehatan. 2012;15(4): 182-187.

4. Alsulami, Z., Conroy, S. & Choonara, I. Med-ication Errors in The Middle East Countries: A Systematic Review of The Literature. Eu-ropean Journal Of Clinical Pharmacology. 2013;69: 995-1008.

5. Dedefo, M. G., Mitike, A. H. & Angamo, M. T. Incidence and Determinants of Medication Errors and Adverse Drug Events Among Hos-pitalized Children in West Ethiopia. BMC Pe-diatrics. 2016;16:81.

6. Putri, H. H. Y. Implementasi Manajemen Ke-selamatan Pasien (Patient Safety) dalam Usa-ha Pencegahan Medication Error di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2015 [Tesis]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah; 2015.

7. Al-Awa, B., De Wever, A., Melot, C. & Devreux, I. An Overview of Patient Safety and Accreditation: A Literature Review Study. Res J Med Sci. 2011;5:200-23.

8. Brubakk, K., Vist, G. E., Bukholm, G., Barach, P. & Tjomsland, O. A Systematic Review of Hospital Accreditation: The Chal-lenges of Measuring Complex Intervention

Effects. BMC Health Services Research. 2015;15:280.

9. Bhatti, K.K., Qureshi, T. M., 2007. Impact of Employee Participation on Job Satisfaction, Employee Commitment and Employee Pro-ductivity. International Review of Business Research Papers. 2015; 3(2): 54-68.

10. Sthephani P., Dewanto A. and Widijati I.C., Faktor Penghambat Pelaksanaan SPO Benar dalam Pemberian Obat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Panti Nirmala. Jurnal Kedokter-an Brawijaya. 2015; 28(Supp. 2): 228-234.

11. Pranasari, Redha. Gambaran Pemberi-an Obat dengan Prinsip 7 oleh Perawat di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. (On-line) 2016. dihttp://repository.umy.ac.id/han-dle/123456789/2697. [diakses tanggal 18 Mei 2018].

12. Harmiady, R. Faktor- Faktor yang Berhubu- ngan dengan Pelaksanaan Prinsip 6 Benar da-lam Pemberian Obat oleh Perawat Pelaksana di Ruang Interna dan Bedah Rumah Sakit Haji Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Di-agnosis. 2014; -5(4); -2302-1721.

13. Setiawan, A. & Budiastuti, T. Pengaruh Karak-teristik Individu dan Faktor-Faktor Pekerjaan terhadap Motivasi. (Online) 2012. di http://jurnal.widyamanggala.ac.id/index.php/wm-keb/article/download/61/52. [diakses tang-gal20 Mei 2018].

14. Virawan, M.K. Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Kepatuhan Staff Perawat dan Staf Farmasi Menggunakan Enam Benar dalam Menurunkan Kasus Kejadian yang Tidak Diharapkan dan Kejadian Nyaris Cedera di RSU Surya Husada. (Online) 2012. di http://ui.ac.id,hal87-110,pdf. [diakses tanggal 20 Mei 2018].

15. Hafizurrachman, Trisnantoro, Laksono & Bachtiar A. Beberapa Faktor yang Mempe- ngaruhi Kinerja Perawat dalam Menjalankan Kebijakan di Rumah Sakit Umum Dae- rah. (Online) 2011. di http://indonesia.dig-italjournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1075/1066. [diakses tanggal 20 Mei 2018].

16. Iswari, Y.. Pengaruh Pendokumentasian Keperawatan dengan Metode Electronic Health Record (EHR). Artikel Penelitian Uni-

387

Saptono Putro : Apakah Status Akreditasi Rumah Sakit Memberikan Perbedaan Pemberian Obat yang Benar dan Keselamatan Pasien? JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

versitas Indonesia. Jakarta. (Online) 2010. di http://pkko.fik.ui.ac.id/files/Tugas%20UTS% 20SIM_%20Yeni_%20Kep.%20Anak.pdf. [diakses tanggal 20 Mei 2018].

17. Ulum, M.M. & Wulandari R.D. Faktor yang Mempengaruhi Keparuhan Pendokumenta-sian Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teo-ri Milgram. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia. 2013;1(3):252-262

18. Harmiady, R. Faktor-Faktor yang Berhubun-gan dengan Pelaksanaan Prinsip 6 Benar da-lam Pemberian Obat oleh Perawat Pelak-sana di Ruang Interna dan Bedah Rumah Sakit Haji Makassar. Makasar. Jurnal Il-miah Kesehatan Diagnosis. 2014;5(4). ISSN : 2302-1721.

19. Hendroyogi, S.R. dan Harsono, M. Keter-kaitan antara Persepsi Pentingnya Akreditasi Rumah Sakit Dengan Partisipasi, Komitmen, Kepuasan Kerja, dan Kinerja Karyawan. Jur-

nal Ekonomi Manajemen Sumber Daya. 2016; 18(2):122-37.

20. Yildiz, A. and Kaya, S., Perceptions of Nurses on The Impact of Accreditation on Quality of Care : A Survey In a Hospital In Turkey. Cli-nical Governance: An International Journal. 2014;19(2):69-82.

21. Manzo, B.F., Ribeiro, H.C.T.C., Brito, M.J.M., Alves, M., Nursing in the Hospital Accredita-tion Process: Practice and Implications in the Work Quotidian. Rev. Latino-Am. Enferma-gem. 2012;20(1):151-158.

22. Mangkuprawiro, S. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2014.

23. Kuntarti, Tingkat Penerapan Prinsip Enam Tepat dalam Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat Inap. Jurnal Keperawatan In-donesia. 2005;9(1):19-25

388

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

E-Therapy Autism Child with Multimedia Approach (EAMA) sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

E-Therapy Autism Child with Multimedia Approach (EAMA) as an Intervention of Psychomotor and Afective Change in Autism Children

Yena Wineini Migang1, Ferdinand Mahardhika2

1Poltekkes Kemenkes Palangka Raya2Universitas Bina Nusantara

([email protected])

ABSTRAKAutisme adalah gangguan otak pada perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gang-

guan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, imajinasi, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Ber-dasarkan data Yayasan Autis Indonesia tahun 2013, di Kota Palangka Raya Kalimantan ada 250 ribu orang, 20% diantaranya atau sekitar 50.000 adalah anak-anak dan diperkirakan 100 anak menderita autism. E-Therapy Au-tism Child with Multimedia Approach (EAMA) merupakan e-therapy yang diciptakan oleh peneliti, di dalamnya memuat juga unsur e-learning. EAMA berupa software aplikasi multimedia, gabungan dan pengembangan dari terapi autis metode Applied Behavioral Analysis (ABA) dan Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children (TEACCH). EAMA memfasilitasi intervensi untuk afektif, dan peningka-tan kemampuan psikomotor. Penelitian dilakukan di Sekolah Khusus Melati Ceria (SKMC) Kota palangka Raya, jumlah sampel 30 orang, dengan total sampling. Desain eksperimen murni dengan one group pre and post test yang mengukur tingkat kemampuan psikomotor dan afektif anak autis, sebelum dan sesudah intervensi dengan aplikasi EAMA dirancang oleh peneliti. Uji analisis statistik dengan wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan ting-kat psikomotor, sebelum dan sesudah diberi metode EAMA (p=0,000<0,05) dan Z(-4,899), maka ada pengaruh metode EAMA dengan tingkat psikomotor sebelum dan sesudah pemberian metode EAMA. Pada tingkat afektif, diperoleh nilai (p=0,000<0,05) dengan nilai Z= -5,292, ada pengaruh pemberian metode EAMA dengan pening-katan nilai afektif pada anak autism.Kata kunci : E-therapy, multimedia, autis, psikomotor, afektif

ABSTRACTAutism is a brain disorder of pervasive development in children characterized by disturbances and delays

in the fields of cognitive, imagination, language, behavior, communication, and social interaction. Based on data from the Indonesian Autism Foundation in 2013, there are 250 thousand people in Palangka Raya City, 20% of them or around 50,000 are children and an estimated 100 children of autism. E-Therapy Autism Child with Mul-timedia Approach (EAMA) is an e-therapy created by researchers, which includes elements of e-learning. EAMA is a multimedia application software, a combination and development of autistic therapy method of Applied Be-havioral Analysis (ABA) and Treatment and education of autistic and Handicapped Children Related Communi-cation (TEACCH). EAMA’s target target is children with autism to improve optimally cognitive, psychomotor and affective in children with autism. EAMA facilitates interventions for behavior change, and enhances psychomotor abilities. In children with autism they are easier to receive information through audio visual. EAMA is a multi-media that can help parents at home while with autism children as an exercise, and also as a learning method for autism teachers in school while teaching. After EAMA then accompanied by practice or simulation on this part as an evaluation of the increase in the ability of autism children. This research was conducted at Sekolah Khusus Melati Ceria (SKMC), Palangka Raya City, 30 people as samples, with total sampling. Experimental design with one group pre and post test, which measures the level of psychomotor and affective abilities of autism children, before and with an intervention with the application designed by the researcher, namely EAMA. Statistical analysis test with Wilcoxon. Research Results: Psychomotor level, before and after given the EAMA method ρ (0,000) <0,05 and Z (-4,899), then there is the influence of EAMA method with psychomotor level before and after giving EAMA method. At the affective level, the value of ρ (0,000) <0,05 with a value of Z (Z -5,292, there is an effect of giving EAMA methods with an increase in affective value in children with autism.Keywords : E-therapy, multimedia, autism, psychomotor, affective

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5222

389

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

PENDAHULUAN Autisme adalah gangguan otak pada

perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan da-lam bidang kognitif, imajinasi, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.1 Gangguan autis menyerang bagian otak kecil yang memproduksi hormon, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan neuro transmitter serotonin. Akibatnya transmisi pesan dari satu neuron ke neuron lain terhambat. Indra persepsi penyandang autis berfungsi de-ngan baik, tetapi rangsangan yang ditangkap tidak dapat diproses dengan baik, hal ini menyebabkan anak autis hidup di dunianya sendiri. Autisme ti-dak dapat disembuhkan (not curable), tetapi dapat diterapi (treatable).2

Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa 1 dari 68 anak-anak (atau 14,7 per 1.000 delapan tahun) di beberapa komunitas di Amerika Serikat telah diidentifikasi dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Per-hitungan tersebut 30% lebih tinggi dari yang di- laporkan pada tahun 2012, terdapat 1 dari 88 anak (11,3 per 1.000 delapan tahun) diidentifikasi de-ngan ASD. Jumlah anak-anak yang diidentifikasi dengan ASD di Alabama, berkisar 1 dari 175 dan di New Jersey diperkirakan 1 dari 45 anak-anak. Prevalensi ASD hampir lima kali lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan perbandingan 1 dari 42 anak laki-laki dan 1 dari 189 perempuan. Anak putih lebih cenderung diidentifikasi sebagai memiliki ASD daripada anak-anak kulit hitam atau Hispanik.3

Belum ada survei resmi di Indonesia ten-tang data anak autis, tahun 2013 Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan mendu-ga jumlah anak autis di Indonesia sekitar 112 ribu dengan rentang usia 5-19 tahun. Angka ini keluar berdasarkan hitungan prevalensi autis sebesar 1,68 per 1000 anak di bawah 15 tahun. Dengan jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia sejumlah sekitar 66 juta. Berdasarkan uraian dari Yayasan Autisma Indonesia, sepuluh tahun lalu jumlah penduduk di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, ada 250 ribu orang, 20% diantaranya atau sekitar 50.000 ada-lah anak-anak. Pada saat itu diperkirakan ada 100 anak Autis di dalamnya. Ada kecenderungan kasus autis terus meningkat.

Secara umum anak autis memiliki kemam-

puan yang menonjol di bidang visual. Mereka lebih mudah untuk mengingat dan belajar, apabila diperlihatkan gambar atau tulisan dari benda, keja-dian, tingkah laku maupun konsep-konsep abstrak. Melihat gambar atau tulisan, anak autis akan mem-bentuk gambaran mental yang jelas dan relatif per-manen dalam benaknya. Apabila materi tersebut hanya diucapkan saja, akan mudah melupakannya karena daya ingat yang amat terbatas. Oleh karena itu, dalam melakukan terapi digunakan sebanyak mungkin kartu-kartu bergambar dan alat bantu vi-sual lain untuk membantu mengingat, hal ini juga berlaku untuk anak autis yang hanya mengalami gangguan di bidang verbal.4

E-Therapy Autism Child with Multimedia Approach (EAMA) merupakan e-therapy yang di dalamnya memuat juga unsur e-learning. EAMA berupa software aplikasi multimedia, gabungan dan pengembangan dari terapi autis metode Ap-plied behavioral Analysis (ABA) dan Treatment and education of autistic and Related Communica-tion handicapped Children (TEACCH), yang me- rupakan media memuat audio dan visual mem-permudah anak autis mengingat. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti mengembangkan EAMA sebagai e-therapy untuk mengatasi masalah pada gangguan kognitif, psikomotor dan afektif. Salah satu yang diamati adalah perubahan perilaku dan kemampuan motorik untuk aktivitas sehari-hari.

BAHAN DAN METODE Rancangan penelitian ini adalah desain eks-

perimen murni dengan one group pre dan post test yang bertujuan mencari pengaruh EAMA pada anak autis dengan melihat nilai kemampuan psi-komotor dan afektif anak autis, sebelum dan se- sudah mendapat intervensi dengan EAMA. EAMA adalah sebuah aplikasi multimedia yang dirancang oleh peneliti sebagai media untuk pembelajaran pada anak autis. Lokasi penelitian di Sekolah Khu-sus Melati Ceria (SKMC) Palangka Raya. Subyek penelitian adalah anak autis di mulai bulan Mei sampai dengan November 2017. Sampel pada pe-nelitian ini adalah 30 anak autis, yang merupakan jumlah anak yang masih terdaftar aktif di SKMC, Kota Palangka Raya. Penelitian ini menggunakan total sampling, yakni semua anak yang didiagnosa autis pada SKMC Kota Palangka Raya.

Metode pengumpulan data yang digunakan

390

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

dalam penelitian ini adalah menggunakan 1 (satu) group dengan jenis data primer, data diambil ber-dasarkan instrumen penilaian dari SKMC untuk mengukur kemampuan kognitif dan afektif anak autis. Sebelum diberi intervensi dengan EAMA, terlebih dahulu dilakukan pengukuran kemam-puan psikomotor dan afektif anak autis, de- ngan lembar ceklist. Kemudian intervensi dengan EAMA diberikan selama 4 minggu. Setiap anak diberikan perlakuan selama 15 menit setiap per-temuan. Pertemuan dilakukan berselang-seling sebanyak 3 kali dalam 1 minggu. Hari ke 20 akan dilakukan pengukuran kembali kemampuan psiko-motor dan afektif anak autis. Sebelum penelitian dilakukan peneliti berdasarkan ethical clearance dan inform consent yang telah di tandatangani orang tua sampel. Variabel penelitian pada peneli-tian ini yaitu: (a) variabel independen (bebas) : E- Therapy Autism Child with Multimedia Approach (EAMA) (b) variabel dependen (terikat) : Tingkat psikomotor anak autis dan tingkat afektif anak au-tis. Analisa univariat, memeriksa variabel secara deskriptif yang berskala ordinal dengan tabel dis-tribusi frekuensi. Analisa bivariat pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh intervensi EAMA. Maka pada satu group yang sama, nilai sebelum dan sesudah tingkat psikomotor dan afektif. Maka uji analisis yang digunakan dengan Wilcoxon, de-ngan variabel kontrolnya adalah lamanya terapi di SKMC, penerapan diet bebas glutein dan kasein oleh orangtua.

HASIL Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2017

sampai dengan November 2017, di SKMC Pa-langka Raya, sampel yang digunakan berjumlah 30 anak autis dengan karakteristik telah mampu kooperatif saat proses pembelajaran, dan tidak mengalami cacat fisik. Sebanyak 93,3% respon-den berjenis kelamin laki-laki, 86,7% berusia 5-10 tahun. Sebagian besar responden (90,0%) melaku-kan diet bebas glutein dan kasien. Berdasarkan lama terapi diperoleh informasi bahwa 86,7% anak autis telah diterapi >1 tahun di SKMC (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 2 sebelum diberikan per-lakuan dengan aplikasi EAMA, tingkat psikomo-tor 30 sampel anak autis sebanyak 4 (13,3%) orang untuk melaksanakan aktivitas rutin sehari-hari dari bangun tidur sampai pergi ke sekolah, sesuai yang

ada di aplikasi, memerlukan bantuan penuh orang lain, 24 (80 %) orang dengan bantuan melakukan aktivitas rutin dan 6 (6,7%) orang tanpa bantuan dalam melakukan aktivitas. Setelah diberikan per-lakukan dengan EAMA, tanpa bantuan meningkat menjadi 24 (80%), sedangkan yang bantuan penuh tinggal 2 (6,7%), dan dengan bantuan menurun menjadi 4 (13,3%).

Berdasarkan Tabel 3, tingkat afektif sesudah dan sebelum perlakuan dengan metode EAMA. Sebelum diberi perlakuan dengan EAMA, ting-kat afektif negatif 5 (16%) orang, afektif apatis 25 (83,3%) orang dan afektif positif tidak ada (0%), setelah diberi perlakukan EAMA maka afektif negatif berkurang menjadi 2 (6,7%) orang, afektif negatif 3 (10%) orang dan afeksi positif menjadi 25 (83,3%) orang. Dengan p(0,000)<0,05 dan Z (-4,899), maka ada pengaruh metode EAMA de-ngan tingkat psikomotor sebelum dan sesudah pemberian metode EAMA. Variabel tingkat afek-tif pada anak autis sebelum dan sesudah pemberi-an metode EAMA, menunjukkan hasil uji analisis nilai p(0,000)<0,05 dengan nilai Z (Z -5,292) yang berarti ada pengaruh pemberian metode EAMA dengan peningkatan nilai afektif pada anak autis.

PEMBAHASANHasil pada penelitian ini menunjukkan bah-

wa ada pengaruh pemberian metode EAMA de-ngan tingkat psikomotor dan tingkat afektif pada anak autism. Metode EAMA adalah konsep bela-

Tabel 1. Karakteristik Sampel Anak AutisKarakteristik n %

Jenis kelaminLaki-lakiPerempuan

Usia5-10 tahun11-15 tahun

Diet bebas glutein dan kaseinDiet Tidak diet

Lama Terapi di SKMC>1 tahun≤1 tahun

Pendidikan IbuSMPSMAPT

282

264

273

264

21216

93,36,7

86,713,3

90,010,0

86,713,3

6,740,053,3

391

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

jar dengan multimedia untuk anak autis. Peneli-tian ini menggunakan metode EAMA, didalamnya terdapat video yang animasi lagu berisi tentang rangkaian kegiatan, kemudian rangkaian kegiatan tersebut dibuat menjadi puzzle, yang dibuat game agar anak autis menyenangi untuk mengingat uru-tan kegiatan rutin tersebut. Puzzle merupakan je-nis gamifikasi, yang merupakan permainan yang bisa memberi stimulasi motivasi bagi anak untuk mengikuti seperti yang ada pada game tersebut, sehingga bisa menjadi terapi untuk peningkatan psikomotor dan perubahan perilaku.1

Menurut Kurdi, gejala seperti kurang inisia- tif, hiperaktivitas, gangguan tidur dan gangguan makan terjadi pada anak autis usia 0-12 bulan, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada masa usia pra sekolah dan sekolah, tetapi gejala ini tidak terlalu spesifik. Kurangnya ini-siatif dalam melakukan kegiatan yang memiliki tujuan membuat anak autis menolak untuk diajar-kan berbagai kegiatan rutinitas karena cenderung menyenangi kegiatan yang hanya mereka anggap menyenangkan.5

Aplikasi EAMA saat diberikan pada anak

autis merupakan game yang menyenangkan, sam-pel saat diminta untuk mengulang kembali kegia-tan tersebut melakukan tanpa bantuan orangtua, mereka mampu untuk mengerjakannya dengan senang hati dengan mengikuti gambar atau video dalam aplikasi. Sebelumnya tingkat psikomotor tanpa bantuan persentasenya hanya 6,7% mening-kat menjadi 80%. Walaupun tidak sepenuh- nya orangtua melepas anak-anak mereka dalam melakukan aktivitas ini. Masih ada 6,7% tingkat psikomotornya dengan bantuan penuh dan 13,3 % dengan bantuan, hal ini disebabkan tingkat koor-dinasi yang kurang pada responden. Responden ti-dak dapat melakukan komunikasi, sehingga meng-ganggu proses penyampaian pesan edukasi lewat multimedia aplikasi EAMA.

Umumnya terapi untuk menangani ganggu-an perilaku anak autis dilakukan dengan menggu-nakan model Applied Behaviour Analysis (ABA). Model ini dapat membimbing anak autis gang- guan perilaku agar patuh (bukan takut) dan kreatif. Ada beberapa prinsip terapi perilaku model ABA. Penatalaksananan terapi dilakukan secara terstruk-tur. Terapis menggunakan teknik terapi secara ter-

Tabel 2. Tingkat Psikomotor dan Afektif Anak Autis

VariabelSebelum EAMA Sesudah EAMAn % n %

Tingkat PsikomotorBantuan penuhDengan bantuanTanpa bantuan

Tingkat AfektifNegatifApatisPositif

4242

5250

13,3806,7

1683,3

0

2424

2325

6,713,380

6,710

83,3

Tabel 3. Analisa Pengaruh Metode EAMA dengan Tingkat Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

Variabel Penelitian n Mean Rank Hasil Uji StatistikPsikomotor sesudah Psikomotor sebelum

Afektif sesudah Afektif sebelum

Negative RanksPositive Ranks

TiesTotal

Negative RanksPositive Ranks

TiesTotal

0a

24b

6c

30

0d

28e

2f

30

0,0012,50

0,0014,50

Z -4,899bAsymp. Sig. (2-tailed)

0,000

Z -5,292bAsymp. Sig. (2-tailed)

0,000

392

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

program dengan jelas. Dalam kegiatan intervensi pelaksananan program terarah. Panduan program yang dibuat oleh terapis digunakan sebagai acuan terapi. Penatalaksanaan terapi dilakukan secara terukur, dapat diketahui keberhasilan atau kegaga-lan dengan pasti. Tingkat pecapaian program tera-pi dapat diukur berdasarkan kriteria yang disusun oleh terapis.6

Aplikasi EAMA di dalamnya memuat in-tervensi perubahan perilaku dengan metode ABA. Mencakup permainan yang memberi instruksi dengan suara, permainan tersebut memberi pilihan kepada sampel, untuk menentukan pilihan sikap, yakni membuang sampah pada tempatnya atau ti-dak, dan pilihan mencuci tangan sebelum makan, jika pilihan tepat maka akan ada suara pujian yang diberikan kepada anak autis. Berdasarkan peneli-tian Schuetze et al., pemberian pujian merupakan salah satu intervensi yang sangat menyenangkan dan menstimulasi bagi anak autis dengan membe- rikan pengaruh terhadap respon psikologi.7

Pujian yang diberikan pada sampel saat benar menentukan sikap yang tepat, maka akan ada pujian, pujian inilah yang diharapkan dapat me- rubah perilaku anak. Pujian membuat anak ingin mengulang lagi kejadian tersebut karena me- nganggap pujian adalah sesuatu yang menyenang-kan.8 Pada penelitian ini, sebanyak 83,3% tidak peduli bahwa membuang sampah harus mencari bak sampah terlebih dahulu, kemudian sampah dibuang. Namun, setelah diberikan terapi metode EAMA maka 83,3% menjadi sikap positif, yakni mengerti dan mau melakukan membuang sampah pada tempatnya. Walaupun masih ada 10% yang masih apatis, hal tersebut dikarenakan tingkat konsentrasi sampel sangat rendah untuk mengikuti metode EAMA seperti yang diajarkan.

Pada penelitian ini menyatakan tingkat psikomotor, sebelum dan sesudah diberi metode EAMA p(0,000)<0,05 dan Z (-4,899), menyatakan ada pengaruh metode EAMA dengan tingkat psi-komotor. Hasil uji tingkat afektif analisis didapati nilai p(0,000)<0,05 dengan nilai Z (Z -5,292) yang berarti ada pengaruh pemberian metode EAMA dengan peningkatan nilai afektif pada anak autis.Sejalan dengan hasil penelitian Lokhorst, menga-takan game merupakan sarana yang bisa merubah perilaku.9 Metode dengan melibatkan multime-dia, dapat menyebabkan penyembuhan kerusakan

sistem saraf yang dapat mempengaruhi perilaku, salah satu perilaku yang diharapkan adalah melakukan kegiatan rutin sehari-hari dengan me-nentukan sikap yang benar saat menentukan dua pilihan sikap.10 Studi Postel10 yang melakukan ka-jian untuk menilai kelayakan intervensi kelompok CBT selama 8 minggu untuk mengatur sendiri ke-sulitan pemrosesan sensorik. Penelitian tersebut dilakukan pada remaja, dengan kognitif yang di- diagnosis dengan autis berusia 11-16 tahun dari satu sekolah menengah umum mendapat interven-si 8 minggu. Tindakan reaktivitas sensorik, kece-masan dan perilaku berulang dilakukan pada awal, pasca intervensi dan tindak lanjut, 8 minggu setelah intervensi dihentikan. Wawancara semi terstruktur dan kelompok fokus juga dilakukan dengan rema-ja dan orang tua mereka untuk memeriksa lebih lanjut penerimaan intervensi. Hasil penelitian Pos-tel menunjukkan bahwa intervensi dapat diterima baik dalam penerapannya maupun penerimaannya oleh responden.10 Analisis kualitatif dengan jelas menunjukkan bahwa intervensi tersebut efektif dalam meningkatkan kesadaran dan pengaturan diri secara sadar. Multimedia merupakan salah satu sarana untuk dapat melakukan edukasi pada anak autis. Anak autism sangat menyenangi hal-hal yang bersifat audio visual.11 Terapi visual, ber-tujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan ber-komunikasi dengan cara melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan disenangi misalnya dengan metode Picture Exchange Communication System (PECS).12

Terapi musik dapat juga dilakukan untuk membantu perkembangan anak. Musik yang dipa-kai adalah musik yang lembut, dan dapat dengan mudah dipahami anak. Tujuan dari terapi musik ini adalah agar anak dapat menanggap melalui pendengarnnya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian dihubungkan ke pusat-pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketena- ngan.10 Perpaduan antara terapi visual, musik dan dikombinasi dengan pujian untuk pilihan perilaku yang tepat dapat dipadukan dengan permainan, terapi ini meningkatkan pengetahuan anak autis sehingga adanya perubahan perilaku dan keingi-nan untuk melakukan.13 EAMA menggabungkan semua unsur visual, audio, ada pujian dan musik yang menyenangkan, anak autis akan diajak dalam permainan untuk menentukan sikap yang benar,

393

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

dan dituntut melakukan tanpa paksaan. Pembelaja-ran secara konvensional dengan penjelasan secara verbal oleh terapis, guru atau orangtua cenderung membosankan bagi anak autis dan tidak dapat meningkatkan kemampuan komunikasi, perubah-an perilaku. Hal ini sejalan dengan penelitian Tien tentang efektivitas Picture Exchange Communi-cation System (PECS) untuk meningkatkan kete- rampilan komunikasi fungsional individu dengan gangguan spektrum autisme (ASD). Intervensi yang efektif selain memberi pengaruh perubahan psikomotor dan afektif juga meningkatkan kete- rampilan komunikasi secara fungsional.15

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

di SKMC Palangka Raya, dari bulan Mei 2017 sam-pai dengan bulan November 2017. Ada pengaruh pemberian metode EAMA dengan tingkat psiko-motor dan afektif pada anak autis. Tingkat psiko-motor, dengan metode EAMA p(0,000)<0,05 dan nilai Z (4,899), dan tingkat afektif, p(0,000)<0,05 dengan nilai Z (Z -5,292).

Saran dari penelitian ini, yaitu perlu ada stimulasi edukasi multimedia yang dapat mem-bantu anak autis untuk melakukan aktivitas dan merubah perilaku yang negatif menjadi positif, perlu dikembangkan metode multimedia yang dapat menstimulasi tumbuh kembang dan dapat mengukur perkembangannya, perlu adanya peran orang tua dalam mendampingi anak saat bermain game edukasi, agar sasaran dari aplikasi permain-an tersebut dapat tercapai dan perlu penelitian lan-jut lagi untuk menyempurnakan aplikasi EAMA sebagai sarana edukasi.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih peneliti ucapkan kepada Badan

Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kesehatan Kemenkes RI, melalui Poltekkes Ke-menkes Palangka Raya, yang sudah memberikan dukungan dana, sehingga penelitian ini dapat ber-jalan lancar. Kepada Sekolah Khusus Melati Ceria (SKMC) yang sudah berkenan bekerjasama untuk melaksanakan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada seluruh responden dan orang tua yang telah membantu dalam proses me- ngambil data serta semua pihak yang terlibat da-lam proses penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA1. Adly H, Noor M, Shahbodin F, Pee NC. Se-

rious Game for Autism Children : Review of Literature. 2012;6(4):554-9.

2. Koegel L, Matos-fredeen R, Lang R, Koe-gel R. Interventions for Children with Au-tism Spectrum Disorders in Inclusive School Settings. Cogn Behav Pract [Internet]. 2011; Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.cbpra. 2010.11.003.

3. (CDC) TC for DC and P. CDC Estimates 1 in 68 Children has been Identified with Autism Spectrum Disorder [Internet]. United State; 2014. Available from: https://www.cdc.gov/media/releases/2014/p0327-autism-spec-trum-disorder.html.

4. Boyd BA, Mcdonough SG, Bodfish JW. NIH Public Access. 2013;42(6):1236-48.

5. Kurdi FN. Strategi dan teknik pembelajaran pada anak dengan autisme. Forum Kependi-dikan,. 2009; 29(1).

6. Prasetyoningsih SA. Pengembangan Tindak Bahasa Terapi dalam Intervensi Anak Autis Spektrum Perilaku. Litera. 2016;15:120-7.

7. Schuetze M, Rohr CS, Dewey D, McCrimmon A, Bray S. Reinforcement Learning in Autism Spectrum Disorder. Front Psychol. 2017.

8. Inclusive Directions Flinders Therapy House. Early Intensive Behavioural Intervention Us-ing the Principles of Applied Behavioural Analysis ( ABA ). 2011.

9. Lokhorst S. The Use of Gamification in Inter-ventions for Children with Autism. University of Twente; 2014.

10. Edgington L, Hill V, Pellicano E. Research in Developmental Disabilities the Design and Implementation of a CBT-Based Intervention for Sensory Processing Difficulties in Adoles-cents on the Autism Spectrum. Res Dev Dis-abil. 2016;59:221-33.

11. Postel MG, Haan MSHA De, Jong MDCAJ De, Ph D. E-Therapy for Mental Health Prob-lems : Telemed E-Health. 2008;14(7):707–14.

12. Omar S, Bidin A. The Impact of Multimedia Graphic and Text with Autistic Learners in Reading. Univers J Educ Res. 2015;3(12):989-96.

13. Kandaswamy R. iMedPub Journals The Neu-rological Damage Caused by Repetitive Be-

394

Yena Wineini Migang : EAMA sebagai Intervensi Perubahan Psikomotor dan Afektif pada Anak Autis

havior Modification Based Therapies in Au-tism and the Myth of “Early Intensive Inter-vention” in Autism The Myth of “Early Inter-vention” in Autism with “ Intensive ” Methods and Applicatio. 2016;2-4.

14. Tien K. Effectiveness of the Picture Exchange Communication System as a Functional Com-munication Intervention for Individuals with Autism Spectrum Disorders : A Practice-Based Research Synthesis. 2008;43(1):61-76.

395

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

Evaluation of Knowledge and Perception of Self-Medication for Cough by Smokers

Amelia Lorensia1, Ananta Yudiarso2, Rizkia Arrahmah3

1Departemen Farmasi Klinis-Komunitas, Fakultas Farmasi Universitas Surabaya2Departemen Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

3Fakultas Farmasi Universitas Surabaya

ABSTRAKBatuk merupakan salah satu gejala yang paling sering terjadi pada perokok. Perokok yang mengalami ba-

tuk banyak disebabkan paparan asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi perokok terhadap gejala batuk yang dialami penggunaan obat batuk, dan pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh apoteker. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret - Juli 2016. Penelitian ini menggunakan metode mix method menggunakan desain penelitian sequential explanatory. Sampel penelitian (subjek) yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak100 orang, dan 12 diantaranya bersedia untuk dilakukan wa- wancara mendalam untuk mendapatkan data pendukung. Sampel penelitian adalah perokok aktif yang berusia 18-40 tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang pernah mengalami kejadian batuk dan pernah meng-gunakan obat batuk. Hasil yang diperoleh yaitu jenis batuk yang dialami oleh perokok adalah batuk berdahak dan batuk tidak berdahak tergantung dari kategori perokok. Penggunaan obat batuk swamedikasi adalah salah satu cara yang banyak dilakukan oleh perokok aktif untuk mengurangi kejadian batuk yang dialami. Namun, masih banyak perokok yang salah dalam memilih dan menggunakan obat batuk karena pengetahuan yang dimiliki perokok aktif terhadap batuk masih kurang memadai. Kata kunci : Swamedikasi, pengetahuan, persepsi, perokok, batuk

ABSTRACTCoughing is one of the most common symptoms in smokers. Smokers who experience a lot of cough are

caused by exposure to cigarette smoke that enters the respiratory tract. The purpose of this study was to determine how smokers perceive symptoms of cough, use of cough medicine, and self-medication services performed by phar-macists. This study began in March to July 2016. This study used the mixed method method that uses sequential explanatory research design. The research sample involved amounted to 100 people, and 12 studies conducted for interviews were conducted to obtain supporting data. The sample were active smokers aged 18-40 years with male and female sex who had experienced coughing and had used cough medicine. The results obtained are the type of cough experienced by smokers is cough with phlegm and cough is not phlegm depending on the category of smokers. The use of cough medicine is one of the most common ways for active smokers to reduce the incidence of coughing. However, there are still many smokers who are wrong in choosing and using cough medicine because the knowledge that active smokers have for coughing is still inadequate.Keywords : Self-medication, knowledge, perception, smoker, cough

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5065

396

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

PENDAHULUAN Batuk merupakan respon alami dengan

meningkatkan pembersihan sekresi dan partikel dari lendir, iritasi, partikel asing, dan mikroba, sehingga menjadi mekanisme pertahanan tubuh. Terkadang batuk menjadi masalah serius dan dapat menjadi gejala berbagai penyakit pernapas-an dan paru-paru.1,2 Batuk merupakan salah satu gejala merokok paling umum dan dapat diamati. Frekuensi batuk pada perokok sangat besar kare-na merokok menyebabkan hampir semua penyakit pernafasan yang dimulai gejala batuk yang akhir- nya dapat menyebabkan peradangan saluran per-napasan, hipersekresi lendir, dan disfungsional pada silia.3

Persentase penduduk dunia yang mengon-sumsi tembakau didapatkan sebanyak 57% pada penduduk Asia dan Australia. Sementara itu ASE-AN merupakan kawasan dengan 10% dari seluruh perokok dunia dan 20% penyebab kematian global akibat tembakau. Persentase perokok pada pen-duduk di negara ASEAN tersebar di Indonesia sebesar 46,16%.4 Menurut data Riskesdas tahun 2013, rerata proporsi perokok saat ini di Indone-sia adalah 29,3% dengan jumlah proporsi perokok di Jawa Timur adalah 23,9% yang merokok setiap hari dan 5,0 yang merokok kadang-kadang.5 Rokok adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan di dunia karena menyebabkan satu orang mening-gal setiap enam detik. Sepertiga populasi dewasa dunia atau sebanyak 1,1 miliar orang merokok.6 Rokok dan asapnya mengandung bahan kimia ber-bahaya bagi tubuh sehingga menyebabkan tubuh rentang terserang oleh penyakit,7 dan ada 98 jenis zat kimia berbahaya bagi kesehatan yang terkan- dung di dalam asap rokok.8

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam membantu meredakan gejala batuk adalah dengan menggunakan obat-obat simptomatik9 karena ba-tuk terus-menerus dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Namun, dengan meredakan ge-jala tidak berarti dapat mengatasi kemungkinan terjadinya penyakit jangka panjang. Penggunaan obat-obat tersebut secara terus-menerus juga be-risiko terhadap keamanan dan munculnya efek samping obat. Penelitian yang pernah dilakukan di UK, hanya 5% perokok dari total perokok di Lon-don yang mencari para spesialis seperti dokter dan apoteker untuk keluhan batuk yang dialami. Sete-

ngahnya merasa batuk bukan suatu masalah be-rarti, tetapi hal ini tetap harus diwaspadai apabila batuk tersebut terjadi dalam frekuensi waktu yang cukup lama sekitar 2-3 bulan karena bisa jadi tan-da awal adanya penyakit bronkitis kronis yang berkembang sebagai akibat dari paparan tembakau rokok yang terus-menerus.10 Obat batuk yang menjadi pilihan terbanyak perokok untuk menga-tasi batuk yang dialami adalah obat yang dapat di-beli bebas tanpa resep dokter.11

Obat-obatan yang digunakan dalam pena- nganan batuk banyak jenisnya bergantung dari tipe batuk dan penyebabnya. Mukolitik merupa-kan obat batuk yang paling besar memberikan efek bagi gejala batuk.12 Mukolitik bekerja de-ngan cara menurunkan viskositas dari mukus yang disekresikan berlebihan, pada hipersekresi mukus oleh karena zat-zat rokok menyebabkan kerusakan sel silia pada tenggorokan.13 Selain mukolitik, obat batuk lain yang juga dapat digunakan untuk me- ngatasi batuk adalah golongan antitusif,14 dan eks-pektoran.15 Mukolitik dan ekspektoran adalah obat batuk yang digunakan pada jenis batuk berdahak. Sedangkan antitusif digunakan pada jenis batuk tidak berdahak dan tidak boleh digunakan pada batuk berdahak karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi oleh bakteri maupun virus. Keti-daksesuaian penggunaan obat dapat menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan.14

Masyarakat perokok yang mengalami masa- lah kesehatan seperti batuk, akan berobat ke dokter atau melakukan pengobatan swamedikasi.16 Sema-kin berkembangnya ilmu teknologi di dunia, tidak susah bagi masyarakat untuk mencari dan mene-mukan obat batuk. Berkenaan dengan hal terse-but, pengobatan sendiri menjadi alternatif yang diambil oleh masyarakat.17 Besarnya biaya rumah sakit dan dokter mengakibatkan masyarakat le- bih cenderung untuk memilih pengobatan sendiri. Akibatnya, upaya yang ditempuh ialah mengon-sumsi obat-obatan yang bisa dibeli secara bebas. Selain karena faktor biaya kesehatan, pengaruh dari gaya hidup dan informasi juga besar kaitan-nya.18 Penjualan obat batuk di Indonesia dapat dikatakan cukup bebas dan sangat bergantung dari iklan di televisi ataupun surat kabar. Bahkan banyak sekali obat-obatan tersebut dijual bebas di warung tanpa adanya resep dokter.19 Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan oleh Panda peng-

397

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

gunaan obat batuk mencapai 14% dan merupakan peringkat kedua terbesar setelah obat nyeri.20 Oleh karena itu, tujuan penelitian ini menganalisis pe- ngetahuan dan persepsi dari pengobatan obat ba-tuk secara swamedikasi oleh perokok.

BAHAN DAN METODE Desain yang digunakan dalam penelitian ini

adalah desain sequential explanatory, yang meng-gabungkan metode kuantitatif dan kualitatif secara berurutan (mix method). Pada tahap awal digu-nakan metode kuantitatif untuk mengukur penge- tahuan dan persepsi dari pengobatan obat batuk secara swamedikasi oleh perokok. Masing-masing kuesioner pengetahuan dan persepsi dibagi men-jadi tiga aspek, yaitu mengenai gejala batuk, pe- ngobatan batuk, serta pelayanan swamedikasi obat batuk.

Kuesioner yang digunakan sebagai instru-men penelitian, proses telah terlaksana diuji vali- ditas melalui nilai CITC (Corrected Item Total Correlation), dan tingkat kesukaran soal. Sedang-kan untuk variabel persepsi dilakukan uji reliabi- litas dan validitas saja. Terdapat 12 pertanyaan da-lam kuesioner penelitian untuk variabel pengeta-huan. Pada uji reliabilitas, setiap pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dinyatakan reliabel karena memiliki nilai alpha cronbach 0,680 (p>0,6). Pada uji nilai validitas, setiap pertanyaan dalam kuesio- ner pengetahuan dikatakan valid apabila nilai CITC masing-masing pertanyaannya signifikan dengan nilai rtabel. Pada kuesioner dengan varia-bel pengetahuan dibagi menjadi tiga aspek yaitu gejala batuk, penggunaan obat batuk, dan praktik swamedikasi. Aspek gejala batuk diwakili oleh pertanyaan nomor 1-4, sedangkan untuk aspek penggunaan obat batuk, diwakili oleh pertanyaan nomor 5-8, dan sisanya nomor 9-12 untuk aspek praktik swamedikasi. Seluruh pertanyaan dalam kuesioner ini dikatakan valid jika nilai CITC-nya lebih dari 0,196. Pada aspek gejala batuk ada dua pertanyaan yang tidak valid, yaitu pertanyaan no-mor 2 dan 3 karena nilai CITC-nya 0,000 (<0,196). Sedangkan untuk aspek penggunaan obat batuk, ada satu pertanyaan yang dinyatakan tidak valid karena nilai CITC-nya 0,000 (<0,196) yaitu per-tanyaan nomor 5. Pada aspek praktik swamedika-si ada dua pertanyaan yang dinyatakan tidak va-lid yaitu pertanyaan nomor 9 dan 12 dikarenakan

nilai CITC-nya di bawah 0,196. Pada uji tingkat kesukaran soal, nilai interpretasi dibagi menjadi tiga yaitu mudah, sedang, dan sukar. Pembagian ini berdasarkan nilai yang didapatkan dari mean melalui penilaian SPSS. Untuk nilai mean >0,7 soal dikatakan mudah, sedangkan pada nilai mean 0,3-0,7, soal dikatakan memiliki tingkat kesu-karan sedang, dan pada nilai mean <0,3, soal dika-takan sukar. Dari 12 pertanyaan, yang tergolong pertanyaan mudah ada 8 nomor yaitu pertanyaan 1,2,3,4,5,9,10, dan 12, sedangkan yang tergolong sedang sebanyak 2 nomor yaitu pada pertanyaan 7 dan 11, dan sisanya yaitu pertanyaan 6 dan 8 ter-golong pertanyaan sukar.

Metode pengambilan data menggunakan alat bantu kuesioner dengan hasil akhir penilaian berupa angka. Setelah data kuantitatif selesai di- analisis, penelitian dilanjutkan dengan metode pe-nelitian kualitatif, data yang diperoleh digunakan untuk membuktikan, memperdalam, dan memper-luas data-data kuantitatif. Data kualitatif didapat-kan melalui tahapan wawancara dengan instrumen pedoman wawancara. Subjek penelitian adalah mahasiswa perokok aktif yang pernah mengalami batuk karena penggunaan rokok di suatu univer-sitas swasta di Kota Surabaya, pernah mengalami gejala batuk, pernah menggunakan obat batuk, dan pernah melakukan pembelian obat swamedi-kasi secara mandiri pada kurun waktu sejak awal responden mulai merokok hingga saat responden berpartisipasi dalam penelitian. Pengambilan sam-pel dalam penelitian ini dilakukan dengan pur-posive sampling. Besar sampel responden yang digunakan dalam penelitian dihitung berdasarkan rumus untuk proporsi populasi, dengan tingkat ke-percayaan 95%. Dalam perhitungan nilai p dan q diasumsikan memiliki besar yang sama yakni 0,5 karena belum diketahui jumlah responden yang mengalami batuk dan menggunakan obat batuk swamedikasi akibat merokok, maka nilai yang di-pakai yaitu: Z2

(1-α)=95%, dengan nilai 1,96; p=0,5; q=0,5; d=0,1 sehingga jumlah sampel minimal da-lam penelitian ini adalah 97 orang. Pengumpulan sampel penelitian menggunakan purposive sam-pling.

Analisis data yang digunakan dalam pene-litian ini adalah analisis deskriptif yang merupa-kan metode analisis untuk menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya,

398

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

dengan tujuan menggambarkan secara sistematis, fakta dan karakteristik objek yang diteliti. Dari data yang didapat akan diklasifikasikan atau diko-de sesuai pola dengan memberi label, definisi atau deskripsi. Koding dimaksudkan untuk dapat meng- organisasi dan mensistematisasi data secara leng-kap dan mendetail sehingga dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

HASILPengumpulan data penelitian dilaksanakan

pada bulan Maret 2016 sampai Juli 2016. Sampel penelitian (subjek) yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 100 orang, dan 12 diantaranya ber-sedia untuk dilakukan wawancara mendalam un-tuk mendapatkan data pendukung. Sebagian besar subjek adalah laki-laki (98%) dengan sebaran usia pada tingkat remaja akhir (98%) dan dewasa awal (11%). Sebagian besar tingkat pendidikan akhir adalah sekolah menengah atas/kejuruan (81%). Perokok diklasifikasikan menjadi tiga kelas yang berbeda, yaitu ringan, sedang, dan berat menurut

Tabel 1. Gejala Batuk yang Dialami Subjek PenelitianGejala n=100 %

Jenis Batuk yang Sering DialamiBatuk berdahak

SeringJarangKadang-kadang

Batuk keringSeringJarangKadang-kadang

Batuk berdahak dan keringSeringJarangKadang-kadang

Waktu Mulai Mengalami Batuk (Tahun)<11-5>5Tidak tahu

Penyebab Batuk yang Sering DialamiRokokHal lain (selain rokok)Kombinasi rokok dan hal lainTidak tahu

Kebiasaan dalam Mengatasi BatukMinum obat batukMinum obat batuk + berhenti merokokMinum obat batuk + jamuBerhenti merokokPeriksa ke dokter

Efektifitas Obat Batuk yang DirasakanMenghilangkan gejala batukMengurangi gejala batukTidak ada perubahan gejala batuk

Kesesuaian Obat Batuk yang DigunakanSesuaiTidak sesuaiTidak dapat ditentukan

5122236481523101100

355348

4135204

8512111

5914

493615

51

48

1

355348

4135204

8512111

5914

493615

399

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Indeks Brinkman. Nilai indeks brinkman ini didapatkan dengan mengalikan lamanya merokok (tahun) dan rata-rata jumlah rokok yang dihisap dalam sehari (batang), mayoritas adalah perokok dengan kategori ringan (92%) dibandingkan de-ngan kategori sedang (8%).

Gejala batuk yang dialami subjek penelitian sebagian besar merupakan batuk berdahak (51%) dengan waktu mulai mengalami batuk adalah kurang dari 1 tahun lalu (35%). Menurut subjek, rokok merupakan penyebab batuk yang sering dialami subjek (41%). Dalam mengatasi batuk, banyak subjek yang memilih menggunakan obat batuk (85%) daripada menggunakan obat batuk dan berhenti merokok (12%). Walaupun pemilihan

jenis obat batuk sebanyak 49% adalah sesuai dan 36% adalah tidak sesuai, sebagian besar subjek mengaku gejala batuk dapat berkurang (91%) dari terapi yang dipilih (Tabel 1).

Pengetahuan dibagi menjadi tiga aspek yang berbeda sesuai dengan tujuan penelitian yaitu pengetahuan subjek mengenai gejala batuk, pengobatan batuk, serta pelayanan swamedikasi obat batuk. Pada setiap aspek diwakili oleh 4 per-tanyaan yang berbeda, sehingga total pertanyaan dalam kuesioner adalah 12, dan setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar akan diberi nilai 1, jika salah diberi nilai 0, dan jika menjawab ti-dak tahu tidak akan dihitung nilainya. Hasil nilai dari seluruh subjek kemudian dikelompokkan

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Jawaban yang Benar Terkait Pengetahuan Subjek Mengenai Pengobatan Batuk

No. Soal Kuesioner Mengenai Pengetahuan Jumlah yang Menjawab Benar

12

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Gejala BatukBatuk bukan merupakan suatu penyakit tetapi gejala dari suatu penyakitDalam keadaan normal (tidak sakit) batuk dapat terjadi karena adanya benda asing yang masuk ke dalam saluran pernafasanDebu dan polusi udara termasuk asap rokok serta asap kendaraan bermotor dan mengonsumsi obat-obatan tertentu merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya batukBatuk yang terjadi disertai dengan adanya mukus atau lendir disebut sebagai batuk berdahakPenggunaan Obat Batuk SwamedikasiObat batuk swamedikasi adalah obat batuk golongan bebas dengan tanda lingkaran berwarna hijau dan golongan bebas terbatas dengan tanda lingkaran berwarna biruObat batuk memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai obat simptomatik (berfungsi untuk meringankan gejala) dan obat kausatif (berfungsi untuk menyembuhkan penyakit)Dalam mengonsumsi obat batuk secara swamedikasi harus mengikuti petunjuk aturan pakai yang terdapat dalam label kemasan dan obat batuk boleh digunakan hanya dalam waktu 14 hari sajaJika terdapat pernyataan mengenai obat batuk sebagai berikut : “Sehari 2x1 tablet setelah makan”. Maka pernyataan tersebut berarti, obat batuk diminum sehari dua kali pada waktu pagi dan siang hariPelayanan Swamedikasi di ApotekSwamedikasi adalah kegiatan pemilihan dan penggunaan obat tanpa menggunakan resep dokter atas inisiatif sendiri untuk mengatasi suatu kondisi sakit pada tubuhApoteker adalah seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kegiatan yang terjadi di apotek mulai dari penerimaan resep, penyediaan dan penyerahan obat serta konseling, dan juga manajemen pengadaan maupun pengelolaan apotekPelayanan swamedikasi adalah bentuk pelayanan yang menyediakan dan menyiapkan obat yang dibutuhkan oleh seorang pasien serta pemberian konsultasi, informasi, dan juga edukasi pada pasien dalam penggunaan obat-obatan bebas dan bebas terbatas Obat-obat yang dapat dibeli untuk pengobatan swamedikasi hanya obat dengan golongan bebas dan bebas terbatas saja

6492

93

91

35

8

38

23

42

81

59

43

400

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

atau dikategorikan menjadi sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah. Subjek yang termasuk dalam kategori memiliki pengetahuan sangat ting-gi adalah mereka yang memiliki nilai total dengan rentang 9-12 (20%). Sedangkan nilai rentang un-tuk kategori pengetahuan tinggi adalah 5-8 (63%), dan untuk kategori rendah bernilai 1-4 (15%), un-tuk kategori pengetahuan sangat rendah bernilai 0 (2%). Sedangkan pada Tabel 2 akan diuraikan frekuensi subjek yang dapat menjawab pertanyaan kuesioner dengan benar. Hasil penilaian variabel pengetahuan menunjukkan pada aspek gejala ba-tuk (rata-rata nilai: 3,40; nilai tertinggi: 4; nilai ter-endah: 0), aspek penggunaan obat batuk (rata-rata nilai: 1,04; nilai tertinggi: 4; nilai terendah: 0),

dan aspek pelayanan swamedikasi (rata-rata nilai: 2,25; nilai tertinggi: 4; nilai terendah: 0).

Persepsi subjek yang diukur dengan kue-sioner ini juga dibagi menjadi tiga aspek yang ber-beda sama seperti pengetahuan. Adapun aspeknya juga sama dengan aspek pada pengetahuan. Pada pengukuran persepsi dengan kuesioner ini, setiap aspeknya diwakili oleh 6 pertanyaan yang berbeda, sehingga total pertanyaan untuk variabel persepsi adalah 18 pertanyaan, dan setiap jawaban diberi-kan poin 1-4. Hasil dari total poin masing-masing subjek akan dikategorikan menjadi sangat baik, baik, buruk, dan sangat buruk. Mayoritas subjek memiliki persepsi yang baik (nilai: 51-55) (12%) terhadap ketiga aspek yang ditanyakan dalam

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jawaban yang Benar Terkait Persepsi Subjek Mengenai Pengobatan Batuk

No. Soal Kuesioner Mengenai PersepsiResponden

dengan tingkat persepsi baik

123456

789

101112

1314

151617

18

Gejala BatukBatuk merupakan gangguan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.Merokok merupakan penyebab paling sering terjadinya batuk.Merokok meningkatkan frekuensi batuk.Batuk berdahak yang kronis adalah yang paling sering terjadi pada seorang perokokBatuk yang dialami seorang perokok akan hilang dengan sendirinya.Jika batuk tidak hilang atau bahkan semakin memburuk dalam kurun waktu 3-5 hari, maka penanganan pertama untuk mengatasinya adalah pergi ke apotek untuk berkonsultasi dengan apoteker dan bukan ke dokterPenggunaan Obat Batuk SwamedikasiObat batuk hanya meringankan batuk saja tanpa menyembuhkan penyebabnya.Alasan memilih obat batuk adalah harga yang terjangkauAlasan memilih obat batuk adalah rekomendasi dari keluarga/teman bukan dari apoteker/dokter.Penggunaan obat batuk selama 7 hari tidak memberikan efek yang optimal.Membaca petunjuk aturan pakai sebelum menggunakan obat batuk dan mengikutinya.Instruksi petunjuk pemakaian cukup jelas dan tidak perlu bertanya kepada apoteker/dokterPelayanan Swamedikasi di ApotekPelayanan swamedikasi hanya dapat dilakukan oleh apoteker di apotek.Pelayanan swamedikasi berfungsi membantu memastikan keamanan dan efektivitas obat.Pelayanan swamedikasi hanya didapatkan jika membeli obat batuk di apotek.Pelayanan swamedikasi telah dilaksanakan dengan baik oleh apotekerDalam kegiatan pelayanan swamedikasi, informasi yang dibutuhkan meliputi cara penggunaan, efek samping obat yang dapat ditimbulkan, cara penyimpanan, lama penggunaan obat, dosis obat, dan hal-hal yang perlu perhatian khusus seperti adanya reaksi obat yang tidak dikehendaki Obat baik dengan resep dokter ataupun tanpa resep dokter hanya bisa didapatkan di apotek saja

147266575949

694425

328223

7387

777282

67

401

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

kuesioner. Hal ini dikarenakan frekuensi kategori persepsi baik (nilai: 47-50) memiliki persentase yang paling tinggi yaitu 51%. Namun, persentase persepsi dalam kategori buruk (nilai: 42-46) juga cukup besar yaitu 33%, dan kategori sangat buruk (nilai:<42) sebesar 4%. Sedangkan pada Tabel 3 diuraikan frekuensi subjek dalam memilih jawab-an pada pertanyaan mengenai persepsi. Hasil pe-nilaian variabel persepsi menunjukkan pada aspek gejala batuk (rata-rata nilai: 15,10; nilai tertinggi:

24; nilai terendah: 6), aspek penggunaan obat ba-tuk (rata-rata nilai: 15,78; nilai tertinggi: 24; nilai terendah: 6), dan aspek pelayanan swamedika-si (rata-rata nilai: 16; nilai tertinggi: 24; nilai te- rendah: 6).

Tabulasi silang antara pengetahuan den-gan persepsi diuraikan dalam Tabel 4, dapat ter-lihat bahwa pengetahuan dan persepsi memiliki ke- terkaitan yang erat satu sama lainnya. Dalam penelitian ini mayoritas subjek yang memiliki pe-

Tabel 4. Tabulasi Silang Hasil Pengetahuan Subjek dengan Hasil Persepsi Subjek Penelitian

Kategori PengetahuanKategori Persepsi

TotalSangat baik(nilai: 51-55)

Baik(nilai: 47-50)

Buruk(nilai: 42-46)

Sangat buruk(nilai: 41)

Sangat tinggi (nilai: 9-12)Tinggi (nilai: 5-8)Rendah (nilai: 1-4)Sangat rendah (nilai: 0)

3900

123162

52260

0130

2063152

Tabel 5. Hasil Temuan Wawancara Persepsi Subjek Terhadap Gejala Batuk dan Penggunaan Obat Batuk Secara Swamedikasi

Aspek Persepsi Temuan Kutipan Hasil WawancaraGejala Batuk

Penggunaan Obat Batuk Swamedikasi

Batuk disebabkan oleh paparan asap rokok yang terhirup

Karakteristik batuk yang dialami adalah batuk berdahak dan batuk kering

Batuk mengganggu aktivitas perokok

Obat batuk untuk mengatasi batuk yang mereka alami

Obat batuk efektif mengurangi batuk

Perokok membeli obat batuk di apotek secara swamedikasi

”Kebanyakan nelen asap rokok sih, soalnya kalo habis ngerokok sering batuk-batuk gitu”“Gara-gara kesedak asap rokok”

“Batuk dan tenggorokan kering, tidak keluar dahaknya”“Hmm, biasanya lama sampai 2 mingguan, terus batuknya berdahak dan ganggu banget, sering nggak konsen biasanya kalo uda batuk”“Batuk kering terus ada dahaknya”“Batuk terus keluar riaknya biasanya”

“Batuknya berdahak, terus frekuensinya biasanya 2 minggu-sebulan, mengganggu kegiatan sehari-hari”“Kering dan mengganggu aktivitas”

“Langsung minum obat batuk”“Minum obat kalau sudah parah”“Ngurangi rokok sama minum obat”

“Dahaknya keluar terus batuknya jadi berkurang”“Batuknya lumayan berkurang”“Batuknya jadi lumayan kurang sih”“Lumayan reda”

“Beli langsung di apotek”“Beli di apotek”“Apotek”

402

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

ngetahuan tinggi ternyata juga memiliki persepsi yang baik pula. Hal ini dapat dilihat dari jumlah subjek yang paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya yaitu sebanyak 31 orang. Namun, jumlah subjek yang memiliki pengetahuan tinggi, tetapi persepsinya rendah juga cukup banyak (22 orang).

Hasil dari fase kualitatif penelitian ini diper-oleh melalui wawancara secara mendalam dengan informan sebagai bentuk pencarian data dan do-kumentasi langsung di lapangan yang kemudian dianalisis oleh peneliti. Informan dalam penelitian fase ini adalah 12 orang dari 100 orang subjek yang telah mengisi kuesioner sebelumnya. Fokus pene-litian dalam analisis ini adalah perokok aktif yang pernah atau sedang mengalami gejala batuk dan pernah atau sedang menggunakan obat batuk serta pernah melakukan swamedikasi di apotek. Pada Tabel 5, terdapat tiga hal utama mengenai persepsi subjek pada gejala batuk yang dialaminya. Subjek berpendapat bahwa batuk yang selama ini mereka alami banyak disebabkan menghirup asap rokok sewaktu mereka menghisap rokok. Selain itu, me- reka juga berpendapat bahwa batuk yang dialami oleh perokok dapat bersifat kering dan basah (ba-tuk kering dan berdahak) dengan frekuensi yang cukup lama dan mengganggu aktivitas mereka se-hari-hari. Mereka beranggapan bahwa batuk dapat mengganggu konsentrasi mereka dalam mengerja-kan suatu hal dan juga bisa membuat mereka malu ketika berada di dalam suatu komunitas tertentu. Hal ini seperti yang dikutip dari hasil wawancara subjek 1 seperti berikut:

“batuknya berdahak dan ganggu banget, sering nggak konsen biasanya kalo uda ba-tuk jadinya malu kalo lagi ngobrol atau ada rapat tertentu tiba-tiba kita batuk nggak selesai-selesai”

(R, 22 tahun; laki-laki; 10 April 2016)

Tabel 5 juga menguraikan persepsi subjek terhadap penggunaan obat batuk swamedikasi. Saat ini, penggunaan obat batuk di kalangan ma-syarakat sudah begitu meluas. Banyak dari mere-ka yang pastinya pernah menggunakan obat batuk tertentu. Hal ini juga yang terjadi pada subjek da-lam penelitian ini. Subjek memilih untuk menggu-nakan obat batuk sebagai cara yang dapat dilaku-kan untuk mengatasi batuk yang mereka alami.

Mereka berpendapat bahwa obat batuk efektif da-lam mengurangi batuk mereka. Obat batuk terse-but mereka dapatkan secara swamedikasi di apo-tek (Tabel 5).

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan jumlah sub-

jek yang mengalami batuk berdahak (51%) de-ngan batuk kering (48%) tidak berbeda jauh. Ha-sil ini disebabkan bahwa batuk yang terjadi pada perokok memiliki karakteristik kering dan juga berdahak tergantung dari tingkat kategori pero-koknya. Selain itu, diketahui pula bahwa jumlah perokok ringan yang mengalami batuk kering lebih banyak dibandingkan perokok ringan yang mengalami batuk berdahak. Batuk berdahak lebih banyak dialami oleh perokok sedang dibanding-kan perokok ringan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Mahesh,21 bahwa perokok dengan kategori ringan (menghisap rokok <10 batang/hari) akan mengalami batuk dengan jenis tidak berdahak karena paparan asap rokok hanya mengiritasi saluran pernafasan saja, tetapi apabila aktivitas merokok terus meningkat hingga pero-kok tergolong dalam kategori sedang sampai berat maka perokok akan mengalami batuk jenis berda-hak. Peningkatan konsumsi rokok dapat dengan cepat menghasilkan penekanan terhadap sensitivi-tas refleks batuk.22 Asap rokok mengandung lebih dari 5200 bahan kimia dalam partikulat dan uap. Dari bahan kimia tersebut diketahui berbahaya yang dapat meningkatkan alergi pada saluran per-napasan yang pada akhirnya dapat menghambat kerja napas secara keseluruhan.23

Batuk yang diderita perokok dikenal dengan nama batuk perokok yang merupakan tanda awal adanya bronkitis yang terjadi karena paru-paru ti-dak mampu melepaskan mukus yang terdapat di dalam bronkus dengan cara normal. Batuk ini ter-jadi karena mukus menangkap serpihan bubuk hi-tam dan debu dari udara yang di hirup dan mence-gahnya agar tidak menyumbat paru-paru. Oleh karena sistem pernafasan tidak bekerja sempurna, maka perokok lebih mudah menderita radang paru- paru yang disebut bronkitis.24 Sumber lain me- ngatakan bahwa batuk yang dialami oleh perokok ringan awalnya berupa batuk kering (tidak menge-luarkan dahak) karena zat-zat dan partikel berba-haya yang ada di dalam rokok hanya mengiritasi

403

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

saluran pernafasan, tetapi pada tahap selanjutnya, jika perokok sudah berada di kategori berat, maka batuk menjadi berdahak dengan mekanisme ter-jadinya kerusakan sel-sel silia goblet yang telah dijelaskan sebelumnya.21

Sifat rokok yang menyebabkan kecanduan (adiktif) secara permanen yang menyebabkan kebiasaan merokok menjadi sesuatu yang sa-ngat sulit untuk dihilangkan. Kebiasaan merokok menyebabkan seseorang menjadi lebih egois, ber-kaitan dengan kebiasaan merokok didepan umum atau diruang publik. Perokok mengabaikan aturan (norma) dilarang merokok ditempat umum, yang sangat merugikan kesehatan orang lain karena menjadikan orang lain sebagai perokok pasif yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pero-kok aktif.24

Penggunaan obat batuk yang dilakukan oleh subjek, masih banyak yang tidak sesuai baik da-lam pemilihan obat batuk, maupun dari segi peng-gunaan. Subjek masih banyak yang salah dalam memilih obat batuk karena tidak sesuai dengan jenis batuk yang dialami. Contohnya, subjek yang mengalami batuk berdahak, justru menggunakan obat batuk golongan antitusif yang seharusnya digunakan pada batuk jenis kering. Seharusnya, obat golongan antitusif, tidak boleh diperuntukkan pada pasien yang mengalami batuk jenis berdahak karena golongan antitusif memiliki mekanisme un-tuk menekan batuk. Apabila pasien mengonsumsi obat batuk antitusif maka frekuensi batuk akan berkurang, dan risiko infeksi yang terjadi akan meningkat karena mukus tidak dapat dikeluar- kan dari saluran pernafasan.1,14,25

Beberapa perokok yang menggunakan obat batuk langsung ditenggak dari botolnya (obat ba-tuk cair) dan ada pula yang menghabiskan obat batuk cair dalam satu kali konsumsi. Hal tersebut membahayakan perokok karena dosis obat batuk yang dikonsumsi tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan atau perokok mengalami overdosis yang dapat membahayakan hingga berkibat ke-matian.26 Namun, pada penelitian ini perokok me- ngaku tidak mengalami dampak yang buruk dari penggunaan obat yang overdosis tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Tingkat pengetahuan subjek relatif baik

pada semua aspek, tetapi persepsi subjek terhadap

gejala batuk justru memiliki nilai rata-rata yang paling rendah dibandingkan aspek lainnya. Subjek merasa gejala batuk yang dialami disebabkan oleh rokok maupun asap rokok yang dihirup. Subjek juga merasa malu jika batuk timbul di area umum dan menganggap bahwa batuk yang dialaminya dapat mengganggu aktivitas sehari-sehari. Sub-jek memiliki persepsi bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi batuk adalah mengonsumsi obat batuk yang didapatkan sendiri di apotek. Subjek berpendapat bahwa obat batuk yang dikonsumsi dapat mengurangi kejadian ba-tuk yang disebabkan oleh merokok. Namun, masih banyak subjek yang tidak tepat dalam memilih dan menggunakan obat batuk.

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diberikan saran bahwa penelitian lebih lanjut ter- hadap perokok mulai dari batasan usia yang diper-bolehkan merokok sampai pada usia lanjut (diatas 40 tahun) untuk mengetahui besarnya faktor risiko perokok mengalami kejadian batuk dan sebaik- nya sampel penelitian (responden) yang digu-nakan adalah perokok dengan jenis kelamin laki-laki saja karena hasilnya tidak representa-tif. Jumlah responden laki-laki jauh lebih besar dibandingkan jumlah responden perempuan. Latar belakang pekerjaan juga perlu dikembangkan de- ngan dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap perokok dengan lingkup sosial ekonomi yang lebih luas, sehingga hasil yang didapatkan bukan hanya gambaran dari lingkup mahasiswa saja, tetapi juga dari lingkup dengan status sosial ekonomi yang lebih luas. Selain itu, perlu ditetapkan kriteria in-klusi sampel penelitian yang lebih ketat lagi dari segi penggunaan rokok, riwayat penyakit keluar-ga, dan faktor penyebab batuk selain rokok agar sampel penelitian yang didapatkan, bisa membe- rikan hasil penelitian yang sesuai dan tepat dengan tujuan penelitian. Apabila memungkinkan, bisa juga dilakukan pemeriksaan pada perokok sebagai sampel penelitian untuk memastikan tidak ada penyakit atau risiko penyakit yang berhubungan dengan timbulnya kejadian batuk.

Apoteker dapat mulai mengenalkan diri ke masyarakat dan bertanggung jawab terhadap se- tiap pelayanan kefarmasian yang dilakukan de-ngan terjun langsung ke masyarakat untuk mem-berikan pelayanan Konsultasi, Informasi, dan Edu-kasi (KIE) obat-obatan, agar persepsi masyarakat

404

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok

terhadap peran apoteker dapat berubah menjadi lebih baik lagi, sehingga akan terjalin suatu kerja sama yang baik dalam mencapai tujuan terapi.

DAFTAR PUSTAKA1. Blasio, F.D., Virchow, J.C., Polverino, M., Za-

nasi, A., Behrakis, P.K., Kilinc, G., Balsamo, R., Danieli, G.D., Lanata, L. Cough Manage-ment: A Practical Approach. Cough. 2011;7:7

2. Chung, K.F., Pavord, I.D. Prevalence, Patho-genesis, And Causes Of Chronic Cough. Lan-cet. 2008;371(9621):1364-1374.

3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2018. [Diakses 20 Agustus 2018]. Avail-able at: https://goldcopd.org/wp-content/up-loads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-re-vised-20-Nov_WMS.pdf.

4. Infodatin (Pusat Data dan Informasi Kement-erian Kesehatan RI). Perilaku Merokok Mas-yarakat Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kese-hatan Kemeterian Kesehatan RI. Riset Kese-hatan Dasar: Riskesdas 2013.2013. [Diakses 20 Agustus 2018]. Available at: http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf.

6. World Health Organization. Global Helath Observatory (GHO) Data: Prevalence of To-bacco Smoking. 2015. [Diakses 20 Agustus 2018]. Available at: http://www.who.int/gho/tobacco/use/en/.

7. Benjamin. R.M. Exposure to Tobacco Smoke Causes Immediate Damage: A Report of the Surgeon General. Public Health Rep. 2011;126(2):158-159.

8. Talhout, R., Schulz, T., Florek, E., Benthem, J.V., Wester, P., Opperhuizen, A. Hazardous Compounds in Tobacco Smoke. Int J Environ Res Public Health. 2011;8(2):613-628.

9. Kloosterboer, S.M., McGuire, T., Deckx, L., Moses, G., Verheij, T., Van Driel, M.L. Self-Medication for Cough and the Common Cold: Information Needs of Consumers. Aust Fam Physician. 2015;44(7):497-501.

10. Chung,K.F., Widdicombe, J.G., Boushey,

H.A. Cough: Cause, Mechanisms anda Ther-apy. UK: Blackwell Publishing. 2003.

11. Marshall, S. Over The Counter Advice for Cough. The Pharmaceutical Journal. 2007;278:85.

12. Smith, S.M., Schroeder, K., Fahey, T. Over-the Counter (OTC) Medications for Acute Cough in Children and Adults in Ambulatory Settings. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2012;8:CD001831.

13. Liu, Y., Di, Y.P. Effects of Second Hand Smoke on Airway Secretion and Mucociliary Clearance. Front Physiol. 2012;3:342.

14. Ramsay, J., Wright, C., Thompson, R., Hull, D., Morice, A.H. Assessment of Antitussive Efficacy of Dextromethorphan in Smoking Related Cough: Objective vs. Subjective Mea-sures. Br J Clin Pharmacol. 2008;65(5):737-41.

15. Zhang, T., Zhou, X. Clinical Application of Expectorant Therapy in Chronic Inflammato-ry Airway Diseases (Review). Exp Ther Med. 2014;7(4):763-767.

16. Atmoko, W., Kurniawati, I. Swamedikasi: Sebuah Respon Realistik Perilaku Konsumen Dimasa Krisis. Bisnis dan Kewirausahaan. 2009;2(3):233-247.

17. Harahap, N.A., Khairunnisa, Tanuwijaya, J. Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasiona- litas Swamedikasi di Tiga Apotek Kota Pa-nyabungan. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2017;3(2):186-192.

18. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta. 2007.

19. Supardi, S., Sampurnom O.D., Notosiswoy-om M. Pengaruh Metode Ceramah dan Media Leaflet terhadap Perilaku Pengobatan Sendiri yang Sesuai dengan Aturan. Buletin Penelitian Kesehatan. 2002;30(3):128-138.

20. Panda, A., Pradhan, S., Mohapatro, G., Ksha-tri, J.S. Predictors of Over the Counter Med-ication: A Cross Sectional Indian study. Per-spectives in Clinical Research. 2017;8(2):79-84.

21. Mahesh, P.A., Jayaraj, B.S., Prabhakar, A.K., Chaya, S.K., Vijayasimha, R. Prevalence of

405

Amelia Lorensia : Evaluasi Pengetahuan dan Persepsi Obat Batuk Swamedikasi oleh Perokok JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Chronic Cough, Chronic Phlegm and Associ-ated Factors in Mysore, Karnataka, India. In-dian J Med Res. 2011;134(1):91-100.

22. Sitkauskiene, B., Dicpinigaitis, P.V. Effect of Smoking on Cough Reflex Sensitivity in Hu-mans. Lung. 2010;188(1):S29-32.

23. Montefort, S., Ellui, P., Montefort, M., Caru-ana, S., Grech, V., Muscat, A.H. The Effect of Cigarette Smoking on Allergic Conditions in Maltese Children (ISAAC). Pediatric Allergy Immunology. 2012;23:472-478.

24. Nururrahmah. Pengaruh Rokok terhadap Ke-

sehatan dan Pembentukan Karakter Manusia. Prosiding Seminar nasional. 2014;1(1):77-84.

25. Dicpinigaitis, P.V., Morice, A.H., Brinring, S.S., McGarvey, L., Smith, J.A., Canning, B.J., Page, C.P. Antitussive Drugs Past, Pre- sent, and Future. Pharmacological Reviews. 2014;66(2):468-512.

26. Monte, A.A., Chung, R., Bodmer, M. Dex-tromethorphan, Chlorphenamine and Sero-tonin Toxicity: Case Report and Systema- tic Literature Review. Br J Clin Pharmacol. 2010;70(6):794-798.

406

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

Behavior Analysis and Attributed Factors to Non Prescription Antibiotic Used in Surabaya

Dewi Paskalia Andi Djawaria1, Adji Prayitno Setiadi2,3*, Eko Setiawan2,3

1Program Magister Ilmu Farmasi, Universitas Surabaya, Surabaya 60293, Indonesia2Departemen Farmasi Klinis dan Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya

3Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOLK), Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya

(*[email protected])

ABSTRAKPerilaku dan faktor dominan penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep di Surabaya belum diketahui

secara pasti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifkasi perilaku dan faktor yang paling mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep. Penelitian dengan desain potong lintang dilakukan pada masyarakat yang mem-beli antibiotik tanpa resep dokter di 90 apotek di Surabaya selama bulan Desember 2014-April 2015. Identifikasi perilaku dilakukan melalui 8 pertanyaan majemuk, dan identifikasi faktor dilakukan melalui dua metode statistik, yakni analisis deskriptif melalui perbandingan mean pertanyaan dalam masing-masing tema faktor, dan analisis faktor menggunakan orthogonal rotation (varimax). Total 267 responden terlibat dalam penelitian. Mayoritas masyarakat yang membeli antibiotik tanpa resep dokter berusia 21-30 tahun (36,33%), membeli dengan frekuensi 1 kali/bulan (45,70%), membeli untuk diri sendiri (56,55%), membeli segera setelah gejala muncul (33,70%), membeli untuk indikasi pilek/flu (21,30%). Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif ditemukan bahwa tema “hal-hal yang mendorong” merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep di apotek. Pada metode analisis faktor, nilai cumulative percent total variance explained adalah sebesar 48,03%, dengan nilai ter-besar pada faktor pertama yakni sebesar 23,91%. Faktor paling mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep adalah kemudahan akses memperoleh antibiotik dan penghematan biaya. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan metode intervensi yang tepat untuk menanggulangi permasalahan penggunaan antibiotik tanpa resep di apotek. Dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor penyebab perilaku tersebut, apoteker tidak seha-rusnya dituduh sebagai satu-satunya pihak penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep.Kata kunci : Antibiotik, apoteker komunitas, obat tanpa resep

ABSTRACTThere is limited information regarding the behavior and determinant factors of non-prescribed use of anti-

bioticsin Surabaya. The purpose of this study was to identify the behavior and the most influential factors in using antibiotics without prescription. This was a cross sectional studyconducted insubjects who bought antibiotics with-out prescription in 90 pharmacies in Surabaya during December 2014-April 2015. Eight complex questions were used to identify the behavior. The contributing factors of non-prescription behavior were identified by using two statistical methods, including: descriptive analysis by comparing the mean of the questions in each factor theme, and factor analysis using orthogonal rotation (varimax). There were 267 respondents involved in this study. The majority of respondents who bought antibiotics without prescription ranged from age 21-30 years old (36.33%), frequency buying antibiotics 1/month (45.70%), intended for themselves (56.55%), buying antibiotics soon after the symptoms appeared (33.70%), and intended for runny nose/flu indication (21.30%). Based on the descriptive statistic, the theme “aspects that encourage” was found as the factor contributed to the use of antibiotics without prescription. The value of cumulative percent total variance found in the factor analysis method explained was 48.03%, with the biggest value on the first factor that was 23.91%. The most influential factor was the ease of ac-cess to get the antibiotics and the saving of money. The results of this study can be used to determine the appropri-ate intervention to deal with the use of antibiotics without prescription in the pharmacies.Considering the complex causes of such behavior, pharmacist should not be blamed as the only cause of non-prescribed use of antibiotics.Keywords: Antibiotics, community pharmacist, non-presribed use of medicine

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5080

407

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

PENDAHULUANPenyakit infeksi merupakan salah satu ma-

salah kesehatan yang seringkali menyebabkan pa-sien mencari pertolongan tenaga kesehatan. Data dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa penya-kit infeksi menyebabkan 27,1 juta kunjungan pa-sien ke praktek dokter pada tahun 2009 dan 3,2 juta kunjungan rawat jalan rumah sakit pada ta-hun 2010.1,2 Tingginya jumlah penyakit infeksi di dunia menyebabkan antibiotik menjadi salah satu obat yang paling banyak digunakan. Data dari Eu-ropean Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) pada tahun 2010 menunjukkan konsumsi antibiotik untuk pemakaian non-topikal di komu-nitas berkisar antara 11,1-34,9 defined daily dose (DDD)/1.000 jiwa per hari.3,4

Salah satu permasalahan terkait penggunaan antibiotik di komunitas adalah penggunaan anti-biotik tanpa resep dokter dan fenomena tersebut merupakan masalah kesehatan global.5-10 Bebera-pa penelitian di negara berkembang menunjukkan tingginya penggunaan antibiotik tanpa resep dok-ter.9,10 Permasalahan penggunaan antibiotik tan-pa resep dokter juga terjadi di Indonesia.11 Bukti penelitian dengan setting Indonesia terkait peng-gunaan antibiotik tanpa resep dokter didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Widayati et al. Penelitian yang dilakukan terhadap 559 responden menunjukkan bahwa terdapat 324 (58,00%) res- ponden berniat melakukan swamedikasi dengan antibiotik.11 Prevalensi penggunaan antibiotik tan-pa resep selama 1 bulan terakhir adalah 7,30%.11 Bukti-bukti penelitian terpublikasi baik di setting Indonesia maupun non-Indonesia mempertegas tingginya frekuensi penggunaan antibiotik tan-pa resep dokter secara global yang apabila tidak segera dikendalikan dapat menyebabkan kon-sekuensi yang lebih berbahaya bagi dunia keseha-tan secara global.

Penggunaan antibiotik tanpa resep dokter berpotensi menimbulkan berbagai macam risiko antara lain: 1) peningkatan jumlah kasus infeksi yang disebabkan bakteri patogen yang resisten; 2) peningkatan risiko terjadinya kejadian obat yang tidak dikehendaki (adverse drug events); 3) penurunan efektivitas terapi, dan 4) peningkatan biaya kesehatan.12-17 Resistensi mikroorganisme penyebab infeksi terhadap antibiotik merupakan salah satu risiko paling besar yang perlu diwaspa-

dai. Pada praktek penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, antibiotik yang digunakan umum-nya adalah antibiotik dengan spektrum luas seperti golongan penisilin dan sefalosporin yang hingga saat ini direkomendasikan penggunaannya sebagai antibiotik lini pertama untuk mengatasi berbagai infeksi di rumah sakit.9-11,18,19 Peningkatan peng-gunaan antibiotik lini pertama tersebut terbukti meningkatkan temuan kasus infeksi oleh patogen yang resistensi terhadap antibiotik lini pertama. Data dari World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa resistensi terhadap antibiotik lini pertama, mengharuskan penggunaan antibio- tik lini berikutnya yang seringkali lebih mahal harganya.20 Data tersebut perlu menjadi catatan penting bagi pemerintah Indonesia yang telah mengimplementasikan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain konsekuensi dari perspek-tif ekonomi, peningkatan penggunaan antibiotik lini lanjutan secara berulang, berpotensi mening-katkan risiko resistensi terhadap antibiotik terse-but. Risiko resistensi terhadap antibiotik lini lanju-tan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak khususnya pemerintah dengan memper-timbangkan lambatnya laju penemuan antibiotik dibandingkan laju resistensinya.21 Apabila tidak segera mendapatkan intervensi yang tepat, bukan hal yang mustahil peradaban manusia akan teran-cam oleh serangan kasus infeksi yang tidak bisa disembuhkan.

Intervensi yang efektif dan efisien perlu dilakukan untuk memperbaiki perilaku penggu-naan antibiotik secara swamedikasi di apotek. Se-bagai upaya untuk menghasilkan intervensi yang efektif dan efisien perlu dilakukan penggalian faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep di apotek. Sampai saat ini belum terdapat bukti penelitian terpublikasi yang memetakan faktor utama yang menyebabkan ma-syarakat Indonesia menggunakan antibiotik tanpa resep dokter. Tanpa data tersebut, dikhawatirkan akan dihasilkan metode intervensi yang tidak te-pat sasaran. Tujuan penelitian ini adalah melihat perilaku dan menentukan faktor yang paling mem-pengaruhi penggunaan antibiotik tanpa resep dok-ter pada setting komunitas, yakni apotek, di Kota Surabaya.

408

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

BAHAN DAN METODEProses analisis faktor penyebab perilaku

pembelian antibiotik tanpa resep dokter dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah valid dan reliabel.22 Proses pengembangan kuesioner dan uji validasi serta reliabilitas kuesioner dapat dilihat pada artikel yang telah terpublikasi terse-but.22 Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua (2) bagian utama, yakni: bagian pertama yang bertujuan untuk memetakan pe-rilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di apotek (terdiri dari delapan pertanyaan dengan pi-lihan jawaban manjemuk) dan bagian kedua yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep dokter (terdiri dari 14 pertanyaan rating).22 Nilai Cronbach’s Al-pha untuk bagian kedua kuesioner adalah 0,883.22

Total terdapat 5 tema faktor penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yang dipetakan da-lam 14 pertanyaan bagian kedua, yakni: 1) persep-si dan perilaku penggunaan antibiotik oleh pasien; 2) hal-hal yang mendorong penggunaan antibio-tik tanpa resep dokter; 3) hal-hal yang mencegah penggunaan antibiotik tanpa resep dokter; 4) per-sonil yang mendorong/memfasilitasi penggunaan antibiotik tanpa resep dokter; 5) aspek legal.

Responden dalam penelitian ini adalah pa-sien dewasa yang membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek. Proses identifikasi responden dilakukan secara purposive kepada setiap pasien yang membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek. Proses pemilihan apotek sebagai lokasi penelitian dilakukan melalui proses randomisasi. Data apotek yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur digunakan sebagai sampling frame dalam penelitian ini. Kriteria eksklusi yang dikenakan pada saat pemilihan apotek adalah apo-tek yang berada di rumah sakit, klinik kecantikan, praktek dokter bersama, dan klinik pengobatan.Penentuan apotek yang menjadi lokasi penyebaran kuesioner dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling dengan menggunakan tab- le of random numbers.

Pemilihan responden penelitian dilakukan secara purposive sampling, yakni dengan mem-berikan kuesioner kepada pengunjung apotek yang diketahui membeli antibiotik tanpa resep dokter pada saat tim peneliti melakukan kunjungan ke apotek. Sebanyak 2-4 masyarakat yang membe-

li antibiotik tanpa resep dokter per-apotek pada saat tim peneliti melakukan kunjungan ke apotek diambil sebagai responden penelitian. Proses ran-domisasi dengan menggunakan responden yang dalam hal ini adalah pembeli antibiotik tanpa resep dokter tidak dapat dilakukan karena ketiadaan sampling frame. Kesediaan responden untuk ikut serta dalam penelitian dibuktikan dengan mengisi informed consent. Proses perizinan terhadap pemi-lik sarana apotek dilakukan sebelum menyebarkan kuesioner.

Jumlah apotek yang menjadi lokasi pene-litian dihitung dengan menggunakan rumus Slo-vin.23 Data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur tahun 2013 menunjukkan bahwa ter-dapat 855 apotek di Kota Surabaya. Penghitungan besar sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:23

Keterangan : n = jumlah sampel; N =jumlah populasi; e= batas toleransi kesalahan, dalam per-hitungan ini digunakan batas toleransi kesalahan sebesar 10%.

Berdasarkan lokasi, apotek dari data Dinkes Provinsi Jawa Timur tersebut kemudian dika- tegorikan ke dalam lima wilayah Kota Surabaya, yaitu: Surabaya Timur, Surabaya Selatan, Sura-baya Barat, Surabaya Utara, dan Surabaya Pusat. Jumlah apotek pada masing-masing wilayah yang digunakan sebagai sampel diambil secara propor-sional dengan perhitungan sebagai berikut:

Keterangan : n= jumlah apotek per wilayah

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, detail jumlah apotek tempat pengambilan sam-pel untuk masing-masing wilayah adalah sebagai berikut: 37 apotek di Surabaya Timur, 21 apotek di Surabaya Selatan, 10 apotek di Surabaya Pusat, 13 apotek di Surabaya Barat, dan 9 apotek di Sura-baya Utara.

Analisis jawaban pertanyaan rating dilaku-kan melalui dua metode, yakni metode analisis deskriptif melalui perbandingan mean pertanyaan dalam masing-masing domain faktor dan metode

409

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

analisis faktor. Domain faktor dengan mean paling besar dianggap sebagai domain faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku penggunaan an-tibiotik tanpa resep dokter. Analisis deskriptif ter-hadap lima domain faktor dilakukan untuk mem-berikan gambaran besar domain dalam Theory of Planned Behaviour yang dominan berkontribusi terhadap perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter.

Analisis faktor (factor analysis) dilakukan dengan metode orthogonal rotation (varimax).Cut-off point untuk nilai R yang dianggap me-menuhi syarat dalam analisis faktor adalah ≥0,400. Kesesuaian jumlah sampel untuk dianalisis de-ngan menggunakan analisis faktor ditunjukkan melalui nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) measure of sample adequacy. Jumlah sampel dinyatakan sesuai untuk dianalisis dengan analisis faktor apa-bila nilai KMO >0,500. Analisis faktor dilakukan terhadap 10 tema penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Dengan demikian, hasil ana-lis faktor akan memberikan gambaran yang lebih detail dari analisis deskriptif. Analisis pertanyaan majemuk kuesioner dilakukan dengan menggu-nakan analisis data deskriptif yang digambarkan dengan perbandingan frekuensi pilihan jawaban yang paling sering muncul (modus). Keseluruhan proses ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 20.0.

HASILTotal terdapat 267 responden yang terlibat

dalam penelitian ini, 109 orang (40,82%) pasien berjenis kelamin laki-laki dan 158 orang (59,18%) pasien berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden yang ikut serta dalam penelitian ber-ada pada rentang usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 97 orang (36,33%). Data karakteristik responden selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil analisis bagian pertama kuesioner, yakni delapan pertanyaan dengan jawaban ma-jemuk pada kuesioner yang bertujuan untuk me-metakan perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di apotek dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan pertanyaan majemuk tersebut, diper-oleh hasil bahwa 63 pasien (23,60%) sering mem-beli antibiotik tanpa resep di apotek, 203 orang (76,00%) jarang membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek, sedangkan satu pasien (0,37%)

tidak menjawab pertanyaan ini. Sebanyak 122 pa-sien (45,70%) membeli antibiotik dengan frekuen-si 1 kali/bulan, dan hanya 9 pasien (3,40%) yang membeli antibiotik dengan frekuensi 2-3 kali/minggu. Sebanyak 151 pasien (56,55%) membeli antibiotik untuk diri sendiri dan 25 pasien (9,36%) membeli antibiotik untuk orang lain.

Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif ter-hadap 14 pertanyaan rating yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab penggunaan an-tibiotik tanpa resep dokter dapat dilihat pada Ta-bel 3 (detail pertanyaan untuk bagian kedua kue-sioner tidak ditampilkan). Hasil analisis deskriptif tersebut menegaskan bahwa faktor yang dominan mempengaruhi perilaku pembelian antibiotik tan-pa resep dokter adalah “hal-hal yang mendorong”

Tabel 1. Karakteristik Responden PenelitianKarakteristik n=267 %

Umur15-20 tahun21-30 tahun31-40 tahun41-50 tahun51-60 tahun>60 tahun

Jenis KelaminLaki-lakiPerempuan

PendidikanSD/sederajatSMP/sederajatSMA/sederajatDiploma/Strata 1PascasarjanaNA

PekerjaanPelajar/mahasiswaIbu rumah tanggaWiraswastaPNS/BUMN/ TNI-PolriPekerja di bidang kesehatanKaryawan/karyawatiTidak bekerjaGuruKuli NA

299760511911

109158

61212552666

312695582014176

10,8636,3322,4719,107,124,12

40,8259,18

2,254,4946,8219,482,2524,71

11,619,7435,581,873,007,480,371,500,3728,46

NA : Not alvailable (responden tidak memberikan jawaban); SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menegah Pertama; SMA: Sekolah Menegah Atas; PNS: Pegawai Negeri Sipil; BUMN: Pegawai Badan Usaha Milik Negara; TNI-Polri : Tentara Nasional Indonesia- Kepolisisan Republik Indonesia.

410

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

Tabel 2a. Perilaku Pembelian Antibiotik Tanpa Resep Dokter di ApotekNo. Pertanyaan n %1

2

3

4

5

Seberapa sering Bapak/Ibu membeli antibiotik tanpa resep dokter?JarangSering

Berapa kali Bapak/Ibu biasanya membeli antibiotik tanpa resep dokter?1x/bulan3x/bulan2x/bulan1x/minggu>3x/minggu2-3 kali/mingguTidak menjawab

Biasanya antibiotik yang saya beli tanpa resep dokter akan digunakan oleh :Diri sendiriDiri sendiri dan orang lainOrang lainTidak menjawab

Kapan Bapak/Ibu memutuskan untuk menggunakan antibiotik tanpa resep dokter?

Segera setelah muncul gejalaJika tidak kunjung sembuhJika gejala yang dirasakan cukup parahJika gejala cukup parah dan tidak kunjung sembuh*Segera setelah munculnya gejala penyakit dan jika tidak kunjung sembuh*Segera setelah muncul gejala, jika gejala yang dirasakan cukup parah, jika tidak kunjung sembuh*Tidak menjawab

Antibiotik untuk penggunaan tanpa resep dokter diperoleh dari :ApotekSisa dari resep dokter sebelumnyaDiberi oleh teman/keluargaApotek dan sisa dokter sebelumnya*Apotek dan kios*Apotek dan diberi oleh teman/keluarga*Apotek, sisa resep dokter sebelumnya, diberi oleh teman/keluarga*Kios Sisa dari tetanggaSisa dari resep dokter sebelumnya, diberi oleh teman/keluarga*Lainnya Semua pilihan jawaban**Tidak menjawab

20364

12256272115917

15189252

9077731283

4

13732242014128743114

76,0024,00

45,7021,0010,107,905,603,406,30

56,6033,309.400,70

33,7028,8427,344,503,001,12

1,50

51,3012,009,007,505,204,503,002,601,501,100,400,401,50

perilaku pembelian antibiotik tanpa resep. “Hal-hal yang mendorong” dalam penelitian ini ada-lah pengalaman penggunaan antibiotik sebelum-nya, perilaku peresepan dokter, dan akses untuk memperoleh antibiotik. Faktor yang paling tidak dominan mempengaruhi perilaku pembelian an-tibiotik tanpa resep dokter adalah “faktor hal-hal yang mencegah perilaku pembelian antibiotik tan-pa resep dokter di apotek”. Faktor ini meliputi isu

keamanan, efek samping, dan pengetahuan akan bahaya penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di apotek.

Hasil analisis faktor terhadap 14 pertanyaan kuesioner dipaparkan secara detail pada Tabel 4. Hasil analisis dengan KMO measure of sampling adequacy menunjukkan nilai sebesar 0,749. Nilai cumulative percent total variance explained ada-lah sebesar 48,03%. Analisis faktor terhadap 14

411

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Tabel 2b. Perilaku Pembelian Antibiotik Tanpa Resep Dokter di ApotekNo. Pertanyaan n %6

7

8

Siapakah yang menyarankan Bapak/Ibu membeli antibiotik tanpa resep dokter?Teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatanKeluargaTenaga kesehatan di apotekDiri sendiriTeman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatanKeluarga dan tetangga*Keluarga dan teman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatanKeluarga dan tenaga kesehatan di apotek*Keluarga, teman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatan, teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatan*Tenaga kesehatan di apotek dan teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatan*Keluarga, tetangga, teman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatan*Tetangga Keluarga, tenaga kesehata ndi apotek, tetangga*Tetangga dan teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatan*Keluarga dan teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatan*Teman/kerabat yang bekerja dan tidak bekerja di bidang kesehatan*Keluarga, tetangga, teman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatan*Keluarga dan orang penting di desaOrang penting di desaKeluarga dan diri sendiriTetangga dan teman/kerabat yang tidak bekerja di bidang kesehatan*Tetangga, teman/kerabat yang bekerja dan tidak bekerja di bidang kesehatan*Tetangga, keluarga, teman/kerabat yang bekerja di bidang kesehatan*Tidak menjawabMenurut saya, obat dalam resep dokter yang tidak saya butuhkan untuk penyakit infeksi saya:VitaminAnti nyeriPenurun panasPenurun panas dan anti nyeri*Vitamin dan penurun panas*Vitamin dan anti nyeri*Vitamin, penurun panas, anti nyeri*AntibiotikTidak menjawabSaya akan langsung membeli dan menggunakan antibiotik tanpa resep apabila saya mengalami :Pilek/fluDemam BatukBatuk dan pilek/flu*Demam, pilek/flu, batuk*Demam dan pilek/flu*Radang tenggorokanNyeriSakit gigiInfeksiLuka/luka bakarDemam dan batukGatal-gatalSakit yang parahDemam, sakit gigi, sakit perutTidak menjawab

655630171211111010

955433221111116

13347448332126

5753472222141110752211112

24,3021,0011,206,404,504,104,103,703,70

3,401,901,901,501,101,100,700,700,400,400,400,400,400,402,20

49,8017,6016,503,001,101,100,700,409,70

21,3019,9017,608,208,205,204,103,702,601,900,700,700,400,400,404,50

412

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

pertanyaan kuesioner (Tabel 4) menemukan 3 underlying factors yang mempengaruhi perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, yaitu: 1) Kemudahan akses memperoleh antibiotik dan penghematan biaya (cumulative percent total vari-ance explained sebesar 23,91%), 2) Pengetahuan yang keliru terkait penggunaan/manfaat antibiotik (cumulative percent total variance explained sebe-sar 14,93%), dan 3) Kurangnya pemahaman me- ngenai kompetensi dan kewenangan profesi tena-ga kesehatan (cumulative percent total variance explained sebesar 9,19%).

PEMBAHASANPenelitian ini merupakan penelitian yang

mengeksplorasi faktor penyebab perilaku peng-gunaan antibiotik tanpa resep dokter di komuni-tas dari perspektif pengguna akhir antibiotik yang dalam hal ini adalah masyarakat yang melakukan praktek pembelian antibiotik tanpa resep. Ter-dapat sebuah penelitian yang menghitung jum-lah apotek di Surabaya yang melayani pembelian antibiotik tanpa resep dokter.24 Puspitasari et al. menyatakan terdapat 90% dari 80 sampel apotek melayani pembelian antibiotik tanpa resep dokter. Tidak terdapat informasi penyebab perilaku dari sisi masyarakat sebagai pembeli antibiotik dalam penelitian tersebut. Tanpa adanya informasi terkait faktor penyebab masyarakat menggunakan anti-biotik tanpa resep dokter, dikhawatirkan adanya kecenderungan untuk menyalahkan pekerja apo-tek sebagai aktor utama pencetus perilaku penggu-naan antibiotik tanpa resep dokter. Kecenderungan tersebut akan memicu dihasilkannya intervensi yang dapat merugikan pekerja apotek dan tidak menyelesaikan akar permasalahan utama penye-bab perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep

dokter. Oleh karena itu, informasi terkait perilaku dan penyebab masyarakat dalam menggunakan antibiotik tanpa resep dokter diharapkan dapat me-mungkinkan pihak-pihat terkait, termasuk peme- rintah melakukan intervensi yang tepat pada pihak yang tepat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 58,80% pasien yang membeli antibiotik tanpa resep dokter di apotek berada pada rentang usia 21-40 tahun. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian dari Abasaeed et al. dan Bin Nafisah et al.10,25 Hasil penelitian yang dilakukan di Suraba-ya dan diperkuat dengan bukti-bukti terpublikasi tersebut menegaskan besarnya penggunaan antibi-otik tanpa resep dokter oleh populasi pada rentang usia produktif. Salah satu pertimbangan kelompok usia produktif dalam menggunakan antibiotik tan-pa resep dokter adalah efektivitas biaya. Penelitian Khan et al. di India terhadap 744 pasien usia pro-duktif (18-50 tahun) menyatakan bahwa 88,00% responden menggunakan antibiotik tanpa resep dokter karena merasa lebih efektif secara biaya.9 Efektivitas biaya dalam hal ini tidak hanya tim-bul karena penghematan biaya yang seharusnya dibutuhkan untuk mendapatkan layanan di pusat layanan kesehatan saja, tetapi juga karena dapat mencegah kemungkinan hilangnya produktivitas sebagai akibat sakit yang dialami. Penggunaan an-tibiotik tanpa resep dipersepsikan oleh masyarakat dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit sehingga pasien tidak kehilangan banyak waktu untuk bekerja.

Mayoritas responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa antibiotik tanpa resep dokter diperoleh dari apotek (51,31%). Banyaknya war-ga Surabaya yang mendapatkan antibiotik dari apotek juga ditemukan di bagian Indonesia lain. Hasil penelitian oleh Widayati et al. di Yogyakarta yang menemukan bahwa 64,00% antibiotik untuk penggunaan tanpa resep diperoleh dari apotek.26

Program intervensi secara masal di Indonesia yang ditujukan untuk memperbaiki persepsi masyarakat awam terkait penggunaan antibiotik perlu dibuat. Salah satu program intervensi yang terbukti efektif mengendalikan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter adalah program kampanye yang diprogram-kan secara serentak dan sistematis di suatu negara. Program intervensi berupa kampanye serentak te-lah dilakukan di Perancis dan menunjukkan efekti-

Tabel 3. Karakteristik Responden PenelitianNo Domain Mean1

2

3

4

5

Persepsi dan perilaku penggunaan antibiotik oleh pasienHal-hal yang mendorong penggunaan antibiotik tanpa resep di apotekHal-hal yang mencegah penggunaan antibiotik tanpa resep di apotekPersonel yang mendorong penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di apotekAspek legal

2,678

2,823

2,547

-

2,680

413

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

vitas dalam menurunkan jumlah peresepan antibio- tik untuk gejala flu like syndrome sebesar 26,50% (95%CI=19,60%-33,50%) di seluruh wilayah Perancis dalam kurun waktu 5 tahun.27 Kampanye serupa juga sedang dilakukan di Thailand, yang berdasarkan publikasi terakhir telah mencapai fase ke-3 yang bertujuan memperkuat kerjasama dan mencari cara untuk memperluas implementasi program intervensi.28 Melihat adanya kedekatan secara geologis, metode kampanye yang dilaku-kan di Thailand sangat mungkin diadopsi di Indo-nesia dengan berbagai penyesuaian. Pelaksanaan program serupa diharapkan dapat membantu me- ngurangi penggunaan antibiotik swamedikasi di Indonesia.

Hasil lain terkait perilaku penggunaan anti-biotik tanpa resep dokter dalam penelitian ini yang perlu mendapat perhatian adalah terdapat 11,98% pasien yang menggunakan antibiotik sisa resep dokter sebelumnya untuk swamedikasi antibio-tik. Perilaku tersebut juga ditemukan dalam buk-ti penelitian terpublikasi yang lain. Grigoriyan et al. juga menunjukkan bahwa riwayat penggunaan antibiotik dengan resep dokter dalam 1 tahun sebe- lumnya, meningkatkan risiko swamedikasi dengan antibiotik sisa pengobatan (leftover antibiotics).29

Fenomena swamedikasi dengan menggunakan

antibiotik sisa dari resep sebelumnya juga dapat menandakan kurangnya kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik. Sebuah bukti penelitian terpublikasi menunjukkan fenomena ketidakpatuh- an penggunaan antibiotik. Hasil penelitian oleh Suaifan et al. terhadap 679 responden mahasiswa di Yordania yang menunjukkan bahwa 61,20% res- ponden tidak menyelesaikan penggunaan antibio-tik sesuai durasi yang seharusnya, 5,50% respon-den mengurangi dosis antibiotik tanpa berkon-sultasi ke dokter, dan 11,20% responden meng-hentikan penggunaan antibiotik tanpa berkonsul-tasi ke dokter.30 Alasan terbesar responden tidak menyelesaikan penggunaan antibiotik sesuai an-juran dokter adalah responden telah merasa lebih baik (59,10%) dan lupa atau tidak punya waktu (14,30%).30 Penelitian lebih lanjut terkait kepatu-han penggunaan antibiotik dengan setting Indone-sia perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran utuh dari fenomena perilaku swamedikasi dengan antibiotik sisa pengobatan.

Sebanyak 65 pasien (24,34%) menggunakan antibiotik tanpa resep dokter karena disarankan oleh teman/kerabat yang bekerja di bidang kese-hatan dan hanya satu orang (0,38%) yang meng-gunakan antibiotik karena disarankan oleh orang penting di desa. Hasil penelitian ini mempertegas

Tabel 4. Analisis Faktor Pembelian Antibiotik Tanpa Resep Dokter di ApotekTotal Variance Explained

Compo-nent

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Rotation Sums of Squared Loadings

Total % of variance

Cumulative % Total % of

varianceCumulative

% Total % of variance

Cumulative %

1234567891011121314

3,3472,0901,2880,9900,9400,8470,7690,7400,6740,5840,5360,4420,4160,337

23,90714,9299,1987,0696,7176,0495,4925,2844,8174,1733,8283,1602,9702,406

23,90738,83748,03455,10461,82067,86973,36178,64583,46287,63691,46394,62397,594100,000

3,3472,0901,288

23,90714,9299,198

23,90738,83748,034

2,8471,9721,906

20,33714,08613,611

20,33734,42348,034

Extraction Method: Principal Component Analysis

414

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

besarnya pengaruh lingkungan sekitar dalam me-nentukan sebuah perilaku. Bukti penelitian yang dilakukan di negara lain menunjukkan besarnya pengaruh apoteker dalam perilaku penggunaan an-tibiotik tanpa resep dokter.31 Perbedaan antara ha-sil penelitian ini dan penelitian di negara lain dapat dipicu oleh perbedaan kultur dan budaya yang ada di negara-negara tersebut yang menyebabkan per-bedaan model interaksi masyarakatnya. Besarnya perilaku penggunaan yang didasarkan pada saran kerabat dalam penelitian ini mempertegas model masyarakat Indonesia yang sangat komunal. Salah satu ciri masyarakat komunal adalah kepercayaan terhadap kerabat yang sangat kuat, bahkan melebi-hi kepercayaan terhadap tenaga kesehatan.

Antibiotik dalam penelitian ini digunakan oleh pasien untuk mengatasi indikasi pilek/flu (57 pasien/21,35%), demam (53 pasien/19,85%) dan batuk (47 pasien/17,60%). Beberapa peneli-tian terpublikasi juga menegaskan beberapa gejala tersebut menjadi penyebab utama pasien membeli antibiotik tanpa resep dokter.31,32 Penggunaan an-tibiotik untuk flu dan diare merupakan praktek penggunaan antibiotik untuk indikasi yang kurang tepat. Flu dan diare umumnya disebabkan oleh virus, bukan bakteri, sehingga tidak memerlukan terapi antibiotik. Selain tidak diperlukan, peng-gunaan antibiotik tanpa resep dokter juga berpo-tensi menyebabkan penundaan pemeriksaan diri ke dokter yang pada akhirnya akan menempatkan pasien pada risiko tertinggi mengalami kegagalan diagnosis kemungkinan adanya penyakit yang se-rius, seperti tuberculosis.33

Hasil analisis deskriptif terkait faktor do- minan yang menyebabkan perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep menunjukkan domain “hal-hal yang mendorong” yang dalam penelitian ini meliputi pengalaman penggunaan antibiotik se-belumnya, perilaku peresepan dokter, dan akses untuk memperoleh antibiotik sebagai faktor utama penyebab perilaku tersebut. Pengalaman penggu-naan antibiotik sebelumnya sebagai faktor domi-nan menentukan perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter juga ditemukan dalam peneli-tian Khan et al. di India yang menunjukkan bahwa 56,50% pasien melakukan swamedikasi antibiotik karena telah menggunakan antibiotik sebelum-nya.9 Penelitian lain oleh Shah et al. di Pakistan juga menunjukkan bahwa 33,00% menggunakan

antibiotik tanpa resep karena telah sukses meng-gunakan antibiotik tanpa resep dokter pada pe- ngobatan sebelumnya.34 Besarnya dominasi faktor pengalaman yang ditemukan dalam penelitian ini dan beberapa penelitian terpublikasi lainnyadapat dijelaskan dengan teori perilaku kesehatan. Dilihat dari kerangka Theory of Planned Behavior (TPB), pengalaman penggunaan antibiotik tanpa resep dokter sebelumnya dapat membentuk kepercayaan terhadap hasil perilaku (beliefs about outcome) yang nantinya akan mempengaruhi sikap pasien terhadap perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep dokter (attitude towards behavior).35

Aspek kedua yang diklasifikasikan dalam kategori “hal-hal yang mendorong” perilaku pem-belian antibiotik tanpa resep dokter dalam peneli-tian ini adalah perilaku peresepan dokter. Peneli-tian terpublikasi lain juga menunjukkan dominasi faktor peresepan dokter terhadap pembelian anti-biotik tanpa resep dokter.36 Pola peresepan dokter merupakan salah satu pengejawantahan “subjective norm” dari TPB yang berarti perilaku orang-orang yang dianggap penting oleh masyarakat menentu-kan perilaku kesehatan dari masyarakat tersebut. Besarnya peresepan antibiotik untuk penyakit de-ngan gejala tertentu diidentifikasi oleh masyarakat sebagai suatu pola umum peresepan yang kemu-dian dapat disalah artikan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, tingginya peresepan antibiotik oleh dokter di ko-munitas juga disebabkan tidak tersedianya metode atau alat diagnostik yang dapat membantu mene-tapkan mikroorganisme yang menyebabkan infek-si secara cepat dan tepat.37 Kultur yang ada saat ini mampu mendeteksi mikroorganisme penyebab infeksi dalam waktu minimal 3 hari, sehingga ku-rang aplikatif dalam praktek sehari-hari. Lama- nya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil kultur menyebabkan dokter memilih untuk meresepkan antibiotik untuk alasan keselamatan pasien. Oleh karena itu, diperlukan pengemba- ngan suatu alat uji diagnostik yang dapat men-deteksi mikroorganisme penyebab infeksi secara cepat dan tepat. Inovasi ini diharapkan dapat me- ngurangi penggunaan antibiotik yang tidak perlu, sehingga secara tidak langsung turut mengurangi penggunaan antibiotik tanpa resep dokter di apo-tek.

Hasil analisis faktor dalam penelitian ini

415

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

selaras dengan hasil analisis deskriptif dan mem-pertegas faktor yang dominan mempengaruhi pe-rilaku pembelian antibiotik tanpa resep di apotek, yaitu faktor kemudahan akses memperoleh antibio- tik dan faktor penghematan biaya dengan percent of variance explained sebesar 23,91%. Dominasi faktor kemudahan akses memperoleh antibiotik dan faktor penghematan biaya dalam menentukan perilaku penggunaan antibiotik secara swamedika-si juga ditemukan dalam penelitian Yu et al. pada tahun 2014 di Cina. Kemudahan akses memper-oleh antibiotik menjadi faktor yang menjadi ala-san 19,00% orang tua di perkotaan dan 12,00% orang tua di pedesaan untuk melakukan swamedi-kasi antibiotik pada anak.38 Penelitian terpublika-si lain oleh Donkor et al. terhadap 422 pelajar di Ghana juga menunjukkan bahwa 40,50% pasien melakukan swamedikasi antibiotik karena biaya yang lebih murah dan menghindari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh obat di pusat layanan kesehatan.36

Penelitian ini memiliki keterbatasan yak-ni faktor penyebab penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yang tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh wilayah Indonesia khususnya daerah dengan budaya yang lain. Hal ini dinyatakan de-ngan mempertimbangkan bahwa budaya memiliki pengaruh dalam menentukan perilaku seseorang termasuk perilaku kesehatan, dalam hal ini ada-lah pembelian antibiotik tanpa resep.39 Selain itu, generalisasi hasil penelitian ini terhadap individu yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis (illiterate) tidak dapat dilakukan karena tidak terdapat kelompok tersebut yang terlibat se-bagai responden. Penelitian lebih lanjut terhadap kelompok masyarakat dengan budaya yang berbe-da dan masyarakat yang tidak memiliki kemam-puan membaca dan menulis perlu dilakukan untuk mengetahui perilaku dan faktor penyebab perilaku penggunaan antibiotik tanpa resep pada kelompok khusus tersebut.

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian ini, disimpul-

kan bahwa penggunakan antibiotik yang didapat-kan tanpa resep dokter di Surabaya sebagian be-sar dilakukan oleh kelompok masyarakat usia produktif untuk mengobati gejala yang umumnya disebabkan oleh patogen non-bakteri. Faktor yang

paling mempengaruhi perilaku pembelian antibio-tik tanpa resep dokter dalam penelitian ini adalah kemudahan akses untuk memperoleh antibiotik di apotek. Kontrol pemerintah berupa implementasi regulasi yang lebih ketat merupakan salah satu pendekatan intervensi yang diharapkan dapat me-nutup akses penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yang demikian luas terjadi di Indonesia. Namun demikian, pendekatan secara tegas melalui pembuatan kebijakan terhadap akses pembelian antibiotik di komunitas, tidak akan membuahkan hasil yang optimal apabila tidak disertai dengan perubahan perilaku tenaga kesehatan. Penelitian lebih lanjut terkait perilaku penjualan antibiotik tanpa resep dokter oleh petugas apotek dan fak-tor yang mempengaruhi perilaku tersebut perlu dilakukan. Intervensi terhadap aktor pelaku pem-belian dan penjualan antibiotik tanpa resep secara holistik diharapkan dapat memberikan dampak se-cara signifikan terhadap penurunan perilaku peng-gunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab di komunitas.

DAFTAR PUSTAKA1. National Center for Health Statistics. Nation-

al Hospital Ambulatory Medical Care Survey: 2010 Outpatient Department Summary Ta-bles. Hyattsvile, MD; 2010.

2. National Center for Health Statistics. National Ambulatory Medical Care Survey: 2009 Sum-mary Tables. Hyattsvile, MD; 2009.

3. WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology. Guidelines for ATC Classifica-tion and DDD Assignment 2013. Oslo; 2012.

4. European Centre for Disease Prevention and Control. Surveillance of Antimicrobial Con-sumption in Europe 2010. Stockholm: ECDC; 2013.

5. Al-faham Z, Habboub G, Takriti F. The sale of Antibiotics without Prescription in Pharma-cies in Damascus, Syria. J Infect Dev Ctries. 2011;5(5):369-99.

6. Plachouras D, Kavatha D, Antoniadou A, Gi-annitsioti E, Poulakou G, Kanellakopoulou K, et al. Dispensing of Antibiotics without Pre-scription in Greece. 2008: Another Link in the Antibiotic Resistance Chain. Euro Surveill. 2010;15(7):4-7.

7. Bin Abdulhak AA, Altannir MA, Almansor

416

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya

MA, Almohaya MS, Onazi AS, Marei MA, et al. Non Prescribed Sale of Antibiotics in Ri-yadh, Saudi Arabia: a cross sectional study. BMC Public Health. 2011;11(1):538.

8. Llor C, Cots JM. The Sale of Antibiotics with-out Prescription in Pharmacies in Catalonia, Spain. Clin Infect Dis. 2009;48(10):1345-9.

9. Khan SJ, Khan S, Shah N, Complex HM. Self Medication with Antibiotics in Urban Areas of Peshawar. Gomal Journal of Medical Scienc-es. 2011;9(1):2009-12.

10. Abasaeed A, Vlcek J, Abuelkhair M, Kubena A. Self Medication with Antibiotics by the Community of Abu Dhabi Emirate, Uni-ted Arab Emirates. J Infect Dev Ctries. 2009;3(7):491-7.

11. Widayati A, Suryawati S, de Crespigny C, Hiller JE. Self Medication with Antibiotics in Yogyakarta City Indonesia: a Cross Section-al Population Based Survey. BMC Res Notes. 2011;4:491.

12. Skalet AH, Cevallos V, Ayele B, Gebre T, Zhou Z, Jorgensen JH, et al. Antibiotic Se-lection Pressure and Macrolide Resistance in Nasopharyngeal Streptococcus Pneumoniae: a Cluster Randomized Clinical trial. PLoS Med. 2010;7(12):e1000377.

13. Hicks LA, Chien YW, Taylor TH, Haber M, Klugman KP. Outpatient Antibiotic Prescrib-ing and Non-Susceptible Streptococcus Pneu-moniae in the United States, 1996-2003. Clin Infect Dis. 2011;53(7):631-9.

14. Tan SK, Tay YK. Profile and Pattern of Ste-vens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in a General Hospital in Singapore: Treatment Outcomes. Acta Derm Venereol. 2012;92(1):62-6.

15. Durrieu G, Maupiler M, Rousseau V, Chebane L, Montastruc F, Bondon-Guitton E, et al. Fre-quency and Nature of Adverse Drug Reactions Due to Non-Prescription Drugs in Children: a Retrospective Analysis from the French Phar-macovigilance Database. Paediatr Drugs. 2018;20(1):81-7.

16. Emeka PM, Al-Omar MJ, Khan TM. A Qua- litative Study Exploring Role of Community Pharmacy in the Irrational Use and Purchase of Non-Prescription Antibiotics in Al Ahsa. EurJ Gen Med. 2012; 9(4):230-4.

17. Hadi U, van den Broek P, Kolopaking EP, Zair-ina N, Gardjito W, Gyssens IC. Cross Section-al study of Availability and Pharmaceutical Quality of Antibiotics Requested with or with-out Prescription (Over the Counter) in Suraba-ya, Indonesia. BMC Infect Dis. 2010;10:203.

18. Nga do TT, Chuc NT, Hoa NP, Hoa NQ, Nguyen NT, Loan HT, et al. Antibiotic Sales in Rural and Urban Pharmacies in Northern Vietnam: an Observational Study. BMC Phar-macol Toxicol. 2014;15:6.

19. Zoorob R, Grigoryan L, Nash S, Trautner BW. Non Prescription Antimicrobial Use in a Primary Care Population in the Unit-ed States. Antimicrob Agents Chemother. 2016;60(9):5527-32.

20. World Health Organization. Antimicrobial Re-sistance. WHO Web Sites; 2014 [cited 2016 Apr 20]; Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/.

21. Centers for Disease Control and Prevention. Antibiotic Resistance Threats in the United States, 2013. U.S. Department of Health and Human Services Web Sites; 2013 [cited 2016 Apr 20]; Available from: https://www.cdc.gov/drugresistance/pdf/ar-threats-2013-508.pdf.

22. Djawaria DPA, Prayitno A, Setiawan E.Pengembangan dan Validasi Kuesioner un-tuk Mengidentifikasi Faktor Penyebab Per-ilaku Penggunaan Antibiotik tanpa Resep Dokter. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 2018;16(1):107-114.

23. Notoadmojo S. Metodologi Penelitian Kese-hatan Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2005.

24. Puspitasari HP, Faturrohmah A, Herman-syah A. Do Indonesian Community Phar-macy Workers Respond to Antibiotics Re-quests Appropriately?. Trop Med Int Health. 2011;16(7):840-6.

25. Bin Nafisah S, Bin Nafesa S, Alamery AH, Alhumaid MA, AlMuhaidib HM, Al-Eidan FA.Over the Counter Antibiotics in Saudi Ara-bia, an Urgent Call for Policy Makers. J Infect Public Health. 2017;10(5):522-6.

26. Widayati A, Suryawati S, de Crespigny C, Hill-er JE. Beliefs about the Use of Non Prescribed Antibiotics among People in Yogyakarta City,

417

Dewi Paskalia Andi Djawaria : Analisis Perilaku dan Faktor Penyebab Perilaku Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep di Surabaya JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

Indonesia: a Qualitative Study Based on the Theory of Planned Behavior. Asia PacJ Public Health. 2015;27(2):NP402-13.

27. Sabuncu E, David J, Bernede-Bauduin C, Pe-pin S, Leroy M, Boelle PY, et al. Significant Reduction of Antibiotic Use in the Commu-nity after a Nationwide Campaign in France, 2002-2007. PLoS Med. 2009;6(6):e1000084.

28. Sumpradit N, Chongtrakul P, Anuwong K, Pumtong S, Kongsomboon K, Butdeemee P, et al. Antibiotics Smart Use: a Workable Mod-el for Promoting the Rational Use of Medi-cines in Thailand. Bull World Health Organ. 2012;90(12):905-13.

29. Grigoryan L, Monnet DL, Haaijer-Ruskamp FM, Bonten MJ, Lundborg S, Verheij TJ. Self Medication with Antibiotics in Europe: a case for action. Curr Drug Saf. 2010;5(4):329-32.

30. Suaifan GARY, Shehadeh M, Darwish DA, Al-ijel H, Yousef AM, Darwish RM. A Cross Sectional Study on Knowledge, Attitude and Behavior Related to Antibiotic Use and Resis-tance among Medical and Non Medical Uni-versity Students in Jordan. Afr J Pharm Phar-macol. 2012;6(10):763-70.

31. Belkina T, Al Warafi A, Hussein Eltom E, Tad-jieva N, Kubena A, Vicek J. Antibiotic Use and Knowledge in the Community of Yemen, Saudi Arabia, and Uzbekistan. J Infect Dev Ctries. 2014;8(4):424-9.

32. Fadare JO, Tamuno I. Antibiotic Self Medica-tion among University Medical Undergradu-ates in Northern Nigeria. JPublic Health Epi-demiol. 2011;3(5):217-20.

33. Belkina TV, Khojiev DS, Tillyashaykhov MN, Tigay ZN, Kudenov MU, Tebbens JD, et al. Delay in the Diagnosis and Treatment of Pulmonary Tuberculosis in Uzbekistan: a Cross Sectional Study. BMC Infect Dis. 2014;14:624.

34. Shah SJ, Ahmad H, Rehan RB, Najeeb S, Mumtaz M, Jilani MH, et al. Self Medication with Antibiotics among Non-Medical Univer-sity Students of Karachi: a Cross-Sectional Study. BMC Pharmacol Toxicol. 2014;15:74.

35. Ogden J. Health Beliefs. Health Psychology. 4th ed. New York: Open University Press; 2007.

36. Donkor ES, Tetteh-quarcoo PB, Nartey P, Agyeman IO. Self-Medication Practices with Antibiotics among Tertiary Level Students in Accra, Ghana: a Cross-Sectional Study. Int J Environ Res Public Health. 2012;9(10): 3519-29.

37. Bebell LM, Muiru AN. Antibiotic Use and Emerging Resistance How Can Resource Limited Countries Turn the Tide?. Glob Heart. 2014;9(3):347-58.

38. Yu M, Zhao G, Staisby Lundborg C, Zhu Y, Zhao Q, Xu B. Knowledge, Attitudes, and Practices of Parents in Rural China on the Use of Antibiotics in Children: a Cross-Sectional Study. BMC Infect Dis. 2014;14:112.

39. Levesque A, Li HZ. The Relationship between Culture, Health Conceptions, and Health Prac-tices: a Qualitative-Quantitative Approach. J Cross Cult Psychol. 2014;45(4):628-45.

418

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

Enhancing the Independent Practice of Mothers in Monitoring the Nutritional Status of Toddlers through Dasa Wisma Assistance

Nugraheni, S.A1, Aruben, R1, Prihatini, I.J2, Sari1, Sulistyawati, E1

1Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro2Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum

([email protected])

ABSTRAKKejadian malnutrisi di Indonesia, juga di Jawa Tengah dan Kota Semarang sampai saat ini masih tinggi,

juga masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk ibu tentang pemantauan status gizi, serta belum pernah terbentuk kelompok anggota masyarakat yang peduli tentang gizi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan sikap dan praktik dari ibu terkait gizi balita setelah pendampingan aktivis dawis. Pene-litian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Wetan Kota Semarang dengan alasan wilayah Puskesmas tersebut memiliki sejumlah Dasa Wisma yang sudah tertata dan juga memiliki cukup banyak kasus gizi kurang dan gizi buruk dalam beberapa tahun terakhir yaitu antara 2,3 sampai 3,2% total balita. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan rancangan pre and post test one group design. Subyek penelitian adalah 110 ibu balita yang berada pada 35 wilayah kerja Dawis dipilih secara purposive. Para dawis dibekali dengan alat pe- nimbang berat badan dan pengukur tinggi badan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pengetahuan dan praktik ibu terkait gizi balita, setelah didampingi dawis selama 1 bulan (p<0,05), dengan uji wilcoxon match paired test. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai evidence based practice usulan program baru di bidang ke- sehatan, yaitu pendampingan Dawis sebagai salah satu program dalam pemantauan status gizi balita.Kata kunci : Praktik ibu, status gizi, balita, pendampingan, dasa wisma

ABSTRACTThe incidence of malnutrition in Indonesia, also in Central Java and Semarang is still high, another prob-

lem is the lack of awareness and knowledge of the community including mother on monitoring nutritional status, and there has never been a group of community members who care about nutrition. The aim of this study was toanalyze changes in maternal attitudes and practices related to child nutrition after Dasawisma’s assistance.The research was carried out in the work area of the Tlogosari Wetan Health Center in Semarang, on the grounds that the Puskesmas area has a number of Dasa Wisma that have been arranged and also have quite a number of cases of malnutrition and malnutrition in the last few years, namely between 2.3 to 3.2% of total under five.. This research was a quasi-experimental study, with a pre and post test one group design. The subjects of the study were 110 mothers of toddlers in 35 Dawis work areas, who were selected purposively, the Dawis were provided with a weight-bearing tool and a height gauge. The results showed differences in knowledge and practice regarding infant nutrition, after being accompanied by Dawis for 1 month (p<0.05), with wilcoxon match paired test. This research can be used as evidence based practice on the proposed new program in the field of health, Dawis’s as-sistance as a program in monitoring the nutritional status of children.Keywords : Mother’s practice, nutritional status, toddlers, activist assistance, dasa wisma

Copyright © 2018 Universitas Hasanuddin. This is an open access article under the CC BY-NC-SA license(https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/).DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5233

419

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

PENDAHULUANIndeks pembangunan manusia (IPM) me-

rupakan indikator untuk mengetahui keberhasilan pembangunan sumber daya manusia di suatu nega-ra atau propinsi atau kota maupun kabupaten. IPM Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara. Keberhasilan pembangunan nasio- nal suatu bangsa lebih ditentukan oleh keterse-diaan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas, bukan oleh melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA). Faktor utama yang berpengaruh terhadap kualitas SDM antara lain faktor genetik dan fak-tor lingkungan. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir pertumbuhan dan perkembangan anak. Lingkungan merupa-kan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Status gizi yang baik, stimulasi dari keluarga, perumahan memadai, sa-nitasi lingkungan sehat serta tersedianya sarana dan prasarana akan menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang nantinya merupakan calon sumber daya manusia. Perkembangan kecer-dasan anak dapat terganggu oleh kondisi lingkun-gan atau fisik yang kurang mendukung, seperti kekurangan gizi/malnutrisi dan stimulasi dari lingkungan. Malnutrisi pada janin sampai usia dua tahun akan memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendeknya ada-lah akan terhambatnya pertumbuhan dan perkem-bangan otak anak, sehingga untuk jangka panjang akan menyebabkan rendahnya kemampuan ber-fikir dan kemampuan belajarnya.1

Salah satu cara yang efektif untuk meman-tau status gizi balita adalah dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS adalah kartu yang memuat kurva pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur. KMS dapat bermanfaat dalam mengetahui lebih dini gangguan pertumbuhan atau risiko kelebihan gizi, sehingga dapat dilaku-kan tindakan pencegahan secara lebih cepat dan tepat sebelum masalahnya lebih berat.2 KMS juga merupakan alat yang sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. KMS harus disimpan oleh ibu balita di rumah dan harus selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan termasuk bidan atau dokter.3 Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu peman-

tauan gerak pertumbuhan, bukan penilaian status gizi. KMS yang diedarkan Departemen Keseha-tan Republik Indonesia sebelum tahun 2000, garis merah pada KMS versi tahun 2000 bukan me- rupakan pertanda gizi buruk, melainkan garis ke-waspadaan. Berat badan balita yang tergelincir di bawah garis ini, petugas kesehatan harus melaku-kan pemeriksaan lebih lanjutan terhadap indika-tor antropometri klain. Catatan pada KMS dapat menunjukkan status gizi balita. Balita dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki berat badan yang berada pada daerah berwarna hijau, sedang-kan warna kuning menujukkan status gizi kurang, dan jika berada di bawah garis merah menunjuk-kan status gizi buruk.4 Penyimpangan kurva per-tumbuhan anak pada KMS balita biasanya menuju ke arah bawah, dan tidak banyak yang keluar dari warna hijau ke arah atas. Kurva pertumbuhan anak yang baik kesehatannya, akan terus terdapat dalam jalur hijau. Anak yang di bawah warna hijau, yaitu warna kuning, maka menunjukkan Kurang Kalori Protein (KKP) ringan dan menggambarkan ada-nya gangguan pertumbuhan ringan serta ganggu-an kesehatan. Keadaan anak yang lebih jelek lagi, yaitu garis pertumbuhan anak akan lebihmenurun lagi masuk ke daerah di bawah garis merah, yang merupakan batas bawah dari jalur kuning yang menunjukkan balita mengalami KKP berat. Anak sudah menderita gizi kurang atau tergang-gu kesehatannya.5 Status pertumbuhan anak dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan menilai garis pertumbuhannya, atau dengan menghitung kenaikan berat badan anak dibandingkan dengan kenaikan berat badan minimum.6 Pemantauan per-tumbuhan dan perkembangan balita di posyandu dengan menggunakan KMS, akan berguna apabila dilakukan setiap bulan.

Hasil studi situasi dan analisis gizi di Indo-nesia tahun 2015, status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Umur (BB/U), didapatkan 14,9% mengalami gizi kurang dan 3,8% gizi buruk. Sta-tus Gizi Balita menurut Indeks Tinggi Badan per Usia (TB/U), didapatkan 29,9% balita pendek dan sangat pendek. Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB), didapat-kan 8,2% kurus dan 3,7% sangat kurus. Selain ha-sil tersebut berdasarkan pemantauan terakhir Sub Dit Gizi Kemenkes RI tahun 2017 masih ada 1487 balita mengalami Gizi buruk.7 Hasil Riskesdas

420

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

2013 menunjukkan prevalensi gizi kurang pada balita(BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 19,6% (tahun 2013). Secara nasional, prevalensi berat-kurang (BB/U) terlihat meningkat. Peru-bahan terutama pada prevalensi gizi buruk, yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi ku-rang naik sebesar 0,9% dari 2007 dan 2013. Pre- valensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibanding-kan tahun 2010 (35,6%) dan 2007(36,8%). Preva- lensi pendek sebesar 37,2% terdiri dari 18,0% sa-ngat pendek dan 19,2% pendek (stunting).8

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, di Jawa Tengah didapatkan 5,2% bayi dengan BBLR/kurang dari 2500 gram serta Panjang Badan kurang dari 47 cm, sedangkan Kota Sema-rang 2,6%. Status Gizi buruk di Jawa Tengah sebesar 4,1% dan gizi kurang13,5%; sedangkan Kota Semarang 3,7% status gizi buruk dan 8,7% status gizi kurang.9 Hasil pemantauan menunjuk-kan alasan balita tidak datang ke Posyandu karena berbagai alasan antara lain anak tidak mau ditim-bang, anak sudah besar (≥1 tahun), anak sudah selesai imunisasi, lupa/tidak tahu jadwalnya, tidak ada tempat penimbangan yang buka terus, tempat jauh dan orang tua sibuk pada saat jam Posyandu.

Tercapai tidaknya pemecahan masalah gizi di Indonesia sangat dipengaruhi banyak faktor, di-antaranya adalah kemiskinan, kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, keluarga berencana, dan faktor lainnya. Oleh karena itu, upaya perbaikan gizi masyarakat memerlukan kerjasama banyak pihak dari berbagai sektor yang membutuhkan si- nergi dan harus terkoordinasi dengan baik. Dengan adanya sistem desentralisasi setiap daerah memi- liki kewenangan dalam mengatur upaya promotif dan preventif dalam mencegah adanya malnutrisi di tingkat masyarakat. Adanya sistem desentralisa-si dalam pengelolaan wilayah membuka kesempa-tan dan peluang yang besar bagi Pemerintah Dae-rah dan jajarannya untuk membantu segala upaya dalam mencapai target tersebut. Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Pemerintah daerah adalah secara bersama-sama memperbaiki semua hal yang berkaitan dengan mata rantai terjadinya malnutrisi, dengan melibatkan semua sektor yang

terkait. Berdasarkan latar belakang tersebut maka

perlu ada tindakan segera yang di luar program (out of the box) serta melibatkan pemberdayaan masyarakat. Selama ini pemberdayaan masyarakat sebagian besar difokuskan kepada kader keseha-tan. Pendampingan atau pemantauan terkait status gizi oleh kader sudah banyak dilaksanakan, pada-hal tokoh masyarakat yang paling dekat dengan keluarga adalah Dasa Wisma, sekitar 10 keluar-ga berada dalam perkumpulan Dasa Wisma yang di pimpin oleh seorang Ketua atau Aktivis Dasa Wisma. Pemberian intervensi berupa pelatihan dengan media modul dapat digunakan untuk me- nyampaikan materi pendidikan tentang penentuan status gizi, dengan metode simulasi para anggo-ta masyarakat yang dilatih sebagai pendamping dapat meniru, memeragakan ulang segala sesuatu yang berkaitan dengan materi yang disampaikan, metode ini bertujuan untuk melatih dan memaha-mi konsep atau prinsip dari pendidikan yang di- sampaikan sehingga dapat memecahkan masalah terkait malnutrisi. Pendampingan berupa edukasi tentang nutrisi anak balita, cara pemantauan status gizi dan praktik efektif dalam upaya menurunkan risiko kejadian malnutrisi pada anak balita, teruta-ma stunting.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih tingginya kejadian malnutrisi di Indone-sia, juga di Jawa Tengah dan Kota Semarang, se-dangkan di sisi lain Indonesia memiliki target di bidang perbaikan gizi masyarakat. Target tersebut, diantaranya adalah menurunnya prevalensi keku-rangan gizi pada anak balita, dari 19,6% menja-di 17% pada tahun 2019; dan menurunnya pre- valensi stunting pada anak di bawah 2 tahun, dari 33% menjadi 28% pada tahun 2019. Permasalahan lain lagi adalah masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat termasuk aktivis dasa wisma tentang gizi. Aktivis Dasa Wisa (Dawis) merupakan kader kesehatan yang memiliki tang-gung jawab memberikan edukasi dan pemantauan kesehatan atas sepuluh keluarga di suatu wilayah. Padahal masyarakatlah yang semestinya memiliki kesadaran bahwa gizi baik adalah kebutuhan me- reka sendiri. Penelitian ini sebagai Pilot Project dilakukan di wilayah kerja puskesmas Tlogosa-ri Wetan Kota Semarang, dengan alasan wilayah puskesmas tersebut memiliki sejumlah Dasa Wis-

421

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

ma yang sudah tertata dan juga memiliki cukup banyak kasus gizi kurang dan gizi buruk dalam beberapa tahun terakhir yaitu antara 2,3 sampai 3,2 % total balita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan sikap dan praktik dari ibu terkait gizi balita setelah pendampingan aktivis dawis.

BAHAN DAN METODEPenelitian ini merupakan penelitian ekspe-

rimental semu, dengan rancangan pre and post test one group design yang dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2018. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Wetan Kota Semarang. Subyek penelitian adalah 110 ibu balita yang berada di bawah pendampi- ngan 35 aktivis dasa wisma dengan kriteria ada balita di wilayah kerjanya (purposive sampling), yang nantinya akan diukur perubahan perilaku (pengetahuan dan praktik) terkait pemantauan status gizi, dibandingkan sebelum dan sesudah diberikan intervensi pendampingan aktivis dasa wisma selama satu bulan. Pendampingan berupa edukasi tentang nutrisi anak balita, cara peman-tauan status gizi dan praktik efektif dalam upaya menurunkan risiko kejadian malnutrisi pada anak balita, terutama stunting. Sebelumnya para aktivis dasa wisma dilatih terlebih dahulu dengan bekal buku pendampingan dan dibekali sarana alat pe-nimbang berat badan dan pengukur tinggi badan. Apabila terbukti ada perubahan perilaku para ibu balita dalam pemantauan status gizi balita, maka penelitian ini dapat dipergunakan sebagai evidence based practice usulan program baru di bidang ke- sehatan, yaitu pemberian pelatihan pemantauan status gizi balita serta pendampingan aktivis dasa wisma sebagai salah satu program andalan dalam menurunkan malnutrisi balita, terutama stunting. Pelatihan pendampingan dilakukan oleh Tim Gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat selama 2 hari penuh dengan metode pelatihan, diskusi, praktik pengukuran dan identifikasi status gizi, serta role play. Bentuk pendampingan dilakukan oleh Aj-tivis atau Kadawis yang sudah dilatih, pada para ibu bayi dan balita yang ada di wilayahnya terkait pemantauan status gizi balita, selama sekitar 1 bu-lan penuh. Dalam satu bulan ibu dikunjungi dan diminta untuk mendatangi Rumah Kadawis untuk belajar mengukur serta mengintepretasikan status

gizi balita masing-masing.

KI ---> O 1 -------------- X ------------ O2

Keterangan:KI : Kelompok intervensi yang terdiri dari 110

Ibu BalitaO1 : Pengukuran skor awal (pretest) sebelum

diberi intervensi, yang diukur adalah varia-bel pengetahuan dan praktik Ibu Balita ter-kait Pemantauan Status Gizi Balita (PSGB)

X : Pemberian pendampingan pada Ibu Balita oleh KaDawis terkait pemantauan status gizi balita (PSGB),selama satu bulan

O2 : Pengukuran skor akhir (posttest) setelah diberi intervensi, yang diukur adalah vari-abel pengetahuan dan praktik Ibu balita ter-kait Pemantauan Status Gizi Balita (PSGB), sekitar sebulan setelah intervensi, oleh enu-merator terlatih

Analisis dan penyajian data dilakukan se-cara univariat dan bivariat. Bivariat dengan uji analisis yaitu wilcoxon match paired test karena data tidak berdistribusi normal. Data terdiri dari berbagai pertanyaan mengenai pengetahuan dan praktik ibu balita terkait dengan pemantauan dan penatalaksanaaan status gizi balita. Etical clear-ance didapat dari komisi etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Dipo-negoro 225/EA/KEPK-FKM/2018.

HASILHasil penelitian ini menunjukkan dari total

110 responden penelitian ini, berdasarkan Tabel 1 didapatkan sebagian besar ibu balita berusia antara 20 - 35 tahun (70.9%) dengan usia 28 tahun terdiri dari 12 orang (10,9%), pekerjaan 70 ibu balita yai-tu sebagai ibu rumah tangga (63.6%), pendidikan terakhir ibu balita, sebagian besar pendidikan ter-akhir adalah SMA yaitu sejumlah 34 ibu balita (55,8%) dan sederajatnya-SMK sejumlah 15 ibu balita (13.6%), sebagian besar usia balita yaitu an-tara usia 1-1.11 tahun sejumlah 29 balita (26.4%), selain itu paling banyak ibu balita dengan jumlah anak 2 (46 ibu balita atau 41.8%), dan ibu balita paling banyak mempunyai 6 anak walaupun jum-lahnya hanya 1 (0.9%).

Setelah intervensi menunjukkan bahwa ada

422

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

perbedaan pengetahuan ibu balita sebelum dan se-sudah dilakukan intervensi berupa pendampingan oleh aktivis dasa wisma tentang gizi anak balita pada Tabel 2, terdapat peningkatan pengetahuan, hal tersebut terlihat dengan adanya beberapa pe- ngurangan ketidaktahuan akan status gizi pada anak setelah intervensi, diantaranya pertanyaan terkait arti KMS, sebagian besar responden (95.5%) telah mengetahuinya, dan setelah diada-kannya pendampingan oleh dawis semua respon-den sudah mengetahui arti KMS yang dapat digu-nakan sebagai alat pemantau kecukupan gizi balita (100%). Korelasi terkait garis merah pada KMS dengan kecukupan gizi balita, sebagian besar res- ponden (77,3%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada pe- ningkatan jumlah responden lebih dari 10% yang mengetahui terkait berat badan balita berada di

atas garis merah pada KMS merupakan salah satu tanda balita cukup gizi (89,1%).

Untuk berat badan balita dengan pertumbu-han anak balita, sebagian besar responden (90.9%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pen-dampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang mengetahui terkait berat badan balita yang naik dibandingkan sebelumnya berarti status pertumbuhan anak balita itu baik (97.3%). Hubungan bawah garis merah pada KMS dengan kecukupan gizi balita, sebagian besar responden (79,1%) telah mengetahuinya, setelah diadakan-nya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden cukup signifikan yang mengeta-hui terkait berat badan balita dibawah garis merah pada KMS menandakan ibu balita perlu mengkha-watirkan nya (93,6,0%). Terkait manfaat KMS, sebagian besar responden (95,5%) telah mengeta-huinya, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang mengetahui terkait dari manfaat KMS adalah un-tuk mengetahui pertumbuhan anak balita (99,1%).

Pemenuhan ASI sebagai makanan terbaik bayi usia 0-6 bulan, sebagian besar responden (89.1%) telah mengetahuinya, setelah diadakan-nya pendampingan oleh dawis ada peningka-tan jumlah responden yang mengetahui tentang ASI adalah makanan terbaik bayi usia 0-6 bulan (93.6%). Fenomena ASI yang keluar pertama kali (colostrum), sebagian besar responden (97.3%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pen-dampingan oleh dawis semua responden sudah mengetahui bahwa ASI yang keluar pertama kali tidak dibuang karena mengandung kolostrum yang sangat baik untuk kekebalan tubuh bayi (100%). Proses pemberian MP-ASI secara bertahap, seba-gian besar responden (98.2%) telah mengetahui- nya, setelah diadakannya pendampingan oleh da-wis ada peningkatan jumlah responden yang me- ngetahui tentang pemberian makanan pendamping ASI yang harus dilakukan secara bertahap dimulai dari makanan lumat, lunak sampai makanan padat seperti orang dewasa (99.1%).

Pada topik terkait makanan padat setelah usia 1 tahun, sebagian besar responden (94,5%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pen-dampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang mengetahui tentang hal anak yang baru bisa makan dengan makanan-makanan padat

Tabel 1. Karakteristik RespondenKarakteristik n=110 %

Usia ibu balitaKurang dari 20 tahun20-35 tahunLebih dari 35 tahun

PekerjaanBLUDIRTPNSSwastaWiraswasta

Pendidikan ibuSDSMPSMAD3S1S2

Usia balita0-11 bulan1-1.11 tahun2 -2.11 tahun3-3.11 tahun4-5 tahun

Jumlah anak123456

17831

1704305

9193415111

1629202025

354624311

0.970.928.2

0.963.63.627.34.5

8.217.330.913.610.00.9

14.526.418.218.222.7

31.841.821.82.70.90.9

423

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

setelah usia anak diatas 1 tahun (95.5%). Selain itu, terkait pembedaan pengelolaan makanan ba-lita dengan keluarga, sebagian besar responden (94,5%) telah mengetahuinya, setelah diadakan-

nya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang mengetahui tentang hal pengelolaan makanan untuk balita yang seharus-nya dibedakan dengan pengelolaan makanan un-

Tabel 2. Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi

PernyataanSebelum Intervensi Setelah Intervensi

Tahu Tidak Tahu Tahu Tidak Tahu

n % n % n % n %Kartu Menuju Sehat (KMS)Arti atas Garis Merah pada KMSPertumbuhan anak balitaArti Bawah Garis Merah KMSManfaat KMSASI adalah makanan terbaik bayi usia 0-6 bulanASI yang keluar pertama kaliPemberian MPASI secara bertahapMakanan padat setelah usia 1 TahunPembedaan pengelolaan makanan balita dengan keluargaFrekuensi makan balita 1-5 TahunMakanan beranekaragam

105851008710598

107108104

104

105108

95.577.390.979.195.589.1

97.398.294.5

94.5

95.598.2

5251023512

326

6

52

4.522.79.120.94.510.9

2.71.85.5

5.5

4.51.8

11098107103109103

110109105

108

109110

10089.197.393.699.193.6

100.099.195.5

98.2

99.1100

0123717

015

2

10

0,010.92.76.40.96,4

0,00.94.5

1.8

0.90,0

Tabel 3. Perbedaan Praktik Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi

PernyataanSebelum Intervensi Setelah Intervensi

Melakukan Tidak Melakukan Melakukan Tidak Melakukan

n % n % n % n %Praktik penimbangan BB balitaPraktik pengukuran TB balitaKartu Menuju Sehat (KMS)Menjelaskan tentang hasil penimbanganMemberikan buah pada balitaMemberikan susu (ASI/PASI) pada balitaPemberian makanan sesuai dengan usia balitaPemisahaan pengelolaan makanan balita dengan keluargaIbu mempersiapkan makanan untuk balitanyaKebersihan tangan sebelum menyuapi balitaPemberian makanan balita bervariasi setiap makanPemberian makanan pokok dengan laukPemberian makanan tambahan lain

3414106108

108109

109

107

108

107

108

106

109

30.912,796.498.2

98.299.1

99.1

97.3

98.2

97.3

98.2

96.4

99.1

769642

21

1

3

2

3

2

4

1

69,187,33.61.8

1.80.9

0.9

2.7

1.8

2.7

1.8

3.6

0.9

4623109110

108110

100

107

109

110

109

109

109

41.820,999.1100

98.2100

100

97.3

99.1

100.0

99.1

99.1

99.1

648710

20

0

3

1

0

1

1

1

58.279,90.90,0

1.80,0

0,0

2.7

0.9

0,0

0.9

0.9

110

424

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

tuk keluarga (98,2%). Frekuensi makan balita 1-5 tahun, sebagian besar responden (95,5%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pendampi- ngan oleh dawis ada peningkatan jumlah respon-den yang hampir semua mengetahui tentang hal balita berusia 1-5 tahun makan makanan utama sebanyak 3 kali sehari ditambah makanan seli- ngan diantara setiap makanan utama (99,1%). Ke-butuhan makanan beranekaragam, sebagian besar responden (98.2%) telah mengetahuinya, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis semua res- ponden sudah mengetahui tentang makanan yang diberikan pada anak sebaiknya makanan yang ber- anekaragam dan bervariasi (100%).

Setelah intervensi menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan ibu balita sebelum dan se-sudah dilakukan intervensi berupa pendampingan oleh aktivis dasa wisma tentang gizi anak balita pada Tabel 3, terdapat peningkatan praktik setelah intervensi, diantaranya penilaian praktik penim-bangan berat badan balita oleh ibu secara benar, hampir sepertiga responden (30,9%) telah dapat

melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang dapat melakukan penimbangan berat badan balita dengan benar (41.8%). Praktik penilaian praktik pengukuran tinggi badan balita oleh ibu se-cara benar, sebagian kecil responden (12,7%) telah dapat melakukan, setelah diadakannya pendamp-ingan oleh dawis ada peningkatan jumlah res- ponden yang dapat melakukan pengukuran tinggi badan balita dengan benar (20,9%). Penggunaan KMS untuk melihat kenaikan berat badan, hampir semua responden (96,4%) telah dapat melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang melaku-kan penilaian kenaikan berat badan balita dikartu KMS (99,1%). Kemampuan ibu balita menjelas-kan hasil penimbangan, hampir semua responden (98,2%) telah dapat melakukan, setelah diada-kannya pendampingan oleh dawis semua respon-den yang dapat menjelaskan hasil penimbangan (100%). Praktik memberikan buah pada balita, hampir semua responden (98,2%) sudah membe-

Tabel 4. Perbedaan Skor Pengetahuan Ibu Balita Sebelum dan Sesudah Pendampingan oleh Dawis

Pengetahuan Ibu BalitaSebelum Intervensi Sebelum Intervensi

n % n %Menjawab benar kurang dari atau sama dengan 75%Menjawab benar lebih dari 75%Total nilai

6104110

5.594.5100,0

1109110

0.999.1100,0

MeanSDDeltaNilai skor minimalNilai skor maksimal

12.051.3440,61

713

12.660.708

913

Uji Wilcoxon p= 0,001 (p>0,05)

Tabel 5. Perbedaan Skor Praktik Ibu Balita Sebelum dan Sesudah Pendampingan oleh Dawis

Praktik Ibu BalitaSebelum Intervensi Sebelum Intervensi

n % n %BaikKurang baikTotal nilai

3575110

31.868.2100,0

4862110

43.656.4100,0

MeanSDDeltaNilai skor minimalNilai skor maksimal

10.250.8930,31

612

10.560.841

812

Uji Wilcoxon p= 0,001(p<0,05)

425

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

rikannya, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis tidak ada peningkatan jumlah responden yang memberikan buah pada balita untuk dikon-sumsi (98,2%).

Praktik memberikan susu (ASI/PASI) pada balita, hampir semua responden (99,1%) sudah melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan, yaitu semua respon-den memberikan susu (ASI/PASI) kepada balita setiap hari (100,0%). Pemberian makanan se-suai dengan usia balita, hampir semua responden (99,1%) sudah melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan yaitu semua responden memberikan makanan sesuai dengan usia balitanya (100,0%). Pemisahan pe- ngelolaan makanan balita dengan keluarga, ham-pir semua responden (97,3%) telah melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis tidak ada peningkatan jumlah responden yang melakukan pemisahan pengelolaan makanan ba-lita dengan anggota keluarga lainnya oleh ibu ba-lita (97,3%). Ibu mempersiapkan makanan untuk balitanya, hampir semua responden (98,2%) telah melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden yang mempersiapkan sendiri makanan untuk anak balitanya (99,1%).

Mengenai kebersihan tangan sebelum menyuapi balita, hampir semua responden (97,3%) telah melakukan, setelah diadakannya pendampi- ngan oleh dawis ada peningkatan jumlah respon-den yaitu semua responden melakukan cuci ta- ngan sebelum menyuapi balita dan mencuci ta- ngan dengan air mengalir serta sabun hingga besih (100,0%). Pemberian makanan balita yang bervariasi, sebagian besar responden (98,2%) te-lah melakukan, setelah diadakannya pendampi- ngan oleh dawis ada peningkatan jumlah respon-den yang melakukan terkait pemberian makanan balita yang bervariasi dari pagi hingga sore hari (99,1%). Pemberian makanan pokok dengan lauk, sebagian besar responden (96,4%) sudah melaku-kannya, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis ada peningkatan jumlah responden, yaitu hampir semua responden melakukan pemberian makanan pokok nasi atau karbohidrat lainnya ke-pada balita selalu menambahkan lauk pauk seper-ti tempe, telur, dan sayuran (99,1%). Pemberian makanan tambahan lain, 99,1% responden sudah

melakukan, setelah diadakannya pendampingan oleh dawis semua responden sudah melakukan pemberian makanan tambahan lain (kacang hijau, kue, dan lainnya) selain makanan pokok pada ba-lita (100%).

Perbedaan total skor pengetahuan sebelum dan sesudah pendampingan oleh dawis pada Tabel 4. Hasil uji normalitas didapatkan variabel pre test tidak berdistribusi normal (p=0,001) dan variabel post test tidak berdistribusi normal (p=0,001), se-hingga kemudian dipilih uji wilcoxon. Dari hasil uji beda dengan uji wilcoxon (p=0,0001) yang ber- arti ada perbedaan atau terdapat perbedaan penge- tahuan yang bermakna antara sebelum intervensi dengan sesudah intervensi. Sehingga disimpul-kan ada pengaruh pendampingan dawis terhadap pengetahuan ibu terkait dengan penatalaksanaan gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Wetan.

Perbedaan total skor praktik sebelum dan sesudah pendampingan oleh dawis pada Tabel 5. Hasil uji normalitas didapatkan variabel pre test berdistribusi normal (p=0,001) dan variabel post test tidak berdistribusi normal (p=0,001), sehingga dipilih uji beda menggunakan uji wilcoxon. Dari hasil uji beda dengan uji wilcoxon (p=0,0001) yang berarti ada perbedaan atau terdapat perbedaan praktik yang bermakna antara sebelum intervensi dengan sesudah intervensi. Sehingga disimpulkan ada pengaruh pendampingan dawis terhadap prak-tik ibu terkait dengan penatalaksanaan gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Tlogosari Wetan.

PEMBAHASANKonsep intervensi berupa pendampingan

oleh aktivis dasa wisma tentang gizi anak balita kepada ibu balita. Sebelumnya para aktivis dasa wisma dilatih dulu dengan bekal buku pendam- pingan dan dibekali sarana alat penimbang berat badan dan pengukur tinggi badan, selanjutnya para aktivis dasa wisma memberikan pendampi- ngan kepada ibu balita selama satu bulan. Bentuk pendampingan berupa edukasi tentang gizi anak balita, cara menentukan status gizi dan praktik da-lam upaya menurunkan risiko kejadian malnutrisi pada anak balita, terutama stunting. Setelah inter-vensi menunjukkan bahwa ada perbedaan penge-tahuan ibu balita sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa pendampingan oleh aktivis dasa

426

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

wisma tentang gizi anak balita dengan p=0,001 dengan peningkatan nilai rerata sebesar 0,61 poin.Peningkatan pengetahuan terutama pada pengeta-huan tentang pertumbuhan balita di KMS serta arti makna status gizi dibawah dan diatas garis merah.Pemberian ASI eksklusif serta ASI yang pertama keluar, dan pengelolaan makan balita dalam ke- luarga. Selain itu, ada perbedaan praktik ibu balita sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa pendampingan oleh aktivis dasa wisma tentang gizi anak balita dengan p=0,001, dengan pening-katan nilai rerata sebesar 0,31 poin. Peningkatan praktik terutama pada praktik penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, intepretasi pembacaaan KMS serta praktik cuci tangan sebe-lum menyuapi balita.

Temuan pengaruh intervensi berupa pen-dampingan oleh aktivis dasa wisma tentang gizi anak balita pada penelitian ini sejalan dengan pe-nelitian terdahulu yang menemukan bahwa pada program partisipasi dalam pendidikan gizi gabu- ngan dan program pemberian makan tambahan di Uganda menunjukkan beberapa manfaat tentang gizi anak balita dan yang terkait kecukupan diet anak-anak, satu sampai 3 bulan setelah intervensi pemberian makanan tambahan dihentikan. Kelom-pok intervensi memiliki skor keragaman diet yang lebih tinggi (3,0 vs 2,1, p=0,001) dari kelompok kontrol, dan diberi makan lebih sering (3,0 vs 2,1 kali per hari, p=0,001), frekuensi makan minimum (44,8% vs 37,9%), keragaman diet minimum (10,3% vs 3,4%). Pendidikan nutrisi dapat efektif untuk meningkatkan pengetahuan, praktik pem-berian makanan anak balita, meningkatkan kera-gaman dan frekuensi makanan anak balita.10

Beberapa penelitian berkelanjutan me- ngenai dampak dari program edukasi nutrisi yang mirip dengan yang dinilai dalam penelitian ini. Se-buah uji coba edukasi pemberian makanan tambah- an bagi anak balita di Malawi yang memberikan empat poin edukasi nutrisi menunjukkan adanya peningkatan penerapan praktik yang pemberian makanan tambahan oleh orang tua maupun perawat (caregiver).11 Sebuah uji coba secara acak di Lai-shui, China yang memberikan edukasi nutrisi dan pemberian makanan tambahan melalui pelatihan kelompok dan kunjungan rumah selama 2-4 bulan menemukan bahwa ibu yang ditugaskan ke kelom-pok intervensi menunjukkan perubahan substan-

sial dalam pemberian makanan pendamping ASI, dan anak balita menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik setelah dilakukan kontrol selama satu tahun.12 Intervensi pada sebuah kajian di Haryana, India mengenai pemberian makanan pendamping ASI dan konseling nutrisi untuk ibu dari bayi baru lahir, menunjukkan bahwa asupan energi dan ke-naikan panjang badan secara signifikan membaik, walaupun berat badan tidak, dibandingkan dengan kelompok kontrol.13 Daerah pedesaan Ethiopia dengan prevalensi stunting yang tinggi, paparan intervensi pendidikan gizi pada ibu balita terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan tentang praktik nutrisi anak balita dan mencegah tumbuh kerdil (stunting).14 Dengan demikian, edukasi nut- risi dalam bentuk pendampingan oleh aktivis dasa wisma kepada ibu balita bisa menjadi metode yang efektifuntuk meningkatkan pengetahuan dan prak-tik mandiri ibu balita dalam pemenuhan nutrisi, pemantauan status gizi, dan tercapainya status gizi optimal bagi anak balita, bahkan di daerah yang rawan pangan tinggi dan keterbatasan ekonomi.

Sebagian besar responden dengan pendi-dikan terakhir SMA, yaitu sejumlah 34 (30,9%), hal ini sejalan dengan penelitian Rahmariza et al. menyebutkan bahwa pemenuhan hak kesehatan, termasuk nutrisi pada anak dipengaruhi oleh pen-didikan ibu sebesar 17.40%, terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan penge-tahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memi-liki pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasu-han anak yang baik.15 Pengetahuan ibu mengenai nutrisi bagi anak adalah landasan penting untuk mencukupi intake gizi anak. Pengetahuan gizi yang diimplementasikan dalam sikap dan praktik yang akan mendorong terbentuk pola makan yang baik di dalam rumah tangga.16 Tingkat pendidikan yang lebih tinggi anak memudahkan seseorang menyerap informasi dan mengimplementasikann-ya ke dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.17

Pemenuhan status gizi anak balita sangat penting dilaksanakan, hal ini sejalan dengan ka-jian Davidson et al. yang menunjukkan bahwa morbiditas dan status gizi saling memengaruhi. Status gizi pada anak di bawah lima tahun me-

427

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma JURNAL MKMI, Vol. 14 No. 4, Desember 2018

rupakan dasar dari tingginya morbiditas.18 Status gizi yang kurang baik akan menyebabkan daya tahan tubuh menurun dan mudah terserang penya-kit infeksi. Begitupun sebaliknya bahwa terserang penyakit infeksi mengganggu metabolisme zat-zat gizi di dalam tubuh sehingga pemanfaatan zat gizi di dalam tubuh menjadi tidak optimal dan akanberdampak pertumbuhan.19 Hasil uji korelasi dalam kajian Davidson et al. ditemukan bahwa densitas asupan energi signifikan berhubungan dengan status gizi BB/U (p=0,043;r=0,185) dan status gizi BB/TB (p=0,005;r=0,254). Semakin tinggi densitas asupan energi seseorang maka nilai z-score status gizi BB/U danBB/TB akan semakin meningkat. Densitas asupan energi tidak signifkan berhubungan dengan status gizi TB/U (p=0,956; r=0,005). Densitas asupan protein signifikan ber-hubungan dengan status gizi TB/U (p=0,000; r=0,354) dan status gizi BB/U (p=0.000; r=0,378), tetapi tidak signifikan berhubungan dengan status gizi BB/TB (p=0,505;r=0,061). Semakin tinggi densitas asupan protein maka status gizi TB/U dan BB/U anak semakinbaik.18 Dengan demikian, edukasi nutrisi dengan materi edukasi frekuensi makan optimal, pemberian makanan beranekara- gam, pemberian makanan tambahan lain efektif dalam upaya mengoptimalkan status gizi anak ba-lita.

KESIMPULAN DAN SARANPendampingan berupa edukasi tentang nut-

risi anak balita, cara pemantauan status gizi dan praktik efektif dalam upaya menurunkan risiko ke-jadian malnutrisi pada anak balita, terutama stun-ting. Setelah para aktivis dasa wisma memberikan pendampingan kepada ibu balita selama satu bulan ada peningkatan pengetahuan dan praktik dalam pemenuhan gizi anak balita dan kemampuan me-nentukan status gizi anak balita. Peran dasa wisma sangat penting untuk mendampingi ibu balita da-lam pemantauan gizi balita, diharapkan semua ibu balita dan anggota dawis lainnya dapat berpartisi-pasi bukan hanya ibu ketua dawis yang aktif. Le-bih aktifnya program dan kegiatan dari puskesmas kepada dasa wisma di bawah wilayah kerjanya untuk diberikan pembekalan terkait pemantauan status gizi. Lebih memanfaatkan adanya tetang-ga satu dasa wisma (peer educator) untuk saling mengingatkan dan membantu memberikan doro-

ngan positif terkait pemantauan status gizi balita.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada

Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Ke-menterian Kesehatan RI, khususnya Direktorat Gizi Masyarakat dan semua jajarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, LPPM Universitas Diponegoro, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Staff Puskesmas Tlogosari Wetan, aktivis dasa wisma Kecamatan Pedurungan Kelu-rahan Tlogosari Wetan, dan seluruh partisipan yang turun berkontribusi dalam proses penelitian.

DAFTAR PUSTAKA1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Ilmu Keseha-

tan Anak. Jakarta: IDAI; 2010.2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman pemantauan wilayah setempat Ke- sehatan Ibu dan Anak (PWS - KIA). Direk-torat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Di-rektorat Bina Kesehatan Ibu. Jakarta: Depkes RI; 2010.

3. Ilham. Kartu Menuju Sehat (KMS) Sarana untuk Pencapaian Derajat Kesehatan Anak. 2015.

4. Kementerian Kesehatan RI. Ayo ke Posyandu Setiap Bulan, Posyandu Menjaga Anak dan Ibu Tetap Sehat. Pusat Promosi Kesehatan. Ja-karta: Depkes RI; 2015.

5. SediaoetamaA.D. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat; 2010.

6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Ke- sehatan Ibu dan Anak (PWS - KIA). Direk-torat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Di-rektorat Bina Kesehatan Ibu. Jakarta: Depkes RI; 2010.

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2016. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Mas-yarakat, Dirjen Kesehatan Masyarakat; 2017.

8. Badan Penelitian dan Pengembangan Keseha-tan. Kementerian Kesehatan Republik Indone-sia. Jakarta: Riset Kesehatan Dasar (RISKES-DAS); 2013.

9. Badan Penelitian dan Pengembangan Keseha-tan. Kementerian Kesehatan Republik Indone-sia. Jakarta: Riset Kesehatan Dasar (RISKES-

428

Nugraheni, S.A : Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma

DAS); 2013.10. S. B. Ickes, C. Baguma, C. A. Brahe, J. A.

Myhre, L. S. Adair, M. E. Bentley and A. S. Ammerman. Maternal Participation in a Nu-trition Education Program in Uganda is Asso-ciated with Improved Infant and Young Child Feeding Practices and Feeding Knowledge: a Post-Program Comparison Study. BMC Nutri-tion. 2017;3(32): DOI 10.1186/s40795-017-0140-8.

11. Bhandari N, Mazumder S, Bahl R, Martines J, Black RE, Bhan MK. An Educational In-tervention to Promote Appropriate Com-plimentary Feeding Practices and Physical growth in Infants and Young Children in Rural Haryana. India J Nutr. 2004;139:2342-8.

12. Shi L, Zhang J, Wang Y, Caulfield LE, Guyer B. (2010). Effectiveness of an Educational In-tervention on Complementary Feeding Prac-tices and Growth in Rural China: a Cluster Randomized Controlled Trial. Public Health Nutr. 2010;13:556-65.

13. Bhandari N, Mazumder S, Bahl R, Martines J, Black RE, Bhan MK. An Educational In-tervention to Promote Appropriate Com-plimentary Feeding Practices and Physical growth in Infants and Young Children in Rural Haryana. India J Nutr. 2004;139:2342-8.

14. Abebe, Z., Haki, G.D., Baye, K. Health Ex-tension Workers’ Knowledge and Know-ledge-Sharing Effectiveness of Optimal Infant and Young Child Feeding are Associated with Mothers’ Knowledge and Child Stunting in Rural Ethiopia. Food Nutr Bull. 2016; 37:353-

363. 15. Rahmariza Emilia, Ikeu Tanziha, Dadang

Sukandar. Analisis Determinan Karakteris-tik Keluarga dan Pemenuhan Hak Kesehatan Anak serta Dampaknya terhadap Status Gizi. Jurnal MKMI. 2016;12(3):153-160.

16. Khomsan et al. Growth. Cognitive Develop-ment and Psychosocial Stimulation of Pre-school Children in Poor Farmer and Non-Farmer Householding. Bogor: Penelitian Neys van Hoogtraten Foundation. 2011.

17. Atmarita, Fallah TS. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. di dalam: Soekirman, Seta AK, Pribadi N, Martianto D, Ariani M, Jus’at I, Hardinsyah, Dahrulsyah, Firdausy CM, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. 2004.

18. Davidson Sarah Melati, Cesilia Meti Dwir-iani, Ali Khomsan. Densitas Gizi dan Mor-biditas serta Hubungannya dengan Status Gizi Anak Usia Prasekolah Pedesaan. Jurnal MKMI. 2018;14(3):251-259. DOI : http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i3.4551.

19. Adamu, Dube Jara, Mulunesh Alemayehu2 and Sahai Burrowes. Risk Factors Associated with Poor Health Outcomes for Children Un-der the Age of 5 with Moderate Acute Mal-nutrition in Rural Fagita Lekoma District, Awi Zone, Amhara, Ethiopia, 2016. BMC Nutri-tion. 2017;3(88). DOI 10.1186/s40795-017-0208-5.