PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN...

156
i PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN PENDAPATAN DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2012) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Disusun Oleh : Siti Aisyah 31401204620

Transcript of PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN...

i

PENGARUH DANA ALOKASI UMUM (DAU), DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), PENDAPATAN

ASLI DAERAH (PAD) DAN PENDAPATAN DOMESTIKREGIONAL BRUTO (PDRB)

TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL

(Studi Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah

Tahun 2010-2012)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu PersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Pada Fakultas Ekonomi

Program Studi Akuntansi Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Disusun Oleh :

Siti Aisyah31401204620

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI

2014

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Siti Aisyah

NIM : 31401204620

Jurusan : Akuntansi

Fakultas : Fakultas Ekonomi UNISSULA Semarang

menyatakan bahwa skripsi dengan judul :

“Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus

(DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan

Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Alokasi Belanja

Modal” dan diajukan untuk di uji pada tanggal:

12 September 2014

Adalah hasil karya saya

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa

dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau

sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara

menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat

atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau

pemikiran dari penulis lain yang saya akui seolah olah

sebagai tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat

bagian atau keseluruhan yang saya salin, tiru, atau

yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa

memberikan pengakuan penulis aslinya.

Saya bersedia menarik skripsi yang saya ajukan, apabila

terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau

meniru tulisan orang lain yang seolah-olah tulisan saya

sendiri. Dan saya bersedia bila gelar dan ijasah yang

diberikan universitas dibatalkan.

Semarang, 12 September

2014

Yang membuat pernyataan,

Siti Aisyah31401204620

HALAMAN MOTO

Dalam kerendahan hati ada ketinggian budiDalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwaDalam kesempitan hidup ada kekuasaan ilmu

Hidup memerlukan pengorbananPengorbanan memerlukan perjuanganPerjuangan memerlukan ketabahanKetabahan memerlukan keyakinanKeyakinan menentukan kejayaanKejayaan menentukan kebahagiaan

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu adakemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu adakemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (darisesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada

Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS(Al-'Asyr) 94:5-8)

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnyaAllah menyukai orang-orang yang bertawakal(kepada-Nya)” (QS Ali ‘Imraan:159).

Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuakutercinta, semoga aku selalu berbakti kepadanya menjadi

anak yang soleha, amien...

ABSTRAK

Pelaksanaan desentralisasi fiskal selainmemberikan kewenangan pada Pemerintah Daerah jugamempengaruhi kemampuan daerah untuk memenuhikepentingan publik sehingga penelitian ini bertujuanuntuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana AlokasiKhusus, Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik

Regional Bruto terhadap Alokasi Belanja Modal diProvinsi Jawa Tengah periode tahun 2010-2012.Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.Selanjutnya dalam penelitian ini, hanya berfokusmeneliti data keuangan Provinsi Jawa Tengah periodetahun 2010- 2012. Metode analisis dalam penelitian inimenggunakan uji regresi yang dilakukan dengan mengujiefek dari variabel independen ke variabel dependen.Analisis yang digunakan dalam penelitian adalahanalisis kuantitatif. Dengan mengunakan alat analisiskuantitatif yaitu uji asumsi klasik dan uji regresilinier berganda. Berdasarkan pengujian dan pembahasanyang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengujianuji asumsi klasik, yang terdiri dari ujimultikoliniaritas, uji heteroskedastisitas, ujiautokorelasi dan uji normalitas ternyata semua variabelbebas berpengaruh positif dan signifikan terhadapBelanja Modal. Sedangkan hasil pengujian regresi linierberganda yang terdiri dari Dana Alokasi Umum,DanaAlokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah dan ProdukDomestik Regional Bruto yang merupakan variabel bebassecara simultan atau (uji F) berpengaruh positif dansignifikan terhadap anggaran Belanja Modal di ProvinsiJawa Tengah. Dan secara parsial atau (uji t)menunjukkan bahwa hanya Dana Alokasi Umum danPendapatan Asli Daerah yang berpengaruh positif dansignifikan terhadap anggaran Belanja Modal sedangkanProduk Domestik Regional Bruto dan Dana Alokasi Khusustidak berpengaruh signifikan terhadap anggaran BelanjaModal.

Kata Kunci: Dana Alokasi Umum , Dana Alokasi Khusus,Pendapatan Asli Daerah, Produk Domestik Regional Brutodan Belanja Modal.

ABSTRACT

The implementation of fiscal decentralization inaddition to give authority to local governments alsoinfluence the ability of regions to meet the publicinterest. The aim of this study is to examine theinfluence of General allocation fund, specialallocation fund, regional own revenue, brutto regionaldomestic product to the Capital Budget Appropriation inCentral Java Province in 2010-2012. This research wasfield study research. The analysis used in the researchwas quantitative analysis. The quantitative analysistools were classic assumption test and multiple linearregression test. Based on the examination anddiscussion, it could be concluded that the classicalassumption test, which consists of multikoliniarititytest, heteroscedasticity, autocorrelation test and thetest of normality test which is all independentvariable positive and significant impact on thecapital expenditure budget. While the results ofmultiple linear regression test consisting of GeneralAllocation Fund, Special Allocation Fund, Regional ownRevenue and Brutto Regional Domestic Product which is

simultaneous or independent variable (F test) and asignificant positive effect on capital expenditurebudget in the province of Central Java. And partiallyor (t test) showed that only the General AllocationFund and the Local Revenue had positive and significantimpact on the budget, while Capital Expenditure BruttoRegional Domestic Product and the Special AllocationFund had no significant effect on the capitalexpenditure budget.

Keywords: General allocation fund, special allocation fund, regionalown revenue, brutto regional domestic product, and capital expenditur

KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Dana

Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK),

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik

Regional Bruto (PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal”.

Penulisan Skipsi ini telah melibatkan banyak

pihak yang tentunya dengan sepenuh hati telah

meluangkan waktu dan dengan penuh keikhlasan memberi

informasi yang dibutuhkan. Adapun pihak-pihak yang

telah ikut membantu dalam proses penulisan Skripsi ini

adalah:

1. Ibu Olivia Fachrunnisa, SE.,M.Si.,Ph.D selaku Dekan

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung.

2. Bapak Rustam Hanafi ,SE.,M.Sc., Akt, CA selaku Ketua

Jurusan Program Studi Akuntansi Universitas Islam

Sultan Agung Semarang.

3. Bapak Hendri Setyawan ,SE,MPA selaku dosen

pembimbing selaku pembimbing yang senantiasa

membimbing materi dalam proses penyusunan Skripsi

ini.

4. Bapak, Ibu, kakak, adik dan sahabat terima kasih

atas doa, dukungan dan semangatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi

pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.

Semarang, 12 September

2014

Peneliti

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI....................... ii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI.................. iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI....................... iv

HALAMAN MOTO...................................... v

ABSTRAKSI......................................... vi

KATA PENGANTAR....................................viii

DAFTAR ISI........................................ ix

DAFTAR TABEL......................................xiii

DAFTAR GAMBAR..................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN................................... xv

Halaman

BAB I PENDAHULUAN................................ 1

1.1 Latar Belakang.......................... 1

1.2 Rumusan Masalah......................... 9

1.3 Tujuan Penelitian....................... 10

1.4 Manfaat Penelitian...................... 11

BAB IITINJAUAN PUSTAKA........................... 12

2.1 Landasan Teori.......................... 12

2.1.1 Teori Keagenan..................... 12

2.1.2 Desentralisasi Fiskal di Indonesia. 14

2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) 16

2.1.4 Dana Alokasi Umum.................... 19

2.1.5 Dana Alokasi Khusus................. 22

2.1.6 Pendapatan Asli Daerah............ 24

2.1.7 Produk Domestik Regional Bruto............... 28

2.1.8 Pengalokasian Anggaran Belanja Modal 31

2.2 Penelitian

Terdahulu .............................................

..................................................32

2.3 Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan

Hipotesis 33

2.3.1 Hubungan Antara DAU terhadap

Pengalokasian Anggaran ...........................

Belanja................................. 34

2.3.2 Hubungan Antara DAK terhadap Pengalokasian

Anggaran

Belanja................................. 35

2.3.3 Hubungan Antara PAD terhadap

Pengalokasian Anggaran ...........................

Belanja................................. 36

2.3.4 Hubungan Antara PDRB terhadap

Pengalokasian Anggaran ...........................

Belanja................................. 37

2.4 Kerangka Pemikiran...................... 39

BAB III

METODE PENELITIAN.......................... 40

3.1 Jenis Penelitian ....................... 40

3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel

40

3.2.1 Variabel Dependen (Y): Pengalokasian

Anggaran Belanja ..........................

Modal................................... 40

3.2.2 Variabel Independen (X).............. 41

3.2.3.1 DAU (Dana Alokasi Umum)............ 41

3.2.3.2 DAK (Dana Alokasi Khusus).......... 41

3.2.3.3 PAD (PendapatanAsli Daerah)........ 42

3.2.3.4 PDRB (Pendapatan Domestik Regional

Bruto) 43

3.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel.. 43

3.4 Jenis dan Sumber data................... 44

3.5 Metode Pengumpulan Data................. 44

3.6 Metoda Analisis Data.................... 44

3.6.1 Statistik Deskriptif............... 45

3.6.2 Pengujian Asumsi Klasik............ 46

3.6.2.1 Uji Normalitas..................... 46

3.6.2.2 Uji Multikolonieritas.............. 46

3.6.2.3 Uji Heteroskedastisitas............ 47

3.6.2.4 Uji Autokorelasi................... 48

3.6.3 Pengujian Hipotesis................. 48

3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2).......... 49

3.6.3.2 Uji Simultan......................

49

3.6.3.3 Uji t (Uji Parsial)............... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............ 51

4.1 Deskripsi Sampel ....................... 51

4.2 Statistik Deskriptif.................... 51

4.3 Analisis Data...........................

54

4.3.1 Uji Asumsi Klasik.................. 54

4.3.1.1 Uji Normalitas..................... 54

4.3.1.2 Uji Multikolonieritas.............. 55

4.3.1.3 Uji Heteroskedastisitas............ 56

4.3.1.4 Uji Autokorelasi................... 57

4.3.2 Pengujian Hipotesis................ 58

4.3.2.1 Koefisien Determinasi (R2)......... 58

4.3.2.2 Uji Simultan (Uji F)............... 59

4.3.2.3 Uji t (Uji Parsial)................ 60

4.4 Pembahasan ............................. 62

BAB V PENUTUP..................................... 68

5.1

Kesimpulan.............................................

..................................................68

5.2 Keterbatasan ...........................

69

5.3 Saran .............................

69

5.4 Implikasi ............................. 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 ............................................Penelitian Sebelumnya

33

TABEL 4.1 Deskripsi Variabel Penelitian Jawa Tengah

2010-2012 ............................................52

TABEL 4.2 Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov ..........

55

TABEL 4.3 Uji Multikolonieritas....................

56

TABEL 4.4 Uji Heteroskedastisitas.....................

57

TABEL 4.5 Uji Autokorelasi Model Regresi..............

58

TABEL 4.6 Koefisien Determinasi.......................

59

TABEL 4.7 Uji Model F.................................

59

TABEL 4.8 ............................................Uji Model t

60

Halaman

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 ............................................Kerangka Berfikir

39

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN

Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2010

Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2011

Realisasi Pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2012

PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 s/d 2012

Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2010

Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2011

Laporan Realisasi Anggaran Pelaksanaan APBD Tahun 2012

Hasil Regresi Linier

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hubungan perimbangan antara pemerintah dan daerah,

menjadi kunci pokok keberhasilan pelaksanaan otonomi

daerah, karena daerah memerlukan sumber-sumber keuangan

guna membiayai belanja daerah. Semenjak dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (direvisi menjadi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) tentang

Pemerintahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun

1999 (direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004) tentang Perimbangan Keuangan, Undang-Undang

tersebut memisahkan fungsi Pemerintahaan Daerah

(Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi

tersebut, menunjukkan bahwa antara legislatif dan

eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim

& Abdullah, 2006). Peraturan perundang-undangan

tersebut secara implisit merupakan bentuk kontrak

antara eksekutif, legislatif, dan publik di dalam

pemerintahan.

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang

dijadikan dasar dalam pedoman Pemerintah Daerah dalam

pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

anggaran daerah sering disebut Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kota

dan kabupaten. APBD mempunyai peranan penting bagi

pembangunan daerah, karena APBD merupakan implementasi

dari kebijakan fiskal dan sekaligus operasionalisasi

pelaksanaan program-program pemerintah daerah. Seluruh

penerimaan dan pengeluaran Pemerintahaan Daerah baik

dalam bentuk uang, barang dan jasa pada tahun anggaran

yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar dkk, 2008).

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 proses

penyusunan anggaran melibatkan dua pihak yaitu

eksekutif (Pemerintahaan Daerah) dan legislatif (DPRD),

dimana masing-masing melalui sebuah tim atau panitia

anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana

operasionalisasi daerah yang mempunyai kewajiban

membuat draf/rancangan APBD. Sedangkan legislatif

bertugas mengesahkan rancangan APBD dalam proses

ratifikasi anggaran.

Penyusunan anggaran daerah diawali dengan membuat

kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang

Kebijakan Umum APBD (KUA), Prioritas dan Plafon

Anggaran yang menjadi pedoman dalam penyusunan anggaran

pendapatan dan anggaran belanja. Dalam pembuatan

rancangan APBD yang sesuai dengan kebijakan umum APBD,

Prioritas dan Plafon Anggaran pihak eksekutif

menyerahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan

dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai

Peraturan Daerah. Dalam prespektif keagenan, hal

tersebut merupakan bentuk kontrak (incomplete

contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk

mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Darwanto

dan Yustikasari, 2007).

Desentralisasi fiskal yang dimiliki pemerintah

daerah memberikan kewenangan yang besar kepada daerah

tersebut untuk menggali potensi yang ada sebagai sumber

pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah

dalam rangka pelayanan publik. Dalam penjelasan Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan

daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri

dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil

pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-

lain PAD yang sah.

Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat

diperbaiki dengan melakukan perbaikan manajemen

kualitas jasa (service quality management), yaitu upaya

meminimalisi kesenjangan (gap) antara tingkat

layanan dengan harapan konsumen (Bastian, 2010).

Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu

mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik

karena belanja modal merupakan salah satu langkah

bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan

kepada publik. Darwanto dan Yustikasari (2007)

menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja

seharusnya dialokasikan untuk hal-hal produktif,

misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah

daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program

layanan publik. Kedua pendapat tersebut menyatakan

bahwa pengalokasian anggaran belanja modal untuk

kepentingan publik sangatlah penting. Untuk dapat

meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu

diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap

pangalokasian belanja modal, seperti pertumbuhan

ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan

Dana Alokasi Khusus.

Dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintahaan Daerah,

Pemerintahaan Pusat akan mentransfer dana perimbangan

yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi

Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil pada pemerintah daerah

untuk mendukung pelaksanaan otonomi dan desentralisasi

fiskal. Dengan adanya dana transfer dari Pemerintah

Pusat, pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan

roda pemerintahan secara efektif dan efisien dalam

meningkatan pelayanan publik.

Kemampuan keuangan yang tidak sama di masing-

masing daerah dalam mendanai kegiatannya, menimbulkan

ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah

lainnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam

mengatasi ketimpangan fiskal tersebut yaitu dengan

pemerintah memberikan alokasi dana yang bersumber dari

APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan

desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari

pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang

pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan

keadilan yang selaras dengan penyelenggaran urusan

pemerintahaan (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).

Dengan adanya transfer dana dari pusat tersebut

diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan

PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di

daerahnya.

Pemerintahaan Pusat memberi pendelegasian wewenang

kepada Pemerintahan Daerah disertai dengan pengalihan

dana, sarana dan prasana serta Sumber Daya Manusia

(SDM). Pengalihan dana diwujudkan dalam bentuk dana

perimbangan yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana

Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan

untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional yang

telah ditetapkan. Pemanfaatan DAK diarahkan pada

kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan,

dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur

ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik

penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Dengan

adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi

belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset

tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan

pelayanan publik.

Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu

tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah

pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong Pemerintah Daerah

untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola

sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan

baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan

ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Salah

satu indikator utama keberhasilan pembangunan ekonomi

ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan

pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi

perbaikan kesejahteraan. Namun yang terjadi peningkatan

pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan

peningkatan belanja modal, hal tersebut dapat dilihat

dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan

dengan total anggaran belanja daerah.

Dalam pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran

belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan

kepentingan-kepentingan politis. Anggaran yang

sebenarnya bertujuan memenuhi kebutuhan publik terhadap

sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh

pemerintah daerah. Namun, dengan adanya kepentingan

politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam

penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja

modal terdistorsi dan menjadi tidak efektif dalam

mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat (Keefer

dan Khemani, 2003 dalam Halim 2004).

Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk

aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan

diharapkan mampu menciptakan produktivitas perekonomian

di masyarakat, karena semakin tinggi belanja modal

semakin tinggi pula produktivitas perekonomian.

Seharusnya pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan

kualitas pelayanan publik melakukan perubahan komposisi

belanja, karena selama ini belanja daerah lebih banyak

digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang

produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan

belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang

produktif seperti untuk melakukan aktivitas pembangunan

pelayanan publik. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Stine (1994) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007)

menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih

banyak untuk program–program pelayanan publik. Kedua

hasil penelitian diatas ini menyiratkan pentingnya

pengalokasian belanja untuk berbagai kepentingan

publik.

Fenomena praktik dalam penyusunan anggaran, usulan

yang diajukan oleh eksekutif memiliki muatan

mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith dan Bertozzi,

1998 dalam Darwanto dan Yustikasari 2007). Eksekutif

mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya,

baik dari segi finansial maupun nonfinansial. Sementara

Darwanto dan Yustikasari (2007) maupun Putro (2010),

menyatakan bahwa anggaran juga digunakan oleh

legislatif untuk memenuhi self-interestnya. Hal ini

berarti banyak anggaran belanja daerah tidak digunakan

untuk belanja modal melainkan untuk belanja yang

lainnya.

Menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi

Anggaran (FITRA) dalam www.seknasfitra.ord (diakses

Februari 2014) menunjukkan bahwa beban belanja pegawai

pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN 2012,

belanja pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi,

sebesar Rp. 215,7 triliun. Bahkan mengalahkan belanja

subsidi yang selama ini mendominasi. Potret yang sama

terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011,

terdapat 124 daerah yang beban belanja pegawainya

melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya mencapai 70%.

Analisis Kemenkeu juga menunjukan, belanja pegawai

terbesar di Kabupaten Demak dengan mencapai 89%.

Di Jawa Tengah komposisi Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) Jateng 2013 juga dinilai tidak

ideal, sebab perbandingan antara alokasi belanja tidak

langsung dengan belanja langsung memiliki perbedaan

yang tinggi, yakni 73,43 % dan 26,57 % . Sebelumnya

atau pada tahun 2012, perbandingan belanja tidak

langsung dibandingkan belanja langsung ialah 60% dan

40% (www.suaramerdeka.com, akses Januari 2014).

Belanja tidak langsung di antaranya untuk belanja

pegawai sedangkan belanja langsung meliputi berbagai

kebutuhan pembelanjaan sarana prasarana masyarakat

seperti perbaikan jalan dan jembatan. Semakin besarnya

anggaran belanja tidak langsung ini menjadikan

masyarakat kurang bisa merasakan dampak APBD secara

optimal.

Komposisi anggaran idealnya harusnya berbalik, di

mana belanja langsung bisa lebih besar. Komposisi

anggaran yang tidak ideal dapat membuat pemerintah

daerah sulit untuk melaksanakan pembangunan karena

kurangnya dana untuk membiayai pembangunan

infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam

upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, padahal dalam

anggaran belanja daerah, pemerintah daerah juga

mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah pusat.

Dari latar belakang diatas menjelaskan bahwa

pengalokasian anggaran belanja modal untuk kepentingan

publik sangatlah penting maka dari pemanfaatan belanja

hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif seperti

aktivitas pembangunan. Hasil penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007)

menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli

daerah, dan dana alokasi umum berpengaruh signifikan

terhadap belanja modal. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Tuasikal (2008) menunjukkan bahwa

variabel dana alokasi umum, dana alokasi khusus,

pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap

belanja modal, namun pendapatan domestik regional

bruto tidak berpengaruh terhadap belanja modal.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan

Sugiartiana (2012) yang memperoleh hasil bahwa pada

variabel pertumbuhan ekonomi (PDRB) mempunyai korelasi

yang tinggi terhadap variabel independen lainnya, maka

variabel tersebut harus dihapuskan/dihilangkan, pada

variabel pendapatan asli daerah memiliki hasil bahwa

variabel PAD tidak berpengaruh positif terhadap belanja

modal dan pada variabel dana alokasi umum memperoleh

hasil bahwa DAU berpengaruh positif tetapi tidak

signifikan terhadap belanja modal. Dari hasil

penelitian terdahulu tersebut menggambarkan bahwa

adanya kontradiksi hasil yang berbeda yang telah

dilakukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian kembali

terhadap variabel tersebut.

Penelitian ini mengacu pada penelitian Sugiartiana

(2012) yaitu untuk membuktikan pengaruh Dana Alokasi

Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli

Daerah (PAD) Dan Pendapatan Domestik Regional Bruto

(PDRB) Terhadap Alokasi Belanja Modal.

Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini jika

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dalam

penelitian ini peneliti menambahkan variabel independen

yaitu Dana Alokasi Khusus (DAK). Penelitian ini

dilakukan pada lingkup lokasi yang lebih luas yaitu

wilayah Provinsi Jawa Tengah. Peneliti menggunakan

periode penelitian 2010-2012, karena dengan menggunakan

data tiga tahun terakhir dari penyusunan penelitian

diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan

untuk kondisi belanja modal saat ini.

1.2 Rumusan Masalah

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia

memakai system terpusat, dimana segala sesuatu

diputuskan dan ditentukan oleh pemerintah pusat, dengan

demikian daerah-daerah wajib patuh dan tunduk pada

pemerintah pusat, oleh karena itu perkembangan daerah

sangat tidak merata. Sedangkan pada masa Reformasi

bergulir, dijalankan sistem otonomi daerah dimana

daerah berhak mengatur daerahnya sendiri dengan

batasan-batasan tertentu.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, dimana

pemerintah pusat wajib menjaga perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan daerah, maka Pemerintah

pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah

berupa Dana Alokasi Umum (DAU) untuk membiayai

pembangunan pemerintah daerah, disamping hal itu

Pemerintah Daerah diharapkan mampu mencari sumber dana

sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk

membantu pembiayaan pada Belanja Daerah.

Berdasarkan pada perbedaan hasil penelitian

sebelumnya (Darwanto dan Yustikasari (2007) , Tuasikal

(2008) dan Sugiartiana (2012) , serta keterbatasan yang

ditemui dalam penelitian sebelumnya, maka pertanyaan

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh

terhadap anggaran belanja modal ?

2. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh

terhadap anggaran belanja modal ?

3. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh

terhadap anggaran belanja modal ?

4. Apakah PDRB berpengaruh terhadap anggaran belanja

modal ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi

Umum (DAU) terhadap anggaran belanja modal.

2. Memberikan bukti empiris pengaruh Dana Alokasi

Khusus (DAK) terhadap anggaran belanja modal.

3. Memberikan bukti empiris pengaruh Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap anggaran belanja modal.

4. Memberikan bukti empiris pengaruh PDRB terhadap

anggaran belanja modal

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan

manfaat diantaranya :

1. Bagi Pemerintahan Daerah, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi pentingnya

mengoptimalkan potensi lokal yang dimiliki daerah

untuk peningkatan kualitas pelayanan publik demi

kemajuan daerah.

2. Bagi penelitian selanjutnya, sebagai sumber

referensi dan informasi untuk memungkinkan

penelitian selanjutnya tentang topik ini.

3. Bagi akademik memberikan sumbangan terhadap ilmu

pengetahuan untuk dijadikan bahan pembelajaran.

Serta sebagai bahan referensi dan data tambahan

bagi penelitian-penelitian lainnya yang tertarik

pada bidang kajian ini.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan

Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan

keagenan merupakan sebuah persetujuan (kontrak) di

antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen,

dimana prinsipal memberi wewenang kepada agen

untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal

(Jensen dan Meckling, 1976 dalam McCue dan Prier).

Hubungan prinsipal dan agen terjadi apabila tindakan

yang dilakukan seseorang mempunyai pengaruh kepada yang

lain yaitu ketika seseorang sangat bergantung pada

tindakan orang lain, dimana ketergantungan tersebut

diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur

institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma

perilaku dan konsep kontrak.

Hubungan antara eksekutif/birokrasi dengan

legislatif/kongres dinyatakan sebagai self-interest model

(Johnson, 1994). Dalam hubungan tersebut pihak

legislatif ingin dipilih kembali, birokrat ingin

memaksimumkan anggarannya, dan konstituen ingin

memaksimumkan utilitasnya. Oleh karena itu agar

legislator terpilih kembali, mereka mencari cara dalam

program dan projects yang mereka buat supaya mereka

menjadi poluler di mata konstituennya. Sebagai birokrat

dalam rangka mengembangkan agency-nya, mereka

mengusulkan program-program yang bisa mendatangkan

benefit untuk pemerintah. Dalam hal tersebut apabila

semua pihak dapat bertemu dalam kepentingan yang sama,

maka konsensus di antara legislator dan birokrat

merupakan keniscayaan, bukan pengecualian.

Scott (2000) dalam Bangun (2009) menjelaskan

bahwa teori keagenan merupakan cabang dari game

theory yang mempelajari suatu model kontraktual

dimana mendorong agen untuk bertindak bagi

prinsipal saat kepentingan agen bisa saja

bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal

pendelegasian pertanggungjawaban atas pengambilan

keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung

jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja

atas persetujuan bersama.

Dalam kenyataannya, wewenang yang diberikan

prinsipal kepada agen sering mendatangkan masalah

karena tujuan prinsipal berbenturan dengan tujuan

pribadi agen. Dengan kewenangan yang dimiliki,

manajemen bisa bertindak dengan hanya menguntungkan

dirinya sendiri dan mengorbankan kepentingan

prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan

informasi yang dimiliki oleh keduanya, sehingga

timbul adanya asimetri informasi (asymmetric

information). Mursalim (2005) dalam Bangun (2009)

menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak

dimiliki oleh agen dapat memicu untuk melakukan

tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan

kepentingan untuk memaksimalkan utiliti (self-

interest). Sedangkan bagi prinsipal akan sulit

untuk mengontrol secara efektif tindakan yang

dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit

informasi yang ada.

2.1.2.Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu tujuan

desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk

menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,

sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan

lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi

bahwa pemerintah kabupaten dan kota memiliki pemahaman

yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi

masyarakat mereka daripada pemerintah pusat.

Desentralisasi yang terfokus pada tingkat kabupaten

dan kota berada pada level ketiga setelah pemerintah

pusat dan provinsi. Beberapa pengamat menyarankan bahwa

desentralisasi harus dilaksanakan pada tingkat provinsi

karena provinsi dianggap lebih memiliki kapasitas yang

besar untuk menangani seluruh tanggung jawab yang

dilimpahkan dari pada kabupaten dan kota. Walaupun

demikian, sudah tidak menjadi rahasia umum bahwa

pemerintah pusat merasa tidak diuntungkan secara

politis jika harus membentuk pemerintahan otonom

provinsi yang kuat.

Menurut pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan

daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang

berskala kabupaten/kota meliputi:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata

ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah sosial;

h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan

menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh

peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat

pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata

ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.

Pada hakikatnya, terdapat tiga prinsip dalam

implementasi otonomi daerah di Indonesia (Sri Rahayu,

2010), yaitu:

1. Desentralisasi, yaitu adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada kabupaten/kota

sehingga otonomi lebih dititik beratkan pada daerah

tersebut.

2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai

wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu.

3. Tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah

kepada daerah dan/atau desa dan pemerintah provinsi

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari

pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk

melaksanakan tugas tertentu.

2.1.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Pembentukan pemerintahan di daerah pada prinsipnya

adalah untuk lebih memberdayakan peran serta pemerintah

dan masyarakat di daerah dalam pembangunan wilayah.

Mardiasmo (2004:59) menyatakan bahwa tujuan utama

penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk

meningkatkan pelayanan publik dan memajukan

perekonomian daerah.

Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 16

tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa:

1. APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah yang

ditetapkan setiap tahun dengan peraturan Daerah.

2. APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, Anggaran

Belanja, dan Pembiayaan.

3. Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli

Daerah.

4. Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi,

dan jenis belanja.

Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2008 Pasal 1

ayat 1 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran

2009 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan

pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama

oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan

peraturan daerah. Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun

2006 Pasal 22 ayat 1, struktur APBD merupakan satu

kesatuan yang terdiri dari: Pendapatan Daerah, Belanja

Daerah, dan Pembiayaan Daerah.

Halim (2007) menyatakan bahwa APBD merupakan

rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam

bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu

(satu tahun) serta merupakan salah satu instrument

utama kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum

dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Anggaran daerah

digunakan sebagai alat untuk menentukan besar

pendapatan dan pengeluaran, membantu dalam pengambilan

keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi

pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber

pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi

kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat

koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit

kerja.

Pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan

tanggung jawab Kepala Daerah atas pelaksanaan APBD

sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Pada Undang-

Undang Nomor 17 pasal 6 Tahun 2003 presiden selaku

kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan

pemerintahan. Kekuasaan itu antara lain: diserahkan

kepada Bupati selaku kepala pemerintahan daerah untuk

mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah

daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang

dipisahkan. Penganggaran memerlukan kerjasama para

pimpinan satuan kerja dalam organisasi pemerintahan.

Struktur organisasi satuan kerja menunjukkan tanggung

jawab setiap pelaksana anggaran. Setiap pelaksana

bertanggung jawab untuk menyiapkan dan mengelola elemen

anggarannya masing - masing.

Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku

Pengguna Anggaran menyusun Laporan Keuangan sebagai

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja

Perangkat Daerah yang bersangkutan. Laporan keuangan

tersebut harus disampaikan oleh Kepala SKPD kepada

Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku

Bendahara Umum Daerah yang menyusun laporan keuangan

sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan

daerah. Laporan Keuangan tersebut oleh PPKD disampaikan

kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk memenuhi

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Selanjutnya

laporan keuangan pemerintah daerah ini disampaikan oleh

Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan

setelah tahun anggaran berakhir.

Penyusunan APBD merupakan kegiatan pertama dan

utama dalam proses anggaran. Proses penyususnan

anggaran dimulai dari eksekutif dalam hal ini Bappeda,

Dinas Keuangan dan BPKD. Biro Keuangan serta institusi

yang terkait dalam perencanaan pembuatan draf/

rancangan oleh suatu komite atau panitia yang kemudian

akan diserahkan kepada legislatif untuk dibahas dan

disepakati bersama pemerintah. Dalam perspektif

keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete

contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk

mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Pengalokasian sumber daya ke dalam belanja modal

(capital expenditure) merupakan sebuah proses yang sarat

dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran yang

diberikan pemerintah daerah secara cuma-cuma

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana

dan prasarana umum. Namun, adanya kepentingan politik

dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses

penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal

terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan

permasalahan di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003

dalam Putro, 2010). Dalam konteks pengelolaan keuangan

daerah, anggaran belanja modal sangat berkaitan dengan

perencanaan keuangan jangka panjang, terutama

pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang

dihasilkan dari belanja modal tersebut. Hal ini berarti

bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan

kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan

pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan

aset tersebut.

2.1.4. Dana Alokasi Umum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana

Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi.

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu alat

bagi pemerintah pusat untuk mewujudkan pemerataan

pembangunan di Indonesia dengan tujuan mengurangi

ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan

pajak antara Pusat dan Daerah, yang telah diatasi

dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan

Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal

sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri).

Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU

akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh

sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan

pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini

sesuai dengan prinsip fiscal gap yang dirumuskan oleh

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen

Keuangan yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh

suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kota) ditentukan

dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, di mana

kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan

daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity).

Dengan begitu DAU dapat digunakan untuk menutup

celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi

dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan

konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-

daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih

kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai

kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU

yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah,

khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat

memperoleh DAU yang negatif.

Dalam pengaturan keuangan menurut Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 1999 adalah provisi berupa transfer

antar pemerintah dari pusat ke kabupaten dan kota yang

disebut dengan dana alokasi umum dan dana alokasi

khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer yang

bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua

kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan

antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan

didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-

pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa

daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih

banyak dari pada daerah yang kaya. Dengan kata lain

tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan

kemampuan penyediaan pelayanan publik antar Pemerintah

Daerah di Indonesia (Kuncoro, 2004).

DAU yang dibagikan kepada daerah berasal dari APBN

dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar

daerah dan nilainya minimum 25% dari anggaran rutin

dalam APBN. Dana ini dialokasikan 10% untuk provinsi

dan 90% untuk Kabupaten / Kota.

Hal tersebut bertujuan untuk pemerataan kemampuan

keuangan antar daerah dalam mengurangi ketimpangan

kemampuan keuangan antar daerah melalui penetapan

formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi

daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya

celah fiskal yang merupakan selisih antara kebutuhan

daerah dan potensi daerah. Dalam penjelasan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 ditegaskan kembali mengenai

formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU.

Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar

tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi

DAU relatif kecil begitu pula sebaliknya. Secara

implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU

sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

2.1.5.Dana Alokasi Khusus

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004, Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang

bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada

daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan

sesuai dengan prioritas nasional. Dalam website

www.depkeu.djpk.go.id kebijakan DAK bertujuan :

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan

kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional,

dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana

dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang

telah merupakan urusan daerah.

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan

prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil,

daerah perbatasan dengan negara lain, daerah

tertinggal/ terpencil, daerah rawan

banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah

ketahanan pangan dan daerah pariwisata.

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan

kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi

terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus

di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta

infrastruktur.

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap

pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui

kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur.

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta

mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan

mengurangi risiko bencana melalui kegiatan

khusus di bidang lingkungan hidup, mempercepat

penyediaan serta meningkatkan cakupan dan

kehandalan pelayanan sarana dan prasarana dasar

dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui

kegiatan khusus di bidang infrastruktur.

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang

terkena dampak pemekaran pemerintah kabupaten,

kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di

bidang prasarana pemerintahan.

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi

kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan

yang didanai dari anggaran Kementerian/ Lembaga dan

kegiatan yang didanai dari APBD.

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi

dan tugas pembantuan yang digunakan untuk

mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan

daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari

anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen

Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan.

Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan

investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan

perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur

ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana

fisik penunjang. Dengan adanya pengalokasian DAK

diharapkan dapat mempengaruhi pengalokasian anggaran

belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah

aset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan

pelayanan publik.

2.1.6.Pendapatan Asli Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal

1, “Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang

diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya

sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah

sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang

berlaku”. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber

penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang

digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam

membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk

memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana dimaksud

dalam pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 25 tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan

yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya

sendiri, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari

pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sejumlah nilai uang

yang diterima dari masyarakat/sumber-sumber dalam

wilayahnya sendiri selama tahun takwim (kalender), guna

membiayai setiap pengeluaran-pengeluaran baik

pengeluaran rutin dan selebihnya dipergunakan untuk

biaya pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku.

Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan

pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan

bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri: Pajak

Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan

daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang sah.

1. Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1997 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah,

yang dimaksud dengan “Pajak Daerah yang selanjutnya

disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan

oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan Daerah, pembangunan

Daerah.

Tarif pajak untuk daerah Tingkat I diatur

dengan peraturan pemerintah dan penetapannya

seragam diseluruh Indonesia. Sedang untuk daerah

Tingkat II, selanjutnya ditetapkan oleh peraturan

daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang

pajak tidak dapat berlaku surut. Memperhatikan

sumber pendapatan asli daerah sebagaimana diatas,

terlihat bahwa sumber pendapatan daerah berupa pajak

daerah sangat bervariasi.

2. Retribusi Daerah

Di samping pajak daerah, sumber pendapatan

asli daerah yang cukup besar peranannya dalam

menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli

daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah

merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang

dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung

atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah

daerah kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan retribusi

adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa

atau pemberian izin tertentu yang khusus

disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah

Daerah (Pemda) oleh kepentingan orang pribadi atau

badan.

Jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa

dengan adanya retribusi daerah tersebut dapat

langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan,

karena kendaraan tertentu memang melewati jalan di

mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi pasar

dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar

tertentu oleh si pembayar retribusi. Tarif

retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan

retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau

mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya.

Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di

suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi

yang dikenakan. Jadi sesungguhnya dalam hal pemungutan

iuran retribusi itu dianut asas manfaat (benefit

principles). Dalam asas ini besarnya pungutan

ditentukan berdasarkan manfaat yang diterima oleh

si penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan

oleh pemerintah. Namun yang menjadi persoalannya

adalah dalam menentukan berapa besar manfaat yang

diterima oleh orang yang membayar retribusi

tersebut dan menentukan berapa besar pungutan

yang di pungut.

3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil

Pengelolaan Milik Daerah Yang Dipisahkan

Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil

Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang Dipisahkan

Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran

penting setelah pajak daerah dan retribusi daerah

adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD.

Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka

menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan

ekonomi daerah. Selain itu, BUMD merupakan cara

yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan

merupakan salah satu sumber pendapatan daerah.

Jenis pendapatan yang termasuk hasil-hasil

pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan,

antara lain laba, dividen, dan penjualan saham milik

daerah.

4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah

Hasil usaha daerah lain dan sah adalah Pendapatan

Asli daerah (PAD) yang tidak termasuk kategori pajak,

retribusi dan perusahaan daerah (BUMD). Lain-lain

pendapatan asli daerah yang sah, antara lain

hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa giro

Realitas hubungan fiskal antara pusat dan daerah

ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses

pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya

proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah dibanding

besarnya subsidi yang diberikan dari pusat. Indikator

desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan

total pendapatan daerah. PAD terdiri atas pajak-pajak

daerah, retribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba

bersih dari perusahaan daerah (BUMD) dan penerimaan

lain –lain.

2.1.7. Produk Domestik Regional Bruto

Proses pembangunan mencakup perubahan pada

komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan

(alokasi) sumber daya produksi diantara sektor-sektor

kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi

kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan

pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan

dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output

perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) perkapita. Boediono (dalam Putro, 2010)

menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses

kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian

indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam kurun

waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh, dua puluh,

lima puluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi

akan terjadi artinya harus berasal dari kekuatan yang

ada di dalam perekonomian itu sendiri.

Ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi

adalah produk domestik bruto (PDB) yang mengukur total

nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu negara

atau nasional dan PDRB untuk mengukur total nilai

barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau

lokal. PDB digunakan untuk banyak tujuan tetapi yang

paling penting adalah untuk mengukur ke seluruh

performa dari suatu perekonomian.

Blakely (1994) dalam Darwanto dan Yustikasari

(2007) mengemukakan akan pentingnya peran pemerintah,

dengan mengemukakan sejumlah faktor yang mempengaruhi

pembangunan daerah. Faktor-faktor tersebut adalah

sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal,

kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi

sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi

perekonomian internasional, kapasitas pemerintah

daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan

pembangunan. Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan

semakin tinggi tingkat pertumbuhan perekonomian tentu

akan mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta

maupun pemerintah. Hal inilah mengakibatkan pemerintah

lebih leluasa dalam menyusun anggaran belanja modal.

Menurut pandangan tokoh ekonom klasik (Adam Smith,

David Ricardo, Thomas Robert Malthis, dan John Stuart

Mill), maupun ekonom neoklasik (Robert M.Solow, J.R

Hicks, Irving Fisher dan Gossen), pada dasarnya ada

empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,

yaitu (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang

modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, (4) tingkat

teknologi yang digunakan (Sanusi, 2004). Suatu

perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau

berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih

tinggi dibanding apa yang dicapai pada masa sebelumnya.

Menurut Boediono (1985) dalam Prathama dan Mandala

(2005), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses

mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis.

Para teoretikus ilmu ekonomi pembangunan masa kini,

masih terus menyempurnakan makna, hakikat, dan konsep

petumbuhan ekonomi. Para teoretikus tersebut menyatakan

bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan

pertambahan PBD dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot

yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan,

kebahagiaan, rasa aman, dan tentram yang dirasakan

masyarakat luas (Arsyad, 1999).

PDB adalah total output (produksi) yang dihasilkan

oleh suatu perekonomian. Cara perhitungan dalam

praktiknya adalah dengan membagi-bagi perekonomian

menjadi beberapa sektor produksi (industrial origin).

Jumlah output masing -masing sektor merupakan jumlah

output seluruh perekonomian. Hanya saja, ada

kemungkinan bahwa output yang dihasilkan suatu sektor

perekonomian berasal dari output sektor lain. Atau bisa

juga merupakan input bagi sektor ekonomi juga atau lain

lagi.

Dengan kata lain, jika tidak berhati-hati akan

terjadi perhitungan ganda (double counting) atau bahkan

multiple counting. Akibatnya PDB bisa menggelembung

beberapa kali lipat dari angka yang sebenarnya. Untuk

menghindarkan hal diatas maka dalam perhitungan PDB

dengan metode produksi yang dijumlahkan adalah nilai

tambah ( value added ) masing-masing sektor.

Yang dimaksud nilai tambah adalah selisih antara

nilai output dengan nilai input antara .

Dimana :

NT = Nilai Tambah

NO = Nilai Output

NI = Nilai Input antara

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah

jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari sektor

perekonomian di wilayah itu. Yang dimaksud dengan nilai

tambah bruto adalah nilai produk (output) dikurangi 1

(satu) dengan biaya antara. Nilai tambah bruto

NT= NO-NI

mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan

gaji) bunga sewa, tanah dan keuntungan. Dengan

menghitung nilai tambah tersebut dapat diketahui jumlah

PDRB nya.

2.1.8.Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik kepada

masyarakat, setiap Pemerintah Daerah perlu menyusun

prioritas belanja modal dan perencanaan yang baik

sehingga dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala

yang dihadapi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71

Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,

belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan

dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih

dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya

adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang

sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,

serta meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah

merupakan akibat adanya belanja modal menjadi syarat

utama dalam memberikan pelayanan publik. Dalam

meningkatkan kuantitas aset tetap, pemerintah daerah

mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja

modal dalam APBD, yang setiap tahunnya Pemda selalu

melakukan pengadaan aset tetap sesuai dengan prioritas

anggaran dan pelayanan publik yang dapat memberikan

dampak jangka panjang secara finansial.

Kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki dengan

melakukan perbaikan manajemen kualitas jasa (service

quality management), yaitu upaya meminimalisi

kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan

harapan konsumen (Bastian, 2010). Dengan demikian,

Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan

anggaran belanja modal dengan baik karena belanja

modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah

Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik.

Dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik dapat

dilihat dari optimalisasi penerimaan PAD yang hendaknya

didukung dengan upaya Pemerintah Daerah dengan

meningkatkan kualitas layanan publik. Eksploitasi PAD

yang berlebihan justru akan semakin membebani

masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan

mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo dalam

Tuasikal, 2008).

Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja

modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang

berpengaruh terhadap pengalokasian belanja modal,

seperti pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah

(PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi

Khusus (DAK}

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan

dengan variabel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya

NO Peneliti danTahun Variabel

HASIL

1 Syukriy Abdullahdan Abdul Halim (2004)

Dana AlokasiUmum

Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan terhadapBelanja Pemerintah Daerah

Pendapatan AsliDaerah

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadapBelanja Pemerintah Daerah

Belanja Pemerintah Daerah

2Yulia Yustikasari dan Darwanto (2007)

Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomiberpengaruh signifikan terhadapBelanja Modal

Pendapatan AsliDaerah

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadapBelanja Modal

Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal Belanja Modal

3 Iin Indarti Sugiartana (2012)

PertumbuhanEkonomi (PDRB)

Pertumbuhan Ekonomi(PDRB) mempunyai korelasi yang tinggi dengan variabel independenmaka variabel tersebut dihapuskan/dihilangkan

Pendapatan AsliDaerah

Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh positifterhadap Belanja Modal

Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum berpengaruh positiftetapi tidak signifikan terhadapBelanja Modal Belanja Modal

NO Peneliti danTahun Variabel HASIL

4 Askam Tuasikal (2008)

Dana AlokasiUmum

Dana Alokasi Umum berpengaruh positifterhadap Belanja Modal

Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khususberpengaruh positifterhadap Belanja Modal

Pendapatan AsliDaerah

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal

Produk DomestikRegional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal Belanja Modal

2.3 Hubungan Logis Antara Variabel dan Perumusan

Hipotesis

2.3.1 Hubungan Antara DAU Terhadap Pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

Dana perimbangan keuangan merupakan

konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,

terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN

dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Pemerintah daerah dapat menggunakan dana

perimbangan keuangan (DAU) untuk memberikan

pelayanan kepada publik yang direalisasikan

melalui belanja modal (Solikin, 2010). Hasil

penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007)

menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan

signifikan antara DAU dengan belanja modal.

Penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin

memperkuat bukti empiris tersebut. Mereka menemukan

bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik,

bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu

ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer

pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Hal

ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa

perilaku belanja daerah khususnya belanja modal

akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.

Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan

semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal

juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah

yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi

untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan

meningkat. Untuk itu hipotesis pertama yang dihasilkan

adalah sebagai berikut:

H1 : DAU berpengaruh positif terhadap pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

2.3.2 Hubungan Antara DAK Terhadap Pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

Dana perimbangan merupakan perwujudan hubungan

keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah.

Salah satu dana perimbangan adalah Dana Alokasi

Khusus, DAK merupakan dana yang bersumber dari

APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah

untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah dan prioritas nasional. Tujuan DAK

untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang

harus ditanggung oleh pemerintah daerah.

Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi

pembangunan, pengadaan, peningkatan perbaikan sarana

dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur

ekonomis panjang. Dengan diarahkannya pemanfaatan

DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat

meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan

dalam belanja modal. Selain itu ada yang berpendapat

bahwa Dana Alokasi Khusus merupakan salah satu

sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini

mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara

pemberian dana transfer dari pemerintah pusat

(DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah

melalui belanja modal. Berdasarkan landasan teori

dan hasil penelitian sebelumnya tersebut maka

menghasilkan hipotesis sebagai berikut:

H2 : DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

2.3.3 Hubungan Antara PAD Terhadap Pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanakan

kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat

dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam

menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar

pendapatan asli daerah yang diterima, maka semakin

besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam

melaksanakan kebijakan otonomi. Pelaksanaan otonomi

daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik

dan memajukan perekonomian daerah. Salah satu cara

untuk meningkatkan pelayanan publik dengan

melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang

direalisasikan melalui belanja modal (Solikin, 2010).

Menurut Mardiasmo (2004), Pendapatan Asli

Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak

daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik

daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah

yang sah. Belanja Modal adalah pengeluaran

anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya

yang memberi manfaat lebih dari satu periode

akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain

belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan

bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim,

2004).

Darwanto (2007) menyatakan bahwa Pendapatan Asli

Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap

alokasi belanja modal. Temuan ini dapat

mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah

satu faktor penentu dalam menentukan belanja

modal. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD

disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan

pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja

modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah

dengan mempertimbangkan PAD yang diterima.

Sehingga apabila Pemerintah Daerah ingin

meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik

dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemerintah Daerah

harus menggali PAD yang sebesar-besarnya. Berdasarkan

landasan teori dan beberapa hasil penelitian

diatas maka hipotesis berikutnya adalah sebagai

berikut :

H3 : PAD berpengaruh positif terhadap pengalokasianAnggaran Belanja Modal

2.3.4 Hubungan Antara PDRB Terhadap PengalokasianAnggaran Belanja ModalKebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang

diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

dan mengurus tiap-tiap daerah. Hal ini mendorong

pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Tetapi, kemampuan daerah yang satu dengan daerah

yang lainnya dalam mengelola potensi lokalnya dan

ketersediaan sarana prasarana serta sumber daya sangat

berbeda. Perbedaan ini dapat menyebabkan

pertumbuhan ekonomi yang beragam antara satu daerah

dengan daerah lainnya (Putro, 2010).

Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan

output perkapita yang diukur dengan Produk Domestik

Regional Bruto. Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk

peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut

penelitian Lin dan Liu (2000) dalam Darwanto (2007)

bahwa upaya desentralisasi memberikan pengaruh

yang sangat berarti terhadap pertumbuhan ekonomi

daerah. Oates (1995) dalam Lin dan Liu (2000) dalam

Darwanto (2007) membuktikan bahwa antara desentralisasi

dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

positif dan signifikan. Darwanto (2007) menyatakan

bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pembangunan. Faktor-faktor tersebut antara lain

sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal,

kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi

sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi

perekonomian internasional, kapasitas pemerintah

daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan

pembangunan.

Berdasarkan landasan teori dan argumen di

atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan

otonomi daerah mendorong terciptanya pertumbuhan

ekonomi suatu daerah. Dimana pertumbuhan ekonomi

masing-masing daerah berbeda-beda sesuai dengan

potensi tiap-tiap daerah. Sehingga semakin tinggi

tingkat pertumbuhan perekonomian tentu akan

mengakibatkan bertumbuhnya investasi modal swasta

maupun pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan

pemerintah lebih leluasa dalam menyusun anggaran

belanja modal. Oleh karena itu, untuk hipotesis untuk

variabel ini dinyatakan sebagai berikut:

H4: PDRB berpengaruh positif terhadap pengalokasianAnggaran Belanja Modal

2.4 Kerangka Pemikiran

Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

DAU

DAK

PAD

PDRB

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini

adalah mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi,

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana

Alokasi Khusus terhadap pengalokasian anggaran

belanja modal. Gambar 2.1 menyajikan kerangka

pemikiran untuk pengembangan hipotesis pada

penelitian ini. Penelitian ini mengacu pada

penelitian yang dilakukan Iin Indarti Sugiartiana

(2012) dengan variabel penelitian yaitu variabel

independen pertumbuhan ekonomi (PDRB), Pendapatan Asli

Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus

untuk variabel tambahan. Sedangkan variabel

dependen yang digunakan adalah variabel belanja modal.

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

(+)

(+)

(+)

(+)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif

kuantitatif yang bertujuan untuk menjelaskan suatu

fenomena empiris yang disertai data statistik,

karakteristik dan pola hubungan antar variabel.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel

Menurut Sekaran (2006) variabel adalah apapun yang

dapat membedakan dan merubah nilai. Variabel Dependen

merupakan variabel yang menjadi perhatian utama

peneliti sedangkan variabel independen merupakan

variabel yang mempengaruhi variabel dependen, baik

secara positif maupun negatif (Sekaran, 2006). Dalam

penelitian ini terdapat satu variabel Dependen dan

empat variabel Independen, varibel tersebut antara

lain :

3.2.1 Variabel Dependen (Y) : Pengalokasian

Anggaran Belanja Modal

Menurut Peratutan Pemerintah Nomor 71 Tahun

2010, belanja modal adalah belanja langsung yang

digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (aset

tetap). Belanja modal meliputi belanja modal untuk

perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan

aset tak berwujud. Indikator variabel belanja modal

dapat diukur dengan:

3.2.2 Variabel Independen (X)

Variabel independen dalam penelitian ini terdiri

dari:

3.2.2.1 DAU (Dana Alokasi Umum)

Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja

Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan

Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan

Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya

Adalah transfer yang bersifat umum dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk

mengatasi ketimpangan horisontal dengan tujuan

pemerataan kemampuan keuangan antar daerah.

Dana Alokasi Umum untuk masing-masing

Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos

dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD.

Variabel dana alokasi umum (DAU) dapat diukur

dengan:

Dimana :

AD : Gaji PNS Daerah

CF : Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

3.2.2.2 DAK (Dana Alokasi Khusus)

Dana Alokasi Khusus merupakan dana

yang bersumber dari APBN yang dialokasikan

kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal

merupakan urusan daerah dan sesuai dengan

prioritas nasional. Alokasi DAK setiap daerah

ditetapkan dengan peraturan menteri keuangan.

Dalam penghitungan alokasi DAK dilakukan

melalui 2 (dua) tahapan yaitu:

a. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK;

dan

b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing

daerah

Dalam penentuan daerah tertentu harus memenuhi

kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria

teknis. Besaran alokasi DAK masing-masing

daerah ditentukan dengan perhitungan indeks

berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan

kriteria teknis (Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 2012).

3.2.2.3 PAD (Pendapatan Asli Daerah)

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004, Pendapatan Asli Daerah adalah

penerimaan yang diperoleh daerah dari

sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri

yang dipungut berdasarkan peraturan daerah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah

merupakan sumber penerimaan daerah asli yang

digali di daerah tersebut untuk digunakan

sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam

membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah

untuk memperkecil ketergantungan dana dari

pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah

terdiri dari pajak daerah, retribusi

daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan

daerah yang sah. Variabel Pendapatan Asli

daerah diukur dengan rumus :

PAD = Pajak Daerah + Retribusi

Daerah + Hasil Pengelolaan

Kekayaan Daerah yang Dipisahkan +

3.2.2.4 PDRB (Pendapatan Domestik Regional

Bruto)

PDRB Nominal (atau disebut PDRB Atas Dasar

Harga Berlaku) merujuk kepada nilai PDRB tanpa

memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDRB

riil (atau disebut PDRB Atas Dasar Harga

Konstan) mengoreksi angka PDRB nominal dengan

memasukkan pengaruh dari harga. PDRB dapat

dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu

pendekatan pengeluaran dan pendekatan

pendapatan. Rumus umum untuk PDRB dengan

pendekatan pengeluaran adalah:

3.3 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

pemerintah Kota/Kabupaten di Jawa Tengah dari

tahun 2010-2012. Sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pemerintah daerah kabupaten

PDRB = konsumsi + investasi + pengeluaran

pemerintah + ekspor - impor

dan kota di Jawa Tengah. Teknik penelitian ini

menggunakan metode sensus. Metode sensus adalah metode

dengan mengambil sampel seluruh kabupaten dan kota

yang ada di Jawa Tengah. Data sampel yang

digunakan adalah kabupaten dan kota di Jawa

Tengah yaitu 35 kabupaten / kota.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data sekunder. Sumber data dari

dokumen laporan realisasi APBD Kabupaten/Kota

Povinsi Jawa Tengah yang diperoleh dari Biro Keuangan

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dari laporan

realisasi APBD tahun 2010-2012 dapat diperoleh

data mengenai jumlah anggaran Belanja Modal,

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum

(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sedangkan

Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per

kapita diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)

Jawa Tengah

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulan data

dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi dari

sumber data sekunder dengan mengumpulkan, mencatat,

dan mengolah data yang berkaitan dengan data.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan metode yang

digunakan untuk mengolah dan memprediksi hasil

penelitian guna memperoleh suatu kesimpulan.

Berdasarkan judul, latar belakang, dan perumusan

masalah maka teknik analisis data yang digunakan

adalah analisis regresi linear berganda yang

bertujuan untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan)

linear antara dua variabel atau lebih. Adapun model

yang digunakan dari regresi linear berganda yaitu:

Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + e

Dimana:

Yt-1 = Pengalokasian Anggaran Belanja

Modal (PABM)

X1 = Dana Alokasi Umum (DAU)

X2 = Dana Alokasi Khusus (DAK)

X3 = Pendapatan Asli Daerah (PAD)

X4 = Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB)

β0 = Konstanta

β1-4 = Parameter/koefisien regresi

variabel independen

e = variabel pengganggu

3.6.1Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif memberikan gambaran atau

deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata

(mean), standar deviasi, varian, maksimum, minimum,

sum, range, kurtosis dan skewness (kemencengan

distribusi). (Ghozali, 2011).

3.6.2Pengujian Asumsi Klasik

3.6.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah

dalam model regresi, variabel dependen dan variabel

independen mempunyai distribusi normal atau tidak.

Model regresi yang baik, memiliki distribusi data

normal atau mendekati normal. Untuk mendeteksi

normalitas dapat dilakukan dengan uji statistik.

Test statistik yang digunakan untuk menguji normalitas

adalah dengan metode statistik uji Kolmogorov Smirnov test

(K-S) yang nilai signifikansinya >0,05 maka disimpulkan

data terdistribusi normal. (Ghozali, 2011). Uji K-S

dilakukan dengan membuat hipotesis:

H0 = Data residual terdistribusi normal

Ha = Data residual tidak terdistribusi normal

Dasar pengambilan keputusan dalam uji K-S

adalah sebagai berikut:

a. Apabila probabilitas nilai Z uji K-S signifikan

secara statistik maka H0 ditolak, yang berarti

data terdistibusi tidak normal.

b. Apabila probabilitas nilai Z uji K-S tidak

signifikan statistik maka H0 diterima, yang

berarti data terdistibusi normal.

3.6.2.2 Uji Multikolonieritas

Menurut Ghozali (2011), uji ini digunakan untuk

mengetahui apakah terdapat korelasi di antara variable

bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya

tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.

Jika terdapat korelasi antara variabel independen,

maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel

ortogonal adalah variabel independen yang nilai

korelasi antar sesama variabel independen adalah nol.

Untuk mendeteksi ada tidaknya multikoliniearitas

dalam model regresi dapat dilihat dari tolerance value

atau variance inflation factor (VIF). Sebagai dasar acuannya

dapat disimpulkan:

1. Jika nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10, maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas

antar variabel independen dalam model regresi.

2. Jika nilai tolerance < 0,1 dan nilai VIF > 10, maka

dapat disimpulkan bahwa ada multikolinearitas antar

variabel independen dalam model regresi.

3.6.2.3 Uji Heteroskedastisitas

Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual

satu pengamatan ke pengamatan yang lain(Ghozali, 2011).

Jika variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain tetap, maka disebut Homokedastisitas

dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model

regresi yang baik adalah yang homokedastisitas atau

tidak terjadi heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi

adanya heteroskedastisitas perlu adanya pengujian untuk

mendeteksi apakah ada heteroskedastisitas, salah

satunya dengan uji Glesjer. Dasar pengambilan keputusan

uji heteroskedastisitas melalui uji Glesjer dilakukan

sebagai berikut.

1. Apabila probabilitas nilai test dari persamaan

regresi signifikan statistik, yang berarti data

empiris yang diestimasi terdapat

heteroskedastisitas.

2. Apabila probabilitas nilai test tidak signifikan

statistik, maka berarti data empiris yang diestimasi

tidak terdapat heteroskedastisitas.

3.6.2.4 Uji Autokolerasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah

model regresi linier ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu

pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi,

maka ada masalah autokorelasi. Autokorelasi muncul

karena observasi yang berurutan sepanjang waktu

berkaitan satu dengan yang lain. Masalah ini timbul

karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas

dari satu observasi ke observasi lainnya, biasanya

dijumpai pada data deret waktu (time series). Konsekuensi

adanya autokorelasi dalam model regresi adalah variance

sample tidak dapat menggambarkan variance populasinya,

sehingga model regresi yang dihasilkan tidak dapat

digunakan untuk menaksir nilai variabel dependen pada

nilai independen tertentu (Ghozali, 2011).Untuk

mendeteksi autokorelasi dalam penelitian ini, dapat

dilakukan uji statistik melalui uji Durbin-Watson (DW

test).

3.6.3Pengujian Hipotesis

Setelah melakukan pengujian normalitas dan

pengujian atas asumsi- asumsi klasik, langkah

selanjutnya yaitu melakukan pengujian atas hipotesis 1

(H1) sampai dengan hipotesis 4 (H4). Pengujian tingkat

penting (Test of significance) ini merupakan suatu prosedur

dimana hasil sampel digunakan untuk menguji kebenaran

suatu hipotesis (Ghozali, 2011) dengan alat analisis

yaitu uji t, uji F dan nilai koefisien determinansi

(R2). Perhitungan statistik disebut signifikan secara

statistik, apabila uji nilai statistiknya berada

dalam daerah kritis (daerah dimana H0 ditolak).

Sebaliknya, disebut tidak signifikan bila uji nilai

statistiknya berada dalam daerah dimana H0 diterima.

3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur

seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan

variabel dependen. Nilai R2 yang kecil berarti

kemampuan variabel-variabel independen dalam

menjelaskan variabel dependen, terbatas. Sebaliknya,

nilai R2 yang mendekati satu menandakan variabel-

variabel independen memberikan hampir semua informasi

yang dibutuhkan oleh variabel dependen (Ghozali,

2011). Nilai yang digunakan adalah adjusted R2 karena

variabel independen yang digunakan dalam penelitian

ini lebih dari dua buah.

3.6.3.2 Uji Simultan ( Uji F)

Uji F digunakan untuk menguji apakah semua

variabel independen yang dimasukkan dalam model

mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap

variabel dependen (Ghozali, 2011). Untuk menguji

hipotesis yang digunakan dalam uji F dapat dilihat

dari kriteria sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0.05

(α=0,05)

2. Membandingkan F hitung dengan F tabel

a. Bila F hitung < F tabel, variabel independen

secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap

variabel dependen.

b. Bila F hitung > F tabel, variabel independen

secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel

dependen.

3.6.3.3 Uji t (Uji Parsial)

Uji t digunakan untuk menguji signifikansi

pengaruh varibel independen terhadap variabel dependen

secara individual dalam menerangkan variasi variabel

dependen (Ghozali, 2011). Oleh karena itu uji t ini

digunakan untuk menguji hipotesis Ha1, Ha2, Ha3, dan

Ha4 Langkah–langkah pengujian yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1. Quick look: jika jumlah degree of freedom (df) adalah

20 atau lebih, derajat kepercayaan sebesar 5%

atau kurang dari 0,05 , maka H0 yang menyatakan

bi=0 dapat ditolak bila t lebih besar dari 2

(dalam nilai absolut).

2. Membandingkan nilai statistik t dengan titik

kritis menurut tabel. Jika nilai statistik t hasil

perhitungan lebih tinggi dibandingkan nilai t

tabel, maka hipotesis alternatif yang menyatakan

bahwa suatu variabel independen secara individual

mempengaruhi variabel dependen diterima.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Sampel

Data sampel penelitian ini adalah data yang

diambil dari pemerintah daerah Kabupaten dan Kota se-

Jawa Tengah antara lain Laporan Realisasi APBD, data

Produk Domestik Regional Bruto, data Pendapatan Asli

Daerah, dan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

selama tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 yang

diperoleh dari BPS Pusat dan BPS Jawa Tengah dan

melalui situs internet departemen keuangan dengan

alamat http://www.djpk.depkeu.go.id/ dan juga dari Biro

Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 35

pemerintah kabupaten dan kota selama tahun 2010 sampai

dengan tahun 2012. Atas dasar penentuan jumlah sampel

yang telah ditetapkan pada bab sebelumnya, maka

diperoleh jumlah sampel dari penelitian selama 2010

sampai dengan 2012 adalah sebesar 35 pemerintah

kabupaten dan kota selama 3 tahun penelitian maka

diperoleh sebanyak 3 x 35 = 105 data pengamatan.

4.2. Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif statistik dilakukan untuk

mengetahui sebaran nilai dari variabel-variabel

penelitian. Hal –hal yang akan dikaji dalam membahas

analisis deskriptif adakah nilai rata-rata, nilai

maksimum dan nilai minimum dari masing-masing variabel.

Berikut adalah hasil output perhitungan deskriptif

statistik menggunakan SPSS 20.

Tabel 4.1

Deskripsi Variabel Penelitian Jawa Tengah 2010-2012

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

PDRB 105 1849275.56 54384654.53 11080003.5810 10373521.89615DAU 105 238069009000

.001057808013000.

00609261702657.1

427182759525680.20

050DAK 105 17730100000.

00118901780000.0

062540325238.09

5221815177524.384

35PAD 105 42395561052.

00667883642000.0

0103233547637.5

14377791039182.452

62BM 105 55247479000.

00549227727415.0

0184078436037.3

04887807605732.406

33Valid N (listwise) 105

Sumber : Data sekunder yang diolah, lampiran

Dari tabel di atas diperoleh keterangan bahwa dari

N sampel sebanyak 105, di mana nilai rata-rata variabel

PDRB yang diperoleh dari 35 Kabupaten/ Kota di Jawa

Tengah selama tahun 2010-2012 menunjukkan rata-rata

sebesar Rp 11.080.003,58 per tahun, dengan perolehan

nilai maksimum sebesar Rp 54.384.654,53 dan nilai

minimumnya sebesar Rp 1.849.275,56 dengan standar

deviasi Rp 10.373.521,89 dari rata-rata. Dengan melihat

angka laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) pada suatu daerah

maka dapat memberikan gambaran bagaimana pembangunan

dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh daerah

tersebut.

Pada variabel DAU diperoleh keterangan nilai rata-

ratanya sebesar Rp 609.261.702.657,14 per tahun, dengan

nilai maksimum sebesar Rp 1.057.808.013.000,00 dan

nilai minimumnya sebesar Rp 238.069.009.000,00 dengan

standar deviasi Rp 182.759.525.680,20 dari rata-rata.

Dana Alokasi Umum (DAU) berperan penting dalam

mewujudkan pemerataan keuangan antar daerah dalam

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi.

Pada variabel DAK diperoleh keterangan nilai rata-

rata sebesar Rp 62.540.325.238.09 per tahun, dengan

perolehan nilai maksimum sebesar Rp 118.901.780.000,00

dan nilai minimumnya sebesar Rp17.730.100.000,00 dengan

standar deviasi Rp 21.815.177.524,38 dari rata-rata.

Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari APBN

dialokasikan kepada daerah agar berfungsi dalam

membiayai kebutuhan tertentu untuk menutup kesenjangan

publik antar daerah dengan memberi prioritas

pendidikan, pertanian prasarana pemerintahan daerah dan

lingkungan hidup.

Pada variabel PAD diperoleh keterangan nilai rata-

rata sebesar Rp 103.233.547.637,51 per tahun, dengan

perolehan nilai maksimum sebesar Rp 667.883.642.000,00

dan nilai minimumnya sebesar Rp 42.395.561.052,00

dengan standar deviasi Rp 77.791.039.182,45 dari rata-

rata. PAD merupakan pendapatan daerah yang

menggambarkan kemampuan daerahnya dalam merealisasikan

PAD yang direncanakan guna membiayai pengeluaran daerah

pemerintahannya, berdasarkan potensi riil daerah.

Secara keseluruhan PAD Provinsi Jawa Tengah mengalami

kenaikan, peningkatan PAD ini merupakan akibat

perkembangan pesat pajak daerah dan retribusi daerah.

Pada variable BM diperoleh keterangan nilai rata-

rata sebesar Rp 184.078.436.037,30 per tahun, nilai

maksimum sebesar Rp549.227.727.415,00 dan nilai

minimumnya sebesar Rp 55.247.479.000,00 dengan standar

deviasi Rp 87.807.605.732,40 dari rata-rata. Belanja

modal mempunyai pengaruh yang begitu penting dalam

pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan akan memiliki daya

ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian daerah,

karena alokasi belanja modal adalah alokasi dana yang

mendukung dalam penyediaan dan pembangunan

infrastruktur publik.

4.3. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah regresi linier berganda. Untuk analisis tersebut

maka terlebih dahulu diuji untuk tidak adanya masalah

penyimpangan terhadap asumsi klasik.

4.3.1. Uji Asumsi Klasik

4.3.1.1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah

dalam model regresi, variabel-variabel independen dan

variabel dependen mempunyai distribusi normal atau

tidak. Untuk mendeteksi normalitas dapat dilakukan

dengan uji statistik. Test statistik yang digunakan

adalah uji Kolmogorov-Smirnov test. Hasil pengujian

diperoleh dalam tabel 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4.2Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov TestUnstandardized Residual

N 105Normal Parametersa Mean .0000089

Std. Deviation 4.85838939E10

Most Extreme Differences

Absolute .067Positive .067Negative -.052

Kolmogorov-Smirnov Z .687Asymp. Sig. (2-tailed) .732a. Test distribution is Normal.

Berdasarkan nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0.687

dan signifikansi pada 0.732 hal ini berarti H0 diterima

yang berarti data residual terdistribusi normal.

4.3.1.2. Uji Multikolinieritas

Pengujian terhadap gejala multikolinearitas ini

dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat

korelasi/hubungan yang kuat antar variabel-variabel

independen dalam model persamaan regresi. Adanya

multikolinearitas dalam model persamaan regresi yang

digunakan akan mengakibatkan ketidakpastian estimasi,

sehingga mengarahkan kesimpulan yang menerima hipotesis

nol. Hal ini menyebabkan koefisien regresi menjadi

tidak signifikan dan standar deviasi sangat sensitif

terhadap perubahan data. Pengujian multikolinieritas

dilakukan dengan menggunakan korelasi antar variabel

penelitian tolerance dan VIF. Hasil pengujian

multikolinieritas adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3Uji Multikolinieritas

Coefficientsa

Model

UnstandardizedCoefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

CollinearityStatistics

BStd.Error Beta

Tolerance VIF

1 (Constant)

-2.747E10 1.720E10 -1.597 .114

PDRB 388.551 692.480 .046 .561 .576 .457 2.186DAU .250 .051 .521 4.887 .000 .270 3.708DAK .090 .388 .022 .232 .817 .329 3.036PAD .477 .091 .422 5.253 .000 .474 2.111

a. Dependent Variable: BM

Sumber : Data sekunder yang diolah, lampiran

Pengujian multikolinierits menggunakan nilai VIF

menunjukkan bahwa nilai VIF semuanya lebih kecil dari

10 dan nilai tolerance meununjukkan lebih dari 0,10,

sehingga persamaan yang terjadi dinyatakan bebas dari

multikolinieritas.

4.3.1.3. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi Heteroskedastisitas menguji apakah dalam

sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari

residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain maka

disebut homokedastisitas. Jika varian berbeda disebut

heteroskedasitas. Model yang baik adalah tidak terjadi

heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya

heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan dengan Uji

Glesjer. Asumsi utama Uji Glesjer yaitu dengan

melakukan regresi variabel independen terhadap

residual. Adapun hasil pengujian dengan Uji Glesjer

terdapat pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4Uji Heteroskedastisitas Glesjer

Coefficientsa

Model

UnstandardizedCoefficients

StandardizedCoefficients

t Sig.B Std. Error Beta1 (Constant

) 3.477E10 1.012E10 3.437 .001

PDRB -576.202 407.261 -.202 -1.415 .160DAU .049 .030 .305 1.637 .105DAK -.241 .228 -.178 -1.056 .294PAD -.048 .053 -.127 -.903 .369

a. Dependent Variable: Abs_res

Sumber : Data sekunder yang diolah, lampiran

Hasil tampilan output SPSS dengan jelas

menunjukkan semua variabel independen mempunyai nilai

sig ≥ 0,05. Jadi tidak ada variabel independen yang

signifikan secara statistik mempengaruhi variabel

dependen abs_res. Hal ini terlihat dari nilai sig pada

tiap-tiap variabel independen seluruhnya diatas 0,05

atau 5%. Jadi dapat disimpulkan model regresi tidak

mengandung adanya heterokedastisitas.

4.3.1.4. Uji Autokorelasi

Menurut Ghozali uji autokorelasi bertujuan

menguji apakah dalam model regresi linear terdapat

korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t

dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1

(sebelumnya). Untuk menguji autokorelasi digunakan uji

Durbin Watson.. Jika antar residual tidak terdapat

hubungan korelasi maka dikatakan residual adalah acak

atau random. Berikut ini hasil uji autokorelasi dalam

model regresi:

Tabel 4.5Uji Autokorelasi Model Regresi

Model Summaryb

Model R R SquareAdjusted RSquare

Std. Errorof theEstimate

Durbin-Watson

1 .833a .694 .682 4.95460E10 1.907

a. Predictors: (Constant), PAD, DAK, PDRB, DAUb. Dependent Variable: BM

Sumber: Data sekunder yang diolah, tahun 2013

Hasil uji Durbin watson menunjukkan nilai DW

dipeorleh sebesar 1,907 yang berada diantara du = 1,77

dan 4 – du = 2,23. Dengan demikian nilai DW berada

diantara du dan 4 – du. Dengan demikian model regresi

tidak memiliki masalah autokorelasi.

4.3.2. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dengan

menggunakan model regresi berganda. Analisis regresi

berganda bertujuan mengukur kekuatan hubungan antara

dua variabel atau lebih, dan juga menunjukkan arah

hubungan antara variabel dependen dengan independen.

Analisis regresi berganda dilakukan dengan menggunakan

uji koefisien determinasi (R2), uji F (uji simultan)

dan uji t (uji parsial).

4.3.2.1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menunjukkan besarnya

pengaruh variabel bebas yaitu PDRB, DAU, DAK dan PAD

secara bersama–sama terhadap belanja modal.

Tabel 4.6Koefisien Determinasi

Model Summary

Model R R SquareAdjusted RSquare

Std. Errorof theEstimate

1 .833a .694 .682 4.95460E10a. Predictors: (Constant), PAD, DAK, PDRB, DAU

Nilai koefisien determinasi disajikan pada Tabel

4.8 sebelumnya. Dari hasil perhitungan dapat kita

ketahui bahwa nilai koefisien determinasi (adjusted R

Square) adalah sebesar 0,682 atau 68,2%. Hal ini

berarti bahwa variabel PDRB, PAD, DAU dan DAK secara

bersama – sama memiliki pengaruh sebesar 68,2% terhadap

alokasi anggaran Belanja Modal. Sedangkan sisanya

sebesar 0,318 atau 31.8 % dipengaruhi oleh variabel

lain yang tidak termasuk dalam penelitian tersebut.

4.3.2.2. Uji Simultan (Uji F)

Uji model dilakukan dengan menggunakan uji F

yaitu menguji pengaruh variabel PDRB, PAD, DAU dan DAK

secara bersama–sama terhadap alokasi anggaran untuk

belanja modal.

Tabel 4.7Uji Model

ANOVAb

ModelSum ofSquares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 5.564E23 4 1.391E23 56.662 .000a

Residual 2.455E23 100 2.455E21Total 8.019E23 104

a. Predictors: (Constant), PAD, DAK, PDRB, DAUb. Dependent Variable: BM

Hasil pengujian disajikan pada Tabel 4.7

sebelumnya. Dari hasil perhitungan dapat kita ketahui

bahwa F hitung (156,662) dengan signifikansi sebesar

0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari

0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh dari PDRB, DAU, DAK dan PAD secara bersama–

sama terhadap alokasi anggaran Belanja Modal.

4.3.2.3. Uji t (Uji Parsial)

Uji t (parsial) adalah untuk melihat pengaruh

variabel-variabel bebas secara parsial terhadap

variabel terikatnya. Berikut adalah hasil perhitungan

nilai t hitung dan taraf signifikansinya dalam

penelitian ini:

Tabel 4.8

Uji Model t

Coefficientsa

Model

UnstandardizedCoefficients

StandardizedCoefficients

t Sig.B Std. Error Beta1 (Constant) -2.747E10 1.720E10 -1.597 .114

PDRB 388.551 692.480 .046 .561 .576DAU .250 .051 .521 4.887 .000DAK .090 .388 .022 .232 .817PAD .477 .091 .422 5.253 .000

a. Dependent Variable: BM

Model persaman regresi diperoleh sebagai

berikut:

Berdasarkan hasil uji t (uji parsial) pada tabel

4.8 hasil pengujian hipotesis diperoleh sebagai

berikut:

1. Hipotesis 1.1: Dari hasil estimasi koefisien

variabel PDRB diperoleh sebesar t = +0,561 dengan

signifikansi sebesar 0.576. Nilai signifikansi yang

lebih besar dari 0.05 menunjukkan bahwa PDRB tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja

Modal (BM) satu tahun ke depan.

BM= -2,747E10 + 388,551PDRB + 0,250DAU + 0,090DAK +

2. Hipotesis 2.1: Dari hasil estimasi koefisien

variabel DAU diperoleh sebesar t = +4.887 dengan

signifikansi sebesar 0.000. Nilai signifikansi yang

lebih kecil dari 0.05 menunjukkan bahwa perubahan

DAU memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Belanja Modal (BM) satu tahun ke depan. Arah

koefisien regresi bertanda positif memiliki arti

bahwa peningkatan DAU pada suatu periode justru

akan meningkatkan Belanja Modal (BM) pada satu

tahun ke depan.

3. Hipotesis 3.1: Dari hasil estimasi koefisien

variabel DAK diperoleh t sebesar +0,232 dengan

signifikansi sebesar 0.817. Nilai signifikansi yang

lebih besar dari 0.05 menunjukkan bahwa DAK tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja

Modal (BM) satu tahun ke depan.

4. Hipotesis 4.1: Dari hasil estimasi koefisien

variabel PAD diperoleh t sebesar +5.253 dengan

signifikansi sebesar 0.000. Nilai signifikansi yang

lebih kecil dari 0.05 menunjukkan bahwa PAD

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Belanja

Modal (BM) satu tahun ke depan.

4.4. Pembahasan

1. Pengaruh PDRB terhadap Alokasi Anggaran Belanja

Modal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB tidak

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

Alokasi anggaran Belanja Modal pada pemerintah

Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah. Hal ini berarti bahwa

daerah Kabupaten/Kota yang memiliki PDRB yang tinggi

tidak selalu mengalokasikan Belanja Modal yang tinggi.

Demikian pula sebaliknya, daerah Kabupaten/Kota yang

memiliki PDRB yang rendah belum tentu mengalokasikan

Belanja Modal yang rendah. Hasil penelitian ini

konsisten dengan riset yang dilakukan oleh Iin Indarti

Sugiartiana (2012), Askam Tuasikal (2008) dan Darwanto

dan Yustikasari (2007) yang menyatakan pertumbuhan

ekonomi tidak diikuti oleh anggaran belanja modal yang

signifikan. Ini bukan berarti bahwa dalam manajemen

pengeluaran pemerintah daerah yang terkait dengan

alokasi belanja modal, PDRB tidak menjadi acuan utama

dalam proses penyusunan APBD dan alokasi belanja modal,

tetapi ada sejumlah faktor tertentu yang

mempengaruhinya, misalnya proses penyusunan kebijakan

umum anggaran (KUA) setiap kabupaten/kota yang selain

memperhatikan kondisi makro ekonomi daerah tetapi juga

kondisi sosial politik di daerah.

Desentalisasi yang dilakukan oleh pemerintah

pusat dimaksudkan untuk memberikan dampak yang sangat

berarti bagi Pertumbuhan Ekonomi daerah. Dengan

desentralisasi fiskal yang diundangkan, maka daerah

dengan PDRB yang besar akan memiliki keleluasaan untuk

mengalokasikan dan menentukan sendiri kebutuhan untuk

daerah tersebut.

PDRB atau Pertumbuhan Ekonomi adalah proses

kenaikan output per kapita. Umumnya Pertumbuhan

Ekonomi ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan

Produk Domestik Regional Daerah (PDRB). Dengan demikian

daerah dengan PDRB yang tinggi dalam satu periode

menunjukkan bahwa lokasi tersebut memiliki banyak

aktivitas yang menunjang pendapatan daerah seperti

misalnya di sektor industri maupun jasa serta pelayanan

publik. Namun demikian infrastruktur yang ada dalam

menunjang pertumbuhan juga akan mengalami kerusakan.

Hanya pada Daerah yang berorientasi pada kelanjutan

untuk mendapatkan PDRB yang tinggi akan

mempertimbangkan untuk selalu menjaga dan memelihara

serta meningkatkan infrastruktur daerahnya sedangkan

beberapa daerah nampaknya kurang mampu menunjang

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan

pertimbangan tersebut maka hanya beberapa daerah yang

mengalokasikan anggaran belanja yang lebih besar untuk

Belanja Modalnya sedangkan beberapa daerah kurang

mendukung hal tersebut.

2. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Alokasi

Anggaran Belanja Modal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dana Alokasi

Umum memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

alokasi anggaran Belanja Modal pada pemerintah

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Hal ini berarti bahwa

daerah Kabupaten/Kota yang memiliki Dana Perimbangan

yang tinggi akan mengalokasikan belanja modal yang

tinggi pula, demikian pula sebaliknya. Daerah

Kabupaten/Kota yang memiliki Dana Perimbangan yang

rendah akan mengalokasikan Belanja Modal yang rendah.

Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007)

dimana variabel DAU memiliki korelasi yang positif,

signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan dalam

penelitian yang dilakukan oleh Iin Indarti Sugiartiana

(2012) variabel DAU berpengaruh positif tetapi tidak

signifikan terhadap alokasi belanja modal. Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Askam Tuasikal (2008)

bahwa pengaruh DAU berpengaruh positif terhadap belanja

modal, menunjukkan alokasi belanja modal pemerintah

daerah kabupaten/kota sangat bergantung pada besar

kecilnya alokasi dana perimbangan yang diberikan

pemerintah pusat kepada daerah dalam mewujudkan

pembangunan di daerahnya.

Dana Perimbangan berasal dari pemerintah pusat

berupa dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan dana

bagi hasil yang berasal dari APBN yang dialokasikan

dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya

penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer

yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah

secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah

dipergunakan untuk memberikan pelayanan yang lebih

baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang

tidak penting.

Semakin besar Dana Perimbangan berupa Dana

Alokasi Umum yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka

kontrol terhadap penggunaan dan alokasi dana tersebut

juga akan semakin besar dilakukan selain kontrol dari

pemerintah daerah juga dilakukan pula control dari

pemerintah pusat. Adanya kontrol yang semakin besar

tersebut menjadikan penggunaan dana perimbangan juga

akan semakin besar untuk dialokasikan dalam mewujudkan

pelayanan umum dan perbaikan serta peningkatan

infrastruktur daerah.

3. Pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi

Anggaran Belanja Modal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dana Alokasi

Khusus tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan

terhadap Alokasi anggaran Belanja Modal pada pemerintah

Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Hal ini berarti bahwa

daerah Kabupaten/Kota yang memiliki DAK yang tinggi ada

yang tidak mengalokasikan belanja modal yang tinggi

pula. Demikian pula sebaliknya, daerah Kabupaten/Kota

yang memiliki DAK yang rendah tidak selalu

mengalokasikan Belanja Modal yang rendah.

Penelitian ini bertolak belakang pada penelitian

yang dilakukan oleh Askam Tuasikal (2008) dimana secara

parsial hasil penelitiannya menunjukkan bahwa DAK

berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal,

menunjukkan bahwa dalam penelitian tersebut kemandirian

pemerintah daerah dalam membiayai pembangunannya

terutama untuk belanja modal masih bergantung pada dana

transfer dari pusat.

Dana Perimbangan berupa DAK berasal dari

pemerintah pusat yang bersumber dari APBN kemudian

dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar

daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam

rangka pelaksanaan desentralisasi. Meskipun demikian

nampaknya ada beberapa kendala yang menghambat alokasi

DAK tersebut pada belanja modal sehingga tidak seluruh

DAK dijadikan sumber pembiayaan dalam alokasi belanja

modal.

4. Pengaruh PAD terhadap Alokasi anggaran Belanja

Modal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PAD memiliki

pengaruh positif dan signifikan terhadap Alokasi

anggaran belanja modal pada pemerintah Kabupaten/Kota

di Jawa Tengah. Hal ini berarti bahwa daerah

Kabupaten/Kota yang memiliki PAD yang tinggi akan

mengalokasikan Belanja Modal yang tinggi pula. Demikian

pula sebaliknya, daerah Kabupaten/Kota yang memiliki

PAD yang rendah akan mengalokasikan Belanja Modal yang

rendah.

Pada penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) dan

Askam Tuasikal (2008) dengan hasil PAD berpengaruh

positif terhadap alokasi belanja modal. Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Iin Indarti Sugiartiana

(2012) memperoleh hasil variabel PAD tidak berpengaruh

positif terhadap alokasi belanja modal, karena potensi

daerah yang kurang maksimal.

Desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan

kemandirian daerah, dimana pemerintah daerah otonom

mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan

kemampuan sendiri berdasar aspirasi masyarakat seperti

yang telah tercantum pada Undang-Undang No 32 Tahun

2004. Di sisi lain kemampuan daerah untuk menyediakan

pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung

pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut

menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu

menciptakan alokasi dana untuk pembangunan daerah yang

berkelanjutan.

Di sisi lain, wilayah dengan sumber dana PAD yang

tinggi dapat memiliki tuntutan yang besar dari

masyarakatnya untuk semakin dapat memperoleh akses yang

besar terhadap pendapatan daerah tersebut. Masyarakat

akan semakin banyak yang menyuarakan pada tuntutan

perbaikan pelayanan umum. Kondisi demikian dapat

mendorong pemerintah daerah dan DPRD untuk menyikapinya

sebagai sebuah tuntutan atas pengembalian pendapatan

daerah kepada masyarakat sehingga alokasi Belanja Modal

semakin besar.

BAB V

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari PDRB

terhadap Alokasi Anggaran Belanja Modal Daerah Jawa

Tengah.

2. Terdapat pengaruh positif pada Dana Alokasi Umum

terhadap Alokasi anggaran Belanja Modal Daerah Jawa

Tengah, hal ini didukung dengan nilai signifikansi di

bawah 0,05. Daerah Kabupaten/Kota yang mendapatkan

Dana Alokasi Umum yang tinggi akan mengalokasikan

Belanja Modal yang tinggi pula. Demikian pula

sebaliknya, daerah Kabupaten/Kota yang mendapatkan

Dana Alokasi Umum yang rendah akan mengalokasikan

Belanja Modal yang rendah.

3. Tidak terdapat pengaruh positif Dana Alokasi

Khusus terhadap Alokasi anggaran Belanja Modal Daerah

Jawa Tengah.

4. Terdapat pengaruh positif pendapatan asli daerah

(PAD) terhadap Alokasi Anggaran Belanja Modal daerah

Jawa Tengah. Daerah Kabupaten/Kota yang memiliki PAD

yang tinggi akan mengalokasikan Belanja Modal yang

tinggi pula. Demikian pula sebaliknya, daerah

Kabupaten/Kota yang memiliki PAD yang rendah akan

mengalokasikan Belanja Modal yang rendah.

1.2 Keterbatasan

Penelitian memiliki keterbatasan yaitu terdapat

perbedaan yang besar pada beberapa data karena berasal

dari pengamatan wilayah yang berbeda. Untuk itu

analisis selanjutnya dapat menggunakan metode Analisis

regresi panel (panel least square atau pool least square)

dengan manambahkan aspek fixed effect yang berasal dari

masing-masing wilayah dan sekaligus dapat mengetahui

wilayah mana yang memiliki pengaruh yang paling besar.

1.3 Saran

1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis

model penelitian dengan menggunakan metode panel

atau untuk menunjukkan fixed effect yang diperoleh dari

perbedaaan kondisi PAD, dana perimbangan,

pertumbuhan ekonomi maupun belanja modal yang

terjadi pada masing-masing wilayah Kabupaten/Kota.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengubah

model penelitian dengan menambahkan variabel

seperti halnya variabel non keuangan. Variabel non

keuangan seperti kebijakan pemerintah daerah dapat

menjelaskan dengan baik seberapa besar tingkat

pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan

pertumbuhan ekonomi daerah setempat dalam

mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

1.4 Implikasi

Bagi Pemerintah Daerah diharapkan dapat:

1. Mengalokasikan Pertumbuhan Ekonomi PDRB, Dana

Perimbangan (DAU dan DAK), dan Pendapatan Asli

Daerah untuk anggaran Belanja Modal yang

diprioritaskan pada peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

2. Mengoptimalkan potensi ekonomi lokalnya untuk

menambah penerimaan daerah sehingga tercipta

kemandirian daerah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran sehingga pada akhirnya ketergantungan

pada pemerintah pusat dapat dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Priyo Hari.(2006). “Hubungan Antara PertumbuhanEkonomi Daerah, Belanja Pembangunan danPendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten danKota se Jawa-Bali)“. Simposium NasionalAkuntansi XI, 1 – 26.

Arsyad, Lincolin. (1999). Pengantar Perencanaan DanPembangunan Ekonomi Daerah. BPFE Yogyakarta.

Bangun, Ricky Andra Levy (2009). ”Pengaruh Dana AlokasiKhusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatan AsliDaerah Terhadap Pendapatan Perkapita”. Tesis,Universitas Sumatera Utara.

Bastian, Indra. (2010). Akuntansi Sektor Publik : SuatuPengantar, Jakarta : Erlangga.

Belajar Melek Anggaran ke SeknasFITRA.www.seknasfitra.org.akses Februari 2014

Ghozali, Imam, 2011, Aplikasi Analisis Multivariate denganProgram SPSS : Cetakan IV, Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, Semarang .

Halim, Abdul & Abdullah, Syukrie. (2004). “PengaruhDana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli DaerahTerhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten danKota di Jawa dan Bali”. Jurnal Ekonomi STEINo.2/Tahun XIII/25.

Halim, Abdul.(2007). Akuntansi Sektor Publik Akuntansi KeuanganDaerah, Jakarta Edisi Revisi: Salemba Empat.

Harianto, dan Priyo Hari Adi .(2006). “Hubungan antaraDana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli

Daerah, dan Pendapatan Perkapita”. Skripsi.Saltiga: Fakultas Ekonomi Kristen Satya Wacana.

Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflictbetween Bureaucrats and Legislators. Armonk, NewYork: M.E. Sharpe.

Kawedar, Warsito, Abdul Rohman dan Sri Handayani, 2008,Akuntansi Sektor Publik : Buku1, Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, Semarang.

Komposisi APBD di Jateng2013.www.suaramerdeka.com.akses Januari 2014.

Kuncoro, Mudrajad. Ph. D. (2004). "Reformasi, Perencanaan,Strategi dan Peluang“. Otonomi dan PembangunanDaerah” : Penerbit Erlangga.

Mardiasmo .(2004). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: Andi.

McCue, Cliff., Prier, Eric. Using Agency Theory toModel Cooperative Public Purchasing.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentangPengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentangStandar Akutansi Pemerintahan.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum dan Alokasi DanaAlokasi Khusus Tahun Anggaran 2013

Permendagri Nomor 32 Tahun 2008 tentang PedomanPenyusunan APBD Tahun Anggaran 2009

Putro, Suratno Nugroho. (2010). “Pengaruh PertumbuhanEkonomi Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi

Umum Tehadap Pengalokasian Anggaran BelanjanModal (study kasus pada kabupaten/kota diprovinsi Jawa Tengah)”.Jakarta. UniversitasDiponegoro Semarang.

Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2005. ” SuatuPengantar“. Teori Ekonomi Makro : Penerbit FE UI.

Sanusi, Bachrawi. (2004). Tokoh Pemikir Dalam MazhabEkonomi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal danKeuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: GhaliaIndonesia.

Sekaran, Uma. (2006). Metodologi Penelitian Untuk Bisnis.Jakarta: Salemba Empat.

Sidik, Machfud, B. Raksasa Mahi, Robert Simantjuntak, &Bambang Brodjonegoro. (2002). Dana Alokasi Umum –Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah.Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Solikin, Ikin. 2007, Hubungan Pendapatan Asli Daerahdan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal diJawa Barat, http://file.upi.edu/Direktori.

Sri Rahayu, Ani. (2010). Pengantar Kebijakan Fiskal.Jakarta: Bumi Aksara.

Sugiartiana, Iin Indarti. (2012). “Pengaruh PertumbuhanEkonomi (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD),Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap PengalokasianAnggaran Belanja Modal Di Kota Semarang Periode2005-2009”.Jurnal Fokus Ekonomi, Stie PelitaNusantara Semarang.

Tuasikal, Askam (2008). “Pengaruh DAU, DAK, PAD, DANPDRB Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota di Indonesia” Jurnal Telaah danRiset Akuntansi, Universitas Pattimura Ambon.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 16 tentangKeuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 . Tentang PemerintahDaerah.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Tentang PerimbanganKeuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerahsebagai dasar penyelenggaraan otonomi daerah.

Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah,Retribusi Daerah.

www.depkeu.djpk.go.id

Yustikasari, Yulia dan Darwanto. 2007. “PengaruhPertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, danDana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian AnggaranBelanja Modal“. Simposium Nasional Akuntansi X,1 – 25.