Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17...

57
1 Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012 ( Studi Kasus di Pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang ) Dr. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. dan Didin Chonyta Tohir S.HI ABSTRAK Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46 PUU VIII/2010 menyatakan, “ Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Putusan tersebut telah direspon oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. Terdapat pertentangan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fatwa MUI tersebut. Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, sedangkan fatwa MUI lebih mengedepankan fiqh. Jika dicermati, baik putusan Mahkamah Konstitusi maupun Fatwa MUI mengandung kelemahan, kurang komperhensif di dalam memandang permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tampak mengabaikan ajaran agama ( Islam ) yang berprinsip menjaga nasab. Frasa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan” seharusnya diberi penjelasan sebagai anak

Transcript of Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17...

1

Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012

( Studi Kasus di Pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang )

Dr. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. dan Didin Chonyta Tohir S.HI

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46 PUU VIII/2010 menyatakan, “ Pasal

43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus

dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang

dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya”

Putusan tersebut telah direspon oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa tentang

“Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Di dalam fatwa tersebut,

dijelaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali

nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, hanya

mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Terdapat pertentangan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fatwa MUI

tersebut. Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang yang berlaku di

Indonesia, sedangkan fatwa MUI lebih mengedepankan fiqh. Jika dicermati, baik

putusan Mahkamah Konstitusi maupun Fatwa MUI mengandung kelemahan, kurang

komperhensif di dalam memandang permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi

tampak mengabaikan ajaran agama ( Islam ) yang berprinsip menjaga nasab. Frasa

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan” seharusnya diberi penjelasan sebagai anak

2

yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak dicatatkan. Sedangkan fatwa MUI

mengabaikan ketentuan undang-undang di Indonesia seperti undang-undang

perlindungan anak dan undang-undang anti diskriminasi.

Meskipun masalah tersebut sangat terkait dengan perempuan, tetapi masih

relative sedikit perempuan yang mengemukakan pandangannya terhadap masalah

tersebut. Sebab itu penelitian ini membahas masalah tersebut dari sudut pandang

tokoh perempuan, yaitu pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang. Rumusan

masalahnya adalah, pertama, bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan

Aisiyah Kota Malang tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU

Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010,

tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?.

Kedua, bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang

tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ? ketiga,

bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang

hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar

perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU

Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

Makalah ini menyimpulkan bahwa fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang

Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan terhadapnya, memiliki spirit yang sama

dengan Putusan MK yaitu melindungi anak dari penelantaran. Perbedaannya adalah

pada poin nasab anak. Rekomendasi yang diajukan adalah dalam poin nasab,

berdasarkan kemaslahatan anak dan watak hukum Islam yang selalu menghindari

madlarat dan masyaqah, MUI harus memihak kepada kepentingan anak. Jenis

penelitian adalah yuridis empiris, sumber data adalah pengurus Muslimat NU dan

Aisiyah Kota Malang dengan system purposive random sampling, yaitu empat orang

Muslimat NU dan empat orang pengurus Aisiyah.

Penelitian ini menyimpulkan, pertama Semua informan mendukung putusan

Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban pencatatan perkawinan. Pencatatan

perkawinan sebagaimana ketentuan perundangan diterima sebagai kewajiban yang

3

berguna untuk ketertiban dan jaminan hukum. Kedua, Kedudukan anak yang

dilahirkan di luar perkawinan, semua mendukung keputusan MK sepanjang dimaknai

anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, yaitu mempunyai hubungan

keperdataan, yang berupa nafkah, nasab, wali dan waris. Ketiga, Kedudukan anak di

luar perkawinan atau anak zina, tidak memiliki hubungan nasab, wali waris dari

ayahnya dan keluarga ayahnya. Semua informan setuju dengan fatwa MUI. Anak zina

hanya mempunyai hak nafkah dan wasiyat wajibah dari ayah biologisnya. Dengan

demikian, semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang

memberikan hubungan keperdataan kepada anak yang lahir di luar perkawinan, baik

dalam nikah sirri maupun zina.

Keywords: Putusan Mahkamah Konsitusi, NU, Muhamadiyah

A. KONTEKS PENELITIAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17

Februari 2012, karena adanya permohonan uji materi Undang-undang Perkawinan

Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1), telah memicu kontroversi di antara

tokoh-tokoh masyarakat, ada kelompok yang mendukung, bahkan sangat

mengapresiasi dan ada kelompok yang protes dengan memberi catatan yang cukup

mendasar. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA I) dan Ketua Komisi

Nasional (Komnas) Perempuan merupakan kelompok yang mendukung dan

mengapresiasi putusan tersebut.1

Sedangkan organisasi masyarakat Islam dan

khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kelompok yang memrotes

dengan memberi catatan substansial2. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bisa

1 Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43

ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan.

http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan-

mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada

tanggal 10-11-2012; Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aris Merdeka Sirait mengapresiasi

putusan MK, http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/41-banner-berita-utama/1879-

telantarkan-anak-luar-nikah-penjara-mengancam 2 Rais Am PBNU KH. Sahal Mahfudh menginstruksikan kepada panitia Munas Alim Ulama NU 2012

untuk mengkaji kembali batas ketaatan warga kepada pemerintah terkait keputusan Mahkamah

4

dikatakan sangat revolusioner dalam konteks Hukum Keluarga Islam di Indonesia.

Sebab dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kedudukan anak yang

dilahirkan di luar perkawinan menjadi berubah secara diametral dari Hukum

Keluarga Islam di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Demikian pula fiqih, yang merupakan

bahan baku penyusunan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,

mendapatkan tantangan yang serius dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut.

Isi putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat menghentak tersebut adalah

tentang pencatatan perkawinan dan kedudukan anak yang dilahirkan di luar

perkawinan. Dua hal yang berhubungan langsung dengan hukum perkawinan Islam,

dan terutama posisi perempuan dalam hukum perkawinan Islam. Meskipun demikian,

dari publikasi mass media, belum banyak perempuan yang menyuarakan pendapatnya

mengenai putusan tersebut. Lebih banyak laki-laki yang menyuarakan pandangannya,

meskipun sesungguhnya putusan tersebut lebih merupakan problem perempuan.

Sebab itu, penelitian ini akan meneliti pandangan tokoh perempuan, yaitu pengurus

Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang terhadap putusan MK Nomor 46/PUU-

VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012, tentang Uji Materi Undang-undang Perkawinan

Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) yang menjadi kontroversi di masyarakat.

Apakah mereka mendukung, menolak atau mengajukan pandangan lain.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang

pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974

yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU

Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak luar nikah yang dinilai bertentangan dengan syariat

Islam. (NU online 3/4/2012) http://lbm.lirboyo.net/kontroversi-putusan-mk-tentang-anak-di-luar-

nikah/ ; Fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina

Dan Perlakuan Terhadapnya”

5

2. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang

hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang

hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar

perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil

UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

C. TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang

tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun

1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil

UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

2. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang

tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang

tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di

luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji

Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Pembaharuan hukum keluarga Islam dalam masyarakat modern adalah sebuah

keniscayaan. Sebab jika tidak dilakukan pembaharuan, maka tentu akan

mengalami gap antara das solen dan das sein. Antara realitas masyarakat,

pranata hukum dan tujuan syariah. Dalam rangka melaksanakan pembaharuan

tersebut, dibutuhkan penelitian tentang kondisi masyarakat yang terkait

dengan hukum keluarga. Penelitian ini akan memberi kontribusi teoritis dalam

mendesain pembaharuan hukum Islam. Dengan penelitian akan diketahui

dinamika yang terjadi di masyarakat terkait dengan hukum keluarga Islam.

2. Manfaat Praktis

6

Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh Mahkamah Agung dengan

perangkat peradilannya dan Direktorat Jendral Bimas Islam untuk membuat

kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan yang terkait dengan hukum

perkawinan.

E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pandangan: sikap seseorang yang terbentuk atas dasar pandangan hidupnya,

pengetahuannya dan pengalamannya. Pandangan seseorang terhadap suatu

masalah terbentuk karena pemahaman yang mendalam terhadap masalah

tersebut, dan akan mempengaruhi pilihan-pilihannya dan tindakannya.

2. Pengurus Mulimat NU: pengurus Muslimat Nahdlatul ‘Ulama. Sebuah

organisasi perempuan yang besar di Indonesia yang merupakan organisasi

keagamaan perempuan, yang mana ideologi dan amaliah keagamaannya

mengikuti ‘ulama NU. Muslimat NU memiliki aktifitas di berbagai bidang,

seperti keagamaan, pendidikan, kesehatan, penerbitan, ekonomi dan lain-lain.

3. Pengurus Aisyiyah: Organisasi perempuan keagamaan Aisyiyah adalah

organisasi yang besar, sebanding dengan Muslimat NU. Ideologi dan amaliah

keagamaannya mengikuti ulama Muhammadiyah. Organisasi ini juga

memiliki aktifitas di berbagai bidang, seperti keagamaan, pendidikan,

kesehatan, ekonomi, penerbitan dan lain-lain.

F. PENELITIAN TERDAHULU

1. Lina Nur Anisa, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-VIII/2010

Tentang Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Studi pandangan Hakim

Pengadilan Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang).Tesis pada

Sekolah Pascasarjana UIN Maliki, Program Studi Ahwal Syakhsyiyyah.

Fokus penelitiannya adalah, “Bagaimana pandangan Hakim PA dan MUI

Kota Malang tentang kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan”.

Kesimpulannya adalah menurut Hakim PA dan MUI kota Malang, anak yang

7

lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan siri, bukan

anak hasil zina. Mereka memiliki hak-hak sebagaimana anak sah.

2. Ali Wafa, Memaknai Anak di Luar Perkawinan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi.3 Rumusan masalah penelitian ini meneliti makna “Anak di Luar

Perkawinan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitian normative

yuridis. Kesimpulan penelitian adalah bahwa yang dimaksud “Anak di luar

Perkawinan” dalam putusan MK adalah anak yang terlahir dari perkawinan

siri atau yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

3. Drs. H. Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab

Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan

Perundang-undangan”4

Penelitian yuridis normative, rumusan masalahnya

adalah, “Bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan

poligami di bawah tangan” Kesimpulan penelitian adalah bahwa status hukum

anak yang dilahirkan dalam perkawinan poligami di bawah tangan tidak

termasuk dalam pengertian anak yang lahir di luar perkawinan. Karena anak

ini menurut UU Perkawinan N0.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) adalah anak

sah.

Penelitian-penelitian yang sudah disebutkan di atas memiliki titik

singgung dengan penelitian ini, yaitu tema besarnya adalah Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Namun tinjauan ketiga penelitian diatas

dengan penelitian ini adalah berbeda. Disebabkan penelitian ini akan

mengeksplorasi pandangan tokoh perempuan secara komperhensif terkait materi

putusan MK tersebut. Yaitu tentang bagaimana kedudukan perkawinan di bawah

3 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20.Memaknai Anak Di luar Perkawinan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusipdf

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER

KAWINAN.pdf 4.http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PE

RKAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.

8

tangan atau siri, apa hak-hak isteri dalam perkawinan siri dan bagaimana

kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan menurut pandangan tokoh

perempuan di kota Malang.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian ini diorganisasikan ke dalam bab dan sub

bab, untuk menjadikan pembahasan sistematis, jelas dan focus.

Bab 1, Pendahuluan, terdiri dari beberapa sub bab, yaitu konteks

penelitian, rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penelitian, definisi

operasional, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. Bab satu

merupakan desain dari seluruh pembahasan.

Bab 2, Kajian Teori. Memaparkan teori-teori yang terkait dengan focus

penelitian, yang akan dijadikan dasar dan arah di dalam memahami dan

menganalisis data lapangan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Yaitu,

Deskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi, Sahnya Perkawinan versus Pencatatan

Perkawinan, Anak di luar Perkawinan versus Anak Zina

Bab 3, Metode Penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Jenis

Penelitian, Pendekatan Penelitian, Sumber data, Metode Pengumpulan data dan

Metode Analisis data.

Bab 4, Paparan Data dan Temuan Penelitian

Bab 5, Kesimpulan, Implikasi penelitian dan Saran.

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Putusan MK

Adalah Macica Muchtar alias Hj. Aisyah binti H. Ibrahim Mochtar menikah di bawah

tangan (siri) dengan Drs. Moerdiono, menteri sekretaris Negara pada zaman orde

baru, pada tahun 1992. Pada waktu itu, Moerdiono sudah beristeri. Dengan demikian

status perkawinannya adalah poligami di bawah tangan. Dari perkawinan tersebut

lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Perkawinan ini

tidak berlangsung lama, pada tahun 1998 mereka bercerai. Selanjutnya Moerdiono

tidak mengakui perkawinannya tersebut dan menolak mengakui anaknya. Disebabkan

perkawinannya di bawah tangan, maka Macica tidak bisa menuntut secara hukum

mengenai keberadaan perkawinannya, status anaknya, maupun hak nafkah untuk

dirinya dan anaknya. Banyak jalan yang sudah ditempuh unuk memperjuangkan

status perkawinannya dan anaknya, seperti mengajukan ke KPAI, karena mantan

10

suaminya melanggar Undang-undang Perlindungan Anak, ke Komnas Perempuan

dan akhirnya pada tahun 2008 ia mengajukan uji materi ke Mahkamak Konstitusi5.

Uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Macica Muchtar

adalah dengan mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43

ayat (1), Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya, UUP)

hak-hak dasarnya dan anaknya sebagai warga Negara dirugikan. Pasal 2 ayat (1) UUP

berbunyi, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu” sedangkan ayat (2) berbunyi, “tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 43

ayat (1) berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hak dasar Macica dan

anaknya yang dirugikan adalah berdasarkan Undang-undang Dasar RI 1945 (UUD

’45) pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak membentuk keluarga

dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, dan pasal 28 B ayat (2)

yang berbunyi, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan

pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum”.6 Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP tersebut,

maka hak-nya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah serta hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi; hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

dan perlakuan yang sama di depan hukum, sebagaimana disebutkan dalam UUD RI

’45, menjadi hilang. Akibatnya status perkawinannya dengan Moerdiono yang

dilakukan secara sah sesuai syariat Islam, dianggap tidak sah. Demikian pula anak

yang lahir dari perkawinan itu, dianggap tidak sah. Dengan hilangnya status sah

5Macica Mochtar http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/m/machica_mochtar/ diakses pada 1 juli

2013. Macica 8 Tahun Berjuang Demi Hak Anak, http://video.kapanlagi.com/hot-

news/machicamochtar-8-tahunberjuang-demi-hakanak.html

6 Putusan Mahkamah Konstitusi RI hal. 27.

11

perkawinannya tersebut, maka ia dan anaknya tidak memiliki hubungan perdata, baik

nasab, nafkah maupun waris dengan Mordiono.

Terhadap uji materi pasal 2 ayat (2) UUP tentang pencatatan perkawinan, MK

mengemukakan jawaban berdasarkan penjelasan umum angka 4 huruf b UUP bahwa,

pertama, pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sah-nya perkawinan;

kedua, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan

undang-undang. Kewajiban-kewajiban administrasi tersebut dapat dilihat dari dua

perspektif, yaitu dari perspektif Negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam

rangka memenuhi fungsi Negara untuk memberikan jaminan perlindungan,

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang

merupakan tanggung jawab Negara dan harus dilakukan sesuai prinsip Negara hukum

sebagaimana yang dimuat dalam pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD RI ’457.

Sekiranya pencatatan tersebut dianggap pembatasan, maka pembatasan tersebut

dipandang tidak bertentangan dengan UUD RI ’45, karena pembatasan dimaksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain. Kedua, pencatatan secara administrative yang dilakukan oleh Negara

dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi

terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat

dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik. Dengan argument

tersebut, MK berpendapat bahwa pasal 2 ayat (2) UUP tidak bertentangan dengan

UUD RI ’458.

Adapun terhadap uji materi pasal 43 ayat (1) UUP MK mengabulkan dengan

putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17

Februari 2012. Amar putusan tersebut berbunyi9 :

7 UUD NKRI 1945 pasal 28 I ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dan ayat (5) Untuk menegakan dan

melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan

hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 8 Putusan MK ha. 33-34.

9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012, Tentang Uji

Materiil Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1)

12

“ Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya ”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-

laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai

hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus

dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan

keluarga ayahnya ”

Berdasarkan putusan MK tersebut, anak yang dilahirkan di luar perkawinan,

yang semula menurut pasal 43 ayat (1) UUP hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibu dan keluarga ibu saja, mempunyai jalan untuk mendapatkan hak-hak

perdata dari ayah biologis, asalkan dapat membuktikan kebenarannya melalui ilmu

pengetahuan dan teknologi, misalnya dengan tes DNA atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Keputusan tersebut

berdasarkan argument bahwa secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan

hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui

hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang

menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil

manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena

hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan

13

tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadi

kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang

bapak. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang

didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-

laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara

bertimbal balik yang subyek hukumnya adalah anak, ibu dan bapak. Dengan

demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata

karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak10

.

B. Sahnya Perkawinan Versus Pencatatan Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan di

dalam pasal 2 ayat (1), “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal tersebut dijelaskan di

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)11

pasal 5, “perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1

tahun 1974 tentang Perkawinan”. Penjelasan tentang rukun perkawinan menurut

hukum Islam, yang merupakan dasar sah-nya suatu perkawinan dijelaskan di dalam

pasal 14 yaitu, adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan

Kabul. Dengan demikian sah-nya suatu perkawinan berdasarkan adanya lima rukun

tersebut, yang mana pencatatan tidak termasuk di dalamnya. Perkawinan sudah

dinyatakan sah menurut hukum Islam tanpa adanya pencatatan.

Adapun kedudukan pencatatan perkawinan sebagaimana disebutkan di dalam

pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, di dalam KHI pasal 5 disebutkan secara

10

Putusan MK hal. 35-36. 11

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum keluarga Islam yang meliputi bidang perkawinan,

kewarisan dan perwakafan, yang ditulis dalam bentuk pasal-pasal sebagaimana undang-undang,

berjumlah 229 pasal untuk umat Islam di Indonesia. Meskipun belum berbentuk undang-undang,

namun KHI secara efektif telah menjadi pedoman Pengadilan Agama berdasarkan Inpress No. 1 tahun

1991 yang mana Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyosialisasikan KHI

untuk digunakan instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.

14

eksplisit merupakan suatu keharusan demi menjamin ketertiban perkawinan

masyarakat Islam, bahkan ditegaskan di dalam pasal 6 ayat (2), bahwa perkawinan

yang tidak dicatat, tidak memiliki kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 2 tahun

1946 jo Undang-undang No. 32 tahun 1954, sebab itu, perkawinan harus

dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan hanya dapat dibuktikan dengan

Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah12

.

Meskipun peraturan perundangan sudah tegas mewajibkan pencatatan

perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah

tangan alias tidak dicatat. Sebagian besar adalah mereka yang poligami sebagaimana

kasus Moerdiono-Macica tersebut diatas dan perkawinan di bawah umur13

. Hal ini

merupakan problem yang rumit, apalagi poligami dan perkawinan di bawah umur

sering berakhir dengan perceraian14

. Sebagai akibatnya banyak janda dan anak yang

lahir dari perkawinan tersebut yang dirugikan karena tidak mendapat jaminan hukum.

Jika banyak janda dan anak yang terlantar, tidak mendapat jaminan hukum, maka

akan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan yang tidak positif. Anak bisa

tumbuh, berkembang dengan baik hanya dalam keluarga yang baik. Maka bisa

dibayangkan beban hidup yang ditanggung oleh ibu dalam mengasuh dan

membesarkan anaknya seorang diri. Hal itu masih ditambah dengan pandangan

masyarakat yang negative terhadap perkawinan di bawah tangan.

Mayoritas ahli hukum menyatakan bahwa sah-nya perkawinan dan pencatatan

perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 bisa

berjalan seiring atau tidak mengandung problem dalam pelaksanaannya15

. Namun

12

Lihat KHI pasal 6 dan 7. 13

Belum ada sanksi hukum bagi kejahatan perkawinan, http://puslitbang 1,

balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=c diakses tanggal 1 juli 2013. 14

Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat.Jakarta: Sinar Grafika,

2010. Hal.23

15

Abdul Manan,. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2008. Hal. 13. Drs. H. Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab

15

jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya dalam dua ketentuan tersebut muncul

kejanggalan. Misalnya akan muncul pertanyaan, bagaimana suatu perkawinan yang

dipandang sah menurut undang-undang bisa tidak diakui sendiri ketidak-sah-annya

oleh undang-undang yang sama. Sebab perkawinan yang dilaksanakan menurut

syariat Islam atau adat dipandang sah menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang

Perkawinan No. 1 tahun 1974, namun sekaligus juga diingkari ke-sah-annya menurut

pasa 2 ayat (2), dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak dicatat. Salah

seorang hakim mahkamah konstitusi dalam menetapkan putusan perkara ini,

mengemukakan pandangan yang berbeda (councuring opinion), yaitu Farida

Indriyati. Menurut Indriyati dua pasal tersebut saling menghalangi satu sama lain.

Dalam pelaksanannya pasal 2 ayat (1) terhalang pelaksanaannya oleh ayat 2 dan

sebaliknya ayat (2) juga terhalang oleh ayat (1). Kondisi ini disebabkan tidak

sinkronnya antara norma agama dan norma hukum. Sahnya suatu perkawinan

berdasarkan norma agama, sedang perlindungan hukum harus berdasarkan

pencatatan. Perlindungan hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya akte nikah,

yang mana hanya bisa diperoleh dengan melaksanakan pernikahan di depan Pegawai

Pencatat Nikah. Sebab itu, Indriyati mengharapkan adanya sinkronisasi norma-norma

agama dan hukum16

. Dikarenakan kondisi tidak sinkron ini merugikan perempuan

dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Kerugian tersebut berupa

perkawinannya dipandang tidak sah, yang mengakibatkan kedudukan anaknya juga

tidak sah, yang oleh karena itu, anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah.

Kerugian lebih lanjut adalah isteri tidak memiliki hak terhadap harta bersama.

C. Anak Di Luar Perkawinan Versus Anak Zina

Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17

Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan” hal. 9-10.

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER

KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.

16 Putusan MK, dalam concurring opinion putusan MK hal. 40-45. Didukung oleh Komnas Perempuan

dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang

Pasal43ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan.

http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan-

mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada

tanggal 10-11-2012

16

Apa pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan di dalam putusan MK dan di

dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi anak zina, yaitu anak yang

kelahirannya tanpa perkawinan ke dua orang tuanya? ataukah hanya anak yang

dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatat saja? Pengertian anak yang dilahirkan

di luar perkawinan ini menjadi polemic diantara ahli hukum. Putusan MK memberi

kesan kepada ormas Islam dan MUI17

, bahwa pengertian anak yang dilahirkan di luar

perkawinan itu termasuk anak zina. Sebab itu MUI segera mengeluarkan fatwa

tentang kedudukan Anak Zina. Yang intinya menyatakan bahwa anak zina tidak

memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang menjadi sebab kelahirannya dan

keluarganya. Anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga

ibunya. Dengan kata lain, ormas Islam dan MUI memaknai anak yang dilahirkan di

luar perkawinan itu, adalah anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak

dicatat atau dibawah tangan18

. Mereka menyatakan bahwa putusan MK tersebut

secara implicit menuju kepada legalisasi zina19

. Sebaliknya Mahfud MD, ketua MK

pada waktu itu, memberi penjelasan bahwa dasar terpenting dalam putusan MK

adalah, semua orang yang berbuat, dia harus bertanggung jawab. Laki-laki yang

menjadi sebab kelahiran seorang anak, harus bertanggung jawab terhadap hidup dan

kehidupan anak tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana status perkawinannya20

.

Jadi, anak zina juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah yang menjadi sebab

kelahirannya dan keluarga ayahnya.

17

Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010”

http://badilag.net/data/ARTIKEL/DISKUSI%20HUKUM.pdf diakses pada 1juli 2013 dan 17

Drs. H.

Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori

Fikih dan Perundang-undangan” hal. 9-10.

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER

KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013. 18

Jumni Nelly, , Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional.

Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Uin Suska Pekanbaru, Riau., hal. 54. 19

Putusan MK tentang Anak Luar Nikah, Legalkan Zina http://www.itoday.co.id/politik/putusan-mk-

tentang-anak-di-luar-nikah-legalkan-zina, diakses 3 juli 2013dan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010,

tidak legalkan perzinahan http://id.berita.yahoo.com/mk-putusan-nomor-46-puu-viii-2010-tidak-

085210375.html 20

MK dituding Legalkan zina, http://revisi.joglosemar.co/berita/mk-dituding-legalkan-zina-67643.html

17

Selain itu, menurut hakim konstitusi Indriyati dalam councoring opinion-nya,

jika perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam atau di bawah tangan

dipandang sah menurut undang-undang, maka seturut dengan itu, anak yang

dilahirkan dalam perkawinan di bawah tangan juga harus dipandang anak sah.

Dengan demikian yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu bukan

anak yang lahir dalam perkawinan, melainkan anak zina, yaitu anak yang lahir tidak

dalam perkawinan. Sejalan dengan Indriyati, Syamsul Anwar menyatakan, bahwa

UUD NKRI 1945 pasal 29 B ayat (1) menyatakan, “setiap orang berhak membentuk

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan

pasal 29 B ayat (1) tersebut, kata kunci yang harus diperhatikan adalah “melalui

perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah harus dirujuk kepada UUP No.

1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), yaitu “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Anwar

menegaskan bahwa berdasarkan undang-undang, setiap orang memiliki hak untuk

mendapatkan keturunan dengan jalan perkawinan yang sah. Tidak melegalkan

memperoleh keturunan dengan jalan kumpul kebo atau zina. Dengan demikian bisa

disimpulkan bahwa yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah

anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, bukan anak yang lahir tanpa

perkawinan. Polemic ini menjadi panas, sebab di dalam UUP No. 1 tahun 1974 tidak

ada penjelasan yang eksplisit tentang pengertian anak yang dilahirkan di luar

perkawinan21

.

Putusan MK didukung oleh ketua KPAI, Aris Merdeka Sirait, dengan

menyatakan, “ jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama

ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah.

Dan ini tentu akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa

mencantumkan siapa bapaknya, nah .. itukan merugikan anaknya. Di dalam konvensi

PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan

itu harus diberikan oleh Negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya

21

Abdul.Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group 2008 hal 41.

18

perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang

sangat mendasar dan konstitusional”22

. KPAI menyatakan hamper 50 juta anak di

Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab, antara lain

karena pernikahan tidak sah atau kawin siri. Angka ini hampir separoh dari total

jumlah anak di bawah usia 5 tahun. Sebab itu Aris Merdeka Sirait sangat mendukung

putusan MK, yang bisa dijadikan landasan advokasi untuk anak di luar pernikahan

untuk memperoleh hak keperdataannya.

D. KONFRONTASI FATWA MUI DAN PUTUSAN MK

Posisi ulama harus berada di garis terdepan di dalam menjaga moral masyarakat dan

menegakkan ajaran Islam. Sebab itu, melalui fatwa tersebut, MUI telah

melaksanakan perannya sebagai penjaga moral ummat dengan menutup pintu zina.

Butir kedua, tentang Ketentuan Hukum dalam fatwa MUI menyatakan:

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali

nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan

kelahirannya.

2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris,

dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang

dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.

4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang

berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah

(hifzh al-nasl).

5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki

pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan

mewajibkannya untuk:

22

Komnas Pa: 249 Anak Kasus Perceraian Tak Diakui Ayahnya

http://www.antarajawabarat.com/lihat/cetak/36884 diakses 4 juli 2013

19

a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat

wajibah. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5

bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan

hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang

mengakibatkan kelahirannya23

.

Spirit dari fatwa tersebut adalah menjaga nasab yang merupakan prinsip

ajaran Islam.serta menutup rapat-rapat pintu zina. Bagi ummat Islam, sesungguhnya

tidak mengherankan, ketentuan-ketentuan dalam fatwa MUI tentang anak hasil zina

yang tampak keras, bahkan mengesankan tidak manusiawi tersebut. Sebab ajaran

Islam merupakan zona bebas zina. Tidak ada celah sekecil apapun yang bisa

mengizinkan atau mengakibatkan zina. Semua pintu yang bisa menyebabkan

terjadinya zina ditutup rapat-rapat. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan

hanya diizinkan melalui satu pintu, dan satu-satunya, yaitu perkawinan. Sebab itu

memang ajaran Islam tidak mengenal hubungan nasab lewat jalan zina. Larangan zina

di dalam al-Qur’an surat al-Isra’(17):3224

, tidak sekedar diungkapkan dengan kalimat,

“janganlah kamu berzina”, tetapi “ janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya

zina itu perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan”. Zina juga merupakan perbuatan

jarîmah hudûd, dimana hukumannya sudah dijelaskan di dalam al-Qur’an, yaitu

seratus kali cambuk bagi yang masih bujang, belum menikah baik laki-laki maupun

perempuan25

, dan rajam, dilempar batu sampai mati bagi yang sudah menikah atau

janda dan duda.26

Seturut dengan larangan zina, ajaran Islam juga melarang ber-

23

fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan

Perlakuan Terhadapnya”

24نا إنه كان فاحشة وساء سبيل وال تقربوا الز

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang

keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).

اني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة انية والز الز

Qur’an surat al-Nûr(24):2. 26

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ( t.t. Dâr al-Fikr, t.th.) juz II, hal. 346

20

khalwat27

, menganjurkan menjaga pandangan dan menutup aurat28

. Di sisi lain, ajaran

Islam sangat menganjurkan perkawinan. Sangat banyak ayat al-Qur’an yang

menganjurkan perkawinan, bahkan perkawinan dipandang sebagai salah satu tanda

kekuasaan Allah SWT. Yang di dalamnya terwujud kehidupan yang tenang, saling

mencintai dan mengasihi.29

Perkawinan dalam hadist dipandang sebagai sunnah para

Nabi, bagi yang tidak menyukai sunnah Nabi, dianggap tidak termasuk golongan

Nabi30

. Hukum keluarga di dalam fiqh (baca: hukum Islam) mengatur perkawinan

dengan sangat rinci, mulai dari ketentuan memilih pasangan, melamar, rukun dan

syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, talak, ‘iddah, ruju’, pengasuhan

anak, waris dan hal-hal yang sangat detil terkait dengan topik-topik tersebut.

Hikmah dilarang zina sudah begitu jelas, sehingga tidak memerlukan

penjelasan lagi. Dalam perkawinan melahirkan kemuliaan, mengasah dan

mengembangkan potensi-potensi baik akan tumbuh naluri ayah dan ibu untuk

mengasuh, melindungi anaknya, berbeda dengan zina yang menyebabkan konflik

batin dan penyakit yang sangat berbahaya. Tidak ada agama yang melegalkan zina

sebagaimana tidak ada agama yang tidak memuliakan perkawinan.

Di sisi lain, anak hasil zina, sebagai manusia Indonesia, mempunyai hak-hak

konstitusional sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945. Pasal 28B ayat (2) UUD

NRI 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam

paradigma menjamin hak-hak konstitusional, putusan MK memuat keterangan hukum

yang bertentangan dengan fatwa MUI, sebagai berikut :

27

Khalwat : berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat sepi, yang rentan

merangsang nafsu birahi. 28

ضربن بخمرهن على منها ولي وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن وال يبدين زينتهن إال ما ظهر

وانهن أو بني جيوبهن وال يبدين زينتهن إال لبعولتهن أو آبائهن أو آباء بعولتهن أو أبنائه وانهن أو بني إ ن أو أبناء بعولتهن أو إ

واته ن أو نسائهن أ أ surat an-Nur (24) : 30-31. 29

لق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحم ة إن في ذلك ليات لقوم يتفكرون ومن آياته أن )

Surat an-Nur (30): 21. 30

النكاخ سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني

21

“Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum

dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus)

maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan

teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh

karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum

menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan

karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki

hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.31

Bahwa anak yang diperlakukan secara berbeda dengan anak-anak yang lain,

bukan karena kesalahan yang dilakukan anak tersebut, adalah tindakan diskriminasi

kepada anak. Terkait hak-hak anak terhadap ayah biologisnya, putusan MK

menyatakan :

“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang

menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut

dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan

dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki

tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan

perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat

dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki

tertentu.32

Disamping itu, lembaga-lembaga yang bekerja di lapangan terkait dengan

masalah anak juga mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan fatwa MUI

tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam siaran persnya, secara

31

putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Uji Materiil Undang-undang

Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1). 32

putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Uji Materiil Undang-undang

Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1).

22

tegas menghimbau MUI untuk meninjau kembali fatwanya dan melakukan kajian

yang mendalam, sebab fatwa MUI tentang anak hasil zina tersebut dipandang

melukai anak. Mereka juga menyebutkan bahwa jumlah anak yang akte kelahirannya

tidak tercantum bapaknya sangat banyak, yang mengakibatkan penderitaan dalam

hidup anak33

. Demikian pula Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara tegas

mendukung putusan MK, menyatakan "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang

anak di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata kepada ayah biologisnya,

meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan atau ibu," kekerasan

berlapis itu diantaranya adalah stigma masyarakat, sebagai single parent yang harus

mengasuh dan menanggung biaya hidup anaknya sendirian. Komnas Perempuan

menginformasikan bahwa tahun 2011, menerima pengaduan kasus anak di luar nikah

sebanyak sembilan belas kasus. Dari seluruh kasus yang diadukan, tak satu pun laki

laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi

anak yang dilahirkan34

.

Benar, bahwa fatwa MUI juga dijamin oleh undang-undang, yaitu pasal 29

UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi, “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu”. Sebab itu semua kelompok yang mendukung

putusan MK untuk mengakui hubungan anak dengan ayah biologis sebagaimana

dengan ibunya, berdasarkan konstitusi, tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip

menjaga nasab, menutup pintu zina dan memuliakan lembaga perkawinan

sebagaiamana ajaran Islam. Artinya pengakuan terhadap anak hasil zina dan

perlindungan hukum terhadap hak-haknya, harus sejalan dengan prinsip menjaga

nasab dalam Islam. Di sisi lain, pelaksanaan pasal 29 UUD RNI 1945 ayat (2) tidak

33

Terkait Status Anak Zina, Kak Seto MInta Tinjau Ulang Fatwa MUI,

http://depoklik.com/2012/03/16/terkait-status-anak-zina-kak-seto-minta-tinjau-ulang-fatwa-mui/Seto

M 34

Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat

(1) Undang-undang N0. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan-

mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada

tanggal 10-11-2012

23

bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan pasal lain seperti pasal 28 J ayat (2)

yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis.” Dengan demikian, berdasarkan konstitusi, melaksanakan ajaran agama,

dalam konteks Negara Indonesia, juga harus memperhatikan ketentuan perundang-

undangan. Pada titik ini, berarti agama dituntut untuk mampu melakukan

transformasi dalam konteks ke-Indonesiaan. Kebebasan beragama, meskipun agama

yang dianut oleh mayoritas, tidak bisa lepas dari ketentuan perundang-undangan.

Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok yang menolak fatwa MUI,

sebagaimana dikemukakan diatas, secara obyektif, bisa diterima akal sehat. Sebab itu

perlu direspon secara logis proporsional dan sedapat mungkin tidak apologetic. Sebab

ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal sehat.

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. PENDEKATAN dan JENIS PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiri.35

Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalis Putusan Mahkamah Konstitusi RI

No. 46/PUU-VIII/2010 tentang peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan

anak di luar nikah.36

Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalis,

bukan semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan perundang-undangan yang

bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang

menggejala dan mempola kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan

berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti: politik, ekonomi, sosial dan

budaya. Berbagai penemuan data dilapangan yang bersifat individual akan dijadikan

35

Pendekatan dari sudut kaidah-kaidah pelaksanaan peraturan yang berlaku dalam masyarakat 36

Soemitro, Ronny Hanitijo (1982). Metode Penelitian Hukum, (Ghalia Indonesia, 1982). Hlm. 9

25

bahan utama dalam pengungkapan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada

ketentuan normatif.37

2. Jenis Penelitian

Sesuai dengan fokus permasalahan yang peneliti ajukan, maka penelitian ini

menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif38

. Dalam hal ini, peneliti

menyajikan data-data dalam bentuk aslinya, dan setiap bagian ditelaah satu demi satu.

Dengan pendekatan ini, peneliti menganalisis pendapat pengurus Muslimat NU dan

Aisiyah Kota Malang tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-

VIII/2010 sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan di atas.

3. Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distrukturisasi atau

bagaimana bagian-bagian tersebut berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks

khusus atau dimensi waktu).39

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah

paradigma alamiah (naturalistic paradigm).40

Hal yang ditekankan dalam paradigma

ini ialah aspek subjektifitas dari perilaku seseorang. Dalam penelitian ini, peneliti

ingin mengetahui pendapat pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-VIII/2010 secara komperhensif.

4. Lokasi Penelitian

Dipilihnya pengurus Muslimat NU dan Aisiyah kota Malang adalah karena pengurus

Muslimat NU dan Aisiyah di kota Malang terdiri dari Ibu Nyai, muballighah dan

akademisi, seperti dosen, hakim, guru, yang tentu memiliki kompetensi untuk

membahas putusan MK tersebut. Dari hasil wawancara akan bisa dilihat adanya

resistensi atau akomodasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan

implikasinya terhadap reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia.

5. Data dan Sumber Data

37

Ibid, hlm. 9 38

Penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar serta

informasi verbal atau naratik dan bukan dalam bentuk angka. 39

Lexy J. Moleong (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda), hlm. 49 40

Paradigma alamiah yang bersumber pada pandangan fenomenologis.

26

Dalam penelitian ini, data penelitian berupa data primer dan data skunder yang

diperoleh dari berbagai sumber data. Secara jelasanya data dan sumber data diuraikan

sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer41

berasal dari kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau

diwawancarai, yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video dan

pengambilan foto42

. Dalam hal ini, peneliti mewawancarai pengurus Muslimat NU

dan Aisyiyah kota Malang, yang penulis pilih berdasarkan purposive random

sampling. Penulis memilih dua orang pengurus dari Muslimat NU dan dua orang

pengurus dari Aisiyah. Pemilihan dilakukan berdasarkan pendidikan mereka dan

kedudukannya dalam organisasi. Profil mereka penulis sajikan dalam table berikut

ini.

Tabel Informan

Tabel informan Muslimat NU

N0. NAMA PENDIDIKAN JABATAN ALAMAT

1. Hj. Nyai Chasinah Pondok

Pesantren

Singosari

Ketua I

Muslimat NU

Jl. Kebalen

Wetan 8/21 A

Kedung

Kandang

Malang

2. Hj. Sulalah, Dr.M.Ag S-3 Ketua Litbang

Muslimat NU

Perum Dinas

UIN, Jl.

Gajayana 50

Malang

3. Hj. Siti Aminah Rofi’i Pondok Dewan Belakang

41

Data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti (informan) 42

Lexy J. Moleong (2008). Op.cit, hlm. 157

27

Pesantren Penasehat

Muslimat NU

Masjid Jami’

Kota Malang

4. Dewi Hamidah, Dr.,

M.Ag.

S-3 Anggota

Litbang

Muslimat NU

Klayatan

Gang 1

kanjuruan

Table informan Aisyiyah

N0. NAMA PENDIDIKAN JABATAN ALAMAT

1 Dra. Hj. Rukmini S-1 Ketua Cabang

Aisiyah Kota

Malang

2 Dra. Hj. Sunkanah

Hasyim SH., M.Hum

S-2 Bidang

Da’wah

Aisiyah

Jl. Soponyono

23 Losari

Singosari

Malang

3. Komariah SH, M.Si,

M.Hum

S-2 Ketua Majelis

Hukum &

HAM Aisiyah

Jl. Kebalen II

A No. 16

Sukun Malang

4. Fifik Wiryani S-3 Anggota

Majelis

Hukum &

HAM Aisiyah

Perum Muara

Sarana Indah

F.9

Mulyoagung

Malang

Kepada informan penulis kirim putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi

topic pembahasan dan fatwa MUI tentang kedudukan anak zina terlebih dulu sebelum

melakukan wawancara.

2. Data Sekunder

28

Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari sumber-sumber tertulis, yaitu sumber

buku, majalah ilmiah, tesis dan disertasi, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan

dokumen resmi, dan peraturan perundang-undangan di Indonesia,43

yang berkaitan

dengan kedudukan anak di luar nikah, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Putusan MK

RI No. 46/PUU-VIII/2010, serta literatur-literatur yang relevan lainnya.

A. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer, diperoleh dari:

a. Wawancara (interview guide),44

yang berisikan daftar pertanyaan yang

sifatnya terbuka dan ingin memperoleh jawaban yang mendalam tentang

kedudukan nikah yang tidak dicatat dan hak-hak isteri dan anak yang lahir

di luar perkawinan. Secara singkatnya interview guide merupakan rambu-

rambu yang digunakan peneliti agar tidak terjebak dalam mencari data di

luar permasalahan dan tujuan penelitian.45

b. Dokumentasi (Documentation); berupa rekaman baik sound maupun video

gambar, foto dan lain-lainnya.

2. Data Sekunder, diperoleh dari:

a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari sejumlah literature, dokumen,

catatan serta buku terkait dengan kedudukan anak di luar nikah.

b. Peraturan perundang-undangan Hukum Islam khususnya yang mengatur

masalah kedudukan anak di luar nikah yang berlaku di Indonesia.

A. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti, yaitu: data kualitatif yang

berupa data (kalimat), maka kemudian data tersebut dianalisa dengan teknik

analisa data kualitatif dengan model analisa interaktif.

Ada 3 (tiga) kelompok pokok yang terdapat dalam model analisa interaktif, yaitu:

43

Lexy J. Moleong (2008). Op. Cit. hlm. 159 44

Menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman kepada responden, dengan tujuan untuk

mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh dari sumber pertama. 45

Bagong Suyanto dan Sutinah (2008). Op.cit, hlm. 56

29

1. Data Reduction (Reduksi Data); merupakan sajian dari analisa yang

mempertegas, memperpendek, membuat focus dan membuang hal yang tidak

penting sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik.

2. Data Display (Display Data); merupakan rakitan suatu organisasi informasi

yang memungkinkan riset dapat dilaksanakan dengan melihat suatu penyajian

data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk

mengerjakan suatu analisa atau tindakan lain berdasar penelitian tersebut.

3. Conclusion Drawing (Kesimpulan), adalah kesimpulan yang ditarik dari

semua hal yang terdapat dalam data rediction dan data display. Pada dasarnya

makna data harus diuji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi

lebih kokoh.46

Adapun proses menganalisa data adalah dengan mereduksi data yang telah

terkumpul, yaitu dengan cara menyederhanakan atau membuang data-data yang

tidak relevan dengan penelitian, kemudian diadakan penyajian data agar

memungkinkan untuk dapat ditariknya suatu kesimpulan. Namun apabila dirasa

masih terdapat kekurangan dalam menarik kesimpulan akibat kurang

tercukupinya data yang telah ada, maka peneliti dapat melakukan penelitian di

lapangan kembali, sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan lagi yang

lebih mengena dengan sasaran dan tujuan penelitian.

Pengecekan Keabsahan Data

Triangulasi;47

teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan

melalui sumber lainnya. Di mana seorang pakar peneliti yang bernama Denzin telah

membedakan 4 (empat) macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yang

memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini

triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber atau informan yang memiliki

perbedaan karakteristik.

46

Sutopo H.B. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 1981),

hlm. 35. 47

Tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk

kepentingan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

30

BAB IV

PAPARAN DAN ANALISIS DATA

Sub bab ini diperoleh dari pengurus Muslimat NU dan Aisyiyah kota Malang,

yang penulis pilih berdasarkan purposive random sampling. Penulis memilih empat

orang pengurus dari Muslimat NU dan empat orang pengurus dari Aisiyah. Pemilihan

dilakukan berdasarkan pendidikan mereka dan kedudukannya dalam organisasi. Profil

mereka penulis sajikan dalam table berikut ini.

Tabel Informan

Tabel informan Muslimat NU

N0. NAMA PENDIDIKAN JABATAN ALAMAT

1. Hj. Nyai Chasinah Pondok Ketua I Jl. Kebalen

31

Pesantren

Singosari

Muslimat NU Wetan 8/21 A

Kedung

Kandang

Malang

2. Hj. Sulalah, Dr.M.Ag S-3 Ketua Litbang

Muslimat NU

Perum Dinas

UIN, Jl.

Gajayana 50

Malang

3. Hj. Siti Aminah Rofi’i Pondok

Pesantren

Dewan

Penasehat

Muslimat NU

Belakang

Masjid Jami’

Kota Malang

4. Dewi Hamidah, Dr.,

M.Ag.

S-3 Anggota

Litbang

Muslimat NU

Klayatan

Gang 1

kanjuruan

Table informan Aisyiyah

N0. NAMA PENDIDIKAN JABATAN ALAMAT

1 Dra. Hj. Rukmini S-1 Ketua Cabang

Aisiyah Kota

Malang

2 Dra. Hj. Sunkanah

Hasyim SH., M.Hum

S-2 Bidang

Da’wah

Aisiyah

Jl. Soponyono

23 Losari

Singosari

Malang

3. Komariah SH, M.Si,

M.Hum

S-2 Ketua Majelis

Hukum &

HAM Aisiyah

Jl. Kebalen II

A No. 16

Sukun Malang

4. Fifik Wiryani S-3 Anggota Perum Muara

32

Majelis

Hukum &

HAM Aisiyah

Sarana Indah

F.9

Mulyoagung

Malang

Kepada informan penulis kirim putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi

topic pembahasan dan fatwa MUI tentang kedudukan anak zina terlebih dulu sebelum

melakukan wawancara. Kemudian wawancara dilaksankan dalam waktu sehari,

karena bertepatan dengan acara seminar sehari yang dilaksanakan Fakultas Syariah

UIN Malang pada tanggal 14 Desember 2012, dengan tema, “Kedudukan Anak Hasil

Zina dan Perlakuan Terhadapnya” ( Mengkaji Putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010,

tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1) dan

Fatwa MUI N0. 11/2012 tanggal 10 Maret 2012 ) yang bertempat di Hotel Pelangi

Jl. Merdeka Selatan N0 3 Malang 65119.

Instrumen wawancara dipilah berdasarkan isi putusan MK agar bisa menggali

pandangan informan secara terperinci. Inti putusan MK pada prinsipnya ada dua,

yaitu tidak dikabulkannya uji materi pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun

1974, yang menyatakan perkawinan harus dicatat. Dan dikabulkannya uji materi

pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyatakan “anak yang

dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan

ibunya dan keluarga ibunya”. Dengan putusan MK, pasal tersebut berubah, “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya serta dengan bapaknya dan keluarga bapaknya sepanjang bisa

dibuktikan dengan ilmu pengetahuan/teknologi atau bukti-bukti lain yang bisa

digunakan”. Sebab itu, instrument wawancara berbunyi :

1. Bagaimana pandangan ibu tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2

ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan

33

MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal

2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

2. Bagaimana pandangan ibu tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang

tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Bagaimana pandangan ibu tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab

dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan

MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal

2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

4. Bagaimana pandangan Informan tentang Pencatatan Perkawinan pada

pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dikukuhkan

dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU

Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU

“Sebenarnya pengalaman saya, hidup di tengah-tengah

masyarkat, ini ada satu persoalan bahwa ada pasangan laki-laki dan

perempuan yang mau menikah, sebenarnya persoalan ini di masyarakat

menjamur, tatkala mau menikah mendatangkan orang tua mereka,

terus ada RT ada RW, karena ada itu seorang kiyai mau menikahkan

sirri itu dengan catatan pada tanggal tertentu harus nikah secara resmi.

Persoalan ini sering terjadi di masyarakat apalagi orang yang dianggap

tokoh/ulama, mau masyarakat itu tidak mau ribet dan solusi seperti

apa. keputusan MUI saat di Gontor itu memutuskan bahwa nikah sirri

itu boleh dengan catatan punya kewajiban harus segera dicatatkan di

KUA. Sebab itu putusan MK yang mengukuhkan pencatatan

perkawinan ya sudah sesuai. Saya kira itu”.48

Hj. Sulalah Dr., M.Ag, Ketua Litbang Muslimat NU

48

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

34

“Bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan dengan sah

dalam pandangan syar’i dan juga sah dimata hukum. Artinya istilah sah

ini ada dua konteks; sah menurut agama dan sah menurut Negara,

Perkawinan harus sah menurut syar’I dan Negara. Jadi putusan MK

yang mengukuhkan pencatatan perkawinan itu ya sudah sesuai”49

.

Ibu Hj. Siti Aminah ( Mantan Ketua Muslimat NU ):

“Setuju. Karena dengan pencatatan keturunanya agak jelas hak

waris jelas dan kelanjutan dari pendidikan anak bagus karena kalo

masuk sekolah harus dicatatkan ke KUA itu kan pemerintah, tapi

karena itu pemerintah jadi harus kita ikuti. Jadi di catatkan mari

ngono oleh akte kelahiran sekolah, ini memang harusnya begitu, jadi

di catatkan begitu, Cuma ada catatan sipil ada catatan dari KUA yaitu

catatan yang di catat oleh buku nikah kan gitu dapat buku nikah, kan

sebagai bukti sudah sah menjadi suami istri. Makanya tadi saya

sampaikan menghalalkan yang harom tadi. Suami mengucapkan saya

nikahi saja sudah halal. (lafadz akad) itu suami menikahi dan

perempuan di kawini, mulane islam ngatur seng nggolek bojo iki

wong lanang, apa ndak boleh perempuan, boleh tapi adatnya di jawa

timur kan arek lanang nglamar wong wedhok. Kalo islam di ikuti

bagus, kadang kita masih terutama anak muda sak enak e. kalo islam

diikuti bagus. Ada wong lanang ngelamar trus di takokne wedhok e

seneng po g? kalo sudah mengucapkan akad nikah kan sudah halal

segala galanya. Dengan mertua ya g batal. Dengan istri halal di apakno

ae50

”.

Ibu Dr. Dewi Hamidah ( Anggota Litbang Muslimat NU )

49

49

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 50

Wawancara di rumah Ibu Hj Siti Aminah, Belakang Masjid Jami’ Malang, 22 oktober

2013.

35

“Pencatatan perkawinan berarti prosedur, perlengkapan

administrasi yang harus di lakukan seseorang untuk menikah di kantor

urusan agama, sangat setuju sekali ketika aturan aturan yang berlaku

sesuai dengan ketentuan administrasi, dan tidak di lebih lebihkan,

artinya, biasanya kita melengkapi administrasi, lalu ada beberapa

persyaratan yang sebetulnya tidak perlu tapi di bikin perlu contohnya:

surat pindah nikah itu memang harus. Kalo biasanya di sini di

mempelai putri sehingga harus ada pengurusan surat pindah nikah. Itu

sih memang logis, tapi kalo’ kemudian ada biaya di luar biaya keluar

administrasi itu yang menjadikan tidak efektif. Ya kalo pencatatan

harus, kenapa? Karena mengingat penduduk Indonesia yang begitu

banyaknya, dan semuanya banyak yang pengen nikah juga, maka

harus ada pencatatan dengan syarat petugas itu harus melakukan sesuai

dengan schedule. Misalnya si A akan menikah, tanggal 1 september,

datang lagi yang ke dua, minta tanggal 1, nah tanggal itu kan sudah di

daftar, ndak pokoknya saya minta tanggal 1 karena ini tanggal yang

penting, kemudian dia memberi uang yang lebih lah kepada petugas.

Kalo dia bayar 500 saya bayar satu juta, akhirnya di cancel ato di

rubah itu yang menjadikan tidak baik. Tapi kalo semua sesuai

schedule dan sesuai ketentuan lebih tertib.”51

Ibu Sunkanah, ( Anggota Bidang Dakwah Aisiyah)

“Di muahamadiyah itu pencatatan (perkawinan) itu wajib.

Untuk melindungi wanita salah satunya, kenapa kok banyak terjadi

nikah sirri kadang kadang mau poligami seperti murdiyono kalo dia

mau poligami kan seharusnya dia dapet ijin, tapi tidak mungkin karena

pegawai negri itu harus apa ini dapet ijin dari atasan atasanya. Nah ini

51

Wawancara di Fakultas Humainora UIN Maliki, jam 12.15 tanggal 24 september 2013.

36

makanya lalu kawein sirri. Nah ini hanya saja wanitanya mau nah itu

yang saya maksudkan.52

Ibu Hj. Rukmini ( Ketua Aisiyah Cabang Kota Malang)

“Di aisyiah itu punya buku hasil dari rumusan tarjih

muhamadiyah, yang kebetulan di serahkan kepada Aisyiah untuk

keputusan hasil majlis tarjih, jadi dari ulama dan pakar seindonesia

bahkan muhamadiyah punya cabang di luar negri. Dan semua ulama’

ulama’nya pada ngumpul untuk melihat dan berkaitan bahwa keluarga

sakinah adlh sebuah keluarga yang dilandasi dengan pernikahan yang

sah dan tercatat di kantor urusan agama, jadi pencatatan itu suatu hal

yang penting dalam artian teks di masa rasul tidak pernah ada. Tapi

rasulullah atau di masa rasul para sahabat itu jujur orang kafirpun jujur.

Makanya dalam kesaksian kaitanya utang piutang di perjalanan jika

terjadi musibah ya, makanya di albaqoroh itu 283 itu ya? Maka ketika

ia non muslim itu di suruh bersumpah atas agamanya nama tuhanya.

Maka orang islam itu jujur. Sedangkan orang munafik dari non muslim,

kana da yang munafik orang islam juga ada yang munafiknya. Yang g

jujur yang munafik itu. Nah untuk itulah pencatatan itu tidak ada tapi

memori sahabat kuat. Kejujuranya, untuk itulah kondisi yang seperti itu

yang di gunakan di aisyiayah u mengambil ini, metode memahami ini

mengambil metode qiyas. Jadi qiyas aulawy yang lebih tinggi, kalau

jual beli saja di suruh catet bahkan ada saksi apalagi pernikahan.

Kenapa? Krn dalam hadis di riwayatkan bahwa wanita sholihah itu

adalah harta, permata yang mahal harganya dalam rumah tangga

keluarga. Kalo kita punya kendaraan punya emas, aja ada kwitansinya

lo masak al mar’atu sholihah tidak di beri kwitansi. Jadi dihadapkan

pada dua kondisi, umat islam sekarang banyak yang tidak jujur. Beda

dengan di masa rasulullah jadi catatanya lewat memori sahabat.

52

Wawancara dengan Ibu Sunkanah di Kantor Muhammadiyah, 4 oktober 2013

37

Namanya sahabat kan jujur bisa di pertahankan kesaksianya. Sekarang

banyak orang jadi saksi pernikahan tapi dia g tau sebenarnya, lak wes

ngomong sah yo sah, kan gitu. harusnya Jika wanita ini hamil, anaknya

bukan anak kandung, seharusnya saksi kan harus menceritakan. Itu kan

kaitanya dengan kesaksian. Jadi tentang pencatatan itu suatu hal yang

termasuk mengantarkan kepada keluarga sakinah. Ya yang dikatakan

sah itu ya yang di catat di KUA53

Hj. Komariah Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisyiyah :

“Saya akan memberikan rekomendasi, semua masalahnya harus

diselesaikan dari akar maslahnya, baik nikah siri, maupun perzinahan.

Ini harus ada pencegahan preventif dan pencegahan kuratif.

Preventifnya apa? Saya kira ini dari kalangan organisasi atau

perguruan tinggi, dakwahnya itu masih kurang baik kepada orang tua

maupun kepada remaja, makin lama makin marak seperti hal yang

biasa, mungkin dua puluh tahun yang lalu orang tua kalau anaknya

hamil diluar nikah, disingkir-singkirkan, bahkan diusir dari rumah,

kalau sekarang udah biasa, kalau anaknya gonta-ganti pacar kok malah

bangga. Oleh karena itu sebagai preventif dakwah kita harus getol

sebelum terjadinya seksual diluar nikah, Intinya saya setuju dengan

pencatatan perkawinan yang dikukuhkan oleh MK”.54

Fifik Wiryani Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisiyah :

“Saya sangat menyetujui putusan MK, karena nikah siri,

banyak digunakan hanya melegalkan hubungan seks saja antara laki-

laki dan perempuan. Banyak kaum laki-laki yang memanfaatkan

praktik nikah siri ini hanya untuk memanjakan libidonya semata dan

mata keranjangnya saja. Kaum perempuan yang mau dinikah siri harus

53

Wawancara di rumah Ibu Rukmini, 4 oktober 2013. 54

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

38

ingat ini, sehingga harus tidak kalah cerdik dari kaum buaya. Mereka

melakukan nikah siri katanya untuk menghindari zina. Padahal

seberapa yakin mereka bahwa pernikahan siri yang hanya untuk main-

main ini diridhoi oleh Allah? Padahal semua ini hanyalah buatan kaum

laki-laki yang egois saja”.55

Berdasarkan data di atas, bisa ditarik kesimpulan, bahwa pandangan informan

baik pengurus Muslimat NU maupun Aisiyah tentang pencatatan perkawinan yang

ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan dikukuhkan

putusan MK sebagaimana paparan data emik di atas adalah sejalan. Bahwa mereka

menyetujui putusan MK tersebut. Bahwa sahnya perkawinan harus dikukuhkan

dengan pencatatan resmi oleh pejabat Negara untuk memperoleh perlindungan

hukum. Akan tetapi mereka tidak berpendapat bahwa nikah siri itu sebagai

penyimpangan. Nikah siri tetap merupakan perkawinan yang sah, meskipun

seharusnya tidak dilakukan, karena akan merugikan perempuan dan anak. Mereka

mengemukakan bahwa nikah siri masih banyak dilakukan di masyarakat karena

beberapa factor. Antara lain, masyarakat tidak mau repot dengan mengurus

administrasi ke KUA dan untuk menghindari zina.

1. Pandangan Informan Tentang Hak-hak Isteri dalam Perkawinan yang Tidak

Dicatat

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU

”Untuk yang kedua hak dan kewajibannya itu hanya diberikan

kepada yang memberikan hak dan kewajibannya kepada Negara,

seperti itu tadi, kalau nikah sirri ke pengadilan tidak akan diterima

karena kewajiban kepada Negara tidak terpenuhi, maka dia secara

perdata tidak akan diterima. Saya punya saudara di Pengadilan Agama,

pernah ada kasus ada seseorang yang nikahnya sirri, kemudian tidak

terjadi kecocokan, terus mau cerai, ini kan menjadi persoalan, setelah

55

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

39

ditanyakan surat-suratnya tidak ada, maka Pengadilan Agama

Situbondo menyuruh orang tadi untuk kembali kepada orang yang

menikahkan sirri tersebut, jadi akhirnya talak sirri, ini bagaimana?,

karena itu kita perlu sosialisasi kepada masyarakat jangan sampai

melakukan nikah yang hanya resmi secara agama tetapi tidak sah

menurut Negara.”56

Ibu Hj. Sulalah, Dr. M.Ag. Ketua Litbang Muslimat NU

“saya terikat sebuah teori bahwa warga Negara akan

mendapatkan hak dan kewajibannya apabila warga Negara tersebut

memenuhi hak dan kewajibannya kepada Negara. Artinya apa, tidak

salah kalau Negara itu tidak memberikan hak kepada warga Negara

yang tidak mengikuti aturannya tadi kalau terjadi masalah, misalnya

seperti Macica itu, ya resikonya dia tidak dapat apa-apa”.57

Ibu Hj, Siti Aminah

“Enggak dapet harta waris karena g punya keterangan tapi kalo

di beri hibah ndak pa pa belum mati masih hidup dan dia sudah punya

gambaran iki ngko lak mati mesti tukaran seng tuek karo seng enom.

Ndak pa pa, tapi lak wes warisan mana buktinya kalo itu anak istrinya

la itu yang susahnya di situ kalo kawin sirri. Kalo nafkah tiap hari

wajib, kalo udah di nikahi meski sirri ya wajib di nafkahi, wajib di

ingoni selama dia masih karena sirri itu kan menurut agama sah. Kita

tidak bisa menentang saya tidak setuju dengan sirri lo ikuislam

memperbolehkan kok, cuman sekarang kita ngatur bolehnya gimana?

Itu tergantung perempuan. Ngatur kalo dia nikah sirri harus siap lahir

batin. Ya siap di labrak seng tuek hayo iyo tho? Singit singitan g iso

terang terangan iyo lak keluargane setuju lak g setuju dia kan terkucil.

56

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 57

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

40

Jadi makanya kita ndak boleh mengandalkan, minta aja nikah yang

baik. Kalo mengatakan saya tidak setuju dengan nikah sirri itu yang g

boleh. Itu kan menyalahi aturan agama. Cuma sekarang ini biar bisa,

wajib menafkahi wong nduwe duit. Kalo sekarang menurut agama iku

adil yang satu di belikan rumah di belikan rumah, kan harus gitu adil

sekalipun itu sirri. Jadi keadilan harus tetap wong Cuma di g di catetno

kok. Lak wes mati g nduwe bukti mau nuntut warisan g bisa, karena

tidak ada tulisanya menurut pemerintah nah sekarang menurut islam

meninggal ya sebetulnya dia punya hak waris tapi karena g ada

catetanya nah biar bagus selama dia menikahi hibah aja pemberian,

tapi ati ati kalo pemberian besok besok ndak jelas misalnya di marah

sama bojo seng tuek g enak nikah sirri enak ya terang terangan. Koyok

wong solo bojone sah semua jadi rukun, ada kawin di gawekno

warung”

Ibu Dr. Dewi Hamidah,

“Kalo hak istri begitu terjadi pernikahan kita tidak berbicara masalah

sirri atau jahri. Begitu akad itu sah menurut islam asalkan tadi y syarat dan

rukun semua sedah terpenuhi. Sah menurut islam maka semua kewajiban

suami harus terpenuhi. Pertama untuk istri nafkah trus kemudian semuanya,

dan harta gono gini terjadi kalo’ sampek terjadi perpisahan. Dan harta yang di

cari bersama, nah kalo seumpama nafkah itu memang hak istri harus di

peroleh setelah akad nikah, kalo nikah sirri tidak di catatkan sebetulnya

karena secara islam secara syar’I sudah menjadi istrinya berarti tetep saja

wajib, suami memberi nafkah sama istrinya, hanya saja kalo terjadi

ketidakadilan tetep itu haknya istri, tapi kalo sampai g adil, sampek tidak di

beri nafkah istri ndak bias gugat itu aja. Jadi problemnya nikah sirri itu hanya

pada perundang undangan. Segala yang berhubungan dengan undang undang

41

dia tidak punya kekuatan hukum sama sekali. Ngajukan gugat cerai g bias,

ngajuka keberatan nikah misalnya karena tidak di beri nafkah dan sebagainya

g bisa. Sampai dia ke pengacara pun tidak bisa karena dia tak punya surat

nikah. Intinya di situ. Hanya kasus yang berkait dengan undang undang,

peraturan administrative itu yang tidak bisa di lakukan istri. Sehingga itu yang

menyebabkan lemah. Secara otomatis semua di lakukan”

Ibu Hj. Sunkanah

“Kalo saya gono gini waris tergantung suaminya ya, kalo kawinya

secara sah atau poligami sah, kalo kawin sirri itu kalo menurut saya

tergantung pada kedua belah pihak itu saja ya sudah itu saja, kalo suami

bilang salahmu kok gelem, ya sudah bejamu aku ngono gitu aja la dia g punya

bukti kalo dia itu istrinya itu saja, kalo saya ya kayk dagang aja, itu sudah

dagang itu bagaimana kayak saya urun berapa apalagi kalo itu biaya

suaminya, walaupun di KHI ada pasal kana da “apabila terjadi perceraian dan

kematian kan satu di bagi dua” ketika kemarin saya melaksanakan pengabdian

masyarakat itu pertanyanya gini, “ buk poligami ato sirri itu istri kedua dapat

warisan g? saya sampaikan tergantung pada istri pertma kalo istri pertama

mau memberi ya bejane awak . kalo istri pertama g ada belas kasian ya sudah

jangan berharap. Tapi kalo kebetulan harta yang banyak ini ada pada istri

kedua. Ya kalo istri pertama merebut ya itu sya katakana tidak salah dia tidak

punya bukti bahwa dia itu istrinya saya katakana begitu. Emang kadang2 kita

ini bertntangan kita ini mau membela wanita tapi wanitnya begitu tidak mau

di bela la bagaimana saya membela. Tapi kadang2 saya dalam hati temen saya

g mbok rewangi tho buk. (hitungan waris)

- Hak anak dari pernikahan sirri, nah kalo itu menurut ini kawin sirri itu

nasabnya ke ibuknya, itu kan seperti kawin kontrak. Wes susahnya di sini

nanti sya bedakan begini kawinya sah atau tidak, kalo kawinya memenuhi

syarat artinya rukun dan syaratnya terpenuhi itu knya bisa ke bapaknya. Tapi

ini akan tergantung pada istri tua, kalo poligami kan seperti itu. La ini ya kalo

42

temen saya tidak mau betul, sampek ketika bapaknya meninggal tidak mau

masuk rumah, nah banyaknya seperti ini, ketika bapak masih hidup itu

bertentangan tapi pas sudah mati rukun kembali. Seperti itu, misalnya itu

rumahnya istri tua di sini yang istri satunya yang muda di sini kalo mau

pengajian g mau lewat sini. Atau ngajinya di sini itu g mau, tapi ketika

istrinya meninggal kebetulan matinya di istri muda istri tua untuk ngambil

mayatnya, kemudian saya Tanya warisne yok opo, wes opo jare buk seng

kono yo ben kono, rela jadi itu yg saya maksudkan, saya juga pernah bagi

warisan, ada yang datang trus saya Tanya anak ini, yok opo ki warisane? Ibuk

ki mau bagi warisan, warisane ayah, lo ayahmu saya dengar istrinya 4 trus dia

bilang kalo istrinya 4 kan harus dikumpulkan gitu, udahlah buk saya g mikir

punyanya sana punyanya sini saya mikir punyanya ayah saja akhirnya saya

bagikan punya dia dan ibunya saja yang lain g saya ikut sertakan, kemudian

dia bilang, harusnya di kumpulin jadi satu kan baru di bagi bagi. Kalo itu

gono gini. Kan MA membuat apa itu pedoman, kalo istri pertama itu gono

gininya si pertama dengan suami ituseparo separo, kemudian istri kedua

sepertiga sepertiga, kemudian yang ketiga seperempat, kalo istrinya empat

seperlima. Jadi kalo gono gini itu hasil suami istri yang pertama nah itu baru

di bagi, istri selanjutnya seperdelapan kalo punya anak, sisanya bagi anak kalo

anaknya tiga orang ya di bagi sejumblah anaknya itu, yang meninggal dunia

itu, kenapa MA mengatur pedoman? Karena MA seijin peradilan karena tanpa

ijin istri pertama dia g bisa kawin, sehingga oleh itulah maka istrinya dapet

sepertiga 2 kalo saya itung gini aja, kalo 100 sama istri pertama 50 50 sama

istri kedua 25 25. Sama istri ketiga 25 25, sama istri keempat juga. Jadi hasil

sang istri denga suami itu suami. Setelah di bagi gono gini di bagi waris

tinggal di liat berapa istrinya. Yang empat ya seperdelapan kalo punya anak

gitu, apakah anak dari istri pertama atau istri ketiga kita ndak memandang,

yang penting di antara istri istrinya punya anak gitu ya. Nah itu yg di

maksudkan, lalu kita lihat orangtuanya almarhum hidup pa g? kalo msh hidup

bapak dapat seperempat ibu dapet seperenam. Itu ya, sisanya buat anak anak.

43

Kalo perempuan semua bapaknya kan dapet ashobah gitu, atau mungkin bisa

juga tidak ashobah, nah itu saya sampaikan, istrinya seperdelapan, seperenam

seperenam kalo anaknya laki laki dan perempuan kan tinggal sisanya, kptx

tingga 24 la ini kan itung itunganya 2:1 untuk anak2, krn ini g bz di halangi

siapapun ya, kalo anaknya perempuan bapaknya dapet ashobah kalo anaknya

3 perempuan semua, anaknya tetep dua pertiga, 2/3 x 11= 27 itu kan nanti

dapet aul dapet 24 =11 kadang aul.

Ibu Hj. Rukmini

“Itu kembali pada ini ya, keimanan pasangan itu sendiri ya, kalo dia

sudah menyatakan pernikahanya itu sah kepada pribadi jadi anak itu nanti.

Karena orang percaya pada hari kiamat. Ini yang perlu ditatar untuk orang

yang akan melakukan nikah sirri itu juga harus ada saksi ada kaitanya secara

hukum ya ada pencatatan saksi yang di situ mungkin syarat dari masuk

peradilan. Jadi ada yang membuat ada kuasa hukum ada surat yang bisa

menguatkan kalo tidak mau di anukan ke pemerintah, sehingga nanti

permasalahan ini diajukan. Jadi jelas Negara kita tidak seperti itu kan, tidak

dapet hak haknya jadi kembali keimanan masing masing, untuk itu maka di

keluarga yang sudah memahami nikah sirri itu sah ya memang sah karena

pada masa rasul tidak ada pencatatan, tuh kan di katakan yang g di catat sirri

karena di bawah tangan artinya tersembunyi. yang berkaitan dengan

hak,selama itu orang beriman meyakini pernikahanya itu sah tentunya

berdampak pada anaknya. Makanya di situ harus di buat semacam kesaksian

biar ada yang menguatkan. Bicara sama hukum, ini tugas anda untuk

semacam itu ya harus ada hitam di atas putih”.

Ibu Hj. Komarihah, SH.,MH. Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisiyah

“Kalau orang berpikir bahwa hak-hak dan kewajiban yang akan

mereka dapatkan dari sebuah pernikahan siri sama dengan pernikahan

yang dilakukan secara legal tercatat di KUA, terutama bagi kaum

44

perempuan, jelas itu salah. Karena tidak tercatat secara resmi di kantor

apapun milik negara, jelas kaum perempuan tidak akan mendapatkan

hal-hal yang mereka harapkan seperti ketika mereka menikah secara

resmi , seperti biaya untuk kehidupan sehari-hari, warisan, pengakuan

atas adanya anak yang lahir, dan lain-lain.”58

Ibu Fifik Wiryani, Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisiyah

“Seperti Macica itu sudah berjuang 8 tahun untuk mendapatkan

hak-hak nya, ya tetap tidak bisa. Makanya saya setuju sosialisasi

dampak perkawinan siri harus digalakkan”59

.

Berdasarkan data di atas, bisak ditarik kesimpulan, bahwa pandangan

informan baik Muslimat NU maupun Aisiyah tentang hak-hak isteri di dalam

perkawinan siri juga sejalan. Yaitu, karena tidak dicatat oleh pejabat Negara, maka

Negara tidak salah jika tidak memberi perlindungan hukum. Hal itu jika terjadi

problem dengan tidak dipenuhinya hak-hak mereka oleh suami mereka, sebagaimana

yang dialami oleh Macica. Dalam perkawinan siri, jika pihak laki-laki wan prestasi,

maka hak-hak perempuan seperti nafkah dan waris tidak mendapat perlindungan dari

Negara.

2. Pandangan Informan tentang Kedudukan Anak yang dilahirkan di Luar

Perkawinan sebagaimana dalam putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji

Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU.

Bagaimana kedudukan anak di luar nikah yang dari perzinahan ?

“Saya sependapat dengan putusan MK, kalau diartikan bahwa anak di

luar nikah adalah dari nikah sirri, karena kalau tidak disikapi seperti itu

nanti memang bisa saja anak zina masuk sebagai anak yang sah. Jadi

putusan MK itu memang masih multitafsir, banyak pandangan, ada 58

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 59

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

45

yang mendukung dan yang kurang sependapat, kalau tidak ditafsirkan

anak diluar nikah adalah hasil dari pernikahan siri, bukan anak diluar

nikah yang memang dia nggak ada hubungan pernikahan. Saya rasa

begitu.”60

Ibu Hj. Sulalah Dr., M.Ag. Ketua Litbang Muslimat NU.

“saya sangat setuju tadi kalau dari kalangan intelektual akan

membuat suatu terobosan bagaimana melindungi anak yang lahir dari

perkawinan sirri itu harus diberikan hak-haknya, sama dengan anak

yang lahir dalam perkawinan yang dicatat. Karena menurut saya apa

yang diputuskan oleh MK itu mempertimbangkan kepada sisi

pengakuan dari agama, mungkin seperti ini, selain diakui secara syar’i,

itu barangkali tidak diberikan, atau barangkali diberikan batasan-batasan

dan sekaligus menjadi pelajaran, peringatan sehingga tidak mudah untuk

melakukan pernikahan sirri itu. Adapun anak yang lahir dari perzinahan

ini yang sulit. Pemerintah perlu membuat aturan khusus. Atau mungkin

ditetapkan sebagaimana fatwa MUI. Bapak biologisnya diminta

bertanggung jawab memberi nafkah, wasiyat wajibah kalau meninggal

sebagai ganti waris, tetapi tidak bisa ditarik garis nasab dan tidak bisa

menjadi wali nikah”61

.

Ibu Hj. Siti Aminah

“Nasabnya ke ibu, makanya kemarin kan jadi rame karena pak mahfud

mengatakan bahwa anak di luar nikah sah dan mendapat warisan karo MUI.

Ada artikel “problematika nikah sirri bagi perempuan” nikah sirri itu tidak

mendapatkan perlindungan hukum, ya yang tadi itu hukum waris, ndak ono

perlindungan hukum, tapi mahfud omonge jadi nikah sirri tidak mempunyai

kekuatan hukum baik waris, nasab. Dan biasanya nikah sirri di lakukan bagi

60

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 61

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

46

orang yang menikah ke dua, PNS dan pengusaha nang ndi ndi, ustad ustad

yang ke sana ke mari kan butuh istri akhirnya nikah sirri. Kalo saya

tergantung perempuan kalo mau ya harus siap mentalnya lahir batin. Lak

punya anak ya harus siap jadi harus pintere wong wadon. Kalo sekarang hak

waris g ada. Sebetulnya bisa dalam islam tapi karena tidak ada surat yang sah

itu dianggap, akhirnya sulit. Biasanya yang nikah sirri itu laki laki yang kaya.

Lak miskin bojo loro kan terlantar akhirnya kana da perempuan yang

membunuh suaminya karena selingkuh. Islam itu bagus g melarang kawin.

Tapi usahakan yang resmi meski jadi bojo loro”

“Ya itu yang diperkaran asalkan bisa menunjukan tes DNA nah itu yang di

perkarakan pak mahfudz, asalakn bisa menunjukan keterangan darahnya itu di

anggap anak sah, makanya ini geger majelis ulama menolak itu. Kalo anak

zina kan islam sudah melarang. Makanya kita harus hati hati bar meteng nikah

kan anaknya sudah di luar perkawinan. Tapi ada madzhab yang menghamili

yang berbuat boleh dan sah. Lak nikah jg boleh jadi wali. Susah mbak, pokok

e nikah biasa ae”.

Ibu Dewi Hamidah, Dr

“Nasabnya tetep ke bapaknya, karena dia lahir setelah terjadinya akad

nikah. Meskipun sirri menurut Negara. Nikah sirri kan menurut Negara. Yang

tidak punya hak sama sekali menasabnya itu yang di luar nikah. Anak zina,

zina itu kalo anak nasabnya g bisa langsung ke bapak jadi nasabnya tetep ke

ibu. Nikah sirri itu bukan zina legal lo, jadi nikah sirri tetep sah karena akad.

Beda dengan mut’ah karena mut’ah di hapus. Kalo sampai terjadi nikah

kontrak, nikah mut’ah jelas itu dianggap tidak sah. Beda dengan sirri”

“Jadi anak zina tadi g bisa dapat waris kan anak ibunya. Nikahpun dia g bisa

walinya bapaknya kan, harus dengan wali hakim. Walaupun sudah tes DNA

itu tetep g bisa, karena terjadinya hubungan pertemuan sel sperma dan indung

telur yang menjadi bakal DNA nya anak itu terjadi sebelum akad”.

47

“Nasab anak di luar zina itu nasabnya tetep ke ibuk y, dan g akan dapet hak

haknya walinya g, perwalian pernikahan ke wali hakim, warisnya g dapet.

Jelas itu kalo dalam perzinahan. Walaupun sudah di buktikan dengan tes DNA

tetep. Tes DNA itu kan hanya kayak macica, sebelumnya machica itu masih

jauh masih minta pengesahan perkawinan banyak itu sudah, g bisa begitu saja

minta hak, artinya anaknya memperoleh keperdataanya. Minta harus ada

pengesahan dll. Kalo nikahnya tidak sah lo, umpamanya tetep ndak bisa.

Padahal pengadilan itu, pembatalan nikah itu sah bila seorang suami

melakukan poligami tanpa ijin istri. Bisa itu di batalkan. Nah kalo bisa

dibatalkan oleh istri pertama kan tidak sah perkawinanya. Nah kalau sudah g

sah tetep aja, kalo perempuan g dapet warisan dan bapak ini juga g bisa jadi

wali, emang kadang2 sa’aken, tapi memang harus tegel, tegas hakim

mengatakan g bisa itu, jadi kalo saya mengatakan kawin zina kawin mut’ah,

makanya hati hati, kalo diliat sirri itu sah apa tidak ya memang siapa yang

mau menghamili kalo bukan bapaknya itu, meti tes DNA ya mesti bapaknya

wong dek e g sama yang lain, ini ada kasus mbak ada seorang laki-laki mau

cerai saya Tanya, kenapa kok mau cerai, katanya saya ini di gebrek, lo kok iso

sech, gini buk saya ini, katakanlah pelacur tapi dia dikumpuli orang banyak

itu mau e, itu seperti di fiqh sunah nikah ibdho’ jadi itu begini mbak orang ini

katakanlah beli, setelah anak lahir anak itu katanya menurut si perempuan

yang ikut mengumpuli katanya mirip dia, milih, rasulullah kan mengatakan

bagaimana untuk menentuka siapa orang tuanya, liat saja anak itu kriting

rambutnya atau juling matanya kan begitu kalo kit abaca bulugul marom loh

ya, akhirnya si laki itu di suruh kawin, lha saya ini harus bagaimana namanya

saya beli saya kan g cinta ya sudah saya Cuma beli, tapi kan sampean ikut

urun, tapi kan saya di jebak, makanya pada waktu itu di batalkan nikah itu

sama rasullah, la say bilang ya mboh mirip mripatmu po irungmu, tapi saya

sambil guyonan, biar g stress orangnya, la karepmu yo opo? Saya g ada rasa

cinta makanya saya cerai, ternyata zaman yang 14 abad yang lalu muncul lagi

saat ini. Complex ,,makanya di pengadilan ki kok reno reno”

48

Ibu Hj. Rukmini

“Nasab anak zina ke ibunya karena tidak di, ini kembali kepada al

qur’an kasus Maryam dan isa itu kesana. Itu sebagai apa ya? Sebenernya di

dalam islam sendiri ketentuan hukum hukumnya kan preventif ya atau

pencegahan. Coba Di situ kan memang masyarakat, saya pernah mengajukan

dalam acara muktamarnya tarjih muhamadiyah itu, kenapa yak ok g’ orang

yang hamil duluan itu g usah di nikahkan aja sampek anaknya lahir. Ndak

usah dinikahkan dulu, itu sebagai pembelajaran supaya nanti yang lain tidak

segampang itu kan jadi hukum hukum islam itu ada rajam ada pengangsingan

dsbg. Dalam rangka kayak orang bunuh diri itu g di sholati itu kan bukan

sebuah kekejaman. Itu untuk supaya hati hati memberi pelajaran untuk yang

lain. Tapi akhirnya di ketemukan di kompilasi hukum islam ya jadi tetep

akhirnya di nikahkan karena dasarnya kana da di an nur yang berzina di

nikahkan sama yang berzina. Itu juga berkaitan dengan karena takut mudhorot

yang lebih besar misalnya anaknya di terlantarkan”

“Masalah DNA dan sebagainya itu otomatis tidak di awali pernikahan yang

sah menurut agama. Jadi artinya ayah biologis, tanggung jawab ayah tetap ada

tapi hak hak agama seperti sebagai wali dan sebagainya hak hak agama ini di

pertanyakan. Nah ini yang memang perlu ngetes DNA itu biayanya berapa,

kayaknya adanya di sinetron. Kalo kita kayaknya g mampu bayar ya. Ini

realistis aja kayaknya yang bisa bayar golonganya pak yusuf kalla. Meski

pegawai negrei g usah wes karena biayanya cukup mahal”

“Pandangan saya tentang kasusnya machica muchtar yang suaminya

murdhiyono kalo memang itu sudah ada saksi dan sebagainya ya jadi hak

haknya secara biologis harus di berikan. Harus bertanggung jawab untuk itu.

Tapi hak hak agama tapi untuk masalah waris dapat peluang tho seperti wasiat

wajibah ada hibah hukum kan pasti ada hikmah ada maqoshidu syari’ah dan

hikmat tasri’nya. Ini kan kita harus pandai mencari itu. Yang dirugikan

perempuan akhirnya anaknya juga g dapat haknya. Makanya perempuan harus

49

tau itu biar g nuntut nuntut kalo sudah rela di nikahi kayak gitu harus rela

menerima akibatnya. Konsenkuensinya seperti itu, nah ini yang harus kita beri

pemahaman kepada perempuan agar faham. Kadang perempuanya mau di

poligami, kan kuncinya di situ aja, padahal ngurus satu keluarga aja g mampu

kok mau ngurus dua keluarga kan tambah banyak dosanya itu orang yang g

percaya hari kiamat”

Ibu Hj. Siti Komariyah, SH., MH. Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisiyah

“Kalau menurut saya keputusan MK itu tidak apa, seperti yang

dikatakan bu tutik tadi, betatpun seorang ayah biologis dari anak itu

harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya itu”. jadi intinya saya

pribadi mendukung apa yang telah diputuskan oleh MK, alasanya, ada

hal-hal yang perlu diperhatikan dan mendukung terhadap putusan MK

itu, yang pertama saya ingin mensoroti aspek ke anak, anak itu

dilahirkan dalam kondisi fitrah, disisi lain kita melihat, bahwa

seseorang (termasuk bayi) tidak boleh menanggung apa yang diperbuat

oleh kedua orang tuanya, saya melihat anak dari hasil zina ini

mendapatkan beban yang sangat banyak, baik dari sisi sosial, moral,

ekonomi dan lain sebagainya. Kemudian dari sisi lain dalam konsep

sejarah, kenapa anak itu dalam kajian fikih dinasabkan kepada ibunya

saja dalam kasus anak yang lahir dari perbuatan zina, itu karena dalam

hukum bahwa kejelasannya menempati kedudukan yang paling tinggi,

kalau tidak pasti seseorang tidak akan menghukum, kenapa dinasabkan

kepada ibunya, karena jelas-jelas ibu yang mengandung, ibu yang

menyusui, ibu yang melahirkan itu jelas, tetapi dalam kasus perempuan

yang ahli zina, dimana dia sering berganti pasangan di dalam zina, ini

untuk menetapkan siapa orang tuanya ini idak ada kepastian pada

waktu itu, seperti contoh di dalam hadits yang dijadikan dasar MUI,

jadi itu menujukkan bahwa Rasulullah kesulitan sendiri, jadi

keserupaan itu juga tidak bisa, kalau saya melihat hadits ini adalah

50

penguatan terhadap putusan MK itu, bahwa pada dasarnya anak itu ada

bapaknya, hukum asalnya seperti itu, bukan menjadi anaknya kalau si

suami menolaknya, jadi menurut saya UU bunyinya anak itu

dinasabkan kepada ayah ibunya, kecuali kemudian ayahnya

menolaknya. Dalam kaitannya dengan ini hakim itu pedomannya

bukan kepada UU, kita melihat amar putusan pengadilan, itu berbunyi

“bismillahirrahmanirrahim, berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa”. Jadi posisi hakim tidak terpaku kepada UU tapi keadilan kepada

Allah, jadi hakim ini menurut saya adalah wakil Tuhan tertinggi di

dunia ini di dalam menegakkan keadilan, kalau kita lihat keadilan itu

apa, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah itu pernah

menulis bahwa syariat itu dasarnya/pondasi adalah kepada

kebijaksanaan dan kemaslahatan umat di dunia maupun di akhirat,

keadilan itu adalah kebijaksanaan keseluruhan dan kemaslahatann

secara keseluruhan, selanjutnya sesuatu yang bertentangan dengan

keadilan itu adalah bukan syariat, jadi sesuatu yang bukan keadilan itu

bukan syariat. Jadi tentunya keadilan yang dirasakan oleh manusia,

bukan keadilan Allah, kita tidak tahu keadilan Allah yang bagaimana.

Jadi saya kira melihat kondisi anak yang terdzolimi dengan perbuatan

zina ini harus dibolehka, karena dia tidak boleh menanggung beban

apapun, karena harus sama, sederajat dengan anak-anak yang lain.

Saya setuju sekali kalau kita membuat rekomendasi pemerintah

membuat UU Anti Perzinahan, tapi jangan lama-lama”62

.

Ibu Fifik Wiryani, Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisyiyah

“Saya sangat setuju dengan putusan MK maupun Fatwa MUI

yang pada prinsipnya secara filosofis ada dua, yang pertama adalah

melindungi anak, dan yang kedua adalah menghukum pelaku”.

62

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

51

“Bagaimana kedudukan anak ? ”Terkait dengan kekosongan

hukum dari makna hubungan perdata tadi, minimal nafkah hadhonah

dan wasiat wajibah, cuman masalahnya adalah bagaimana

realisasinya fakta di Pengadilan Pak Hakim sangat faham itu. Untuk

memberikan nafkah kepada anak itu realisasinya sangat susah dimana

nanti implementasinya, belum lagi itu mekanismenya kemana, lalu ke

pengadilan, ya kalau seperti Machica Muchtar banyak uang,

bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi di Malang tadi, bagiaman

dia bisa mengajukan kalau tidak ada pendamping, mestinya gratis

kalau itu ke pengadilan”63

Berdasarkan data di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan informan

tentang putusan MK, poin anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merevisi pasal 43

ayat (1) UU Perkawinan, ini terbagi menjadi dua. Pertama, semua informan

menyetujui putusan MK, sepanjang yang dimaksud adalah anak yang dilahirkan di

dalam perkawinan siri. Mereka memiliki hak sebagaimana anak sah dalam pengertian

UU Perkawinan. Yaitu memiliki hak nasab kepada orang tuanya, hadlanah, nafkah,

waris, dan wali. Kedua, bahwa putusan MK bisa dimaknai anak yang dilahirkan tanpa

perkawinan atau anak zina, pendapat mereka bisa dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Menolak putusan MK, jika dimaknai anak yang dilahirkan di luar perkawinan

adalah anak zina. Sebagaimana bunyi putusan MK, “Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”. Mereka

menerima fatwa MUI, bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab

dengan ayahnya dan keluarga ayah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan

ibu dan keluarga ibu. Namun ayah biologis mempunyai kewajiban memberi

63

Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

52

nafkah dan memberi wasiyat wajibah jika sudah meninggal, sepanjang bisa

dibuktikan bahwa laki-laki tersebut adalah ayah biologis.

2) Menerima putusan MK bahwa anak hasil zina memiliki hubungan perdata, baik

nasab, nafkah, waris dengan ayah biologis, sebagaimana memiliki hubungan

perdata dengan ibunya. Alasan yang mereka kemukakan, sebagaimana alasan

yang terdapat dalam putusan MK, bahwa anak dilahirkan fitrah (suci). Ia tidak

menanggung dosa ke dua orangtuanya. Dalil yang digunakan MUI dipandang

lemah karena difahami secara tekstual, tidak dihubungkan dengan fakta historis.

Di samping itu, anak hasil perzinahan ini di masyarakat sangat dirugikan karena

sikap diskriminasi masyarakat kepada mereka. Namun yang menerima putusan

MK secara bulat ini, merekomendasikan supaya pemerintah membuat UU Anti

perzinahan. Dengan UU Anti perzinahan, maka pelaku zina bisa dihukum.

B. ANALISIS DATA

1. Pandangan tokoh perempuan kota Malang, yaitu Pengurus Muslimat Nu dan

Aisiyah tentang pencatatan perkawinan bisa dipilah menjadi dua hal yang substansial.

Pertama, tentang kedudukan pencatatan perkawinan. Tokoh perempuan kota Malang

berpendapat bahwa kedudukan pencatatan perkawinan adalah sebagai persyaratan

administrative. Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban warga Negara terhadap

Negara. Pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat atau rukun perkawinan yang

bias menentukan sah-nya perkawinan. Dalam hal ini, Undang-undang Perkawinan

No. 1 tahun 1974 dirujuk sebagai landasan kewajiban pencatatan. Selain itu, bagi

Aisiyah, ada landasan lain yang dikemukakan, yaitu keputusan majlis tarjih

Muhammadiyah, yang mewajibkan pencatatan perkawinan.

Pandangan tokoh perempuan tersebut, jika ditarik dalam ranah Fiqh

kontemporer, adalah sejalan dengan pandangan para ‘ulama kontemporer, baik di

Indonesia, seperti MUI, NU dan Negara-negara Islam seperti Mesir, Malaisia, Brunei

53

Daarussalam dan lain-lain. Dan jika ditarik dalam ranah perundang-undangan dan

putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak ada perbedaan. Dalam Undang-undang dan

putusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah

persyaratan administrative yang tidak mempengaruhi sah-nya perkawinan.

Kedudukan pencatatan tersebut sama dengan pencatatan kelahiran, kematian, dan

lain-lain.

Kedua, Penerimaan terhadap pencatatan perkawinan. Meskipun bukan

merupakan syarat atau rukun perkawinan, namun semua tokoh perempuan sangat

setuju terhadap pencatatan perkawinan. Reasoning yang dikemukakan adalah lebih

melindungi pihak perempuan, lebih menjaga tujuan perkawinan, yaitu membentuk

keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, lebih menjaga anak-anak.

Pandangan tersebut, jika ditarik dalam realitas masa sekarang, adalah tepat.

Mengingat banyaknya kasus perkawinan yang tidak dicatat, yang merugikan isteri

dan anak. Sebab itu, jika ditarik dalam ranah maqashid syariah, yaitu melindungi

keluarga, maka pencatatan adalah sebuah keharusan. Sesuai dengan kaidah الواجب أ ال

اجب به فهو و Sesuatu yang menjadi sebab sempurnanya pelaksanaan suatu ) ما ال يتم

kewajiban, adalah wajib). Dan jika ditarik dalam ranah Undang-undang, maka

pencatatan diperlukan untuk melindungi hak-hak warga Negara. Jika tidak dilakukan

pencatatan maka prosedur yang ditempuh akan panjang dan sulit.

2. Pandangan tokoh perempuan tentang perkawinan sirri, secara substansial juga bias

diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Sahnya perkawinan sirri. Semua informan

memandang bahwa nikah sirri adalah sah dan bukan penyimpangan. Meskipun

begitu, mereka memandang sebaiknya tidak dilakukan. Pandangan ini menunjukkan

adanya ambiguitas, yaitu mengapa tidak secara tegas dikatakan bahwa nikah sirri itu

dilarang. Pernyataan nikah sirri itu sah, tetapi tidak dianjurkan adalah ambigu.

Bagaimana ada perkara yang sah namun tidak dianjurkan. Di sini menunjukkan

bahwa secara epistemology, tokoh perempuan belum mengenal epistemology selain

epistemology jumhur ‘ulama yang menghasilkan fiqh klasik. Epistemologi alternative

54

yang banyak dikemukakan para pembaharu belum mereka kenal, padahal dengan

epistemology alternative tersebut, bahwa pencatatan perkawinan adalah wajib

menurut agama, sebaliknya, nikah sirri tidak sah. Berpendapat demikian adalah tidak

menyalahi agama, hanya menyalahi fiqh jumhur ‘ulama. Perbedaan dalam Fiqh

adalah wajar. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pembaharuan hokum Islam

masih akan mengalami rintangan dari tokoh-tokoh perempuan sendiri.

Kedua, Perlindungan bagi isteri dan anak dalam perkawinan sirri. Semua

informan menyatakan bahwa tidak ada perlindungan Negara dalam perkawinan sirri,

baik untuk isteri maupun anak. Sebab itu jika perkawinan sirri berjalan dengan baik,

tidak ada pelanggaran hak, maka hal itu merupakan keberuntungan isteri dan anak.

Namun jika sebaliknya, terjadi pelanggaran hak isteri dan anak, maka pelaku nikah

sirri harus sadar untuk menerima akibatnya. Karena untuk memperoleh perlindungan

dari Negara harus menempuh prosedur yang berbelit-belit, bias dikatakan hamper

mustahil.

3. Kedudukan nasab, nafkah, wali dan waris anak yang dilahirkan diluar

perkawinan, semua informan setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi,

yaitu anak tersebut memiliki hubungan perdata atau hak dan kewajiban

dengan orang tua yang menjadi sebab kelahirannya, baik ayah maupun ibu,

sepanjang dimaknai anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri. Meskipun

anak tersebut tidak memiliki perlindungan hokum, jadi nasibnya bergantung

kepada kebaikan kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Bisa jadi anak ini

menjadi korban dari perkawinan sirri yang dilakukan oleh kedua orang

tuanya. Namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka ada jalan

untuk mendapatkan perlindungan, yaitu dengan membuktikan DNA anak.

Maka jika ayah mengingkari anak tersebut, bias dilakukan tes DNA dan

dikukuhkan di pengadilan.

4. Kedudukan nasab, nafkah, wali dan waris anak yang dilahirkan dalam

perzinahan, adalah tidak sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan sirri.

Semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang

55

memberikan hak-hak keperdataan kepada semua anak, baik yang lahir dalam

perkawinan maupun tidak. Reasoning yang dikemukakan adalah menurut

hadits, anak hasil zina, hanya mempunyai nasab dengan ibunya. Dengan

demikian, meskipun anak hasil zina ini sama sekali tidak berdosa dengan

kelahirannya, dia menanggung dosa ke dua orang tuanya. Anak ini tidak

memiliki perlindungan. Pandangan tokoh perempuan ini juga menunjukkan

bahwa fiqh klasik masih sangat dominan. Sehingga pembaharuan hokum

masih sulit menembus ruang diskriminasi terhadap anak. Kenyataan bahwa

anak hasil zina, dilahirkan dalam keadaan fitrah, tidak merubah pandangan

para informan.

BAB V

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN

Penelitian ini menyimpulkan :

1. Semua informan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban

pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan sebagaimana ketentuan

perundangan diterima sebagai kewajiban yang berguna untuk ketertiban dan

jaminan hukum. Namun demikian nikah di bawah tangan (siri) tidak dipandang

sebagai penyimpangan. Melaksanakan nikah di bawah tangan, tidak menjadi

problem asalkan setelah nikah dicatatkan. Hal ini terjadi karena adat dan lebih

percaya kepada ‘ulama dibandingkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Namun

demikian bagi Aisiyah, sedikit lebih tegas, yaitu nikah siri meskipun sah tetapi

dilarang, dikarenakan Aisiyah mengikuti keputusan Majelis Tarjih.

2. Jika terjadi wan prestasi dalam perkawinan siri, maka sudah wajar jika tidak bisa

di bawa ke Pengadilan dan tidak mendapat perlindungan hukum.

56

3. Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, semua mendukung

keputusan MK sepanjang dimaknai anak yang lahir dari perkawinan di bawah

tangan, yaitu mempunyai hubungan keperdataan, yang berupa nafkah, nasab, wali

dan waris.

4. Kedudukan anak di luar perkawinan atau anak zina, tidak memiliki hubungan

nasab, wali waris dari ayahnya dan keluarga ayahnya. Semua informan setuju

dengan fatwa MUI. Anak zina hanya mempunyai hak nafkah dan wasiyat wajibah

dari ayah biologisnya. Dengan demikian, semua informan tidak setuju dengan

putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan hubungan keperdataan kepada

anak yang lahir di luar perkawinan, baik dalam nikah sirri maupun zina.

Adapun implikasi penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pencatatan perkawinan sudah diterima sebagai kewajiban administrative di

kalangan tokoh perempuan, sebab itu implikasi ke depan, pencatatan

perkawinan sudah tidak memerlukan landasan teoritis syar’I atau fiqh lagi,

yang diperlukan adalah sosialisasi terutama pada masyarakat pedesaan.

2. Nikah siri dalam pandangan tokoh Muslimat NU dan Aisiyah kota Malang

sudah tidak mempunyai masa depan. Meskipun sah pada umumnya mereka

sudah tidak menyukai nikah siri, karena tidak sejalan dengan tujuan

berkeluarga.

3. Kedudukan anak diluar nikah, jika dalam nikah sirri, mendukung keputusan

Mahkamah Konstitusi, yaitu mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah

dan ibunya, berimplikasi kepada perlindungan anak dalam nikah siri, yaitu

dengan jalan tes DNA, jika ayah nya tidak mengakui.

4. Adapun anak hasil zina, dipandang tidak memiliki hubungan keperdataan

dengan ayah biologisnya. Hal ini berarti tidak menyetujui putusan Mahkamah

Konstitusi. Ini berimplikasi pada adanya diskriminasi pada anak yang

dilahirkan dalam zina. Sementara sesungguhnya anak itu dilahirkan dalam

keadaan fitrah.

57