nilai religius dalam novel sang pencerah karya akmal nasery ...

171
i NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL SANG PENCERAH KARYA AKMAL NASERY BASRAL DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA SKRIPSI Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Eni Kusrini NIM 082110095 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO 2012

Transcript of nilai religius dalam novel sang pencerah karya akmal nasery ...

i

NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL SANG PENCERAHKARYA AKMAL NASERY BASRAL DAN SKENARIO

PEMBELAJARANNYA DI KELAS XI SMA

SKRIPSI

Disusun sebagai Salah Satu Syaratuntuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

OlehEni Kusrini

NIM 082110095

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO

2012

iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu "Berlapang-lapanglah

dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan

untukmu dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha mengetahui apa

yang kamu kerjakan (QS al Mujadallah 11).

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Bapak dan Ibu tercinta atas doa, bimbingan,

kasih sayang dan cintanya yang selalu

mengiringi perjalanan hidupku;

Skripsi ini ku hadiahkan untuk:

1. Kakak-kakakku yang selalu memberikan

motivasi.

2. Teman-teman seangkatanku, periode

2008/2009.

v

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas

rahmat, taufik, serta hidayah-Nya skripsi ini dapat penulis selesaikan. Skripsi ini

berjudul “Nilai Religius dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral

dan Skenario Pembelajarannya di kelas XI SMA”, yang disusun sebagai salah satu

syarat untuk menyelesaikan studi akhir Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Muhammadiyah Purworejo.

Skripsi ini tidak akan selesai apabila tidak mendapat bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo yang telah memberikan izin

kepada penulis untuk belajar di Universitas Muhammadiyah Purworejo dari

awal sampai akhir studi.

2. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas

Muhammadiyah Purworejo.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan izin dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. M. Fakhrudin, M.Hum. selaku dosen pembimbing I dan Umi Faizah,

M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing,

vii

ABSTRAK

Eni Kusrini. “Nilai Religius dalam Novel Sang Pencerah karya Akmal NaseryBasral dan Skenario Pembelajaran di kelas XI SMA”. Skripsi. Program StudiPendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiaa. Universitas MuhammadiyahPurworejo. 2012.

Dalam penelitian ini dibahas (1) bagaimanakah struktur novel SangPencerah Karya Akmal Nasery Basral? (2) Bagaimanakah nilai religius novelSang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral? (3) Bagaimanakah skenariolangkah-langkah pembelajaran struktur dan nilai religius novel Sang PencerahKarya Akmal Nasey Basral di kelas XI SMA? Tujuan dalam penelitian ini adalah(1) mendeskripsikan struktur novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral,(2) mendeskripsikan nilai religius novel Sang Pencerah Karya Akmal NaseryBasral, (3) mendeskripsikan skenario langkah-langkah pembelajaran struktur dannilai religius novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasey Basral di kelas XI SMA.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori religius sastra yangdikemukakan oleh Mangunwijaya (1994: 27) yakni, (1) hubungan manusiadengan Tuhannya, (2) hubungan manusia dengan manusia, dan (3) hubunganmanusia dengan alam sekitarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian iniadalah metode kualitatif. Objek penelitian ini adalah teks novel Sang Pencerahkarya Akmal Nasery Basral.

Fokus penelitian berupa hubungan manusia dengan Tuhan, manusiadengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya pada novel Sang Pencerahkarya Akmal Nasery Basral dan skenario pembelajaran di kelas XI SMA. Teknikpengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode observasi. Teknik yangdigunakan untuk menganalisis data dalam novel Sang Pencerah karya AkmalNasery Basral adalah teknik analisis isi. Teknik yang digunakan penulis untukmenyajikan hasil analisis adalah teknik penyajian informal (Sudaryanto, 1993:145).

Dari hasil penelitian terbukti bahwa (1) Struktur novel Sang Pencerahkarya Akmal Nasery Basral yang terdiri atas tema, tokoh, penokohan, alur, latardan amanat secara padu membangun cerita yang mempunyai nilai estetis dan nilaireligius, (2) nilai religius novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basralmencakup tiga aspek yaitu: (a) hubungan manusia dengan Tuhan meliputikewajiban salat, tawakal, jujur, syukur, pemimpin harus bertanggung jawab, Islamadalah agama yang membawa rahmat, dan tidak boleh taklid dalam beragama, (b)hubungan manusia dengan manusia hubungan yang baik antara Darwis denganbapak/ibu, menjalin pertemanan, menghormati guru, menyantuni anak yatim, danmenikah, dan (c) hubungan manusia dengan alam sekitar yaitu bahwa pohon tidakuntuk disembah. Nilai-nilai religius itu dikemas dalam bentuk cerita yang indahdan tidak bersifat menggurui, (3) skenario pembelajaran nilai religius pada novelSang Pencerah karya Akmal Nasery Basral terdiri atas enam langkah yakni (a)pelacakan pendahuluan, (b) pendekatan sikap praktis, (c) introduksi, (d)penyajian, (e) diskusi, dan (f) pengukuhan.

Kata kunci : Nilai Religius, Novel Sang Pencerah, Skenario Pembelajaran

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL............................................................................................................. iPENGESAHAN ............................................................................................... iiPERNYATAAN............................................................................................... iiiMOTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... ivPRAKATA....................................................................................................... viABSTRAK ....................................................................................................... viiDAFTAR ISI.................................................................................................... viiiDAFTAR TABEL ........................................................................................... xDAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1B. Penegasan Istilah...................................................................... 10C. Rumusan Masalah .................................................................... 11D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 12E. Sistematika Skripsi................................................................... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS ................... 16A. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 16B. Kajian Teoretis ......................................................................... 18

1. Struktur ............................................................................. 182. Religiusitas dalam Karya Sastra........................................ 263. Skenario Pembelajaran Sastra di SMA ............................. 28

BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 41A. Objek Penelitian ....................................................................... 41B. Fokus Penelitian ....................................................................... 41C. Sumber Data............................................................................. 41D. Instrumen Penelitian................................................................. 42E. Teknik Pengumpulan Data....................................................... 42F. Teknik Analisis Data................................................................ 43G. Teknik Penyajian Data ............................................................. 44

BAB IV PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA ............................... 45A. Penyajian Data ......................................................................... 45

1. Tabel Struktur Novel Sang Pencerah karyaAkmal Nasery Basral.......................................................... 45

2. Tabel Nilai Religius Novel Sang Pencerah karyaAkmal Nasery Basral.......................................................... 46

3. Skenario Pembelajaran Novel Sang Pencerah karyaAkmal Nasery Basral ......................................................... 46

ix

B. Pembahasan Data ..................................................................... 481. Struktur Novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral ....................................................... 482. Nilai Religius Novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral ........................................................ 101a. Hubungan manusia dengan Tuhan ............................. 102b. Hubungan manusia dengan manusia .......................... 108c. Hubungan manusia dengan alam ................................ 112

3. Skenario Pembelajaran Novel Sang Pencerah karya AkmalNasery Basral ................................................................... 112

BAB V PENUTUP...................................................................................... 130A. Simpulan ................................................................................. 130B. Saran ........................................................................................ 132

DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN

x

DAFTAR TABEL

1. Tabel Struktur Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral .......... 45

2. Tabel Nilai Religius Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral 46

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sinopsis

Lampiran 2. Biografi Pengarang

Lampiran 3. Daftar Tabel

Lampiran 4. Silabus

Lampiran 5. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 6. Kartu Bimbingan Skripsi

1

BAB IPENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan lima hal pokok, yaitu latar belakang masalah,

penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta

sistematika skripsi.

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan sebuah sarana yang sering dipergunakan untuk

mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup di dalam masyarakat. Hasil karya

sastra dapat berbentuk “lirik” (puisi), “epik” (prosa), dan “dramatic” (drama).

Cerita rekaan yang berbentuk prosa, mengandung fiksi atau daya khayal.

Cerita rekaan ialah cerita yang sengaja dikarang oleh seorang sastrawan untuk

dipahami oleh para pembaca (Baribin, 1985: 5-9).

Karya imajiner adalah karya sastra yang bersifat rekaan/ khayalan,

sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu

dicari kebenarannya. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan

permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Fiksi

menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan

lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya

dengan Tuhan.Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi

pengarang terhadap lingkungan. Fiksi merupakan karya imajinatif yang

dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya

seni (Nurgiyantoro, 2010: 2-3).

1

2

Karya sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang berasal dari

imajinasi pikiran pengarang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan sosial yang nyata di dalam

masyarakat. Karya sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja

perasaan dan pikiran. Karya sastra tidak hanya mementingkan isi, juga tidak

hanya mengutamakan bentuk. Karya sastra diciptakan pengarang bukan

sekadar untuk menghibur, melainkan juga untuk menyampaikan nasihat-

nasihat pendidikan.

“Novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur salingberhubungan dan saling menentukan, yang kesemuanya itu akanmenyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermaknahidup. Di pihak lain, tiap-tiap unsur pembangun novel hanya akanbermakna jika ada dalam kaitannya dengan keseluruhan”(Nurgiyantoro, 2010: 31).

Salah satu landasan untuk memahami nilai religius karya sastra adalah

dengan menganalisis struktur karya sastra itu terlebih dahulu. Hal ini

dilakukan untuk memudahkan dan mengetahui serta memahami cerita dalam

karya fiksi (novel).

Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para

tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Moral dalam karya sastra

dapat dipandang sebagai amanat, pesan, dan message. (Nurgiyantoro, 2010:

321).

Hubungan antara sastra dengan nilai religius sangat erat. Hal ini

didasarkan pada pendapat Mangunwijaya (1982: 15), yaitu semua sastra

adalah religius. Unsur religius dan keagamaan dalam karya sastra menjadikan

karya sastra itu tumbuh dari sesuatu yang religius.

3

Karya sastra merupakan salah satu wujud dari bentuk penyampaian

nilai moral dan budi pekerti yang diamanatkan pengarang lewat tokoh cerita.

Tidak mengherankan jika karya sastra sangat menarik perhatian pembaca yang

menginginkan pengalaman sosial kemasyarakatan khususnya nilai-nilai

religius.

Nilai religius adalah norma keagamaan yang dipegang sebagai

pedoman dalam hidup. Pedoman hidup orang muslim adalah Alquran yang

wajib diimani. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Yusuf

ayat 111.

Artinya:

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita yang dibuat-

buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan

menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang

beriman” (QS Yusuf ayat 111).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa Alquran merupakan pedoman hidup bagi

manusia terdapat dalam surat An Nahl ayat 89.

4

Artinya:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Alquran) untuk menjelaskan

segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang

yang berserah diri” (QS An Nahl ayat 89).

Nilai-nilai moral yang terkandung dalam novel sangat penting diteliti

untuk memperoleh pengetahuan pesan-pesan moral bahkan sering terjadi

munculnya norma-norma baru dalam masyarakat. Seseorang dikatakan

religius jika mempunyai moral akhlak yang baik yang dapat ditunjukkan

dalam tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.

Pengarang novel Sang Pencerah adalah seorang laki-laki yang

bernama Akmal nasery Basral. Dia adalah seorang wartawan dan sastrawan

Indonesia. Kumpulan cerpen pertamanya Ada Seseorang di Kepalaku Yang

Bukan Aku (2006) yang terdiri dari 13 cerpen. Sebagai wartawan dia pernah

bekerja untuk majalah mingguan Gatra (1994-1998), Gamma (1999), majalah

Tempo (2004-sekarang). Dia dapat memaparkan suatu nilai yang kreatif dan

berbobot dengan menggunakan bahasa sederhana yang terkadang masih lekat

dengan Jawa.

Sang Pencerah merupakan novel karya Akmal Nasery Basral yang

diadaptasi dari scenario film Sang Pencerah yang disutradarai oleh Hanung

5

Bramantyo. Novel Sang Pencerah berkisah tentang kehidupan Kiai Ahmad

Dahlan serta perjuangannya dalam mendirikan Muhammadiyah. Sepulang dari

Mekah Darwis muda mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang

pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang

melenceng kearah Bid’ah dan sesat. Melalui Langgar atau Suraunya Ahmad

Dahlan mengawali pergerakan dengan arah kiblat yang salah di Masjid

kauman yang menyebabkan kemarahan seorang Kiai yakni Kiai

Kamaludiningrat sehingga Surau Kiai Ahmad Dahlan dirobohkan karena

dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai Kiai

kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan kursi sebagai tempat

duduk seperti sekolah modern Belanda. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai

kiai Kejawen karena Beliau dekat dengan organisasi Budi Utomo, tetapi

tuduhan tersebut tidak membuat Kiai Ahmad Dahlan surut. Siti Walidah,

Sudja, Hisyam, Sangidu, Fakhrudin dan Dirjo yang setia mendampingi Ahmad

Dahlan.

Dalam Alquran dijelaskan tentang bid’ah yaitu surat Ali Imran ayat 7.

6

Artinya :

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Alquran) kepada kamu di antara(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Alquran danyang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalamhatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untukmencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnyamelainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kamiberiman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhankami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkansuasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSISDIKNAS, 2003:5).

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional disusunlah kurikulum

yang memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya

dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang

masing-masing satuan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam

setiap jenjang pendidikan didasarkan kurikulum yang berlaku secara nasional

dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan

(Ihsan, 2011: 132).

Novel merupakan karya sastra yang dapat digunakan dalam

pembelajaran sastra. Karya sastra khususnya novel mempunyai peran yang

sangat besar dalam pembentukan dan pengembangan karakter anak didik

karena pelajaran sastra dapat membantu siswa dalam memahami dan

mengekspresikan sebuah karya sastra dengan baik. Selain untuk

7

mengembangkan karakter siswa, novel juga dapat menumbuhkan minat baca

siswa, sehingga siswa tertarik untuk membaca dari awal sampai akhir serta

dapat memahami isi dari novel tersebut.

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari kegiatan pendidikan. Oleh

karena itu, segala aspek pembelajaran sastra seharusnya diarahkan pula demi

tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk

meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Siswa

diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang sastra dan sikap

positif terhadap karya sastra.

Melalui kegiatan pembelajaran sastra di SMA khususnya, guru dan

masyarakat mengharapkan agar siswa memiliki wawasan yang memadai

tentang sastra, bersikap positif terhadap sastra serta mampu mengembangkan

wawasan, kemampuan dan sikap positifnya lebih lanjut.

Pembelajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila

cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa,

meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta

menunjang pembentukan watak (Rahmanto, 1988:16). Berdasarkan tujuan

tersebut, maka sastra merupakan hal penting yang perlu diajarkan di sekolah

karena dapat berperan sebagai media pendidikan moral dan menggugah

perasaan untuk lebih peka terhadap kehidupan sekitarnya.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional

yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan

(Mulyasa, 2011: 19). KTSP merupakan strategi pengembangan kurikulum

8

untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan suatu paradigma

baru yang dapat memberikan suatu perbaikan terhadap kualitas pendidikan.

Dalam KTSP mempunyai ciri mengenai kebebasan pengembangan bahan ajar

bagi pendidik atau guru dalam memilih bahan dan pengembangan bahan

(Muslich, 2009: 17). Kualitas dan keberhasilan belajar peserta didik sangat

dipengaruhi oleh kemampuan dan ketetapan pendidik memilih dan

menggunakan metode. Penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

pada pembelajaran kelas XI semester I yang sesuai dengan judul “Nilai

Religius dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dan

Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”, adalah sebagai berikut;

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Membaca

Memahami berbagai hikayat, novel

Indonesia/novel terjemahan

Menganalisis unsur-unsur intrinsik

dan ekstrinsik novel Indonesia/

terjemahan.

Pembelajaran sastra berdasarkan KTSP, mempunyai alokasi waktu 2 x

45 menit setiap kali pertemuan. Struktur dan nilai religius yang terkandung di

dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral sesuai dengan

kurikulum dan perkembangan peserta didik di SMA kelas XI semester I.

Berdasarkan uraian di atas, penulis menulis judul “Nilai Religius

dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dan Skenario

9

Pembelajarannya di Kelas XI SMA”, sebagai bahan penelitian dengan alasan

sebagai berikut:

1. Karya-karya Akmal Nasery Basral telah banyak ditulis dan yang

diterbitkan. Salah satu karya Akmal Nasery Basral adalah novel Sang

Pencerah menjadi materi yang menarik untuk dikaji. Beberapa pendapat

mengemukakan tentang keunggulan Sang Pencerah :

a. Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta) berkata “Dengan melihat warisan yang

ditinggalkan, sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk mengenal

kebesaran sosok Ahmad Dahlan dalam sejarah Indonesia. Lewat novel

ini sisi-sisi manusiawinya digambarkan dengan sangat indah dan

menggugah. Siapapun yang menbaca novel ini pasti akan terinspirasi

dan tercerahkan”.

b. Abdul Mu’ti (Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah) berkata

“Novel ini mampu menghadirkan sosok K.H. Ahmad Dahlan, pendiri

Muhammadiyah, seorang yang sedikit bicara tetapi kaya gagasan,

teguh hidup sederhana tetapi mampu mengembangkan amal yang

mengubah dunia, suka berdebat tetapi hangat bersahabat. Dengan gaya

bahasa yang mengalir, novel ini menuntun pembaca menapaki jalan

kehidupan tanpa harus menggurui. Layak dibaca bagi para pendidik,

orangtua, tokoh agama dan siapa saja yang ingin menimba kearifan”.

c. Hanung Bramantyo (Sutradara film Sang Pencerah) berkomentar

“Novel ini mengungkap sisi manusiawi seorang Ahmad Dahlan. Tidak

10

mudah dan butuh keberanian seorang penulis. Siapapun dia, seorang

tokoh sebaiknya dikisahkan secara apa adanya”.

2. Setelah membaca novel Sang Pencerah penulis menemukan aspek-aspek

religius dalam novel tersebut sehingga perlu dianalisis.

3. Belum ada penelitian tentang nilai religius novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral yang diteliti oleh mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Purworejo untuk pembelajaran sastra.

B. Penegasan Istilah

Penelitian ini berjudul “Nilai Religius dalam Novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”

dan agar tidak menjadi salah tafsir terhadap judul penelitian di atas, berikut ini

disampaikan penjelasan beberapa istilah pokok yang dipakai dalam judul

penelitian sebagai berikut:

1. Nilai Religius

Nilai religius adalah nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra fiksi

berupa penentuan manusia yang berhati nurani, berakhlak mulia atau saleh

ke arah segala makna yang baik (Mangunwijaya, 1988: 15). Nilai religius

adalah nilai mengenai konsep kehidupan religius atau keagamaan berupa

ikatan atau hubungan yang mengatur manusia dengan Tuhannya. Nilai

religius juga diartikan sebagai norma keagamaan yang dipegang sebagai

pedoman dalam hidup.

11

2. Skenario

Skenario adalah rencana berupa langkah demi langkah yang tertulis

secara terperinci yang digunakan sebagai acuan dalam proses interaksi

antara pendidik dengan peserta didik dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar untuk mencapai tujuan pendidikan.

3. Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur

manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling

mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran dan manusia terlibat dalam

system pembelajaran yang terdiri dari siswa, guru,dan tenaga lainnya

(Hamalik, 2011: 57). Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik

dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam

pembelajaran terkandung 5 konsep yaitu: interaksi, peserta didik, pendidik,

sumber belajar dan lingkungan belajar (UU SISDIKNAS, 2003: 2).

Jadi, maksud judul skripsi “Nilai Religius dalam Novel Sang

Pencerah Karya Akmal Nasery Basral dan Skenario Pembelajarannya di

Kelas XI SMA” adalah penelitian terhadap aspek-aspek religius novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan proses interaksi peserta

didik dengan pendidik dan sumber belajar untuk siswa di kelas XI SMA.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah aspek struktural yang terkandung dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

12

2. Bagaimanakah nilai religius yang terkandung dalam novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral?

3. Bagaimanakah skenario langkah-langkah pembelajaran nilai religius novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral di kelas XI SMA?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian dengan judul “Nilai Religius dalam novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI

SMA” bertujuan untuk:

a. mendeskripsikan aspek struktural yang terkandung dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral;

b. mendeskripsikan nilai religius yang terkandung dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral;

c. mendeskripsikan skenario langkah-langkah pembelajaran nilai religius

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral di kelas XI SMA.

2. Kegunaan Penelitian

1) Segi Teoretis

Dari segi teoretis, penelitian ini bermanfaat antara lain:

a. Menambah khazanah penelitian sastra

b. Mengaplikasikan teori religius di dalam sebuah novel

c. Dapat memperkaya wawasan dibidang Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, dan hasilnya dapat digunakan untuk

13

mengembangkan teori religius yang sebelumnya digunakan sebagai

sumber atau bahan pembelajaran.

2) Segi Praktis

a) Manfaat bagi siswa

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan

dan mengembangkan pemahaman siswa tentang nilai religius karya

sastra yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya Akmal

Nasery Basral pada khususnya, dan meningkatkan kreativitas dan

keberanian siswa dalam berpikir.

b) Manfaat bagi guru

Penelitian ini untuk memperkaya khazanah metode dan

strategi dalam pembelajaran tentang penelitian novel, untuk dapat

memperbaiki metode mengajar yang selama ini digunakan, agar

dapat menciptakan kegiatan belajar mengajar yang menarik dan

tidak membosankan, dan dapat mengembangkan keterampilan guru

bahasa dan sastra Indonesia khususnya dalam menerapkan

pembelajaran religius karya sastra novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral.

c) Manfaat bagi sekolah

Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam

rangka memajukan dan meningkatkan prestasi sekolah yang dapat

disampaikan dalam pembinaan guru ataupun kesempatan lain

bahwa pembelajaran struktur karya sastra novel khususnya novel

14

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral sebagai bahan

pencapaian hasil belajar yang maksimal.

E. Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran

skripsi yang disusun. Skripsi ini terdiri dari lima bab, pada bagian awal terdiri

dari sampul, halaman judul, persetujuan pembimbing, pengesahan,

pernyataan, moto dan persembahan, prakata, daftar isi, dan abstrak.

Bab I pendahuluan berisi latar belakang masalah, penegasan istilah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II tinjauan pustaka dan kajian teoretis. Tinjauan pustaka berisi

kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu

yang berhubungan dengan topik penelitian ini di antaranya Suyud (2005),

Purwanti (2010), dan Milllati (2011). Dalam kajian teoretis disajikan (1)

hubungan manusia dengan Tuhannya, (2) hubungan manusia dengan

manusia, dan (3) hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Bab III berisi metode penelitian. Metode penelitian ini berisi objek

penelitian, fokus penelitian, sumber data, instrument penelitian, teknik

pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis

data.

Bab IV berisi penyajian data dan pembahasan. Pada bab ini, penulis

menyajikan dan membahas data yang diambil dari novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral mengenai struktur, nilai religius dan skenario

15

pembelajaran novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral di kelas XI

SMA.

Bab V berisi penutup. Pada bab ini penulis menyimpulkan

pembahasan data dan memberikan saran-saran yang relevan dengan

kesimpulan tersebut. Selain itu, penulis juga melampirkan sinopsis novel Sang

Pencerah, biografi pengarang, dan daftar pustaka.

16

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORETIS

Pada bab ini dikemukakan dua hal pokok, yaitu tinjauan pustaka dan

kajian teoretis.

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka merupakan kajian secara kritis untuk

membandingkan terhadap kajian terdahulu dengan kajian yang akan penulis

lakukan sehingga diketahui perbedaan dan kesamaan yang khas antara kajian-

kajian tersebut.

Penelitian melalui pendekatan religius terhadap sastra telah banyak

dilakukan oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Beberapa diantaranya yaitu: (1) Suyud (2007) “Religiositas dalam Novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari”, (2) Purwanti (2010) “Nilai-

Nilai Religious dalam Novel Tasawuf Cinta karya M. Hilmi As’ad”, dan (3)

Millati (2012) berjudul “Nilai-Nilai Religius dalam Novel Ketika Cinta

Bertasbih I karya Habiburrahman El-Shirazy dan Relevansi Pembelajarannya

di SMA”.

Hasil penelitian Suyud (2007) berjudul “Religiositas dalam Novel

Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari”. Dalam penelitian ini,

Suyud membahas struktur dan nilai religiositas dalam novel Lingkar Tanah

Lingkar Air. Penelitian yang dilakukannya mempunyai kesamaan dan

16

17

perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Kesamaan,

keduanya membahas nilai religius novel. Perbedaannya, Suyud menganalisis

nilai religiositas dan struktural tanpa memberikan gambaran tentang

pembelajarannya di SMA. Perbedaan yang lain terdapat pada subjek

penelitian, penelitian Suyud mengambil subjek novel Lingkar Tanah Lingkar

Air karya Ahmad Tohari”, sedangkan penulis pada novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral.

Skripsi Purwanti (2010) berjudul “Nilai-Nilai Religiositas dalam

Novel Tasawuf Cinta karya M.Hilmi As’ad. Penelitian Purwanti bertujuan

untuk mengetahui nilai-nilai religiositas dalam Novel Tasawuf Cinta karya

M.Hilmi As’ad khususnya nilai-nilai Islam. Penelitian ini menunjukkan

adanya hubungan antarstruktur yaitu hubungan antara tokoh dengan latar,

hubungan tokoh dengan alur, hubungan antara tema dengan tokoh, dan

hubungan antara alur dengan latar, sedangkan kandungan nilai-nilai religius

yang Islami dalam novel Tasawuf Cinta karya M.Hilmi As’ad yaitu (1) nilai

keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dan Tuhannya,

(2) nilai peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu hubungan

horizontal manusia dengan manusia, dan (3) nilai peribadatan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa.

Skripsi Millati (2012) berjudul “Nilai-Nilai Religius dalam Novel

Ketika Cinta Bertasbih I karya Habiburrahman El-Shirazy dan Relevansi

Pembelajarannya di SMA”. Penelitian yang dilakukan oleh Millati bertujuan

untuk mengetahui nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika

18

Cinta Bertasbih I karya Habiburrahman El-Shirazy, dan mengetahui relevansi

novel Ketika Cinta Bertasbih I dengan pembelajaran di SMA. Teori yang

digunakan dalam penelitian Millati adalah teori yang dikemukakan oleh

Mangunwijaya yang mengemukakan bahwa nilai religius mencakup tiga

aspek, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) manusia dengan

manusia, dan (3) manusia dengan alam sekitarnya. Pembelajaran yang

digunakan adalah pembelajaran PAIKEM (pembelajaran aktif, inovatif,

kreatif, efektif, dan menyenangkan). Terdapat kesamaan antara penelitian

Millati dengan analisis penulis, yaitu teori yang digunakan menggunakan

teori Mangunwijaya bahwa nilai religius mencakup tiga aspek yaitu (1)

hubungan manusia dengan Tuhan, (2) manusia dengan manusia, dan (3)

manusia dengan alam sekitarnya.

Dalam penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian

tentang “Nilai Religius dalam Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery

Basral dan Skenario Pembelajarannya di kelas XI SMA” sepengetahuan

penulis belum ada yang mengkaji apabila ditinjau berdasarkan nilai religius.

B. Kajian Teoretis

1. Stuktur Karya Sastra

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami karya

sastra yang berbentuk prosa adalah pendekatan struktural, yang berarti

memahami karya sastra dengan memperhatikan struktur atau unsur-unsur

pembentuk karya sastra.

19

Suatu karya sastra dibentuk oleh unsur-unsur yang membentuknya.

Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum diterapkannya

analisis yang lain. Unsur-unsur struktur karya sastra meliputi tema, tokoh

dan penokohan, alur, latar, amanat dan pusat pengisahan. Analisis

struktural sangatlah tepat untuk meneliti dan mengungkapkan unsur-unsur

karya sastra dan keterkaitan antarunsur tersebut sebagai kesatuan makna.

a. Tema

Di bawah ini beberapa pendapat mengenai tema yang

dikemukakan oleh para pakar sebagai berikut:

1) Nurgiyantoro (2011:68) mengatakan, tema merupakan keseluruhan

yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di

dalam cerita yang mendukungnya.

2) Sudjiman (1986: 50) mengatakan, tema adalah gagasan, ide atau

pikiran utama yang mendasari karya sastra.

Menurut Nurgiyantoro, tema dibedakan menjadi dua bagian

yaitu tema utama yang disebut tema mayor yang artinya makna pokok

yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema mayor

ditentukan dengan cara menentukan persoalan yang paling menonjol,

yang paling banyak konflik dan waktu penceritaannya, sedangkan tema

tambahan disebut tema minor. Tema minor merupakan tema yang

kedua yaitu makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu

cerita dan diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna

tambahan.

20

Tema adalah ide cerita yang merupakan dasar untuk

pengembangan cerita yang menjiwai seluruh bagian cerita. Kedudukan

tema dalam novel sangat penting, karena tanpa tema sebuah karya

tidak memiliki makna.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah

inti persoalan yang ditampilkan dalam suatu cerita, atau sesuatu yang

menjadi tujuan utama pengarang. Tema juga dapat dipandang sebagai

dasar cerita, gagasan dan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan

dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang

yang digunakan untuk mengembangkan cerita.

b. Tokoh dan Penokohan

Dalam setiap cerita rekaan, keberadaan tokoh merupakan hal

yang penting. Pada hakikatnya sebuah cerita rekaan merupakan

rangkaian peristiwa yang dialami oleh seorang atau pelaku cerita. Jika

kita membaca sebuah novel atau cerita, akan timbul dalam pikiran kita

tentang tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, sehingga kita akan

membayangkan bagaimana wajah dan sifat-sifat kepribadian tokoh

tersebut.

Setiap tokoh dalam suatu cerita mempunyai ciri-ciri tersendiri

atau watak yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Sudjiman

(1988: 78), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Penokohan

mempunyai pengertian yang lebih luas daripada tokoh karena

21

penokohan dalam sebuah cerita memberikan gambaran yang jelas

kepada pembaca.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembaca dan

penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin

disampaikan peangarang kepada pembaca. Penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan

dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010: 165).

1) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya

dalam novel yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 176). Tokoh

utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik

sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral

kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan

ntuk mendukung tokoh utama (Nurgiyantoro, 2010:177).

2) Tokoh Protagonis dan Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang

salah satu jenisnya secara popular disebut tokoh hero yang

merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal

bagi kita (Nurgiyantoro, 2010: 178). Tokoh antagonis adalah tokoh

yang menyebabkan konflik bagi tokoh protagonist (Nurgiyantoro,

2010: 178).

22

3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana adalah adalah tokoh yang hanya memiliki

satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja

(Nurgiyantoro, 2010: 181). Tokoh bulat adalah tokoh yang

memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,

sisi kepribadian, dan jati dirinya (Nurgiyantoro, 2010: 183).

Menurut Sudjiman, cara pengambaran penokohan yaitu

menggunakan metode analitik dan metode dramatik. Metode

analitik, penokohan memberikan ciri lahir atau fisik maupun lahir

tokoh. Metode dramatik, watak tokoh dapat disimpulkan dari

pikiran, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang.

Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan bahwa tokoh

cerita sebagai penyampai tema, sedangkan penokohan merupakan

penggambaran fisik para tokoh cerita.

c. Alur

Sudjiman (1986: 4) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah

suatu jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek

tertentu.

Stanton (2007: 26), berpendapat alur adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara

sebab akibat, peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan terjadinya

peristiwa lain.

23

Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2010: 149-150), membedakan

tahapan plot menjadi lima bagian yaitu:

1) Tahap situation (mulai melukiskan suatu peristiwa)

2) Tahap generating circumstances (peristiwa mulai bergerak)

3) Tahap rising action (keadaan mulai memuncak)

4) Tahap climax (mencapai titik puncak)

5) Tahap denouement (pemecahan / penyelesaian suatu peristiwa).

Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur alur dapat dibagi

menjadi tiga bagian sebagai berikut:

(a) Awal(1) Paparan (exposition), berisi peristiwa awal yang

memberikan gambaran masalah yang dihadapi oleh tokohcerita.

(2) Rangsangan (inciting moment), merupakan bagian aluryang mengarah pada terjadinya tindakan awal sang tokoh.

(3) Gawatan (rising action), merupakan bagian dari alur yangmenunjukkan gerak menanjak masalah.

(b) Tengah(1) Tikaian (confict), menggambarkan perbedaan sikap,

keinginan, dan pandangan masalah para tokoh.(2) Rumitan (complication), menunjukkan tikaian yang

semakin tajam dan rumit.(3) Klimaks (climax), menunjukkan ketajaman konflik yang

dihadapi para tokoh.(c) Akhir

(1) Leraian (falling action), menggambarkan mulai cairnyakebekuan dan kekakuan sikap para tokoh yang terjadihingga klimaks.

(2) Selesaian (denaument), memberikan gambaran nasib paratokoh terhadap penyelesaian.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah

struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun untuk menandai

urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Oleh karena itu, alur

24

atau plot merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita

berupa kerangka utama cerita dalam pemecahan konfllik yang terdapat

dalam suatu karya sastra.

d. Latar

Suatu cerita rekaan berkisah tentang seorang atau beberapa

tokoh. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita tentunya terjadi pada suatu

waktu tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala

keterangan dan petunjuk pengacuan yang berkaitan dengan waktu,

ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra yang

membangun latar cerita.

Menurut Sudjiman (1991:480), latar adalah segala keterangan

waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

1) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya

fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan

dengan peristiwa sejarah.

25

3) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi.

Dari pendapat di atas dapat ditarik simpulan bahwa latar

tempat mengacu pada tempat terjadinya suatu peristiwa di dalam

cerita. Latar waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam cerita, sedangkan latar sosial

mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial. Latar dari suatu cerita dapat menimbulkan efek-

efek emosional pada diri tokoh yang dirasakan oleh pembaca,

sehingga pembaca larut dalam cerita. Jadi, menonjolkan latar

waktu dan latar tempat dalam suatu cerita sangat penting.

e. Amanat

Dari sebuah karya sastra dapat diangkat suatu ajaran moral, atau

pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat dalam cerita

biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan

ajaran moral tertentu.

Amanat pada sebuah karya sastra ditampilkan secara implisit

(tak langsung) ataupun eksplisit (langsung) (Sudjiman, 1988: 57).

26

2. Religiusitas dalam Karya Sastra

a. Pengertian Religius

Dister (dalam Nur Ghufron dan Risnawati, 2010: 167).

mengartikan, religiusitas sebagai keberagaman karena adanya

internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Shihab menyatakan,

agama adalah hubungan antara makhluk dengan khalik (Tuhan) yang

berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian.

Atmosuwito (1989: 123) menyatakan bahwa religius harus

dibedakan dari pengertian agama. Kata religious menurut asalnya

berarti ikatan atau pengikatan diri, sedangkan agama terbatas pada

ajaran-ajaran (doctrines) dan peraturan-peraturan (law).

Mangunwijaya (1988:12) membedakan istilah religi atau

agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal

yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban,

sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh

individu di dalam hati.

Religiusitas dapat diartikan sebagai pendalaman agama dalam

diri seseorang yang terlihat melalui pengetahuan dan keyakinan

seseorang akan agamanya serta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-

hari. Nilai religius adalah nilai-nilai ketuhanan yang diungkapkan

seseorang dengan cara tertentu, karena adanya keterikatan manusia

dengan Tuhan sebagai sumber dari segala kebaikan.

27

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa religi adalah

agama, sedangkan religius adalah nilai-nilai ketuhanan yang

berhubungan dengan sikap atau tindakan manusia yang memahami

dan menghayati hidup serta mendorongnya untuk bertingkah laku,

bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama. Religiusitas

adalah suatu keadan yang ada dalam diri seseorang yang

mendorongnya bertingkah laku dan bersikap sesuai ajaran agamanya

yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari.

b. Nilai Religius Karya Sastra

Nilai religius sebuah karya sastra yaitu seberapa jauh dan

bagaimana memuat nilai religius sehingga novel itu bernuansa

religius. Jika dikaitkan dengan pengarangnya, maka seberapa jauh

pengarang mengungkapkan nilai-nilai religius dalam karya satra yang

diciptakannya.

“Karya sastra fiksi senantiasa menyajikan pesan moral yangberhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan,memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhurkemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal.Artinya, sifat-sifat itu dimiliki, dan diyakini kebenarannya olehmasyarakat (Nurgiyantoro, 2010: 322)”.

Jenis ajaran moral karya fiksi mencakup masalah yang bersifat

tak terbatas. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan

manusia dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia

dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam

lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan

hubungan manusia dengan Tuhannya.

28

Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-

macam jenis dan tingkat intensitasnya. Hal itu tentu saja tidak lepas

dari kaitannya dengan persoalan hubungan antarsesama dan dengan

Tuhan. (Nurgiyantoro, 2010: 323-324).

Dalam novel pasti terkandung pesan moral berupa religius.

Pada dasarnya karya sastra diciptakan untuk menyampaikan pesan-

pesan kepada pembaca. Walaupun pesan moral yang disampaikan

sedikit tetapi masih mengandung pesan moral yang berupa religius

seperti dikatakan Mangunwijaya (1988: 11) bahwa karya sastra pada

dasarnya religius.

Seperti yang dikemukakan Nurgiyantoro (2010: 326) bahwa

pesan moral yang berwujud moral religius, yang bersifat keagamaan

dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau genre sastra

yang lain. Kedua hal tersebut memberikan inspirasi bagi para penulis,

khususnya sastra Indonesia modern.

Dapat disimpulkan bahwa nilai religius dalam karya sastra

(novel) bertujuan untuk memperdalam serta mempermudah hubungan

manusia dengan Tuhan.

3. Skenario Pembelajaran Sastra di SMA

a) Pengertian Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Novel sebagai

salah satu karya sastra sangat memungkinkan untuk diajarkan di

29

sekolah (SMA). Salah satu kelebihan novel sebagai bahan

pembelajaran sastra adalah cukup mudahnya karya sastra tersebut

dinikmati sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing dalam

memahami cerita sesuai perseorangan. Namun tingkat kemampuan

tiap-tiap individu tidak sama (Rahmanto, 1988:66).

Dalam pembelajaran sastra, keterampilan yang dikembangkan

adalah keterampilan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang

bersifat efektif, yang bersifat sosial dan yang bersifat religius. Oleh

karena itu, dapat ditegaskan bahwa pembelajaran yang dilakukan

dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk

mengembangkan keterampilan sehingga pembelajaran sastra tersebut

dapat mendekati arah dan tujuan dalam arti yang sesungguhnya.

Kajian religius sastra novel Sang Pencerah karya Akmal

Nasery Basral dan pembelajarannya di SMA dapat sebagai pelengkap

atau pendukung pembelajaran agama yang diajarkan di sekolah seperti

pembelajaran tentang Alquran dan pelajaran ibadah. Namun, tingkat

kemampuan individu tidak sama. Oleh karena itu, guru diharapkan

mampu menyajikan pembelajaran novel dengan baik dan menarik

sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh setiap peserta didik.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

sastra adalah suatu aktivitas atau kegiatan pembelajaran untuk

menyusun dan menguji suatu rencana atau program yang

memungkinkan timbulnya proses belajar pada diri siswa sehingga

30

siswa mampu memahami masalah-masalah dunia nyata melalui sebuah

karya sastra yaitu novel.

b) Tujuan Pembelajaran Sastra

Rusyana (1982: 7-8) mengemukakan bahwa tujuan

pembelajaran sastra adalah untuk memperoleh pengalaman tentang

sastra yaitu memperoleh pengalaman mengapresiasikan sastra, serta

memperoleh pengetahuan tentang sastra seperti sejarah sastra, teori

sastra dan kritik sastra.

Pembelajaran sastra diarahkan untuk memperbaiki budi pekerti

dan mempertajam kepekaan perasaan siswa. Belajar sastra adalah

belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan serta

lingkungan manusia di sekitarnya.

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pembelajaran sasta di

SMA meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator.

Standar kompetensi dalam pembelajaran sastra adalah memahami

berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan, kompetensi dasar

dalam pembelajaran sastra disesuaikan dengan silabus adalah

menganalisis unsur-unsur novel Indonesia/terjemahan, sedangkan

indikator pembelajaran sastra yaitu menganalisis unsur-unsur

ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, dan latar).

31

c) Fungsi Pembelajaran Sastra

Menurut Rahmanto (1988: 16) pembelajaran sastra dapat

membantu pendidikan yang cakupannya meliputi 4 manfaat, antara

lain:

(1) Membantu Keterampilan Berbahasa

Membantu keterampilan berbahasa maksudnya adalah

pembelajaran sastra akan membantu siswa berlatih keterampilan

membaca, berbicara, menyimak, dan menulis yang masing-masing

erat hubungannya.

(2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Meningkatkan pengetahuan budaya maksudnya adalah

sastra dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki

kebudayaan yang disajikan melalui karya sastra tersebut.

(3) Mengembangkan Cipta dan Rasa

Mengembangkan cipta dan rasa maksudnya adalah bahwa

pembelajaran sastra dapat mengembangkan potensi siswa dan guru

hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa memiliki

kepribadian dan kemampuan yang khas.

(4) Menunjang Pembentukan Watak

Menunjang pembentukan watak maksudnya adalah bahwa

pembelajaran sastra dapat membantu mengembangkan

pembentukan watak dan kualitas kepribadian siswa seperti

ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan baik itu segi

positif maupun negatif tergantung sastra yang dibaca.

32

d) Materi Pembelajaran Sastra

Guru hendaknya memilih materi atau bahan pembelajaran yang

sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia, pembelajaran sastra di SMA meliputi standar kompetensi,

kompetensi dasar, dan indikator. Standar kompetensi dalam

pembelajaran sastra adalah memahami berbagai hikayat, novel

Indonesia/novel terjemahan, kompetensi dasar dalam pembelajaran

sastra disesuaikan dengan silabus adalah menganalisis unsur-unsur

novel Indonesia/terjemahan, sedangkan indikator pembelajaran sastra

yaitu menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema,

penokohan, amanat, dan latar).

Pembelajaran apresiasi sastra di kelas XI SMA dapat

menggunakan novel. Novel yang digunakan sebagai materi harus

sesuai dengan perkembangan dan kemampuan siswa, mempunyai nilai

estetik dan mengandung nilai-nilai pendidikan yang berguna untuk

siswa. Karya sastra yang digunakan sebagai materi pembelajaran sastra

di kelas XI SMA adalah novel Sang Pencerah dengan penjelasan

mengenai struktur novel sebagai pijakan sebelum menganalisis nilai-

nilai religious dalam novel Sang Pencerah.

Menurut Rahmanto (1988: 27-31), untuk menentukan bahan

pembelajaran sastra yang tepat, harus mempertimbangkan beberapa

aspek yaitu: pertama dari sudut bahasa, kedua dari sudut psikologi, dan

ketiga dari sudut latar belakang.

33

1) Segi Bahasa

Penguasaan siswa terhadap bahasa sebenarnya mengalami

berbagai tahap pertumbuhan dan perkembangan. Sementara itu,

dalam karya sastra mengalami perkembangan zaman yang meliputi

aspek kebahasaan.

2) Segi Psikologis

Pemilihan bahan pembelajaran sastra hendaknya juga

mempertimbangkan aspek psikologis siswa karena hal ini sangat

berpengaruh terhadap minat dan keengganan anak didik dalam

banyak hal. Perkembangan psikologis sangat berpengaruh terhadap

daya ingat, kemampuan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama,

dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem

yang dihadapi.

3) Segi Latar Belakang

Bahan pembelajaran dipilih berdasar latar belakang siswa. Hal

tersebut dimaksudkan agar masalah-masalah yang terdapat di

dalam karya sastra itu mendekati dengan apa yang dihadapi siswa

dalam kehidupan sehari-hari.

e) Metode Pembelajaran Sastra

Metode adalah suatu alat untuk mencapai tujuan. Tujuan dari

kegiatan belajar mengajar tidak akan pernah tercapai jika tidak

menggunakan metode. Dalam mengajarkan suatu karya sastra (novel)

guru harus memilih metode pembelajaran yang tepat. Berdasarkan

34

kebutuhan dan materi pembelajaran sastra, metode pembelajaran yang

masih menunjang untuk dipakai dalam pembelajaran sastra adalah

ceramah, diskusi, dan penugasan.

1. Metode Ceramah

Metode ceramah adalah penuturan informasi oleh guru

kepada siswanya secara lisan. Dalam metode ceramah ini murid

duduk, melihat dan mendengarkan serta percaya bahwa apa yang

diceramahkan guru itu adalah benar. Murid mengutip ikhtisar

ceramah semampu murid itu sendiri dan menghafalnya tanpa ada

penyelidikan lebih lanjut oleh guru yang bersangkutan (Ismail,

2009: 19).

Kelebihan metode ceramah, yaitu

a. guru dapat memanfaatkan pengalaman-pengalamannya;

b. menjadikan siswa untuk menyimak dengan teliti dan kritis;

c. meningkatkan dan merangsang keinginan siswa untuk belajar.

Kelemahan metode ceramah yaitu:

a. mendorong siswa hanya untuk menghafalkan fakta-fakta saja;

b. siswa yang tidak terampil membuat catatannya akan tertinggal;

c. materi kurang terfokus karena terkadang pembicaraan sering

melantur.

Solusi kelemahan metode ceramah :

a. pada waktu berceramah, guru hendaknya mengulang poin-poin

yang penting untuk dicatat siswa.

35

b. Guru hendaknya tetap terfokus pada materi yang diajarkan dan

tidak terlalu melantur atau keluar dari konteks.

c. Ceramah dilakukan dengan waktu yang sesuai, tidak terlalu

lama dan tidak terlalu singkat.

2. Metode Diskusi

Metode diskusi merupakan suatu cara untuk menguasai

bahan pelajaran melalui tukar pendapat berdasarkan pengetahuan

dan pengalaman yang telah diperoleh guna memecahkan suatu

masalah. Teknik diskusi adalah salah satu teknik belajar mengajar

yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah. Di dalam proses

diskusi ini proses belajar mengajar terjadi, dimana interaksi antara

dua atau lebih individu terlibat, saling tukar menukar pengalaman,

memecahkan masalah dan lain-lain (Ismail, 2009: 20).

Kelebihan metode diskusi, yaitu

a. Murid belajar bermusyawarah.

b. Murid mendapat kesempatan untuk menguji tingkat

pengetahuan masing-masing.

c. Belajar menghargai pendapat orang lain.

d. Mengembangkan cara bersikap ilmiah

Kelemahan metode diskusi:

a. Pendapat serta pertanyaan murid dapat menyimpang dari pokok

permasalahan.

36

b. Kesulitan dalam menyimpulkan sering menyebabkan tidak ada

penyelesaiannya.

c. Membutuhkan waktu cukup banyak.

Solusi kelemahan metode diskusi :

a. Siswa dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil,

kelompok ini terdiri dari siswa yang pandai dan kurang pandai,

pandai berbicara dan kurang pandai berbicara.

b. Guru mengusahakan penyesuaian waktu dengan berat topik

yang dijadikan pokok diskusi.

c. Sebaiknya guru jangan tergesa-gesa meminta respon siswa.

3. Metode Penugasan

Metode penugasan (resitasi) adalah metode penyajian bahan

dengan cara guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan

kegiatan belajar. Tugas yang diberikan dapat dikerjakan di kelas, di

rumah siswa, atau dimana saja asal tugas itu dapat dikerjakan

(Ismail, 2009: 21).

Kelebihan metode penugasan:

a. Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar

individual ataupun kelompok.

b. Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan.

c. Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa.

d. Dapat mengembangkan kreativitas siswa.

37

Kelemahan metode penugasan, yaitu:

a. Siswa sulit dikontrol apakah benar ia yang mengerjakan tugas

ataukah oranglain.

b. Khusus untuk tugas kelompok, jarang yang aktif

mengerjakannya dan menyelesaikannya adalah anggota tertentu

saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan

baik.

c. Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan

individu siswa.

d. Sering memberikan tugas yang monoton dapat menimbulkan

kebosanan siswa.

Solusi kelemahan metode penugasan :

a. Hendaknya penugasan dilakukan di dalam kelas agar guru lebih

mudah mengontrol siapa siswa yang benar-benar mengerjakan.

b. Hendaknya guru memberikan materi tugas yang perlu

diselesaikan oleh siswa dengan jelas.

c. Tujuan tugas yang diberikan akan lebih baik apabila dijelaskan

kepada siswa.

d. Apabila tugas kelompok, seyogyanya ada ketua dan anggota

kelompok sesuai dengan kebutuhan agar ada yang bertanggung

jawab.

e. Tempat dan lama waktu penyelesaian tugas hendaknya jelas.

38

f) Langkah-langkah Pembelajaran Sastra

Rahmanto (1988:43) mengatakan bahwa guru hendaknya selalu

memberikan variasi dalam menyampaikan pembelajaran sehingga

siswa tidak jenuh dan selalu siap dalam menanggapi berbagai

rangsangan.

Langkah-langkah pembelajaran menurut Rahmanto sebagai

berikut:

1) Pelacakan Pendahuluan

Guru mempelajari terlebih dahulu materi yang akan diajarkan

untuk memperoleh pemahaman awal tentang novel yang akan

disajikan sebagai bahan ajar agar dapat menentukan aspek-aspek

yang perlu mendapat perhatian khusus dan masih perlu dijelaskan.

2) Penentuan Sikap Praktis

Penentuan sikap praktis yang menentukan informasi yang

dapat diberikan oleh guru untuk mempermudah siswa dalam

memahami novel yang disajikan. Keterangan yang diberikan

hendaknya jelas dan seperlunya.

3) Introduksi

Pengantar yang diberikan tergantung pada setiap guru dan

keadaan siswa.

4) Penyajian

Tahap penyajian yaitu menyajikan materi yang telah

disiapkan untuk diajarkan kepada siswa. Guru sebaiknya

39

menggunakan cara yang bervariasi dalam materi agar dapat

disajikan lebih menarik sehingga siswa tidak merasa bosan.

5) Tugas-tugas praktis

Pada tahap ini, siswa diberi tugas-tugas pratis diawali dengan

pertanyaan-pertanyaan yang ringan.

g) Evaluasi

Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran,

dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil

belajar yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar

dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan (Hamalik,

2011: 159).

Penilaian proses dan hasil sastra di SMA dapat berlangsung

melalui kegiatan baik lisan maupun tertulis. Evaluasi yang digunakan

dalam pembelajaran novel Sang Pencerah secara tertulis dengan

menggunakan tes atau esai. Evaluasi merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari keseluruhan proses belajar mengajar. Evaluasi

dimaksudkan untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam

memahami dan mendalami materi yang dijelaskan peneliti.

Pembelajaran novel Sang Pencerah menggunakan bentuk tes esai. Tes

esai adalah sejenis tes belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat

pembahasan atau uraian kata-kata.

40

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi

adalah upaya untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mengalami

kemajuan belajar atau telah mencapai tujuan pembelajaran.

Soal bentuk tes esai:

a. Jelaskan tema yang terdapat dalam novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral?

b. Jelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

41

BAB IIIMETODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis menguraikan gambaran umum tentang objek penelitian,

fokus penelitian, sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,

teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis data yang digunakan

dalam penelitian.

A. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah nilai religius dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka

Jakarta, cetakan ketiga tahun 2010, tebal 461 halaman.

B. Fokus Penelitian

Penulis memfokuskan penelitian ini pada hubungan manusia dengan

Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan

alam sekitar dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral dan

skenario pembelajarannya di kelas XI SMA.

C. Sumber Data

Pada penelitian ini yang menjadi sumber data adalah novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang diterbitkan oleh Mizan Pustaka

Jakarta, cetakan ketiga tahun 2010.

41

42

D. Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto (2010: 203), instrumen penelitian adalah alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar

pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat

lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Instrumen dalam

penelitian ini adalah penulis selaku peneliti dengan alat bantu nota pencatat,

serta buku yang berkaitan dengan sastra.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik

observasi yaitu dengan cara membaca secara kritis dan teliti serta penuh

pemahaman pada novel Sang Pencerah. Penulis juga menggunakan teknik

catat untuk mencatat data-data penting yang ada di dalam novel sebagai data

dalam penelitian. Selain itu penulis juga menggunakan teknik pustaka yaitu

menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah

sebagai berikut:

1. Membaca novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral secara kritis

dan teliti.

2. Mencatat data yang berupa narasi dan percakapan yang relevan dengan

nilai religius dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

3. Mengelompokkan data berdasarkan nilai religius dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang meliputi hubungan manusia

43

dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam

sekitarnya.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Jadi, metode yang

penulis gunakan yaitu dengan analisis isi (Syukur, 2009: 94). Teknik ini

membahas data dengan mengkaji teks novel untuk membedah dan

memaparkan nilai religius yang terkandung dalam karya novel tersebut,

sehingga dapat diketahui serta disimpulkan tentang isi kandungan nilai

religius dalam karya tersebut terutama pesan-pesan moral novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah sebagai berikut:

1. Menafsirkan data aspek-aspek religius yang meliputi hubungan manusia

dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam

sekitarnya, baik berupa narasi maupun percakapan secara pragmatis atau

semantis sesuai dengan sifat data tersebut.

Contoh penerapan teknik analisis isi secara pragmatis adalah sebagai

berikut:

“Idah, kalau Dahlan memang orang yang sangat hati-hati sepertikamu bilang, seharusnya dia tidak sampai melawan kiai Penghulusecara terbuka,” cecar Mas Noor” (SP, 2010: 238).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Mas Noor

tidak sependapat dengan Idah jika Dahlan itu orang yang hati-hati

terbukti Dahlan melawan kiai Penghulu.

44

Contoh penerapan teknik analisis isi secara semantis adalah sebagai

berikut:

Setiap sore terdengar pengajian anak-anak putri dari arah serambiMasjid Gedhe, seperti tadi yang sempat kudengar (SP, 2010: 21).

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap sore

Darwis mendengar anak-anak putri mengaji di serambi Masjid Gedhe.

2. Menganalisis data dari segi pembelajaran sesuai atau tidak sebagai bahan

ajar dan langkah-langkah pembelajaran novel Sang Pencerah karya Akmal

Nasery Basral di SMA.

3. Menyimpulkan data hasil penelitian.

G. Teknik Penyajian Hasil Analisis

Teknik yang digunakan untuk penyajian hasil analisis adalah

menggunakan metode informal. Metode informal adalah penyajian hasil

analisis data dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dengan

demikian penulis menyajikan hasil analisis aspek religius dalam novel Sang

Pencerah yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya dipaparkan dengan kata-kata

biasa tanpa menggunakan tanda dan lambang.

45

BAB IVPENYAJIAN DAN PEMBAHASAN DATA

Pada bab ini dibahas dua hasil pelaksanaan penelitian yaitu penyajian data

dan pembahasan data hasil penelitian.

A. Penyajian Data

Untuk membahas data hasil penelitian, terlebih dahulu penulis

menyajikan data-data hasil penelitian supaya dapat dibahas secara benar dan

teliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa narasi dan percakapan

yang relevan dengan nilai-nilai religius dalam novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian

adalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

1. Tabel Struktur Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral

No Unsur pembentuk karya sastra Penyajian Data

1 Tema 83, 84, 110, 111, 241, 245, 360,368, 294, 399, 426, 442, 443.

2 Tokoh dan penokohan 294, 6, 82, 45, 67, 74, 78, 79, 150,93, 238, 128, 182, 129, 140, 178,222, 263, 303, 312, 314, 413.

3 Alura. Awal

1. Paparan 62. Rangsangan 71

3. Gawatan 206b. Tengah

1. Tikaian 842. Rumitan 204, 206, 2113. Klimaks 244, 245

c. Akhir1. Leraian 260, 2622. Selesaian 417, 424.

45

46

4. Latara. Latar tempat 141, 143, 267, 239, 402, 403,b. Latar waktu 125, 254, 100, 96, 21, 101, 160,

137, 254, 164, 450, 11, 160, 161.c. Latar social 174, 175, 46, 93, 190, 129, 441,

93.5. Amanat 90, 229, 391, 81, 263.

2. Tabel Nilai Religius yang ada dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal

Nasery Basral

No Nilai-Nilai Religius Penyajian Data

1. Hubungan Manusia dengan

Tuhan

212,161, 91, 46, 7-8, 175

2. Hubungan Manusia dengan

Manusia

11, 14, 24, 49, 63, 65, 156.

3. Hubungan Manusia dengan

Alam

90

3. Skenario Pembelajaran Novel Sang Pencerah di kelas XI SMA

Pembelajaran novel di sekolah, khususnya SMA dapat dikatakan

sama dengan jenis sastra prosa lainnya. Pembelajaran sastra atau novel

berkaitan dengan strategi pembelajaran. Di bawah ini adalah pembelajaran

novel tersebut.

a. Tujuan Pembelajaran

Kurikulum tingkat satuan pendidikan menggunakan kemampuan

dasar dan indikator hasil belajar sebagai ganti tujuan pembelajaran

umum dan khusus.

47

b. Bahan / Materi Pembelajaran

Bahan pembelajaran merupakan suatu yang diajarkan dalam

kegiatan pembelajaran. Bahan pembelajaran disesuaikan dengan

kurikulum. Dalam pemilihan bahan pembelajaran juga harus

memperhatikan sudut bahasa, latar belakang kebudayaan, dan

psikologi.

c. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran adalah cara yang dipakai dalam kegiatan

pembelajaran. Metode yang digunakan dapat disesuaikan dengan

tujuan, keadaan siswa, dan suasana kelas. Metode pembelajaran yang

digunakan dalam pembelajaran siswa di kelas XI adalah metode

ceramah, diskusi, dan penugasan.

d. Strategi Pembelajaran

Strategi yang digunakan pada proses belajar mengajar adalah

strategi sastra yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) tahap

penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap rekreasi.

e. Langkah-Langkah Pembelajaran

Langkah-langkah pembelajaran merupakan tahap yang

dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Tahapan-tahapan tersebut

dipilih dan ditentukan oleh masing-masing guru sesuai dengan metode

yang digunakan. Langkah-langkah pembelajaran di kelas XI SMA

meliputi pelacakan pendahuluan, penentuan sikap praktis, introduksi,

penyajian, diskusi dan pengukuhan.

48

f. Sumber Belajar

Sumber belajar merupakan buku pelajaran yang diwajibkan,

buku yang sesuai, buku pelengkap, pengalaman, dan minat siswa.

g. Waktu Pembelajaran Sastra

Waktu yang disediakan untuk pembelajaran sastra dapat diatur

dengan keleluasaan dan kedalaman materi.

h. Evaluasi

Evaluasi identik dengan penilaian. Evaluasi dilakukan untuk

mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi siswa terhadap

materi yang dibahas.

B. Pembahasan Data

1. Struktur Novel Sang Pencerah

a. Tema

Masalah merupakan suatu unsur untuk membangun tema

sehingga timbul beberapa masalah yang mendukung tema. Masalah

yang terdapat pada novel Sang Pencerah antara lain :

1) Masalah Perbedaan Pendapat

Dalam sebuah diskusi, perbedaan pendapat dari peserta

diskusi itu wajar dan sering terjadi, begitu pun pada Darwis yang

berbeda pendapat dengan kakak iparnya saat membicarakan tradisi

nyadran yang akan dilaksanakan di zaman Kala Bendu.

"Maaf, Kiai. Mengingat kondisi masyarakat kita yangsedang prihatin di zaman Kala Bendu ini, apakah tidaksebaiknya acara Nyadran dibuat sederhana saja?” tanyaku.

49

Beberapa jamaah langsung berbisik-bisik. Beberapa pasangmata lainnya di tempat ini memandangku dengan sorot mataaneh. Kiai Penghulu Kamaludiningrat malah menyipitanmatanya, seperti ingin memastikan bahwa dia tidak salahlihat sang penanya adalah anak dari Kiai Abu Bakar yangmerupakan imam dan khatib Masjid Gedhe Kauman.Melihat acaranya menatap seperti itu, aku duga KiaiKamaludiningrat akan menjawab dengan nada keras”. (SangPencerah: 2010 :83).

Perdebatan Kiai Noor dengan Darwis berlanjut di rumah.

Kiai Noor berbicara dengan suara yang tegas kepada Darwis jika

upacara nyadran hanya diisi dengan bacaan doa-doa maka orang-

orang tidak akan datang ke Masjid Gedhe.

"Dan kini perdebatan di antara anggota keluargaku benar-benar terjadi setelah Mas Noor juga ikut angkat bicara.“Kalo untuk soal sedekah itu tidak usah khawatir, Wis.Masjid Gedhe selalu melakukan pemberian sedekah setiaphari Jumat sehingga umat Islam mendadak jadi banyakterlihat pada hari itu." Nada suara Mas Noor tegas sepertibiasa. "Kalau nyadran ini isinya hanya membaca doa-doasaja, dan tidak ada orang yang mau datang berdoa, lantassiapa yang mau bertanggung jawab? Dan bagaimana kitamenjelaskannya kepada Ngarsa Dalem?” (Sang Pencerah,2010 “ 84).

2) Masalah Perjodohan

Pada zaman dahulu perjodohan sering dilakukan apalagi

dalam masyarakat Jawa, seperti halnya orang tua Walidah yang

menjodohkan Walidah dengan Darwis.

"Bapak dan Ibu sudah perhatikan selama ini, Darwis adalahcalon suami yang sangat tepat untukmu. Pengetahuanagamanya bagus, Bahasa Arabnya lancar, pintar,perilakunya juga alim tidak seperti orang-orang didikanBelanda yang pintar tapi melupakan agama, dan yang takkalah penting, keluarganya juga sangat alim dan dihormatimasyarakat. Bapak yakin dunia akhirat bahwa Darwis akanbisa membawa kehidupan keluarga kalian nanti menjadi

50

keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, dia akanmenjadi imam yang baik bagimu, pelindung yangbertanggung jawab, dan membimbingmu sebagi muslimahyang akan lebih salihah dalam menjalani hidup.” (SangPencerah, 2010 : 110)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa K.H. Muhammad

Fadil sangat ingin menjodohkan Walidah dengan Darwis karena

beliau yakin jika menikah dengan Darwis kehidupan keluarga

Walidah akan bahagia karena Darwis adalah sosok calon imam

yang baik.

"Alhamdulillah. Kalau begitu Bapak tinggal membicarakanhal ini dengan Kiai Abu Bakar supaya semua persiapanpernikahan bisa berjalan berjalan lancar. Semoga Allahridha dengan pilihan ini, Idah.”(Sang Pencerah, 2010 : 111)

3) Masalah Kerusuhan/Pengrusakan

Setelah Kiai Dahlan diperingatkan oleh marbut Masjid

Gedhe agar menutup langgarnya, namun beliau tetap tidak akan

menutup langgar kidul dan akhirnya langgar kidul dihancurkan

oleh rombongan kuli suruhan Kiai Kamaludiningrat. Saat itu Kyai

Dahlan yang sedang berada di rumah langsung bergegas menuju

Langgar kidul karena mendengar suara tahlil yang keras.

“Lamat-lamat kudengar suara tadarus para santri ituberubah menjadi suara tahlil yang semakin keras danberirama."Laa ilaaha illallah, laailaah illallah, laa ilaahaillallah . . . " Dan jarak suara itu terdengar semakin dekat.Aku tersentak, ini sudah bukan suara tadarus lagi yangkudengar dalam bayangan, melainan suara sekumpulanorang yang sedang berjalan di luar, membelah kegelapanmalam.” “Laa ilaaha illalahh . . . .”(Sang Pencerah, 2010 :241).

51

Orang-orang suruhan Kyai Kamaludin langsung

mengayunkan alat yang berada di tangan mereka masing-masing

untuk menghancurkan Langgar Kidul.

"Orang-orang itu pun langsung mengayunkan linggis,cangkul, martil dan apa pun peralatan yang mereka bawa kedinding langgar kidul. Benturan benda padat yang bertalu-talu di tengah malam itu menimbulkan efek magis anehyang belum pernah didengar warga sebelumnya. Serpihankayu yang pecah akibat dilinggis mulai beterbangan. Satupersatu bagian tembok runtuh, menimbulkan luka yangsemakin besar di hati para santri. Daniel, Hisyam, Sangidudan para santri lain mulai menangis, kecuali Jazuli yangmelihat dengan tatapan benci tapi tak bisa berbuat apa-apakarena para pekerja itu dikawal oleh beberapa orang polisiBelanda.”(Sang Pencerah, 2010 : 245).

4) Masalah Fitnah

Dalam kehidupannya, Kiai Dahlan secara terang-terangan

dituduh sebagai Kiai Kafir oleh warga dan orang-orang yang tidak

menyukai Kiai Dahlan.

"Iya, Mas." kata Sangidu sambil mengangguk-anggukkankepalanya. Beberapa langkah kemudian terdengar teriakan-teriakan mengejek dari sejumlah orang di belakang kami."Lihat itu Kiai kafir! Kiai kafir! Kiai kafir!” ujar merekasambil memukul rebana sehingga teriakan itu terdengarseperti sebuah tembang." (Sang Pencerah, 2010 : 360)

Ibu Hisyam mengatakan kepada Sudja untuk apa dia

mengaji kepada kiai yang perilaku kesehariannya menyerupai

orang kafir.

"Nak Sudja, ndak perlu pinter-pinter amat ngaji buat tahubahwa kalau ada orang sehari-harinya menyerupai orangkafir, berpakain seperti orang kafir, dan hidup dengan caraorang kafir, maka orang itu adalah bagian dari orang-orangkafir.” (Sang Pencerah, 2010 : 368).

52

Saat itu kiai Dahlan kedatangan tamu seorang kiai dari

Magelang yang juga secara tidak langsung menunjuk kepada Kiai

Dahlan bahwa apa yang dikatakan orang-orang tentang Kiai

Dahlan yang menyebutnya kiai kafir adalah benar.

"Kalau memang Kiai tahu arti nama itu, kenapa Kiaimenggunakan perlengkapan kafir dalam menjalankansekolah ini?” suaranya dalam nada tinggi. "Baru sekali inisaya melihat ada madrasah yang dibikin seperti sekolahorang-orang kafir!” (Sang Pencerah, 2010 : 394).

5) Masalah Sosial

Kiai Dahlan adalah orang yang mempunyai jiwa sosial yang

tinggi. Hal ini terlihat saat beliau membagi-bagikan makanan dan

pakaian kepada orang miskin di sekitar Alun-Alun Utara dan juga

membuka pengobatan di rumahnya.

"Keesokan harinya aku mengunjungi Alun-Alun Utaraditemani Siraj, Fakhrudin, Hisyam, Sudja, dan Dirjo untukmembagi-bagikan makanan dan pakaian kepada orangmiskin. Sudja melihat seorang anak kecil pengemis yangsedang sakit dan tidur melingkar.”"Ini ada pakaian dan makanan, buat ibu dan anak ibu. Kalaubisa nanti sore datang ke Kauman, langgar kidul. Saya akankasih obat.” (Sang Pencerah, 2010:399).

6) Masalah Kesalahpahaman

Kesalahpahaman terjadi pada saat surat perizinan

perkumpulan Muhammadiyah sampai di tangan Kiai Penghulu.

Pada saat itu Kiai Penghulu menolak perizinan pendirian

Muhammadiyah dengan alasan Kiai Dahlan akan menggeser

kedudukan Kiai Penghulu sebagai residen.

53

"Baiklah saya bacakan isinya," ujar Kiai Penghulu sambilmembuka isi surat dan membacanya keras-keras. Ketikasampai pada bagian tempat namaku tertulis, Kiai Penghulumembaca lebih keras lagi. Katanya,"Di sini tertulis bahwaKiai Ahmad Dahlan akan menjadi resident," Kiai Penghuluberhenti sejenak membaca dan memperhatikan kalimat itu,"Benar, memang di sini tertulis residen." ujar Kiai Penghulusambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Nafas Kiai Penghulu langsung naik turun dengan cepat,wajahnya memerah, suaranya bergetar karena amarah.”(Sang Pencerah, 2010 :426).

Kiai Penghulu berkata kepada Rykbestur seandainya Kiai

Dahlan menjadi seorang Resident beliau akan membahayakan

posisi Kiai Penghulu yang selama ini menjadi Kiai Penghulu

Masjid Gedhe.

"Begini, Pak Rykbestuur,” ujar Kiai Penghulu.” KiaiDahlan itu pernah diangkat Sri Sultan sebagai Khatib AminMasjid Gedhe Kauman. Lalu, atas keinginan sendirimengundurkan diri beberapa tahun lalu. Sekarang dia inginmenjadi Resident Muhammadiyah, berarti Kiai Dahlantidak hanya ingin menguasai umat Islam Muhammadiyah,tapi juga umat Islam Kauman dan semua yang bermukim diKaresidenan Yogyakarta. Lalu, bagaimana jika nanti orang-orang Kauman tidak mau menuruti saya lagi sebagai HoofdPenghulu, sebagai Kiai Penghulu Masjid Gedhe? Ini bukanhanya berbahaya bagi umat Islam, tapi juga bagi KesultananNgayogyakarta Hadiningrat,” (Sang pencerah, 2010 : 442).

Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya

merupakan proses penggabungan masalah dan menilai masalah

yang terdapat dalam novel. Kiai Dahlan merupakan tokoh utama

yang sering memunculkan konflik dengan tokoh lain. Di antaranya

masalah perbedaan pendapat, perjodohan, perusakan/ kerusuhan,

sosial, dan kesalahpahaman.

54

Berdasarkan paparan peristiwa di atas, dapat disimpulkan

bahwa tema dalam novel Sang Pencerah adalah perjuangan Kiai

Dahlan dalam memurnikan ajaran Islam dari unsur bidah dan

perjuangan mendirikan Muhammadiyah.

b. Tokoh dan Penokohan

1) Tokoh

Jenis tokoh yang terdapat dalam novel Sang Pencerah yaitu

sebagai berikut:

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery

Basral adalah K.H. Ahmad Dahlan karena tokoh K.H. Ahmad

Dahlan muncul di setiap cerita, kemunculannya memegang

peranan yang penting dan mempengaruhi alur cerita, juga

berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Sosok Kiai Ahmad

Dahlan sebagai tokoh utama cerita disebutkan dalam setiap

episode cerita.

Tokoh tambahan dalam novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral lebih banyak dibandingkan dengan tokoh

utama. Beberapa di antaranya adalah Sri Sultan

Hamengkubuwono VII, Kiai Penghulu Kamaludiningrat, Kiai

Haji Abu Bakar, Pono, Kiai Hamid, Kiai Haji Muhammad

Saleh, Kiai Noor, Nyai Walidah (Isteri Kiai Ahmad Dahlan),

55

Kiai Sholeh Darat, Syaikh Ahmad Al-Minangkabawi, Kiai

Fadlil, Danil dan Jazuli, Dr. wahidin, Sudja, Joyosumarto.

b) Tokoh protagonis dan tokoh antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi oleh

pembaca. Dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery

Basral tokoh protagonis di antaranya Sri Sultan

Hamengkubuwono VII, Nyai Walidah, Kiai Shaleh dan Nyai

Shaleh, Sudja, Sangidu, Hisyam, Kiai Abu Bakar, dan Kiai

Ibrahim, Kiai Sholeh Darat, Kiai Fadlil, Danil dan Jazuli, dan

dokter. Wahidin. Mereka sangat membantu dan mendukung apa

yang dicita-citakan tokoh utama yaitu K.H. Ahmad Dahlan.

Tokoh antagonis dalam novel Sang Pencerah

diantaranya Kiai Penghulu Kamaludiningrat, Kiai Noor dan

Nyai Noor, Kiai Muhsin karena mereka sering beroposisi

dengan Kiai Ahmad Dahlan.

2) Penokohan

a) Kiai Ahmad Dahlan (Darwis)

Secara analitik sosok Kiai Ahmad Dahlan (nama kecil

Muhammad Darwis) digambarkan bahwa Kiai Ahmad Dahlan

adalah anak dari Kiai Haji Abu Bakar. Kiai Abu bakar

merupakan keturunan ke-10 dari Syaikh Maulana Malik

Ibrahim, salah satu tokoh pembawa Islam di Tanah Jawa.

“Bapakku bukan cuma memiliki pengetahuan yangmendalam tentang agama Islam, tapi juga memiliki

56

wibawa khusus sebagai tokoh agama karena dia adalahketurunan ke-10 dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim,penyebar agama Islam di Gresik pada abad ke-15,”

Sosok Kiai Abu Bakar dalam mendidik Kiai Ahmad

Dahlan sangat penting. Bapaknya merupakan salah tokoh yang

berpengaruh di Yogyakarta. Di dalam novel Sang Pencerah ini,

ia digambarkan sebagai pendiri organisasi kemasyarakatan

Muhammadiyah. Dikisahkan bahwa proses pendirian organisasi

Muhammadiyah tidaklah berjalan mulus, tetapi mendapatkan

penentangan dari berbagai kalangan, terutama dari kiai-kiai

seniornya hingga masyarakat di sekelilingnya. Namun

dukungan kuat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII

memudahkan pendirian organisasi tersebut.

Penentangan terhadap langkah-langkah dakwah yang

dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan misalnya tergambar dari

kutipan di bawah ini:

“Terima kasih, Sinuwun. Tapi pemikiran sayatampaknya tidak dibutuhkan di Kauman, terlalu banyakyang tidak setuju dibandingkan dengan yang sepakat.”(Sang Pencerah, 2010:293)

Dari kutipan di atas digambarkan secara dramatik

rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh Kiai Dahlan di

dalam menjalankan dakwah pembaruannya di Kauman.

Berbeda dengan masyarakat Kauman pada umumnya, Sri

Sultan Hamengkubuwono mendukung pemikiran-pemikiran

Kiai Ahmad Dahlan.

57

b) Sri Sultan Hamengkubuwono VII

Dalam novel Sang Pencerah ini tokoh Sri Sultan

Hamengkubuwono VII memiliki peran besar dalam membantu

tokoh utama (Kiai Ahmad Dahlan) dalam mewujudkan cita-

citanya untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah. Sejak

awal, Sri Sultan Hamengkubuwono VII sebagai pemimpin

Keraton Yogyakarta mendukung pemikiran dan perjuangan

Kiai Ahmad Dahlan.

Peran Sri Sultan Hamengkubuwono dalam mendukung

perjuangan Kiai Ahmad Dahlan misalnya ditunjukkan dalam

kutipan di bawah ini:

“Pergilah berhaji lagi Kiai Dahlan. Keraton yang akanmembiayai. Perdalam lagi ilmu agama sekaligusmenjalin hubungan dengan para ulama pembaru dariMesir, Syiria, Madinah, dan tempat-tempat lain. Sayadengan Kiai berhubungan cukup dekat dengan paraSyaikh dari kalangan pembaru seperti Syaikh JamaluddinAl-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh?” (SangPencerah, 2010: 4)

Dari kutipan di atas jelas terlihat secara dramatik bahwa

Sri Sultan Hamengkubuwono VII mendukung terhadap

perjuangan Kiai Dahlan cukup berarti. Hal tersebut juga

menyentuh secara emosi terhadap diri Kiai Dahlan.

c) Kiai Penghulu Khalil Kamaludiningrat

Kiai Penghulu Kamaludiningrat merupakan salah satu

dari Kiai yang cukup berpengaruh di jajaran kiai-kiai di

58

Kesultanan Yogyakarta. Kiai Penghulu Kamaludiningrat

dikenal tegas dalam membimbing santri-santrinya. Kiai

Penghulu Kamaludiningrat memiliki sejumlah santri di masjid

Gedhe Kauman. Kegiatan mengajar telah menjadi rutinitasnya

setiap hari. Suara anak perempuan yang mengaji pada Kiai

Penghulu harus tetap keras dan jelas karena beliau sangat peka

terhadap bacaan Alquran. Kiai Penghulu secara analitik

digambarkan seperti pada kutipan berikut:

“Suara mereka tak bisa melunak meski hanya untukseperseratus detik karena telinga Kiai Haji PenghuluKholil Kamaludiningrat yang memimpin pengajian itusangat peka.” (Sang Pencerah, 2010:6)

Memimpin pengajian telah menjadi rutinitas bagi Kiai

Kamaludiningrat. Ia tidak segan-segan memarahi santri yang

main-main ketika membaca ayat-ayat Alquran. Sosoknya yang

tegas ditakuti oleh para santri, baik laki-laki maupun

perempuan.

Kiai Penghulu juga memegang peranan penting di

dalam kepemimpinan Masjid Gedhe Kauman. Ia bertanggung

jawab terhadap operasional masjid secara keseluruhan. Ia juga

memimpin ketika diadakan rapat-rapat mengenai kebijakan

penting menyangkut masjid, seperti kutipan berikut:

“Rapat bulanan pengurus Masjid Gedhe berlangsung diserambi masjid dan dipimpin langsung oleh KiaiPenghulu Kamuludiningrat. Sepanjang pengalamankumengikuti rapat-rapat takmir di sini, inilah rapat yang

59

cukup besar dari segi jumlah beserta.” (Sang Pencerah,2010:82).

d) PonoPono merupakan teman Darwis. Semasa kecil hampir

setiap hari Darwis dan Pono bersama-sama dalam mencari ilmu

dan mencari guru baru. Pono menjadi teman diskusi sekaligus

mencurahkan kegelisahan Darwis tentang perilaku masyarakat

yang ia anggap janggal dan bertentangan dengan Islam, seperti

kutipan berikut ini:

“Aku mau meneruskan kerja bapakku saja, No (Pono).Aku suka bingung melihat warga yang pada salat danmengaji tapi rajin sesajen di kuburan.” (Sang Pencerah,2010:45).

Pono dan Darwis tidak bisa berbuat banyak dalam

mengubah perilaku masyarakat yang demikian. Bahkan untuk

biaya hidupnya ia bergantung pada pinjaman yang berbau riba.

Ibu Pono sering meminjam uang kepada rentenir, seperti

digambarkan Pono berikut ini:

“Wajah riang Pono langsung berubah sedih. “Iya Wis,ibuku pinjam uang dari Mak Odah. Nantimengembalikannya harus lebih banyak dari jumlahpinjaman.” (Sang Pencerah, 2010:45).

Pertemanan Pono dengan Darwis berlanjut hingga

Darwis memutuskan untuk menuntut ilmu ke Makkah yang

mengantarkan Darwis menjadi pemuda yang kokoh dalam

pendiriannya.

60

e) Kiai Abdul Hamid

Secara dramatik Kiai Hamid digambarkan bahwa ia

merupakan salah satu guru dari Kiai Dahlan. Sebagai guru,

pemikiran-pemikirannya juga turut mempengaruhi pemikiran

Kiai Dahlan.

“Kiai Abdul Hamid mengambil kitab fiqih di depanku.Dia mengangkatnya dna mengayunkannya perlahan-lahan. “seluruh isi kitab ini, ya seluruh isi kitab ini, jikakita pelajari dan hayati secara benar, maknanya cumasatu yang baru saja kamu perhatikan itu, Darwis.Menyantuni anak yatim.” (Sang Pencerah, 2010:67).

f) Kiai Haji Muhammad Saleh dan Nyai Shaleh

Kiai Haji Muhammad Saleh merupakan sosok yang

alim. Selain sebagai keluarga (kakak ipar Kiai Dahlan), ia juga

menjadi guru yang menguasai Bahasa Arab. Secara analitik

penokohan Kiai Haji Muhammad Saleh terlihat pada kutipan

berikut

“Setelah acara ruwatan selesai, aku pergi ke rumahkakak iparku Kiai Haji Muhammad Saleh untuk belajarbahasa Arab. Menurut Bapak, kakak iparku itu adalahsalah seorang kiai yang bahasa Arabnya sangat baikbukan hanya di Kauman, tapi juga di seluruhKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.” (SangPencerah, 2010:74).

Kiai Shaleh dan Nyai Shaleh juga berperan dalam

mengembalikan moral Kiai Dahlan dalam mengajar dan

berdakwah. Ketika Kiai Dahlan memutuskan untuk pindah ke

Semarang, Kiai Shaleh datang dan menjanjikan untuk

membantu jalan dakwah dengan cara membantu membangun

61

kembali Langgar Kiai Dahlan yang terlihat secara dramatik

dalam kutipan di bawah ini:

“Langgarmu bisa dibangun lagi Dahlan. Nanti Kangmasyang bangun,” (Sang Pencerah, 2010:74).

g) Kiai Noor

Kiai Noor merupakan satu dari beberapa Kiai yang ada

di Kesultanan Ngayogyakarta yang juga disegani. Sikapnya

yang tegas terkadang membuat Ahmad Dahlan terpokok ketika

bercengkrama dengannya. Kiai Noor juga mengajar beberapa

disiplin ilmu, termasuk Darwis pernah menimba ilmu

kepadanya.

“Pada suatu hari, aku mengikuti pengajian Mas Noorbersama empat orang santri muda lainnya. Dari limaorang murid Mas ini, aku paling bersih meski warnakulitku sendiri sawo matang” (Sang Pencerah, 2010:78).

Kiai Noor memiliki pandangan yang cukup berbeda

dengan para kiai lainnya dalam menyikapi perbedaan terutama

dalam menyangkut perbedaan pemikiran yang berasal dari

orang Barat. Pandangan tersebut juga terlihat dari cara

menyikapi hal-hal yang berbau orang Barat, misalnya terlihat

dalam kutipan berikut:

“Siapa yang bisa melawan Belanda?” jawab Mas Noor.“Para panglima perang Pangeran Diponegoro yangsemanya ulama saja akhirnya pada bubar, dibuat terceraiberai…” (Sang Pencerah, 2010:79).

Pandangan kerasnya terhadap pemikiran yang

berpengaruh juga ditunjukkan dalam penggambaran sosok Kiai

62

Noor oleh Kiai Ahmad Dahlan yang secara analitik terlihat

dalam kutipan berikut:

“Kedua kiai ini memang memiliki sikap tegas, dan seringbicara terus terang tanpa banyak basa basi. Namunketegasan Mas Noor kurasakan lebih sering diarahkantentang bagaimana umat Islam harus menghadapi kaumBarat. Jika menyangkut keadaan di dunia Muslimsendiri, Mas Noor terasa lebih waspada terhadap padapemikir muda Islam yang menginginkan perubahandalam cara berfikir umat” (Sang Pencerah, 2010:150).

h) Nyai Walidah

Nyai Walidah adalah istri dari Kiai Ahmad Dahlan.

Hidupnya diabdikan untuk menemani hari-hari suaminya dalam

menjalankan dakwah, sejak merintis hingga berhasil

membentuk organisasi besar yaitu Muhammadiyah.

“Namaku Siti Walidah binti Muhammad Fadlil. Ya,orangtuaku adalah Kiai Haji Muhammad fadlil, kiai yangjuga dikenal sebagai pedagang kain batik. Ibukudipanggil orang-orang Nyai Fadlil” (Sang Pencerah,2010:93).

Secara dramatik Walidah digambarkan sebagai sosok

yang setia dan penyabar dalam menghadapi penentangan

masyarakat terhadap langkah-langkah dakwah suaminya. Ia

juga sosok perempuan yang cerdas dalam memberikan

pertimbangan-pertimbangan suaminya dalam mengambil

keputusan tertentu. Bahkan ketika menghadapi kakaknya

sendiri Kiai Noor ketika menuduh Kiai Dahlan melenceng jauh

dari ajaran Islam. Menurut Walidah.

63

“Saya percaya Mas Dahlan punya alasan yang sangatkuat atas segala perbuatan dan ucapannya. Dia orangyang sangat hati-hati. Kita sudah tahu bagaimana MasDahlan sejak kecil. Behkan sebelum aku lahir, Mas Noorsudah lebih dulu tahu dan mengenali baik MasDahlan…” (Sang Pencerah, 2010:238).

i) Kiai Sholeh Darat

Kiai Sholeh Darat adalah salah satu kiai yang alim.

Karyanya telah mempengaruhi sebagian ulama Indonesia yang

pernah belajar dengannya. Kiai Sholeh Darat juga dikenal

sebagai seorang penulis. Beberapa hasil karyanya adalah kitab

Faid Ar-Rahman, Majmu’ah As-Syariah al-Kafiyah li Al-

Awam. Secara analitik, penggambaran tokoh Kiai sholeh Darat

terlihat dalam kutipan berikut:

“…beliau adalah seorang penulis produktif. Selainmenulis kitab Faid Ar-Rahman, Kiai menulis sejumlahkarya lain seperti Majmu’ah As-Syariah al-Kafiyah li Al-Awam…” (Sang Pencerah, 2010:129).

j) Daniel dan Jazuli

Daniel dan Jazuli adalah dua saudara kakak beradik

yang diterima sebagai santri oleh Kiai Dahlan setelah mengisi

khotbah di Masjid Gedhe. Kedua kakak beradik bersaudara ini

memutuskan untuk menjadi santri Kiai Dahlan karena di tempat

nyantri lamanya ia merasa tidak senang, dan akhirnya keluar. Ia

memutuskan untuk menimba ilmu di Langgar Kidul milik Kiai

Dahlan.

“Kedua kakak beradik itu bertatapan dengan ekspresipuas. “Terima kasih Kiai, “Tutur Daniel sambil

64

mencium tanganku, diikuti adiknya Jazuli melakukanhal yang sama. Aku mengangguh. “jangan lupa ajakteman-teman kalian yang lain.” (Sang Pencerah,2010:178).

Penggambaran watak tokoh Jazuli secara dramatik

tampak jelas bahwa ia merupakan anak yang suka bertanya

tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama, bahkan ia tidak

segan-segan mempertanyakan agama, seperti ketika bertanya

kepada Kiai Dahlan.

“Yang disebut agama itu sebenarnya apa?”, TanyaJazuli tanpa tedeng aling-aling. Pertanyaan ini tidaklazim ditanyakan dan tidak akan dijawab oleh kiaitradisional. “Sekarang aku mengerti, mengapa Jazulitidak betah di Pesantren lamanya. Jika dia menyakanhal-hal seperti ini kepada para guru agama dan kiai yangkolot, jawaban yang akan dia terima hanyalah deretankemarahan dari sang guru” (Sang Pencerah, 2010: 182).

k) Dirjo

Secara analitik watak Dirjo digambarkan bahwa ia

adalah anak yang berani dalam mengambil tindakan yang

dianggapnya benar. Dirjolah sosok yang berani membuat

goresan penanda saf di masjid Gedhe Kauman yang membuat

marah Kiai Penghulu.

“Tiba-tiba terdengar suara keras. “saya yang melakukanPakde!” aku melihat kea rah datangnya suara. Dirjo!Keponakan Kiai Penghulu itu mengangkat tangannyatinggi-tinggi. “aku yang meminta kawan-kawanku untukmembuat saf baru itu” (Sang Pencerah, 2010:222).

65

l) Kiai Ibrahim

Sosok Kiai Ibrahim adalah kiai sepuh mantan Kiai

Penghulu di Masjid Gedhe yang saat ini ditempati oleh Kiai

Penghulu Kamaludiningrat. Ia digambarkan sebagai

pengangkat modal Kiai Dahlan setelah peristiwa pembakaran

Langgar Kidul. Ia membantu pendirian kembali Langgar Kidul

dengan membantu materi yaitu uang.

“Ini juga uangku untukmu Dahlan,” sambung KiaiIbrahim tiba-tiba. “Jumlahnya tidak banyak tapi untukmenenangkanmu bahwa keluarga selalu mendukungmu”(Sang Pencerah, 2010:263).

m) Dokter Wahidin Sudirohusodo

Dokter Wahidin adalah seorang dokter yang memiliki

pandangan luas dan pintar. Ia resah dengan kondisi masyarakat

Jawa, kemudian ia memutuskan untuk membuat majalah

Retnadoemilah yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu

(Sang Pencerah, 2010:303).

c. Alur

Menurut Sudjiman (1988: 30), struktur alur dapat dibagi

menjadi tiga bagian sebagai berikut:

1) Awal

Awal alur cerita dimulai dari paparan (exposition),

rangsangan (inciting moment), yang merupakan bagian alur yang

mengarah pada terjadinya tindakan awal sang tokoh. Kemudian,

66

alur cerita dilanjutkan dengan gawatan (rising action), yang

merupakan bagian dari alur yang menunjukkan gerak menanjak

masalah.

(a) Paparan (exposition)

Tahap paparan diceritakan kehidupan masyarakat

Kauman yang hampir setiap harinya mempunyai aktivitas

yang sama. Setiap harinya anak-anak perempuan mengaji,

sedangkan anak laki-laki asik bermain bola.

“Waktu bergerak ajek di Kauman, dengan pola yangsama dari hari ke hari, dengan perincian peristiwahampir serupa dari waktu ke waktu. Seperti saat inimisalnya, ketika suara anak-anak perempuan yangmembaca kitab suci Alquran datang dari satu sisi,sedangkan sorak tawa, teriak girang, kadang-kadangbercampur makian kemarahan spontan anak-anaklelaki datang dari sisi lain” (Sang Pencerah, 2010: 6).

(b) Rangsangan (inciting moment)

Tahap rangsangan digambarkan pada permasalahan-

permasalahan yang terjadi pada Darwis. Pada tahap ini dimulai

ketika Darwis mendapati tradisi yang dianggapnya menyalahi

ketentuan-ketentuan agama.

Darwis (nama kecil Kiai Dahlan) adalah anak tokoh

besar Kiai Abu Bakar yang dikenal alim di antara para kiai di

Kasultanan Yogyakarta. Darwis kecil dihadapkan pada

realitas masyarat tradisional di sisi yang satu dan realitas

penjajahan di sisi yang lain. Sebagai masyarakat yang

bercorak tradisional, banyak perilaku masyarakat seperti

67

yasinan untuk orang meninggal, sesajen, nyadran dan

ruwatan, dan praktik riba yang digugat dan turut menjadi

tanya di kepala Darwis.

“Dalam perjalanan pulang, pertanyaan soal ruwatan dikepalaku bukannya padam, malahan makin berkobar.Mengapa ruwatan ini begini perlu? Kalaupunmemang sangat perlu, apakah harga-harga barangyang mahal dan memberatkan masyarakat sepertidisebutkan anggota takmir muda itu tidak bisadijadikan pertimbangan dalam melakukan ruwatan?”(Sang Pencerah, 2010: 71).

Darwis berpikir keras untuk mencari jawaban atas

kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di sekitar masyarakat

Kauman. Namun, posisi orang tuanya (Kiai Abu Bakar)

sebagai Imam dan Khatib Masjid Gedhe Kauman juga cukup

membantu proses pendewasaan Darwis. Sebagai anak kiai

besar, Darwis memiliki banyak kesempatan untuk

berinteraksi dengan kalangan kiai-kiai lainnya. Dalam

interaksinya dengan kiai-kiai tersebut semakin banyak hal

yang mengganggu pikiran Darwis mengenai cara berislam

mereka.

Dalam perjalanannya, Darwis bertemu dengan

beberapa orang Kiai, antara lain: pertama, Kiai Abdul Hamid

Lempuyangan yang dikaguminya karena kebiasaannya

memberikan makan anak-anak yatim piatu. Sebagai anak

yang kritis, di dalam kepala Darwis timbul pertanyaaan,

mengapa Kiai Hamid memiliki kebiasaan tersebut. Namun,

68

melalui penjelasan yang singkat dari Kiai Hamid, Darwis

merasa puas dengan jawaban dari pertanyaan yang dia

simpan sendiri.

(c) Gawatan (rising action)

Setelah tahap rangsangan (inciting moment) kemudian

dilanjutkan dengan tahap gawatan (rising action) merupakan

bagian dari alur yang menunjukkan gerak menanjak masalah.

Tahapan ini menunjukkan pertemuan Kiai Dahlan dengan Kiai

Noor yang tidak lain adalah keluarganya sendiri. Kiai Noor

banyak memberikan pelajaran tentang sejarah penjajahan

Belanda di wilayah Nusantara. Informasi tersebut menjadi

bekal bagi Kiai Dahlan dalam mendirikan organisasi

Muhammadiyah (Sang Pencerah, 2010:205-206).

2) Tengah

(a) Tikaian (confict)

Tahap tikaian (confict) menggambarkan perbedaan sikap,

keinginan, dan pandangan masalah para tokoh. Pada tahap ini

digambarkan pada saat Darwis mendapati tradisi-tradisi yang ada

pada masyarakat. Tradisi ruwatan dan sesajen merupakan

tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat dan dilestarikan

oleh para kiai-kiai termasuk yang difasilitasi oleh pengurus

Masjid Gedhe Kauman. Tradisi tersebut turut menambah

deretan pertanyaan yang menumpuk di kepala Darwis.

69

Menurutnya, tradisi semacam itu hanya membuang-buang

uang.

“Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak.Tidak perlu dengan upacara berlebihan apalagidengan memberikan sesajen”. Aku memantapkanhatiku dalam memberikan jawaban sambil tetapberusaha menjaga kesantunan. “uang pembuatansesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagifakir miskin sehingga hasilnya juga akan lebih jelas”(Sang Pencerah, 2010: 84).

Gugatan Darwis tersebut dikemukakan di depan rapat

akbar tahunan menjelang datangnya bulan Ramadhan yang

dihadiri oleh para kiai besar, seperti Kiai Abu Bakar dan Kiai

Penghulu Khalil Kamaludiningrat. Mendengar komentar

Darwis, beberapa orang Kiai berkomentar sinis, termasuk di

antaranya adalah Kiai Noor dan Kiai Kamaludiningrat.

Diskusi tersebut tidak selesai begitu saja, Kiai Abu

Bakar yang tidak lain adalah orang tua Darwis, menyimpan

amarah dan mengungkapkannya ketika sampai di rumahnya.

Debat pun tidak dapat dihindarkan. Kiai Abu Bakar juga

menghardik Darwis yang menganggap sebagai anak yang

memalukan. Sementara itu, Darwis bertahan dengan

pendapatnya dalam menyikapi tradisi Nyadran dan Ruwatan.

Kiai Abu Bakar menyarankan agar Darwis tidak hanya

menggunakan akalnya dalam mengemukakan pendapat

menyangkut agama, tetapi juga menggunakan hati. Kemudian

70

ia menyarankan untuk lebih berhati-hati dalam menanyakan

hal-hal yang sensitif.

(b) Rumitan

Tahap rumitan (complication) menunjukkan tikaian

yang semakin tajam dan rumit. Setelah kepulangannya dari

Makkah, Kiai Dahlan yang telah menimba berbagai ilmu

termasuk ilmu falak dan hisab mencoba untuk memeriksa

arah kiblat yang ada di tanah Jawa termasuk di masjid Gedhe

Kauman. Dari pemeriksaannya, diketahui bahwa beberapa

masjid di Jawa arah kiblatnya melenceng dan tidak

menghadap kiblat, melainkan menghadap persis ke arah barat

tepatnya ke negara Mekah.

Kegelisahannya tersebut mula-mula dikemukakan

kepada Kiai Saleh. Dalam sebuah pembicaraan serius

tersebut, Kiai Dahlan mengemukakan pendapatnya mengenai

arah kiblat masjid-masjid yang ada di Jawa termasuk Masjid

Gedhe Kauman yang salah. Sebagai sesama orang yang

pernah belajar ilmu falaq, Kiai Shaleh menerima masukan

dari Kiai Dahlan dan mengemukakan pendapatnya untuk

mempertemukan dengan Kiai Noor. Pertemuannya dengan

Kiai Noor membuat perdebatan yang cukup sengit.

Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk merapatkan

dengan kiai-kiai lainnya sesuai dengan tawaran Kiai Noor.

71

“Dan kamu juga harus siap jika dalam pembicaraannanti ternyata para kiai, umpamanya menolak usulanDimas untuk mengubah arah salat ini. Sebab bisa sajaperhitungan Dimas ini benar secara akal untuk arahkiblat, tapi para kiai punya pertimbangan lain yanglebih luas daripada sekadar kompas” (Sang Pencerah,2010: 204).

Dalam rapat yang dihadiri oleh kiai-kiai besar

tersebut, Kiai Dahlan mengemukakan temuannya mengenai

arah kiblat yang dianggap melenceng. Hadir dalam rapat

tersebut adalah kiai-kiai yang ahli ilmu falaq, yaitu Kiai Haji

Raden Dahlan dari Termas, Pacitan, dan Sayid Usman Al-

Habsyi yang tinggal di Batavia.

Selesai presentasi, Kiai Siraj mengutarakan

pandangannya. Ia mengatakan

“Maaf Kiai Dahlan. Kiblat itu bukan soal arah, tapisoal kalbu,” “Allah Jumeneng tidak diukur letaknyaberdasarkan arah, karena Allah berada di dalam kalbuumat” (Sang Pencerah, 2010:206).

Pendapat Kiai Siraj tersebut disetujui oleh kiai yang

hadir seperti Kiai Muhammad Faqih. Walaupun pertanyaan-

pertanyaan tersebut telah dijawab dengan menunjukkan peta

dunia, tidak semua puas dengan jawaban Kiai Dahlan, seperti

Kiai Abdullah dari Blawong yang mempertanyakan hal yang

sama, “Kalau begitu, mengapa saat ini semua masjid di

Nusantara ini memiliki arah kiblat ke arah Barat Kiai

Dahlan?”

72

Pertanyaan senada juga diutarakan oleh Kiai

Penghulu Kamaludiningrat yang mengatakan sebagai berikut:

“Maaf Kiai Dahlan, saya masih yakin bahwa NgarsaDalem Sri Sultan Hamengkubuwono I yangmemerintahkan pembangunan Masjid Gedhe ini tidakceroboh soal arah kiblat. Beliau pasti sudah banyakberkonsultasi dengan para kiai terdahulu yang jugamengerti ilmu falaq dan hisab, serta tidak asal-asalanmembangun posisi masjid tanpa perhitungan” (SangPencerah, 2010: 211).

(c) Klimaks

Pada tahap klimaks (climax) menunjukkan ketajaman

konflik yang dihadapi para tokoh. Diskusi mengenai arah

kiblat tersebut menimbulkan persoalan di kemudian hari. Kiai

Dahlan merasakan adanya perubahan pada sikap Kiai Noor

dan Kiai Muhsin terhadap dirinya. Ia merasa usulannya telah

menjadi penyebab perubahan sikap mereka.

Perselisihan memuncak ketika Kiai Penghulu

Kamaludiningrat melihat adanya penanda arah kiblat yang

ditulis dengan kapur. Kiai Penghulu marah besar melihat

adanya tanda tersebut dan tuduhannya mengarah pada pihak

Kiai Dahlan. Kemudian, ia memerintahkan marbut untuk

memanggil Kiai Dahlan. Dalam pertemuan itu juga

disaksikan oleh beberapa orang murid Kiai Dahlan dan Kiai

Penghulu yang biasa mengaji di Masjid tersebut.

“…lihat itu!” ujar kiai Kamaludiningrat dengan suarabergetar menunjuk kearah lantai. Sebuah garis safbaru dari kapur terlihat di atas lantai dengan posisi

73

miring 44” ke arah barat laut” (Sang Pencerah, 2010:215).

Di tengah kebingungan tersebut, tiba-tiba terdengar

suara keras yang mengaku sebagai pelaku. Dirjo, adalah

pelaku pembuat saf baru yang menyebabkan kemarahan Kiai

Kamaludiningrat. Mengetahui pelakunya adalah Dirjo yang

tak lain adalah keponakan Kiai Penghulu sendiri, ia kemudian

meminta maaf kepada Kiai Dahlan.

Kejadian perselisihan antara Kiai Dahlan dan Kiai

Penghulu Kamaludiningrat itu berakibat pada kepercayaan

jamaah. Hal tersebut terlihat dari menambahnya jamaah

tarawih di Langgar Kidul dan menurunnya jamaah tarawih

Masjid Gedhe. Beberapa anak-anak yang biasa berjamaah di

Masjid Gedhe pindah ke Langgar Kidul milik Kiai Dahlan,

bukan hanya karena bilangan rakaatnya lebih sedikit,

melainkan juga karena mungkin ada pertimbangna lainnya.

Bahkan, ada jamaah yang berasal dari luar Jogja menunaikan

salat tarawih di Langgar Kidul.

Hal tersebut membuat para pengikut Kiai Penghulu,

yaitu Kiai Noor menanyakan secara khusus kepada Kiai

Dahlan. Bahkan, ia sempat menuduh kalau Kiai Dahlan

mngajarkan untuk menjauhi Masjid Gedhe, walaupun hal

tersebut langsung ditepis oleh Kiai Dahlan. Berdasarkan

desas-desus yang diterima oleh Kiai Noor bahwa Kiai Dahlan

74

adalah Kiai kafir, maka dalam pertemuan tersebut Kiai Noor

menyarankan agar Kiai Dahlan mengubah caranya

berdakwah seperti umumnya Kiai Kauman.

Perselisihan tersebut berujung pada permintaan

pembongkaran Langgar Kidul oleh Kiai Penghulu

Kamaludiningrat. Kiai Kamaludiningrat mengirim surat

sebanyak dua kali kepada Kiai Dahlan dengan isi yang sama

yaitu perintah membongkar Langgar Kidul. Kiai Dahlan

menjawab surat dengan berpesan kepada pengantar surat

bahwa langgarnya tidak akan ditutup. Menyikapi sikap Kiai

Dahlan yang tetap dengan pendiriannya, dan setelah tiga kali

diperingatkan dan diancam, Kiai Kamaludiningrat

memerintahkan orang-orang suruhannya untuk membongkar

paksa Langgar Kidul.

Sekali lagi aku mengulang jawaban semalam.“sampaikan kepada kiai Penghulu bahwa langgar initidak akan saya tutup” (Sang Pencerah, 2010: 235).

Rombongan suruhan Kiai Penghulu mulai memasuki

halaman Langgar Kidul. Para santri yang sedang bertadarus

langsung berhenti saat salah satu orang suruhan Kiai

Penghulu mencari Kiai Dahlan.

Rombongan suruhan Kiai Penghulu memasukihalaman Langgar Kidul. Sayup-sayup suara tadarusmasih terdengar sebelum suara keras tiba-tibaterdengar menghentak.” Mana Kiai kafir itu!” (SangPencerah, 2010: 244).

75

Mereka kemudian langsung mengayunkan alat yang

mereka bawa ke dinding Langgar Kidul untuk dihancurkan.

Orang-orang itu pun langsung mengayunkan linggis,cangkul, martil, dan apapun peralatan yang merekabawa ke dinding (Sang Pencerah, 2010: 245).

3) Akhir

(a) Leraian (falling action)

Pada tahap leraian (falling action) menggambarkan

mulai cairnya kebekuan dan kekakuan sikap para tokoh yang

terjadi hingga klimaks. Pada tahap ini digambarkan setelah

pembongkaran Langgar Kidul Kiai Dahlan memutuskan untuk

pergi dari Kauman. Kaputusan pindah akhirnya diambil,

hingga datanglah Kiai Shaleh dan Nyai Shaleh yang meminta

Kiai Dahlan dan Nyai Walidah untuk membatalkan niatnya.

Dengan janji untuk membangun kembali Langgar Kidul,

akhirnya Kiai Dahlan benar-benar mengurungkan niatnya.

“Demi Allah Dahlan, cuma sekali ini mbakmemintamu,” kata Nyai Saleh kali ini dengan sangattegas. “Seorang pemimpin yang baik di mata Allahtidak akan pernah meninggalkan keluarga danumatnya, sebesar apaun kesulitan yang sedangdihadapinya (Sang Pencerah, 2010: 260).

Kiai Dahlan kembali membangun langgarnya berkat

bantuan Kiai Shaleh dan Kiai Ibrahim. Dukungan kedua

keluarganya terutama Kiai Ibrahim selaku mantan Kiai

Penghulu Masjid Gedhe telah mengangkat moral Kiai Dahlan

76

untuk melanjutkan dakwahnya dan mendirikan kembali

langgarnya.

“…..seperti sudah aku janjikan di kereta api tadi, akuakan membangun lagi Langgarmu.” Mas Saleh lalumengeluarkan kantong-kantongdan mneumpahkanseluruh isi kantong ke atas meja. “ini tabunganku,silakan kamu gunakan untuk membangun lagiLanggarmu secepatnya (Sang Pencerah, 2010: 262).

Setelah berdirinya Langgar Kidul tersebut, kiai Dahlan

kembali menjalankan aktifitasnya dalam memberikan

pengajian kepada santri-santrinya. Setelah kegiatan

pengajiannya berjalan lancar, Kiai Dahlan menemui Kiai

Penghulu yang dulu memerintahkan penghancuran Langgar

Kidul. Dalam pertemuannya tersebut, Kiai Dahlan

mengemukakan keinginannya untuk mundur dari jajaran

pengurus Masjid Gedhe Kauman.

(b) Selesaian (denaument)

Tahap selesaian (denaument) memberikan gambaran

nasib para tokoh terhadap penyelesaian. Pada tahap ini semua

konflik terselesaikan. Pada tahap ini digambarkan saat Kiai

Dahlan berkeinginan untuk membentuk suatu organisasi Islam.

Ide pembentukan organisasi yang beranggotakan orang Islam

sudah ada sebelum bergabungnya kiai Dahlan dengan Budi

Utomo, tetapi Kiai Dahlan belum mengetahui cara

mengaturnya. Ide itu kembali muncul setelah diskusi dengan

seorang anak yang menganjurkan untuk membuat suatu sistem

77

dalam lembaganya (di Langgar Kidul) agar kelak ketika

meninggal ada penerusnya.

Keinginan tersebut diutarakan dalam sebuah pertemuan

yang dihadiri oleh Sangidu, Hisyam, Fahrudin, Sudja, dan Siraj.

Terjadi diskusi di antara mereka soal nama. Akhirnya, usul

Fahrudin yang diterima adalah Muhammadiyah. Izin pendirian

organisasi Muhammadiyah segera dilayangkan kepada

Rykberstuur der Yogyakarta Patih Dalem Sri Sultan yang

ditandatangani oleh Kiai Dahlan selaku Presiden

Muhammadiyah. Sultan menyetujui usulan tersebut dan

menyarankan untuk tidak mengecilkan kedudukan Masjid

Gedhe Kauman.

“Kamu Du” ujarku sambil menatap Sangidu. Adiktiriku terlihat sedang memikirkan sesuatu sebelumsebaris kalimat meluncur dari mulutnya. “Kalau akuusulkan namanya Muhammadiyah” (Sang Pencerah,2010: 417).

Sri Sultan menyetujui pendirian Muhammadiyah dan

mendoakan semoga organisasi itu dapat mendatangkan manfaat

bagi umat Islam.

“Baiklah Kiai Dahlan. Semoga perkumpulan yangakan Kiai dirikan ini benar-benar mendatangkanmanfaat bagi umat Islam khususnya di Yogyakarta(Sang Pencerah, 2010, 424).

Sebagai organisasi Islam baru, biasanya dimintakan

persetujuan dari Kiai Penghulu Kholil Kamaludiningrat.

Diadakanlah suatu musyawarah di antara para kiai pengurus

78

Masjid Gedhe Kauman. Sempat terjadi salah paham

menyangkut isi surat Kiai Dahlan. Para Kiai tersebut, terutama

Kiai Penghulu memahami membaca Presiden dengan Residen.

Kesalahpahaman tersebut berujung pada penolakan organisasi

Muhammadiyah. Namun, setelah semuanya diluruskan barulah

dibolehkan izin pendirian Muhammadiyah.

d. Latar

1) Latar Tempat

Latar tempat yang digunakan dalam novel Sang Pencerah

cukup bervariasi dan mendukung nilai-nilai religius yang terdapat

dalam novel. Latar tempat yang digunakan dalam novel Sang

Pencerah adalah Serambi Masjid Gedhe, Masjidil Haram, Langgar

Lor, Langgar Kidul, Kweek School.

a) Di Serambi Masjid Gedhe

Pengarang menggambarkan secara utuh Serambi Masjid

Gedhe misalnya ada suara anak perempuan yang sedang

membaca Alquran di serambi Masjid Gedhe Kauman yang

selalu membawa keheningan. Lantunan ayat Alquran yang

dapat menyejukkan hati orang yang mendengarnya diibaratkan

seperti aliran sungai yang jernih, sedangkan anak lelaki

bermain bola di sekitar Serambi Masjid. Latar Serambi Masjid

Gedhe berhubungan dengan latar waktu yaitu anak-anak

mengaji pada sore hari/senja.

79

“Suara anak-anak perempuan yang sedang belajarmembaca Alquran di serambi Masjid Gedhe Kaumanselalu membelah keheningan senja di kawasan sepertialiran sungai yang bening, jernih, menyejukkan (SangPencerah, 2010:6).

b) Masjidil Haram, Makkah

Masjidil haram merupakan tempat Kiai Dahlan

menimba ilmu dan bertemu dengan beberapa kalangan ilmuan

yang berpengaruh.

“Dan sekarang aku sedang berada bersama puluhanmurid lain dari berbagai Negara di salah satu bagianruangan Masjidil Haram, mendengarkan pelajaranyang disampaikan ulama bernama lengkap SyaikhAhmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi As-Syafi’i…” (Sang Pencerah, 2010:141).

Lima tahun Kiai Dahlan menimba ilmu di Mekah dan

rasanya baru kemarin beliau belajar dan tiba saatnya beliau

untuk pulang.

“Tak terasa sudah lima tahun aku menimba ilmu diMakkah.” (Sang Pencerah, 2010:143).

c) Di Langgar Lor

Pengajian yang rutin dilakukan kiai Dahlan di Langgar Lor

masih seperti biasa dengan jumlah murid yang cukup banyak.

Pengajian di Langgar Lor masih berlangsung sepertibiasa, dengan para murid yang cukup banyak (SangPencerah, 2010:267).

d) Di Langgar Kidul

Langgar Kidul merupakan tempat mengajar Kiai Dahlan

dan berdakwah kepada masyarakat. Dalam pengajian di Langgar

80

Kidul Kiai Dahlan mengangkat kejadian di Alun-alun mengenai

banyaknya kemiskinan dan orang tua yang tidak bisa mendidik

anak.

Sebagai topik bahasan di pengajian Langgar Kidul,Kiai Dahlan mengangkat kejadian di Alun-alun Utaratentang banyaknya kemiskinan serta orang tua yangtidak bisa mendidik anak. Dalam pengajian diLanggar Kidul pada sorenya, aku mengangkatkejadian di Alun-Alun Utara itu sebagai bahasan(Sang Pencerah, 2010:402).

e) Di Kweek School

Kweek School merupakan sekolah untuk orang-orang

yang termasuk ke dalam golongan priyayi. Pengarang secara

utuh menggambarkan Kweek School misalnya ada kelas, meja,

dan murid. Kiai Dahlan untuk pertama kalinya mengajar di

Kweek School dengan materi kentut yang akhirnya membuat

jadwal mengajar Kiai Dahlan di Kweek School semakin sering.

Beliau mengajarkan ajaran Islam yang disampaikannya melalui

tanya jawab.

“Jadwal mengajarku di Kweek School Jetis jadisemakin sering. Dan murid-murid yang rata-rataberumur 13 tahun ini pun semakin terbiasamendegarkan ajaran Islam ynag kusampaikan lewattanya jawab yang cair” (Sang Pencerah, 2010:403).

2) Latar waktu

Latar waktu yang digunakan dalam novel Sang Pencerah

cukup bervariasi dan cukup lengkap. Latar waktu yang digunakan di

81

dalam novel tersebut adalah waktu/jam, pagi hari, siang, sore,

malam, hari, bulan, dan tahun.

a) Waktu/jam

Penggunaan latar waktu/jam digunakan ketika

menunjukkan lamanya perjalanan yang ditempuh Darwis dari

Jogja ke Semarang yaitu sekitar enam jam seperti disebutkan di

dalam kutipan berikut:

“Perjalanan awal sekitar enam jam menempuh jarakJogja-Semarang pun usai. Waktu menunjukkansekitar pukul empat sore” (Sang Pencerah,2010:125).

Selain jam, waktu yang digunakan adalah yang merujuk

pada lamanya suatu pekerjaan dilakukan, seperti waktu lama,

sebentar dan lain-lain. Dalam kutipan di bawah ini misalnya

digunakan waktu lama untuk menunjuk rentang waktu yang

digunakan.

“Lama sekali aku dan walidah membicarakan hal inisemalam, melihat dari berbagai kemungkinan yangbisa terjadi dengan tepatnya kami di sini atau kamipergi” (Sang Pencerah, 2010:254).

b) Pagi hari

Latar waktu yang digunakan juga misalnya menunjuk pada

waktu pagi hari. Seperti kutipan di bawah ini:

“Esok harinya bapak pulang pagi seperti disebutkanibu. Beliau membahawakan banyak barang bagi kamiberdua.” (Sang Pencerah, 2010:100).

82

c) Siang

Waktu siang digunakan ketika Walidah merasakan ibunya

tidak menyebutkan nama Darwis selama seharian. Ia kangen

dengan nama itu, seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

“Repotnya dari tadi siang ibu sama sekali takmenyebu-nyebut nama Mas Darwis. Beliau sibuk didapur mempersiapkan makanan berbuka untuk bapakdan kami semua” (Sang Pencerah, 2010:96).

d) Sore

Waktu sore sangat sering digunakan untuk menunjuk pada

waktu sebelum petang. Penggunaan waktu sore dijumpai di dalam

penyebutan kegiatan anak-anak santri di Masjid Gedhe seperti

kutipan berikut:

“Setiap sore terdengar pengajian anak-anak putri dariarah serambi Masjid Gedhe” (Sang Pencerah,2010:21).

Walidah memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama

teman-temannya untuk membatik.

“Akhirnya, sore itu aku habiskan waktu di belakangrumah bersama Ginah dan tiga temannya yang biasamembatik untuk bahan jualan bapak” (SangPencerah, 2010: 101).

e) Malam

Penggunaan waktu malam juga digunakan untuk menunjuk

waktu kira-kira habis magrib hingga fajar, seperti kutipan di

bawah ini.

“O… kalau soal itu tanya mas Darwis,“ Jawabkusetenang mungkin, “Aku, si siap saja. Mau malam ini

83

dilamarnya juga hayuk,” jawabku yang membuatmereka semakin tertawa terpingkal-pingkal.“Malam itu, aku sedang merapikan catatan penjualanbatik dalam sebulan, dan mencocokkannya denganuang gulden yang ada dalam kotak penyimpanan hasilpenjualan batik selama ini”. (Sang Pencerah,2010:160).

f) Hari

Latar waktu hari digunakan untuk menyebut hari secara

umum dan hari secara spesifik. Contoh waktu hari secara umum

misalnya pada kutipan pertama, sedangkan kutipan kedua

menunjuk pada waktu hari secara spesifik yaitu hari sabtu.

“Hari demi hari berlalu, dan akhirnya menembus satupekan pelayaran, lalu menembus 10 hari, lalu 14 hari,dan selanjutnya sampai pada hari kelima belas (SangPencerah, 2010:137).

Peresmian didirikannya organisasi Muhammadiyah yakni

hari sabtu terakhir bulan Desember tahun 1912.

“Hari Sabtu malam Minggu terakhir bulan Desember1912 (Sang Pencerah, 2010:454).

g) Bulan

Latar waktu bulan digunakan juga secara spesifik dan

umum. Dalam kutipan berikut misalnya ditunjukkan waktu bulan

Hijriyah dan Masehi.

“Akhirnya pada Rajab 1891 bapak melangsungkanpernikahan keduanya dengan Ibu Raden KhatibTengah Haji Muhammad.” (Sang Pencerah,2010:164).

Pada 12 November 1912 murid-murid Kiai Dahlan

berkumpul untuk membahas Muhammadiyah.

84

“Akhirnya pada 12 November 1912 sekitar 30 orangmuridku dari berbagai umur berkumpul. (SangPencerah, 2010:450).

h) Tahun

Penggunaan latar waktu tahun cukup banyak dijumpai di

dalam novel Sang Pencerah. Latar waktu tahun digunakan pada

kutipan-kutipan berikut:

“Aku lahir pada 1868, atau 10 tahun lalu, ketikamasyarakat Yogyakarta masih belum lupa pada linduyang mengoyak wilayah mereka setahun sebelumnya”(Sang Pencerah, 2010:11).

Kiai Dahlan merasa waktu begitu cepat berputar,

pernikahannya dengan Walidah berjalan setengah tahun dan

Walidahpun sudah hamil tiga bulan.

“Waktu berjalan cepat. Tak terasa pernikahan sudahberjalan hampir setengah tahun. Walidah sendirisudah hamil tiga bulan. Untunglah proses kehamilanberjalan lancar tak ada hal-hal serius yang berkaitandengan kesehatannya” (Sang Pencerah, 2010 :160).

Kebahagiaan Kiai Dahlan terasa lengkap saat beliau

berumur 22 tahun, beliau dikaruniai seorang putri yang kemudian

diberi nama Siti Johanah.

“Pada 1890 saat umurku 22 tahun, Allahmenggenapkan kebahagiaanku dengan menjadikankusebagai seorang bapak lewat kelahiran putri pertamayang kuberi nama Siti Johanah binti Ahmad Dahlan”(Sang Pencerah, 2010:161).

Berdasarkan uraian latar waktu di atas, terlihat bahwa novel

Sang Pencerah menggunakan berbagai bentuk dan macam waktu.

Hal tersebut terasa indah ketika dibaca. Karena penggunaan

85

waktu secara lengkap, maka novel tersebut berhasil

menggambarkan suatu situasi dan kondisi yang tampak mendekati

kebenaran peristiwanya.

3) Latar sosial

a) Seorang Khatib Masjid

Kiai Abu Bakar dan Kiai Dahlan merupakan Imam dan

Khatib Masjid Gedhe Kauman.

“Silahkan tunggu Kiai,” ujar seorang penggawakeratin dengan nada hormat kepada Kiai Dahlan yangmenjabat sebagai Khatib Masjid Gedhe Kauman”(Sang Pencerah, 2010:2).

b) Seorang Penghulu

Seorang penghulu ada dalam tokoh Kiai Kamaludinigrat.

Penghulu adalah jabatan penting yang bisa membuatnya

bertemu muka dengan Sri Sultan yang berjuluk Senopati

Ngalogo Sayidan Panatagama Khalifatullah.

“Kanjeng Sri Sultan memasuki masjid diikuti KiaiPenghulu Kamaludiningrat, bapakku Kiai Abu Bakar,beberapa ulama keraton, dan para punggawa yangmengantarkannya sampai depan pintu Maksura.Setelah Kanjeng Sayyidin Panatagama Khalifatullahitu memasuki Maksura, barulah para Kiai danpunggawa menempati tempat duduk masing-masing”(Sang Pencerah, 2010: 62).

c) Seorang Khatib Amin

Seorang Khatib Amin Masjid Gedhe ada dalam tokoh

Kiai Abu Bakar dan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Khatib Amin

atau Tibamin adalah pengkhutbah utama dalam salat Jumat.

86

Kutipan berikut terlihat Darwis saat melihat Kiai Abu Bakar

berkhutbah dalam salat jumat.

“Dari atas mimbar itulah wajah bapakku yangberpengetahuan tinggi tetapi sangat rendah hati, selalumenyempatkan untuk menatap wajahku walau sesaatdi tengah penuhnya jamah. Pancaran sinar matanyaseakan menyampaikan pesan, “Inilah garis hidup kitaNak, untuk terus menyebarkan ajaran mulia agamaAllah Swt setiap saat” (Sang Pencerah, 2010:10).

Untuk pertama kalinya Kiai Dahlan berkhutbah di depan

para jamaah dan merupakan pengalaman baru baginya dan juga

orang-orang yang menunaikan salat Jumat tidak terkecuali bagi

Sri Sultan.

“Akhirnya, datang juga kewajibanku untukmemberikan khutbah Jumat di Masjid GedheKauman. Ini merupakan pengalaman baru bagi kamisemua yang menunaikan shalat Jumat di MasjidGedhe, tak terkecuali bagi Sri Sultan yang berada didalam Maksura, tempat khusus yang diperuntukkanbaginya.” (Sang Pencerah, 2010:174).

Kiai Dahlan saat memberikan khutbah Jumat

memperhatikan wajah para jamaah termasuk Kiai Penghulu

yang terlihat sedang menatapnya.

“Allah Swt berfirman bahwa Islam adalah rahmatanlil’alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta, “ujarkumembuka khutbah Jumat.“Islam harus menjadirahmat bagi siapa saja yang bernaung di dalamnya,baik Muslim maupun bukan Muslim. “Aku pandangiwajah jamaah, termasuk Kiai PenghuluKamaludiningrat yang sedang menatapku dalam-dalam” (Sang Pencerah, 2010:175).

87

d) Seorang Pedagang Batik

Seorang pedagang batik ada dalam tokoh Kiai Fadlil dan

Kiai Ahmad Dahlan. Dalam berdagang, Kiai Fadlil dikenal

sebagai sosok yang jujur dan melayani sangat memperhatikan

pembelinya. Sebagai pedagang ia termasuk pedagang yang

bertanggung jawab, seperti kutipan di bawah ini:

“Kiai Haji Muhammad Fadil itu pedagang yangbertanggungjawab, Bu. Beliau tidak mau menjualbarang yang jelek semata-mata untuk mengejarkeuntungan duniawi. Buat beliau berdagang itu adalahibadah.” (Sang Pencerah, 2010:46).

Siti Walidah merupakan anak dari Kiai Haji Muhammad

Fadlil. Beliau merupakan kakak dari ibu Darwis yang dikenal

sebagai pedagang kain batik.

“Namaku Siti Waliddah binti Muhammad Fadlil. Ya,orang tuaku adalah Kiai Haji Muhammad Fadlil, Kiaiyang juga dikenal sebagai pedagang kain batik. Ibukudipanggil orang-orang, Nyai Fadlil (Sang Pencerah,2010: 93).

Aktivitas berdagang juga dilakukan oleh Kiai Ahmad

Dahlan. Pascapernikahannya dengan Nyai Walidah, Kiai Dahlan

membantu dan meneruskan bisnis mertuanya sebagai pedagang

batik. Aktivitas itu dilakukan di luar kesibukannya sebagai guru

mengaji dan Khatib di Masjid Gedhe Kauman.

“Di luar kesibukanku mengajar di Langgar Kidul danmenjadi Khatib Masjid Gedhe, kegiatanku yang lainadalah berdagang batik. Pekerjaan ini membuatkubanyak mengunjungi daerah-daerah, termasuk Bantulseperti sore ini.” (Sang Pencerah, 2010:190).

88

e) Seorang Penulis Produktif

Seorang penulis produktif ada dalam tokoh Kiai Sholeh

Darat. Kiai Soleh Darat adalah guru dan juga teman dari Kiai

Abu Bakar yang tinggal di Semarang.

“Kembali ke Kiai Sholeh Darat, beliau juga seorangpenulis produktif. Selain menulis kitab Faid Ar-Rahman, Kiai menulis sejumlah karya lain sepertiMajmu’an Ay-Syariah Al-Kafiyah Li AL-‘Awam(membahas ilmu-ilmu syariat untuk orang-orangawam), Munjiyat (tentang tasawuf, yang merupakanpetikan-petikan penting dari Ihya’ Ulum Ad-Dinkarya Imam Al-Ghazali) dan Al-Hikam karanganSyaikh Ibnu ‘Athaillah Al-Askandari)” (SangPencerah, 2010:129).

f) Seorang Ketua Raad Agama

Seorang ketua Raad Agama ada dalam tokoh Kiai

Penghulu Kholil Kamaludingrat.

“Iya, saya tahu. Tapi bagaimana sebagai ketua RaadAgama, Kiai Penghulu bisa menjelaskan kepada sayaapa alasan utama yang menjadi dasar penolakankarena Sri Sultan sendiri ingin tahu soal itu.” (SangPencerah, 2010:441).

e. Amanat

Dari sebuah karya sastra dapat diangkat suatu ajaran moral, atau

pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat dalam cerita

biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan

ajaran moral tertentu. Amanat pada sebuah karya sastra ditampilkan

secara implisit (tak langsung) ataupun eksplisit (langsung) (Sudjiman,

1988: 57).

89

Adapun amanat yang penulis temukan di dalam novel Sang

Pengeran adalah sebagai berikut:

1) Tidak Boleh Menyekutukan Allah dengan Makhluk-Nya

Salah satu ritual yang masih berkembang di tengah-tengah

masyarakat kita adalah ritual mempersembahkan tumbal atau

sesajen kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu

atau penguasa tempat keramat. Kebiasaan tersebut merupakan

perbuatan yang mengandung syirik (menyekutukan Allah Swt.

dengan makhluk). Praktik ini merupakan pengejawantahan

keyakinan mereka kepada makhluk halus yang dianggap memiliki

kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan

malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan

tumbal atau sesaji tersebut mereka berharap dapat meredam

kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka

dipenuhinya.

Perbuatan inilah yang masih berkembang di masyarakat

ketika Kiai Dahlan kecil. Praktik ini terlihat jelas di dalam diskusi

berikut ini:

“Pulang dari Masjid Gedhe, aku melihat sepasang suami-isteri memberikan sesaji dan membakar kemenyan di antarapohon beringin dengan sangat hati-hati.”“Aku dekati pohon beringin itu dengna berjalan sewajarmungkin, sebelum mengendap-ngendap dan dengan cepatmengambil sesajen dan kembali bertingkah sewajarmungkin seperti sebelumnya.”“tanpa kuduga, belum jauh aku beranjak, pasangan suamiisteri itu dating lagi. “lho kok, sesajennya hilang, pak?” serisi isteri terdengar kaget. “apa dicuri orang ya?”

90

“Hus! Jangan asal ngomong, Bu. Itu artinya sesajen kitaditerima. Niat kita direstui.” (Sang Pencerah, 2010:90).

Di dalam Islam, ritual sesaji diharamkan karena

mengandung perbuatan syirik atau menyekutukan Allah dengan

makhluk-Nya, seperti firman Allah di dalam QS al-Jin ayat 6

berikut ini:

نس یعوذون برجال من الجن وأنھ كان رجال من اإلفزادوھم رھقا

“Bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusiameminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari(kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi merekadosa dan kesalahan” (QS al-Jin: 6).

Orang-orang pada zaman Jahiliyah meminta perlindungan

kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan

penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih

hewan kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan

dan lain-lain. Praktik semacam ini telah dilarang dan merupakan

perbuatan dosa besar yang tidak diampuni Allah.

2) Tidak Boleh Menuduh Kafir terhadap Sesama Muslim

Kiai Dahlan beberapa kali dituduh kafir oleh masyarakat

sekitar dan oleh sebagian kiai yang memang kontra terhadap tindak

tanduknya, seperti Kiai Noor, Kiai Muhsin dan Kiai Penghulu.

Tuduhan Kiai Noor misalnya tergambar dari kutipan berikut:

“Apakah kau belum pernah dengar kabar-kabar yangmengatakan, maaf ya Dimas Dahlan, bahwa Dimas adalahkaii kafir mulai dari bermain biola di Langgar, sampaiberbagai protes yang Dimas lakukan hampir setiap waktu

91

terhadap berbagai tradisi yang sudah mengakar dimasyarakat dan mendapatkan restu Ngarsa Dalem, dansekarang ditambah lagi dengan soal perubahan arah kiblat?”(Sang Pencerah, 2010:229).

Kiai Noor biasanya tegas dalam menegur Kiai Dahlan

dalam soal-soal yang menyangkut pada akidah. Dalam kutipan di

atas, jelas-jelas bahwa tuduhan kafir yang dialamatkan kepada Kiai

Dahlan merupakan akumulasi dari kegelisahannya mengenai kabar-

kabar yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya,

Kiai Noor menanyakan dan menegur langsung Kiai Dahlan seperti

terlihat di dalam kutipan di atas.

Tuduhan kafir kembali terjadi ketika Kiai Dahlan

bergabung dengan organisasi Budi Utomo dan mengajar di

Kweekschool. Pergaulannya dengan banyak kalangan

menyebabkan adaptasi cara berpakaian Kiai Dahlan, seperti sering

memakai jas dan lain-lain. Oleh karena itu, penampilannya tersebut

membuat sebagian kalangan masyarakat dan beberapa orang Kiai

resah. Hal tersebut misalnya terlihat dari uraian berikut ini:

“Wajar saja Dimas Dahlan kalau masyarakat bertanya-tanya mengapa Dimas sekarang sering terlihat memakai jas,dasi, sepatu. Mirip pakaian orang kafir, tapi pakai serbanjuga, “ujar Mas Muhsin (Sang Pencerah, 2010:391).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

selama berdakwah, Kiai Dahlan sebanyak dua kali dituduh kafir

oleh masyarakat dan para kiai yang beroposisi. Perbuatan tersebut

92

jelas bertentangan dengan ajaran Islam seperti disebutkan dalam

hadis Riwayat Ahmad berikut ini:

من كفر أخاه فقد باء بھا أحدھم

“Siapa saja yang mengkafirkan saudaranya, maka berbalik

kepada salah satu di antara mereka.” (HR Ahmad).

Tuduhan-tuduhan (menyesatkan dan mengkafirkan) seperti

ini sangat berbahaya bagi seorang muslim, apalagi tuduhan

kekufuran atau sesat tersebut merupakan tuduhan yang sangat

sensitif bagi kaum muslim yang lain. Oleh karena itu, jika tuduhan

tersebut dilakukan tanpa bukti yang kuat di sisi Allah, ini termasuk

dalam kategori fitnah yang dilarang dalam hadis Nabi saw.

ع مسلما ال یحل لمسلم أن یرو

“Tidak halal bagi seorang Muslim memburuk-burukkan

Muslim yang lain” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ath-Thabrani).

Hal ini tidak berarti menuduh sesat seseorang yang memang

terbukti secara qath‘i (jelas) sesat atau kufur itu tidak dibolehkan.

Dalam Islam yang tidak dibolehkan adalah menjatuhkan tuduhan

kepada seseorang tanpa bukti yang qath‘i atau zhanni.

Tuduhan yang dialamatkan oleh Kiai Noor dan beberapa

masyarakat terhadap perilaku berdakwah Kiai Dahlan jelas-jelas

tidak terbukti. Kiai Noor mendasarkan pada desas-desus yang

terjadi di masyarakat. Sebagai seorang kiai sebaiknya ia

93

memastikan terlebih dahulu perilaku yang dianggapnya

menyimpang dari ajaran Islam.

3) Dalam Menyampaikan Dakwah Perlu Mengetahui Sasarannya

Berdakwah adalah aktivitas ibadah. Dalam berdakwah ada

metode-metode yang harus dilalui agar dakwah tersebut diterima

oleh masyarakat sasarannya. Salah satu metodenya adalah agar

berdakwah mempertimbangkan kadar pengetahuan sasarannya.

“…Dengan mengetahui cara berpikir masyarakat tempatkita berada, maka akan lebih mudah bagi kita dalamberdakwah. Pengertian Kala Bendu ini mungkin saja takdimengerti masyarakat yang tinggal di Pulau Sumatera.”(Sang Pencerah, 2010:81).

4) Saling Membantu Ketika Saudara Kesusahan

Di antara kita terkadang terdapat masyarakat yang ditimpa

kesusahan. Tidak sedikit orang yang peduli terhadap sesama. Islam

sangat menekankan bahu-membahu di antara sesama umat Islam di

dalam menghadapi kesulitan.

“Ini juga uangku untukmu Dahlan,” sambung Kiai Ibrahimtiba-tiba. “Jumlahnya tidak banyak tapi untukmenengkanmu bahwa keluarga selalu mendukungmu”(Sang Pencerah, 2010:263).

Sebagai makhluk sosial, manusia tak dapat hidup sendirian,

walaupun telah memiliki segalanya seperti harta benda yang

berlimpah. Apabila hidup sendirian tanpa orang lain yang

menemani, tentu ia kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tidak

pernah ia rasakan. Oleh karena itu, Islam menyuruh umat manusia

94

khususnya, bagi orang mukmin, untuk tolong-menolong

sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah, ayat 2 berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orangyang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dankeredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikanibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kalikebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya(kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolongdalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamukepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Melalui ayat tersebut di atas, Allah Swt. memerintahkan

umat manusia untuk saling membantu, tolong menolong dalam

mengerjakan kabaikan/kebajikan dan ketakwaan. Sebaliknya Allah

melarang kita untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan

dosa dan pelanggaran.

95

f. Hubungan antarunsur dalam cerita

Hubungan antarunsur novel merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antarunsur

dalam novel Sang Pencerah dibahas satu per satu, yaitu judul dengan

tokoh, judul dengan alur, judul dengan latar, tokoh dengan alur, tokoh

dengan latar, tema dengan latar, tema dengan alur.

1. Hubungan Judul dengan Tokoh

Seperti yang telah diketahui bahwa judul berhubungan

dengan keseluruhan cerita, salah satunya dapat diekspresikan

dengan tokoh cerita, yang berupa nama tokoh, sikap tokoh, dan

watak tokoh. Judul Sang Pencerah dideskripsikan dengan tokoh

cerita dengan menonjolkan sikap tokoh. Sikap Kiai Dahlan yang

selalu bertentangan dengan para Kiai di kampungnya karena Kiai

Dahlan ingin meluruskan ajaran agama Islam yang diyakininya

telah melenceng atau tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad

saw. walaupun beliau mendapat hinaan dan bahkan dianggap

sebagai Kiai kafir, beliau tetap memperjuangkannya.

2. Hubungan Judul dengan Alur

Judul Sang Pencerah mempunyai arti orang yang telah

memberi pencerahan di dalam kehidupan dan alur dalam novel

Sang Pencerah ini maju. Dalam hubungan judul dengan alur

tersebut terlihat saat Kiai Dahlan menceritakan tentang

kelahirannya yaitu yang berbunyi

96

“Aku lahir pada 1868, atau 10 tahun lalu, ketika masyarakatYogyakarta masih belum lupa pada lindu yang mengoyakwilayah mereka setahun sebelumnya. Konon menurut bapak,beberapa orang tua yang biasa menafsirkan gejala alammenyampaikan kepadanya bahwa kelahiranku yang terjadisetelah gempa besar itu berarti bahwa aku, MuhammadDarwis, memang ditakdirkan untuk membawa perubahanbesar, kebangkitan kembali, atau menyusun sisa-sisabongkahan yang telah lama bersarang dibenak masyarakatdan dianggap sebagai keharusan yang tak perlu ditanyakanlagi” (Sang Pencerah, 2010: 12).

Dari penggalan kutipan ini dapat diketahui bahwa Kiai

Ahmad Dahlan berperan sebagai Sang Pencerah.

3. Hubungan Judul dengan Latar

Judul Sang Pencerah mempunyai hubungan yang sangat erat

dengan latar. Semua itu diketahui dari pemilihan judul Sang

Pencerah dan latar yang disini disebutkan bahwa latarnya adalah

kehidupan masyarakat Jawa yang hidup di wilayah Kasultanan

Yogyakarta Hadiningrat, dalam segi sosial papan atas, sebutan Kiai

Dahlan adalah Sang Pencerah karena kehidupan beliau berinteraksi

langsung dengan lingkungan Keraton sehingga beliau tahu segala

aktivitas. Keraton yang dinilainya mengandung syirik dan bidah,

hingga akhirnya beliau meluruskan kembali, membersihkan ajaran

Islam dari bidah dan syirik walaupun banyak orang yang tidak suka

kepadanya.

4. Hubungan Tema dengan Latar

Seperti dijelaskan di atas, tema novel ini adalah perjuangan

Kiai Dahlan dalam memurnikan ajaran Islam dari bidah dan

97

perjuangan mendirikan Muhammadiyah. Jika dilihat dari kata

“perjuangan” sudah tentu identik dengan usaha memperjuangkan

berdirinya Perserikatan Muhammadiyah. Latar tempat dalam

novel Sang Pencerah yaitu di lingkungan Keraton dimana

perjuangan Kiai Dahlan begitu sulit dalam mendirikan

Muhammadiyah karena lingkungan Keraton itu sendiri tradisi-

tradisi nenek moyang masih melekat.

5. Hubungan Tokoh dengan Alur

Dalam novel Sang Pencerah, hubungan antara alur dengan

tokoh dan penokohan dapat dilihat secara jelas. Tokoh Darwis

yang menyatakan pendapatnya tentang upacara Nyadran dibuat

sederhana saja, sehingga menimbulkan semua orang memusatkan

pandangan ke arah Darwis termasuk Kiai Penghulu dan Kiai Abu

Bakar. Oleh karena itu, terjadi perdebatan di antara para Kiai dan

anggota keluarga Darwis. Sesampainya di rumah, Kiai Abu Bakar

melontarkan kemarahannya kepada Darwis yang tidak tersalurkan

di Masjid Gedhe.

Hubungan alur dengan tokoh dapat dilihat pula ketika Kiai

Dahlan datang untuk pertama kalinya memberikan khutbah Jumat.

Ketika itu, beliau secara tegas menolak tradisi-tradisi yang ada di

masyarakat sehinggga membuat Kiai Penghulu memberikan

teguran kepada Kiai Dahlan lewat Kiai Noor yang juga kakak ipar

Kiai Dahlan, dan setelah Kiai Penghulu menyuruh Kiai Dahlan

98

untuk menutup Langgar Kidul, tetapi Kiai Dahlan tidak mau

menuruti keinginan Kiai Penghulu hingga terjadi penghancuran

Langgar Kidul oleh orang suruhan Kiai Penghulu. Sejak saat itu

hubungan Kiai Dahlan dengan para Kiai di Kauman kurang baik.

Hubungan alur dengan tokoh juga terlihat, saat Kiai Dahlan

berdamai dengan Kiai Penghulu. Kiai Penghulu akhirnya meminta

maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah beliau lakukan kepada

Kiai Dahlan, terutama saat Kiai Penghulu berburuk sangka bahwa

Kiai Dahlan akan merebut posisinya sebagai Kiai Penghulu di

masjid Gede Kauman.

6. Hubungan Tokoh dan Penokohan dengan Latar

Tokoh-tokoh di dalam sebuah cerita memerlukan ruang dan

keadaan sosial tempat mereka melakukan atau melakukan sesuatu.

Ruang dan keadaan tersebut berpengaruh pula terhadap tokoh dan

penokohan.

Tokoh-tokoh dalam novel Sang Pencerah adalah masyarakat

daerah Jawa, yaitu tepatnya di Yoyakarta. Selain itu pola pikir para

tokoh juga sederhana kecuali Kiai Ahmad Dahlan. Walaupun Kiai

merupakan keturunan priyayi Jawa, beliau banyak mempelajari

ilmu dari orang-orang yang pintar seperti, Syaikh Rasyid Ridha,

Syaikh Jambak dan Syaikh Khabib Al-Mangkabawi. Kiai Dahlan

sejak kecil sudah memiliki kecerdasan yang tinggi dibandingkan

99

anak-anak seusianya, terbukti saat usia delapan tahun, beliau sudah

khatam Alquran dan lancar berbahasa arab.

7. Hubungan Alur dengan Latar

Alur merupakan peristiwa yang mempunyai hubungan sebab

akibat di dalam cerita, sedangkan latar adalah tempat, saat, dan

keadaan sosial yang menjadi tokoh melakukan dan dikenai

kejadian.

Novel Sang Pencerah seperti yang sudah disebutkan

sebelumnya menampilkan cerita yang berlatar belakang priyayi

Jawa yang hidup di wilayah Keraton. Dalam novel tersebut

dilukiskan mulai dari tempat tinggal kehidupan sampai pada adat

istiadat yang dianut. Latar tempat kebanyakan berada di sekitar

Kauman Yogyakarta dan masyarakatnya masih banyak menganut

tradisi nenek moyang seperti tradisi yasinan, nyadran, ruwatan dan

padusan.

Berawal dari yasinan 40 hari meninggalnya bapak Pono,

hingga acara pertemuan Takmir yang membahas tentang upacara

nyadran, sejak saat itu konflik mulai muncul antara Kiai Dahlan

dengan Kiai Penghulu. Kiai Dahlan kemudian menunaikan ibadah

haji ke Mekkah selama lima tahun. Setelah itu, beliau kembali ke

Jawa. Konflik antara Kiai Dahlan dan Kiai Penghulu muncul

kembali setelah Kiai Dahlan mengungkapkan bahwa arah kiblat

Masjid Gedhe salah. Selain Masjid Gedhe Kauman, kebanyakan

100

arah kiblat Masjid di daerah Jawa juga tidak tepat karena Kiai

Dahlan telah membuktikan sendiri dengan mengunjungi tempat

lain seperti masjid daerah Magelang. Semenjak saat itu, Kiai

Dahlan membicarakan tentang masalah arah kiblat Masjid Gedhe

dengan para Kiai di Kauman.

8. Hubungan Tema dengan Alur

Tema adalah ide pokok atau gagasan utama yang hendak

disampaikan pengarang kepada pembaca. Untuk menyampaikan

ide atau gagasan pengarang menciptakan cerita yang terdiri dari

berbagai peristiwa yang terjalin dalam hubungan sebab-akibat

(plot). Adanya peristiwa sebab-akibat tersebut bersifat mutlak

supaya cerita lebih jelas dan tema dapat ditemukan. Sebaliknya,

untuk menentukan tema dapat dilihat melalui konflik-konflik yang

menonjol yang termasuk bagian dari plot.

Tema novel Sang Pencerah adalah perjuangan memurnikan

ajaran Islam dari unsur bidah dan perjuangan mendirikan

Muhammadiyah sebagai wadah organisasinya. Untuk membawa

tema ini, pengarang membuat cerita mengenai seseorang yang

mempunyai sifat pemaaf, dan tidak pendendam. Dari hal tesebut

muncul masalah-masalah yang membuat cerita terus bergerak

dalam novel Sang Pencerah.

Konflik dalam novel Sang Pencerah berawal dari usulan Kiai

Dahlan mengenai upacara nyadran, pendapatnya yang saat itu

101

membuat perdebatan di antara anggota keluarganya yang

mengakibatkan konflik berlanjut yakni saat Kiai Dahlan

mengungkapkan bahwa arah kiblat Masjid Gedhe salah. Selain itu

beliau berpakaian dan mendirikan sekolah yang dituding sebagai

Kyai Kafir karena mirip dengan orang kafir.

9. Hubungan Tema dengan Tokoh dan Penokohan

Untuk menyampaikan ide atau gagasan utama, diperlukan

pembawa gagasan untuk berupa pelaku atau tokoh-tokoh cerita.

Biasanya pembawa gagasan utama adalah tokoh-tokoh utama,

sementara tokoh lain merupakan tokoh latar yang memperkuat

penokohan tokoh utama dan gagasan yang dibawanya.

Tema dalam novel Sang Pencerah adalah perjuangan

memurnikan ajaran Islam dari unsur bidah. Dari tema tersebut, Kiai

Dahlan digambarkan sebagai orang yang tegar dan tidak mudah

putus asa memurnikan ajaran Islam dari bidah dan syirik.

Perjuangan Kiai Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah begitu

sulit dan banyak sekali cobaan yang dhadapinya hingga dituduh

sebagai kiai kafir. Namun, beliau tetap memperjuangkannya hingga

berdirinya Muhammadiyah yang mempunyai arti orang-orang yang

mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.

2. Nilai-Nilai Religius dalam Novel Sang Pencerah

Berdasarkan penyajian data di atas, pembahasan nilai religius

khususnya nilai-nilai Islam dalam novel Sang Pencerah karya Akmal

Nasery Basral sebagai berikut:

102

a. Hubungan Manusia dengan Tuhan

Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah hubungan vertikal

yang menghubungkan perasaan manusia dengan Tuhannya, Allah Swt.

Memelihara hubungan dengan Allah Swt. secara terus-menerus

menjadi kendali diri kita sehingga dapat terhindar dari kejahatan dan

kemungkaran. Wujud keterikatan batin manusia dengan Tuhannya

dimulai dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi

segala larangan-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

1) Setiap Muslim Wajib Melaksanakan Salat Lima Waktu Sehari

Salat merupakan perintah wajib kedua bagi umat Islam, baik

laki-laki maupun wanita yang telah memenuhi persyaratan. Salat

diwajibkan kepada setiap kaum muslimin dan tidak boleh

meninggalkannya kecuali bagi orang gila, anak yang belum baligh,

dan wanita yang sedang haid atau nifas. Kewajiban salat tersebut

didasarkan pada dalil-dalil dalam bentuk perintah yang terdapat

dalam Alquran dan Hadis Nabi. Di antara dalil-dalil tersebut adalah

QS Al-Baqarah ayat 43, yaitu

�˴Ϧ˸ϴ˶ό˶ϛήϟ�˴ϊ ϣ˴˸Ϯό˵ϛ˴έ˸˴ϭ˴ΓϮϛ˴ΰϟ�˸ϮΗ˵˴ϭ�˴Δԩ˴Ϡμ ϟ�˸ϮϤ˵˸ϴ˶ϗ˴˴ϭ

Artinya: “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah

beserta orang-orang yang rukuk.

Ayat Alquran ini secara jelas memerintahkan setiap muslim

untuk melaksanakan salat. Tentunya salat yang dimaksud adalah

salat yang wajib (far-du).

103

Dalam novel Sang Pencerah terlihat, Kiai Dahlan mengikuti

salat berjamaah di Masjid Gedhe Kauman. Berikut ini kutipan

adegan tersebut.

Salat subuh berjamaah akan dimulai diimami oleh KiaiAbdullah Siraj Pakualaman (Sang Pencerah, 2010: 212).

2) Tawakkal kepada Allah

Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh orang Islam adalah

berserah kepada Allah (tawakal). Sifat berserah tersebut

menandakan derajat ketakwaaan seseorang kepada Allah. Dalam

novel Sang Pencerah sifat penyerahan tersebut misalnya terlihat

dalam peristiwa kematian ibu Kiai Dahlan.

“Namun, Allah juga punya rencana lain bagiku. Ditipkan-Nya bagiku tambahan satu nyawa dan diambil-Nya satunyawa pada tahun yang sama. Penyakit ibu yang sedangmenahun akhirnya tak bisa tersembuhkan. Kematian ibudisambut kedukaan yang sangat besar oleh warga Kaumankarena sifat social beliau yang tinggi semasa hidup.”(SangPencerah, 2010:161).

Perintah untuk berserah diri kepada Allah ditegaskan di dalam

QS Ali Imran ayat 122 sebagai berikut:

Artinya :

“Ketika dua golongan dari padamu ingin (mundur) karena

takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu.

104

Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin

bertawakkal.” (QS Ali Imran, ayat 122)

Perintah Tawakal terdapat juga dalam QS al-Ahzab, ayat 3

“dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai

Pemelihara” (QS al-Ahzab : 3).

3) Sifat Syukur kepada Allah

Pada dasarnya semua yang diterima oleh manusia adalah

pemberian Allah. Oleh karena itu, manusia harus mensyukuri setiap

pemberian tersebut. Dalam novel tersebut pesan untuk bersyukur

misalnya terdapat pada kutipan berikut:

“Ini rezeki dari Gusti Allah, bukan dari saya,” ujarku.“Sering-seringlah berterima kasih kepada Allah.” (SangPencerah, 2010:91).

Di dalam Alquran, kata syukur dengan kata nikmat

disejajarkan oleh Allah. Nikmat yang diberikan oleh Allah patut kita

syukuri sesuai dengan kemampuan kita.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat

(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah:152).

Dijelaskan juga dalam Alquran dalam surat Ibrahim ayat 7 :

105

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah

(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka

Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

4) Sifat Jujur ketika Berdagang

Berdagang merupakan aktivitas mencari rezeki. Adakalanya

orang berdagang hanya untuk mendapatkan keuntungan materi.

Namun, berbeda dengan yang ditampilkan di dalam novel Sang

Pencerah, di mana dalam berdagang seseorang tidak boleh hanya

mengambil keuntungan semata, tetapi harus memikirkan ibadah.

“Kiai Haji Muhammad Fadil itu pedagang yangbertanggungjawab, Bu. Beliau tidak mau menjual barangyang jelek semata-mata untuk mengejar keuntunganduniawi. Buat beliau berdagang itu adalah ibadah.” (SangPencerah, 2010:46).

Mengenai masalah perdagangan ini, Alquran menyebutkan

bahwa berlaku adil itu merupakan sesuatu yang penting di dalam

beragama. Allah membenci orang yang tidak berlaku adil di dalam

segala aktivitasnya. Berlaku adil juga berlaku di dalam berdagang.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadiorang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karenaAllah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kalikebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamuuntuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itulebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,

106

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan” (QS Al-Maidah ayat 8).

5) Pemimpin yang Bertanggung Jawab

Tugas pemimpin merupakan tugas mulia yang menuntut

kerja keras dan pertanggungjawaban. Pemimpin bertanggung

jawab kepada sesama manusia dan Allah. Hal tersebut terlihat jelas

di dalam petikan novel berikut ini:

“Berdirinya masjid di besar di dekat keraton menampilkanpesan yang sangat jelas bahwa Sri SultanHamengkubuwono I, dan para keturunannya kelak, bukansemata-mata berfungsi sebagai Senopati ing Ngalogo(pimpinan pemerintahan dan perang), melainkan jugasebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah alias wakilAllah Swt, di dunia dalam memimpin pelaksanaan agama”(Sang Pencerah, 2010:8).

Mengenai kepemimpinan di dalam salah satu hadis

disebutkan sebagai berikut

حديث عبد اهللا بن عمر رضى اهللا عنهما. ان رسول اهللا

اهللا عليه وسلم قال : كللكم راع مسول عن ر عيته صلى

واال مري الذي على الناس راع و هو مسول عنهم.Hadis Riwayat Umar bin Abdullah, Rasulullah bersabda

“setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung

jawab terhadap yang dipimpinnya”.

6) Islam adalah Agama yang Membawa Rahmat

Salah satu risalah di dalam Islam adalah bahwa Islam

adalah agama rahmat. Rahmat berarti memberi perlindungan

kepada semua kalangan. Islam diharapkan menjadi solusi terhadap

107

persoalan dunia. Dalam Novel Sang Pencerah ini disebutkan

sebagai berikut:

“Allah Swt., berfirman bahwa Islam adalah rahmatan lil‘alamin, rahmat bagi seluruh alams emesta,” ujarkumembuka khutbah. “Islam harus menjadi rahmat bagi siapasaja yang bernaung di dalamnya, baik Muslim maupunBukan Muslim.” (Sang Pencerah, 2010:175).

7) Tidak Boleh Taklid dalam Beragama

Persoalan taklid telah menjadi perbincangan sepanjang

masa. Taklid adalah mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui

pertimbangan-pertimbangan yang tidak sesuai dengan Alquran dan

hadis. Silang pendapat mengenai taklid jugalah yang menjadi

sorotan di dalam novel ini, seperti kutipan berikut:

“Oh, jangan salah, Kiai Dahlan. Kepatuhan berlebihan padatradisi ini, taklid yang menggerogoti umat ini, sudahmenjadi penyakit yang sangat berbahaya. Apalagi karenabanyak kiai yang diuntungkan dari taklid-taklid inisehingga mereka bukannya membantu menjernihkan akidahumat, malah ikut melestarikan kebiasaan-kebiasaan itu”(Sang Pencerah, 2010: 257).

Menurut Darwis, tradisi padusan dan ruwatan yang

dilakukan masyarakat saat memasuki bulan Ramadhan bukan

merupakan suatu kewajiban. Puasalah yang seharusnya dilakukan

masyarakat.

“Misalnya seperti padusan dan ruwatan memasukiramadhan itu. Banyak masyarakat yang menyangka wajibhukumnya melakukan padusan dan ruwatan, sementarapada saat bulan suci sekarang sendiri kalian lihat sendiri dipasar banyak yang tidak puasa. Padahal justru puasa ituyang wajib dilakukan, bukan padusan, kata Darwis” (SangPencerah, 2010: 98).

108

Di dalam QS At-Taubah : 31 disebutkan bahwa praktik

taklid telah terjadi sepanjang masa, dan hal itu dilarang oleh

agama.

والمسیح ابن اتخذوا أحبارھم ورھبانھم أربابا من دون هللا

مریم وما أمروا إال لیعبدوا إلھا واحدا ال إلھ إال ھو سبحانھ

ا یشركون عم

Artinya:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib merekasebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) AlMasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembahTuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”(QS At Taubah: 31).

b. Hubungan Manusia dengan Manusia

Manusia tidak dapat lepas dari kehidupan sosial karena kehidupan

tidak akan terjadi tanpa ada orang lain. Maksudnya seseorang tidak

mungkin hidup tanpa ada bantuan orang lain. Contohnya orang kaya

yang mempekerjakan orang yang kurang mampu untuk merawat

kebunnya. Dalam hal ini, terjadi hubungan saling membantu antara si

kaya dan si miskin karena keduanya saling menguntungkan. Orang

kaya mendapatkan jasa si miskin merawat kebun miliknya, sedangkan

si miskin memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya

dari merawat kebun milik orang kaya.

Hubungan antara manusia dengan manusia dalam novel Sang

Pencerah tampak dalam beberapa kutipan sebagai berikut:

109

1. Hubungan yang baik antara Darwis dengan Bapaknya dan Ibunya

Darwis dilahirkan dari pasangan Siti Aminah dan Kiai Abu

Bakar. Siti Aminah sendiri adalah anak dari kiai besar, yaitu Kiai

Ibrahim, sedangkan Kiai Abu Bakar adalah imam dan khatib

Masjid Gedhe. Seperti kutipan berikut ini:

“Bapak menikah dengan ibuku, Siti Aminah putrid Kiaihaji Ibrahim, seorang penghulu Kasultanan yang cukupterpandang. Pernikahan itu menghasilkan tujuan oranganak,…anak lelaki yang berada di posisi keempat itu diberinama Muhammad Darwis, namaku” (Sang Pencerah,2010:11.

Sosok Darwis sangat dipengaruhi oleh sosok ayahnya yang

seorang imam dan khatib Masjid Gedhe. Ia banyak bertukar fikiran

mengenai berbagai hal, terutama mengenai kegelisahan-

kegelisahannya.

“Di mana Afrika itu, Bapak?, apakah masih di dekat Gresikjuga?”“Afrika itu jauh sekali dari sini. Bapak dengar masih lebihjauh dari Makkah. Paahal untuk ke Makkah saja butuhwaktu berbulan-bulan perjalanan dengan kapal laut” (SangPencerah, 2010:14).

2. Membangun Pertemanan

Darwis dan Pono merupakan dua orang teman yang

memiliki minat yang tinggi dalam belajar Islam dan/atau mengaji.

Pertemanan itu terjadi hingga Darwis berangkat menuntut ilmu ke

Makkah. Kutipan berikut menunjukkan kedekatan hubungan

keduanya sebagai teman kecil.

“Darwis, jangan lupa nanti malam yasinan di rumahku,”seru Pono dari jauh sambil mengacungkan tangannya. Aku

110

balas mengacungkan tangan sbagai tanda “ya”. (SangPencerah, 2010:24)

Selain dengan Pono selaku teman dekat, Darwis juga

menjalin hubungan dengan teman-teman lainnya seperti dengan

teman-temannya dari Kauman yang biasa bermain bola bersama.

“Aku dan kawan-kawan dari kauman sedang bermain bolamelawan anak-anak Ngadisuryan di Alun-Alun Selatan.Matahari yang mulai rebah kea rah Barat membuat cuacatak terlalu panas memanggang” (Sang Pencerah, 2010: 49).

3. Menghormati guru

Guru adalah orang yang mengarahkan dan mendidik kita

berbagai hal. Ketika orang tua tidak sempat atau tidak mampu

untuk mengajarkan tentang berbagai ilmu, terutama soal akidah

guru memegang peranan penting dalam mengajar dan mendidik

anak. Oleh karena itu, seorang murid harus menghormati guru.

“Salah seorang Ulama yang sangat aku hormati adalah KiaiAbdul Hamid Lempuyangan. Beliau orang yang berilmutinggi dan sangat sederhana seperti lazimnya para kiai.Beliau punya satu kebiasaan yang menonjol rasa kasihsayang yang luar biasa terhadap anak-anak yatim piatu.”(Sang Pencerah, 2010:63)

Diriwatkan oleh at-thabarani dan al-Hakim kewajiban

untuk menghormati guru.

“Bukan umat-Ku siapa yang tidak memuliakan orang yanglebih tua, tidak kasihan kepada orang yang lebih muda dantidak menunaikan hak guru”.

Hadis lain yang mewajibkan kita untuk menghormati guru

adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thabarani.

111

“belajarlah ilmu, belajarlah ilmu untuk ilmu dan tundukpatuhlah kepada orang yang kamu belajar ilmu darimereka” (HR at-Thabarani).

4. Menyantuni Anak Yatim Piatu

Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayah dan

ibunya. Islam memberikan kedudukan istimewa bagi anak yatim

serta orang yang berderma terhadap mereka. Perilaku yang

ditunjukkan oleh tokoh Kiai Hamid adalah perilaku terpuji yang

memang dianjurkan oleh Islam.

“Susah dijelaskan dengan akal pikiran biasa Wis,”kataBapak. Tapi jika di hatimu selalu timbul keinginan untukmembantu orang, meringankan beban orang, Allah akanselalu mengalirkan rezeki kepada orang yang selalumembantu makhluk Allah lainnya”(Sang Pencerah,2010:65).

Dalam surat Ad Dhuha ayat 9 dijelaskan tentang kewajiban

menyantuni anak yatim :

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-

wenang” (QS Ad Dhuha: 9).

5. Menikah Jika Cukup Umur

Perintah menikah merupakan perintah sunnah. Menikah

dilakukan ketika sudah mencapai usia yang cukup matang. Pada

tahun 1889, Darwis dan Walidah menikah dalam suasana penuh

kebahagiaan. Pernikahan itu terjadi ketika Darwis berusia 21 tahun,

sedangkan Walidah berusia 17 tahun. Suatu usia yang cukup untuk

menjalani hidup di dalam suatu ikatan perkawinan.

112

“Kalender Masehi yang digunakan Pemerintah HindiaBelanda menunjukkan tahun 1889 ketika Sunnah Nabiuntuk membentuk keluarga bagi setiap Muslim itu akhirnyaaku jalankan…” (Sang Pencerah, 2010: 156).

c. Hubungan Manusia dengan Alam

Manusia adalah makhluk yang sempurna. Manusia diwajibkan

hanya menyembah kepada Allah, tidak kepada yang lainnya seperti

pohon-pohon. Tidak ada kekuatan selain Allah. Bagi manusia pohon

dapat dijadikan media untuk kebutuhan manusia dalam membangun

rumah. Pohon tidak memiliki kekuatan dan kuasa untuk memberikan

keuntungan bagi manusia. Pohon tidak boleh disembah dan dimintai

sesuatu pertolongan dan atau keberuntungan seperti dilakukan oleh

suami-isteri dalam kutipan berikut ini:

“Pulang dari Masjid Gedhe, aku melihat sepasang suami-isterimemberikan sesaji dan membakar kemenyan di antara pohonberingin dengan sangat hati-hati.”“Aku dekati pohon beringin itu dengna berjalan sewajarmungkin, sebelum mengendap-ngendap dan dengan cepatmengambil sesajan dan kembali bertingkah sewajar mungkinseperti sebelumnya” (Sang Pencerah, 2010: 90).

3. Skenario Pembelajaran Unsur Intrinsik dan Nilai Religius Novel Sang

Pencerah Karya Akmal Nasery Basral di kelas XI SMA

Dalam pembelajaran sastra seorang guru tidak hanya mengajarkan

teori-teori saja. Seorang guru harus mengenalkan karya sastra dan

menerapkan teori-teori tersebut untuk mengapresiasi karya sastra. Dengan

mengapresiasi karya sastra dapat melatih siswa mempertajam perasaan,

penalaran, dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya,

113

agama, dan lingkungan hidup. Pengalaman siswa dalam mengkaji dan

mengapresiasi karya sastra (khususnya sastra Islami) berdampak positif

dan berpengaruh terhadap kepekaan, religi, dan nalar siswa. Misalnya

nilai-nilai positif dalam karya sastra seperti yang dicontohkan dalam novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral seperti tidak boleh dendam

kepada sesama muslim dan saling memaafkan.

Penulis memperhatikan tingkat penguasaan bahasa siswa sehingga

dalam menyampaikan materi tidak mengalami kesulitan. Pada novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral, bahasa yang digunakan adalah

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa dalam novel ini

dapat meningkatkan pengetahuan siswa dalam berbahasa, setidaknya siswa

berusaha untuk memahami bahasa lain, tidak hanya bahasa Indonesia. Hal

tersebut dapat menambah ragam bahasa siswa.

a. Tujuan Pembelajaran Unsur Intrinsik dan Nilai Religius Novel

Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral.

Tujuan pembelajaran sastra secara umum di SMA adalah peserta

didik mampu menikmati, menghayati, memahami dan memanfaatkan

karya sastra untuk pengembangan kepribadian, memperluas wawasan

kehidupan dan kemampuan berbahasa.

1) Standar Kompetensi

Standar kompetensi dalam pembelajaran sastra adalah

memahami novel Indonesia atau novel terjemahan.

114

2) Kompetensi Dasar

Kompetensi dasar dalam pembelajaran novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah menganalisis unsur

ekstrinsik novel. Unsur ekstrinsik yang dibahas adalah nilai

religius dalam novel Sang Pencerah.

3) Indikator Hasil Belajar

Indikator hasil belajar untuk mengajarkan nilai religius

sastra di SMA, yaitu:

(a) Siswa mampu menceritakan isi novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral.

(b) Siswa dapat menemukan nilai religius dalam novel Sang

Pencerah.

(c) Siswa dapat menjelaskan nilai religius dalam novel Sang

Pencerah.

b. Strategi Pembelajaran Unsur Intrinsik dan Nilai Religius Novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah strategi sastra

yang meliputi tiga tahap, yaitu:

1) Tahap penjelajahan

Tahap penjelajahan merupakan tahap awal yang dilakukan

dalam strategi sastra. Kegiatan tahap ini memberikan kesempatan

pada peserta didik untuk mengapresiasi karya sastra.

Langkah-langkah yang dilakukan :

115

(a) Guru mengucapkan salam.

(b) Guru menyampaikan materi tentang unsur intrinsik dan nilai

religius.

(c) Siswa diminta untuk membaca novel Sang Pencerah karya

Akmal Nasery Basral dan mendata unsur intrinsik serta nilai

religius yang ditentukan.

2) Tahap Interpretasi

Tahap interpretasi merupakan kegiatan mendiskusikan

materi mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik serta mendiskusikan

novel yang telah dibaca.

Langkah-langkah yang dilakukan :

(a) Guru menjelaskan tentang novel, unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik novel.

(b) Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok kecil. Setiap

kelompok terdiri dari 5 siswa.

(c) Guru membagi siswa dalam kelompoknya. Materi yang

didiskusikan yaitu mendiskusikan struktur (unsur intrinsik dan

ekstrinsik) terutama nilai-nilai religius yang terdapat dalam

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

(d) Guru memberi ulasan dan penjelasan yang berupa simpulan.

3) Tahap Rekreasi

Tahap rekreasi adalah kegiatan siswa untuk merekreasikan

kembali hal-hal yang diperolehnya menggunakan kata-kata sendiri.

116

Adapun kegiatan yang ditempuh yaitu siswa diminta untuk

menuliskan kembali tentang struktur dan nilai-nilai religius

menggunakan bahasa sendiri.

c. Bahan Pembelajaran Sastra

Pemilihan novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas

XI SMA dapat dilihat dari segi antara lain (1) segi bahasa, (2) segi

psikologi, dan (3) segi latar belakang kebudayaan.

1) Segi bahasa

Novel sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra

Indonesia di kelas XI SMA, hendaknya novel tersebut

menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. Dari

segi bahasa, novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

disusun dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun

sebagian kecil bahasa Arab dan bahasa Jawa. Bahasa Arab

digunakan untuk mempertegas nilai-nilai Islam yang ada dalam

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, bahasa Jawa

digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan

budaya dan adat istiadat Jawa. Bahasa Arab digunakan untuk

mempertegas nilai-nilai agama Islam yang ada dalam novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, penggunaan bahasa

Arab dan bahasa Jawa tidak mengurangi nilai sastra yang ada

dalam novel tersebut karena penggunaan masing-masing bahasa

117

adalah bahasa yang mudah dipahami dan sudah tidak asing lagi

didengar oleh umat Islam dan Warga Negara Indonesia.

Penggunaan bahasa Jawa seperti ajek, lindu, ndak, ngelindur,

dan keblinger, sedangkan penggunaan bahasa arab seperti

astaghfirullah, Alhamdulillah, thayyib, assalamu ‘alaikum, dan

hadas.

2) Segi Psikologi

Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

sebagai bahan pembelajaran sastra mengandung permasalahan

hidup dan persoalan nilai-nilai hidup. Siswa dapat dirangsang

untuk menemukan persoalan hidup dan mencari penyelesaian

tentang masalah kehidupan seperti yang terdapat dalam novel

misalnya K.H. Ahmad Dahlan saat langgar atau suraunya

dibakar oleh santri Kyai Kamaludiningrat. Saat itu K.H.Ahmad

Dahlan hanya bisa menangis menyaksikan kejadian itu bahkan

beliau hampir pergi dari Kauman. Namun, atas dukungan dan

pemberian uang dari kakak-kakaknya akhirnya langgar itu

kembali dibangun.

3) Segi Latar Belakang Budaya

Para siswa akan mudah tertarik pada karya-karya yang

ada hubungannya dengan budayanya sendiri. Seorang guru

hendaknya dapat memahami dan mengambil peluang dari

ketertarikan siswa tersebut dengan cara menyelidiki fasilitas

118

novel yang ada kaitannya dengan budaya siswanya. Dalam

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral mengisahkan

tentang seorang yang berlatar belakang budaya Jawa khususnya

dan Indonesia pada umumnya dan juga berlatar belakang orang

yang selalu patuh dengan ajaran agama Islam serta orang yang

teguh pendirian untuk menggapai sebuah keberhasilan sehingga

bermanfaat apabila diajarkan di SMA.

d. Skenario langkah-langkah Pembelajaran

Pembelajaran novel dengan materi nilai religius pada novel

Sang Pencerah berfokus pada aspek membaca. Sehubungan

dengan hal itu penulis memaparkan skenario pembelajaran berupa

RPP (Terlampir). Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dibuat

berdasakan silabus. Di bawah ini disajikan langkah-langkah

pembelajaran novel dengan materi nilai religius pada novel Sang

Pencerah di kelas XI SMA.

a. Pertemuan pertama dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.

1) Guru memberikan teori atau menerangkan tentang unsur

intrinsik novel dan nilai-nilai yang terdapat dalam karya

sastra dengan alokasi waktu 30 menit.

Guru pada tahap ini dapat menggunakan metode

ceramah untuk menyampaikan teori tentang unsur intrinsik

dan ektrinsik (nilai religius) yang terdapat pada karya

sastra. Metode ceramah dilakukan dengan penuturan secara

119

lisan oleh guru terhadap siswa yang pelaksanaannya dapat

dibantu dengan alat bantu mengajar untuk lebih

memperjelas materi yang disampaikan.

2) Guru mengajak siswa untuk membaca novel Sang

Pencerah dengan alokasi waktu 60 menit.

Membaca novel memerlukan waktu yang cukup

lama, oleh karena itu guru mengajak siswa untuk

melanjutkan membaca novel Sang Pencerah di luar jam

sekolah. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah

metode membaca. Metode tersebut menuntut siswa untuk

berkonsentrasi tinggi agar dapat menangkap isi dari novel

yang dibaca.

b. Pertemuan kedua dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.

1) Guru menugaskan siswa untuk mengidentifikasi dan

menganalisis unsur intrinsik dan nilai religious yang

terdapat pada novel Sang Pencerah dengan alokasi waktu

40 menit.

Pada tahap ini siswa mendapatkan tugas dari guru

untuk mengidentifikasi serta menganalisis unsur intrinsik

dan nilai religius yang terdapat dalam novel Sang

Pencerah dengan metode analisis isi. Metode analisis isi

merupakan teknik penelitian dengan menguraikan isi dari

objek yang diteliti.

120

2) Guru menugaskan siswa untuk mendiskusikan unsur

intrinsik dan nilai religius pada novel Sang Pencerah

dengan alokasi waktu 30 menit.

Pada kegiatan diskusi ini metode yang digunakan

adalah metode diskusi dengan cara pengelompokan. Peserta

didik dibagi menjadi lima kelompok, kemudian masing-

masing kelompok mendiskusikan unsur intrinsik dan nilai

religius yang terdapat dalam novel Sang Pencerah. Dengan

kegiatan ini peserta didik tidak hanya berpegang pada hasil

pemikiran sendiri, juga dapat memberi dan menerima

masukan terhadap jawaban atau hasil pemikiran teman.

3) Siswa diminta untuk melaporkan hasil diskusi dengan

alokasi waktu 20 menit.

Pada tahap ini masing-masing kelompok menunjuk

seorang perwakilan untuk melaporkan hasil diskusinya di

depan kelas secara bergantian. Metode yang digunakan

pada tahap ini adalah metode presentasi atau membaca.

Setelah semua perwakilan kelompok mempresentasikan

hasil diskusi mereka, guru memberi evaluasi secara singkat

agar siswa dapat mengetahui bagaimana perbaikan hasil

diskusi siswa.

Dari langkah-langkah pembelajaran di atas dapat dirumus-

kan skenario pembelajaran novel di kelas XI SMA dengan materi

121

religius pada novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

sebagai berikut.

a. Pertemuan pertama dengan olokasi waktu 2 x 45 menit.

1) Pendahuluan dengan alokasi waktu 5 menit.

a) Guru mengucapkan salam dan mengajak siswa untuk

berdoa.

Guru : “Assalamu’allaikum warahmatullahi

wabarakatuh.”

Siswa : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi

wabarakatuh.”

Guru : “Selamat pagi/siang anak-anak!”

Siswa : “Pagi/siang, Bu!”

Guru : “Baiklah anak-anak sebelum kita

melaksanakan kegiatan belajar hari

ini, marilah kita awali dengan

membaca Basmalah bersama-sama.”

Siswa dan Guru : “Bismillahirrah manirrahim.”

b) Guru mengecek kehadiran siswa.

Guru : “Apakah ada teman Anda yang tidak

masuk hari ini?”

(Guru sambil membuka buku presensi kehadiran siswa

yang ada di meja guru juga menanyakan atau

122

mengkonfirmasi kepada siswa mengenai kehadiran

teman mereka).

Siswa : Ada, Bu/tidak ada, Bu.

2) Kegiatan inti dengan alokasi waktu 80 menit.

a) Guru menyampaikan materi mengenai unsur intrinsik

dan ekstrinsik (nilai religius) dalam karya sastra.

Pada tahap ini guru menggunakan metode

ceramah untuk menyampaikan teori tentang unsur

intrinsik dan ekstrinsik (nilai religius) yang terdapat

dalam karya sastra.

Guru : “Anak-anak pelajaran kita hari ini adalah

pembelajaran novel. Ibu akan

menyampaikan materi tentang unsur

intrinsik dan ekstrinsik (nilai religius)

pada novel (karya sastra).”

b. Guru mengajak siswa untuk membaca novel Sang Pencerah

dengan alokasi waktu 60 menit.

Guru : “Karena tadi kita sudah mempelajari teori-teori tentang

unsur intrinsik dan ekstrinsik (nilai religius) pada karya

sastra. Untuk lebih memahami apa yang sudah kita

pelajari tersebut marilah kita membaca novel Sang

Pencerah Cermatilah unsur intrinsik dan ekstrinsik (nilai

religius) yang terdapat dalam novel tersebut!”

123

3) Penutup dengan alokasi waktu 5 menit.

Guru menutup pertemuan dengan berdoa dan mengucapkan salam.

Guru : “Baiklah anak-anak berhubung waktunya sudah habis

membaca novelnya sampai di sini saja. Bagian novel yang

belum sempat dibaca kita lanjutkan nanti sepulang

sekolah. Untuk itu, dimohon sepulang sekolah nanti anak-

anak semua untuk tidak pulang terlebih dahulu. Terima

kasih perhatiannya, jika ada salah kata mohon dimaafkan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Siswa : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”

b. Pertemuan kedua dengan alokasi waktu 2 x 45 menit.

1) Pendahuluan dengan alokasi waktu 10 menit.

a) Guru mengucapkan salam dan mengajak siswa untuk berdoa.

Guru : “Assalamu’allaikum warahmatullahi

wabarakatuh.”

Siswa : “Wa’alaikumsalam warahmatullahi

wabarakatuh.”

Guru : “Selamat pagi/siang anak-anak!”

Siswa : “Pagi/siang, Bu/Pak!”

Guru : “Baiklah anak-anak sebelum kita

melaksanakan kegiatan belajar hari ini,

marilah kita awali dengan membaca Basmalah

bersama-sama.”

Guru dan Siswa: “Bismillahirrahmanirrahim.”

124

b) Guru mengecek kehadiran peserta.

Guru : “Apakah ada teman Anda yang tidak masuk

hari ini?”

(Guru sambil membuka buku absensi kehadiran siswa yang ada

di meja guru juga menanyakan atau mengkonfirmasi kepada

siswa mengenai kehadiran teman mereka).

c) Guru mengulas kembali materi sebelumnya.

Guru sedikit mengulas materi sebelumnya dengan tujuan

mengingatkan kembali siswa tentang materi yang telah

dipelajari.

Guru : “Anak-anak pada pertemuan kemarin kita

telah mempelajari materi unsur intrinsik dan

ekstrinsik (nilai religius) pada karya sastra dan

kita juga telah membaca novel Sang Pencerah.

Apakah kalian masih ingat apakah yang

disebut dengan tema?”

Siswa : “Tema adalah gagasan sentral yang menjadi

ide pokok dalam suatu karya sastra.”

Guru : “Berdasarkan fungsinya tokoh dibedakan

menjadi dua, yaitu? ”

Siswa : “tokoh sentral dan tokoh bawahan”

Guru : “Siapakah tokoh sentral atau utama dalam

novel Sang Pencerah tersebut?”

Siswa : “ K.H. Ahmad Dahlan.”

125

2) Kegiatan inti dengan alokasi waktu 75 menit.

a) Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mengidentifikasi

dan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik (nilai religius)

novel Sang Pencerah dengan alokasi waktu 30 menit.

Guru : “Sekarang silakan Anda mengidentifikasi dan

menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik

(nilai religius) pada novel Sang Pencerah yang

telah Anda baca bersama kemarin. Ibu berikan

waktu 30 menit dari sekarang.”

b) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk

mendiskusikan hasil pekerjaan mereka, yaitu mengidentifikasi

dan menganalisis unsur intrinsik dan nilai religius novel Sang

Pencerah dengan alokasi waktu 25 menit.

Pada kegiatan ini metode yang digunakan adalah metode

diskusi. Siswa dibagi menjadi 5 kelompok kemudian, masing-

masing kelompok diminta untuk mendiskusikan unsur intrinsik

dan nilai religius yang terdapat dalam novel Sang Pencerah.

Guru : “Anak-anak sekarang saya minta kalian

membentuk kelompok. Karena jumlah siswa di

kelas ini berjumlah 30 orang, bagilah menjadi

5 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 6

orang.”

Siswa berdiskusi dan mencocokkan hasil pekerjaan

mereka masing-masing kepada teman satu kelompok. Dengan

126

adanya kegiatan ini siswa tidak hanya berpegang pada hasil

pemikiran sendiri. Namun, juga dapat memberi dan menerima

masukan terhadap jawaban atau hasil pemikiran orang lain.

c) Guru memberi tugas siswa untuk mempresentasikan hasil

pekerjaan melalui perwakilan kelompok dengan alokasi waktu

20 menit.

Pada tahap ini guru member tugas setiap kelompok

menunjuk seorang perwakilan untuk melaporkan hasil

diskusinya di depan kelas secara bergantian.

Guru : “Anak-anak mohon perhatiannya, silakan

setiap kelompok menyiapkan satu orang untuk

membacakan hasil diskusi kelompok Anda di

depan kelas.”

Salah satu anak yang ditunjuk untuk mewakili

kelompoknya maju ke depan dan mempresentasikan hasil

diskusi kelompok mereka. Dari kegiatan ini guru mengetahui

seberapa jauh siswa mampu memahami materi yang telah

disampaikan.

3) Penutup dengan alokasi waktu 5 menit.

a) Guru dan siswa merefleksikan kembali hasil kegiatan

pembelajaran dengan materi nilai religius pada novel Sang

Pencerah.

127

Pada tahap ini guru menanyakan pada siswa apa yang

belum jelas dan belum dimengerti dari pelajaran yang telah

dibahas tadi. Tujuan kegiatan ini adalah agar guru dapat

mengetahui seberapa jauh siswa dapat memahami materi yang

telah diajarkan.

Guru : “Dari apa yang sudah kita pelajari tadi, apakah

ada yang belum Anda mengerti? Silahkan

Anda tanyakan bagian mana yang belum Anda

mengerti.”

b) Guru menutup pertemuan dengan berdoa dan mengucapkan

salam.

Guru : “Jika tidak ada yang akan Anda tanyakan, kita

akhiri pelajaran ini dengan mengucapkan

bacaan Hamdallah bersama-sama”

Guru dan siswa : “Alhamdulillahirabilalamin”

Guru : “Saya ucapkan terima kasih atas perhatian

Anda. Wassalamu’alaikum warahmatullahi

wabarakatuh.”

e. Sumber Belajar

Sumber belajar yang digunakan oleh siswa kelas XI SMA

untuk mempelajari struktur novel dan nilai religius novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral adalah guru, buku-buku

yang berkaitan dengan struktur dan nilai religius sastra, dan buku

paket Bahasa Indonesia kelas XI SMA.

128

f. Waktu

Waktu yang digunakan dalam pembelajaran dapat diatur

sesuai dengan keleluasaan dan kedalaman materi. Dalam

pembelajaran novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

sebaiknya 4 jam pelajaran (2x pertemuan).

Misalnya untuk menyampaikan materi yang panjang dan

mendalam perlu waktu yang lebih lama. Dalam pembelajaran novel

sebaiknya satu minggu sebelum dimulai pembelajaran siswa

diminta untuk membaca terlebih dahulu di rumah.

g. Evaluasi pembelajaran sastra

Penilaian proses dan hasil sastra di SMA dapat berlangsung

lewat kegiatan, baik lisan maupun tertulis. Evaluasi yang

digunakan dalam pembelajaran novel Sang Pencerah secara

tertulis menggunakan tes esai.

Soal bentuk tes esai :

a. Jelaskan hubungan antara tema dengan alur dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

b. […] Yang merasa tertusuk lebih dulu dengan pertanyaankujustru bapakku sendiri. “Maksudmu dibuat sederhana itu apa,Wis?”[…]

“Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidakperlu dengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikansesajen”. Aku memantapkan hatiku dalam memberikanjawaban sambil tetap berusaha menjaga kesantunan “uangpembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkan sebagai sedekah bagifakir miskin sehingga hasilnya akan lebih jelas.”

Dan kini perdebatan di antara anggota keluargaku benar-benar terjadi setelah Mas Noor juga ikut angkat bicara. “Kalau

129

untuk soal sedekah itu tidak usah khawatir, Wis. Masjid Gedheselalu melakukan pemberian sedekah setiap hari Jumatsehingga umat Islam mendadak jadi banyak terlihat pada hariitu.” Nada suara Mas Noor tegas seperti biasa. “Kalau nyadranini isinya hanya membaca doa-doa saja, dan tidak ada orangyang mau datang berdoa, lantas siapa mau yang bertanggungjawab? Dan bagaimana kita menjelaskannya kepada NgarsaDalem?” (Sang Pencerah, 2010: 83-84).

Bagaimana pendapatmu, apakah penggalan kutipan disajikan

dengan nilai estetis?

c. Sebutkan hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya pada

novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

d. Bagaimanakah nilai religius yang terdapat dalam novel, apakah

Anda merasa dibimbing setelah membaca novel tersebut?

130

BAB VPENUTUP

Hal-hal yang dipaparkan di dalam bab ini adalah simpulan dan saran.

Simpulan berisi jawaban padat hasil analisis data dari penelitian ini, sedangkan

saran berisi masukan penulis yang berkaitan dengan materi penelitian.

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada analisis dan pembahasan data hasil penelitian,

penelitian ini menghasilkan simpulan sebagai berikut.

1. Struktur pada novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

Struktur novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral yang

terdiri atas tema, tokoh, penokohan, alur, latar dan amanat secara padu

membangun cerita yang mempunyai nilai estetis dan nilai religius.

2. Nilai religius novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

Nilai religius novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

mencakup dua aspek yaitu: (a) hubungan manusia dengan Tuhan meliputi

kewajiban salat, tawakal, jujur, syukur, pemimpin harus bertanggung

jawab, Islam adalah agama yang membawa rahmat, dan tidak boleh taklid

dalam beragama, (b) hubungan manusia dengan manusia meliputi

hubungan yang baik antara Darwis dengan bapak/ibu, menjalin

pertemanan, menghormati guru, menyantuni anak yatim, dan menikah, (c)

hubungan manusia dengan alam sekitar yaitu bahwa pohon bukan untuk

disembah. Nilai-nilai religius itu dikemas dalam bentuk cerita yang indah

dan tidak bersifat menggurui.

130

131

3. Skenario Pembelajaran Novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

di kelas XI SMA.

Tujuan dari pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

menggunakan kemampuan dasar dan indikator belajar sebagai ganti tujuan

pembelajaran umum dan khusus. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pembelajaran sasta di

SMA meliputi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator.

Standar kompetensi dalam pembelajaran sastra adalah memahami berbagai

hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan, kompetensi dasar dalam

pembelajaran sastra disesuaikan dengan silabus adalah menganalisis

unsur-unsur novel Indonesia/terjemahan, sedangkan indikator pembelajar-

an sastra yaitu menganalisis unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik (alur,

tema, penokohan, dan latar).

Strategi yang digunakan pada proses belajar mengajar adalah strategi

sastra yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) tahap penjelajahan, (2)

tahap interpretasi, dan (3) tahap rekreasi. Dalam pemilihan bahan

pembelajaran juga harus memperhatikan sudut bahasa, latar belakang

budaya, dan psikologi. Metode yang digunakan yaitu ceramah, diskusi,

dan pemberian tugas. Sumber belajar yang dipakai adalah hasil karya

sastra atau novel, buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas XI

SMA, buku-buku tentang sastra, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Skenario pembelajaran nilai religious novel Sang Pencerah karya Akmal

Nasery Basral terdiri atas enam tahap yakni (a) pelacakan pendahuluan, (b)

132

penentuan sikap praktis, (c) introduksi, (d) penyajian, (e) diskusi, dan (f)

pengukuhan. Evaluasi yang digunakan dalam pembelajaran novel Sang

Pencerah secara tertulis dengan menggunakan tes esai.

B. Saran

1. Bagi peneliti berikutnya

Dalam penelitian ini, penulis hanya mengungkapkan sebagian kecil

dari novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral. Oleh karena itu,

bagi peneliti berikutnya perlu pengembangan lebih luas mengenai

permasalahan yang sama ataupun yang berbeda dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

2. Bagi pembaca agar lebih memahami makna dan pesan-pesan yang

disampaikan oleh pengarang dalam karya sastra khususnya novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

3. Bagi pendidik, hasil penelitian ini diharapkan mampu memotivasi

pendidikan dan untuk menambah wawasan siswa dan kecintaan akan dunia

sastra diharapkan guru mampu menumbuhkembangkan minat siswanya

dalam dunia kesusastraan.

4. Bagi siswa, diharapkan dapat memperdalam keterampilan siswa dalam

berbahasa dan dapat menambah wawasan sastra bagi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.Jakarta: Balai Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.

Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra.Bandung: Sinar Baru.

Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIPSemarang Press.

Basral, Akmal Nasery. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Pustaka.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia EdisiKeempat. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamalik, Oemar. 2010. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Ihsan, Fuad.2011. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mangunwijaya, Y. B. 1982. Satra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan.

Milllati, Uswah. 2012. .”Nilai-Nilai Religius dalam Novel Ketika Cinta BertasbihI karya Habiburrahman El-Shirazy dan Relevansi Pembelajarannya diSMA”. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Mulyasa, E. 2011. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: RemajaRosdakarya.

Muslich, Mansnur. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi danKontekstual. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nur Ghufron, M. dan Rini Risnawati S. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penilaian Pembelajaran Bahasa BerbasisKompetensi. Yogyakarta: BPFE.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pedoman Umum EjaanBahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: PT Mangle Panglipur.

Rusyana, Yus.1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:CV Diponegoro.

SISDIKNAS. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

SM, Ismail. 2009. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM.Semarang: Rasail Media Group.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi AlIrsyad). London: Holt, Rinehart and Winston, Inc. (Buku Asliditerbitkan tahun 1965).

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: DutaWacana University Press.

Sujiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suyud. 2007. “Religiositas dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya AhmadTohari”. Skripsi. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Syukur, Ibrahim, Abdul. 2009. Metode Analisis Teks dan Wacana. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Tim Edukatif. 2007. Kompeten Bahasa dan Ssatra Indonesia untuk SMA KelasXI. Jakarta: Erlangga.

Yuni Purwanti, Marina. 2010. “Nilai Religiositas dalam Novel Tasawuf Cintakarya M.Hilmi As’ad”. Skripsi. Purworejo: Universitas MuhammadiyahPurworejo.

SINOPSIS NOVEL SANG PENCERAH

Kiai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1868 dengan

nama kecil Muhammad Darwis, anak dari seorang Kiai Haji Abu Bakar bin Kiai

Muhammad Sulaiman, khatib masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dan seorang ibu

bernama Siti Aminah binti Kiai Haji Ibrahim yang juga seorang penghulu

Kasultanan yang cukup terpandang. Suatu ketika saat Darwis (KH Ahmad

Dahlan) diajak oleh ayahnya untuk menghadiri yasinan 40 hari meninggalnya

Bapak Pono dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan ibu Pono dengan seorang

ibu tentang pelunasan hutang, sejak saat itulah Darwis berpikir apakah yasinan itu

merupakan suatu keharusan. Selain itu tentang tradisi padusan dan ruwatan yang

menurut Darwis tidak ada dalam syariat Islam. Sejak saat itulah pemikirannya

selalu muncul dan bahkan mulai menentang orang-orang di sekelilingnya.

Darwis berangkat menunaikan ibadah haji saat dia berumur 15 tahun.

Beliau mempelajari ilmu hadis, ilmu qira’at, ilmu hisab, ilmu nahwu, ilmu falaq

dari para syaikh di Mekah. Setelah lima tahun beliau menimba ilmu di Mekah

beliau kembali lagi ke Jawa dengan nama baru yakni Ahmad Dahlan, dan semua

orang menyetujui nama tersebut. Tak lama kemudian beliau menikah dengan Siti

Walidah anak dari Kiai Fadhil yang masih sepupunya. Dari pernikahannya itu

Kiai Dahlan dikaruniai dua orang putra dan empat orang putri. Kiai Ahmad

Dahlan diangkat sebagai khatib di masjid Gedhe untuk menggantikan posisi

Bapaknya (Kiai Haji Abu Bakar) yang wafat. Kiprahnya berdakwah dimulai dari

mendirikan Langgar yang digunakan beliau untuk memberikan pengajian kepada

Lampiran 1

para santrinya. Akhirnya untuk pertama kali Kiai Dahlan bertindak sebagai Khatib

Amin dalam shalat jum’at, dimana isi khutbah beliau sedikit membuat wajah Kiai

Penghulu tampak tertekan. Sejak saat itu Kiai Dahlan mendapat teguran dari Kiai

Penghulu, apalagi tentang pemikiran-pemikiran dan dan pendapat Kiai Dahlan

mengenai arah kiblat Masjid Gedhe yang salah hingga pada akhirnya

menimbulkan geger di Masjid Gedhe karena ada garis shaf baru. hal itu semakin

membuat Kiai Penghulu terbakar amarah dan menuduh Kiai Dahlan dan para

santrinya yang melakukan hal itu. Namun semua tuduhan itu tidak terbukti karena

yang melakukannya adalah Dirjo keponakan Kiai Penghulu.

Kiai Dahlan mendapat teguran dari Kiai Penghulu untuk menutup Langgar

Kidul, namun Kiai Dahlan tetap tidak akan menutup Langgar Kidul. Hingga pada

suatu suatu malam terjadi peristiwa yang begitu menyakitkan bagi Kiai Dahlan

dan para santri-santrinya yaitu dihancurkannya Langgar Kidul oleh orang-orang

suruhan Kiai Penghulu. Setelah kejadian itu Kiai Dahlan berniat meningalkan

Kauman dan pergi ke Semarang, namun niat itu dicegah oleh Kiai Saleh hingga

Kiai Dahlan mau kembali ke Kauman dan membangun kembali Langgar Kidul

yang telah runtuh. Kiai Dahlan kemudian mengundurkan diri sebagai Khatib

Amin di Masjid Gedhe.

Sri Sultan Hamungkubuwono kemudian mengirim Kiai Dahlan untuk

melaksanakan ibadah haji yang kedua untuk memperdalam ilmu agama yang akan

dibiyayai sepenuhnya oleh Keraton. Disana beliau bertemu dengan Syaikh Rasyid

Ridha, seorang pembaharu pemikiran Islam yang juga murid dari Syaikh

Jamaluddin Al Afghani dan Syaikh Mualana Abduh. Sepulang menunaikan

ibadah haji Kiai Dahlan bergabung dengan Budi Utomo dan mengajar sekolah

Belanda yang bernama Kweek School. Kiai Dahlan dituduh sebagai Kiai Kafir

karena memakai pakaian mirip orang Belanda yakni memakai jas dan sepatu, juga

karena Kiai Dahlan sering memainkan alat musik biola. Selain itu juga karena

Kiai Dahlan membuka sekolah dengan menggunakan peralatan seperti meja dan

kursi yang dianggap orang-orang itu merupakan perlengkapan orang kafir.

Niatnya untuk mendirikan Muhammadiyah terus diperjuangkan oleh Kiai Dahlan

walaupun berbagai cobaan dan tuduhan tetap tidak membuat Kiai Dahlan surut.

Dengan diterima istri tercinta Siti Walidah dan lima murid-murid setianya yaitu

Sudja, Sangidu, Fakhrudin, Hisyam dan Dirjo akhirnya Persyarikatan

Muhammadiyah disetujui oleh Kiai Penghulu yang pada awalnya tidak

menyetujui adanya Muhammadiyah dan hubungan Kiai Dahlan dengan Kiai

Penghulu serta Kiai di Kauman membaik.

Biografi Pengarang Sang Pencerah

Pengarang novel Sang Pencerah adalah seorang laki-laki yang bernama

Akmal nasery Basral. Pria kelahiran Jakarta, 28 April 1968 adalah seorang

wartawan dan sastrawan Indonesia. Kumpulan cerpen pertamanya Ada Seseorang

di Kepalaku Yang Bukan Aku (2006) yang terdiri dari 13 cerpen. Sebagai

wartawan dia pernah bekerja untuk majalah mingguan Gatra (1994-1998),

Gamma (1999), majalah Tempo (2004-sekarang). Dia dapat memaparkan suatu

nilai yang kreatif dan berbobot dengan menggunakan bahasa sederhana yang

terkadang masih lekat dengan Jawa.

Merintis karir di dunia jurnalistik sejak 1994, dia pernah bekerja sebagai

wartawan di tiga majalah berita mingguan (Gatra, Gamma, Tempo). Di bidang

kesusastraan, Akmal yang menyukai gaya bercerita Jonathan Safran Foer dan

Haruki Murakami ini sedang menyelesaikan naskah novelnya, Las Palabras de

amor, yang merupakan alegori Indonesia periode 1980-an sampai 2000an.

Di bidang perfilman, saat ini Akmal merupakan penyedia cerita program

FTV 20 wajah Indonesia, program khusus kanal SCTV yang dikerjakan rumah

produksi Citra Sinema pimpinan Deddy Mizwar. Di tengah-tengah kesibukan

mengerjakan FTV itu, Akmal yang juga penikmat seri documenter Don’t Tell My

Mother yang dipandu Diego ini sedang menggodok film documenter yang akan

disutradarainya sendiri, dibantu oleh yayasan Mizan/ Mizan Productions.

Di antara du kutub dunia sastra dan film itu yang ditekuninya, ayah tiga

putri ini masih bersentuhan dengan dunia music cukup intens lewat

keterlibatannya dalam memoles sebuah band pop secara rutin. Jika tidak ada aral

melintang, sebuah bukunya tentang profil dan perjalanan dua orchestra terkemuka

di tanah air juga akan terbit.

Lampiran 2

1. Tabel Struktur Novel Sang Pencerah Karya Akmal Nasery Basral

No Unsur pembentuk karya sastra Penyajian Data

1 Tema 83, 84, 110, 111, 241, 245, 360,368, 294, 399, 426, 442, 443.

2 Tokoh dan penokohan 294, 6, 82, 45, 67, 74, 78, 79, 150,93, 238, 128, 182, 129, 140, 178,222, 263, 303, 312, 314, 413.

3 Alura. Awal

1. Paparan 62. Rangsangan 71

3. Gawatan 206b. Tengah

1. Tikaian 842. Rumitan 204, 206, 2113. Klimaks 244, 245

c. Akhir1. Leraian 260, 2622. Selesaian 417, 424.

4. Latar

a. Latar tempat 141, 143, 267, 239, 402, 403,

b. Latar waktu 125, 254, 100, 96, 21, 101, 160,137, 254, 164, 450, 11, 160, 161.

c. Latar sosial 174, 175, 46, 93, 190, 129, 441,93.

5. Sudut pandang 90, 260.

6. Amanat 90, 229, 391, 81, 263.

Lampiran 3

2. Tabel Nilai Religius yang Ada dalam Novel Sang Pencerah Karya Akmal

Nasery Basral

No Nilai-Nilai Religius Penyajian Data

1. Hubungan Manusia dengan

Tuhan

212,161, 91, 46, 7-8, 175

2. Hubungan Manusia dengan

Manusia

11, 14, 24, 49, 63, 65, 156.

3. Hubungan Manusia dengan

Alam

90

Lampiran 4SILABUS

Nama Sekolah :SMA Negeri 1 KlirongMata Pelajaran : Bahasa IndonesiaKelas : XISemester : 1Standar Kompetensi : Membaca

7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia / Novel Terjemahan

KompetensiDasar

MateriPembelajaran

Kegiatan Pembelajaran Indikator PenilaianAlokasiWaktu

Sumber /Bahan

7.2 Menganalisisunsur-unsurinstrinsik danekstrinsiknovelIndonesia.

Novel Indonesiadan novelterjemahan.- Unsur-unsur

intrinsik(alur,tema,penokohan,sudut pandang,latar, danamanat).

- Unsur ekstrinsik(nilai religius)

- Membaca novel Indonesiadan

- Menganalisis unsur-unsurekstrinsik dan intrinsik(alur, tema, penokohan,sudut pandang, latar, danamanat) novel Indonesiadan novel Terjemahan.

- Membandingkan unsurekstrinsik dan intrinsiknovel Indonesiadengannovel terjemahan.

- Menganalisis unsur-unsurekstrinsik (niali religius)dan intrinsik novelIndonesia (tema, tokohdan penokohan, alur,latar, dan amanat)

- Menganalisis unsur-unsurekstrinsik dan intrinsiknovel terjemahan.

- Membandingkan unsurekstrinsik dan intrinsiknovel Indonesia dan novelterjemahan.

Jenis tagihan- Tugas individu- Tugas kelompok-UlanganBentuk instrumen- Uraian bebas- Pilihan ganda- Jawaban singkatJenis tagihan- Tugas kelompok- Tugas kelompok- UlanganBentuk instrumen- Uraian bebas- Pilihan ganda- Jawaban singkat

4 Novel SangPencerahkaryaAkmalNaseryBasral

Purworejo, September 2012Guru Mata Pelajaran

Eni Kusrini

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Tingkat Sekolah : SMA Negeri 1 Klirong

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas/Semester : XI/I

Standar Kompetensi : Memahami cerita pendek, novel dan hikayat

Kompetensi Dasar : Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia/ terjemahan

Indikator :

a) Siswa mampu menceritakan isi novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral

b) Siswa dapat menjelaskan struktur dalam novel Sang

Pencerah

c) Siswa dapat menjelaskan nilai religius dalam novel

Sang Pencerah

Alokasi Waktu : 4 x 45 menit

A. Tujuan Pembelajaran

1) Siswa mampu menceritakan isi novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery

Basral

2) Siswa dapat menjelaskan struktur dalam novel Sang Pencerah

3) Siswa dapat menjelaskan nilai religius dalam novel Sang Pencerah

Lampiran 5

B. Materi Pembelajaran

Novel adalah novel adalah suatu karangan prosa yang panjang yang

mengandung rangkaian cerita yang melukiskan kehidupan para tokoh secara

imajinatif berdasarkan desakan-desakan emosional atau rasional dalam

masyarakat.

Struktur novel

1. Struktur novel

Analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum

diterapkannya analisis yang lain. Unsur-unsur struktur karya sastra

meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, amanat dan pusat

pengisahan

a. Tema

Di bawah ini beberapa pendapat mengenai tema yang

dikemukakan oleh para pakar sebagai berikut:

1) Nurgiyantoro (2011:68) mengatakan, tema merupakan keseluruhan

yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” di

dalam cerita yang mendukungnya.

2) Sudjiman (1986: 50) mengatakan, tema adalah gagasan, ide atau

pikiran utama yang mendasari karya sastra.

Menurut Nurgiyantoro, tema dibedakan menjadi dua bagian

yaitu tema utama yang disebut tema mayor yang artinya makna pokok

yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema mayor

ditentukan dengan cara menentukan persoalan yang paling menonjol,

yang paling banyak konflik dan waktu penceritaannya, sedangkan tema

tambahan disebut tema minor. Tema minor merupakan tema yang

kedua yaitu makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu

cerita dan diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna

tambahan.

Tema adalah ide cerita yang merupakan dasar untuk

pengembangan cerita yang menjiwai seluruh bagian cerita. Kedudukan

tema dalam novel sangat penting, karena tanpa tema sebuah karya

tidak memiliki makna.

b. Tokoh dan Penokohan

Setiap tokoh dalam suatu cerita mempunyai ciri-ciri tersendiri

atau watak yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Sudjiman

(1988: 16), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Tokoh adalah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau

berkelakuan pada berbagai peristiwa (Nurgiyantoro, 2010: 164),

sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang

seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2010:

165).

Nurgiyantoro (2010: 176-191), membedakan tokoh :

a) Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya

dalam novel yang bersangkutan. Penggambaran tokoh utama

banyak berhubungan dengan tokoh lain dan sering muncul dalam

cerita. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit dimunculkan

dalam cerita, kehadirannya jika ada keterkaitannya dengan tokoh

utama.

b) Tokoh protagonis dan antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang

salah satu jenisnya secara popular disebut tokoh hero yang

merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal

bagi kita. Tokoh protagonis biasanya menarik simpati pembaca.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang selalu menyebabkan konflik

bagi tokoh protagonis.

c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu

kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh

bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai

kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya.

d) Tokoh statis dan tokoh berkembang

Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sikap dan watak

yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.

Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan

dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan

perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.

e) Tokoh tipikal dan tokoh netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan

keadaan individualitasnya. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang

bereksistensi demi cerita itu sendiri.

Menurut Sudjiman (1988: 24-26), cara penggambaran

penokohan, menggunakan metode analitik dan metode dramatik.

Metode analitik adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan memberi

deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Metode

dramatik adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan secara tidak

langsung, pengarang membiarkan pembaca untuk menunjukkan

kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan,

baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan

atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

c. Alur

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010: 113), alur adalah cerita yang

berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan

secara sebab akibat, peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan

terjadinya peristiwa lain.

Menurut Sudjiman (1988: 30-36), struktur alur dapat dibagi

menjadi tiga bagian sebagai berikut.

a) Awal

(1) Paparan (exposition), berisi peristiwa awal yang memberikan

gambaran masalah yang dihadapi oleh tokoh cerita.

(2) Rangsangan (inciting moment), merupakan bagian alur yang

mengarah pada terjadinya tindakan awal sang tokoh.

(3) Gawatan (rising action), merupakan bagian dari alur yang

menunjukkan gerak menanjak masalah.

b) Tengah

(1) Tikaian (confict), menggambarkan perbedaan sikap, keinginan,

dan pandangan masalah para tokoh.

(2) Rumitan (complication), menunjukkan tikaian yang semakin

tajam dan rumit.

(3) Klimaks (climax), menunjukkan ketajaman konflik yang

dihadapi para tokoh.

c) Akhir

(1) Leraian (falling action), menggambarkan mulai cairnya

kebekuan dan kekakuan sikap para tokoh yang terjadi hingga

klimaks.

(2) Selesaian (denaument), memberikan gambaran nasib para

tokoh terhadap penyelesaian.

d. Latar

Latar merupakan peristiwa-peristiwa dalam cerita terjadi pada

suatu waktu atau dalam suatu rentang waktu tertentu dan pada suatu

tempat tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala

keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang,

dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun

latar cerita (Sudjiman, 1988: 46).

Menurut Sudjiman (1991:480), latar adalah segala keterangan

waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

1) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya

fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan

dengan peristiwa sejarah.

3) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi.

e. Amanat

Dari sebuah karya sastra dapat diangkat suatu ajaran moral,

atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat dalam

cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan

dengan ajaran moral tertentu. Amanat pada sebuah karya sastra

ditampilkan secara implisit (tak langsung) ataupun eksplisit (langsung)

(Sudjiman, 1988: 57).

2. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang secara tidak langsung melekat

dan membangun suatu karya sastra, terlepas dari yang diceritakan. Unsur

intrinsik meliputi:

a. Latar belaknag kehidupan pengarang dan kondisi zaman saat karya

sastra diciptakan

b. Status sosial

c. Budaya

d. Agama

e. Politik dan lain-lain

Unsur ekstrinsik yang menjadi materi dalam novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral, yakni berkaitan dengan nilai religius

mengenai ajaran Islam di dalam kehidupan.

C. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam novel Sang Pencerah

karya Akmal Nasery Basral antara lain:

a. ceramah

b. diskusi

c. pemberian tugas

D. Langkah-langkah Pembelajaran

Pertemuan 1

1. Tahap awal

a) Guru memberikan salam dan melakukan absensi pada siswa;

b) Guru menjelaskan tujuan dan manfaat pembelajaran;

c) Memotivasi siswa dengan mengarahkan pada situasi pembelajaran.

2. Kegiatan inti

a) Guru menjelaskan mengenai struktur (tema, tokoh dan penokohan,

alur, latar, sudut pandang dan amanat) dan ekstrinsik (nilai religius

yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya)

b) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya mengenai

materi yang belum jelas dan belum dimengerti.

c) Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok

d) Siswa diminta membaca novel Sang Pencerah secara bergantian

e) Siswa mendiskusikan novel Sang Pencerah serta mencari struktur

(tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang dan amanat)

dan ekstrinsik (nilai religius yang meliputi hubungan manusia dengan

Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam

sekitarnya)

3. Penutup

a) Guru menyuruh siswa melanjutkan tugasnya masing-masing di rumah.

b) Guru mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan mengucapkan salam

dan berdoa.

Pertemuan 2

1. Tahap awal

a) Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan mengucapkan salam

dan melakukan absensi.

b) Guru mengulas materi yang telah dijelaskan pada pertemuan

sebelumnya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa.

2. Kegiatan inti

a) Guru dan siswa mendiskusikan tentang kesulitan yang ditemukan saat

mengerjakan tugas tentang struktur (tema, tokoh dan penokohan, alur,

latar, sudut pandang dan amanat) dan ekstrinsik (nilai religius yang

meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,

dan manusia dengan alam sekitarnya).

b) Guru meminta siswa perwakilan untuk maju dari masing-masing

kelompok untuk mempresentasikan jawaban yang ada.

c) Siswa bersama guru berdiskusi membahas struktur (tema, tokoh dan

penokohan, alur, latar, sudut pandang dan amanat) dan ekstrinsik (nilai

religius yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitarnya).

3. Penutup

a) Refleksi.

b) Menyimpulkan materi pembelajaran.

c) Evaluasi.

E. Sumber Belajar

1. Buku wajib Kompeten Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas XI

2. LKS bahasa Indonesia

3. Buku Teori Pengkajian Fiksi karya Nurgiyantoro

4. Buku Metode Pengajaran Sastra karya Rusyana

F. Evaluasi

1. Evaluasi proses

Bacalah novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral

2. Evaluasi hasil

a) Jelaskan hubungan antara tema dengan alur dalam novel Sang

Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

b) […] Yang merasa tertusuk lebih dulu dengan pertanyaanku justrubapakku sendiri. “Maksudmu dibuat sederhana itu apa, Wis?”[…]“Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidak perlu denganupacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen”. Akumemantapkan hatiku dalam memberikan jawaban sambil tetapberusaha menjaga kesantunan “uang pembuatan sesajen itu bisadimanfaatkan sebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga hasilnyaakan lebih jelas.”

Dan kini perdebatan di antara anggota keluargaku benar-benarterjadi setelah Mas Noor juga ikut angkat bicara. “Kalau untuk soalsedekah itu tidak usah khawatir, Wis. Masjid Gedhe selalu melakukanpemberian sedekah setiap hari Jumat sehingga umat Islam mendadakjadi banyak terlihat pada hari itu.” Nada suara Mas Noor tegas sepertibiasa. “Kalau nyadran ini isinya hanya membaca doa-doa saja, dantidak ada orang yang mau datang berdoa, lantas siapa mau yangbertanggung jawab? Dan bagaimana kita menjelaskannya kepadaNgarsa Dalem?” (Sang Pencerah, 2010: 83-84).

Bagaimana pendapatmu, apakah penggalan kutipan disajikan dengan

nilai estetis?

c) Jelaskan hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya pada novel

Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral?

d) Bagaimanakah nilai religius yang terdapat dalam novel, apakah Anda

merasa dibimbing setelah membaca novel tersebut?

Skor Penilaian

Skor penilaian no. 1 = 25

Skor penilaian no. 2 = 25

Skor penilaian no. 3 = 25

Skor penilaian no. 4 = 25

Nilai total = 100

Kebumen, September 2012Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Nur Chafid, S.Pd. Eni Kusrini

Kunci Jawaban Evaluasi

1. Hubungan antara Tema dengan Alur

Tema novel Sang Pencerah adalah perjuangan memurnikan ajaran

Islam dari unsur bidah dan perjuangan mendirikan Muhammadiyah sebagai

wadah organisasinya. Untuk membawa tema ini, pengarang membuat cerita

mengenai seseorang yang mempunyai sifat pemaaf, dan tidak pendendam.

Dari hal tesebut muncul masalah-masalah yang membuat cerita terus bergerak

dalam novel Sang Pencerah.

Konflik dalam novel Sang Pencerah berawal dari usulan Kiai Dahlan

mengenai upacara nyadran, pendapatnya yang saat itu membuat perdebatan

di antara anggota keluarganya yang mengakibatkan konflik berlanjut yakni

saat Kiai Dahlan mengungkapkan bahwa arah kiblat Masjid Gedhe salah.

Selain itu beliau berpakaian dan mendirikan sekolah yang dituding sebagai

Kyai Kafir karena mirip dengan orang kafir.

2. […] Yang merasa tertusuk lebih dulu dengan pertanyaanku justru bapakkusendiri. “Maksudmu dibuat sederhana itu apa, Wis?”[…]

“Maksudnya sederhana itu cukup berdoa saja, Pak. Tidak perludengan upacara berlebihan apalagi dengan memberikan sesajen”. Akumemantapkan hatiku dalam memberikan jawaban sambil tetap berusahamenjaga kesantunan “uang pembuatan sesajen itu bisa dimanfaatkansebagai sedekah bagi fakir miskin sehingga hasilnya akan lebih jelas.”

Dan kini perdebatan di antara anggota keluargaku benar-benarterjadi setelah Mas Noor juga ikut angkat bicara. “Kalau untuk soalsedekah itu tidak usah khawatir, Wis. Masjid Gedhe selalu melakukanpemberian sedekah setiap hari Jumat sehingga umat Islam mendadak jadibanyak terlihat pada hari itu.” Nada suara Mas Noor tegas seperti biasa.“Kalau nyadran ini isinya hanya membaca doa-doa saja, dan tidak adaorang yang mau datang berdoa, lantas siapa mau yang bertanggung jawab?

Dan bagaimana kita menjelaskannya kepada Ngarsa Dalem?” (SangPencerah, 2010: 83-84).

Dalam penggalan kutipan di atas, digambarkan Darwis ditanya orangtuanya maksud dari ucapannya mengenai upacara nyadran yang dibuatsederhana saja. Kemudian jawaban yang diberikan oleh Darwis tidakmenyinggung perasaan orang tuanya dan orang-orang yang menghadirirapat takmir tersebut. Jawaban yang disampaikan Darwis dengankesantunan. Hal itu terlihat harmonis jika dikaitkan dengan tema noveladalah memurnikan ajaran Islam dari unsur bidah dan perjuanganmendirikan Muhammadiyah. Jika Darwis menjawab pertanyaan denganemosional maka dia bukan seorang pencerah seperti tema yang terdapatdalam novel.

3. Hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya pada novel Sang Pencerahkarya Akmal Nasery Basral?

1) Setiap Muslim Wajib Melaksanakan Salat Lima Waktu Sehari

2) Tawakkal kepada Allah

3) Sifat Syukur kepada Allah

4) Sifat Jujur ketika Berdagang

5) Pemimpin yang Bertanggung Jawab

6) Islam adalah Agama yang Membawa Rahmat

7) Tidak Boleh Taklid dalam Beragama

4. Setelah membaca novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral saya

mendapatkan pelajaran bahwa dalam hidup kita tidak boleh menyekutukan

Allah dengan makhluk-Nya, tidak boleh menuduh kafir terhadap sesama

muslim, dalam menyampaikan dakwah perlu mengetahui sasarannya, dan

saling membantu ketika saudara kesusahan,