Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan Nilai BOD pada Kali Surabaya

366
i PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA VIII “Peran serta Cendekia Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Akselerasi Perubahan Karakter Bangsa” ISBN 978-602-1034-06-4 EDITORIAL Penanggungjawab Prof. Dr. Wiyanto, M.Si. Tim Review Prof. Dr. Zaenuri Mastur, S.E. M. Si.,Akt. Dr. Masrukan, M.Si Dr. Wardono, M. Si Dr. Iwan Junaedi, S.Si., M.Pd Tim Editor Ary Woro Kurniasih, S.Pd., M.Pd Riza Arifudin, S.Pd., M.CS Bambang Eko Susilo, S.Pd., M.Pd Muhammad Kharis, S.Si., M.Sc Nuriana R. D. N., S.Pd., M.Pd Amidi, S.Si., M.Pd Layout Zaidin Asyabah Tiara Budi Utami Cover Layouter Luky Triohandoko Penerbit: Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang

Transcript of Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan Nilai BOD pada Kali Surabaya

i

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA VIII “Peran serta Cendekia Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Akselerasi

Perubahan Karakter Bangsa”

ISBN 978-602-1034-06-4

EDITORIAL

Penanggungjawab

Prof. Dr. Wiyanto, M.Si.

Tim Review

Prof. Dr. Zaenuri Mastur, S.E. M. Si.,Akt.

Dr. Masrukan, M.Si

Dr. Wardono, M. Si

Dr. Iwan Junaedi, S.Si., M.Pd

Tim Editor

Ary Woro Kurniasih, S.Pd., M.Pd

Riza Arifudin, S.Pd., M.CS

Bambang Eko Susilo, S.Pd., M.Pd

Muhammad Kharis, S.Si., M.Sc

Nuriana R. D. N., S.Pd., M.Pd

Amidi, S.Si., M.Pd

Layout

Zaidin Asyabah

Tiara Budi Utami

Cover Layouter

Luky Triohandoko

Penerbit:

Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang

ii

PRAKATA

Seminar Nasional Matematika VIII Jurusan Matematika FMIPA Unnes bertema,”Peran

serta Cendekia Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Akselerasi Perubahan

Karakter Bangsa”. Seminar berlangsung pada hari Sabtu, tanggal 8 November 2014 di

kampus Universitas Negeri Semarang.

Tujuan seminar adalah tukar menukar hasil penelitian maupun gagasan konseptual

dalam bidang Pendidikan Matematika dan Matematika, serta mencari alternatif solusi

setiap permasalahan sebagai upaya akselerasi perubahan karakter bangsa.

Pemakalah yang hadir berasal dari berbagai kalangan, baik dosen, peneliti (praktisi),

maupun guru yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Unsyah (NAD), Surya

Research and Education Center Tangerang, Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional,

UPI Bandung, Unswagati (Cirebon), Unnes Semarang, IKIP Veteran Semarang, UKSW

Salatiga, ITS Surabaya, Unesa Surabaya, dan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Setiap makalah ditelaah oleh tim review, terkait substansi dan tata tulis, sebelum

diterbitkan.

Semoga penerbitan prosiding ini memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu

pengetahuan, khususnya Pendidikan Matematika dan Matematika.

Tim Editor

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Editorial i

Prakata ii

Daftar Isi Iii

Bidang Kajian: Pendidikan Matematika

1. Pendidikan Karakter Terintegrasi dan Berkelanjutan di Tingkat

Sekolah hingga Perguruan Tinggi dengan Sistem Spiral guna

Militansi Bangsa (Sukestiyarno,, D.A.S.Q. Rizki, Universitas Negeri Semarang,

Jawa Tengah)

1

2. Pembelajaran Materi Segi Empat dengan Pendekatan Contextual

Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Siswa di SMP Negeri 1 Banda Aceh Tahun

Ajaran 2011/2012 (Ari Hestaliana. R, Universitas Syah Kuala, NAD)

7

3. Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal Reflektif

terhadap Kemampuan Pemecahan Mahasiswa Matematika (Arief

Agoestanto, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

15

4. Implementasi Group Investigation untuk Meningkatkan Pemahaman

Mahasiswa tentang Pendekatan Ilmiah Melalui Telaah Kurikulum

Matematika 1 (Ary Woro Kurniasih, Univeritas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

21

5. Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri (Hery Sutarto,

Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

30

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program

Studi di Jurusan Matematika MIPA UNESA dengan menggunakan

Analisa Diskriminan (Hery Tri Sutanto, Universitas Negeri Surabaya, Jawa

Timur)

36

7. Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL) melalui Self

Assessment pada Pembelajaran Matematika di SMP Terpadu

Ponorogo (Intan Sari Rufiana, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Jawa

Timur)

49

8. Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E dalam

Kemampuan Representasi Matematis Mahasiswa (Laelasari, Unswagati,

Jawa Barat)

64

9. Pembelajaran Matematika dengan Permainan Tangram untuk

Meningkatkan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric Thinking

Skills) Siswa Sekolah Dasar (Olanda Dwi Sumintra, Ayu Erawati,, dan

Sulistiawati, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,

Banten)

73

10. Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi Instrumen

Polytomous dengan Program Parscale di Kota Semarang (Risky

Setiawan, IKIP Veteran Semarang, Jawa Tengah)

80

11. Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik (Studi 90

iv

Kasus di SMPN 2 Jatibarang Brebes) (Rochmad dan Laeli Rahmawati,

Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

12. Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa Sekolah Dasar

(Sulistiawati, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,

Banten)

99

13. Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemecahan Masalah (Wardono dan Suryati, Universitas Negeri

Semarang, Jawa Tengah)

113

14. Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya dengan

Konsep-Konsep Matematika (Zaenuri Mastur, Fathur Rokhman, dan SB

Waluya, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

121

15. Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan

Penalaran Matematis (Masrukan, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

132

16. Implementasi Brain-based learning berbantuan Web terhadap

Peningkatan Self Efficacy Mahasiswa (Nuriana Rachmani Dewi (Nino

Adhi), Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

139

17. Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika untuk Menanamkan

Nilai Karakter Religius (Bambang Eko Susilo, Universitas Negeri Semarang,

Jawa Tengah)

147

18. Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik sebagai

Upaya Penerapan Kurikulum 2013 (Jayanti Putri Purwaningrum,

Universitas Pendidikan Indonesia, Jawa Barat)

157

19. Konsep Pembelajaran Science Technology Engineering Mathematics

(STEM) dengan Matematika sebagai Alat atau Bahasa Komunikasi

dalam Kurikulum 2013 (Suhud Wahyudi, Surya Rosa Putra, Darmaji, Soleha,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)

166

20. Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian

Matematika Berdasarkan Prosedur Newman (Amin Suyitno, Universitas

Negeri Semarang, Jawa Tengah)

176

21. Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

(Iwan Junaedi, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

184

22. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

berbasis Humanistik berbantuan E-Learning (Amidi, Universitas Negeri

Semarang, Jawa Tengah)

190

Bidang Kajian: Matematika dan Komputasi

No Judul Hal

23 Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins dengan Metode Double

Exponential Smoothing dari Brown Dalam Memprediksi Jumlah

Pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Izza Hasanul

Muna dan Riza Arifudin, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

201

24 Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps Untuk Clustering

Kualitas Air Kali Surabaya (Sri Rahmawati F., M. Isa Irawan, Nieke

Karnaningroem, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)

215

v

25 Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi dalam Model

Regresi Linear (Adi Setiawan, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa

Tengah)

224

26 Penerapan Estimator Robust RMCD pada Grafik Pengendali T2

Hotelling untuk Pengamatan Individual Bivariat dan Trivariat

(Angelita Titis Pertiwi, Adi Setiawan, Bambang Susanto, Universitas Kristen Satya

Wacana , Jawa Tengah)

233

27 Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation untuk Simulasi

Kualitas Air dan Daya Tampung Lingkungan di Kali Surabaya (Bima

Prihasto, M. Isa Irawa), Ali Masduqi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa

Timur)

247

28 Penerapan Regresi Multivariate dalam Penentuan Terjadinya

Anomali Curah Hujan Ekstrim di P. Jawa (Eddy Hermawan, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jawa Barat)

261

29 Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan

Masalah Kemacetan Lalu Lintas (Eliza Verdianingsih, Universitas

Pendidikan Indonesia, Jawa Barat)

267

30 Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir K_1+mK_n dengan m≥2

dan n≥2 yang Diperumum (F. Kurnia Nirmala Sari dan Darmaji, Institut

Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)

276

31 Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net untuk Perancangan

Penjadwalan Sistem Pelayanan Pasang Instalasi Baru di PDAM

(Margaretha Dwi Cahyani dan Subiono, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,

Jawa Timur)

285

32 Pemodelan Matematika untuk Epidemi Chikungunya pada Populasi

Manusia dengan Non Specific Treatment (Muhammad Kharis, Universitas

Negeri Semarang Jawa Tengah)

298

33 Model GSTAR Termodifikasi untuk Produktivitas Jagung di Boyolali

(Priska Dwi Apriyanti, Hanna Arini Parhusip, dan Lilik Linawati, Universitas

Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah)

314

34 Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3

Dimensi dengan Sistem Koordinat Bola (Purwoto, Hanna Arini Parhusip,

dan Tundjung Mahatma, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah)

326

35 Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik dengan Komponen

Parametrik Berpola Polinomial (Lilis Anisah, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember Surabaya Jawa Timur)

337

36 Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan

Nilai BOD pada Kali Surabaya (Nisa Ayunda, Mohammad Isa Irawan, Nieke

Karnaningroem, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Jawa Timur)

342

37 Masalah Penugasan Optimal dengan Algoritma Kuhn-Munkres

(Mulyono, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)

351

vi

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 1

PEMBENTUKAN KARAKTER MANDIRI MELALUI PENERAPAN

MODEL THINK-TALK-WRITE MATERI GEOMETRI KELAS VIII

Sukestiyarno1)

, D.A.S.Q. Rizki2)

1),2)Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]; [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk karakter mandiri siswa melalui penerapan model

pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII. Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif kolaboratif dengan teknik pengambilan subjek penelitian yaitu purposive

sampling. Peneliti sebagai instrumen kunci dilengkapi dengan lembar pengamatan, pedoman

wawancara, alat perekam, catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan deskripsi kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan masing-masing subjek berhasil mencapai indikator karakter

mandiri yang ditentukan oleh peneliti. Hal ini mengindikasikan keberhasilan pendidikan karakter

mandiri dari masing-masing subjek penelitian. Dengan perolehan indeks gain karakter mandiri

yang meningkat dari pertemuan satu kepertemuan lainnya memberikan arti bahwa terjadi

peningkatan kemandirian masing-masing subjek penelitian. Ini menunjukkan bahwa penerapan

model pembelajaran TTW dapat membentuk karakter mandiri siswa pada materi geometri kelas

VIII.

Kata Kunci : Karakter; Kemandirian; TTW.

A. Pendahuluan

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab 2 Pasal 3 dikatakan pendidikan nasional bertujuan untuk

berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa

kepadaTuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Jika dicermati

ternyata 5 dari 8 potensi siswa yang ingin dikembangkan berkaitan dengan karakter.

Dalam pendidikan formal di sekolah, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam

kegiatan intrakurikuler, ekstrakulikuler serta manajemen atau pengelolaan sekolah

(Muslich, 2011: 86). Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan

disetiap jenjang juga memiliki kewajiban untuk membentuk karakter siswa melalui

kegiatan pembelajaran (intrakulikuler). Salah satu karakter siswa yang wajib dibentuk

adalah kemandirian. Dalam proses belajar mengajar, hasil belajar kognitif lebih

dominan jika dibandingkan dengan afektif dan psikomotorik (Kurikulum, 2006).

Sekalipun demikian tidak berarti bidang afektif dan psikomotorik diabaikan sehingga

tak perlu dilakukan penilaian.

Pendidikan yang merupakan agent of change harus mampu melakukan perbaikan

karakter bangsa kita. Karakter merupakan salah satu aspek afektif. Sehingga perlu

diadakan pengamatan dan penilaian terhadap bidang afektif sedemikian hingga kita bisa

mengetahui keberhasilan pendidikan karakter yang bisa berdampak pada terbentuknya

karakter generasi penerus bangsa kita.

Peneliti telah melakukan observasi kegiatan pembelajaran dan wawancara dengan

guru matematika kelas VIII di SMPN 3 Ungaran. Berdasarkan hasil observasi tersebut,

diketahui bahwa terjadi degradasi mental siswa yaitu dengan tingkat kemalasan belajar

yang tinggi. Selain itu, diketahui pula bahwa guru masih menggunakan model

pembelajaran konvensional dan tidak diadakan pengamatan terhadap karakter siswa

terutama kemandirian sehingga kurang mengetahui perkembangan karakter mandiri

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 2

siswa belum sepenuhnya optimal. Untuk materi bangun ruang sisi datar terutama kubus

dan balok, diketahui bahwa materi tersebut memiliki kompleksitas yang cukup tinggi

karena membutuhkan abstraksi siswa.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk

membentuk karakter mandiri siswa, salah satunyadengan penerapan model

pembelajaran Think-Talk-Write (TTW).

Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah karakter kemandirian siswa melalui

penerapan model Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII dapat

terbentuk?. Tujuan penelitian ini adalah membentuk karakter mandiri siswa melalui

penerapan model Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kolaboratif yaitu peneliti bekerja

sama dengan guru mata pelajaran matematika dalam memperoleh data penelitian.

Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposif sampling.

Penelitian ini diadakan di SMPN 3 Ungaran. Sistem kelas di sekolah tersebut

menggunakan sistem random yang artinya setiap kelas memiliki taraf prestasi dan

kemampuan yang hampir setara, atau pembagian kelas secara heterogen. Dengan

menggunakan teknik purposive sampling, didapatkan beberapa siswa kelas VIII-C yang

mewakili kelompok pilihan yaitu dengan pemberian tes pendahuluan dan hasilnya

diranking. Kemudian dengan pertimbangan pada hasil tersebut, maka diambil siswa

ranking 2 teratas pada kelompok 1 dan 3, sedangkan pada kelompok 2 hanya diambil 1

orang.

Pada penelitian kualitatif yang menjadi instrumen kunci adalah peneliti (Miles

danHuberman, 1992). Untuk memperoleh kelengkapan data, digunakan instrumen

penunjang yaitu lembar observasi, pedoman wawancara, alat perekam serta catatan

lapangan.Untuk analisis data, pada penelitian ini digunakan analisis data kualitatif yang

berproses pada 3 langkah yaitu (1) reduksi data; (2) triangulasi; (3) penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Dengan memperhatikan keabsahan data yang diperoleh pada

proses credibility, dependability, corfirmability, dantransferability.

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembentukan karakter mandiri melalui

pendidikan karakter yang diintegrasikan melalui penerapan model pembelajaran TTW,

maka dibutuhkan suatu evaluasi. Substansi evaluasi dalam konteks pendidikan karakter

adalah upaya membandingkan perilaku anak dengan standar/indikator yang ditentukan

oleh peneliti.

C. Hasil dan Pembahasan

Berkenaan dengan pendidikan budaya dan karakter, pada dasarnya nilai-nilai

karakter tidak dapat diajarkan dalam satu bidang studi dan periode waktu tertentu, tetapi

dikembangkan secara aktif dan berkelanjutan dalam semua bidang studi (Sumarmo,

2011:25). Namun, dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengamati karakter

mandiri secara mendalam terhadap 5 orang subjek penelitian dengan 5 kali pertemuan

secara intensif dengan penerapan model TTW. Dari lima kali pertemuan yang

dilakukan dengan penerapan model pembelajaran TTW, peneliti menilai bahwa terjadi

peningkatan kemandirian dari kelima subjek penelitian. Secara umum, penerapan model

TTW yang dilakukan peneliti dengan menghasilkan output kemandirian siswa dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut.

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 3

Tabel 1. Proses Penerapan Pembelajaran TTW untuk Membentuk Karakter Mandiri Siswa

Tahapan TTW Pembelajaran Berbasis Kemandirian

Think

(Siswa membaca dan mempelajari materi pada

Buku Siswa secara mandiri, kemudian membuat

rencana penyelesaian masalah yang akan

digunakan dalam menyelesaikan masalah

tersebut)

- Siswa berusaha mencari informasi bila

dihadapkan dengan permasalahan

- Siswa berusaha untuk menyelesaikan

permasalahaan dengan tuntas

- Siswa mengerjakan tugas sesuai dengan

kemampuannya sendiri

- Siswa memfokuskan perhatian dalam kegiatan

belajar mengajar

Talk

(Siswa secara mandiri mendiskusikan hasil

pemikirannya dalam kelompok untuk

mendapatkan kesepakatan dan menambah

pemahaman mengenai cara menyelesaikan

masalah matematika dengan urutan langkah yang

sistematis sehingga dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa

tersebut.)

- Siswa dapat menyampaikan pendapat yang

berbedadari orang lain

- Berani berkomunikasi dengan teman untuk

menyelesaikan masalah

- Mencerminkanada ide dalam bentuk diskusi

kelompok

- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban

dalam memecahkan suatu masalah matematika

- Siswa mempunyai keinginan membantu teman

dalam segala tindakan

Write

(Dari hasil diskusi, secara mandiri siswa

menuliskan penyelesaian masalah yang dianggap

benar.)

- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban

dalam memecahkan masalah matematika

- Siswa dapat menunjukkan sikap siap jika diberi

suatu tantangan permasalahan matematika oleh

guru

Kegiatan Akhir

Salah satu kelompok mempresentasikan Buku

Siswa-nya secara mandiri, sedangkan siswa yang

lain diminta untuk memberi tanggapan.

(Presentasi)

Siswa mengerjakan kuis secara mandiri dan

jujur.(refleksi)

Siswa dan guru menarik kesimpulan kegiatan

pembelajaran. Salah satu siswa

mengungkapkannya kembali secara mandiri.

(kesimpulan)

Pemberian tugas terstruktur oleh guru kepada

siswa untuk dikerjakan di rumah (penugasan)

- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban

dalam memecahkan masalah matematika

- Siswa berani berkomunikasi dengan teman

untuk menyelesaikan masalah

- Siswa menyampaikan pendapat yang

berbedadari orang lain

- Siswa menunjukkan bahwa hasil pengerjaan

tugas merupakan pemikiran sendiri

- Siswa berusaha untuk menyelesaikan

permasalahaan dengan tuntas

- Siswa menyampaikan pendapat yang berbeda

dari orang lain

- Malatih kemandirian siswa sehingga tidak harus

belajar di bawah kendali orang lain

Dalam pembentukan karakter, peran seorang guru sangat tidak bisa terlepas dari

peranannya sebagai fasilitator maupun teladan. Sebagai fasilitator, peneliti sebagai

pengajar dalam penelitian ini menerapkan model TTW dengan mengajarkan nilai-nilai

kemandirian. Mengajarkan nilai-nilai kemandirian tidak hanya dilakukan di dalam

kelas, tetapi dilakukan di luar pembelajaran dengan memanfaatkan pendekatan personal

kepada subjek penelitian. Sedangkan sebagai teladan, peneliti tidak sekedar berkata-kata

di dalam kelas melainkan memberikan contoh secara nyata yang tercermin dalam

kehidupannya. Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap percaya diri dan mandiri

dalam melaksanakanpembelajaran dan menye-lesaikan tugas matematik; berkebiasaan

memonitor dan menilai penalaran sendiri; mengikuti cara berpikir siswa, memberi

peluang siswa berbuat sesuai dengan jalan pikirannya; membantu siswa menetapkan

standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan.

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 4

Kelima subjek penelitian memiliki latar belakang yang berbeda sehingga masing-

masing juga memiliki kemandirian yang berbeda pula. Berdasarkan perlakuan dengan

uraian diatas, maka diperoleh pencapaian karakter mandiri dari kelima subjek penelitian

sebagai berikut. Tabel 2. Proses Perkembangan Subjek Penelitian

S

Gain Karakter Mandiri

Gain

Awal-akhir I II III IV

I 0,423 0,133 -0,15 0,533 0,864

Kriteria sedang Rendah Rendah Sedang Tinggi

II 0,625 0,125 0,143 0,333 1

Kriteria sedang Rendah Rendah Sedang tinggi

III 0,143 0,083 -0,455 0,75 1

Kriteria rendah Rendah Rendah Tinggi tinggi

IV 0,289 -0,22 0,128 0,529 0,707

Kriteria rendah Rendah Rendah Sedang tinggi

V 0,209 -0,09 0,135 0,344 0,564

Kriteria rendah Rendah Rendah Sedang sedang

Untuk pembahasan pertama adalah karakter mandiri S1. Pada awal penelitian S1

sudah memiliki karakter mandiri yang baik terutama dalam hal belajar. Dari perlakuan

seperti dijelaskan pada tabel 1, karakter mandiri yang dimiliki S1 dapat terbentuk. Hal

ini ditunjukkan oleh indeks gain karakter mandiri S1 yang dijelaskan pada tabel 2.

Peningkatan ini diperoleh dari keberhasilan S1 dalam mencapai setiap indikator

kemandirian yang ditetapkan oleh peneliti. Dengan meningkatnya kemandirian yang

dimiliki S1, dia bisa lebih mandiri dalam hal belajar. Hal ini dapat berdampak positif

pada prestasi akademiknya terutama dalam bidang matematika.

Untuk pembahasan yang selanjutnya adalah S2. Tidak jauh berbeda dengan S1.

Pada awal penelitian diperoleh informasi mengenai karakter mandiri yang dimiliki S2

sudah bagus. Dari awal penelitian, S2 memiliki karakter mandiri yang lebih baik

daripada S1. Hal ini dikarenakan S2 merupakan anak pertama dari keluarganya

sehingga dituntut untuk lebih mandiri daripada adiknya terutama dalam hal belajar dan

bertanggung jawab akan masa depannya. Berdasarkan tabel 2, diperoleh peningkatan

signifikan karakter mandiri yang dimiliki S2. S2 berhasil mencapai hampir semua

indikator kemandirian yang ditetapkan oleh peneliti. Dengan terbentuknya karakter

mandirinya, kesuksesan S2 dalam pelajaran terutama matematika pun ikut meningkat.

Pembahasan kemandirian selanjutnya adalah kemandirian yang dimiliki oleh S3. S3

memiliki kemandirian belajar yang cukup tinggi ditunjang dengan mengikuti les

private. Akan tetapi S3 masih sangat tergantung pada suasana hatinya. Sebenarnya S1

dan S2 juga sama karena pada masa remaja yang mereka alami, mereka masih labil dan

bergantung pada suasana hati mereka. Namun, S1 dan S2 memiliki pengendalian yang

lebih baik daripada S3. S3 masih belum bisa mengontrol suasana hatinya sehingga dia

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 5

masih sangat labil. Hal ini berakibat pada kemandiriannya. Jika suasana hatinya sedang

tidak baik, maka karakter mandirinya pun akan ikut turun dan sebaliknya. Hal ini

menjadikan presatasi S3 pun tidak stabil.Berdasarkan diterapkannya model TTW pada

tabel 1, diperoleh peningkatan karakter mandiri S3 secara signifikan pada tabel 2.

Dengan karakter mandiri yang semakin baik, menjadikan prestasi S3 ikut membaik

terutama di bidang matematika.

S4 memiliki karakter mandiri yang baik dalam hal sosialnya karena ia tidak terlalu

bergantung kepada orang lain. Namun, lebih mendalam kepada kemandirian belajar

yang dimiliki S4 sangatlah kurang terutama pada pelajaran matematika. Akan tetapi

dengan diikutkan les private oleh kedua orang tuanya, bisa menolong S4 dalam belajar

matematika. Dengan diterapkannya model pembelajaran TTW untuk membentuk

karekter mandiri seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, S4 dapat mencapai peningkatan

kemandirian yang dimilikinya. Dengan kemandirian yang lebih baik, S4 pun dapat

memperbaiki prestasi akademiknya terutama di bidang matematika seperti yang telah

dijelaskan pada hasil penelitian.

Untuk subjek penelitian terakhir yaitu S5 tidak jauh berbeda hasilnya dengan semua

subjek yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun di sini, pada awalnya S5 memiliki

karakter mandiri yang sangat kurang. Hal ini terlihat dari informasi yang peneliti

peroleh pada deskripsi penelitian dan uraian hasil penelitian. S5 tidak mengikuti les

tambahan di luar jam pelajaran ditambah dengan motivasinya yang sangat kurang dalam

hal belajar. Ini menjadikan kemandirian belajar S5 sangat kurang. Sehingga diperlukan

usaha yang intensif terhadap S5 untuk lebih menekankan kemandirian kepada S5.

Dengan diterapkannya model TTW seperti yang telah dijelaskan pada tabel 1 dan

dengan pendekatan secara intensif kepada S5 diperoleh peningkatan terhadap

kemandirian belajar yang dimiliki S5. Pendekatan yang dilakukan peneliti masih

mengalami kendala karena sifat S5 yang tertutup seperti yang telah diuraikan pada

bagian hasil penelitian. Akan tetapi dengan usaha diterapkannya model TTW

berbantuan scaffolding, S5 dapat menunjukkan hasil prestasi akademiknya yang

meningkat walaupun masih belum optimal dengan kemandiriannya yang sudah

meningkat.

Dari uraian pembahasan di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan dari berbagai

kasus jika dengan diterapkannya model pembelajaran TTW dapat membentuk

kemandirian siswa. Pada tiap tahapan TTW, dapat dimasukkan pendidikan karakter

mandiri sehingga siswa dapat mencapai indikator yang peneliti tetapkan. Akan tetapi

perkembangan tiap siswa berbeda dan tidak bisa disamakan karena memiliki latar

belakang dan rutinitas yang berbeda. Dengan karakter mandiri yang semakin baik maka

dia akan bisa mengelola diri sendiri khususnya dalam hal belajar sehingga kesuksesan

prestasinya pun meningkat. Dengan demikian proses belajarnya pun akan optimal.

Serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di Harvard University Amerika

Serikat yang menghasilkan suatu teori bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan

semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh

kemampuan mengelola diri sendiri (soft skill) (Muslich, 2011:84).

Dari pembahasan diatas juga dapat diambil kesimpulan bahwa pengamatan dan

penilaian terhadap ranah afektif khususnya kemandirian sangat perlu adanya untuk

mengoptimalkan proses belajar siswa. Hal ini sesuai dengan teori Bloom yang membagi

hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu afektif, psikomotorik, dan kognitif. Sehingga jika

salah satu ranah tidak terpenuhi maka hasil belajar siswa belum optimal. Dengan

pencapaian dari ketiga ranah tersebut, maka hasil belajar seorang siswa akan optimal

Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write

ISBN 978-602-1034-06-4 6

(TIMSS, 2009). Melalui pendidikan karakter diharapkan siswa mampu secara mandiri

meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta

mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam

perilaku sehari-hari.

D. Simpulan dan Saran

Simpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Think-Talk-Write

(TTW) pada materi geometri kelas VIII yaitu kubus dan balok, dapat dibentuk karakter

mandiri siswa.

Berdasarkan pada simpulan di atas, saran peneliti adalah pada pembelajaran

matematika hendaknya siswa difasilitasi untuk aktif sehingga kemandiriandapat

terbentuk, salah satunya dengan penerapan model TTW. Pembentukan karakter pada

siswa khususnya kemandirian tidak hanya bergantung pada model pembelajaran yang

sesuai tetapi juga ditentukan oleh seorang guru yang memahami cara siswa belajar.

Setiap siswa memiliki gaya yang berbeda-beda dalam belajar, maka menjadi kebutuhan

guru dapat memahaminya.

E. Daftar Pustaka

Kurikulum. 2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs.

Jakarta: Depdiknas.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-

metodeBaru. Jakarta :Universitas Indonesia Press.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multi

dimensional. Jakarta: BumiAksara.

Sumarmo, Utari. 2011. Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Karakter.

Prosiding disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP

Siliwangi Bandung. 1:22-32.

TIMSS. 2009. Highlights From TIMSS 2007:Mathematics and Science Achievement of

U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context. Washington

DC: National Center for Education Statistics, Institute of Education Sciences, U.S.

Department of Education.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Bidang DIKBUD KBRI Tokyo.

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 7

PEMBELAJARAN MATERI SEGIEMPAT DENGAN

PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH MATEMATIS SISWA DI SMP

Ari Hestaliana. R

Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh

Surel: [email protected]

Abstrak Wawancara penulis terhadap salah satu siswa kelas VII SMP di Banda Aceh dan hasil observasi

di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih

kurang. Padahal sebagaimana tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP,

pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dari kurikulum. Berawal dari permasalahan

tersebut, dilakukanlah penelitian dengan mengimplementasikan pendekatan Contextual Teaching

and Learning (CTL) dalam pembelajaran matematika sebagai solusi yang dapat dilakukan

kemudian dirumuskan dengan judul “Pembelajaran materi segiempat dengan pendekatan

Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa di SMP”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and

Learning (CTL) lebih baik dibandingkan siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada

materi segiempat di SMP. Desain penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental

Design dengan Nonequivalent Control Group Design. Populasinya adalah seluruh siswa kelas

VII SMP Negeri 1 Banda Aceh, sedangkan sampel diambil dua kelas dari delapan kelas yaitu

kelas VII1 berjumlah 28 orang yang diterapkan Contextual Teaching and Learing (CTL) dan

kelas VII3 berjumlah 24 orang yang diterapkan pendekatan non CTL. Pengumpulan data

dilakukan dengan menggunakan tes. Setelah seluruh data terkumpul lalu diolah dengan menguji

kesamaan dua rata-rata yaitu uji satu pihak dan taraf signifikan 0,05. Berdasarkan analisis data

dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa

yang belajar melalui pendekatan Contextual teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada

siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP.

Kata Kunci: Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan

Pemecahan masalah Matematis, Segiempat

A. Pendahuluan

Dunia pendidikan dan pengajaran tidak dapat lepas dari proses belajar mengajar.

Berdasarkan hasil observasi lapangan pada tanggal 13 Maret 2012, peneliti memperoleh

keterangan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan

banyaknya siswa yang remedial pada ulangan ataupun ujian semester karena masih

belum mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 80. Rendahnya hasil

belajar matematika siswa bukan disebabkan mereka tidak mampu melakukan

perhitungan, melainkan karena tidak memahami permasalahan yang terdapat dalam soal

tersebut. Kemampuan siswa dalam menggunakan informasi untuk mengidentifikasi

pertanyaan-pertanyaan yang memuat permasalahan masih kurang. Mereka juga masih

kesulitan dalam merencanakan dan menentukan informasi serta langkah-langkah yang

dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Dari pembahasan di atas terlihat jelas bahwa betapa pentingnya kemampuan

pemecahan masalah untuk dimiliki siswa. Pemecahan masalah adalah bagian dari

kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun

penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 8

serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah.

Selain itu, pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas intelektual untuk mencari

penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang

sudah dimiliki. Branca (Fatimah, 2012:4) menyatakan bahwa “Kemampuan pemecahan

masalah merupakan tujuan utama pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya

matematika. Dalam melakukan pemecahan masalah, dibutuhkan kreatifitas dalam

berpikir”. Mengingat pentingnya kemampuan kreatifitas berpikir dalam meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, maka kegiatan pembelajaran

matematika yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning

(CTL). Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (dalam Bangsa, 2011:4) bahwa “Sistem

pembelajaran kontekstual adalah tentang pencapaian intelektual yang berasal dari

partisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, pengalaman yang

memperkuat hubungan antara sel-sel otak yang sudah ada dan membentuk hubungan

saraf baru”. Untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

matematika, Contextual Teaching and Learning (CTL) mengajarkan langkah-langkah

yang dapat digunakan dalam berpikir kritis dan kreatif serta memberikan kesempatan

untuk digunakan dalam pemecahan masalah matematika dalam dunia nyata. Melalui

pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), siswa dapat melakukan

eksperimen, mencoba dan menemukan konsep, serta melatih kemandirian dalam

memecahkan tantangan-tantangan soal-soal matematika. Dengan demikian proses

pembelajarannya lebih diutamakan daripada hasil. Polya (Maheswari, 2008:23)

menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu masalah empat langkah yang harus

dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3)

menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4) melakukan pengecekan kembali

terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Berdasarkan pendapat Polya maka dapat

dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis juga mengutamakan

proses daripada hasil, hal ini selaras dengan pendekatan Contextual Teaching and

Learning (CTL). Bertitik tolak pada acuan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian mengenai pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam

proses belajar mengajar yang dirumuskan melalui penelitian yang berjudul

“Pembelajaran Materi Segiempat dengan Pendekatan Contextual Teaching and

Learning (CTL) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Siswa di SMP”.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Contextual

Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada siswa yang belajar melalui

pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP”. Tujuan dalam penelitian ini

adalah untuk mengkaji peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

yang belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik

dibandingkan siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat

di SMP. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) pembelajaran ini merupakan

inovasi dalam pembelajaran matematika, karena model ini secara arif mengajak guru

agar lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dengan mengaitkan situasi kehidupan

nyata siswa dengan materi, sehingga diharapkan dapat digunakan oleh guru dalam

pembelajaran matematika di kelas; (2) penelitian yang menggunakan pendekatan CTL

dalam pembelajaran matematika ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan belajar,

mengoptimalkan kompetensi berpikir positif dalam mengembangkan dirinya di tengah-

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 9

tengah lingkungan dalam meraih keberhasilan belajar dan dapat merangsang pola

interaksi siswa serta melatih kerjasama siswa dalam memecahkan masalah-masalah

yang dihadapi kelompok, dan (3) hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai

pedoman dan acuan penelitian selanjutnya.

B. Tinjaun Pustaka

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Matematika merupakan suatu ilmu yang melibatkan banyak aktivitas berpikir.Suatu

konsep/prinsip matematika dapat diperoleh melalui aktivitas berpikir secara matematis.

Sebagai salah satu aspek berpikir matematika tingkat tinggi, pemecahan masalah

memiliki peranan penting dalam matematika. Di era global, kemampuan bernalar

tingkat tinggilah yang akan menentukan kemampuan siswa. Karenanya pemecahan

masalah akan menjadi hal yang sangat menentukan juga keberhasilan pendidikan

matematika, sehingga pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama

proses pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan. Belajar

memecahkan masalah adalah para siswa hendaknya terbiasa mengerjakan soal-soal

yang tidak hanya memerlukan ingatan yang baik saja.

Berdasarkan uraian diatas, kemampuan pemecahan masalah matematika yang

dimaksud dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai kemampuan siswa menggunakan

pengetahuan/bekal yang sudah dimilikinya untuk mencari jalan keluar atau solusi dari

suatu permasalahan matematika yang tidak dapat dijawab dengan segera. Kemampuan

ini dapat terlihat dari cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan siswa dalam

menyelesaikan atau memecahkan permasalahan matematika yang ia terima.

Polya (Maheswari, 2008:23) menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu masalah

terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2)

merencanakan penyelesaian, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4)

melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Proses

yang dilakukan pada setiap langkah pemecahan diatas dapat dikemukan melalui

beberapa penjelasan berikut (Polya dalam Maheswari, 2008:24).

a. Memahami masalah

Langkah-langkah ini sangat penting dilakukan sebagai tahap awal dari pemecahan

masalah agar siswa dapat dengan mudah mencari penyelesaian masalah yang

diajukan. Siswa diharapkan dapat memahami kondisi soal atau masalah yang

meliputi: mengenali soal, menganalisis soal, dan menterjemahkan informasi yang

diketahui dan ditanyakan pada soal tersebut.

b. Merencanakan penyelesaian

Masalah perencanaan ini penting untuk dilakukan karena pada saat siswa mampu

membuat suatu hubungan dari data yang diketahui dan tidak diketahui, siswa dapat

menyelesaikannya dari pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.Pada tahap

ini diharapkan siswa dapat menggunakan aturan untuk suatu rencana yang

diperoleh.

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Langkah-langkah perhitungan ini penting dilakukan karena pada langkah ini

pemahaman siswa terhadap permasalahan dapat dilihat.Pada tahap ini siswa telah

siap melakukan perhitungan dengan segala macam yang diperlukan termasuk

konsep dan rumus yang sesuai.

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 10

d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan

Pada tahap ini siswa diharapkan berusaha untuk mengecek kembali dengan teliti

setiap tahap yang telah ia lakukan. Dengan demikian, kesalahan dan kekeliruan

dalam penyelesaian soal dapat ditemukan.

Dengan demikian kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang

ditunjukkan siswa dalam menyelesaikan masalah yang memperhatikan proses

menemukan jawaban berdasarkan tahapan memahami masalah, membuat rencana

penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali. Pada tahap awal,

memahami masalah yaitu siswa diharapkan dapat memahami kondisi soal selanjutnya

mampu menemukan strategi-strategi berdasarkan kondisi soal.Sehingga pada tahap

berikutnya yaitu melakukan perhitungan, siswa telah siap melakukan perhitungan

berdasarkan rencana penyelesaiannya. Tahap terakhir adalah menelaah dengan teliti

setiap tahap yang telah dilakukan dengan cara memeriksa kembali hasil yang diperoleh.

2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep

pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan

situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari

(Baharuddin dalam Kulub, 2009:25). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan

lebih bermakna bagi siswa. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah

sistem belajar yang didasarkan pada filosofis bahwa siswa mampu menangkap pelajaran

apabila mereka mampu menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima

dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan

informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki

sebelumnya (Johson dalam Kulub, 2009:25). Sanjaya (2005:109) menyatakan bahwa:

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran

yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat

menemukan materi yang dipelajari dan mehubungkannya dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,

pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar, dimana

guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan ke dalam kehidupan

mereka sehari-sehari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari

konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri,

sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota

masyarakat.

Penerapan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning

(CTL) memiliki tujuh komponen (Johar dkk, 2006:74), berikut uraian ringkasnya.

a. Konstruktivisme (constructivisme). Konstruktivisme merupakan landasan

pendekatan CTL, yaitu bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya dibangun tahap

demi tahap melalui proses yang berkesinambungan. Ilmu pengetahuan bukanlah

seperangkat fakta yang siap diambil dan diingat tapi harus dikontruksi melalui

pengalaman nyata. Dalam konstruktivisme lebih mengutamakan proses daripada

hasil.

b. Menemukan (inquiry). Inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya

menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 11

pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas

dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang

belajar.Peranan guru dalam pembelajaran dengan inquiry adalah sebagai

pembimbing dan fasilitator.Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu

disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa

masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa.

c. Bertanya (questioning). Bertanya (questioning) merupakan salah satu kegiatan

pembelajaran yang berlangsung secara informative untuk mendorong, membimbing

dan menilaikemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya akan mendorong siswa

sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran.

d. Masyarakat belajar (learning community). Konsep masyarakat belajar menyarankan

agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain (Johar dkk,

2006:76). Dalam masyarakat belajar, individu yang terlibat dalam komunikasi

saling belajar.Seseorang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh teman

bicaranya sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

e. Pemodelan (modeling). Pemodelan dalam sebuah pembelajaran maksudnya dalam

semua pembelajaran, keterampilan, dan pengetahuan tertentu ada model yang bisa

ditiru (Johar dkk, 2006:76). Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu,

contoh: cara melakukan pengukuran yang benar. Model tak hanya dari guru tapi

juga dari siswa atau ahli.

f. Refleksi (reflecting). Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari

atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu (Johar

dkk, 2006:77). Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau

pengetahuan yang baru diterima.

g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assesment). Assessment adalah proses

pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran mengenai

perkembangan belajar siswa (Johar dkk, 2006:77). Data yang dikumpulkan pada

assessment otentik adalah data yang diperoleh dari hasil kegiatan siswa selama

proses pembelajaran berlangsung dan hasil belajar siswa.

C. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian

Desain rencana dalam penelitian ini menurut Shadish dan Cook (2002, halm. 137)

dapat digambarkan sebagai berikut.

O1 X O2

O1 O2

Gambar 1. Nonequivalent Control Group Design

Keterangan:

O1 : pretes pada kelas pendekatan CTL dan non CTL

O2 : postes pada kelas pendekatan CTL dan non CTL

X : perlakuan dengan menggunakan pendekatan CTL

: subjek tidak dikelompokkam secara acak

2. Instrumen

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah

berupa tes kemampuan pemecahan matematis pada materi bangun segiempat siswa.

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 12

Jenis tes yang akan digunakan adalah tes bentuk uraian yang terdiri dari empat soal.

Instrumen ini diberikan kepada siswa sebelum mendapat perlakuan (pretes) dan sesudah

mendapatkan perlakuan (postes).

3. Contoh Instrumen

The floor of a house is square shaped of size 20 m 20 m. the floor will be tiled by

square shaped tiles each of size 5 m 5 m.

a. How many tile required?

b. If one tile price Rp 1.500,00, how much money required?

4. Analisis Data

Adapun tahapan-tahapan dalam mengolah data hasil tes adalah sebagai berikut.

a. Memberikan skor mentah jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban, pedoman

penskoran, serta bobot yang digunakan untuk tes kemampuan pemecahan masalah

matematis.

b. Menentukan skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dengan

menggunakan rumus gain ternormalisasi (normalized gain) yang dikembangkan

Hake (1999: 1) sebagai berikut:

dengan kriteria indeks gain (Hake, 1999: 1) seperti tabel berikut:

Tabel 1 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi

Skor Gain Interpretasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 Sedang

g ≤0.3 Rendah

c. Melakukan uji normalitas data hasil gain ternormalisasi kemampuan pemecahan

masalah matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji

Kolmogorov Smirnov.

Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data tidak berdistribusi normal

dan dasar pengambilan keputusan:

Jika nilai Sig (p-value) <α (α = 0.05), maka Ho ditolak

Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima

d. Apabila data normal, dilakukan uji homogenitas varians skor gain kemampuan

pemecahan masalah matematis menggunakan uji levene.

Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:

H0 : σ12= σ2

2 Varians skor kedua kelas homogen

H1 : σ12≠ σ2

2 Varians skor kedua kelas tidak homogen

dan dasar pengambilan keputusan:

Jika nilai Sig (p-value) < α (α = 0.05), maka Ho ditolak

Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima

e. Melakukan uji perbedaan rata-rata pihak kanan skor N-Gain menggunakan

Independent-Sample T-Test apabila data normal dan homogen.

Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:

H0 : 12= 2

2 Rata-rata N-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol sama

H1 : 12> 2

2 Rata-rata N-Gain kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 13

dan dasar pengambilan keputusan:

Jika nilai Sig (p-value) < α (α = 0.05), maka Ho ditolak

Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima

D. Hasil dan Pembahasan

Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dilihat dari

skor gain yang diformulasikan oleh Hake (1999). Pengolahan data dilakukan dengan

menggunakan software Minitab Versi 14 dan Microsoft Office Excel 2007. Uji normal

untuk skor gain kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar

3 berikut.

Gambar 2. Uji Normalitas N-Gain Kelas Eksperimen Gambar 3. Uji Normalitas N-Gain kelas

Kontrol

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas diperoleh bahwa untuk skor gain kelas

ekperimen p-valuenya adalah 0,013 (lihat Gambar 2). Artinya Ho ditolak, sehingga skor

gain kelas eksperimen tidak berdistribusi normal. Sedangkan, skor gain kelas kontrol p-

valuenya adalah 0,087 (lihat Gambar 3). Artinya Ho diterima, sehingga skor gain kelas

kontrol berdistribusi normal. Karena skor gain kelas eksperimen tidak berdistribusi

normal maka data diolah menggunakan Mann-Whitney.

Gambar 4. Output Mann-Whitney

Berdasarkan output di atas, nilai W sebesar 881,5 dengan p-value sebesar 0,0054 di

mana nilainya lebih kecil dari batas kritis 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi dapat disimpulkan

bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang

belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik

daripada siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di

SMP.

n-gain ko

Pe

rce

nt

1,00,80,60,40,20,0

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

Mean

0,087

0,5274

StDev 0,1861

N 24

KS 0,166

P-Value

N-Gain KontrolNormal

n-GAIN

Pe

rce

nt

1,21,00,80,60,40,20,0

99

95

90

80

70

60

50

40

30

20

10

5

1

Mean

0,013

0,6633

StDev 0,2373

N 28

KS 0,189

P-Value

N-Gain EksperimenNormal

N Median

N-Gain Eksperimen 28 0,7498

N-Gain Kontrol 24 0,5316

Point estimate for ETA1-ETA2 is 0,1894

95,2 Percent CI for ETA1-ETA2 is (0,0429;0,2804)

W = 881,5

Test of ETA1 = ETA2 vs ETA1 > ETA2 is significant at 0,0054

The test is significant at 0,0054 (adjusted for ties)

Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan

ISBN 978-602-1034-06-4 14

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang belajar

melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada siswa

yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP. Adapun saran

yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah: (1)

pembelajaran matematika melalui pendekatan CTL dapat menjadi salah satu alternatif

pembelajaran yang dapat dicoba oleh guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah matematika siswa, (2) pendekatan CTL dapat diterapkan oleh guru pada materi

lainnya, dan (3) sebaiknya dalam penerapan CTL, guru harus dapat memanfaatkan

waktu dengan baik.

F. Daftar Pustaka

Bangsa, P., 2011. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)

dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis

Matematis Siswa SMP (skripsi). [Online], tersedia:

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_0704165_chapter1.pdf. Diakses:

14 Juli 2012.

Fatimah, S., 2012. Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode

Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Siswa SMA (skripsi). [Online], tersedia:

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_0606232_chapter1.pdf. Diakses:

14 Juli 2012.

Hake, R.R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. [Online],

tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain. Diakses 2

Maret 2012].

Johar, R., dkk., 2006. Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: Unsyiah.

Maheswari, Shavina. 2008. Penerapan Strategi Think-Talk-Write Untuk Meningkatkan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA: Penelitian Eksperimen terhadap

Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 3 Bandung Pada Pokok Bahasan Turunan (skripsi).

(Online),

tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d015_044461_chapter2.pdf.

Diakses: 8 Maret 2012.

Sanjaya, W., 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta: Kencana.

Shadish, W.R. dan Cook, T.D., 2002. Experimental and Quasi-Experimental Design for

Generalized Causal Inference. Boston: Houghton Mifflin Company.

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 15

KEEFEKTIFAN RESOURCE BASED LEARNING DENGAN JURNAL

REFLEKTIF TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MAHASISWA

MATEMATIKA

Arief Agoestanto Jurusan Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model Resource Based Learning dengan

jurnal reflektif efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada mata kuliah

Pengantar Probabilitas yaitu kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan

Pengantar Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas

secara klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar

Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif lebih tinggi dari

rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional. Populasi

penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 tahun perkuliahan 2013/2014. Dengan teknik simple

random sampling terpilih sampel rombel 2 sebagai kelas eksperimen dan rombel 3 sebagai kelas

kontrol. Data kemampuan pemecahan masalah diambil dengan metode tes. Data tersebut diuji

dengan uji proporsi dan uji t. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan pemecahan masalah

mahasiswa dengan pembelajaran model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif efektif

tuntas secara klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa kelas eksperimen lebih

tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa kelas kontrol, Jadi, pembelajaran

model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif efektif efektif terhadap kemampuan

pemecahan masalah.

Kata kunci: Keefektifan; Kemampuan Pemecahan Masalah; Resource Based Learning, jurnal

reflektif

A. Pendahuluan

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi

modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya

pikir manusia (BSNP, 2007). Perkembangan teknologi modern yang pesat seperti

sekarang ini tidak lepas dari perkembangan matematika di berbagai bidang seperti teori

bilangan, aljabar, analisis, dan teori peluang. Penguasaan matematika sangat diperlukan

untuk menguasai dan menciptakan teknologi baru di masa mendatang. Matematika yang

diberikan kepada peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi

bertujuan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,

sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerjasama. Kompetensi tersebut

diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan

memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak

pasti, dan kompetitif (Diknas, 2006). Ini berarti bahwa tujuan utama pendidikan

matematika adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik untuk dapat

memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat

NCTM (1989) bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Selain itu ditegaskan pula

mengenai pentingnya pemecahan masalah dimana pemecahan masalah merupakan

bagian integral dalam pembelajaran matematika.

Namun demikian kegiatan pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika

yang sangat sulit dilaksanakan baik bagi guru/dosen maupun oleh peserta

didik/mahasiswa. Tidak sedikit peserta didik yang kesulitan dalam memecahkan

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 16

masalah matematika. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ann, L (2004) yang

menyebutkan bahwa, guru-guru matematika melaporkan ketika peserta didik diberikan

masalah untuk diselesaikan, peserta didik mulai mencari solusi dari masalah tersebut,

tetapi sering berhenti di tengah jalan dan berakhir tanpa jawaban. Hal ini terjadi

terutama ketika masalah tersebut memerlukan lebih dari sekedar penerapan aturan atau

algoritma.

Demikian pula yang terjadi pada mahasiswa jurusan Matematika khususnya pada

mata kuliah Pengantar Probabilitas masih banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan

saat menghadapi soal pemecahan masalah. Hal ini didasarkan dari hasil belajar

mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas untuk semester gasal 2010/2011

hanya 30% mahasiswa yang bisa mengerjakan soal pemecahan masalah, demikian pula

pada perkuliahan semester gasal 2012/2013 hanya 32 % mahasiswa yang bisa

mengerjakan soal pemecahan masalah. Demikian juga dalam perkulihan dari

pengamatan dosen sebagian besar mahasiswa hanya bisa mengerjakan permasalahan

yang sudah pernah dibahas oleh dosen atau temannya yang berarti kemampuan

pemecahan masalah mahasiswa masih kurang.

Mata kuliah pengantar Probabilitas merupakan mata kuliah yang diberikan pada

program S1 Pendidikan Matematika pada semester pertama. Soal-soal dalam mata

kuliah ini sangat banyak yang berbentuk soal pemecahan masalah, sehingga

kemampuan memecahkan masalah sangat diperlukan. Tetapi dari pengalaman hanya

beberapa mahasiswa yang punya kemampuan memecahkan masalah seperti yang

dilaporkan di atas. Walaupun dosen sudah berupaya mengatasi dengan membuat

kelompok diskusi dengan diberi kartu masalah, tetapi hasilnya belum ada peningkatan

yang signifikan.

Berdasarkan hasil kolaborasi tim dosen pengampu mata kuliah Pengantar

Probabilitas, sampailah pada suatu kesimpulan bahwa penyebab kurang berkembangnya

kemampuan pemecahan masalah mahasiswa adalah kurangnya kemandirian mahasiswa

dalam belajar, termasuk didalamnya mencari beberapa sumber pendukung perkulihan.

Mahasiswa hanya mengandalkan bahan ajar yang diberikan oleh dosen, menunggu

jawaban teman atau dosen yang ,membahas permasalahan yang diberikan. Penyebab

lain diduga mahasiswa masih kurang menikmati keindahan matematika dan mecintai

matematika. Kurangnya mahasiswa menikmati keindahan matematika juga pernah

dilaporkan oleh Yan,J.(2010) yang menyebutkan bahwa hanya beberapa peserta didik

yang benar-benar dapat memahami apa yang telah mereka pelajari dan menikmati alam

matematika.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah adalah dengan menerapkan model pembelajaran Resource Based

Learning. Resource Based Learning adalah model pendidikan yang dirancang oleh

guru/dosen yang melibatkan secara aktif peserta didik dengan aneka ragam sumber

belajar, baik cetak maupun non-cetak (Campbell, 2002: 3). Sehingga dalam

pembelajaran guru/dosen bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik.

Melalui model pembelajaran ini, pembelajaran sepenuhnya berpusat kepada peserta

didik. Peserta didik diberi kebebasan memilih sumber belajar yang tepat untuk dirinya.

Selain itu, peserta didik dapat menemukan dan menyimpulkan sendiri pengetahuan baru

yang diperoleh sehingga peserta didik lebih trampil dalam memecahkan persoalan

matematika yang dihadapi.

Salah satu upaya agar mahasiswa bisa menikmati keindahan matematika dan

mecintai matematika dalam hal ini dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas adalah

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 17

dengan memotivasi mahasiswa agar bisa menikmati jalannya perkuliahan antara lain

dengan cara mahasiswa diminta mengkritik jalannya perkuliahan, baik kritikan untuk

dosen, teman maupun untuk diri sendiri, sehingga lambat laun bisa menerima jalannya

perkuliahan dengan hati senang. Hasil kritikan mahasiswa tersebut dapat ditulis dalam

bentuk jurnal reflektif (DBE3, 2011). Dengan jurnal reflektif yang ditulis mahasiswa

pada setiap akhir perkuliahan, dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan

perkuliahan selanjutnya.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini

adalah; Apakah implementasi model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif

efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada mata kuliah

Pengantar Probabilitas?

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model Resource Based

Learning dengan jurnal reflektif efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah

mahasiswa pada mata kuliah Pengantar Probabilitas yaitu kemampuan pemecahan

masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas menggunakan model

Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas secara klasikal, rata-rata

kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas

menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif lebih tinggi dari

rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional.

B. Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 tahun perkuliahan

2013/2014 yang mengambil mata kuliah Pengantar Probabilitas sebanyak 5 rombel.

Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Sampel yang

terpilih dalam penelitian ini adalah mahasiswa rombel 2 sebagai kelas eksperimen dan

rombel sebagai kelas kontrol. Desain eksperimen dalam penelitian ini mengacu pada

Posttest-Only Control Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih

secara random. Kelompok yang diberi perlakuan disebut kelas eksperimen dan

kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelas kontrol. Desain eksperimen dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Desain Penelitian Posttest-Only Control Design

Kelompok Perlakuan Post-Test

Acak

Acak

Eksperimen

Kontrol

X

K

T

T

(Sugiyono, 2009)

Keterangan:

X = penerapan perkuliahn model RBL dengan jurnal reflektif

K = penerapan perkuliahan konvensional, dan

T = tes kemampuan pemecahan masalah.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan metode tes dan metode observasi.

Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah.

Tes yang digunakan adalah tes bentuk uraian. Metode observasi digunakan untuk

memperoleh data aktivitas mahasiswa selama mengikuti pembelajaran. Lembar yang

digunakan adalah lembar pengamatan aktivitas mahasiswa.

Sebelum soal digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, soal

tersebut terlebih dahulu diujicobakan. Uji coba soal tersebut digunakan untuk

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 18

mengetahui validitas, realibilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Soal yang telah

diujicobakan kemudian digunakan untuk tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Setelah mendapatkan data kemampuan pemecahan masalah, data hasil tersebut

diuji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan diuji homogenitas

menggunakan uji Lavene. Kemudian data tersebut diuji ketuntasan belajar klasikal

menggunakan uji proporsi, uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan masalah

menggunakan uji t.

C. Hasil dan Pembahasan

Penelitian dilakukan pada tanggal 9 September 2013 sampai dengan 28 Oktober

2013 di jurusan Matematika FMIPA UNNES dengan sampel kelompok eksperimen

rombel 2 dan kelompok kontrol rombel 3 mahasiswa pada mata kuliah Pengantar

Probabilitas.

Analisis data tahap awal terdiri atas uji normalitas, uji homogenitas dan uji

kesamaan dua rata-rata untuk memperoleh kesimpulan kedua sampel mempunyai

kemampuan awal yang sama atau tidak. Pada output uji Kolmogorov Smirnov data

awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,086 = 8,6 % > 5%, sehingga

diterima. Artinya, data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selain itu, pada

output uji Lavene data awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi =0,262 = 26,2 % >

5%, sehingga diterima. Artinya, varians homogen. Pada output uji banding

independent t test data awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,501 = 50,1 % >

5%, sehingga diterima. Artinya, tidak ada perbedaan rata-rata nilai awal dari kedua

kelas.

Berdasarkan hasil analisis tahap awal diperoleh data yang menunjukkan bahwa

kelas yang diambil sebagai sampel dalam penelitian berdistribusi normal dan

mempunyai varians yang homogen. Hal ini berarti sampel berasal dari keadaan yang

sama yaitu memiliki pengetahuan yang sama.

Pada output uji kolmogorov-smirnov data kemampuan pemecahan masalah SPSS

16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,154 = 15,4 % > 5%, sehingga diterima. Artinya,

data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selain itu, pada output uji Lavene

data kemampuan pemecahan masalah SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,755 =

75,4 % > 5%, sehingga diterima. Artinya, varians homogen.

Berdasarkan hasil uji proporsi, diperoleh simpulan bahwa H0 ditolak, artinya

proporsi siswa yang mencapai KKM lebih dari 80%. Dalam penelitian ini, ketuntasan

individual yang digunakan adalah 71 dan ketuntasan klasikal yang ditetapkan adalah

80%. Dari uji proporsi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran perkuliahan model RBL

dengan jurnal reflektif tuntas secara klasikal.

Uji hipotesis kedua yaitu uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan

masalah antara kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji t. Uji ini bertujuan

untuk mengetahui apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas

eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Dari output uji banding independent t

test data kemampuan pemecahan masalah SPSS 16.0, diperoleh sig hitug =0,000< sig

=0,05 jadi H0 ditolak yang berarti rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas

eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas

kontrol.

Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan masalah antara

kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh kesimpulan bahwa rata-rata kemampuan

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 19

pemecahan masalah mahasiswa pada perkuliahn model RBL dengan jurnal reflektif

lebih tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam

perkuliahan konvensional

Hal ini karena mahasiswa yang diajar menggunakan perkuliahan model RBL

dengan jurnal reflektif terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Dengan adanya usaha

mencari beberapa literature pendukung baik di perpustkaan maupun lewat internet

mahasiswa termotivasi untuk belajar. Mahasiswa sering berpendapat waktu kuliah jadi

terasa sangat singkat karena perkuliahan tidak membosankan. Pada langkah diskusi

kelompok , hasil memecahkan masalah dikomunikan dengan anggota kelompok.

Adanya partisipasi dan komunikasi melatih mahasiswa untuk dapat aktif dalam

pembelajaran dan diperlukan adanya tanggung jawab perseorangan karena keberhasilan

kelompok sangat bergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Pada langkah

latihan individu mahasiswa mampu mengerjakan latihan-latihan yang diberikan oleh

dosen secara mandiri dan penuh dengan rasa tanggung jawab terhadap tugas tersebut.

Dengan selalu menulis kejadian yang dialami dan rencana perbaikan dalam jurnal

reflektif mahasiswa dilatih untuk jujur terhadap diri sendiri, sehingga terbangun

kemandirian dalam belajar. Dengan adanya kemandirian dari mahasiswa tersebut maka

mahasiswa tersebut telah menerapkan konsep gaya belajar mandiri.

Pada kelas kontrol, seringkali mahasiswa yang pandai merasa mampu untuk

menyelesaikan tugas sendiri, sedangkan mahasiswa yang kurang pandai hanya menyalin

saja. Pada kelas kontrol, kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang kurang tidak

cukup teratasi. Mahasiswa yang belum paham kadang takut untuk bertanya pada dosen.

Mahasiswa yang kurang berani berbicara akan terus diam selama pembelajaran. Dengan

tidak menulis hambatan dalam pembelajaran dengan jurnal reflektif mahasiswa kurang

tertata dalam mengatasi permasalahan dalam belajar, janji diri untuk memperbaiki cara

belajar juga tidak tampak.

D. Simpulan dan Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas

menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas secara

klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan

Pengantar Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal

reflektif lebih tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan

pembelajaran konvensional. Saran sebelum menerapkan Resource Based Learning

perlu disiapkan peralatan pendukung seperti internet yang lancar, sumber-sumber buku

yang memadai. Dalam menulis jurnal reflektif pada tahap awal mahasiswa perlu

didampingi sehingga benar-benar reflektif.

E. Daftar Pustaka

Ann, L. et al. 2004. Improving Analyzing Skills of Primary Students Using a Problem

Solving Strategy. Journal of Science and Mathematics Education in S.E. AsiaVol.

27, No. 1, pp. 33-35.

Arends, R. 2007. Learning to Teach (2th

Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BSNP. 2007. Lampiran Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional

Pendidikan.

Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal

ISBN 978-602-1034-06-4 20

Butler, M. 2012. Resource-Based Learning and Course Design: A Brief Theoretical

Overview and Practical Suggestions. Law Library Journal, 2012, Vol. 104:2,

pp.219-244.

Campbell, L. et all. 2002. Resource-Based Learning. Law Library Journal, 2012, Vol.

104:2.

DBE3. 2011. Paket Pelatihan Kepala Sekolah Pengajaran Profesional dan

pembelajaran bermakna. Jakarta. DBE3.

Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Levene, H. 1960. Contributions to Probability and Statistics: Essays in Honor of

Harold Hotelling, I. Olkin, et. al., eds. Stanford University Press, Stanford, CA, pp.

278-292.

NCTM. 1989. Curriculum and evaluation. (Online).

http://www.fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/previous/CurrEvStds/evals1

0.htm, diakses 25 Desember 2012)

Sobel, M.A. dan E.M. Maletsky. 1999. Teaching Mathematics: A Sourcebook of Aids,

Activities, and Strategies (3th

Ed.). Translated by Suyono. 2004. Jakarta: Erlangga.

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, Erman 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

JICA-FPMIPA UPI.

Yan, J. et al. 2010. An Interview with Bernard R. Hodgson about High-Efficiency

Mathematical Teaching Hypotheses. Journal of Mathematics Education, 2010,

Vol.3, No.2, pp. 183-195.

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 21

IMPLEMENTASI GROUP INVESTIGATION UNTUK

MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAHASISWA TENTANG

PENDEKATAN ILMIAH MELALUI TELAAH KURIKULUM

MATEMATIKA 1

Ary Woro Kurniasih Jurusan Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

surel: [email protected]

Abstrak

Permasalahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah: apakah dengan menerapkan

model pembelajaran group investigation dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa

tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1?. Tujuan

penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang

pendekatan ilmiah pada mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 melalui implementasi

group investigation. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus yang masing-masing siklus

terdiri dari 4 tahap. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil mata

kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 program studi pendidikan matematika sebanyak 32

mahasiswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan lembar

pengamatan pendekatan ilmiah, dan lembar pengamatan implementasi model GI. Hasil

siklus kedua untuk aspek pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah adalah rata-

rata hasil tes 88, persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah

mencapai 90,7%, dan kategori implementasi model GI adalah sangat baik. Berdasarkan

hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa menerapkan group investigation dapat

meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah telaah

kurikulum matematika 1.

Kata Kunci: group investigation, pendekatan ilmiah, pemahaman

A. Pendahuluan

Visi Unnes adalah menjadi Universitas Konservasi bertaraf internasional yang

sehat, unggul, sejahtera. Salah satu langkah yang ditempuh adalah pengembangan

Kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah Kurikulum Unnes 2012

Berbasis Kompetensi dan Konservasi. Kurikulum ini dikembangkan guna menjamin

ketercapaian penguasaan kompetensi keilmuan atau akademik sekaligus memberikan

jaminan tumbuhnya nilai-nilai karakter dan berbasis nilai-nilai konservasi. Kurikulum

baru ini telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang

Nomor 25/2012 tentang Kurikulum Program Sarjana dan Diploma Unnes.

Lulusan Unnes menurut Kurikulum Unnes 2012 (Unnes, 2013) harus memiliki dua

macam kompetensi yaitu kompetensi berbasis keilmuan dan kompetensi berbasis nilai-

nilai karakter konservasi. Program studi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika

FMIPA merupakan salah satu program studi kependidikan yang ada di Unnes Oleh

karena itu, mahasiswa calon guru matematika Program studi Pendidikan Matematika

Jurusan Matematika FMIPA Unnes harus memiliki kedua macam kompetensi tersebut.

Operasional Kurikulum Unnes 2012 tercermin dalam tujuan program studi Program

Studi Pendidikan Matematika FMIPA Unnes yaitu (1) menghasilkan lulusan yang:

berkarakter dan profesional di bidang pendidikan matematika, bersikap dan bertindak

sebagai ilmuwan yang bermoral Pancasila dan berwawasan global; mampu

mengembangkan IPTEK dan menyesuaikan diri terhadap kemajuan jaman; memiliki

integritas di bidang kependidikan matematika yang tinggi, didukung oleh kemampuan

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 22

berbahasa Inggris dan penguasaan atas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK);

mampu melaksanakan penelitian di bidang pendidikan matematika yang berorientasi

pada pengembangan ilmu dan teknologi yang mengacu pada prinsip-prinsip Konservasi;

(2) melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang pendidikan

matematika berwawasan lingkungan; (3) menyebarluaskan gagasan, menyampaikan

inovasi kepada masyarakat luas di bidang pendidikan matematika yang berorientasi

pada pengembangan ilmu dan teknologi dan mengacu pada prinsip-prinsip konservasi;

(4) memperkuat jejaring dan kemitraan, baik pada skala nasional maupun internasional

untuk meningkatkan potensi keilmuan pendidikan matematika.

Berdasarkan tujuan program studi pendidikan Matematika FMIPA Unnes di atas

maka mahasiswa calon guru matematika perlu dibekali dengan prinsip-prinsip keilmuan

pendidikan khususnya pendidikan matematika baik secara teoritis maupun praktek.

Selain itu, mahasiswa juga perlu beradaptasi, mengenal, bersentuhan dengan fakta dunia

pendidikan yang ada di Indonesia saat ini. Dengan demikian, mahasiswa calon guru

matematika telah benar-benar siap lahir dan batin untuk nantinya menjadi pendidik.

Kurikulum yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013. Salah

satu esensi penting dalam Kurikulum 2013 ini adalah proses pembelajaran menyentuh 3

kompetensi yang harus dikuasai peserta didik yaitu pengetahuan, sikap, dan

keterampilan. Agar peserta didik memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan

keterampilan tersebut, maka pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan ilmiah

(scientific approach). Pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi/eksperimen, mengasosiasikan/ mengolah informasi, dan

menyimpulkan. Penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2014) yang meneliti secara

kualitatif implementasi pendekatan ilmiah menemukan fakta bahwa kegiatan menanya,

menggali informasi, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan dalam pelajaran

biologi SMA belum sesuai dengan tujuan pembelajaran. Aktivitas mengamati saja yang

baru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu

mahasiswa calon guru benar-benar memahami dan menerapkan pendekatan ilmiah

dalam settingan pembelajaran.

Mahasiswa calon guru matematika yang masih berada di semester 2 program studi

pendidikan matematika FMIPA Unnes belum mengetahui seutuhnya tentang Kurikulum

2013. Mahasiswa memperoleh sedikit informasi berkaitan dengan Kurikulum 2013 ini

melalui televisi, internet, koran, diskusi orang-orang yang terlibat secara langsung

maupun tidak langsung dengan implementasi Kurikulum 2013 ini. Lebih jauh lagi,

mahasiswa juga belum mengenal apa itu pendekatan ilmiah dalam pembelajaran.

Sosialisasi Kurikulum 2013 ini lebih banyak dilakukan kepada guru, kepala

sekolah, dinas pendidikan di daerah. Ada satu komponen yang belum mendapat

sosialisasi yaitu mahasiswa calon guru. Hal ini dapat dilihat dari hasil skripsi mahasiswa

Program studi Pendidikan Matematika Unnes tahun akademik 2013/2014, baru 2

mahasiswa dari 40 mahasiswa yang mengkaji implementasi Kurikulum 2013 khususnya

pendekatan ilmiah. Padahal mereka ini yang nantinya menjadi penerus pelaksanaan

Kurikulum 2013

Mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 diberikan kepada mahasiswa

pendidikan matematika semester 2. Matakuliah ini mengkaji kurikulum pendidikan di

Indonesia khususnya matematika kelas VII dan VIII secara cerdas. Kajian yang

dilakukan berupa perkembangan kurikulum di Indonesia, perangkat pembelajaran

(Silabus, RPP, bahan ajar, dan instrumen penilaian), materi matematika dan

membelajarkan materi matematika sekolah kelas VII dan VIII. Pengkajian lebih dalam

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 23

sangat dianjurkan bagi mahasiswa dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar

online secara bertanggungjawab, tangguh, jujur dan toleran.

Berdasarkan fakta bahwa mahasiswa calon guru matematika di semester 2 masih

belum mengenal dengan baik Kurikulum 2013 (khususnya pendekatan ilmiah), dan

fakta baru dua hasil skripsi mahasiswa tahun 2013-2014 yang mengkaji Kurikulum

2013 khususnya pendekatan ilmiah maka diperlukan suatu pengembangan pembelajaran

yang mampu membantu mahasiswa mengaplikasikan pendekatan ilmiah pada

Kurikulum 2013 sehingga dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa. Penelitian ini

dilaksanakan pada mata kuliah Telaah kurikulum Matematika 1 karena dirasa sangat

cocok untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa menerapkan pendekatan ilmiah

dalam pembelajaran.

Model pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa

tentang pendekatan ilmiah adalah Group Investigation (GI). Penelitian menggunakan

model pembelajaran group investigation untuk memudahkan mahasiswa merancang dan

mempraktekkan aktivitas-aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau

VIII yang mencerminkan pendekatan ilmiah. Untuk itu, mahasiswa secara berkelompok

mendiskusikan bahan rujukan tentang pendekatan ilmiah dan buku teks matematika

kelas VII dan atau VIII. Selanjutnya secara berkelompok mahasiswa mulai merancang

aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII untuk satu

kompetensi dasar yang dipilih. Tahap terakhir adalah mahasiswa masih secara

berkelompok mempraktekkan penggalan aktivitas pembelajaran yang sudah dirancang

dengan fokus utama adalah mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam membelajarkan

materi matematika yang dipilih. Hal ini didasari dengan fakta penelitian yang dilakukan

oleh Tsoi, Goh & Chia (2004) menemukan fakta bahwa model GI meningkatkan

belajar kooperatif dan keterampilan berpikir dalam proses belajar.

Berdasarkan apa yang diuraikan dalam pendahuluan dapat dirumuskan

permasalahannya adalah: apakah dengan menerapkan group investigation dapat

meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah melalui mata kuliah

Telaah Kurikulum Matematika 1? Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk

meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah

Telaah Kurikulum Matematika 1 melalui implementasi group investigation. Manfaat

penelitian ini adalah mahasiswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam

mensetting pendekatan ilmiah dalam pembelajaran matematika.

B. Tinjauan Pustaka

Group Investigation (GI) merupakan salah satu bentuk pembelajaran kooperatif.

Model ini dikembangkan dengan mengacu pandangan psikologi pendidikan Dewey

yaitu seseorang akan belajar bermakna apabila ia terlibat langsung dalam kegiatan

penemuan ilmiah. GI tidak dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang tidak

mendukung adanya dialog interpersonal dan dimensi sosial-afektif. Menurut Slavin

(1995), GI sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran yang berhubungan dengan

kemahiran, analisis, dan sintesis informasi untuk menyelesaikan masalah yang harus

diselesaikan dengan mempertimbangkan banyak hal. Dalam hal ini, tugas-tugas

akademik dalam pembelajaran GI adalah tugas yang membutuhkan kontribusi tiap

anggota kelompok mahasiswa. Tugas dalam GI bukan tugas sederhana untuk

memperoleh jawaban atas pertanyaan faktual (siapa, apa, kapan, dan sebagainya).

Fokus dari GI adalah perencanaan kooperatif mahasiswa untuk menemukan

sesuatu. Setiap anggota kelompok mengambil peran dalam menyelesaikan tugas dengan

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 24

menentukan apa yang akan diinvestigasi untuk menyelesaikan masalah, sumber-sumber

belajar apa yang dibutuhkan, pembagian tugas masing-masing anggota kelompok, dan

bagaimana mereka menyajikan hasil pekerjaan ke kelas. Peran dosen adalah sebagai

sumber belajar dan fasilitator. Dosen membimbing setiap diskusi kelompok yang

mengalami kesulitan, melihat hasil kerja setiap kelompok diskusi.

Model GI memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping

(menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik,

merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari,

bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling

tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis

data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan,

merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5)

presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,

mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-

masing mahasiswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan

hasil diskusi kelas, mahasiswa dan dosen berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran

yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian

pemahaman).

Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan Kurikulum KTSP yang mulai

diberlakukan secara bertahap di tahun akademik 2013/2014. Kurikulum ini

dikembangkan atas dasar adanya tantangan internal dan eksternal. Berdasarkan

Permendikbud RI Nomor 59 tahun 2014, salah satu tantangan internal terkait dengan

perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia

produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih

banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua

berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai

puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu

tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya

manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi

sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui

pendidikan agar tidak menjadi beban.

Masih menurut Permendikbud RI Nomor 59 tahun 2014, salah satu tantangan

eksternal yaitu dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas

teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan

Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and

Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA)

sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak

menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA.

Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS

dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.

Salah satu produk Kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah (scientific approach)

dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Menurut Permendikbud Nomor 81A

(2013) tentang implementasi kurikulum, bahwa salah satu ciri RPP yang sesuai dengan

Kurikulum 2013 adalah pada proses pembelajarannya terdiri atas kegiatan pembelajaran

pendekatan saintifik (5M) yaitu kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan

informasi/eksperimen, mengolah informasi (mengasosiasikan), serta

mengkomunikasikan. Menurut Kunandar (2013) implementasi pendekatan ilmiah dalam

pembelajaran tidak hanya mendorong partisipasi aktif peserta didik di dalam kelas,

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 25

tetapi juga memberikan ruang yang cukup bagi prakarssa, kreativitas, dan kemandirian

sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Menurut Permendikbud Nomor 81A (2013) kegiatan mengamati terdiri dari

kegiatan membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat. Menanya

terdiri dari kegiatan mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari

apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa

yang diamati dimuali dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat

hipotetik. Mengumpulkan informasi/eksperimen dilakukan dengan cara melakukan

eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati

objek/kejadian/aktivitas, wawancara dengan narasumber. Mengasosiasikan/mengolah

informasi terdiri dari kegiatan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik

terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan

mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi, pengolahan informasi yang

dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada

pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki

pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Mengkomunikasikan terdiri

dari kegiatan menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis

secara lisan, tertulis, atau media lainnya.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subjek

penelitian adalah mahasiswa program studi pendidikan matematika jurusan matematika

FMIPA Unnes sebanyak 32 mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di semester genap

tahun akademik 2013-2014. Fokus dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep

tentang pendekatan ilmiah melalui mata kuliah Telaah kurikulum Matematika 1. Untuk

mengukur pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah ini digunakan alat ukur tes

tertulis pada setiap akhir siklus dengan skor maksimum 100 dan lembar pengamatan

aktivitas pendekatan ilmiah dengan skor maksimum 100. Sedangkan untuk mengetahui

apakah implementasi model GI dapat meningkatkan pemahaman konsep tentang

pendekatan ilmiah digunakan instrumen lembar pengamatan implementasi model GI.

Seorang mahasiswa dikatakan memiliki pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah

yang baik apabila skor rata-rata hasil tes adalah 88 dan persentase mahasiswa yang

sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah minimal 85% dari 100 yaitu 85. Model GI

dikatakan dapat meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa tentang pendekatan

ilmiah jika minimal kategorinya baik.

Penelitian dilaksanakan dalam 2 siklus, dimana masing-masing siklus terdiri dari

perencanaan (planning), pelaksanaan dan pengamatan (acting and observing) dan

refleksi (reflecting). Siklus pertama dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan yang

masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam 2 jam pelajaran. Fokus utama pada

siklus pertama adalah mahasiswa secara berkelompok merancang aktivitas

pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII dengan pendekatan ilmiah

untuk satu kompetensi dasar yang dipilih.

Pada tahap perencanaan siklus pertama, peneliti mengembangkan instrumen

penelitian dan menentukan bahan-bahan pembelajaran. Bahan-bahan pembelajaran

dalam penelitian ini adalah rujukan tentang Kurikulum 2013, buku teks matematika

SMP kelas VII dan VIII dan rujukan tentang pendekatan ilmiah. Instrumen penelitian

ini adalah tes pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah, lembar pengamatan

implementasi model GI dan lembar pengamatan aktivitas pendekatan ilmiah.

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 26

Pada tahap pelaksanaan, pembelajaran diterapkan dengan model pembelajaran

group investigation. Pembelajaran dengan model ini dilaksanakan selama 3 pertemuan.

Pada pertemuan pertama, mahasiswa secara berkelompok mengembangkan indikator-

indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang dipilih. Pada pertemuan

kedua, mahasiswa secara berkelompok merancang penggalan silabus dengan fokus

utama adalah merancang aktivitas-aktivitas pendekatan ilmiah. Pada pertemuan ketiga,

masih secara berkelompok mahasiswa merancang penggalan RPP dengan fokus utama

adalah merancang kegiatan pembelajaran yang menerapkan pendekatan ilmiah.

Pada tahap pengamatan, dilakukan pengamatan terhadap implementasi model GI

selama proses pembelajaran. Selain itu, dilakukan pengamatan pendekatan ilmiah

mahasiswa dalam aktivitas pembelajaran yang disusunnya. Pada akhir siklus pertama ini

diadakan tes tertulis. Pada tahap refleksi, dilakukan analisis terhadap kekurangan

pelaksanaan pembelajaran di siklus pertama.

Pada siklus kedua, mahasiswa masih secara berkelompok mempraktekkan

penggalan aktivitas pembelajaran yang sudah dirancang dengan fokus utama adalah

mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam membelajarkan materi matematika yang

dipilih. Siklus kedua ini dilaksanakan selama 4 pertemuan yang masing-masing

pertemuan terdiri dari 2 jam pelajaran. Pelaksanaan siklus kedua ini dilaksanakan untuk

perbaikan-perbaikan berdasarkan hasil dari siklus pertama.

D. Hasil dan Pembahasan

Hasil dari siklus pertama menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes pemahaman

konsep tentang pendekatan ilmiah setelah mahasiswa secara berkelompok merancang

aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII dengan

pendekatan ilmiah untuk satu kompetensi dasar yang dipilih adalah 81,0625, sedangkan

persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah baru mencapai

78,8%. Sedangkan hasil implementasi model GI sudah masuk kategori cukup baik.

Hasil siklus 1 ini belum sesuai dengan indikator yang ditetapkan yaitu rata-rata hasil tes

adalah 88, persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah adalah

minimal 85%, kategori implementasi model GI minimal baik. . Oleh karena itu, peneliti

memutuskan untuk memperbaiki pembelajaran dengan memperhatikan kekurangan-

kekurangan yang muncul pada pelaksanaan siklus 1 dengan melanjutkan pembelajaran

pada siklus kedua.

Hasil siklus kedua menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes adalah 88 dan persentase

mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pedekatan ilmiah dalam mempraktekkan

pendekatan ilmiah dalam membelajarkan materi matematika yang dipilih adalah 90,7%.

Sedangkan hasil implementasi model GI sudah masuk kategori baik. Hasil siklus kedua

ini sudah sesuai dengan indikator yang ditetapkan yaitu rata-rata hasil tes adalah 88,

persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah adalah minimal

85%, kategori implementasi model GI minimal baik. Oleh karena itu peneliti

memutuskan untuk tidak melanjutkan ke siklus berikutnya karena penelitian telah

dikatakan berhasil.

Hasil siklus pertama baik diukur dengan tes, lembar pengamatan aktivitas

pendekatan ilmiah, dan lembar pengamatan implementasi model GI belum sesuai

dengan indikator yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena dua hal yaitu belum adanya

kerjasama yang baik antar anggota kelompok dalam melaksanakan tugas dan belum

jelasnya mahasiswa akan pendekatan ilmiah. Tugas yang diberikan adalah

mengembangkan indikator-indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 27

dipilih, merancang penggalan silabus dengan fokus utama adalah merancang aktivitas-

aktivitas pendekatan ilmiah, dan merancang penggalan RPP dengan fokus utama adalah

merancang kegiatan pembelajaran yang menerapkan pendekatan ilmiah. Pada saat

mengembangkan indikator-indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar,

mahasiswa dapat berdiskusi kelompok dengan baik. Namun, dalam diskusi merancang

penggalan silabus dan merancang penggalan RPP mulai tidak berjalan dengan baik.

Pembelajaran hanya berlangsung selama 2 sks. Dalam jangka waktu 100 menit

pembelajaran di kelas, sangat tidak mungkin mahasiswa dapat maksimal melaksanakan

tugas merancang penggalan silabus dan RPP. Oleh karena itu, peneliti sudah

menyampaikan bahwa tugas dikerjakan secara berkelompok di luar jam perkuliahan,

dan jika mengalami kesulitan mahasiswa dapat berkonstultasi dengan pengampu (dalam

hal ini peneliti). Banyak kelompok yang tidak dapat melakukan diskusi di luar jam

perkuliahan karena tidak dapat bersepakat waktu diskusi. Terlebih lagi semua kelompok

anggotanya terdiri dari mahasiswa tingkat atas yang mengulang. Sedemikian sehingga

tidak didapatkannya waktu bersama mengerjakan tugas. Yang dilakukan mahasiswa

untuk mengatasi hal ini adalah adanya pembagian tugas antara satu mahasiswa dengan

mahasiswa lain dalam 1 kelompok. Hal inipun tidak berjalan dengan baik, terutama

dalam aktivitas merancang penggalan RPP. Ide-ide yang dimunculkan mahasiswa satu

dengan mahasiswa lain dalam 1 kelompok pada akhirnya tidak bisa sejalan (sinkron).

Selain itu, dalam 1 kelompok ada mahasiswa yang kewalahan dalam melaksanakan

tugas karena semua mahasiswa tersebut yang mengerjakan sedangkan mahasiswa yang

lain tidak mengerjakan (dalam hal ini menggantungkan pekerjaan pada teman 1

kelompok yang dianggap bisa).

Pendekatan ilmiah yang terdiri dari aktivitas mengamati, menanya, menggali

informasi, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan belum sepenuhnya dipahami

mahasiswa. Dalam merancang aktivitas mengamati, setiap kelompok sudah dapat

mengimplementasikannya. Untuk aktivitas menanya, mahasiswa masih kesulitan dalam

mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing peserta didik untuk

memahami konsep yang dipelajari dan kesulitan mengembangkan pertanyaan-

pertanyaan yang mungkin dimunculkan peserta didik. Pertanyaan-pertanyaan yang

dimunculkan guru dalam membimbing peserta didik memahami konsep hanya sekedar

“ada yang mau ditanyakan?”. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dimunculkan

peserta didik hanya berupa “bagaimana cara mengerjakannya Pak/Bu guru?. Hal ini

berdampak pada kemampuan mahasiswa merancang menggali informasi peserta didik

juga kurang berhasil dikembangkan. Aktivitas mengolah informasi berhasil

dikembangkan karena yang mengolah informasi dalam hal ini adalah guru

(menerangkan materi). Padahal aktivitas mengolah informasi pada intinya dilakukan

oleh peserta didik dengan bimbingan guru. Untuk merancang aktivitas

mengkomunikasikan sudah berhasil dilakukan mahasiswa.

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, dilakukan refleksi. Pengampu Mata kuliah

Telaah Kurikulum Matematika 1 (peneliti) meminta mahasiswa untuk mengaktifkan

diskusi. Akan ada penilaian diri sendiri untuk mengukur sejauh mana sumbangsih

masing-masing anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, setiap

kelompok diwajibkan selalu berkonsultasi dengan pengampu di luar jam perkuliahan.

Refleksi yang dilakukan ternyata langsung direspon positif mahasiswa. Hal ini

berdampak pada berhasilnya siklus kedua. Siklus kedua terdiri dari 4 pertemuan yang

masing-masing pertemuan dilakukan aktivitas mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam

setting pembelajaran kelas. Sebelum praktek dilakukan, masing-masing anggota

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 28

kelompok diberikan pembagian tugas. Setiap kelompok mengkonsultasikan apa yang

akan ditampilkan kepada dosen pengampu dan mempraktekkan di luar jam perkuliahan

apa yang akan dipraktekkan. Mahasiswa sudah mampu mengembangkan pertanyaan-

pertanyaan yang membimbing dalam memahami konsep, mampu mengembangkan

pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dimunculkan peserta didik (dan mensetting

pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan oleh mahasiswa lain yang berperan sebagai

peserta didik). Dengan demikian aktivitas menggali informasi juga berhasil

dilaksanakan. Berbekal hal tersebut, mahasiswa yang berperan sebagai peserta didik

juga sudah diaktifkan dalam menggolah informasi untuk memahami konsep. Aktivitas

mengamati dan mengkomunikasikan juga sudah berhasil dilaksanakan. Hal ini terlihat

dari lembar pengamatan aktivitas pendekatan ilmiah yang persentase mahasiswa yang

sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah mencapai 90,7%. Hasil tes tertulis mencapai

rata-rata 88 dan implementasi model GI juga terkategori sangat baik.

Keberhasilan model GI sebagai salah satu bentuk belajar kooperatif didukung

adanya aktivitas pembagian tugas untuk mempraktekkan penggalan RPP dengan fokus

implementasi pendekatan ilmiah. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya

masing-masing dan sebelum praktek, setiap anggota berlatih menjelaskan kepada teman

sekelompoknya. Angota kelompok yang lain memberikan masukan dan saran. Aktivitas

belajar seperti ini melatih mahasiswa untuk saling menjelaskan konsep, mendengarkan

dan memberikan masukan. Adanya aktivitas memberi dan menerima ini meningkatkan

pemahaman mereka tentang konsep yang akan disajikan (materi matematika yang akan

dipraktekkan) dan pendekatan ilmiah. Hal ini senada dengan yang dikatakan Webb

(2008) bahwa seseorang yang memperoleh banyak hal dalam bekerja secara kooperatif

adalah seseorang yang saling memberi dan menerima pengetahuan dengan penjelasan.

Sedangkan aktivitas saling memberi dan menerima jawaban tanpa adanya penjelasan

tidak mempengaruhi pemahaman konsep. Sharing di dalam kelompok ini membuat

mereka termotivasi untuk mempraktekkan pendekatan ilmiah dengan semaksimal

mungkin dan ada rasa tanggung jawab setiap anggota untuk memberikan hasil yang

maksimal. Hal ini didukung pernyataan Slavin (2009) yang menyatakan bahwa

pembelajaran kooperatif akan efektif jika ada tujuan yang harus dicapai atau ada

penghargaan atau penilaian dan adanya tanggung jawab setiap anggota kelompok.

Selain itu, dengan saling berbagi.

Diskusi kelompok pada siklus kedua dikatakan berjalan dengan baik dan

memberikan dampak yang baik pula. Mahasiswa dalam satu kelompok saling berbagi

pegetahuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doymus dan Simsek

(dalam AKÇAY & Doymus, 2012) yang menyatakan bahwa mendengarkan dan belajar

sesuatu dalam suatu kelompok bersifat menyenangkan dan menarik bagi mahasiswa dan

tipe aktivitas belajar ini memberikan motivasi mereka untuk belajar. Selain itu, menurut

Lazarowitz, Shachar, & Sharan (dalam Sharan, 1980), belajar dalam kelompok kecil

memberikan kebebasan kepada setiap anggota kelompok untuk berekspresi dan

bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya. Hal karena mereka merasa diberikan

kepercayaan dan merasa diterima oleh anggota kelompok lain.

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penerapan group investigation

dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah melalui mata

kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan

Implementasi Group Investigation Untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 29

bahwa pendekatan ilmiah diterapkan pada setiap mata kuliah di jurusan matematika

FMIPA Unnes.

F. Daftar Pustaka

Akcay, N. O., Doymus, K. 2012. The Effects of Group Investigation and Cooperative

Learning Techniques Applied in Teaching Force and Motion Subjects on Students’

Academic Achievements, Journal of Educational Sciences Research Vol 2 No 1

Juni 2012, (Online), (http://ebad-

jesr.com/images/MAKALE_ARSIV/C2_S1makaleler/2%20%281%29%20-

%2007.pdf, diakses tanggal 11 Agustus 2014)

Kemendikbud. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Nomor 81A tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum. Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan

Kemendikbud. 2014. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI

Nomor 59 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah

Aliyah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kunandar. 2013. Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik

Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Sharan, S. 1980. Cooperative Learning in Small Groups: Recent Method and Effects on

Achievement, Attitudes, and ethnic Relations. Review of Educational Research,

Vol 50 No 2, (online),

(http://links.jstor.org/sici/sici=00346543%28198022%2950%3A2%3C241%3ACLI

SGR%3E2.0.CO%3B2-X, diakses tanggal 22 September 2014)

Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.

Slavin, R. E. 2009. Cooperative learning. In G. McCulloch & D. Crook (Eds.),

International Encyclopedia of Education. Abington, UK: Routledge.

Tsoi, M.F., Goh, N.K., & Chia, L.S. 2004. Using group investigation for chemistry in

teacher education. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume

5, Issue 1, Article 6, p.1, (online),

(http://www.ied.edu.hk/apfslt/download/v5_issue1_files/tsoimf.pdf diakses tanggal

16 Juli 2014)

Unnes. 2013. Implementasi Kurikulum UNNES 2012 Berbasis Kompetensi dan

Konservasi. Semarang: Unnes

Wardani , E.R.S. dkk. 2014. Analisis kesesuaian kegiatan pembelajaran pendekatan

saintifik dengan tujuan pembelajaran di SMAN Mojokerto. Berkala ilmiah

Pendidikan Biologi. Vol 3. No 3. (Online),

(http://ejournal.unesa.ac.id/idex.php/bioedu, diakes tanggal 11 September 2014)

Webb, N. 2008. Co-operative Learning, in T.L. Good (ed.), 21st Century Education: A

Reference Handbook. Thousand Oaks, CA: Sage

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 30

TINJAUAN PERAN TEKNOLOGI DALAM PENGAJARAN

GEOMETRI

Hery Sutarto Jurusan Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Teknologi mempunyai peranan yang besar sebagai media untuk memerlancar terjadinya proses

pembelajaran yang powerfull. Tekanan penggunaan teknologi di dalam proses pembelajaran

tampak dari dokumen NCTM maupun Dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Peranan teknologi tersebut tersebut juga menjadi perhatian mahasiswa yang berusaha

menghadirkan pembelajaran dengan kesan modern. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah

mahasiswa yang mengangkat apa yang disebut Dynamic Geometri Software di dalam risetnya

melalui skripsi. Tetapi dirasakan penggunaan perangkat-perangkat tersebut belum digunakan

sebagaimana mestinya, sehngga mengakibatkan persepsi yang keliru terhadap esensi Dynamic

Geometri Software serta esensi matematika itu sendiri, terutama berkaitan dengan pem-bukti-an

di dalam matematika. Hasil penelitian ini diharapkan adanya pembenahan mindset pada

mahasiswa terhadap peran teknologi, terutama apa yang disebut Dynamic Geometri Software

dalam pembelajaran geometri.

Kata Kunci : toknologi; geometri; tinjauan.

A. Pendahuluan

Dewasa ini terjadi perubahan paradigma pembelajaran dari yang berpusatpada

pendidik ke yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran yang berpusatpada peserta

didik menjamin terlaksananya pembelajaran bermakna. Dalam pembelajaranseperti ini,

parapeserta didik didorong membangun sendiri pemahamannya, dan pendidikberperan

hanya sebagai fasilitator. Dalam hal ini, pendidik bukanlah satu-satunya

sumberpengetahuan bagi peserta didik. Sumber pengetahuan tersebut

sesungguhnyademikian banyak dan semuanya berada dalam lingkungan sekitar,

sehinggapeserta didik dituntut lebih aktif dan kreatif dalam belajar.

Perubahan paradigma pembelajaran seperti yang digambarkan di atas menuntut

perubahan prosespembelajaran dan hal lain termasuk yang berkaitan dengan sarana

danprasarana. Sarana dan prasarana seyogyanya dirancang agar pembelajaranyang

berpusat pada peserta didik dapat terlaksana secara optimal. Padakenyataannya sebagian

besar sarana dan prasarana pada berbagai jenis danjenjang pendidikan di Indonesia

belum mendukung terlaksananya pembelajaran yang diinginkan.

Pada abad ke-21 matematika telah membawakan suatu kegiatan intelektual dengan

tingkat kecanggihannya yang tinggi, meskipun matematika sendiri tidak mudah untuk

didefinisikan.Perkembangan TIK telah memberikan pengaruh terhadap dunia

pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran.Tidak lagi bisa dipungkiri bahwa

tekonologi sudah masuk ke dalam area pendidikan. Tinggal bagaimana kita sebagai

pendidik mempersiapkan, mensiasati, dan mengoptimalkannya. Sehubungan dengan hal

tersebut, pemerintah dengan serius menanggapi sejak lima tahun yang lalu dengan

menyusun Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2010,

dengan tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan, yaitu lulusan yang terampil,

kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 31

tantangan dan perubahan (Depdiknas, 2005). Rencana tersebut meliputi upaya

peningkatan kemampuan tenaga pengajar, penyediaan sarana dan prasarana belajar yang

lebih memadai, mengembangkan kurikulum, memperbanyak sumber dan bahan ajar,

menciptakan model-midel pembelajaran, serta meningkatkan penguasaan Information

Communication Technology (ICT). Hal senada juga dimunculkan secara tertulis

didalam dokumen KTSP, bahwa untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran,

sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti

komputer, alat peraga, atau media lainnya (Depdiknas, 2006). Pentingnya penggunaan

tekonologi komputer di dalam pembelajaran matematika didukung oleh NCTM dalam

beberapa tahun terakhir ini. Hal ini ditunjukkan, NCTM mencantumkan satu dari

sembilan prinsip belajar dan pembelajaran matematika berkaitan dengan pemanfaatan

teknologi (NCTM, 2000).

Mahasiswa Jurusan matematika, Prodi Pendidikan Matematika dalam menyusun

skripsi dibatasi untuk melakukan penelitian pada sekolah-sekolah pada jenjang Sekolah

Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagaian besar materi

yang diambil di dalam risetnya, yaitu segiempat dan segitiga jika risetnya pada SMP.

Sedangkan pada jenjang SMA mahasiswa mengambil materi bangun ruang. Hal ini

dikarenakan mahasiswa menyelesaikan pembuatan proposalnya setelah menempuh mata

kuliah Dasar-dasar Penelitian Pendidikan Matematika dan maetri yang mau

dilaksanakan disekolah pada saat yang bersamaan adalah materi segiempat pada jenjang

SMP. Sedangkan pada jenjang SMA adalah materi bangun ruang.

Tampak mulai tahun 2011 para mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika

mulai mengenal apa yang disebut Dynamic Geometri Software (DGS). Penelitian-

penelitian yang memanfaatkan keberadaan DGS tersebut mulai banyak dilakukan oleh

siswa. DGS yang dimanfaatkan oleh mahasiswa diantaranya adalah Geometri Cabri II,

the Geometers’ Skechpad, dan Geogebra. Sedangkan untuk bangun ruang mahasiswa

menggunakan Cabri 3D. Tetapi gejala yang dirasakan oleh penulis ketika beberapa kali

menguji skripsi tersebut ada kejanggalan-kejanggalan yang berkenaan dengan cara

penggunaan dan memperlakukan Dynamic Geometri Software tersebut. Sehingga

masalah yang diangkat pada tulisan ini adalah apakah mahasiswa sudan menggunakan

dan memperlukan Dynamic Geometri Software ini sebagaimana fungsinya.

B. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif

dengan metode dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dengan mendokumentasikan

skripsi-skripsi dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika mulai tahun 2011

sampai dengan tahun 2014. Skripsi yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah

skripsi yang mencantumkan penggunaan Dynamic Geometery Software (DGS) seperti

The Geometers’ Sketchpad, GeoGebra, Cabri 3D, Cabri II, MicrosoftMath dan lain

sebagainya. Tidak termasuk di dalamnya skripsi yang menggunakan bantuan CD

pembelajaran.Hal ini dikarenakan sesuai dengan standar NCTM bahwa penggunaan CD

yang hanya berupa aktivitas menonton oleh siswa, tidak termasuk dalam software

interaktif.

Dari data yang terkumpul yang berupa skripsi tersebut kemudian dilakukan kajian

mendalam terhadap isi dan instrumen penelitian terutama pada media/produk yang

digunakan, rancangan pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa, dan gambaran

pelaksanaan pengajaran di kelas ketika mahasiswa melakukan pengajaran. Kegaiatan

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 32

0

5

10

15

20

Kuantitas

Tabel 1: Banyaknya mahasiswa melakukan penelitian dengan Dynamic Geometry Software

2011 2012 2013 2014

pengumpulan data ini diperoleh gambaran menyeluruh yang dilakukan oleh mahasiswa

pada software yang digunakan tersebut.

C. Hasil dan Pembahasan

Riset yang dilakukan oleh mahasiswa melalui skripsi yang mengangkat Dynamic

Geometery Software sebagai alat bantu pembelajaran dari tahun 2011 sampai dengan

tahun 2014 dapat ditunjukkan pada Tabel 1 di bawah ini.

Belum begitu banyak memang, tetapi terdapat fenomena yang menampakkan

adanya masalah di dalamnya. Tampak semenjak tahun 2012 terjadi penurunan sampai

pada tahun 2014 hampir tidak ada lagi yang mengkaji tentang Dynamic Geometery

Software. Setelah mendapatidata tersebut, selanjutnya dilakukan kajian terhadap isi

skripsi setelah melakukan penyaringan dari skripsi-skripsi yang menjadi koleksi

perpustakaan Jurusan Matematika. Berikut ini adalah temuan-temuan selama dilakukan

pengkajian terhadap riset yang dilakukan oleh mahasiswa.

Gambar 1 Penggunaan The Geometers Sketchpad dalam penelitian mahasiswa

Tampak pada Gambar 1 di atas mahasiswa menggunakan bantuan the Geometers

Sketchpad dalam penelitiannnya. Tetapi mahasiswa mengfungsikan software tersebut

layaknya media presentasi powerpoint. Tidak tampak ada aktivitas yang berarti dan

tepat dari penggunaan software tersebut. Hal ini tidak sesuia dengan prinsip pnggunaan

dynamic geometri software yang mengedepankan eksplorasi kreatif, generalisasi dann

induksi melalui manipulasidinamis (Chaves, 2000).

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 33

Gambar 2 Penggunaan Cabri 3D dalam penelitian mahasiswa

Sedangkan pada Gambar 2 diatas, mahasiswa menggunakan Cabri 3D dalam

penelitiannya. Tetapi mahasiswa tersebut menggunakan software tersebut dalam

menyelesaikan problem secara langsung, tidak disertai aktivitas dari siswa. Lebih

parahnya lagi mahasiswa menganggap bahwa apa yang dilakukan dengan software

tersebut sebagai “pembuktian”.

Temuan-temuan di atas sedikitnya memberikan gambaran yang kurang tepat dari

penggunaan Dynamic Geometry Software tersebut. Jika penggunaan Dynamic Geometry

Software, maka tidak akan menjadikan siswa menjadi pintar, cerdas melainkan akan

menjadikan siswa bodoh. Yang perlu di ingat, bahwadalam pembelajaran matematika

yang paling penting ditekankan adalah ketrampilan dalam proses berpikir. Siswa dilatih

untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, dan

konsisten. Untuk membantu dalam proses berpikir tersebut, gambar dan atau animasi

dapat digunakan. Dynamic Geometry Softwaredapat berperan di sini, tetapi bukan

“pembuktian”.Dynamic Geometry Softwarehanya sebagai alai bantu melakukan

eksplorasi kreatif dengan manipulasi yang dinamis. Tetap kerja matematika harus

dikedepankan. Hal ini juga sesuai dengan isu perkembangan pada level internasional

tentang pendidikan adalah belajar dan pembelajaran pembuktian matematika dari

berbagai sudut pandang. Sehingga kemampuan siswa untuk melakukan eksperikemen

dalam suatu problem pembuktian merupakan metode dasar dari belajar matematika

(David & Hersh,1982), dan merupakan pendekanatan atau perolehan yang dipakai

dalam ilmu sains.

Proses pembelajaran pembuktian matemmatika bisa di bawa dalam berbagai cara

yang berbeda, tergantung dari waktu dan faktor loka lainnya. Dalam matematika, bukti

didefinisikan sebagai argumen matematis, berupa rangkaian pernyataan yang logis

untuk menerima atau menolak suatu ketetapan (Lo & Raven, 2008). Argumen

matematis yang digunakan berdasarkan pada kebenaran dalam tata nalar deduktif

aksiomatif. Seringnya para siswa mengalami kesulitan ketika di bawa kedalam

kemampuan membuktikan. Tidak hanya perasaan untuk apa melakukan suatu

pembuktian. Dinamakan pemahaman yang terbatas terhadap pembuktian secara empiric

dan pembuktian secara deduktif. (Chazan, 1993).

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 34

Di dalam buku modern geometry terdapat proses pembuktian yang “lengkap” yang

memungkinkan siswa melakukan aktivitas yang bermakna untuk sampai pada puncak

pembuktian yang sesungguhnya di dalam matematika yaitu bukti formal atau bukti

secara deduksi aksiomatis. Rangkaian kegaiatan tersebut digambarkan di bawah ini.

Deskriptif Geometry ► Geometric Construction ► Observation ►

Conjecture ► Testing ► Belief ► Informal Eksplanation ► Proof.

(David. A,:49: 2001)

Kemudian penulis menganalisa bahwa ada rangkaian kegiatan yang tidak bisa dilakukan

tanpan adanya Dynamyc Geometry Software tersebut, yaitu aktivitas Observation,

Conjecture, Testing, Belief, dan Informal Ekspalnation. Disinilah peran Dynamyc

Geometry Softwareyang sesungguhnya. Gambarannya sebagai berikut.

Gambar 3: Fungsionalisasi Dynamic Geometry Sofwarepada kotak yang berwarna orange

D. Simpulan dan Saran

Bukti bukanlah suatu topik di dalam matematika, tetapi merupakan bagian penting

dalam doing mathematics. Dynamic Geometry Software bukanlah alat untuk

membuktikan. Alat ini dapat menggeneralisasi suatu contoh yang dapat membentu

siswa memberikan alasan secara induktif dan membuat suatu konjekture. Dynamic

Geometri Software mempunyai peluang memberikan suatu proses pembelajaran yang

pennuh aktivitas jika digunakan sebagaimana mestinya. Mahasiswa perlu pemahaman

yang mendalam tentang proses pembuktian di dalam geometri dan penggunaan software

tersebut di dalam pembelajaran, sehingga dapat menempatkan peran dan fungsi

Dynamic Geometry Software tersebut dengan tepat.

E. Daftar Pustaka

Cha´vez, O´ scar. Geometry, Technology, and the Reasoning and Proof Standard in the

Middle Grades with the Geometer’s Sketchpad. University of Missouri.

http://www.keypress.com/sketchpad/sketchtalks.html

Chazan, D. (1993). High school geometry students’ justifications for their views of

empirical evidence and mathematical proof. Educational studies in mathematics,

24(4), 359- 387.

David, P. J. & Hersh, R. (1982).The mathematical experience. Boston:

BirkäuserBoston.

David, A. 2002. Modern Geometry. Brooks/Cole Thomson Learning: Ball State

University

Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri

ISBN 978-602-1034-06-4 35

Garry, T. (2003). The Geometer’s Sketchpad na sala de aula. In E. Veloso &

N.Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica: selecção de textos do livro

Geometryturned on! (pp. 69-78). Lisboa: APM.

Irfan Naufal Umar* and Nurullizam Jamiat. Pola Penyelidikan Ict Dalam Pendidikan

Guru Di Malaysia: Analisis Prosiding Teknologi Pendidikan Malaysia. Asia Pacific

Journal of Educators and Education, Vol. 26, No. 1, 1–14, 2011

Keyton, M. (2003). Alunos descobrem a geometria usando software de

geometriadinâmica. In E. Veloso & N. Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica:

selecção detextos do livro Geometry turned on! (pp. 79-86). Lisboa: APM.

King, R. J. & Schattschneider, (2003). Tornar a geometria dinâmica. In E. Veloso &

N.Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica: selecção de textos do livro

Geometryturned on! (pp. 7-13). Lisboa: APM.

Leonor Santos & Sílvia Machado. Mathematical proof and the Geometer’s Sketchpad .,

Lisbon University., Setúbal Higher School of Education.

M. Salman A.N. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam

Pencapaian Standar Nasional Pendidikan yang Terkait dengan Pembelajaran

Matematika

National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards of school

mathematics.Reston, VA: NCTM.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 36

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MAHASISWA

MEMILIH PROGRAM STUDI DI JURUSAN MATEMATIKA

UNESA DENGAN MENGGUNAKAN ANALISA DISKRIMINAN

Hery Tri Sutanto Jurusan Matematika, FMIPA, Unesa

Jl. Ketintang, Surabaya

Surel: [email protected]

Abstrak

Setelah lulus Sekolah Menengah Atas siswa akan mengalami kesulitan dalam memilih program

studi apa yang akan diambil dan Universitas mana yang akan dipilih untuk menimba ilmu

pengetahuan. Dalam mengambil keputusan penentuan program studi Matematika di Jurusan

Matematika Matematika Fakultas MIPA Unesa Surabaya dipengaruhi dorongan orang tua,

kesukaan siswa terhadap Matematika, dirinya sendiri, dorongan dari teman sejawat, setelah lulus

mudah mencari pekerjaan dan terpaksa dari pada tidak kuliah. Dengan menggunakan analisis

diskriminan ternyata pemilihan program studi matematika dipengaruhi oleh dorongan orang tua

dan dorongan yang berasal dari diri sendiri .

Kata kunci : Program studi, orang tua, diri sendiri, dan diskriminan

A. Pendahuluan

Setiap orang mempunyai harapan dan cita-cita. Harapan dan cita-cita yang menjadi

idaman setiap orang adalah memperoleh pekerjaan sesuai yang diinginkan. Harapan-

harapan itu timbul karena orang tersebut memperhatikan kehidupan yang akan datang

dan minat dan cita-cita terhadap pekerjaan telah dipilih dengan mantap seseorang pada

saat masih remaja (Mappiare, 1982).

Menurut Hurlock (dalam Mappiare, 1982) berdasarkan bentuk-bentuk

perkembangan dan pola perilaku yang kelihatan khas pada remaja dibagi dalam dua

kelompok, yaitu kelompok remaja awal (umur 13/14 tahun sampai 17 tahun) dan remaja

akhir ( umur 17 sampai 21 tahun). Pada remaja akhir umumnya anak tersebut Kelas III

SMA atau sudah masuk perguruan tinggi. Salah satu perkembangan yang penting yang

terdapat pada remaja akhir menurut Havighurst (dalam Mappiare, 1982) adalah memilih

dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan.

Siswa yang masih duduk di bangku SMA kelas III yang akan lulus mempunyai

masalah tentang pemilihan jurusan di perguruan tinggi yang ia dambakan. Jika mereka

melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, maka pemilihan lapangan pendidikan, jenis

sekolah dan jurusan yang akan dipilih. Keputusan tersebut sangat penting karena

pilihan-pilihan mempunyai resiko jangka panjang (pekerjaan dan masa depan) dalam

kehidupan mereka (Rice,1999).

Untuk memilih program studi di perguruan tinggi merupakan keputusan yang sulit

bagi remaja akhir, karena banyak lulusan SMA yang mengalami kebingungan

menentukan pilihan sekolah atau jurusan. Kebingungan ini terjadi karena menurut

Moore, Jansen dan Hauk (dalam Rice, 1999), pengambil keputusan mereka merupakan

proses yang rumit. Remaja yang mengalami kebingungan mulai bertanya-tanya kepada

orang tua atau teman mengenai pelajaran atau pekerjaan yang kelak akan berhubungan

dengan jenis jurusan yang mereka pilih.

Dalam pemilihan jurusan ada beberapa orang tua yang memilih dan memaksakan

kehendaknya pada anak untuk berkuliah sesuai pilihan orang tua. Orang tua memilih

jurusan tanpa memperhatikan minat anaknya sehingga anak dalam melaksanakan kuliah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 37

terasa sebagai beban dan tidak mempunyai motivasi. Beberapa faktor yang harus

diperhatikan dalam memilih jurusan adalah minat. Kadang-kadang minat tidak

diperhatikan oleh siswa dan orang tua. Pemilihan jurusan yang sesuai dengan minat

akan mendorong motivasi belajar. Motivasi akan mendorong prestasi belajar. Motivasi

mempunyai peranan untuk mencapai tujuan seseorang. Mahasiswa yang kuliah tidak

sesuai dengan minatnya menyebabkan prestasi belajarnya rendah. Oleh karena itu

motivasi sangat dibutuhkan dalam proses belajar, karena sesuatu itu kalau dipaksakan

akan berpengaruh terhadap hasil yang diperolehnya. Sesuatu yang dikerjakan tidak

sesuai dengan kebutuhannya akan membuat orang tidak mempunyai motivasi. Sesuatu

yang menarik minat orang tua belum tentu menarik untuk anak selama tidak berkenan

dengan kebutuhannya.

Dalam menentukan jurusan di perguruan tinggi, pada umumnya, ada beberapa

faktor yang mempengaruhi remaja akhir dalam menentukan pilihan, misal: minat remaja

akhir, aspirasi remaja akhir, minat orang tua, aspirasi orang tua dan kesan-kesan

(mengenai gengsi ) dari teman-teman sebaya remaja yang bersangkutan (Mappiare,

1982). Setelah lulus Sekolah Lanjutan Atas, siswa akan mengalami masalah dalam

memilih program studi apa yang akan diambil dan Universitas mana yang merupakan

tempat untuk menggali ilmu pengetahuan untuk melanjutkan ke tingkat lebih tinggi.

Dalam mengambil keputusan penentuan program studi dan universitas mana diperlukan

pemikiran yang cermat dan matang. Dalam mencari kuliah, siswa perlu

mempertimbangkan beberapa alasan yang tepat untuk menentukan program studi

tertentu.

Memilih perguruan tinggi merupakan keputusan yang akan berpengaruh masa

depan seseorang. Proses pengambil keputusan yang terdiri dari: penetapan tujuan,

pembatasan, analisis masalah, mencari alternatif, penilaian dan pengambil keputusan.

Proses pengambilan keputusan perlu dimengerti oleh lulusan SMA sewaktu akan

memasuki perguruan tinggi, sehingga dalam mengambil keputusan lebih effektif. Jika

seorang lulusan SMA ingin melanjutkan di perguruan tinggi, maka siswa tersebut

mempunyai tujuan dimasa depan yaitu menjadi dokter, manajer, guru, ilmuwan dan

seterusnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut siswa harus mempersiapkan diri jauh-

jauh hari sejak siswa masuk kelas I SMA .

Proses pemilihan program Studi Matematika di Jurusan Matematika Fakultas MIPA

Unesa Surabaya akan banyak variabel dan merupakan persoalan yang rumit.Salah satu

metode untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan analisa multivariat.

Analisa multivariat yang digunakan penelitian adalah analisa diskriminan dengan

variabel tak bebas berupa keputusan mahasiswa menentukan program studi Matematika

Unesa Surabaya.

Berdasarkan latar belakang diatas timbul masalah dibawah ini: (1) Faktor-faktor

apa yang mempengaruhi mahasiswa dalam menentukan program studi Matematika di

Jurusan Matematika MIPA Unesa ? (2) Analisa apa yang digunakan untuk mempelajari

penelitian ini ?. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi mahasiswa dalam menentukan program studi Matematika MIPA Unesa.

(2) Untuk mengetahui analisa yang digunakan mempelajari penelitian ini. Penelitian ini

bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan studi baru Matematika

dari setiap jurusan matematika di Universitas yang berasal dari LPTKi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 38

B. Tinjauan Pustaka

1. Analisa Diskriminan

Analisa diskriminan merupakan analisa multivariat dengan metode dependensi

yang bertujuan untuk mempelajari hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variabel)

bebas dengan satu atau lebih variabel tak bebas, dimana varibel tak bebas berupa

kategori sedangkan variabel bebas berupa numerik. Apabila variabel tak bebas

dikelompokkan menjadi 2 kelompok (kategori) dinamakan analisa diskriminan.

Analisa diskriminan adalah metode statistik untuk mengelompokkan sejumlah

obyek kedalam beberapa kelompok berdasarkan beberapa variabel, sedemikian hingga

setiap obyek menjadi anggota dari salah satu kelompok. Model analisa diskrimanan

yang digunakan adalah sebagai berikut:

Dimana:

D = skor dari responden atau variabel tak bebas.

= variabel bebas ke i, i=1,2....,n

= koefisien dari variabel bebas ke i

2. Remaja

Remaja berasal dari bahasa Latin adolensance yang berarti tumbuh menjadi

dewasa.Adolensence mempunyai arti lebih luas yang terdiri dari kematangan mental,

emosional, sosial dan fisik (Hurlock,1992).Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari

(2004:53) masa remaja adalah peralihan dari masa anaka dengan masa dewasa yang

mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa

dewasa berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13

tahun sampai 22 tahun bagi pria.

Definisi remaja yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi yang

dikemukakan oleh Gunarsa (1980) yang mengatakan bahwa masa remaja merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana mereka

mengalami berbagai macam perubahan yang cukup berarti, baik dari segi jasmani,

intelektual, kepribadian, dan peranan di dalam maupun di luar lingkungan. Selain itu,

menurut Papalia dan Olds (2001) masa remaja merupakan masa transisi antara masa

anak dan masa dewasa, dimana perubahan yang utama terjadi pada fisik, kognitif dan

emosional.

Menurut Hurlock (dalam Mappiare, 1982), berdasarkan rentang usia masa remaja

dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: (1) Masa remaja awal, yang umumnya

berusia antara 13/14 tahun sampai 17 tahun dan (2) Masa remaja akhir, yang umumnya

berkisar antara usia 17 tahun sampai 21 tahun.

Pada Hukum perdata Indonesia batasan usia 21 tahun (atau kurang dari 21 tahun

sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang (pasal 330 KUHP Perdata).

Anak-anak yang berumur kurang dari 21 tahun masih membutuhkan wali (orang tua

untuk melakukan tindakan hukum perdata ( misal mendirikan perusahaan atau membuat

perjanjian dihadapan pejabat hukum). Disamping itu hukum pidana memberi batasan 16

tahun sebagai usia dewasa (pasal 45,47,KUHP). Anak-anak yang kurang dari 16 tahun

masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar hukum pidana.

Tingkah laku mereka yang melanggar hukum ( misal :mencuri) belum termasuk

kejahatan tetapi dinamakan kenakalan. Kalau ternyata kenakalan anak itu sudah

membahayakan masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara, dan orang tuanya

ternyata tidak mampu mendidik anak tersebut lebih lanjut, maka anak itu menjadi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 39

tanggung jawab negara dan dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus

anak-anak.

3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja

Menurut Havighurst (dalam Rice, 1990; Mappiare, 1982) ada beberapa tugas

perkembangan remaja seperti berikut ini:

a. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif

b. Memiliki hubungan baru dengan teman sebaya, baik dengan sesama jenis maupun

dari jenis kelamin yang berbeda

c. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain.

d. Memilih dan mempersiapkan diri pada suatu pekerjaan atau jabatan.

e. Mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga.

f. Dapat berperilaku yang diperbolehkan masyarakat.

g. Menyusun nilai-nilai kata hati sesuai dengan gambaran dunia, yang diperoleh dari

ilmu pengetahuan.

h. Mendapatkan peran sosial yang sesuai dengan jenis kelamin yang mereka miliki.

Menurut Mappiare (1982) ada beberapa ciri-ciri penting yang umumnya dialami

oleh remaja akhir, yang membedakannya dengan remaja awal. ciri-ciri penting tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Stabilitas secara fisik maupun psikis mulai timbul dan meningkat.

b. Citra diri dan sikap-pandangan lebih realistis.

c. Lebih matang dan tenang dalam menghadapi suatu permasalahan.

4. Pengambilan Keputusan

Menurut Assael (1994:21) pembuatan keputusan konsumen terdiri dari atas proses

merasakan, mengevaluasi informasi merek produk dan mempertimbangkan bagaimana

alternatif merek dapat memenuhi ketentuan konsumen, dan pada akhirnya memutuskan

merek yang akan dibeli. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen, yaitu 1)

faktor internal, artinya pilihan konsumen untuk membeli produk dengan merek tertentu

dipengaruhi oleh hal-hal yang melekat pada diri konsumen seperti motivasi, kebutuhan,

persepsi dan sikap; 2) faktor lingkungan eksternal, interaksi sosial yang dilakukan oleh

seseorang akan turut mempengaruhi pilihan merek produk yang akan dibeli dan 3)

faktor stimuli atau strategi komunikasi, yaitu variabel yang dikehendaki oleh pemasar,

pemasar berusaha mempengaruhi konsumen dengan menggunakan stimuli-stimuli

komunikasi seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia memilih merek produk

yang ditawarkan. Menurut Siagian (1990), pengambilan keputusan merupakan suatu

proses dimana seseorang menjatuhkan pilihannya pada berbagai alternatif pilihan yang

ada.

Menurut Zavalloni (dalam McCall, 1967), pengambilan keputusan merupakan

proses yang sangat panjang, dan biasanya proses tersebut dikenal dengan Voluntary

Choice. Proses pengambilan keputusan (voluntary choice) memiliki beberapa tahapan,

seperti:

a. Motivation: Merupakan suatu tahapan dimana seseorang tergerak untuk mengambil

keputusan karena adanya alasan-alasan yang kuat, yang dapat mendorong mereka

untuk menjatuhkan pilihan atas beberapa alternatif yang ada.

b. Deliberation: Merupakan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan seseorang

sebelum mengambil keputusan. Dalam tahap ini, seseorang pada umumnya

melakukan diskusi internal dalam dirinya, untuk mengevaluasi kemungkinan-

kemungkinan dari beberapa alternatif pilihan yang ada. Dalam tahap ini, seseorang

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 40

terkadang mengalami keraguan, kebimbangan, dan merasa sulit untuk mengambil

keputusan. Hal ini pada umumnya dialami oleh seorang dalam menentukan

pekerjaan apa yang akan mereka tekuni kelak.

c. Decision: Merupakan pilihan nyata yang dilakukan dengan penuh kesadaran.

Dalam tahap ini seseorang mengambil tindakan untuk memilih salah satu dari

beberapa alternatif pilihan yang ada. Pada umumnya seorang individu akan

membuat komitmen terlebih dahulu untuk menentukan pilihan yang mana yang

hendak mereka ambil.

d. Execution: Merupakan tindakan aktual yang dilakukan ketika seseorang telah

berhasil untuk membuat suatu pilihan. Dalam tahapan ini, seseorang mengambil

tindakan nyata untuk merealisasikan apa yang menjadi keputusannya.

Dalam memilih jurusan di perguruan tinggi, ada beberapa faktor yang ikut berperan

serta, seperti minat remaja akhir, aspirasi remaja akhir, minat orang tua, aspirasi orang

tua, serta kesan-kesan dari teman sebaya (Mappiare, 1982). Namun berdasarkan survey

yang dilakukan peneliti terhadap beberapa siswa SMA kelas III, ditemukan bahwa ada

faktor lain yang menurut mereka cukup penting dalam memilih suatu jurusan di

perguruan tinggi, yakni prospek pekerjaan di masa depan. Faktor-faktor tersebut

dijabarkan di bawah ini:

a. Faktor internal individu

Faktor-faktor psikologis yang berasal dari proses intern, individu sangat

berpengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen. Faktor-faktor tersebut terdiri dari :

motivasi atau kebutuhan, persepsi dan sikap,

b. Motivasi dan kebutuhan

Seseorang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan usaha

untuk memenuhi kebutuhan itu dinamakan motivasi. Motivasi menurut Schiffman dan

Kanuk (2000:63) adalah “ dorongan dari dalam individu yang menyebabkan dia

bertindak “. Artinya motivasi muncul akibat adanya kebutuhan yang dirasakan oleh

konsumen. Kebutuhan sendiri muncul karena konsumen merasakan ketidaknyamanan

antara yang seharusnya dirasakan dan yang sesungguhnya dirasakan. Kebutuhan yang

dirasakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan tindakan untuk memenuhi

kebutuhan. Inilah yang dinamakan motivasai. Menurut Woolfolk (1993) menyatakan

motivasi berprestasi merupakan suatu keinginan untuk berhasil, berusaha keras dan

mengungguli orang lain berdasarkan standard mutu tertentu. Dwivedi dan Herbert

(dalam Asnawi, 2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan dorongan

untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan

dibandingkan pada standardnya sendiri dan orang lain. Royanto (2002) menyatakan

motivasi berprestasi merupakan keinginan mencapai prestasi sebaik-baiknya, bisanya

ukurannnya diri sendiri (internal ) dan orang lain (eksternal ). Menurut Winkel (1991)

menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan daya penggerak dalam diri siswa

untuk mencapai prestasi akademik setinggi mungkin. Untuk mencapai prestasi setinggi

mungkin, setiap orang harus mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai

tujuannya.

c. Persepsi

Menurut Solomon (1999: 63) persepsi didifinisikan sebagai proses dimana sensasi

yang diterima oleh seseorang akan dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya di

interprestasikan. Pada saat seseorang ingin membeli suatu produk baru, sebetulnya ia

merespons persepsinya tentang produk itu. Pemasar harus merespons persepsi

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 41

konsumen terhadap realitas yang subyektif dan bukan realitas yang obyektif. Untuk

mengetahui mengapa konsumen menerima atau menolak suatu produk atau merek,

pemasar harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh pandangan konsumen terhadap

produk/merek tersebut, meskipun pandangan tersebut sangat tidak masuk akal.

d. Sikap

Sikap konsumen merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan

konsumen. Konsep sikap ada hubungannya dengan konsep kepercayaan dan perilaku.

Mowen dan Minor (1998:75) menyatakan pembentukan sikap konsumen seringkali

menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku. Kepercayaan, sikap

dan perilaku juga berkaitan dengan konsep atribut produk. Atribut produk merupakan

karakteristik dari suatu produk. Konsumen biasanya memiliki kepercayaan terhadap

atribut suatu produk.

e. Orang tua

Orang tua adalah orang yang terdekat yang mempunyai peran paling besar dalam

perkembangan anak. Orang tua yang berperan dalam merawat dan membesarkan anak

untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, membimbing dan mengarahkan,

memberi contoh yang baik, memberi kasih sayang yang menimbulkan kehangatan, rasa

aman dan terlindungi yang diperlukan oleh anak (Gunarsa, 2011). Harapan orang tua

terhadap anaknya akan mempengaruhi perkembangan motivasi berprestasi. Orang tua

mengharapkan anaknya bekerja keras yang mendorong anak tersebut bertingkah laku

yang mengarah pencapaian prestasi (Tecls dalam Prabowo,1998)

f. Suka

Tidak ada mahasiswa yang berhasil dalam studinya jika bertentangan dengan

minatnya. Minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau

melakukan aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan

akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau

dekat hubungan tersebut, semakin besar minatnya (Djaali,2009:121)

g. Teman Sebaya

Lingkungan kuliah mahasiswa sangat mendukung responden untuk melakukan

kegiatan kuliah secara optimal. Misalnya mahasiswa memperoleh dukungan dari teman

kuliah dan dosen akan berpengaruh pada motivasi berprestas secara tidak langsung.

Menurut Gage dan Berlina (1991) menyatakan bahwa motivasi berprestasi pada siswa

saat remaja, sangat dipengaruhi oleh teman sebaya khususnya teman dari kelompok

acuannya. Apabila seorang siswa berteman dengan siswa yang bermotivasi prestasi

rendah maka siswa tersebut cenderung memiliki motivasi yang rendah pula. Seorang

guru dapat mendorong siswanya untuk mempunyai siswa yang berprestasi tinggi

dengan cara memberi dukungan kepada siswa yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan

yang ada disekolah (Gage dan Berliner,1991).

h. Lapangan kerja

Menurut Biro Pusat Statistik, pengangguran terbuka dengan predikat sarjana masih

menjadi masalah utama, karena sebanyak 14 % ada pengangguran terbuka. Disebabkan

materi kuliah berupa teori lebih dominan sehingga menjadi sarjana teori bukan sarjana

terapan yang memang dibutuhkan di lapangan kerja yang ada. Pengangguran yang

diakibatkan para sarjana tidak memiliki atau tidak memenuhi kualifikasi yang

dibutuhkan oleh dunia kerja, yang membuat para lulusan perguruan tinggi kesulitan

dalam mencari kerja yang sesuai.Faktor lain yang menyebabkan pengangguran adalah

tingkat kejenuhan dunia kerja terhadap beberapa jurusan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 42

Saat ini banyak perguruan tinggi yang menawarkan berbagai jurusan atau program

studi (prodi) ke perguruan tinggi. Karena banyak lulusan SMA yang ingin melanjutkan

ke perguruan tinggi untuk mengantisipasi masalah link and mach antara dunia

pendidikan dan dunia kerja. Banyak sarjana yang menganggur sehingga lulusan SMA

cenderung memilih program studi yang menjanjikan banyak lapangan kerja.

Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan yang menyediakan prodi dari D3

sampai S3 dapat dipandang sebagai suatu proses produksi yang dapat diibaratkan

sebagai suatu perusahaan atau industri yang bergerak dalam bidang industri jasa.

Sebagai industri jasa menurut Taliziduku (1988:112) ada dua macam produk dari

perguruan tinggi, yaitu:

1. Nilai tambah manusiawi yang diperoleh mahasiswa yang bersangkutan, sehingga ia

diharapkan siap memasuki dunia nyata dan lingkungan masyarakat. Termasuk

dalam kategori ini pembentukan dan transformasi nilai. Inti dari produk perguruan

tinggi sebagai proses edukatif dan proses pertimbangan.

2. Temuan ilmiah dan inovasi tehnologi, yaitu produk perguruan tinggi sebagai proses

riset.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey untuk memperoleh data primer. Data

primer diperoleh dengan cara memberikan kuesnair secara langsung kepada responden.

Responden diminta kesediannya untuk mengisi kuenair adalah mahasiswa Jurusan

Matematika angkatan 2012-2014. Variabel dalam penelitian adalah pemilihan program

studi matematika sebagai variabel tak bebas dan ortu, suka, sendiri, teman, kerja dan

terpaksa merupakan variabel bebas.

1. Karakteristik Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang saat ini sedang duduk

dibangku perguruan tinggi tahun pertama dan kedua. Tempat dilakukannya penelitian

ini ada di Jurusan Matematika MIPA Unesa. Waktu survai tanggal 25 s.d 28 Oktober

2014. Namun penelitian ini dibatasi pada subyek/sample dengan karakteristik Usia dan

status. (1) Batasan usia subyek dalam penelitian ini adalah 17 – 21 tahun. Batasan

tersebut diterapkan dengan mempertimbangkan bahwa sampel 17 – 21 tahun merupakan

batasan usia untuk remaja akhir (Mappiare, 1982), serta pada umumnya mereka

termasuk kelompok mahasiswa. (1) Batasan status mahasiswa. Batasan ini diterapkan

karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan dalam

mempertimbangkan faktor-faktor pengambilan keputusan melakukan pemilihan

program studi di jurusan Matematika MIPA UNESA.

Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah 150 mahasiswa dengan pembagian

sebagai 75 orang mahasiswa sampel untuk mahasiswa jurusan matematika program

studi pendidikan matematika dan 75 orang mahasiswa sampel untuk mahasiswa jurusan

matematika program studi matematika.

2. Teknik Sampling

Menurut Nawawi (dalam Wasito dkk, 1990: hal 55), sampling adalah: ”cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel

yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat dan

penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-

benar mewakili populasi”

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental

sampling. Alasan penggunaan sampling ini adalah karena kesediaan dan kemudahan

dalam penetapan subyek penelitian (Guilford & Fruchter, 1978)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 43

Skala faktor-faktor pengambilan keputusan pemilihan jurusan di perguruan tinggi

juga disusun sendiri oleh peneliti yang mengacu pada enam faktor pengambilan

keputusan pemilihan jurusan di perguruan tinggi, dimana lima faktor (yakni dorongan

dari orang tua, aspirasi mahasiswa sendiri, dorongan dari teman, terpaksa) berasal dari

teori yang dikemukakan oleh Mappiare (1982) dan satu faktor lain (yakni prospek

pekerjaan di masa depan) diperoleh berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh

peneliti pada bulan Oktober 2014.

3. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul dalam penelitian in dianalisis dengan Analisa Diskriminan.

Pengelompokkan ini bersifat mutually exclusive, dalam arti jika mahasiswa program

studi pendidikan matematika masuk ke dalam kelompok1 dengan kode 1 dan

mahasiswa program studi matematika masuk ke dalam kelompok2 dengan kode 0

sebagai variabel tak bebas yang dipengaruhi variabel bebas : ortu,

suka,sendiri,teman,kerja dan terpaksa.

D. Hasil dan Pembahasan

Kebanyakan rata-rata mahasiswa studi pendidikan matematika dan mahasiswa

studi matematika karena suka matematika, memperoleh dorongan sendiri dan setelah

lulus memperoleh pekerjaan tetapi hanya sebagian kecil yang mendapatkan dorongan

orang tua, teman dan yang terpaksa.

Group Statistics

3,52 1,155 75 75,000

4,19 ,651 75 75,000

4,09 ,841 75 75,000

2,40 1,197 75 75,000

4,13 ,827 75 75,000

2,03 1,139 75 75,000

2,76 1,184 75 75,000

4,11 ,669 75 75,000

3,68 ,903 75 75,000

2,12 1,026 75 75,000

4,01 ,626 75 75,000

2,29 1,282 75 75,000

3,14 1,226 150 150,000

4,15 ,659 150 150,000

3,89 ,894 150 150,000

2,26 1,120 150 150,000

4,07 ,734 150 150,000

2,16 1,216 150 150,000

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

studi

1

2

Total

Mean Std. Dev iation Unweighted Weighted

Valid N (listwise)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 44

Tabel diatas menguji kesamaan rata-rata kelompok dengan dua cara ( lihat nilai

Wilks’ Lambda dan angka signifikansi angka F)

Dengan melihat nilai Wils’ Lambda

Variabel bebas ortu, suka,sendiri, teman,kerja dan terpaksa mempunyai nilai Wilks’

Lambda mendekati nilai 1 yang berarti cenderung sama.

** Dengan melihat nilai angka signifikansi dari angka F

Angka signifikansi F untuk variabel ortu sebesar berarti ada

perbedaan antara kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan

program studi matematika yang memperoleh dorongan dari orang tua

Angka signifikansi F untuk variabel sendiri sebesar berarti

ada perbedaan antara kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika

dengan program studi matematika yang memperoleh dorongan dari dirinya sendiri.

Jadi dorongan orang tua dan dorongan diri sendiri merupakan faktor pembeda

untuk pemilihan program studi antara kedua kelompok pendidikan matematika dan

matematika.

Untuk menguji kesamaan varians digunakan angka Box’s M

Dengan asumsi semua variabel bebas mempunyai varians yang sama dengan hipotesis:

matriks-matriks kovarians kedua kelompok sama.

matriks-matriks kovarians kedua kelompok berbeda

Ternyata angka signifikansi 0,005 < 0,05 maka Ho ditolak yang kovarians kelompok

mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan dengan kelompok program

studi matematika tidak sama.

Tests of Equality of Group Means

,903 15,838 1 148 ,000

,996 ,550 1 148 ,459

,946 8,416 1 148 ,004

,984 2,366 1 148 ,126

,993 1,003 1 148 ,318

,988 1,815 1 148 ,180

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

Wilks'

Lambda F df 1 df 2 Sig.

Test Results

42,957

1,957

21

80562,876

,005

Box's M

Approx.

df 1

df 2

Sig.

F

Tests null hypothesis of equal population cov ariance matrices.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 45

Analysis 1

Summary of Canonical Discriminant Functions

Korelasinya kanonik sebesar 0,397 yang berarti korelasi antara variabel pemilihan

program studi dengan kelima variabel bebas : ortu,suka, sendiri,teman,kerja dan

terpaksa rendah.

Pooled Within-Groups Matricesa

1,368 -,043 -,064 ,240 ,061 ,083

-,043 ,436 ,218 -,078 ,115 -,241

-,064 ,218 ,761 -,067 ,212 -,346

,240 -,078 -,067 1,243 -,035 ,274

,061 ,115 ,212 -,035 ,538 -,105

,083 -,241 -,346 ,274 -,105 1,470

1,000 -,056 -,062 ,184 ,071 ,058

-,056 1,000 ,378 -,106 ,237 -,302

-,062 ,378 1,000 -,069 ,331 -,327

,184 -,106 -,069 1,000 -,042 ,203

,071 ,237 ,331 -,042 1,000 -,118

,058 -,302 -,327 ,203 -,118 1,000

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

Covariance

Correlation

ortu suka sendiri teman kerja terpaksa

The covariance matrix has 148 degrees of f reedom.a.

Covariance Matrices

1,334 ,091 ,005 ,114 ,214 -,014

,091 ,424 ,212 -,157 ,015 -,167

,005 ,212 ,707 -,227 ,190 -,313

,114 -,157 -,227 1,432 -,041 ,368

,214 ,015 ,190 -,041 ,685 -,085

-,014 -,167 -,313 ,368 -,085 1,297

1,401 -,177 -,132 ,367 -,091 ,179

-,177 ,448 ,224 ,001 ,215 -,315

-,132 ,224 ,815 ,093 ,234 -,378

,367 ,001 ,093 1,053 -,029 ,181

-,091 ,215 ,234 -,029 ,392 -,126

,179 -,315 -,378 ,181 -,126 1,643

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

studi

1

2

ortu suka sendiri teman kerja terpaksa

Eigenvalues

,187a 100,0 100,0 ,397

Function

1

Eigenvalue % of Variance Cumulat iv e %

Canonical

Correlation

First 1 canonical discriminant functions were used in the

analysis.

a.

Wilks' Lambda

,843 24,808 6 ,000

Test of Function(s)1

Wilks'

Lambda Chi-square df Sig.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 46

Angka signifikansi dari Wilks’ Lambda sebesar 0,000 < = 0,05 menyatakan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok responden yaitu

mahasiswa program studi pendidikan matematika dan mahasiswa program studi

matematika yang dipengaruhi oleh lima variabel bebas, yaitu ortu, suka, sendiri,teman,

kerja dan terpaksa.

Tabel diatas menunjukkan adanya korelasi antara variabel-variabel bebas dengan

fungsi diskriminan yang terbentuk. Berdasarkan data diatas, variabel bebas dukungan

orang tua dengan korelasi 0,757 mempunyai korelasi paling tinggi, kemudian dorongan

sendiri (0,552), dorongan dari teman (0,293), lapangan kerja (0,191), suka matematika

(0,141) dan terpaksa (-0,256).

Tabel diatas menunjukkan bahwa ada dua kelompok yang berbeda , kelompok pertama mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan rata-rata positip dan kelompok kedua mahasiswa program studi matematika dengan rata-rata negatip.

Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients

,765

-,058

,600

,220

-,060

-,174

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

1

Function

Structure Matrix

,757

,552

,293

-,256

,191

,141

ortu

sendiri

teman

terpaksa

kerja

suka

1

Function

Pooled within-groups correlations between discriminating

variables and standardized canonical discriminant f unctions

Variables ordered by absolute size of correlat ion within f unction.

Functions at Group Centroids

,429

-,429

studi

1

2

1

Function

Unstandardized canonical discriminant

f unct ions ev aluated at group means

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 47

Classification Statistics

Tabel ini menunjukkan banyaknya responden yang diproses sebesar 150 dan tidak ada yang tidak

diproses.

Tabel diatas menyatakan ada dua kelompok, kelompok pertama mahasiswa program

studi pendidikan matematika dan kelompok kedua mahasiswa program studi

matematika

Tabel diatas menunjukkan persamaan regresi dibawah ini

a) Untuk kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika

Berarti kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika disumbangkan yang

besar oleh suka , kerja , terpaksa dan sendiri.

b) Untuk kelompok mahasiswa program studi matematika

Berarti kelompok mahasiswa program studi matematika disumbangkan yang besar oleh

suka , kerja , terpaksa dan sendiri.

Classification Processing Summary

150

0

0

150

Processed

Missing or out-of-range

group codes

At least one missing

discriminat ing v ariable

Excluded

Used in Output

Prior Probabilities for Groups

,500 75 75,000

,500 75 75,000

1,000 150 150,000

studi

1

2

Total

Prior Unweighted Weighted

Cases Used in Analysis

Classification Function Coefficients

2,299 1,737

9,121 9,196

3,349 2,759

1,586 1,417

4,954 5,024

3,594 3,717

-46,469 -42,896

ortu

suka

sendiri

teman

kerja

terpaksa

(Constant)

1 2

studi

Fisher's linear discriminant functions

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi

ISBN 978-602-1034-06-4 48

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kelompok mahasiswa yang

memilih program studi pendidikan matematika dengan studi matematika berbeda

karena dipengaruhi dorongan orang tua dan inisiatip dari diri sendiri. Berdasarkan

pembahasan dan kesimpulan dapat diberikan saran supaya Pimpinan jurusan lebih aktif

mempromosikan jurusan Matematika ke sekolah–sekolah SMA IPA di Indonesia

pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya baik lewat orang tua siswa maupun

siswa yang bersangkutan.

F. Daftar Pustaka

Alvin C. Rencher,2006, Methods of Multivariate Analysis , John Wiley & Sons,

Canada,2002

Ali Mahmudi, 2006, Tips Memilih Perguruan Tinggi, Jurusan Pendidikan Matematika

FMIPA UNY, Yogyakarta .

Ali Mahmudi, 2006, Tips Memilih Perguruan Tinggi, Jurusan Pendidikan Matematika

FMIPA UNY, Yogyakarta .

Karina M. Brahmana. Tanpa tahun, Perbedaan Dalam Mempertimbangkan Faktor-

faktor Pengambilan Keputusan Pemilihan Jurusan Di Perguruan Tinggi Pada

Remaja Akhir Yang Mempersiapkan Dirinya Diasuh Dengan Pola Asuh yang

berbeda.

Martini,Tanpa tahun, Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan Jurusan

Akutansi Sebagai tempat kuliah di Perguruan Tinggi ,Fakultas ekonomi Budi

Luhur, Jakarta.

R. Damar Adi Hartaji, S.Psi, tanpa Tahun, Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang

berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orang tua, Fakultas Psikologi, Universitas

Gunadarma.

Salito W. Sarwono,2011 Psikologi remaja, Rajawali Press PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Jonathan Sarwono, 2013,Statistik Multivariat Aplikasi untuk Riset Skripsi,Penerbit C.V

Andi Offset , Yogyakarta.

Yuli Andriani, Dian Cahywati dan Vivin Gusmaryanita,2009, Analisa Diskriminan

Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Program Studi Matematika

Di FMIPA Universitas Sriwijaya, Palembang.

Tutik Susilowati,2008, Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

mahasiswa (Pengaruh faktor internal individu, lingkungan eksternal dan strategi

komunikasi

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 49

PENGEMBANGAN MODEL ASSESSMENT FOR LEARNING (AFL)

MELALUI SELF ASSESSMENT PADA PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI SMP TERPADU PONOROGO

Intan Sari Rufiana

Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Jl. Budi Utomo No.10 Ponorogo

Surel: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untukmenghasilkan produk berupa perangkat Assessment for Learning

dengan Self Assessment dalam pembelajaran matematika di SMP Terpadu Ponorogo.Kemudian

dilakukan ujicoba terhadap pembelajaran dengan menggunakan penilaian tersebut pada kelas

sampel. Hasil dari ujicoba tersebut untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap Assessment

for Learningdengan Self Assessment. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama

dan tahap kedua.Tahap pertama adalah pengembangan dan penentuan model penilaian Assessment

for Learning (AFL) dengan Self Assessment yang termasuk ke dalam penelitian dan

pengembangan (research and development). Tahap kedua adalah ujicoba model untuk melihat

bagaimana respon guru dan siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian Assessment for

Learning (AFL) dengan Self Assessment.Hasil penelitian adalah tersusunnya perangkat

Assessment for Learning dengan Self Assesssment dalam pembelajaran matematika di SMP

Terpadu Ponorogo. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa respon guru dan siswa SMP Terpadu

Ponorogo baik terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat Assessment for Learning

dengan Self Assesssment. Guru matematika SMP Terpadu mengatakan bahwa pembelajaran

dengan menggunakan perangkat Assessment for Learning dengan Self Assesssment dapat

dilaksanakan dengan mudah. Hal yang sulit adalah mensetting tempat ketika siswa mengerjakan

soal dan siswa mengoreksi jawaban. Beberapa siswa mengatakan bahwa pembelajaran dengan

menggunakan perangkat Assessment for Learning dengan Self Assesssment menyenangkan.

Penilaian dalam kurikulum 2013 diarahkan tidak hanya pada penilaian akhir saja tetapi juga

penilaian proses. Penilaian proses ini dapat digunakan sebagai ajang balikan atau umpan balik

siswa dari gurunya. Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dapat digunakan

dalam penilaian proses sebagai ajang memberikan balikan terhadap proses pembelajaran yang

telah dilakukan.

Kata Kunci: Assessment for Learning, Self Assessment

A. Pendahuluan

Perubahan kurikulum 2013 sudah mulai diberlakukan dua tahun belakangan ini di

sekolah-sekolah. Dengan adanya perubahan ini, tentunya berbagai standar dalam

komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar proses maupun

standar kompetensi lulusan. Begitu juga penataan terhadap standar

penilaian.Koordinator Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga

(Disdikpora) Kota Solo, Suwardi dalam harian Solopos, memaparkan bahwa ada

perubahan dalam standar penilaian yang dilakukan dalam kurikulum 2013.Standar

penilaian tsb menyangkut pada sembilan sistem penilaian meliputi penilaian diri,

ulangan harian, ujian tengah semester, ujian sekolah, ujian nasional, ujian tingkat

kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, penilaian proyek dan penilaian autentik.

Perubahan standar penilaian dalam kurikulum 2013 tidak hanya pada bentuk-

bentuk penilaian yang digunakan, tetapi juga pada pelaksanaan penilaiannya. Penilaian

yang digunakan lebih terkonsentrasi pada penilaian proses dibanding penilaian akhir.

Meskipun demikian, pada kenyataannya masih banyak guru yang kurang

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 50

memperdulikan dan tidak melakukan penilaian proses, mereka lebih mementingkan

hasil belajar siswa pada akhir semester, akhir tahun atau ujian akhir.

Observasi di lapangan mendukung hal tersebut di atas.Di beberapa SMP di

Ponorogo. Hasil observasi menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan adalah

penilaian akhir yaitu ulangan kompetensi dasar, UTS, dan UAS. Dan dari observasi

yang dilakukan peneliti, situasi ulangan adalah sebagai berikut: keseriusan siswa terlihat

hanya saat ada ulangan saja, banyak di antara mereka yang mengaku belajar hanya pada

saat akan diadakan ulangan. Bahkan tidak jarang dari mereka menghalalkan segala cara

yang tidak baik untuk mencapai nilai ujian yang optimal, seperti membuka buku untuk

mencontek ataupun bekerja sama dengan temannya. Hal ini menyebabkan guru sendiri

sulit membedakan kemampuan siswa satu dengan lainnya, karena hasil nilai dari

ulangan kompetensi dasar, UTS, dan UAS cenderung sama siswa satu dengan lainnya.

Selain itu, guru juga tidak memberikan balikan kepada siswa, guru hanya memberikan

remidi atau ulangan kembali dengan soal yang sama kepada siswa yang nilainya kurang

dari standar ketuntasan minimal kelas.

Dari hasil observasi di atas menunjukkan bahwa penilaian yang digunakan guru-

guru di beberapa SMP di Ponorogo masih menggunakan penilaian sumatif. Hal ini

senada dengan pendapat Kirbani (2012:124) bahwa penilaian yang sering dilakukan

oleh guru-guru di Indonesia adalah penilaian sumatif atau Assessment of Learning

(AoL) yang digunakan untuk mendapat skor atau prestasi belajar siswa tanpa adanya

usaha perbaikan pembelajaran. Begitu juga yang terjadi di SMP Terpadu Ponorogo.

Penilaian proses yang digunakan hanyalah penilaian portofolio, dimana tidak semua

guru melakukan penilaian itu.

Penilaian yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran adalah

penilaian formatif atau Assessment for Learning (AfL). Dengan penilaian formatif, guru

dapat mengoptimalkan pembelajarannya. Dengan penilaian formatif semua aspek

kemampuan siswa dapat terdokumentasikan, sehingga permasalahan pembelajaran

siswa dapat diketahui dengan segera, guru pun dapat segera memberikan umpan balik

ataupun segera memperbaiki cara mengajarnya.Young (2005) dalam makalahnya

menyebutkan bahwa Assessment for Learning (untuk selanjutnya disingkat AfL), jika

digunakan secara efektif dapat meningkatkan prestasi siswa. Hal yang sama

dikemukakan oleh Stiggins & Chappuis (2006) bahwa AfL dapat meningkatkan

kesuksesan siswa. AfL sudah diterapkan sejak lama dan terbukti telah dapat

meningkatkan kemampuan matematika siswa di Inggris.

Dalam penelitian Budiyono, dkk (2009) telah dikembangkan model pembelajaran

yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan balikan di

kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran. Oleh

karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru tanpa

mengurangi pentingnya peranan AfL. Dalam penelitian ini dikembangkan model AfL

melalui self assessment. Dengan adanya penilaian diri (self assessment), siswa

diharapkan dapat menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya karena ketika mereka

melakukan penilaian,harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan

yang dimilikinya.Penilaian diri juga merupakan salah satu bentuk penilaian yang

direkomendasikan dalam implementasikan kurikulum 2013.

Berdasarkan paparan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diidentifikasi masalah-

masalah sebagai berikut:

1. Belum adanya petunjuk teknis dan format penilaian autentik dalam kurikulum

2013

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 51

2. Guru lebih banyak memberikan cara praktis penyelesaian soal dari pada bersusah

payah menerangkan atau membahas teori

3. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian akhir yaitu penilaian sumatif

4. Keseriusan siswa terlihat hanya saat ada ulangan saja, banyak di antara mereka

yang mengaku belajar hanya pada saat akan diadakan ulangan.

5. Tidak jarang siswa menghalalkan segala cara yang tidak baik untuk mencapai

nilai ujian yang optimal, seperti membuka buku untuk mencontek ataupun bekerja

sama dengan temannya

6. Guru sulit membedakan kemampuan siswa satu dengan lainnya, karena hasil nilai

dari ulangan sumatif cenderung sama siswa satu dengan lainnya.

7. Guru juga tidak memberikan balikan kepada siswa, guru hanya memberikan

remidi atau ulangan kembali dengan soal yang sama kepada siswa yang nilainya

kurang dari standar ketuntasan minimal kelas.

8. Siswa tidak mengetahui kelemahan belajarnya sendiri jika guru hanya

memberikan nilai tanpa memberikan umpan balik

B. Tinjauan Pustaka

1. Kurikulum 2013

Pendidikan di Indonesia pada dekade akhir ini mendapat perhatian yang cukup

serius dari pemerintah. Mulai digulirnya bantuan BOS, bantuan siswa miskin, bantuan

Bidik Misi pada tingkatan Perguruan Tinggi dalam rangka pembenahan standar

pembiayaan; peningkatan kualifikasi dan sertifikasi standar pendidik dan tenaga

kependidikan; pembenahan standar pengelolaan dan sarana prasarana; serta yang

terakhir adalah pembenahan kurikulum dengan digulirnya kurikulum 2013 di setiap

jenjang sekolah oleh pemerintah.

Pembenahan kurikulum ini adalah sebagai bentuk implikasi dari hasil pendidikan

kita selama ini. Output dari proses pembelajaran di sekolah selama ini dianggap tidak

sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan

pendidikan sebagai ajang dan upaya pembentukan manusia seutuhnya. Kurikulum 2013

dikembangkan dalam rangka pembentukan pribadi dan karakter anak bangsa.

Beberapa hal pokok yang dilakukan dalam hal penyempurnaan pola pikir dalam

perumusan kurikulum 2013 adalah sebagai berikut:

a. standar kompetensi lulusan yang dalam kurikulum sebelumnya diturunkan dari

standar isi, dalam kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan

b. standar isi yang dalam kurikulum sebelumnya dirumuskan berdasarkan tujuan mata

pelajaran, dalam kurikulum 2013 standar isi diturunkan dari standar kompetensi

lulusan

c. pembentukan aspek sikap, keterampilan dan pengetahuan harus dikembangkan

pada melalui semua mata pelajaran

d. mata pelajaran diturunkan dari dari kompetensi yang ingin dicapai, bukan

sebaliknya

e. semua mata pelajaran terkait dan diikat oleh kompetensi inti

Selain itu, ada beberapa hal yang menjadikan kurikulum 2013 ini berbeda dengan

kurikulum sebelumnya, yaitu:

a. Tingkat SMP

1) semua kompetensi (sikap, keterampilan dan pengetahuan) didukung oleh setiap

mata pelajaran dengan penekanan berbeda yang tergantung pada konsep materinya

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 52

2) tiap mata pelajaran terkait satu sama lain dan kompetensi dasar yang ada di

dalamnya diikat oleh kompetensi inti tiap tingkatan kelas

3) Bahasa Indonesia yang sebelumnya sebagai pengetahuan, dalam kurikulum 2013

digunakan sebagai alat komunikasi

4) menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran

5) TIK yang sebelumnya adalah sebuah mata pelajaran, dalam kurikulum 2013

digunakan sebagai sarana dan media pembelajaran

b. Tingkat SMA/ SMK

1) semua kompetensi (sikap, keterampilan dan pengetahuan) didukung oleh setiap

mata pelajaran dengan penekanan berbeda yang tergantung pada konsep materinya

2) tiap mata pelajaran terkait satu sama lain dan kompetensi dasar yang ada di

dalamnya diikat oleh kompetensi inti tiap tingkatan kelas

3) Bahasa Indonesia yang sebelumnya sebagai pengetahuan, dalam kurikulum 2013

digunakan sebagai alat komunikasi

4) menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran

5) sistem penjurusan tidak ada lagi, yang ada adalah mata pelajaran wajib, peminatan,

antar minat dan pendalaman minat

6) pada SMK, penjurusan tidak terlalu detail ke bidang studi, tetapi ada

pengelompokan peminatan dan pendalaman

2. Penilaian dalam Kurikulum 2013

Sebagaimana yang diuraikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam slide

ppt Pengembangan Kurikulum 2013, bahwa semua kompetensi (sikap, keterampilan dan

pengetahuan) dalam kurikulum 2013 dikembangkan di setiap mata pelajaran. Demikian

juga halnya dalam pembelajaran matematika, kompetensi sikap, keterampilan dan

pengetahuan harus dikuasai siswa secara seimbang, meskipun semuanya tidak diberikan

secara langsung melalui pembelajaran di kelas.

Penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013 tidak hanya berfungsi untuk

memberikan penilaian kepada siswa dan membandingkan kemampuan siswa terhadap

suatu kompetensi tertentu, tetapi penilaian dalam kurikulum 2013 diupayakan dalam

rangka meningkatkan kualitas belajar siswa. Informasi dari perkembangan belajar siswa

digunakan sebagai umpan balik dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Jadi

bukan mengajar dan belajar untuk dinilai; tetapi mengajar, belajar dan menilai

merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prinsip penilaian

autentik inilah yang digunakan dalam kurikulum 2013.

3. Penilaian Autentik

Penilaian autentik merupakan bentuk penilaian yang digunakan dalam kurikulum

2013. Beberapa ahli berpendapat tentang definisi penilaian autentik sebagai berikut:

Wiggins mengemukakan “Assessment is authentic when we directly examine

student performance on worthy intellectual tasks. Traditional assessment, by contract,

relies on indirect or proxy 'items'”, “…Engaging and worthy problems or questions of

importance, in which students must use knowledge to fashion performance effectively

and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the kinds of problems

faced by adult citizens and consumers or professionals in the field”

Stiggins 1994 mengemukakan bahwa performance assessments call upon the

examinee to demonstrate specific skills and competencies, that is , to apply the skills

and knowledge they have mastered.

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 53

Muller 2006 berpendapat bahwa bentuk penilaian yang menghendaki siswa

melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya (dunia nyata) yang menampilkan

aplikasi keterampilan dan pengetahuan yang esensial adalah penilaian autentik.

Kemendikbud, 2013 mendefinisikan penilaian autentik sebagai pengukuran yang

bermakna secara signifikan atas hasil belajar siswa untuk ranah sikap, keterampilan dan

pengetahuan.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian autentik adalah

proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian

pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu

mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan

pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.

Beberapa jenis penilaian autentik yang dapat digunakan dalam implementasi

kurikulum 2013 dalam pembelajaran matematika adalah:

a. Penilaian Kinerja

merupakan kegiatan menilai dan mengamati kegiatan siswa dalam mengerjakan

sesuatu

b. Penilaian Proyek

adalah kegiatan memberikan nilai dari tugas yang diberikan siswa dalam waktu

tertentu.

c. Penilaian Portofolio

adalah kumpulan tugas dan hasil karya siswa yang dikerjakan dalam periode waktu

tertentu

d. Penilaian Tertulis

penilain tertulis yang dimaksud adalah penilaian dengan teknik tes berbentuk uraian

atau esai untuk menilai kemampuan mengingat, memahami, mengorganisasi,

menerpakan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.

e. Penilaian Diri

merupakan suatu bentuk penialaian yang mana siswa melakukan penilaian terhadap

dirinya sendiri terkait dengan pemahaman dan ketertarikan terhadap mata pelajaran

tertentu.

Berbagai macam teknik penilaian di atas dapat dikombinasikan sehingga gambaran

siswa secara faktual dapat dilihat secara penuh.

Muller (2006:1) mengemukakan bahwa penilaian autentik adalah penilaian

langsung dan ukuran langsung.Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap

semua aspek pembelajaran yang dimiliki siswa secara langsung. Bagaimana siswa dapat

diketahui proses berpikirnya dalam mengerjakan soal matematika, bagaimana dapat

beragumen dalam suatu diskusi, begitu juga bagaimana penerimaan dan pemberian

respon saat pembelajaran di kelas berlangsung dapat diketahui dengan penilaian

langsung tersebut.

Wiggins (2005:2) menekankan pada tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan di

dalam kelas, sehingga tugas-tugas tersebut harus dikerjakan di luar jam pelajaran yaitu

pembelajaran berbasis proyek atau project based learning.

Wiggins (2005:2) mengemukakan bahwa merancang dan melaksanakan penilaian

kinerja sangatlah efisien, karena ajeg atau konsisten, tidak mahal dan tidak membuang

waktu.

Sehingga sebenarnya tidak ada alasan bagi guru yang beranggapan bahwa susah

dan repot untuk melakukan penilaian autentik. Karena memang tidak adil rasanya jika

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 54

penilaian hasil belajar siswa hanya bergantung pada paper and pencil test saja, sebab

siswa yang mempunyai kemampuan kognitif saat diuji dengan paper and pencil test

belum tentu dapat menerapkan dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Assessment for Learning(AfL)

Assessment for Learning (AfL) merupakan salah satu bentuk penilaian formatif

(Budiyono, 2010). AfL dikembangkan berdasar kepada pemikiran bahwa kemampuan

siswa dapat meningkat secara optimal, jika mereka mengerti tujuan pembelajaran,

mengetahui posisi mereka dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran, dan mengerti

cara mencapai tujuan pembelajaran tersebut.

Assessment Reform Group (2002) menjelaskan bahwa Assessment for Learning is

the process of seeking and interpreting evidence for use by learners and their teachers

to decide where the learners are in their learning, where they need to go and how best

to get there. Definisi ini dapat diartikan sebagai assessment for learning adalah proses

mencari dan menafsirkan bukti untuk digunakan olehpeserta didik dan guru mereka

untuk memutuskan posisi peserta didik dalam pembelajaran mereka, di mana

merekaharus pergi dan bagaimana cara terbaik untuk sampai ke sana.

Assessment Reform Group (2002) lebih lanjut memberikan sepuluh prinsip utama

dalam assessment for learning, yaitu:

a. should be part of effective planning of teaching and learning

b. should focus on how students learn

c. should be recognized as central to classroom practice

d. should be recognized as a key professional skill for teachers

e. should be sensitive and constructive because any assessment has an emotional

impact

f. should take account of the importance of learner motivation

g. should promote commitment to learning goals and a shared understanding of the

criteria by which they are assessed

h. learners receive constructive guidance about how to improve

i. develops learners capacity for self-assessment so that they can become reflective

and self-managing

j. should recognize the full range of achievements of all learner

Sedangkan tujuan Assessment for Learningdalam CEA (2003) adalah untuk:

a. memberi wawasan pembelajaran kepada guru dan siswa dalam upaya meningkatkan

kesuksesan untuk semua,

b. membantu proses penetapan tujuan,

c. memungkinkan refleksi secara kontinu terhadap apa yang siswa ketahui sekarang

dan apa yang mereka butuhkan untuk diketahui berikutnya,

d. mengukur apa yang dinilai,

e. menetapkan intervensi secara cepat dan tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran,

dan

f. meningkatkan standar yang diperoleh siswa.

5. Assessment for Learning(AfL) dengan Self Assessment

Dalam penelitian Budiyono, dkk (2009) telah dikembangkan model pembelajaran

yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan balikan di

kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran. Oleh

karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru tanpa

mengurangi pentingnya peranan AfL. Dalam penelitian ini dikembangkan model AfL

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 55

melalui penilaian diri (self assessment). Dengan adanya penilaian diri (self assessment),

siswa diharapkan dapat menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya karena ketika

mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan

kelemahan yang dimilikinya.

Sudrajat, 2006 mengemukakan bahwa penilaian diri (self assessment) adalah suatu

teknik penilaian, di mana subjek yang ingin dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri

berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya

dalam mata pelajaran tertentu.

Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang

berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses

pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik

dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai

hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah

disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta

untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek sikap

tertentu. Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan

kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik,

peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah

dikuasainya sebagai hasil belajar berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.

Penggunaan teknik penilaian diri dapat memberi dampak positif terhadap

perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan teknik penilaian ini

dalam penilaian di kelas antara lain sebagai berikut

a. dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi

kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;

b. peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka

melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan

kelemahan yang dimilikinya;dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta

didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam

melakukan penilaian.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama dan tahap kedua.Tahap

pertama adalah pengembangan dan penentuan model penilaian Assessment for Learning

(AfL) dengan Self Assessment yang termasuk ke dalam penelitian dan pengembangan

(research and development).Dalam tahap ini dilaksananakan (1) pengumpulan bahan

dengan studi literatur, (2) perencanaan model AfLdengan self assessment, (3) Focus

Group Discussion, (4) pembuatan prototype model kemudian dilanjutkan pada tahap

kedua. tahap kedua adalah ujicoba model untuk melihat bagaimana respon guru dan

siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan

Self Assessment.

1. Lokasi Penelitian

Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di SMP Terpadu

Ponorogo.Alasan peneliti memilih SMP Terpadu Ponorogo karena SMP tersebut

merupakan salah satu SMP swasta di Ponorogo yang perkembangannya sangat

pesat.Hal ini dapat dilihat dari kuantitas jumlah siswa yang masuk setiap tahunnya,

terlihat dari selalu meningkatnya jumlah rombongan belajarnya.Selain itu, SMP

Terpadu Ponorogo sudah menerapkan beberapa penilaian alternatif, misalnya penilaian

portofolio dan penilaian sikap siswa. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan dapat

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 56

memberikan alternatif penilaian lain yang berkaitan dengan penilaian proses yaitu

penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada dua

cara, yaitu metode wawancara dan metode angket. Metode wawancara dilakukan untuk

mendapatkan informasi dari guru tentang penilaian apa saja yang sudah pernah

digunakan di SMP Terpadu Ponorogo. Hasil wawancara ini digunakan sebagai acuan

dalam penyusunan penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment

yang akan dibuat.Instrumen angketdigunakan untuk mengetahui pendapat atau

komentar siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian Assessment for Learning

(AFL) dengan Self Assessment.

3. Analisis Data

a. Analisa Wawancara

Untuk mengetahui proses penilaian yang sudah pernah dilakukan guru dan untuk

menganalisis hal-hal apa saja yang diperlukan untuk menyusun penilaian

Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dilakukan melalui proses

wawancara. Proses wawancara ini dilakukan saat Forum Group Discussion. Hasil

wawancara ini direduksi, disajikan datanya kemudian baru dilakukan penarikan

kesimpulan untuk dapat digunakan dalam penyusunan penilaian Assessment for

Learning (AfL) dengan Self Assessment.

b. Analisa Data Respon Siswa dan Guru

Untuk melihat tanggapan siswa dan guru ditentukan dengan memberi angket kepada

guru dan siswa yang telah dilakukan pembelajaran dengan Assessment for Learning

(AFL) dengan Self Assessment.Kesimpulan dari jawaban tersebut dapat berupa

sangat terbantu dan sangat mudah, terbantu dan mudah, tidak terbantu dan sulit.

Apabila jawaban tersebut positif maka pembelajaran matematika dengan penilaian

Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment efektif.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Metode dan Proses Pengembangan

a. Kerangka Metode dan Proses Pengembangan

Proses pencapaian pengembangan dilakukan dengan metode pentahapan kegiatan

penelitian. Dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu tahapan pertama

meliputi kegiatan (a) pengumpulan bahan dengan studi literatur, (b) perencanaan

model AfL dengan self assessment, (c) Focus Group Discussion, (d) pembuatan

prototype model kemudian dilanjutkan pada tahap kedua yaitu ujicoba model untuk

melihat bagaimana respon guru dan siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian

Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.

b. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Pengembangan

Indikator keberhasilan pencapaian target pengembangan adalah dihasilkannya

prototype perangkat penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self

Assessment yang sesuai dengan keadaan kondisi sekolah dan siswa SMP Terpadu

Ponorogo.Dan didapatkannya tanggapan guru dan siswa terhadap pembelajaran

yang menggunakan Assessmen for Learning (AfL) dengan Self Assessment.

Pada tahap 1 indikator tercapainya pengembangan perangkat penilaian Assessment

for Learning (AfL) dengan Self Assessment adalah terinventarisnya data dan informasi

tentang penilaian yang sudah digunakan di SMP Terpadu Ponorogo.Data yang

terinventaris ini digunakan sebagai bahan untuk menyusun prototype perangkat

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 57

penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.

Pada tahap 2 indikator tercapainya tersusunnya prototype perangkat penilaian

Assessment for Learning (AfL) dengan self assessment yang sudah diujicobakan pada

kelas tertentu untuk mengetahui bagaimana tanggapan guru dan siswa terhadap

pembelajaran yang menggunakan Assessment for Learning (AfL) dengan Self

Assessment.

2. Perkembangan Pencapaian Target Pengembangan

Capaian target pengembangan sampai saat ini mencapai 100% dari pencapaian

target pengembangan keseluruhan. Pencapaian target pengembangan ini meliputi

informasi dan data tentang penilaian yang telah digunakan di SMP Terpadu Ponorogo,

pembuatan prototype Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment, hasil

respon guru dan siswa terhadappembelajaran yang menggunakan Assessment for

Learning (AfL) dengan Self Assessment

Dalam tahap akhir kegiatan penelitian ini telah terlaksana:

a. Studi literatur untuk pengumpulan bahan penilaian

b. Focus group discussion

c. Pembuatan prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self Assessment

d. Ujicoba prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self Assessment

3. Hasil Kegiatan Penelitian Pengembangan

a. Hasil Studi Literatur untuk Pengumpulan Bahan Penilaian

Untuk pengumpulan bahan penilaian, peneliti melakukan studi literatur dengan cara

mengkaji beberapa penelitian terkait yang dilakukan sebelumnya. Penelitian yang

terkait dengan Assessment for Learning diantaranya adalah penelitian yang dilakukan

oleh Budiyono dan kirbani. Penelitian Budiyono, 2009 telah mengembangkan model

pembelajaran yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan

balikan di kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran.

Oleh karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru

tanpa mengurangi pentingnya peranan AfL. Hasil penelitian oleh Kirbani, dkk pada

tahun 2011 menunjukkan bahwa model AfL melalui penilaian teman sejawat bisa

diterapkan di MTs PPMI Assalaam. Adapun model pembelajaran dengan menerapkan

AfLdalam penelitian ini adalah model penilaian AfL melalui penilaian teman sejawat.

Dalam penelitian Kirbani ini, diperlukan waktu relatif banyak untuk saling bertukar

lembar jawab dengan teman sejawat, guru juga harus kembali memanggil siswa per

siswa untuk memberikan karifikasi terkait kesalahan-kesalahan dalam mengerjakan

soal, dan ini membutuhkan waktu yang relatif banyak juga karena hampir semua siswa

tidak menyadari letak kesalahannya. Hal ini tentu tidak efektif karena waktu

pembelajaransemakin berkurang. Oleh karena itu perlu diberikan suatu model AfL yang

mengefisiensikan waktu pembelajaran tanpa mengurangi fungsi AfL dalam

pembelajaran, model AfL yang dapat memberi kesadaran ke siswa sendiri terhadap

kesalahannya dalam mengerjakan soal-soal.

b. Hasil Focus Group Discussion

1. Gambaran Umum SMP Terpadu Ponorogo

Sekolah yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda no. 61B Juanda ini bernama SMP

Terpadu Ponorogo. Sekolah ini mempunyai misi unggul dalam keimanan, ketaqwaan,

keilmuan, profesi dan moral. Sedangkan misi SMP Terpadu Ponorogo adalah

melaksanakan proses pembelajaran dan bimbingan secara efektif dan bermakna,

menumbuhkan semangat keunggulan kepada seluruh warga sekolah, mendorong dan

membantu setiap siswa mengenali potensi dirinya, menumbuhkan penghayatan terhadap

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 58

agama dan budaya agar menjadi sumber kearifan dalam bertindak dan berbudi pekerti

yang luhur, menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga dan

stake holder sekolah, dan mengembangkan kemandirian siswa agar siap menghadapi

masa depannya.

SMP Terpadu Ponorogo adalah suatu sekolah yang cukup muda usianya di kawasan

Kabupaten Ponorogo. Sekolah ini berdiri sejak tanggal 24 Mei 2003. Sekolah ini

dipimpin oleh Kepala Sekolah yang bernama Drs. Mariyono, M.Pd. Sejak usianya yang

pertama sampai dengan saat ini, SMP Terpadu Ponorogo telah melewati masa suka dan

duka. Untuk mencapai kesuksesan sekarang guru, murid, wali murid dan staf serta

kepala sekolah SMP Terpadu Ponorogo bekerja sama dengan membuat kemajuan dan

trobosan sehingga sekolah yang terkenal dengan nama S Ter- ini bisa bersaing dengan

sekolah negeri dan swasta lainnya di Ponorogo. Dengan adanya tekad tersebut telah

membuktikan bahwa SMP Terpadu Ponorogo mampu meraih berbagai bentuk

penghargaan dari tingkat pemula sampai dengan jenjang yang lebih tinggi.

2. Penilaian yang Digunakan di SMP Terpadu Ponorogo

Berdasarkan hasil Forum Group Discussion dengan guru mata pelajaran matematika

dapat disampaikan beberapa temuan tentang penilaian sebagai berikut

a. diketahui bahwa bentuk penilaian yang sudah dilakukan yaitu PR, tugas, UKD

sebagai penilaian formatif

b. UTS dan UAS sebagai penilaian sumatif

c. Hasil PR dan tugas dimasukkan dalam penilaian portofolio

d. Guru telah melakukan ujian kompetensi dasar untuk 1 kompetensi dasar

e. Hasil UKD tersebut dikoreksi oleh guru untuk didokumentasikan nilainya sebagai

nilai akhir

f. Nilai akhir disusun dari nilai UKD, UTS dan UAS dengan bobot UKD : UTS :

UAS adalah 5 : 2 : 3

g. Bagi siswa yang nilainya belum memenuhi KKM / belum tuntas akan diberi remidi

dalam bentuk penilaian yang disebut dengan istilah “Dokter Pasien”

h. “Dokter” adalah siswa yang nilai UKDnya telah memenuhi KKM, tugas dokter

disini adalah sebagai asisten guru untuk membantu membimbing temannya yang

disebut “pasien”

i. “Pasien” adalah siswa yang nilai UKDnya belum memenuhi KKM, dimana

“pasien” bertugas untuk mengerjakan kembali soal yang digunakan pada saat UKD

j. Jika “pasien” mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal, “dokter”

membantunya dengan berpedoman pada pedoman penskoran dan kunci jawaban

yang telah diberikan guru

k. SMP Terpadu Ponorogo juga telah menggunakan berbagai bentuk penilaian

alternatif. Bentuk penilaian alternatif yang telah digunakan diantaranya adalah

penilaian yang oleh guru disebut sebagai penilaian portofolio dengan penilaian diri

sendiri (self assessment).

l. Penilaian portofolio yang dilakukan di SMP Terpadu adalah bentuk pengumpulan

hasil karya siswa dari awal sampai akhir selama proses pembelajaran selama satu

semester.

m. Dalam pelaksanaannya, penilaian portofolio ini disertai dengan penggunaan

penilaian diri sendiri (self assessment). Siswa menilai kelengkapan karya

portofolionya sendiri dengan berpedoman pada check list yang sudah disiapkan

guru

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 59

n. Selain pada aspek kognitif, penilaian diri sendiri (self assessment) juga dilakukan di

SMP Terpadu Ponorogo pada aspek afektif. Siswa diminta menilai sendiri dalam

hal kerjasama, disiplin, dan tanggung jawab. Dimana disana siswa menuliskan

deskripsi diri dan memberikan nilai berapa yang pantas untuk dirinya sendiri. Hasil

penilaian ini digunakan sebagai masukan dalam penilaian keseharian, yang hasilnya

dibandingkan dengan penilaian guru dan penilaian teman sebaya (peer assessment).

Berdasarkan hasil Forum Group Discussion yang dituliskan di atas, menurut

pemahaman peneliti dapat disimpulkan bahwa guru belum melaksanakan penilaian

formatif yang sesungguhnya karena penilaian formatif yang berfungsi sebagai ajang

balikan ke siswa belum terlaksana secara maksimal. Siswa hanya dituntut untuk

menjawab soal dengan benar pada UKD tanpa harus mengetahui dimana letak

kesalahannya dalam pengerjaan.

Penilaian portofolio yang dikumpulkan pun belum dapat menunjukkan

perkembangan kemajuan siswa dari waktu-waktu, karena hanya dinilai kelengkapannya

saja di akhir pembelajaran.

Penilaian diri sendiri (self assessment) seharusnya dapat dimanfaatkan guru dalam

penilaian formatif dan lainnya karena berdasar temuan penelitian di atas siswa SMP

Terpadu Ponorogo sudah terbiasa melakukan penilaian diri sendiri (self assessment)

secara jujur.

3. Faktor Pendukung Digunakannya Penilaian Alternatif

Berbagai faktor baik secara internal dan eksternal mendukung digunakannya

berbagai macam penilaian alternatif di SMP Terpadu Ponorogo diantaranya adalah:

a. Masukan wali murid

Murid-murid di SMP Terpadu Ponorogo mempunyai latar belakang yang berbeda-

beda baik secara sosial ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua. Berbagai

masukan dari wali murid ini memberikan berbagai wacana dalam proses pembelajaran,

termasuk di dalamnya adalah pemberian penilaian alternatif.

b. Keadaan murid

Siswa SMP Terpadu Ponorogo mempunyai latar belakang pendidikan sekolah dasar

yang berbeda-beda, baik dari swasta ataupun negeri, dari daerah atau kota. Hal ini jelas

memberikan input yang heterogen. Selain itu murid-murid di SMP Terpadu juga

mempunyai kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang sangat padat. Keadaan

heterogen siswa inilah yang harus diapresiasi, salah satunya dengan menggunakan

penilaian alternatif yang dapat memfasilitasi kemampuan siswa yang heterogen. Dan

dengan adanya penilaian alternatif tersebut diharapkan guru tidak hanya menilai dari

satu sisi saja, tetapi menurut sudut pandang yang berbeda-beda.

Beberapa program yang ada di sekolah memberikan pembiasaan sikap jujur

siswanya, diantaranya adalah “Kantin Kejujuran”. Di “Kantin Kejujuran” ini siswa bisa

mengambil dan membayar sendiri jajan atau barang dagangan yang lain yang ada di

Kantin. Pembiasaan sikap jujur yang lain juga tercermin dalam penilaian pembelajaran

siswa, dimana siswa secara mandiri memberikan “checklist” terhadap kelengkapan

dokumen portofolio yang mereka kumpulkan selama 1 (satu) semester.

c. Keterbukaan sikap kepala sekolah

Sikap terbuka kepala sekolah SMP Terpadu Ponorogo terhadap berbagai kemajuan

dan perkembangan ilmu teknologi menjadi modal tersendiri bagi guru untuk dapat

membuat pembaharuan dalam proses pembelajaran. Kepala sekolah selalu mendukung

segala macam kegiatan proses pembelajaran oleh guru dengan memberikan suport

kebutuhan.

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 60

c. Perencanaan model Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment

Berdasarkan beberapa temuan penelitian di atas dapat diketahui bahwa siswa-siswi

SMP Terpadu Ponorogo mempunyai potensi untuk melakukan penilaian diri sendiri

(self asssessment). Oleh karena itu peneliti bermaksud mengembangkan bentuk

penilaian formatif yang benar yang menggunakan penilaian diri sendiri (self

asssessment). Penilaian itu adalah Assessment for Learning (AfL) dengan Self

Assessment.

Berikut merupakan prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self

Assessment yang dikembangkan dengan dasar dari hasil Forum Group Discussion:

1. Guru bersama siswa mendiskusikan tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang

diharapkan akan dicapai siswa, sehingga siswa dapat terdorong untuk mencapai

pemahaman yang mendalam dan mengetahui pengetahuan yang didapatnya

sekarang akan digunakan untuk pelajaran yang akan datang.

2. Memberikan permasalahan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kriteria

keberhasilan untuk diselesaikan secara individual. Siswa mengerjakan dengan

menggunakan hitam.

3. Setelah selesai mengerjakan soal, guru membagikan rubrik penilaian dengan

langkah yang jelas dan rinci tiap pointnya, siswa secara individual mengoreksi hasil

pekerjaannya sendiri langkah per langkah dengan berpedoman pada rubrik

penilaian dengan bantuan dan bimbingan guru. Siswa mengoreksi dengan

menggunakan spidol merah. Hal ini dilakukan agar siswa mencari bukti langkah.

4. Guru meminta siswa maju satu persatu untuk mengumpulkan hasil pekerjaannya

yang telah dikoreksi sendiri, guru mengecek kebenaran koreksi dan memberikan

penilaian perkembangan yang didasarkan pada pembelajaran sebelumnya serta

memberikan umpan balik secara langsung kepada siswa.

Pada saat penelitian dilakukan, proses pembelajaran di sekolah sudah menggunakan

pendekatan saintifik sebagai bentuk penerapan kurikulum 2013. Prototype Assessment

for Learning (AfL) dengan Self Assessment yang dikembangkan dengan dasar dari hasil

Forum Group Discussion di atas digunakan dan dimatchkan dengan pendekatan

saintifik.

d. Hasil Validasi Ahli

Dalam rangka memperoleh prototype Assessment for Learning dengan Self

Assessment yang layak untuk diujicobakan, maka perlu adanya validasi dari para ahli

terhadap prototype tersebut. Saran yang diberikan validator tersebut digunakan untuk

merevisi prototype Assessment for Learning dengan Self Assessment agar diperoleh

perangkat yang baik. Dalam proses ini ada dua orang ahli yang memvalidasi. Nama

kedua ahli yang memvalidasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 Daftar Nama Validator No Nama Peran Perangkat yang divalidasi

1. Asda Lita Arofa, M.Pd Validasi isi dan keterlaksanaan RPP saintifik dengan AfL,

soal

2. Hafidh Jauhari, M.Pd Validasi isi dan keterbacaan RPP saintifik dengan AfL,

soal

Hasil analisis yang dilakukan validator dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil Analisis Validator

No Validator Nilai RPP

1 Validator 1 80

2 Validator 2 90

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 61

Sesuai dengan Tabel 2 di atasdapat dikatakan bahwa hasil secara umum dari para

validator terhadap prototype Assessment for Learningdengan Self Assessment adalah

dapat digunakan dengan sedikit revisi. Bagian-bagian yang direvisi secara rinci adalah

sebagai berikut:

Tabel 3 Revisi Berdasarkan Masukan dari Validator

Yang direvisi Sebelum direvisi Sesudah direvisi

Prototype

Assessment for

Learning dengan

Self Assessment

1. permasalahan yang diberikan

yang disesuaikan dengan tujuan

pembelajaran dan kriteria

keberhasilan belum didasarkan

pada alokasi waktu

2. tempat duduk siswa masih

bercampur antara siswa yang

mengerjakan permasalahan

dengan siswa yang sudah

selesai mengerjakan, shg

ditakutkan siswa yang belum

selesai mencontek rubrik

penilaian yang digunakan untuk

koreksi jawaban siswa yang

sudah selesai

1. permasalahan yang

diberikan yang disesuaikan

dengan tujuan pembelajaran

dan kriteria keberhasilan

didasarkan pada alokasi

waktu yang disediakan

2. setting tempat diatur

sedemikian rupa sehingga

siswa yang belum selesai

tidak memungkinkan untuk

mencontek rubrik penilaian

yang telah disiapkan oleh

peneliti

e. Hasil Ujicoba Prototype Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment

Setelah prototype Assessment for Learning dengan Self Assessmentdivalidasi oleh

ahli, hasilnya diujicobakan untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap

pembelajaran dengan Assessment for Learningdengan Self Assessment.

Persiapan lain yang dilakukan adalah membuat rubrik penilaian yang digunakan

untuk mengkoreksi jawaban siswa secara mandiri. Rubrik penilaian yang dibuat terdiri

dari soal dan beberapa alternatif jawaban.

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan.

Alokasi waktu dalam setiap pertemuan adalah 2 x 40 menit atau 2 jam pelajaran.

Pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik dengan menggunakan Assessment for

Learning (AfL) dengan Self Assessment. Prototype Assessment for Learning (AfL)

dengan Self Assessment yang digunakan adalah yang sudah direvisi berdasarkan saran

dari validator.

Analisis deskriptif tentang respon siswa dan respon guru adalah sebagai berikut:

pada implementasinya, guru mengajar dengan menggunakan RPP yang telah disiapkan

sebelumnya oleh peneliti. RPP tersebut diimplementasikan pada materi himpunan

dimana menggunakan pendekatan saintifik dengan modifikasi Assessment for Learning

(AfL) dengan Self Assessment dalam pembelajarannya.

Pada pelaksanaannya, guru mengatakan bahwa pembelajaran dengan modifikasi

Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dapat dilaksanakan dengan

mudah dan tidak membebani guru. Aspek yang dirasa memberatkan adalah ketika

memberikan umpan balik secara langsung ke siswa. Hal ini tentunya membutuhkan

waktu yang banyak. Selain itu juga diperlukan strategi khusus dalam penyampaian

umpan balik, agar pemberian umpan balik dapat dilakukan secara efektif.

Berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa, mayoritas siswa (83%) merasa

senang dengan pembelajaran yang menggunakan Assessment for Learning(AfL)

denganSelf Assessment. Hal yang membuat siswa senang terhadap pembelajaran ini

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 62

antara lain: siswa merasa dipercaya ketika mendapat kesempatan untuk mengoreksi

jawabannya sendiri, siswa mendapat kesempatan untuk dapat bercerita secara langsung

tentang kesulitan belajar yang dialaminya kepada guru, siswa dapat bertanya secara

langsung kepada guru terhadap soal-soal yang tidak bisa dikerjakannya, siswa dapat

langsung bertanya kepada guru tentang rencana belajar yang akan dilakukan setelah

pembelajaran selesai. Di lain pihak, guru juga dapat menginstruksikan rencana belajar

yang harus dilakukan siswa per individu sesuai dengan kesulitan belajar yang

dialami.Hal ini sesuai dengan keuntungan penggunaan teknik penilaian dirisebagaimana

diuraikan di depan. Penilaian diri dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik,

karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;peserta didik menyadari

kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus

melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya;dapat

mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka

dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkatAssessment

for Learning dengan Self Assessment yang telah dikembangkan dapat diterapkan dengan

mudah di SMP Terpadu Ponorogo. Hal ini dapat dilihat dari respon positif dari guru dan

juga darisiswa. Namun demikian, penelitihan ini masih dalam tahap awal. Perlu bentuk

penelitian yang lebih luas dalam rangka mengembangkan bentuk penilaianAssessment

for Learning dengan Self Assessmentyang dapat digunakan di sekolah-sekolah lain.

Bentuk penilaian alternatif seperti Assessment for Learning dengan Self Assessment

dapat terus dikembangkan dalam rangka mendukung implementasi kurikulum 2013.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penilaian yang digunakan dalam K13

mengacu pada penilaian proses disamping penilaian akhir. Penilaian proses ini dapat

digunakan sebagai ajang balikan ke siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan

di kelas.

Peneliti menyarankan pemberian umpan balik dalam penerapan Assessment for

Learning dengan Self Assessment dapat dilakukan secara tertulis ketika waktu

pembelajaran telah selesai. Hal ini dilakukan jika waktu pelajaran yang tersedia tidak

cukup. Kalimat yang berupa dorongan dan motivasi dapat disampaikan ketika

pemberian umpan balik agar siswa dapat meningkatkan belajarnya.

F. Daftar Pustaka

Assessment Reform Group. 2002. Assessment for learning: 10 principles. (Online).

(http://www.assessment-reform-group.org.uk.pdf, diakses 02 Pebruari 2006)

Budiyono, Triyanto, Sutopo, Ira Kurniawati, Henry Ekana Ch. 2009. Pengembangan

Model Assessment for Learning (AfL) Mata Pelajaran matematika pada Sekolah

Lanjutan Pertama di Kota Surakarta. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan.

Surakarta:FKIP Surakarta

Budiyono. 2010. Peran Asesmen dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran.Seminar

Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, 5 Mei 2010. Surakarta.

CEA.2003. Quality statement on assessment practice (secondary), (Online).

(http://www.aaia.org.uk.pdf, diakses tanggal 01 Pebruari 2006)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Pelatihan Pengembangan Kurikulum

2013

Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)

ISBN 978-602-1034-06-4 63

Kirbani. 2012. Pengembangan Model Assessment For Learning (Afl) Melalui Penilaian

Teman Sejawat Untuk Pembelajaran Matematika Pada Pokok Bahasan Persamaan

Garis Lurus Di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam

Sukoharjo. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: UNS

Sudrajat, Akhmad. 2006. Penilaian Diri. (Online).

https://akhmadsudrajat.files.wordpress.com, diakses pada tanggal 4 April 2014)

Suwardi. 2013.Sembilan Sistem Penilaian. (Online).

http://www.solopos.com/2013/08/29/kurikulum-2013-sistem-pendidikan-baru-

gunakan-9-penilaian-solopos-com-442060, diakses pada tanggal 7 Juni 1014)

Muller, J. 2006. Authentic Assessment. (Online).

(http://Jonathan.muller.faculty.notrl.edu/toolbox/whatisit.htm, diakses pada tanggal

17 Juli 2014)

Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment.Newyork: Macmillan

College Publishing Company

Stiggins, R. & Chapuis, J. 2006.What a difference a word makes: Assessment FOR

learning rather than assessment OF learning help students succeed. (Online)

(http://www.nsdc.org/library/publication/jsd, diakses pada tanggal 30 Juni 2012)

Wiggins, G. 2005.Grant Wiggins on Assessment.Edutopia.The George Lucas

Educational Foundation (Online).(http://glef.org, diakses pada tanggal 14 Mei

2014)

Young, E. 2005.Assessment for Learning : Embedding and extending. (Online).

(http://www.ltscotland.org.uk/assess/for/index.asp, diakses pada tanggal 30 Juni

2012)

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 64

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E DALAM

KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MAHASISWA

Laelasari Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Unswagati,

Jl. Perjuangan No. 1 Kota Cirebon

Surel: [email protected].

Abstrak Pendidikan harus menghasilkan kompetensi lulusan yang mampu bersaing dengan tenaga

asing sehingga mampu menguasai pasar industri dalam negeri dan mampu berkompetisi

dalam persaingan global. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya peningkatan

kualitas pendidikan matematika, karena kualitas hasil pendidikan di Indonsia masih belum

dapat meningkat secara signifikan. Tujuan kegiatan penelitian ini untuk mengetahui

perbedaan kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang pembelajarannya

menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan pembelajaran konvensional, serta

mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis pada mahasiswa yang

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E. Metode yang

digunakan adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini berbentuk quasi eksperimental

(eksperimen semu). Desain quasi eksperimental yang digunakan adalah non equivalent

control group design. Populasi yang digunakan seluruh mahasiswa FKIP Program Studi

Pendidikan Ekonomi tingkat I tahun akademik 2013/2014. Pengambilan sampel dengan

cara purposive sampling, sampelnya adalah kelas D dan G. Kelas D sebagai kelas

eksperimen dan kelas G sebagai kelas kontrol. Dari perhitungan uji Independent Sample T

Test diperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,000. Nilai

signifikansi dari uji tersebut kurang dari taraf signifikan yang diambil yaitu 0,05 artinya

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis antara kelas

eksperimen dengan kelas kontrol. Rata-rata indeks gain kelas eksperimen adalah 1,59

sedangkan rata-rata indeks gain kelas kontrol adalah 1,17. Hal ini menunjukkan bahwa rata-

rata peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan

pada kelas kontrol.

Kata Kunci: learning cycle 7E, representasi matematis, eksperimen semu.

A. Pendahuluan

Ditjen Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan

melihat perlunya kembali mengevaluasi sistem penyiapan guru masa depan, mulai dari

penyiapan hingga kompetensinya sebagai pendidik yang profesional. Untuk

mengantisipasi era global 2015 (persaingan pasar bebas) Indonesia harus memperkuat

kemampuan bersaing diberbagai bidang seperti mutu melalui pengembangan Sumber

Daya Manusia. Dimana dalam peningkatan mutu dibutuhkan peran pendidikan. Dalam

upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup tinggi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan pada BAB V Pasal 26 menguraikan standar kompetensi lulusan

pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi

anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan,

kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu,

teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Berdasarkan standar kompetensi lulusan tersebut sudah selayaknya sebagai seorang

pendidik harus menyusun strategi sehingga dapat mewujudkan standar kompetensi yang

diharapkan. Standar kompetensi lulusan ini lebih dikhususkan lagi bagi mahasiswa

sebagai calon guru, mereka dituntut untuk bisa lebih memahami karena harus bisa

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 65

menyampaikan lagi kepada siswanya di masa yang akan datang. Sehubungan dengan

hal tersebut, perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan matematika, karena kualitas

hasil pendidikan di Indonesia masih belum bisa meningkat secara signifikan.

Melalui hasil pengamatan, mahasiswa kurang mampu menuangkan ide dan

fikirannya untuk mengembangkan serta merepresentasikan konsep matematika pada

bentuk lain. Mahasiswa hanya mampu menyelesaikan soal-soal latihan jika soal tersebut

sama seperti apa yang sudah dicontohkan oleh dosennya. Selain itu latar belakang dasar

pendidikan mahasiswa tidak semuanya berasal dari SMA program IPS, tetapi ada dari

SMK dengan jurusan teknik atau pun yang lainnya. Peningkatan kemampuan

representasi matematis, diharapkan mahasiswa dapat menjangkau beberapa aspek

untuk penyelesaian masalah, baik di dalam maupun di luar kampus yang pada

akhirnya secara tidak langsung mahasiswa memperoleh banyak pengetahuan yang

dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan.

Berdasarkan permasalahan tersebut kiranya perlu perubahan paradigma dalam

penyampaian materi pada saat perkuliahan, terutama pada mata kuliah Matematika

Ekonomi. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah dasar yang harus dikuasai oleh

mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi.

Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut (1) Apakah terdapat perbedaan

kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang pembelajarannya

menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan pembelajaran konvensional?

(2) Apakah terdapat peningkatan kemampuan representasi matematis pada mahasiswa

yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E ?

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Untuk

mengetahui perbedaan kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang

pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan

pembelajaran konvensional, (2) Untuk mengetahui peningkatan kemampuan

representasi matematis pada mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model

pembelajaran learning cycle 7E?. Ruang lingkup dari kegiatan penelitian ini yaitu: (1)

Mahasiswa semester dua Program Studi Pendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon

Tahun Akademik 2013/2014,(2) Materi yang akan disampaikan adalah Rente.

B. Tinjauan Pustaka

1. Model Pembelajaran Learning Cycle

Learning cycle (daur belajar) merupakan model pembelajaran sains yang berbasis

konstuktivistik. Model ini dikembangkan oleh J. Myron Atkin, Robert Karplus dan

Kelompok SCIS (Science Curriculum Improvement Study), di Universitas California,

Berkeley, Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Ketujuh tahapan dapat digambarkan

seperti pada Gambar 1.

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 66

Gambar 1. Tahapan Model Pembelajaran 7-E

Sumber: Bentley, Ebert, dan Ebert (Hanuscin, 2003)

Adapun tahapan-tahapan dalam model pembelajaran 7-E (Eisenkraft, 2003), yaitu:

a. Fase 1: Elicit (memperoleh)

Pada tahap ini tujuan utama adalah untuk muncul pengalaman masa lalu tentang belajar

dan menciptakan latar belakang yang kuat untuk tahapan lain; dimulai dengan hanya

melibatkan isu-isu baru dengan yang sudah lama dan terkenal dapat dianggap kurang

dalam mendukung pemikiran kemampuan.

b. Fase 2: Engage (melibatkan)

Membangkitkan minat mahasiswa dengan menggunakan cara bercerita, memberikan

demonstrasi, atau dengan menunjukkan suatu objek, gambar, atau video singkat.

c. Fase 3: Explore (menjelajahi)

Suatu fase (kegiatan) dimana mahasiswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca

inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui

kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena

alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.

d. Fase 4: Explain (menjelaskan) Merupakan fase pengenalan konsep. Pada tahap ini mahasiswa mengenal istilah-istilah

yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari, kemudian

melaporkan temuan dan penemuan-penemuan di kelas.

e. Fase 5: Elaborate (teliti)

Mahasiswa berpikir lebih mendalam tentang hal yang mereka pelajari dan menerapkan

pada kasus yang berbeda. Mereka menguji gagasan dengan rincian dan mengeksplorasi

bahkan menambahkan koneksi.

f. Fase 6: Evaluate (evaluasi)

Pada tahap ini digunakan penilaian formatif dari tahap elicit dan menilai: misalnya,

desain penyelidikan, interpretasi data, atau tindak lanjut pada pertanyaan, mencari

pertumbuhan mahasiswa.

g. Fase 7: Extend (memperpanjang)

Pada tahap extend, mahasiswa mengembangkan hasil elaborate dan menyampaikannya

kembali untuk melatih mahasiswa bagaimana mentransfer pelajaran dalam kehidupan

sehari-hari.

2. Representasi Matematis

NCTM (2000) merekomendasikan lima kompetensi standar yang utama yaitu

kemampuan pemecahan masalah matematis, komunikasi matematis, koneksi matematis,

penalaran matematis, dan representasi matematis. Beberapa bentuk representasi

matematis, seperti verbal, gambar, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram, dan grafik

merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 67

NCTM (2000) memaparkan beberapa hal proses representasi melibatkan

penerjemahan masalah atau ide ke dalam bentuk baru.

a. Proses representasi termasuk pengubahan diagram atau model fisik ke dalam

simbol-simbol atau kata-kata.

b. Proses representasi juga dapat digunakan dalam penerjemahan atau penganalisisan

masalah verbal untuk membuat maknanya menjadi jelas.

c. Ketika para mahasiswa dihadapkan dengan suatu masalah matematika mereka

ditantang untuk berfikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan

hasil pikiran mereka secara lisan atau dalam bentuk tertulis, karena mereka

sebenarnya sedang belajar menjelaskan dan merepresentasikan masalah matematika

tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa representasi matematik merupakan

penggambaran konsep matematik dalam upaya memperoleh kejelasan makna,

menunjukan pemahamannya atau mencari solusi dari soal atau masalah matematika

yang dihadapinya.

Sumarmo (2010) mengemukakan, ada beberapa indikator dalam representasi

matematika yaitu.

a. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.

b. Memahami hubungan antar topik matematika

c. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.

d. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.

e. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam kehidupan sehari-hari.

f. Menerapkan hubungan antar topik matematika.

Yazid (2012) menguraikan indikator yang digunakan untuk menilai kemampuan

representasi matematis siswa, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Indikator Representasi

Representasi Bentuk-Bentuk Operasional

Representasi Visual

Diagram, Tabel atau Grafik

a. Menyajikan kembali data/informasi dari suatu representasi

ke representasi diagram,grafik atau tabel

b. Menggunakan representasi visual untuk

menyelesaikan masalah

c. Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan

memfasilitasi penyelesaian.

Persamaan atau ekspresi

Matematis

a. Membuat persamaan, model matematik atau

representasi dari representasi lain yang diberikan

b. Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi

Matematik

Kata-kata atau Teks Tertulis a. Membuat situasi masalah berdasarkan data atau

representasi yang diberikan

b. Menuliskan interpretasi dari suatu representasi

c. Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah

matematika dengan kata-kata

d. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau

teks tertulis.

Indikator representasi matematis yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian

ini meliputi:

1. Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaian.

2. Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematik.

3. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 68

C. Metode Penelitian

1. Metode dan Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian eksperimen.

Penelitian ini termasuk dalam bentuk quasi eksperimental (eksperimen semu), yaitu

desain penelitian yang mempunyai kelompok kontrol tetapi tidak dapat berfungsi

sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan

eksperimen (Sugiyono, 2009). Penelitian ini menggunakan dua kelas. Kelas eksperimen

akan diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E,

sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.

Desain quasi eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini adalah

nonequivalent control group design. Menurut (Sugiyono, 2009) desain penelitiannya

adalah sebagai berikut.

E O1 X O2

K O3 - O4

Keterangan:

E = Kelas eksperimen

K = Kelas kontrol

O1 = Pretes Kelompok Eksperimen

O2 = Postes Kelompok Eksperimen

O3 = Pretes Kelompok Kontrol

O4 = Postes Kelompok Kontrol

X = Pembelajaran menggunakan model learning cycle 7E

2. Populasi dan Sampel

Populasinya adalah seluruh mahasiswa FKIP Program Studi Pendidikan Ekonomi

tingkat I, tahun akademik 2013/2014. Teknik pengambilan sampel pada penelitian

dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Menurut Sugiyono (2009)

purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi

semester II kelas D dan G. Kelas D sebagai kelas Eksperimen dan kelas G sebagai kelas

kontrol.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan dan analisis data yang akan digunakan pada penelitian tampak

pada Tabel 2. Tabel 2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Jenis data Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis

Data

1. Perbedaan kemampuan representasi Tes kemampuan

representasi

Uji t

2. Peningkatan kemampuan

representasi matematis

Tes kemampuan

representasi

Uji gain

ternormalisasi

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 69

4. Teknik Pengolahan Data

a. Uji Perbedaan Dua Rata-rata (Uji t)

Untuk melakukan pengujian tentang perbedaan dua rata-rata diperlukan langkah

sebagai berikut.

1) Perumusan hipotesis

H0: µ1 = µ2 tidak terdapat perbedaan rata-rata tes awal dan tes akhir antara

kelas eksperimen dengan kelas kontrol.

H1: µ1 µ2 terdapat perbedaan rata-rata tes awal dan tes akhir antara kelas

eksperimen dengan kelas kontrol.

2) Statistik uji

21

gab

21

11

nns

xxt

(Sudjana, 2002)

Kriteria pengujian α = 5%.

Dengan mengambil taraf nyata α = 5, terima H0 jika )1()1(

21

21

ttt h , di

mana )1(

21

t didapat dari daftar distribusi t dengan dk = n1 + n2 – 2 dan peluang 211

. Untuk harga-harga t lainnya H0 ditolak.

b. Peningkatan kemampuan representasi matematis mahasiswa

(Uji Gain Ternormalisasi)

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis mahasiswa

setelah pembelajaran digunakan uji gain ternormalisasi Hake (1992), dengan rumus

sebagi berikut.

Hasil perhitungan diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Gain

Indeks Gain Interpretasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 <g ≤ 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

Sumber: Hake (1992)

D. Hasil dan Pembahasan

1. Deskriptif Data

a. Hasil Kemampuan Representasi Matematis

Untuk mengetahui ada petidaknya ngaruh model cycle learning 7E dilakukan tes

awal (pretes) dan tes akhir (postes) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun

hasil tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) adalah sebagai berikut.

1) Data Pretes

Hasil pretes disajikan pada Tabel 4.

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 70

Tabel 4. Statistik Deskriptif Data Hasil Pretes

Kelas Jumlah

Subjek Rata-rata

Nilai

Maksimum

Nilai

minimum

Simpangan

Baku

Eksperimen 21 9,73 23 2 6,68

Kontrol 26 12,71 28 1 8,46

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor pretes kelas eksperimen

adalah 9,73 dengan skor maksimum 23 dan minimum 2, sedangkan rata-rata skor pretes

kelas kontrol adalah 12,71 dengan skor maksimum 28 dan minimum 1. Selain itu dapat

dilihat juga bahwa nilai simpangan baku pretes kelas eksperimen adalah 6,68 dan

simpangan baku pretes kelas kontrol adalah 8,46.

2) Data Postes

Hasil perhitungan data postes disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Statistik Deskriptif Data Hasil Postes

Kelas Jumlah

Subjek Rata-rata

Nilai

Maksimum

Nilai

minimum

Simpangan

Baku

Eksperimen 21 61,77 87 41 11,52

Kontrol 26 55,76 83 41 13,64

Dari Tabel 5 dapat terlihat rata-rata skor postes kelas eksperimen adalah 61,77

dengan nilai maksimum 87 dan nilai minimum 41, sedangkan rata-rata skor postes kelas

kontrol adalah 55,76 dengan nilai maksimum 83 dan nilai minimum adalah 41. Selain

itu simapangan baku kelas eksperimen adalah 11,52 dan simpangan baku kelas kontrol

adalah 13,64.

2. Analisis Data dan Pembahasannya

a. Analisis Data Kuantitatif

1) Uji Perbedaan Rata-rata

Perhitungan hipotesis menggunakan uji-t dengan dengan taraf nyata 5% diperoleh

sebagaimana Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata (One-Sample T-Test )

Test Value = 0

T df Sig. (2-tailed) Mean

Difference

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Postes

eksperimen

18.732 21 .000 55.762 49.55 61.97

Postes control 27.345 25 .000 61.769 57.12 66.42

Dari perhitungan uji perbedaan dua rata-rata di atas, untuk uji Independent Sample

T-Test diperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,000.

Nilai Signifikansi dari uji tersebut ternyata kurang dari taraf signifikan yang diambil

yaitu 0,05 maka H0 ditolak. Berdasarkan pengambilan keputusan di atas, dapat

dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis

antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.

Kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata sebesar 52,04 dari rata-rata 9,73

dengan skor maksimum 23 dan minimum 2 meningkat menjadi 61,77 dengan nilai

maksimum 87 dan nilai minimum 41, sedangkan kelas kontrol mengalami peningkatan

rata-rata sebesar 43,05 dari rata-rata 12,71 dengan skor maksimum 28 dan minimum 1

meningkat menjadi 55,76 dengan nilai maksimum 83 dan nilai minimum adalah 41. Hal

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 71

ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika

dibandingkan dengan peningkatan pada kelas kontrol.

2) Indeks Gain

Indeks gain dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui peningkatan

kemampuan representasi matematis mahasiswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Data tersebut disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7. Statistik Deskriptif Data Hasil Indeks Gain

Kelas Jumlah Rata-rata Nilai

Maksimum

Nilai

Minimum

Simpangan

Baku

Eksperimen 21 1,59 5,00 0,58 0,74

Kontrol 26 1,17 3,41 0,56 0,89

Berdasarkan Tabel 9, diperoleh rata-rata indeks gain kelas eksperimen adalah 1,59

dengan nilai maksimum 3,41 dan nilai minimum 0,58 sedangkan rata-rata indeks gain

kelas kontrol adalah 1,17 dengan nilai maksimum 5,00 dan nilai minimum 0,56. Selain

itu, simpangan baku kelas eksperimen adalah 0,74 dan simpangan baku kelas kontrol

adalah 0,89. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan rata-rata

kemampuan representasi matematis mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata

peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan

pada kelas kontrol.

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di FKIP Program Studi

Pendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon simpulan sebagai berikut.

a. Terdapat perbedaan rata-rata kemampuan representasi matematis antara mahasiswa

yang pembelajarannya dengan menggunakan learning cycle 7E dengan

pembelajaran secara konvensional.

b. Terdapat peningkatan kemampuan representasi matematis yang signifikan pada

mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan learning cycle 7E.

Setelah dilakukan penelitian di FKIP Program Studi Pendidikan Ekonomi

Unswagati Cirebon mengemukakan beberapa saran sebagai berikut.

a. Pembelajaran matematika dengan menerapkan learning cycle 7E dapat dijadikan

pembelajaran yang perlu dipertimbangan oleh dosen dalam proses perkuliahan.

b. Penelitian dengan menggunakan learning cycle 7E dapat dikembangkan untuk

mengukur peningkatan kemampuan matematis lainnya tidak hanya untuk

kemampuan representasi matematis mahasiswa.

F. Daftar Pustaka

Eisenkraft, A. 2003. Expanding the 5E Model. The Science Teacher. Reprented with

permission from The Science Teacher. The Journal for High School Science

Educators, 70(6), 56-59.

Hake, R. R. 1992. Socratic Pedagogy in the Introductory Physics Lab. Phys. Teach, 30,

546-552.

National Council of Teacher Mathematics. 2000. Principles and Standards for

Schools Mathematics. Reston. VA.

Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle

ISBN 978-602-1034-06-4 72

Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: PT Tarsito.

Sugiyono. 2009. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R and D. Bandung: Alfabeta.

Sumarmo,U. (2010). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa

Sekolah Menengah. Bandung: FMIPA UPI.

Yazid, A. 2012. Kooperative TTW Strategy Mathematical Representation Ability.

Journal of Primary Education. Universitas Negeri Semarang.

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 73

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PERMAINAN

TANGRAM UNTUK MENINGKATKAN KEAHLIAN BERPIKIR

GEOMETRI (GEOMETRIC THINKING SKILLS) SISWA SD

Olanda Dwi Sumintra

1), Ayu Erawati

2), Sulistiawati

3)

1)2)3) Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya

Gd. Sure Lt.4 Jln. Scientia Boulevard Blok U/7, Gading Serpong, Tangerang, Banten

Surel: 1)[email protected] 2)[email protected] 3)[email protected]

Abstrak

Tangram merupakan permainan teka-teki dengan 7 spesifik potongan yang pas untuk

membentuk persegi, ada 7 bagian yang terdiri dari 2 segitiga besar, 1 segitiga sedang, 2

segitiga kecil, 1 persegi dan 1 jajar-genjang. Pada permainan tangram ini siswa dapat

menggunakan bagian-bagian tersebut menjadi berbagai bentuk hewan dan benda-benda

lain. Siswa yang berpikir visual-spasial (otak kanan) mendapati bahwa permainan tangram

melatih kemampuan berpikir mereka secara logis, sedangkan yang berpikir secara analitis

(otak kiri) mendapati bahwa permainan tangram mengasah kemampuan mereka bekerja

dengan bentuk, warna dan imajinasi. Tangram bisa digunakan sebagai alat peraga guna

membentuk pengertian akan ide-ide geometri, dan mengembangkan kemampuan spasial.

Saat ini masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri. Salah satu

penyebabnya adalah strategi pembelajaran yang digunakan tidak sesuai dengan materi yang

diajarkan, selain itu dalam pembelajaran geometri selama ini belum disesuaikan dengan

tingkat perkembangan berpikir siswa. Oleh karena diperlukan strategi yang tepat yang

disusun berdasarkan tingkat berpikir siswa dalam geometri terutama dalam keahlian

berpikir geometri (geometric thinking skill). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui kemampuan keahlian berpikir geometri, siswa dengan permainan tangram.

Instrumen yang digunakan berupa tes dengan menggunakan pre-test sebelum diberikan

tindakan dan post-test setelah diberikan tindakan. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan desain one group pretest postest design.

Sampel penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri Rumpaksinang, Tangerang. Dalam

pembelajaran bangun datar menggunakan permainan tangram terdapat pengaruh terhadap

cara berpikir geometri siswa (geometric thinking skill) yaitu terdapatnya peningkatan hasil

belajar siswa sebesar 0,1 (rendah).

Kata kunci: berpikir visual-spasial, secara analitis, tangram, geometric thinking skill

A. Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, matematika merupakan mata pelajaran yang penting dan

tidak dapat ditinggalkan baik dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan

tinggi. Dalam mempelajari matematika siswa harus mengenal dan memahami objek–

objek matematika. Dalam belajar matematika bukan hanya mempelajari konsep dan

prinsip yang dibutuhkan, tetapi juga skill (keterampilan).

Geometri merupakan salah satu pembelajaran yang penting karena merupakan salah

satu pembelajaran yang dapat mengkaitkan matematika ke dalam kehidupan sehari-hari

selain itu juga bisa melatih pola pikir siswa yang terstruktur dan bisa diaplikasikan

untuk masalah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak heran jika geometri

dipelajari mulai dari sekolah dasar hingga ke tingkat perguruan tinggi

Belajar geometri pada tingkat SD bergantung pada tingkat berpikirnya menurut

teori Van Hiele. Persepsi siswa SD terhadap bentuk geometris sangat berbeda dengan

persepsi pada tingkat yang berbeda. Bahkan mereka juga bisa menjadi tidak konsisten

dengan konsep yang telah ada. Dalam pembelajaran geometri ini siswa dapat

memahami bentuk, sifat dan karakteristik masing–masing objek. Namun siswa

mengalami kesulitan dalam mengindentifikasi objek geometris. Dengan demikian

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 74

diperlukan pengembangan dan pembangunan tentang bentuk–bentuk geometris dua

dimensi dan sifat serta karakteristiknya sebelum mereka melanjutkan ke jenjang

berikutnya. Guru harus memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan siswa

sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir geometrisnya.

Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa siswa belum mampu memahami

konsep yang telah ada sehingga siswa mengalami kesulitan mengenal berbagai jenis

bangun datar dan membentuk bangun baru dari bangun yang ada. Dengan demikian,

peneliti berusaha menumbuhkan rasa geometri dengan kemampuan berpikir geometri

(geometric thinking skills) menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran

(manipulative materials) adalah suatu alat peraga yang penggunaannya diintegrasikan

dengan tujuan dan isi pengajaran yang telah dituangkan dalam GBPP bidang studi

matematika dan bertujuan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar. Dengan

kata lain alat peraga matematika adalah alat yang digunakan untuk mempermudah

menjelaskan konsep matematika (Rohayati, 2008). Penggunaan media pembalajaran

harus tepat dengan tujuan pembelajaran agar pembelajaran berlangsung maksimal.

Salah satu contoh media pembelajaran adalah tangram.

Dengan menggunakan permainan tangram siswa diharapakan mampu

meningkatkan kemampuan berpikir geometrisnya dan mampu menumbuhkan rasa seni.

Adapun pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah 1) Adakah pengaruh

kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap

pembelajaran matematika dengan permainan tangram?, 2) bagaimana rata-rata

peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD

terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram?. Dengan demikian

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan

kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap

pembelajaran matematika dengan permainan tangram dan besarnya rata-rata

peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD

terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram.

B. Tinjauan Pustaka

Geometri merupakan salah satu cabang di dalam ilmu matematika, di dalam

geometri siswa selain mempelajari tentang bangun datar dan bangun ruang mereka juga

mempelajari tentang objek-objek yang berhubungan dengan seni sehingga dengan

belajar geometri siswa mampu melatih pola berpikirnya.

Didalam buku Elementary and Middle School menjelaskan bahwa tidak semua

orang berpikir tentang ide-ide geometris dengan cara yang sama. Tentu saja, kita tidak

semua sama, tetapi kita semua mampu tumbuh dan berkembang dalam kemampuan kita

untuk berpikir dan alasan dalam konteks geometris. Penelitian dari dua pendidik

Belanda, Pierre van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, telah memberikan wawasan ke

dalam perbedaan geometris berpikir dan bagaimana perbedaan itu terjadi. Dalam teori

Van Hiele terdapat ciri yang paling menonjol yaitu hirarki lima tingkat cara memahami

ide-ide spasial. Masing-masing dari lima tingkat menggambarkan proses berpikir

digunakan dalam konteks geometris. Tingkat ini menggambarkan bagaimana kita

berpikir, dan jenis ide-ide geometris kita pikirkan, bukan berapa banyak pengetahuan

apa yang kita miliki. Sebuah signifikan perbedaan dari satu tingkat ke yang berikutnya

adalah objek pemikiran-apa yang kita mampu berpikir tentang geometris. Adapun

tingkatannya yaitu Visualization (level 0), Analysis (level 1), Informal Deduction (level

2), Deducation (level 3), dan Rigor (level 4).

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 75

Dalam pembelajaran matematika, pembelajaran tidak hanya monoton dengan satu

metode, dengan seiringnya kemajuan teknologi dan sains pembelajaran bisa

menggunakan banyak cara. Seperti halnya dalam materi bangun datar selain

pembelajaran menggunakan alat peraga, tingkat berpikir geometri siswa juga bisa

dikembangkan melalui permainan tangram. Tangram adalah jenis teka-teki yang dikenal

secara umum sebagai diseksi yaitu, satu bentuk dipotong-potong dan potongan diatur

kembali untuk membuat bentuk lain. Dalam kasus yang paling umum,bentuk awal dan

bentuk akhir ini bisa berupa bentuk dari yang biasa ke yang sangat tidak teratur

(Tapson, Frank; 2004). Dalam kasus tertentu tangram, bentuk awalnya berupa persegi

yang dipotong-potong menjadi 7 bagian bagian dimana bagian-bagian tersebut

berbentuk 1 buah persegi, 2 buah segitiga kecil, 2 buah segitiga besar, 1 buah segitiga

sedang dan 1 buah jajargenjang.

Dalam pembelajaran geometri dengan menggunakan tangram siswa mampu

mengenal dan membedakan jenis-jenis dari bangun datar sesuai dengan ciri-cirinya,

siswa juga mampu meningkatkan cara berpikir mereka dalam menyelesaikan bentuk –

bentuk dalam konteks geometri. Selain itu permainan ini juga bisa menumbuhkan rasa

seni mereka terhadap geometri. Dalam permainan tangram ini siswa diharapkan mampu

membentuk berbagai macam objek – objek geometri baik berupa hewan, benda dan

manusia.

C. Metode Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain one

group pretest-postest design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV (Empat)

semester ganjil tahun pelajaran 2014/2015 dengan jumlah sebanyak 33 siswa di SD

Negeri RumpakSinang, Tangerang pada bulan Oktober 2014.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu instrumen tes,

dokumentasi dan catatan lapangan. Instrumen tes digunakan untuk mengambil data

pretes dan postes dengan pembelajaran tangram. Sebelum digunakan instrumen tes

diujicobakan terlebih dahulu untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan

tingkat kesukaran. Uji validitas dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus

korelasi Product Moment Pearson. Uji reliabilitas untuk tipe soal uraian menggunakan

rumus Cronbach’s Aplha.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik untuk dua sampel yang

berkorelasi (2 related sample) dengan menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui

adanya pengaruh pembelajaran dengan tangram terhadap keahlian berpikir geometri

siswa. Selanjutnya, dilakukan analisis data untuk mengetahui besarnya peningkatan

keahlian berpikir geometri dengan rumus N-gain. Rumus N-gain yang digunakan adalah

rumus gain yang dikembangkan oleh Meltzer (2002) seperti berikut.

N-gain ( )

Nilai gain yang diperoleh selanjutnya diinterpretasikan menurut klasifikasin indeks N-

gain menurut Hake (1999) sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Indeks N-gain

Indeks N-gain ( ) Interpretasi

Tinggi

Sedang

Rendah

gpretesskoridealskor

pretesskorpostesskor

g

7,0g

7,03,0 g

3,0g

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 76

D. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Uji Coba Instrumen

Sebelum melakukan penelitian di kelas IV SD Negeri Rumpaksinang, Tangerang-

Banten, terlebih dahulu peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tes

yang akan digunakan. Uji coba dilakukan di SD Negeri RumpakSinang Tangerang

kepada siswa kelas V. Jumlah soal tes yang diberikan sebanyak 12 butir soal. Dari 12

butir soal ini dilakukan uji validitas dengan menggunakan microsoft excel. Dari analisis

uji validitas diperoleh 9 soal valid dan 3 tidak valid. Soal yang valid diantaranya

bernomor 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11.

Setelah melakukan uji validitas peneliti melakukan uji relaibilitas dengan

menggunakan rumus Cronbach’s Aplha. Dari perhitungan didapat nilai reliabilitas

sebesar 0,644241. Menurut klasifikasi koefisien reliabilitas, nilai ini masuk dalam

klasifikasi tinggi. Nilai reliabilitas yang didapat terbilang tinggi yang artinya instrumen

yang diberikan ajeg, tetap dan dipercaya. Setelah didapatkan nilai reliabilitas maka

dilakukan lagi perhitungan untuk mencari daya pembeda dan tingkat kesukaran

instrumen. Hasil perhitungan daya pembeda dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil perhitungan daya pembeda menggunakan microsoft excel

Dari hasil yang didapatkan terdapat 6 soal yang baik yaitu pada nomor 2, 4, 5, 6, 7,

dan 8 artinya soal tersebut diterima (baik). Satu soal yang terbilang jelek yaitu nomor 9

artinya soal tersebut tidak diterima (jelek). Dua soal sangat jelek yaitu pada nomor 10

dan 11. Setelah didapatkan hasil daya pembeda, maka dilakukan lagi perhitungan

tingkat kesukaran. Hasil perhitungan tingkat kesukaran dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 3. Hasil tingkat kesukaran instrumen

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 77

Dari hasil yang diperoleh terdapat 5 soal yang tergolong sedang dan 4 soal

tergolong sukar. Soal tergolong sedang adalah soal bernomor 2, 4, 5, 6, dan 7. Untuk

soal tergolong sukar adalah soal bernomor 8, 9, 10, dan 11.

2. Kegiatan Pembelajaran

Setelah semua perhitungan diperoleh barulah peneliti melakukan penelitian ke SD

Negeri Rumpaksinang, Tangerang-Banten di kelas IV (Empat) dengan jumlah sampel

sebanyak 33 siswa. Pada awal pertemuan setelah kegiatan perkenalan dan mengingatkan

kembali kepada siswa tentang sedikit materi bangun datar, setelah itu siswa diberikan

soal pretest yang dikerjakan selama 45 menit. Pertemuan selanjutnya, siswa diberikan

kegiatan membuat tangram dari kertas yang telah disediakan. Siswa-siswa menggunting

bangun datar yang diberikan dan mereka mulai mengenal serta mengetahui ciri-ciri dari

masing-masing bangun datar yang ada. Setelah masing-masing dari mereka memiliki

potongan tangram, mereka mulai diajak bermain tangram, dari membentuk bangun yang

sederhana hingga bentuk bangun yang agak rumit seperti membentuk gambar hewan,

benda-benda dan manusia.

Di awal permainan banyak dari siswa yang mengalami kesulitan membentuk

bangun-bangun yang ada. Setelah siswa dapat menyelesaikan satu bentuk objek,

mereka lebih mudah dan cepat untuk menyelesaikan objek-objek yang telah ditentukan.

Dengan demikian, kemampuan berpikir geometri mereka mulai terbentuk, semakin

banyak mereka berlatih dan bermain tangram mereka semakin memahami masing-

masing sifat bangun datar dan mampu mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari serta

mereka mampu membentuk bangun datar kedalam bentuk objek-objek sehingga

kemampuan berpikir geometri siswa semakin meningkat.

Setelah diberikan materi tentang bangun datar dalam permainan tangram, kegiatan

terakhir dalam penelitian ini yaitu siswa diberikan postest. Untuk melakukan

mengetahui adanya peningkatan kemampuan berpikir geometri siswa maka dilakukan

perhitungan dengan menggunakan uji Wilcoxon.

3. Kemampuan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric Thinking Skill)

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat pengaruh kemampuan berpikir

geometri siswa kelas IV SD Negeri Rumpaksinang setelah diberikan pembelajaran

dengan permainan tangram. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil perhitungan

menggunakan uji stastistik yaitu menggunakan uji wilcoxon. Uji wilcoxon adalah uji

non parametrik yang saling berkorelasi untuk data yang ordinal (Wiwik,W., 2013). Data

yang digunakan dalam penelitian ini termasuk data ordinal. Pasangan uji hipotesisnya

sebagai berikut:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan geometric thinking skill siswa

SD yang belajar dengan permainan tangram.

Ha : Terdapat perbedaan kemampuan geometric thinking skill siswa SD

yang belajar dengan permainan tangram.

Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika

nilai absolut . Berdasarkan perhitungan menggunakan uji wilcoxon untuk

statistik non parametrik dengan SPSS tentang pengaruh kemampuan keahlian berpikir

geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap pembelajaran matematika dengan

permainan tangram, hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

2

1ZZhitung

2

1ZZ hitung

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 78

Tabel 4. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes keahlian berpikir geometri

Kemampuan Tes Absolut

Asymp. Sig

(2-tailed)

Kesimpulan Keterangan

Kemampuan

Keahlian Berpikir

Geometri

Pretes

4,322 0,000 H0 ditolak

Terdapat

Perbedaan Postes

Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,

terdapat perbedaan kemampuan keahlian berpikir geometri sebelum dan sesudah

pembelajaran dengan permainan tangram. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran dengan permainan tangram mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap kemampuan keahlian berpikir geometri.

4. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric

Thinking Skill)

Untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir geometri, analisis yang digunakan

adalh dengan menghitung selisih skor pretes dan skor postes. Untuk melihat

peningkatan ini, digunakan uji t terhadap satu perlakuan. Uji t dapat digunakan jika data

yang dimiliki normal. Untuk itu peneliti melakukan uji normalitas menggunakan uji

Kormogorov-Smirnov dengan menggunakan SPSS. Pasangan hipotesis yang diuji

adalah :

H0 : Sampel berasal dari populasi yang distribusi normal

Ha : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima

jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi normal, sedangkan jika sig. <

taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normal. Hasil uji

normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa tentang Keahlian Berpikir Geometri

Aspek

Kemampuan

Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan

Statistic Sig.

Keahlian

Berpikir

Geometri

0.484 0,973 H0 diterima Normal

Dari tabel di atas nilai sig. = 0. 973> taraf signifikansi = 0,05 sehingga H0 diterima.

Hal ini berarti bahwa sampe dari populasi yang berdistribusi normal. Selanjutnya

dilakukan uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.

Uji satu rata-rata dalam penelitian ini untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata

peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD

terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram. Pasangan hipotesis yang

diuji adalah:

H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri minimal

0,1.

Ha : Rata-rata peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri kurang

dari 0,1.

hitungZ

96,1322,4 tabelhitung ZZ 0H

05,0 30n

Pembelajaran Matematika dengan Permainan

ISBN 978-602-1034-06-4 79

Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima

jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan keahlian berpikir

geometri dengan pembelajaran permainan tangram adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Keahlian Berpikir

Aspek

Kemampuan Uji-t

Asymp.Sig.

(2-tailed) Kesimpulan Keterangan

Keahlian

Berpikir

Geometri

-0,751 0,458 H0 diterima Peningkatan rendah

Dari tabel di atas, dengan test value 0,1 diperoleh nilai t hitung -0,751 dan sig. (2-

tailed) = 0.458. Nilai Asymp. (2-tailed) = 0,458 > taraf signifikansi ( ) = 0,05. Oleh

karena itu dapat disimpulkan bahwa rata-rata peningkatan kemampuan geometric

thinking skill siswa SD yang belajar dengan permainan tangram minimal 0,1.

Peningkatan sebesar 0,1 termasuk dalam kriteria N-gain rendah.

E. Simpulan dan Saran

Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat simpulkan bahwa penggunaan

permainan tangram dalam materi bangun datar memiliki pengaruh terhadap cara

berpikir geometri siswa (geometric thinking skills), pengaruh tersebut dapat dilihat

dengan adanya peningkatan dari hasil belajar siswa sebesar 0,1. Dari hasil peningkatan

tersebut masih terbilang cukup rendah, hal ini disebabkan karena waktu yang digunakan

dalam penelitian ini cukup singkat sehingga penerapan permainan tangram pun kurang

maksimal.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan oleh

peneliti yaitu sebaiknya dalam pembelajaran geometri guru menerapkan permainan

tangram sehingga kemampuan berpikir geometri siswa dapat ditingkatkan dan dalam

melakukan penelitian sebaiknya waktu yang digunakan harus lebih banyak dalam

permainan tangram. Selain itu minat dan antusias siswa juga lebih besar dalam

mengikuti kegiatan pembelajaran, ini dapat dilihat pada saat siswa mengikuti

pembelajaran di kelas mereka terlihat lebih aktif.

F. Daftar Pustaka

Rohayati, Ade. 2008. Handout Mata Kuliah Pembelajaran Matematika. Bandung.

Safrina, K., Ikhsan, M., Ahmad, A. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Geometri Melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele,

Jurnal Didaktik Matematika 2014; 1; 9 – 20.

Siew, N.M., Chong, C.L., Abdullah, M. R. (2013). Facilitating Students’ Geometric

Thinking Through Van Hiele’s Phase-Based Learning Using Tangram, Juornal of

Social Sciences 2013;9 ;101-111

Sundayana, Rostina. 2014. Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta

Van de Walle, John A. 2006. Elementary and Middle school Mathematics: Teaching

Developmentally. : Allyn & Bacon, Inc.

Tapson, Frank. 2004. Tangrams. (Online).

(http://www.cleavebooks.co.uk/trol/trolna.pdf, diakses pada 15 Oktober 2014)

Wiyanti, Wiwik. 2013. Handout Mata Kuliah Statistika Lanjut. Tangerang.

tabelhitung tt

tabelhitung tt

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 80

ANALISIS KEMAMPUAN GURU PAUD DAN IDENTIFIKASI INSTRUMEN

POLYTOMOUS DENGAN PROGRAM PARSCALE DI KOTA SEMARANG

Risky Setiawan IKIP Veteran

Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian adalah :1) Mengetahui dan mengidentifikasikan kemampuan guru PAUD

dalam pelaksanaan sertifikasi dan PLPG di Semarang; 2) mengetahui tingkat kehandalan

Instrumen kuesioner guru dengan program Parscale; 3) mengetahui tingkat kesalahan

pengukuran (SEM) pada Instrumen. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik

pengukuran yaitu dengan IRT (Item Response Theory). IRT ditujukan untuk mengestimasi

kemampuan dari peserta dengan subjek 100 orang guru di Kota Semarang. Hasil penelitian

menunjukkan: Pertama, berdasarkan output Parscale maka dapat dilihat bahwa kemampuan guru

(θ) paling tinggi adalah 2,6 dan paling rendah adalah -1,7, sementara terdapat 9 butir soal yang

tidak cocok dengan model disebabkan probabilitas kurang dari 0,05 yaitu soal nomor:

(2,4,7,9,11,14,20,25,27); Kedua, instrumen memiliki kehandalan tinggi terbukti dari nilai KMO

(0,867), signifikansi 0,00, dan Sums of Squared Loadings Cumulative sebesar 70,961; Ketiga,

score curve keseluruhan butir soal dalam Instrumen merupakan model yang cocok dikerjakan

peserta dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan -1,7.

Kata Kunci: polytomous, theta, IRT

A. Pendahuluan

Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang

melekat gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional,

tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru

yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Hal ini sesuai dengan

tujuan diadakannya sertifikasi guru, yaitu: (1) menentukan kelayakan seseorang dalam

melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran; (2) peningkatan mutu proses dan hasil

pendidikan; dan (3) peningkatan profesionalisme guru (Rambu-Rambu Pelaksanaan

Sertifikasi Dikti, 2008).

Kemampuan guru dewasa ini belum mencapai standar minimal kemampuan guru

yang baik. Dibuktikan dengan peringkat HDI (Human Development Index) Indonesia

yaitu 121 dari 186 Negara. Hal ini membuktikan bahwa kualitas para tenaga manusia

khususnya tenaga pendidik di Indonesia masih sangat rendah.

Pelaksanaan sertifikasi guru memiliki kecenderungan positif dapat meningkatkan

profesionalisme guru. Dengan program Pendidikan dan Pelatihan Guru diharapkan

dapat mempercepat akselerasi penanaman teori serta praktik guru dalam pembelajaran

di kelas. Tes yang dilakukan akan dapat melihat layak tidaknya guru menyandang status

lulus dan tidaknya sertifikasi.

Pengidentifikasian kemampuan guru dalam melaksanakan tes kinerja diperlukan

dalam mengestimasi kemampuan peserta. Kemampuan peserta tes dalam IRT (Item

Response Theory) diestimasi menggunakan metode bayesian (Hambleton, 1999).

Identifikasi yang dilakukan tidak bisa dilakukan penyimpulan apabila etimasi kesalahan

pengukuran belum dianalisis.

Untuk mendapatkan instrumen berkualitas tinggi, selain dilakukan analisis secara

teori (telaah butir) maka perlu juga dilakukan analisis butir secara empirik. Secara garis

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 81

besar, analisis butir secara empirik ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dengan

pendekatan teori tes klasik dan teori respon butir (Item Response Theory =IRT).

Menurut Suryabrata (1998: 28) teori respons butir dikembangkan atas dasar tiga

asumsi umum, yaitu: (1) peluang menjawab benar suatu butir tidak dipenga¬ruhi oleh

peluang menjawab benar butir lain, atau sering disebut independensi lokal, (2) tes

mengukur unidimensi kemampuan, dan (3) fungsi karakteristik butir tertentu

merefleksikan hubungan yang sebenarnya antara variabel yang tidak bisa diobservasi

(kemampuan) dan variabel yang bisa diobservasi (respons butir).

Instrumen yang akan diestimasi merupakan hasil pengisian kuesioner dengan skala

likert. Analisis data ordinal sangat penting dilakukan karena tiap persepsi guru adalah

berbeda. Dengan menggunakan kuantifikasi data bersampling besar akan didapatkan

data yang representatif sehingga estimasi kemampuan guru dan kehandalan instrumen

dapat teridentifikasi.

Analisis item dan instrumen dikotomus masih lemah dalam daya keakurasiannya.

Selama ini analisis item hanya menggunakan program ITEMAN dan BILOG masih

banyak terdapat kelemahan. Analisis instrumen dengan model graded memiliki tingkat

akurasi dan hasil yang maksimal dalam menentukan model estimasi parameter item (Du

Toit, 2003). Sementara ini hanya dapat dilakukan dengan program Parscale for

windows, sehingga setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis dan running

program. Interpretasi dari output akan dapat mengidentifikasi bagaimana estimasi

kemampuan peserta, kehandalan Instrumen serta tingkat kesalahan pengukuran.

B. Tinjauan Pustaka

1. Teori Pengukuran

Menurut Naga (1992: 2) pengukuran pendidikan mencakup beberapa hal yaitu: (1)

Mengukur ciri terpendam yang tidak kelihatan yang ada pada para peserta, (2) melihat

apakah uji tes sudah sesuai dengan apa yang diukur, (3) melihat apakah respons sudah

sesuai dengan ciri yang akan kita ukur, (4) memberikan skor terhadap responsi dengan

memadai.

a. Teori Tes Klasik

Teori tes klasik merupakan suatu model pengukuran yang sangat sederhana, yaitu

skor yang tampak terdiri dari skor sebenarnya dan skor kesalahan (Djemari Mardapi,

1991: 1). Kesalahan pengukuran digolongkan menjadi dua, yaitu spesifik dan acak.

Orang yang cenderung memberi nilai lebih atau kurang pada suatu tes termasuk

kesalahan spesifik. Sementara itu, kesalahan acak disebabkan oleh kondisi subyek yang

diukur.

b. Item Response Theory

Menurut Suryabrata (1998: 28) teori respons butir dikembangkan atas dasar tiga

asumsi umum, yaitu: (1) peluang menjawab benar suatu butir tidak dipengaruhi oleh

peluang menjawab benar butir lain, atau sering disebut independensi lokal, (2) tes

mengukur unidimensi kemampuan, dan (3) fungsi karakteristik butir tertentu

merefleksikan hubungan yang sebenarnya antara variabel yang tidak bisa diobservasi

(kemampuan) dan variabel yang bisa diobservasi (respons butir).

2. Independensi Lokal

Salah satu kelemahan teori klasik adalah adanya pengaruh subpopulasi peserta tes

terhadap parameter butir. Lain halnya dengan IRT, parameter butir tidak dipengaruhi

oleh karakteristik subpopulasi peserta tes, atau dengan kata lain butir itu memiliki

independensi lokal. Ini berarti bahwa dengan independensi lokal maka skor dari

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 82

sejumlah butir uji tes yang dijawab oleh subpopulasi yang sama, masing-masing harus

independen. Dengan demikian, skor dari satu butir uji tes tidak boleh ditentukan atau

bergantung pada skor butir uji tes yang lain.

Di bagian lain Hambleton et. al. (1991: 23) menjelaskan bahwa indepensi lokal

adalah bila pengaruh kemampuan dibuat konstan maka responsi peserta tes pada setiap

perangkat butir akan independen secara statistik. Atau dengan kata lain, setelah

memperhitungkan kemampuan peserta tes maka tidak ada hubungan antara responsi

peserta tes pada perangkat tes yang satu dengan lainnya.

Sementara itu, Hambleton et. al. (1991:23) menjelaskan bahwa independensi lokal

adalah kemampuan tunggal yang tidak mempengaruhi parameter butir dan tidak

mempengaruhi karakteristik subpopulasi peserta tes. Jelasnya, yang dimaksud dengan

independensi lokal adalah sifat tidak saling mempengaruhi antara satu butir tes dan

peserta tes. Artinya, tidak ada perbedaan perolehan skor bagi peserta tes, apakah butir-

butir tes itu disusun berdasarkan tingkat kesukaran butir atau disusun secara acak.

Perbedaan kedudukan terjadi pada saat menafsirkan pola jawaban. Tes yang disusun

berdasarkan tingkat kesukaran butir akan lebih mudah digunakan untuk melihat pola

responsi peserta tes. Disamping itu, secara psikologis butir tes yang disusun dari butir

yang tingkat kesukarannya rendah ke butir yang tingkat kesukarannya tinggi memberi

peluang kepada peserta tes untuk merespons butir secara optimal sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki.

Jelaslah bahwa estimasi kemampuan peserta tes tidak terikat kepada butir tes.

Estimasi-estimasi kemampuan yang dicapai dari beberapa perangkat butir soal akan

sama, dan parameter butir-butir soal yang dicapai pada beberapa subpopulasi peserta tes

akan sama pula.

3. Unidimensi

Asumsi kedua dari model IRT adalah unidimensi, yakni tes itu hanya mengukur

satu dimensi kemampuan. Idealnya, setiap butir soal yang dibuat hanya mengukur salah

satu dari kemampuan peserta tes, bukan mengukur dua atau lebih kemampuan peserta

tes. Tes yang semua butirnya mengukur satu kemampuan yang sama merupakan tes

yang berdimensi tunggal (unidimensi). Dengan kata lain, tes yang berdimensi satu

adalah tes yang dibentuk dari butir-butir yang hanya mengukur satu kemampuan saja.

Persyaratan butir unidimensi ini ditujukan untuk mempertahankan invariansi pada

teori respon butir. Apabila butir tes mengukur lebih dari satu dimensi, maka jawaban

terhadap butir itu akan merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan pada peserta.

Akibatnya, tidak dapat diketahui lagi konstrubusi dari setiap kemampuan terhadap

jawaban peserta itu. Akibatnya, dengan mengganti butir uji tes atau dengan mengganti

kelompok peserta maka tidak dapat dipertahankan lagi invariansi pada ukuran ciri butir

dan pada ukuran ciri peserta.

Pada pengukuran psikologi, karakteristik butir-butir yang membentuk tes tidak

tepat secara eksak berdimensi satu (unidimensi), tetapi hanya bersifat dominan terhadap

suatu unjuk kerja (Hambleton, et. al., 1991: 17). Bila tes mengukur lebih dari satu

dimensi atau tidak dominan maka jawaban peserta tes terhadap butir itu akan

merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan. Akibatnya, sulit untuk mengetahui

kontribusi dari setiap butir terhadap kemampuan peserta tes.

4. Fungsi Karakteristik Butir

Asumsi ketiga yang digunakan dalam teori respon butir adalah fungsi karakteristik

butir. Menurut Naga (1992:38) fungsi karakteristik butir adalah tetap atau tidak berubah

sekalipun subpopulasi peserta tes yang menjawab butir yang sama itu berubah-ubah.

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 83

Untuk kelompok yang sama, ciri mereka adalah tetap sekalipun butir yang mereka

jawab itu berubah-ubah.

Asumsi tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan fungsional antara jawaban

peserta tes dengan tingkat kemampuan yang dimiliki. Bila pola respons peserta tes

berbeda dengan peserta lain, maka ada kemungkinan besar kemampuan tersebut

berbeda walaupun skor yang diperolehnya sama.

Untuk menggambarkan kurve karakteristik butir, teori respons butir menggunakan

model distribusi logistik, yaitu mirip dengan distribusi normal bahkan apabila

digunakan kurva distribusi normal baku N (0, 1) dan kurva distribusi logistik L(0, 1.7),

maka harga mutlak beda hasil perhitungan kedua kurva tersebut lebih kecil dari 0.01.

Model distribusi logistik memiliki keunggulan karena tidak ada fungsi integral

sebagaimana dalam distribusi normal sehingga lebih mudah dalam penghitungannya

(Hambleton, 1989).

5. Batas Nilai Parameter

Untuk model Logistik, nilai ciri parameter peserta θ membentang dari -∞ sampai

+∞. Bersama itu, para pemakai model ini dapat menggunakan skala yang dikehendaki

dan menempati suatu bentangan nilai tertentu pada kontinum nilai itu. Salah satu di

antaranya adalah skala nilai baku. Dalam skala baku yakni ketika μθ = 0 serta σθ = 1,

nilai θ tetap membentang dari -∞ sampai +∞, namun nilai yang masih berguna secara

praktis hanya terletak di antara –4,0 sampai +4,0. (Naga, 1992: 224).

Demikian juga seperti halnya pada model ogive normal, parameter daya pembedaan

butir harus bernilai positif dan harga bj membentang sepanjang nilai θ. Dalam hal ini,

sama halnya seperti pada model ogive normal, nilai bj ditetapkan pada nilai Pj(θ) yang

memiliki variansi terbesar. Apabila kemampuan peserta tes itu ditransformasikan

sehingga reratanya = 0 dan standar deviasinya = 1, maka pada umumnya harga bj ini

membentang dari -2,0 sampai dengan +2,0. Untuk bj mendekati -2 berarti butir soal

ytu terlalu mudah, sedangkan bila bj mendekati +2 berarti butir soal itu terlalu sulit

(Hambleton et. al., 1991: 36 ).

6. Tingkat Kebetulan (odd) dan logit.

Model logistik mengenal probabilitas jawaban benar Pj(θ) dari setiap butir. Selain

itu, ada kalanya perlu diketahui juga probabilitas jawaban salah. Untuk model 1P, 2P,

dan 3P, probabilitas jawaban benar telah ditemukan pada rumus (24), (25), dan (26).

Dari kaidah probabilitas, ditemukan juga bahwa probabilitas jawaban salah Qj(θ) adalah

sebesar

Qj(θ) = 1 – Pj(θ) ……………. ……………………(1)

Dengan demikian, kalau diketahui Pj(θ), maka dapat dihitung Qj(θ). Di sini ada tiga

model berupa model 1P, 2P, dan 3P. Namun model 1P dapat diperoleh melalui model

2P dengan aj = 1, serta model 2P dapat diperoleh melalui model 3P dengan cj = 0. Oleh

karena itu, di dalam perhitungan untuk menemukan Qj(θ), dicari dulu pada model 3P

dan kemudian baru mencarinya ke model 2P dan 1P.

Perbandingan antara Pj() dan Qj() disebut dengan tingkat kebetulan keberhasilan

(odd of success), dan perbandingan antara Qj() dan Pj() disebut dengan tingkat

kebetulan kegagalan (odd of failure). Dalam banyak hal, rumus tingkat kebetulan (odd)

ini disederhanakan lagi melalui logaritma. Di dalam sejumlah bacaan, logaritma dari

tingkat kebetulan ini dikenal sebagai logit. Bersama itu, dikenal logit benar dan logit

salah. Jadi logit keberhasilan = ln (tingkat kebetulan keberhasilan)

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 84

……….. (2), sedangkan logit kegagalan = ln

(tingkat kebetulan kegagalan)

…............. (3)

Di dalam beberapa penggunaan, nilai parameter D pada logit ini disederha nakan

menjadi D = 1. (Hambleton et.al., 1991: 47). Dari kedua rumus di atas bahwa logit

keberhasilan menunjukkan berapa besar kemampuan peserta di atas taraf kesukaran

butir serta logit kegagalan menunjukkan berapa besar kemampuan peserta di bawah

taraf kesukaran butir.

7. Tingkat Kecuraman Lengkungan Logistik.

Model logistik pada butir menghasilkan lengkungan berbentuk huruf S yang ditarik

ke atas dan ke bawah. Bergantung kepada nilai parameter pembedaan butir aj,

lengkungan itu menjadi sangat curam atau kurang curam. Namun, dengan mengetahui

rumus lengkungan itu, dapat dicari tingkat kecuraman (slope) dari lengkungan itu.

Dalam satu hal, tingkat kecuraman ini menunjukkan juga tingkat hubungan di antara

probabilitas jawaban benar dengan ciri peserta.

Tingkat kecuraman lengkungan dapat ditemukan melalui hasil bagi diferensial dari

probabilitas jawaban benar terhadap parameter ciri peserta, sehingga menurut Naga

(1992: 319) tingkat kecuraman lengkungan untuk model 3P adalah :

………………………(4)

Selanjutnya, dengan nilai cj = 0, tingkat kecuraman lengkungan untuk model 2P

menjadi

…………………………….(5)

Selanjutnya untuk model 1P,

………………………………(6)

8. Estimasi Parameter Pada Model Logistik

Banyak penerapan teori responsi butir yang menggunakan model logistik. Model

ini memiliki satu parameter ciri peserta dan satu sampai tiga parameter ciri butir.

Mereka tergabung ke dalam suatu bentuk fungsi yang menentukan probabilitas jawaban

benar dari suatu butir tertentu. Namun, untuk dapat mengetahui nilai pada model

logistik ini, perlu diketahui berapa besar nilai parameter itu di dalam suatu pengukuran.

Penentuan nilai parameter ini dikenal sebagai pengestimasian parameter.

Dalam suatu tes, pengestimasian ini dimaksudkaan untuk mengetahui bagaimana

ciri peserta atau bagaimana kemampuan peserta pada tes itu. Pengestimasian ini

)()(

)(ln j

j

jbD

Q

P

)()(

)(ln j

j

jbD

P

Q

2)(

)(

1

)1()(

jj

jj

bDa

bDa

jj

e

eDacj

d

dP

2)(

)(

1

)(

jj

jj

bDa

bDa

jj

e

eDa

d

dP

)()( jjj QPDa

2)(

)(

1

)(

j

j

bD

bD

j

e

De

d

dP

)()( jj QDP

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 85

bersangkutan dengan ciri peserta atau juga dengan kemampuan peserta. Di sisi lain,

melalui tes juga dapat diestimasikan ciri butir. Pengestimasian ini bersangkutan dengan

ciri butir, yaitu: taraf kesukaran butir, daya pembedaan butir, dan kebetulan menjawab

dengan benar pada butir itu.

Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh butir dan peserta, serta juga

oleh gabungan mereka pada teori responsi butir. Untuk dapat menggunakan teori

responsi butir dalam analisis butir. Semua persyaratan itu perlu dipenuhi terlebih

dahulu.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik pengukuran yaitu dengan

metode pendekatan IRT (Item Response Theory). IRT ditujukan untuk mengestimasi

kemampuan dari peserta yaitu guru yang telah mengikuti program sertifikasi dan PLPG

di kota Semarang.

Teknik pemilihan sampel adalah dengan teknik Propotional Random Sampling

yaitu pemilihan responden dari guru yang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Guru

secara acak pada tiap gelombang. Pemilihan sampel dilakukan pada tahun 2014 dengan

jumlah responden guru adalah sebanyak 100 guru yang mengikuti PLPG di Semarang.

Data yang dikumpulkan adalah data respon dari pengisian data graded response yaitu

dari data ordinal berjenjang dengan skala pengukuran 4 skala (Likert).

Data yang digunakan untuk keperluan analisis ini adalah data Instrumen angket

kemampuan/kompetensi guru yang merupakan data hasil laporan penelitian yang

berjudul Evaluasi Program PLPG Sertifikasi Guru IPS se-DIY. Instrumen yang

digunakan adalah kuesioner berbentuk Graded Model dengan 4 skala (Likert) berjumlah

29 butir soal dan dianalisis dengan model 2PL. Berikut adalah rincian Indikator dari

Instrumen yang akan digunakan:

Tabel. 1. Instrumen Penelitian data Polytomous

No

Variabel

Angket Obs

.

Chek list Dok.

Peserta Instruktu

r

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Kondisi peserta

Kondisi instruktur

Kelengkapan sarana dan

prasarana

Administrasi pembelajaran

Strategi pembelajaran

Aktivitas peserta

Kinerja instruktur

Kelengkapan media

Situasi belajar

Interaksi instrk. dg peserta

Hasil nilai tes

Hasil nilai praktik

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

V

Dari Instrumen baku yang telah di validasi diatas akan dilihat estimasi dari

kemampuan guru yang mengikuti program sertifikasi di Kota Semarang.

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 86

D. Hasil Penelitian

1. Estimasi Kemampuan Guru (θ)

Estimasi kemampuan peserta dengan metode Bayes merupakan rerata dari distibusi

posterior , setelah diberikan pola respon peserta hasil tes x sering disebut estimator

dari Expected a Posteriori (EAP). Estimator EAP dapat didefisiniskan pada pola respon

yang lebih bervariasi dan mempunyai rata-rata kesalahan yang lebih kecil dalam

populasi dibandingkan dengan estimator lainnya. Berikut ini adalah perbandingan

estimasi kemampuan peserta tes pada Instrumen kuesioner guru:

MEANS AND STANDARD DEVIATIONS OF ABILITY DISTRIBUTIONS

SCORE MEAN STANDARD TOTAL

NAME DEVIATION FREQUENCIES

---------------------------------------------

EAP -0.038 1.009 101.00

---------------------------------------------

RESCALING DONE WITH RESPECT TO USER SUPPLIED LINEAR TRANSFORMATION

SCORE LOCATION SCALING TOTAL

NAME CONSTANT CONSTANT FREQUENCIES

---------------------------------------------

EAP 0.037 0.991 101.00

---------------------------------------------

SUBJECT IDENTIFICATION WEIGHT/FREQUENCY

SCORE NAME GROUP WEIGHT MEAN CATEGORY ATTEMPTS ABILITY S.E.

--------------------------------------------------------------------------------

01IPS | 1 GROUP 01 1.00

1 EAP 1 | 1.00 2.00 1.00 -0.8666 0.2379

--------------------------------------------------------------------------------

02IPS | 2 GROUP 01 1.00

1 EAP 1 | 1.00 2.00 1.00 -0.8796 0.2355

--------------------------------------------------------------------------------

03IPS | 3 GROUP 01 1.00

1 EAP 1 | 1.00 2.10 1.00 -0.5670 0.2319

--------------------------------------------------------------------------------

04IPS | 4 GROUP 01 1.00

1 EAP 1 | 1.00 2.21 1.00 -0.3464 0.2287

--------------------------------------------------------------------------------

05IPS | 5 GROUP 01 1.00

1 EAP 1 | 1.00 1.97 1.00 -0.9329 0.2287

--------------------------------------------------------------------------------

Berdasarkan output Parscale maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 9 butir soal

yang tidak cocok dengan model disebabkan prob kurang dari 0,05 yaitu soal nomor:

2,4,7,9,11,14,20,25,27.

2. Tingkat Kehandalan Instrumen

Unidimensi artinya adalah bahwa setiap butir tes hanya mengukur satu

kemampuan (Allen, 1979). Untuk menguji unidimesi dengan analisis faktor. Hasil

analisis faktor adalah sebagai berikut :

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 87

Tabel 2. Output SPSS Analisis Uji Dimensionalitas

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,867

Bartlett's Test of Sphericity

Approx. Chi-Square 1873,437

Df 406

Sig. ,000

Nilai KMO lebih dari 0.7 dan sig 0.000 artinya item-item dapat diprediksi oleh

faktor dan variabel-variabel yang dianalisis mempunyai korelasi yang cukup tinggi

sehingga dapat dilakukan analisis faktor. Tabel 3. Komulatif pada Tiap Komponen pada Analisis Faktor Eksporatori

Total Variance Explained

Co

mpo

nent

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared

Loadings

Total % of

Variance

Cumulative % Total % of

Variance

Cumulativ

e %

1 11,728 40,441 40,441 11,728 40,441 40,441

2 2,080 7,172 47,613 2,080 7,172 47,613

3 1,602 5,525 53,137 1,602 5,525 53,137

4 1,492 5,145 58,282 1,492 5,145 58,282

5 1,422 4,905 63,187 1,422 4,905 63,187

6 1,149 3,963 67,151 1,149 3,963 67,151

7 1,105 3,811 70,961 1,105 3,811 70,961

Extraction Method: Principal Component Analysis.

Sedangkan Sre Plot yang dihasilkan dari SPSS adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Grafik Nilai Eigenvalue pada SreePlot

Berdasarkan nilai eigen terdapat 7 component yang mempunyai nilai lebih dari 1,

sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 faktor dalam Instrumen tes tersebut.

Dengan 7 faktor maka item-item yang bisa dijelaskan sekitar 70,96 %. Hal ini perlu

dianalisis lebih lanjut karena seharusnya hanya mengukur satu kemampuan yaitu

kemampuan/kompetensi guru dalam mengukur profesionalitas guru PAUD di Semarang

3. Tingkat Kesalaham Pengukuran (Standard Error of Measurement)

Kesalahan pengukuran dalam IRT berkaitan dengan fungsi informasi. SEM dan

fungsi informasi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik kuadratik, semakin

besar fungsi informasi maka akan semakin kecil kesalahan pengukuran (Lord, 1990).

Dibawah ini adalah fungsi informasi (ICC) untuk butir no.1 dimana terlihat bahwa pada

masing-masing perpotongan untuk soal no.1 cocok untuk peserta dengan kemampuan -

2,1 sampai 2,1.

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 88

Gambar 2. Item Information Curve

Dari matrik plot yang ada dapat dilihat bahwa semua total informasi yang

didapatkan pada kurva score dan standar erorr menyatakan bahwa keseluruhan butir

soal dalam Instrumen kuesioner guru merupakan model yang cocok dikerjakan peserta

dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan -1,7.

Gambar 3. Matrix Plot pada Item Karakteristik Butir

Sedangkan untuk grafik range pada skala Kemampuan peserta disajikan pada grafik di

bawah

Category legends Item: 1

Solid Lines: 1= B lack 2= B lue 3= Magenta 4= Green

-3 -2 -1 0 1 2 30

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

S cale S cor e

In

form

ati

on

Item Information Curve: 0001

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

-3 -2 -1 0 1 2 3

1

2

3

4

Ability

Pro

ba

bilit

yItem Characteristic Curve: 0001

Graded Response Model (Normal Metric)

-3 -2 -1 0 1 2 30

5

10

15

20

S cale S cor e

Info

rmat

ion

Test 1; Name: SCALE1

0

0.24

0.47

0.71

0.94

1.18

Standard Error

1 - 6

7 - 12

13 - 18

19 - 24

25 - 29

Matrix Plot of Item Characteristic Curves

Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi

ISBN 978-602-1034-06-4 89

Gambar 4. Grafik Skala Kemampuan Peserta (θ)

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Berdasarkan output Parscale maka dapat dilihat bahwa kemampuan guru (θ) paling

tinggi adalah 2,6 dan paling rendah adalah -1,7, sementara terdapat 9 butir soal

yang tidak cocok dengan model disebabkan probabilitas kurang dari 0,05 yaitu soal

nomor: (2,4,7,9,11,14,20,25,27);

2. Instrumen memiliki kehandalan tinggi terbukti dari nilai KMO (0,867), signifikansi

0,00, dan Sums of Squared Loadings Cumulative sebesar 70,961;

3. Berdasarkan score curve keseluruhan butir soal dalam Instrumen merupakan model

yang cocok dikerjakan peserta dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan

-1,7.

Saran dan rekomendasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan instrumen sebaiknya didahului dengan uji empiris dan uji praktis. Uji

empiris dengan menggunakan analisis faktor eksploratori digunakan untuk menguji

teori, sedangkan uji praktis menggunakan expert judgment untuk memberikan

validasi baik isi maupun kebahasaan.

2. Instrumen yang baik harus unidimensi yaitu mengukur satu tujuan saja yaitu

kompetensi guru PAUD dan memiliki nilai KMO yang tinggi.

3. Instrumen yang baik akan dapat diukur menggunakan IRT dengan parameter 3PL

(3 Parameter Logistik) yaitu: (a) Tingkat kesulitan, (b) Daya beda, dan (c)

Guessing.

F. Daftar Pustaka

Allen, M.J. & Yen,W.M. 1979. Introduction to measurement theory. Monterey, CA:

Brooks/ Cole Publishing Company.

Dirjen DIKTI: Tim Sertifikasi Guru. 2008. Rambu-rambu pelaksanaan pendidikan dan

latihan profesi Guru: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Du Toit, M. 2003. IRT from SSi: BILOG-MG, MULTILOG, PARSCALE,

TESTFACT.Lincolnwood: SSi.

Hambleton, R. K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. 1991. Fundamental of item

response theory. Newbury Park, CA: Sage Publication. New Inc.

Naga, D.S. 1992. Pengantar teori sekor pada pengukuran pendidikan. Jakarta IKIP

Jakarta.

Suryabrata, S. 1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi

Yogyakarta.

-3 -2 -1 0 1 2 30

5

10

15

20

Ability

Fre

quen

cy

Gaussian Fit to Ability Scores for Group: 1

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 90

BERPIKIR KREATIF MATEMATIKA PADA PEMBELAJARAN

SINEKTIK (STUDI KASUS DI SMPN 2 JATIBARANG BREBES)

Rochmad dan Laeli Rahmawati

Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar dan peningkatan kemampuan berpikir

kreatif pada pembelajaran matematika dengan model sinektik; serta membandingkan kemampuan

berpikir kreatif matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran sinektik dan pembelajaran

ekspositori. Model sinektik yang dimaksud dalam artikel ini adalah model pembelajaran

matematika yang dalam langkah-langkah pembelajarannya melibatkan penggunaan penalaran

analogi untuk merangsang dan mendukung proses berpikirnya untuk memperoleh solusi terhadap

suatu masalah yang dihadapinya. Materi pembelajaran matematika dalam penelitian ini adalah

geometri untuk kompetensi dasar memahami sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis

berpotongan atau dua garis sejajar berpotongan dengan garis lain. Populasi penelitian ini semua

siswa kelas VII SMP Negeri 2 Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah. Sampel penelitian eksperimen

adalah siswa dalam kelompok eksperimen yang diajar dengan pembelajaran sinektik dan

kelompok kontrol dengan pembelajaran ekspositori. Data hasil belajar dan kemampuan berpikir

kreatif siswa diperoleh melalui tes uraian dan metode analisis data menggunakan uji statistik.

Berdasar hasil analisis data diperoleh simpulan bahwa persentase siswa yang diajar dengan model

sinektik yang mencapai kriteria ketuntasan minimal lebih dari 75%; peningkatan kemampuan

berpikir kreatif matematika siswa sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran sinektik dalam

kategori sedang; dan rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran

sinektik lebih baik dari pembelajaran ekspositori.

Kata kunci: berpikir kreatif; model sinektik; penalaran analogi.

A. Pendahuluan

Kurikulum 2013 yang digunakan awal tahun ajaran 2012/2013 salah satu

tujuannya memfokuskan pada kreativitas siswa. Kreativitas berkontribusi dalam mteori

matemaperoleh pengetahuan matematika, dan berdasarkan pada penelitian dapat

diajarkan kepada siswa, bukan bakat yang merupakan pembawaan sejak lahir.

Munandar (2009) berpendapat bahwa kreativitas merupakan salah satu penentu siswa

berprestasi karena memungkinkan memperoleh penemuan-penemuan baru dalam

bidang ilmu dan teknologi, termasuk dalam matematika. Kreativitas juga merupakan

suatu bagian aktivitas berpikir dan bernalar yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah dalam rangka merumuskan bentuk generalisasi dalam suatu sistem deduktif.

Menurut Hamalik (2008) “kreativitas merupakan suatu bentuk proses pemecahan

masalah.” Sedangkan menurut Lin (2011) “kreativitas juga dapat didefinisikan sebagai

metode teknik replikasi atau pendekatan yang memfasilitasi kreativitas dalam diri

seseorang atau sekelompok orang.” Dengan perkataan lain, kreativitas dapat diartikan

sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan–gagasan baru dan menerapkannya

untuk pemecahan masalah.

Guilford (Giampietro & Cavallera, 2007) berpendapat bahwa kreativitas sebagai

cara berpikir divergen yang memberikan berbagai kesempatan dan secara bebas dapat

menghasilkan informasi baru, peran penting dari kreativitas diindikasikan dengan

fluidity of association and ideas, originality, flexibility, sensitivity towards new

problems, and ability to redefine and restructure involved elements. Lee (2005)

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 91

mengemukakan model “vulcano” dalam menyusun instrumen untuk mengukur

kreativitas. Dalam model ini muaranya adalah produk-produk kreatif (creative

products) dalam lingkungan budaya masyarakat (socio-cultural environment). Untuk

sampai pada tingkat produk kreatif ini perlu diukur kemampuan berpikir kreatif

(creative thinking ability) dan keatif secara perorangan (creative personality), di

samping itu perlu memperhatikan lingkungan individu (individual environment). Ranah

dari subject (subject-domain) pengukuran misalnya bahasa dan literatur, matematika,

sain, seni dan tampilannya, dan informasi serta komunikasi.

Dalam memecahkan masalah memerlukan kemampuan berpikir kreatif. Aspek

khusus berpikir kreatif menurut Dwijanto (2006) adalah berpikir divergen yang

memiliki ciri-ciri: kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan elaborasi. Pendapat ini

senada yang dikemukakan Munandar (2004) bahwa ciri-ciri dari kreativitas sebagai

berikut: kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk

menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat;

keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide dari

sudut pandang atau alternative yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan

bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran; originalitas (originality), yaitu

kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan

gagasan asli; dan elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan

gagasan dan memperinci detail-detail dari suatu objek sehingga menjadi lebih menarik.

Dalam artikel ini kemampuan berpikir kreatif matematika siswa diindikasikan dan

diukur menurut kirteria tersebut.

B. Tinjauan Pustaka

Menurut Joyce & Weil (1980), salah satu model pembelajaran yang baik untuk

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah baik individu

maupun kelompok adalah model sinektik. Menurut Joyce dan Weil, model sinektik

merupakan model pembelajaran yang menggunakan penalaran analogi untuk

mengembangkan kemampuan berpikir ditinjau dari berbagai sudut pandang. Matlin

(1998) menyatakan “setiap hari orang menggunakan penalaran anlogi untuk

memecahkan masalah.” Melalui penalaran analogi guru dapat mengembangkan

kreativitas karena dalam analogi ada usaha siswa untuk menghubungkan antara apa

yang sudah diketahui dengan apa yang ingin dipahami (Aziz, 2008). Menurut Bruner

sebagaimana dikutip oleh Aisyah dkk (2007) secara umum ada tiga proses kognitif yang

terjadi dalam belajar, yaitu: proses memperoleh informasi baru; proses

mentransformasikan informasi yang diterima; dan proses menguji relevansi dan

ketepatan pengetahuan.

Sinektik merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah dengan cara

merangsang dan mendorong menggunakan analogi-analogi dalam proses berfikir untuk

mencari solusinya. Dalam pembelajaran sinektik, siswa diharapkan menjadi lebih aktif

dan kreatif sehingga bukan saja dapat memperoleh pengetahuan baru tetapi juga

memecahkan masalah secara kreatif. Model sinektik yang dimaksud dalam artikel ini

adalah model pembelajaran matematika yang melibatkan penggunaan penalaran analogi

untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah sehingga

siswa dapat memperoleh pengetahuan matematika dan mengembangkan pemikirannya

secara logis, kritis, dan kreatif. Jika ditinjau dari produknya, pada dasarnya terdapat dua

jenis model sinektik, yaitu pembelajaran untuk menciptakan sesuatu yang baru

(creating something new) dan pembelajaran untuk mengenalkan terhadap sesuatu yang

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 92

yang baru (making the strange familiar). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh cara-

cara dan ide baru dalam memperoleh solusi dari suatu masalah. Untuk pembelajaran

matematika di sekolah, strategi yang digunakan oleh guru untuk mendorong siswa agar

berpikir keras menggunakan penalaran analogi merupakan bagian yang penting dalam

pembelajaran matematika. Case; Holyoak dan Thagard sebagaimana dikutip oleh

Alexander dan Buehl (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya penalaran analogi

memerlukan membandingkan pengalaman konsepsi dan persepsi berbasis pada

menyadari adanya keterkaitan atau kebersamaan atribut. Melalui penalaran analogi

siswa dapat terbantu dalam proses berpikirnya untuk membangun pemahaman terhadap

konsep, prinsip, dan teorema serta pemakaiannya.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen (quasi-experiment) yang

didahului dengan penelitian dan pengembangan (research and development) perangkat

pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: silabus, rencana

pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kegiatan siswa (LKS), dan multimedia.

Penelitian dan pengembangan dalam rangka memperoleh perangkat pembelajaran

matematika menggunakan model sinektik yang valid. Dan penelitian kuasi eksperimen

dalam rangka untuk mengetahui keefektifan model sinektik.

Penelitian kuasi eksperimen menggunakan rancangan nonequivalent [pre-test and

post-test] control group design (Arikunto, 2010; Creswell, 2010; Sugiono, 2012).

Kelompok eksperimen O1 ____________ X ____________ O2

Kelompok kontrol O1 _____________Y_____________ O2

Pada kedua kelompok tersebut dilakukan pre-test (O1) dan post-test (O2). Kelompok

eksperimen diberi perlakuan (X) berupa pembelajaran matematika dengan model

sinektik, kelompok kontrol Y dengan pembelajaran model ekspositori (pembelajaran

matematika yang biasa dilakukan oleh guru).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 2 Jatibarang, Brebes,

Jawa Tengah semester genap tahun ajaran 2011/2012 yang banyaknya 9 kelas. Kelas

VII A terdiri dari 41 siswa, VII B terdiri dari 39 siswa, VII C terdiri dari 41 siswa, VII

D terdiri dari 39 siswa, VII E terdiri dari 39 siswa, VII F terdiri dari 40 siswa, VII G

terdiri dari 40 siswa, VII H terdiri dari 38 siswa, dan VII I terdiri dari 39 siswa.

Sampel penelitian yang terpilih dengan teknik cluster random sampling yaitu para siswa

di kelas VII B sebagai kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran

sinektik berbantuan kartu soal dan di kelas VII A sebagai kelompok kontrol

menggunakan model pembelajaran ekspositori.

Instrumen untuk yang disusun pre-test dan post-test untuk mengukur

kemampuan berpikir kreatif siswa dan tes hasil belajar (kemampuan pemecahan

masalah). Instrumen ini diujicoba di kelas VII C untuk diketahui validitas, reliabilitas,

daya pembeda, dan taraf kesukarannya. Tes kemampuan berpikir kreatif ini disusun

berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan dikembangkan berdasar

indikator kemampuan berpikir kreatif. Interpretasi dan rubrik peskoran hasil tes

kemampuan berpikir kreatif didasarkan pada indikator kelancaran (fluency), keluwesan

(flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Di samping itu,

instrumen tes yang akan digunakan divalidasi oleh ahli dan guru matematika (praktisi)

sebelum diujicoba. Data kuantitatif dianalisis dengan statistika inferensial dan data

kualitatif dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif. Untuk mengetahui tingkat

ketuntasan klasikal digunakan uji proporsi. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 93

berpikir kreatif digunakan kriteria gain ternormalisasi (Hake, 1998). Untuk mengetahui

perbedaan dengan model ekpositori, digunakan uji banding untuk mengetahui

perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kreatif antara siswa yang diajar dengan

pembelajaran snektik dengan rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang

menggunakan pembelajaran ekspositori.

D. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Jatibarang, yang beralamat di Jalan

Raya Timur Nomor 14 Jatibarang Lor, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes. Pada

tahun ajaran 2011/2012, memliki 26 kelas yang terdiri dari 9 kelas VII, 9 kelas VIII dan

8 kelas IX. Penelitian ini di kelas VII, kelas VII B sebagai kelompok eksperimen

menggunakan model pembelajaran sinektik dan siswa kelas VII A sebagai kelompok

kontrol menggunakan model ekspositori, kelas VII C untuk unjcoba instrumen. Pada

ketiga kelas ini, dilakukan uji normalitas data nilai awal siswa dengan data nilai rapor

semester 1 tahun ajaran 2011/2012. Berdasar hasil analisis statistik diperoleh simpulan

bahwa ketiga kelas berdistribusi normal, homogen, dan memiliki rata-rata nilai sama.

Dengan demikian disimpulkan bahwa kemampuan awal para siswa di tiga kelas tersebut

relatif setara.

Pada penelitian ini nilai raport semester 1 siswa kelas VII A, VII B, VII C SMP N

2 Jatibarang Tahun ajaran 2011-2012 digunakan sebagai data awal untuk menentukan

sampel. Analisis tahap awal meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan

rata-rata. Hasilnya uji normalitas data awal disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas Data Awal

Kelas

Kriteria normal Simpulan

VII A

4 3,04 9,49

berdistribusi normal

VII B

3 5,75 7,81

berdistribusi normal

VII C

4 5,06 9,49

berdistribusi normal

Untuk menguji homogenitas (kesamaan varians) digunakan uji Bartlett. Uji

homogenitas ini untuk mengetahui apakah nilai awal ketiga data mempunyai varians

yang homogen. Hasil uji homogenitas data awal disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Hasil Uji Hormogenitas Data Awal

Kriteria homogen Simpulan

3,9716

2 7,81473

Homogen

Untuk menguji kesamaan rata-rata populasi digunakan uji Anava. Uji kesamaan

rata-rata (anava) ini untuk mengetahui apakah nilai awal ketiga data mempunyai rata-

rata yang sama. Hasil uji kesamaan rata-rata data awal disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Data Awal

Kriteria sama Simpulan

2 118 0,599 3,073

Fhitung < Ftabel

memiliki rata-rata

sama

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 94

Berdasarkan uji normalitas, homogenitas dan kesamaan rata-rata, maka nilai rapor

siswa kelas VII A, VII B dan VII C berdistribusi normal, memiliki varians sama

(homogeny), dan memiliki rata-rata yang sama; sehingga dapat digunakan sebagai

sampel penelitian dan uji coba. Uji coba instrumen tes hasil belajar siswa dilakukan

pada kelas VII C. Ujicoba ini untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya beda, dan

tingkat kesukarannya. Di samping itu untuk memperoleh instrumen yang baik melalui

revisi berdasar masukan dari guru-guru matematika.

Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2012.

Pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran model sinektik yang terdiri dari

silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, kartu soal, dan

multimerdia yang telah divalidasi oleh ahli dan guru matematika sebagai praktisi.

Pelaksanaan dan pengambilan data penelitian di kelompok eksperimen dan kontrol

masing-masing dilaksanakan selama enam kali pertemuan dengan rincian satu kali

pertemuan untuk tes kemampuan berpikir kreatif awal, empat kali pertemuan untuk

pelaksanaan pembelajaran menggunakan model sinektik, dan satu kali pertemuan untuk

tes kemampuan berpikir kreatif akhir. Pada kelompok eksperimen dibentuk 9 kelompok

dengan anggota 4 – 5 siswa, dan di kelompok kontrol tidak dilakukan pembentukan

kelompok. Kegiatan yang dilakukan pada pembelajaran matematika dengan model

sinektik terdiri tujuh fase.

Fase 1: Input substantif (substantive input); guru menjelaskan materi secara

singkat, setelah itu guru memberikan tes awal untuk menguji kreativitas siswa sebelum

pembelajaran. Pada fase ini, guru membagi siswa menjadi 9 kelompok. Setelah itu

siswa mengerjakan LKS sesuai dengan kelompoknya. Fase 2: Analogi langsung (direct

analogy); guru membagikan kartu soal kepada masing-masing kelompok dan

didiskusikan untuk mencari pemecahan masalah yang ada pada kartu soal. Setelah itu,

guru meberikan analogi untuk menyelesaikan masalah pada kartu soal, selanjutnya

siswa berdiskusi bersama kelompoknya untuk menyelesaikan soal sesuai dengan

analogi yang diajukan oleh guru. Fase 3: Analogi perorangan (personal analogy); guru

meminta masing-masing kelompok untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan

analoginya sendiri yang berbeda dengan analogi yang diajukan oleh guru. Fase 4:

Membandingkan analogi (comparing analogies); siswa membandingkan hasil

penyelesaian kartu soal pada fase 2 dengan fase 3 untuk mencari persamaannya. Fase 5:

Menjelaskan berbagai perbedaan (eksplaining differences); siswa mencari berbagai

perbedaan dari hasil penyelesaian kartu soal pada fase 2 dengan fase 3. Fase 6:

Eksplorasi (exploration); hasil diskusi masing-masing kelompok dipresentasikan. Guru

berfungsi sebagai narasumber dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk

bertanya dan menjawab pertanyan siswa tentang materi yang belum dimengerti. Fase 7:

Memunculkan analogi baru (generating analogy); guru dan siswa bersama-sama

membuat kesimpulan.

Pada kelompok kontrol, model pembelajaran yang digunakan adalah model

pembelajaran ekspositori. Pelaksanaan pembelajaran dengam model tersebut dengan

langkah sebagai berikut. Fase 1: Menjelaskan; guru menjelaskan materi secara kepada

siswa. Fase 2: Pemberian tugas; guru memberikan tugas kepada siswa untuk

mengerjakan LKS secara individu; Fase 3: Presentasi; guru menunjuk siswa secara acak

untuk menuliskan (mempresetasikan) hasil jawabannya di kelas. Fase 4: Kesimpulan;

guru melakukan penegasan terhadap hasil pekerjaan siswa. Fase 5: Kuis; guru

memberikan kuis individu untuk menguji pemahaman siswa terhadap materi.

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 95

Untuk mengetahui apakah persentase banyaknya siswa kelas VII yang mengikuti

pembelajaran matematika dengan menggunakan model sinektik minimal mencapai

kriteria ketuntasan minimal 67 minimal , dilakukan uji proporsi satu pihak, yaitu

pihak kanan dengan taraf signifikansi = 5%. Hasil uji proporsi disajikan pada Tabel 4

berikut.

Tabel 4 Hasil Uji Proporsi Satu Pihak (Pihak Kanan)

Nilai

Kriteria Simpulan

Hasil

belajar Proporsi nilai hasil belajar siswa

minimal 67 lebih dari 75%

Untuk mengetahui kualitas peningkakatan rata-rata kemampuan berpikir kreatif

siswa yang diajar dengan model sinektik di awal dan di akhir pembelajaran dilakukan

uji kesamaan rata-rata (uji satu pihak, pihak kanan). Sebelum dilakukan uji kesamaan

rata-rata, terlebih dahulu diuji kenormalan dengan data adalah hasil tes akhir. Hasil uji

kenormalan data disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data Akhir

Nilai

Hasil belajar kelompok eksperimen 7,77 7,81

Kemampuan berpikir kreatif kelas eksperimen 7,34 7,81

Hasil belajar kelompok kontrol 6,05 7,81

Kemampuan berpikir kreatif kelompok eksperimen 6,77 9,49

Berdasarkan Tabel 5 nilai hasil belajar kelompok eksperimen diperoleh

, sedangakan . Hal ini menunjukan bahwa nilai

. Jadi, diterima sehingga data berdistribusi normal.

Peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa diindikasikan dari perbedaan rata-

rata nilai hasil tes awal. Hasil uji kesamaan rata-rata satu pihak disajikan pada Tabel 6

berikut. Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)

Nilai

kriteria Simpulan

Kemampuan

berpikir kreatif

rata-rata kemampuan berpikir

kreatif hasil tes akhir siswa

lebih baik dari hasil tes awal

siswa.

Berdasarkan Tabel 6 diperoleh , sedangkan . Hal ini

menunjukan bahwa nilai . Jadi, ditolak artinya rata-rata kemampuan

berpikir kreatif hasil tes akhir siswa lebih baik dari hasil tes awal siswa.

Uji Gain ternormalisasi digunakan untuk mengetahui tingkat peningkatan

kemampuan berpikir kreatif siswa, dengan melakukan pre-test dan post-test.

Peningkatan kemampuan berpikir kreatif pada kelompok eksperimen sebelum dan

sesudah kegiatan pembelajaran dengan model sinektik dianalisis menggunakan kriteria

gain ternormalisasi. Menurut Hake (1998), rumus gain ternormalisasi sebagai berikut.

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 96

dengan adalah gain ternormalisasi; adalah skor rata-rata post-test; dan

adalah skor rata-rata pre-test. Tingkat perolehan gain ternormalisasi dikategorikan ke

dalam tiga kategori, tinggi: ; sedang: ; dan rendah:

.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh dan disimpulkan pada

kategori sedang. Artinya kemampuan berpikir kreatif siswa yang diajar dengan model

sinektik meningkat. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif terjadi setelah siswa

mengikuti pembelajaran matematika dengan model sinektik, hal ini mengindikasikan

peningkatan pada penalaran analogi dan pengetahuan matematika memerlukan

pengalamaan dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Ini senada dengan hasil

penelitiannya Buehl dan Alexander (2004) bahwa anak-anak dapat bernalar dengan

analogi dan penalarannya berkembang seirama dengan perubahan waktu, kematangan

(maturation), dan pengalaman anak.

Untuk mengetahui lebih lanjut kualitas peningkatan ini dilakukan uji banding rata-

rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran matematika

dengan model sinektik dan ekspositori dengan uji kesamaan rata-rata (uji satu pihak,

pihak kanan). Hasil uji ini mengindikasikan keefektifan pembelajaran matematika di

SMP kelas VIII menggunakan model sinektik dibanding dengan model ekspositori.

Hasil uji kesamaan rata-rata satu pihak (pihak kanan) disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)

Nilai

kriteria Simpulan

Kemampuan

berpikir kreatif

rata-rata kemampuan berpikir

kreatif siswa dengan model

sinektik lebih tinggi dari model

ekspositori

Berdasarkan Tabel 7 di atas diperoleh , dan . Hal ini

menunjukan bahwa nilai . Jadi, ditolak artinya rata-rata kemampuan

berpikir kreatif siswa dengan model sinektik lebih tinggi dari model ekspositori. Hasil-

hasil penelitian serupa menunjukkan bahwa pembelajaran pada beberapa bidang studi

dengan model sinektik cukup berhasil. Hasil-hasil penelitian tersebut antara lain: hasil

penelitian Sakdiwati (2008) mengungkapkan bahwa model sinektik lebih efektif dari

model konvensional dalam meningkatkan kreativitas siswa dalam kemampuan menulis;

hasil penelitian Rochmah (2008) menunjukkan bahwa model pembelajaran sinektik

membantu dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dan menjadikan siswa lebih kreatif;

dan (3) hasil penelitian Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa model pembelajaran

sinektik dipadukan dengan mind map dapat meningkatkan hasil belajar dan

kemampuan berpikir kreatif siswa.

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal

berikut. Pembelajaran matematika dengan model sinektik secara umum dapat

mengantarkan siswa mencapai kriteria ketuntasan minimal, mampu meningkatkan

kemampuan berpikir kreatif siswa. Rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematika

siswa yang diajar dengan model sinektik lebih baik dari yang diajar menggunakan

model ekspositori pada materi hubungan antar sudut. Sebagai saran, untuk dapat

melaksanakan pembelajaran matematika dengan model sinektik guru diharapkan

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 97

memimiliki pengetahuan tentang penalaran analogi dan penerapannya untuk

mendukung proses berpikir dalam memecahkan masalah.

F. Daftar Pustaka

Aisyah, N., S. Hawa., Somakim., Purwoko., Y. Hartono & Masrinawatie. 2007. Bahan

Ajar Cetak: Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Alexander, P.A & M.M. Buehl. 2004. Seeing The Possibilities: Constructing and

Validating Measures of Mathematical and Analogical Reasoning For Young

Children. L.D. English (Ed.). Mathematical and Analogical Reasoning of Young

Learners. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Cipta.

Aziz, R. 2008. Model Pembelajaran dalam Mengembangkan Kemampuan Berfikir

Kreatif. Jurnal Pendidikan dan Keagamaan EL-hikmah. Tersedia di Error!

Hyperlink reference not valid. [diakses 7 – 1 – 2012].

Buehl, M.M & P.A. Alexsander. 2004. Longitudinal and Cross-cultural Trends In

Young Children’s Analogical and Mathematical Reasoning Abilities. Dalam L.D.

English (Ed.). Mathematical and Analogical Reasoning of Young Learners

(halaman 47-73).

Dwijanto. 2006. Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa Jurusan Matematika Melalui

Pembelajaran Program Linear Berbantuan Komputer. Prosiding Konferensi

Nasional Matematika XIII. Semarang: UNNES.

Giampietro, M & G.M. Cavallera. 2007. Morning and Evening Types and Creative

Thinking. ScienceDirect. Personality and Individual Differences. 42:453-463.

Tersedia di www.sciencedirect.com.

Hake, R.R. 1998. Interactive-Engagement Versus Traditional Method: A Six-Thousand-

Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses.

American Association of Physics Teachers. Am. J. Phys. Vol.66(1), 64-74.

Tersedia di http:// web.mit.edu/ rsi/www/ 2005/ misc/ minipaper/ papers/

Hake.pdf [diakses 26-6-2012].

Hamalik, O. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:

Bumi Aksara.

Joyce, B. & M. Weil. 1980. Models of Teaching ( . Englewood New Jersey:

Prentice-Hall,Inc.

Lee, K.H. 2005. The Relation Between Creative Thinking Ability and Creative

Personality of Preschooler. International Education Journal. 6(2): 194-199.

Tersedia di http://iej.cjb.net.

Lin, H. F. 2011. A Review on The Pragmatic Approaches in Educating and Learning

Creativity. International Journal of Research Studies in Education Technology,

1(1): 13-24. Tersedia di Error! Hyperlink reference not valid. [diakses 13–1–2012 ].

Matlin, M.W. 1998. Cognition. New York: Harcout Brace College Publishers.

Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta.

Munandar, U. 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk

Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta: Grasindo.

Rochmah, S. 2008. Efektivitas Model Pembelajaran Synectics Dalam Pengembangan

Kreativitas Peserta Didik di Play Group Al-Aziziyah Rungkut Menanggal

Surabaya. Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik

ISBN 978-602-1034-06-4 98

Sakdiahwati. 2008. Penerapan Model Sinektik dalam Meningkatkan Kreativitas

Menulis (Studi Kuasai Eksperimen dalam Pembelajaran Menulis pada Siswa

Kelas I SMPN di kota Palembang). Skipsi. Bandung: UPI.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R & D. Bandung: CV Alfabeta.

Wijayanti, R. W. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Synectics Dipadukan Teknik

Mind Map untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS dan Kemampuan Berpikir

Kreatif Siswa Kelas IV SDN Jono II Bojonegoro. Skripsi. Malang: Universitas

Negeri Malang.

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 99

PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN 1–10 DENGAN

MATEMATIKA GASING UNTUK MENINGKATKAN HASIL

BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Sulistiawati Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,

Gd. Sure Lt.4 Jalan Scientia Boulevard Blok U/7, Gading Serpong, Tangerang, Banten

Surel: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi siswa yang memiliki kecenderungan sulit dalam

belajar materi perkalian terutama perkalian 1–10. Masih banyak siswa di minta untuk

menghafalkan perkalian dengan cara menghafalkan begitu saja tanpa mengerti makna

dari perkalian itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh

pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan konsep perkalian, terhadap

kemampuan tertulis perkalian bilangan 1–10, dan terhadap kemampuan mencongak perkalian

bilangan 1–10. Selain itu juga untuk mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan pada konsep

perkalian, rata-rata peningkatan pada kemampuan tertulis bilangan 1–10, dan rata-rata

peningkatan pada kemampuan mencongak bilangan 1–10. Penelitian ini merupakan jenis

penelitian pre-experimental design dengan desain penelitian one group pretest-postest dengan

sampel penelitian siswa kelas V SD Negeri Cipinang Besar Selatan 19 Pagi Jakarta sebanyak 31

siswa dengan cara purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah

instrumen tes yang terdiri dari tes konsep perkalian, tes perkalian bilangan 1–10 secara tertulis,

dan tes perkalian bilangan 1–10 secara mencongak. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat

pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan

tentang konsep perkalian, terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan Matematika

GASING terhadap kemampuan tertulis perkalian bilangan 1–10, dan terdapat pengaruh yang

signifikan pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan mencongak

perkalian bilangan 1–10. Selain itu rata-rata peningkatan (N-gain) untuk konsep perkalian

tergolong kategori rendah sebesar 0,04; untuk perkalian bilangan 1–10 secara tertulis tergolong

kategori sedang sebesar 0,345; dan untuk perkalian bilangan 1–10 secara mencongak tergolong

kategori sedang sebesar 0,4.

Kata kunci: perkalian bilangan 1–10, Matematika GASING, perkalian secara

mencongak

A. Pendahuluan

Perkalian merupakan salah satu topik matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar

kelas II semester 2. Perkalian adalah salah satu topik matematika yang sangat penting

dalam pembelajaran karena banyak penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagian

awal dari perkalian yaitu perkalian 1–10 merupakan perkalian yang sangat dasar yang

harus dikuasai oleh siswa karena menjadi pijakan untuk perkalian-perkalian berikutnya.

Siswa harus mampu menguasai perkalian 1–10 agar lancar dan mudah menuju

perkalian-perkalian di atasnya. Fakta bahwa hingga saat ini siswa masih kesulitan dalam

menerima pelajaran perkalian dan pembagian, mereka tidak hafal perkalian dasar

(perkalian dua bilangan satu angka) yang berarti perkalian 1–10 (Raharjo, dkk., 2009).

Masalah yang masih muncul dilapangan saat ini adalah bagaimana membelajarkan

siswa supaya terampil dalam perkalian dasar. Siswa sulit memahami dan sulit diajak

terampil perkalian dasar. Disisi lain perkalian dan pembagian adalah topik yang harus

dikuasai oleh siswa sejak dini karena selalu terkait dengan pelajaran matematika di

kelas berikutnya di jenjang yang lebih tinggi.

Di sekolah ada empat operasi bilangan dasar yang dipelajari yaitu penjumlahan,

perkalian, pengurangan, dan pembagian. Perkalian adalah salah satu dari empat operasi

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 100

aritmetika dasar dan didefinisikan sebagai penjumlahan berulang (West dan Bellevue,

2011:1). Sebagai contoh 3 × 4 diartikan sebagai 4 + 4+ 4. Perkalian juga dapat

dikatakan sebagai operasi matematika penskalaan satu bilangan dengan bilangan

lainnya .

Matematika GASING merupakan salah satu solusi dalam pembelajaran matematika

yang menekankan pada logika sehingga siswa tidak perlu menghafal atau bergantung

pada rumus. GASING merupakan singkatan dari Gampang, AsyIk, dan menyenaNGkan.

Matematika GASING ini merupakan cara belajar matematika dengan mudah apapun

latar belakang pendidikan orang tersebut (Surya & Moss, 2012). Pembelajaran dengan

Matematika GASING memiliki ciri khas pembelajarannya dilakukan melalui tahapan-

tahapan atau langkah-langkah.

Dalam penelitian ini pembelajaran perkalian bilangan 1–10 dengan Matematika

GASING diberikan kepada siswa kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri Cipinang Besar

Selatan 19 Pagi Jakarta Timur. Siswa ini sebelumnya sudah pernah mendapatkan

pembelajaran perkalian dengan cara umum/konvensional ketika mereka berada di kelas

II atau kelas III. Secara umum penelitian ini ingin mengetahui hasil belajar siswa terkait

perkalian bilangan 1–10 dengan pembelajaran Matematika GASING. Hasil belajar

dilihat dalam tiga aspek kemampuan yaitu konsep perkalian, kemampuan perkalian

bilangan 1–10 secara tertulis, dan perkalian bilangan 1–10 secara mencongak.

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini diantaranya 1) adakah pengaruh kemampuan

tentang konsep perkalian siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran

dengan Matematika GASING?, 2) adakah pengaruh kemampuan tertulis siswa pada

perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING?, 3)

adakah pengaruh kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap

pembelajaran dengan Matematika GASING?, 4) bagaimana rata-rata peningkatan

kemampuan tentang konsep perkalian siswa setelah belajar dengan Matematika

GASING?, 5) bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tertulis siswa setelah

belajar dengan Matematika GASING?, dan 6) bagaimana rata-rata peningkatan

kemampuan mencongak siswa setelah belajar dengan Matematika GASING?.

B. Tinjauan Pustaka

1. Matematika GASING

Matematika GASING merupakan salah satu cara baru dalam pembelajaran

Matematika yang dikembangkan oleh Prof. Yohanes Surya dari Surya Institute. Istilah

GASING merupakana singkatan dari GAmpang, aSyik, dan MenyenaNGkan (Surya,

2013). Pembelajaran Matematika GASING terurut dari yang mudah sampai dengan

yang sulit dan mengarahkan siswa untuk menemukan faktor “AHA”nya oleh diri

sendiri. Selain itu pembelajaran dimulai dengan benda-benda konkret melalui kegiatan

bermain dan eksplorasi. Di dalam Matematika GASING ada yang disebut dengan titik

kritis GASING. Titik kritis GASING diartikan sebagai hal-hal dasar yang harus

dikuasai siswa agar dapat mengerjakan soal-soal dalam topik yang bersangkutan dengan

lancar atau tidak kesulitan lagi (Surya, 2013). Harapannya setelah siswa melewati titik

kritis GASING mampu mengerjakan setiap soal dengan baik.

Pembelajaran Matematika GASING pada topik perkalian dimulai dengan perkalian

bilangan 1–10, sekaligus merupakan cara untuk menuju titik kritis GASING Perkalian.

Titik kritis GASING perkalian sendiri adalah perkalian bilangan 100 ke bawah. Untuk

mencapai titik kritis GASING ini yang diperlukan adalah siswa harus mengerti konsep

perkalian dengan baik, kemudian dilanjutkan dengan bagaimana menghitung perkalian

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 101

bilangan 1, 10, 9, 2, dan 5. Selanjutnya adalah perkalian untuk bilangan yang sama,

perkalian bilangan 3 dan 4, dan yang terakhir adalah perkalian 8,7, dan 6 (Surya, 2013).

Gambaran untuk mencapai titik kritis perkalian tersebut dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Gambar 1

Titik Kritis GASING Perkalian Gambar 1. Titik Kritis Gasing Perkalian

Dalam tulisan ini disajikan beberapa contoh pembelajaran perkalian bilangan 1–10

dengan Matematika GASING, seperti konsep perkalian, perkalian 1, dan perkalian

bilangan 9. Sebagai tahap pertama dalam pembelajaran perkalian dengan Matematika

GASING tujuannya adalah untuk mengenalkan konsep perkalian dengan Matematika

GASING kepada siswa. Pemahaman konsep perkalian dimulai dari tahap konkret

kemudian dilanjutkan dengan tahap abstrak atau penyajian dalam bahasa

matematikanya. Berikut ini contoh pengenalan konsep perkalian secara konkret.

Gambar 2. Konkret Perkalian 2×5

Dari gambar di atas, dalam pembelajaran dengan Matematika GASING dapat

dikatakan dengan “Ada 2 kotak masing-masing berisi 5 nanas”. Selanjutnya pernyataan

ini dapat digantikan dengan pernyataan “2 kotak isi 5” yang selanjutnya dilambangkan

2□5, dibaca “2 kotak 5”. Setelah konsep pernyataan dipahami oleh siswa, berikutnya

adalah mengenalkan konsep dengan simbol matematika. Simbol 2□5 dapat dituliskan

dalam 2×5 yang berarti 5+5 hasilnya 10.

Pengenalan konsep perkalian ini kepada siswa dilakukan beberapa kali sampai

siswa memahami dengan baik arti dari perkalian. Ada dua istilah dalam pengenalan

konsep perkalian ini yaitu istilah kotak dan istilah isi. Kotak disini merupakan pengali

sedangkan isi merupakan bilangan yang dikalikan. Setelah siswa memahami, dengan

indikasi dapat membedakan mana yang sebagai kotak dan mana yang sebagai isi,

selanjutnya adalah meminta siswa untuk berlatih konsep perkalian ini dari perkalian 1×1

sampai 10×10.

Pada pembelajaran konsep perkalian ini dikenalkan istilah komutatif kepada siswa,

sebagai contoh adalah 3×6 dan 6×3. Dalam pengenalan istilah komutatif ini kita dapat

langsung menjelaskan bahwa 3×6 adalah 3□6 = 6 + 6 + 6 = 18, sedangkan 6×3 adalah

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 102

6□3 = 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 = 18. Hasil kedua perkalian ternyata memiliki hasil yang

sama yaitu 18. Dari sini dapat dikatakan bahwa 3×6 tidak sama artinya dengan 6×3

tetapi memiliki hasil yang sama. Hal yang perlu ditekankan adalah kedua perkalian

memiliki hasil yang sama namun artinya berbeda. Hasil yang sama dari kedua perkalian

inilah yang disebut dengan istilah komutatif, namun istilah komutatif sendiri tidak perlu

diberitahukan ke siswa.

Tahap kedua untuk mencapi titik kritis perkalian adalah perkalian bilangan 1, 10, 9,

2, dan 5. Pertama dimulai dengan pengenalan perkalian 1, kemudian perkalian 10,

perkalian 9, perkalian 2, dan perkalian 5. Urutan ini tidak dimulai dari bilangan yang

kecil ke bilangan yang besar namun lebih kepada bilangan yang mudah dikenal oleh

siswa dan mudah untuk menghafalkannya.

Perkalian 1 dimulai dengan cara konkret, misalnya dengan menunjukkan kartu berisi

gambar apel. Perkalian 1×1 dapat diperagakan dengan menunjukkan satu kartu yang

berisi satu apel, 2×1 dapat diperagakan dengan menunjukkan dua kartu yang berisi satu

apel, dan seterusnya. Setelah pengenalan secara konkret selanjutnya adalah menyajikan

apa yang telah diperagakan ke dalam bentuk tulisan dan bentuk abstraknya, seperti di

bawah ini.

Konkret Abstrak

1 x 1 = 1 □1 = 1

2 x 1 = 2 □1 = 1 + 1 = 2

3 x 1 = 3 □1 = 1 + 1 + 1 = 3

4 x 1 = 4 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 = 4

5 x 1 = 5 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 5

6 x 1 = 6 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 6

7 x 1 = 7 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 7

8 x 1 = 8 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 8

9 x 1 = 9 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 9

10 x 1 = 10 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 10

1 x 1 = 1

2 x 1 = 2

3 x 1 = 3

4 x 1 = 4

5 x 1 = 5

6 x 1 = 6

7 x 1 = 7

8 x 1 = 8

9 x 1 = 9

10 x 1 = 10

Gambar 3. Konkret dan Abstrak Perkalian 1

Langkah selanjutnya setelah siswa mengetahui bentuk abstrak perkalian 1 adalah

menghafal perkalian 1. Dalam menghafal perkalian 1 ini caranya adalah dengan melihat

pola. Siswa diminta mengamati seperti 1×1=1, 2×1=2, ..., 10×1=10 dan dapat

menyimpulkan bahwa perkalian 1 hasilnya adalah bilangan itu sendiri.

Cara mencongak perkalian 9 adalah dengan menggunakan jari. Cara ini dapat

dikatakan “bukan matematika” tetapi memudahkan penghafalan. Untuk menghitung

3×9 tekuk jari nomor 3. Lihat di sebelah kiri jari adalah ada 2 jari, dan disebelah kanan

ada 7 jari. Jadi hasil perkalian ini 2 dan 7 yaitu 27. Untuk menghitung 6×9 tekuk jari

nomor 6. Lihat di sebelah kiri jari adalah ada 5 jari, dan disebelah kanan ada 4 jari. Jadi

hasil perkalian ini 5 dan 4 yaitu 54, dan seterusnya. Selain menggunakan jari, perkalian

9 dapat dihafal dengan melihat pola. Pola untuk 7×9 misalnya, cari dulu bilangan

sebelum 7 yaitu 6, setelah itu cari pasangan 9 dari 6 yaitu 3, maka jawabnya adalah 63.

Di sini perlu diingatkan bahwa perkalian 1×9 dan 10×9 sudah tidak perlu dihafal lagi

karena sudah termasuk dalam perkalian 1 dan 10.

2. Kemampuan Siswa dalam Perkalian

Dalam Matematika GASING, bagian akhirnya adalah siswa diharuskan dapat

menghitung secara mencongak. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, dilihat kemampuan

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 103

perkalian siswa dalam tiga aspek, yaitu kemampuan pemahaman konsep perkalian,

kemampuan menghitung perkalian bilangan 1–10 secara tertulis, dan kemampuan

menghitung perkalian bilangan 1–10 secara mencongak. Kemampuan yang hendak

dilihat ini sesuai dengan apa yang diinginkan dalam Matematika GASING.

Mencongak dapat diartikan seseorang mampu menghitung di luar kepala tanpa

menggunakan alat bantu dan langsung menuliskan hasilnya. Menurut Depdiknas (2008)

mencongak adalah kemampuan menghitung di luar kepala, dalam artian dengan ingatan

saja dan yang dituliskan hasilnya (Depdiknas, 2008). Aktivitas pembelajaran yang

dilakukan adalah guru memberikan pertanyaan lisan kepada siswa dikelas kemudian

siswa langsung menuliskan jawabannya di kertas. Alternatif lain adalah guru

memberikan pertanyaan secara lisan kemudian siswa menjawab secara lisan dan relatif

cepat. Kemampuan mencongak sangat berguna agar siswa mampu menghitung dengan

cepat dalam waktu yang relatif singkat. Disamping itu kemampuan mencongak dapat

melatih daya nalar siswa sehingga akan bertambah baik.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain penelitian

one group pretest-postest design. Penelitian kuantitatif one group pretest-postest design

adalah penelitian dengan membandingkan nilai pretes dan postes (Sugiyono, 2010).

Dalam hal ini adalah nilai pretes dan postes siswa pada pembelajaran perkalian 1–10

dengan Matematika GASING. Desain penelitian ini adalah:

O1 X O2

Keterangan:

O1 : nilai pretes

X : pembelajaran perkalian bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

O2 : nilai postes

(Sumber : Sugiyono, 2010)

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri Cipinang Besar

Selatan 19 Pagi Jakarta Timur yang berjumlah 31 orang. Pembelajaran yang dilakukan

menggunakan panduan buku Matematika GASING Volume 1. Pembelajaran ini

dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang sebelumnya telah diberikan pelatihan

tentang Matematika GASING sebanyak tiga orang berasal dari Sekolah Keguruan dan

Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Negeri

Jakarta (UNJ) berama-sama dengan guru Matematika di SD Negeri Cipinang Besar

Selatan 19 Pagi Jakarta Timur. Pemilihan kelas sebagai sampel dalam penelitian ini

bersifat purposive sampling.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes yaitu tes tertulis dan

tes mencongak. Tes tertulis diberikan pada saat pretes dan postes untuk memperoleh

data tentang kemampuan tertulis siswa tentang konsep perkalian dan perkalian bilangan

1–10. Tes tertulis yang diberikan untuk konsep perkalian sebanyak 4 butir soal

sedangkan untuk tes tertulis perkalian bilangan 1–10 sebanyak 100 butir soal. Tes

mencongak diberikan pada saat pretes dan postes adalah untuk memperoleh data tentang

kemampuan perkalian bilangan 1–10 siswa secara mencongak. Untuk tes mencongak ini

siswa diberikan kesempatan menjawab dalam durasi waktu maksimal 10 detik tiap butir

soal dari 50 soal yang diberikan. Jika siswa tidak mampu menjawab dalam durasi waktu

tersebut maka dianggap gagal. Sebelum diberikan tes, instrumen yang digunakan

dilakukan validasi terlebih dahulu oleh rekan dosen di STKIP Surya. Validasi instrumen

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 104

berupa judgment materi dari pakar Matematika GASING STKIP Surya. Validasi

selanjutnya adalah mengenai keterbacaan soal yang didisikusikan dengan dosen-dosen

Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Surya yang paham tentang isntrumen.

Prosedur dalam penelitian ini diantaranya: 1) mengidentifikasi masalah dan tujuan,

2) menentukan desain penelitian sesuai masalah dan tujuan penelitian, 3) menyusun

instrumen tes dilanjutkan dengan validasi, 4) memberikan pretes konsep perkalian,

perkalian bilangan 1–10, dan tes mencongak, 5) memberikan pembelajaran perkalian

bilangan 1–10 dengan Matematika GASING, 6) memberikan postes konsep perkalian,

perkalian bilangan bilangan 1–10, dan tes mencongak, 7) melakukan analisis terhadap

hasil tes, 8) Membuat kesimpulan dari hasil penelitian, 9) menulis laporan penelitian.

Pelaksanaan penelitian ini berlangsung dari Maret sampai April 2014.

Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis kuantitatif. Analisis dilakukan

terhadap hasil pretes dan postes untuk tes konsep perkalian, tes tertulis perkalian 1-10,

dan tes mencongak. Uji statistik yang digunakan adalah uji non parametrik untuk dua

sampel yang berkorelasi (2 related sample). Uji non parametriknya adalah uji wilcoxon.

Penelitian menggunakan uji non parametrik wilcoxon karena asumsi-asumsi untuk

menggunakan uji parametrik, seperti normalitas dan homogenitas tidak dapat dipenuhi.

Desain penelitian one-group pretest-postest mengakibatkan asumsi homogenitas

tidaklah mungkin dipenuhi dari awal, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu

dilakukan uji normalitas. Dengan demikian uji hipotesis menggunakan uji wilcoxon.

Analisa data kuantitatif selanjutnya adalah untuk melihat besarnya peningkatan

sebelum dan sesudah pembelajaran dengan Matematika GASING yang dihitung dengan

rumus gain ternormalisasi yang dikembangkan oleh Meltzer (2002). Rumus gain

tersebut seperti berikut ini:

N-gain ( )

Nilai gain yang diperoleh selanjutnya diinterpretasikan menurut klasifikasin indeks N-

gain menurut Hake (1999) sebagai berikut:

Tabel 1. Interpretasi Indeks N-gain

Indeks N-gain ( ) Interpretasi

Tinggi

Sedang

Rendah

D. Hasil dan Pembahasan

1. Kemampuan Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING Secara

Tertulis

a. Kemampuan Konsep Perkalian

1) Statistik Deskriptif Skor Pretes dan Postes pada Kemampuan tentang Konsep

Perkalian

Kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir (postes) siswa meliputi skor

maksimum ( ) dan skor minimum ( ), skor rata-rata ( ), dan standar deviasi

( ). Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

gpretesskoridealskor

pretesskorpostesskor

g

7,0g

7,03,0 g

3,0g

maksX minX X

S

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 105

Tabel 2. Statistik Deskriptif Kemampuan Konsep Perkalian

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Pretest 31 0.00 25.00 1.1935 4.91541

Postest 31 0.00 25.00 6.0323 10.63166

Valid N (listwise) 31

Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata kemampuan awal siswa dalam konsep

perkalian sebesar 1.1935 dan 6.0323, yang nampak cukup berbeda. Untuk mengetahui

apakah perbedaan antara skor pretes dengan berbeda cukup signifikan atau tidak

dilakukan uji perbedaan kemampuan siswa tentang konsep perkalian. Uji yang

digunakan adalah uji wilcoxon.

2) Uji Perbedaan Kemampuan Siswa tentang Konsep Perkalian

Uji wilcoxon merupakan uji non parametrik untuk dua sampel yang berkorelasi

untuk data yang termasuk ordinal. Data dalam penelitian tergolong ke dalam data

ordinal. Pasangan uji hipotesisnya sebagai berikut:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan siswa tentang konsep

perkalian

HA : Terdapat perbedaan kemampuan siswa tentang konsep perkalian.

Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika

nilai absolut . Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non

parametrik dengan SPSS tentang konsep perkalian dengan Matematika GASING, hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Konsep Perkalian

Kemampuan Tes Absolut

Asymp. Sig

(2-tailed)

Kesimpulan Keterangan

Kemampuan

Tertulis Perkalian

Pretes 2,107 0,035 H0 ditolak

Terdapat

Perbedaan Postes

Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,

terdapat perbedaan kemampuan tentang konsep perkalian siswa sebelum dan sesudah

pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kemampuan tentang konsep perkalian siswa pada perkalian bilangan 1–10.

b. Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10

1) Statistik Deskriptif Skor Pretes dan Postes Siswa pada Kemampuan Tertulis

Perkalian 1-10

Kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir (postes) siswa meliputi skor

maksimum ( ) dan skor minimum ( ), skor rata-rata ( ), dan standar deviasi

( ). Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

2

1ZZhitung

2

1ZZ hitung

hitungZ

96,1107,2 tabelhitung ZZ0H

maksX minX X

S

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 106

Tabel 4. Statistik Deskriptif Kemampuan Tertulis Perkalian 1-10

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Pretest 31 7.00 100.00 80.4839 26.50518

Postest 31 24.00 100.00 88.0645 17.26641

Valid N (listwise) 31

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, tes tertulis kemampuan perkalian bilangan 1–

10 rata-rata kemampuan awal dan kemampuan akhir siswa cukup berbeda. Untuk

melihat apakah perbedaan ini signifikan atau tidak dilakukan uji perbedaan kemampuan

tertulis siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika

GASING.

2) Uji Statistik dengan Uji Non Parametrik Uji Wilcoxon

Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian

bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING sebelum dan

sesudah pembelajaran, maka data diuji dengan uji dua sampel berpasangan yaitu uji

wilcoxon. Pasangan hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan

1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.

HA : Terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1–10

terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.

Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika

nilai absolut .Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non

parametrik dengan SPSS untuk perkalian bilangan 1–10 secara tertulis, hasil

perhitungan dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Kemampuan Tertulis

Kemampuan Tes Absolut

Asymp. Sig

(2-tailed)

Kesimpulan Keterangan

Kemampuan Tertulis

Perkalian

Pretes 4,101 0,000 H0 ditolak

Terdapat

Perbedaan Postes

Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,

terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1 – 10 terhadap

pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1 – 10.

2

1ZZhitung

2

1ZZ hitung

hitungZ

96,1101,4 tabelhitung ZZ0H

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 107

c. Kemampuan Perkalian 1–10 dengan Matematika GASING Secara Mencongak

1) Statistik Deskriptif Tes Kemampuan Mencongak Perkalian 1–10 dengan

Matematika GASING.

Statistik Deskriptif untuk kemampuan mencongak dapat dilihat pada tabel 6 di

bawah ini. Tabel 6. Statistik Deskriptif Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Sebelum 31 21 100 74.48 18.419

Sesudah 31 64 100 86.65 12.246

Valid N (listwise) 31

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, tes mencongak kemampuan perkalian

bilangan 1–10 rata-rata kemampuan awal dan kemampuan akhir siswa cukup berbeda.

Untuk melihat apakah perbedaan ini signifikan atau tidak dilakukan uji perbedaan

kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran

dengan Matematika GASING.

2) Uji Perbedaan Kemampuan Tes Mencongak Siswa pada Perkalian Bilangan 1 -

10

Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kemampuan mencongal siswa pada

perkalian bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING sebelum

dan sesudah pembelajaran, maka data diuji dengan uji dua sampel berpasangan yaitu uji

t apabila asumsi bahwa data berdistribusi normal dan variansi kedua distribusi

populasinya sama. Berdasarkan perhitungan uji normalitas dan uji homogenitas

diketahui bahwa data berdistribusi normal namun asumsi homogenitas tidak dipenuhi.

Oleh karena itu uji statistik yang digunakan adalah uji non parametrik, yaitu uji

wilcoxon. Uji wilcoxon digunakan untuk dua sampel yang berpasangan. Pasangan

hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan mencongak siswa pada

perkalian bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika

GASING.

HA : Terdapat perbedaan kemampuan mencongak siswa pada perkalian

bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.

Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non parametrik dengan SPSS

untuk perkalian bilangan 1 – 10 secara mencongak, hasil perhitungan dapat dilihat pada

tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Kemampuan Mencongak

Kemampuan Tes Absolut

Asymp.

Sig (2-

tailed)

Kesimpulan Keterangan

Kemampuan

Mencongak Perkalian

Pretes 4,157 0,000 H0 ditolak Terdapat

Perbedaan Postes

Nilai , dengan demikian ditolak. Jadi, terdapat

perbedaan kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1 – 10 terhadap

pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

hitungZ

96,1157,4 tabelhitung ZZ0H

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 108

pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1 – 10.

2. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Siswa dalam Perkalian Bilangan 1 – 10

dengan Matematika GASING

Untuk melihat peningkatan kemampuan siswa dalam perkalian bilangan 1 – 10,

analisis yang digunakan adalah dengan menghitung selisih skor pretes dan skor postes

untuk tes konsep perkalian, tes tertulis perkalian bilangan 1-10, maupun tes mencongak.

Untuk melihat peningkatan ini digunakan uji terhadap satu perlakukan yaitu uji t. Uji t

dapat digunakan jika data memiliki sebaran normal.

a. Peningkatan dalam Konsep Perkalian

1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan tentang Konsep

Perkalian

Uji normalits untuk peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian siswa yang

belajar menggunakan pembelajaran Matematika GASING dihitung menggunakan SPSS

yaitu uji satu sampel dengan One-Sample kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang

diuji adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal

Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima

jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan jika

sig. < taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normalData

peningkatan kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel 8 di

bawah ini.

Tabel 8. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa tentang Konsep Perkalian

Aspek

Kemampuan

Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan

Statistic Sig.

Konsep

Perkalian 2.205 0,000 H0 diterima Normal

Dari data skor N-gain tentang konsep perkalian berdistribusi normal. Selanjutnya

dilakukan uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.

2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan tentang Konsep Perkalian

Untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tentang

konsep perkalian siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu

rata-rata. Uji yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu

normlitas terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:

H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian dengan

pembelajaran Matematika GASING termasuk tidak kategori minimal 0,04.

HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian dengan

pembelajaran Matematika GASING termasuk kategori kurang dari 0,04.

05,0 30n

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 109

Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima

jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tentang konsep

perkalian adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10

Aspek

Kemampuan Uji-t

Asymp.Sig.

(2-tailed) Kesimpulan Keterangan

Konsep

Perkalian -0,080 0,937 H0 diterima Peningkatan rendah

Selain itu, diperoleh bahwa test value sebesar 0,04 dengan nilai thitung = -0,080 dan

nilai sig. (2-tailed) = 0,937 > maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata

peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran Matematika GASING termasuk

kategori minimal 0,04. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS diperlihatkan

bahwa rata-rata N-gain kemampuan tertulis adalah 0.0382 dan simpangan baku =

0,1231. Kategori rata-rata peningkatan N-gain tentang konsep perkalian tergolong

rendah.

b. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Tertulis Bilangan 1-10

1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan Tertulis Bilangan 1-10

Uji normalits untuk peningkatan kemampuan tertulis siswa yang belajar

menggunakan pembelajaran Matematika GASING dengan menggunakan SPSS yaitu uji

satu sampel dengan One-Sample Kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang diuji

adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal

Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima

jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan jika

sig. < taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normalData

peningkatan kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel 10 di

bawah ini.

Tabel 10. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa

Aspek

Kemampuan

Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan

Statistic Sig.

Tertulis

Perkalian 0.721 0,675 H0 diterima Normal

Dari data di atas diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan

uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.

2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10

Untuk menjawab hipotesis Bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tertulis

siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu rata-rata. Uji

yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu normlitas

terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:

tabelhitung tt

tabelhitung tt

05,0

05,0 30n

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 110

H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran

Matematika GASING minimal 0,345.

HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran

Matematika GASING kurang dari 0,345

Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima

jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tertulis perkalian

bilangan 1-10 adalah sebagai berikut:

Tabel 11. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10

Aspek

Kemampuan Uji-t

Asymp.Sig.

(2-tailed) Kesimpulan Keterangan

Tertulis

Perkalian 0,003 0,998 H0 diterima Peningkatan tinggi

Untuk test value sebesar 0,345, nilai thitung = 0,003 dan nilai sig. (2-tailed) = 0,998 >

maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata peningkatan kemampuan tertulis

dengan pembelajaran Matematika GASING minimal 0,345. Berdasarkan perhitungan

SPSS rata-rata peningkatannya sebesar 0,345 dan standar deviasinya 0,348.

c. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Mencongak Perkalian

1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10

Uji normalits untuk peningkatan kemampuan mencongak perkalian siswa yang

belajar menggunakan pembelajaran Matematika GASING dengan menggunakan SPSS

yaitu uji satu sampel dengan One-Sample kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang

diuji adalah:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal

Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima

jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi normal, sedangkan jika sig. <

taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normal. Data

peningkatan kemampuan mencongak perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel

12 di bawah ini.

Tabel 12. Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10

Aspek

Kemampuan

Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan

Statistic Sig.

Tertulis

Perkalian 0.810 0,528 H0 diterima Normal

Dari data di atas diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan

uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.

2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian Bilangan 1-10

Untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan

mencongak siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu rata-

tabelhitung tt

tabelhitung tt

05,0

05,0 30n

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 111

rata. Uji yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu

normlitas terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:

H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran

Matematika GASING minimal 0,4.

HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran

Matematika GASING kurang dari 0,4

Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima

jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tertulis perkalian

bilangan 1-10 adalah sebagai berikut:

Tabel 13. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian Bilangan 1-10

Aspek

Kemampuan Uji-t

Asymp.Sig.

(2-tailed) Kesimpulan Keterangan

Tertulis

Perkalian 0,000 1,000 H0 diterima Peningkatan sedang

Untuk test value sebesar 0,4, nilai thitung = 0,000 dan nilai sig. (2-tailed) = 1,000 <

maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata peningkatan kemampuan

mecongak dengan pembelajaran Matematika GASING minimal 0,4. Berdasarkan

perhitungan SPSS rata-rata peningkatannya sebesar 0,4.

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka diperoleh beberapa kesimpulan

terkait dengan pertanyaan penelitian yang diajukan. Kesimpulan dalam penelitian ini

diantaranya: 1) pembelajaran dengan Matematika GASING berpengaruh terhadap

kemampuan tentang konsep perkalian bilangan 1-10 siswa, 2) pembelajaran dengan

Matematika GASING berpengaruh terhadap kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-

10 siswa, 3) pembelajaran dengan Matematika GASING berpengaruh terhadap

kemampuan mencongak perkalian bilangan 1-10 siswa, 4) rata-rata kemampuan konsep

perkalian siswa termasuk dalam ketegori rendah, 5) rata-rata kemampuan siswa dalam

kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 termasuk dalam kategori sedang, dan 6)

rata-rata kemampuan siswa dalam kemampuan mencongak perkalian bilngan 1-10

termasuk dalam kategori sedang.

Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan di atas, nampak bahwa

kemampuan siswa tentang konsep perkalian tergolong rendah. Siswa masih memiliki

kesulitan memahami sesuatu yang bersifat konseptual. Untuk itu pada pembelajaran

perkalian selanjutnya sebaiknya perlu penekanan yang lebih tinggi tentang konsep

perkalian ini.

Materi perkalian bilangan 1-10 merupakan bagian awal dalam belajar perkalian dengan

Matematika GASING. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan untuk

membelajarkan bilangan-bilangan yang lebih besar dengan Matematika GASING.

F. Daftar Pustaka

Raharjo, M., Waluyati, A., & Sutanti, T. 2009. Pembelajaran Operasi Hitung Perkalian

dan Pembagian Bilangan Cacah di SD. Jakarta: Depdiknas Pusat Pengembangan

dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.

tabelhitung tt

tabelhitung tt

05,0

Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING

ISBN 978-602-1034-06-4 112

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Surya, Y. 2013. Modul Pelatihan Matematika GASING SD Bagian 1. Tangerang: PT.

Kandel

Surya, Y. & Moss, M. 2012. Mathematics Education in Rural Indonesia. Proceeding in

the 12th International Congress on Mathematics Education: Topic Study Group 30,

6223-6229.

West, L & Bellevue, N.E. 2011. An Introduction to Various Multiplication Strategies.

Retrieved May, 5 2014. [Online] Available at

http://scimath.unl.edu/MIM/files/MATExamFiles/WestLynn_Final_070411_LA.pd

f.

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 113

PEMBELAJARAN ARIAS DENGAN ASESMEN KINERJA UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

Wardono1)

, Suryati2)

1), Dosen Jurusan Matematika FMIPA Unnes 2) Guru SMKN Sumber Rembang

Alamat Kampus UNNES Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229, Indonesia

Surel:[email protected]

Abstrak Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja dan pembelajaran ARIAS dapat mencapai

ketuntasan; untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah peserta didik

menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, menggunakan pembelajaran ARIAS,

dan menggunakan pembelajaran ekspositori; untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah

peserta didik pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari pembelajaran

ARIAS; untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada pembelajaran

ARIAS lebih baik dari pembelajaran ekspositori dan untuk mengetahui kualitas pembelajaran,

kinerja guru dan aktivitas peserta didik baik. Populasi penelitian ini adalah semua peserta didik

kelas VIII MTsN Sumber, Rembang tahun pelajaran 2012/2013. Teknik sampel dalam penelitian

ini diambil secara random sampling. Kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen 1, kelas VIII-3

sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas VIII-4 sebagai kelas kontrol. Data diperoleh dengan metode

tes dan metode observasi. Data dianalisis dengan menggunakan uji proporsi, Anava, dan uji LSD.

Dapat disimpulkan bahwa: kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja dan menggunakan pembelajaran ARIAS mencapai

ketuntasan belajar, kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan pembelajaran

ARIAS dengan asesmen kinerja paling baik daripada pembelajaran ARIAS.

Kata kunci: asesmen kinerja; pembelajaran ARIAS; pemecahan masalah.

A. Pendahuluan

Matematika sebagai wahana pendidikan tidak hanya dapat digunakan untuk

mencapai satu tujuan, misalnya mencerdaskan peserta didik, akan tetapi dapat pula

untuk membentuk kepribadian peserta didik serta mengembangkan keterampilan

tertentu. Hal itu mengarahkan perhatian kepada pembelajaran nilai-nilai dalam

kehidupan melalui matematika (Soedjadi, 2000: 7). Salah satu tujuan pembelajaran

matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Menurut

NCTM (2000:52), ditegaskan mengenai pentingnya pemecahan masalah dimana

pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika,

sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan

berfikir tingkat tinggi. Agarkemampuan berfikir tingkat tinggi berkembang, maka

pembelajaran harus menjadilingkungan di mana peserta didik dapat terlibat secara aktif

dalamkegiatan matematis yang bermanfaat.

Berdasarkan hasil ulangan harian materi lingkaran kelas VIII aspek pemecahan

masalah pada tahun ajaran 2011/2012 diperoleh hasil yang masih rendah sehingga

belum mencapai ketuntasan secara klasikal.Hal ini diperkuat dengan data persentase

penguasaan materi soal Matematika Ujian Nasional SMP/ MTs Tahun Pelajaran 2010/

2011 disalah satu MTs Negeri di Kabupaten Rembang. Dari data tersebut diketahui

persentase penguasaan materi yang berkaitan dengan materi lingkaran di MTs tersebut

hanya 50,27 %. Perolehan ini tergolong masih rendah jika dibandingkan dengan hasil

yang diperoleh pada tingkat kota/ kabupaten yaitu 53.91%, tingkat provinsi 56.46%

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 114

dan tingkat nasional 70.46%.

Kemampuan pemecahan masalah peserta didik masih rendah dikarenakan dalam

pembelajaran guru masih menggunakan model pembelajaran ekspositori sehingga

peserta didik kurang terlibat dalam proses pembelajaran dan lebih banyak berperan

secara pasif sebagai pendengar.

Dalam kegiatan pembelajaran, pemilihan dan pelaksanaan model pembelajaran

yang tepat oleh guru akan membantu guru dalam menyampaikan pembelajaran

matematika, sehingga peserta didik dapat memahami dengan jelas setiap materi yang

disampaikan dan akhirnya mampu memecahkan setiap permasalahan yang muncul pada

setiap materi yang dipelajarinya tersebut. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah

melakukan inovasi pembelajaran agar pembelajaran menarik, sehingga meningkatkan

minat belajar, serta peserta didik aktif dalam pembelajaran serta peserta didik

dibiasakan untuk menunjukkan kinerjanya dalam segala hal, baik untuk memecahkan

masalah, mengutarakan pendapat, berdiskusi, salah satu alternatifnya adalah

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja.

Model Pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS (Attention,

Relevance, Convidence, Satisfaction) yang dikembangkan oleh Keller dan Koopp.

Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran ARIAS mengandung lima komponen

yaitu: attention (minat/ perhatian), relevance (relevansi), confidence (percaya/yakin),

satisfaction (kepuasaan/ bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan

dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi

interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata

assurance sinonim dengan kata self-confidence .

Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran

untuk menanamkan rasa yakin/ percaya pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran ada

relevansinya dengan kehidupan peserta didik, berusaha menarik dan memelihara minat/

perhatian peserta didik. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga

pada peserta didik dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil

huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim.

Oleh karena itu model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model

pembelajaran ARIAS (Ahmadi, 2011: 69-71).

Asesmen kinerja adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap

aktivitas peserta didik sebagaimana yang terjadi. Asesmen kinerja sebagai metode

pengujian yang meminta peserta didik untuk membuat jawaban atau hasil yang

menunjukkan pengetahuan dan keahlian mereka. Dengan demikian, asesmen kinerja

merupakan salah satu bentuk asesmen yang meminta peserta didik untuk menunjukkan

kinerja mereka sehingga dapat diketahui pengetahuan mereka. Asesmen kinerja dalam

matematika meliputi presentasi tugas matematika, proyek atau investigasi, observasi,

wawancara (interview), dan melihat hasil (product) (Sa’dijah, 2009: 93). Dalam

aplikasi dilapangan beberapa penilaian dapat juga dikatagorikan kedalam penilaian

kinerja (performanceassessment). Penilaian kinerja yang menghasilkan suatu benda

(produk) lebih spesifiknya dinamakan penilaian produk (productassessment). Menurut

Jihad & Haris (2008: 111-112), penilaian produk adalah penilaian terhadap proses

pembuatan dan kulitas suatu produk, disini yang dinaksud adalah produk alat peraga.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1)

apakah pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja terhadap kemampuan pemecahan

masalah materi lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai dengan kriteria

ketuntasan minimum; (2) apakah pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 115

pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai dengan

kriteria ketuntasan minimum; (3) apakah ada perbedaan antara pembelajaran ARIAS

dengan asesmen kinerja, pembelajaran ARIAS, dan pembelajaran ekspositori terhadap

kemampuan pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII; (4) apakah pembelajaran

ARIAS dengan asesmen kinerja terhadap kemampuan pemecahan masalah materi

lingkaran kelas VIII lebh baik dari pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan

pemecahan masalah; (5) apakah pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan pemecahan

masalah materi lingkaran kelas VIII lebh baik dari pembelajaran ekspositori terhadap

kemampuan pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII; dan (6) apakah kualitas

pembelajaran, kinerja guru dan aktivitas peserta didik minimal baik.

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian

eksperimen. Desain penelitian eksperimen ini menggunakan Posttest-Only Control

Design. Materi pokok yang diajarkan pada penelitian ini adalah materi pokokkeliling

dan luas lingkaran.Desain penelitian yang digunakan adalah posttest only control design

menurut Sugiyono (2010:112) digambarkan sebagai berikut. Tabel 1. Desain Penelitian Posttest-Only Control Design

Pengelompokan

Subyek

Kelompok Perlakuan Posttest

Eksperimen 1

T

R Eksperimen 2

T

Kontrol K T

Sumber : Sugiyono, 2010: 112.

Keterangan:

R : Subyek dipilih secara random.

: Penerapan model pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja.

: Penerapan model pembelajaran ARIAS.

Penerapan model pembelajaran ekspositori.

Hasil tes kemampuan pemecahan masalah.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas

VIII MTs Negeri Sumber tahun pelajaran 2012/2013 semester II yang berjumlah tujuh

kelas. Jumlah total peserta didik sejumlah 248 anak yang terdiri dari kelas VIII-1

sejumlah 34 anak, kelas VIII-2 sejumlah 40 anak, kelas VIII-3 sejumlah 36 anak, kelas

VIII-4 sejumlah 36 anak, kelas VIII-5 sejumlah 36 anak, kelas VIII-6 sejumlah 32 anak

dan kelas VIII-7 sejumlah 34 anak. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut

diperoleh 3 kelas sampel yaitu kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen 1, kelas VIII-3

sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas VIII-4 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen 1

diberi perlakuan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, kelas eksperimen 2

diberi perlakuan pembelajaran ARIAS, dan kelas kontrol diberi perlakuan pembelajaran

ekspositori.

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini yakni dengan metode tes. Metode tes

digunakan untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada

materi keliling dan luas lingkaran. Soal tes ini dalam bentuk uraian. Teknik tes

kemampuan pemecahan masalah matematis dilakukan setelah perlakuan diberikan

kepada kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol dengan tujuan

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 116

mendapatkan data akhir. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan analisis dan

selanjutnya disusun laporan hasil penelitian.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil

Dari hasil analisis uji normalitas data awal ketiga kelas eksperimen 1 diperoleh

= 1,7887. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh =7,81,

diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data awal kelas

eksperimen 1 berdistribusi normal. Dari hasil analisis uji normalitas data awal kelas

eksperimen 2 diperoleh = 4,4573. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh

=7,81, diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data

awal kelas eksperimen 2 berdistribusi normal.Dari hasil analisis uji normalitas data awal

kelas kontrol diperoleh = 1,7041. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh

=7,81, diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data

awal kelas kontrol berdistribusi normal.Dari hasil perhitungan, diperoleh 2,61738.

Dengan α = 5% dan dk = 2 diperoleh = 5,99, diperoleh bahwa ,

maka diterima, artinya ketiga sampel pada mempunyai varians yang sama

(homogen).Hasil analisis uji kesamaan rata-rata data awal diperoleh Fhitung= 0,122dan

Ftabel = 3,08 karena Fhitung< Fα(k-1)(n-k)maka Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan rata-rata dari ketiga sampel tersebut. Berdasarkan hasil uji normalitas, uji

homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata maka dapat disimpulkan sampel berasal dari

kondisi atau keadaan yang sama yaitu memiliki pengetahuan yang sama.

Pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen 1 adalah pembelajaran

ARIAS dengan asesmen kinerja, pada kelas eksperimen 2 adalah pembelajaran ARIAS,

sedangkan pada kelas kontrol diterapkan pembelajaran ekspositori. Setelah diberi

perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol,

diperoleh data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik

kemudian dilakukan analisis data akhir dengan menggunakan uji proporsi, Anava dan

uji LSD . Setelah dilakukan uji statistik diperoleh hasil sebagai berikut.

Hasil perhitungan uji proporsi pihak kanan diperoleh kelas eksperimen 1 =

2,55. Berdasarkan kriteria uji pihak kanan, untuk taraf signifikansi 5% sehingga nilai

= 1,64. Diperoleh maka H0 ditolak. Ini berarti kemampuan

pemecahan masalah pada kelas eksperimen 1 yang dikenai pembelajaran ARIAS

dengan asesmen kinerja dapat mencapai ketuntasan.Hasil perhitungan uji proporsi pihak

kanan diperoleh kelas eksperimen 2 = 1,92. Berdasarkan kriteria uji pihak kanan,

untuk taraf signifikansi 5% sehingga nilai = 1,64. Diperoleh

maka H0 ditolak. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah pada kelas eksperimen 2

yang dikenai pembelajaran ARIAS dapat mencapai ketuntasan.

Hasil perhitungan perbedaan rata-rata data tahap akhir diperoleh Fhitung= 12,14dan

Ftabel = 3,08 karena Fhitung> Fα(k-1)(n-k)maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada

perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah dari ketiga kelas tersebut.

2

hitungx 2

tabelx

2

hitungx

2

tabelx

2

hitungx

2

tabelx

2

tabelx

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 117

Hasil uji lanjut dengan LSDuntuk kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 , nilai

rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas eksperimen 1= 79,35 dan

nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 2 = 75, 444. Diperoleh

selisih rata-rata nilai kedua kelas= 3,90 dan nilai LSD = 3,34. Karena 3,90 > 3,34 maka

H0 ditolak.Hal ini berarti ada perbedaan rata-rata dari kedua kelas. Selanjutnya

bandingkan nilai rata-rataantara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Karena

nilai rata-rata kelas eksperimen 1 adalah 79,30 lebihdari nilai rata-rata kelas eksperimen

2 adalah 75,444, maka kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 1 lebih baik

dari kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 2. Hasil uji lanjut dengan

LSDuntuk kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol, nilai rata-rata kemampuan pemecahan

masalah peserta didik kelas eksperimen 2 = 75,444 dan nilai rata-rata kemampuan

pemecahan masalah kelas kontrol = 70, 75. Diperoleh selisih rata-rata nilai kedua

kelas= 4,694 dan nilai LSD = 3,49. Karena 4,694 > 3,49 maka H0 ditolak.Hal ini berarti

ada perbedaan rata-rata dari kedua kelas. Selanjutnya bandingkan nilai rata-rataantara

kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol. Karena nilai rata-rata kelas eksperimen 2 adalah

75,444 lebih dari nilai rata-rata kelas kontrol adalah 70,75 , maka kemampuan

pemecahan masalah kelas eksperimen 2 lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah

kelas kontrol. Berdasarkan hasil pengamatan kualitas pembelajaran diperoleh skor rata-

rata kelas eksperimen 1 sebesar 83,6 % hal ini menunjukkan kualitas pembelajaran

kelas eksperimen 1 baik, lalu berdasarkan pengamatan kinerja guru kelas eksperimen 1

diperoleh skor rata-rata 84,5% hal ini menunjukkan kinerja guru kelas eksperimen 1

baik, dan berdasarkan pengamatan aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1 diperoleh

skor rata-rata 83,5 % hal ini menunjukkan aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1

aktif. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan

menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja adalah yang terbaik.

Dari hasil tes pemecahan masalah salah satu peserta didik pada kelas eksperimen 1

yang memperoleh pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja pada Gambar 4.1

terlihat bahwa peserta didik mengerjakan soal dengan benar sesuai keempat langkah

pemecahan masalah menurut polya. Hal ini berarti melalui pembelajaran ARIAS

dengan asesmen kinerja efektif pada kemampuan pemecahan masalah. Hal ini sejalan

dengan pendapat Masrukan (2008: 184-185), bahwa kecocokan kombinasi model

pembelajaran kooperatif dan asesmen kinerja menurut Polya terlihat dari langkah-

langkah penyelesain masalah yang disarankan, yaitu: (1) memahami masalah; (2)

merencanakan penyelesaian; (3) melaksanakan rencana/perhitungan; dan (4) memeriksa

kembali proses dan hasil. Dengan bekerja dalam kelompok kecil keempat langkah

tersebut dilakukan secara bersama-sama. Kecermatan dan ketelitian dalam

menyelesaiakn permasalahan matematika akan dikontrol oleh seluruh anggota

kelompok. Hal in jelas lebih baik dibandingkan dengan dilakukan hanya oleh seseorang.

Kemudian berdasarkan lembar observasi kualitas pembelajaran yang digunakan

untuk mengamati kualitas pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja pada kelas

eksperimen 1 selama tiga kali pertemuan oleh pengamat yaitu guru mata pelajaran

matematika disekolah penelitian diperoleh skor rata-rata baik, begitu pula untuk

pengamatan keaktifan peserta didik diperoleh skor rata-rata aktif, serta pengamatan

kinerja guru diperleh skor rata-rata baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja efektif terhadap kemampuan pemecahan

masalah materi luas dan keliling lingkaran.

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 118

2. Pembahasan

Gambar 4.1 Hasil Tes Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen 1

Kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada kelas eksperimen 1 dimana

peserta didik mendapatkan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari

kemampuan masalah pada peserta didik pada kelas eksperimen 2 dimana peserta didik

mendapatkan pembelajaran ARIAS dan kemampuan masalah pada peserta didik pada

kelas kontrol dimana peserta didik mendapatkan pembelajaran1`ekspositori. Hal ini

dikarenakan pada pembelajaran eksperimen 1 peserta didik bekerja secara kelompok

dengan asesmen kinerja berupa tugas produk dan LKPD. Pertanyaan-pertanyaan untuk

mengkonstruk pengetahuan peserta didik dituangkan dalam LKPD. Hal ini membuat

peserta didik pada kelas eksperimen 1 mengembangkan kreativitasnya dalam membuat

tugas produk berupa alat peraga dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

mengkonstruk pengetahuan peserta didik yang ada di LKPD dengan antusias, dengan

ini peserta didik lebih mudah memahami materi lingkaran yang bersifat abstrak. Hal ini

sejalan dengan teori Brunner yang menyatakan bahwa dalam proses belajar anak

sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui

alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan

pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu (Suherman,

2001: 45).

Keterbatasan dalam hal keterlibatan peserta didik dalam penggunaan alat peraga

pada kelas eksperimen 2 yang dikenai pembelajaran ARIAS menyebabkan tidak semua

peserta didik paham dengan apa yang diketahui dan dilakukan, belum terbiasa

menunjukkan kinerja dalam memecahkan masalah, serta tidak semua peserta didik aktif

dalam pembelajaran.

Pada pembelajaran kelas kontrol masih berpusat pada guru. Hal ini menjadikan

pembelajaran menjadi kurang menarik akibatnya peserta didik kurang antusias dalam

pembelajaran, selain itu peserta didik kurang aktif terlibat dalam pembelajaran sehingga

kreativitas untuk memunculkan ide-ide baru dalam pemecahan masalah masih rendah.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Sanjaya(2011:194) yang menyatakan pembelajaran

ekspositori juga disebut pembelajaran langsung karena materi pelajaran disampaikan

secara langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu, materi

pelajaran seakan-akan sudah jadi.

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 119

Faktor-faktor yang menyebabkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik

pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari peserta didik pada

pembelajaran ARIAS maupun pembelajaran ekspositori sebagai berikut; (1) pada

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, pembelajaran dilaksanakan dalam

bentuk kelompok-kelompok kecil sehingga peserta didik dapat berdiskusi dalam

menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suherman (2003: 259),

bahwa model kooperatif terbukti dapat meningkatkan berpikir kritis serta meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan pembelajaran ekspositori peserta didik

cenderung pasif dan pembelajaran masih berpusat pada guru; (2) pada pembelajaran

ARIAS dengan asesmen kinerja, peserta didik menjawab pertanyaan-pertanyaan pada

LKPD dan tugas produk sehingga peserta didik tidak hanya menerima informasi tetapi

dapat mengkonstruk pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan teori belajar

konstruktivistik dari Piaget bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai

subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang

hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang

bermakna (Sanjaya, 2011: 124). Selain hal itu melalui asesmen kinerja, peserta didik

dibiasakan untuk menunjukkan kinerjanya dalam segala hal, baik untuk memecahkan

masalah, mengutarakan pendapat, berdiskusi, maupun memberikan alasan dari jawaban

yang diberikan (Sa’dijah, 2009: 94); (3) kualitas pembelajaran, kinerja guru, dan

aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1 berkriteria baik serta terbaik dari kelas

lainnya sehingga ini mempengaruhi keberhasilan proses belajar. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Zulfarisna (2009: 42), bahwa model pembelajaran

ARIAS dapat membantu guru dan peserta didik untuk meningkatkan keaktifan peserta

didik, rasa percaya diri peserta didik sehingga mereka termotivasi untuk mencapai suatu

keberhasilan. Serta diperkuat oleh hasil penelitian Lestari (2008: 152), bahwa model

pembelajaran cooperative learning dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, baik

dilihat dari tingkat partisipasi, interaksi pembelajaran, hasil kuis dan tes, serta hasil

tugas kelompok.

D. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan; (1)kemampuan

pemecahan masalah peserta didik pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja

pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai kriteria

ketuntasan minimum; (2)kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada

pembelajaran ARIAS pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII mencapai

ketuntasan sesuai kriteria ketuntasan minimum; (3) terdapat perbedaan antara

kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, kemampuan pemecahan masalah peserta

didik dengan pembelajaran ARIAS dan kemampuan pemecahan masalah peserta didik

dengan pembelajaran ekspositori pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII; (4)

kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui

pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari kemampuan pemecahan

masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran ARIAS;

(5) kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika

melalui pembelajaran ARIAS lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah peserta

didik dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori; (6) kualitas

pembelajaran, kinerja guru dan aktivitas peserta didik pada pembelajaran ARIAS

dengan asemen kinerja minimal baik. Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah

Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja

ISBN 978-602-1034-06-4 120

peserta didik menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja yang terbaik

jika dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan

pembelajaran ARIAS maupun kemampuan pemecahan masalah peserta didik

menggunakan ekspositori.

E. Daftar Pustaka

Ahmadi, K. L, dkk. 2011. Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu. Jakarta: Prestasi

Pustaka.

Hamdani. 2010. Strategi belajar mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Jihad, A & Haris, A. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Multi Pressindo.

Lestari, Barkah. 2008. Peningkatan Kualitas Pebelajaran dengan Model Cooperative

Learning. Jurnal Ekonomi & Pendidikan. Tersedia di

http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/view/595[ diakses 13 -02- 2013].

Masrukan. 2008. Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematika.

Pengaruh penggunaan model pembelajaran dan asesmen kinerja terhadap

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematika (Eksperimen pada

siswa kelas VIII SMPN 10 dan SMPN 13 Kota Semarang). Disertasi. Semarang:

Unnes.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: Library of

Congress Cataloguing. Tersedia di

www.4shared.com/office/iCN3JX1s/NCTM_2000_Standards.htm[diakses 13 -11-

2012]

Sa’dijah, C. 2009. Asesmen Kinerja dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal

pendidikan inovatif, 4(2): 92-95. Tersedia di

http://jurnaljpi.files.wordpress.com/2009/09/vol-4-no-2-cholis-sadijah.pdf[ diakses

13 -11- 2012].

Sanjaya, W. 2006.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 121

EKSPLORASI BENTUK-BENTUK ETNOMATEMATIKA DAN

RELASINYA DENGAN KONSEP-KONSEP MATEMATIKA

Zaenuri Mastur1)

, Fathur Rokhman2)

, dan SB Waluya3)

1),3)Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

2)Bahasa Indonesia FBS Unnes

Surel: [email protected].

Abstrak Tujuan penelitian adalah (1) mengeksplorasi bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya

masyarakat dan (2) menganalisis relasi bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya

masyarakat dengan konsep-konsep matematika. Pelitian dilakukan di Pantai Utara Provinsi

Jawa Tengah dan Jawa Barat (Kuningan, Tasikmalaya, Garut, Tegal, Demak, Kudus, dan

Rembang). Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan dokumentasi, disamping

kajian literature (review). Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan (1) bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat menengah di Pantai

Utara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat berupa (a) benda cagar budaya (Menara Kudus

dan Masjid Agung Demak), (b) benda noncagar budaya, (c) makanan tradisional, (d) peralatan

tradisional, (e) motif kain batik, dan (f) permainan tradisional dan (2) berbagai bentuk

etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-konsep matematika, seperti

aturan sinus dan aturan cosinus, luas dan keliling persegi panjang, persegi, jajar genjang, dan

belah ketupat, luas permukaan dan volum kubus, prisma, limas, dan tabung, serta himpunan,

sehingga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika, baik di jenjang pendidikan

dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK).

Kata kunci: etnomatematika, budaya masyarakat, cagar budaya

A. Pendahuluan

Karakter siswa harus diperkuat secara terus menerus dengan mengintegrasikan

nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran, termasuk di dalamnya pembelajaran

matematika. Dalam pandangan Knijnik (1994), matematika merupakan pengetahuan

kebudayaan yang tumbuh dan berkembang untuk menghubungkan kebutuhan-

kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai etnomatematika. Pendapat Knijnik ini

bersinergi dengan Gagne (1983), yang mengklasifikasikan objek matematika ke dalam

objek langsung dan objek taklangsung. Objek langsung mencakup fakta, konsep,

prinsip, dan keterampilan. Objek taklangsung mencakup kemampuan berpikir logis,

kemampuan memecahkan masalah, bersikap positif, tekun, teliti, kerja sama, dan jujur,

yang memiliki keterkaitan dengan pembentukan karakter siswa.

Penelitian ini difokuskan pada eksplorasi bentuk-bentuk etnomatematika pada

budaya masyarakat dan relasinya dengan konsep-konsep matematika.

B. Tinjauan Pustaka

Masingila dan King (1997) mengemukakan, “Ethnomathematics refers to any form

of cultural knowledge or social activity characterictic of a social and/or cultural group,

as mathematical knowledge or mathematical activity”. Menurut Knijnik (1994),

matematika merupakan pengetahuan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang untuk

menghubungkan kebutuhan-kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai etnomatematika

Bishop (1994) mengungkapkan, semua pendidikan matematika formal merupakan

suatu proses interaksi kebudayaan dan setiap siswa mengalami budaya dalam proses

tersebut. Dengan demikian, pendidikan matematika formal di sekolah sesungguhnya

tidak dapat dilepaskan dari berbagai fenomena kebudayaan yang melingkupinya.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 122

Freudental (1991) mengatakan, “Mathematics must be connected to reality”

(matematika harus dekat terhadap peserta didik dan harus dikaitkan dengan situasi

kehidupan sehari-hari)”.

Schoenfield (1987 dan 1992) menandaskan, “dunia budaya matematika” akan

mendorong siswa untuk berpikir tentang matematika sebagai bagian integral dari

kehidupan sehari-hari, meningkatkan kemampuan siswa dalam membuat atau

melakukan keterkaitan antar konsep matematika dalam konteks berbeda, dan

membangun pengertian di lingkungan siswa melalui pemecahan masalah matematika

baik secara mandiri ataupun bersama-sama.

Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang

sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses

pembudayaan yang formal (proses akulturasi). Proses akulturasi bukan semata-mata

transmisi budaya dan adopsi budaya tetapi juga perubahan budaya. Pembelajaran

berbasis budaya ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dewasa ini sedang marak

berkembang di banyak negara (Pannen, 2004). Teori yang mendasari strategi ini bukan

sama sekali teori baru, namun strategi ini dihadirkan untuk membawa nuansa baru

dalam proses pembelajaran. Nuansa baru tersebut hadir bukan hanya pada jenjang

operasional pembelajaran, namun juga pada perspektif budaya dan tradisi pembelajaran

itu sendiri terutama berkenaan dengan interaksi antara guru dan siswa, serta

perancangan pengalaman belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal.

Dalam pembelajaran berbasis budaya, lingkungan belajar akan berubah menjadi

lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang memungkinkan guru dan

siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat

diperoleh hasil belajar yang optimal. Siswa merasa senang dan diakui keberadaan serta

perbedaannya, karena pengetahuan dan pengalaman budaya yang Sangay kaya yang

mereka miliki dapat diakui dalam proses pembelajaran. Guru berperan memandu dan

mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam budaya yang sudah diketahui,

serta mengembangkan budaya tersebut. Interaksi guru dan siswa akan

mengakomodasikan proses penciptaan makna dari ilmu pengetahuan yang diperoleh

dalam matapelajaran di sekolah oleh masing-masing individu (Riyanto, 2000; Primadi,

1998).

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian survai. Penelitian

ini dilaksanakan di Pantai Utara Provinsi Jawa Tengah (Tegal, Demak, Kudus, dan

Rembang) dan Jawa Barat (Kuningan, Tasikmalaya, dan Garut).

Secara rinci, kegiatan penelitian mencakup (1) eksplorasi bentuk-bentuk

etnomatematika pada budaya masyarakat dan (2) menganalisis relasi bentuk-bentuk

etnomatematika pada budaya masyarakat dengan konsep-konsep matematika.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan dokumentasi, disamping

kajian literature (review). Secara umum, kedua teknik tersebut (observasi dan

dokumentasi) digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi. Data yang terkumpul

dideskripsikan dalam bentuk sajian data, kemudian dianalisis (diinterpretasikan) secara

kualitatif. Dengan pendekatan ini maka analisis yang digunakan dalam tahap ini disebut

deskriptif-kualitatif.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 123

D. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan telah berhasil mengidentifikasi berbagai bentuk

etnomatematika di daerah penelitian (Kuningan, Tasikmalaya, Garut, Tegal, Demak,

Kudus, dan Rembang) dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran matematika di

jenjang pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK) dalam bentuk kasus,

seperti berikut ini.

a. Luas permukaan Kubus

Banyak nelayan tradisional di

Kabupaten Kuningan, Tasikmalaya,

Garut yang menggunakan lukah

(Gambar 1) untuk menangkap ikan.

Lukah berbentuk seperti bangun

ruang kubus. Alat ini masih banyak

digunakan oleh nelayan tradisional

sehingga hasil tangkapan ikannya

kecil. Lukah memiliki relasi dengan

konsep luas permukaan kubus.

b. Luas permukaan Prisma

Hampir di seluruh daerah pertanian di

Kabupaten Kuningan dijumpai saung di

tengah-tengah pesawahan. Saung

merupakan tempat berteduh (istirahat)

setelah bekerja di sawah. Gambar 2 adalah

sebuah saung dan jika diperhatikan atap

dari saung tersebut membentuk bangun

ruang prisma. Saung memiliki relasi

dengan konsep luas permukaan prisma.

c. Luas permukaan Tabung

Makanan tradisional khas Jawa Barat

yang masih dapat dijumpai di pasar-pasar

tradisional adalah getuk lindri. Getuk

lindri sangat nikmat sekali bila dimakan

sambil minum kopi hangat. Bentuk getuk

lindri dapat diidentifikasi sebagai tabung

(Gambar 3). Getuk lindri memiliki relasi

dengan konsep luas permukaan tabung.

Gambar 1. Lukah

Gambar 2. Saung

Gambar 3. Getuk Lindri

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 124

d. Aturan Sinus

Menara Kudus (Gambar 4) dibangun pada

tahun 956 H oleh Sheikh Jafar Shodiq

(Sunan Kudus) salah satu dari Wali Songo

yang menyebarkan agama Islam di Jawa.

Menara Kudus terletak 1,5 km dari pusat kota Kudus tepatnya di desa Kauman,

Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.

Menara Kudus memiliki relasi dengan

konsep aturan sinus

e. Aturan Cosinus

Masjid Agung Demak (Gambar 5)

dibangun oleh Wali Songo tahun 1478

pada masa pemerintahan Sultan Patah, dan

masih berdiri kuat sampai sekarang. Salah

satu keistimewaan arsitektur masjid ini

terletak pada bentuk tiga bangunan atap

limas, yang menunjukkan akidah islamiah

yang terdiri dari iman, islam, dan ihsan.

Atap Masjid Agug Demak memiliki relasi

dengan konsep aturan cosinus

f. Persegi panjang

Penduduk Kecamatan Talang Kabupaten

Tegal terkenal dengan kerajinan

pembuatan pagar (Gambar 6). Pagar

tersebut terbuat dari besi yang berbentuk

persegi panjang berukuran panjang pagar

2 m dan lebarnya 1 m. Bentuk pagar ini

memiliki relasi dengan konsep luas dan

keliling persegi panjang.

g. Persegi

Objek wisata pemandian air panas Guci

Kabupaten Tegal (Gambar 7) sangat

terkenal dikarenakan diyakini oleh banyak

orang dapat menyembuhkan segala

penyakit kulit. Pemandian air panas Guci

memiliki relasi dengan konsep luas dan

keliling persegi.

Gambar 3. Getuk Lindri

Gambar 4. Menara Kudus

Gambar 5. Masjid Agung

Demak

Gambar 6. Pagar

Teralis

Gambar 7. Pemandian

Guci

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 125

h. Jajar genjang

Di Kota Tegal terdapat pabrik galangan

kapal (Gambar 8). Kapal sedang

mengangkut kontruksi besi, yang berelasi

dengan konsep luas dan keliling

jajargenjang.

i. Belah Ketupat

Di Desa Debong Kecamatan Tegal

Selatan Kota Tegal sebagian besar

penduduknya menjadi pengrajin batik

Tegalan (Gambar 9). Salah satu motifnya

berelasi dengan konsep luas dan keliling

belah ketupat

j. Himpunan

Berbagai dolanan/permainan anak-anak yang berelasi dengan konsep himpunan

adalah ular tangga, betengan/curik-curik, petak umpet, dan gebok.

1) Permainan Ular Naga

Cara Bermain

a) Siswa diatur dari yang paling besar hingga yang paling kecil (untuk menjadi ular

yang panjang)

b) Dua orang siswa dengan badan yang besar dan ukuran tubuh yang hampir sama

akan dipilih menjadi penjaga pintu.

c) Permainan dimulai: sambil menyanyikan lagu curik-curik ular akan masuk kedalam

pintu penjaga berkeliling kekiri-kekanan memasuki pintu, sambil berlenggak-

lenggok nantinya setelah lirik lagu telah habis anak ular akan ditangkap oleh

penjaga, anak ular harus memilih pintu kanan atau pintu kiri.

d) Jika anak ular memilih pintu kiri maka anak ular (1 siswa) akan berbaris di belakang

penjaga pintu sebelah kiri, salah satu dari 2 orang yang menjadi penjaga pintu.

e) Jika anak ular memilih pintu kanan maka anak ular (1 siswa) akan berbaris di

belakang penjaga pintu sebelah kanan, salah satu dari 2 orang yang menjadi penjaga

pintu.

f) Demikian seterusnya hingga semua siswa habis di belakang dari penjaga pintu,

entah itu sebelah kanan atau sebelah kiri.

g) Setelah semua siap, tarik menarik antara siswa sebelah kanan dan sebelah kiri akan

dimulai, beda dengan tarik tambang dalam permainan tarik menarik ini kelompok

kanan dan kelompok kiri sebelum melewati garis akan melepas salah satu

anggotanya yang di ujung untuk menyelamatkan semua anggota kelompok dari

anggota kanan atau kiri.

Gambar 8. Galangan Kapal

Gambar 9. Batik Tegalan

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 126

2) Permainan Betengan/ Curik-curik

Cara Bermain

a) Siswa dibagi dalam dua kelompok yang sama banyak jumlah anggotanya, yaitu

sebagai regu A dan regu B. Masing-masing anggota kemudian menempati masing-

masing sarangnya di kedua ujung lapangan.

b) Perwakilan dari masing-masing regu untuk melakukan suit nntuk menentukan regu

mana ynag akan menjadi penyerang. Setelah itu, salah satu pemain dari regu A

mulai keluar dari sarang mendekati sarang lawan untuk memancing pemain lawan

untuk mengejarnya. Pihak lawan (regu B) menugaskan salah seorang pemainnya

untuk mencoba mengejar pemain yang keluar sarang tersebut.

c) Jika pemain dari regu A tersentuh oleh regu B maka pemain dari regu A menjadi

tawanan oleh regu B dan ditawan di tempat yang sudah disediakan.

d) Ganti regu B yang menang yang memulai untuk mendekati sarang lawan dan ganti

regu A yang bertugas mengejar pemain dari regu B.

e) Jika pemain dari regu B tersentuh oleh regu A maka pemain dari regu B menjadi

tawanan oleh regu A dan di tempatkan dtempat yang sudah disediakan.

f) Tawanan dapat dibebaskan oleh kawan seregunya dengan cara menyentuhnya

(dijemput) dari sarang lawan.

g) Demikian seterusnya sampai salah satu dari masing-masing regu ada yang berhasil

menyentuh sarang lawanya. Jika pemain lawan berhasil menyentuh batu yang

menjadi sarang musuh (itu menyimbolkan didudukinya markas musuh), maka

disitulah satu games berakhir, dan permainan dimenangkan oleh satu regu.

3) Permainan Petak Umpet

Cara Bermain

a) Siswa hanya akan dibagi dalam satu kelompok saja, banyak anggotanya yaitu 5-15

orang.

b) Sebelum permainan dimulai ditentukan dulu gawang jaga.

c) Untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga gawang dilakukan hom pim pa.

d) Siswa yang menjaga gawang menutup matanya dan menghitung 1-10. Dalam

hitungan 1-10 siswa yang lain lari menvcari tempat untuk bersembunyi.

e) Setelah hitungan selesai, siswa yang menjadi penjaga gawang akan membuka mata

dan mencari lawan yang bersembunyi.

f) Siswa yang menjadi penjaga gawang harus menemukan semua lawanya yang

bersembunyi, jika semua lawanya ketemu maka siswa yang pertama ketemu

menggantikan penjaga gawang.

g) Demikian seterusnya sampai semua setuju untuk mengakhiri permainan.

4) Permainan Gebok

Cara Bermain

a) Siswa dibagi dalam dua kelompok yang sama banyak jumlah anggotanya, yaitu

sebagai regu A dan regu B.

b) Perwakilan dari masing-masing regu untuk melakukan suit untuk menentukan regu

mana yang akan main terlebih dahulu.

c) Untuk regu yang kalah suit harus menjaga batu yang sudah tertata dan regu yang

menang menjadi pelempar bola ketumpukan batu yang sudah tertata.

d) Begitu batu yang tertata rubuh, regu penjaga batu akan menangkap bola lalu

menggebok atau melempar seluruh anggota lawannya dengan bola. Untuk regu yang

melempar batu bertugas menata kembali batu yang rubuh seperti semula.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 127

e) Demikian seterusnya sampai pemain dari regu yang menang misal regu B berhasil

menata batu yang rubuh, maka disitulah satu games berakhir, dan permainan

dimenangkan oleh satu regu.

2. Pembahasan

Lukah (Gambar 1) memiliki relasi dengan konsep luas permukaan kubus. Dari

Gambar 1 dapat dibuat jarring-jaring kubus sebagaimana Gambar 10.

Gambar 10. Jaring-jaring Kubus

Luas permukaan kubus dapat ditentukan dengan mencari luas jaring-jaring kubus.

Jaring-jaring kubus terdiri atas bidang persegi.

Jumlah bangun datar persegi adalah............

Luas setiap bangun datar ........... = ...... x .....

Dengan demikian luas permukaan kubus = .................

Saung (Gambar 2) memiliki relasi dengan konsep luas permukaan prisma. Dari Gambar

2 dapat dibuat jaring-jaring pisma sebagaimana Gambar 11.

Gambar 11. Jaring-jaring Prisma

Luas permukaan prisma dapat ditentukan dengan mencari luas jaring-jaring prisma.

Luas permukaan prisma = luas segitiga + luas segitiga + luas persegi panjang +

luas persegi panjang + luas persegi panjang

= 2 x .......................... + 3 x ......................

= 2 x .......................... + 3 x ......................

Bentuk getuk lindri (Gambar 3) dapat diidentifikasi sebagai tabung. Dari Gambar 4

dapat dibuat jaring-jaring tabung sebagaimana Gambar 12.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 128

Gambar 12. Jaring-jaring Tabung

Luas permukaan tabung dapat ditentukan dengan menghitung luas jaring-jaring tabung.

Luas permukaan tabung = luas alas + luas tutup tabung + luas selimut

= ............ + ........................ + ................

= .......................

Dari Gambar 5 dapat dikemukakan, bentuk atap bagian muka Menara Kudus adalah

bangun datar segitiga. Jika a, b dan c merupakan sisi-sisi pada segitiga ABC tersebut,

maka akan berlaku rumus yang disebut “Aturan Sinus”.

Dari Gambar 6 dapat dikemukakan, bentuk atap Masjid Agung Demak bebentuk

segitiga. Jika a, b dan c merupakan sisi-sisi pada segitiga ABC tersebut, dengan AB

sebagai sisi alas dan CD sebagai tingginya, maka akan berlaku rumus yang disebut

“Aturan Cosinus”.

Relasi dolanan anak-anak (permainan ular naga) dapat dijelaskan sebagai berikut.

Semua siswa menjadi semesta pembicaraan. Kelompok kiri dan kanan adalah anggota

himpunan yang saling lepas tetapi, hasil dari tarik-menarik tadi akan menjadi anggota

bersama sehingga gambar dari permainan tersebut dalam diagram Venn akan menjadi

seperti berikut.

a. Sebelum tarik menarik b. Setelah tarik menarik

c. Setelah permainan usai misalkan kelompok kanan memenangkan permainan, maka

diagram akan menjadi seperti berikut.

Dengan mengajarkan siswa materi pelajaran matematika dengan cara menggunakan

permainan tradisional banyak manfaat yang akan diperoleh. Dari siswa menjadi lebih

D C

BA

s

S

Kelompok

Kanan

Kelompok

Kiri

Kelompok

Kanan

Kelompok

Kiri

S

Kelompok Kanan

Kelompok

Kiri

S

Hasil

tarik

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 129

mengerti, siswa dapat bermain sambil belajar, dan siswa dapat belajar langsung tentang

pengaplikasian materi himpunan tersebut.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dirumuskan relasi bentuk-bentuk

etnomatematika dengan konsep-konsep matematika sebagaimana tersaji pada Tabel 1.

Perhitungan luas (daerah) segitiga dapat dilakukan dengan bantuan trigonometri.

Dengan demikian, secara konseptual materi ini dapat juga dijelaskan menggunakan

setting Menara Kudus maupun Masjid Demak. Berbagai bangunnan cagar budaya yang

merupakan etnmatematika, seperti Gereja Blenduk, Klenteng Sam Poo Kong, maupun

Candi Borobudur juga dapat dieksplorasi untuk menjelaskan penerapan konsep aturan

sinus, aturan cosinus, maupun luas (daerah) segitiga.

Etnomatematika yang berupa benda noncagar budaya dapat ditemukan pada atap

bangunan rumah Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, yang berelasi dengan

konsep luas permukaan prisma. Etnomatematika jenis ini juga ditemukan pada rumah-

rumah adat yang lain, seperti rumah adat suku Jawa (Joglo), Minangkabau, maupun

Toraja. Tabel 1. Relasi Bentuk-bentuk Etnomatematika dengan Konsep-konsep Matematika

NO BENTUK-BENTUK ETNOMATEMATIKA KONSEP-KONSEP MATEMATIKA

1 Bangunan Cagar Budaya

Menara Kudus Aturan Sinus

Masjid Agung Demak Aturan Cosinus

2 Bangunan NonCagar Budaya

Pemandian air panas Guci Luas dan keliling Persegi

Atap rumah Kampung Naga

Kabupaten Tasikmalaya

Luas permukaan prisma

3 Peralatan Tradisional

Lukah Luas permukaan kubus

Saung Luas permukaan prisma

Celepung Luas permukaan tabung

4 Motif Kain Batik dan Bordir

Batik tegalan Luas dan keliling Belah ketupat

5 Makanan Tradisional

Getuk lindri Luas permukaan tabung

6 Dolanan (Permainan) Tradisional

Ular Naga, betengan/curik-curik,

petak umpet, gebog

Himpunan

Berbagai jenis peralatan tradisional berbasis etnmatematika, seperti lukah,

celepung, maupun saung dapat digunakan untuk menjelaskan konsep luas prmukaan

kubus, tabung, maupun prisma. Perhitungan luas berkaitan dengan panjang sisi (rusuk),

alas, dan tinggi sehingga berbagai jenis peralatan tradisional ini juga dapat digunakan

untuk menjelaskan konsep volum kubus, tabung, maupun prisma.

Getuk lindri merupakan salah jenis makanan tradisional yang mudah dikenali.

Bentuk makanan ini dapat digunakan untuk menghantarkan ke pemahaman konsep luas

permukaan tabung. Dengan menghitung jari-jari dan tingginya, konsep volum tabung

dapat dipahami dengan lebih mudah.

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 130

Motif batik berkembang dengan baik di Kota Tegal. Salah satu motif batik tegalan

berupa belah ketupat, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan konsep luas belah

ketupat.

Berbagai jenis dolanan (permainan) tradisional harus dieksplorasi dengan baik agar

lebih dikenal siswa. Dolanan ular naga, betengan/curik-curik, petak umpet, dan gebog

dapat digunakan untuk menghanarkan siswa ke pemahaman konsep himpunan, seperti

gabungan dan irisan dua himpunan.

Berbagai bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-

konsep matematika, sehingga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika,

baik di jenjang pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK).

Belajar matematika berbasis etnomatematika merupakan upaya secara sadar untuk

mengintegrasikan pembelajaran matematika di sekolah dengan berbagai bentuk produk

budaya yang berada di lingkungan sekitar siswa, sehingga akan diperoleh pembelajaran

matematika yang lebih bermakna (meaningfull teaching) dan menyenangkan (joyfull

learning).

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat (Kuningan, Tasikmalaya,

Garut, Tegal, Demak, Kudus, dan Rembang) berupa (1) benda cagar budaya

(Menara Kudus dan Masjid Agung Demak), (2) benda noncagarbudaya, (3)

peralatan tradisional, (4) makanan tradisional, (5) motif kain batik, dan (6) dolanan

(permainan) tradisional.

2. Berbagai bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-

konsep matematika, seperti aturan sinus dan aturan cosinus, luas dan keliling persegi

panjang, persegi, jajar genjang, dan belah ketupat, luas permukaan dan volum

kubus, prisma, limas, dan tabung, serta himpunan sehingga dapat diintegrasikan

dalam pembelajaran matematika, baik di jenjang pendidikan dasar (SMP) dan

menengah (SMA/SMK).

Saran yang diajukan adalah sebagai berikut.

1. Pembelajaran Berbasis Masalah (problem based learning) sebagai salah satu

pembelajaran saintifik yang diunggulkan Kurikulum 2013 hendaknya terintegrasi

dengan bentuk-bentuk etnomatematika, sehingga dapat lebih memperkuat karakter

siswa, khususnya cinta budaya sendiri.

2. MGMP Matematika di masing-masing Kabupaten/Kota hendaknya

mengembangkan berbagai kasus pemecahan masalah berbasis etnomatematika yang

diselesaikan dengan langkah-langkah Polya sebagai suplemen buku siswa yang

disusun Kemdikbud.

F. Daftar Pustaka

Bishop, A.J. 1994. Cultural Conflicts in Mathematics Education: Developing a

Research Agenda. For the Learning Mathematics, 14(2).

Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: D. Reidel

Publishing, Co

Gagne, R.M. 1983. Some Issue in Psychology of Mathematics Instruction. Journal for

Research in Mathematics Education. 14(1).

Knijnik, G. 1994. Ethno-Mathematical Approach in Mathematical Education: a Matter

of Political Power. For the Learning Mathematics, 14(1).

Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya

ISBN 978-602-1034-06-4 131

Masingila, J.O. dan King, J. 1997. Using Etnomathematics as a Classroom Tool.

Multicultural and Gender Equity in the Mathematics Classroom. San Diego:

General Year Book Editor.

Pannen, P. 2000. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Seni Mengajar di Perguruan

Tinggi. Jakarta: PAU-PPI. Universitas Terbuka.

Primadi, T. 1998. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar. Bandung: ITB.

Riyanto. 2000. Pemanfaatan Permainan Lokal dalam Pembelajaran Matematika di

SMP (on-going reseacrh). Bengkulu: Universitas Terbuka.

Schoenfield, AH. 1987. What’s all the fuss about metacognition? In AH Schoenfield

(Ed). Cognitive Science and Mathematics Education, Hillslide, NJ: Lawrence

Erlbaum Associates.

Schoenfield, AH. 1992. Learning to think mathematically: Problem solving,

metacognition, and sense making in mathematics, In DA Grows (Ed). Handbook of

Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM. New York: Macmilan

Publishing Company.

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 132

DISCOVERY-LEARNING DENGAN ASESMEN KINERJA UNTUK

MENINGKATKAN PENALARAN MATEMATIS

Masrukan

Jurusan Matematika, FMIPA, Unnes Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis (KPM)

materi Trigonometri melalui discovery learning dengan asesmen kinerja. Populasi

penelitian eksperimen dengan pre-post test control group design adalah siswa kelas X

AHP SMK Negeri 1Bawen tahun pelajaran 2012/2013. Dengan cluster random

sampling, diperoleh kelas AHP-D sebagai kelas eksperimen dan AHP-B sebagai kelas

kontrol. Data diperoleh dengan tes. Hasil penelitian: (1) dengan KKM 70, sebanyak

94% siswa tuntas melebihi batas ketuntasan klasikal 80%, dan (2) rata-rata KPM kelas

eksperimen 83,15 lebih baik daripada kelas kontrol 67,94, (3) terdapat peningkatan

KPM dari 63 menjadi 83,15 dengan Normalitas Gain = 0,564 (sedang).

Kata kunci: discovery learning, asesmen kinerja, penalaran matematis

A. Pendahuluan

Berdasarkan observasi awal di SMK Negeri 1 Bawen, kegiatan pembelajaran

matematika di sekolah ini dilakukan dengan metode ekspositori. Pada pembelajaran

dengan metode ekspositori, aktivitas peserta didik cenderung rendah karena

pembelajaran masih berfokus pada guru. Prestasi belajar masih kurang memuaskan

yang tampak dari perolehan nilai hasil Ujian Nasional (UN) SMP pada tingkat

kabupaten di kabupaten Semarang dengan rata-rata nilai 5,91.

Materi Trigonometri yang dianggap sulit dan membosankan apalagi kalau sudah

menyangkut aplikasi penggunaan rumus-rumusnya yang membutuhkan kemampuan

berpikir logis, ini mengakibatkan hasil belajar peserta didik pada materi Trigonometri

rendah. Padahal trigonometri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matematika,

untuk itu peserta didik perlu memahami, sehingga tidak terjadi salah konsep dalam

penerapannya. Menurut Orhun (2008) kesalahan peserta didik sangat sistematis. Hal ini

terlihat pada tingkat pembentukan hubungan antara sudut dan segitiga. Peserta didik

kurang memperhatikan pada saat proses pembelajaran. Oleh sebab itu, penyampaian

materi ini membutuhkan suatu perangkat pembelajaran yang dapat meningkatkan

kemampuan penalaran matematis peserta didik sehingga juga meningkatkan

kemampuan berpikir.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan eksperimen pembelajaran

matematika dengan model discovery learning(DL) dengan asesmen kinerja pada materi

trigonometri kelas X di SMK Negeri 1 Bawen. Model pembelajaran tersebut dapat

membantu meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik dalam

pembelajaran matematika di kelas terutama pada materi trigonometri yang berfokus

pada aturan sinus, aturan cosinus, dan luas segitiga.

B. Tinjauan Pustaka

Menurut Sund, penemuan adalah proses mental di mana peserta didik mampu

mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut ialah mengamati,

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 133

mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,

mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001).

Penilaian terhadap performance dapat diartikan penilaian formatif jangka panjang

(Joni, 1981). Penilaian ini dilakukan dengan mengkonsepsikan kriteria semakin jauh

menjangkau ke depan dan meletakkan dasar bagi pembinaan serta penyempurnaan

sistem secara terus menerus. Penilaian unjuk kerja perlu mempertimbangkan hal-hal 1)

langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan

kinerja dari suatu kompetensi, 2) kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai

dalam kinerja tersebut, 3) kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk

menyelesaikan tugas, 4) upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak,

sehingga semua dapat diamati, 5) kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan

urutan yang akan diamati.

Menurut Shurter dan Pierce (dalam Aditya, 2009) penalaran adalah sebagai proses

pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Sumaryono

(1999: 75-76) menyatakan penalaran adalah sebuah proses mental dimana peserta didik

(melalui akal budi) bergerak dari pengetahuan yang peserta didik telah ketahui menuju

ke pengetahuan yang baru (hal yang belum peserta didik ketahui) atau peserta didik

bergerak dari hal yang telah peserta didik miliki menuju ke pengetahuan yang baru yang

berhubungan dengan pengetahuan yang telah peserta didik miliki tersebut.

Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran

dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Peningkatan kemampuan

bernalar para peserta didik selama proses pembelajaran matematika di kelas menjadi

sangat penting dan menentukan keberhasilan mereka dan bangsa ini di masa depan.

Tujuan pertama pembelajaran matematika adalah melatih cara berfikir dan bernalar

dalam menarik kesimpulan (Shadiq, 2009:2).

Kemampuan bernalar peserta didik dalam pelajaran matematika perlu

dikembangkan agar peserta didik mampu berpikir logis. Penalaran matematika ini dapat

dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut, yaitu: (1)

mengajukan dugaan (Conjecture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran

suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (4) memeriksa

kesahihan suatu argumen, (5) menemukan pola pada suatu gejala matematis, dan (6)

memberikan alternatif bagi suatu argumen.

Menurut Baroday (dalam Jacob, 2000) ada tiga tipe utama penalaran sebagai

berikut, yaitu: penalaran intuitif, penalaran induktif, dan penalaran deduktif. Pertama

penalaran intuitif yaitu penalaran yang memerlukan suatu pengetahuan siap atau main

terka. Seringkali, peserta didik tidak dapat melakukan semua informasi yang diperlukan

untuk suatu pengambilan keputusan dan dengan demikian peserta didik mendasarkan

keputusan peserta didik pada apakah tepat ataukah pada suatu perasaan yang mendalam.

Penalaran intuitif mendasarkan suatu konklusi pada apakah perasaan itu benar (suatu

asumsi).

Kedua, penalaran induktif, menurut Poespoprodjo dan Gilarso (2006) penalaran

induktif adalah penarikan kesimpulan yang umum atas dasar pengetahuan tentang hal-

hal yang khusus. Menurut Jacob (2000) penalaran induktif meliputi pemahaman atau

regularitas. Penalaran induktif dimulai dengan menguji contoh-contoh khusus dan

berperan untuk menggambarkan konklusi umum. Dengan kata lain penalaran induktif

memerlukan pengamatan contoh-contoh khusus dan tajam (yang menyebabkan) suatu

pola utama atau aturan.

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 134

Ketiga penalaran deduktif, menurut Jacob (2000: 3) penalaran deduktif merupakan

suatu konklusi yang perlu diikuti dari apa yang peserta didik ketahui, peserta didik

dapat mengeceknya secara langsung. Penalaran deduktif dimulai dengan premis

(proporsi umum) yang mutlak untuk suatu konklusi tentang suatu contoh khusus.

Penalaran deduktif meliputi: menggambarkan suatu konklusi yang perlu di ikuti dari apa

yang diberikan yang dimulai dari aturan umum kepada suatu konklusi tentang suatu

kasus khusus.

Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

reasoning. Brodie(2010) menyatakan bahwa penalaran matematis adalah penalaran

mengenai objek matematika, dalam hal ini adalah cabang-cabang matematika yang

dipelajari seperti statistika, aljabar, trigonometri dan sebagainya.

NCTM sebagai lembaga yang representasi dalam merancang standar pembelajaran

matematika di Amerika menetapkan bahwa penalaran dan pembuktian (reasoning and

proof) merupakan standar proses yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika

disamping standar proses yang lainnya. Kemampuan penalaran matematis dianggap

sebagai kemampuan yang penting dalam pembelajaran dan dianggap sebagai salah satu

tujuan dalam pembelajaran yag mesti dicapai oleh setiap peserta didik.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai kemampuan penalaran matematis di atas

maka definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini sebagai kemampuan

peserta didik untuk merumuskan kesimpulan atau pernyataan baru berdasarkan pada

beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya,

yang ditandai dengan tujuh indikator sebagai berikut, yaitu: (1) kemampuan menyajikan

pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram; (2) kemampuan

mengajukan dugaan; (3) kemampuan melakukan manipulasi matematika; (4)

kemampuan menyusun bukti, memberikan alasan terhadap suatu solusi; (5) kemampuan

menarik kesimpulan dari pernyataan; (6) kemampuan memeriksa kesahihan suatu

argumen; (7) kemampuan menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk

membuat generalisasi.

Kemampuan bernalar peserta didik dalam pelajaran matematika perlu

dikembangkan agar peserta didik mampu berpikir logis. Penalaran matematika ini

dapat dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut, yaitu: (1)

mengajukan dugaan (conjecture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran

suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (4) memeriksa

kesahihan suatu argumen, (5) menemukan pola pada suatu gejala matematis, dan (6)

memberikan alternatif bagi suatu argumen.

Brodie (2010) menyatakan bahwa penalaran matematis adalah penalaran mengenai

dan objek matematika. Objek Matematika dalam hal ini adalah cabang-cabang

matematika yang dipelajari seperti statistika, aljabar, trigonometri dan sebagainya.

Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran

dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Hasil belajar siswa dianalisis

untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Nilai tes akhir diuji ketuntasan belajarnya

dengan diuji rata-rata hasil belajarnya dengan uji t satu pihak yaitu pihak kanan dan uji

proporsi dengan uji z satu pihak yaitu pihak kanan. Nilai tes akhir kemudian dianalisis

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 135

perbedaaan rata-ratanya dengan uji perbedaan rata-rata yaitu uji t satu pihak dengan

pihak kanan. Pada uji perbedaan rata-rata ini digunakan rumus:

dengan = rata-rata kelompok pertama, = rata-rata kelompok kedua, =

banyaknya kelompok pertama, = banyaknya kelompok kedua, dan s= simpangan

baku kedua kelompok (Sudjana, 2005).

Nilai t kemudian dibandingkan dengan t tabel yaitu dengan α =

5%. Jika maka hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dibanding hasil

belajar kelas kontrol. Jika maka berlaku sebaliknya (Sudjana, 2005).

D. Hasil dan Pembahasan

Pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat persamaan dan

pebedaan. Persamaannya pada guru matematika pada kedua kelas tersebut dan

perbedaannya terletak pada model pembelajaran yang digunakan pada saat

pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif, jika: (1) kemampuan penalaran

matematis siswa mencapai batas tuntas, (2) kemampuan penalaran matematis siswa

yang menerima pelajaran menggunakan model DL dengan asesmen kinerja, lebih tinggi

dari model ekspository, dan (3) kemampuan penalatan matematis siswa setelah

menerima pembelajrana dengan model DL dan asesmen kinerja lebih tinggi dari yang

sebelum menggunkan model DL dengan asesmen kinerja.

Ketuntasan belajar secara individu pada peserta didik didasarkan pada Kriteria

Ketuntasan Minimum (KKM). Kemampuan penalaran matematis secara individu

minimal mencapai KKM yang sudah ditentukan yaitu 65. Dalam penelitian ini apabila

proporsi peserta didik yang mendapatkan nilai minimal sama dengan 65 sebanyak 80%

maka dapat dikatakan bahwa belajar di kelas ini dinyatakan tuntas. Ketuntasan belajar

disini adalah ketuntasan terhadap kemampuan penalaran matematis peserta didik. Uji

ketuntasan belajar diambil dari nilai TKPM pada akhir pembelajaran dengan hasil

perhitungan seperti Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Proporsi Satu Pihak

Kelas N Persentase ketuntasan (π)

ztabel

Eksperimen 34 100 % 2,92 1,64

Kontrol 34 68 % -1,80 1,64

Pada kelas Eksperimen didapatkan zhitung= 2,92 dan ztabel yaitu 1,64 dengan tingkat

kesalahan 5% maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa proporsi peserta

didik pada kelas eksperimen yang mencapai KKM lebih dari 80%. Pada kelas kontrol

didapatkan zhitung= -1,80 dan ztabel yaitu 1,64 dengan tingkat kesalahan 5% maka H0

diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proporsi peserta didik kelas kontrol yang

mencapai KKM kurang dari atau sama dengan 80%.

Hasil rata-rata TKPM peserta didik pada kelas eksperimen melampaui KKM

sebesar 65. Seluruh siswa (80% lebih) peserta didik di kelas tersebut telah melampaui

.11

21

21

nns

xxt

1x2x

1n

2n

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 136

nilai KKM. Dari 2 hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketuntasan belajar di

kelas eksperimen tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa secara nyata keberhasilan proses

pembelajaran menggunakan model DL dengan performance assessment yang sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Susiana (2011). Keberhasilan ini disebabkan karena

pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan

menuntut peserta didik untuk mengkonstruk pemikirannya sendiri dalam hal

menemukan suatu konsep, menggunakan konsep tersebut untuk mennemukan konsep

lain dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep yang telah

ditemukan. Dalam pembelajaran model DL dengan performance assessment dapat

meningkatkan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran.

Untuk menguji perbedaan nilai rata-rata peserta didik dalam pembelajaran dengan

model DL dengan asesmen kinerja dengan nilai peserta didik dalam model

pembelajaran ekspository. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata

No. Kelas N s2 t hitung t tabel

1. Eksperimen 34 83,15 55,40 7,62 2,00

2. Kontrol 34 68 80,00

Berdasarkan Tabel 2 diperoleh thitung = 7,62dengan dk = 34+34-2 = 74 dan taraf

signifikan 5%, dari daftar distribusi student diperoleh ttabel = 2,00. Karena

maka Ho ditolak sehingga rata-rata TKPM kelas eksperimen lebih baik dibandingkan

dengan kelas kelas kontrol.

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran matematis, masing-masing

peserta didik berdasarkan pretes dan postes menggunakan persamaan sebagai berikut.

(Hake, 1998)

Kriteria perolehan nilai Gain Ternormalisasi (g) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria Perolehan Normalitas Gain (g)

(g) Keterangan

(g) < 0,30

0,30 ≤ (g) < 0,70

(g) ≤ 0,70

Rendah

sedang

tinggi

Sumber: Hake (1998)

Nilai rata-rata postes adalah 83 sedangkan nilai rata-rata pretes adalah 61 sehingga

diperoleh g =0,564 yang artinya kemampuan penalaran matematis peserta didik

meningkat dalam kategori sedang.

Pembelajaran pada kelas eksperimen dengan model DL dan asesmen kinerja

menghasilkan proses pengerjaan yang terarah sehingga sampai pada kesimpulan

jawaban yang runtut dan terstruktur. Proses ini berhasil menanamkan sikap inkuiri pada

peserta didik seperti terlihat pada Gambar 1 sampai 3.

x

tabelhitung tt

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 137

Gambar 1 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (1)

Gambar 2 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (2)

Gambar 3 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (3)

Penemuan terbimbing seperti hasil di atas memberikan kerangka bagi pembelajaran

peserta didik melalui penyediaan hasil pembelajaran yang membuat peserta didik

mempunyai rasa tanggung jawab untuk megeksplorasi konten yang diperlukan untuk

pemahaman melalui belajar mandiri. Ditambah pemahaman melalui penemuan

terbimbing diperkuat melalui penerapan dalam orientasi masalah, tugas, dan pekerjaan

yang berhubungan dengan pengalamannya.

Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk

ISBN 978-602-1034-06-4 138

Oberg (2005) menyatakan bahwa peserta didik memerlukan penilaian otentik,

untuk itu guru harus mampu melakukan penilaian yang memadai dan tepat.

Pelaksanaan model pembelajaran terbimbing dengan asesmen kinerjaterbukti efektif.

Hal ini terlihat dari hasil tes kemampuan penalaran matematis. Proses pengerjaan yang

terarah sehingga sampai pada kesimpulan jawaban yang runtut dan terstruktur. Proses

ini berhasil menanamkan sikap inkuiri pada peserta didik.

Selain menumbuhkan sikap inkuiri, pembelajaran model DL dengan asesmen

kinerja juga meningkatkan kemampuan problem solving peserta didik. Keenam langkah

yang dilakukan oleh peserta didik lama membekas karena pada proses pembelajaran

peserta didik memfokuskan pembelajaran pada unjuk kerja peserta didik. DL seperti

hasil di atas memberikan kerangka bagi pembelajaran peserta didik melalui penyediaan

hasil pembelajaran yang membuat peserta didik mempunyai rasa tanggung jawab untuk

megeksplorasi konten yang diperlukan untuk pemahaman melalui belajar mandiri.

Pemahaman melalui DL diperkuat melalui penerapan dalam orientasi masalah, tugas,

dan pekerjaan yang berhubungan dengan pengalamannya.

E. Simpulan dan Saran

Hasil analisis terhadap keefektifan pembelajaran tersebut telah mencapai indikator

efektif, yaitu (1) pembelajaran menggunakan model DL dengan asesmen kinerja tuntas,

(2) rata-rata KPM kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol, dan (3) terdapat

peningkatan rata-rata KPM pretes-postes dalam kategori sedang.

Disarankan kepada pendidik yang akan menerapkan pembelajaran model DL

dengan asesmen kinerja untuk menyiapak panduan atau acuan penemuan dapat berupa

lembar kerja siswa agar pembelajaran lebih terarah.

F. Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Brodie, K. 2010. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom.

New York: Springer.

Joni, T. R. 1986. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Proyek

Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Ditjen Pendidikan

Tinggi Depdikbud.

Oberg, C. 2005. Guiding Classroom Instruction Through Asesmen kinerja. Journal of

Case Studies in Accreditation and Assessment. University of La Verne.

Orhun, N. 2008. Student’s Mistakes and Misconceptions on Teaching of Trigonometry.

Journal Anadolu University Science Faculty Mathemathics Department 26470

Eskiºehir-TURKEYe-mail: [email protected].

Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito..

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: AlfaBeta.

Susiana, E. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Ideal Problem

Solving Berbantuan Puzzquare Materi Luas Daerah Segiempat Kelas VII.Tesis.

Semarang: Program Pascasarjana Unnes.

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 139

IMPLEMENTASI BRAIN-BASED LEARNING BERBANTUAN

WEB TERHADAP PENINGKATAN SELF EFFICACY

MAHASISWA

Nuriana Rachmani Dewi (Nino Adhi) Pendidikan Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Pembelajaran di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk mempunyai kemampuan

kognitif maupun kemampuan afektif. Salah satu kemampuan afektif yang penting dimiliki

oleh mahasiswa adalah self efficacy agar dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu

menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan pada umumnya atau tugas

matematik pada khususnya. Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang

mengoptimalkan kerja otak manusia, di mana pembelajaran tersebut dapat memfasilitasi

semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan berbeda yang terangkum dalam gaya

pembelajaran yang sama serta berpusat pada peserta didik dalam hal ini mahasiswa.

Sedangkan website yang di dalamnya terdapat forum komunikasi mahasiswa, dapat

memudahkan mahasiswa berdiskusi di luar jam perkuliahan. Penggunaan forum komunikasi

mahasiswa ini dimaksudkan agar mahasiswa yang masih merasa malu jika mengungkapkan

pendapat secara langsung di dalam kelas bisa menggunakan forum ini dengan lebih optimal.

Penelitian dilakukan di Jurusan Matematika UNNES pada mata kuliah Kalkulus 2. Sampel

diambil 2 kelas, satu sebagai kelas kontrol dan satu sebagai kelas eksperimen. Mahasiswa

diberikan skala self efficacy sebelum terjadinya perkuliahan dan setelah rangkaian

perkuliahan selesai. Skor self efficacy mahasiswa sebelum perkuliahan antara kelas kontrol

dan kelas eksperimen menunjukkan hasil yang tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa

keadaan self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum terjadinya

perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah terjadi perkuliahan dengan Brain-Based

Learning Berbantuan Web untuk kelas eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada

kelas kontrol, kedua kelas menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self efficacy

mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen menunjukkan

peningkatan yang lebih besar di banding dengan kelas kontrol.

A. Pendahuluan

Pembelajaran di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk mempunyai

kemampuan kognitif maupun kemampuan afektif. Salah satu kemampuan afektif yang

penting dimiliki oleh mahasiswa adalah self efficacy yang merupakan salah satu

komponen dan faktor kritis dari kemandirian belajar (self-regulated learning).

Mahasiswa perlu dibekali kemampuan self efficacy dengan baik agar dapat memiliki

keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah

kehidupan pada umumnya atau tugas matematik pada khususnya.

Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak

manusia. Seperti yang telah diketahui bahwa pembelajaran yang baik adalah

menganggap peserta didik dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan

tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Selain itu di dalam UU No. 12 Tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan

perguruan tinggi adalah pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa yang

memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang. Brain-Based Learning dapat

memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda tersebut

terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta berpusat pada peserta didik dalam

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 140

hal ini mahasiswa. Setiap mahasiswa dapat mengungkapkan pendapat baik di dalam

diskusi kelompok maupun diskusi dalam kelas, untuk kemudian ditanggapi oleh

mahasiswa lain. Hal ini diharapkan dapat membuat self efficacy mahasiswa sedikit demi

sedikit meningkat secara signifikan.

Pembelajaran berbantuan Website adalah suatu pembelajaran yang menggunakan

bantuan website sebagai medianya. Salah satu ciri dari pembelajaran berbantuan

Website adalah belajar insidental. Penggunaan Website yang di dalamnya terdapat

forum komunikasi mahasiswa, dapat memudahkan mahasiswa berdiskusi di luar jam

perkuliahan. Penggunaan forum komunikasi mahasiswa ini dimaksudkan agar

mahasiswa yang masih merasa malu jika mengungkapkan pendapat secara langsung di

dalam kelas bisa menggunakan forum ini dengan lebih optimal. Diskusi ini dapat

menanyakan tentang materi perkuliahan yang telah dilaksanakan, tugas ataupun materi

perkuliahan yang akan dilaksanakan. Diskusi dalam forum komunikasi mahasiswa ini

dipantau oleh dosen pengampu mata kuliah, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi

adanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara tepat oleh mahasiswa.

Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan membahas tentang Implementasi Brain-

Based Learning Berbantuan Web Terhadap Peningkatan Self Efficacy Mahasiswa.

B. Tinjauan Pustaka

1. Self Efficacy

Self efficacy terdiri dari kata self yang diartikan sebagai unsur struktur kepribadian,

dan efficacy yang berarti penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik

atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuatu sesuai dengan

yang dipersyaratkan (Alwisol, 2010). Namun dari berbagai macam pendapat para ahli,

self efficacy pada prakteknya sinonim dengan “keyakinan diri”. Self efficacy merupakan

salah satu komponen dari self regulated (kemandirian) (Schunk & Ertmer, 2000).

Dalam setting akademik, instrumen dari self efficacy adalah untuk mengukur

kepercayaan diri individu, antara lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang

spesifik (Hackett dan Betz, 1989), kinerja dalam tugas menulis atau membaca (Shell,

Colvin, dan Bruning, 1995), atau keterlibatan dalam strategi kemandirian belajar

tertentu (self regulated learning) (Bandura, 1989).

Adapun aspek-aspek self efficacy dan indikatornya dapat dilihat dalam tabel

berikut. Tabel 1. Aspek dan Indikator Self Efficacy

Aspek Self Efficacy Indikator

Pengalaman Otentik

1) Merasa mampu menyelesaikan tugas matematika yang diberikan

kepadanya.

2) Selalu berusaha untuk meyelesaikan tugas matematika apapun.

Pengalaman orang lain

1) Berusaha mencari dan mau menerima bantuan jika menghadapi

kesulitan dalam menyelesaikan masalah atau tugas metematika.

2) Merasa menguasai materi yang diberikan guru atau dosen.

3) Mampu dan mau berdiskusi tentang materi atau masalah

matematika.

Aspek Dukungan

Langsung atau Sosial

1) Senang mendapatkan pujian jika berhasil menyelesaikan sesuatu.

2) Berani bertanya dan mengungkapkan pendapat.

3) Merasa dapat lebih berkembang dengan dorongan dari orang lain.

Aspek Psikologis Dan

Afektif

1) Tidak Mudah Putus Asa.

2) Percaya Diri

3) Berpartisipasi Aktif

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 141

2. Brain- Based Learning

Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang berdasarkan struktur dan

cara kerja otak, sehingga kerja otak dapat optimal. Otak dikatakan bekerja secara

optimal jika semua potensi yang dimilikinya dapat teroptimalkan dengan baik.

Pembelajaran berbasis kemampuan kerja otak mempertimbangkan apa yang sifatnya

alami bagi otak manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan karena

sebagian besar otak kita terlibat dalam hampir semua tindakan pembelajaran (Jensen,

2008).

Brain-Based Learning dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat

kecerdasan yang berbeda tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta

berpusat pada mahasiswa (Cigman & Davis, 2008). Hal ini bersesuaian dengan

pendapat Wilson & Spears (2009) yang menyatakan Brain-Based Learning adalah suatu

pendekatan yang menyeluruh terhadap pembelajaran yang berdasar pada kerja otak

yang menyarankan otak kita belajar secara alami. Sehingga diharapkan dengan

menggunakan Brain-Based Learning, self efficacy mahasiswa dapat juga berkembang

secara optimal.

Menurut Caine & Caine (1990) Brain-Based Learning bekerja berdasarkan pada 12

prinsip, yaitu (1) Otak merupakan prosesor paralel; (2) Belajar melibatkan seluruh

fisiologi tubuh; (3) Pencarian makna merupakan bawaan; (4) Pencarian makna terjadi

melalui pembentukan pola; (5) Emosi merupakan hal yang penting dalam pembentukan

pola; (6) Proses di dalam otak berlangsung secara simultan; (7) Pembelajaran

melibatkan perhatian yang dipusatkan pada tanggapan sekitar; (8) Belajar melibatkan

proses yang disadari maupun tidak disadari; (9) Individu memiliki paling sedikit dua

tipe memori yaitu sistem memori spasial dan sepasang sistem memori untuk belajar

hafalan; (10) Otak memahami dan mengingat paling baik ketika fakta dan skill

dikaitkan dengan kehidupan nyata; (11) Pembelajaran dapat ditingkatkan dengan

tantangan dan pembelajaran harus dihindarkan dari ancaman; serta (12) Setiap otak

bersifat unik.

Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.

a. Pra Pemaparan

Dosen memajang peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan

apersepsi di web sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya beberapa hari sebelum

terlaksananya perkuliahan. Hal ini dapat membuat mahasiswa lebih siap dalam

perkuliahan sehingga self efficacy mahasiswa meningkat.

b. Persiapan

Tahap persiapan ini adalah tahap awal terlaksananya perkuliahan, dosen dapat

mengaitkan materi dengan kejadian sehari-hari.

c. Inisiasi dan akuisisi

Dosen memberikan masalah yang dikerjakan mahasiswa secara berkelompok.

Masalah yang diberikan oleh dosen disajikan melalui sebuah tayangan yang dapat

diakses melalui website.

d. Elaborasi

Pada tahap elaborasi ini otak diberikan kesempatan untuk menyortir, menyelidiki,

menganalisis, menguji dan memperdalam pembelajaran. Mahasiswa akan

mendiskusikan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

dengan anggota kelompoknya. Kemudian mengungkapkan hasil diskusi tersebut ke

seluruh anggota kelas untuk diberikan masukan atau sanggahan. Mahasiswa dapat

melatih dirinya dalam mengungkapkan pendapat pada skala kecil terlebih dahulu yaitu

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 142

kepada mahasiswa lain dalam satu kelompok kemudian dilanjutkan ke skala yang lebih

besar yaitu kepada semua mahasiswa di dalam kelas. Dalam tahap ini upaya

peningkatan self efficacy dilakukan dalam proses penyelesaian masalah serta

menyampaikan pendapat, gagasan dan atau sanggahan dalam diskusi baik di dalam

kelompok atau saat pemaparan di depan kelas.

e. Inkubasi dan Formasi memori

Pada tahap ini mahasiswa diistirahatkan otaknya sebentar sambil mendengarkan

musik dan menyelesaikan soal-soal yang relatif mudah. Soal-soal disajikan secara

interaktif di website dengan diiringi musik selama siswa menyelesaikannya. Dalam

tahap ini upaya peningkatan self efficacy dilakukan dalam proses penyelesaian soal-soal

tersebut.

f. Verifikasi atau Pengecekan Keyakinan

Pada tahap ini dosen mengecek kembali pemahaman mahasiswa terhadap materi

dengan memberikan soal yang agak rumit untuk dikerjakan secara individual dengan

diiringi musik. Dalam tahap ini upaya peningkatan self efficacy juga dilakukan.

g. Perayaan dan Integrasi

Pada tahap ini mahasiswa bersama-sama dengan dosen menyimpulkan materi yang

baru saja dipelajari. Kemudian diberikan suatu perayaan kecil atas keberhasilan

pembelajaran pada perkuliahan hari itu. Dalam tahap ini upaya peningkatan self efficacy

juga dilakukan ketika mahasiswa mengungkapkan pendapatnya dalam proses

pengambilan kesimpulan.

(Jensen, 2008:484)

3. Pembelajaran Berbantuan Web

Kurikulum terbaru yaitu Kurikulum 2013 menyatakan Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT) sebagai media

semua mata pelajaran (Kemendikbud, 2012:24). Dengan adanya penggunaan ICT

sebagai media pembelajaran, mahasiswa maupun dosen dapat mempunyai kesempatan

yang sama untuk mengakses semua informasi yang relevan sesuai dengan kebutuhan

dan tuntutan serta dapat mengurangi keterbatasan-keterbatasan dalam pembelajaran

tanpa menggunakan ICT. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain kemungkinan

terjadinya salah penafsiran atau pembelajaran monoton. Penggunaan ICT juga dapat

membuat mahasiswa lebih mudah mengungkapkan pendapat secara online tanpa

dihinggapi perasaan malu.

Dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Web ini, dosen dapat mengunggah

peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi dalam suatu situs

atau Web, sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya sebelum perkuliahan berlangsung.

Hal ini dapat membuat mahasiswa lebih siap dalam menghadapi perkuliahan, sehingga

self efficacy mahasiswa dapat meningkat. Selain itu penggunaan web untuk mengakses

masalah dan soal-soal latihan dalam pembelajaran dapat membuat masalah dan soal

tersebut lebih “hidup”, artinya jika masalah disampaikan melalui multimedia (gabungan

bunyi, video, animasi, teks, grafik) akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa

dibandingkan hanya sekedar disampaikan melalui tulisan dan gambar saja. Hal ini

sesuai dengan pendapat Noor Azlan Ahmad Zanzali, Noraziah bt Kassim dalam

Sharizah (2010) yang menemukan bahwa penggunaan ICT membantu siswa mengaitkan

matematika dengan kehidupan sehari-hari. Ini berarti mahasiswa dapat mengaplikasikan

materi yang dipelajari dan menjadikan sesuatu pembelajaran menjadi lebih bermakna

serta dapat mengulangnya sesering yang mereka mau baik saat perkuliahan berlangsung

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 143

maupun setelahnya. Akibatnya mahasiswa lebih memahami materi yang dipelajari

sehingga self efficacy mahasiswa meningkat.

C. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Program Studi Matematika pada salah satu perguruan tinggi

negeri di Jawa Tengah pada mata kuliah Kalkulus 2. Sampel diambil 2 kelas, satu

sebagai kelas kontrol dan satu sebagai kelas eksperimen.

2. Desain Penelitian

Desain dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

O_____________X____________ O

O___________________________O Gambar 1. Desain Penelitian (diadopsi dari Creswell, 2010:243)

Keterangan:

O : Pemberian skala self efficacy.

X : Pemberian Brain-Based Learning Berbantuan Web

Mahasiswa pada kelas eksperimen memperoleh Brain-Based Learning Berbantuan

Web sedangkan mahasiswa kelas kontrol memperoleh pembelajaran seperti pada

perkuliahan biasanya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan Brain-

Based Learning Berbantuan Web, sedangkan sebagai variabel terikatnya adalah self

efficacy mahasiswa.

3. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self efficacy yang

memuat indikator-indikator self efficacy serta ciri khusus Brain-Based Learning

Berbantuan Web yang telah valid dan reliabel.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala self efficacy dan

pengamatan selama perkuliahan berlangsung.

5. Teknik Analisis Data

a. Setelah pemberian skala self efficacy sebelum perkuliahan. Skor self efficacy yang

diberoleh diuji beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20 untuk mengetahui

kesamaan keadaan awal kedua kelas.

b. Skor self efficacy yang diperoleh setelah perkuliahan dari kedua kelas, dianalisis uji

beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20 untuk mengetahui pencapaian self

efficacy mahasiswa.

c. Untuk menguji perbedaan peningkatan self efficacy dari kedua kelas, terlebih

dahulu skor self efficacy sebelum dan sesudah perkuliahan digunakan untuk

mencari nilai masing-masing. Adapun rumus mencari adalah

sebagai berikut.

Kriteria interpretasinya adalah

g > 0,7 : tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 : sedang

g ≤ 0,3 : rendah (Hake, 1999).

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan peningkatannya nilai

dianalisis uji beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20.

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 144

Hasil rata-rata skor skala self efficacy sebelum perkuliahan pada kelompok kontrol

sebesar 115,359 sedangkan untuk kelas eksperimen sebesar 117,0833. Berdasarkan

perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig

untuk F adalah 0,013<0,050 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang

mempunyai varians berbeda dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,386>0,050

jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor self

efficacy mahasiswa pada kelas kontrol dan eksperimen sebelum perkuliahan

berlangsung.

Rata-rata skor self efficacy pada kelas kontrol sebelum perkuliahan dan sesudah

perkuliahan berlangsung berturut-turut adalah 115,359 dan 122,462. Berdasarkan

perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig

untuk F adalah 0,864>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang

mempunyai varians sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,000<0,05 jadi

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy

mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan pada kelas kontrol.

Rata-rata skor self efficacy pada kelas eksperimen sebelum perkuliahan dan sesudah

perkuliahan berlangsung berturut-turut adalah 117,083 dan 126,528. Berdasarkan

perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig

untuk F adalah 0,718>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang

mempunyai varians sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,000<0,05 jadi

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy

mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan pada kelas kontrol.

Pencapaian self efficacy mahasiswa dihitung dengan membandingkan skor self

efficacy sesudah perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan

menggunakan bantuan SPSS versi 20, didapatkan hasil nilai sig untuk F adalah

0,052>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang mempunyai varians

sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,037<0,050 jadi dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy mahasiswa sesudah

perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Perbedaan peningkatan self efficacy mahasiswa antara kelas kontrol dan kelas

eksperimen dihitung dengan membandingkan nilai pada kelas tersebut.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig

untuk F adalah 0,002<0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang

mempunyai varians berbeda dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,013<0,05 jadi

dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara peningkatan skor self

efficacy pada kelas kontrol dan eksperimen.

D. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa skor self efficacy mahasiswa sebelum

perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen menunjukkan hasil yang tidak

berbeda, hal ini menunjukkan bahwa keadaan self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan

kelas eksperimen sebelum terjadinya perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah

terjadi perkuliahan dengan Brain-Based Learning Berbantuan Web untuk kelas

eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada kelas kontrol, kedua kelas

menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self efficacy mahasiswa sebelum dan

sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen menunjukkan peningkatan yang lebih

besar di banding dengan kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai

kelas kontrol dan kelas eksperimen yang berturut-turut sebesar 0,079 dan

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 145

0,107. Selain itu berdasarkan uji statistik keduanya juga menunjukkan perbedaan yang

signifikan.

Hal ini disebabkan oleh langkah-langkah dalam Brain-Based Learning Berbantuan

Web yang membuat mahasiswa terbiasa untuk mengungkapkan pendapat dan

membangun sendiri pengetahuannya. Pada perkuliahan pertemuan awal, banyak

keluhan dari mahasiswa yang merasa malas untuk menemukan sendiri materi

perkuliahan. Mahasiswa merasa lebih baik materi langsung diberikan oleh dosen

sehingga mahasiswa tinggal mempelajarinya. Namun pada pertemuan-pertemuan

selanjutnya mahasiswa mulai merasakan manfaat dari menemukan sendiri suatu materi.

Mahasiswa merasa lebih yakin terhadap dirinya sendiri karena pengalaman yang telah

didapatkan saat menemukan materi, serta merasa materi lebih mudah diingat dan

dipahami jika ditemukan sendiri oleh mahasiswa.

E. Simpulan dan Saran

Skor self efficacy mahasiswa sebelum perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas

eksperimen menunjukkan hasil yang tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa keadaan

self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum terjadinya

perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah terjadi perkuliahan dengan Brain-Based

Learning Berbantuan Web untuk kelas eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada

kelas kontrol, kedua kelas menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self

efficacy mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen

menunjukkan peningkatan yang lebih besar di banding dengan kelas kontrol. Hal ini

ditunjukkan dengan rata-rata nilai kelas kontrol dan kelas eksperimen yang

berturut-turut sebesar 0,079 dan 0,107. Selain itu berdasarkan uji statistik keduanya juga

menunjukkan perbedaan yang signifikan pula.

F. Daftar Pustaka

Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Bandura. 1989. Human agency in social cognitive theory. American Psychologist, 44.

[Online]. Tersedia: http://www.des.emory.edu/mfp/Bandura 1989.pdf

Bandura. 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and

Company.

Caine, R.N & Caine, G. 1990. Understanding a Brain-Based Approach to Learning ang

Teaching. Educational Leadership Journal, Vol. 1, 5 halaman.

Cigman, R & Davis, A. 2008. Brain-Based Learning.New Philosophies of Learning.

Journal of Philosophy Education, Vol. 42, 3 halaman.

Creswell, J.W. 2010. Research Design. Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Edisi Ketiga. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Hackett, G. & Betz, N. E. 1989. An Exploration of the Mathematics Self-

Efficacy/Mathematics Performance Correspondence. Journal for Research in

Mathematics Education, 20.

Hake, R.R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. [Online],

tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain. Diakses 2

Maret 2012].

Jensen, E. 2008. Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak.

Cara Baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Pengembangan Kurikulum 2013.

Jakarta: Kemendikbud.

Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan

ISBN 978-602-1034-06-4 146

Schunk, D.H & Ertmer, P.A. 2000. Self-Regulation and Academic Learning: Self

Efficacy Enhancing Interventions. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich & M. Zeidner

(eds). Handbook of Self-Regulation (hal. 631-649). San Diego: Academic Press.

Sharizah. 2010. Pengintegrasian ICT Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran

Matematik Dalam Kalangan Guru Matematik Sekolah Rendah. Universitas

Kebangsaan Malaysia.

Shell, D. F., Colvin, C., dan Bruning, R. H. 1995. Self-Efficacy, Attributions, and

Outcome Expectancy Mechanisms in Reading and Writing Achievement: Grade-

level and Achievement-level Differences. Journal of Educational Psychology, 87.

[Online]. Tersedia: http://www.des.emory. edu/mfp/effchapter.html.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan

Tinggi.

Wilson, L & Spears, A. 2009. Brain-Based Learning Highlight. In Omnia Paratus

INDUS. Training and Research Institute.

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 147

PERAN MENALAR DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

UNTUK MENANAMKAN NILAI KARAKTER RELIGIUS

Bambang Eko Susilo Jurusan Matematika, FMIPA, Unnes

Gd. D7 Lt. 1 FMIPA Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak

Pembelajaran matematika selama ini lebih nampak perannya dalam proses membentuk

peserta didik sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kemajuan

teknologi, diperlukan karakter kuat yang dapat mengendalikan dampak negatif

penggunanya. Salah satu nilai karakter yang dapat membentengi peserta didik adalah

religius yang mengikatnya sebagai makhluk Tuhan dimanapun ia berada. Menalar sebagai

salah satu langkah dalam pendekatan saintifik sangat erat kaitannya dengan matematika.

Metode menalar deduktif maupun induktif berperan penting dalam pengembangan ilmu

matematika dan pembelajarannya. Analogi sebagai penalaran induktif dapat

membandingkan materi matematika dengan nilai-nilai ketuhanan dan ciptaan Tuhan.

Dengan menalar dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat ditanamkan nilai

karakter religius peserta didik dalam proses pendidikannya.

Kata kunci: karakter religius, menalar, pembelajaran matematika

A. Pendahuluan

1. Peran Matematika dalam Teknologi

Pembelajaran matematika selama ini lebih nampak perannya dalam proses

membentuk peserta didik sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini

dapat dibuktikan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dari tahun ke

tahun, yang membuktikan bahwa matematika memiliki peran mendasar dalam proses

membangun teknologi canggih seperti alat-alat elektronik sederhana seperti kalkulator,

sampai yang berteknologi tinggi seperti internet dan satelit. Teknologi yang

berkembang pesat bagaikan pisau bermata dua yang membawa dampak positif namun

juga membawa dampak negatif.

2. Masalah Sosial, Kejahatan, dan Teknologi

Sebagai makhluk sosial, kehidupan bermasyarakat manusia diwarnai dengan

berbagai masalah sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia sering

menemui benturan-benturan, sehingga beberapa kalangan terpaksa melakukan aktivitas

yang melanggar norma dalam bermasyarakat maupun norma agama. Hal inilah yang

menyebabkan masalah-masalah sosial yang negatif dalam arti kejahatan muncul.

Masalah sosial memang sebuah keniscayaan yang pasti terjadi dalam bermasyarakat,

karena manusia satu dan yang lain saling membutuhkan dan mempunyai kepentingan.

Masalah yang tidak diharapkan adalah masalah sosial yang negatif yang diartikan

sebagai kejahatan, kejahatan ini terjadi akibat memaksakan kepentingan baik individu

maupun kelompok terhadap individu maupun kelompok lain. Kejahatan yang muncul

dari zaman ke zaman dikenal dengan istilah 5M yaitu minum (mabuk, minuman keras),

madat (candu, narkotika), maling (mencuri, merampok, korupsi), main (judi), dan

madon (perzinaan, pelacuran, perselingkuhan, pornografi, free sex). Kejahatan tersebut

mengalami variasi sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga keberadaan

teknologi menjadi alat sebagaimana pisau, dapat digunakan untuk kebaikan seperti

memasak tapi juga dapat digunakan untuk kejahatan seperti membunuh atau merampok.

Semakin canggih teknologi, maka kejahatan yang terjadi semakin luas jangkauannya

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 148

dan dampaknya, contohnya internet yang digunakan untuk mengakses dan memasarkan

pornografi dampaknya bukan hanya yang berniat untuk mengkonsumsi namun generasi

muda pelajar juga terkena dampaknya.

3. Hati, Akal, Nafsu, dan Asal Mula Kejahatan

Kejahatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari karakter manusia yang

sangat dipengaruhi oleh nafsu dan kondisi hati manusia itu sendiri. Nafsu mempunyai

peranan untuk memotivasi atau mendorong yang berbuah keinginan-keinginan untuk

dipenuhi manusia, jika perasaan hati manusia masih bersih maka keinginan dari nafsu

akan dapat dikendalikan dan berbuah kebaikan-kebaikan untuk dirinya dan orang lain,

sedangkan hati manusia yang sudah kotor atau rusak, maka yang terlahir adalah

kejahatan-kejahatan. Peran akal manusia dalam berpikir akan seperti pisau, jika ia

pandai namun digunakan dengan kejahatan maka kejahatannya akan berdampak luas,

seperti para koruptor yang merupakan orang-orang pandai, sebaliknya jika ia pandai tapi

digunakan untuk kebaikan maka akan mendatangkan manfaat yang besar. Dari sini

dapat diketahui bahwa asal mula kejahatan adalah ketidakmampuan hati dalam

mengendalikan keinginan-keinginan nafsunya.

4. Nilai Karakter Religius dan Pembelajaran Matematika

Hati manusia akan terjaga dan bersih jika manusia mengisinya dengan keimanan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, keimanan tersebut dapat dipupuk dengan ilmu agama

(nilai religius). Pemerintah dalam hal ini telah memberikan kebijakan yang tepat dengan

berlakunya Kurikulum 2013 yang berintegrasi dengan pendidikan karakter. Nilai

karakter religius menjadi kompetensi inti yang dalam tiap pembelajaran diharapkan

guru dapat menanamkannya kepada siswa. Tidak terkecuali dalam pembelajaran

matematika, diharapkan guru matematika juga dapat menanamkan nilai karakter

religius. Dalam matematika dikenal penalaran deduktif dan induktif, analogi sebagai

bagian dari penalaran induktif telah terbukti mempunyai peran dalam menyelesaikan

permasalahan manusia dari zaman ke zaman sebagaimana yang dinyatakan English

(1999:22) bahwa: “Throughout history, they have played a powerful role in advancing

our knowledge of the world.”

5. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dibangun adalah bagaimana

peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter

religius.

B. Pembahasan

1. Pengertian Pendidikan Karakter Terintegrasi di dalam Pembelajaran

Yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses

pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan

pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta

didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun

di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran,

selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan,

juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,

menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

(Kemendiknas, 2010: 2)

2. Peran guru

Peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara

eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 149

guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi

terhadap peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak

tersedia.

Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain

guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik. Sebagaimana

pengajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien mengembangkan

karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan guru berperan

sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah peserta

didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani

(di belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik).

(Kemendiknas, 2010: 5)

3. Menalar sebagai salah satu langkah dalam pendekatan saintifik (Kurikulum

2013)

Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran

yaitu melalui Scientific Approach (Pendekatan Saintifik) yang meliputi langkah-

langkah: mengamati (Observing), menanya (Questioning), mencoba (Experimenting),

menalar (Associating), dan menyaji/membuat jejaring (Networking). Pendekatan ilmiah

merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan

prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan

pendekatan ilmiah sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan

pada struktur logis.

Mengingat karakter keilmuan dari setiap materi pelajaran tidak sama maka khusus

untuk matematika langkah dalam pendekatan ilmiah sedikit berbeda dari langkah di

atas. Sehingga khusus untuk matematika langkah-langkahnya sebagai berikut:

mengamati (mengamati fakta matematika), menanya (berfikir divergen),

mengumpulkan informasi (mencoba, mengaitkan teorema), menalar/mengasosiasi

(memperluas konsep, membuktikan), dan mengkomunikasikan (menyimpulkan,

mengaitkan dengan konsep lain).

Menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang

dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik

merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik

harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan

sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan

berupa pengetahuan.

4. Penalaran Induktif

Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu

penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan prosedur yang

berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada

suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.

Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014: 37) menyatakan bahwa penalaran

induktif terdiri dari tiga jenis yaitu: generalisasi, analogi dan hubungan kausal (sebab-

akibat). Penalaran induktif juga membahas persepsi tentang keteraturan. Keteraturan

yang dimaksud misalnya dalam menarik kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat

khusus kemudian menemukan pola/aturan yang melandasinya atau dalam mendapatkan

kesamaan/keserupaan dari contoh-contoh yang berbeda. Dalam matematika, menarik

kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat khusus dan mendapatkan kesamaan/

keserupaan dari contoh-contoh yang berbeda dapat menjadi dasar dalam rangka

pembentukan konsep. Proses penalaran dengan cara mengaitkan konsep yang serupa

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 150

dinamakan analogi matematis, sedangkan menarik kesimpulan dari kasus yang bersifat

khusus dinamakan generalisasi matematis.

Penalaran induktif dibagi menjadi 3 bagian yaitu generalisasi, analogi dan sebab-

akibat. Ketiga bagian tersebut dijelaskan Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014:

38) sebagai berikut.

a. Generalisasi merupakan proses penalaran yang berdasarkan pada pemeriksaan hal-

hal secukupnya kemudian memperoleh kesimpulan untuk semuanya atau sebagian

besar hal-hal tadi. Untuk matematika tingkat lanjutan, untuk memeriksa kebenaran

hasil yang diperoleh dalam penyimpulan, maka dilakukan pemeriksaan dengan

induksi matematika. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah penyimpulan

yang diperoleh berlaku untuk semua.

b. Analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa

kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal

lain.

c. Sebab-akibat, pengertian sebab-akibat hampir sama dengan penalaran generalisasi

induktif hanya saja pada pengambilan kesimpulannya berdasarkan pada karakteristik

objek yang memungkinkan terjadinya keserupaan atau ketidakserupaan objek.

5. Pengertian Analogi

Pusat Bahasa Depdiknas (2008: 60), menyatakan analogi diartikan berkenaan

dengan persamaan atau persesuaian dari dua hal yang berlainan; serupa; sama.

Sedangkan Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014: 38) menyatakan analogi

merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa kemudian

menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal lain. Polya

(1973: 37) menyatakan analogy is a sort of similarity, similar objects agree with each

other in some respect, analogous objects agree in certain relations of their respective

parts. Analogi dalam bahasa Indonesia ialah “kias” (dalam bahasa Arab, qasa =

mengukur, membandingkan). Soekadijo (dalam Kariadinata, 2012: 13) menyatakan

berbicara tentang analogi menurut adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan,

yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan. Sastrosudirjo

((dalam Rahman dan Maarif, 2014: 35) mengungkapkan bahwa analogi merupakan

kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi

juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk

memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Dalam analogi yang dicari adalah

keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan

itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar

penalaran.

Selain pengertian di atas, analogi juga telah terbukti berperan penting dalam

kehidupan manusia sebagaimana pernyataan ahli berikut. Isoda dan Katagiri (2012:57)

yang menyatakan bahwa: “Analogical thinking is an extremely important method of

thinking for establishing perspectives and discovering solutions.” Artinya, kemampuan

berpikir analogi adalah sangat penting dalam membentuk perspektif dan menemukan

pemecahan masalah. English (1999:22) juga menyatakan bahwa selama peradaban

manusia, analogi telah memainkan peran yang sangat penting di dalam pengembangan

ilmu pengetahuan: “Throughout history, they have played a powerful role in advancing

our knowledge of the world.”

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 151

6. Contoh soal analogi dalam matematika

a. Contoh 1

Hubungan antara bilangan Hubungan antara p

-2 dengan barisan dengan barisan …

8, 6, 4, 2 , … A. p+1, p+2, p+3, p+4, …

B. p, p2, p

3, p

4, …

C. p, 2p, 3p, 4p, …

D. p-1, p-2, p-3, p-4, …

Dari dua kasus hubungan di atas, dapat diketahui bahwa keduanya memiliki

persamaan dalam hubungan sifat beda dalam barisan aritmatika (jawaban C).

b. Contoh 2

Hubungan antara bilangan Hubungan antara p

1/3 dengan barisan dengan barisan….

243, 81,27, 9, … A. p+1, p+3, p+9, p+27, …

B. p, p2, p

3, p

4, …

C. 3p, 9p, 27p, 81p, …

D. p-3, p-9, p-27, p-81, …

Dari dua kasus hubungan di atas, dapat diketahui bahwa keduanya memiliki

persamaan dalam hubungan sifat rasio dalam barisan geometri (jawaban B).

(Kariadinata, 2012: 14-15)

Contoh soal kemampuan analogi dalam pembelajaran matematika di atas adalah

pemanfaatan analogi sebagai penalaran induktif untuk membandingkan 2 (dua) kasus

dalam konsep matematika. Pemanfaatan analogi seperti di atas dapat melatih

kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan melihat sesuatu yang sama dalam 2

(dua) kasus.

7. Analogi antara Konsep dalam Matematika dan Nilai-nilai Religius

Peran menalar dalam menanamkan nilai karakter religius di dalam pembelajaran

matematika adalah dengan memanfaatkan analogi sebagai alat pembanding antara

konsep dalam matematika dan nilai karakter religius. Pemanfaatan ini dapat

digambarkan dalam beberapa contoh berikut.

a. Analogi konsep bilangan tak hingga dengan nikmat Tuhan yang tak hingga

banyak

1) Konsep Bilangan Tak Hingga

Tak hingga atau ananta, sering ditulis ∞, ialah bilangan yang lebih besar daripada

tiap-tiap yang kemungkinan dapat dibayangkan. Setiap menemukan bilangan real yang

terbesar maka bilangan tak hingga dipastikan melebihi bilangan real terbesar tersebut.

Sehingga bagi siswa pemahaman terhadap bilangan tak hingga akan terus berkembang

sesuai bilangan real terbesar yang mereka ketahui.

Dalam pembelajaran matematika, bilangan tak hingga mulai dikenalkan ketika

siswa belajar materi limit, pada umumnya siswa belum memahami sepenuhnya tentang

konsep bilangan tak hingga ini, siswa diperkirakan akan memahaminya ketika belajar

matematika di perguruan tinggi.

2) Nikmat Tuhan yang Tak Hingga banyaknya

Ketika seorang manusia diberi sesuatu yang berharga baginya pastilah ada

ungkapan rasa terima kasih atas pemberian itu kepada sang pemberi. Ungkapan rasa

terima kasih inilah yang disebut dengan syukur, ungkapan rasa terima kasih atau syukur

ini sangat dianjurkan terlebih lagi syukur atas pemberian nikmat Tuhan kepada manusia

yang banyaknya tak hingga. Apabila rasa terima kasih itu diungkapkan kepada sang

Analog

dengan

Analog

dengan

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 152

pemberi, pada kesempatan lain sang pemberi ini tida akan segan-segan untuk memberi

lagi, dan demikanlah dampak positif dari rasa syukur. Rasa syukur atas pemberian

nikmat ini adalah salah satu nilai karakter religius yang akan ditanamkan guru kepada

siswanya.

Analogi bilangan tak hingga dan nikmat pemberian Tuhan yang tak hingga banyak

dapat digunakan guru untuk memotivasi siswa agar senantiasa bersyukur. Guru dapat

memberikan pertanyaan, “nikmat Tuhan itu tak hingga banyaknya, tahukah kamu

berapakah bilangan tak hingga itu?”. Dengan pertanyaan demikian siswa berusaha

menjawab nilai yang dimaksudkan. Selanjutnya guru dapat menjelaskan dengan metode

tanya jawab siswa dibimbing menemukan bilangan sebagai pendekatannya.

Sehingga diperoleh:

Kemudian siswa dibimbing kembali untuk menemukan bilangan , sehingga

diperoleh:

yang dimaksudkan bilangan yang memiliki angka 0 sebanyak di

belakang angka 1, kemudian siswa kembali ditanya berapa lama penulisan bilangan

tersebut, dan yang terakhir dijelaskan kembali bahwa bilangan masih kurang

dari bilangan tak hingga.

b. Analogi konsep nilai mutlak dengan sikap orang beriman terhadap kejadian

yang menimpanya

1) Definisi nilai mutlak

Jika x R, jarak x ke 0 atau J(x,0) ditulis dengan yang dibaca “nilai mutlak x”

didefinisikan sebagai:

= . (Chotim, 2008: 8)

Dari pembelajaran tentang konsep nilai mutlak diperoleh simpulan bahwa setiap

bilangan x baik bilangan negatif, nol, maupun bilangan positif jika berada dalam tanda

harga mutlak hasilnya akan bernilai non negatif, sebagaimana definisi di atas.

2) Sikap orang beriman terhadap kejadian yang menimpanya

Nilai-nilai religius akan nampak jika seorang manusia itu beriman kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Seseorang itu dikatakan beriman jika meyakini bahwa segala sesuatu

yang menimpanya merupakan kehendak dari Tuhannya, karena ia dalam kuasa Tuhan

sehingga tidak dapat mengelak dari pemberian nikmat maupun musibah yang

dikehendaki Tuhan. Nilai yang akan tampak dari manusia yang beriman itu adalah jika

ia mendapatkan nikmat maka ia akan bersyukur pada Tuhan, dan jika ia mendapatkan

musibah maka ia akan bersabar karena Tuhan. Kedua sikap ini jika dilakukan karena

Tuhan maka sebagai balasan akan diberikan pahala yang besar.

Analogi konsep nilai mutlak dengan sikap orang beriman terhadap kejadian yang

menimpanya dapat digunakan seorang guru dalam menyampaikan nilai karakter religius

yaitu sabar dan syukur. Sabar dan syukur merupakan sikap positif, sikap yang baik.

Dalam pembelajaran matematika tentang konsep nilai mutlak, jika x bilangan real

negatif maka = – x > 0, nilai – x positif, bilangan x sebagai bilangan real negatif

dapat dianalogikan jika seseorang itu mendapatkan musibah atau kejadian yang tidak

diharapkan maka sikap yang diharapkan muncul adalah dapat menerima musibah

x

x

0apabila

0apabila

xx

xx

x

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 153

tersebut dengan bersabar karena musibah datang atas kehendak dan kuasa Tuhan,

dengan sikap positif tersebut Tuhan akan memberikan balasan berupa pahala.

Sebaliknya dalam pembelajaran matematika tentang konsep nilai mutlak, jika x

bilangan real positif maka = x > 0, nilai x positif, bilangan x sebagai bilangan real

positif dapat dianalogikan jika seseorang itu mendapatkan nikmat atau kejadian yang

diharapkan maka sikap yang diharapkan muncul adalah dalam menerima nikmat

tersebut seseorang itu mampu bersyukur atas nikmat yang datang padanya, nikmat itu

dating atas kehendak dan kuasa Tuhan, dengan sikap positif tersebut Tuhan akan

memberikan balasan berupa pahala.

c. Analogi konsep ruang vektor, dimensi di ℝ1, ℝ2

, ℝ3, …, ℝn

dengan alam

semesta

1) Konsep Ruang Vektor dan Dimensi di ℝ1, ℝ2, ℝ3, …, ℝn

Dalam ilmu matematika bidang Aljabar, dikenal mata kuliah Aljabar Linear yang di

dalamnya terdapat materi vektor yang dapat dikaji secara geometrik, analitik, ataupun

numerik. Salah satu bagian materi vektor membahas tentang ruang vektor, secara

ringkas diuraikan sebagai berikut. (Susilo, 2011: 30-32)

a) Ruang-ruang Vektor

(1) Ruang-n Euclidis

Gagasan penggunaan pasangan bilangan untuk meletakkan titik-titik pada bidang

dan penggunaan tripel bilangan untuk meletakkan titik-titik di ruang-3 pada mulanya

diungkapkan secara jelas dalan pertengahan abad ke-17. Menjelang akhir abab ke-19

para ahli matematika dan para ahli fisika mulai menyadari bahwa tidak perlu berhenti

dengan tripel. Pada waktu itu dikenal bahwa kuadrupel bilangan (a1, a2, a3, a4) dapat

ditinjau sebagai titik pada ruang “berdimensi 4”, kuintupel (a1, a2, a3, a4, a5) sebagai titik

di ruang “berdimensi 5”, dan seterusnya. Walaupun visualisasi geometrik tidak melebihi

ruang-3, namun konsepnya dapat diperluas hingga melebihi ruang-3 dengan bekerja

dengan sifat analitik atau sifat numeris titik dan vektor bukan bekerja dengan sifat

geometrik.

Definisi; jika n adalah sebuah bilangan bulat positif, maka tupel-n-terorde

(ordered-n-tuple) adalah sebuah urutan n bilangan riil (a1, a2, a3, …, an). Himpunan

semua tupelo-n-terorde dinamakan ruang-n dan dinyatakan dengan Rn. (Anton, 1992:

131)

(2) Ruang Vektor Umum

Definisi; misalkan V sebarang himpunan benda yang dua operasinya didefinisikan,

yakni penambahan dan perkalian dengan skalar (bilangan riil). Penambahan tersebut

dipahami untuk mengasosiasikan sebuah aturan dengan setiap pasang benda u dan v

dalam V, yang mengandung elemen u + v, yang dinamakan jumlah u dan v; dengan

perkalian skalar diartikan aturan untuk mengasosiasikannya baik untuk setiap skalar k

maupun setiap benda u pada V yang mengandung elemen ku, yang dinamakan perkalian

skalar (scalar multiple) u oleh k. Jika aksioma-aksioma berikut dipenuhi oleh semua

benda u, v, w pada V dan oleh semua skalar k dan l, maka dinamakan V sebuah ruang

vektor (vector space) dan benda-benda pada V dinamakan vektor:

(a) jika u dan v adalah benda-benda pada V, maka u + v berada di V;

(b) u + v = v + u;

(c) u + (v + w) = (u + v) + w;

(d) ada sebuah benda 0 di V sehingga 0 + u = u + 0 = u untuk semua u di V;

(e) untuk setiap u di V, ada sebuah benda – u di V yang dinamakan negatif u sehingga u

+ (-u) = (-u) + u = 0;

x

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 154

(f) jika k adalah sebarang skalar dan u adalah sebarang benda di V, maka ku berada di

V;

(g) k(u + v) = k u + k v;

(h) (k + l) u = k u + l u;

(i) k(l u) = (kl) u;

(j) 1 u = u.

(Anton, 1992: 137)

Melalui pemahaman ruang vektor yang sederhananya dalam ruang-n Euclidis, dapat

memahami bahwa terdapat n ruang vektor, sebagaimana terdapat ruang berdimensi n

yaitu Rn dengan n bilangan bulat positif. Secara geometrik keberadaan ruang vektor

dapat divisualisasikan sampai dengan ruang-3 dan secara analitik banyaknya ruang

vektor ini bisa mencapai tak hingga.

b) Benda-benda dalam Ruang Vektor

Benda-benda yang terdapat dalam suatu ruang vektor dengan dimensi tertentu dapat

diuraikan secara ringkas seperti berikut ini.

(1) Dalam ruang berdimensi 1 atau R, sebuah benda dapat diwakili oleh sebuah titik

dengan posisi a, sehingga akan terdapat tak hingga titik sebagaimana adanya a1, a2,

a3, a4, … .

(2) Dalam ruang berdimensi 2 atau R2, sebuah benda misalnya titik dapat diketahui

posisinya dalam notasi pasangan bilangan (a1, a2). Selain itu dipahami bahwa R2 ini

merupakan tempat yang berbentuk bidang datar, yang benda-benda dalam bidang

datar tersebut dapat berupa titik dan garis.

(3) Dalam ruang berdimensi 3 atau R3, sebuah benda yang berupa titik dapat diketahui

posisinya dengan memberikan notasi tripel bilangan (a1, a2, a3). Dan dipahami

bahwa R3 merupakan tempat yang berbentuk ruangan, yang benda-benda di

dalamnya dapat berupa titik, garis, bidang ataupun benda/bangun ruang seperti bola,

kerucut, balok, dan lain-lain.

(4) Melalui analogi yang sama dapat diperkirakan bahwa benda berupa titik, garis,

bidang, benda/bangun ruang pasti termuat dalam ruang berdimensi 4, 5, 6, …,

sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang berdimensi lebih tinggi memuat atau

melingkupi ruang berdimensi yang lebih rendah, seperti sebuah bidang yang

memuat tak hingga titik dan tak hingga garis, dan garis memuat tak hingga titik.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebuah titik dalam ruang vektor

berdimensi 3 belum tentu mengetahui bahwa dirinya menempati posisi tertentu dalam

sebuah garis, beberapa garis atau tak hingga garis, demikian pula sebuah garis yang

dapat menempati sebuah bidang, beberapa bidang, atau tak hingga bidang, dan

seterusnya. Dari beberapa fakta ini diketahui bahwa benda-benda dalam matematika ini

memiliki keterkaitan dalam sebuah ruang dimensi dengan ruang dimensi yang lain

padahal benda-benda tersebut bersifat abstrak atau bisa dikatakan benda ghaib. Manusia

tidak dapat memegang titik, garis, balok, ataupun yang lain, saat ini yang dapat dilihat

dan dipegang adalah alat peraganya, tetapi manusia yakin terhadap benda matematika

ini bahkan memanfaatkannya dalam pengembangan ilmu teknologi.

2) Analogi ruang vektor dan alam semesta

Demikian pula halnya dengan keberadaan alam semesta ini, dalam jangkauan panca

indera manusia, manusia dapat mengetahui keberadaan benda-benda di alam ini seperti

batu, pohon, binatang, air, manusia, dan lainnya yang semuanya berada dalam sebuah

ruangan alam nyata/alam syahadah (dapat diindera). Analoginya sebagaimana dalam

ruang berdimensi 3 bahwa didalamnya terdapat titik, garis, bidang, dan benda-benda

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 155

ruang, sedangkan masih terdapat banyak ruang dimensi lain yang melingkupi ruang

berdimensi 3 ini. Jadi alam nyata yang ditempati inipun yang begitu luas sampai dengan

ruang luar angkasa dengan benda-benda langit masih terdapat banyak alam lain yang

melingkupi alam nyata ini. Dalam hal ini utusan Tuhan yang dikenal sebagai Nabi atau

Rasul telah memberitahukan bahwa masih ada alam ghaib (tidak dapat diindera) selain

alam nyata ini. Sebagaimana diberitahukan para Nabi dan Rasul sehingga menjadi

keyakinan dalam keimanan bahwa ada alam jin, alam ruh/arwah, alam malaikat, dan

lain-lain, selama ini kebanyakan manusia belum dapat menjangkaunya kecuali orang-

orang yang telah mengalami proses perhubungan dengan alam ini seperti para Nabi dan

Rasul, karena sebagian manusia juga yang telah dapat berhubungan dengan bangsa jin

dan juga para ruh/arwah.

Taharem (2006: 85) menyampaikan bahwa rasio/perbandingan atau nisbah jumlah

antara manusia dan jin adalah 1: 10, dan rasio antara jin dan malaikat adalah 1: 10, jadi

alam ghaib di luar penginderaan manusia lebih luas lagi, sebagaimana ruang vektor

yang berdimensi lebih tinggi melingkupi ruang berdimensi lebih rendah. Peristiwa-

peristiwa di luar alam nyata terjadi namun tidak banyak manusia yang dapat

menginderanya. Informasi yang diketahuipun baru yang diberitakan oleh para Nabi dan

Rasul ini ataupun orang yang sudah pernah memasuki alam ghaib ini, dan masih banyak

rahasia-rahasia di alam semesta ini yang belum diketahui.

Jadi jika manusia tidak dibimbing atau didampingi oleh Nabi atau Rasul utusan

Tuhan ini, manusia tidak dapat mengetahui jati dirinya yang merupakan ciptaan

Tuhannya. Sampai pada keyakinan dalam iman dan takwanya bahwa Tuhan, Syurga,

dan Neraka ada adalah dari informasi yang disampaikan oleh Nabi atau Rasul itu.

Manusia juga baru mengetahui bahwa faktor penentu yang menjadikan manusia menjadi

baik atau jahat adalah hatinya, dari hatilah manusia akan menentukan ia akan berlaku

jujur atau berbohong, sedangkan akal akan menimbang-nimbang apa untug dan apa

ruginya, sehingga pendidikan sudah semestinya mendidik hati-hati peserta didik agar

dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab, bertanggungjawab kepada diri sendiri,

kepada sesame manusia, dan kepada Tuhan. Dari hati manusia inilah jika berhasil

mendidiknya akan menjamin keselamatan manusia itu di dunia ini dan di akhirat. Oleh

karena itu hendaknya dalam setiap proses pembelajaran, potensi hati peserta didik

hendaknya selalu disentuh, tidak terkecuali dalam pembelajaran matematika

sebagaimana materi vektor ini untuk menambah keyakinan terhadap kesempurnaan

Tuhan dalam penciptaan alam semesta ini. Sama halnya benda matematika, sebuah titik

tidak dengan sendirinya tahu bahwa titik tersebut menempati suatu garis ataupun bidang

tertentu, maka perlu didefinisikan posisinya, manusialah yang mendefinisikan titik itu.

Namun sebuah titik dalam ruang vektor tidak akan bertindak jahat, karena sebuah titik

tidak memiliki unsur yang dimiliki manusia seperti hati, akal, nafsu, dan jasad. Sebuah

titik dalam ruang vektor dapat diibaratkan sebagai sebuah batu dalam alam nyata yang

ditempati manusia.

8. Peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai

karakter religius

Peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter

religius adalah sebagai alat yang dapat digunakan untuk membandingkan (analogi)

antara konsep dalam matematika dengan nilai karakter religius. Dengan analogi siswa

dapat membandingkan persamaan yang dimiliki dari dua hal yang berbeda, dalam hal

ini adalah konsep matematika dan nilai karakter religius. Faktor pengetahuan guru dan

ketersediaan waktu sangat mempengaruhi keefektifan dalam menanamkan nilai karakter

Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 156

ini, sehingga sangat bergantung dari karakter religius sebagai teladan, pengetahuan, dan

keterampilan mengatur waktu dari guru yang bersangkutan.

Jika menalar analogi ini hanya membandingkan dua konsep matematika maka yang

diperoleh adalah kemampuan analogi matematis, masih dalam kompetensi dasar

matematika, manfaatnya adalah untuk melatih berpikir analitis dan kritis siswa. Menalar

analogi masih dapat dikembangkan untuk membandingkan dua hal yang berbeda namun

memiliki kesamaan dalam hal tertentu pada bidang atau pelajaran yang lain.

C. Simpulan dan Saran

Dari rumusan masalah dan pembahasan dapat diperoleh simpulan bahwa peran

menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter religius

adalah sebagai alat yang aplikatif yang dapat digunakan untuk membandingkan

(analogi) antara konsep dalam matematika dengan nilai karakter religius. Keefektifan

menalar analogi dalam menanamkan nilai karakter religius sangat tergantung pada

karakter, pengetahuan, dan keterampilan mengatur waktu dari guru.

Saran yang diberikan dari kajian ini adalah diharapkan guru dapat menggunakan

menalar analogi dalam menanamkan nilai karakter religius dan guru diharapkan

meningkatkan karakter religiusnya agar siswa memperoleh teladan secara langsung.

D. Daftar Pustaka

Anton, H. 1992. Aljabar Linear Elementer Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas

English, L.D. 199). Reasoning by analogy: A fundamental process in children’s

mathematical learning. In L.V. Stiff & F.R. Curcio, Developing Mathematical

Reasoning, K12-Reston (pp. 22-36). National Council of Teachers of Mathematics.

Isoda, M. dan Katagiri, S. 2012. Mathematical Thinking. Singapura: World Scientific.

Kariadinata, R. 2012. Menumbuhkan Daya Nalar (Power of Reason) Siswa Melalui

Pembelajaran Analogi Matematika. Infinity Jurnal Ilmiah Program Studi

Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 1(1), 10-18

Kemendiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah

Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas

Polya, G. 1973. How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.

Rahman, R. dan Maarif, S. 2014. Pengaruh Penggunaan Metode Discovery Terhadap

Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Pamarican Kabupaten

Ciamis Jawa Barat. InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP

Siliwangi Bandung, 3(1), 33-58

Susilo. B.E. 2011. Kajian Materi Vektor Aljabar Linear: Sebuah Alternatif dalam

Memahami Alam Semesta dengan Matematika. Journal of Mathematics and

Mathematics Education, 1(1), 27-33

Taharem, M.A.D., 2006. Siraman Minda. Selangor: Minda Ikhwan

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 157

MENUMBUHKAN KREATIVITAS MELALUI PENDEKATAN

SAINTIFIK SEBAGAI UPAYA PENERAPAN KURIKULUM 2013

Jayanti Putri Purwaningrum

Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia

Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229, Bandung

Surel: [email protected]

Abstrak

A. Pendahuluan

Pada hakikatnya, manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dengan

pendidikan. Pendidikan merupakan pilar dalam usaha menciptakan manusia yang

berkualitas, sehingga menjadi hal yang penting dan digunakan sebagai sarana untuk

mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang ada pada diri manusia. Dengan

demikian, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan,

dan kreativitasnya manusia.

Paradigma tentang pendidikan terus berkembang seiring dengan perkembangan era.

Hal itu mempengaruhi berbagai aspek pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan

secara global pada umumnya dan pendidikan nasional pada khususnya. Adanya

perkembangan tersebut, telah memacu timbulnya berbagai tuntutan masyarakat terhadap

peningkatan mutu pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah perlu mengakomodiasi

berbagai tuntutan tersebut dengan mengambil berbagai kebijakan, program, dan

kegiatan strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Kebijakan esensial yang diambil pemerintah seiring dengan perkembangan era

salah satunya adalah mengadakan perubahan dalam sistem pendidikan nasional.

Perubahan dalam sistem pendidikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas

pendidikan, sehingga dapat mengiringi laju perkembangan zaman. Hal ini terbukti

dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 dalam Kurikulum 2013

tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa tujuan

penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yaitu membangun landasan bagi

berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kritis, kreatif,

dan inovatif.

Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan

potensi siswa adalah dengan perbaikan kurikulum yang diselaraskan sesuai dengan

kebutuhan. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013

diarahkan untuk memberdayakan semua potensi dan kualitas peserta didik berupa

pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, kreativitas, kemandirian, kerja sama,

Pada dasarnya, kreativitas telah lama menjadi tujuan atau orientasi pada pembelajaran

matematika. Hal tersebut dikarenakan kesadaran bahwa melalui kreativitas,

permasalahan yang dihadapi di masa mendatang dapat diatasi. Pembelajaran matematika

memberi kontribusi besar dalam menumbuhkan kreativitas pada diri peserta didik. Salah

satu upaya pemerintah untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut yaitu dengan adanya

perbaikan Kurikulum KTSP 2004 menjadi Kurikulum 2013 dengan mengamanatkan

pendekatan saintifik. Fokus pendekatan saintifik yaitu proses pembelajaran yang

menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Makalah ini akan

membahas tentang upaya penerapan Kurikulum 2013 melalui pendekatan saintifik untuk

menumbuhkan kreativitas.

Kata Kunci: kreativitas, pendekatan saintifik, Kurikulum 2013

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 158

solidaritas, empati, toleransi dam kecakapan hidup. Untuk mencapai kualitas tersebut,

pembelajaran perlu menggunakan beberapa prinsip, yaitu: (1) pembelajaran berpusat

pada peserta didik; (2) mengembangkan kreativitas peserta didik; (3) menciptakan

kondisi menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai etika, estetika, logika dan

kinestika; dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam (Hosnan, 2014).

Karakteristik kegiatan pembelajaran pada Kurikulum 2013 diorganisasikan menjadi

kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan inti merupakan

proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, dilakukan secara interaktif, inspriratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk secara aktif menjadi

pencari informasi, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis

peserta didik. Kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut menjadi rincian dari kegiatan

eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, yaitu: (1) mengamati, (2) menanya, (3)

mengumpulkan informasi, (4) mengasosiasikan, dan (5) mengkomunikasikan.

Kompetensi pada Kurikulum 2013 dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti (KI)

dan dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar (KD) mata pelajaran. Kompetensi inti

merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap,

pengetahuan, dan keterampilan (kognitif dan psikomotor), yang harus dipelajari peserta

didik untuk jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Kompetensi inti adalah kualitas

yang harus dimiliki seorang peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran KD

yang diorganisasikan dalam proses pembelajaran peserta didik aktif. Dengan demikian,

baik KD maupun proses pembelajaran harus dikembangkan dan dilaksanakan untuk

mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam KI.

Salah satu alasan pemerintah merubah Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013,

diindikasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, adalah lemahnya kreativitas

peserta didik (Rohmad, 2014). Salah satu cara untuk menumbuhkan kreativitas peserta

didik yaitu dengan memperbaiki kurikulum ke dalam Kurikulum 2013. Hal ini terlihat

pada langkah penguatan proses pembelajaran yang menekankan kemampuan berbahasa

sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis dan

kreatif. Selain itu, terdapat pula penguatan pada penilaian pembelajaran yang

karakteristiknya mencakup mengukur tingkat berpikir mulai dari rendah sampai tinggi

dan menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan

sekadar hafalan). Ketika seseorang dituntut untuk memunculkan kreativitas,

kemampuan berpikir tingkat tinggi yakni berpikir kreatiflah yang berkembang.

Menurut Siswono (2008), berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir

tingkat tinggi (higher order thinking) karena kemampuan berpikir kreatif merupakan

kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai peserta didik di kelas. Dengan

demikian, pemberlakuan Kurikulum 2013 ditujukan untuk menjawab tantangan zaman

terhadap pendidikan yakni untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif, inovatif,

kreatif, kolaboratif serta karakter. Guna mencapai hal tersebut, pendidikan bukan hanya

dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan berdasarkan subjek inti pembelajaran,

melainkan juga harus diorientasikan agar peserta didik memliki kemampuan kreatif,

kritis, komunikatis, dan berkarakter (Abidin, 2014).

Pada proses belajar dan mengajar matematika, banyak materi yang berkaitan

dengan kemampuan berpikir kreatif. Adanya Kurikulum 2013 diharapkan kreativitas

guru sebagai fasilitator proses pembelajaran di kelas semakin meningkat. Rohmad

(2014) menyebutkan bahwa selama ini para guru dalam pembelajaran matematika lebih

menekankan pada penguasaan konsep-konsep dasar matematika dengan menggunakan

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 159

pendekatan deduktif. Hal ini mengakibatkan peserta didik cenderung menghapal rumus

atau konsep matematika dengan cara kurang bermakna. Pembelajaran sering berpusat

kepada guru, sehingga peserta didik terbiasa berpikir secara prosedural (mengikuti cara

yang seragam). Dengan demikian, peserta didik kurang mampu membentuk sikap dan

keterampilan dalam berpikir kreatif. Makalah ini akan membahas tentang pentingnya

menumbuhkan kreativitas dalam pendekatan saintifik sebagai upaya penerapan

Kurikulum 2013.

B. Pembahasan

Pengertian kurikulum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20

Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan

pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Sesuai dengan undang-undang tersebut,

penyelenggaraan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya

kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus, yang diyakini akan menjadi

faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang

zaman. Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, dipandang

menjadi salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses

berkembangnya potensi peseta didik tersebut.

Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan

Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006

yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terpadu.

Kurikulum 2013 yang berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen

untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan

proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, dan mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab (Kemdikbud, 2014). Dengan demikian, Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan

untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai

pribadi warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan efektif, serta

mampu berkontribusi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara, dan

peradaban dunia.

Saat ini, terdapat kesenjangan kurikulum dan kondisi ideal kurikulum, sehingga

kurikulum KTSP 2006 diganti dengan Kurikulum 2013. Kesenjangan tersebut dapat

dilihat dari enam aspek, yaitu: (1) kompetensi lulusan; (2) materi pembelajaran; (3)

proses pembelajaran; (4) penilaian; (5) pendidik dan tenaga kependidikan; dan (6)

pengelolaan kurikulum (Majid, 2014). Penjelasan terkait kesenjangan tersebut dapat

dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Kesenjangan Kurikulum

No Kondisi Saat Ini Kondisi Ideal

A Kompetensi Lulusan Kompetensi Lulusan

1 Belum sepenuhnya menekankan

pendidikan karakter.

Berkarakter Mulia.

2 Belum menghasilkan keterampilan sesuai

dengan kebutuhan.

Keterampilan yang relevan.

3 Pengetahuan-pengetahuan lepas. Pengetahuan-pengetahuan terkait.

B Materi Pembelajaran Materi Pembelajaran

1 Belum relevan dengan kompetensi yang

dibutuhkan.

Relevan dengan kompetensi yang

dibutuhkan.

2 Beban belajar terlalu berat. Materi esensial

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 160

No Kondisi Saat Ini Kondisi Ideal

3 Terlalu luas, kurang mendalam. Sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

C Proses Pembelajaran Proses Pembelajaran

1 Berpusat kepada guru Berpusat kepada peserta didik

2 Sifat pembelajaran yang berorientasi pada

buku teks

Sifat pembelajaran yang kontekstual

3 Buku teks hanya memuat materi bahasan Buku teks memuat materi dan proses

pembelajaran, sistem penilaian,, dan

kompetensi yang diharapkan

D Penilaian Penilaian

1 Menekankan aspek kognitif Menekankan aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik secara proporsional.

2 Tes menjadi cara penilaian yang dominan Tes dan portofolio saling melengkapi

E Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

1 Memenuhi kompetensi profesi saja Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi,

sosial, dan personal.

2 Fokus pada ukuran kinerja PTK Motivasi mengajar

F Pengelolaan Kurikulum Pengelolaan Kurikulum

1 Satuan pendidikan mempunyai kebebasan

dalam pengelolaan kurikulum.

Pemerintah pusat dan daerah memiliki

kendali kualitas dalam pelaksanaan

kurikulum di tingkat satuan pendidikan.

2 Masih terdapat kecenderungan satuan

pendidikan menyusun kurikulum tanpa

mempertimbangkan kondisi satuan

pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan

potensi daerah.

Satuan pendidikan mampu menyusun

kurikulum dengan mempertimbangkan

kondisi satuan pendidikan, kebutuhan

peserta didik dan potensi daerah.

3 Pemerintah hanya menyiapkan sampai

standar isi mata pelajaran

Pemerintah menyiapkan semua komponen

kurikulum sampai buku teks dan pedoman.

Kesenjangan kurikulum tersebut berlaku umum, untuk semua mata pelajaran.

Namun, khusus mata pelajaran Matematika, perubahan dari implementasi Kurikulum

lama (Kurikulum KTSP 2006) ke Kurikulum 2013 tercantum pada Tabel 2

(Kemdikbud, 2014).

Tabel 2. Perubahan dari Implementasi Kurikulum Lama (Kurikulum KTSP 2006) ke

Kurikulum 2013 pada Mata Pelajaran Matematika

No Implementasi Kurikulum 2006 Implementasi Kurikulum 2013

1 Langsung masuk ke dalam materi

abstrak.

Materi diajarkan mulai dari pengamatan

permasalahan, kemudian ke semi konkret dan

akhirnya abstraksi permasalahan.

2 Siswa harus menghafalkan banyak

rumus untuk menyelesaikan

permasalahan (siswa hanya dapat

menggunakan).

Rumus diturunkan oleh siswa. Permasalahan

yang diajukan harus dapat dikerjakan siswa

hanya dengan rumus-rumus dan pengertian

dasar (siswa tidak hanya dapat menggunakan,

tetapi juga memahami asal-usulnya)

3 Permasalahan matematika selalu

diasosiasikan dengan angka.

Keseimbangan permasalahan matematika baik

antara matematika dengan angka maupun

matematika dengan tanpa angka (gambar,

grafik, pola, dsb)

4 Siswa tidak terbiasa berpikir kritis. Pembelajaran diharuskan dapat merangsang

siswa untuk berpikir kritis dalam

menyelesaikan setiap permasalahan yang

diajukan.

5 Metode penyelesaian masalah yang

digunakan biasanya tidak terstruktur.

Membiasakan siswa untuk berpikir algoritmis.

6 Data dan statistik dikenalkan hanya Perluasan materi yang mencakup peluang,

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 161

pada kelas IX. pengolahan data, dan statistik sejak kelas VII

serta materi lain sesuai dengan standar

internasional.

7 Matematika dipandang sebagai ilmu

eksak.

Mengenalkan konsep pendekatan dan

perkiraan.

Untuk melaksanakan gagasan yang terkandung dalam kurikulum 2013, guru bukan

hanya dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan mengajar dengan kompleksitas

peranan sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya tetapi juga harus kreatif.

Upaya dalam meningkatkan kualitas hasil pendidikan amat bergantung kepada

kemampuan guru untuk mengembangkan kreativitasnya. Kreativitas guru adalah

kemampuan guru dalam meninggalkan gagasan, ide, hal-hal yang dinilai mapan, rutin,

using dan beralih untuk menghasilkan memunculkan gagasan, ide, dan tindakan yang

baru dan menarik, apakah itu untuk pemecahan masalah, suatu metode atau alat, suatu

objek atau bentuk artistik yang baru, dan lain-lain. Kemampuan menghasilkan atau

memunculkan gagasan atau ide baru itu harus terwujud ke dalam pola perilaku yang

dinilai kreatif pula. Suwarsono (2013) mengemukakan, untuk mengubah pembelajaran

yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, guru harus kreatif dalam

memikirkan berbagai kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, yang masing-

masing mempunyai persyaratan dan konsekuensi tersendiri. Demikian juga, untuk

membuat agar pembelajaran yuang dikelola oleh seorang guru bersifat seimbang dalam

memperhatikan pemerolehan soft skills dan hard skills yang mencakup sikap,

pengetahuan dan keterampilan, guru harus kreatif dalam menyusun rencana

pembelajarannya, agar keduanya dapat diperhatikan secara seimbang. Dalam penilaian,

guru harus mampu berpikir kreatif, dapat mendesain soal-soal yang open-ended (soal-

soal yang divergen) serta dapat menilai dengan baik proses dan hasil pekerjaan siswa,

termasuk pekerjaan siswa yang tidak biasa. Dengan kata lain, kreativitas guru sangat

diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelola dan guru juga dituntut untuk

melaksanakan perubahan-perubahan yang khas dalam pembelajaran matematika, seperti

yang tercantum pada Tabel 2 di atas. Oleh karena itu, selain guru sendiri harus berfikir

dan bersikap kreatif, guru harus mampu untuk mendorong para siswanya agar mereka

pun dapat berfikir dan bersikap kreatif juga.

Selain guru, peserta didik juga harus dapat menumbuhkan kreativitas. Kreativitas

dalam hal ini diartikan sebagai suatu kegiatan mental peserta didik untuk menemukan

ide baru yang sesuai dengan tujuan. Ide tersebut adalah ide dalam memecahkan masalah

matematis dengan tepat sesuai dengan permintaan. Pada penerapannya aspek kebaruan

maupun fleksibilitas merupakan kunci utama dalam kreativitas. Aspek kebaruan bukan

berarti hal-hal yang benar-benar baru bagi peserta didik atau menemukan suatu metode

penyelesaian yang baru, melainkan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang umum

dikenal atau melebihi tingkat pendidikan yang dimiliki peserta didik saat itu.

Fleksibilitas juga merupakan komponen kunci sebab sulit dikembangkan secara

mendadak. Pendefinisian komponen kreativitas itu sendiri sejalan dengan pendapat

Silver (1997) yang menyatakan bahwa komponen kreativitas terdiri dari kefasihan,

fleksibilitas dan kebaruan. Kefasihan diartikan sebagai kemampuan peserta didik

menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam solusi dan jawaban. Fleksibilitas

adalah kemampuan peserta didik menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu

carasedangkan kebaruan adalah kemampuan peserta didik memeriksa jawaban dengan

berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode baru yang berbeda.

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 162

Kreativitas sebagai salah satu orientasi pembelajaran pada Kurikulum 2013 secara

lebih luas akan membekali peserta didik dengan keterampilan lain yang lebih kecil yang

melingkupinya. Keterampilan tersebut adalah keterampilan menggunakan berbagai

alasan secara efektif, keterampilan berpikir secara sistematik, keterampilan

mempertimbangkan dan membuat keputusan serta kemampuan memecahkan masalah.

Dengan demikian, sesuai dengan pengertian kreativitas yang sudah dikemukakan

sebelumnya, dalam mengelola pembelajaran dalam era Kurikulum 2013 guru harus

mampu bersikap fleksibel dalam menghadapi tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang

ada dan ia harus fasih (lancar) dalam menghasilkan gagasan-gagasan yang orisinal atau

inovatif untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya. Selain itu, peserta didik pun

harus belajar agar dapat fleksibel dalam menghadapi tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan

dalam pembelajaran serta dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran (gagasan-gagasan)

yang orisinal dalam menyelesaikan soal, mengerjakan tugas atau melakukan aktivitas

pembelajaran lainnya (Suwarsono, 2013).

Salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan kreativitas pada

pembelajaran adalah dengan menerapkan proses belajar mengajar yang dipadankan

dengan suatu proses ilmiah. Kurikulum 2013 mengamanatkan pendekatan saintifik

(scientific approach) sebagai titian perkembangan dan pengembangan sikap,

keterampilan, serta pengetahuan peserta didik. Pada pendekatan saintifik, para ilmuwan

lebih mengedepankan penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif

(Kemdikbud, 2014). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk menarik

kesimpulan yang spesifik, sebaliknya penalaran induktif memandang fenomena atau

situasi spesifik, untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Dengan

demikian, pendekatan saintifik berbeda dari pendekatan pembelajaran kurikulum

sebelumnya. Pada setiap langkah inti pembelajaran, guru akan melakukan langkah-

langkah pembelajaran sesuia dengan pendekatan ilmiah.

Hosnan menyebutkan bahwa pendekatan saintifik mempunyai kriteria proses

pembelajaran sebagai berikut.

a. Materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan

logika atau penalaran tertentu. Bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda atau

dongeng semula.

b. Penjelasan guru, respon peserta didik dan interaksi edukatif guru-peserta didik

terbebas dari prasangka atau pemikiran subjektif atau penalaran yang menyimpang

dari alur berpikir logis.

c. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat

dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan

materi pembelajaran.

d. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, kreatif, analitis,

dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan

mengaplikasikan materi pembelajaran.

e. Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk mampu memahami,

menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam

merespon materi pembelajaran.

f. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat

dipertanggungjawabkan.

g. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas serta menarik sistem

penyajiannya.

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 163

Di lain pihak, proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menyentuh tiga ranah,

yaitu sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Penjelasan dari

tiga ranah tersebut adalah sebagai berikut.

a. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik

“tahu mengapa”.

b. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta

didik “tahu bagaimana”.

c. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta

didik “tahu apa”.

Menurut Kemdikbud (2014), langkah-langkah pendekatan saintifik terdiri dari lima

pengalaman pengalaman belajar pokok, yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3)

mengumpulkan informasi; (4) mengasosiasi; dan (5) mengkomunikasikan. Kelima

pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan belajar mengajar

sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Keterkaitan antara Langkah Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya

Langkah

Pembelajaran

Kegiatan Belajar Kompetensi yang

Dikembangkan

Mengamati Membaca, mendengar,

menyimak, dan melihat (tanpa

atau dengan alat).

Melatih kesungguhan, ketelitian,

dan mecari informasi.

Menanya Mengajukan pertanyaan tentang

informasi yang tidak dipahami

dari apa yang diamati atau

pertanyaan untuk mendapatkan

informasi tambahan tentang apa

yang diamati (dimulai dari

pertanyaan faktual sampai ke

pertanyaan yang bersifat

hipotetik).

Mengembangkan kreativitas, rasa

ingin tahu, kemampuan

merumuskan pertanyaan untuk

membentuk pikiran kritis yang

perlu untuk hidup cerdas dan

belajar sepanjang hayat.

Mengumpulkan

informasi atau

eksperimen

Melakukan eksperimen

Membaca sumber lain selain

buku teks

Aktivitas

Wawancara dengan narasumber

Mengembangkan sikap teliti,

jujur, sopan, menghargai

pendapat orang lain, kemampuan

berkomunikasi, menerapkan

kemampuan mengumpulkan

informasi melalui berbagai cara

yang dipelajari, mengembangkan

kebiasaan belajar dan belajar

sepanjang hayat.

Mengasosiasikan

atau mengolah

informasi

Mengolah informasi yang

sudah dikumpulkan baik

terbatas dari hasil kegiatan

mengumpulkan atau

eksperimen maupun hasil dari

kegitan mengamati dan

kegiatan mengumpulkan

informasi.

Pengolahan informasi yang

dikumpulkan dari yang bersifat

menambah keluasan dan

kedalaman sampai pada

pengolahan informasi yang

bersifat mencari solusi dari

berbagai sumber yang memiliki

pendapat yang berbeda sampai

Mengembangkan sifat jujur, teliti,

disiplin, taat aturan, kerja keras,

kemampuan menerapkan

prosedur, dan kemampuan

berpikir induktif serta deduktif

dalam menyimpulkan.

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 164

Langkah

Pembelajaran

Kegiatan Belajar Kompetensi yang

Dikembangkan

kepada yang bertentangan.

Mengkomunikasikan Menyampaikan hasil

pengamatan, kesimpulan

berdasarkan hasil analisis

secara lisan, tertulism atau

media lainnya.

Mengembangkan sikap jujur,

teliti, toleransi, kemampuan

berpikir sistematis,

mengungkapkan pendapat dengan

singkat, jelas dan

mengembangkan kemampuan

berbahasa dengan baik dan benar.

Hasil akhir dari penerapan pendekatan saintifik pada Kurikulum 2013 adalah

peningkatan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft

skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak

(hard skills) dari peserta didik, yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan. Hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif,

dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengutan yang terintegrasi. Hal

ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggung jawab.

C. Simpulan dan Saran

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pentingnya menumbuhkan

kreativitas dalam upaya penerapan Kurikulum 2013. Upaya tersebut tidak hanya berlaku

bagi guru tetapi juga berlaku bagi peserta didik. Tuntutan akan banyaknya kreativitas

yang dibutuhkan pada proses pembelajaran jika dikelola dan dilaksanakan dengan baik

akan dapat menumbuhkan kreativitas guru dan peserta didik. Salah satu upaya yang

dilakukan untuk menumbuhkan hal tersebut yaitu dengan menerapkan pendekatan

saintifik. Esensi pendekatan saintifik pada Kurikulum 2013 diyakini sebagai titian emas

perkembangan dan pengetahuan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik.

Saran yang perlu dicatat bagi pendidik adalah bagaimana mengimplementasikan

pendekatan saintifik sebagai upaya menumbuhkan kreativitas pendidikan peserta didik

dengan membiasakan mereka dengan masalah-masalah yang divergen yang sering

terjadi pada kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, peningkatan kreativitas guru dan

peserta didikmelalui pendekatan saintifik akan meningkatkan kualitas pembelajaran

matematika di Indonesia secara keseluruhan.

D. Daftar Pustaka

Abidin, Y. 2014. Desain Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung:

Refika Aditama.

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.

Bogor: Ghalia Indonesia.

Kemdikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Ajaran

2013/2014. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan

Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan.

Kemdiknas. 2010. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan. [Online].Tersedia di http://luk.staff.

ugm.ac.id/atur/PP17-2010Lengkap.pdf .Diakses 10 Oktober 2013.

Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik

ISBN 978-602-1034-06-4 165

Majid, A. 2014.Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Interes Media.

Rohmad. Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran

Matematika.(Online).(http://matematika.unnes.ac.id/file-artikel-seminar-nasional-

matematika-2013-makalah-utama/, diakses 29 September 2014)

Silver, E. A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical

Problem Solving and Thinking in Problem Posing.(Online).

(http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf, diakses 10 Oktober 2013)

Siswono, T. Y. E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan

Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.

Surabaya: Unesa University Press.

Suwarsono. 2013. Pengembangan Kreativitas dalam Pembelajaran Matematika pada

Kurikulum 2013. Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 20

November 2013. Surakarta

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 166

KONSEP PEMBELAJARAN SCIENCE – TECHNOLOGY –

ENGINEERING – MATHEMATICS (STEM) DENGAN

MATEMATIKA SEBAGAI ALAT ATAU BAHASA KOMUNIKASI

DALAM KURIKULUM 2013

Suhud Wahyudi, Surya Rosa Putra, Darmaji, Soleha

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

Surel: [email protected]

Abstrak

Bersamaan dengan semakin derasnya arus informasi yang melanda dunia, muncul

perubahan pemikiran yang drastis yaitu pembentukan knowledge-based society, yaitu

masyarakat yang berbasis pada pengetahuan. Artinya seluruh aktifitas sosio-ekonomik

masyarakat direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi dengan basis-basis pengetahuan

mutakhir. Ini bisa terjadi bila ada transfer pengetahuan dari institusi pengembang

pengetahuan dan ada orang-orang berpengetahuan yang melaksanakannya. Dengan cara ini,

kekuatan sosio-ekonomi dan budaya masyarakat tidak lagi bergantung pada kekayaan alam

atau industri, tetapi pada kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Sains

adalah bagian dari usaha (pendidikan) untuk menjadi manusia logis. Oleh karena itu

pembelajaran sains sebaiknya dilangsungkan secara konstruktif sehingga konsep, teori dan

hukum-hukum yang dihasilkan lebih komprehensip dan mendasar. Meskipun beban

pembelajaran ini adalah tugas perguruan tinggi, namun karena sifat konstruktif sains ini,

peran sekolah menengah atas yang mensuplai calon mahasiswa juga sangat besar. Dalam

makalah ini, dikaji konsep pembelajaran sains integratif Science-Technologi-Enginering-

Mathematics (STEM) dengan matematika menjadi alat atau bahasa komunikasi dalam

pembelajaran ini. Konsep pembelajaran ini dapat diterapkan di sekolah menengah atas

dalam rangka mendukung kurikulum 2013.

Kata Kunci : Socio–ekonomik, STEM, Kurikulum 2013

A. Pendahuluan

Globalisasi sebagai pemicu knowledge-based society

Isu globalisasi yang telah digulirkan sejak lebih dari satu dekade yang lalu ternyata

membuat Indonesia panik dalam merespon berbagai perubahan yang begitu cepat.

Belum lagi suatu kebijakan dan program diimplementasikan, datang lagi perubahan

dunia yang menuntut dibuatnya kebijakan dan program baru. Itu terjadi disemua aspek

penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Namun, pada

kenyataannya, ketakutan tersebut berlebihan. Sampai saat ini, institusi pendidikan dan

tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia belumlah signifikan. Efeknya, gerakan

perubahan tersebut tidak sampai pada ujung tombak pendidikan itu sendiri: sekolah atau

perguruan tinggi. Output yang kemudian lahir, lebih berbentuk pajangan, seperti

lahirnya RSBI, yang sering diplesetkan sebagai Rintisan Sekolah Berbahasa Inggris,

atau BAN-PT (Badan Akreditisasi Nasional-Perguruan Tinggi) yang membuat sibuk

Perguruan Tinggi untuk memberesi administrasi dan manajemen sepanjang tahun.

Guru/dosen, proses belajar-mengajar, sarana/prasarana, dan akhirnya kualitas lulusan

tetap seperti dulu kala. Belakangan, bersamaan dengan semakin derasnya arus informasi

yang melanda dunia, muncul perubahan yang lebih drastis: pembentukan knowledge-

based society. Terjemahan bebasnya adalah masyarakat yang berbasis pada

pengetahuan. Artinya seluruh aktifitas sosio-ekonomik masyarakat direncanakan,

dilaksanakan dan dievaluasi dengan basis-basis pengetahuan mutakhir. Ini bisa terjadi

bila ada transfer pengetahuan dari institusi pengembang pengetahuan dan ada orang-

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 167

orang berpengetahuan yang melaksanakannya. Dengan cara ini, kekuatan sosio-

ekonomi dan budaya masyarakat tidak lagi bergantung pada kekayaan alam atau

industri, tetapi pada kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat.

Perubahan ini telah terjadi di beberapa negara maju. Negara-negara uni-europa

telah mencanangkannya sejak 10 tahun yang lalu. Negara-negara seperti Singapura dan

Swiss, malah telah menerapkannya sejak lama. Keduanya tidak punya sumber daya

alam dan industri apa-apa, tetapi sangat kreatif dan inovatif dalam menghidupkan

kegiatan ekonomi. Caranya adalah dengan membangun network dan menyerap

informasi dari berbagai belahan dunia melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita

tentu perlu khawatir dengan perubahan ini.

Antisipasi yang dilakukan Indonesia adalah meningkatkan peran perguruan tinggi,

dari sekedar tempat pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu menjadi agen yang bisa

mentransfer saintek ke dalam masyarakat, dan memproduksi sarjana sebanyak-

banyaknya. Antisipasi ini mudah untuk dikatakan, tetapi, seperti respon awal dari

globalisasi, menemui banyak problem di lapangan, terutama dalam penyelenggaraan

perguruan tinggi itu sendiri.

Secara umum, problema tersebut ada pada variasi kualitas mahasiswa yang masuk.

Perguruan tinggi boleh saja memiliki dosen dan fasilitas yang mumpuni, tetapi bila

mahasiswa yang masuk tidak mempunyai standar kemampuan berpikir tingkat tinggi,

maka kinerja perguruan tinggi tidak akan berubah seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar-1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perguruan tinggi.

Faktor mahasiswa paling dominan.

Falsafah inilah yang melahirkan seleksi masuk perguruan tinggi. Prosesnya sudah

barang tentu dilakukan oleh perguruan tinggi karena merekalah yang mengerti

standarnya. Tetapi, seperti diketahui bersama, perguruan tinggi saat ini seolah

“diharuskan” menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dan sebagian besar (50%)

harus “diseleksi” oleh sekolah itu sendiri. Inilah kemudian yang melahirkan problem

besar dalam pendidikan tinggi, dan kemudian, menjadi problem besar dalam

membentuk kowledge-based society tadi.

Problem tersebut, sudah berusaha dipecahkan oleh pemerintah, antara lain dengan

menerbitkan Kurnas 2013 untuk SD, SMP dan SMA, atau sekolah yang sederajat, dan

KKNI (Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia) 2012 untuk acuan perubahan kurikulum

perguruan tinggi. Kurnas 2013 dimaksudkan untuk menghasilkan standar lulusan

sehingga seluruh lulusan sekolah menengah atas, termasuk SMK, layak untuk

melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sementara KKNI, anehnya, menetapkan

kualifikasi yang harus dimiliki seseorang lulusan institusi pendidikan, termasuk SMA,

untuk bekerja dalam masyarakat. Namun, penyelesaian pada level kebijakan saja

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 168

tidaklah cukup. Kurikulum dan KKNI hanyalah bagian kecil dari faktor-faktor yang

mempengaruhi pendidikan. Dari kurikulum 2013 yang terbentuk, perlu dipikirkan faktor

lain, yaitu materi ajar, karakter peserta didik, kemampuan pengajar, proses belajar-

mengajar, fasilitas, dan lain-lain. Dalam konteks kesinambungan pendidikan sebaiknya

ada dialog yang intens antara institusi perguruan tinggi dan sekolah menengah.

Tujuannya adalah agar tercapai titik temu antara standar calon mahasiswa yang

diiinginkan perguruan tinggi dengan standar calon mahasiswa yang mampu dihasilkan

oleh sekolah menengah. Dengan demikian, kinerja kedua institusi tersebut bisa

dilangsungkan secara efisien dan efektif.

B. Pembahasan

1. Mengapa pendidikan sains itu penting?

Meskipun, katanya, beban kurikulum di sekolah menengah sudah dikurangi, pada

kenyataannya beban siswa tetap saja tinggi. Bahkan, kalau dulu seorang yang masuk

“IPA” bisa fokus pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi, sekarang

diharuskan menguasai 9 mata pelajaran lain yang “lebih” penting. Mata pelajaran IPA

dan juga IPS hanya menjadi mata pelajaran bidang minat. Padahal, aslinya, IPA dan IPS

atau kita sebut sains saja, adalah salah satu tools untuk membentuk pola pikir yang

konstruktif, kreatif dan inovatif. Sains dalam pendidikan bukanlah untuk pengembangan

sains tetapi sebagai bagian dari pendidikan itu sendiri. Istilah yang populer saat ini

adalah: Education through science. Paragraf-paragraf berikut mencoba menjelaskan

pengertian pemahaman ini secara ringkas.

2. Mencari pengetahuan sebagai bagian dari fitrah manusia

Mungkin sedikit dari kita yang menyadari bahwa fitrah manusia yang paling hakiki

adalah suka pada hal-hal yang benar, baik dan indah. Kesukaan pada ketiga hal ini

menghasilkan tiga jenis pengetahuan, masing-masing ilmu (pengetahuan logis), moral

(pengetahuan etis), dan rasa (pengetahuan estetis). Jadi, dari proses penciptaannya,

manusia tersebut memang sudah didisain berbeda dari makhluk lainnya oleh Allah

SWT.

Gambar-2 Level Kemampuan Berfikir sebagai Fungsi Kepintaran dan Kecerdasan Dalam

Mengelola Pengetahuan Logis

Namun, apa sebabnya hal-hal yang salah, buruk dan jelek masih ditunjukkan

seseorang? Ini berkaitan dengan fitrah manusia yang lain. Sebagai materi dan sistem

alamiah umumnya berlaku hukum termodinamika yang mengatakan bahwa setiap

proses dialami cenderung melepaskan energi dan menaikkan ketidakteraturan (entropi).

Artinya, bila suatu sistem ingin melakukan proses sebaliknya, maka harus ada energi

yang diserap dari luar sistem. Bila ini dihubungkan dengan pembentukan pengetahuan,

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 169

maka untuk menjadi seseorang yang menguasai hal-hal yang benar, baik dan indah tadi,

harus didatangkan energi dari luar. Energi ini bahasa awamnya adalah usaha, sementara

penguasaan ketiga pengetahuan disebut kepintaran. Jadi, seseorang bisa saja suka pada

yang baik, tetapi dia tidak pernah berusaha untuk mendapatkannya, sehingga

performanya tetap menjadi orang yang buruk terus. Usaha ini lah yang disebut

pendidikan.

Untuk menjadi manusia yang hakiki, kepintaran saja tidaklah cukup. Hal lain yang

dibutuhkan adalah kecerdasan, yakni kemampuan otak untuk mengolah,

merekonstruksi, dan kemudian mengekspresikan pengetahuan yang diperoleh, sehingga

menjadikan seorang manusia menjadi makhluk yang logis, etis dan estetis. Ungkapan

populer untuk kualitas manusia ini adalah berkarakter. Seorang yang pintar tetapi tidak

cerdas, seperti komputer super tanpa listrik: data dan softwarenya canggih, tetapi tidak

berguna. Pepatah Cina bilang, seperti “orang yang tidak tahu dengan ketahuannya”.

Sebaliknya, seorang yang cerdas tapi tidak pintar, seperti emas dalam lumpur. Fitrahnya

sebagai makhluk logis, etis dan estetis tidak akan terekspos. Dalam konteks

pengetahuan logis, gabungan antara kepintaran dan kecerdasan ini akan melahirkan

kemampuan berpikir konseptual, prosedural dan metakognitif. Kemampuan-

kemampuan inilah, pada gilirannya, akan memicu kreatifitas dan inovasi dalam

menghasilkan pengetahuan-pengetahuan logis baru yang bermanfaat untuk peningkatan

kualitas sosial-ekonomi masyarakat.

3. Sains: definisi dan struktur

Dalam bahasa Inggris, pengetahuan logis tersebut dikenal sebagai science.

Sebagian besar orang menerjemahkannya sebagai ilmu pengetahuan. Namun,

terjemahan ini menimbulkan masalah, terutama untuk terjemahan kata-kata turunannya.

Semisal terjemahan untuk scientist dan scientific, aneh rasanya kalau kedua kata itu

berubah menjadi ilmu pengetahuan-wan atau ke-ilmu-pengetahuan-an.

Agar problem bahasa tersebut tidak berlarut-larut, belakangan orang lebih condong

menggunakan kata sains saja. Maka, kalau dulu ada kata-kata IPTEK, Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi, sekarang muncul Sain(s)Tek. Di perguruan tinggi pun

demikian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) berubah menjadi

Fakultas Sains, atau, biar terlihat gagah, ditambah dengan kata-kata Teknologi,

sehingga menjadi Fakultas Sains dan Teknologi. Tahun 2013 ini, materi ujian masuk

perguruan tinggi yang dulu namanya Kemampuan Dasar IPA, diganti menjadi

Kemampuan Dasar SainTek. Sayang, penggunaan kata “saintek” ini menimbulkan

kerancuan baru, karena materi ujian yang asalnya Kemampuan Dasar IPS menjadi

Kemampuan Dasar Sosial-Humaniora. Seolah-olah Sosial-Humaniora tersebut bukan

science. Padahal, IPA dan IPS tersebut menunjukkan konsistensi penggunaan kata-kata

“ilmu pengetahuan” untuk science. IPA adalah terjemahan dari natural science,

sedangkan IPS adalah social science. Karena itu, dalam tulisan ini, sains yang dimaksud

adalah keseluruhan pengetahuan logis yang ada.

Seperti diungkapkan di awal, sains dicari, dipelajari dan dikembangkan untuk

memenuhi rasa keingintahuan manusia tentang kebenaran yang ada di alam ini.

Kebenaran tersebut berwujud konsep, teori dan hukum-hukum tentang semua sifat,

perilaku dan perubahan yang dialami materi alamiah. Kebenaran yang satu akan

menghasilkan kebenaran yang lain, sehingga pengembangan sains sangat bersifat

konstruktif. Semakin banyak kebenaran yang diperoleh, semakin berkembang kualitas

berpikir, dan semakin banyak kreatifitas dan inovasi yang muncul. Sifat konstruktif

sains menjadi dasar pencarian dan pengembangan sains itu sendiri. Secara umum, sifat

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 170

ini, mungkin dapat digambarkan dalam bagan seperti pada gambar-3. Aslinya, bagan

tersebut berasal dari penelusuran frekuensi cabang sains yang paling sering dirujuk

dalam berbagai artikel ilmiah. Tetapi, setelah dianalisis, frekuensi ini ternyata selaras

dengan struktur pengembangan sains yang berasal dari sejarah.

Pada Gambar 2, terlihat, bahwa seseorang yang ingin mempelajari sains apa pun,

harus dibekali dengan logika. Logika ini, diwujudkan dalam simbol-simbol matematika.

Inilah yang menjadi dasar, mengapa pada usia dini, matematika lah yang dipelajari

pertama kali. Matematika populer disebut sebagai Mother of Science: orang yang

melahirkan sains.

Sebagai induk, Matematika merupakan cabang ilmu yang berdiri sendiri. Untuk

mempelajarinya, seseorang tidak perlu mempelajari ilmu lain terlebih dahulu. Dengan

mempelajari Matematika, orang akan lebih mudah mempelajari ilmu lainnya. Ilmu

Fisika, Kimia dan Biologi adalah dengan menemukan (discover), sedangkan ilmu

matematika adalah menciptakan (invent).

Pada tahap selanjutnya, sang pelajar ini diperkenalkan pada sifat dan perilaku

materi alam yang dapat dirasakan oleh semua panca indera. Diantara yang utama adalah

tentang karakter materi yang terlihat (bentuk, ukuran, massa, volume, warna, bau,

dsb.nya), tentang perubahan wujud materi, serta perpindahan materi tersebut dalam

ruang dan waktu. Secara umum, bekal yang diperoleh menyangkut

konsep/teori/hukum-hukum gaya, energi dan medan yang terlibat dalam perubahan fisik

materi. Bekal ini dikenal sebagai ilmu fisika, atau sering identik dengan Fundamental of

Science: fondasi semua sains.

Begitu fondasi sains kuat, seseorang akan tergerak untuk mengubah-ubah sifat

materi. Materi yang gampang rusak karena panas diubah menjadi materi yang tahan

panas. Karena bagian terkecil yang membawa sifat materi ini adalah molekul,

perubahan tersebut dimungkinkan bila kita bisa mengutak-atik struktur molekul. Semua

ini bisa diwujudkan dengan ilmu kimia.

Gambar-3 Konstruktivisme Sains

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 171

Pemahaman tentang dasar-dasar kimia akan membawa seseorang pada pencarian

dan pengembangan sifat dan perilaku materi lain. Karena kespesifikan sains adalah

kespesfikan materi, maka proses ini akan melahirkan banyak bidang sains. Bila materi

itu adalah makhluk hidup, pencarian dan pengem-bangan tersebut ada dalam wilayah

Biologi. Jika berhubungan dengan benda langit, domainnya adalah astrosains, dst.nya.

Maka sangatkah wajar bila ada yang berpendapat bahwa Kimia itu adalah Central of

Science. Pada level yang lebih tinggi, bidang-bidang sains tersebut akan saling

bersinergi, menghasilkan teknologi dan rekayasa (engineering). Teknologi adalah teknik

dan tools untuk memodifikasi konsep/teori/hukum alam, sedangkan engineering adalah

pemanfaatan sains dan teknologi untuk merancang teknologi yang berhubungan dengan

problem nyata kehidupan.

Pada akhirnya, apapun sains, teknologi dan engineering, yang dikembangkan, pasti

ditujukan untuk peningkatan kualitas sosio-ekonomi masyarakat. Karena masyarakat

sendiri adalah “materi” alamiah, maka sosio-ekonomi juga menjadi salah satu kelompok

sains. Peningkatan kualitas sosio-ekonomi masyarakat sendiri bermuara pada

pencapaian fitrah manusia yang hakiki: menjadi makhluk logis, etis dan estetis. Oleh

sebab itu, sosio-ekonomi sains saja tidaklah cukup. Masih ada pengetahuan etis yang

harus dipunyai, dan itu bisa diperoleh dengan mempelajari ilmu Hukum.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sains adalah bagian usaha manusia

menuju manusia yang sesungguhnya. Karena usaha itu adalah pendidikan, bisa

disimpulkan bahwa sains adalah bagian dari pendidikan. Artinya, proses pencarian dan

pengembangan sains, sejatinya bukanlah untuk sains itu sendiri, tetapi untuk

meluruskan pendidikan pada jalan yang seharusnya.

4. Problema pembelajaran sains

Bagan konstruktif cabang-cabang sains tersebut memperlihatkan bahwa

pembelajaran sains haruslah bersifat komprehensif dan mendasar. Komprehensif

berarti bisa melihat bahwa satu cabang sains berhubungan dengan cabang sains lain.

Mendasar artinya, bahwa konstruksi sains yang dibangun akan lebih kokoh bila proses

pembelajarannya mengikuti pola yang ada pada bagan tersebut. Kedua sifat tersebut

akan memupuk semangat integrasi dan networking dalam pencarian dan

pengembangan sains pada semua level institusi pendidikan. Bila pola pembelajaran

tersebut tidak diikuti, maka konsep/teori/hukum sains yang dipelajari tidak memiliki

makna untuk pencarian dan pengembangan sains berikutnya. Problem inilah yang

sekarang dirasakan oleh Perguruan Tinggi. Pengamatan empiris pada mahasiswa tahun

pertama di ITS menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka:

a. Lupa dengan konsep-konsep Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi

b. Masuk ke jurusan tertentu karena menghindari salah satu sains dasar

c. Tidak mengerti manfaat sains dasar yang diajarkan untuk sains/teknologi yang

tengah mereka geluti

Ketiga problem tersebut menyulitkan ITS untuk mengangkat derajat mahasiswa ini

untuk menjadi lulusan “logis” yang akan dijadikan ujung tombak pembentukan

knowledge-based society. Produk yang dihasilkan bukan lagi saintis dan insinyur, tetapi

pekerja dan tukang. Itu pun bisa kalah (kalau tidak mengantongi ijazah sarjana) dengan

pekerja dan tukang profesional.

Mengacu pada struktur konstruktif pembelajaran sains pada Gambar-3, akar

problemnya adalah struktur dan proses pembelajaran sains. Pemerintah melalui Kurnas-

2013 kelihatannya tengah mengupayakan hal ini. Pada level SD, Matematika dan

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 172

Bahasa sudah menjadi fokus utama. IPA sudah hilang. Pada level SMP, sains melalui

metoda saintifik mulai diperkenalkan sebagai bagian dari pendidikan secara luas.

Karena itu IPA dan IPS tetap dalam bentuk sains lintas disiplin dengan fokus pada

manusia dan perilaku alam sehari-hari. Sementara, pada tingkat SMA, sains

ditempatkan sebagai bidang minat untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Namun,

setiap pelaku pendidikan sangat paham bahwa kurikulum hanya bagian kecil dari

perubahan. Lagipula, Kurnas tersebut dikembangkan bukan berdasarkan evaluasi riil

tentang kualitas peserta didik. Acuannya adalah masa depan, yang bisa saja berubah,

dan jenis-jenis kurikulum yang telah diterapkan di berbagai negara. Celakanya, menurut

salah seorang konseptor Kurnas-2013 tersebut, kurikulum ini adalah campuran antara

kurikulum berbasis kompetensi dengan kurikulum berbasis isi, dan kurikulum berbasis

PBM (proses belajar-mengajar). Pada hal implementasi antar jenis-jenis kurikulum

tersebut bisa bertentangan. Kurikulum berbasis kompetensi murni yang diterapkan di

Inggris, misalnya, membebaskan sekolah untuk menetapkan standar guru, standar isi

dan standar PBM. Hanya kompetensinya yang dikawal pemerintah. Sementara

kurikulum berbasis isi di Singapura dan China ditetapkan secara terpusat. Kompetensi

akan lahir sesuai dengan kinerja sekolah masing-masing. Penggabungan kedua filosofi

penyusunan kurikulum ini tentu saja akan menimbulkan kebingungan. Bahkan bisa jadi

akan menimbulkan efek kontra produktif alias tidak menghasilkan apa-apa. Ibarat

penjumlahan dua vektor berlawanan arah dalam fisika: besarnya bisa sama tetapi

resultante-nya akan bernilai NOL. Mengubah kebijakan yang sudah dicanangkan

pemerintah tidak mungkin. Sebagai bagian terdepan dalam proses pendidikan, sekolah,

mau tak mau harus mengikutinya. Tetapi, itu bukan berarti tidak ada yang bisa

dilakukan. Orang bijak bilang, bila kita tidak mampu mengubah dunia, beradaptasilah

dengan mengubah diri sendiri.

Berangkat dari filosofi di atas, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan agar

pembelajaran sains tetap dijalurnya. Upaya-upaya itu adalah: (a) Membuat dan

menjalankan konsep pembelajaran sains integrative, (b) Mengadopsi pola pembelajaran

STEM (sains-teknologi-engineering-mathematics)

1. Membuat dan menjalankan konsep pembelajaran sains integratif

Konsep pembelajaran sains integratif adalah perwujudan dari bagan konstruktif

pencarian dan pengembangan sains seperti pada Gambar-3. Konsep ini tentu saja tidak

dapat dikembangkan oleh satu bidang sains saja. Jadi, konsep pembelajaran Biologi,

misalnya, disusun oleh guru Biologi, Kimia, Fisika dan Matematika.

Contoh konsep pembelajaran ini bisa dilihat pada Gambar-4. Bidang sains yang

diambil adalah Biologi. Disana diperlihatkan bahwa konsep pembelajaran bisa dimulai

dengan menetapkan problema seperti pada rencana pembelajaran kurikulum berbasis

kompetensi. Dalam hal ini problema awalnya adalah apakah yang harus dilakukan

supaya tanaman tumbuh dengan baik? Penyelesaian problem ini pada awalnya

membutuhkan konsep-konsep yang umum, seperti konsep-konsep hidup dan kehidupan,

dan ciri-ciri kehidupan. Setelah itu, siswa memerlukan konsep-konsep biologi tentang

sel dan aktifitasnya. Pemahaman tentang sel dan aktifitasnya ini dimungkinkan dengan

memberikan konsep-konsep fisika tentang hukum kekekalan materi, gerak, dan laju

pertumbuhan. Untuk transformasi materi yang terjadi selama pertumbuhan tanaman,

siswa memerlukan konsep-konsep yang berhubungan dengan biomolekul.

Pada tahap berikutnya, siswa memerlukan rancangan algoritma pemecahan problem

yang diberikan. Rancangan ini, misalnya, mulai dari penentuan kadar air sampai dengan

membuat model analogi kandungan antara kadar unsur tanaman dengan ukuran

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 173

tanaman. Pada akhirnya, siswa akan dapat mengambil kesimpulan apa yang harus

dilakukan untuk menumbuhkan tanaman.

Pembuatan konsep pembelajaran ini tentu saja tidak mudah tetapi bisa dilakukan.

Masalah utama tentu datang dari keperluan eksperimen. Masalah ini menjadi masalah

besar saat ini dalam semua bidang sains yang menerapkan eksperimen dalam

pembelajarannya. Termasuk di Perguruan Tinggi. Namun, sekarang ada jalan keluar

yang bisa dipakai: eksperimen virtual menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi. Software-software ini sudah beredar banyak di pasaran. Kalaupun tidak

ada, banyak orang yang bisa membuatnya. Hal yang penting adalah gagasan dari para

pendidik untuk membuat eksperimen yang efisien dan efektif. Jalan lain tengah dirintis

oleh ITS: membuat miniscale laboratories. Dengan model ini, eksperimennya dilakukan

dalam wujud nyata, tetapi peralatan dan bahannya dibuat minimalis.

2. Mengadopsi pola pembelajaran STEM

Pola pembelajaran STEM adalah pola pembelajaran integratif yang melibatkan

science-technology-engineering-mathematics dalam satu kesatuan utuh. Pola ini sedang

berkembang di Amerika sebagai jawaban terhadapnya minat pelajar untuk menjadi

saintis dan insinyur.

Secara ringkas, pola ini mirip dengan pola pembelajaran kontekstual. Disini, siswa

diperkenalkan dengan manfaat terkini dari STEM yang dipelajari, lalu diberikan

problem-problem sederhana yang mewakili problem yang dialami juga oleh saintis dan

insinyur profesional. Untuk keperluan STEM ini, perguruan tinggi akan menyiapkan

miniatur peralatan dan metoda yang digunakan dalam pencarian sains dan teknologi,

lalu membawanya ke sekolah-sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan kerjasama yang

erat antara sekolah dan perguruan tinggi.

Di Amerika, pola STEM sudah menjadi kebijakan Obama, sehingga menjadi

program nasional. Di Indonesia, pola ini barangkali bisa diawali dengan kerjasama

parsial antara ITS dengan sekolah-sekolah yang berminat. Kami sudah mengenalkan

konsep pembelajaran ini ke beberapa SMA di kota-kota Jawa Timur dengan respon

yang memuaskan.

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 174

Apakah yang harus dilakukan agar tanaman tumbuh

dengan baik

Hidup dan kehidupan

Ciri makro

Bernafas Makan Bergerak Tumbuh Berkembang biak

Bandingkan dengan ciri benda mati: mesin

Sel sebagai unit terkecil kehidupan

Bernafas Makan Bergerak Tumbuh Berkembang biak

Pertambahan

ukuran

Pertambahan jumlah

Laju

pergerakan

Penyerapan

entropi

Kekekalan materi

Laju pertumbuhan dan

perkembangbiakan

Kekekalan energi

Transformasi

energi

PROBLEM

KONSEP

UMUM

KONSEP

BIOLOGI

KONSEP FISIKA

Transformasi materi

Transformasi

materi Komposisi

DNA Enzim Sintesis

protein

Katali

sis

Metabolisme

Nukelotid

a

asam amino glukosa, asam

lemak

laju

katalisis energi materi

baru C, H, O, N, P

BERGERAK, TUMBUH

dan BERKEMBANG

Model kekekalan materi dan energi

Model laju pertumbuhan dan

perkembangbiakan

Model laju katalisis enzim

Menentukan kandungan C, H, N, O, P sel

Menentukan jumlah dan jenis senyawa analog dengan C, H, N, O, P yang jadi prekursor metabolisme

Menumbuhkan sel dalam media yang mengandung variasi senyawa analog

Membuat model hubungan antara kandungan senyawa analog dengan jumlah sel

KONSEP KIMIA

MATEMATIKA

Karbohidrat

dan Lipid

Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)

ISBN 978-602-1034-06-4 175

C. Simpulan dan Saran

Pembelajaran sains sebaiknya dilangsungkan secara konstruktif sehingga

konsep/teori/hukum-hukum yang dihasilkan lebih komprehensif dan mendasar.

Meskipun beban pembelajaran ini adalah tugas perguruan tinggi, namun karena sifat

konstruktif sains ini, peran sekolah menengah yang menyuplai calon mahasiswa juga

sangat besar.Oleh karena itu komunikasi dan kerjasama perguruan tinggi dan sekolah

sangatlah dibutuhkan.

D. Daftar Pustaka

John Thomasian. 2011. Building Science, Technology, Engineering and Math.

Education Agenda. An Update of State Actions.USA: National Governors

Association.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2013. Buku Guru Matematika. Peraturan

menteri pendidikan pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70

tahun 2013.

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 176

MENGKLASIFIKASI KESALAHAN SISWA

DALAM MENGERJAKAN SOAL URAIAN MATEMATIKA

BERDASARKAN PROSEDUR NEWMAN

Amin Suyitno

Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Dalam pelajaran matematika, soal uraian biasa diberikan guru kepada para siswa, baik

pada saat latihan soal maupun pada saat guru mengadakan ulangan harian. Kenyataannya,

pada saat guru memberikan nilai yang sama kepada siswa yang berbeda, belum tentu

kesalahan yang dialami kedua siswa tersebut memiliki jenis yang sama. Menurut Prosedur

Newman, jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian ada 5 jenis. Kelima jenis

tersebut adalah: Reading Errors (R), Comprehension Errors (C), Transformation Errors

(T), Process Skills Errors (P), dan Encoding Errors. Dengan memberikan pengetahuan

yang benar, terkait dengan jenis-jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian

matematika ini, maka diharapkan para siswa dapat secara maksimal mengurangi jenis-

jenis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal bentuk uraian.

Kata Kunci: Prosedur Newman, Soal Uraian, dan Jenis Kesalahan

A. Pendahuluan

Dalam pelajaran matematika, soal uraian biasa diberikan guru kepada para siswa,

baik pada saat latihan soal maupun pada saat guru mengadakan ulangan harian. Siswa

atau mahasiswa mengalami kesalahan pada saat mengerjakan suatu soal uraian

matematika merupakan hal yang wajar bisa terjadi. Namun di lain pihak, dua siswa

yang sama-sama memperoleh nilai 70 dalam nilai akhirnya, kedua siswa tersebut belum

tentu memiliki tingkat kesulitan yang sama, belum tentu memiliki letak kesalahan yang

sama, dan belum tentu pula kedua siswa itu memiliki jenis atau klasifikasi kesalahan

yang sama.Agar siswa terhindar dari berbagai jenis kesalahan, maka guru harus melatih

para siswanya agar para siswa terlatih membaca soal, mampu menangkap makna soal,

dan akhirnya guru mampu mendemonstrasikan pekerjaannya di papan tulis agar siswa

semakin jelas. Walaupun pola pencarian klasifikasi jenis kesalahan untuk siswa dan

mahasiswa itu sama, tapi pada makalah ini hanya ditekankan kepada para siswa.

Berdasarkan uraian seperti yang ditulis dalam pendahuluan di atas, maka

permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tahapan Prosedur Newman untuk mendeteksi jenis kesalahan

penyelesaian soal matematika yang dilakukan oleh siswa?

2. Apakah prosedur Newman dapat dikembangkan lagi sehingga dapat dipakai sebagai

alat mengidentifikasi tipe jenis kesalahan yang lain?

3. Bagaimana cara melatih siswa agar setelah terdeteksi jenis kesalahannya dalam

mengerjakan soal matematika, maka guru dapat memperbaiki kualitas jawaban

siswa, sehingga untuk selanjutnya siswa dapat menghindari kesalahan semaksimal

mungkin.

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Agar dapat diketahui klasifikasi kesalahan siswadalam mengerjakan soal uraian

matematika berdasarkan Prosedur Newman.

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 177

2. Untuk mengetahui apakah ada jenis klasifikasi kesalahan lain yang diperoleh, selain

dari jenis kesalahan yang diperoleh berdasarkan Prosedur Newman.

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Guru dapat mencari tindakan kuratif pembelajaran, sesuai dengan jenis klasifikasi

kesalahan siswa yang diperoleh dalam mengerjakan soal uraian matematika

berdasarkan Prosedur Newman.

2. Dengan diketahuinya klasifikasi kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian,

maka guru dapat secara dini mencegah kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat

dilakukan siswa.

B. Tinjauan Pustaka

1. Soal Uraian

Untuk menyamakan persepsi maka dalam makalah ini, yang dimaksud dengan soal

uraian adalah suatu soal yang penyelesaiannya dilakukan dengan menuliskan secara

rinci tentang apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, menuliskan rumus-rumus yang

akan digunakan, menuliskan solusinya secara rinci, sampai mendapatkan jawab yang

benar, sesuai dengan apa yang ditanyakan. Soal jenis uraian dapat berupa soal cerita

(soal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari), atau soal yang uraian biasa yang tidak

terkait dengan kehidupan sehari-hari.

Contoh soal uraian yang bukan soal cerita:

1. Sebuah persegipanjang, panjangnya 10 cm dan lebarnya 7 cm. Hitunglah luas

daerah persegipanjang tersebut.

Penyelesaian Soal Uraian tersebut di atas:

Diketahui: Sebuah persegipanjang.

Panjang = 10 cm dan lebar = 7 cm

Hitunglah: Luas daerah persegipanjang.

Jawab:

L = p × l

= (10 × 7) cm2

= 70 cm2.

Contoh soal uraian yang merupakan soal cerita:

2. Sawah Pak Ali berbentuk persegipanjang. Panjang sawah pak Ali 25 meter dan

lebarnya 20 meter. Hitunglah luas sawah Pak Ali tersebut.

Penyelesaian Soal Uraian tersebut di atas:

Diketahui: Pak Ali memiliki sawah berbentuk persegipanjang.

Panjang = 25 m dan lebar = 20 m

Hitunglah: Luas sawah Pak Ali.

Jawab:

L = p × l

= (25 × 20) cm2

= 500 m2

Jadi, luas sawah Pak Ali adalah 500 m2.

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 178

2. Klasifikasi Kesalahan Siswa Berdasarkan Prosedur Newman

Prosedur Newman, banyak dipakai dan diterapkan di berbagai negara dan dipakai

sebagai alat untuk menentukan berbagai jenis kesalahan yang dibuat siswa/mahasiswa

dalam mengerjakan soal-soal uraian matematika.

Dalam mengerjakan soal matematika, apalagi yang berbentuk uraian, kesalahan

harus dihindari semaksimal mungkin. Apalagi, jika soal uraian tersebut diarahkan

kepada kemampuan siswa untuk menguasai literasi matematika. Hofer dan Beckmann

(2009) menulis dalam sebuah jurnal Internasional, bahwa: Mathematical literacy

implies the capacity to apply mathematical knowledge to various and contextrelated

problems in a functional, flexible and practical way. Sedangkan untuk dapat

mengerjakan soal uraian matematika, Dahlin, B & Watkins, D (2000) menegaskan

bahwa ”The understanding is more likely to lead to high quality outcomes than

memorizing.”. Terkait pembelajaran matematika, guru juga harus mendorong siswa agar

berusaha mengerjakan soal matematika dengan cermat termasuk melalui eksplorasi dan

elaborasi yang cermat. Wachira, Pourdavood, dan Skitzki (2013) dalam sebuah jurnal

menulis bahwa: Mathematics instruction should provide students opportunities to

engage in mathematical inquiry and meaning making through discourse, and teachers

should encourage this process by remaining flexible and responsive to students’

response and feedback.

Jelas bahwa siswa tidak semuanya memiliki kecerdasan yang sama. Siswa yang

kurang memiliki minat dan kurang memiliki bakat di bidang matematika juga banyak.

Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika dituntut cara belajar secara mendalam

dan menghindari kesalahan-kesalahan, sangat diperlukan. Pengulangan materi bagi

siswa yang lemah juga diperlukan. Walaupun, Marton, F & Saljo, R (1976) menulis

bahwa ”in mathematics education, there has been tension between deep learning and

repetitive learning”. Selanjutnya ditegaskan lagi bahwa ”In western culture repetitive

learning is often positioned as the opposite of deep learning and understanding.” Dalam

belajar matematika, siswa atau mahasiswa perlu memahami materi. Tidak hanya hafal,

agar siswa terhindar dari kesalahan. Lie, S (2006) menegaskan bahwa ” Western

educators emphasise the need for students to construct a conceptual understanding of

mathematical symbols and rules before they practise the rules.” Watkins, D & Biggs,

J.B (2001) juga tidak setuju jika pembelajaran matematika didominasi oleh kegiatan

menghafal. Mereka berpendapat bahwa ”One aspect of the criticism is that rote learning

is known to lead to poor learning outcomes”.

Penyebab kesalahansiswadalam memecahkanpermasalahan atau soal matematika

berbentuk uraian yang akan dibahas dalam makalah ini. Kajiannya didasarkan pada

analisis kesalahan yang urutannya menggunakan prosedur Newman. Prosedur Newman

dalam mencari jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal ini dipandang sudah

mendunia karena sudah diterapkan di berbagai belahan dunia seperti India, Malaysia,

Thailand, Australia, dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas tentang prosedur Newman

dalam mencari penyebab kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian atau

permasalahan matematika.

Dari tulisan White (2005), Singh, Rahman, & Hoon (2012), Jha (2012), Prakitipong

and Nakamura (2006), Satiti (2014) dapat disimpulkan bahwa tahapan prosedur

Newman dalam menentukan kesalahan siswa setelah mengerjakan soal matematika

adalah sebagai berikut. (1) Kesalahan tipe R (Reading Errors), terjadi jika siswa salah

dalam membaca dan memahami makna soalnya. (2) Kesalahan tipe C (Comprehension

Errors), terjadi jika siswa gagal dalam menuliskan apa yang diketahui dan apa yang

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 179

ditanyakan. (3) Kesalahan tipe T (Transformation Errors), terjadi jika siswa gagal

memilih dan menetapkan rumus-rumus yang akan digunakan untuk menemukan

solusinya. (4) Kesalahan tipe P (Process Skills Errors), terjadi jika siswa dapat

menetapkan rumus yang dipakai, tapi gagal dalam proses melanjutkan perhitungannya

(fail inmathematical processing). (5) Kesalahan tipe E (Encoding Errors), terjadi jika

siswa gagal menemukan jawab soalnya secara benar dan akurat (represent answer

appropriately right). Dalam menentukan jenis kesalahan berdasarkan prosedur Newman

ini, jika siswa sudah mengalami kesalahan tipe R, siswa yang bersangkutan juga tidak

dapat meneruskan pekerjaannya. Jika siswa tidak mengalamai kesalahan tipe R, dan tipe

C, kemudian siswa mengalami kesalahan tipe T, maka siswa yang bersangkutan juga

tidak dapat meneruskan pekerjaannya.

Untuk memperjelas, berikut ini akan diberikan beberapa contoh tipe-tipe kesalahan

yang sudah dilakukan oleh para mahasiswa, sebagai hasil dan pembahasan dari suatu

penelitian awal sebelum dilakukan penulisan makalah ini. Diasumsikan, kesalahan

serupa atau sejenis dapat pula dialami oleh para siswa di sekolah.

C. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada saat penulis mencermati hasil pekerjaan

mahasiswa, ternyata ada tujuh jenis kesalahan yang dialami oleh para mahasiswa dalam

mengerjakan soal pada mata kuliah Matematika Diskrit. Suyitno (2012) menulis bahwa

dari ketujuh jenis kesalahan tersebut, lima di antaranya sama dengan jenis kesalahan

yang diperoleh berdasarkan prosedur Newman. Oleh karena itu, maka kedua jenis

kesalahan tersebut merupakan penambahan jenis kesalahan yang diperoleh berdasarkan

prosedur Newman. Kedua kesalahan tersebut, penulis namakan kesalahan tipe L, yakni

gagalnya siswa/mahasiswa membaca soal karena faktor bahasa. Soal ditulis dalam

bahasa Inggris dan siswa/mahasiswa lemah di bidang bahasa Inggrisnya. Tipe kesalahan

kedua adalah kesalahan tipe X, yaitu kesalahan karena siswa/mahasiswa ceroboh atau

kurang berhati-hati sehingga menyebabkan pengerjaannya menjadi salah. Tipe

kesalahan tambahan kedua ini, sesuai dengan pendapat Jha (2012) mengatakan bahwa

”If student fails to get the correct answer in first attempt but succeeds in second attempt

then the error would be classified as Careless Errors (coded as X).” Selanjutnya,

Clements (in Jha, 2012) menyatakan bahwa:”In Newman research a careless error has

been defined as one which occurred even though the student knew (fromacognitive

perspective) exactly how to gain a correct answer to the question at the time the

incorrect answer was given and would be expected to give the correct answer when

responding to the same question at some later time. Thus, if a student gave an incorrect

response in the original whole-class test situation but then gave a correct answer

immediately before the New man interviews, then the interviewer would suspect that an

X (CarelessErrors) classification of the error might be appropriate.”

Ketujuh jenis kesalahan dan contoh kesalahan dalam menyelesaikan soal ini adalah

sebagai berikut.

1. Language Errors (L)

Jika siswa/mahasiswa tidak menguasai bahasa yang digunakan untuk menuliskan

soal tersebut, khususnya jika soal tersebut bilingual.

Contoh:

Department of Mathematics Unnes will hold a National Seminar for teachers of

mathematics. There are 6 speakers, each of the speaker will perform for one hour. If

each speaker appears in different occasions, these activities would take too long.

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 180

However, it is also not expected to have certain speakers who appeared at the same

time. The seminar committee wants the seminar lasting no more than 4 sessions or 4

hours. How about the seminar is designed if speakers that should not appear at the

same time, marked by * in the table below.

The name of

speaker

A B C D E F

A * *

B * * *

C * *

D

E *

F

Salah satu mahasiswa ada yang sama sekali tidak mengerjakan soal ini. Ketika

diwawacarai, dia mengatakan gagal menerjemahkan soal di atas karena penguasaan

bahasa Inggrisnya lemah.

2. Reading Errors (R)

Mahasiswa bisa membaca soal ini, tetapi mahasiswa yang bersangkutan tidak

memahami makna soalnya.

Contoh:

Gambar 1. Hasil Pekerjaan Mahasiswa

Sepintas, mahasiswa ini sudah dapat menuliskan apa yang diketahui dan berhasil pula

menuliskan apa yang ditanyakan. Saat diwawancarai:

1) Mahasiswa tidak tahu arti a0 = 0, a1 = 1, a2 = 2, dan a3 = 3.

2) menuliskan apa yang ditanyakan hanya bersifat coba-coba;

3) langkah berikutnya, mahasiswa yang bersangkutan juga mengerjakan dengan

disertai pendapat ”pokoknya ada tulisannya” agar dapat nilai.

3. Comprehension Errors (C)

Jenis kesalahan ini terjadi jika siswa/mahasiswa gagal dalam menuliskan apa yang

diketahui dan apa yang ditanyakan.

Contoh:

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 181

Gambar 2. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Pemahaman

4. Transformation Errors (T)

Terjadi jika siswa gagal memilih dan menetapkan rumus-rumus yang akan

digunakan untuk menemukan solusinya.

Contoh:

Gambar 3. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Transformasi

5. Process Skills Errors (P).

Terjadi jika siswa dapat menetapkan rumus yang dipakai, tapi gagal dalam proses

melanjutkan perhitungannya (fail inmathematical processing).

Contoh:

Gambar 4. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Keterampilan Proses

6. Encoding Errors (E)

Terjadi jika siswa gagal menemukan jawab soalnya secara benar dan akurat

(represent answer appropriately right).

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 182

Gambar 5. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Pengkodean

7. Careless Errors (X)

Jika siswa ceroboh, tergesa-gesa, atau kurang teliti dalam menuliskan penyelesaiannya.

Contoh:

Di akhir pekerjaan, misalnya siswa mengalami kecerobohan sebagai berikut:

x– 2 = 9

x = 9 + 2

x = 18

Tipe kesalahan kecerobohan dapat terjadi di awal, tengah, atau akhir suatu pengerjaan.

D. Simpulan dan Saran

Dalam kajian di makalah ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Jenis

kesalahan yang diperoleh berdasarkan prosedur Newman ada lima, yaitu kesalahan tipe

R, kesalahan tipe C, kesalahan tipe T, kesalahan tipe P, dan kesalahan tipe E. (2) Hasil

penelusuran berdasarkan Prosedur Newman dapat ditambahkan menjadi tujuh jenis tipe

kesalahan, yaitu kesalahan tipe L, kesalahan tipe R, kesalahan tipe C, kesalahan tipe T,

kesalahan tipe P, kesalahan tipe E, dan kesalahan tipe X. (3) Agar para siswa dapat

menghindari kesalahan dalam mengerjakan soal uraian, guru dapat memberikan

Tindakan Kuratif Pembelajaran dengan meminta kepada para siswa untuk belajar dalam

kelompok dan sering berlatih untuk mengerjakan soal uraian.

Saran yang dapat diberikan berdasarkan studi pendahuluan iniadalah sebagai

berikut. (1) Agar siswa dapat secara lancar menuliskan penyelesaian soal matematika

dengan benar, maka siswa perlu dilatih guru agar terhindar dari berbagai jenis kesalahan

yang mungkin dapat dibuat mereka. (2) Guru/dosen perlu memberikan coretan/catatan

di kertas ujian para siswa atau mahasiswanya tentang jenis kesalahan yang dibuat agar

para siswa/mahasiswa yang bersangkutan segera menyadari letak kesalahan dan jenis

kesalahan yang dialaminya.

E. Daftar Pustaka

Chien, Y.S. 2013. Communication Strategies for Exit Interviews in Business: From the

Employee’ s Perspective. Graduate student, Graduate Institute of International

Human Resource Development, National Taiwan - Normal University, Taiwan

(Address: No. 162, Sec. 1, Heping E. Rd., Taipei, Taiwan, Tel: +886-2-

77341621, E-mail: [email protected]).

Dahlin, B & Watkins, D. 2000. The role of repetition in the pocesses of memorizing

and understanding: A comparison of the views of German and Chinese

Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika

ISBN 978-602-1034-06-4 183

secondary school students in Hong Kong. British Journal of Educational

Psychology, 70, 65-84.

DiCicco B., Barbara & Crabtree, Benjamin F. 2006. The qualitative research interview.

Medical Education 2006;40: 314–321 doi:10.1111/j.1365-2929.2006.02418.x.

Blackwell Publishing Ltd.

Hofer & Beckmann. 2009. Supporting mathematical literacy: examples from a cross-

curricular project. ZDM Mathematics Education Journal 41:223-230 DOI

10.1007/s11858-008-0117-9.

Jha, S.K. 2012. Mathematics Performance of Primary School Students in Assam (India):

An Analysis Using Newman Procedure. International Journal of Computer

Applications in Engineering Sciences [VOL II, ISSUE I, MARCH 2012].

Lie, S. 2006. Mathematics education in diferent cultural traditions: A comparative

study of East Asia and the West. New York: Springer.

Marton, F & Saljo, R. 1976. The experiences of learning. Edinburg, UK: Scottish

Academy Press.

Prakitipong, Natcha and Nakamura, Satoshi. 2006. Analysis of Mathematics

Performance of Grade Five Students in Thailand Using Newman Procedure.

CICE Hiroshima University, Journal of International Cooperation in

Education,Vol.9, No.1, (2006) pp.111.

Satiti, T. 2014. Analisis dengan Prosedur Newman terhadap Kesalahan Peserta Didik

Kelas VII dalam Menyelesaikan Soal Pemecahan Masalah Matematika (Final

Project is not published). Unnes.

Singh, P., Rahman, A.A., Hoon, T.S. 2010. The Newman Procedure for Analyzing

Primary Four Pupils Errors on Written Mathematical Tasks:A Malaysian

Perspective: International Conference on Mathematics Education Research 2010

(ICMER 2010).

Suyitno, A. 2012. Sinkronisasi Pembelajaran TPS Bercirikan Inkuiri dalam

Perkuliahan Matematika Diskrit Berbahasa Inggris untuk Meningkatkan

Kemampuan Memecahkan Masalah bagi Mahasiswa Matematika Program

PGMIPABI. Research Report of PHKI B Unnes.

Wachira P., Pourdavood R., Skitzki, R. 2013. Mathematics Teacher’s Role in

Promoting Classroom Discourse. International Journal for Mathematics and

Learning. http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal - diakses 8 Juni 2013).

Watkins, D., Biggs, J.B. 2001. The paradox of the Chinese learner and beyond.

Teaching the Chinese learner. Psycological and pedagogical perspectives.

Melbourne: ACCER.

White, A.L. 2005. Active Mathematics In Classrooms Finding Out Why Children

Make Mistakes-And Then Doing Something To Help Them. Sidney:

University of Western Sydney. Square One, Vol 15, N0 4, December 2005.

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 184

MEMBANGUN KARAKTER MELALUI MATEMATIKA DAN

PEMBELAJARANNYA

Iwan Junaedi

Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak Makalah ini mengkaji tentang bagaimana guru matematika menanamkan dan mempertajam

pendidikan karakter bangsa bagi peserta didik melalui matematika dan pembelajarnnya.

Permasalahan pada kajian ini adalah apa saja karakter bangsa yang dapat dibentuk melalui

matematika dan pembelajarannya, dan bagaimana pendidik matematika mengakselerasi

penanamam karakter bangsa bagi peserta didik. Fokus dari kajian ini adalah bagaimana

menganalisis karakter bangsa yang dijabarkan dari math power for all, yang meliputi

mathematical abilities, process standards, dan content strands.

Kata Kunci: Karakter Bangsa, Matematika, Pembelajaran Matematika

A. Pendahuluan

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab (UU Sisdiknas Tahun 2003). Opersional Undang-Undang Sisdiknas

ini salah satunya dituangkan dalam kurikulum di sekolah. Pada tahun 2013 pemerintah

telah mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan pendidikan di sekolah yakni

kebijakan tentang Kurikulum 2013.

Salah satu ciri khas dalam Kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum

sebelumnya adalah ditojolkannya pengembangan karakter untuk peserta didik yang

dirumuskan secara tekstual dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).

Untuk seluruh mata pelajaran memuat rumusan untuk kompetensi sikap spiritual (KI-1)

dan sikap sosial (KI-2) yang isinya hampir sama. Rumusan menghargai dan menghayati

ajaran agama yang dianutnya, dan menghayati dan mengamalkan perilaku jujur,

disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), dan santun

ada pada setiap mata pelajaran yang dinyatakan secara tekstual dalam KI-1 dan KI-2.

Rumusan KI, yang dijabarkan secara lebih detail dalam KD diharapkan dapat

mengembangkan karakter peserta didik sehingga menjadi generasi bangsa yang

berkarakter sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.

Secara lebih jelas, implementasi pengembangan karakter peserta didik di sekolah

dituangkan dalam Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru. Pada

setiap mata pelajaran khususnya di SMA/MA dan SMP/MTs, setiap guru dalam

merancang RPP selalu harus memunculkan KI-1 dan KI-2. Ini berarti setiap RPP pada

mata pelajaran apapun yang dirancang guru harus memuat KI-1 dan KI-2.

Permasalahan yang muncul adalah penguatan terhadap penghayatan terhadap agama

yang dianutnya bisa terjadi bias, hal ini dikarenakan guru mata pelajaran dan siswa

memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Bias ini dapat terjadi karena

perbedaan terhadap pemahaman agama (meskipun dalam satu agama), dan bias karena

perbedaan antar agama. Bias yang dimaksud adalah seorang guru mata pelajaran umum

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 185

yang memiliki pemahaman agama yang terbatas menjalaskan pemahamanannya

(menyisipkan) kepada peserta dengan tidak tepat. Bias dapat terjadi juga pada

implementasi KI-2, seperti sikap toleran dan damai, yang setiap orang bisa memaknai

dan memahami secara berbeda sesuai dengan tingkat pemahamnnya.

Persoalan terhadap kemungkinan munculnya bias untuk implementasi KI-1 dan

KI-2 sesungguhnya dapat dieliminir dengan memberi penguatan terhadap karakter dari

setiap mata pelajaran. Karena sesungguhnya pada setiap mata pelajaran memiliki

karakter yang khas dan akan memberikan pengaruh terhadap pengembangan karakter

peserta didik. Menurut Permendikbud No. 58 dan No. 59 Tahun 2014, dinyatakan

bahwa rumusan KI yang jabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD) selain

dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, juga memperhatikan

ciri dari suatu mata pelajaran. Berdasar permendikbud tersebut, guru sesungguhnya

dapat mempertajam penanaman karakter melalui mata pelajaran yang diajarkan

berdasarkan ciri khas atau karakter dari setiap mata pelajaran. Sebagai contoh untuk

mata pelajaran matematika, guru dapat menanamkan dan mempertajam pendidikan

karakter melalui mata pelajaran matematika. Demikianpula untuk mata pelajaran yang

lain.

Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah

sejak sekolah dasar. Di sekolah dasar meskipun mata pelajaran matematika dikemas

dalam bentuk pembelajaran tematik, guru tetap dapat menanamkan karakter bangsa

melalui pembelajaran matematika di sekolah sejak dini. Berdasar uraian sebelumnya,

permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah (1) apa saja karakter bangsa yang

dapat dibentuk melalui matematika dan pembelajarannya, dan (2) bagaimana pendidik

matematika mengakselerasi penanamam karakter bangsa bagi peserta didik?

Tujuan pembahasan pada makalah ini adalah menganalisis apa saja karakter bangsa

yang dapat dibentuk melalui matematika dan pembelajarannya, dan mengkaji

bagaimana pendidik matematika mengakselerasi karakter bangsa melalui pembelajaran

matematika. Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pendidik matematika dan

pemerhati pendidikan pada umumnya dalam mengembangkan karakter bangsa.

B. Pembahasan

1. Pengembangan Karakter Peserta Didik dari Matematika dan Pembelajarannya

Kemdiknas (2010) mendefiniskan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang

diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan

bertindak. Individu yang berkarakter akan tampak pada bagaimana individu tersebut

dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Karena itu individu yang berkarakter kuat

akan memiliki peran dan pengaruh pada orang-orang di sekelilingnya (Munir, 2010).

Karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian dari individu perlu

diciptakan sedemikian hingga individu tersebut memiliki watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan. Harapan tersebut

dalam Kurikulum 2013 di antaranya tertuang dalam KI-1 dan KI-2. Sebagai contoh di

dalam kompetensi dasar yang dijabaran dari KI-2 pada mata pelajaran matematika

untuk kelas X antara lain disebutkan (1) memiliki motivasi internal, kemampuan

bekerjasama, konsisten, sikap disiplin, rasa percaya diri, dan sikap toleransi dalam

perbedaan strategi berpikir dalam memilih dan menerapkan strategi menyelesaikan

masalah, (2) mampu mentransformasi diri dalam berpilaku jujur, tangguh mengadapi

masalah, kritis dan disiplin dalam melakukan tugas belajar matematika, dan (3)

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 186

menunjukkan sikap bertanggung jawab, rasa ingin tahu, jujur dan perilaku peduli

lingkungan.

Jika dicermati pada salah satu KD pada mata pelajaran matematika di kelas X

tersebut ternyata dapat diperkuat dengan karakter mata pelajaran matematika. Karakter

taat asas dan konsisten bisa menjadi dasar bagi pengembangan karakter yang lain.

Karakter taat asas yang dibangun melalui pembelajaran mendorong individu (peserta

didik) untuk terlatih taat sebagai hamba Tuhan, taat terhadap aturan Tuhan, orang tua,

dan taat sebagai warga negara. Karena itu Matematika sebagai ilmu yang deduktif, taat

asas, dan konsisten perlu ditekankan dalam pembelajaran. Matematika juga merupakan

ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran

penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Mata pelajaran

Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk

membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,

dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Depdiknas, 2006).

Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu yang deduktif, taat asas, dan konsisten

terus berkembang. Zevenbergen (2004), menyatakan bahwa terdapat perubahan

pandangan terhadap matematika, yaitu (1) changing perceptions of mathematics as a

discipline, dan (2) changing theories of how students learn in contemporary times.

Perubahan pandangan terhadap matematika antara lain dinyatakan bahwa mathematics

is a way of thinking,seeing and organising the world, mathematics is power, dan

mathematics is a languange. Menurutnya matematika bukan hanya sebagai artimatika

dan prosedur operasinya. Perubahan pandangan ini sudah sejak lama dinyatakan oleh

Baroody (1993) yang menyatakan bahwa (1) mathematics as a language, dan (2)

mathematics learning as social activity. Matematika tidak sekedar sebagai alat berfikir,

alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah tetapi matematika juga

digunakan sebagai alat untuk menyampaikan berbagai macam ide atau gagasan secara

jelas, ringkas, dan tepat. Matematika juga sebagai aktivitas sosial, yakni pembelajaran

matematika, interaksi antar siswa, seperti komunikasi guru-siswa merupakan bagian

penting untuk memelihara potensi matematis siswa (Junaedi, 2007).

Di berbagai negara pengembangan kurikulum matematika terus dilakukan untuk

mengembangkan karakter peserta didik. Pada Gambar 1 berikut disajikan penjabaran

terkait dengan aspek-aspek Mathematical Power For All Students K-12

(http://fcit.usf.edumathresourcemathpowerfullpowr) sebagai dasar dari pengembangan

karakter peserta didik.

Gambar 1. Mathematical Power For All Students K-12

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 187

Semua aspek dari Mathematical Power For All Students K-12, selanjutnya dapat

diuraikan pembentukan karakter untuk setiap sub aspek. Tabel 1 berikut menyajikan

pengembangan karakter untuk peserta didik dari aspek Mathematical Abilities.

Tabel 1. Pengembangan Karakter Peserta Didik Melalui Karakter Mathematical Abilities

No ASPEK

MATHEMATICAL ABILITIES Pengembangan Karakter Peserta Didik

1 Conceptual Understanding Membentuk dan mengembangkan karakter peserta

didik untuk tidak asal-asalan dalam berbuat dan

bertindak, tetapi memiliki pola pikir, berbuat, dan

bertindak berdasarkan konsep, prinsip, dan teori.

2 Procedural Knowledge Membentuk dan mengembangkan karakter peserta

didik untuk tidak menjadi pelanggar tatanan yang

benar, tetapi membentuk karakter untuk berbuat dan

bertindak berdasarkan prosedur yang tepat dan benar.

Selain pengembangan karakter peserta didik dari aspek Mathematical Abilities,

pengembangan karakter yang lain melalui aspek Process Standards. Tabel 2 berikut

menyajikan pengembangan karakter peserta didik aspek Process Standards

pembelajaran matematika.

Tabel 2. Pengembangan Karakter Peserta Didik melalui Karakter PROCESS STANDARDS

No ASPEK

PROCESS STANDARDS Pengembangan Karakter Peserta Didik

1 Problem Solving Membekali dan membentuk peserta didik untuk menjadi

peserta didik dengan karakter yang analitis, sistematis,

kritis, dan kreatif. Mengembangkan kemampuan Higher

Order Thinking (HOT), membentuk bangsa yang baik

dalam memecahkan berbagai persoalan, bangsa yang

mandiri, bangsa yang pekerja keras, bangsa yang siap

dengan berbagai tantangan, dan bangsa yang kreatif dan

kritis.

2 Reasoning Membekali dan membentuk peserta didik untuk menjadi

bangsa yang mampu berpikir logis, bernalar dengan baik,

membuat keputusan yang tepat, membuat argumen yang

tepat, dan menyusun pembuktian yang valid. 3 Communication Melalui komunikasi matematika peserta didik dibentuk

karakternya untuk mampu mengomunikasikan ide secara

tepat, baik lisan, tulisan, atau lainnya, Berkomunikasi

secara efektif, dan berkomunikasi secara jujur dan

bertanggung jawab.

4 Connections Membentuk karakter peserta didk untuk mengaitkan

berbagai sumber (konsep) sedemikian hingga dapat

mengambil keputusan yang tepat, tidak tergesa-gesa

dalam mengambil keputusan, dan tidak asal-asalan

mengambil kesimpulan.

5 Representation Membentuk karakter peserta didik untuk dapat

melakukan elaborasi berbagai tindakan dengan tepat,

merepresentasi berbagai hal dengan tepat

Untuk aspek Content Strands peserta didik dibentuk karakternya melalui

kegiatan/kerja matematika (doing math) sebegai representasi dalam kehidupan dunia

nyata dan mampu memanfaatkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Melalui

Content Strands peserta didik diharapkan memiliki disposisi matematis yang baik.

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 188

Pembentukan karakter peserta didik melalui pengembangan Mathematical Power For

All Students mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku peserta didik. Menurut

Khan (2010), pembentukan karakter membantu individu untuk hidup dan bekerja

bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk

membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Akselerasi Penanamam Karakter Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika

Penanaman karakter pada peserta didik dapat dilakukan melalaui proses belajar.

Menurut pandangan behavioristik, belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh

seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sadar

dari hasil interkasinya dengan lingkungan. Suatu individu yang berubah tingkahlakunya

secara tidak sadar tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan belajar. Pembentukan karakter

sebagai usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku peserta didik dipandang sebagai

proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai hasil

belajar. Hasil belajar pembentukan karakter ini berupa karakter peserta didik.

Pembentukan karakter peserta didik didik melalui matematika dan pembelajarnnya

sebagai proses belajar sesunguhnya tidak mudah atau tidak dapat serta merta dapat

dilihat, diukur, dan dirasakan peserta didik, meskipun hasil belajar sebagai perubahan

karakter dapat diukur dan diamati oleh seseorang yang belajar atau orang lain. Namun

demikian, terjadinya proses belajar dapat diidentifikasi dari interaksi yang dilakukan

oleh peserta dengan lingkungannya selama belajar.

Bagaimana mengakselerasi penanamam karakter peserta didik dalam pembelajaran

matematika? Tabel 3 berikut menyajikan beberapa upaya untuk mengakselerasi

penanamam karakter peserta didik melalaui pembelajaran matematika.

Tabel 3. Upaya Akselerasi Penanamam Karakter Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika

No ASPEK

PEMBELAJARAN Pengembangan Pembelajaran

1 Pembukaan Memotivasi peserta didik untuk memiliki disposisi matematis,

seperti memahami kegunaan matematika, memahami manfaat

matematika bagi diri dan kehidupan. Guru bisa menuliskan

karakter apa yang bisa dibentuk pada pembelajaran matematika

(berdasarkan topik/materi) yang akan dilakukan supaya peserta

didik dapat mengukur perubahan karakter yang diperolehnya.

2 Inti Pembelajaran diupayakan mengurangi kegiatan memberi

cermah (teacher centre). Pembelajaran berbasis masalah

merupakan salah satu solusi dalam membentuk karakter peserta

didik, karena itu setiap pembelajaran matematika hendaknya

dimulai dengan pemecahan masalah. Pemecahan masalah

didesain sedemikianhingga mendorong peserta didik untuk bisa

jumping taks, pembuktian, dan open ended. 3 Penutup Memberi kesempatan peserta didik untuk melakukan

elaborasi/konfirmasi pembelajaran yang sudah dilakukan untuk

mengembangkan penalaran, komunkasi, dan representasi.

Berbagai cara guru dapat mengupayakan pembentukan karakter bagi peserta didik.

Secara lebih khusus guru mata pelajaran Matematika akan lebih mudah

mengembangkan karakter peserta didik melalui matematika dan pembelajarannya

daripada guru matematika dipaksakan untuk membelajarkan aspek religius pada

pembelajaran matematika.

Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya

ISBN 978-602-1034-06-4 189

C. Simpulan dan Saran

Simpulan dari kajian ini adalah karakter peserta didik dapat dibentuk melalui

matematika dan pembelajarannya. Pendidik matematika dapat mengakselerasi

penanamam karakter peserta didik pada pembelajaran matematika pada semua aspek

math power for all, yang meliputi mathematical abilities, process standards, dan

content strands. Saran dalam kajian ini adalah bentuklah karakter peserta didik melalui

pembelajaran matematika untuk mendukung pengembangan karakter lainnya baik aspek

religius maupun sosial.

D. Daftar Pustaka

Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York:

Macmillan Publising

Depdinas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran

Matematika. Jakarta: Depdiknas

Junaedi, I. 2007. Meningkatkan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Matematis

Melalui Pembelajaran Dengan Strategi Writing From A Prompt Dan Writing In

Perfomance Tasks Pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah. Disertasi UPI: Bandung

Khan, Y. 2010. Pendidkan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi

Publishing.

Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:

Kemdiknas

Munir, A. 2010. Pendidikan karakter. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.

Zevenbergen, R., Dole, S., dan Wright, R. 2004. Teaching Mathematics in Primary

School. Australia: National Library of Australia.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 190

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

MATEMATIKA KONSTRUKTIVIS BERBASIS HUMANISTIK

BERBANTUAN E-LEARNING

Amidi Matematika FMIPA Unnes

KampusSekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

surel : [email protected]

Abstrak

Makalah ini bertujuan menjelaskan tahapan-tahapan pengembangan perangkat pembelajaran matematika

kontruktivis berbasis humanistik berbantuan e-learning guna meningkatkan penguasaan konsep dan

memperbaiki sikap belajar peserta didik terutama pada materi geometri. Pemahaman peserta didik

terhadap konsep dasar geometri kurang, di antaranya dalam pemahaman konsep Segitiga dan Segiempat.

Sehingga perlu suatu inovasi untuk mendesain pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang

menyenangkan bagi para peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Pembelajaran matematika

konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang

berorientasi pada peserta didik, dimana nilai-nilai humanistik diintegrasikan ke dalam pembelajaran di

kelas dan dengan bantuan E-learning. Adapun model pengembangan perangkat pembelajaran dengan

menggunakan model 4D yang diadaptasi menjadi 4P, yaitu pendefinisian (analisis awal-akhir, analisis

peserta didik, analisis materi, analisis tugas, dan merumuskan tujuan pembelajaran khusus), perancangan

(penyusunan kriteria tes, pemilihan media, pemilihan format, dan desain awal), pengembangan (validasi

ahli dan uji coba), dan penyebaran.

Kata kunci : kontruktivis, humanistik, e-learning

A. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki sifat khas

dibandingkan disiplin ilmu yang lain. Materi matematika berkenaan dengan simbol-

simbol dan beberapa berhubungan dengan konsep-konsep abstrak. Sehingga

pembelajaran matematika diberikan sejak dari satuan pendidikan dasar hingga

menengah dengan harapan peserta dapat memahami konsep matematika sejak dini, serta

dapat mengaplikasikan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini

didasarkan pada cara berpikir matematik yang merupakan kegiatan mental yang selalu

menggunakan abstraksi dan atau generelisasi (Hudojo, 1998:76). Abstraksi merupakan

proses untuk menyimpulkan hal-hal yang sama dari sejumlah objek atau situasi berbeda.

Sedangkan generalisasi merupakan penarikan simpulan dari hal-hal yang bersifat

khusus menjadi bersifat umum.

Banyaknya konsep matematika yang dapat ditunjukan atau diterangkan dengan

representasi geometris. Misalnya barang-barang disekitar kita, dapat di representasikan

dengan bangun-bangun geometri. Sehingga peserta didik sangat akrab dengan bangun-

bangun geometri. Hal ini mempertegas pentingnya mempelajari geometri. Karena selain

membina proses berpikir peserta didik, tetapi juga sangat mendukung topik-topik lain di

dalam matematika.

Herawati (1994) menunjukan bahwa praktik pembelajaran materi geometri kurang

disukai oleh sebagian peserta didik. Pemahaman konsep dasar geometri kurang, di

antaranya dalam pemahaman konsep Segitiga dan Segiempat. Sehingga perlu suatu

inovasi untuk mendesain pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang

menyenangkan bagi para peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Hal

tersebut tidak terlepas dari usaha pengajar untuk menemukan suatu model pembelajaran

yang menyenangkan bagi para peserta didik serta pengembangan perangkat

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 191

pembelajaran yang dapat membuat peserta didik aktif dan positif selama pembelajaran.

Serta dalam proses pembelajaran dapat terjalin komunikasi dua arah, sehingga peserta

didik tidak hanya menjadi objek pembelajaran semata, tetapi juga dapat berperan aktif

sebagai subjek belajar.

Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan

paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan,

untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran

matematika lebih bermakna bagi peserta didik dan dapat memberikan bekal kompetensi

yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja (Hadi,

2003). Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai

manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dengan demikian,

diharapkan di kelas peserta didik aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani

menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki

kepercayaan diri yang tinggi.

Perkembangan paradigma baru pembelajaran matematika akan berjalan baik jika

ditunjang dengan kurikulum yang berlandaskan konstruktivisme. Cunningham

(2006:14) berpendapat bahwa tahapan perkembangan kurikulum konstruktivisme

dengan dukungan dari lingkungan yang kaya bahasa, banyak peluang untuk memilih,

pengambilan keputusan, dan memecahkan masalah menjadi faktor yang kuat untuk

peningkatan prestasi akademik peserta didik secara konsisten. Sebagaimana yang

diungkapkan Hsueh (2005:7) perihal keterkaitan teori Piaget tentang konstruktivisme

individual dengan pendidikan. Sehingga muncul dampak dari pesan konstruktivisme

yang mungkin meresonasi dengan pendekatan serupa. Hakekat dari pendekatan ini

adalah melibatkan kehidupan orang-orang dan membuat perubahan untuk meningkatkan

hidup mereka.

Perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, membuat informasi dapat

diakses dengan mudah menggunakan media internet. Media ini berkembang seiring

dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang begitu pesat.

Dengan adanya perkembangan TIK yang semakin pesat, memungkinkan untuk

dikembangkan suatu model pembelajaran yang baru. Model pembelajaran yang dapat

dikembangkan dalam bentuk model pembelajaran menggunakan media komputer.

Internet sebagai pembuka cakrawala dunia, dapat memberikan sumbangsih yang cukup

berarti dalam dunia pendidikan, dimana penggunaannya harus disesuaikan dengan

kebutuhan pembelajaran di sekolah-sekolah.

Lee, et all (2002) dalam penelitiannya tentang ”Perbandingan Pembelajaran

berbasis Web secara Inkuiri dan Contoh Kerja dengan Menggunakan Physlets”,

menemukan bahwa peserta didik merasa tertolong dengan penggunaan model

pembelajaran E-learning jenis Physlets, dalam hal memvisualisasikan konsep-konsep

yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. Model E-learning sesuai dengan tujuan

pembelajaran matematika di kelas yaitu menanamkan konsep matematika baik yang

bersifat abstrak maupun konkret. Hendrawan & Yudhoatmojo (2001) dalam

penelitiannya tentang ”Efektivitas dari Lingkungan Pembelajaran Maya Berbasis Web

(Jaringan)”, mengatakan bahwa lingkungan pembelajaran yang bermedia teknologi

(model pembelajaran E-learning) dapat meningkatkan nilai para peserta didik (konsep),

sikap mereka terhadap belajar, dan evaluasi dari pengalaman belajar mereka.

Berdasarkan latar belakang, permasalahan hanya di batasi pada kajian bagaimana

pengembangan perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik

guna meningkatkan penguasaan konsep dan memperbaiki sikap belajar peserta didik

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 192

B. Pembahasan

1. Pengembangan Perangkat Pembelajaran

Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model 4-D oleh Thiagarajan,

Semmel dan Semmel (Trianto, 2009:188). Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu

define, design, develop, dan desseminate atau diadaptasikan menjadi model 4-P, yaitu

pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran.

Tahap Pendefinisian (Define) yang terdiri dari analisis ujung depan, analisis peserta

didik, analisis materi, analisis tugas, dan menentukan TPK. Analisis ujung depan yaitu

menelaah kurikulum standar isi dan teori-teori belajar yang relevan sehingga diperoleh

gambaran pendekatan pembelajaran yang sesuai. Tahapan ini tidak mengembangkan

materi pembelajaran baru, akan tetapi menggunakan materi yang telah ada untuk

dikembangkan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran matematika

konstruktivis.

Analisis peserta didik yaitu menelaah karakteristik peserta didik guna menghasilkan

masukan untuk menyusun rancangan perangkat pembelajaran sehingga rancangan

perangkat pembelajaran itu sesuai dengan karakteristik peserta didik. Karakteristik ini

meliputi latar belakang pengetahuan, bahasa yang digunakan, dan perkembangan

kognitif peserta didik.

Analisis materi/topik berupa mengidentifikasi bagian-bagian utama yang akan

diajarkan, kemudian menyusun secara sistematis topik-topik yang relevan yang akan

diajarkan berdasarkan analisis awal akhir. Analisis ini merupakan dasar untuk

menyusun tujuan pembelajaran.

Analisis Tugas yaitu pengidentifikasian tugas umum dan tugas khusus yang

diperlukan dalam pembelajaran sesuai kurikulum standar isi. Tahapan terakhir adalah

merumuskan TPK yaitu indikator berdasarkan tujuan pembelajaran dalam silabus, dan

penjabarannya berdasarkan hasil analisis materi/topik dan analisis tugas yang telah

ditetapkan. Perincian TPK ini merupakan landasan dalam penyusunan tes dan

rancangan perangkat pembelajaran.

Tahapan kedua dari pengembangan perangkat adalah Tahap Perancangan (Design)

yang terdiri dari penyusunan tes, pemilihan media, pemilihan format, sehingga

dihasilkan desain awal. Penyusunan tes berdasarkan analisis tugas dan analisis materi

yang dijabarkan dalam TPK. Untuk merancang tes terlebih dahulu dibuat kisi-kisi tes

dan penetapan acuan penskoran. Penskoran yang digunakan adalah penilaian acuan

patokan (PAP) dengan alasan karena PAP orientasinya adalah tingkat penguasaan

peserta didik terhadap bahan/materi atau tujuan instruksional.

Pemilihan media dilakukan untuk menentukan media yang tepat dalam penyajian

materi pelajaran. Proses pemilihan media disesuaikan dengan analisis tugas, analisis

materi dan karakteristik peserta didik. Media yang digunakan adalah E-learning.

Pemilihan format bertujuan untuk memilih format yang sesuai dengan faktor-faktor

yang telah dijabarkan pada tujuan pembelajaran, yaitu format untuk mendesain isi,

pemilihan strategi pembelajaran, dan sumber belajar. Sehingga dihasilkan desain awal

yaitu merupakan desain perangkat pembelajaran yang dirancang, yang akan melibatkan

aktivitas guru dan peserta didik.

Tahap Pengembangan (Develop) yang terdiri dari validasi ahli, uji coba

kepraktisan, dan uji coba perangkat. Tahap ini menghasilkan draft perangkat

pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para pakar dan data yang

diperoleh dari uji coba lapangan. Kegiatan pada tahap ini meliputi validasi perangkat

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 193

oleh ahli diikuti dengan revisi dan uji coba lapangan dengan peserta didik yang

sesungguhnya.

Validasi ahli bertujuan untuk memperoleh saran, kritik yang digunakan sebagai

masukan untuk merevisi perangkat pembelajaran (draft awal/draft I) sehingga

dihasilkan draft II yang dapat dikategorikan baik dan layak digunakan untuk ujicoba

lapangan. Adapun tahap dalam validasi ini secara umum mencakup (a) validasi isi

perangkat pembelajaran, apakah sesuai dengan materi dan tujuan yang akan diukur, (b)

validasi dari segi bahasa, apakah perangkat pembelajaran menggunakan bahasa

Indonesia yang benar atau apakah kalimat pada perangkat pembelajaran tidak

menimbulkan pengertian ganda. Data yang diperoleh dari validator dianalisis secara

deskriptip dengan menelaah hasil penilaian terhadap perangkat pembelajaran dan tes

prestasi belajar.

Perangkat pembelajaran yang praktis perlu ditinjau dengan dua kriteria yaitu

kemampuan guru mengelola pembelajaran baik dan respon positif dari guru dan peserta

didik. Sehingga dikembangkan dua instrumen yaitu instrumen yang digunakan untuk

mendapatkan data tentang kemampuan guru dalam menerapkan rencana pembelajaran

dengan pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-

learning. Pengamatan dilakukakan selama pembelajaran berlangsung dan instrumen

yang digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat peserta didik terhadap

pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning.

Langkah selanjutnya yaitu uji coba perangkat (Efektif) yang bertujuan untuk

memperoleh masukan berupa pencatatan semua respon, reaksi, komentar dari peserta

didik, guru, dan pengamat untuk merevisi atau menyempurnakan draft II.

2. Pembelajaran Konstruktivisme

a. Komponen-komponen Pendekatan konstruktivisme

Pribadi (2009:161) menjelaskan tentang tujuan pendekatan konstruktivisme dalam

pembelajaran adalah agar peserta didik memiliki kemampuan dalam menemukan,

memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang dipelajari.

Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran perlu

memperhatikan beberapa komponen penting sebagai berikut.

1). Belajar aktif (active learning).

2). Peserta didik terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan

situasional.

3). Aktivitas belajar harus menarik dan menantang.

4). Peserta didik harus dapat mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah

dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut ”brigding”.

5). Peserta didik harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari.

6). Guru harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu peserta

didik dalam melakukan konstruksi pengetahuan. Dalam hal ini, guru tidak lagi

hanya sekedar berperan sebagai penyaji informasi.

7). Guru harus dapat memberikan bantuan berupa scaffolding yang diperlukan oleh

peserta didik dalam menempuh proses belajar.

Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivisme dapat

memberikan hasil yang optimal, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian.

Newby dkk, (Pribadi, 2009:162) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 194

untuk mewujudkan pendekatan konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran yaitu

sebagai berikut.

1). Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan belajar dalam konteks

nyata. Belajar terjadi manakala peserta didik menerapkan pengetahuan yang

dipelajari dalam mengatasi suatu masalah.

2). Ciptakan aktivitas belajar kelompok.

3). Ciptakan model dan arahkan peserta didik untuk dapat mengkonstruksi

pengetahuan.

b. Desain Sistem Pembelajaran Konstruktivis

Gagnon dan Collay (Pribadi, 2009:163) mengemukakan sebuah desain sistem

pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivis yang terdiri atas beberapa

komponen penting dalam pendekatan aliran konstruktivisme yaitu situasi,

pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi, dan refleksi. Sedangkan langkah-

langkah pembelajaran konstruktivis antara lain sebagai berikut (Horslay dkk., 1990:

59).

Tahap 1 persepsi (membangkitkan motivasi belajar)

Proses dimulai dengan melibatkan peserta didik diajak untuk belajar. Hal itu bisa

diawali pertanyaan spontan peserta didik atau guru tentang ilmu pengetahuan atau

kehidupan sehari-hari. Pengetahuan awal yang diberi guru sangat penting untuk

aktivitas pada tahap 2.

Tahap 2 eksplorasi, (mengeksplorasi, menemukan, dan menciptakan)

Pada tahap ini peserta didik difokuskan untuk terlibat dalam kegiatan

(mengumpulkan dan mengorganisir data, atau percobaan yang sesuai dengan materi).

Proses eksplorasi memberi kesempatan untuk mengonstruksi ide yang membawa pada

penyelidikan pengetahuan.

Tahap 3 diskusi

Peserta didik mengajukan penjelasan dan solusi berdasarkan pengamatan peserta

didik, peserta didik mengonstruksi konsep baru mereka dengan menghubungkan

informasi dan ide serta mengintregasikan solusi dengan pengetahuan dan pengalaman

yang sudah ada.

Tahap 4 pengembangan dan aplikasi konsep.

Pada tahap ini guru tidak mengajari konsep tertentu tapi menyajikan aktivitas

(menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan), pertanyaan (berbagi informasi dan

ide), dan lingkungan dimana peserta didik dapat mengkonstruksi konsep ilmu

pengetahuan baru.

3. Pembelajaran Humanistik

Baharuddin & Wahyuni (2010:142-143) menyatakan, aliran humanistik

memandang bahwa belajar bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja,

melainkan juga menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka,

dan nilai-nilai yang dimiliki setiap peserta didik. Dengan demikian, penghargaan

terhadap nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan adalah aspek penting dalam

pengajaran yang beraliran humanistik. Nuansa belajar beraliran humanistik dalam

pembelajaran matematika di sekolah akan berakibat pada pembelajaran matematika

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 195

tersebut dapat memberikan dorongan hati (impulse) kepada peserta didik sehingga dapat

menyentuh dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai

kemanusiaan mereka.

Pembelajaran humanistik menempatkan pelajar bukan sebagai objek, melainkan

subjek yang bebas menemukan pemahaman berdasarkan pengalamannya sehari-hari

(Susilo, 1998:35). Sehingga dalam Pelajaran matematika secara humanistik berarti

menempatkan matematika sebagai bagian dari kehidupan nyata manusia. Hasil

pembelajaran dan pendidikan humanistik adalah orang yang bernalar kritis dan

mampu mengungkapkan diri demikian rupa hingga terjalin komunikasi yang

bermutu (Drost, 1998:110). Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju

pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh

maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman

mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan

penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian peserta didik

(Dalyono, 2009:43).

Terdapat lima tujuan yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik

dalam pendidikan menurut Gagne dan Berliner (Arsury, 2007:43):

1). mengembangkan self-direction yang positif dan kebebasan (kemandirian) pada diri

peserta didik;

2). membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari;

3). membangun kreativitas;

4). membangun rasa keingintahuan; dan

5). membangun minat terhadap seni atau menciptakan sensitivitas seni

Roger (Dalyono, 2009:46) menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik

yang penting diantaranya ialah :

1). Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.

2). Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan peserta didik

mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.

3). Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri

dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.

4). Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan

diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.

5). Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh

dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

6). Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.

7). Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut

bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.

8). Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik

perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang

mendalam dan lestari.

9). Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai

terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya

sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.

10). Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar

mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap

pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan

itu.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 196

Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran humanistik

menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang berperan aktif mengeksplorasi

pengalamannya guna menemukan pemahaman dengan menekankan nilai nilai kemanusiaan di

dalamnya.

4. Pembelajaran dengan E-learning

Seels dan Richey (Warsita, 2008:21) mendefinisikan teknologi pembelajaran

adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan pemanfaatan, pengelolaan,

penilaian dan penelitian, proses, sumber dan sistem untuk belajar. Dalam definisi

tersebut terkandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi

pembelajaran, yaitu: (1) teori dan praktik (2) desain, pengembangan, pemanfaatan,

pengelolaan, penilaian dan penelitian (3) proses, sumber dan sistem (4) untuk belajar

teknologi pembelajaran. Komponen–komponen yang ada pada pada proses, sumber

dan sistem belajar dapat dilihat pada Gambar 1.

Para ahli mendefinisikan E-learning sesuai dengan sudut pandangnya. Karena E-

learning kepanjangan dari elektronik learning ada yang menafsirkan E-learning

sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan teknologi elektronik (radio, televisi,

film, komputer, internet, dll). Jaya Kumar C. Koran mendefinisikan E-learning

sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian

elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran,

interaksi atau bimbingan (Isjoni dkk, 2008:9).

Rosenberg menekankan bahwa E-learning merujuk pada penggunaan teknologi

internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan. Hal ini senada dengan Cambell yang intinya menekankan

penggunaan internet dalam pendidikan sebagai hakikat E-learning (Isjoni dkk,

2008:9). Onno menjelaskan bahwa istilah ”E” atau singkatan dari elektronik dalam E-

learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk

mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi internet (Isjoni dkk, 2008:9).

Gambar 1 Definisi Teknologi Pembelajaran (diadaptasi dari Seels dan Richey, dalam Warsita

2008)

Pengembangan proses, sumber dan

sistem belajar

desain proses,

sumber dan sistem

belajar

Pemanfaatan proses,

sumber dan sistem

belajar

Teori

dan praktik

Pengelolaan proses,

sumber dan sistem

belajar Peilaian proses,

sumber dan sistem

belajar

Penelitian proses,

sumber dan

sistem belajar

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 197

Pengembangan model E–learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang

diinginkan. Menurut Haughey (Isjoni dkk, 2008:10) ada tiga kemungkinan dalam

pengembangan pembelajaran berbasis internet yaitu sebagai berikut

1) Web Course

Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, dan tidak

diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan,

latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui

internet. Dengan kata lain, model ini menggunakan sistem jarak jauh.

2) Web Centric Course

Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar

jarak jauh dengan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan melalui

internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Funginya saling melengkapi. Dalam

model ini pengajar bisa memberikan petunjuk kepada peserta didik untuk mempelajari

materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Peserta didik juga diberikan

arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang releven.

3) Web Enhaceed Course

Web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang kualitas

pembelajaran yang di lakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan

pengayaan dan komunikasi peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik,

anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu, peran

pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet,

membimbing peserta didik mencari dan menemukan situs-situs yang releven dengan

bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati,

melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet kecakapan lain yang diperlukan.

Dari ketiga cara di atas web centric course lebih utama unutk digunakan, karena

berdasarkan analisis peserta didik cara tersebut lebih mudah digunakan. Manfaat dan

dampak yang diperoleh dari pembelajaran melalui E-learning antara lain.

1). Perubahan budaya belajar dan peningkatan mutu pembelajaran pembelajar dan

pengajar.

2). Perubahan pertemuan pembelajaran yang tidak terfokus pada pertemuan di kelas

dan pertemuan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu melalui fasilitas E-learning.

3). Tersedianya materi pembelajaran di media elektronik melalui E-learning yang

mudah diakses dan dikembangan oleh pembelajar.

4). Pengayaan materi pembelajaran sesuai dengan kemajuan dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan kemajuan teknologi.

5). Menciptakan competitive positioning dan meningkatkan brand image.

6). Meningkatkan kualitas pembelajaran dan kepuasan pembelajar serta kualitas

pelayanan.

7). Mengurangi biaya operasi dan meningkatkan pendapatan.

8). Interaktivitas pembelajar meningkat karena tidak ada batasan waktu untuk belajar.

9). Pembelajar lebih bertanggung jawab akan kesuksesannya (learned oriented).

Keuntungan penggunaan web dalam pembelajaran menurut Isjoni, dkk (2008:81)

antara lain.

1). Pembelajaran web bersifat terarah, interaktif , kadar pemfokusan tinggi.

2). Web dapat dibuat kapanpun, dimanapun dan menyeluruh di dunia.

3). Biaya bagi pelajar menyediakan akses komputer adalah rendah.

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 198

4). Kandungan mudah disesuaikan.

5. Sintaks Pembelajaran Konstruktivis berbasis Humanistik berbantuan E-

learning

Sintaks pembelajaran konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning

dibuat berdasarkan desain sistem pembelajaran kontsruktivisme, yang didalamnya

dimasuki nilai-nilai humanistik, dan E-learning digunakan sebagai salah satu sumber

materi dan tugas, seperti pada Tabel 1. sebagai berikut.

Tabel 1. Sintaks Pembelajaran Konstruktivis berbasis Humanistik berbantuan E-learning

Fase Kegiatan Pembelajaran

1. Persepsi Peserta didik diminta mengumpulkan tugas soal pada E-learning dan PR

(unsur bertanggung jawab). Guru menyampaikan materi pada pertemuan hari

ini. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Guru memberikan motivasi

kepada peserta didik

2. Eksplorasi Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan

sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, guru memaparkan tentang

materi dengan bantuan E-learning dan manfaatnya dalam dunia nyata.

3. Diskusi Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tiap kelompok

berisi 4 peserta didik, kemudian peserta didik berdiskusi mengerjakan LKPD

(unsur humanis bekerja sama). Guru sebagai fasilitator dalam berjalannya

diskusi.

4. Pengembangan

dan aplikasi

konsep

Setiap kelompok diminta untuk mengemukakan hasil diskusi sesuai dengan

tugas yang diberikan. Pada saat pemaparan hasil diskusi kelompok,

kelompok lain dapat memberikan pendapat (unsur humanis saling

menghargai). Setiap kelompok melakukan presentasi secara bergantian

(elaborasi). Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk

lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik

(konfirmasi). Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk

memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan secara konsisten dan

terprogram (konfirmasi). Bersama-sama dengan peserta didik membuat

rangkuman, melakukan refleksi berupa pemberian PR.

C. Simpulan dan Saran

Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian matematika konstruktivis

berbasis humanistik berbantuan E-learning pada materi segitiga kelas VII

dikembangkan menggunakan hasil modifikasi model pengembangan perangkat

pembelajaran dari Model 4-D (Four D Model). Adapun tahapan pertama adalah

Pendefinisian yang didasarkan pada hasil analisis proses pembelajaran yang

berlangsung, peserta didik, materi, tugas, dan perumusan tujuan pembelajaran khusus.

Sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan dan

karakteristik peserta didik.

Tahapan yang kedua adalah tahap perancangan meliputi penyusunan kriteria tes,

pemilihan media, pemilihan format, dan dirancang desain awal yang melibatkan peserta

didik dan guru. Adapun tahapan ketiga adalah tahap pengembangan yang terdiri dari

validasi ahli dan uji coba perangkat. Setiap tahapan diakhiri dengan revisi perangkat

pembelajaran berdasarkan masukan peserta didik, guru, dan pengamat. Karena dalam

pengembangannya melalui tahapan validasi ahli dan juga uji coba di lapangan, maka

akan diperoleh perangkat pembelajaran yang valid.

Perangkat pembelajaran yang valid, diperoleh dari berbagai tahapan

pengembangan. Diantaranya adalah analisis peserta didik dan uji coba lapangan.

Sehingga perangkat yang dihasilkan dapat dipraktekkan oleh guru dengan mudah,

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 199

karena perangkat tersebut sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik dan

materi yang diajarkan. Kesesuaian perangkat pembelajaran dengan karakteristik peserta

didik, akan menjadikan peserta didik lebih senang dan antusias dalam mengikuti proses

pembelajaran. Hal ini berakibat respon peserta didik dan guru terhadap proses

pembelajaran menjadi positif.

Sikap belajar peserta didik yang positif, akan menimbulkan peningkatan semangat

belajar sehingga peserta didik menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan lebih

sering mengerjakan tugas-tugas. Karena melalui pembelajaran konstruktivis, peserta

didik ditempa sehingga memahami teori, latihan dan dapat mengaplikasikan teori dan

latihan tersebut dalam dunia nyata. Penggunaan E-learning dalam pembelajaran dapat

membantu peserta didik untuk memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak. Selain

itu, dengan tampilan yang menarik dan mudah digunakan akan menjadikan peserta didik

lebih senang dalam proses belajar. Karena penggunaan E-learning lebih menyentuh

aspek aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Penggunaan perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik

berbantuan E-learning yang valid dan praktis akan berdampak pada perkembangan

kecerdasan emosional dan pemahaman terhadap materi pelajaran. Hal ini akan berakibat

pada meningkatnya prestasi belajar peserta didik sehingga kriteria ketuntasan minimal

akan tercapai.

Penerapan pembelajaran konstruktivis berbasis humanistik juga dapat membangun

aspek kehidupan secara lebih menyeluruh, baik dalam aspek kognitif, afektif, dan

psikomotorik. Sehingga pembelajaran yang humanis diharapkan lebih mendekatkan

peserta didik terhadap realitas yang berada di sekitarnya. Maka diharapkan peserta didik

dapat lebih memiliki rasa saling menghargai, kerja sama, dan tanggungjawab.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan dengan menggunakan

perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-

learning yang valid dan praktis akan menciptkan pembelajaran yang efektif. Karena

pembelajaran tersebut dapat meningkatkan penguasaan konsep dan memperbaiki sikap

belajar peserta didik.

D. Daftar Pustaka

Arsury. 2007. Pendidikan Yang Humanis. http://arsury.blogspot.com/

2007/12/pendidikan-yang-humanistik.html (diakses 14 September 2010).

Baharudin & Wahyuni. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakatra: Ar-Ruzz

Media.

Cunningham, D. D. 2006. The Seven Principles of Constructivist Teaching: A Case

Study. The Constructivist, 17/1.

Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Drost, J. IGM. 1998. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius Universitas Sanata Dharma.

Hadi, S. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika, Makalah Ilmiah,

http://www.jurotuguru.wordpress.com. (diakses 17 November 2010).

Hendrawan, C. & Yudhoatmojo, S. B. 2001. Web-Based Virtual Learning Environment:

A Research Framework and A Preliminary Assessment in Basic IT Skills

Training. MIS Quarterly. 401-426. Tersedia: GNU Free Document License

(diakses 25 September 2010)

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis

ISBN 978-602-1034-06-4 200

Herawati, S. 1994. Penelusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami

Bangun-bangun Geometri Studi Kasus di KelasVI SD No. 4 Purus Selatan. Tesis :

IKIP Malang

Horslay, S. L. 1990. Elementary School Sciene for the 90’s. Virginia: Association

Supervision and curriculum Development.

Hsueh, Y. 2005. The Lost and Found Experience: Piaget Rediscovered. The

Constructivist, 16/1.

Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Isjoni, dkk. 2008. Pembelajaran Terkini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lee, Nicoll, & Brooks. 2002. A Comparison of Inquiry and Worked Example Web-

Based Instruction Using Physlets. Dalam Computers & Education [Online], Vol

10 (5), 7 (diakses 12 Maret 2010)

Pribadi, B.A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat.

Susilo, F. 1998. Pendidikan Sains Yang Humanistik. Yogyakarta: Kanisius.

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana.

Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 201

PERBANDINGAN METODE ARIMA BOX – JENKINS DENGAN

METODE DOUBLE EXPONENTIAL SMOOTHING DARI BROWN

DALAM MEMPREDIKSI JUMLAH PENGUNJUNG

PERPUSTAKAAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

Izza Hasanul Muna, Riza Arifudin

Matematika FMIPA Unnes

Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

[email protected]

[email protected]

Abstrak

Perpustakaan adalah sebuah unit kerja yang mengelola bahan pustaka,baik, bahan cetak maupun

non cetak yang dikelola secara sistematis,kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan pemakainya

sebagai sumber informasi.Dalam perkembangannya, keberadaan perpustakaan sangat dibutuhkan

oleh masyarakat. Hal ini tampak pada jumlah pengunjung perpustakaan tiap satuan waktu, baik

dalam skala harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk

mengetahui fluktuasi dan meramalkan banyaknya pengunjung di Perpustakaan Daerah Provinsi

Jawa Tengah menggunakan 2 metode yang berbeda, yaitu ARIMA Box – Jenkins dan metode

Double Exponential Smoothing dari Brown. Hasil peramalan menggunakan metode ARIMA Box

- Jenkins yaitu pada bulan September 2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar 66495,9.

Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar 67903,4. Untuk November 2014 yaitu sekitar 68380,0 dan

untuk bulan Desember 2014 yaitu sekitar 69188,6 dengan MSE sebesar 105,31. Sedangkan jika

menngunakan metode Double Exponential Smoothing dari Brown hasil peramalan yang

diperoleh yaitu pada bulan September 2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar

67348,05868. Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar 67107,04208. Untuk November 2014 yaitu

sekitar 66866,02529 dan di bulan Desember 2014 yaitu sekitar 66625,00849 dengan MSE

sebesar 24873868,91872.

Kata Kunci : Perpustakaan daerah, ARIMA Box – Jenkins, Double Exponential Smoothing

dari Brown

A. Pendahuluan

Dewasa ini, hal apapun bisa diprediksikan atau diramalkan termasuk jumlah

pengunjung perpustakaan. Suatu ramalan yang baik adalah bukan ramalan yang di

dasarkan atas pemikiran yang tidak beralasan melainkan melalui suatu perkiraan yang

berdasarkan atas tingkah laku dari gejala yang sudah ada dan diamati secara berulang-

ulang. Dengan pengamatan berulang-ulang jumlah pengunjung perpustakaan itu dapat

diperhitungkan dan diramalkan dengan teliti.

Peramalan diperlukan untuk mengetahui kapan suatu kejadian akan terjadi sehingga

tindakan yang lebih baik dapat dilakukan. Peramalan merupakan alat bantu yangsangat

penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien. Terdapat banyak fenomena yang

saat ini hasilnya atau terjadinya sesuatu itu dapat diramalkan dengan mudah dan tepat.

Misalnya terjadinya musim hujan atau musim kemarau, banyaknya jumlah pengunjung

suatu tempat dalam kurun waktu tertentu dan peristiwa peristiwa lain yang dapat

diramalkan meskipun hal itu tidak selalu terjadi yang demikian.

Dalam peramalan ada banyak metode yang dapat digunakan. Metode – metode

tersebut antara lain metode rata-rata bergerak atau MA (Moving Average), metode

penghalusan eksponensial (Exponential Smoothing), model ARIMA (Autoregressive

Integrated Moving Average) dll. Dari banyak metode peramalan yang ada, nantinya

akan dipilih metode yang manakah yang sesuai dengan data yang ada. Dalam penelitian

ini akan dibahas tentang perbandingan metode ARIMA Box – Jenkins dengan metode

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 202

Double Exponential Smoothing dari Brown dalam memprediksi jumlah pengunjung

Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah dimasa yang akan datang

B. Tinjauan Pustaka

1. Metode ARIMA Box – Jenkins

Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) atau biasa disebut

juga sebagai metode Box-Jenkins merupakan metode yang secara intensif

dikembangkan oleh George Box dan Gwilym Jenkins pada tahun 1970. Kelompok

model time series yang termasuk dalam metode ini antara lain: autoregressive (AR),

moving average (MA), autoregressive-moving average (ARMA), dan autoregressive

integrated moving average (ARIMA) (Hatidja, 2010).

Dasar dari pendekatan ARIMA Box dan Jenkins terdiri dari empat tahap, yaitu :

a. Identifikasi model sementara. Dalam mengidentifikasi model langkah yang

dilakukan adalah menstasionerkan data dan menentukan model analisis runtun

waktu berdasarkan fungsi Autokorelasi dan fungsi autokerelasi parsial. Apabila data

yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk

menghasilkan data yang stasioner. Untuk menstasionerkan data dalam rata – rata

dapat dilakukan dengan differencing, sedangkan menstasionerkan data dalam

variansi dapat dilakukan dengan transformasi Box – Cox dengan sebagai

parameter transformasi. Berikut ini adalah nilai beserta rumus transformasinya

(Yuniarti, 2012).

Tabel 1. Nilai dan transformasinya

b. Mencari nilai estimasi dari model tersebut. Nilai estimasi tersebut kemudian akan

digunakan untuk menentukan model final dalam melakukan peramalan.

c. Pemeriksaan diagnostik (Diagnostic checking). Pemeriksaan diagnostik (diagnostic

checking) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu uji kesignifikanan parameter dan uji

kesesuaian model (meliputi uji asumsi white noise dan uji residual berdistribusi

normal). Pengujian kesignifikanan parameter dengan uji t, pengujian white noise

dengan uji Ljung-Box, sedangkan pengujian residual berdistribusi normal dengan

uji Kolmogorov Smirnov.(Hatidja, 2010).

d. Tahap terakhir dari pendekatan Box – Jenkins adalah peramalan (forecasting) itu

sendiri. Jika seluruh parameter model signifikan dan seluruh asumsi sisanya

terpenuhi, peramalan dapat dilakukan.

Transformasi

-1

-0,5

0

0,5

1

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 203

2. Metode pemulusan eksponensial ganda (Double Exponential smoothing) dari

Brown

Metode Exponential Smoothing (Pemulusuan Eksponensial), pada dasarnya data

masa lalu dimuluskan dengan cara melakukan pembobotan menurun secara

eksponensial terhadap nilai pengamatan yang lebih tua. Pada metode Exponential

Smoothing, perevisian secara berkelanjutan dilakukan atas ramalan berdasarkan

pengalaman yang lebih kini, yaitu melalui pengrata-rataan (pemulusan) nilai dari

serentetan data yang lalu dengan cara menguranginya secara eksponensial. Hal itu

dilakukan dengan memberikan bobot tertentu pada tiap data. Bobotnya dilambangkan

dengan α (alpha) dan bergerak antara 0 sampai 1 (Jatra,dkk., 2013).

Salah satu metode Exponential Smoothing adalah Pemulusan Eksponensial Ganda

(Double Exponential Smoothing) dari Brown yang merupakan model linear yang

dikemukakan oleh Brown.Di dalam metode Double Exponential Smoothing ini

dilakukan proses smoothing (pemulusan) dua kali. (Jatra,dkk., 2013).

Adapun Rumus yang dipakai dalam implementasi Double Exponential Smoothing

dari Brown sebagai berikut :

a. Menentukan nilai Smoothing Pertama

................................................ (1)

:

:

:

b. Menentukan nilai Smoothing kedua

............................................... (2)

:

c. Menentukan nilai konstanta (

................................................................ (3)

d. Menentukan nilai slope

.......................................................... (4)

e. Menentukan nilai peramalan

............................................................ (5)

:

: (Jatra,dkk., 2013).

Untuk dapat menggunakan rumus, maka nilai harus tersedia. Tetapi

pada saat t = 1, nilai-nilai tersebut tidak tersedia. Karena nilai - nilai ini harus ditentukan

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 204

pada awal periode, untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan engan menetapkan

sama dengan nilai (data aktual). (Jatra,dkk., 2013).

C. Hasil dan Pembahasan

Banyaknya jumlah pengunjung perpustakaan daerah provinsi Jawa Tengah dalam

bulan Januari 2010 – Agustus 2014 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Data per Bulan Jumlah Pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah

bulan Jumlah pengunjung pada tahun

2010 2011 2012 2013 2014

Januari 33411 36202 56651 53193 67612

Februari 32297 32343 62758 53487 67460

Maret 33841 40679 65134 60585 74823

April 32505 41157 64946 61808 69731

Mei 35108 42109 63034 61569 69656

Juni 36738 45062 68642 63823 75113

Juli 37371 48677 68472 71152 61488

Agustus 37491 47778 56581 54943 67765

September 37913 44166 61690 69892 -

Oktober 37321 41671 62985 69000 -

November 40051 46861 61220 69308 -

Desember 39618 50443 62106 67355 -

1. Metode ARIMA Box – Jenkins

a. Identifikasi Model sementara

Time series plot terhadap jumlah pengunjung perpustakaan daerah provinsi Jawa

Tengah dari bulan Januari 2010 – Agustus 2014 dapat dilihat pada Gambar 1, dimana

pola time series memiliki trend naik.

Gambar 1. Tampilan Time series plot data jumlah pengunjung

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 205

Secara visual pada gambar 1 data terlihat tidak stasioner pada rata-rata maupun

variansinya. Sebenarnya tidak ada patokan khusus dalam melihat apakah data dikatakan

stasioner atau tidak hanya secara visual melalui time series plot nya. Untuk lebih

pastinya lihat grafik ACF dari data awalnya pada Gambar 2 .

Gambar 2. Grafik ACF data jumlah pengunjung

Berdasarkan grafik ACF pada Gambar 2 menunjukkan bahwa data menurun lambat

secara eksponensial mendekati nol, yang berarti bahwa data tidak stationer baik dalam

rata – rata maupun variansi. Supaya data stasioner terhadap variansi, maka dilakukan

transformasi yang sesuai dengan nilai yang dapat dilihat pada plotBox-Cox.

Berdasarkan Box-Cox Plot pada Gambar 3 diperoleh nilai λ = 0.5 sehingga

perludilakukan transformasi agar data stasioner dalam variansi. Setelah di

transformasi diperoleh data yang sudah stasioner dalam variansi, namun belum stasioner

dalam rata – rata. Supaya data stasioner terhadap rata – rata, perlu dilakukan

differencing (pembedaan).

Gambar3. Tampilan Box – Cox plot data jumlah pengunjung

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 206

Gambar 4. Time series plot transformasi data pengunjung yang di differencing

Berdasarkan grafik hasil differencing pertama pada gambar 4 terlihat bahwa pola

data yang ada telah stasioner, baik terhadap rata – rata maupun variansi. Karena data

telah stasioner, maka hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan model

awal dengan mengecek AR dan MA pada grafik ACF dan PACF.

. Gambar 5. Grafik ACF data yang telah di differencing satu kali

Gambar 6. Grafik ACF data yang telah di differencing satu kali

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 207

Selain dari Time Series Plot nyayang menunjukkan data sudah stasioner, pada

grafik ACF dan PACF nya pun data juga terlihat telah stasioner. Dikatakan data sudah

stasioner karena setelah lag terputus, tidak ada lag lagi yang keluar dari batas garis, baik

di ACF maupun PACF nya. Berdasarkan plot ACF dan PACF pada Gambar 5 dan 6,

terlihat ACF nya terputus setelah lag 1 dan PACF nya terputus setelah lag 1. Dapat

disimpulkan model yang mungkin sesuai dengan data adalah ARIMA ( 1,1,1), ARIMA

(1,1,0), dan ARIMA (0,1,1).

b. Estimasi model

Dalam mengestimasi model – model yang telah dipilih berdasarkan proses

identifikasi.

Pada tahap identifikasi model, telah diperoleh beberapa model ARIMA antara lain:

ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0), dan ARIMA(0,1,1). Dengan cara yang sama pada

deskripsi kerja untuk menguji tiap estimasi model didapat tabel ringkasan hasil yang

terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai p-value setiap parameter dari masing – masing model

No Estimasi model Parameter koefisien P_value MSE

1

ARIMA (1,1,1)

AR 1 0,1605 0,602

MA 1 0,5796 0,028 103,29

Constant 1,232 0,038

2

ARIMA (1,1,0) AR 1 -0,349 0,010

105,31

Constant 1,86 0,035

3 ARIMA (0,1,1)

MA 1 0,4386 0,001 101,60

Constant 14,378 0,066

c. Pemeriksaan diagnostik ( Diagnostic checking )

1) Uji signifikansi parameter

Uji signifikansi parameter dilakukan dengan tujuan untuk memilih model yang

terbaik dari beberapa model yang mungkin. Adapun hipotesis untuk uji signifikansi

parameter yaitu sebagai berikut :

H0 : Ø = 0 (Parameter model tidak signifikan dalam model)

H1 : Ø ≠ 0 (Parameter model signifikan dalam model)

Tingkat signifikansi (α) = 0.05

Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh ringkasan hasil uji signifikansi parameter

disajikan pada Tabel 4.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 208

Tabel 4. hasil uji signifikansi parameter masing – masing model

No Model ARIMA Parameter P_value Keterangan

1

ARIMA (1,1,1)

AR 1 0,602 H0 diterima

MA 1 0,028 H0Ditolak

Constant 0,038 H0Ditolak

2 ARIMA (1,1,0)

AR 1 0,010 H0Ditolak

Constant 0,035 H0Ditolak

3 ARIMA (0,1,1)

MA 1 0,001 H0Ditolak

Constant 0,066 H0 diterima

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hanya model ARIMA(1,1,0) saja yang semua

parameternya signifikan sehingga model ARIMA(1,1,0) yang dapat dilanjutkan ke tahap

uji kesesuaian model.

2) Uji Kesesuaian Model

Berdasarkan uji signifikansi parameter, diperoleh model ARIMA (1,1,0) saja yang

semua parameternya signifikan. Oleh karena itu model ini dapat dilanjutkan ke tahap uji

kesesuaian model. Uji kesesuaian model meliputi uji white noise dan uji residual

berdistribusi normal.

3) Uji White Noise

Untuk mengetahui suatu model memenuhi asumsi white noise atau tidak, dilihat

dari Ljung – Box nya. Adapun hipotesis yang dipakai dalam uji white noise sebagai

berikut :

H0 : (Tidak ada korelasi antar lag / white noise )

H1 : ( ada korelasi antar lag / tidak white noise )

Tingkat signifikansi (α) = 0.05

Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).

Tabel 5. Tampilan Ljung – Box ARIMA (1,1,0)

Lag Chi square DF P_value

12 5,1 10 0,886

24 18,2 22 0,691

36 27,5 34 0,778

48 30,3 46 0,964

Berdasarkan Tabel 5 terlihat p-value dari lag 12 hingga 48 pada model ARIMA

(1,1,0) lebih dari 0,05. Karena p-value dari semua lag > 0,05 , maka terima yang

berarti tidak ada korelasi antar lag pada model. Dengan kata lain ARIMA (1,1,0)

memenuhi asumsi white noise.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 209

4) Uji residual berdistribusi normal

Dalam uji residual berdistribusi normal, hipotesis yang digunakan sebagai berikut :

H0: Residual berdistribusi normal

H1 : Residual tidak berdistribusi normal

Tingkat signifikansi (α) = 0.05

Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).

Gambar 7. Grafik kenormalan residual data

Berdasarkan grafik pada Gambar 7 diperoleh p – value nya sebesar 0,142. Jelas

0,142 > 0,05 Karena , maka terima yang berarti residual berdistribusi

normal. Jadi residual dari model ARIMA (1,1,0) berdistribusi normal. Oleh sebab semua

parameternya signifikan, model memenuhi asumsi white noise dan asumsi kenormalan

terpenuhi, maka model ARIMA (1,1,0) merupakan model terbaik dari ketiga model

ARIMA yang lainnya.

Berdasarkan Tabel 2, diperoleh koefisien AR (1) = -0,349 dan konstanta = 1,860

dengan MSE = 105,31. Untuk mencari persamaan modelnya dapat menggunakan rumus

:

............................................... (6)

(Yuniarti, 2012).

Diperoleh persamaan modelnya yaitu :

.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 210

Jadi persamaan modelnya untuk data

runtun waktu dalam bentuk .

d. Peramalan Berdasarkan tahapan analisis sebelumnya diperoleh bahwa model ARIMA (1,1,0)

merupakan model terbaik untuk meramalkan data jumlah pengunjung perpustakaan

daerah provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan peramalan untuk caturwulan atau 4

bulan terakhir di tahun 2014.

Diperoleh hasil peramalan sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil peramalan untuk 4 bulan yang akan datang

Periode Bulan

Forecast data

(dalam Forecast

data

57 September 257,868 66495,9

58 Oktober 260,583 67903,4

59 November 261,496 68380,0

60 Desember 263,037 69188,6

2. Metode Double Exponensial Smoothing dari Brown

a. Pemilihan parameter terbaik

Dalam penelitian ini parameter terbaik dipilih berdasarkan nilai MAPE dan MSE

yang paling kecil. Nilai yang ditentukan adalah 0,1, 0,2, 0,3 0,4, 0,5, 0,6, 0,7, 0,8 dan

0,9. Tabel 7. Nilai MAPE dan MSE dari masing – masing α

Α MAPE MSE

0,1 7,24933 28705030,21996

0,2 7,07118 25547846,09550

0,3 6,89596 24873868,91872

0,4 6,94411 26101297,83023

0,5 7,11418 28899946,39815

0,6 7,46705 33224341,89351

0,7 7,90978 39289404,13975

0,8 8,50518 47540260,73890

0,9 9,16565 58697334,32368

Setelah dilakukan trial and error danmenggunakan metode Pemulusan Eksponensial

Ganda (Double Exponential Smoothing) dariBrown terhadap beberapa nilai α dapat

dilihat pada Tabel 7 bahwa parameter α terbaik adalah dengan nilai MAPE

sebesar 6,89596 dan MSE sebesar 24873868,91872.Berdasarkan nilai MAPE dan MSE

terbaik yang telah di dapatkan tersebut, maka selanjutnya dapat dilakukan peramalan

menggunakan metode Double Exponential Smoothing dari Brown dengan nilai

parameter .

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 211

b. Menentukan nilai Smoothing Pertama

Untuk menentukan nilai smoothing pertama dapat diketahui dengan

menggunakan rumus pada persamaan (1) sebagai berikut :

1) Untuk t = 1 diperoleh

2) Untuk t = 2 diperoleh

dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

c. Menentukan nilai Smoothing Kedua

Untuk menentukan nilai smoothing kedua dapat diketahui dengan

menggunakan rumus pada persamaan (2) sebagai berikut :

1) Untuk t = 1 diperoleh

2) Untuk t = 2 diperoleh

dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

d. Menentukan nilai konstanta (

Dengan menggunakan rumus pada persamaaan (3) dapat di cari nilai – nilai

konstantanya sebagai berikut :

1) Untuk t = 1 diperoleh

2) Untuk t = 2 diperoleh

dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

e. Menentukan nilai slope (

Dengan menggunakan rumus pada persamaaan (4) dapat di cari nilai – nilai

konstantanya sebagai berikut :

1) Untuk t = 1 diperoleh

2) Untuk t = 2 diperoleh

dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 212

Tabel 8. Nilai Smoothing Pertama dan Kedua, Nilai Konstanta dan nilai Slope menggunakan

nilai parameter

Periode data Smoothing

pertama Smoothing kedua konstanta slope

1 33411 33411 33411 33411 0

2 32297 33076.8 33310.74 32842.86 -100.26

3 33841 33306.06 33309.336 33302.784 -1.404

4 32505 33065.742 33236.2578 32895.2262 -73.0782

5 35108 33678.4194 33368.90628 33987.9325 132.64848

6 36738 34596.29358 33737.12247 35455.4647 368.21619

Periode data

Smoothing

pertama

Smoothing kedua konstanta slope

9 37913 36607.0757 35331.92814 37882.2233 546.491813

10 37321 36821.25299 35778.72559 37863.7804 446.797456

11 40051 37790.17709 36382.16104 39198.1931 603.43545

12 39618 38338.52396 36969.06992 39707.978 586.908877

13 36202 37697.56678 37187.61898 38207.5146 218.549057

14 32343 36091.19674 36858.69231 35323.7012 -328.92667

15 40679 37467.53772 37041.34593 37893.7295 182.653624

16 41157 38574.3764 37501.25507 39647.4977 459.909142

17 42109 39634.76348 38141.3076 41128.2194 640.052523

18 45062 41262.93444 39077.79565 43448.0732 936.488053

19 48677 43487.15411 40400.60319 46573.705 1322.80754

20 47778 44774.40787 41712.74459 47836.0712 1312.14141

21 44166 44591.88551 42576.48687 46607.2842 863.742276

22 41671 43715.61986 42918.22677 44513.013 341.739897

23 46861 44659.2339 43440.52891 45877.9389 522.302141

24 50443 46394.36373 44326.67935 48462.0481 886.150447

25 56651 49471.35461 45870.08193 53072.6273 1543.40258

26 62758 53457.34823 48146.26182 58768.4346 2276.17989

27 65134 56960.34376 50790.4864 63130.2011 2644.22458

28 64946 59356.04063 53360.15267 65351.9286 2569.66627

29 63034 60459.42844 55489.9354 65428.9215 2129.78273

30 68642 62914.19991 57717.21475 68111.1851 2227.27935

31 68472 64581.53994 59776.51231 69386.5676 2059.29755

32 56581 62181.37796 60497.972 63864.7839 721.459694

33 61690 62033.96457 60958.76977 63109.1594 460.79777

34 62985 62319.2752 61366.9214 63271.629 408.151628

35 61220 61989.49264 61553.69277 62425.2925 186.771371

36 62106 62024.44485 61694.91839 62353.9713 141.225623

37 53193 59375.01139 60998.94629 57751.0765 -695.9721

38 53487 57608.60798 59981.8448 55235.3712 -1017.1015

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 213

39 60585 58501.52558 59537.74903 57465.3021 -444.09576

40 61808 59493.46791 59524.4647 59462.4711 -13.284338

41 61569 60116.12754 59701.96355 60530.2915 177.498852

42 63823 61228.18927 60159.83127 62296.5473 457.867718

43 71152 64205.33249 61373.48163 67037.1834 1213.65037

44 54943 61426.63274 61389.42697 61463.8385 15.9453333

45 69892 63966.24292 62162.47175 65770.0141 773.044786

46 69000 65476.37004 63156.64124 67796.0988 994.169487

47 69308 66625.85903 64197.40658 69054.3115 1040.76534

48 67355 66844.60132 64991.565 68697.6376 794.158423

49 67612 67074.82093 65616.54178 68533.1001 624.976777

50 67460 67190.37465 66088.69164 68292.0577 472.149861

51 74823 69480.16225 67106.13282 71854.1917 1017.44118

52 69731 69555.41358 67840.91705 71269.9101 734.784226

Periode data

Smoothing

pertama

Smoothing kedua konstanta slope

53 69656 69585.5895 68364.31879 70806.8602 523.401736

54 75113 71243.81265 69228.16695 73259.4584 863.84816

55 61488 68317.06886 68954.83752 67679.3002 -273.32943

56 67765 68151.4482 68713.82072 67589.0757 -241.0168

Dengan menggunakan hasil perhitungan pada Tabel 8 maka diperoleh persamaan

modelnya sebagai berikut :

Adapun peramalan jumlah pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah

untuk 4 bulan yang akan datang di tahun 2014 yaitu :

Ramalan periode 57 yaitu untuk bulan September diperoleh

.

Ramalan periode 58 yaitu untuk bulan Oktober diperoleh

.

Ramalan periode 59 yaitu untuk bulan November diperoleh

.

Ramalan periode 59 yaitu untuk bulan Desember diperoleh

.

Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins

ISBN 978-602-1034-06-4 214

D. Simpulan dan Saran

Hasil peramalan dengan metode ARIMA Box - Jenkins yaitu pada bulan September

2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar 66495,9. Untuk Oktober 2014 yaitu

sekitar 67903,4. Untuk November 2014 yaitu sekitar 68380,0 dan untuk bulan

Desember 2014 yaitu sekitar 69188,6 dengan Model ARIMA nya yaitu ARIMA (1,1,0).

Adapun persamaan modelnya adalah

untuk data runtun waktu dalam bentuk . Untuk hasil peramalan dengan metode

Double Exponensial Smoothing dari Brown yaitu pada bulan September 2014 jumlah

pengunjung diperkirakan sekitar . Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar

. Untuk November 2014 yaitu sekitar dan dibulan

Desember 2014 yaitu sekitar .

Dalam suatu peramalan semakin kecil nilai MSE (mean square error)nya, semakin

baik dan akurat hasil peramalannya. Karena nilai MSE pada peramalan menggunakan

metode ARIMA Box – Jenkins lebih kecil dari nilai MSE pada peramalan menggunakan

metode Double Exponensial Smoothing dari Brown (105,31 < 24873868,91872), maka

dapat disimpulkan peramalan menggunakan metode ARIMA Box – Jenkins lebih akurat

daripada peramalan menggunakan metode Double Exponensial Smoothing dari Brown.

E. Daftar Pustaka

Hatidja, D.2010.Penerapan Model ARIMA untuk Memprediksi Harga Saham PT.

Telkom Tbk.Manado : UNSRAT.

Jatra, A.,et.al.2013. Peramalan Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Samarinda dengan

Metode Double Exponential Smoothing dari Brown. Jurnal Eksponensial 4(1) : 39

– 46. Tersedia di http://fmipa.unmul.ac.id/pdf/273. [diakses 21-10-2014].

Yuniarti, D.2012. Peramalan Jumlah Penumpang yang Berangkat Melalui Bandar

Udara Temindung Samarinda Tahun 2012 dengan Metode ARIMA Box –

Jenkins.Jurnal Eksponensial 3(1) : 25 – 32. Tersedia

dihttp://fmipa.unmul.ac.id/pdf/257&cd=17&ved=0CCsQFjAGO&usg=AFQjCNF

- UVQcIFDFokudPGTTZJrUZkovgg. [diakses 25-09-2014].

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 215

PENERAPAN JARINGAN KOHONEN SELF ORGANIZING MAPS

UNTUK CLUSTERING KUALITAS AIR KALI SURABAYA

Sri Rahmawati F.

1), M. Isa Irawan

2), Nieke Karnaningroem

3)

1)Program Magister, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2) Dosen Program Magister, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

3)Dosen Program Doktoral, Jurusan Teknil Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jl. Raya ITS, Surabaya

Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]

3)[email protected]

Abstrak

Pencemaran air sungai dirasakan semakin hari semakin meningkat terutama di daerah perkotaan.

Kualitas air di beberapa tempat mengalami penurunan akibat sebagian besar limbah cair dari

kegiatan manusia dibuang ke saluran yang bermuara di Kali Surabaya. Selain bersumber dari

aktivitas industri, pencemaran air juga disumbang dari kegiatan rumah tangga, hotel dan rumah

sakit. Komponen pencemar yang mempengaruhi antara lain pH, DO, BOD, COD, TSS dan Nitrate.

Dengan meningkatnya beban pencemaran air sebagai dampak negatif dari kegiatan industri, rumah

tangga, hotel dan rumah sakit, maka perlu dilakukan pengelompokan wilayah di sepanjang Kali

Surabaya berdasarkan beban polutan yang dihasilkan untuk mengetahui tingkat pencemaran air di

Kali Surabaya.Pada paper ini akan dibahas aplikasi jaringan Kohonen Self Organizing Maps untuk

pengelompokan atau clustering berdasarkan kesamaan atribut yang dimiliki bersama. Banyaknya

atribut yang sama akan menggambarkan kedekatan kelompok wilayah. Setelah dilakukan

pengelompokan dengan metode di atas, kemudian mendapatkan pengelompokan dengan

didapatkan lima kelompok (cluster) dengan daerah tinggi Nitrate, daerah rendah TSS dan Nitrate,

daerah rendah COD, daerah tinggi pH dan DO, dan daerah tinggi DO, BOD, COD. Sistem

ternyata mampu menghasilkan kelompok wilayah yang terbentuk dari kesamaan dan kemiripan

atribut, sehingga dapat diketahui kesesuaian setiap wilayah.

Kata Kunci : Jaringan Kohonen, Clustering, Kualitas Air, Kali Surabaya

A. Pendahuluan

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk

kebutuhan minum, mandi, mencuci, pengairan dalam bidang pertanian, dan minuman

untuk ternak. Selain itu, air juga sangat diperlukan dalam kegiatan industri dan

pengembangan teknologi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup manusia.

Sungai merupakan salah satu sumber untuk mendapatkan air untuk mencukupi

kebutuhan hidup manusia. Fungsi penting ini menjadi salah satu alasan pentingnya

menjaga air sungai dari pencemaran yang dapat menjadi sumber berbagai penyakit.

Menurut ilmu kesehatan menunjukkan bahwa 65 – 75 % dari berat badan manusia

dewasa terdiri dari air dan setiap orang memerlukan air minum sebanyak 2,5 – 3 liter

setiap hari termasuk air yang berada dalam makanan.

Keberadaan sungai di Surabaya sebagai sumber air bagi kelangsungan hidup

masyarakat memiliki arti yang sangat penting, termasuk Kali Surabaya. Kota Surabaya

memiliki 6 sungai, 27 saluran primer, dan 142 saluran sekunder. Kali Surabaya

merupakan sungai terpanjang di Kota Surabaya dengan panjang 17.400 meter. Aliran

sungai Kota Surabaya dimulai dari DAM Mlirip (Kabupaten Mojokerto) kemudian

melewati Sidoarjo, Gresik, dan sampai pada DAM Jagir Wonokromo (Surabaya)

(Anonim, 2013). Pembangunan di Kota Surabaya khususnya pada sektor industri telah

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 216

membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak positif maupun negatif. Salah

satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran air yang dirasakan semakin

meningkat. Dengan meningkatnya beban pencemaran air sebagai efek negatif dari

kegiatan industri, diperlukan pengelompokan industri berdasarkan beban polutan,

sehingga dapat diketahui hasilnya berupa kelompok-kelompok industri sebagai

informasi dalam kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya.

Pengelompokan industri berdasarkan beban polutan dapat dilakukan dengan

menggunakan analisis cluster dengan memanfaatkan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial

Neural Network). Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network ) sudah mulai

banyak dimanfaatkan sebagai solusi terhadap berbagai macam kasus yang muncul

beberapa dekade terakhir. Sejarah ANN menunjukkan pembahasan terhadap masalah ini

muncul sekitar tahun 1990-an namun implementasinya baru banyak muncul beberapa

dekade terakhir. Jaringan Kohonen merupakan suatu jaringan yang mempunyai

kemampuan memetakan pola masukan melalui model pembelajaran tanpa pengawasan

(unsupervised learning). Pemetaan yang dihasilkan akan menunjukkan hubungan

keterkaitan di antara pola-pola masukan tersebut dalam suatu representasi yang lebih

ringkas dari data aslinya dengan mempertahankan hubungan topologinya (Stergiou dan

Siganos, 1989).

Pemanfaatan Jaringan Kohonen dalam pembuatan peta masukan dilakukan dengan

membagi pola masukan ke dalam beberapa kelompok (cluster). Dalam kasus

pemcemaran air di Kali Surabaya, Jaringan Kohonen dapat digunakan untuk

mengetahui pengelompokan industri berdasarkan beban polutan yang dihasilkan.

B. Tinjauan Pustaka

Jaringan syaraf tiruan telah banyak diaplikasikan dalam bidang komputer, teknik,

ilmu murni, perdagangan, financial, dal lain-lain. Cluster analisis dapat menggunakan

jaringan syaraf tiruan. Diantaranya adalah Mahonen dan Hakala (1995) melakukan

penelitian Automated Source Classification Using Kohonen Network. Pada penelitian ini

Mahonen dan Hakalamenyimpulkan bahwa dengan menerapkan metode jaringan

kohonen pada proses pelatihan mampu mengelompokkan bintang dan galaksi ke dalam

satu kelompok. Dan pada proses pengujian, dengan jaringan kohonen mampu mengenali

bintang dan galaksi yang berada diluar pelatihan (Mahonen, P.H dan P.J Hakala, 1995).

Irawan (2008) melakukan penelitian Exploratory Data Analysis dengan JST-Kohonen

SOM: Struktur Tingkat Kesejahteraan Daerah Tingkat II se Jawa Timur. Penelitian ini

melakukan clustering yang menghasilkan kelompok daerah yang terbentuk dari

kesamaan dan kemiripan atribut, sehingga dapat diketahui kesesuaian pengalokasian

subsidi dan sumbangan untuk setiap daerah Tingkat II (Irawan, 2008). Olawoyin, dkk

(2013) melakukan penelitian Application of Artificial Neural Network (ANN)-Self-

Organizing Maps (SOM) for the Categorization of Water, Soil and Sediment Quality in

Petrochemical Regions. Penelitian ini memanfaatkan jaringan kohonen SOM untuk

mengenali pola spasial di zona yang terkontaminasi pencemar air dengan

mengidentifikasi sumber pencemar kualitas air (Olawoyin,dkk, 2013).

C. Metode Penelitian

1. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan syaraf tiruan sederhana pertama kali diperkenalkan oleh McCulloch dan

Pitts di tahun 1943. Jaringan syaraf tiruan (biasa disingkat JST) atau Neural Network

adalah suatu model matematis yang berupa sistem pengolah informasi yang meniru

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 217

sistem jaringan syaraf biologi. Jaringan syaraf tiruan dapat digunakan untuk

menyelesaikan sejumlah permasalahan besar karena memiliki kemampuan memodelkan

permasalahan yang kompleks. Kunci Jaringan Syaraf Tiruan adalah struktur sistem

pengolahan informasi, yang terdiri atas sejumlah unsur-unsur (syaraf) yang bekerja

saling berhubungan untuk memecahkan permasalahan spesifik (Arifin dan Irawan,

2009). Metode matematis ini juga mampu menangkap dan mempresentasikan hubungan

input, output, dan solusinya lebih baik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari

metode tradisional.

Jaringan Syaraf Tiruan merupakan kumpulan sel-sel syaraf (neuron) yang

mempunyai tugas mengolah informasi. Komponen-komponen utama dari sebuah

neuron adalah dendrit yang bertugas menerima informasi, badan sel (soma) berfungsi

sebagai tempat pengolahan informasi, dan akson (neurit) yang bertugas mengirimkan

impuls ke sel syaraf lainnya (Fauset, 1994). Jaringan Syaraf Tiruan dibangun untuk

meniru cara kerja otak manusia. Seperti halnya otak manusia yang terdiri dari

sekumpulan sel syaraf (neuron), jaringan syaraf juga terdiri dari beberapa neuron dan

terdapat hubungan antara neuron-neuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan

memindahkan informasi yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju neuron-

neuron yang lain. Pada jaringan syaraf, hubungan ini dinamakan bobot. Informasi

tersebut disimpan pada nilai tertentu pada bobot. Lapisan-lapisan penyusunan jaringan

syaraf tiruan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu lapisan pertama adalah lapisan input yang

berfungsi menerima pola masukan data dari luar yang menggambarkan permasalahan,

lapisan kedua adalah lapisan tersembunyi yang merupakan lapisan output yang

disembunyikan dan belum menjadi solusi dari Jaringa Syaraf Tiruan, dan lapisan ketiga

adalah lapisan output yang merupakan merupakan solusi jaringan syaraf tiruan terhadap

permasalahan yang diberikan (Arifin dan Irawan, 2009).

Proses pembelajaran terhadap perubahan bobot dalam Jaringan Syaraf Tiruan ada

dua, yaitu (Fauset, 1994);

(i) Pembelajaran Tak Terawasi (unsupervised learning)

Pada metode pembelajaran tak terawasi ini tidak memerlukn target output. Pada metode

ini, tidak dapat ditentukan seperti hasil apakah yang diharapkan selama proses

pembelajaran. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range

tertentu tergantung dari nilai input yang diberikan.

(ii) Pembelajaran Terawasi (supervised learning)

Metode pembelajaran dalam jaringan syaraf tiruan dikatakan terawasi jika output yang

diharapkan telah diketahui sebelumnya. Pada proses pembelajaran, satu pola input akan

diberikan pada satu node pada input layer. Pola ini dirambatkan disepanjang jaringan

syaraf tiruan hingga sampai ke node pada output layer. Output layer ini akan

membangkitkan pola output yang nantinya akan dicocokkan dengan pola output target.

Apabila terjadi perubahan antara pola output hasil pembelajaran dengan pola target,

maka disini akan muncul error. Apabila nilai error ini masih cukup besar, maka

mengindikasikan bahwa masih perlu dilakukan lebih banyak pembelajaran lagi.

2. Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

Jaringan Kohonen Self Organizing Maps termasuk dalam pembelajaran tak

terawasi (unsupervised learning). Jaringan ini pertama kali diperkenalkan oleh Teuvo

Kohonen pada tahun 1981. Pada jaringan ini, suatu lapisan yang berisi neuron-neuron

akan menyusun dirinya sendiri berdasarkan input nilai tertentu dalam suatu kelompok

yang dikenal dengan istilah cluster. Selama proses penyusunan diri, cluster yang

memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola input (memiliki jarak paling dekat)

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 218

akan terpilih sebagai pemenang. Neuron yang menjadi pemenang beserta neuron-

neuron tetangganya akan memperbaiki bobot-bobotnya (Fauset, 1994).

Terdapat m unit kelompok yang tersusun dalam arsitektur sinyal-sinyal masukan

(input) sejumlah n. Vektor bobot untuk suatu unit kelompok disediakan dari pola-pola

masukan yang tergabung dengan kelompok tersebut. Selama proses pengorganisasian

sendiri, unit kelompok yang memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola masukan

(ditandai dengan jarak Euclidean paling minimum) dipilih sebagai pemenang. Unit

pemenang dan unit tetangganya diperbaharui bobotnya. Setiap neuron terkoneksi

dengan neuron lain yang dihubungkan dengan bobot atau weight. Bobot tersebut berisi

informasi yang akan digunakan untuk tujuan tertentu.

Menurut Irawan (2008), algortima pembelajaran unsupervised learning pada

jaringan Kohonen Self Organizing Maps untuk diterapkan dalam pengelompokan data

(clustering data) adalah sebagai berikut :

Langkah 0 Inisialisasi pembobotan dengan random. Menset parameter learning

rate , parameter radius neightbourhood (R).

Langkah 1 Apabila kondisi selesai belum terpenuhi, lakukan langkah 2-8

Langkah 2 Untuk tiap vektor input x (xi, i =1,…,n), lakukan langkah 3-5

Langkah 3 Untuk tiap j (j =1,...m), hitung jarak Euclidean

Langkah 4 Mencari indeks j dengan jarak D(j) terdekat (minimum)

Langkah 5 Melakukan perbaikan nilai wij dengan nilai tertentu, yaitu:

Langkah 6 Melakukan update learning rate

Langkah 7 Mereduksi radius dari fungsi tetangga pada waktu tertentu (epoch)

Langkah 8 Uji kondisi penghentian.

Proses pembelajaran akan berlangsung terus hingga mencapai maksimum epoch.

Jaringan Kohonen Self Organizing Maps dapat mengenali dan mengklasifikasikan

pola-pola dengan melakukan pelatihan (training) dari pola-pola vektor masukan (input)

data dengan vektor bobot sebagai penghubung antara layer masukan dan layer

Gambar 1.Arsitektur Jaringan Kohonen

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 219

kompetisi dalam proses pelatihan. Dari proses pelatihan jaringan tersebut akan

terbentuk cluster-cluster dari pola yang dilatihkan.

Pengelompokan pola-pola tersebut nantinya dapat digunakan sebagai proses

pengenalan pola-pola yang diujikan. Proses pengelompokan mencakup cara

pengelompokan pola berdasarkan keserupaan ciri yang dimilikinya (clustering) dan

pemberian label kelas atas masing-masing kelompok tersebut.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Terapan pada Data Pencemaran Air Kali Surabaya

Berikut merupakan informasi awal yang digunakan dalam clustering data industri

sumber pencemaran air di Kali Surabaya tahun 2013 menggunakan Jaringan Syaraf

Tiruan Kohonen Self Organizing Maps adalah sebagai berikut:

Jumlah data (n) : 25

Jumlah Variabel Input (m) : 6

Jumlah cluster (K) : 5

Learning rate ( ) : 0.5

Normalisasi data beban pencemaran air pada sektor industri di Kali Surabaya tahun

2013 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Data yang digunakan adalah data sekunder

kualitas air buangan industri ke Kali Surabaya dari Perum Jasa Tirta I Malang tahun

2009 – 2013 yang dipantau setiap 2 minggu., dimulai dari DAM Mlirip (Mojokerto)

Gambar 2.Diagram Implementasi Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

Input Data

Mulai

Jumlah Variaebl (m)

Jumlah Data (n)

Jumlah Cluster (K)

Learning Rate

Maksimum Iterasi (epoch)

Random Data

Proses Pelatihan dengan Jaringan Kohonen Self

Organizing Maps

Proses Simulasi dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

Hasil Cluster

Selesai

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 220

sampai dengan DAM Jagir/Wonokromo (Surabaya). Pengambilan data-data tersebut

diperoleh dari yaitu Perum Jasa Tirta I (PJT I) Malang Provinsi Jawa Timur Jalan

Surabaya No. 2A, Malang. Perum Jasa Tirta I Malang melakukan pemantauan kualitas

air Kali Surabaya secara berkala dan serentak untuk setiap titik lokasi pengambilan

sample. Pada Tabel 1, industri-industri yang buangan limbah cairnya secara langsunga

ataupun tidak langsung ke Kali Surabaya dinyatakan dengan Objek 1 hingga Objek 25.

Sedangkan atribut yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter pencemar air

terdiri dari enam parameter kunci untuk mengidentifikasi kualitas air sebagai sumber air

baku air minum yang terdiri dari pH , DO (Dissolved Oxygen), BOD (Biochemiycal

Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solid), dan

Nitrate.

Derajat keasaman atau pH adalah tingkatan asam basa yang dimiliki oleh suatu

larutan, secara umum nilai pH menunjukkan kandungan padatan yang dimiliki air

tergolong rendah atau tinggi. Oksigen terlarut yang disingkat DO menunjukkan jumlah

oksigen yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air,

mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus, sebaliknya jika nilai DO

rendah dapat diindikasikan bahwa air tersebut telah tercemar. Kebutuhan oksigen

biokimia yang disingkat BOD merupakan parameter pengukuran jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan keseluruhan zat organik yang terlarut dan

tersuspensi dalam air buangan. Kebutuhan oksigen kimia yang lebih dikenal dengan

COD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan (misalnya

kalium dikromat) untuk mengoksidadi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air,

apabila kondisi COD tinggi dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam

air. Padatan tersuspensi total yang disingkat TSS adalah kadar total padatan terlarut

yang dapat menyebabkan berkurangnya kejernihan air sehingga menghalangi sinar

matahari masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis mikroorganisme tidak dapat

berlangsung.

Tabel 1. Normalisasi Data Beban Pencemaran Udara Sektor Industri di Kali Surabaya Tahun 2013

Objek Atribut Pencemaran Air Kali Surabaya

Objek 1 1.0000 0.6416 0.0685 0.4967 0.6760 0.2283

Objek 2 0.7547 0.2928 0.0877 0.0604 0.6425 0.0000

Objek 3 0.8868 0.8890 0.3327 0.4019 0.7263 0.3405

Objek 4 0.7000 0.3626 0.2029 0.1692 0.6816 0.6258

Objek 5 0.7547 0.4767 0.4518 0.3912 0.4469 0.3612

Objek 6 0.5170 0.4535 0.1556 0.0538 0.6257 0.2163

Objek 7 0.8792 0.3171 0.1069 0.0396 0.5028 0.5702

Objek 8 0.6491 0.4387 0.3877 0.1753 0.6816 1.0000

Objek 9 0.3604 0.4820 0.4004 0.0692 0.5307 0.0381

Objek 10 0.4189 0.3668 0.2716 0.0143 0.4804 0.2339

Objek 11 0.0000 1.0000 1.0000 0.1758 0.8547 0.2604

Objek 12 0.5094 0.5592 0.3747 0.5330 0.5866 0.2027

Objek 13 0.5434 0.1744 0.1031 0.0033 0.8324 0.3178

Objek 14 0.4528 0.5159 0.3189 0.4542 0.5698 0.3408

Objek 15 0.3566 0.5222 0.3784 0.2000 0.0000 0.5085

Objek 16 0.3981 0.6554 0.1247 0.0225 0.6145 0.4303

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 221

Objek 17 0.3792 0.3996 0.2020 0.0385 0.5698 0.5094

Objek 18 0.4170 0.1797 0.0817 0.0132 1.0000 0.4154

Objek 19 0.9057 0.3171 0.1573 0.0403 0.4749 0.5626

Objek 20 0.4528 0.3721 0.1224 0.1033 0.5587 0.2145

Objek 21 0.3566 0.2400 0.0000 0.0000 0.8827 0.3145

Objek 22 0.7736 0.6755 0.4051 0.6008 0.5642 0.4151

Objek 23 0.2170 0.3076 0.1791 0.1187 0.4916 0.6249

Objek 24 0.0434 0.2199 0.2449 0.2264 0.5531 0.5225

Objek 25 0.5283 0.1882 0.0579 0.0489 0.6592 0.2158

Sumber : Hasil Perhitungan Normalisasi Data dari PJT I Malang

Komputasi Jaringan Kohonen Self Organizing Maps yang digunakan pada Gambar

1. Neuron input dihubungkan dengan neuron output dengan koneksi bobot, yang mana

bobot ini selalu diperbaiki pada proses iterasi pelatihan jaringan. Aliran informasi

sistem Jaring Syaraf Tiruan untuk pengelompokan beban pencemaran air di Kali

Surabaya ini diawali dengan dimasukkannya data beban pencemaran dari sektor industri

yang sudah dilakukan proses normalisasi. Data-data inilah yang akan berfungsi sebagai

data input awal. Selain data input awal, terdapat parameter learning rate dan radius

neighborhood.

Berdasarkan hasil uji coba beban pencemaran air di Kali Surabaya terjadi

kemiripan antar satu dengan yang lain yang bergabung membentuk lima cluster. Data

input pada Tabel 1 kemudian dilakukan pelatihan jaringan dengan iterasi maksimal

yaitu 10.000 epoch menggunakan paket program Matlab R2012a. Hasil pelatihan

jaringan dari masing-masing epoch diperoleh keluaran sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Pembacaan Clustering Data untuk

10.000 epoch

Cluster Ke- Inputan Ke-

1 2,6,13,18,20,21,25

2 9,10,11,16

3 15,17,23,24

4 4,7,8,19

5 1,3,5,12,14,22

Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa hasil pelatihan dengan 10.000 epoch

menghasilkan cluster dengan anggota yang konsisten. Kelompok pertama yang terdiri

dari 7 objek industri yang terindetifikasi sebagai penyumbang sumber pencemar air Kali

Surabaya yaitu: Objek 2, Objek 6, Objek 13, Objek 18, Objek 20, Objek 21, dan Objek

25.

Kelompok kedua teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai

penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 9, Objek 10, Objek 11,

dan Objek 16.

Kelompok ketiga teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai

penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 15, Objek 17, Objek 23,

dan Objek 24.

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 222

Kelompok keempat teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai

penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 4, Objek 7, Objek 8, dan

Objek 19.

Sedangkan kelompok kelima teridiri dari 6 objek industri yang terindetifikasi

sebagai penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 1, Objek 3,

Objek 5, Objek 12, Objek 14, dan Objek 22.

Dari proses pelatihan dan simulasi dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

untuk keenam parameter kualitas air Kali Surabaya, diperoleh clustering sumber

pencemar dari sektor industri di Kali Surabaya menjelaskan jenis industri untuk

kelompok pertama adalah saluran pembuangan limbah rumah tangga, tempat

pemotongan hewan, makanan ternak, makanan dan minuman, tekstil dan industri bahan

kimia.

Kelompok kedua, diperoleh clustering sumber pencemar berasal dari olahan kayu,

olahan kertas, olahan bahan pangan kedelai, serta tekstil.

Kelompok ketiga merupakan kelompok sumber pencemar yang berasal dari jenis

industri yang bergerak di bidang olahan karet, kimia dasar, serta olahan bahan pangan

makanan.

Kelompok keempat sebagai sumber pencemar Kali Surabaya yang didominasi dari

jenis industri plastik dan olahan plastik untuk perabotan rumah tangga. Sedangkan

kelompok kelima merupakan sumber pencemar yang didominasi limbah cair yang

berasal dari hasil aktivitas dari kegiatana pengolahan makanan dan minuman.

Dari hasil clustering yang diperoleh di atas, terlihat bahwa banyaknya atribut yang

sama akan menggambarkan kedekatan kelompok wilayah. Setelah dilakukan

pengelompokan wilayah dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps, mampu

mendapatkan lima cluster sebagai sumber pencemar air kali Surabaya dari sektor

industri. Dari kelima cluster yang dihasilkan, terlihat bahwa untuk kelompok pertama

teridentifikasi dengan daerah tinggi Nitrate, untuk kelompok kedua teridentifikasi

dengan daerah rendah TSS dan Nitrate, untuk kelompok ketiga teridentifikasi dengan

daerah rendah COD, untuk kelompok keempat teridentifikasi dengan daerah tinggi pH

dan DO, serta kelompok kelima teridentifikasi dengan daerah tinggi DO, BOD dan

COD.

E. Simpulan dan Saran

Dari hasil pengelompokan berdasarkan beban pencemaran Kali Surabaya, sedikit

banyak dapat memberikan gambaran terhadap pencemaran air di Kali Surabaya yang

berasal dari sektor industri. Penyelasaian permasalahan lingkungan khususnya kualitas

air di Kali Surabaya sebagai sumber air baku air minum masyarakat Surabaya, dapat

dilakukan dengan clustering data kualitas air dengan Jaringan Kohonen Self Organizing

Maps. Jaringan Kohonen Self Organizing Maps pada kualitas air ini dipengaruhi oleh

parameter-parameter kualitas air sebagai atribut pelatihan seperti jumlah cluster yang

akan dibentuk, learning rate, maksimum iterasi (epoch) sehingga proses pelatihan

dilakukan beberapa kali dengan data masukan yang sama, nantinya akan berpengaruh

pada hasil clustering. Pada algortima Jaringan Kohonen Self Organizing Maps, proses

pemilihan data untuk clustering dilakukan secara acak, sehingga terdapat perbedaan

hasil cluster yaitu penempatan konsistensi anggotacluster.

Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps

ISBN 978-602-1034-06-4 223

F. Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Status Lingkungan Hidup Kota Surabaya (SLHD).Laporan Penelitian

Badan Lingkungan Hidup Surabaya2013. Kota Surabaya.

Arifin Z. dan Irawan M.I. 2009.Adaptive Sensitivity Sensitivity-based Linear Learning

Method Algorithms for Data Classification.Proceeding of 5th

International

Conference of Mathematics, Statistics and Their Aplications,Juni 9 -11. Bukit

Tinggi – West Sumatra Indonesia.

Fauset, L.1994.Fundamental of Neural Networks.New Jersey : Prentice Hall Inc.

Irawan, M.I. 2008. Exploratory Data Analysis dengan JST-Kohonen SOM: Stryktur

Tingkat Kesejahteraan Daerah Tingkat II se Jawa Timur.Surabaya : Institut

Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Mahonen, P.H dan P.J Hakala.1995. Autometed Source Classification Using Kohonen

Network. The Astrophysical Journal Letters, Vol. 452:L77–L80.

Olawoyin, R., Nieto, A., Grayson, R.L., Hardisty, F., dan Oyewole, S. 2013.

Application of Artificial Neural Network (ANN)-Self-Organizing Maps (SOM)

for the Categorization of Water, Soil and Sediment Quality in Petrochemical

Regions.The Expert System with Application, 40(2013),3634-3648.

Stergiou, C. Siganos, D. 1989. Neural Network. New York : Pasific Northwest National

Laboratory.

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 224

RESAMPLING UNTUK MEMPERBESAR KOEFISIEN

DETERMINASI

DALAM MODEL REGRESI LINEAR.

Adi Setiawan

Program Studi Matematika

Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana

Jl Diponegoro 52-60 Salatiga 50711, Indonesia

Surel : [email protected]

Abstrak

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kebaikan model dalam model regresi linear.

Namun demikian, dalam ilmu-ilmu Sosial seperi ilmu psikologi, seringkali diperoleh data yang

mengakibatkan koefisien determinasi dalam model regresi linear bernilai kecil sehingga hanya

sebagian kecil data yang dapat dijelaskan oleh model regresi linear dan sisanya tidak dapat

dijelaskan oleh model regresi linear. Dalam makalah ini, akan dijelaskan prosedur resampling

tanpa pengembalian (without replacement) yang menggunakan sebagian dari data untuk

memperoleh koefisien determinasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan

keseluruhan data. Studi kasus dengan ukuran sampel n = 84, dengan peubah respon IPK (Indeks

Prestasi Kumulatif) mahasiswa dan peubah penjelas yaitu peubah Dukungan Sosial Teman

Sebaya dan Kecerdasan Emosional digunakan untuk menjelaskan prosedur resampling tanpa

pengembalian dan dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 83 dan ulangan

prosedur sebesar B = 10.000 yang digunakan dalam memperbesar koefisien determinasi.

Dengan prosedur yang telah dijelaskan, merupakan usulan cara untuk memperbesar koefisien

determinasi yang relatif kecil.

Kata Kunci: resampling, model regresi linear, koefisien determinasi

A. Pendahuluan

Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kebaikan model dalam model

regresi linear. Namun demikian, dalam ilmu-ilmu Sosial, seringkali diperoleh data yang

mengakibatkan koefisien determinasi dalam model regresi linear bernilai kecil sehingga

hanya sebagian kecil data yang dapat dijelaskan oleh model regresi linear dan sisanya

tidak dapat dijelaskan oleh model regresi linear. Menurut Patty (2014), hubungan

peubah Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri dan Jenis Kelamin dengan

Prestasi Belajar Siswa dengan menggunakan model regresi linear diperoleh hubungan

yang signifikan tetapi mempunyai koefisien determinasi 0.047. Selanjutnya, menurut

Salamor (2014), hubungan Dukungan Sosial Orang Tua dan Motivasi Berprestasi

terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa UKSW etnis Maluku Utara di Salatiga yang

dinyatakan dalam model regresi linear yang signifikan tetapi mempunyai koefisien

determinasi 0.095. Di samping itu, menurut Ririhena (2014), hubungan Kecerdasan

Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa

Fakultas Teologi UKI Maluku dengan menggunakan regresi linear yang signifikan

tetapi mempunyai koefisien determinasi 0.432.

Metode resampling (bootstrap) banyak digunakan untuk mendapatkan estimasi

distribusi statistik yang sulit ditentukan secara analitik. Dalam makalah ini, akan

dijelaskan usulan prosedur resampling tanpa pengembalian (without replacement) yang

menggunakan sebagian dari data yang digunakan dalam model regresi linear untuk

memperoleh koefisien determinasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan

keseluruhan data. Diharapkan dengan prosedur yang diusulkan, akan dapat diperoleh

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 225

sampel bagian yang akan dianalisis selanjutnya dan mempunyai koefisien determinasi

yang lebih besar.

B. Tinjauan Pustaka

Dalam pasal ini, akan dibahas tentang analisis regresi linear dan metode resampling

yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini.

1. Analisis Regresi Linear

Analisis regresi linear biasanya digunakan untuk memodelkan respons kontinu pada

data eksperimen. Dalam pemodelan ini dianggap bahwa peubah respons (response

variable) tergantung pada nilai dari sejumlah peubah yang lain. Dalam analisis regresi

ganda, peubah terakhir ini biasa dinamakan peubah penjelas (explanatory variable).

Respons yang diamati dianggap tidak tepat benar nilainya seperti pada pengamatan

tetapi mengandung suatu kesalahan (error), sedangkan nilai-nilai pada peubah penjelas

dianggap eksak. Hubungan antara peubah respons dan peubah penjelas dinyatakan

dalam hubungan linear yang tergantung pada vektor parameter. Nilai parameter ini

dapat ditaksir dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square error

method).

Model regresi linear untuk n pengamatan dan p peubah penjelas dengan p < n

adalah

dengan E( ei ) = 0 dan E( ei ej ) =

2 untuk i = j dan 0 untuk i j dengan i, j = 1, 2, ..., n.

Dalam hal ini Yi adalah pengamatan ke-i dan Xij adalah pengamatan ke-i dan peubah

penjelas ke-j, sedangkan merupakan parameter dan ei merupakan kesalahan stokastik

dalam pengamatan ke-i.

Model tersebut dapat dinyatakan dalam notasi matriks :

dengan E(e) = dan Cov(e) =

2 I nn. Dalam hal ini Y = (Y1, Y2, ..., Yp)

T adalah vektor

pengamatan dan X adalah matrix n (p+1) dengan baris ke-i adalah

X iT = (1, xi1, xi2, ..., xip)

T.

Vektor = (0, 1, …, p)T adalah vektor parameter yang tidak diketahui dan e = ( e1,

e2, .., en ) adalah vektor stokastik dari kesalahan dan Inn adalah matriks identitas.

Dalam pembahasan ini dibatasi hanya pada rank(X) = p + 1.

Untuk menaksir vektor parameter digunakan metode kuadrat terkecil. Bila

kesalahan mempunyai distribusi selain normal seperti distribusi Poisson, Gamma dan

distribusi yang simetrik dengan ekor tebal maka dapat digunakan metode penaksir

kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimator method). Penaksir kuadrat

terkecil untuk vektor parameter akan meminimumkan jumlah kuadrat

S() = (Y – X )T (Y – X).

Berarti memenuhi atau sehingga diperoleh

.

Vektor residu dengan dan berarti elemen ke-i adalah

.

Fungsi S di titik dinamakan JKS - jumlah kuadrat sisaan (RSS – residual sum of

square) yaitu

ipipii eXXY ....110

eXY

^

0)(^

XYX T YXXX TT ^

YXXX TT 1^

)(

^

YYR ^^

XY ^^

T

iiiii XYYYR

^

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 226

.

Dapat dibuktikan bahwa merupakan penaksir tak bias untuk yaitu E( ) = dan

berlaku

.

Jika digunakan

sebagai penaksir

2 maka matriks kovariansi dari dapat ditaksir dengan

.

Di bawah anggapan bahwa e berdistribusi normal maka

mempunyai distribusi chi-kuadrat dengan derajat bebas (n-p-1). Koefisien determinasi

dapat dihitung dengan

dengan .

2. Metode Resampling

Metode resampling artinya menggunakan sampling yang ada untuk mendapatkan

sampel bagian dengan cara mengambil sebagian sampel tanpa pengembalian

(resampling without replacement). Di samping itu, ada juga cara lain yaitu mengambil

sampel dari sampel asal (dengan ukuran yang sama dengan ukuran sampel awal, lebih

kecil atau lebih besar dari sampel awal) dengan pengembalian (resampling with

replacement). Resampling juga dikenal dengan metode bootstrap. Resampling banyak

digunakan dalam berbagai statistik dan juga dalam berbagai model seperti model

regresi, model analisis variansi, model runtun waktu (time series). Metode resampling

banyak digunakan dalam penelitian yang menggunakan skala Likert atau skala tipe

yes/no (lihat Muaja (2013a, 2013b), Bima (2013a, 2013b), Setiawan (2014)). Informasi

lebih lanjut tentang resampling dapat dilihat pada Hass (2013) dan Chihara &

Hesterberg (2011).

C. Metode Penelitian

Metode resampling tanpa pengembalian yang digunakan dalam model regresi linear

untuk memperbesar koefisien determinasi dapat dijelaskan berikut ini. Misalkan

dimiliki pasangan berurutan (X1, Y1), (X2, Y2), ……, (Xn, Yn), dalam model regresi

linear.

1. Sampel bagian ukuran m diambil tanpa pengembalian (resampling without

replacement) dari sampel ukuran n dengan m≤n sehingga diperoleh (X1*, Y1*),

(X2*,Y2*), .., (Xn*, Yn*) dengan { 1, 2, …., m} { 1, 2, …., n}.

RRXYXYSJKS TT )()()(^^^

^

^

12^

)()( XXCov T

1

2^

pn

RSS

1

2^^^

)()( XXCov T

2

2^

/)1( pn

JK

JKSr 12

n

i

i YYJK1

2)(

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 227

2. Dengan menggunakan sampel bagian ukuran m, dihitung koefisien determinasi

dalam model regresi linear.

3. Prosedur 1 dan 2 diulang sebanyak bilangan besar B kali (misalkan B = 10.000) dan

berdasarkan hasil-hasil koefisien determinasi yang diperoleh maka dapat dipilih

koefisien determinasi optimal (yang mendekati koefisien determinasi maksimal)

dan sampel yang menyebabkan koefisien determinasi optimal tersebut.

Prosedur resampling tanpa pengembalian dapat dilakukan untuk berbagai nilai m seperti

m = 10, 15, 20, 25, .... sepanjang ukuran sampel bagian m lebih kecil dari atau sama

dengan ukuran sampel awal n.

Untuk memberikan gambaran bagaimana metode ini digunakan akan dijelaskan

dengan menggunakan data kasus hubungan antara peubah respon IPK mahasiswa dan

variabel penjelas Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya yang

diambil dari Ririhena (2014). Ukuran sampel yang digunakan adalah n = 84 dan dalam

makalah ini digunakan ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 dan 80.

D. Hasil dan Pembahasan

Untuk memberikan gambaran secara singkat dan jelas tentang prosedur yang

diusulkan, akan digunakan ukuran sampel n = 10 seperti data pada Tabel 1. Pada Tabel

1 kolom 1 menjelaskan skor total yang diperoleh dari skala (kuesioner) Kecerdasan

Emosional yang terdiri dari 20 item dan masing-masing item menggunakan skala Likert

bernilai 1 sampai 4. Selanjutnya pada Tabel 1 kolom 2 merupakan skor total yang

diperoleh dari skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang terdiri dari 12 item dan

kolom 3 menyatakan IPK mahasiswa yang mengisi kuesioner tersebut.

Tabel 1. Tabel Data Hubungan antara Peubah Kecerdasan Emosional, Dukungan Sosial Teman

Sebaya dengan IPK untuk ukuran sampel n = 10

Kecerdasan Emosional Dukungan Sosial Teman Sebaya IPK

110 68 2,75

101 60 2,73

104 69 2,56

116 74 3,32

100 67 2,57

113 74 3,00

95 62 2,75

100 68 3,00

95 68 2,68

92 59 2,17

Dengan menggunakan ukuran sampel n = 10 dan model regresi hubungan linear

skor peubah Kecerdasan Emosional sebagai peubah penjelas dan Peubah IPK sebagai

peubah respon maka diperoleh koefisien determinasi dalam model regresi linear

sederhana r2 = 0,5381. Prosedur resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel

bagian m = 9 akan menghasilkan koefisien determinasi yang berbeda sebanyak 10 yaitu

(0.3322, 0.4152, 0.5021, 0.5338, 0.5384, 0.5636, 0.5883, 0.6020, 0.6022, 0.6440).

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 228

Koefisien determinasi tertinggi yaitu 0.6440 yang dicapai bila digunakan sampel bagian

(1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10) yaitu tanpa mengikutsertakan titik sampel ke-8. Apabila

digunakan prosedur resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel bagian m =

8 akan menghasilkan koefisien determinasi tertinggi 0.7514 dari keseluruhan nilai-nilai

koefisien determinasi yang mungkin (yaitu sebanyak ) dan dicapai oleh sampel

bagian seperti (1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10). Dalam hal ini, hanya diberikan contoh sampel

bagian saja mengingat dimungkinkannya kombinasi yang menyebabkan maksimal.

Dengan cara yang sama untuk m = 5 akan menghasilkan koefisien determinasi tertinggi

0.9527 dan salah satu sampel bagian yang dapat digunakan adalah (3, 4, 5, 6, 10).

Histogram nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh dengan B = 10.000 dan m =

5 dinyatakan dalam Gambar 1. Dalam hal ini, dibatasi hanya untuk m = 5 karena untuk

m yang lebih kecil, hanya diperoleh sedikit informasi untuk mendapatkan koefisien

determinasi dalam model regresi linear. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa nilai-

nilai koefisien determinasi hamper menyebar di seluruh interval (0,1).

Gambar 1. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 5 untuk

ukuran sampel n = 10 dengan menggunakan satu peubah penjelas

Apabila digunakan dua peubah penjelas yaitu Kecerdasan Emosional dan

Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan peubah respon IPK maka untuk n = 10 akan

diperoleh koefisien determinasi 0.5848. Prosedur resampling tanpa pengembalian

dengan ukuran sampel bagian m = 9 akan menghasilkan koefisien determinasi yang

berbeda sebanyak 10 yaitu

(0.4053, 0.4357, 0.5619, 0.5846, 0.5936, 0.6226, 0.6394, 0.6593, 0.6598, 0.6637).

Koefisien determinasi tertinggi yaitu 0.6637 dicapai bila digunakan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,

10) yaitu tanpa mengikutsertakan titik sampel ke-7. Apabila digunakan prosedur

resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel bagian m = 8 akan menghasilkan

koefisien determinasi tertinggi 0.9780 dan dicapai oleh sampel bagian seperti (1, 2, 3,

4, 5, 6, 9, 10). Dengan cara yang sama untuk m = 5 akan menghasilkan koefisien

determinasi tertinggi 0.9780 dan salah satu sampel bagian yang dapat digunakan adalah

(1, 5, 6, 9, 10). Histogram nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh dengan B =

10.000 dan m = 5 dinyatakan dalam Gambar 2. Demikian juga, pada Gambar 2, terlihat

bahwa nilai-nilai koefisien determinasi hamper menyebar di seluruh interval (0,1).

522

8

m=5

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

020

040

060

080

0

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 229

Gambar 2. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 5 untuk

ukuran sampel n = 10 dengan menggunakan 2 peubah penjelas

Dengan menggunakan ukuran sampel n = 84, peubah respon IPK dan satu peubah

penjelas yaitu peubah penjelas Kecerdasan Emosional, nilai-nilai koefisien determinasi

yang diperoleh untuk ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40 dan B = 10.000

dinyatakan pada Gambar 3 sedangkan Gambar 4 untuk ukuran sampel bagian

m = 50, 60, 70, 80 serta B = 10.000. Koefisien determinasi mendekati maksimal yang

dapat diperoleh berurut-turut adalah 0.9232, 0.7587, 0.6339, 0.5379, 0.5299, 0.4378,

0.3901, 0.3039. Koefisien determinasi yang diperoleh bukanlah yang tertinggi tetapi

hanya mendekati yang tertinggi karena hal itu bisa dicapai jika ulangan B yang

digunakan lebih dari kombinasi 10 dari 84 titik sampel untuk m = 10 yaitu mendekati

1.38 1033

.

Gambar 3. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20,

30 dan 40 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 1 peubah penjelas

m=5

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

020

040

060

080

010

00

m=10

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

050

015

00

m=20

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

050

010

0015

00

m=30

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

050

010

0015

00

m=40

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

050

015

00

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 230

Gambar 4. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 50, 60,

70 dan 80 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 1 peubah penjelas

Pada Gambar 3, histogram nilai-nilai koefisien determinasi cukup menyebar untuk

m = 10, 20, 30 dan 40, namun makin menyempit sebaran nilai-nilai koefisien

determinasinya sehingga pada Gambar 4 akan kelihatan makin menyepit sebaran nilai-

nilai koefisien determinasinya.

Dengan menggunakan ukuran sampel n = 84, peubah respon IPK dan dua peubah

penjelas yaitu peubah penjelas Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman

Sebaya, nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh untuk ukuran sampel

bagian m = 10, 20, 30, 40 dan B = 10.000 dinyatakan pada Gambar 5 sedangkan

Gambar 6 untuk ukuran sampel bagian m = 50, 60, 70, 80 serta B = 10.000. Koefisien

determinasi mendekati maksimal yang dapat diperoleh berurut-turut adalah 0.9579,

0.8259, 0.7368, 0.6958, 0.6766, 0.6150, 0.6005, 0.5405. Koefisien determinasi yang

diperoleh bukanlah yang tertinggi tetapi hanya mendekati yang tertinggi karena hal itu

bisa dicapai jika ulangan B yang digunakan lebih dari kombinasi 10 dari 84 titik sampel

untuk m = 10 yaitu mendekati 1.38 1033

.

Gambar 5. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20,

30 dan 40 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 2 peubah penjelas.

m=50

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

00

m=60

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

040

080

014

00

m=70

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

050

015

00

m=80

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0025

00

m=10

Frequ

ency

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

00

m=20

Frequ

ency

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

00

m=30

Frequ

ency

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

00

m=40

Frequ

ency

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

00

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 231

Gambar 6. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 50, 60,

70 dan 80 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 2 peubah penjelas.

Pada kasus model regresi linear yang menggunakan dua peubah bebas, Gambar 5,

histogram nilai-nilai koefisien determinasi cukup menyebar namun makin menyempit

sebaran nilai-nilai koefisien determinasinya sehingga pada Gambar 6 akan kelihatan

makin menyepit.

E. Simpulan dan Saran

Dalam makalah ini telah dijelaskan bagaimana prosedur resampling tanpa

pengembalian digunakan untuk memperbesar koefisien determinasi dalam model regresi

linear. Penelitian ini dapat dikembangkan pada model regresi linear ganda dengan

peubah respon lebih dari 2 peubah yang memerlukan langkah pemilihan model terbaik

dalam setiap pemilihan sampel bagian sehingga koefisien determinasi menjadi lebih

besar. Di samping itu juga dapat dikembangkan pada metode resampling dengan

pengembalian.

F. Daftar Pustaka

Bima, Stevvileny A., Adi S., Tundjung M. 2013. Pembentukan Sampel Baru yang

Masih Memenuhi Syarat Valid dan Reliable dengan Teknik Resampling, Prosiding

Seminar Nasional Matematika 26 Oktober 2013, UNNES.

Bima, Stevvileny A., Adi S., Tundjung M. 2013. Pembentukan Sampel Baru yang

Masih Memenuhi Syarat Valid dan Reliable dengan Teknik Resampling pada Data

Kuisioner Tipe Yes/No, Prosiding Seminar Nasional Matematika 9 November

2013, UNY.

Chihara, L & Hesterberg, T. 2011. Mathematical Statistics with Resampling and R, John

Wiley & Sons, New Jersey.

Haas, T. C. 2013. Introduction to Probability and Statistics for Ecosytem Managers :

Simulation & Resampling, John Wiley & Sons, Chichester.

m=50

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

0030

00

m=60

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

0030

00

m=70

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

0030

00

m=80

Freq

uenc

y

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

010

0020

0030

00

Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi

ISBN 978-602-1034-06-4 232

Muaja, J. R. T., Adi S., Tundjung M. 2013. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Menggunakan Metode Bootstrap, Prosiding Seminar Nasional Penelitian,

Pendidikan dan Penerapan MIPA , FMIPA UNY Yogyakarta

Muaja, J. R. T, Adi S., Tundjung M. 2013. Uji Validitas dan Uji Realibilitas

Menggunakan Metode Bootstrap pada Data Kuesioner Tipe Yes/No Question,

Prosiding Seminar Sains dan Pendidikan Sains FSM UKSW Vol 4 No 1.

Patty, S., Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri dan Jenis Kelamin

dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon, Magister Sains

Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Ririhena, P. Y., Hubungan Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya

terhadap Prestasi Belajar ditinjau dari Jenis Kelamin Mahasiswa Fakultas Teologi

UKIM, Magister Sains Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Salamor, J. M., Dukungan Sosial Orang Tua dan Motivasi Berpretasi Sebagai Prediktor

Prestasi Akademik Mahasiswa UKSW Etnis Maluku Utara di Salatiga, Magister

Sains Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Setiawan, Adi 2014, (Monte Carlo) Resampling Technique in Validity Testing and

Reliability Testing, International Journal of Computer Application Vol 91 No. 5.

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 233

PENERAPAN ESTIMATOR ROBUST RMCD PADA GRAFIK

PENGENDALI T2 HOTELLING UNTUK PENGAMATAN

INDIVIDUAL BIVARIAT DAN TRIVARIAT

Angelita Titis Pertiwi

1), Adi Setiawan

2), Bambang Susanto

3)

1)Mahasiswa Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya

Wacana

Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga

Surel: 1)[email protected] 2)3)Dosen Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana

Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga

Surel: 2)[email protected], 3)[email protected]

Abstrak

Untuk memonitor proses atau kualitas produk secara multivariat, biasa digunakan grafik

pengendali T2 Hotelling. Grafik pengendali T2 Hotelling sensitif terhadap titik-titik ekstrim

(outliers) karena grafik pengendali T2 Hotelling menggunakan vektor rata-rata dan matriks

kovariansi dari sampel. Untuk itu digunakan estimator robust (tegar) RMCD (Reweighted

Minimum Covariance Determinant) pada grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan

individual supaya grafik pengendali T2 Hotelling yang didapat lebih tegar terhadap outliers di

phase I. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang penerapan estimator robust RMCD pada grafik

pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual bivariat (dua variabel) dan trivariat (tiga

variabel), karena studi kasus dilakukan pada data karakteristik kualitas parfum remaja dari

perusahaan “X” yang mempunyai tiga variabel. Variabel yang digunakan adalah karakteristik

kualitas yang diukur dalam memonitor kualitas produk parfum remaja, yaitu pH parfum remaja,

refractive index (RI) atau index bias parfum remaja setelah dikemas, dan masa jenis parfum

remaja. Dari penerapan didapat grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual

menggunakan estimator robust RMCD bivariat dan trivariat yang hanya memerlukan dua kali

iterasi untuk mencapai kondisi in control di phase I.

Kata Kunci – Hotelling’s T

2 Control Chart; Robust Estimator; RMCD; Multivariate

Statistical Process Control

A. Pendahuluan

Grafik pengendali kualitas atau yang disebut control chart merupakan salah satu

alat yang digunakan dalam usaha mengendalikan kualitas proses karena dalam grafik

pengendali dapat diketahui kapan proses di luar kendali (out of control). Sering kali

dalam pengendalian kualitas tidak cukup dengan pengamatan univariat namun harus

secara multivariat. Menurut Montgomery (2009), grafik pengendali T2 Hotelling paling

banyak digunakan dalam pengendalian proses secara multivariat untuk memonitor

vektor rata-rata proses karena dalam grafik pengendali T2 Hotelling menggunakan

vektor rata-rata dan matriks kovariansi dari sampel. Padahal vektor rata-rata dan matriks

kovariansi sampel sangat sensitif terhadap titik ekstrim (outliers). Karena itu dibutuhkan

estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi populasi yang tegar untuk membuat

grafik pengendali T2

Hotelling. Chenouri dkk (2009) mengusulkan untuk menggunakan

estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi yang robust (tegar), estimator

Reweighted Minimum Covariance Determinant (RMCD), dalam penerapan grafik

pengendali T2

Hotelling untuk pengamatan individual. Grafik pengendali T2

Hotelling

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 234

untuk pengamatan individual menggunakan estimator RMCD ini selanjutnya disebut

dengan grafik pengendali .

Permasalahannya adalah bagaimanakah menerapkan grafik pengendali

bivariat dan trivariat? Studi kasus pun dilakukan untuk menerapkan grafik pengendali

bivariat dan trivariat. Studi kasus dilakukan menggunakan Data Karakteristik

Kualitas Parfum Remaja Periode April-Desember 2011 yang diperoleh dari Lampiran I

Puspitoningrum (2011). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pembaca tentang penerapan estimator robust khususnya RMCD pada grafik pengendali

T2

Hotelling untuk pengamatan individual dalam pengendalian kualitas produk atau

proses.

B. Tinjauan Pustaka

Puspitoningrum (2011) menggunakan grafik pengendali T2

Hotelling untuk

memonitor vektor rata-rata proses secara multivariat karena dalam grafik pengendali T2

Hotelling menggunakan rata-rata vektor dan matriks kovariansi dari sampel.

Pengestimasian parameter pengendali pada phase I, dalam hal ini vektor rata-rata dan

matriks kovariansi Ʃ dari distribusi normal multivariat N(,Ʃ) adalah hal yang paling

penting. Asumsi in control pada data historis phase I tidak selalu benar, maka dari itu

dibutuhkan estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi yang lebih tegar terhadap

outliers dibanding vektor rata-rata dan matriks kovariansi sampel. Chenouri dkk (2009)

mengusulkan untuk menggunakan estimator RMCD untuk diterapkan dalam grafik

pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual.

Chenouri dkk (2009) mengusulkan RMCD sebagai estimator rata-rata vektor dan

matriks kovariansi yang tegar karena RMCD merupakan estimator yang affine

equivariant dengan titik breakdown yang tinggi, laju konvergensi n-1/2

, efisiensi tinggi,

dan memiliki algoritma aproksimasi yang baik untuk tujuan komputasional. Penjelasan

tentang affine equivariant, titik breakdown, laju konvergensi, efisiensi secara statistik

dan efisiensi secara komputasi dapat dilihat pada Zhang (2011) dan Vanpaemel (2013).

Algoritma aproksimasi untuk estimator RMCD yang baik untuk tujuan komputasional

adalah FAST-MCD yang diberikan oleh Rousseeuw dan van Driessen (1999). FAST-

MCD sudah diterjemahkan ke dalam software R dalam paket rrcov, robust dan

robustbase, dapat dilihat dalam Hubert dkk (2008).

Sudah dibuktikan oleh Chenouri dkk (2009) bahwa grafik pengendali lebih

tegar dibanding grafik pengendali T2

Hotelling untuk pengamatan individual biasa

ketika terdapat outliers pada proses selama phase I. Penelitian juga dilakukan oleh

Prastyowati (2009) yang membandingkan ketegaran grafik pengendali T2

Hotelling

berbasis overlapping groups menggunakan estimator RMCD dengan grafik pengendali

. Penelitian lain dilakukan Variyath dan Vattathoor (2013) yang mengemukakan

bahwa pada phase I, grafik pengendali T2

Hotelling menggunakan estimator RMCD

baik untuk data dengan jumlah pengamatan dan dimensi (variabel) yang lebih besar dari

pada grafik pengendali T2

Hotelling menggunakan estimator RMVE (Reweighted

Minimum Volume Ellipsoid). Penelitian tentang grafik pengendali dilakukan pula

oleh Mohammadi dkk (2010) dan penelitian tentang ketegaran grafik pengendali

phase II dilakukan oleh Mohammadi dkk (2011).

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 235

C. Metode Penelitian

1. Estimator Reweighted Minimum Covariance Determinant (RMCD)

Estimator RMCD merupakan pengembangan dari estimator Minimum Covariance

Determinant (MCD), yaitu dengan pembobotan, karena itu perlu mengestimasi

estimator MCD terlebih dahulu kemudian barulah mengestimasi estimator RMCD.

Algoritma yang terkenal dalam menaksir estimator MCD adalah FAST-MCD yang

diusulkan oleh Rousseuw dan van Driessen (1999). Penelitian ini menggunakan

Algoritma FAST-MCD yang sudah diterjemahkan ke dalam fungsi CovMcd() pada

paket rrcov yang ditulis oleh Todorov (2007) dalam software R. Estimator RMCD

untuk vektor rata-rata dan matriks kovariansi adalah vektor rata-rata yang diberi

bobot

(1)

dan matriks kovariansi

(2)

pembobotan berdasar pada jarak

(3)

sehingga bobot ditentukan dengan persamaan (4)

(4)

dan merupakan quantil ke- dari distribusi chi kuadrat. Chenouri dkk (2009)

mengusulkan untuk menggunakan =0,975 yang dianjurkan dan digunakan oleh

Rousseeuw dan van Driessen (1999). Dengan menggunakan

membuat konsisten dibawah distribusi normal multivariat. Faktor adalah

koreksi sampel terbatas (finite sample correction) yang diberikan oleh Pison dkk (2002)

pada (5)

(5)

dengan

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 236

Menurut Pison dkk (2002) bernilai sangat kecil ketika ukuran sampel m

kecil, dan untuk p tertentu naik secara monoton ke 1 ketika m mendekati

tak hingga. Dalam penelitian ini faktor koreksi sampel terbatas belum digunakan

dalam penghitungan , sehingga dianggap .

2. Grafik Pengendali T2 Hotelling untuk Pengamatan Individual Menggunakan

Estimator RMCD

Pengamatan dikatakan individual apabila ukuran masing-masing sampel n=1.

Diberikan m pengamatan individual dengan p karakteristik kualitas yang disusun ke

dalam matriks berukuran pada persamaan (6)

(6)

dengan , i=1,2,...,m menunjukkan pengamatan ke-i dari p-variat

dan diasumsikan vektor pengamatan in control, adalah vektor random identik,

independen, dan berdistribusi normal multivariat dinotasikan sebagai .

Bagian yang terpenting dari phase I penerapan grafik pengendali T2

Hotelling

adalah mengestimasi parameter vektor rata-rata populasi dan matriks kovariansi

populasi . Estimator dari dan adalah vektor rata-rata sampel dan matriks

kovariansi sampel S, sehingga diperoleh statistik T2 Hotelling pada persamaan (7)

. (7)

Karena asumsi vektor pengamatan in control tidak selalu benar, serta dan S sangat

sensitif terhadap outliers, jadi estimator klasik ( dan S) digantikan oleh estimator

RMCD yang tegar. Didapat statistik T2 Hotelling baru yang diberikan oleh persamaan

(8)

(8)

Chenouri dkk (2009) mengusulkan estimasi batas pengendali atas (BPA) untuk grafik

pengendali yang diberikan pada persamaan (9)

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 237

(9)

dengan nilai estimasi Least-Square parameter regresi dan diberikan

oleh Chenouri dkk (2009) pada Tabel 1 halaman 264. Sedangkan BPB (Batas

Pengendali Bawah) sama dengan grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan

individual biasa, BPB = 0.

3. Langkah-langkah Penerapan Grafik Pengendali T2

Hotelling untuk

Pengamatan Individual Menggunakan Estimator RMCD

Phase I

a. Menggunakan data phase I untuk menaksir vektor rata-rata dan matriks kovariansi

menggunakan estimator MCD kemudian dilanjutkan dengan menaksir estimator

robust RMCD sehingga didapat dan .

b. Menghitung dengan menggunakan persamaan (8).

c. Menentukan titik breakdown atau 0,25 dan =0,01 atau 0,001 untuk

memilih estimasi least square dan dari Chenouri dkk. (2009)

pada Tabel 1 halaman 264, kemudian menghitung BPA dari persamaan (9).

d. Mengkonstruksi grafik pengendali dengan memetakan nilai-nilai pada

langkah 2 dengan batas pengendali atas pada langkah 3.

e. Membuang pengamatan yang dengan asumsi penyebab diketahui.

f. Melakukan iterasi dari langkah 1 sampai langkah 5 hingga tercapai kondisi in

control.

Phase II

a. Menghitung menggunakan pengamatan baru dari dan yang

sudah didapat dari phase I.

b. Memetakan ke dalam grafik pengendali dengan batas pengendali yang sudah

diperoleh pada Phase I (langkah 4).

c. Mendeteksi pengamatan-pengamatan atau titik-titik di luar kendali (out of control

points), yaitu jika , atau polanya. Mendiagnosa proses jika

diperlukan.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari

Lampiram I Data Karakteristik Kualitas Parfum Remaja Periode April-Desember 2010,

Puspitoningrum (2011) yang berdistribusi normal secara multivariat dengan

menggunakan uji chi-square (Johnson & Wichern, 2002). Data yang digunakan

memiliki tiga variabel (p=3) yang telah ditetapkan sebagai pengendali kualitas, yaitu

pH (batas spesifikasi perusahaan 4 sampai 8), refractive index (RI) atau index bias

parfum remaja setelah dikemas (batas spesifikasi perusahaan 1,349 sampai 1,369), dan

masa jenis parfum remaja (batas spesifikasi perusahaan 0,884 sampai 0,930). Data

memiliki sebanyak m=320 pengamatan, 160 pengamatan pertama dianggap sebagai data

historis untuk phase I dan 160 pengamatan berikutnya dianggap sebagai pengamatan

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 238

baru untuk phase II. Pengolahan data dan komputasi menggunakan software R 3.0.1 dan

Matlab R2009a. Penelitian dilakukan dengan menerapkan estimator RMCD pada grafik

pengendali T2

Hotelling untuk pengamatan individual bivariat (p=2, yaitu kombinasi

dua dari tiga variabel) dan trivariat (p=3). Grafik pengendali yang sudah didapat

kemudian diamati dan diidentifikasi titik-titik di luar kendali.

D. Hasil dan Pembahasan

Sebut variabel adalah karakteristik kualitas pH, adalah karakteristik kualitas

refractive index (RI) atau indeks bias parfum remaja setelah dikemas, dan adalah

karakteristik kualitas masa jenis. Uji chi-square menunjukkan bahwa data karakteristik

kualitas parfum remaja periode April-Desember 2010 berdistribusi normal multivariat.

1. Penerapan Estimator RMCD pada Grafik Pengendali T2

Hotelling untuk

Pengamatan Individual Bivariat

Hasil penerapan phase I dari grafik pengendali bivariat dengan memilih

=0,01; =0,5 diberikan oleh Tabel 1. Menurut Davies dalam Chenouri dkk (2009)

kemungkinan titik breakdown tertinggi dari suatu estimator yang affine equivariant

adalah . Dipilih =0,5 karena pada kasus ini kemungkinan titik

breakdown tertinggi yang diperoleh adalah .

Tabel 1. Hasil Penerapan Prosedur Phase I Grafik Pengendali Bivariat

Pembeda

Kombinasi

dan dan dan

Iterasi

I

Jumlah

titik di luar

kendali

1 2 1

Indeks titik

di luar

kendali

155 23 & 39 155

Nilai

titik di luar

kendali

&

BPA 9,6958 9,6958 9,6958

Iterasi

II

Jumlah

titik di luar

kendali

0 ( in control) 0 ( in control) 0 ( in control)

Indeks titik

di luar

kendali

- - -

Nilai

titik di luar

- - -

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 239

kendali

BPA 9,7006 9,7055 9,7006

Dari Tabel 1 diketahui bahwa dibutuhkan dua kali iterasi untuk mencapai kondisi in

control pada prosedur phase I grafik pengendali bivariat di semua kombinasi

variabel, yaitu dan , dan , serta dan . Sesuai pada prosedur phase I

dilakukan iterasi I untuk langkah 1 sampai 5. Pada langkah 1 didapat estimator MCD

dari paket rrcov software R yang diberikan oleh Todorov (2007). Dari estimator MCD

dapat dihitung estimator RMCD ( dan ). iterasi I untuk semua

kombinasi secara berurutan adalah , dan .

iterasi I untuk semua kombinasi secara berurutan adalah

dan

.

dan digunakan untuk menentukan nilai sesuai langkah 2

menurut persamaan (8). Kemudian BPA dihitung berdasarkan langkah 3, yaitu memilih

=0,01; =0,5. Karena sudah diketahui p=2, sehingga digunakan nilai estimasi

1387,415 dan 1,6321. Dengan menggunakan persamaan (9)

didapatkan BPA untuk setiap kombinasi sama, yaitu 9,6958 karena pada iterasi I jumlah

pengamatan masih sama (160 pengamatan) untuk setiap kombinasi. Untuk mendapatkan

grafik pengendali dilakukan pemetaan dan BPA, grafik pengendali

bivariat iterasi I pada phase I ini ditunjukkan oleh Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.

Gambar 1. Grafik pengendali

iterasi I phase I untuk variabel dan

Gambar 2. Grafik pengendali

iterasi I phase I untuk

variabel dan

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 240

Gambar 3. Grafik pengendali

iterasi I phase I untuk variabel dan

Dari grafik pengendali iterasi I pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3 dapat

diketahui ada titik-titik di luar kendali ( ). Pada kombinasi pertama ( dan

) terdapat satu titik di luar kendali di indeks ke-155 dengan nilai .

Pada kombinasi kedua ( dan ) terdapat dua titik di luar kendali di indeks 23 dan 39

dengan nilai dan . Pada kombinasi ketiga ( dan

) terdapat titik di luar kendali di indeks 155 dengan nilai . Titik-

titik di luar kendali ini kemudian dihapus dengan asumsi penyebab diketahui.

Setelah menghapus titik-titik di luar kendali dilakukan iterasi II, yaitu dengan

mengulang langkah 1 sampai 5. Pada iterasi II estimator RMCD vektor rata-rata,

yang baru untuk semua kombinasi, secara berurutan yaitu ,

dan . Sedangkan yang baru untuk semua kombinasi secara

berurutan yaitu: .

Dengan menggunakan dan yang baru dihitung kembali nilai-nilai

. BPA dihitung kembali menggunakan parameter-parameter yang sama pada

iterasi I, yang berubah adalah jumlah pengamatan karena sudah dilakukan penghapusan

pada iterasi I. Didapat BPA yang baru untuk kombinasi pertama hingga ketiga, secara

berurutan yaitu 9,7006; 9,7055; dan 9,7006. BPA untuk kombinasi pertama dan ketiga

sama karena jumlah titik di luar kendali yang dihapus sama. Kemudian dilakukan

pemetaan dan BPA. Ternyata pada iterasi II sudah dicapai kondisi in control,

yaitu kondisi dimana tidak ada nilai > BPA atau dengan kata lain tidak ada titik

di luar kendali. Iterasi dihentikan karena sudah dicapai kondisi in control, artinya phase

I selesai dilakukan dan dapat dilanjutkan dengan phase II, langkah 7 sampai langkah 9.

Grafik pengendali bivariat dalam kondisi in control iterasi II phase I pada semua

kombinasi ditunjukkan secara berurutan oleh Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6.

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 241

Gambar 4. Grafik pengendali

bivariat iterasi II phase I untuk variabel

dan

Gambar 5. Grafik pengendali bivariat

iterasi II phase I untuk variabel dan

Gambar 6. Grafik pengendali bivariat

iterasi II phase I untuk variabel dan

Pada langkah 7 dihitung dari pengamatan baru (data ke-161 sampai ke-320)

mengunakan dan yang sudah didapat pada kondisi in control phase I.

Kemudian dan BPA (dari kondisi in control phase I) dipetakan sehingga didapat

grafik pengendali bivariat baru. Titik-titik di luar kendali pengamatan baru dapat

dideteksi dengan grafik pengendali bivariat pada phase II ini. Grafik pengendali

bivariat phase II untuk semua kombinasi secara berurutan diberikan oleh Gambar

7, Gambar 8, dan Gambar 9. Hasil penerapan estimator RMCD pada grafik pengendali

bivariat phase II diberikan oleh Tabel 3.

Gambar 7. Grafik pengendali bivariat

phase II untuk variabel dan

Gambar 8. Grafik pengendali

Bivariat phase II untuk variabel dan

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 242

Gambar 9. Grafik pengendali bivariat phase II untuk variabel dan

Tabel 3. Hasil Penerapan Prosedur Phase II Grafik Pengendali Bivariat

Kombinasi Jumlah Titik di Luar

Kendali

Indeks Titik di Luar

Kendali Nilai Titik di Luar

Kendali

dan 3 32 ;94;123 22,25; 10,64; 23,41

dan 6 61;73;78;93;103;104 11,09; 17,49; 20,92; 18,39;

28,55; 26,59

dan 2 32;123 24,11; 23,22

Dari Tabel 3 diketahui bahwa pada grafik pengendali bivariat phase II untuk

variabel dan yang diberikan oleh Gambar 7, ada tiga titik di luar kendali, yaitu

pada indeks 32, 94, dan 123, dengan nilai secara berurutan adalah 22,25; 10,64;

dan 23,41. Diketahui pula pada grafik pengendali bivariat phase II untuk variabel

dan yang diberikan oleh Gambar 8, ada enam titik di luar kendali, yaitu pada

indeks 61,73,78,93,103, dan 104, dengan nilai secara berurutan adalah 11,09;

17,49; 20,92; 18,39; 28,55; dan 26,59. Pada grafik pengendali bivariat phase II

untuk variabel dan yang diberikan oleh Gambar 9, ada dua titik di luar kendali,

yaitu pada indeks 32 dan 123, dengan nilai secara berurutan adalah 24,11 dan

23,22.

2. Penerapan Estimator RMCD pada Grafik Pengendali T2

Hotelling untuk

Pengamatan Individual Trivariat

Masih dipilih =0,5 karena pada kasus ini kemungkinan titik breakdown tertinggi

yang diperoleh adalah . Hasil penerapan

prosedur phase I dari grafik pengendali trivariat dengan memilih =0,01 ;

=0,5 diberikan oleh Tabel 4.

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 243

Tabel 4. Hasil Penerapan Prosedur Phase I Grafik Pengendali Trivariat

Pembeda Iterasi

I II

Jumlah Titik di

Luar Kendali 3 0(in control)

Indeks Titik di

Luar Kendali 23;39;155 -

Nilai

Titik di Luar

Kendali

16,46; 15,58; 17,51 -

BPA 14,5162 14,6166

Dari Tabel 4 diketahui bahwa dibutuhkan dua kali iterasi untuk mencapai kondisi in

control pada prosedur phase I grafik pengendali trivariat ( , , dan ). Sesuai

pada prosedur phase I dilakukan iterasi I untuk langkah 1 sampai 5. Pada langkah 1

didapat estimator MCD dari paket rrcov sofware R. Dari estimator MCD dapat dihitung

estimator RMCD, dan secara berurutan yaitu:

; .

dan digunakan untuk menentukan nilai sesuai langkah 2 menurut

persamaan (8). Kemudian BPA dihitung berdasarkan langkah 3, yaitu memilih =0,01 ;

=0,5. Karena sudah diketahui p=3, sehingga digunakan nilai estimasi

13533,973 dan . Sesuai langkah 3 digunakan persamaan (9) untuk

mendapatkan BPA=14,5162. Berikutnya dilakukan pemetaan dan BPA untuk

mendapatkan grafik pengendali trivariat. Grafik pengendali trivariat

iterasi I pada phase I ini ditunjukkan oleh Gambar 10.

Gambar 10. Grafik pengendali trivariat iterasi I phase I

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 244

Dari grafik pengendali trivariat iterasi I phase I pada Gambar 10 dapat

diketahui ada tiga titik di luar kendali pada indeks 23, 39, dan 155 dengan nilai

secara berturutan adalah 16,46; 15,58; dan 17,51. Sesuai langkah 5, titik-titik di luar

kendali ini dihapus dengan asumsi penyebab diketahui. Setelah menghapus titik-titik di

luar kendali dilakukan iterasi II, yaitu dengan mengulang langkah 1 sampai 5. Pada

iterasi II diperoleh estimator RMCD yang baru secara berurutan adalah

dan .

Dengan menggunakan dan yang baru dihitung kembali nilai-nilai

sesuai langkah 2. BPA dihitung kembali menggunakan parameter-parameter

yang sama pada iterasi I, yang berubah adalah jumlah pengamatan karena sudah

dilakukan penghapusan pada iterasi I. Dari langkah 3 didapat BPA yang baru, yaitu

14,6166. Kemudian dilakukan pemetaan dan BPA sesuai langkah 4. Ternyata

pada iterasi II sudah dicapai kondisi in control, yaitu kondisi dimana tidak ada nilai-

nilai > BPA. Iterasi dihentikan karena sudah dicapai kondisi in control, artinya

phase I selesai dilakukan dan dilanjutkan dengan prosedur phase II, langkah 7 sampai

langkah 9. Grafik pengendali trivariat dalam kondisi in control iterasi II phase I

ditunjukkan oleh Gambar 11.

Gambar 11. Grafik pengendali trivariat iterasi II phase I

Pada langkah 7 dihitung dari pengamatan baru (data ke-161 sampai ke-320)

mengunakan dan yang sudah didapat pada kondisi in control phase I.

Kemudian dan BPA (dari kondisi in control phase I) dipetakan sehingga didapat

grafik pengendali baru. Titik-titik di luar kendali pengamatan baru dapat dideteksi

dengan grafik pengendali trivariat pada phase II ini. Grafik pengendali

trivariat hasil penerapan phase II diberikan oleh Gambar 12.

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 245

Gambar 12. Grafik pengendali trivariat phase II

Pada Gambar 12 diketahui ada sebanyak delapan titik di luar kendali, yaitu pada indeks

32 , 46 , 73, 78, 93, 103, 104, dan 123 dengan nilai , secara berurutan yaitu

27,19415; 15,37344; 20,58837; 24,71327; 24,29873; 34,98609; 31,98614; dan

26,98379.

E. Simpulan dan Saran

Sudah diterapkan estimator robust RMCD pada grafik pengendali T2 Hotelling

untuk pengamatan individual bivariat dan trivariat pada data karakteristik kualitas

Parfum Remaja periode April-Desember 2010. Ternyata hanya diperlukan dua kali

iterasi untuk mencapai kondisi in control di phase I baik pada grafik pengendali

bivariat maupun grafik pengendali trivariat. Puspitoningrum (2011)

menyebutkan bahwa seluruh data memenuhi batas spesifikasi perusahaan, berarti

semakin sedikit titik di luar kendali semakin tegar grafik pengendali T2 Hotelling. Dapat

dilihat bahwa titik di luar kendali pada grafik pengendali lebih sedikit

dibandingkan dengan hasil penelitian Puspitoningrum (2011) yang menggunakan grafik

pengendali T2 Hotelling biasa. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan faktor

koreksi sampel terbatas ( ) pada dan perlu juga penelitian lanjutan mengenai

ketegaran grafik pengendali pada banyaknya outliers.

F. Daftar Pustaka

Chenouri, S., Steiner, S. H., Variyath, A. M. 2009. A Multivariate Robust Control

Chart for Individual Observations. Journal of Quality Technology, Vol 41, No.

3, 259-271.

Hubert, Mia, Rousseeuw, Peter J. dan van Aelst, Stefan. 2008. High-Breakdown

Robust Multivariate Methods. Statistical Science 2008, Vol. 23, No. 1, 92–119.

DOI: 10.1214/088342307000000087.

Johnson, R.A. and Wichern, D.W. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis.

Third Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Mohammadi, M., Midi, H., Arasan, J. dan Al-Talib, B. 2011. High Breakdown

Estimators to Robustify Phase II Multivariate Control Charts. Journal of Applied

Science 11 (3): 503-511.

Penerapan Estimator Robust RMCD

ISBN 978-602-1034-06-4 246

Mohammadi, Mandana, Midi, Habshah dan Arasan, Jayanthi. 2010. Re-weighted

Robust Control Charts for Individual Observations. Proceedings of the 6th IMT-

GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010)

Universiti Tunku Abdul Rahman. Kuala Lumpur.

Montgomery D.C. 2009. Introduction to Statistical Quality Control. Sixth

Edition.United States of America: John Wiley and Sons.

Pison, G.,van Alest, S., Willems, G. 2002. Small Sample Corrections for LTS and

MCD. Metrika 55, 111-123.

Prastyowati, Retno. 2009. Diagram Kontrol T2 Hottelling Berbasis Overlapping

Groups Covariance Matrix dengan Penaksir Robust RMCD. Tesis. Program

Magister Bidang Keahlian Perencanaan dan Evaluasi Pendidikan Jurusan

Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Puspitoningrum, Fitria. 2011. Penerapan Grafik Hotelling T2 pada Karakteristik

Kualitas Parfum Remaja dari Perusahaan “X”. Skripsi. Program Studi

Matematika Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga: Univ. Kristen Satya

Wacana.

Rosseeauw, P. J. and van Driessen, Katrien. 1999. A Fast Algorithm for the Minimum

Covariance Determinant Estimator. Technometrics, Vol 41, No. 3, 212-223.

Vanpaemel, Dina. 2013. Improved Outlier Detection Combining Extreme Value,

Nonparametric and Robust Statistics. Dissertation. Doctor in Science. Arenberg

Doctoraatsschool, Groep Wetenschap & Technologie. Heverlee: Katholieke

Universiteit Leuven.

Variyath, Asokan M. dan Vattathoor, Jayasankar. 2013. Robust Control Charts for

Monitoring Process Mean of Phase-I Multivariate Individual Observations.

Journal of Quality and Reliability Engineering, Volume 2013, Article ID

542305. Hindawi Publishing Corporation.

(http://dx.doi.org/10.1155/2013/54230, diakses 8 Oktober 2014).

Zhang, Jianfeng. 2011. Applications of A Robust Dispersion Estimator. Research

Dissertation. Doctor of Philosophy in Mathematics Department of Mathematics.

Carbondale: Southern Illionis University.

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 247

PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN

BACKPROPAGATION UNTUK SIMULASI KUALITAS AIR DAN

DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN DI KALI SURABAYA

Bima Prihasto1)

, M. Isa Irawan2)

, Ali Masduqi3)

1)2)Program Studi S2 Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi

Sepuluh Nopember (ITS)

Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya

Surel: 1)[email protected], 2)[email protected]

3)Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,Institut Teknologi Sepuluh

Nopember (ITS)

Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya

Surel: 3)[email protected]

Abstrak

Dewasa ini pencemaran terhadap Kali Surabaya semakin meningkat seiring dengan pesatnya

perkembangan industri di Surabaya. Hal ini menyebabkan kualitas air Kali Surabaya semakin

menurun. Kali Surabaya diharapkan memenuhi standar mutu kualitas air baku kelas II.

Ironisnya, di sebagian lokasi pada parameter BOD tidak masuk dalam kelas II dengan standar

maksimum 3 mg/L dan tingkat COD yang tinggi mencapai rata - rata 20 mg/L melebihi ambang

batas kelas II yaitu 10 mg/L. Untuk mencapai tingkat kualitas air sesuai dengan standar yang

telah ditetapkan, maka perlu upaya pengelolaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkirakan

kondisi kualitas air pada waktu tertentu. Nantinya dapat diketahui daya tampung pada lokasi

pemantauan sesuai dengan klasifikasi baku mutu yang telah ditentukan di tiap lokasi

pemantauan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan suatu model kualitas air

untuk mengetahui gambaran kondisi di waktu tertentu. Jaringan saraf tiruan hadir untuk

menyelesaikan model dalam bentuk non-linier. Pada penelitian ini, penulis mengembangkan

konsep penggunaan algoritma Backpropagation yang telah dilakukan oleh Liu yakni telah dapat

ditentukan estimasi indeks kelas di setiap lokasi pemantauan berdasarkan baku mutu. Sedangkan

dari sudut pandang model prediksi kualitas air, Melalui algoritma Backpropagation akan

menghasilkan variasi lain untuk menyelesaikan model kualitas air selain dengan menggunakan

program qual2kw yang saat ini telah lama digunakan oleh para pakar lingkungan. Hasil

penelitian ini diharapkan bisa mengestimasi kualitas air pada lokasi pemantauan serta

mengklasifikasi baku mutu di tiap - tiap lokasi pemantauan sehingga nantinya dapat dilakukan

simulasi dengan beban pencemaran sebagai kontrol untuk mengetahui daya tampung lingkungan

Kali Surabaya di setiap titik lokasi pemantauan.

Kata Kunci: Kualitas Air, Backpropagation, Daya Tampung Lingkungan.

A. Pendahuluan

Kali Surabaya merupakan anak sungai Kali Brantas yang berada di bagian hilir

dengan memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) 630,7 km2, terdiri dari DAS Kali

Marmoyo 289,7 km2, DAS Kali Watudakon seluas 99,4 km

2, dan DAS beberapa anak

sungai seluas 227,3 km2. Kali Surabaya dipecah menjadi dua yakni sungai utama

menuju ke utara dengan nama Kalimas dan sungai yang menuju ke pantai timur

dinamakan Kali Wonokromo.

Kali Surabaya merupakan sumber air yang cukup penting bagi Kota Surabaya dan

sekitarnya. Air di Kali Surabaya digunakan untuk berbagai keperluan, seperti irigasi, air

minum, dan air industri. Sebagai salah satu sumber air minum, menurut Peraturan

Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Penerapan Kelas Air Pada Air

Sungai,yang menyatakan bahwa Kali Surabaya diharapkan memenuhi standar mutu

kualitas air baku kelas II. Ironisnya, Di beberapa lokasi terdapat parameter BOD yang

tidak memenuhi baku mutu kelas II dengan standar maksimum 3 mg/L dan tingkat COD

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 248

yang tinggi mencapai rata - rata 20 mg/L melebihi ambang batas kelas II yaitu 10 mg/L.

Padahal berdasarkan PP 82 tahun 2001, kualitas air kelas III hanya layak digunakan

untuk sarana-prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, dan

mengairi pertamanan. Dengan kata lain, air Kali Surabaya sebenarnya tidak layak

digunakan sebagai bahan baku air minum.

Hal ini disebabkan banyaknya industri di sepanjang sungai yang membuang

limbahnya ke kali surabaya, padatnya permukiman penduduk, terbatasnya debit pada

musim kemarau, dan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga

kebersihan sungai. Prosentase terbesar kontribusi pencemar berasal dari limbah industri

sekitar 70 buah industri berlokasi di daerah aliran kali Surabaya dan sekitar 40 buah

diantaranya dianggap potensial sebagai sumber pencemaran. Ditambah lagi pada saat

musim kemarau dimana debit air terbatas, diketahui bahwa bendungan air di hulu dapat

mencapai debit terendah sebesar 4 m3/s selama 1 bulan, kondisi ini menyebabkan

semakin menurunnya kapasitas purifikasi dan pengenceran di kali Surabaya. Hal

tersebut tidak di imbangi dengan penurunan volume limbah industri dan domestik. oleh

karena itu peningkatan manajemen kualitas dan kuantitas air menjadi suatu hal yang

sangat penting.

Untuk mencapai tingkat kualitas air sesuai dengan standar yang telah ditetapkan,

maka perlu upaya pengelolaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan beban

pencemaran yang boleh dibuang ke sungai, yang disesuaikan dengan debit air sungai

yang ada agar sesuai dengan daya tampungnya. Mengingat arti penting Kali Surabaya

tersebut, Hal ini dapat dilakukan dengan memperkirakan kondisi kualitas air pada waktu

tertentu. Sehingga nantinya dapat diketahui daya tampung pada lokasi pemantauan

sesuai dengan klasifikasi baku mutu yang telah ditentukan di tiap lokasi pemantauan.

Untuk menyelesaikan permasalahan dalam menetapkan beban pencemaran agar

sesuai dengan daya tampungnya maka diperlukan suatu model kualitas air untuk

mengetahui gambaran kondisi di waktu tertuntu. Jaringan syaraf tiruan hadir untuk

menyelesaikan model dalam bentuk non-linier. Memodelkan melalui jaringan syaraf

tiruan dinilai lebih mudah untuk kalangan awan di bidang ilmu lingkungan dan sangat

dinamis terhadap perubahan lingkungan pada badan sungai.

Pada tahun 2009, penelitian yang telah dilakukan oleh Liu .dkk (2009) dengan

judul Research on Water Environmental Quality Assessment of Fu River with BP NN.

Pada penelitian ini backpropagation digunakan untuk menentukan estimasi indeks kelas

lokasi pemantauan berdasarkan baku mutu. Sedangkan Penelitian Syafi’i dan Masduqi

(2011) telah melakukan studi mengenai pemodelan kualitas air Kali Surabaya untuk

tahun (2006-2010) dengan menggunakan model simulasi komputer Qual2kw. Program

Qual2kw adalah program dimana penentuan nilai kualitas air pada lokasi pemantauan

selain lokasi hulu ditentukan berdasarkan sumber pencemar yang masuk ke badan

sungai. Sedangkan data kualitas air pada lokasi pemantauan hanya digunakan sebagai

validasi atas model yang telah dibentuk. Agar model yang dibentuk mendekati nilai

kualitas air di lokasi pemantauan maka diperlukan penentuan nilai koefisien model yang

sesuai.

Berdasarkan kedua penelitian yang telah dilakukan, penulis mengembangkan

konsep penggunaan backpropagation yang telah dilakukan oleh Liu dkk (2009) yakni

dengan membuat model prediksi kualitas air. Sedangkan dari sudut pandang model

prediksi kualitas air, yang sebelumnya pada pembentukan model dengan menggunakan

program qual2kw sangat berkaitan erat dengan konsep teori mass-balance, namun pada

penelitian ini akan dilakukan pendekatan yang berbeda, yakni dengan melatih data dari

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 249

tiap kejadian di waktu tertentu sehingga akan terbentuk suatu model machine learning

dengan algoritma backpropagation. Sehingga melalui backpropagation akan dihasilkan

variasi lain untuk menyelesaikan model kualitas air selain program qual2kw yang saat

ini telah lama digunakan oleh para pakar lingkungan untuk untuk membuat model

kualitas air.

B. TinjauanPustaka

1. Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

Jaringan syaraf tiruan artifical neural network adalah sistem komputasi yang

arsitektur dan operasinya diilhami dari pengetahuan tentang sel syaraf biologis di dalam

otak. Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia

yang selalu mencoba menstimulasi proses pembelajaran pada otak manusia tersebut.

Jaringan syaraf tiruan dapat digambarkan sebagai model matematis dan komputasi

untuk fungsi aproksimasi non-linear, klasifikasi data cluster dan regresi non-

parametrik. Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan

Model jaringan backpropagation merupakan suatu teknik pembelajaran atau

pelatihan supervised learning yang paling banyak digunakan. Metode ini

merupakan salah satu metode yang sangat baik dalam menangani masalah

pengenalan pola-pola kompleks. Didalam jaringan backpropagation, setiap unit

yang berada di lapisan input berhubungan dengan setiap unit yang ada di lapisan

tersembunyi. Setiap unit yang ada di lapisan tersembunyi terhubung dengan setiap unit

yang ada di lapisan output. Jaringan ini terdiri dari banyak lapisan (multilayer network).

Ketika jaringan ini diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan, maka pola

tersebut menuju unit-unit lapisan tersembunyi untuk selanjutnya diteruskan pada

unit-unit dilapisan keluaran. Kemudian unit-unit lapisan keluaran akan memberikan

respon sebagai keluaran jaringan syaraf tiruan. Saat hasil keluaran tidak sesuai

dengan yang diharapkan, maka keluaran akan disebarkan mundur (backward) pada

lapisan tersembunyi kemudian dari lapisan tersembunyi menuju lapisan masukan.

Setiap unit dari layer input pada jaringan backpropagation selalu terhubung

dengan setiap unit yang berada pada layer tersembunyi, demikian juga setiap unit layer

tersembunyi selalu terhubung dengan unit pada layer output. Jaringan

backpropagation terdiri dari banyak lapisan (multilayer network) yaitu:

a. Lapisan input (1 buah), yang terdiri dari 1 hingga unit input.

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 250

b. Lapisan tersembunyi (minimal 1 buah), yang terdiri dari 1 hingga unit

tersembunyi.

c. Lapisan output (1 buah), yang terdiri dari 1 hingga m unit output.

Algoritma pelatihan jaringan backpropagation terdiri dari 3 tahapan yaitu:

a. Tahap umpan maju (feedforward).

b. Tahap umpan mundur (backpropagation).

c. Tahap pengupdatean bobot dan bias.

Secara rinci algoritma pelatihan jaringan backpropagation dapat diuraikan sebagai

berikut-

a. Inialisasi bobot (ambil bobot awal dengan nilai random yang cukup kecil)

Tetapkan : Maksimum Epoh, Target Error, dan Learning Rate

Inialisasi : Epoh = 0, MSE = 1.

b. WHILE (Epoh < Maksimum Epoh) dan (MSE > Target Error), DO Step 3-11

c. Epoh = Epoh + 1

d. FOR tiap-tiap pasangan elemen, DO Step 5-10

Feedforward

e. Tiap - tiap unit input menerima sinyal dan meneruskan

sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan yang ada di atasnya (lapisan

tersembunyi).

f. Tiap - tiap unit pada suatu lapisan tersembunyi menjumlahkan

sinyal - sinyal input terbobot:

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya:

dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit - unit output).

Step 6 dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi.

g. Tiap - tiap unit output menjumlahkan sinyal - sinyal input

terbobot.

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya :

dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit - unit output).

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 251

Backpropagation

h. Tiap - tiap unit output menerima target pola yang

berhubungan dengan pola input pembelajaran, hitung informasi errornya :

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki

nilai ):

hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai

):

Step 8 ini juga dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi, yaitu menghitung

informasi error dari suatu lapisan tersembunyi ke lapisan tersembunyi sebelumnya.

i. Tiap - tiap unit tersembunyi menjumlahkan delta input-nya

(dari unit - unit yang berada pada lapisan di atasnya)

kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung

informasi error:

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki

nilai ):

hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai

):

j. Tiap - tiap unit output ( ) memperbaiki bias dan bobotnya (

):

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 252

Tiap - tiap unit tersembunyi ( ) memperbaiki bias dan bobotnya

( ):

k. Hitung MSE

2. Kualitas Air Sungai

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang

“Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air” mutu air diklasifikasikan menjadi 4 kelas.

Keempat kelas tersebut adalah:

a. Kelas I

Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan peruntukan

lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.

b. Kelas II

Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,

pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanian dan

peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.

c. Kelas III

Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,

peternakan, pengairan pertamanan dan peruntukan lain yang mempersyaratkan

mutu air yang sama.

d. Kelas IV

Air yang peruntukannya digunakan untuk mengairi pertamanan dan atau

peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.

C. MetodePenelitian

Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam tahapan-tahapan berikut:

1. Tahap Studi Literatur

Dalam tahapan ini dilakukan studi literatur mengenai teori pencemaran air sungai,

kondisi terkini Kali Surabaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan sungai,

serta penelitian terdahulu mengenai pemodelan kualitas air.

2. Tahap Konseptual Implementasi Backpropagation

Dalam tahapan ini menganalisa hal - hal yang dapat diterapkan dari jaringan saraf

tiruan \textit{Backpropagation} untuk pembentukan model prediksi kualitas air,

serta penentuan data yang akan digunakan untuk pembentukan model.

3. Tahap Pengumpulan Data

Dalam Tahapan ini merupakan implementasi dari tahap sebelumnya. Data yang

dikumpulkan adalah data sekunder yakni berasal dari Perum Jasa Tirta I.

4. Tahap Pembentukan Model Prediksi

Dalam tahapan ini dilakukan pembentukan model melalui algoritma

Backropagation. Hal ini meliputi penentuan Arsitektur Backpropagation, Tahap

pelatihan, dan Tahap uji valiadasi model

5. Tahap Simulasi

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 253

Dalam tahapan ini hasil dari model prediksi yang telah dibentuk dilakukan

perubahan kondisi sumber pencemar agara memenuhi baku mutu kualitas air,

selanjutnya dapat ditentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan Kali

Surabaya

6. Penyusunan Makalah dan Kesimpulan

Dalam tahapan ini akan terlihat gambaran kualitas air di Kali Surabaya, serta tindak

lanjut yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran air di Kali Surabaya.

Kemudian dilanjutkan dengan menyelesaikan penulisan Makalah.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Indeks Estimasi Baku Mutu Pada Segmen Jembatan Sepanjang - Bendungan

Gunungsari.

Baku mutu kualitas air berdasarkan kelas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor

82 Tahun 2001 Tentang Pengeloalaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Kelas Baku mutu untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelas Baku Mutu untuk Parameter DO, BOD, dan COD

Pada kelas baku tersebut digunakan sebagai input pada pelatihan jaringan syaraf

tiruan backpropagation, dan dengan 4 target yang masing-masing untuk kelas I

={1,0,0,0}, kelas II={0,1,0,0}, kelas III={0,0,1,0} dan kelas IV={0,0,0,1}.

Pada saat simulasi dengan data didapat dari Perum Jasa Tirta I, untuk segmen

Jembatan Sepanjang – Bendungan Gunungsari menghasilkan grafik seperti Gambar 2.

berikut:

Gambar 2. Grafik Indeks Baku Mutu Pada Segmen Jembatan Sepanjang – Bendungan

Gunungsari

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 254

Hasil indeks tertinggi bulanan untuk masing-masing kelas baku dapat dilihat pada Tabel

2 berikut.

Tabel 2. Hasil Indeks Tertinggi untuk perbulan

2. Model Prediksi Kualitas Air Pada Segmen Jembatan Sepanjang - Bendungan

Gunungsari.

Pada pembentukan model Kualitas Air yang digunakan sebagai input adalah data

kualitas air pada hulu pada segmen Jembatan Sepanjang-Bend. Gunungsari dan data

limbah industri yang dilalui Kali Surabaya pada segmen Jembatan Sepanjang-Bend.

Gunungsari. Sedangkan sebagai target adalah data kualitas air pada hilir pada segmen

Jembatan Sepanjang-Bend. Gunungsari. Data limbah industri yang terpantau ole Perum

Jasa Tirta adalah: PT. Sarimas Permai, Pabrik Tahu Purnomo, Pabrik Tahu Halim, dan

Perusahaan Tahu Gunungsari.

Gambar 3. Grafik Hasil Validasi antara Data Asli dengan Hasil Prediksi parameter BOD pada

segmen Jembatan Sepanjang-Bendungan Gunungsari

Grafik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa data hasil prediksi (merah) sangat

mendekati data asli (biru), hal tersebut mengartikan keakurasian model yang telah

dibentuk. Kemudian dari model tersebut dapat dilakukan simulasi, yakni dengan

mengubah parameter input dalam beberapa skenario.

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 255

Gambar 4. Grafik Hasil Validasi antara Data Asli dengan Hasil Prediksi parameter COD pada

segmen Jembatan Sepanjang-Bendungan Gunungsari

Grafik pada Gambar 4 menunjukkan bahwa data hasil prediksi (merah) sangat

mendekati data asli (biru), hal tersebut mengartikan keakurasian model yang telah

dibentuk. Kemudian dari model tersebut dapat dilakukan simulasi, yakni dengan

mengubah parameter input dalam beberapa skenario. Grafik Performansi MSE dan hasil

regresi hubungan input dan output dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Performansi MSE<0.0001 dengan 4206 iterasi, dan hasil regresi hubungan antara input

dan output

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 256

Pada proses simulasi dilakukan beberapa skenario yakni:

Skenario 1. Kondisi 100% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri.

Skenario 2. Kondisi 90% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 3. Kondisi 80% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 4. Kondisi 70% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 5. Kondisi 60% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 6. Kondisi 50% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 7. Kondisi 40% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 8. Kondisi 30% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 9. Kondisi 20% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 10. Kondisi 10% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri

Skenario 11. Kondisi dimana tidak ada pembuangan limbah industri

Grafik hasil Skenario 1-11 untuk parameter BOD dan COD dapat dilihat pada Gambar

6 dan Gambar 7 berikut ini.

Gambar 6. Skenario 1-11 untuk parameter BOD

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 257

Gambar 7. Skenario 1-11 untuk parameter COD

Beban Pencemaran, Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

= Beban pencemaran [kg/hari]

= Konsentrasi polutan (BOD, COD) [mg/l]

= Debit minimum [m3/detik]

Untuk Daya Dukung didapatkan sebagai berikut:

= Daya Dukung lingkungan [kg/hari]

= Konsentrasi Polutan Menurut baku mutu kelas [mg/l]

Sehingga untuk Daya Tampung didapatkan sebagai berikut:

= Daya Tampung lingkungan [kg/hari]

= Daya Dukung lingkungan [kg/hari]

= Beban pencemaran [kg/hari]

Dari Hasil Simulasi maka dihasilkan data seperti pada Tabel 3 sampai dengan Tabel 6

di bawah ini.

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 258

Tabel 3. Hasil Simulasi untuk Paremeter Min BOD

Tabel 4. Hasil Simulasi untuk Paremeter Max BOD

Tabel 5. Hasil Simulasi untuk Paremeter Min COD

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 259

Tabel 6. Hasil Simulasi untuk Paremeter Max COD

E. Simpulan dan Saran

Hasil simulasi dengan data dari 2008-2012 terlihat bahwa untuk segmen Jembatan

Sepanjang – Bend. Gunungsari sebagian besar baku mutu masih memenuhi kelas III,

dan hanya beberapa bulan saja memenuhi baku mutu kelas II, bahkan dalam pernah

mencapai baku mutu kelas IV dengan Rincian Sebagai berikut:

1. Untuk Kelas I tidak pernah terjadi

2. Untuk Kelas II terjadi selama 9 bulan

3. Untuk Kelas III terjadi selama 36 bulan

4. Untuk Kelas IV terjadi selama 3 bulan

Untuk simulasi prediksi kualitas air:

Saat Min BOD:

1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum

memenuhi baku kelas I

2. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 60% agar

memenuhi baku mutu kelas II

Saat Max BOD:

1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum

memenuhi baku kelas I

2. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum

memenuhi baku kelas II

Saat Min COD:

1. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 70% agar

memenuhi baku mutu kelas I

2. Kondisi Sungai sudah memenuhi baku kelas II

Saat Max COD:

1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum

memenuhi baku kelas I

2. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 80% agar

memenuhi baku mutu kelas II

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

ISBN 978-602-1034-06-4 260

F. Daftar Pustaka

Liu, J. 2009. Research on Water Environmental Quality Assessment of FuRiver with BP

NN”. International Conference on Environmental Science AnaInformation

Application Technology, 978-0-7695-3682-8/09.

Syafi’i, E. & Masduqi. 2011.Aplikasi Model Simulasi Komputer Qual2kw pada studi

Pemodelan Kualitas Air Kali Surabaya.Tugas Akhir.Program Studi Sarjana

Teknik Lingkungan.Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 261

PENERAPAN REGRESI MULTIVARIATE DALAM PENENTUAN

TERJADINYA

ANOMALI CURAH HUJAN ESKTRIM DI P. JAWA

Eddy Hermawan Bidang Pemodelan Atmosfer,

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer,

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Jln. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung 40173

Surel: [email protected]

Abstrak Studi ini menekankan pentingnya penggunaan regresi ganda (multivariate regression) dalam

penentuan terjadinya curah hujan esktrim di Pulau Jawa. Ini terkait dengan dugaan adanya

interaksi atau interkoneksi yang terjadi di berbagai indeks iklim global yang ada. Ada dua

fenomena atmosfer yang memang dianggap dominan mempengaruhi kompleksitas dinamika

atmosfer Indonesia, yakni Monsun dan El-Nino. Kejadian curah hujan esktrim yang jauh di

bawah normal tahun 1997/98 merupakan satu bukti nyata akan bersatunya dua fenomena di atas.

Melalui makalah ini, ditunjukkan tahapan penurunan didapatkannya satu persamaan regresi

ganda (multivariate) yang melibatkan faktor Monsun (diwakili oleh parameter AUSMI) dan El-

Nino (diwakili SST Nino 3.4) Hasilnya diperoleh anomali_ch, masing-masing untuk Indramayu

= - 0,039 - 0,087 Nino 3.4 - 0,0654 AUSMI + 0,0764 Nino34*AUSMI, Semarang = 0,237 -

0,399 Nino 3.4 - 0,0206 AUSMI - 0,212 Nino34/AUSMI, dan Pasuruan = 0,070 - 0,069 Nino 3.4

- 0,0609 AUSMI + 0,0908 Nino34*AUSMI. Hasil di atas menunjukkan bahwa bersatunya

Monsun dan El-Niño dinyatakan dalam bentuk silang (cross). Sementara hasil koeffisien

determinasi (R2) bervariasi antara 0.4-0.5. Hasil detail bisa disimak dalam full makalah ini.

Kata Kunci: regresi multivariate, SST Nino 3.4 dan Monsun

A. Pendahuluan

Ada satu pokok permasalahan serius yang sedang dihadapi Pemerintah saat ini,

yakni upaya Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKPN) dalam menghadapi dampak

perubahan iklim global (global climatic change), khususnya masalah datangnya musim

kemarau/basah panjang yang semakin sulit untuk diprediksi dengan baik dan benar,

apalagi tepat waktu dan tepat sasaran. Permasalahan ini muncul, karena model prediksi

iklim, khususnya model prediksi anomali curah hujan yang ada saat ini, umumnya

belum sepenuhnya mempertimbangkan adanya interkoneksi/telekoneksi/interaksi yang

terjadi diantara berbagai fenomena iklim global. Hanya ada beberapa saja yang sudah

mulai mengaplikasikannya, seperti yang dilakukan oleh Harijono (2008).

Kemarau panjang (lebih dari enam bulan) di tahun 1997, kemudian diikuti dengan

musim basah panjang (juga lebih dari enam bulan) satu tahun sesudahnya, adalah akibat

bersatunya dua fenomena alam, yakni El-Niño dan Monsun dalam kurun waktu yang

hampir bersamaan (dikenal dengan istilah/sebutan simultan). Kejadian tersebut memberi

pelajaran agar dipahami lebih mendalam lagi mekanisme bersatunya dua fenomena di

atas dengan baik dan benar. Kalau hanya El-Niño atau La-Niña saja yang datang, maka

dampak yang dihasilkannya tidaklah akan separah jika tidak diikuti dengan hadirnya

Monsun Asia dan Monsun Australia.

Dua pengalaman di atas memberi pelajaran betapa pentingnya pemahaman yang

baik dan benar masing-masing karakteristik atmosfer yang ada di Indonesia, mengingat

masing-masing tidaklah berdiri sendiri, adakalanya saling menguatkan, namun kadang

pula saling melemahkan. Hal yang mengkhawatirkan, manakala fenomena tersebut

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 262

melanda kawasan sentra produksi tanaman pangan kita, seperti kawasan Pantai Utara

(Pantura) Pulau Jawa dimana Kabupaten Sukamandi merupakan salah satu pusat

lumbung padi nasional di Provinsi Jawa Barat, selain kota Semarang di Jawa Tengah

dan Pasuruan di Jawa Timur.

Dengan asumsi ketiga kawasan di atas memiliki karakteristik curah hujan berbeda,

pada penelitian kali ini akan diketahui seberapa jauh interaksi yang terjadi antara El-

Niño dan Monsun saat terjadinya kemarau panjang di Pulau Jawa. Banyak cara yang

bias dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknik regresi multivariate.

B. Tinjauan Pustaka

Analisis Multivariat (Multivariat Analysis) merupakan salah satu jenis analisis

statistik yang digunakan untuk menganalisis data di mana data yang digunakan berupa

banyak peubah bebas (independen variabels) dan juga banyak peubah terikat (dependen

variabels). Analisis Regresi Linear Ganda atau sering disebut juga Analisis Multiple

Regression Linear merupakan perluasan dari Simple Regression Linear (Regresi Linear

Sederhana). Pada analisis ini bentuk hubungannya adalah beberapa variabel bebas

terhadap satu variabel terikat. Misalkan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait

dengan tekanan darah sistolik (variabel Y) analisis dilakukan dengan melibatkan kadar

glukosa darah (variabel X1), kadar kolesterol darah (X2) dan Berat Badan (X3).

Perbedaan dengan analisis-analisis statistik yang lain adalah bahwa jumlah

peubah tak bebas pada analisis statistik lain, seperti analisis regresi ganda, terdiri dari

hanya satu peubah misalnya (Y) tetapi pada analisis multivariat, peubah terikat dapat

berjumlah lebih dari satu (misalnya Y1, Y2, ……….Yq). Dalam penelitian kedokteran

dan kesehatan seperti studi epidemiologi, klinik (prognosis, diagnosis dll.) banyak

menggunakan model multivariat seperti untuk mencari faktor paling dominan

(variabelbebas) mempengaruhi variabel terikat.Secara sederhana model persamaan

regresi ganda digambarkan sebagai berikut (Yusuf, 2003) :

Y= a+b1X1+b2X2+b3X3+...+bnXn+e

dimana :

Y = variabel terikat (mis: tekanan darah sistolik)

a = intercept (perkiraan besarnya rata-rata Y ketika kenaikan nilai X = 0

b = slope (perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai variabel

X berubah satu unit pengukuran)

X = masing-masing kadar glukosa darah, kadar kolesterol darah dan BB

e = nilai kesalahan (error) yaitu selisih antara nilai Y individual yang

teramati dengan nilai Y sesungguhnya pada titik X tertentu

Selain itu, model regresi linier multivariat juga didefinisikan sebagai model regresi

linier dengan lebih dari satu variabel respon (Y) yang saling berkorelasi dan satu atau

lebih variabel prediktor (X) (Johnson dan Wichern, 2007). Misalkan terdapat variabel

respon berjumlah q yitu Y1Y2,... dan variabel prediktor berjumlah p yaitu X1X2,... maka

model regresi linier multivariat q respon sebagai berikut (Sawyer, 2010):

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 263

Kelebihan teknik multivariat adalah ia merupakan teknik yang kuat untuk

menyingkirkan pelbagai variabel luar, sedangkan kelemahannya adalah :

1. Interpretasinya sering sulit dan tidak natural.

2. Sulit digeneralisasi dalam keadaan nyata.

3. Hasilnya sangat dipengaruhi oleh pemilihan variabel yang dimasukkan ke dalam

formula.

4. Membutuhkan jumlah subyek yang besar terutama apabila jumlah variabel

independennya banyak.

5. Seringkali terlalu banyak asumsi

Untuk menentukan model yang paling sesuai/cocok menggambarkan faktor-faktor

yang terkait dengan variabel dependen (terikat). Model Regresi Ganda dapat berguna

untuk dua hal, yaitu :

1. Prediksi, memperkirakan variabel dependen dengan menggunakan informasi yang

ada pada sebuah atau beberapa variabel independen. Misalnya kita melakukan

analisis variabel independen kadar glukosa darah, kadar kolesterol darah dan BB

dihubungkan dengan tekanan darah sistolik. Dari hasil regresi, seseorang individu

dapat diperkirakan tekanan darahnya pada kadar glukosa, kolesterol dan BB

tertentu.

2. Estimasi, mengkuantifikasi hubungan sebuah atau beberapa variabel independen

dengan sebuah variabel dependen. Di fungsi ini, regresi dapat digunakan untuk

mengetahui variabel independen apa saja yang berhubungan dengan variabel

dependen. Selain itu kita dapat mengetahui seberapa besar hubungan masing-

masing variabel independen dengan dependen setelah

memperhitungkan/mengontrol variabel independen lainnya. Dari analisis tersebut

dapat diketahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya /dominan

mempengaruhi variabel dependen, yang ditujukan dari nilai koefisien regresi (b)

yang sudah distandarisasi yaitu nilai beta.

Kriteria R2 merupakan metode menemukan himpunan variabel prediktor terbaik

untuk memprediksi variabel dependen melalui model regresi linier yang diperoleh dari

data sampel. Metode ini dinilai efisien dengan menyajikan semua kemungkinan model

regresi dan menunjukkan nilai R2 sesuai dengan banyaknya variabel independen dalam

model. Koefisien determinasi multiple R2 dapat dihitung dengan menggunakan

formulasi berikut (Sunengsih 2009) :

Metode koefisien determinasi multipel selalu menetapkan model terbaik adalah

model dengan R2 terbesar untuk setiap unit variabel prediktor yang dipertimbangkan

dalam model. Karena banyaknya parameter dalam model regresi tidak dimasukkan

dalam perhitungan Since R2, sehingga R

2 tidak mungkin menurun pada saat

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 264

banyaknya parameter p bertambah. Hal ini merupakan satu kelemahan metode R2.

Sebagai satu bentuk penyempurnaan diperkenalkan metode koefisien determinasi

multipel yang disesuaikan/adjusted coefficient of multiple determination (AjdR2)

sebagai alternatif krieteria dalam pemilihan model terbaik (Sunengsih, 2009).

Metode AjdR2 sama halnya dengan metode R

2 yaitu menetapkan model terbaik

merupakan model yang memiliki AdjR2 terbesar. Formulasi dari AdjR2 dapat

dituliskan sebagai berikut :

C. Data dan Metode Analisis

Data utama yang digunakan dalam penelitian ini diekstrak dari data CRU (Climatic

Research Unit) rata-rata bulanan untuk kawasasan Indramayu, Semarang dan Pasuruan

periode 1996-1999. Pemilihan periode didasarkan kepada saat terjadinya kemarau

panjang 1997/98. Pada waktu yang bersamaan dilakukan pula analisis terhadap data El-

Niño dan indeks Monsun yang masing-masing diwakili oleh SST Niño 3.4 dan AUSMI

(Australian Monsun Index). Sementara metode analisis yang digunakan menggunakan

regresi multivariate dan juga koeffsien determinasi (R2).

D. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 Nilai R

2 analisis regresi multivariat tiap kabupaten dan tiap perlakuan

Kabupaten R2(%) dari Nino3.4 + AUSMI +...

Nino3.4*

AUSMI

Nino3.4 /

AUSMI

Nino3.4 +

AUSMI

Nino3.4 –

AUSMI

Indramayu 43.1 26.4 37.9 25.6

Semarang 41.7 44.3 39.9 38.1

Pasuruan 55.8 29.4 29.0 29.4

Tabel 2 Nilai R2 Adj analisis regresi multivariat tiap kabupaten dan tiap perlakuan

Kabupaten R2(%) dari Nino3.4 + AUSMI +...

Nino3.4*

AUSMI

Nino3.4 /

AUSMI

Nino3.4 +

AUSMI

Nino3.4 –

AUSMI

Indramayu 34.9 15.9 29.0 14.9

Semarang 33.3 36.4 31.3 29.3

Pasuruan 49.4 19.3 18.8 19.4

Berbasis kepada hasil analisis hubungan keeratan antara dua variabel,maka terlihat

dengan jelas bahwa nilai R2 maksimum terjadi di saat SST Niño 3.4 di-cross dengan data

AUSMI dengan nilai masing-masing 34.9 dan 49.4 (%) yakni untuk Indramayu dan

Pasuruan (lihat Tabel 1). Hal yang sama berlaku untuk nilai R2 Adj, walaupun agak

sedikti berbeda, masing-masing 34.9 dan 49.4(%) (lihat Tabel 2).

Kondisi ini memang berbeda dengan Semarang, dimana nilai R2 dan R

2 Adj masing-

masing 44.3 dan 36.4 (%) (lihat Tabel 1 dan 2). Nilai ini didapat justru ketika SST Niño

3.4 dan AUSMI, dibagi (÷). Ini memang tidak lazim/wajar dalam ilmu meteorologi. Tapi

ini adalah fakta yang ada. Hasil analisis di atas lebih nampak jelas terlihat pada Gambar

1, 2 dan 3.

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 265

Gambar 1 Residual plots Indramayu perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4*AUSMI)

Gambar 2 Residual plots Semarang perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4/AUSMI)

Gambar 3 Residual plots Pasuruan perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4*AUSMI)

Penerapan Regresi Multivariate Dalam

ISBN 978-602-1034-06-4 266

Sementara bentuk persamaan regresi multivariate yang didapat adalah:

Indramayu = - 0,039 - 0,087 Nino 3.4 - 0,0654 AUSMI + 0,0764 Nino34*AUSMI

Semarang = 0,237 - 0,399 Nino 3.4 - 0,0206 AUSMI - 0,212 Nino34/AUSMI

Pasuruan = 0,070 - 0,069 Nino 3.4 - 0,0609 AUSMI + 0,0908 Nino34*AUSMI

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa regresi multivariate

sangat diperlukan untuk mengetahui hubungan keeratan antara anomali curah hujan saat

kemarau panjang dengan anomali El-Niño dan Monsun. Dua diantara tiga kasus yang

diteliti menyatakan bahwa kedua fenomena di atas terjadi secara simultan yang

dinyatakan dalam bentuk –cross (silang). Ini mengindikasikan bahwa keduanya saling

menguatkan disaat keduanya di cross, seperti yang terjadi di Indramayu dan Pasuruan.

Sementara teknik lain, seperti penambahan, pengurangan dan pembagian memiliki nilai

koeffisien determinasi (R2) yang relatif lebih kecil.

F. Daftar Pustaka

Harijono, S.W.B. 2008. Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator

Sumatera Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi

Bersamaan, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 5(2), 130 – 148.

Johnson, R.A. dan Wichern, D. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis,

Prentice Hall, New Jersey.

Sawyer, S. 2010. Multivariate Linier Models. (Online). (http://www.math. wustl.edu/.

diakses pada tanggal 31 Oktober 2014).

Sunengsih, N. 2009. Seleksi Variabel Dalam Analisis Regresi Multivariat Multipel.

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan

Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009. Yogyakarta.

Yusuf, M A M N. 2003. Modul Terapan Analisis Data Multivariat Konsep dan

Aplikasi Regresi Linear Ganda. Depok

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 267

PENERAPAN METODE ELIMINASI GAUSS-JORDAN DALAM

MEMECAHKAN MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS

Eliza Verdianingsih

Pendidikan Matematika SPS UPI Bandung

Surel: [email protected]

Abstrak

Sistem persamaan linier dalam bentuk matriks dapat diselesaikan melalui beberapa cara, salah

satunya dengan menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan. Metode eliminasi Gauss-Jordan

adalah proses menggunakan operasi-operasi baris elementer untuk mengubah suatu matriks

menjadi bentuk eselon baris tereduksi. Metode eliminasi ini dapat menyelesaikan berbagai

persoalan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah masalah kemacetan lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu

lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Untuk

mengatasi kemacetan lalu lintas diperlukan suatu rekayasa sistem pengendalian lalu lintas.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan dan mendeskripsikan

penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hasil analisis metode eliminasi

Gauss-Jordan yang menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan di perempatan jalan Pattimura-

Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur dengan

menunjukkan bahwa tidak ada kendaraan yang keluar di jalan Kusuma Bangsa

sedangkan ada kendaraan yang keluar di jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dan

Dr.Soetomo. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diketahui banyaknya kendaraan

yang masuk sama dengan banyaknya kendaraan yang keluar sehingga metode eliminasi Gauss-

Jordan dapat diterapkan dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas di perempatan jalan

Pattimura-Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur.

Kata kunci: sistem persamaan linier, metode eliminasi Gauss-Jordan, kemacetan lalu

lintas.

A. Pendahuluan

Matematika dianggap penting dalam kehidupan manusia, karena matematika

memiliki keterikatan dan menjadi pendukung diberbagai bidang ilmu serta berbagai

aspek kehidupan manusia. Matematika juga berperan sebagai sarana untuk memecahkan

masalah, baik pada matematika sendiri ataupun dalam bidang lain yang berkaitan

dengan kehidupan nyata. Matematika juga mempunyai peranan penting dalam

menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), misalnya: aplikasi

dalam bidang komunikasi, transportasi, engineering, komputer sains, dan bahkan sosial

sains.

Aljabar linier adalah salah satu bidang studi matematika yang mempelajari sistem

persamaan linier dan solusinya, vektor, serta transformasi linier. Persamaan linier dapat

dinyatakan dalam bentuk matriks. Penyelesaian persamaan linier dalam bentuk matriks

dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan metode eliminasi Gauss atau dapat

juga dengan metode eliminasi Gauss-Jordan.

Salah satu persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dapat diselesaikan

dengan metode eliminasi Gauss-Jordan adalah kemacetan lalu lintas. Persoalan ini

dapat dimodelkan ke dalam suatu matriks, dengan menggunakan operasi-operasi baris

elementer untuk mengubahnya menjadi suatu matriks bentuk eselon baris tereduksi

disebut eliminasi Gauss-Jordan.

Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak

kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 268

lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang,

dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung (Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 2010: 3)

Lalu lintas mempunyai peran yang strategis dalam mendukung pembangunan dan

integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum, untuk

mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah diperlukan sistem

transportasi yang baik untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan

kelancaran berlalu lintas. Melihat pentingnya peranan lalu lintas dalam pengaturan

kelancaran lalu lintas, maka diperlukan suatu rekayasa sistem untuk pengendalian lalu

lintas. Sistem pengendalian lalu lintas yang baik akan secara otomatis menyesuaikan

diri dengan kepadatan arus lalu lintas pada jalur yang diatur. Namun pengawasan dan

pengendalian lalu lintas kota sedang menjadi masalah utama di banyak negara. Salah

satu masalah tersebut adalah masalah kemacetan lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan

terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi

kapasitas jalan. Salah satu penyebab kemacetan lalu lintas adalah tidak seimbangnya

antara kapasitas jaringan jalan dengan banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu

lalang menggunakan jalan tersebut. Masalah lalu lintas ini timbul pada saat volume lalu

lintas mengalami ketidakseimbangan antara kapasitas jaringan jalan dengan permintaan,

yakni volume lalu lintas orang, terutama kendaraan. Hal inilah yang menyebabkan

kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, ketegangan psikis

pengguna jalan dan lain-lain.

Peneliti melihat bahwa perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin

Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa

timur merupakan perempatan yang mengalami kemacetan padat saat jam sibuk,

khususnya diwaktu pagi hari yaitu saat menjelang jam masuk kerja dan jam sekolah.

Hal ini terjadi karena di perempatan tersebut banyak terdapat beberapa sekolah dan

beberapa kantor pemerintahan, sehingga banyak kendaran bermotor khususnya

kendaraan bermotor roda dua yang melalui perempatan ini untuk menuju sekolah atau

tempat kerja mereka.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti mengadakan penelitian tentang

“Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan Masalah Kemacetan

Lalu Lintas”. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka

rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana menentukan banyaknya lalu

lintas kendaraan? (2) Bagaimana penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dapat

membantu memecahkan masalah kemacetan lalu lintas? Sehingga tujuan penelitian ini

adalah: (1) Untuk menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan. (2) Untuk

mendeskripsikan penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dalam memecahkan

masalah kemacetan lalu lintas.

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah: penelitian ini dilakukan di kota

Jombang-Jawa Timur khususnya di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr.

Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa; kemacetan lalu

lintas yang diteliti adalah kemacetan lalu lintas yang terjadi saat hari senin-sabtu yaitu

menjelang jam masuk kantor dan jam masuk sekolah antara jam 06.00-07.00; penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan skala kendaraan bermotor roda dua dan

diasumsikan banyaknya kendaraan yang masuk sama dengan banyaknya kendaraan

yang keluar.

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 269

B. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Persamaan Linier

Persamaan linier adalah sebuah persamaan dalam mana variabel dari persamaan

tersebut adalah memiliki pangkat sama dengan satu (Isnaini, 1985: 12). Bentuk umum

persamaan linier ialah:

di mana dan b adalah bilangan-bilangan real dan adalah

peubah.(Leon, 2001: 1)

Sistem persamaan linier (SPL) ialah sehimpunan persamaan linier yang menjadi

satu kesatuan, antar persamaan linier saling terikat. Bentuk umum sistem persamaan

linier ialah:

(Imrona, 2009: 28)

Sistem persamaan linier mempunyai tiga kemungkinan banyaknya penyelesaian,

yaitu: (a) penyelesaian tunggal; (b) penyelesaian tak hingga banyaknya; (c) tak ada

penyelesaian. Sistem persamaan linier yang mempunyai penyelesaian, baik

penyelesaian tunggal maupun penyelesaian tak hingga banyaknya disebut “konsisten”.

Jika tak mempunyai penyelesaian disebut “tak konsisten” (Imrona, 2009: 29).

2. Eliminasi Gauss Jordan

Sistem persamaan linier:

dapat dinyatakan sebagai perkalian matriks yaitu:

AX=B

A =X= , B=

Sistem persamaan linier tersebut dapat diubah menjadi matriks lengkap atau matriks

yang diperluas, yaitu matriks koefisien (A) diperluas dengan menambahkan satu kolom

yang berisikan matriks suku konstan (B).

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 270

Secara umum matriks lengkap sebagai berikut:

Untuk mengubah matriks lengkap tersebut diperlukan operasi yang tidak mengubah

penyelesaian dari sistem persamaan linier yaitu Operasi Baris Elementer (OBE): (a)

mengalikan satu baris dengan konstanta tak nol; (b) menukar tempat dua baris; (c)

menjumlahkan satu baris dengan kelipatan baris yang lain. Sehingga matriks lengkap

tersebut diubah menjadi matriks eselon baris tereduksi dan dilakukan substitusi mundur.

Matriks eselon baris tereduksi bercirikan: (a) pada setiap baris entri tak-nol yang

pertama adalah satu, di mana satu ini disebut “satu utama”; (b) jika terdapat baris nol,

maka baris tersebut diletakkan pada baris yang terbawah; (c) pada dua baris yang

berurutan letak satu utama pada baris yang lebih bawah terletak lebih ke kanan; (d) pada

setiap kolom jika terdapat satu utama, entry-entry yang lain adalah nol. Metode

pengubahan (pencarian penyelesaian SPL) ini dikenal dengan nama Eliminasi Gauss-

Jordan (jika matriks lengkap diubah menjadi matriks eselon baris tereduksi dan

dilakukan substitusi mundur) (Imrona, 2009: 30-33).

3. Kemacetan lalu lintas

Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu

lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.

Sedangkan lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai

gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas Jalan. Ruang lalu lintas jalan adalah

prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang

yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor

22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 2010: 3)

Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai

transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan

jalan dengan kepadatan penduduk.

a. Kemacetan dapat terjadi karena beberapa alasan:

1) arus yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan;

2) terjadi kecelakaan lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena

masyarakat yang menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat

kecelakaan belum disingkirkan dari jalur lalu lintas;

3) terjadi banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan;

4) ada perbaikan jalan;

5) bagian jalan tertentu yang longsor;

6) kemacetan lalu lintas yang disebabkan kepanikan seperti saat terjadi isyarat sirene

tsunami;

7) karena adanya pemakai jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, seperti : berjalan

lambat di lajur kanan;

8) adanya parkir liar dari sebuah kegiatan;

9) pasar tumpah yang secara tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada

akhirnya membuat sebuah antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan

melewati area tersebut;

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 271

10) pengaturan lampu lalu lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi

rendahnya arus lalu lintas.

b. Dampak negatif dari kemacetan lalu lintas antara lain:

1) kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah;

2) pemborosan energi, karena pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih

rendah;

3) keausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang

pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih

tinggi;

4) meningkatkan polusi udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih

tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal;

5) meningkatkan stress pengguna jalan;

6) mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran

dalam menjalankan tugasnya.

c. Pemecahan masalah kemacetan

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah

kemacetan lalu lintas antara lain:

1) peningkatan kapasitas jalan/prasarana, misalnya:

a) memperlebar jalan, menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu memungkinkan;

b) merubah sirkulasi lalu lintas menjadi satu arah;

c) mengurangi konflik di persimpangan melalui pembatasan arus tertentu, biasanya

yang paling dominan membatasi arus belok kanan;

d) meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas;

e) mengembangkan intelligent transport sistem.

2) pembatasan kendaraan pribadi

Langkah ini dilakukan bila kemacetan lalu lintas semakin parah, sehingga harus

dilakukan manajemen lalu lintas yang lebih ekstrim. Antara lain:

a) pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju kawasan tertentu;

b) pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan

kendaraan, bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi, dan

lain-lain;

c) pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti

pembatasan sepeda motor masuk jalan tol, pembatasan mobil pribadi masuk

jalur busway, dan lain-lain.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melakukan penelitian pada latar

alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Sumber data yang digunakan

peneliti dalam penelitian ini adalah: (1) Tindakan, tindakan orang-orang yang diamati

dicatat melalui catatan tertulis dan melalui pengambilan foto. (2) Sumber tertulis,

Terdiri atas sumber buku, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. (3)

Foto, foto yang dihasilkan peneliti adalah foto yang menggambarkan tentang keadaan

lingkungan saat terjdi kemacetan lalu lintas di lokasi penelitian. Data penelitian yang

digunakan peneliti adalah data yang diperoleh setelah melakukan penelitian. Instrumen

yang digunakan oleh peneliti adalah peneliti itu sendiri (human instrumental), Peneliti

terjun secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang

dibutuhkan dengan terlebih sudah memiliki beberapa pedoman yang akan dijadikan alat

bantu mengumpulkan data (Satori dan Komariah, 2009:90). Selain menggunakan

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 272

dirinya sendiri sebagai instrumen penelitian, peneliti juga menggunakan instrumen

lainnya sebagai alat pengumpulan data. Antara lain: Hand tally counter dan camera

digital.

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain: (1) Tahap pra-lapangan:

menyusun rancangan, memilih lokasi penelitian, mengurus perizinan, melakukan

observasi di lokasi penelitian, menyiapkan perlengkapan penelitian. (2) Tahap pekerjaan

lapangan: memasuki lapangan, berperan-serta sambil mengumpulkan data, untuk

mendapatkan data tentang banyaknya kendaraan yang melalui lokasi penelitian, peneliti

menghitung banyaknya kendaraan tersebut dengan menggunakan alat hitung hand tally

counter. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dengan menggunakan: (a)

Observasi, dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi non partisipatif.

Observasi non partisipatif adalah observasi yang dilakukan di mana si peneliti

mengamati perilaku dari jauh tanpa ada interaksi dengan subjek yang sedang diteliti

(Satori dan Komariah, 2009:119). (b) Dokumentasi, peneliti menggunakan dokumen

foto dan data penelitian tentang banyaknya kendaraan bermotor roda dua yang melintas

di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr.

Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa Timur. (3) Tahap pengolahan

data, setelah peneliti memperoleh data tentang banyaknya kendaraan yang masuk di

perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr.

Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa Timur dengan ilustrasi lalu

lintas pada Gambar 1, dengan keterangan: A = jalan kusuma bangsa, B = jalan Dr.

Soetomo, C = jalan Pattimura, D = jalan Dr.Wahidin Sudiro Husodo; a,b,c,d =

banyaknya kendaraan yang masuk; , , , = banyaknya kendaraan yang keluar

(belum diketahui). Ilustrasi diberikan pada Gambar 1.

Data tersebut akan disubstitusikan dalam sistem persamaan linier berikut:

(1)

Kemudian sistem persamaan linier tersebut diubah menjadi matriks lengkap atau

matriks yang diperluas. Matriks lengkap tersebut adalah:

a

b

c

d

U

A

B

C

D

Gambar 1. Ilustrasi Lalu lintas

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 273

(2)

Matriks lengkap tersebut kemudian direduksi menjadi matriks eselon baris tereduksi

dengan menggunakan operasi baris elementer. Proses menggunakan operasi-operasi

baris elementer untuk mengubah suatu matriks menjadi bentuk eselon baris tereduksi

disebut “metode Gauss-Jordan”. Bentuk matriks eselon baris tereduksi tersebut adalah:

Setelah menjadi matriks eselon baris tereduksi maka penyelesaian sistem persamaan

linier tersebut dapat diketahui , , , . Sehingga peneliti dapat

mengetahui banyaknya lalu lintas di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr.

Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-

Jawa Timur.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Perempatan antara jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Dr. Soetomo dan

Kusuma Bangsa termasuk dalam jalan kabupaten Jombang. Perempatan ini merupakan

salah satu jalan yang menuju pusat kota jombang. Di sekitar perempatan ini juga

terdapat beberapa kantor pemerintahan, sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya di jalan

Pattimura terdapat kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, SMP N 1 Jombang,

dan SMK N 3 Jombang; di jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo terdapat SMA N 2

Jombang, dan MAN 1 Jombang; di jalan Dr. Soetomo terdapat STIKES PEMKAB

Jombang, SMK N 1 Jombang, dan SMA N 3 Jombang; di jalan Kusuma Bangsa

terdapat SMK Dwija Bhakti I dan SMK Dwija Bhakti II. Oleh karena itu Perempatan ini

sering kali mengalami kemacetan pada saat jam-jam sibuk, yaitu saat pagi hari

menjelang jam masuk kerja dan jam masuk sekolah, serta saat jam pulang kerja dan jam

pulang sekolah. Rambu-rambu lampu lalu lintas belum banyak membantu saat terjadi

kemacetan di perempatan ini.

2. Banyaknya Arus Lalu Lintas Kendaraan

Informasi mengenai banyaknya kendaraan yang masuk dari keempat jalan

diberikan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Banyaknya Kendaraan yang Masuk

Jalan Banyaknya Kendaraan

Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu

A 287 270 260 235 217 197

B 373 358 345 367 315 305

C 200 182 180 173 168 170

D 551 525 519 489 431 317

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 274

Berdasarkan data dari Tabel 1, peneliti menentukan banyaknya lalu lintas di

perempatan tersebut yang terjadi mulai dari hari senin sampai dengan hari sabtu.

Peneliti mensubstitusikan data tersebut ke dalam sistem persamaan linier (1), kemudian

diubah menjadi matriks lengkap (2). Matriks lengkap tersebut kemudian direduksi

menjadi matriks eselon baris tereduksi sehingga penyelesaian sistem persamaan linier

tersebut dapat diketahui. Penyelesaian sistem persamaan linier tersebut merupakan

banyaknya kendaraan yang keluar diberikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Banyaknya Kendaraan yang Keluar

Jalan Banyaknya Kendaraan

Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu

173 176 165 194 147 135

87 88 80 62 49 27

351 343 339 316 263 147

0 0 0 0 0 0

3. Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan Masalah

Kemacetan Lalu Lintas

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa , hal ini menunjukkan bahwa tidak

ada kendaraan yang keluar di jalan Kusuma Bangsa selain itu ada kendaraan yang

keluar di jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dan Dr.Soetomo. Selain itu,

berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti bahwa di sekitar jalan Kusuma

hanya ada 1 sekolah saja sehingga sangat jarang ada kendaraan yang menuju jalan

Kusuma Bangsa. Sementara itu banyak kendaraan yang menuju jalan Dr. Soetomo, Dr.

Wahidin Sudiro Husodo dan jalan Pattimura. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar

bangunan sekolah-sekolah dan kantor-kantor Pemerintahan terletak di jalan Dr.

Soetomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan jalan Pattimura.

Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diperoleh solusi alternatif dalam

memecahkan masalah kemacetan lalu lintas, khususnya di perempatan jalan Pattimura-

Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur,

dengan cara mengalihkan kendaraan yang akan menuju jalan Kusuma Bangsa.

Pengalihan kendaraan tersebut diterapkan oleh peneliti selama 2 minggu dan dilakukan

pada hari senin-sabtu. Adapun beberapa jalan yang dapat dijadikan sebagai jalur

pengalihan kendaraan sebelum melewati perempatan antara jalan Pattimura-Dr.Wahidin

Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur adalah sebagai

berikut:

a. Kendaraan yang berasal dari arah selatan dapat dialihkan melalui jalan Pattimura III-

Dr. Wahidin Sudiro Husodo IV-Dusun Sengon Krajan-Dewi Sartika dan berakhir di

jalan Kusuma Bangsa.

b. Kendaraan yang berasal dari arah barat dialihkan melalui jalan Dusun Sengon

Krajan-Dewi Sartika dan berakhir di jalan Kusuma Bangsa.

c. Kendaraan yang berasal dari arah timur dapat dialihkan melalui jalan Setiabudi-Ki

Hajar Dewantara dan berakhir di jalan Kusuma Bangsa.

Setelah Peneliti menerapkan pengalihan jalan tersebut dan mengamati lalu lintas yang

terjadi di perempatan tersebut dengan hasil bahwa kemacetan diperempatan tersebut

relatif berkurang, sehingga metode eliminasi Gauss-Jordan dapat diterapkan dalam

Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan

ISBN 978-602-1034-06-4 275

memecahkan masalah kemacetan lalu lintas di perempatan jalan Pattimura-Dr.Wahidin

Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur.

E. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka

peneliti menyimpulkan: (a) Banyaknya lalu lintas kendaraan dapat ditentukan dengan

menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan. (b) Penerapan metode eliminasi Gauss-

Jordan dapat membantu dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas.

2. Saran

Setelah peneliti simpulkan sebagaimana tersebut di atas, saran yang dapat

disampaikan peneliti adalah sebagai berikut: (a) Diharapkan kepada pembaca khususnya

mahasiswa matematika untuk mempelajari ilmu matematika lebih mendalam karena

banyak aplikasi matematika terhadap cabang ilmu lain; (b) Petugas Polisi Satuan Lalu

Lintas dan petugas DLLAJR dapat menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan saat

menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan yang melintas di suatu perempatan. (c)

Para pengguna jalan hendaknya mentaati semua peraturan yang berlaku saat berlalu

lintas di jalan khususnya di jalan raya.

F. Daftar Pustaka

Imrona, M. 2009. Aljabar Linear Dasar. Jakarta: Erlangga.

Isnaini, M. 1985. Aljabar Kalkulus dan Analitik Geometri. Jakarta: PT. Hasta Mitra.

Leon, S.J. 2001. Linear Algebra with Applications. Penerjemah: Alit Bondan. Jakarta:

Erlangga.

Satori, D. & Komariah, A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan. Cetakan kedua 2010. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 276

DIMENSI PARTISI GRAF GARIS DARI GRAF KINCIR

DENGAN DAN YANG DIPERUMUM

F. Kurnia Nirmala Sari1)

, Darmaji2)

Jurusan Magister Matematika Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jalan Arief Rahman Hakim Keputih, Surabaya

Surel: 1) [email protected] 2)

[email protected]

Abstrak

Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di yang

dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan dengan .

Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan sebagai nilai

dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk setiap simpul

dan -partisi terurut dari , representasi dari terhadap adalah -

vektor . Himpunan disebut partisi

pembeda (resolving partition) jika -vektor berbeda untuk setiap . Minimum

dari -partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan

dengan . Graf kincir adalah graf yang dihasilkan dari operasi join dengan buah

dan dinotasikan dengan . Misalkan graf dengan himpunan titik dan

himpunan sisi , graf garis (line graph) adalah graf dengan dan titik

di akan terhubung langsung jika dan hanya jika sisi yang bersesuaian terhubung di .

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kapustakaan, yaitu

mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, atau prosiding

seminar. Dari penelitian yang dihasilkan, dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari graf

kincir mempunyai bentuk umum .

Kata Kunci: dimensi partisi, graf garis, graf kincir, kardinalitas terkecil, partisi pembeda

A. Pendahuluan

Teori graf merupakan cabang kajian ilmu matematika yang relatif baru dan

memiliki banyak terapan pada bidang lain bila dibandingkan dengan cabang kajian

dalam ilmu matematika yang lain seperti aljabar dan geometri. Graf satu dengan yang

lainnya mempunyai karakter masing-masing sehingga berbeda antara satu sama lain.

Salah satu karakter tersebut adalah dimensi partisi.

Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di

yang dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan

dengan . Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan

sebagai nilai dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk

setiap simpul dan -partisi terurut dari ,

representasi dari terhadap adalah vektor-

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 277

. Himpunan disebut partisi

pembeda jika vektor- berbeda untuk setiap . Minimum dari -

partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan

dengan .

Sebagai contoh, Gambar 1 berikut merupakan graf terhubung :

v1

v2

v3v4

v5G :

Gambar 1. Graf terhubung

Diberikan dengan , , , dan

. Sehingga representasi dari kelas partisi vektor-4 adalah:

Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah partisi pembeda dari . Namun bukan

partisi dimensi dari karena kardinalitas dari bukan yang minimum.

Diberikan dengan , , dan .

Sehingga representasi dari masing-masing kelas partisi (3-vektor) adalah:

Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah partisi pembeda dari . Namun dengan cara

yang sama dicari partisi pembeda dengan kardinalitas partisi 2, ternyata akan

menghasilkan representasi yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah

dimensi partisi dari karena merupakan partisi pembeda dengan kardinalitas terkecil

(Chartrand dkk, 1998).

Dari penelitian yang banyak dilakukan belum ada di antara peneliti yang meneliti

tentang dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari suatu graf lain. Sehingga pada

rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana bentuk umum dari dimensi partisi

graf garis dari graf kincir dengan . Oleh karena itu

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk umum dimensi partisi graf garis

dari graf kincir dengan . Dengan adanya penelitian ini

akan memberikan informasi mengenai dimensi partisi suatu graf garis agar dapat

dijadikan acuan bagi peneliti lain dan menambah kepustakaan yang dijadikan

pengembangan wawasan keilmuan.

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 278

B. Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian tentang dimensi partisi sudah pernah dilakukan pada kelas

graf tertentu oleh sebagian ilmuwan. Di antaranya Chartrand dkk pada penelitiannya

yang berjudul On the Partition Dimension of a Graph (Chartrand dkk, 1998) yang

menunjukkan dimensi partisi pada graf bintang ganda ganda dan graf ulat (caterpillar).

Dua tahun kemudian Chartrand, dkk pada The Partition Dimension of a Graph

(Chartrand dkk, 2000) menunjukkan dimensi partisi dari beberapa jenis graf. Salah

satunya bahwa jika dan hanya jika adalah graf lintasan ( ) dan

jika dan hanya jika adalah graf lengkap ( ). Hasil yang lain yaitu pada

graf bipartit lengkap ( ), bahwa jika dan

jika (Amalia, 2013).

Javaid dan Shokat meneliti dimensi partisi pada graf mirip roda, yaitu graf gir, graf

helm, dan graf bunga matahari pada penelitiannya yang berjudul On the Partition

Dimension of Some Wheel Related Graphs (Javaid dan Shokat, 2008). Kemudian

Amalia pada penelitiannya yang berjudul Dimensi Partisi Bintang dari Graf Kincir yang

Diperumum (Amalia, 2013) menghasilkan dimensi partisi bintang pada graf kincir

. Lalu penelitian dimensi partisi lebih dalam diteliti oleh

Darmaji pada Dimensi Partisi Graf Multipartit dan Graf Hasil Korona Dua Graf

Terhubung (Darmaji, 2011) yang meneliti tentang dimensi partisi graf multipartit dan

graf hasil korona dua graf terhubung, dan juga dilakukan oleh Yero dkk. pada A Note on

the Partition Dimension of Cartesian Product Graphs (Yero dan Rodriguez-Velazquez,

2010) yang menentukan dimensi partisi dari hasil kali kartesian dari sebarang graf

terhubung dan yaitu . Kemudian dimensi

partisi juga dilakukan oleh Ghemeci dan Tomescu pada graf gir yang diperumum

dengan judul On Star Partition Dimension on Generalized Gear Graph (Marinescu-

Ghemeci dan Tomescu, 2010).

Dari penelitian yang banyak dilakukan belum ada di antara peneliti yang meneliti

tentang dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari suatu graf lain. Sehingga pada

pada makalah ini dijelaskan bentuk umum dari dimensi partisi graf garis dari graf kincir

dengan .

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian tentang dimensi partisi

graf garis dari graf kincir dengan dan adalah sebagai

berikut:

a. Studi pustaka, pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang dimensi partisi serta

teorema-teorema yang menyertainya sebagai landasan dan acuan untuk pembahasan

pada tahap selanjutnya.

b. Pengkonstruksian graf garis dari graf kincir dengan

, pada tahap ini dilakukan pengkonstruksian graf garis secara khusus

dari graf kincir dengan .

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 279

c. Pengkonstruksian dimensi partisi graf garis dari dengan

, pada tahap ini dilakukan pengkonstruksian dimensi partisi secara

khusus graf garis dari graf kincir dengan sehingga

akan menghasilkan dugaan sementara berupa bentuk umum dari dimensi partisi

graf yang telah dikonstruksi.

d. Pembuktian dari hasil pengkonstruksian dimensi partisi, pada tahap ini hasil

pengkonstruksian yang dilakukan pada tahap sebelumnya dibuktikan menggunakan

kajian dimensi partisi dan teorema dimensi partisi yang telah dikaji pada tahap

awal.

D. Hasil dan Pembahasan

Misalkan dan adalah graf lengkap. Graf kincir didefinisikan sebagai

graf hasil operasi join antara dengan buah (Amalia, 2013) dan biasa

dinotasikan dengan . Graf kincir yang diperoleh dari hasil join antara

graf dengan buah disebut dengan graf friendship. Misal graf dengan

himpunan titik dan himpunan sisi . Graf garis (line graph) adalah graf

dengan dan titik di akan terhubung langsung jika dan

hanya jika sisi yang bersesuaian terhubung di yang biasanya direpresentasikan

dalam bentuk matriks adjacency (Abdussakir dkk, 2009).

v11

ox21

y22

y21

y12

y11

x11 x21

y22

y21

y12

y11

x11

v21

v31v41

(a) (b)

Gambar 1. (a) Graf kincir (b) Graf garis dari graf kincir

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 280

y11

x11

x12

x13 y12

y13

v11

v12

v13

v21

v22v23

v31

v32

v33

o

x23

x21 x22

x31

x32

x33

y21

y22y23

y31

y32

y33

x11

x12

x13

x23 x21

x22

x31

x32

x33

y11

y12

y13

y21y22

y23

y31

y32

y33

(a) (b)

Gambar 2. (a) Graf kincir (b) Graf garis dari graf kincir

Gambar 1 dan 2 adalah contoh dari graf kincir dengan graf garisnya. Simpul

adalah simpul pada graf kincir dengan dan . Sedangkan

simpul adalah simpul pada graf garis yang diperoleh dari sisi graf lengkap

pada graf kincir asal dan tidak terkait langsung dengan simpul pusat graf kincir asal,

untuk simpul adalah simpul yang pada graf garis yang diperoleh dari sisi

yang terkait langsung dengan simpul pusat dari graf kincir asal dengan masing-masing

dam .

Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di

yang dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan

dengan . Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan

sebagai nilai dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk

setiap simpul dan -partisi terurut dari ,

representasi dari terhadap adalah vektor-

. Himpunan disebut partisi

pembeda jika vektor- berbeda untuk setiap . Minimum dari -

partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan

dengan .

Misalkan adalah partisi terurut dari . Jika dan

dan , maka jelas bahwa karena tetapi

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 281

. Dengan demikian ketika diberikan sebuah partisi dari dan hendak

menentukan apakah adalah merupakan partisi pembeda untuk atau bukan

Pemeriksaan cukup dilakukan pada semua simpul yang termasuk dalam suatu kelas

partisi yang sama. Jika semua simpul dalam setiap kelas partisi yang sama mempunyai

representasi berbeda terhadap , maka merupakan partisi pembeda. Jika

, maka kelas partisi dikatakan memisahkan simpul dan di .

Sebuah kelas partisi yang mempunyai satu anggota disebut dengan kelas partisi

singleton. Dengan demikian simpul dalam kelas partisi singleton mempunyai

representasi (Darmaji, 2011).

Lemma 1. (Chartrand dkk, 2000) Diberikan adalah parisi pembeda dari dan

. Jika untuk semua , maka dan

haruslah berada pada partisi yang berbeda.

Lemma 2. (Amalia, 2013) Diberikan sebagai himpunan simpul-simpul

dalam sebuah bilah yang sama pada sebuah graf kincir dan sebagai partisi pembeda

dari . Jika maka dan harus berada pada kelas partisi yang berbeda

di .

Teorema 1. Jika adalah graf garis yang diperoleh dari graf kincir

dengan dan maka .

Bukti. Untuk batas atas dari dimensi partisi dapat diperoleh dengan mengkonstruksi

partisi pembeda pada graf . Misalkan dan partisi pembeda

dengan :

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 282

Untuk anggota dari sampai dengan terdiri dari 2 anggota masing-masing

simpul dan simpul . Seperti yang telah diketahui bahwa simpul adalah simpul

dari sisi yang tidak terkait langsung dengan simpul pusat graf kincir asal sedangkan

simpul adalah simpul dari sisi yang terkait langsung dengan simpul pusat pada graf

kincir asal. Sehingga akan mengakibatkan simpul dan simpul mempunyai derajat

yang berbeda. Dengan kata lain akan menghasilkan representasi yang berbeda untuk

setiap simpul terhadap kelas partisi sampai dengan . Meskipun ada

simpul yang mengakibatkan , namun

simpul ini tidak akan menghasilkan representasi yang sama karena dapat dipastikan

simpul terdapat pada kelas partisi selain pada kelas partisi sampai .

Kondisi yang sama juga akan berlaku pada kelas partisi sampai dengan

yang beranggotakan 2 simpul yaitu masing-masing simpul dan . Karena simpul

dan simpul mempunyai derajat yang berbeda, maka akan menghasilkan

representasi yang berbeda untuk setiap simpul terhadap kelas partisi

sampai dengan . Meskipun akan ada simpul yang

mengakibatkan , namun simpul ini tidak akan menghasilkan

representasi yang sama.

Untuk kelas partisi sampai dengan diketahui bahwa

Jika diperhatikan pada gambar graf

garis, merupakan simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung ke simpul

pusat graf kincir sehingga berakibat untuk

. Sehingga sesuai dengan lemma 1 maka simpul

harus berada pada kelas partisi yang berbeda. Begitu juga untuk dengan

dan akan berada pada kelas partisi yang berbeda yang sesuai untuk

setiap bilah asalnya. Namun jika simpul menjadi partisi singleton maka tidak akan

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 283

menghasilkan kardinalitas terkecil dari , sehingga simpul yang mempunyai indeks

yang sama akan dijadikan satu kelas partisi dan dapat dipastikan bahwa representasi

simpul akan berbeda terhadap kelas partisi sampai dengan

karena kelas partisi tersebut beranggotakan simpul yang berasal dari sisi pada

bilah yang berbeda dari graf kincir .

Untuk kelas partisi sampai dengan beranggotakan oleh

simpul . Dengan melihat pada lemma 1, simpul yang mempunyai jarak yang sama

terhadap simpul harus berada pada partisi yang berbeda. Untuk simpul

pada graf garis dari tiap bilah dari graf kincir yang menjadi anggota dari

kelas partisi sampai dengan yaitu sebanyak akan

dibagi dengan untuk mendapatkan jumlah kelas partisi pada tiap bilah dari graf

kincir asal. Masing-masing kelas partisi pada setiap bilahnya akan diisi oleh simpul

yang mempunyai jarak yang berbeda terhadap . Sehingga akan

menghasilkan representasi yang berbeda untuk simpul-simpul pada graf garis .

Dengan begitu semua simpul pada graf garis telah terpartisi dan

menghasilkan representasi yang berbeda, sehingga .

Untuk batas bawah dimensi partisi, ambil himpunan partisi pembeda dengan

, artinya . Andaikan

atau berarti terdapat simpul dan

yaitu simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung dengan simpul pusat pada

graf kincir dengan yang terletak pada satu partisi . Namun pada

suatu saat akan ada simpul yang berakibat

sehingga akan menghasilkan representasi yang sama dan menyebabkan bukan partisi

pembeda. Pernyataan ini kontradiksi dengan adalah partisi pembeda, maka haruslah

dan berada pada partisi yang berbeda. Dengan kata lain

atau .

Dari batas atas dan batas bawah diperoleh bahwa

atau bisa dituliskan bahwa

.

Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir

ISBN 978-602-1034-06-4 284

E. Simpulan dan Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan.

Kesimpulan pertama jelas diperoleh bahwa dimensi partisi dari graf garis yang

diperoleh dari graf kincir dengan dan adalah

. Kesimpulan selanjutnya yang dapat diambil adalah

dugaan bahwa dimensi partisi pada graf garis yang diperoleh menunjukkan derajat pada

simpul , yaitu simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung dengan simpul

pusat graf kincir .

Penelitian tentang dimensi partisi sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya. Namun sampai saat ini belum banyak peneliti yang meneliti tentang

dimensi partisi dari graf garis suatu graf dari kelas atau family tertentu atau meneliti

dimensi partisi bintang dan dimensi partisi terhubung dari suatu kelas graf tertentu.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan banyak lagi dilakukan penelitian-

penelitian tentang dimensi partisi suatu graf dari graf apapun, dari graf hasil operasi atau

dari kelas graf tertentu agar dapat dijadikan suatu referensi untuk pengetahuan dan

penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.

F. Daftar Pustaka

Abdussakir, Azizah, N.N., & Nofandika, F.F. 2009. Teori Graf. Malang : UIN Malang

Press.

Amalia, R. 2013. Dimensi Partisi Bintang dari Graf Kincir yang Diperumum. Tesis.

Program Pasca Sarjana Matematika. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh

Nopember.

Chartrand, G., Salehi, E., & Zhang, P. 1998. On the Partition Dimension of a Graph.

Congressus Numerantium 130, 157-168.

Chartrand, G., Salehi, E., & Zhang, P. 2000. The Partition Dimension of a Graph.

Aequationes Mathematicae 59, 45-54.

Darmaji. 2011. Dimensi Partisi Graf Multipartit dan Graf Hasil Korona Dua Graf

Terhubung. Disertasi. Program Studi Doktor Matematika. Bandung: Institut

Teknologi Bandung.

Javaid, I., & Shokat, S. 2008. On the Partition Dimension of Some Wheel Related

Graphs. Journal of Prime Research in Mathematica 4, 154-164.

Marinescu-Ghemeci, R., & Tomescu, I. 2010. On Star Partition Dimension of

Generalized Gear Graph, Bulletin Mathmatique de la Socit des Sciences

Mathmatiques de Roumanie 53(101)(3), 261-268.

Yero, I. G., & Rodriguez-Velazquez, J. A. 2010. A Note on the Partition Dimension of

Cartesian Product Graphs. Journal of Applied Mathematics and Computation 217,

3571-3574.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 285

PENGGUNAAN ALJABAR MAX PLUS DAN PETRI NET UNTUK

PERANCANGAN PENJADWALAN SISTEM PELAYANAN

PASANG INSTALASI BARU DI PDAM

Margaretha Dwi Cahyani1)

, Subiono2)

Jurusan Magister Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jalan Arief Rahman Hakim Keputih, Surabaya

Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]

Abstrak

Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi setiap orang. Distribusi air minum untuk

masyarakat diatur oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Pertumbuhan penduduk akhir-

akhir ini sangat pesat dan tingkat pencemaran air pun juga semakin meningkat, sehingga

semakin hari kebutuhan akan air bersih meningkat, masyarakat semakin banyak untuk

memasang instalasi PDAM terlebih masyarakat kota. Namun mayoritas masyarakat yang

menggunakan layanan PDAM tidak mengetahui dengan jelas alur dari proses pelayanan,

sehingga hanya menebak lamanya waktu pelayanan dari awal pendaftaran hingga selesainya

pelayanan (terpasangangnya instalasi PDAM baru). Petugas di kantor PDAM juga tidak bisa

memberikan kepastian kepada calon pelanggan tentang lamanya proses pelayanan untuk pasang

baru. Sehingga pada penelitian ini akan dibangun alur Petri Net untuk proses penjadwalan

pelayanan pasang instalasi baru di PDAM. Selanjutnya dari alur Petri Net yang telah dibuat

tersebut dibangun Coverability Tree untuk menganalisis Livesness dan Deadlocks, kemudian

dibuat model Aljabar Max Plusnya. Proses selanjutnya yaitu dilakukan analisis dan simulasi

model Aljabar Max Plus yang telah dibuat. Dari hasil analisis alur Petri Net penjadwalan pasang

baru yang telah dibuat adalah Petri net yang tidak pernah Deadlocks dan tetap Livesness, serta

simulasi dan analisis model Aljabar Max Plus diperoleh bahwa untuk satu kali proses pelayanan

pasang instalasi baru dari mulai pendaftaran hingga terpasangannya instalasi yang baru

dibutuhkan waktu 1830 menit atau 1 hari lebih 6 jam 30 menit.

Kata Kunci: Aljabar Max Plus, Coverabiliity Tree, Deadlocks, Livesness, Penjadwalan, Petri

Net.

A. Pendahuluan

Air adalah kebutuhan utama setiap orang baik untuk kebutuhan di dalam rumah

tangga maupun untuk kebutuhan yang berada diluar urusan rumah tangga seperti

kebutuhan akan air di sekolah, kebutuhan akan air di rumah sakit, dan kebutuhan air

untuk sarana umum lainnya. Pertumbuhan penduduk pada akhir-akhir ini sangat pesat

dan tingkat pencemaran air pun juga semakin meningkat, sehingga semakin hari

kebutuhan akan air bersih meningkat, masyarakat semakin banyak untuk memasang

instalasi PDAM terlebih masyarakat kota. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang

baru seperti sekolah, perkantoran, kamar mandi umum di sejumlah SPBU, dan sarana

umum lainnya pasti memerlukan adanya kebutuhan air bersih, sehingga memerlukan

pemasangan instalasi PDAM yang baru. Selain itu juga masih banyak rumah tangga

yang belum mendapatkan air bersih sehingga harus memasang instalasi PDAM baru.

Mayoritas masyarakat (calon pelanggan) yang menggunakan layanan PDAM tidak

mengetahui dengan jelas alur dari proses pelayanan, sehingga hanya menebak lamanya

waktu pelayanan dari awal pendaftaran hingga selesainya pelayanan (terpasangangnya

instalasi PDAM baru). Petugas di kantor PDAM juga tidak bisa memberikan kepastian

kepada calon pelanggan tentang lamanya proses pelayanan untuk pasang baru.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 286

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka digunakan sebagai gambaran untuk

penelitian tentang penggunaan Petri Net dan Aljabar Max Plus untuk penjadwalan

sistem pelayanan pasang instalasi baru di PDAM. Rumusan masalah yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana membangun alur Petri Net untuk sistem

penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru agar tidak terjadi deadlocks dan tetap

livesness.(2) Bagaimana membangun model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net yang

telah dibuat. Tujan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) Diperoleh alur

Petri Net untuk sistem penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru yang tidak

deadlocks dan tetap livesness. (2) Diperoleh model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net

yang telah dibuat. Manfaat yang akan diberikan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut: (1) Pengaturan sistem penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru dapat

dimaksimalkan sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan. (2) Analisa pemodelan

dan penjadwalan yang digunakan dapat dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut,

sehingga pada penelitian berikutnya dapat lebih memberi manfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

B. Tinjauan Pustaka

Penelitian sebelumnya tentang Aljabar Max Plus dan Petri Net adalah: penelitian

oleh Adzkiya (2008) tentang membangun model Petri Net lampu lalu lintas dan

simulasinya. Adzkiya (2008) menggunakan Petri Net untuk menentukan penjadwalan

nyala lampu lalu lintas dengan tujuan memberikan kepastian waktu tunggu pengguna

dan mengurangi waktu tunggu di persimpangan. Talehala (2010) menggunakan Aljabar

Max Plus untuk membuat desain penjadwalan kegiatan pembelajaran sekolah pada kelas

moving dan hasil yang didapatkan adalah optimalisasi jumlah tenaga pengajar dan ruang

belajar serta dapat menempatkan rombongan belajar ke kelas yang tepat. Suyanto

(2011) menggunakan Aljabar Max Plus untuk membuat desain penjadwalan kegiatan

belajar mengajar di Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) St. Louis I, Surabaya

yang mengacu pada pembagian yang merata dalam hal bobot kesulitan materi pelajaran.

Penelitian lainnya yaitu oleh Widayanti (2013) tentang perancangan penjadwalan sistem

pelayanan dan kerja karyawan pemasangan instalasi di PLN menggunakan Aljabar Max

Plus dan Petri Net. Sehingga dari beberapa penelitian tersebut maka dapat menambah

gambaran tentang aplikasi penjadwalan dengan menggunakan Aljabar Max Plus dan

Petri Net.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahapan-tahapan

sebagai berikut:

1. Mempelajari Teori Aljabar Max Plus dan Petri Net.

Pada tahap ini diawali dengan mempelajari teori-teori Aljabar Max Plus, Petri Net

serta mempelajari penelitian-penelitian sebelumnya.

2. Pengumpulan data

Pada tahap ini dilakukan pengambilan data di kantor PDAM Tirta Dharma

Kabupaten Nganjuk yaitu alur atau urutan pelanggan dari permintaan pemasangan

baru instalasi PDAM. Mulai dari pendaftaran sampai selesai proses pelayanan.

3. Penyusunan Alur Petri Net

Menyusun alur Petri Net dari data yang telah dikumpulkan yaitu alur pelayanan

pasang baru instalasi PDAM. Place menunjukkan keadaan tentang keberadaan

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 287

pelanggan sedangkan transisi menunjukkan keadaan sedang berlangsungnya sebuah

proses.

4. Menganalisis livesness dan deadlocks dari alur Petri Net yang telah dibuat

5. Membuat model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net yang telah dibuat.

6. Analisis hasil simulasi model Aljabar Max Plus yang telah dibuat.

D. Hasil dan Pembahasan

Alur proses pelayanan pasang instalasi baru di PDAM Tirta Dharma Kabupaten

Nganjuk (File PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk, 2013) dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Alur Pelayanan Pasang Baru

1. Petri Net Pelayanan Pasang Baru

Sebelum membuat alur Petri Net untuk penjadwalan pasang instalasi baru,

diberikan terlebih dahulu definisi tentang Petri Net. Cassandras dan Lafortune (2008)

mendefinisikan Petri net adalah 4-tuple dengan

P : himpunan berhingga place, ,

T : himpunan berhingga transisi, ,

A : himpunan arc, ,

w : fungsi bobot, w : A → {1, 2, 3, ...}.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 288

Keterangan mengenai variabel yang digunakan dalam Petri Net.

merupakan variabel place atau sebuah keadaan dimana pelanggan berada, sedangkan

merupakan variabel transisi atau sebuah keadaan dimana sedang terjadi

sesuatu pada pelanggan (proses).

Variabel place digambarkan berupa lingkaran sedangkan variabel transisi

digambarkan dengan persegi panjang berwarna hitam. Peletakan token pada sebuah

place merupakan tempat dimana pelanggan akan memulai proses pelayanan. Bobot arc

dari place input ke transisi menunjukkan jumlah token minimum di place agar transisi

enabled. Jika semua place input mempunyai token lebih dari atau sama dengan jumlah

token minimum yang dibutuhkan maka transisi enabled. Transisi yang enabled adalah

berwarna merah. Petri Net dikatakan enabled berdasarkan definisi dari Cassandras and

Lafortune (2008) adalah fungsi perubahan keadaan pada Petri Net bertanda

yaitu terdefinisi untuk transisi

jika dan hanya jika

. (1)

Selanjutnya untuk mengetahui Petri Net livesness atau deadlocks yaitu dengan

menggunakan Coverability Tree. Setiap node pada Coverability tree menyatakan

keadaan dari Petri net. Keadaan awal Petri Net didefinisikan sebagai node root. Anak

dari node root merupakan keadaan yang dapat dicapai dari keadaan awal dengan

memfire sebuah transisi (jika hanya terdapat satu transisi enable) atau memfire salah

satu transisi (jika terdapat beberapa transisi yang enable). Keadaan-keadaan ini

dihubungkan ke node root dengan edge. Setiap edge pada Coverability tree mempunyai

bobot sebuah transisi yaitu transisi yang enable dan siap untuk difire untuk mencapai

keadaan tersebut.

Sebuah alur Petri Net dikatakan livesness atau tidak deadlocks ketika Coverability

tree membentuk looping. Coverability tree yang membentuk looping disebabkan dari

pemfirean transisi pada alur Petri Net yang tidak pernah berhenti (Widayanti, 2013).

Gambar 2 adalah gambar Petri Net dari pelayanan pasang baru di kantor PDAM

berdasarkan Gambar 1.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 289

Gambar 2. Petri Net Alur Pasang Baru

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 290

Keterangan Gambar Petri Net

proses antrian calon pelanggan

proses berkas persyaratan pasang baru masuk

pemeriksaan berkas persyaratan

pengisian formulir pendaftaran oleh calon pelanggan

pengembalian berkas persyaratan ke calon pelanggan

berkas pendaftaran diserahkan ke Kepala Sub Bagian Pelayanan Pelanggan

pembuatan SPL (Surat Permohonan menjadi Langganan Air Minum) dan PL

(Pernyataan Pelanggan) kemudian diserahkan ke Pelaksana Keuangan

pembayaran biaya pendaftaran kemudian SPL dan PL diserahkan ke Kepala

Sub Bagian Perencanaan

survey lokasi calon pelanggan

pembuatan ABP (Anggaran Biaya Pemasangan) dan RKP (Rekapitulasi

Keperluan Peralatan) kemudian diserahkan ke Bagian Pembukuan

pemberitahuan hasil survey lokasi tidak layak kepada calon pelanggan

pembuatan rekening kemudian diserahkan ke Kepala Sub Bagian Keuangan

pembuatan BPPI (Bukti Persetujuan Penyambungan Instalasi), pelanggan

melunasi biaya pemasangan, ABP dan RKP diserahkan ke Kepala Bagian

Teknik

pembuatan surat perintah untuk Kepala Sub Bagian Transmisi dan Distribusi

untuk melaksanakan pemasangan

proses pembuatan BPB (Bon Permintaan Barang) dan surat perintah untuk

petugas lapangan

proses pemasangan instalasi baru

konfirmasi ke pelanggan bahwa pemasangan instalasi baru selesai

pelanggan keluar dari antrian

calon pelanggan antri memasukkan berkas persyaratan

pelayanan pelanggan

berkas persyaratan yang sudah diperiksa

berkas pendaftaran yang siap untuk diserahkan kepada Kepala Sub Bagian

Pelayanan Pelanggan

Kepala Sub Bagian Pelanggan yang telah menerima berkas pendaftaran

Bagian Pelaksana Keuangan yang telah menerima SPL dan PL

Kepala Sub Bagian Perencanaan yang telah menerima SPL dan PL

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 291

Hasil Survey dari petugas perencanaan

Bagian Pembukuan yang telah menerima ABP dan RKP

Kepala Sub Bagian Keuangan yang telah menerima rekening pelanggan

Kepala Bagian Teknik yang telah menerima ABP dan RKP

Kepala Sub Bagian Transmisi dan Distribusi yang telah menerima surat

perintah dari Kepala Bagian Teknik

Petugas Lapangan yang telah menerima surat perintah pemasangan instalasi

baru

instalasi baru telah terpasang

Idle

Coverability Tree Petri Net Pelayanan Pasang Baru

Proses membangun Coverability tree dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan

didefinisikan dengan

node root. Pada keadaan ini transisi yang enabled yaitu . Pemfirean transisi ini

menyebabkan keadaan petri net berubah. Jika difire maka keadaan petri net akan

berubah menjadi

. Setelah

pemfirean ini maka transisi yang enabled adalah dan , sehingga ada tiga pilihan

untuk pemfirean yaitu : 1. difire 2. tidak difire dan difire 3. difire dan

difire.

1. difire

Setelah pemfirean yang pertama maka jumlah token di adalah satu. Apabila

transisi difire berkali-kali maka jumlah token di selalu bertambah. Coverability

treenya dapat dilihat pada Gambar 3.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 292

Gambar 3. Coverability tree jika difire

2. Ketika tidak difire dan difire

Awalnya token berada di , transisi yang enabled adalah dan . Jika difire

mengakibatkan satu token berpindah ke . Kemudian difire dan mengakibatkan

token berpindah ke . Dengan adanya token di maka ada dua transisi yang enabled

yaitu dan . Jika difire maka letak token berpindah kembali ke , sedangkan jika

difire mengakibatkan token berpindah ke sehingga transisi yang enabled yaitu .

Ketika difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled.

Transisi difire sehingga token berpindah ke . Dengan adanya token di

mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token berpindah ke yang

mengakibatkan transisi enabled. Ketika transisi difire maka token berpindah ke

sehingga dan enabled. Jika difire maka token berpindah kembali ke ,

tetapi jika difire maka token berpindah ke sehingga enabled. Jika difire

maka token berpindah ke . Selanjutnya transisi yang enabled yaitu transisi difire

maka token berpindah ke , yang mengakibatkan transisi enabled. Ketika

difire maka token berpindah ke . Saat token berada di maka enabled. Transisi

difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled. Saat

transisi difire maka token berpindah ke . Token yang berada di

mengakibatkan enabled. Kemudian difire sehingga token berpindah ke yang

mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token kembali ke ,

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 293

sehingga mengakibatkan enabled. Coverability treenya dapat dilihat pada Gambar 4

berikut ini.

Gambar 4. Coverability tree jika tidak difire dan difire

3. Ketika difire dan difire

Awalnya token berada di , transisi yang enabled adalah dan . Jika transisi

difire mengakibatkan jumlah token pada bertambah. Selanjutnya difire

mengakibatkan satu token berpindah ke . Kemudian difire dan mengakibatkan

token berpindah ke . Dengan adanya token di maka ada dua transisi yang enabled

yaitu dan . Jika difire maka letak token berpindah kembali ke , sedangkan jika

difire mengakibatkan token berpindah ke sehingga transisi yang enabled yaitu .

Ketika difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled.

Transisi difire sehingga token berpindah ke . Dengan adanya token di

mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token berpindah ke yang

mengakibatkan transisi enabled. Ketika transisi difire maka token berpindah ke

sehingga dan enabled. Jika difire maka token berpindah kembali ke ,

tetapi jika difire maka token berpindah ke sehingga enabled. Jika difire

maka token berpindah ke . Selanjutnya transisi yang enabled yaitu transisi difire

maka token berpindah ke , yang mengakibatkan transisi enabled. Ketika

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 294

difire maka token berpindah ke . Saat token berada di maka enabled. Transisi

difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled. Saat

transisi difire maka token berpindah ke . Token yang berada di

mengakibatkan enabled. Kemudian difire sehingga token berpindah ke yang

mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire, token kembali ke sehingga

mengakibatkan enabled. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Coverability tree jika difire dan difire

Setelah melakukan pemfirean berdasarkan ketiga pilihan tersebut, terlihat bahwa

Coverability tree dari Petri Net tersebut membentuk looping saat proses pemfirean yang

artinya proses pemfirean tidak pernah berhenti. Sehingga Petri Net tersebut adalah

livesness.

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 295

2. Model Aljabar Max Plus

Sebelum membuat model Aljabar Max Plus dari Petri Net pasang baru, diberikan

terlebih dahulu pengertian tentang Aljabar Max Plus dan operasinya. Diberikan

dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan . Pada

didefinisikan operasi berikut (Subiono, 2013): ,

dan (2)

Alur Petri Net dari proses pelayanan pasang baru setelah disimulasikan hasilnya adalah

livesness, sehingga bisa dibuat model Aljabar Max Plus dari Petri Net tersebut. Model

Aljabar Max Plusnya setelah disimulasikan adalah:

Notasi a adalah dibuat agar:

Notasi b didefinisikan sebagai

Notasi c didefinisikan sebagai

Notasi d didefinisikan sebagai

Notasi e didefinisikan sebagai

Notasi f didefinisikan sebagai

Notasi g didefinisikan sebagai

Selanjutnya diberikan lama waktu proses (dalam menit) pada tiap tahap ke-1

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 296

menit

menit

menit

menit

menit

menit

Untuk keadaan awal

Didapatkan

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat diperoleh bahwa: menit

menunjukkan lamanya proses pelanggan untuk masuk ke dalam sistem antrian yang ke

1, lamanya proses dari pelanggan sudah masuk sistem antrian sampai pemberitahuan

berkas tidak layak adalah menit, lamanya proses dari

pelanggan sudah masuk sistem antrian sampai pemberitahuan hasil survey lokasi tidak

layak adalah menit, sedangkan untuk proses

pelayanan pasang baru mulai dari pendaftaran sampai dengan pelayanan selesai

membutuhkan waktu menit atau 1 hari lebih 6 jam

Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net

ISBN 978-602-1034-06-4 297

30 menit. Misal pendaftaran dimulai hari senin tanggal 20 Oktober 2014 pada pukul

08.00, maka berdasarkan penjadwalan tersebut sistem pelayanan pasang baru instalasi

akan selesai pada hari selasa 21 Oktober 2014 pada pukul 14.30. dengan perhitungan

yang sama dapat dibuat penjadwalan sistem pelayanan pasang baru berikutnya.

E. Simpulan dan Saran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan simulasi serta pembahasan

dari penelitian ini, maka disumpulkan bahwa: diperoleh alur Petri Net untuk

penjadwalan pelayanan pasang baru yang tidak pernah deadlocks dan tetap livesness,

serta diperoleh model Aljabar Max Plus untuk penjadwalan pelayanan pasang baru yaitu

:

Dengan alur Petri Net dan model Aljabar Max Plus tersebut maka dapat dengan

mudah dibuat penjadwalan untuk pelayanan pasang baru di PDAM Tirta Dharma

Kabupaten Nganjuk, sehingga penelitian ini juga dapat dikembangkan ke penelitian lain

seperti penjadwalan pelayanan di kantor PDAM lain karena setiap kantor PDAM

memiliki prosedur pelayanan yang berbeda, penjadwalan pelayanan di kantor instansi

lain, atau pada sistem penjadwalan lainnya.

F. Daftar Pustaka

Adzkiya, D. 2008. Membangun Model Petri Net Lampu Lalu Lintas dan Simulasinya,

Tesis. Program Magister Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Cassandras, C. G. & Lafortune, S. 2008. Introduction to Discrete Event Systems.

Second Edition. New York: Springer Science+Business Media.

PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk. 2013. Prosedur Kegiatan Baku. Nganjuk:

PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk

Subiono. 2013. Aljabar Maxplus dan Terapannya. Version 1.1.1. Surabaya: Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Suyanto, Y. H. 2011. Penjadwalan Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Menengah

Atas Katolik (SMAK) St. Louis I Surabaya. Tesis. Program Magister Matematika.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut Teknologi

Sepuluh Nopember.

Talehala, M. M. 2010. Model Penjadwalan Kegiatan Pembelajaran Sekolah pada

Kelas Moving dengan Menggunakan Aljabar Max Plus. Tesis. Program Magister

Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

Widayanti, D. N. 2013. Perancangan Penjadwalan Sistem Pelayanan dan Kerja

Karyawan Pemasangan Instalasi di PLN menggunakan Aljabar MaxPlus dan Petri

Net. Tesis. Program Magister Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 298

PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK EPIDEMI

CHIKUNGUNYA PADA POPULASI MANUSIA DENGAN NON

SPECIFIC TREATMENT

Muhammad Kharis Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang

Gd. D7 Lt. 1 FMIPA Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang

Surel: [email protected]

Abstrak

Demam Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) menyebar melalui

gigitan dari nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Dalam pustaka-pustaka yang ada

disebutkan belum ada vaksin atau pengobatan antivirus khusus yang tersedia untuk demam

chikungunya. Pengobatan yang diterapkan bagi penderita berupa istirahat dan obat-obatan

untuk meredakan gejala sakit demam seperti ibuprofen, naproxen, acetaminophen, atau

parasetamol. Hal ini berarti perawatan yang diberikan bukan merupakan perawatan yang

khusus untuk infeksi chikungunya tetapi lebih menjurus pada perawatan terkait gejala yang

muncul. Melihat fakta bahwa penyakit chikungunya bersifat epidemik, maka sangat

dimungkinkan untuk membentuk model matematika dari kasus chikungunya tersebut.

Dalam artikel ini akan diberikan beberapa teorema terkait kondisi di mana wabah akan

meluas atau hilang. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai suatu kajian untuk

memutuskan bagaimana tindakan yang akan dilakukan untuk menanggulangi wabah

penyakit ini. Dalam artikel ini juga diberikan efektifitas dari tindakan perawatan terkait

parameter-parameter yang diberikan dalam model ini.

Kata Kunci -- titik ekuilibrium, kestabilan titik ekuilibrium

A. Pendahuluan

Demam Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) yang menyebar

melalui gigitan dari nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Mahesh dkk., 2009

dan Kumar dkk., 2010). Demam ini telah mewabah di beberapa daerah di Indonesia

(Laras dkk., 2004), India Selatan (Mahesh dkk., 2009), Malaysia (Lam dkk., 2001),

Italia dan Selandia Baru (Derraik dkk., 2010), Senegal (Pistone dkk., 2009), dan

Singapura (Ng dkk., 2009) serta beberapa Negara di Afrika. Derraik (2010)

menyebutkan virus tersebut nampaknya bermutasi untuk beradaptasi dengan nyamuk

Aedes Albopictus yang menghasilkan peningkatan kemampuan untuk menjangkiti. Hal

tersebut menunjukkan bahwa sebuah mutasi tunggal dapat meningkatkan dan

memperluas penyebaran penyakit ini. Hal ini berarti penyakit chikungunya bersifat

epidemik, maka sangat dimungkinkan untuk membentuk model matematika dari kasus

chikungunya tersebut. Penelitian ini menjadi penting mengingat kasus chikungunya

masih banyak merebak di Indonesia.

Dalam artikel ini, masalah yang akan dibahas meliputi bentuk model matematika

dari wabah chikungunya dengan perawatan umun. Kemudian dikaji analisa terhadap

model yang dihasilkan untuk menentukan titik ekuilibrium dan kestabilan titik

ekuilibrium dari model matematika tersebut. Selanjutnya diberikan simulasi dengan

nilai-nilai parameter tertentu.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 299

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tinjauan pustaka, laboratorium,

dan Analisis. Sedangkah Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini

meliputi: (a) pengumpulan fakta-fakta terkait penyebaran wabah chikungunya dari

tulisan-tulisan yang relevan, (b) penyusunan asumsi-asumsi sebagai pendukung dan

pelengkap dalam penyusunan model matematikanya, (c) pembentukan model

matematika, (d) analisis terhadap model dimulai dengan mencari titik kesetimbangan

dari model kemudian memeriksa kestabilan titik kesetimbangan tersebut, (e) simulasi

numerik dari hasil-hasil analisis untuk memberikan gambaran geometris dari hasil

analisis tersebut, dan (f) penarikan kesimpulan.

C. Hasil dan Pembahasan

Fakta-fakta yang diperoleh dari beberapa jurnal antara lain (1) Dalam Mahesh

dkk.(2009) dan Kumar dkk.(2010) disebutkan bahwa demam Chikungunya disebabkan

oleh virus chikungunya (CHIKV) yang menyebar melalui gigitan dari nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus. (2) Dalam Charrel dkk. (2007), Lalitha dkk. (2007),

Lanciotti dkk. (2007), Powers dan Logue (2007), dan Tsetsarkin dkk. (2006) disebutkan

bahwa transmisi/penularan yang terjadi adalah transmisi Manusia-Nyamuk-Manusia.

Arti dari transmisi tersebut adalah manusia yang rentan dapat terinfeksi oleh virus

CHIK apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi dan nyamuk yang rentan dapat

terinfeksi apabila menggigit manusia yang terinfeksi . (3) Dalam Lalitha dkk. (2007)

dan Ng dkk. (2009) disebutkan bahwa belum ada vaksin dan terapi obat khusus

berlisensi yang tersedia untuk menyembuhkan infeksi virus ini. (4) Penanganannya

virus chikungunya (CHIKV) cukup dengan minum obat penurun panas dan penghilang

rasa sakit. Selain itu yang penting adalah cukup istirahat, minum dan makanan bergizi.

Rasa ngilu pada persendian dapat dihilangkan dengan obat penghilang rasa sakit dan

vitamin untuk penguat daya tahan tubuh. (Kesumawati, 2011) (5)Pengobatan untuk

virus chikungunya hanya dengan pengobatan secara simptomatik yaitu hanya

mengurangi gejalanya saja seperti gejala demam diberi obat penurun panas, gejala nyeri

sendi, seperti paracetomol, mefenemic acid dan lain-lain. Disarankan juga agar

penderita banyak beristirahat dan konsumsi makanan bergizi agar bisa mempercepat

penyembuhan. (Suryaningsih, 2008).

Asumsi-asumsi yang ditambahkan dalam penyusunan model matematika meliputi:

(1) Populasi manusia dan populasi nyamuk dianggap konstan. (2) Laju kelahiran dan

laju kematian diasumsikan sama pada setiap kelas pada masing-masing populasi tetapi

antar kedua populasi berbeda. (3) Setiap manusia yang lahir sehat karena Chikungunya

bukan penyakit turunan. (4) Setiap nyamuk yang menetas sehat. (5) Manusia yang

telah sembuh tidak dapat terinfeksi kembali. (6) Tidak terjadi kematian karena infeksi

virus pada kedua populasi. (7) Nyamuk yang terinfeksi tidak akan pernah sembuh. Ini

dikarenakan umur nyamuk yang pendek.

1. Pembentukan Model Matematika

Dalam pemodelan matematika, pendekatan dilakukan dari model yang sederhana

dulu untuk memberikan gambaran awal terkait tingkah laku penyakit dalam masa waktu

yang tidak terlalu panjang. Dalam penelitian ini, model yang akan dibentuk dan

dianalisa merupakan model awal yang merupakan suatu kajian awal pemodelan terkait

epidemi ini. Biasanya model awal yang merupakan kajian dari suatu epidemi

menggunakan asumsi populasi konstan padahal dalam kenyataan sangat susah mencari

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 300

populasi yang konstan sepanjang waktu. Hal ini dapat terjadi apabila jangka waktu

terjadinya epidemi diasumsikan singkat sehingga memungkinkan kelahiran dan

kematian mempunyai laju yang sama. Hasil kajian ini diharapkan akan menjadi dasar

bagi pengembangan model-model yang lebih kompleks yang lebih dekat dengan

kenyataan. Daftar variabel-variabel dan parameter-parameter yang ada dalam model

matematika diberikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 1. Daftar Variabel-variabel

Simbol Keterangan

Ukuran populasi manusia

Ukuran populasi nyamuk

Ukuran sub populasi nyamuk pada kelas rentan terkena penyakit (Susceptible)

Ukuran sub populasi nyamuk positif menderita penyakit

Ukuran sub populasi manusia pada kelas rentan terkena penyakit (Susceptible)

Ukuran sub populasi manusia positif menderita penyakit

Ukuran sub populasi manusia yang mendapat Treatment

Ukuran sub populasi manusia yang sembuh (kebal) dari penyakit

Tabel 2. Daftar Parameter-parameter

Parameter Keterangan

Peluang terjadi kontak infektif nyamuk yang rentan dengan manusia yang

terinfeksi

Peluang terjadi kontak infektif manusia yang rentan dengan nyamuk yang

terinfeksi

Laju kelahiran dan kematian murni pada populasi nyamuk tiap individu

Laju kelahiran dan kematian murni pada populasi manusia tiap individu

Laju kesembuhan alami manusia tiap individu

Proporsi individu yang dirawat tiap satuan waktu

Laju kesembuhan tiap individu yang dirawat

Nilai-nilai parameter di atas adalah positif (> 0) kecuali q boleh nol.

Diagram transfer merupakan gambaran proses penyebaran/infeksi virus dari

individu-individu yang terlibat dalam epidemi ini. Dalam epidemi ini yang terlibat

adalah manusia dengan nyamuk sebagai vektor perantara penyebaran virus ini.

Diagram ini juga memberikan gambaran perpindahan individu dari kelas satu ke kelas

lainnya. Gambar diagram transfer penyebaran wabah chikungunya dengan strategi

perawatan diberikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 301

Gambar 1. Diagram Transfer Penyebaran Wabah Chikungunya

Model matematika yang dibentuk merupakan suatu sistem persamaan diferensial

diberikan di bawah ini.

Nv

2. Analisa Model Matematika

Dari sistem (1) di atas diperoleh bahwa dan . Jadi dapat dituliskan

dan dengan dan merupakan bilangan bulat positif. Karena dan

dan konstan, sitem (1) dapat diskala dengan total populasi dan untuk

menyederhanakan sistem (1) dan memudahkan analisis yang dilakukan. Proporsi

banyaknya individu pada masing-masing kelompok dapat dinyatakan

(1)

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 302

Tulis dan .

Selanjutnya tulis dan dengan

Diperoleh Sistem (2) berikut.

Karena sistem (2) ekivalen dengan sistem (1) maka hasil analisa sistem (2) secara

kualitas sama dengan hasil analisa sistem (1). Proses analisa dari sistem (2)

menghasilkan teorema berikut.

Teorema 1

Dari sistem (2) di atas dan berdasarkan nilai tersebut diperoleh

1. Jika maka sistem (2) hanya mempunyai 1 titik ekuilibrium yaitu titik

ekuilibrium bebas penyakit

2. Jika maka sistem (2) mempunyai 2 titik ekuilibrium yaitu titik ekuilibrium

bebas penyakit dan titik ekuilibrium tidak

bebas penyakit dengan

(2)

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 303

Bukti:

Titik ekuilibrium dapat di tentukan dengan membuat , , , , pada

sistem (2) menjadi nol. Dengan membuat nol nilai-nilai tersebut diperoleh Sistem (3)

berikut.

Pada sistem (2) di atas, diperoleh

Diperoleh juga nilai

Substitusi ke diperoleh

Dari persamaan ke 3 sistem (3) diperoleh

Substitusikan persamaan 5 ke persamaan 6, diperoleh

Dari persamaan ke 6 dan ke 7 Sistem (3), diperoleh

Substitusikan persamaan 4 ke persamaan ke 4 sistem (3), diperoleh

Jadi diperoleh atau .

Kasus :

Diperoleh , dan

Jadi saat diperoleh titik ekuilibrium

Eksistensi titik tanpa syarat sehingga ada untuk setiap nilai .

(3)

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 304

Kasus :

Jelas

Substitusikan persamaan 3 dan 6 ke persamaan 8, diperoleh

Substitusikan persamaan 5 ke persamaan 9, diperoleh

Karena nilai maka . Hal ini berakibat semuanya

positif.

Jadi diperoleh titik kesetimbangan endemik .

Setelah diperoleh titik-titik ekuilibrium dari sistem (2) langkah selanjutnya

dianalisa kestabilan dari titik-titik tersebut. Kestabilan titik ekuilibrium dari sistem (2)

diberikan pada teorema 2 di bawah ini.

Teorema 2

Dari sistem (2) di atas dan berdasarkan nilai tersebut diperoleh

1. Jika maka titik ekuilibrium bebas penyakit stabil asimtotik lokal.

2. Jika maka titik ekuilibrium bebas penyakit tidak stabil dan titik

ekuilibrium stabil asimtotik lokal.

Bukti:

Untuk menganalisa kestabilan digunakan matriks jacobian dari sistem (2) yang

diberikan sebagai berikut.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 305

0 0

0 0

0

0 0

0

0 0 0

0

0 0

0 0 0 q

0

0 0 0

dengan .

a. Untuk titik kesetimbangan bebas penyakit .

Persamaan karakteristik dari matriks adalah

dengan

Ketiga persamaan pertama memberikan nilai eigen

Persamaan terakhir memberikan nilai eigen dan yaitu

Jelas , saat dan saat .

Jelas mempunyai bagian real negatif untuk semua kondisi .

Jelas . .

Jelas , saat dan saat . Hal ini berakibat

saat dan saat . Dengan kata lain

saat dan saat . Jadi saat

dan saat . Jadi

untuk setiap kondisi , sedangkan nilai apabila dan saat

. Jadi titik stabil asimtotik lokal saat dan tidak stabil saat .

b. Untuk titik kesetimbangan tidak bebas penyakit .

Persamaan karakteristik dari matriks jacobian adalah

.

dengan ,

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 306

Dari , diperoleh , dan

. Jelas ketiga nilai eigen tersebut negatif karena semua parameter

bernilai positif. Ditunjukkan persamaan mempunyai akar-

akar dengan bagian real negatif. Untuk menunjukkannya digunakan kriteria Ruth

Hurwizt yaitu dengan menunjukkan ,

Jelas .

.

Jadi

Jelas

Jadi .

Jelas

Jadi .

Jadi berdasarkan kriteria Routh Hurwitz untuk polinom pangkat 3 diperoleh simpulan

bahwa mempunyai akar-akar dengan bagian real negatif.

Jadi semua nilai eigen dari matriks jacobian mempunyai bagian real negatif. Jadi

titik kesetimbangan stabil asimtotik lokal.

3. Simulasi Model Matematika

Simulasi dilakukan dengan memberikan nilai-nilai untuk masing-masing parameter

sesuai dengan kondisi dengan teorema yang telah diberikan di atas. Nilai-nilai

parameter yang diberikan merupakan nilai-nilai yang diasumsikan. Dalam model ini

diasumsikan populasi tetap (konstan), hal ini memberikan dampak pada pemilihan nilai

parameter yang mungkin tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Nilai parameter yang

dimaksud adalah nilai laju kelahiran dan laju kematian tiap individu yang dianggap

sama padahal kenyataannya adalah berbeda. Dalam analisa muncul parameter yang

menyatakan perbandingan jumlah populasi nyamuk dengan jumlah populasi manusia.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 307

Nilai artinya rata-rata ada 1 bayi yang lahir dan ada 1 orang yang meninggal

tiap 100 hari, arti dari menyesuaikan, nilai artinya rata-rata ada 5 nyamuk

rentan yang menjadi terinfeksi apabila ada 10 nyamuk rentan yang menggigit manusia

yang terinfeksi arti menyesuaikan, nilai artinya rata-rata 4 orang terinfeksi

yang sembuh tiap 10 hari, artinya ada sebanyak 60% orang yang terinfeksi

yang dirawat setiap hari, dan arti mirip dengan .

Simulasi untuk .

Nilai-nilai parameter untuk simulasi saat diberikan dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Nilai-nilai parameter untuk

Parameter Nilai Parameter Nilai

0.5

0.4

0.4

0.6

0.6

0.8

0.01 k 2

Dari Tabel 3 diperoleh nilai . Titik ekuilibrium

. Berikut disajikan grafik-grafik dari nilai

.

(a) Proporsi nyamuk yang rentan saat untuk

(b) Proporsi nyamuk yang terinfeksi saat

untuk

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 308

(c) Proporsi manusia yang rentan saat untuk (d) Proporsi manusia yang terinfeksi saat

untuk

(e) Proporsi manusia yang dirawat saat untuk (f) Proporsi manusia yang sembuh saat

untuk

Gambar 2. Simulasi untuk

Dari Gambar 2(b) dan 2(d) terlihat bahwa nilai dan menuju ke 0

sepanjang bertambahnya artinya dan . Hal ini berarti

seiring bertambahnya waktu, jumlah nyamuk dan manusia yang terinfeksi semakin

berkurang berakibat wabah juga menghilang. Dari gambar 2(e) terlihat bahwa nilai

menuju ke 0 sepanjang bertambahnya artinya . Hal ini berarti

seiring bertambahnya waktu, jumlah manusia yang dirawat semakin berkurang karena

jumlah manusia yang sakit semakin berkurang. Dari gambar 2 terlihat bahwa

. Dengan kata lain titik stabil asimtotik lokal.

Simulasi untuk

Nilai-nilai parameter untuk simulasi saat diberikan dalam Tabel 4 berikut.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 309

Tabel 4. Nilai-nilai parameter untuk

Parameter Nilai Parameter Nilai

0.8

0.4

0.7

0.6

0.6

0.8

0.01 k 2

Dari Tabel 4 diperoleh nilai . Pada teorema 1 disebutkan bahwa

saat sistem (2) hanya mempunyai 2 titik ekuilibrium

dan .

Berdasarkan nilai-nilai parameter pada tabel 4, diperoleh nilai , ,

dan Pada teorema 2 disebutkan

bahwa tidak stabil dan asimtotik lokal. Berikut grafik-grafik dari nilai

untuk kasus .

(a) Proporsi nyamuk yang rentan saat untuk

(b) Proporsi nyamuk yang terinfeksi

saat untuk

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 310

(c) Proporsi manusia yang rentan saat untuk (d) Proporsi manusia yang terinfeksi

saat untuk

(e) Proporsi manusia yang dirawat saat untuk (f) Proporsi manusia yang sembuh

saat untuk

Gambar 3. Simulasi untuk

Dari Gambar 3(b) dan 3(d) terlihat bahwa nilai menuju ke dan menuju

ke sepanjang bertambahnya . Dengan kata lain dan

Hal ini berarti seiring bertambahnya waktu, jumlah nyamuk dan

manusia yang terinfeksi tetap ada yang memungkinkan wabah penyakit dapat meluas.

Dari Gambar 3 terlihat bahwa . Dengan kata lain titik

stabil asimtotik lokal.

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 311

Perubahan nilai parameter terkait perubahan nilai .

Tabel 5. Nilai parameter penentuan nilai

Parameter Nilai Parameter Nilai

0.5

0.4

0.4

0.6

0.8

0.01 k 2

Dari Tabel 5, jika nilai maka wabah tidak akan meluas artinya minimal ada

43% yang dirawat dari jumlah manusia yang sakit.

Tabel 6. Nilai parameter penentuan nilai

Parameter Nilai Parameter Nilai

0.8 s.d 1

0.4

0.6

0.6

0.8

0.01 k 2

Dari tabel di atas nilai maksimum sehingga wabah tidak meluas adalah 0.2 artinya

apabila saat terjadi wabah rata-rata ada lebih dari 2 orang tiap 10 orang yang tergigit

nyamuk menjadi sakit maka wabah akan meluas.

D. Simpulan dan saran

Simpulan yang diperoleh meliputi (1) model matematika wabah chikungunya

dengan strategi perawatan pada manusia yang terinfeksi sebagai berikut.

Nv

(1)

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 312

Sistem tersebut ekuivalen dengan Sistem (2) di bawah ini.

dengan , dan dengan

(2) Dari analisa model matematika yang dalam hal ini sistem persamaan yang

dianalisa adalah sistem (2) diperoleh teorema terkait eksistensi dan kestabilan titik

ekuilibrium sistem (2) dengan nilai . (3) Simulasi yang diberikan

juga memberikan hasil yang sama dengan hasil analisa. (4) Jika diberikan nilai

parameter seperti dalam tabel 5 dan nilai maka wabah tidak akan meluas

artinya minimal ada 43% yang dirawat dari jumlah keseluruhan manusia yang sakit

apabila ingin wabah chikungunya hilang. (4) Jika diberikan nilai parameter seperti

dalam Tabel 6 dan nilai maka wabah tidak meluas artinya apabila saat terjadi

wabah rata-rata ada lebih dari 2 orang tiap 10 orang yang tergigit nyamuk menjadi sakit

maka wabah akan meluas.

Saran yang diberikan adalah adanya penelitian lanjutan yang meliputi penelitian

tentang pemodelan matematika untuk melihat efektifitas treatment (pengobatan) pada

orang yang terinfeksi virus chikungunya untuk populasi tak konstan, penelitian tentang

pemodelan matematika untuk melihat kecepatan infeksi virus chikungunya terkait umur

manusia yang rentan, dan penelitian tentang pemodelan matematika untuk melihat

kecepatan infeksi virus chikungunya terkait letak geografis.

E. Daftar Pustaka

Charrel, R.N., de Lamballerie, X., dan Raoult, D., 2007,” Chikungunya Outbreaks The

Globalization of Vectorborne Diseases”, The New England Journal of Medicine

(N ENGL J MED) 356;8 : 769 – 771.

Derraik, J.G.B., Slaney, D., Nye, E.R., dan Weinstein, P., 2010, “Chikungunya Virus: A

Novel and Potentially Serious Threat to New Zealand and the South Pacific

Islands”, Am. J. Trop. Med. Hyg. Vol. 83(4) : 755 – 759.

Kumar, N.CVM., Nadimpalli, M., Vardhan, V.R., dan Gopal, S.DVR.,2010,

“Association of ABO blood groups with Chikungunya virus”, Virology Journal 7

: 140.

(2)

Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya

ISBN 978-602-1034-06-4 313

Lalitha, P., Rathinam, S., Banushree, K., Maheshkumar, S., Vijayakumar, R., dan Sathe,

P.,2007, “Ocular Involvement Associated With an Epidemic Outbreak of

Chikungunya Virus Infection”, American Journal of Ophthalmology Vol. 144 :

552-556

Lam, SK., Chua, KB., Hooi, PS., Rahimah, MS., Kumari, S., Tharmaratnam, M.,

Chuah, SK., Smith, DW., dan Sampson, IA., 2001, “Chikungunya Infection An

Emerging Disease in Malaysia”, Southeast Asian J Trop Med Public Health

Vol. 32 No. 3 : 447-451.

Lanciotti, R.S., Kosoy, O.L., Laven, J.J., Panella, A.J., Velez, J.O., Lambert, A.J., dan

Campbell, G.L., 2007, “Chikungunya Virus in US Travelers Returning from

India, 2006”, Emerging Infectious Diseases Vol. 13, No. 5 : 764 – 767.

Laras, K., Sukri, N.C, Larasati, R.P., Bangs, M.J., Kosim, R., Wandra, T., Mastere, J.,

Kosasih, H., Hartati, S., Beckett, C., Sedyaningsih, E.R., Beecham III, H.J., dan

Corwin, A.L., 2004, “Tracking the re-emergence of epidemic chikungunya virus

in Indonesia”, the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene Vol. 99: 128 –

141.

Mahesh, G., Giridhar, A., Shedbele, A., Kumar, R., dan Saikumar, R.J., 2009, “A case

of bilateral presumed chikungunya neuroretinitis”, Indian J Ophthalmol Vol 57 :

148 – 150.

Ng, LC., Tan, LK., Tan, CH., Tan, S.S.Y., Hapuarachchi, H.C., Pok, KY., Lai, YL.,

Lam-Phua, SG., Lin, R.T.P., Leo, YS., Tan, BH>, Han, HK., Ooi, PL.S., James,

L., dan Khoo, SP., 2009, “Entomologic and Virologic Investigation of

Chikungunya, Singapore”, Emerging Infectious Diseases Vol. 15 No. 8 : 1243 –

1249.

Pistone, T., Ezzedine, K., Boisvert, M., Receveur, MC., Schuffenecker, I., Zeller, H.,

Lafon, ME., Fleury, H., dan Malvy, D., 2009, “Cluster of Chikungunya Virus

Infection in Travelers Returning From Senegal, 2006”, Journal of Travel

Medicine Vol. 16 (Issue 4) : 286 – 288.

Powers, A.M., dan Logue, C.H., 2007, “Changing patterns of chikungunya virus: re-

emergence of a zoonotic arbovirus”, Journal of General Virology Vol. 88 : 2363 –

2377.

Tsetsarkin, K., Higgs, S., Mcgee, C.E., de Lamballerie, X., Charrel, R.N.,

Vanlandingham, D.L., 2006, “Infectious Clones of Chikungunya Virus (La

Réunion Isolate) for Vector Competence Studies”, VECTOR-BORNE AND

ZOONOTIC DISEASES Vol. 6 No. 4 : 325 – 337.

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 314

MODEL GSTAR TERMODIFIKASI UNTUK MENENTUKAN

PRODUKSI OPTIMAL JAGUNG DI KABUPATEN BOYOLALI

Priska Dwi Apriyanti1)

, Hanna Arini Parhusip2)

, Lilik Linawati3)

1)2)3)Progdi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana

Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga

Surel: 1)[email protected] 2)[email protected]

3)[email protected]

Abstrak

Model peramalan dengan data yang mengandung keterkaitan dengan data sebelumnya

dan lokasi sekitar adalah model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR).

Sebagai contoh model model GSTAR untuk data produksi jagung di lokasi A

bergantung pada produksi jagung dari lokasi lain. Untuk kepentingan optimasi

diperlukan modifikasi model GSTAR, yaitu data produksi jagung di lokasi A dipandang

bergantung juga pada faktor penting pertumbuhan jagung, yaitu curah hujan dan luas

lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di lokasi A. Dalam penelitian ini

akan diterapkan model GSTAR standard dan GSTAR Termodifikasi untuk data

produksi jagung dengan bobot lokasi seragam dan invers jarak berdasarkan data dari

BPS Kabupaten Boyolali tahun 2008 s/d 2012. Pada penelitian ini dibatasi sebanyak 3

lokasi, yaitu Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk. Berdasarkan model GSTAR

Termodifikasi diperoleh hasil produksi jagung optimal selama 5 tahun, yaitu di

Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk berturut-turut sebesar 23.501,31 ton, 15.935,47

ton, dan 16.551,27 ton. Sedangkan data minimum dan maksimum berturut-turut adalah

[12.574;42777], [9.001;13.518], dan [14.926;17.037]. Hasil optimasi menunjukkan

bahwa hasil optimal untuk Ampel dan Musuk berada pada selang data asli, sedangkan

hasil optimasi Cepogo tidak pada interval data. Dengan kata lain, hasil penelitian dapat

mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh selama 5 tahun untuk Ampel, dan

Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih dianalisis lebih lanjut. Hasil analisa

untuk menguji keoptimalan solusi menunjukkan bahwa pengoptimal terbaik diperoleh

dari metode program linier, sedangkan di Kecamatan Ampel dan Cepogo terdapat lebih

dari 1 pengoptimal yang disebut sebagai pengoptimal lokal.

Kata Kunci – GSTAR, bobot lokasi, program linier, optimasi

A. Pendahuluan

Berdasarkan analisa peta lahan kritis wilayah BPDAS Pemali Jratun tahun 2009,

dengan prosentase lahan kritis terluas (proporsi lahan kritis dibandingkan luas wilayah

administratif) adalah Kabupaten Boyolali, yaitu sebesar 39,49%, atau seluas 43.241 ha.

Terjadinya lahan kritis di Kabupaten Boyolali disebabkan oleh aktivitas manusia yang

berupa illegal logging dan pengelolaan lahan dengan budidaya tanaman semusim yang

tidak tepat (Nugroho,2011).

Luas lahan kritis di Kabupaten Boyolali tersebut dapat digunakan untuk

mengevaluasi produktivitas lahan penghasil jagung dengan menentukan faktor lain yang

berpengaruh dalam produksi jagung, contohnya curah hujan karena curah hujan

mempengaruhi produksi pertanian secara umum, khususnya untuk ladang jagung.

Dipilih komoditas jagung karena menurut Buku Putih Sanitasi Boyolali, jagung jenis

hibrida merupakan produk andalan dengan produksi sebesar 96.982 ton/th. Jagung

hibrida dapat tumbuh optimal dengan curah hujan berada pada interval 85-200 mm.

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 315

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai data yang tidak hanya

mengandung keterkaitan dengan data pada waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai

keterkaitan dengan lokasi. Untuk memperoleh model peramalan dengan data demikian

dapat digunakan model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR) (Suhartono,

2006). Model GSTAR Standard akan diterapkan untuk meramalkan data produksi

jagung di Kabupaten Boyolali, kemudian dievaluasi apakah model tersebut cocok

sebagai model peramalan. Selain model GSTAR standard disusun pula model GSTAR

Termodifikasi yang menunjukkan keterkaitan antara produksi jagung dengan luas lahan

dan curah hujan. Hasil model GSTAR standard dan hasil model GSTAR Termodifikasi

akan dibandingkan sehingga diperoleh model terbaik yang akan digunakan untuk

menentukan produksi jagung yang optimal dalam kurun waktu tertentu.

B. Tinjauan Pustaka

Pada GSTAR standard beberapa asumsi perlu dipenuhi untuk dapat memperoleh

model yang tepat, misalnya data harus stasioner dalam variansi dan rata-rata

(Borovkova, dkk, 2002). Transformasi Box-Cox dan trend analysis diperlukan untuk

menguji kestasioneran data dalam variansi dan rata-rata. Asumsi lain yang perlu

dipenuhi adalah residual harus white noise yang dapat dideteksi dengan Uji L-jung Box

Pierce setelah model GSTAR standard diperoleh. Apabila asumsi stasioneritas data

telah dipenuhi maka dapat dilanjutkan ke penyusunan model GSTAR standard dan

estimasi parameter dengan metode kuadrat terkecil. Hasil estimasi parameter diuji

signifikansinya dengan menggunakan uji-t yang menghasilkan parameter-parameter

signifikan. Proses pemenuhan asumsi hingga estimasi parameter tersebut juga

diterapkan untuk model GSTAR termodifikasi sehingga diperoleh hasil GSTAR

standard dan hasil GSTAR termodifikasi yang kemudian dibandingkan. Model terbaik

akan dijadikan fungsi tujuan yang diselesaikan dengan metode program linier.

1. Uji Stasioneritas

Dalam analisa data time series NttX

,...,1diperlukan asumsi stasioneritas dalam

variansi )( 2

tXE dan rata-rata )( tXE dimana nilai variansi (σ2) dan rata-rata (μ) tidak

berubah (konstan) untuk semua waktu, secara matematis dituliskan pada persamaan (1).

22 )(

)(

t

t

XE

XE

Menurut Wei (2006:80) stasioneritas dalam variansi dan stasioneritas dalam rata-

rata dapat dijelaskan sebagai berikut

a. Stasioneritas dalam variansi

Suatu data time series dikatakan stasioner dalam variansi apabila struktur data dari

waktu ke waktu mempunyai fluktuasi data yang tetap atau konstan. Stasioneritas dalam

variansi dapat dilihat dari estimasi lambda yang dihasilkan oleh transformasi Box Cox

pada persamaan (2). Jika estimasi lambda mendekati 1 maka data dikatakan stasioner

dalam variansi, jika estimasi lambda tidak mendekati 1 maka perlu dilakukan

transformasi Box-Cox pada data agar data stasioner dalam variansi.

ni

Y

Y

W

i

i

i ,...,2,1,

0),ln(

0,1

(2)

dengan,

Wi = data ke-i hasil transformasi

untuk semua t (1)

untuk semua t

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 316

Yi = data ke-i yang akan ditransformasi

λ = parameter Box-Cox

b. Stasioneritas dalam rata-rata

Stasioneritas dalam rata-rata ditunjukkan dengan plot data trend analysis yang

menggambarkan fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak

tergantung pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut. Dilihat dari hasil trend

analysis, data dikatakan stasioner jika trend linear mendekati sejajar dengan sumbu

horizontal, namun jika tidak sejajar dengan sumbu horizontal maka perlu dilakukan

differencing pada data.

2. Pengujian Residual White Noise

Residual white noise adalah residual mengikuti distribusi identik independen (iid)

yang dapat dideteksi menggunakan uji autokorelasi residual pada analisis error-nya. Uji

korelasi residual digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya korelasi residual antar lag.

Langkah-langkah pengujian korelasi residual, yaitu :

Ho : 0...321 K

Ha : Kkk ,...,2,1,0

dengan k adalah koefisien autokorelasi residual periode k. Statistik uji yaitu Ljung

Box Pierce dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Rumus uji Ljung Box-Pierce

(Wei,2006:153) didefinisikan pada persamaan (3).

K

k

k

KkT

TTQ1

2ˆ)2(

(3)

dengan,

KQ : statistik uji Ljung Box-Pierce

T : banyaknya data

K : banyaknya periode yang diuji

k : dugaan autokorelasi residual periode k

Kriteria keputusan yaitu tolak Ho jika KQ > 2

),,( fda tabel, artinya residual tidak

white noise atau memiliki korelasi antar lag.

3. Model GSTAR Standard

Model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR) pertama kali

diperkenalkan oleh Borovkova, Lopuhaa, dan Ruchjana (2002) sebagai generalisasi dari

model Space Time Autoregressive (STAR). Perbedaan yang cukup mendasar antara

GSTAR dan STAR terletak pada asumsi karakteristik lokasi. Pada model STAR

penyusunan model terbatas pada variabel dengan karakteristik lokasi yang seragam

(homogen), sedangkan model GSTAR penyusunan model dapat dilakukan apabila

memiliki karakteristik lokasi yang beranekaragam (heterogen). Menurut Borovkova,dkk

(2002) model GSTAR dapat dituliskan pada persamaan (4).

p

k

kk tektZWtZ1

10 )()()()( (4)

dengan

Z(t) = variabel pengganti data pada waktu t

p = orde spasial

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 317

)())()(()1()( 113112111101 tetRWtYWtZtZ

)())()(()1()( 223221212202 tetRWtYWtZtZ

)())()(()1()( 332331313303 tetRWtYWtZtZ

0k = diag ),...,( 0

1

0

n

kk dan 1k = diag ),...,( 1

1

1

N

kk merupakan parameter model

W = bobot (weigth) yang dipilih untuk memenuhi 0iiw dan 11

j ijw

Matriks model GSTAR untuk penggunakan 3 lokasi yang berbeda pada orde waktu

dan orde spasial 1 disajikan pada persamaan (5) (Faizah & Setiawan, 2013).

)(

)(

)(

)1(

)1(

)1(

0

0

0

00

00

00

)1(

)1(

)1(

00

00

00

)(

)(

)(

3

2

1

3

2

1

3231

2321

1312

31

21

11

3

2

1

30

20

10

3

2

1

te

te

te

tZ

tZ

tZ

ww

ww

ww

tZ

tZ

tZ

tZ

tZ

tZ

(5)

Bobot lokasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah bobot lokasi seragam dan

invers jarak. Penentuan nilai bobot untuk bobot lokasi seragam iij nw 1 dengan in

merupakan banyaknya lokasi yang berdekatan dengan lokasi ke-i, sedangkan bobot

lokasi invers jarak dihitung menggunakan jarak sebenarnya antar lokasi. Untuk contoh

kasus pada Gambar 1, perhitungan bobot untuk jarak dari lokasi A ke lokasi B dengan

metode invers jarak adalah

3

11* AB

ABd

W , 1

11* AC

ACd

W

4

1

13

13

1

**

*

ACAB

AB

ABWW

WW

4

3

311

1**

*

ABAC

AC

ACWW

WW

4. GSTAR Termodifikasi

GSTAR termodifikasi adalah modifikasi GSTAR standard, modifikasi dilakukan

dengan mengganti variasi lokasi pada GSTAR standard dengan variasi faktor produksi.

GSTAR termodifikasi ini telah digunakan untuk mengetahui banyaknya produksi padi

optimal yang bergantung pada curah hujan dan proporsi luas lahan panen dibandingkan

luas lahan kritis di tiap lokasi (Parhusip, 2014). Pada penelitian tersebut menghasilkan

model GSTAR Termodifikasi dimana bobot lokasi merupakan parameter regresi klasik,

sedangkan penelitian pada makalah ini bobot lokasi tetap sama dengan GSTAR

standard namun karakteristik lokasi diganti dengan variasi faktor produksi, yaitu curah

hujan dan proporsi luas lahan panen dibandingkan luas lahan kritis. Dalam GSTAR

standard jumlah produksi jagung di lokasi i (i=1,2,3) pada waktu t bergantung pada

jumlah produksi jagung di lokasi yang sama pada waktu sebelumnya (t-1) dan lokasi

lain pada waktu t-1, sedangkan GSTAR termodifikasi ketergantungan pada lokasi lain

tersebut diganti dengan variasi faktor produksi yaitu curah hujan dan proporsi luas lahan

panen dibandingkan luas lahan kritis di tiap lokasi. Berdasarkan persamaan matriks (5)

modifikasi dilakukan dengan melakukan penggantian variabel Zi(t-1) menjadi proporsi

luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis (Yi(t)) dan curah hujan (Ri(t)),

sehingga diperoleh persamaan yang baru yaitu seperti pada persamaan (6), (7), dan (8).

(6) (6)

(7)

(8)

A

B

C

2

3

1

Gambar 1. Contoh peta lokasi

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 318

dengan parameter yang diestimasi adalah )'( 312111302010

.

Parameter tersebut diestimasi dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang

dibahas pada subbab selanjutnya.

Penaksiran Parameter dan Uji Signifikansi Parameter pada Model GSTAR

Estimasi parameter model GSTAR yaitu )'( 312111302010

dapat diselesaikan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang diformulasikan

pada persamaan (9).

YXXX ''1

(9)

dengan struktur data untuk estimasi parameter model GSTAR(11) di 3 lokasi dijabarkan

pada persamaan matriks (10) (Faizah & Setiawan,2013).

te

te

te

tFtZ

tFtZ

tFtZ

tZ

tZ

tZ

3

2

1

31

21

11

30

20

10

3

22

11

3

2

1

)1(300)1(00

0)1(00)1(0

00)1(00)1(

)(

)(

)(

(10)

Parameter yang diperoleh tersebut diuji signifikansinya dengan Uji-t. Langkah-

langkah pengujian parameter, yaitu

Ho : 0ki , k = 1,2,3 dan i = 0,1

Ha : 0ki , k = 1,2,3 dan i = 0,1

Statistik uji :

)( ki

ki

hitungS

t

, dimana ki adalah parameter dan )( kiS adalah standar error

parameter. Kriteria pengujian dengan α = 5% adalah tolak Ho jika |thitung| > ttabel , artinya

parameter signifikan.

5. Metode Program Linier

Program linier adalah model yang tersusun dari variabel-variabel keputusan yang

membentuk fungsi tujuan dan fungsi kendala (Taylor, 2008). Program linier dapat

menyelesaikan model fungsi tujuan (memaksimalkan atau meminimalkan) yang

berhubungan secara linier, sebagai contoh model yang terbentuk dari GSTAR

Termodifikasi. Model GSTAR Termodifikasi akan dijadikan fungsi tujuan yang

memaksimalkan produksi jagung di tiap lokasi dalam kurun waktu tertentu. Fungsi

tujuan permasalahan program linier secara umum dituliskan pada persamaan (11)

dengan kendala pada persamaan (12).

Maks atau Min :

N

i ii XcZ1

untuk i = 1,2,3,…,N (11)

N

i iii bXa1

atau ≥ bi atau = bi dan 0jX (12)

dengan

Z = Fungsi tujuan

Xi = Variabel keputusan i

ci = Koefisien dari variabel keputusan ke-i

ai = Koefisien dari variabel keputusan dalam kendala ke-i

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 319

bi = Sumber daya yang tersedia dalam kendala ke-i

Untuk menguji keoptimalan solusi program linier, analisa dilakukan dengan

menggeser posisi optimal sebesar ±ΔX, ±ΔY, dan ±ΔR, dimana ΔX, ΔY, dan ΔR dipilih

berturut sebagai standard deviasi dari produksi jagung dalam kurun 4 tahun (X), luas

lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis (Y), dan curah hujan (R). Artinya

analisa dilakukan dengan membuat daerah kelayakan yang cukup kecil di sekitar

Tryxz ****

, dengan x*, y

*, dan r

* , berturut adalah solusi optimal variabel

keputusan yang diperoleh dari metode program linier. Sebut persekitaran dari *z

adalah

TTTRryxrYyxryXxx ********** ,,)(

(13)

persekitaran tersebut digunakan untuk menguji keoptimalan nilai fungsi. Jika hasil yang

diperoleh di persekitarannya lebih kecil dari hasil yang diperoleh dengan metode

program linier maka pengoptimal dapat dikatakan pengoptimal global. Jika tidak maka

disebut pengoptimal lokal.

C. Metode Penelitian

Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan yaitu :

1. Identifikasi data awal

Data awal dalam penelitian ini adalah data produksi jagung, curah hujan, luas lahan

panen jagung, dan luas lahan kritis yang diperoleh dari BPS Kabupaten Boyolali berupa

data tahunan dari tahun 2008 s/d 2012. Berdasarkan data BPS dengan n = 5

dibangkitkan himpunan data dengan n = 100 untuk keperluan pembuatan model dengan

asumsi data tersebut merupakan variasi data masing-masing variabel sepanjang 2008 s/d

2012. Dari data yang telah dibangkitkan tersebut ditentukan statistika deskriptif, seperti

disajikan pada Tabel 1 untuk lokasi Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk.

Tabel 1. Statistika deskriptif data lahan kritis, curah hujan, dan produksi jagung di Kecamatan

Ampel, Cepogo, dan Musuk

Lokasi Variabel N Mean Min Maks Stdev

Ampel

Produksi Jagung (ton) 100 20171 1430 41789 7483,3

Luas Lahan Panen (ha) 100 6822,5 6737,5 6915,6 35,35

Luas Lahan Kritis (ha) 100 2639 1724,1 3872 433,3

Curah Hujan (mm) 100 246,32 0,15 666,7 178,1

Cepogo

Produksi Jagung (ton) 100 31091 15957 45647 5159

Luas Lahan Panen (ha) 100 2332,1 2270,7 2388,7 20,36

Luas Lahan Kritis (ha) 100 1382,1 900,6 1959,9 244

Curah Hujan (mm) 100 226,97 0,01 1014,9 196,3

Musuk

Produksi Jagung (ton) 100 7720 6776 8935 388,3

Luas Lahan Panen (ha) 100 3414,6 3393,2 3436,2 7,31

Luas Lahan Kritis (ha) 100 5066,6 823,5 8032,6 1574,7

Curah Hujan (mm) 100 226,99 0,0003 795 215,82

2. Menentukan 3 kecamatan sebagai 3 lokasi dalam model GSTAR, yaitu Kecamatan

Ampel, Cepogo, dan Musuk.

3. Uji Stasioner data yang merupakan syarat umum pemodelan time series

Sebelum berlanjut ke proses pembentukan model, perlu dilakukan uji stasioneritas

data dalam variansi dan rata-rata sebagai syarat umum pemodelan time series. Untuk

menguji apakah data sudah stasioner dalam variansi digunakan transformasi Box-Cox

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 320

menggunakan persamaan (2). Nilai estimasi lambda untuk setiap variabel disajikan pada

Tabel 2. Tabel 2. Nilai estimasi lambda untuk setiap variabel

Lokasi

Data Ampel Cepogo Musuk

Produksi Jagung 0,95 1,12 0,91

Luas Lahan Panen -0,28 -0,60 -1,27

Luas Lahan Kritis 0,30 0,66 1,26

Curah Hujan 0,49 0,39 0,41

Dari Tabel 2 diketahui bahwa nilai estimasi lambda bervariasi dari -1,27 s/d 1,26.

Dalam kasus ini data yang akan ditransformasi tidak hanya data dengan nilai estimasi

lambda kurang dari 1 tetapi setiap variabel dengan harapan model menjadi semakin

bagus. Setelah data distasionerkan dalam variansi, maka dapat dilanjutkan ke uji

stasioner dalam rata-rata dengan trend analysis. Dari plot data trend analysis diperoleh

bahwa trend mendekati sejajar dengan sumbu horizontal sehingga tidak perlu dilakukan

differencing untuk semua variabel. Plot data trend analysis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Plot data trend analysis untuk data produksi jagung (baris ke-1), luas lahan (bariske-2)

dan curah hujan (baris ke-3) di Kecamatan Ampel (kolom ke-1), Cepogo (kolom ke-2), dan Musuk

(kolom ke-3).

4. Melakukan transformasi data :

i. Stasioneritas data menggunakan persamaan (2) jika data tidak stasioner dalam

variansi dan differencing jika data tidak stasioner dalam rata-rata

ii. Mengubah data berdimensi menjadi tak berdimensi

3,2,1,ˆ kZ

ZZ

k

k

k

(14)

dimana : kZ = variabel ke-k tanpa dimensi

kZ = variabel ke-k berdimensi

kZ = rata-rata variabel ke-k

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 321

5. Menyusun model GSTAR standard dan menyelesaikan

6. Menyusun model GSTAR termodifikasi dan menyelesaikan

7. Membandingkan hasil model GSTAR standard dan hasil model GSTAR

termodifikasi, kemudian dipilih hasil terbaik

8. Menganalisis data untuk menentukan hasil produksi jagung optimal di tiap

kecamatan berdasarkan data jagung tahun 2008 s/d 2012, dengan metode program

linier.

a. Diselesaikan menggunakan fungsi linprog() pada Matlab R2009a

b. Menyelidiki keoptimalan nilai fungsi tujuan berdasarkan data asli dengan cara

menyatakan data hasil optimasi dalam data yang berdimensi menggunakan

persamaan (2)

D. Hasil dan Pembahasan

1. GSTAR Standard

Dengan data produksi jagung yang telah stasioner dalam variansi dan rata-rata akan

dilakukan penyusunan model GSTAR standard bobot lokasi seragam dan invers jarak.

Bobot lokasi seragam dan invers jarak berturut-turut dituliskan sebagai berikut

05,05,0

5,005,0

5,05,00

w dan

06429,03571,0

6970,003030,0

5610,04390,00

w .

Sebelum melakukan estimasi parameter, data dihilangkan dimensinya

menggunakan rumus pada persamaan (10). Dimensi dari data dihilangkan untuk

keperluan optimasi yang akan dilakukan pada bagian selanjutnya dalam penelitian ini.

Hasil estimasi parameter model GSTAR standard untuk data produksi jagung dan hasil

uji statistik parameter dituliskan pada Tabel 3. Tabel 3. Estimasi parameter model GSTAR standard untuk data produksi jagung

Para

meter

Hasil estimasi dengan bobot lokasi ttabel Kesimpulan

Seragam thit Invers Jarak thit

10 0,1376 0,8579 0,1379 0,8753 1,98 Tidak signifikan

20 0,7058 2,3169 0,3228 0,8803 1,98 Tidak signifikan

30 1,0805 4,4902 1,0802 3,9484 1,98 Signifikan

11 0,8608 5,0501 0,8616 5,1418 1,98 Signifikan

21 0,2759 0,9125 0,6654 1,8083 1,98 Tidak signifikan

31 -0,0809 0,3457 -0,0807 0,3014 1,98 Tidak signifikan

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa parameter 10 dan 20 tidak signifikan karena

nilai thit < ttabel, sehingga parameter tersebut dapat dihilangkan pada model. Hal ini

menunjukkan bahwa produksi jagung di Kecamatan Ampel dan Cepogo pada waktu t

tidak bergantung waktu t-1. Parameter 21 yang menunjukkan ketergantungan produksi

jagung di Cepogo dengan lokasi lain pada waktu t-1 juga tidak signifikan, sehingga

model GSTAR standard untuk produksi jagung di Cepogo tidak cocok sebagai model

untuk peramalan.

2. GSTAR Termodifikasi

Data yang digunakan untuk membentuk model GSTAR Termodifikasi ini adalah

data produksi jagung, curah hujan dan proporsi lahan panen dibandingkan dengan lahan

kritis di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk. Hasil estimasi parameter model

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 322

1111 1278,01278,06836,0 RYXZ

2222 02535,002535,09279,0 RYXZ

3333 0065,00065,00112,1 RYXZ

GSTAR Termodifikasi untuk data produksi jagung yang bergantung pada curah hujan

dan proporsi lahan panen dibandingkan dengan lahan kritis disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Estimasi parameter model GSTAR Termodifikasi

Parameter

Hasil estimasi dengan

bobot lokasi ttabel Kesimpulan

Seragam thit

10 0,6836 6,2522 1,98 Signifikan

20 0,9279 7,7411 1,98 Signifikan

30 1,0112 9,7989 1,98 Signifikan

11 0,2556 2,3330 1,98 Signifikan

21 0,0507 0,4616 1,98 Tidak signifikan

31 -0,0130 0,1482 1,98 Tidak signifikan

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa parameter 21 dan 31

tidak signifikan terhadap

model, sedangkan parameter lain signifikan. Untuk keperluan optimasi nilai estimasi

parameter akan tetap digunakan pada model GSTAR Termodifikasi, sehingga

persamaan (6), (7), dan (8) menjadi,

)()(1278,0)(1278,0)1(6836,0)( 1111 tetRtYtZtZ

(15)

)()(02535,0)(02535,0)1(9279,0)( 2222 tetRtYtZtZ

(16)

)()(0065,0)(0065,0)1(0112,1)( 3333 tetRtYtZtZ

(17)

3. Pengujian Residual White Noise

Asumsi residual white noise merupakan asumsi pada GSTAR yang harus dipenuhi

untuk memperoleh model yang bagus. Hasil pengujian white noise pada GSTAR

standard dan GSTAR Termodifikasi dituliskan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengujian white noise untuk GSTAR standard dan GSTAR modifikasi

Jenis GSTAR

Produksi Jagung GSTAR Standard GSTAR Termodifikasi

Ampel Residual white noise Residual white noise

Cepogo Residual white noise Residual white noise

Musuk Residual tidak white noise Residual white noise

Dari Tabel 5 diketahui bahwa model yang memenuhi asumsi GSTAR adalah model

GSTAR Termodifikasi karena model untuk data produksi jagung di tiap lokasi memiliki

residual yang white noise.

4. Optimasi Produksi Jagung di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk

Untuk melakukan optimasi dengan metode program linier perlu disusun fungsi

tujuan dan kendala yang berpengaruh. Fungsi tujuan pada penelitian ini disusun

berdasarkan model GSTAR Termofikasi yang telah diperoleh, sedangkan kendala yang

berpengaruh adalah curah hujan optimal untuk pertumbuhan jagung dan rata-rata

proporsi luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di Kecamatan Ampel,

Cepogo, dan Musuk. Fungsi tujuan dan kendala tersebut dituliskan sebagai berikut,

Fungsi tujuan :

(18)

(19)

(20)

dengan,

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 323

Xk = Produksi jagung di lokasi k dalam kurun waktu 4 tahun

Yk = Luas lahan di lokasi k dalam kurun waktu 5 tahun

Rk = Curah hujan di lokasi k dalam kurun waktu 5 tahun

k = 1,2,3 dimana 1 = Ampel, 2 = Cepogo, dan 3 = Musuk.

Kendala :

a. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan jagung berada pada interval 85 – 200

mm, interval tersebut ditransformasi menjadi data tanpa dimensi pada Tabel 5. Tabel 5. Interval curah hujan optimal tiap lokasi

Lokasi

Batas Ampel Cepogo Musuk

Batas Bawah 0,3451 0,3745 0,3184

Batas Atas 0,812 0,8812 0,7491

Dari Tabel 5 dapat disusun kendala curah hujan di setiap lokasi yang dituliskan

pada persamaan (20), (21), dan (22)

812,03451,0 1 R (21)

8812,03745,0 2 R (22)

7491,03184,0 3 R (23)

b. Rata-rata luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di lokasi

Ampel Cepogo dan Musuk berturut-turut kurang dari 0,9912; 0,9899; dan

0,9587.

9912,00 1 Y (24)

9899,00 2 Y (25)

9587,00 3 Y (26)

Persamaan (18), (19), dan (20) kemudian dioptimasi dengan fungsi linprog() pada

MATLAB. Hasil dari optimasi yang diperoleh berupa data produksi jagung optimal di

tiap lokasi yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi jagung optimal di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk

Lokasi

Produksi Jagung Optimal Data Produksi Jagung Asli (ton)

Tidak Berdimensi Berdimensi

(ton) Min Max

Ampel 0,777041 23.350 12.574 42.777

Cepogo 1,376937 15.919 9.001 13.158

Musuk 1,026836 16.603 14.926 17.037

Hasil optimal produksi jagung yang tidak berdimensi dapat dilihat pada kolom tak

berdimensi pada Tabel 5. Data tersebut harus dikembalikan dimensinya dengan

mengalikan hasil optimal produksi jagung tak berdimensi dan rata-rata produksi jagung

di masing-masing lokasi, sehingga diperoleh hasil optimal produksi jagung yang

berdimensi. Untuk memperoleh optimal data berdimensi yang dituliskan pada Tabel 6

perlu dilakukan pengembalian data yang telah ditransformasi pada tahap uji

stasioneritas menggunakan persamaan (2) dengan λ ≠ 0, diperoleh

,...2,1,1/1

iWY ii

Hasil optimasi menunjukkan bahwa hasil optimal untuk Ampel dan Musuk berada

pada selang data asli, sedangkan hasil optimasi Cepogo tidak pada interval data. Dengan

kata lain, hasil penelitian dapat mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh

selama 5 tahun untuk Ampel, dan Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih

dianalisis lebih lanjut.

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 324

5. Analisis Hasil Optimasi

Analisa dilakukan dengan menyusun domain persekitaran pengoptimal. Domain

persekitaran didefinisikan pada persamaan (13). Fungsi tujuan dihitung pada titik-titik

domain tersebut. Hasil analisa untuk solusi optimal tanpa dimensi yang telah diperoleh

disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Produksi optimal jagung tak berdimensi di tiap lokasi dengan penggeseran

posisi optimal

Persekitaran Ampel Cepogo Musuk

TryXx *** 1,4784 1,6464 1,0231

TryXx *** 0,9756 1,3512 0,9236

TrXyx *** 1,2747 1,5038 0,9729

TrXyx *** 1,1766 1,4955 0,9736

TXryx *** 1,2747 1,5038 0,9729

TXryx *** 1,1766 1,4955 0,9736

Hasil optimal tak berdimensi pada Tabel 7 dibandingkan dengan hasil optimal tak

berdimensi pada Tabel 8 diperoleh bahwa di Kecamatan Musuk hasil optimal terbaik

adalah solusi dengan metode program linier karena hasil optimal di daerah

persekitarannya lebih kecil, sedangkan untuk Kecamatan Cepogo masih terdapat titik-

titik persekitaran yang dapat mengoptimalkan nilai fungsi. Demikian pula di

Kecamatan Ampel yang memiliki hasil optimal lebih dari satu, disebut sebagai

pengoptimal lokal yang ditunjukkan pada Gambar 3 dimana ll adalah hasil program

linier sedangkan warna lain hasil persekitaran. Histogram untuk hasil optimal tak

berdimensi di Tabel 7 dan 8 disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram hasil optimal tak berdimensi di Kecamatan Ampel (kiri), Cepogo (tengah),

dan Musuk (kanan)

F. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya GSTAR standard dan GSTAR

termodifikasi dengan bobot lokasi seragam dan invers jarak di Kecamatan Ampel,

Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung

ISBN 978-602-1034-06-4 325

Cepogo, dan Musuk. Model GSTAR standard tidak cocok untuk meramalkan data

produksi jagung di Cepogo, karena parameter model tidak signifikan menurut Uji-t.

Model GSTAR Termodifikasi lebih bagus dibandingkan dengan GSTAR standard

karena parameter yang tidak signifikan pada GSTAR standard menjadi signifikan pada

GSTAR Termodifikasi. Hasil optimasi menunjukkan produksi jagung optimal di

Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk berturut-turut sebesar 23.501,31 ton, 15.935,47

ton, dan 16.551,27 ton dengan hasil optimal di Ampel dan Musuk berada pada selang

data asli. Dengan kata lain, dengan memperhatikan curah hujan dan luas lahan, hasil

penelitian dapat mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh selama 5 tahun

untuk Ampel, dan Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih dianalisis lebih

lanjut. Hasil analisa untuk menguji keoptimalan solusi menunjukkan bahwa

pengoptimal di Kecamatan Musuk merupakan solusi dari metode program linier,

sedangkan di Kecamatan Ampel dan Cepogo terdapat lebih dari 1 pengoptimal yang

disebut sebagai pengoptimal lokal.

G. Daftar Pustaka

Borovkova S.A., Lopuhaa H.P., Ruchjana B.N. 2002. Generalized STAR model with

experimental weights. Proceedings of the 17th

International Workshop on

Statistical Modeling, 8-12 Juli 2002. Chania.

Faizah L.A, Setiawan. 2013. Pemodelan Inflasi di Kota Semarang, Yogyakarta, dan

Surakarta dengan pendekatan GSTAR. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol 2, No2,

(2013) 2337-3520 (2301-92.8X Print)

Nugroho. 2011. Alternatif Rehabilitasi Lahan Kritis Dengan Tanaman Karabenguk

(Mucuna Pruriens (L.) Dc.). Jurnal Politeknosains Vol. X No. 2.

Parhusip H.A., Edi S.W.M, Prasetyo S.Y.J. 2014. Analisa Data Pemodelan Untuk Ilmu

Sosial & Sains. Salatiga : Penerbit Tisara Grafika.

Parhusip, H.A dan Winarso, M.E. 2014 Analisa Data Iklim Boyolali Dengan Regresi

Klasik dan Metode GSTAR. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan

Pendidikan Matematika. Universitas PGRI Ronggolawe. 24 Mei 2014.

Ruchjana, B.N. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model

Generalisasi STAR. Forum Statistika dan Komputasi. IPB : Bogor.

Suhartono., Subanar. 2006. The Optimal Determination of Space Weight in GSTAR

Model by using Cross-correlation Inference. JOURNAL OF QUANTITATIVE

METHODS : Journal Devoted to The Mathematical and Statistical Application in

Various Fields.

Taylor III, Bernard W. 2008. Introduction To Management Science. Jakarta: Salemba

Empat.

Wei W.W.S. 2006. Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods. USA:

Temple University.

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 326

PERLUASAN KURVA PARAMETRIK HYPOCYCLOID 2

DIMENSI MENJADI 3 DIMENSI DENGAN SISTEM KOORDINAT

BOLA

Purwoto

1), Hanna Arini Parhusip

2), Tundjung Mahatma

3)

Program Studi Matemarika,Fakultas Sains dan Matematika,

Universitas Kristen SatyaWacana

Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711

Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]

3) [email protected]

Abstrak Hyplocycloid merupakan kurva parametrik yang ditentukan oleh nilai parameternya. Berbagai

macam bentuk kurva hypocycloid yang dihasilkan diperluas ke dalam 3 dimensi dengan

menggunakan sistem koordinat bola, dimana setiap titik dari permukaan mempunyai jari-jari dan

sudut. Hasil persamaan perluasan diturunkan terhadap masing-masing parameternya dan

dikombinasikan untuk mendapatkan hasil perluasan yang lain. Hasil perluasan 3 dimensi

digambarkan atau divisualisasikan dengan menggunakan program MATLAB. Hasil visualisasi

ini merupakan persamaan hypocycloid yang telah di generalisasikan terhadap sistem koordinat

bola.

Kata kunci: Hypocycloid, persamaan parametrik, sistem koordinat bola, 3 dimensi

A. Pendahuluan

Beberapa bentuk kurva di dalam matematika sudah banyak dikenal dan disajikan,

baik dalam bentuk persamaan kartesian maupun persamaan parametrik. Contohnya

adalah lingkaran, ellips, hiperbola, dan parabola. Persamaan-persamaan tersebut dapat

diperluas ke dalam 3 dimensi atau sebagai permukaan kuadrik berturut-turut menjadi

bola, ellipsoida, hiperboloida, dan paraboloida. Bentuk-bentuk kurva lain dalam

persamaan kartesian dan persamaan parametrik sudah banyak divisualisasikan di dalam

bentuk 2 dimensi dan diberikan nama. Beberapa diantaranya adalah astroid, cycloid,

hypocycloid, dan masih banyak lagi (Web1).

Hypocycloid merupakan salah satu persamaan parametrik yang mempunyai bentuk-

bentuk beranekaragam tergantung parameternya. Persamaan hypocycloid ini yang

kemudian akan dicari bentuk perluasan 3 dimensi dengan beberapa bentuk parameter

yang berbeda. Dalam satu persamaan hypocycloid akan dihasilkan beberapa bentuk

perluasan 3 dimensi sesuai dengan parameternya.

Penyusunan perluasan hypocycloid ke dalam 3 dimensi kmenggunakan sistem

koordinat bola yang digeneralisasikan terhadap persamaan parametriknya. Persamaan

baru yang dihasilkan diturunkan terhadap parameter dan . Perluasan yang sudah

terbentuk kemudian divisualisasikan secara grafis dengan menggunakan program

MATLAB. Hasil turunan yang didapat juga dikombinasikan dan divisualisasikan

sehingga akan diperoleh bentuk-bentuk perluasan lain yang bermacam-macam dari satu

persamaan hypocycloid.

B. Tinjauan Pustaka

1. Visualisasi 2 dimensi dalam model dekoratif

Beberapa visualisasi kurva parametrik klasik, seperti hypocycloid telah dipelajari

dan digunakan di dalam menyusun motif dekoratif. Persamaan parametrik yang

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 327

berbentuk dan mempunyai pasangan titik sehingga membentuk

motif-motif dekoratif.

Persamaan hypocycloid merupakan salah satu dari persamaan parametrik.

Persamaan hypocycloid telah dipelajari sebagai domain dari beberapa pemetaan seperti

pemetaan kompleks dan pemetaan Voronoi (Parhusip, 2014). Sebagai contoh pemetaan

fungsi kompleks yang digunakan adalah fungsi kompleks dan .

Hasil visualisasi dibuat dengan menggunakan program MATLAB (Suryaningsih dkk, 2013).

Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 1 Berikut.

Gambar 1. Komposisi transformasi terhadap yang kemudian di

gabungkan (Suryaningsih dkk, 2013)

Selain itu terdapat juga pemetaan kurva parametrik hypocycloid oleh fungsi kompleks

, , dan dipetakan dengan pemetaan voronoi

(Parhusip, 2014). Hasil yang diperoleh ditunjukan pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2.Hasil pemetaan persamaan hypocycloid dalam dan dipetakan dengan

pemetaan voronoi (Parhusip, 2014)

2. Visualisasi 3 dimensi

Tim IMAGINARY oleh sebuah badan Mathematisches Forschungsinstitut

Oberwolfach di Jerman mengumpulkan berbagai macam ilustrasi yang didapatkan dari

geometri. Geometri yang merupakan salah satu bidang dalam matematika dipandang

sebagai sesuatu yang sangat menarik dan diekspresikan dalam sebuah gambar dengan

program computer untuk matematika. Program-program matematika yang digunakan

dalam memvisualisasikan beberapa diantaranya adalah 3D_XplorMath , Cinderella, dan

Surfer. 3D_XplorMath merupakan program yang paling luas di dalam

memvisualisasikan objek matematika (Greuel dan Matt, 2008). Beberapa objek oleh tim

IMAGINARY ditunjukkan Gambar 3 berikut.

)(txx )(tyy ),( yx

zzf cos z

zf1

zzf sin

)cos()( zzf

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 328

Gambar 3. Hasil visualisasi Algebraic sculptures yang diornamenkan oleh tim IMAGINARY

(Greuel dan Matt, 2008)

C. Metode Penelitian

1. Mengenal bentuk dan persamaan hypocycloid.

Hypocycloid terbentuk oleh sebuah titik P pada keliling sebuah lingkaran kecil

dengan radius b yang menggelinding di dalam lingkaran yang lebih besar dengan radius

a (a>b) (Hsu dkk,2008). Bermacam ukuran dari lingkaran menghasilkan hypocycloid

yang berbeda. Secara umum persamaan dapat dituliskan sebagai

(1)

Persamaan (1) tersebut pada dasarnya merupakan persamaan umum dari epicycloid dan

juga hypocycloid. Parameter b menjadi parameter yang menentukan bentuk yang

diperoleh. Ketika b bernilai positif akan menghasilkan epicycloid dan ketika b bernilai

negatif akan menghasilkan hypocycloid. Hypocycloid mempunyai beberapa bentuk yang

berbeda-beda tergantung dari parameter yang diberikan. Dengan ditetapkan a=1 sebagai

radius lingkaran besar dan b sebagai radius lingkaran kecil yaitu bentuk

hypocycloid akan dijumpai ketika p < q . Sedangkan ketika p>q akan terbentuk kurva

epicycloids sekalipun b bernilai negatif. Secara umum untuk persamaan hypocycloid itu

sendiri dapat dituliskan sebagai berikut

(2)

2. Sistem Koordinat bola

Sistem koordinat bola merupakan salah satu dari banyak cara pemerincian posisi

titik di ruang 3 dimensi. Jenis koordinat bola ini memainkan peranan penting di

dalam kalkulus (Purcell dan Varberg,1987). Koordinat titik dalam sistem ini dapat

dilihat pada Gambar 4.

;sinsin;coscos

b

babbay

b

babbax

q

pb

;sinsin;coscos

b

babbay

b

babbax

,,

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 329

Gambar 4. Titik P di dalam sistem koordinat bola (Purcell dan Varberg,1987)

Sebuah titik P mempunyai koordinat bola jika adalah jarak |OP| dari titik

asal ke P, adalah kutub yang berhubungan dengan proyeksi P’ dari P ke bidang xy,

dan adalah sudut antara z positif dan ruas garis OP. Hasil yang diperoleh dari

perluasan kurva parametrik hypocycloid oleh sistem koordinat bola memberikan

persamaan dengan dua parameter yaitu dan . Hasil persamaan yang diperoleh

diturunkan terhadap parameter-parameter tersebut .

3. Turunan Persamaan Parametrik

Diasumsikan persamaan parametrik dan maka turunan pertama

persamaan parametrik adalah (Ayres dan Mendelson, 2009) . Turunan persamaan

parametrik dirumuskan

(3)

Contoh 1:

Persamaan parametrik dan ; tentukan

Penyelesaian

D. Hasil dan Pembahasan

Persamaan (1) mempunyai bentuk yang bermacam-macam dipengaruhi oleh nilai

parameter a dan b. Dengan parameter a=1 sebagai radius lingkaran besar maka bentuk-

bentuk hypocycloid hanya tergantung parameter b. Dengan akan dibuat pola

perubahan bentuk hypocycloid dengan parameter yang ditentukan. Dengan

menggunakan program MATLAB seperti dalam Tabel 1 diperoleh hasil seperti Gambar

5 sampai dengan Gambar 10.

,,

ufx ugy

dx

dy

du

dx

du

dy

dx

dy

4cosax 4sinay dx

dy

sincos4 3ad

dy

cossin4 3ad

dx

2

2

sin

cos

dx

dy

q

pb

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 330

Tabel 1. Program Matlab untuk mencari bentuk hypocycloid dan parameternya

clear close all n=100; %banyaknya titik p=1; for q=1:9; %Pengulangan terhadap nilai q a=1;b=-(p/q); % b bernilai negative sebagai persamaan hypocycloid syms theta x=(a+b).*cos(theta)+ b.*cos((a+b)./b.*theta); y=(a+b).*sin(theta)+ b.*sin((a+b)./b.*theta); subplot(3, 3, 3*(p-1) + q) ; ezplot(x, y, [0 2*p*pi]); end

Gambar 5. Bentuk hypocycloid untukp=1 dan

q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

Gambar 6. Bentuk hypocycloid

untukp=2 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2),

q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

Gambar 7. Bentuk hypocycloid untuk p=3 dan

q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

Gambar 8. Bentuk hypocycloid untuk p=4 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

Gambar 9. Bentuk hypocycloid dengan p=5 dan

q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

Gambar 10. Bentuk hypocycloid dengan p=6 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.5 0 0.5-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3

-2

-1

0

1

2

3

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.5 0 0.5 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.5 0 0.5-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3

-2

-1

0

1

2

3

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.5 0 0.5 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10-10

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

2.5

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-15 -10 -5 0 5 10 15-15

-10

-5

0

5

10

15

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3

-2

-1

0

1

2

3

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 331

Persamaan (1) dengan dan didapatkan beberapa hal mengenai hypocycloid

dan juga epycicloid. Berikut diantaranya adalah (Rovenskii, 2000)

a. Apabila parameter b bernilai positif maka bentuk kurva epycicloid

b. Apabila parameter b bernilai negatif maka bentuk kurva hypocycloid

c. Jika nilai maka kurva berbentuk epyicloid , sebaliknya jika kurva

berbentuk hypocycloid

d. Gambar kosong diperoleh ketika p=q sedang nilai a=1 dan parameter b negatif

sehingga nilai persamaan x=1 dan y=0

e. Nilai penyebut q pada parameter b menjadi jumlah ujung pada kurva hypocycloid.

Namun jika nilai p dan q dapat disederhanakan ,maka nilai q yang paling sederhana

tersebut yang akan menjadi jumlah ujung kurva hypocycloid.

Beberapa bentuk hypocycloid sudah diberikan nama seperti deltoid dan juga astroid.

Gambar 11 memberikan bentuk kurva yang akan diperluas ke dalam 3 dimensi dengan

sistem koordinat bola.

Gambar 11. Bentuk hypocycloid yang akan diperluas ke 3 dimensi

dengan sistem koordinat bola

Persamaan (1) akan dibentuk ke dalam persamaan 3 dimensi dengan mengikuti sistem

koordinat bola. Permukaan bola dianggap sebagai perluasan dari titik-titik yang setiap

titiknya mempunyai jari-jari dan juga sudut dari pusat bola. Demikian pula setiap

titik di permukaan hasil perluasan kurva hypocycloid juga mempunyai jari-jari dan juga

sudut.Persamaan hypocycloid menjadi

(4)

dengan maka dikonstruksi (5)

Terdapat dua parameter berbeda pada persamaan (4) dan (5) yaitu dan . Dari hasil

turunan persamaan tersebut akan diperoleh persamaan baru yang kemudian

dikombinasikan sebagai bentuk perluasan yang baru.

Persamaan (4) diturunkan terhadap

Persamaan (4) diturunkan terhadap

Persamaan (5) diturunkan terhadap

6p 8q

0q

p0

q

p

-1 -0.5 0 0.5-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

;sinsinsin;coscossin

b

babbay

b

babbax

sin;22 r

yxr cosz

b

babba

d

dy

b

babba

d

dxsinsin)(coscoscos)(cos

;cos)(cos)(sin

b

bababa

d

dy

;sin)(sin)(sin

b

bababa

d

dx

sind

dz

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 332

Bentuk 1 (Deltoid)

Bentuk deltoid diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai

bentuk sederhana bernilai dan . Bentuk umum deltoid ini kemudian diperluas

dengan sistem koordinat bola . Hasil turunan dari masing-masing parameternya

dikombinasikan sehingga menghasilkan persamaan baru dan divisualisasikan. Perlakuan

ini juga diterapkan pada bentuk astroid, star, dan juga bentuk 4. Hasil perluasan

ditunjukkan oleh Gambar 12.

Gambar 12. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola

dilanjutkan visualisasi dari kombinasi turunannya

dan

Bentuk 2 (Astroid)

Bentuk Astroid diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai

bentuk sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukan oleh Gambar 13.

-1 -0.5 0 0.5-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

z

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx,,,,,,,,

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx,,,,,,,,,,,

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 333

Gambar 13. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan

visualisasi dari kombinasi turunannya dan

Bentuk 3 (Star)

Bentuk star diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai

bentuk sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukkan oleh Gambar 14.

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

z

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx,,,,,,,,

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx,,,,,,,,,,,

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 334

Gambar 14. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan

visualisasi dari kombinasi turunannya dan

Bentuk 4

Bentuk 4 diperoleh dari persamaan (2) dengan parameter a=1 dan b mempunyai bentuk

sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukan oleh Gambar 15.

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

z

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx,,,,,,,,

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx,,,,,,,,,,,

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 335

Gambar 15. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan

visualisasi dari kombinasi turunannya dan

Hasil perluasan hypocycloid dengan sistem koordinat bola menghasilkan bentuk 3

dimensi yang mempunyai kemiripan dengan bentuk bola. Bentuk yang dihasilkan

mempunyai Hanya saja kontur dari hasil perluasan dipaksakan seperti bentuk dasar dari

hypocycloid yang diperluas dan bukan lagi lingkaran yang menjadi bentuk dasar bola.

Hasil turunan persamaan yang kemudian dikombinasikan juga menghasilkan berbagai

bentuk 3 dimensi yang bermacam-macam.

E. Simpulan dan Saran

Hypocycloid merupakan persamaan parametrik yang mempunyai berbagai bentuk

tergantung nilai parameternya. Bentuk-bentuk dasar hypocycloid dapat diperluas

kedalam bentuk 3 dimensi dengan menggunakan sistem koordinat bola. Persamaan

perluasan hypocycloid 3 dimensi yang diturunkan terhadap parameter-parameternya

membentuk persamaan baru yang dapat dikombinasikan dan membentuk perluasan

baru. Setiap gambar yang diperoleh dengan masing-masing bentuk dasarnya didapatkan

kemiripan dalam setiap kombinasi yang dibuat. Setiap kombinasi hypocycloid yang

diperluas dengan sistem koordinat bola tersebut dipolakan ke dalam bentuk 3 dimensi

dan menjadi satu bentuk keluarga.

Hypocycloid merupakan satu dari berbagai persamaan parametrik, sehingga sangat

dimungkinkan persamaan-persamaan yang lain untuk diperluas ke dalam 3 dimensi

dengan sistem koordinat bola. Terdapat banyak program komputer yang dapat

digunakan sebagai alat bantu visualisasi 3 dimensi.

-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1

-0.8

-0.6

-0.4

-0.2

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

z

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx,,,,,,,,

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dx

d

dz

d

dy

d

dxz

d

dy

d

dx,,,,,,,,,,,

Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi

ISBN 978-602-1034-06-4 336

F. Daftar Pustaka

Ayres, F. & Mendelson, E. 2009. Schaum’s Outlines Calculus, Fifth Edition. McGraw-

Hill, Singapore.

Hsu M. H., Yan H. S., Liu J. Y., & Hsieh L. C. 2008. Epicycloid (Hypocycloid)

Mechanisms Design. Proceedings of the International Multi Conference of

Engineers and Computer Scientists, IMECS, Hong Kong, (2).

Greuel G. M. & Matt A. D .2008. IMAGINARY-Through the eyes of mathematics.

Mathematisches Forschungsinstitut Oberwolfach, ISBN 978-3-00-026939-4,

Oberwolfach-German.

Parhusip H. A, 2014. Arts revealed in calculus and its extension. International

Journal of Statistics and Mathematics, 1(3): 002-009, Premier-

Publisher,(online).: https://www.academia.edu/8236790/

Arts_revealed_in_calculus_and_its_extension or

https://www.facebook.com/premierpublisher/posts/ 788548327863008 or

http://premierpublishers.org/ijsm/articles

Purcell, E. J. & Varberg, D. 1987. Kalkulus dan Geometri Analitis jilid 2, edisi

kelima,Terj. I Nyoman Susila, Jakarta: Erlangga.

Rovenskii, V. Y. 2000. Geometry of Curves and Surfaces with Maple. New York:

Birkhauser Bolton

Suryaningsih, V, Parhusip, H.A., & Mahatma, T, 2013. Kurva Parametrik dan

Transformasinya untuk Pembentukan Motif Dekoratif, Prosiding, Seminar

Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY,9 Nov, ISBN:978-979-

16353-9-4,hal. MT – 249-258.

Web1: http://www-groups.dcs.st-and.ac.uk/~history/Curves/ Curves.html (Di akses

pada 29 September 2014).

Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik

ISBN 978-602-1034-06-4 337

ESTIMASI KURVA REGRESI SEMIPARAMETRIK

DENGAN KOMPONEN PARAMETRIK BERPOLA POLINOMIAL

Lilis Anisah

1 dan I Nyoman Budiantara

2

1Mahasiswa Program Magister Jurusan Statistika, FMIPA ITS, Surabaya

Surell: [email protected] 2

Jurusan Statistika, FMIPA ITS, Surabaya

Surel: 2 [email protected]

Abstrak Dalam regresi dengan multivariabel prediktor, variabel respon dapat memiliki pola

hubungan tertentu dengan salah satu atau beberapa variabel prediktor, tetapi dengan

variabel prediktor yang lain tidak diketahui bentuk polanya. Pada kasus seperti ini,

disarankan untuk menggunakan pendekatan regresi semiparametrik. Dalam regresi

semiparametrik, komponen parametrik tidak selalu mengikuti pola linier. Dalam banyak

kasus, sering dijumpai komponen parametrik berpola polinomial misalnya berpola

kuadratik, kubik atau polinomial derajat p, p > 3. Dalam penelitian ini, akan diturunkan

bentuk estimator kurva regresi semiparametrik dimana komponen parametriknya berpola

polinomial.

Kata kunci: Komponen Parametrik, Polinomial, Regresi Semiparametrik, Spline

A. Pendahuluan

Analisis regresi merupakan metode dalam statistika yang digunakan untuk

mengetahui pola hubungan antara variabel respon dengan prediktor (Eubank, 1988).

Dalam beberapa kasus, variabel respon dapat memiliki hubungan yang dapat diketahui

polanya dengan salah satu atau beberapa variabel prediktor, namun dengan variabel

prediktor yang lain tidak diketahui. Dalam kasus seperti ini, Wahba (1990)

menyarankan penggunaan pendekatan regresi semiparametrik. Ruppert (2003)

menyatakan bahwa penggabungan dari regresi parametrik dan regresi nonparametrik

adalah regresi semiparametrik.

Pendekatan regresi semiparametrik dikenalkan oleh Engle (1986). Pengembangan

teori maupun aplikasi regresi semiparametrik telah banyak dilakukan. Dalam hal

aplikasi diantaranya oleh Lin dan Carroll (2001) dan Chen dan Jin (2006) yang

menggunakan model semiparametrik untuk pengelompokan data. Diana dkk (2014)

meneliti tingkat pengangguran dengan model semiparametrik smoothing spline dengan

pendekatan bayesian. Solikhin (2014) meneliti estimator spline truncated linier dalam

regresi semiparametrik pada data persentase pengeluaran konsumsi padi-padian di

Provinsi Jawa Tengah. Dewi (2014) mengaplikasikan model regresi semiparametrik

terhadap faktor yang mempengaruhi kepuasan pelayanan kesehatan di rumah sakit

William Booth Surabaya, Jawa Timur. Pengembangan spline secara teori telah pula

dilakukan oleh Qin et al (2008,2009) yang mengembangkan regresi semiparametrik

pada data longitudinal. You dan Zhou (2009) menggunakan polinomial spline pada

regresi semiparametrik untuk data panel dan Diana dkk (2013) mengembangkan model

semiparametrik dengan pendekatan bayesian.

Komponen parametrik dalam regresi semiparametrik tidak selalu mengikuti pola

linier. Dalam banyak kasus, sering dijumpai komponen parametrik berpola polinomial,

misalnya berpola kuadratik, kubik atau polinomial derajat p, p > 3. Penelitian ini

Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik

ISBN 978-602-1034-06-4 338

bertujuan untuk mendapatkan estimator kurva regresi semiparametrik dengan komponen

parametrik berpola polinomial.

B. Pembahasan

Misalnya diberikan model regresi semiparametrik berikut:

(1)

dengan adalah komponen parametrik dan adalah komponen

nonparametrik. Kurva komponen parametrik didekati dengan fungsi polinomial

derajat p, yaitu:

(2)

,

(3)

Kurva komponen nonparametrik didekati dengan fungsi spline derajat q, dengan knot

k1, k 2, … k r berikut:

(4)

,

(5)

Dengan demikian, model persamaan regresi semiparametrik tersebut dapat dituliskan

sebagai berikut:

(6)

Persamaan (6) dapat pula disajikan dalam bentuk matriks berikut:

1 21 2...

q q

il l il ll q l qt k t k

q

il rll q rt k

1 2

11 1 21 1 1 1 1 11 1 21 1 11 1 1 2 11

... ...L

q q qq

l il i i q i i i i rq q q rl

f t t t t t k t k t k

1 2

12 2 22 2 2 2 2 12 2 222 1 2 2{ ... ...

q qq

i i q i i iq qt t t t k t k

1 2

2 2 1 2 12 1} ... { ...

q qq

i r L iL L iL qL iL iL Lq r L qt k t t t t k

22... }

q q

iL L iL rLL q L q rt k t k

2 2 1

01 11 1 21 1 1 1 0 1 2 11 1{( ... ) ... ( ... )} [{p p

i i i p i S S iS S iS pS iS iy x x x x x x t

2

21 1 1 1 1 11 1 21 1 11 1 1 2 1... ... } ...

q q qq

i q i i i i rq q q rt t t k t k t k

1 2

1 2 1 21 2{ ... ...

q qq

L iL L iL qL iL iL L iL LL q L qt t t t k t k

}]q

iL rL iL q rt k

01

2 21 11 11 11 1 1 1

12 22 21 21 21 2 2 2

02 2

1 1 1

1 1

1 1

1 1

p p

S S Spp p

S S S

Sp pn n n n nS nS nS

pS

y x x x x x x

y x x x x x xy

y x x x x x x

Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik

ISBN 978-602-1034-06-4 339

Dalam bentuk matrik secara umum dapat dituliskan menjadi:

(7)

Variabel respon merupakan vektor berukuran , L= (X:T) adalah matrik yang

memuat variabel prediktor komponen parametrik X yang berukuran , dan T

matrik yang memuat variabel prediktor komponen nonparametrik yang berukuran

, adalah vektor parameter komponen parametrik berukuran

dan komponen nonparametrik berukuran , dan

merupakan vektor error berukuran .

Penelitian ini menggunakan metode ordinary least square (OLS) untuk

mendapatkan estimator spline dalam regresi semiparametrik. Pendekatan optimasi

metode OLS dipilih karena secara matematik lebih mudah, sederhana, dan baik dalam

mendapatkan inferensi statistik. Dengan menggunakan basis fungsi keluarga spline

truncated, Budiantara (2006,2006) telah memperlihatkan bahwa pemilihan parameter

penghalus dan pemilihan titik knot optimal estimator spline dalam regresi

nonparametrik adalah ekuivalen. Selain itu pendekatan basis spline truncated

memberikan perhitungan matematik yang relatif lebih mudah dan sederhana dengan

menggunakan optimasi OLS.

Makalah ini menyajikan bentuk estimator kurva regresi semiparametrik dimana

komponen parametriknya berpola polinomial dengan mengikuti tahapan penyelesaian

optimasi menggunakan metode OLS sebagai berikut:

(8)

Selanjutnya persamaan (8) diturunkan terhadap lalu disamakan dengan 0, didapat

persamaan sebagai berikut:

11

1

11 11 11 11 11 1 1 1 1 1 1

21 21 21 11 21 1 2 2 2 1 2

1 1 1 11 1 1 1

q

q q q qq q

r L L L L L rL

q q q qq q

r L L L L L rL

q q q qq q

n n n n r nL nL nL L nL rL

t t t k t k t t t k t k

t t t k t k t t t k t k

t t t k t k t t t k t k

1 1

11

2

1

1

q

q r

L

n

qL

L q

L q r

y L

y

:

y L

y L

'

' ' ' 'y y y y L L L L

' ' ' ' 'y y y y L L LL

' ' ' '2y y y L LL

Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik

ISBN 978-602-1034-06-4 340

Penurunan di atas memberikan hasil sebagai berikut:

(9)

Estimator merupakan estimator tak bias untuk seperti di bawah ini:

Berdasarkan metode OLS, estimasi kurva regresi semiparametrik dengan

komponen parametrik berpola polinomial adalah sebagai berikut:

.

Estimator , j= 1,2, ..., p, s= 1,2,...,S, , k= 1,2,...,q, l=1,2,..,L dan ,

u=1,2,...,r diperoleh dari persamaan:

t =

C. Simpulan dan Saran

Diberikan model regresi semiparametrik:

,

dengan adalah komponen parametrik dan adalah komponen

nonparametrik. Komponen parametrik dihampiri dengan polinomial derajat p dan

komponen nonparametrik dihampiri dengan spline derajat q, dengan titik-titik knot

k1, k2, ..., kr, maka model regresi semiparametrik dapat disajikan dalam bentuk:

.

Estimator kurva regresi komponen parametrik dan komponen

nonparametrik diperoleh dari meminimumkan optimasi:

Optimasi di atas menghasilkan estimasi kurva regresi semiparametrik dengan komponen

parametrik berpola polinomial sebagai berikut:

.

Estimator , j= 1,2, ..., p, s= 1,2,...,S, , k= 1,2,...,q, l=1,2,..,L dan , u=1,2,...,r

diperoleh dari persamaan:

t = .

' ' ' '20

y y yQ

L LL

'ˆ2 2 y LL L

1 'ˆ y

LL L

1

' 'ˆ( )E E y

LL L

1

' 'E y

LL L

1

' '

LL LL

1 0 1 1 1

ˆ ˆˆˆp qS L r

qj m

i js is ml il il ull q us j l m u

y x t t k

1

' ' y

LL L

1 0 1 1 1

p qS L rqj m

i js is ml il il ull q us j l m u

y x t t k

( )

'

Sp L q rRMin y y

L L

1 0 1 1 1

ˆ ˆˆˆp qS L r

qj m

i js is ml il il ull q us j l m u

y x t t k

1

' ' y

LL L

Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik

ISBN 978-602-1034-06-4 341

D. Daftar Pustaka

Budiantara, I.N., 2006, Regresi Nonparametrik Dalam Statistika, Makalah Pembicara

Utama pada Seminar Nasional Matematika, Jurusan Matematika, FMIPA.

Universitas Negeri Makassar, Makassar.

Budiantara, I.N., 2006, Model Spline dengan Knots Optimal, Jurnal Ilmu Dasar,

FMIPA Universitas Jember, 7, 77-Eubank, R.L., 1988, Spline Smoothing and

Nonparametrik Regression, Mercel Deker, New York.

Chen, K., Jin, Z., 2006. Partial linear regression models for clustered data, J.

Amer.Statist. Assoc. 101, 195–204.

Diana, R., Budiantara, I.N., Purhadi, Darmesto, S., 2013, Smoothing Spline in

Semiparametric Additive Regression Model with Bayesian Approach, Journal of

Mathematics and Statistics (JMS), 9(3), 161-168.

Diana, R., Budiantara, I.N., Purhadi, Darmesto, S., 2014, Statistical Modeling for

Unemployment Rate Using Smoothing Spline in Semiparametric Multivariable

Regression Model with Bayesian Approach,

An International Journal : Model Assisted Statistics And Applications

(MASA),9(1), 287-294.

Dewi, E. U., 2014. Model Regresi Semiparametrik Multivariabel dengan Estimator

Spline Parsial Aplikasi Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelayanan

Kesehatan di Rumah Sakit William Booth Surabaya. Google Scholar. (online).

(ejournal.akperwilliambooth.ac.id, diakses 12 September 2014).

Engle, R.F., Granger, C.W.J., Rice, J., Weiss, A., 1986. Semiparametric estimates of the

relation between weather and electricity sales. J. Amer. Statist. Assoc. 81(394),

310–320.

Lin, X.H., Carroll, R.J., 2001. Semiparametric regression for clustered data. Biometrika

88, 1179–1185.

Qin, G.Y., Zhu, Z.Y., 2008. Robust estimation in partial linear mixed model for

longitudinal data. Acta Mathematica Scientia 28B (2), 334–348.

Qin, G., Zhu, Z., Fung, W.K., 2009, Robust estimation of covariance parameters in

partial linear model for longitudinal data, Journal of Statistical Planning and

Inference, 139, 558 – 570.

Ruppert, D.M.P Wand, R.J., Carrol, 2003, Semiparametrik Regression, Crambidge

Unviversity Press, New York.

Solikhin, 2014, Estimator Spline Truncated Linier dalam Regresi Semiparametrik pada

Data Persentase Pengeluaran Konsumsi Padi-Padian di Provinsi Jawa Tengah,

Tesis Program Magister Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh

November, Surabaya.

Wahba, G., 1990, Spline Models For Observation Data, University of Winsconsin at

Madison, Pensylvania.

You, J., Zhou, X., 2009, Partially linear models and polynomial spline approximations

for the analysis of unbalanced panel data, Journal of Statistical Planning and

Inference, 139, 679 – 695.

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

MODEL JARINGAN SYARAF FUZZY RADIAL BASIS FUNCTION

UNTUK PERAMALAN NILAI BOD PADA KALI SURABAYA

Nisa Ayunda1)

, Mohammad Isa Irawan2)

, Nieke Karnaningroem3)

1)Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

2)Professor Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 3)Professor Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas TSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jalan Raya ITS, Kota Surabaya Surel: 1)[email protected]

Abstrak

Kebutuhan air bersih bagi penduduk Surabaya merupakan kebutuhan vital yang tidak bisa

disepelekan baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam upaya mengontrol dan memantau

kualitas air di perairan Kota Surabaya, khususnya daerah sekitar Kali Surabaya, perlu

adanya sistem pengelolaan dan pemantauan kualitas air pada Kali Surabaya. Peramalan

terhadap data time seriessalah satu parameter kualitas air, yaitu BOD, menggunakan

jaringan syaraf tiruan dapat digunakan sebagai model untuk menganalisis kecenderungan

sistem perairan Kali Surabaya. Model jaringan syaraf yang dapat digunakan dalam

peramalan data time series adalah model yang memiliki sifat supervised learning

diantaranya adalah Jaringan Syaraf Radial Basis Function. Dengan mempertimbangkan

kemungkinan terjadinya kesalahan paralaks dalam pengukuran serta terbatasnya data dan

karakteristik data yang berbeda, aplikasi teori fuzzy digunakan sebagai unsupervised

learning dalam model. Model yang terbentuk adalah model jaringan syaraf Fuzzy Radial

Basis Functionyang bersifat unsupervised-supervised learningdan terbukti dapat

mengembangkan kualitas hasil peramalan nilai BOD pada Kali Surabaya. Tingkat

keberhasilan pengembangan kualitas hasil peramalan tersebut terlihat dari nilai erroryang

kecil dengan mengunakan model jaringan syaraf FuzzyRadial Basis Function. Hasil

peramalan nilai BOD pada Kali Surabaya juga dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya

pengelolaan dan pemantauan kualitas air Kali Surabaya.

Kata Kunci:BOD, fuzzy radial basis function, Kali Surabaya

A. Pendahuluan

Salah satu sumber energi yang terpenting di dunia adalah air.Air dari Kali Surabaya

digunakan untuk berbagai keperluan seperti irigasi, air minum, air industri dan

penggelontoran.Sesuai dengan peruntukan tersebut, menurut SK Gubernur Kepala

Daerah Jawa Timur No.413 Th. 1997, Kali Surabaya yang merupakan salah satu sumber

air minum diharapkan memenuhi standar mutu kualitas air baku kelas B. Tetapi masalah

utama yang timbul adalah rendahnya kualitas air Kali Surabaya diantaranya tingkat

BOD yang tinggi mencapai rata-rata 5,03 mg/l melebihi ambang batas kelas B (3

mg/l).Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah salah satu parameter utama dalam

petunjuk tingkat pencemaran perairan. Nilai BOD yang tinggi dalam badan perairan

menunjukkan bahwa badan perairan tersebut banyak mengandung bahan organik yang

harus diuraikan oleh mikroorganisme. Penelitian Masduqi dan Apriliani (2008)

melakukan estimasi kualitas air Sungai Kali Surabaya pada suatu waktu, hanya saja

bagaimana perilaku sistem belum bisa dianalisis sehingga sulit untuk digunakan apabila

perubahan cepat pada kondisi sungai terjadi.

Pemodelan jaringan syaraf tiruan merupakan kajian rekayasa sistem yang dapat

digunakan untuk menganalisis mekanisme, pola, perilaku dan kecenderungan sistem

(Arifin Z. dan M.I. Irawan, 2009). Peramalan dengan jaringan syaraf melibatkan

beberapa proses yaitu clustering untuk karakteristik data time series, klasifikasi

hubungan antara data time series dengan kriteria deskripsinya dan klasifikasi prediksi

pada suatu data time series (Thomassey dan Happiette, 2007). Kolarik dan Rudorfer

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 343

(1994) membuktikan kemampuan peramalan jaringan syaraf backpropagation lebih

baik dibandingkan dengan model yang dikenal luas dalam statistika seperti ARIMA.

Model backpropagationneural network ini disempurnakan oleh Ranaweera,dkk (1995)

yang menggunakan model jaringan syaraf Radial Basis Function untuk meramalkan

beban puncak pada sistem pembangkit listrik. Jaringan syaraf Radial Basis

Functionadalah model jaringan syaraf dengan beberapa unit pada hidden layer, dengan

fungsi aktivasinya adalah Radial Basis Functiondan fungsi linear pada lapisan output.

Berkaitan dengan banyaknya data training yang diperlukan dalam model jaringan

syaraf Radial Basis Functiondan data kualitas air yang terbatas, pengaplikasian teori

fuzzy dalam model jaringan syaraf Radial Basis Functiondigunakan pada penelitian ini.

Selain itu, pengaplikasian teori fuzzy yang digunakan sebagai unsupervised learningjuga

untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kesalahan paralaks dalam pengukuran.

Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai algoritma pada model jaringan

syaraf Fuzzy Radial Basis Functiondan mengetahui bagaimana model jaringan

syarafFuzzy Radial Basis Function (FRBF) digunakan dalam peramalan nilai BOD.

Pada hasil peramalan nilai BOD dapat dilihat tingkat keberhasilan model dalam

mengembangkan hasil peramalan suatu permasalahan real dengan menggunakan salah

satu model jaringan syaraf tiruan. Penelitian ini juga diharapkan sebagai wujud peran

serta cendekia matematika dalam akselerasi perubahan karakter bangsa.

B. Tinjauan Pustaka

Pemodelan parameter air merupakan permasalahan yang penting dan kompleks

(proses nonlinier), beberapa teknik kecerdasan buatan yang berbeda-beda (Govindaraju,

2000a,b; Maier dan Dandy, 2000) telah sukses diterapkan dalam pemodelan daerah

sumber air. Selain itu, Hagan dan Menhaj (1994) juga telah sukses menggunakan

teknik-teknik tersebut dalam estimasi dan peramalan. Guclu dan Dursun (2008)

menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan untuk mengimplementasikan prediksi konsentrasi

effluent COD pada Ankara Central Wastewater Treatment Plant (ACWTP) di Turkey.

Fausett (1994) menyatakan bahwa Jaringan Syaraf Tiruan (artificial neural network)

adalah pemrosesan sistem informasi pada karakteristik tertentu dalam keadaan yang

berhubungan dengan jaringan syaraf biologi. Jaringan syaraf tiruan dibangun

berdasarkan generalisasi dari model matematika pada manusia atau syaraf

biologi,didasarkan pada asumsi:pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen yang

disebut neuron, sinyal dikirimkan antar neuron melalui jaringan penghubung, masing-

masing jaringan penghubung mempunyai bobot yang akan memperkuat ataupun

memperlemah sinyal dan masing-masing neuron mempergunakan fungsi aktivasi

(biasanya nonlinier) ke jaringan inputnya untuk menentukan sinyal output.

Jaringan syaraf Radial Basis Function pertama diperkenalkan kedalam literatur-

literatur tentang jaringan syaraf tiruan oleh Broomhead dan Lowe (1998). Qiao dkk

pada tahun 2011 juga menawarkan sebuah algoritma perbaikan dari desain jaringan

syaraf Radial Basis Functionuntuk memodelkan parameter COD dalam proses

pengolahan limbah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola parameter COD

dalam pembuangan pada pengolahan limbah dapat diprediksi dengan akurasi yang dapat

diterima dengan menggunakan data SS, pH, minyak dan NH3-N sebagai data masukan

pada modelnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dengan menggunakan model

jaringan syaraf Radial Basis Functiondiharapkan dapat menghasilkan hasil estimasi

yang memiliki akurasi yang dapat diterima.Jaringan syaraf Radial Basis Function

adalah model jaringan syaraf dengan satu hidden layer, dimana fungsi aktivasinya

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 344

adalah fungsi basis dan fungsi linier pada lapisan output. Model ini merupakan

pemetaan fungsi nonlinier multidimensi berdasar pada jarak antar vektor input dan

vektor center. Jaringan Syaraf Fungsi Basis Radial memiliki input berdimensi , dengan

dan output tunggal, dengan jumlahan bobot dari berhingga banyak unit

hidden.

Secara matematis,outputy dapat dinyatakan

dengan adalah fungsi basis dari , dengan merupakan parameter

bobot dan adalah centerpada Radial Basis Function. Untuk penyederhanaan,

selalu dipilih jenis Radial Basis Functionyang sama untuk semua jumlahan bobot yang

diberikan.

Jaringan syaraf banyak diterapkan pada data time series sebagai fungsi terhadap

waktu t. Tujuannya adalah untuk memprediksi nilai pada waktu yang akan datang

(Bishop,1995). Dimisalkan terdapat variabel tunggal . Salah satu pendekatannya

adalah untuk membangkitkan suatu barisan nilai diskrit dan seterusnya.

Diambil d sedemikian hingga terdapat sebagai inputan pada jaringan dari

nilai sebagai target untuk output jaringan.Dalam Riggs (1987) dinyatakan bahwa

salah satu cara peramalan adalah dengan metode time series yang menggunakan data

histori (data waktu lampau), misalnya data nilai parameter kualitas air hari ini, untuk

membuat ramalan nilai parameter kualitas air di waktu mendatang. Tujuan dari metode

ini adalah untuk mengidentifikasi pola data histori dan kemudian mengekstrapolasi pola

ini ke masa datang. Dalam metode pengidentifikasian pola data masa lalu dilakukan

dengan membuat jaringan syaraf buatan tersebut dilatih untuk bisa menirukan pola data.

Pemilihan algoritma dan parameter yang bersesuaian dan penentuan berapa banyak

perangkat data yang dibutuhkan dalam learning process ini sangat penting untuk

menentukan akurasi dari peramalan yang dihasilkan.

Teknik logika teori fuzzy telah sukses diaplikasikan oleh Lee dkk (1997) dan

Dahiya dkk (2007) dalam pemodelan parameter kualitas air. Fuzzy adalah kata sifat

yang menggambarkan sesuatu yang tidak jelas, meragukan, tidak tepat, kabur dan lain

sebagainya. Konsep himpunan fuzzy menawarkan suatu metode yang dapat menangani

ketidakpastian di mana terdapat batas yang tidak jelas antara satu kondisi dengan

kondisi yang lain. Kemampuan himpunan fuzzy untuk mengekspresikan secara bertahap

peralihan dari keanggotaan menjadi bukan keanggotaan pada suatu himpunan dan

sebaliknya (Kusumadewi,Sri & Hari Purnomo, 2004).

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu bentuk aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan dalam

rangka pengelolaan dan pemantauan kualitas air Kali Surabaya. Penelitian ini dimulai

dengan pengambilan data yang dilakukan dengan menghubungi beberapa instansi

terkait dengan tujuan mendapatkan data objek penelitian. Dari pengambilan data pada

beberapa instansi terkait, diambil suatu data BOD secara time series yang memiliki

jumlah data terbanyak dan juga memiliki periodik yang pendek. Data parameter kualitas

air secara time series yang diperoleh adalah data nilai BOD tahun 2008 hingga 2013

dengan pengambilan data setiap 2 minggu dari Perum Jasa Tirta Malang.

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 345

Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model estimator kualitas air

dengan aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan yaitu model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis

Function (FRBF) terhadap Kali Surabaya. Konsep dasar dari model jaringan syaraf

Fuzzy Radial Basis Function (FRBF) ini adalah penerapan aplikasi teori fuzzy ke dalam

model dasar jaringan syaraf Radial Basis Function (RBF). Langkah tersebut

dimaksudkan untuk dapat mengembangkan kualitas hasil peramalan dari terbatasnya

data dan menanggulangi kesalahan paralaks dalam pengukuran. Model jaringan syaraf

Fuzzy Radial Basis Function (FRBF) adalah model unsupervised-and-supervised

learning (Sheng-Chai Chi dan Li-Chang Hsu, 2001). Algoritma learning ini dapat

dibagi dalam dua tahap: tahapunsupervised learning dan tahapsupervised learning.

Proses algoritma unsupervised learning dapat dijelaskan sebagai berikut.

Langkah 1. Memfuzzifikasi proses training ke dalam pusat initial fuzzy pada

hidden layer pada jaringan syaraf FRBF

dengan

dan adalah jumlah neuron input serta adalah jumlah neuron hidden.

Langkah 2. Memasukkan vektor fuzzy

dengan

merepresentasikan interval fuzzy dari neuron input ke- pada waktu .

Langkah 3. Menghitung jarak fuzzy antara vektor input dan masing-masing neuron

pada hidden layer

dengan adalah interval fuzzy antara neuron ke- pada input

layer dan neuron ke- pada hidden layer.

Langkah 4. Menggunakan pusat pada metode gravity untuk defuzzifikasi jarak

fuzzy.

Langkah 5. Menemukan neuron terpilih dengan jarak minimun pada hidden

layer

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 346

Langkah 6. Memperbarui nilai fuzzy pada neuron terpilih (atau pusat)

dengan merepresentasikan learning rate pada waktu t.

Langkah 7. Mengurangi nilai learning rate dan mengulang langkah 2 - 6 hingga

jumlah putaran learning mencapai nilai yang telah ditentukan.

dengan adalah reduction rate dari learning rate pada waktu .

Selain itu, proses supervised learning dapat diekspresikan sebagai langkah-langkah

berikut:

Langkah 1. Menghitung nilai output pada neuron hidden

dengan adalah standart deviasi dari neuron hidden ke- dan adalah jarak

Euclidean antara vektor input dan pusat ke- .

Langkah 2. Menghitung nilai output pada neuron output

Langkah 3. Menghitung nilai error antara yang diinginkan dan respon sebenarnya.

Langkah 4. Menyesuaikan bobot connection antara neuron hidden dan neuron

output

Langkah 5. Mengulangi Langkah 1 hingga Langkah 4 sampai jumlah perulangan

training yang telah didefinisikan atau error yang diperbolehkan dicapai.

D. Hasil dan Pembahasan

Pemilihan nilai BOD sebagai parameter yang digunakan sebagai petunjuk tingkat

pencemaran pada Kali Surabaya didasarkan pada kemampuan nilai BOD yang dapat

dijadikan indikator kemampuan sungai dalam memurnikan kembali kualitas air.

Tingginya nilai BOD menunjukkan bahwa badan perairan tersebut banyak mengandung

bahan organik yang harus diuraikan oleh mikroorganisme. Berdasarkan Lee, dkk (1978)

nilai BOD dapat diklasifikasikan pada status perairan tertentu sebagai berikut.

Tabel 1. Klasifikasi status perairan berdasarkan Lee, dkk (1978)

No. Status Perairan Nilai Kisaran BOD (mg/L)

1 Belum Tercemar < 3,0

2 Tercemar Ringan 3,0 - 4,9

3 Tercemar Sedang 5,0 - 15,0

4 Tercemar Berat >15,0

Klasifikasi status perairan menurut nilai BOD diatas digunakan sebagai penentuan

fungsi keanggotaan fuzzy untuk setiap nilai BOD. Representasi fungsi keanggotaan yang

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 347

digunakan dalam penelitian ini adalah representasi kurva segitiga. Representasi kurva

segitiga merupakan bentuk bilangan fuzzy yang sederhana karena mampu mencakup

persekitaran suatu bilangan klasik dengan memperhatikan lower bound dan upper

bound dari bilangan tersebut. Batas bawah pada masing-masing rentang dalam

klasifikasi status perairan digunakan sebagai lower bound untuk setiap nilai BOD.

Sedangkan batas atas pada masing-masing rentang dalam klasifikasi status perairan

digunakan sebagai upper bound untuk setiap nilai BOD. Dengan memperhatikan lower

bound dan upper bound untuk setiap nilai BOD terbentuk bilangan fuzzy untuk masing-

masing nilai BOD seperti terlihat pada Tabel 2. Proses transformasi bilangan klasik nilai

BOD ke dalam bilangan fuzzynilai BOD ini disebut dengan proses fuzzifikasi. Proses

fuzzifikasi merupakan langkah awal dalam tahap unsupervised learning pada model

FRBF yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas hasil peramalan dari terbatasnya

data dan menanggulangi kesalahan paralaks dalam pengukuran.

Tabel 2. Contoh Hasil Fuzzifikasi Nilai BOD

Bilangan Klasik Bilangan Fuzzy

13,5 5 13,5 15

7,6 5 7,6 15

3,2 3 3,2 5

Bilangan fuzzy untuk setiap nilai BOD digunakan sebagai input dalam penentuan

jarak antara masing-masing neuron pada input layer dengan masing-masing neuron

pada hidden layer. Penentuan jarak tersebut direpresentasikan oleh fuzzy α-cut interval

pada neuron ke-i dari input layer dan neuron ke-j pada hidden layer. Jika terdapat

sebuah bilangan fuzzy A=[ ] maka terdapat α-cut intervalAα= dengan

. Salah satu contoh pengoperasian

pengurangan ( pada Xdan C dapat dilihat pada persamaan berikut.

Untuk dan untuk . Oleh karena

itu didapatkan jarak antara X dan C yaitu .

Jarak terpendek tersebut kemudian didefuzzifikasi menggunakan metode COG

(Center Of Gravity). Metode COG pada dasarnya adalah metode pencarian titik berat

untuk suatu representasi kurva segitiga untuk bilangan fuzzy. Sebagai contoh, bilangan

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 348

fuzzy dapat didefuzzifikasi menjadi bilangan klasik 6.8 yang terlihat pada

persamaan 1.

Dari jarak-jarak tersebut dipilih salah satu jarak dengan nilai minimum sebagai

neuron terpilih (center) pada hidden layeruntuk diupdate.Kemudian jarak-jarak tersebut

digunakan untuk menghitung output pada neuron hidden dan neuron output. Selanjutnya

dihitung error antara nilai yang dihasilkan dan nilai aktual. Langkah-langkah tersebut

diulang hingga mencapai error minimum yang telah ditentukan. Proses perulangan dan

perhitungan tersebut disimulasikan padasoftware Matlab 2013a sehingga dihasilkan

nilai BOD pada waktu berikutnya.

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data nilai BOD tahun 2008 hingga

2013 dengan pengambilan data setiap 2 minggu. Data yang digunakan dalam proses

training jaringan syaraf adalah data tahun 2008 hingga 2012 yang berjumlah 122.

Sedangkan data tahun 2013 digunakan untuk testing jaringan syaraf tersebut. Hasil dari

proses testing yang digambarkan dalam bentuk grafik adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Grafik Hasil Peramalan Nilai BOD dengan jaringan syaraf FRBF

Pada grafik diatas, terlihat bahwa model jaringan syaraf Fuzzy Radial Basis

Function mampu meramalkan nilai BOD mendekati nilai sebenarnya hingga hasil

peramalan ke-8. Namun pada peramalan ke-7, nilai aktual yang terlalu tinggi tidak

mampu didekati oleh nilai BOD hasil peramalan. Perbandingan hasil peramalan dengan

nilai aktual beserta nilai MSE(Mean Square Error) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Hasil Peramalan dengan Nilai Aktual dan MSE

Data ke- 1 2 3 4 5 6 7 8

Hasil

Peramalan 4.2700 4.0600 3.0555 4.1151 3.0168 4.1693 2.9807 6.0005

Nilai Aktual 4.27 4.06 4.85 4.33 4.11 5.08 15 7.99

MSE 0 0 0.3578 0.0051 0.1328 0.0922 16.0514 0.4398

E. Simpulan dan Saran

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui cara kerja dan kemampuan model

jaringan syaraf Fuzzy Radial Basis Function dalam meramalkan nilai BOD pada Kali

Surabaya. Cara kerja model tersebut terbagi menjadi dua tahap, yaitu unsupervised

learning yang mengadopsi aplikasi teori fuzzy dan supervised learning yaitu model

1 2 3 4 5 6 7 82

4

6

8

10

12

14

16

FRBFNN

AKTUAL

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 349

jaringan syaraf Radial Basis Function. Kemampuan model Fuzzy Radial Basis Function

dalam peramalan nilai BOD telah terbukti keakuratan hasil dan dapat diterapkan pada

permasalahan lain karena pada hasil peramalan untuk permasalahan penelitian ini

memiliki nilai error yang kecil dan nilai hasil peramalan mendekati nilai aktual. Namun,

terjadi pencilan data atau data yang tiba-tiba melonjak belum mampu didekati oleh hasil

peramalan nilai BOD pada waktu tersebut. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu

dilakukan dalam menanggulangi pencilan data tersebut.

F. Daftar Pustaka

Arifin Z. dan M.I. Irawan. 2009. Adaptive Sensitivity Sensitivity-based Linear

Learning Method Algorithms for Data Classification.Proceeding of 5th

International Conference of Mathematics, Statistics and Their Aplications, Juni 9 -

11. Bukit Tinggi – West Sumatra Indonesia.

Bishop, C. M.. 1995.Neural Networks for Pattern Recognition.United States: Oxford

University Press Inc.

Broomhead, D., Lowe, D. 1988. Multivariable functional interpolation and adaptive

networks.Complex Syst. 2 (6), 321–355.

Chi, Sheng-Chai dan Li-Chang Hsu. 2001.A Fuzzy Radial Basis Function Neural

Network for Predicting Multiple Quality Characteristics of Plasma Arc Welding.

IEEE. Taiwan.

Dahiya, S., Singh, B., Gaur, S., Garg, V.K., Kushwaha, H.S. 2007. Analysis of

groundwater quality using fuzzy synthetic evaluation. J. Hazard. Mater. 147,938–

946.

Fausett, L. 1995.Fundamental of Neural Networks: Architecture, Algorithms, and

Applications,New Jersey:Prentice Hall

Govindaraju, R.S., 2000a. Artificial neural networks in hydrology I: preliminary

concepts. ASCE task committee on application of artificial neural networks in

hydrology. J. Hydrol. Eng. 5 (2), 115–123.

Govindaraju, R.S., 2000b. Artificial neural networks in hydrology II: hydrologic

applications. ASCE task committee on application of artificial neural networks in

hydrology. J. Hydrol. Eng. 5 (2), 124–137.

Guclu, D., Dursun, S., 2008. Amelioration of carbon removal prediction for an

activated sludge process using an artificial neural network (ANN). Clean-Soil Air

Water 36, 781–787.

Hagan, M.T., Menhaj, M.B., 1994. Training feed forward networks with the Marquardt

algorithm. IEEE Trans. Neural Networks 5 (6), 861–867.

Kolarik, T. dan Rudorfer, G. 1994. Time Series Forecasting Using Neural

Networks.Proceeding of theInternational Conference on API. Belgium.

Kusumadewi, Sri dan Hari Purnomo. 2004.Aplikasi Logika Fuzzy untuk Mendukung

Keputusan, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lee, H.K., Oh, K.D., Park, D.H., Jung, J.H., Yoon, S.J., 1997. Fuzzy expert system to

determine stream water quality classification from ecological information. Water

Sci. Technol. 36 (12), 199–206.

Masduqi, A dan E. Apriliani. 2008.Estimation of Surabaya River Water Quality Using

Kalman Filter Algorithm.IPTEK.The Journal for Technology and Science, Vol. 19,

No. 3, August 2008

Model Jaringan Syaraf Fuzzy

ISBN 978-602-1034-06-4 350

Qiao, J., Chen, Q., Han, H., 2011. The chemical oxygen demand modelling based on a

dynamic structure neural network. Waste water-evaluation and management. Prof.

Fernando Sebastián García Einschlag. 93–114, ISBN 978-953-307-233-3 pp.

Ranaweera, D. K., Hubble, N. F., dan Papalexopoulos, A. D. 1995. Application of

Radial Basis Function Neural Network Model for Short Term Load Forecasting.

IEEE Proceedings Generation Transmission and Distribution 142.1, 45-50

Riggs, James L. 1987.Production System – Planning, Analysis and Control.

Singapore:John Wiley & Sons.

Thommassey, S. dan Happiette, M. 2007. A neural clustering and classification system

for sales forecasting of new apparel item.Applied Soft Computing 7, 1177-1187

Masalah Penugasan Optimal Dengan

MASALAH PENUGASAN OPTIMAL DENGAN ALGORITMA

KUHN-MUNKRES

Mulyono

Jurusan Matematika FMIPA Unnes Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang

Surel:[email protected]

Abstrak

Masalah penugasan optimal (optimal assignment problem) adalah suatu masalah

mengenai pengaturan pada individu (objek) untuk melaksanakan tugas (kegiatan),

dengan demikian profit yang diperoleh untuk pelaksanaan penugasan tersebut dapat

dimaksimalkan. Salah satu metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan ini

adalah dengan menggunakan algoritma Kuhn-Munkres. Algoritma Kuhn-Munkres

adalah salah satu algoritma yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan masalah

penugasan. Dengan menggunakan algoritma ini, solusi optimal yang terbaik akan

ditemukan. Permasalahan penugasan yang ada direpresentasikan dengan graf bipartit

lengkap dengan banyaknya anggota pada masing-masing partisinya sama.

Kata Kunci: Masalah Penugasan Optimal; Algoritma Kuhn-Munkres; Graf Bipartit

Lengkap

A. Pendahuluan

Berbagai metode digunakan demi meningkatkan produktivitas perusahaan yang

pada akhirnya akan mendongkrak profit (keuntungan). Salah satu hal yang

mempengaruhi perkembangan suatu perusahaan adalah kualitas kinerja karyawannya.

Ketersediaan tenaga ahli (karyawan) saja tidaklah cukup, namun yang harus lebih

diperhatikan adalah bagaimana mengelola tenaga ahli (karyawan) yang ada agar

kinerjanya lebih optimal. Salah satunya dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan

dimana penempatan tersebut merupakan penempatan yang optimal.

Penempatan sejumlah X karyawan pada Y pekerjaan, jika banyaknya karyawan

dimisalkan sama dengan banyaknya pekerjaan dengan mempertimbangkan aspek tertetu

seperti pengoptimalan profit yang didapat dari penempatan X karyawan terhadap Y

buah pekerjaan dikenal dengan masalah penugasan optimal (optimal assigment

problem). Penerapan graf pada masalah penugasan optimal ini dapat dinyatakan sebagai

graf bipartit (Clark& Holton, 1991.Dalam Siang(2004) graf bipartit didefinisikan

sebagai suatu graf sederhana G yang himpunan titik V-nya dapat dipartisi menjadi dua

himpunan tak kosong V1 dan V2 yang tak beririsan sedemikian hingga setiap sisi dalam

graf menghubungkan suatu titik di V1 dengan titik di V2 (sedemikian hingga tak ada sisi

di dalam G menghubungkan dua titik di V1 maupun di V2). Karyawan dianggap sebagai

V1 dan pekerjaan sebagai V2. Karena aspek yang dioptimalkan dalam masalah

penugasan optimal dianggap sebagai bobot dan peluang penempatan tiap X karyawan

pada Y buah pekerjaan dianggap sama, maka untuk mencari solusinya graf bipartit yang

digunakan adalah graf bipartit lengkap berbobot.

Untuk mencari solusi dari masalah penugasan optimal yang dinyatakan sebagai graf

bipartit lengkap berbobot adalah dengan menerapkan konsep penjodohan (matching),

khususnya penjodohan sempurna pada graf bipartit lengkap berbobot. Penjodohan

sempurna dengan bobot paling maksimal adalah solusinya.

Pada dasarnya pencarian penjodohan sempurna dengan bobot maksimal dapat

dilakukan dengan mendaftar semua penjodohan sempurna yang berbeda, dan

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 352

menghitung jumlah bobot dari tiap penjodohan sempurna yang diperoleh. Banyaknya

penjodohan sempurna yang berbeda pada suatu graf bipartit lengkap dengan n titik pada

masing-masing partisinya adalah n!. Sangat tidak efisien jika cara ini digunakan, karena

semakin banyak jumlah titik maka semakin banyak pula penjodohan sempurna yang

berbeda. Oleh karena itu, untuk memudahkan pencarian solusi masalah penugasan

optimal, dapat digunakan sebuah algoritma optimasi yaitu algoritma Kuhn-

Munkres.Algoritma Kuhn-Munkres adalah algoritma yang dapat digunakan untuk

menyelesaikanmasalah penugasan optimal. Pada tahun 1955, Harold Kuhn (seorang

matematikawan asal Amerika) mempublikasikan sebuah metode yang diberi nama

metode Hungarian,yaitu sebuah algoritma kombinatorik untuk optimasi yang dapat

digunakan untuk menemukan solusi optimal darimasalah penugasan. Pada tahun 1957,

James Raymond Munkres memperbaiki algoritma Kuhn. Oleh karena itu, algoritma ini

sering disebut algoritma Kuhn-Munkres. Untuk mencari solusi dari masalah penugasan

optimal dengan menggunakan algoritma Kuhn-Munkres salah satunya dapat dilakukan

dengan merepresentasikan algoritma ini pada graf bipartit.

B. Pembahasan

a. Penjodohan

Penjodohan (matching)M didefinisikan sebagai sebuah himpunan sisi-sisi pada graf

G yang saling lepas. Dua sisi dikatakan saling lepas jika kedua sisi tersebut tidak

mempunyai titik ujung persekutuan (Budayasa, 2007).

v1

v2 v3

v5

v4

v6 e6

e1

e2

e4 e3

e5e7

e8

Gambar 1. Graf G

Himpunan M1 = {e1, e3, e6} adalah sebuah penjodohan berukuran 3 pada G, begitu

juga himpunan M2 = {e2, e5, e8} adalah sebuah penjodohan berukuran 3. Sedangkan

himpunan M3 = {e4, e8} dan himpunan M4 = {e4, e6}, masing-masing adalah sebuah

penjodohan berukuran 2 pada graf G. tetapi himpunan E = {e1, e2, e5} bukan penjodohan

pada G karena sisi e1 dan e2 terkait ke titik yang sama yaitu di titik v2

Sebuah titik di G dikatakan tertutup oleh penjodohan M jika titik v merupakan titik

akhir (ujung) dari salah satu sisi di M. Titik v dikatakan M-saturated jika titik v tertutup

oleh penjodohan M. Sebaliknya jika titik v di graf G tidak tertutup oleh penjodohan M

disebut M-unsaturated. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2, penjodohan M3 =

{e4, e8} menutup titik v1, v2, v4, v6; tetapi M3 tidak menutup titik v3 dan v5. Dengan kata

lain, titik v1, v2, v3, v6 adalahM3-saturated tetapi titik-titik v3 dan v5 adalah M3-

unsaturated.

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 353

v1

v2 v3

v5

v4

v6 e6

e1

e2

e4 e3

e5e7

e8

Gambar 2. M3-saturated dan

M3-unsaturated

v1

v2 v3

v5

v4

v6 e6

e1

e2

e4 e3

e5e7

e8

Gambar 3. M4-saturated dan

M4-unsaturated

Pada Gambar 3, penjodohan M4 = {e4, e6} menutup titik v2, v4, v5, v6; tetapi M4 tidak

menutup v1 dan v3. Titik-titik v2, v4, v5, v6 adalah M4-saturated tetapi titik-titik v1 dan v3

adalah M4-unsaturated.

Sebuah penjodohan M digraf G di graf G dinamakan penjodohan maksimum jika G

tidak mempunyai penjodohan lain dengan ukuran yang lebih besar dari penjodohan M.

Dengan kata lain, jika M’ penjodohan pada G maka |M| ≥ |M’|. Misalnya pada Gambar

1, graf G tidak ada penjodohan berukuran 4, maka M1 dan M2 penjodohan maksimum

pada G. Sebuah penjodohan M di graf G dikatakan penjodohan sempurna jika M

memuat semua titik di G. Dengan kata lain, jika M penjodohan sempurna pada graf G

maka setiap titik di G M-saturated. Sebagai contoh M1 = {e1, e3, e6} adalah penjodohan

sempurna pada graf G, begitu juga M2 = {e2, e5, e8} merupakan penjodohan sempurna

pada graf G. Setiap penjodohan sempurna adalah penjodohan maksimum, tetapi tidak

berlaku sebaliknya. M adalah penjodohan maksimum, maka belum tentu M penjodohan

sempurna.

Misalkan M adalah penjodohan dan P lintasan pada graf G, lintasan P disebut

lintasan alternatif-M(M-alternating path) jika sisi-sisi pada lintasan P itu bergantian di

M dan di E(G)\M. Selanjutnya lintasan P disebut lintasan augmentasi-M (M-augmenting

path) jika P adalah lintasan alternatif-M (M-alternating path) dan titik awal serta titik

akhir dari lintasan P tersebut merupakan M-unsaturated.

v1v2

v4

v5v6

v7 v8

e1

e2

e3

e4

e5

e6

e7

e8 e9

Gambar 4. Lintasan alternatif-M dan

lintasan augmentasi-M

Pada Gambar 4 yang merupakan contoh lintasan alternatif–M (M-alternating path)

yaitu: . Sedangkan merupakan

contoh lintasan augmentasi-M (M-augmenting path) karena titik awalnya yaitu dan

titik akhirnya merupakan titik yang berada pada E(G) dan M-unsaturated.

Misalkan M adalah penjodohan pada graf G, dan terdapat penjodohan lain, sebut

saja M’ dengan M M’ menunjukkan selisih simetris M dan M’. Selisih simetris M dan

M’ dapat dinotasikan M M’= , maka suatu graf H = G(M M’)

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 354

merupakan graf yang direntang oleh sisi M M’ dengan menghapus semua sisi M M’

dan sisi (G\M) (G\M’).

Contoh.

Diberikan graf G yang memuat penjodohan M dan penjodohan M’ seperti pada

Gambar 5. Akan dicari H = G(M M’) .

v1 v2 v3 v4 v5

v7

v6

v8 v9 v10 v11

e1e2

e3

e4

e5 e6

e7

e8

e9e10

Gambar 5. Penjodohan M dan Penjodohan M’

Dari Gambar 5 diperoleh penjodohan M = {e2,e3, e4, e8} dan penjodohan M’={e1,

e4, e5, e6, e10}. Sisi e4 yang menghubungkan titik dan titik merupakan anggota

penjodohan M sekaligus anggota penjodohan M’, yaitu . Maka sisi

tersebut dihapus. Sisi e9 yang menghubungkan titik dan titik serta sisi e7 yang

menghubungkan titik dan titik bukan anggota penjodohan M sekaligus bukan

anggota penjodohan M, yaitu: , oleh karena itu dihapus.

Selanjutnya diperoleh H = G(M M’) seperti Gambar 6.

v1 v2 v3 v4 v5

v7

v6

v8 v9 v10 v11

e1e2

e3 e5 e6

e8

e10

Gambar 6. Graf H = G(M∆M’)

b. Penjodohan dan Penutup pada Graf Bipartit

Dalam aplikasi ini untuk menemukan sebuah penjodohan pada graf bipartit yang

menutup semua titik pada salah satu partisi. Syarat perlu dan cukup sebuah graf bipartit

memiliki penjodohan yang demikian, diberikan oleh Hall (1935). Jika G sebuah graf

dan S V(G), maka himunan semua titik G yang bertetangga dengan titik-titik di S,

dilambangkan dengan NG(S) atau N(S).

Teorema1 (Teorema Hall)

Misalkan G adalah graf bipartit dengan partisi (X,Y). Graph G memuat sebuah

penjodohan yang menutup semua titik X jika dan hanya jika |N(S)|≥|S|, untuk setiap S

X.

Bukti:

Misalkan graf bipartit G dengan partisi (X,Y) memuat penjodohan M yang menutup

semua titik X dan misalkan S X. Karena titik-titikdi S dipasangkan oleh M ke titik

yang berbeda di N(S) Y maka|N(S)|≥|S|.

Misalkan G adalah graf bipartit dengan partisi (X,Y) yang memenuhi N(S)|≥|S|,

. Andaikan G tidak memuat penjodohan yang menutup semua titik X. Misal M*

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 355

adalah penjodohan maksimum di G, karena pengandaian, M* tidak menutup semua titik

X, berarti ada titik di X yang tidak ditutupi oleh M*, misalkan titik u. Misalkan Z

menyatakan himpunan semua titik yang terhubung ke u oleh lintasan-lintasan"

alternatif-M*. Karena M* penjodohan maksimum maka hanya titik u yang tidak

tertutup oleh M* di Z. Namakan himpunan S = Z ∩ X dan T = Z ∩ Y. Jelas titik-titik di

S\{u} dipasangkan oleh M* dengan titik di T. Oleh karena itu N(S) T dan

……………………(1)

Karena setiap titik di N(S) terhubung ke u oleh lintasan alternatif-M*, diperoleh

………..………………(2)

Dan (1) dan (2) didapat

suatu kontradiksi. Dengan demikian teorema terbukti.

c. Algoritma Kuhn-Munkres

Algoritma Kuhn-Munkres adalah algoritma yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah penugasan optimal. Pada tahun 1955, Harold Khun (seorang

matematikawan asal Amerika) mempublikasikan sebuah metode yang diberi nama

metode Hungarian (untuk menghormati dua orang matematikawan asal Hungaria,

yaitu D. Kőnig and E. Egerváry), yaitu sebuah algoritma kombinatorik untuk optimasi

yang dapat digunakan untuk menemukan solusi optimal dari masalah penugasan. Pada

tahun 1957, James Raymond Munkres seorang Professor Emeritus matematika dari MIT

memperbaiki algoritma Kuhn. Oleh karena itu, algoritma ini sering disebut algoritma

Kuhn-Munkres.

Secara sistematis algoritma tersebut dapat ditulis ke dalam bentuk langkah-langkah

sebagai berikut.

Input : Graf bipartit komplit berbobot G dengan partisi (X,Y).

Step 1 : Dimulai dengan sebuah pelabelan titik G, namakan pelabelan λ. tentukan graf

Gλ dan pilih penjodohan M sembarang pada Gλ.

Step 2:Jika X tertutup oleh M, maka M adalah penjodohan sempurna karena

, penjodohan M optimal pada G, dan berhenti (STOP). Jika tidak,

misal u adalah titik yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = dan T = .

Step 3 : Jika , pergi ke step 4. Jika tidak, , hitung

, dan .

Buatlah pelabelan titik baru, namakan λ’ dengan

Step 4:Pilih titik y di . Apakah tertutup oleh M atau tidak. Jika y tertutup

oleh M dan yz M, maka ganti S dengan dan T dengan T dan

pergi ke step 3. Jika tidak, misalkan P adalah lintasan-(u,y) augmentasi M di G,

ganti M dengan M’= M dan pergi ke step 2.

(Clark & Holton (1991) dan Budayasa(2007))

d. Aplikasi Algoritma Kuhn-Munkres dalam Penempatan Karyawan

Penerapan Algoritma Kuhn-Munkres pada graf bipartit komplit berbobot G

dinyatakan dengan matrix W = denganwij adalah bobot dari sisi uivj pada graf G.

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 356

Contoh:

Misalkan seorang manager sebuah perusahaan menempatkan 7 karyawan X =

{x1,x2,x3,x4,x5,x6,x7} untuk 7 penempatan bagian produksiY = (y1,y2,y3,y4,y5,y6,y7).

Pemilihan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan diukur dari kemampuan setiap

karyawan untuk mendapatkan keuntungan setiap posisinya yang dioptimalkan.

Kemampuan pelamar kerja merupakan bobot sisi yang menghubungkan karyawan

dengan pekerjaan. Bagaimana cara penempatan karyawan yang optimal? (Contoh ini

diadaptasi dari Clark & Holton (1991))

Penyelesaian:

Permasalahan ini dapat dimodelkan dalam graf bobot bipartit lengkap K7,7 pada Gambar

7 berikut.

x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7

y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7

Gambar 7. Graf bobot bipartit lengkap K7,7

Graf G dapat dipresentasikan dalam bentuk matriks. Label baris-i dengan xi dan label

kolom-j dengan yi, . Entri matriks baris-i dan kolom-j menyatakan bobot sisi

xiyj.

Jika label titik xi diletakkan sebelah kanan baris-i dan label titik yi diletakkan di bawah

kolom-j, sebuah pelabelan titik G yang layak, namakan , adalah sebagai berikut.

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 357

Step 1:Sebuah pelabelan titik G

Graf bagian rentang Gλ yang dibangun oleh sisi-sisi G yang bobotnya sama dengan

jumlah label titik-titik ujungnya adalah seperti terlihat pada Gambar 8 berikut.

x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7

y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7

Gambar 8. Graf rentang Gλ

Pilih penjodohan pada graf Gλ.

Step 2: titik {x7} yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = {x7} dan T = .

Step 3: (S) = {y2,y3}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y2,y3}. Pilih y3.Titik y3 tertutup oleh M dengan x2y3 M, maka

ganti S dengan S {x3} = {x2, x7} dan T dengan T {y3}={y3}, pergi ke step 3.

Step 3: (S) ={y2,y3}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y2}. Pilih y2.Titik y2 tertutup oleh M dengan x1y2 M, maka ganti

S dengan S {x1} = {x1, x2, x7} dan T dengan T {y2}= {y2,y3}, pergi ke step 3.

Step 3: (S) = {y2,y3}. Karena (S) = T, maka hitung

λ = min {λ(x1)+λ(y1)-w(x1y1), λ(x1)+λ(y4)-w(x1y4), λ(x1)+λ(y5)-w(x1y5),

λ(x1)+λ(y6)-w(x1y6), λ(x1)+λ(y7)-w(x1y7), λ(x2)+λ(y1)-w(x2y1), λ(x2)+λ(y4)-

w(x2y4), λ(x2)+λ(y5)-w(x2y5), λ(x2)+λ(y6)-w(x2y6), λ(x2)+λ(y7)-w(x2y7),

λ(x7)+λ(y1)-w(x7y1), λ(x7)+λ(y4)-w(x7y4), λ(x7)+λ(y5)-w(x7y5), λ(x7)+λ(y6)-

w(x7y6), λ(x7)+λ(y7)-w(x7y7)}

=min{5+0-3, 5+0-4, 5+0-1, 5+0-1, 5+0-1, 7+0-5, 7+0-6, 7+0-5, 7+0-4, 7+0-6,

4+0-2, 4+0-1, 4+0-0, 4+0-3, 4+0-3}

= min{2, 1, 4, 4, 4, 2, 1, 2, 3, 1, 2, 3, 4, 1, 1} = 1

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 358

Buat pelabelan titik yang baru pada graf Gλ namakan λ’ dengan aturan berikut.

λ’(x) λ’(y)

Step 1: Setelah mengganti λ dengan λ’, maka diperoleh pelabelan λ yang baru pada graf

G dalam bentuk matriks berikut ini.

Graf bagian rentang Gλ yang baru pada G tampak pada Gambar 9 berikut.

x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7

y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7

Gambar 9. Graf rentang Gλ baru

Step1: Pilih M = {x1y2, x2y3,x3y1, x4y4, x5y6, x6y7} penjodohan baru pada graf Gλ.

Step 2: titik {x7} yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = {x7} dan T = .

Step 3: (S) = {y2,y3,y6,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y2,y3,y6,y7}. Pilih y2. Titik y2 tertutup oleh M dengan x1y2 M,

maka ganti S dengan S {x1} = {x1, x7} dan T dengan T {y2}={y2}, pergi ke

step 3.

Step 3: (S) ={y2,y3,y4,y6,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y3,y4,y6,y7}. Pilih y3. Titik y3 tertutup oleh M dengan x2y3 M,

maka ganti S dengan S {x2} = {x1, x2, x7} dan T dengan T {y3}= {y2,,y3},

pergi ke step 3.

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 359

Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y4,y7}. Pilih y4. Titik y4 tertutup oleh M dengan x4y4 M, maka

ganti S dengan S {x4} = {x1, x2, x4, x7} dan T dengan T {y4}= {y2,,y3,y4},

pergi ke step 3.

Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y7}. Pilih y7. Titik y7 tertutupoleh M dengan x6y7 M, maka ganti

S dengan S {x6} = {x1, x2, x4,x6, x7} dan T dengan T {y7}= {y2,,y3,y4, y7},

pergi ke step 3.

Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y5, y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.

Step 4: = {y5}. Pilih y5.Titik y5 tidak tertutup oleh M, maka lintasan P={x7,

x7y7, y7, y7x6, x6, x6y5, y5} lintasan augmented-M. Ganti M dengan

= {x1y2, x2y3,x3y1, x4y4, x5y6, x6y5, x7y7}, pergi ke step 2.

Step 2: X tertutup oleh penjodohan M’ di atas. Jadi M’ adalah penjodohan sempurna

pada graf Gλ dan M’ adalah penjodohan optimal pada graf G dengan bobot

sebagai berikut.

w(M’) = w(x1y2) + w(x2y3) + w(x3y1) + w(x4y4) + w(x5y6) + w(x6y5) + w(x7y7) =

5 + 7+ 2+4+3+8+3 = 32.

Jadi keuntungan maksimum diperoleh dengan memasangkan karyawan dengan

pekerjaan seperti dalam tabel di bawah ini.

Karyawan Pekerjaan Profit

x1 y2 5

x2 y3 7

x3 y1 2

x4 y4 4

x5 y6 3

x6 y5 8

x7 y7 3

Total profit 32

Perhatikan bahwa dari pelabelan titik G yang terakhir diperoleh:

= 32

= w(M’).

Masalah Penugasan Optimal Dengan

ISBN 978-602-1034-06-4 360

C. Simpulan dan Saran

Masalah penugasan optimal merupakan masalah penempatan untuk memperoleh

solusi yang optimal. Masalah penugasan optimal dapat diselesaikan dengan menerapkan

konsep graf, yaitu dengan mencari penjodohan sempurna dengan bobot maksimum pada

suatu graf bipartit khususnya graf bipartit lengkap berbobot. Salah satu cara untuk

menemukan penjodohan sempurna pada graf bipartit lengkap berbobot dengan bobot

maksimum adalah dengan algoritma Kuhn-Munkres. Algoritma Kuhn-Munkres ini

sebaiknya dibuat program komputernya sehingga untuk permasalahan yang melibatkan

karyawan dan jenis pekerjaan yang lebih banyak dapat diselesaikan dengan cepat.

D. Daftar Pustaka

Budayasa, I.K. 2007. Teori Graph dan Aplikasinya. Surabaya: Unesa University Press.

Clark, J. & Holton, D. A. 1991. A First Look at Graph Theory. Singapore: World

Scientific.

Siang, J.J. 2004. Matematika Diskrit dan Aplikasinya pada Ilmu Komputer. Yogyakarta:

CV. Andi Offset.