Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan Nilai BOD pada Kali Surabaya
Transcript of Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan Nilai BOD pada Kali Surabaya
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA VIII “Peran serta Cendekia Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Akselerasi
Perubahan Karakter Bangsa”
ISBN 978-602-1034-06-4
EDITORIAL
Penanggungjawab
Prof. Dr. Wiyanto, M.Si.
Tim Review
Prof. Dr. Zaenuri Mastur, S.E. M. Si.,Akt.
Dr. Masrukan, M.Si
Dr. Wardono, M. Si
Dr. Iwan Junaedi, S.Si., M.Pd
Tim Editor
Ary Woro Kurniasih, S.Pd., M.Pd
Riza Arifudin, S.Pd., M.CS
Bambang Eko Susilo, S.Pd., M.Pd
Muhammad Kharis, S.Si., M.Sc
Nuriana R. D. N., S.Pd., M.Pd
Amidi, S.Si., M.Pd
Layout
Zaidin Asyabah
Tiara Budi Utami
Cover Layouter
Luky Triohandoko
Penerbit:
Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang
ii
PRAKATA
Seminar Nasional Matematika VIII Jurusan Matematika FMIPA Unnes bertema,”Peran
serta Cendekia Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Akselerasi Perubahan
Karakter Bangsa”. Seminar berlangsung pada hari Sabtu, tanggal 8 November 2014 di
kampus Universitas Negeri Semarang.
Tujuan seminar adalah tukar menukar hasil penelitian maupun gagasan konseptual
dalam bidang Pendidikan Matematika dan Matematika, serta mencari alternatif solusi
setiap permasalahan sebagai upaya akselerasi perubahan karakter bangsa.
Pemakalah yang hadir berasal dari berbagai kalangan, baik dosen, peneliti (praktisi),
maupun guru yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Unsyah (NAD), Surya
Research and Education Center Tangerang, Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional,
UPI Bandung, Unswagati (Cirebon), Unnes Semarang, IKIP Veteran Semarang, UKSW
Salatiga, ITS Surabaya, Unesa Surabaya, dan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Setiap makalah ditelaah oleh tim review, terkait substansi dan tata tulis, sebelum
diterbitkan.
Semoga penerbitan prosiding ini memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu
pengetahuan, khususnya Pendidikan Matematika dan Matematika.
Tim Editor
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Editorial i
Prakata ii
Daftar Isi Iii
Bidang Kajian: Pendidikan Matematika
1. Pendidikan Karakter Terintegrasi dan Berkelanjutan di Tingkat
Sekolah hingga Perguruan Tinggi dengan Sistem Spiral guna
Militansi Bangsa (Sukestiyarno,, D.A.S.Q. Rizki, Universitas Negeri Semarang,
Jawa Tengah)
1
2. Pembelajaran Materi Segi Empat dengan Pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa di SMP Negeri 1 Banda Aceh Tahun
Ajaran 2011/2012 (Ari Hestaliana. R, Universitas Syah Kuala, NAD)
7
3. Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal Reflektif
terhadap Kemampuan Pemecahan Mahasiswa Matematika (Arief
Agoestanto, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
15
4. Implementasi Group Investigation untuk Meningkatkan Pemahaman
Mahasiswa tentang Pendekatan Ilmiah Melalui Telaah Kurikulum
Matematika 1 (Ary Woro Kurniasih, Univeritas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
21
5. Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri (Hery Sutarto,
Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
30
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program
Studi di Jurusan Matematika MIPA UNESA dengan menggunakan
Analisa Diskriminan (Hery Tri Sutanto, Universitas Negeri Surabaya, Jawa
Timur)
36
7. Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL) melalui Self
Assessment pada Pembelajaran Matematika di SMP Terpadu
Ponorogo (Intan Sari Rufiana, Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Jawa
Timur)
49
8. Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E dalam
Kemampuan Representasi Matematis Mahasiswa (Laelasari, Unswagati,
Jawa Barat)
64
9. Pembelajaran Matematika dengan Permainan Tangram untuk
Meningkatkan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric Thinking
Skills) Siswa Sekolah Dasar (Olanda Dwi Sumintra, Ayu Erawati,, dan
Sulistiawati, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,
Banten)
73
10. Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi Instrumen
Polytomous dengan Program Parscale di Kota Semarang (Risky
Setiawan, IKIP Veteran Semarang, Jawa Tengah)
80
11. Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik (Studi 90
iv
Kasus di SMPN 2 Jatibarang Brebes) (Rochmad dan Laeli Rahmawati,
Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
12. Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa Sekolah Dasar
(Sulistiawati, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,
Banten)
99
13. Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah (Wardono dan Suryati, Universitas Negeri
Semarang, Jawa Tengah)
113
14. Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya dengan
Konsep-Konsep Matematika (Zaenuri Mastur, Fathur Rokhman, dan SB
Waluya, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
121
15. Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan
Penalaran Matematis (Masrukan, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
132
16. Implementasi Brain-based learning berbantuan Web terhadap
Peningkatan Self Efficacy Mahasiswa (Nuriana Rachmani Dewi (Nino
Adhi), Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
139
17. Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika untuk Menanamkan
Nilai Karakter Religius (Bambang Eko Susilo, Universitas Negeri Semarang,
Jawa Tengah)
147
18. Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik sebagai
Upaya Penerapan Kurikulum 2013 (Jayanti Putri Purwaningrum,
Universitas Pendidikan Indonesia, Jawa Barat)
157
19. Konsep Pembelajaran Science Technology Engineering Mathematics
(STEM) dengan Matematika sebagai Alat atau Bahasa Komunikasi
dalam Kurikulum 2013 (Suhud Wahyudi, Surya Rosa Putra, Darmaji, Soleha,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)
166
20. Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian
Matematika Berdasarkan Prosedur Newman (Amin Suyitno, Universitas
Negeri Semarang, Jawa Tengah)
176
21. Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
(Iwan Junaedi, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
184
22. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
berbasis Humanistik berbantuan E-Learning (Amidi, Universitas Negeri
Semarang, Jawa Tengah)
190
Bidang Kajian: Matematika dan Komputasi
No Judul Hal
23 Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins dengan Metode Double
Exponential Smoothing dari Brown Dalam Memprediksi Jumlah
Pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Izza Hasanul
Muna dan Riza Arifudin, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
201
24 Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps Untuk Clustering
Kualitas Air Kali Surabaya (Sri Rahmawati F., M. Isa Irawan, Nieke
Karnaningroem, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)
215
v
25 Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi dalam Model
Regresi Linear (Adi Setiawan, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa
Tengah)
224
26 Penerapan Estimator Robust RMCD pada Grafik Pengendali T2
Hotelling untuk Pengamatan Individual Bivariat dan Trivariat
(Angelita Titis Pertiwi, Adi Setiawan, Bambang Susanto, Universitas Kristen Satya
Wacana , Jawa Tengah)
233
27 Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation untuk Simulasi
Kualitas Air dan Daya Tampung Lingkungan di Kali Surabaya (Bima
Prihasto, M. Isa Irawa), Ali Masduqi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa
Timur)
247
28 Penerapan Regresi Multivariate dalam Penentuan Terjadinya
Anomali Curah Hujan Ekstrim di P. Jawa (Eddy Hermawan, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jawa Barat)
261
29 Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan
Masalah Kemacetan Lalu Lintas (Eliza Verdianingsih, Universitas
Pendidikan Indonesia, Jawa Barat)
267
30 Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir K_1+mK_n dengan m≥2
dan n≥2 yang Diperumum (F. Kurnia Nirmala Sari dan Darmaji, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Jawa Timur)
276
31 Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net untuk Perancangan
Penjadwalan Sistem Pelayanan Pasang Instalasi Baru di PDAM
(Margaretha Dwi Cahyani dan Subiono, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Jawa Timur)
285
32 Pemodelan Matematika untuk Epidemi Chikungunya pada Populasi
Manusia dengan Non Specific Treatment (Muhammad Kharis, Universitas
Negeri Semarang Jawa Tengah)
298
33 Model GSTAR Termodifikasi untuk Produktivitas Jagung di Boyolali
(Priska Dwi Apriyanti, Hanna Arini Parhusip, dan Lilik Linawati, Universitas
Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah)
314
34 Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3
Dimensi dengan Sistem Koordinat Bola (Purwoto, Hanna Arini Parhusip,
dan Tundjung Mahatma, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah)
326
35 Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik dengan Komponen
Parametrik Berpola Polinomial (Lilis Anisah, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya Jawa Timur)
337
36 Model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis Function untuk Peramalan
Nilai BOD pada Kali Surabaya (Nisa Ayunda, Mohammad Isa Irawan, Nieke
Karnaningroem, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Jawa Timur)
342
37 Masalah Penugasan Optimal dengan Algoritma Kuhn-Munkres
(Mulyono, Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah)
351
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 1
PEMBENTUKAN KARAKTER MANDIRI MELALUI PENERAPAN
MODEL THINK-TALK-WRITE MATERI GEOMETRI KELAS VIII
Sukestiyarno1)
, D.A.S.Q. Rizki2)
1),2)Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]; [email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk karakter mandiri siswa melalui penerapan model
pembelajaran Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif kolaboratif dengan teknik pengambilan subjek penelitian yaitu purposive
sampling. Peneliti sebagai instrumen kunci dilengkapi dengan lembar pengamatan, pedoman
wawancara, alat perekam, catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan deskripsi kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan masing-masing subjek berhasil mencapai indikator karakter
mandiri yang ditentukan oleh peneliti. Hal ini mengindikasikan keberhasilan pendidikan karakter
mandiri dari masing-masing subjek penelitian. Dengan perolehan indeks gain karakter mandiri
yang meningkat dari pertemuan satu kepertemuan lainnya memberikan arti bahwa terjadi
peningkatan kemandirian masing-masing subjek penelitian. Ini menunjukkan bahwa penerapan
model pembelajaran TTW dapat membentuk karakter mandiri siswa pada materi geometri kelas
VIII.
Kata Kunci : Karakter; Kemandirian; TTW.
A. Pendahuluan
Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab 2 Pasal 3 dikatakan pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepadaTuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Jika dicermati
ternyata 5 dari 8 potensi siswa yang ingin dikembangkan berkaitan dengan karakter.
Dalam pendidikan formal di sekolah, pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam
kegiatan intrakurikuler, ekstrakulikuler serta manajemen atau pengelolaan sekolah
(Muslich, 2011: 86). Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan
disetiap jenjang juga memiliki kewajiban untuk membentuk karakter siswa melalui
kegiatan pembelajaran (intrakulikuler). Salah satu karakter siswa yang wajib dibentuk
adalah kemandirian. Dalam proses belajar mengajar, hasil belajar kognitif lebih
dominan jika dibandingkan dengan afektif dan psikomotorik (Kurikulum, 2006).
Sekalipun demikian tidak berarti bidang afektif dan psikomotorik diabaikan sehingga
tak perlu dilakukan penilaian.
Pendidikan yang merupakan agent of change harus mampu melakukan perbaikan
karakter bangsa kita. Karakter merupakan salah satu aspek afektif. Sehingga perlu
diadakan pengamatan dan penilaian terhadap bidang afektif sedemikian hingga kita bisa
mengetahui keberhasilan pendidikan karakter yang bisa berdampak pada terbentuknya
karakter generasi penerus bangsa kita.
Peneliti telah melakukan observasi kegiatan pembelajaran dan wawancara dengan
guru matematika kelas VIII di SMPN 3 Ungaran. Berdasarkan hasil observasi tersebut,
diketahui bahwa terjadi degradasi mental siswa yaitu dengan tingkat kemalasan belajar
yang tinggi. Selain itu, diketahui pula bahwa guru masih menggunakan model
pembelajaran konvensional dan tidak diadakan pengamatan terhadap karakter siswa
terutama kemandirian sehingga kurang mengetahui perkembangan karakter mandiri
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 2
siswa belum sepenuhnya optimal. Untuk materi bangun ruang sisi datar terutama kubus
dan balok, diketahui bahwa materi tersebut memiliki kompleksitas yang cukup tinggi
karena membutuhkan abstraksi siswa.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
membentuk karakter mandiri siswa, salah satunyadengan penerapan model
pembelajaran Think-Talk-Write (TTW).
Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah karakter kemandirian siswa melalui
penerapan model Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII dapat
terbentuk?. Tujuan penelitian ini adalah membentuk karakter mandiri siswa melalui
penerapan model Think-Talk-Write (TTW) pada materi geometri kelas VIII.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kolaboratif yaitu peneliti bekerja
sama dengan guru mata pelajaran matematika dalam memperoleh data penelitian.
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposif sampling.
Penelitian ini diadakan di SMPN 3 Ungaran. Sistem kelas di sekolah tersebut
menggunakan sistem random yang artinya setiap kelas memiliki taraf prestasi dan
kemampuan yang hampir setara, atau pembagian kelas secara heterogen. Dengan
menggunakan teknik purposive sampling, didapatkan beberapa siswa kelas VIII-C yang
mewakili kelompok pilihan yaitu dengan pemberian tes pendahuluan dan hasilnya
diranking. Kemudian dengan pertimbangan pada hasil tersebut, maka diambil siswa
ranking 2 teratas pada kelompok 1 dan 3, sedangkan pada kelompok 2 hanya diambil 1
orang.
Pada penelitian kualitatif yang menjadi instrumen kunci adalah peneliti (Miles
danHuberman, 1992). Untuk memperoleh kelengkapan data, digunakan instrumen
penunjang yaitu lembar observasi, pedoman wawancara, alat perekam serta catatan
lapangan.Untuk analisis data, pada penelitian ini digunakan analisis data kualitatif yang
berproses pada 3 langkah yaitu (1) reduksi data; (2) triangulasi; (3) penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Dengan memperhatikan keabsahan data yang diperoleh pada
proses credibility, dependability, corfirmability, dantransferability.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembentukan karakter mandiri melalui
pendidikan karakter yang diintegrasikan melalui penerapan model pembelajaran TTW,
maka dibutuhkan suatu evaluasi. Substansi evaluasi dalam konteks pendidikan karakter
adalah upaya membandingkan perilaku anak dengan standar/indikator yang ditentukan
oleh peneliti.
C. Hasil dan Pembahasan
Berkenaan dengan pendidikan budaya dan karakter, pada dasarnya nilai-nilai
karakter tidak dapat diajarkan dalam satu bidang studi dan periode waktu tertentu, tetapi
dikembangkan secara aktif dan berkelanjutan dalam semua bidang studi (Sumarmo,
2011:25). Namun, dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengamati karakter
mandiri secara mendalam terhadap 5 orang subjek penelitian dengan 5 kali pertemuan
secara intensif dengan penerapan model TTW. Dari lima kali pertemuan yang
dilakukan dengan penerapan model pembelajaran TTW, peneliti menilai bahwa terjadi
peningkatan kemandirian dari kelima subjek penelitian. Secara umum, penerapan model
TTW yang dilakukan peneliti dengan menghasilkan output kemandirian siswa dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 3
Tabel 1. Proses Penerapan Pembelajaran TTW untuk Membentuk Karakter Mandiri Siswa
Tahapan TTW Pembelajaran Berbasis Kemandirian
Think
(Siswa membaca dan mempelajari materi pada
Buku Siswa secara mandiri, kemudian membuat
rencana penyelesaian masalah yang akan
digunakan dalam menyelesaikan masalah
tersebut)
- Siswa berusaha mencari informasi bila
dihadapkan dengan permasalahan
- Siswa berusaha untuk menyelesaikan
permasalahaan dengan tuntas
- Siswa mengerjakan tugas sesuai dengan
kemampuannya sendiri
- Siswa memfokuskan perhatian dalam kegiatan
belajar mengajar
Talk
(Siswa secara mandiri mendiskusikan hasil
pemikirannya dalam kelompok untuk
mendapatkan kesepakatan dan menambah
pemahaman mengenai cara menyelesaikan
masalah matematika dengan urutan langkah yang
sistematis sehingga dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa
tersebut.)
- Siswa dapat menyampaikan pendapat yang
berbedadari orang lain
- Berani berkomunikasi dengan teman untuk
menyelesaikan masalah
- Mencerminkanada ide dalam bentuk diskusi
kelompok
- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban
dalam memecahkan suatu masalah matematika
- Siswa mempunyai keinginan membantu teman
dalam segala tindakan
Write
(Dari hasil diskusi, secara mandiri siswa
menuliskan penyelesaian masalah yang dianggap
benar.)
- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban
dalam memecahkan masalah matematika
- Siswa dapat menunjukkan sikap siap jika diberi
suatu tantangan permasalahan matematika oleh
guru
Kegiatan Akhir
Salah satu kelompok mempresentasikan Buku
Siswa-nya secara mandiri, sedangkan siswa yang
lain diminta untuk memberi tanggapan.
(Presentasi)
Siswa mengerjakan kuis secara mandiri dan
jujur.(refleksi)
Siswa dan guru menarik kesimpulan kegiatan
pembelajaran. Salah satu siswa
mengungkapkannya kembali secara mandiri.
(kesimpulan)
Pemberian tugas terstruktur oleh guru kepada
siswa untuk dikerjakan di rumah (penugasan)
- Siswa dapat mengkomunikasikan jawaban
dalam memecahkan masalah matematika
- Siswa berani berkomunikasi dengan teman
untuk menyelesaikan masalah
- Siswa menyampaikan pendapat yang
berbedadari orang lain
- Siswa menunjukkan bahwa hasil pengerjaan
tugas merupakan pemikiran sendiri
- Siswa berusaha untuk menyelesaikan
permasalahaan dengan tuntas
- Siswa menyampaikan pendapat yang berbeda
dari orang lain
- Malatih kemandirian siswa sehingga tidak harus
belajar di bawah kendali orang lain
Dalam pembentukan karakter, peran seorang guru sangat tidak bisa terlepas dari
peranannya sebagai fasilitator maupun teladan. Sebagai fasilitator, peneliti sebagai
pengajar dalam penelitian ini menerapkan model TTW dengan mengajarkan nilai-nilai
kemandirian. Mengajarkan nilai-nilai kemandirian tidak hanya dilakukan di dalam
kelas, tetapi dilakukan di luar pembelajaran dengan memanfaatkan pendekatan personal
kepada subjek penelitian. Sedangkan sebagai teladan, peneliti tidak sekedar berkata-kata
di dalam kelas melainkan memberikan contoh secara nyata yang tercermin dalam
kehidupannya. Melalui pembiasaan dan teladan, guru bersikap percaya diri dan mandiri
dalam melaksanakanpembelajaran dan menye-lesaikan tugas matematik; berkebiasaan
memonitor dan menilai penalaran sendiri; mengikuti cara berpikir siswa, memberi
peluang siswa berbuat sesuai dengan jalan pikirannya; membantu siswa menetapkan
standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan.
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 4
Kelima subjek penelitian memiliki latar belakang yang berbeda sehingga masing-
masing juga memiliki kemandirian yang berbeda pula. Berdasarkan perlakuan dengan
uraian diatas, maka diperoleh pencapaian karakter mandiri dari kelima subjek penelitian
sebagai berikut. Tabel 2. Proses Perkembangan Subjek Penelitian
S
Gain Karakter Mandiri
Gain
Awal-akhir I II III IV
I 0,423 0,133 -0,15 0,533 0,864
Kriteria sedang Rendah Rendah Sedang Tinggi
II 0,625 0,125 0,143 0,333 1
Kriteria sedang Rendah Rendah Sedang tinggi
III 0,143 0,083 -0,455 0,75 1
Kriteria rendah Rendah Rendah Tinggi tinggi
IV 0,289 -0,22 0,128 0,529 0,707
Kriteria rendah Rendah Rendah Sedang tinggi
V 0,209 -0,09 0,135 0,344 0,564
Kriteria rendah Rendah Rendah Sedang sedang
Untuk pembahasan pertama adalah karakter mandiri S1. Pada awal penelitian S1
sudah memiliki karakter mandiri yang baik terutama dalam hal belajar. Dari perlakuan
seperti dijelaskan pada tabel 1, karakter mandiri yang dimiliki S1 dapat terbentuk. Hal
ini ditunjukkan oleh indeks gain karakter mandiri S1 yang dijelaskan pada tabel 2.
Peningkatan ini diperoleh dari keberhasilan S1 dalam mencapai setiap indikator
kemandirian yang ditetapkan oleh peneliti. Dengan meningkatnya kemandirian yang
dimiliki S1, dia bisa lebih mandiri dalam hal belajar. Hal ini dapat berdampak positif
pada prestasi akademiknya terutama dalam bidang matematika.
Untuk pembahasan yang selanjutnya adalah S2. Tidak jauh berbeda dengan S1.
Pada awal penelitian diperoleh informasi mengenai karakter mandiri yang dimiliki S2
sudah bagus. Dari awal penelitian, S2 memiliki karakter mandiri yang lebih baik
daripada S1. Hal ini dikarenakan S2 merupakan anak pertama dari keluarganya
sehingga dituntut untuk lebih mandiri daripada adiknya terutama dalam hal belajar dan
bertanggung jawab akan masa depannya. Berdasarkan tabel 2, diperoleh peningkatan
signifikan karakter mandiri yang dimiliki S2. S2 berhasil mencapai hampir semua
indikator kemandirian yang ditetapkan oleh peneliti. Dengan terbentuknya karakter
mandirinya, kesuksesan S2 dalam pelajaran terutama matematika pun ikut meningkat.
Pembahasan kemandirian selanjutnya adalah kemandirian yang dimiliki oleh S3. S3
memiliki kemandirian belajar yang cukup tinggi ditunjang dengan mengikuti les
private. Akan tetapi S3 masih sangat tergantung pada suasana hatinya. Sebenarnya S1
dan S2 juga sama karena pada masa remaja yang mereka alami, mereka masih labil dan
bergantung pada suasana hati mereka. Namun, S1 dan S2 memiliki pengendalian yang
lebih baik daripada S3. S3 masih belum bisa mengontrol suasana hatinya sehingga dia
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 5
masih sangat labil. Hal ini berakibat pada kemandiriannya. Jika suasana hatinya sedang
tidak baik, maka karakter mandirinya pun akan ikut turun dan sebaliknya. Hal ini
menjadikan presatasi S3 pun tidak stabil.Berdasarkan diterapkannya model TTW pada
tabel 1, diperoleh peningkatan karakter mandiri S3 secara signifikan pada tabel 2.
Dengan karakter mandiri yang semakin baik, menjadikan prestasi S3 ikut membaik
terutama di bidang matematika.
S4 memiliki karakter mandiri yang baik dalam hal sosialnya karena ia tidak terlalu
bergantung kepada orang lain. Namun, lebih mendalam kepada kemandirian belajar
yang dimiliki S4 sangatlah kurang terutama pada pelajaran matematika. Akan tetapi
dengan diikutkan les private oleh kedua orang tuanya, bisa menolong S4 dalam belajar
matematika. Dengan diterapkannya model pembelajaran TTW untuk membentuk
karekter mandiri seperti yang ditunjukkan pada tabel 1, S4 dapat mencapai peningkatan
kemandirian yang dimilikinya. Dengan kemandirian yang lebih baik, S4 pun dapat
memperbaiki prestasi akademiknya terutama di bidang matematika seperti yang telah
dijelaskan pada hasil penelitian.
Untuk subjek penelitian terakhir yaitu S5 tidak jauh berbeda hasilnya dengan semua
subjek yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun di sini, pada awalnya S5 memiliki
karakter mandiri yang sangat kurang. Hal ini terlihat dari informasi yang peneliti
peroleh pada deskripsi penelitian dan uraian hasil penelitian. S5 tidak mengikuti les
tambahan di luar jam pelajaran ditambah dengan motivasinya yang sangat kurang dalam
hal belajar. Ini menjadikan kemandirian belajar S5 sangat kurang. Sehingga diperlukan
usaha yang intensif terhadap S5 untuk lebih menekankan kemandirian kepada S5.
Dengan diterapkannya model TTW seperti yang telah dijelaskan pada tabel 1 dan
dengan pendekatan secara intensif kepada S5 diperoleh peningkatan terhadap
kemandirian belajar yang dimiliki S5. Pendekatan yang dilakukan peneliti masih
mengalami kendala karena sifat S5 yang tertutup seperti yang telah diuraikan pada
bagian hasil penelitian. Akan tetapi dengan usaha diterapkannya model TTW
berbantuan scaffolding, S5 dapat menunjukkan hasil prestasi akademiknya yang
meningkat walaupun masih belum optimal dengan kemandiriannya yang sudah
meningkat.
Dari uraian pembahasan di atas dapat diperoleh suatu kesimpulan dari berbagai
kasus jika dengan diterapkannya model pembelajaran TTW dapat membentuk
kemandirian siswa. Pada tiap tahapan TTW, dapat dimasukkan pendidikan karakter
mandiri sehingga siswa dapat mencapai indikator yang peneliti tetapkan. Akan tetapi
perkembangan tiap siswa berbeda dan tidak bisa disamakan karena memiliki latar
belakang dan rutinitas yang berbeda. Dengan karakter mandiri yang semakin baik maka
dia akan bisa mengelola diri sendiri khususnya dalam hal belajar sehingga kesuksesan
prestasinya pun meningkat. Dengan demikian proses belajarnya pun akan optimal.
Serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di Harvard University Amerika
Serikat yang menghasilkan suatu teori bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri sendiri (soft skill) (Muslich, 2011:84).
Dari pembahasan diatas juga dapat diambil kesimpulan bahwa pengamatan dan
penilaian terhadap ranah afektif khususnya kemandirian sangat perlu adanya untuk
mengoptimalkan proses belajar siswa. Hal ini sesuai dengan teori Bloom yang membagi
hasil belajar menjadi 3 ranah yaitu afektif, psikomotorik, dan kognitif. Sehingga jika
salah satu ranah tidak terpenuhi maka hasil belajar siswa belum optimal. Dengan
pencapaian dari ketiga ranah tersebut, maka hasil belajar seorang siswa akan optimal
Pembentukan Karakter Mandiri Melalui Penerapan Model Think-Talk-Write
ISBN 978-602-1034-06-4 6
(TIMSS, 2009). Melalui pendidikan karakter diharapkan siswa mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari.
D. Simpulan dan Saran
Simpulan penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran Think-Talk-Write
(TTW) pada materi geometri kelas VIII yaitu kubus dan balok, dapat dibentuk karakter
mandiri siswa.
Berdasarkan pada simpulan di atas, saran peneliti adalah pada pembelajaran
matematika hendaknya siswa difasilitasi untuk aktif sehingga kemandiriandapat
terbentuk, salah satunya dengan penerapan model TTW. Pembentukan karakter pada
siswa khususnya kemandirian tidak hanya bergantung pada model pembelajaran yang
sesuai tetapi juga ditentukan oleh seorang guru yang memahami cara siswa belajar.
Setiap siswa memiliki gaya yang berbeda-beda dalam belajar, maka menjadi kebutuhan
guru dapat memahaminya.
E. Daftar Pustaka
Kurikulum. 2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs.
Jakarta: Depdiknas.
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-
metodeBaru. Jakarta :Universitas Indonesia Press.
Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multi
dimensional. Jakarta: BumiAksara.
Sumarmo, Utari. 2011. Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Karakter.
Prosiding disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Bandung. 1:22-32.
TIMSS. 2009. Highlights From TIMSS 2007:Mathematics and Science Achievement of
U.S. Fourth- and Eighth-Grade Students in an International Context. Washington
DC: National Center for Education Statistics, Institute of Education Sciences, U.S.
Department of Education.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Bidang DIKBUD KBRI Tokyo.
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 7
PEMBELAJARAN MATERI SEGIEMPAT DENGAN
PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIS SISWA DI SMP
Ari Hestaliana. R
Pendidikan Matematika Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
Surel: [email protected]
Abstrak Wawancara penulis terhadap salah satu siswa kelas VII SMP di Banda Aceh dan hasil observasi
di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih
kurang. Padahal sebagaimana tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP,
pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dari kurikulum. Berawal dari permasalahan
tersebut, dilakukanlah penelitian dengan mengimplementasikan pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) dalam pembelajaran matematika sebagai solusi yang dapat dilakukan
kemudian dirumuskan dengan judul “Pembelajaran materi segiempat dengan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa di SMP”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) lebih baik dibandingkan siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada
materi segiempat di SMP. Desain penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental
Design dengan Nonequivalent Control Group Design. Populasinya adalah seluruh siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Banda Aceh, sedangkan sampel diambil dua kelas dari delapan kelas yaitu
kelas VII1 berjumlah 28 orang yang diterapkan Contextual Teaching and Learing (CTL) dan
kelas VII3 berjumlah 24 orang yang diterapkan pendekatan non CTL. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan tes. Setelah seluruh data terkumpul lalu diolah dengan menguji
kesamaan dua rata-rata yaitu uji satu pihak dan taraf signifikan 0,05. Berdasarkan analisis data
dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa
yang belajar melalui pendekatan Contextual teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada
siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP.
Kata Kunci: Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan
Pemecahan masalah Matematis, Segiempat
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan dan pengajaran tidak dapat lepas dari proses belajar mengajar.
Berdasarkan hasil observasi lapangan pada tanggal 13 Maret 2012, peneliti memperoleh
keterangan bahwa hasil belajar siswa masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya siswa yang remedial pada ulangan ataupun ujian semester karena masih
belum mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 80. Rendahnya hasil
belajar matematika siswa bukan disebabkan mereka tidak mampu melakukan
perhitungan, melainkan karena tidak memahami permasalahan yang terdapat dalam soal
tersebut. Kemampuan siswa dalam menggunakan informasi untuk mengidentifikasi
pertanyaan-pertanyaan yang memuat permasalahan masih kurang. Mereka juga masih
kesulitan dalam merencanakan dan menentukan informasi serta langkah-langkah yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.
Dari pembahasan di atas terlihat jelas bahwa betapa pentingnya kemampuan
pemecahan masalah untuk dimiliki siswa. Pemecahan masalah adalah bagian dari
kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun
penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 8
serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah.
Selain itu, pemecahan masalah merupakan suatu aktivitas intelektual untuk mencari
penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang
sudah dimiliki. Branca (Fatimah, 2012:4) menyatakan bahwa “Kemampuan pemecahan
masalah merupakan tujuan utama pengajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya
matematika. Dalam melakukan pemecahan masalah, dibutuhkan kreatifitas dalam
berpikir”. Mengingat pentingnya kemampuan kreatifitas berpikir dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, maka kegiatan pembelajaran
matematika yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL). Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (dalam Bangsa, 2011:4) bahwa “Sistem
pembelajaran kontekstual adalah tentang pencapaian intelektual yang berasal dari
partisipasi aktif merasakan pengalaman-pengalaman yang bermakna, pengalaman yang
memperkuat hubungan antara sel-sel otak yang sudah ada dan membentuk hubungan
saraf baru”. Untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
matematika, Contextual Teaching and Learning (CTL) mengajarkan langkah-langkah
yang dapat digunakan dalam berpikir kritis dan kreatif serta memberikan kesempatan
untuk digunakan dalam pemecahan masalah matematika dalam dunia nyata. Melalui
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), siswa dapat melakukan
eksperimen, mencoba dan menemukan konsep, serta melatih kemandirian dalam
memecahkan tantangan-tantangan soal-soal matematika. Dengan demikian proses
pembelajarannya lebih diutamakan daripada hasil. Polya (Maheswari, 2008:23)
menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu masalah empat langkah yang harus
dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3)
menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4) melakukan pengecekan kembali
terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Berdasarkan pendapat Polya maka dapat
dikatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis juga mengutamakan
proses daripada hasil, hal ini selaras dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL). Bertitik tolak pada acuan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam
proses belajar mengajar yang dirumuskan melalui penelitian yang berjudul
“Pembelajaran Materi Segiempat dengan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa di SMP”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa yang belajar melalui pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) lebih baik dari pada siswa yang belajar melalui
pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP”. Tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengkaji peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
yang belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik
dibandingkan siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat
di SMP. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) pembelajaran ini merupakan
inovasi dalam pembelajaran matematika, karena model ini secara arif mengajak guru
agar lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dengan mengaitkan situasi kehidupan
nyata siswa dengan materi, sehingga diharapkan dapat digunakan oleh guru dalam
pembelajaran matematika di kelas; (2) penelitian yang menggunakan pendekatan CTL
dalam pembelajaran matematika ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan belajar,
mengoptimalkan kompetensi berpikir positif dalam mengembangkan dirinya di tengah-
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 9
tengah lingkungan dalam meraih keberhasilan belajar dan dapat merangsang pola
interaksi siswa serta melatih kerjasama siswa dalam memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi kelompok, dan (3) hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai
pedoman dan acuan penelitian selanjutnya.
B. Tinjaun Pustaka
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Matematika merupakan suatu ilmu yang melibatkan banyak aktivitas berpikir.Suatu
konsep/prinsip matematika dapat diperoleh melalui aktivitas berpikir secara matematis.
Sebagai salah satu aspek berpikir matematika tingkat tinggi, pemecahan masalah
memiliki peranan penting dalam matematika. Di era global, kemampuan bernalar
tingkat tinggilah yang akan menentukan kemampuan siswa. Karenanya pemecahan
masalah akan menjadi hal yang sangat menentukan juga keberhasilan pendidikan
matematika, sehingga pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama
proses pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan. Belajar
memecahkan masalah adalah para siswa hendaknya terbiasa mengerjakan soal-soal
yang tidak hanya memerlukan ingatan yang baik saja.
Berdasarkan uraian diatas, kemampuan pemecahan masalah matematika yang
dimaksud dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai kemampuan siswa menggunakan
pengetahuan/bekal yang sudah dimilikinya untuk mencari jalan keluar atau solusi dari
suatu permasalahan matematika yang tidak dapat dijawab dengan segera. Kemampuan
ini dapat terlihat dari cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan atau memecahkan permasalahan matematika yang ia terima.
Polya (Maheswari, 2008:23) menyatakan bahwa dalam memecahkan suatu masalah
terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2)
merencanakan penyelesaian, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan (4)
melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Proses
yang dilakukan pada setiap langkah pemecahan diatas dapat dikemukan melalui
beberapa penjelasan berikut (Polya dalam Maheswari, 2008:24).
a. Memahami masalah
Langkah-langkah ini sangat penting dilakukan sebagai tahap awal dari pemecahan
masalah agar siswa dapat dengan mudah mencari penyelesaian masalah yang
diajukan. Siswa diharapkan dapat memahami kondisi soal atau masalah yang
meliputi: mengenali soal, menganalisis soal, dan menterjemahkan informasi yang
diketahui dan ditanyakan pada soal tersebut.
b. Merencanakan penyelesaian
Masalah perencanaan ini penting untuk dilakukan karena pada saat siswa mampu
membuat suatu hubungan dari data yang diketahui dan tidak diketahui, siswa dapat
menyelesaikannya dari pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.Pada tahap
ini diharapkan siswa dapat menggunakan aturan untuk suatu rencana yang
diperoleh.
c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Langkah-langkah perhitungan ini penting dilakukan karena pada langkah ini
pemahaman siswa terhadap permasalahan dapat dilihat.Pada tahap ini siswa telah
siap melakukan perhitungan dengan segala macam yang diperlukan termasuk
konsep dan rumus yang sesuai.
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 10
d. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan
Pada tahap ini siswa diharapkan berusaha untuk mengecek kembali dengan teliti
setiap tahap yang telah ia lakukan. Dengan demikian, kesalahan dan kekeliruan
dalam penyelesaian soal dapat ditemukan.
Dengan demikian kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan yang
ditunjukkan siswa dalam menyelesaikan masalah yang memperhatikan proses
menemukan jawaban berdasarkan tahapan memahami masalah, membuat rencana
penyelesaian, melakukan perhitungan dan memeriksa kembali. Pada tahap awal,
memahami masalah yaitu siswa diharapkan dapat memahami kondisi soal selanjutnya
mampu menemukan strategi-strategi berdasarkan kondisi soal.Sehingga pada tahap
berikutnya yaitu melakukan perhitungan, siswa telah siap melakukan perhitungan
berdasarkan rencana penyelesaiannya. Tahap terakhir adalah menelaah dengan teliti
setiap tahap yang telah dilakukan dengan cara memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep
pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari
(Baharuddin dalam Kulub, 2009:25). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan
lebih bermakna bagi siswa. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah
sistem belajar yang didasarkan pada filosofis bahwa siswa mampu menangkap pelajaran
apabila mereka mampu menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima
dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan
informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki
sebelumnya (Johson dalam Kulub, 2009:25). Sanjaya (2005:109) menyatakan bahwa:
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan mehubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar, dimana
guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan ke dalam kehidupan
mereka sehari-sehari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari
konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri,
sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota
masyarakat.
Penerapan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) memiliki tujuh komponen (Johar dkk, 2006:74), berikut uraian ringkasnya.
a. Konstruktivisme (constructivisme). Konstruktivisme merupakan landasan
pendekatan CTL, yaitu bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya dibangun tahap
demi tahap melalui proses yang berkesinambungan. Ilmu pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta yang siap diambil dan diingat tapi harus dikontruksi melalui
pengalaman nyata. Dalam konstruktivisme lebih mengutamakan proses daripada
hasil.
b. Menemukan (inquiry). Inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya
menanamkan dasar-dasar berfikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 11
pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas
dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang
belajar.Peranan guru dalam pembelajaran dengan inquiry adalah sebagai
pembimbing dan fasilitator.Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu
disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa
masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa.
c. Bertanya (questioning). Bertanya (questioning) merupakan salah satu kegiatan
pembelajaran yang berlangsung secara informative untuk mendorong, membimbing
dan menilaikemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya akan mendorong siswa
sebagai partisipan aktif dalam proses pembelajaran.
d. Masyarakat belajar (learning community). Konsep masyarakat belajar menyarankan
agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain (Johar dkk,
2006:76). Dalam masyarakat belajar, individu yang terlibat dalam komunikasi
saling belajar.Seseorang yang memberikan informasi yang diperlukan oleh teman
bicaranya sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.
e. Pemodelan (modeling). Pemodelan dalam sebuah pembelajaran maksudnya dalam
semua pembelajaran, keterampilan, dan pengetahuan tertentu ada model yang bisa
ditiru (Johar dkk, 2006:76). Model bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu,
contoh: cara melakukan pengukuran yang benar. Model tak hanya dari guru tapi
juga dari siswa atau ahli.
f. Refleksi (reflecting). Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari
atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu (Johar
dkk, 2006:77). Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima.
g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assesment). Assessment adalah proses
pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran mengenai
perkembangan belajar siswa (Johar dkk, 2006:77). Data yang dikumpulkan pada
assessment otentik adalah data yang diperoleh dari hasil kegiatan siswa selama
proses pembelajaran berlangsung dan hasil belajar siswa.
C. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Desain rencana dalam penelitian ini menurut Shadish dan Cook (2002, halm. 137)
dapat digambarkan sebagai berikut.
O1 X O2
O1 O2
Gambar 1. Nonequivalent Control Group Design
Keterangan:
O1 : pretes pada kelas pendekatan CTL dan non CTL
O2 : postes pada kelas pendekatan CTL dan non CTL
X : perlakuan dengan menggunakan pendekatan CTL
: subjek tidak dikelompokkam secara acak
2. Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah
berupa tes kemampuan pemecahan matematis pada materi bangun segiempat siswa.
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 12
Jenis tes yang akan digunakan adalah tes bentuk uraian yang terdiri dari empat soal.
Instrumen ini diberikan kepada siswa sebelum mendapat perlakuan (pretes) dan sesudah
mendapatkan perlakuan (postes).
3. Contoh Instrumen
The floor of a house is square shaped of size 20 m 20 m. the floor will be tiled by
square shaped tiles each of size 5 m 5 m.
a. How many tile required?
b. If one tile price Rp 1.500,00, how much money required?
4. Analisis Data
Adapun tahapan-tahapan dalam mengolah data hasil tes adalah sebagai berikut.
a. Memberikan skor mentah jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban, pedoman
penskoran, serta bobot yang digunakan untuk tes kemampuan pemecahan masalah
matematis.
b. Menentukan skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dengan
menggunakan rumus gain ternormalisasi (normalized gain) yang dikembangkan
Hake (1999: 1) sebagai berikut:
dengan kriteria indeks gain (Hake, 1999: 1) seperti tabel berikut:
Tabel 1 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi
Skor Gain Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤0.3 Rendah
c. Melakukan uji normalitas data hasil gain ternormalisasi kemampuan pemecahan
masalah matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov.
Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
dan dasar pengambilan keputusan:
Jika nilai Sig (p-value) <α (α = 0.05), maka Ho ditolak
Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima
d. Apabila data normal, dilakukan uji homogenitas varians skor gain kemampuan
pemecahan masalah matematis menggunakan uji levene.
Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:
H0 : σ12= σ2
2 Varians skor kedua kelas homogen
H1 : σ12≠ σ2
2 Varians skor kedua kelas tidak homogen
dan dasar pengambilan keputusan:
Jika nilai Sig (p-value) < α (α = 0.05), maka Ho ditolak
Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima
e. Melakukan uji perbedaan rata-rata pihak kanan skor N-Gain menggunakan
Independent-Sample T-Test apabila data normal dan homogen.
Secara operasional hipotesis di atas dirumuskan:
H0 : 12= 2
2 Rata-rata N-Gain kelas eksperimen dan kelas kontrol sama
H1 : 12> 2
2 Rata-rata N-Gain kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 13
dan dasar pengambilan keputusan:
Jika nilai Sig (p-value) < α (α = 0.05), maka Ho ditolak
Jika nilai Sig (p-value) ≥ α (α = 0.05), maka Ho diterima
D. Hasil dan Pembahasan
Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dilihat dari
skor gain yang diformulasikan oleh Hake (1999). Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software Minitab Versi 14 dan Microsoft Office Excel 2007. Uji normal
untuk skor gain kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar
3 berikut.
Gambar 2. Uji Normalitas N-Gain Kelas Eksperimen Gambar 3. Uji Normalitas N-Gain kelas
Kontrol
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas diperoleh bahwa untuk skor gain kelas
ekperimen p-valuenya adalah 0,013 (lihat Gambar 2). Artinya Ho ditolak, sehingga skor
gain kelas eksperimen tidak berdistribusi normal. Sedangkan, skor gain kelas kontrol p-
valuenya adalah 0,087 (lihat Gambar 3). Artinya Ho diterima, sehingga skor gain kelas
kontrol berdistribusi normal. Karena skor gain kelas eksperimen tidak berdistribusi
normal maka data diolah menggunakan Mann-Whitney.
Gambar 4. Output Mann-Whitney
Berdasarkan output di atas, nilai W sebesar 881,5 dengan p-value sebesar 0,0054 di
mana nilainya lebih kecil dari batas kritis 0,05 sehingga H0 ditolak. Jadi dapat disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang
belajar melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik
daripada siswa yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di
SMP.
n-gain ko
Pe
rce
nt
1,00,80,60,40,20,0
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
Mean
0,087
0,5274
StDev 0,1861
N 24
KS 0,166
P-Value
N-Gain KontrolNormal
n-GAIN
Pe
rce
nt
1,21,00,80,60,40,20,0
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
Mean
0,013
0,6633
StDev 0,2373
N 28
KS 0,189
P-Value
N-Gain EksperimenNormal
N Median
N-Gain Eksperimen 28 0,7498
N-Gain Kontrol 24 0,5316
Point estimate for ETA1-ETA2 is 0,1894
95,2 Percent CI for ETA1-ETA2 is (0,0429;0,2804)
W = 881,5
Test of ETA1 = ETA2 vs ETA1 > ETA2 is significant at 0,0054
The test is significant at 0,0054 (adjusted for ties)
Pembelajaran Materi Segiempat Dengan Pendekatan
ISBN 978-602-1034-06-4 14
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang belajar
melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik daripada siswa
yang belajar melalui pendekatan non CTL pada materi segiempat di SMP. Adapun saran
yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adalah: (1)
pembelajaran matematika melalui pendekatan CTL dapat menjadi salah satu alternatif
pembelajaran yang dapat dicoba oleh guru untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa, (2) pendekatan CTL dapat diterapkan oleh guru pada materi
lainnya, dan (3) sebaiknya dalam penerapan CTL, guru harus dapat memanfaatkan
waktu dengan baik.
F. Daftar Pustaka
Bangsa, P., 2011. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis
Matematis Siswa SMP (skripsi). [Online], tersedia:
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_0704165_chapter1.pdf. Diakses:
14 Juli 2012.
Fatimah, S., 2012. Penerapan Model Pembelajaran Knisley dengan Metode
Brainstorming untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa SMA (skripsi). [Online], tersedia:
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mat_0606232_chapter1.pdf. Diakses:
14 Juli 2012.
Hake, R.R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. [Online],
tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain. Diakses 2
Maret 2012].
Johar, R., dkk., 2006. Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: Unsyiah.
Maheswari, Shavina. 2008. Penerapan Strategi Think-Talk-Write Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA: Penelitian Eksperimen terhadap
Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 3 Bandung Pada Pokok Bahasan Turunan (skripsi).
(Online),
tersedia:http://repository.upi.edu/operator/upload/s_d015_044461_chapter2.pdf.
Diakses: 8 Maret 2012.
Sanjaya, W., 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Kencana.
Shadish, W.R. dan Cook, T.D., 2002. Experimental and Quasi-Experimental Design for
Generalized Causal Inference. Boston: Houghton Mifflin Company.
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 15
KEEFEKTIFAN RESOURCE BASED LEARNING DENGAN JURNAL
REFLEKTIF TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MAHASISWA
MATEMATIKA
Arief Agoestanto Jurusan Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model Resource Based Learning dengan
jurnal reflektif efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada mata kuliah
Pengantar Probabilitas yaitu kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan
Pengantar Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas
secara klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar
Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif lebih tinggi dari
rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional. Populasi
penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 tahun perkuliahan 2013/2014. Dengan teknik simple
random sampling terpilih sampel rombel 2 sebagai kelas eksperimen dan rombel 3 sebagai kelas
kontrol. Data kemampuan pemecahan masalah diambil dengan metode tes. Data tersebut diuji
dengan uji proporsi dan uji t. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan pemecahan masalah
mahasiswa dengan pembelajaran model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif efektif
tuntas secara klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa kelas eksperimen lebih
tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa kelas kontrol, Jadi, pembelajaran
model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif efektif efektif terhadap kemampuan
pemecahan masalah.
Kata kunci: Keefektifan; Kemampuan Pemecahan Masalah; Resource Based Learning, jurnal
reflektif
A. Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi
modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya
pikir manusia (BSNP, 2007). Perkembangan teknologi modern yang pesat seperti
sekarang ini tidak lepas dari perkembangan matematika di berbagai bidang seperti teori
bilangan, aljabar, analisis, dan teori peluang. Penguasaan matematika sangat diperlukan
untuk menguasai dan menciptakan teknologi baru di masa mendatang. Matematika yang
diberikan kepada peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi
bertujuan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerjasama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak
pasti, dan kompetitif (Diknas, 2006). Ini berarti bahwa tujuan utama pendidikan
matematika adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik untuk dapat
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat
NCTM (1989) bahwa salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Selain itu ditegaskan pula
mengenai pentingnya pemecahan masalah dimana pemecahan masalah merupakan
bagian integral dalam pembelajaran matematika.
Namun demikian kegiatan pemecahan masalah merupakan kegiatan matematika
yang sangat sulit dilaksanakan baik bagi guru/dosen maupun oleh peserta
didik/mahasiswa. Tidak sedikit peserta didik yang kesulitan dalam memecahkan
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 16
masalah matematika. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ann, L (2004) yang
menyebutkan bahwa, guru-guru matematika melaporkan ketika peserta didik diberikan
masalah untuk diselesaikan, peserta didik mulai mencari solusi dari masalah tersebut,
tetapi sering berhenti di tengah jalan dan berakhir tanpa jawaban. Hal ini terjadi
terutama ketika masalah tersebut memerlukan lebih dari sekedar penerapan aturan atau
algoritma.
Demikian pula yang terjadi pada mahasiswa jurusan Matematika khususnya pada
mata kuliah Pengantar Probabilitas masih banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan
saat menghadapi soal pemecahan masalah. Hal ini didasarkan dari hasil belajar
mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas untuk semester gasal 2010/2011
hanya 30% mahasiswa yang bisa mengerjakan soal pemecahan masalah, demikian pula
pada perkuliahan semester gasal 2012/2013 hanya 32 % mahasiswa yang bisa
mengerjakan soal pemecahan masalah. Demikian juga dalam perkulihan dari
pengamatan dosen sebagian besar mahasiswa hanya bisa mengerjakan permasalahan
yang sudah pernah dibahas oleh dosen atau temannya yang berarti kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa masih kurang.
Mata kuliah pengantar Probabilitas merupakan mata kuliah yang diberikan pada
program S1 Pendidikan Matematika pada semester pertama. Soal-soal dalam mata
kuliah ini sangat banyak yang berbentuk soal pemecahan masalah, sehingga
kemampuan memecahkan masalah sangat diperlukan. Tetapi dari pengalaman hanya
beberapa mahasiswa yang punya kemampuan memecahkan masalah seperti yang
dilaporkan di atas. Walaupun dosen sudah berupaya mengatasi dengan membuat
kelompok diskusi dengan diberi kartu masalah, tetapi hasilnya belum ada peningkatan
yang signifikan.
Berdasarkan hasil kolaborasi tim dosen pengampu mata kuliah Pengantar
Probabilitas, sampailah pada suatu kesimpulan bahwa penyebab kurang berkembangnya
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa adalah kurangnya kemandirian mahasiswa
dalam belajar, termasuk didalamnya mencari beberapa sumber pendukung perkulihan.
Mahasiswa hanya mengandalkan bahan ajar yang diberikan oleh dosen, menunggu
jawaban teman atau dosen yang ,membahas permasalahan yang diberikan. Penyebab
lain diduga mahasiswa masih kurang menikmati keindahan matematika dan mecintai
matematika. Kurangnya mahasiswa menikmati keindahan matematika juga pernah
dilaporkan oleh Yan,J.(2010) yang menyebutkan bahwa hanya beberapa peserta didik
yang benar-benar dapat memahami apa yang telah mereka pelajari dan menikmati alam
matematika.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah adalah dengan menerapkan model pembelajaran Resource Based
Learning. Resource Based Learning adalah model pendidikan yang dirancang oleh
guru/dosen yang melibatkan secara aktif peserta didik dengan aneka ragam sumber
belajar, baik cetak maupun non-cetak (Campbell, 2002: 3). Sehingga dalam
pembelajaran guru/dosen bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik.
Melalui model pembelajaran ini, pembelajaran sepenuhnya berpusat kepada peserta
didik. Peserta didik diberi kebebasan memilih sumber belajar yang tepat untuk dirinya.
Selain itu, peserta didik dapat menemukan dan menyimpulkan sendiri pengetahuan baru
yang diperoleh sehingga peserta didik lebih trampil dalam memecahkan persoalan
matematika yang dihadapi.
Salah satu upaya agar mahasiswa bisa menikmati keindahan matematika dan
mecintai matematika dalam hal ini dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas adalah
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 17
dengan memotivasi mahasiswa agar bisa menikmati jalannya perkuliahan antara lain
dengan cara mahasiswa diminta mengkritik jalannya perkuliahan, baik kritikan untuk
dosen, teman maupun untuk diri sendiri, sehingga lambat laun bisa menerima jalannya
perkuliahan dengan hati senang. Hasil kritikan mahasiswa tersebut dapat ditulis dalam
bentuk jurnal reflektif (DBE3, 2011). Dengan jurnal reflektif yang ditulis mahasiswa
pada setiap akhir perkuliahan, dapat dijadikan bahan masukan untuk perbaikan
perkuliahan selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini
adalah; Apakah implementasi model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif
efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada mata kuliah
Pengantar Probabilitas?
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model Resource Based
Learning dengan jurnal reflektif efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah
mahasiswa pada mata kuliah Pengantar Probabilitas yaitu kemampuan pemecahan
masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas menggunakan model
Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas secara klasikal, rata-rata
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas
menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif lebih tinggi dari
rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pembelajaran konvensional.
B. Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 tahun perkuliahan
2013/2014 yang mengambil mata kuliah Pengantar Probabilitas sebanyak 5 rombel.
Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Sampel yang
terpilih dalam penelitian ini adalah mahasiswa rombel 2 sebagai kelas eksperimen dan
rombel sebagai kelas kontrol. Desain eksperimen dalam penelitian ini mengacu pada
Posttest-Only Control Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih
secara random. Kelompok yang diberi perlakuan disebut kelas eksperimen dan
kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelas kontrol. Desain eksperimen dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Desain Penelitian Posttest-Only Control Design
Kelompok Perlakuan Post-Test
Acak
Acak
Eksperimen
Kontrol
X
K
T
T
(Sugiyono, 2009)
Keterangan:
X = penerapan perkuliahn model RBL dengan jurnal reflektif
K = penerapan perkuliahan konvensional, dan
T = tes kemampuan pemecahan masalah.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan metode tes dan metode observasi.
Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang kemampuan pemecahan masalah.
Tes yang digunakan adalah tes bentuk uraian. Metode observasi digunakan untuk
memperoleh data aktivitas mahasiswa selama mengikuti pembelajaran. Lembar yang
digunakan adalah lembar pengamatan aktivitas mahasiswa.
Sebelum soal digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah, soal
tersebut terlebih dahulu diujicobakan. Uji coba soal tersebut digunakan untuk
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 18
mengetahui validitas, realibilitas, tingkat kesukaran, dan daya beda. Soal yang telah
diujicobakan kemudian digunakan untuk tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Setelah mendapatkan data kemampuan pemecahan masalah, data hasil tersebut
diuji normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan diuji homogenitas
menggunakan uji Lavene. Kemudian data tersebut diuji ketuntasan belajar klasikal
menggunakan uji proporsi, uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan masalah
menggunakan uji t.
C. Hasil dan Pembahasan
Penelitian dilakukan pada tanggal 9 September 2013 sampai dengan 28 Oktober
2013 di jurusan Matematika FMIPA UNNES dengan sampel kelompok eksperimen
rombel 2 dan kelompok kontrol rombel 3 mahasiswa pada mata kuliah Pengantar
Probabilitas.
Analisis data tahap awal terdiri atas uji normalitas, uji homogenitas dan uji
kesamaan dua rata-rata untuk memperoleh kesimpulan kedua sampel mempunyai
kemampuan awal yang sama atau tidak. Pada output uji Kolmogorov Smirnov data
awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,086 = 8,6 % > 5%, sehingga
diterima. Artinya, data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selain itu, pada
output uji Lavene data awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi =0,262 = 26,2 % >
5%, sehingga diterima. Artinya, varians homogen. Pada output uji banding
independent t test data awal SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,501 = 50,1 % >
5%, sehingga diterima. Artinya, tidak ada perbedaan rata-rata nilai awal dari kedua
kelas.
Berdasarkan hasil analisis tahap awal diperoleh data yang menunjukkan bahwa
kelas yang diambil sebagai sampel dalam penelitian berdistribusi normal dan
mempunyai varians yang homogen. Hal ini berarti sampel berasal dari keadaan yang
sama yaitu memiliki pengetahuan yang sama.
Pada output uji kolmogorov-smirnov data kemampuan pemecahan masalah SPSS
16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,154 = 15,4 % > 5%, sehingga diterima. Artinya,
data berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selain itu, pada output uji Lavene
data kemampuan pemecahan masalah SPSS 16.0 diperoleh nilai signifikansi = 0,755 =
75,4 % > 5%, sehingga diterima. Artinya, varians homogen.
Berdasarkan hasil uji proporsi, diperoleh simpulan bahwa H0 ditolak, artinya
proporsi siswa yang mencapai KKM lebih dari 80%. Dalam penelitian ini, ketuntasan
individual yang digunakan adalah 71 dan ketuntasan klasikal yang ditetapkan adalah
80%. Dari uji proporsi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran perkuliahan model RBL
dengan jurnal reflektif tuntas secara klasikal.
Uji hipotesis kedua yaitu uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan
masalah antara kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji t. Uji ini bertujuan
untuk mengetahui apakah rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa kelas
eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Dari output uji banding independent t
test data kemampuan pemecahan masalah SPSS 16.0, diperoleh sig hitug =0,000< sig
=0,05 jadi H0 ditolak yang berarti rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas
eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas
kontrol.
Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata kemampuan pemecahan masalah antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol, diperoleh kesimpulan bahwa rata-rata kemampuan
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 19
pemecahan masalah mahasiswa pada perkuliahn model RBL dengan jurnal reflektif
lebih tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam
perkuliahan konvensional
Hal ini karena mahasiswa yang diajar menggunakan perkuliahan model RBL
dengan jurnal reflektif terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Dengan adanya usaha
mencari beberapa literature pendukung baik di perpustkaan maupun lewat internet
mahasiswa termotivasi untuk belajar. Mahasiswa sering berpendapat waktu kuliah jadi
terasa sangat singkat karena perkuliahan tidak membosankan. Pada langkah diskusi
kelompok , hasil memecahkan masalah dikomunikan dengan anggota kelompok.
Adanya partisipasi dan komunikasi melatih mahasiswa untuk dapat aktif dalam
pembelajaran dan diperlukan adanya tanggung jawab perseorangan karena keberhasilan
kelompok sangat bergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Pada langkah
latihan individu mahasiswa mampu mengerjakan latihan-latihan yang diberikan oleh
dosen secara mandiri dan penuh dengan rasa tanggung jawab terhadap tugas tersebut.
Dengan selalu menulis kejadian yang dialami dan rencana perbaikan dalam jurnal
reflektif mahasiswa dilatih untuk jujur terhadap diri sendiri, sehingga terbangun
kemandirian dalam belajar. Dengan adanya kemandirian dari mahasiswa tersebut maka
mahasiswa tersebut telah menerapkan konsep gaya belajar mandiri.
Pada kelas kontrol, seringkali mahasiswa yang pandai merasa mampu untuk
menyelesaikan tugas sendiri, sedangkan mahasiswa yang kurang pandai hanya menyalin
saja. Pada kelas kontrol, kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang kurang tidak
cukup teratasi. Mahasiswa yang belum paham kadang takut untuk bertanya pada dosen.
Mahasiswa yang kurang berani berbicara akan terus diam selama pembelajaran. Dengan
tidak menulis hambatan dalam pembelajaran dengan jurnal reflektif mahasiswa kurang
tertata dalam mengatasi permasalahan dalam belajar, janji diri untuk memperbaiki cara
belajar juga tidak tampak.
D. Simpulan dan Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan Pengantar Probabilitas
menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal reflektif tuntas secara
klasikal, rata-rata kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam perkuliahan
Pengantar Probabilitas menggunakan model Resource Based Learning dengan jurnal
reflektif lebih tinggi dari rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa dengan
pembelajaran konvensional. Saran sebelum menerapkan Resource Based Learning
perlu disiapkan peralatan pendukung seperti internet yang lancar, sumber-sumber buku
yang memadai. Dalam menulis jurnal reflektif pada tahap awal mahasiswa perlu
didampingi sehingga benar-benar reflektif.
E. Daftar Pustaka
Ann, L. et al. 2004. Improving Analyzing Skills of Primary Students Using a Problem
Solving Strategy. Journal of Science and Mathematics Education in S.E. AsiaVol.
27, No. 1, pp. 33-35.
Arends, R. 2007. Learning to Teach (2th
Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
BSNP. 2007. Lampiran Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan.
Keefektifan Resource Based Learning dengan Jurnal
ISBN 978-602-1034-06-4 20
Butler, M. 2012. Resource-Based Learning and Course Design: A Brief Theoretical
Overview and Practical Suggestions. Law Library Journal, 2012, Vol. 104:2,
pp.219-244.
Campbell, L. et all. 2002. Resource-Based Learning. Law Library Journal, 2012, Vol.
104:2.
DBE3. 2011. Paket Pelatihan Kepala Sekolah Pengajaran Profesional dan
pembelajaran bermakna. Jakarta. DBE3.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Levene, H. 1960. Contributions to Probability and Statistics: Essays in Honor of
Harold Hotelling, I. Olkin, et. al., eds. Stanford University Press, Stanford, CA, pp.
278-292.
NCTM. 1989. Curriculum and evaluation. (Online).
http://www.fayar.net/east/teacher.web/math/Standards/previous/CurrEvStds/evals1
0.htm, diakses 25 Desember 2012)
Sobel, M.A. dan E.M. Maletsky. 1999. Teaching Mathematics: A Sourcebook of Aids,
Activities, and Strategies (3th
Ed.). Translated by Suyono. 2004. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, Erman 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA-FPMIPA UPI.
Yan, J. et al. 2010. An Interview with Bernard R. Hodgson about High-Efficiency
Mathematical Teaching Hypotheses. Journal of Mathematics Education, 2010,
Vol.3, No.2, pp. 183-195.
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 21
IMPLEMENTASI GROUP INVESTIGATION UNTUK
MENINGKATKAN PEMAHAMAN MAHASISWA TENTANG
PENDEKATAN ILMIAH MELALUI TELAAH KURIKULUM
MATEMATIKA 1
Ary Woro Kurniasih Jurusan Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
surel: [email protected]
Abstrak
Permasalahan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah: apakah dengan menerapkan
model pembelajaran group investigation dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa
tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1?. Tujuan
penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang
pendekatan ilmiah pada mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 melalui implementasi
group investigation. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus yang masing-masing siklus
terdiri dari 4 tahap. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil mata
kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 program studi pendidikan matematika sebanyak 32
mahasiswa. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan lembar
pengamatan pendekatan ilmiah, dan lembar pengamatan implementasi model GI. Hasil
siklus kedua untuk aspek pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah adalah rata-
rata hasil tes 88, persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah
mencapai 90,7%, dan kategori implementasi model GI adalah sangat baik. Berdasarkan
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa menerapkan group investigation dapat
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah telaah
kurikulum matematika 1.
Kata Kunci: group investigation, pendekatan ilmiah, pemahaman
A. Pendahuluan
Visi Unnes adalah menjadi Universitas Konservasi bertaraf internasional yang
sehat, unggul, sejahtera. Salah satu langkah yang ditempuh adalah pengembangan
Kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah Kurikulum Unnes 2012
Berbasis Kompetensi dan Konservasi. Kurikulum ini dikembangkan guna menjamin
ketercapaian penguasaan kompetensi keilmuan atau akademik sekaligus memberikan
jaminan tumbuhnya nilai-nilai karakter dan berbasis nilai-nilai konservasi. Kurikulum
baru ini telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang
Nomor 25/2012 tentang Kurikulum Program Sarjana dan Diploma Unnes.
Lulusan Unnes menurut Kurikulum Unnes 2012 (Unnes, 2013) harus memiliki dua
macam kompetensi yaitu kompetensi berbasis keilmuan dan kompetensi berbasis nilai-
nilai karakter konservasi. Program studi Pendidikan Matematika Jurusan Matematika
FMIPA merupakan salah satu program studi kependidikan yang ada di Unnes Oleh
karena itu, mahasiswa calon guru matematika Program studi Pendidikan Matematika
Jurusan Matematika FMIPA Unnes harus memiliki kedua macam kompetensi tersebut.
Operasional Kurikulum Unnes 2012 tercermin dalam tujuan program studi Program
Studi Pendidikan Matematika FMIPA Unnes yaitu (1) menghasilkan lulusan yang:
berkarakter dan profesional di bidang pendidikan matematika, bersikap dan bertindak
sebagai ilmuwan yang bermoral Pancasila dan berwawasan global; mampu
mengembangkan IPTEK dan menyesuaikan diri terhadap kemajuan jaman; memiliki
integritas di bidang kependidikan matematika yang tinggi, didukung oleh kemampuan
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 22
berbahasa Inggris dan penguasaan atas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK);
mampu melaksanakan penelitian di bidang pendidikan matematika yang berorientasi
pada pengembangan ilmu dan teknologi yang mengacu pada prinsip-prinsip Konservasi;
(2) melaksanakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang pendidikan
matematika berwawasan lingkungan; (3) menyebarluaskan gagasan, menyampaikan
inovasi kepada masyarakat luas di bidang pendidikan matematika yang berorientasi
pada pengembangan ilmu dan teknologi dan mengacu pada prinsip-prinsip konservasi;
(4) memperkuat jejaring dan kemitraan, baik pada skala nasional maupun internasional
untuk meningkatkan potensi keilmuan pendidikan matematika.
Berdasarkan tujuan program studi pendidikan Matematika FMIPA Unnes di atas
maka mahasiswa calon guru matematika perlu dibekali dengan prinsip-prinsip keilmuan
pendidikan khususnya pendidikan matematika baik secara teoritis maupun praktek.
Selain itu, mahasiswa juga perlu beradaptasi, mengenal, bersentuhan dengan fakta dunia
pendidikan yang ada di Indonesia saat ini. Dengan demikian, mahasiswa calon guru
matematika telah benar-benar siap lahir dan batin untuk nantinya menjadi pendidik.
Kurikulum yang dikembangkan di Indonesia saat ini adalah Kurikulum 2013. Salah
satu esensi penting dalam Kurikulum 2013 ini adalah proses pembelajaran menyentuh 3
kompetensi yang harus dikuasai peserta didik yaitu pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Agar peserta didik memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan tersebut, maka pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan ilmiah
(scientific approach). Pendekatan ilmiah yang dimaksud adalah mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi/eksperimen, mengasosiasikan/ mengolah informasi, dan
menyimpulkan. Penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2014) yang meneliti secara
kualitatif implementasi pendekatan ilmiah menemukan fakta bahwa kegiatan menanya,
menggali informasi, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan dalam pelajaran
biologi SMA belum sesuai dengan tujuan pembelajaran. Aktivitas mengamati saja yang
baru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
mahasiswa calon guru benar-benar memahami dan menerapkan pendekatan ilmiah
dalam settingan pembelajaran.
Mahasiswa calon guru matematika yang masih berada di semester 2 program studi
pendidikan matematika FMIPA Unnes belum mengetahui seutuhnya tentang Kurikulum
2013. Mahasiswa memperoleh sedikit informasi berkaitan dengan Kurikulum 2013 ini
melalui televisi, internet, koran, diskusi orang-orang yang terlibat secara langsung
maupun tidak langsung dengan implementasi Kurikulum 2013 ini. Lebih jauh lagi,
mahasiswa juga belum mengenal apa itu pendekatan ilmiah dalam pembelajaran.
Sosialisasi Kurikulum 2013 ini lebih banyak dilakukan kepada guru, kepala
sekolah, dinas pendidikan di daerah. Ada satu komponen yang belum mendapat
sosialisasi yaitu mahasiswa calon guru. Hal ini dapat dilihat dari hasil skripsi mahasiswa
Program studi Pendidikan Matematika Unnes tahun akademik 2013/2014, baru 2
mahasiswa dari 40 mahasiswa yang mengkaji implementasi Kurikulum 2013 khususnya
pendekatan ilmiah. Padahal mereka ini yang nantinya menjadi penerus pelaksanaan
Kurikulum 2013
Mata kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1 diberikan kepada mahasiswa
pendidikan matematika semester 2. Matakuliah ini mengkaji kurikulum pendidikan di
Indonesia khususnya matematika kelas VII dan VIII secara cerdas. Kajian yang
dilakukan berupa perkembangan kurikulum di Indonesia, perangkat pembelajaran
(Silabus, RPP, bahan ajar, dan instrumen penilaian), materi matematika dan
membelajarkan materi matematika sekolah kelas VII dan VIII. Pengkajian lebih dalam
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 23
sangat dianjurkan bagi mahasiswa dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar
online secara bertanggungjawab, tangguh, jujur dan toleran.
Berdasarkan fakta bahwa mahasiswa calon guru matematika di semester 2 masih
belum mengenal dengan baik Kurikulum 2013 (khususnya pendekatan ilmiah), dan
fakta baru dua hasil skripsi mahasiswa tahun 2013-2014 yang mengkaji Kurikulum
2013 khususnya pendekatan ilmiah maka diperlukan suatu pengembangan pembelajaran
yang mampu membantu mahasiswa mengaplikasikan pendekatan ilmiah pada
Kurikulum 2013 sehingga dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa. Penelitian ini
dilaksanakan pada mata kuliah Telaah kurikulum Matematika 1 karena dirasa sangat
cocok untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa menerapkan pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran.
Model pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa
tentang pendekatan ilmiah adalah Group Investigation (GI). Penelitian menggunakan
model pembelajaran group investigation untuk memudahkan mahasiswa merancang dan
mempraktekkan aktivitas-aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau
VIII yang mencerminkan pendekatan ilmiah. Untuk itu, mahasiswa secara berkelompok
mendiskusikan bahan rujukan tentang pendekatan ilmiah dan buku teks matematika
kelas VII dan atau VIII. Selanjutnya secara berkelompok mahasiswa mulai merancang
aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII untuk satu
kompetensi dasar yang dipilih. Tahap terakhir adalah mahasiswa masih secara
berkelompok mempraktekkan penggalan aktivitas pembelajaran yang sudah dirancang
dengan fokus utama adalah mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam membelajarkan
materi matematika yang dipilih. Hal ini didasari dengan fakta penelitian yang dilakukan
oleh Tsoi, Goh & Chia (2004) menemukan fakta bahwa model GI meningkatkan
belajar kooperatif dan keterampilan berpikir dalam proses belajar.
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam pendahuluan dapat dirumuskan
permasalahannya adalah: apakah dengan menerapkan group investigation dapat
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah melalui mata kuliah
Telaah Kurikulum Matematika 1? Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk
meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah pada mata kuliah
Telaah Kurikulum Matematika 1 melalui implementasi group investigation. Manfaat
penelitian ini adalah mahasiswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam
mensetting pendekatan ilmiah dalam pembelajaran matematika.
B. Tinjauan Pustaka
Group Investigation (GI) merupakan salah satu bentuk pembelajaran kooperatif.
Model ini dikembangkan dengan mengacu pandangan psikologi pendidikan Dewey
yaitu seseorang akan belajar bermakna apabila ia terlibat langsung dalam kegiatan
penemuan ilmiah. GI tidak dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang tidak
mendukung adanya dialog interpersonal dan dimensi sosial-afektif. Menurut Slavin
(1995), GI sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran yang berhubungan dengan
kemahiran, analisis, dan sintesis informasi untuk menyelesaikan masalah yang harus
diselesaikan dengan mempertimbangkan banyak hal. Dalam hal ini, tugas-tugas
akademik dalam pembelajaran GI adalah tugas yang membutuhkan kontribusi tiap
anggota kelompok mahasiswa. Tugas dalam GI bukan tugas sederhana untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan faktual (siapa, apa, kapan, dan sebagainya).
Fokus dari GI adalah perencanaan kooperatif mahasiswa untuk menemukan
sesuatu. Setiap anggota kelompok mengambil peran dalam menyelesaikan tugas dengan
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 24
menentukan apa yang akan diinvestigasi untuk menyelesaikan masalah, sumber-sumber
belajar apa yang dibutuhkan, pembagian tugas masing-masing anggota kelompok, dan
bagaimana mereka menyajikan hasil pekerjaan ke kelas. Peran dosen adalah sebagai
sumber belajar dan fasilitator. Dosen membimbing setiap diskusi kelompok yang
mengalami kesulitan, melihat hasil kerja setiap kelompok diskusi.
Model GI memiliki enam langkah pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping
(menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik,
merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari,
bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling
tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis
data, membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan,
merencanakan presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5)
presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-
masing mahasiswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan
hasil diskusi kelas, mahasiswa dan dosen berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran
yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan pada pencapaian
pemahaman).
Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan Kurikulum KTSP yang mulai
diberlakukan secara bertahap di tahun akademik 2013/2014. Kurikulum ini
dikembangkan atas dasar adanya tantangan internal dan eksternal. Berdasarkan
Permendikbud RI Nomor 59 tahun 2014, salah satu tantangan internal terkait dengan
perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia
produktif. Saat ini jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih
banyak dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua
berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai
puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu
tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya
manusia usia produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi
sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan melalui
pendidikan agar tidak menjadi beban.
Masih menurut Permendikbud RI Nomor 59 tahun 2014, salah satu tantangan
eksternal yaitu dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas
teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan
Indonesia di dalam studi International Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA)
sejak tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak
menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA.
Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS
dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum Indonesia.
Salah satu produk Kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah (scientific approach)
dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Menurut Permendikbud Nomor 81A
(2013) tentang implementasi kurikulum, bahwa salah satu ciri RPP yang sesuai dengan
Kurikulum 2013 adalah pada proses pembelajarannya terdiri atas kegiatan pembelajaran
pendekatan saintifik (5M) yaitu kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi/eksperimen, mengolah informasi (mengasosiasikan), serta
mengkomunikasikan. Menurut Kunandar (2013) implementasi pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran tidak hanya mendorong partisipasi aktif peserta didik di dalam kelas,
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 25
tetapi juga memberikan ruang yang cukup bagi prakarssa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Menurut Permendikbud Nomor 81A (2013) kegiatan mengamati terdiri dari
kegiatan membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat. Menanya
terdiri dari kegiatan mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari
apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa
yang diamati dimuali dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat
hipotetik. Mengumpulkan informasi/eksperimen dilakukan dengan cara melakukan
eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati
objek/kejadian/aktivitas, wawancara dengan narasumber. Mengasosiasikan/mengolah
informasi terdiri dari kegiatan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan
mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi, pengolahan informasi yang
dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada
pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki
pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Mengkomunikasikan terdiri
dari kegiatan menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subjek
penelitian adalah mahasiswa program studi pendidikan matematika jurusan matematika
FMIPA Unnes sebanyak 32 mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di semester genap
tahun akademik 2013-2014. Fokus dalam penelitian ini adalah pemahaman konsep
tentang pendekatan ilmiah melalui mata kuliah Telaah kurikulum Matematika 1. Untuk
mengukur pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah ini digunakan alat ukur tes
tertulis pada setiap akhir siklus dengan skor maksimum 100 dan lembar pengamatan
aktivitas pendekatan ilmiah dengan skor maksimum 100. Sedangkan untuk mengetahui
apakah implementasi model GI dapat meningkatkan pemahaman konsep tentang
pendekatan ilmiah digunakan instrumen lembar pengamatan implementasi model GI.
Seorang mahasiswa dikatakan memiliki pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah
yang baik apabila skor rata-rata hasil tes adalah 88 dan persentase mahasiswa yang
sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah minimal 85% dari 100 yaitu 85. Model GI
dikatakan dapat meningkatkan pemahaman konsep mahasiswa tentang pendekatan
ilmiah jika minimal kategorinya baik.
Penelitian dilaksanakan dalam 2 siklus, dimana masing-masing siklus terdiri dari
perencanaan (planning), pelaksanaan dan pengamatan (acting and observing) dan
refleksi (reflecting). Siklus pertama dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan yang
masing-masing pertemuan dilaksanakan dalam 2 jam pelajaran. Fokus utama pada
siklus pertama adalah mahasiswa secara berkelompok merancang aktivitas
pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII dengan pendekatan ilmiah
untuk satu kompetensi dasar yang dipilih.
Pada tahap perencanaan siklus pertama, peneliti mengembangkan instrumen
penelitian dan menentukan bahan-bahan pembelajaran. Bahan-bahan pembelajaran
dalam penelitian ini adalah rujukan tentang Kurikulum 2013, buku teks matematika
SMP kelas VII dan VIII dan rujukan tentang pendekatan ilmiah. Instrumen penelitian
ini adalah tes pemahaman konsep tentang pendekatan ilmiah, lembar pengamatan
implementasi model GI dan lembar pengamatan aktivitas pendekatan ilmiah.
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 26
Pada tahap pelaksanaan, pembelajaran diterapkan dengan model pembelajaran
group investigation. Pembelajaran dengan model ini dilaksanakan selama 3 pertemuan.
Pada pertemuan pertama, mahasiswa secara berkelompok mengembangkan indikator-
indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang dipilih. Pada pertemuan
kedua, mahasiswa secara berkelompok merancang penggalan silabus dengan fokus
utama adalah merancang aktivitas-aktivitas pendekatan ilmiah. Pada pertemuan ketiga,
masih secara berkelompok mahasiswa merancang penggalan RPP dengan fokus utama
adalah merancang kegiatan pembelajaran yang menerapkan pendekatan ilmiah.
Pada tahap pengamatan, dilakukan pengamatan terhadap implementasi model GI
selama proses pembelajaran. Selain itu, dilakukan pengamatan pendekatan ilmiah
mahasiswa dalam aktivitas pembelajaran yang disusunnya. Pada akhir siklus pertama ini
diadakan tes tertulis. Pada tahap refleksi, dilakukan analisis terhadap kekurangan
pelaksanaan pembelajaran di siklus pertama.
Pada siklus kedua, mahasiswa masih secara berkelompok mempraktekkan
penggalan aktivitas pembelajaran yang sudah dirancang dengan fokus utama adalah
mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam membelajarkan materi matematika yang
dipilih. Siklus kedua ini dilaksanakan selama 4 pertemuan yang masing-masing
pertemuan terdiri dari 2 jam pelajaran. Pelaksanaan siklus kedua ini dilaksanakan untuk
perbaikan-perbaikan berdasarkan hasil dari siklus pertama.
D. Hasil dan Pembahasan
Hasil dari siklus pertama menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes pemahaman
konsep tentang pendekatan ilmiah setelah mahasiswa secara berkelompok merancang
aktivitas pembelajaran matematika SMP kelas VII dan atau kelas VIII dengan
pendekatan ilmiah untuk satu kompetensi dasar yang dipilih adalah 81,0625, sedangkan
persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah baru mencapai
78,8%. Sedangkan hasil implementasi model GI sudah masuk kategori cukup baik.
Hasil siklus 1 ini belum sesuai dengan indikator yang ditetapkan yaitu rata-rata hasil tes
adalah 88, persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah adalah
minimal 85%, kategori implementasi model GI minimal baik. . Oleh karena itu, peneliti
memutuskan untuk memperbaiki pembelajaran dengan memperhatikan kekurangan-
kekurangan yang muncul pada pelaksanaan siklus 1 dengan melanjutkan pembelajaran
pada siklus kedua.
Hasil siklus kedua menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes adalah 88 dan persentase
mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pedekatan ilmiah dalam mempraktekkan
pendekatan ilmiah dalam membelajarkan materi matematika yang dipilih adalah 90,7%.
Sedangkan hasil implementasi model GI sudah masuk kategori baik. Hasil siklus kedua
ini sudah sesuai dengan indikator yang ditetapkan yaitu rata-rata hasil tes adalah 88,
persentase mahasiswa yang sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah adalah minimal
85%, kategori implementasi model GI minimal baik. Oleh karena itu peneliti
memutuskan untuk tidak melanjutkan ke siklus berikutnya karena penelitian telah
dikatakan berhasil.
Hasil siklus pertama baik diukur dengan tes, lembar pengamatan aktivitas
pendekatan ilmiah, dan lembar pengamatan implementasi model GI belum sesuai
dengan indikator yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena dua hal yaitu belum adanya
kerjasama yang baik antar anggota kelompok dalam melaksanakan tugas dan belum
jelasnya mahasiswa akan pendekatan ilmiah. Tugas yang diberikan adalah
mengembangkan indikator-indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 27
dipilih, merancang penggalan silabus dengan fokus utama adalah merancang aktivitas-
aktivitas pendekatan ilmiah, dan merancang penggalan RPP dengan fokus utama adalah
merancang kegiatan pembelajaran yang menerapkan pendekatan ilmiah. Pada saat
mengembangkan indikator-indikator pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar,
mahasiswa dapat berdiskusi kelompok dengan baik. Namun, dalam diskusi merancang
penggalan silabus dan merancang penggalan RPP mulai tidak berjalan dengan baik.
Pembelajaran hanya berlangsung selama 2 sks. Dalam jangka waktu 100 menit
pembelajaran di kelas, sangat tidak mungkin mahasiswa dapat maksimal melaksanakan
tugas merancang penggalan silabus dan RPP. Oleh karena itu, peneliti sudah
menyampaikan bahwa tugas dikerjakan secara berkelompok di luar jam perkuliahan,
dan jika mengalami kesulitan mahasiswa dapat berkonstultasi dengan pengampu (dalam
hal ini peneliti). Banyak kelompok yang tidak dapat melakukan diskusi di luar jam
perkuliahan karena tidak dapat bersepakat waktu diskusi. Terlebih lagi semua kelompok
anggotanya terdiri dari mahasiswa tingkat atas yang mengulang. Sedemikian sehingga
tidak didapatkannya waktu bersama mengerjakan tugas. Yang dilakukan mahasiswa
untuk mengatasi hal ini adalah adanya pembagian tugas antara satu mahasiswa dengan
mahasiswa lain dalam 1 kelompok. Hal inipun tidak berjalan dengan baik, terutama
dalam aktivitas merancang penggalan RPP. Ide-ide yang dimunculkan mahasiswa satu
dengan mahasiswa lain dalam 1 kelompok pada akhirnya tidak bisa sejalan (sinkron).
Selain itu, dalam 1 kelompok ada mahasiswa yang kewalahan dalam melaksanakan
tugas karena semua mahasiswa tersebut yang mengerjakan sedangkan mahasiswa yang
lain tidak mengerjakan (dalam hal ini menggantungkan pekerjaan pada teman 1
kelompok yang dianggap bisa).
Pendekatan ilmiah yang terdiri dari aktivitas mengamati, menanya, menggali
informasi, mengolah informasi, dan mengkomunikasikan belum sepenuhnya dipahami
mahasiswa. Dalam merancang aktivitas mengamati, setiap kelompok sudah dapat
mengimplementasikannya. Untuk aktivitas menanya, mahasiswa masih kesulitan dalam
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing peserta didik untuk
memahami konsep yang dipelajari dan kesulitan mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin dimunculkan peserta didik. Pertanyaan-pertanyaan yang
dimunculkan guru dalam membimbing peserta didik memahami konsep hanya sekedar
“ada yang mau ditanyakan?”. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dimunculkan
peserta didik hanya berupa “bagaimana cara mengerjakannya Pak/Bu guru?. Hal ini
berdampak pada kemampuan mahasiswa merancang menggali informasi peserta didik
juga kurang berhasil dikembangkan. Aktivitas mengolah informasi berhasil
dikembangkan karena yang mengolah informasi dalam hal ini adalah guru
(menerangkan materi). Padahal aktivitas mengolah informasi pada intinya dilakukan
oleh peserta didik dengan bimbingan guru. Untuk merancang aktivitas
mengkomunikasikan sudah berhasil dilakukan mahasiswa.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, dilakukan refleksi. Pengampu Mata kuliah
Telaah Kurikulum Matematika 1 (peneliti) meminta mahasiswa untuk mengaktifkan
diskusi. Akan ada penilaian diri sendiri untuk mengukur sejauh mana sumbangsih
masing-masing anggota kelompok dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, setiap
kelompok diwajibkan selalu berkonsultasi dengan pengampu di luar jam perkuliahan.
Refleksi yang dilakukan ternyata langsung direspon positif mahasiswa. Hal ini
berdampak pada berhasilnya siklus kedua. Siklus kedua terdiri dari 4 pertemuan yang
masing-masing pertemuan dilakukan aktivitas mempraktekkan pendekatan ilmiah dalam
setting pembelajaran kelas. Sebelum praktek dilakukan, masing-masing anggota
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 28
kelompok diberikan pembagian tugas. Setiap kelompok mengkonsultasikan apa yang
akan ditampilkan kepada dosen pengampu dan mempraktekkan di luar jam perkuliahan
apa yang akan dipraktekkan. Mahasiswa sudah mampu mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan yang membimbing dalam memahami konsep, mampu mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dimunculkan peserta didik (dan mensetting
pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan oleh mahasiswa lain yang berperan sebagai
peserta didik). Dengan demikian aktivitas menggali informasi juga berhasil
dilaksanakan. Berbekal hal tersebut, mahasiswa yang berperan sebagai peserta didik
juga sudah diaktifkan dalam menggolah informasi untuk memahami konsep. Aktivitas
mengamati dan mengkomunikasikan juga sudah berhasil dilaksanakan. Hal ini terlihat
dari lembar pengamatan aktivitas pendekatan ilmiah yang persentase mahasiswa yang
sesuai dengan kriteria pendekatan ilmiah mencapai 90,7%. Hasil tes tertulis mencapai
rata-rata 88 dan implementasi model GI juga terkategori sangat baik.
Keberhasilan model GI sebagai salah satu bentuk belajar kooperatif didukung
adanya aktivitas pembagian tugas untuk mempraktekkan penggalan RPP dengan fokus
implementasi pendekatan ilmiah. Setiap anggota kelompok mendapatkan bagiannya
masing-masing dan sebelum praktek, setiap anggota berlatih menjelaskan kepada teman
sekelompoknya. Angota kelompok yang lain memberikan masukan dan saran. Aktivitas
belajar seperti ini melatih mahasiswa untuk saling menjelaskan konsep, mendengarkan
dan memberikan masukan. Adanya aktivitas memberi dan menerima ini meningkatkan
pemahaman mereka tentang konsep yang akan disajikan (materi matematika yang akan
dipraktekkan) dan pendekatan ilmiah. Hal ini senada dengan yang dikatakan Webb
(2008) bahwa seseorang yang memperoleh banyak hal dalam bekerja secara kooperatif
adalah seseorang yang saling memberi dan menerima pengetahuan dengan penjelasan.
Sedangkan aktivitas saling memberi dan menerima jawaban tanpa adanya penjelasan
tidak mempengaruhi pemahaman konsep. Sharing di dalam kelompok ini membuat
mereka termotivasi untuk mempraktekkan pendekatan ilmiah dengan semaksimal
mungkin dan ada rasa tanggung jawab setiap anggota untuk memberikan hasil yang
maksimal. Hal ini didukung pernyataan Slavin (2009) yang menyatakan bahwa
pembelajaran kooperatif akan efektif jika ada tujuan yang harus dicapai atau ada
penghargaan atau penilaian dan adanya tanggung jawab setiap anggota kelompok.
Selain itu, dengan saling berbagi.
Diskusi kelompok pada siklus kedua dikatakan berjalan dengan baik dan
memberikan dampak yang baik pula. Mahasiswa dalam satu kelompok saling berbagi
pegetahuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doymus dan Simsek
(dalam AKÇAY & Doymus, 2012) yang menyatakan bahwa mendengarkan dan belajar
sesuatu dalam suatu kelompok bersifat menyenangkan dan menarik bagi mahasiswa dan
tipe aktivitas belajar ini memberikan motivasi mereka untuk belajar. Selain itu, menurut
Lazarowitz, Shachar, & Sharan (dalam Sharan, 1980), belajar dalam kelompok kecil
memberikan kebebasan kepada setiap anggota kelompok untuk berekspresi dan
bertanggungjawab atas apa yang dikerjakannya. Hal karena mereka merasa diberikan
kepercayaan dan merasa diterima oleh anggota kelompok lain.
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penerapan group investigation
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang pendekatan ilmiah melalui mata
kuliah Telaah Kurikulum Matematika 1. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan
Implementasi Group Investigation Untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 29
bahwa pendekatan ilmiah diterapkan pada setiap mata kuliah di jurusan matematika
FMIPA Unnes.
F. Daftar Pustaka
Akcay, N. O., Doymus, K. 2012. The Effects of Group Investigation and Cooperative
Learning Techniques Applied in Teaching Force and Motion Subjects on Students’
Academic Achievements, Journal of Educational Sciences Research Vol 2 No 1
Juni 2012, (Online), (http://ebad-
jesr.com/images/MAKALE_ARSIV/C2_S1makaleler/2%20%281%29%20-
%2007.pdf, diakses tanggal 11 Agustus 2014)
Kemendikbud. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor 81A tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Kemendikbud. 2014. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor 59 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik: Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik
Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Sharan, S. 1980. Cooperative Learning in Small Groups: Recent Method and Effects on
Achievement, Attitudes, and ethnic Relations. Review of Educational Research,
Vol 50 No 2, (online),
(http://links.jstor.org/sici/sici=00346543%28198022%2950%3A2%3C241%3ACLI
SGR%3E2.0.CO%3B2-X, diakses tanggal 22 September 2014)
Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.
Slavin, R. E. 2009. Cooperative learning. In G. McCulloch & D. Crook (Eds.),
International Encyclopedia of Education. Abington, UK: Routledge.
Tsoi, M.F., Goh, N.K., & Chia, L.S. 2004. Using group investigation for chemistry in
teacher education. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume
5, Issue 1, Article 6, p.1, (online),
(http://www.ied.edu.hk/apfslt/download/v5_issue1_files/tsoimf.pdf diakses tanggal
16 Juli 2014)
Unnes. 2013. Implementasi Kurikulum UNNES 2012 Berbasis Kompetensi dan
Konservasi. Semarang: Unnes
Wardani , E.R.S. dkk. 2014. Analisis kesesuaian kegiatan pembelajaran pendekatan
saintifik dengan tujuan pembelajaran di SMAN Mojokerto. Berkala ilmiah
Pendidikan Biologi. Vol 3. No 3. (Online),
(http://ejournal.unesa.ac.id/idex.php/bioedu, diakes tanggal 11 September 2014)
Webb, N. 2008. Co-operative Learning, in T.L. Good (ed.), 21st Century Education: A
Reference Handbook. Thousand Oaks, CA: Sage
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 30
TINJAUAN PERAN TEKNOLOGI DALAM PENGAJARAN
GEOMETRI
Hery Sutarto Jurusan Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Teknologi mempunyai peranan yang besar sebagai media untuk memerlancar terjadinya proses
pembelajaran yang powerfull. Tekanan penggunaan teknologi di dalam proses pembelajaran
tampak dari dokumen NCTM maupun Dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Peranan teknologi tersebut tersebut juga menjadi perhatian mahasiswa yang berusaha
menghadirkan pembelajaran dengan kesan modern. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
mahasiswa yang mengangkat apa yang disebut Dynamic Geometri Software di dalam risetnya
melalui skripsi. Tetapi dirasakan penggunaan perangkat-perangkat tersebut belum digunakan
sebagaimana mestinya, sehngga mengakibatkan persepsi yang keliru terhadap esensi Dynamic
Geometri Software serta esensi matematika itu sendiri, terutama berkaitan dengan pem-bukti-an
di dalam matematika. Hasil penelitian ini diharapkan adanya pembenahan mindset pada
mahasiswa terhadap peran teknologi, terutama apa yang disebut Dynamic Geometri Software
dalam pembelajaran geometri.
Kata Kunci : toknologi; geometri; tinjauan.
A. Pendahuluan
Dewasa ini terjadi perubahan paradigma pembelajaran dari yang berpusatpada
pendidik ke yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran yang berpusatpada peserta
didik menjamin terlaksananya pembelajaran bermakna. Dalam pembelajaranseperti ini,
parapeserta didik didorong membangun sendiri pemahamannya, dan pendidikberperan
hanya sebagai fasilitator. Dalam hal ini, pendidik bukanlah satu-satunya
sumberpengetahuan bagi peserta didik. Sumber pengetahuan tersebut
sesungguhnyademikian banyak dan semuanya berada dalam lingkungan sekitar,
sehinggapeserta didik dituntut lebih aktif dan kreatif dalam belajar.
Perubahan paradigma pembelajaran seperti yang digambarkan di atas menuntut
perubahan prosespembelajaran dan hal lain termasuk yang berkaitan dengan sarana
danprasarana. Sarana dan prasarana seyogyanya dirancang agar pembelajaranyang
berpusat pada peserta didik dapat terlaksana secara optimal. Padakenyataannya sebagian
besar sarana dan prasarana pada berbagai jenis danjenjang pendidikan di Indonesia
belum mendukung terlaksananya pembelajaran yang diinginkan.
Pada abad ke-21 matematika telah membawakan suatu kegiatan intelektual dengan
tingkat kecanggihannya yang tinggi, meskipun matematika sendiri tidak mudah untuk
didefinisikan.Perkembangan TIK telah memberikan pengaruh terhadap dunia
pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran.Tidak lagi bisa dipungkiri bahwa
tekonologi sudah masuk ke dalam area pendidikan. Tinggal bagaimana kita sebagai
pendidik mempersiapkan, mensiasati, dan mengoptimalkannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, pemerintah dengan serius menanggapi sejak lima tahun yang lalu dengan
menyusun Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2010,
dengan tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan, yaitu lulusan yang terampil,
kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 31
tantangan dan perubahan (Depdiknas, 2005). Rencana tersebut meliputi upaya
peningkatan kemampuan tenaga pengajar, penyediaan sarana dan prasarana belajar yang
lebih memadai, mengembangkan kurikulum, memperbanyak sumber dan bahan ajar,
menciptakan model-midel pembelajaran, serta meningkatkan penguasaan Information
Communication Technology (ICT). Hal senada juga dimunculkan secara tertulis
didalam dokumen KTSP, bahwa untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran,
sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti
komputer, alat peraga, atau media lainnya (Depdiknas, 2006). Pentingnya penggunaan
tekonologi komputer di dalam pembelajaran matematika didukung oleh NCTM dalam
beberapa tahun terakhir ini. Hal ini ditunjukkan, NCTM mencantumkan satu dari
sembilan prinsip belajar dan pembelajaran matematika berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi (NCTM, 2000).
Mahasiswa Jurusan matematika, Prodi Pendidikan Matematika dalam menyusun
skripsi dibatasi untuk melakukan penelitian pada sekolah-sekolah pada jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagaian besar materi
yang diambil di dalam risetnya, yaitu segiempat dan segitiga jika risetnya pada SMP.
Sedangkan pada jenjang SMA mahasiswa mengambil materi bangun ruang. Hal ini
dikarenakan mahasiswa menyelesaikan pembuatan proposalnya setelah menempuh mata
kuliah Dasar-dasar Penelitian Pendidikan Matematika dan maetri yang mau
dilaksanakan disekolah pada saat yang bersamaan adalah materi segiempat pada jenjang
SMP. Sedangkan pada jenjang SMA adalah materi bangun ruang.
Tampak mulai tahun 2011 para mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika
mulai mengenal apa yang disebut Dynamic Geometri Software (DGS). Penelitian-
penelitian yang memanfaatkan keberadaan DGS tersebut mulai banyak dilakukan oleh
siswa. DGS yang dimanfaatkan oleh mahasiswa diantaranya adalah Geometri Cabri II,
the Geometers’ Skechpad, dan Geogebra. Sedangkan untuk bangun ruang mahasiswa
menggunakan Cabri 3D. Tetapi gejala yang dirasakan oleh penulis ketika beberapa kali
menguji skripsi tersebut ada kejanggalan-kejanggalan yang berkenaan dengan cara
penggunaan dan memperlakukan Dynamic Geometri Software tersebut. Sehingga
masalah yang diangkat pada tulisan ini adalah apakah mahasiswa sudan menggunakan
dan memperlukan Dynamic Geometri Software ini sebagaimana fungsinya.
B. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif
dengan metode dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan dengan mendokumentasikan
skripsi-skripsi dari mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika mulai tahun 2011
sampai dengan tahun 2014. Skripsi yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah
skripsi yang mencantumkan penggunaan Dynamic Geometery Software (DGS) seperti
The Geometers’ Sketchpad, GeoGebra, Cabri 3D, Cabri II, MicrosoftMath dan lain
sebagainya. Tidak termasuk di dalamnya skripsi yang menggunakan bantuan CD
pembelajaran.Hal ini dikarenakan sesuai dengan standar NCTM bahwa penggunaan CD
yang hanya berupa aktivitas menonton oleh siswa, tidak termasuk dalam software
interaktif.
Dari data yang terkumpul yang berupa skripsi tersebut kemudian dilakukan kajian
mendalam terhadap isi dan instrumen penelitian terutama pada media/produk yang
digunakan, rancangan pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa, dan gambaran
pelaksanaan pengajaran di kelas ketika mahasiswa melakukan pengajaran. Kegaiatan
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 32
0
5
10
15
20
Kuantitas
Tabel 1: Banyaknya mahasiswa melakukan penelitian dengan Dynamic Geometry Software
2011 2012 2013 2014
pengumpulan data ini diperoleh gambaran menyeluruh yang dilakukan oleh mahasiswa
pada software yang digunakan tersebut.
C. Hasil dan Pembahasan
Riset yang dilakukan oleh mahasiswa melalui skripsi yang mengangkat Dynamic
Geometery Software sebagai alat bantu pembelajaran dari tahun 2011 sampai dengan
tahun 2014 dapat ditunjukkan pada Tabel 1 di bawah ini.
Belum begitu banyak memang, tetapi terdapat fenomena yang menampakkan
adanya masalah di dalamnya. Tampak semenjak tahun 2012 terjadi penurunan sampai
pada tahun 2014 hampir tidak ada lagi yang mengkaji tentang Dynamic Geometery
Software. Setelah mendapatidata tersebut, selanjutnya dilakukan kajian terhadap isi
skripsi setelah melakukan penyaringan dari skripsi-skripsi yang menjadi koleksi
perpustakaan Jurusan Matematika. Berikut ini adalah temuan-temuan selama dilakukan
pengkajian terhadap riset yang dilakukan oleh mahasiswa.
Gambar 1 Penggunaan The Geometers Sketchpad dalam penelitian mahasiswa
Tampak pada Gambar 1 di atas mahasiswa menggunakan bantuan the Geometers
Sketchpad dalam penelitiannnya. Tetapi mahasiswa mengfungsikan software tersebut
layaknya media presentasi powerpoint. Tidak tampak ada aktivitas yang berarti dan
tepat dari penggunaan software tersebut. Hal ini tidak sesuia dengan prinsip pnggunaan
dynamic geometri software yang mengedepankan eksplorasi kreatif, generalisasi dann
induksi melalui manipulasidinamis (Chaves, 2000).
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 33
Gambar 2 Penggunaan Cabri 3D dalam penelitian mahasiswa
Sedangkan pada Gambar 2 diatas, mahasiswa menggunakan Cabri 3D dalam
penelitiannya. Tetapi mahasiswa tersebut menggunakan software tersebut dalam
menyelesaikan problem secara langsung, tidak disertai aktivitas dari siswa. Lebih
parahnya lagi mahasiswa menganggap bahwa apa yang dilakukan dengan software
tersebut sebagai “pembuktian”.
Temuan-temuan di atas sedikitnya memberikan gambaran yang kurang tepat dari
penggunaan Dynamic Geometry Software tersebut. Jika penggunaan Dynamic Geometry
Software, maka tidak akan menjadikan siswa menjadi pintar, cerdas melainkan akan
menjadikan siswa bodoh. Yang perlu di ingat, bahwadalam pembelajaran matematika
yang paling penting ditekankan adalah ketrampilan dalam proses berpikir. Siswa dilatih
untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, dan
konsisten. Untuk membantu dalam proses berpikir tersebut, gambar dan atau animasi
dapat digunakan. Dynamic Geometry Softwaredapat berperan di sini, tetapi bukan
“pembuktian”.Dynamic Geometry Softwarehanya sebagai alai bantu melakukan
eksplorasi kreatif dengan manipulasi yang dinamis. Tetap kerja matematika harus
dikedepankan. Hal ini juga sesuai dengan isu perkembangan pada level internasional
tentang pendidikan adalah belajar dan pembelajaran pembuktian matematika dari
berbagai sudut pandang. Sehingga kemampuan siswa untuk melakukan eksperikemen
dalam suatu problem pembuktian merupakan metode dasar dari belajar matematika
(David & Hersh,1982), dan merupakan pendekanatan atau perolehan yang dipakai
dalam ilmu sains.
Proses pembelajaran pembuktian matemmatika bisa di bawa dalam berbagai cara
yang berbeda, tergantung dari waktu dan faktor loka lainnya. Dalam matematika, bukti
didefinisikan sebagai argumen matematis, berupa rangkaian pernyataan yang logis
untuk menerima atau menolak suatu ketetapan (Lo & Raven, 2008). Argumen
matematis yang digunakan berdasarkan pada kebenaran dalam tata nalar deduktif
aksiomatif. Seringnya para siswa mengalami kesulitan ketika di bawa kedalam
kemampuan membuktikan. Tidak hanya perasaan untuk apa melakukan suatu
pembuktian. Dinamakan pemahaman yang terbatas terhadap pembuktian secara empiric
dan pembuktian secara deduktif. (Chazan, 1993).
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 34
Di dalam buku modern geometry terdapat proses pembuktian yang “lengkap” yang
memungkinkan siswa melakukan aktivitas yang bermakna untuk sampai pada puncak
pembuktian yang sesungguhnya di dalam matematika yaitu bukti formal atau bukti
secara deduksi aksiomatis. Rangkaian kegaiatan tersebut digambarkan di bawah ini.
Deskriptif Geometry ► Geometric Construction ► Observation ►
Conjecture ► Testing ► Belief ► Informal Eksplanation ► Proof.
(David. A,:49: 2001)
Kemudian penulis menganalisa bahwa ada rangkaian kegiatan yang tidak bisa dilakukan
tanpan adanya Dynamyc Geometry Software tersebut, yaitu aktivitas Observation,
Conjecture, Testing, Belief, dan Informal Ekspalnation. Disinilah peran Dynamyc
Geometry Softwareyang sesungguhnya. Gambarannya sebagai berikut.
Gambar 3: Fungsionalisasi Dynamic Geometry Sofwarepada kotak yang berwarna orange
D. Simpulan dan Saran
Bukti bukanlah suatu topik di dalam matematika, tetapi merupakan bagian penting
dalam doing mathematics. Dynamic Geometry Software bukanlah alat untuk
membuktikan. Alat ini dapat menggeneralisasi suatu contoh yang dapat membentu
siswa memberikan alasan secara induktif dan membuat suatu konjekture. Dynamic
Geometri Software mempunyai peluang memberikan suatu proses pembelajaran yang
pennuh aktivitas jika digunakan sebagaimana mestinya. Mahasiswa perlu pemahaman
yang mendalam tentang proses pembuktian di dalam geometri dan penggunaan software
tersebut di dalam pembelajaran, sehingga dapat menempatkan peran dan fungsi
Dynamic Geometry Software tersebut dengan tepat.
E. Daftar Pustaka
Cha´vez, O´ scar. Geometry, Technology, and the Reasoning and Proof Standard in the
Middle Grades with the Geometer’s Sketchpad. University of Missouri.
http://www.keypress.com/sketchpad/sketchtalks.html
Chazan, D. (1993). High school geometry students’ justifications for their views of
empirical evidence and mathematical proof. Educational studies in mathematics,
24(4), 359- 387.
David, P. J. & Hersh, R. (1982).The mathematical experience. Boston:
BirkäuserBoston.
David, A. 2002. Modern Geometry. Brooks/Cole Thomson Learning: Ball State
University
Tinjauan Peran Teknologi dalam Pengajaran Geometri
ISBN 978-602-1034-06-4 35
Garry, T. (2003). The Geometer’s Sketchpad na sala de aula. In E. Veloso &
N.Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica: selecção de textos do livro
Geometryturned on! (pp. 69-78). Lisboa: APM.
Irfan Naufal Umar* and Nurullizam Jamiat. Pola Penyelidikan Ict Dalam Pendidikan
Guru Di Malaysia: Analisis Prosiding Teknologi Pendidikan Malaysia. Asia Pacific
Journal of Educators and Education, Vol. 26, No. 1, 1–14, 2011
Keyton, M. (2003). Alunos descobrem a geometria usando software de
geometriadinâmica. In E. Veloso & N. Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica:
selecção detextos do livro Geometry turned on! (pp. 79-86). Lisboa: APM.
King, R. J. & Schattschneider, (2003). Tornar a geometria dinâmica. In E. Veloso &
N.Candeias (Orgs.), Geometria dinâmica: selecção de textos do livro
Geometryturned on! (pp. 7-13). Lisboa: APM.
Leonor Santos & Sílvia Machado. Mathematical proof and the Geometer’s Sketchpad .,
Lisbon University., Setúbal Higher School of Education.
M. Salman A.N. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam
Pencapaian Standar Nasional Pendidikan yang Terkait dengan Pembelajaran
Matematika
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards of school
mathematics.Reston, VA: NCTM.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 36
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MAHASISWA
MEMILIH PROGRAM STUDI DI JURUSAN MATEMATIKA
UNESA DENGAN MENGGUNAKAN ANALISA DISKRIMINAN
Hery Tri Sutanto Jurusan Matematika, FMIPA, Unesa
Jl. Ketintang, Surabaya
Surel: [email protected]
Abstrak
Setelah lulus Sekolah Menengah Atas siswa akan mengalami kesulitan dalam memilih program
studi apa yang akan diambil dan Universitas mana yang akan dipilih untuk menimba ilmu
pengetahuan. Dalam mengambil keputusan penentuan program studi Matematika di Jurusan
Matematika Matematika Fakultas MIPA Unesa Surabaya dipengaruhi dorongan orang tua,
kesukaan siswa terhadap Matematika, dirinya sendiri, dorongan dari teman sejawat, setelah lulus
mudah mencari pekerjaan dan terpaksa dari pada tidak kuliah. Dengan menggunakan analisis
diskriminan ternyata pemilihan program studi matematika dipengaruhi oleh dorongan orang tua
dan dorongan yang berasal dari diri sendiri .
Kata kunci : Program studi, orang tua, diri sendiri, dan diskriminan
A. Pendahuluan
Setiap orang mempunyai harapan dan cita-cita. Harapan dan cita-cita yang menjadi
idaman setiap orang adalah memperoleh pekerjaan sesuai yang diinginkan. Harapan-
harapan itu timbul karena orang tersebut memperhatikan kehidupan yang akan datang
dan minat dan cita-cita terhadap pekerjaan telah dipilih dengan mantap seseorang pada
saat masih remaja (Mappiare, 1982).
Menurut Hurlock (dalam Mappiare, 1982) berdasarkan bentuk-bentuk
perkembangan dan pola perilaku yang kelihatan khas pada remaja dibagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok remaja awal (umur 13/14 tahun sampai 17 tahun) dan remaja
akhir ( umur 17 sampai 21 tahun). Pada remaja akhir umumnya anak tersebut Kelas III
SMA atau sudah masuk perguruan tinggi. Salah satu perkembangan yang penting yang
terdapat pada remaja akhir menurut Havighurst (dalam Mappiare, 1982) adalah memilih
dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan.
Siswa yang masih duduk di bangku SMA kelas III yang akan lulus mempunyai
masalah tentang pemilihan jurusan di perguruan tinggi yang ia dambakan. Jika mereka
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, maka pemilihan lapangan pendidikan, jenis
sekolah dan jurusan yang akan dipilih. Keputusan tersebut sangat penting karena
pilihan-pilihan mempunyai resiko jangka panjang (pekerjaan dan masa depan) dalam
kehidupan mereka (Rice,1999).
Untuk memilih program studi di perguruan tinggi merupakan keputusan yang sulit
bagi remaja akhir, karena banyak lulusan SMA yang mengalami kebingungan
menentukan pilihan sekolah atau jurusan. Kebingungan ini terjadi karena menurut
Moore, Jansen dan Hauk (dalam Rice, 1999), pengambil keputusan mereka merupakan
proses yang rumit. Remaja yang mengalami kebingungan mulai bertanya-tanya kepada
orang tua atau teman mengenai pelajaran atau pekerjaan yang kelak akan berhubungan
dengan jenis jurusan yang mereka pilih.
Dalam pemilihan jurusan ada beberapa orang tua yang memilih dan memaksakan
kehendaknya pada anak untuk berkuliah sesuai pilihan orang tua. Orang tua memilih
jurusan tanpa memperhatikan minat anaknya sehingga anak dalam melaksanakan kuliah
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 37
terasa sebagai beban dan tidak mempunyai motivasi. Beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam memilih jurusan adalah minat. Kadang-kadang minat tidak
diperhatikan oleh siswa dan orang tua. Pemilihan jurusan yang sesuai dengan minat
akan mendorong motivasi belajar. Motivasi akan mendorong prestasi belajar. Motivasi
mempunyai peranan untuk mencapai tujuan seseorang. Mahasiswa yang kuliah tidak
sesuai dengan minatnya menyebabkan prestasi belajarnya rendah. Oleh karena itu
motivasi sangat dibutuhkan dalam proses belajar, karena sesuatu itu kalau dipaksakan
akan berpengaruh terhadap hasil yang diperolehnya. Sesuatu yang dikerjakan tidak
sesuai dengan kebutuhannya akan membuat orang tidak mempunyai motivasi. Sesuatu
yang menarik minat orang tua belum tentu menarik untuk anak selama tidak berkenan
dengan kebutuhannya.
Dalam menentukan jurusan di perguruan tinggi, pada umumnya, ada beberapa
faktor yang mempengaruhi remaja akhir dalam menentukan pilihan, misal: minat remaja
akhir, aspirasi remaja akhir, minat orang tua, aspirasi orang tua dan kesan-kesan
(mengenai gengsi ) dari teman-teman sebaya remaja yang bersangkutan (Mappiare,
1982). Setelah lulus Sekolah Lanjutan Atas, siswa akan mengalami masalah dalam
memilih program studi apa yang akan diambil dan Universitas mana yang merupakan
tempat untuk menggali ilmu pengetahuan untuk melanjutkan ke tingkat lebih tinggi.
Dalam mengambil keputusan penentuan program studi dan universitas mana diperlukan
pemikiran yang cermat dan matang. Dalam mencari kuliah, siswa perlu
mempertimbangkan beberapa alasan yang tepat untuk menentukan program studi
tertentu.
Memilih perguruan tinggi merupakan keputusan yang akan berpengaruh masa
depan seseorang. Proses pengambil keputusan yang terdiri dari: penetapan tujuan,
pembatasan, analisis masalah, mencari alternatif, penilaian dan pengambil keputusan.
Proses pengambilan keputusan perlu dimengerti oleh lulusan SMA sewaktu akan
memasuki perguruan tinggi, sehingga dalam mengambil keputusan lebih effektif. Jika
seorang lulusan SMA ingin melanjutkan di perguruan tinggi, maka siswa tersebut
mempunyai tujuan dimasa depan yaitu menjadi dokter, manajer, guru, ilmuwan dan
seterusnya. Untuk merealisasikan tujuan tersebut siswa harus mempersiapkan diri jauh-
jauh hari sejak siswa masuk kelas I SMA .
Proses pemilihan program Studi Matematika di Jurusan Matematika Fakultas MIPA
Unesa Surabaya akan banyak variabel dan merupakan persoalan yang rumit.Salah satu
metode untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan analisa multivariat.
Analisa multivariat yang digunakan penelitian adalah analisa diskriminan dengan
variabel tak bebas berupa keputusan mahasiswa menentukan program studi Matematika
Unesa Surabaya.
Berdasarkan latar belakang diatas timbul masalah dibawah ini: (1) Faktor-faktor
apa yang mempengaruhi mahasiswa dalam menentukan program studi Matematika di
Jurusan Matematika MIPA Unesa ? (2) Analisa apa yang digunakan untuk mempelajari
penelitian ini ?. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi mahasiswa dalam menentukan program studi Matematika MIPA Unesa.
(2) Untuk mengetahui analisa yang digunakan mempelajari penelitian ini. Penelitian ini
bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan studi baru Matematika
dari setiap jurusan matematika di Universitas yang berasal dari LPTKi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 38
B. Tinjauan Pustaka
1. Analisa Diskriminan
Analisa diskriminan merupakan analisa multivariat dengan metode dependensi
yang bertujuan untuk mempelajari hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variabel)
bebas dengan satu atau lebih variabel tak bebas, dimana varibel tak bebas berupa
kategori sedangkan variabel bebas berupa numerik. Apabila variabel tak bebas
dikelompokkan menjadi 2 kelompok (kategori) dinamakan analisa diskriminan.
Analisa diskriminan adalah metode statistik untuk mengelompokkan sejumlah
obyek kedalam beberapa kelompok berdasarkan beberapa variabel, sedemikian hingga
setiap obyek menjadi anggota dari salah satu kelompok. Model analisa diskrimanan
yang digunakan adalah sebagai berikut:
Dimana:
D = skor dari responden atau variabel tak bebas.
= variabel bebas ke i, i=1,2....,n
= koefisien dari variabel bebas ke i
2. Remaja
Remaja berasal dari bahasa Latin adolensance yang berarti tumbuh menjadi
dewasa.Adolensence mempunyai arti lebih luas yang terdiri dari kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik (Hurlock,1992).Menurut Sri Rumini dan Siti Sundari
(2004:53) masa remaja adalah peralihan dari masa anaka dengan masa dewasa yang
mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa
dewasa berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13
tahun sampai 22 tahun bagi pria.
Definisi remaja yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi yang
dikemukakan oleh Gunarsa (1980) yang mengatakan bahwa masa remaja merupakan
masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana mereka
mengalami berbagai macam perubahan yang cukup berarti, baik dari segi jasmani,
intelektual, kepribadian, dan peranan di dalam maupun di luar lingkungan. Selain itu,
menurut Papalia dan Olds (2001) masa remaja merupakan masa transisi antara masa
anak dan masa dewasa, dimana perubahan yang utama terjadi pada fisik, kognitif dan
emosional.
Menurut Hurlock (dalam Mappiare, 1982), berdasarkan rentang usia masa remaja
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni: (1) Masa remaja awal, yang umumnya
berusia antara 13/14 tahun sampai 17 tahun dan (2) Masa remaja akhir, yang umumnya
berkisar antara usia 17 tahun sampai 21 tahun.
Pada Hukum perdata Indonesia batasan usia 21 tahun (atau kurang dari 21 tahun
sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang (pasal 330 KUHP Perdata).
Anak-anak yang berumur kurang dari 21 tahun masih membutuhkan wali (orang tua
untuk melakukan tindakan hukum perdata ( misal mendirikan perusahaan atau membuat
perjanjian dihadapan pejabat hukum). Disamping itu hukum pidana memberi batasan 16
tahun sebagai usia dewasa (pasal 45,47,KUHP). Anak-anak yang kurang dari 16 tahun
masih menjadi tanggung jawab orang tuanya kalau ia melanggar hukum pidana.
Tingkah laku mereka yang melanggar hukum ( misal :mencuri) belum termasuk
kejahatan tetapi dinamakan kenakalan. Kalau ternyata kenakalan anak itu sudah
membahayakan masyarakat dan patut dijatuhi hukuman oleh negara, dan orang tuanya
ternyata tidak mampu mendidik anak tersebut lebih lanjut, maka anak itu menjadi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 39
tanggung jawab negara dan dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus
anak-anak.
3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja
Menurut Havighurst (dalam Rice, 1990; Mappiare, 1982) ada beberapa tugas
perkembangan remaja seperti berikut ini:
a. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
b. Memiliki hubungan baru dengan teman sebaya, baik dengan sesama jenis maupun
dari jenis kelamin yang berbeda
c. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lain.
d. Memilih dan mempersiapkan diri pada suatu pekerjaan atau jabatan.
e. Mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga.
f. Dapat berperilaku yang diperbolehkan masyarakat.
g. Menyusun nilai-nilai kata hati sesuai dengan gambaran dunia, yang diperoleh dari
ilmu pengetahuan.
h. Mendapatkan peran sosial yang sesuai dengan jenis kelamin yang mereka miliki.
Menurut Mappiare (1982) ada beberapa ciri-ciri penting yang umumnya dialami
oleh remaja akhir, yang membedakannya dengan remaja awal. ciri-ciri penting tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Stabilitas secara fisik maupun psikis mulai timbul dan meningkat.
b. Citra diri dan sikap-pandangan lebih realistis.
c. Lebih matang dan tenang dalam menghadapi suatu permasalahan.
4. Pengambilan Keputusan
Menurut Assael (1994:21) pembuatan keputusan konsumen terdiri dari atas proses
merasakan, mengevaluasi informasi merek produk dan mempertimbangkan bagaimana
alternatif merek dapat memenuhi ketentuan konsumen, dan pada akhirnya memutuskan
merek yang akan dibeli. Ada tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen, yaitu 1)
faktor internal, artinya pilihan konsumen untuk membeli produk dengan merek tertentu
dipengaruhi oleh hal-hal yang melekat pada diri konsumen seperti motivasi, kebutuhan,
persepsi dan sikap; 2) faktor lingkungan eksternal, interaksi sosial yang dilakukan oleh
seseorang akan turut mempengaruhi pilihan merek produk yang akan dibeli dan 3)
faktor stimuli atau strategi komunikasi, yaitu variabel yang dikehendaki oleh pemasar,
pemasar berusaha mempengaruhi konsumen dengan menggunakan stimuli-stimuli
komunikasi seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia memilih merek produk
yang ditawarkan. Menurut Siagian (1990), pengambilan keputusan merupakan suatu
proses dimana seseorang menjatuhkan pilihannya pada berbagai alternatif pilihan yang
ada.
Menurut Zavalloni (dalam McCall, 1967), pengambilan keputusan merupakan
proses yang sangat panjang, dan biasanya proses tersebut dikenal dengan Voluntary
Choice. Proses pengambilan keputusan (voluntary choice) memiliki beberapa tahapan,
seperti:
a. Motivation: Merupakan suatu tahapan dimana seseorang tergerak untuk mengambil
keputusan karena adanya alasan-alasan yang kuat, yang dapat mendorong mereka
untuk menjatuhkan pilihan atas beberapa alternatif yang ada.
b. Deliberation: Merupakan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan seseorang
sebelum mengambil keputusan. Dalam tahap ini, seseorang pada umumnya
melakukan diskusi internal dalam dirinya, untuk mengevaluasi kemungkinan-
kemungkinan dari beberapa alternatif pilihan yang ada. Dalam tahap ini, seseorang
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 40
terkadang mengalami keraguan, kebimbangan, dan merasa sulit untuk mengambil
keputusan. Hal ini pada umumnya dialami oleh seorang dalam menentukan
pekerjaan apa yang akan mereka tekuni kelak.
c. Decision: Merupakan pilihan nyata yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Dalam tahap ini seseorang mengambil tindakan untuk memilih salah satu dari
beberapa alternatif pilihan yang ada. Pada umumnya seorang individu akan
membuat komitmen terlebih dahulu untuk menentukan pilihan yang mana yang
hendak mereka ambil.
d. Execution: Merupakan tindakan aktual yang dilakukan ketika seseorang telah
berhasil untuk membuat suatu pilihan. Dalam tahapan ini, seseorang mengambil
tindakan nyata untuk merealisasikan apa yang menjadi keputusannya.
Dalam memilih jurusan di perguruan tinggi, ada beberapa faktor yang ikut berperan
serta, seperti minat remaja akhir, aspirasi remaja akhir, minat orang tua, aspirasi orang
tua, serta kesan-kesan dari teman sebaya (Mappiare, 1982). Namun berdasarkan survey
yang dilakukan peneliti terhadap beberapa siswa SMA kelas III, ditemukan bahwa ada
faktor lain yang menurut mereka cukup penting dalam memilih suatu jurusan di
perguruan tinggi, yakni prospek pekerjaan di masa depan. Faktor-faktor tersebut
dijabarkan di bawah ini:
a. Faktor internal individu
Faktor-faktor psikologis yang berasal dari proses intern, individu sangat
berpengaruh terhadap perilaku pembelian konsumen. Faktor-faktor tersebut terdiri dari :
motivasi atau kebutuhan, persepsi dan sikap,
b. Motivasi dan kebutuhan
Seseorang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan usaha
untuk memenuhi kebutuhan itu dinamakan motivasi. Motivasi menurut Schiffman dan
Kanuk (2000:63) adalah “ dorongan dari dalam individu yang menyebabkan dia
bertindak “. Artinya motivasi muncul akibat adanya kebutuhan yang dirasakan oleh
konsumen. Kebutuhan sendiri muncul karena konsumen merasakan ketidaknyamanan
antara yang seharusnya dirasakan dan yang sesungguhnya dirasakan. Kebutuhan yang
dirasakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan tindakan untuk memenuhi
kebutuhan. Inilah yang dinamakan motivasai. Menurut Woolfolk (1993) menyatakan
motivasi berprestasi merupakan suatu keinginan untuk berhasil, berusaha keras dan
mengungguli orang lain berdasarkan standard mutu tertentu. Dwivedi dan Herbert
(dalam Asnawi, 2002) menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan dorongan
untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan
dibandingkan pada standardnya sendiri dan orang lain. Royanto (2002) menyatakan
motivasi berprestasi merupakan keinginan mencapai prestasi sebaik-baiknya, bisanya
ukurannnya diri sendiri (internal ) dan orang lain (eksternal ). Menurut Winkel (1991)
menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan daya penggerak dalam diri siswa
untuk mencapai prestasi akademik setinggi mungkin. Untuk mencapai prestasi setinggi
mungkin, setiap orang harus mempunyai keinginan yang kuat untuk mencapai
tujuannya.
c. Persepsi
Menurut Solomon (1999: 63) persepsi didifinisikan sebagai proses dimana sensasi
yang diterima oleh seseorang akan dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya di
interprestasikan. Pada saat seseorang ingin membeli suatu produk baru, sebetulnya ia
merespons persepsinya tentang produk itu. Pemasar harus merespons persepsi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 41
konsumen terhadap realitas yang subyektif dan bukan realitas yang obyektif. Untuk
mengetahui mengapa konsumen menerima atau menolak suatu produk atau merek,
pemasar harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh pandangan konsumen terhadap
produk/merek tersebut, meskipun pandangan tersebut sangat tidak masuk akal.
d. Sikap
Sikap konsumen merupakan faktor penting yang mempengaruhi keputusan
konsumen. Konsep sikap ada hubungannya dengan konsep kepercayaan dan perilaku.
Mowen dan Minor (1998:75) menyatakan pembentukan sikap konsumen seringkali
menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku. Kepercayaan, sikap
dan perilaku juga berkaitan dengan konsep atribut produk. Atribut produk merupakan
karakteristik dari suatu produk. Konsumen biasanya memiliki kepercayaan terhadap
atribut suatu produk.
e. Orang tua
Orang tua adalah orang yang terdekat yang mempunyai peran paling besar dalam
perkembangan anak. Orang tua yang berperan dalam merawat dan membesarkan anak
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, membimbing dan mengarahkan,
memberi contoh yang baik, memberi kasih sayang yang menimbulkan kehangatan, rasa
aman dan terlindungi yang diperlukan oleh anak (Gunarsa, 2011). Harapan orang tua
terhadap anaknya akan mempengaruhi perkembangan motivasi berprestasi. Orang tua
mengharapkan anaknya bekerja keras yang mendorong anak tersebut bertingkah laku
yang mengarah pencapaian prestasi (Tecls dalam Prabowo,1998)
f. Suka
Tidak ada mahasiswa yang berhasil dalam studinya jika bertentangan dengan
minatnya. Minat adalah rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau
melakukan aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan
akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau
dekat hubungan tersebut, semakin besar minatnya (Djaali,2009:121)
g. Teman Sebaya
Lingkungan kuliah mahasiswa sangat mendukung responden untuk melakukan
kegiatan kuliah secara optimal. Misalnya mahasiswa memperoleh dukungan dari teman
kuliah dan dosen akan berpengaruh pada motivasi berprestas secara tidak langsung.
Menurut Gage dan Berlina (1991) menyatakan bahwa motivasi berprestasi pada siswa
saat remaja, sangat dipengaruhi oleh teman sebaya khususnya teman dari kelompok
acuannya. Apabila seorang siswa berteman dengan siswa yang bermotivasi prestasi
rendah maka siswa tersebut cenderung memiliki motivasi yang rendah pula. Seorang
guru dapat mendorong siswanya untuk mempunyai siswa yang berprestasi tinggi
dengan cara memberi dukungan kepada siswa yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan
yang ada disekolah (Gage dan Berliner,1991).
h. Lapangan kerja
Menurut Biro Pusat Statistik, pengangguran terbuka dengan predikat sarjana masih
menjadi masalah utama, karena sebanyak 14 % ada pengangguran terbuka. Disebabkan
materi kuliah berupa teori lebih dominan sehingga menjadi sarjana teori bukan sarjana
terapan yang memang dibutuhkan di lapangan kerja yang ada. Pengangguran yang
diakibatkan para sarjana tidak memiliki atau tidak memenuhi kualifikasi yang
dibutuhkan oleh dunia kerja, yang membuat para lulusan perguruan tinggi kesulitan
dalam mencari kerja yang sesuai.Faktor lain yang menyebabkan pengangguran adalah
tingkat kejenuhan dunia kerja terhadap beberapa jurusan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 42
Saat ini banyak perguruan tinggi yang menawarkan berbagai jurusan atau program
studi (prodi) ke perguruan tinggi. Karena banyak lulusan SMA yang ingin melanjutkan
ke perguruan tinggi untuk mengantisipasi masalah link and mach antara dunia
pendidikan dan dunia kerja. Banyak sarjana yang menganggur sehingga lulusan SMA
cenderung memilih program studi yang menjanjikan banyak lapangan kerja.
Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan yang menyediakan prodi dari D3
sampai S3 dapat dipandang sebagai suatu proses produksi yang dapat diibaratkan
sebagai suatu perusahaan atau industri yang bergerak dalam bidang industri jasa.
Sebagai industri jasa menurut Taliziduku (1988:112) ada dua macam produk dari
perguruan tinggi, yaitu:
1. Nilai tambah manusiawi yang diperoleh mahasiswa yang bersangkutan, sehingga ia
diharapkan siap memasuki dunia nyata dan lingkungan masyarakat. Termasuk
dalam kategori ini pembentukan dan transformasi nilai. Inti dari produk perguruan
tinggi sebagai proses edukatif dan proses pertimbangan.
2. Temuan ilmiah dan inovasi tehnologi, yaitu produk perguruan tinggi sebagai proses
riset.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey untuk memperoleh data primer. Data
primer diperoleh dengan cara memberikan kuesnair secara langsung kepada responden.
Responden diminta kesediannya untuk mengisi kuenair adalah mahasiswa Jurusan
Matematika angkatan 2012-2014. Variabel dalam penelitian adalah pemilihan program
studi matematika sebagai variabel tak bebas dan ortu, suka, sendiri, teman, kerja dan
terpaksa merupakan variabel bebas.
1. Karakteristik Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang saat ini sedang duduk
dibangku perguruan tinggi tahun pertama dan kedua. Tempat dilakukannya penelitian
ini ada di Jurusan Matematika MIPA Unesa. Waktu survai tanggal 25 s.d 28 Oktober
2014. Namun penelitian ini dibatasi pada subyek/sample dengan karakteristik Usia dan
status. (1) Batasan usia subyek dalam penelitian ini adalah 17 – 21 tahun. Batasan
tersebut diterapkan dengan mempertimbangkan bahwa sampel 17 – 21 tahun merupakan
batasan usia untuk remaja akhir (Mappiare, 1982), serta pada umumnya mereka
termasuk kelompok mahasiswa. (1) Batasan status mahasiswa. Batasan ini diterapkan
karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan dalam
mempertimbangkan faktor-faktor pengambilan keputusan melakukan pemilihan
program studi di jurusan Matematika MIPA UNESA.
Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah 150 mahasiswa dengan pembagian
sebagai 75 orang mahasiswa sampel untuk mahasiswa jurusan matematika program
studi pendidikan matematika dan 75 orang mahasiswa sampel untuk mahasiswa jurusan
matematika program studi matematika.
2. Teknik Sampling
Menurut Nawawi (dalam Wasito dkk, 1990: hal 55), sampling adalah: ”cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel
yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat dan
penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-
benar mewakili populasi”
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental
sampling. Alasan penggunaan sampling ini adalah karena kesediaan dan kemudahan
dalam penetapan subyek penelitian (Guilford & Fruchter, 1978)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 43
Skala faktor-faktor pengambilan keputusan pemilihan jurusan di perguruan tinggi
juga disusun sendiri oleh peneliti yang mengacu pada enam faktor pengambilan
keputusan pemilihan jurusan di perguruan tinggi, dimana lima faktor (yakni dorongan
dari orang tua, aspirasi mahasiswa sendiri, dorongan dari teman, terpaksa) berasal dari
teori yang dikemukakan oleh Mappiare (1982) dan satu faktor lain (yakni prospek
pekerjaan di masa depan) diperoleh berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh
peneliti pada bulan Oktober 2014.
3. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian in dianalisis dengan Analisa Diskriminan.
Pengelompokkan ini bersifat mutually exclusive, dalam arti jika mahasiswa program
studi pendidikan matematika masuk ke dalam kelompok1 dengan kode 1 dan
mahasiswa program studi matematika masuk ke dalam kelompok2 dengan kode 0
sebagai variabel tak bebas yang dipengaruhi variabel bebas : ortu,
suka,sendiri,teman,kerja dan terpaksa.
D. Hasil dan Pembahasan
Kebanyakan rata-rata mahasiswa studi pendidikan matematika dan mahasiswa
studi matematika karena suka matematika, memperoleh dorongan sendiri dan setelah
lulus memperoleh pekerjaan tetapi hanya sebagian kecil yang mendapatkan dorongan
orang tua, teman dan yang terpaksa.
Group Statistics
3,52 1,155 75 75,000
4,19 ,651 75 75,000
4,09 ,841 75 75,000
2,40 1,197 75 75,000
4,13 ,827 75 75,000
2,03 1,139 75 75,000
2,76 1,184 75 75,000
4,11 ,669 75 75,000
3,68 ,903 75 75,000
2,12 1,026 75 75,000
4,01 ,626 75 75,000
2,29 1,282 75 75,000
3,14 1,226 150 150,000
4,15 ,659 150 150,000
3,89 ,894 150 150,000
2,26 1,120 150 150,000
4,07 ,734 150 150,000
2,16 1,216 150 150,000
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
studi
1
2
Total
Mean Std. Dev iation Unweighted Weighted
Valid N (listwise)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 44
Tabel diatas menguji kesamaan rata-rata kelompok dengan dua cara ( lihat nilai
Wilks’ Lambda dan angka signifikansi angka F)
Dengan melihat nilai Wils’ Lambda
Variabel bebas ortu, suka,sendiri, teman,kerja dan terpaksa mempunyai nilai Wilks’
Lambda mendekati nilai 1 yang berarti cenderung sama.
** Dengan melihat nilai angka signifikansi dari angka F
Angka signifikansi F untuk variabel ortu sebesar berarti ada
perbedaan antara kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan
program studi matematika yang memperoleh dorongan dari orang tua
Angka signifikansi F untuk variabel sendiri sebesar berarti
ada perbedaan antara kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika
dengan program studi matematika yang memperoleh dorongan dari dirinya sendiri.
Jadi dorongan orang tua dan dorongan diri sendiri merupakan faktor pembeda
untuk pemilihan program studi antara kedua kelompok pendidikan matematika dan
matematika.
Untuk menguji kesamaan varians digunakan angka Box’s M
Dengan asumsi semua variabel bebas mempunyai varians yang sama dengan hipotesis:
matriks-matriks kovarians kedua kelompok sama.
matriks-matriks kovarians kedua kelompok berbeda
Ternyata angka signifikansi 0,005 < 0,05 maka Ho ditolak yang kovarians kelompok
mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan dengan kelompok program
studi matematika tidak sama.
Tests of Equality of Group Means
,903 15,838 1 148 ,000
,996 ,550 1 148 ,459
,946 8,416 1 148 ,004
,984 2,366 1 148 ,126
,993 1,003 1 148 ,318
,988 1,815 1 148 ,180
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
Wilks'
Lambda F df 1 df 2 Sig.
Test Results
42,957
1,957
21
80562,876
,005
Box's M
Approx.
df 1
df 2
Sig.
F
Tests null hypothesis of equal population cov ariance matrices.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 45
Analysis 1
Summary of Canonical Discriminant Functions
Korelasinya kanonik sebesar 0,397 yang berarti korelasi antara variabel pemilihan
program studi dengan kelima variabel bebas : ortu,suka, sendiri,teman,kerja dan
terpaksa rendah.
Pooled Within-Groups Matricesa
1,368 -,043 -,064 ,240 ,061 ,083
-,043 ,436 ,218 -,078 ,115 -,241
-,064 ,218 ,761 -,067 ,212 -,346
,240 -,078 -,067 1,243 -,035 ,274
,061 ,115 ,212 -,035 ,538 -,105
,083 -,241 -,346 ,274 -,105 1,470
1,000 -,056 -,062 ,184 ,071 ,058
-,056 1,000 ,378 -,106 ,237 -,302
-,062 ,378 1,000 -,069 ,331 -,327
,184 -,106 -,069 1,000 -,042 ,203
,071 ,237 ,331 -,042 1,000 -,118
,058 -,302 -,327 ,203 -,118 1,000
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
Covariance
Correlation
ortu suka sendiri teman kerja terpaksa
The covariance matrix has 148 degrees of f reedom.a.
Covariance Matrices
1,334 ,091 ,005 ,114 ,214 -,014
,091 ,424 ,212 -,157 ,015 -,167
,005 ,212 ,707 -,227 ,190 -,313
,114 -,157 -,227 1,432 -,041 ,368
,214 ,015 ,190 -,041 ,685 -,085
-,014 -,167 -,313 ,368 -,085 1,297
1,401 -,177 -,132 ,367 -,091 ,179
-,177 ,448 ,224 ,001 ,215 -,315
-,132 ,224 ,815 ,093 ,234 -,378
,367 ,001 ,093 1,053 -,029 ,181
-,091 ,215 ,234 -,029 ,392 -,126
,179 -,315 -,378 ,181 -,126 1,643
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
studi
1
2
ortu suka sendiri teman kerja terpaksa
Eigenvalues
,187a 100,0 100,0 ,397
Function
1
Eigenvalue % of Variance Cumulat iv e %
Canonical
Correlation
First 1 canonical discriminant functions were used in the
analysis.
a.
Wilks' Lambda
,843 24,808 6 ,000
Test of Function(s)1
Wilks'
Lambda Chi-square df Sig.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 46
Angka signifikansi dari Wilks’ Lambda sebesar 0,000 < = 0,05 menyatakan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok responden yaitu
mahasiswa program studi pendidikan matematika dan mahasiswa program studi
matematika yang dipengaruhi oleh lima variabel bebas, yaitu ortu, suka, sendiri,teman,
kerja dan terpaksa.
Tabel diatas menunjukkan adanya korelasi antara variabel-variabel bebas dengan
fungsi diskriminan yang terbentuk. Berdasarkan data diatas, variabel bebas dukungan
orang tua dengan korelasi 0,757 mempunyai korelasi paling tinggi, kemudian dorongan
sendiri (0,552), dorongan dari teman (0,293), lapangan kerja (0,191), suka matematika
(0,141) dan terpaksa (-0,256).
Tabel diatas menunjukkan bahwa ada dua kelompok yang berbeda , kelompok pertama mahasiswa program studi pendidikan matematika dengan rata-rata positip dan kelompok kedua mahasiswa program studi matematika dengan rata-rata negatip.
Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients
,765
-,058
,600
,220
-,060
-,174
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
1
Function
Structure Matrix
,757
,552
,293
-,256
,191
,141
ortu
sendiri
teman
terpaksa
kerja
suka
1
Function
Pooled within-groups correlations between discriminating
variables and standardized canonical discriminant f unctions
Variables ordered by absolute size of correlat ion within f unction.
Functions at Group Centroids
,429
-,429
studi
1
2
1
Function
Unstandardized canonical discriminant
f unct ions ev aluated at group means
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 47
Classification Statistics
Tabel ini menunjukkan banyaknya responden yang diproses sebesar 150 dan tidak ada yang tidak
diproses.
Tabel diatas menyatakan ada dua kelompok, kelompok pertama mahasiswa program
studi pendidikan matematika dan kelompok kedua mahasiswa program studi
matematika
Tabel diatas menunjukkan persamaan regresi dibawah ini
a) Untuk kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika
Berarti kelompok mahasiswa program studi pendidikan matematika disumbangkan yang
besar oleh suka , kerja , terpaksa dan sendiri.
b) Untuk kelompok mahasiswa program studi matematika
Berarti kelompok mahasiswa program studi matematika disumbangkan yang besar oleh
suka , kerja , terpaksa dan sendiri.
Classification Processing Summary
150
0
0
150
Processed
Missing or out-of-range
group codes
At least one missing
discriminat ing v ariable
Excluded
Used in Output
Prior Probabilities for Groups
,500 75 75,000
,500 75 75,000
1,000 150 150,000
studi
1
2
Total
Prior Unweighted Weighted
Cases Used in Analysis
Classification Function Coefficients
2,299 1,737
9,121 9,196
3,349 2,759
1,586 1,417
4,954 5,024
3,594 3,717
-46,469 -42,896
ortu
suka
sendiri
teman
kerja
terpaksa
(Constant)
1 2
studi
Fisher's linear discriminant functions
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mahasiswa Memilih Program Studi
ISBN 978-602-1034-06-4 48
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kelompok mahasiswa yang
memilih program studi pendidikan matematika dengan studi matematika berbeda
karena dipengaruhi dorongan orang tua dan inisiatip dari diri sendiri. Berdasarkan
pembahasan dan kesimpulan dapat diberikan saran supaya Pimpinan jurusan lebih aktif
mempromosikan jurusan Matematika ke sekolah–sekolah SMA IPA di Indonesia
pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya baik lewat orang tua siswa maupun
siswa yang bersangkutan.
F. Daftar Pustaka
Alvin C. Rencher,2006, Methods of Multivariate Analysis , John Wiley & Sons,
Canada,2002
Ali Mahmudi, 2006, Tips Memilih Perguruan Tinggi, Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY, Yogyakarta .
Ali Mahmudi, 2006, Tips Memilih Perguruan Tinggi, Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY, Yogyakarta .
Karina M. Brahmana. Tanpa tahun, Perbedaan Dalam Mempertimbangkan Faktor-
faktor Pengambilan Keputusan Pemilihan Jurusan Di Perguruan Tinggi Pada
Remaja Akhir Yang Mempersiapkan Dirinya Diasuh Dengan Pola Asuh yang
berbeda.
Martini,Tanpa tahun, Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan Jurusan
Akutansi Sebagai tempat kuliah di Perguruan Tinggi ,Fakultas ekonomi Budi
Luhur, Jakarta.
R. Damar Adi Hartaji, S.Psi, tanpa Tahun, Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang
berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orang tua, Fakultas Psikologi, Universitas
Gunadarma.
Salito W. Sarwono,2011 Psikologi remaja, Rajawali Press PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Jonathan Sarwono, 2013,Statistik Multivariat Aplikasi untuk Riset Skripsi,Penerbit C.V
Andi Offset , Yogyakarta.
Yuli Andriani, Dian Cahywati dan Vivin Gusmaryanita,2009, Analisa Diskriminan
Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Program Studi Matematika
Di FMIPA Universitas Sriwijaya, Palembang.
Tutik Susilowati,2008, Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
mahasiswa (Pengaruh faktor internal individu, lingkungan eksternal dan strategi
komunikasi
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 49
PENGEMBANGAN MODEL ASSESSMENT FOR LEARNING (AFL)
MELALUI SELF ASSESSMENT PADA PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SMP TERPADU PONOROGO
Intan Sari Rufiana
Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Jl. Budi Utomo No.10 Ponorogo
Surel: [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untukmenghasilkan produk berupa perangkat Assessment for Learning
dengan Self Assessment dalam pembelajaran matematika di SMP Terpadu Ponorogo.Kemudian
dilakukan ujicoba terhadap pembelajaran dengan menggunakan penilaian tersebut pada kelas
sampel. Hasil dari ujicoba tersebut untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap Assessment
for Learningdengan Self Assessment. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama
dan tahap kedua.Tahap pertama adalah pengembangan dan penentuan model penilaian Assessment
for Learning (AFL) dengan Self Assessment yang termasuk ke dalam penelitian dan
pengembangan (research and development). Tahap kedua adalah ujicoba model untuk melihat
bagaimana respon guru dan siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian Assessment for
Learning (AFL) dengan Self Assessment.Hasil penelitian adalah tersusunnya perangkat
Assessment for Learning dengan Self Assesssment dalam pembelajaran matematika di SMP
Terpadu Ponorogo. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa respon guru dan siswa SMP Terpadu
Ponorogo baik terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat Assessment for Learning
dengan Self Assesssment. Guru matematika SMP Terpadu mengatakan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan perangkat Assessment for Learning dengan Self Assesssment dapat
dilaksanakan dengan mudah. Hal yang sulit adalah mensetting tempat ketika siswa mengerjakan
soal dan siswa mengoreksi jawaban. Beberapa siswa mengatakan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan perangkat Assessment for Learning dengan Self Assesssment menyenangkan.
Penilaian dalam kurikulum 2013 diarahkan tidak hanya pada penilaian akhir saja tetapi juga
penilaian proses. Penilaian proses ini dapat digunakan sebagai ajang balikan atau umpan balik
siswa dari gurunya. Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dapat digunakan
dalam penilaian proses sebagai ajang memberikan balikan terhadap proses pembelajaran yang
telah dilakukan.
Kata Kunci: Assessment for Learning, Self Assessment
A. Pendahuluan
Perubahan kurikulum 2013 sudah mulai diberlakukan dua tahun belakangan ini di
sekolah-sekolah. Dengan adanya perubahan ini, tentunya berbagai standar dalam
komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar proses maupun
standar kompetensi lulusan. Begitu juga penataan terhadap standar
penilaian.Koordinator Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
(Disdikpora) Kota Solo, Suwardi dalam harian Solopos, memaparkan bahwa ada
perubahan dalam standar penilaian yang dilakukan dalam kurikulum 2013.Standar
penilaian tsb menyangkut pada sembilan sistem penilaian meliputi penilaian diri,
ulangan harian, ujian tengah semester, ujian sekolah, ujian nasional, ujian tingkat
kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, penilaian proyek dan penilaian autentik.
Perubahan standar penilaian dalam kurikulum 2013 tidak hanya pada bentuk-
bentuk penilaian yang digunakan, tetapi juga pada pelaksanaan penilaiannya. Penilaian
yang digunakan lebih terkonsentrasi pada penilaian proses dibanding penilaian akhir.
Meskipun demikian, pada kenyataannya masih banyak guru yang kurang
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 50
memperdulikan dan tidak melakukan penilaian proses, mereka lebih mementingkan
hasil belajar siswa pada akhir semester, akhir tahun atau ujian akhir.
Observasi di lapangan mendukung hal tersebut di atas.Di beberapa SMP di
Ponorogo. Hasil observasi menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan adalah
penilaian akhir yaitu ulangan kompetensi dasar, UTS, dan UAS. Dan dari observasi
yang dilakukan peneliti, situasi ulangan adalah sebagai berikut: keseriusan siswa terlihat
hanya saat ada ulangan saja, banyak di antara mereka yang mengaku belajar hanya pada
saat akan diadakan ulangan. Bahkan tidak jarang dari mereka menghalalkan segala cara
yang tidak baik untuk mencapai nilai ujian yang optimal, seperti membuka buku untuk
mencontek ataupun bekerja sama dengan temannya. Hal ini menyebabkan guru sendiri
sulit membedakan kemampuan siswa satu dengan lainnya, karena hasil nilai dari
ulangan kompetensi dasar, UTS, dan UAS cenderung sama siswa satu dengan lainnya.
Selain itu, guru juga tidak memberikan balikan kepada siswa, guru hanya memberikan
remidi atau ulangan kembali dengan soal yang sama kepada siswa yang nilainya kurang
dari standar ketuntasan minimal kelas.
Dari hasil observasi di atas menunjukkan bahwa penilaian yang digunakan guru-
guru di beberapa SMP di Ponorogo masih menggunakan penilaian sumatif. Hal ini
senada dengan pendapat Kirbani (2012:124) bahwa penilaian yang sering dilakukan
oleh guru-guru di Indonesia adalah penilaian sumatif atau Assessment of Learning
(AoL) yang digunakan untuk mendapat skor atau prestasi belajar siswa tanpa adanya
usaha perbaikan pembelajaran. Begitu juga yang terjadi di SMP Terpadu Ponorogo.
Penilaian proses yang digunakan hanyalah penilaian portofolio, dimana tidak semua
guru melakukan penilaian itu.
Penilaian yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran adalah
penilaian formatif atau Assessment for Learning (AfL). Dengan penilaian formatif, guru
dapat mengoptimalkan pembelajarannya. Dengan penilaian formatif semua aspek
kemampuan siswa dapat terdokumentasikan, sehingga permasalahan pembelajaran
siswa dapat diketahui dengan segera, guru pun dapat segera memberikan umpan balik
ataupun segera memperbaiki cara mengajarnya.Young (2005) dalam makalahnya
menyebutkan bahwa Assessment for Learning (untuk selanjutnya disingkat AfL), jika
digunakan secara efektif dapat meningkatkan prestasi siswa. Hal yang sama
dikemukakan oleh Stiggins & Chappuis (2006) bahwa AfL dapat meningkatkan
kesuksesan siswa. AfL sudah diterapkan sejak lama dan terbukti telah dapat
meningkatkan kemampuan matematika siswa di Inggris.
Dalam penelitian Budiyono, dkk (2009) telah dikembangkan model pembelajaran
yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan balikan di
kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran. Oleh
karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru tanpa
mengurangi pentingnya peranan AfL. Dalam penelitian ini dikembangkan model AfL
melalui self assessment. Dengan adanya penilaian diri (self assessment), siswa
diharapkan dapat menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya karena ketika mereka
melakukan penilaian,harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan
yang dimilikinya.Penilaian diri juga merupakan salah satu bentuk penilaian yang
direkomendasikan dalam implementasikan kurikulum 2013.
Berdasarkan paparan sebagaimana diuraikan di atas, dapat diidentifikasi masalah-
masalah sebagai berikut:
1. Belum adanya petunjuk teknis dan format penilaian autentik dalam kurikulum
2013
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 51
2. Guru lebih banyak memberikan cara praktis penyelesaian soal dari pada bersusah
payah menerangkan atau membahas teori
3. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian akhir yaitu penilaian sumatif
4. Keseriusan siswa terlihat hanya saat ada ulangan saja, banyak di antara mereka
yang mengaku belajar hanya pada saat akan diadakan ulangan.
5. Tidak jarang siswa menghalalkan segala cara yang tidak baik untuk mencapai
nilai ujian yang optimal, seperti membuka buku untuk mencontek ataupun bekerja
sama dengan temannya
6. Guru sulit membedakan kemampuan siswa satu dengan lainnya, karena hasil nilai
dari ulangan sumatif cenderung sama siswa satu dengan lainnya.
7. Guru juga tidak memberikan balikan kepada siswa, guru hanya memberikan
remidi atau ulangan kembali dengan soal yang sama kepada siswa yang nilainya
kurang dari standar ketuntasan minimal kelas.
8. Siswa tidak mengetahui kelemahan belajarnya sendiri jika guru hanya
memberikan nilai tanpa memberikan umpan balik
B. Tinjauan Pustaka
1. Kurikulum 2013
Pendidikan di Indonesia pada dekade akhir ini mendapat perhatian yang cukup
serius dari pemerintah. Mulai digulirnya bantuan BOS, bantuan siswa miskin, bantuan
Bidik Misi pada tingkatan Perguruan Tinggi dalam rangka pembenahan standar
pembiayaan; peningkatan kualifikasi dan sertifikasi standar pendidik dan tenaga
kependidikan; pembenahan standar pengelolaan dan sarana prasarana; serta yang
terakhir adalah pembenahan kurikulum dengan digulirnya kurikulum 2013 di setiap
jenjang sekolah oleh pemerintah.
Pembenahan kurikulum ini adalah sebagai bentuk implikasi dari hasil pendidikan
kita selama ini. Output dari proses pembelajaran di sekolah selama ini dianggap tidak
sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan
pendidikan sebagai ajang dan upaya pembentukan manusia seutuhnya. Kurikulum 2013
dikembangkan dalam rangka pembentukan pribadi dan karakter anak bangsa.
Beberapa hal pokok yang dilakukan dalam hal penyempurnaan pola pikir dalam
perumusan kurikulum 2013 adalah sebagai berikut:
a. standar kompetensi lulusan yang dalam kurikulum sebelumnya diturunkan dari
standar isi, dalam kurikulum 2013 diturunkan dari kebutuhan
b. standar isi yang dalam kurikulum sebelumnya dirumuskan berdasarkan tujuan mata
pelajaran, dalam kurikulum 2013 standar isi diturunkan dari standar kompetensi
lulusan
c. pembentukan aspek sikap, keterampilan dan pengetahuan harus dikembangkan
pada melalui semua mata pelajaran
d. mata pelajaran diturunkan dari dari kompetensi yang ingin dicapai, bukan
sebaliknya
e. semua mata pelajaran terkait dan diikat oleh kompetensi inti
Selain itu, ada beberapa hal yang menjadikan kurikulum 2013 ini berbeda dengan
kurikulum sebelumnya, yaitu:
a. Tingkat SMP
1) semua kompetensi (sikap, keterampilan dan pengetahuan) didukung oleh setiap
mata pelajaran dengan penekanan berbeda yang tergantung pada konsep materinya
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 52
2) tiap mata pelajaran terkait satu sama lain dan kompetensi dasar yang ada di
dalamnya diikat oleh kompetensi inti tiap tingkatan kelas
3) Bahasa Indonesia yang sebelumnya sebagai pengetahuan, dalam kurikulum 2013
digunakan sebagai alat komunikasi
4) menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran
5) TIK yang sebelumnya adalah sebuah mata pelajaran, dalam kurikulum 2013
digunakan sebagai sarana dan media pembelajaran
b. Tingkat SMA/ SMK
1) semua kompetensi (sikap, keterampilan dan pengetahuan) didukung oleh setiap
mata pelajaran dengan penekanan berbeda yang tergantung pada konsep materinya
2) tiap mata pelajaran terkait satu sama lain dan kompetensi dasar yang ada di
dalamnya diikat oleh kompetensi inti tiap tingkatan kelas
3) Bahasa Indonesia yang sebelumnya sebagai pengetahuan, dalam kurikulum 2013
digunakan sebagai alat komunikasi
4) menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran
5) sistem penjurusan tidak ada lagi, yang ada adalah mata pelajaran wajib, peminatan,
antar minat dan pendalaman minat
6) pada SMK, penjurusan tidak terlalu detail ke bidang studi, tetapi ada
pengelompokan peminatan dan pendalaman
2. Penilaian dalam Kurikulum 2013
Sebagaimana yang diuraikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam slide
ppt Pengembangan Kurikulum 2013, bahwa semua kompetensi (sikap, keterampilan dan
pengetahuan) dalam kurikulum 2013 dikembangkan di setiap mata pelajaran. Demikian
juga halnya dalam pembelajaran matematika, kompetensi sikap, keterampilan dan
pengetahuan harus dikuasai siswa secara seimbang, meskipun semuanya tidak diberikan
secara langsung melalui pembelajaran di kelas.
Penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013 tidak hanya berfungsi untuk
memberikan penilaian kepada siswa dan membandingkan kemampuan siswa terhadap
suatu kompetensi tertentu, tetapi penilaian dalam kurikulum 2013 diupayakan dalam
rangka meningkatkan kualitas belajar siswa. Informasi dari perkembangan belajar siswa
digunakan sebagai umpan balik dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Jadi
bukan mengajar dan belajar untuk dinilai; tetapi mengajar, belajar dan menilai
merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Prinsip penilaian
autentik inilah yang digunakan dalam kurikulum 2013.
3. Penilaian Autentik
Penilaian autentik merupakan bentuk penilaian yang digunakan dalam kurikulum
2013. Beberapa ahli berpendapat tentang definisi penilaian autentik sebagai berikut:
Wiggins mengemukakan “Assessment is authentic when we directly examine
student performance on worthy intellectual tasks. Traditional assessment, by contract,
relies on indirect or proxy 'items'”, “…Engaging and worthy problems or questions of
importance, in which students must use knowledge to fashion performance effectively
and creatively. The tasks are either replicas of or analogous to the kinds of problems
faced by adult citizens and consumers or professionals in the field”
Stiggins 1994 mengemukakan bahwa performance assessments call upon the
examinee to demonstrate specific skills and competencies, that is , to apply the skills
and knowledge they have mastered.
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 53
Muller 2006 berpendapat bahwa bentuk penilaian yang menghendaki siswa
melakukan tugas pada situasi yang sesungguhnya (dunia nyata) yang menampilkan
aplikasi keterampilan dan pengetahuan yang esensial adalah penilaian autentik.
Kemendikbud, 2013 mendefinisikan penilaian autentik sebagai pengukuran yang
bermakna secara signifikan atas hasil belajar siswa untuk ranah sikap, keterampilan dan
pengetahuan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian autentik adalah
proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian
pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu
mengungkapkan, membuktikan atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan
pembelajaran telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
Beberapa jenis penilaian autentik yang dapat digunakan dalam implementasi
kurikulum 2013 dalam pembelajaran matematika adalah:
a. Penilaian Kinerja
merupakan kegiatan menilai dan mengamati kegiatan siswa dalam mengerjakan
sesuatu
b. Penilaian Proyek
adalah kegiatan memberikan nilai dari tugas yang diberikan siswa dalam waktu
tertentu.
c. Penilaian Portofolio
adalah kumpulan tugas dan hasil karya siswa yang dikerjakan dalam periode waktu
tertentu
d. Penilaian Tertulis
penilain tertulis yang dimaksud adalah penilaian dengan teknik tes berbentuk uraian
atau esai untuk menilai kemampuan mengingat, memahami, mengorganisasi,
menerpakan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
e. Penilaian Diri
merupakan suatu bentuk penialaian yang mana siswa melakukan penilaian terhadap
dirinya sendiri terkait dengan pemahaman dan ketertarikan terhadap mata pelajaran
tertentu.
Berbagai macam teknik penilaian di atas dapat dikombinasikan sehingga gambaran
siswa secara faktual dapat dilihat secara penuh.
Muller (2006:1) mengemukakan bahwa penilaian autentik adalah penilaian
langsung dan ukuran langsung.Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap
semua aspek pembelajaran yang dimiliki siswa secara langsung. Bagaimana siswa dapat
diketahui proses berpikirnya dalam mengerjakan soal matematika, bagaimana dapat
beragumen dalam suatu diskusi, begitu juga bagaimana penerimaan dan pemberian
respon saat pembelajaran di kelas berlangsung dapat diketahui dengan penilaian
langsung tersebut.
Wiggins (2005:2) menekankan pada tugas-tugas yang tidak dapat dikerjakan di
dalam kelas, sehingga tugas-tugas tersebut harus dikerjakan di luar jam pelajaran yaitu
pembelajaran berbasis proyek atau project based learning.
Wiggins (2005:2) mengemukakan bahwa merancang dan melaksanakan penilaian
kinerja sangatlah efisien, karena ajeg atau konsisten, tidak mahal dan tidak membuang
waktu.
Sehingga sebenarnya tidak ada alasan bagi guru yang beranggapan bahwa susah
dan repot untuk melakukan penilaian autentik. Karena memang tidak adil rasanya jika
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 54
penilaian hasil belajar siswa hanya bergantung pada paper and pencil test saja, sebab
siswa yang mempunyai kemampuan kognitif saat diuji dengan paper and pencil test
belum tentu dapat menerapkan dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Assessment for Learning(AfL)
Assessment for Learning (AfL) merupakan salah satu bentuk penilaian formatif
(Budiyono, 2010). AfL dikembangkan berdasar kepada pemikiran bahwa kemampuan
siswa dapat meningkat secara optimal, jika mereka mengerti tujuan pembelajaran,
mengetahui posisi mereka dalam kaitannya dengan tujuan pembelajaran, dan mengerti
cara mencapai tujuan pembelajaran tersebut.
Assessment Reform Group (2002) menjelaskan bahwa Assessment for Learning is
the process of seeking and interpreting evidence for use by learners and their teachers
to decide where the learners are in their learning, where they need to go and how best
to get there. Definisi ini dapat diartikan sebagai assessment for learning adalah proses
mencari dan menafsirkan bukti untuk digunakan olehpeserta didik dan guru mereka
untuk memutuskan posisi peserta didik dalam pembelajaran mereka, di mana
merekaharus pergi dan bagaimana cara terbaik untuk sampai ke sana.
Assessment Reform Group (2002) lebih lanjut memberikan sepuluh prinsip utama
dalam assessment for learning, yaitu:
a. should be part of effective planning of teaching and learning
b. should focus on how students learn
c. should be recognized as central to classroom practice
d. should be recognized as a key professional skill for teachers
e. should be sensitive and constructive because any assessment has an emotional
impact
f. should take account of the importance of learner motivation
g. should promote commitment to learning goals and a shared understanding of the
criteria by which they are assessed
h. learners receive constructive guidance about how to improve
i. develops learners capacity for self-assessment so that they can become reflective
and self-managing
j. should recognize the full range of achievements of all learner
Sedangkan tujuan Assessment for Learningdalam CEA (2003) adalah untuk:
a. memberi wawasan pembelajaran kepada guru dan siswa dalam upaya meningkatkan
kesuksesan untuk semua,
b. membantu proses penetapan tujuan,
c. memungkinkan refleksi secara kontinu terhadap apa yang siswa ketahui sekarang
dan apa yang mereka butuhkan untuk diketahui berikutnya,
d. mengukur apa yang dinilai,
e. menetapkan intervensi secara cepat dan tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran,
dan
f. meningkatkan standar yang diperoleh siswa.
5. Assessment for Learning(AfL) dengan Self Assessment
Dalam penelitian Budiyono, dkk (2009) telah dikembangkan model pembelajaran
yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan balikan di
kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran. Oleh
karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru tanpa
mengurangi pentingnya peranan AfL. Dalam penelitian ini dikembangkan model AfL
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 55
melalui penilaian diri (self assessment). Dengan adanya penilaian diri (self assessment),
siswa diharapkan dapat menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya karena ketika
mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya.
Sudrajat, 2006 mengemukakan bahwa penilaian diri (self assessment) adalah suatu
teknik penilaian, di mana subjek yang ingin dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri
berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya
dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang
berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses
pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik
dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai
hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta
untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek sikap
tertentu. Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan
kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik,
peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah
dikuasainya sebagai hasil belajar berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Penggunaan teknik penilaian diri dapat memberi dampak positif terhadap
perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan teknik penilaian ini
dalam penilaian di kelas antara lain sebagai berikut
a. dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi
kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;
b. peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka
melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya;dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta
didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam
melakukan penilaian.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pertama dan tahap kedua.Tahap
pertama adalah pengembangan dan penentuan model penilaian Assessment for Learning
(AfL) dengan Self Assessment yang termasuk ke dalam penelitian dan pengembangan
(research and development).Dalam tahap ini dilaksananakan (1) pengumpulan bahan
dengan studi literatur, (2) perencanaan model AfLdengan self assessment, (3) Focus
Group Discussion, (4) pembuatan prototype model kemudian dilanjutkan pada tahap
kedua. tahap kedua adalah ujicoba model untuk melihat bagaimana respon guru dan
siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan
Self Assessment.
1. Lokasi Penelitian
Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di SMP Terpadu
Ponorogo.Alasan peneliti memilih SMP Terpadu Ponorogo karena SMP tersebut
merupakan salah satu SMP swasta di Ponorogo yang perkembangannya sangat
pesat.Hal ini dapat dilihat dari kuantitas jumlah siswa yang masuk setiap tahunnya,
terlihat dari selalu meningkatnya jumlah rombongan belajarnya.Selain itu, SMP
Terpadu Ponorogo sudah menerapkan beberapa penilaian alternatif, misalnya penilaian
portofolio dan penilaian sikap siswa. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan dapat
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 56
memberikan alternatif penilaian lain yang berkaitan dengan penilaian proses yaitu
penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada dua
cara, yaitu metode wawancara dan metode angket. Metode wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi dari guru tentang penilaian apa saja yang sudah pernah
digunakan di SMP Terpadu Ponorogo. Hasil wawancara ini digunakan sebagai acuan
dalam penyusunan penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment
yang akan dibuat.Instrumen angketdigunakan untuk mengetahui pendapat atau
komentar siswa terhadap pembelajaran dengan penilaian Assessment for Learning
(AFL) dengan Self Assessment.
3. Analisis Data
a. Analisa Wawancara
Untuk mengetahui proses penilaian yang sudah pernah dilakukan guru dan untuk
menganalisis hal-hal apa saja yang diperlukan untuk menyusun penilaian
Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dilakukan melalui proses
wawancara. Proses wawancara ini dilakukan saat Forum Group Discussion. Hasil
wawancara ini direduksi, disajikan datanya kemudian baru dilakukan penarikan
kesimpulan untuk dapat digunakan dalam penyusunan penilaian Assessment for
Learning (AfL) dengan Self Assessment.
b. Analisa Data Respon Siswa dan Guru
Untuk melihat tanggapan siswa dan guru ditentukan dengan memberi angket kepada
guru dan siswa yang telah dilakukan pembelajaran dengan Assessment for Learning
(AFL) dengan Self Assessment.Kesimpulan dari jawaban tersebut dapat berupa
sangat terbantu dan sangat mudah, terbantu dan mudah, tidak terbantu dan sulit.
Apabila jawaban tersebut positif maka pembelajaran matematika dengan penilaian
Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment efektif.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Metode dan Proses Pengembangan
a. Kerangka Metode dan Proses Pengembangan
Proses pencapaian pengembangan dilakukan dengan metode pentahapan kegiatan
penelitian. Dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu tahapan pertama
meliputi kegiatan (a) pengumpulan bahan dengan studi literatur, (b) perencanaan
model AfL dengan self assessment, (c) Focus Group Discussion, (d) pembuatan
prototype model kemudian dilanjutkan pada tahap kedua yaitu ujicoba model untuk
melihat bagaimana respon guru dan siswa terhadap pembelajaran melalui penilaian
Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.
b. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Pengembangan
Indikator keberhasilan pencapaian target pengembangan adalah dihasilkannya
prototype perangkat penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self
Assessment yang sesuai dengan keadaan kondisi sekolah dan siswa SMP Terpadu
Ponorogo.Dan didapatkannya tanggapan guru dan siswa terhadap pembelajaran
yang menggunakan Assessmen for Learning (AfL) dengan Self Assessment.
Pada tahap 1 indikator tercapainya pengembangan perangkat penilaian Assessment
for Learning (AfL) dengan Self Assessment adalah terinventarisnya data dan informasi
tentang penilaian yang sudah digunakan di SMP Terpadu Ponorogo.Data yang
terinventaris ini digunakan sebagai bahan untuk menyusun prototype perangkat
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 57
penilaian Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment.
Pada tahap 2 indikator tercapainya tersusunnya prototype perangkat penilaian
Assessment for Learning (AfL) dengan self assessment yang sudah diujicobakan pada
kelas tertentu untuk mengetahui bagaimana tanggapan guru dan siswa terhadap
pembelajaran yang menggunakan Assessment for Learning (AfL) dengan Self
Assessment.
2. Perkembangan Pencapaian Target Pengembangan
Capaian target pengembangan sampai saat ini mencapai 100% dari pencapaian
target pengembangan keseluruhan. Pencapaian target pengembangan ini meliputi
informasi dan data tentang penilaian yang telah digunakan di SMP Terpadu Ponorogo,
pembuatan prototype Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment, hasil
respon guru dan siswa terhadappembelajaran yang menggunakan Assessment for
Learning (AfL) dengan Self Assessment
Dalam tahap akhir kegiatan penelitian ini telah terlaksana:
a. Studi literatur untuk pengumpulan bahan penilaian
b. Focus group discussion
c. Pembuatan prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self Assessment
d. Ujicoba prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self Assessment
3. Hasil Kegiatan Penelitian Pengembangan
a. Hasil Studi Literatur untuk Pengumpulan Bahan Penilaian
Untuk pengumpulan bahan penilaian, peneliti melakukan studi literatur dengan cara
mengkaji beberapa penelitian terkait yang dilakukan sebelumnya. Penelitian yang
terkait dengan Assessment for Learning diantaranya adalah penelitian yang dilakukan
oleh Budiyono dan kirbani. Penelitian Budiyono, 2009 telah mengembangkan model
pembelajaran yang menerapkan AfL. Dalam penelitian tersebut, guru harus memberikan
balikan di kelas tersebut pada saat itu juga sehingga mengurangi waktu pembelajaran.
Oleh karenanya, perlu diberikan suatu model AfL yang bisa meringankan beban guru
tanpa mengurangi pentingnya peranan AfL. Hasil penelitian oleh Kirbani, dkk pada
tahun 2011 menunjukkan bahwa model AfL melalui penilaian teman sejawat bisa
diterapkan di MTs PPMI Assalaam. Adapun model pembelajaran dengan menerapkan
AfLdalam penelitian ini adalah model penilaian AfL melalui penilaian teman sejawat.
Dalam penelitian Kirbani ini, diperlukan waktu relatif banyak untuk saling bertukar
lembar jawab dengan teman sejawat, guru juga harus kembali memanggil siswa per
siswa untuk memberikan karifikasi terkait kesalahan-kesalahan dalam mengerjakan
soal, dan ini membutuhkan waktu yang relatif banyak juga karena hampir semua siswa
tidak menyadari letak kesalahannya. Hal ini tentu tidak efektif karena waktu
pembelajaransemakin berkurang. Oleh karena itu perlu diberikan suatu model AfL yang
mengefisiensikan waktu pembelajaran tanpa mengurangi fungsi AfL dalam
pembelajaran, model AfL yang dapat memberi kesadaran ke siswa sendiri terhadap
kesalahannya dalam mengerjakan soal-soal.
b. Hasil Focus Group Discussion
1. Gambaran Umum SMP Terpadu Ponorogo
Sekolah yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda no. 61B Juanda ini bernama SMP
Terpadu Ponorogo. Sekolah ini mempunyai misi unggul dalam keimanan, ketaqwaan,
keilmuan, profesi dan moral. Sedangkan misi SMP Terpadu Ponorogo adalah
melaksanakan proses pembelajaran dan bimbingan secara efektif dan bermakna,
menumbuhkan semangat keunggulan kepada seluruh warga sekolah, mendorong dan
membantu setiap siswa mengenali potensi dirinya, menumbuhkan penghayatan terhadap
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 58
agama dan budaya agar menjadi sumber kearifan dalam bertindak dan berbudi pekerti
yang luhur, menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga dan
stake holder sekolah, dan mengembangkan kemandirian siswa agar siap menghadapi
masa depannya.
SMP Terpadu Ponorogo adalah suatu sekolah yang cukup muda usianya di kawasan
Kabupaten Ponorogo. Sekolah ini berdiri sejak tanggal 24 Mei 2003. Sekolah ini
dipimpin oleh Kepala Sekolah yang bernama Drs. Mariyono, M.Pd. Sejak usianya yang
pertama sampai dengan saat ini, SMP Terpadu Ponorogo telah melewati masa suka dan
duka. Untuk mencapai kesuksesan sekarang guru, murid, wali murid dan staf serta
kepala sekolah SMP Terpadu Ponorogo bekerja sama dengan membuat kemajuan dan
trobosan sehingga sekolah yang terkenal dengan nama S Ter- ini bisa bersaing dengan
sekolah negeri dan swasta lainnya di Ponorogo. Dengan adanya tekad tersebut telah
membuktikan bahwa SMP Terpadu Ponorogo mampu meraih berbagai bentuk
penghargaan dari tingkat pemula sampai dengan jenjang yang lebih tinggi.
2. Penilaian yang Digunakan di SMP Terpadu Ponorogo
Berdasarkan hasil Forum Group Discussion dengan guru mata pelajaran matematika
dapat disampaikan beberapa temuan tentang penilaian sebagai berikut
a. diketahui bahwa bentuk penilaian yang sudah dilakukan yaitu PR, tugas, UKD
sebagai penilaian formatif
b. UTS dan UAS sebagai penilaian sumatif
c. Hasil PR dan tugas dimasukkan dalam penilaian portofolio
d. Guru telah melakukan ujian kompetensi dasar untuk 1 kompetensi dasar
e. Hasil UKD tersebut dikoreksi oleh guru untuk didokumentasikan nilainya sebagai
nilai akhir
f. Nilai akhir disusun dari nilai UKD, UTS dan UAS dengan bobot UKD : UTS :
UAS adalah 5 : 2 : 3
g. Bagi siswa yang nilainya belum memenuhi KKM / belum tuntas akan diberi remidi
dalam bentuk penilaian yang disebut dengan istilah “Dokter Pasien”
h. “Dokter” adalah siswa yang nilai UKDnya telah memenuhi KKM, tugas dokter
disini adalah sebagai asisten guru untuk membantu membimbing temannya yang
disebut “pasien”
i. “Pasien” adalah siswa yang nilai UKDnya belum memenuhi KKM, dimana
“pasien” bertugas untuk mengerjakan kembali soal yang digunakan pada saat UKD
j. Jika “pasien” mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal, “dokter”
membantunya dengan berpedoman pada pedoman penskoran dan kunci jawaban
yang telah diberikan guru
k. SMP Terpadu Ponorogo juga telah menggunakan berbagai bentuk penilaian
alternatif. Bentuk penilaian alternatif yang telah digunakan diantaranya adalah
penilaian yang oleh guru disebut sebagai penilaian portofolio dengan penilaian diri
sendiri (self assessment).
l. Penilaian portofolio yang dilakukan di SMP Terpadu adalah bentuk pengumpulan
hasil karya siswa dari awal sampai akhir selama proses pembelajaran selama satu
semester.
m. Dalam pelaksanaannya, penilaian portofolio ini disertai dengan penggunaan
penilaian diri sendiri (self assessment). Siswa menilai kelengkapan karya
portofolionya sendiri dengan berpedoman pada check list yang sudah disiapkan
guru
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 59
n. Selain pada aspek kognitif, penilaian diri sendiri (self assessment) juga dilakukan di
SMP Terpadu Ponorogo pada aspek afektif. Siswa diminta menilai sendiri dalam
hal kerjasama, disiplin, dan tanggung jawab. Dimana disana siswa menuliskan
deskripsi diri dan memberikan nilai berapa yang pantas untuk dirinya sendiri. Hasil
penilaian ini digunakan sebagai masukan dalam penilaian keseharian, yang hasilnya
dibandingkan dengan penilaian guru dan penilaian teman sebaya (peer assessment).
Berdasarkan hasil Forum Group Discussion yang dituliskan di atas, menurut
pemahaman peneliti dapat disimpulkan bahwa guru belum melaksanakan penilaian
formatif yang sesungguhnya karena penilaian formatif yang berfungsi sebagai ajang
balikan ke siswa belum terlaksana secara maksimal. Siswa hanya dituntut untuk
menjawab soal dengan benar pada UKD tanpa harus mengetahui dimana letak
kesalahannya dalam pengerjaan.
Penilaian portofolio yang dikumpulkan pun belum dapat menunjukkan
perkembangan kemajuan siswa dari waktu-waktu, karena hanya dinilai kelengkapannya
saja di akhir pembelajaran.
Penilaian diri sendiri (self assessment) seharusnya dapat dimanfaatkan guru dalam
penilaian formatif dan lainnya karena berdasar temuan penelitian di atas siswa SMP
Terpadu Ponorogo sudah terbiasa melakukan penilaian diri sendiri (self assessment)
secara jujur.
3. Faktor Pendukung Digunakannya Penilaian Alternatif
Berbagai faktor baik secara internal dan eksternal mendukung digunakannya
berbagai macam penilaian alternatif di SMP Terpadu Ponorogo diantaranya adalah:
a. Masukan wali murid
Murid-murid di SMP Terpadu Ponorogo mempunyai latar belakang yang berbeda-
beda baik secara sosial ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua. Berbagai
masukan dari wali murid ini memberikan berbagai wacana dalam proses pembelajaran,
termasuk di dalamnya adalah pemberian penilaian alternatif.
b. Keadaan murid
Siswa SMP Terpadu Ponorogo mempunyai latar belakang pendidikan sekolah dasar
yang berbeda-beda, baik dari swasta ataupun negeri, dari daerah atau kota. Hal ini jelas
memberikan input yang heterogen. Selain itu murid-murid di SMP Terpadu juga
mempunyai kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang sangat padat. Keadaan
heterogen siswa inilah yang harus diapresiasi, salah satunya dengan menggunakan
penilaian alternatif yang dapat memfasilitasi kemampuan siswa yang heterogen. Dan
dengan adanya penilaian alternatif tersebut diharapkan guru tidak hanya menilai dari
satu sisi saja, tetapi menurut sudut pandang yang berbeda-beda.
Beberapa program yang ada di sekolah memberikan pembiasaan sikap jujur
siswanya, diantaranya adalah “Kantin Kejujuran”. Di “Kantin Kejujuran” ini siswa bisa
mengambil dan membayar sendiri jajan atau barang dagangan yang lain yang ada di
Kantin. Pembiasaan sikap jujur yang lain juga tercermin dalam penilaian pembelajaran
siswa, dimana siswa secara mandiri memberikan “checklist” terhadap kelengkapan
dokumen portofolio yang mereka kumpulkan selama 1 (satu) semester.
c. Keterbukaan sikap kepala sekolah
Sikap terbuka kepala sekolah SMP Terpadu Ponorogo terhadap berbagai kemajuan
dan perkembangan ilmu teknologi menjadi modal tersendiri bagi guru untuk dapat
membuat pembaharuan dalam proses pembelajaran. Kepala sekolah selalu mendukung
segala macam kegiatan proses pembelajaran oleh guru dengan memberikan suport
kebutuhan.
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 60
c. Perencanaan model Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment
Berdasarkan beberapa temuan penelitian di atas dapat diketahui bahwa siswa-siswi
SMP Terpadu Ponorogo mempunyai potensi untuk melakukan penilaian diri sendiri
(self asssessment). Oleh karena itu peneliti bermaksud mengembangkan bentuk
penilaian formatif yang benar yang menggunakan penilaian diri sendiri (self
asssessment). Penilaian itu adalah Assessment for Learning (AfL) dengan Self
Assessment.
Berikut merupakan prototypeAssessment for Learning (AFL) dengan Self
Assessment yang dikembangkan dengan dasar dari hasil Forum Group Discussion:
1. Guru bersama siswa mendiskusikan tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang
diharapkan akan dicapai siswa, sehingga siswa dapat terdorong untuk mencapai
pemahaman yang mendalam dan mengetahui pengetahuan yang didapatnya
sekarang akan digunakan untuk pelajaran yang akan datang.
2. Memberikan permasalahan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kriteria
keberhasilan untuk diselesaikan secara individual. Siswa mengerjakan dengan
menggunakan hitam.
3. Setelah selesai mengerjakan soal, guru membagikan rubrik penilaian dengan
langkah yang jelas dan rinci tiap pointnya, siswa secara individual mengoreksi hasil
pekerjaannya sendiri langkah per langkah dengan berpedoman pada rubrik
penilaian dengan bantuan dan bimbingan guru. Siswa mengoreksi dengan
menggunakan spidol merah. Hal ini dilakukan agar siswa mencari bukti langkah.
4. Guru meminta siswa maju satu persatu untuk mengumpulkan hasil pekerjaannya
yang telah dikoreksi sendiri, guru mengecek kebenaran koreksi dan memberikan
penilaian perkembangan yang didasarkan pada pembelajaran sebelumnya serta
memberikan umpan balik secara langsung kepada siswa.
Pada saat penelitian dilakukan, proses pembelajaran di sekolah sudah menggunakan
pendekatan saintifik sebagai bentuk penerapan kurikulum 2013. Prototype Assessment
for Learning (AfL) dengan Self Assessment yang dikembangkan dengan dasar dari hasil
Forum Group Discussion di atas digunakan dan dimatchkan dengan pendekatan
saintifik.
d. Hasil Validasi Ahli
Dalam rangka memperoleh prototype Assessment for Learning dengan Self
Assessment yang layak untuk diujicobakan, maka perlu adanya validasi dari para ahli
terhadap prototype tersebut. Saran yang diberikan validator tersebut digunakan untuk
merevisi prototype Assessment for Learning dengan Self Assessment agar diperoleh
perangkat yang baik. Dalam proses ini ada dua orang ahli yang memvalidasi. Nama
kedua ahli yang memvalidasi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Daftar Nama Validator No Nama Peran Perangkat yang divalidasi
1. Asda Lita Arofa, M.Pd Validasi isi dan keterlaksanaan RPP saintifik dengan AfL,
soal
2. Hafidh Jauhari, M.Pd Validasi isi dan keterbacaan RPP saintifik dengan AfL,
soal
Hasil analisis yang dilakukan validator dapat dilihat pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Hasil Analisis Validator
No Validator Nilai RPP
1 Validator 1 80
2 Validator 2 90
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 61
Sesuai dengan Tabel 2 di atasdapat dikatakan bahwa hasil secara umum dari para
validator terhadap prototype Assessment for Learningdengan Self Assessment adalah
dapat digunakan dengan sedikit revisi. Bagian-bagian yang direvisi secara rinci adalah
sebagai berikut:
Tabel 3 Revisi Berdasarkan Masukan dari Validator
Yang direvisi Sebelum direvisi Sesudah direvisi
Prototype
Assessment for
Learning dengan
Self Assessment
1. permasalahan yang diberikan
yang disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran dan kriteria
keberhasilan belum didasarkan
pada alokasi waktu
2. tempat duduk siswa masih
bercampur antara siswa yang
mengerjakan permasalahan
dengan siswa yang sudah
selesai mengerjakan, shg
ditakutkan siswa yang belum
selesai mencontek rubrik
penilaian yang digunakan untuk
koreksi jawaban siswa yang
sudah selesai
1. permasalahan yang
diberikan yang disesuaikan
dengan tujuan pembelajaran
dan kriteria keberhasilan
didasarkan pada alokasi
waktu yang disediakan
2. setting tempat diatur
sedemikian rupa sehingga
siswa yang belum selesai
tidak memungkinkan untuk
mencontek rubrik penilaian
yang telah disiapkan oleh
peneliti
e. Hasil Ujicoba Prototype Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment
Setelah prototype Assessment for Learning dengan Self Assessmentdivalidasi oleh
ahli, hasilnya diujicobakan untuk mengetahui respon guru dan siswa terhadap
pembelajaran dengan Assessment for Learningdengan Self Assessment.
Persiapan lain yang dilakukan adalah membuat rubrik penilaian yang digunakan
untuk mengkoreksi jawaban siswa secara mandiri. Rubrik penilaian yang dibuat terdiri
dari soal dan beberapa alternatif jawaban.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan.
Alokasi waktu dalam setiap pertemuan adalah 2 x 40 menit atau 2 jam pelajaran.
Pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik dengan menggunakan Assessment for
Learning (AfL) dengan Self Assessment. Prototype Assessment for Learning (AfL)
dengan Self Assessment yang digunakan adalah yang sudah direvisi berdasarkan saran
dari validator.
Analisis deskriptif tentang respon siswa dan respon guru adalah sebagai berikut:
pada implementasinya, guru mengajar dengan menggunakan RPP yang telah disiapkan
sebelumnya oleh peneliti. RPP tersebut diimplementasikan pada materi himpunan
dimana menggunakan pendekatan saintifik dengan modifikasi Assessment for Learning
(AfL) dengan Self Assessment dalam pembelajarannya.
Pada pelaksanaannya, guru mengatakan bahwa pembelajaran dengan modifikasi
Assessment for Learning (AfL) dengan Self Assessment dapat dilaksanakan dengan
mudah dan tidak membebani guru. Aspek yang dirasa memberatkan adalah ketika
memberikan umpan balik secara langsung ke siswa. Hal ini tentunya membutuhkan
waktu yang banyak. Selain itu juga diperlukan strategi khusus dalam penyampaian
umpan balik, agar pemberian umpan balik dapat dilakukan secara efektif.
Berdasarkan angket yang diberikan kepada siswa, mayoritas siswa (83%) merasa
senang dengan pembelajaran yang menggunakan Assessment for Learning(AfL)
denganSelf Assessment. Hal yang membuat siswa senang terhadap pembelajaran ini
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 62
antara lain: siswa merasa dipercaya ketika mendapat kesempatan untuk mengoreksi
jawabannya sendiri, siswa mendapat kesempatan untuk dapat bercerita secara langsung
tentang kesulitan belajar yang dialaminya kepada guru, siswa dapat bertanya secara
langsung kepada guru terhadap soal-soal yang tidak bisa dikerjakannya, siswa dapat
langsung bertanya kepada guru tentang rencana belajar yang akan dilakukan setelah
pembelajaran selesai. Di lain pihak, guru juga dapat menginstruksikan rencana belajar
yang harus dilakukan siswa per individu sesuai dengan kesulitan belajar yang
dialami.Hal ini sesuai dengan keuntungan penggunaan teknik penilaian dirisebagaimana
diuraikan di depan. Penilaian diri dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik,
karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;peserta didik menyadari
kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian, harus
melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya;dapat
mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka
dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkatAssessment
for Learning dengan Self Assessment yang telah dikembangkan dapat diterapkan dengan
mudah di SMP Terpadu Ponorogo. Hal ini dapat dilihat dari respon positif dari guru dan
juga darisiswa. Namun demikian, penelitihan ini masih dalam tahap awal. Perlu bentuk
penelitian yang lebih luas dalam rangka mengembangkan bentuk penilaianAssessment
for Learning dengan Self Assessmentyang dapat digunakan di sekolah-sekolah lain.
Bentuk penilaian alternatif seperti Assessment for Learning dengan Self Assessment
dapat terus dikembangkan dalam rangka mendukung implementasi kurikulum 2013.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penilaian yang digunakan dalam K13
mengacu pada penilaian proses disamping penilaian akhir. Penilaian proses ini dapat
digunakan sebagai ajang balikan ke siswa terhadap pembelajaran yang telah dilakukan
di kelas.
Peneliti menyarankan pemberian umpan balik dalam penerapan Assessment for
Learning dengan Self Assessment dapat dilakukan secara tertulis ketika waktu
pembelajaran telah selesai. Hal ini dilakukan jika waktu pelajaran yang tersedia tidak
cukup. Kalimat yang berupa dorongan dan motivasi dapat disampaikan ketika
pemberian umpan balik agar siswa dapat meningkatkan belajarnya.
F. Daftar Pustaka
Assessment Reform Group. 2002. Assessment for learning: 10 principles. (Online).
(http://www.assessment-reform-group.org.uk.pdf, diakses 02 Pebruari 2006)
Budiyono, Triyanto, Sutopo, Ira Kurniawati, Henry Ekana Ch. 2009. Pengembangan
Model Assessment for Learning (AfL) Mata Pelajaran matematika pada Sekolah
Lanjutan Pertama di Kota Surakarta. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan.
Surakarta:FKIP Surakarta
Budiyono. 2010. Peran Asesmen dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran.Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, 5 Mei 2010. Surakarta.
CEA.2003. Quality statement on assessment practice (secondary), (Online).
(http://www.aaia.org.uk.pdf, diakses tanggal 01 Pebruari 2006)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Pelatihan Pengembangan Kurikulum
2013
Pengembangan Model Assessment for Learning (AfL)
ISBN 978-602-1034-06-4 63
Kirbani. 2012. Pengembangan Model Assessment For Learning (Afl) Melalui Penilaian
Teman Sejawat Untuk Pembelajaran Matematika Pada Pokok Bahasan Persamaan
Garis Lurus Di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam
Sukoharjo. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: UNS
Sudrajat, Akhmad. 2006. Penilaian Diri. (Online).
https://akhmadsudrajat.files.wordpress.com, diakses pada tanggal 4 April 2014)
Suwardi. 2013.Sembilan Sistem Penilaian. (Online).
http://www.solopos.com/2013/08/29/kurikulum-2013-sistem-pendidikan-baru-
gunakan-9-penilaian-solopos-com-442060, diakses pada tanggal 7 Juni 1014)
Muller, J. 2006. Authentic Assessment. (Online).
(http://Jonathan.muller.faculty.notrl.edu/toolbox/whatisit.htm, diakses pada tanggal
17 Juli 2014)
Stiggins, R.J. 1994. Student-Centered Classroom Assessment.Newyork: Macmillan
College Publishing Company
Stiggins, R. & Chapuis, J. 2006.What a difference a word makes: Assessment FOR
learning rather than assessment OF learning help students succeed. (Online)
(http://www.nsdc.org/library/publication/jsd, diakses pada tanggal 30 Juni 2012)
Wiggins, G. 2005.Grant Wiggins on Assessment.Edutopia.The George Lucas
Educational Foundation (Online).(http://glef.org, diakses pada tanggal 14 Mei
2014)
Young, E. 2005.Assessment for Learning : Embedding and extending. (Online).
(http://www.ltscotland.org.uk/assess/for/index.asp, diakses pada tanggal 30 Juni
2012)
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 64
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E DALAM
KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MAHASISWA
Laelasari Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Unswagati,
Jl. Perjuangan No. 1 Kota Cirebon
Surel: [email protected].
Abstrak Pendidikan harus menghasilkan kompetensi lulusan yang mampu bersaing dengan tenaga
asing sehingga mampu menguasai pasar industri dalam negeri dan mampu berkompetisi
dalam persaingan global. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya peningkatan
kualitas pendidikan matematika, karena kualitas hasil pendidikan di Indonsia masih belum
dapat meningkat secara signifikan. Tujuan kegiatan penelitian ini untuk mengetahui
perbedaan kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan pembelajaran konvensional, serta
mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis pada mahasiswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E. Metode yang
digunakan adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini berbentuk quasi eksperimental
(eksperimen semu). Desain quasi eksperimental yang digunakan adalah non equivalent
control group design. Populasi yang digunakan seluruh mahasiswa FKIP Program Studi
Pendidikan Ekonomi tingkat I tahun akademik 2013/2014. Pengambilan sampel dengan
cara purposive sampling, sampelnya adalah kelas D dan G. Kelas D sebagai kelas
eksperimen dan kelas G sebagai kelas kontrol. Dari perhitungan uji Independent Sample T
Test diperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,000. Nilai
signifikansi dari uji tersebut kurang dari taraf signifikan yang diambil yaitu 0,05 artinya
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis antara kelas
eksperimen dengan kelas kontrol. Rata-rata indeks gain kelas eksperimen adalah 1,59
sedangkan rata-rata indeks gain kelas kontrol adalah 1,17. Hal ini menunjukkan bahwa rata-
rata peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan
pada kelas kontrol.
Kata Kunci: learning cycle 7E, representasi matematis, eksperimen semu.
A. Pendahuluan
Ditjen Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan
melihat perlunya kembali mengevaluasi sistem penyiapan guru masa depan, mulai dari
penyiapan hingga kompetensinya sebagai pendidik yang profesional. Untuk
mengantisipasi era global 2015 (persaingan pasar bebas) Indonesia harus memperkuat
kemampuan bersaing diberbagai bidang seperti mutu melalui pengembangan Sumber
Daya Manusia. Dimana dalam peningkatan mutu dibutuhkan peran pendidikan. Dalam
upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup tinggi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan pada BAB V Pasal 26 menguraikan standar kompetensi lulusan
pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan,
kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu,
teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Berdasarkan standar kompetensi lulusan tersebut sudah selayaknya sebagai seorang
pendidik harus menyusun strategi sehingga dapat mewujudkan standar kompetensi yang
diharapkan. Standar kompetensi lulusan ini lebih dikhususkan lagi bagi mahasiswa
sebagai calon guru, mereka dituntut untuk bisa lebih memahami karena harus bisa
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 65
menyampaikan lagi kepada siswanya di masa yang akan datang. Sehubungan dengan
hal tersebut, perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan matematika, karena kualitas
hasil pendidikan di Indonesia masih belum bisa meningkat secara signifikan.
Melalui hasil pengamatan, mahasiswa kurang mampu menuangkan ide dan
fikirannya untuk mengembangkan serta merepresentasikan konsep matematika pada
bentuk lain. Mahasiswa hanya mampu menyelesaikan soal-soal latihan jika soal tersebut
sama seperti apa yang sudah dicontohkan oleh dosennya. Selain itu latar belakang dasar
pendidikan mahasiswa tidak semuanya berasal dari SMA program IPS, tetapi ada dari
SMK dengan jurusan teknik atau pun yang lainnya. Peningkatan kemampuan
representasi matematis, diharapkan mahasiswa dapat menjangkau beberapa aspek
untuk penyelesaian masalah, baik di dalam maupun di luar kampus yang pada
akhirnya secara tidak langsung mahasiswa memperoleh banyak pengetahuan yang
dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan.
Berdasarkan permasalahan tersebut kiranya perlu perubahan paradigma dalam
penyampaian materi pada saat perkuliahan, terutama pada mata kuliah Matematika
Ekonomi. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah dasar yang harus dikuasai oleh
mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi.
Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut (1) Apakah terdapat perbedaan
kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang pembelajarannya
menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan pembelajaran konvensional?
(2) Apakah terdapat peningkatan kemampuan representasi matematis pada mahasiswa
yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E ?
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Untuk
mengetahui perbedaan kemampuan representasi matematis antara mahasiswa yang
pembelajarannya menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E dan
pembelajaran konvensional, (2) Untuk mengetahui peningkatan kemampuan
representasi matematis pada mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan model
pembelajaran learning cycle 7E?. Ruang lingkup dari kegiatan penelitian ini yaitu: (1)
Mahasiswa semester dua Program Studi Pendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon
Tahun Akademik 2013/2014,(2) Materi yang akan disampaikan adalah Rente.
B. Tinjauan Pustaka
1. Model Pembelajaran Learning Cycle
Learning cycle (daur belajar) merupakan model pembelajaran sains yang berbasis
konstuktivistik. Model ini dikembangkan oleh J. Myron Atkin, Robert Karplus dan
Kelompok SCIS (Science Curriculum Improvement Study), di Universitas California,
Berkeley, Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Ketujuh tahapan dapat digambarkan
seperti pada Gambar 1.
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 66
Gambar 1. Tahapan Model Pembelajaran 7-E
Sumber: Bentley, Ebert, dan Ebert (Hanuscin, 2003)
Adapun tahapan-tahapan dalam model pembelajaran 7-E (Eisenkraft, 2003), yaitu:
a. Fase 1: Elicit (memperoleh)
Pada tahap ini tujuan utama adalah untuk muncul pengalaman masa lalu tentang belajar
dan menciptakan latar belakang yang kuat untuk tahapan lain; dimulai dengan hanya
melibatkan isu-isu baru dengan yang sudah lama dan terkenal dapat dianggap kurang
dalam mendukung pemikiran kemampuan.
b. Fase 2: Engage (melibatkan)
Membangkitkan minat mahasiswa dengan menggunakan cara bercerita, memberikan
demonstrasi, atau dengan menunjukkan suatu objek, gambar, atau video singkat.
c. Fase 3: Explore (menjelajahi)
Suatu fase (kegiatan) dimana mahasiswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca
inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena
alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain.
d. Fase 4: Explain (menjelaskan) Merupakan fase pengenalan konsep. Pada tahap ini mahasiswa mengenal istilah-istilah
yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari, kemudian
melaporkan temuan dan penemuan-penemuan di kelas.
e. Fase 5: Elaborate (teliti)
Mahasiswa berpikir lebih mendalam tentang hal yang mereka pelajari dan menerapkan
pada kasus yang berbeda. Mereka menguji gagasan dengan rincian dan mengeksplorasi
bahkan menambahkan koneksi.
f. Fase 6: Evaluate (evaluasi)
Pada tahap ini digunakan penilaian formatif dari tahap elicit dan menilai: misalnya,
desain penyelidikan, interpretasi data, atau tindak lanjut pada pertanyaan, mencari
pertumbuhan mahasiswa.
g. Fase 7: Extend (memperpanjang)
Pada tahap extend, mahasiswa mengembangkan hasil elaborate dan menyampaikannya
kembali untuk melatih mahasiswa bagaimana mentransfer pelajaran dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Representasi Matematis
NCTM (2000) merekomendasikan lima kompetensi standar yang utama yaitu
kemampuan pemecahan masalah matematis, komunikasi matematis, koneksi matematis,
penalaran matematis, dan representasi matematis. Beberapa bentuk representasi
matematis, seperti verbal, gambar, numerik, simbol aljabar, tabel, diagram, dan grafik
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pelajaran matematika.
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 67
NCTM (2000) memaparkan beberapa hal proses representasi melibatkan
penerjemahan masalah atau ide ke dalam bentuk baru.
a. Proses representasi termasuk pengubahan diagram atau model fisik ke dalam
simbol-simbol atau kata-kata.
b. Proses representasi juga dapat digunakan dalam penerjemahan atau penganalisisan
masalah verbal untuk membuat maknanya menjadi jelas.
c. Ketika para mahasiswa dihadapkan dengan suatu masalah matematika mereka
ditantang untuk berfikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan
hasil pikiran mereka secara lisan atau dalam bentuk tertulis, karena mereka
sebenarnya sedang belajar menjelaskan dan merepresentasikan masalah matematika
tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa representasi matematik merupakan
penggambaran konsep matematik dalam upaya memperoleh kejelasan makna,
menunjukan pemahamannya atau mencari solusi dari soal atau masalah matematika
yang dihadapinya.
Sumarmo (2010) mengemukakan, ada beberapa indikator dalam representasi
matematika yaitu.
a. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
b. Memahami hubungan antar topik matematika
c. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
d. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.
e. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam kehidupan sehari-hari.
f. Menerapkan hubungan antar topik matematika.
Yazid (2012) menguraikan indikator yang digunakan untuk menilai kemampuan
representasi matematis siswa, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Indikator Representasi
Representasi Bentuk-Bentuk Operasional
Representasi Visual
Diagram, Tabel atau Grafik
a. Menyajikan kembali data/informasi dari suatu representasi
ke representasi diagram,grafik atau tabel
b. Menggunakan representasi visual untuk
menyelesaikan masalah
c. Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan
memfasilitasi penyelesaian.
Persamaan atau ekspresi
Matematis
a. Membuat persamaan, model matematik atau
representasi dari representasi lain yang diberikan
b. Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi
Matematik
Kata-kata atau Teks Tertulis a. Membuat situasi masalah berdasarkan data atau
representasi yang diberikan
b. Menuliskan interpretasi dari suatu representasi
c. Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah
matematika dengan kata-kata
d. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau
teks tertulis.
Indikator representasi matematis yang akan digunakan dalam kegiatan penelitian
ini meliputi:
1. Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaian.
2. Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematik.
3. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 68
C. Metode Penelitian
1. Metode dan Desain Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian eksperimen.
Penelitian ini termasuk dalam bentuk quasi eksperimental (eksperimen semu), yaitu
desain penelitian yang mempunyai kelompok kontrol tetapi tidak dapat berfungsi
sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen (Sugiyono, 2009). Penelitian ini menggunakan dua kelas. Kelas eksperimen
akan diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 7E,
sedangkan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.
Desain quasi eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nonequivalent control group design. Menurut (Sugiyono, 2009) desain penelitiannya
adalah sebagai berikut.
E O1 X O2
K O3 - O4
Keterangan:
E = Kelas eksperimen
K = Kelas kontrol
O1 = Pretes Kelompok Eksperimen
O2 = Postes Kelompok Eksperimen
O3 = Pretes Kelompok Kontrol
O4 = Postes Kelompok Kontrol
X = Pembelajaran menggunakan model learning cycle 7E
2. Populasi dan Sampel
Populasinya adalah seluruh mahasiswa FKIP Program Studi Pendidikan Ekonomi
tingkat I, tahun akademik 2013/2014. Teknik pengambilan sampel pada penelitian
dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Menurut Sugiyono (2009)
purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa program studi Pendidikan Ekonomi
semester II kelas D dan G. Kelas D sebagai kelas Eksperimen dan kelas G sebagai kelas
kontrol.
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan dan analisis data yang akan digunakan pada penelitian tampak
pada Tabel 2. Tabel 2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Jenis data Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis
Data
1. Perbedaan kemampuan representasi Tes kemampuan
representasi
Uji t
2. Peningkatan kemampuan
representasi matematis
Tes kemampuan
representasi
Uji gain
ternormalisasi
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 69
4. Teknik Pengolahan Data
a. Uji Perbedaan Dua Rata-rata (Uji t)
Untuk melakukan pengujian tentang perbedaan dua rata-rata diperlukan langkah
sebagai berikut.
1) Perumusan hipotesis
H0: µ1 = µ2 tidak terdapat perbedaan rata-rata tes awal dan tes akhir antara
kelas eksperimen dengan kelas kontrol.
H1: µ1 µ2 terdapat perbedaan rata-rata tes awal dan tes akhir antara kelas
eksperimen dengan kelas kontrol.
2) Statistik uji
21
gab
21
11
nns
xxt
(Sudjana, 2002)
Kriteria pengujian α = 5%.
Dengan mengambil taraf nyata α = 5, terima H0 jika )1()1(
21
21
ttt h , di
mana )1(
21
t didapat dari daftar distribusi t dengan dk = n1 + n2 – 2 dan peluang 211
. Untuk harga-harga t lainnya H0 ditolak.
b. Peningkatan kemampuan representasi matematis mahasiswa
(Uji Gain Ternormalisasi)
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan representasi matematis mahasiswa
setelah pembelajaran digunakan uji gain ternormalisasi Hake (1992), dengan rumus
sebagi berikut.
Hasil perhitungan diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Gain
Indeks Gain Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 <g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
Sumber: Hake (1992)
D. Hasil dan Pembahasan
1. Deskriptif Data
a. Hasil Kemampuan Representasi Matematis
Untuk mengetahui ada petidaknya ngaruh model cycle learning 7E dilakukan tes
awal (pretes) dan tes akhir (postes) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun
hasil tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) adalah sebagai berikut.
1) Data Pretes
Hasil pretes disajikan pada Tabel 4.
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 70
Tabel 4. Statistik Deskriptif Data Hasil Pretes
Kelas Jumlah
Subjek Rata-rata
Nilai
Maksimum
Nilai
minimum
Simpangan
Baku
Eksperimen 21 9,73 23 2 6,68
Kontrol 26 12,71 28 1 8,46
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor pretes kelas eksperimen
adalah 9,73 dengan skor maksimum 23 dan minimum 2, sedangkan rata-rata skor pretes
kelas kontrol adalah 12,71 dengan skor maksimum 28 dan minimum 1. Selain itu dapat
dilihat juga bahwa nilai simpangan baku pretes kelas eksperimen adalah 6,68 dan
simpangan baku pretes kelas kontrol adalah 8,46.
2) Data Postes
Hasil perhitungan data postes disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Statistik Deskriptif Data Hasil Postes
Kelas Jumlah
Subjek Rata-rata
Nilai
Maksimum
Nilai
minimum
Simpangan
Baku
Eksperimen 21 61,77 87 41 11,52
Kontrol 26 55,76 83 41 13,64
Dari Tabel 5 dapat terlihat rata-rata skor postes kelas eksperimen adalah 61,77
dengan nilai maksimum 87 dan nilai minimum 41, sedangkan rata-rata skor postes kelas
kontrol adalah 55,76 dengan nilai maksimum 83 dan nilai minimum adalah 41. Selain
itu simapangan baku kelas eksperimen adalah 11,52 dan simpangan baku kelas kontrol
adalah 13,64.
2. Analisis Data dan Pembahasannya
a. Analisis Data Kuantitatif
1) Uji Perbedaan Rata-rata
Perhitungan hipotesis menggunakan uji-t dengan dengan taraf nyata 5% diperoleh
sebagaimana Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Uji Perbedaan Rata-rata (One-Sample T-Test )
Test Value = 0
T df Sig. (2-tailed) Mean
Difference
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
Postes
eksperimen
18.732 21 .000 55.762 49.55 61.97
Postes control 27.345 25 .000 61.769 57.12 66.42
Dari perhitungan uji perbedaan dua rata-rata di atas, untuk uji Independent Sample
T-Test diperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 0,000.
Nilai Signifikansi dari uji tersebut ternyata kurang dari taraf signifikan yang diambil
yaitu 0,05 maka H0 ditolak. Berdasarkan pengambilan keputusan di atas, dapat
dikatakan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis
antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.
Kelas eksperimen mengalami peningkatan rata-rata sebesar 52,04 dari rata-rata 9,73
dengan skor maksimum 23 dan minimum 2 meningkat menjadi 61,77 dengan nilai
maksimum 87 dan nilai minimum 41, sedangkan kelas kontrol mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 43,05 dari rata-rata 12,71 dengan skor maksimum 28 dan minimum 1
meningkat menjadi 55,76 dengan nilai maksimum 83 dan nilai minimum adalah 41. Hal
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 71
ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika
dibandingkan dengan peningkatan pada kelas kontrol.
2) Indeks Gain
Indeks gain dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui peningkatan
kemampuan representasi matematis mahasiswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Data tersebut disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Statistik Deskriptif Data Hasil Indeks Gain
Kelas Jumlah Rata-rata Nilai
Maksimum
Nilai
Minimum
Simpangan
Baku
Eksperimen 21 1,59 5,00 0,58 0,74
Kontrol 26 1,17 3,41 0,56 0,89
Berdasarkan Tabel 9, diperoleh rata-rata indeks gain kelas eksperimen adalah 1,59
dengan nilai maksimum 3,41 dan nilai minimum 0,58 sedangkan rata-rata indeks gain
kelas kontrol adalah 1,17 dengan nilai maksimum 5,00 dan nilai minimum 0,56. Selain
itu, simpangan baku kelas eksperimen adalah 0,74 dan simpangan baku kelas kontrol
adalah 0,89. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan rata-rata
kemampuan representasi matematis mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
peningkatan pada kelas eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan dengan peningkatan
pada kelas kontrol.
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di FKIP Program Studi
Pendidikan Ekonomi Unswagati Cirebon simpulan sebagai berikut.
a. Terdapat perbedaan rata-rata kemampuan representasi matematis antara mahasiswa
yang pembelajarannya dengan menggunakan learning cycle 7E dengan
pembelajaran secara konvensional.
b. Terdapat peningkatan kemampuan representasi matematis yang signifikan pada
mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan learning cycle 7E.
Setelah dilakukan penelitian di FKIP Program Studi Pendidikan Ekonomi
Unswagati Cirebon mengemukakan beberapa saran sebagai berikut.
a. Pembelajaran matematika dengan menerapkan learning cycle 7E dapat dijadikan
pembelajaran yang perlu dipertimbangan oleh dosen dalam proses perkuliahan.
b. Penelitian dengan menggunakan learning cycle 7E dapat dikembangkan untuk
mengukur peningkatan kemampuan matematis lainnya tidak hanya untuk
kemampuan representasi matematis mahasiswa.
F. Daftar Pustaka
Eisenkraft, A. 2003. Expanding the 5E Model. The Science Teacher. Reprented with
permission from The Science Teacher. The Journal for High School Science
Educators, 70(6), 56-59.
Hake, R. R. 1992. Socratic Pedagogy in the Introductory Physics Lab. Phys. Teach, 30,
546-552.
National Council of Teacher Mathematics. 2000. Principles and Standards for
Schools Mathematics. Reston. VA.
Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle
ISBN 978-602-1034-06-4 72
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: PT Tarsito.
Sugiyono. 2009. Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R and D. Bandung: Alfabeta.
Sumarmo,U. (2010). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa
Sekolah Menengah. Bandung: FMIPA UPI.
Yazid, A. 2012. Kooperative TTW Strategy Mathematical Representation Ability.
Journal of Primary Education. Universitas Negeri Semarang.
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 73
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PERMAINAN
TANGRAM UNTUK MENINGKATKAN KEAHLIAN BERPIKIR
GEOMETRI (GEOMETRIC THINKING SKILLS) SISWA SD
Olanda Dwi Sumintra
1), Ayu Erawati
2), Sulistiawati
3)
1)2)3) Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya
Gd. Sure Lt.4 Jln. Scientia Boulevard Blok U/7, Gading Serpong, Tangerang, Banten
Surel: 1)[email protected] 2)[email protected] 3)[email protected]
Abstrak
Tangram merupakan permainan teka-teki dengan 7 spesifik potongan yang pas untuk
membentuk persegi, ada 7 bagian yang terdiri dari 2 segitiga besar, 1 segitiga sedang, 2
segitiga kecil, 1 persegi dan 1 jajar-genjang. Pada permainan tangram ini siswa dapat
menggunakan bagian-bagian tersebut menjadi berbagai bentuk hewan dan benda-benda
lain. Siswa yang berpikir visual-spasial (otak kanan) mendapati bahwa permainan tangram
melatih kemampuan berpikir mereka secara logis, sedangkan yang berpikir secara analitis
(otak kiri) mendapati bahwa permainan tangram mengasah kemampuan mereka bekerja
dengan bentuk, warna dan imajinasi. Tangram bisa digunakan sebagai alat peraga guna
membentuk pengertian akan ide-ide geometri, dan mengembangkan kemampuan spasial.
Saat ini masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri. Salah satu
penyebabnya adalah strategi pembelajaran yang digunakan tidak sesuai dengan materi yang
diajarkan, selain itu dalam pembelajaran geometri selama ini belum disesuaikan dengan
tingkat perkembangan berpikir siswa. Oleh karena diperlukan strategi yang tepat yang
disusun berdasarkan tingkat berpikir siswa dalam geometri terutama dalam keahlian
berpikir geometri (geometric thinking skill). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemampuan keahlian berpikir geometri, siswa dengan permainan tangram.
Instrumen yang digunakan berupa tes dengan menggunakan pre-test sebelum diberikan
tindakan dan post-test setelah diberikan tindakan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan desain one group pretest postest design.
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri Rumpaksinang, Tangerang. Dalam
pembelajaran bangun datar menggunakan permainan tangram terdapat pengaruh terhadap
cara berpikir geometri siswa (geometric thinking skill) yaitu terdapatnya peningkatan hasil
belajar siswa sebesar 0,1 (rendah).
Kata kunci: berpikir visual-spasial, secara analitis, tangram, geometric thinking skill
A. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan, matematika merupakan mata pelajaran yang penting dan
tidak dapat ditinggalkan baik dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan
tinggi. Dalam mempelajari matematika siswa harus mengenal dan memahami objek–
objek matematika. Dalam belajar matematika bukan hanya mempelajari konsep dan
prinsip yang dibutuhkan, tetapi juga skill (keterampilan).
Geometri merupakan salah satu pembelajaran yang penting karena merupakan salah
satu pembelajaran yang dapat mengkaitkan matematika ke dalam kehidupan sehari-hari
selain itu juga bisa melatih pola pikir siswa yang terstruktur dan bisa diaplikasikan
untuk masalah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak heran jika geometri
dipelajari mulai dari sekolah dasar hingga ke tingkat perguruan tinggi
Belajar geometri pada tingkat SD bergantung pada tingkat berpikirnya menurut
teori Van Hiele. Persepsi siswa SD terhadap bentuk geometris sangat berbeda dengan
persepsi pada tingkat yang berbeda. Bahkan mereka juga bisa menjadi tidak konsisten
dengan konsep yang telah ada. Dalam pembelajaran geometri ini siswa dapat
memahami bentuk, sifat dan karakteristik masing–masing objek. Namun siswa
mengalami kesulitan dalam mengindentifikasi objek geometris. Dengan demikian
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 74
diperlukan pengembangan dan pembangunan tentang bentuk–bentuk geometris dua
dimensi dan sifat serta karakteristiknya sebelum mereka melanjutkan ke jenjang
berikutnya. Guru harus memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan siswa
sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir geometrisnya.
Dari kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa siswa belum mampu memahami
konsep yang telah ada sehingga siswa mengalami kesulitan mengenal berbagai jenis
bangun datar dan membentuk bangun baru dari bangun yang ada. Dengan demikian,
peneliti berusaha menumbuhkan rasa geometri dengan kemampuan berpikir geometri
(geometric thinking skills) menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran
(manipulative materials) adalah suatu alat peraga yang penggunaannya diintegrasikan
dengan tujuan dan isi pengajaran yang telah dituangkan dalam GBPP bidang studi
matematika dan bertujuan untuk mempertinggi mutu kegiatan belajar mengajar. Dengan
kata lain alat peraga matematika adalah alat yang digunakan untuk mempermudah
menjelaskan konsep matematika (Rohayati, 2008). Penggunaan media pembalajaran
harus tepat dengan tujuan pembelajaran agar pembelajaran berlangsung maksimal.
Salah satu contoh media pembelajaran adalah tangram.
Dengan menggunakan permainan tangram siswa diharapakan mampu
meningkatkan kemampuan berpikir geometrisnya dan mampu menumbuhkan rasa seni.
Adapun pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah 1) Adakah pengaruh
kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap
pembelajaran matematika dengan permainan tangram?, 2) bagaimana rata-rata
peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD
terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram?. Dengan demikian
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan
kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap
pembelajaran matematika dengan permainan tangram dan besarnya rata-rata
peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD
terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram.
B. Tinjauan Pustaka
Geometri merupakan salah satu cabang di dalam ilmu matematika, di dalam
geometri siswa selain mempelajari tentang bangun datar dan bangun ruang mereka juga
mempelajari tentang objek-objek yang berhubungan dengan seni sehingga dengan
belajar geometri siswa mampu melatih pola berpikirnya.
Didalam buku Elementary and Middle School menjelaskan bahwa tidak semua
orang berpikir tentang ide-ide geometris dengan cara yang sama. Tentu saja, kita tidak
semua sama, tetapi kita semua mampu tumbuh dan berkembang dalam kemampuan kita
untuk berpikir dan alasan dalam konteks geometris. Penelitian dari dua pendidik
Belanda, Pierre van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, telah memberikan wawasan ke
dalam perbedaan geometris berpikir dan bagaimana perbedaan itu terjadi. Dalam teori
Van Hiele terdapat ciri yang paling menonjol yaitu hirarki lima tingkat cara memahami
ide-ide spasial. Masing-masing dari lima tingkat menggambarkan proses berpikir
digunakan dalam konteks geometris. Tingkat ini menggambarkan bagaimana kita
berpikir, dan jenis ide-ide geometris kita pikirkan, bukan berapa banyak pengetahuan
apa yang kita miliki. Sebuah signifikan perbedaan dari satu tingkat ke yang berikutnya
adalah objek pemikiran-apa yang kita mampu berpikir tentang geometris. Adapun
tingkatannya yaitu Visualization (level 0), Analysis (level 1), Informal Deduction (level
2), Deducation (level 3), dan Rigor (level 4).
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 75
Dalam pembelajaran matematika, pembelajaran tidak hanya monoton dengan satu
metode, dengan seiringnya kemajuan teknologi dan sains pembelajaran bisa
menggunakan banyak cara. Seperti halnya dalam materi bangun datar selain
pembelajaran menggunakan alat peraga, tingkat berpikir geometri siswa juga bisa
dikembangkan melalui permainan tangram. Tangram adalah jenis teka-teki yang dikenal
secara umum sebagai diseksi yaitu, satu bentuk dipotong-potong dan potongan diatur
kembali untuk membuat bentuk lain. Dalam kasus yang paling umum,bentuk awal dan
bentuk akhir ini bisa berupa bentuk dari yang biasa ke yang sangat tidak teratur
(Tapson, Frank; 2004). Dalam kasus tertentu tangram, bentuk awalnya berupa persegi
yang dipotong-potong menjadi 7 bagian bagian dimana bagian-bagian tersebut
berbentuk 1 buah persegi, 2 buah segitiga kecil, 2 buah segitiga besar, 1 buah segitiga
sedang dan 1 buah jajargenjang.
Dalam pembelajaran geometri dengan menggunakan tangram siswa mampu
mengenal dan membedakan jenis-jenis dari bangun datar sesuai dengan ciri-cirinya,
siswa juga mampu meningkatkan cara berpikir mereka dalam menyelesaikan bentuk –
bentuk dalam konteks geometri. Selain itu permainan ini juga bisa menumbuhkan rasa
seni mereka terhadap geometri. Dalam permainan tangram ini siswa diharapkan mampu
membentuk berbagai macam objek – objek geometri baik berupa hewan, benda dan
manusia.
C. Metode Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain one
group pretest-postest design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV (Empat)
semester ganjil tahun pelajaran 2014/2015 dengan jumlah sebanyak 33 siswa di SD
Negeri RumpakSinang, Tangerang pada bulan Oktober 2014.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu instrumen tes,
dokumentasi dan catatan lapangan. Instrumen tes digunakan untuk mengambil data
pretes dan postes dengan pembelajaran tangram. Sebelum digunakan instrumen tes
diujicobakan terlebih dahulu untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
tingkat kesukaran. Uji validitas dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus
korelasi Product Moment Pearson. Uji reliabilitas untuk tipe soal uraian menggunakan
rumus Cronbach’s Aplha.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik untuk dua sampel yang
berkorelasi (2 related sample) dengan menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui
adanya pengaruh pembelajaran dengan tangram terhadap keahlian berpikir geometri
siswa. Selanjutnya, dilakukan analisis data untuk mengetahui besarnya peningkatan
keahlian berpikir geometri dengan rumus N-gain. Rumus N-gain yang digunakan adalah
rumus gain yang dikembangkan oleh Meltzer (2002) seperti berikut.
N-gain ( )
Nilai gain yang diperoleh selanjutnya diinterpretasikan menurut klasifikasin indeks N-
gain menurut Hake (1999) sebagai berikut: Tabel 1. Nilai Indeks N-gain
Indeks N-gain ( ) Interpretasi
Tinggi
Sedang
Rendah
gpretesskoridealskor
pretesskorpostesskor
g
7,0g
7,03,0 g
3,0g
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 76
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Uji Coba Instrumen
Sebelum melakukan penelitian di kelas IV SD Negeri Rumpaksinang, Tangerang-
Banten, terlebih dahulu peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tes
yang akan digunakan. Uji coba dilakukan di SD Negeri RumpakSinang Tangerang
kepada siswa kelas V. Jumlah soal tes yang diberikan sebanyak 12 butir soal. Dari 12
butir soal ini dilakukan uji validitas dengan menggunakan microsoft excel. Dari analisis
uji validitas diperoleh 9 soal valid dan 3 tidak valid. Soal yang valid diantaranya
bernomor 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11.
Setelah melakukan uji validitas peneliti melakukan uji relaibilitas dengan
menggunakan rumus Cronbach’s Aplha. Dari perhitungan didapat nilai reliabilitas
sebesar 0,644241. Menurut klasifikasi koefisien reliabilitas, nilai ini masuk dalam
klasifikasi tinggi. Nilai reliabilitas yang didapat terbilang tinggi yang artinya instrumen
yang diberikan ajeg, tetap dan dipercaya. Setelah didapatkan nilai reliabilitas maka
dilakukan lagi perhitungan untuk mencari daya pembeda dan tingkat kesukaran
instrumen. Hasil perhitungan daya pembeda dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil perhitungan daya pembeda menggunakan microsoft excel
Dari hasil yang didapatkan terdapat 6 soal yang baik yaitu pada nomor 2, 4, 5, 6, 7,
dan 8 artinya soal tersebut diterima (baik). Satu soal yang terbilang jelek yaitu nomor 9
artinya soal tersebut tidak diterima (jelek). Dua soal sangat jelek yaitu pada nomor 10
dan 11. Setelah didapatkan hasil daya pembeda, maka dilakukan lagi perhitungan
tingkat kesukaran. Hasil perhitungan tingkat kesukaran dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 3. Hasil tingkat kesukaran instrumen
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 77
Dari hasil yang diperoleh terdapat 5 soal yang tergolong sedang dan 4 soal
tergolong sukar. Soal tergolong sedang adalah soal bernomor 2, 4, 5, 6, dan 7. Untuk
soal tergolong sukar adalah soal bernomor 8, 9, 10, dan 11.
2. Kegiatan Pembelajaran
Setelah semua perhitungan diperoleh barulah peneliti melakukan penelitian ke SD
Negeri Rumpaksinang, Tangerang-Banten di kelas IV (Empat) dengan jumlah sampel
sebanyak 33 siswa. Pada awal pertemuan setelah kegiatan perkenalan dan mengingatkan
kembali kepada siswa tentang sedikit materi bangun datar, setelah itu siswa diberikan
soal pretest yang dikerjakan selama 45 menit. Pertemuan selanjutnya, siswa diberikan
kegiatan membuat tangram dari kertas yang telah disediakan. Siswa-siswa menggunting
bangun datar yang diberikan dan mereka mulai mengenal serta mengetahui ciri-ciri dari
masing-masing bangun datar yang ada. Setelah masing-masing dari mereka memiliki
potongan tangram, mereka mulai diajak bermain tangram, dari membentuk bangun yang
sederhana hingga bentuk bangun yang agak rumit seperti membentuk gambar hewan,
benda-benda dan manusia.
Di awal permainan banyak dari siswa yang mengalami kesulitan membentuk
bangun-bangun yang ada. Setelah siswa dapat menyelesaikan satu bentuk objek,
mereka lebih mudah dan cepat untuk menyelesaikan objek-objek yang telah ditentukan.
Dengan demikian, kemampuan berpikir geometri mereka mulai terbentuk, semakin
banyak mereka berlatih dan bermain tangram mereka semakin memahami masing-
masing sifat bangun datar dan mampu mengaitkan dengan kehidupan sehari-hari serta
mereka mampu membentuk bangun datar kedalam bentuk objek-objek sehingga
kemampuan berpikir geometri siswa semakin meningkat.
Setelah diberikan materi tentang bangun datar dalam permainan tangram, kegiatan
terakhir dalam penelitian ini yaitu siswa diberikan postest. Untuk melakukan
mengetahui adanya peningkatan kemampuan berpikir geometri siswa maka dilakukan
perhitungan dengan menggunakan uji Wilcoxon.
3. Kemampuan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric Thinking Skill)
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat pengaruh kemampuan berpikir
geometri siswa kelas IV SD Negeri Rumpaksinang setelah diberikan pembelajaran
dengan permainan tangram. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan uji stastistik yaitu menggunakan uji wilcoxon. Uji wilcoxon adalah uji
non parametrik yang saling berkorelasi untuk data yang ordinal (Wiwik,W., 2013). Data
yang digunakan dalam penelitian ini termasuk data ordinal. Pasangan uji hipotesisnya
sebagai berikut:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan geometric thinking skill siswa
SD yang belajar dengan permainan tangram.
Ha : Terdapat perbedaan kemampuan geometric thinking skill siswa SD
yang belajar dengan permainan tangram.
Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika
nilai absolut . Berdasarkan perhitungan menggunakan uji wilcoxon untuk
statistik non parametrik dengan SPSS tentang pengaruh kemampuan keahlian berpikir
geometri (geometri thinking skills) siswa SD terhadap pembelajaran matematika dengan
permainan tangram, hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
2
1ZZhitung
2
1ZZ hitung
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 78
Tabel 4. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes keahlian berpikir geometri
Kemampuan Tes Absolut
Asymp. Sig
(2-tailed)
Kesimpulan Keterangan
Kemampuan
Keahlian Berpikir
Geometri
Pretes
4,322 0,000 H0 ditolak
Terdapat
Perbedaan Postes
Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,
terdapat perbedaan kemampuan keahlian berpikir geometri sebelum dan sesudah
pembelajaran dengan permainan tangram. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan permainan tangram mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kemampuan keahlian berpikir geometri.
4. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Keahlian Berpikir Geometri (Geometric
Thinking Skill)
Untuk melihat peningkatan kemampuan berpikir geometri, analisis yang digunakan
adalh dengan menghitung selisih skor pretes dan skor postes. Untuk melihat
peningkatan ini, digunakan uji t terhadap satu perlakuan. Uji t dapat digunakan jika data
yang dimiliki normal. Untuk itu peneliti melakukan uji normalitas menggunakan uji
Kormogorov-Smirnov dengan menggunakan SPSS. Pasangan hipotesis yang diuji
adalah :
H0 : Sampel berasal dari populasi yang distribusi normal
Ha : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima
jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi normal, sedangkan jika sig. <
taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normal. Hasil uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa tentang Keahlian Berpikir Geometri
Aspek
Kemampuan
Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan
Statistic Sig.
Keahlian
Berpikir
Geometri
0.484 0,973 H0 diterima Normal
Dari tabel di atas nilai sig. = 0. 973> taraf signifikansi = 0,05 sehingga H0 diterima.
Hal ini berarti bahwa sampe dari populasi yang berdistribusi normal. Selanjutnya
dilakukan uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.
Uji satu rata-rata dalam penelitian ini untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata
peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri (geometri thinking skills) siswa SD
terhadap pembelajaran matematika dengan permainan tangram. Pasangan hipotesis yang
diuji adalah:
H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri minimal
0,1.
Ha : Rata-rata peningkatan kemampuan keahlian berpikir geometri kurang
dari 0,1.
hitungZ
96,1322,4 tabelhitung ZZ 0H
05,0 30n
Pembelajaran Matematika dengan Permainan
ISBN 978-602-1034-06-4 79
Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima
jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan keahlian berpikir
geometri dengan pembelajaran permainan tangram adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Keahlian Berpikir
Aspek
Kemampuan Uji-t
Asymp.Sig.
(2-tailed) Kesimpulan Keterangan
Keahlian
Berpikir
Geometri
-0,751 0,458 H0 diterima Peningkatan rendah
Dari tabel di atas, dengan test value 0,1 diperoleh nilai t hitung -0,751 dan sig. (2-
tailed) = 0.458. Nilai Asymp. (2-tailed) = 0,458 > taraf signifikansi ( ) = 0,05. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa rata-rata peningkatan kemampuan geometric
thinking skill siswa SD yang belajar dengan permainan tangram minimal 0,1.
Peningkatan sebesar 0,1 termasuk dalam kriteria N-gain rendah.
E. Simpulan dan Saran
Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat simpulkan bahwa penggunaan
permainan tangram dalam materi bangun datar memiliki pengaruh terhadap cara
berpikir geometri siswa (geometric thinking skills), pengaruh tersebut dapat dilihat
dengan adanya peningkatan dari hasil belajar siswa sebesar 0,1. Dari hasil peningkatan
tersebut masih terbilang cukup rendah, hal ini disebabkan karena waktu yang digunakan
dalam penelitian ini cukup singkat sehingga penerapan permainan tangram pun kurang
maksimal.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan oleh
peneliti yaitu sebaiknya dalam pembelajaran geometri guru menerapkan permainan
tangram sehingga kemampuan berpikir geometri siswa dapat ditingkatkan dan dalam
melakukan penelitian sebaiknya waktu yang digunakan harus lebih banyak dalam
permainan tangram. Selain itu minat dan antusias siswa juga lebih besar dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran, ini dapat dilihat pada saat siswa mengikuti
pembelajaran di kelas mereka terlihat lebih aktif.
F. Daftar Pustaka
Rohayati, Ade. 2008. Handout Mata Kuliah Pembelajaran Matematika. Bandung.
Safrina, K., Ikhsan, M., Ahmad, A. (2014). Peningkatan Kemampuan Pemecahan
Masalah Geometri Melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele,
Jurnal Didaktik Matematika 2014; 1; 9 – 20.
Siew, N.M., Chong, C.L., Abdullah, M. R. (2013). Facilitating Students’ Geometric
Thinking Through Van Hiele’s Phase-Based Learning Using Tangram, Juornal of
Social Sciences 2013;9 ;101-111
Sundayana, Rostina. 2014. Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta
Van de Walle, John A. 2006. Elementary and Middle school Mathematics: Teaching
Developmentally. : Allyn & Bacon, Inc.
Tapson, Frank. 2004. Tangrams. (Online).
(http://www.cleavebooks.co.uk/trol/trolna.pdf, diakses pada 15 Oktober 2014)
Wiyanti, Wiwik. 2013. Handout Mata Kuliah Statistika Lanjut. Tangerang.
tabelhitung tt
tabelhitung tt
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 80
ANALISIS KEMAMPUAN GURU PAUD DAN IDENTIFIKASI INSTRUMEN
POLYTOMOUS DENGAN PROGRAM PARSCALE DI KOTA SEMARANG
Risky Setiawan IKIP Veteran
Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Tujuan penelitian adalah :1) Mengetahui dan mengidentifikasikan kemampuan guru PAUD
dalam pelaksanaan sertifikasi dan PLPG di Semarang; 2) mengetahui tingkat kehandalan
Instrumen kuesioner guru dengan program Parscale; 3) mengetahui tingkat kesalahan
pengukuran (SEM) pada Instrumen. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik
pengukuran yaitu dengan IRT (Item Response Theory). IRT ditujukan untuk mengestimasi
kemampuan dari peserta dengan subjek 100 orang guru di Kota Semarang. Hasil penelitian
menunjukkan: Pertama, berdasarkan output Parscale maka dapat dilihat bahwa kemampuan guru
(θ) paling tinggi adalah 2,6 dan paling rendah adalah -1,7, sementara terdapat 9 butir soal yang
tidak cocok dengan model disebabkan probabilitas kurang dari 0,05 yaitu soal nomor:
(2,4,7,9,11,14,20,25,27); Kedua, instrumen memiliki kehandalan tinggi terbukti dari nilai KMO
(0,867), signifikansi 0,00, dan Sums of Squared Loadings Cumulative sebesar 70,961; Ketiga,
score curve keseluruhan butir soal dalam Instrumen merupakan model yang cocok dikerjakan
peserta dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan -1,7.
Kata Kunci: polytomous, theta, IRT
A. Pendahuluan
Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional,
tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru
yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Hal ini sesuai dengan
tujuan diadakannya sertifikasi guru, yaitu: (1) menentukan kelayakan seseorang dalam
melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran; (2) peningkatan mutu proses dan hasil
pendidikan; dan (3) peningkatan profesionalisme guru (Rambu-Rambu Pelaksanaan
Sertifikasi Dikti, 2008).
Kemampuan guru dewasa ini belum mencapai standar minimal kemampuan guru
yang baik. Dibuktikan dengan peringkat HDI (Human Development Index) Indonesia
yaitu 121 dari 186 Negara. Hal ini membuktikan bahwa kualitas para tenaga manusia
khususnya tenaga pendidik di Indonesia masih sangat rendah.
Pelaksanaan sertifikasi guru memiliki kecenderungan positif dapat meningkatkan
profesionalisme guru. Dengan program Pendidikan dan Pelatihan Guru diharapkan
dapat mempercepat akselerasi penanaman teori serta praktik guru dalam pembelajaran
di kelas. Tes yang dilakukan akan dapat melihat layak tidaknya guru menyandang status
lulus dan tidaknya sertifikasi.
Pengidentifikasian kemampuan guru dalam melaksanakan tes kinerja diperlukan
dalam mengestimasi kemampuan peserta. Kemampuan peserta tes dalam IRT (Item
Response Theory) diestimasi menggunakan metode bayesian (Hambleton, 1999).
Identifikasi yang dilakukan tidak bisa dilakukan penyimpulan apabila etimasi kesalahan
pengukuran belum dianalisis.
Untuk mendapatkan instrumen berkualitas tinggi, selain dilakukan analisis secara
teori (telaah butir) maka perlu juga dilakukan analisis butir secara empirik. Secara garis
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 81
besar, analisis butir secara empirik ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: dengan
pendekatan teori tes klasik dan teori respon butir (Item Response Theory =IRT).
Menurut Suryabrata (1998: 28) teori respons butir dikembangkan atas dasar tiga
asumsi umum, yaitu: (1) peluang menjawab benar suatu butir tidak dipenga¬ruhi oleh
peluang menjawab benar butir lain, atau sering disebut independensi lokal, (2) tes
mengukur unidimensi kemampuan, dan (3) fungsi karakteristik butir tertentu
merefleksikan hubungan yang sebenarnya antara variabel yang tidak bisa diobservasi
(kemampuan) dan variabel yang bisa diobservasi (respons butir).
Instrumen yang akan diestimasi merupakan hasil pengisian kuesioner dengan skala
likert. Analisis data ordinal sangat penting dilakukan karena tiap persepsi guru adalah
berbeda. Dengan menggunakan kuantifikasi data bersampling besar akan didapatkan
data yang representatif sehingga estimasi kemampuan guru dan kehandalan instrumen
dapat teridentifikasi.
Analisis item dan instrumen dikotomus masih lemah dalam daya keakurasiannya.
Selama ini analisis item hanya menggunakan program ITEMAN dan BILOG masih
banyak terdapat kelemahan. Analisis instrumen dengan model graded memiliki tingkat
akurasi dan hasil yang maksimal dalam menentukan model estimasi parameter item (Du
Toit, 2003). Sementara ini hanya dapat dilakukan dengan program Parscale for
windows, sehingga setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis dan running
program. Interpretasi dari output akan dapat mengidentifikasi bagaimana estimasi
kemampuan peserta, kehandalan Instrumen serta tingkat kesalahan pengukuran.
B. Tinjauan Pustaka
1. Teori Pengukuran
Menurut Naga (1992: 2) pengukuran pendidikan mencakup beberapa hal yaitu: (1)
Mengukur ciri terpendam yang tidak kelihatan yang ada pada para peserta, (2) melihat
apakah uji tes sudah sesuai dengan apa yang diukur, (3) melihat apakah respons sudah
sesuai dengan ciri yang akan kita ukur, (4) memberikan skor terhadap responsi dengan
memadai.
a. Teori Tes Klasik
Teori tes klasik merupakan suatu model pengukuran yang sangat sederhana, yaitu
skor yang tampak terdiri dari skor sebenarnya dan skor kesalahan (Djemari Mardapi,
1991: 1). Kesalahan pengukuran digolongkan menjadi dua, yaitu spesifik dan acak.
Orang yang cenderung memberi nilai lebih atau kurang pada suatu tes termasuk
kesalahan spesifik. Sementara itu, kesalahan acak disebabkan oleh kondisi subyek yang
diukur.
b. Item Response Theory
Menurut Suryabrata (1998: 28) teori respons butir dikembangkan atas dasar tiga
asumsi umum, yaitu: (1) peluang menjawab benar suatu butir tidak dipengaruhi oleh
peluang menjawab benar butir lain, atau sering disebut independensi lokal, (2) tes
mengukur unidimensi kemampuan, dan (3) fungsi karakteristik butir tertentu
merefleksikan hubungan yang sebenarnya antara variabel yang tidak bisa diobservasi
(kemampuan) dan variabel yang bisa diobservasi (respons butir).
2. Independensi Lokal
Salah satu kelemahan teori klasik adalah adanya pengaruh subpopulasi peserta tes
terhadap parameter butir. Lain halnya dengan IRT, parameter butir tidak dipengaruhi
oleh karakteristik subpopulasi peserta tes, atau dengan kata lain butir itu memiliki
independensi lokal. Ini berarti bahwa dengan independensi lokal maka skor dari
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 82
sejumlah butir uji tes yang dijawab oleh subpopulasi yang sama, masing-masing harus
independen. Dengan demikian, skor dari satu butir uji tes tidak boleh ditentukan atau
bergantung pada skor butir uji tes yang lain.
Di bagian lain Hambleton et. al. (1991: 23) menjelaskan bahwa indepensi lokal
adalah bila pengaruh kemampuan dibuat konstan maka responsi peserta tes pada setiap
perangkat butir akan independen secara statistik. Atau dengan kata lain, setelah
memperhitungkan kemampuan peserta tes maka tidak ada hubungan antara responsi
peserta tes pada perangkat tes yang satu dengan lainnya.
Sementara itu, Hambleton et. al. (1991:23) menjelaskan bahwa independensi lokal
adalah kemampuan tunggal yang tidak mempengaruhi parameter butir dan tidak
mempengaruhi karakteristik subpopulasi peserta tes. Jelasnya, yang dimaksud dengan
independensi lokal adalah sifat tidak saling mempengaruhi antara satu butir tes dan
peserta tes. Artinya, tidak ada perbedaan perolehan skor bagi peserta tes, apakah butir-
butir tes itu disusun berdasarkan tingkat kesukaran butir atau disusun secara acak.
Perbedaan kedudukan terjadi pada saat menafsirkan pola jawaban. Tes yang disusun
berdasarkan tingkat kesukaran butir akan lebih mudah digunakan untuk melihat pola
responsi peserta tes. Disamping itu, secara psikologis butir tes yang disusun dari butir
yang tingkat kesukarannya rendah ke butir yang tingkat kesukarannya tinggi memberi
peluang kepada peserta tes untuk merespons butir secara optimal sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.
Jelaslah bahwa estimasi kemampuan peserta tes tidak terikat kepada butir tes.
Estimasi-estimasi kemampuan yang dicapai dari beberapa perangkat butir soal akan
sama, dan parameter butir-butir soal yang dicapai pada beberapa subpopulasi peserta tes
akan sama pula.
3. Unidimensi
Asumsi kedua dari model IRT adalah unidimensi, yakni tes itu hanya mengukur
satu dimensi kemampuan. Idealnya, setiap butir soal yang dibuat hanya mengukur salah
satu dari kemampuan peserta tes, bukan mengukur dua atau lebih kemampuan peserta
tes. Tes yang semua butirnya mengukur satu kemampuan yang sama merupakan tes
yang berdimensi tunggal (unidimensi). Dengan kata lain, tes yang berdimensi satu
adalah tes yang dibentuk dari butir-butir yang hanya mengukur satu kemampuan saja.
Persyaratan butir unidimensi ini ditujukan untuk mempertahankan invariansi pada
teori respon butir. Apabila butir tes mengukur lebih dari satu dimensi, maka jawaban
terhadap butir itu akan merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan pada peserta.
Akibatnya, tidak dapat diketahui lagi konstrubusi dari setiap kemampuan terhadap
jawaban peserta itu. Akibatnya, dengan mengganti butir uji tes atau dengan mengganti
kelompok peserta maka tidak dapat dipertahankan lagi invariansi pada ukuran ciri butir
dan pada ukuran ciri peserta.
Pada pengukuran psikologi, karakteristik butir-butir yang membentuk tes tidak
tepat secara eksak berdimensi satu (unidimensi), tetapi hanya bersifat dominan terhadap
suatu unjuk kerja (Hambleton, et. al., 1991: 17). Bila tes mengukur lebih dari satu
dimensi atau tidak dominan maka jawaban peserta tes terhadap butir itu akan
merupakan kombinasi dari berbagai kemampuan. Akibatnya, sulit untuk mengetahui
kontribusi dari setiap butir terhadap kemampuan peserta tes.
4. Fungsi Karakteristik Butir
Asumsi ketiga yang digunakan dalam teori respon butir adalah fungsi karakteristik
butir. Menurut Naga (1992:38) fungsi karakteristik butir adalah tetap atau tidak berubah
sekalipun subpopulasi peserta tes yang menjawab butir yang sama itu berubah-ubah.
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 83
Untuk kelompok yang sama, ciri mereka adalah tetap sekalipun butir yang mereka
jawab itu berubah-ubah.
Asumsi tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan fungsional antara jawaban
peserta tes dengan tingkat kemampuan yang dimiliki. Bila pola respons peserta tes
berbeda dengan peserta lain, maka ada kemungkinan besar kemampuan tersebut
berbeda walaupun skor yang diperolehnya sama.
Untuk menggambarkan kurve karakteristik butir, teori respons butir menggunakan
model distribusi logistik, yaitu mirip dengan distribusi normal bahkan apabila
digunakan kurva distribusi normal baku N (0, 1) dan kurva distribusi logistik L(0, 1.7),
maka harga mutlak beda hasil perhitungan kedua kurva tersebut lebih kecil dari 0.01.
Model distribusi logistik memiliki keunggulan karena tidak ada fungsi integral
sebagaimana dalam distribusi normal sehingga lebih mudah dalam penghitungannya
(Hambleton, 1989).
5. Batas Nilai Parameter
Untuk model Logistik, nilai ciri parameter peserta θ membentang dari -∞ sampai
+∞. Bersama itu, para pemakai model ini dapat menggunakan skala yang dikehendaki
dan menempati suatu bentangan nilai tertentu pada kontinum nilai itu. Salah satu di
antaranya adalah skala nilai baku. Dalam skala baku yakni ketika μθ = 0 serta σθ = 1,
nilai θ tetap membentang dari -∞ sampai +∞, namun nilai yang masih berguna secara
praktis hanya terletak di antara –4,0 sampai +4,0. (Naga, 1992: 224).
Demikian juga seperti halnya pada model ogive normal, parameter daya pembedaan
butir harus bernilai positif dan harga bj membentang sepanjang nilai θ. Dalam hal ini,
sama halnya seperti pada model ogive normal, nilai bj ditetapkan pada nilai Pj(θ) yang
memiliki variansi terbesar. Apabila kemampuan peserta tes itu ditransformasikan
sehingga reratanya = 0 dan standar deviasinya = 1, maka pada umumnya harga bj ini
membentang dari -2,0 sampai dengan +2,0. Untuk bj mendekati -2 berarti butir soal
ytu terlalu mudah, sedangkan bila bj mendekati +2 berarti butir soal itu terlalu sulit
(Hambleton et. al., 1991: 36 ).
6. Tingkat Kebetulan (odd) dan logit.
Model logistik mengenal probabilitas jawaban benar Pj(θ) dari setiap butir. Selain
itu, ada kalanya perlu diketahui juga probabilitas jawaban salah. Untuk model 1P, 2P,
dan 3P, probabilitas jawaban benar telah ditemukan pada rumus (24), (25), dan (26).
Dari kaidah probabilitas, ditemukan juga bahwa probabilitas jawaban salah Qj(θ) adalah
sebesar
Qj(θ) = 1 – Pj(θ) ……………. ……………………(1)
Dengan demikian, kalau diketahui Pj(θ), maka dapat dihitung Qj(θ). Di sini ada tiga
model berupa model 1P, 2P, dan 3P. Namun model 1P dapat diperoleh melalui model
2P dengan aj = 1, serta model 2P dapat diperoleh melalui model 3P dengan cj = 0. Oleh
karena itu, di dalam perhitungan untuk menemukan Qj(θ), dicari dulu pada model 3P
dan kemudian baru mencarinya ke model 2P dan 1P.
Perbandingan antara Pj() dan Qj() disebut dengan tingkat kebetulan keberhasilan
(odd of success), dan perbandingan antara Qj() dan Pj() disebut dengan tingkat
kebetulan kegagalan (odd of failure). Dalam banyak hal, rumus tingkat kebetulan (odd)
ini disederhanakan lagi melalui logaritma. Di dalam sejumlah bacaan, logaritma dari
tingkat kebetulan ini dikenal sebagai logit. Bersama itu, dikenal logit benar dan logit
salah. Jadi logit keberhasilan = ln (tingkat kebetulan keberhasilan)
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 84
……….. (2), sedangkan logit kegagalan = ln
(tingkat kebetulan kegagalan)
…............. (3)
Di dalam beberapa penggunaan, nilai parameter D pada logit ini disederha nakan
menjadi D = 1. (Hambleton et.al., 1991: 47). Dari kedua rumus di atas bahwa logit
keberhasilan menunjukkan berapa besar kemampuan peserta di atas taraf kesukaran
butir serta logit kegagalan menunjukkan berapa besar kemampuan peserta di bawah
taraf kesukaran butir.
7. Tingkat Kecuraman Lengkungan Logistik.
Model logistik pada butir menghasilkan lengkungan berbentuk huruf S yang ditarik
ke atas dan ke bawah. Bergantung kepada nilai parameter pembedaan butir aj,
lengkungan itu menjadi sangat curam atau kurang curam. Namun, dengan mengetahui
rumus lengkungan itu, dapat dicari tingkat kecuraman (slope) dari lengkungan itu.
Dalam satu hal, tingkat kecuraman ini menunjukkan juga tingkat hubungan di antara
probabilitas jawaban benar dengan ciri peserta.
Tingkat kecuraman lengkungan dapat ditemukan melalui hasil bagi diferensial dari
probabilitas jawaban benar terhadap parameter ciri peserta, sehingga menurut Naga
(1992: 319) tingkat kecuraman lengkungan untuk model 3P adalah :
………………………(4)
Selanjutnya, dengan nilai cj = 0, tingkat kecuraman lengkungan untuk model 2P
menjadi
…………………………….(5)
Selanjutnya untuk model 1P,
………………………………(6)
8. Estimasi Parameter Pada Model Logistik
Banyak penerapan teori responsi butir yang menggunakan model logistik. Model
ini memiliki satu parameter ciri peserta dan satu sampai tiga parameter ciri butir.
Mereka tergabung ke dalam suatu bentuk fungsi yang menentukan probabilitas jawaban
benar dari suatu butir tertentu. Namun, untuk dapat mengetahui nilai pada model
logistik ini, perlu diketahui berapa besar nilai parameter itu di dalam suatu pengukuran.
Penentuan nilai parameter ini dikenal sebagai pengestimasian parameter.
Dalam suatu tes, pengestimasian ini dimaksudkaan untuk mengetahui bagaimana
ciri peserta atau bagaimana kemampuan peserta pada tes itu. Pengestimasian ini
)()(
)(ln j
j
jbD
Q
P
)()(
)(ln j
j
jbD
P
Q
2)(
)(
1
)1()(
jj
jj
bDa
bDa
jj
e
eDacj
d
dP
2)(
)(
1
)(
jj
jj
bDa
bDa
jj
e
eDa
d
dP
)()( jjj QPDa
2)(
)(
1
)(
j
j
bD
bD
j
e
De
d
dP
)()( jj QDP
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 85
bersangkutan dengan ciri peserta atau juga dengan kemampuan peserta. Di sisi lain,
melalui tes juga dapat diestimasikan ciri butir. Pengestimasian ini bersangkutan dengan
ciri butir, yaitu: taraf kesukaran butir, daya pembedaan butir, dan kebetulan menjawab
dengan benar pada butir itu.
Ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh butir dan peserta, serta juga
oleh gabungan mereka pada teori responsi butir. Untuk dapat menggunakan teori
responsi butir dalam analisis butir. Semua persyaratan itu perlu dipenuhi terlebih
dahulu.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik pengukuran yaitu dengan
metode pendekatan IRT (Item Response Theory). IRT ditujukan untuk mengestimasi
kemampuan dari peserta yaitu guru yang telah mengikuti program sertifikasi dan PLPG
di kota Semarang.
Teknik pemilihan sampel adalah dengan teknik Propotional Random Sampling
yaitu pemilihan responden dari guru yang mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Guru
secara acak pada tiap gelombang. Pemilihan sampel dilakukan pada tahun 2014 dengan
jumlah responden guru adalah sebanyak 100 guru yang mengikuti PLPG di Semarang.
Data yang dikumpulkan adalah data respon dari pengisian data graded response yaitu
dari data ordinal berjenjang dengan skala pengukuran 4 skala (Likert).
Data yang digunakan untuk keperluan analisis ini adalah data Instrumen angket
kemampuan/kompetensi guru yang merupakan data hasil laporan penelitian yang
berjudul Evaluasi Program PLPG Sertifikasi Guru IPS se-DIY. Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner berbentuk Graded Model dengan 4 skala (Likert) berjumlah
29 butir soal dan dianalisis dengan model 2PL. Berikut adalah rincian Indikator dari
Instrumen yang akan digunakan:
Tabel. 1. Instrumen Penelitian data Polytomous
No
Variabel
Angket Obs
.
Chek list Dok.
Peserta Instruktu
r
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Kondisi peserta
Kondisi instruktur
Kelengkapan sarana dan
prasarana
Administrasi pembelajaran
Strategi pembelajaran
Aktivitas peserta
Kinerja instruktur
Kelengkapan media
Situasi belajar
Interaksi instrk. dg peserta
Hasil nilai tes
Hasil nilai praktik
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Dari Instrumen baku yang telah di validasi diatas akan dilihat estimasi dari
kemampuan guru yang mengikuti program sertifikasi di Kota Semarang.
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 86
D. Hasil Penelitian
1. Estimasi Kemampuan Guru (θ)
Estimasi kemampuan peserta dengan metode Bayes merupakan rerata dari distibusi
posterior , setelah diberikan pola respon peserta hasil tes x sering disebut estimator
dari Expected a Posteriori (EAP). Estimator EAP dapat didefisiniskan pada pola respon
yang lebih bervariasi dan mempunyai rata-rata kesalahan yang lebih kecil dalam
populasi dibandingkan dengan estimator lainnya. Berikut ini adalah perbandingan
estimasi kemampuan peserta tes pada Instrumen kuesioner guru:
MEANS AND STANDARD DEVIATIONS OF ABILITY DISTRIBUTIONS
SCORE MEAN STANDARD TOTAL
NAME DEVIATION FREQUENCIES
---------------------------------------------
EAP -0.038 1.009 101.00
---------------------------------------------
RESCALING DONE WITH RESPECT TO USER SUPPLIED LINEAR TRANSFORMATION
SCORE LOCATION SCALING TOTAL
NAME CONSTANT CONSTANT FREQUENCIES
---------------------------------------------
EAP 0.037 0.991 101.00
---------------------------------------------
SUBJECT IDENTIFICATION WEIGHT/FREQUENCY
SCORE NAME GROUP WEIGHT MEAN CATEGORY ATTEMPTS ABILITY S.E.
--------------------------------------------------------------------------------
01IPS | 1 GROUP 01 1.00
1 EAP 1 | 1.00 2.00 1.00 -0.8666 0.2379
--------------------------------------------------------------------------------
02IPS | 2 GROUP 01 1.00
1 EAP 1 | 1.00 2.00 1.00 -0.8796 0.2355
--------------------------------------------------------------------------------
03IPS | 3 GROUP 01 1.00
1 EAP 1 | 1.00 2.10 1.00 -0.5670 0.2319
--------------------------------------------------------------------------------
04IPS | 4 GROUP 01 1.00
1 EAP 1 | 1.00 2.21 1.00 -0.3464 0.2287
--------------------------------------------------------------------------------
05IPS | 5 GROUP 01 1.00
1 EAP 1 | 1.00 1.97 1.00 -0.9329 0.2287
--------------------------------------------------------------------------------
Berdasarkan output Parscale maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 9 butir soal
yang tidak cocok dengan model disebabkan prob kurang dari 0,05 yaitu soal nomor:
2,4,7,9,11,14,20,25,27.
2. Tingkat Kehandalan Instrumen
Unidimensi artinya adalah bahwa setiap butir tes hanya mengukur satu
kemampuan (Allen, 1979). Untuk menguji unidimesi dengan analisis faktor. Hasil
analisis faktor adalah sebagai berikut :
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 87
Tabel 2. Output SPSS Analisis Uji Dimensionalitas
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,867
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square 1873,437
Df 406
Sig. ,000
Nilai KMO lebih dari 0.7 dan sig 0.000 artinya item-item dapat diprediksi oleh
faktor dan variabel-variabel yang dianalisis mempunyai korelasi yang cukup tinggi
sehingga dapat dilakukan analisis faktor. Tabel 3. Komulatif pada Tiap Komponen pada Analisis Faktor Eksporatori
Total Variance Explained
Co
mpo
nent
Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared
Loadings
Total % of
Variance
Cumulative % Total % of
Variance
Cumulativ
e %
1 11,728 40,441 40,441 11,728 40,441 40,441
2 2,080 7,172 47,613 2,080 7,172 47,613
3 1,602 5,525 53,137 1,602 5,525 53,137
4 1,492 5,145 58,282 1,492 5,145 58,282
5 1,422 4,905 63,187 1,422 4,905 63,187
6 1,149 3,963 67,151 1,149 3,963 67,151
7 1,105 3,811 70,961 1,105 3,811 70,961
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Sedangkan Sre Plot yang dihasilkan dari SPSS adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Nilai Eigenvalue pada SreePlot
Berdasarkan nilai eigen terdapat 7 component yang mempunyai nilai lebih dari 1,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 faktor dalam Instrumen tes tersebut.
Dengan 7 faktor maka item-item yang bisa dijelaskan sekitar 70,96 %. Hal ini perlu
dianalisis lebih lanjut karena seharusnya hanya mengukur satu kemampuan yaitu
kemampuan/kompetensi guru dalam mengukur profesionalitas guru PAUD di Semarang
3. Tingkat Kesalaham Pengukuran (Standard Error of Measurement)
Kesalahan pengukuran dalam IRT berkaitan dengan fungsi informasi. SEM dan
fungsi informasi mempunyai hubungan yang berbanding terbalik kuadratik, semakin
besar fungsi informasi maka akan semakin kecil kesalahan pengukuran (Lord, 1990).
Dibawah ini adalah fungsi informasi (ICC) untuk butir no.1 dimana terlihat bahwa pada
masing-masing perpotongan untuk soal no.1 cocok untuk peserta dengan kemampuan -
2,1 sampai 2,1.
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 88
Gambar 2. Item Information Curve
Dari matrik plot yang ada dapat dilihat bahwa semua total informasi yang
didapatkan pada kurva score dan standar erorr menyatakan bahwa keseluruhan butir
soal dalam Instrumen kuesioner guru merupakan model yang cocok dikerjakan peserta
dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan -1,7.
Gambar 3. Matrix Plot pada Item Karakteristik Butir
Sedangkan untuk grafik range pada skala Kemampuan peserta disajikan pada grafik di
bawah
Category legends Item: 1
Solid Lines: 1= B lack 2= B lue 3= Magenta 4= Green
-3 -2 -1 0 1 2 30
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
S cale S cor e
In
form
ati
on
Item Information Curve: 0001
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
-3 -2 -1 0 1 2 3
1
2
3
4
Ability
Pro
ba
bilit
yItem Characteristic Curve: 0001
Graded Response Model (Normal Metric)
-3 -2 -1 0 1 2 30
5
10
15
20
S cale S cor e
Info
rmat
ion
Test 1; Name: SCALE1
0
0.24
0.47
0.71
0.94
1.18
Standard Error
1 - 6
7 - 12
13 - 18
19 - 24
25 - 29
Matrix Plot of Item Characteristic Curves
Analisis Kemampuan Guru PAUD dan Identifikasi
ISBN 978-602-1034-06-4 89
Gambar 4. Grafik Skala Kemampuan Peserta (θ)
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:
1. Berdasarkan output Parscale maka dapat dilihat bahwa kemampuan guru (θ) paling
tinggi adalah 2,6 dan paling rendah adalah -1,7, sementara terdapat 9 butir soal
yang tidak cocok dengan model disebabkan probabilitas kurang dari 0,05 yaitu soal
nomor: (2,4,7,9,11,14,20,25,27);
2. Instrumen memiliki kehandalan tinggi terbukti dari nilai KMO (0,867), signifikansi
0,00, dan Sums of Squared Loadings Cumulative sebesar 70,961;
3. Berdasarkan score curve keseluruhan butir soal dalam Instrumen merupakan model
yang cocok dikerjakan peserta dengan skala kemampuan antara 1,7 sampai dengan
-1,7.
Saran dan rekomendasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan instrumen sebaiknya didahului dengan uji empiris dan uji praktis. Uji
empiris dengan menggunakan analisis faktor eksploratori digunakan untuk menguji
teori, sedangkan uji praktis menggunakan expert judgment untuk memberikan
validasi baik isi maupun kebahasaan.
2. Instrumen yang baik harus unidimensi yaitu mengukur satu tujuan saja yaitu
kompetensi guru PAUD dan memiliki nilai KMO yang tinggi.
3. Instrumen yang baik akan dapat diukur menggunakan IRT dengan parameter 3PL
(3 Parameter Logistik) yaitu: (a) Tingkat kesulitan, (b) Daya beda, dan (c)
Guessing.
F. Daftar Pustaka
Allen, M.J. & Yen,W.M. 1979. Introduction to measurement theory. Monterey, CA:
Brooks/ Cole Publishing Company.
Dirjen DIKTI: Tim Sertifikasi Guru. 2008. Rambu-rambu pelaksanaan pendidikan dan
latihan profesi Guru: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Du Toit, M. 2003. IRT from SSi: BILOG-MG, MULTILOG, PARSCALE,
TESTFACT.Lincolnwood: SSi.
Hambleton, R. K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. 1991. Fundamental of item
response theory. Newbury Park, CA: Sage Publication. New Inc.
Naga, D.S. 1992. Pengantar teori sekor pada pengukuran pendidikan. Jakarta IKIP
Jakarta.
Suryabrata, S. 1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta.
-3 -2 -1 0 1 2 30
5
10
15
20
Ability
Fre
quen
cy
Gaussian Fit to Ability Scores for Group: 1
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 90
BERPIKIR KREATIF MATEMATIKA PADA PEMBELAJARAN
SINEKTIK (STUDI KASUS DI SMPN 2 JATIBARANG BREBES)
Rochmad dan Laeli Rahmawati
Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar dan peningkatan kemampuan berpikir
kreatif pada pembelajaran matematika dengan model sinektik; serta membandingkan kemampuan
berpikir kreatif matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran sinektik dan pembelajaran
ekspositori. Model sinektik yang dimaksud dalam artikel ini adalah model pembelajaran
matematika yang dalam langkah-langkah pembelajarannya melibatkan penggunaan penalaran
analogi untuk merangsang dan mendukung proses berpikirnya untuk memperoleh solusi terhadap
suatu masalah yang dihadapinya. Materi pembelajaran matematika dalam penelitian ini adalah
geometri untuk kompetensi dasar memahami sifat-sifat sudut yang terbentuk jika dua garis
berpotongan atau dua garis sejajar berpotongan dengan garis lain. Populasi penelitian ini semua
siswa kelas VII SMP Negeri 2 Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah. Sampel penelitian eksperimen
adalah siswa dalam kelompok eksperimen yang diajar dengan pembelajaran sinektik dan
kelompok kontrol dengan pembelajaran ekspositori. Data hasil belajar dan kemampuan berpikir
kreatif siswa diperoleh melalui tes uraian dan metode analisis data menggunakan uji statistik.
Berdasar hasil analisis data diperoleh simpulan bahwa persentase siswa yang diajar dengan model
sinektik yang mencapai kriteria ketuntasan minimal lebih dari 75%; peningkatan kemampuan
berpikir kreatif matematika siswa sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran sinektik dalam
kategori sedang; dan rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran
sinektik lebih baik dari pembelajaran ekspositori.
Kata kunci: berpikir kreatif; model sinektik; penalaran analogi.
A. Pendahuluan
Kurikulum 2013 yang digunakan awal tahun ajaran 2012/2013 salah satu
tujuannya memfokuskan pada kreativitas siswa. Kreativitas berkontribusi dalam mteori
matemaperoleh pengetahuan matematika, dan berdasarkan pada penelitian dapat
diajarkan kepada siswa, bukan bakat yang merupakan pembawaan sejak lahir.
Munandar (2009) berpendapat bahwa kreativitas merupakan salah satu penentu siswa
berprestasi karena memungkinkan memperoleh penemuan-penemuan baru dalam
bidang ilmu dan teknologi, termasuk dalam matematika. Kreativitas juga merupakan
suatu bagian aktivitas berpikir dan bernalar yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah dalam rangka merumuskan bentuk generalisasi dalam suatu sistem deduktif.
Menurut Hamalik (2008) “kreativitas merupakan suatu bentuk proses pemecahan
masalah.” Sedangkan menurut Lin (2011) “kreativitas juga dapat didefinisikan sebagai
metode teknik replikasi atau pendekatan yang memfasilitasi kreativitas dalam diri
seseorang atau sekelompok orang.” Dengan perkataan lain, kreativitas dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan–gagasan baru dan menerapkannya
untuk pemecahan masalah.
Guilford (Giampietro & Cavallera, 2007) berpendapat bahwa kreativitas sebagai
cara berpikir divergen yang memberikan berbagai kesempatan dan secara bebas dapat
menghasilkan informasi baru, peran penting dari kreativitas diindikasikan dengan
fluidity of association and ideas, originality, flexibility, sensitivity towards new
problems, and ability to redefine and restructure involved elements. Lee (2005)
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 91
mengemukakan model “vulcano” dalam menyusun instrumen untuk mengukur
kreativitas. Dalam model ini muaranya adalah produk-produk kreatif (creative
products) dalam lingkungan budaya masyarakat (socio-cultural environment). Untuk
sampai pada tingkat produk kreatif ini perlu diukur kemampuan berpikir kreatif
(creative thinking ability) dan keatif secara perorangan (creative personality), di
samping itu perlu memperhatikan lingkungan individu (individual environment). Ranah
dari subject (subject-domain) pengukuran misalnya bahasa dan literatur, matematika,
sain, seni dan tampilannya, dan informasi serta komunikasi.
Dalam memecahkan masalah memerlukan kemampuan berpikir kreatif. Aspek
khusus berpikir kreatif menurut Dwijanto (2006) adalah berpikir divergen yang
memiliki ciri-ciri: kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan elaborasi. Pendapat ini
senada yang dikemukakan Munandar (2004) bahwa ciri-ciri dari kreativitas sebagai
berikut: kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan untuk
menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran seseorang secara cepat;
keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide dari
sudut pandang atau alternative yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan
bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran; originalitas (originality), yaitu
kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk mencetuskan
gagasan asli; dan elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan
gagasan dan memperinci detail-detail dari suatu objek sehingga menjadi lebih menarik.
Dalam artikel ini kemampuan berpikir kreatif matematika siswa diindikasikan dan
diukur menurut kirteria tersebut.
B. Tinjauan Pustaka
Menurut Joyce & Weil (1980), salah satu model pembelajaran yang baik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah baik individu
maupun kelompok adalah model sinektik. Menurut Joyce dan Weil, model sinektik
merupakan model pembelajaran yang menggunakan penalaran analogi untuk
mengembangkan kemampuan berpikir ditinjau dari berbagai sudut pandang. Matlin
(1998) menyatakan “setiap hari orang menggunakan penalaran anlogi untuk
memecahkan masalah.” Melalui penalaran analogi guru dapat mengembangkan
kreativitas karena dalam analogi ada usaha siswa untuk menghubungkan antara apa
yang sudah diketahui dengan apa yang ingin dipahami (Aziz, 2008). Menurut Bruner
sebagaimana dikutip oleh Aisyah dkk (2007) secara umum ada tiga proses kognitif yang
terjadi dalam belajar, yaitu: proses memperoleh informasi baru; proses
mentransformasikan informasi yang diterima; dan proses menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan.
Sinektik merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah dengan cara
merangsang dan mendorong menggunakan analogi-analogi dalam proses berfikir untuk
mencari solusinya. Dalam pembelajaran sinektik, siswa diharapkan menjadi lebih aktif
dan kreatif sehingga bukan saja dapat memperoleh pengetahuan baru tetapi juga
memecahkan masalah secara kreatif. Model sinektik yang dimaksud dalam artikel ini
adalah model pembelajaran matematika yang melibatkan penggunaan penalaran analogi
untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah sehingga
siswa dapat memperoleh pengetahuan matematika dan mengembangkan pemikirannya
secara logis, kritis, dan kreatif. Jika ditinjau dari produknya, pada dasarnya terdapat dua
jenis model sinektik, yaitu pembelajaran untuk menciptakan sesuatu yang baru
(creating something new) dan pembelajaran untuk mengenalkan terhadap sesuatu yang
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 92
yang baru (making the strange familiar). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh cara-
cara dan ide baru dalam memperoleh solusi dari suatu masalah. Untuk pembelajaran
matematika di sekolah, strategi yang digunakan oleh guru untuk mendorong siswa agar
berpikir keras menggunakan penalaran analogi merupakan bagian yang penting dalam
pembelajaran matematika. Case; Holyoak dan Thagard sebagaimana dikutip oleh
Alexander dan Buehl (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya penalaran analogi
memerlukan membandingkan pengalaman konsepsi dan persepsi berbasis pada
menyadari adanya keterkaitan atau kebersamaan atribut. Melalui penalaran analogi
siswa dapat terbantu dalam proses berpikirnya untuk membangun pemahaman terhadap
konsep, prinsip, dan teorema serta pemakaiannya.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen (quasi-experiment) yang
didahului dengan penelitian dan pengembangan (research and development) perangkat
pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi: silabus, rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kegiatan siswa (LKS), dan multimedia.
Penelitian dan pengembangan dalam rangka memperoleh perangkat pembelajaran
matematika menggunakan model sinektik yang valid. Dan penelitian kuasi eksperimen
dalam rangka untuk mengetahui keefektifan model sinektik.
Penelitian kuasi eksperimen menggunakan rancangan nonequivalent [pre-test and
post-test] control group design (Arikunto, 2010; Creswell, 2010; Sugiono, 2012).
Kelompok eksperimen O1 ____________ X ____________ O2
Kelompok kontrol O1 _____________Y_____________ O2
Pada kedua kelompok tersebut dilakukan pre-test (O1) dan post-test (O2). Kelompok
eksperimen diberi perlakuan (X) berupa pembelajaran matematika dengan model
sinektik, kelompok kontrol Y dengan pembelajaran model ekspositori (pembelajaran
matematika yang biasa dilakukan oleh guru).
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 2 Jatibarang, Brebes,
Jawa Tengah semester genap tahun ajaran 2011/2012 yang banyaknya 9 kelas. Kelas
VII A terdiri dari 41 siswa, VII B terdiri dari 39 siswa, VII C terdiri dari 41 siswa, VII
D terdiri dari 39 siswa, VII E terdiri dari 39 siswa, VII F terdiri dari 40 siswa, VII G
terdiri dari 40 siswa, VII H terdiri dari 38 siswa, dan VII I terdiri dari 39 siswa.
Sampel penelitian yang terpilih dengan teknik cluster random sampling yaitu para siswa
di kelas VII B sebagai kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran
sinektik berbantuan kartu soal dan di kelas VII A sebagai kelompok kontrol
menggunakan model pembelajaran ekspositori.
Instrumen untuk yang disusun pre-test dan post-test untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif siswa dan tes hasil belajar (kemampuan pemecahan
masalah). Instrumen ini diujicoba di kelas VII C untuk diketahui validitas, reliabilitas,
daya pembeda, dan taraf kesukarannya. Tes kemampuan berpikir kreatif ini disusun
berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan dikembangkan berdasar
indikator kemampuan berpikir kreatif. Interpretasi dan rubrik peskoran hasil tes
kemampuan berpikir kreatif didasarkan pada indikator kelancaran (fluency), keluwesan
(flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Di samping itu,
instrumen tes yang akan digunakan divalidasi oleh ahli dan guru matematika (praktisi)
sebelum diujicoba. Data kuantitatif dianalisis dengan statistika inferensial dan data
kualitatif dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif. Untuk mengetahui tingkat
ketuntasan klasikal digunakan uji proporsi. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 93
berpikir kreatif digunakan kriteria gain ternormalisasi (Hake, 1998). Untuk mengetahui
perbedaan dengan model ekpositori, digunakan uji banding untuk mengetahui
perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kreatif antara siswa yang diajar dengan
pembelajaran snektik dengan rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang
menggunakan pembelajaran ekspositori.
D. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Jatibarang, yang beralamat di Jalan
Raya Timur Nomor 14 Jatibarang Lor, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes. Pada
tahun ajaran 2011/2012, memliki 26 kelas yang terdiri dari 9 kelas VII, 9 kelas VIII dan
8 kelas IX. Penelitian ini di kelas VII, kelas VII B sebagai kelompok eksperimen
menggunakan model pembelajaran sinektik dan siswa kelas VII A sebagai kelompok
kontrol menggunakan model ekspositori, kelas VII C untuk unjcoba instrumen. Pada
ketiga kelas ini, dilakukan uji normalitas data nilai awal siswa dengan data nilai rapor
semester 1 tahun ajaran 2011/2012. Berdasar hasil analisis statistik diperoleh simpulan
bahwa ketiga kelas berdistribusi normal, homogen, dan memiliki rata-rata nilai sama.
Dengan demikian disimpulkan bahwa kemampuan awal para siswa di tiga kelas tersebut
relatif setara.
Pada penelitian ini nilai raport semester 1 siswa kelas VII A, VII B, VII C SMP N
2 Jatibarang Tahun ajaran 2011-2012 digunakan sebagai data awal untuk menentukan
sampel. Analisis tahap awal meliputi uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan
rata-rata. Hasilnya uji normalitas data awal disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas Data Awal
Kelas
Kriteria normal Simpulan
VII A
4 3,04 9,49
berdistribusi normal
VII B
3 5,75 7,81
berdistribusi normal
VII C
4 5,06 9,49
berdistribusi normal
Untuk menguji homogenitas (kesamaan varians) digunakan uji Bartlett. Uji
homogenitas ini untuk mengetahui apakah nilai awal ketiga data mempunyai varians
yang homogen. Hasil uji homogenitas data awal disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Hasil Uji Hormogenitas Data Awal
Kriteria homogen Simpulan
3,9716
2 7,81473
Homogen
Untuk menguji kesamaan rata-rata populasi digunakan uji Anava. Uji kesamaan
rata-rata (anava) ini untuk mengetahui apakah nilai awal ketiga data mempunyai rata-
rata yang sama. Hasil uji kesamaan rata-rata data awal disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Data Awal
Kriteria sama Simpulan
2 118 0,599 3,073
Fhitung < Ftabel
memiliki rata-rata
sama
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 94
Berdasarkan uji normalitas, homogenitas dan kesamaan rata-rata, maka nilai rapor
siswa kelas VII A, VII B dan VII C berdistribusi normal, memiliki varians sama
(homogeny), dan memiliki rata-rata yang sama; sehingga dapat digunakan sebagai
sampel penelitian dan uji coba. Uji coba instrumen tes hasil belajar siswa dilakukan
pada kelas VII C. Ujicoba ini untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya beda, dan
tingkat kesukarannya. Di samping itu untuk memperoleh instrumen yang baik melalui
revisi berdasar masukan dari guru-guru matematika.
Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2012.
Pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran model sinektik yang terdiri dari
silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, kartu soal, dan
multimerdia yang telah divalidasi oleh ahli dan guru matematika sebagai praktisi.
Pelaksanaan dan pengambilan data penelitian di kelompok eksperimen dan kontrol
masing-masing dilaksanakan selama enam kali pertemuan dengan rincian satu kali
pertemuan untuk tes kemampuan berpikir kreatif awal, empat kali pertemuan untuk
pelaksanaan pembelajaran menggunakan model sinektik, dan satu kali pertemuan untuk
tes kemampuan berpikir kreatif akhir. Pada kelompok eksperimen dibentuk 9 kelompok
dengan anggota 4 – 5 siswa, dan di kelompok kontrol tidak dilakukan pembentukan
kelompok. Kegiatan yang dilakukan pada pembelajaran matematika dengan model
sinektik terdiri tujuh fase.
Fase 1: Input substantif (substantive input); guru menjelaskan materi secara
singkat, setelah itu guru memberikan tes awal untuk menguji kreativitas siswa sebelum
pembelajaran. Pada fase ini, guru membagi siswa menjadi 9 kelompok. Setelah itu
siswa mengerjakan LKS sesuai dengan kelompoknya. Fase 2: Analogi langsung (direct
analogy); guru membagikan kartu soal kepada masing-masing kelompok dan
didiskusikan untuk mencari pemecahan masalah yang ada pada kartu soal. Setelah itu,
guru meberikan analogi untuk menyelesaikan masalah pada kartu soal, selanjutnya
siswa berdiskusi bersama kelompoknya untuk menyelesaikan soal sesuai dengan
analogi yang diajukan oleh guru. Fase 3: Analogi perorangan (personal analogy); guru
meminta masing-masing kelompok untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan
analoginya sendiri yang berbeda dengan analogi yang diajukan oleh guru. Fase 4:
Membandingkan analogi (comparing analogies); siswa membandingkan hasil
penyelesaian kartu soal pada fase 2 dengan fase 3 untuk mencari persamaannya. Fase 5:
Menjelaskan berbagai perbedaan (eksplaining differences); siswa mencari berbagai
perbedaan dari hasil penyelesaian kartu soal pada fase 2 dengan fase 3. Fase 6:
Eksplorasi (exploration); hasil diskusi masing-masing kelompok dipresentasikan. Guru
berfungsi sebagai narasumber dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya dan menjawab pertanyan siswa tentang materi yang belum dimengerti. Fase 7:
Memunculkan analogi baru (generating analogy); guru dan siswa bersama-sama
membuat kesimpulan.
Pada kelompok kontrol, model pembelajaran yang digunakan adalah model
pembelajaran ekspositori. Pelaksanaan pembelajaran dengam model tersebut dengan
langkah sebagai berikut. Fase 1: Menjelaskan; guru menjelaskan materi secara kepada
siswa. Fase 2: Pemberian tugas; guru memberikan tugas kepada siswa untuk
mengerjakan LKS secara individu; Fase 3: Presentasi; guru menunjuk siswa secara acak
untuk menuliskan (mempresetasikan) hasil jawabannya di kelas. Fase 4: Kesimpulan;
guru melakukan penegasan terhadap hasil pekerjaan siswa. Fase 5: Kuis; guru
memberikan kuis individu untuk menguji pemahaman siswa terhadap materi.
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 95
Untuk mengetahui apakah persentase banyaknya siswa kelas VII yang mengikuti
pembelajaran matematika dengan menggunakan model sinektik minimal mencapai
kriteria ketuntasan minimal 67 minimal , dilakukan uji proporsi satu pihak, yaitu
pihak kanan dengan taraf signifikansi = 5%. Hasil uji proporsi disajikan pada Tabel 4
berikut.
Tabel 4 Hasil Uji Proporsi Satu Pihak (Pihak Kanan)
Nilai
Kriteria Simpulan
Hasil
belajar Proporsi nilai hasil belajar siswa
minimal 67 lebih dari 75%
Untuk mengetahui kualitas peningkakatan rata-rata kemampuan berpikir kreatif
siswa yang diajar dengan model sinektik di awal dan di akhir pembelajaran dilakukan
uji kesamaan rata-rata (uji satu pihak, pihak kanan). Sebelum dilakukan uji kesamaan
rata-rata, terlebih dahulu diuji kenormalan dengan data adalah hasil tes akhir. Hasil uji
kenormalan data disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Data Akhir
Nilai
Hasil belajar kelompok eksperimen 7,77 7,81
Kemampuan berpikir kreatif kelas eksperimen 7,34 7,81
Hasil belajar kelompok kontrol 6,05 7,81
Kemampuan berpikir kreatif kelompok eksperimen 6,77 9,49
Berdasarkan Tabel 5 nilai hasil belajar kelompok eksperimen diperoleh
, sedangakan . Hal ini menunjukan bahwa nilai
. Jadi, diterima sehingga data berdistribusi normal.
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa diindikasikan dari perbedaan rata-
rata nilai hasil tes awal. Hasil uji kesamaan rata-rata satu pihak disajikan pada Tabel 6
berikut. Tabel 6. Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)
Nilai
kriteria Simpulan
Kemampuan
berpikir kreatif
rata-rata kemampuan berpikir
kreatif hasil tes akhir siswa
lebih baik dari hasil tes awal
siswa.
Berdasarkan Tabel 6 diperoleh , sedangkan . Hal ini
menunjukan bahwa nilai . Jadi, ditolak artinya rata-rata kemampuan
berpikir kreatif hasil tes akhir siswa lebih baik dari hasil tes awal siswa.
Uji Gain ternormalisasi digunakan untuk mengetahui tingkat peningkatan
kemampuan berpikir kreatif siswa, dengan melakukan pre-test dan post-test.
Peningkatan kemampuan berpikir kreatif pada kelompok eksperimen sebelum dan
sesudah kegiatan pembelajaran dengan model sinektik dianalisis menggunakan kriteria
gain ternormalisasi. Menurut Hake (1998), rumus gain ternormalisasi sebagai berikut.
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 96
dengan adalah gain ternormalisasi; adalah skor rata-rata post-test; dan
adalah skor rata-rata pre-test. Tingkat perolehan gain ternormalisasi dikategorikan ke
dalam tiga kategori, tinggi: ; sedang: ; dan rendah:
.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh dan disimpulkan pada
kategori sedang. Artinya kemampuan berpikir kreatif siswa yang diajar dengan model
sinektik meningkat. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif terjadi setelah siswa
mengikuti pembelajaran matematika dengan model sinektik, hal ini mengindikasikan
peningkatan pada penalaran analogi dan pengetahuan matematika memerlukan
pengalamaan dan dalam rentang waktu yang relatif lama. Ini senada dengan hasil
penelitiannya Buehl dan Alexander (2004) bahwa anak-anak dapat bernalar dengan
analogi dan penalarannya berkembang seirama dengan perubahan waktu, kematangan
(maturation), dan pengalaman anak.
Untuk mengetahui lebih lanjut kualitas peningkatan ini dilakukan uji banding rata-
rata kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran matematika
dengan model sinektik dan ekspositori dengan uji kesamaan rata-rata (uji satu pihak,
pihak kanan). Hasil uji ini mengindikasikan keefektifan pembelajaran matematika di
SMP kelas VIII menggunakan model sinektik dibanding dengan model ekspositori.
Hasil uji kesamaan rata-rata satu pihak (pihak kanan) disajikan pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Hasil Uji Kesamaan Rata-Rata Satu Pihak (Pihak Kanan)
Nilai
kriteria Simpulan
Kemampuan
berpikir kreatif
rata-rata kemampuan berpikir
kreatif siswa dengan model
sinektik lebih tinggi dari model
ekspositori
Berdasarkan Tabel 7 di atas diperoleh , dan . Hal ini
menunjukan bahwa nilai . Jadi, ditolak artinya rata-rata kemampuan
berpikir kreatif siswa dengan model sinektik lebih tinggi dari model ekspositori. Hasil-
hasil penelitian serupa menunjukkan bahwa pembelajaran pada beberapa bidang studi
dengan model sinektik cukup berhasil. Hasil-hasil penelitian tersebut antara lain: hasil
penelitian Sakdiwati (2008) mengungkapkan bahwa model sinektik lebih efektif dari
model konvensional dalam meningkatkan kreativitas siswa dalam kemampuan menulis;
hasil penelitian Rochmah (2008) menunjukkan bahwa model pembelajaran sinektik
membantu dalam kegiatan belajar mengajar di kelas dan menjadikan siswa lebih kreatif;
dan (3) hasil penelitian Wijayanti (2010) menunjukkan bahwa model pembelajaran
sinektik dipadukan dengan mind map dapat meningkatkan hasil belajar dan
kemampuan berpikir kreatif siswa.
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal
berikut. Pembelajaran matematika dengan model sinektik secara umum dapat
mengantarkan siswa mencapai kriteria ketuntasan minimal, mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Rata-rata kemampuan berpikir kreatif matematika
siswa yang diajar dengan model sinektik lebih baik dari yang diajar menggunakan
model ekspositori pada materi hubungan antar sudut. Sebagai saran, untuk dapat
melaksanakan pembelajaran matematika dengan model sinektik guru diharapkan
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 97
memimiliki pengetahuan tentang penalaran analogi dan penerapannya untuk
mendukung proses berpikir dalam memecahkan masalah.
F. Daftar Pustaka
Aisyah, N., S. Hawa., Somakim., Purwoko., Y. Hartono & Masrinawatie. 2007. Bahan
Ajar Cetak: Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Alexander, P.A & M.M. Buehl. 2004. Seeing The Possibilities: Constructing and
Validating Measures of Mathematical and Analogical Reasoning For Young
Children. L.D. English (Ed.). Mathematical and Analogical Reasoning of Young
Learners. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aziz, R. 2008. Model Pembelajaran dalam Mengembangkan Kemampuan Berfikir
Kreatif. Jurnal Pendidikan dan Keagamaan EL-hikmah. Tersedia di Error!
Hyperlink reference not valid. [diakses 7 – 1 – 2012].
Buehl, M.M & P.A. Alexsander. 2004. Longitudinal and Cross-cultural Trends In
Young Children’s Analogical and Mathematical Reasoning Abilities. Dalam L.D.
English (Ed.). Mathematical and Analogical Reasoning of Young Learners
(halaman 47-73).
Dwijanto. 2006. Meningkatkan Kreativitas Mahasiswa Jurusan Matematika Melalui
Pembelajaran Program Linear Berbantuan Komputer. Prosiding Konferensi
Nasional Matematika XIII. Semarang: UNNES.
Giampietro, M & G.M. Cavallera. 2007. Morning and Evening Types and Creative
Thinking. ScienceDirect. Personality and Individual Differences. 42:453-463.
Tersedia di www.sciencedirect.com.
Hake, R.R. 1998. Interactive-Engagement Versus Traditional Method: A Six-Thousand-
Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses.
American Association of Physics Teachers. Am. J. Phys. Vol.66(1), 64-74.
Tersedia di http:// web.mit.edu/ rsi/www/ 2005/ misc/ minipaper/ papers/
Hake.pdf [diakses 26-6-2012].
Hamalik, O. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:
Bumi Aksara.
Joyce, B. & M. Weil. 1980. Models of Teaching ( . Englewood New Jersey:
Prentice-Hall,Inc.
Lee, K.H. 2005. The Relation Between Creative Thinking Ability and Creative
Personality of Preschooler. International Education Journal. 6(2): 194-199.
Tersedia di http://iej.cjb.net.
Lin, H. F. 2011. A Review on The Pragmatic Approaches in Educating and Learning
Creativity. International Journal of Research Studies in Education Technology,
1(1): 13-24. Tersedia di Error! Hyperlink reference not valid. [diakses 13–1–2012 ].
Matlin, M.W. 1998. Cognition. New York: Harcout Brace College Publishers.
Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Jakarta: Rineka Cipta.
Munandar, U. 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk
Bagi Para Guru dan Orang Tua. Jakarta: Grasindo.
Rochmah, S. 2008. Efektivitas Model Pembelajaran Synectics Dalam Pengembangan
Kreativitas Peserta Didik di Play Group Al-Aziziyah Rungkut Menanggal
Surabaya. Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Berpikir Kreatif Matematika pada Pembelajaran Sinektik
ISBN 978-602-1034-06-4 98
Sakdiahwati. 2008. Penerapan Model Sinektik dalam Meningkatkan Kreativitas
Menulis (Studi Kuasai Eksperimen dalam Pembelajaran Menulis pada Siswa
Kelas I SMPN di kota Palembang). Skipsi. Bandung: UPI.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung: CV Alfabeta.
Wijayanti, R. W. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Synectics Dipadukan Teknik
Mind Map untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS dan Kemampuan Berpikir
Kreatif Siswa Kelas IV SDN Jono II Bojonegoro. Skripsi. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 99
PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN 1–10 DENGAN
MATEMATIKA GASING UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR
Sulistiawati Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya,
Gd. Sure Lt.4 Jalan Scientia Boulevard Blok U/7, Gading Serpong, Tangerang, Banten
Surel: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi siswa yang memiliki kecenderungan sulit dalam
belajar materi perkalian terutama perkalian 1–10. Masih banyak siswa di minta untuk
menghafalkan perkalian dengan cara menghafalkan begitu saja tanpa mengerti makna
dari perkalian itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh
pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan konsep perkalian, terhadap
kemampuan tertulis perkalian bilangan 1–10, dan terhadap kemampuan mencongak perkalian
bilangan 1–10. Selain itu juga untuk mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan pada konsep
perkalian, rata-rata peningkatan pada kemampuan tertulis bilangan 1–10, dan rata-rata
peningkatan pada kemampuan mencongak bilangan 1–10. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian pre-experimental design dengan desain penelitian one group pretest-postest dengan
sampel penelitian siswa kelas V SD Negeri Cipinang Besar Selatan 19 Pagi Jakarta sebanyak 31
siswa dengan cara purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah
instrumen tes yang terdiri dari tes konsep perkalian, tes perkalian bilangan 1–10 secara tertulis,
dan tes perkalian bilangan 1–10 secara mencongak. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat
pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan
tentang konsep perkalian, terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan Matematika
GASING terhadap kemampuan tertulis perkalian bilangan 1–10, dan terdapat pengaruh yang
signifikan pembelajaran dengan Matematika GASING terhadap kemampuan mencongak
perkalian bilangan 1–10. Selain itu rata-rata peningkatan (N-gain) untuk konsep perkalian
tergolong kategori rendah sebesar 0,04; untuk perkalian bilangan 1–10 secara tertulis tergolong
kategori sedang sebesar 0,345; dan untuk perkalian bilangan 1–10 secara mencongak tergolong
kategori sedang sebesar 0,4.
Kata kunci: perkalian bilangan 1–10, Matematika GASING, perkalian secara
mencongak
A. Pendahuluan
Perkalian merupakan salah satu topik matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar
kelas II semester 2. Perkalian adalah salah satu topik matematika yang sangat penting
dalam pembelajaran karena banyak penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagian
awal dari perkalian yaitu perkalian 1–10 merupakan perkalian yang sangat dasar yang
harus dikuasai oleh siswa karena menjadi pijakan untuk perkalian-perkalian berikutnya.
Siswa harus mampu menguasai perkalian 1–10 agar lancar dan mudah menuju
perkalian-perkalian di atasnya. Fakta bahwa hingga saat ini siswa masih kesulitan dalam
menerima pelajaran perkalian dan pembagian, mereka tidak hafal perkalian dasar
(perkalian dua bilangan satu angka) yang berarti perkalian 1–10 (Raharjo, dkk., 2009).
Masalah yang masih muncul dilapangan saat ini adalah bagaimana membelajarkan
siswa supaya terampil dalam perkalian dasar. Siswa sulit memahami dan sulit diajak
terampil perkalian dasar. Disisi lain perkalian dan pembagian adalah topik yang harus
dikuasai oleh siswa sejak dini karena selalu terkait dengan pelajaran matematika di
kelas berikutnya di jenjang yang lebih tinggi.
Di sekolah ada empat operasi bilangan dasar yang dipelajari yaitu penjumlahan,
perkalian, pengurangan, dan pembagian. Perkalian adalah salah satu dari empat operasi
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 100
aritmetika dasar dan didefinisikan sebagai penjumlahan berulang (West dan Bellevue,
2011:1). Sebagai contoh 3 × 4 diartikan sebagai 4 + 4+ 4. Perkalian juga dapat
dikatakan sebagai operasi matematika penskalaan satu bilangan dengan bilangan
lainnya .
Matematika GASING merupakan salah satu solusi dalam pembelajaran matematika
yang menekankan pada logika sehingga siswa tidak perlu menghafal atau bergantung
pada rumus. GASING merupakan singkatan dari Gampang, AsyIk, dan menyenaNGkan.
Matematika GASING ini merupakan cara belajar matematika dengan mudah apapun
latar belakang pendidikan orang tersebut (Surya & Moss, 2012). Pembelajaran dengan
Matematika GASING memiliki ciri khas pembelajarannya dilakukan melalui tahapan-
tahapan atau langkah-langkah.
Dalam penelitian ini pembelajaran perkalian bilangan 1–10 dengan Matematika
GASING diberikan kepada siswa kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri Cipinang Besar
Selatan 19 Pagi Jakarta Timur. Siswa ini sebelumnya sudah pernah mendapatkan
pembelajaran perkalian dengan cara umum/konvensional ketika mereka berada di kelas
II atau kelas III. Secara umum penelitian ini ingin mengetahui hasil belajar siswa terkait
perkalian bilangan 1–10 dengan pembelajaran Matematika GASING. Hasil belajar
dilihat dalam tiga aspek kemampuan yaitu konsep perkalian, kemampuan perkalian
bilangan 1–10 secara tertulis, dan perkalian bilangan 1–10 secara mencongak.
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini diantaranya 1) adakah pengaruh kemampuan
tentang konsep perkalian siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran
dengan Matematika GASING?, 2) adakah pengaruh kemampuan tertulis siswa pada
perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING?, 3)
adakah pengaruh kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap
pembelajaran dengan Matematika GASING?, 4) bagaimana rata-rata peningkatan
kemampuan tentang konsep perkalian siswa setelah belajar dengan Matematika
GASING?, 5) bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tertulis siswa setelah
belajar dengan Matematika GASING?, dan 6) bagaimana rata-rata peningkatan
kemampuan mencongak siswa setelah belajar dengan Matematika GASING?.
B. Tinjauan Pustaka
1. Matematika GASING
Matematika GASING merupakan salah satu cara baru dalam pembelajaran
Matematika yang dikembangkan oleh Prof. Yohanes Surya dari Surya Institute. Istilah
GASING merupakana singkatan dari GAmpang, aSyik, dan MenyenaNGkan (Surya,
2013). Pembelajaran Matematika GASING terurut dari yang mudah sampai dengan
yang sulit dan mengarahkan siswa untuk menemukan faktor “AHA”nya oleh diri
sendiri. Selain itu pembelajaran dimulai dengan benda-benda konkret melalui kegiatan
bermain dan eksplorasi. Di dalam Matematika GASING ada yang disebut dengan titik
kritis GASING. Titik kritis GASING diartikan sebagai hal-hal dasar yang harus
dikuasai siswa agar dapat mengerjakan soal-soal dalam topik yang bersangkutan dengan
lancar atau tidak kesulitan lagi (Surya, 2013). Harapannya setelah siswa melewati titik
kritis GASING mampu mengerjakan setiap soal dengan baik.
Pembelajaran Matematika GASING pada topik perkalian dimulai dengan perkalian
bilangan 1–10, sekaligus merupakan cara untuk menuju titik kritis GASING Perkalian.
Titik kritis GASING perkalian sendiri adalah perkalian bilangan 100 ke bawah. Untuk
mencapai titik kritis GASING ini yang diperlukan adalah siswa harus mengerti konsep
perkalian dengan baik, kemudian dilanjutkan dengan bagaimana menghitung perkalian
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 101
bilangan 1, 10, 9, 2, dan 5. Selanjutnya adalah perkalian untuk bilangan yang sama,
perkalian bilangan 3 dan 4, dan yang terakhir adalah perkalian 8,7, dan 6 (Surya, 2013).
Gambaran untuk mencapai titik kritis perkalian tersebut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Gambar 1
Titik Kritis GASING Perkalian Gambar 1. Titik Kritis Gasing Perkalian
Dalam tulisan ini disajikan beberapa contoh pembelajaran perkalian bilangan 1–10
dengan Matematika GASING, seperti konsep perkalian, perkalian 1, dan perkalian
bilangan 9. Sebagai tahap pertama dalam pembelajaran perkalian dengan Matematika
GASING tujuannya adalah untuk mengenalkan konsep perkalian dengan Matematika
GASING kepada siswa. Pemahaman konsep perkalian dimulai dari tahap konkret
kemudian dilanjutkan dengan tahap abstrak atau penyajian dalam bahasa
matematikanya. Berikut ini contoh pengenalan konsep perkalian secara konkret.
Gambar 2. Konkret Perkalian 2×5
Dari gambar di atas, dalam pembelajaran dengan Matematika GASING dapat
dikatakan dengan “Ada 2 kotak masing-masing berisi 5 nanas”. Selanjutnya pernyataan
ini dapat digantikan dengan pernyataan “2 kotak isi 5” yang selanjutnya dilambangkan
2□5, dibaca “2 kotak 5”. Setelah konsep pernyataan dipahami oleh siswa, berikutnya
adalah mengenalkan konsep dengan simbol matematika. Simbol 2□5 dapat dituliskan
dalam 2×5 yang berarti 5+5 hasilnya 10.
Pengenalan konsep perkalian ini kepada siswa dilakukan beberapa kali sampai
siswa memahami dengan baik arti dari perkalian. Ada dua istilah dalam pengenalan
konsep perkalian ini yaitu istilah kotak dan istilah isi. Kotak disini merupakan pengali
sedangkan isi merupakan bilangan yang dikalikan. Setelah siswa memahami, dengan
indikasi dapat membedakan mana yang sebagai kotak dan mana yang sebagai isi,
selanjutnya adalah meminta siswa untuk berlatih konsep perkalian ini dari perkalian 1×1
sampai 10×10.
Pada pembelajaran konsep perkalian ini dikenalkan istilah komutatif kepada siswa,
sebagai contoh adalah 3×6 dan 6×3. Dalam pengenalan istilah komutatif ini kita dapat
langsung menjelaskan bahwa 3×6 adalah 3□6 = 6 + 6 + 6 = 18, sedangkan 6×3 adalah
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 102
6□3 = 3 + 3 + 3 + 3 + 3 + 3 = 18. Hasil kedua perkalian ternyata memiliki hasil yang
sama yaitu 18. Dari sini dapat dikatakan bahwa 3×6 tidak sama artinya dengan 6×3
tetapi memiliki hasil yang sama. Hal yang perlu ditekankan adalah kedua perkalian
memiliki hasil yang sama namun artinya berbeda. Hasil yang sama dari kedua perkalian
inilah yang disebut dengan istilah komutatif, namun istilah komutatif sendiri tidak perlu
diberitahukan ke siswa.
Tahap kedua untuk mencapi titik kritis perkalian adalah perkalian bilangan 1, 10, 9,
2, dan 5. Pertama dimulai dengan pengenalan perkalian 1, kemudian perkalian 10,
perkalian 9, perkalian 2, dan perkalian 5. Urutan ini tidak dimulai dari bilangan yang
kecil ke bilangan yang besar namun lebih kepada bilangan yang mudah dikenal oleh
siswa dan mudah untuk menghafalkannya.
Perkalian 1 dimulai dengan cara konkret, misalnya dengan menunjukkan kartu berisi
gambar apel. Perkalian 1×1 dapat diperagakan dengan menunjukkan satu kartu yang
berisi satu apel, 2×1 dapat diperagakan dengan menunjukkan dua kartu yang berisi satu
apel, dan seterusnya. Setelah pengenalan secara konkret selanjutnya adalah menyajikan
apa yang telah diperagakan ke dalam bentuk tulisan dan bentuk abstraknya, seperti di
bawah ini.
Konkret Abstrak
1 x 1 = 1 □1 = 1
2 x 1 = 2 □1 = 1 + 1 = 2
3 x 1 = 3 □1 = 1 + 1 + 1 = 3
4 x 1 = 4 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 = 4
5 x 1 = 5 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 5
6 x 1 = 6 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 6
7 x 1 = 7 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 7
8 x 1 = 8 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 8
9 x 1 = 9 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 9
10 x 1 = 10 □1 = 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 + 1 = 10
1 x 1 = 1
2 x 1 = 2
3 x 1 = 3
4 x 1 = 4
5 x 1 = 5
6 x 1 = 6
7 x 1 = 7
8 x 1 = 8
9 x 1 = 9
10 x 1 = 10
Gambar 3. Konkret dan Abstrak Perkalian 1
Langkah selanjutnya setelah siswa mengetahui bentuk abstrak perkalian 1 adalah
menghafal perkalian 1. Dalam menghafal perkalian 1 ini caranya adalah dengan melihat
pola. Siswa diminta mengamati seperti 1×1=1, 2×1=2, ..., 10×1=10 dan dapat
menyimpulkan bahwa perkalian 1 hasilnya adalah bilangan itu sendiri.
Cara mencongak perkalian 9 adalah dengan menggunakan jari. Cara ini dapat
dikatakan “bukan matematika” tetapi memudahkan penghafalan. Untuk menghitung
3×9 tekuk jari nomor 3. Lihat di sebelah kiri jari adalah ada 2 jari, dan disebelah kanan
ada 7 jari. Jadi hasil perkalian ini 2 dan 7 yaitu 27. Untuk menghitung 6×9 tekuk jari
nomor 6. Lihat di sebelah kiri jari adalah ada 5 jari, dan disebelah kanan ada 4 jari. Jadi
hasil perkalian ini 5 dan 4 yaitu 54, dan seterusnya. Selain menggunakan jari, perkalian
9 dapat dihafal dengan melihat pola. Pola untuk 7×9 misalnya, cari dulu bilangan
sebelum 7 yaitu 6, setelah itu cari pasangan 9 dari 6 yaitu 3, maka jawabnya adalah 63.
Di sini perlu diingatkan bahwa perkalian 1×9 dan 10×9 sudah tidak perlu dihafal lagi
karena sudah termasuk dalam perkalian 1 dan 10.
2. Kemampuan Siswa dalam Perkalian
Dalam Matematika GASING, bagian akhirnya adalah siswa diharuskan dapat
menghitung secara mencongak. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, dilihat kemampuan
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 103
perkalian siswa dalam tiga aspek, yaitu kemampuan pemahaman konsep perkalian,
kemampuan menghitung perkalian bilangan 1–10 secara tertulis, dan kemampuan
menghitung perkalian bilangan 1–10 secara mencongak. Kemampuan yang hendak
dilihat ini sesuai dengan apa yang diinginkan dalam Matematika GASING.
Mencongak dapat diartikan seseorang mampu menghitung di luar kepala tanpa
menggunakan alat bantu dan langsung menuliskan hasilnya. Menurut Depdiknas (2008)
mencongak adalah kemampuan menghitung di luar kepala, dalam artian dengan ingatan
saja dan yang dituliskan hasilnya (Depdiknas, 2008). Aktivitas pembelajaran yang
dilakukan adalah guru memberikan pertanyaan lisan kepada siswa dikelas kemudian
siswa langsung menuliskan jawabannya di kertas. Alternatif lain adalah guru
memberikan pertanyaan secara lisan kemudian siswa menjawab secara lisan dan relatif
cepat. Kemampuan mencongak sangat berguna agar siswa mampu menghitung dengan
cepat dalam waktu yang relatif singkat. Disamping itu kemampuan mencongak dapat
melatih daya nalar siswa sehingga akan bertambah baik.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain penelitian
one group pretest-postest design. Penelitian kuantitatif one group pretest-postest design
adalah penelitian dengan membandingkan nilai pretes dan postes (Sugiyono, 2010).
Dalam hal ini adalah nilai pretes dan postes siswa pada pembelajaran perkalian 1–10
dengan Matematika GASING. Desain penelitian ini adalah:
O1 X O2
Keterangan:
O1 : nilai pretes
X : pembelajaran perkalian bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
O2 : nilai postes
(Sumber : Sugiyono, 2010)
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri Cipinang Besar
Selatan 19 Pagi Jakarta Timur yang berjumlah 31 orang. Pembelajaran yang dilakukan
menggunakan panduan buku Matematika GASING Volume 1. Pembelajaran ini
dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang sebelumnya telah diberikan pelatihan
tentang Matematika GASING sebanyak tiga orang berasal dari Sekolah Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) berama-sama dengan guru Matematika di SD Negeri Cipinang Besar
Selatan 19 Pagi Jakarta Timur. Pemilihan kelas sebagai sampel dalam penelitian ini
bersifat purposive sampling.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes yaitu tes tertulis dan
tes mencongak. Tes tertulis diberikan pada saat pretes dan postes untuk memperoleh
data tentang kemampuan tertulis siswa tentang konsep perkalian dan perkalian bilangan
1–10. Tes tertulis yang diberikan untuk konsep perkalian sebanyak 4 butir soal
sedangkan untuk tes tertulis perkalian bilangan 1–10 sebanyak 100 butir soal. Tes
mencongak diberikan pada saat pretes dan postes adalah untuk memperoleh data tentang
kemampuan perkalian bilangan 1–10 siswa secara mencongak. Untuk tes mencongak ini
siswa diberikan kesempatan menjawab dalam durasi waktu maksimal 10 detik tiap butir
soal dari 50 soal yang diberikan. Jika siswa tidak mampu menjawab dalam durasi waktu
tersebut maka dianggap gagal. Sebelum diberikan tes, instrumen yang digunakan
dilakukan validasi terlebih dahulu oleh rekan dosen di STKIP Surya. Validasi instrumen
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 104
berupa judgment materi dari pakar Matematika GASING STKIP Surya. Validasi
selanjutnya adalah mengenai keterbacaan soal yang didisikusikan dengan dosen-dosen
Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Surya yang paham tentang isntrumen.
Prosedur dalam penelitian ini diantaranya: 1) mengidentifikasi masalah dan tujuan,
2) menentukan desain penelitian sesuai masalah dan tujuan penelitian, 3) menyusun
instrumen tes dilanjutkan dengan validasi, 4) memberikan pretes konsep perkalian,
perkalian bilangan 1–10, dan tes mencongak, 5) memberikan pembelajaran perkalian
bilangan 1–10 dengan Matematika GASING, 6) memberikan postes konsep perkalian,
perkalian bilangan bilangan 1–10, dan tes mencongak, 7) melakukan analisis terhadap
hasil tes, 8) Membuat kesimpulan dari hasil penelitian, 9) menulis laporan penelitian.
Pelaksanaan penelitian ini berlangsung dari Maret sampai April 2014.
Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis kuantitatif. Analisis dilakukan
terhadap hasil pretes dan postes untuk tes konsep perkalian, tes tertulis perkalian 1-10,
dan tes mencongak. Uji statistik yang digunakan adalah uji non parametrik untuk dua
sampel yang berkorelasi (2 related sample). Uji non parametriknya adalah uji wilcoxon.
Penelitian menggunakan uji non parametrik wilcoxon karena asumsi-asumsi untuk
menggunakan uji parametrik, seperti normalitas dan homogenitas tidak dapat dipenuhi.
Desain penelitian one-group pretest-postest mengakibatkan asumsi homogenitas
tidaklah mungkin dipenuhi dari awal, sehingga dalam penelitian ini tidak perlu
dilakukan uji normalitas. Dengan demikian uji hipotesis menggunakan uji wilcoxon.
Analisa data kuantitatif selanjutnya adalah untuk melihat besarnya peningkatan
sebelum dan sesudah pembelajaran dengan Matematika GASING yang dihitung dengan
rumus gain ternormalisasi yang dikembangkan oleh Meltzer (2002). Rumus gain
tersebut seperti berikut ini:
N-gain ( )
Nilai gain yang diperoleh selanjutnya diinterpretasikan menurut klasifikasin indeks N-
gain menurut Hake (1999) sebagai berikut:
Tabel 1. Interpretasi Indeks N-gain
Indeks N-gain ( ) Interpretasi
Tinggi
Sedang
Rendah
D. Hasil dan Pembahasan
1. Kemampuan Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING Secara
Tertulis
a. Kemampuan Konsep Perkalian
1) Statistik Deskriptif Skor Pretes dan Postes pada Kemampuan tentang Konsep
Perkalian
Kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir (postes) siswa meliputi skor
maksimum ( ) dan skor minimum ( ), skor rata-rata ( ), dan standar deviasi
( ). Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
gpretesskoridealskor
pretesskorpostesskor
g
7,0g
7,03,0 g
3,0g
maksX minX X
S
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 105
Tabel 2. Statistik Deskriptif Kemampuan Konsep Perkalian
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Pretest 31 0.00 25.00 1.1935 4.91541
Postest 31 0.00 25.00 6.0323 10.63166
Valid N (listwise) 31
Dari tabel di atas diketahui bahwa rata-rata kemampuan awal siswa dalam konsep
perkalian sebesar 1.1935 dan 6.0323, yang nampak cukup berbeda. Untuk mengetahui
apakah perbedaan antara skor pretes dengan berbeda cukup signifikan atau tidak
dilakukan uji perbedaan kemampuan siswa tentang konsep perkalian. Uji yang
digunakan adalah uji wilcoxon.
2) Uji Perbedaan Kemampuan Siswa tentang Konsep Perkalian
Uji wilcoxon merupakan uji non parametrik untuk dua sampel yang berkorelasi
untuk data yang termasuk ordinal. Data dalam penelitian tergolong ke dalam data
ordinal. Pasangan uji hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan siswa tentang konsep
perkalian
HA : Terdapat perbedaan kemampuan siswa tentang konsep perkalian.
Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika
nilai absolut . Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non
parametrik dengan SPSS tentang konsep perkalian dengan Matematika GASING, hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Konsep Perkalian
Kemampuan Tes Absolut
Asymp. Sig
(2-tailed)
Kesimpulan Keterangan
Kemampuan
Tertulis Perkalian
Pretes 2,107 0,035 H0 ditolak
Terdapat
Perbedaan Postes
Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,
terdapat perbedaan kemampuan tentang konsep perkalian siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan tentang konsep perkalian siswa pada perkalian bilangan 1–10.
b. Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10
1) Statistik Deskriptif Skor Pretes dan Postes Siswa pada Kemampuan Tertulis
Perkalian 1-10
Kemampuan awal (pretes) dan kemampuan akhir (postes) siswa meliputi skor
maksimum ( ) dan skor minimum ( ), skor rata-rata ( ), dan standar deviasi
( ). Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
2
1ZZhitung
2
1ZZ hitung
hitungZ
96,1107,2 tabelhitung ZZ0H
maksX minX X
S
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 106
Tabel 4. Statistik Deskriptif Kemampuan Tertulis Perkalian 1-10
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Pretest 31 7.00 100.00 80.4839 26.50518
Postest 31 24.00 100.00 88.0645 17.26641
Valid N (listwise) 31
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, tes tertulis kemampuan perkalian bilangan 1–
10 rata-rata kemampuan awal dan kemampuan akhir siswa cukup berbeda. Untuk
melihat apakah perbedaan ini signifikan atau tidak dilakukan uji perbedaan kemampuan
tertulis siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika
GASING.
2) Uji Statistik dengan Uji Non Parametrik Uji Wilcoxon
Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian
bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING sebelum dan
sesudah pembelajaran, maka data diuji dengan uji dua sampel berpasangan yaitu uji
wilcoxon. Pasangan hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan
1–10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.
HA : Terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1–10
terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.
Kriteria pengujian H0 ditolak jika nilai absolut , dan H0 diterima jika
nilai absolut .Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non
parametrik dengan SPSS untuk perkalian bilangan 1–10 secara tertulis, hasil
perhitungan dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Kemampuan Tertulis
Kemampuan Tes Absolut
Asymp. Sig
(2-tailed)
Kesimpulan Keterangan
Kemampuan Tertulis
Perkalian
Pretes 4,101 0,000 H0 ditolak
Terdapat
Perbedaan Postes
Nilai absolut , dengan demikian ditolak. Jadi,
terdapat perbedaan kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1 – 10 terhadap
pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan tertulis siswa pada perkalian bilangan 1 – 10.
2
1ZZhitung
2
1ZZ hitung
hitungZ
96,1101,4 tabelhitung ZZ0H
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 107
c. Kemampuan Perkalian 1–10 dengan Matematika GASING Secara Mencongak
1) Statistik Deskriptif Tes Kemampuan Mencongak Perkalian 1–10 dengan
Matematika GASING.
Statistik Deskriptif untuk kemampuan mencongak dapat dilihat pada tabel 6 di
bawah ini. Tabel 6. Statistik Deskriptif Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Sebelum 31 21 100 74.48 18.419
Sesudah 31 64 100 86.65 12.246
Valid N (listwise) 31
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, tes mencongak kemampuan perkalian
bilangan 1–10 rata-rata kemampuan awal dan kemampuan akhir siswa cukup berbeda.
Untuk melihat apakah perbedaan ini signifikan atau tidak dilakukan uji perbedaan
kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1–10 terhadap pembelajaran
dengan Matematika GASING.
2) Uji Perbedaan Kemampuan Tes Mencongak Siswa pada Perkalian Bilangan 1 -
10
Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kemampuan mencongal siswa pada
perkalian bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING sebelum
dan sesudah pembelajaran, maka data diuji dengan uji dua sampel berpasangan yaitu uji
t apabila asumsi bahwa data berdistribusi normal dan variansi kedua distribusi
populasinya sama. Berdasarkan perhitungan uji normalitas dan uji homogenitas
diketahui bahwa data berdistribusi normal namun asumsi homogenitas tidak dipenuhi.
Oleh karena itu uji statistik yang digunakan adalah uji non parametrik, yaitu uji
wilcoxon. Uji wilcoxon digunakan untuk dua sampel yang berpasangan. Pasangan
hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kemampuan mencongak siswa pada
perkalian bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika
GASING.
HA : Terdapat perbedaan kemampuan mencongak siswa pada perkalian
bilangan 1 – 10 terhadap pembelajaran dengan Matematika GASING.
Berdasarkan perhitungan uji Wilcoxon untuk statistik non parametrik dengan SPSS
untuk perkalian bilangan 1 – 10 secara mencongak, hasil perhitungan dapat dilihat pada
tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Uji Perbedaan Kemampuan Skor Pretes dan Skor Postes Kemampuan Mencongak
Kemampuan Tes Absolut
Asymp.
Sig (2-
tailed)
Kesimpulan Keterangan
Kemampuan
Mencongak Perkalian
Pretes 4,157 0,000 H0 ditolak Terdapat
Perbedaan Postes
Nilai , dengan demikian ditolak. Jadi, terdapat
perbedaan kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1 – 10 terhadap
pembelajaran dengan Matematika GASING. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hitungZ
96,1157,4 tabelhitung ZZ0H
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 108
pembelajaran Matematika GASING mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kemampuan mencongak siswa pada perkalian bilangan 1 – 10.
2. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Siswa dalam Perkalian Bilangan 1 – 10
dengan Matematika GASING
Untuk melihat peningkatan kemampuan siswa dalam perkalian bilangan 1 – 10,
analisis yang digunakan adalah dengan menghitung selisih skor pretes dan skor postes
untuk tes konsep perkalian, tes tertulis perkalian bilangan 1-10, maupun tes mencongak.
Untuk melihat peningkatan ini digunakan uji terhadap satu perlakukan yaitu uji t. Uji t
dapat digunakan jika data memiliki sebaran normal.
a. Peningkatan dalam Konsep Perkalian
1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan tentang Konsep
Perkalian
Uji normalits untuk peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian siswa yang
belajar menggunakan pembelajaran Matematika GASING dihitung menggunakan SPSS
yaitu uji satu sampel dengan One-Sample kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang
diuji adalah:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima
jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan jika
sig. < taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normalData
peningkatan kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel 8 di
bawah ini.
Tabel 8. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa tentang Konsep Perkalian
Aspek
Kemampuan
Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan
Statistic Sig.
Konsep
Perkalian 2.205 0,000 H0 diterima Normal
Dari data skor N-gain tentang konsep perkalian berdistribusi normal. Selanjutnya
dilakukan uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.
2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan tentang Konsep Perkalian
Untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tentang
konsep perkalian siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu
rata-rata. Uji yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu
normlitas terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:
H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian dengan
pembelajaran Matematika GASING termasuk tidak kategori minimal 0,04.
HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tentang konsep perkalian dengan
pembelajaran Matematika GASING termasuk kategori kurang dari 0,04.
05,0 30n
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 109
Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima
jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tentang konsep
perkalian adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10
Aspek
Kemampuan Uji-t
Asymp.Sig.
(2-tailed) Kesimpulan Keterangan
Konsep
Perkalian -0,080 0,937 H0 diterima Peningkatan rendah
Selain itu, diperoleh bahwa test value sebesar 0,04 dengan nilai thitung = -0,080 dan
nilai sig. (2-tailed) = 0,937 > maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata
peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran Matematika GASING termasuk
kategori minimal 0,04. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS diperlihatkan
bahwa rata-rata N-gain kemampuan tertulis adalah 0.0382 dan simpangan baku =
0,1231. Kategori rata-rata peningkatan N-gain tentang konsep perkalian tergolong
rendah.
b. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Tertulis Bilangan 1-10
1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan Tertulis Bilangan 1-10
Uji normalits untuk peningkatan kemampuan tertulis siswa yang belajar
menggunakan pembelajaran Matematika GASING dengan menggunakan SPSS yaitu uji
satu sampel dengan One-Sample Kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang diuji
adalah:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima
jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan jika
sig. < taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normalData
peningkatan kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel 10 di
bawah ini.
Tabel 10. Uji Normalitas Skor N-gain Siswa
Aspek
Kemampuan
Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan
Statistic Sig.
Tertulis
Perkalian 0.721 0,675 H0 diterima Normal
Dari data di atas diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan
uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.
2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10
Untuk menjawab hipotesis Bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan tertulis
siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu rata-rata. Uji
yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu normlitas
terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:
tabelhitung tt
tabelhitung tt
05,0
05,0 30n
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 110
H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran
Matematika GASING minimal 0,345.
HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran
Matematika GASING kurang dari 0,345
Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima
jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tertulis perkalian
bilangan 1-10 adalah sebagai berikut:
Tabel 11. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Tertulis Perkalian Bilangan 1-10
Aspek
Kemampuan Uji-t
Asymp.Sig.
(2-tailed) Kesimpulan Keterangan
Tertulis
Perkalian 0,003 0,998 H0 diterima Peningkatan tinggi
Untuk test value sebesar 0,345, nilai thitung = 0,003 dan nilai sig. (2-tailed) = 0,998 >
maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata peningkatan kemampuan tertulis
dengan pembelajaran Matematika GASING minimal 0,345. Berdasarkan perhitungan
SPSS rata-rata peningkatannya sebesar 0,345 dan standar deviasinya 0,348.
c. Peningkatan (N-gain) Kemampuan Mencongak Perkalian
1) Uji Normalitas Skor Peningkatan (N-gain) Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10
Uji normalits untuk peningkatan kemampuan mencongak perkalian siswa yang
belajar menggunakan pembelajaran Matematika GASING dengan menggunakan SPSS
yaitu uji satu sampel dengan One-Sample kolmogorv-Smirnov. Pasangan hipotesis yang
diuji adalah:
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
HA : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal
Kriteria pengujian adalah pada taraf signifikansi dan . H0 diterima
jika sig. > taraf signifikansi yang berarti data berdistribusi normal, sedangkan jika sig. <
taraf signifikansi maka H0 ditolak yang berarti data berdistribusi tidak normal. Data
peningkatan kemampuan mencongak perkalian bilangan 1-10 seperti tertera pada tabel
12 di bawah ini.
Tabel 12. Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian 1-10
Aspek
Kemampuan
Kolmogorov- Smirnov Kesimpulan Keterangan
Statistic Sig.
Tertulis
Perkalian 0.810 0,528 H0 diterima Normal
Dari data di atas diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan
uji hipotesis satu rata-rata dengan menggunakan uji t.
2) Uji satu rata-rata Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian Bilangan 1-10
Untuk menjawab hipotesis bagaimana rata-rata peningkatan kemampuan
mencongak siswa setelah belajar dengan Matematika GASING, dilakukan uji satu rata-
tabelhitung tt
tabelhitung tt
05,0
05,0 30n
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 111
rata. Uji yang digunakan adalah uji t karena asumsi uji ini dapat dilakukan yaitu
normlitas terpenuhi. Pasangan hipotesis statistiknya sebagai berikut:
H0 : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran
Matematika GASING minimal 0,4.
HA : Rata-rata peningkatan kemampuan tertulis dengan pembelajaran
Matematika GASING kurang dari 0,4
Kriteria pengujian hipotesis adalah Ho ditolak jika dan Ho diterima
jika . Hasil uji satu rata-rata skor N-gain kemampuan tertulis perkalian
bilangan 1-10 adalah sebagai berikut:
Tabel 13. Uji Satu Rata-rata Skor N-gain Kemampuan Mencongak Perkalian Bilangan 1-10
Aspek
Kemampuan Uji-t
Asymp.Sig.
(2-tailed) Kesimpulan Keterangan
Tertulis
Perkalian 0,000 1,000 H0 diterima Peningkatan sedang
Untuk test value sebesar 0,4, nilai thitung = 0,000 dan nilai sig. (2-tailed) = 1,000 <
maka Ho diterima. Hal ini berarti rata-rata peningkatan kemampuan
mecongak dengan pembelajaran Matematika GASING minimal 0,4. Berdasarkan
perhitungan SPSS rata-rata peningkatannya sebesar 0,4.
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka diperoleh beberapa kesimpulan
terkait dengan pertanyaan penelitian yang diajukan. Kesimpulan dalam penelitian ini
diantaranya: 1) pembelajaran dengan Matematika GASING berpengaruh terhadap
kemampuan tentang konsep perkalian bilangan 1-10 siswa, 2) pembelajaran dengan
Matematika GASING berpengaruh terhadap kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-
10 siswa, 3) pembelajaran dengan Matematika GASING berpengaruh terhadap
kemampuan mencongak perkalian bilangan 1-10 siswa, 4) rata-rata kemampuan konsep
perkalian siswa termasuk dalam ketegori rendah, 5) rata-rata kemampuan siswa dalam
kemampuan tertulis perkalian bilangan 1-10 termasuk dalam kategori sedang, dan 6)
rata-rata kemampuan siswa dalam kemampuan mencongak perkalian bilngan 1-10
termasuk dalam kategori sedang.
Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan di atas, nampak bahwa
kemampuan siswa tentang konsep perkalian tergolong rendah. Siswa masih memiliki
kesulitan memahami sesuatu yang bersifat konseptual. Untuk itu pada pembelajaran
perkalian selanjutnya sebaiknya perlu penekanan yang lebih tinggi tentang konsep
perkalian ini.
Materi perkalian bilangan 1-10 merupakan bagian awal dalam belajar perkalian dengan
Matematika GASING. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan untuk
membelajarkan bilangan-bilangan yang lebih besar dengan Matematika GASING.
F. Daftar Pustaka
Raharjo, M., Waluyati, A., & Sutanti, T. 2009. Pembelajaran Operasi Hitung Perkalian
dan Pembagian Bilangan Cacah di SD. Jakarta: Depdiknas Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika.
tabelhitung tt
tabelhitung tt
05,0
Pembelajaran Perkalian Bilangan 1–10 dengan Matematika GASING
ISBN 978-602-1034-06-4 112
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Surya, Y. 2013. Modul Pelatihan Matematika GASING SD Bagian 1. Tangerang: PT.
Kandel
Surya, Y. & Moss, M. 2012. Mathematics Education in Rural Indonesia. Proceeding in
the 12th International Congress on Mathematics Education: Topic Study Group 30,
6223-6229.
West, L & Bellevue, N.E. 2011. An Introduction to Various Multiplication Strategies.
Retrieved May, 5 2014. [Online] Available at
http://scimath.unl.edu/MIM/files/MATExamFiles/WestLynn_Final_070411_LA.pd
f.
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 113
PEMBELAJARAN ARIAS DENGAN ASESMEN KINERJA UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Wardono1)
, Suryati2)
1), Dosen Jurusan Matematika FMIPA Unnes 2) Guru SMKN Sumber Rembang
Alamat Kampus UNNES Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229, Indonesia
Surel:[email protected]
Abstrak Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja dan pembelajaran ARIAS dapat mencapai
ketuntasan; untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah peserta didik
menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, menggunakan pembelajaran ARIAS,
dan menggunakan pembelajaran ekspositori; untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah
peserta didik pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari pembelajaran
ARIAS; untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada pembelajaran
ARIAS lebih baik dari pembelajaran ekspositori dan untuk mengetahui kualitas pembelajaran,
kinerja guru dan aktivitas peserta didik baik. Populasi penelitian ini adalah semua peserta didik
kelas VIII MTsN Sumber, Rembang tahun pelajaran 2012/2013. Teknik sampel dalam penelitian
ini diambil secara random sampling. Kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen 1, kelas VIII-3
sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas VIII-4 sebagai kelas kontrol. Data diperoleh dengan metode
tes dan metode observasi. Data dianalisis dengan menggunakan uji proporsi, Anava, dan uji LSD.
Dapat disimpulkan bahwa: kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja dan menggunakan pembelajaran ARIAS mencapai
ketuntasan belajar, kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan pembelajaran
ARIAS dengan asesmen kinerja paling baik daripada pembelajaran ARIAS.
Kata kunci: asesmen kinerja; pembelajaran ARIAS; pemecahan masalah.
A. Pendahuluan
Matematika sebagai wahana pendidikan tidak hanya dapat digunakan untuk
mencapai satu tujuan, misalnya mencerdaskan peserta didik, akan tetapi dapat pula
untuk membentuk kepribadian peserta didik serta mengembangkan keterampilan
tertentu. Hal itu mengarahkan perhatian kepada pembelajaran nilai-nilai dalam
kehidupan melalui matematika (Soedjadi, 2000: 7). Salah satu tujuan pembelajaran
matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Menurut
NCTM (2000:52), ditegaskan mengenai pentingnya pemecahan masalah dimana
pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika,
sehingga hal tersebut tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan
berfikir tingkat tinggi. Agarkemampuan berfikir tingkat tinggi berkembang, maka
pembelajaran harus menjadilingkungan di mana peserta didik dapat terlibat secara aktif
dalamkegiatan matematis yang bermanfaat.
Berdasarkan hasil ulangan harian materi lingkaran kelas VIII aspek pemecahan
masalah pada tahun ajaran 2011/2012 diperoleh hasil yang masih rendah sehingga
belum mencapai ketuntasan secara klasikal.Hal ini diperkuat dengan data persentase
penguasaan materi soal Matematika Ujian Nasional SMP/ MTs Tahun Pelajaran 2010/
2011 disalah satu MTs Negeri di Kabupaten Rembang. Dari data tersebut diketahui
persentase penguasaan materi yang berkaitan dengan materi lingkaran di MTs tersebut
hanya 50,27 %. Perolehan ini tergolong masih rendah jika dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh pada tingkat kota/ kabupaten yaitu 53.91%, tingkat provinsi 56.46%
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 114
dan tingkat nasional 70.46%.
Kemampuan pemecahan masalah peserta didik masih rendah dikarenakan dalam
pembelajaran guru masih menggunakan model pembelajaran ekspositori sehingga
peserta didik kurang terlibat dalam proses pembelajaran dan lebih banyak berperan
secara pasif sebagai pendengar.
Dalam kegiatan pembelajaran, pemilihan dan pelaksanaan model pembelajaran
yang tepat oleh guru akan membantu guru dalam menyampaikan pembelajaran
matematika, sehingga peserta didik dapat memahami dengan jelas setiap materi yang
disampaikan dan akhirnya mampu memecahkan setiap permasalahan yang muncul pada
setiap materi yang dipelajarinya tersebut. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah
melakukan inovasi pembelajaran agar pembelajaran menarik, sehingga meningkatkan
minat belajar, serta peserta didik aktif dalam pembelajaran serta peserta didik
dibiasakan untuk menunjukkan kinerjanya dalam segala hal, baik untuk memecahkan
masalah, mengutarakan pendapat, berdiskusi, salah satu alternatifnya adalah
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja.
Model Pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS (Attention,
Relevance, Convidence, Satisfaction) yang dikembangkan oleh Keller dan Koopp.
Dengan modifikasi tersebut, model pembelajaran ARIAS mengandung lima komponen
yaitu: attention (minat/ perhatian), relevance (relevansi), confidence (percaya/yakin),
satisfaction (kepuasaan/ bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan
dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention menjadi
interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena kata
assurance sinonim dengan kata self-confidence .
Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran
untuk menanamkan rasa yakin/ percaya pada peserta didik. Kegiatan pembelajaran ada
relevansinya dengan kehidupan peserta didik, berusaha menarik dan memelihara minat/
perhatian peserta didik. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa bangga
pada peserta didik dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan mengambil
huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS sebagai akronim.
Oleh karena itu model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model
pembelajaran ARIAS (Ahmadi, 2011: 69-71).
Asesmen kinerja adalah penilaian berdasarkan hasil pengamatan penilai terhadap
aktivitas peserta didik sebagaimana yang terjadi. Asesmen kinerja sebagai metode
pengujian yang meminta peserta didik untuk membuat jawaban atau hasil yang
menunjukkan pengetahuan dan keahlian mereka. Dengan demikian, asesmen kinerja
merupakan salah satu bentuk asesmen yang meminta peserta didik untuk menunjukkan
kinerja mereka sehingga dapat diketahui pengetahuan mereka. Asesmen kinerja dalam
matematika meliputi presentasi tugas matematika, proyek atau investigasi, observasi,
wawancara (interview), dan melihat hasil (product) (Sa’dijah, 2009: 93). Dalam
aplikasi dilapangan beberapa penilaian dapat juga dikatagorikan kedalam penilaian
kinerja (performanceassessment). Penilaian kinerja yang menghasilkan suatu benda
(produk) lebih spesifiknya dinamakan penilaian produk (productassessment). Menurut
Jihad & Haris (2008: 111-112), penilaian produk adalah penilaian terhadap proses
pembuatan dan kulitas suatu produk, disini yang dinaksud adalah produk alat peraga.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1)
apakah pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja terhadap kemampuan pemecahan
masalah materi lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai dengan kriteria
ketuntasan minimum; (2) apakah pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 115
pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai dengan
kriteria ketuntasan minimum; (3) apakah ada perbedaan antara pembelajaran ARIAS
dengan asesmen kinerja, pembelajaran ARIAS, dan pembelajaran ekspositori terhadap
kemampuan pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII; (4) apakah pembelajaran
ARIAS dengan asesmen kinerja terhadap kemampuan pemecahan masalah materi
lingkaran kelas VIII lebh baik dari pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan
pemecahan masalah; (5) apakah pembelajaran ARIAS terhadap kemampuan pemecahan
masalah materi lingkaran kelas VIII lebh baik dari pembelajaran ekspositori terhadap
kemampuan pemecahan masalah materi lingkaran kelas VIII; dan (6) apakah kualitas
pembelajaran, kinerja guru dan aktivitas peserta didik minimal baik.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian
eksperimen. Desain penelitian eksperimen ini menggunakan Posttest-Only Control
Design. Materi pokok yang diajarkan pada penelitian ini adalah materi pokokkeliling
dan luas lingkaran.Desain penelitian yang digunakan adalah posttest only control design
menurut Sugiyono (2010:112) digambarkan sebagai berikut. Tabel 1. Desain Penelitian Posttest-Only Control Design
Pengelompokan
Subyek
Kelompok Perlakuan Posttest
Eksperimen 1
T
R Eksperimen 2
T
Kontrol K T
Sumber : Sugiyono, 2010: 112.
Keterangan:
R : Subyek dipilih secara random.
: Penerapan model pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja.
: Penerapan model pembelajaran ARIAS.
Penerapan model pembelajaran ekspositori.
Hasil tes kemampuan pemecahan masalah.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas
VIII MTs Negeri Sumber tahun pelajaran 2012/2013 semester II yang berjumlah tujuh
kelas. Jumlah total peserta didik sejumlah 248 anak yang terdiri dari kelas VIII-1
sejumlah 34 anak, kelas VIII-2 sejumlah 40 anak, kelas VIII-3 sejumlah 36 anak, kelas
VIII-4 sejumlah 36 anak, kelas VIII-5 sejumlah 36 anak, kelas VIII-6 sejumlah 32 anak
dan kelas VIII-7 sejumlah 34 anak. Berdasarkan teknik pengambilan sampel tersebut
diperoleh 3 kelas sampel yaitu kelas VIII-2 sebagai kelas eksperimen 1, kelas VIII-3
sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas VIII-4 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen 1
diberi perlakuan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, kelas eksperimen 2
diberi perlakuan pembelajaran ARIAS, dan kelas kontrol diberi perlakuan pembelajaran
ekspositori.
Teknik pengambilan data dalam penelitian ini yakni dengan metode tes. Metode tes
digunakan untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada
materi keliling dan luas lingkaran. Soal tes ini dalam bentuk uraian. Teknik tes
kemampuan pemecahan masalah matematis dilakukan setelah perlakuan diberikan
kepada kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol dengan tujuan
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 116
mendapatkan data akhir. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan analisis dan
selanjutnya disusun laporan hasil penelitian.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Dari hasil analisis uji normalitas data awal ketiga kelas eksperimen 1 diperoleh
= 1,7887. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh =7,81,
diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data awal kelas
eksperimen 1 berdistribusi normal. Dari hasil analisis uji normalitas data awal kelas
eksperimen 2 diperoleh = 4,4573. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh
=7,81, diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data
awal kelas eksperimen 2 berdistribusi normal.Dari hasil analisis uji normalitas data awal
kelas kontrol diperoleh = 1,7041. Dengan dk = (6-3) = 3 dan α = 5% diperoleh
=7,81, diperoleh , maka diterima, yang berarti bahwa data
awal kelas kontrol berdistribusi normal.Dari hasil perhitungan, diperoleh 2,61738.
Dengan α = 5% dan dk = 2 diperoleh = 5,99, diperoleh bahwa ,
maka diterima, artinya ketiga sampel pada mempunyai varians yang sama
(homogen).Hasil analisis uji kesamaan rata-rata data awal diperoleh Fhitung= 0,122dan
Ftabel = 3,08 karena Fhitung< Fα(k-1)(n-k)maka Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan rata-rata dari ketiga sampel tersebut. Berdasarkan hasil uji normalitas, uji
homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata maka dapat disimpulkan sampel berasal dari
kondisi atau keadaan yang sama yaitu memiliki pengetahuan yang sama.
Pembelajaran yang diterapkan pada kelas eksperimen 1 adalah pembelajaran
ARIAS dengan asesmen kinerja, pada kelas eksperimen 2 adalah pembelajaran ARIAS,
sedangkan pada kelas kontrol diterapkan pembelajaran ekspositori. Setelah diberi
perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol,
diperoleh data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik
kemudian dilakukan analisis data akhir dengan menggunakan uji proporsi, Anava dan
uji LSD . Setelah dilakukan uji statistik diperoleh hasil sebagai berikut.
Hasil perhitungan uji proporsi pihak kanan diperoleh kelas eksperimen 1 =
2,55. Berdasarkan kriteria uji pihak kanan, untuk taraf signifikansi 5% sehingga nilai
= 1,64. Diperoleh maka H0 ditolak. Ini berarti kemampuan
pemecahan masalah pada kelas eksperimen 1 yang dikenai pembelajaran ARIAS
dengan asesmen kinerja dapat mencapai ketuntasan.Hasil perhitungan uji proporsi pihak
kanan diperoleh kelas eksperimen 2 = 1,92. Berdasarkan kriteria uji pihak kanan,
untuk taraf signifikansi 5% sehingga nilai = 1,64. Diperoleh
maka H0 ditolak. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah pada kelas eksperimen 2
yang dikenai pembelajaran ARIAS dapat mencapai ketuntasan.
Hasil perhitungan perbedaan rata-rata data tahap akhir diperoleh Fhitung= 12,14dan
Ftabel = 3,08 karena Fhitung> Fα(k-1)(n-k)maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan masalah dari ketiga kelas tersebut.
2
hitungx 2
tabelx
2
hitungx
2
tabelx
2
hitungx
2
tabelx
2
tabelx
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 117
Hasil uji lanjut dengan LSDuntuk kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 , nilai
rata-rata kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas eksperimen 1= 79,35 dan
nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 2 = 75, 444. Diperoleh
selisih rata-rata nilai kedua kelas= 3,90 dan nilai LSD = 3,34. Karena 3,90 > 3,34 maka
H0 ditolak.Hal ini berarti ada perbedaan rata-rata dari kedua kelas. Selanjutnya
bandingkan nilai rata-rataantara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Karena
nilai rata-rata kelas eksperimen 1 adalah 79,30 lebihdari nilai rata-rata kelas eksperimen
2 adalah 75,444, maka kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 1 lebih baik
dari kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 2. Hasil uji lanjut dengan
LSDuntuk kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol, nilai rata-rata kemampuan pemecahan
masalah peserta didik kelas eksperimen 2 = 75,444 dan nilai rata-rata kemampuan
pemecahan masalah kelas kontrol = 70, 75. Diperoleh selisih rata-rata nilai kedua
kelas= 4,694 dan nilai LSD = 3,49. Karena 4,694 > 3,49 maka H0 ditolak.Hal ini berarti
ada perbedaan rata-rata dari kedua kelas. Selanjutnya bandingkan nilai rata-rataantara
kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol. Karena nilai rata-rata kelas eksperimen 2 adalah
75,444 lebih dari nilai rata-rata kelas kontrol adalah 70,75 , maka kemampuan
pemecahan masalah kelas eksperimen 2 lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah
kelas kontrol. Berdasarkan hasil pengamatan kualitas pembelajaran diperoleh skor rata-
rata kelas eksperimen 1 sebesar 83,6 % hal ini menunjukkan kualitas pembelajaran
kelas eksperimen 1 baik, lalu berdasarkan pengamatan kinerja guru kelas eksperimen 1
diperoleh skor rata-rata 84,5% hal ini menunjukkan kinerja guru kelas eksperimen 1
baik, dan berdasarkan pengamatan aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1 diperoleh
skor rata-rata 83,5 % hal ini menunjukkan aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1
aktif. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan
menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja adalah yang terbaik.
Dari hasil tes pemecahan masalah salah satu peserta didik pada kelas eksperimen 1
yang memperoleh pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja pada Gambar 4.1
terlihat bahwa peserta didik mengerjakan soal dengan benar sesuai keempat langkah
pemecahan masalah menurut polya. Hal ini berarti melalui pembelajaran ARIAS
dengan asesmen kinerja efektif pada kemampuan pemecahan masalah. Hal ini sejalan
dengan pendapat Masrukan (2008: 184-185), bahwa kecocokan kombinasi model
pembelajaran kooperatif dan asesmen kinerja menurut Polya terlihat dari langkah-
langkah penyelesain masalah yang disarankan, yaitu: (1) memahami masalah; (2)
merencanakan penyelesaian; (3) melaksanakan rencana/perhitungan; dan (4) memeriksa
kembali proses dan hasil. Dengan bekerja dalam kelompok kecil keempat langkah
tersebut dilakukan secara bersama-sama. Kecermatan dan ketelitian dalam
menyelesaiakn permasalahan matematika akan dikontrol oleh seluruh anggota
kelompok. Hal in jelas lebih baik dibandingkan dengan dilakukan hanya oleh seseorang.
Kemudian berdasarkan lembar observasi kualitas pembelajaran yang digunakan
untuk mengamati kualitas pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja pada kelas
eksperimen 1 selama tiga kali pertemuan oleh pengamat yaitu guru mata pelajaran
matematika disekolah penelitian diperoleh skor rata-rata baik, begitu pula untuk
pengamatan keaktifan peserta didik diperoleh skor rata-rata aktif, serta pengamatan
kinerja guru diperleh skor rata-rata baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja efektif terhadap kemampuan pemecahan
masalah materi luas dan keliling lingkaran.
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 118
2. Pembahasan
Gambar 4.1 Hasil Tes Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen 1
Kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada kelas eksperimen 1 dimana
peserta didik mendapatkan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari
kemampuan masalah pada peserta didik pada kelas eksperimen 2 dimana peserta didik
mendapatkan pembelajaran ARIAS dan kemampuan masalah pada peserta didik pada
kelas kontrol dimana peserta didik mendapatkan pembelajaran1`ekspositori. Hal ini
dikarenakan pada pembelajaran eksperimen 1 peserta didik bekerja secara kelompok
dengan asesmen kinerja berupa tugas produk dan LKPD. Pertanyaan-pertanyaan untuk
mengkonstruk pengetahuan peserta didik dituangkan dalam LKPD. Hal ini membuat
peserta didik pada kelas eksperimen 1 mengembangkan kreativitasnya dalam membuat
tugas produk berupa alat peraga dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mengkonstruk pengetahuan peserta didik yang ada di LKPD dengan antusias, dengan
ini peserta didik lebih mudah memahami materi lingkaran yang bersifat abstrak. Hal ini
sejalan dengan teori Brunner yang menyatakan bahwa dalam proses belajar anak
sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui
alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan
pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu (Suherman,
2001: 45).
Keterbatasan dalam hal keterlibatan peserta didik dalam penggunaan alat peraga
pada kelas eksperimen 2 yang dikenai pembelajaran ARIAS menyebabkan tidak semua
peserta didik paham dengan apa yang diketahui dan dilakukan, belum terbiasa
menunjukkan kinerja dalam memecahkan masalah, serta tidak semua peserta didik aktif
dalam pembelajaran.
Pada pembelajaran kelas kontrol masih berpusat pada guru. Hal ini menjadikan
pembelajaran menjadi kurang menarik akibatnya peserta didik kurang antusias dalam
pembelajaran, selain itu peserta didik kurang aktif terlibat dalam pembelajaran sehingga
kreativitas untuk memunculkan ide-ide baru dalam pemecahan masalah masih rendah.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Sanjaya(2011:194) yang menyatakan pembelajaran
ekspositori juga disebut pembelajaran langsung karena materi pelajaran disampaikan
secara langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu, materi
pelajaran seakan-akan sudah jadi.
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 119
Faktor-faktor yang menyebabkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik
pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari peserta didik pada
pembelajaran ARIAS maupun pembelajaran ekspositori sebagai berikut; (1) pada
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, pembelajaran dilaksanakan dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil sehingga peserta didik dapat berdiskusi dalam
menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suherman (2003: 259),
bahwa model kooperatif terbukti dapat meningkatkan berpikir kritis serta meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan pembelajaran ekspositori peserta didik
cenderung pasif dan pembelajaran masih berpusat pada guru; (2) pada pembelajaran
ARIAS dengan asesmen kinerja, peserta didik menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
LKPD dan tugas produk sehingga peserta didik tidak hanya menerima informasi tetapi
dapat mengkonstruk pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan teori belajar
konstruktivistik dari Piaget bahwa pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai
subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang
hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna (Sanjaya, 2011: 124). Selain hal itu melalui asesmen kinerja, peserta didik
dibiasakan untuk menunjukkan kinerjanya dalam segala hal, baik untuk memecahkan
masalah, mengutarakan pendapat, berdiskusi, maupun memberikan alasan dari jawaban
yang diberikan (Sa’dijah, 2009: 94); (3) kualitas pembelajaran, kinerja guru, dan
aktivitas peserta didik kelas eksperimen 1 berkriteria baik serta terbaik dari kelas
lainnya sehingga ini mempengaruhi keberhasilan proses belajar. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Zulfarisna (2009: 42), bahwa model pembelajaran
ARIAS dapat membantu guru dan peserta didik untuk meningkatkan keaktifan peserta
didik, rasa percaya diri peserta didik sehingga mereka termotivasi untuk mencapai suatu
keberhasilan. Serta diperkuat oleh hasil penelitian Lestari (2008: 152), bahwa model
pembelajaran cooperative learning dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, baik
dilihat dari tingkat partisipasi, interaksi pembelajaran, hasil kuis dan tes, serta hasil
tugas kelompok.
D. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh simpulan; (1)kemampuan
pemecahan masalah peserta didik pada pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja
pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII mencapai ketuntasan sesuai kriteria
ketuntasan minimum; (2)kemampuan pemecahan masalah peserta didik pada
pembelajaran ARIAS pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII mencapai
ketuntasan sesuai kriteria ketuntasan minimum; (3) terdapat perbedaan antara
kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja, kemampuan pemecahan masalah peserta
didik dengan pembelajaran ARIAS dan kemampuan pemecahan masalah peserta didik
dengan pembelajaran ekspositori pada materi keliling dan luas lingkaran kelas VIII; (4)
kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika melalui
pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja lebih baik dari kemampuan pemecahan
masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran ARIAS;
(5) kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam pembelajaran matematika
melalui pembelajaran ARIAS lebih baik dari kemampuan pemecahan masalah peserta
didik dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran ekspositori; (6) kualitas
pembelajaran, kinerja guru dan aktivitas peserta didik pada pembelajaran ARIAS
dengan asemen kinerja minimal baik. Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah
Pembelajaran ARIAS dengan Asesmen Kinerja
ISBN 978-602-1034-06-4 120
peserta didik menggunakan pembelajaran ARIAS dengan asesmen kinerja yang terbaik
jika dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah peserta didik menggunakan
pembelajaran ARIAS maupun kemampuan pemecahan masalah peserta didik
menggunakan ekspositori.
E. Daftar Pustaka
Ahmadi, K. L, dkk. 2011. Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Hamdani. 2010. Strategi belajar mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Jihad, A & Haris, A. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Multi Pressindo.
Lestari, Barkah. 2008. Peningkatan Kualitas Pebelajaran dengan Model Cooperative
Learning. Jurnal Ekonomi & Pendidikan. Tersedia di
http://journal.uny.ac.id/index.php/jep/article/view/595[ diakses 13 -02- 2013].
Masrukan. 2008. Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematika.
Pengaruh penggunaan model pembelajaran dan asesmen kinerja terhadap
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematika (Eksperimen pada
siswa kelas VIII SMPN 10 dan SMPN 13 Kota Semarang). Disertasi. Semarang:
Unnes.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston: Library of
Congress Cataloguing. Tersedia di
www.4shared.com/office/iCN3JX1s/NCTM_2000_Standards.htm[diakses 13 -11-
2012]
Sa’dijah, C. 2009. Asesmen Kinerja dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal
pendidikan inovatif, 4(2): 92-95. Tersedia di
http://jurnaljpi.files.wordpress.com/2009/09/vol-4-no-2-cholis-sadijah.pdf[ diakses
13 -11- 2012].
Sanjaya, W. 2006.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 121
EKSPLORASI BENTUK-BENTUK ETNOMATEMATIKA DAN
RELASINYA DENGAN KONSEP-KONSEP MATEMATIKA
Zaenuri Mastur1)
, Fathur Rokhman2)
, dan SB Waluya3)
1),3)Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
2)Bahasa Indonesia FBS Unnes
Surel: [email protected].
Abstrak Tujuan penelitian adalah (1) mengeksplorasi bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya
masyarakat dan (2) menganalisis relasi bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya
masyarakat dengan konsep-konsep matematika. Pelitian dilakukan di Pantai Utara Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Barat (Kuningan, Tasikmalaya, Garut, Tegal, Demak, Kudus, dan
Rembang). Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan dokumentasi, disamping
kajian literature (review). Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan (1) bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat menengah di Pantai
Utara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat berupa (a) benda cagar budaya (Menara Kudus
dan Masjid Agung Demak), (b) benda noncagar budaya, (c) makanan tradisional, (d) peralatan
tradisional, (e) motif kain batik, dan (f) permainan tradisional dan (2) berbagai bentuk
etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-konsep matematika, seperti
aturan sinus dan aturan cosinus, luas dan keliling persegi panjang, persegi, jajar genjang, dan
belah ketupat, luas permukaan dan volum kubus, prisma, limas, dan tabung, serta himpunan,
sehingga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika, baik di jenjang pendidikan
dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK).
Kata kunci: etnomatematika, budaya masyarakat, cagar budaya
A. Pendahuluan
Karakter siswa harus diperkuat secara terus menerus dengan mengintegrasikan
nilai-nilai budaya lokal dalam pembelajaran, termasuk di dalamnya pembelajaran
matematika. Dalam pandangan Knijnik (1994), matematika merupakan pengetahuan
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang untuk menghubungkan kebutuhan-
kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai etnomatematika. Pendapat Knijnik ini
bersinergi dengan Gagne (1983), yang mengklasifikasikan objek matematika ke dalam
objek langsung dan objek taklangsung. Objek langsung mencakup fakta, konsep,
prinsip, dan keterampilan. Objek taklangsung mencakup kemampuan berpikir logis,
kemampuan memecahkan masalah, bersikap positif, tekun, teliti, kerja sama, dan jujur,
yang memiliki keterkaitan dengan pembentukan karakter siswa.
Penelitian ini difokuskan pada eksplorasi bentuk-bentuk etnomatematika pada
budaya masyarakat dan relasinya dengan konsep-konsep matematika.
B. Tinjauan Pustaka
Masingila dan King (1997) mengemukakan, “Ethnomathematics refers to any form
of cultural knowledge or social activity characterictic of a social and/or cultural group,
as mathematical knowledge or mathematical activity”. Menurut Knijnik (1994),
matematika merupakan pengetahuan kebudayaan yang tumbuh dan berkembang untuk
menghubungkan kebutuhan-kebutuhan manusia, yang dikenal sebagai etnomatematika
Bishop (1994) mengungkapkan, semua pendidikan matematika formal merupakan
suatu proses interaksi kebudayaan dan setiap siswa mengalami budaya dalam proses
tersebut. Dengan demikian, pendidikan matematika formal di sekolah sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan dari berbagai fenomena kebudayaan yang melingkupinya.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 122
Freudental (1991) mengatakan, “Mathematics must be connected to reality”
(matematika harus dekat terhadap peserta didik dan harus dikaitkan dengan situasi
kehidupan sehari-hari)”.
Schoenfield (1987 dan 1992) menandaskan, “dunia budaya matematika” akan
mendorong siswa untuk berpikir tentang matematika sebagai bagian integral dari
kehidupan sehari-hari, meningkatkan kemampuan siswa dalam membuat atau
melakukan keterkaitan antar konsep matematika dalam konteks berbeda, dan
membangun pengertian di lingkungan siswa melalui pemecahan masalah matematika
baik secara mandiri ataupun bersama-sama.
Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pendidikan juga dipandang
sebagai alat untuk perubahan budaya. Proses pembelajaran di sekolah merupakan proses
pembudayaan yang formal (proses akulturasi). Proses akulturasi bukan semata-mata
transmisi budaya dan adopsi budaya tetapi juga perubahan budaya. Pembelajaran
berbasis budaya ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dewasa ini sedang marak
berkembang di banyak negara (Pannen, 2004). Teori yang mendasari strategi ini bukan
sama sekali teori baru, namun strategi ini dihadirkan untuk membawa nuansa baru
dalam proses pembelajaran. Nuansa baru tersebut hadir bukan hanya pada jenjang
operasional pembelajaran, namun juga pada perspektif budaya dan tradisi pembelajaran
itu sendiri terutama berkenaan dengan interaksi antara guru dan siswa, serta
perancangan pengalaman belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, lingkungan belajar akan berubah menjadi
lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa, yang memungkinkan guru dan
siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat
diperoleh hasil belajar yang optimal. Siswa merasa senang dan diakui keberadaan serta
perbedaannya, karena pengetahuan dan pengalaman budaya yang Sangay kaya yang
mereka miliki dapat diakui dalam proses pembelajaran. Guru berperan memandu dan
mengarahkan potensi siswa untuk menggali beragam budaya yang sudah diketahui,
serta mengembangkan budaya tersebut. Interaksi guru dan siswa akan
mengakomodasikan proses penciptaan makna dari ilmu pengetahuan yang diperoleh
dalam matapelajaran di sekolah oleh masing-masing individu (Riyanto, 2000; Primadi,
1998).
C. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian survai. Penelitian
ini dilaksanakan di Pantai Utara Provinsi Jawa Tengah (Tegal, Demak, Kudus, dan
Rembang) dan Jawa Barat (Kuningan, Tasikmalaya, dan Garut).
Secara rinci, kegiatan penelitian mencakup (1) eksplorasi bentuk-bentuk
etnomatematika pada budaya masyarakat dan (2) menganalisis relasi bentuk-bentuk
etnomatematika pada budaya masyarakat dengan konsep-konsep matematika.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan dokumentasi, disamping
kajian literature (review). Secara umum, kedua teknik tersebut (observasi dan
dokumentasi) digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi. Data yang terkumpul
dideskripsikan dalam bentuk sajian data, kemudian dianalisis (diinterpretasikan) secara
kualitatif. Dengan pendekatan ini maka analisis yang digunakan dalam tahap ini disebut
deskriptif-kualitatif.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 123
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan telah berhasil mengidentifikasi berbagai bentuk
etnomatematika di daerah penelitian (Kuningan, Tasikmalaya, Garut, Tegal, Demak,
Kudus, dan Rembang) dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran matematika di
jenjang pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK) dalam bentuk kasus,
seperti berikut ini.
a. Luas permukaan Kubus
Banyak nelayan tradisional di
Kabupaten Kuningan, Tasikmalaya,
Garut yang menggunakan lukah
(Gambar 1) untuk menangkap ikan.
Lukah berbentuk seperti bangun
ruang kubus. Alat ini masih banyak
digunakan oleh nelayan tradisional
sehingga hasil tangkapan ikannya
kecil. Lukah memiliki relasi dengan
konsep luas permukaan kubus.
b. Luas permukaan Prisma
Hampir di seluruh daerah pertanian di
Kabupaten Kuningan dijumpai saung di
tengah-tengah pesawahan. Saung
merupakan tempat berteduh (istirahat)
setelah bekerja di sawah. Gambar 2 adalah
sebuah saung dan jika diperhatikan atap
dari saung tersebut membentuk bangun
ruang prisma. Saung memiliki relasi
dengan konsep luas permukaan prisma.
c. Luas permukaan Tabung
Makanan tradisional khas Jawa Barat
yang masih dapat dijumpai di pasar-pasar
tradisional adalah getuk lindri. Getuk
lindri sangat nikmat sekali bila dimakan
sambil minum kopi hangat. Bentuk getuk
lindri dapat diidentifikasi sebagai tabung
(Gambar 3). Getuk lindri memiliki relasi
dengan konsep luas permukaan tabung.
Gambar 1. Lukah
Gambar 2. Saung
Gambar 3. Getuk Lindri
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 124
d. Aturan Sinus
Menara Kudus (Gambar 4) dibangun pada
tahun 956 H oleh Sheikh Jafar Shodiq
(Sunan Kudus) salah satu dari Wali Songo
yang menyebarkan agama Islam di Jawa.
Menara Kudus terletak 1,5 km dari pusat kota Kudus tepatnya di desa Kauman,
Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.
Menara Kudus memiliki relasi dengan
konsep aturan sinus
e. Aturan Cosinus
Masjid Agung Demak (Gambar 5)
dibangun oleh Wali Songo tahun 1478
pada masa pemerintahan Sultan Patah, dan
masih berdiri kuat sampai sekarang. Salah
satu keistimewaan arsitektur masjid ini
terletak pada bentuk tiga bangunan atap
limas, yang menunjukkan akidah islamiah
yang terdiri dari iman, islam, dan ihsan.
Atap Masjid Agug Demak memiliki relasi
dengan konsep aturan cosinus
f. Persegi panjang
Penduduk Kecamatan Talang Kabupaten
Tegal terkenal dengan kerajinan
pembuatan pagar (Gambar 6). Pagar
tersebut terbuat dari besi yang berbentuk
persegi panjang berukuran panjang pagar
2 m dan lebarnya 1 m. Bentuk pagar ini
memiliki relasi dengan konsep luas dan
keliling persegi panjang.
g. Persegi
Objek wisata pemandian air panas Guci
Kabupaten Tegal (Gambar 7) sangat
terkenal dikarenakan diyakini oleh banyak
orang dapat menyembuhkan segala
penyakit kulit. Pemandian air panas Guci
memiliki relasi dengan konsep luas dan
keliling persegi.
Gambar 3. Getuk Lindri
Gambar 4. Menara Kudus
Gambar 5. Masjid Agung
Demak
Gambar 6. Pagar
Teralis
Gambar 7. Pemandian
Guci
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 125
h. Jajar genjang
Di Kota Tegal terdapat pabrik galangan
kapal (Gambar 8). Kapal sedang
mengangkut kontruksi besi, yang berelasi
dengan konsep luas dan keliling
jajargenjang.
i. Belah Ketupat
Di Desa Debong Kecamatan Tegal
Selatan Kota Tegal sebagian besar
penduduknya menjadi pengrajin batik
Tegalan (Gambar 9). Salah satu motifnya
berelasi dengan konsep luas dan keliling
belah ketupat
j. Himpunan
Berbagai dolanan/permainan anak-anak yang berelasi dengan konsep himpunan
adalah ular tangga, betengan/curik-curik, petak umpet, dan gebok.
1) Permainan Ular Naga
Cara Bermain
a) Siswa diatur dari yang paling besar hingga yang paling kecil (untuk menjadi ular
yang panjang)
b) Dua orang siswa dengan badan yang besar dan ukuran tubuh yang hampir sama
akan dipilih menjadi penjaga pintu.
c) Permainan dimulai: sambil menyanyikan lagu curik-curik ular akan masuk kedalam
pintu penjaga berkeliling kekiri-kekanan memasuki pintu, sambil berlenggak-
lenggok nantinya setelah lirik lagu telah habis anak ular akan ditangkap oleh
penjaga, anak ular harus memilih pintu kanan atau pintu kiri.
d) Jika anak ular memilih pintu kiri maka anak ular (1 siswa) akan berbaris di belakang
penjaga pintu sebelah kiri, salah satu dari 2 orang yang menjadi penjaga pintu.
e) Jika anak ular memilih pintu kanan maka anak ular (1 siswa) akan berbaris di
belakang penjaga pintu sebelah kanan, salah satu dari 2 orang yang menjadi penjaga
pintu.
f) Demikian seterusnya hingga semua siswa habis di belakang dari penjaga pintu,
entah itu sebelah kanan atau sebelah kiri.
g) Setelah semua siap, tarik menarik antara siswa sebelah kanan dan sebelah kiri akan
dimulai, beda dengan tarik tambang dalam permainan tarik menarik ini kelompok
kanan dan kelompok kiri sebelum melewati garis akan melepas salah satu
anggotanya yang di ujung untuk menyelamatkan semua anggota kelompok dari
anggota kanan atau kiri.
Gambar 8. Galangan Kapal
Gambar 9. Batik Tegalan
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 126
2) Permainan Betengan/ Curik-curik
Cara Bermain
a) Siswa dibagi dalam dua kelompok yang sama banyak jumlah anggotanya, yaitu
sebagai regu A dan regu B. Masing-masing anggota kemudian menempati masing-
masing sarangnya di kedua ujung lapangan.
b) Perwakilan dari masing-masing regu untuk melakukan suit nntuk menentukan regu
mana ynag akan menjadi penyerang. Setelah itu, salah satu pemain dari regu A
mulai keluar dari sarang mendekati sarang lawan untuk memancing pemain lawan
untuk mengejarnya. Pihak lawan (regu B) menugaskan salah seorang pemainnya
untuk mencoba mengejar pemain yang keluar sarang tersebut.
c) Jika pemain dari regu A tersentuh oleh regu B maka pemain dari regu A menjadi
tawanan oleh regu B dan ditawan di tempat yang sudah disediakan.
d) Ganti regu B yang menang yang memulai untuk mendekati sarang lawan dan ganti
regu A yang bertugas mengejar pemain dari regu B.
e) Jika pemain dari regu B tersentuh oleh regu A maka pemain dari regu B menjadi
tawanan oleh regu A dan di tempatkan dtempat yang sudah disediakan.
f) Tawanan dapat dibebaskan oleh kawan seregunya dengan cara menyentuhnya
(dijemput) dari sarang lawan.
g) Demikian seterusnya sampai salah satu dari masing-masing regu ada yang berhasil
menyentuh sarang lawanya. Jika pemain lawan berhasil menyentuh batu yang
menjadi sarang musuh (itu menyimbolkan didudukinya markas musuh), maka
disitulah satu games berakhir, dan permainan dimenangkan oleh satu regu.
3) Permainan Petak Umpet
Cara Bermain
a) Siswa hanya akan dibagi dalam satu kelompok saja, banyak anggotanya yaitu 5-15
orang.
b) Sebelum permainan dimulai ditentukan dulu gawang jaga.
c) Untuk menentukan siapa yang menjadi penjaga gawang dilakukan hom pim pa.
d) Siswa yang menjaga gawang menutup matanya dan menghitung 1-10. Dalam
hitungan 1-10 siswa yang lain lari menvcari tempat untuk bersembunyi.
e) Setelah hitungan selesai, siswa yang menjadi penjaga gawang akan membuka mata
dan mencari lawan yang bersembunyi.
f) Siswa yang menjadi penjaga gawang harus menemukan semua lawanya yang
bersembunyi, jika semua lawanya ketemu maka siswa yang pertama ketemu
menggantikan penjaga gawang.
g) Demikian seterusnya sampai semua setuju untuk mengakhiri permainan.
4) Permainan Gebok
Cara Bermain
a) Siswa dibagi dalam dua kelompok yang sama banyak jumlah anggotanya, yaitu
sebagai regu A dan regu B.
b) Perwakilan dari masing-masing regu untuk melakukan suit untuk menentukan regu
mana yang akan main terlebih dahulu.
c) Untuk regu yang kalah suit harus menjaga batu yang sudah tertata dan regu yang
menang menjadi pelempar bola ketumpukan batu yang sudah tertata.
d) Begitu batu yang tertata rubuh, regu penjaga batu akan menangkap bola lalu
menggebok atau melempar seluruh anggota lawannya dengan bola. Untuk regu yang
melempar batu bertugas menata kembali batu yang rubuh seperti semula.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 127
e) Demikian seterusnya sampai pemain dari regu yang menang misal regu B berhasil
menata batu yang rubuh, maka disitulah satu games berakhir, dan permainan
dimenangkan oleh satu regu.
2. Pembahasan
Lukah (Gambar 1) memiliki relasi dengan konsep luas permukaan kubus. Dari
Gambar 1 dapat dibuat jarring-jaring kubus sebagaimana Gambar 10.
Gambar 10. Jaring-jaring Kubus
Luas permukaan kubus dapat ditentukan dengan mencari luas jaring-jaring kubus.
Jaring-jaring kubus terdiri atas bidang persegi.
Jumlah bangun datar persegi adalah............
Luas setiap bangun datar ........... = ...... x .....
Dengan demikian luas permukaan kubus = .................
Saung (Gambar 2) memiliki relasi dengan konsep luas permukaan prisma. Dari Gambar
2 dapat dibuat jaring-jaring pisma sebagaimana Gambar 11.
Gambar 11. Jaring-jaring Prisma
Luas permukaan prisma dapat ditentukan dengan mencari luas jaring-jaring prisma.
Luas permukaan prisma = luas segitiga + luas segitiga + luas persegi panjang +
luas persegi panjang + luas persegi panjang
= 2 x .......................... + 3 x ......................
= 2 x .......................... + 3 x ......................
Bentuk getuk lindri (Gambar 3) dapat diidentifikasi sebagai tabung. Dari Gambar 4
dapat dibuat jaring-jaring tabung sebagaimana Gambar 12.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 128
Gambar 12. Jaring-jaring Tabung
Luas permukaan tabung dapat ditentukan dengan menghitung luas jaring-jaring tabung.
Luas permukaan tabung = luas alas + luas tutup tabung + luas selimut
= ............ + ........................ + ................
= .......................
Dari Gambar 5 dapat dikemukakan, bentuk atap bagian muka Menara Kudus adalah
bangun datar segitiga. Jika a, b dan c merupakan sisi-sisi pada segitiga ABC tersebut,
maka akan berlaku rumus yang disebut “Aturan Sinus”.
Dari Gambar 6 dapat dikemukakan, bentuk atap Masjid Agung Demak bebentuk
segitiga. Jika a, b dan c merupakan sisi-sisi pada segitiga ABC tersebut, dengan AB
sebagai sisi alas dan CD sebagai tingginya, maka akan berlaku rumus yang disebut
“Aturan Cosinus”.
Relasi dolanan anak-anak (permainan ular naga) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Semua siswa menjadi semesta pembicaraan. Kelompok kiri dan kanan adalah anggota
himpunan yang saling lepas tetapi, hasil dari tarik-menarik tadi akan menjadi anggota
bersama sehingga gambar dari permainan tersebut dalam diagram Venn akan menjadi
seperti berikut.
a. Sebelum tarik menarik b. Setelah tarik menarik
c. Setelah permainan usai misalkan kelompok kanan memenangkan permainan, maka
diagram akan menjadi seperti berikut.
Dengan mengajarkan siswa materi pelajaran matematika dengan cara menggunakan
permainan tradisional banyak manfaat yang akan diperoleh. Dari siswa menjadi lebih
D C
BA
s
S
Kelompok
Kanan
Kelompok
Kiri
Kelompok
Kanan
Kelompok
Kiri
S
Kelompok Kanan
Kelompok
Kiri
S
Hasil
tarik
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 129
mengerti, siswa dapat bermain sambil belajar, dan siswa dapat belajar langsung tentang
pengaplikasian materi himpunan tersebut.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dirumuskan relasi bentuk-bentuk
etnomatematika dengan konsep-konsep matematika sebagaimana tersaji pada Tabel 1.
Perhitungan luas (daerah) segitiga dapat dilakukan dengan bantuan trigonometri.
Dengan demikian, secara konseptual materi ini dapat juga dijelaskan menggunakan
setting Menara Kudus maupun Masjid Demak. Berbagai bangunnan cagar budaya yang
merupakan etnmatematika, seperti Gereja Blenduk, Klenteng Sam Poo Kong, maupun
Candi Borobudur juga dapat dieksplorasi untuk menjelaskan penerapan konsep aturan
sinus, aturan cosinus, maupun luas (daerah) segitiga.
Etnomatematika yang berupa benda noncagar budaya dapat ditemukan pada atap
bangunan rumah Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, yang berelasi dengan
konsep luas permukaan prisma. Etnomatematika jenis ini juga ditemukan pada rumah-
rumah adat yang lain, seperti rumah adat suku Jawa (Joglo), Minangkabau, maupun
Toraja. Tabel 1. Relasi Bentuk-bentuk Etnomatematika dengan Konsep-konsep Matematika
NO BENTUK-BENTUK ETNOMATEMATIKA KONSEP-KONSEP MATEMATIKA
1 Bangunan Cagar Budaya
Menara Kudus Aturan Sinus
Masjid Agung Demak Aturan Cosinus
2 Bangunan NonCagar Budaya
Pemandian air panas Guci Luas dan keliling Persegi
Atap rumah Kampung Naga
Kabupaten Tasikmalaya
Luas permukaan prisma
3 Peralatan Tradisional
Lukah Luas permukaan kubus
Saung Luas permukaan prisma
Celepung Luas permukaan tabung
4 Motif Kain Batik dan Bordir
Batik tegalan Luas dan keliling Belah ketupat
5 Makanan Tradisional
Getuk lindri Luas permukaan tabung
6 Dolanan (Permainan) Tradisional
Ular Naga, betengan/curik-curik,
petak umpet, gebog
Himpunan
Berbagai jenis peralatan tradisional berbasis etnmatematika, seperti lukah,
celepung, maupun saung dapat digunakan untuk menjelaskan konsep luas prmukaan
kubus, tabung, maupun prisma. Perhitungan luas berkaitan dengan panjang sisi (rusuk),
alas, dan tinggi sehingga berbagai jenis peralatan tradisional ini juga dapat digunakan
untuk menjelaskan konsep volum kubus, tabung, maupun prisma.
Getuk lindri merupakan salah jenis makanan tradisional yang mudah dikenali.
Bentuk makanan ini dapat digunakan untuk menghantarkan ke pemahaman konsep luas
permukaan tabung. Dengan menghitung jari-jari dan tingginya, konsep volum tabung
dapat dipahami dengan lebih mudah.
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 130
Motif batik berkembang dengan baik di Kota Tegal. Salah satu motif batik tegalan
berupa belah ketupat, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan konsep luas belah
ketupat.
Berbagai jenis dolanan (permainan) tradisional harus dieksplorasi dengan baik agar
lebih dikenal siswa. Dolanan ular naga, betengan/curik-curik, petak umpet, dan gebog
dapat digunakan untuk menghanarkan siswa ke pemahaman konsep himpunan, seperti
gabungan dan irisan dua himpunan.
Berbagai bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-
konsep matematika, sehingga dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika,
baik di jenjang pendidikan dasar (SMP) dan menengah (SMA/SMK).
Belajar matematika berbasis etnomatematika merupakan upaya secara sadar untuk
mengintegrasikan pembelajaran matematika di sekolah dengan berbagai bentuk produk
budaya yang berada di lingkungan sekitar siswa, sehingga akan diperoleh pembelajaran
matematika yang lebih bermakna (meaningfull teaching) dan menyenangkan (joyfull
learning).
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Bentuk-bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat (Kuningan, Tasikmalaya,
Garut, Tegal, Demak, Kudus, dan Rembang) berupa (1) benda cagar budaya
(Menara Kudus dan Masjid Agung Demak), (2) benda noncagarbudaya, (3)
peralatan tradisional, (4) makanan tradisional, (5) motif kain batik, dan (6) dolanan
(permainan) tradisional.
2. Berbagai bentuk etnomatematika pada budaya masyarakat berelasi dengan konsep-
konsep matematika, seperti aturan sinus dan aturan cosinus, luas dan keliling persegi
panjang, persegi, jajar genjang, dan belah ketupat, luas permukaan dan volum
kubus, prisma, limas, dan tabung, serta himpunan sehingga dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran matematika, baik di jenjang pendidikan dasar (SMP) dan
menengah (SMA/SMK).
Saran yang diajukan adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran Berbasis Masalah (problem based learning) sebagai salah satu
pembelajaran saintifik yang diunggulkan Kurikulum 2013 hendaknya terintegrasi
dengan bentuk-bentuk etnomatematika, sehingga dapat lebih memperkuat karakter
siswa, khususnya cinta budaya sendiri.
2. MGMP Matematika di masing-masing Kabupaten/Kota hendaknya
mengembangkan berbagai kasus pemecahan masalah berbasis etnomatematika yang
diselesaikan dengan langkah-langkah Polya sebagai suplemen buku siswa yang
disusun Kemdikbud.
F. Daftar Pustaka
Bishop, A.J. 1994. Cultural Conflicts in Mathematics Education: Developing a
Research Agenda. For the Learning Mathematics, 14(2).
Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: D. Reidel
Publishing, Co
Gagne, R.M. 1983. Some Issue in Psychology of Mathematics Instruction. Journal for
Research in Mathematics Education. 14(1).
Knijnik, G. 1994. Ethno-Mathematical Approach in Mathematical Education: a Matter
of Political Power. For the Learning Mathematics, 14(1).
Eksplorasi Bentuk-Bentuk Etnomatematika dan Relasinya
ISBN 978-602-1034-06-4 131
Masingila, J.O. dan King, J. 1997. Using Etnomathematics as a Classroom Tool.
Multicultural and Gender Equity in the Mathematics Classroom. San Diego:
General Year Book Editor.
Pannen, P. 2000. Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Seni Mengajar di Perguruan
Tinggi. Jakarta: PAU-PPI. Universitas Terbuka.
Primadi, T. 1998. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar. Bandung: ITB.
Riyanto. 2000. Pemanfaatan Permainan Lokal dalam Pembelajaran Matematika di
SMP (on-going reseacrh). Bengkulu: Universitas Terbuka.
Schoenfield, AH. 1987. What’s all the fuss about metacognition? In AH Schoenfield
(Ed). Cognitive Science and Mathematics Education, Hillslide, NJ: Lawrence
Erlbaum Associates.
Schoenfield, AH. 1992. Learning to think mathematically: Problem solving,
metacognition, and sense making in mathematics, In DA Grows (Ed). Handbook of
Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM. New York: Macmilan
Publishing Company.
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 132
DISCOVERY-LEARNING DENGAN ASESMEN KINERJA UNTUK
MENINGKATKAN PENALARAN MATEMATIS
Masrukan
Jurusan Matematika, FMIPA, Unnes Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis (KPM)
materi Trigonometri melalui discovery learning dengan asesmen kinerja. Populasi
penelitian eksperimen dengan pre-post test control group design adalah siswa kelas X
AHP SMK Negeri 1Bawen tahun pelajaran 2012/2013. Dengan cluster random
sampling, diperoleh kelas AHP-D sebagai kelas eksperimen dan AHP-B sebagai kelas
kontrol. Data diperoleh dengan tes. Hasil penelitian: (1) dengan KKM 70, sebanyak
94% siswa tuntas melebihi batas ketuntasan klasikal 80%, dan (2) rata-rata KPM kelas
eksperimen 83,15 lebih baik daripada kelas kontrol 67,94, (3) terdapat peningkatan
KPM dari 63 menjadi 83,15 dengan Normalitas Gain = 0,564 (sedang).
Kata kunci: discovery learning, asesmen kinerja, penalaran matematis
A. Pendahuluan
Berdasarkan observasi awal di SMK Negeri 1 Bawen, kegiatan pembelajaran
matematika di sekolah ini dilakukan dengan metode ekspositori. Pada pembelajaran
dengan metode ekspositori, aktivitas peserta didik cenderung rendah karena
pembelajaran masih berfokus pada guru. Prestasi belajar masih kurang memuaskan
yang tampak dari perolehan nilai hasil Ujian Nasional (UN) SMP pada tingkat
kabupaten di kabupaten Semarang dengan rata-rata nilai 5,91.
Materi Trigonometri yang dianggap sulit dan membosankan apalagi kalau sudah
menyangkut aplikasi penggunaan rumus-rumusnya yang membutuhkan kemampuan
berpikir logis, ini mengakibatkan hasil belajar peserta didik pada materi Trigonometri
rendah. Padahal trigonometri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matematika,
untuk itu peserta didik perlu memahami, sehingga tidak terjadi salah konsep dalam
penerapannya. Menurut Orhun (2008) kesalahan peserta didik sangat sistematis. Hal ini
terlihat pada tingkat pembentukan hubungan antara sudut dan segitiga. Peserta didik
kurang memperhatikan pada saat proses pembelajaran. Oleh sebab itu, penyampaian
materi ini membutuhkan suatu perangkat pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik sehingga juga meningkatkan
kemampuan berpikir.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan eksperimen pembelajaran
matematika dengan model discovery learning(DL) dengan asesmen kinerja pada materi
trigonometri kelas X di SMK Negeri 1 Bawen. Model pembelajaran tersebut dapat
membantu meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik dalam
pembelajaran matematika di kelas terutama pada materi trigonometri yang berfokus
pada aturan sinus, aturan cosinus, dan luas segitiga.
B. Tinjauan Pustaka
Menurut Sund, penemuan adalah proses mental di mana peserta didik mampu
mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut ialah mengamati,
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 133
mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001).
Penilaian terhadap performance dapat diartikan penilaian formatif jangka panjang
(Joni, 1981). Penilaian ini dilakukan dengan mengkonsepsikan kriteria semakin jauh
menjangkau ke depan dan meletakkan dasar bagi pembinaan serta penyempurnaan
sistem secara terus menerus. Penilaian unjuk kerja perlu mempertimbangkan hal-hal 1)
langkah-langkah kinerja yang diharapkan dilakukan peserta didik untuk menunjukkan
kinerja dari suatu kompetensi, 2) kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai
dalam kinerja tersebut, 3) kemampuan-kemampuan khusus yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas, 4) upayakan kemampuan yang akan dinilai tidak terlalu banyak,
sehingga semua dapat diamati, 5) kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan
urutan yang akan diamati.
Menurut Shurter dan Pierce (dalam Aditya, 2009) penalaran adalah sebagai proses
pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Sumaryono
(1999: 75-76) menyatakan penalaran adalah sebuah proses mental dimana peserta didik
(melalui akal budi) bergerak dari pengetahuan yang peserta didik telah ketahui menuju
ke pengetahuan yang baru (hal yang belum peserta didik ketahui) atau peserta didik
bergerak dari hal yang telah peserta didik miliki menuju ke pengetahuan yang baru yang
berhubungan dengan pengetahuan yang telah peserta didik miliki tersebut.
Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika. Peningkatan kemampuan
bernalar para peserta didik selama proses pembelajaran matematika di kelas menjadi
sangat penting dan menentukan keberhasilan mereka dan bangsa ini di masa depan.
Tujuan pertama pembelajaran matematika adalah melatih cara berfikir dan bernalar
dalam menarik kesimpulan (Shadiq, 2009:2).
Kemampuan bernalar peserta didik dalam pelajaran matematika perlu
dikembangkan agar peserta didik mampu berpikir logis. Penalaran matematika ini dapat
dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut, yaitu: (1)
mengajukan dugaan (Conjecture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran
suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (4) memeriksa
kesahihan suatu argumen, (5) menemukan pola pada suatu gejala matematis, dan (6)
memberikan alternatif bagi suatu argumen.
Menurut Baroday (dalam Jacob, 2000) ada tiga tipe utama penalaran sebagai
berikut, yaitu: penalaran intuitif, penalaran induktif, dan penalaran deduktif. Pertama
penalaran intuitif yaitu penalaran yang memerlukan suatu pengetahuan siap atau main
terka. Seringkali, peserta didik tidak dapat melakukan semua informasi yang diperlukan
untuk suatu pengambilan keputusan dan dengan demikian peserta didik mendasarkan
keputusan peserta didik pada apakah tepat ataukah pada suatu perasaan yang mendalam.
Penalaran intuitif mendasarkan suatu konklusi pada apakah perasaan itu benar (suatu
asumsi).
Kedua, penalaran induktif, menurut Poespoprodjo dan Gilarso (2006) penalaran
induktif adalah penarikan kesimpulan yang umum atas dasar pengetahuan tentang hal-
hal yang khusus. Menurut Jacob (2000) penalaran induktif meliputi pemahaman atau
regularitas. Penalaran induktif dimulai dengan menguji contoh-contoh khusus dan
berperan untuk menggambarkan konklusi umum. Dengan kata lain penalaran induktif
memerlukan pengamatan contoh-contoh khusus dan tajam (yang menyebabkan) suatu
pola utama atau aturan.
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 134
Ketiga penalaran deduktif, menurut Jacob (2000: 3) penalaran deduktif merupakan
suatu konklusi yang perlu diikuti dari apa yang peserta didik ketahui, peserta didik
dapat mengeceknya secara langsung. Penalaran deduktif dimulai dengan premis
(proporsi umum) yang mutlak untuk suatu konklusi tentang suatu contoh khusus.
Penalaran deduktif meliputi: menggambarkan suatu konklusi yang perlu di ikuti dari apa
yang diberikan yang dimulai dari aturan umum kepada suatu konklusi tentang suatu
kasus khusus.
Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical
reasoning. Brodie(2010) menyatakan bahwa penalaran matematis adalah penalaran
mengenai objek matematika, dalam hal ini adalah cabang-cabang matematika yang
dipelajari seperti statistika, aljabar, trigonometri dan sebagainya.
NCTM sebagai lembaga yang representasi dalam merancang standar pembelajaran
matematika di Amerika menetapkan bahwa penalaran dan pembuktian (reasoning and
proof) merupakan standar proses yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika
disamping standar proses yang lainnya. Kemampuan penalaran matematis dianggap
sebagai kemampuan yang penting dalam pembelajaran dan dianggap sebagai salah satu
tujuan dalam pembelajaran yag mesti dicapai oleh setiap peserta didik.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kemampuan penalaran matematis di atas
maka definisi kemampuan penalaran matematis pada penelitian ini sebagai kemampuan
peserta didik untuk merumuskan kesimpulan atau pernyataan baru berdasarkan pada
beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya,
yang ditandai dengan tujuh indikator sebagai berikut, yaitu: (1) kemampuan menyajikan
pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram; (2) kemampuan
mengajukan dugaan; (3) kemampuan melakukan manipulasi matematika; (4)
kemampuan menyusun bukti, memberikan alasan terhadap suatu solusi; (5) kemampuan
menarik kesimpulan dari pernyataan; (6) kemampuan memeriksa kesahihan suatu
argumen; (7) kemampuan menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk
membuat generalisasi.
Kemampuan bernalar peserta didik dalam pelajaran matematika perlu
dikembangkan agar peserta didik mampu berpikir logis. Penalaran matematika ini
dapat dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator sebagai berikut, yaitu: (1)
mengajukan dugaan (conjecture), (2) memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran
suatu pernyataan, (3) menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, (4) memeriksa
kesahihan suatu argumen, (5) menemukan pola pada suatu gejala matematis, dan (6)
memberikan alternatif bagi suatu argumen.
Brodie (2010) menyatakan bahwa penalaran matematis adalah penalaran mengenai
dan objek matematika. Objek Matematika dalam hal ini adalah cabang-cabang
matematika yang dipelajari seperti statistika, aljabar, trigonometri dan sebagainya.
Materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan yaitu materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran
dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Hasil belajar siswa dianalisis
untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. Nilai tes akhir diuji ketuntasan belajarnya
dengan diuji rata-rata hasil belajarnya dengan uji t satu pihak yaitu pihak kanan dan uji
proporsi dengan uji z satu pihak yaitu pihak kanan. Nilai tes akhir kemudian dianalisis
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 135
perbedaaan rata-ratanya dengan uji perbedaan rata-rata yaitu uji t satu pihak dengan
pihak kanan. Pada uji perbedaan rata-rata ini digunakan rumus:
dengan = rata-rata kelompok pertama, = rata-rata kelompok kedua, =
banyaknya kelompok pertama, = banyaknya kelompok kedua, dan s= simpangan
baku kedua kelompok (Sudjana, 2005).
Nilai t kemudian dibandingkan dengan t tabel yaitu dengan α =
5%. Jika maka hasil belajar kelas eksperimen lebih baik dibanding hasil
belajar kelas kontrol. Jika maka berlaku sebaliknya (Sudjana, 2005).
D. Hasil dan Pembahasan
Pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat persamaan dan
pebedaan. Persamaannya pada guru matematika pada kedua kelas tersebut dan
perbedaannya terletak pada model pembelajaran yang digunakan pada saat
pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif, jika: (1) kemampuan penalaran
matematis siswa mencapai batas tuntas, (2) kemampuan penalaran matematis siswa
yang menerima pelajaran menggunakan model DL dengan asesmen kinerja, lebih tinggi
dari model ekspository, dan (3) kemampuan penalatan matematis siswa setelah
menerima pembelajrana dengan model DL dan asesmen kinerja lebih tinggi dari yang
sebelum menggunkan model DL dengan asesmen kinerja.
Ketuntasan belajar secara individu pada peserta didik didasarkan pada Kriteria
Ketuntasan Minimum (KKM). Kemampuan penalaran matematis secara individu
minimal mencapai KKM yang sudah ditentukan yaitu 65. Dalam penelitian ini apabila
proporsi peserta didik yang mendapatkan nilai minimal sama dengan 65 sebanyak 80%
maka dapat dikatakan bahwa belajar di kelas ini dinyatakan tuntas. Ketuntasan belajar
disini adalah ketuntasan terhadap kemampuan penalaran matematis peserta didik. Uji
ketuntasan belajar diambil dari nilai TKPM pada akhir pembelajaran dengan hasil
perhitungan seperti Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Proporsi Satu Pihak
Kelas N Persentase ketuntasan (π)
ztabel
Eksperimen 34 100 % 2,92 1,64
Kontrol 34 68 % -1,80 1,64
Pada kelas Eksperimen didapatkan zhitung= 2,92 dan ztabel yaitu 1,64 dengan tingkat
kesalahan 5% maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa proporsi peserta
didik pada kelas eksperimen yang mencapai KKM lebih dari 80%. Pada kelas kontrol
didapatkan zhitung= -1,80 dan ztabel yaitu 1,64 dengan tingkat kesalahan 5% maka H0
diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proporsi peserta didik kelas kontrol yang
mencapai KKM kurang dari atau sama dengan 80%.
Hasil rata-rata TKPM peserta didik pada kelas eksperimen melampaui KKM
sebesar 65. Seluruh siswa (80% lebih) peserta didik di kelas tersebut telah melampaui
.11
21
21
nns
xxt
1x2x
1n
2n
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 136
nilai KKM. Dari 2 hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketuntasan belajar di
kelas eksperimen tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa secara nyata keberhasilan proses
pembelajaran menggunakan model DL dengan performance assessment yang sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Susiana (2011). Keberhasilan ini disebabkan karena
pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan
menuntut peserta didik untuk mengkonstruk pemikirannya sendiri dalam hal
menemukan suatu konsep, menggunakan konsep tersebut untuk mennemukan konsep
lain dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep yang telah
ditemukan. Dalam pembelajaran model DL dengan performance assessment dapat
meningkatkan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran.
Untuk menguji perbedaan nilai rata-rata peserta didik dalam pembelajaran dengan
model DL dengan asesmen kinerja dengan nilai peserta didik dalam model
pembelajaran ekspository. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata
No. Kelas N s2 t hitung t tabel
1. Eksperimen 34 83,15 55,40 7,62 2,00
2. Kontrol 34 68 80,00
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh thitung = 7,62dengan dk = 34+34-2 = 74 dan taraf
signifikan 5%, dari daftar distribusi student diperoleh ttabel = 2,00. Karena
maka Ho ditolak sehingga rata-rata TKPM kelas eksperimen lebih baik dibandingkan
dengan kelas kelas kontrol.
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran matematis, masing-masing
peserta didik berdasarkan pretes dan postes menggunakan persamaan sebagai berikut.
(Hake, 1998)
Kriteria perolehan nilai Gain Ternormalisasi (g) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria Perolehan Normalitas Gain (g)
(g) Keterangan
(g) < 0,30
0,30 ≤ (g) < 0,70
(g) ≤ 0,70
Rendah
sedang
tinggi
Sumber: Hake (1998)
Nilai rata-rata postes adalah 83 sedangkan nilai rata-rata pretes adalah 61 sehingga
diperoleh g =0,564 yang artinya kemampuan penalaran matematis peserta didik
meningkat dalam kategori sedang.
Pembelajaran pada kelas eksperimen dengan model DL dan asesmen kinerja
menghasilkan proses pengerjaan yang terarah sehingga sampai pada kesimpulan
jawaban yang runtut dan terstruktur. Proses ini berhasil menanamkan sikap inkuiri pada
peserta didik seperti terlihat pada Gambar 1 sampai 3.
x
tabelhitung tt
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 137
Gambar 1 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (1)
Gambar 2 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (2)
Gambar 3 Jawaban Seorang Siswa Kelas Eksperimen (3)
Penemuan terbimbing seperti hasil di atas memberikan kerangka bagi pembelajaran
peserta didik melalui penyediaan hasil pembelajaran yang membuat peserta didik
mempunyai rasa tanggung jawab untuk megeksplorasi konten yang diperlukan untuk
pemahaman melalui belajar mandiri. Ditambah pemahaman melalui penemuan
terbimbing diperkuat melalui penerapan dalam orientasi masalah, tugas, dan pekerjaan
yang berhubungan dengan pengalamannya.
Discovery-Learning dengan Asesmen Kinerja untuk
ISBN 978-602-1034-06-4 138
Oberg (2005) menyatakan bahwa peserta didik memerlukan penilaian otentik,
untuk itu guru harus mampu melakukan penilaian yang memadai dan tepat.
Pelaksanaan model pembelajaran terbimbing dengan asesmen kinerjaterbukti efektif.
Hal ini terlihat dari hasil tes kemampuan penalaran matematis. Proses pengerjaan yang
terarah sehingga sampai pada kesimpulan jawaban yang runtut dan terstruktur. Proses
ini berhasil menanamkan sikap inkuiri pada peserta didik.
Selain menumbuhkan sikap inkuiri, pembelajaran model DL dengan asesmen
kinerja juga meningkatkan kemampuan problem solving peserta didik. Keenam langkah
yang dilakukan oleh peserta didik lama membekas karena pada proses pembelajaran
peserta didik memfokuskan pembelajaran pada unjuk kerja peserta didik. DL seperti
hasil di atas memberikan kerangka bagi pembelajaran peserta didik melalui penyediaan
hasil pembelajaran yang membuat peserta didik mempunyai rasa tanggung jawab untuk
megeksplorasi konten yang diperlukan untuk pemahaman melalui belajar mandiri.
Pemahaman melalui DL diperkuat melalui penerapan dalam orientasi masalah, tugas,
dan pekerjaan yang berhubungan dengan pengalamannya.
E. Simpulan dan Saran
Hasil analisis terhadap keefektifan pembelajaran tersebut telah mencapai indikator
efektif, yaitu (1) pembelajaran menggunakan model DL dengan asesmen kinerja tuntas,
(2) rata-rata KPM kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol, dan (3) terdapat
peningkatan rata-rata KPM pretes-postes dalam kategori sedang.
Disarankan kepada pendidik yang akan menerapkan pembelajaran model DL
dengan asesmen kinerja untuk menyiapak panduan atau acuan penemuan dapat berupa
lembar kerja siswa agar pembelajaran lebih terarah.
F. Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Brodie, K. 2010. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom.
New York: Springer.
Joni, T. R. 1986. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Ditjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud.
Oberg, C. 2005. Guiding Classroom Instruction Through Asesmen kinerja. Journal of
Case Studies in Accreditation and Assessment. University of La Verne.
Orhun, N. 2008. Student’s Mistakes and Misconceptions on Teaching of Trigonometry.
Journal Anadolu University Science Faculty Mathemathics Department 26470
Eskiºehir-TURKEYe-mail: [email protected].
Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito..
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: AlfaBeta.
Susiana, E. 2011. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Ideal Problem
Solving Berbantuan Puzzquare Materi Luas Daerah Segiempat Kelas VII.Tesis.
Semarang: Program Pascasarjana Unnes.
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 139
IMPLEMENTASI BRAIN-BASED LEARNING BERBANTUAN
WEB TERHADAP PENINGKATAN SELF EFFICACY
MAHASISWA
Nuriana Rachmani Dewi (Nino Adhi) Pendidikan Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Pembelajaran di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk mempunyai kemampuan
kognitif maupun kemampuan afektif. Salah satu kemampuan afektif yang penting dimiliki
oleh mahasiswa adalah self efficacy agar dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu
menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan pada umumnya atau tugas
matematik pada khususnya. Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang
mengoptimalkan kerja otak manusia, di mana pembelajaran tersebut dapat memfasilitasi
semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan berbeda yang terangkum dalam gaya
pembelajaran yang sama serta berpusat pada peserta didik dalam hal ini mahasiswa.
Sedangkan website yang di dalamnya terdapat forum komunikasi mahasiswa, dapat
memudahkan mahasiswa berdiskusi di luar jam perkuliahan. Penggunaan forum komunikasi
mahasiswa ini dimaksudkan agar mahasiswa yang masih merasa malu jika mengungkapkan
pendapat secara langsung di dalam kelas bisa menggunakan forum ini dengan lebih optimal.
Penelitian dilakukan di Jurusan Matematika UNNES pada mata kuliah Kalkulus 2. Sampel
diambil 2 kelas, satu sebagai kelas kontrol dan satu sebagai kelas eksperimen. Mahasiswa
diberikan skala self efficacy sebelum terjadinya perkuliahan dan setelah rangkaian
perkuliahan selesai. Skor self efficacy mahasiswa sebelum perkuliahan antara kelas kontrol
dan kelas eksperimen menunjukkan hasil yang tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa
keadaan self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum terjadinya
perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah terjadi perkuliahan dengan Brain-Based
Learning Berbantuan Web untuk kelas eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada
kelas kontrol, kedua kelas menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self efficacy
mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen menunjukkan
peningkatan yang lebih besar di banding dengan kelas kontrol.
A. Pendahuluan
Pembelajaran di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk mempunyai
kemampuan kognitif maupun kemampuan afektif. Salah satu kemampuan afektif yang
penting dimiliki oleh mahasiswa adalah self efficacy yang merupakan salah satu
komponen dan faktor kritis dari kemandirian belajar (self-regulated learning).
Mahasiswa perlu dibekali kemampuan self efficacy dengan baik agar dapat memiliki
keyakinan bahwa dirinya mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah
kehidupan pada umumnya atau tugas matematik pada khususnya.
Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak
manusia. Seperti yang telah diketahui bahwa pembelajaran yang baik adalah
menganggap peserta didik dalam hal ini mahasiswa sebagai individu yang unik dengan
tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Selain itu di dalam UU No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan
perguruan tinggi adalah pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa yang
memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang. Brain-Based Learning dapat
memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda tersebut
terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta berpusat pada peserta didik dalam
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 140
hal ini mahasiswa. Setiap mahasiswa dapat mengungkapkan pendapat baik di dalam
diskusi kelompok maupun diskusi dalam kelas, untuk kemudian ditanggapi oleh
mahasiswa lain. Hal ini diharapkan dapat membuat self efficacy mahasiswa sedikit demi
sedikit meningkat secara signifikan.
Pembelajaran berbantuan Website adalah suatu pembelajaran yang menggunakan
bantuan website sebagai medianya. Salah satu ciri dari pembelajaran berbantuan
Website adalah belajar insidental. Penggunaan Website yang di dalamnya terdapat
forum komunikasi mahasiswa, dapat memudahkan mahasiswa berdiskusi di luar jam
perkuliahan. Penggunaan forum komunikasi mahasiswa ini dimaksudkan agar
mahasiswa yang masih merasa malu jika mengungkapkan pendapat secara langsung di
dalam kelas bisa menggunakan forum ini dengan lebih optimal. Diskusi ini dapat
menanyakan tentang materi perkuliahan yang telah dilaksanakan, tugas ataupun materi
perkuliahan yang akan dilaksanakan. Diskusi dalam forum komunikasi mahasiswa ini
dipantau oleh dosen pengampu mata kuliah, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi
adanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara tepat oleh mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan membahas tentang Implementasi Brain-
Based Learning Berbantuan Web Terhadap Peningkatan Self Efficacy Mahasiswa.
B. Tinjauan Pustaka
1. Self Efficacy
Self efficacy terdiri dari kata self yang diartikan sebagai unsur struktur kepribadian,
dan efficacy yang berarti penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik
atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuatu sesuai dengan
yang dipersyaratkan (Alwisol, 2010). Namun dari berbagai macam pendapat para ahli,
self efficacy pada prakteknya sinonim dengan “keyakinan diri”. Self efficacy merupakan
salah satu komponen dari self regulated (kemandirian) (Schunk & Ertmer, 2000).
Dalam setting akademik, instrumen dari self efficacy adalah untuk mengukur
kepercayaan diri individu, antara lain dalam menyelesaikan masalah matematika yang
spesifik (Hackett dan Betz, 1989), kinerja dalam tugas menulis atau membaca (Shell,
Colvin, dan Bruning, 1995), atau keterlibatan dalam strategi kemandirian belajar
tertentu (self regulated learning) (Bandura, 1989).
Adapun aspek-aspek self efficacy dan indikatornya dapat dilihat dalam tabel
berikut. Tabel 1. Aspek dan Indikator Self Efficacy
Aspek Self Efficacy Indikator
Pengalaman Otentik
1) Merasa mampu menyelesaikan tugas matematika yang diberikan
kepadanya.
2) Selalu berusaha untuk meyelesaikan tugas matematika apapun.
Pengalaman orang lain
1) Berusaha mencari dan mau menerima bantuan jika menghadapi
kesulitan dalam menyelesaikan masalah atau tugas metematika.
2) Merasa menguasai materi yang diberikan guru atau dosen.
3) Mampu dan mau berdiskusi tentang materi atau masalah
matematika.
Aspek Dukungan
Langsung atau Sosial
1) Senang mendapatkan pujian jika berhasil menyelesaikan sesuatu.
2) Berani bertanya dan mengungkapkan pendapat.
3) Merasa dapat lebih berkembang dengan dorongan dari orang lain.
Aspek Psikologis Dan
Afektif
1) Tidak Mudah Putus Asa.
2) Percaya Diri
3) Berpartisipasi Aktif
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 141
2. Brain- Based Learning
Brain-Based Learning adalah suatu pembelajaran yang berdasarkan struktur dan
cara kerja otak, sehingga kerja otak dapat optimal. Otak dikatakan bekerja secara
optimal jika semua potensi yang dimilikinya dapat teroptimalkan dengan baik.
Pembelajaran berbasis kemampuan kerja otak mempertimbangkan apa yang sifatnya
alami bagi otak manusia dan bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan karena
sebagian besar otak kita terlibat dalam hampir semua tindakan pembelajaran (Jensen,
2008).
Brain-Based Learning dapat memfasilitasi semua mahasiswa dengan tingkat
kecerdasan yang berbeda tersebut terangkum dalam gaya pembelajaran yang sama serta
berpusat pada mahasiswa (Cigman & Davis, 2008). Hal ini bersesuaian dengan
pendapat Wilson & Spears (2009) yang menyatakan Brain-Based Learning adalah suatu
pendekatan yang menyeluruh terhadap pembelajaran yang berdasar pada kerja otak
yang menyarankan otak kita belajar secara alami. Sehingga diharapkan dengan
menggunakan Brain-Based Learning, self efficacy mahasiswa dapat juga berkembang
secara optimal.
Menurut Caine & Caine (1990) Brain-Based Learning bekerja berdasarkan pada 12
prinsip, yaitu (1) Otak merupakan prosesor paralel; (2) Belajar melibatkan seluruh
fisiologi tubuh; (3) Pencarian makna merupakan bawaan; (4) Pencarian makna terjadi
melalui pembentukan pola; (5) Emosi merupakan hal yang penting dalam pembentukan
pola; (6) Proses di dalam otak berlangsung secara simultan; (7) Pembelajaran
melibatkan perhatian yang dipusatkan pada tanggapan sekitar; (8) Belajar melibatkan
proses yang disadari maupun tidak disadari; (9) Individu memiliki paling sedikit dua
tipe memori yaitu sistem memori spasial dan sepasang sistem memori untuk belajar
hafalan; (10) Otak memahami dan mengingat paling baik ketika fakta dan skill
dikaitkan dengan kehidupan nyata; (11) Pembelajaran dapat ditingkatkan dengan
tantangan dan pembelajaran harus dihindarkan dari ancaman; serta (12) Setiap otak
bersifat unik.
Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut.
a. Pra Pemaparan
Dosen memajang peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan
apersepsi di web sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya beberapa hari sebelum
terlaksananya perkuliahan. Hal ini dapat membuat mahasiswa lebih siap dalam
perkuliahan sehingga self efficacy mahasiswa meningkat.
b. Persiapan
Tahap persiapan ini adalah tahap awal terlaksananya perkuliahan, dosen dapat
mengaitkan materi dengan kejadian sehari-hari.
c. Inisiasi dan akuisisi
Dosen memberikan masalah yang dikerjakan mahasiswa secara berkelompok.
Masalah yang diberikan oleh dosen disajikan melalui sebuah tayangan yang dapat
diakses melalui website.
d. Elaborasi
Pada tahap elaborasi ini otak diberikan kesempatan untuk menyortir, menyelidiki,
menganalisis, menguji dan memperdalam pembelajaran. Mahasiswa akan
mendiskusikan cara-cara atau strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
dengan anggota kelompoknya. Kemudian mengungkapkan hasil diskusi tersebut ke
seluruh anggota kelas untuk diberikan masukan atau sanggahan. Mahasiswa dapat
melatih dirinya dalam mengungkapkan pendapat pada skala kecil terlebih dahulu yaitu
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 142
kepada mahasiswa lain dalam satu kelompok kemudian dilanjutkan ke skala yang lebih
besar yaitu kepada semua mahasiswa di dalam kelas. Dalam tahap ini upaya
peningkatan self efficacy dilakukan dalam proses penyelesaian masalah serta
menyampaikan pendapat, gagasan dan atau sanggahan dalam diskusi baik di dalam
kelompok atau saat pemaparan di depan kelas.
e. Inkubasi dan Formasi memori
Pada tahap ini mahasiswa diistirahatkan otaknya sebentar sambil mendengarkan
musik dan menyelesaikan soal-soal yang relatif mudah. Soal-soal disajikan secara
interaktif di website dengan diiringi musik selama siswa menyelesaikannya. Dalam
tahap ini upaya peningkatan self efficacy dilakukan dalam proses penyelesaian soal-soal
tersebut.
f. Verifikasi atau Pengecekan Keyakinan
Pada tahap ini dosen mengecek kembali pemahaman mahasiswa terhadap materi
dengan memberikan soal yang agak rumit untuk dikerjakan secara individual dengan
diiringi musik. Dalam tahap ini upaya peningkatan self efficacy juga dilakukan.
g. Perayaan dan Integrasi
Pada tahap ini mahasiswa bersama-sama dengan dosen menyimpulkan materi yang
baru saja dipelajari. Kemudian diberikan suatu perayaan kecil atas keberhasilan
pembelajaran pada perkuliahan hari itu. Dalam tahap ini upaya peningkatan self efficacy
juga dilakukan ketika mahasiswa mengungkapkan pendapatnya dalam proses
pengambilan kesimpulan.
(Jensen, 2008:484)
3. Pembelajaran Berbantuan Web
Kurikulum terbaru yaitu Kurikulum 2013 menyatakan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) atau Information Communication Technology (ICT) sebagai media
semua mata pelajaran (Kemendikbud, 2012:24). Dengan adanya penggunaan ICT
sebagai media pembelajaran, mahasiswa maupun dosen dapat mempunyai kesempatan
yang sama untuk mengakses semua informasi yang relevan sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan serta dapat mengurangi keterbatasan-keterbatasan dalam pembelajaran
tanpa menggunakan ICT. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain kemungkinan
terjadinya salah penafsiran atau pembelajaran monoton. Penggunaan ICT juga dapat
membuat mahasiswa lebih mudah mengungkapkan pendapat secara online tanpa
dihinggapi perasaan malu.
Dengan menggunakan pembelajaran berbantuan Web ini, dosen dapat mengunggah
peta konsep, tujuan pembelajaran dan beberapa pertanyaan apersepsi dalam suatu situs
atau Web, sehingga mahasiswa dapat mengaksesnya sebelum perkuliahan berlangsung.
Hal ini dapat membuat mahasiswa lebih siap dalam menghadapi perkuliahan, sehingga
self efficacy mahasiswa dapat meningkat. Selain itu penggunaan web untuk mengakses
masalah dan soal-soal latihan dalam pembelajaran dapat membuat masalah dan soal
tersebut lebih “hidup”, artinya jika masalah disampaikan melalui multimedia (gabungan
bunyi, video, animasi, teks, grafik) akan lebih mudah dipahami oleh mahasiswa
dibandingkan hanya sekedar disampaikan melalui tulisan dan gambar saja. Hal ini
sesuai dengan pendapat Noor Azlan Ahmad Zanzali, Noraziah bt Kassim dalam
Sharizah (2010) yang menemukan bahwa penggunaan ICT membantu siswa mengaitkan
matematika dengan kehidupan sehari-hari. Ini berarti mahasiswa dapat mengaplikasikan
materi yang dipelajari dan menjadikan sesuatu pembelajaran menjadi lebih bermakna
serta dapat mengulangnya sesering yang mereka mau baik saat perkuliahan berlangsung
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 143
maupun setelahnya. Akibatnya mahasiswa lebih memahami materi yang dipelajari
sehingga self efficacy mahasiswa meningkat.
C. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Program Studi Matematika pada salah satu perguruan tinggi
negeri di Jawa Tengah pada mata kuliah Kalkulus 2. Sampel diambil 2 kelas, satu
sebagai kelas kontrol dan satu sebagai kelas eksperimen.
2. Desain Penelitian
Desain dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
O_____________X____________ O
O___________________________O Gambar 1. Desain Penelitian (diadopsi dari Creswell, 2010:243)
Keterangan:
O : Pemberian skala self efficacy.
X : Pemberian Brain-Based Learning Berbantuan Web
Mahasiswa pada kelas eksperimen memperoleh Brain-Based Learning Berbantuan
Web sedangkan mahasiswa kelas kontrol memperoleh pembelajaran seperti pada
perkuliahan biasanya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan Brain-
Based Learning Berbantuan Web, sedangkan sebagai variabel terikatnya adalah self
efficacy mahasiswa.
3. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self efficacy yang
memuat indikator-indikator self efficacy serta ciri khusus Brain-Based Learning
Berbantuan Web yang telah valid dan reliabel.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala self efficacy dan
pengamatan selama perkuliahan berlangsung.
5. Teknik Analisis Data
a. Setelah pemberian skala self efficacy sebelum perkuliahan. Skor self efficacy yang
diberoleh diuji beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20 untuk mengetahui
kesamaan keadaan awal kedua kelas.
b. Skor self efficacy yang diperoleh setelah perkuliahan dari kedua kelas, dianalisis uji
beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20 untuk mengetahui pencapaian self
efficacy mahasiswa.
c. Untuk menguji perbedaan peningkatan self efficacy dari kedua kelas, terlebih
dahulu skor self efficacy sebelum dan sesudah perkuliahan digunakan untuk
mencari nilai masing-masing. Adapun rumus mencari adalah
sebagai berikut.
Kriteria interpretasinya adalah
g > 0,7 : tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 : sedang
g ≤ 0,3 : rendah (Hake, 1999).
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan peningkatannya nilai
dianalisis uji beda dengan bantuan sofware SPSS versi 20.
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 144
Hasil rata-rata skor skala self efficacy sebelum perkuliahan pada kelompok kontrol
sebesar 115,359 sedangkan untuk kelas eksperimen sebesar 117,0833. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig
untuk F adalah 0,013<0,050 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang
mempunyai varians berbeda dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,386>0,050
jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor self
efficacy mahasiswa pada kelas kontrol dan eksperimen sebelum perkuliahan
berlangsung.
Rata-rata skor self efficacy pada kelas kontrol sebelum perkuliahan dan sesudah
perkuliahan berlangsung berturut-turut adalah 115,359 dan 122,462. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig
untuk F adalah 0,864>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang
mempunyai varians sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,000<0,05 jadi
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy
mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan pada kelas kontrol.
Rata-rata skor self efficacy pada kelas eksperimen sebelum perkuliahan dan sesudah
perkuliahan berlangsung berturut-turut adalah 117,083 dan 126,528. Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig
untuk F adalah 0,718>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang
mempunyai varians sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,000<0,05 jadi
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy
mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan pada kelas kontrol.
Pencapaian self efficacy mahasiswa dihitung dengan membandingkan skor self
efficacy sesudah perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen dengan
menggunakan bantuan SPSS versi 20, didapatkan hasil nilai sig untuk F adalah
0,052>0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang mempunyai varians
sama dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,037<0,050 jadi dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor self efficacy mahasiswa sesudah
perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Perbedaan peningkatan self efficacy mahasiswa antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen dihitung dengan membandingkan nilai pada kelas tersebut.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS versi 20 didapatkan hasil nilai sig
untuk F adalah 0,002<0,05 sehingga diasumsikan data diambil dari populasi yang
mempunyai varians berbeda dan didapatkan nilai sig untuk uji t sebesar 0,013<0,05 jadi
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara peningkatan skor self
efficacy pada kelas kontrol dan eksperimen.
D. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa skor self efficacy mahasiswa sebelum
perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen menunjukkan hasil yang tidak
berbeda, hal ini menunjukkan bahwa keadaan self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan
kelas eksperimen sebelum terjadinya perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah
terjadi perkuliahan dengan Brain-Based Learning Berbantuan Web untuk kelas
eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada kelas kontrol, kedua kelas
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self efficacy mahasiswa sebelum dan
sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen menunjukkan peningkatan yang lebih
besar di banding dengan kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai
kelas kontrol dan kelas eksperimen yang berturut-turut sebesar 0,079 dan
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 145
0,107. Selain itu berdasarkan uji statistik keduanya juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
Hal ini disebabkan oleh langkah-langkah dalam Brain-Based Learning Berbantuan
Web yang membuat mahasiswa terbiasa untuk mengungkapkan pendapat dan
membangun sendiri pengetahuannya. Pada perkuliahan pertemuan awal, banyak
keluhan dari mahasiswa yang merasa malas untuk menemukan sendiri materi
perkuliahan. Mahasiswa merasa lebih baik materi langsung diberikan oleh dosen
sehingga mahasiswa tinggal mempelajarinya. Namun pada pertemuan-pertemuan
selanjutnya mahasiswa mulai merasakan manfaat dari menemukan sendiri suatu materi.
Mahasiswa merasa lebih yakin terhadap dirinya sendiri karena pengalaman yang telah
didapatkan saat menemukan materi, serta merasa materi lebih mudah diingat dan
dipahami jika ditemukan sendiri oleh mahasiswa.
E. Simpulan dan Saran
Skor self efficacy mahasiswa sebelum perkuliahan antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen menunjukkan hasil yang tidak berbeda, hal ini menunjukkan bahwa keadaan
self efficacy mahasiswa kelas kontrol dan kelas eksperimen sebelum terjadinya
perkuliahan dalam kondisi yang sama. Setelah terjadi perkuliahan dengan Brain-Based
Learning Berbantuan Web untuk kelas eksperimen dan pembelajaran seperti biasa pada
kelas kontrol, kedua kelas menunjukkan perbedaan yang signifikan pada skor self
efficacy mahasiswa sebelum dan sesudah perkuliahan. Namun kelas eksperimen
menunjukkan peningkatan yang lebih besar di banding dengan kelas kontrol. Hal ini
ditunjukkan dengan rata-rata nilai kelas kontrol dan kelas eksperimen yang
berturut-turut sebesar 0,079 dan 0,107. Selain itu berdasarkan uji statistik keduanya juga
menunjukkan perbedaan yang signifikan pula.
F. Daftar Pustaka
Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Bandura. 1989. Human agency in social cognitive theory. American Psychologist, 44.
[Online]. Tersedia: http://www.des.emory.edu/mfp/Bandura 1989.pdf
Bandura. 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and
Company.
Caine, R.N & Caine, G. 1990. Understanding a Brain-Based Approach to Learning ang
Teaching. Educational Leadership Journal, Vol. 1, 5 halaman.
Cigman, R & Davis, A. 2008. Brain-Based Learning.New Philosophies of Learning.
Journal of Philosophy Education, Vol. 42, 3 halaman.
Creswell, J.W. 2010. Research Design. Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Edisi Ketiga. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hackett, G. & Betz, N. E. 1989. An Exploration of the Mathematics Self-
Efficacy/Mathematics Performance Correspondence. Journal for Research in
Mathematics Education, 20.
Hake, R.R., 1999. Analyzing Change/Gain Scores. [Online],
tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain. Diakses 2
Maret 2012].
Jensen, E. 2008. Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak.
Cara Baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Pengembangan Kurikulum 2013.
Jakarta: Kemendikbud.
Implementasi Brain-Based Learning Berbantuan
ISBN 978-602-1034-06-4 146
Schunk, D.H & Ertmer, P.A. 2000. Self-Regulation and Academic Learning: Self
Efficacy Enhancing Interventions. In M. Boekaerts, P.R. Pintrich & M. Zeidner
(eds). Handbook of Self-Regulation (hal. 631-649). San Diego: Academic Press.
Sharizah. 2010. Pengintegrasian ICT Dalam Pengajaran Dan Pembelajaran
Matematik Dalam Kalangan Guru Matematik Sekolah Rendah. Universitas
Kebangsaan Malaysia.
Shell, D. F., Colvin, C., dan Bruning, R. H. 1995. Self-Efficacy, Attributions, and
Outcome Expectancy Mechanisms in Reading and Writing Achievement: Grade-
level and Achievement-level Differences. Journal of Educational Psychology, 87.
[Online]. Tersedia: http://www.des.emory. edu/mfp/effchapter.html.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi.
Wilson, L & Spears, A. 2009. Brain-Based Learning Highlight. In Omnia Paratus
INDUS. Training and Research Institute.
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 147
PERAN MENALAR DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
UNTUK MENANAMKAN NILAI KARAKTER RELIGIUS
Bambang Eko Susilo Jurusan Matematika, FMIPA, Unnes
Gd. D7 Lt. 1 FMIPA Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak
Pembelajaran matematika selama ini lebih nampak perannya dalam proses membentuk
peserta didik sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kemajuan
teknologi, diperlukan karakter kuat yang dapat mengendalikan dampak negatif
penggunanya. Salah satu nilai karakter yang dapat membentengi peserta didik adalah
religius yang mengikatnya sebagai makhluk Tuhan dimanapun ia berada. Menalar sebagai
salah satu langkah dalam pendekatan saintifik sangat erat kaitannya dengan matematika.
Metode menalar deduktif maupun induktif berperan penting dalam pengembangan ilmu
matematika dan pembelajarannya. Analogi sebagai penalaran induktif dapat
membandingkan materi matematika dengan nilai-nilai ketuhanan dan ciptaan Tuhan.
Dengan menalar dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat ditanamkan nilai
karakter religius peserta didik dalam proses pendidikannya.
Kata kunci: karakter religius, menalar, pembelajaran matematika
A. Pendahuluan
1. Peran Matematika dalam Teknologi
Pembelajaran matematika selama ini lebih nampak perannya dalam proses
membentuk peserta didik sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
dapat dibuktikan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dari tahun ke
tahun, yang membuktikan bahwa matematika memiliki peran mendasar dalam proses
membangun teknologi canggih seperti alat-alat elektronik sederhana seperti kalkulator,
sampai yang berteknologi tinggi seperti internet dan satelit. Teknologi yang
berkembang pesat bagaikan pisau bermata dua yang membawa dampak positif namun
juga membawa dampak negatif.
2. Masalah Sosial, Kejahatan, dan Teknologi
Sebagai makhluk sosial, kehidupan bermasyarakat manusia diwarnai dengan
berbagai masalah sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia sering
menemui benturan-benturan, sehingga beberapa kalangan terpaksa melakukan aktivitas
yang melanggar norma dalam bermasyarakat maupun norma agama. Hal inilah yang
menyebabkan masalah-masalah sosial yang negatif dalam arti kejahatan muncul.
Masalah sosial memang sebuah keniscayaan yang pasti terjadi dalam bermasyarakat,
karena manusia satu dan yang lain saling membutuhkan dan mempunyai kepentingan.
Masalah yang tidak diharapkan adalah masalah sosial yang negatif yang diartikan
sebagai kejahatan, kejahatan ini terjadi akibat memaksakan kepentingan baik individu
maupun kelompok terhadap individu maupun kelompok lain. Kejahatan yang muncul
dari zaman ke zaman dikenal dengan istilah 5M yaitu minum (mabuk, minuman keras),
madat (candu, narkotika), maling (mencuri, merampok, korupsi), main (judi), dan
madon (perzinaan, pelacuran, perselingkuhan, pornografi, free sex). Kejahatan tersebut
mengalami variasi sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Sehingga keberadaan
teknologi menjadi alat sebagaimana pisau, dapat digunakan untuk kebaikan seperti
memasak tapi juga dapat digunakan untuk kejahatan seperti membunuh atau merampok.
Semakin canggih teknologi, maka kejahatan yang terjadi semakin luas jangkauannya
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 148
dan dampaknya, contohnya internet yang digunakan untuk mengakses dan memasarkan
pornografi dampaknya bukan hanya yang berniat untuk mengkonsumsi namun generasi
muda pelajar juga terkena dampaknya.
3. Hati, Akal, Nafsu, dan Asal Mula Kejahatan
Kejahatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari karakter manusia yang
sangat dipengaruhi oleh nafsu dan kondisi hati manusia itu sendiri. Nafsu mempunyai
peranan untuk memotivasi atau mendorong yang berbuah keinginan-keinginan untuk
dipenuhi manusia, jika perasaan hati manusia masih bersih maka keinginan dari nafsu
akan dapat dikendalikan dan berbuah kebaikan-kebaikan untuk dirinya dan orang lain,
sedangkan hati manusia yang sudah kotor atau rusak, maka yang terlahir adalah
kejahatan-kejahatan. Peran akal manusia dalam berpikir akan seperti pisau, jika ia
pandai namun digunakan dengan kejahatan maka kejahatannya akan berdampak luas,
seperti para koruptor yang merupakan orang-orang pandai, sebaliknya jika ia pandai tapi
digunakan untuk kebaikan maka akan mendatangkan manfaat yang besar. Dari sini
dapat diketahui bahwa asal mula kejahatan adalah ketidakmampuan hati dalam
mengendalikan keinginan-keinginan nafsunya.
4. Nilai Karakter Religius dan Pembelajaran Matematika
Hati manusia akan terjaga dan bersih jika manusia mengisinya dengan keimanan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, keimanan tersebut dapat dipupuk dengan ilmu agama
(nilai religius). Pemerintah dalam hal ini telah memberikan kebijakan yang tepat dengan
berlakunya Kurikulum 2013 yang berintegrasi dengan pendidikan karakter. Nilai
karakter religius menjadi kompetensi inti yang dalam tiap pembelajaran diharapkan
guru dapat menanamkannya kepada siswa. Tidak terkecuali dalam pembelajaran
matematika, diharapkan guru matematika juga dapat menanamkan nilai karakter
religius. Dalam matematika dikenal penalaran deduktif dan induktif, analogi sebagai
bagian dari penalaran induktif telah terbukti mempunyai peran dalam menyelesaikan
permasalahan manusia dari zaman ke zaman sebagaimana yang dinyatakan English
(1999:22) bahwa: “Throughout history, they have played a powerful role in advancing
our knowledge of the world.”
5. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dibangun adalah bagaimana
peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter
religius.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Karakter Terintegrasi di dalam Pembelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses
pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta
didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran,
selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan,
juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
(Kemendiknas, 2010: 2)
2. Peran guru
Peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya tidak dinyatakan secara
eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada umumnya ditulis pada buku petunjuk
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 149
guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi
terhadap peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran apabila buku guru tidak
tersedia.
Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai oleh siswa antara lain
guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan, dan pemberi umpan balik. Sebagaimana
pengajaran Ki Hajar Dewantara, guru yang dengan efektif dan efisien mengembangkan
karakter siswa adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (di depan guru berperan
sebagai teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah-tengah peserta
didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan mereka), tut wuri handayani
(di belakang guru memberi daya semangat dan dorongan bagi peserta didik).
(Kemendiknas, 2010: 5)
3. Menalar sebagai salah satu langkah dalam pendekatan saintifik (Kurikulum
2013)
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran
yaitu melalui Scientific Approach (Pendekatan Saintifik) yang meliputi langkah-
langkah: mengamati (Observing), menanya (Questioning), mencoba (Experimenting),
menalar (Associating), dan menyaji/membuat jejaring (Networking). Pendekatan ilmiah
merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan
prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan
pendekatan ilmiah sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan
pada struktur logis.
Mengingat karakter keilmuan dari setiap materi pelajaran tidak sama maka khusus
untuk matematika langkah dalam pendekatan ilmiah sedikit berbeda dari langkah di
atas. Sehingga khusus untuk matematika langkah-langkahnya sebagai berikut:
mengamati (mengamati fakta matematika), menanya (berfikir divergen),
mengumpulkan informasi (mencoba, mengaitkan teorema), menalar/mengasosiasi
(memperluas konsep, membuktikan), dan mengkomunikasikan (menyimpulkan,
mengaitkan dengan konsep lain).
Menalar dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan saintifik yang
dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik
merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik
harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan
berupa pengetahuan.
4. Penalaran Induktif
Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu
penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan prosedur yang
berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada
suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014: 37) menyatakan bahwa penalaran
induktif terdiri dari tiga jenis yaitu: generalisasi, analogi dan hubungan kausal (sebab-
akibat). Penalaran induktif juga membahas persepsi tentang keteraturan. Keteraturan
yang dimaksud misalnya dalam menarik kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat
khusus kemudian menemukan pola/aturan yang melandasinya atau dalam mendapatkan
kesamaan/keserupaan dari contoh-contoh yang berbeda. Dalam matematika, menarik
kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat khusus dan mendapatkan kesamaan/
keserupaan dari contoh-contoh yang berbeda dapat menjadi dasar dalam rangka
pembentukan konsep. Proses penalaran dengan cara mengaitkan konsep yang serupa
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 150
dinamakan analogi matematis, sedangkan menarik kesimpulan dari kasus yang bersifat
khusus dinamakan generalisasi matematis.
Penalaran induktif dibagi menjadi 3 bagian yaitu generalisasi, analogi dan sebab-
akibat. Ketiga bagian tersebut dijelaskan Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014:
38) sebagai berikut.
a. Generalisasi merupakan proses penalaran yang berdasarkan pada pemeriksaan hal-
hal secukupnya kemudian memperoleh kesimpulan untuk semuanya atau sebagian
besar hal-hal tadi. Untuk matematika tingkat lanjutan, untuk memeriksa kebenaran
hasil yang diperoleh dalam penyimpulan, maka dilakukan pemeriksaan dengan
induksi matematika. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan apakah penyimpulan
yang diperoleh berlaku untuk semua.
b. Analogi merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa
kemudian menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal
lain.
c. Sebab-akibat, pengertian sebab-akibat hampir sama dengan penalaran generalisasi
induktif hanya saja pada pengambilan kesimpulannya berdasarkan pada karakteristik
objek yang memungkinkan terjadinya keserupaan atau ketidakserupaan objek.
5. Pengertian Analogi
Pusat Bahasa Depdiknas (2008: 60), menyatakan analogi diartikan berkenaan
dengan persamaan atau persesuaian dari dua hal yang berlainan; serupa; sama.
Sedangkan Sumarmo (dalam Rahman dan Maarif, 2014: 38) menyatakan analogi
merupakan penalaran dari satu hal tertentu kepada satu hal lain yang serupa kemudian
menyimpulkan apa yang benar untuk satu hal juga akan benar untuk hal lain. Polya
(1973: 37) menyatakan analogy is a sort of similarity, similar objects agree with each
other in some respect, analogous objects agree in certain relations of their respective
parts. Analogi dalam bahasa Indonesia ialah “kias” (dalam bahasa Arab, qasa =
mengukur, membandingkan). Soekadijo (dalam Kariadinata, 2012: 13) menyatakan
berbicara tentang analogi menurut adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan,
yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan. Sastrosudirjo
((dalam Rahman dan Maarif, 2014: 35) mengungkapkan bahwa analogi merupakan
kemampuan melihat hubungan-hubungan, tidak hanya hubungan benda-benda tetapi
juga hubungan antara ide-ide, dan kemudian mempergunakan hubungan itu untuk
memperoleh benda-benda atau ide-ide lain. Dalam analogi yang dicari adalah
keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan
itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar
penalaran.
Selain pengertian di atas, analogi juga telah terbukti berperan penting dalam
kehidupan manusia sebagaimana pernyataan ahli berikut. Isoda dan Katagiri (2012:57)
yang menyatakan bahwa: “Analogical thinking is an extremely important method of
thinking for establishing perspectives and discovering solutions.” Artinya, kemampuan
berpikir analogi adalah sangat penting dalam membentuk perspektif dan menemukan
pemecahan masalah. English (1999:22) juga menyatakan bahwa selama peradaban
manusia, analogi telah memainkan peran yang sangat penting di dalam pengembangan
ilmu pengetahuan: “Throughout history, they have played a powerful role in advancing
our knowledge of the world.”
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 151
6. Contoh soal analogi dalam matematika
a. Contoh 1
Hubungan antara bilangan Hubungan antara p
-2 dengan barisan dengan barisan …
8, 6, 4, 2 , … A. p+1, p+2, p+3, p+4, …
B. p, p2, p
3, p
4, …
C. p, 2p, 3p, 4p, …
D. p-1, p-2, p-3, p-4, …
Dari dua kasus hubungan di atas, dapat diketahui bahwa keduanya memiliki
persamaan dalam hubungan sifat beda dalam barisan aritmatika (jawaban C).
b. Contoh 2
Hubungan antara bilangan Hubungan antara p
1/3 dengan barisan dengan barisan….
243, 81,27, 9, … A. p+1, p+3, p+9, p+27, …
B. p, p2, p
3, p
4, …
C. 3p, 9p, 27p, 81p, …
D. p-3, p-9, p-27, p-81, …
Dari dua kasus hubungan di atas, dapat diketahui bahwa keduanya memiliki
persamaan dalam hubungan sifat rasio dalam barisan geometri (jawaban B).
(Kariadinata, 2012: 14-15)
Contoh soal kemampuan analogi dalam pembelajaran matematika di atas adalah
pemanfaatan analogi sebagai penalaran induktif untuk membandingkan 2 (dua) kasus
dalam konsep matematika. Pemanfaatan analogi seperti di atas dapat melatih
kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan melihat sesuatu yang sama dalam 2
(dua) kasus.
7. Analogi antara Konsep dalam Matematika dan Nilai-nilai Religius
Peran menalar dalam menanamkan nilai karakter religius di dalam pembelajaran
matematika adalah dengan memanfaatkan analogi sebagai alat pembanding antara
konsep dalam matematika dan nilai karakter religius. Pemanfaatan ini dapat
digambarkan dalam beberapa contoh berikut.
a. Analogi konsep bilangan tak hingga dengan nikmat Tuhan yang tak hingga
banyak
1) Konsep Bilangan Tak Hingga
Tak hingga atau ananta, sering ditulis ∞, ialah bilangan yang lebih besar daripada
tiap-tiap yang kemungkinan dapat dibayangkan. Setiap menemukan bilangan real yang
terbesar maka bilangan tak hingga dipastikan melebihi bilangan real terbesar tersebut.
Sehingga bagi siswa pemahaman terhadap bilangan tak hingga akan terus berkembang
sesuai bilangan real terbesar yang mereka ketahui.
Dalam pembelajaran matematika, bilangan tak hingga mulai dikenalkan ketika
siswa belajar materi limit, pada umumnya siswa belum memahami sepenuhnya tentang
konsep bilangan tak hingga ini, siswa diperkirakan akan memahaminya ketika belajar
matematika di perguruan tinggi.
2) Nikmat Tuhan yang Tak Hingga banyaknya
Ketika seorang manusia diberi sesuatu yang berharga baginya pastilah ada
ungkapan rasa terima kasih atas pemberian itu kepada sang pemberi. Ungkapan rasa
terima kasih inilah yang disebut dengan syukur, ungkapan rasa terima kasih atau syukur
ini sangat dianjurkan terlebih lagi syukur atas pemberian nikmat Tuhan kepada manusia
yang banyaknya tak hingga. Apabila rasa terima kasih itu diungkapkan kepada sang
Analog
dengan
Analog
dengan
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 152
pemberi, pada kesempatan lain sang pemberi ini tida akan segan-segan untuk memberi
lagi, dan demikanlah dampak positif dari rasa syukur. Rasa syukur atas pemberian
nikmat ini adalah salah satu nilai karakter religius yang akan ditanamkan guru kepada
siswanya.
Analogi bilangan tak hingga dan nikmat pemberian Tuhan yang tak hingga banyak
dapat digunakan guru untuk memotivasi siswa agar senantiasa bersyukur. Guru dapat
memberikan pertanyaan, “nikmat Tuhan itu tak hingga banyaknya, tahukah kamu
berapakah bilangan tak hingga itu?”. Dengan pertanyaan demikian siswa berusaha
menjawab nilai yang dimaksudkan. Selanjutnya guru dapat menjelaskan dengan metode
tanya jawab siswa dibimbing menemukan bilangan sebagai pendekatannya.
Sehingga diperoleh:
Kemudian siswa dibimbing kembali untuk menemukan bilangan , sehingga
diperoleh:
yang dimaksudkan bilangan yang memiliki angka 0 sebanyak di
belakang angka 1, kemudian siswa kembali ditanya berapa lama penulisan bilangan
tersebut, dan yang terakhir dijelaskan kembali bahwa bilangan masih kurang
dari bilangan tak hingga.
b. Analogi konsep nilai mutlak dengan sikap orang beriman terhadap kejadian
yang menimpanya
1) Definisi nilai mutlak
Jika x R, jarak x ke 0 atau J(x,0) ditulis dengan yang dibaca “nilai mutlak x”
didefinisikan sebagai:
= . (Chotim, 2008: 8)
Dari pembelajaran tentang konsep nilai mutlak diperoleh simpulan bahwa setiap
bilangan x baik bilangan negatif, nol, maupun bilangan positif jika berada dalam tanda
harga mutlak hasilnya akan bernilai non negatif, sebagaimana definisi di atas.
2) Sikap orang beriman terhadap kejadian yang menimpanya
Nilai-nilai religius akan nampak jika seorang manusia itu beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Seseorang itu dikatakan beriman jika meyakini bahwa segala sesuatu
yang menimpanya merupakan kehendak dari Tuhannya, karena ia dalam kuasa Tuhan
sehingga tidak dapat mengelak dari pemberian nikmat maupun musibah yang
dikehendaki Tuhan. Nilai yang akan tampak dari manusia yang beriman itu adalah jika
ia mendapatkan nikmat maka ia akan bersyukur pada Tuhan, dan jika ia mendapatkan
musibah maka ia akan bersabar karena Tuhan. Kedua sikap ini jika dilakukan karena
Tuhan maka sebagai balasan akan diberikan pahala yang besar.
Analogi konsep nilai mutlak dengan sikap orang beriman terhadap kejadian yang
menimpanya dapat digunakan seorang guru dalam menyampaikan nilai karakter religius
yaitu sabar dan syukur. Sabar dan syukur merupakan sikap positif, sikap yang baik.
Dalam pembelajaran matematika tentang konsep nilai mutlak, jika x bilangan real
negatif maka = – x > 0, nilai – x positif, bilangan x sebagai bilangan real negatif
dapat dianalogikan jika seseorang itu mendapatkan musibah atau kejadian yang tidak
diharapkan maka sikap yang diharapkan muncul adalah dapat menerima musibah
x
x
0apabila
0apabila
xx
xx
x
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 153
tersebut dengan bersabar karena musibah datang atas kehendak dan kuasa Tuhan,
dengan sikap positif tersebut Tuhan akan memberikan balasan berupa pahala.
Sebaliknya dalam pembelajaran matematika tentang konsep nilai mutlak, jika x
bilangan real positif maka = x > 0, nilai x positif, bilangan x sebagai bilangan real
positif dapat dianalogikan jika seseorang itu mendapatkan nikmat atau kejadian yang
diharapkan maka sikap yang diharapkan muncul adalah dalam menerima nikmat
tersebut seseorang itu mampu bersyukur atas nikmat yang datang padanya, nikmat itu
dating atas kehendak dan kuasa Tuhan, dengan sikap positif tersebut Tuhan akan
memberikan balasan berupa pahala.
c. Analogi konsep ruang vektor, dimensi di ℝ1, ℝ2
, ℝ3, …, ℝn
dengan alam
semesta
1) Konsep Ruang Vektor dan Dimensi di ℝ1, ℝ2, ℝ3, …, ℝn
Dalam ilmu matematika bidang Aljabar, dikenal mata kuliah Aljabar Linear yang di
dalamnya terdapat materi vektor yang dapat dikaji secara geometrik, analitik, ataupun
numerik. Salah satu bagian materi vektor membahas tentang ruang vektor, secara
ringkas diuraikan sebagai berikut. (Susilo, 2011: 30-32)
a) Ruang-ruang Vektor
(1) Ruang-n Euclidis
Gagasan penggunaan pasangan bilangan untuk meletakkan titik-titik pada bidang
dan penggunaan tripel bilangan untuk meletakkan titik-titik di ruang-3 pada mulanya
diungkapkan secara jelas dalan pertengahan abad ke-17. Menjelang akhir abab ke-19
para ahli matematika dan para ahli fisika mulai menyadari bahwa tidak perlu berhenti
dengan tripel. Pada waktu itu dikenal bahwa kuadrupel bilangan (a1, a2, a3, a4) dapat
ditinjau sebagai titik pada ruang “berdimensi 4”, kuintupel (a1, a2, a3, a4, a5) sebagai titik
di ruang “berdimensi 5”, dan seterusnya. Walaupun visualisasi geometrik tidak melebihi
ruang-3, namun konsepnya dapat diperluas hingga melebihi ruang-3 dengan bekerja
dengan sifat analitik atau sifat numeris titik dan vektor bukan bekerja dengan sifat
geometrik.
Definisi; jika n adalah sebuah bilangan bulat positif, maka tupel-n-terorde
(ordered-n-tuple) adalah sebuah urutan n bilangan riil (a1, a2, a3, …, an). Himpunan
semua tupelo-n-terorde dinamakan ruang-n dan dinyatakan dengan Rn. (Anton, 1992:
131)
(2) Ruang Vektor Umum
Definisi; misalkan V sebarang himpunan benda yang dua operasinya didefinisikan,
yakni penambahan dan perkalian dengan skalar (bilangan riil). Penambahan tersebut
dipahami untuk mengasosiasikan sebuah aturan dengan setiap pasang benda u dan v
dalam V, yang mengandung elemen u + v, yang dinamakan jumlah u dan v; dengan
perkalian skalar diartikan aturan untuk mengasosiasikannya baik untuk setiap skalar k
maupun setiap benda u pada V yang mengandung elemen ku, yang dinamakan perkalian
skalar (scalar multiple) u oleh k. Jika aksioma-aksioma berikut dipenuhi oleh semua
benda u, v, w pada V dan oleh semua skalar k dan l, maka dinamakan V sebuah ruang
vektor (vector space) dan benda-benda pada V dinamakan vektor:
(a) jika u dan v adalah benda-benda pada V, maka u + v berada di V;
(b) u + v = v + u;
(c) u + (v + w) = (u + v) + w;
(d) ada sebuah benda 0 di V sehingga 0 + u = u + 0 = u untuk semua u di V;
(e) untuk setiap u di V, ada sebuah benda – u di V yang dinamakan negatif u sehingga u
+ (-u) = (-u) + u = 0;
x
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 154
(f) jika k adalah sebarang skalar dan u adalah sebarang benda di V, maka ku berada di
V;
(g) k(u + v) = k u + k v;
(h) (k + l) u = k u + l u;
(i) k(l u) = (kl) u;
(j) 1 u = u.
(Anton, 1992: 137)
Melalui pemahaman ruang vektor yang sederhananya dalam ruang-n Euclidis, dapat
memahami bahwa terdapat n ruang vektor, sebagaimana terdapat ruang berdimensi n
yaitu Rn dengan n bilangan bulat positif. Secara geometrik keberadaan ruang vektor
dapat divisualisasikan sampai dengan ruang-3 dan secara analitik banyaknya ruang
vektor ini bisa mencapai tak hingga.
b) Benda-benda dalam Ruang Vektor
Benda-benda yang terdapat dalam suatu ruang vektor dengan dimensi tertentu dapat
diuraikan secara ringkas seperti berikut ini.
(1) Dalam ruang berdimensi 1 atau R, sebuah benda dapat diwakili oleh sebuah titik
dengan posisi a, sehingga akan terdapat tak hingga titik sebagaimana adanya a1, a2,
a3, a4, … .
(2) Dalam ruang berdimensi 2 atau R2, sebuah benda misalnya titik dapat diketahui
posisinya dalam notasi pasangan bilangan (a1, a2). Selain itu dipahami bahwa R2 ini
merupakan tempat yang berbentuk bidang datar, yang benda-benda dalam bidang
datar tersebut dapat berupa titik dan garis.
(3) Dalam ruang berdimensi 3 atau R3, sebuah benda yang berupa titik dapat diketahui
posisinya dengan memberikan notasi tripel bilangan (a1, a2, a3). Dan dipahami
bahwa R3 merupakan tempat yang berbentuk ruangan, yang benda-benda di
dalamnya dapat berupa titik, garis, bidang ataupun benda/bangun ruang seperti bola,
kerucut, balok, dan lain-lain.
(4) Melalui analogi yang sama dapat diperkirakan bahwa benda berupa titik, garis,
bidang, benda/bangun ruang pasti termuat dalam ruang berdimensi 4, 5, 6, …,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ruang berdimensi lebih tinggi memuat atau
melingkupi ruang berdimensi yang lebih rendah, seperti sebuah bidang yang
memuat tak hingga titik dan tak hingga garis, dan garis memuat tak hingga titik.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebuah titik dalam ruang vektor
berdimensi 3 belum tentu mengetahui bahwa dirinya menempati posisi tertentu dalam
sebuah garis, beberapa garis atau tak hingga garis, demikian pula sebuah garis yang
dapat menempati sebuah bidang, beberapa bidang, atau tak hingga bidang, dan
seterusnya. Dari beberapa fakta ini diketahui bahwa benda-benda dalam matematika ini
memiliki keterkaitan dalam sebuah ruang dimensi dengan ruang dimensi yang lain
padahal benda-benda tersebut bersifat abstrak atau bisa dikatakan benda ghaib. Manusia
tidak dapat memegang titik, garis, balok, ataupun yang lain, saat ini yang dapat dilihat
dan dipegang adalah alat peraganya, tetapi manusia yakin terhadap benda matematika
ini bahkan memanfaatkannya dalam pengembangan ilmu teknologi.
2) Analogi ruang vektor dan alam semesta
Demikian pula halnya dengan keberadaan alam semesta ini, dalam jangkauan panca
indera manusia, manusia dapat mengetahui keberadaan benda-benda di alam ini seperti
batu, pohon, binatang, air, manusia, dan lainnya yang semuanya berada dalam sebuah
ruangan alam nyata/alam syahadah (dapat diindera). Analoginya sebagaimana dalam
ruang berdimensi 3 bahwa didalamnya terdapat titik, garis, bidang, dan benda-benda
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 155
ruang, sedangkan masih terdapat banyak ruang dimensi lain yang melingkupi ruang
berdimensi 3 ini. Jadi alam nyata yang ditempati inipun yang begitu luas sampai dengan
ruang luar angkasa dengan benda-benda langit masih terdapat banyak alam lain yang
melingkupi alam nyata ini. Dalam hal ini utusan Tuhan yang dikenal sebagai Nabi atau
Rasul telah memberitahukan bahwa masih ada alam ghaib (tidak dapat diindera) selain
alam nyata ini. Sebagaimana diberitahukan para Nabi dan Rasul sehingga menjadi
keyakinan dalam keimanan bahwa ada alam jin, alam ruh/arwah, alam malaikat, dan
lain-lain, selama ini kebanyakan manusia belum dapat menjangkaunya kecuali orang-
orang yang telah mengalami proses perhubungan dengan alam ini seperti para Nabi dan
Rasul, karena sebagian manusia juga yang telah dapat berhubungan dengan bangsa jin
dan juga para ruh/arwah.
Taharem (2006: 85) menyampaikan bahwa rasio/perbandingan atau nisbah jumlah
antara manusia dan jin adalah 1: 10, dan rasio antara jin dan malaikat adalah 1: 10, jadi
alam ghaib di luar penginderaan manusia lebih luas lagi, sebagaimana ruang vektor
yang berdimensi lebih tinggi melingkupi ruang berdimensi lebih rendah. Peristiwa-
peristiwa di luar alam nyata terjadi namun tidak banyak manusia yang dapat
menginderanya. Informasi yang diketahuipun baru yang diberitakan oleh para Nabi dan
Rasul ini ataupun orang yang sudah pernah memasuki alam ghaib ini, dan masih banyak
rahasia-rahasia di alam semesta ini yang belum diketahui.
Jadi jika manusia tidak dibimbing atau didampingi oleh Nabi atau Rasul utusan
Tuhan ini, manusia tidak dapat mengetahui jati dirinya yang merupakan ciptaan
Tuhannya. Sampai pada keyakinan dalam iman dan takwanya bahwa Tuhan, Syurga,
dan Neraka ada adalah dari informasi yang disampaikan oleh Nabi atau Rasul itu.
Manusia juga baru mengetahui bahwa faktor penentu yang menjadikan manusia menjadi
baik atau jahat adalah hatinya, dari hatilah manusia akan menentukan ia akan berlaku
jujur atau berbohong, sedangkan akal akan menimbang-nimbang apa untug dan apa
ruginya, sehingga pendidikan sudah semestinya mendidik hati-hati peserta didik agar
dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab, bertanggungjawab kepada diri sendiri,
kepada sesame manusia, dan kepada Tuhan. Dari hati manusia inilah jika berhasil
mendidiknya akan menjamin keselamatan manusia itu di dunia ini dan di akhirat. Oleh
karena itu hendaknya dalam setiap proses pembelajaran, potensi hati peserta didik
hendaknya selalu disentuh, tidak terkecuali dalam pembelajaran matematika
sebagaimana materi vektor ini untuk menambah keyakinan terhadap kesempurnaan
Tuhan dalam penciptaan alam semesta ini. Sama halnya benda matematika, sebuah titik
tidak dengan sendirinya tahu bahwa titik tersebut menempati suatu garis ataupun bidang
tertentu, maka perlu didefinisikan posisinya, manusialah yang mendefinisikan titik itu.
Namun sebuah titik dalam ruang vektor tidak akan bertindak jahat, karena sebuah titik
tidak memiliki unsur yang dimiliki manusia seperti hati, akal, nafsu, dan jasad. Sebuah
titik dalam ruang vektor dapat diibaratkan sebagai sebuah batu dalam alam nyata yang
ditempati manusia.
8. Peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai
karakter religius
Peran menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter
religius adalah sebagai alat yang dapat digunakan untuk membandingkan (analogi)
antara konsep dalam matematika dengan nilai karakter religius. Dengan analogi siswa
dapat membandingkan persamaan yang dimiliki dari dua hal yang berbeda, dalam hal
ini adalah konsep matematika dan nilai karakter religius. Faktor pengetahuan guru dan
ketersediaan waktu sangat mempengaruhi keefektifan dalam menanamkan nilai karakter
Peran Menalar dalam Pembelajaran Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 156
ini, sehingga sangat bergantung dari karakter religius sebagai teladan, pengetahuan, dan
keterampilan mengatur waktu dari guru yang bersangkutan.
Jika menalar analogi ini hanya membandingkan dua konsep matematika maka yang
diperoleh adalah kemampuan analogi matematis, masih dalam kompetensi dasar
matematika, manfaatnya adalah untuk melatih berpikir analitis dan kritis siswa. Menalar
analogi masih dapat dikembangkan untuk membandingkan dua hal yang berbeda namun
memiliki kesamaan dalam hal tertentu pada bidang atau pelajaran yang lain.
C. Simpulan dan Saran
Dari rumusan masalah dan pembahasan dapat diperoleh simpulan bahwa peran
menalar dalam pembelajaran matematika untuk menanamkan nilai karakter religius
adalah sebagai alat yang aplikatif yang dapat digunakan untuk membandingkan
(analogi) antara konsep dalam matematika dengan nilai karakter religius. Keefektifan
menalar analogi dalam menanamkan nilai karakter religius sangat tergantung pada
karakter, pengetahuan, dan keterampilan mengatur waktu dari guru.
Saran yang diberikan dari kajian ini adalah diharapkan guru dapat menggunakan
menalar analogi dalam menanamkan nilai karakter religius dan guru diharapkan
meningkatkan karakter religiusnya agar siswa memperoleh teladan secara langsung.
D. Daftar Pustaka
Anton, H. 1992. Aljabar Linear Elementer Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas
English, L.D. 199). Reasoning by analogy: A fundamental process in children’s
mathematical learning. In L.V. Stiff & F.R. Curcio, Developing Mathematical
Reasoning, K12-Reston (pp. 22-36). National Council of Teachers of Mathematics.
Isoda, M. dan Katagiri, S. 2012. Mathematical Thinking. Singapura: World Scientific.
Kariadinata, R. 2012. Menumbuhkan Daya Nalar (Power of Reason) Siswa Melalui
Pembelajaran Analogi Matematika. Infinity Jurnal Ilmiah Program Studi
Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 1(1), 10-18
Kemendiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Kemendiknas
Polya, G. 1973. How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.
Rahman, R. dan Maarif, S. 2014. Pengaruh Penggunaan Metode Discovery Terhadap
Kemampuan Analogi Matematis Siswa SMK Al-Ikhsan Pamarican Kabupaten
Ciamis Jawa Barat. InfinityJurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP
Siliwangi Bandung, 3(1), 33-58
Susilo. B.E. 2011. Kajian Materi Vektor Aljabar Linear: Sebuah Alternatif dalam
Memahami Alam Semesta dengan Matematika. Journal of Mathematics and
Mathematics Education, 1(1), 27-33
Taharem, M.A.D., 2006. Siraman Minda. Selangor: Minda Ikhwan
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 157
MENUMBUHKAN KREATIVITAS MELALUI PENDEKATAN
SAINTIFIK SEBAGAI UPAYA PENERAPAN KURIKULUM 2013
Jayanti Putri Purwaningrum
Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia
Jalan Dr. Setiabudhi Nomor 229, Bandung
Surel: [email protected]
Abstrak
A. Pendahuluan
Pada hakikatnya, manusia dapat mengembangkan potensi dirinya dengan
pendidikan. Pendidikan merupakan pilar dalam usaha menciptakan manusia yang
berkualitas, sehingga menjadi hal yang penting dan digunakan sebagai sarana untuk
mengembangkan segala kemampuan dan potensi yang ada pada diri manusia. Dengan
demikian, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan kreativitasnya manusia.
Paradigma tentang pendidikan terus berkembang seiring dengan perkembangan era.
Hal itu mempengaruhi berbagai aspek pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
secara global pada umumnya dan pendidikan nasional pada khususnya. Adanya
perkembangan tersebut, telah memacu timbulnya berbagai tuntutan masyarakat terhadap
peningkatan mutu pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah perlu mengakomodiasi
berbagai tuntutan tersebut dengan mengambil berbagai kebijakan, program, dan
kegiatan strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Kebijakan esensial yang diambil pemerintah seiring dengan perkembangan era
salah satunya adalah mengadakan perubahan dalam sistem pendidikan nasional.
Perubahan dalam sistem pendidikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, sehingga dapat mengiringi laju perkembangan zaman. Hal ini terbukti
dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 dalam Kurikulum 2013
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa tujuan
penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yaitu membangun landasan bagi
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang berilmu, cakap, kritis, kreatif,
dan inovatif.
Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan
potensi siswa adalah dengan perbaikan kurikulum yang diselaraskan sesuai dengan
kebutuhan. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013
diarahkan untuk memberdayakan semua potensi dan kualitas peserta didik berupa
pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, kreativitas, kemandirian, kerja sama,
Pada dasarnya, kreativitas telah lama menjadi tujuan atau orientasi pada pembelajaran
matematika. Hal tersebut dikarenakan kesadaran bahwa melalui kreativitas,
permasalahan yang dihadapi di masa mendatang dapat diatasi. Pembelajaran matematika
memberi kontribusi besar dalam menumbuhkan kreativitas pada diri peserta didik. Salah
satu upaya pemerintah untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut yaitu dengan adanya
perbaikan Kurikulum KTSP 2004 menjadi Kurikulum 2013 dengan mengamanatkan
pendekatan saintifik. Fokus pendekatan saintifik yaitu proses pembelajaran yang
menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Makalah ini akan
membahas tentang upaya penerapan Kurikulum 2013 melalui pendekatan saintifik untuk
menumbuhkan kreativitas.
Kata Kunci: kreativitas, pendekatan saintifik, Kurikulum 2013
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 158
solidaritas, empati, toleransi dam kecakapan hidup. Untuk mencapai kualitas tersebut,
pembelajaran perlu menggunakan beberapa prinsip, yaitu: (1) pembelajaran berpusat
pada peserta didik; (2) mengembangkan kreativitas peserta didik; (3) menciptakan
kondisi menyenangkan dan menantang; (4) bermuatan nilai etika, estetika, logika dan
kinestika; dan (5) menyediakan pengalaman belajar yang beragam (Hosnan, 2014).
Karakteristik kegiatan pembelajaran pada Kurikulum 2013 diorganisasikan menjadi
kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Kegiatan inti merupakan
proses pembelajaran untuk mencapai tujuan, dilakukan secara interaktif, inspriratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk secara aktif menjadi
pencari informasi, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut menjadi rincian dari kegiatan
eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, yaitu: (1) mengamati, (2) menanya, (3)
mengumpulkan informasi, (4) mengasosiasikan, dan (5) mengkomunikasikan.
Kompetensi pada Kurikulum 2013 dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti (KI)
dan dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar (KD) mata pelajaran. Kompetensi inti
merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan (kognitif dan psikomotor), yang harus dipelajari peserta
didik untuk jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Kompetensi inti adalah kualitas
yang harus dimiliki seorang peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran KD
yang diorganisasikan dalam proses pembelajaran peserta didik aktif. Dengan demikian,
baik KD maupun proses pembelajaran harus dikembangkan dan dilaksanakan untuk
mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam KI.
Salah satu alasan pemerintah merubah Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013,
diindikasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, adalah lemahnya kreativitas
peserta didik (Rohmad, 2014). Salah satu cara untuk menumbuhkan kreativitas peserta
didik yaitu dengan memperbaiki kurikulum ke dalam Kurikulum 2013. Hal ini terlihat
pada langkah penguatan proses pembelajaran yang menekankan kemampuan berbahasa
sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis dan
kreatif. Selain itu, terdapat pula penguatan pada penilaian pembelajaran yang
karakteristiknya mencakup mengukur tingkat berpikir mulai dari rendah sampai tinggi
dan menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan
sekadar hafalan). Ketika seseorang dituntut untuk memunculkan kreativitas,
kemampuan berpikir tingkat tinggi yakni berpikir kreatiflah yang berkembang.
Menurut Siswono (2008), berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir
tingkat tinggi (higher order thinking) karena kemampuan berpikir kreatif merupakan
kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai peserta didik di kelas. Dengan
demikian, pemberlakuan Kurikulum 2013 ditujukan untuk menjawab tantangan zaman
terhadap pendidikan yakni untuk menghasilkan lulusan yang kompetitif, inovatif,
kreatif, kolaboratif serta karakter. Guna mencapai hal tersebut, pendidikan bukan hanya
dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan berdasarkan subjek inti pembelajaran,
melainkan juga harus diorientasikan agar peserta didik memliki kemampuan kreatif,
kritis, komunikatis, dan berkarakter (Abidin, 2014).
Pada proses belajar dan mengajar matematika, banyak materi yang berkaitan
dengan kemampuan berpikir kreatif. Adanya Kurikulum 2013 diharapkan kreativitas
guru sebagai fasilitator proses pembelajaran di kelas semakin meningkat. Rohmad
(2014) menyebutkan bahwa selama ini para guru dalam pembelajaran matematika lebih
menekankan pada penguasaan konsep-konsep dasar matematika dengan menggunakan
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 159
pendekatan deduktif. Hal ini mengakibatkan peserta didik cenderung menghapal rumus
atau konsep matematika dengan cara kurang bermakna. Pembelajaran sering berpusat
kepada guru, sehingga peserta didik terbiasa berpikir secara prosedural (mengikuti cara
yang seragam). Dengan demikian, peserta didik kurang mampu membentuk sikap dan
keterampilan dalam berpikir kreatif. Makalah ini akan membahas tentang pentingnya
menumbuhkan kreativitas dalam pendekatan saintifik sebagai upaya penerapan
Kurikulum 2013.
B. Pembahasan
Pengertian kurikulum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Sesuai dengan undang-undang tersebut,
penyelenggaraan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan proses berkembangnya
kualitas pribadi peserta didik sebagai generasi penerus, yang diyakini akan menjadi
faktor determinan bagi tumbuh kembangnya bangsa dan negara Indonesia sepanjang
zaman. Kurikulum 2013 yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, dipandang
menjadi salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses
berkembangnya potensi peseta didik tersebut.
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006
yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara terpadu.
Kurikulum 2013 yang berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen
untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, dan mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (Kemdikbud, 2014). Dengan demikian, Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan
untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan efektif, serta
mampu berkontribusi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara, dan
peradaban dunia.
Saat ini, terdapat kesenjangan kurikulum dan kondisi ideal kurikulum, sehingga
kurikulum KTSP 2006 diganti dengan Kurikulum 2013. Kesenjangan tersebut dapat
dilihat dari enam aspek, yaitu: (1) kompetensi lulusan; (2) materi pembelajaran; (3)
proses pembelajaran; (4) penilaian; (5) pendidik dan tenaga kependidikan; dan (6)
pengelolaan kurikulum (Majid, 2014). Penjelasan terkait kesenjangan tersebut dapat
dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Kesenjangan Kurikulum
No Kondisi Saat Ini Kondisi Ideal
A Kompetensi Lulusan Kompetensi Lulusan
1 Belum sepenuhnya menekankan
pendidikan karakter.
Berkarakter Mulia.
2 Belum menghasilkan keterampilan sesuai
dengan kebutuhan.
Keterampilan yang relevan.
3 Pengetahuan-pengetahuan lepas. Pengetahuan-pengetahuan terkait.
B Materi Pembelajaran Materi Pembelajaran
1 Belum relevan dengan kompetensi yang
dibutuhkan.
Relevan dengan kompetensi yang
dibutuhkan.
2 Beban belajar terlalu berat. Materi esensial
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 160
No Kondisi Saat Ini Kondisi Ideal
3 Terlalu luas, kurang mendalam. Sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
C Proses Pembelajaran Proses Pembelajaran
1 Berpusat kepada guru Berpusat kepada peserta didik
2 Sifat pembelajaran yang berorientasi pada
buku teks
Sifat pembelajaran yang kontekstual
3 Buku teks hanya memuat materi bahasan Buku teks memuat materi dan proses
pembelajaran, sistem penilaian,, dan
kompetensi yang diharapkan
D Penilaian Penilaian
1 Menekankan aspek kognitif Menekankan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik secara proporsional.
2 Tes menjadi cara penilaian yang dominan Tes dan portofolio saling melengkapi
E Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
1 Memenuhi kompetensi profesi saja Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi,
sosial, dan personal.
2 Fokus pada ukuran kinerja PTK Motivasi mengajar
F Pengelolaan Kurikulum Pengelolaan Kurikulum
1 Satuan pendidikan mempunyai kebebasan
dalam pengelolaan kurikulum.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki
kendali kualitas dalam pelaksanaan
kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
2 Masih terdapat kecenderungan satuan
pendidikan menyusun kurikulum tanpa
mempertimbangkan kondisi satuan
pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan
potensi daerah.
Satuan pendidikan mampu menyusun
kurikulum dengan mempertimbangkan
kondisi satuan pendidikan, kebutuhan
peserta didik dan potensi daerah.
3 Pemerintah hanya menyiapkan sampai
standar isi mata pelajaran
Pemerintah menyiapkan semua komponen
kurikulum sampai buku teks dan pedoman.
Kesenjangan kurikulum tersebut berlaku umum, untuk semua mata pelajaran.
Namun, khusus mata pelajaran Matematika, perubahan dari implementasi Kurikulum
lama (Kurikulum KTSP 2006) ke Kurikulum 2013 tercantum pada Tabel 2
(Kemdikbud, 2014).
Tabel 2. Perubahan dari Implementasi Kurikulum Lama (Kurikulum KTSP 2006) ke
Kurikulum 2013 pada Mata Pelajaran Matematika
No Implementasi Kurikulum 2006 Implementasi Kurikulum 2013
1 Langsung masuk ke dalam materi
abstrak.
Materi diajarkan mulai dari pengamatan
permasalahan, kemudian ke semi konkret dan
akhirnya abstraksi permasalahan.
2 Siswa harus menghafalkan banyak
rumus untuk menyelesaikan
permasalahan (siswa hanya dapat
menggunakan).
Rumus diturunkan oleh siswa. Permasalahan
yang diajukan harus dapat dikerjakan siswa
hanya dengan rumus-rumus dan pengertian
dasar (siswa tidak hanya dapat menggunakan,
tetapi juga memahami asal-usulnya)
3 Permasalahan matematika selalu
diasosiasikan dengan angka.
Keseimbangan permasalahan matematika baik
antara matematika dengan angka maupun
matematika dengan tanpa angka (gambar,
grafik, pola, dsb)
4 Siswa tidak terbiasa berpikir kritis. Pembelajaran diharuskan dapat merangsang
siswa untuk berpikir kritis dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang
diajukan.
5 Metode penyelesaian masalah yang
digunakan biasanya tidak terstruktur.
Membiasakan siswa untuk berpikir algoritmis.
6 Data dan statistik dikenalkan hanya Perluasan materi yang mencakup peluang,
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 161
pada kelas IX. pengolahan data, dan statistik sejak kelas VII
serta materi lain sesuai dengan standar
internasional.
7 Matematika dipandang sebagai ilmu
eksak.
Mengenalkan konsep pendekatan dan
perkiraan.
Untuk melaksanakan gagasan yang terkandung dalam kurikulum 2013, guru bukan
hanya dituntut memiliki pengetahuan, keterampilan mengajar dengan kompleksitas
peranan sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya tetapi juga harus kreatif.
Upaya dalam meningkatkan kualitas hasil pendidikan amat bergantung kepada
kemampuan guru untuk mengembangkan kreativitasnya. Kreativitas guru adalah
kemampuan guru dalam meninggalkan gagasan, ide, hal-hal yang dinilai mapan, rutin,
using dan beralih untuk menghasilkan memunculkan gagasan, ide, dan tindakan yang
baru dan menarik, apakah itu untuk pemecahan masalah, suatu metode atau alat, suatu
objek atau bentuk artistik yang baru, dan lain-lain. Kemampuan menghasilkan atau
memunculkan gagasan atau ide baru itu harus terwujud ke dalam pola perilaku yang
dinilai kreatif pula. Suwarsono (2013) mengemukakan, untuk mengubah pembelajaran
yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, guru harus kreatif dalam
memikirkan berbagai kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, yang masing-
masing mempunyai persyaratan dan konsekuensi tersendiri. Demikian juga, untuk
membuat agar pembelajaran yuang dikelola oleh seorang guru bersifat seimbang dalam
memperhatikan pemerolehan soft skills dan hard skills yang mencakup sikap,
pengetahuan dan keterampilan, guru harus kreatif dalam menyusun rencana
pembelajarannya, agar keduanya dapat diperhatikan secara seimbang. Dalam penilaian,
guru harus mampu berpikir kreatif, dapat mendesain soal-soal yang open-ended (soal-
soal yang divergen) serta dapat menilai dengan baik proses dan hasil pekerjaan siswa,
termasuk pekerjaan siswa yang tidak biasa. Dengan kata lain, kreativitas guru sangat
diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yang dikelola dan guru juga dituntut untuk
melaksanakan perubahan-perubahan yang khas dalam pembelajaran matematika, seperti
yang tercantum pada Tabel 2 di atas. Oleh karena itu, selain guru sendiri harus berfikir
dan bersikap kreatif, guru harus mampu untuk mendorong para siswanya agar mereka
pun dapat berfikir dan bersikap kreatif juga.
Selain guru, peserta didik juga harus dapat menumbuhkan kreativitas. Kreativitas
dalam hal ini diartikan sebagai suatu kegiatan mental peserta didik untuk menemukan
ide baru yang sesuai dengan tujuan. Ide tersebut adalah ide dalam memecahkan masalah
matematis dengan tepat sesuai dengan permintaan. Pada penerapannya aspek kebaruan
maupun fleksibilitas merupakan kunci utama dalam kreativitas. Aspek kebaruan bukan
berarti hal-hal yang benar-benar baru bagi peserta didik atau menemukan suatu metode
penyelesaian yang baru, melainkan sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang umum
dikenal atau melebihi tingkat pendidikan yang dimiliki peserta didik saat itu.
Fleksibilitas juga merupakan komponen kunci sebab sulit dikembangkan secara
mendadak. Pendefinisian komponen kreativitas itu sendiri sejalan dengan pendapat
Silver (1997) yang menyatakan bahwa komponen kreativitas terdiri dari kefasihan,
fleksibilitas dan kebaruan. Kefasihan diartikan sebagai kemampuan peserta didik
menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam solusi dan jawaban. Fleksibilitas
adalah kemampuan peserta didik menyelesaikan masalah dengan lebih dari satu
carasedangkan kebaruan adalah kemampuan peserta didik memeriksa jawaban dengan
berbagai metode penyelesaian dan kemudian membuat metode baru yang berbeda.
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 162
Kreativitas sebagai salah satu orientasi pembelajaran pada Kurikulum 2013 secara
lebih luas akan membekali peserta didik dengan keterampilan lain yang lebih kecil yang
melingkupinya. Keterampilan tersebut adalah keterampilan menggunakan berbagai
alasan secara efektif, keterampilan berpikir secara sistematik, keterampilan
mempertimbangkan dan membuat keputusan serta kemampuan memecahkan masalah.
Dengan demikian, sesuai dengan pengertian kreativitas yang sudah dikemukakan
sebelumnya, dalam mengelola pembelajaran dalam era Kurikulum 2013 guru harus
mampu bersikap fleksibel dalam menghadapi tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang
ada dan ia harus fasih (lancar) dalam menghasilkan gagasan-gagasan yang orisinal atau
inovatif untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya. Selain itu, peserta didik pun
harus belajar agar dapat fleksibel dalam menghadapi tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan
dalam pembelajaran serta dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran (gagasan-gagasan)
yang orisinal dalam menyelesaikan soal, mengerjakan tugas atau melakukan aktivitas
pembelajaran lainnya (Suwarsono, 2013).
Salah satu upaya yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan kreativitas pada
pembelajaran adalah dengan menerapkan proses belajar mengajar yang dipadankan
dengan suatu proses ilmiah. Kurikulum 2013 mengamanatkan pendekatan saintifik
(scientific approach) sebagai titian perkembangan dan pengembangan sikap,
keterampilan, serta pengetahuan peserta didik. Pada pendekatan saintifik, para ilmuwan
lebih mengedepankan penalaran induktif dibandingkan dengan penalaran deduktif
(Kemdikbud, 2014). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk menarik
kesimpulan yang spesifik, sebaliknya penalaran induktif memandang fenomena atau
situasi spesifik, untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Dengan
demikian, pendekatan saintifik berbeda dari pendekatan pembelajaran kurikulum
sebelumnya. Pada setiap langkah inti pembelajaran, guru akan melakukan langkah-
langkah pembelajaran sesuia dengan pendekatan ilmiah.
Hosnan menyebutkan bahwa pendekatan saintifik mempunyai kriteria proses
pembelajaran sebagai berikut.
a. Materi pembelajaran berbasis fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan
logika atau penalaran tertentu. Bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda atau
dongeng semula.
b. Penjelasan guru, respon peserta didik dan interaksi edukatif guru-peserta didik
terbebas dari prasangka atau pemikiran subjektif atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis.
c. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
materi pembelajaran.
d. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, kreatif, analitis,
dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan materi pembelajaran.
e. Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon materi pembelajaran.
f. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
g. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas serta menarik sistem
penyajiannya.
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 163
Di lain pihak, proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menyentuh tiga ranah,
yaitu sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Penjelasan dari
tiga ranah tersebut adalah sebagai berikut.
a. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik
“tahu mengapa”.
b. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu bagaimana”.
c. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu apa”.
Menurut Kemdikbud (2014), langkah-langkah pendekatan saintifik terdiri dari lima
pengalaman pengalaman belajar pokok, yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3)
mengumpulkan informasi; (4) mengasosiasi; dan (5) mengkomunikasikan. Kelima
pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai kegiatan belajar mengajar
sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Keterkaitan antara Langkah Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya
Langkah
Pembelajaran
Kegiatan Belajar Kompetensi yang
Dikembangkan
Mengamati Membaca, mendengar,
menyimak, dan melihat (tanpa
atau dengan alat).
Melatih kesungguhan, ketelitian,
dan mecari informasi.
Menanya Mengajukan pertanyaan tentang
informasi yang tidak dipahami
dari apa yang diamati atau
pertanyaan untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang apa
yang diamati (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke
pertanyaan yang bersifat
hipotetik).
Mengembangkan kreativitas, rasa
ingin tahu, kemampuan
merumuskan pertanyaan untuk
membentuk pikiran kritis yang
perlu untuk hidup cerdas dan
belajar sepanjang hayat.
Mengumpulkan
informasi atau
eksperimen
Melakukan eksperimen
Membaca sumber lain selain
buku teks
Aktivitas
Wawancara dengan narasumber
Mengembangkan sikap teliti,
jujur, sopan, menghargai
pendapat orang lain, kemampuan
berkomunikasi, menerapkan
kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai cara
yang dipelajari, mengembangkan
kebiasaan belajar dan belajar
sepanjang hayat.
Mengasosiasikan
atau mengolah
informasi
Mengolah informasi yang
sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan atau
eksperimen maupun hasil dari
kegitan mengamati dan
kegiatan mengumpulkan
informasi.
Pengolahan informasi yang
dikumpulkan dari yang bersifat
menambah keluasan dan
kedalaman sampai pada
pengolahan informasi yang
bersifat mencari solusi dari
berbagai sumber yang memiliki
pendapat yang berbeda sampai
Mengembangkan sifat jujur, teliti,
disiplin, taat aturan, kerja keras,
kemampuan menerapkan
prosedur, dan kemampuan
berpikir induktif serta deduktif
dalam menyimpulkan.
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 164
Langkah
Pembelajaran
Kegiatan Belajar Kompetensi yang
Dikembangkan
kepada yang bertentangan.
Mengkomunikasikan Menyampaikan hasil
pengamatan, kesimpulan
berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulism atau
media lainnya.
Mengembangkan sikap jujur,
teliti, toleransi, kemampuan
berpikir sistematis,
mengungkapkan pendapat dengan
singkat, jelas dan
mengembangkan kemampuan
berbahasa dengan baik dan benar.
Hasil akhir dari penerapan pendekatan saintifik pada Kurikulum 2013 adalah
peningkatan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft
skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak
(hard skills) dari peserta didik, yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengutan yang terintegrasi. Hal
ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
C. Simpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pentingnya menumbuhkan
kreativitas dalam upaya penerapan Kurikulum 2013. Upaya tersebut tidak hanya berlaku
bagi guru tetapi juga berlaku bagi peserta didik. Tuntutan akan banyaknya kreativitas
yang dibutuhkan pada proses pembelajaran jika dikelola dan dilaksanakan dengan baik
akan dapat menumbuhkan kreativitas guru dan peserta didik. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk menumbuhkan hal tersebut yaitu dengan menerapkan pendekatan
saintifik. Esensi pendekatan saintifik pada Kurikulum 2013 diyakini sebagai titian emas
perkembangan dan pengetahuan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik.
Saran yang perlu dicatat bagi pendidik adalah bagaimana mengimplementasikan
pendekatan saintifik sebagai upaya menumbuhkan kreativitas pendidikan peserta didik
dengan membiasakan mereka dengan masalah-masalah yang divergen yang sering
terjadi pada kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, peningkatan kreativitas guru dan
peserta didikmelalui pendekatan saintifik akan meningkatkan kualitas pembelajaran
matematika di Indonesia secara keseluruhan.
D. Daftar Pustaka
Abidin, Y. 2014. Desain Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung:
Refika Aditama.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Kemdikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Ajaran
2013/2014. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan.
Kemdiknas. 2010. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan. [Online].Tersedia di http://luk.staff.
ugm.ac.id/atur/PP17-2010Lengkap.pdf .Diakses 10 Oktober 2013.
Menumbuhkan Kreativitas melalui Pendekatan Saintifik
ISBN 978-602-1034-06-4 165
Majid, A. 2014.Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Interes Media.
Rohmad. Keterampilan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran
Matematika.(Online).(http://matematika.unnes.ac.id/file-artikel-seminar-nasional-
matematika-2013-makalah-utama/, diakses 29 September 2014)
Silver, E. A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical
Problem Solving and Thinking in Problem Posing.(Online).
(http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf, diakses 10 Oktober 2013)
Siswono, T. Y. E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif.
Surabaya: Unesa University Press.
Suwarsono. 2013. Pengembangan Kreativitas dalam Pembelajaran Matematika pada
Kurikulum 2013. Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 20
November 2013. Surakarta
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 166
KONSEP PEMBELAJARAN SCIENCE – TECHNOLOGY –
ENGINEERING – MATHEMATICS (STEM) DENGAN
MATEMATIKA SEBAGAI ALAT ATAU BAHASA KOMUNIKASI
DALAM KURIKULUM 2013
Suhud Wahyudi, Surya Rosa Putra, Darmaji, Soleha
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
Surel: [email protected]
Abstrak
Bersamaan dengan semakin derasnya arus informasi yang melanda dunia, muncul
perubahan pemikiran yang drastis yaitu pembentukan knowledge-based society, yaitu
masyarakat yang berbasis pada pengetahuan. Artinya seluruh aktifitas sosio-ekonomik
masyarakat direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi dengan basis-basis pengetahuan
mutakhir. Ini bisa terjadi bila ada transfer pengetahuan dari institusi pengembang
pengetahuan dan ada orang-orang berpengetahuan yang melaksanakannya. Dengan cara ini,
kekuatan sosio-ekonomi dan budaya masyarakat tidak lagi bergantung pada kekayaan alam
atau industri, tetapi pada kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat. Sains
adalah bagian dari usaha (pendidikan) untuk menjadi manusia logis. Oleh karena itu
pembelajaran sains sebaiknya dilangsungkan secara konstruktif sehingga konsep, teori dan
hukum-hukum yang dihasilkan lebih komprehensip dan mendasar. Meskipun beban
pembelajaran ini adalah tugas perguruan tinggi, namun karena sifat konstruktif sains ini,
peran sekolah menengah atas yang mensuplai calon mahasiswa juga sangat besar. Dalam
makalah ini, dikaji konsep pembelajaran sains integratif Science-Technologi-Enginering-
Mathematics (STEM) dengan matematika menjadi alat atau bahasa komunikasi dalam
pembelajaran ini. Konsep pembelajaran ini dapat diterapkan di sekolah menengah atas
dalam rangka mendukung kurikulum 2013.
Kata Kunci : Socio–ekonomik, STEM, Kurikulum 2013
A. Pendahuluan
Globalisasi sebagai pemicu knowledge-based society
Isu globalisasi yang telah digulirkan sejak lebih dari satu dekade yang lalu ternyata
membuat Indonesia panik dalam merespon berbagai perubahan yang begitu cepat.
Belum lagi suatu kebijakan dan program diimplementasikan, datang lagi perubahan
dunia yang menuntut dibuatnya kebijakan dan program baru. Itu terjadi disemua aspek
penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Namun, pada
kenyataannya, ketakutan tersebut berlebihan. Sampai saat ini, institusi pendidikan dan
tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia belumlah signifikan. Efeknya, gerakan
perubahan tersebut tidak sampai pada ujung tombak pendidikan itu sendiri: sekolah atau
perguruan tinggi. Output yang kemudian lahir, lebih berbentuk pajangan, seperti
lahirnya RSBI, yang sering diplesetkan sebagai Rintisan Sekolah Berbahasa Inggris,
atau BAN-PT (Badan Akreditisasi Nasional-Perguruan Tinggi) yang membuat sibuk
Perguruan Tinggi untuk memberesi administrasi dan manajemen sepanjang tahun.
Guru/dosen, proses belajar-mengajar, sarana/prasarana, dan akhirnya kualitas lulusan
tetap seperti dulu kala. Belakangan, bersamaan dengan semakin derasnya arus informasi
yang melanda dunia, muncul perubahan yang lebih drastis: pembentukan knowledge-
based society. Terjemahan bebasnya adalah masyarakat yang berbasis pada
pengetahuan. Artinya seluruh aktifitas sosio-ekonomik masyarakat direncanakan,
dilaksanakan dan dievaluasi dengan basis-basis pengetahuan mutakhir. Ini bisa terjadi
bila ada transfer pengetahuan dari institusi pengembang pengetahuan dan ada orang-
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 167
orang berpengetahuan yang melaksanakannya. Dengan cara ini, kekuatan sosio-
ekonomi dan budaya masyarakat tidak lagi bergantung pada kekayaan alam atau
industri, tetapi pada kreatifitas dan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat.
Perubahan ini telah terjadi di beberapa negara maju. Negara-negara uni-europa
telah mencanangkannya sejak 10 tahun yang lalu. Negara-negara seperti Singapura dan
Swiss, malah telah menerapkannya sejak lama. Keduanya tidak punya sumber daya
alam dan industri apa-apa, tetapi sangat kreatif dan inovatif dalam menghidupkan
kegiatan ekonomi. Caranya adalah dengan membangun network dan menyerap
informasi dari berbagai belahan dunia melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita
tentu perlu khawatir dengan perubahan ini.
Antisipasi yang dilakukan Indonesia adalah meningkatkan peran perguruan tinggi,
dari sekedar tempat pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu menjadi agen yang bisa
mentransfer saintek ke dalam masyarakat, dan memproduksi sarjana sebanyak-
banyaknya. Antisipasi ini mudah untuk dikatakan, tetapi, seperti respon awal dari
globalisasi, menemui banyak problem di lapangan, terutama dalam penyelenggaraan
perguruan tinggi itu sendiri.
Secara umum, problema tersebut ada pada variasi kualitas mahasiswa yang masuk.
Perguruan tinggi boleh saja memiliki dosen dan fasilitas yang mumpuni, tetapi bila
mahasiswa yang masuk tidak mempunyai standar kemampuan berpikir tingkat tinggi,
maka kinerja perguruan tinggi tidak akan berubah seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar-1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perguruan tinggi.
Faktor mahasiswa paling dominan.
Falsafah inilah yang melahirkan seleksi masuk perguruan tinggi. Prosesnya sudah
barang tentu dilakukan oleh perguruan tinggi karena merekalah yang mengerti
standarnya. Tetapi, seperti diketahui bersama, perguruan tinggi saat ini seolah
“diharuskan” menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya dan sebagian besar (50%)
harus “diseleksi” oleh sekolah itu sendiri. Inilah kemudian yang melahirkan problem
besar dalam pendidikan tinggi, dan kemudian, menjadi problem besar dalam
membentuk kowledge-based society tadi.
Problem tersebut, sudah berusaha dipecahkan oleh pemerintah, antara lain dengan
menerbitkan Kurnas 2013 untuk SD, SMP dan SMA, atau sekolah yang sederajat, dan
KKNI (Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia) 2012 untuk acuan perubahan kurikulum
perguruan tinggi. Kurnas 2013 dimaksudkan untuk menghasilkan standar lulusan
sehingga seluruh lulusan sekolah menengah atas, termasuk SMK, layak untuk
melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sementara KKNI, anehnya, menetapkan
kualifikasi yang harus dimiliki seseorang lulusan institusi pendidikan, termasuk SMA,
untuk bekerja dalam masyarakat. Namun, penyelesaian pada level kebijakan saja
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 168
tidaklah cukup. Kurikulum dan KKNI hanyalah bagian kecil dari faktor-faktor yang
mempengaruhi pendidikan. Dari kurikulum 2013 yang terbentuk, perlu dipikirkan faktor
lain, yaitu materi ajar, karakter peserta didik, kemampuan pengajar, proses belajar-
mengajar, fasilitas, dan lain-lain. Dalam konteks kesinambungan pendidikan sebaiknya
ada dialog yang intens antara institusi perguruan tinggi dan sekolah menengah.
Tujuannya adalah agar tercapai titik temu antara standar calon mahasiswa yang
diiinginkan perguruan tinggi dengan standar calon mahasiswa yang mampu dihasilkan
oleh sekolah menengah. Dengan demikian, kinerja kedua institusi tersebut bisa
dilangsungkan secara efisien dan efektif.
B. Pembahasan
1. Mengapa pendidikan sains itu penting?
Meskipun, katanya, beban kurikulum di sekolah menengah sudah dikurangi, pada
kenyataannya beban siswa tetap saja tinggi. Bahkan, kalau dulu seorang yang masuk
“IPA” bisa fokus pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi, sekarang
diharuskan menguasai 9 mata pelajaran lain yang “lebih” penting. Mata pelajaran IPA
dan juga IPS hanya menjadi mata pelajaran bidang minat. Padahal, aslinya, IPA dan IPS
atau kita sebut sains saja, adalah salah satu tools untuk membentuk pola pikir yang
konstruktif, kreatif dan inovatif. Sains dalam pendidikan bukanlah untuk pengembangan
sains tetapi sebagai bagian dari pendidikan itu sendiri. Istilah yang populer saat ini
adalah: Education through science. Paragraf-paragraf berikut mencoba menjelaskan
pengertian pemahaman ini secara ringkas.
2. Mencari pengetahuan sebagai bagian dari fitrah manusia
Mungkin sedikit dari kita yang menyadari bahwa fitrah manusia yang paling hakiki
adalah suka pada hal-hal yang benar, baik dan indah. Kesukaan pada ketiga hal ini
menghasilkan tiga jenis pengetahuan, masing-masing ilmu (pengetahuan logis), moral
(pengetahuan etis), dan rasa (pengetahuan estetis). Jadi, dari proses penciptaannya,
manusia tersebut memang sudah didisain berbeda dari makhluk lainnya oleh Allah
SWT.
Gambar-2 Level Kemampuan Berfikir sebagai Fungsi Kepintaran dan Kecerdasan Dalam
Mengelola Pengetahuan Logis
Namun, apa sebabnya hal-hal yang salah, buruk dan jelek masih ditunjukkan
seseorang? Ini berkaitan dengan fitrah manusia yang lain. Sebagai materi dan sistem
alamiah umumnya berlaku hukum termodinamika yang mengatakan bahwa setiap
proses dialami cenderung melepaskan energi dan menaikkan ketidakteraturan (entropi).
Artinya, bila suatu sistem ingin melakukan proses sebaliknya, maka harus ada energi
yang diserap dari luar sistem. Bila ini dihubungkan dengan pembentukan pengetahuan,
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 169
maka untuk menjadi seseorang yang menguasai hal-hal yang benar, baik dan indah tadi,
harus didatangkan energi dari luar. Energi ini bahasa awamnya adalah usaha, sementara
penguasaan ketiga pengetahuan disebut kepintaran. Jadi, seseorang bisa saja suka pada
yang baik, tetapi dia tidak pernah berusaha untuk mendapatkannya, sehingga
performanya tetap menjadi orang yang buruk terus. Usaha ini lah yang disebut
pendidikan.
Untuk menjadi manusia yang hakiki, kepintaran saja tidaklah cukup. Hal lain yang
dibutuhkan adalah kecerdasan, yakni kemampuan otak untuk mengolah,
merekonstruksi, dan kemudian mengekspresikan pengetahuan yang diperoleh, sehingga
menjadikan seorang manusia menjadi makhluk yang logis, etis dan estetis. Ungkapan
populer untuk kualitas manusia ini adalah berkarakter. Seorang yang pintar tetapi tidak
cerdas, seperti komputer super tanpa listrik: data dan softwarenya canggih, tetapi tidak
berguna. Pepatah Cina bilang, seperti “orang yang tidak tahu dengan ketahuannya”.
Sebaliknya, seorang yang cerdas tapi tidak pintar, seperti emas dalam lumpur. Fitrahnya
sebagai makhluk logis, etis dan estetis tidak akan terekspos. Dalam konteks
pengetahuan logis, gabungan antara kepintaran dan kecerdasan ini akan melahirkan
kemampuan berpikir konseptual, prosedural dan metakognitif. Kemampuan-
kemampuan inilah, pada gilirannya, akan memicu kreatifitas dan inovasi dalam
menghasilkan pengetahuan-pengetahuan logis baru yang bermanfaat untuk peningkatan
kualitas sosial-ekonomi masyarakat.
3. Sains: definisi dan struktur
Dalam bahasa Inggris, pengetahuan logis tersebut dikenal sebagai science.
Sebagian besar orang menerjemahkannya sebagai ilmu pengetahuan. Namun,
terjemahan ini menimbulkan masalah, terutama untuk terjemahan kata-kata turunannya.
Semisal terjemahan untuk scientist dan scientific, aneh rasanya kalau kedua kata itu
berubah menjadi ilmu pengetahuan-wan atau ke-ilmu-pengetahuan-an.
Agar problem bahasa tersebut tidak berlarut-larut, belakangan orang lebih condong
menggunakan kata sains saja. Maka, kalau dulu ada kata-kata IPTEK, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, sekarang muncul Sain(s)Tek. Di perguruan tinggi pun
demikian, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) berubah menjadi
Fakultas Sains, atau, biar terlihat gagah, ditambah dengan kata-kata Teknologi,
sehingga menjadi Fakultas Sains dan Teknologi. Tahun 2013 ini, materi ujian masuk
perguruan tinggi yang dulu namanya Kemampuan Dasar IPA, diganti menjadi
Kemampuan Dasar SainTek. Sayang, penggunaan kata “saintek” ini menimbulkan
kerancuan baru, karena materi ujian yang asalnya Kemampuan Dasar IPS menjadi
Kemampuan Dasar Sosial-Humaniora. Seolah-olah Sosial-Humaniora tersebut bukan
science. Padahal, IPA dan IPS tersebut menunjukkan konsistensi penggunaan kata-kata
“ilmu pengetahuan” untuk science. IPA adalah terjemahan dari natural science,
sedangkan IPS adalah social science. Karena itu, dalam tulisan ini, sains yang dimaksud
adalah keseluruhan pengetahuan logis yang ada.
Seperti diungkapkan di awal, sains dicari, dipelajari dan dikembangkan untuk
memenuhi rasa keingintahuan manusia tentang kebenaran yang ada di alam ini.
Kebenaran tersebut berwujud konsep, teori dan hukum-hukum tentang semua sifat,
perilaku dan perubahan yang dialami materi alamiah. Kebenaran yang satu akan
menghasilkan kebenaran yang lain, sehingga pengembangan sains sangat bersifat
konstruktif. Semakin banyak kebenaran yang diperoleh, semakin berkembang kualitas
berpikir, dan semakin banyak kreatifitas dan inovasi yang muncul. Sifat konstruktif
sains menjadi dasar pencarian dan pengembangan sains itu sendiri. Secara umum, sifat
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 170
ini, mungkin dapat digambarkan dalam bagan seperti pada gambar-3. Aslinya, bagan
tersebut berasal dari penelusuran frekuensi cabang sains yang paling sering dirujuk
dalam berbagai artikel ilmiah. Tetapi, setelah dianalisis, frekuensi ini ternyata selaras
dengan struktur pengembangan sains yang berasal dari sejarah.
Pada Gambar 2, terlihat, bahwa seseorang yang ingin mempelajari sains apa pun,
harus dibekali dengan logika. Logika ini, diwujudkan dalam simbol-simbol matematika.
Inilah yang menjadi dasar, mengapa pada usia dini, matematika lah yang dipelajari
pertama kali. Matematika populer disebut sebagai Mother of Science: orang yang
melahirkan sains.
Sebagai induk, Matematika merupakan cabang ilmu yang berdiri sendiri. Untuk
mempelajarinya, seseorang tidak perlu mempelajari ilmu lain terlebih dahulu. Dengan
mempelajari Matematika, orang akan lebih mudah mempelajari ilmu lainnya. Ilmu
Fisika, Kimia dan Biologi adalah dengan menemukan (discover), sedangkan ilmu
matematika adalah menciptakan (invent).
Pada tahap selanjutnya, sang pelajar ini diperkenalkan pada sifat dan perilaku
materi alam yang dapat dirasakan oleh semua panca indera. Diantara yang utama adalah
tentang karakter materi yang terlihat (bentuk, ukuran, massa, volume, warna, bau,
dsb.nya), tentang perubahan wujud materi, serta perpindahan materi tersebut dalam
ruang dan waktu. Secara umum, bekal yang diperoleh menyangkut
konsep/teori/hukum-hukum gaya, energi dan medan yang terlibat dalam perubahan fisik
materi. Bekal ini dikenal sebagai ilmu fisika, atau sering identik dengan Fundamental of
Science: fondasi semua sains.
Begitu fondasi sains kuat, seseorang akan tergerak untuk mengubah-ubah sifat
materi. Materi yang gampang rusak karena panas diubah menjadi materi yang tahan
panas. Karena bagian terkecil yang membawa sifat materi ini adalah molekul,
perubahan tersebut dimungkinkan bila kita bisa mengutak-atik struktur molekul. Semua
ini bisa diwujudkan dengan ilmu kimia.
Gambar-3 Konstruktivisme Sains
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 171
Pemahaman tentang dasar-dasar kimia akan membawa seseorang pada pencarian
dan pengembangan sifat dan perilaku materi lain. Karena kespesifikan sains adalah
kespesfikan materi, maka proses ini akan melahirkan banyak bidang sains. Bila materi
itu adalah makhluk hidup, pencarian dan pengem-bangan tersebut ada dalam wilayah
Biologi. Jika berhubungan dengan benda langit, domainnya adalah astrosains, dst.nya.
Maka sangatkah wajar bila ada yang berpendapat bahwa Kimia itu adalah Central of
Science. Pada level yang lebih tinggi, bidang-bidang sains tersebut akan saling
bersinergi, menghasilkan teknologi dan rekayasa (engineering). Teknologi adalah teknik
dan tools untuk memodifikasi konsep/teori/hukum alam, sedangkan engineering adalah
pemanfaatan sains dan teknologi untuk merancang teknologi yang berhubungan dengan
problem nyata kehidupan.
Pada akhirnya, apapun sains, teknologi dan engineering, yang dikembangkan, pasti
ditujukan untuk peningkatan kualitas sosio-ekonomi masyarakat. Karena masyarakat
sendiri adalah “materi” alamiah, maka sosio-ekonomi juga menjadi salah satu kelompok
sains. Peningkatan kualitas sosio-ekonomi masyarakat sendiri bermuara pada
pencapaian fitrah manusia yang hakiki: menjadi makhluk logis, etis dan estetis. Oleh
sebab itu, sosio-ekonomi sains saja tidaklah cukup. Masih ada pengetahuan etis yang
harus dipunyai, dan itu bisa diperoleh dengan mempelajari ilmu Hukum.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sains adalah bagian usaha manusia
menuju manusia yang sesungguhnya. Karena usaha itu adalah pendidikan, bisa
disimpulkan bahwa sains adalah bagian dari pendidikan. Artinya, proses pencarian dan
pengembangan sains, sejatinya bukanlah untuk sains itu sendiri, tetapi untuk
meluruskan pendidikan pada jalan yang seharusnya.
4. Problema pembelajaran sains
Bagan konstruktif cabang-cabang sains tersebut memperlihatkan bahwa
pembelajaran sains haruslah bersifat komprehensif dan mendasar. Komprehensif
berarti bisa melihat bahwa satu cabang sains berhubungan dengan cabang sains lain.
Mendasar artinya, bahwa konstruksi sains yang dibangun akan lebih kokoh bila proses
pembelajarannya mengikuti pola yang ada pada bagan tersebut. Kedua sifat tersebut
akan memupuk semangat integrasi dan networking dalam pencarian dan
pengembangan sains pada semua level institusi pendidikan. Bila pola pembelajaran
tersebut tidak diikuti, maka konsep/teori/hukum sains yang dipelajari tidak memiliki
makna untuk pencarian dan pengembangan sains berikutnya. Problem inilah yang
sekarang dirasakan oleh Perguruan Tinggi. Pengamatan empiris pada mahasiswa tahun
pertama di ITS menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka:
a. Lupa dengan konsep-konsep Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi
b. Masuk ke jurusan tertentu karena menghindari salah satu sains dasar
c. Tidak mengerti manfaat sains dasar yang diajarkan untuk sains/teknologi yang
tengah mereka geluti
Ketiga problem tersebut menyulitkan ITS untuk mengangkat derajat mahasiswa ini
untuk menjadi lulusan “logis” yang akan dijadikan ujung tombak pembentukan
knowledge-based society. Produk yang dihasilkan bukan lagi saintis dan insinyur, tetapi
pekerja dan tukang. Itu pun bisa kalah (kalau tidak mengantongi ijazah sarjana) dengan
pekerja dan tukang profesional.
Mengacu pada struktur konstruktif pembelajaran sains pada Gambar-3, akar
problemnya adalah struktur dan proses pembelajaran sains. Pemerintah melalui Kurnas-
2013 kelihatannya tengah mengupayakan hal ini. Pada level SD, Matematika dan
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 172
Bahasa sudah menjadi fokus utama. IPA sudah hilang. Pada level SMP, sains melalui
metoda saintifik mulai diperkenalkan sebagai bagian dari pendidikan secara luas.
Karena itu IPA dan IPS tetap dalam bentuk sains lintas disiplin dengan fokus pada
manusia dan perilaku alam sehari-hari. Sementara, pada tingkat SMA, sains
ditempatkan sebagai bidang minat untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Namun,
setiap pelaku pendidikan sangat paham bahwa kurikulum hanya bagian kecil dari
perubahan. Lagipula, Kurnas tersebut dikembangkan bukan berdasarkan evaluasi riil
tentang kualitas peserta didik. Acuannya adalah masa depan, yang bisa saja berubah,
dan jenis-jenis kurikulum yang telah diterapkan di berbagai negara. Celakanya, menurut
salah seorang konseptor Kurnas-2013 tersebut, kurikulum ini adalah campuran antara
kurikulum berbasis kompetensi dengan kurikulum berbasis isi, dan kurikulum berbasis
PBM (proses belajar-mengajar). Pada hal implementasi antar jenis-jenis kurikulum
tersebut bisa bertentangan. Kurikulum berbasis kompetensi murni yang diterapkan di
Inggris, misalnya, membebaskan sekolah untuk menetapkan standar guru, standar isi
dan standar PBM. Hanya kompetensinya yang dikawal pemerintah. Sementara
kurikulum berbasis isi di Singapura dan China ditetapkan secara terpusat. Kompetensi
akan lahir sesuai dengan kinerja sekolah masing-masing. Penggabungan kedua filosofi
penyusunan kurikulum ini tentu saja akan menimbulkan kebingungan. Bahkan bisa jadi
akan menimbulkan efek kontra produktif alias tidak menghasilkan apa-apa. Ibarat
penjumlahan dua vektor berlawanan arah dalam fisika: besarnya bisa sama tetapi
resultante-nya akan bernilai NOL. Mengubah kebijakan yang sudah dicanangkan
pemerintah tidak mungkin. Sebagai bagian terdepan dalam proses pendidikan, sekolah,
mau tak mau harus mengikutinya. Tetapi, itu bukan berarti tidak ada yang bisa
dilakukan. Orang bijak bilang, bila kita tidak mampu mengubah dunia, beradaptasilah
dengan mengubah diri sendiri.
Berangkat dari filosofi di atas, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan agar
pembelajaran sains tetap dijalurnya. Upaya-upaya itu adalah: (a) Membuat dan
menjalankan konsep pembelajaran sains integrative, (b) Mengadopsi pola pembelajaran
STEM (sains-teknologi-engineering-mathematics)
1. Membuat dan menjalankan konsep pembelajaran sains integratif
Konsep pembelajaran sains integratif adalah perwujudan dari bagan konstruktif
pencarian dan pengembangan sains seperti pada Gambar-3. Konsep ini tentu saja tidak
dapat dikembangkan oleh satu bidang sains saja. Jadi, konsep pembelajaran Biologi,
misalnya, disusun oleh guru Biologi, Kimia, Fisika dan Matematika.
Contoh konsep pembelajaran ini bisa dilihat pada Gambar-4. Bidang sains yang
diambil adalah Biologi. Disana diperlihatkan bahwa konsep pembelajaran bisa dimulai
dengan menetapkan problema seperti pada rencana pembelajaran kurikulum berbasis
kompetensi. Dalam hal ini problema awalnya adalah apakah yang harus dilakukan
supaya tanaman tumbuh dengan baik? Penyelesaian problem ini pada awalnya
membutuhkan konsep-konsep yang umum, seperti konsep-konsep hidup dan kehidupan,
dan ciri-ciri kehidupan. Setelah itu, siswa memerlukan konsep-konsep biologi tentang
sel dan aktifitasnya. Pemahaman tentang sel dan aktifitasnya ini dimungkinkan dengan
memberikan konsep-konsep fisika tentang hukum kekekalan materi, gerak, dan laju
pertumbuhan. Untuk transformasi materi yang terjadi selama pertumbuhan tanaman,
siswa memerlukan konsep-konsep yang berhubungan dengan biomolekul.
Pada tahap berikutnya, siswa memerlukan rancangan algoritma pemecahan problem
yang diberikan. Rancangan ini, misalnya, mulai dari penentuan kadar air sampai dengan
membuat model analogi kandungan antara kadar unsur tanaman dengan ukuran
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 173
tanaman. Pada akhirnya, siswa akan dapat mengambil kesimpulan apa yang harus
dilakukan untuk menumbuhkan tanaman.
Pembuatan konsep pembelajaran ini tentu saja tidak mudah tetapi bisa dilakukan.
Masalah utama tentu datang dari keperluan eksperimen. Masalah ini menjadi masalah
besar saat ini dalam semua bidang sains yang menerapkan eksperimen dalam
pembelajarannya. Termasuk di Perguruan Tinggi. Namun, sekarang ada jalan keluar
yang bisa dipakai: eksperimen virtual menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi. Software-software ini sudah beredar banyak di pasaran. Kalaupun tidak
ada, banyak orang yang bisa membuatnya. Hal yang penting adalah gagasan dari para
pendidik untuk membuat eksperimen yang efisien dan efektif. Jalan lain tengah dirintis
oleh ITS: membuat miniscale laboratories. Dengan model ini, eksperimennya dilakukan
dalam wujud nyata, tetapi peralatan dan bahannya dibuat minimalis.
2. Mengadopsi pola pembelajaran STEM
Pola pembelajaran STEM adalah pola pembelajaran integratif yang melibatkan
science-technology-engineering-mathematics dalam satu kesatuan utuh. Pola ini sedang
berkembang di Amerika sebagai jawaban terhadapnya minat pelajar untuk menjadi
saintis dan insinyur.
Secara ringkas, pola ini mirip dengan pola pembelajaran kontekstual. Disini, siswa
diperkenalkan dengan manfaat terkini dari STEM yang dipelajari, lalu diberikan
problem-problem sederhana yang mewakili problem yang dialami juga oleh saintis dan
insinyur profesional. Untuk keperluan STEM ini, perguruan tinggi akan menyiapkan
miniatur peralatan dan metoda yang digunakan dalam pencarian sains dan teknologi,
lalu membawanya ke sekolah-sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan kerjasama yang
erat antara sekolah dan perguruan tinggi.
Di Amerika, pola STEM sudah menjadi kebijakan Obama, sehingga menjadi
program nasional. Di Indonesia, pola ini barangkali bisa diawali dengan kerjasama
parsial antara ITS dengan sekolah-sekolah yang berminat. Kami sudah mengenalkan
konsep pembelajaran ini ke beberapa SMA di kota-kota Jawa Timur dengan respon
yang memuaskan.
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 174
Apakah yang harus dilakukan agar tanaman tumbuh
dengan baik
Hidup dan kehidupan
Ciri makro
Bernafas Makan Bergerak Tumbuh Berkembang biak
Bandingkan dengan ciri benda mati: mesin
Sel sebagai unit terkecil kehidupan
Bernafas Makan Bergerak Tumbuh Berkembang biak
Pertambahan
ukuran
Pertambahan jumlah
Laju
pergerakan
Penyerapan
entropi
Kekekalan materi
Laju pertumbuhan dan
perkembangbiakan
Kekekalan energi
Transformasi
energi
PROBLEM
KONSEP
UMUM
KONSEP
BIOLOGI
KONSEP FISIKA
Transformasi materi
Transformasi
materi Komposisi
DNA Enzim Sintesis
protein
Katali
sis
Metabolisme
Nukelotid
a
asam amino glukosa, asam
lemak
laju
katalisis energi materi
baru C, H, O, N, P
BERGERAK, TUMBUH
dan BERKEMBANG
Model kekekalan materi dan energi
Model laju pertumbuhan dan
perkembangbiakan
Model laju katalisis enzim
Menentukan kandungan C, H, N, O, P sel
Menentukan jumlah dan jenis senyawa analog dengan C, H, N, O, P yang jadi prekursor metabolisme
Menumbuhkan sel dalam media yang mengandung variasi senyawa analog
Membuat model hubungan antara kandungan senyawa analog dengan jumlah sel
KONSEP KIMIA
MATEMATIKA
Karbohidrat
dan Lipid
Konsep Pembelajaran Science – Technology – Engineering – Mathematics (STEM)
ISBN 978-602-1034-06-4 175
C. Simpulan dan Saran
Pembelajaran sains sebaiknya dilangsungkan secara konstruktif sehingga
konsep/teori/hukum-hukum yang dihasilkan lebih komprehensif dan mendasar.
Meskipun beban pembelajaran ini adalah tugas perguruan tinggi, namun karena sifat
konstruktif sains ini, peran sekolah menengah yang menyuplai calon mahasiswa juga
sangat besar.Oleh karena itu komunikasi dan kerjasama perguruan tinggi dan sekolah
sangatlah dibutuhkan.
D. Daftar Pustaka
John Thomasian. 2011. Building Science, Technology, Engineering and Math.
Education Agenda. An Update of State Actions.USA: National Governors
Association.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2013. Buku Guru Matematika. Peraturan
menteri pendidikan pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 70
tahun 2013.
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 176
MENGKLASIFIKASI KESALAHAN SISWA
DALAM MENGERJAKAN SOAL URAIAN MATEMATIKA
BERDASARKAN PROSEDUR NEWMAN
Amin Suyitno
Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Dalam pelajaran matematika, soal uraian biasa diberikan guru kepada para siswa, baik
pada saat latihan soal maupun pada saat guru mengadakan ulangan harian. Kenyataannya,
pada saat guru memberikan nilai yang sama kepada siswa yang berbeda, belum tentu
kesalahan yang dialami kedua siswa tersebut memiliki jenis yang sama. Menurut Prosedur
Newman, jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian ada 5 jenis. Kelima jenis
tersebut adalah: Reading Errors (R), Comprehension Errors (C), Transformation Errors
(T), Process Skills Errors (P), dan Encoding Errors. Dengan memberikan pengetahuan
yang benar, terkait dengan jenis-jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian
matematika ini, maka diharapkan para siswa dapat secara maksimal mengurangi jenis-
jenis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal bentuk uraian.
Kata Kunci: Prosedur Newman, Soal Uraian, dan Jenis Kesalahan
A. Pendahuluan
Dalam pelajaran matematika, soal uraian biasa diberikan guru kepada para siswa,
baik pada saat latihan soal maupun pada saat guru mengadakan ulangan harian. Siswa
atau mahasiswa mengalami kesalahan pada saat mengerjakan suatu soal uraian
matematika merupakan hal yang wajar bisa terjadi. Namun di lain pihak, dua siswa
yang sama-sama memperoleh nilai 70 dalam nilai akhirnya, kedua siswa tersebut belum
tentu memiliki tingkat kesulitan yang sama, belum tentu memiliki letak kesalahan yang
sama, dan belum tentu pula kedua siswa itu memiliki jenis atau klasifikasi kesalahan
yang sama.Agar siswa terhindar dari berbagai jenis kesalahan, maka guru harus melatih
para siswanya agar para siswa terlatih membaca soal, mampu menangkap makna soal,
dan akhirnya guru mampu mendemonstrasikan pekerjaannya di papan tulis agar siswa
semakin jelas. Walaupun pola pencarian klasifikasi jenis kesalahan untuk siswa dan
mahasiswa itu sama, tapi pada makalah ini hanya ditekankan kepada para siswa.
Berdasarkan uraian seperti yang ditulis dalam pendahuluan di atas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana tahapan Prosedur Newman untuk mendeteksi jenis kesalahan
penyelesaian soal matematika yang dilakukan oleh siswa?
2. Apakah prosedur Newman dapat dikembangkan lagi sehingga dapat dipakai sebagai
alat mengidentifikasi tipe jenis kesalahan yang lain?
3. Bagaimana cara melatih siswa agar setelah terdeteksi jenis kesalahannya dalam
mengerjakan soal matematika, maka guru dapat memperbaiki kualitas jawaban
siswa, sehingga untuk selanjutnya siswa dapat menghindari kesalahan semaksimal
mungkin.
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Agar dapat diketahui klasifikasi kesalahan siswadalam mengerjakan soal uraian
matematika berdasarkan Prosedur Newman.
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 177
2. Untuk mengetahui apakah ada jenis klasifikasi kesalahan lain yang diperoleh, selain
dari jenis kesalahan yang diperoleh berdasarkan Prosedur Newman.
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Guru dapat mencari tindakan kuratif pembelajaran, sesuai dengan jenis klasifikasi
kesalahan siswa yang diperoleh dalam mengerjakan soal uraian matematika
berdasarkan Prosedur Newman.
2. Dengan diketahuinya klasifikasi kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian,
maka guru dapat secara dini mencegah kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat
dilakukan siswa.
B. Tinjauan Pustaka
1. Soal Uraian
Untuk menyamakan persepsi maka dalam makalah ini, yang dimaksud dengan soal
uraian adalah suatu soal yang penyelesaiannya dilakukan dengan menuliskan secara
rinci tentang apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, menuliskan rumus-rumus yang
akan digunakan, menuliskan solusinya secara rinci, sampai mendapatkan jawab yang
benar, sesuai dengan apa yang ditanyakan. Soal jenis uraian dapat berupa soal cerita
(soal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari), atau soal yang uraian biasa yang tidak
terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Contoh soal uraian yang bukan soal cerita:
1. Sebuah persegipanjang, panjangnya 10 cm dan lebarnya 7 cm. Hitunglah luas
daerah persegipanjang tersebut.
Penyelesaian Soal Uraian tersebut di atas:
Diketahui: Sebuah persegipanjang.
Panjang = 10 cm dan lebar = 7 cm
Hitunglah: Luas daerah persegipanjang.
Jawab:
L = p × l
= (10 × 7) cm2
= 70 cm2.
Contoh soal uraian yang merupakan soal cerita:
2. Sawah Pak Ali berbentuk persegipanjang. Panjang sawah pak Ali 25 meter dan
lebarnya 20 meter. Hitunglah luas sawah Pak Ali tersebut.
Penyelesaian Soal Uraian tersebut di atas:
Diketahui: Pak Ali memiliki sawah berbentuk persegipanjang.
Panjang = 25 m dan lebar = 20 m
Hitunglah: Luas sawah Pak Ali.
Jawab:
L = p × l
= (25 × 20) cm2
= 500 m2
Jadi, luas sawah Pak Ali adalah 500 m2.
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 178
2. Klasifikasi Kesalahan Siswa Berdasarkan Prosedur Newman
Prosedur Newman, banyak dipakai dan diterapkan di berbagai negara dan dipakai
sebagai alat untuk menentukan berbagai jenis kesalahan yang dibuat siswa/mahasiswa
dalam mengerjakan soal-soal uraian matematika.
Dalam mengerjakan soal matematika, apalagi yang berbentuk uraian, kesalahan
harus dihindari semaksimal mungkin. Apalagi, jika soal uraian tersebut diarahkan
kepada kemampuan siswa untuk menguasai literasi matematika. Hofer dan Beckmann
(2009) menulis dalam sebuah jurnal Internasional, bahwa: Mathematical literacy
implies the capacity to apply mathematical knowledge to various and contextrelated
problems in a functional, flexible and practical way. Sedangkan untuk dapat
mengerjakan soal uraian matematika, Dahlin, B & Watkins, D (2000) menegaskan
bahwa ”The understanding is more likely to lead to high quality outcomes than
memorizing.”. Terkait pembelajaran matematika, guru juga harus mendorong siswa agar
berusaha mengerjakan soal matematika dengan cermat termasuk melalui eksplorasi dan
elaborasi yang cermat. Wachira, Pourdavood, dan Skitzki (2013) dalam sebuah jurnal
menulis bahwa: Mathematics instruction should provide students opportunities to
engage in mathematical inquiry and meaning making through discourse, and teachers
should encourage this process by remaining flexible and responsive to students’
response and feedback.
Jelas bahwa siswa tidak semuanya memiliki kecerdasan yang sama. Siswa yang
kurang memiliki minat dan kurang memiliki bakat di bidang matematika juga banyak.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika dituntut cara belajar secara mendalam
dan menghindari kesalahan-kesalahan, sangat diperlukan. Pengulangan materi bagi
siswa yang lemah juga diperlukan. Walaupun, Marton, F & Saljo, R (1976) menulis
bahwa ”in mathematics education, there has been tension between deep learning and
repetitive learning”. Selanjutnya ditegaskan lagi bahwa ”In western culture repetitive
learning is often positioned as the opposite of deep learning and understanding.” Dalam
belajar matematika, siswa atau mahasiswa perlu memahami materi. Tidak hanya hafal,
agar siswa terhindar dari kesalahan. Lie, S (2006) menegaskan bahwa ” Western
educators emphasise the need for students to construct a conceptual understanding of
mathematical symbols and rules before they practise the rules.” Watkins, D & Biggs,
J.B (2001) juga tidak setuju jika pembelajaran matematika didominasi oleh kegiatan
menghafal. Mereka berpendapat bahwa ”One aspect of the criticism is that rote learning
is known to lead to poor learning outcomes”.
Penyebab kesalahansiswadalam memecahkanpermasalahan atau soal matematika
berbentuk uraian yang akan dibahas dalam makalah ini. Kajiannya didasarkan pada
analisis kesalahan yang urutannya menggunakan prosedur Newman. Prosedur Newman
dalam mencari jenis kesalahan siswa dalam mengerjakan soal ini dipandang sudah
mendunia karena sudah diterapkan di berbagai belahan dunia seperti India, Malaysia,
Thailand, Australia, dan sebagainya. Berikut ini akan dibahas tentang prosedur Newman
dalam mencari penyebab kesalahan siswa dalam mengerjakan soal uraian atau
permasalahan matematika.
Dari tulisan White (2005), Singh, Rahman, & Hoon (2012), Jha (2012), Prakitipong
and Nakamura (2006), Satiti (2014) dapat disimpulkan bahwa tahapan prosedur
Newman dalam menentukan kesalahan siswa setelah mengerjakan soal matematika
adalah sebagai berikut. (1) Kesalahan tipe R (Reading Errors), terjadi jika siswa salah
dalam membaca dan memahami makna soalnya. (2) Kesalahan tipe C (Comprehension
Errors), terjadi jika siswa gagal dalam menuliskan apa yang diketahui dan apa yang
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 179
ditanyakan. (3) Kesalahan tipe T (Transformation Errors), terjadi jika siswa gagal
memilih dan menetapkan rumus-rumus yang akan digunakan untuk menemukan
solusinya. (4) Kesalahan tipe P (Process Skills Errors), terjadi jika siswa dapat
menetapkan rumus yang dipakai, tapi gagal dalam proses melanjutkan perhitungannya
(fail inmathematical processing). (5) Kesalahan tipe E (Encoding Errors), terjadi jika
siswa gagal menemukan jawab soalnya secara benar dan akurat (represent answer
appropriately right). Dalam menentukan jenis kesalahan berdasarkan prosedur Newman
ini, jika siswa sudah mengalami kesalahan tipe R, siswa yang bersangkutan juga tidak
dapat meneruskan pekerjaannya. Jika siswa tidak mengalamai kesalahan tipe R, dan tipe
C, kemudian siswa mengalami kesalahan tipe T, maka siswa yang bersangkutan juga
tidak dapat meneruskan pekerjaannya.
Untuk memperjelas, berikut ini akan diberikan beberapa contoh tipe-tipe kesalahan
yang sudah dilakukan oleh para mahasiswa, sebagai hasil dan pembahasan dari suatu
penelitian awal sebelum dilakukan penulisan makalah ini. Diasumsikan, kesalahan
serupa atau sejenis dapat pula dialami oleh para siswa di sekolah.
C. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada saat penulis mencermati hasil pekerjaan
mahasiswa, ternyata ada tujuh jenis kesalahan yang dialami oleh para mahasiswa dalam
mengerjakan soal pada mata kuliah Matematika Diskrit. Suyitno (2012) menulis bahwa
dari ketujuh jenis kesalahan tersebut, lima di antaranya sama dengan jenis kesalahan
yang diperoleh berdasarkan prosedur Newman. Oleh karena itu, maka kedua jenis
kesalahan tersebut merupakan penambahan jenis kesalahan yang diperoleh berdasarkan
prosedur Newman. Kedua kesalahan tersebut, penulis namakan kesalahan tipe L, yakni
gagalnya siswa/mahasiswa membaca soal karena faktor bahasa. Soal ditulis dalam
bahasa Inggris dan siswa/mahasiswa lemah di bidang bahasa Inggrisnya. Tipe kesalahan
kedua adalah kesalahan tipe X, yaitu kesalahan karena siswa/mahasiswa ceroboh atau
kurang berhati-hati sehingga menyebabkan pengerjaannya menjadi salah. Tipe
kesalahan tambahan kedua ini, sesuai dengan pendapat Jha (2012) mengatakan bahwa
”If student fails to get the correct answer in first attempt but succeeds in second attempt
then the error would be classified as Careless Errors (coded as X).” Selanjutnya,
Clements (in Jha, 2012) menyatakan bahwa:”In Newman research a careless error has
been defined as one which occurred even though the student knew (fromacognitive
perspective) exactly how to gain a correct answer to the question at the time the
incorrect answer was given and would be expected to give the correct answer when
responding to the same question at some later time. Thus, if a student gave an incorrect
response in the original whole-class test situation but then gave a correct answer
immediately before the New man interviews, then the interviewer would suspect that an
X (CarelessErrors) classification of the error might be appropriate.”
Ketujuh jenis kesalahan dan contoh kesalahan dalam menyelesaikan soal ini adalah
sebagai berikut.
1. Language Errors (L)
Jika siswa/mahasiswa tidak menguasai bahasa yang digunakan untuk menuliskan
soal tersebut, khususnya jika soal tersebut bilingual.
Contoh:
Department of Mathematics Unnes will hold a National Seminar for teachers of
mathematics. There are 6 speakers, each of the speaker will perform for one hour. If
each speaker appears in different occasions, these activities would take too long.
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 180
However, it is also not expected to have certain speakers who appeared at the same
time. The seminar committee wants the seminar lasting no more than 4 sessions or 4
hours. How about the seminar is designed if speakers that should not appear at the
same time, marked by * in the table below.
The name of
speaker
A B C D E F
A * *
B * * *
C * *
D
E *
F
Salah satu mahasiswa ada yang sama sekali tidak mengerjakan soal ini. Ketika
diwawacarai, dia mengatakan gagal menerjemahkan soal di atas karena penguasaan
bahasa Inggrisnya lemah.
2. Reading Errors (R)
Mahasiswa bisa membaca soal ini, tetapi mahasiswa yang bersangkutan tidak
memahami makna soalnya.
Contoh:
Gambar 1. Hasil Pekerjaan Mahasiswa
Sepintas, mahasiswa ini sudah dapat menuliskan apa yang diketahui dan berhasil pula
menuliskan apa yang ditanyakan. Saat diwawancarai:
1) Mahasiswa tidak tahu arti a0 = 0, a1 = 1, a2 = 2, dan a3 = 3.
2) menuliskan apa yang ditanyakan hanya bersifat coba-coba;
3) langkah berikutnya, mahasiswa yang bersangkutan juga mengerjakan dengan
disertai pendapat ”pokoknya ada tulisannya” agar dapat nilai.
3. Comprehension Errors (C)
Jenis kesalahan ini terjadi jika siswa/mahasiswa gagal dalam menuliskan apa yang
diketahui dan apa yang ditanyakan.
Contoh:
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 181
Gambar 2. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Pemahaman
4. Transformation Errors (T)
Terjadi jika siswa gagal memilih dan menetapkan rumus-rumus yang akan
digunakan untuk menemukan solusinya.
Contoh:
Gambar 3. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Transformasi
5. Process Skills Errors (P).
Terjadi jika siswa dapat menetapkan rumus yang dipakai, tapi gagal dalam proses
melanjutkan perhitungannya (fail inmathematical processing).
Contoh:
Gambar 4. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Keterampilan Proses
6. Encoding Errors (E)
Terjadi jika siswa gagal menemukan jawab soalnya secara benar dan akurat
(represent answer appropriately right).
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 182
Gambar 5. Hasil Pekerjaan Mahasiswa Kesalahan Pengkodean
7. Careless Errors (X)
Jika siswa ceroboh, tergesa-gesa, atau kurang teliti dalam menuliskan penyelesaiannya.
Contoh:
Di akhir pekerjaan, misalnya siswa mengalami kecerobohan sebagai berikut:
x– 2 = 9
x = 9 + 2
x = 18
Tipe kesalahan kecerobohan dapat terjadi di awal, tengah, atau akhir suatu pengerjaan.
D. Simpulan dan Saran
Dalam kajian di makalah ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. (1) Jenis
kesalahan yang diperoleh berdasarkan prosedur Newman ada lima, yaitu kesalahan tipe
R, kesalahan tipe C, kesalahan tipe T, kesalahan tipe P, dan kesalahan tipe E. (2) Hasil
penelusuran berdasarkan Prosedur Newman dapat ditambahkan menjadi tujuh jenis tipe
kesalahan, yaitu kesalahan tipe L, kesalahan tipe R, kesalahan tipe C, kesalahan tipe T,
kesalahan tipe P, kesalahan tipe E, dan kesalahan tipe X. (3) Agar para siswa dapat
menghindari kesalahan dalam mengerjakan soal uraian, guru dapat memberikan
Tindakan Kuratif Pembelajaran dengan meminta kepada para siswa untuk belajar dalam
kelompok dan sering berlatih untuk mengerjakan soal uraian.
Saran yang dapat diberikan berdasarkan studi pendahuluan iniadalah sebagai
berikut. (1) Agar siswa dapat secara lancar menuliskan penyelesaian soal matematika
dengan benar, maka siswa perlu dilatih guru agar terhindar dari berbagai jenis kesalahan
yang mungkin dapat dibuat mereka. (2) Guru/dosen perlu memberikan coretan/catatan
di kertas ujian para siswa atau mahasiswanya tentang jenis kesalahan yang dibuat agar
para siswa/mahasiswa yang bersangkutan segera menyadari letak kesalahan dan jenis
kesalahan yang dialaminya.
E. Daftar Pustaka
Chien, Y.S. 2013. Communication Strategies for Exit Interviews in Business: From the
Employee’ s Perspective. Graduate student, Graduate Institute of International
Human Resource Development, National Taiwan - Normal University, Taiwan
(Address: No. 162, Sec. 1, Heping E. Rd., Taipei, Taiwan, Tel: +886-2-
77341621, E-mail: [email protected]).
Dahlin, B & Watkins, D. 2000. The role of repetition in the pocesses of memorizing
and understanding: A comparison of the views of German and Chinese
Mengklasifikasi Kesalahan Siswa dalam Mengerjakan Soal Uraian Matematika
ISBN 978-602-1034-06-4 183
secondary school students in Hong Kong. British Journal of Educational
Psychology, 70, 65-84.
DiCicco B., Barbara & Crabtree, Benjamin F. 2006. The qualitative research interview.
Medical Education 2006;40: 314–321 doi:10.1111/j.1365-2929.2006.02418.x.
Blackwell Publishing Ltd.
Hofer & Beckmann. 2009. Supporting mathematical literacy: examples from a cross-
curricular project. ZDM Mathematics Education Journal 41:223-230 DOI
10.1007/s11858-008-0117-9.
Jha, S.K. 2012. Mathematics Performance of Primary School Students in Assam (India):
An Analysis Using Newman Procedure. International Journal of Computer
Applications in Engineering Sciences [VOL II, ISSUE I, MARCH 2012].
Lie, S. 2006. Mathematics education in diferent cultural traditions: A comparative
study of East Asia and the West. New York: Springer.
Marton, F & Saljo, R. 1976. The experiences of learning. Edinburg, UK: Scottish
Academy Press.
Prakitipong, Natcha and Nakamura, Satoshi. 2006. Analysis of Mathematics
Performance of Grade Five Students in Thailand Using Newman Procedure.
CICE Hiroshima University, Journal of International Cooperation in
Education,Vol.9, No.1, (2006) pp.111.
Satiti, T. 2014. Analisis dengan Prosedur Newman terhadap Kesalahan Peserta Didik
Kelas VII dalam Menyelesaikan Soal Pemecahan Masalah Matematika (Final
Project is not published). Unnes.
Singh, P., Rahman, A.A., Hoon, T.S. 2010. The Newman Procedure for Analyzing
Primary Four Pupils Errors on Written Mathematical Tasks:A Malaysian
Perspective: International Conference on Mathematics Education Research 2010
(ICMER 2010).
Suyitno, A. 2012. Sinkronisasi Pembelajaran TPS Bercirikan Inkuiri dalam
Perkuliahan Matematika Diskrit Berbahasa Inggris untuk Meningkatkan
Kemampuan Memecahkan Masalah bagi Mahasiswa Matematika Program
PGMIPABI. Research Report of PHKI B Unnes.
Wachira P., Pourdavood R., Skitzki, R. 2013. Mathematics Teacher’s Role in
Promoting Classroom Discourse. International Journal for Mathematics and
Learning. http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal - diakses 8 Juni 2013).
Watkins, D., Biggs, J.B. 2001. The paradox of the Chinese learner and beyond.
Teaching the Chinese learner. Psycological and pedagogical perspectives.
Melbourne: ACCER.
White, A.L. 2005. Active Mathematics In Classrooms Finding Out Why Children
Make Mistakes-And Then Doing Something To Help Them. Sidney:
University of Western Sydney. Square One, Vol 15, N0 4, December 2005.
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 184
MEMBANGUN KARAKTER MELALUI MATEMATIKA DAN
PEMBELAJARANNYA
Iwan Junaedi
Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak Makalah ini mengkaji tentang bagaimana guru matematika menanamkan dan mempertajam
pendidikan karakter bangsa bagi peserta didik melalui matematika dan pembelajarnnya.
Permasalahan pada kajian ini adalah apa saja karakter bangsa yang dapat dibentuk melalui
matematika dan pembelajarannya, dan bagaimana pendidik matematika mengakselerasi
penanamam karakter bangsa bagi peserta didik. Fokus dari kajian ini adalah bagaimana
menganalisis karakter bangsa yang dijabarkan dari math power for all, yang meliputi
mathematical abilities, process standards, dan content strands.
Kata Kunci: Karakter Bangsa, Matematika, Pembelajaran Matematika
A. Pendahuluan
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU Sisdiknas Tahun 2003). Opersional Undang-Undang Sisdiknas
ini salah satunya dituangkan dalam kurikulum di sekolah. Pada tahun 2013 pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan pendidikan di sekolah yakni
kebijakan tentang Kurikulum 2013.
Salah satu ciri khas dalam Kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya adalah ditojolkannya pengembangan karakter untuk peserta didik yang
dirumuskan secara tekstual dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
Untuk seluruh mata pelajaran memuat rumusan untuk kompetensi sikap spiritual (KI-1)
dan sikap sosial (KI-2) yang isinya hampir sama. Rumusan menghargai dan menghayati
ajaran agama yang dianutnya, dan menghayati dan mengamalkan perilaku jujur,
disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), dan santun
ada pada setiap mata pelajaran yang dinyatakan secara tekstual dalam KI-1 dan KI-2.
Rumusan KI, yang dijabarkan secara lebih detail dalam KD diharapkan dapat
mengembangkan karakter peserta didik sehingga menjadi generasi bangsa yang
berkarakter sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Secara lebih jelas, implementasi pengembangan karakter peserta didik di sekolah
dituangkan dalam Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru. Pada
setiap mata pelajaran khususnya di SMA/MA dan SMP/MTs, setiap guru dalam
merancang RPP selalu harus memunculkan KI-1 dan KI-2. Ini berarti setiap RPP pada
mata pelajaran apapun yang dirancang guru harus memuat KI-1 dan KI-2.
Permasalahan yang muncul adalah penguatan terhadap penghayatan terhadap agama
yang dianutnya bisa terjadi bias, hal ini dikarenakan guru mata pelajaran dan siswa
memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Bias ini dapat terjadi karena
perbedaan terhadap pemahaman agama (meskipun dalam satu agama), dan bias karena
perbedaan antar agama. Bias yang dimaksud adalah seorang guru mata pelajaran umum
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 185
yang memiliki pemahaman agama yang terbatas menjalaskan pemahamanannya
(menyisipkan) kepada peserta dengan tidak tepat. Bias dapat terjadi juga pada
implementasi KI-2, seperti sikap toleran dan damai, yang setiap orang bisa memaknai
dan memahami secara berbeda sesuai dengan tingkat pemahamnnya.
Persoalan terhadap kemungkinan munculnya bias untuk implementasi KI-1 dan
KI-2 sesungguhnya dapat dieliminir dengan memberi penguatan terhadap karakter dari
setiap mata pelajaran. Karena sesungguhnya pada setiap mata pelajaran memiliki
karakter yang khas dan akan memberikan pengaruh terhadap pengembangan karakter
peserta didik. Menurut Permendikbud No. 58 dan No. 59 Tahun 2014, dinyatakan
bahwa rumusan KI yang jabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD) selain
dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, juga memperhatikan
ciri dari suatu mata pelajaran. Berdasar permendikbud tersebut, guru sesungguhnya
dapat mempertajam penanaman karakter melalui mata pelajaran yang diajarkan
berdasarkan ciri khas atau karakter dari setiap mata pelajaran. Sebagai contoh untuk
mata pelajaran matematika, guru dapat menanamkan dan mempertajam pendidikan
karakter melalui mata pelajaran matematika. Demikianpula untuk mata pelajaran yang
lain.
Mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah
sejak sekolah dasar. Di sekolah dasar meskipun mata pelajaran matematika dikemas
dalam bentuk pembelajaran tematik, guru tetap dapat menanamkan karakter bangsa
melalui pembelajaran matematika di sekolah sejak dini. Berdasar uraian sebelumnya,
permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah (1) apa saja karakter bangsa yang
dapat dibentuk melalui matematika dan pembelajarannya, dan (2) bagaimana pendidik
matematika mengakselerasi penanamam karakter bangsa bagi peserta didik?
Tujuan pembahasan pada makalah ini adalah menganalisis apa saja karakter bangsa
yang dapat dibentuk melalui matematika dan pembelajarannya, dan mengkaji
bagaimana pendidik matematika mengakselerasi karakter bangsa melalui pembelajaran
matematika. Kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pendidik matematika dan
pemerhati pendidikan pada umumnya dalam mengembangkan karakter bangsa.
B. Pembahasan
1. Pengembangan Karakter Peserta Didik dari Matematika dan Pembelajarannya
Kemdiknas (2010) mendefiniskan karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Individu yang berkarakter akan tampak pada bagaimana individu tersebut
dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Karena itu individu yang berkarakter kuat
akan memiliki peran dan pengaruh pada orang-orang di sekelilingnya (Munir, 2010).
Karakter sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian dari individu perlu
diciptakan sedemikian hingga individu tersebut memiliki watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan. Harapan tersebut
dalam Kurikulum 2013 di antaranya tertuang dalam KI-1 dan KI-2. Sebagai contoh di
dalam kompetensi dasar yang dijabaran dari KI-2 pada mata pelajaran matematika
untuk kelas X antara lain disebutkan (1) memiliki motivasi internal, kemampuan
bekerjasama, konsisten, sikap disiplin, rasa percaya diri, dan sikap toleransi dalam
perbedaan strategi berpikir dalam memilih dan menerapkan strategi menyelesaikan
masalah, (2) mampu mentransformasi diri dalam berpilaku jujur, tangguh mengadapi
masalah, kritis dan disiplin dalam melakukan tugas belajar matematika, dan (3)
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 186
menunjukkan sikap bertanggung jawab, rasa ingin tahu, jujur dan perilaku peduli
lingkungan.
Jika dicermati pada salah satu KD pada mata pelajaran matematika di kelas X
tersebut ternyata dapat diperkuat dengan karakter mata pelajaran matematika. Karakter
taat asas dan konsisten bisa menjadi dasar bagi pengembangan karakter yang lain.
Karakter taat asas yang dibangun melalui pembelajaran mendorong individu (peserta
didik) untuk terlatih taat sebagai hamba Tuhan, taat terhadap aturan Tuhan, orang tua,
dan taat sebagai warga negara. Karena itu Matematika sebagai ilmu yang deduktif, taat
asas, dan konsisten perlu ditekankan dalam pembelajaran. Matematika juga merupakan
ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Mata pelajaran
Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Depdiknas, 2006).
Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu yang deduktif, taat asas, dan konsisten
terus berkembang. Zevenbergen (2004), menyatakan bahwa terdapat perubahan
pandangan terhadap matematika, yaitu (1) changing perceptions of mathematics as a
discipline, dan (2) changing theories of how students learn in contemporary times.
Perubahan pandangan terhadap matematika antara lain dinyatakan bahwa mathematics
is a way of thinking,seeing and organising the world, mathematics is power, dan
mathematics is a languange. Menurutnya matematika bukan hanya sebagai artimatika
dan prosedur operasinya. Perubahan pandangan ini sudah sejak lama dinyatakan oleh
Baroody (1993) yang menyatakan bahwa (1) mathematics as a language, dan (2)
mathematics learning as social activity. Matematika tidak sekedar sebagai alat berfikir,
alat untuk menemukan pola, atau menyelesaikan masalah tetapi matematika juga
digunakan sebagai alat untuk menyampaikan berbagai macam ide atau gagasan secara
jelas, ringkas, dan tepat. Matematika juga sebagai aktivitas sosial, yakni pembelajaran
matematika, interaksi antar siswa, seperti komunikasi guru-siswa merupakan bagian
penting untuk memelihara potensi matematis siswa (Junaedi, 2007).
Di berbagai negara pengembangan kurikulum matematika terus dilakukan untuk
mengembangkan karakter peserta didik. Pada Gambar 1 berikut disajikan penjabaran
terkait dengan aspek-aspek Mathematical Power For All Students K-12
(http://fcit.usf.edumathresourcemathpowerfullpowr) sebagai dasar dari pengembangan
karakter peserta didik.
Gambar 1. Mathematical Power For All Students K-12
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 187
Semua aspek dari Mathematical Power For All Students K-12, selanjutnya dapat
diuraikan pembentukan karakter untuk setiap sub aspek. Tabel 1 berikut menyajikan
pengembangan karakter untuk peserta didik dari aspek Mathematical Abilities.
Tabel 1. Pengembangan Karakter Peserta Didik Melalui Karakter Mathematical Abilities
No ASPEK
MATHEMATICAL ABILITIES Pengembangan Karakter Peserta Didik
1 Conceptual Understanding Membentuk dan mengembangkan karakter peserta
didik untuk tidak asal-asalan dalam berbuat dan
bertindak, tetapi memiliki pola pikir, berbuat, dan
bertindak berdasarkan konsep, prinsip, dan teori.
2 Procedural Knowledge Membentuk dan mengembangkan karakter peserta
didik untuk tidak menjadi pelanggar tatanan yang
benar, tetapi membentuk karakter untuk berbuat dan
bertindak berdasarkan prosedur yang tepat dan benar.
Selain pengembangan karakter peserta didik dari aspek Mathematical Abilities,
pengembangan karakter yang lain melalui aspek Process Standards. Tabel 2 berikut
menyajikan pengembangan karakter peserta didik aspek Process Standards
pembelajaran matematika.
Tabel 2. Pengembangan Karakter Peserta Didik melalui Karakter PROCESS STANDARDS
No ASPEK
PROCESS STANDARDS Pengembangan Karakter Peserta Didik
1 Problem Solving Membekali dan membentuk peserta didik untuk menjadi
peserta didik dengan karakter yang analitis, sistematis,
kritis, dan kreatif. Mengembangkan kemampuan Higher
Order Thinking (HOT), membentuk bangsa yang baik
dalam memecahkan berbagai persoalan, bangsa yang
mandiri, bangsa yang pekerja keras, bangsa yang siap
dengan berbagai tantangan, dan bangsa yang kreatif dan
kritis.
2 Reasoning Membekali dan membentuk peserta didik untuk menjadi
bangsa yang mampu berpikir logis, bernalar dengan baik,
membuat keputusan yang tepat, membuat argumen yang
tepat, dan menyusun pembuktian yang valid. 3 Communication Melalui komunikasi matematika peserta didik dibentuk
karakternya untuk mampu mengomunikasikan ide secara
tepat, baik lisan, tulisan, atau lainnya, Berkomunikasi
secara efektif, dan berkomunikasi secara jujur dan
bertanggung jawab.
4 Connections Membentuk karakter peserta didk untuk mengaitkan
berbagai sumber (konsep) sedemikian hingga dapat
mengambil keputusan yang tepat, tidak tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan, dan tidak asal-asalan
mengambil kesimpulan.
5 Representation Membentuk karakter peserta didik untuk dapat
melakukan elaborasi berbagai tindakan dengan tepat,
merepresentasi berbagai hal dengan tepat
Untuk aspek Content Strands peserta didik dibentuk karakternya melalui
kegiatan/kerja matematika (doing math) sebegai representasi dalam kehidupan dunia
nyata dan mampu memanfaatkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Melalui
Content Strands peserta didik diharapkan memiliki disposisi matematis yang baik.
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 188
Pembentukan karakter peserta didik melalui pengembangan Mathematical Power For
All Students mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku peserta didik. Menurut
Khan (2010), pembentukan karakter membantu individu untuk hidup dan bekerja
bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk
membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Akselerasi Penanamam Karakter Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika
Penanaman karakter pada peserta didik dapat dilakukan melalaui proses belajar.
Menurut pandangan behavioristik, belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang dilakukan secara sadar
dari hasil interkasinya dengan lingkungan. Suatu individu yang berubah tingkahlakunya
secara tidak sadar tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan belajar. Pembentukan karakter
sebagai usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku peserta didik dipandang sebagai
proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai hasil
belajar. Hasil belajar pembentukan karakter ini berupa karakter peserta didik.
Pembentukan karakter peserta didik didik melalui matematika dan pembelajarnnya
sebagai proses belajar sesunguhnya tidak mudah atau tidak dapat serta merta dapat
dilihat, diukur, dan dirasakan peserta didik, meskipun hasil belajar sebagai perubahan
karakter dapat diukur dan diamati oleh seseorang yang belajar atau orang lain. Namun
demikian, terjadinya proses belajar dapat diidentifikasi dari interaksi yang dilakukan
oleh peserta dengan lingkungannya selama belajar.
Bagaimana mengakselerasi penanamam karakter peserta didik dalam pembelajaran
matematika? Tabel 3 berikut menyajikan beberapa upaya untuk mengakselerasi
penanamam karakter peserta didik melalaui pembelajaran matematika.
Tabel 3. Upaya Akselerasi Penanamam Karakter Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika
No ASPEK
PEMBELAJARAN Pengembangan Pembelajaran
1 Pembukaan Memotivasi peserta didik untuk memiliki disposisi matematis,
seperti memahami kegunaan matematika, memahami manfaat
matematika bagi diri dan kehidupan. Guru bisa menuliskan
karakter apa yang bisa dibentuk pada pembelajaran matematika
(berdasarkan topik/materi) yang akan dilakukan supaya peserta
didik dapat mengukur perubahan karakter yang diperolehnya.
2 Inti Pembelajaran diupayakan mengurangi kegiatan memberi
cermah (teacher centre). Pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu solusi dalam membentuk karakter peserta
didik, karena itu setiap pembelajaran matematika hendaknya
dimulai dengan pemecahan masalah. Pemecahan masalah
didesain sedemikianhingga mendorong peserta didik untuk bisa
jumping taks, pembuktian, dan open ended. 3 Penutup Memberi kesempatan peserta didik untuk melakukan
elaborasi/konfirmasi pembelajaran yang sudah dilakukan untuk
mengembangkan penalaran, komunkasi, dan representasi.
Berbagai cara guru dapat mengupayakan pembentukan karakter bagi peserta didik.
Secara lebih khusus guru mata pelajaran Matematika akan lebih mudah
mengembangkan karakter peserta didik melalui matematika dan pembelajarannya
daripada guru matematika dipaksakan untuk membelajarkan aspek religius pada
pembelajaran matematika.
Membangun Karakter Melalui Matematika dan Pembelajarannya
ISBN 978-602-1034-06-4 189
C. Simpulan dan Saran
Simpulan dari kajian ini adalah karakter peserta didik dapat dibentuk melalui
matematika dan pembelajarannya. Pendidik matematika dapat mengakselerasi
penanamam karakter peserta didik pada pembelajaran matematika pada semua aspek
math power for all, yang meliputi mathematical abilities, process standards, dan
content strands. Saran dalam kajian ini adalah bentuklah karakter peserta didik melalui
pembelajaran matematika untuk mendukung pengembangan karakter lainnya baik aspek
religius maupun sosial.
D. Daftar Pustaka
Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York:
Macmillan Publising
Depdinas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Matematika. Jakarta: Depdiknas
Junaedi, I. 2007. Meningkatkan Kemampuan Menulis dan Pemahaman Matematis
Melalui Pembelajaran Dengan Strategi Writing From A Prompt Dan Writing In
Perfomance Tasks Pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah. Disertasi UPI: Bandung
Khan, Y. 2010. Pendidkan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi
Publishing.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Kemdiknas
Munir, A. 2010. Pendidikan karakter. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Zevenbergen, R., Dole, S., dan Wright, R. 2004. Teaching Mathematics in Primary
School. Australia: National Library of Australia.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 190
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
MATEMATIKA KONSTRUKTIVIS BERBASIS HUMANISTIK
BERBANTUAN E-LEARNING
Amidi Matematika FMIPA Unnes
KampusSekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
surel : [email protected]
Abstrak
Makalah ini bertujuan menjelaskan tahapan-tahapan pengembangan perangkat pembelajaran matematika
kontruktivis berbasis humanistik berbantuan e-learning guna meningkatkan penguasaan konsep dan
memperbaiki sikap belajar peserta didik terutama pada materi geometri. Pemahaman peserta didik
terhadap konsep dasar geometri kurang, di antaranya dalam pemahaman konsep Segitiga dan Segiempat.
Sehingga perlu suatu inovasi untuk mendesain pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang
menyenangkan bagi para peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Pembelajaran matematika
konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada peserta didik, dimana nilai-nilai humanistik diintegrasikan ke dalam pembelajaran di
kelas dan dengan bantuan E-learning. Adapun model pengembangan perangkat pembelajaran dengan
menggunakan model 4D yang diadaptasi menjadi 4P, yaitu pendefinisian (analisis awal-akhir, analisis
peserta didik, analisis materi, analisis tugas, dan merumuskan tujuan pembelajaran khusus), perancangan
(penyusunan kriteria tes, pemilihan media, pemilihan format, dan desain awal), pengembangan (validasi
ahli dan uji coba), dan penyebaran.
Kata kunci : kontruktivis, humanistik, e-learning
A. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki sifat khas
dibandingkan disiplin ilmu yang lain. Materi matematika berkenaan dengan simbol-
simbol dan beberapa berhubungan dengan konsep-konsep abstrak. Sehingga
pembelajaran matematika diberikan sejak dari satuan pendidikan dasar hingga
menengah dengan harapan peserta dapat memahami konsep matematika sejak dini, serta
dapat mengaplikasikan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
didasarkan pada cara berpikir matematik yang merupakan kegiatan mental yang selalu
menggunakan abstraksi dan atau generelisasi (Hudojo, 1998:76). Abstraksi merupakan
proses untuk menyimpulkan hal-hal yang sama dari sejumlah objek atau situasi berbeda.
Sedangkan generalisasi merupakan penarikan simpulan dari hal-hal yang bersifat
khusus menjadi bersifat umum.
Banyaknya konsep matematika yang dapat ditunjukan atau diterangkan dengan
representasi geometris. Misalnya barang-barang disekitar kita, dapat di representasikan
dengan bangun-bangun geometri. Sehingga peserta didik sangat akrab dengan bangun-
bangun geometri. Hal ini mempertegas pentingnya mempelajari geometri. Karena selain
membina proses berpikir peserta didik, tetapi juga sangat mendukung topik-topik lain di
dalam matematika.
Herawati (1994) menunjukan bahwa praktik pembelajaran materi geometri kurang
disukai oleh sebagian peserta didik. Pemahaman konsep dasar geometri kurang, di
antaranya dalam pemahaman konsep Segitiga dan Segiempat. Sehingga perlu suatu
inovasi untuk mendesain pembelajaran matematika menjadi sesuatu yang
menyenangkan bagi para peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Hal
tersebut tidak terlepas dari usaha pengajar untuk menemukan suatu model pembelajaran
yang menyenangkan bagi para peserta didik serta pengembangan perangkat
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 191
pembelajaran yang dapat membuat peserta didik aktif dan positif selama pembelajaran.
Serta dalam proses pembelajaran dapat terjalin komunikasi dua arah, sehingga peserta
didik tidak hanya menjadi objek pembelajaran semata, tetapi juga dapat berperan aktif
sebagai subjek belajar.
Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan
paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan,
untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran
matematika lebih bermakna bagi peserta didik dan dapat memberikan bekal kompetensi
yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja (Hadi,
2003). Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai
manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dengan demikian,
diharapkan di kelas peserta didik aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani
menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki
kepercayaan diri yang tinggi.
Perkembangan paradigma baru pembelajaran matematika akan berjalan baik jika
ditunjang dengan kurikulum yang berlandaskan konstruktivisme. Cunningham
(2006:14) berpendapat bahwa tahapan perkembangan kurikulum konstruktivisme
dengan dukungan dari lingkungan yang kaya bahasa, banyak peluang untuk memilih,
pengambilan keputusan, dan memecahkan masalah menjadi faktor yang kuat untuk
peningkatan prestasi akademik peserta didik secara konsisten. Sebagaimana yang
diungkapkan Hsueh (2005:7) perihal keterkaitan teori Piaget tentang konstruktivisme
individual dengan pendidikan. Sehingga muncul dampak dari pesan konstruktivisme
yang mungkin meresonasi dengan pendekatan serupa. Hakekat dari pendekatan ini
adalah melibatkan kehidupan orang-orang dan membuat perubahan untuk meningkatkan
hidup mereka.
Perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, membuat informasi dapat
diakses dengan mudah menggunakan media internet. Media ini berkembang seiring
dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang begitu pesat.
Dengan adanya perkembangan TIK yang semakin pesat, memungkinkan untuk
dikembangkan suatu model pembelajaran yang baru. Model pembelajaran yang dapat
dikembangkan dalam bentuk model pembelajaran menggunakan media komputer.
Internet sebagai pembuka cakrawala dunia, dapat memberikan sumbangsih yang cukup
berarti dalam dunia pendidikan, dimana penggunaannya harus disesuaikan dengan
kebutuhan pembelajaran di sekolah-sekolah.
Lee, et all (2002) dalam penelitiannya tentang ”Perbandingan Pembelajaran
berbasis Web secara Inkuiri dan Contoh Kerja dengan Menggunakan Physlets”,
menemukan bahwa peserta didik merasa tertolong dengan penggunaan model
pembelajaran E-learning jenis Physlets, dalam hal memvisualisasikan konsep-konsep
yang bersifat abstrak menjadi lebih konkret. Model E-learning sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika di kelas yaitu menanamkan konsep matematika baik yang
bersifat abstrak maupun konkret. Hendrawan & Yudhoatmojo (2001) dalam
penelitiannya tentang ”Efektivitas dari Lingkungan Pembelajaran Maya Berbasis Web
(Jaringan)”, mengatakan bahwa lingkungan pembelajaran yang bermedia teknologi
(model pembelajaran E-learning) dapat meningkatkan nilai para peserta didik (konsep),
sikap mereka terhadap belajar, dan evaluasi dari pengalaman belajar mereka.
Berdasarkan latar belakang, permasalahan hanya di batasi pada kajian bagaimana
pengembangan perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik
guna meningkatkan penguasaan konsep dan memperbaiki sikap belajar peserta didik
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 192
B. Pembahasan
1. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Model pengembangan perangkat yang digunakan adalah model 4-D oleh Thiagarajan,
Semmel dan Semmel (Trianto, 2009:188). Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu
define, design, develop, dan desseminate atau diadaptasikan menjadi model 4-P, yaitu
pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran.
Tahap Pendefinisian (Define) yang terdiri dari analisis ujung depan, analisis peserta
didik, analisis materi, analisis tugas, dan menentukan TPK. Analisis ujung depan yaitu
menelaah kurikulum standar isi dan teori-teori belajar yang relevan sehingga diperoleh
gambaran pendekatan pembelajaran yang sesuai. Tahapan ini tidak mengembangkan
materi pembelajaran baru, akan tetapi menggunakan materi yang telah ada untuk
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran matematika
konstruktivis.
Analisis peserta didik yaitu menelaah karakteristik peserta didik guna menghasilkan
masukan untuk menyusun rancangan perangkat pembelajaran sehingga rancangan
perangkat pembelajaran itu sesuai dengan karakteristik peserta didik. Karakteristik ini
meliputi latar belakang pengetahuan, bahasa yang digunakan, dan perkembangan
kognitif peserta didik.
Analisis materi/topik berupa mengidentifikasi bagian-bagian utama yang akan
diajarkan, kemudian menyusun secara sistematis topik-topik yang relevan yang akan
diajarkan berdasarkan analisis awal akhir. Analisis ini merupakan dasar untuk
menyusun tujuan pembelajaran.
Analisis Tugas yaitu pengidentifikasian tugas umum dan tugas khusus yang
diperlukan dalam pembelajaran sesuai kurikulum standar isi. Tahapan terakhir adalah
merumuskan TPK yaitu indikator berdasarkan tujuan pembelajaran dalam silabus, dan
penjabarannya berdasarkan hasil analisis materi/topik dan analisis tugas yang telah
ditetapkan. Perincian TPK ini merupakan landasan dalam penyusunan tes dan
rancangan perangkat pembelajaran.
Tahapan kedua dari pengembangan perangkat adalah Tahap Perancangan (Design)
yang terdiri dari penyusunan tes, pemilihan media, pemilihan format, sehingga
dihasilkan desain awal. Penyusunan tes berdasarkan analisis tugas dan analisis materi
yang dijabarkan dalam TPK. Untuk merancang tes terlebih dahulu dibuat kisi-kisi tes
dan penetapan acuan penskoran. Penskoran yang digunakan adalah penilaian acuan
patokan (PAP) dengan alasan karena PAP orientasinya adalah tingkat penguasaan
peserta didik terhadap bahan/materi atau tujuan instruksional.
Pemilihan media dilakukan untuk menentukan media yang tepat dalam penyajian
materi pelajaran. Proses pemilihan media disesuaikan dengan analisis tugas, analisis
materi dan karakteristik peserta didik. Media yang digunakan adalah E-learning.
Pemilihan format bertujuan untuk memilih format yang sesuai dengan faktor-faktor
yang telah dijabarkan pada tujuan pembelajaran, yaitu format untuk mendesain isi,
pemilihan strategi pembelajaran, dan sumber belajar. Sehingga dihasilkan desain awal
yaitu merupakan desain perangkat pembelajaran yang dirancang, yang akan melibatkan
aktivitas guru dan peserta didik.
Tahap Pengembangan (Develop) yang terdiri dari validasi ahli, uji coba
kepraktisan, dan uji coba perangkat. Tahap ini menghasilkan draft perangkat
pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para pakar dan data yang
diperoleh dari uji coba lapangan. Kegiatan pada tahap ini meliputi validasi perangkat
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 193
oleh ahli diikuti dengan revisi dan uji coba lapangan dengan peserta didik yang
sesungguhnya.
Validasi ahli bertujuan untuk memperoleh saran, kritik yang digunakan sebagai
masukan untuk merevisi perangkat pembelajaran (draft awal/draft I) sehingga
dihasilkan draft II yang dapat dikategorikan baik dan layak digunakan untuk ujicoba
lapangan. Adapun tahap dalam validasi ini secara umum mencakup (a) validasi isi
perangkat pembelajaran, apakah sesuai dengan materi dan tujuan yang akan diukur, (b)
validasi dari segi bahasa, apakah perangkat pembelajaran menggunakan bahasa
Indonesia yang benar atau apakah kalimat pada perangkat pembelajaran tidak
menimbulkan pengertian ganda. Data yang diperoleh dari validator dianalisis secara
deskriptip dengan menelaah hasil penilaian terhadap perangkat pembelajaran dan tes
prestasi belajar.
Perangkat pembelajaran yang praktis perlu ditinjau dengan dua kriteria yaitu
kemampuan guru mengelola pembelajaran baik dan respon positif dari guru dan peserta
didik. Sehingga dikembangkan dua instrumen yaitu instrumen yang digunakan untuk
mendapatkan data tentang kemampuan guru dalam menerapkan rencana pembelajaran
dengan pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-
learning. Pengamatan dilakukakan selama pembelajaran berlangsung dan instrumen
yang digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat peserta didik terhadap
pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning.
Langkah selanjutnya yaitu uji coba perangkat (Efektif) yang bertujuan untuk
memperoleh masukan berupa pencatatan semua respon, reaksi, komentar dari peserta
didik, guru, dan pengamat untuk merevisi atau menyempurnakan draft II.
2. Pembelajaran Konstruktivisme
a. Komponen-komponen Pendekatan konstruktivisme
Pribadi (2009:161) menjelaskan tentang tujuan pendekatan konstruktivisme dalam
pembelajaran adalah agar peserta didik memiliki kemampuan dalam menemukan,
memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang dipelajari.
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran perlu
memperhatikan beberapa komponen penting sebagai berikut.
1). Belajar aktif (active learning).
2). Peserta didik terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan
situasional.
3). Aktivitas belajar harus menarik dan menantang.
4). Peserta didik harus dapat mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah
dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut ”brigding”.
5). Peserta didik harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari.
6). Guru harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu peserta
didik dalam melakukan konstruksi pengetahuan. Dalam hal ini, guru tidak lagi
hanya sekedar berperan sebagai penyaji informasi.
7). Guru harus dapat memberikan bantuan berupa scaffolding yang diperlukan oleh
peserta didik dalam menempuh proses belajar.
Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivisme dapat
memberikan hasil yang optimal, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian.
Newby dkk, (Pribadi, 2009:162) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 194
untuk mewujudkan pendekatan konstruktivisme dalam kegiatan pembelajaran yaitu
sebagai berikut.
1). Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan belajar dalam konteks
nyata. Belajar terjadi manakala peserta didik menerapkan pengetahuan yang
dipelajari dalam mengatasi suatu masalah.
2). Ciptakan aktivitas belajar kelompok.
3). Ciptakan model dan arahkan peserta didik untuk dapat mengkonstruksi
pengetahuan.
b. Desain Sistem Pembelajaran Konstruktivis
Gagnon dan Collay (Pribadi, 2009:163) mengemukakan sebuah desain sistem
pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivis yang terdiri atas beberapa
komponen penting dalam pendekatan aliran konstruktivisme yaitu situasi,
pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi, dan refleksi. Sedangkan langkah-
langkah pembelajaran konstruktivis antara lain sebagai berikut (Horslay dkk., 1990:
59).
Tahap 1 persepsi (membangkitkan motivasi belajar)
Proses dimulai dengan melibatkan peserta didik diajak untuk belajar. Hal itu bisa
diawali pertanyaan spontan peserta didik atau guru tentang ilmu pengetahuan atau
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan awal yang diberi guru sangat penting untuk
aktivitas pada tahap 2.
Tahap 2 eksplorasi, (mengeksplorasi, menemukan, dan menciptakan)
Pada tahap ini peserta didik difokuskan untuk terlibat dalam kegiatan
(mengumpulkan dan mengorganisir data, atau percobaan yang sesuai dengan materi).
Proses eksplorasi memberi kesempatan untuk mengonstruksi ide yang membawa pada
penyelidikan pengetahuan.
Tahap 3 diskusi
Peserta didik mengajukan penjelasan dan solusi berdasarkan pengamatan peserta
didik, peserta didik mengonstruksi konsep baru mereka dengan menghubungkan
informasi dan ide serta mengintregasikan solusi dengan pengetahuan dan pengalaman
yang sudah ada.
Tahap 4 pengembangan dan aplikasi konsep.
Pada tahap ini guru tidak mengajari konsep tertentu tapi menyajikan aktivitas
(menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan), pertanyaan (berbagi informasi dan
ide), dan lingkungan dimana peserta didik dapat mengkonstruksi konsep ilmu
pengetahuan baru.
3. Pembelajaran Humanistik
Baharuddin & Wahyuni (2010:142-143) menyatakan, aliran humanistik
memandang bahwa belajar bukan sekadar pengembangan kualitas kognitif saja,
melainkan juga menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka,
dan nilai-nilai yang dimiliki setiap peserta didik. Dengan demikian, penghargaan
terhadap nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan adalah aspek penting dalam
pengajaran yang beraliran humanistik. Nuansa belajar beraliran humanistik dalam
pembelajaran matematika di sekolah akan berakibat pada pembelajaran matematika
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 195
tersebut dapat memberikan dorongan hati (impulse) kepada peserta didik sehingga dapat
menyentuh dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai
kemanusiaan mereka.
Pembelajaran humanistik menempatkan pelajar bukan sebagai objek, melainkan
subjek yang bebas menemukan pemahaman berdasarkan pengalamannya sehari-hari
(Susilo, 1998:35). Sehingga dalam Pelajaran matematika secara humanistik berarti
menempatkan matematika sebagai bagian dari kehidupan nyata manusia. Hasil
pembelajaran dan pendidikan humanistik adalah orang yang bernalar kritis dan
mampu mengungkapkan diri demikian rupa hingga terjalin komunikasi yang
bermutu (Drost, 1998:110). Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju
pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh
maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman
mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan
penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian peserta didik
(Dalyono, 2009:43).
Terdapat lima tujuan yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik
dalam pendidikan menurut Gagne dan Berliner (Arsury, 2007:43):
1). mengembangkan self-direction yang positif dan kebebasan (kemandirian) pada diri
peserta didik;
2). membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari;
3). membangun kreativitas;
4). membangun rasa keingintahuan; dan
5). membangun minat terhadap seni atau menciptakan sensitivitas seni
Roger (Dalyono, 2009:46) menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik
yang penting diantaranya ialah :
1). Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2). Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan peserta didik
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3). Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4). Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5). Apabila ancaman terhadap diri peserta didik rendah, pengalaman dapat diperoleh
dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6). Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya.
7). Belajar diperlancar bilamana peserta didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
8). Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi peserta didik seutuhnya, baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari.
9). Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya
sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10). Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 196
Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran humanistik
menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang berperan aktif mengeksplorasi
pengalamannya guna menemukan pemahaman dengan menekankan nilai nilai kemanusiaan di
dalamnya.
4. Pembelajaran dengan E-learning
Seels dan Richey (Warsita, 2008:21) mendefinisikan teknologi pembelajaran
adalah teori dan praktik dalam desain, pengembangan pemanfaatan, pengelolaan,
penilaian dan penelitian, proses, sumber dan sistem untuk belajar. Dalam definisi
tersebut terkandung pengertian adanya empat komponen dalam teknologi
pembelajaran, yaitu: (1) teori dan praktik (2) desain, pengembangan, pemanfaatan,
pengelolaan, penilaian dan penelitian (3) proses, sumber dan sistem (4) untuk belajar
teknologi pembelajaran. Komponen–komponen yang ada pada pada proses, sumber
dan sistem belajar dapat dilihat pada Gambar 1.
Para ahli mendefinisikan E-learning sesuai dengan sudut pandangnya. Karena E-
learning kepanjangan dari elektronik learning ada yang menafsirkan E-learning
sebagai bentuk pembelajaran yang memanfaatkan teknologi elektronik (radio, televisi,
film, komputer, internet, dll). Jaya Kumar C. Koran mendefinisikan E-learning
sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian
elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran,
interaksi atau bimbingan (Isjoni dkk, 2008:9).
Rosenberg menekankan bahwa E-learning merujuk pada penggunaan teknologi
internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan. Hal ini senada dengan Cambell yang intinya menekankan
penggunaan internet dalam pendidikan sebagai hakikat E-learning (Isjoni dkk,
2008:9). Onno menjelaskan bahwa istilah ”E” atau singkatan dari elektronik dalam E-
learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk
mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi internet (Isjoni dkk, 2008:9).
Gambar 1 Definisi Teknologi Pembelajaran (diadaptasi dari Seels dan Richey, dalam Warsita
2008)
Pengembangan proses, sumber dan
sistem belajar
desain proses,
sumber dan sistem
belajar
Pemanfaatan proses,
sumber dan sistem
belajar
Teori
dan praktik
Pengelolaan proses,
sumber dan sistem
belajar Peilaian proses,
sumber dan sistem
belajar
Penelitian proses,
sumber dan
sistem belajar
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 197
Pengembangan model E–learning perlu dirancang secara cermat sesuai tujuan yang
diinginkan. Menurut Haughey (Isjoni dkk, 2008:10) ada tiga kemungkinan dalam
pengembangan pembelajaran berbasis internet yaitu sebagai berikut
1) Web Course
Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, dan tidak
diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan,
latihan, ujian, dan kegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui
internet. Dengan kata lain, model ini menggunakan sistem jarak jauh.
2) Web Centric Course
Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar
jarak jauh dengan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampaikan melalui
internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Funginya saling melengkapi. Dalam
model ini pengajar bisa memberikan petunjuk kepada peserta didik untuk mempelajari
materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Peserta didik juga diberikan
arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang releven.
3) Web Enhaceed Course
Web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang kualitas
pembelajaran yang di lakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan
pengayaan dan komunikasi peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik,
anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu, peran
pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet,
membimbing peserta didik mencari dan menemukan situs-situs yang releven dengan
bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati,
melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet kecakapan lain yang diperlukan.
Dari ketiga cara di atas web centric course lebih utama unutk digunakan, karena
berdasarkan analisis peserta didik cara tersebut lebih mudah digunakan. Manfaat dan
dampak yang diperoleh dari pembelajaran melalui E-learning antara lain.
1). Perubahan budaya belajar dan peningkatan mutu pembelajaran pembelajar dan
pengajar.
2). Perubahan pertemuan pembelajaran yang tidak terfokus pada pertemuan di kelas
dan pertemuan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu melalui fasilitas E-learning.
3). Tersedianya materi pembelajaran di media elektronik melalui E-learning yang
mudah diakses dan dikembangan oleh pembelajar.
4). Pengayaan materi pembelajaran sesuai dengan kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan kemajuan teknologi.
5). Menciptakan competitive positioning dan meningkatkan brand image.
6). Meningkatkan kualitas pembelajaran dan kepuasan pembelajar serta kualitas
pelayanan.
7). Mengurangi biaya operasi dan meningkatkan pendapatan.
8). Interaktivitas pembelajar meningkat karena tidak ada batasan waktu untuk belajar.
9). Pembelajar lebih bertanggung jawab akan kesuksesannya (learned oriented).
Keuntungan penggunaan web dalam pembelajaran menurut Isjoni, dkk (2008:81)
antara lain.
1). Pembelajaran web bersifat terarah, interaktif , kadar pemfokusan tinggi.
2). Web dapat dibuat kapanpun, dimanapun dan menyeluruh di dunia.
3). Biaya bagi pelajar menyediakan akses komputer adalah rendah.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 198
4). Kandungan mudah disesuaikan.
5. Sintaks Pembelajaran Konstruktivis berbasis Humanistik berbantuan E-
learning
Sintaks pembelajaran konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-learning
dibuat berdasarkan desain sistem pembelajaran kontsruktivisme, yang didalamnya
dimasuki nilai-nilai humanistik, dan E-learning digunakan sebagai salah satu sumber
materi dan tugas, seperti pada Tabel 1. sebagai berikut.
Tabel 1. Sintaks Pembelajaran Konstruktivis berbasis Humanistik berbantuan E-learning
Fase Kegiatan Pembelajaran
1. Persepsi Peserta didik diminta mengumpulkan tugas soal pada E-learning dan PR
(unsur bertanggung jawab). Guru menyampaikan materi pada pertemuan hari
ini. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Guru memberikan motivasi
kepada peserta didik
2. Eksplorasi Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, guru memaparkan tentang
materi dengan bantuan E-learning dan manfaatnya dalam dunia nyata.
3. Diskusi Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tiap kelompok
berisi 4 peserta didik, kemudian peserta didik berdiskusi mengerjakan LKPD
(unsur humanis bekerja sama). Guru sebagai fasilitator dalam berjalannya
diskusi.
4. Pengembangan
dan aplikasi
konsep
Setiap kelompok diminta untuk mengemukakan hasil diskusi sesuai dengan
tugas yang diberikan. Pada saat pemaparan hasil diskusi kelompok,
kelompok lain dapat memberikan pendapat (unsur humanis saling
menghargai). Setiap kelompok melakukan presentasi secara bergantian
(elaborasi). Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk
lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik
(konfirmasi). Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk
memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan secara konsisten dan
terprogram (konfirmasi). Bersama-sama dengan peserta didik membuat
rangkuman, melakukan refleksi berupa pemberian PR.
C. Simpulan dan Saran
Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian matematika konstruktivis
berbasis humanistik berbantuan E-learning pada materi segitiga kelas VII
dikembangkan menggunakan hasil modifikasi model pengembangan perangkat
pembelajaran dari Model 4-D (Four D Model). Adapun tahapan pertama adalah
Pendefinisian yang didasarkan pada hasil analisis proses pembelajaran yang
berlangsung, peserta didik, materi, tugas, dan perumusan tujuan pembelajaran khusus.
Sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan dan
karakteristik peserta didik.
Tahapan yang kedua adalah tahap perancangan meliputi penyusunan kriteria tes,
pemilihan media, pemilihan format, dan dirancang desain awal yang melibatkan peserta
didik dan guru. Adapun tahapan ketiga adalah tahap pengembangan yang terdiri dari
validasi ahli dan uji coba perangkat. Setiap tahapan diakhiri dengan revisi perangkat
pembelajaran berdasarkan masukan peserta didik, guru, dan pengamat. Karena dalam
pengembangannya melalui tahapan validasi ahli dan juga uji coba di lapangan, maka
akan diperoleh perangkat pembelajaran yang valid.
Perangkat pembelajaran yang valid, diperoleh dari berbagai tahapan
pengembangan. Diantaranya adalah analisis peserta didik dan uji coba lapangan.
Sehingga perangkat yang dihasilkan dapat dipraktekkan oleh guru dengan mudah,
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 199
karena perangkat tersebut sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik dan
materi yang diajarkan. Kesesuaian perangkat pembelajaran dengan karakteristik peserta
didik, akan menjadikan peserta didik lebih senang dan antusias dalam mengikuti proses
pembelajaran. Hal ini berakibat respon peserta didik dan guru terhadap proses
pembelajaran menjadi positif.
Sikap belajar peserta didik yang positif, akan menimbulkan peningkatan semangat
belajar sehingga peserta didik menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran dan lebih
sering mengerjakan tugas-tugas. Karena melalui pembelajaran konstruktivis, peserta
didik ditempa sehingga memahami teori, latihan dan dapat mengaplikasikan teori dan
latihan tersebut dalam dunia nyata. Penggunaan E-learning dalam pembelajaran dapat
membantu peserta didik untuk memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak. Selain
itu, dengan tampilan yang menarik dan mudah digunakan akan menjadikan peserta didik
lebih senang dalam proses belajar. Karena penggunaan E-learning lebih menyentuh
aspek aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Penggunaan perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik
berbantuan E-learning yang valid dan praktis akan berdampak pada perkembangan
kecerdasan emosional dan pemahaman terhadap materi pelajaran. Hal ini akan berakibat
pada meningkatnya prestasi belajar peserta didik sehingga kriteria ketuntasan minimal
akan tercapai.
Penerapan pembelajaran konstruktivis berbasis humanistik juga dapat membangun
aspek kehidupan secara lebih menyeluruh, baik dalam aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Sehingga pembelajaran yang humanis diharapkan lebih mendekatkan
peserta didik terhadap realitas yang berada di sekitarnya. Maka diharapkan peserta didik
dapat lebih memiliki rasa saling menghargai, kerja sama, dan tanggungjawab.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan dengan menggunakan
perangkat pembelajaran matematika konstruktivis berbasis humanistik berbantuan E-
learning yang valid dan praktis akan menciptkan pembelajaran yang efektif. Karena
pembelajaran tersebut dapat meningkatkan penguasaan konsep dan memperbaiki sikap
belajar peserta didik.
D. Daftar Pustaka
Arsury. 2007. Pendidikan Yang Humanis. http://arsury.blogspot.com/
2007/12/pendidikan-yang-humanistik.html (diakses 14 September 2010).
Baharudin & Wahyuni. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakatra: Ar-Ruzz
Media.
Cunningham, D. D. 2006. The Seven Principles of Constructivist Teaching: A Case
Study. The Constructivist, 17/1.
Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Drost, J. IGM. 1998. Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius Universitas Sanata Dharma.
Hadi, S. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika, Makalah Ilmiah,
http://www.jurotuguru.wordpress.com. (diakses 17 November 2010).
Hendrawan, C. & Yudhoatmojo, S. B. 2001. Web-Based Virtual Learning Environment:
A Research Framework and A Preliminary Assessment in Basic IT Skills
Training. MIS Quarterly. 401-426. Tersedia: GNU Free Document License
(diakses 25 September 2010)
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Konstruktivis
ISBN 978-602-1034-06-4 200
Herawati, S. 1994. Penelusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami
Bangun-bangun Geometri Studi Kasus di KelasVI SD No. 4 Purus Selatan. Tesis :
IKIP Malang
Horslay, S. L. 1990. Elementary School Sciene for the 90’s. Virginia: Association
Supervision and curriculum Development.
Hsueh, Y. 2005. The Lost and Found Experience: Piaget Rediscovered. The
Constructivist, 16/1.
Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Isjoni, dkk. 2008. Pembelajaran Terkini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lee, Nicoll, & Brooks. 2002. A Comparison of Inquiry and Worked Example Web-
Based Instruction Using Physlets. Dalam Computers & Education [Online], Vol
10 (5), 7 (diakses 12 Maret 2010)
Pribadi, B.A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat.
Susilo, F. 1998. Pendidikan Sains Yang Humanistik. Yogyakarta: Kanisius.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana.
Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 201
PERBANDINGAN METODE ARIMA BOX – JENKINS DENGAN
METODE DOUBLE EXPONENTIAL SMOOTHING DARI BROWN
DALAM MEMPREDIKSI JUMLAH PENGUNJUNG
PERPUSTAKAAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH
Izza Hasanul Muna, Riza Arifudin
Matematika FMIPA Unnes
Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Abstrak
Perpustakaan adalah sebuah unit kerja yang mengelola bahan pustaka,baik, bahan cetak maupun
non cetak yang dikelola secara sistematis,kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan pemakainya
sebagai sumber informasi.Dalam perkembangannya, keberadaan perpustakaan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Hal ini tampak pada jumlah pengunjung perpustakaan tiap satuan waktu, baik
dalam skala harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
mengetahui fluktuasi dan meramalkan banyaknya pengunjung di Perpustakaan Daerah Provinsi
Jawa Tengah menggunakan 2 metode yang berbeda, yaitu ARIMA Box – Jenkins dan metode
Double Exponential Smoothing dari Brown. Hasil peramalan menggunakan metode ARIMA Box
- Jenkins yaitu pada bulan September 2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar 66495,9.
Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar 67903,4. Untuk November 2014 yaitu sekitar 68380,0 dan
untuk bulan Desember 2014 yaitu sekitar 69188,6 dengan MSE sebesar 105,31. Sedangkan jika
menngunakan metode Double Exponential Smoothing dari Brown hasil peramalan yang
diperoleh yaitu pada bulan September 2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar
67348,05868. Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar 67107,04208. Untuk November 2014 yaitu
sekitar 66866,02529 dan di bulan Desember 2014 yaitu sekitar 66625,00849 dengan MSE
sebesar 24873868,91872.
Kata Kunci : Perpustakaan daerah, ARIMA Box – Jenkins, Double Exponential Smoothing
dari Brown
A. Pendahuluan
Dewasa ini, hal apapun bisa diprediksikan atau diramalkan termasuk jumlah
pengunjung perpustakaan. Suatu ramalan yang baik adalah bukan ramalan yang di
dasarkan atas pemikiran yang tidak beralasan melainkan melalui suatu perkiraan yang
berdasarkan atas tingkah laku dari gejala yang sudah ada dan diamati secara berulang-
ulang. Dengan pengamatan berulang-ulang jumlah pengunjung perpustakaan itu dapat
diperhitungkan dan diramalkan dengan teliti.
Peramalan diperlukan untuk mengetahui kapan suatu kejadian akan terjadi sehingga
tindakan yang lebih baik dapat dilakukan. Peramalan merupakan alat bantu yangsangat
penting dalam perencanaan yang efektif dan efisien. Terdapat banyak fenomena yang
saat ini hasilnya atau terjadinya sesuatu itu dapat diramalkan dengan mudah dan tepat.
Misalnya terjadinya musim hujan atau musim kemarau, banyaknya jumlah pengunjung
suatu tempat dalam kurun waktu tertentu dan peristiwa peristiwa lain yang dapat
diramalkan meskipun hal itu tidak selalu terjadi yang demikian.
Dalam peramalan ada banyak metode yang dapat digunakan. Metode – metode
tersebut antara lain metode rata-rata bergerak atau MA (Moving Average), metode
penghalusan eksponensial (Exponential Smoothing), model ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average) dll. Dari banyak metode peramalan yang ada, nantinya
akan dipilih metode yang manakah yang sesuai dengan data yang ada. Dalam penelitian
ini akan dibahas tentang perbandingan metode ARIMA Box – Jenkins dengan metode
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 202
Double Exponential Smoothing dari Brown dalam memprediksi jumlah pengunjung
Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah dimasa yang akan datang
B. Tinjauan Pustaka
1. Metode ARIMA Box – Jenkins
Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) atau biasa disebut
juga sebagai metode Box-Jenkins merupakan metode yang secara intensif
dikembangkan oleh George Box dan Gwilym Jenkins pada tahun 1970. Kelompok
model time series yang termasuk dalam metode ini antara lain: autoregressive (AR),
moving average (MA), autoregressive-moving average (ARMA), dan autoregressive
integrated moving average (ARIMA) (Hatidja, 2010).
Dasar dari pendekatan ARIMA Box dan Jenkins terdiri dari empat tahap, yaitu :
a. Identifikasi model sementara. Dalam mengidentifikasi model langkah yang
dilakukan adalah menstasionerkan data dan menentukan model analisis runtun
waktu berdasarkan fungsi Autokorelasi dan fungsi autokerelasi parsial. Apabila data
yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk
menghasilkan data yang stasioner. Untuk menstasionerkan data dalam rata – rata
dapat dilakukan dengan differencing, sedangkan menstasionerkan data dalam
variansi dapat dilakukan dengan transformasi Box – Cox dengan sebagai
parameter transformasi. Berikut ini adalah nilai beserta rumus transformasinya
(Yuniarti, 2012).
Tabel 1. Nilai dan transformasinya
b. Mencari nilai estimasi dari model tersebut. Nilai estimasi tersebut kemudian akan
digunakan untuk menentukan model final dalam melakukan peramalan.
c. Pemeriksaan diagnostik (Diagnostic checking). Pemeriksaan diagnostik (diagnostic
checking) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu uji kesignifikanan parameter dan uji
kesesuaian model (meliputi uji asumsi white noise dan uji residual berdistribusi
normal). Pengujian kesignifikanan parameter dengan uji t, pengujian white noise
dengan uji Ljung-Box, sedangkan pengujian residual berdistribusi normal dengan
uji Kolmogorov Smirnov.(Hatidja, 2010).
d. Tahap terakhir dari pendekatan Box – Jenkins adalah peramalan (forecasting) itu
sendiri. Jika seluruh parameter model signifikan dan seluruh asumsi sisanya
terpenuhi, peramalan dapat dilakukan.
Transformasi
-1
-0,5
0
0,5
1
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 203
2. Metode pemulusan eksponensial ganda (Double Exponential smoothing) dari
Brown
Metode Exponential Smoothing (Pemulusuan Eksponensial), pada dasarnya data
masa lalu dimuluskan dengan cara melakukan pembobotan menurun secara
eksponensial terhadap nilai pengamatan yang lebih tua. Pada metode Exponential
Smoothing, perevisian secara berkelanjutan dilakukan atas ramalan berdasarkan
pengalaman yang lebih kini, yaitu melalui pengrata-rataan (pemulusan) nilai dari
serentetan data yang lalu dengan cara menguranginya secara eksponensial. Hal itu
dilakukan dengan memberikan bobot tertentu pada tiap data. Bobotnya dilambangkan
dengan α (alpha) dan bergerak antara 0 sampai 1 (Jatra,dkk., 2013).
Salah satu metode Exponential Smoothing adalah Pemulusan Eksponensial Ganda
(Double Exponential Smoothing) dari Brown yang merupakan model linear yang
dikemukakan oleh Brown.Di dalam metode Double Exponential Smoothing ini
dilakukan proses smoothing (pemulusan) dua kali. (Jatra,dkk., 2013).
Adapun Rumus yang dipakai dalam implementasi Double Exponential Smoothing
dari Brown sebagai berikut :
a. Menentukan nilai Smoothing Pertama
................................................ (1)
:
:
:
b. Menentukan nilai Smoothing kedua
............................................... (2)
:
c. Menentukan nilai konstanta (
................................................................ (3)
d. Menentukan nilai slope
.......................................................... (4)
e. Menentukan nilai peramalan
............................................................ (5)
:
: (Jatra,dkk., 2013).
Untuk dapat menggunakan rumus, maka nilai harus tersedia. Tetapi
pada saat t = 1, nilai-nilai tersebut tidak tersedia. Karena nilai - nilai ini harus ditentukan
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 204
pada awal periode, untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan engan menetapkan
sama dengan nilai (data aktual). (Jatra,dkk., 2013).
C. Hasil dan Pembahasan
Banyaknya jumlah pengunjung perpustakaan daerah provinsi Jawa Tengah dalam
bulan Januari 2010 – Agustus 2014 disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data per Bulan Jumlah Pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah
bulan Jumlah pengunjung pada tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Januari 33411 36202 56651 53193 67612
Februari 32297 32343 62758 53487 67460
Maret 33841 40679 65134 60585 74823
April 32505 41157 64946 61808 69731
Mei 35108 42109 63034 61569 69656
Juni 36738 45062 68642 63823 75113
Juli 37371 48677 68472 71152 61488
Agustus 37491 47778 56581 54943 67765
September 37913 44166 61690 69892 -
Oktober 37321 41671 62985 69000 -
November 40051 46861 61220 69308 -
Desember 39618 50443 62106 67355 -
1. Metode ARIMA Box – Jenkins
a. Identifikasi Model sementara
Time series plot terhadap jumlah pengunjung perpustakaan daerah provinsi Jawa
Tengah dari bulan Januari 2010 – Agustus 2014 dapat dilihat pada Gambar 1, dimana
pola time series memiliki trend naik.
Gambar 1. Tampilan Time series plot data jumlah pengunjung
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 205
Secara visual pada gambar 1 data terlihat tidak stasioner pada rata-rata maupun
variansinya. Sebenarnya tidak ada patokan khusus dalam melihat apakah data dikatakan
stasioner atau tidak hanya secara visual melalui time series plot nya. Untuk lebih
pastinya lihat grafik ACF dari data awalnya pada Gambar 2 .
Gambar 2. Grafik ACF data jumlah pengunjung
Berdasarkan grafik ACF pada Gambar 2 menunjukkan bahwa data menurun lambat
secara eksponensial mendekati nol, yang berarti bahwa data tidak stationer baik dalam
rata – rata maupun variansi. Supaya data stasioner terhadap variansi, maka dilakukan
transformasi yang sesuai dengan nilai yang dapat dilihat pada plotBox-Cox.
Berdasarkan Box-Cox Plot pada Gambar 3 diperoleh nilai λ = 0.5 sehingga
perludilakukan transformasi agar data stasioner dalam variansi. Setelah di
transformasi diperoleh data yang sudah stasioner dalam variansi, namun belum stasioner
dalam rata – rata. Supaya data stasioner terhadap rata – rata, perlu dilakukan
differencing (pembedaan).
Gambar3. Tampilan Box – Cox plot data jumlah pengunjung
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 206
Gambar 4. Time series plot transformasi data pengunjung yang di differencing
Berdasarkan grafik hasil differencing pertama pada gambar 4 terlihat bahwa pola
data yang ada telah stasioner, baik terhadap rata – rata maupun variansi. Karena data
telah stasioner, maka hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan model
awal dengan mengecek AR dan MA pada grafik ACF dan PACF.
. Gambar 5. Grafik ACF data yang telah di differencing satu kali
Gambar 6. Grafik ACF data yang telah di differencing satu kali
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 207
Selain dari Time Series Plot nyayang menunjukkan data sudah stasioner, pada
grafik ACF dan PACF nya pun data juga terlihat telah stasioner. Dikatakan data sudah
stasioner karena setelah lag terputus, tidak ada lag lagi yang keluar dari batas garis, baik
di ACF maupun PACF nya. Berdasarkan plot ACF dan PACF pada Gambar 5 dan 6,
terlihat ACF nya terputus setelah lag 1 dan PACF nya terputus setelah lag 1. Dapat
disimpulkan model yang mungkin sesuai dengan data adalah ARIMA ( 1,1,1), ARIMA
(1,1,0), dan ARIMA (0,1,1).
b. Estimasi model
Dalam mengestimasi model – model yang telah dipilih berdasarkan proses
identifikasi.
Pada tahap identifikasi model, telah diperoleh beberapa model ARIMA antara lain:
ARIMA (1,1,1), ARIMA (1,1,0), dan ARIMA(0,1,1). Dengan cara yang sama pada
deskripsi kerja untuk menguji tiap estimasi model didapat tabel ringkasan hasil yang
terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai p-value setiap parameter dari masing – masing model
No Estimasi model Parameter koefisien P_value MSE
1
ARIMA (1,1,1)
AR 1 0,1605 0,602
MA 1 0,5796 0,028 103,29
Constant 1,232 0,038
2
ARIMA (1,1,0) AR 1 -0,349 0,010
105,31
Constant 1,86 0,035
3 ARIMA (0,1,1)
MA 1 0,4386 0,001 101,60
Constant 14,378 0,066
c. Pemeriksaan diagnostik ( Diagnostic checking )
1) Uji signifikansi parameter
Uji signifikansi parameter dilakukan dengan tujuan untuk memilih model yang
terbaik dari beberapa model yang mungkin. Adapun hipotesis untuk uji signifikansi
parameter yaitu sebagai berikut :
H0 : Ø = 0 (Parameter model tidak signifikan dalam model)
H1 : Ø ≠ 0 (Parameter model signifikan dalam model)
Tingkat signifikansi (α) = 0.05
Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).
Berdasarkan hasil analisis diperoleh ringkasan hasil uji signifikansi parameter
disajikan pada Tabel 4.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 208
Tabel 4. hasil uji signifikansi parameter masing – masing model
No Model ARIMA Parameter P_value Keterangan
1
ARIMA (1,1,1)
AR 1 0,602 H0 diterima
MA 1 0,028 H0Ditolak
Constant 0,038 H0Ditolak
2 ARIMA (1,1,0)
AR 1 0,010 H0Ditolak
Constant 0,035 H0Ditolak
3 ARIMA (0,1,1)
MA 1 0,001 H0Ditolak
Constant 0,066 H0 diterima
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hanya model ARIMA(1,1,0) saja yang semua
parameternya signifikan sehingga model ARIMA(1,1,0) yang dapat dilanjutkan ke tahap
uji kesesuaian model.
2) Uji Kesesuaian Model
Berdasarkan uji signifikansi parameter, diperoleh model ARIMA (1,1,0) saja yang
semua parameternya signifikan. Oleh karena itu model ini dapat dilanjutkan ke tahap uji
kesesuaian model. Uji kesesuaian model meliputi uji white noise dan uji residual
berdistribusi normal.
3) Uji White Noise
Untuk mengetahui suatu model memenuhi asumsi white noise atau tidak, dilihat
dari Ljung – Box nya. Adapun hipotesis yang dipakai dalam uji white noise sebagai
berikut :
H0 : (Tidak ada korelasi antar lag / white noise )
H1 : ( ada korelasi antar lag / tidak white noise )
Tingkat signifikansi (α) = 0.05
Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).
Tabel 5. Tampilan Ljung – Box ARIMA (1,1,0)
Lag Chi square DF P_value
12 5,1 10 0,886
24 18,2 22 0,691
36 27,5 34 0,778
48 30,3 46 0,964
Berdasarkan Tabel 5 terlihat p-value dari lag 12 hingga 48 pada model ARIMA
(1,1,0) lebih dari 0,05. Karena p-value dari semua lag > 0,05 , maka terima yang
berarti tidak ada korelasi antar lag pada model. Dengan kata lain ARIMA (1,1,0)
memenuhi asumsi white noise.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 209
4) Uji residual berdistribusi normal
Dalam uji residual berdistribusi normal, hipotesis yang digunakan sebagai berikut :
H0: Residual berdistribusi normal
H1 : Residual tidak berdistribusi normal
Tingkat signifikansi (α) = 0.05
Daerah penolakannya yaitu jika p-value< 0,05, maka tolak H0. (Yuniarti, 2012).
Gambar 7. Grafik kenormalan residual data
Berdasarkan grafik pada Gambar 7 diperoleh p – value nya sebesar 0,142. Jelas
0,142 > 0,05 Karena , maka terima yang berarti residual berdistribusi
normal. Jadi residual dari model ARIMA (1,1,0) berdistribusi normal. Oleh sebab semua
parameternya signifikan, model memenuhi asumsi white noise dan asumsi kenormalan
terpenuhi, maka model ARIMA (1,1,0) merupakan model terbaik dari ketiga model
ARIMA yang lainnya.
Berdasarkan Tabel 2, diperoleh koefisien AR (1) = -0,349 dan konstanta = 1,860
dengan MSE = 105,31. Untuk mencari persamaan modelnya dapat menggunakan rumus
:
............................................... (6)
(Yuniarti, 2012).
Diperoleh persamaan modelnya yaitu :
.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 210
Jadi persamaan modelnya untuk data
runtun waktu dalam bentuk .
d. Peramalan Berdasarkan tahapan analisis sebelumnya diperoleh bahwa model ARIMA (1,1,0)
merupakan model terbaik untuk meramalkan data jumlah pengunjung perpustakaan
daerah provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya dilakukan peramalan untuk caturwulan atau 4
bulan terakhir di tahun 2014.
Diperoleh hasil peramalan sebagai berikut :
Tabel 6. Hasil peramalan untuk 4 bulan yang akan datang
Periode Bulan
Forecast data
(dalam Forecast
data
57 September 257,868 66495,9
58 Oktober 260,583 67903,4
59 November 261,496 68380,0
60 Desember 263,037 69188,6
2. Metode Double Exponensial Smoothing dari Brown
a. Pemilihan parameter terbaik
Dalam penelitian ini parameter terbaik dipilih berdasarkan nilai MAPE dan MSE
yang paling kecil. Nilai yang ditentukan adalah 0,1, 0,2, 0,3 0,4, 0,5, 0,6, 0,7, 0,8 dan
0,9. Tabel 7. Nilai MAPE dan MSE dari masing – masing α
Α MAPE MSE
0,1 7,24933 28705030,21996
0,2 7,07118 25547846,09550
0,3 6,89596 24873868,91872
0,4 6,94411 26101297,83023
0,5 7,11418 28899946,39815
0,6 7,46705 33224341,89351
0,7 7,90978 39289404,13975
0,8 8,50518 47540260,73890
0,9 9,16565 58697334,32368
Setelah dilakukan trial and error danmenggunakan metode Pemulusan Eksponensial
Ganda (Double Exponential Smoothing) dariBrown terhadap beberapa nilai α dapat
dilihat pada Tabel 7 bahwa parameter α terbaik adalah dengan nilai MAPE
sebesar 6,89596 dan MSE sebesar 24873868,91872.Berdasarkan nilai MAPE dan MSE
terbaik yang telah di dapatkan tersebut, maka selanjutnya dapat dilakukan peramalan
menggunakan metode Double Exponential Smoothing dari Brown dengan nilai
parameter .
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 211
b. Menentukan nilai Smoothing Pertama
Untuk menentukan nilai smoothing pertama dapat diketahui dengan
menggunakan rumus pada persamaan (1) sebagai berikut :
1) Untuk t = 1 diperoleh
2) Untuk t = 2 diperoleh
dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.
c. Menentukan nilai Smoothing Kedua
Untuk menentukan nilai smoothing kedua dapat diketahui dengan
menggunakan rumus pada persamaan (2) sebagai berikut :
1) Untuk t = 1 diperoleh
2) Untuk t = 2 diperoleh
dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.
d. Menentukan nilai konstanta (
Dengan menggunakan rumus pada persamaaan (3) dapat di cari nilai – nilai
konstantanya sebagai berikut :
1) Untuk t = 1 diperoleh
2) Untuk t = 2 diperoleh
dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.
e. Menentukan nilai slope (
Dengan menggunakan rumus pada persamaaan (4) dapat di cari nilai – nilai
konstantanya sebagai berikut :
1) Untuk t = 1 diperoleh
2) Untuk t = 2 diperoleh
dan seterusnya sampai pada perhitungan untuk t = 56 diperoleh
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 212
Tabel 8. Nilai Smoothing Pertama dan Kedua, Nilai Konstanta dan nilai Slope menggunakan
nilai parameter
Periode data Smoothing
pertama Smoothing kedua konstanta slope
1 33411 33411 33411 33411 0
2 32297 33076.8 33310.74 32842.86 -100.26
3 33841 33306.06 33309.336 33302.784 -1.404
4 32505 33065.742 33236.2578 32895.2262 -73.0782
5 35108 33678.4194 33368.90628 33987.9325 132.64848
6 36738 34596.29358 33737.12247 35455.4647 368.21619
Periode data
Smoothing
pertama
Smoothing kedua konstanta slope
9 37913 36607.0757 35331.92814 37882.2233 546.491813
10 37321 36821.25299 35778.72559 37863.7804 446.797456
11 40051 37790.17709 36382.16104 39198.1931 603.43545
12 39618 38338.52396 36969.06992 39707.978 586.908877
13 36202 37697.56678 37187.61898 38207.5146 218.549057
14 32343 36091.19674 36858.69231 35323.7012 -328.92667
15 40679 37467.53772 37041.34593 37893.7295 182.653624
16 41157 38574.3764 37501.25507 39647.4977 459.909142
17 42109 39634.76348 38141.3076 41128.2194 640.052523
18 45062 41262.93444 39077.79565 43448.0732 936.488053
19 48677 43487.15411 40400.60319 46573.705 1322.80754
20 47778 44774.40787 41712.74459 47836.0712 1312.14141
21 44166 44591.88551 42576.48687 46607.2842 863.742276
22 41671 43715.61986 42918.22677 44513.013 341.739897
23 46861 44659.2339 43440.52891 45877.9389 522.302141
24 50443 46394.36373 44326.67935 48462.0481 886.150447
25 56651 49471.35461 45870.08193 53072.6273 1543.40258
26 62758 53457.34823 48146.26182 58768.4346 2276.17989
27 65134 56960.34376 50790.4864 63130.2011 2644.22458
28 64946 59356.04063 53360.15267 65351.9286 2569.66627
29 63034 60459.42844 55489.9354 65428.9215 2129.78273
30 68642 62914.19991 57717.21475 68111.1851 2227.27935
31 68472 64581.53994 59776.51231 69386.5676 2059.29755
32 56581 62181.37796 60497.972 63864.7839 721.459694
33 61690 62033.96457 60958.76977 63109.1594 460.79777
34 62985 62319.2752 61366.9214 63271.629 408.151628
35 61220 61989.49264 61553.69277 62425.2925 186.771371
36 62106 62024.44485 61694.91839 62353.9713 141.225623
37 53193 59375.01139 60998.94629 57751.0765 -695.9721
38 53487 57608.60798 59981.8448 55235.3712 -1017.1015
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 213
39 60585 58501.52558 59537.74903 57465.3021 -444.09576
40 61808 59493.46791 59524.4647 59462.4711 -13.284338
41 61569 60116.12754 59701.96355 60530.2915 177.498852
42 63823 61228.18927 60159.83127 62296.5473 457.867718
43 71152 64205.33249 61373.48163 67037.1834 1213.65037
44 54943 61426.63274 61389.42697 61463.8385 15.9453333
45 69892 63966.24292 62162.47175 65770.0141 773.044786
46 69000 65476.37004 63156.64124 67796.0988 994.169487
47 69308 66625.85903 64197.40658 69054.3115 1040.76534
48 67355 66844.60132 64991.565 68697.6376 794.158423
49 67612 67074.82093 65616.54178 68533.1001 624.976777
50 67460 67190.37465 66088.69164 68292.0577 472.149861
51 74823 69480.16225 67106.13282 71854.1917 1017.44118
52 69731 69555.41358 67840.91705 71269.9101 734.784226
Periode data
Smoothing
pertama
Smoothing kedua konstanta slope
53 69656 69585.5895 68364.31879 70806.8602 523.401736
54 75113 71243.81265 69228.16695 73259.4584 863.84816
55 61488 68317.06886 68954.83752 67679.3002 -273.32943
56 67765 68151.4482 68713.82072 67589.0757 -241.0168
Dengan menggunakan hasil perhitungan pada Tabel 8 maka diperoleh persamaan
modelnya sebagai berikut :
Adapun peramalan jumlah pengunjung Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah
untuk 4 bulan yang akan datang di tahun 2014 yaitu :
Ramalan periode 57 yaitu untuk bulan September diperoleh
.
Ramalan periode 58 yaitu untuk bulan Oktober diperoleh
.
Ramalan periode 59 yaitu untuk bulan November diperoleh
.
Ramalan periode 59 yaitu untuk bulan Desember diperoleh
.
Perbandingan Metode Arima Box – Jenkins
ISBN 978-602-1034-06-4 214
D. Simpulan dan Saran
Hasil peramalan dengan metode ARIMA Box - Jenkins yaitu pada bulan September
2014 jumlah pengunjung diperkirakan sekitar 66495,9. Untuk Oktober 2014 yaitu
sekitar 67903,4. Untuk November 2014 yaitu sekitar 68380,0 dan untuk bulan
Desember 2014 yaitu sekitar 69188,6 dengan Model ARIMA nya yaitu ARIMA (1,1,0).
Adapun persamaan modelnya adalah
untuk data runtun waktu dalam bentuk . Untuk hasil peramalan dengan metode
Double Exponensial Smoothing dari Brown yaitu pada bulan September 2014 jumlah
pengunjung diperkirakan sekitar . Untuk Oktober 2014 yaitu sekitar
. Untuk November 2014 yaitu sekitar dan dibulan
Desember 2014 yaitu sekitar .
Dalam suatu peramalan semakin kecil nilai MSE (mean square error)nya, semakin
baik dan akurat hasil peramalannya. Karena nilai MSE pada peramalan menggunakan
metode ARIMA Box – Jenkins lebih kecil dari nilai MSE pada peramalan menggunakan
metode Double Exponensial Smoothing dari Brown (105,31 < 24873868,91872), maka
dapat disimpulkan peramalan menggunakan metode ARIMA Box – Jenkins lebih akurat
daripada peramalan menggunakan metode Double Exponensial Smoothing dari Brown.
E. Daftar Pustaka
Hatidja, D.2010.Penerapan Model ARIMA untuk Memprediksi Harga Saham PT.
Telkom Tbk.Manado : UNSRAT.
Jatra, A.,et.al.2013. Peramalan Indeks Harga Konsumen (IHK) Kota Samarinda dengan
Metode Double Exponential Smoothing dari Brown. Jurnal Eksponensial 4(1) : 39
– 46. Tersedia di http://fmipa.unmul.ac.id/pdf/273. [diakses 21-10-2014].
Yuniarti, D.2012. Peramalan Jumlah Penumpang yang Berangkat Melalui Bandar
Udara Temindung Samarinda Tahun 2012 dengan Metode ARIMA Box –
Jenkins.Jurnal Eksponensial 3(1) : 25 – 32. Tersedia
dihttp://fmipa.unmul.ac.id/pdf/257&cd=17&ved=0CCsQFjAGO&usg=AFQjCNF
- UVQcIFDFokudPGTTZJrUZkovgg. [diakses 25-09-2014].
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 215
PENERAPAN JARINGAN KOHONEN SELF ORGANIZING MAPS
UNTUK CLUSTERING KUALITAS AIR KALI SURABAYA
Sri Rahmawati F.
1), M. Isa Irawan
2), Nieke Karnaningroem
3)
1)Program Magister, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2) Dosen Program Magister, Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
3)Dosen Program Doktoral, Jurusan Teknil Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jl. Raya ITS, Surabaya
Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]
Abstrak
Pencemaran air sungai dirasakan semakin hari semakin meningkat terutama di daerah perkotaan.
Kualitas air di beberapa tempat mengalami penurunan akibat sebagian besar limbah cair dari
kegiatan manusia dibuang ke saluran yang bermuara di Kali Surabaya. Selain bersumber dari
aktivitas industri, pencemaran air juga disumbang dari kegiatan rumah tangga, hotel dan rumah
sakit. Komponen pencemar yang mempengaruhi antara lain pH, DO, BOD, COD, TSS dan Nitrate.
Dengan meningkatnya beban pencemaran air sebagai dampak negatif dari kegiatan industri, rumah
tangga, hotel dan rumah sakit, maka perlu dilakukan pengelompokan wilayah di sepanjang Kali
Surabaya berdasarkan beban polutan yang dihasilkan untuk mengetahui tingkat pencemaran air di
Kali Surabaya.Pada paper ini akan dibahas aplikasi jaringan Kohonen Self Organizing Maps untuk
pengelompokan atau clustering berdasarkan kesamaan atribut yang dimiliki bersama. Banyaknya
atribut yang sama akan menggambarkan kedekatan kelompok wilayah. Setelah dilakukan
pengelompokan dengan metode di atas, kemudian mendapatkan pengelompokan dengan
didapatkan lima kelompok (cluster) dengan daerah tinggi Nitrate, daerah rendah TSS dan Nitrate,
daerah rendah COD, daerah tinggi pH dan DO, dan daerah tinggi DO, BOD, COD. Sistem
ternyata mampu menghasilkan kelompok wilayah yang terbentuk dari kesamaan dan kemiripan
atribut, sehingga dapat diketahui kesesuaian setiap wilayah.
Kata Kunci : Jaringan Kohonen, Clustering, Kualitas Air, Kali Surabaya
A. Pendahuluan
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk
kebutuhan minum, mandi, mencuci, pengairan dalam bidang pertanian, dan minuman
untuk ternak. Selain itu, air juga sangat diperlukan dalam kegiatan industri dan
pengembangan teknologi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup manusia.
Sungai merupakan salah satu sumber untuk mendapatkan air untuk mencukupi
kebutuhan hidup manusia. Fungsi penting ini menjadi salah satu alasan pentingnya
menjaga air sungai dari pencemaran yang dapat menjadi sumber berbagai penyakit.
Menurut ilmu kesehatan menunjukkan bahwa 65 – 75 % dari berat badan manusia
dewasa terdiri dari air dan setiap orang memerlukan air minum sebanyak 2,5 – 3 liter
setiap hari termasuk air yang berada dalam makanan.
Keberadaan sungai di Surabaya sebagai sumber air bagi kelangsungan hidup
masyarakat memiliki arti yang sangat penting, termasuk Kali Surabaya. Kota Surabaya
memiliki 6 sungai, 27 saluran primer, dan 142 saluran sekunder. Kali Surabaya
merupakan sungai terpanjang di Kota Surabaya dengan panjang 17.400 meter. Aliran
sungai Kota Surabaya dimulai dari DAM Mlirip (Kabupaten Mojokerto) kemudian
melewati Sidoarjo, Gresik, dan sampai pada DAM Jagir Wonokromo (Surabaya)
(Anonim, 2013). Pembangunan di Kota Surabaya khususnya pada sektor industri telah
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 216
membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak positif maupun negatif. Salah
satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah pencemaran air yang dirasakan semakin
meningkat. Dengan meningkatnya beban pencemaran air sebagai efek negatif dari
kegiatan industri, diperlukan pengelompokan industri berdasarkan beban polutan,
sehingga dapat diketahui hasilnya berupa kelompok-kelompok industri sebagai
informasi dalam kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya.
Pengelompokan industri berdasarkan beban polutan dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis cluster dengan memanfaatkan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial
Neural Network). Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network ) sudah mulai
banyak dimanfaatkan sebagai solusi terhadap berbagai macam kasus yang muncul
beberapa dekade terakhir. Sejarah ANN menunjukkan pembahasan terhadap masalah ini
muncul sekitar tahun 1990-an namun implementasinya baru banyak muncul beberapa
dekade terakhir. Jaringan Kohonen merupakan suatu jaringan yang mempunyai
kemampuan memetakan pola masukan melalui model pembelajaran tanpa pengawasan
(unsupervised learning). Pemetaan yang dihasilkan akan menunjukkan hubungan
keterkaitan di antara pola-pola masukan tersebut dalam suatu representasi yang lebih
ringkas dari data aslinya dengan mempertahankan hubungan topologinya (Stergiou dan
Siganos, 1989).
Pemanfaatan Jaringan Kohonen dalam pembuatan peta masukan dilakukan dengan
membagi pola masukan ke dalam beberapa kelompok (cluster). Dalam kasus
pemcemaran air di Kali Surabaya, Jaringan Kohonen dapat digunakan untuk
mengetahui pengelompokan industri berdasarkan beban polutan yang dihasilkan.
B. Tinjauan Pustaka
Jaringan syaraf tiruan telah banyak diaplikasikan dalam bidang komputer, teknik,
ilmu murni, perdagangan, financial, dal lain-lain. Cluster analisis dapat menggunakan
jaringan syaraf tiruan. Diantaranya adalah Mahonen dan Hakala (1995) melakukan
penelitian Automated Source Classification Using Kohonen Network. Pada penelitian ini
Mahonen dan Hakalamenyimpulkan bahwa dengan menerapkan metode jaringan
kohonen pada proses pelatihan mampu mengelompokkan bintang dan galaksi ke dalam
satu kelompok. Dan pada proses pengujian, dengan jaringan kohonen mampu mengenali
bintang dan galaksi yang berada diluar pelatihan (Mahonen, P.H dan P.J Hakala, 1995).
Irawan (2008) melakukan penelitian Exploratory Data Analysis dengan JST-Kohonen
SOM: Struktur Tingkat Kesejahteraan Daerah Tingkat II se Jawa Timur. Penelitian ini
melakukan clustering yang menghasilkan kelompok daerah yang terbentuk dari
kesamaan dan kemiripan atribut, sehingga dapat diketahui kesesuaian pengalokasian
subsidi dan sumbangan untuk setiap daerah Tingkat II (Irawan, 2008). Olawoyin, dkk
(2013) melakukan penelitian Application of Artificial Neural Network (ANN)-Self-
Organizing Maps (SOM) for the Categorization of Water, Soil and Sediment Quality in
Petrochemical Regions. Penelitian ini memanfaatkan jaringan kohonen SOM untuk
mengenali pola spasial di zona yang terkontaminasi pencemar air dengan
mengidentifikasi sumber pencemar kualitas air (Olawoyin,dkk, 2013).
C. Metode Penelitian
1. Jaringan Syaraf Tiruan
Jaringan syaraf tiruan sederhana pertama kali diperkenalkan oleh McCulloch dan
Pitts di tahun 1943. Jaringan syaraf tiruan (biasa disingkat JST) atau Neural Network
adalah suatu model matematis yang berupa sistem pengolah informasi yang meniru
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 217
sistem jaringan syaraf biologi. Jaringan syaraf tiruan dapat digunakan untuk
menyelesaikan sejumlah permasalahan besar karena memiliki kemampuan memodelkan
permasalahan yang kompleks. Kunci Jaringan Syaraf Tiruan adalah struktur sistem
pengolahan informasi, yang terdiri atas sejumlah unsur-unsur (syaraf) yang bekerja
saling berhubungan untuk memecahkan permasalahan spesifik (Arifin dan Irawan,
2009). Metode matematis ini juga mampu menangkap dan mempresentasikan hubungan
input, output, dan solusinya lebih baik dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari
metode tradisional.
Jaringan Syaraf Tiruan merupakan kumpulan sel-sel syaraf (neuron) yang
mempunyai tugas mengolah informasi. Komponen-komponen utama dari sebuah
neuron adalah dendrit yang bertugas menerima informasi, badan sel (soma) berfungsi
sebagai tempat pengolahan informasi, dan akson (neurit) yang bertugas mengirimkan
impuls ke sel syaraf lainnya (Fauset, 1994). Jaringan Syaraf Tiruan dibangun untuk
meniru cara kerja otak manusia. Seperti halnya otak manusia yang terdiri dari
sekumpulan sel syaraf (neuron), jaringan syaraf juga terdiri dari beberapa neuron dan
terdapat hubungan antara neuron-neuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan
memindahkan informasi yang diterima melalui sambungan keluarnya menuju neuron-
neuron yang lain. Pada jaringan syaraf, hubungan ini dinamakan bobot. Informasi
tersebut disimpan pada nilai tertentu pada bobot. Lapisan-lapisan penyusunan jaringan
syaraf tiruan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu lapisan pertama adalah lapisan input yang
berfungsi menerima pola masukan data dari luar yang menggambarkan permasalahan,
lapisan kedua adalah lapisan tersembunyi yang merupakan lapisan output yang
disembunyikan dan belum menjadi solusi dari Jaringa Syaraf Tiruan, dan lapisan ketiga
adalah lapisan output yang merupakan merupakan solusi jaringan syaraf tiruan terhadap
permasalahan yang diberikan (Arifin dan Irawan, 2009).
Proses pembelajaran terhadap perubahan bobot dalam Jaringan Syaraf Tiruan ada
dua, yaitu (Fauset, 1994);
(i) Pembelajaran Tak Terawasi (unsupervised learning)
Pada metode pembelajaran tak terawasi ini tidak memerlukn target output. Pada metode
ini, tidak dapat ditentukan seperti hasil apakah yang diharapkan selama proses
pembelajaran. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range
tertentu tergantung dari nilai input yang diberikan.
(ii) Pembelajaran Terawasi (supervised learning)
Metode pembelajaran dalam jaringan syaraf tiruan dikatakan terawasi jika output yang
diharapkan telah diketahui sebelumnya. Pada proses pembelajaran, satu pola input akan
diberikan pada satu node pada input layer. Pola ini dirambatkan disepanjang jaringan
syaraf tiruan hingga sampai ke node pada output layer. Output layer ini akan
membangkitkan pola output yang nantinya akan dicocokkan dengan pola output target.
Apabila terjadi perubahan antara pola output hasil pembelajaran dengan pola target,
maka disini akan muncul error. Apabila nilai error ini masih cukup besar, maka
mengindikasikan bahwa masih perlu dilakukan lebih banyak pembelajaran lagi.
2. Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
Jaringan Kohonen Self Organizing Maps termasuk dalam pembelajaran tak
terawasi (unsupervised learning). Jaringan ini pertama kali diperkenalkan oleh Teuvo
Kohonen pada tahun 1981. Pada jaringan ini, suatu lapisan yang berisi neuron-neuron
akan menyusun dirinya sendiri berdasarkan input nilai tertentu dalam suatu kelompok
yang dikenal dengan istilah cluster. Selama proses penyusunan diri, cluster yang
memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola input (memiliki jarak paling dekat)
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 218
akan terpilih sebagai pemenang. Neuron yang menjadi pemenang beserta neuron-
neuron tetangganya akan memperbaiki bobot-bobotnya (Fauset, 1994).
Terdapat m unit kelompok yang tersusun dalam arsitektur sinyal-sinyal masukan
(input) sejumlah n. Vektor bobot untuk suatu unit kelompok disediakan dari pola-pola
masukan yang tergabung dengan kelompok tersebut. Selama proses pengorganisasian
sendiri, unit kelompok yang memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola masukan
(ditandai dengan jarak Euclidean paling minimum) dipilih sebagai pemenang. Unit
pemenang dan unit tetangganya diperbaharui bobotnya. Setiap neuron terkoneksi
dengan neuron lain yang dihubungkan dengan bobot atau weight. Bobot tersebut berisi
informasi yang akan digunakan untuk tujuan tertentu.
Menurut Irawan (2008), algortima pembelajaran unsupervised learning pada
jaringan Kohonen Self Organizing Maps untuk diterapkan dalam pengelompokan data
(clustering data) adalah sebagai berikut :
Langkah 0 Inisialisasi pembobotan dengan random. Menset parameter learning
rate , parameter radius neightbourhood (R).
Langkah 1 Apabila kondisi selesai belum terpenuhi, lakukan langkah 2-8
Langkah 2 Untuk tiap vektor input x (xi, i =1,…,n), lakukan langkah 3-5
Langkah 3 Untuk tiap j (j =1,...m), hitung jarak Euclidean
Langkah 4 Mencari indeks j dengan jarak D(j) terdekat (minimum)
Langkah 5 Melakukan perbaikan nilai wij dengan nilai tertentu, yaitu:
Langkah 6 Melakukan update learning rate
Langkah 7 Mereduksi radius dari fungsi tetangga pada waktu tertentu (epoch)
Langkah 8 Uji kondisi penghentian.
Proses pembelajaran akan berlangsung terus hingga mencapai maksimum epoch.
Jaringan Kohonen Self Organizing Maps dapat mengenali dan mengklasifikasikan
pola-pola dengan melakukan pelatihan (training) dari pola-pola vektor masukan (input)
data dengan vektor bobot sebagai penghubung antara layer masukan dan layer
Gambar 1.Arsitektur Jaringan Kohonen
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 219
kompetisi dalam proses pelatihan. Dari proses pelatihan jaringan tersebut akan
terbentuk cluster-cluster dari pola yang dilatihkan.
Pengelompokan pola-pola tersebut nantinya dapat digunakan sebagai proses
pengenalan pola-pola yang diujikan. Proses pengelompokan mencakup cara
pengelompokan pola berdasarkan keserupaan ciri yang dimilikinya (clustering) dan
pemberian label kelas atas masing-masing kelompok tersebut.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Terapan pada Data Pencemaran Air Kali Surabaya
Berikut merupakan informasi awal yang digunakan dalam clustering data industri
sumber pencemaran air di Kali Surabaya tahun 2013 menggunakan Jaringan Syaraf
Tiruan Kohonen Self Organizing Maps adalah sebagai berikut:
Jumlah data (n) : 25
Jumlah Variabel Input (m) : 6
Jumlah cluster (K) : 5
Learning rate ( ) : 0.5
Normalisasi data beban pencemaran air pada sektor industri di Kali Surabaya tahun
2013 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Data yang digunakan adalah data sekunder
kualitas air buangan industri ke Kali Surabaya dari Perum Jasa Tirta I Malang tahun
2009 – 2013 yang dipantau setiap 2 minggu., dimulai dari DAM Mlirip (Mojokerto)
Gambar 2.Diagram Implementasi Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
Input Data
Mulai
Jumlah Variaebl (m)
Jumlah Data (n)
Jumlah Cluster (K)
Learning Rate
Maksimum Iterasi (epoch)
Random Data
Proses Pelatihan dengan Jaringan Kohonen Self
Organizing Maps
Proses Simulasi dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
Hasil Cluster
Selesai
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 220
sampai dengan DAM Jagir/Wonokromo (Surabaya). Pengambilan data-data tersebut
diperoleh dari yaitu Perum Jasa Tirta I (PJT I) Malang Provinsi Jawa Timur Jalan
Surabaya No. 2A, Malang. Perum Jasa Tirta I Malang melakukan pemantauan kualitas
air Kali Surabaya secara berkala dan serentak untuk setiap titik lokasi pengambilan
sample. Pada Tabel 1, industri-industri yang buangan limbah cairnya secara langsunga
ataupun tidak langsung ke Kali Surabaya dinyatakan dengan Objek 1 hingga Objek 25.
Sedangkan atribut yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter pencemar air
terdiri dari enam parameter kunci untuk mengidentifikasi kualitas air sebagai sumber air
baku air minum yang terdiri dari pH , DO (Dissolved Oxygen), BOD (Biochemiycal
Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solid), dan
Nitrate.
Derajat keasaman atau pH adalah tingkatan asam basa yang dimiliki oleh suatu
larutan, secara umum nilai pH menunjukkan kandungan padatan yang dimiliki air
tergolong rendah atau tinggi. Oksigen terlarut yang disingkat DO menunjukkan jumlah
oksigen yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air,
mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus, sebaliknya jika nilai DO
rendah dapat diindikasikan bahwa air tersebut telah tercemar. Kebutuhan oksigen
biokimia yang disingkat BOD merupakan parameter pengukuran jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan keseluruhan zat organik yang terlarut dan
tersuspensi dalam air buangan. Kebutuhan oksigen kimia yang lebih dikenal dengan
COD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan (misalnya
kalium dikromat) untuk mengoksidadi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air,
apabila kondisi COD tinggi dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam
air. Padatan tersuspensi total yang disingkat TSS adalah kadar total padatan terlarut
yang dapat menyebabkan berkurangnya kejernihan air sehingga menghalangi sinar
matahari masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis mikroorganisme tidak dapat
berlangsung.
Tabel 1. Normalisasi Data Beban Pencemaran Udara Sektor Industri di Kali Surabaya Tahun 2013
Objek Atribut Pencemaran Air Kali Surabaya
Objek 1 1.0000 0.6416 0.0685 0.4967 0.6760 0.2283
Objek 2 0.7547 0.2928 0.0877 0.0604 0.6425 0.0000
Objek 3 0.8868 0.8890 0.3327 0.4019 0.7263 0.3405
Objek 4 0.7000 0.3626 0.2029 0.1692 0.6816 0.6258
Objek 5 0.7547 0.4767 0.4518 0.3912 0.4469 0.3612
Objek 6 0.5170 0.4535 0.1556 0.0538 0.6257 0.2163
Objek 7 0.8792 0.3171 0.1069 0.0396 0.5028 0.5702
Objek 8 0.6491 0.4387 0.3877 0.1753 0.6816 1.0000
Objek 9 0.3604 0.4820 0.4004 0.0692 0.5307 0.0381
Objek 10 0.4189 0.3668 0.2716 0.0143 0.4804 0.2339
Objek 11 0.0000 1.0000 1.0000 0.1758 0.8547 0.2604
Objek 12 0.5094 0.5592 0.3747 0.5330 0.5866 0.2027
Objek 13 0.5434 0.1744 0.1031 0.0033 0.8324 0.3178
Objek 14 0.4528 0.5159 0.3189 0.4542 0.5698 0.3408
Objek 15 0.3566 0.5222 0.3784 0.2000 0.0000 0.5085
Objek 16 0.3981 0.6554 0.1247 0.0225 0.6145 0.4303
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 221
Objek 17 0.3792 0.3996 0.2020 0.0385 0.5698 0.5094
Objek 18 0.4170 0.1797 0.0817 0.0132 1.0000 0.4154
Objek 19 0.9057 0.3171 0.1573 0.0403 0.4749 0.5626
Objek 20 0.4528 0.3721 0.1224 0.1033 0.5587 0.2145
Objek 21 0.3566 0.2400 0.0000 0.0000 0.8827 0.3145
Objek 22 0.7736 0.6755 0.4051 0.6008 0.5642 0.4151
Objek 23 0.2170 0.3076 0.1791 0.1187 0.4916 0.6249
Objek 24 0.0434 0.2199 0.2449 0.2264 0.5531 0.5225
Objek 25 0.5283 0.1882 0.0579 0.0489 0.6592 0.2158
Sumber : Hasil Perhitungan Normalisasi Data dari PJT I Malang
Komputasi Jaringan Kohonen Self Organizing Maps yang digunakan pada Gambar
1. Neuron input dihubungkan dengan neuron output dengan koneksi bobot, yang mana
bobot ini selalu diperbaiki pada proses iterasi pelatihan jaringan. Aliran informasi
sistem Jaring Syaraf Tiruan untuk pengelompokan beban pencemaran air di Kali
Surabaya ini diawali dengan dimasukkannya data beban pencemaran dari sektor industri
yang sudah dilakukan proses normalisasi. Data-data inilah yang akan berfungsi sebagai
data input awal. Selain data input awal, terdapat parameter learning rate dan radius
neighborhood.
Berdasarkan hasil uji coba beban pencemaran air di Kali Surabaya terjadi
kemiripan antar satu dengan yang lain yang bergabung membentuk lima cluster. Data
input pada Tabel 1 kemudian dilakukan pelatihan jaringan dengan iterasi maksimal
yaitu 10.000 epoch menggunakan paket program Matlab R2012a. Hasil pelatihan
jaringan dari masing-masing epoch diperoleh keluaran sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pembacaan Clustering Data untuk
10.000 epoch
Cluster Ke- Inputan Ke-
1 2,6,13,18,20,21,25
2 9,10,11,16
3 15,17,23,24
4 4,7,8,19
5 1,3,5,12,14,22
Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa hasil pelatihan dengan 10.000 epoch
menghasilkan cluster dengan anggota yang konsisten. Kelompok pertama yang terdiri
dari 7 objek industri yang terindetifikasi sebagai penyumbang sumber pencemar air Kali
Surabaya yaitu: Objek 2, Objek 6, Objek 13, Objek 18, Objek 20, Objek 21, dan Objek
25.
Kelompok kedua teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai
penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 9, Objek 10, Objek 11,
dan Objek 16.
Kelompok ketiga teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai
penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 15, Objek 17, Objek 23,
dan Objek 24.
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 222
Kelompok keempat teridiri dari 4 objek industri yang terindetifikasi sebagai
penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 4, Objek 7, Objek 8, dan
Objek 19.
Sedangkan kelompok kelima teridiri dari 6 objek industri yang terindetifikasi
sebagai penyumbang sumber pencemar air Kali Surabaya yaitu: Objek 1, Objek 3,
Objek 5, Objek 12, Objek 14, dan Objek 22.
Dari proses pelatihan dan simulasi dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
untuk keenam parameter kualitas air Kali Surabaya, diperoleh clustering sumber
pencemar dari sektor industri di Kali Surabaya menjelaskan jenis industri untuk
kelompok pertama adalah saluran pembuangan limbah rumah tangga, tempat
pemotongan hewan, makanan ternak, makanan dan minuman, tekstil dan industri bahan
kimia.
Kelompok kedua, diperoleh clustering sumber pencemar berasal dari olahan kayu,
olahan kertas, olahan bahan pangan kedelai, serta tekstil.
Kelompok ketiga merupakan kelompok sumber pencemar yang berasal dari jenis
industri yang bergerak di bidang olahan karet, kimia dasar, serta olahan bahan pangan
makanan.
Kelompok keempat sebagai sumber pencemar Kali Surabaya yang didominasi dari
jenis industri plastik dan olahan plastik untuk perabotan rumah tangga. Sedangkan
kelompok kelima merupakan sumber pencemar yang didominasi limbah cair yang
berasal dari hasil aktivitas dari kegiatana pengolahan makanan dan minuman.
Dari hasil clustering yang diperoleh di atas, terlihat bahwa banyaknya atribut yang
sama akan menggambarkan kedekatan kelompok wilayah. Setelah dilakukan
pengelompokan wilayah dengan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps, mampu
mendapatkan lima cluster sebagai sumber pencemar air kali Surabaya dari sektor
industri. Dari kelima cluster yang dihasilkan, terlihat bahwa untuk kelompok pertama
teridentifikasi dengan daerah tinggi Nitrate, untuk kelompok kedua teridentifikasi
dengan daerah rendah TSS dan Nitrate, untuk kelompok ketiga teridentifikasi dengan
daerah rendah COD, untuk kelompok keempat teridentifikasi dengan daerah tinggi pH
dan DO, serta kelompok kelima teridentifikasi dengan daerah tinggi DO, BOD dan
COD.
E. Simpulan dan Saran
Dari hasil pengelompokan berdasarkan beban pencemaran Kali Surabaya, sedikit
banyak dapat memberikan gambaran terhadap pencemaran air di Kali Surabaya yang
berasal dari sektor industri. Penyelasaian permasalahan lingkungan khususnya kualitas
air di Kali Surabaya sebagai sumber air baku air minum masyarakat Surabaya, dapat
dilakukan dengan clustering data kualitas air dengan Jaringan Kohonen Self Organizing
Maps. Jaringan Kohonen Self Organizing Maps pada kualitas air ini dipengaruhi oleh
parameter-parameter kualitas air sebagai atribut pelatihan seperti jumlah cluster yang
akan dibentuk, learning rate, maksimum iterasi (epoch) sehingga proses pelatihan
dilakukan beberapa kali dengan data masukan yang sama, nantinya akan berpengaruh
pada hasil clustering. Pada algortima Jaringan Kohonen Self Organizing Maps, proses
pemilihan data untuk clustering dilakukan secara acak, sehingga terdapat perbedaan
hasil cluster yaitu penempatan konsistensi anggotacluster.
Penerapan Jaringan Kohonen Self Organizing Maps
ISBN 978-602-1034-06-4 223
F. Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Status Lingkungan Hidup Kota Surabaya (SLHD).Laporan Penelitian
Badan Lingkungan Hidup Surabaya2013. Kota Surabaya.
Arifin Z. dan Irawan M.I. 2009.Adaptive Sensitivity Sensitivity-based Linear Learning
Method Algorithms for Data Classification.Proceeding of 5th
International
Conference of Mathematics, Statistics and Their Aplications,Juni 9 -11. Bukit
Tinggi – West Sumatra Indonesia.
Fauset, L.1994.Fundamental of Neural Networks.New Jersey : Prentice Hall Inc.
Irawan, M.I. 2008. Exploratory Data Analysis dengan JST-Kohonen SOM: Stryktur
Tingkat Kesejahteraan Daerah Tingkat II se Jawa Timur.Surabaya : Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Mahonen, P.H dan P.J Hakala.1995. Autometed Source Classification Using Kohonen
Network. The Astrophysical Journal Letters, Vol. 452:L77–L80.
Olawoyin, R., Nieto, A., Grayson, R.L., Hardisty, F., dan Oyewole, S. 2013.
Application of Artificial Neural Network (ANN)-Self-Organizing Maps (SOM)
for the Categorization of Water, Soil and Sediment Quality in Petrochemical
Regions.The Expert System with Application, 40(2013),3634-3648.
Stergiou, C. Siganos, D. 1989. Neural Network. New York : Pasific Northwest National
Laboratory.
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 224
RESAMPLING UNTUK MEMPERBESAR KOEFISIEN
DETERMINASI
DALAM MODEL REGRESI LINEAR.
Adi Setiawan
Program Studi Matematika
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana
Jl Diponegoro 52-60 Salatiga 50711, Indonesia
Surel : [email protected]
Abstrak
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kebaikan model dalam model regresi linear.
Namun demikian, dalam ilmu-ilmu Sosial seperi ilmu psikologi, seringkali diperoleh data yang
mengakibatkan koefisien determinasi dalam model regresi linear bernilai kecil sehingga hanya
sebagian kecil data yang dapat dijelaskan oleh model regresi linear dan sisanya tidak dapat
dijelaskan oleh model regresi linear. Dalam makalah ini, akan dijelaskan prosedur resampling
tanpa pengembalian (without replacement) yang menggunakan sebagian dari data untuk
memperoleh koefisien determinasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan
keseluruhan data. Studi kasus dengan ukuran sampel n = 84, dengan peubah respon IPK (Indeks
Prestasi Kumulatif) mahasiswa dan peubah penjelas yaitu peubah Dukungan Sosial Teman
Sebaya dan Kecerdasan Emosional digunakan untuk menjelaskan prosedur resampling tanpa
pengembalian dan dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 83 dan ulangan
prosedur sebesar B = 10.000 yang digunakan dalam memperbesar koefisien determinasi.
Dengan prosedur yang telah dijelaskan, merupakan usulan cara untuk memperbesar koefisien
determinasi yang relatif kecil.
Kata Kunci: resampling, model regresi linear, koefisien determinasi
A. Pendahuluan
Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kebaikan model dalam model
regresi linear. Namun demikian, dalam ilmu-ilmu Sosial, seringkali diperoleh data yang
mengakibatkan koefisien determinasi dalam model regresi linear bernilai kecil sehingga
hanya sebagian kecil data yang dapat dijelaskan oleh model regresi linear dan sisanya
tidak dapat dijelaskan oleh model regresi linear. Menurut Patty (2014), hubungan
peubah Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri dan Jenis Kelamin dengan
Prestasi Belajar Siswa dengan menggunakan model regresi linear diperoleh hubungan
yang signifikan tetapi mempunyai koefisien determinasi 0.047. Selanjutnya, menurut
Salamor (2014), hubungan Dukungan Sosial Orang Tua dan Motivasi Berprestasi
terhadap Prestasi Akademik Mahasiswa UKSW etnis Maluku Utara di Salatiga yang
dinyatakan dalam model regresi linear yang signifikan tetapi mempunyai koefisien
determinasi 0.095. Di samping itu, menurut Ririhena (2014), hubungan Kecerdasan
Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa
Fakultas Teologi UKI Maluku dengan menggunakan regresi linear yang signifikan
tetapi mempunyai koefisien determinasi 0.432.
Metode resampling (bootstrap) banyak digunakan untuk mendapatkan estimasi
distribusi statistik yang sulit ditentukan secara analitik. Dalam makalah ini, akan
dijelaskan usulan prosedur resampling tanpa pengembalian (without replacement) yang
menggunakan sebagian dari data yang digunakan dalam model regresi linear untuk
memperoleh koefisien determinasi yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan
keseluruhan data. Diharapkan dengan prosedur yang diusulkan, akan dapat diperoleh
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 225
sampel bagian yang akan dianalisis selanjutnya dan mempunyai koefisien determinasi
yang lebih besar.
B. Tinjauan Pustaka
Dalam pasal ini, akan dibahas tentang analisis regresi linear dan metode resampling
yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini.
1. Analisis Regresi Linear
Analisis regresi linear biasanya digunakan untuk memodelkan respons kontinu pada
data eksperimen. Dalam pemodelan ini dianggap bahwa peubah respons (response
variable) tergantung pada nilai dari sejumlah peubah yang lain. Dalam analisis regresi
ganda, peubah terakhir ini biasa dinamakan peubah penjelas (explanatory variable).
Respons yang diamati dianggap tidak tepat benar nilainya seperti pada pengamatan
tetapi mengandung suatu kesalahan (error), sedangkan nilai-nilai pada peubah penjelas
dianggap eksak. Hubungan antara peubah respons dan peubah penjelas dinyatakan
dalam hubungan linear yang tergantung pada vektor parameter. Nilai parameter ini
dapat ditaksir dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (least square error
method).
Model regresi linear untuk n pengamatan dan p peubah penjelas dengan p < n
adalah
dengan E( ei ) = 0 dan E( ei ej ) =
2 untuk i = j dan 0 untuk i j dengan i, j = 1, 2, ..., n.
Dalam hal ini Yi adalah pengamatan ke-i dan Xij adalah pengamatan ke-i dan peubah
penjelas ke-j, sedangkan merupakan parameter dan ei merupakan kesalahan stokastik
dalam pengamatan ke-i.
Model tersebut dapat dinyatakan dalam notasi matriks :
dengan E(e) = dan Cov(e) =
2 I nn. Dalam hal ini Y = (Y1, Y2, ..., Yp)
T adalah vektor
pengamatan dan X adalah matrix n (p+1) dengan baris ke-i adalah
X iT = (1, xi1, xi2, ..., xip)
T.
Vektor = (0, 1, …, p)T adalah vektor parameter yang tidak diketahui dan e = ( e1,
e2, .., en ) adalah vektor stokastik dari kesalahan dan Inn adalah matriks identitas.
Dalam pembahasan ini dibatasi hanya pada rank(X) = p + 1.
Untuk menaksir vektor parameter digunakan metode kuadrat terkecil. Bila
kesalahan mempunyai distribusi selain normal seperti distribusi Poisson, Gamma dan
distribusi yang simetrik dengan ekor tebal maka dapat digunakan metode penaksir
kemungkinan maksimum (maximum likelihood estimator method). Penaksir kuadrat
terkecil untuk vektor parameter akan meminimumkan jumlah kuadrat
S() = (Y – X )T (Y – X).
Berarti memenuhi atau sehingga diperoleh
.
Vektor residu dengan dan berarti elemen ke-i adalah
.
Fungsi S di titik dinamakan JKS - jumlah kuadrat sisaan (RSS – residual sum of
square) yaitu
ipipii eXXY ....110
eXY
^
0)(^
XYX T YXXX TT ^
YXXX TT 1^
)(
^
YYR ^^
XY ^^
T
iiiii XYYYR
^
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 226
.
Dapat dibuktikan bahwa merupakan penaksir tak bias untuk yaitu E( ) = dan
berlaku
.
Jika digunakan
sebagai penaksir
2 maka matriks kovariansi dari dapat ditaksir dengan
.
Di bawah anggapan bahwa e berdistribusi normal maka
mempunyai distribusi chi-kuadrat dengan derajat bebas (n-p-1). Koefisien determinasi
dapat dihitung dengan
dengan .
2. Metode Resampling
Metode resampling artinya menggunakan sampling yang ada untuk mendapatkan
sampel bagian dengan cara mengambil sebagian sampel tanpa pengembalian
(resampling without replacement). Di samping itu, ada juga cara lain yaitu mengambil
sampel dari sampel asal (dengan ukuran yang sama dengan ukuran sampel awal, lebih
kecil atau lebih besar dari sampel awal) dengan pengembalian (resampling with
replacement). Resampling juga dikenal dengan metode bootstrap. Resampling banyak
digunakan dalam berbagai statistik dan juga dalam berbagai model seperti model
regresi, model analisis variansi, model runtun waktu (time series). Metode resampling
banyak digunakan dalam penelitian yang menggunakan skala Likert atau skala tipe
yes/no (lihat Muaja (2013a, 2013b), Bima (2013a, 2013b), Setiawan (2014)). Informasi
lebih lanjut tentang resampling dapat dilihat pada Hass (2013) dan Chihara &
Hesterberg (2011).
C. Metode Penelitian
Metode resampling tanpa pengembalian yang digunakan dalam model regresi linear
untuk memperbesar koefisien determinasi dapat dijelaskan berikut ini. Misalkan
dimiliki pasangan berurutan (X1, Y1), (X2, Y2), ……, (Xn, Yn), dalam model regresi
linear.
1. Sampel bagian ukuran m diambil tanpa pengembalian (resampling without
replacement) dari sampel ukuran n dengan m≤n sehingga diperoleh (X1*, Y1*),
(X2*,Y2*), .., (Xn*, Yn*) dengan { 1, 2, …., m} { 1, 2, …., n}.
RRXYXYSJKS TT )()()(^^^
^
^
12^
)()( XXCov T
1
2^
pn
RSS
1
2^^^
)()( XXCov T
2
2^
/)1( pn
JK
JKSr 12
n
i
i YYJK1
2)(
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 227
2. Dengan menggunakan sampel bagian ukuran m, dihitung koefisien determinasi
dalam model regresi linear.
3. Prosedur 1 dan 2 diulang sebanyak bilangan besar B kali (misalkan B = 10.000) dan
berdasarkan hasil-hasil koefisien determinasi yang diperoleh maka dapat dipilih
koefisien determinasi optimal (yang mendekati koefisien determinasi maksimal)
dan sampel yang menyebabkan koefisien determinasi optimal tersebut.
Prosedur resampling tanpa pengembalian dapat dilakukan untuk berbagai nilai m seperti
m = 10, 15, 20, 25, .... sepanjang ukuran sampel bagian m lebih kecil dari atau sama
dengan ukuran sampel awal n.
Untuk memberikan gambaran bagaimana metode ini digunakan akan dijelaskan
dengan menggunakan data kasus hubungan antara peubah respon IPK mahasiswa dan
variabel penjelas Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya yang
diambil dari Ririhena (2014). Ukuran sampel yang digunakan adalah n = 84 dan dalam
makalah ini digunakan ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70 dan 80.
D. Hasil dan Pembahasan
Untuk memberikan gambaran secara singkat dan jelas tentang prosedur yang
diusulkan, akan digunakan ukuran sampel n = 10 seperti data pada Tabel 1. Pada Tabel
1 kolom 1 menjelaskan skor total yang diperoleh dari skala (kuesioner) Kecerdasan
Emosional yang terdiri dari 20 item dan masing-masing item menggunakan skala Likert
bernilai 1 sampai 4. Selanjutnya pada Tabel 1 kolom 2 merupakan skor total yang
diperoleh dari skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang terdiri dari 12 item dan
kolom 3 menyatakan IPK mahasiswa yang mengisi kuesioner tersebut.
Tabel 1. Tabel Data Hubungan antara Peubah Kecerdasan Emosional, Dukungan Sosial Teman
Sebaya dengan IPK untuk ukuran sampel n = 10
Kecerdasan Emosional Dukungan Sosial Teman Sebaya IPK
110 68 2,75
101 60 2,73
104 69 2,56
116 74 3,32
100 67 2,57
113 74 3,00
95 62 2,75
100 68 3,00
95 68 2,68
92 59 2,17
Dengan menggunakan ukuran sampel n = 10 dan model regresi hubungan linear
skor peubah Kecerdasan Emosional sebagai peubah penjelas dan Peubah IPK sebagai
peubah respon maka diperoleh koefisien determinasi dalam model regresi linear
sederhana r2 = 0,5381. Prosedur resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel
bagian m = 9 akan menghasilkan koefisien determinasi yang berbeda sebanyak 10 yaitu
(0.3322, 0.4152, 0.5021, 0.5338, 0.5384, 0.5636, 0.5883, 0.6020, 0.6022, 0.6440).
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 228
Koefisien determinasi tertinggi yaitu 0.6440 yang dicapai bila digunakan sampel bagian
(1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10) yaitu tanpa mengikutsertakan titik sampel ke-8. Apabila
digunakan prosedur resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel bagian m =
8 akan menghasilkan koefisien determinasi tertinggi 0.7514 dari keseluruhan nilai-nilai
koefisien determinasi yang mungkin (yaitu sebanyak ) dan dicapai oleh sampel
bagian seperti (1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10). Dalam hal ini, hanya diberikan contoh sampel
bagian saja mengingat dimungkinkannya kombinasi yang menyebabkan maksimal.
Dengan cara yang sama untuk m = 5 akan menghasilkan koefisien determinasi tertinggi
0.9527 dan salah satu sampel bagian yang dapat digunakan adalah (3, 4, 5, 6, 10).
Histogram nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh dengan B = 10.000 dan m =
5 dinyatakan dalam Gambar 1. Dalam hal ini, dibatasi hanya untuk m = 5 karena untuk
m yang lebih kecil, hanya diperoleh sedikit informasi untuk mendapatkan koefisien
determinasi dalam model regresi linear. Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa nilai-
nilai koefisien determinasi hamper menyebar di seluruh interval (0,1).
Gambar 1. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 5 untuk
ukuran sampel n = 10 dengan menggunakan satu peubah penjelas
Apabila digunakan dua peubah penjelas yaitu Kecerdasan Emosional dan
Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan peubah respon IPK maka untuk n = 10 akan
diperoleh koefisien determinasi 0.5848. Prosedur resampling tanpa pengembalian
dengan ukuran sampel bagian m = 9 akan menghasilkan koefisien determinasi yang
berbeda sebanyak 10 yaitu
(0.4053, 0.4357, 0.5619, 0.5846, 0.5936, 0.6226, 0.6394, 0.6593, 0.6598, 0.6637).
Koefisien determinasi tertinggi yaitu 0.6637 dicapai bila digunakan (1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9,
10) yaitu tanpa mengikutsertakan titik sampel ke-7. Apabila digunakan prosedur
resampling tanpa pengembalian dengan ukuran sampel bagian m = 8 akan menghasilkan
koefisien determinasi tertinggi 0.9780 dan dicapai oleh sampel bagian seperti (1, 2, 3,
4, 5, 6, 9, 10). Dengan cara yang sama untuk m = 5 akan menghasilkan koefisien
determinasi tertinggi 0.9780 dan salah satu sampel bagian yang dapat digunakan adalah
(1, 5, 6, 9, 10). Histogram nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh dengan B =
10.000 dan m = 5 dinyatakan dalam Gambar 2. Demikian juga, pada Gambar 2, terlihat
bahwa nilai-nilai koefisien determinasi hamper menyebar di seluruh interval (0,1).
522
8
m=5
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
020
040
060
080
0
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 229
Gambar 2. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 5 untuk
ukuran sampel n = 10 dengan menggunakan 2 peubah penjelas
Dengan menggunakan ukuran sampel n = 84, peubah respon IPK dan satu peubah
penjelas yaitu peubah penjelas Kecerdasan Emosional, nilai-nilai koefisien determinasi
yang diperoleh untuk ukuran sampel bagian m = 10, 20, 30, 40 dan B = 10.000
dinyatakan pada Gambar 3 sedangkan Gambar 4 untuk ukuran sampel bagian
m = 50, 60, 70, 80 serta B = 10.000. Koefisien determinasi mendekati maksimal yang
dapat diperoleh berurut-turut adalah 0.9232, 0.7587, 0.6339, 0.5379, 0.5299, 0.4378,
0.3901, 0.3039. Koefisien determinasi yang diperoleh bukanlah yang tertinggi tetapi
hanya mendekati yang tertinggi karena hal itu bisa dicapai jika ulangan B yang
digunakan lebih dari kombinasi 10 dari 84 titik sampel untuk m = 10 yaitu mendekati
1.38 1033
.
Gambar 3. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20,
30 dan 40 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 1 peubah penjelas
m=5
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
020
040
060
080
010
00
m=10
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
050
015
00
m=20
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
050
010
0015
00
m=30
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
050
010
0015
00
m=40
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
050
015
00
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 230
Gambar 4. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 50, 60,
70 dan 80 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 1 peubah penjelas
Pada Gambar 3, histogram nilai-nilai koefisien determinasi cukup menyebar untuk
m = 10, 20, 30 dan 40, namun makin menyempit sebaran nilai-nilai koefisien
determinasinya sehingga pada Gambar 4 akan kelihatan makin menyepit sebaran nilai-
nilai koefisien determinasinya.
Dengan menggunakan ukuran sampel n = 84, peubah respon IPK dan dua peubah
penjelas yaitu peubah penjelas Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman
Sebaya, nilai-nilai koefisien determinasi yang diperoleh untuk ukuran sampel
bagian m = 10, 20, 30, 40 dan B = 10.000 dinyatakan pada Gambar 5 sedangkan
Gambar 6 untuk ukuran sampel bagian m = 50, 60, 70, 80 serta B = 10.000. Koefisien
determinasi mendekati maksimal yang dapat diperoleh berurut-turut adalah 0.9579,
0.8259, 0.7368, 0.6958, 0.6766, 0.6150, 0.6005, 0.5405. Koefisien determinasi yang
diperoleh bukanlah yang tertinggi tetapi hanya mendekati yang tertinggi karena hal itu
bisa dicapai jika ulangan B yang digunakan lebih dari kombinasi 10 dari 84 titik sampel
untuk m = 10 yaitu mendekati 1.38 1033
.
Gambar 5. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 10, 20,
30 dan 40 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 2 peubah penjelas.
m=50
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
00
m=60
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
040
080
014
00
m=70
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
050
015
00
m=80
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0025
00
m=10
Frequ
ency
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
00
m=20
Frequ
ency
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
00
m=30
Frequ
ency
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
00
m=40
Frequ
ency
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
00
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 231
Gambar 6. Histogram nilai-nilai koefisien determinasi dengan ukuran sampel bagian m = 50, 60,
70 dan 80 untuk ukuran sampel n = 84 dengan menggunakan 2 peubah penjelas.
Pada kasus model regresi linear yang menggunakan dua peubah bebas, Gambar 5,
histogram nilai-nilai koefisien determinasi cukup menyebar namun makin menyempit
sebaran nilai-nilai koefisien determinasinya sehingga pada Gambar 6 akan kelihatan
makin menyepit.
E. Simpulan dan Saran
Dalam makalah ini telah dijelaskan bagaimana prosedur resampling tanpa
pengembalian digunakan untuk memperbesar koefisien determinasi dalam model regresi
linear. Penelitian ini dapat dikembangkan pada model regresi linear ganda dengan
peubah respon lebih dari 2 peubah yang memerlukan langkah pemilihan model terbaik
dalam setiap pemilihan sampel bagian sehingga koefisien determinasi menjadi lebih
besar. Di samping itu juga dapat dikembangkan pada metode resampling dengan
pengembalian.
F. Daftar Pustaka
Bima, Stevvileny A., Adi S., Tundjung M. 2013. Pembentukan Sampel Baru yang
Masih Memenuhi Syarat Valid dan Reliable dengan Teknik Resampling, Prosiding
Seminar Nasional Matematika 26 Oktober 2013, UNNES.
Bima, Stevvileny A., Adi S., Tundjung M. 2013. Pembentukan Sampel Baru yang
Masih Memenuhi Syarat Valid dan Reliable dengan Teknik Resampling pada Data
Kuisioner Tipe Yes/No, Prosiding Seminar Nasional Matematika 9 November
2013, UNY.
Chihara, L & Hesterberg, T. 2011. Mathematical Statistics with Resampling and R, John
Wiley & Sons, New Jersey.
Haas, T. C. 2013. Introduction to Probability and Statistics for Ecosytem Managers :
Simulation & Resampling, John Wiley & Sons, Chichester.
m=50
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
0030
00
m=60
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
0030
00
m=70
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
0030
00
m=80
Freq
uenc
y
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
010
0020
0030
00
Resampling untuk Memperbesar Koefisien Determinasi
ISBN 978-602-1034-06-4 232
Muaja, J. R. T., Adi S., Tundjung M. 2013. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Menggunakan Metode Bootstrap, Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA , FMIPA UNY Yogyakarta
Muaja, J. R. T, Adi S., Tundjung M. 2013. Uji Validitas dan Uji Realibilitas
Menggunakan Metode Bootstrap pada Data Kuesioner Tipe Yes/No Question,
Prosiding Seminar Sains dan Pendidikan Sains FSM UKSW Vol 4 No 1.
Patty, S., Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya, Kontrol Diri dan Jenis Kelamin
dengan Prestasi Belajar Siswa di SMA Kristen YPKPM Ambon, Magister Sains
Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Ririhena, P. Y., Hubungan Kecerdasan Emosional dan Dukungan Sosial Teman Sebaya
terhadap Prestasi Belajar ditinjau dari Jenis Kelamin Mahasiswa Fakultas Teologi
UKIM, Magister Sains Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Salamor, J. M., Dukungan Sosial Orang Tua dan Motivasi Berpretasi Sebagai Prediktor
Prestasi Akademik Mahasiswa UKSW Etnis Maluku Utara di Salatiga, Magister
Sains Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Setiawan, Adi 2014, (Monte Carlo) Resampling Technique in Validity Testing and
Reliability Testing, International Journal of Computer Application Vol 91 No. 5.
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 233
PENERAPAN ESTIMATOR ROBUST RMCD PADA GRAFIK
PENGENDALI T2 HOTELLING UNTUK PENGAMATAN
INDIVIDUAL BIVARIAT DAN TRIVARIAT
Angelita Titis Pertiwi
1), Adi Setiawan
2), Bambang Susanto
3)
1)Mahasiswa Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya
Wacana
Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga
Surel: 1)[email protected] 2)3)Dosen Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga
Surel: 2)[email protected], 3)[email protected]
Abstrak
Untuk memonitor proses atau kualitas produk secara multivariat, biasa digunakan grafik
pengendali T2 Hotelling. Grafik pengendali T2 Hotelling sensitif terhadap titik-titik ekstrim
(outliers) karena grafik pengendali T2 Hotelling menggunakan vektor rata-rata dan matriks
kovariansi dari sampel. Untuk itu digunakan estimator robust (tegar) RMCD (Reweighted
Minimum Covariance Determinant) pada grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan
individual supaya grafik pengendali T2 Hotelling yang didapat lebih tegar terhadap outliers di
phase I. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang penerapan estimator robust RMCD pada grafik
pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual bivariat (dua variabel) dan trivariat (tiga
variabel), karena studi kasus dilakukan pada data karakteristik kualitas parfum remaja dari
perusahaan “X” yang mempunyai tiga variabel. Variabel yang digunakan adalah karakteristik
kualitas yang diukur dalam memonitor kualitas produk parfum remaja, yaitu pH parfum remaja,
refractive index (RI) atau index bias parfum remaja setelah dikemas, dan masa jenis parfum
remaja. Dari penerapan didapat grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual
menggunakan estimator robust RMCD bivariat dan trivariat yang hanya memerlukan dua kali
iterasi untuk mencapai kondisi in control di phase I.
Kata Kunci – Hotelling’s T
2 Control Chart; Robust Estimator; RMCD; Multivariate
Statistical Process Control
A. Pendahuluan
Grafik pengendali kualitas atau yang disebut control chart merupakan salah satu
alat yang digunakan dalam usaha mengendalikan kualitas proses karena dalam grafik
pengendali dapat diketahui kapan proses di luar kendali (out of control). Sering kali
dalam pengendalian kualitas tidak cukup dengan pengamatan univariat namun harus
secara multivariat. Menurut Montgomery (2009), grafik pengendali T2 Hotelling paling
banyak digunakan dalam pengendalian proses secara multivariat untuk memonitor
vektor rata-rata proses karena dalam grafik pengendali T2 Hotelling menggunakan
vektor rata-rata dan matriks kovariansi dari sampel. Padahal vektor rata-rata dan matriks
kovariansi sampel sangat sensitif terhadap titik ekstrim (outliers). Karena itu dibutuhkan
estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi populasi yang tegar untuk membuat
grafik pengendali T2
Hotelling. Chenouri dkk (2009) mengusulkan untuk menggunakan
estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi yang robust (tegar), estimator
Reweighted Minimum Covariance Determinant (RMCD), dalam penerapan grafik
pengendali T2
Hotelling untuk pengamatan individual. Grafik pengendali T2
Hotelling
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 234
untuk pengamatan individual menggunakan estimator RMCD ini selanjutnya disebut
dengan grafik pengendali .
Permasalahannya adalah bagaimanakah menerapkan grafik pengendali
bivariat dan trivariat? Studi kasus pun dilakukan untuk menerapkan grafik pengendali
bivariat dan trivariat. Studi kasus dilakukan menggunakan Data Karakteristik
Kualitas Parfum Remaja Periode April-Desember 2011 yang diperoleh dari Lampiran I
Puspitoningrum (2011). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca tentang penerapan estimator robust khususnya RMCD pada grafik pengendali
T2
Hotelling untuk pengamatan individual dalam pengendalian kualitas produk atau
proses.
B. Tinjauan Pustaka
Puspitoningrum (2011) menggunakan grafik pengendali T2
Hotelling untuk
memonitor vektor rata-rata proses secara multivariat karena dalam grafik pengendali T2
Hotelling menggunakan rata-rata vektor dan matriks kovariansi dari sampel.
Pengestimasian parameter pengendali pada phase I, dalam hal ini vektor rata-rata dan
matriks kovariansi Ʃ dari distribusi normal multivariat N(,Ʃ) adalah hal yang paling
penting. Asumsi in control pada data historis phase I tidak selalu benar, maka dari itu
dibutuhkan estimator vektor rata-rata dan matriks kovariansi yang lebih tegar terhadap
outliers dibanding vektor rata-rata dan matriks kovariansi sampel. Chenouri dkk (2009)
mengusulkan untuk menggunakan estimator RMCD untuk diterapkan dalam grafik
pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan individual.
Chenouri dkk (2009) mengusulkan RMCD sebagai estimator rata-rata vektor dan
matriks kovariansi yang tegar karena RMCD merupakan estimator yang affine
equivariant dengan titik breakdown yang tinggi, laju konvergensi n-1/2
, efisiensi tinggi,
dan memiliki algoritma aproksimasi yang baik untuk tujuan komputasional. Penjelasan
tentang affine equivariant, titik breakdown, laju konvergensi, efisiensi secara statistik
dan efisiensi secara komputasi dapat dilihat pada Zhang (2011) dan Vanpaemel (2013).
Algoritma aproksimasi untuk estimator RMCD yang baik untuk tujuan komputasional
adalah FAST-MCD yang diberikan oleh Rousseeuw dan van Driessen (1999). FAST-
MCD sudah diterjemahkan ke dalam software R dalam paket rrcov, robust dan
robustbase, dapat dilihat dalam Hubert dkk (2008).
Sudah dibuktikan oleh Chenouri dkk (2009) bahwa grafik pengendali lebih
tegar dibanding grafik pengendali T2
Hotelling untuk pengamatan individual biasa
ketika terdapat outliers pada proses selama phase I. Penelitian juga dilakukan oleh
Prastyowati (2009) yang membandingkan ketegaran grafik pengendali T2
Hotelling
berbasis overlapping groups menggunakan estimator RMCD dengan grafik pengendali
. Penelitian lain dilakukan Variyath dan Vattathoor (2013) yang mengemukakan
bahwa pada phase I, grafik pengendali T2
Hotelling menggunakan estimator RMCD
baik untuk data dengan jumlah pengamatan dan dimensi (variabel) yang lebih besar dari
pada grafik pengendali T2
Hotelling menggunakan estimator RMVE (Reweighted
Minimum Volume Ellipsoid). Penelitian tentang grafik pengendali dilakukan pula
oleh Mohammadi dkk (2010) dan penelitian tentang ketegaran grafik pengendali
phase II dilakukan oleh Mohammadi dkk (2011).
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 235
C. Metode Penelitian
1. Estimator Reweighted Minimum Covariance Determinant (RMCD)
Estimator RMCD merupakan pengembangan dari estimator Minimum Covariance
Determinant (MCD), yaitu dengan pembobotan, karena itu perlu mengestimasi
estimator MCD terlebih dahulu kemudian barulah mengestimasi estimator RMCD.
Algoritma yang terkenal dalam menaksir estimator MCD adalah FAST-MCD yang
diusulkan oleh Rousseuw dan van Driessen (1999). Penelitian ini menggunakan
Algoritma FAST-MCD yang sudah diterjemahkan ke dalam fungsi CovMcd() pada
paket rrcov yang ditulis oleh Todorov (2007) dalam software R. Estimator RMCD
untuk vektor rata-rata dan matriks kovariansi adalah vektor rata-rata yang diberi
bobot
(1)
dan matriks kovariansi
(2)
pembobotan berdasar pada jarak
(3)
sehingga bobot ditentukan dengan persamaan (4)
(4)
dan merupakan quantil ke- dari distribusi chi kuadrat. Chenouri dkk (2009)
mengusulkan untuk menggunakan =0,975 yang dianjurkan dan digunakan oleh
Rousseeuw dan van Driessen (1999). Dengan menggunakan
membuat konsisten dibawah distribusi normal multivariat. Faktor adalah
koreksi sampel terbatas (finite sample correction) yang diberikan oleh Pison dkk (2002)
pada (5)
(5)
dengan
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 236
Menurut Pison dkk (2002) bernilai sangat kecil ketika ukuran sampel m
kecil, dan untuk p tertentu naik secara monoton ke 1 ketika m mendekati
tak hingga. Dalam penelitian ini faktor koreksi sampel terbatas belum digunakan
dalam penghitungan , sehingga dianggap .
2. Grafik Pengendali T2 Hotelling untuk Pengamatan Individual Menggunakan
Estimator RMCD
Pengamatan dikatakan individual apabila ukuran masing-masing sampel n=1.
Diberikan m pengamatan individual dengan p karakteristik kualitas yang disusun ke
dalam matriks berukuran pada persamaan (6)
(6)
dengan , i=1,2,...,m menunjukkan pengamatan ke-i dari p-variat
dan diasumsikan vektor pengamatan in control, adalah vektor random identik,
independen, dan berdistribusi normal multivariat dinotasikan sebagai .
Bagian yang terpenting dari phase I penerapan grafik pengendali T2
Hotelling
adalah mengestimasi parameter vektor rata-rata populasi dan matriks kovariansi
populasi . Estimator dari dan adalah vektor rata-rata sampel dan matriks
kovariansi sampel S, sehingga diperoleh statistik T2 Hotelling pada persamaan (7)
. (7)
Karena asumsi vektor pengamatan in control tidak selalu benar, serta dan S sangat
sensitif terhadap outliers, jadi estimator klasik ( dan S) digantikan oleh estimator
RMCD yang tegar. Didapat statistik T2 Hotelling baru yang diberikan oleh persamaan
(8)
(8)
Chenouri dkk (2009) mengusulkan estimasi batas pengendali atas (BPA) untuk grafik
pengendali yang diberikan pada persamaan (9)
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 237
(9)
dengan nilai estimasi Least-Square parameter regresi dan diberikan
oleh Chenouri dkk (2009) pada Tabel 1 halaman 264. Sedangkan BPB (Batas
Pengendali Bawah) sama dengan grafik pengendali T2 Hotelling untuk pengamatan
individual biasa, BPB = 0.
3. Langkah-langkah Penerapan Grafik Pengendali T2
Hotelling untuk
Pengamatan Individual Menggunakan Estimator RMCD
Phase I
a. Menggunakan data phase I untuk menaksir vektor rata-rata dan matriks kovariansi
menggunakan estimator MCD kemudian dilanjutkan dengan menaksir estimator
robust RMCD sehingga didapat dan .
b. Menghitung dengan menggunakan persamaan (8).
c. Menentukan titik breakdown atau 0,25 dan =0,01 atau 0,001 untuk
memilih estimasi least square dan dari Chenouri dkk. (2009)
pada Tabel 1 halaman 264, kemudian menghitung BPA dari persamaan (9).
d. Mengkonstruksi grafik pengendali dengan memetakan nilai-nilai pada
langkah 2 dengan batas pengendali atas pada langkah 3.
e. Membuang pengamatan yang dengan asumsi penyebab diketahui.
f. Melakukan iterasi dari langkah 1 sampai langkah 5 hingga tercapai kondisi in
control.
Phase II
a. Menghitung menggunakan pengamatan baru dari dan yang
sudah didapat dari phase I.
b. Memetakan ke dalam grafik pengendali dengan batas pengendali yang sudah
diperoleh pada Phase I (langkah 4).
c. Mendeteksi pengamatan-pengamatan atau titik-titik di luar kendali (out of control
points), yaitu jika , atau polanya. Mendiagnosa proses jika
diperlukan.
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari
Lampiram I Data Karakteristik Kualitas Parfum Remaja Periode April-Desember 2010,
Puspitoningrum (2011) yang berdistribusi normal secara multivariat dengan
menggunakan uji chi-square (Johnson & Wichern, 2002). Data yang digunakan
memiliki tiga variabel (p=3) yang telah ditetapkan sebagai pengendali kualitas, yaitu
pH (batas spesifikasi perusahaan 4 sampai 8), refractive index (RI) atau index bias
parfum remaja setelah dikemas (batas spesifikasi perusahaan 1,349 sampai 1,369), dan
masa jenis parfum remaja (batas spesifikasi perusahaan 0,884 sampai 0,930). Data
memiliki sebanyak m=320 pengamatan, 160 pengamatan pertama dianggap sebagai data
historis untuk phase I dan 160 pengamatan berikutnya dianggap sebagai pengamatan
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 238
baru untuk phase II. Pengolahan data dan komputasi menggunakan software R 3.0.1 dan
Matlab R2009a. Penelitian dilakukan dengan menerapkan estimator RMCD pada grafik
pengendali T2
Hotelling untuk pengamatan individual bivariat (p=2, yaitu kombinasi
dua dari tiga variabel) dan trivariat (p=3). Grafik pengendali yang sudah didapat
kemudian diamati dan diidentifikasi titik-titik di luar kendali.
D. Hasil dan Pembahasan
Sebut variabel adalah karakteristik kualitas pH, adalah karakteristik kualitas
refractive index (RI) atau indeks bias parfum remaja setelah dikemas, dan adalah
karakteristik kualitas masa jenis. Uji chi-square menunjukkan bahwa data karakteristik
kualitas parfum remaja periode April-Desember 2010 berdistribusi normal multivariat.
1. Penerapan Estimator RMCD pada Grafik Pengendali T2
Hotelling untuk
Pengamatan Individual Bivariat
Hasil penerapan phase I dari grafik pengendali bivariat dengan memilih
=0,01; =0,5 diberikan oleh Tabel 1. Menurut Davies dalam Chenouri dkk (2009)
kemungkinan titik breakdown tertinggi dari suatu estimator yang affine equivariant
adalah . Dipilih =0,5 karena pada kasus ini kemungkinan titik
breakdown tertinggi yang diperoleh adalah .
Tabel 1. Hasil Penerapan Prosedur Phase I Grafik Pengendali Bivariat
Pembeda
Kombinasi
dan dan dan
Iterasi
I
Jumlah
titik di luar
kendali
1 2 1
Indeks titik
di luar
kendali
155 23 & 39 155
Nilai
titik di luar
kendali
&
BPA 9,6958 9,6958 9,6958
Iterasi
II
Jumlah
titik di luar
kendali
0 ( in control) 0 ( in control) 0 ( in control)
Indeks titik
di luar
kendali
- - -
Nilai
titik di luar
- - -
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 239
kendali
BPA 9,7006 9,7055 9,7006
Dari Tabel 1 diketahui bahwa dibutuhkan dua kali iterasi untuk mencapai kondisi in
control pada prosedur phase I grafik pengendali bivariat di semua kombinasi
variabel, yaitu dan , dan , serta dan . Sesuai pada prosedur phase I
dilakukan iterasi I untuk langkah 1 sampai 5. Pada langkah 1 didapat estimator MCD
dari paket rrcov software R yang diberikan oleh Todorov (2007). Dari estimator MCD
dapat dihitung estimator RMCD ( dan ). iterasi I untuk semua
kombinasi secara berurutan adalah , dan .
iterasi I untuk semua kombinasi secara berurutan adalah
dan
.
dan digunakan untuk menentukan nilai sesuai langkah 2
menurut persamaan (8). Kemudian BPA dihitung berdasarkan langkah 3, yaitu memilih
=0,01; =0,5. Karena sudah diketahui p=2, sehingga digunakan nilai estimasi
1387,415 dan 1,6321. Dengan menggunakan persamaan (9)
didapatkan BPA untuk setiap kombinasi sama, yaitu 9,6958 karena pada iterasi I jumlah
pengamatan masih sama (160 pengamatan) untuk setiap kombinasi. Untuk mendapatkan
grafik pengendali dilakukan pemetaan dan BPA, grafik pengendali
bivariat iterasi I pada phase I ini ditunjukkan oleh Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.
Gambar 1. Grafik pengendali
iterasi I phase I untuk variabel dan
Gambar 2. Grafik pengendali
iterasi I phase I untuk
variabel dan
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 240
Gambar 3. Grafik pengendali
iterasi I phase I untuk variabel dan
Dari grafik pengendali iterasi I pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3 dapat
diketahui ada titik-titik di luar kendali ( ). Pada kombinasi pertama ( dan
) terdapat satu titik di luar kendali di indeks ke-155 dengan nilai .
Pada kombinasi kedua ( dan ) terdapat dua titik di luar kendali di indeks 23 dan 39
dengan nilai dan . Pada kombinasi ketiga ( dan
) terdapat titik di luar kendali di indeks 155 dengan nilai . Titik-
titik di luar kendali ini kemudian dihapus dengan asumsi penyebab diketahui.
Setelah menghapus titik-titik di luar kendali dilakukan iterasi II, yaitu dengan
mengulang langkah 1 sampai 5. Pada iterasi II estimator RMCD vektor rata-rata,
yang baru untuk semua kombinasi, secara berurutan yaitu ,
dan . Sedangkan yang baru untuk semua kombinasi secara
berurutan yaitu: .
Dengan menggunakan dan yang baru dihitung kembali nilai-nilai
. BPA dihitung kembali menggunakan parameter-parameter yang sama pada
iterasi I, yang berubah adalah jumlah pengamatan karena sudah dilakukan penghapusan
pada iterasi I. Didapat BPA yang baru untuk kombinasi pertama hingga ketiga, secara
berurutan yaitu 9,7006; 9,7055; dan 9,7006. BPA untuk kombinasi pertama dan ketiga
sama karena jumlah titik di luar kendali yang dihapus sama. Kemudian dilakukan
pemetaan dan BPA. Ternyata pada iterasi II sudah dicapai kondisi in control,
yaitu kondisi dimana tidak ada nilai > BPA atau dengan kata lain tidak ada titik
di luar kendali. Iterasi dihentikan karena sudah dicapai kondisi in control, artinya phase
I selesai dilakukan dan dapat dilanjutkan dengan phase II, langkah 7 sampai langkah 9.
Grafik pengendali bivariat dalam kondisi in control iterasi II phase I pada semua
kombinasi ditunjukkan secara berurutan oleh Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6.
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 241
Gambar 4. Grafik pengendali
bivariat iterasi II phase I untuk variabel
dan
Gambar 5. Grafik pengendali bivariat
iterasi II phase I untuk variabel dan
Gambar 6. Grafik pengendali bivariat
iterasi II phase I untuk variabel dan
Pada langkah 7 dihitung dari pengamatan baru (data ke-161 sampai ke-320)
mengunakan dan yang sudah didapat pada kondisi in control phase I.
Kemudian dan BPA (dari kondisi in control phase I) dipetakan sehingga didapat
grafik pengendali bivariat baru. Titik-titik di luar kendali pengamatan baru dapat
dideteksi dengan grafik pengendali bivariat pada phase II ini. Grafik pengendali
bivariat phase II untuk semua kombinasi secara berurutan diberikan oleh Gambar
7, Gambar 8, dan Gambar 9. Hasil penerapan estimator RMCD pada grafik pengendali
bivariat phase II diberikan oleh Tabel 3.
Gambar 7. Grafik pengendali bivariat
phase II untuk variabel dan
Gambar 8. Grafik pengendali
Bivariat phase II untuk variabel dan
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 242
Gambar 9. Grafik pengendali bivariat phase II untuk variabel dan
Tabel 3. Hasil Penerapan Prosedur Phase II Grafik Pengendali Bivariat
Kombinasi Jumlah Titik di Luar
Kendali
Indeks Titik di Luar
Kendali Nilai Titik di Luar
Kendali
dan 3 32 ;94;123 22,25; 10,64; 23,41
dan 6 61;73;78;93;103;104 11,09; 17,49; 20,92; 18,39;
28,55; 26,59
dan 2 32;123 24,11; 23,22
Dari Tabel 3 diketahui bahwa pada grafik pengendali bivariat phase II untuk
variabel dan yang diberikan oleh Gambar 7, ada tiga titik di luar kendali, yaitu
pada indeks 32, 94, dan 123, dengan nilai secara berurutan adalah 22,25; 10,64;
dan 23,41. Diketahui pula pada grafik pengendali bivariat phase II untuk variabel
dan yang diberikan oleh Gambar 8, ada enam titik di luar kendali, yaitu pada
indeks 61,73,78,93,103, dan 104, dengan nilai secara berurutan adalah 11,09;
17,49; 20,92; 18,39; 28,55; dan 26,59. Pada grafik pengendali bivariat phase II
untuk variabel dan yang diberikan oleh Gambar 9, ada dua titik di luar kendali,
yaitu pada indeks 32 dan 123, dengan nilai secara berurutan adalah 24,11 dan
23,22.
2. Penerapan Estimator RMCD pada Grafik Pengendali T2
Hotelling untuk
Pengamatan Individual Trivariat
Masih dipilih =0,5 karena pada kasus ini kemungkinan titik breakdown tertinggi
yang diperoleh adalah . Hasil penerapan
prosedur phase I dari grafik pengendali trivariat dengan memilih =0,01 ;
=0,5 diberikan oleh Tabel 4.
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 243
Tabel 4. Hasil Penerapan Prosedur Phase I Grafik Pengendali Trivariat
Pembeda Iterasi
I II
Jumlah Titik di
Luar Kendali 3 0(in control)
Indeks Titik di
Luar Kendali 23;39;155 -
Nilai
Titik di Luar
Kendali
16,46; 15,58; 17,51 -
BPA 14,5162 14,6166
Dari Tabel 4 diketahui bahwa dibutuhkan dua kali iterasi untuk mencapai kondisi in
control pada prosedur phase I grafik pengendali trivariat ( , , dan ). Sesuai
pada prosedur phase I dilakukan iterasi I untuk langkah 1 sampai 5. Pada langkah 1
didapat estimator MCD dari paket rrcov sofware R. Dari estimator MCD dapat dihitung
estimator RMCD, dan secara berurutan yaitu:
; .
dan digunakan untuk menentukan nilai sesuai langkah 2 menurut
persamaan (8). Kemudian BPA dihitung berdasarkan langkah 3, yaitu memilih =0,01 ;
=0,5. Karena sudah diketahui p=3, sehingga digunakan nilai estimasi
13533,973 dan . Sesuai langkah 3 digunakan persamaan (9) untuk
mendapatkan BPA=14,5162. Berikutnya dilakukan pemetaan dan BPA untuk
mendapatkan grafik pengendali trivariat. Grafik pengendali trivariat
iterasi I pada phase I ini ditunjukkan oleh Gambar 10.
Gambar 10. Grafik pengendali trivariat iterasi I phase I
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 244
Dari grafik pengendali trivariat iterasi I phase I pada Gambar 10 dapat
diketahui ada tiga titik di luar kendali pada indeks 23, 39, dan 155 dengan nilai
secara berturutan adalah 16,46; 15,58; dan 17,51. Sesuai langkah 5, titik-titik di luar
kendali ini dihapus dengan asumsi penyebab diketahui. Setelah menghapus titik-titik di
luar kendali dilakukan iterasi II, yaitu dengan mengulang langkah 1 sampai 5. Pada
iterasi II diperoleh estimator RMCD yang baru secara berurutan adalah
dan .
Dengan menggunakan dan yang baru dihitung kembali nilai-nilai
sesuai langkah 2. BPA dihitung kembali menggunakan parameter-parameter
yang sama pada iterasi I, yang berubah adalah jumlah pengamatan karena sudah
dilakukan penghapusan pada iterasi I. Dari langkah 3 didapat BPA yang baru, yaitu
14,6166. Kemudian dilakukan pemetaan dan BPA sesuai langkah 4. Ternyata
pada iterasi II sudah dicapai kondisi in control, yaitu kondisi dimana tidak ada nilai-
nilai > BPA. Iterasi dihentikan karena sudah dicapai kondisi in control, artinya
phase I selesai dilakukan dan dilanjutkan dengan prosedur phase II, langkah 7 sampai
langkah 9. Grafik pengendali trivariat dalam kondisi in control iterasi II phase I
ditunjukkan oleh Gambar 11.
Gambar 11. Grafik pengendali trivariat iterasi II phase I
Pada langkah 7 dihitung dari pengamatan baru (data ke-161 sampai ke-320)
mengunakan dan yang sudah didapat pada kondisi in control phase I.
Kemudian dan BPA (dari kondisi in control phase I) dipetakan sehingga didapat
grafik pengendali baru. Titik-titik di luar kendali pengamatan baru dapat dideteksi
dengan grafik pengendali trivariat pada phase II ini. Grafik pengendali
trivariat hasil penerapan phase II diberikan oleh Gambar 12.
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 245
Gambar 12. Grafik pengendali trivariat phase II
Pada Gambar 12 diketahui ada sebanyak delapan titik di luar kendali, yaitu pada indeks
32 , 46 , 73, 78, 93, 103, 104, dan 123 dengan nilai , secara berurutan yaitu
27,19415; 15,37344; 20,58837; 24,71327; 24,29873; 34,98609; 31,98614; dan
26,98379.
E. Simpulan dan Saran
Sudah diterapkan estimator robust RMCD pada grafik pengendali T2 Hotelling
untuk pengamatan individual bivariat dan trivariat pada data karakteristik kualitas
Parfum Remaja periode April-Desember 2010. Ternyata hanya diperlukan dua kali
iterasi untuk mencapai kondisi in control di phase I baik pada grafik pengendali
bivariat maupun grafik pengendali trivariat. Puspitoningrum (2011)
menyebutkan bahwa seluruh data memenuhi batas spesifikasi perusahaan, berarti
semakin sedikit titik di luar kendali semakin tegar grafik pengendali T2 Hotelling. Dapat
dilihat bahwa titik di luar kendali pada grafik pengendali lebih sedikit
dibandingkan dengan hasil penelitian Puspitoningrum (2011) yang menggunakan grafik
pengendali T2 Hotelling biasa. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan faktor
koreksi sampel terbatas ( ) pada dan perlu juga penelitian lanjutan mengenai
ketegaran grafik pengendali pada banyaknya outliers.
F. Daftar Pustaka
Chenouri, S., Steiner, S. H., Variyath, A. M. 2009. A Multivariate Robust Control
Chart for Individual Observations. Journal of Quality Technology, Vol 41, No.
3, 259-271.
Hubert, Mia, Rousseeuw, Peter J. dan van Aelst, Stefan. 2008. High-Breakdown
Robust Multivariate Methods. Statistical Science 2008, Vol. 23, No. 1, 92–119.
DOI: 10.1214/088342307000000087.
Johnson, R.A. and Wichern, D.W. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis.
Third Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Mohammadi, M., Midi, H., Arasan, J. dan Al-Talib, B. 2011. High Breakdown
Estimators to Robustify Phase II Multivariate Control Charts. Journal of Applied
Science 11 (3): 503-511.
Penerapan Estimator Robust RMCD
ISBN 978-602-1034-06-4 246
Mohammadi, Mandana, Midi, Habshah dan Arasan, Jayanthi. 2010. Re-weighted
Robust Control Charts for Individual Observations. Proceedings of the 6th IMT-
GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010)
Universiti Tunku Abdul Rahman. Kuala Lumpur.
Montgomery D.C. 2009. Introduction to Statistical Quality Control. Sixth
Edition.United States of America: John Wiley and Sons.
Pison, G.,van Alest, S., Willems, G. 2002. Small Sample Corrections for LTS and
MCD. Metrika 55, 111-123.
Prastyowati, Retno. 2009. Diagram Kontrol T2 Hottelling Berbasis Overlapping
Groups Covariance Matrix dengan Penaksir Robust RMCD. Tesis. Program
Magister Bidang Keahlian Perencanaan dan Evaluasi Pendidikan Jurusan
Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Puspitoningrum, Fitria. 2011. Penerapan Grafik Hotelling T2 pada Karakteristik
Kualitas Parfum Remaja dari Perusahaan “X”. Skripsi. Program Studi
Matematika Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga: Univ. Kristen Satya
Wacana.
Rosseeauw, P. J. and van Driessen, Katrien. 1999. A Fast Algorithm for the Minimum
Covariance Determinant Estimator. Technometrics, Vol 41, No. 3, 212-223.
Vanpaemel, Dina. 2013. Improved Outlier Detection Combining Extreme Value,
Nonparametric and Robust Statistics. Dissertation. Doctor in Science. Arenberg
Doctoraatsschool, Groep Wetenschap & Technologie. Heverlee: Katholieke
Universiteit Leuven.
Variyath, Asokan M. dan Vattathoor, Jayasankar. 2013. Robust Control Charts for
Monitoring Process Mean of Phase-I Multivariate Individual Observations.
Journal of Quality and Reliability Engineering, Volume 2013, Article ID
542305. Hindawi Publishing Corporation.
(http://dx.doi.org/10.1155/2013/54230, diakses 8 Oktober 2014).
Zhang, Jianfeng. 2011. Applications of A Robust Dispersion Estimator. Research
Dissertation. Doctor of Philosophy in Mathematics Department of Mathematics.
Carbondale: Southern Illionis University.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 247
PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN
BACKPROPAGATION UNTUK SIMULASI KUALITAS AIR DAN
DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN DI KALI SURABAYA
Bima Prihasto1)
, M. Isa Irawan2)
, Ali Masduqi3)
1)2)Program Studi S2 Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya
Surel: 1)[email protected], 2)[email protected]
3)Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS)
Kampus ITS, Sukolilo, Surabaya
Surel: 3)[email protected]
Abstrak
Dewasa ini pencemaran terhadap Kali Surabaya semakin meningkat seiring dengan pesatnya
perkembangan industri di Surabaya. Hal ini menyebabkan kualitas air Kali Surabaya semakin
menurun. Kali Surabaya diharapkan memenuhi standar mutu kualitas air baku kelas II.
Ironisnya, di sebagian lokasi pada parameter BOD tidak masuk dalam kelas II dengan standar
maksimum 3 mg/L dan tingkat COD yang tinggi mencapai rata - rata 20 mg/L melebihi ambang
batas kelas II yaitu 10 mg/L. Untuk mencapai tingkat kualitas air sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan, maka perlu upaya pengelolaan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkirakan
kondisi kualitas air pada waktu tertentu. Nantinya dapat diketahui daya tampung pada lokasi
pemantauan sesuai dengan klasifikasi baku mutu yang telah ditentukan di tiap lokasi
pemantauan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan suatu model kualitas air
untuk mengetahui gambaran kondisi di waktu tertentu. Jaringan saraf tiruan hadir untuk
menyelesaikan model dalam bentuk non-linier. Pada penelitian ini, penulis mengembangkan
konsep penggunaan algoritma Backpropagation yang telah dilakukan oleh Liu yakni telah dapat
ditentukan estimasi indeks kelas di setiap lokasi pemantauan berdasarkan baku mutu. Sedangkan
dari sudut pandang model prediksi kualitas air, Melalui algoritma Backpropagation akan
menghasilkan variasi lain untuk menyelesaikan model kualitas air selain dengan menggunakan
program qual2kw yang saat ini telah lama digunakan oleh para pakar lingkungan. Hasil
penelitian ini diharapkan bisa mengestimasi kualitas air pada lokasi pemantauan serta
mengklasifikasi baku mutu di tiap - tiap lokasi pemantauan sehingga nantinya dapat dilakukan
simulasi dengan beban pencemaran sebagai kontrol untuk mengetahui daya tampung lingkungan
Kali Surabaya di setiap titik lokasi pemantauan.
Kata Kunci: Kualitas Air, Backpropagation, Daya Tampung Lingkungan.
A. Pendahuluan
Kali Surabaya merupakan anak sungai Kali Brantas yang berada di bagian hilir
dengan memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) 630,7 km2, terdiri dari DAS Kali
Marmoyo 289,7 km2, DAS Kali Watudakon seluas 99,4 km
2, dan DAS beberapa anak
sungai seluas 227,3 km2. Kali Surabaya dipecah menjadi dua yakni sungai utama
menuju ke utara dengan nama Kalimas dan sungai yang menuju ke pantai timur
dinamakan Kali Wonokromo.
Kali Surabaya merupakan sumber air yang cukup penting bagi Kota Surabaya dan
sekitarnya. Air di Kali Surabaya digunakan untuk berbagai keperluan, seperti irigasi, air
minum, dan air industri. Sebagai salah satu sumber air minum, menurut Peraturan
Gubernur Jawa Timur Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Penerapan Kelas Air Pada Air
Sungai,yang menyatakan bahwa Kali Surabaya diharapkan memenuhi standar mutu
kualitas air baku kelas II. Ironisnya, Di beberapa lokasi terdapat parameter BOD yang
tidak memenuhi baku mutu kelas II dengan standar maksimum 3 mg/L dan tingkat COD
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 248
yang tinggi mencapai rata - rata 20 mg/L melebihi ambang batas kelas II yaitu 10 mg/L.
Padahal berdasarkan PP 82 tahun 2001, kualitas air kelas III hanya layak digunakan
untuk sarana-prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, dan
mengairi pertamanan. Dengan kata lain, air Kali Surabaya sebenarnya tidak layak
digunakan sebagai bahan baku air minum.
Hal ini disebabkan banyaknya industri di sepanjang sungai yang membuang
limbahnya ke kali surabaya, padatnya permukiman penduduk, terbatasnya debit pada
musim kemarau, dan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga
kebersihan sungai. Prosentase terbesar kontribusi pencemar berasal dari limbah industri
sekitar 70 buah industri berlokasi di daerah aliran kali Surabaya dan sekitar 40 buah
diantaranya dianggap potensial sebagai sumber pencemaran. Ditambah lagi pada saat
musim kemarau dimana debit air terbatas, diketahui bahwa bendungan air di hulu dapat
mencapai debit terendah sebesar 4 m3/s selama 1 bulan, kondisi ini menyebabkan
semakin menurunnya kapasitas purifikasi dan pengenceran di kali Surabaya. Hal
tersebut tidak di imbangi dengan penurunan volume limbah industri dan domestik. oleh
karena itu peningkatan manajemen kualitas dan kuantitas air menjadi suatu hal yang
sangat penting.
Untuk mencapai tingkat kualitas air sesuai dengan standar yang telah ditetapkan,
maka perlu upaya pengelolaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan beban
pencemaran yang boleh dibuang ke sungai, yang disesuaikan dengan debit air sungai
yang ada agar sesuai dengan daya tampungnya. Mengingat arti penting Kali Surabaya
tersebut, Hal ini dapat dilakukan dengan memperkirakan kondisi kualitas air pada waktu
tertentu. Sehingga nantinya dapat diketahui daya tampung pada lokasi pemantauan
sesuai dengan klasifikasi baku mutu yang telah ditentukan di tiap lokasi pemantauan.
Untuk menyelesaikan permasalahan dalam menetapkan beban pencemaran agar
sesuai dengan daya tampungnya maka diperlukan suatu model kualitas air untuk
mengetahui gambaran kondisi di waktu tertuntu. Jaringan syaraf tiruan hadir untuk
menyelesaikan model dalam bentuk non-linier. Memodelkan melalui jaringan syaraf
tiruan dinilai lebih mudah untuk kalangan awan di bidang ilmu lingkungan dan sangat
dinamis terhadap perubahan lingkungan pada badan sungai.
Pada tahun 2009, penelitian yang telah dilakukan oleh Liu .dkk (2009) dengan
judul Research on Water Environmental Quality Assessment of Fu River with BP NN.
Pada penelitian ini backpropagation digunakan untuk menentukan estimasi indeks kelas
lokasi pemantauan berdasarkan baku mutu. Sedangkan Penelitian Syafi’i dan Masduqi
(2011) telah melakukan studi mengenai pemodelan kualitas air Kali Surabaya untuk
tahun (2006-2010) dengan menggunakan model simulasi komputer Qual2kw. Program
Qual2kw adalah program dimana penentuan nilai kualitas air pada lokasi pemantauan
selain lokasi hulu ditentukan berdasarkan sumber pencemar yang masuk ke badan
sungai. Sedangkan data kualitas air pada lokasi pemantauan hanya digunakan sebagai
validasi atas model yang telah dibentuk. Agar model yang dibentuk mendekati nilai
kualitas air di lokasi pemantauan maka diperlukan penentuan nilai koefisien model yang
sesuai.
Berdasarkan kedua penelitian yang telah dilakukan, penulis mengembangkan
konsep penggunaan backpropagation yang telah dilakukan oleh Liu dkk (2009) yakni
dengan membuat model prediksi kualitas air. Sedangkan dari sudut pandang model
prediksi kualitas air, yang sebelumnya pada pembentukan model dengan menggunakan
program qual2kw sangat berkaitan erat dengan konsep teori mass-balance, namun pada
penelitian ini akan dilakukan pendekatan yang berbeda, yakni dengan melatih data dari
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 249
tiap kejadian di waktu tertentu sehingga akan terbentuk suatu model machine learning
dengan algoritma backpropagation. Sehingga melalui backpropagation akan dihasilkan
variasi lain untuk menyelesaikan model kualitas air selain program qual2kw yang saat
ini telah lama digunakan oleh para pakar lingkungan untuk untuk membuat model
kualitas air.
B. TinjauanPustaka
1. Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
Jaringan syaraf tiruan artifical neural network adalah sistem komputasi yang
arsitektur dan operasinya diilhami dari pengetahuan tentang sel syaraf biologis di dalam
otak. Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia
yang selalu mencoba menstimulasi proses pembelajaran pada otak manusia tersebut.
Jaringan syaraf tiruan dapat digambarkan sebagai model matematis dan komputasi
untuk fungsi aproksimasi non-linear, klasifikasi data cluster dan regresi non-
parametrik. Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Neuron Jaringan Syaraf Tiruan
Model jaringan backpropagation merupakan suatu teknik pembelajaran atau
pelatihan supervised learning yang paling banyak digunakan. Metode ini
merupakan salah satu metode yang sangat baik dalam menangani masalah
pengenalan pola-pola kompleks. Didalam jaringan backpropagation, setiap unit
yang berada di lapisan input berhubungan dengan setiap unit yang ada di lapisan
tersembunyi. Setiap unit yang ada di lapisan tersembunyi terhubung dengan setiap unit
yang ada di lapisan output. Jaringan ini terdiri dari banyak lapisan (multilayer network).
Ketika jaringan ini diberikan pola masukan sebagai pola pelatihan, maka pola
tersebut menuju unit-unit lapisan tersembunyi untuk selanjutnya diteruskan pada
unit-unit dilapisan keluaran. Kemudian unit-unit lapisan keluaran akan memberikan
respon sebagai keluaran jaringan syaraf tiruan. Saat hasil keluaran tidak sesuai
dengan yang diharapkan, maka keluaran akan disebarkan mundur (backward) pada
lapisan tersembunyi kemudian dari lapisan tersembunyi menuju lapisan masukan.
Setiap unit dari layer input pada jaringan backpropagation selalu terhubung
dengan setiap unit yang berada pada layer tersembunyi, demikian juga setiap unit layer
tersembunyi selalu terhubung dengan unit pada layer output. Jaringan
backpropagation terdiri dari banyak lapisan (multilayer network) yaitu:
a. Lapisan input (1 buah), yang terdiri dari 1 hingga unit input.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 250
b. Lapisan tersembunyi (minimal 1 buah), yang terdiri dari 1 hingga unit
tersembunyi.
c. Lapisan output (1 buah), yang terdiri dari 1 hingga m unit output.
Algoritma pelatihan jaringan backpropagation terdiri dari 3 tahapan yaitu:
a. Tahap umpan maju (feedforward).
b. Tahap umpan mundur (backpropagation).
c. Tahap pengupdatean bobot dan bias.
Secara rinci algoritma pelatihan jaringan backpropagation dapat diuraikan sebagai
berikut-
a. Inialisasi bobot (ambil bobot awal dengan nilai random yang cukup kecil)
Tetapkan : Maksimum Epoh, Target Error, dan Learning Rate
Inialisasi : Epoh = 0, MSE = 1.
b. WHILE (Epoh < Maksimum Epoh) dan (MSE > Target Error), DO Step 3-11
c. Epoh = Epoh + 1
d. FOR tiap-tiap pasangan elemen, DO Step 5-10
Feedforward
e. Tiap - tiap unit input menerima sinyal dan meneruskan
sinyal tersebut ke semua unit pada lapisan yang ada di atasnya (lapisan
tersembunyi).
f. Tiap - tiap unit pada suatu lapisan tersembunyi menjumlahkan
sinyal - sinyal input terbobot:
gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya:
dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit - unit output).
Step 6 dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi.
g. Tiap - tiap unit output menjumlahkan sinyal - sinyal input
terbobot.
gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal output-nya :
dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit - unit output).
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 251
Backpropagation
h. Tiap - tiap unit output menerima target pola yang
berhubungan dengan pola input pembelajaran, hitung informasi errornya :
kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki
nilai ):
hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai
):
Step 8 ini juga dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi, yaitu menghitung
informasi error dari suatu lapisan tersembunyi ke lapisan tersembunyi sebelumnya.
i. Tiap - tiap unit tersembunyi menjumlahkan delta input-nya
(dari unit - unit yang berada pada lapisan di atasnya)
kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung
informasi error:
kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki
nilai ):
hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai
):
j. Tiap - tiap unit output ( ) memperbaiki bias dan bobotnya (
):
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 252
Tiap - tiap unit tersembunyi ( ) memperbaiki bias dan bobotnya
( ):
k. Hitung MSE
2. Kualitas Air Sungai
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang
“Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air” mutu air diklasifikasikan menjadi 4 kelas.
Keempat kelas tersebut adalah:
a. Kelas I
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.
b. Kelas II
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanian dan
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.
c. Kelas III
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, pengairan pertamanan dan peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama.
d. Kelas IV
Air yang peruntukannya digunakan untuk mengairi pertamanan dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama.
C. MetodePenelitian
Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam tahapan-tahapan berikut:
1. Tahap Studi Literatur
Dalam tahapan ini dilakukan studi literatur mengenai teori pencemaran air sungai,
kondisi terkini Kali Surabaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan sungai,
serta penelitian terdahulu mengenai pemodelan kualitas air.
2. Tahap Konseptual Implementasi Backpropagation
Dalam tahapan ini menganalisa hal - hal yang dapat diterapkan dari jaringan saraf
tiruan \textit{Backpropagation} untuk pembentukan model prediksi kualitas air,
serta penentuan data yang akan digunakan untuk pembentukan model.
3. Tahap Pengumpulan Data
Dalam Tahapan ini merupakan implementasi dari tahap sebelumnya. Data yang
dikumpulkan adalah data sekunder yakni berasal dari Perum Jasa Tirta I.
4. Tahap Pembentukan Model Prediksi
Dalam tahapan ini dilakukan pembentukan model melalui algoritma
Backropagation. Hal ini meliputi penentuan Arsitektur Backpropagation, Tahap
pelatihan, dan Tahap uji valiadasi model
5. Tahap Simulasi
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 253
Dalam tahapan ini hasil dari model prediksi yang telah dibentuk dilakukan
perubahan kondisi sumber pencemar agara memenuhi baku mutu kualitas air,
selanjutnya dapat ditentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan Kali
Surabaya
6. Penyusunan Makalah dan Kesimpulan
Dalam tahapan ini akan terlihat gambaran kualitas air di Kali Surabaya, serta tindak
lanjut yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran air di Kali Surabaya.
Kemudian dilanjutkan dengan menyelesaikan penulisan Makalah.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Indeks Estimasi Baku Mutu Pada Segmen Jembatan Sepanjang - Bendungan
Gunungsari.
Baku mutu kualitas air berdasarkan kelas air menurut Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 Tentang Pengeloalaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Kelas Baku mutu untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelas Baku Mutu untuk Parameter DO, BOD, dan COD
Pada kelas baku tersebut digunakan sebagai input pada pelatihan jaringan syaraf
tiruan backpropagation, dan dengan 4 target yang masing-masing untuk kelas I
={1,0,0,0}, kelas II={0,1,0,0}, kelas III={0,0,1,0} dan kelas IV={0,0,0,1}.
Pada saat simulasi dengan data didapat dari Perum Jasa Tirta I, untuk segmen
Jembatan Sepanjang – Bendungan Gunungsari menghasilkan grafik seperti Gambar 2.
berikut:
Gambar 2. Grafik Indeks Baku Mutu Pada Segmen Jembatan Sepanjang – Bendungan
Gunungsari
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 254
Hasil indeks tertinggi bulanan untuk masing-masing kelas baku dapat dilihat pada Tabel
2 berikut.
Tabel 2. Hasil Indeks Tertinggi untuk perbulan
2. Model Prediksi Kualitas Air Pada Segmen Jembatan Sepanjang - Bendungan
Gunungsari.
Pada pembentukan model Kualitas Air yang digunakan sebagai input adalah data
kualitas air pada hulu pada segmen Jembatan Sepanjang-Bend. Gunungsari dan data
limbah industri yang dilalui Kali Surabaya pada segmen Jembatan Sepanjang-Bend.
Gunungsari. Sedangkan sebagai target adalah data kualitas air pada hilir pada segmen
Jembatan Sepanjang-Bend. Gunungsari. Data limbah industri yang terpantau ole Perum
Jasa Tirta adalah: PT. Sarimas Permai, Pabrik Tahu Purnomo, Pabrik Tahu Halim, dan
Perusahaan Tahu Gunungsari.
Gambar 3. Grafik Hasil Validasi antara Data Asli dengan Hasil Prediksi parameter BOD pada
segmen Jembatan Sepanjang-Bendungan Gunungsari
Grafik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa data hasil prediksi (merah) sangat
mendekati data asli (biru), hal tersebut mengartikan keakurasian model yang telah
dibentuk. Kemudian dari model tersebut dapat dilakukan simulasi, yakni dengan
mengubah parameter input dalam beberapa skenario.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 255
Gambar 4. Grafik Hasil Validasi antara Data Asli dengan Hasil Prediksi parameter COD pada
segmen Jembatan Sepanjang-Bendungan Gunungsari
Grafik pada Gambar 4 menunjukkan bahwa data hasil prediksi (merah) sangat
mendekati data asli (biru), hal tersebut mengartikan keakurasian model yang telah
dibentuk. Kemudian dari model tersebut dapat dilakukan simulasi, yakni dengan
mengubah parameter input dalam beberapa skenario. Grafik Performansi MSE dan hasil
regresi hubungan input dan output dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Performansi MSE<0.0001 dengan 4206 iterasi, dan hasil regresi hubungan antara input
dan output
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 256
Pada proses simulasi dilakukan beberapa skenario yakni:
Skenario 1. Kondisi 100% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri.
Skenario 2. Kondisi 90% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 3. Kondisi 80% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 4. Kondisi 70% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 5. Kondisi 60% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 6. Kondisi 50% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 7. Kondisi 40% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 8. Kondisi 30% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 9. Kondisi 20% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 10. Kondisi 10% dari rata-rata Limbah Industri di Masing-masing Industri
Skenario 11. Kondisi dimana tidak ada pembuangan limbah industri
Grafik hasil Skenario 1-11 untuk parameter BOD dan COD dapat dilihat pada Gambar
6 dan Gambar 7 berikut ini.
Gambar 6. Skenario 1-11 untuk parameter BOD
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 257
Gambar 7. Skenario 1-11 untuk parameter COD
Beban Pencemaran, Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
= Beban pencemaran [kg/hari]
= Konsentrasi polutan (BOD, COD) [mg/l]
= Debit minimum [m3/detik]
Untuk Daya Dukung didapatkan sebagai berikut:
= Daya Dukung lingkungan [kg/hari]
= Konsentrasi Polutan Menurut baku mutu kelas [mg/l]
Sehingga untuk Daya Tampung didapatkan sebagai berikut:
= Daya Tampung lingkungan [kg/hari]
= Daya Dukung lingkungan [kg/hari]
= Beban pencemaran [kg/hari]
Dari Hasil Simulasi maka dihasilkan data seperti pada Tabel 3 sampai dengan Tabel 6
di bawah ini.
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 258
Tabel 3. Hasil Simulasi untuk Paremeter Min BOD
Tabel 4. Hasil Simulasi untuk Paremeter Max BOD
Tabel 5. Hasil Simulasi untuk Paremeter Min COD
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 259
Tabel 6. Hasil Simulasi untuk Paremeter Max COD
E. Simpulan dan Saran
Hasil simulasi dengan data dari 2008-2012 terlihat bahwa untuk segmen Jembatan
Sepanjang – Bend. Gunungsari sebagian besar baku mutu masih memenuhi kelas III,
dan hanya beberapa bulan saja memenuhi baku mutu kelas II, bahkan dalam pernah
mencapai baku mutu kelas IV dengan Rincian Sebagai berikut:
1. Untuk Kelas I tidak pernah terjadi
2. Untuk Kelas II terjadi selama 9 bulan
3. Untuk Kelas III terjadi selama 36 bulan
4. Untuk Kelas IV terjadi selama 3 bulan
Untuk simulasi prediksi kualitas air:
Saat Min BOD:
1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum
memenuhi baku kelas I
2. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 60% agar
memenuhi baku mutu kelas II
Saat Max BOD:
1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum
memenuhi baku kelas I
2. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum
memenuhi baku kelas II
Saat Min COD:
1. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 70% agar
memenuhi baku mutu kelas I
2. Kondisi Sungai sudah memenuhi baku kelas II
Saat Max COD:
1. Kondisi Sungai apabila Limbah Industri di pangkas sampai dengan 0% masih belum
memenuhi baku kelas I
2. Limbah Industri harus mengurangi pecemarannya sampai dengan 80% agar
memenuhi baku mutu kelas II
Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
ISBN 978-602-1034-06-4 260
F. Daftar Pustaka
Liu, J. 2009. Research on Water Environmental Quality Assessment of FuRiver with BP
NN”. International Conference on Environmental Science AnaInformation
Application Technology, 978-0-7695-3682-8/09.
Syafi’i, E. & Masduqi. 2011.Aplikasi Model Simulasi Komputer Qual2kw pada studi
Pemodelan Kualitas Air Kali Surabaya.Tugas Akhir.Program Studi Sarjana
Teknik Lingkungan.Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 261
PENERAPAN REGRESI MULTIVARIATE DALAM PENENTUAN
TERJADINYA
ANOMALI CURAH HUJAN ESKTRIM DI P. JAWA
Eddy Hermawan Bidang Pemodelan Atmosfer,
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jln. Dr. Djundjunan No. 133, Bandung 40173
Surel: [email protected]
Abstrak Studi ini menekankan pentingnya penggunaan regresi ganda (multivariate regression) dalam
penentuan terjadinya curah hujan esktrim di Pulau Jawa. Ini terkait dengan dugaan adanya
interaksi atau interkoneksi yang terjadi di berbagai indeks iklim global yang ada. Ada dua
fenomena atmosfer yang memang dianggap dominan mempengaruhi kompleksitas dinamika
atmosfer Indonesia, yakni Monsun dan El-Nino. Kejadian curah hujan esktrim yang jauh di
bawah normal tahun 1997/98 merupakan satu bukti nyata akan bersatunya dua fenomena di atas.
Melalui makalah ini, ditunjukkan tahapan penurunan didapatkannya satu persamaan regresi
ganda (multivariate) yang melibatkan faktor Monsun (diwakili oleh parameter AUSMI) dan El-
Nino (diwakili SST Nino 3.4) Hasilnya diperoleh anomali_ch, masing-masing untuk Indramayu
= - 0,039 - 0,087 Nino 3.4 - 0,0654 AUSMI + 0,0764 Nino34*AUSMI, Semarang = 0,237 -
0,399 Nino 3.4 - 0,0206 AUSMI - 0,212 Nino34/AUSMI, dan Pasuruan = 0,070 - 0,069 Nino 3.4
- 0,0609 AUSMI + 0,0908 Nino34*AUSMI. Hasil di atas menunjukkan bahwa bersatunya
Monsun dan El-Niño dinyatakan dalam bentuk silang (cross). Sementara hasil koeffisien
determinasi (R2) bervariasi antara 0.4-0.5. Hasil detail bisa disimak dalam full makalah ini.
Kata Kunci: regresi multivariate, SST Nino 3.4 dan Monsun
A. Pendahuluan
Ada satu pokok permasalahan serius yang sedang dihadapi Pemerintah saat ini,
yakni upaya Dewan Ketahanan Pangan Nasional (DKPN) dalam menghadapi dampak
perubahan iklim global (global climatic change), khususnya masalah datangnya musim
kemarau/basah panjang yang semakin sulit untuk diprediksi dengan baik dan benar,
apalagi tepat waktu dan tepat sasaran. Permasalahan ini muncul, karena model prediksi
iklim, khususnya model prediksi anomali curah hujan yang ada saat ini, umumnya
belum sepenuhnya mempertimbangkan adanya interkoneksi/telekoneksi/interaksi yang
terjadi diantara berbagai fenomena iklim global. Hanya ada beberapa saja yang sudah
mulai mengaplikasikannya, seperti yang dilakukan oleh Harijono (2008).
Kemarau panjang (lebih dari enam bulan) di tahun 1997, kemudian diikuti dengan
musim basah panjang (juga lebih dari enam bulan) satu tahun sesudahnya, adalah akibat
bersatunya dua fenomena alam, yakni El-Niño dan Monsun dalam kurun waktu yang
hampir bersamaan (dikenal dengan istilah/sebutan simultan). Kejadian tersebut memberi
pelajaran agar dipahami lebih mendalam lagi mekanisme bersatunya dua fenomena di
atas dengan baik dan benar. Kalau hanya El-Niño atau La-Niña saja yang datang, maka
dampak yang dihasilkannya tidaklah akan separah jika tidak diikuti dengan hadirnya
Monsun Asia dan Monsun Australia.
Dua pengalaman di atas memberi pelajaran betapa pentingnya pemahaman yang
baik dan benar masing-masing karakteristik atmosfer yang ada di Indonesia, mengingat
masing-masing tidaklah berdiri sendiri, adakalanya saling menguatkan, namun kadang
pula saling melemahkan. Hal yang mengkhawatirkan, manakala fenomena tersebut
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 262
melanda kawasan sentra produksi tanaman pangan kita, seperti kawasan Pantai Utara
(Pantura) Pulau Jawa dimana Kabupaten Sukamandi merupakan salah satu pusat
lumbung padi nasional di Provinsi Jawa Barat, selain kota Semarang di Jawa Tengah
dan Pasuruan di Jawa Timur.
Dengan asumsi ketiga kawasan di atas memiliki karakteristik curah hujan berbeda,
pada penelitian kali ini akan diketahui seberapa jauh interaksi yang terjadi antara El-
Niño dan Monsun saat terjadinya kemarau panjang di Pulau Jawa. Banyak cara yang
bias dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknik regresi multivariate.
B. Tinjauan Pustaka
Analisis Multivariat (Multivariat Analysis) merupakan salah satu jenis analisis
statistik yang digunakan untuk menganalisis data di mana data yang digunakan berupa
banyak peubah bebas (independen variabels) dan juga banyak peubah terikat (dependen
variabels). Analisis Regresi Linear Ganda atau sering disebut juga Analisis Multiple
Regression Linear merupakan perluasan dari Simple Regression Linear (Regresi Linear
Sederhana). Pada analisis ini bentuk hubungannya adalah beberapa variabel bebas
terhadap satu variabel terikat. Misalkan untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait
dengan tekanan darah sistolik (variabel Y) analisis dilakukan dengan melibatkan kadar
glukosa darah (variabel X1), kadar kolesterol darah (X2) dan Berat Badan (X3).
Perbedaan dengan analisis-analisis statistik yang lain adalah bahwa jumlah
peubah tak bebas pada analisis statistik lain, seperti analisis regresi ganda, terdiri dari
hanya satu peubah misalnya (Y) tetapi pada analisis multivariat, peubah terikat dapat
berjumlah lebih dari satu (misalnya Y1, Y2, ……….Yq). Dalam penelitian kedokteran
dan kesehatan seperti studi epidemiologi, klinik (prognosis, diagnosis dll.) banyak
menggunakan model multivariat seperti untuk mencari faktor paling dominan
(variabelbebas) mempengaruhi variabel terikat.Secara sederhana model persamaan
regresi ganda digambarkan sebagai berikut (Yusuf, 2003) :
Y= a+b1X1+b2X2+b3X3+...+bnXn+e
dimana :
Y = variabel terikat (mis: tekanan darah sistolik)
a = intercept (perkiraan besarnya rata-rata Y ketika kenaikan nilai X = 0
b = slope (perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai variabel
X berubah satu unit pengukuran)
X = masing-masing kadar glukosa darah, kadar kolesterol darah dan BB
e = nilai kesalahan (error) yaitu selisih antara nilai Y individual yang
teramati dengan nilai Y sesungguhnya pada titik X tertentu
Selain itu, model regresi linier multivariat juga didefinisikan sebagai model regresi
linier dengan lebih dari satu variabel respon (Y) yang saling berkorelasi dan satu atau
lebih variabel prediktor (X) (Johnson dan Wichern, 2007). Misalkan terdapat variabel
respon berjumlah q yitu Y1Y2,... dan variabel prediktor berjumlah p yaitu X1X2,... maka
model regresi linier multivariat q respon sebagai berikut (Sawyer, 2010):
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 263
Kelebihan teknik multivariat adalah ia merupakan teknik yang kuat untuk
menyingkirkan pelbagai variabel luar, sedangkan kelemahannya adalah :
1. Interpretasinya sering sulit dan tidak natural.
2. Sulit digeneralisasi dalam keadaan nyata.
3. Hasilnya sangat dipengaruhi oleh pemilihan variabel yang dimasukkan ke dalam
formula.
4. Membutuhkan jumlah subyek yang besar terutama apabila jumlah variabel
independennya banyak.
5. Seringkali terlalu banyak asumsi
Untuk menentukan model yang paling sesuai/cocok menggambarkan faktor-faktor
yang terkait dengan variabel dependen (terikat). Model Regresi Ganda dapat berguna
untuk dua hal, yaitu :
1. Prediksi, memperkirakan variabel dependen dengan menggunakan informasi yang
ada pada sebuah atau beberapa variabel independen. Misalnya kita melakukan
analisis variabel independen kadar glukosa darah, kadar kolesterol darah dan BB
dihubungkan dengan tekanan darah sistolik. Dari hasil regresi, seseorang individu
dapat diperkirakan tekanan darahnya pada kadar glukosa, kolesterol dan BB
tertentu.
2. Estimasi, mengkuantifikasi hubungan sebuah atau beberapa variabel independen
dengan sebuah variabel dependen. Di fungsi ini, regresi dapat digunakan untuk
mengetahui variabel independen apa saja yang berhubungan dengan variabel
dependen. Selain itu kita dapat mengetahui seberapa besar hubungan masing-
masing variabel independen dengan dependen setelah
memperhitungkan/mengontrol variabel independen lainnya. Dari analisis tersebut
dapat diketahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya /dominan
mempengaruhi variabel dependen, yang ditujukan dari nilai koefisien regresi (b)
yang sudah distandarisasi yaitu nilai beta.
Kriteria R2 merupakan metode menemukan himpunan variabel prediktor terbaik
untuk memprediksi variabel dependen melalui model regresi linier yang diperoleh dari
data sampel. Metode ini dinilai efisien dengan menyajikan semua kemungkinan model
regresi dan menunjukkan nilai R2 sesuai dengan banyaknya variabel independen dalam
model. Koefisien determinasi multiple R2 dapat dihitung dengan menggunakan
formulasi berikut (Sunengsih 2009) :
Metode koefisien determinasi multipel selalu menetapkan model terbaik adalah
model dengan R2 terbesar untuk setiap unit variabel prediktor yang dipertimbangkan
dalam model. Karena banyaknya parameter dalam model regresi tidak dimasukkan
dalam perhitungan Since R2, sehingga R
2 tidak mungkin menurun pada saat
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 264
banyaknya parameter p bertambah. Hal ini merupakan satu kelemahan metode R2.
Sebagai satu bentuk penyempurnaan diperkenalkan metode koefisien determinasi
multipel yang disesuaikan/adjusted coefficient of multiple determination (AjdR2)
sebagai alternatif krieteria dalam pemilihan model terbaik (Sunengsih, 2009).
Metode AjdR2 sama halnya dengan metode R
2 yaitu menetapkan model terbaik
merupakan model yang memiliki AdjR2 terbesar. Formulasi dari AdjR2 dapat
dituliskan sebagai berikut :
C. Data dan Metode Analisis
Data utama yang digunakan dalam penelitian ini diekstrak dari data CRU (Climatic
Research Unit) rata-rata bulanan untuk kawasasan Indramayu, Semarang dan Pasuruan
periode 1996-1999. Pemilihan periode didasarkan kepada saat terjadinya kemarau
panjang 1997/98. Pada waktu yang bersamaan dilakukan pula analisis terhadap data El-
Niño dan indeks Monsun yang masing-masing diwakili oleh SST Niño 3.4 dan AUSMI
(Australian Monsun Index). Sementara metode analisis yang digunakan menggunakan
regresi multivariate dan juga koeffsien determinasi (R2).
D. Hasil dan Pembahasan Tabel 1 Nilai R
2 analisis regresi multivariat tiap kabupaten dan tiap perlakuan
Kabupaten R2(%) dari Nino3.4 + AUSMI +...
Nino3.4*
AUSMI
Nino3.4 /
AUSMI
Nino3.4 +
AUSMI
Nino3.4 –
AUSMI
Indramayu 43.1 26.4 37.9 25.6
Semarang 41.7 44.3 39.9 38.1
Pasuruan 55.8 29.4 29.0 29.4
Tabel 2 Nilai R2 Adj analisis regresi multivariat tiap kabupaten dan tiap perlakuan
Kabupaten R2(%) dari Nino3.4 + AUSMI +...
Nino3.4*
AUSMI
Nino3.4 /
AUSMI
Nino3.4 +
AUSMI
Nino3.4 –
AUSMI
Indramayu 34.9 15.9 29.0 14.9
Semarang 33.3 36.4 31.3 29.3
Pasuruan 49.4 19.3 18.8 19.4
Berbasis kepada hasil analisis hubungan keeratan antara dua variabel,maka terlihat
dengan jelas bahwa nilai R2 maksimum terjadi di saat SST Niño 3.4 di-cross dengan data
AUSMI dengan nilai masing-masing 34.9 dan 49.4 (%) yakni untuk Indramayu dan
Pasuruan (lihat Tabel 1). Hal yang sama berlaku untuk nilai R2 Adj, walaupun agak
sedikti berbeda, masing-masing 34.9 dan 49.4(%) (lihat Tabel 2).
Kondisi ini memang berbeda dengan Semarang, dimana nilai R2 dan R
2 Adj masing-
masing 44.3 dan 36.4 (%) (lihat Tabel 1 dan 2). Nilai ini didapat justru ketika SST Niño
3.4 dan AUSMI, dibagi (÷). Ini memang tidak lazim/wajar dalam ilmu meteorologi. Tapi
ini adalah fakta yang ada. Hasil analisis di atas lebih nampak jelas terlihat pada Gambar
1, 2 dan 3.
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 265
Gambar 1 Residual plots Indramayu perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4*AUSMI)
Gambar 2 Residual plots Semarang perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4/AUSMI)
Gambar 3 Residual plots Pasuruan perlakuan Nino3.4 + AUSMI + (Nino3.4*AUSMI)
Penerapan Regresi Multivariate Dalam
ISBN 978-602-1034-06-4 266
Sementara bentuk persamaan regresi multivariate yang didapat adalah:
Indramayu = - 0,039 - 0,087 Nino 3.4 - 0,0654 AUSMI + 0,0764 Nino34*AUSMI
Semarang = 0,237 - 0,399 Nino 3.4 - 0,0206 AUSMI - 0,212 Nino34/AUSMI
Pasuruan = 0,070 - 0,069 Nino 3.4 - 0,0609 AUSMI + 0,0908 Nino34*AUSMI
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa regresi multivariate
sangat diperlukan untuk mengetahui hubungan keeratan antara anomali curah hujan saat
kemarau panjang dengan anomali El-Niño dan Monsun. Dua diantara tiga kasus yang
diteliti menyatakan bahwa kedua fenomena di atas terjadi secara simultan yang
dinyatakan dalam bentuk –cross (silang). Ini mengindikasikan bahwa keduanya saling
menguatkan disaat keduanya di cross, seperti yang terjadi di Indramayu dan Pasuruan.
Sementara teknik lain, seperti penambahan, pengurangan dan pembagian memiliki nilai
koeffisien determinasi (R2) yang relatif lebih kecil.
F. Daftar Pustaka
Harijono, S.W.B. 2008. Analisis Dinamika Atmosfer di Bagian Utara Ekuator
Sumatera Pada Saat Peristiwa El-Niño dan Dipole Mode Positif Terjadi
Bersamaan, Jurnal Sains Dirgantara (JSD), 5(2), 130 – 148.
Johnson, R.A. dan Wichern, D. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis,
Prentice Hall, New Jersey.
Sawyer, S. 2010. Multivariate Linier Models. (Online). (http://www.math. wustl.edu/.
diakses pada tanggal 31 Oktober 2014).
Sunengsih, N. 2009. Seleksi Variabel Dalam Analisis Regresi Multivariat Multipel.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan
Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009. Yogyakarta.
Yusuf, M A M N. 2003. Modul Terapan Analisis Data Multivariat Konsep dan
Aplikasi Regresi Linear Ganda. Depok
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 267
PENERAPAN METODE ELIMINASI GAUSS-JORDAN DALAM
MEMECAHKAN MASALAH KEMACETAN LALU LINTAS
Eliza Verdianingsih
Pendidikan Matematika SPS UPI Bandung
Surel: [email protected]
Abstrak
Sistem persamaan linier dalam bentuk matriks dapat diselesaikan melalui beberapa cara, salah
satunya dengan menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan. Metode eliminasi Gauss-Jordan
adalah proses menggunakan operasi-operasi baris elementer untuk mengubah suatu matriks
menjadi bentuk eselon baris tereduksi. Metode eliminasi ini dapat menyelesaikan berbagai
persoalan dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah masalah kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu
lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Untuk
mengatasi kemacetan lalu lintas diperlukan suatu rekayasa sistem pengendalian lalu lintas.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan dan mendeskripsikan
penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hasil analisis metode eliminasi
Gauss-Jordan yang menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan di perempatan jalan Pattimura-
Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur dengan
menunjukkan bahwa tidak ada kendaraan yang keluar di jalan Kusuma Bangsa
sedangkan ada kendaraan yang keluar di jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dan
Dr.Soetomo. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diketahui banyaknya kendaraan
yang masuk sama dengan banyaknya kendaraan yang keluar sehingga metode eliminasi Gauss-
Jordan dapat diterapkan dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas di perempatan jalan
Pattimura-Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur.
Kata kunci: sistem persamaan linier, metode eliminasi Gauss-Jordan, kemacetan lalu
lintas.
A. Pendahuluan
Matematika dianggap penting dalam kehidupan manusia, karena matematika
memiliki keterikatan dan menjadi pendukung diberbagai bidang ilmu serta berbagai
aspek kehidupan manusia. Matematika juga berperan sebagai sarana untuk memecahkan
masalah, baik pada matematika sendiri ataupun dalam bidang lain yang berkaitan
dengan kehidupan nyata. Matematika juga mempunyai peranan penting dalam
menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), misalnya: aplikasi
dalam bidang komunikasi, transportasi, engineering, komputer sains, dan bahkan sosial
sains.
Aljabar linier adalah salah satu bidang studi matematika yang mempelajari sistem
persamaan linier dan solusinya, vektor, serta transformasi linier. Persamaan linier dapat
dinyatakan dalam bentuk matriks. Penyelesaian persamaan linier dalam bentuk matriks
dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan metode eliminasi Gauss atau dapat
juga dengan metode eliminasi Gauss-Jordan.
Salah satu persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dapat diselesaikan
dengan metode eliminasi Gauss-Jordan adalah kemacetan lalu lintas. Persoalan ini
dapat dimodelkan ke dalam suatu matriks, dengan menggunakan operasi-operasi baris
elementer untuk mengubahnya menjadi suatu matriks bentuk eselon baris tereduksi
disebut eliminasi Gauss-Jordan.
Lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak
kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 268
lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang,
dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung (Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 2010: 3)
Lalu lintas mempunyai peran yang strategis dalam mendukung pembangunan dan
integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum, untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah diperlukan sistem
transportasi yang baik untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
kelancaran berlalu lintas. Melihat pentingnya peranan lalu lintas dalam pengaturan
kelancaran lalu lintas, maka diperlukan suatu rekayasa sistem untuk pengendalian lalu
lintas. Sistem pengendalian lalu lintas yang baik akan secara otomatis menyesuaikan
diri dengan kepadatan arus lalu lintas pada jalur yang diatur. Namun pengawasan dan
pengendalian lalu lintas kota sedang menjadi masalah utama di banyak negara. Salah
satu masalah tersebut adalah masalah kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan
terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi
kapasitas jalan. Salah satu penyebab kemacetan lalu lintas adalah tidak seimbangnya
antara kapasitas jaringan jalan dengan banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu
lalang menggunakan jalan tersebut. Masalah lalu lintas ini timbul pada saat volume lalu
lintas mengalami ketidakseimbangan antara kapasitas jaringan jalan dengan permintaan,
yakni volume lalu lintas orang, terutama kendaraan. Hal inilah yang menyebabkan
kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, ketegangan psikis
pengguna jalan dan lain-lain.
Peneliti melihat bahwa perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin
Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa
timur merupakan perempatan yang mengalami kemacetan padat saat jam sibuk,
khususnya diwaktu pagi hari yaitu saat menjelang jam masuk kerja dan jam sekolah.
Hal ini terjadi karena di perempatan tersebut banyak terdapat beberapa sekolah dan
beberapa kantor pemerintahan, sehingga banyak kendaran bermotor khususnya
kendaraan bermotor roda dua yang melalui perempatan ini untuk menuju sekolah atau
tempat kerja mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti mengadakan penelitian tentang
“Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan Masalah Kemacetan
Lalu Lintas”. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana menentukan banyaknya lalu
lintas kendaraan? (2) Bagaimana penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dapat
membantu memecahkan masalah kemacetan lalu lintas? Sehingga tujuan penelitian ini
adalah: (1) Untuk menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan. (2) Untuk
mendeskripsikan penerapan metode eliminasi Gauss-Jordan dalam memecahkan
masalah kemacetan lalu lintas.
Adapun ruang lingkup dari penelitian ini adalah: penelitian ini dilakukan di kota
Jombang-Jawa Timur khususnya di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr.
Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa; kemacetan lalu
lintas yang diteliti adalah kemacetan lalu lintas yang terjadi saat hari senin-sabtu yaitu
menjelang jam masuk kantor dan jam masuk sekolah antara jam 06.00-07.00; penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan skala kendaraan bermotor roda dua dan
diasumsikan banyaknya kendaraan yang masuk sama dengan banyaknya kendaraan
yang keluar.
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 269
B. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Persamaan Linier
Persamaan linier adalah sebuah persamaan dalam mana variabel dari persamaan
tersebut adalah memiliki pangkat sama dengan satu (Isnaini, 1985: 12). Bentuk umum
persamaan linier ialah:
di mana dan b adalah bilangan-bilangan real dan adalah
peubah.(Leon, 2001: 1)
Sistem persamaan linier (SPL) ialah sehimpunan persamaan linier yang menjadi
satu kesatuan, antar persamaan linier saling terikat. Bentuk umum sistem persamaan
linier ialah:
(Imrona, 2009: 28)
Sistem persamaan linier mempunyai tiga kemungkinan banyaknya penyelesaian,
yaitu: (a) penyelesaian tunggal; (b) penyelesaian tak hingga banyaknya; (c) tak ada
penyelesaian. Sistem persamaan linier yang mempunyai penyelesaian, baik
penyelesaian tunggal maupun penyelesaian tak hingga banyaknya disebut “konsisten”.
Jika tak mempunyai penyelesaian disebut “tak konsisten” (Imrona, 2009: 29).
2. Eliminasi Gauss Jordan
Sistem persamaan linier:
dapat dinyatakan sebagai perkalian matriks yaitu:
AX=B
A =X= , B=
Sistem persamaan linier tersebut dapat diubah menjadi matriks lengkap atau matriks
yang diperluas, yaitu matriks koefisien (A) diperluas dengan menambahkan satu kolom
yang berisikan matriks suku konstan (B).
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 270
Secara umum matriks lengkap sebagai berikut:
Untuk mengubah matriks lengkap tersebut diperlukan operasi yang tidak mengubah
penyelesaian dari sistem persamaan linier yaitu Operasi Baris Elementer (OBE): (a)
mengalikan satu baris dengan konstanta tak nol; (b) menukar tempat dua baris; (c)
menjumlahkan satu baris dengan kelipatan baris yang lain. Sehingga matriks lengkap
tersebut diubah menjadi matriks eselon baris tereduksi dan dilakukan substitusi mundur.
Matriks eselon baris tereduksi bercirikan: (a) pada setiap baris entri tak-nol yang
pertama adalah satu, di mana satu ini disebut “satu utama”; (b) jika terdapat baris nol,
maka baris tersebut diletakkan pada baris yang terbawah; (c) pada dua baris yang
berurutan letak satu utama pada baris yang lebih bawah terletak lebih ke kanan; (d) pada
setiap kolom jika terdapat satu utama, entry-entry yang lain adalah nol. Metode
pengubahan (pencarian penyelesaian SPL) ini dikenal dengan nama Eliminasi Gauss-
Jordan (jika matriks lengkap diubah menjadi matriks eselon baris tereduksi dan
dilakukan substitusi mundur) (Imrona, 2009: 30-33).
3. Kemacetan lalu lintas
Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu
lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan.
Sedangkan lalu lintas di dalam Undang-undang No 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai
gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas Jalan. Ruang lalu lintas jalan adalah
prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang
yang berupa jalan dan fasilitas pendukung. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, 2010: 3)
Kemacetan banyak terjadi di kota-kota besar, terutamanya yang tidak mempunyai
transportasi publik yang baik atau memadai ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan
jalan dengan kepadatan penduduk.
a. Kemacetan dapat terjadi karena beberapa alasan:
1) arus yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan;
2) terjadi kecelakaan lalu-lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran karena
masyarakat yang menonton kejadian kecelakaan atau karena kendaran yang terlibat
kecelakaan belum disingkirkan dari jalur lalu lintas;
3) terjadi banjir sehingga kendaraan memperlambat kendaraan;
4) ada perbaikan jalan;
5) bagian jalan tertentu yang longsor;
6) kemacetan lalu lintas yang disebabkan kepanikan seperti saat terjadi isyarat sirene
tsunami;
7) karena adanya pemakai jalan yang tidak tahu aturan lalu lintas, seperti : berjalan
lambat di lajur kanan;
8) adanya parkir liar dari sebuah kegiatan;
9) pasar tumpah yang secara tidak langsung memakan badan jalan sehingga pada
akhirnya membuat sebuah antrian terhadap sejumlah kendaraan yang akan
melewati area tersebut;
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 271
10) pengaturan lampu lalu lintas yang bersifat kaku yang tidak mengikuti tinggi
rendahnya arus lalu lintas.
b. Dampak negatif dari kemacetan lalu lintas antara lain:
1) kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah;
2) pemborosan energi, karena pada kecepatan rendah konsumsi bahan bakar lebih
rendah;
3) keausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang
pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih
tinggi;
4) meningkatkan polusi udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih
tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal;
5) meningkatkan stress pengguna jalan;
6) mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran
dalam menjalankan tugasnya.
c. Pemecahan masalah kemacetan
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah
kemacetan lalu lintas antara lain:
1) peningkatan kapasitas jalan/prasarana, misalnya:
a) memperlebar jalan, menambah lajur lalu lintas sepanjang hal itu memungkinkan;
b) merubah sirkulasi lalu lintas menjadi satu arah;
c) mengurangi konflik di persimpangan melalui pembatasan arus tertentu, biasanya
yang paling dominan membatasi arus belok kanan;
d) meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas;
e) mengembangkan intelligent transport sistem.
2) pembatasan kendaraan pribadi
Langkah ini dilakukan bila kemacetan lalu lintas semakin parah, sehingga harus
dilakukan manajemen lalu lintas yang lebih ekstrim. Antara lain:
a) pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju kawasan tertentu;
b) pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan
kendaraan, bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi, dan
lain-lain;
c) pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti
pembatasan sepeda motor masuk jalan tol, pembatasan mobil pribadi masuk
jalur busway, dan lain-lain.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang melakukan penelitian pada latar
alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Sumber data yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini adalah: (1) Tindakan, tindakan orang-orang yang diamati
dicatat melalui catatan tertulis dan melalui pengambilan foto. (2) Sumber tertulis,
Terdiri atas sumber buku, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. (3)
Foto, foto yang dihasilkan peneliti adalah foto yang menggambarkan tentang keadaan
lingkungan saat terjdi kemacetan lalu lintas di lokasi penelitian. Data penelitian yang
digunakan peneliti adalah data yang diperoleh setelah melakukan penelitian. Instrumen
yang digunakan oleh peneliti adalah peneliti itu sendiri (human instrumental), Peneliti
terjun secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang
dibutuhkan dengan terlebih sudah memiliki beberapa pedoman yang akan dijadikan alat
bantu mengumpulkan data (Satori dan Komariah, 2009:90). Selain menggunakan
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 272
dirinya sendiri sebagai instrumen penelitian, peneliti juga menggunakan instrumen
lainnya sebagai alat pengumpulan data. Antara lain: Hand tally counter dan camera
digital.
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain: (1) Tahap pra-lapangan:
menyusun rancangan, memilih lokasi penelitian, mengurus perizinan, melakukan
observasi di lokasi penelitian, menyiapkan perlengkapan penelitian. (2) Tahap pekerjaan
lapangan: memasuki lapangan, berperan-serta sambil mengumpulkan data, untuk
mendapatkan data tentang banyaknya kendaraan yang melalui lokasi penelitian, peneliti
menghitung banyaknya kendaraan tersebut dengan menggunakan alat hitung hand tally
counter. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dengan menggunakan: (a)
Observasi, dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi non partisipatif.
Observasi non partisipatif adalah observasi yang dilakukan di mana si peneliti
mengamati perilaku dari jauh tanpa ada interaksi dengan subjek yang sedang diteliti
(Satori dan Komariah, 2009:119). (b) Dokumentasi, peneliti menggunakan dokumen
foto dan data penelitian tentang banyaknya kendaraan bermotor roda dua yang melintas
di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr.
Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa Timur. (3) Tahap pengolahan
data, setelah peneliti memperoleh data tentang banyaknya kendaraan yang masuk di
perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr.
Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-Jawa Timur dengan ilustrasi lalu
lintas pada Gambar 1, dengan keterangan: A = jalan kusuma bangsa, B = jalan Dr.
Soetomo, C = jalan Pattimura, D = jalan Dr.Wahidin Sudiro Husodo; a,b,c,d =
banyaknya kendaraan yang masuk; , , , = banyaknya kendaraan yang keluar
(belum diketahui). Ilustrasi diberikan pada Gambar 1.
Data tersebut akan disubstitusikan dalam sistem persamaan linier berikut:
(1)
Kemudian sistem persamaan linier tersebut diubah menjadi matriks lengkap atau
matriks yang diperluas. Matriks lengkap tersebut adalah:
a
b
c
d
U
A
B
C
D
Gambar 1. Ilustrasi Lalu lintas
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 273
(2)
Matriks lengkap tersebut kemudian direduksi menjadi matriks eselon baris tereduksi
dengan menggunakan operasi baris elementer. Proses menggunakan operasi-operasi
baris elementer untuk mengubah suatu matriks menjadi bentuk eselon baris tereduksi
disebut “metode Gauss-Jordan”. Bentuk matriks eselon baris tereduksi tersebut adalah:
Setelah menjadi matriks eselon baris tereduksi maka penyelesaian sistem persamaan
linier tersebut dapat diketahui , , , . Sehingga peneliti dapat
mengetahui banyaknya lalu lintas di perempatan antara jalan Pattimura, jalan Dr.
Wahidin Sudiro Husodo, jalan Dr. Soetomo dan jalan Kusuma Bangsa di kota Jombang-
Jawa Timur.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Perempatan antara jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Dr. Soetomo dan
Kusuma Bangsa termasuk dalam jalan kabupaten Jombang. Perempatan ini merupakan
salah satu jalan yang menuju pusat kota jombang. Di sekitar perempatan ini juga
terdapat beberapa kantor pemerintahan, sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya di jalan
Pattimura terdapat kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, SMP N 1 Jombang,
dan SMK N 3 Jombang; di jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo terdapat SMA N 2
Jombang, dan MAN 1 Jombang; di jalan Dr. Soetomo terdapat STIKES PEMKAB
Jombang, SMK N 1 Jombang, dan SMA N 3 Jombang; di jalan Kusuma Bangsa
terdapat SMK Dwija Bhakti I dan SMK Dwija Bhakti II. Oleh karena itu Perempatan ini
sering kali mengalami kemacetan pada saat jam-jam sibuk, yaitu saat pagi hari
menjelang jam masuk kerja dan jam masuk sekolah, serta saat jam pulang kerja dan jam
pulang sekolah. Rambu-rambu lampu lalu lintas belum banyak membantu saat terjadi
kemacetan di perempatan ini.
2. Banyaknya Arus Lalu Lintas Kendaraan
Informasi mengenai banyaknya kendaraan yang masuk dari keempat jalan
diberikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Banyaknya Kendaraan yang Masuk
Jalan Banyaknya Kendaraan
Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu
A 287 270 260 235 217 197
B 373 358 345 367 315 305
C 200 182 180 173 168 170
D 551 525 519 489 431 317
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 274
Berdasarkan data dari Tabel 1, peneliti menentukan banyaknya lalu lintas di
perempatan tersebut yang terjadi mulai dari hari senin sampai dengan hari sabtu.
Peneliti mensubstitusikan data tersebut ke dalam sistem persamaan linier (1), kemudian
diubah menjadi matriks lengkap (2). Matriks lengkap tersebut kemudian direduksi
menjadi matriks eselon baris tereduksi sehingga penyelesaian sistem persamaan linier
tersebut dapat diketahui. Penyelesaian sistem persamaan linier tersebut merupakan
banyaknya kendaraan yang keluar diberikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Banyaknya Kendaraan yang Keluar
Jalan Banyaknya Kendaraan
Senin Selasa Rabu Kamis Jum’at Sabtu
173 176 165 194 147 135
87 88 80 62 49 27
351 343 339 316 263 147
0 0 0 0 0 0
3. Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan dalam Memecahkan Masalah
Kemacetan Lalu Lintas
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa , hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada kendaraan yang keluar di jalan Kusuma Bangsa selain itu ada kendaraan yang
keluar di jalan Pattimura, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, dan Dr.Soetomo. Selain itu,
berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti bahwa di sekitar jalan Kusuma
hanya ada 1 sekolah saja sehingga sangat jarang ada kendaraan yang menuju jalan
Kusuma Bangsa. Sementara itu banyak kendaraan yang menuju jalan Dr. Soetomo, Dr.
Wahidin Sudiro Husodo dan jalan Pattimura. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar
bangunan sekolah-sekolah dan kantor-kantor Pemerintahan terletak di jalan Dr.
Soetomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo dan jalan Pattimura.
Berdasarkan hasil analisis tersebut maka dapat diperoleh solusi alternatif dalam
memecahkan masalah kemacetan lalu lintas, khususnya di perempatan jalan Pattimura-
Dr.Wahidin Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur,
dengan cara mengalihkan kendaraan yang akan menuju jalan Kusuma Bangsa.
Pengalihan kendaraan tersebut diterapkan oleh peneliti selama 2 minggu dan dilakukan
pada hari senin-sabtu. Adapun beberapa jalan yang dapat dijadikan sebagai jalur
pengalihan kendaraan sebelum melewati perempatan antara jalan Pattimura-Dr.Wahidin
Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur adalah sebagai
berikut:
a. Kendaraan yang berasal dari arah selatan dapat dialihkan melalui jalan Pattimura III-
Dr. Wahidin Sudiro Husodo IV-Dusun Sengon Krajan-Dewi Sartika dan berakhir di
jalan Kusuma Bangsa.
b. Kendaraan yang berasal dari arah barat dialihkan melalui jalan Dusun Sengon
Krajan-Dewi Sartika dan berakhir di jalan Kusuma Bangsa.
c. Kendaraan yang berasal dari arah timur dapat dialihkan melalui jalan Setiabudi-Ki
Hajar Dewantara dan berakhir di jalan Kusuma Bangsa.
Setelah Peneliti menerapkan pengalihan jalan tersebut dan mengamati lalu lintas yang
terjadi di perempatan tersebut dengan hasil bahwa kemacetan diperempatan tersebut
relatif berkurang, sehingga metode eliminasi Gauss-Jordan dapat diterapkan dalam
Penerapan Metode Eliminasi Gauss-Jordan
ISBN 978-602-1034-06-4 275
memecahkan masalah kemacetan lalu lintas di perempatan jalan Pattimura-Dr.Wahidin
Sudiro Husodo-Dr.Soetomo-Kusuma Bangsa kota Jombang-Jawa Timur.
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka
peneliti menyimpulkan: (a) Banyaknya lalu lintas kendaraan dapat ditentukan dengan
menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan. (b) Penerapan metode eliminasi Gauss-
Jordan dapat membantu dalam memecahkan masalah kemacetan lalu lintas.
2. Saran
Setelah peneliti simpulkan sebagaimana tersebut di atas, saran yang dapat
disampaikan peneliti adalah sebagai berikut: (a) Diharapkan kepada pembaca khususnya
mahasiswa matematika untuk mempelajari ilmu matematika lebih mendalam karena
banyak aplikasi matematika terhadap cabang ilmu lain; (b) Petugas Polisi Satuan Lalu
Lintas dan petugas DLLAJR dapat menggunakan metode eliminasi Gauss-Jordan saat
menentukan banyaknya lalu lintas kendaraan yang melintas di suatu perempatan. (c)
Para pengguna jalan hendaknya mentaati semua peraturan yang berlaku saat berlalu
lintas di jalan khususnya di jalan raya.
F. Daftar Pustaka
Imrona, M. 2009. Aljabar Linear Dasar. Jakarta: Erlangga.
Isnaini, M. 1985. Aljabar Kalkulus dan Analitik Geometri. Jakarta: PT. Hasta Mitra.
Leon, S.J. 2001. Linear Algebra with Applications. Penerjemah: Alit Bondan. Jakarta:
Erlangga.
Satori, D. & Komariah, A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Cetakan kedua 2010. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 276
DIMENSI PARTISI GRAF GARIS DARI GRAF KINCIR
DENGAN DAN YANG DIPERUMUM
F. Kurnia Nirmala Sari1)
, Darmaji2)
Jurusan Magister Matematika Fakultas MIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jalan Arief Rahman Hakim Keputih, Surabaya
Surel: 1) [email protected] 2)
Abstrak
Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di yang
dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan dengan .
Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan sebagai nilai
dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk setiap simpul
dan -partisi terurut dari , representasi dari terhadap adalah -
vektor . Himpunan disebut partisi
pembeda (resolving partition) jika -vektor berbeda untuk setiap . Minimum
dari -partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan
dengan . Graf kincir adalah graf yang dihasilkan dari operasi join dengan buah
dan dinotasikan dengan . Misalkan graf dengan himpunan titik dan
himpunan sisi , graf garis (line graph) adalah graf dengan dan titik
di akan terhubung langsung jika dan hanya jika sisi yang bersesuaian terhubung di .
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kapustakaan, yaitu
mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, atau prosiding
seminar. Dari penelitian yang dihasilkan, dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari graf
kincir mempunyai bentuk umum .
Kata Kunci: dimensi partisi, graf garis, graf kincir, kardinalitas terkecil, partisi pembeda
A. Pendahuluan
Teori graf merupakan cabang kajian ilmu matematika yang relatif baru dan
memiliki banyak terapan pada bidang lain bila dibandingkan dengan cabang kajian
dalam ilmu matematika yang lain seperti aljabar dan geometri. Graf satu dengan yang
lainnya mempunyai karakter masing-masing sehingga berbeda antara satu sama lain.
Salah satu karakter tersebut adalah dimensi partisi.
Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di
yang dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan
dengan . Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan
sebagai nilai dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk
setiap simpul dan -partisi terurut dari ,
representasi dari terhadap adalah vektor-
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 277
. Himpunan disebut partisi
pembeda jika vektor- berbeda untuk setiap . Minimum dari -
partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan
dengan .
Sebagai contoh, Gambar 1 berikut merupakan graf terhubung :
v1
v2
v3v4
v5G :
Gambar 1. Graf terhubung
Diberikan dengan , , , dan
. Sehingga representasi dari kelas partisi vektor-4 adalah:
Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah partisi pembeda dari . Namun bukan
partisi dimensi dari karena kardinalitas dari bukan yang minimum.
Diberikan dengan , , dan .
Sehingga representasi dari masing-masing kelas partisi (3-vektor) adalah:
Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah partisi pembeda dari . Namun dengan cara
yang sama dicari partisi pembeda dengan kardinalitas partisi 2, ternyata akan
menghasilkan representasi yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa adalah
dimensi partisi dari karena merupakan partisi pembeda dengan kardinalitas terkecil
(Chartrand dkk, 1998).
Dari penelitian yang banyak dilakukan belum ada di antara peneliti yang meneliti
tentang dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari suatu graf lain. Sehingga pada
rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana bentuk umum dari dimensi partisi
graf garis dari graf kincir dengan . Oleh karena itu
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk umum dimensi partisi graf garis
dari graf kincir dengan . Dengan adanya penelitian ini
akan memberikan informasi mengenai dimensi partisi suatu graf garis agar dapat
dijadikan acuan bagi peneliti lain dan menambah kepustakaan yang dijadikan
pengembangan wawasan keilmuan.
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 278
B. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian tentang dimensi partisi sudah pernah dilakukan pada kelas
graf tertentu oleh sebagian ilmuwan. Di antaranya Chartrand dkk pada penelitiannya
yang berjudul On the Partition Dimension of a Graph (Chartrand dkk, 1998) yang
menunjukkan dimensi partisi pada graf bintang ganda ganda dan graf ulat (caterpillar).
Dua tahun kemudian Chartrand, dkk pada The Partition Dimension of a Graph
(Chartrand dkk, 2000) menunjukkan dimensi partisi dari beberapa jenis graf. Salah
satunya bahwa jika dan hanya jika adalah graf lintasan ( ) dan
jika dan hanya jika adalah graf lengkap ( ). Hasil yang lain yaitu pada
graf bipartit lengkap ( ), bahwa jika dan
jika (Amalia, 2013).
Javaid dan Shokat meneliti dimensi partisi pada graf mirip roda, yaitu graf gir, graf
helm, dan graf bunga matahari pada penelitiannya yang berjudul On the Partition
Dimension of Some Wheel Related Graphs (Javaid dan Shokat, 2008). Kemudian
Amalia pada penelitiannya yang berjudul Dimensi Partisi Bintang dari Graf Kincir yang
Diperumum (Amalia, 2013) menghasilkan dimensi partisi bintang pada graf kincir
. Lalu penelitian dimensi partisi lebih dalam diteliti oleh
Darmaji pada Dimensi Partisi Graf Multipartit dan Graf Hasil Korona Dua Graf
Terhubung (Darmaji, 2011) yang meneliti tentang dimensi partisi graf multipartit dan
graf hasil korona dua graf terhubung, dan juga dilakukan oleh Yero dkk. pada A Note on
the Partition Dimension of Cartesian Product Graphs (Yero dan Rodriguez-Velazquez,
2010) yang menentukan dimensi partisi dari hasil kali kartesian dari sebarang graf
terhubung dan yaitu . Kemudian dimensi
partisi juga dilakukan oleh Ghemeci dan Tomescu pada graf gir yang diperumum
dengan judul On Star Partition Dimension on Generalized Gear Graph (Marinescu-
Ghemeci dan Tomescu, 2010).
Dari penelitian yang banyak dilakukan belum ada di antara peneliti yang meneliti
tentang dimensi partisi graf garis yang diperoleh dari suatu graf lain. Sehingga pada
pada makalah ini dijelaskan bentuk umum dari dimensi partisi graf garis dari graf kincir
dengan .
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian tentang dimensi partisi
graf garis dari graf kincir dengan dan adalah sebagai
berikut:
a. Studi pustaka, pada tahap ini dilakukan studi literatur tentang dimensi partisi serta
teorema-teorema yang menyertainya sebagai landasan dan acuan untuk pembahasan
pada tahap selanjutnya.
b. Pengkonstruksian graf garis dari graf kincir dengan
, pada tahap ini dilakukan pengkonstruksian graf garis secara khusus
dari graf kincir dengan .
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 279
c. Pengkonstruksian dimensi partisi graf garis dari dengan
, pada tahap ini dilakukan pengkonstruksian dimensi partisi secara
khusus graf garis dari graf kincir dengan sehingga
akan menghasilkan dugaan sementara berupa bentuk umum dari dimensi partisi
graf yang telah dikonstruksi.
d. Pembuktian dari hasil pengkonstruksian dimensi partisi, pada tahap ini hasil
pengkonstruksian yang dilakukan pada tahap sebelumnya dibuktikan menggunakan
kajian dimensi partisi dan teorema dimensi partisi yang telah dikaji pada tahap
awal.
D. Hasil dan Pembahasan
Misalkan dan adalah graf lengkap. Graf kincir didefinisikan sebagai
graf hasil operasi join antara dengan buah (Amalia, 2013) dan biasa
dinotasikan dengan . Graf kincir yang diperoleh dari hasil join antara
graf dengan buah disebut dengan graf friendship. Misal graf dengan
himpunan titik dan himpunan sisi . Graf garis (line graph) adalah graf
dengan dan titik di akan terhubung langsung jika dan
hanya jika sisi yang bersesuaian terhubung di yang biasanya direpresentasikan
dalam bentuk matriks adjacency (Abdussakir dkk, 2009).
v11
ox21
y22
y21
y12
y11
x11 x21
y22
y21
y12
y11
x11
v21
v31v41
(a) (b)
Gambar 1. (a) Graf kincir (b) Graf garis dari graf kincir
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 280
y11
x11
x12
x13 y12
y13
v11
v12
v13
v21
v22v23
v31
v32
v33
o
x23
x21 x22
x31
x32
x33
y21
y22y23
y31
y32
y33
x11
x12
x13
x23 x21
x22
x31
x32
x33
y11
y12
y13
y21y22
y23
y31
y32
y33
(a) (b)
Gambar 2. (a) Graf kincir (b) Graf garis dari graf kincir
Gambar 1 dan 2 adalah contoh dari graf kincir dengan graf garisnya. Simpul
adalah simpul pada graf kincir dengan dan . Sedangkan
simpul adalah simpul pada graf garis yang diperoleh dari sisi graf lengkap
pada graf kincir asal dan tidak terkait langsung dengan simpul pusat graf kincir asal,
untuk simpul adalah simpul yang pada graf garis yang diperoleh dari sisi
yang terkait langsung dengan simpul pusat dari graf kincir asal dengan masing-masing
dam .
Misalkan adalah graf terhubung dengan adalah himpunan simpul di
yang dinotasikan dengan dan adalah himpunan sisi di yang dinotasikan
dengan . Untuk dan , jarak antara dan didefinisikan
sebagai nilai dan dinotasikan sebagai . Sedangkan untuk
setiap simpul dan -partisi terurut dari ,
representasi dari terhadap adalah vektor-
. Himpunan disebut partisi
pembeda jika vektor- berbeda untuk setiap . Minimum dari -
partisi pembeda dari itulah yang disebut dimensi partisi dari dan dinotasikan
dengan .
Misalkan adalah partisi terurut dari . Jika dan
dan , maka jelas bahwa karena tetapi
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 281
. Dengan demikian ketika diberikan sebuah partisi dari dan hendak
menentukan apakah adalah merupakan partisi pembeda untuk atau bukan
Pemeriksaan cukup dilakukan pada semua simpul yang termasuk dalam suatu kelas
partisi yang sama. Jika semua simpul dalam setiap kelas partisi yang sama mempunyai
representasi berbeda terhadap , maka merupakan partisi pembeda. Jika
, maka kelas partisi dikatakan memisahkan simpul dan di .
Sebuah kelas partisi yang mempunyai satu anggota disebut dengan kelas partisi
singleton. Dengan demikian simpul dalam kelas partisi singleton mempunyai
representasi (Darmaji, 2011).
Lemma 1. (Chartrand dkk, 2000) Diberikan adalah parisi pembeda dari dan
. Jika untuk semua , maka dan
haruslah berada pada partisi yang berbeda.
Lemma 2. (Amalia, 2013) Diberikan sebagai himpunan simpul-simpul
dalam sebuah bilah yang sama pada sebuah graf kincir dan sebagai partisi pembeda
dari . Jika maka dan harus berada pada kelas partisi yang berbeda
di .
Teorema 1. Jika adalah graf garis yang diperoleh dari graf kincir
dengan dan maka .
Bukti. Untuk batas atas dari dimensi partisi dapat diperoleh dengan mengkonstruksi
partisi pembeda pada graf . Misalkan dan partisi pembeda
dengan :
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 282
Untuk anggota dari sampai dengan terdiri dari 2 anggota masing-masing
simpul dan simpul . Seperti yang telah diketahui bahwa simpul adalah simpul
dari sisi yang tidak terkait langsung dengan simpul pusat graf kincir asal sedangkan
simpul adalah simpul dari sisi yang terkait langsung dengan simpul pusat pada graf
kincir asal. Sehingga akan mengakibatkan simpul dan simpul mempunyai derajat
yang berbeda. Dengan kata lain akan menghasilkan representasi yang berbeda untuk
setiap simpul terhadap kelas partisi sampai dengan . Meskipun ada
simpul yang mengakibatkan , namun
simpul ini tidak akan menghasilkan representasi yang sama karena dapat dipastikan
simpul terdapat pada kelas partisi selain pada kelas partisi sampai .
Kondisi yang sama juga akan berlaku pada kelas partisi sampai dengan
yang beranggotakan 2 simpul yaitu masing-masing simpul dan . Karena simpul
dan simpul mempunyai derajat yang berbeda, maka akan menghasilkan
representasi yang berbeda untuk setiap simpul terhadap kelas partisi
sampai dengan . Meskipun akan ada simpul yang
mengakibatkan , namun simpul ini tidak akan menghasilkan
representasi yang sama.
Untuk kelas partisi sampai dengan diketahui bahwa
Jika diperhatikan pada gambar graf
garis, merupakan simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung ke simpul
pusat graf kincir sehingga berakibat untuk
. Sehingga sesuai dengan lemma 1 maka simpul
harus berada pada kelas partisi yang berbeda. Begitu juga untuk dengan
dan akan berada pada kelas partisi yang berbeda yang sesuai untuk
setiap bilah asalnya. Namun jika simpul menjadi partisi singleton maka tidak akan
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 283
menghasilkan kardinalitas terkecil dari , sehingga simpul yang mempunyai indeks
yang sama akan dijadikan satu kelas partisi dan dapat dipastikan bahwa representasi
simpul akan berbeda terhadap kelas partisi sampai dengan
karena kelas partisi tersebut beranggotakan simpul yang berasal dari sisi pada
bilah yang berbeda dari graf kincir .
Untuk kelas partisi sampai dengan beranggotakan oleh
simpul . Dengan melihat pada lemma 1, simpul yang mempunyai jarak yang sama
terhadap simpul harus berada pada partisi yang berbeda. Untuk simpul
pada graf garis dari tiap bilah dari graf kincir yang menjadi anggota dari
kelas partisi sampai dengan yaitu sebanyak akan
dibagi dengan untuk mendapatkan jumlah kelas partisi pada tiap bilah dari graf
kincir asal. Masing-masing kelas partisi pada setiap bilahnya akan diisi oleh simpul
yang mempunyai jarak yang berbeda terhadap . Sehingga akan
menghasilkan representasi yang berbeda untuk simpul-simpul pada graf garis .
Dengan begitu semua simpul pada graf garis telah terpartisi dan
menghasilkan representasi yang berbeda, sehingga .
Untuk batas bawah dimensi partisi, ambil himpunan partisi pembeda dengan
, artinya . Andaikan
atau berarti terdapat simpul dan
yaitu simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung dengan simpul pusat pada
graf kincir dengan yang terletak pada satu partisi . Namun pada
suatu saat akan ada simpul yang berakibat
sehingga akan menghasilkan representasi yang sama dan menyebabkan bukan partisi
pembeda. Pernyataan ini kontradiksi dengan adalah partisi pembeda, maka haruslah
dan berada pada partisi yang berbeda. Dengan kata lain
atau .
Dari batas atas dan batas bawah diperoleh bahwa
atau bisa dituliskan bahwa
.
Dimensi Partisi Graf Garis dari Graf Kincir
ISBN 978-602-1034-06-4 284
E. Simpulan dan Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan.
Kesimpulan pertama jelas diperoleh bahwa dimensi partisi dari graf garis yang
diperoleh dari graf kincir dengan dan adalah
. Kesimpulan selanjutnya yang dapat diambil adalah
dugaan bahwa dimensi partisi pada graf garis yang diperoleh menunjukkan derajat pada
simpul , yaitu simpul yang diperoleh dari sisi yang terkait langsung dengan simpul
pusat graf kincir .
Penelitian tentang dimensi partisi sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Namun sampai saat ini belum banyak peneliti yang meneliti tentang
dimensi partisi dari graf garis suatu graf dari kelas atau family tertentu atau meneliti
dimensi partisi bintang dan dimensi partisi terhubung dari suatu kelas graf tertentu.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan banyak lagi dilakukan penelitian-
penelitian tentang dimensi partisi suatu graf dari graf apapun, dari graf hasil operasi atau
dari kelas graf tertentu agar dapat dijadikan suatu referensi untuk pengetahuan dan
penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.
F. Daftar Pustaka
Abdussakir, Azizah, N.N., & Nofandika, F.F. 2009. Teori Graf. Malang : UIN Malang
Press.
Amalia, R. 2013. Dimensi Partisi Bintang dari Graf Kincir yang Diperumum. Tesis.
Program Pasca Sarjana Matematika. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
Chartrand, G., Salehi, E., & Zhang, P. 1998. On the Partition Dimension of a Graph.
Congressus Numerantium 130, 157-168.
Chartrand, G., Salehi, E., & Zhang, P. 2000. The Partition Dimension of a Graph.
Aequationes Mathematicae 59, 45-54.
Darmaji. 2011. Dimensi Partisi Graf Multipartit dan Graf Hasil Korona Dua Graf
Terhubung. Disertasi. Program Studi Doktor Matematika. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Javaid, I., & Shokat, S. 2008. On the Partition Dimension of Some Wheel Related
Graphs. Journal of Prime Research in Mathematica 4, 154-164.
Marinescu-Ghemeci, R., & Tomescu, I. 2010. On Star Partition Dimension of
Generalized Gear Graph, Bulletin Mathmatique de la Socit des Sciences
Mathmatiques de Roumanie 53(101)(3), 261-268.
Yero, I. G., & Rodriguez-Velazquez, J. A. 2010. A Note on the Partition Dimension of
Cartesian Product Graphs. Journal of Applied Mathematics and Computation 217,
3571-3574.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 285
PENGGUNAAN ALJABAR MAX PLUS DAN PETRI NET UNTUK
PERANCANGAN PENJADWALAN SISTEM PELAYANAN
PASANG INSTALASI BARU DI PDAM
Margaretha Dwi Cahyani1)
, Subiono2)
Jurusan Magister Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jalan Arief Rahman Hakim Keputih, Surabaya
Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]
Abstrak
Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi setiap orang. Distribusi air minum untuk
masyarakat diatur oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Pertumbuhan penduduk akhir-
akhir ini sangat pesat dan tingkat pencemaran air pun juga semakin meningkat, sehingga
semakin hari kebutuhan akan air bersih meningkat, masyarakat semakin banyak untuk
memasang instalasi PDAM terlebih masyarakat kota. Namun mayoritas masyarakat yang
menggunakan layanan PDAM tidak mengetahui dengan jelas alur dari proses pelayanan,
sehingga hanya menebak lamanya waktu pelayanan dari awal pendaftaran hingga selesainya
pelayanan (terpasangangnya instalasi PDAM baru). Petugas di kantor PDAM juga tidak bisa
memberikan kepastian kepada calon pelanggan tentang lamanya proses pelayanan untuk pasang
baru. Sehingga pada penelitian ini akan dibangun alur Petri Net untuk proses penjadwalan
pelayanan pasang instalasi baru di PDAM. Selanjutnya dari alur Petri Net yang telah dibuat
tersebut dibangun Coverability Tree untuk menganalisis Livesness dan Deadlocks, kemudian
dibuat model Aljabar Max Plusnya. Proses selanjutnya yaitu dilakukan analisis dan simulasi
model Aljabar Max Plus yang telah dibuat. Dari hasil analisis alur Petri Net penjadwalan pasang
baru yang telah dibuat adalah Petri net yang tidak pernah Deadlocks dan tetap Livesness, serta
simulasi dan analisis model Aljabar Max Plus diperoleh bahwa untuk satu kali proses pelayanan
pasang instalasi baru dari mulai pendaftaran hingga terpasangannya instalasi yang baru
dibutuhkan waktu 1830 menit atau 1 hari lebih 6 jam 30 menit.
Kata Kunci: Aljabar Max Plus, Coverabiliity Tree, Deadlocks, Livesness, Penjadwalan, Petri
Net.
A. Pendahuluan
Air adalah kebutuhan utama setiap orang baik untuk kebutuhan di dalam rumah
tangga maupun untuk kebutuhan yang berada diluar urusan rumah tangga seperti
kebutuhan akan air di sekolah, kebutuhan akan air di rumah sakit, dan kebutuhan air
untuk sarana umum lainnya. Pertumbuhan penduduk pada akhir-akhir ini sangat pesat
dan tingkat pencemaran air pun juga semakin meningkat, sehingga semakin hari
kebutuhan akan air bersih meningkat, masyarakat semakin banyak untuk memasang
instalasi PDAM terlebih masyarakat kota. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang
baru seperti sekolah, perkantoran, kamar mandi umum di sejumlah SPBU, dan sarana
umum lainnya pasti memerlukan adanya kebutuhan air bersih, sehingga memerlukan
pemasangan instalasi PDAM yang baru. Selain itu juga masih banyak rumah tangga
yang belum mendapatkan air bersih sehingga harus memasang instalasi PDAM baru.
Mayoritas masyarakat (calon pelanggan) yang menggunakan layanan PDAM tidak
mengetahui dengan jelas alur dari proses pelayanan, sehingga hanya menebak lamanya
waktu pelayanan dari awal pendaftaran hingga selesainya pelayanan (terpasangangnya
instalasi PDAM baru). Petugas di kantor PDAM juga tidak bisa memberikan kepastian
kepada calon pelanggan tentang lamanya proses pelayanan untuk pasang baru.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 286
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka digunakan sebagai gambaran untuk
penelitian tentang penggunaan Petri Net dan Aljabar Max Plus untuk penjadwalan
sistem pelayanan pasang instalasi baru di PDAM. Rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana membangun alur Petri Net untuk sistem
penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru agar tidak terjadi deadlocks dan tetap
livesness.(2) Bagaimana membangun model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net yang
telah dibuat. Tujan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) Diperoleh alur
Petri Net untuk sistem penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru yang tidak
deadlocks dan tetap livesness. (2) Diperoleh model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net
yang telah dibuat. Manfaat yang akan diberikan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) Pengaturan sistem penjadwalan pelayanan pasang instalasi baru dapat
dimaksimalkan sehingga dapat meningkatkan kinerja karyawan. (2) Analisa pemodelan
dan penjadwalan yang digunakan dapat dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut,
sehingga pada penelitian berikutnya dapat lebih memberi manfaat bagi pihak yang
membutuhkan.
B. Tinjauan Pustaka
Penelitian sebelumnya tentang Aljabar Max Plus dan Petri Net adalah: penelitian
oleh Adzkiya (2008) tentang membangun model Petri Net lampu lalu lintas dan
simulasinya. Adzkiya (2008) menggunakan Petri Net untuk menentukan penjadwalan
nyala lampu lalu lintas dengan tujuan memberikan kepastian waktu tunggu pengguna
dan mengurangi waktu tunggu di persimpangan. Talehala (2010) menggunakan Aljabar
Max Plus untuk membuat desain penjadwalan kegiatan pembelajaran sekolah pada kelas
moving dan hasil yang didapatkan adalah optimalisasi jumlah tenaga pengajar dan ruang
belajar serta dapat menempatkan rombongan belajar ke kelas yang tepat. Suyanto
(2011) menggunakan Aljabar Max Plus untuk membuat desain penjadwalan kegiatan
belajar mengajar di Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) St. Louis I, Surabaya
yang mengacu pada pembagian yang merata dalam hal bobot kesulitan materi pelajaran.
Penelitian lainnya yaitu oleh Widayanti (2013) tentang perancangan penjadwalan sistem
pelayanan dan kerja karyawan pemasangan instalasi di PLN menggunakan Aljabar Max
Plus dan Petri Net. Sehingga dari beberapa penelitian tersebut maka dapat menambah
gambaran tentang aplikasi penjadwalan dengan menggunakan Aljabar Max Plus dan
Petri Net.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi tahapan-tahapan
sebagai berikut:
1. Mempelajari Teori Aljabar Max Plus dan Petri Net.
Pada tahap ini diawali dengan mempelajari teori-teori Aljabar Max Plus, Petri Net
serta mempelajari penelitian-penelitian sebelumnya.
2. Pengumpulan data
Pada tahap ini dilakukan pengambilan data di kantor PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Nganjuk yaitu alur atau urutan pelanggan dari permintaan pemasangan
baru instalasi PDAM. Mulai dari pendaftaran sampai selesai proses pelayanan.
3. Penyusunan Alur Petri Net
Menyusun alur Petri Net dari data yang telah dikumpulkan yaitu alur pelayanan
pasang baru instalasi PDAM. Place menunjukkan keadaan tentang keberadaan
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 287
pelanggan sedangkan transisi menunjukkan keadaan sedang berlangsungnya sebuah
proses.
4. Menganalisis livesness dan deadlocks dari alur Petri Net yang telah dibuat
5. Membuat model Aljabar Max Plus dari alur Petri Net yang telah dibuat.
6. Analisis hasil simulasi model Aljabar Max Plus yang telah dibuat.
D. Hasil dan Pembahasan
Alur proses pelayanan pasang instalasi baru di PDAM Tirta Dharma Kabupaten
Nganjuk (File PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk, 2013) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Alur Pelayanan Pasang Baru
1. Petri Net Pelayanan Pasang Baru
Sebelum membuat alur Petri Net untuk penjadwalan pasang instalasi baru,
diberikan terlebih dahulu definisi tentang Petri Net. Cassandras dan Lafortune (2008)
mendefinisikan Petri net adalah 4-tuple dengan
P : himpunan berhingga place, ,
T : himpunan berhingga transisi, ,
A : himpunan arc, ,
w : fungsi bobot, w : A → {1, 2, 3, ...}.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 288
Keterangan mengenai variabel yang digunakan dalam Petri Net.
merupakan variabel place atau sebuah keadaan dimana pelanggan berada, sedangkan
merupakan variabel transisi atau sebuah keadaan dimana sedang terjadi
sesuatu pada pelanggan (proses).
Variabel place digambarkan berupa lingkaran sedangkan variabel transisi
digambarkan dengan persegi panjang berwarna hitam. Peletakan token pada sebuah
place merupakan tempat dimana pelanggan akan memulai proses pelayanan. Bobot arc
dari place input ke transisi menunjukkan jumlah token minimum di place agar transisi
enabled. Jika semua place input mempunyai token lebih dari atau sama dengan jumlah
token minimum yang dibutuhkan maka transisi enabled. Transisi yang enabled adalah
berwarna merah. Petri Net dikatakan enabled berdasarkan definisi dari Cassandras and
Lafortune (2008) adalah fungsi perubahan keadaan pada Petri Net bertanda
yaitu terdefinisi untuk transisi
jika dan hanya jika
. (1)
Selanjutnya untuk mengetahui Petri Net livesness atau deadlocks yaitu dengan
menggunakan Coverability Tree. Setiap node pada Coverability tree menyatakan
keadaan dari Petri net. Keadaan awal Petri Net didefinisikan sebagai node root. Anak
dari node root merupakan keadaan yang dapat dicapai dari keadaan awal dengan
memfire sebuah transisi (jika hanya terdapat satu transisi enable) atau memfire salah
satu transisi (jika terdapat beberapa transisi yang enable). Keadaan-keadaan ini
dihubungkan ke node root dengan edge. Setiap edge pada Coverability tree mempunyai
bobot sebuah transisi yaitu transisi yang enable dan siap untuk difire untuk mencapai
keadaan tersebut.
Sebuah alur Petri Net dikatakan livesness atau tidak deadlocks ketika Coverability
tree membentuk looping. Coverability tree yang membentuk looping disebabkan dari
pemfirean transisi pada alur Petri Net yang tidak pernah berhenti (Widayanti, 2013).
Gambar 2 adalah gambar Petri Net dari pelayanan pasang baru di kantor PDAM
berdasarkan Gambar 1.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 289
Gambar 2. Petri Net Alur Pasang Baru
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 290
Keterangan Gambar Petri Net
proses antrian calon pelanggan
proses berkas persyaratan pasang baru masuk
pemeriksaan berkas persyaratan
pengisian formulir pendaftaran oleh calon pelanggan
pengembalian berkas persyaratan ke calon pelanggan
berkas pendaftaran diserahkan ke Kepala Sub Bagian Pelayanan Pelanggan
pembuatan SPL (Surat Permohonan menjadi Langganan Air Minum) dan PL
(Pernyataan Pelanggan) kemudian diserahkan ke Pelaksana Keuangan
pembayaran biaya pendaftaran kemudian SPL dan PL diserahkan ke Kepala
Sub Bagian Perencanaan
survey lokasi calon pelanggan
pembuatan ABP (Anggaran Biaya Pemasangan) dan RKP (Rekapitulasi
Keperluan Peralatan) kemudian diserahkan ke Bagian Pembukuan
pemberitahuan hasil survey lokasi tidak layak kepada calon pelanggan
pembuatan rekening kemudian diserahkan ke Kepala Sub Bagian Keuangan
pembuatan BPPI (Bukti Persetujuan Penyambungan Instalasi), pelanggan
melunasi biaya pemasangan, ABP dan RKP diserahkan ke Kepala Bagian
Teknik
pembuatan surat perintah untuk Kepala Sub Bagian Transmisi dan Distribusi
untuk melaksanakan pemasangan
proses pembuatan BPB (Bon Permintaan Barang) dan surat perintah untuk
petugas lapangan
proses pemasangan instalasi baru
konfirmasi ke pelanggan bahwa pemasangan instalasi baru selesai
pelanggan keluar dari antrian
calon pelanggan antri memasukkan berkas persyaratan
pelayanan pelanggan
berkas persyaratan yang sudah diperiksa
berkas pendaftaran yang siap untuk diserahkan kepada Kepala Sub Bagian
Pelayanan Pelanggan
Kepala Sub Bagian Pelanggan yang telah menerima berkas pendaftaran
Bagian Pelaksana Keuangan yang telah menerima SPL dan PL
Kepala Sub Bagian Perencanaan yang telah menerima SPL dan PL
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 291
Hasil Survey dari petugas perencanaan
Bagian Pembukuan yang telah menerima ABP dan RKP
Kepala Sub Bagian Keuangan yang telah menerima rekening pelanggan
Kepala Bagian Teknik yang telah menerima ABP dan RKP
Kepala Sub Bagian Transmisi dan Distribusi yang telah menerima surat
perintah dari Kepala Bagian Teknik
Petugas Lapangan yang telah menerima surat perintah pemasangan instalasi
baru
instalasi baru telah terpasang
Idle
Coverability Tree Petri Net Pelayanan Pasang Baru
Proses membangun Coverability tree dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan
didefinisikan dengan
node root. Pada keadaan ini transisi yang enabled yaitu . Pemfirean transisi ini
menyebabkan keadaan petri net berubah. Jika difire maka keadaan petri net akan
berubah menjadi
. Setelah
pemfirean ini maka transisi yang enabled adalah dan , sehingga ada tiga pilihan
untuk pemfirean yaitu : 1. difire 2. tidak difire dan difire 3. difire dan
difire.
1. difire
Setelah pemfirean yang pertama maka jumlah token di adalah satu. Apabila
transisi difire berkali-kali maka jumlah token di selalu bertambah. Coverability
treenya dapat dilihat pada Gambar 3.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 292
Gambar 3. Coverability tree jika difire
2. Ketika tidak difire dan difire
Awalnya token berada di , transisi yang enabled adalah dan . Jika difire
mengakibatkan satu token berpindah ke . Kemudian difire dan mengakibatkan
token berpindah ke . Dengan adanya token di maka ada dua transisi yang enabled
yaitu dan . Jika difire maka letak token berpindah kembali ke , sedangkan jika
difire mengakibatkan token berpindah ke sehingga transisi yang enabled yaitu .
Ketika difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled.
Transisi difire sehingga token berpindah ke . Dengan adanya token di
mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token berpindah ke yang
mengakibatkan transisi enabled. Ketika transisi difire maka token berpindah ke
sehingga dan enabled. Jika difire maka token berpindah kembali ke ,
tetapi jika difire maka token berpindah ke sehingga enabled. Jika difire
maka token berpindah ke . Selanjutnya transisi yang enabled yaitu transisi difire
maka token berpindah ke , yang mengakibatkan transisi enabled. Ketika
difire maka token berpindah ke . Saat token berada di maka enabled. Transisi
difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled. Saat
transisi difire maka token berpindah ke . Token yang berada di
mengakibatkan enabled. Kemudian difire sehingga token berpindah ke yang
mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token kembali ke ,
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 293
sehingga mengakibatkan enabled. Coverability treenya dapat dilihat pada Gambar 4
berikut ini.
Gambar 4. Coverability tree jika tidak difire dan difire
3. Ketika difire dan difire
Awalnya token berada di , transisi yang enabled adalah dan . Jika transisi
difire mengakibatkan jumlah token pada bertambah. Selanjutnya difire
mengakibatkan satu token berpindah ke . Kemudian difire dan mengakibatkan
token berpindah ke . Dengan adanya token di maka ada dua transisi yang enabled
yaitu dan . Jika difire maka letak token berpindah kembali ke , sedangkan jika
difire mengakibatkan token berpindah ke sehingga transisi yang enabled yaitu .
Ketika difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled.
Transisi difire sehingga token berpindah ke . Dengan adanya token di
mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire maka token berpindah ke yang
mengakibatkan transisi enabled. Ketika transisi difire maka token berpindah ke
sehingga dan enabled. Jika difire maka token berpindah kembali ke ,
tetapi jika difire maka token berpindah ke sehingga enabled. Jika difire
maka token berpindah ke . Selanjutnya transisi yang enabled yaitu transisi difire
maka token berpindah ke , yang mengakibatkan transisi enabled. Ketika
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 294
difire maka token berpindah ke . Saat token berada di maka enabled. Transisi
difire maka token berpindah ke yang mengakibatkan transisi enabled. Saat
transisi difire maka token berpindah ke . Token yang berada di
mengakibatkan enabled. Kemudian difire sehingga token berpindah ke yang
mengakibatkan transisi enabled. Ketika difire, token kembali ke sehingga
mengakibatkan enabled. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Coverability tree jika difire dan difire
Setelah melakukan pemfirean berdasarkan ketiga pilihan tersebut, terlihat bahwa
Coverability tree dari Petri Net tersebut membentuk looping saat proses pemfirean yang
artinya proses pemfirean tidak pernah berhenti. Sehingga Petri Net tersebut adalah
livesness.
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 295
2. Model Aljabar Max Plus
Sebelum membuat model Aljabar Max Plus dari Petri Net pasang baru, diberikan
terlebih dahulu pengertian tentang Aljabar Max Plus dan operasinya. Diberikan
dengan R adalah himpunan semua bilangan real dan . Pada
didefinisikan operasi berikut (Subiono, 2013): ,
dan (2)
Alur Petri Net dari proses pelayanan pasang baru setelah disimulasikan hasilnya adalah
livesness, sehingga bisa dibuat model Aljabar Max Plus dari Petri Net tersebut. Model
Aljabar Max Plusnya setelah disimulasikan adalah:
Notasi a adalah dibuat agar:
Notasi b didefinisikan sebagai
Notasi c didefinisikan sebagai
Notasi d didefinisikan sebagai
Notasi e didefinisikan sebagai
Notasi f didefinisikan sebagai
Notasi g didefinisikan sebagai
Selanjutnya diberikan lama waktu proses (dalam menit) pada tiap tahap ke-1
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 296
menit
menit
menit
menit
menit
menit
Untuk keadaan awal
Didapatkan
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat diperoleh bahwa: menit
menunjukkan lamanya proses pelanggan untuk masuk ke dalam sistem antrian yang ke
1, lamanya proses dari pelanggan sudah masuk sistem antrian sampai pemberitahuan
berkas tidak layak adalah menit, lamanya proses dari
pelanggan sudah masuk sistem antrian sampai pemberitahuan hasil survey lokasi tidak
layak adalah menit, sedangkan untuk proses
pelayanan pasang baru mulai dari pendaftaran sampai dengan pelayanan selesai
membutuhkan waktu menit atau 1 hari lebih 6 jam
Penggunaan Aljabar Max Plus dan Petri Net
ISBN 978-602-1034-06-4 297
30 menit. Misal pendaftaran dimulai hari senin tanggal 20 Oktober 2014 pada pukul
08.00, maka berdasarkan penjadwalan tersebut sistem pelayanan pasang baru instalasi
akan selesai pada hari selasa 21 Oktober 2014 pada pukul 14.30. dengan perhitungan
yang sama dapat dibuat penjadwalan sistem pelayanan pasang baru berikutnya.
E. Simpulan dan Saran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan simulasi serta pembahasan
dari penelitian ini, maka disumpulkan bahwa: diperoleh alur Petri Net untuk
penjadwalan pelayanan pasang baru yang tidak pernah deadlocks dan tetap livesness,
serta diperoleh model Aljabar Max Plus untuk penjadwalan pelayanan pasang baru yaitu
:
Dengan alur Petri Net dan model Aljabar Max Plus tersebut maka dapat dengan
mudah dibuat penjadwalan untuk pelayanan pasang baru di PDAM Tirta Dharma
Kabupaten Nganjuk, sehingga penelitian ini juga dapat dikembangkan ke penelitian lain
seperti penjadwalan pelayanan di kantor PDAM lain karena setiap kantor PDAM
memiliki prosedur pelayanan yang berbeda, penjadwalan pelayanan di kantor instansi
lain, atau pada sistem penjadwalan lainnya.
F. Daftar Pustaka
Adzkiya, D. 2008. Membangun Model Petri Net Lampu Lalu Lintas dan Simulasinya,
Tesis. Program Magister Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Cassandras, C. G. & Lafortune, S. 2008. Introduction to Discrete Event Systems.
Second Edition. New York: Springer Science+Business Media.
PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk. 2013. Prosedur Kegiatan Baku. Nganjuk:
PDAM Tirta Dharma Kabupaten Nganjuk
Subiono. 2013. Aljabar Maxplus dan Terapannya. Version 1.1.1. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Suyanto, Y. H. 2011. Penjadwalan Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Menengah
Atas Katolik (SMAK) St. Louis I Surabaya. Tesis. Program Magister Matematika.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Talehala, M. M. 2010. Model Penjadwalan Kegiatan Pembelajaran Sekolah pada
Kelas Moving dengan Menggunakan Aljabar Max Plus. Tesis. Program Magister
Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Widayanti, D. N. 2013. Perancangan Penjadwalan Sistem Pelayanan dan Kerja
Karyawan Pemasangan Instalasi di PLN menggunakan Aljabar MaxPlus dan Petri
Net. Tesis. Program Magister Matematika. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 298
PEMODELAN MATEMATIKA UNTUK EPIDEMI
CHIKUNGUNYA PADA POPULASI MANUSIA DENGAN NON
SPECIFIC TREATMENT
Muhammad Kharis Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
Gd. D7 Lt. 1 FMIPA Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang
Surel: [email protected]
Abstrak
Demam Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) menyebar melalui
gigitan dari nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Dalam pustaka-pustaka yang ada
disebutkan belum ada vaksin atau pengobatan antivirus khusus yang tersedia untuk demam
chikungunya. Pengobatan yang diterapkan bagi penderita berupa istirahat dan obat-obatan
untuk meredakan gejala sakit demam seperti ibuprofen, naproxen, acetaminophen, atau
parasetamol. Hal ini berarti perawatan yang diberikan bukan merupakan perawatan yang
khusus untuk infeksi chikungunya tetapi lebih menjurus pada perawatan terkait gejala yang
muncul. Melihat fakta bahwa penyakit chikungunya bersifat epidemik, maka sangat
dimungkinkan untuk membentuk model matematika dari kasus chikungunya tersebut.
Dalam artikel ini akan diberikan beberapa teorema terkait kondisi di mana wabah akan
meluas atau hilang. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai suatu kajian untuk
memutuskan bagaimana tindakan yang akan dilakukan untuk menanggulangi wabah
penyakit ini. Dalam artikel ini juga diberikan efektifitas dari tindakan perawatan terkait
parameter-parameter yang diberikan dalam model ini.
Kata Kunci -- titik ekuilibrium, kestabilan titik ekuilibrium
A. Pendahuluan
Demam Chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIK) yang menyebar
melalui gigitan dari nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Mahesh dkk., 2009
dan Kumar dkk., 2010). Demam ini telah mewabah di beberapa daerah di Indonesia
(Laras dkk., 2004), India Selatan (Mahesh dkk., 2009), Malaysia (Lam dkk., 2001),
Italia dan Selandia Baru (Derraik dkk., 2010), Senegal (Pistone dkk., 2009), dan
Singapura (Ng dkk., 2009) serta beberapa Negara di Afrika. Derraik (2010)
menyebutkan virus tersebut nampaknya bermutasi untuk beradaptasi dengan nyamuk
Aedes Albopictus yang menghasilkan peningkatan kemampuan untuk menjangkiti. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sebuah mutasi tunggal dapat meningkatkan dan
memperluas penyebaran penyakit ini. Hal ini berarti penyakit chikungunya bersifat
epidemik, maka sangat dimungkinkan untuk membentuk model matematika dari kasus
chikungunya tersebut. Penelitian ini menjadi penting mengingat kasus chikungunya
masih banyak merebak di Indonesia.
Dalam artikel ini, masalah yang akan dibahas meliputi bentuk model matematika
dari wabah chikungunya dengan perawatan umun. Kemudian dikaji analisa terhadap
model yang dihasilkan untuk menentukan titik ekuilibrium dan kestabilan titik
ekuilibrium dari model matematika tersebut. Selanjutnya diberikan simulasi dengan
nilai-nilai parameter tertentu.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 299
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tinjauan pustaka, laboratorium,
dan Analisis. Sedangkah Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini
meliputi: (a) pengumpulan fakta-fakta terkait penyebaran wabah chikungunya dari
tulisan-tulisan yang relevan, (b) penyusunan asumsi-asumsi sebagai pendukung dan
pelengkap dalam penyusunan model matematikanya, (c) pembentukan model
matematika, (d) analisis terhadap model dimulai dengan mencari titik kesetimbangan
dari model kemudian memeriksa kestabilan titik kesetimbangan tersebut, (e) simulasi
numerik dari hasil-hasil analisis untuk memberikan gambaran geometris dari hasil
analisis tersebut, dan (f) penarikan kesimpulan.
C. Hasil dan Pembahasan
Fakta-fakta yang diperoleh dari beberapa jurnal antara lain (1) Dalam Mahesh
dkk.(2009) dan Kumar dkk.(2010) disebutkan bahwa demam Chikungunya disebabkan
oleh virus chikungunya (CHIKV) yang menyebar melalui gigitan dari nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. (2) Dalam Charrel dkk. (2007), Lalitha dkk. (2007),
Lanciotti dkk. (2007), Powers dan Logue (2007), dan Tsetsarkin dkk. (2006) disebutkan
bahwa transmisi/penularan yang terjadi adalah transmisi Manusia-Nyamuk-Manusia.
Arti dari transmisi tersebut adalah manusia yang rentan dapat terinfeksi oleh virus
CHIK apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi dan nyamuk yang rentan dapat
terinfeksi apabila menggigit manusia yang terinfeksi . (3) Dalam Lalitha dkk. (2007)
dan Ng dkk. (2009) disebutkan bahwa belum ada vaksin dan terapi obat khusus
berlisensi yang tersedia untuk menyembuhkan infeksi virus ini. (4) Penanganannya
virus chikungunya (CHIKV) cukup dengan minum obat penurun panas dan penghilang
rasa sakit. Selain itu yang penting adalah cukup istirahat, minum dan makanan bergizi.
Rasa ngilu pada persendian dapat dihilangkan dengan obat penghilang rasa sakit dan
vitamin untuk penguat daya tahan tubuh. (Kesumawati, 2011) (5)Pengobatan untuk
virus chikungunya hanya dengan pengobatan secara simptomatik yaitu hanya
mengurangi gejalanya saja seperti gejala demam diberi obat penurun panas, gejala nyeri
sendi, seperti paracetomol, mefenemic acid dan lain-lain. Disarankan juga agar
penderita banyak beristirahat dan konsumsi makanan bergizi agar bisa mempercepat
penyembuhan. (Suryaningsih, 2008).
Asumsi-asumsi yang ditambahkan dalam penyusunan model matematika meliputi:
(1) Populasi manusia dan populasi nyamuk dianggap konstan. (2) Laju kelahiran dan
laju kematian diasumsikan sama pada setiap kelas pada masing-masing populasi tetapi
antar kedua populasi berbeda. (3) Setiap manusia yang lahir sehat karena Chikungunya
bukan penyakit turunan. (4) Setiap nyamuk yang menetas sehat. (5) Manusia yang
telah sembuh tidak dapat terinfeksi kembali. (6) Tidak terjadi kematian karena infeksi
virus pada kedua populasi. (7) Nyamuk yang terinfeksi tidak akan pernah sembuh. Ini
dikarenakan umur nyamuk yang pendek.
1. Pembentukan Model Matematika
Dalam pemodelan matematika, pendekatan dilakukan dari model yang sederhana
dulu untuk memberikan gambaran awal terkait tingkah laku penyakit dalam masa waktu
yang tidak terlalu panjang. Dalam penelitian ini, model yang akan dibentuk dan
dianalisa merupakan model awal yang merupakan suatu kajian awal pemodelan terkait
epidemi ini. Biasanya model awal yang merupakan kajian dari suatu epidemi
menggunakan asumsi populasi konstan padahal dalam kenyataan sangat susah mencari
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 300
populasi yang konstan sepanjang waktu. Hal ini dapat terjadi apabila jangka waktu
terjadinya epidemi diasumsikan singkat sehingga memungkinkan kelahiran dan
kematian mempunyai laju yang sama. Hasil kajian ini diharapkan akan menjadi dasar
bagi pengembangan model-model yang lebih kompleks yang lebih dekat dengan
kenyataan. Daftar variabel-variabel dan parameter-parameter yang ada dalam model
matematika diberikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 1. Daftar Variabel-variabel
Simbol Keterangan
Ukuran populasi manusia
Ukuran populasi nyamuk
Ukuran sub populasi nyamuk pada kelas rentan terkena penyakit (Susceptible)
Ukuran sub populasi nyamuk positif menderita penyakit
Ukuran sub populasi manusia pada kelas rentan terkena penyakit (Susceptible)
Ukuran sub populasi manusia positif menderita penyakit
Ukuran sub populasi manusia yang mendapat Treatment
Ukuran sub populasi manusia yang sembuh (kebal) dari penyakit
Tabel 2. Daftar Parameter-parameter
Parameter Keterangan
Peluang terjadi kontak infektif nyamuk yang rentan dengan manusia yang
terinfeksi
Peluang terjadi kontak infektif manusia yang rentan dengan nyamuk yang
terinfeksi
Laju kelahiran dan kematian murni pada populasi nyamuk tiap individu
Laju kelahiran dan kematian murni pada populasi manusia tiap individu
Laju kesembuhan alami manusia tiap individu
Proporsi individu yang dirawat tiap satuan waktu
Laju kesembuhan tiap individu yang dirawat
Nilai-nilai parameter di atas adalah positif (> 0) kecuali q boleh nol.
Diagram transfer merupakan gambaran proses penyebaran/infeksi virus dari
individu-individu yang terlibat dalam epidemi ini. Dalam epidemi ini yang terlibat
adalah manusia dengan nyamuk sebagai vektor perantara penyebaran virus ini.
Diagram ini juga memberikan gambaran perpindahan individu dari kelas satu ke kelas
lainnya. Gambar diagram transfer penyebaran wabah chikungunya dengan strategi
perawatan diberikan pada Gambar 1 di bawah ini.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 301
Gambar 1. Diagram Transfer Penyebaran Wabah Chikungunya
Model matematika yang dibentuk merupakan suatu sistem persamaan diferensial
diberikan di bawah ini.
Nv
2. Analisa Model Matematika
Dari sistem (1) di atas diperoleh bahwa dan . Jadi dapat dituliskan
dan dengan dan merupakan bilangan bulat positif. Karena dan
dan konstan, sitem (1) dapat diskala dengan total populasi dan untuk
menyederhanakan sistem (1) dan memudahkan analisis yang dilakukan. Proporsi
banyaknya individu pada masing-masing kelompok dapat dinyatakan
(1)
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 302
Tulis dan .
Selanjutnya tulis dan dengan
Diperoleh Sistem (2) berikut.
Karena sistem (2) ekivalen dengan sistem (1) maka hasil analisa sistem (2) secara
kualitas sama dengan hasil analisa sistem (1). Proses analisa dari sistem (2)
menghasilkan teorema berikut.
Teorema 1
Dari sistem (2) di atas dan berdasarkan nilai tersebut diperoleh
1. Jika maka sistem (2) hanya mempunyai 1 titik ekuilibrium yaitu titik
ekuilibrium bebas penyakit
2. Jika maka sistem (2) mempunyai 2 titik ekuilibrium yaitu titik ekuilibrium
bebas penyakit dan titik ekuilibrium tidak
bebas penyakit dengan
(2)
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 303
Bukti:
Titik ekuilibrium dapat di tentukan dengan membuat , , , , pada
sistem (2) menjadi nol. Dengan membuat nol nilai-nilai tersebut diperoleh Sistem (3)
berikut.
Pada sistem (2) di atas, diperoleh
Diperoleh juga nilai
Substitusi ke diperoleh
Dari persamaan ke 3 sistem (3) diperoleh
Substitusikan persamaan 5 ke persamaan 6, diperoleh
Dari persamaan ke 6 dan ke 7 Sistem (3), diperoleh
Substitusikan persamaan 4 ke persamaan ke 4 sistem (3), diperoleh
Jadi diperoleh atau .
Kasus :
Diperoleh , dan
Jadi saat diperoleh titik ekuilibrium
Eksistensi titik tanpa syarat sehingga ada untuk setiap nilai .
(3)
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 304
Kasus :
Jelas
Substitusikan persamaan 3 dan 6 ke persamaan 8, diperoleh
Substitusikan persamaan 5 ke persamaan 9, diperoleh
Karena nilai maka . Hal ini berakibat semuanya
positif.
Jadi diperoleh titik kesetimbangan endemik .
Setelah diperoleh titik-titik ekuilibrium dari sistem (2) langkah selanjutnya
dianalisa kestabilan dari titik-titik tersebut. Kestabilan titik ekuilibrium dari sistem (2)
diberikan pada teorema 2 di bawah ini.
Teorema 2
Dari sistem (2) di atas dan berdasarkan nilai tersebut diperoleh
1. Jika maka titik ekuilibrium bebas penyakit stabil asimtotik lokal.
2. Jika maka titik ekuilibrium bebas penyakit tidak stabil dan titik
ekuilibrium stabil asimtotik lokal.
Bukti:
Untuk menganalisa kestabilan digunakan matriks jacobian dari sistem (2) yang
diberikan sebagai berikut.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 305
0 0
0 0
0
0 0
0
0 0 0
0
0 0
0 0 0 q
0
0 0 0
dengan .
a. Untuk titik kesetimbangan bebas penyakit .
Persamaan karakteristik dari matriks adalah
dengan
Ketiga persamaan pertama memberikan nilai eigen
Persamaan terakhir memberikan nilai eigen dan yaitu
Jelas , saat dan saat .
Jelas mempunyai bagian real negatif untuk semua kondisi .
Jelas . .
Jelas , saat dan saat . Hal ini berakibat
saat dan saat . Dengan kata lain
saat dan saat . Jadi saat
dan saat . Jadi
untuk setiap kondisi , sedangkan nilai apabila dan saat
. Jadi titik stabil asimtotik lokal saat dan tidak stabil saat .
b. Untuk titik kesetimbangan tidak bebas penyakit .
Persamaan karakteristik dari matriks jacobian adalah
.
dengan ,
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 306
Dari , diperoleh , dan
. Jelas ketiga nilai eigen tersebut negatif karena semua parameter
bernilai positif. Ditunjukkan persamaan mempunyai akar-
akar dengan bagian real negatif. Untuk menunjukkannya digunakan kriteria Ruth
Hurwizt yaitu dengan menunjukkan ,
Jelas .
.
Jadi
Jelas
Jadi .
Jelas
Jadi .
Jadi berdasarkan kriteria Routh Hurwitz untuk polinom pangkat 3 diperoleh simpulan
bahwa mempunyai akar-akar dengan bagian real negatif.
Jadi semua nilai eigen dari matriks jacobian mempunyai bagian real negatif. Jadi
titik kesetimbangan stabil asimtotik lokal.
3. Simulasi Model Matematika
Simulasi dilakukan dengan memberikan nilai-nilai untuk masing-masing parameter
sesuai dengan kondisi dengan teorema yang telah diberikan di atas. Nilai-nilai
parameter yang diberikan merupakan nilai-nilai yang diasumsikan. Dalam model ini
diasumsikan populasi tetap (konstan), hal ini memberikan dampak pada pemilihan nilai
parameter yang mungkin tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Nilai parameter yang
dimaksud adalah nilai laju kelahiran dan laju kematian tiap individu yang dianggap
sama padahal kenyataannya adalah berbeda. Dalam analisa muncul parameter yang
menyatakan perbandingan jumlah populasi nyamuk dengan jumlah populasi manusia.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 307
Nilai artinya rata-rata ada 1 bayi yang lahir dan ada 1 orang yang meninggal
tiap 100 hari, arti dari menyesuaikan, nilai artinya rata-rata ada 5 nyamuk
rentan yang menjadi terinfeksi apabila ada 10 nyamuk rentan yang menggigit manusia
yang terinfeksi arti menyesuaikan, nilai artinya rata-rata 4 orang terinfeksi
yang sembuh tiap 10 hari, artinya ada sebanyak 60% orang yang terinfeksi
yang dirawat setiap hari, dan arti mirip dengan .
Simulasi untuk .
Nilai-nilai parameter untuk simulasi saat diberikan dalam Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Nilai-nilai parameter untuk
Parameter Nilai Parameter Nilai
0.5
0.4
0.4
0.6
0.6
0.8
0.01 k 2
Dari Tabel 3 diperoleh nilai . Titik ekuilibrium
. Berikut disajikan grafik-grafik dari nilai
.
(a) Proporsi nyamuk yang rentan saat untuk
(b) Proporsi nyamuk yang terinfeksi saat
untuk
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 308
(c) Proporsi manusia yang rentan saat untuk (d) Proporsi manusia yang terinfeksi saat
untuk
(e) Proporsi manusia yang dirawat saat untuk (f) Proporsi manusia yang sembuh saat
untuk
Gambar 2. Simulasi untuk
Dari Gambar 2(b) dan 2(d) terlihat bahwa nilai dan menuju ke 0
sepanjang bertambahnya artinya dan . Hal ini berarti
seiring bertambahnya waktu, jumlah nyamuk dan manusia yang terinfeksi semakin
berkurang berakibat wabah juga menghilang. Dari gambar 2(e) terlihat bahwa nilai
menuju ke 0 sepanjang bertambahnya artinya . Hal ini berarti
seiring bertambahnya waktu, jumlah manusia yang dirawat semakin berkurang karena
jumlah manusia yang sakit semakin berkurang. Dari gambar 2 terlihat bahwa
. Dengan kata lain titik stabil asimtotik lokal.
Simulasi untuk
Nilai-nilai parameter untuk simulasi saat diberikan dalam Tabel 4 berikut.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 309
Tabel 4. Nilai-nilai parameter untuk
Parameter Nilai Parameter Nilai
0.8
0.4
0.7
0.6
0.6
0.8
0.01 k 2
Dari Tabel 4 diperoleh nilai . Pada teorema 1 disebutkan bahwa
saat sistem (2) hanya mempunyai 2 titik ekuilibrium
dan .
Berdasarkan nilai-nilai parameter pada tabel 4, diperoleh nilai , ,
dan Pada teorema 2 disebutkan
bahwa tidak stabil dan asimtotik lokal. Berikut grafik-grafik dari nilai
untuk kasus .
(a) Proporsi nyamuk yang rentan saat untuk
(b) Proporsi nyamuk yang terinfeksi
saat untuk
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 310
(c) Proporsi manusia yang rentan saat untuk (d) Proporsi manusia yang terinfeksi
saat untuk
(e) Proporsi manusia yang dirawat saat untuk (f) Proporsi manusia yang sembuh
saat untuk
Gambar 3. Simulasi untuk
Dari Gambar 3(b) dan 3(d) terlihat bahwa nilai menuju ke dan menuju
ke sepanjang bertambahnya . Dengan kata lain dan
Hal ini berarti seiring bertambahnya waktu, jumlah nyamuk dan
manusia yang terinfeksi tetap ada yang memungkinkan wabah penyakit dapat meluas.
Dari Gambar 3 terlihat bahwa . Dengan kata lain titik
stabil asimtotik lokal.
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 311
Perubahan nilai parameter terkait perubahan nilai .
Tabel 5. Nilai parameter penentuan nilai
Parameter Nilai Parameter Nilai
0.5
0.4
0.4
0.6
0.8
0.01 k 2
Dari Tabel 5, jika nilai maka wabah tidak akan meluas artinya minimal ada
43% yang dirawat dari jumlah manusia yang sakit.
Tabel 6. Nilai parameter penentuan nilai
Parameter Nilai Parameter Nilai
0.8 s.d 1
0.4
0.6
0.6
0.8
0.01 k 2
Dari tabel di atas nilai maksimum sehingga wabah tidak meluas adalah 0.2 artinya
apabila saat terjadi wabah rata-rata ada lebih dari 2 orang tiap 10 orang yang tergigit
nyamuk menjadi sakit maka wabah akan meluas.
D. Simpulan dan saran
Simpulan yang diperoleh meliputi (1) model matematika wabah chikungunya
dengan strategi perawatan pada manusia yang terinfeksi sebagai berikut.
Nv
(1)
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 312
Sistem tersebut ekuivalen dengan Sistem (2) di bawah ini.
dengan , dan dengan
(2) Dari analisa model matematika yang dalam hal ini sistem persamaan yang
dianalisa adalah sistem (2) diperoleh teorema terkait eksistensi dan kestabilan titik
ekuilibrium sistem (2) dengan nilai . (3) Simulasi yang diberikan
juga memberikan hasil yang sama dengan hasil analisa. (4) Jika diberikan nilai
parameter seperti dalam tabel 5 dan nilai maka wabah tidak akan meluas
artinya minimal ada 43% yang dirawat dari jumlah keseluruhan manusia yang sakit
apabila ingin wabah chikungunya hilang. (4) Jika diberikan nilai parameter seperti
dalam Tabel 6 dan nilai maka wabah tidak meluas artinya apabila saat terjadi
wabah rata-rata ada lebih dari 2 orang tiap 10 orang yang tergigit nyamuk menjadi sakit
maka wabah akan meluas.
Saran yang diberikan adalah adanya penelitian lanjutan yang meliputi penelitian
tentang pemodelan matematika untuk melihat efektifitas treatment (pengobatan) pada
orang yang terinfeksi virus chikungunya untuk populasi tak konstan, penelitian tentang
pemodelan matematika untuk melihat kecepatan infeksi virus chikungunya terkait umur
manusia yang rentan, dan penelitian tentang pemodelan matematika untuk melihat
kecepatan infeksi virus chikungunya terkait letak geografis.
E. Daftar Pustaka
Charrel, R.N., de Lamballerie, X., dan Raoult, D., 2007,” Chikungunya Outbreaks The
Globalization of Vectorborne Diseases”, The New England Journal of Medicine
(N ENGL J MED) 356;8 : 769 – 771.
Derraik, J.G.B., Slaney, D., Nye, E.R., dan Weinstein, P., 2010, “Chikungunya Virus: A
Novel and Potentially Serious Threat to New Zealand and the South Pacific
Islands”, Am. J. Trop. Med. Hyg. Vol. 83(4) : 755 – 759.
Kumar, N.CVM., Nadimpalli, M., Vardhan, V.R., dan Gopal, S.DVR.,2010,
“Association of ABO blood groups with Chikungunya virus”, Virology Journal 7
: 140.
(2)
Pemodelan Matematika Untuk Epidemi Chikungunya
ISBN 978-602-1034-06-4 313
Lalitha, P., Rathinam, S., Banushree, K., Maheshkumar, S., Vijayakumar, R., dan Sathe,
P.,2007, “Ocular Involvement Associated With an Epidemic Outbreak of
Chikungunya Virus Infection”, American Journal of Ophthalmology Vol. 144 :
552-556
Lam, SK., Chua, KB., Hooi, PS., Rahimah, MS., Kumari, S., Tharmaratnam, M.,
Chuah, SK., Smith, DW., dan Sampson, IA., 2001, “Chikungunya Infection An
Emerging Disease in Malaysia”, Southeast Asian J Trop Med Public Health
Vol. 32 No. 3 : 447-451.
Lanciotti, R.S., Kosoy, O.L., Laven, J.J., Panella, A.J., Velez, J.O., Lambert, A.J., dan
Campbell, G.L., 2007, “Chikungunya Virus in US Travelers Returning from
India, 2006”, Emerging Infectious Diseases Vol. 13, No. 5 : 764 – 767.
Laras, K., Sukri, N.C, Larasati, R.P., Bangs, M.J., Kosim, R., Wandra, T., Mastere, J.,
Kosasih, H., Hartati, S., Beckett, C., Sedyaningsih, E.R., Beecham III, H.J., dan
Corwin, A.L., 2004, “Tracking the re-emergence of epidemic chikungunya virus
in Indonesia”, the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene Vol. 99: 128 –
141.
Mahesh, G., Giridhar, A., Shedbele, A., Kumar, R., dan Saikumar, R.J., 2009, “A case
of bilateral presumed chikungunya neuroretinitis”, Indian J Ophthalmol Vol 57 :
148 – 150.
Ng, LC., Tan, LK., Tan, CH., Tan, S.S.Y., Hapuarachchi, H.C., Pok, KY., Lai, YL.,
Lam-Phua, SG., Lin, R.T.P., Leo, YS., Tan, BH>, Han, HK., Ooi, PL.S., James,
L., dan Khoo, SP., 2009, “Entomologic and Virologic Investigation of
Chikungunya, Singapore”, Emerging Infectious Diseases Vol. 15 No. 8 : 1243 –
1249.
Pistone, T., Ezzedine, K., Boisvert, M., Receveur, MC., Schuffenecker, I., Zeller, H.,
Lafon, ME., Fleury, H., dan Malvy, D., 2009, “Cluster of Chikungunya Virus
Infection in Travelers Returning From Senegal, 2006”, Journal of Travel
Medicine Vol. 16 (Issue 4) : 286 – 288.
Powers, A.M., dan Logue, C.H., 2007, “Changing patterns of chikungunya virus: re-
emergence of a zoonotic arbovirus”, Journal of General Virology Vol. 88 : 2363 –
2377.
Tsetsarkin, K., Higgs, S., Mcgee, C.E., de Lamballerie, X., Charrel, R.N.,
Vanlandingham, D.L., 2006, “Infectious Clones of Chikungunya Virus (La
Réunion Isolate) for Vector Competence Studies”, VECTOR-BORNE AND
ZOONOTIC DISEASES Vol. 6 No. 4 : 325 – 337.
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 314
MODEL GSTAR TERMODIFIKASI UNTUK MENENTUKAN
PRODUKSI OPTIMAL JAGUNG DI KABUPATEN BOYOLALI
Priska Dwi Apriyanti1)
, Hanna Arini Parhusip2)
, Lilik Linawati3)
1)2)3)Progdi Matematika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro No. 52-60, Salatiga
Surel: 1)[email protected] 2)[email protected]
Abstrak
Model peramalan dengan data yang mengandung keterkaitan dengan data sebelumnya
dan lokasi sekitar adalah model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR).
Sebagai contoh model model GSTAR untuk data produksi jagung di lokasi A
bergantung pada produksi jagung dari lokasi lain. Untuk kepentingan optimasi
diperlukan modifikasi model GSTAR, yaitu data produksi jagung di lokasi A dipandang
bergantung juga pada faktor penting pertumbuhan jagung, yaitu curah hujan dan luas
lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di lokasi A. Dalam penelitian ini
akan diterapkan model GSTAR standard dan GSTAR Termodifikasi untuk data
produksi jagung dengan bobot lokasi seragam dan invers jarak berdasarkan data dari
BPS Kabupaten Boyolali tahun 2008 s/d 2012. Pada penelitian ini dibatasi sebanyak 3
lokasi, yaitu Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk. Berdasarkan model GSTAR
Termodifikasi diperoleh hasil produksi jagung optimal selama 5 tahun, yaitu di
Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk berturut-turut sebesar 23.501,31 ton, 15.935,47
ton, dan 16.551,27 ton. Sedangkan data minimum dan maksimum berturut-turut adalah
[12.574;42777], [9.001;13.518], dan [14.926;17.037]. Hasil optimasi menunjukkan
bahwa hasil optimal untuk Ampel dan Musuk berada pada selang data asli, sedangkan
hasil optimasi Cepogo tidak pada interval data. Dengan kata lain, hasil penelitian dapat
mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh selama 5 tahun untuk Ampel, dan
Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih dianalisis lebih lanjut. Hasil analisa
untuk menguji keoptimalan solusi menunjukkan bahwa pengoptimal terbaik diperoleh
dari metode program linier, sedangkan di Kecamatan Ampel dan Cepogo terdapat lebih
dari 1 pengoptimal yang disebut sebagai pengoptimal lokal.
Kata Kunci – GSTAR, bobot lokasi, program linier, optimasi
A. Pendahuluan
Berdasarkan analisa peta lahan kritis wilayah BPDAS Pemali Jratun tahun 2009,
dengan prosentase lahan kritis terluas (proporsi lahan kritis dibandingkan luas wilayah
administratif) adalah Kabupaten Boyolali, yaitu sebesar 39,49%, atau seluas 43.241 ha.
Terjadinya lahan kritis di Kabupaten Boyolali disebabkan oleh aktivitas manusia yang
berupa illegal logging dan pengelolaan lahan dengan budidaya tanaman semusim yang
tidak tepat (Nugroho,2011).
Luas lahan kritis di Kabupaten Boyolali tersebut dapat digunakan untuk
mengevaluasi produktivitas lahan penghasil jagung dengan menentukan faktor lain yang
berpengaruh dalam produksi jagung, contohnya curah hujan karena curah hujan
mempengaruhi produksi pertanian secara umum, khususnya untuk ladang jagung.
Dipilih komoditas jagung karena menurut Buku Putih Sanitasi Boyolali, jagung jenis
hibrida merupakan produk andalan dengan produksi sebesar 96.982 ton/th. Jagung
hibrida dapat tumbuh optimal dengan curah hujan berada pada interval 85-200 mm.
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 315
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai data yang tidak hanya
mengandung keterkaitan dengan data pada waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai
keterkaitan dengan lokasi. Untuk memperoleh model peramalan dengan data demikian
dapat digunakan model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR) (Suhartono,
2006). Model GSTAR Standard akan diterapkan untuk meramalkan data produksi
jagung di Kabupaten Boyolali, kemudian dievaluasi apakah model tersebut cocok
sebagai model peramalan. Selain model GSTAR standard disusun pula model GSTAR
Termodifikasi yang menunjukkan keterkaitan antara produksi jagung dengan luas lahan
dan curah hujan. Hasil model GSTAR standard dan hasil model GSTAR Termodifikasi
akan dibandingkan sehingga diperoleh model terbaik yang akan digunakan untuk
menentukan produksi jagung yang optimal dalam kurun waktu tertentu.
B. Tinjauan Pustaka
Pada GSTAR standard beberapa asumsi perlu dipenuhi untuk dapat memperoleh
model yang tepat, misalnya data harus stasioner dalam variansi dan rata-rata
(Borovkova, dkk, 2002). Transformasi Box-Cox dan trend analysis diperlukan untuk
menguji kestasioneran data dalam variansi dan rata-rata. Asumsi lain yang perlu
dipenuhi adalah residual harus white noise yang dapat dideteksi dengan Uji L-jung Box
Pierce setelah model GSTAR standard diperoleh. Apabila asumsi stasioneritas data
telah dipenuhi maka dapat dilanjutkan ke penyusunan model GSTAR standard dan
estimasi parameter dengan metode kuadrat terkecil. Hasil estimasi parameter diuji
signifikansinya dengan menggunakan uji-t yang menghasilkan parameter-parameter
signifikan. Proses pemenuhan asumsi hingga estimasi parameter tersebut juga
diterapkan untuk model GSTAR termodifikasi sehingga diperoleh hasil GSTAR
standard dan hasil GSTAR termodifikasi yang kemudian dibandingkan. Model terbaik
akan dijadikan fungsi tujuan yang diselesaikan dengan metode program linier.
1. Uji Stasioneritas
Dalam analisa data time series NttX
,...,1diperlukan asumsi stasioneritas dalam
variansi )( 2
tXE dan rata-rata )( tXE dimana nilai variansi (σ2) dan rata-rata (μ) tidak
berubah (konstan) untuk semua waktu, secara matematis dituliskan pada persamaan (1).
22 )(
)(
t
t
XE
XE
Menurut Wei (2006:80) stasioneritas dalam variansi dan stasioneritas dalam rata-
rata dapat dijelaskan sebagai berikut
a. Stasioneritas dalam variansi
Suatu data time series dikatakan stasioner dalam variansi apabila struktur data dari
waktu ke waktu mempunyai fluktuasi data yang tetap atau konstan. Stasioneritas dalam
variansi dapat dilihat dari estimasi lambda yang dihasilkan oleh transformasi Box Cox
pada persamaan (2). Jika estimasi lambda mendekati 1 maka data dikatakan stasioner
dalam variansi, jika estimasi lambda tidak mendekati 1 maka perlu dilakukan
transformasi Box-Cox pada data agar data stasioner dalam variansi.
ni
Y
Y
W
i
i
i ,...,2,1,
0),ln(
0,1
(2)
dengan,
Wi = data ke-i hasil transformasi
untuk semua t (1)
untuk semua t
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 316
Yi = data ke-i yang akan ditransformasi
λ = parameter Box-Cox
b. Stasioneritas dalam rata-rata
Stasioneritas dalam rata-rata ditunjukkan dengan plot data trend analysis yang
menggambarkan fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak
tergantung pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut. Dilihat dari hasil trend
analysis, data dikatakan stasioner jika trend linear mendekati sejajar dengan sumbu
horizontal, namun jika tidak sejajar dengan sumbu horizontal maka perlu dilakukan
differencing pada data.
2. Pengujian Residual White Noise
Residual white noise adalah residual mengikuti distribusi identik independen (iid)
yang dapat dideteksi menggunakan uji autokorelasi residual pada analisis error-nya. Uji
korelasi residual digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya korelasi residual antar lag.
Langkah-langkah pengujian korelasi residual, yaitu :
Ho : 0...321 K
Ha : Kkk ,...,2,1,0
dengan k adalah koefisien autokorelasi residual periode k. Statistik uji yaitu Ljung
Box Pierce dengan taraf signifikansi sebesar 5%. Rumus uji Ljung Box-Pierce
(Wei,2006:153) didefinisikan pada persamaan (3).
K
k
k
KkT
TTQ1
2ˆ)2(
(3)
dengan,
KQ : statistik uji Ljung Box-Pierce
T : banyaknya data
K : banyaknya periode yang diuji
k : dugaan autokorelasi residual periode k
Kriteria keputusan yaitu tolak Ho jika KQ > 2
),,( fda tabel, artinya residual tidak
white noise atau memiliki korelasi antar lag.
3. Model GSTAR Standard
Model Generalized Space Time Auto Regressive (GSTAR) pertama kali
diperkenalkan oleh Borovkova, Lopuhaa, dan Ruchjana (2002) sebagai generalisasi dari
model Space Time Autoregressive (STAR). Perbedaan yang cukup mendasar antara
GSTAR dan STAR terletak pada asumsi karakteristik lokasi. Pada model STAR
penyusunan model terbatas pada variabel dengan karakteristik lokasi yang seragam
(homogen), sedangkan model GSTAR penyusunan model dapat dilakukan apabila
memiliki karakteristik lokasi yang beranekaragam (heterogen). Menurut Borovkova,dkk
(2002) model GSTAR dapat dituliskan pada persamaan (4).
p
k
kk tektZWtZ1
10 )()()()( (4)
dengan
Z(t) = variabel pengganti data pada waktu t
p = orde spasial
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 317
)())()(()1()( 113112111101 tetRWtYWtZtZ
)())()(()1()( 223221212202 tetRWtYWtZtZ
)())()(()1()( 332331313303 tetRWtYWtZtZ
0k = diag ),...,( 0
1
0
n
kk dan 1k = diag ),...,( 1
1
1
N
kk merupakan parameter model
W = bobot (weigth) yang dipilih untuk memenuhi 0iiw dan 11
j ijw
Matriks model GSTAR untuk penggunakan 3 lokasi yang berbeda pada orde waktu
dan orde spasial 1 disajikan pada persamaan (5) (Faizah & Setiawan, 2013).
)(
)(
)(
)1(
)1(
)1(
0
0
0
00
00
00
)1(
)1(
)1(
00
00
00
)(
)(
)(
3
2
1
3
2
1
3231
2321
1312
31
21
11
3
2
1
30
20
10
3
2
1
te
te
te
tZ
tZ
tZ
ww
ww
ww
tZ
tZ
tZ
tZ
tZ
tZ
(5)
Bobot lokasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah bobot lokasi seragam dan
invers jarak. Penentuan nilai bobot untuk bobot lokasi seragam iij nw 1 dengan in
merupakan banyaknya lokasi yang berdekatan dengan lokasi ke-i, sedangkan bobot
lokasi invers jarak dihitung menggunakan jarak sebenarnya antar lokasi. Untuk contoh
kasus pada Gambar 1, perhitungan bobot untuk jarak dari lokasi A ke lokasi B dengan
metode invers jarak adalah
3
11* AB
ABd
W , 1
11* AC
ACd
W
4
1
13
13
1
**
*
ACAB
AB
ABWW
WW
4
3
311
1**
*
ABAC
AC
ACWW
WW
4. GSTAR Termodifikasi
GSTAR termodifikasi adalah modifikasi GSTAR standard, modifikasi dilakukan
dengan mengganti variasi lokasi pada GSTAR standard dengan variasi faktor produksi.
GSTAR termodifikasi ini telah digunakan untuk mengetahui banyaknya produksi padi
optimal yang bergantung pada curah hujan dan proporsi luas lahan panen dibandingkan
luas lahan kritis di tiap lokasi (Parhusip, 2014). Pada penelitian tersebut menghasilkan
model GSTAR Termodifikasi dimana bobot lokasi merupakan parameter regresi klasik,
sedangkan penelitian pada makalah ini bobot lokasi tetap sama dengan GSTAR
standard namun karakteristik lokasi diganti dengan variasi faktor produksi, yaitu curah
hujan dan proporsi luas lahan panen dibandingkan luas lahan kritis. Dalam GSTAR
standard jumlah produksi jagung di lokasi i (i=1,2,3) pada waktu t bergantung pada
jumlah produksi jagung di lokasi yang sama pada waktu sebelumnya (t-1) dan lokasi
lain pada waktu t-1, sedangkan GSTAR termodifikasi ketergantungan pada lokasi lain
tersebut diganti dengan variasi faktor produksi yaitu curah hujan dan proporsi luas lahan
panen dibandingkan luas lahan kritis di tiap lokasi. Berdasarkan persamaan matriks (5)
modifikasi dilakukan dengan melakukan penggantian variabel Zi(t-1) menjadi proporsi
luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis (Yi(t)) dan curah hujan (Ri(t)),
sehingga diperoleh persamaan yang baru yaitu seperti pada persamaan (6), (7), dan (8).
(6) (6)
(7)
(8)
A
B
C
2
3
1
Gambar 1. Contoh peta lokasi
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 318
dengan parameter yang diestimasi adalah )'( 312111302010
.
Parameter tersebut diestimasi dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang
dibahas pada subbab selanjutnya.
Penaksiran Parameter dan Uji Signifikansi Parameter pada Model GSTAR
Estimasi parameter model GSTAR yaitu )'( 312111302010
dapat diselesaikan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang diformulasikan
pada persamaan (9).
YXXX ''1
(9)
dengan struktur data untuk estimasi parameter model GSTAR(11) di 3 lokasi dijabarkan
pada persamaan matriks (10) (Faizah & Setiawan,2013).
te
te
te
tFtZ
tFtZ
tFtZ
tZ
tZ
tZ
3
2
1
31
21
11
30
20
10
3
22
11
3
2
1
)1(300)1(00
0)1(00)1(0
00)1(00)1(
)(
)(
)(
(10)
Parameter yang diperoleh tersebut diuji signifikansinya dengan Uji-t. Langkah-
langkah pengujian parameter, yaitu
Ho : 0ki , k = 1,2,3 dan i = 0,1
Ha : 0ki , k = 1,2,3 dan i = 0,1
Statistik uji :
)( ki
ki
hitungS
t
, dimana ki adalah parameter dan )( kiS adalah standar error
parameter. Kriteria pengujian dengan α = 5% adalah tolak Ho jika |thitung| > ttabel , artinya
parameter signifikan.
5. Metode Program Linier
Program linier adalah model yang tersusun dari variabel-variabel keputusan yang
membentuk fungsi tujuan dan fungsi kendala (Taylor, 2008). Program linier dapat
menyelesaikan model fungsi tujuan (memaksimalkan atau meminimalkan) yang
berhubungan secara linier, sebagai contoh model yang terbentuk dari GSTAR
Termodifikasi. Model GSTAR Termodifikasi akan dijadikan fungsi tujuan yang
memaksimalkan produksi jagung di tiap lokasi dalam kurun waktu tertentu. Fungsi
tujuan permasalahan program linier secara umum dituliskan pada persamaan (11)
dengan kendala pada persamaan (12).
Maks atau Min :
N
i ii XcZ1
untuk i = 1,2,3,…,N (11)
N
i iii bXa1
atau ≥ bi atau = bi dan 0jX (12)
dengan
Z = Fungsi tujuan
Xi = Variabel keputusan i
ci = Koefisien dari variabel keputusan ke-i
ai = Koefisien dari variabel keputusan dalam kendala ke-i
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 319
bi = Sumber daya yang tersedia dalam kendala ke-i
Untuk menguji keoptimalan solusi program linier, analisa dilakukan dengan
menggeser posisi optimal sebesar ±ΔX, ±ΔY, dan ±ΔR, dimana ΔX, ΔY, dan ΔR dipilih
berturut sebagai standard deviasi dari produksi jagung dalam kurun 4 tahun (X), luas
lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis (Y), dan curah hujan (R). Artinya
analisa dilakukan dengan membuat daerah kelayakan yang cukup kecil di sekitar
Tryxz ****
, dengan x*, y
*, dan r
* , berturut adalah solusi optimal variabel
keputusan yang diperoleh dari metode program linier. Sebut persekitaran dari *z
adalah
TTTRryxrYyxryXxx ********** ,,)(
(13)
persekitaran tersebut digunakan untuk menguji keoptimalan nilai fungsi. Jika hasil yang
diperoleh di persekitarannya lebih kecil dari hasil yang diperoleh dengan metode
program linier maka pengoptimal dapat dikatakan pengoptimal global. Jika tidak maka
disebut pengoptimal lokal.
C. Metode Penelitian
Adapun langkah-langkah penelitian yang digunakan yaitu :
1. Identifikasi data awal
Data awal dalam penelitian ini adalah data produksi jagung, curah hujan, luas lahan
panen jagung, dan luas lahan kritis yang diperoleh dari BPS Kabupaten Boyolali berupa
data tahunan dari tahun 2008 s/d 2012. Berdasarkan data BPS dengan n = 5
dibangkitkan himpunan data dengan n = 100 untuk keperluan pembuatan model dengan
asumsi data tersebut merupakan variasi data masing-masing variabel sepanjang 2008 s/d
2012. Dari data yang telah dibangkitkan tersebut ditentukan statistika deskriptif, seperti
disajikan pada Tabel 1 untuk lokasi Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk.
Tabel 1. Statistika deskriptif data lahan kritis, curah hujan, dan produksi jagung di Kecamatan
Ampel, Cepogo, dan Musuk
Lokasi Variabel N Mean Min Maks Stdev
Ampel
Produksi Jagung (ton) 100 20171 1430 41789 7483,3
Luas Lahan Panen (ha) 100 6822,5 6737,5 6915,6 35,35
Luas Lahan Kritis (ha) 100 2639 1724,1 3872 433,3
Curah Hujan (mm) 100 246,32 0,15 666,7 178,1
Cepogo
Produksi Jagung (ton) 100 31091 15957 45647 5159
Luas Lahan Panen (ha) 100 2332,1 2270,7 2388,7 20,36
Luas Lahan Kritis (ha) 100 1382,1 900,6 1959,9 244
Curah Hujan (mm) 100 226,97 0,01 1014,9 196,3
Musuk
Produksi Jagung (ton) 100 7720 6776 8935 388,3
Luas Lahan Panen (ha) 100 3414,6 3393,2 3436,2 7,31
Luas Lahan Kritis (ha) 100 5066,6 823,5 8032,6 1574,7
Curah Hujan (mm) 100 226,99 0,0003 795 215,82
2. Menentukan 3 kecamatan sebagai 3 lokasi dalam model GSTAR, yaitu Kecamatan
Ampel, Cepogo, dan Musuk.
3. Uji Stasioner data yang merupakan syarat umum pemodelan time series
Sebelum berlanjut ke proses pembentukan model, perlu dilakukan uji stasioneritas
data dalam variansi dan rata-rata sebagai syarat umum pemodelan time series. Untuk
menguji apakah data sudah stasioner dalam variansi digunakan transformasi Box-Cox
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 320
menggunakan persamaan (2). Nilai estimasi lambda untuk setiap variabel disajikan pada
Tabel 2. Tabel 2. Nilai estimasi lambda untuk setiap variabel
Lokasi
Data Ampel Cepogo Musuk
Produksi Jagung 0,95 1,12 0,91
Luas Lahan Panen -0,28 -0,60 -1,27
Luas Lahan Kritis 0,30 0,66 1,26
Curah Hujan 0,49 0,39 0,41
Dari Tabel 2 diketahui bahwa nilai estimasi lambda bervariasi dari -1,27 s/d 1,26.
Dalam kasus ini data yang akan ditransformasi tidak hanya data dengan nilai estimasi
lambda kurang dari 1 tetapi setiap variabel dengan harapan model menjadi semakin
bagus. Setelah data distasionerkan dalam variansi, maka dapat dilanjutkan ke uji
stasioner dalam rata-rata dengan trend analysis. Dari plot data trend analysis diperoleh
bahwa trend mendekati sejajar dengan sumbu horizontal sehingga tidak perlu dilakukan
differencing untuk semua variabel. Plot data trend analysis dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Plot data trend analysis untuk data produksi jagung (baris ke-1), luas lahan (bariske-2)
dan curah hujan (baris ke-3) di Kecamatan Ampel (kolom ke-1), Cepogo (kolom ke-2), dan Musuk
(kolom ke-3).
4. Melakukan transformasi data :
i. Stasioneritas data menggunakan persamaan (2) jika data tidak stasioner dalam
variansi dan differencing jika data tidak stasioner dalam rata-rata
ii. Mengubah data berdimensi menjadi tak berdimensi
3,2,1,ˆ kZ
ZZ
k
k
k
(14)
dimana : kZ = variabel ke-k tanpa dimensi
kZ = variabel ke-k berdimensi
kZ = rata-rata variabel ke-k
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 321
5. Menyusun model GSTAR standard dan menyelesaikan
6. Menyusun model GSTAR termodifikasi dan menyelesaikan
7. Membandingkan hasil model GSTAR standard dan hasil model GSTAR
termodifikasi, kemudian dipilih hasil terbaik
8. Menganalisis data untuk menentukan hasil produksi jagung optimal di tiap
kecamatan berdasarkan data jagung tahun 2008 s/d 2012, dengan metode program
linier.
a. Diselesaikan menggunakan fungsi linprog() pada Matlab R2009a
b. Menyelidiki keoptimalan nilai fungsi tujuan berdasarkan data asli dengan cara
menyatakan data hasil optimasi dalam data yang berdimensi menggunakan
persamaan (2)
D. Hasil dan Pembahasan
1. GSTAR Standard
Dengan data produksi jagung yang telah stasioner dalam variansi dan rata-rata akan
dilakukan penyusunan model GSTAR standard bobot lokasi seragam dan invers jarak.
Bobot lokasi seragam dan invers jarak berturut-turut dituliskan sebagai berikut
05,05,0
5,005,0
5,05,00
w dan
06429,03571,0
6970,003030,0
5610,04390,00
w .
Sebelum melakukan estimasi parameter, data dihilangkan dimensinya
menggunakan rumus pada persamaan (10). Dimensi dari data dihilangkan untuk
keperluan optimasi yang akan dilakukan pada bagian selanjutnya dalam penelitian ini.
Hasil estimasi parameter model GSTAR standard untuk data produksi jagung dan hasil
uji statistik parameter dituliskan pada Tabel 3. Tabel 3. Estimasi parameter model GSTAR standard untuk data produksi jagung
Para
meter
Hasil estimasi dengan bobot lokasi ttabel Kesimpulan
Seragam thit Invers Jarak thit
10 0,1376 0,8579 0,1379 0,8753 1,98 Tidak signifikan
20 0,7058 2,3169 0,3228 0,8803 1,98 Tidak signifikan
30 1,0805 4,4902 1,0802 3,9484 1,98 Signifikan
11 0,8608 5,0501 0,8616 5,1418 1,98 Signifikan
21 0,2759 0,9125 0,6654 1,8083 1,98 Tidak signifikan
31 -0,0809 0,3457 -0,0807 0,3014 1,98 Tidak signifikan
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa parameter 10 dan 20 tidak signifikan karena
nilai thit < ttabel, sehingga parameter tersebut dapat dihilangkan pada model. Hal ini
menunjukkan bahwa produksi jagung di Kecamatan Ampel dan Cepogo pada waktu t
tidak bergantung waktu t-1. Parameter 21 yang menunjukkan ketergantungan produksi
jagung di Cepogo dengan lokasi lain pada waktu t-1 juga tidak signifikan, sehingga
model GSTAR standard untuk produksi jagung di Cepogo tidak cocok sebagai model
untuk peramalan.
2. GSTAR Termodifikasi
Data yang digunakan untuk membentuk model GSTAR Termodifikasi ini adalah
data produksi jagung, curah hujan dan proporsi lahan panen dibandingkan dengan lahan
kritis di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk. Hasil estimasi parameter model
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 322
1111 1278,01278,06836,0 RYXZ
2222 02535,002535,09279,0 RYXZ
3333 0065,00065,00112,1 RYXZ
GSTAR Termodifikasi untuk data produksi jagung yang bergantung pada curah hujan
dan proporsi lahan panen dibandingkan dengan lahan kritis disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Estimasi parameter model GSTAR Termodifikasi
Parameter
Hasil estimasi dengan
bobot lokasi ttabel Kesimpulan
Seragam thit
10 0,6836 6,2522 1,98 Signifikan
20 0,9279 7,7411 1,98 Signifikan
30 1,0112 9,7989 1,98 Signifikan
11 0,2556 2,3330 1,98 Signifikan
21 0,0507 0,4616 1,98 Tidak signifikan
31 -0,0130 0,1482 1,98 Tidak signifikan
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa parameter 21 dan 31
tidak signifikan terhadap
model, sedangkan parameter lain signifikan. Untuk keperluan optimasi nilai estimasi
parameter akan tetap digunakan pada model GSTAR Termodifikasi, sehingga
persamaan (6), (7), dan (8) menjadi,
)()(1278,0)(1278,0)1(6836,0)( 1111 tetRtYtZtZ
(15)
)()(02535,0)(02535,0)1(9279,0)( 2222 tetRtYtZtZ
(16)
)()(0065,0)(0065,0)1(0112,1)( 3333 tetRtYtZtZ
(17)
3. Pengujian Residual White Noise
Asumsi residual white noise merupakan asumsi pada GSTAR yang harus dipenuhi
untuk memperoleh model yang bagus. Hasil pengujian white noise pada GSTAR
standard dan GSTAR Termodifikasi dituliskan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil pengujian white noise untuk GSTAR standard dan GSTAR modifikasi
Jenis GSTAR
Produksi Jagung GSTAR Standard GSTAR Termodifikasi
Ampel Residual white noise Residual white noise
Cepogo Residual white noise Residual white noise
Musuk Residual tidak white noise Residual white noise
Dari Tabel 5 diketahui bahwa model yang memenuhi asumsi GSTAR adalah model
GSTAR Termodifikasi karena model untuk data produksi jagung di tiap lokasi memiliki
residual yang white noise.
4. Optimasi Produksi Jagung di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk
Untuk melakukan optimasi dengan metode program linier perlu disusun fungsi
tujuan dan kendala yang berpengaruh. Fungsi tujuan pada penelitian ini disusun
berdasarkan model GSTAR Termofikasi yang telah diperoleh, sedangkan kendala yang
berpengaruh adalah curah hujan optimal untuk pertumbuhan jagung dan rata-rata
proporsi luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di Kecamatan Ampel,
Cepogo, dan Musuk. Fungsi tujuan dan kendala tersebut dituliskan sebagai berikut,
Fungsi tujuan :
(18)
(19)
(20)
dengan,
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 323
Xk = Produksi jagung di lokasi k dalam kurun waktu 4 tahun
Yk = Luas lahan di lokasi k dalam kurun waktu 5 tahun
Rk = Curah hujan di lokasi k dalam kurun waktu 5 tahun
k = 1,2,3 dimana 1 = Ampel, 2 = Cepogo, dan 3 = Musuk.
Kendala :
a. Curah hujan optimal untuk pertumbuhan jagung berada pada interval 85 – 200
mm, interval tersebut ditransformasi menjadi data tanpa dimensi pada Tabel 5. Tabel 5. Interval curah hujan optimal tiap lokasi
Lokasi
Batas Ampel Cepogo Musuk
Batas Bawah 0,3451 0,3745 0,3184
Batas Atas 0,812 0,8812 0,7491
Dari Tabel 5 dapat disusun kendala curah hujan di setiap lokasi yang dituliskan
pada persamaan (20), (21), dan (22)
812,03451,0 1 R (21)
8812,03745,0 2 R (22)
7491,03184,0 3 R (23)
b. Rata-rata luas lahan panen dibandingkan dengan luas lahan kritis di lokasi
Ampel Cepogo dan Musuk berturut-turut kurang dari 0,9912; 0,9899; dan
0,9587.
9912,00 1 Y (24)
9899,00 2 Y (25)
9587,00 3 Y (26)
Persamaan (18), (19), dan (20) kemudian dioptimasi dengan fungsi linprog() pada
MATLAB. Hasil dari optimasi yang diperoleh berupa data produksi jagung optimal di
tiap lokasi yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi jagung optimal di Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk
Lokasi
Produksi Jagung Optimal Data Produksi Jagung Asli (ton)
Tidak Berdimensi Berdimensi
(ton) Min Max
Ampel 0,777041 23.350 12.574 42.777
Cepogo 1,376937 15.919 9.001 13.158
Musuk 1,026836 16.603 14.926 17.037
Hasil optimal produksi jagung yang tidak berdimensi dapat dilihat pada kolom tak
berdimensi pada Tabel 5. Data tersebut harus dikembalikan dimensinya dengan
mengalikan hasil optimal produksi jagung tak berdimensi dan rata-rata produksi jagung
di masing-masing lokasi, sehingga diperoleh hasil optimal produksi jagung yang
berdimensi. Untuk memperoleh optimal data berdimensi yang dituliskan pada Tabel 6
perlu dilakukan pengembalian data yang telah ditransformasi pada tahap uji
stasioneritas menggunakan persamaan (2) dengan λ ≠ 0, diperoleh
,...2,1,1/1
iWY ii
Hasil optimasi menunjukkan bahwa hasil optimal untuk Ampel dan Musuk berada
pada selang data asli, sedangkan hasil optimasi Cepogo tidak pada interval data. Dengan
kata lain, hasil penelitian dapat mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh
selama 5 tahun untuk Ampel, dan Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih
dianalisis lebih lanjut.
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 324
5. Analisis Hasil Optimasi
Analisa dilakukan dengan menyusun domain persekitaran pengoptimal. Domain
persekitaran didefinisikan pada persamaan (13). Fungsi tujuan dihitung pada titik-titik
domain tersebut. Hasil analisa untuk solusi optimal tanpa dimensi yang telah diperoleh
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Produksi optimal jagung tak berdimensi di tiap lokasi dengan penggeseran
posisi optimal
Persekitaran Ampel Cepogo Musuk
TryXx *** 1,4784 1,6464 1,0231
TryXx *** 0,9756 1,3512 0,9236
TrXyx *** 1,2747 1,5038 0,9729
TrXyx *** 1,1766 1,4955 0,9736
TXryx *** 1,2747 1,5038 0,9729
TXryx *** 1,1766 1,4955 0,9736
Hasil optimal tak berdimensi pada Tabel 7 dibandingkan dengan hasil optimal tak
berdimensi pada Tabel 8 diperoleh bahwa di Kecamatan Musuk hasil optimal terbaik
adalah solusi dengan metode program linier karena hasil optimal di daerah
persekitarannya lebih kecil, sedangkan untuk Kecamatan Cepogo masih terdapat titik-
titik persekitaran yang dapat mengoptimalkan nilai fungsi. Demikian pula di
Kecamatan Ampel yang memiliki hasil optimal lebih dari satu, disebut sebagai
pengoptimal lokal yang ditunjukkan pada Gambar 3 dimana ll adalah hasil program
linier sedangkan warna lain hasil persekitaran. Histogram untuk hasil optimal tak
berdimensi di Tabel 7 dan 8 disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram hasil optimal tak berdimensi di Kecamatan Ampel (kiri), Cepogo (tengah),
dan Musuk (kanan)
F. Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya GSTAR standard dan GSTAR
termodifikasi dengan bobot lokasi seragam dan invers jarak di Kecamatan Ampel,
Model GSTAR Termodifikasi untuk Menentukan Produksi Optimal Jagung
ISBN 978-602-1034-06-4 325
Cepogo, dan Musuk. Model GSTAR standard tidak cocok untuk meramalkan data
produksi jagung di Cepogo, karena parameter model tidak signifikan menurut Uji-t.
Model GSTAR Termodifikasi lebih bagus dibandingkan dengan GSTAR standard
karena parameter yang tidak signifikan pada GSTAR standard menjadi signifikan pada
GSTAR Termodifikasi. Hasil optimasi menunjukkan produksi jagung optimal di
Kecamatan Ampel, Cepogo, dan Musuk berturut-turut sebesar 23.501,31 ton, 15.935,47
ton, dan 16.551,27 ton dengan hasil optimal di Ampel dan Musuk berada pada selang
data asli. Dengan kata lain, dengan memperhatikan curah hujan dan luas lahan, hasil
penelitian dapat mengusulkan hasil optimasi jagung yang diperoleh selama 5 tahun
untuk Ampel, dan Musuk, sedangkan hasil optimal Cepogo masih dianalisis lebih
lanjut. Hasil analisa untuk menguji keoptimalan solusi menunjukkan bahwa
pengoptimal di Kecamatan Musuk merupakan solusi dari metode program linier,
sedangkan di Kecamatan Ampel dan Cepogo terdapat lebih dari 1 pengoptimal yang
disebut sebagai pengoptimal lokal.
G. Daftar Pustaka
Borovkova S.A., Lopuhaa H.P., Ruchjana B.N. 2002. Generalized STAR model with
experimental weights. Proceedings of the 17th
International Workshop on
Statistical Modeling, 8-12 Juli 2002. Chania.
Faizah L.A, Setiawan. 2013. Pemodelan Inflasi di Kota Semarang, Yogyakarta, dan
Surakarta dengan pendekatan GSTAR. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol 2, No2,
(2013) 2337-3520 (2301-92.8X Print)
Nugroho. 2011. Alternatif Rehabilitasi Lahan Kritis Dengan Tanaman Karabenguk
(Mucuna Pruriens (L.) Dc.). Jurnal Politeknosains Vol. X No. 2.
Parhusip H.A., Edi S.W.M, Prasetyo S.Y.J. 2014. Analisa Data Pemodelan Untuk Ilmu
Sosial & Sains. Salatiga : Penerbit Tisara Grafika.
Parhusip, H.A dan Winarso, M.E. 2014 Analisa Data Iklim Boyolali Dengan Regresi
Klasik dan Metode GSTAR. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika. Universitas PGRI Ronggolawe. 24 Mei 2014.
Ruchjana, B.N. 2002. Pemodelan Kurva Produksi Minyak Bumi Menggunakan Model
Generalisasi STAR. Forum Statistika dan Komputasi. IPB : Bogor.
Suhartono., Subanar. 2006. The Optimal Determination of Space Weight in GSTAR
Model by using Cross-correlation Inference. JOURNAL OF QUANTITATIVE
METHODS : Journal Devoted to The Mathematical and Statistical Application in
Various Fields.
Taylor III, Bernard W. 2008. Introduction To Management Science. Jakarta: Salemba
Empat.
Wei W.W.S. 2006. Time Series Analysis Univariate and Multivariate Methods. USA:
Temple University.
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 326
PERLUASAN KURVA PARAMETRIK HYPOCYCLOID 2
DIMENSI MENJADI 3 DIMENSI DENGAN SISTEM KOORDINAT
BOLA
Purwoto
1), Hanna Arini Parhusip
2), Tundjung Mahatma
3)
Program Studi Matemarika,Fakultas Sains dan Matematika,
Universitas Kristen SatyaWacana
Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
Surel: 1) [email protected] 2) [email protected]
Abstrak Hyplocycloid merupakan kurva parametrik yang ditentukan oleh nilai parameternya. Berbagai
macam bentuk kurva hypocycloid yang dihasilkan diperluas ke dalam 3 dimensi dengan
menggunakan sistem koordinat bola, dimana setiap titik dari permukaan mempunyai jari-jari dan
sudut. Hasil persamaan perluasan diturunkan terhadap masing-masing parameternya dan
dikombinasikan untuk mendapatkan hasil perluasan yang lain. Hasil perluasan 3 dimensi
digambarkan atau divisualisasikan dengan menggunakan program MATLAB. Hasil visualisasi
ini merupakan persamaan hypocycloid yang telah di generalisasikan terhadap sistem koordinat
bola.
Kata kunci: Hypocycloid, persamaan parametrik, sistem koordinat bola, 3 dimensi
A. Pendahuluan
Beberapa bentuk kurva di dalam matematika sudah banyak dikenal dan disajikan,
baik dalam bentuk persamaan kartesian maupun persamaan parametrik. Contohnya
adalah lingkaran, ellips, hiperbola, dan parabola. Persamaan-persamaan tersebut dapat
diperluas ke dalam 3 dimensi atau sebagai permukaan kuadrik berturut-turut menjadi
bola, ellipsoida, hiperboloida, dan paraboloida. Bentuk-bentuk kurva lain dalam
persamaan kartesian dan persamaan parametrik sudah banyak divisualisasikan di dalam
bentuk 2 dimensi dan diberikan nama. Beberapa diantaranya adalah astroid, cycloid,
hypocycloid, dan masih banyak lagi (Web1).
Hypocycloid merupakan salah satu persamaan parametrik yang mempunyai bentuk-
bentuk beranekaragam tergantung parameternya. Persamaan hypocycloid ini yang
kemudian akan dicari bentuk perluasan 3 dimensi dengan beberapa bentuk parameter
yang berbeda. Dalam satu persamaan hypocycloid akan dihasilkan beberapa bentuk
perluasan 3 dimensi sesuai dengan parameternya.
Penyusunan perluasan hypocycloid ke dalam 3 dimensi kmenggunakan sistem
koordinat bola yang digeneralisasikan terhadap persamaan parametriknya. Persamaan
baru yang dihasilkan diturunkan terhadap parameter dan . Perluasan yang sudah
terbentuk kemudian divisualisasikan secara grafis dengan menggunakan program
MATLAB. Hasil turunan yang didapat juga dikombinasikan dan divisualisasikan
sehingga akan diperoleh bentuk-bentuk perluasan lain yang bermacam-macam dari satu
persamaan hypocycloid.
B. Tinjauan Pustaka
1. Visualisasi 2 dimensi dalam model dekoratif
Beberapa visualisasi kurva parametrik klasik, seperti hypocycloid telah dipelajari
dan digunakan di dalam menyusun motif dekoratif. Persamaan parametrik yang
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 327
berbentuk dan mempunyai pasangan titik sehingga membentuk
motif-motif dekoratif.
Persamaan hypocycloid merupakan salah satu dari persamaan parametrik.
Persamaan hypocycloid telah dipelajari sebagai domain dari beberapa pemetaan seperti
pemetaan kompleks dan pemetaan Voronoi (Parhusip, 2014). Sebagai contoh pemetaan
fungsi kompleks yang digunakan adalah fungsi kompleks dan .
Hasil visualisasi dibuat dengan menggunakan program MATLAB (Suryaningsih dkk, 2013).
Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 1 Berikut.
Gambar 1. Komposisi transformasi terhadap yang kemudian di
gabungkan (Suryaningsih dkk, 2013)
Selain itu terdapat juga pemetaan kurva parametrik hypocycloid oleh fungsi kompleks
, , dan dipetakan dengan pemetaan voronoi
(Parhusip, 2014). Hasil yang diperoleh ditunjukan pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2.Hasil pemetaan persamaan hypocycloid dalam dan dipetakan dengan
pemetaan voronoi (Parhusip, 2014)
2. Visualisasi 3 dimensi
Tim IMAGINARY oleh sebuah badan Mathematisches Forschungsinstitut
Oberwolfach di Jerman mengumpulkan berbagai macam ilustrasi yang didapatkan dari
geometri. Geometri yang merupakan salah satu bidang dalam matematika dipandang
sebagai sesuatu yang sangat menarik dan diekspresikan dalam sebuah gambar dengan
program computer untuk matematika. Program-program matematika yang digunakan
dalam memvisualisasikan beberapa diantaranya adalah 3D_XplorMath , Cinderella, dan
Surfer. 3D_XplorMath merupakan program yang paling luas di dalam
memvisualisasikan objek matematika (Greuel dan Matt, 2008). Beberapa objek oleh tim
IMAGINARY ditunjukkan Gambar 3 berikut.
)(txx )(tyy ),( yx
zzf cos z
zf1
zzf sin
)cos()( zzf
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 328
Gambar 3. Hasil visualisasi Algebraic sculptures yang diornamenkan oleh tim IMAGINARY
(Greuel dan Matt, 2008)
C. Metode Penelitian
1. Mengenal bentuk dan persamaan hypocycloid.
Hypocycloid terbentuk oleh sebuah titik P pada keliling sebuah lingkaran kecil
dengan radius b yang menggelinding di dalam lingkaran yang lebih besar dengan radius
a (a>b) (Hsu dkk,2008). Bermacam ukuran dari lingkaran menghasilkan hypocycloid
yang berbeda. Secara umum persamaan dapat dituliskan sebagai
(1)
Persamaan (1) tersebut pada dasarnya merupakan persamaan umum dari epicycloid dan
juga hypocycloid. Parameter b menjadi parameter yang menentukan bentuk yang
diperoleh. Ketika b bernilai positif akan menghasilkan epicycloid dan ketika b bernilai
negatif akan menghasilkan hypocycloid. Hypocycloid mempunyai beberapa bentuk yang
berbeda-beda tergantung dari parameter yang diberikan. Dengan ditetapkan a=1 sebagai
radius lingkaran besar dan b sebagai radius lingkaran kecil yaitu bentuk
hypocycloid akan dijumpai ketika p < q . Sedangkan ketika p>q akan terbentuk kurva
epicycloids sekalipun b bernilai negatif. Secara umum untuk persamaan hypocycloid itu
sendiri dapat dituliskan sebagai berikut
(2)
2. Sistem Koordinat bola
Sistem koordinat bola merupakan salah satu dari banyak cara pemerincian posisi
titik di ruang 3 dimensi. Jenis koordinat bola ini memainkan peranan penting di
dalam kalkulus (Purcell dan Varberg,1987). Koordinat titik dalam sistem ini dapat
dilihat pada Gambar 4.
;sinsin;coscos
b
babbay
b
babbax
q
pb
;sinsin;coscos
b
babbay
b
babbax
,,
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 329
Gambar 4. Titik P di dalam sistem koordinat bola (Purcell dan Varberg,1987)
Sebuah titik P mempunyai koordinat bola jika adalah jarak |OP| dari titik
asal ke P, adalah kutub yang berhubungan dengan proyeksi P’ dari P ke bidang xy,
dan adalah sudut antara z positif dan ruas garis OP. Hasil yang diperoleh dari
perluasan kurva parametrik hypocycloid oleh sistem koordinat bola memberikan
persamaan dengan dua parameter yaitu dan . Hasil persamaan yang diperoleh
diturunkan terhadap parameter-parameter tersebut .
3. Turunan Persamaan Parametrik
Diasumsikan persamaan parametrik dan maka turunan pertama
persamaan parametrik adalah (Ayres dan Mendelson, 2009) . Turunan persamaan
parametrik dirumuskan
(3)
Contoh 1:
Persamaan parametrik dan ; tentukan
Penyelesaian
D. Hasil dan Pembahasan
Persamaan (1) mempunyai bentuk yang bermacam-macam dipengaruhi oleh nilai
parameter a dan b. Dengan parameter a=1 sebagai radius lingkaran besar maka bentuk-
bentuk hypocycloid hanya tergantung parameter b. Dengan akan dibuat pola
perubahan bentuk hypocycloid dengan parameter yang ditentukan. Dengan
menggunakan program MATLAB seperti dalam Tabel 1 diperoleh hasil seperti Gambar
5 sampai dengan Gambar 10.
,,
ufx ugy
dx
dy
du
dx
du
dy
dx
dy
4cosax 4sinay dx
dy
sincos4 3ad
dy
cossin4 3ad
dx
2
2
sin
cos
dx
dy
q
pb
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 330
Tabel 1. Program Matlab untuk mencari bentuk hypocycloid dan parameternya
clear close all n=100; %banyaknya titik p=1; for q=1:9; %Pengulangan terhadap nilai q a=1;b=-(p/q); % b bernilai negative sebagai persamaan hypocycloid syms theta x=(a+b).*cos(theta)+ b.*cos((a+b)./b.*theta); y=(a+b).*sin(theta)+ b.*sin((a+b)./b.*theta); subplot(3, 3, 3*(p-1) + q) ; ezplot(x, y, [0 2*p*pi]); end
Gambar 5. Bentuk hypocycloid untukp=1 dan
q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
Gambar 6. Bentuk hypocycloid
untukp=2 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2),
q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
Gambar 7. Bentuk hypocycloid untuk p=3 dan
q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
Gambar 8. Bentuk hypocycloid untuk p=4 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
Gambar 9. Bentuk hypocycloid dengan p=5 dan
q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
Gambar 10. Bentuk hypocycloid dengan p=6 dan q=1,2,3,4 (kolom 1-2), q=5,6,7,8 (kolom 3-4)
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.5 0 0.5-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3
-2
-1
0
1
2
3
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.5 0 0.5 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.5 0 0.5-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3
-2
-1
0
1
2
3
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.5 0 0.5 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10-10
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-15 -10 -5 0 5 10 15-15
-10
-5
0
5
10
15
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-3
-2
-1
0
1
2
3
-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 331
Persamaan (1) dengan dan didapatkan beberapa hal mengenai hypocycloid
dan juga epycicloid. Berikut diantaranya adalah (Rovenskii, 2000)
a. Apabila parameter b bernilai positif maka bentuk kurva epycicloid
b. Apabila parameter b bernilai negatif maka bentuk kurva hypocycloid
c. Jika nilai maka kurva berbentuk epyicloid , sebaliknya jika kurva
berbentuk hypocycloid
d. Gambar kosong diperoleh ketika p=q sedang nilai a=1 dan parameter b negatif
sehingga nilai persamaan x=1 dan y=0
e. Nilai penyebut q pada parameter b menjadi jumlah ujung pada kurva hypocycloid.
Namun jika nilai p dan q dapat disederhanakan ,maka nilai q yang paling sederhana
tersebut yang akan menjadi jumlah ujung kurva hypocycloid.
Beberapa bentuk hypocycloid sudah diberikan nama seperti deltoid dan juga astroid.
Gambar 11 memberikan bentuk kurva yang akan diperluas ke dalam 3 dimensi dengan
sistem koordinat bola.
Gambar 11. Bentuk hypocycloid yang akan diperluas ke 3 dimensi
dengan sistem koordinat bola
Persamaan (1) akan dibentuk ke dalam persamaan 3 dimensi dengan mengikuti sistem
koordinat bola. Permukaan bola dianggap sebagai perluasan dari titik-titik yang setiap
titiknya mempunyai jari-jari dan juga sudut dari pusat bola. Demikian pula setiap
titik di permukaan hasil perluasan kurva hypocycloid juga mempunyai jari-jari dan juga
sudut.Persamaan hypocycloid menjadi
(4)
dengan maka dikonstruksi (5)
Terdapat dua parameter berbeda pada persamaan (4) dan (5) yaitu dan . Dari hasil
turunan persamaan tersebut akan diperoleh persamaan baru yang kemudian
dikombinasikan sebagai bentuk perluasan yang baru.
Persamaan (4) diturunkan terhadap
Persamaan (4) diturunkan terhadap
Persamaan (5) diturunkan terhadap
6p 8q
0q
p0
q
p
-1 -0.5 0 0.5-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
;sinsinsin;coscossin
b
babbay
b
babbax
sin;22 r
yxr cosz
b
babba
d
dy
b
babba
d
dxsinsin)(coscoscos)(cos
;cos)(cos)(sin
b
bababa
d
dy
;sin)(sin)(sin
b
bababa
d
dx
sind
dz
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 332
Bentuk 1 (Deltoid)
Bentuk deltoid diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai
bentuk sederhana bernilai dan . Bentuk umum deltoid ini kemudian diperluas
dengan sistem koordinat bola . Hasil turunan dari masing-masing parameternya
dikombinasikan sehingga menghasilkan persamaan baru dan divisualisasikan. Perlakuan
ini juga diterapkan pada bentuk astroid, star, dan juga bentuk 4. Hasil perluasan
ditunjukkan oleh Gambar 12.
Gambar 12. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola
dilanjutkan visualisasi dari kombinasi turunannya
dan
Bentuk 2 (Astroid)
Bentuk Astroid diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai
bentuk sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukan oleh Gambar 13.
-1 -0.5 0 0.5-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
z
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx,,,,,,,,
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx,,,,,,,,,,,
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 333
Gambar 13. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan
visualisasi dari kombinasi turunannya dan
Bentuk 3 (Star)
Bentuk star diperoleh dari persamaan (1) dengan parameter a=1 dan b mempunyai
bentuk sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukkan oleh Gambar 14.
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
z
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx,,,,,,,,
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx,,,,,,,,,,,
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 334
Gambar 14. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan
visualisasi dari kombinasi turunannya dan
Bentuk 4
Bentuk 4 diperoleh dari persamaan (2) dengan parameter a=1 dan b mempunyai bentuk
sederhana bernilai dan . Hasil perluasan ditunjukan oleh Gambar 15.
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
z
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx,,,,,,,,
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx,,,,,,,,,,,
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 335
Gambar 15. Deltoid dan perluasan 3 dimensi dengan sistem koordinat bola dilanjutkan
visualisasi dari kombinasi turunannya dan
Hasil perluasan hypocycloid dengan sistem koordinat bola menghasilkan bentuk 3
dimensi yang mempunyai kemiripan dengan bentuk bola. Bentuk yang dihasilkan
mempunyai Hanya saja kontur dari hasil perluasan dipaksakan seperti bentuk dasar dari
hypocycloid yang diperluas dan bukan lagi lingkaran yang menjadi bentuk dasar bola.
Hasil turunan persamaan yang kemudian dikombinasikan juga menghasilkan berbagai
bentuk 3 dimensi yang bermacam-macam.
E. Simpulan dan Saran
Hypocycloid merupakan persamaan parametrik yang mempunyai berbagai bentuk
tergantung nilai parameternya. Bentuk-bentuk dasar hypocycloid dapat diperluas
kedalam bentuk 3 dimensi dengan menggunakan sistem koordinat bola. Persamaan
perluasan hypocycloid 3 dimensi yang diturunkan terhadap parameter-parameternya
membentuk persamaan baru yang dapat dikombinasikan dan membentuk perluasan
baru. Setiap gambar yang diperoleh dengan masing-masing bentuk dasarnya didapatkan
kemiripan dalam setiap kombinasi yang dibuat. Setiap kombinasi hypocycloid yang
diperluas dengan sistem koordinat bola tersebut dipolakan ke dalam bentuk 3 dimensi
dan menjadi satu bentuk keluarga.
Hypocycloid merupakan satu dari berbagai persamaan parametrik, sehingga sangat
dimungkinkan persamaan-persamaan yang lain untuk diperluas ke dalam 3 dimensi
dengan sistem koordinat bola. Terdapat banyak program komputer yang dapat
digunakan sebagai alat bantu visualisasi 3 dimensi.
-1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
z
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx,,,,,,,,
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dx
d
dz
d
dy
d
dxz
d
dy
d
dx,,,,,,,,,,,
Perluasan Kurva Parametrik Hypocycloid 2 Dimensi menjadi 3 Dimensi
ISBN 978-602-1034-06-4 336
F. Daftar Pustaka
Ayres, F. & Mendelson, E. 2009. Schaum’s Outlines Calculus, Fifth Edition. McGraw-
Hill, Singapore.
Hsu M. H., Yan H. S., Liu J. Y., & Hsieh L. C. 2008. Epicycloid (Hypocycloid)
Mechanisms Design. Proceedings of the International Multi Conference of
Engineers and Computer Scientists, IMECS, Hong Kong, (2).
Greuel G. M. & Matt A. D .2008. IMAGINARY-Through the eyes of mathematics.
Mathematisches Forschungsinstitut Oberwolfach, ISBN 978-3-00-026939-4,
Oberwolfach-German.
Parhusip H. A, 2014. Arts revealed in calculus and its extension. International
Journal of Statistics and Mathematics, 1(3): 002-009, Premier-
Publisher,(online).: https://www.academia.edu/8236790/
Arts_revealed_in_calculus_and_its_extension or
https://www.facebook.com/premierpublisher/posts/ 788548327863008 or
http://premierpublishers.org/ijsm/articles
Purcell, E. J. & Varberg, D. 1987. Kalkulus dan Geometri Analitis jilid 2, edisi
kelima,Terj. I Nyoman Susila, Jakarta: Erlangga.
Rovenskii, V. Y. 2000. Geometry of Curves and Surfaces with Maple. New York:
Birkhauser Bolton
Suryaningsih, V, Parhusip, H.A., & Mahatma, T, 2013. Kurva Parametrik dan
Transformasinya untuk Pembentukan Motif Dekoratif, Prosiding, Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY,9 Nov, ISBN:978-979-
16353-9-4,hal. MT – 249-258.
Web1: http://www-groups.dcs.st-and.ac.uk/~history/Curves/ Curves.html (Di akses
pada 29 September 2014).
Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik
ISBN 978-602-1034-06-4 337
ESTIMASI KURVA REGRESI SEMIPARAMETRIK
DENGAN KOMPONEN PARAMETRIK BERPOLA POLINOMIAL
Lilis Anisah
1 dan I Nyoman Budiantara
2
1Mahasiswa Program Magister Jurusan Statistika, FMIPA ITS, Surabaya
Surell: [email protected] 2
Jurusan Statistika, FMIPA ITS, Surabaya
Surel: 2 [email protected]
Abstrak Dalam regresi dengan multivariabel prediktor, variabel respon dapat memiliki pola
hubungan tertentu dengan salah satu atau beberapa variabel prediktor, tetapi dengan
variabel prediktor yang lain tidak diketahui bentuk polanya. Pada kasus seperti ini,
disarankan untuk menggunakan pendekatan regresi semiparametrik. Dalam regresi
semiparametrik, komponen parametrik tidak selalu mengikuti pola linier. Dalam banyak
kasus, sering dijumpai komponen parametrik berpola polinomial misalnya berpola
kuadratik, kubik atau polinomial derajat p, p > 3. Dalam penelitian ini, akan diturunkan
bentuk estimator kurva regresi semiparametrik dimana komponen parametriknya berpola
polinomial.
Kata kunci: Komponen Parametrik, Polinomial, Regresi Semiparametrik, Spline
A. Pendahuluan
Analisis regresi merupakan metode dalam statistika yang digunakan untuk
mengetahui pola hubungan antara variabel respon dengan prediktor (Eubank, 1988).
Dalam beberapa kasus, variabel respon dapat memiliki hubungan yang dapat diketahui
polanya dengan salah satu atau beberapa variabel prediktor, namun dengan variabel
prediktor yang lain tidak diketahui. Dalam kasus seperti ini, Wahba (1990)
menyarankan penggunaan pendekatan regresi semiparametrik. Ruppert (2003)
menyatakan bahwa penggabungan dari regresi parametrik dan regresi nonparametrik
adalah regresi semiparametrik.
Pendekatan regresi semiparametrik dikenalkan oleh Engle (1986). Pengembangan
teori maupun aplikasi regresi semiparametrik telah banyak dilakukan. Dalam hal
aplikasi diantaranya oleh Lin dan Carroll (2001) dan Chen dan Jin (2006) yang
menggunakan model semiparametrik untuk pengelompokan data. Diana dkk (2014)
meneliti tingkat pengangguran dengan model semiparametrik smoothing spline dengan
pendekatan bayesian. Solikhin (2014) meneliti estimator spline truncated linier dalam
regresi semiparametrik pada data persentase pengeluaran konsumsi padi-padian di
Provinsi Jawa Tengah. Dewi (2014) mengaplikasikan model regresi semiparametrik
terhadap faktor yang mempengaruhi kepuasan pelayanan kesehatan di rumah sakit
William Booth Surabaya, Jawa Timur. Pengembangan spline secara teori telah pula
dilakukan oleh Qin et al (2008,2009) yang mengembangkan regresi semiparametrik
pada data longitudinal. You dan Zhou (2009) menggunakan polinomial spline pada
regresi semiparametrik untuk data panel dan Diana dkk (2013) mengembangkan model
semiparametrik dengan pendekatan bayesian.
Komponen parametrik dalam regresi semiparametrik tidak selalu mengikuti pola
linier. Dalam banyak kasus, sering dijumpai komponen parametrik berpola polinomial,
misalnya berpola kuadratik, kubik atau polinomial derajat p, p > 3. Penelitian ini
Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik
ISBN 978-602-1034-06-4 338
bertujuan untuk mendapatkan estimator kurva regresi semiparametrik dengan komponen
parametrik berpola polinomial.
B. Pembahasan
Misalnya diberikan model regresi semiparametrik berikut:
(1)
dengan adalah komponen parametrik dan adalah komponen
nonparametrik. Kurva komponen parametrik didekati dengan fungsi polinomial
derajat p, yaitu:
(2)
,
(3)
Kurva komponen nonparametrik didekati dengan fungsi spline derajat q, dengan knot
k1, k 2, … k r berikut:
(4)
,
(5)
Dengan demikian, model persamaan regresi semiparametrik tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut:
(6)
Persamaan (6) dapat pula disajikan dalam bentuk matriks berikut:
1 21 2...
q q
il l il ll q l qt k t k
q
il rll q rt k
1 2
11 1 21 1 1 1 1 11 1 21 1 11 1 1 2 11
... ...L
q q qq
l il i i q i i i i rq q q rl
f t t t t t k t k t k
1 2
12 2 22 2 2 2 2 12 2 222 1 2 2{ ... ...
q qq
i i q i i iq qt t t t k t k
1 2
2 2 1 2 12 1} ... { ...
q qq
i r L iL L iL qL iL iL Lq r L qt k t t t t k
22... }
q q
iL L iL rLL q L q rt k t k
2 2 1
01 11 1 21 1 1 1 0 1 2 11 1{( ... ) ... ( ... )} [{p p
i i i p i S S iS S iS pS iS iy x x x x x x t
2
21 1 1 1 1 11 1 21 1 11 1 1 2 1... ... } ...
q q qq
i q i i i i rq q q rt t t k t k t k
1 2
1 2 1 21 2{ ... ...
q qq
L iL L iL qL iL iL L iL LL q L qt t t t k t k
}]q
iL rL iL q rt k
01
2 21 11 11 11 1 1 1
12 22 21 21 21 2 2 2
02 2
1 1 1
1 1
1 1
1 1
p p
S S Spp p
S S S
Sp pn n n n nS nS nS
pS
y x x x x x x
y x x x x x xy
y x x x x x x
Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik
ISBN 978-602-1034-06-4 339
Dalam bentuk matrik secara umum dapat dituliskan menjadi:
(7)
Variabel respon merupakan vektor berukuran , L= (X:T) adalah matrik yang
memuat variabel prediktor komponen parametrik X yang berukuran , dan T
matrik yang memuat variabel prediktor komponen nonparametrik yang berukuran
, adalah vektor parameter komponen parametrik berukuran
dan komponen nonparametrik berukuran , dan
merupakan vektor error berukuran .
Penelitian ini menggunakan metode ordinary least square (OLS) untuk
mendapatkan estimator spline dalam regresi semiparametrik. Pendekatan optimasi
metode OLS dipilih karena secara matematik lebih mudah, sederhana, dan baik dalam
mendapatkan inferensi statistik. Dengan menggunakan basis fungsi keluarga spline
truncated, Budiantara (2006,2006) telah memperlihatkan bahwa pemilihan parameter
penghalus dan pemilihan titik knot optimal estimator spline dalam regresi
nonparametrik adalah ekuivalen. Selain itu pendekatan basis spline truncated
memberikan perhitungan matematik yang relatif lebih mudah dan sederhana dengan
menggunakan optimasi OLS.
Makalah ini menyajikan bentuk estimator kurva regresi semiparametrik dimana
komponen parametriknya berpola polinomial dengan mengikuti tahapan penyelesaian
optimasi menggunakan metode OLS sebagai berikut:
(8)
Selanjutnya persamaan (8) diturunkan terhadap lalu disamakan dengan 0, didapat
persamaan sebagai berikut:
11
1
11 11 11 11 11 1 1 1 1 1 1
21 21 21 11 21 1 2 2 2 1 2
1 1 1 11 1 1 1
q
q q q qq q
r L L L L L rL
q q q qq q
r L L L L L rL
q q q qq q
n n n n r nL nL nL L nL rL
t t t k t k t t t k t k
t t t k t k t t t k t k
t t t k t k t t t k t k
1 1
11
2
1
1
q
q r
L
n
qL
L q
L q r
y L
y
:
y L
y L
'
' ' ' 'y y y y L L L L
' ' ' ' 'y y y y L L LL
' ' ' '2y y y L LL
Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik
ISBN 978-602-1034-06-4 340
Penurunan di atas memberikan hasil sebagai berikut:
(9)
Estimator merupakan estimator tak bias untuk seperti di bawah ini:
Berdasarkan metode OLS, estimasi kurva regresi semiparametrik dengan
komponen parametrik berpola polinomial adalah sebagai berikut:
.
Estimator , j= 1,2, ..., p, s= 1,2,...,S, , k= 1,2,...,q, l=1,2,..,L dan ,
u=1,2,...,r diperoleh dari persamaan:
t =
C. Simpulan dan Saran
Diberikan model regresi semiparametrik:
,
dengan adalah komponen parametrik dan adalah komponen
nonparametrik. Komponen parametrik dihampiri dengan polinomial derajat p dan
komponen nonparametrik dihampiri dengan spline derajat q, dengan titik-titik knot
k1, k2, ..., kr, maka model regresi semiparametrik dapat disajikan dalam bentuk:
.
Estimator kurva regresi komponen parametrik dan komponen
nonparametrik diperoleh dari meminimumkan optimasi:
Optimasi di atas menghasilkan estimasi kurva regresi semiparametrik dengan komponen
parametrik berpola polinomial sebagai berikut:
.
Estimator , j= 1,2, ..., p, s= 1,2,...,S, , k= 1,2,...,q, l=1,2,..,L dan , u=1,2,...,r
diperoleh dari persamaan:
t = .
' ' ' '20
y y yQ
L LL
'ˆ2 2 y LL L
1 'ˆ y
LL L
1
' 'ˆ( )E E y
LL L
1
' 'E y
LL L
1
' '
LL LL
1 0 1 1 1
ˆ ˆˆˆp qS L r
qj m
i js is ml il il ull q us j l m u
y x t t k
1
' ' y
LL L
1 0 1 1 1
p qS L rqj m
i js is ml il il ull q us j l m u
y x t t k
( )
'
Sp L q rRMin y y
L L
1 0 1 1 1
ˆ ˆˆˆp qS L r
qj m
i js is ml il il ull q us j l m u
y x t t k
1
' ' y
LL L
Estimasi Kurva Regresi Semiparametrik
ISBN 978-602-1034-06-4 341
D. Daftar Pustaka
Budiantara, I.N., 2006, Regresi Nonparametrik Dalam Statistika, Makalah Pembicara
Utama pada Seminar Nasional Matematika, Jurusan Matematika, FMIPA.
Universitas Negeri Makassar, Makassar.
Budiantara, I.N., 2006, Model Spline dengan Knots Optimal, Jurnal Ilmu Dasar,
FMIPA Universitas Jember, 7, 77-Eubank, R.L., 1988, Spline Smoothing and
Nonparametrik Regression, Mercel Deker, New York.
Chen, K., Jin, Z., 2006. Partial linear regression models for clustered data, J.
Amer.Statist. Assoc. 101, 195–204.
Diana, R., Budiantara, I.N., Purhadi, Darmesto, S., 2013, Smoothing Spline in
Semiparametric Additive Regression Model with Bayesian Approach, Journal of
Mathematics and Statistics (JMS), 9(3), 161-168.
Diana, R., Budiantara, I.N., Purhadi, Darmesto, S., 2014, Statistical Modeling for
Unemployment Rate Using Smoothing Spline in Semiparametric Multivariable
Regression Model with Bayesian Approach,
An International Journal : Model Assisted Statistics And Applications
(MASA),9(1), 287-294.
Dewi, E. U., 2014. Model Regresi Semiparametrik Multivariabel dengan Estimator
Spline Parsial Aplikasi Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit William Booth Surabaya. Google Scholar. (online).
(ejournal.akperwilliambooth.ac.id, diakses 12 September 2014).
Engle, R.F., Granger, C.W.J., Rice, J., Weiss, A., 1986. Semiparametric estimates of the
relation between weather and electricity sales. J. Amer. Statist. Assoc. 81(394),
310–320.
Lin, X.H., Carroll, R.J., 2001. Semiparametric regression for clustered data. Biometrika
88, 1179–1185.
Qin, G.Y., Zhu, Z.Y., 2008. Robust estimation in partial linear mixed model for
longitudinal data. Acta Mathematica Scientia 28B (2), 334–348.
Qin, G., Zhu, Z., Fung, W.K., 2009, Robust estimation of covariance parameters in
partial linear model for longitudinal data, Journal of Statistical Planning and
Inference, 139, 558 – 570.
Ruppert, D.M.P Wand, R.J., Carrol, 2003, Semiparametrik Regression, Crambidge
Unviversity Press, New York.
Solikhin, 2014, Estimator Spline Truncated Linier dalam Regresi Semiparametrik pada
Data Persentase Pengeluaran Konsumsi Padi-Padian di Provinsi Jawa Tengah,
Tesis Program Magister Jurusan Statistika FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya.
Wahba, G., 1990, Spline Models For Observation Data, University of Winsconsin at
Madison, Pensylvania.
You, J., Zhou, X., 2009, Partially linear models and polynomial spline approximations
for the analysis of unbalanced panel data, Journal of Statistical Planning and
Inference, 139, 679 – 695.
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
MODEL JARINGAN SYARAF FUZZY RADIAL BASIS FUNCTION
UNTUK PERAMALAN NILAI BOD PADA KALI SURABAYA
Nisa Ayunda1)
, Mohammad Isa Irawan2)
, Nieke Karnaningroem3)
1)Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2)Professor Jurusan Matematika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember 3)Professor Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas TSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jalan Raya ITS, Kota Surabaya Surel: 1)[email protected]
Abstrak
Kebutuhan air bersih bagi penduduk Surabaya merupakan kebutuhan vital yang tidak bisa
disepelekan baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam upaya mengontrol dan memantau
kualitas air di perairan Kota Surabaya, khususnya daerah sekitar Kali Surabaya, perlu
adanya sistem pengelolaan dan pemantauan kualitas air pada Kali Surabaya. Peramalan
terhadap data time seriessalah satu parameter kualitas air, yaitu BOD, menggunakan
jaringan syaraf tiruan dapat digunakan sebagai model untuk menganalisis kecenderungan
sistem perairan Kali Surabaya. Model jaringan syaraf yang dapat digunakan dalam
peramalan data time series adalah model yang memiliki sifat supervised learning
diantaranya adalah Jaringan Syaraf Radial Basis Function. Dengan mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya kesalahan paralaks dalam pengukuran serta terbatasnya data dan
karakteristik data yang berbeda, aplikasi teori fuzzy digunakan sebagai unsupervised
learning dalam model. Model yang terbentuk adalah model jaringan syaraf Fuzzy Radial
Basis Functionyang bersifat unsupervised-supervised learningdan terbukti dapat
mengembangkan kualitas hasil peramalan nilai BOD pada Kali Surabaya. Tingkat
keberhasilan pengembangan kualitas hasil peramalan tersebut terlihat dari nilai erroryang
kecil dengan mengunakan model jaringan syaraf FuzzyRadial Basis Function. Hasil
peramalan nilai BOD pada Kali Surabaya juga dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya
pengelolaan dan pemantauan kualitas air Kali Surabaya.
Kata Kunci:BOD, fuzzy radial basis function, Kali Surabaya
A. Pendahuluan
Salah satu sumber energi yang terpenting di dunia adalah air.Air dari Kali Surabaya
digunakan untuk berbagai keperluan seperti irigasi, air minum, air industri dan
penggelontoran.Sesuai dengan peruntukan tersebut, menurut SK Gubernur Kepala
Daerah Jawa Timur No.413 Th. 1997, Kali Surabaya yang merupakan salah satu sumber
air minum diharapkan memenuhi standar mutu kualitas air baku kelas B. Tetapi masalah
utama yang timbul adalah rendahnya kualitas air Kali Surabaya diantaranya tingkat
BOD yang tinggi mencapai rata-rata 5,03 mg/l melebihi ambang batas kelas B (3
mg/l).Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah salah satu parameter utama dalam
petunjuk tingkat pencemaran perairan. Nilai BOD yang tinggi dalam badan perairan
menunjukkan bahwa badan perairan tersebut banyak mengandung bahan organik yang
harus diuraikan oleh mikroorganisme. Penelitian Masduqi dan Apriliani (2008)
melakukan estimasi kualitas air Sungai Kali Surabaya pada suatu waktu, hanya saja
bagaimana perilaku sistem belum bisa dianalisis sehingga sulit untuk digunakan apabila
perubahan cepat pada kondisi sungai terjadi.
Pemodelan jaringan syaraf tiruan merupakan kajian rekayasa sistem yang dapat
digunakan untuk menganalisis mekanisme, pola, perilaku dan kecenderungan sistem
(Arifin Z. dan M.I. Irawan, 2009). Peramalan dengan jaringan syaraf melibatkan
beberapa proses yaitu clustering untuk karakteristik data time series, klasifikasi
hubungan antara data time series dengan kriteria deskripsinya dan klasifikasi prediksi
pada suatu data time series (Thomassey dan Happiette, 2007). Kolarik dan Rudorfer
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 343
(1994) membuktikan kemampuan peramalan jaringan syaraf backpropagation lebih
baik dibandingkan dengan model yang dikenal luas dalam statistika seperti ARIMA.
Model backpropagationneural network ini disempurnakan oleh Ranaweera,dkk (1995)
yang menggunakan model jaringan syaraf Radial Basis Function untuk meramalkan
beban puncak pada sistem pembangkit listrik. Jaringan syaraf Radial Basis
Functionadalah model jaringan syaraf dengan beberapa unit pada hidden layer, dengan
fungsi aktivasinya adalah Radial Basis Functiondan fungsi linear pada lapisan output.
Berkaitan dengan banyaknya data training yang diperlukan dalam model jaringan
syaraf Radial Basis Functiondan data kualitas air yang terbatas, pengaplikasian teori
fuzzy dalam model jaringan syaraf Radial Basis Functiondigunakan pada penelitian ini.
Selain itu, pengaplikasian teori fuzzy yang digunakan sebagai unsupervised learningjuga
untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kesalahan paralaks dalam pengukuran.
Oleh karena itu, penelitian ini membahas mengenai algoritma pada model jaringan
syaraf Fuzzy Radial Basis Functiondan mengetahui bagaimana model jaringan
syarafFuzzy Radial Basis Function (FRBF) digunakan dalam peramalan nilai BOD.
Pada hasil peramalan nilai BOD dapat dilihat tingkat keberhasilan model dalam
mengembangkan hasil peramalan suatu permasalahan real dengan menggunakan salah
satu model jaringan syaraf tiruan. Penelitian ini juga diharapkan sebagai wujud peran
serta cendekia matematika dalam akselerasi perubahan karakter bangsa.
B. Tinjauan Pustaka
Pemodelan parameter air merupakan permasalahan yang penting dan kompleks
(proses nonlinier), beberapa teknik kecerdasan buatan yang berbeda-beda (Govindaraju,
2000a,b; Maier dan Dandy, 2000) telah sukses diterapkan dalam pemodelan daerah
sumber air. Selain itu, Hagan dan Menhaj (1994) juga telah sukses menggunakan
teknik-teknik tersebut dalam estimasi dan peramalan. Guclu dan Dursun (2008)
menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan untuk mengimplementasikan prediksi konsentrasi
effluent COD pada Ankara Central Wastewater Treatment Plant (ACWTP) di Turkey.
Fausett (1994) menyatakan bahwa Jaringan Syaraf Tiruan (artificial neural network)
adalah pemrosesan sistem informasi pada karakteristik tertentu dalam keadaan yang
berhubungan dengan jaringan syaraf biologi. Jaringan syaraf tiruan dibangun
berdasarkan generalisasi dari model matematika pada manusia atau syaraf
biologi,didasarkan pada asumsi:pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen yang
disebut neuron, sinyal dikirimkan antar neuron melalui jaringan penghubung, masing-
masing jaringan penghubung mempunyai bobot yang akan memperkuat ataupun
memperlemah sinyal dan masing-masing neuron mempergunakan fungsi aktivasi
(biasanya nonlinier) ke jaringan inputnya untuk menentukan sinyal output.
Jaringan syaraf Radial Basis Function pertama diperkenalkan kedalam literatur-
literatur tentang jaringan syaraf tiruan oleh Broomhead dan Lowe (1998). Qiao dkk
pada tahun 2011 juga menawarkan sebuah algoritma perbaikan dari desain jaringan
syaraf Radial Basis Functionuntuk memodelkan parameter COD dalam proses
pengolahan limbah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola parameter COD
dalam pembuangan pada pengolahan limbah dapat diprediksi dengan akurasi yang dapat
diterima dengan menggunakan data SS, pH, minyak dan NH3-N sebagai data masukan
pada modelnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini dengan menggunakan model
jaringan syaraf Radial Basis Functiondiharapkan dapat menghasilkan hasil estimasi
yang memiliki akurasi yang dapat diterima.Jaringan syaraf Radial Basis Function
adalah model jaringan syaraf dengan satu hidden layer, dimana fungsi aktivasinya
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 344
adalah fungsi basis dan fungsi linier pada lapisan output. Model ini merupakan
pemetaan fungsi nonlinier multidimensi berdasar pada jarak antar vektor input dan
vektor center. Jaringan Syaraf Fungsi Basis Radial memiliki input berdimensi , dengan
dan output tunggal, dengan jumlahan bobot dari berhingga banyak unit
hidden.
Secara matematis,outputy dapat dinyatakan
dengan adalah fungsi basis dari , dengan merupakan parameter
bobot dan adalah centerpada Radial Basis Function. Untuk penyederhanaan,
selalu dipilih jenis Radial Basis Functionyang sama untuk semua jumlahan bobot yang
diberikan.
Jaringan syaraf banyak diterapkan pada data time series sebagai fungsi terhadap
waktu t. Tujuannya adalah untuk memprediksi nilai pada waktu yang akan datang
(Bishop,1995). Dimisalkan terdapat variabel tunggal . Salah satu pendekatannya
adalah untuk membangkitkan suatu barisan nilai diskrit dan seterusnya.
Diambil d sedemikian hingga terdapat sebagai inputan pada jaringan dari
nilai sebagai target untuk output jaringan.Dalam Riggs (1987) dinyatakan bahwa
salah satu cara peramalan adalah dengan metode time series yang menggunakan data
histori (data waktu lampau), misalnya data nilai parameter kualitas air hari ini, untuk
membuat ramalan nilai parameter kualitas air di waktu mendatang. Tujuan dari metode
ini adalah untuk mengidentifikasi pola data histori dan kemudian mengekstrapolasi pola
ini ke masa datang. Dalam metode pengidentifikasian pola data masa lalu dilakukan
dengan membuat jaringan syaraf buatan tersebut dilatih untuk bisa menirukan pola data.
Pemilihan algoritma dan parameter yang bersesuaian dan penentuan berapa banyak
perangkat data yang dibutuhkan dalam learning process ini sangat penting untuk
menentukan akurasi dari peramalan yang dihasilkan.
Teknik logika teori fuzzy telah sukses diaplikasikan oleh Lee dkk (1997) dan
Dahiya dkk (2007) dalam pemodelan parameter kualitas air. Fuzzy adalah kata sifat
yang menggambarkan sesuatu yang tidak jelas, meragukan, tidak tepat, kabur dan lain
sebagainya. Konsep himpunan fuzzy menawarkan suatu metode yang dapat menangani
ketidakpastian di mana terdapat batas yang tidak jelas antara satu kondisi dengan
kondisi yang lain. Kemampuan himpunan fuzzy untuk mengekspresikan secara bertahap
peralihan dari keanggotaan menjadi bukan keanggotaan pada suatu himpunan dan
sebaliknya (Kusumadewi,Sri & Hari Purnomo, 2004).
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan salah satu bentuk aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan dalam
rangka pengelolaan dan pemantauan kualitas air Kali Surabaya. Penelitian ini dimulai
dengan pengambilan data yang dilakukan dengan menghubungi beberapa instansi
terkait dengan tujuan mendapatkan data objek penelitian. Dari pengambilan data pada
beberapa instansi terkait, diambil suatu data BOD secara time series yang memiliki
jumlah data terbanyak dan juga memiliki periodik yang pendek. Data parameter kualitas
air secara time series yang diperoleh adalah data nilai BOD tahun 2008 hingga 2013
dengan pengambilan data setiap 2 minggu dari Perum Jasa Tirta Malang.
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 345
Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model estimator kualitas air
dengan aplikasi Jaringan Syaraf Tiruan yaitu model Jaringan Syaraf Fuzzy Radial Basis
Function (FRBF) terhadap Kali Surabaya. Konsep dasar dari model jaringan syaraf
Fuzzy Radial Basis Function (FRBF) ini adalah penerapan aplikasi teori fuzzy ke dalam
model dasar jaringan syaraf Radial Basis Function (RBF). Langkah tersebut
dimaksudkan untuk dapat mengembangkan kualitas hasil peramalan dari terbatasnya
data dan menanggulangi kesalahan paralaks dalam pengukuran. Model jaringan syaraf
Fuzzy Radial Basis Function (FRBF) adalah model unsupervised-and-supervised
learning (Sheng-Chai Chi dan Li-Chang Hsu, 2001). Algoritma learning ini dapat
dibagi dalam dua tahap: tahapunsupervised learning dan tahapsupervised learning.
Proses algoritma unsupervised learning dapat dijelaskan sebagai berikut.
Langkah 1. Memfuzzifikasi proses training ke dalam pusat initial fuzzy pada
hidden layer pada jaringan syaraf FRBF
dengan
dan adalah jumlah neuron input serta adalah jumlah neuron hidden.
Langkah 2. Memasukkan vektor fuzzy
dengan
merepresentasikan interval fuzzy dari neuron input ke- pada waktu .
Langkah 3. Menghitung jarak fuzzy antara vektor input dan masing-masing neuron
pada hidden layer
dengan adalah interval fuzzy antara neuron ke- pada input
layer dan neuron ke- pada hidden layer.
Langkah 4. Menggunakan pusat pada metode gravity untuk defuzzifikasi jarak
fuzzy.
Langkah 5. Menemukan neuron terpilih dengan jarak minimun pada hidden
layer
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 346
Langkah 6. Memperbarui nilai fuzzy pada neuron terpilih (atau pusat)
dengan merepresentasikan learning rate pada waktu t.
Langkah 7. Mengurangi nilai learning rate dan mengulang langkah 2 - 6 hingga
jumlah putaran learning mencapai nilai yang telah ditentukan.
dengan adalah reduction rate dari learning rate pada waktu .
Selain itu, proses supervised learning dapat diekspresikan sebagai langkah-langkah
berikut:
Langkah 1. Menghitung nilai output pada neuron hidden
dengan adalah standart deviasi dari neuron hidden ke- dan adalah jarak
Euclidean antara vektor input dan pusat ke- .
Langkah 2. Menghitung nilai output pada neuron output
Langkah 3. Menghitung nilai error antara yang diinginkan dan respon sebenarnya.
Langkah 4. Menyesuaikan bobot connection antara neuron hidden dan neuron
output
Langkah 5. Mengulangi Langkah 1 hingga Langkah 4 sampai jumlah perulangan
training yang telah didefinisikan atau error yang diperbolehkan dicapai.
D. Hasil dan Pembahasan
Pemilihan nilai BOD sebagai parameter yang digunakan sebagai petunjuk tingkat
pencemaran pada Kali Surabaya didasarkan pada kemampuan nilai BOD yang dapat
dijadikan indikator kemampuan sungai dalam memurnikan kembali kualitas air.
Tingginya nilai BOD menunjukkan bahwa badan perairan tersebut banyak mengandung
bahan organik yang harus diuraikan oleh mikroorganisme. Berdasarkan Lee, dkk (1978)
nilai BOD dapat diklasifikasikan pada status perairan tertentu sebagai berikut.
Tabel 1. Klasifikasi status perairan berdasarkan Lee, dkk (1978)
No. Status Perairan Nilai Kisaran BOD (mg/L)
1 Belum Tercemar < 3,0
2 Tercemar Ringan 3,0 - 4,9
3 Tercemar Sedang 5,0 - 15,0
4 Tercemar Berat >15,0
Klasifikasi status perairan menurut nilai BOD diatas digunakan sebagai penentuan
fungsi keanggotaan fuzzy untuk setiap nilai BOD. Representasi fungsi keanggotaan yang
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 347
digunakan dalam penelitian ini adalah representasi kurva segitiga. Representasi kurva
segitiga merupakan bentuk bilangan fuzzy yang sederhana karena mampu mencakup
persekitaran suatu bilangan klasik dengan memperhatikan lower bound dan upper
bound dari bilangan tersebut. Batas bawah pada masing-masing rentang dalam
klasifikasi status perairan digunakan sebagai lower bound untuk setiap nilai BOD.
Sedangkan batas atas pada masing-masing rentang dalam klasifikasi status perairan
digunakan sebagai upper bound untuk setiap nilai BOD. Dengan memperhatikan lower
bound dan upper bound untuk setiap nilai BOD terbentuk bilangan fuzzy untuk masing-
masing nilai BOD seperti terlihat pada Tabel 2. Proses transformasi bilangan klasik nilai
BOD ke dalam bilangan fuzzynilai BOD ini disebut dengan proses fuzzifikasi. Proses
fuzzifikasi merupakan langkah awal dalam tahap unsupervised learning pada model
FRBF yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas hasil peramalan dari terbatasnya
data dan menanggulangi kesalahan paralaks dalam pengukuran.
Tabel 2. Contoh Hasil Fuzzifikasi Nilai BOD
Bilangan Klasik Bilangan Fuzzy
13,5 5 13,5 15
7,6 5 7,6 15
3,2 3 3,2 5
Bilangan fuzzy untuk setiap nilai BOD digunakan sebagai input dalam penentuan
jarak antara masing-masing neuron pada input layer dengan masing-masing neuron
pada hidden layer. Penentuan jarak tersebut direpresentasikan oleh fuzzy α-cut interval
pada neuron ke-i dari input layer dan neuron ke-j pada hidden layer. Jika terdapat
sebuah bilangan fuzzy A=[ ] maka terdapat α-cut intervalAα= dengan
. Salah satu contoh pengoperasian
pengurangan ( pada Xdan C dapat dilihat pada persamaan berikut.
Untuk dan untuk . Oleh karena
itu didapatkan jarak antara X dan C yaitu .
Jarak terpendek tersebut kemudian didefuzzifikasi menggunakan metode COG
(Center Of Gravity). Metode COG pada dasarnya adalah metode pencarian titik berat
untuk suatu representasi kurva segitiga untuk bilangan fuzzy. Sebagai contoh, bilangan
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 348
fuzzy dapat didefuzzifikasi menjadi bilangan klasik 6.8 yang terlihat pada
persamaan 1.
Dari jarak-jarak tersebut dipilih salah satu jarak dengan nilai minimum sebagai
neuron terpilih (center) pada hidden layeruntuk diupdate.Kemudian jarak-jarak tersebut
digunakan untuk menghitung output pada neuron hidden dan neuron output. Selanjutnya
dihitung error antara nilai yang dihasilkan dan nilai aktual. Langkah-langkah tersebut
diulang hingga mencapai error minimum yang telah ditentukan. Proses perulangan dan
perhitungan tersebut disimulasikan padasoftware Matlab 2013a sehingga dihasilkan
nilai BOD pada waktu berikutnya.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data nilai BOD tahun 2008 hingga
2013 dengan pengambilan data setiap 2 minggu. Data yang digunakan dalam proses
training jaringan syaraf adalah data tahun 2008 hingga 2012 yang berjumlah 122.
Sedangkan data tahun 2013 digunakan untuk testing jaringan syaraf tersebut. Hasil dari
proses testing yang digambarkan dalam bentuk grafik adalah sebagai berikut.
Gambar 1. Grafik Hasil Peramalan Nilai BOD dengan jaringan syaraf FRBF
Pada grafik diatas, terlihat bahwa model jaringan syaraf Fuzzy Radial Basis
Function mampu meramalkan nilai BOD mendekati nilai sebenarnya hingga hasil
peramalan ke-8. Namun pada peramalan ke-7, nilai aktual yang terlalu tinggi tidak
mampu didekati oleh nilai BOD hasil peramalan. Perbandingan hasil peramalan dengan
nilai aktual beserta nilai MSE(Mean Square Error) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan Hasil Peramalan dengan Nilai Aktual dan MSE
Data ke- 1 2 3 4 5 6 7 8
Hasil
Peramalan 4.2700 4.0600 3.0555 4.1151 3.0168 4.1693 2.9807 6.0005
Nilai Aktual 4.27 4.06 4.85 4.33 4.11 5.08 15 7.99
MSE 0 0 0.3578 0.0051 0.1328 0.0922 16.0514 0.4398
E. Simpulan dan Saran
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui cara kerja dan kemampuan model
jaringan syaraf Fuzzy Radial Basis Function dalam meramalkan nilai BOD pada Kali
Surabaya. Cara kerja model tersebut terbagi menjadi dua tahap, yaitu unsupervised
learning yang mengadopsi aplikasi teori fuzzy dan supervised learning yaitu model
1 2 3 4 5 6 7 82
4
6
8
10
12
14
16
FRBFNN
AKTUAL
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 349
jaringan syaraf Radial Basis Function. Kemampuan model Fuzzy Radial Basis Function
dalam peramalan nilai BOD telah terbukti keakuratan hasil dan dapat diterapkan pada
permasalahan lain karena pada hasil peramalan untuk permasalahan penelitian ini
memiliki nilai error yang kecil dan nilai hasil peramalan mendekati nilai aktual. Namun,
terjadi pencilan data atau data yang tiba-tiba melonjak belum mampu didekati oleh hasil
peramalan nilai BOD pada waktu tersebut. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut perlu
dilakukan dalam menanggulangi pencilan data tersebut.
F. Daftar Pustaka
Arifin Z. dan M.I. Irawan. 2009. Adaptive Sensitivity Sensitivity-based Linear
Learning Method Algorithms for Data Classification.Proceeding of 5th
International Conference of Mathematics, Statistics and Their Aplications, Juni 9 -
11. Bukit Tinggi – West Sumatra Indonesia.
Bishop, C. M.. 1995.Neural Networks for Pattern Recognition.United States: Oxford
University Press Inc.
Broomhead, D., Lowe, D. 1988. Multivariable functional interpolation and adaptive
networks.Complex Syst. 2 (6), 321–355.
Chi, Sheng-Chai dan Li-Chang Hsu. 2001.A Fuzzy Radial Basis Function Neural
Network for Predicting Multiple Quality Characteristics of Plasma Arc Welding.
IEEE. Taiwan.
Dahiya, S., Singh, B., Gaur, S., Garg, V.K., Kushwaha, H.S. 2007. Analysis of
groundwater quality using fuzzy synthetic evaluation. J. Hazard. Mater. 147,938–
946.
Fausett, L. 1995.Fundamental of Neural Networks: Architecture, Algorithms, and
Applications,New Jersey:Prentice Hall
Govindaraju, R.S., 2000a. Artificial neural networks in hydrology I: preliminary
concepts. ASCE task committee on application of artificial neural networks in
hydrology. J. Hydrol. Eng. 5 (2), 115–123.
Govindaraju, R.S., 2000b. Artificial neural networks in hydrology II: hydrologic
applications. ASCE task committee on application of artificial neural networks in
hydrology. J. Hydrol. Eng. 5 (2), 124–137.
Guclu, D., Dursun, S., 2008. Amelioration of carbon removal prediction for an
activated sludge process using an artificial neural network (ANN). Clean-Soil Air
Water 36, 781–787.
Hagan, M.T., Menhaj, M.B., 1994. Training feed forward networks with the Marquardt
algorithm. IEEE Trans. Neural Networks 5 (6), 861–867.
Kolarik, T. dan Rudorfer, G. 1994. Time Series Forecasting Using Neural
Networks.Proceeding of theInternational Conference on API. Belgium.
Kusumadewi, Sri dan Hari Purnomo. 2004.Aplikasi Logika Fuzzy untuk Mendukung
Keputusan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lee, H.K., Oh, K.D., Park, D.H., Jung, J.H., Yoon, S.J., 1997. Fuzzy expert system to
determine stream water quality classification from ecological information. Water
Sci. Technol. 36 (12), 199–206.
Masduqi, A dan E. Apriliani. 2008.Estimation of Surabaya River Water Quality Using
Kalman Filter Algorithm.IPTEK.The Journal for Technology and Science, Vol. 19,
No. 3, August 2008
Model Jaringan Syaraf Fuzzy
ISBN 978-602-1034-06-4 350
Qiao, J., Chen, Q., Han, H., 2011. The chemical oxygen demand modelling based on a
dynamic structure neural network. Waste water-evaluation and management. Prof.
Fernando Sebastián García Einschlag. 93–114, ISBN 978-953-307-233-3 pp.
Ranaweera, D. K., Hubble, N. F., dan Papalexopoulos, A. D. 1995. Application of
Radial Basis Function Neural Network Model for Short Term Load Forecasting.
IEEE Proceedings Generation Transmission and Distribution 142.1, 45-50
Riggs, James L. 1987.Production System – Planning, Analysis and Control.
Singapore:John Wiley & Sons.
Thommassey, S. dan Happiette, M. 2007. A neural clustering and classification system
for sales forecasting of new apparel item.Applied Soft Computing 7, 1177-1187
Masalah Penugasan Optimal Dengan
MASALAH PENUGASAN OPTIMAL DENGAN ALGORITMA
KUHN-MUNKRES
Mulyono
Jurusan Matematika FMIPA Unnes Kampus Sekaran Gedung D7 Lantai 1, Semarang
Surel:[email protected]
Abstrak
Masalah penugasan optimal (optimal assignment problem) adalah suatu masalah
mengenai pengaturan pada individu (objek) untuk melaksanakan tugas (kegiatan),
dengan demikian profit yang diperoleh untuk pelaksanaan penugasan tersebut dapat
dimaksimalkan. Salah satu metode yang digunakan dalam menyelesaikan persoalan ini
adalah dengan menggunakan algoritma Kuhn-Munkres. Algoritma Kuhn-Munkres
adalah salah satu algoritma yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan masalah
penugasan. Dengan menggunakan algoritma ini, solusi optimal yang terbaik akan
ditemukan. Permasalahan penugasan yang ada direpresentasikan dengan graf bipartit
lengkap dengan banyaknya anggota pada masing-masing partisinya sama.
Kata Kunci: Masalah Penugasan Optimal; Algoritma Kuhn-Munkres; Graf Bipartit
Lengkap
A. Pendahuluan
Berbagai metode digunakan demi meningkatkan produktivitas perusahaan yang
pada akhirnya akan mendongkrak profit (keuntungan). Salah satu hal yang
mempengaruhi perkembangan suatu perusahaan adalah kualitas kinerja karyawannya.
Ketersediaan tenaga ahli (karyawan) saja tidaklah cukup, namun yang harus lebih
diperhatikan adalah bagaimana mengelola tenaga ahli (karyawan) yang ada agar
kinerjanya lebih optimal. Salah satunya dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan
dimana penempatan tersebut merupakan penempatan yang optimal.
Penempatan sejumlah X karyawan pada Y pekerjaan, jika banyaknya karyawan
dimisalkan sama dengan banyaknya pekerjaan dengan mempertimbangkan aspek tertetu
seperti pengoptimalan profit yang didapat dari penempatan X karyawan terhadap Y
buah pekerjaan dikenal dengan masalah penugasan optimal (optimal assigment
problem). Penerapan graf pada masalah penugasan optimal ini dapat dinyatakan sebagai
graf bipartit (Clark& Holton, 1991.Dalam Siang(2004) graf bipartit didefinisikan
sebagai suatu graf sederhana G yang himpunan titik V-nya dapat dipartisi menjadi dua
himpunan tak kosong V1 dan V2 yang tak beririsan sedemikian hingga setiap sisi dalam
graf menghubungkan suatu titik di V1 dengan titik di V2 (sedemikian hingga tak ada sisi
di dalam G menghubungkan dua titik di V1 maupun di V2). Karyawan dianggap sebagai
V1 dan pekerjaan sebagai V2. Karena aspek yang dioptimalkan dalam masalah
penugasan optimal dianggap sebagai bobot dan peluang penempatan tiap X karyawan
pada Y buah pekerjaan dianggap sama, maka untuk mencari solusinya graf bipartit yang
digunakan adalah graf bipartit lengkap berbobot.
Untuk mencari solusi dari masalah penugasan optimal yang dinyatakan sebagai graf
bipartit lengkap berbobot adalah dengan menerapkan konsep penjodohan (matching),
khususnya penjodohan sempurna pada graf bipartit lengkap berbobot. Penjodohan
sempurna dengan bobot paling maksimal adalah solusinya.
Pada dasarnya pencarian penjodohan sempurna dengan bobot maksimal dapat
dilakukan dengan mendaftar semua penjodohan sempurna yang berbeda, dan
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 352
menghitung jumlah bobot dari tiap penjodohan sempurna yang diperoleh. Banyaknya
penjodohan sempurna yang berbeda pada suatu graf bipartit lengkap dengan n titik pada
masing-masing partisinya adalah n!. Sangat tidak efisien jika cara ini digunakan, karena
semakin banyak jumlah titik maka semakin banyak pula penjodohan sempurna yang
berbeda. Oleh karena itu, untuk memudahkan pencarian solusi masalah penugasan
optimal, dapat digunakan sebuah algoritma optimasi yaitu algoritma Kuhn-
Munkres.Algoritma Kuhn-Munkres adalah algoritma yang dapat digunakan untuk
menyelesaikanmasalah penugasan optimal. Pada tahun 1955, Harold Kuhn (seorang
matematikawan asal Amerika) mempublikasikan sebuah metode yang diberi nama
metode Hungarian,yaitu sebuah algoritma kombinatorik untuk optimasi yang dapat
digunakan untuk menemukan solusi optimal darimasalah penugasan. Pada tahun 1957,
James Raymond Munkres memperbaiki algoritma Kuhn. Oleh karena itu, algoritma ini
sering disebut algoritma Kuhn-Munkres. Untuk mencari solusi dari masalah penugasan
optimal dengan menggunakan algoritma Kuhn-Munkres salah satunya dapat dilakukan
dengan merepresentasikan algoritma ini pada graf bipartit.
B. Pembahasan
a. Penjodohan
Penjodohan (matching)M didefinisikan sebagai sebuah himpunan sisi-sisi pada graf
G yang saling lepas. Dua sisi dikatakan saling lepas jika kedua sisi tersebut tidak
mempunyai titik ujung persekutuan (Budayasa, 2007).
v1
v2 v3
v5
v4
v6 e6
e1
e2
e4 e3
e5e7
e8
Gambar 1. Graf G
Himpunan M1 = {e1, e3, e6} adalah sebuah penjodohan berukuran 3 pada G, begitu
juga himpunan M2 = {e2, e5, e8} adalah sebuah penjodohan berukuran 3. Sedangkan
himpunan M3 = {e4, e8} dan himpunan M4 = {e4, e6}, masing-masing adalah sebuah
penjodohan berukuran 2 pada graf G. tetapi himpunan E = {e1, e2, e5} bukan penjodohan
pada G karena sisi e1 dan e2 terkait ke titik yang sama yaitu di titik v2
Sebuah titik di G dikatakan tertutup oleh penjodohan M jika titik v merupakan titik
akhir (ujung) dari salah satu sisi di M. Titik v dikatakan M-saturated jika titik v tertutup
oleh penjodohan M. Sebaliknya jika titik v di graf G tidak tertutup oleh penjodohan M
disebut M-unsaturated. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 2, penjodohan M3 =
{e4, e8} menutup titik v1, v2, v4, v6; tetapi M3 tidak menutup titik v3 dan v5. Dengan kata
lain, titik v1, v2, v3, v6 adalahM3-saturated tetapi titik-titik v3 dan v5 adalah M3-
unsaturated.
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 353
v1
v2 v3
v5
v4
v6 e6
e1
e2
e4 e3
e5e7
e8
Gambar 2. M3-saturated dan
M3-unsaturated
v1
v2 v3
v5
v4
v6 e6
e1
e2
e4 e3
e5e7
e8
Gambar 3. M4-saturated dan
M4-unsaturated
Pada Gambar 3, penjodohan M4 = {e4, e6} menutup titik v2, v4, v5, v6; tetapi M4 tidak
menutup v1 dan v3. Titik-titik v2, v4, v5, v6 adalah M4-saturated tetapi titik-titik v1 dan v3
adalah M4-unsaturated.
Sebuah penjodohan M digraf G di graf G dinamakan penjodohan maksimum jika G
tidak mempunyai penjodohan lain dengan ukuran yang lebih besar dari penjodohan M.
Dengan kata lain, jika M’ penjodohan pada G maka |M| ≥ |M’|. Misalnya pada Gambar
1, graf G tidak ada penjodohan berukuran 4, maka M1 dan M2 penjodohan maksimum
pada G. Sebuah penjodohan M di graf G dikatakan penjodohan sempurna jika M
memuat semua titik di G. Dengan kata lain, jika M penjodohan sempurna pada graf G
maka setiap titik di G M-saturated. Sebagai contoh M1 = {e1, e3, e6} adalah penjodohan
sempurna pada graf G, begitu juga M2 = {e2, e5, e8} merupakan penjodohan sempurna
pada graf G. Setiap penjodohan sempurna adalah penjodohan maksimum, tetapi tidak
berlaku sebaliknya. M adalah penjodohan maksimum, maka belum tentu M penjodohan
sempurna.
Misalkan M adalah penjodohan dan P lintasan pada graf G, lintasan P disebut
lintasan alternatif-M(M-alternating path) jika sisi-sisi pada lintasan P itu bergantian di
M dan di E(G)\M. Selanjutnya lintasan P disebut lintasan augmentasi-M (M-augmenting
path) jika P adalah lintasan alternatif-M (M-alternating path) dan titik awal serta titik
akhir dari lintasan P tersebut merupakan M-unsaturated.
v1v2
v4
v5v6
v7 v8
e1
e2
e3
e4
e5
e6
e7
e8 e9
Gambar 4. Lintasan alternatif-M dan
lintasan augmentasi-M
Pada Gambar 4 yang merupakan contoh lintasan alternatif–M (M-alternating path)
yaitu: . Sedangkan merupakan
contoh lintasan augmentasi-M (M-augmenting path) karena titik awalnya yaitu dan
titik akhirnya merupakan titik yang berada pada E(G) dan M-unsaturated.
Misalkan M adalah penjodohan pada graf G, dan terdapat penjodohan lain, sebut
saja M’ dengan M M’ menunjukkan selisih simetris M dan M’. Selisih simetris M dan
M’ dapat dinotasikan M M’= , maka suatu graf H = G(M M’)
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 354
merupakan graf yang direntang oleh sisi M M’ dengan menghapus semua sisi M M’
dan sisi (G\M) (G\M’).
Contoh.
Diberikan graf G yang memuat penjodohan M dan penjodohan M’ seperti pada
Gambar 5. Akan dicari H = G(M M’) .
v1 v2 v3 v4 v5
v7
v6
v8 v9 v10 v11
e1e2
e3
e4
e5 e6
e7
e8
e9e10
Gambar 5. Penjodohan M dan Penjodohan M’
Dari Gambar 5 diperoleh penjodohan M = {e2,e3, e4, e8} dan penjodohan M’={e1,
e4, e5, e6, e10}. Sisi e4 yang menghubungkan titik dan titik merupakan anggota
penjodohan M sekaligus anggota penjodohan M’, yaitu . Maka sisi
tersebut dihapus. Sisi e9 yang menghubungkan titik dan titik serta sisi e7 yang
menghubungkan titik dan titik bukan anggota penjodohan M sekaligus bukan
anggota penjodohan M, yaitu: , oleh karena itu dihapus.
Selanjutnya diperoleh H = G(M M’) seperti Gambar 6.
v1 v2 v3 v4 v5
v7
v6
v8 v9 v10 v11
e1e2
e3 e5 e6
e8
e10
Gambar 6. Graf H = G(M∆M’)
b. Penjodohan dan Penutup pada Graf Bipartit
Dalam aplikasi ini untuk menemukan sebuah penjodohan pada graf bipartit yang
menutup semua titik pada salah satu partisi. Syarat perlu dan cukup sebuah graf bipartit
memiliki penjodohan yang demikian, diberikan oleh Hall (1935). Jika G sebuah graf
dan S V(G), maka himunan semua titik G yang bertetangga dengan titik-titik di S,
dilambangkan dengan NG(S) atau N(S).
Teorema1 (Teorema Hall)
Misalkan G adalah graf bipartit dengan partisi (X,Y). Graph G memuat sebuah
penjodohan yang menutup semua titik X jika dan hanya jika |N(S)|≥|S|, untuk setiap S
X.
Bukti:
Misalkan graf bipartit G dengan partisi (X,Y) memuat penjodohan M yang menutup
semua titik X dan misalkan S X. Karena titik-titikdi S dipasangkan oleh M ke titik
yang berbeda di N(S) Y maka|N(S)|≥|S|.
Misalkan G adalah graf bipartit dengan partisi (X,Y) yang memenuhi N(S)|≥|S|,
. Andaikan G tidak memuat penjodohan yang menutup semua titik X. Misal M*
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 355
adalah penjodohan maksimum di G, karena pengandaian, M* tidak menutup semua titik
X, berarti ada titik di X yang tidak ditutupi oleh M*, misalkan titik u. Misalkan Z
menyatakan himpunan semua titik yang terhubung ke u oleh lintasan-lintasan"
alternatif-M*. Karena M* penjodohan maksimum maka hanya titik u yang tidak
tertutup oleh M* di Z. Namakan himpunan S = Z ∩ X dan T = Z ∩ Y. Jelas titik-titik di
S\{u} dipasangkan oleh M* dengan titik di T. Oleh karena itu N(S) T dan
……………………(1)
Karena setiap titik di N(S) terhubung ke u oleh lintasan alternatif-M*, diperoleh
………..………………(2)
Dan (1) dan (2) didapat
suatu kontradiksi. Dengan demikian teorema terbukti.
c. Algoritma Kuhn-Munkres
Algoritma Kuhn-Munkres adalah algoritma yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah penugasan optimal. Pada tahun 1955, Harold Khun (seorang
matematikawan asal Amerika) mempublikasikan sebuah metode yang diberi nama
metode Hungarian (untuk menghormati dua orang matematikawan asal Hungaria,
yaitu D. Kőnig and E. Egerváry), yaitu sebuah algoritma kombinatorik untuk optimasi
yang dapat digunakan untuk menemukan solusi optimal dari masalah penugasan. Pada
tahun 1957, James Raymond Munkres seorang Professor Emeritus matematika dari MIT
memperbaiki algoritma Kuhn. Oleh karena itu, algoritma ini sering disebut algoritma
Kuhn-Munkres.
Secara sistematis algoritma tersebut dapat ditulis ke dalam bentuk langkah-langkah
sebagai berikut.
Input : Graf bipartit komplit berbobot G dengan partisi (X,Y).
Step 1 : Dimulai dengan sebuah pelabelan titik G, namakan pelabelan λ. tentukan graf
Gλ dan pilih penjodohan M sembarang pada Gλ.
Step 2:Jika X tertutup oleh M, maka M adalah penjodohan sempurna karena
, penjodohan M optimal pada G, dan berhenti (STOP). Jika tidak,
misal u adalah titik yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = dan T = .
Step 3 : Jika , pergi ke step 4. Jika tidak, , hitung
, dan .
Buatlah pelabelan titik baru, namakan λ’ dengan
Step 4:Pilih titik y di . Apakah tertutup oleh M atau tidak. Jika y tertutup
oleh M dan yz M, maka ganti S dengan dan T dengan T dan
pergi ke step 3. Jika tidak, misalkan P adalah lintasan-(u,y) augmentasi M di G,
ganti M dengan M’= M dan pergi ke step 2.
(Clark & Holton (1991) dan Budayasa(2007))
d. Aplikasi Algoritma Kuhn-Munkres dalam Penempatan Karyawan
Penerapan Algoritma Kuhn-Munkres pada graf bipartit komplit berbobot G
dinyatakan dengan matrix W = denganwij adalah bobot dari sisi uivj pada graf G.
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 356
Contoh:
Misalkan seorang manager sebuah perusahaan menempatkan 7 karyawan X =
{x1,x2,x3,x4,x5,x6,x7} untuk 7 penempatan bagian produksiY = (y1,y2,y3,y4,y5,y6,y7).
Pemilihan dilakukan untuk mendapatkan keuntungan diukur dari kemampuan setiap
karyawan untuk mendapatkan keuntungan setiap posisinya yang dioptimalkan.
Kemampuan pelamar kerja merupakan bobot sisi yang menghubungkan karyawan
dengan pekerjaan. Bagaimana cara penempatan karyawan yang optimal? (Contoh ini
diadaptasi dari Clark & Holton (1991))
Penyelesaian:
Permasalahan ini dapat dimodelkan dalam graf bobot bipartit lengkap K7,7 pada Gambar
7 berikut.
x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7
y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7
Gambar 7. Graf bobot bipartit lengkap K7,7
Graf G dapat dipresentasikan dalam bentuk matriks. Label baris-i dengan xi dan label
kolom-j dengan yi, . Entri matriks baris-i dan kolom-j menyatakan bobot sisi
xiyj.
Jika label titik xi diletakkan sebelah kanan baris-i dan label titik yi diletakkan di bawah
kolom-j, sebuah pelabelan titik G yang layak, namakan , adalah sebagai berikut.
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 357
Step 1:Sebuah pelabelan titik G
Graf bagian rentang Gλ yang dibangun oleh sisi-sisi G yang bobotnya sama dengan
jumlah label titik-titik ujungnya adalah seperti terlihat pada Gambar 8 berikut.
x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7
y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7
Gambar 8. Graf rentang Gλ
Pilih penjodohan pada graf Gλ.
Step 2: titik {x7} yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = {x7} dan T = .
Step 3: (S) = {y2,y3}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y2,y3}. Pilih y3.Titik y3 tertutup oleh M dengan x2y3 M, maka
ganti S dengan S {x3} = {x2, x7} dan T dengan T {y3}={y3}, pergi ke step 3.
Step 3: (S) ={y2,y3}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y2}. Pilih y2.Titik y2 tertutup oleh M dengan x1y2 M, maka ganti
S dengan S {x1} = {x1, x2, x7} dan T dengan T {y2}= {y2,y3}, pergi ke step 3.
Step 3: (S) = {y2,y3}. Karena (S) = T, maka hitung
λ = min {λ(x1)+λ(y1)-w(x1y1), λ(x1)+λ(y4)-w(x1y4), λ(x1)+λ(y5)-w(x1y5),
λ(x1)+λ(y6)-w(x1y6), λ(x1)+λ(y7)-w(x1y7), λ(x2)+λ(y1)-w(x2y1), λ(x2)+λ(y4)-
w(x2y4), λ(x2)+λ(y5)-w(x2y5), λ(x2)+λ(y6)-w(x2y6), λ(x2)+λ(y7)-w(x2y7),
λ(x7)+λ(y1)-w(x7y1), λ(x7)+λ(y4)-w(x7y4), λ(x7)+λ(y5)-w(x7y5), λ(x7)+λ(y6)-
w(x7y6), λ(x7)+λ(y7)-w(x7y7)}
=min{5+0-3, 5+0-4, 5+0-1, 5+0-1, 5+0-1, 7+0-5, 7+0-6, 7+0-5, 7+0-4, 7+0-6,
4+0-2, 4+0-1, 4+0-0, 4+0-3, 4+0-3}
= min{2, 1, 4, 4, 4, 2, 1, 2, 3, 1, 2, 3, 4, 1, 1} = 1
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 358
Buat pelabelan titik yang baru pada graf Gλ namakan λ’ dengan aturan berikut.
λ’(x) λ’(y)
Step 1: Setelah mengganti λ dengan λ’, maka diperoleh pelabelan λ yang baru pada graf
G dalam bentuk matriks berikut ini.
Graf bagian rentang Gλ yang baru pada G tampak pada Gambar 9 berikut.
x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7
y1 y2 y3 y4 y5 y6 y7
Gambar 9. Graf rentang Gλ baru
Step1: Pilih M = {x1y2, x2y3,x3y1, x4y4, x5y6, x6y7} penjodohan baru pada graf Gλ.
Step 2: titik {x7} yang tidak tertutup oleh M. Tulis S = {x7} dan T = .
Step 3: (S) = {y2,y3,y6,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y2,y3,y6,y7}. Pilih y2. Titik y2 tertutup oleh M dengan x1y2 M,
maka ganti S dengan S {x1} = {x1, x7} dan T dengan T {y2}={y2}, pergi ke
step 3.
Step 3: (S) ={y2,y3,y4,y6,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y3,y4,y6,y7}. Pilih y3. Titik y3 tertutup oleh M dengan x2y3 M,
maka ganti S dengan S {x2} = {x1, x2, x7} dan T dengan T {y3}= {y2,,y3},
pergi ke step 3.
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 359
Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y4,y7}. Pilih y4. Titik y4 tertutup oleh M dengan x4y4 M, maka
ganti S dengan S {x4} = {x1, x2, x4, x7} dan T dengan T {y4}= {y2,,y3,y4},
pergi ke step 3.
Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y7}. Pilih y7. Titik y7 tertutupoleh M dengan x6y7 M, maka ganti
S dengan S {x6} = {x1, x2, x4,x6, x7} dan T dengan T {y7}= {y2,,y3,y4, y7},
pergi ke step 3.
Step 3: (S) = {y2,y3,y4,y5, y7}. Karena (S) ⊃ T, pergi ke step 4.
Step 4: = {y5}. Pilih y5.Titik y5 tidak tertutup oleh M, maka lintasan P={x7,
x7y7, y7, y7x6, x6, x6y5, y5} lintasan augmented-M. Ganti M dengan
= {x1y2, x2y3,x3y1, x4y4, x5y6, x6y5, x7y7}, pergi ke step 2.
Step 2: X tertutup oleh penjodohan M’ di atas. Jadi M’ adalah penjodohan sempurna
pada graf Gλ dan M’ adalah penjodohan optimal pada graf G dengan bobot
sebagai berikut.
w(M’) = w(x1y2) + w(x2y3) + w(x3y1) + w(x4y4) + w(x5y6) + w(x6y5) + w(x7y7) =
5 + 7+ 2+4+3+8+3 = 32.
Jadi keuntungan maksimum diperoleh dengan memasangkan karyawan dengan
pekerjaan seperti dalam tabel di bawah ini.
Karyawan Pekerjaan Profit
x1 y2 5
x2 y3 7
x3 y1 2
x4 y4 4
x5 y6 3
x6 y5 8
x7 y7 3
Total profit 32
Perhatikan bahwa dari pelabelan titik G yang terakhir diperoleh:
= 32
= w(M’).
Masalah Penugasan Optimal Dengan
ISBN 978-602-1034-06-4 360
C. Simpulan dan Saran
Masalah penugasan optimal merupakan masalah penempatan untuk memperoleh
solusi yang optimal. Masalah penugasan optimal dapat diselesaikan dengan menerapkan
konsep graf, yaitu dengan mencari penjodohan sempurna dengan bobot maksimum pada
suatu graf bipartit khususnya graf bipartit lengkap berbobot. Salah satu cara untuk
menemukan penjodohan sempurna pada graf bipartit lengkap berbobot dengan bobot
maksimum adalah dengan algoritma Kuhn-Munkres. Algoritma Kuhn-Munkres ini
sebaiknya dibuat program komputernya sehingga untuk permasalahan yang melibatkan
karyawan dan jenis pekerjaan yang lebih banyak dapat diselesaikan dengan cepat.
D. Daftar Pustaka
Budayasa, I.K. 2007. Teori Graph dan Aplikasinya. Surabaya: Unesa University Press.
Clark, J. & Holton, D. A. 1991. A First Look at Graph Theory. Singapore: World
Scientific.
Siang, J.J. 2004. Matematika Diskrit dan Aplikasinya pada Ilmu Komputer. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.