Mengenal Kutubus Sittah

38
AL-KUTUB AL-SITTAH: ANALISIS KITAB DAN BIOGRAFI PENYUSUNNYA Ahda Bina Afianto 1 A. PENDAHULUAN Umat Nabi Muhammad Saw. adalah umat yang paling beruntung dibandingkan dengan umal-umat sebelumnya, karena banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada umat nabi terakhir ini. Di antara banyak keistimewaan itu adalah terpeliharanya kitab suci mereka, yaitu al- Qur‟an al-Karim. Di antara fungsi hadith Rasulullah Saw. adalah sebagai penjelas bagi ayal-ayat al-Qur‟ān. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. memberikan janji kepada umat Islam untuk memelihara al-Qur‟ān, maka sudah semestinya Allah Swt. pun akan memelihara hadith. Hal ini terbukti dengan terpeliharanya hadith-hadith Rasulullah Saw. Mungkin ada orang yang ingin memberikan komentar, "Bila memang benar Allah Swt. memelihara hadith-hadith Rasulullah Saw., mengapa ada hadith da‟if atau hadith palsu (maudu„)? Bukankah adanya hadith da„if dan hadith palsu menunjukkan Allah tidak memelihara hadith sebagaimana Allah memelihara al-Qur‟ān?" Komentar tersebut sangat bagus. Namun demikian, komentar itu juga rancu, karena keberadaan hadith da„if dan hadith palsu itu justru menjadi bukti terpenuhinya janji Allah. Adanya hadith da„if dan maudu„ menunjukkan adanya usaha yang dilakukan secara serius untuk menyaring hadith-hadith Rasulullah Saw. Kita bisa membandingkan hal ini dengan nasib "hadith- hadith" para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw., di mana yang sahih, da‟if dan maudu„ telah bercampur tidak karuan. Hal ini berbeda dengan hadith- hadith Rasul Allah Saw. yang terpelihara. Hadith-hadith beliau telah 1 Makalah disampaikan dalam seminar Studi Hadith Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada tanggal 6 Januari 2009, dibimbing oleh Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A.

Transcript of Mengenal Kutubus Sittah

AL-KUTUB AL-SITTAH:

ANALISIS KITAB DAN BIOGRAFI PENYUSUNNYA

Ahda Bina Afianto1

A. PENDAHULUAN

Umat Nabi Muhammad Saw. adalah umat yang paling beruntung

dibandingkan dengan umal-umat sebelumnya, karena banyak keistimewaan

yang diberikan oleh Allah Swt. kepada umat nabi terakhir ini. Di antara

banyak keistimewaan itu adalah terpeliharanya kitab suci mereka, yaitu al-

Qur‟an al-Karim.

Di antara fungsi hadith Rasulullah Saw. adalah sebagai penjelas bagi

ayal-ayat al-Qur‟ān. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. memberikan janji

kepada umat Islam untuk memelihara al-Qur‟ān, maka sudah semestinya

Allah Swt. pun akan memelihara hadith. Hal ini terbukti dengan

terpeliharanya hadith-hadith Rasulullah Saw.

Mungkin ada orang yang ingin memberikan komentar, "Bila memang

benar Allah Swt. memelihara hadith-hadith Rasulullah Saw., mengapa ada

hadith da‟if atau hadith palsu (maudu„)? Bukankah adanya hadith da„if dan

hadith palsu menunjukkan Allah tidak memelihara hadith sebagaimana Allah

memelihara al-Qur‟ān?"

Komentar tersebut sangat bagus. Namun demikian, komentar itu juga

rancu, karena keberadaan hadith da„if dan hadith palsu itu justru menjadi bukti

terpenuhinya janji Allah. Adanya hadith da„if dan maudu„ menunjukkan

adanya usaha yang dilakukan secara serius untuk menyaring hadith-hadith

Rasulullah Saw. Kita bisa membandingkan hal ini dengan nasib "hadith-

hadith" para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw., di mana yang sahih, da‟if

dan maudu„ telah bercampur tidak karuan. Hal ini berbeda dengan hadith-

hadith Rasul Allah Saw. yang terpelihara. Hadith-hadith beliau telah

1 Makalah disampaikan dalam seminar Studi Hadith Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Surabaya, pada tanggal 6 Januari 2009, dibimbing oleh Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A.

2

terpelihara secara meyakinkan, yaitu dengan adanya kitab-kitab yang

menghimpun hadith-hadith sahih seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

Selain kedua kitab itu, terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab serupa yang

disusun dengan berbagai metode dan tujuan ilmiah.

Dalam makalah ini penulis akan mengulas tentang al-Kutub al-Sittah

(kitab hadith yang enam), yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu

Dawud, Sunan al-Nasa‟i, Sunan al-Tirmidhi, dan Sunan Ibn Majah. Keenam

kitab ini akan penulis bagi menjadi dua kelompok, yaitu kitab sahih dan kitab

sunan.

B. KITAB SAHIH

Kitab Sahih yaitu kitab yang menghimpun hadith-hadith yang sahih saja,

dan mengesampingkan hadith-hadith yang tidak sahih. Ada orang yang

mengira bahwa kitab sahih merupakan himpunan semua hadith sahih. Dugaan

ini tidak tepat. Banyak hadith sahih yang tidak dicantumkan, dikarenakan

penghimpun khawatir kitabnya menjadi sangat tebal.2 Adapun pengertian

hadith sahih di sini adalah hadith yang memenuhi syarat sahih menurut

penyusun kitab hadith tersebut.

Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan secara detail tentang

dua kitab sahih. Dua kitab sahih itu adalah Sahih al-Bukhari dan Sahih

Muslim.

1. Al-Jami‘ al-Sahih Karya Imam al-Bukhari

Kitab Al-Jami„ al-Sahih ini lebih dikenal dengan nama Sahih al-

Bukhari. Kitab ini merupakan karya Imam Abu „Abdillah Muhammad b.

Isma„il al-Bukhari yang wafat tahun 256 H. Imam al-Bukhari adalah orang

yang pertama kali menyusun dan membukukan hadith dengan hanya

mengambil hadith yang sahih saja, dan mengesampingkan hadith yang

da„if. Oleh karena itu, kitab ini memperoleh perhatian yang besar dari para

ulama. Ia bahkan dinyatakan sebagai himpunan berita paling valid di muka

2 Nur al-Din „Atar, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu„asir, 1997),

250.

3

bumi ini setelah al-Qur‟an. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Achmad Sunarto dengan judul: Tarjamah Shahih Bukhari.

a. Riwayat Hidup Imam al-Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam

al-Bukhari. Isi surat itu memintanya supaya menetap di negeri mereka.

Imam al-Bukhari pun memenuhi permohonan mereka. Ketika

perjalanannya sampai di Khartand, ia singgah di sana. Khartand adalah

sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand. Di

desa itu terdapat beberapa familinya. Ia singgah untuk mengunjungi

mereka. Tetapi di desa itu Imam al-Bukhari jatuh sakit hingga

menemui ajalnya.3

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (bertepatan dengan

tanggal 31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun. Sebelum meninggal

dunia, ia berpesan. Isi pesan itu, bahwa jika meninggal nanti,

hendaknya jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan

tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh

masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan selepas Zuhur, sesudah

ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai

amal yang mulia.

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam

al-Bukhari dengan guru-guru yang sangat banyak. Ia menyatakan,

“Aku menulis hadith yang aku terima dari 1.080 orang guru. Mereka

semua ahli hadith. Mereka berpendirian bahwa iman harus dibuktikan

dengan ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu adalah

„Ali b. al-Madini, Ahmad b. Hanbal, Yahya b. Ma‟in, Muhammad b.

Yusuf al-Faryabi, Makki b. Ibrahim al-Bakhi, Muhammad b. Yusuf al-

Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan

dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang guru.

3 Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari (Beirut:

Dar al-Fikr, 1990), 56.

4

Karena kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius,

sangat banyak muridnya yang datang untuk belajar dan mendengar

hadith secara langsung darinya. Tak dapat dihitung dengan pasti

berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith dari Imam al-Bukhari.

Ada yang berpendapat, bahwa kitab Sahih Al-Bukhari didengar

darinya secara langsung oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang.4 Di

antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim

b. al-Hajjaj, Tirmidhi, Nasa„i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abi Dawud,

Muhammad b. Yusuf al-Firabri, Ibrahim b. Ma‟qil al-Nasafi, Hammad

b. Syakr al-NaSawi dan Mansur b. Muhammad al-Bazdawi. Empat

orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi

kitab Sahih Al-Bukhari.

Imam al-Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan dan

kebesaran Allah di muka bumi ini dalam hal kekuatan hafalan,

ketajaman pikiran, pengetahuan para perawi hadith, dan „illal-‟illat

hadith. Allah telah mempercayakan kepada Al-Bukhari dan para

pemuka dan penghimpun hadith lainnya untuk menghafal dan menjaga

sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw. Imam al-Bukhari berkata,

“Saya hafal hadith di luar kepala sebanyak 100.000 hadith Sahih, dan

200.000 hadith tidak Sahih."

Kejeniusan Imam al-Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut.

Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadith di sana berkumpul untuk

menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka menyiapkan 100

hadith, lalu mereka menukarkan sanad dan matan satu hadith dengan

hadith yang lain. Setiap matan hadith diberi sanad hadith lain, atau

setiap sanad hadith diberi matan hadith lain. Sepuluh orang ulama

tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10

pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Satu per

satu dari sepuluh orang itu tampil dengan mengajukan sepuluh hadith

kepada Al-Bukhari. Setiap satu orang selesai menyebutkan sebuah

4 Ibn Hajar al-„Asqalani, Muqaddimah Fath al-Bari, jilid 22, hal. 204.

5

hadith, Imam al-Bukhari menjawab dengan tegas, “Saya tidak

mengenal hadith yang Anda sebutkan itu." Ia tetap memberikan

jawaban serupa, sampai kepada penanya yang ke sepuluh. Orang-orang

yang tidak mengerti hal sebenarnya menganggap, bahwa Imam al-

Bukhari tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan

benar. Sementara itu para ulama berkata satu kepada yang lainnya,

“Orang ini mengetahui hal yang sebenarnya."

Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaan

yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, Imam al-Bukhari berpaling

kepada penanya yang pertama dan berkata, “Hadith pertama yang

Anda kemukakan, isnadnya yang benar adalah begini. Hadith kedua,

isnadnya yang benar adalah begini." Begitulah Imam al-Bukhari

menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai

menyebutkan sepuluh hadith. Kemudian ia menoleh kepada penanya

yang kedua, dan memberikan komentar berikutnya hingga selesai.

Kemudian ia menoleh kepada penanya yang ketiga, dan memberikan

komentar berikutnya hingga selesai. Demikian seterusnya hingga

penanya yang ke sepuluh. Imam al-Bukhari menyebutkan satu per satu

matan dan sanad hadith yang sebenarnya dengan cermat, dan tidak ada

sedikit pun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan

sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaannya. Maka para

ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan

kekagumannya kepada Imam al-Bukhari. Akhirnya mereka

mengakuinya sebagai Imam dalam bidang hadith.

Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji coba

kemampuan" yang menegangkan ini. Ia berkata, “Yang mengagumkan

bukanlah karena al-Bukhari mampu memberikan jawaban secara

benar. Yang benar-benar mengagumkan ialah kemampuannya dalam

menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan itu secara

berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang

6

penguji. Padahal ia mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu

hanya satu kali."

Imam al-Bukhari pernah berkata, “Saya tidak pernah meriwayatkan

sebuah hadith pun yang saya terima dari para shahabat dan tabi‟in,

melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka,

serta hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian pula saya tidak

meriwayatkan hadith shahabat dan tabi‟in -yakni hadith-hadith

mauquf- kecuali yang saya ketahui ada dasarnya dari Kitab Allah dan

Sunnah Rasulullah Saw."

Al-Hakim menceritakan bahwa Muslim (pengarang kitab Sahih),

datang kepada Imam al-Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya

dan berkata, “Biarkan saya mencium kaki Tuan, wahai Mahaguru,

Pemimpin para ahli hadith, dan Dokter ahli penyakit (‘illah) hadith."

Al-Hafidh Ibn Hajar menyatakan, “Andaikan pintu pujian dan

sanjungan kepada Al-Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya,

tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."

Imam al-Bukhari adalah orang yang berbadan kurus, berperawakan

sedang, tidak tinggi dan tidak pendek. Kulitnya agak kecoklatan. Ia

sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu, namun ramah, dermawan,

menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang

disedekahkan, baik secara sembunyi maupun terang-terangan. Kepada

para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar.

Diceritakan ia pernah berkata, “Setiap bulan, saya berpenghasilan 500

dirham. Semuanya saya belanjakan untuk kepentingan pendidikan.

Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."

Imam al-Bukhari sangat hati-hati serta sopan dalam berbicara dan

mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi.

Terhadap perawi yang sudah jelas diketahui kebohongannya, ia cukup

berkata, “Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya.” Atau

ia berkata, “Para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas

tentang para perawi yang tercela ialah, “Hadithnya diingkari."

7

Ia berkata, ”Aku berharap menjumpai Allah, dan Ia tidak

menghukumku karena aku mengghibah seseorang”.5

Meskipun sangat sopan dalam mengkritik para perawi, ia banyak

meninggalkan hadith yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang

itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa ia berkata,

“Saya meninggalkan 10.000 hadith yang diriwayatkan oleh perawi

yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang

sama atau lebih yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku

perlu dipertimbangkan."

Selain dikenal sebagai ahli hadith, Imam al-Bukhari sebenarnya

juga ahli dalam fiqih. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai

pada derajat mujtahid mustaqil (pendapatnya tidak terikat pada

madzhab-madzhab tertentu). Ia mempunyai pendapat-pendapat hukum

yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan

dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan madzhab al-

Syafi‟i, dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Pada suatu saat

ia memilih madzhab Ibn „Abbas, dan di saat lain memilih madzhab

Mujahid, „Atha„ atau yang lainnya. Jadi kesimpulannya, Imam al-

Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqih yang

berijtihad sendiri, meskipun yang lebih menonjol adalah statusnya

sebagai ahli hadith.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak

melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan

Islam. Imam al-Bukhari belajar memanah sampai mahir. Ada orang

berkata, bahwa sepanjang hidupnya tidak pernah luput dalam

memanah, kecuali hanya dua kali. Hal itu sebagai pengamalan sunnah

Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar

menggunakan anak panah dan alal-alat perang lainnya. Tujuannya

adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam.

5 Syams al-Din al-Dhahabi, Siyar Min A’lam al-Nubala’, tahqiq Syu‟aib Al Arna‟ut (Beirut:

Mu‟assasah al-Risalah, 2001), vol 12, hal. 392.

8

b. Hasil Karya Imam al-Bukhari

Amat banyak hasil karya Imam al-Bukhari. Di antara hasil

karyanya adalah sebagai berikut:

Al-Jami„ al-Sahih, dikenali sebagai Sahih al-Bukhari

Al-Adab al-Mufrad. Kitab ini merupakan kitab adab dan akhlak

yang bagus. disusun sesuai dengan metode terkini, dan telah

dicetak sebanyak beberapa kali.

Al-Tarikh al-Saghir

Al-Tarikh al-Awsat

Al-Tarikh al-Kabir

Al-Tafsir al-Kabir

Al-Musnad al-Kabir

Kitab al-‟Ilal

Raf‟u al-Yadain fi al-Salah

Birr al-Walidain

Kitab al-Asribah

Al-Qir„ah khalf al-Imam

Kitab al-Du‟afa„

Asami al-Sahabah

Kitab al-Kuna

c. Kitab al-Jami‘ al-Sahih

Imam al-Bukhari berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah Saw.

Seolah-olah aku berdiri di hadapan beliau sambil memegang kipas

yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi

itu kepada seorang ahli ta’bir. Ia menjelaskan bahwa aku akan

menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadith

Rasulullah Saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk

menghimpun kitab Al-Jami„ al-Sahih."

9

Dalam menghimpun hadith-hadith Sahih dalam kitabnya, Imam al-

Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah,

sehingga kesahihan hadith-hadithnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia

telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan

menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti

kesahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Ia senantiasa

membanding-bandingkan hadith-hadith yang ia riwayatkan satu

dengan yang lain, menyaringnya dan memilih hadith mana yang

menurutnya paling sahih. Dengan demikian, kitabnya merupakan batu

uji dan penyaring bagi hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari

perkataannya, “Saya susun kitab al-Jami„ ini dari 600.000 hadith yang

saya pilih selama 16 tahun."

Ia juga sangat hati-hati. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah

seorang muridnya bernama al-Firbari. Ia menjelaskan, bahwa ia

mendengar Muhammad b. Isma„il al-Al-Bukhari berkata, “Aku susun

kitab al-Ja.mi‟ al-Sahih ini di Masjidil Haram. Tidaklah aku

memasukkan ke dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku

beristikharah kepada Allah dengan melakukan shalat dua raka‟at, dan

sesudah aku meyakini betul bahwa hadith itu benar-benar sahih."

Diriwayatkan bahwa Imam al-Bukhari berkata, “Tidaklah saya

masukkan ke dalam kitab al-Jami„ al-Sahih ini, kecuali hadith-hadith

yang sahih. Sementara itu saya tinggalkan banyak hadith sahih, karena

saya khawatir akan membosankan (karena terlalu banyaknya hadith

yang semakna)."

d. Jumlah Hadith dalam Kitab Sahih Al-Bukhari

Al-‟Allamah Ibn al-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan,

bahwa jumlah hadith Sahih al-Bukhari sebanyak 7.275 hadith. Jumlah

tersebut termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang. Atau

sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh

10

Al-‟Allamah Syaikh Muhyi al-Din al-Nawawi dalam kitabnya al-

Taqrib.6

Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam Muqaddimah

Fath al-Bari –kitab syarah Sahih Al-Bukhari- menyebutkan, bahwa

semua hadith sahih mawsul yang termuat dalam Sahih Al-Bukhari,

tanpa hadith yang disebutnya berulang, adalah sebanyak 2.602 hadith.

Sedangkan matan hadith yang mu’allaq namun marfu‘ (yakni hadith

sahih namun tidak diwasalkan, tidak disebutkan sanadnya secara

sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua

hadith Sahih Al-Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-

ulang sebanyak 7.397hadith. Yang mu’allaq sejumlah 1.341hadith, dan

yang muttabi’ sebanyak 344 hadith. Dengan demikian, berdasarkan

perhitungan ini (termasuk yang berulang-ulang), jumlah seluruhnya

sebanyak 9.082 hadith. Jumlah ini di luar hadith yang mauquf kepada

shahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi‟in dan ulama-

ulama sesudahnya.

e. Kritik hadits dalam Kitab

Setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya,

para ulama menyatakan bahwa Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih-

nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi.

Ia tidak turun dari tingkat tersebut, kecuali dalam beberapa hadith yang

bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith

muttabi’, hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari

shahabat dan tabi‟in.7

2. Al-Jami‘ al-Shahîh karya Imam Muslim

Selain karya Imam al-Bukhari, terdapat kitab hadits yang berjudul

sama. Nama kitab itu adalah Al-Jami„ al-Sahih, namun lebih dikenal

6 Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari (Beirut:

Dar al-Fikr, 1990), 50. 7 Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad al-Qastalani, Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-Bukhari, 39.

11

dengan nama Sahih Muslim. Kitab ini merupakan karya Imam Abu al-

Husain Muslim b. Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi yang wafat tahun 261 H.

Kitab ini, sama dengan Sahih al-Bukhari, juga hanya memuat hadith yang

sahih saja berdasarkan syaral-syarat yang ditentukan oleh penyusunnya.

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, Sahih Muslim menempati peringkat

kedua setelah Sahih al-Bukhari. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia oleh KH. Adib Bisri Musthofa dengan judul Tarjamah

Shahih Muslim.

a. Riwayat Hidup Imam Muslim

Nama lengkapnya ialah Imam Abu al-Husain Muslim b. al-Hajjaj

b. Muslim b. Kausyaz al-Qushairi al-Naisaburi. Ia salah seorang ulama

terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di

Naisabur pada tahun 206 H.

Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulai tahun 218

H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.

Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama

kenamaan untuk berguru hadith. Di Khurasan ia berguru kepada Yahya

b. Yahya dan Ishaq b. Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada

Muhammad b. Mahran dan Abu „Ansan. Di Iraq ia belajar hadith

kepada Ahmad b. Hambal dan „Abdullah b. Maslamah. Di Hijaz ia

belajar kepada Sa‟id b. Mansur. Di Mesir ia berguru kepada „Amr b.

Sawad dan Harmalah b. Yahya.

Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada

ulama-ulama ahli hadith. Kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di

waktu Imam al-Bukhari datang ke Naisabur. Muslim sering datang

kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya.

Ketika terjadi perselisihan antara Al-Bukhari dan Al-Zihli, ia

bergabung kepada Al-Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab

terputusnya hubungan dengan Al-Zihli. Dalam Sahihnya maupun

dalam kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadith-hadith yang

diterima dari Al-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan

12

terhadap Al-Bukhari. Dalam Sahihnya ia tidak meriwayatkan hadith

yang diterimanya dari Al-Bukhari, padahal ia pun merupakan gurunya.

Pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke

dalam Sahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu,

namun tetap mengakui mereka sebagai guru.

Imam Muslim wafat pada Ahad sore 24 Rajab 261 H. Ia

dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar

Naisabur, pada hari berikutnya dalam usia 55 tahun.

Imam al-Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith

Sahih, berpengetahuan luas, mengenai „illah-‟illah dan seluk beluk

hadith, serta tajam kritiknya. Sementara itu Imam Muslim adalah

orang kedua setelah Imam al-Bukhari, baik dalam ilmu dan

pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.

Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para

ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi

berkata, "Muslim telah mengikuti jejak Al-Bukhari, memperhatikan

ilmunya, dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak

berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Ia mempunyai

karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab. Ia memiliki metode

baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit

jumlahnya, di antaranya :

Al-Jami„ al-Sahih (Sahih Muslim)

Al-Musnad al Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para

perawi hadith)

Kitab al-Asma„ wa al-Kuna

Kitab al-‟Ilal

Kitab al-Aqran

Kitab Su‟alatihi Ahmad b. Hambal

Kitab al-Intifa„ bi Uhub al-Siba‟

Kitab al-Muhadramin

13

Kitab man Laisa lahu illa Rawin Wahid

Kitab Aulad al-Shahabah

Kitab Awham al-Muhaddithin.

b. Kitab Sahih Muslim

Di antara kitab-kitab hadith yang paling agung dan sangat

bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah al- Jami„ al-

Sahih. Ia terkenal dengan nama Sahih Muslim. Kitab ini merupakan

salah satu dari dua kitab yang paling Sahih dan murni sesudah al-

Qur‟an. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.8

Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk

meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-

hadith yang diriwayatkan, dan membandingkan riwayal-riwayat itu

satu sama lain. Imam Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam

menggunakan lafal-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya

perbedaan antara lafal-lafaz itu. Dengan usaha yang sedemikian rupa,

maka lahirlah kitab Sahihnya.

Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya, “Tidak semua hadith

yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini (yakni dalam Sahihnya).

Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh

para ulama hadith."9

Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas

karunia Tuhan yang diterimanya, “Apabila penduduk bumi ini menulis

hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-

putar di sekitar kitab ini."

Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang

diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai

berikut, “Saya tidak mencantumkan sesuatu hadith dalam kitab ini,

8 Biografi singkat yang dimuat bersama kitab Shih Muslim, Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 6.

9 Imam Muslim, dalam: http://www.pmo.gov.my/ (19 Januari 2009).

14

melainkan dengan alasan. Demikian pula, saya tidak menggugurkan

sesuatu hadith daripadanya, melainkan dengan alasan pula."

Dalam penulisan Sahihnya, Imam Muslim tidak membuat judul

setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang

kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak,

sebenarnya dibuat oleh para pengulas (sharih) yang datang kemudian.

Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan

sistematika babnya adalah Imam al-Nawawi dalam al-Minhaj-nya.

Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah Imam Muslim

menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya.

Ia pernah berkata, “Saya susun kitab Sahih ini yang saya saring dari

300.000 hadith."

c. Jumlah Hadits dalam Sahih Muslim

Diriwayatkan dari Ahmad b. Salamah, ia berkata, “Saya menulis

bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya selama 15 tahun.

Kitab itu berisi 12.000 hadith.” Sedangkan Ibn Salah menyebutkan

dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadith Sahih Muslim itu

sebanyak 4.000 hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita

kompromikan. Perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang

berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya

menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.10

C. KITAB-KITAB SUNAN

Kitab Sunan yaitu kitab himpunan hadith yang disusun berdasarkan

bab-bab tentang fiqih, dan hanya memuat hadits yang marfu‟ saja agar

dijadikan sebagai sumber hukum bagi fuqaha„ dalam mengambil kesimpulan

hukum.11

Dalam makalah ini penulis akan membahas empat kitab sunan, yaitu

10

Imam Muslim, dalam: http://mediabilhikmah.multiply.com/journal (19 Januari 2009). 11

Manna„ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 58.

15

Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa„i, Sunan al-Tirmidhi, dan Sunan Ibn

Majah.

1. Sunan Abu Dawud

Sunan Abu Dawud merupakan karya Imam Abu Dawud Sulaiman

b. al-Ash‟ath al-Sijistani yang wafat tahun 275 H. Dalam kitab ini Abu

Dawud menghimpun hadith sahih, hasan dan da„if. Namun Abu Dawud

telah menjelaskan semua hadith yang da„if dan tidak bisa dijadikan dalil

untuk beramal.12

Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

oleh H. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin dengan judul Tarjamah

Sunan Abi Daud.

a. Riwayat Hidup Abu Dawud

Nama lengkapnya Abu Dawud ialah Sulaiman b. al-Asy‟as b.

Ishaq b. Basyir b. Syidad b. „Amr al-Azdi al-Sijistani. Ia seorang imam

ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah

dua imam hadith Al-Bukhari dan Muslim, serta pengarang kitab

Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Sejak kecilnya Abu Dawud mencintai ilmu dan para ulama,

bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmu.

Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya

untuk mengadakan perlawatan mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar

hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya yang dijumpainya

di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-

negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantunya untuk

memperoleh pengetahuan luas tentang hadith. Kemudian hadith-hadith

yang diperolehnya itu ia saring. Hasil penyaringannya ia tuangkan

dalam kitab Al-Sunan.

Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia

mengajarkan hadith dan fiqih kepada para penduduk dengan memakai

kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu

diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad b. Hambal.

12

Ibid, hal. 277.

16

Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat

indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas

permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah

menjadi "Ka‟bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak

jumlahnya. Di antara guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad b.

Hambal, al-Qa‟nabi, Abu „Amr al-Darir, Muslim b. Ibrahim, Abdullah

b. Raja‟, Abu al-Walid al-Tayalisi, dan lain-lain. Sebagian gurunya ada

yang menjadi guru Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, seperti

Ahmad b. Hambal, Uthman b. Abi Shaibah dan Qutaibah b. Sa‟id.

Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya

antara lain Abu „Isa al-Tirmidhi, Abu Abd al-Rahman al-Nasa‟i,

putranya sendiri Abu Bakar b. Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa‟id

al-A‟rabi, Abu Ali al-Lu‟lu‟i, Abu Bakar b. Dassah, Abu Salim

Muhammad b. Sa‟id al-Jaldawi dan lain-lain. Cukuplah sebagai bukti

pentingnya Abu Dawud, bahwa salah seorang gurunya, Ahmad b.

Hambal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang

diterima dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan

oleh Abu Dawud, dari Hammad b. Salamah dari Abu Ma‟syar al-

Darami, dari ayahnya, sebagai berikut, “Rasulullah Saw. ditanya

tentang „atirah, maka ia menilainya baik."

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan

ilmunya dan mencapai derajat tinggi dalam ibadah, kesucian diri,

wara‟ dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang

patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan kepribadiannya. Sifal-

sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebagian ulama yang

menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad b. Hambal dalam

perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta

kepribadiannya. Ahmad dalam sifal-sifat ini menyerupai Waki‟, Waki

menyerupai Sufyan al-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur

menyerupai Ibrahim al-Nakha‟i, Ibrahim menyerupai „Alqamah dan ia

17

menyerupai Ibn Mas‟ud. Sedangkan Ibn Mas‟ud sendiri menyerupai

Nabi Saw. dalam sifal-sifat tersebut. Sifat dan kepribadian yang mulia

seperti ini menunjukkan aatas kesempurnaan keberagamaan, tingkah

laku dan akhlak. Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah

sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun

yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya

bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab, “Lengan baju yang

lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya

lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-

lebihan.

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang

hafiz yang sempurna, ahli fiqih dan berpengetahuan luas terhadap

hadith dan ilal-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari

para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad b. Hambal. Al-

Hafiz Musa b. Harun berkata mengenai Abu Dawud, "Abu Dawud

diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga.

Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal b.

Abdullah Al-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud.

Lalu dikatakan kepadanya, "Ini adalah Sahal, datang berkunjung

kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan

mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata, “Wahai Abu

Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya, “Keperluan apa?"

"Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan

memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi

maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal

berkata, “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk

meriwayatkan hadith dari Rasulullah Saw. sehingga aku dapat

menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang

kemudian dicium oleh Sahal. Ketika Abu Dawud menyusun kitab

Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata, “Hadith

telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi

18

Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan

perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan

seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang

sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan

pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqih terkemuka yang

bermadzhab Hambali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut;

Abu Dawud Sulaiman b. al-Asy‟as, imam terkemuka pada jamannya

adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan

mengetahui tempal-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya

yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani

dan Abu Bakar b. Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu

Dawud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya

dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun

pada masanya.

Syaikh Abu Ishaq al-Syairazi dalam al-Syairazi dalam Tabaqatul-

Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-

murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu‟l-Husain Muhammad

b. al-Qadi Abu Ya‟la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya.

Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan

gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah

bermadzhab Syafi‟i. Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang

mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika

Sunal-nya. Terlebih lagi bahwa kemampuan berijtihad merupakan

salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.

Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan

ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana

dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu

Bakar b. Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata, “Aku bersama Abu

Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai

menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu

pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu

19

Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor

kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang

Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud

menemuinya seraya berkata, “Gerangan apakah yang membawamu

datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir.

"Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan

berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu

dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan

demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah

telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud

berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan

berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir.

"Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan,

“Hendaknya tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan

hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk

bersama-sama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab,

“Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik

pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama."

Ibn Jabir menjelaskan, “Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan

duduk bersama di majelis taklim; hanya saja di antara mereka dengan

orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar

bersama-sama." Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para

raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para

ulama. Dan kesamaan derajat dalam ilmu dan pengetahuan ini,

hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud

tersebut.

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan

aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud

meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal

atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada

20

tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa

melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Cukup banyak hasil karya Imam Abu Dawud. Di antara karyanya

yaitu:

Kitab al-Sunan (Sunan Abu Dawud)

Kitab al-Marasil

Kitab al-Qadr

Al-Nasikh wa al-Mansukh

Fada‟il al-A‟mal

Kitab Al-Zuhd

Dala„il al-Nubuwwah

Ibtida„ al-Wahy

Akhbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan

masih tetap beredar adalah kitab al-Sunnan, yang kemudian terkenal

dengan nama Sunan Abi Dawud.

b. Kitab Sunan Abu Dawud

Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami„ Musnad dan

sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat

hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada‟il

a„mal), kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara

demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Abu Dawud

menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan

sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun

kitab itu, ia meminta komentar kepada Imam Ahmad b. Hambal. Ibn

Hambal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-

hadith sahih semata, sebagaimana yang telah dilakukan Imam al-

Bukhari dan Imam Muslim. Tetapi ia memasukkan pula ke dalamnya

hadith Sahih, hadith hasan, hadith da„if yang tidak terlalu lemah dan

21

hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya.

Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari

suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban

atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu

Dawud menulis: “Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah Saw

sebanyak 500.000 hadith. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800

hadith. Kemudian aku tuangkan hadith-hadith itu dalam kitab Sunan

ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith Sahih, semi Sahih

dan yang mendekati Sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan

sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk

ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat

telah aku jelaskan, bahwa hadith macam ini ada hadith yang tidak

Sahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit

pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bisa dipakai dalil), dan

sebagian dari hadith yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang

lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah al-Qur‟an, yang

harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat hadith saja dari kitab

ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.

Hadith tersebut adalah (yang artinya):

Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap

or memperoleh apa yang ia niatkan. Karena itu maka barang siapa

berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah

dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk

mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya,

maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."

Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan

apa yang tidak berguna baginya."

Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati

sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk

dirinya."

22

Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang harampun telah

jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar)

yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari

syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya;

dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah

terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang

mengembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah,

sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah,

sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkal-Nya.

Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik,

maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh

tubuh. Ingatlah, ia itu hati."

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan

Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Hadith pertama

adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama

bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah. Hadith kedua

merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu

melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Hadith

ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik

dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifal-sifat egoistis,

dan membuang sifat iri, dengki dan benci. Hadith keempat merupakan

dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara

memperoleh atau mencapai sifat wara‟, yaitu dengan cara menjauhi

hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status

hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng

melakukan haram. Dengan hadith ini nyatalah bahwa keempat hadith

di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan

kebahagiaan.

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujjah al Islam,

Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Sunan Abu Dawud sudah

cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam."

23

Demikian juga dua imam besar, al-Nawawi dan Ibn al-Qayyim al-

Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini. Bahkan ia

menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan

hukum.

c. Jumlah Hadith dalam Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahwa isi Sunan Abu Dawud itu memuat

hadith sebanyak 4.800 hadith. Namun sebagian ulama ada yang

menghitungnya sebanyak 5.274 hadith. Perbedaan jumlah ini

disebabkan bahwa sebagian orang yang menghitungnya memandang

sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain

menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan

hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan

tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab

sebanyak 35hadith, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke

dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871hadith bab.

d. Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang

dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya

sebagai hadith-hadith maudu‘ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak

9 hadith. Walaupun demikian, disamping Ibn al-Jauzi itu dikenal

sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis maudu‘, namun kritik-

kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebagian ahli

hadith. Diantara mereka adalah Jalaluddin al-Suyuti. Andaikata kita

menerima kritik yang dilontarkan Ibn al-Jauzi tersebut, sebenarnya

hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir

tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di

dalam kitab Sunan tersebut. Karena itu kami melihat bahwa hadith-

hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab

24

Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan

keabsahannya.

2. Al-Sunan al-Sughra

Kitab al-Sunan al-Sughra adalah karya „Abdurrahman b. Ahmad b.

Syu‟aib al-Nasa‟I yang wafat tahun 303 H. Keistimewaan kitab ini adalah

pada kejelian penyusun dalam membuat bab-bab pembahasan yang

merupakan gabungan antara ilmu fikih dan ilmu isnad. Kitab ini telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bey Arifin, Yunus „Ali Al

Muhdhor dan Dra. Ummu Maslamah Rayes dengan judul Tarjamah Sunan

Al-Nasa‟i.

a. Riwayat Hidup al-Nasa’i

Imam al-Nasa‟i merupakan ulama kenamaan dan ahli hadith pada

masanya. Ia adalah seorang imam ahli hadith, Shayk al-Islam,

sebagaimana diungkapkan al-Dhahabi dalam Tadhkirah-nya. Nama

lengkapnya Abu „Abdurrahman Ahmad b. „Ali b. Syu‟aib „Ali b. Sinan

b. Bahr al-Khurasani al-Qadi.

Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa‟13

pada tahun 215 H.

Ada yang mengatakan pada tahun 214 H. Ia lahir dan tumbuh

berkembang di Nasa‟, sebuah kota di Khurasan yang banyak

melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri

kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur‟an, dan dari guru-guru

negerinya ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok.

Setelah remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith.

Belum lagi berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz,

Iraq, Syam, Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia

belajar hadith, sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka

dalam bidang hadith yang mempunyai sanad yang „ali (sedikit susunan

perawi pada sanadnya) dan dalam bidang kekuatan periwayatan hadith.

13

Al-Suyuti, Sunan al-Nas‟i bi al-Syarh (Beirut: Dar al-Fikr, tt), ba‟.

25

Al-Nasa‟i merasa cocok tinggal di Mesir. Oleh karena itu, ia

menetap di negeri itu, tepatnya di jalan Qanadil. Seterusnya ia menetap

di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya. Kemudian ia

berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini, ia mengalami

suatu peristiwa tragis yang menyebabkannya menjadi syahid.

Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu‟awiyyah r.a.

Dengan tindakan ini seakan-akan mereka minta kepada al-Nasa‟i agar

menulis sebuah buku tentang keutamaan Mu‟awiyyah, sebagaimana ia

telah menulis mengenai keutamaan Ali r.a. Oleh karena itu, ia

menjawab kepada orang yang memintanya itu, “Tidakkah Engkau

merasa puas dengan adanya kesamaan derajat (antara Mu‟awiyyah

dengan Ali sebagai shahabat), sehingga engkau merasa perlu untuk

mengutamakannya (Mu„awiyah)?" Mendapat jawaban seperti ini,

mereka naik pitam. Mereka memukulinya sampai-sampai buah

kemaluannya pun dipukul. Mereka menginjak-injaknya dan

menyeretnya keluar dari masjid, sehingga ia nyaris menemui

kematiannya.

Tidak ada kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal

dunia. Imam al-Daraqutni menjelaskan, bahwa di saat mendapat

cobaan tragis di Damsyik itu al-Nasa‟i meminta supaya dibawa ke

Mekah. Permohonannya ini dikabulkan. Akhirnya ia pun meninggal di

Mekah, dan dikebumikan di suatu tempat antara Safa dan Marwah.

Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh „Abdullah b. Mandah dari

Hamzah al-‟Uqbi al-Misri, dan ulama yang lain.

Imam al-Dhahabi tidak sependapat dengan pendapat di atas.

Menurutnya, yang benar ialah bahwa al-Nasa‟i meningal di Ramlah,

suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus dalam Tarikh-nya setuju dengan

pendapat ini, demikian pula Abu Ja‟far al-Tahawi dan Abu Bakr b.

Naqatah.

Jenazah Imam al-Nasa‟i dikebumikan di Bait al-Maqdis. Ia wafat

pada tahun 303 H.

26

Ia bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan senang

mengenakan pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang

yang banyak melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari.

Setiap ada kesempatan ia selalu menunaikan ibadah haji dan berangkat

berjihad. Selain itu, Nasa‟i telah mengikuti jejak Nabi Dawud, sehari

puasa dan sehari tidak.

Ia tidak saja ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan

kelemahal-kelemahan hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli

fiqih yang berwawasan luas. Imam al-Daruqutni pernah berkata

mengenai Nasa‟i, bahwa ia adalah salah seorang Shaykh di Mesir yang

ahli dalam bidang fiqih pada masanya, dan paling mengetahui tentang

hadith dan perawi-perawi. Ibn al-Athir al-Jaza‟iri menerangkan dalam

muqaddimah Jami„ al-Usul-nya, bahwa al-Nasa‟i bermazhab Shafi„i. Ia

mempunyai Kitab Manasik yang ditulis berdasarkan mazhab Shafi„i.

Imam al-Nasa‟i telah menulis beberapa kitab besar yang tidak

sedikit jumlahnya, di antaranya:

Al-Sunan al-Sughra, terkenal dengan nama Al-Mujtaba.

Al-Sunan al-Kubra

Al-Khasa‟is.

Fada‟il al-Sahabah.

Al-Manasik.

Di antara karya-karya tersebut, yang paling penting adalah Kitab

al-Sunan al-Sughra.

b. Sunan al-Nasa‘i

Al-Nasa‟i menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka.

Di antaranya ialah Qutaibah. Ia mengunjungi Qutaibah ketika berusia

15 tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru

lainnya adalah Ishaq b. Rahawaih, al-Haris b. Miskin, „Ali b.

Khashram dan Abu Dawud penulis al-Sunan, serta al-Tirmidhi, penulis

al-Jami„.

27

Hadith-hadithnya yang diriwayatkan oleh para ulama tidak sedikit

jumlahnya. Para ulama tersebut antara lain Abu al-Qasim al-Tabrani

(penulis tiga buah Mu„jam), Abu Ja‟far al-Tahawi, al-Hasan b. al-

Khadir al-Suyuti, Muhammad b. Mu‟awiyyah b. al-Ahmar al-Andalusi

dan Abu Bakr b. Ahmad al-Sunni, perawi Sunan al-Nasa‟i.

Ketika Imam Nasa‟i selesai menyusun kitabnya, al-Sunan al-

Kubra, ia menghadiahkannya kepada Amir al-Ramlah. Amir itu

bertanya, “Apakah isi kitab ini sahih seluruhnya?” “Ada yang Sahih,

ada yang hasan, dan ada pula yang hampir serupa dengan keduanya,”

jawabnya. “Kalau demikian,” kata sang Amir, “pisahkan hadith-hadith

yang sahih saja." Atas permintaan Amir ini, maka al-Nasa‟i berusaha

menyeleksinya. Ia memilih yang sahih-sahih saja. Kemudian

dihimpunnya hadith-hadith itu dalam suatu kitab yang dinamakan al-

Sunan al-Sughra. Kitab ini disusun menurut sistematika fiqih

sebagaimana kitab-kitab sunan yang lain.

Imam Nasa‟i sangat teliti dalam menyusun kitab al-Suna al-

Sughra. Oleh karena itu, ulama berkata, “Kedudukan kitab al-Sunan

Sughra ini di bawah derajat Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim,

karena sedikit sekali hadith da„if yang tedapat di dalamnya.”

Oleh karena itu, kita dapatkan bahwa hadith-hadith al-Sunan al-

Sughra yang dikritik oleh Abu al-Faraj b. al-Jauzi dan dinilainya

sebagai hadith mawdu„ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya

dapat diterima. Al-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan

pandangan yang berbeda dengannya mengenai sebagian besar hadith

yang dikritik itu. Dalam Sunan Nasa‟i terdapat hadith-hadith Sahih,

hasan, dan da„if, hanya saja hadith yang da„if sedikit sekali jumlahnya.

Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa isi kitab

Sunan ini Sahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu

sembrono, tanpa didukung oleh penelitian mendalam. Kemungkinan

lain, bahwa maksud pernyataan itu adalah bahwa sebagian besar isi

sunan ini adalah hadith Sahih.

28

3. Al-Jami‘

Kitab hadits al-Jami„ lebih dikenal dengan nama al-Sunan al-

Tirmidhi. Ia merupakan karya Imam Abu „Isa Muhammad b. „Isa al-

Tirmidhi yang wafat tahun 279 H. Kitab ini menghimpun hadith sahih,

hasan dan da„if. Namun demikian, al-Tirmidhi telah menjelaskan sebagian

besar derajat hadithnya. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl, Tafl, dkk. dengan judul

Tarjamah Sunan Al-Tirmidhi.

a. Riwayat Hidup

Imam al-Hafidh Abu „Isa Muhammad b. „Isa b. Saurah b. Musa b.

al-Dahhak al-Sulami al-Tirmidhi adalah salah seorang ahli hadith

kenamaan. Ia lahir pada 279 H di kota Tirmidh.

Kakek Abu „Isa al-Tirmidhi berkebangsaan Mirwaz, kemudian

pindah ke Tirmidh dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya

bernama Abu „Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya, Abu „Isa gemar

mempelajari ilmu dan mencari hadith. Untuk keperluan inilah ia

mengembara ke berbagai negeri, diantaranya: Hijaz, Iraq, Khurasan,

dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-

ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar hadith. Hadith-

hadith tersebut ia hafal dan catat dengan baik di perjalanan, atau ketika

tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa

menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Mekah.

Setelah melalui perjalanan panjang untuk belajar, mencatat,

berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, pada akhir kehidupannya

al-Tirmidhi mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya ia

hidup sebagai tuna netra. Dalam keadaan seperti inilah akhirnya al-

Tirmidhi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmidh pada malam Senin 13

Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan.

Di antaranya adalah Imam al-Bukhari. Kepadanya ia mempelajari

29

hadith dan fiqih. Ia juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu

Dawud. Bahkan al-Tirmidhi belajar pula hadith dari sebagian guru

mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah b. Saudi Arabia„id, Ishaq b. Musa,

Mahmud b. Gailan, Said b. „Abd al-Rahman, Muhammad b. Basysyar,

„Ali b. Hajar, Ahmad b. Muni‟, Muhammad b. al-Musanna dan lain-

lain.

Hadith-hadith dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh

banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibn al-Fadl, Muhammad

binMahmud „Anbar, Hammad b. Syakir,‟Ai-bd b. Muhammad al-

Nasfiyyun, al-Haisam b. Kulaib al-Syasyi, Ahmad b. Yusuf al-Nasafi,

Abul-‟Abbas Muhammad b. Mahbud al-Mahbubi (yang meriwayatkan

kitab Al-Jami„ daripadanya), dan lain-lain.

Abu „Isa al-Tirmidhi diakui oleh para ulama akan keahliannya

dalam hadith, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai

seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.

Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut

yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib al-Tahzib-

nya, dari Ahmad b. „Abdullah b. Abu Dawud. Ia berkata: “Saya

mendengar Abu „Isa al-Tirmidhi berkata: Pada suatu waktu dalam

perjalanan menuju Mekah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid

berisi hadith-hadith yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut

berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia.

Mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu.

Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu

ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut,

melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah

bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar

hadith, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia

membacakan hadith yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia

mencuri pandang. Ia melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih

30

bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini,

ia berkata: „Tidakkah engkau malu kepadaku?‟ Aku bercerita dan

menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal

semuanya. „Coba bacakan!‟ suruhnya. Aku pun membacakan

seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: „Apakah telah engkau

hafalkan sebelum datang kepadaku?‟ „Tidak,‟ jawabku. Kemudian

saya meminta lagi agar ia meriwayatkan hadith yang lain. Ia pun

kemudian membacakan empat puluh hadith yang tergolong hadith-

hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: „Coba ulangi apa yang

kubacakan tadi,‟ Aku membacakannya dari pertama sampai selesai;

dan ia berkomentar: „Aku belum pernah melihat orang sepertimu."

Para ulama besar memuji dan menyanjungnya. Mereka mengakui

akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad

ibn Hibban, kritikus hadith, menggolongkan Tirmidhi ke dalam

kelompok Thiqah atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh

hafalannya. Ia berkata, “Tirmidhi adalah salah seorang ulama yang

mengumpulkan hadith, menyusun kitab, menghafal hadith dan suka

bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”

Abu Ya‟la al-Khalili, dalam kitabnya „Ulumul Hadith

menerangkan, “Muhammad b. „Isa al-Tirmidhi adalah seorang

penghafal dan ahli hadith yang baik yang telah diakui oleh para ulama.

Ia memiliki kitab sunan dan kitab Al-Jarh wa al-Ta‟dil. Hadith-

hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia

terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan

imam yang menjadi ikutan, dan berilmu luas. Kitabnya Al-Jami„ al-

Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya.

Banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith yang sangat

mendalam.

Imam Tirmidhi dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang

mengetahui kelemahal-kelemahan dan perawi-perawinya. Selain itu, ia

juga dikenal sebagai ahli fiqih yang mewakili wawasan dan pandangan

31

luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami„-nya, ia akan mendapatkan

ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai

mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqih

mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan

mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.

Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith

mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si

berhutang yang sudah mampu sebagai berikut: “Muhammad b.

Basysyar b. Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan

kepada kami, dari Abi al-Zunad, dari al-A‟rai dari Abu Hurairah, dari

Nabi Saw, bersabda, „Penangguhan membayar utang yang dilakukan

oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila

seseorang di antara kamu dipindahkan hutangnya kepada orang lain

yang mampu membayar, hendaklah pemindahan hutang itu

diterimanya.”

Imam al-Tirmidhi memberikan penjelasan sebagai berikut:

Sebagian ahli ilmu berkata, “Apabila seseorang dipindahkan

piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, dan ia

menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan

(muhil) itu. Bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak

dibolehkan menuntut kepada muhil.” Pernyataan ini adalah pendapat

Syafi‟i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata,

“Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan

muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang

pertama (muhil)." Mereka memakai alasan dengan perkataan Uthman

dan lainnya, yang menegaskan, "Tidak ada kerugian atas harta benda

seorang Muslim.” Menurut Ishaq, perkataan, “Tidak ada kerugian atas

harta benda seorang Muslim,” ini adalah: “Apabila seseorang

dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu,

namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian

atas harta benda orang muslim (yang dipindahkan hutangnya) itu.”

32

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa

betapa cemerlangnya pemikiran fiqih al-Tirmidhi dalam memahami

nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.

Imam Tirmidhi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya adalah

sebagai berikut:

Kitab Al-Jami„, terkenal dengan sebutan Sunan al-Tirmidhi.

Kitab Al-‟Ilal.

Kitab Al-Tarikh.

Kitab Al-Syama‟il al-Nabawiyyah.

Kitab Al-Zuhd.

Kitab Al-Asma‟ wal-kuna.

Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta

beredar luas adalah Al-Jami„.

b. Kitab Al-Jami‘

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidhi terbesar dan

paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu Kutub al Sittah

(Enam Kitab Pokok Bidang Hadith). Al-Jami„ ini terkenal dengan

nama Jami„ al-Tirmidhi, dinisbatkan kepada penulisnya. Kitab ini juga

terkenal dengan nama Sunan al-Tirmidhi. Namun nama pertamalah

yang popular.

Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar al-Sahih

kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih al-

Tirmidhi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu

gegabah.

Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidhi memperlihatkan

kitabnya kepada para ulama. Mereka senang dan menerimanya dengan

baik. Ia menerangkan, “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku

perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan

Khurasa, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah

tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."

33

Imam Tirmidhi di dalam Al-Jami„-nya tidak hanya meriwayatkan

hadith Sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadith-hadith hasan,

da‟if, garib dan mu‟allal dengan menerangkan kelemahannya.

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali

hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqih.

Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh

karenanya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai

demikian, baik jalan periwayatannya itu Sahih ataupun tidak Sahih.

Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan

keadaan setiap hadith.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata, “Semua hadith yang

terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu,

sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali

dua hadith, yaitu:

Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah Saw menjamak

shalat Dhuhur dengan „Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya

sebab takut dan dalam perjalanan.” “Jika ia peminum khamar - minum

lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadith ini

adalah mansukh dan ijma„ ulama menunjukan demikian. Sedangkan

mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda

pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar

ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah

selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn

Sirin dan Ash‟ab serta sebagian besar ahli fiqih dan ahli hadith juga

Ibn Mundhir.

Hadith-hadith da‟if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada

umumnya hanya menyangkut fada‟il al-a„mal (anjuran melakukan

perbuatal-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti, karena

persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadith

semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi

hadith-hadith tentang halal dan haram.

34

4. Sunan Ibnu Majah

Kitab sunan ini merupakan karya Muhammad b. Yazid b. Majah

al-Qazwini, wafat 274 H. Para ulama menjadikan kitab ini sebagai

penyempurna bagi enam kitab diatas, mengingat peranan besar yang

dirasakan umat Islam pada kitab ini dalam bidang fiqih. Kitab ini telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. Abdullah Shonhaji, dkk.

dengan judul Tarjamah Sunan Ibnu Majah .

a. Riwayat Hidup

Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang

disepakati tentang kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi

pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak

menghafal hadith.

Imam Abu Abdullah Muhammad b. Yazid b. Majah ar-Rabi‟i al-

Qarwini, pengarang kitab Al-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya.

Kata "Majah " dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha‟" yang

dibaca sukun. Inilah pendapat yang sahih yang dipakai oleh mayoritas

ulama, bukan dengan "ta‟" sebagaimana pendapat sementara orang.

Kata itu adalah gelar ayah Muhammad.

Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan

wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh

saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh

kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.

Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta

mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan

periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan

mengumpulkan hadith, ia telah melakukan lawatan ke beberapa negeri.

Ia melawat ke Iraq, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-

negara serta kota-kota lainnya untuk menemui dan berguru hadith

kepada ulama-ulama hadith. Ia juga belajar kepada murid-murid Malik

35

dan al-Laith, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada

masanya di dalam bidang ilmu hadith.

Ia belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakr b. Abi Shaibah,

Muhammad b. Abdullah b. Numair, Hisyam b. „Ammar, Muhammad

b. Ramh, Ahmad b. al-Azhar, Bisyr b. Adan, dan ulama-ulama besar

lain.

Sedangkan hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad b. „Isa

al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman b. Yazid al-Qazwini, Ibn

Sibawaih, Ishak b. Muhammad dan ulama-ulama lainnya. Abu Ya‟la

al-Khalili al-Qazwini berkata, “Ibn Majah adalah seorang kepercayaan

yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan

argumentasi pendapal-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas

dan banyak menghafal hadith."

Dalam Tazkiratul Huffaz, Az-Zahabi melukiskannya sebagai

seorang ahli hadith besar mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir,

serta ahli hadith kenamaan negerinya.

Ibn Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam

Bidayah-nya berkata, "Muhammad b. Yazid (Ibn Majah ) adalah

pengarang kitab sunan yang masyhur. Kitabnya merupakan bukti atas

amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta

kredibilitas dan loyalitasnya kepada Islam.

Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis. Di antara karya

tulisnya adalah:

Kitab al-Sunan, salah satu Kutub al-Sittah (Enam Kitab Hadith

yang Pokok).

Kitab Tafsir Al-Qur‟an, sebuah kitab tafsir yang besar manfaatnya

seperti diterangkan Ibn Kasir.

Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn

Majah .

b. Sunan Ibn Majah

36

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar

yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn

Majah menjadi terkenal. Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa

kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab.

Sedang jumlah hadithnya sebanyak 4.000 hadith.

Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqih, yang dikerjakan

secara baik dan indah. Ibn Majah memulai sunan-nya dengan sebuah

bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Dalam bab ini ia

menguraikan hadith-hadith yang menunjukkan kekuatan sunnah,

kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.

Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam

kelompok "Kitab Hadith Pokok" mengingat derajat sunan ini lebih

rendah dari kitab-kitab hadith yang lima. Sebagian ulama yang lain

menetapkan, bahwa kitab-kitab hadith yang pokok ada enam kitab,

yaitu:

Sahih Al-Bukhari, karya Imam al-Bukhari.

Sahih Muslim, karya Imam Muslim.

Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.

Sunan al-Nasa‟i, karya Imam Nasa‟i.

Sunan al-Tirmidhi, karya Imam Tirmidhi.

Sunan Ibn Majah , karya Imam Ibn Majah .

Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab

keenam adalah al-Hafiz Ab al-Fadl Muhammad b. Tahir al-Maqdisi

(wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraf al-Kutub al-Sittah dan dalam

risalahnya Syurut al-„A‟immah al-Sittah.

Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz „Abd al-Ghani b. al-

Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma‟ al-

Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar

ulama. Mereka mendahulukan Sunan Ibn Majah dan memandangnya

sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al-Muwatta‟

karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih Sahih

37

daripada Sunan Ibn Majah . Hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah

banyak zawa’id-nya (tambahannya) atas Kutub al- Khamsah. Berbeda

dengan Al-Muwatta‟, yang hadith-hadith itu kecuali sedikit sekali,

hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutub al Khamsah.

Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta‟ Imam

Malik sebagai salah satu Kutub al-Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan

Sunan Ibn Majah . Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah

Abu al-Hasan Ahmad b. Razin al-Abdari al-Sarqisti (wafat sekitar

tahun 535 H) dalam kitabnya al-Tajrid fi al-Jami„ Bain al-Sihah.

Pendapat ini diikuti oleh Abu al-Sa‟adat Majduddin Ibn al-Asir al-

Jazairi al-Syafi‟i (wafat 606 H). Demikian pula al-Zabidi al-Syafi‟i

(wafat 944 H) dalam kitabnya Taysir al-Wusul.

c. Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah

Sunan Ibn Majah memuat hadith-hadith Sahih, hasan, dan da„if,

bahkan hadith-hadith munkar dan maudu’, meskipun dalam jumlah

sedikit. Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat

Kutub al-Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini karena kitab sunan ini

yang paling banyak memuat hadith-hadith da„if di dalamnya. Oleh

karena itu, tidak seyogyanya kita menjadikan hadith-hadith yang

dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibn Majah ini sebagai dalil.

Kecuali setelah mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai

keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata hadith dimaksud itu sahih

atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan. Jika tidak demikian

adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan dalil.

Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa hadith dengan sanad

tinggi (pendek susunan sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi

Saw hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang dikenal

dengan sebutan thulathiyyat.

38

Daftar Pustaka

al-Dhahabi, Syams al-Din. Siyar Min A’lam al-Nubala’, tahqiq Syu‟aib Al

Arna‟ut. Beirut: Mu‟assasah al-Risalah, 2001

al-Naisaburi, Muslim b. Hajjaj al-Qusairi. Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-

„Ilmiyyah, 2000

Al-Suyuti. Sunan al-Nas’i bi al-Syarh. Beirut: Dar al-Fikr, 1995

al-Tirmizi, Abu „Isa Muhammad b. „Isa. al-Jami‘ al-Shahih ay Sunan al-Tirmizi,

tahqiq Ahmad Muhammad Sykir. Beirut: Dar al-Fikr, 1998

al-Qastalani, Abu al-„Abbas Sihab al-Din Ahmad. Irsad al-Sari li Sarh Sahih al-

Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1990

Imam Muslim, dalam: http://mediabilhikmah.multiply.com/journal (19 Januari

2009)

Imam Muslim, dalam: http://www.pmo.gov.my/ (19 Januari 2009)